MISTERI BAYI ULAR
Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Matahari siang menebarkan sinar-
sinarnya yang kelewat panas. Debu-debu
beterbangan diterjang seekor kuda jantan
hitam yang melaju kencang di atas tanah
datar di pinggiran lereng sebelah selatan
Pegunungan Dieng.
Penunggang kuda itu adalah seorang
pemuda tampan berpakaian biru-biru. Ma-
tanya yang setajam mata burung rajawali
dengan sepasang alis tebal berwarna hitam
tak lepas memperhatikan jalan didepannya.
Karena bisa-bisa kudanya terperosok atau
menabrak pepohonan yang melintang. Lincah
dan tangkas sekali dia mengendalikan ku-
danya. Hidung pemuda ini mancung, pas se-
kali dengan bentuk bibirnya yang tipis.
Rambut gondrongnya yang dibiarkan terge-
rai di bahunya semakin menambah ketampa-
nannya. Dia tak lain memang Mahesa.
Pemuda tampan ini terus memacu ku-
danya menuju ke sisi lereng sebelah ba-
rat. Tujuannya hanya ingin menemui gu-
runya, Pendekar Pedang Kilat Buana yang
bertapa di lereng sebelah barat Gunung
Batu.
Mendadak saja Mahesa menarik tali
kekang, membuat kudanya berhenti dengan
kedua kaki depan diangkat. Tinggi-tinggi
sambil meringkik. Kalau saja dia kurang
sigap, pasti sudah terlempar dari pung
gung kudanya. Sebentar saja kuda hitam
itu telah bisa dikendalikan.
Kini, Mahesa menatap ke depan, ke
arah dua orang kakek berpakaian serba hi-
tam yang telah menghadangnya. Yang satu
bertubuh gempal, terbungkus pakaian hitam
yang sedikit kedodoran. Laki-laki tua
berkepala botak ini tak lain adalah salah
seorang tokoh sesat dari utara. Nama se-
benarnya adalah Benawa, namun lebih ter-
kenal julukannya. Raja Golok Dari Utara!
Di sebelah kiri Benawa adalah seo-
rang kakek bertubuh tinggi kurus. Raut
wajahnya mengerikan dengan mata sebelah
kiri rusak dan kedua bibir robek meman-
jang di kanan-kiri. Sementara lubang hi-
dungnya hanya satu, sehingga kalau bicara
suaranya jadi sengau. Namun di kawasan
selatan tokoh yang satu ini sangat dita-
kuti lawan-lawannya. Dia tidak lain ada-
lah Raja Racun Dari Selatan!
Melihat kemunculan kedua orang to-
koh itu, Mahesa sempat terkejut juga.
Apalagi dia memang sempat berurusan den-
gan salah satunya, yakni Raja Racun Dari
Selatan, beberapa bulan yang lalu di Lem-
bah Kematian. Bisa ditebak kalau pengha-
dangan kedua tokoh sesat itu kali ini
tentu ingin membalas dendam.
Mahesa memang tidak bisa menganggap
remeh. Apalagi kepandaian Raja Golok Dari
Utara pun tidak jauh beda dari Raja Racun
Dari Selatan. Mungkin bila berhadapan sa-
tu lawan satu, Mahesa masih dapat menga-
tasinya. Namun kalau mereka maju bareng,
inilah yang meresahkannya!
"Hm.... Kalian rupanya? Ada keper-
luan apa menghadangku?" tanya Mahesa ka-
lem, seraya meloncat turun dari kudanya.
Gerakannya ringan sekali tanpa menimbul-
kan suara sedikit pun. Jelas ilmu merin-
gankan tubuhnya telah sangat tinggi.
"Tikus busuk! Jangan berlagak bo-
doh! Kau masih berurusan denganku," ben-
tak Raja Racun Dari Selatan dengan sua-
ranya yang sengau.
"Itu bukan salahku. Tapi kau sendi-
rilah yang cari penyakit!" kilah Mahesa.
"Bedebah! Jadi bocah inikah yang
menghajarmu, Kakang?" timpal Raja Golok
Dari Utara, geram.
"Ya! Bocah inilah yang berjuluk
Pendekar Kujang Emas, murid tunggal Pen-
dekar Pedang Kilat Buana," sahut Raja Ra-
cun Dari Selatan.
"Hm...," gumam Raja Golok Dari Uta-
ra tak jelas.
Matanya yang merah memandang tajam
pada Mahesa, seolah-olah omongan Raja Ra-
cun Dari Selatan tidak dipercayai. "Kalau
begitu buat apa kita buang-buang waktu?
Kita cincang saja bocah keparat ini rame-
rame. Ayo, Kakang!"
Sehabis berkata begitu, tanpa ba
nyak membuang-buang waktu, Raja Golok Da-
ri Utara langsung berkelebat menyerang.
Senjata andalannya yang berupa golok ber-
putar-putar bagai kitiran. Hebat sekali
serangan kakek iblis itu. Gerakan-gerakan
kaki dan tangannya pun cepat sekali, mem-
buat pakaian hitamnya yang kedodoran ber-
kibar-kibar.
"Hm.... Jadi, inikah yang kalian
kehendaki? Baik. Jangan dikira aku takut
menghadapi kalian."
Begitu kibasan golok menyambar, Ma-
hesa sedikit miringkan tubuhnya ke kiri
sehingga serangan itu menebas angin. Sam-
bil bergerak demikian senjata pusakanya
yang berupa kujang pun cepat diloloskan
dari pinggang. Namun saat itu pula Raja
Racun Dari Selatan telah menghadang den-
gan jurus-jurus andalannya.
Mahesa cepat membuang tubuhnya ke
kiri menghindari pukulan beracun Raja Ra-
cun Dari Selatan. Saat yang sama tebasan
golok Raja Golok Dari Utara melayang men-
gancam. Mau tak mau Mahesa segera menang-
kis dengan kujangnya yang berwarna kuning
keemasan.
Cring!
Bunga api kontan berpijar ketika
golok di tangan Raja Golok Dari Utara
berbenturan dengan kujang di tangan Mahe-
sa. Sementara tubuh kedua orang itu sama-
sama bergetar hebat, pertanda tenaga da
lam mereka berimbang.
"Bagus! Tidak percuma kau mendapat
julukan Pendekar Kujang Emas, Bocah!" pu-
ji Raja Golok Dari Utara, penasaran.
Raja Racun Dari Selatan gemas bukan
main. Serangan pertamanya tadi mudah se-
kali dapat dimentahkan.
"Jangan main-main, Raja Golok! Ce-
pat habisi bocah keparat itu!" Raja Racun
Dari Selatan menggeram penuh kemarahan.
Wajahnya kelam membesi dengan rahang ber-
tonjolan. Kedua telapak tangannya telah
berubah menjadi hitam legam, siap melan-
carkan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang
Hitam'!
Mahesa tidak main-main lagi. Puku-
lan yang mengandung hawa dingin itu sudah
pernah dirasakan kehebatannya. Dan jurus
andalannya pun mulai siap-siap dikelua-
rkan. Jurus 'Kilat Menyambar Bumi'. Sebe-
narnya jurus itu lebih cocok bila dimain-
kan dengan senjata pedang. Akan tetapi
Mahesa sudah terbiasa memainkannya dengan
kujang. Bahkan sudah merasa lebih cocok.
"Hiyaaat!"
Raja Golok Dari Utara kembali me-
nerjang dengan goloknya. Sementara Raja
Racun Dari Selatan dengan jurus-jurus
mautnya.
Mahesa cepat memutar kujangnya un-
tuk melindungi diri dari serangan dua
orang kakek berhati iblis itu yang terus
meningkat. Untuk beberapa saat pemuda mu-
rid Pendekar Pedang Kilat Buana itu masih
dapat mengimbangi. Namun ketika pertarun-
gan mulai menginjak jurus sepuluh, Mahesa
jadi kewalahan bukan main. Entah sudah
berapa kali tubuhnya yang tinggi kekar
itu harus berjumpalitan ke udara. Pakaian
biru-birunya mulai compang-camping tidak
karuan akibat sabetan-sabetan golok Raja
Golok Dari Utara. Demikian pula lengan
kanannya yang menghitam akibat pukulan
'Telapak Tangan Kelabang Hitam' dari Raja
Racun Dari Selatan.
Pada jurus ketiga belas hampir saja
bahu kanan Mahesa terkena sambaran golok
di tangan Raja Golok Dari Utara. Untung-
nya dia cepat melenting tinggi keluar da-
ri kancah pertempuran, lalu mendarat ma-
nis tanpa sedikit pun menimbulkan suara.
"He he he,..! Rupanya hanya segini
kehebatan Pendekar Kujang Emas!" ejek Ra-
ja Golok Dari Utara melecehkan.
Mahesa tidak mempedulikan ocehan
Raja Golok Dari Utara. Jurus-jurus anda-
lannya kini siap dikeluarkan. Pada saat
yang sama kedua lawannya telah kembali
menerjang.
"Hyaaat...!"
Mahesa meloncat tinggi ke udara me-
nyongsong serangan. Setelah berputaran
beberapa kali tubuhnya menukik ke bawah
siap menembus ubun-ubun Raja Racun Dari
Selatan dengan ujung mata kujangnya.
Raja Racun Dari Selatan kaget bukan
kepalang. Wajahnya yang mengerikan itu
pucat pasi. Sungguh tidak disangka kalau
pemuda itu bisa melepas serangan sehebat
itu.
"Jurus 'Kilat Pembawa Maut'" desis
iblis tua bersuara sengau itu seraya me-
lempar tubuhnya ke belakang.
"Heaaa...!"
Raja Golok Dari Utara melesat ce-
pat. Cepat digantikannya kedudukan Raja
Racun Dari Selatan. Untuk sesaat Raja Go-
lok Dari Utara kewalahan bukan main meng-
hadapi Mahesa. Untungnya Raja Racun Dari
Selatan segera membantu dengan melepas
pukulan Telapak Tangan Kelabang Hitam da-
ri jarak jauh.
Mahesa terperangah. Sedikit seran-
gannya pada Raja Golok Dari Utara diken-
durkan, lalu melompat ke belakang membuat
jarak.
Kesempatan ini cepat digunakan Raja
Racun Dari Selatan untuk kembali berga-
bung dengan kawannya. Maka kembali perta-
rungan seru berlangsung.
Mahesa terus mendesak kedua iblis
tua itu dengan jurus 'Kilat Pembawa
Maut'. Dan untuk sesaat jalannya perta-
rungan dapat dikuasai. Namun beberapa ju-
rus kemudian, perlahan namun pasti, gu-
lungan-gulungan sinar kuning dari kujang
nya yang mengurung Raja Golok Dari Utara
dan Raja Racun Dari Selatan mulai mengen-
dor. Dan selanjutnya ganti Mahesa-lah
yang terdesak hebat.
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan ba-
lasan ku, Bocah! Jangan harap lolos dari
tanganku!" leceh Raja Racun Dan Selatan
kegirangan.
Mahesa tidak gentar sedikit pun.
Meski keadaannya tidak menguntungkan, na-
mun terus mencoba bertahan. Sebagai seo-
rang pendekar, pantang bagi dirinya untuk
kabur meninggalkan pertarungan. Dan aki-
batnya sungguh berbahaya.
Ketika Mahesa hendak miringkan tu-
buhnya ke kiri menghindari bacokan golok
Raja Golok Dari Utara, tiba-tiba saja pu-
kulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam' da-
ri Raja Racun Dari Selatan melesat dari
belakang tanpa sempat dihindari. Maka
tanpa ampun lagi....
Dugh!
"Augh!"
Mahesa terpekik tertahan saat pung-
gungnya terkena pukulan berhawa dingin
itu. Tepat pada bagian yang menjadi sasa-
ran langsung berubah menghitam. Tubuhnya
kontan terhuyung-huyung ke depan disertai
muntahan darah segar.
Saat itu, Raja Golok Dari Utara
yang tepat berada di depan Mahesa sudah
mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Tubuh
pemuda itu akan dibelahnya. Dalam keadaan
terluka parah seperti itu, Mahesa masih
sempat membanting tubuhnya ke kiri. Se-
rangan golok memang bisa dihindari. Namun
serangan Raja Racun Dari Selatan selan-
jutnya yang berupa tendangan berputar te-
pat mengenai dada.
Desss...!
"Augh!"
Sekali lagi Mahesa memekik terta-
han. Tubuhnya yang tinggi kekar kembali
terlempar ke belakang. Wajahnya seketika
itu juga pucat pasi. Matanya berkunang-
kunang. Mahesa benar-benar pasrah. Kea-
daannya saat ini sungguh sangat mengkha-
watirkan.
Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-
cun Dari Selatan tertawa-tawa kegirangan.
Golok di tangan Raja Golok Dari Utara
siap membelah tubuh Mahesa. Demikian pula
Raja Racun Dari Selatan yang siap melon-
tarkan pukulan Telapak 'Tangan Kelabang
Hitam' ke ubun-ubun kepala pemuda itu.
Namun....
Wesss...!
"Heh?!"
* * *
Tiba-tiba saja terdengar suara men-
desis yang didahului dengan bau harum
bunga melati menyerang Raja Racun Dari
Selatan dan Raja Golok Dari Utara.
Kedua tokoh sesat itu terkesiap bu-
kan kepalang. Seketika mereka langsung
melempar tubuh ke samping kanan-kiri. Be-
gitu bangkit, betapa terkejutnya mereka
ketika melihat seekor ular naga putih se-
besar pohon kelapa melintas!
"Siluman Naga Puspa...!" pekik Raja
Golok Dari Utara dan Raja Racun Dari Se-
latan berbarengan.
Ular naga putih yang dipanggil Si-
luman Naga Puspa langsung memutar tubuh-
nya, begitu serangannya gagal. Sepasang
matanya mencorong memandangi Raja Golok
Dari Utara dan Raja Racun Dari Selatan
penuh kemarahan. Mulutnya mendesis-desis
mengerikan menampakkan sepasang taringnya
yang runcing.
Memang, aneh sekali siluman ular
itu. Tubuhnya yang sebesar pohon kelapa
bukannya menebarkan bau amis, tapi malah
bau harum bunga melati. Raja Golok Dari
Utara dan Raja Racun Dari Selatan memang
pernah mendengar ciri-ciri serta nama si-
luman itu. Namun baru kali ini mereka
bertemu langsung. Dan tak urung kedua to-
koh golongan hitam itu jadi ciut nyalinya
ketika merasa yakin kalau binatang jeja-
dian itu adalah Siluman Naga Puspa. Mere-
ka terperanjat ketika Siluman Naga Puspa
kembali menyerang.
Wesss...!
Siluman Naga Puspa melesat ke de-
pan. Taring-taringnya yang tajam siap me-
remukkan kepala Raja Racun Dari Selatan.
Sedang ekornya siap menghajar Raja Golok
Dari Utara.
Brakkk!
Hebat sekali serangan ular raksasa
itu. Ranting-ranting pohon kering dalam
jarak dua puluh depa langsung berderak
berjatuhan terkena angin sambarannya. Na-
mun yang dihadapi Siluman Naga Puspa kali
ini bukanlah tokoh sembarangan. Walaupun
sempat tercekat, namun Raja Golok Dari
Utara dan Raja Racun Dari Selatan yang
sudah terbiasa malang melintang di dunia
persilatan sudah bisa menguasai keadaan.
Dengan gerakan cepat serangan Siluman Na-
ga Puspa dapat dielakkan dengan mudah.
Bahkan Raja Golok Dari Utara sempat meng-
hujamkan golok ke tubuh siluman ular itu.
Crag! Crag!
Dua kali mata golok membacok tubuh
Siluman Naga Puspa. Namun akibatnya ju-
stru tangan Raja Golok Dari Utara yang
kesemutan. Mata goloknya terasa seperti
membentur besi baja yang kuat sekali.
Jangankan untuk melukai tubuh ular itu.
Bahkan mata golok di tangan Raja Golok
Dari Utara itu sendi yang rompal!
Bukan main! Raja Golok Dari Utara
sempat terlongong sebentar melihat kesak-
tian Siluman Naga Puspa. Seolah pandangan
matanya sendiri tidak dipercayai. Dan di
saat Raja Golok Dari Utara terlongong
itulah, tahu-tahu ekor Siluman Naga Puspa
telah berkelebat cepat sekali.
Bukkk!
"Augh!"
Raja Golok Dari Utara menjerit ke-
sakitan. Tubuhnya yang gempal langsung
terlempar beberapa tombak ke samping ka-
nan.
Sementara Siluman Naga Puspa mende-
sis hebat. Sepasang matanya kini menco-
rong tajam ke arah Raja Racun Dari Sela-
tan.
"Keparat! Kau ingin mampus di tan-
ganku, he?! Nih, terima pukulan 'Telapak
Tangan Kelabang Hitam'ku!" bentak Raja
Racun Dari Selatan sambil menghentakkan
tangan kanannya dengan kuda-kuda kokoh.
Wesss!
Seleret sinar hitam legam melesat
dari telapak tangan kanan Raja Racun Dari
Selatan. Begitu cepat sinar itu meluruk,
menghantam tubuh Siluman Naga Puspa den-
gan telak sekali.
Buk! Buk!
Siluman Naga Puspa terlempar ke
samping kiri. Namun sedikit pun tidak
mengalami cidera. Dia hanya mendesis-
desis penuh kemarahan.
"Zzzttt...!"
Disertai desis kemarahan, Siluman
Naga Puspa mencelat tinggi siap meremuk-
kan batok kepala Raja Racun Dari Selatan.
"Ah...!"
Bukan main terperangahnya Raja Ra-
cun Dari Selatan melihat ketangguhan si-
luman ular itu. Tadi dia sempat terlon-
gong, mengagumi kehebatan Siluman Naga
Puspa. Tanpa disadari, dia lupa akan da-
tangnya bahaya.
Pada saat yang gawat Raja Golok Da-
ri Utara segera melesat. Beberapa kali
mata goloknya dibacokkan ke tubuh Siluman
Naga Puspa.
Crak! Crak!
Siluman Naga Puspa marah bukan
main. Kendati tak mengalami cidera, namun
sudah alasan baginya untuk melenyapkan
tokoh licik itu. Segera dia bersiap me-
nyerang. Namun....
"Ratri! Hentikan!"
Terdengar suara halus bernada te-
gas, membuat kepala Siluman Naga Puspa
berpaling ke samping. Dilihatnya seorang
lelaki berusia tujuh puluh tahun dengan
pakaian putih bersih tahu-tahu telah ber-
diri tak jauh dari tempat pertarungan.
Wajahnya putih bersih. Rambutnya yang pu-
tih memanjang digelung ke atas.
Sedang jenggotnya yang juga putih
bersih dibiarkan tergerai.
"Begawan Kamasetyo...!" sebut Raja
Golok Dari Utara hampir berbarengan den
gan Raja Racun Dari Selatan.
Lelaki tua yang dipanggil Begawan
Kamasetyo memperhatikan kedua orang itu
sebentar.
"Lagi-lagi kalian yang membuat onar
di tempat ini!" gumam Begawan Kamasetyo
penuh wibawa.
Sebentar mata tajam lelaki ini mem-
perhatikan Siluman Naga Puspa. Dan dia
memberi isyarat pada siluman aneh itu un-
tuk kembali ke tempatnya semula. Namun
anehnya, Siluman Naga Puspa malah mende-
sis-desis seperti ingin melaporkan sesua-
tu kepada Begawan Kamasetyo.
Begawan Kamasetyo mengangguk-
anggukkan kepala.
"Sudah kuduga," gumam Begawan Kama-
setyo lagi seraya mengalihkan perhatian
pada Raja Golok Dari Utara dan Raja Racun
Dari Selatan. Jelas sekali kalau ia tidak
menyukai kehadiran kedua kakek berhati
iblis itu.
"Nah, tunggu apa lagi? Mengapa ka-
lian tidak cepat-cepat angkat kaki dari
sini?!" kata Begawan Kamasetyo lagi.
"Jangan sombong, Begawan Kama-
setyo!" hardik Raja Golok pari Utara ge-
ram.
"Aku bicara baik-baik. Mengapa ka-
lian membentak-bentak aku?" tukas Begawan
Kamasetyo tanpa berkesan marah.
"Tua bangka keparat! Lagakmu som
bong sekali! Apa kesombonganmu ini dapat
menolong nyawa busukmu, he?!" bentak Raja
Golok Dari Utara gusar sekali.
Dan sehabis berkata begitu, kakek
iblis itu pun langsung menyerang Begawan
Kamasetyo dengan golok. Pada saat hampir
bersamaan Raja Racun Dari Selatan mence-
lat, ikut menyerang.
Begawan Kamasetyo hanya menggeleng-
geleng dengan helaan napas tipis. Begitu
serangan kedua tokoh sesat itu mendekat,
tubuhnya sedikit dimiringkan ke kiri. Se-
hingga sambaran golok dapat dihindari
dengan baik. Bahkan sekaligus membalas
serangan kedua kakek iblis itu dengan to-
tokan jari-jari tangannya.
Tuk! Tuk!
"Aaakh...!"
Semua itu dilakukan Begawan Kama-
setyo dengan cepat sekali. Sehingga dalam
sekejap saja, iga kiri Raja Golok Dari
Utara dan ulu hati Raja Racun Dari Sela-
tan terkena totokan jari-jari tangan Be-
gawan Kamasetyo, mereka kontan terpekik
dengan wajah pucat pasi. Tubuh mereka
terjajar beberapa langkah. Tampak baju di
bagian tubuhnya yang tertotok tadi berlu-
bang!
"Apa kalian masih tetap bersikeras
untuk tidak cepat-cepat angkat kaki dari
tempat ini?" kata Begawan Kamasetyo penuh
perbawa.
Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-
cun Dari Selatan cukup tahu diri. Mereka
bukanlah orang-orang bodoh. Menghadapi
Siluman Naga Puspa saja masih kewalahan.
Apalagi sekarang ditambah Begawan Kama-
setyo?
"Ingat, Begawan! Kau harus membayar
mahal penghinaanmu ini," desis Raja Golok
Dari Utara penuh kemarahan. Sedang Raja
Racun Dari Selatan hanya mendelik penuh
kebencian.
Sehabis berkata begitu, kedua iblis
ini segera berbalik. Begitu menjejakkan
kaki, mereka segera berkelebat meninggal-
kan tempat itu. Dalam sekejap saja mereka
telah menjadi dua titik hitam di kejauhan
sana, lalu menghilang di lereng pegunun-
gan.
Begawan Kamasetyo menggeleng-
gelengkan kepala.
"Dunia persilatan bisa cepat tamat
kalau orang-orang seperti mereka tidak
cepat dibasmi," gerutu orang tua itu pada
diri sendiri. "Sayang sekali aku tidak
mempunyai murid. Tapi...?"
Tiba-tiba saja Begawan Kamasetyo
teringat pemuda yang hendak ditolongnya
tadi. Dengan gerakan ringan, cepat dide-
katinya Mahesa. Di tempat itu ternyata
Siluman Naga Puspa yang sebenarnya adalah
anak kandungnya sendiri tengah menunggui
Mahesa. Begawan Kamasetyo trenyuh sekali.
Ditepuk-tepuknya kepala Siluman Naga Pus-
pa sebentar. Lalu dipondongnya Mahesa
yang tak sadarkan diri menuju ke tempat
pertapaannya di sebelah barat lereng Pe-
gunungan Dieng.
Siluman Naga Puspa mengikutinya da-
ri belakang dengan desisan-desisannya
yang aneh!
***
Mahesa telah direbahkan di ranjang.
Sementara Siluman Naga Puspa ikut masuk
ke dalam kamar, memperhatikan Begawan Ka-
masetyo yang sedang mengobati Mahesa.
"Ohh...!"
Mahesa tersadar dengan lenguhan ha-
lus menyertai. Sebelum mata Mahesa terbu-
ka, Siluman Naga Puspa cepat keluar. Se-
dangkan Begawan Kamasetyo langsung mera-
sakan kejanggalan sikap putrinya.
"Terima kasih, Kek. Kau telah me-
nyelamatkan nyawaku," ujar Mahesa dengan
susah payah, setelah matanya terbuka dan
samar-samar melihat seorang laki-laki tua
di sisinya.
"Jangan banyak bicara dulu, Anak
Muda! Urusan terima kasih bisa diurus
nanti. Sekarang, minum saja obat itu! Pu-
kulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam' Ra-
ja Racun Dari Selatan memang keji sekali.
Untungnya tubuhmu cukup kuat," ujar Bega
wan Kamasetyo.
Mahesa mengangkat tubuhnya dengan
susah payah. Begawan Kamasetyo membantu
menyandarkannya ke dinding gua.
"Nah! Sekarang, minumlah obat ini!"
Begawan Kamasetyo menyorongkan gelas dari
batok kelapa itu ke dekat mulut Mahesa.
Mahesa meminumnya. Pahit! Perlahan-
lahan cairan kental berwarna hitam itu
masuk ke dalam perutnya. Langsung terasa
panas, seperti mau membakar ususnya. Ma-
hesa menggigil. Keringat sebesar biji ja-
gung segera membasahi keningnya. Bibirnya
digigit kuat-kuat.
"Bersemadi lah, Anak Muda! Nanti
hawa panas itu akan hilang sendiri. Jika
tubuhmu cukup kuat menahan racun kelabang
hitam, mungkin dalam dua atau tiga hari
kemudian kau akan sembuh."
"Terima kasih, Kek."
Mahesa mengangkat tubuhnya. Tidak
terlalu berat seperti tadi. Hanya saja,
hawa panas dalam perutnya masih berputar-
putar. Mahesa tidak membuang-buang waktu
lagi. Segera diambilnya sikap bersemadi.
Langsung pikirannya dipusatkan pada Sang
Pencipta.
Begawan Kamasetyo berjalan keluar.
Di mulut gua, Siluman Naga Puspa sedang
memandang hamparan pematang di kejauhan
sana. Lelaki tua ini segera mendekati pu-
trinya.
"Ada apa, Ratri? Mengapa kau tidak
menemani Ayah menyembuhkan pemuda itu?"
tanya Begawan Kamasetyo.
Siluman Naga Puspa menoleh. Wajah-
nya lain dari biasanya.
Begawan Kamasetyo terkejut. Sepa-
sang mata yang mencorong di depannya be-
rair. Aneh sekali!
"Kau menangis, Ratri? Ada apa?"
tanya Begawan Kamasetyo heran.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis.
Tingkahnya aneh sekali. Begawan Kamasetyo
mendengarkan dengan seksama.
"Oh...! Kau menanyakan nama pemuda
itu?" tebak lelaki tua ini.
Siluman Naga Puspa mengangguk.
"Hm, Aku lupa belum menanyakannya."
Siluman Naga Puspa mendesis-desis
lagi.
"Ya..., ya! Nanti aku tanyakan,
siapa nama pemuda itu," kata Begawan Ka-
masetyo menukas. Matanya yang tua meman-
dangi putrinya penuh perhatian.
Siluman Naga Puspa mengalihkan pan-
dangan ke hamparan pematang di kejauhan
sana. Sepasang matanya yang mencorong te-
tap berair.
"Ada apa, Ratri? Apakah kau..., kau
menyukainya?" tanya Begawan Kamasetyo,
kelu.
Siluman Naga Puspa diam tak menya-
hut. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.
Aneh sekali. Tingkah lakunya saat itu
persis sekali seperti seorang gadis. An-
dai saja wujudnya berupa sosok manusia,
tentu pipinya akan merona merah dan ter-
sipu malu.
Begawan Kamasetyo trenyuh sekali.
Tak sepatah kata pun terucap dari bibir-
nya. Dipandangnya wajah putrinya seben-
tar, lalu melangkah masuk ke dalam mulut
gua yang bernama Gua Burangrang.
***
Waktu terus bergulir, meniti alam.
Tiga hari terlewat sudah. Kesehatan
Mahesa pun sudah pulih seperti sedia ka-
la. Wajahnya yang tampan tidak lagi pu-
cat. Dan saat ini, dia sedang duduk ber-
simpuh di depan Begawan Kamasetyo.
"Aku mengucapkan terima kasih ba-
nyak, Kek. Kau telah menyelamatkan nyawa-
ku. Seumur hidup, aku tidak bisa melupa-
kan kebaikanmu, Kek," ucap Mahesa, seraya
merangkapkan tangan di depan hidung.
Begawan Kamasetyo diam sambil men-
gelus-elus jenggotnya yang panjang memu-
tih. Matanya sayu memandangi Mahesa. Ha-
tinya sedih, menyadari kalau putrinya
mencintai Mahesa!
"Jangan terlalu banyak peradatan,
Anak Muda! Sebaiknya ceritakan saja men-
gapa kau sampai bentrok dengan Raja Golok
Dari Utara clan Raja Racun Dari Selatan
tempo hari!" ujar Begawan Kamasetyo.
"Tidak terlalu istimewa, Kek. Bebe-
rapa bulan yang lalu, aku pernah bentrok
dengan Raja Racun Dari Selatan. Mungkin
dia masih penasaran, Kek...."
"Bukan hanya penasaran. Tapi, juga
ingin menghendaki nyawamu, Anak Muda!"
sela Begawan Kamasetyo.
"Ya, ya. Aku mengerti, Kek."
"Nah! Sekarang, rencanamu mau ke
mana, Anak Muda? Apakah kau masih ingin
beristirahat di sini barang beberapa ha-
ri?" tanya Begawan Kamasetyo ingin tahu.
"Aku ingin meneruskan perjalanan ke
Gunung Batu, Kek. Aku masih mempunyai se-
dikit urusan dengan Eyang Guru."
"Hm.... Kalau boleh tahu, siapa na-
ma gurumu, Anak Muda?"
"Hm..., hm. Sebenarnya, aku malu.
Guruku sering berpesan agar jangan menye-
but-nyebut nama Guru. Tapi berhubung Ka-
kek telah banyak berbuat baik, aku akan
mengakuinya. Terus terang guruku bernama
Eyang Ki Ageng Banaran, atau lebih ter-
kenal sebagai Pendekar Pedang Kilat Bua-
na."
"Pantas! Pantas! Ilmu silatmu ting-
gi sekali," puji Begawan Kamasetyo penuh
kagum.
"Ah! Kepandaianku belum seberapa,
Kek. Aku masih perlu banyak belajar," de
sah Mahesa merendah.
"Tidak! Jangan terlalu merendahkan
diri, Anak Muda. Buktinya saja, kau mampu
menghadapi Raja Racun Dari Selatan dan
Raja Golok Dari Utara!"
"Itu belum seberapa, Kek. Buktinya,
aku kalah. Untung Kakek cepat datang me-
nolong."
Begawan Kamasetyo tersenyum. Dia
sudah cukup paham dengan watak para pen-
dekar seperti Mahesa. Dan inilah yang me-
resahkan Begawan Kamasetyo, karena selama
tiga hari ini diam-diam Siluman Naga Pus-
pa selalu memperhatikan pemuda itu dengan
sorot mata aneh. Sorot mata yang penuh
kasih!
Sebenarnya, ini yang membuat Bega-
wan Kamasetyo menahan kepergian Mahesa.
Di sisi lain, dia harus memikirkan kea-
daan putrinya yang masih berwujud ular
raksasa. Sampai saat ini dia tidak tahu
harus bertindak bagaimana. Terus terang,
semua ini karena kesalahannya, dan kesa-
lahan putrinya sendiri. Ratri dulu begitu
nekat ingin menguasai ilmu 'Titisan Silu-
man Ular Putih'. Namun karena tidak kuat
menahan pantangan sewaktu sedang bertapa,
Ratri berubah wujud menjadi Siluman Naga
Puspa yang selalu menebarkan harum bunga
melati. Aneh sekali, memang. Mungkin itu
dikarenakan Ratri adalah seorang gadis
cantik. Ataukah memang watak dari ilmu
itu sendiri? Tak ada yang tahu.
Bahkan Begawan Kamasetyo pun tidak
tahu. Otaknya benar-benar buntu. Sudah
bertahun-tahun dia bertapa untuk meminta
petunjuk Yang Maha Kuasa, namun belum ju-
ga dikabulkan. Sebenarnya dalam dirinya
ada keinginan untuk meminta petunjuk pada
Mahesa. Namun entah mengapa, dia malu me-
lakukannya.
"Mahesa...!" panggil Begawan Kama-
setyo tanpa sadar menyebut nama pemuda di
hadapannya. Padahal dia sudah cukup men-
genal nama pemuda itu, selama dirawat di
tempat kediamannya, Gua Burangrang.
"Ada apa, Kek? Nampaknya kau ingin
menanyakan sesuatu padaku?" tanya Mahesa.
"Ya..., ya! Sebenarnya aku memang
ingin menanyakan sesuatu padamu, Mahesa.
Namun terus terang aku ragu-ragu, apakah
kau dapat menolongku atau tidak."
"Katakanlah, Kek! Mudah-mudahan aku
bisa menjawabnya," ujar Mahesa.
Begawan Kamasetyo diam sejenak. Ma-
tanya yang tajam memperhatikan Mahesa
seksama.
"Ya..., ya! Aku memang mau mengata-
kannya padamu, Mahesa," kata begawan Ka-
masetyo.
Sejenak lelaki tua ini menghentikan
bicaranya. Tiba-tiba saja dirasakan dind-
ing-dinding gua itu bergetar-getar hebat
diiringi harum bunga melati yang menyen
gat hidung.
Mahesa cepat meloncat dari tempat
duduknya. Dengan seksama matanya memper-
hatikan mulut gua.
"Bau apa ini, Kek? Kok, wangi seka-
li?" tanya Mahesa.
Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-
kannya. Malah diperhatikannya sisi dind-
ing gua yang lain.
"Ratri! Hentikan!" teriak Begawan
Kamasetyo menggemuruh memenuhi ruangan.
Mahesa terlongong. Dia tidak tahu,
kepada siapa Begawan Kamasetyo berbicara.
Dan anehnya, sehabis Begawan Kamasetyo
berteriak, perlahan-lahan getaran-getaran
dinding gua pun mereda. Demikian pula bau
harum bunga melati yang memenuhi ruangan.
"Ada apa ini, Kek? Kok, tiba-tiba
saja Kakek berbicara dengan seseorang?"
tanya Mahesa.
Begawan Kamasetyo mengisyaratkan
Mahesa untuk duduk. Dan pemuda itu pun
menurutinya.
"Kau tahu, mengapa tiba-tiba saja
dinding gua itu bergetar, Mahesa?" tanya
Begawan Kamasetyo.
Mahesa menggelengkan kepalanya.
"Putriku keberatan aku menceritakan
persoalan kami padamu, Mahesa," Begawan
Kamasetyo menjawab pertanyaannya sendiri
dengan wajah sedih.
"Putri Kakek? Maksud..., maksudku,
Kakek mempunyai anak?" tanya Mahesa tak
habis pikir.
Begawan Kamasetyo mengangguk.
"Tapi..., tapi, me..., mengapa Ka-
kek tidak mengenalkannya padaku?" tuntut
Mahesa.
"Putriku tidak mau. Dia malu berte-
mu denganmu."
"Mengapa, Kek?" tanya Mahesa tak
mengerti.
Begawan Kamasetyo menggelengkan ke-
palanya. Lemah.
"Tolong, Kek! Aku ingin mengenal
putrimu."
"Tidak bisa!"
"Mengapa, Kek?" desak Mahesa pena-
saran.
"Sudahlah! Sebaiknya jangan membi-
carakan putriku," ujar Begawan Kamasetyo
seraya mengibaskan tangannya. "Cepatlah
kau tinggalkan tempat ini! Katanya, kau
ingin meneruskan perjalanan?"
"Kakek mengusirku?" tanya Mahesa
penasaran sekali.
"Bukan begitu. Tapi, sebaiknya ce-
patlah tinggalkan tempat ini!"
Mahesa menghela napas berat.
"Baiklah!"
Mahesa beranjak dari tempat duduk-
nya, lalu melangkah. Begawan Kamasetyo
mengantarnya sampai ke mulut gua. Dengan
berat hati pemuda itu meninggalkan tempat
ini.
Begawan Kamasetyo terus mengikuti
kepergian Mahesa dengan pandangan ma-
tanya. Cepat sekali gerakan kaki pemuda
itu. Dalam sekejap saja, pemuda itu sudah
sampai di lereng sebelah barat, dan meng-
hilang di balik rimbunnya pepohonan.
Sementara itu dari tempat persembu-
nyiannya, Siluman Naga Puspa memperhati-
kan kepergian Mahesa dengan pandangan ma-
ta aneh. Sepasang matanya yang mencorong
itu berair. Aneh sekali!
Begawan Kamasetyo yang baru saja
mencari putrinya di tempat pertapaannya
mendekat. Hatinya sedih sekali melihat
Ratri yang terus memperhatikan lereng se-
belah barat, arah Mahesa pergi tadi.
"Ratri! Mengapa kamu keluar dari
tempat pertapaanmu?" tanya Begawan Kama-
setyo.
Ratri atau Siluman Naga Puspa itu
diam tak menyahut. Sepasang matanya yang
mencorong itu semakin dibasahi air. Dan
mulutnya keluar desis-desis aneh.
"Oh...! Aku mengerti, Anakku! Aku
mengerti. Kau..., kau mencintainya?" ke-
luh Begawan Kamasetyo.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis
lagi, seolah-olah sedang mengadukan na-
sibnya kepada Begawan Kamasetyo.
"Teruslah bertapa, Anakku! Mintalah
petunjuk pada Yang Maha Kuasa! Siapa tahu
Dia mau bermurah hati padamu."
Sambil berkata begitu, Begawan Ka-
masetyo mengalihkan pandangan ke angkasa.
Bibirnya berkemik-kemik memanjatkan doa.
2
Siluman Naga Puspa telah kembali ke
tempat pertapaannya. Dia bertekad akan
terus meminta petunjuk pada Yang Maha Ku-
asa. Dan sebelum permohonannya dikabul-
kan, dia tidak akan keluar dari tempat
pertapaannya.
Siluman Naga Puspa tidak pernah
berputus asa hingga tak terasa tiga puluh
sembilan hari terlewat sudah. Dan tepat
pada malam ke empat puluh hari, tiba-tiba
saja asap putih bergulung-gulung di de-
pannya. Perlahan asap itu menjelma menja-
di seorang pemuda tampan yang baru-baru
ini telah ditolong dan sekaligus dicin-
tainya. Mahesa!
Hampir saja perasaan Siluman Naga
Puspa tergugah. Namun kali ini Siluman
Naga Puspa tidak ingin gagal untuk yang
kedua kalinya. Dulu kira-kira empat tahun
lalu, saat bertapa seperti ini dia pernah
digoda seorang pemuda tampan yang sangat
dicintai. Namanya Sangaji.
Waktu itu, Ratri benar-benar tidak
dapat mengendalikan diri lagi. Teriakan-
teriakan Begawan Kamasetyo yang memperin
gatkannya tidak lagi dihiraukannya. Begi-
tu melihat Sangaji, pendekar muda yang
sebenarnya sudah meninggal sewaktu ber-
tempur hebat melawan Algojo Dari Timur
bersamanya beberapa tahun lalu, Ratri pun
langsung menubruk dengan segenap perasaan
cintanya. Dia tak peduli kalau sedang
bertapa. Begitu tersadar kalau Sangaji
ternyata hanyalah godaan saja, Ratri pun
langsung menjerit menyayat. Apalagi per-
lahan-lahan dari ujung kakinya hingga ke
tubuhnya, mulai berubah menjadi tubuh
ular. Bukan main menyayatnya tangis Ratri
saat itu.
Namun, untungnya dalam bertapanya
kali ini, Ratri atau Siluman Naga Puspa
cepat tersadar kalau Mahesa yang berada
di hadapannya hanyalah godaan semata!
Atas dorongan kehendak suci untuk menjel-
ma kembali menjadi manusia biasa, Siluman
Naga Puspa pun dapat mengatasinya. Perla-
han-lahan gulungan asap putih yang men-
jelma menjadi Mahesa pun buyar. Namun ti-
dak lama kemudian....
"Wahai, Anak Manusia! Sebenarnya
keinginanmu telah dikabulkan. Tapi, in-
gat! Waktumu tidak lama. Hanya satu ta-
hun. Ingat itu, Anak Manusia! Waktumu
hanya satu tahun...."
Terdengar suara menggema yang entah
dari mana datangnya. Begitu suara itu
menghilang, secara ajaib sekali sekujur
tubuh Siluman Naga Puspa pun mulai diba-
luti asap putih kekuning-kuningan. Dan
ketika asap itu menghilang perlahan-
lahan, tampaklah seorang gadis cantik
berpakaian kuning dengan rambut hitam
panjang digelung ke atas dalam keadaan
duduk bersemadi!
Ratri terkejut bukan main. Dipan-
danginya sekujur tubuhnya dengan mata
terbelalak, seolah-olah kurang memper-
cayai penglihatannya. Namun bila teringat
waktu yang diberikan Yang Maha Kuasa
hanya satu tahun, gadis itu jadi menangis
sedih.
"Ratri! Kau.... Kau sudah beru-
bah...?" pekik Begawan Kamasetyo yang te-
lah berdiri di ambang pintu ruangan per-
tapaan anaknya.
Ratri tidak menyahut. Suara tangis-
nya terdengar semakin memilukan.
Ayah gadis ini berjalan mendekat.
"Kau harus bersyukur, Ratri! Kau
harus bersyukur. Mengapa malah menangis?"
tanya Begawan Kamasetyo heran bukan main.
Ratri menubruk Begawan Kamasetyo,
langsung menangis sepuas-puasnya dalam
pelukan ayahnya.
"Lho? Kok, malah menangis? Ada apa
ini?"
"Aku..., aku hanya diberi waktu se-
tahun, Ayah. Setelah itu aku kembali ber-
wujud menjadi ular," tutur Ratri menangis
memilukan hati.
Hati Begawan Kamasetyo trenyuh se-
kali. Matanya perih saking tidak kuatnya
menahan guncangan batinnya.
"Tabahkan hatimu, Anakku!" ujar Be-
gawan Kamasetyo seraya memeluk tubuh pu-
trinya erat-erat.
"Izinkan aku turun gunung, Ayah!"
pinta Ratri di antara suara tangisnya.
"Kau ingin mencari Mahesa?" tebak
Begawan Kamasetyo, dapat membaca jalan
pikiran anaknya.
"Benar, Ayah. Aku..., aku sangat
mencintainya...."
Tak tega Begawan Kamasetyo untuk
mencegah kemauan Ratri saat itu walau ha-
tinya berat sekali.
"Pergilah, Ratri! Lakukan apa yang
kau inginkan!" kata Begawan Kamasetyo se-
rak.
Ratri memeluk tubuh ayahnya erat-
erat.
***
Ratri memacu kudanya tanpa tujuan.
Sudah dua minggu lebih gadis putri Bega-
wan Kamasetyo keluar masuk hutan belanta-
ra. Namun, pemuda yang dicarinya belum
juga ditemukan. Ratri tidak putus asa.
Keinginannya untuk bertemu Mahesa demi-
kian menggebu-gebunya. Tak peduli siang
maupun malam, kudanya terus dipacu. Dan
dia hanya beristirahat seperlunya saja.
Dan di siang yang panas ini, ketika
matahari panas memanggang bumi, Ratri
tengah menuruni lereng Gunung Kembang.
Dalam keadaan perlahan begini, tampak je-
las wajahnya yang cantik sekali. Rambut-
nya yang hitam panjang digelung ke atas.
Bola matanya berwarna hitam pas sekali
dengan alisnya yang hitam. Hidungnya man-
cung, bibirnya pun tipis berwarna merah
merekah. Sedang tubuhnya yang tinggi
ramping dibalut pakaian kuning-kuning.
Baru saja gadis ini menuruni le-
reng, mendadak saja....
"Hieeekh...!"
Tiba-tiba saja kuda Ratri meringkik
hebat dengan kedua kaki depan terangkat
tinggi-tinggi. Ratri terkejut dan kewala-
han bukan main. Tubuhnya yang tinggi
ramping hampir saja terlempar. Sesaat ke-
mudian, tubuh kudanya terbetot masuk ke
dalam tanah.
Ratri tak dapat lagi mengendalikan
kudanya. Cepat dia melenting turun dari
punggung kudanya. Begitu mendarat, ma-
tanya liar mencari siapa yang telah usil
menghalangi jalannya. Hatinya kesal bukan
main saat tidak menemukan siapa-siapa.
"Bedebah! Siapa yang berani usil
menghalangi jalanku?!" teriak Ratri penuh
kemarahan.
Tidak ada sahutan. Namun Ratri
hanya mendengar suara tawa seseorang yang
entah dari mana datangnya. Kepalanya ce-
lingukan mencari-cari di ranting-ranting
beberapa pohon yang tumbuh di sekitarnya.
Tapi tetap saja orang yang dicarinya ti-
dak ditemukan. Malah, suara tawa orang
itu semakin memekakkan gendang telin-
ganya.
Ratri menggeram marah. Dia yakin,
suara sumbang itulah yang telah mengha-
dang jalannya. Entah menggunakan ilmu
apa, hingga menyebabkan kudanya ketakutan
dan terperosok ke dalam tanah. Mungkin
menggunakan semacam ilmu menyedot tenaga
hingga menyebabkan kudanya mati lemas.
Dan berarti orang itu berkepandaian ting-
gi. Menyadari hal ini Ratri harus hati-
hati menghadapi orang itu.
"Pengecut! Ayo, tampakkan dirimu
kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!"
teriak Ratri membahana memenuhi dataran
tandus berbatu itu.
"He he he...! Aku di sini, Cah Ayu!
Mengapa kau marah-marah?"
Ratri cepat berbalik. Di ranting
pohon yang menjuntai ke jalan setapak
itu, tampak seorang lelaki duduk menjun-
tai sambil ongkang-ongkang kaki. Padahal
ranting itu hanya sebesar jari kelingk-
ing. Namun anehnya tidak patah atau ber-
goyang-goyang menahan berat badannya yang
tinggi besar seperti raksasa. Pakaiannya
norak sekali. Berwarna merah dan kuning.
Kepalanya hampir gundul, terkecuali yang
tersisa dan dikuncir ke atas.
Wajah lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun itu sangat menyeramkan. Ma-
tanya besar dengan hidung besar tanpa ku-
mis dan jenggot. Rahangnya yang keras
bertonjolan dengan sebuah anting bundar
besar menggelantung di telinga kirinya.
Dia tidak lain adalah salah seorang tokoh
sesat dari timur. Siapa lagi kalau bukan
Algojo Dari Timur!
Mata Ratri terbelalak lebar. Bukan-
nya takut melihat orang yang menghadang
jalannya, melainkan heran melihat keda-
tangan Algojo Dari Timur. Padahal tadi,
tempat Algojo Dari Timur duduk ongkang-
ongkang kaki sudah diperhatikan. Dan se-
karang tahu-tahu orang itu sudah duduk di
sana. Ratri jadi tidak habis pikir. Ba-
gaimana telinganya bisa tidak mendengar
langkah kaki orang itu selagi perhatian-
nya tertuju ke tempat lain? Dan ini jelas
membuktikan kalau ilmu meringankan tubuh
orang itu tinggi sekali. Mau tak mau ga-
dis ini harus hati-hati sekali menghada-
pinya.
"Hm...! Rupanya kau Algojo Dari Ti-
mur!" desis Ratri penuh kemarahan.
Lelaki tinggi besar ini tertawa
mengakak. Nadanya menyepelekan Ratri.
Gadis itu menggeretakkan geraham-
nya. Suara tawa algojo itu demikian meme-
kakkan telinganya. Maka cepat tenaga da-
lamnya dikerahkan untuk melindungi gen-
dang telinganya.
Algojo Dari Timur semakin mening-
katkan suara tawanya, membuat tubuh Ratri
gemetaran. Dan pada puncaknya, gadis ini
tidak tahan lagi. Kalau hal ini dibiarkan
dia bisa mati diserang suara tawa Algojo
Dari Timur. Maka segera kedua tangannya
menghentak ke depan.
"Pukulan 'Inti Bumi'! Heaaa...!"
Wesss!
Seleret sinar putih terang dari te-
lapak tangan kiri Ratri melesat menyerang
Algojo Dari Timur.
"Hm...!"
Algojo Dari Timur menggumam tak je-
las, seraya meloncat turun dari ranting
pohon. Setelah berputaran beberapa kali,
kakinya mendarat manis di hadapan Ratri
tanpa menimbulkan suara.
Trasss!
Tepat pada saat itu, pohon yang di-
tinggalkan Algojo Dari Timur langsung
layu menghitam, begitu pukulan 'Inti Bu-
mi' Ratri menghantam.
"Hmm...! Apa kabar, si tua bangka
keparat itu, Ratri?" sapa Algojo Dari Ti-
mur lagi, dingin menggetarkan.
Ratri menggeram marah. Yang dimak
sudkan si tua bangka keparat itu tidak
lain adalah ayahnya sendiri, Begawan Ka-
masetyo.
"Dua kali kau telah menghinaku, Al-
gojo! Pertama kau menghadangku dan membu-
nuh kudaku. Kedua, kau hina ayahku. Aku
tidak akan mengampuni nyawa busukmu.
Hyaaat...!"
Sehabis berkata begitu, Ratri lang-
sung menyerang Algojo Dari Timur dengan
kedua tangannya menghentak berganti-
ganti, melepaskan pukulan-pukulan maut-
nya. Yang kanan mengandung tenaga pukulan
'Inti Api' sedang yang kiri mengandung
tenaga pukulan 'Inti Bumi'.
Algojo Dari Timur cukup mengenali
pukulan maut itu. Dan dia tidak berani
main-main. Segera kedua tangannya meng-
hentak pula, setelah merangkum pukulan
'Badai Gurun Pasir'. Akibatnya....
Blar! Blar...!
Dua ledakan dahsyat terdengar dis-
ertai percikan bunga api. Sementara, tam-
pak Algojo Dari Timur tergetar hebat. Se-
dang Ratri terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Dari sini bisa dili-
hat kalau tenaga dalam Algojo Dari Timur
lebih tinggi satu atau dua tingkat.
Ratri yang menyadari keadaan itu
tidak berani mengadu tenaga dalam lagi.
Untuk itu, segera jurus 'Ular Naga Membe-
lah Bumi' dimainkan. Maka dalam sekejap
saja tubuhnya telah bergerak lincah me-
nyerang Algojo Dari Timur.
Mendapat serangan dahsyat ini Algo-
jo Dari Timur kewalahan bukan main. Gera-
kan-gerakan kaki dan tangan gadis itu su-
lit sekali diimbangi. Dan hampir sepuluh
jurus lebih, lelaki tinggi kekar itu be-
lum dapat membalas serangan. Padahal dia
telah mengeluarkan jurus andalannya. Maka
secepat kilat tubuhnya melenting ke bela-
kang, membuat jarak.
"Gggeeerrr...!"
Algojo Dari Timur menggeram marah.
Kedua tangannya segera disilangkan di de-
pan dada. Kedua kakinya direntangkan le-
bar-lebar. Sedang kedua telapak tangannya
sampai ke pangkal lengan telah berubah
menjadi merah kekuning-kuningan penuh ha-
wa racun.
"Pukulan 'Pemecah Bumi'...!" desis
Ratri ngeri.
Dulu sebelum gadis itu menjelma
menjadi siluman ular putih, kehebatan pu-
kulan itu pernah dirasakannya. Dan seka-
rang dia tidak ingin mengulangi kekala-
hannya beberapa tahun lalu. Namun untuk
mengeluarkan ilmu pamungkasnya, Ratri ti-
dak berani. Dia takut tubuhnya kembali
menjelma menjadi siluman ular putih!
Sring!
"Heaaa...!"
Terpaksa Ratri mencabut pedang dari
balik punggungnya, dan langsung menyerang
terlebih dahulu. Sementara Algojo Dari
Timur tenang-tenang saja menghadapinya.
Kedua telapak tangannya yang telah meme-
rah pun segera dihentakkan ke depan mema-
pak serangan Ratri.
"Hup!"
Ratri meloncat tinggi ke udara.
Sambil menghindari pukulan berhawa panas
itu, ujung pedangnya siap mengancam ubun-
ubun Algojo Dari Timur.
"Ah...!".
Algojo Dari Timur melempar tubuhnya
ke samping kanan. Sambil bergulingan kem-
bali pukulan mautnya dilontarkan.
Wesss!
Seleret sinar merah kekuning-
kuningan itu kembali mengancam. Ratri ka-
get bukan main. Sungguh tidak disangka
dirinya akan diserang dalam jarak yang
demikian dekat. Maka tanpa ampun lagi....
Buk!
"Augh!"
Tubuh ramping yang melayang-layang
itu pun terkena pukulan berhawa panas mi-
lik Algojo Dari Timur. Ratri memekik ke-
cil. Tubuhnya langsung terlempar beberapa
tombak ke belakang. Dadanya yang terkena
pukulan terasa nyeri bukan main, pertanda
mengalami luka dalam yang parah.
"Huaagh!"
Begitu jatuh ke tanah Ratri memun
tahkan darah segar. Wajahnya pucat pasi.
Bibirnya bergetar-getar. Gadis ini beru-
saha bangun, namun tak mampu. Tubuhnya
yang lemah itu pun terkulai ke tanah.
Melihat hal ini, Algojo Dari Timur
tertawa-tawa kegirangan seraya bangkit
berdiri. Didekatinya tubuh gadis itu, dan
berjongkok di sisinya.
"Hm.... Sayang sekali kau harus ma-
ti dalam usia muda, Cah Ayu. Tapi..., ti-
dak! Tidak! Aku akan menikmati tubuhmu,
baru aku membunuhmu," kata Algojo Dari
Timur kegirangan.
Ratri pucat pasi mendengar ucapan
lelaki tinggi besar itu. Bukannya takut
mati, melainkan ngeri membayangkan tubuh-
nya akan dinikmati iblis berkepala botak
itu. Dan dengan gerakan cepat tahu-
tahu....
Tuk! Tuk!
Algojo Dari Timur menotok tubuh Ra-
tri! Gadis ini mengeluh kecil tanpa bisa
menggerakkan tubuhnya lagi. Ingin rasanya
bunuh diri saat itu juga, tapi apa
dayanya sekarang?
Tangan Algojo Dari Timur yang kekar
tahu-tahu menyambar pakaian di tubuh Ra-
tri.
Bret! Bret!
Ratri memekik tertahan. Matanya
liar memandangi Algojo Dari Timur.
"Jahanam busuk! Apa yang ingin kau
lakukan?!" teriak Ratri serak.
"He he he...! Apa yang ingin kula-
kukan?!"
Algojo Dari Timur mengerjap-
ngerjapkan matanya nakal. Tubuh mulus di
depan matanya demikian menggiurkan. Naf-
sunya kontan bergolak. Dia menelan ludah-
nya beberapa kali.
"Kau lihat saja, Cah Ayu. Pasti
mengasyikkan...," lanjut Algojo Dari Ti-
mur dengan suara tersendat di tenggoro-
kan.
Ratri memejamkan matanya. Setetes
air matanya jatuh membasahi pipi. Dia ti-
dak tahu musibah apa yang akan dihada-
pinya. Yang jelas, lebih kejam dan kema-
tian.
***
"Iblis Gundul Dari Timur! Hentikan
perbuatanmu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyar-
ing yang menggema memenuhi lereng Gunung
Kembang.
Algojo Dari Timur memalingkan kepa-
lanya ke belakang. Di hadapannya saat ini
berdiri seorang pemuda tampan berpakaian
biru-biru. Wajahnya berbentuk lonjong.
Matanya tajam seperti burung rajawali.
Hidungnya mancung dengan bibir tipis.
Rambut gondrongnya dibiarkan tergerai di
bahunya.
Ratri kaget bukan main, namun se-
kaligus senang. Pemuda tampan di hadapan-
nya adalah orang yang sedang dicari-
carinya selama ini.
"Mahesa...!" panggil Ratri tanpa
sadar.
Mahesa menoleh ke arah Ratri dengan
pandangan heran bercampur gembira. Kecan-
tikan gadis itu memang membuat darahnya
berdesir. Namun sayangnya, dia tidak men-
genali siapa gadis ini. Pemuda itu hanya
tersenyum manis ke arah Ratri, lalu kem-
bali perhatiannya ditujukan ke arah Algo-
jo Dari Timur.
"Keparat! Lagi-lagi kau yang meng-
halangiku," geram Algojo Dari Timur penuh
kemarahan. Parangnya yang dari tadi dis-
embunyikan di balik punggung segera dike-
luarkan. Cukup besar dan panjang.
Mahesa hanya tersenyum. Sekali dia
pernah berhadapan dengan Algojo Dari Ti-
mur dalam sebuah pertarungan sengit. Di
akhir pertarungan, Algojo Dan Timur harus
mengakui keunggulan Mahesa, dan terpaksa
melarikan diri. Dan kalau sekarang harus
bertarung kembali, pemuda itu sama sekali
tidak gentar.
"Ya..., ya! Aku memang paling se-
nang mencampuri urusan orang lain. Teru-
tama sekali, orang-orang macam kau!" sa-
hut Mahesa kalem.
"Bedebah! Kalau dulu aku melarikan
diri bukan berarti kalah, Pendekar Kujang
Emas! Aku waktu itu belum beruntung saja.
Dan sekarang, kesaktianku telah bertam-
bah. Maka, hati-hatilah...."
"Ayo, majulah! Jangan pintar ber-
koar saja!" balas Mahesa memanas-manasi.
Algojo Dari Timur menggeram penuh
kemarahan. Rahangnya yang keras bertonjo-
lan. Matanya liar memandangi Mahesa yang
dikenal sebagai Pendekar Kujang Emas.
"Demi iblis! Akan kucincang tubuh-
mu, Pendekar Kujang Emas. Hiyaaat...!"
Algojo Dari Timur meloncat tinggi
ke udara. Gerakannya mantap dan lincah
sekali seperti seekor burung garuda. Pa-
rang di tangan kanannya diayunkan sedemi-
kian rupa, menyerang tubuh Mahesa.
Pendekar Kujang Emas cepat mencabut
kujangnya. Tangannya cepat mengebut, me-
nangkis babatan parang Algojo Dari Timur.
Trang!
Terjadi benturan keras. Mahesa
hanya terjajar beberapa langkah. Sedang-
kan Algojo Dari Timur terpental deras.
Untung dia cepat mematahkan luncuran tu-
buhnya dengan bersalto. Namun begitu men-
darat, tubuhnya sempat terhuyung-huyung.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Mahesa langsung menyerang Algojo Dari Ti-
mur dengan jurus-jurus saktinya. Mau tak
mau, lelaki tinggi besar itu segera me
layani. Maka dalam sekejap, tubuh mereka
telah berubah menjadi bayangan biru dan
kuning kemerah-merahan.
"Hiyaaat...!"
Pendekar Kujang Emas semakin mem-
pertajam serangan-serangannya. Akibatnya
dalam beberapa jurus kemudian, Algojo Da-
ri Timur tidak dapat membalas. Dia hanya
dapat bertahan. Pada satu kesempatan yang
baik, Mahesa dapat memasukkan ujung mata
kujangnya tepat mengenai dada Algojo Dari
Timur.
Crap!
"Augkh...!"
Algojo Dari Timur memekik kesaki-
tan. Begitu ujung kujang itu dicabut, da-
rah pun mulai menyembur keluar dari lu-
kanya.
Algojo Dari Timur menggeram penuh
kemarahan. Luka di dadanya memang tidak
begitu membahayakannya. Secepat kilat,
lelaki ini memutar parangnya membalas se-
rangan-serangan Mahesa. Namun, yang diha-
dapi bukan pendekar kemarin sore. Dengan
meliuk-liukkan tubuhnya, Pendekar Kujang
Emas membuat serangan-serangan Algojo Da-
ri Timur hanya menemui jalan buntu. Apa-
lagi ketika pemuda itu mulai memainkan
jurus sakti 'Kilat Menyambar Bumi'.
Algojo Dari Timur benar-benar tak
berkutik. Tubuhnya yang tinggi besar en-
tah sudah berapa kali harus berjumpalitan
di udara.
"Setan alas!" maki Algojo Dari Ti-
mur menggeretakkan gerahamnya. Matanya
liar memandangi Mahesa
Pendekar Kujang Emas tersenyum men-
gejek melihat kedua telapak tangan Algojo
Dari Timur telah berubah menjadi merah
kekuning-kuningan.
"Ayo! Keluarkan semua kepandaianmu,
Algojo. Aku siap meladenimu," ejek pemuda
murid Pendekar Pedang Kilat Buana ini.
"Pemuda sombong! Kau akan tahu aki-
batnya."
Sehabis berkata demikian, Algojo
Dari Timur pun kembali menyerang. Tidak
lagi menggunakan parangnya, melainkan
dengan kedua telapak tangan yang telah
berubah menjadi merah kekuning-kuningan.
"Hm...! Cuma pukulan 'Pemecah Mang-
kuk', eh salah! 'Pemecah Bumi'," ledek
Mahesa, semakin membuat telinga lelaki
tinggi besar itu memerah
"Keparat!"
Hanya itu yang keluar dari mulut
Algojo Dari Timur saking tidak kuat mena-
han amarah. Dan kedua telapak tangannya
yang berwarna merah itu langsung menyam-
bar ke tubuh Pendekar Kujang Emas.
Mahesa menarik tubuhnya ke samping.
Tangannya yang terangkum pukulan 'Cahaya
Kilat Biru' mengibas, memapak.
Derrr!
Akibat yang ditimbulkan sungguh he-
bat bukan main. Terdengar ledakan keras.
Udara di sekitar tempat itu jadi panas.
Pohon-pohon pun menjadi layu!
Sementara itu tubuh Algojo Dari Ti-
mur terlempar beberapa tombak ke bela-
kang. Dari mulutnya mengeluarkan darah
segar, pertanda tokoh sesat dari timur
itu mengalami luka dalam cukup parah. Dia
berusaha bangkit, namun terasa ada beban
berat yang mengganduli.
Sedangkan Mahesa yang sempat ter-
guncang akibat benturan tenaga dalam ta-
di, tertawa sumbang. Wajahnya pucat, na-
mun berusaha tetap kokoh pada kuda-
kudanya.
"Ilmu apa lagi yang akan kau kelua-
rkan, Algojo Dari Timur?!" tantang Pende-
kar Kujang Emas meledek.
Algojo Dari Timur meringis kesaki-
tan dengan napas turun naik bagai anjing
kehausan. Kembali dia merangkak bangun
dengan susah payah.
"Jahanam! Kali ini aku mengaku ka-
lah, Bocah. Tapi, ingat! Aku belum pernah
melepaskan musuhku begitu saja. Tunggu
saja balasan ku, Bocah!!"
"Nyawa sudah menyangkut di tenggo-
rokan, masih juga besar kepala!" leceh
Mahesa.
Algojo Dari Timur mendelik. Wajah-
nya kelam membesi saking tidak kuatnya
menahan amarah. Lalu kakinya cepat meng-
geser, siap meninggalkan tempat itu,
Tiba-tiba saja Pendekar Kujang Emas
teringat gadis cantik yang terkapar di
bawah pohon nangka itu. Sekali pandang
saja pemuda ini tahu kalau gadis itu men-
derita luka parah, akibat pukulan beracun
Algojo Dan Timur. Teringat itu, langsung
tubuhnya mengejar Algojo Dari Timur.
"Tunggu dulu! Iblis Gundul" ujar
Pendekar Kujang Emas, menghadang. "Kau
tidak boleh seenak perutmu meninggalkan
tempat ini!"
"Apa lagi?" bentak Algojo Dari Ti-
mur penuh kemarahan.
"Kau harus memberikan obat penawar
racun mu pada gadis itu," sahut Mahesa,
enteng.
"Kepandaian ilmu silatmu tinggi.
Mengapa tidak kau sendiri saja yang men-
gobatinya?!" tukas Algojo Dari Timur.
"Aku bukan ahli obat, tahu?! Ayo,
berikan obat itu padaku!"
"Kalau aku tidak mau?!"
"Kau akan tahu akibatnya. Apa kau
pikir pukulanku tadi tidak mengandung ra-
cun, he?! Kau akan mampus dalam tiga hari
ini, tahu?" ancam Mahesa berbohong.
"Hah?!"
Algojo Dari Timur melengak kaget.
Matanya mendelik dengan wajah memucat.
"Coba saja tarik napasmu dalam
dalam, kalau tidak percaya. Ada rasa nye-
ri, kan? Ada rasa sesak dalam dadamu...?"
ujar Pendekar Kujang Emas, menakut-
nakuti.
Algojo Dari Timur penasaran. Lang-
sung napasnya dihela dalam-dalam. Dan,
memang benar apa yang dikatakan Mahesa
barusan. Ada rasa nyeri pada dadanya. Dan
napasnya pun terasa sesak. Menyadari hal
ini wajah Algojo Dari timur semakin pucat
pasi.
Mahesa tersenyum dingin. Dalam ha-
ti, dia menertawakan kebodohan laki-laki
tinggi besar ini. Sudah pasti dada Algojo
Dari Timur merasa nyeri dengan napasnya
sesak, karena menderita luka dalam cukup
parah.
"Benarkan, apa yang kukatakan tadi?
Nah, sekarang cepat berikan obat penawar
racun mu. Nanti, kuberitahukan cara meng-
hilangkan racun dari pukulanku tadi,"
ujar Mahesa senang.
Algojo Dari Timur bersungut-sungut,
namun merogoh juga kantong obat penawar
racunnya dari balik jubah. Diambilnya dua
butir obat pulung kecil berwarna hitam
dari kantongnya. Lalu dilemparkannya ke
arah Mahesa.
Pendekar Kujang Emas cepat menang-
kapnya.
"Nah! Sekarang, cepat katakan apa
obat penawar racun mu, Bocah?" tanya Al
gojo Dari Timur tak sabar.
"Gampang. Gampang sekali obat pena-
war racun ku. Mandilah selama tujuh hari
tujuh malam di Sungai Serayu, biar bau
badanmu hilang. Itu saja. Gampang kan?"
"Bedebah! Kau membohongiku, Bo-
cah?!" bentak Algojo Dari Timur penuh ke-
marahan.
Mahesa tertawa terbahak-bahak. Se-
nang sekali dia berhasil mempermainkan
Algojo Dari Timur. Sementara lelaki ting-
gi besar ini hanya bisa memaki-maki, se-
belum akhirnya lari meninggalkan tempat
itu.
***
Pendekar Kujang Emas masih tertawa-
tawa di tempatnya. Matanya berair saking
senangnya mempermainkan tokoh sesat ber-
kepala botak itu. Namun ketika mendengar
erangan halus dari belakang, Mahesa baru
tersadar. Cepat dihampirinya Ratri.
Sejenak Mahesa terpaku melihat se-
bagian tubuh mulus di hadapannya. Dia se-
perti bingung tak tahu apa yang harus di-
perbuat.
"To..., tolong aku, Mahesa?" rintih
Ratri.
Mahesa tersentak. Tanpa diminta
pun, dia senang sekali melakukannya. Na-
mun melihat sebagian tubuh yang menggiur-
kan di depannya, pendekar Kujang Emas pun
jadi jengah sekali. Sambil menutup kedua
bola matanya, pemuda ini mendekati Ratri.
Segera ditotoknya tubuh gadis itu bebera-
pa kali, untuk membebaskan pengaruh toto-
kan Algojo Dari Timur.
Ratri terbebas dari pengaruh toto-
kan. Seketika secepatnya dia mengenakan
pakaian kembali.
Mahesa mengalihkan perhatian ke
tempat lain. Dan ketika diyakini gadis
itu selesai berpakaian, baru kepalanya
berani menoleh.
"Minumlah obat penawar racun ini!"
ujar Mahesa mengulurkan obat pulung pem-
berian Algojo Dari Timur tadi.
Ratri menerimanya dengan malu-malu.
Lalu diminumnya obat itu. Perlahan-lahan
bagian tubuhnya yang terkena pukulan
'Pemecah Bumi' dari Algojo Dari Timur mu-
lai pulih.
Melihat kesehatan Ratri yang be-
rangsung-angsur pulih, Mahesa tersenyum
cerah. Tadi hatinya sudah cemas kalau-
kalau Algojo Dari Timur membohongi di-
rinya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"
tanya Pendekar Kujang Emas penuh perha-
tian.
Ratri meremas-remas jarinya malu-
malu. "Sudah mendingan, Mahesa," sahut
gadis ini.
"Aku bingung, kau sudah tahu nama
ku. Siapa kau sebenarnya?" tanya Mahesa.
Ratri diam membisu. Kepalanya sema-
kin ditundukkan dalam-dalam.
"Aku.... Aku mendengar nama besarmu
di dunia persilatan dari orang-orang yang
aku temui di sepanjang perjalanan...,"
sahut Ratri terpaksa berbohong untuk me-
nutupi rasa malunya.
Mahesa mengangguk-anggukkan kepa-
lanya.
"Ya, ya, ya...! Benar juga...," gu-
mam Pendekar Kujang Emas. "Lantas siapa
namamu?"
"Ratri...."
Mahesa tersenyum.
"Manis sekali namamu. Aku senang
berkawan denganmu," puji Mahesa.
Betapa senangnya hati Ratri saat
ini. Pancaran mata pemuda di depannya te-
rasa sekali menembus hatinya. Dan suasana
jadi hening ketika tak ada yang bersuara.
"Tujuanmu mau ke mana, Ratri?"
tanya Mahesa, memecah keheningan.
"Tidak tahu. Aku hanya menuruti
langkah kakiku," sahut Ratri.
"Hm...," Mahesa menautkan kedua
alisnya. "Bagaimana kalau kau kuajak me-
nemani menemui seseorang?"
Ratri memandang seraut wajah tampan
di hadapannya sebentar. Lalu, kepalanya
mengangguk malu-malu.
Mahesa tersenyum cerah. Hatinya
berbunga-bunga saat pandangan mata Ratri
demikian lembut menembus relung hatinya.
"Sebaiknya sekarang saja berang-
kat!" ujar Mahesa segera beranjak dari
tempat duduknya.
Ratri tidak menyahut. Namun dia ju-
ga beranjak dari tempat duduknya. Tak la-
ma gadis ini telah berjalan di samping
Mahesa menuruni lereng Gunung Kembang.
***
Matahari baru saja bersinar di ufuk
sebelah timur. Sinarnya yang lembut men-
gusap mayapada. Di lereng sebelah barat
Gunung Batu, tampak dua orang anak muda
berkelebat menaiki gunung yang penuh be-
batuan. Suara canda mereka terdengar me-
mecah kesunyian hutan di lereng gunung
ini. Yang satu adalah seorang gadis can-
tik berpakaian serba kuning. Sedang di
sebelahnya seorang pemuda tampan berambut
gondrong dengan pakaian biru-biru. Mereka
tidak lain Mahesa dan Ratri.
Selama tiga hari melakukan perjala-
nan ke Gunung Batu, hubungan kedua orang
itu semakin akrab. Mereka tidak lagi ber-
sikap sungkan, seperti sewaktu pertama
kali berkenalan. Malah Ratri yang semula
nampak malu-malu, kini mulai bersikap
manja pada pemuda berjuluk Pendekar Ku-
jang Emas.
Tentu saja Mahesa senang sekali ra-
sa berjalan bersama gadis yang mulai dis-
ukainya. Demikian pula Ratri. Apalagi,
dia turun gunung justru hanya untuk men-
cari pemuda bernama Mahesa. Namun sampai
saat ini gadis itu belum menceritakan
maksud tujuannya. Tentu saja karena malu!
"Kakang! Sebenarnya kita mau ke ma-
na, sih?" tanya gadis itu merajuk manja.
"Kan aku sudah bilang, ke Gunung
Batu," sahut Mahesa pura-pura marah.
"Iya. Tapi, apa maksud kita ke sa-
na?" tanya Ratri semakin menggemaskan.
"Aku hanya ingin memberi tahu pada
guruku kalau sudah menyelesaikan tugasku
membantu Paman Gagak Seto," jawab Pende-
kar Kujang Emas.
"Cuma itu?" tanya Ratri lagi.
"Iya. Eh..., eh, tidak! Maksud-
ku..., maksudku aku ingin memohon doa
restu guru untuk...."
Mahesa tidak meneruskan bicaranya.
Malah dibalasnya pandangan Ratri.
"Untuk apa Kang? Kok, tak dite-
ruskan?" tuntut Ratri.
"Hm.... Untuk..., untuk.... Tapi
kau jangan marah, ya?" pinta Mahesa.
"Apa dulu dong?" desak Ratri dengan
suara menggemaskan.
"Aku..., aku ingin meminta pada
Eyang Guruku untuk..., untuk me..., mela-
marmu, Ratri."
Susah sekali Mahesa mengucapkannya.
Dan hatinya merasa lega sekali ketika ka-
ta-kata itu berhasil meluncur keluar.
Sedang Ratri langsung diam terce-
kat. Matanya yang indah membelalak lebar,
seolah tidak percaya dengan apa yang di-
katakan Mahesa barusan.
"Kau..., kau keberatan menjadi is-
triku, Ratri?" tanya Mahesa berharap-
harap cemas.
"Kau..., Kau nakal sekali, Kakang!"
Ratri tidak mampu menjawab, kecuali
berlari meninggalkan Mahesa. Hatinya se-
benarnya bahagia mendengar apa yang dika-
takan pemuda itu barusan. Namun dari
panggilannya terhadap Mahesa yang berubah
menjadi 'kakang', bisa ditebak kalau ha-
tinya berbunga-bunga.
"Ratri, tunggu! Kau belum menjawab
pertanyaanku. Apa kau mau menjadi istri-
ku, Ratri?" teriak Mahesa lantang.
Gadis itu tidak menghiraukan teria-
kan Mahesa. Ratri malah terus lari.
Melihat tingkah laku Ratri, Mahesa
jadi gemas sekali. Segera disusulnya ga-
dis itu. Dan dalam sekejap saja Mahesa
telah berada di samping Ratri.
Ratri memberengut manja ketika len-
gannya diraih Mahesa. Terpaksa langkahnya
dihentikan.
"Bagaimana, Ratri? Apa kau mau men-
jadi istriku?" tanya Pendekar Kujang Emas
tak sabar.
"Ah, Kakang ini! Mana aku tahu! Ta-
nyakan saja pada ayahku!" sahut Ratri.
Suaranya terdengar manja dan mengge-
maskan.
"Siapa ayahmu, Ratri. Aku pasti
akan meminta Eyang Guru untuk melamar pa-
da ayahmu, Ratri."
"Sabarlah! Tanyakan dulu hal ini
pada Eyang Gurumu," ujar Ratri seraya
bergelayut manja pada lengan Mahesa.
Melihat sikap manja Ratri, Mahesa
kian kasmaran. Wajah cantik Ratri itu de-
mikian dekatnya dengan wajahnya. Hasrat-
nya tidak tahan lagi untuk mencium Ratri.
Namun ketika perlahan-lahan wajah pemuda
itu mendekat ke bibir, Ratri memberontak.
Begitu terlepas dari pelukan Mahesa, Ra-
tri berlari meninggalkannya.
***
Puncak Gunung Batu yang tidak ter-
lalu tinggi dipenuhi hamparan batu sebe-
sar kerbau. Pada lereng sebelah barat,
terdapat sebuah gua besar. Di situlah Ki
Ageng Banaran yang di dunia persilatan
lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Ki-
lat Buana tinggal.
Mulut gua batu itu tidak terlalu
besar. Cukup dilalui satu orang saja. Ke-
tika Mahesa dan Ratri masuk ke dalam,
ternyata perut gua cukup lebar dan terda-
pat ruangan-ruangan di beberapa tempat.
Dan Pendekar Kujang Emas mengajak gadis
itu masuk ke salah satu ruangan.
Begitu mereka masuk, tampak seorang
lelaki tua renta sedang khusuk bersemadi
di atas batu bundar menghadap ke barat.
Usianya itu sulit sekali ditafsirkan.
Yang jelas di atas sembilan puluh tahun
atau mungkin malah hampir menginjak sera-
tus tahun! Pakaiannya putih bersih. Ram-
butnya yang panjang memutih dibiarkan
tergerai menutupi punggung.
Mahesa cepat mengajak Ratri duduk
bersimpuh di samping lelaki yang tak lain
Ki Ageng Banaran.
"Eyang...," panggil Mahesa lirih.
Lelaki tua renta itu memalingkan
kepala. Tubuhnya yang kurus kering tampak
ringkih sekali seperti orang sakit. Namun
anehnya, sepasang matanya yang tua menco-
rong tajam. Jelas, tenaga dalam orang tua
itu sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
"Bagaimana kabar pamanmu, Cucuku?"
tanya Ki Ageng Banaran dengan suara be-
rat.
"Baik, Eyang."
"Apa kau sudah membantu meringankan
masalah pamanmu?" tanya Ki Ageng Banaran
lagi.
Mata tajam lelaki tua renta itu te-
rus memperhatikan gadis cantik di samping
cucunya. Namun Mahesa dan Ratri yang me-
nundukkan kepala tidak mengetahuinya...,
betapa Ki Ageng Banaran terus memperhati-
kan gadis cantik di hadapannya dengan
seksama. Dan dahinya pun berkernyit da-
lam-dalam. Dari kekuatan batinnya dapat
dirasakan kalau gadis cantik di hadapan-
nya bukanlah manusia sewajarnya!
"Sudah, Eyang. Malah Paman Gagak
Seto menitip salam untuk Eyang."
"Hm...," gumam Ki Ageng Banaran
sambil mengelus-elus jenggotnya yang pan-
jang memutih. Kepalanya mengangguk-
angguk, entah apa yang dipikirkannya.
"Siapa gadis itu, Cucuku?"
"Dia..., teman baikku, Eyang. Na-
manya Ratri."
Mahesa menghentikan bicaranya se-
bentar. Dia sedang menimbang-nimbang
keinginan hatinya agar Eyang Gurunya mau
melamar Ratri pada orang tuanya.
"Maksudku, aku minta agar Eyang su-
di melamar Ratri untukku, Eyang," lanjut
Mahesa, nekat.
"Hm...," Ki Ageng Banaran masih
mengelus-elus jenggotnya. Matanya yang
tajam terus memperhatikan Ratri seksama.
"Sudikah Eyang melamarkan Ratri un-
tukku?" tanya Mahesa tak sabar.
"Sebentar. Siapa nama ayahmu, Ra-
tri?" tanya Ki Ageng Banaran pada Ratri.
"Begawan Kamasetyo, Kek," jawab Ra
tri.
Ki Ageng Banaran dan Mahesa tersen-
tak kaget. Terutama sekali Mahesa. Sung-
guh tidak disangka kalau Ratri adalah pu-
tri Begawan Kamasetyo.
Sementara itu Ki Ageng Banaran men-
gangguk-anggukkan kepala penuh kagum, ti-
dak lagi mencurigai Ratri seperti tadi.
Mungkin dikarenakan dia tahu kalau Bega-
wan Kamasetyo mempunyai satu ilmu simpa-
nan yang diberi nama 'Titisan Siluman
Ular Putih'. Dan dalam pikirannya dia
mengira kalau Ratri sudah dapat menguasai
ilmu pamungkas sahabatnya.
"Kau.... Kau putri Begawan Kama-
setyo, Ratri?" tanya Mahesa tak percaya.
Ratri mengangguk pelan.
"Tapi..., tapi mengapa waktu itu
kau tidak mau menemuiku?" tanya Mahesa
masih belum mengerti.
Ratri tersenyum pahit, Sulit sekali
menjawab pertanyaan Mahesa. Dan teringat
keadaannya saat itu, tak urung Ratri jadi
sedih.
"Jadi, kau ini putri tunggal Adi
Begawan Kama setyo?" tanya Ki Ageng Bana-
ran
"Benar, Kek," jawab Ratri singkat.
Kembali dia teringat keadaan di-
rinya. Dan itu membuat air matanya sema-
kin tidak dapat dibendung.
Mahesa membeliakkan matanya heran.
Namun sebelum pertanyaannya diteruskan,
Ki Ageng Banaran sudah menyerobot.
"Terus terang aku senang sekali
bertemu denganmu, Ratri. Dan mengenai
permintaan Mahesa, nanti akan kubicarakan
pada Adi Begawan Kamasetyo. Aku kira Adi
Begawan Kamasetyo tidak akan mengecewakan
harapan kalian."
"Terima kasih, Eyang," ucap Mahesa,
sambil merangkapkan kedua telapak tangan
di depan hidung.
"Ya..., ya! Nanti pada malam purna-
ma bulan ini Eyang akan datang berkunjung
ke lereng Pegunungan Dieng. Tidak lama
lagi. Jadi, sebaiknya kalian berangkat
dulu saja ke sana. Nanti Eyang menyusul
belakangan. Jangan lupa, sampaikan salam
Eyang pada Adi Begawan Kamasetyo, Mahe-
sa."
"Baik, Eyang."
"Nah. Sekarang kalian berangkat-
lah!" ujar Ki Ageng Banaran.
Mahesa memberi hormat sebentar, ke-
mudian segera mengajak Ratri keluar dari
dalam gua. Sementara gadis itu masih me-
nangis sesenggukan. Dalam hati, pemuda
ini merasa heran sekali mengapa kekasih-
nya menangis demikian menyedihkan. Ha-
tinya yang masih penasaran jadi tidak te-
ga untuk mengusik kesedihannya.
Malam purnama bulan ini telah tiba.
Ki Ageng Banaran duduk di serambi mulut
gua bersama Begawan Kamasetyo. Mereka ba-
ru saja merestui pernikahan Ratri dan Ma-
hesa.
Sedang kedua anak muda itu kini be-
rada di sebuah kamar dalam gua. Mereka
yang sedang dimabuk cinta tengah asyik
menikmati indahnya malam pertama. Dan se-
jak malam itu, Ratri dan Mahesa hidup ba-
hagia. Mereka hidup penuh cinta kasih da-
lam bahtera asmara.
Hari demi hari, bulan demi bulan
terlewat sudah. Ratri yang mulai mengan-
dung benih cinta kasihnya dengan Mahesa
mulai dicekam perasaan takut. Takut kehi-
langan Mahesa, juga takut dirinya kembali
menjelma menjadi siluman ular!
3
Kegelisahan Ratri di kamarnya sema-
kin menjadi-jadi. Betapa tidak? Waktu
yang telah ditentukan Yang Maha Kuasa te-
lah usai! Dan ini sebentar lagi, berarti
dia akan kembali menjelma menjadi siluman
ular! Padahal bayi dalam kandungannya be-
berapa hari lagi akan lahir. Hal ini mem-
buatnya terus memohon pada Yang Maha Kua-
sa agar menunda waktu yang telah ditentu-
kan.
Ratri sudah membicarakan kesulitan-
nya pada ayahnya. Disepakati, begitu Ra
tri kembali menjelma menjadi siluman
ular, mereka harus kembali mengasingkan
diri dari dunia persilatan. Begawan Kama-
setyo tidak mampu menjawab permintaan
anaknya. Hanya kepalanya mengangguk se-
dih.
Tepat pada tengah malam, tiba-tiba
saja Ratri merasakan sekujur tubuhnya
dingin sekali. Dan ini membuatnya gelisah
sekali! Dia terus memohon pada Yang Maha
Kuasa agar mau menangguhkan waktu yang
telah ditentukan. Namun apa yang menjadi
keinginannya tinggal berupa harapan ham-
pa. Setelah demam dalam tubuhnya menghi-
lang, asap putih kekuning-kuningan mulai
menyelimuti dirinya. Dan hidungnya seke-
tika mencium bau harum bunga melati meme-
nuhi kamarnya!
Ratri menangis menjadi-jadi. Dis-
adari kalau itu adalah tanda-tanda kalau
dirinya akan kembali menjelma sebagai si-
luman ular.
Begawan Kamasetyo yang mendengar
tangis anaknya cepat masuk ke dalam kamar
Ratri. Dan betapa terkejutnya dia melihat
sekujur tubuh putrinya mulai diselimuti
asap putih kekuning-kuningan. Untungnya,
malam itu Mahesa sedang tidak ada di ru-
mah, karena tengah pergi menemui gurunya
di puncak Gunung Batu
Lelaki tua ini tidak tahu, apakah
ketidakberadaan Mahesa memang sudah di
atur Yang Maha Kuasa atau tidak. Yang je-
las, perlahan-lahan tubuh Ratri mulai be-
rubah wujud sebagai siluman ular. Pertama
dari kedua kakinya kemudian merambah ke
betis, perut, lalu dada.
Ratri makin menjerit-jerit. Dan je-
rit tangisnya langsung terhenti begitu
kepalanya mulai berubah menjadi kepala
siluman ular putih. Siluman Naga Puspa!
Begawan Kamasetyo tak mampu lagi
berkata-kata. Matanya menatap nanar ke
tubuh putrinya yang telah menjelma kemba-
li menjadi siluman ular putih. Bibirnya
bergetar-getar hebat menahan guncangan
batinnya. Suara tangisan Ratri sudah ti-
dak terdengar lagi. Hanya desisan-desisan
Siluman Naga Puspa saja yang terdengar,
menyayat perasaan lelaki tua itu.
Tidak ada pilihan lain lagi. Seper-
ti yang telah diminta Ratri, mereka ber-
dua harus kembali mengasingkan diri dari
dunia ramai. Tak sanggup bagi Ratri meli-
hat Mahesa merana dalam hidupnya. Dia be-
nar-benar malu untuk bertemu suaminya.
Maka pada malam itu juga, Begawan Kama-
setyo mengajak Ratri meninggalkan Gua Bu-
rangrang!
* * *
Tiga hari kemudian Mahesa pulang
kembali ke Gua Burangrang. Dan dia tidak
menemukan siapa-siapa lagi di sana. Mahe-
sa terus mencarinya ke segenap penjuru
gua, sambil terus memanggil-manggil nama
istrinya. Namun tetap saja istrinya tak
ditemukan!
"Ratri!" teriak Mahesa menggetarkan
dinding gua.
Pendekar Kujang Emas berlari ke mu-
lut gua, meneliti apakah selama ditinggal
pergi ada seseorang yang datang menyerang
tempat persembunyian Begawan Kamasetyo.
Namun ternyata tidak ditemukan tanda-
tanda bekas pertarungan. Dan ini semakin
membuat hatinya bingung. Seluruh dalam
gua itu telah dicari, sekarang ke mana
lagi harus mencari istrinya dan Begawan
Kamasetyo?
Tanpa rasa putus asa, Pendekar Ku-
jang Emas terus mencari ke segenap penju-
ru lereng Pegunungan Dieng, tanpa mempe-
dulikan dirinya lagi.
Hingga pada suatu hari, Mahesa me-
nemukan mayat seorang wanita muda yang
masih memeluk bayinya!
Keadaan wanita itu mengenaskan se-
kali. Pakaiannya compang-camping tidak
karuan. Darah segar bersimbah di tanah
sekitarnya. Wajahnya yang cantik pucat
pasi. Rambutnya awut-awutan. Mungkin wa-
nita itu habis diperkosa segerombolan pe-
rampok yang malang melintang di sekitar
hutan Gunung Bucu ini. Kalau tidak, mana
mungkin bagian pangkal pahanya mengelua-
rkan darah.
Sedang bayi dalam pelukan wanita
itu kira-kira berusia enam bulan. Wajah-
nya tampan. Kulitnya putih bersih seperti
kulit ibunya. Dan bayi malang itu terus
meronta-ronta di pelukan ibunya. Tangis-
nya yang menyedihkan sungguh menyentuh
perasaan Mahesa.
Seketika itu juga, Pendekar Kujang
Emas pun teringat akan penderitaan is-
trinya. Dan mungkin akan seperti itulah
nasib istri dan bayinya. Tidak! Dia tidak
sanggup membayangkan penderitaan is-
trinya!
Untuk beberapa saat, Mahesa hanya
memandangi bayi malang itu dengan hati
tak menentu. Dengan sekali lihat saja bi-
sa diketahui, kalau susunan tulang bayi
itu sangat bagus dan kuat. Darahnya pun
bersih, pertanda mempunyai bakat cukup
lumayan. Dan entah mengapa, hati Mahesa
jadi senang sekali. Perlahan-lahan mulai
didekati mayat wanita itu. Lalu dipon-
dongnya bayi malang itu dengan tangan ki-
ri. Sedang tangan kanannya meraba denyut
nadi di pergelangan tangan wanita itu.
Tak ada gerakan sama sekali!
Pendekar Kujang Emas meletakkan
bayi itu ke tempat yang aman. Setelah
kembali ke tempat semula, dia mulai mem-
buat lubang dengan kujangnya. Dan berkat
tenaga dalamnya yang tinggi, sebentar sa-
ja tercipta sebuah lubang besar untuk
menguburkan mayat wanita itu.
Hati-hati sekali dia memondong
mayat wanita itu, lalu meletakkannya ke
dalam lubang. Perlahan-lahan pula Mahesa
mulai menguruk dengan tanah. Maka seben-
tar saja telah tercipta segundukan tanah
merah yang masih baru. Dan Mahesa memberi
nisan pada kuburan itu dengan sebuah batu
sebesar kelapa.
Setelah menguburkan mayat wanita
itu, Mahesa kembali mengambil bayi terse-
but lalu melangkah pergi. Arah tujuannya
adalah puncak Gunung Batu tempat gurunya
Pendekar Pedang Kilat Buana bertapa. Di
sana dia akan mendidik bayi itu seperti
anak kandungnya sendiri. Bahkan akan pula
dibekalinya dengan ilmu silat!
***
Ratri alias Siluman Naga Puspa men-
desis-desis hebat. Dia merasakan ada se-
suatu yang bergerak-gerak dalam perutnya.
Melihat hal ini Begawan Kamasetyo jadi
cemas sekali. Dia tidak tahu apa yang ha-
rus dilakukan. Sedang Siluman Naga Puspa
terus meronta-ronta menahan sakit. Perut-
nya yang membusung seperti diremas-remas.
Wajah Siluman Naga Puspa benar-
benar tersaput rasa gelisah. Sepasang ma
tanya mencorong menahan nyeri. Sedang ke-
palanya mengangguk-angguk sedemikian ru-
pa, layaknya seperti seorang wanita yang
sedang mengurut-urut perutnya menjelang
kelahiran bayinya!
"Mungkin.... Mungkin kau akan mela-
hirkan bayimu, Ratri?"
Hanya itu yang keluar dari mulut
Begawan Kamasetyo. Selebihnya dia hanya
dapat memandangi perut anaknya dengan ha-
ti cemas.
Dan apa yang dikatakan Begawan Ka-
masetyo memang benar. Baru saja kata-
katanya tuntas....
"Oaaa...! Oaaa...!"
Terdengar suara tangis bayi, mem-
buat Begawan Kamasetyo tersentak. Pandan-
gannya langsung tertuju ke arah ekor ular
siluman itu. Tampak tak jauh dari ekor
Siluman Naga Puspa, tergolek seorang bayi
yang masih terbalut darah dan tersambung
ari-ari.
Jadi, Siluman Naga Puspa telah me-
lahirkan bayinya! Bukan berbentuk ular,
melainkan bayi manusia yang tampan seka-
li! Dan yang lebih anehnya lagi, pada da-
da kanan bayi itu terdapat rajahan ber-
gambar ular putih. Matanya agak kebiru-
biruan, kulitnya putih walaupun masih
berlumur darah, namun bau badannya wangi
sekali seperti harumnya bunga melati!
Begawan Kamasetyo cepat mendekati
bayi dan memondongnya erat-erat. Matanya
yang tajam memperhatikan susunan tulang-
tulang bayi itu penuh kagum.
"Mau kau beri nama apa anakmu ini,
Ratri?" tanya Begawan Kamasetyo sambil
menatap penuh suka cita pada anaknya.
Ratri mendesis menyebutkan satu na-
ma.
"Apa? Soma?" kata Begawan Kamasetyo
mengulangi ucapan anaknya yang hanya di-
mengerti olehnya.
Sekali lagi Siluman Naga Puspa men-
desis membenarkan ucapannya.
"Ya..., ya. Baik. Aku akan memberi
nama anak ini Soma, seperti permintaan-
mu."
Siluman Naga Puspa mendesis-desis
lagi. Entah bahagia melihat bayi yang ba-
ru saja dilahirkan, atau sedih melihat
dirinya yang masih berwujud siluman ular
putih!
Kemudian Siluman Naga Puspa kembali
mendesis-desis lagi meminta Begawan Kama-
setyo mendekatkan bayinya ke sisi tubuh-
nya.
Begawan Kamasetyo tersenyum senang.
Didekatkannya bayi yang baru saja dila-
hirkan itu ke sisi anaknya.
Siluman Naga Puspa memandangi
bayinya dengan sepasang mata telah be-
rair. Lalu bayi yang telah diberi nama
Soma itu pun segera dililitnya, persis
seperti tingkah seorang ibu sedang meme-
luk bayinya!
4
Waktu terus bergulir, tak tertahan-
kan. Semuanya telah diatur oleh Sang Pen-
cipta. Dan tak terasa delapan belas tahun
terlewat sudah. Kini Bayi yang dilahirkan
Siluman Naga Puspa yang telah diberi nama
Soma telah tumbuh menjadi seorang pemuda
tampan. Kulit wajahnya putih bersih. Ma-
tanya yang agak kebiru-biruan dihiasi se-
pasang alis tebal berwarna hitam. Pas se-
kali dengan bentuk hidungnya yang man-
cung. Demikian pula bentuk bibirnya yang
tipis. Rambut gondrongnya dibiarkan ter-
gerai di bahu. Di dada kanannya terdapat
seperti rajahan bergambar ular putih. Dan
ini semakin menambah kejantanan pemuda
itu.
Tubuh Soma yang tinggi tegap diba-
lut rompi dan celana bersisik berwarna
putih keperakan. Dan kini, pemuda tampan
itu sedang khusuk bersemadi untuk menye-
lesaikan latihan tahap akhirnya. Yakni,
sebuah jurus pamungkas hasil ciptaan Be-
gawan Kamasetyo 'Titisan Siluman Ular Pu-
tih'!
Memang, hebat sekali jurus itu.
Bahkan Begawan Kamasetyo dan Ratri yang
masih berwujud siluman ular putih pun ti
dak bisa menganggap sembarangan. Dengan
perasaan waswas kedua anak beranak itu
selalu ikut menemani Soma bertapa. Sudah
empat puluh hari empat puluh malam Soma
bertapa.
"Kerahkan seluruh kehendak sucimu,
Cucuku!" teriak Begawan Kamasetyo, mulai
gelisah.
Lelaki tua ini melihat sekujur tu-
buh Soma mulai dibasahi keringat. Wajah-
nya yang tampan menegang, seperti sedang
menghadapi sesuatu yang sulit sekali di-
kendalikan. Dan dari ubun-ubun kepalanya
perlahan-lahan mengepulkan asap putih,
seiring tubuhnya yang bergetar hebat.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis.
Begawan Kamasetyo semakin gelisah dibuat-
nya. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin
cucunya mengalami bernasib sama dengan
anaknya yang masih berwujud siluman ular
putih.
"Kerahkan seluruh kehendak sucimu,
Cucuku!" ujar Begawan Kamasetyo. Nada su-
aranya penuh kegelisahan.
Dan apa yang sedang dikhawatirkan
Begawan Kamasetyo memang benar-benar se-
dang dialami Soma. Di hadapan pemuda itu,
saat ini seekor ular raksasa putih sebe-
sar pohon kelapa siap memangsa tubuhnya.
Dari mulutnya yang terbuka dengan taring-
nya yang mengerikan mengeluarkan bau amis
yang bukan kepalang. Hampir saja Soma ti
dak kuat menahan. Bukannya takut menjadi
mangsa ular raksasa, melainkan tidak kuat
menahan bau amis yang keluar dari mulut
ular itu.
Soma pasrah. Dia sadar, ular raksa-
sa putih itu hanya jelmaan dari ilmu yang
sedang dituntutnya saja. Maka dengan se-
genap kepasrahan dan keteguhan hatinya,
akhirnya godaan itu dapat diatasi. Dan
perlahan ular raksasa putih jadi-jadian
itu pun hilang dari pandangan.
Namun anehnya bersamaan dengan ke-
pulan asap putih yang menyelimuti tubuh
ular raksasa putih itu menghilang tiba-
tiba saja muncul seorang gadis cantik.
Rambutnya yang hitam panjang itu dibiar-
kan tergerai di bahu. Pakaian yang dike-
nakannya pun sangat tipis berwarna putih
menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Bau ba-
dan gadis itu pun wangi sekali, seperti
bau harum bunga melati!
Soma memejamkan mata. Namun, tetap
saja lekuk-lekuk tubuh gadis cantik itu
masih menghantui pikirannya. Hampir saja
godaan itu tidak kuat ditahan. Apalagi
gadis cantik itu mulai berani mendekati
dan memeluknya!
"Tahan, Cucuku! Jangan sampai ter-
pengaruh godaan itu. Itu hanya perasaanmu
saja. Ayo, lekaslah kerahkan seluruh ke-
hendak sucimu kalau tidak ingin bernasib
malang menjadi siluman ular seperti ibu
mu, Cucuku!" teriak Begawan Kamasetyo
yang samar-samar mulai menyadarkan Soma
dari keadaan memabukkan.
Pemuda ini mengerahkan segenap ke-
kuatan batinnya untuk mengatasi godaan.
Akibatnya, gadis cantik itu menjerit ke-
sakitan. Sekujur tubuhnya yang memeluk
tubuh Soma seperti terbakar kehendak suci
yang timbul dari dalam diri pemuda itu.
Walaupun gadis itu sudah menjauh
dari tubuhnya, Soma terus mengerahkan ke-
kuatan batinnya. Gadis cantik yang sebe-
narnya jelmaan dari siluman itu makin
menjerit-jerit ketakutan. Hingga akhirnya
sekujur tubuh gadis cantik itu pun mulai
diselimuti asap putih. Dan bersamaan den-
gan hilangnya asap putih yang bergulung-
gulung itu, dia menghilang dari pandangan
Soma.
"Kau berhasil, Cucuku! Kau berha-
sil...!" pekik Begawan Kamasetyo girang
bukan main.
Soma tersadar. perlahan-lahan ma-
tanya dibuka.
"Berhasil? Berhasil apanya, Eyang?"
tanya Soma masih belum mengerti.
"Kau..., kau berhasil menguasai ju-
rus sakti 'Titisan Siluman Ular Putih',
Cucuku. Kau sewaktu-waktu bisa berubah
wujud menjadi siluman ular putih kalau
kau mau, Cucuku...."
Soma terlongong. Jadi karena itu
eyang dan ibunya bergembira? Pantas....
Di ufuk langit sebelah timur, mata-
hari baru saja menampakkan sinarnya yang
kemerahan. Beberapa burung liar ramai
berkicau di dahan, mengumandangkan sua-
ranya yang merdu menyambut pagi. Gumpa-
lan-gumpalan awan putih berarak-arak di
angkasa. Sementara, tiupan angin lembut
turut mengiringi lahirnya hari ini.
Dalam terpaan lembut angin pagi di
lereng Gunung Bucu, tempat persembunyian
Siluman Naga Puspa dan Begawan Kamasetyo
yang baru, Soma tengah giat menempa diri.
Rompi bersisiknya yang berwarna putih ke-
perakan tanpa kancing, berkibar-kibar ka-
la pemuda berambut gondrong itu sibuk me-
mainkan jurus sakti 'Terjangan Maut Ular
Putih', yang merupakan salah satu jurus
andalan Begawan Kamasetyo. Gerakan tangan
dan kakinya lincah sekali. Kedua telapak
tangannya yang membentuk kepala ular te-
rus bergerak dengan kecepatan dahsyat
saling kejar-mengejar. Seolah-olah di de-
pannya ada musuh yang tengah kedodoran
menghadapi jurusnya. Sementara kedua ka-
kinya bergerak cepat, seirama dengan ke-
dua tangannya.
Pada saat bergerak maju seperti
ini, berarti Soma tengah membuka jurus
sakti 'Ular Kembar Mengejar Mangsa' yang
tak kalah dahsyatnya dibanding jurus
'Terjangan Maut Ular Putih'. Dari gerakan
kedua telapak tangannya yang membentuk
kepala ular, tercipta serangkum angin
kencang yang berkesiur menggoyang-
goyangkan dedaunan dalam jarak sepuluh
tombak. Belum lagi kalau menilik hawa pa-
nas dan dingin yang diakibatkan dari sam-
baran-sambaran kedua telapak tangannya.
Yang sebelah kanan mengandung pukulan
sakti 'Tenaga Inti Api', sementara sebe-
lah kiri mengandung pukulan sakti 'Tenaga
Inti Bumi'. Akibatnya pohon-pohon dalam
jarak sepuluh tombak yang tadi hanya ber-
goyang-goyang, kini sebagian ada yang
layu dan sebagian membeku.
Hebat sekali jurus sakti 'Ular Kem-
bar Mengejar Mangsa' itu. Begawan Kama-
setyo dan Siluman Naga Puspa yang menon-
ton di pinggir tempat latihan, jadi ter-
longong saking kagumnya.
"Hyaaa...!"
Tiba-tiba Begawan Kamasetyo yang
dari tadi hanya menonton Soma telah ber-
kelebat menyongsong tubuh Soma yang ber-
kelebatan. Tangan sebelah kanan lelaki
tua itu telah berubah menjadi merah penuh
'Tenaga Inti Api'! Sedang tangan kirinya
berubah menjadi keputihan penuh 'Tenaga
Inti Bumi'. Dan kedua telapak tangan itu
bergerak sedemikian rupa, siap memangsa
tubuh Soma.
Soma tahu, serangan eyangnya tidak
main-main. Namun pemuda ini tidak menjadi
gugup. Malah sempat bersiul kecil menge-
jek eyangnya. Padahal keadaan dirinya ti-
dak menguntungkan. Saat itu juga segera
dikerahkannya jurus 'Terjangan Maut Ular
Putih'. Dan dengan cerdiknya, Soma segera
mengendurkan kedua telapak tangannya yang
tadi bermaksud memapak. Tubuhnya dimi-
ringkan ke kiri. Lalu, cepat sekali tan-
gan kanannya berkelit, hendak menotok ke-
tiak eyangnya.
"Ah...!"
Begawan Kamasetyo memekik tertahan.
Kalau serangannya terus dipaksakan, bukan
mustahil ketiaknya lebih terdahulu akan
terkena totokan Soma. Untuk itu serangan-
nya cepat dibatalkan. Sedang Soma telah
menegakkan tubuhnya kembali.
"Wah, wah, wah.... Mengapa Eyang
kasar sekali?! Apa Eyang bermaksud membu-
nuhku? Aku belum mau mati, Eyang. Aku be-
lum kawin...," gerutu Soma kesal.
Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-
kan kekesalan cucunya. Seketika serangan-
nya dilanjutkan, sekaligus ditingkatkan.
Soma kewalahan bukan main. Sambil
berjumpalitan menghindari serangan-
serangan eyangnya, tak henti-hentinya mu-
lutnya terus mengoceh tidak karuan.
"Tunggu dulu, Eyang! Eyang mulai
kebakaran jenggot, ya? Kenapa jadi uring-
uringan begini?!"
"Jangan banyak bicara, Cucuku!
Hayo, cepat balas serangan!"
Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-
kan ocehan Soma. Kedua tangannya kembali
bergerak cepat menyerang.
Jelas, Begawan Kamasetyo tengah
mengerahkan jurus maut 'Ular Kembar Men-
gejar Mangsa' Kedua telapak tangannya ki-
ni semakin berubah merah dan putih te-
rang. Mengerikan sekali. Apalagi tenaga
dalamnya dikerahkan sepenuhnya. Jangankan
terkena. Terkena sambaran anginnya saja
bisa menyebabkan kematian lawan.
"Tidak. Aku tak mau berkelahi den-
gan Eyang," teriak Soma, cepat melempar
tubuhnya beberapa kali ke belakang.
"Aku akan memaksamu, Cucuku!" ben-
tak Begawan Kamasetyo, geram melihat se-
rangannya dapat dihindari demikian mudah-
nya. Kembali kedua tangannya yang berge-
rak saling kejar-mengejar itu menyerang
Soma.
"Adauw, tidak kena!" Soma berkelit
ke samping.
Sementara itu Siluman Naga Puspa
mendesis-desis. Hatinya kesal melihat
anaknya mulai bertingkah. Malah sejak ta-
di pun dia tidak dapat menahan perasaan
gemasnya. Maka dengan kecepatan mengagum-
kan, ular siluman itu ikut menyerang So-
ma!
Wesss!
Harum bunga melati kontan menebar
ke sekitar tempat latihan, begitu tubuh
besar memanjang sebesar pohon kelapa me-
nerjang. Dan mulutnya yang menganga lebar
siap memangsa tubuh Soma.
"Bagus, Ratri! Ayo, kita beri pela-
jaran putramu yang nakal ini!" kata Bega-
wan Kamasetyo sambil meningkatkan seran-
gan.
Soma kewalahan bukan main. Mengha-
dapi eyangnya saja belum tentu menang.
Apalagi sekarang ditambah ibunya, Siluman
Naga Puspa. Tentu saja pemuda ini tidak
ingin dirinya dijadikan bulan-bulanan.
Sambil mengedumel panjang pendek, tubuh-
nya terus berjumpalitan menghindari se-
rangan ibunya dan eyangnya.
"Aduuuhh...! Ibu ini apa-apaan sih?
Kok, ikut-ikutan latah seperti Eyang?!"
teriak Soma kesal.
"Bocah goblok! Baru pertama kali
ini aku melihat orang yang ingin jadi
pendekar, tapi bernyali kambing!" bentak
Begawan Kamasetyo kesal, tanpa sedikit
pun mengendurkan serangan-serangannya.
"Siapa yang takut, Eyang? Aku hanya
tak enak hati kalau nanti melukaimu. Biar
seribu orang pun aku tidak takut!" teriak
Soma mulai panas.
"Ratri! Putramu pintar sekali men-
gumbar omongan. Tapi, tetap saja bernyali
kambing!" ejek Begawan Kamasetyo makin
membuat Soma panas.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis,
membenarkan ucapan ayahnya.
"Aduh! Rupanya Ibu dan Eyang sudah
kongkalikong. Baik! Aku tidak takut. Nih
lihat seranganku...."
Soma cepat melenting ke belakang,
mengambil jarak. Begitu mendarat, dipa-
sangnya kuda-kuda kokoh. Kedua telapak
tangannya yang membentuk kepala ular dis-
ilangkan di depan dada, siap mengeluarkan
jurus maut 'Ular Putih Mengejar Mangsa'.
Telapak tangan yang sebelah kanan telah
berubah menjadi kemerah-merahan penuh
'Tenaga Inti Api'. Sedang yang kiri telah
berubah putih terang penuh 'Tenaga Inti
Bumi'.
"Hyaaat...!"
Disertai teriakan keras membahana
Soma mencelat ke udara, menyongsong se-
rangan Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga
Puspa dengan kedua kakinya.
"Bagus, Cucuku! Rupanya kau menga-
lami banyak kemajuan. Tapi, jangan bangga
dulu. Sebab belum tentu kami dapat dika-
lahkan!"
Begawan Kamasetyo cepat memapak se-
rangan Soma dengan jurus sakti 'Terjangan
Maut Ular Putih'. Sedang Siluman Naga
Puspa segera mengibaskan ujung ekornya.
Dugh! Dugh!
Terdengar dua kali benturan tenaga
dalam di udara. Akibatnya Soma terlempar
beberapa tombak. Cepat dia mematahkan
lontaran tubuhnya dengan berjumpalitan.
Begitu mendarat, tubuhnya terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Ten-
tu saja kesempatan ini tidak disia-siakan
Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Puspa
yang hanya bergetar akibat benturan tena-
ga dalam tadi.
"Curang! Ibu dan Eyang beraninya
main keroyok. Hayo, kalau berani hadapi
aku satu lawan satu!" teriak Soma seraya
berjumpalitan di udara. Kalang kabut dia
menghindari serangan-serangan ibu dan
eyangnya.
"Bocah goblok! Aku dan ibumu sedang
mengujimu, tahu?!" bentak Begawan Kama-
setyo.
"Menguji.... Menguji macam apa
ini?! Aku bisa babak belur sendiri!" ge-
rutu Soma kesal.
"Makanya kalau tidak ingin babak
belur, lekas balas serangan-serangan ka-
mi!" tantang Begawan Kamasetyo memanas-
manasi.
"Huh! Repotnya kalau mau jadi pen-
dekar. Kalau aku tahu sejak dulu begini
susahnya jadi pendekar, lebih baik jadi
tukang sayur saja. Lebih aman. Tidak ba-
bak belur macam begini!" omel Soma pan-
jang pendek.
"Ngomong apa kau, he?!" bentak Be-
gawan Kamasetyo lagi
"Tidak! Tidak! Aku tidak ngomong
apa-apa, Eyang. Aku hanya melampiaskan
kekesalanku saja."
"Baik!" Begawan Kamasetyo menghen-
tikan serangannya. "Sekarang begini saja.
Kalau mampu menghadapi kami berdua dalam
tiga jurus, kau kuanggap menang dan patut
mendapatkan warisanku yang terakhir."
"Buat apa? Toh, Eyang sendiri belum
tentu dapat mengalahkanku kalau tidak ada
Ibu?" tukas Soma, seenak isi perutnya
Begawan Kamasetyo menggeram kesal.
"Bocah goblok! Ini semua demi ke-
baikanmu, tahu?! Hayo, cepat lawan kami!
Atau kau ingin babak belur?"
"Wah, wah, wah...! Ini namanya per-
kosaan. Mentang-mentang kalian orang tua
yang telah membesarkanku, tidak seharus-
nya memaksakan kehendak kalian padaku.
Ini tidak baik, Eyang. Tidak baik...."
"Sudah! Sudah! Pusing aku meladeni
omonganmu. Sekarang cepat hadapi kami
berdua dalam tiga jurus! Sanggup?!" har-
dik Begawan Kamasetyo tak sabar.
Soma menggerutu kesal.
"Tapi, masa' dalam tiga jurus saja
aku tidak dapat menghadapi serangan mere-
ka? Percuma saja bertahun-tahun belajar
silat di sini," gumam pemuda itu dalam
hati.
Soma lantas memasang kuda-kuda ko-
koh.
"Apalagi yang Eyang tunggu! Aku su-
dah siap, Eyang," tantang Soma.
"Baik," Begawan Kamasetyo mengge-
ram. "Hayo, Ratri! Kita hajar anakmu yang
pongah ini!"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis.
Matanya yang biru mencorong tajam. Harum
bunga melati di sekitar tempat latihan
makin mewangi pertanda jurus yang akan
dikeluarkan tidak bisa dianggap sembaran-
gan.
"Jurus satu!" pekik Begawan Kama-
setyo lantang.
Tiba-tiba di tangan Begawan Kama-
setyo telah tergenggam senjata pusaka
yang aneh sekali bentuknya. Sekilas ter-
lihat seperti anak panah. Namun anehnya
mata anak panah itu berbentuk kepala ular
putih hingga ke pangkal. Dan dari pangkal
anak panah berwujud seperti pangkal anak
panah kebanyakan. Sedang di kanan-kiri
kepala ular tertancap dua buah gerigi
yang juga berwarna putih! Entah, apa nama
senjata aneh itu. Yang jelas gigi-gigi
itu mirip sekali dengan senjata andalan
Bathara Kresna. Cakra!
"Senjata apa itu, Eyang? Kok, ben-
tuknya aneh sekali?" tanya Soma saking
herannya.
"Sekarang bukan waktunya bercakap-
cakap! Pokoknya, lihat saja bagaimana
senjata ini membuat tubuhmu babak belur!
Bahkan tidak mungkin nyawamu akan cepat
minggat dari tubuhmu!" hardik Begawan Ka-
masetyo, menakut-nakuti. "Jurus satu!"
Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga
Puspa serentak menyerang Soma. Dan begitu
senjata aneh di tangan lelaki tua ini
bergerak menyerang, terlebih dahulu Soma
merasakan angin dingin berkesiur menye-
rang tubuhnya. Bahkan dari dua buah geri-
gi di samping kanan-kiri kepala ular sen-
jata aneh itu bertiup angin kencang yang
menyerang Soma.
Dari sudut lain, Siluman Naga Puspa
pun menyerang tak kalah hebat. Bukan main
hebatnya serangan mereka, membuat Soma
benar-benar kewalahan. Serangan Siluman
Naga Puspa memang tidak begitu membahaya-
kan keselamatannya. Karena, Soma sudah
terbiasa berlatih tanding dengan ibunya.
Memang, yang sangat dikhawatirkan adalah
serangan Begawan Kamasetyo dengan senjata
anehnya di tangan kanan.
Di saat terperangah itulah, diam-
diam Soma siap mengeluarkan segenap ke-
pandaiannya. Akan tetapi ketika menyadari
senjata di tangan Begawan Kamasetyo mulai
menyerang dan terjangan-terjangan Siluman
Naga Puspa pun siap meremukkan tulang-
tulang tubuhnya, tak urung juga Soma ce-
pat membuang tubuhnya beberapa kali ke
belakang. Namun Begawan Kamasetyo dan Si-
luman Naga Puspa tak memberi kesempatan.
Mereka terus mendesak Soma dengan hebat.
"Hyaaat! Hyaaat!"
Soma kewalahan bukan main. Sikapnya
yang biasa ugal-ugalan kali ini harus di-
pendamnya. Sedikit pun tidak diberi ke-
sempatan untuk membalas. Jangankan berpi-
kir untuk membalas, untuk menghindar saja
rasanya sudah tidak sanggup lagi.
"Uts!"
Bahkan hampir saja pemuda itu ter-
kena sambaran senjata aneh di tangan Be-
gawan Kamasetyo. Untungnya, tubuhnya da-
pat berkelit. Meskipun demikian, tetap
saja Soma tidak dapat menghindar dari se-
rangan sabetan ekor Siluman Naga Puspa
yang mendadak meluncur tajam.
Desss...!
"Ugh...!"
Tubuh Soma kontan terlempar bebera-
pa tombak ke samping. Untung saja tidak
begitu membahayakan keselamatan jiwanya.
Memang, Soma sudah melindungi bagian yang
terkena sambaran ekor Siluman Naga Puspa
dengan tenaga dalam. Dan saat tubuhnya
terlempar ke samping kiri, segera dike-
rahkannya ilmu meringankan tubuh. Dan se-
kali genjot, tubuhnya sudah melayang
tinggi keluar dari tempat latihan.
Wajah pemuda tampan ini pucat pasi.
Keringat sebesar biji jagung telah memba-
sahi keningnya.
"Jurus kedua!" teriak Begawan Kama
setyo tanpa memberi kesempatan Soma untuk
bernapas sedikit pun.
"Baru satu jurus saja sudah begini.
Apa aku dapat bertahan sampai jurus keti-
ga?" gerutu Soma.
Sejenak pemuda ini menunggu datang-
nya serangan berikut. Namun anehnya Bega-
wan Kamasetyo tidak melanjutkan serangan.
Malah pantatnya dihenyakkan di rerumputan
sambil meniup-niup pangkal senjata aneh-
nya.
"Apa-apaan ini, Eyang? Kok, malah
bermain suling?" ejek Soma langsung ter-
tawa terpingkal-pingkal.
Namun anehnya, begitu tawanya mere-
da, tiba-tiba saja Soma merasakan kalau
suara senjata aneh di tangan Begawan Ka-
masetyo yang juga bisa dijadikan seruling
itu perlahan-lahan mulai menyerang gen-
dang telinganya!
Soma kaget bukan main. Belum sempat
kekagetannya diatasi, tiba-tiba Siluman
Naga Puspa kembali menyerang garang. Bu-
kan main bingungnya hati pemuda ini. Ka-
lau meladeni serangan-serangan Siluman
Naga Puspa berarti membiarkan telinganya
diserang suara aneh dari senjata eyang-
nya. Dan kalau perhatiannya terpusat un-
tuk melawan suara aneh dari senjata di
tangan eyangnya dengan jalan menutup pen-
dengarannya, berarti juga membiarkan di-
rinya diserang ibunya. Serba salah!
"Hyaaat...!"
Soma memekik dengan segenap tenaga
dalamnya. Rupanya dia memilih jalan ke-
dua. Sambil menahan serangan-serangan su-
ara aneh dari senjata eyangnya, pemuda
ini cepat meloncat tinggi ke udara, hen-
dak memapak serangan ibunya. Namun aneh-
nya, di saat tubuhnya melayang tinggi di
udara itu, tiba-tiba saja serangan suara
aneh dari senjata eyangnya seperti hendak
memecahkan gendang telinganya. Dan lebih
anehnya lagi, sekujur tubuhnya terasa su-
lit sekali digerakkan.
"Ah...!" pekik Soma kebingungan.
Sementara itu serangan Siluman Naga
Puspa sudah demikian dekatnya. Tak mung-
kin Soma menangkis serangan. Dan akibat-
nya...
Dugh!
"Augh...!"
Tanpa ampun lagi, ekor Siluman Naga
Puspa mendarat telak di dada Soma. Tubuh-
nya terlontar beberapa, tombak disertai
pekik tertahan.
Keadaan benar-benar tidak mengun-
tungkan bagi Soma. Sekujur tubuhnya tera-
sa lemas bukan main. Belum lagi akibat
sabetan Siluman Naga Puspa tadi yang me-
nyebabkan isi dadanya seperti mau pecah!
Bahkan dari mulutnya telah menyembur da-
rah segar pertanda terluka dalam.
Tidak ada pilihan lain, Soma harus
cepat mengeluarkan jurus pamungkasnya,
yakni 'Titisan Siluman Ular Putih' yang
baru saja dikuasai. Setelah berpikir de-
mikian kekuatan batinnya segera dikerah-
kan untuk melawan suara aneh dari senjata
eyangnya, sekaligus untuk mengeluarkan
ilmu pamungkasnya.
Perlahan-lahan suara-suara aneh da-
ri senjata di tangan Begawan Kamasetyo
terdengar lirih di telinga Soma. Dan ber-
samaan dengan itu pula, sekujur tubuhnya
mulai diselimuti uap putih tipis yang ma-
kin lama makin tebal menutupi sekujur tu-
buhnya hingga tidak kelihatan sama seka-
li. Dan entah mengapa, Siluman Naga Puspa
sendiri pun tidak dapat melanjutkan se-
rangannya. Dia seperti ketakutan begitu
melihat tubuh Soma mulai ditutupi asap
putih. Dan...
"Gggeeerrr...!"
Tiba-tiba saja, Soma telah menjelma
menjadi Siluman Ular Putih! Bentuknya le-
bih mengerikan dibanding keadaan Siluman
Naga Puspa. Matanya biru mencorong, me-
mandang Begawan Kamasetyo dan Siluman Na-
ga Puspa.
"Jurus ketiga!" pekik Begawan Kama-
setyo lantang. "Ayo, Ratri! Kita hajar
anakmu yang nakal ini! Mengapa kau diam
saja?"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis
ngeri.
"Apa kau takut melihat Soma yang
telah berubah menjadi Siluman Ular Putih
itu?" tanya Begawan Kamasetyo heran.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis,
membenarkan ucapan ayahnya.
"Hmm...!" Begawan Kamasetyo menggu-
mam. "Tak kusangka kau takut melihat Soma
yang sudah berubah wujud menjadi Siluman
Ular Putih ini, Ratri. Tapi, baiklah. Bi-
ar aku sendiri yang menghadapinya."
Sehabis berkata begitu, Begawan Ka-
masetyo kembali menyerang Soma dengan ju-
rus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Dan
anehnya lagi, senjata di tangannya dapat
dilempar untuk menyerang Soma alias Silu-
man Ular Putih. Dan bila serangannya gag-
al, senjata itu dapat kembali pada pemi-
liknya seperti layaknya sebuah bumerang.
Soma menggeram marah. Kali ini mu-
lai dibalasnya serangan-serangan Begawan
Kamasetyo. Terjangan-terjangannya yang
dahsyat, membuat lelaki tua itu kewalahan
meski memegang senjata anehnya. Dan sete-
lah beberapa saat lamanya kemudian Bega-
wan Kamasetyo melenting ke belakang. Be-
gitu mendarat, tangan kanannya diangkat
ke depan.
"Cukup, Soma! Eyang mengaku kalah,"
cegah Begawan Kamasetyo.
"Gggeeerrr...!"
Soma yang masih berwujud Siluman
Ular Putih mengeluarkan suara menggeram.
Dan bersamaan dengan itu, sekujur tubuh-
nya pun kembali diselimuti asap putih.
Sehingga, bayangan Siluman Ular Putih itu
tidak kelihatan sama sekali.
* * *
"Ha ha ha...! Bagaimana, Eyang? Apa
Eyang masih meragukan kehebatanku? Tidak,
kan?" oceh Soma tertawa-tawa dari balik
asap putih yang masih menyelimuti tubuh-
nya. "Tapi ngomong-ngomong, senjata apa
yang tadi Eyang gunakan? Kok aneh seka-
li?"
Begawan Kamasetyo menimang-nimang
senjata anehnya di tangan. Mata tuanya
terus mengamati senjata di tangannya pe-
nuh kagum. Mesti masih belum mampu meng-
hadapi Soma, namun hatinya sangat bangga
memiliki senjata itu.
"Hei?! Nampaknya Eyang bangga seka-
li memiliki senjata itu? Apa Eyang lupa,
kehebatan senjata itu belum ada apa-
apanya dibanding kehebatanku."
"Jangan cerewet, Cucuku! Kalau kau
belum menguasai ilmu 'Titisan Siluman
Ular Putih', jangan harap, mampu mengha-
dapi senjata ini. Bertahun-tahun aku mem-
buat senjata ini untuk bekalmu di dunia
persilatan. Tapi sekarang, aku akan mewa-
riskannya padamu, Cucuku. Ini namanya
senjata Anak Panah Bercakra Kembar."
"Anak Panah Bercakra Kembar?" ulang
Soma penuh kagum.
Bagaimanapun juga tadi, pemuda ini
sempat merasakan kehebatan senjata itu.
Dan dia senang sekali mendengar eyangnya
akan mewariskan senjata itu padanya.
"Ya! Dan mulai hari ini, senjata
itu akan kuberikan padamu. Pakailah sen-
jata ini bila perlu saja. Juga ilmu
'Titisan Siluman Ular Putih' itu. Nah,
sekarang terimalah senjata ini, Cucuku!"
Begawan Kamasetyo menyerahkan sen-
jata itu pada Soma.
Soma mengamati senjata di tangannya
penuh kagum.
"Terima kasih, Eyang. Tapi ngomong-
ngomong soal ilmu 'Titisan Siluman Ular
Putih' itu, kok mengapa tadi Ibu keliha-
tan takut sekali menghadapiku. Dan menga-
pa pula Ibu bisa jadi berubah menjadi si-
luman ular? Juga Eyang sendiri. Mengapa
tadi Eyang tidak mengeluarkan ilmu itu
untuk menghadapiku?" cerocos Soma bagai
mercon terbakar.
"Aku memang belum mampu menguasai
ilmu ciptaanku itu, Cucuku. Sebenarnya
aku bisa saja menguasai ilmu itu. Tapi
Eyang takut tidak kuat melawan kehendak
suci dalam diriku. Dan mengenai ibumu
mengapa tidak berani menghadapimu sewaktu
sudah menjelma menjadi Siluman Ular Pu-
tih, mungkin karena ilmu ibumu belum sem
purna seperti dirimu, Cucuku. Bahkan bisa
dikatakan, ibumu justru terkena getah
akibat terlalu ingin menguasainya. Se-
hingga ketika menghadapimu yang sudah se-
penuhnya menguasai ilmu itu, dia tidak
berani. Sedang mengenai mengapa ibumu be-
rubah menjadi siluman ular seperti ini,
karena sewaktu bertapa dulu, ibumu tidak
kuat menghadapi godaan seperti yang kau
alami tadi. Sehingga, nasib ibumu ya...,
menjadi seperti ini...."
Soma trenyuh sekali mendengar kete-
rangan eyangnya. Tanpa sadar perhatiannya
beralih pada ibunya. Kebetulan sekali
saat itu Ratri atau Siluman Naga Puspa
pun sedang memperhatikan anaknya dengan
pandangan sedih.
Soma jadi tidak tahan lagi. Segera
didekati ibunya. Langsung dipeluknya tu-
buh siluman ular itu erat-erat. Hatinya
nyeri sekali. Namun, Soma cepat dapat
mengendalikan perasaannya.
"Sudahlah, Bu! Ibu jangan terlalu
bersedih. Tabahkan saja hati Ibu, semoga
Yang Maha Kuasa sudi mengabulkan doa ki-
ta. Mudah-mudahan Ibu segera kembali men-
jelma menjadi manusia," ucap Soma getir.
Siluman Naga Puspa menggeliat-
geliatkan tubuhnya gelisah. Sepasang ma-
tanya yang mencorong pun mulai berair me-
mandang ke langit, seperti sedang meminta
petunjuk Yang Maha Kuasa. Kemudian semba
ri terus memandang ke langit, Siluman Na-
ga Puspa pun mendesis-desis sedih.
"Ya, ya, ya...! Memang sebaiknya
Ibu terus melanjutkan bertapa, agar dapat
kembali menjelma menjadi manusia bi-
asa...."
Siluman Naga Puspa menurunkan kepa-
lanya. Sepasang matanya yang mencorong
semakin berair. Dan mulutnya pun mende-
sis-desis lagi, mengungkit-ungkit kesedi-
hannya di masa lampau.
"Sudahlah! Kalian tak perlu men-
gungkit-ungkit cerita sedih itu lagi. Se-
karang apalagi yang ingin kau tanyakan,
Soma?" tukas Begawan Kamasetyo.
Soma mengalihkan perhatian pada
eyangnya. Pemuda yang pada dasarnya ber-
watak jenaka ini pun sudah dapat melupa-
kan kesedihan yang baru saja dialami. Se-
bentar kemudian bibirnya telah mengulas
senyum.
"Ya, ya, ya...! Masih ada satu hal
yang mengganjal hatiku, Eyang. Mengapa
aku tidak bisa menebarkan bau harum bunga
melati seperti Ibu? Ceritanya bagaimana,
Eyang?"
"Mungkin dikarenakan kau laki-laki.
Tapi sebenarnya sewaktu lahir dari perut
ibumu, kau juga sudah mengeluarkan bau
harum bunga melati. Tapi, begitu beranjak
dewasa, bau harum itu pun hilang dengan
sendirinya," jelas Begawan Kamasetyo.
"Wah, wah, wah...! Mengapa bau wan-
gi dalam tubuhku harus hilang, ya? Coba
kalau tidak. Pasti banyak gadis cantik
yang akan mencintaiku! Aku jadi menyes-
al," gerutu Soma dengan raut wajah se-
rius.
"Kau yang dipikirkan hanya gadis-
gadis saja! Apa kau tidak ingin mencari
siapa ayahmu?" ejek Begawan Kamasetyo.
"Tentu, Eyang! Tentu! Apa Eyang su-
dah boleh mengizinkanku turun gunung?"
jawab Soma semangat.
"Tanyakan saja pada ibumu!"
Soma mengalihkan perhatian pada
ibunya.
"Iya, Bu? Apa Ibu sudah mengizin-
kanku mencari ayahku?"
Ratri atau Siluman Naga Puspa men-
desis-desis.
"Oh...! Ibu juga mengizinkan? Teri-
ma kasih, Bu. Lantas, siapa nama ayahku,
Bu?" tanya Soma.
Siluman Naga Puspa kembali mende-
sis-desis. Desisan yang hanya diketahui
Soma dan Begawan Kamasetyo.
"Mahesa? Murid Pendekar Pedang Ki-
lat Buana atau yang lebih dikenal sebagai
Pendekar Kujang Emas?"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis,
membenarkan ucapan Soma.
5
Lereng Gunung Batu terlihat menju-
lang tinggi di kejauhan, berselimut awan
putih. Sedang matahari belum begitu ting-
gi pada garis edarnya. Cahayanya yang
keemasan hangat menyinari bumi. Dari arah
timur Lembah Kidung, Soma sedang berlari
kencang menuju lereng Gunung Batu.
Tiba-tiba di hadapan pemuda itu
menghadang seorang gadis cantik. Umurnya
kira-kira dua puluh delapanan. Tubuhnya
yang ketat dibungkus pakaian warna kun-
ing. Rambutnya yang hitam panjang dikun-
cir ke atas dengan pita warna kuning pu-
la. Sebenarnya cantik sekali gadis itu.
Tapi karena dandanannya agak menor, mem-
buat bedaknya yang tebal luntur oleh ke-
ringat.
"Tunggu dulu, Pemuda Tampan! Mau ke
mana sih? Kok, buru-buru?" sapa gadis ini
genit. Matanya yang jelita mengerling
nakal ke arah Soma.
Soma menghentikan langkahnya.
"Aku? Aku tidak ke mana-mana? Toh,
apa bedanya sih ke mana-mana dan tidak ke
mana-mana?" jawab Soma seenak hati. "Ta-
pi, ngomong-ngomong ada keperluan apa?
Kok menghadang langkahku? Apa tidak ada
kerjaan lain kecuali menghadang perjala-
nanku?!"
Wanita cantik itu tersenyum manis.
"Ahh...! Mengapa kau jadi sewot be-
gini?"
Soma menautkan sepasang alisnya
yang tebal. "Kalau dia wanita baik-baik,
mengapa kelakuannya begini? Aku harus ha-
ti-hati. Jangan-jangan dia wanita nakal?"
gumamnya dalam hati.
"Lho, lho...! Kok, malah bengong?
Memangnya ada apa? Apa tadi kau belum di-
beri makan ayahmu?" ledek wanita itu se-
raya meraih lengan Soma.
"Hei?! Apa-apaan, sih?!" sergah So-
ma seraya mengibaskan tangannya kasar.
"Aduh! Lagakmu seperti orang suci
saja! Tapi aku yakin, sekali saja kenal
aku, kau pasti akan tergila-gila," kata
gadis ini ceriwis. "Ayolah, Pemuda Tam-
pan! Tunggu apalagi?"
"Ah...! Aku mau lewat!"
Soma nekat menerjang. Namun wanita
cantik itu kembali menghalangi langkah-
nya. Malah tangannya yang putih bersih
berani memeluk lengan Soma.
"Kau sebenarnya mau apa, sih? Aku
mau lewat. Ayolah, beri aku jalan," kata
Soma kewalahan juga melihat kenekatan wa-
nita itu.
"Gampang. Soal memberi jalan itu
gampang," jawab gadis itu dengan senyum
menyebalkan. "Tapi, ada syaratnya?"
Soma menggerutu. Kedua lengan wani-
ta itu makin erat memegangi lengannya.
"Huh! Mimpi apa aku semalam, sehingga Tu-
han mengirimkan manusia sundal ini? Can-
tiknya sih memang bolehlah. Tapi, buat
apa kalau membawa penyakit?" gerutu Soma.
"Hey, kau ngomong apa?! Apa kau ti-
dak pernah diajarkan sopan santun oleh
ibumu?" bentak wanita itu tersinggung.
Tanpa sadar kedua tangannya yang memegang
lengan Soma dilepaskan, siap melontarkan
pukulan mautnya.
"Jangan terlalu perasa.... Aku ti-
dak menyindir mu. Aku hanya mengatakan,
wanita secantik apa pun bisa juga membawa
penyakit. Jadi, aku tidak mengatakan ka-
lau kau yang membawa penyakit," sergah
Soma seraya bergerak mundur selangkah.
"Hen?! Itu sama saja mengatakan ka-
lau aku pembawa penyakit!" tukas wanita
cantik itu marah. "Apa kau belum tahu,
siapa aku sehingga kau berani berkata se-
lancang ini?!"
"Siapa kau? Ah, gampang saja. Kau
tak ubahnya seperti perampok yang mengha-
dang perjalanan orang, masa' kau lupa?"
tukas Soma enteng. Sama sekali tidak ta-
kut menghadapi ancaman wanita itu.
Padahal kalau pemuda ini tahu siapa
wanita di hadapannya, pasti akan terke-
jut. Wanita cantik di hadapannya saat ini
adalah Denok Supi, salah seorang tokoh
sesat yang merajai daerah barat. Usia se-
benarnya sudah sangat tua. Tapi karena
memiliki semacam ilmu awet muda, sehingga
nampak seperti seorang gadis.
"Dua kali kau menghinaku, Bocah!
Kau harus membayar penghinaanmu ini!"
Sehabis berkata begitu, Denok Supi
mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap
melancarkan pukulan mautnya.
"Tunggu!" cegah Soma. "Sebenarnya
kau mau apa? Bukankah di antara kita ti-
dak ada silang sengketa? Mengapa kau ma-
rah-marah begini?"
Denok Supi menggeram marah. Kedua
tangannya, yang sudah gatal tidak dapat
lagi ditahan. Untungnya Soma sudah siap
siaga.
Wuuttt...!
"Uts!"
Begitu tangan Denok Supi bergerak
menampar pipinya, Soma cepat berkelebat
ke samping kiri. Meski serangan wanita
itu dapat dihindari dengan mudah, namun
hatinya sempat kaget. Betapa tidak? Ru-
panya pukulan Denok Supi penuh dengan ha-
wa racun. Dan ini dapat dirasakan dan ha-
wa dingin yang berbau amis sebelum tangan
itu mengenai sasaran.
"Hm...! Rupanya kau punya sedikit
kepandaian sehingga berani berkata selan-
cang tadi. Bagus! Akan kulihat sampai di
mana kepandaianmu, Bocah!"
Tanpa banyak cakap lagi, Denok Supi
cepat menyerang. Hatinya merasa penasaran
sekali melihat serangan pertamanya tadi
dapat dihindari dengan mudah.
"Wah, wah, wah...! Apa-apaan kau
ini? Mengapa urusan jadi runyam begini?
Sungguh aku tidak bermaksud menghinamu,"
kata Soma sambil berloncatan ke samping
kiri menghindari serangan.
"Jangan banyak bacot! Aku harus me-
nelanjangimu atas penghinaanmu ini, Bocah
Tampan!" dengus Denok Supi langsung men-
gerahkan jurus-jurus mautnya untuk mende-
sak Soma.
Pemuda ini kewalahan bukan main da-
lam menghindar. Dan tak henti-henti mu-
lutnya mengoceh.
"Sungguh aku tidak bermaksud meng-
hinamu. Tapi, baiklah! Kalau kau memang
tersinggung atas ucapanku tadi, aku akan
cabut kembali ucapanku tadi."
"Enak saja! Omonganmu sudah telan-
jur keluar! Tidak! Kau harus membayar
penghinaanmu!" dengus Denok Supi benar-
benar penasaran bukan main. Sudah tiga
jurus lebih namun belum dapat juga me-
nyentuh tubuh pemuda itu
"Waduh...! Maaf, deh! Aku benar-
benar menyesal."
Denok Supi tidak mempedulikan oce-
han Soma lagi. Sebagai seorang ahli silat
tingkat tinggi yang sudah cukup pengala-
man malang melintang di dunia persilatan,
hatinya merasa penasaran bukan main dapat
dipermainkan lawannya yang kelihatannya
masih hijau. Dan agaknya, tokoh sesat da-
ri barat itu kini tidak sekadar memberi
pelajaran pada Soma, melainkan membunuh-
nya. Dan pada satu kesempatan yang tidak
mungkin dihindari Soma, kedua telapak
tangan Denok Supi yang penuh racun kemba-
li mengancam dada.
Wuuttt...!
Soma kaget bukan main. Serangan ini
jelas sangat membahayakan bagi keselama-
tannya. Apalagi dalam jarak sedekat itu.
Tak ada pilihan lain, harus ditangkisnya
kedua telapak tangan Denok Supi.
Duk! Duk!
Terdengar suara benturan keras dari
dua tenaga dalam tinggi di udara. Akibat-
nya tubuh Soma bergoyang-goyang. Kedua
kakinya melesak beberapa rambut ke dalam
tanah. Sedang Denok Supi terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Wajahnya
pucat pasi. Dan dari bibirnya mengelua-
rkan darah segar.
"Pukulan 'Tenaga Inti Bumi'...!"
desis Denok Supi kaget.
Soma sendiri kaget bukan main. Ti-
dak disangka pukulannya tadi menyebabkan
musuhnya terluka. Dan lebih kagetnya la-
gi, musuhnya mengenali jurus pukulannya
tadi.
Soma tersenyum-senyum bagai orang
bodoh.
"Benar! Itu memang yang dinamakan
pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Apa kau
masih penasaran? Tapi, sayang. Aku tidak
punya waktu meladenimu. Selamat tinggal!"
Sehabis berkata begitu, pemuda ini
segera mengerahkan ilmu meringankan tu-
buhnya meninggalkan tempat itu. Dan dalam
sekejap saja, tubuhnya telah menghilang
dari balik kerimbunan pohon cemara.
Denok Supi menggeram marah. Dalam
hatinya bertanya-tanya, siapa pemuda tam-
pan berbaju rompi bersisik berwarna putih
keperakan tadi?
"Jahanam? Dia pasti murid si tua
bangka Begawan Kamasetyo! Siapa lagi?"
desis Denok Supi penuh kemarahan, sebelum
akhirnya meninggalkan tempat itu.
***
Di kaki langit sebelah barat, mata-
hari sebentar lagi tenggelam. Sinarnya
yang keemasan mulai pudar, menebar ke se-
bagian lereng barat Gunung Batu. Keadaan
di sekitar puncak gunung itu sunyi. Hanya
terdengar beberapa kicauan burung yang
hendak pulang ke sarang.
Dan dalam terpaan angin lembut sore
itu, Soma berdiri mematung bagai tonggak
tak bernyawa. Matanya yang tajam menge-
darkan pandangan ke segenap penjuru. Ke-
dua bibirnya berkemik-kemik, seperti me
nyesali sesuatu.
"Aku sudah sampai di puncak Gunung
Batu. Tapi, mengapa sepi sekali? Mana Ma-
hesa, si Pendekar Kujang Emas, ayahku
itu? Kok dia tak muncul-muncul?" gumam
Soma kecewa.
Sebatas mata memandang, Soma hanya
menemukan hamparan batu besar kecil. Tak
ada satu tumbuhan pun yang tumbuh di sa-
na. Pemuda ini tidak putus asa. Dia terus
mencari orang yang dimaksudkan ibunya.
Sehingga tak terasa senja mulai berganti
malam.
Bulan sepotong di langit sebelah
timur, tidak cukup menerangi tempat itu.
Soma akhirnya memutuskan untuk melan-
jutkan pencariannya esok hari.
***
Dua tahun ke belakang, sebelum Soma
menginjakkan kakinya di tempat yang sama,
di puncak Gunung Batu, Mahesa atau yang
lebih terkenal sebagai Pendekar Kujang
Emas tengah duduk berhadap-hadapan dengan
seorang pemuda tampan di atas bongkahan
batu
Wajah pemuda itu tampan, berbentuk
bulat telur. Kulitnya putih bersih. Sepa-
sang matanya yang tajam dihiasi alis mata
tebal. Hidungnya mancung, pas sekali den-
gan bentuk bibirnya yang tipis. Tubuhnya
tinggi kekar, dibalut pakaian rapi seka-
li, seperti pakaian terpelajar saat itu.
Sedang rambutnya yang gondrong dikuncir
sebagian ke belakang, semakin menambah
ketampanannya.
Gerak-gerik sikap pemuda itu pun
lembut. Sehingga membuat Mahesa sangat
menyayanginya. Bahkan pemuda di hadapan-
nya sudah dianggap seperti anak kandung
sendiri. Maka tak heran kalau semua ke-
pandaian ilmu silatnya diturunkan kepada
pemuda itu. Seorang pemuda malang yang
dulu ditemukan dalam pelukan ibunya yang
sudah menjadi mayat, sewaktu Mahesa se-
dang mencari istrinya yang hilang entah
ke mana.
"Prameswara...!" panggil Mahesa me-
mecah keheningan malam. "Aku kira semua
kepandaian silatku telah kuturunkan semua
padamu. Sekarang sudah saatnya kita ber-
pisah. Kalau kau tidak keberatan, tolong
carikan istriku, Prameswara! Namanya Ra-
tri. Aku sudah terlalu tua untuk turun
gunung. Apa kau tidak keberatan?"
"Tentu saja tidak, Guru. Seberat
apa pun tugas Guru, akan kulaksanakan,"
jawab Prameswara, santun dan tegas.
"Ya, ya...! Aku percaya. Aku berpe-
san, gunakanlah semua kepandaianmu untuk
membela yang lemah dan menegakkan kebena-
ran. Tetaplah berpegang teguh pada apa
yang kuajarkan di sini. Mengerti?"
"Mengerti, Guru. Aku akan menjun-
jung tinggi semua yang Guru ajarkan pada-
ku," sahut Prarpeswara mantap.
"Nah, sekarang teruskanlah latihan-
mu! Besok pagi kau boleh turun gunung!"
"Baik, Guru."
***
Siang di Desa Ganggurdi. Matahari
tersaput awan. Beberapa orang petani nam-
pak baru pulang dari sawah. Suara canda
dan tawa mereka mengusik kesunyian desa.
Dari ujung desa yang lain, Prames-
wara mulai memperlambat langkahnya. Sedi-
kit pun tidak nampak keringat membasahi
wajahnya, pertanda ilmu meringankan tu-
buhnya sudah mencapai tingkat tinggi. Pa-
dahal dia baru saja menempuh perjalanan
jauh. Sejak turun gunung, desa itulah
yang pertama kali dijumpainya.
Saat mulai memasuki jalan desa itu,
Prameswara melihat suasana desa itu agak
ramai dibanding di ujung desa tadi. Bebe-
rapa orang petani yang tadi asyik bercan-
da mulai berpisah, pulang ke rumah mas-
ing-masing.
Prameswara masuk ke dalam sebuah
kedai, agak terpisah dari perumahan pen-
duduk. Dua orang pelayan cantik menyambut
kedatangannya. Kebetulan suasana sedang
sepi. Yang ada hanya Prameswara seorang.
"Silakan duduk, Tuan! Mau makan
apa?" sambut salah seorang gadis cantik
itu senang. Sepasang matanya yang jeli
menatap Prameswara penuh kagum.
Prameswara memperhatikannya sekilas
dengan senyum terkembang di bibir.
"Tolong sediakan makanan dan arak
yang paling enak di kedai ini!" ujar Pra-
meswara dengan suara santun. Namun aneh-
nya, sikap pemuda itu sungguh tidak cocok
dengan tutur sapanya yang santun.
"Ba..., baik" sahut pelayan itu gu-
gup. Sejenak pandangan matanya melirik
Prameswara.
Prameswara mengacuhkannya,
Pelayan itu menghela napas panjang.
"Sayang! Dia memang tampan, tapi
sombongnya tidak ketulungan," kata batin
pelayan itu, sebelum akhirnya masuk ke
dalam
"Tuaaaampan sekali pemuda itu. Sia-
pa namanya, Yu?" tanya pelayan lain penuh
kagum.
"Huh! Sombongnya minta ampun. Boro-
boro tahu namanya. Aku jadi sebel! Seper-
tinya dia saja yang paling tampan," geru-
tu pelayan yang tadi menyambut kedatangan
Prameswara kesal. "Sudah! Sekarang gili-
ran mu mengantarkan makanan ke depan!"
"Benar, nih? Apa kau tidak menyesal
kalau pemuda itu jatuh cinta padaku?" ka-
ta pelayan yang satunya, senang dapat me
layani tamunya yang tampan.
"Siapa peduli!"
"Baik, baik! Kalau begitu, aku akan
mengantar makanan ini padanya. Lihat sa-
ja, Mbakyu! Aku pasti dapat menaklukkan
pemuda yang katamu sombong itu," kata pe-
layan berpakaian. Kebaya warna kuning itu
senang. Kemudian bergegas dia menyediakan
makanan yang dipesan Prameswara.
"Silakan dimakan, Tuan! Ini arak
dan makanan yang paling lezat di kedai
ini. Juga di kedai-kedai lainnya. Sila-
kan! Silakan!" kata pelayan itu genit.
Lagi-lagi Prameswara hanya memper-
hatikan pelayan itu sekilas. Sama sekali
tidak ada senyum. Bahkan matanya sinis
sekali memperhatikan pelayan itu. Lalu
tanpa banyak cakap lagi, araknya mulai
ditenggak. Tidak seperti para tokoh dunia
persilatan lainnya, arak putih itu di-
tuang dulu ke dalam gelas dari batu me-
rah. Lalu ditenggaknya sedikit demi sedi-
kit.
Pelayan berbaju kuning itu mengedu-
mel diperlakukan seperti itu. Namun dia
tidak putus asa.
"Bagaimana, Tuan? Bukankah cukup
enak arak di kedai ini?" kata pelayan ini
ceriwis.
Prameswara memandang pelayar itu
tajam.
"Beginikah caramu menyambut tamu
yang makan di sini?" gerendeng Prameswa-
ra.
"I.... Iya! Eh, ti... tidak, Tuan!"
jawab pelayan berkebaya kuning itu gugup.
"Kalau begitu, cepatlah enyah dari
hadapanku!" usir Prameswara dingin.
"Ba...,baik!"
Pelayan berkebaya kuning itu ber-
maksud beranjak dari tempatnya. Namun ti-
ba-tiba saja langkahnya berhenti, saat
dua orang lelaki aneh masuk ke dalam ke-
dainya. Sejenak pelayan berkebaya kuning
itu memperhatikan heran ke arah kedua
orang tamu anehnya. Yang satu bertubuh
pendek, berkulit hitam legam. Matanya bu-
lat berwarna hitam. Hidungnya bundar. Bi-
birnya yang berwarna hitam agak dlawer
dengan gigi berwarna kuning. Rambutnya
pun awut-awutan, cocok sekali dengan pa-
kaian hitam-hitamnya yang kumal.
Sedang laki-laki satunya bertubuh
tinggi kurus. Mukanya tirus dengan mata
besar berwarna hitam. Hidungnya mancung
sekali, seperti hidung betet. Demikian
juga giginya yang mancung menjorok ke de-
pan. Rambut dan pakaian laki-laki itu pun
sama-sama kumalnya. Dan sembari tertawa
mengakak, mereka langsung menghenyakkan
pantatnya tak jauh dari kursi Prameswara.
"Ayo, kita rayakan pertemuan kita
di sini, Sorogompo! Kamu mau pesan apa?"
tanya laki-laki bertubuh tinggi kurus ke
pada laki-laki bertubuh pendek yang di-
panggil Sorogompo.
"Baik, Mayang Kekek. Rupanya hampir
selama lima belas tahun kita berpisah,
sekarang kau sudah kaya, ya? Aku mau pe-
san arak yang paling wangi di sini. Juga,
makanan yang paling enak. Tapi kalau ada,
aku lebih suka daging kambing. Biar kuat
itu.... Ha ha ha...!" sahut Sorogompo.
"Mintalah daging kambing dan arak
yang paling wangi. Bahkan minta bintang
pun, aku pun tidak keberatan. Tapi bayar
sendiri! Ha ha ha...! jawab laki-laki
tinggi kurus yang dipanggil Mayang Kekek,
langsung disambung suaranya yang sember.
"Apa? Kau mau mempermainkan aku,
Mayang Kekek? Kau tidak jadi mentraktir
ku?!" tukas Sorogompo mendelik gusar.
"Lho? Siapa peduli? Kau makan untuk
mengisi perutmu sendiri. Aku juga. Siapa
peduli? Memangnya aku bapak moyangmu?!"
jawab Mayang Kekek acuh tak acuh.
"Kau menjatuhkan harga diriku,
Mayang Kekek. Kalau saja tidak ada gadis
cantik di sampingku, aku tak akan marah.
Tapi sekarang, kau harus menerima akibat
dari bacotmu yang lancang ini!"
Sorogompo cepat meraih asbak ter-
buat dari pangkal pohon bambu, langsung
dilemparkannya ke arah muka Mayang Kekek.
Cepat sekali lemparan yang dilaku-
kan Sorogompo itu. Apalagi dalam jarak
yang demikian dekatnya. Namun, Mayang Ke-
kek hanya tertawa-tawa saja melihat se-
rangan kawannya. Dan begitu asbak itu
hendak menghajar wajahnya, jari telunjuk
tangan kanannya terangkat. Cepat diteri-
manya asbak itu, dan diputar-putarnya
dengan tangan kirinya.
"Seranganmu lamban sekali, Sorogom-
po! Buat apa bertapa bertahun-tahun kalau
tenaga dalammu tetap seperti ini. Nih,
asbakmu kukembalikan!" ejek Mayan Kekek,
seraya melontarkan kembali asbak itu ke
muka Sorogompo.
Asbak itu terdorong ke depan.
Mayang Kekek penasaran sekali. Segera te-
naga dalamnya dikerahkan. Dan akibatnya
asbak itu kembali lagi. Tentu saja Suro-
gompo tidak mau kalah dalam adu tenaga
dalam itu. Demikian pula Mayang Kekek.
Kedua orang itu terus mengemposkan tenaga
dalam hingga akhirnya asbak itu tertahan
di udara!
Pelayan berkebaya kuning yang sudah
cukup berpengalaman berhadapan dengan to-
koh-tokoh sakti dunia persilatan hanya
berdiri menggigil di tempatnya. Namun ti-
dak demikian Prameswara. Semula kedua
orang tua itu memang dibiarkan menjual
lagak di depannya. Namun lama kelamaan
merasa terganggu juga.
"Kalian ini orang tua tak tahu di-
ri! Sudah bau tanah masih menjual lagak
di depanku!" bentak Prameswara sambil
menggerakkan tangan kanannya santai, seo-
lah-olah sedang mengusir lalat di depan
hidungnya. Akibatnya....
Prak!
Asbak yang terkena pukulan jarak
jauh pemuda itu kontan pecah berantakan.
Dan akibatnya pula, tenaga dalam Mayang
Kekek dan Sorogompo jadi saling serang
secara langsung.
Duk!
Terdengar benturan tenaga dalam di
udara. Akibatnya, tubuh kedua orang itu
bergetar hebat. Bangku tempat berpijak
langsung hancur berantakan.
Pelayan berkebaya kuning itu menje-
rit-jerit ketakutan, langsung ngacir ke
dalam.
Kedua orang itu kontan menoleh ke
arah Prameswara. Mereka yakin pemuda itu-
lah yang membuat ulah. Mata mereka kontan
membelalak lebar
"Anak muda?! Mengapa kau berani
lancang mencampuri urusan kami?!" hardik
Mayang Kekek. Prameswara mendengus.
"Aku tidak bermaksud mencampuri
urusan kalian? Tapi berhubung kalian te-
lah menjual lagak di depanku, aku tidak
dapat membiarkannya. Apalagi, kalian te-
lah mengganggu selera makanku. Apa itu
salah?"
"Salah! Itu jelas salah! Mau meng
ganggu selera makanmu, kek. Mau membunuh-
mu sekalipun, kek. Apa pedulimu?!" dengus
Sorogompo. Tak dapat lagi amarah ditahan.
Dia melompat ke hadapan Prameswara. Kedua
tangannya yang sudah gatal-gatal langsung
bergerak menampar.
Prameswara sedikit menarik tubuhnya
ke belakang. Sedang tangan kanannya me-
nyambar mangkuk sopnya, menyerang Soro-
gompo.
Pyarrr...!
"Aaakh...!"
Sorogompo memekik kaget. Untunglah
Mayang Kekek segera membantu menahan se-
rangan Prameswara. Malah kalau pemuda itu
tidak cepat melempar tubuhnya ke bela-
kang, bisa jadi tubuhnya sudah dibasahi
kuah sopnya.
"Kau jangan turut campur, Mayang
Kekek! Aku masih sanggup menghadapi bocah
ini!"
Sorogompo cepat melesat ke depan.
Langsung diserangnya Prameswara dengan
jurus-jurus andalan. Hebat sekali seran-
gan kakek bertubuh kerdil itu, membuat
pemuda ini kewalahan bukan main. Tubuhnya
sudah beberapa kali berjumpalitan ke uda-
ra. Dan akhirnya mereka berdua telah be-
rada di luar kedai.
"Bagus! Rupanya kau punya sedikit
kepandaian!" dengus Sorogompo gusar. Su-
dah tiga jurus berlalu, namun belum juga
dapat menyentuh tubuh lawan.
"Tidak usah banyak bacot dulu,
Orang Tua! Lihat saja bagaimana aku meng-
hajarmu nanti," kata Prameswara.
"Bocah sombong!" geram Sorogompo
penuh kemarahan.
"Ayo, Sorogompo! Hajar saja bocah
itu! Gebuk pantatnya!" teriak Mayang Ke-
kek dari luar kancah pertarungan.
Sorogompo meloncat ke depan. Pra-
meswara cepat membabat pedang. Segera
disambutnya serangan itu. Tanpa membuang-
buang waktu lagi, Prameswara langsung me-
mainkan jurus-jurus pedangnya yang pernah
dipelajari dari Pendekar Kujang Emas.
"Hm...! Kau pasti muridnya Pendekar
Kujang Emas. Tapi, sayang. Kau tidak
punya sopan santun pada orang tua. Apa
kau belum pernah diajari sopan santun
oleh gurumu?!" kata Sorogompo mulai men-
genali jurus-jurus andalan Prameswara.
"Syukur kalau kau sudah tahu nama
guruku. Jadi sudah seharusnya kau berte-
kuk lutut dan memohon maaf atas kelancan-
ganmu!" desis Prameswara.
"Hm...! Kau memang patut diajari
sopan santun Bocah. Biarlah aku yang me-
wakili gurumu mengajari sopan santun,"
kata Sorogompo kesal.
Meski hanya bersenjata tangan ko-
song, Sorogompo sama sekali tidak kewala-
han menghadapi Prameswara yang bersenjata
pedang. Perlahan namun pasti, Sorogompo
dapat mendesak. Bahkan sudah beberapa
kali tangannya berhasil mendarat telak di
tubuh pemuda itu.
Prameswara menggeram penuh kemara-
han. Kedua tangannya kini telah berubah
menjadi biru, siap melontarkan pukulan
mautnya.
"Apa kau mengenali pukulan ini,
Orang Tua?" ejek Prameswara.
"Hanya pukulan 'Cahaya Kilat Bi-
ru'," desis Soro gompo. "Sayangnya puku-
lan maut itu kau pergunakan dengan seme-
na-mena. Kau memang tidak layak menjadi
murid Pendekar Kujang Emas. Sebagai te-
mannya, aku merasa bertanggung jawab un-
tuk memberimu pelajaran."
"Jangan banyak bacot, Orang Tua!
Pukulan inilah yang akan mengantar nyawa-
mu ke neraka!" bentak Prameswara.
"Lakukanlah! Akan kulihat, sampai
di mana kehebatan pukulanmu," tantang So-
rogompo berani.
Bukan main marahnya Prameswara.
Ternyata pemuda ini memang berwatak som-
bong. Hatinya tidak terima direndahkan
sedemikian rupa. Maka dengan menggunakan
jurus sakti 'Kilat Menyambar Bumi', Pra-
meswara kembali menerjang Sorogompo. Tan-
gan kirinya yang telah berubah menjadi
biru, beberapa kali menyambar-nyambar ga-
nas, Namun Sorogompo dapat menghindari
dengan mudah.
"Terus pukul aku, Bocah! Mengapa
berhenti?!" ejek Sorogompo.
"Jahanam! Hari ini adalah hari ke-
matianmu, Orang Tua!"
Prameswara mempercepat gerakan pe-
dangnya. Tubuhnya yang tinggi kekar me-
lenting ke udara. Dan ketika menukik ke
bawah, tahu-tahu ujung pedang di tangan-
nya telah mengancam ubun-ubun Sorogompo.
Sedang tangan kirinya siap melontarkan
pukulan 'Cahaya Kilat Biru'.
Hebat sekali serangan Prameswara.
Malah Sorogompo sendiri sempat terkejut
dibuatnya. Namun sebagai seorang tokoh
silat yang sudah cukup berpengalaman, dia
tidak jadi gugup, walau saat itu kurang
menguntungkan. Dengan miringkan tubuhnya
ke kiri menghindari tusukan pedang, tan-
gan kanannya cepat memapak pukulan
'Cahaya Kilat Biru' di tangan kiri Pra-
meswara. Bahkan juga dilontarkannya puku-
lan saktinya yang diberi nama 'Orang Gila
Mengamuk'.
Duk!
Blarrr...!
Hebat bukan main akibat pertemuan
dua tenaga dalam di udara itu. Bahkan tu-
buh Sorogompo yang pendek bergoyang-
goyang. Kedua kakinya melesak beberapa
rambut ke dalam tanah. Sedang tubuh Pra-
meswara yang masih melayang-layang di
udara kembali terlempar ke udara. Sekujur
tubuhnya menggigil. Wajahnya pucat pasi.
Dan dari kedua bibirnya mengalir darah
segar, pertanda menderita luka dalam cu-
kup parah.
"Bagaimana, Anak Muda? Apa kau ma-
sih punya muka melawan aku?" ejek Soro-
gompo puas. "Kalau saja kau bukan murid
Pendekar Kujang Emas sahabatku, tidak se-
gan-segannya aku membunuhmu. Tapi, kali
ini kau kumaafkan. Sekarang pergilah! Aku
muak melihatmu!"
"Hey, tunggu! Jangan biarkan bocah
itu pergi dulu, Sorogompo! Aku harus
menghajar pantatnya dulu!" teriak Mayang
Kekek gemas.
Prameswara yang sudah tidak mempu-
nyai muka, cepat kabur dari tempat itu.
Meski menderita luka dalam yang cukup pa-
rah, namun dia dapat melangkah cepat dan
tempat ini.
Mayang Kekek menghentak-hentakkan
kaki kanannya kesal bukan main.
"Ini semua gara-gara kau, Sorogom-
po! Kau harus membayar hutang pemuda itu!
Aku harus menggebuk pantatmu!" maki
Mayang Kekek gemas.
6
Prameswara kecewa bukan main. Ma-
rah, benci dendam bercampur menjadi satu.
Apa yang dipelajarinya hampir delapan be-
las tahun lebih, ternyata hanya menemui
kesia-siaan belaka. Dia tidak dapat ber-
buat banyak dihina oleh Sorogompo. Watak
pemuda ini yang memang tinggi hati, tak
ingin ada seorang pun melebihi dirinya,
merasa harus membalaskan sakit hatinya.
Namun karena belum mampu, dia ingin men-
cari seorang guru tangguh.
Itulah rencana yang sudah tersusun
dalam benak Prameswara. Padahal kalau mau
mawas diri, kepandaiannya saat itu sudah
jauh dari lumayan. Dia tidak berpikir ka-
lau musuh yang dihadapi tadi adalah seo-
rang tokoh sakti. Jangankan dirinya. Gu-
runya pun, belum tentu sanggup mengalah-
kan Sorogompo. Akan tetapi, rupanya Pra-
meswara tidak berpikir demikian. Yang di-
pikirkan hanya kekalahan dan balas dendam
saja.
"Untuk apa aku belajar silat berta-
hun-tahun kalau hanya menemukan kesia-
siaan seperti ini!" dengus Prameswara ge-
lisah sambil melangkah gontai di pinggi-
ran Hutan Sawo Kembar. Berhari-hari dia
melakukan perjalanan tanpa arah tujuan.
Penasarannya terlalu tenggelam dalam ke-
sedihan, karena dipermalukan Sorogompo
Dan ini membuat apa yang ditugaskan gu-
runya jadi terabaikan!
Menurut desas-desus yang sempat di-
dengar Prameswara di sepanjang perjala-
nan, di sebelah barat Hutan Sawo Kembar
ada seorang tokoh sakti berjuluk Manusia
Rambut Merah. Konon, ilmu silatnya tinggi
sekali sehingga sulit sekali dicari tan-
dingannya. Maka, kesanalah pemuda itu me-
langkah menemui tokoh sesat itu.
Begitu sampai di sebelah barat hu-
tan ini tiba-tiba Prameswara merasa tanah
tempatnya berpijak bergetar hebat, mem-
bentuk garis seperti galian pasir mende-
katinya. Belum hilang rasa kagetnya, ti-
ba-tiba kedua kakinya seperti terbetot
dari dalam tanah.
Prameswara cepat mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Namun anehnya, ke-
dua kakinya sulit sekali digerakkan. Dan
ini membuatnya, kalang kabut. Seketika
itu juga tenaga dalamnya dikerahkan. Tan-
gan kanannya kini berwarna biru dan lang-
sung dihantamkan ke tanah, Kemudian den-
gan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi, Pra-
meswara cepat meloncat ke ranting pohon
dibelakangnya.
Gundukan pasir di bawah terus men-
gejar ke akar pohon tempat Prameswara
bertengger. Dalam beberapa kejap kemu-
dian, pohon itu tersedot dari dalam ta
nah.
"Heh?!"
Prameswara kaget bukan kepalang,
Pohon tempatnya berpijak hampir setengah-
nya melesak ke dalam tanah. Cepat pemuda
itu meloncat ke ranting pohon lainnya.
Dan anehnya, gundukan tanah yang berge-
rak-gerak seperti punya mata saja dan te-
rus mengejar.
Dalam hati murid Pendekar Kujang
Emas ini berdecak kagum. Dia menduga,
pasti ada orang pintar yang sedang unjuk
kepandaian padanya. Namun Prameswara ti-
dak bisa menebak, ilmu apa yang dipergu-
nakan orang dalam tanah itu. Mungkin se-
macam ilmu 'Amblas Bumi' atau semacam il-
mu apa.
"Hup...!"
Prameswara kembali meloncat ke
ranting pohon lain. Dan kini gundukan ta-
nah di bawahnya tidak mengejarnya. Tapi
bergetar-getar hebat. Dan tidak lama ke-
mudian.....
Broll...!
"Hyaaat...!"
Gundukan pasir itu membuncah seir-
ing teriakan seseorang yang melengking
tinggi dari dalam gundukan tanah itu!
Terkejut bukan main Prameswara ke-
tika melihat dari dalam gundukan tanah
muncul seorang laki-laki berpakaian merah
darah dengan satu lentingan cantik seka
li. Setelah berputaran di udara, kakinya
mendarat mantap di tanah.
Orang itu tinggi besar. Rambutnya
berwarna merah menyala. Dia sekarang ber-
diri beberapa tombak di depan Prameswara.
Wajahnya menampakkan kegarangan dengan
mata besar. Hidungnya pun besar dipadu
alis mata dan kumis tebal yang berwarna
kemerah-merahan.
"Pasti orang inilah yang berjuluk
Manusia Rambut Merah," gumam Prameswara
dalam hati.
Pemuda ini merasa harus menggunakan
akalnya agar dapat membujuk orang tua
yang nampak baru berumur lima puluh lima
tahunan itu untuk menjadi gurunya. Dia
sudah melihat ilmu yang sudah diperagakan
orang itu. Tapi bagaimanapun juga, Pra-
meswara harus mengujinya! Dia tidak ingin
hanya membuang-buang waktu kalau ternyata
orang ini berilmu rendah.
"Siapa pun yang berani melewati
daerah kekuasaanku harus modar!" dengus
lelaki yang memang berjuluk Manusia Ram-
but Merah garang. Tubuhnya yang tinggi
besar tahu-tahu berkelebatan cepat ke
ranting pohon tempat Prameswara berteng-
ger. Sedang tangannya yang berwarna merah
menyala telah melontarkan pukulan maut-
nya.
Wesss...!
Prakk!
Ranting pohon tempat Prameswara
berpijak hancur berantakan. Sebagian yang
lainnya layu! Untungnya, pemuda itu cepat
meloncat turun. Saat ini pikiran Prames-
wara mulai bekerja keras.
"Sabar, Orang Tua! Soal membunuhku
itu gampang. Tapi kedatanganku kemari,
justru ingin bertemu denganmu...," cegah
Prameswara santun.
"Jadi, kau menantangku?! Kau yang
membangunkan tapa pendemku, Bocah?" har-
dik Manusia Rambut Merah garang. Kedua
tangannya yang berwarna merah menyala
hingga ke lengan kembali menyambar-
nyambar tubuh Prameswara ganas.
Prameswara kewalahan bukan main da-
lam menghindari. Jangankan terkena puku-
lannya, terkena sambaran anginnya saja
Prameswara sudah merasakan hawa panas me-
nyengat kulitnya.
"Aku tidak bermaksud demikian,
Orang Tua. Terus terang, aku hanya ingin
melihat kebenaran desas-desus yang kuden-
gar di sepanjang perjalananku tentang ke-
hebatanmu, Orang Tua. Bukankah kau yang
berjuluk Manusia Rambut Merah?" oceh Pra-
meswara, mulai menjalankan siasatnya.
"Benar. Tapi itu bukan berarti aku
harus mengurungkan niatku untuk membunuh-
mu, Bocah!" hardik tokoh itu lagi garang.
"Aku tahu. Tapi percuma saja kalau
ingin membuktikan kehebatanmu padaku. Aku
hanyalah anak kemarin sore. Sudah pasti
akan kalah," sahut Prameswara merendah.
Manusia Rambut Merah gusar bukan
main dipanas-panasi seperti itu. Kedua
kakinya yang besar bergetar-getar. Demi-
kian pula tanah yang dipijaknya.
"Jadi, tokoh silat mana yang pantas
menjadi lawanku, Bocah?" kata Manusia
Rambut Merah gusar.
"Banyak. Tapi, bukan itu maksud ke-
datanganku, Orang Tua!"
"Bedebah! Kau mulai mempermainkan-
ku, Bocah?!"
"Tidak ada gunanya aku mempermain-
kanmu, Orang Tua. Aku percaya kehebatan-
mu. Untuk itu aku datang kemari. Maksudku
tidak lain ingin berguru padamu," tutur
Prameswara semakin mantap dengan renca-
nanya.
"Anjing kurap! Kau hanya memper-
mainkanku! Kau pikir gampang menjadi mu-
ridku?!"
Bukan main marahnya Manusia Rambut
Merah mendengar penuturan Prameswara. Ke-
dua kaki dan tangannya yang sudah lama
sekali tidak memakan korban terasa sudah
gatal-gatal ingin dilampiaskannya. Kemu-
dian dengan satu gerakan sebat, kembali
Manusia Rambut Merah menyerang Prameswa-
ra.
Nyali Prameswara tidak ciut. Sambil
berloncatan menghindari serangan, mulut
nya tak henti-hentinya mengejek.
"Heh?! Kau pikir aku pun gampang
menerimamu sebagai guruku, Orang Tua!
Jangan harap dengan kehebatanmu ini aku
mau menerima guru begitu saja!" kata Pra-
meswara sengaja memanas-manasi.
"Jahanam...! Sekarang katakan, sia-
pa gurumu?! Biar aku patahkan batang le-
hernya?!" dengus Manusia Rambut Merah pe-
nasaran bukan main.
"Tidak segampang itu, Orang Tua.
Ada syaratnya," tangkis Prameswara makin
membuat Manusia Rambut Merah penasaran.
Manusia Rambut Merah menghentikan
serangannya. Wajahnya kelam membesi den-
gan rahang bertonjolan.
"Katakanlah! Apa syaratmu, Bocah?!"
ujar Manusia Rambut Merah, keras.
"Tidak terlalu sulit sebenarnya.
Jika kau dapat membunuh guruku, aku hanya
ingin agar kau mengangkatku sebagai mu-
rid," sahut Prameswara penuh kemenangan.
"Anjing kurap! Babi gempul! Kau
hanya mempermainkanku, Bocah?!"
Bukan main marahnya Manusia Rambut
Merah. Kedua telapak tangannya yang ber-
warna merah menyala kembali dihantamkan.
Hebat bukan main serangan-serangan
Manusia Rambut Merah itu. Kalau saja Pra-
meswara tidak cepat membuang tubuhnya be-
berapa kali ke samping kanan, sudah pasti
terkena sambaran pukulan maut dari tangan
Manusia Rambut Merah. Dan melihat seran-
gan-serangannya dapat dihindari, Manusia
Rambut Merah makin penasaran saja.
"Bilang saja kau tidak berani,
Orang Tua! Pakai berdalih ingin membunuh-
ku segala! Jangankan membunuh guruku.
Menghadapi aku saja, kau masih kewala-
han," pancing Prameswara, makin membuat
Manusia Rambut Merah penasaran.
Padahal, Prameswara sendiri sudah
mengeluarkan keringat dingin menghadapi
serangan-serangan Manusia Rambut Merah
yang sangat ganas dan keji. Kalau saja
tokoh sesat itu tidak menghentikan seran-
gan-serangannya. mungkin dalam satu atau
dua jurus kemudian pemuda ini akan tewas.
Siasat menjual nama gurunya inilah satu-
satunya yang paling ampuh untuk mengobar-
kan amarah Manusia Rambut Merah.
"Jahanam...! Sekarang katakan siapa
nama gurumu, Bocah! Aku sudah gatal-gatal
ingin menghajar gurumu!" bentak Manusia
Rambut Merah, gusar bukan main.
"Tapi, kau mau menerima syaratku,
bukan?" tukas Prameswara senang
"Baik. Aku terima syaratmu!"
"Hm.... Kalau begitu...," Prameswa-
ra cepat memutar otaknya. "Sekarang begi-
ni saja. Kau tidak perlu repot-repot men-
datangi puncak Gunung Batu. Tapi sebaik-
nya tantang saja guruku di puncak Gunung
Merapi, tepat pada malam purnama bulan
ini. Apa kau menerimanya, Orang Tua?"
"Baik. Di mana pun tempatnya, aku
siap meladeninya. Tapi, siapa nama gurumu
itu?!" bentak Manusia Rambut Merah ber-
tanya penuh penasaran.
Prameswara tersenyum licik.
"Kau harus hati-hati kalau mengha-
dapi guruku nanti. Guruku bernama Mahesa,
atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar
Kujang Emas. Apa kau masih berani melan-
jutkan tantangan setelah kau tahu nama
besar guruku?"
"Jahanam! Jangankan Pendekar Kujang
Emas! Ditambah sepuluh orang seperti dia
pun aku tak akan mundur! Cepat sekarang
sampaikan tantanganku pada gurumu, Bo-
cah!"
"Baik! Sekarang juga aku akan pu-
lang ke Gunung Batu untuk menyampaikan
tantanganmu ini. Tapi, ingat! Kau tidak
boleh lupa dengan syarat yang telah kua-
jukan!"
"Baik. Apa pun syaratnya, bukan ma-
salah bagiku," geram Manusia Rambut Me-
rah, seakan-akan tidak sabar ingin segera
bertemu Pendekar Kujang Emas.
Prameswara tersenyum. Hatinya ter-
senyum penuh kemenangan, membayangkan Ma-
nusia Rambut Merah dapat memenangkan per-
tandingannya nanti. Dan dia berharap,
akan menemukan seorang guru yang tangguh
agar dapat menguasai dunia persilatan!
* * *
Puncak Gunung Batu berselimut awan
putih. Matahari yang baru saja menampak-
kan sinar keemasannya hangat memanasi le-
reng sebelah timur. Dari arah sebelah ti-
mur Prameswara tengah berlari kencang me-
nuju puncak. Gerakan kedua kakinya cepat
sekali, menandakan kalau ilmu meringankan
tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Sebenarnya perasaan pemuda ini ge-
lisah sekali. Memang ada sesuatu yang
mengganjal dirinya. Bagaimana dia akan
menceritakan pada gurunya kalau habis
bentrok dengan Manusia Rambut Merah, dan
apakah gurunya sudi menerima tantangan?
Pemuda ini memeras otaknya. Bagaimanapun
juga, rencananya harus berjalan lancar.
Kini Prameswara sudah tiba di pun-
cak Gunung Batu. Pemuda itu melihat Mahe-
sa yang berjuluk Pendekar Kujang Emas se-
dang bercakap-cakap dengan eyangnya, Pen-
dekar Pedang Kilat Buana. Segera Prames-
wara bersimpuh di hadapan kedua orang tua
itu.
"Guru...!"
Mahesa menautkan kedua alisnya.
"Prameswara? Kau sudah pulang? Apa
kau sudah menemukan Ratri?" tanya Mahesa
heran.
Prameswara menggelengkan kepala.
Lemah.
"Maaf, Guru! Aku belum menemukan-
nya."
"Lantas, mengapa pulang? Kulihat
kau gelisah sekali. Pakaianmu compang-
camping. Ada apa?"
Prameswara memperhatikan pakaiannya
yang compang-camping sebentar. Tadi sebe-
lum naik ke puncak Gunung Batu. dia sem-
pat merobek pakaiannya agar berkesan ha-
bis bertempur dengan seseorang.
"Begini, Guru. Aku malu sekali. Se-
seorang telah membuatku malu," lapor Pra-
meswara gugup namun tetap menjaga kesan-
tunannya.
"Maksudmu? Kau..., kau habis ber-
tempur dengan seseorang?" tebak Mahesa.
"Benar, Guru. Kepandaian orang itu
tinggi sekali. Aku tidak sanggup mengha-
dapinya," lapor Prameswara memelas.
"Hm...!"
Mahesa mengelus-elus janggutnya.
Seseorang yang dapat mengalahkan kepan-
daian muridnya, berarti kepandaian orang
itu sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
"Kepandaianmu memang sudah tinggi,
Prameswara. Tapi, kau juga harus sadar.
Di atas langit, masih ada langit. Jadi,
wajar saja kalau masih ada seseorang yang
mengalahkanmu, Muridku," lanjut Pendekar
Kujang Emas.
"Aku mengerti, Guru. Tapi, bukan
itu saja persoalan yang sebenarnya,
Guru," sahut Prameswara mulai menjalankan
siasatnya. "Untuk itulah aku pulang mene-
mui Guru."
"Maksudmu...?"
"Orang itu telah menantang Guru,
nanti pada malam purnama bulan ini," je-
las Prameswara.
Mahesa terperanjat dari tempat du-
duknya. Pandangan matanya sempat melirik
ke arah eyangnya, Pendekar Pedang Kilat
Buana yang lebih banyak diam mendengar-
kan.
Melihat itu Prameswara diam-diam
jadi menyesal.
"Mengapa aku tidak meminta barang
satu atau dua jurus pada Eyang Guru?!"
pikir Prameswara. "Tapi, tidak! Eyang
Guru pernah bersumpah tidak ingin mempu-
nyai murid lagi. Dan aku dulu juga pernah
membujuknya untuk menurunkan ilmu-ilmu
andalannya padaku. Dan dia tidak mau."
Prameswara menghela napas sesak se-
kali. Kalau saja Eyang Guru mau menurun-
kan ilmunya padanya, belum tentu dia mem-
punyai niat sejahat itu.
"Siapa nama orang itu, Prameswara?"
tanya Mahesa akhirnya.
"Aku tidak tahu, Guru. Tapi, aku
masih ingat ciri-cirinya. Orang itu ting-
gi besar berpakaian serba merah. Rambut-
nya pun juga berwarna merah, Guru," jelas
Prameswara.
"Hm...! Manusia Rambut Merah...,"
gumam Mahesa.
"Jadi, Guru sudah mengenalnya?"
"Belum. Aku hanya pernah mendengar
tokoh itu. Konon, kepandaiannya tinggi
sekali. Tapi, bukankah sudah lama sekali
menghilang dari dunia persilatan?" tukas
Mahesa, entah ditujukan pada siapa.
Prameswara diam membisu.
"Dia memang sudah lama sekali meng-
hilang dari dunia persilatan, Muridku.
Tapi, bisa jadi muncul kembali di dunia
persilatan untuk menebar dosa," sela Pen-
dekar Pedang Kilat Buana, membuka sua-
ranya.
"Benar, Eyang. Seandainya yang
Eyang katakan benar, dunia persilatan
pasti akan gempar," kata Mahesa pada
eyangnya.
"Benar!" sambut Pendekar Pedang Ki-
lat Buana singkat. "Tapi, bagaimana den-
gan tantangannya? Apa kau akan menerima,
Muridku?"
"Itulah yang sedang aku pikirkan,
Eyang," desah Mahesa. "Apa Eyang mengi-
zinkanku menerima tantangannya?"
Pendekar Pedang Kilat Buana yang
sudah sangat tua menghela napas panjang-
nya. Jenggotnya yang panjang memutih di-
elus-elus dengan tangan kanan.
"Sebagai seorang pendekar, pantang
tidak menerima tantangan seseorang."
"Jadi, Eyang mengizinkanku menerima
tantangan itu?" tanya Mahesa.
"Begitulah...."
"Baik!"
Mahesa menggeretakkan gerahamnya.
Pandangan matanya kali ini kembali ditu-
jukan pada muridnya.
"Lantas, di mana aku harus menerima
tantangannya, Muridku?" tanya Mahesa pada
Prameswara.
"Dia..., dia menantang Guru untuk
bertanding di puncak Gunung Merapi pada
malam purnama bulan ini Guru."
"Baik. Kuterima tantangannya!"
***
Udara dingin menusuk puncak Gunung
Merapi. Alam disekitarnya seolah mati
terbawa suasana tegang. Cahaya bulan yang
bersinar purnama cukup menerangi puncak-
nya. Sinarnya yang berwarna keperakan,
menimpa dua raut wajah dua orang laki-
laki tua yang berdiri saling berhadap-
hadapan siap menyabung nyawa.
Yang satu berpakaian serba merah
dengan rambut berwarna merah menyala. Di-
alah yang terkenal sebagai Manusia Rambut
Merah. Sedang di hadapannya adalah seo-
rang laki-laki berusia sekitar empat pu-
luh lima tahun dengan pakaian berwarna
biru-biru. Wajahnya yang berbentuk segi
empat masih menampakkan sisa-sisa ketam-
panannya di waktu muda. Orang ini tak
lain Mahesa alias Pendekar Kujang Emas.
Dan sesuai julukannya, orang ini pun
menggenggam sebilah kujang yang memantul-
kan sinar keemasan.
"Di antara kita tidak ada silang
sengketa. Mengapa kau menantangku berta-
rung?" tanya Mahesa kalem. Sama sekali
tidak gentar menghadapi tantangan itu.
"Betul! Di antara kita memang tidak
ada silang sengketa. Tapi, aku penasaran
mendengar nama besarmu. Apa kau takut me-
nerima tantanganku?" balas Manusia Rambut
Merah, bernada mengejek.
"Aku tidak pernah takut menerima
tantangan siapa pun. Hanya aku heran,
mengapa kau menantangku? Untuk apa?!"
tanya Mahesa lagi, kalem.
"Tidak untuk apa-apa. Yang penting
sekarang, cepat kita bertarung sampai ada
yang mampus. Kau atau aku!" dengus Manu-
sia Rambut Merah garang.
"Baik! Lakukanlah! Kau yang menan-
tangku. Kau pula yang memulainya!" sambut
Mahesa.
"Bagus! Bersiap-siaplah menerima
kematianmu, Pendekar! Aku tidak ingin
bersilat lidah denganmu. Hiyaaat...!"
Sehabis berkata begitu, Manusia
Rambut Merah langsung menyerang Mahesa
dengan senjatanya yang berupa cambuk.
Tarrr! Tarrr!
Hebat sekali serangan Manusia Ram-
but Merah dipadu gerakan kaki dan tangan-
nya yang cepat sekali. Mahesa cepat putar
kujangnya, memapak serangan. Dan dalam
sekejap saja kedua orang itu telah ber-
tempur hebat dengan jurus-jurus andalan.
Kini yang terlihat hanya bayangan merah
dan biru yang berkelebat. Kadang saling
bertemu, dan kadang terpisah beberapa
tombak.
Prameswara sendiri yang diam-diam
menyaksikan pertarungan hidup mati antara
gurunya dengan Manusia Rambut Merah, sam-
pai berdecak kagum beberapa kali. Dan di-
am-diam pula dia memuji kehebatan Manusia
Rambut Merah. Perlahan namun pasti, tokoh
sesat itu berhasil mendesak Mahesa. Gu-
lungan-gulungan cambuk hitamnya terus me-
maksa sinar kuning yang berpendar-pendar
di tangan Mahesa untuk terus bertahan.
"Hyaaa!"
Mahesa cepat putar kujangnya me-
nangkis serangan Manusia Rambut Merah.
Kemudian dalam sekejap saja, Pendekar Ku-
jang Emas telah memainkan jurus maut Pen-
dekar Pedang Kilat Buana. Akibatnya,
sungguh hebat bukan main. Tubuh Manusia
Rambut Merah terpaksa harus berjumpalitan
di udara. Bahkan pada jurus ke sebelas
tadi, hampir saja tubuhnya terkena samba-
ran kujang di tangan Mahesa.
"Gerrr!"
Manusia Rambut Merah menggeram ma-
rah. Cambuknya cepat dilipat di balik
pinggangnya. Sementara Pendekar Kujang
Emas sendiri keheranan melihat lelaki itu
tidak menggunakan senjatanya.
Namun dalam beberapa kejap kemu-
dian, tubuh Manusia Rambut Merah berputar
cepat seperti gasing. Dan anehnya lagi,
tempat berpijaknya berhamburan menyerang
Mahesa seperti hendak menguruk.
Kini Pendekar Kujang Emas benar-
benar dibuat bingung bukan main. Entah
dengan menggunakan ilmu apa, tahu-tahu
tubuh tinggi besar Manusia Rambut Merah
melesak ke dalam tanah.
Belum sempat kekagetan Mahesa hi-
lang, tahu-tahu gundukan pasir di hada-
pannya bergerak cepat mendekatinya. Kemu-
dian kedua kakinya terasa seperti terbe-
tot ke dalam tanah.
"Ah...!"
Bukan main kagetnya Pendekar Kujang
Emas mendapati ilmu yang dikeluarkan Ma-
nusia Rambut Merah. Dia memang pernah
mendengar ilmu 'Amblas Bumi" seperti yang
dilakukan Manusia Rambut Merah. Namun ba-
ru kali ini melihatnya. Seketika itu juga
tubuh laki-laki setengah baya ini menge-
luarkan keringat dingin. Betotan di kedua
kakinya begitu kuat.
"Hiih...!"
Mahesa tak sempat berpikir panjang
lagi. Dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, Pendekar Kujang Emas berhasil me-
lepaskan diri dari betotan Manusia Rambut
Merah.
"Hyaaat...!"
Bersamaan teriakan Mahesa yang mem-
bahana, tiba-tiba saja tanah tempatnya
berpijak membuncah ke udara. Tampak seso-
sok tubuh tinggi besar keluar dari dalam
tanah. Dan tanpa diduga, tahu-tahu Manu-
sia Rambut Merah telah melontarkan puku-
lan maut ke tubuh Pendekar Kujang Emas.
"Pukulan 'Kelabang Geni'!"
Mahesa tersentak kaget melihat se-
leret sinar merah melesat dari kedua te-
lapak tangan Manusia Rambut Merah. Cepat
dipapaknya serangan Manusia Rambut Merah
dengan pukulan andalannya, 'Cahaya Kilat
Biru'.
Blarrr...!
Terdengar benturan dua tenaga dalam
di udara. Akibatnya sungguh hebat. Tanah
di sekitar pertarungan bergetar hebat.
Tumbuh-tumbuhan dalam jarak sepuluh meter
langsung layu! Sedang tubuh Manusia Ram-
but Merah bergetar hebat. Sementara, tu-
buh Mahesa terlempar beberapa tombak ke
belakang, pertanda tenaga dalamnya kalah
satu atau dua tingkat,
"Huaaah...!"
Mahesa muntahkan darah segar. Wa-
jahnya kontan pucat pasi.
"He he he...! Kau harus merasakan
pukulan 'Kelabang Geni'ku, Pendekar?"
ejek Manusia Rambut Merah. "Sekarang te-
rimalah kematianmu! Hiyaaat...!"
Kembali seleret sinar merah melun-
cur, begitu kedua telapak tangan Manusia
Rambut Merah menghentak.
Pendekar Kujang Emas tidak berani
bertindak ayal-ayalan untuk memapak se-
rangan. Apalagi benturan tenaga dalam ta-
di sudah membuktikan kalau tenaga dalam-
nya kalah satu atau dua tingkat. Maka ce-
pat tubuhnya melenting menghindari puku-
lan yang mengandung hawa panas. Dan saat
tubuhnya melayang di udara, Mahesa cepat
meluncur tajam. Kujangnya diputar-putar
mengancam ubun-ubun kepala Manusia Rambut
Merah.
Hebat sekali serangan Mahesa ini.
Tetapi sayangnya, Manusia Rambut Merah
bukanlah tokoh silat kemarin sore. Dia
sudah cukup berpengalaman malang melin-
tang di dunia persilatan. Maka begitu ma-
ta ujung kujang di tangan Pendekar Kujang
Emas mendekati kepalanya, cambuknya cepat
dicabut kembali. Langsung ditangkisnya
serangan kujang dengan cambuk yang tiba-
tiba saja berubah keras seperti lempengan
baja.
Cring!
Bunga api berpijar dengan bunyi
mendenting yang mengiringi. Tangan Manu-
sia Rambut Merah terasa kesemutan. Se-
dangkan tubuh Mahesa bergetar hebat. Sial
sekali nasib Pendekar Kujang Emas. Semula
dia bermaksud menghindari benturan tenaga
dalam dengan Manusia Rambut Merah. Tapi
kini malah kembali mengalami kejadian se-
rupa. Dan di saat tubuhnya bergetar hebat
Manusia Rambut Merah kembali menyerang
dengan pukulan 'Kelabang Geni'nya.
"Hyaaat...!"
Mahesa cepat berjumpalitan ke uda-
ra. Tubuhnya yang tadi terkena sambaran
pukulan Manusia Rambut Merah tadi terasa
nyeri bukan main. Pendekar Kujang Emas
sadar kalau dirinya mulai terpengaruh ha-
wa racun akibat pukulan lawannya. Dan ini
tentu saja menghambat gerakannya.
"Ha ha ha...! Kau terluka, Pende-
kar? Apa kau tidak mau mengakui keheba-
tanku?" ejek Manusia Rambut Merah.
Mahesa menggeretakkan gerahamnya.
Gerakan kujang di tangan kanannya makin
dipercepat. Namun tetap saja sia-sia. Ge-
rakannya tidak lagi selincah tadi. Dan
kesempatan ini segera dimanfaatkan Manu-
sia Rambut Merah. Pada satu kesempatan
yang tidak mungkin dihindari Mahesa, Ma-
nusia Rambut Merah menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Dan....
Duk!
"Augh...!"
Mahesa memekik nyeri begitu tubuh-
nya terhantam pukulan telak Manusia Ram-
but Merah. Tubuhnya yang tinggi terlempar
beberapa tombak ke belakang. Wajahnya pu-
cat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat.
Dari mulutnya keluar darah segar kehitam-
hitaman. Dan beberapa saat kemudian tubuh
Mahesa pun mengejang, lalu diam dan tak
berkutik lagi. Mati!
Manusia Rambut Merah tertawa terba-
hak-bahak. Suaranya menggema ke segenap
penjuru.
"Bagus! Kau memang hebat, Orang
Tua!" Prameswara bertepuk tangan menyam-
but kemenangan Manusia Rambut Merah.
"Tak sia-sia aku mempunyai calon
sepertimu, Orang Tua!"
"Ha ha ha...! Sekarang baru kau li-
hat kehebatanku, ya!" kata Manusia Rambut
Merah, jumawa. "Benar, Guru."
"Heh?!" dengus Manusia Rambut Me-
rah. "Jangan seenaknya memanggilku
'guru', Bocah. Ada syaratnya?"
Prameswara gusar bukan main, takut
Manusia Rambut Merah akan mengingkari
janji. Karena bukan mustahil orang sesat
macam dia mengingkari janji.
"Apa syaratnya, Guru?" tanya Pra-
meswara berharap-harap cemas.
"Carikan aku empat puluh perawan
yang masih suci, baru kau kuanggap murid
ku!" ujar Manusia Rambut Merah, kemudian
disusul suara tawanya yang lantang.
"Baik, Guru! Baik!"
7
Pagi menjelang. Kicau burung jalak
yang mulai keluar dari sarang untuk men-
cari makan meramaikan sua-sana pagi. Ki-
caunya merdu, saling bersahutan satu den-
gan yang lain. Sementara matahari perla-
han bergerak pada garis edarnya.
Soma yang tertidur pulas di balik
batu besar mengerjap-ngerjapkan matanya
pedih ketika sinar matahari tepat menyi-
nari wajahnya.
"Busyet! Mati apa tidur, aku ini?!"
gerutu Soma.
Pemuda ini cepat meloncat bangun.
Badannya terasa segar sudah setelah ham-
pir semalam beristirahat panjang. Kemu-
dian dengan bermalas-malasan dia mengge-
liat.
"Huaaahhh!"
Ingin sebenarnya Soma meneruskan
tidurnya kalau saja tidak teringat tugas
di pundaknya. Sejenak pandangan matanya
beredar ke segenap penjuru. Tidak menemu-
kan apa-apa. Hanya hamparan pasir dan ba-
tu besar kecil yang memenuhi puncak Gu-
nung Batu.
Soma meloncat ke atas batu sebesar
kerbau. Pandangan matanya kembali menelu-
suri sekitar tempat itu. Tetap saja tidak
ditemukan apa-apa, selain hamparan pasir
dan bebatuan besar kecil. Pemuda ini ti-
dak putus asa. Dia terus mencari kebera-
daan Mahesa dan gurunya, Pendekar Pedang
Kilat Buana.
"Kau mencari siapa, Anak Muda?!"
Tiba-tiba terdengar teguran lembut
dari belakang.
Soma cepat berbalik. Tampak kini di
hadapannya berdiri seorang lelaki tua
renta berpakaian serba putih, tengah me-
mandang curiga. Usianya sulit sekali di-
tafsirkan. Rambutnya panjang memutih. De-
mikian juga jenggotnya yang panjang.
Dahi Soma berkernyit. Dia memang
belum begitu mengenali ciri-ciri ayahnya.
Eyang Begawan Kamasetyo dan Ratri,
ibunya, hanya mengatakan kalau ayahnya
bernama Mahesa. Atau lebih terkenal seba-
gai Pendekar Kujang Emas yang tinggal di
puncak Gunung Batu. Itu saja! Keterangan
berikutnya Soma tidak begitu memahaminya.
"Inikah ayahku? Kok, sudah tua se-
kali?" gumam Soma sambil menggaruk-garuk
kepala. "Tapi, bukan mustahil kalau orang
tua inilah ayahku. Sebab Begawan Kama-
setyo pun sudah sangat tua. Bisa jadi
orang tua inilah ayahku?" pikir Soma ke-
bingungan.
"Hm...! Anu, Orang Tua! Aku..., aku
mau tanya. Benarkah ini puncak Gunung Ba-
tu?" tanya Soma hati-hati.
"Seperti yang kau lihat, Anak Muda.
Di sini bayak bebatuan, sesuai namanya.
Ada apa? Nampaknya kau sedang mencari se-
suatu?" tukas orang tua bertubuh tinggi
kurus itu tetap lembut.
"Benar! Benar sekali, Orang Tua!
Aku memang sedang mencari seseorang. Apa
kau bisa membantuku?" sorak Soma kegiran-
gan.
"Aku belum bisa mengatakan iya, ka-
lau kau belum mengatakannya, Anak Muda,"
kata orang tua itu kalem.
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik
sekali. Aku jauh-jauh datang kemari tidak
lain hanya ingin mencari ayahku. Menurut
keterangan ibuku, ayahku bernama Mahesa.
Atau lebih terkenal sebagai Pendekar Ku-
jang Emas. Apa kau mengenalnya, Orang
Tua?" jelas Soma.
"Anak muda...! Ja..., jadi? Kau
anak Mahesa?"
Orang tua berpakaian serba putih
yang tidak lain Pendekar Pedang Kilat Bu-
ana terperanjat kaget.
"Ada apa, Orang Tua? Mengapa kau
pandangi aku seperti melihat iblis berku-
mis?! Ada apa?!" tanya Soma seenak ha-
tinya.
Pendekar Pedang Kilat Buana tidak
menanggapi ocehan Soma. Kini dia sudah
dapat tersenyum kenakalan Soma.
"Kau tadi bilang anak Mahesa, Anak
Muda? Apa kau anak Ratri? Cucu Adi Bega-
wan Kamasetyo?"
"Hey?! Bagaimana kau bisa mengenali
ibu dan eyangku, Orang Tua?" tanya Soma
terperanjat kaget. "Ah...! Jangan-jangan,
kau ini tukang nujum atau tukang ramal,
ya? Iya?!"
"Hush! Aku bukan tukang nujum atau
tukang ramal. Aku Ki Ageng Banaran, gu-
runya ayahmu."
Kali ini Soma benar-benar dibuat
terkejut bukan kepalang. Matanya yang
agak kebiru-biruan membelalak lebar.
"Ya, ampun! Ibu pasti akan marah
besar kalau aku tidak bersikap hormat pa-
damu, Orang Tua!" Soma menepuk jidatnya
sendiri. "Maafkan aku, Orang Tua! Ah...!,
Bagaimana, ya, aku harus memanggilmu?"
Ki Ageng Banaran tersenyum.
"Panggil saja aku Eyang, Anak Mu-
da!"
"Terima kasih. Tapi, kau juga tidak
boleh memanggilku anak muda lagi, Eyang!
Namaku Soma," ucap Soma mulai kambuh pe-
nyakitnya.
"Ya, ya, ya...! Pasti Eyang akan
memanggilmu Soma. Nah! Sekarang, cerita-
kan bagaimana kabar ibu dan eyangmu! Apa
mereka baik-baik saja?"
"Curang! Curang! Eyang curang!
Eyang sendiri belum mau bercerita, menga-
pa Eyang harus menyuruhku bercerita ter-
lebih dahulu?" tukas Soma bersungut-
sungut.
"Baik! Baik! Sekarang apa yang in-
gin kau tanyakan, Soma?" tanya Ki Ageng
Banaran mengalah.
"Nah, begitu dong! Itu baru namanya
eyangku!" goda Soma. "Sekarang, tolong
katakan di mana Ayah, Eyang? Itu saja!"
Ki Ageng Banaran menghela napas
panjang. Dia sudah menduga kalau Soma me-
nanyakan hal itu.
"Ayo duduk dulu, Cucuku! Nanti
Eyang ceritakan di mana ayahmu berada."
Ki Ageng Banaran meraih bahu Soma.
Diajaknya pemuda itu duduk di sebuah
bongkahan batu besar.
"Ketahuilah, Cucuku! Sesungguhnya
ayahmu sudah lama mati. Seseorang yang
mengaku bernama Manusia Rambut Merah te-
lah membunuhnya di puncak Gunung Merapi,"
jelas Ki Ageng Banaran, melanjutkan.
"Manusia Rambut Merah?!" ulang So-
ma.
"Benar, Cucuku."
"Oh...!"
Soma mengeluh sedih. Sikap nakalnya
seketika hilang. Dan tanpa sadar lengan
Ki Ageng Banaran dipegangi erat-erat. Wa-
jahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar
getar hebat menahan pukulan batinnya yang
tiba-tiba.
"Aku harus membuat perhitungan den-
gan Manusia Rambut Merah! Aku harus me-
nuntut balas! Aku harus menuntut ba-
las...!" geram Soma penuh kemarahan.
"Tapi, cobalah selidiki Prameswara!
Barangkali dia tahu sebab musababnya ten-
tang kematian ayahmu itu," ujar Pendekar
Pedang Kilat Buana lagi.
"Siapa Prameswara itu, Eyang?"
tanya Soma ingin tahu.
"Prameswara adalah murid, sekaligus
anak angkat Mahesa, Cucuku. Tapi, sejak
Mahesa melayani tantangan Manusia Rambut
Merah, dia tidak muncul lagi kemari."
Soma mengangguk-angguk. Hatinya
saat itu rusuh sekali. Kerinduannya untuk
bertemu ayahnya sirna, berganti amarah
membuncah! Hanya ada satu keinginan dalam
diri Soma. Membalas dendam!
***
Hutan Randu Blatung adalah salah
satu daerah kekuasaan Manusia Rambut Me-
rah. Letaknya, tidak begitu berjauhan
dengan Hutan Sawo Kembar tempatnya bermu-
kim. Sesuai namanya, hutan ini memang ba-
nyak ditumbuhi pohon randu. Konon, dulu
di tengah hutan itu terdapat sebuah pohon
randu raksasa yang banyak sekali dihuni
blatung. Sehingga hutan itu diberi nama
Hutan Randu Blatung.
Pada akhir-akhir ini, sejak Manusia
Rambut Merah muncul kembali ke dunia per-
silatan, hampir tidak ada seorang pendu-
duk desa pun yang berani masuk ke dalam
hutan itu. Pernah ada beberapa orang kam-
pung yang nekat masuk ke dalam hutan un-
tuk mencari kayu bakar, namun anehnya ti-
dak pernah pulang lagi ke desanya. Bahkan
akhir-akhir ini kegelisahan penduduk di
sekitar Hutan Randu Blatung makin bertam-
bah. Seseorang yang mengaku utusan Manu-
sia Rambut Merah sering menyambangi kam-
pung-kampung di sekitarnya untuk menculik
gadis-gadis cantik.
Orang yang mengaku utusan Manusia
Rambut Merah itu masih muda. Menurut ke-
terangan beberapa orang penduduk yang
pernah melihat, orang itu berwajah tam-
pan. Pakaiannya seperti pakaian seorang
terpelajar saat itu. Sepak terjangnya pun
menggiriskan. Tidak peduli siang maupun
malam. Layaknya seperti setan saja, pemu-
da itu datang dan pergi begitu saja. Dan
kepergian orang itu selalu ditandai jeri-
tan seorang gadis dalam pondongan.
Siang ini matahari di luar Hutan
Randu Blatung panas menyengat bumi. Musim
kemarau yang berkepanjangan menyebabkan
tanah di sekitar hutan merekah. Pohon-
pohon di sekitarnya pun mengering. Hampa
ran sawah yang membentang di luar Desa
Wonodadi tak dapat lagi diandalkan hasil-
nya. Pohon-pohon padi yang sudah mengun-
ing rusak dimakan tikus. Menyedihkan se-
kali nasib penduduk desa yang terancam
paceklik itu. Belum lagi menghadapi pen-
deritaan yang datangnya dari utusan Manu-
sia Rambut Merah!
Dan dalam terpaan angin lembut
siang itu, seorang pemuda gondrong berpa-
kaian rompi dan celana bersisik1 warna
putih keperakan tengah melangkah santai
masuk ke Desa Wonodadi. Sebuah rajahan
bergambar ular putih di dada kanannya
nampak terlihat nyata dari rompinya yang
terkuak tanpa kancing. Dan sambil ber-
siul-siul kecil, kakinya terus melangkah
masuk ke desa itu. Entah, lagu apa yang
dinyanyikan. Yang jelas pemuda tampan
yang tidak lain Soma nampak riang sekali.
"Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyar-
ing yang datangnya dari arah luar desa.
Dan bersamaan dengan teriakan, dari balik
rindangnya pepohonan di luar desa segera
bermunculan beberapa orang penduduk desa
menghadang perjalanan Soma dengan senjata
apa pun.
Soma menautkan kedua alisnya tajam.
"Ada apa ini? Mengapa kalian meng-
hadangku?" tanya Soma heran.
"Jangan banyak bacot! Kau pasti
orangnya! Kau pasti orang yang mengaku
utusan Manusia Rambut Merah!" hardik
orang yang membentak tadi, garang.
Orang itu tinggi kurus berpakaian
seperti seorang pemuda desa. Rambutnya
yang panjang memutih digelung ke atas.
Wajahnya yang sebenarnya ramah, terlihat
garang. Sedang di sampingnya, berdiri
seorang gadis cantik berpakaian merah.
Dari sikapnya jelas, kalau gadis itu tak
bisa dianggap sembarangan. Umurnya seki-
tar delapan belas tahun. Dan gadis cantik
yang telah memegang pedangnya terus me-
mandangi Soma. Demikian pula beberapa
orang penduduk kampung yang berdiri di
belakangnya.
"Aku? Aku utusan Manusia Rambut Me-
rah?" tukas Soma sambil menunjuk dadanya
sendiri. "Ah...! Kalian ini bagaimana
sih? Jangan-jangan kalian ini sedang men-
gigau ya? Tapi masa' sih, mengigau ramai-
ramai begini?"
Sehabis berkata begitu, Soma terse-
nyum-senyum sendiri mirip orang kurang
waras.
"Bocah edan! Jangan seenak udelmu
mengumbar suara! Mengaku sajalah kalau
kau utusan Manusia Rambut Merah?!" bentak
gadis cantik berbaju merah ikut-ikutan
garang.
"Nona Pendekar ini betul. Sebaiknya
kau mengaku saja! Jangan mungkir! Kaulah
yang menculik dan memperkosa gadis-gadis
desa ini?!" lanjut yang lain.
Soma garuk-garuk kepala.
"Aduuuh...! Pantesan tadi malam aku
mimpi dikejar-kejar orang gila. Eh...,
tak tahunya memang benar mimpiku itu,"
oceh Soma lagi-lagi.
"Apa kau bilang? Kau mengatakan ka-
lau kami ini orang-orang gila?!" hardik
gadis cantik berbaju merah mulai kehabi-
san kesabaran.
"Ah...! Siapa bilang begitu? Aku
hanya bilang, aku tadi mimpi!" jawab Soma
enteng. "Kau jangan terlalu perasa
dong?!"
"Setan! Buat apa meladeni omongan
bocah sinting ini, Ki Lurah! Kita cincang
saja bocah ini ramai-ramai, biar tidak
mengganggu ketenangan desa!" ujar salah
seorang penduduk desa yang memegang golok
besar, tak sabar.
"Benar, Ki Lurah! Tunggu apa lagi?
Kita cincang saja bocah ini!" sahut yang
lain penuh kemarahan.
"Setuju, Ki Lurah. Kita cincang sa-
ja bocah ini...!" sahut penduduk kampung
yang lain kompak.
"Wah, wah, wah...! Ini namanya pe-
merkosaan hak! Tidak bagus! Tidak bagus!"
khotbah Soma, sok tahu. Tapi otaknya yang
cerdik cepat mencium sesuatu yang tidak
beres di batik semua ini.
"Serang,..!"
Terdengar teriakan bernada memerin-
tah. Seketika itu juga penduduk kampung
yang sudah kalap menyerang Soma dengan
senjata di tangan.
Soma menggeretakkan gerahamnya kes-
al. Dan sambil berloncatan ke sana kemari
menghindari serangan-serangan, tak henti-
hentinya mulut Soma mengoceh.
"Kasihan sekali kalian ini! Apa ka-
lian sudah mulai kemasukkan setan hutan
ini, ya? Mengapa kalian liar begini?"
"Jangan banyak bacot! Terima saja
kematianmu hari ini, Bocah Edan!" teriak
gadis berbaju merah gusar bukan main. Dan
gadis ini merasa paling kesal, melihat
serangannya dapat dihindarkan Soma dengan
mudah. Padahal jurus-jurus andalan sudah
dikeluarkan.
"Nona manis! Mengapa kau jadi ikut-
ikutan latah seperti mereka? Apa kau ha-
bis putus cinta, ya? Iya?! Pantesan...!"
ejek Soma.
"Bedebah! Belum puas aku kalau be-
lum merobek-robek mulutmu, Bocah!" pekik
gadis cantik berbaju merah penuh kemara-
han. Cepat diterjangnya Soma. Tangan ka-
nannya yang memegang pedang ditusukkan ke
arah dada. Sementara tangan sebelah kiri
siap mengirimkan pukulan maut.
Soma cepat berjumpalitan menghinda-
ri serangan-serangan, terutama sekali se
rangan gadis cantik berbaju merah yang
tidak bisa dianggap enteng. Dengan meng-
gunakan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkat tinggi, semua se-
rangan dapat dihindari dengan mudah.
"Nona manis! Dari tadi kau memakiku
'bocah-bocah' melulu. Apa kau pikir aku
ini anakmu? Tapi, tak apa-apalah! Aku se-
nang kok menjadi anakmu. Apalagi menjadi
anak dari gadis secantikmu. He he he...!"
goda Soma. "Ayo, dong! Katanya belum puas
kalau belum mencium mulutku. He he
he...!"
Bukan main marahnya gadis cantik
berbaju merah itu mendengar godaan Soma.
Tangan kirinya yang berubah menjadi hijau
sampai ke pangkal lengan siap dipukulkan.
"Ih...! Mengerikan! Kau sudah mulai
main-main dengan pukulan maut segala. Ibu
macam apaan ini!" celoteh Soma, tak hen-
ti-hentinya.
Melihat ketangguhan pemuda yang di-
keroyoknya, orang yang tadi dipanggil Ki
Lurah segera mengisyaratkan penduduk kam-
pung untuk mundur, namun tetap dalam kea-
daan mengurung.
Melihat hal ini, kening Soma ber-
kernyit.
"Mau apa mereka? Kok mundur semua?
Apa sudah takut menghadapiku?" gumam So-
ma.
"Pasukan pemanah! Siap laksanakan
tugas! Cincang tubuh bocah itu sampai lu-
mat!" teriak Ki Lurah memerintah.
Puluhan penduduk kampung dengan bu-
sur panah di tangan segera bermunculan
dari balik semak dalam jarak dua puluh
tombak dari Soma.
Pemuda ini terkejut bukan main. Na-
mun diam-diam dia memuji siasat perang
yang telah diterapkan Ki Lurah.
"Alamak! Mati aku! Mengapa kau de-
mikian keji padaku, Ki Lurah. Sumpah mam-
pus aku bukan utusan Manusia Rambut Me-
rah!" teriak Soma kebingungan.
Bukannya Soma bingung menghadapi
serangan anak panah dari beberapa orang
penduduk kampung, melainkan bingung meli-
hat kekalapan mereka. Dan begitu aba-aba
serang keluar dari mulut Ki Lurah, pulu-
han anak panah di tangan para penduduk
kampung segera melesat, siap mencincang
tubuh Soma.
Set! Set!
Tak! Tak!
Begitu pemuda ini mengibaskan tan-
gan kanan. Maka puluhan anak panah pun
jatuh berserakan di tanah. Sebenarnya mu-
dah saja bagi Soma untuk melumpuhkan me-
reka kalau memang punya niat jahat. Namun
justru karena tidak ingin melukai orang
lemah, membuatnya kebingungan sendiri
menghadapi kekalapan mereka. Dan sekarang
sudah saatnya bagi pemuda ini untuk me
nyadarkan mereka dari kekalapan.
Berpikir demikian, Soma pun cepat
bertindak sebelum puluhan anak panah pen-
duduk kampung kembali menyerang. Tubuhnya
seketika berkelebat cepat. Dengan gerakan
tangan yang sulit diikuti pandangan mata
penduduk kampung, Soma cepat menotok tu-
buh gadis cantik berbaju merah yang kebe-
tulan paling dekat dengannya. Dan....
Tuk!
"Ahh...!"
Jari-jari tangan kanan Soma tepat
menotok jalan darah di punggung gadis
itu. Maka tanpa ampun lagi, tubuh gadis
berbaju merah langsung roboh. Untungnya
cepat disambar tubuh gadis itu hingga ti-
dak jatuh ke tanah.
"Maafkan aku, Ibu! Bukan maksudku
lancang padamu. Tapi, jangan melotot be-
gitu, dong! Nanti aku carikan kayu bakar.
Tenang-tenang saja, ya! Pokoknya Ibu ma-
sak saja yang enak. Jangan terlalu pedas,
jangan terlalu manis, ya?!" kata Soma,
menggoda.
Ki Lurah dan beberapa orang pendu-
duk kampung yang ada di tempat itu jadi
kalang kabut melihat gadis penolong mere-
ka yang bisa diharapkan bantuannya berada
dalam cengkeraman Soma.
"Serang bocah keparat itu! Tapi,
jangan sampai melukai gadis itu!" perin-
tah Ki Lurah penuh kemarahan.
"Tunggu, Ki Lurah! Soal serang-
menyerang gampang. Tapi, apa Ki Lurah ti-
dak pernah berpikir, mengapa aku tidak
melarikan gadis ini? Padahal, gampang sa-
ja kalau aku mau," cegah Soma bermaksud
mempengaruhi Ki Lurah.
"Omong kosong! Apa kau tidak lihat
penduduk kampung yang sudah mengepungmu,
he?! Mereka semua siap merajam tubuhmu,
tahu?!" bentak salah seorang penduduk
kampung menyahuti.
Soma menggaruk-garuk kepala, persis
orang kehilangan akal.
"Bagaimana, Ki Lurah? Apa kau per-
caya pada keteranganku tadi atau keteran-
gan pendudukmu?"
Ki Lurah bukanlah orang bodoh. Dulu
sebelum menjabat sebagai lurah, dia juga
seorang tokoh persilatan. Dan melihat se-
pak terjang pemuda yang dicurigainya se-
bagai penculik, pikirannya jadi lain.
"Hm...! Apa yang dikatakan pemuda
ini benar. Kalau dia mau, bukanlah hal
yang sulit untuk melarikan Ratih dari ke-
pungan. Buktinya saja, meski aku dibantu
beberapa orang penduduk kampung, tetap
saja belum bisa meringkusnya. Malah seka-
rang, Ratih berada dalam tawanannya," gu-
mam Ki Lurah dalam hati.
"Bagaimana, Ki? Jangan diam mema-
tung saja! Aku ngeri melihat panah-panah
di tangan penduduk kampungmu, Ki. Aku ta
kut, Ki. Aku masih ingin hidup. Aku juga
masih doyan makan nasi tempe, Ki!" oceh
Soma seolah-olah takut melihat beberapa
orang penduduk kampung siap merajam tu-
buhnya.
Mau tidak mau Ki Lurah yang sedang
kebingungan tersenyum juga melihat ting-
kah Soma yang ugal-ugalan. Namun dia juga
tidak gampang percaya mendengar keteran-
gan Soma.
"Menurut keterangan salah seorang
penduduk, orang yang membuat keonaran
adalah seorang pemuda berwajah tampan.
Rambutnya hitam panjang digelung sebagian
ke belakang. Pakaiannya rapi sekali, se-
perti pakaian terpelajar saat ini. Namun
sikapnya tidak ugal-ugalan seperti pemuda
ini. Juga, tidak memiliki rajahan bergam-
bar ular putih di dada kanannya?" pikir
Ki Lurah dalam hati.
"Bagaimana, Ki? Kok, malah diam sa-
ja?! Ayo, dong, Ki! Tolong aku! Lihat
tuh! Penduduk sudah tidak sabar merajam
tubuhku! Cepat usir mereka pulang, Ki!"
ratap Soma.
"Tahan serangan! Kita memburu orang
yang salah!" teriak Ki Lurah pada para
penduduk.
Ki Lurah melebarkan senyumnya.
"Maaf, Anak Muda. Kami semua telah
salah mencurigai orang. Aku yakin, kau
bukan orang yang kami maksudkan. Dan kami
juga minta maaf atas kebodohan kami."
"Maksud Ki Lurah...? Apakah Ki Lu-
rah sudah tidak mencurigaiku lagi?" tanya
Soma.
"Ya."
"Wah...! Terima kasih sekali, Ki!
Terima kasih!"
Soma bersorak-sorak kegirangan per-
sis anak kecil mendapat permainan baru.
Dan akibatnya kedua tangannya yang dari
tadi memegang tubuh gadis cantik berbaju
merah itu terlepas. Lalu...
Buk!
"Augh...!"
Gadis cantik bernama Ratih itu me-
mekik tertahan. Matanya yang indah mende-
lik ke arah Soma penuh kemarahan.
"Auow...! Maaf, aku tidak sengaja,
Ibu! Jangan marah, ya?!"
Soma cepat tersadar. Kemudian tan-
gannya cepat menotok. Begitu gadis itu
terlepas dari totokannya, tangan mungil-
nya langsung menampar pipi Soma dua kali.
Plak! Plak!
"Wadaouuuh...! Mengapa Ibu jadi ga-
lak begini? Aku sudah menolongmu, Ibu,"
rintih Soma seraya memegang pipinya yang
terkena tamparan.
Beberapa orang penduduk kampung
yang melihat hanya tersenyum-senyum saja.
Namun tidak demikian Ratih. Dengan kema-
rahan meluap-luap, gadis itu langsung me
nyerang Soma.
Soma berlari-lari ketakutan.
"Ibu! Ibu! Siapa sudi jadi ibumu!"
teriak Ratih penuh kemarahan.
"Sudahlah, Ratih! Paman yakin pemu-
da ini bukanlah orang jahat," kata Ki Lu-
rah melerai.
Soma cengar-cengir.
"Oh, jadi nama Ibu, Ratih, ya?
Hm..., manis sekali kedengarannya, seper-
ti orangnya," kata Soma ceriwis.
"Sekali lagi kau panggil Ibu, aku
tidak segan-segan merobek mulutmu, Bo-
cah!" geram Ratih.
"Nah..., nah! Kau sendiri memang-
gilku bocah. Mengapa aku tidak boleh me-
manggilmu Ibu?" kata Soma.
"Sudahlah, Tuan Pendekar! Sebaiknya
ur...."
"Namaku bukan Tuan Pendekar, Ki!
Namaku Soma!" potong Soma.
"Ya, ya, ya...! Kau sudah mengenal-
kan namamu, Nak Soma. Aku juga harus men-
genalkan diri, bukan?" kata Ki Lurah
ikut-ikutan latah.
Sambil tersenyum-senyum kecil, Ki
Lurah mengulurkan tangannya pada Soma.
Soma menerima uluran tangan Ki Lu-
rah.
"Aku memang lurah di Desa Wonodadi
inf. Namaku, Ki Suroloyo. Dan sebagai lu-
rah di sini, rasanya tak enak kalau tidak
minta maaf padamu atas kebodohan kami ta-
di."
Soma gerah sekali diperlakukan se-
perti itu. Tangannya yang masih dalam
cengkeraman Ki Lurah Suroloyo buru-buru
dilepaskan.
"Lupakan saja, Ki! Aku sendiri juga
sudah melupakannya, kok," jawab Soma dis-
ertai senyum manis. Lalu matanya mengerl-
ing nakal ke arah Ratih. Ratih mendelik
gusar.
Ki Lurah Suroloyo yang melihat itu
hanya tersenyum-senyum saja.
"Sudahlah, Nak Soma! Kalau Nak Soma
tidak keberatan, bolehkah kami meminta
pertolonganmu?"
"Oh, ya? Hampir aku lupa!" Soma me-
nepuk jidatnya sendiri. "Sebenarnya ada
apa sih? Kok, sampai Ki Lurah membawa
penduduk kampung kemari? Pakai bawa-bawa
pedang lagi? Apa ada ayam Ki Lurah yang
dicolong maling?"
Ki Lurah tersenyum. Sama sekali ti-
dak tersinggung atas ucapan Soma.
"Tidak, Nak Soma. Sebenarnya ceri-
tanya begini...."
Ki Lurah menghela napas panjang,
kemudian dengan suara sedikit bergetar
diceritakannya kejadian yang sedang di-
alami. Tidak lain, mengenai penculikan
beberapa orang gadis di desanya. Dan Ki
Lurah Suroloyo juga menceritakan kalau
hari ini, penculik itu akan menculik anak
gadisnya.
"Hm...! Jadi begitu persoalannya,
ya?" gumam Soma mengangguk-anggukkan ke-
pala. "Pantas kalian jadi kalap begini.
Tapi ngomong-ngomong, bagaimana Ki Lurah
tahu kalau hari ini si penculik itu akan
mengambil anak gadismu?"
"Seperti biasa, penculik itu selalu
menancapkan bunga mawar merah di pintu
depan rumah calon korban. Dan pagi tadi,
bunga mawar menancap di pintu depan rumah
kami, Nak Soma."
"Ya, ya, ya... Aku mengerti," Soma
lagi-lagi mengangguk-anggukkan kepala.
"Tapi.... Tapi, ma..., maukah Nak
Soma membantu kami menangkap penculik
itu?" tanya Ki Lurah Suroloyo malu-malu.
Soma garuk-garuk kepala. Matanya
yang nakal kembali mengerling ke arah Ra-
tih
"Bagaimana, Nak Soma? Apa kau kebe-
ratan?"
"Tidak! Sama sekali tidak. Tapi ada
syaratnya, Ki!" sahut Soma.
"Syarat?" Ki Lurah Suroloyo membe-
lalakkan matanya, gelisah. "Apa syarat
itu?"
Soma tertawa.
"Jangan gusar, Ki. Syaratnya tidak
berat kok. Hanya tolong perkenalkan aku
pada Ratih! Itu saja. Tidak berat, kan?"
"Apa?!"
Suara itu adalah pekikan melengking
dan mulut Ratih. Gadis itu gusar bukan
main melihat kenakalan Soma. Tangannya
yang gatal-gatal kembali menampar pipi,
namun Soma cepat berkelit ke samping.
"Wah, wah, wah...! Kenapa jadi ga-
lak begini, Ki?"
"Habis kau sendiri yang usil, sih?"
kata Ki Lurah Suroloyo tak dapat lagi
membendung tawanya. Demikian juga bebera-
pa orang penduduk kampung yang melihat
kejadian itu.
"Syaratnya aku cabut, Ki! Gadis
yang ingin kukenal ngamuk. Aku tidak in-
gin berkenalan dengan gadis pemarah!" te-
riak Soma di antara serangan-serangan Ra-
tih.
Ki Lurah Suroloyo dan beberapa
orang penduduk kampung hanya bisa mele-
barkan tawanya.
"Aneh sekali! Dalam keadaan tegang
seperti itu, masih saja membuat ulah,"
pikir Ki Lurah.
8
Soma diam membisu di tempat duduk-
nya. Matanya yang nakal lebih senang mem-
perhatikan Ratih yang duduk di samping Ki
Lurah Suroloyo. Terlihat sesekali gadis
itu mendelik gusar. Dan pemuda itu hanya
cengar-cengir saja. Malah matanya kembali
mengerling nakal ke arah gadis itu.
Beberapa orang penduduk kampung
yang sedang mengikuti jalannya rapat yang
dipimpin langsung Ki Lurah Suroloyo hanya
tersenyum-senyum saja memperhatikan ting-
kah Soma. Lelaki tua ini sebenarnya tahu
apa yang dilakukan Soma. Tapi dia lebih
senang membicarakan tentang kekhawatiran
akan kemunculan orang yang akan menculik
anak gadisnya. Juga membicarakan tentang
kegelisahan penduduk kampung yang akan
mencari kayu bakar di Hutan Randu Bla-
tung.
"Untuk sementara, saudara-saudara
sekalian harap jangan keluar masuk dulu
ke dalam Hutan Randu Blatung. Terlalu
berbahaya. Bukannya aku menghalang-
halangi kalian untuk mencari kayu bakar.
Sama sekali tidak. Ini semua demi kesela-
matan kalian. Dan nanti, bila orang yang
telah membuat keonaran di desa tertang-
kap, baru kalian boleh mencari kayu bakar
kembali. Apa kalian setuju?" sambung Ki
Lurah Suroloyo di antara kerumunan pendu-
duk di pendopo kelurahan.
"Setujuuu...!" sahut penduduk Desa
Wonodadi, serempak.
"Terima kasih atas pengertian ka-
lian. Sekarang, tindakan apa yang akan
kita lakukan dengan kemunculan tokoh pem-
buat onar di kampung kita? Apa kalian ada
yang mempunyai pendapat?" kata Ki Lurah
Suroloyo penuh wibawa.
"Tidak ada tindakan apa pun selain
meringkus orang yang membuat onar di kam-
pung kita, Ki Lurah!" kata seorang pemuda
bertubuh tinggi tegap di antara kerumunan
penduduk itu. Suaranya terdengar lantang.
"Maksudmu apa, Sembodo? Apa kau te-
tap menghendaki pembuat onar itu dihabi-
si?" tanya Ki Lurah Suroloyo.
"Benar, Ki Lurah. Aku kira itulah
jalan satu-satunya yang terbaik," sahut
orang yang dipanggil Sembodo lantang.
"Baik, baik. Aku mengerti perasaan-
mu, Sembodo. Tapi bagaimana dengan sauda-
ra-saudara yang lain? Apa setuju dengan
usul Sembodo?" tanya Ki Lurah Suroloyo
meminta pertimbangan penduduknya.
"Setujuuu...!" teriak penduduk kam-
pung serempak.
"Terima kasih. Sekali lagi aku
ucapkan terima kasih. Tapi, aku kira ti-
dak ada jeleknya kalau meminta pendapat
dari kedua tamu kita. Kalian setuju, bu-
kan?"
"Setujuuu...!"
"Nah, Nak Soma! Sekarang silakan
kau memberi pengarahan pada kami. Apa kau
mempunyai pendapat yang bagus?" ujar Ki
Lurah Suroloyo.
Soma tergagap. Tadi telinganya sama
sekali tidak mendengar percakapan antara
Ki Lurah Suroloyo dan penduduk kampung,
saking asyiknya memperhatikan kecantikan
Ratih. Dan sekarang ditanya Ki Lurah Su-
roloyo demikian, Soma jadi geragapan.
"Apa? Ki Lurah menanyakan aku ten-
tang soal apa? Soal pendapatku? Ah...!
Kukira, kecantikan Ratih sungguh menga-
gumkan, Ki. Cuaaantik sekali. Aku sangat
menyukainya! Terutama sekali matanya itu.
Coba perhatikan! Cantik bukan?" oceh Soma
ngelantur tak ketahuan juntrungan
Dan sehabis berkata begitu, Soma
jadi menautkan alisnya yang tebal dalam-
dalam. Dia merasa aneh, mengapa semua
penduduk kampung memandangi dirinya se-
perti itu. Malah sebagian ada yang terta-
wa terbahak-bahak.
"Pemuda edan!" desis Ratih penuh
kemarahan.
Sekarang Ratih tidak berani lagi
memaki Soma dengan makian 'bocah edan'
Dia takut, akan membuat sikap Soma makin
ugal-ugalan.
"Lho, lho? Mengapa marah-marah pa-
daku, Ratih? Ada apa ini? Memang kenya-
taannya begitu, kok. Kau cantik, cantik
sekali!"
"Tidak lucu, tahu?!" hardik Ratih
penuh kemarahan.
"Lho, lho...?! Apa-apaan pula ini?
Aku tak sedang melucu? Aku memang tak ta-
hu mengapa kalian menertawakan aku, kok
jawab Soma tanpa dosa.
"Begini, Nak Soma...," ujar Ki Lu-
rah mencoba bersabar. Namun tetap saja
orang tua itu tidak dapat menyembunyikan
senyumnya. "Tadi aku minta pendapatmu
mengenai akan munculnya si Pembuat Onar
di kampung ini. Semua penduduk kampung
sudah sepakat untuk menghabisinya. Lan-
tas, bagaimana dengan pendapatmu sendi-
ri?"
"Oh...! Aku kira meminta pendapatku
tentang kecantikan Ratih," desah Soma sa-
ma sekali tidak menghiraukan kemarahan
Ratih. "Tapi, kalau Ki Lurah meminta pen-
dapatku ya, lakukan saja! Toh, buat apa
buang-buang waktu begini? Rapat..., ra-
pat! Apa itu? Yang penting tindakan! Bu-
kan omongan. Betul, kan?" kata Soma pan-
jang lebar.
"Betul!" sahut penduduk kampung itu
serempak.
"Dan satu lagi, kalian tidak perlu
takut mencari kayu bakar di Hutan Randu
Blatung. Aku jamin aman. Manusia Rambut
Merah itu bukan bermukim di hutan itu,
melainkan di Hutan Sawo Kembar. Aku cukup
tahu itu."
Soma berdiri dari tempat duduknya.
Sejenak pandangannya menyapu Ki Lurah Su-
roloyo dan Ratih.
"Sekarang maafkan aku, saudara-
saudara sekalian. Aku mau ke belakang se
bentar. Silakan saudara-saudara mene-
ruskan rapat. Silakan! Silakan!" lanjut
Soma.
Sehabis berkata begitu, tanpa mem-
pedulikan pandangan mata penduduk, Soma
langsung ngeloyor keluar. Ratih dan pen-
duduk kampung itu terus memperhatikan ke-
pergian pemuda sinting itu. Dan kemarahan
gadis ini makin bertambah ketika dari ba-
lik jendela ruang pendopo, Soma tampak
masuk ke dalam kamarnya!
"Anjing kurap! Mau apa pemuda gila
itu masuk ke kamarku?!" rutuk batin Ra-
tih, gusar bukan main.
Ki Lurah Suroloyo hanya bisa meng-
geleng-geleng. Kemudian setelah keadaan
tenang, rapat pun kembali dilanjutkan.
Namun belum begitu lama lelaki tua ini
membicarakan tentang siasatnya menghadapi
orang yang membuat onar, tiba-tiba sa-
ja....
"Aaa...!"
Kesunyian desa itu dikejutkan oleh
lengking kematian beberapa penduduk yang
sedang berjaga di luar pendopo kelurahan.
Kemudian disusul pula jeritan penduduk
kampung yang lari tunggang langgang entah
ke mana.
Ki Lurah Suroloyo dan juga beberapa
orang penduduk Desa Wonodadi hanya bisa
saling berpandangan. Mulut mereka terkun-
ci, membayangkan ketakutan luar biasa.
"Dia datang...," desah Ki Lurah Su-
roloyo lirih.
Semua penduduk kampung yang ada di
pendopo kelurahan makin tercekat. Wajah
mereka menegang membayangkan kematian.
***
Apa yang dikatakan Ki Lurah Suro-
loyo memang benar. Orang yang disebut-
sebut sebagai si Pembuat Onar memang te-
lah muncul di desa itu. Empat orang pen-
duduk desa yang ditugaskan menjaga di de-
pan pendopo telah roboh tak dapat bangun
lagi. Dua orang mati dengan keadaan kepa-
la retak. Dua orang lainnya mati dengan
usus terburai.
Suasana berubah menjadi mengerikan
sekali. Beberapa orang penduduk desa yang
melihat kejadian itu lebih senang melari-
kan diri meninggalkan desanya. Sedang
yang mempunyai anak gadis, buru-buru me-
nyelamatkannya ke tempat aman.
"Ki Lurah Suroloyo! Cepat serahkan
anak gadismu! Kalau tidak, semua penduduk
desa ini akan kubantai!" teriak orang
yang menebarkan maut barusan itu lantang.
Dalam keremangan malam masih terli-
hat kalau orang itu masih muda. Wajahnya
tampan dengan kulit putih bersih. Rambut-
nya yang hitam panjang digelung sebagian
ke belakang. Pakaiannya pun rapi sekali,
persis seperti pakaian orang terpelajar.
Dia tidak lain Prameswara! Murid tunggal
Pendekar Kujang Emas!
Ki Lurah Suroloyo keluar dari pen-
dopo. Matanya yang tua memandang pemuda
di hadapannya garang. Ratih dan beberapa
orang penduduk kampung yang tadi mengiku-
ti jalannya rapat berdiri di belakang Ki
Lurah Suroloyo.
"Langkahi dulu mayatku, sebelum
mengambil anak gadisku, Bocah Edan!" har-
dik Ki Lurah Suroloyo penuh kemarahan.
"Kau kedengarannya galak sekali,
Ki. Apa kegalakan mulutmu dapat menyela-
matkan nyawa tuamu?" ejek Prameswara si-
nis. Pandangan matanya lembut. Namun da-
lam kelembutan matanya tersimpan kekejian
luar biasa!
"Jangan banyak bacot, Pemuda Edan!
Bersiap-siaplah sebelum pedangku mencin-
cang tubuhmu!" bentak Ratih, tak dapat
mengendalikan amarahnya. Mungkin dikare-
nakan kekesalannya terhadap Soma itulah
yang membuat amarahnya cepat naik.
"Ah...! Rupanya kau cantik juga,
Manis. Sungguh beruntung guruku menda-
patkan dua orang gadis cantik seperti
ini. Tapi, tidak! Guruku tidak boleh men-
dapatkan kedua gadis ini. Aku harus men-
gambilnya satu. Dan, kaulah pilihanku,
Manis!"
"Keparat! Kau harus merasa kan aki
bat mulut kotormu, Kunyuk Edan!"
Ratih tidak dapat lagi mengendali-
kan amarahnya. Tangan kanannya cepat men-
cabut gagang pedangnya. Dan tanpa banyak
cakap lagi langsung diserangnya Prameswa-
ra.
"Wah, wah, wah...! Hebat sekali
permainan pedangmu, Manis. Tapi nanti aku
ingin lihat, apakah kehebatan permainan
pedangmu juga sehebat permainanmu di ran-
jang, Manis," ejek Prameswara.
Bukan main marahnya gadis itu. Ge-
rahamnya dikeretakkan kuat-kuat. Gerakan
putaran pedangnya pun makin dipercepat,
membentuk gulungan putih mendesak tubuh
Prameswara.
Namun Prameswara bukanlah tokoh
sembarangan. Dia adalah murid tunggal
Pendekar Kujang Emas, sekaligus juga mu-
rid Manusia Rambut Merah yang berhasil
dikelabuinya. Dan kini pemuda itu diang-
kat menjadi murid.
Menghadapi serangan Ratih yang ne-
kat, Prameswara hanya tersenyum-senyum
kecil. Sama sekali tidak terlihat kewala-
han.
Ki Lurah Suroloyo geram bukan main.
Melihat Ratih telah turun tangan, tidak
ada pilihan baginya kecuali cepat meme-
rintahkan penduduk untuk menyerang Pra-
meswara.
Seketika itu juga, beberapa orang
penduduk kampung yang kalap menerjang
Prameswara dengan berbagai macam senjata.
Ki Lurah Suroloyo sendiri memegang senja-
ta rantai baja. Tak heran kalau dulu dia
sangat disegani di dunia persilatan den-
gan julukannya Baja Setan.
"Kalian manusia-manusia tak tahu
diri! Apa kalian sudah bosan hidup? Baik!
Jangan salahkan kalau aku sedikit kasar
pada kalian. Lihat seranganku!" bentak
Prameswara halus.
Suara pemuda itu membahana, mengge-
tarkan hati penduduk kampung. Karena te-
riakannya diiringi tenaga dalam tinggi.
Bahkan Ki Lurah Suroloyo dan Ratih sendi-
ri pun merasakan getaran pada gendang te-
linga akibat teriakan Prameswara tadi
"Ha...ha...ha...!"
Prameswara tertawa. Kedua tangannya
yang berkulit putih bersih mulai berkele-
bat kesana kemari. Dan setiap kelebatan
tangannya diikuti lengking kematian pen-
duduk kampung.
Dugh! Dugh!
"Augh...!"
Jerit para penduduk kampung yang
terkena tamparan dan cengkeraman tangan
Prameswara terdengar memilukan. Dan ber-
samaan itu, tubuh para penduduk kampung
pun roboh tak mampu bangun lagi. Darah
segar langsung keluar dari kepala dan pe-
rut yang robek lebar. Darah segar kembali
menggenang membasahi tanah depan pendopo
yang kering.
"Lihat teman-teman kalian! Apa ka-
lian belum kapok!" bentak Prameswara mem-
buat nyali sebagian penduduk kampung men-
ciut.
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa
denganmu, Bocah Setan!" pekik Ki Lurah
Suroloyo membahana. Tangan kanannya yang
memegang rantai baja cepat digerakkan ke
depan mengarah ke kepala Prameswara.
Pemuda itu tersenyum mengejek. Ran-
tai baja yang mengarah ke lengannya di-
tangkis dengan tangan kiri.
Prak!
Rantai baja di tangan Ki Lurah Su-
roloyo terpental ke belakang. Dan ini
membuat mata lelaki tua itu terbelalak
liar. Tangannya yang memegang rantai ter-
getar hebat. Selama malang melintang di
dunia persilatan, belum pernah ada seo-
rang tokoh silat pun yang mampu menerima
pukulan rantai bajanya. Bahkan tadi tena-
ga dalamnya sudah dikerahkan sepenuhnya.
"Sekarang terimalah seranganku, Ki
Lurah! Lihat!"
Prameswara bergerak cepat mendesak
Ki Lurah Suroloyo. Sementara Ratih dan
beberapa orang penduduk kampung cepat
membantu. Akan tetapi, sayang gerakan
Prameswara terlalu cepat bagi mereka. Dan
dalam sekejap saja....
Duk!
"Augh...!"
Ki Lurah Suroloyo memekik menyayat
terkena tamparan tangan Prameswara. Tu-
buhnya yang tinggi kurus terbanting keras
ke dinding pendopo.
"Jahanam...! Kau melukai lurah ka-
mi!" bentak salah seorang penduduk kam-
pung itu berani.
"Minggirlah kalau masih sayang nya-
wa!" bentak Prameswara garang. Tubuhnya
yang tinggi ramping berkelebat cepat se-
kali menampar dan menendang para pendu-
duk.
Ratih yang ikut membantu serangan
nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa
kali sabetan pedangnya hanya mengenai
tempat kosong. Bahkan sudah beberapa kali
hampir saja terkena tamparan tangan Pra-
meswara. Untung tubuhnya dapat cepat ber-
kelit.
"He he he..., Manis! Mengapa kau
galak sekali? Padahal aku tak ingin kasar
padamu. Tapi, baik! Aku akan melumpuhkan-
mu dulu, baru nanti kau melayaniku. Ha ha
ha...!"
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa
denganmu!" dengus Ratih penuh kemarahan.
Gerakan pedang di tangan kanannya makin
dipercepat. Sedang tangan kirinya pun mu-
lai berubah menjadi kehijau-hijauan hing-
ga ke pangkal lengan
Prameswara mendengus.
"Jangan salahkan kalau aku sedikit
kasar padamu, Manis!"
"Jangan banyak bacot! Aku muak me-
lihat tampangmu, Kunyuk Edan!" bentak Ra-
tih penuh kemarahan.
"He he he...! Kau nekat juga, Ma-
nis!"
Prameswara menggerakkan tangannya
menyambut serangan Ratih. Namun, anehnya.
Begitu tangannya hendak membentur pedang
Ratih, Prameswara cepat memutar tangan-
nya. Dan tahu-tahu tangannya bergerak me-
notok tubuh Ratih.
Tuk!
"Ah...!"
Ratih terpekik kaget bukan kepa-
lang. Tubuhnya yang terkena totokan lang-
sung roboh ke tanah. Beberapa orang pen-
duduk kampung yang melihat jadi ciut nya-
linya. Satu persatu para penduduk kampung
berjalan mundur menjauhi pertempuran.
Prameswara tertawa berkakakan. Tu-
buh Ratih yang kaku tak dapat digerakkan,
dipeluknya erat-erat.
"Ahh...! Mengapa Kakang bermain se-
rong begini?! Katanya ingin menjemputku,
Kang?"
Tiba-tiba dari arah belakang Pra-
meswara terdengar suara cempreng, mirip
suara perempuan. Namun jelas sekali kalau
suara itu sengaja dibuat-buat.
Prameswara menggeretakkan geraham-
nya seraya berbalik. Di depannya nampak
seorang gadis berpakaian merah mirip pa-
kaian gadis dalam pelukan Prameswara.
Anehnya gadis itu bertubuh tinggi kekar.
Sikapnya sengaja dibuat genit. Dan ketika
melangkah mendekati Prameswara, maka nam-
paklah penampilannya yang norak. Bibirnya
yang agak tebal diolesi gincu warna merah
menyala. Demikian pula pipinya. Rambutnya
yang panjang sebatas bahu dikuncir ke be-
lakang. Namun lucunya, bedaknya yang me-
nutupi wajah tidak rata. Mungkin karena
terburu-buru!
Mata Ratih terbelalak liar.
"Pemuda sinting! Mengapa masih ber-
sikap ugal-ugalan dalam keadaan tegang
begini? Pakai pakaianku lagi?" gumam Ra-
tih dalam hati.
Prameswara sendiri pun terkejut bu-
kan main melihat kemunculan gadis aneh
itu. Sekali pandang saja dia tahu kalau
gadis ini adalah seorang pemuda.
"Aih..., Kakang? Mengapa bengong
saja? Katanya ingin menjemputku? Ayo
dong, Kang?" oceh gadis itu merajuk manja
bukan main.
"Bocah edan! Apa kau sudah bosan
hidup?!" bentak Prameswara garang.
"Aih..., Kakang? Mengapa jadi galak
begini? Ayo dong lepaskan gadis itu! Aku
bisa cemburu, lho? Katanya Kakang ingin
menculikku? Ayo dong, Kang! Aku juga in-
gin merasakan, seperti apa sih enaknya
diculik dan diperkosa. Hik hik hik...."
Bukan main marahnya Prameswara. Dia
merasa telah dipermainkan gadis aneh itu
"Kau mempermainkanku, Bocah Edan?!
Apa kau mempunyai nyawa rangkap, sehingga
berani mempermainkanku, he?!" bentak Pra-
meswara garang. Tangan kanannya yang me-
meluk Ratih dilepaskannya.
Ratih memekik kecil ketika tubuhnya
jatuh ke tanah.
"Aku tidak mempunyai nyawa rangkap,
Kakang. Tadi sudah kubuang ke kakus!" ja-
wab gadis aneh yang tak lain Soma seenak
hati.
Bukan main marahnya Prameswara.
Seumur hidup belum pernah dia diperlaku-
kan seperti itu. Dan saking marahnya,
tanpa sadar kedua telapak tangannya telah
berubah menjadi kebiru-biruan hingga ke
pangkal lengan. Itu pertanda pukulan maut
'Cahaya Kilat Buana'nya siap dilontarkan.
"Wah, wah, wah...! Kang Mas ini ke-
napa sih? Kok, kedua tangannya berubah
menjadi biru? Apa Kang Mas tadi habis
membuat tikar pandan? Cuci dulu dong tan-
gannya biar tidak belepotan tinta!" ejek
Soma makin membuat Prameswara murka.
"Jangan banyak tingkah, Bocah Teng-
kik! Hari ini adalah hari kematianmu!"
"Lho, lho...? Kok, malah bicara
soal kematian segala? Apa Kang Mas tidak
cinta lagi padaku?" kata gadis aneh itu
makin sulit dikendalikan.
Prameswara menggeram marah. Tak se-
patah kata pun keluar dari bibirnya yang
bergetar. Sepasang matanya yang tajam
mendelik gusar, seperti akan loncat dari
tempatnya. Kemudian dengan kemarahan me-
luap-luap, Prameswara melontarkan pukulan
maut ke arah tubuh gadis aneh itu.
Wesss!
Seleret sinar biru kontan melesat
dari kedua telapak tangan Prameswara, me-
nyambar ganas ke tubuh Soma yang berwujud
gadis aneh.
Soma berloncatan ke sana kemari
menghindari pukulan maut Prameswara. Sem-
bari berloncatan, mulutnya tak henti-
hentinya mengoceh.
"Panas! Panas! Ih...! Mengerikan
sekali! Apakah Kang Mas ingin membunuh-
ku?"
Prameswara tidak peduli. Melihat
serangan pertamanya dapat dihindari, ha-
tinya semakin terbakar. Kedua tangannya
yang berwarna biru kembali menyerang Soma
tanpa ampun. Hebat sekali serangannya,
karena segenap kekuatan tenaga dalamnya
dikerahkan.
Wess! Wesss!
Kali ini Soma sulit sekali menghin-
dari pukulan-pukulan maut Prameswara.
Meski sesekali berhasil menghindari, na-
mun hal ini jelas tidak mungkin terus
bertahan. Maka ketika tangannya berwarna
keputihan tahu-tahu Soma telah membalas
serangan-serangan Prameswara.
Wesss!
Seleret sinar putih terang seketika
melesat dari kedua telapak tangan Soma,
bergerak cepat sekali memapak cahaya biru
yang meledak-ledak dari kedua telapak
tangan Prameswara. Akibatnya....
Blar! Blarrr!
Soma bergetar hebat. Tubuhnya ber-
goyang-goyang. Sedang Prameswara ter-
huyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Wajahnya kontan pucat pasi. Bibir-
nya bergetar-getar hebat, pertanda tenaga
dalamnya masih kalah satu tingkat di ba-
wah Soma.
"Kenapa, Kang Mas? Kok, hanya ben-
gong saja? Wajahmu pucat pasi. Mengapa
Kang Mas memandangku seperti itu? Aku bu-
kan naga gondrong, Kang Mas. Jangan ta-
kut!" ejek Soma habis-habisan.
Prameswara menggeram marah. Disada-
ri kalau lawan yang dihadapinya bukan to-
koh sembarangan. Melihat hal itu, tanpa
malu-malu lagi, senjata andalannya segera
dicabut. Kujang Emas!
"Hey...! Bukankah itu Kujang Emas?
Jangan-jangan itu senjata andalan ayah-
ku?!" gumam Soma. "Tunggu! Apa hubunganmu
dengan Pendekar Kujang Emas, he?"
"Jangan banyak bacot! Hari ini ada-
lah hari kematianmu!"
Sehabis berkata begitu, tanpa mem-
buang-buang waktu lagi Prameswara lang-
sung menyerang Soma hebat.
Sembari berjumpalitan ke sana kema-
ri, Soma terus berpikir. Bagaimana pemuda
lawannya ini menggunakan senjata andalan
ayahnya? Mungkinkah dia Prameswara? Bisa
jadi?!
"Hm...! Kau pasti Prameswara! Pas-
ti! Tak salah lagi!" gumam Soma.
Prameswara yang sedang mendesak So-
ma hebat jadi terkesiap. Sejenak dipan-
danginya Soma heran.
"Bagaimana mungkin pemuda sinting
itu bisa mengenali namaku?" pikir Prames-
wara.
Namun keterkejutan Prameswara diha-
pus dengan kepongahannya.
"Kalau iya, kau mau apa?!" tantang
Prameswara.
"Aku ingin menanyakan beberapa per-
tanyaan padamu," kata Soma bersungguh-
sungguh.
Sikap ugal-ugalan pemuda ini lenyap
entah ke mana begitu melihat senjata an-
dalan ayahnya.
"Aku yakin kau pasti murid Pendekar
Kujang Emas! Tapi, mengapa senjata kujang
ini bisa jatuh ke tanganmu? Kau pasti ada
sangkut pautnya dengan kematian ayahku!"
"Kalau iya, kau mau apa?!" kata
Prameswara, lagi-lagi dengan kalimat sa-
ma.
"Hm...! Kalau benar, aku harus mem-
bunuhmu. Juga, Manusia Rambut Merah!" ge-
ram Soma penuh kemarahan,
"Lakukanlah! Jangan banyak bacot!"
Soma cepat mengeluarkan senjata
anehnya dari balik pinggangnya. Anak Pa-
nah Bercakra Kembar yang berbentuk aneh
sekali, seperti batang anak panah yang
berlubang. Mata anak panah itu berbentuk
kepala ular, hingga sampai ke tangkainya.
Dan di kanan-kiri kepala ular itu terda-
pat dua gerigi terbuat dari besi baja.
Begitu mengeluarkan senjata anda-
lannya, Soma langsung menyerang Prameswa-
ra dengan jurus 'Terjangan Maut Ular Pu-
tih'. Seketika itu juga angin kencang da-
ri dua gerigi di kepala senjatanya berde-
sir ke arah Prameswara.
Prameswara terkejut bukan main.
Pemuda sesat ini sadar kalau musuh-
nya mempunyai kepandaian sangat tinggi.
Untuk itu, kujangnya cepat diputar. Sege-
ra dihadapinya kehebatan serangan lawan
dengan jurus sakti 'Kilat Menyambar Bu-
mi'. Namun tetap saja Prameswara kewala-
han. Gulungan kujang di tangan kanannya
tetap saja tertindih gulungan putih di
tangan Soma
Bahkan pada jurus ke sepuluh, ham-
pir saja Prameswara terkena sambaran sen-
jata di tangan Soma. Untungnya, dia cepat
berkelit ke samping. Sehingga serangan
Soma gagal.
Sekarang dalam keadaan terdesak se-
perti itu, Prameswara cepat meloncat jauh
ke belakang. Pada saat tubuhnya melayang
tinggi ke udara, Prameswara cepat putar
tubuhnya seperti gasing. Dan ketika dua
kakinya menginjak ke tanah, seketika itu
juga tanah yang dipijak membuncah ke uda-
ra. Dan tubuhnya pun langsung lenyap da-
lam tanah yang membuncah. Itulah ilmu an-
dalan guru barunya, Manusia Rambut Merah!
Soma terkejut. Dia belum tahu, ilmu
apa yang dikeluarkan Prameswara. Namun
belum sempat berpikir lebih jauh, tahu-
tahu terasa angin kencang berdesir ken-
cang yang datangnya dari dalam tanah. So-
ma tak sempat lagi mengelak. Dan...
Duk!
"Augh...!"
Soma memekik nyeri. Tubuhnya yang
terkena pukulan 'Cahaya Kilat Biru' itu
langsung melambung tinggi ke udara.
Pada saat yang bersamaan, tanah di
bawah kembali membuncah ke udara. Dari
dalamnya muncul Prameswara, kedua telapak
tangannya yang biru kembali menyerang So-
ma ganas.
Dan Soma yang baru saja mendarat
cepat memapak dengan pukulan saktinya
'Tenaga Inti Bumi'!
Duk!
"Uhh...!"
Prameswara terhuyung-huyung ke be-
lakang. Dan Soma tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan ini. Terus diserangnya Prameswa-
ra dengan hebat. Namun sebelum niatnya
terlaksana, tahu-tahu tanah di hadapannya
kembali membuncah ke udara. Tidak lama
Soma merasakan sepasang kakinya seperti
dibetot dari dalam tanah. Kuat sekali!
Soma kewalahan bukan main. Perlahan
namun pasti, kedua kakinya terus melesak
ke dalam tanah. Tidak ada pilihan lain.
Dia harus mengerahkan ilmu pamungkasnya.
'Titisan Siluman Ular Putih'!
Sejenak Soma memusatkan pikirannya.
Dan dalam beberapa kejap kemudian asap
putih tipis telah menyelimuti tubuhnya,
hingga hilang sama sekali. Beberapa saat
kemudian....
"Gggeeerrr...!"
Seketika itu juga, mata penduduk
kampung yang melihat kejadian itu jadi
membelalak lebar, seolah tak percaya den-
gan apa yang terlihat. Begitu asap putih
yang menyelimuti tubuh Soma menghilang,
tampak seekor Ular Putih sebesar pohon
kelapa.'
"Ular Putih...!" desis penduduk
kampung yang menonton pertempuran itu
takjub.
Bentuk Ular Putih itu mengerikan
sekali. Taringnya besar bertonjolan siap
memangsa tubuh lawannya.... Sedang seba-
gian ekornya yang terpendam ke dalam ta-
nah menggeliat-geliat seperti sedang men-
cari sesuatu.
Prameswara yang saat itu masih be-
rada dalam tanah, merasakan kalau ekor
Siluman Ular Putih mulai mengepit tubuh-
nya kuat-kuat. Dia memberontak, namun
sia-sia saja. Tubuhnya yang terjepit ta-
hu-tahu terangkat ke atas. Dan tanpa am-
pun lagi....
Tubuh Prameswara yang dikepit ekor
Siluman Ular Putih terbanting-banting di
tanah. Dalam beberapa kejap kemudian tu-
buhnya pun kembali terlontar ke udara.
Siluman Ular Putih kembali mengejar
musuhnya. Namun sayangnya, Prameswara
yang sedang kalang kabut itu langsung
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi, me-
ninggalkan tempat itu.
Siluman Ular Putih meloncat tinggi
ke udara mengejar Prameswara. Sayang, pe-
muda berpakaian pelajar telah jauh me-
ninggalkannya. Sejenak Siluman Ular Putih
nampak ragu-ragu melanjutkan pengejaran-
nya. Dilihatnya Ki Lurah Suroloyo yang
terluka parah tengah tertatih-tatih meng-
hampirinya.
"Ah, Ki Lurah Suroloyo terluka pa-
rah. Aku harus mengobatinya dulu," pikir
Siluman Ular Putih.
"Gggeeerrr...!"
Asap putih tipis kembali menyelimu-
ti tubuh Ular Putih, hingga tidak keliha-
tan sama sekali. Dan ketika asap putih
menghilang, maka yang nampak di hadapan
penduduk kampung bukan lagi Siluman Ular
Putih, melainkan seorang gadis aneh ber-
pakaian merah. Soma! Dan kini, gadis aneh
itu sedang bersungut-sungut kesal melihat
buruannya kabur.
"Kau. Kaukah Ular Putih itu. Soma?"
tanya Ratih bergidik membayangkan tubuh
Siluman Ular Putih tadi.
Soma hanya tersenyum saja. Kemudian
didekatinya Ratih. Segera dibebaskannya
gadis itu dari totokan Prameswara.
"Ah, iya?! Kau pasti Siluman Ular
Putih itu?" timpal salah seorang penduduk
kampung. "Tak kusangka pemuda itu dapat
menjelma menjadi Ular Putih," lanjutnya
lagi bergumam.
"Ya, ya, ya...! Kau.... Kau pantas
sekali mendapat julukan itu, Nak Soma!"
kata Ki Lurah Suroloyo di antara napasnya
yang tersengal.
"Ya, ya, ya...! Ki Lurah benar! Kau
pantas mendapat julukan itu, Saudara So-
ma," sahut Ratih. "Tapi, mengapa kau men-
curi pakaianku?"
Soma tidak menyahuti. Dia hanya
tertawa-tawa saja. Namun begitu menyadari
kalau Ki Lurah Suroloyo mengalami luka
parah, pemuda itu segera mendekatinya.
Dibawanya tubuh lelaki itu masuk ke dalam
rumahnya.
Sementara itu beberapa orang pendu-
duk yang masih tercekat melihat kejadian
aneh tadi masih terus berteriak-teriak
kegirangan dari halaman pendopo.
"Hidup Soma...! Hidup Siluman Ular
Putih...!"
"Hidup Siluman Ular Putiiihhh...!"
SELESAI
Segera terbit:
MANUSIA RAMBUT MERAH
0 comments:
Posting Komentar