..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 19 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE MISTERI BAYI ULAR

Matjenuh

 

MISTERI BAYI ULAR

Hak cipta dan copy right pada 

penerbit dibawah lindungan 

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit


1

Matahari siang menebarkan sinar-

sinarnya yang kelewat panas. Debu-debu 

beterbangan diterjang seekor kuda jantan 

hitam yang melaju kencang di atas tanah 

datar di pinggiran lereng sebelah selatan 

Pegunungan Dieng.

Penunggang kuda itu adalah seorang 

pemuda tampan berpakaian biru-biru. Ma-

tanya yang setajam mata burung rajawali 

dengan sepasang alis tebal berwarna hitam 

tak lepas memperhatikan jalan didepannya. 

Karena bisa-bisa kudanya terperosok atau 

menabrak pepohonan yang melintang. Lincah 

dan tangkas sekali dia mengendalikan ku-

danya. Hidung pemuda ini mancung, pas se-

kali dengan bentuk bibirnya yang tipis. 

Rambut gondrongnya yang dibiarkan terge-

rai di bahunya semakin menambah ketampa-

nannya. Dia tak lain memang Mahesa. 

Pemuda tampan ini terus memacu ku-

danya menuju ke sisi lereng sebelah ba-

rat. Tujuannya hanya ingin menemui gu-

runya, Pendekar Pedang Kilat Buana yang 

bertapa di lereng sebelah barat Gunung 

Batu.

Mendadak saja Mahesa menarik tali 

kekang, membuat kudanya berhenti dengan 

kedua kaki depan diangkat. Tinggi-tinggi 

sambil meringkik. Kalau saja dia kurang 

sigap, pasti sudah terlempar dari pung


gung kudanya. Sebentar saja kuda hitam 

itu telah bisa dikendalikan.

Kini, Mahesa menatap ke depan, ke 

arah dua orang kakek berpakaian serba hi-

tam yang telah menghadangnya. Yang satu 

bertubuh gempal, terbungkus pakaian hitam 

yang sedikit kedodoran. Laki-laki tua 

berkepala botak ini tak lain adalah salah 

seorang tokoh sesat dari utara. Nama se-

benarnya adalah Benawa, namun lebih ter-

kenal julukannya. Raja Golok Dari Utara!

Di sebelah kiri Benawa adalah seo-

rang kakek bertubuh tinggi kurus. Raut 

wajahnya mengerikan dengan mata sebelah 

kiri rusak dan kedua bibir robek meman-

jang di kanan-kiri. Sementara lubang hi-

dungnya hanya satu, sehingga kalau bicara 

suaranya jadi sengau. Namun di kawasan 

selatan tokoh yang satu ini sangat dita-

kuti lawan-lawannya. Dia tidak lain ada-

lah Raja Racun Dari Selatan!

Melihat kemunculan kedua orang to-

koh itu, Mahesa sempat terkejut juga. 

Apalagi dia memang sempat berurusan den-

gan salah satunya, yakni Raja Racun Dari 

Selatan, beberapa bulan yang lalu di Lem-

bah Kematian. Bisa ditebak kalau pengha-

dangan kedua tokoh sesat itu kali ini 

tentu ingin membalas dendam.

Mahesa memang tidak bisa menganggap 

remeh. Apalagi kepandaian Raja Golok Dari 

Utara pun tidak jauh beda dari Raja Racun


Dari Selatan. Mungkin bila berhadapan sa-

tu lawan satu, Mahesa masih dapat menga-

tasinya. Namun kalau mereka maju bareng, 

inilah yang meresahkannya!

"Hm.... Kalian rupanya? Ada keper-

luan apa menghadangku?" tanya Mahesa ka-

lem, seraya meloncat turun dari kudanya. 

Gerakannya ringan sekali tanpa menimbul-

kan suara sedikit pun. Jelas ilmu merin-

gankan tubuhnya telah sangat tinggi.

"Tikus busuk! Jangan berlagak bo-

doh! Kau masih berurusan denganku," ben-

tak Raja Racun Dari Selatan dengan sua-

ranya yang sengau.

"Itu bukan salahku. Tapi kau sendi-

rilah yang cari penyakit!" kilah Mahesa.

"Bedebah! Jadi bocah inikah yang 

menghajarmu, Kakang?" timpal Raja Golok 

Dari Utara, geram.

"Ya! Bocah inilah yang berjuluk 

Pendekar Kujang Emas, murid tunggal Pen-

dekar Pedang Kilat Buana," sahut Raja Ra-

cun Dari Selatan.

"Hm...," gumam Raja Golok Dari Uta-

ra tak jelas.

Matanya yang merah memandang tajam 

pada Mahesa, seolah-olah omongan Raja Ra-

cun Dari Selatan tidak dipercayai. "Kalau 

begitu buat apa kita buang-buang waktu? 

Kita cincang saja bocah keparat ini rame-

rame. Ayo, Kakang!"

Sehabis berkata begitu, tanpa ba


nyak membuang-buang waktu, Raja Golok Da-

ri Utara langsung berkelebat menyerang. 

Senjata andalannya yang berupa golok ber-

putar-putar bagai kitiran. Hebat sekali 

serangan kakek iblis itu. Gerakan-gerakan 

kaki dan tangannya pun cepat sekali, mem-

buat pakaian hitamnya yang kedodoran ber-

kibar-kibar.

"Hm.... Jadi, inikah yang kalian 

kehendaki? Baik. Jangan dikira aku takut 

menghadapi kalian."

Begitu kibasan golok menyambar, Ma-

hesa sedikit miringkan tubuhnya ke kiri 

sehingga serangan itu menebas angin. Sam-

bil bergerak demikian senjata pusakanya 

yang berupa kujang pun cepat diloloskan 

dari pinggang. Namun saat itu pula Raja 

Racun Dari Selatan telah menghadang den-

gan jurus-jurus andalannya.

Mahesa cepat membuang tubuhnya ke 

kiri menghindari pukulan beracun Raja Ra-

cun Dari Selatan. Saat yang sama tebasan 

golok Raja Golok Dari Utara melayang men-

gancam. Mau tak mau Mahesa segera menang-

kis dengan kujangnya yang berwarna kuning 

keemasan.

Cring!

Bunga api kontan berpijar ketika 

golok di tangan Raja Golok Dari Utara 

berbenturan dengan kujang di tangan Mahe-

sa. Sementara tubuh kedua orang itu sama-

sama bergetar hebat, pertanda tenaga da


lam mereka berimbang.

"Bagus! Tidak percuma kau mendapat 

julukan Pendekar Kujang Emas, Bocah!" pu-

ji Raja Golok Dari Utara, penasaran.

Raja Racun Dari Selatan gemas bukan 

main. Serangan pertamanya tadi mudah se-

kali dapat dimentahkan.

"Jangan main-main, Raja Golok! Ce-

pat habisi bocah keparat itu!" Raja Racun 

Dari Selatan menggeram penuh kemarahan. 

Wajahnya kelam membesi dengan rahang ber-

tonjolan. Kedua telapak tangannya telah 

berubah menjadi hitam legam, siap melan-

carkan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang 

Hitam'!

Mahesa tidak main-main lagi. Puku-

lan yang mengandung hawa dingin itu sudah 

pernah dirasakan kehebatannya. Dan jurus 

andalannya pun mulai siap-siap dikelua-

rkan. Jurus 'Kilat Menyambar Bumi'. Sebe-

narnya jurus itu lebih cocok bila dimain-

kan dengan senjata pedang. Akan tetapi 

Mahesa sudah terbiasa memainkannya dengan 

kujang. Bahkan sudah merasa lebih cocok.

"Hiyaaat!"

Raja Golok Dari Utara kembali me-

nerjang dengan goloknya. Sementara Raja 

Racun Dari Selatan dengan jurus-jurus 

mautnya.

Mahesa cepat memutar kujangnya un-

tuk melindungi diri dari serangan dua 

orang kakek berhati iblis itu yang terus


meningkat. Untuk beberapa saat pemuda mu-

rid Pendekar Pedang Kilat Buana itu masih 

dapat mengimbangi. Namun ketika pertarun-

gan mulai menginjak jurus sepuluh, Mahesa 

jadi kewalahan bukan main. Entah sudah 

berapa kali tubuhnya yang tinggi kekar 

itu harus berjumpalitan ke udara. Pakaian 

biru-birunya mulai compang-camping tidak 

karuan akibat sabetan-sabetan golok Raja 

Golok Dari Utara. Demikian pula lengan 

kanannya yang menghitam akibat pukulan 

'Telapak Tangan Kelabang Hitam' dari Raja 

Racun Dari Selatan.

Pada jurus ketiga belas hampir saja 

bahu kanan Mahesa terkena sambaran golok 

di tangan Raja Golok Dari Utara. Untung-

nya dia cepat melenting tinggi keluar da-

ri kancah pertempuran, lalu mendarat ma-

nis tanpa sedikit pun menimbulkan suara.

"He he he,..! Rupanya hanya segini 

kehebatan Pendekar Kujang Emas!" ejek Ra-

ja Golok Dari Utara melecehkan.

Mahesa tidak mempedulikan ocehan 

Raja Golok Dari Utara. Jurus-jurus anda-

lannya kini siap dikeluarkan. Pada saat 

yang sama kedua lawannya telah kembali 

menerjang.

"Hyaaat...!"

Mahesa meloncat tinggi ke udara me-

nyongsong serangan. Setelah berputaran 

beberapa kali tubuhnya menukik ke bawah 

siap menembus ubun-ubun Raja Racun Dari


Selatan dengan ujung mata kujangnya.

Raja Racun Dari Selatan kaget bukan 

kepalang. Wajahnya yang mengerikan itu 

pucat pasi. Sungguh tidak disangka kalau 

pemuda itu bisa melepas serangan sehebat 

itu.

"Jurus 'Kilat Pembawa Maut'" desis 

iblis tua bersuara sengau itu seraya me-

lempar tubuhnya ke belakang.

"Heaaa...!"

Raja Golok Dari Utara melesat ce-

pat. Cepat digantikannya kedudukan Raja 

Racun Dari Selatan. Untuk sesaat Raja Go-

lok Dari Utara kewalahan bukan main meng-

hadapi Mahesa. Untungnya Raja Racun Dari 

Selatan segera membantu dengan melepas 

pukulan Telapak Tangan Kelabang Hitam da-

ri jarak jauh.

Mahesa terperangah. Sedikit seran-

gannya pada Raja Golok Dari Utara diken-

durkan, lalu melompat ke belakang membuat 

jarak.

Kesempatan ini cepat digunakan Raja 

Racun Dari Selatan untuk kembali berga-

bung dengan kawannya. Maka kembali perta-

rungan seru berlangsung.

Mahesa terus mendesak kedua iblis 

tua itu dengan jurus 'Kilat Pembawa 

Maut'. Dan untuk sesaat jalannya perta-

rungan dapat dikuasai. Namun beberapa ju-

rus kemudian, perlahan namun pasti, gu-

lungan-gulungan sinar kuning dari kujang


nya yang mengurung Raja Golok Dari Utara 

dan Raja Racun Dari Selatan mulai mengen-

dor. Dan selanjutnya ganti Mahesa-lah 

yang terdesak hebat.

"Ha ha ha...! Sekarang rasakan ba-

lasan ku, Bocah! Jangan harap lolos dari 

tanganku!" leceh Raja Racun Dan Selatan 

kegirangan.

Mahesa tidak gentar sedikit pun. 

Meski keadaannya tidak menguntungkan, na-

mun terus mencoba bertahan. Sebagai seo-

rang pendekar, pantang bagi dirinya untuk 

kabur meninggalkan pertarungan. Dan aki-

batnya sungguh berbahaya.

Ketika Mahesa hendak miringkan tu-

buhnya ke kiri menghindari bacokan golok 

Raja Golok Dari Utara, tiba-tiba saja pu-

kulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam' da-

ri Raja Racun Dari Selatan melesat dari 

belakang tanpa sempat dihindari. Maka 

tanpa ampun lagi....

Dugh!

"Augh!"

Mahesa terpekik tertahan saat pung-

gungnya terkena pukulan berhawa dingin 

itu. Tepat pada bagian yang menjadi sasa-

ran langsung berubah menghitam. Tubuhnya 

kontan terhuyung-huyung ke depan disertai 

muntahan darah segar.

Saat itu, Raja Golok Dari Utara 

yang tepat berada di depan Mahesa sudah 

mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Tubuh


pemuda itu akan dibelahnya. Dalam keadaan 

terluka parah seperti itu, Mahesa masih 

sempat membanting tubuhnya ke kiri. Se-

rangan golok memang bisa dihindari. Namun 

serangan Raja Racun Dari Selatan selan-

jutnya yang berupa tendangan berputar te-

pat mengenai dada.

Desss...!

"Augh!"

Sekali lagi Mahesa memekik terta-

han. Tubuhnya yang tinggi kekar kembali 

terlempar ke belakang. Wajahnya seketika 

itu juga pucat pasi. Matanya berkunang-

kunang. Mahesa benar-benar pasrah. Kea-

daannya saat ini sungguh sangat mengkha-

watirkan.

Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-

cun Dari Selatan tertawa-tawa kegirangan. 

Golok di tangan Raja Golok Dari Utara 

siap membelah tubuh Mahesa. Demikian pula 

Raja Racun Dari Selatan yang siap melon-

tarkan pukulan Telapak 'Tangan Kelabang 

Hitam' ke ubun-ubun kepala pemuda itu. 

Namun....

Wesss...!

"Heh?!" 

* * *

Tiba-tiba saja terdengar suara men-

desis yang didahului dengan bau harum 

bunga melati menyerang Raja Racun Dari


Selatan dan Raja Golok Dari Utara.

Kedua tokoh sesat itu terkesiap bu-

kan kepalang. Seketika mereka langsung 

melempar tubuh ke samping kanan-kiri. Be-

gitu bangkit, betapa terkejutnya mereka 

ketika melihat seekor ular naga putih se-

besar pohon kelapa melintas!

"Siluman Naga Puspa...!" pekik Raja 

Golok Dari Utara dan Raja Racun Dari Se-

latan berbarengan.

Ular naga putih yang dipanggil Si-

luman Naga Puspa langsung memutar tubuh-

nya, begitu serangannya gagal. Sepasang 

matanya mencorong memandangi Raja Golok 

Dari Utara dan Raja Racun Dari Selatan 

penuh kemarahan. Mulutnya mendesis-desis 

mengerikan menampakkan sepasang taringnya 

yang runcing.

Memang, aneh sekali siluman ular 

itu. Tubuhnya yang sebesar pohon kelapa 

bukannya menebarkan bau amis, tapi malah 

bau harum bunga melati. Raja Golok Dari 

Utara dan Raja Racun Dari Selatan memang 

pernah mendengar ciri-ciri serta nama si-

luman itu. Namun baru kali ini mereka 

bertemu langsung. Dan tak urung kedua to-

koh golongan hitam itu jadi ciut nyalinya 

ketika merasa yakin kalau binatang jeja-

dian itu adalah Siluman Naga Puspa. Mere-

ka terperanjat ketika Siluman Naga Puspa 

kembali menyerang.

Wesss...!


Siluman Naga Puspa melesat ke de-

pan. Taring-taringnya yang tajam siap me-

remukkan kepala Raja Racun Dari Selatan. 

Sedang ekornya siap menghajar Raja Golok 

Dari Utara.

Brakkk!

Hebat sekali serangan ular raksasa 

itu. Ranting-ranting pohon kering dalam 

jarak dua puluh depa langsung berderak 

berjatuhan terkena angin sambarannya. Na-

mun yang dihadapi Siluman Naga Puspa kali 

ini bukanlah tokoh sembarangan. Walaupun 

sempat tercekat, namun Raja Golok Dari 

Utara dan Raja Racun Dari Selatan yang 

sudah terbiasa malang melintang di dunia 

persilatan sudah bisa menguasai keadaan. 

Dengan gerakan cepat serangan Siluman Na-

ga Puspa dapat dielakkan dengan mudah. 

Bahkan Raja Golok Dari Utara sempat meng-

hujamkan golok ke tubuh siluman ular itu.

Crag! Crag!

Dua kali mata golok membacok tubuh 

Siluman Naga Puspa. Namun akibatnya ju-

stru tangan Raja Golok Dari Utara yang 

kesemutan. Mata goloknya terasa seperti 

membentur besi baja yang kuat sekali. 

Jangankan untuk melukai tubuh ular itu. 

Bahkan mata golok di tangan Raja Golok 

Dari Utara itu sendi yang rompal!

Bukan main! Raja Golok Dari Utara 

sempat terlongong sebentar melihat kesak-

tian Siluman Naga Puspa. Seolah pandangan


matanya sendiri tidak dipercayai. Dan di 

saat Raja Golok Dari Utara terlongong 

itulah, tahu-tahu ekor Siluman Naga Puspa 

telah berkelebat cepat sekali.

Bukkk!

"Augh!"

Raja Golok Dari Utara menjerit ke-

sakitan. Tubuhnya yang gempal langsung 

terlempar beberapa tombak ke samping ka-

nan.

Sementara Siluman Naga Puspa mende-

sis hebat. Sepasang matanya kini menco-

rong tajam ke arah Raja Racun Dari Sela-

tan.

"Keparat! Kau ingin mampus di tan-

ganku, he?! Nih, terima pukulan 'Telapak 

Tangan Kelabang Hitam'ku!" bentak Raja 

Racun Dari Selatan sambil menghentakkan 

tangan kanannya dengan kuda-kuda kokoh. 

Wesss!

Seleret sinar hitam legam melesat 

dari telapak tangan kanan Raja Racun Dari 

Selatan. Begitu cepat sinar itu meluruk, 

menghantam tubuh Siluman Naga Puspa den-

gan telak sekali.

Buk! Buk!

Siluman Naga Puspa terlempar ke 

samping kiri. Namun sedikit pun tidak 

mengalami cidera. Dia hanya mendesis-

desis penuh kemarahan.

"Zzzttt...!"

Disertai desis kemarahan, Siluman


Naga Puspa mencelat tinggi siap meremuk-

kan batok kepala Raja Racun Dari Selatan.

"Ah...!" 

Bukan main terperangahnya Raja Ra-

cun Dari Selatan melihat ketangguhan si-

luman ular itu. Tadi dia sempat terlon-

gong, mengagumi kehebatan Siluman Naga 

Puspa. Tanpa disadari, dia lupa akan da-

tangnya bahaya.

Pada saat yang gawat Raja Golok Da-

ri Utara segera melesat. Beberapa kali 

mata goloknya dibacokkan ke tubuh Siluman 

Naga Puspa.

Crak! Crak!

Siluman Naga Puspa marah bukan 

main. Kendati tak mengalami cidera, namun 

sudah alasan baginya untuk melenyapkan 

tokoh licik itu. Segera dia bersiap me-

nyerang. Namun....

"Ratri! Hentikan!"

Terdengar suara halus bernada te-

gas, membuat kepala Siluman Naga Puspa 

berpaling ke samping. Dilihatnya seorang 

lelaki berusia tujuh puluh tahun dengan 

pakaian putih bersih tahu-tahu telah ber-

diri tak jauh dari tempat pertarungan. 

Wajahnya putih bersih. Rambutnya yang pu-

tih memanjang digelung ke atas.

Sedang jenggotnya yang juga putih 

bersih dibiarkan tergerai.

"Begawan Kamasetyo...!" sebut Raja 

Golok Dari Utara hampir berbarengan den



gan Raja Racun Dari Selatan.

Lelaki tua yang dipanggil Begawan 

Kamasetyo memperhatikan kedua orang itu 

sebentar.

"Lagi-lagi kalian yang membuat onar 

di tempat ini!" gumam Begawan Kamasetyo 

penuh wibawa.

Sebentar mata tajam lelaki ini mem-

perhatikan Siluman Naga Puspa. Dan dia 

memberi isyarat pada siluman aneh itu un-

tuk kembali ke tempatnya semula. Namun 

anehnya, Siluman Naga Puspa malah mende-

sis-desis seperti ingin melaporkan sesua-

tu kepada Begawan Kamasetyo.

Begawan Kamasetyo mengangguk-

anggukkan kepala.

"Sudah kuduga," gumam Begawan Kama-

setyo lagi seraya mengalihkan perhatian 

pada Raja Golok Dari Utara dan Raja Racun 

Dari Selatan. Jelas sekali kalau ia tidak 

menyukai kehadiran kedua kakek berhati 

iblis itu.

"Nah, tunggu apa lagi? Mengapa ka-

lian tidak cepat-cepat angkat kaki dari 

sini?!" kata Begawan Kamasetyo lagi.

"Jangan sombong, Begawan Kama-

setyo!" hardik Raja Golok pari Utara ge-

ram.

"Aku bicara baik-baik. Mengapa ka-

lian membentak-bentak aku?" tukas Begawan 

Kamasetyo tanpa berkesan marah.

"Tua bangka keparat! Lagakmu som


bong sekali! Apa kesombonganmu ini dapat 

menolong nyawa busukmu, he?!" bentak Raja 

Golok Dari Utara gusar sekali.

Dan sehabis berkata begitu, kakek 

iblis itu pun langsung menyerang Begawan 

Kamasetyo dengan golok. Pada saat hampir

bersamaan Raja Racun Dari Selatan mence-

lat, ikut menyerang.

Begawan Kamasetyo hanya menggeleng-

geleng dengan helaan napas tipis. Begitu 

serangan kedua tokoh sesat itu mendekat, 

tubuhnya sedikit dimiringkan ke kiri. Se-

hingga sambaran golok dapat dihindari 

dengan baik. Bahkan sekaligus membalas 

serangan kedua kakek iblis itu dengan to-

tokan jari-jari tangannya.

Tuk! Tuk!

"Aaakh...!"

Semua itu dilakukan Begawan Kama-

setyo dengan cepat sekali. Sehingga dalam 

sekejap saja, iga kiri Raja Golok Dari 

Utara dan ulu hati Raja Racun Dari Sela-

tan terkena totokan jari-jari tangan Be-

gawan Kamasetyo, mereka kontan terpekik 

dengan wajah pucat pasi. Tubuh mereka 

terjajar beberapa langkah. Tampak baju di 

bagian tubuhnya yang tertotok tadi berlu-

bang!

"Apa kalian masih tetap bersikeras 

untuk tidak cepat-cepat angkat kaki dari 

tempat ini?" kata Begawan Kamasetyo penuh 

perbawa.


Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-

cun Dari Selatan cukup tahu diri. Mereka 

bukanlah orang-orang bodoh. Menghadapi 

Siluman Naga Puspa saja masih kewalahan. 

Apalagi sekarang ditambah Begawan Kama-

setyo?

"Ingat, Begawan! Kau harus membayar 

mahal penghinaanmu ini," desis Raja Golok 

Dari Utara penuh kemarahan. Sedang Raja 

Racun Dari Selatan hanya mendelik penuh 

kebencian.

Sehabis berkata begitu, kedua iblis 

ini segera berbalik. Begitu menjejakkan 

kaki, mereka segera berkelebat meninggal-

kan tempat itu. Dalam sekejap saja mereka 

telah menjadi dua titik hitam di kejauhan 

sana, lalu menghilang di lereng pegunun-

gan. 

Begawan Kamasetyo menggeleng-

gelengkan kepala.

"Dunia persilatan bisa cepat tamat 

kalau orang-orang seperti mereka tidak 

cepat dibasmi," gerutu orang tua itu pada 

diri sendiri. "Sayang sekali aku tidak 

mempunyai murid. Tapi...?"

Tiba-tiba saja Begawan Kamasetyo 

teringat pemuda yang hendak ditolongnya 

tadi. Dengan gerakan ringan, cepat dide-

katinya Mahesa. Di tempat itu ternyata 

Siluman Naga Puspa yang sebenarnya adalah 

anak kandungnya sendiri tengah menunggui 

Mahesa. Begawan Kamasetyo trenyuh sekali.


Ditepuk-tepuknya kepala Siluman Naga Pus-

pa sebentar. Lalu dipondongnya Mahesa 

yang tak sadarkan diri menuju ke tempat 

pertapaannya di sebelah barat lereng Pe-

gunungan Dieng.

Siluman Naga Puspa mengikutinya da-

ri belakang dengan desisan-desisannya 

yang aneh!

***

Mahesa telah direbahkan di ranjang. 

Sementara Siluman Naga Puspa ikut masuk 

ke dalam kamar, memperhatikan Begawan Ka-

masetyo yang sedang mengobati Mahesa.

"Ohh...!"

Mahesa tersadar dengan lenguhan ha-

lus menyertai. Sebelum mata Mahesa terbu-

ka, Siluman Naga Puspa cepat keluar. Se-

dangkan Begawan Kamasetyo langsung mera-

sakan kejanggalan sikap putrinya.

"Terima kasih, Kek. Kau telah me-

nyelamatkan nyawaku," ujar Mahesa dengan 

susah payah, setelah matanya terbuka dan 

samar-samar melihat seorang laki-laki tua 

di sisinya.

"Jangan banyak bicara dulu, Anak 

Muda! Urusan terima kasih bisa diurus 

nanti. Sekarang, minum saja obat itu! Pu-

kulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam' Ra-

ja Racun Dari Selatan memang keji sekali. 

Untungnya tubuhmu cukup kuat," ujar Bega


wan Kamasetyo.

Mahesa mengangkat tubuhnya dengan 

susah payah. Begawan Kamasetyo membantu 

menyandarkannya ke dinding gua. 

"Nah! Sekarang, minumlah obat ini!" 

Begawan Kamasetyo menyorongkan gelas dari 

batok kelapa itu ke dekat mulut Mahesa.

Mahesa meminumnya. Pahit! Perlahan-

lahan cairan kental berwarna hitam itu 

masuk ke dalam perutnya. Langsung terasa 

panas, seperti mau membakar ususnya. Ma-

hesa menggigil. Keringat sebesar biji ja-

gung segera membasahi keningnya. Bibirnya 

digigit kuat-kuat.

"Bersemadi lah, Anak Muda! Nanti 

hawa panas itu akan hilang sendiri. Jika 

tubuhmu cukup kuat menahan racun kelabang 

hitam, mungkin dalam dua atau tiga hari 

kemudian kau akan sembuh."

"Terima kasih, Kek."

Mahesa mengangkat tubuhnya. Tidak 

terlalu berat seperti tadi. Hanya saja, 

hawa panas dalam perutnya masih berputar-

putar. Mahesa tidak membuang-buang waktu 

lagi. Segera diambilnya sikap bersemadi. 

Langsung pikirannya dipusatkan pada Sang 

Pencipta.

Begawan Kamasetyo berjalan keluar. 

Di mulut gua, Siluman Naga Puspa sedang 

memandang hamparan pematang di kejauhan 

sana. Lelaki tua ini segera mendekati pu-

trinya.


"Ada apa, Ratri? Mengapa kau tidak 

menemani Ayah menyembuhkan pemuda itu?" 

tanya Begawan Kamasetyo.

Siluman Naga Puspa menoleh. Wajah-

nya lain dari biasanya.

Begawan Kamasetyo terkejut. Sepa-

sang mata yang mencorong di depannya be-

rair. Aneh sekali!

"Kau menangis, Ratri? Ada apa?" 

tanya Begawan Kamasetyo heran.

Siluman Naga Puspa mendesis-desis. 

Tingkahnya aneh sekali. Begawan Kamasetyo 

mendengarkan dengan seksama.

"Oh...! Kau menanyakan nama pemuda 

itu?" tebak lelaki tua ini.

Siluman Naga Puspa mengangguk.

"Hm, Aku lupa belum menanyakannya."

Siluman Naga Puspa mendesis-desis 

lagi.

"Ya..., ya! Nanti aku tanyakan, 

siapa nama pemuda itu," kata Begawan Ka-

masetyo menukas. Matanya yang tua meman-

dangi putrinya penuh perhatian.

Siluman Naga Puspa mengalihkan pan-

dangan ke hamparan pematang di kejauhan 

sana. Sepasang matanya yang mencorong te-

tap berair.

"Ada apa, Ratri? Apakah kau..., kau 

menyukainya?" tanya Begawan Kamasetyo, 

kelu.

Siluman Naga Puspa diam tak menya-

hut. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.


Aneh sekali. Tingkah lakunya saat itu 

persis sekali seperti seorang gadis. An-

dai saja wujudnya berupa sosok manusia, 

tentu pipinya akan merona merah dan ter-

sipu malu.

Begawan Kamasetyo trenyuh sekali. 

Tak sepatah kata pun terucap dari bibir-

nya. Dipandangnya wajah putrinya seben-

tar, lalu melangkah masuk ke dalam mulut 

gua yang bernama Gua Burangrang.

***

Waktu terus bergulir, meniti alam.

Tiga hari terlewat sudah. Kesehatan 

Mahesa pun sudah pulih seperti sedia ka-

la. Wajahnya yang tampan tidak lagi pu-

cat. Dan saat ini, dia sedang duduk ber-

simpuh di depan Begawan Kamasetyo.

"Aku mengucapkan terima kasih ba-

nyak, Kek. Kau telah menyelamatkan nyawa-

ku. Seumur hidup, aku tidak bisa melupa-

kan kebaikanmu, Kek," ucap Mahesa, seraya 

merangkapkan tangan di depan hidung.

Begawan Kamasetyo diam sambil men-

gelus-elus jenggotnya yang panjang memu-

tih. Matanya sayu memandangi Mahesa. Ha-

tinya sedih, menyadari kalau putrinya 

mencintai Mahesa!

"Jangan terlalu banyak peradatan, 

Anak Muda! Sebaiknya ceritakan saja men-

gapa kau sampai bentrok dengan Raja Golok



Dari Utara clan Raja Racun Dari Selatan 

tempo hari!" ujar Begawan Kamasetyo.

"Tidak terlalu istimewa, Kek. Bebe-

rapa bulan yang lalu, aku pernah bentrok 

dengan Raja Racun Dari Selatan. Mungkin 

dia masih penasaran, Kek...."

"Bukan hanya penasaran. Tapi, juga 

ingin menghendaki nyawamu, Anak Muda!" 

sela Begawan Kamasetyo.

"Ya, ya. Aku mengerti, Kek."

"Nah! Sekarang, rencanamu mau ke 

mana, Anak Muda? Apakah kau masih ingin 

beristirahat di sini barang beberapa ha-

ri?" tanya Begawan Kamasetyo ingin tahu.

"Aku ingin meneruskan perjalanan ke 

Gunung Batu, Kek. Aku masih mempunyai se-

dikit urusan dengan Eyang Guru."

"Hm.... Kalau boleh tahu, siapa na-

ma gurumu, Anak Muda?"

"Hm..., hm. Sebenarnya, aku malu. 

Guruku sering berpesan agar jangan menye-

but-nyebut nama Guru. Tapi berhubung Ka-

kek telah banyak berbuat baik, aku akan 

mengakuinya. Terus terang guruku bernama 

Eyang Ki Ageng Banaran, atau lebih ter-

kenal sebagai Pendekar Pedang Kilat Bua-

na."

"Pantas! Pantas! Ilmu silatmu ting-

gi sekali," puji Begawan Kamasetyo penuh 

kagum.

"Ah! Kepandaianku belum seberapa, 

Kek. Aku masih perlu banyak belajar," de


sah Mahesa merendah.

"Tidak! Jangan terlalu merendahkan 

diri, Anak Muda. Buktinya saja, kau mampu 

menghadapi Raja Racun Dari Selatan dan 

Raja Golok Dari Utara!"

"Itu belum seberapa, Kek. Buktinya, 

aku kalah. Untung Kakek cepat datang me-

nolong."

Begawan Kamasetyo tersenyum. Dia 

sudah cukup paham dengan watak para pen-

dekar seperti Mahesa. Dan inilah yang me-

resahkan Begawan Kamasetyo, karena selama 

tiga hari ini diam-diam Siluman Naga Pus-

pa selalu memperhatikan pemuda itu dengan 

sorot mata aneh. Sorot mata yang penuh 

kasih!

Sebenarnya, ini yang membuat Bega-

wan Kamasetyo menahan kepergian Mahesa. 

Di sisi lain, dia harus memikirkan kea-

daan putrinya yang masih berwujud ular 

raksasa. Sampai saat ini dia tidak tahu 

harus bertindak bagaimana. Terus terang, 

semua ini karena kesalahannya, dan kesa-

lahan putrinya sendiri. Ratri dulu begitu 

nekat ingin menguasai ilmu 'Titisan Silu-

man Ular Putih'. Namun karena tidak kuat

menahan pantangan sewaktu sedang bertapa, 

Ratri berubah wujud menjadi Siluman Naga 

Puspa yang selalu menebarkan harum bunga 

melati. Aneh sekali, memang. Mungkin itu 

dikarenakan Ratri adalah seorang gadis 

cantik. Ataukah memang watak dari ilmu


itu sendiri? Tak ada yang tahu.

Bahkan Begawan Kamasetyo pun tidak 

tahu. Otaknya benar-benar buntu. Sudah 

bertahun-tahun dia bertapa untuk meminta 

petunjuk Yang Maha Kuasa, namun belum ju-

ga dikabulkan. Sebenarnya dalam dirinya 

ada keinginan untuk meminta petunjuk pada

Mahesa. Namun entah mengapa, dia malu me-

lakukannya.

"Mahesa...!" panggil Begawan Kama-

setyo tanpa sadar menyebut nama pemuda di 

hadapannya. Padahal dia sudah cukup men-

genal nama pemuda itu, selama dirawat di 

tempat kediamannya, Gua Burangrang. 

"Ada apa, Kek? Nampaknya kau ingin 

menanyakan sesuatu padaku?" tanya Mahesa.

"Ya..., ya! Sebenarnya aku memang 

ingin menanyakan sesuatu padamu, Mahesa. 

Namun terus terang aku ragu-ragu, apakah 

kau dapat menolongku atau tidak."

"Katakanlah, Kek! Mudah-mudahan aku 

bisa menjawabnya," ujar Mahesa. 

Begawan Kamasetyo diam sejenak. Ma-

tanya yang tajam memperhatikan Mahesa 

seksama.

"Ya..., ya! Aku memang mau mengata-

kannya padamu, Mahesa," kata begawan Ka-

masetyo.

Sejenak lelaki tua ini menghentikan 

bicaranya. Tiba-tiba saja dirasakan dind-

ing-dinding gua itu bergetar-getar hebat 

diiringi harum bunga melati yang menyen


gat hidung.

Mahesa cepat meloncat dari tempat 

duduknya. Dengan seksama matanya memper-

hatikan mulut gua.

"Bau apa ini, Kek? Kok, wangi seka-

li?" tanya Mahesa.

Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-

kannya. Malah diperhatikannya sisi dind-

ing gua yang lain.

"Ratri! Hentikan!" teriak Begawan 

Kamasetyo menggemuruh memenuhi ruangan.

Mahesa terlongong. Dia tidak tahu, 

kepada siapa Begawan Kamasetyo berbicara. 

Dan anehnya, sehabis Begawan Kamasetyo 

berteriak, perlahan-lahan getaran-getaran 

dinding gua pun mereda. Demikian pula bau 

harum bunga melati yang memenuhi ruangan.

"Ada apa ini, Kek? Kok, tiba-tiba 

saja Kakek berbicara dengan seseorang?" 

tanya Mahesa.

Begawan Kamasetyo mengisyaratkan 

Mahesa untuk duduk. Dan pemuda itu pun 

menurutinya.

"Kau tahu, mengapa tiba-tiba saja 

dinding gua itu bergetar, Mahesa?" tanya 

Begawan Kamasetyo.

Mahesa menggelengkan kepalanya.

"Putriku keberatan aku menceritakan 

persoalan kami padamu, Mahesa," Begawan 

Kamasetyo menjawab pertanyaannya sendiri 

dengan wajah sedih.

"Putri Kakek? Maksud..., maksudku,


Kakek mempunyai anak?" tanya Mahesa tak 

habis pikir.

Begawan Kamasetyo mengangguk.

"Tapi..., tapi, me..., mengapa Ka-

kek tidak mengenalkannya padaku?" tuntut 

Mahesa.

"Putriku tidak mau. Dia malu berte-

mu denganmu."

"Mengapa, Kek?" tanya Mahesa tak 

mengerti.

Begawan Kamasetyo menggelengkan ke-

palanya. Lemah.

"Tolong, Kek! Aku ingin mengenal 

putrimu." 

"Tidak bisa!"

"Mengapa, Kek?" desak Mahesa pena-

saran. 

"Sudahlah! Sebaiknya jangan membi-

carakan putriku," ujar Begawan Kamasetyo 

seraya mengibaskan tangannya. "Cepatlah 

kau tinggalkan tempat ini! Katanya, kau 

ingin meneruskan perjalanan?"

"Kakek mengusirku?" tanya Mahesa 

penasaran sekali.

"Bukan begitu. Tapi, sebaiknya ce-

patlah tinggalkan tempat ini!"

Mahesa menghela napas berat.

"Baiklah!"

Mahesa beranjak dari tempat duduk-

nya, lalu melangkah. Begawan Kamasetyo 

mengantarnya sampai ke mulut gua. Dengan 

berat hati pemuda itu meninggalkan tempat


ini.

Begawan Kamasetyo terus mengikuti 

kepergian Mahesa dengan pandangan ma-

tanya. Cepat sekali gerakan kaki pemuda 

itu. Dalam sekejap saja, pemuda itu sudah 

sampai di lereng sebelah barat, dan meng-

hilang di balik rimbunnya pepohonan.

Sementara itu dari tempat persembu-

nyiannya, Siluman Naga Puspa memperhati-

kan kepergian Mahesa dengan pandangan ma-

ta aneh. Sepasang matanya yang mencorong 

itu berair. Aneh sekali!

Begawan Kamasetyo yang baru saja 

mencari putrinya di tempat pertapaannya 

mendekat. Hatinya sedih sekali melihat 

Ratri yang terus memperhatikan lereng se-

belah barat, arah Mahesa pergi tadi.

"Ratri! Mengapa kamu keluar dari 

tempat pertapaanmu?" tanya Begawan Kama-

setyo.

Ratri atau Siluman Naga Puspa itu 

diam tak menyahut. Sepasang matanya yang 

mencorong itu semakin dibasahi air. Dan 

mulutnya keluar desis-desis aneh.

"Oh...! Aku mengerti, Anakku! Aku 

mengerti. Kau..., kau mencintainya?" ke-

luh Begawan Kamasetyo.

Siluman Naga Puspa mendesis-desis 

lagi, seolah-olah sedang mengadukan na-

sibnya kepada Begawan Kamasetyo.

"Teruslah bertapa, Anakku! Mintalah 

petunjuk pada Yang Maha Kuasa! Siapa tahu



Dia mau bermurah hati padamu."

Sambil berkata begitu, Begawan Ka-

masetyo mengalihkan pandangan ke angkasa. 

Bibirnya berkemik-kemik memanjatkan doa.

2

Siluman Naga Puspa telah kembali ke 

tempat pertapaannya. Dia bertekad akan 

terus meminta petunjuk pada Yang Maha Ku-

asa. Dan sebelum permohonannya dikabul-

kan, dia tidak akan keluar dari tempat 

pertapaannya.

Siluman Naga Puspa tidak pernah 

berputus asa hingga tak terasa tiga puluh 

sembilan hari terlewat sudah. Dan tepat 

pada malam ke empat puluh hari, tiba-tiba 

saja asap putih bergulung-gulung di de-

pannya. Perlahan asap itu menjelma menja-

di seorang pemuda tampan yang baru-baru 

ini telah ditolong dan sekaligus dicin-

tainya. Mahesa!

Hampir saja perasaan Siluman Naga 

Puspa tergugah. Namun kali ini Siluman 

Naga Puspa tidak ingin gagal untuk yang 

kedua kalinya. Dulu kira-kira empat tahun 

lalu, saat bertapa seperti ini dia pernah 

digoda seorang pemuda tampan yang sangat 

dicintai. Namanya Sangaji.

Waktu itu, Ratri benar-benar tidak 

dapat mengendalikan diri lagi. Teriakan-

teriakan Begawan Kamasetyo yang memperin


gatkannya tidak lagi dihiraukannya. Begi-

tu melihat Sangaji, pendekar muda yang 

sebenarnya sudah meninggal sewaktu ber-

tempur hebat melawan Algojo Dari Timur 

bersamanya beberapa tahun lalu, Ratri pun 

langsung menubruk dengan segenap perasaan 

cintanya. Dia tak peduli kalau sedang 

bertapa. Begitu tersadar kalau Sangaji 

ternyata hanyalah godaan saja, Ratri pun 

langsung menjerit menyayat. Apalagi per-

lahan-lahan dari ujung kakinya hingga ke 

tubuhnya, mulai berubah menjadi tubuh 

ular. Bukan main menyayatnya tangis Ratri 

saat itu.

Namun, untungnya dalam bertapanya 

kali ini, Ratri atau Siluman Naga Puspa 

cepat tersadar kalau Mahesa yang berada 

di hadapannya hanyalah godaan semata! 

Atas dorongan kehendak suci untuk menjel-

ma kembali menjadi manusia biasa, Siluman 

Naga Puspa pun dapat mengatasinya. Perla-

han-lahan gulungan asap putih yang men-

jelma menjadi Mahesa pun buyar. Namun ti-

dak lama kemudian....

"Wahai, Anak Manusia! Sebenarnya 

keinginanmu telah dikabulkan. Tapi, in-

gat! Waktumu tidak lama. Hanya satu ta-

hun. Ingat itu, Anak Manusia! Waktumu 

hanya satu tahun...."

Terdengar suara menggema yang entah 

dari mana datangnya. Begitu suara itu 

menghilang, secara ajaib sekali sekujur


tubuh Siluman Naga Puspa pun mulai diba-

luti asap putih kekuning-kuningan. Dan 

ketika asap itu menghilang perlahan-

lahan, tampaklah seorang gadis cantik 

berpakaian kuning dengan rambut hitam 

panjang digelung ke atas dalam keadaan 

duduk bersemadi!

Ratri terkejut bukan main. Dipan-

danginya sekujur tubuhnya dengan mata 

terbelalak, seolah-olah kurang memper-

cayai penglihatannya. Namun bila teringat 

waktu yang diberikan Yang Maha Kuasa 

hanya satu tahun, gadis itu jadi menangis 

sedih.

"Ratri! Kau.... Kau sudah beru-

bah...?" pekik Begawan Kamasetyo yang te-

lah berdiri di ambang pintu ruangan per-

tapaan anaknya.

Ratri tidak menyahut. Suara tangis-

nya terdengar semakin memilukan.

Ayah gadis ini berjalan mendekat.

"Kau harus bersyukur, Ratri! Kau 

harus bersyukur. Mengapa malah menangis?" 

tanya Begawan Kamasetyo heran bukan main.

Ratri menubruk Begawan Kamasetyo, 

langsung menangis sepuas-puasnya dalam 

pelukan ayahnya.

"Lho? Kok, malah menangis? Ada apa 

ini?"

"Aku..., aku hanya diberi waktu se-

tahun, Ayah. Setelah itu aku kembali ber-

wujud menjadi ular," tutur Ratri menangis


memilukan hati.

Hati Begawan Kamasetyo trenyuh se-

kali. Matanya perih saking tidak kuatnya 

menahan guncangan batinnya.

"Tabahkan hatimu, Anakku!" ujar Be-

gawan Kamasetyo seraya memeluk tubuh pu-

trinya erat-erat.

"Izinkan aku turun gunung, Ayah!" 

pinta Ratri di antara suara tangisnya.

"Kau ingin mencari Mahesa?" tebak 

Begawan Kamasetyo, dapat membaca jalan 

pikiran anaknya.

"Benar, Ayah. Aku..., aku sangat 

mencintainya...."

Tak tega Begawan Kamasetyo untuk 

mencegah kemauan Ratri saat itu walau ha-

tinya berat sekali.

"Pergilah, Ratri! Lakukan apa yang 

kau inginkan!" kata Begawan Kamasetyo se-

rak.

Ratri memeluk tubuh ayahnya erat-

erat.

***

Ratri memacu kudanya tanpa tujuan. 

Sudah dua minggu lebih gadis putri Bega-

wan Kamasetyo keluar masuk hutan belanta-

ra. Namun, pemuda yang dicarinya belum 

juga ditemukan. Ratri tidak putus asa. 

Keinginannya untuk bertemu Mahesa demi-

kian menggebu-gebunya. Tak peduli siang


maupun malam, kudanya terus dipacu. Dan 

dia hanya beristirahat seperlunya saja.

Dan di siang yang panas ini, ketika 

matahari panas memanggang bumi, Ratri 

tengah menuruni lereng Gunung Kembang. 

Dalam keadaan perlahan begini, tampak je-

las wajahnya yang cantik sekali. Rambut-

nya yang hitam panjang digelung ke atas. 

Bola matanya berwarna hitam pas sekali 

dengan alisnya yang hitam. Hidungnya man-

cung, bibirnya pun tipis berwarna merah 

merekah. Sedang tubuhnya yang tinggi 

ramping dibalut pakaian kuning-kuning.

Baru saja gadis ini menuruni le-

reng, mendadak saja....

"Hieeekh...!"

Tiba-tiba saja kuda Ratri meringkik 

hebat dengan kedua kaki depan terangkat 

tinggi-tinggi. Ratri terkejut dan kewala-

han bukan main. Tubuhnya yang tinggi 

ramping hampir saja terlempar. Sesaat ke-

mudian, tubuh kudanya terbetot masuk ke 

dalam tanah.

Ratri tak dapat lagi mengendalikan 

kudanya. Cepat dia melenting turun dari 

punggung kudanya. Begitu mendarat, ma-

tanya liar mencari siapa yang telah usil 

menghalangi jalannya. Hatinya kesal bukan 

main saat tidak menemukan siapa-siapa. 

"Bedebah! Siapa yang berani usil 

menghalangi jalanku?!" teriak Ratri penuh 

kemarahan.


Tidak ada sahutan. Namun Ratri 

hanya mendengar suara tawa seseorang yang 

entah dari mana datangnya. Kepalanya ce-

lingukan mencari-cari di ranting-ranting 

beberapa pohon yang tumbuh di sekitarnya. 

Tapi tetap saja orang yang dicarinya ti-

dak ditemukan. Malah, suara tawa orang 

itu semakin memekakkan gendang telin-

ganya.

Ratri menggeram marah. Dia yakin, 

suara sumbang itulah yang telah mengha-

dang jalannya. Entah menggunakan ilmu 

apa, hingga menyebabkan kudanya ketakutan 

dan terperosok ke dalam tanah. Mungkin 

menggunakan semacam ilmu menyedot tenaga 

hingga menyebabkan kudanya mati lemas. 

Dan berarti orang itu berkepandaian ting-

gi. Menyadari hal ini Ratri harus hati-

hati menghadapi orang itu.

"Pengecut! Ayo, tampakkan dirimu 

kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!" 

teriak Ratri membahana memenuhi dataran 

tandus berbatu itu.

"He he he...! Aku di sini, Cah Ayu! 

Mengapa kau marah-marah?"

Ratri cepat berbalik. Di ranting 

pohon yang menjuntai ke jalan setapak 

itu, tampak seorang lelaki duduk menjun-

tai sambil ongkang-ongkang kaki. Padahal 

ranting itu hanya sebesar jari kelingk-

ing. Namun anehnya tidak patah atau ber-

goyang-goyang menahan berat badannya yang


tinggi besar seperti raksasa. Pakaiannya 

norak sekali. Berwarna merah dan kuning. 

Kepalanya hampir gundul, terkecuali yang 

tersisa dan dikuncir ke atas.

Wajah lelaki berusia sekitar lima 

puluh tahun itu sangat menyeramkan. Ma-

tanya besar dengan hidung besar tanpa ku-

mis dan jenggot. Rahangnya yang keras 

bertonjolan dengan sebuah anting bundar 

besar menggelantung di telinga kirinya. 

Dia tidak lain adalah salah seorang tokoh 

sesat dari timur. Siapa lagi kalau bukan 

Algojo Dari Timur!

Mata Ratri terbelalak lebar. Bukan-

nya takut melihat orang yang menghadang 

jalannya, melainkan heran melihat keda-

tangan Algojo Dari Timur. Padahal tadi, 

tempat Algojo Dari Timur duduk ongkang-

ongkang kaki sudah diperhatikan. Dan se-

karang tahu-tahu orang itu sudah duduk di 

sana. Ratri jadi tidak habis pikir. Ba-

gaimana telinganya bisa tidak mendengar 

langkah kaki orang itu selagi perhatian-

nya tertuju ke tempat lain? Dan ini jelas 

membuktikan kalau ilmu meringankan tubuh 

orang itu tinggi sekali. Mau tak mau ga-

dis ini harus hati-hati sekali menghada-

pinya.

"Hm...! Rupanya kau Algojo Dari Ti-

mur!" desis Ratri penuh kemarahan.

Lelaki tinggi besar ini tertawa 

mengakak. Nadanya menyepelekan Ratri.


Gadis itu menggeretakkan geraham-

nya. Suara tawa algojo itu demikian meme-

kakkan telinganya. Maka cepat tenaga da-

lamnya dikerahkan untuk melindungi gen-

dang telinganya.

Algojo Dari Timur semakin mening-

katkan suara tawanya, membuat tubuh Ratri 

gemetaran. Dan pada puncaknya, gadis ini 

tidak tahan lagi. Kalau hal ini dibiarkan 

dia bisa mati diserang suara tawa Algojo 

Dari Timur. Maka segera kedua tangannya 

menghentak ke depan.

"Pukulan 'Inti Bumi'! Heaaa...!"

Wesss!

Seleret sinar putih terang dari te-

lapak tangan kiri Ratri melesat menyerang 

Algojo Dari Timur. 

"Hm...!"

Algojo Dari Timur menggumam tak je-

las, seraya meloncat turun dari ranting 

pohon. Setelah berputaran beberapa kali, 

kakinya mendarat manis di hadapan Ratri 

tanpa menimbulkan suara.

Trasss!

Tepat pada saat itu, pohon yang di-

tinggalkan Algojo Dari Timur langsung 

layu menghitam, begitu pukulan 'Inti Bu-

mi' Ratri menghantam.

"Hmm...! Apa kabar, si tua bangka 

keparat itu, Ratri?" sapa Algojo Dari Ti-

mur lagi, dingin menggetarkan.

Ratri menggeram marah. Yang dimak


sudkan si tua bangka keparat itu tidak 

lain adalah ayahnya sendiri, Begawan Ka-

masetyo.

"Dua kali kau telah menghinaku, Al-

gojo! Pertama kau menghadangku dan membu-

nuh kudaku. Kedua, kau hina ayahku. Aku 

tidak akan mengampuni nyawa busukmu. 

Hyaaat...!"

Sehabis berkata begitu, Ratri lang-

sung menyerang Algojo Dari Timur dengan 

kedua tangannya menghentak berganti-

ganti, melepaskan pukulan-pukulan maut-

nya. Yang kanan mengandung tenaga pukulan 

'Inti Api' sedang yang kiri mengandung 

tenaga pukulan 'Inti Bumi'.

Algojo Dari Timur cukup mengenali 

pukulan maut itu. Dan dia tidak berani 

main-main. Segera kedua tangannya meng-

hentak pula, setelah merangkum pukulan 

'Badai Gurun Pasir'. Akibatnya....

Blar! Blar...!

Dua ledakan dahsyat terdengar dis-

ertai percikan bunga api. Sementara, tam-

pak Algojo Dari Timur tergetar hebat. Se-

dang Ratri terhuyung-huyung beberapa 

langkah ke belakang. Dari sini bisa dili-

hat kalau tenaga dalam Algojo Dari Timur 

lebih tinggi satu atau dua tingkat.

Ratri yang menyadari keadaan itu 

tidak berani mengadu tenaga dalam lagi. 

Untuk itu, segera jurus 'Ular Naga Membe-

lah Bumi' dimainkan. Maka dalam sekejap


saja tubuhnya telah bergerak lincah me-

nyerang Algojo Dari Timur.

Mendapat serangan dahsyat ini Algo-

jo Dari Timur kewalahan bukan main. Gera-

kan-gerakan kaki dan tangan gadis itu su-

lit sekali diimbangi. Dan hampir sepuluh 

jurus lebih, lelaki tinggi kekar itu be-

lum dapat membalas serangan. Padahal dia

telah mengeluarkan jurus andalannya. Maka 

secepat kilat tubuhnya melenting ke bela-

kang, membuat jarak.

"Gggeeerrr...!"

Algojo Dari Timur menggeram marah. 

Kedua tangannya segera disilangkan di de-

pan dada. Kedua kakinya direntangkan le-

bar-lebar. Sedang kedua telapak tangannya 

sampai ke pangkal lengan telah berubah 

menjadi merah kekuning-kuningan penuh ha-

wa racun.

"Pukulan 'Pemecah Bumi'...!" desis 

Ratri ngeri.

Dulu sebelum gadis itu menjelma 

menjadi siluman ular putih, kehebatan pu-

kulan itu pernah dirasakannya. Dan seka-

rang dia tidak ingin mengulangi kekala-

hannya beberapa tahun lalu. Namun untuk 

mengeluarkan ilmu pamungkasnya, Ratri ti-

dak berani. Dia takut tubuhnya kembali 

menjelma menjadi siluman ular putih!

Sring!

"Heaaa...!"

Terpaksa Ratri mencabut pedang dari


balik punggungnya, dan langsung menyerang 

terlebih dahulu. Sementara Algojo Dari 

Timur tenang-tenang saja menghadapinya. 

Kedua telapak tangannya yang telah meme-

rah pun segera dihentakkan ke depan mema-

pak serangan Ratri.

"Hup!"

Ratri meloncat tinggi ke udara. 

Sambil menghindari pukulan berhawa panas 

itu, ujung pedangnya siap mengancam ubun-

ubun Algojo Dari Timur. 

"Ah...!".

Algojo Dari Timur melempar tubuhnya 

ke samping kanan. Sambil bergulingan kem-

bali pukulan mautnya dilontarkan.

Wesss!

Seleret sinar merah kekuning-

kuningan itu kembali mengancam. Ratri ka-

get bukan main. Sungguh tidak disangka 

dirinya akan diserang dalam jarak yang 

demikian dekat. Maka tanpa ampun lagi....

Buk!

"Augh!"

Tubuh ramping yang melayang-layang 

itu pun terkena pukulan berhawa panas mi-

lik Algojo Dari Timur. Ratri memekik ke-

cil. Tubuhnya langsung terlempar beberapa 

tombak ke belakang. Dadanya yang terkena 

pukulan terasa nyeri bukan main, pertanda 

mengalami luka dalam yang parah.

"Huaagh!"

Begitu jatuh ke tanah Ratri memun


tahkan darah segar. Wajahnya pucat pasi. 

Bibirnya bergetar-getar. Gadis ini beru-

saha bangun, namun tak mampu. Tubuhnya 

yang lemah itu pun terkulai ke tanah.

Melihat hal ini, Algojo Dari Timur 

tertawa-tawa kegirangan seraya bangkit 

berdiri. Didekatinya tubuh gadis itu, dan 

berjongkok di sisinya.

"Hm.... Sayang sekali kau harus ma-

ti dalam usia muda, Cah Ayu. Tapi..., ti-

dak! Tidak! Aku akan menikmati tubuhmu, 

baru aku membunuhmu," kata Algojo Dari 

Timur kegirangan.

Ratri pucat pasi mendengar ucapan 

lelaki tinggi besar itu. Bukannya takut 

mati, melainkan ngeri membayangkan tubuh-

nya akan dinikmati iblis berkepala botak 

itu. Dan dengan gerakan cepat tahu-

tahu....

Tuk! Tuk!

Algojo Dari Timur menotok tubuh Ra-

tri! Gadis ini mengeluh kecil tanpa bisa 

menggerakkan tubuhnya lagi. Ingin rasanya 

bunuh diri saat itu juga, tapi apa 

dayanya sekarang?

Tangan Algojo Dari Timur yang kekar 

tahu-tahu menyambar pakaian di tubuh Ra-

tri. 

Bret! Bret!

Ratri memekik tertahan. Matanya 

liar memandangi Algojo Dari Timur.

"Jahanam busuk! Apa yang ingin kau


lakukan?!" teriak Ratri serak.

"He he he...! Apa yang ingin kula-

kukan?!"

Algojo Dari Timur mengerjap-

ngerjapkan matanya nakal. Tubuh mulus di 

depan matanya demikian menggiurkan. Naf-

sunya kontan bergolak. Dia menelan ludah-

nya beberapa kali.

"Kau lihat saja, Cah Ayu. Pasti 

mengasyikkan...," lanjut Algojo Dari Ti-

mur dengan suara tersendat di tenggoro-

kan.

Ratri memejamkan matanya. Setetes 

air matanya jatuh membasahi pipi. Dia ti-

dak tahu musibah apa yang akan dihada-

pinya. Yang jelas, lebih kejam dan kema-

tian.

***

"Iblis Gundul Dari Timur! Hentikan 

perbuatanmu!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyar-

ing yang menggema memenuhi lereng Gunung 

Kembang.

Algojo Dari Timur memalingkan kepa-

lanya ke belakang. Di hadapannya saat ini 

berdiri seorang pemuda tampan berpakaian 

biru-biru. Wajahnya berbentuk lonjong. 

Matanya tajam seperti burung rajawali. 

Hidungnya mancung dengan bibir tipis. 

Rambut gondrongnya dibiarkan tergerai di


bahunya.

Ratri kaget bukan main, namun se-

kaligus senang. Pemuda tampan di hadapan-

nya adalah orang yang sedang dicari-

carinya selama ini.

"Mahesa...!" panggil Ratri tanpa 

sadar.

Mahesa menoleh ke arah Ratri dengan 

pandangan heran bercampur gembira. Kecan-

tikan gadis itu memang membuat darahnya 

berdesir. Namun sayangnya, dia tidak men-

genali siapa gadis ini. Pemuda itu hanya 

tersenyum manis ke arah Ratri, lalu kem-

bali perhatiannya ditujukan ke arah Algo-

jo Dari Timur.

"Keparat! Lagi-lagi kau yang meng-

halangiku," geram Algojo Dari Timur penuh 

kemarahan. Parangnya yang dari tadi dis-

embunyikan di balik punggung segera dike-

luarkan. Cukup besar dan panjang.

Mahesa hanya tersenyum. Sekali dia 

pernah berhadapan dengan Algojo Dari Ti-

mur dalam sebuah pertarungan sengit. Di 

akhir pertarungan, Algojo Dan Timur harus 

mengakui keunggulan Mahesa, dan terpaksa 

melarikan diri. Dan kalau sekarang harus 

bertarung kembali, pemuda itu sama sekali 

tidak gentar.

"Ya..., ya! Aku memang paling se-

nang mencampuri urusan orang lain. Teru-

tama sekali, orang-orang macam kau!" sa-

hut Mahesa kalem.


"Bedebah! Kalau dulu aku melarikan 

diri bukan berarti kalah, Pendekar Kujang 

Emas! Aku waktu itu belum beruntung saja. 

Dan sekarang, kesaktianku telah bertam-

bah. Maka, hati-hatilah...."

"Ayo, majulah! Jangan pintar ber-

koar saja!" balas Mahesa memanas-manasi.

Algojo Dari Timur menggeram penuh 

kemarahan. Rahangnya yang keras bertonjo-

lan. Matanya liar memandangi Mahesa yang 

dikenal sebagai Pendekar Kujang Emas. 

"Demi iblis! Akan kucincang tubuh-

mu, Pendekar Kujang Emas. Hiyaaat...!" 

Algojo Dari Timur meloncat tinggi 

ke udara. Gerakannya mantap dan lincah 

sekali seperti seekor burung garuda. Pa-

rang di tangan kanannya diayunkan sedemi-

kian rupa, menyerang tubuh Mahesa.

Pendekar Kujang Emas cepat mencabut 

kujangnya. Tangannya cepat mengebut, me-

nangkis babatan parang Algojo Dari Timur.

Trang!

Terjadi benturan keras. Mahesa 

hanya terjajar beberapa langkah. Sedang-

kan Algojo Dari Timur terpental deras. 

Untung dia cepat mematahkan luncuran tu-

buhnya dengan bersalto. Namun begitu men-

darat, tubuhnya sempat terhuyung-huyung.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Mahesa langsung menyerang Algojo Dari Ti-

mur dengan jurus-jurus saktinya. Mau tak 

mau, lelaki tinggi besar itu segera me


layani. Maka dalam sekejap, tubuh mereka 

telah berubah menjadi bayangan biru dan 

kuning kemerah-merahan.

"Hiyaaat...!" 

Pendekar Kujang Emas semakin mem-

pertajam serangan-serangannya. Akibatnya 

dalam beberapa jurus kemudian, Algojo Da-

ri Timur tidak dapat membalas. Dia hanya 

dapat bertahan. Pada satu kesempatan yang 

baik, Mahesa dapat memasukkan ujung mata 

kujangnya tepat mengenai dada Algojo Dari 

Timur.

Crap!

"Augkh...!"

Algojo Dari Timur memekik kesaki-

tan. Begitu ujung kujang itu dicabut, da-

rah pun mulai menyembur keluar dari lu-

kanya.

Algojo Dari Timur menggeram penuh 

kemarahan. Luka di dadanya memang tidak 

begitu membahayakannya. Secepat kilat, 

lelaki ini memutar parangnya membalas se-

rangan-serangan Mahesa. Namun, yang diha-

dapi bukan pendekar kemarin sore. Dengan 

meliuk-liukkan tubuhnya, Pendekar Kujang 

Emas membuat serangan-serangan Algojo Da-

ri Timur hanya menemui jalan buntu. Apa-

lagi ketika pemuda itu mulai memainkan 

jurus sakti 'Kilat Menyambar Bumi'.

Algojo Dari Timur benar-benar tak 

berkutik. Tubuhnya yang tinggi besar en-

tah sudah berapa kali harus berjumpalitan


di udara.

"Setan alas!" maki Algojo Dari Ti-

mur menggeretakkan gerahamnya. Matanya 

liar memandangi Mahesa

Pendekar Kujang Emas tersenyum men-

gejek melihat kedua telapak tangan Algojo 

Dari Timur telah berubah menjadi merah 

kekuning-kuningan.

"Ayo! Keluarkan semua kepandaianmu, 

Algojo. Aku siap meladenimu," ejek pemuda 

murid Pendekar Pedang Kilat Buana ini.

"Pemuda sombong! Kau akan tahu aki-

batnya."

Sehabis berkata demikian, Algojo 

Dari Timur pun kembali menyerang. Tidak 

lagi menggunakan parangnya, melainkan 

dengan kedua telapak tangan yang telah 

berubah menjadi merah kekuning-kuningan.

"Hm...! Cuma pukulan 'Pemecah Mang-

kuk', eh salah! 'Pemecah Bumi'," ledek 

Mahesa, semakin membuat telinga lelaki 

tinggi besar itu memerah

"Keparat!"

Hanya itu yang keluar dari mulut 

Algojo Dari Timur saking tidak kuat mena-

han amarah. Dan kedua telapak tangannya 

yang berwarna merah itu langsung menyam-

bar ke tubuh Pendekar Kujang Emas.

Mahesa menarik tubuhnya ke samping. 

Tangannya yang terangkum pukulan 'Cahaya 

Kilat Biru' mengibas, memapak.

Derrr!


Akibat yang ditimbulkan sungguh he-

bat bukan main. Terdengar ledakan keras. 

Udara di sekitar tempat itu jadi panas. 

Pohon-pohon pun menjadi layu! 

Sementara itu tubuh Algojo Dari Ti-

mur terlempar beberapa tombak ke bela-

kang. Dari mulutnya mengeluarkan darah 

segar, pertanda tokoh sesat dari timur 

itu mengalami luka dalam cukup parah. Dia 

berusaha bangkit, namun terasa ada beban 

berat yang mengganduli.

Sedangkan Mahesa yang sempat ter-

guncang akibat benturan tenaga dalam ta-

di, tertawa sumbang. Wajahnya pucat, na-

mun berusaha tetap kokoh pada kuda-

kudanya.

"Ilmu apa lagi yang akan kau kelua-

rkan, Algojo Dari Timur?!" tantang Pende-

kar Kujang Emas meledek.

Algojo Dari Timur meringis kesaki-

tan dengan napas turun naik bagai anjing 

kehausan. Kembali dia merangkak bangun 

dengan susah payah.

"Jahanam! Kali ini aku mengaku ka-

lah, Bocah. Tapi, ingat! Aku belum pernah 

melepaskan musuhku begitu saja. Tunggu 

saja balasan ku, Bocah!!"

"Nyawa sudah menyangkut di tenggo-

rokan, masih juga besar kepala!" leceh 

Mahesa.

Algojo Dari Timur mendelik. Wajah-

nya kelam membesi saking tidak kuatnya


menahan amarah. Lalu kakinya cepat meng-

geser, siap meninggalkan tempat itu,

Tiba-tiba saja Pendekar Kujang Emas 

teringat gadis cantik yang terkapar di 

bawah pohon nangka itu. Sekali pandang 

saja pemuda ini tahu kalau gadis itu men-

derita luka parah, akibat pukulan beracun 

Algojo Dan Timur. Teringat itu, langsung 

tubuhnya mengejar Algojo Dari Timur.

"Tunggu dulu! Iblis Gundul" ujar 

Pendekar Kujang Emas, menghadang. "Kau 

tidak boleh seenak perutmu meninggalkan 

tempat ini!" 

"Apa lagi?" bentak Algojo Dari Ti-

mur penuh kemarahan.

"Kau harus memberikan obat penawar 

racun mu pada gadis itu," sahut Mahesa, 

enteng.

"Kepandaian ilmu silatmu tinggi. 

Mengapa tidak kau sendiri saja yang men-

gobatinya?!" tukas Algojo Dari Timur.

"Aku bukan ahli obat, tahu?! Ayo, 

berikan obat itu padaku!"

"Kalau aku tidak mau?!"

"Kau akan tahu akibatnya. Apa kau 

pikir pukulanku tadi tidak mengandung ra-

cun, he?! Kau akan mampus dalam tiga hari 

ini, tahu?" ancam Mahesa berbohong.

"Hah?!"

Algojo Dari Timur melengak kaget. 

Matanya mendelik dengan wajah memucat.

"Coba saja tarik napasmu dalam


dalam, kalau tidak percaya. Ada rasa nye-

ri, kan? Ada rasa sesak dalam dadamu...?" 

ujar Pendekar Kujang Emas, menakut-

nakuti.

Algojo Dari Timur penasaran. Lang-

sung napasnya dihela dalam-dalam. Dan, 

memang benar apa yang dikatakan Mahesa 

barusan. Ada rasa nyeri pada dadanya. Dan 

napasnya pun terasa sesak. Menyadari hal 

ini wajah Algojo Dari timur semakin pucat 

pasi.

Mahesa tersenyum dingin. Dalam ha-

ti, dia menertawakan kebodohan laki-laki 

tinggi besar ini. Sudah pasti dada Algojo 

Dari Timur merasa nyeri dengan napasnya 

sesak, karena menderita luka dalam cukup 

parah.

"Benarkan, apa yang kukatakan tadi? 

Nah, sekarang cepat berikan obat penawar 

racun mu. Nanti, kuberitahukan cara meng-

hilangkan racun dari pukulanku tadi," 

ujar Mahesa senang.

Algojo Dari Timur bersungut-sungut, 

namun merogoh juga kantong obat penawar 

racunnya dari balik jubah. Diambilnya dua 

butir obat pulung kecil berwarna hitam 

dari kantongnya. Lalu dilemparkannya ke 

arah Mahesa.

Pendekar Kujang Emas cepat menang-

kapnya.

"Nah! Sekarang, cepat katakan apa 

obat penawar racun mu, Bocah?" tanya Al


gojo Dari Timur tak sabar.

"Gampang. Gampang sekali obat pena-

war racun ku. Mandilah selama tujuh hari 

tujuh malam di Sungai Serayu, biar bau 

badanmu hilang. Itu saja. Gampang kan?"

"Bedebah! Kau membohongiku, Bo-

cah?!" bentak Algojo Dari Timur penuh ke-

marahan.

Mahesa tertawa terbahak-bahak. Se-

nang sekali dia berhasil mempermainkan 

Algojo Dari Timur. Sementara lelaki ting-

gi besar ini hanya bisa memaki-maki, se-

belum akhirnya lari meninggalkan tempat 

itu.

***

Pendekar Kujang Emas masih tertawa-

tawa di tempatnya. Matanya berair saking 

senangnya mempermainkan tokoh sesat ber-

kepala botak itu. Namun ketika mendengar 

erangan halus dari belakang, Mahesa baru 

tersadar. Cepat dihampirinya Ratri.

Sejenak Mahesa terpaku melihat se-

bagian tubuh mulus di hadapannya. Dia se-

perti bingung tak tahu apa yang harus di-

perbuat.

"To..., tolong aku, Mahesa?" rintih 

Ratri.

Mahesa tersentak. Tanpa diminta 

pun, dia senang sekali melakukannya. Na-

mun melihat sebagian tubuh yang menggiur-

kan di depannya, pendekar Kujang Emas pun


jadi jengah sekali. Sambil menutup kedua 

bola matanya, pemuda ini mendekati Ratri. 

Segera ditotoknya tubuh gadis itu bebera-

pa kali, untuk membebaskan pengaruh toto-

kan Algojo Dari Timur.

Ratri terbebas dari pengaruh toto-

kan. Seketika secepatnya dia mengenakan 

pakaian kembali.

Mahesa mengalihkan perhatian ke 

tempat lain. Dan ketika diyakini gadis 

itu selesai berpakaian, baru kepalanya 

berani menoleh.

"Minumlah obat penawar racun ini!" 

ujar Mahesa mengulurkan obat pulung pem-

berian Algojo Dari Timur tadi.

Ratri menerimanya dengan malu-malu. 

Lalu diminumnya obat itu. Perlahan-lahan 

bagian tubuhnya yang terkena pukulan 

'Pemecah Bumi' dari Algojo Dari Timur mu-

lai pulih.

Melihat kesehatan Ratri yang be-

rangsung-angsur pulih, Mahesa tersenyum 

cerah. Tadi hatinya sudah cemas kalau-

kalau Algojo Dari Timur membohongi di-

rinya.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" 

tanya Pendekar Kujang Emas penuh perha-

tian.

Ratri meremas-remas jarinya malu-

malu. "Sudah mendingan, Mahesa," sahut 

gadis ini. 

"Aku bingung, kau sudah tahu nama


ku. Siapa kau sebenarnya?" tanya Mahesa.

Ratri diam membisu. Kepalanya sema-

kin ditundukkan dalam-dalam.

"Aku.... Aku mendengar nama besarmu 

di dunia persilatan dari orang-orang yang 

aku temui di sepanjang perjalanan...," 

sahut Ratri terpaksa berbohong untuk me-

nutupi rasa malunya.

Mahesa mengangguk-anggukkan kepa-

lanya.

"Ya, ya, ya...! Benar juga...," gu-

mam Pendekar Kujang Emas. "Lantas siapa 

namamu?"

"Ratri...."

Mahesa tersenyum.

"Manis sekali namamu. Aku senang 

berkawan denganmu," puji Mahesa.

Betapa senangnya hati Ratri saat 

ini. Pancaran mata pemuda di depannya te-

rasa sekali menembus hatinya. Dan suasana 

jadi hening ketika tak ada yang bersuara.

"Tujuanmu mau ke mana, Ratri?" 

tanya Mahesa, memecah keheningan.

"Tidak tahu. Aku hanya menuruti 

langkah kakiku," sahut Ratri.

"Hm...," Mahesa menautkan kedua 

alisnya. "Bagaimana kalau kau kuajak me-

nemani menemui seseorang?"

Ratri memandang seraut wajah tampan 

di hadapannya sebentar. Lalu, kepalanya 

mengangguk malu-malu.

Mahesa tersenyum cerah. Hatinya


berbunga-bunga saat pandangan mata Ratri 

demikian lembut menembus relung hatinya.

"Sebaiknya sekarang saja berang-

kat!" ujar Mahesa segera beranjak dari 

tempat duduknya. 

Ratri tidak menyahut. Namun dia ju-

ga beranjak dari tempat duduknya. Tak la-

ma gadis ini telah berjalan di samping 

Mahesa menuruni lereng Gunung Kembang. 

***

Matahari baru saja bersinar di ufuk 

sebelah timur. Sinarnya yang lembut men-

gusap mayapada. Di lereng sebelah barat 

Gunung Batu, tampak dua orang anak muda 

berkelebat menaiki gunung yang penuh be-

batuan. Suara canda mereka terdengar me-

mecah kesunyian hutan di lereng gunung 

ini. Yang satu adalah seorang gadis can-

tik berpakaian serba kuning. Sedang di 

sebelahnya seorang pemuda tampan berambut 

gondrong dengan pakaian biru-biru. Mereka 

tidak lain Mahesa dan Ratri.

Selama tiga hari melakukan perjala-

nan ke Gunung Batu, hubungan kedua orang 

itu semakin akrab. Mereka tidak lagi ber-

sikap sungkan, seperti sewaktu pertama 

kali berkenalan. Malah Ratri yang semula 

nampak malu-malu, kini mulai bersikap 

manja pada pemuda berjuluk Pendekar Ku-

jang Emas.



Tentu saja Mahesa senang sekali ra-

sa berjalan bersama gadis yang mulai dis-

ukainya. Demikian pula Ratri. Apalagi, 

dia turun gunung justru hanya untuk men-

cari pemuda bernama Mahesa. Namun sampai 

saat ini gadis itu belum menceritakan 

maksud tujuannya. Tentu saja karena malu!

"Kakang! Sebenarnya kita mau ke ma-

na, sih?" tanya gadis itu merajuk manja.

"Kan aku sudah bilang, ke Gunung 

Batu," sahut Mahesa pura-pura marah.

"Iya. Tapi, apa maksud kita ke sa-

na?" tanya Ratri semakin menggemaskan.

"Aku hanya ingin memberi tahu pada 

guruku kalau sudah menyelesaikan tugasku 

membantu Paman Gagak Seto," jawab Pende-

kar Kujang Emas.

"Cuma itu?" tanya Ratri lagi.

"Iya. Eh..., eh, tidak! Maksud-

ku..., maksudku aku ingin memohon doa 

restu guru untuk...."

Mahesa tidak meneruskan bicaranya. 

Malah dibalasnya pandangan Ratri.

"Untuk apa Kang? Kok, tak dite-

ruskan?" tuntut Ratri. 

"Hm.... Untuk..., untuk.... Tapi 

kau jangan marah, ya?" pinta Mahesa.

"Apa dulu dong?" desak Ratri dengan 

suara menggemaskan.

"Aku..., aku ingin meminta pada 

Eyang Guruku untuk..., untuk me..., mela-

marmu, Ratri."


Susah sekali Mahesa mengucapkannya. 

Dan hatinya merasa lega sekali ketika ka-

ta-kata itu berhasil meluncur keluar.

Sedang Ratri langsung diam terce-

kat. Matanya yang indah membelalak lebar, 

seolah tidak percaya dengan apa yang di-

katakan Mahesa barusan.

"Kau..., kau keberatan menjadi is-

triku, Ratri?" tanya Mahesa berharap-

harap cemas.

"Kau..., Kau nakal sekali, Kakang!"

Ratri tidak mampu menjawab, kecuali 

berlari meninggalkan Mahesa. Hatinya se-

benarnya bahagia mendengar apa yang dika-

takan pemuda itu barusan. Namun dari 

panggilannya terhadap Mahesa yang berubah 

menjadi 'kakang', bisa ditebak kalau ha-

tinya berbunga-bunga.

"Ratri, tunggu! Kau belum menjawab 

pertanyaanku. Apa kau mau menjadi istri-

ku, Ratri?" teriak Mahesa lantang.

Gadis itu tidak menghiraukan teria-

kan Mahesa. Ratri malah terus lari.

Melihat tingkah laku Ratri, Mahesa 

jadi gemas sekali. Segera disusulnya ga-

dis itu. Dan dalam sekejap saja Mahesa 

telah berada di samping Ratri.

Ratri memberengut manja ketika len-

gannya diraih Mahesa. Terpaksa langkahnya 

dihentikan.

"Bagaimana, Ratri? Apa kau mau men-

jadi istriku?" tanya Pendekar Kujang Emas


tak sabar.

"Ah, Kakang ini! Mana aku tahu! Ta-

nyakan saja pada ayahku!" sahut Ratri. 

Suaranya terdengar manja dan mengge-

maskan.

"Siapa ayahmu, Ratri. Aku pasti 

akan meminta Eyang Guru untuk melamar pa-

da ayahmu, Ratri."

"Sabarlah! Tanyakan dulu hal ini 

pada Eyang Gurumu," ujar Ratri seraya 

bergelayut manja pada lengan Mahesa.

Melihat sikap manja Ratri, Mahesa 

kian kasmaran. Wajah cantik Ratri itu de-

mikian dekatnya dengan wajahnya. Hasrat-

nya tidak tahan lagi untuk mencium Ratri. 

Namun ketika perlahan-lahan wajah pemuda 

itu mendekat ke bibir, Ratri memberontak. 

Begitu terlepas dari pelukan Mahesa, Ra-

tri berlari meninggalkannya.

***

Puncak Gunung Batu yang tidak ter-

lalu tinggi dipenuhi hamparan batu sebe-

sar kerbau. Pada lereng sebelah barat, 

terdapat sebuah gua besar. Di situlah Ki 

Ageng Banaran yang di dunia persilatan 

lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Ki-

lat Buana tinggal.

Mulut gua batu itu tidak terlalu 

besar. Cukup dilalui satu orang saja. Ke-

tika Mahesa dan Ratri masuk ke dalam,


ternyata perut gua cukup lebar dan terda-

pat ruangan-ruangan di beberapa tempat. 

Dan Pendekar Kujang Emas mengajak gadis 

itu masuk ke salah satu ruangan. 

Begitu mereka masuk, tampak seorang 

lelaki tua renta sedang khusuk bersemadi 

di atas batu bundar menghadap ke barat. 

Usianya itu sulit sekali ditafsirkan. 

Yang jelas di atas sembilan puluh tahun 

atau mungkin malah hampir menginjak sera-

tus tahun! Pakaiannya putih bersih. Ram-

butnya yang panjang memutih dibiarkan 

tergerai menutupi punggung.

Mahesa cepat mengajak Ratri duduk 

bersimpuh di samping lelaki yang tak lain 

Ki Ageng Banaran.

"Eyang...," panggil Mahesa lirih.

Lelaki tua renta itu memalingkan

kepala. Tubuhnya yang kurus kering tampak 

ringkih sekali seperti orang sakit. Namun 

anehnya, sepasang matanya yang tua menco-

rong tajam. Jelas, tenaga dalam orang tua 

itu sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

"Bagaimana kabar pamanmu, Cucuku?" 

tanya Ki Ageng Banaran dengan suara be-

rat.

"Baik, Eyang."

"Apa kau sudah membantu meringankan 

masalah pamanmu?" tanya Ki Ageng Banaran 

lagi.

Mata tajam lelaki tua renta itu te-

rus memperhatikan gadis cantik di samping


cucunya. Namun Mahesa dan Ratri yang me-

nundukkan kepala tidak mengetahuinya..., 

betapa Ki Ageng Banaran terus memperhati-

kan gadis cantik di hadapannya dengan 

seksama. Dan dahinya pun berkernyit da-

lam-dalam. Dari kekuatan batinnya dapat 

dirasakan kalau gadis cantik di hadapan-

nya bukanlah manusia sewajarnya!

"Sudah, Eyang. Malah Paman Gagak 

Seto menitip salam untuk Eyang."

"Hm...," gumam Ki Ageng Banaran

sambil mengelus-elus jenggotnya yang pan-

jang memutih. Kepalanya mengangguk-

angguk, entah apa yang dipikirkannya.

"Siapa gadis itu, Cucuku?"

"Dia..., teman baikku, Eyang. Na-

manya Ratri."

Mahesa menghentikan bicaranya se-

bentar. Dia sedang menimbang-nimbang 

keinginan hatinya agar Eyang Gurunya mau 

melamar Ratri pada orang tuanya.

"Maksudku, aku minta agar Eyang su-

di melamar Ratri untukku, Eyang," lanjut 

Mahesa, nekat.

"Hm...," Ki Ageng Banaran masih 

mengelus-elus jenggotnya. Matanya yang 

tajam terus memperhatikan Ratri seksama.

"Sudikah Eyang melamarkan Ratri un-

tukku?" tanya Mahesa tak sabar.

"Sebentar. Siapa nama ayahmu, Ra-

tri?" tanya Ki Ageng Banaran pada Ratri.

"Begawan Kamasetyo, Kek," jawab Ra


tri.

Ki Ageng Banaran dan Mahesa tersen-

tak kaget. Terutama sekali Mahesa. Sung-

guh tidak disangka kalau Ratri adalah pu-

tri Begawan Kamasetyo.

Sementara itu Ki Ageng Banaran men-

gangguk-anggukkan kepala penuh kagum, ti-

dak lagi mencurigai Ratri seperti tadi. 

Mungkin dikarenakan dia tahu kalau Bega-

wan Kamasetyo mempunyai satu ilmu simpa-

nan yang diberi nama 'Titisan Siluman 

Ular Putih'. Dan dalam pikirannya dia 

mengira kalau Ratri sudah dapat menguasai 

ilmu pamungkas sahabatnya.

"Kau.... Kau putri Begawan Kama-

setyo, Ratri?" tanya Mahesa tak percaya.

Ratri mengangguk pelan.

"Tapi..., tapi mengapa waktu itu 

kau tidak mau menemuiku?" tanya Mahesa 

masih belum mengerti.

Ratri tersenyum pahit, Sulit sekali 

menjawab pertanyaan Mahesa. Dan teringat 

keadaannya saat itu, tak urung Ratri jadi 

sedih.

"Jadi, kau ini putri tunggal Adi 

Begawan Kama setyo?" tanya Ki Ageng Bana-

ran

"Benar, Kek," jawab Ratri singkat.

Kembali dia teringat keadaan di-

rinya. Dan itu membuat air matanya sema-

kin tidak dapat dibendung.

Mahesa membeliakkan matanya heran.


Namun sebelum pertanyaannya diteruskan, 

Ki Ageng Banaran sudah menyerobot.

"Terus terang aku senang sekali 

bertemu denganmu, Ratri. Dan mengenai 

permintaan Mahesa, nanti akan kubicarakan 

pada Adi Begawan Kamasetyo. Aku kira Adi 

Begawan Kamasetyo tidak akan mengecewakan 

harapan kalian."

"Terima kasih, Eyang," ucap Mahesa, 

sambil merangkapkan kedua telapak tangan 

di depan hidung.

"Ya..., ya! Nanti pada malam purna-

ma bulan ini Eyang akan datang berkunjung 

ke lereng Pegunungan Dieng. Tidak lama 

lagi. Jadi, sebaiknya kalian berangkat 

dulu saja ke sana. Nanti Eyang menyusul 

belakangan. Jangan lupa, sampaikan salam 

Eyang pada Adi Begawan Kamasetyo, Mahe-

sa."

"Baik, Eyang."

"Nah. Sekarang kalian berangkat-

lah!" ujar Ki Ageng Banaran.

Mahesa memberi hormat sebentar, ke-

mudian segera mengajak Ratri keluar dari 

dalam gua. Sementara gadis itu masih me-

nangis sesenggukan. Dalam hati, pemuda 

ini merasa heran sekali mengapa kekasih-

nya menangis demikian menyedihkan. Ha-

tinya yang masih penasaran jadi tidak te-

ga untuk mengusik kesedihannya.

Malam purnama bulan ini telah tiba. 

Ki Ageng Banaran duduk di serambi mulut


gua bersama Begawan Kamasetyo. Mereka ba-

ru saja merestui pernikahan Ratri dan Ma-

hesa.

Sedang kedua anak muda itu kini be-

rada di sebuah kamar dalam gua. Mereka 

yang sedang dimabuk cinta tengah asyik 

menikmati indahnya malam pertama. Dan se-

jak malam itu, Ratri dan Mahesa hidup ba-

hagia. Mereka hidup penuh cinta kasih da-

lam bahtera asmara.

Hari demi hari, bulan demi bulan 

terlewat sudah. Ratri yang mulai mengan-

dung benih cinta kasihnya dengan Mahesa 

mulai dicekam perasaan takut. Takut kehi-

langan Mahesa, juga takut dirinya kembali 

menjelma menjadi siluman ular!

3

Kegelisahan Ratri di kamarnya sema-

kin menjadi-jadi. Betapa tidak? Waktu 

yang telah ditentukan Yang Maha Kuasa te-

lah usai! Dan ini sebentar lagi, berarti 

dia akan kembali menjelma menjadi siluman 

ular! Padahal bayi dalam kandungannya be-

berapa hari lagi akan lahir. Hal ini mem-

buatnya terus memohon pada Yang Maha Kua-

sa agar menunda waktu yang telah ditentu-

kan.

Ratri sudah membicarakan kesulitan-

nya pada ayahnya. Disepakati, begitu Ra



tri kembali menjelma menjadi siluman 

ular, mereka harus kembali mengasingkan 

diri dari dunia persilatan. Begawan Kama-

setyo tidak mampu menjawab permintaan 

anaknya. Hanya kepalanya mengangguk se-

dih.

Tepat pada tengah malam, tiba-tiba 

saja Ratri merasakan sekujur tubuhnya 

dingin sekali. Dan ini membuatnya gelisah 

sekali! Dia terus memohon pada Yang Maha 

Kuasa agar mau menangguhkan waktu yang 

telah ditentukan. Namun apa yang menjadi 

keinginannya tinggal berupa harapan ham-

pa. Setelah demam dalam tubuhnya menghi-

lang, asap putih kekuning-kuningan mulai 

menyelimuti dirinya. Dan hidungnya seke-

tika mencium bau harum bunga melati meme-

nuhi kamarnya!

Ratri menangis menjadi-jadi. Dis-

adari kalau itu adalah tanda-tanda kalau 

dirinya akan kembali menjelma sebagai si-

luman ular.

Begawan Kamasetyo yang mendengar 

tangis anaknya cepat masuk ke dalam kamar 

Ratri. Dan betapa terkejutnya dia melihat 

sekujur tubuh putrinya mulai diselimuti 

asap putih kekuning-kuningan. Untungnya, 

malam itu Mahesa sedang tidak ada di ru-

mah, karena tengah pergi menemui gurunya 

di puncak Gunung Batu

Lelaki tua ini tidak tahu, apakah 

ketidakberadaan Mahesa memang sudah di


atur Yang Maha Kuasa atau tidak. Yang je-

las, perlahan-lahan tubuh Ratri mulai be-

rubah wujud sebagai siluman ular. Pertama 

dari kedua kakinya kemudian merambah ke 

betis, perut, lalu dada.

Ratri makin menjerit-jerit. Dan je-

rit tangisnya langsung terhenti begitu 

kepalanya mulai berubah menjadi kepala 

siluman ular putih. Siluman Naga Puspa!

Begawan Kamasetyo tak mampu lagi 

berkata-kata. Matanya menatap nanar ke 

tubuh putrinya yang telah menjelma kemba-

li menjadi siluman ular putih. Bibirnya 

bergetar-getar hebat menahan guncangan 

batinnya. Suara tangisan Ratri sudah ti-

dak terdengar lagi. Hanya desisan-desisan 

Siluman Naga Puspa saja yang terdengar, 

menyayat perasaan lelaki tua itu.

Tidak ada pilihan lain lagi. Seper-

ti yang telah diminta Ratri, mereka ber-

dua harus kembali mengasingkan diri dari 

dunia ramai. Tak sanggup bagi Ratri meli-

hat Mahesa merana dalam hidupnya. Dia be-

nar-benar malu untuk bertemu suaminya. 

Maka pada malam itu juga, Begawan Kama-

setyo mengajak Ratri meninggalkan Gua Bu-

rangrang!

* * *

Tiga hari kemudian Mahesa pulang 

kembali ke Gua Burangrang. Dan dia tidak


menemukan siapa-siapa lagi di sana. Mahe-

sa terus mencarinya ke segenap penjuru 

gua, sambil terus memanggil-manggil nama 

istrinya. Namun tetap saja istrinya tak 

ditemukan!

"Ratri!" teriak Mahesa menggetarkan 

dinding gua.

Pendekar Kujang Emas berlari ke mu-

lut gua, meneliti apakah selama ditinggal 

pergi ada seseorang yang datang menyerang 

tempat persembunyian Begawan Kamasetyo. 

Namun ternyata tidak ditemukan tanda-

tanda bekas pertarungan. Dan ini semakin 

membuat hatinya bingung. Seluruh dalam 

gua itu telah dicari, sekarang ke mana 

lagi harus mencari istrinya dan Begawan 

Kamasetyo?

Tanpa rasa putus asa, Pendekar Ku-

jang Emas terus mencari ke segenap penju-

ru lereng Pegunungan Dieng, tanpa mempe-

dulikan dirinya lagi.

Hingga pada suatu hari, Mahesa me-

nemukan mayat seorang wanita muda yang 

masih memeluk bayinya!

Keadaan wanita itu mengenaskan se-

kali. Pakaiannya compang-camping tidak 

karuan. Darah segar bersimbah di tanah 

sekitarnya. Wajahnya yang cantik pucat 

pasi. Rambutnya awut-awutan. Mungkin wa-

nita itu habis diperkosa segerombolan pe-

rampok yang malang melintang di sekitar 

hutan Gunung Bucu ini. Kalau tidak, mana



mungkin bagian pangkal pahanya mengelua-

rkan darah. 

Sedang bayi dalam pelukan wanita 

itu kira-kira berusia enam bulan. Wajah-

nya tampan. Kulitnya putih bersih seperti 

kulit ibunya. Dan bayi malang itu terus 

meronta-ronta di pelukan ibunya. Tangis-

nya yang menyedihkan sungguh menyentuh 

perasaan Mahesa.

Seketika itu juga, Pendekar Kujang 

Emas pun teringat akan penderitaan is-

trinya. Dan mungkin akan seperti itulah 

nasib istri dan bayinya. Tidak! Dia tidak 

sanggup membayangkan penderitaan is-

trinya!

Untuk beberapa saat, Mahesa hanya 

memandangi bayi malang itu dengan hati 

tak menentu. Dengan sekali lihat saja bi-

sa diketahui, kalau susunan tulang bayi 

itu sangat bagus dan kuat. Darahnya pun 

bersih, pertanda mempunyai bakat cukup 

lumayan. Dan entah mengapa, hati Mahesa 

jadi senang sekali. Perlahan-lahan mulai 

didekati mayat wanita itu. Lalu dipon-

dongnya bayi malang itu dengan tangan ki-

ri. Sedang tangan kanannya meraba denyut 

nadi di pergelangan tangan wanita itu. 

Tak ada gerakan sama sekali!

Pendekar Kujang Emas meletakkan 

bayi itu ke tempat yang aman. Setelah 

kembali ke tempat semula, dia mulai mem-

buat lubang dengan kujangnya. Dan berkat


tenaga dalamnya yang tinggi, sebentar sa-

ja tercipta sebuah lubang besar untuk 

menguburkan mayat wanita itu.

Hati-hati sekali dia memondong 

mayat wanita itu, lalu meletakkannya ke 

dalam lubang. Perlahan-lahan pula Mahesa 

mulai menguruk dengan tanah. Maka seben-

tar saja telah tercipta segundukan tanah 

merah yang masih baru. Dan Mahesa memberi 

nisan pada kuburan itu dengan sebuah batu 

sebesar kelapa.

Setelah menguburkan mayat wanita 

itu, Mahesa kembali mengambil bayi terse-

but lalu melangkah pergi. Arah tujuannya 

adalah puncak Gunung Batu tempat gurunya 

Pendekar Pedang Kilat Buana bertapa. Di 

sana dia akan mendidik bayi itu seperti 

anak kandungnya sendiri. Bahkan akan pula 

dibekalinya dengan ilmu silat! 

***

Ratri alias Siluman Naga Puspa men-

desis-desis hebat. Dia merasakan ada se-

suatu yang bergerak-gerak dalam perutnya. 

Melihat hal ini Begawan Kamasetyo jadi 

cemas sekali. Dia tidak tahu apa yang ha-

rus dilakukan. Sedang Siluman Naga Puspa 

terus meronta-ronta menahan sakit. Perut-

nya yang membusung seperti diremas-remas.

Wajah Siluman Naga Puspa benar-

benar tersaput rasa gelisah. Sepasang ma


tanya mencorong menahan nyeri. Sedang ke-

palanya mengangguk-angguk sedemikian ru-

pa, layaknya seperti seorang wanita yang 

sedang mengurut-urut perutnya menjelang 

kelahiran bayinya!

"Mungkin.... Mungkin kau akan mela-

hirkan bayimu, Ratri?"

Hanya itu yang keluar dari mulut 

Begawan Kamasetyo. Selebihnya dia hanya 

dapat memandangi perut anaknya dengan ha-

ti cemas.

Dan apa yang dikatakan Begawan Ka-

masetyo memang benar. Baru saja kata-

katanya tuntas.... 

"Oaaa...! Oaaa...!"

Terdengar suara tangis bayi, mem-

buat Begawan Kamasetyo tersentak. Pandan-

gannya langsung tertuju ke arah ekor ular 

siluman itu. Tampak tak jauh dari ekor 

Siluman Naga Puspa, tergolek seorang bayi 

yang masih terbalut darah dan tersambung 

ari-ari.

Jadi, Siluman Naga Puspa telah me-

lahirkan bayinya! Bukan berbentuk ular, 

melainkan bayi manusia yang tampan seka-

li! Dan yang lebih anehnya lagi, pada da-

da kanan bayi itu terdapat rajahan ber-

gambar ular putih. Matanya agak kebiru-

biruan, kulitnya putih walaupun masih 

berlumur darah, namun bau badannya wangi 

sekali seperti harumnya bunga melati!

Begawan Kamasetyo cepat mendekati


bayi dan memondongnya erat-erat. Matanya 

yang tajam memperhatikan susunan tulang-

tulang bayi itu penuh kagum.

"Mau kau beri nama apa anakmu ini, 

Ratri?" tanya Begawan Kamasetyo sambil 

menatap penuh suka cita pada anaknya.

Ratri mendesis menyebutkan satu na-

ma.

"Apa? Soma?" kata Begawan Kamasetyo 

mengulangi ucapan anaknya yang hanya di-

mengerti olehnya.

Sekali lagi Siluman Naga Puspa men-

desis membenarkan ucapannya.

"Ya..., ya. Baik. Aku akan memberi 

nama anak ini Soma, seperti permintaan-

mu." 

Siluman Naga Puspa mendesis-desis 

lagi. Entah bahagia melihat bayi yang ba-

ru saja dilahirkan, atau sedih melihat 

dirinya yang masih berwujud siluman ular 

putih!

Kemudian Siluman Naga Puspa kembali 

mendesis-desis lagi meminta Begawan Kama-

setyo mendekatkan bayinya ke sisi tubuh-

nya.

Begawan Kamasetyo tersenyum senang. 

Didekatkannya bayi yang baru saja dila-

hirkan itu ke sisi anaknya.

Siluman Naga Puspa memandangi 

bayinya dengan sepasang mata telah be-

rair. Lalu bayi yang telah diberi nama 

Soma itu pun segera dililitnya, persis

seperti tingkah seorang ibu sedang meme-

luk bayinya!

4

Waktu terus bergulir, tak tertahan-

kan. Semuanya telah diatur oleh Sang Pen-

cipta. Dan tak terasa delapan belas tahun 

terlewat sudah. Kini Bayi yang dilahirkan 

Siluman Naga Puspa yang telah diberi nama 

Soma telah tumbuh menjadi seorang pemuda 

tampan. Kulit wajahnya putih bersih. Ma-

tanya yang agak kebiru-biruan dihiasi se-

pasang alis tebal berwarna hitam. Pas se-

kali dengan bentuk hidungnya yang man-

cung. Demikian pula bentuk bibirnya yang 

tipis. Rambut gondrongnya dibiarkan ter-

gerai di bahu. Di dada kanannya terdapat 

seperti rajahan bergambar ular putih. Dan 

ini semakin menambah kejantanan pemuda 

itu.

Tubuh Soma yang tinggi tegap diba-

lut rompi dan celana bersisik berwarna 

putih keperakan. Dan kini, pemuda tampan 

itu sedang khusuk bersemadi untuk menye-

lesaikan latihan tahap akhirnya. Yakni, 

sebuah jurus pamungkas hasil ciptaan Be-

gawan Kamasetyo 'Titisan Siluman Ular Pu-

tih'!

Memang, hebat sekali jurus itu. 

Bahkan Begawan Kamasetyo dan Ratri yang 

masih berwujud siluman ular putih pun ti


dak bisa menganggap sembarangan. Dengan 

perasaan waswas kedua anak beranak itu 

selalu ikut menemani Soma bertapa. Sudah 

empat puluh hari empat puluh malam Soma 

bertapa.

"Kerahkan seluruh kehendak sucimu, 

Cucuku!" teriak Begawan Kamasetyo, mulai 

gelisah.

Lelaki tua ini melihat sekujur tu-

buh Soma mulai dibasahi keringat. Wajah-

nya yang tampan menegang, seperti sedang 

menghadapi sesuatu yang sulit sekali di-

kendalikan. Dan dari ubun-ubun kepalanya 

perlahan-lahan mengepulkan asap putih, 

seiring tubuhnya yang bergetar hebat.

Siluman Naga Puspa mendesis-desis. 

Begawan Kamasetyo semakin gelisah dibuat-

nya. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin 

cucunya mengalami bernasib sama dengan 

anaknya yang masih berwujud siluman ular 

putih. 

"Kerahkan seluruh kehendak sucimu, 

Cucuku!" ujar Begawan Kamasetyo. Nada su-

aranya penuh kegelisahan.

Dan apa yang sedang dikhawatirkan 

Begawan Kamasetyo memang benar-benar se-

dang dialami Soma. Di hadapan pemuda itu, 

saat ini seekor ular raksasa putih sebe-

sar pohon kelapa siap memangsa tubuhnya. 

Dari mulutnya yang terbuka dengan taring-

nya yang mengerikan mengeluarkan bau amis 

yang bukan kepalang. Hampir saja Soma ti


dak kuat menahan. Bukannya takut menjadi 

mangsa ular raksasa, melainkan tidak kuat 

menahan bau amis yang keluar dari mulut 

ular itu.

Soma pasrah. Dia sadar, ular raksa-

sa putih itu hanya jelmaan dari ilmu yang 

sedang dituntutnya saja. Maka dengan se-

genap kepasrahan dan keteguhan hatinya, 

akhirnya godaan itu dapat diatasi. Dan 

perlahan ular raksasa putih jadi-jadian 

itu pun hilang dari pandangan.

Namun anehnya bersamaan dengan ke-

pulan asap putih yang menyelimuti tubuh 

ular raksasa putih itu menghilang tiba-

tiba saja muncul seorang gadis cantik. 

Rambutnya yang hitam panjang itu dibiar-

kan tergerai di bahu. Pakaian yang dike-

nakannya pun sangat tipis berwarna putih 

menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Bau ba-

dan gadis itu pun wangi sekali, seperti 

bau harum bunga melati! 

Soma memejamkan mata. Namun, tetap 

saja lekuk-lekuk tubuh gadis cantik itu 

masih menghantui pikirannya. Hampir saja 

godaan itu tidak kuat ditahan. Apalagi 

gadis cantik itu mulai berani mendekati 

dan memeluknya!

"Tahan, Cucuku! Jangan sampai ter-

pengaruh godaan itu. Itu hanya perasaanmu 

saja. Ayo, lekaslah kerahkan seluruh ke-

hendak sucimu kalau tidak ingin bernasib 

malang menjadi siluman ular seperti ibu


mu, Cucuku!" teriak Begawan Kamasetyo 

yang samar-samar mulai menyadarkan Soma 

dari keadaan memabukkan.

Pemuda ini mengerahkan segenap ke-

kuatan batinnya untuk mengatasi godaan. 

Akibatnya, gadis cantik itu menjerit ke-

sakitan. Sekujur tubuhnya yang memeluk 

tubuh Soma seperti terbakar kehendak suci 

yang timbul dari dalam diri pemuda itu.

Walaupun gadis itu sudah menjauh 

dari tubuhnya, Soma terus mengerahkan ke-

kuatan batinnya. Gadis cantik yang sebe-

narnya jelmaan dari siluman itu makin 

menjerit-jerit ketakutan. Hingga akhirnya 

sekujur tubuh gadis cantik itu pun mulai 

diselimuti asap putih. Dan bersamaan den-

gan hilangnya asap putih yang bergulung-

gulung itu, dia menghilang dari pandangan 

Soma.

"Kau berhasil, Cucuku! Kau berha-

sil...!" pekik Begawan Kamasetyo girang 

bukan main.

Soma tersadar. perlahan-lahan ma-

tanya dibuka.

"Berhasil? Berhasil apanya, Eyang?" 

tanya Soma masih belum mengerti.

"Kau..., kau berhasil menguasai ju-

rus sakti 'Titisan Siluman Ular Putih', 

Cucuku. Kau sewaktu-waktu bisa berubah 

wujud menjadi siluman ular putih kalau 

kau mau, Cucuku...."

Soma terlongong. Jadi karena itu


eyang dan ibunya bergembira? Pantas....

Di ufuk langit sebelah timur, mata-

hari baru saja menampakkan sinarnya yang 

kemerahan. Beberapa burung liar ramai 

berkicau di dahan, mengumandangkan sua-

ranya yang merdu menyambut pagi. Gumpa-

lan-gumpalan awan putih berarak-arak di 

angkasa. Sementara, tiupan angin lembut 

turut mengiringi lahirnya hari ini.

Dalam terpaan lembut angin pagi di 

lereng Gunung Bucu, tempat persembunyian 

Siluman Naga Puspa dan Begawan Kamasetyo 

yang baru, Soma tengah giat menempa diri. 

Rompi bersisiknya yang berwarna putih ke-

perakan tanpa kancing, berkibar-kibar ka-

la pemuda berambut gondrong itu sibuk me-

mainkan jurus sakti 'Terjangan Maut Ular 

Putih', yang merupakan salah satu jurus 

andalan Begawan Kamasetyo. Gerakan tangan 

dan kakinya lincah sekali. Kedua telapak 

tangannya yang membentuk kepala ular te-

rus bergerak dengan kecepatan dahsyat 

saling kejar-mengejar. Seolah-olah di de-

pannya ada musuh yang tengah kedodoran 

menghadapi jurusnya. Sementara kedua ka-

kinya bergerak cepat, seirama dengan ke-

dua tangannya.

Pada saat bergerak maju seperti 

ini, berarti Soma tengah membuka jurus 

sakti 'Ular Kembar Mengejar Mangsa' yang 

tak kalah dahsyatnya dibanding jurus 

'Terjangan Maut Ular Putih'. Dari gerakan


kedua telapak tangannya yang membentuk 

kepala ular, tercipta serangkum angin 

kencang yang berkesiur menggoyang-

goyangkan dedaunan dalam jarak sepuluh 

tombak. Belum lagi kalau menilik hawa pa-

nas dan dingin yang diakibatkan dari sam-

baran-sambaran kedua telapak tangannya. 

Yang sebelah kanan mengandung pukulan 

sakti 'Tenaga Inti Api', sementara sebe-

lah kiri mengandung pukulan sakti 'Tenaga 

Inti Bumi'. Akibatnya pohon-pohon dalam 

jarak sepuluh tombak yang tadi hanya ber-

goyang-goyang, kini sebagian ada yang 

layu dan sebagian membeku.

Hebat sekali jurus sakti 'Ular Kem-

bar Mengejar Mangsa' itu. Begawan Kama-

setyo dan Siluman Naga Puspa yang menon-

ton di pinggir tempat latihan, jadi ter-

longong saking kagumnya.

"Hyaaa...!"

Tiba-tiba Begawan Kamasetyo yang 

dari tadi hanya menonton Soma telah ber-

kelebat menyongsong tubuh Soma yang ber-

kelebatan. Tangan sebelah kanan lelaki 

tua itu telah berubah menjadi merah penuh 

'Tenaga Inti Api'! Sedang tangan kirinya 

berubah menjadi keputihan penuh 'Tenaga 

Inti Bumi'. Dan kedua telapak tangan itu 

bergerak sedemikian rupa, siap memangsa 

tubuh Soma.

Soma tahu, serangan eyangnya tidak 

main-main. Namun pemuda ini tidak menjadi


gugup. Malah sempat bersiul kecil menge-

jek eyangnya. Padahal keadaan dirinya ti-

dak menguntungkan. Saat itu juga segera 

dikerahkannya jurus 'Terjangan Maut Ular 

Putih'. Dan dengan cerdiknya, Soma segera 

mengendurkan kedua telapak tangannya yang 

tadi bermaksud memapak. Tubuhnya dimi-

ringkan ke kiri. Lalu, cepat sekali tan-

gan kanannya berkelit, hendak menotok ke-

tiak eyangnya.

"Ah...!"

Begawan Kamasetyo memekik tertahan. 

Kalau serangannya terus dipaksakan, bukan 

mustahil ketiaknya lebih terdahulu akan 

terkena totokan Soma. Untuk itu serangan-

nya cepat dibatalkan. Sedang Soma telah 

menegakkan tubuhnya kembali.

"Wah, wah, wah.... Mengapa Eyang 

kasar sekali?! Apa Eyang bermaksud membu-

nuhku? Aku belum mau mati, Eyang. Aku be-

lum kawin...," gerutu Soma kesal.

Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-

kan kekesalan cucunya. Seketika serangan-

nya dilanjutkan, sekaligus ditingkatkan.

Soma kewalahan bukan main. Sambil 

berjumpalitan menghindari serangan-

serangan eyangnya, tak henti-hentinya mu-

lutnya terus mengoceh tidak karuan.

"Tunggu dulu, Eyang! Eyang mulai 

kebakaran jenggot, ya? Kenapa jadi uring-

uringan begini?!"

"Jangan banyak bicara, Cucuku!


Hayo, cepat balas serangan!"

Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-

kan ocehan Soma. Kedua tangannya kembali 

bergerak cepat menyerang.

Jelas, Begawan Kamasetyo tengah 

mengerahkan jurus maut 'Ular Kembar Men-

gejar Mangsa' Kedua telapak tangannya ki-

ni semakin berubah merah dan putih te-

rang. Mengerikan sekali. Apalagi tenaga 

dalamnya dikerahkan sepenuhnya. Jangankan 

terkena. Terkena sambaran anginnya saja 

bisa menyebabkan kematian lawan.

"Tidak. Aku tak mau berkelahi den-

gan Eyang," teriak Soma, cepat melempar 

tubuhnya beberapa kali ke belakang.

"Aku akan memaksamu, Cucuku!" ben-

tak Begawan Kamasetyo, geram melihat se-

rangannya dapat dihindari demikian mudah-

nya. Kembali kedua tangannya yang berge-

rak saling kejar-mengejar itu menyerang 

Soma.

"Adauw, tidak kena!" Soma berkelit 

ke samping.

Sementara itu Siluman Naga Puspa 

mendesis-desis. Hatinya kesal melihat 

anaknya mulai bertingkah. Malah sejak ta-

di pun dia tidak dapat menahan perasaan 

gemasnya. Maka dengan kecepatan mengagum-

kan, ular siluman itu ikut menyerang So-

ma!

Wesss!

Harum bunga melati kontan menebar


ke sekitar tempat latihan, begitu tubuh 

besar memanjang sebesar pohon kelapa me-

nerjang. Dan mulutnya yang menganga lebar 

siap memangsa tubuh Soma.

"Bagus, Ratri! Ayo, kita beri pela-

jaran putramu yang nakal ini!" kata Bega-

wan Kamasetyo sambil meningkatkan seran-

gan.

Soma kewalahan bukan main. Mengha-

dapi eyangnya saja belum tentu menang. 

Apalagi sekarang ditambah ibunya, Siluman 

Naga Puspa. Tentu saja pemuda ini tidak 

ingin dirinya dijadikan bulan-bulanan. 

Sambil mengedumel panjang pendek, tubuh-

nya terus berjumpalitan menghindari se-

rangan ibunya dan eyangnya.

"Aduuuhh...! Ibu ini apa-apaan sih? 

Kok, ikut-ikutan latah seperti Eyang?!" 

teriak Soma kesal.

"Bocah goblok! Baru pertama kali 

ini aku melihat orang yang ingin jadi 

pendekar, tapi bernyali kambing!" bentak 

Begawan Kamasetyo kesal, tanpa sedikit 

pun mengendurkan serangan-serangannya.

"Siapa yang takut, Eyang? Aku hanya 

tak enak hati kalau nanti melukaimu. Biar 

seribu orang pun aku tidak takut!" teriak 

Soma mulai panas.

"Ratri! Putramu pintar sekali men-

gumbar omongan. Tapi, tetap saja bernyali 

kambing!" ejek Begawan Kamasetyo makin 

membuat Soma panas.


Siluman Naga Puspa mendesis-desis, 

membenarkan ucapan ayahnya.

"Aduh! Rupanya Ibu dan Eyang sudah 

kongkalikong. Baik! Aku tidak takut. Nih 

lihat seranganku...."

Soma cepat melenting ke belakang, 

mengambil jarak. Begitu mendarat, dipa-

sangnya kuda-kuda kokoh. Kedua telapak 

tangannya yang membentuk kepala ular dis-

ilangkan di depan dada, siap mengeluarkan 

jurus maut 'Ular Putih Mengejar Mangsa'. 

Telapak tangan yang sebelah kanan telah 

berubah menjadi kemerah-merahan penuh 

'Tenaga Inti Api'. Sedang yang kiri telah 

berubah putih terang penuh 'Tenaga Inti 

Bumi'.

"Hyaaat...!"

Disertai teriakan keras membahana 

Soma mencelat ke udara, menyongsong se-

rangan Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga 

Puspa dengan kedua kakinya.

"Bagus, Cucuku! Rupanya kau menga-

lami banyak kemajuan. Tapi, jangan bangga 

dulu. Sebab belum tentu kami dapat dika-

lahkan!"

Begawan Kamasetyo cepat memapak se-

rangan Soma dengan jurus sakti 'Terjangan 

Maut Ular Putih'. Sedang Siluman Naga 

Puspa segera mengibaskan ujung ekornya.

Dugh! Dugh!

Terdengar dua kali benturan tenaga 

dalam di udara. Akibatnya Soma terlempar


beberapa tombak. Cepat dia mematahkan 

lontaran tubuhnya dengan berjumpalitan. 

Begitu mendarat, tubuhnya terhuyung-

huyung beberapa langkah ke belakang. Ten-

tu saja kesempatan ini tidak disia-siakan 

Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Puspa 

yang hanya bergetar akibat benturan tena-

ga dalam tadi.

"Curang! Ibu dan Eyang beraninya 

main keroyok. Hayo, kalau berani hadapi 

aku satu lawan satu!" teriak Soma seraya 

berjumpalitan di udara. Kalang kabut dia 

menghindari serangan-serangan ibu dan 

eyangnya.

"Bocah goblok! Aku dan ibumu sedang 

mengujimu, tahu?!" bentak Begawan Kama-

setyo.

"Menguji.... Menguji macam apa 

ini?! Aku bisa babak belur sendiri!" ge-

rutu Soma kesal.

"Makanya kalau tidak ingin babak 

belur, lekas balas serangan-serangan ka-

mi!" tantang Begawan Kamasetyo memanas-

manasi.

"Huh! Repotnya kalau mau jadi pen-

dekar. Kalau aku tahu sejak dulu begini 

susahnya jadi pendekar, lebih baik jadi 

tukang sayur saja. Lebih aman. Tidak ba-

bak belur macam begini!" omel Soma pan-

jang pendek.

"Ngomong apa kau, he?!" bentak Be-

gawan Kamasetyo lagi


"Tidak! Tidak! Aku tidak ngomong 

apa-apa, Eyang. Aku hanya melampiaskan 

kekesalanku saja."

"Baik!" Begawan Kamasetyo menghen-

tikan serangannya. "Sekarang begini saja. 

Kalau mampu menghadapi kami berdua dalam 

tiga jurus, kau kuanggap menang dan patut 

mendapatkan warisanku yang terakhir."

"Buat apa? Toh, Eyang sendiri belum 

tentu dapat mengalahkanku kalau tidak ada 

Ibu?" tukas Soma, seenak isi perutnya

Begawan Kamasetyo menggeram kesal.

"Bocah goblok! Ini semua demi ke-

baikanmu, tahu?! Hayo, cepat lawan kami! 

Atau kau ingin babak belur?"

"Wah, wah, wah...! Ini namanya per-

kosaan. Mentang-mentang kalian orang tua 

yang telah membesarkanku, tidak seharus-

nya memaksakan kehendak kalian padaku. 

Ini tidak baik, Eyang. Tidak baik...."

"Sudah! Sudah! Pusing aku meladeni 

omonganmu. Sekarang cepat hadapi kami 

berdua dalam tiga jurus! Sanggup?!" har-

dik Begawan Kamasetyo tak sabar.

Soma menggerutu kesal.

"Tapi, masa' dalam tiga jurus saja 

aku tidak dapat menghadapi serangan mere-

ka? Percuma saja bertahun-tahun belajar 

silat di sini," gumam pemuda itu dalam 

hati.

Soma lantas memasang kuda-kuda ko-

koh.


"Apalagi yang Eyang tunggu! Aku su-

dah siap, Eyang," tantang Soma.

"Baik," Begawan Kamasetyo mengge-

ram. "Hayo, Ratri! Kita hajar anakmu yang 

pongah ini!" 

Siluman Naga Puspa mendesis-desis. 

Matanya yang biru mencorong tajam. Harum 

bunga melati di sekitar tempat latihan 

makin mewangi pertanda jurus yang akan 

dikeluarkan tidak bisa dianggap sembaran-

gan.

"Jurus satu!" pekik Begawan Kama-

setyo lantang.

Tiba-tiba di tangan Begawan Kama-

setyo telah tergenggam senjata pusaka 

yang aneh sekali bentuknya. Sekilas ter-

lihat seperti anak panah. Namun anehnya 

mata anak panah itu berbentuk kepala ular 

putih hingga ke pangkal. Dan dari pangkal 

anak panah berwujud seperti pangkal anak 

panah kebanyakan. Sedang di kanan-kiri 

kepala ular tertancap dua buah gerigi 

yang juga berwarna putih! Entah, apa nama 

senjata aneh itu. Yang jelas gigi-gigi 

itu mirip sekali dengan senjata andalan 

Bathara Kresna. Cakra!

"Senjata apa itu, Eyang? Kok, ben-

tuknya aneh sekali?" tanya Soma saking 

herannya.

"Sekarang bukan waktunya bercakap-

cakap! Pokoknya, lihat saja bagaimana 

senjata ini membuat tubuhmu babak belur!


Bahkan tidak mungkin nyawamu akan cepat 

minggat dari tubuhmu!" hardik Begawan Ka-

masetyo, menakut-nakuti. "Jurus satu!"

Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga 

Puspa serentak menyerang Soma. Dan begitu 

senjata aneh di tangan lelaki tua ini 

bergerak menyerang, terlebih dahulu Soma 

merasakan angin dingin berkesiur menye-

rang tubuhnya. Bahkan dari dua buah geri-

gi di samping kanan-kiri kepala ular sen-

jata aneh itu bertiup angin kencang yang 

menyerang Soma.

Dari sudut lain, Siluman Naga Puspa 

pun menyerang tak kalah hebat. Bukan main 

hebatnya serangan mereka, membuat Soma 

benar-benar kewalahan. Serangan Siluman 

Naga Puspa memang tidak begitu membahaya-

kan keselamatannya. Karena, Soma sudah 

terbiasa berlatih tanding dengan ibunya. 

Memang, yang sangat dikhawatirkan adalah 

serangan Begawan Kamasetyo dengan senjata 

anehnya di tangan kanan.

Di saat terperangah itulah, diam-

diam Soma siap mengeluarkan segenap ke-

pandaiannya. Akan tetapi ketika menyadari 

senjata di tangan Begawan Kamasetyo mulai 

menyerang dan terjangan-terjangan Siluman 

Naga Puspa pun siap meremukkan tulang-

tulang tubuhnya, tak urung juga Soma ce-

pat membuang tubuhnya beberapa kali ke 

belakang. Namun Begawan Kamasetyo dan Si-

luman Naga Puspa tak memberi kesempatan.


Mereka terus mendesak Soma dengan hebat.

"Hyaaat! Hyaaat!"

Soma kewalahan bukan main. Sikapnya 

yang biasa ugal-ugalan kali ini harus di-

pendamnya. Sedikit pun tidak diberi ke-

sempatan untuk membalas. Jangankan berpi-

kir untuk membalas, untuk menghindar saja 

rasanya sudah tidak sanggup lagi.

"Uts!"

Bahkan hampir saja pemuda itu ter-

kena sambaran senjata aneh di tangan Be-

gawan Kamasetyo. Untungnya, tubuhnya da-

pat berkelit. Meskipun demikian, tetap 

saja Soma tidak dapat menghindar dari se-

rangan sabetan ekor Siluman Naga Puspa 

yang mendadak meluncur tajam.

Desss...!

"Ugh...!"

Tubuh Soma kontan terlempar bebera-

pa tombak ke samping. Untung saja tidak 

begitu membahayakan keselamatan jiwanya. 

Memang, Soma sudah melindungi bagian yang 

terkena sambaran ekor Siluman Naga Puspa 

dengan tenaga dalam. Dan saat tubuhnya 

terlempar ke samping kiri, segera dike-

rahkannya ilmu meringankan tubuh. Dan se-

kali genjot, tubuhnya sudah melayang 

tinggi keluar dari tempat latihan.

Wajah pemuda tampan ini pucat pasi. 

Keringat sebesar biji jagung telah memba-

sahi keningnya.

"Jurus kedua!" teriak Begawan Kama


setyo tanpa memberi kesempatan Soma untuk 

bernapas sedikit pun.

"Baru satu jurus saja sudah begini. 

Apa aku dapat bertahan sampai jurus keti-

ga?" gerutu Soma.

Sejenak pemuda ini menunggu datang-

nya serangan berikut. Namun anehnya Bega-

wan Kamasetyo tidak melanjutkan serangan. 

Malah pantatnya dihenyakkan di rerumputan 

sambil meniup-niup pangkal senjata aneh-

nya.

"Apa-apaan ini, Eyang? Kok, malah 

bermain suling?" ejek Soma langsung ter-

tawa terpingkal-pingkal.

Namun anehnya, begitu tawanya mere-

da, tiba-tiba saja Soma merasakan kalau 

suara senjata aneh di tangan Begawan Ka-

masetyo yang juga bisa dijadikan seruling 

itu perlahan-lahan mulai menyerang gen-

dang telinganya!

Soma kaget bukan main. Belum sempat 

kekagetannya diatasi, tiba-tiba Siluman 

Naga Puspa kembali menyerang garang. Bu-

kan main bingungnya hati pemuda ini. Ka-

lau meladeni serangan-serangan Siluman 

Naga Puspa berarti membiarkan telinganya 

diserang suara aneh dari senjata eyang-

nya. Dan kalau perhatiannya terpusat un-

tuk melawan suara aneh dari senjata di 

tangan eyangnya dengan jalan menutup pen-

dengarannya, berarti juga membiarkan di-

rinya diserang ibunya. Serba salah!


"Hyaaat...!"

Soma memekik dengan segenap tenaga 

dalamnya. Rupanya dia memilih jalan ke-

dua. Sambil menahan serangan-serangan su-

ara aneh dari senjata eyangnya, pemuda 

ini cepat meloncat tinggi ke udara, hen-

dak memapak serangan ibunya. Namun aneh-

nya, di saat tubuhnya melayang tinggi di 

udara itu, tiba-tiba saja serangan suara 

aneh dari senjata eyangnya seperti hendak 

memecahkan gendang telinganya. Dan lebih 

anehnya lagi, sekujur tubuhnya terasa su-

lit sekali digerakkan.

"Ah...!" pekik Soma kebingungan.

Sementara itu serangan Siluman Naga 

Puspa sudah demikian dekatnya. Tak mung-

kin Soma menangkis serangan. Dan akibat-

nya...

Dugh!

"Augh...!"

Tanpa ampun lagi, ekor Siluman Naga 

Puspa mendarat telak di dada Soma. Tubuh-

nya terlontar beberapa, tombak disertai 

pekik tertahan.

Keadaan benar-benar tidak mengun-

tungkan bagi Soma. Sekujur tubuhnya tera-

sa lemas bukan main. Belum lagi akibat 

sabetan Siluman Naga Puspa tadi yang me-

nyebabkan isi dadanya seperti mau pecah! 

Bahkan dari mulutnya telah menyembur da-

rah segar pertanda terluka dalam.

Tidak ada pilihan lain, Soma harus


cepat mengeluarkan jurus pamungkasnya, 

yakni 'Titisan Siluman Ular Putih' yang 

baru saja dikuasai. Setelah berpikir de-

mikian kekuatan batinnya segera dikerah-

kan untuk melawan suara aneh dari senjata 

eyangnya, sekaligus untuk mengeluarkan 

ilmu pamungkasnya.

Perlahan-lahan suara-suara aneh da-

ri senjata di tangan Begawan Kamasetyo 

terdengar lirih di telinga Soma. Dan ber-

samaan dengan itu pula, sekujur tubuhnya 

mulai diselimuti uap putih tipis yang ma-

kin lama makin tebal menutupi sekujur tu-

buhnya hingga tidak kelihatan sama seka-

li. Dan entah mengapa, Siluman Naga Puspa 

sendiri pun tidak dapat melanjutkan se-

rangannya. Dia seperti ketakutan begitu 

melihat tubuh Soma mulai ditutupi asap 

putih. Dan...

"Gggeeerrr...!"

Tiba-tiba saja, Soma telah menjelma 

menjadi Siluman Ular Putih! Bentuknya le-

bih mengerikan dibanding keadaan Siluman 

Naga Puspa. Matanya biru mencorong, me-

mandang Begawan Kamasetyo dan Siluman Na-

ga Puspa.

"Jurus ketiga!" pekik Begawan Kama-

setyo lantang. "Ayo, Ratri! Kita hajar 

anakmu yang nakal ini! Mengapa kau diam 

saja?"

Siluman Naga Puspa mendesis-desis 

ngeri.


"Apa kau takut melihat Soma yang 

telah berubah menjadi Siluman Ular Putih 

itu?" tanya Begawan Kamasetyo heran.

Siluman Naga Puspa mendesis-desis, 

membenarkan ucapan ayahnya.

"Hmm...!" Begawan Kamasetyo menggu-

mam. "Tak kusangka kau takut melihat Soma 

yang sudah berubah wujud menjadi Siluman 

Ular Putih ini, Ratri. Tapi, baiklah. Bi-

ar aku sendiri yang menghadapinya."

Sehabis berkata begitu, Begawan Ka-

masetyo kembali menyerang Soma dengan ju-

rus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Dan 

anehnya lagi, senjata di tangannya dapat 

dilempar untuk menyerang Soma alias Silu-

man Ular Putih. Dan bila serangannya gag-

al, senjata itu dapat kembali pada pemi-

liknya seperti layaknya sebuah bumerang.

Soma menggeram marah. Kali ini mu-

lai dibalasnya serangan-serangan Begawan 

Kamasetyo. Terjangan-terjangannya yang 

dahsyat, membuat lelaki tua itu kewalahan 

meski memegang senjata anehnya. Dan sete-

lah beberapa saat lamanya kemudian Bega-

wan Kamasetyo melenting ke belakang. Be-

gitu mendarat, tangan kanannya diangkat 

ke depan.

"Cukup, Soma! Eyang mengaku kalah," 

cegah Begawan Kamasetyo. 

"Gggeeerrr...!"

Soma yang masih berwujud Siluman 

Ular Putih mengeluarkan suara menggeram.


Dan bersamaan dengan itu, sekujur tubuh-

nya pun kembali diselimuti asap putih. 

Sehingga, bayangan Siluman Ular Putih itu 

tidak kelihatan sama sekali.

* * *

"Ha ha ha...! Bagaimana, Eyang? Apa 

Eyang masih meragukan kehebatanku? Tidak, 

kan?" oceh Soma tertawa-tawa dari balik 

asap putih yang masih menyelimuti tubuh-

nya. "Tapi ngomong-ngomong, senjata apa 

yang tadi Eyang gunakan? Kok aneh seka-

li?"

Begawan Kamasetyo menimang-nimang 

senjata anehnya di tangan. Mata tuanya 

terus mengamati senjata di tangannya pe-

nuh kagum. Mesti masih belum mampu meng-

hadapi Soma, namun hatinya sangat bangga 

memiliki senjata itu.

"Hei?! Nampaknya Eyang bangga seka-

li memiliki senjata itu? Apa Eyang lupa, 

kehebatan senjata itu belum ada apa-

apanya dibanding kehebatanku."

"Jangan cerewet, Cucuku! Kalau kau 

belum menguasai ilmu 'Titisan Siluman 

Ular Putih', jangan harap, mampu mengha-

dapi senjata ini. Bertahun-tahun aku mem-

buat senjata ini untuk bekalmu di dunia 

persilatan. Tapi sekarang, aku akan mewa-

riskannya padamu, Cucuku. Ini namanya 

senjata Anak Panah Bercakra Kembar."


"Anak Panah Bercakra Kembar?" ulang 

Soma penuh kagum.

Bagaimanapun juga tadi, pemuda ini 

sempat merasakan kehebatan senjata itu. 

Dan dia senang sekali mendengar eyangnya 

akan mewariskan senjata itu padanya.

"Ya! Dan mulai hari ini, senjata 

itu akan kuberikan padamu. Pakailah sen-

jata ini bila perlu saja. Juga ilmu 

'Titisan Siluman Ular Putih' itu. Nah, 

sekarang terimalah senjata ini, Cucuku!"

Begawan Kamasetyo menyerahkan sen-

jata itu pada Soma.

Soma mengamati senjata di tangannya 

penuh kagum.

"Terima kasih, Eyang. Tapi ngomong-

ngomong soal ilmu 'Titisan Siluman Ular 

Putih' itu, kok mengapa tadi Ibu keliha-

tan takut sekali menghadapiku. Dan menga-

pa pula Ibu bisa jadi berubah menjadi si-

luman ular? Juga Eyang sendiri. Mengapa 

tadi Eyang tidak mengeluarkan ilmu itu 

untuk menghadapiku?" cerocos Soma bagai 

mercon terbakar. 

"Aku memang belum mampu menguasai 

ilmu ciptaanku itu, Cucuku. Sebenarnya 

aku bisa saja menguasai ilmu itu. Tapi 

Eyang takut tidak kuat melawan kehendak 

suci dalam diriku. Dan mengenai ibumu 

mengapa tidak berani menghadapimu sewaktu 

sudah menjelma menjadi Siluman Ular Pu-

tih, mungkin karena ilmu ibumu belum sem


purna seperti dirimu, Cucuku. Bahkan bisa 

dikatakan, ibumu justru terkena getah 

akibat terlalu ingin menguasainya. Se-

hingga ketika menghadapimu yang sudah se-

penuhnya menguasai ilmu itu, dia tidak 

berani. Sedang mengenai mengapa ibumu be-

rubah menjadi siluman ular seperti ini, 

karena sewaktu bertapa dulu, ibumu tidak 

kuat menghadapi godaan seperti yang kau 

alami tadi. Sehingga, nasib ibumu ya..., 

menjadi seperti ini...."

Soma trenyuh sekali mendengar kete-

rangan eyangnya. Tanpa sadar perhatiannya 

beralih pada ibunya. Kebetulan sekali 

saat itu Ratri atau Siluman Naga Puspa 

pun sedang memperhatikan anaknya dengan 

pandangan sedih.

Soma jadi tidak tahan lagi. Segera 

didekati ibunya. Langsung dipeluknya tu-

buh siluman ular itu erat-erat. Hatinya 

nyeri sekali. Namun, Soma cepat dapat 

mengendalikan perasaannya. 

"Sudahlah, Bu! Ibu jangan terlalu 

bersedih. Tabahkan saja hati Ibu, semoga 

Yang Maha Kuasa sudi mengabulkan doa ki-

ta. Mudah-mudahan Ibu segera kembali men-

jelma menjadi manusia," ucap Soma getir.

Siluman Naga Puspa menggeliat-

geliatkan tubuhnya gelisah. Sepasang ma-

tanya yang mencorong pun mulai berair me-

mandang ke langit, seperti sedang meminta 

petunjuk Yang Maha Kuasa. Kemudian semba


ri terus memandang ke langit, Siluman Na-

ga Puspa pun mendesis-desis sedih.

"Ya, ya, ya...! Memang sebaiknya 

Ibu terus melanjutkan bertapa, agar dapat 

kembali menjelma menjadi manusia bi-

asa...."

Siluman Naga Puspa menurunkan kepa-

lanya. Sepasang matanya yang mencorong 

semakin berair. Dan mulutnya pun mende-

sis-desis lagi, mengungkit-ungkit kesedi-

hannya di masa lampau.

"Sudahlah! Kalian tak perlu men-

gungkit-ungkit cerita sedih itu lagi. Se-

karang apalagi yang ingin kau tanyakan, 

Soma?" tukas Begawan Kamasetyo.

Soma mengalihkan perhatian pada 

eyangnya. Pemuda yang pada dasarnya ber-

watak jenaka ini pun sudah dapat melupa-

kan kesedihan yang baru saja dialami. Se-

bentar kemudian bibirnya telah mengulas 

senyum.

"Ya, ya, ya...! Masih ada satu hal 

yang mengganjal hatiku, Eyang. Mengapa 

aku tidak bisa menebarkan bau harum bunga 

melati seperti Ibu? Ceritanya bagaimana, 

Eyang?"

"Mungkin dikarenakan kau laki-laki. 

Tapi sebenarnya sewaktu lahir dari perut 

ibumu, kau juga sudah mengeluarkan bau 

harum bunga melati. Tapi, begitu beranjak 

dewasa, bau harum itu pun hilang dengan 

sendirinya," jelas Begawan Kamasetyo.


"Wah, wah, wah...! Mengapa bau wan-

gi dalam tubuhku harus hilang, ya? Coba 

kalau tidak. Pasti banyak gadis cantik 

yang akan mencintaiku! Aku jadi menyes-

al," gerutu Soma dengan raut wajah se-

rius.

"Kau yang dipikirkan hanya gadis-

gadis saja! Apa kau tidak ingin mencari 

siapa ayahmu?" ejek Begawan Kamasetyo.

"Tentu, Eyang! Tentu! Apa Eyang su-

dah boleh mengizinkanku turun gunung?" 

jawab Soma semangat.

"Tanyakan saja pada ibumu!"

Soma mengalihkan perhatian pada 

ibunya.

"Iya, Bu? Apa Ibu sudah mengizin-

kanku mencari ayahku?"

Ratri atau Siluman Naga Puspa men-

desis-desis.

"Oh...! Ibu juga mengizinkan? Teri-

ma kasih, Bu. Lantas, siapa nama ayahku, 

Bu?" tanya Soma.

Siluman Naga Puspa kembali mende-

sis-desis. Desisan yang hanya diketahui 

Soma dan Begawan Kamasetyo.

"Mahesa? Murid Pendekar Pedang Ki-

lat Buana atau yang lebih dikenal sebagai 

Pendekar Kujang Emas?"

Siluman Naga Puspa mendesis-desis, 

membenarkan ucapan Soma.


5

Lereng Gunung Batu terlihat menju-

lang tinggi di kejauhan, berselimut awan 

putih. Sedang matahari belum begitu ting-

gi pada garis edarnya. Cahayanya yang 

keemasan hangat menyinari bumi. Dari arah 

timur Lembah Kidung, Soma sedang berlari 

kencang menuju lereng Gunung Batu.

Tiba-tiba di hadapan pemuda itu 

menghadang seorang gadis cantik. Umurnya 

kira-kira dua puluh delapanan. Tubuhnya 

yang ketat dibungkus pakaian warna kun-

ing. Rambutnya yang hitam panjang dikun-

cir ke atas dengan pita warna kuning pu-

la. Sebenarnya cantik sekali gadis itu. 

Tapi karena dandanannya agak menor, mem-

buat bedaknya yang tebal luntur oleh ke-

ringat.

"Tunggu dulu, Pemuda Tampan! Mau ke 

mana sih? Kok, buru-buru?" sapa gadis ini 

genit. Matanya yang jelita mengerling 

nakal ke arah Soma.

Soma menghentikan langkahnya.

"Aku? Aku tidak ke mana-mana? Toh, 

apa bedanya sih ke mana-mana dan tidak ke 

mana-mana?" jawab Soma seenak hati. "Ta-

pi, ngomong-ngomong ada keperluan apa? 

Kok menghadang langkahku? Apa tidak ada 

kerjaan lain kecuali menghadang perjala-

nanku?!"

Wanita cantik itu tersenyum manis.


"Ahh...! Mengapa kau jadi sewot be-

gini?"

Soma menautkan sepasang alisnya 

yang tebal. "Kalau dia wanita baik-baik, 

mengapa kelakuannya begini? Aku harus ha-

ti-hati. Jangan-jangan dia wanita nakal?" 

gumamnya dalam hati.

"Lho, lho...! Kok, malah bengong? 

Memangnya ada apa? Apa tadi kau belum di-

beri makan ayahmu?" ledek wanita itu se-

raya meraih lengan Soma.

"Hei?! Apa-apaan, sih?!" sergah So-

ma seraya mengibaskan tangannya kasar.

"Aduh! Lagakmu seperti orang suci 

saja! Tapi aku yakin, sekali saja kenal 

aku, kau pasti akan tergila-gila," kata 

gadis ini ceriwis. "Ayolah, Pemuda Tam-

pan! Tunggu apalagi?"

"Ah...! Aku mau lewat!"

Soma nekat menerjang. Namun wanita 

cantik itu kembali menghalangi langkah-

nya. Malah tangannya yang putih bersih 

berani memeluk lengan Soma.

"Kau sebenarnya mau apa, sih? Aku 

mau lewat. Ayolah, beri aku jalan," kata 

Soma kewalahan juga melihat kenekatan wa-

nita itu.

"Gampang. Soal memberi jalan itu 

gampang," jawab gadis itu dengan senyum 

menyebalkan. "Tapi, ada syaratnya?"

Soma menggerutu. Kedua lengan wani-

ta itu makin erat memegangi lengannya.


"Huh! Mimpi apa aku semalam, sehingga Tu-

han mengirimkan manusia sundal ini? Can-

tiknya sih memang bolehlah. Tapi, buat 

apa kalau membawa penyakit?" gerutu Soma.

"Hey, kau ngomong apa?! Apa kau ti-

dak pernah diajarkan sopan santun oleh 

ibumu?" bentak wanita itu tersinggung. 

Tanpa sadar kedua tangannya yang memegang 

lengan Soma dilepaskan, siap melontarkan 

pukulan mautnya.

"Jangan terlalu perasa.... Aku ti-

dak menyindir mu. Aku hanya mengatakan, 

wanita secantik apa pun bisa juga membawa 

penyakit. Jadi, aku tidak mengatakan ka-

lau kau yang membawa penyakit," sergah 

Soma seraya bergerak mundur selangkah.

"Hen?! Itu sama saja mengatakan ka-

lau aku pembawa penyakit!" tukas wanita 

cantik itu marah. "Apa kau belum tahu, 

siapa aku sehingga kau berani berkata se-

lancang ini?!"

"Siapa kau? Ah, gampang saja. Kau 

tak ubahnya seperti perampok yang mengha-

dang perjalanan orang, masa' kau lupa?" 

tukas Soma enteng. Sama sekali tidak ta-

kut menghadapi ancaman wanita itu. 

Padahal kalau pemuda ini tahu siapa 

wanita di hadapannya, pasti akan terke-

jut. Wanita cantik di hadapannya saat ini 

adalah Denok Supi, salah seorang tokoh 

sesat yang merajai daerah barat. Usia se-

benarnya sudah sangat tua. Tapi karena


memiliki semacam ilmu awet muda, sehingga 

nampak seperti seorang gadis.

"Dua kali kau menghinaku, Bocah! 

Kau harus membayar penghinaanmu ini!"

Sehabis berkata begitu, Denok Supi 

mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap 

melancarkan pukulan mautnya.

"Tunggu!" cegah Soma. "Sebenarnya 

kau mau apa? Bukankah di antara kita ti-

dak ada silang sengketa? Mengapa kau ma-

rah-marah begini?"

Denok Supi menggeram marah. Kedua 

tangannya, yang sudah gatal tidak dapat 

lagi ditahan. Untungnya Soma sudah siap 

siaga.

Wuuttt...!

"Uts!"

Begitu tangan Denok Supi bergerak 

menampar pipinya, Soma cepat berkelebat 

ke samping kiri. Meski serangan wanita 

itu dapat dihindari dengan mudah, namun 

hatinya sempat kaget. Betapa tidak? Ru-

panya pukulan Denok Supi penuh dengan ha-

wa racun. Dan ini dapat dirasakan dan ha-

wa dingin yang berbau amis sebelum tangan 

itu mengenai sasaran.

"Hm...! Rupanya kau punya sedikit 

kepandaian sehingga berani berkata selan-

cang tadi. Bagus! Akan kulihat sampai di 

mana kepandaianmu, Bocah!"

Tanpa banyak cakap lagi, Denok Supi 

cepat menyerang. Hatinya merasa penasaran


sekali melihat serangan pertamanya tadi 

dapat dihindari dengan mudah. 

"Wah, wah, wah...! Apa-apaan kau 

ini? Mengapa urusan jadi runyam begini? 

Sungguh aku tidak bermaksud menghinamu," 

kata Soma sambil berloncatan ke samping 

kiri menghindari serangan.

"Jangan banyak bacot! Aku harus me-

nelanjangimu atas penghinaanmu ini, Bocah 

Tampan!" dengus Denok Supi langsung men-

gerahkan jurus-jurus mautnya untuk mende-

sak Soma.

Pemuda ini kewalahan bukan main da-

lam menghindar. Dan tak henti-henti mu-

lutnya mengoceh.

"Sungguh aku tidak bermaksud meng-

hinamu. Tapi, baiklah! Kalau kau memang 

tersinggung atas ucapanku tadi, aku akan 

cabut kembali ucapanku tadi."

"Enak saja! Omonganmu sudah telan-

jur keluar! Tidak! Kau harus membayar 

penghinaanmu!" dengus Denok Supi benar-

benar penasaran bukan main. Sudah tiga 

jurus lebih namun belum dapat juga me-

nyentuh tubuh pemuda itu

"Waduh...! Maaf, deh! Aku benar-

benar menyesal."

Denok Supi tidak mempedulikan oce-

han Soma lagi. Sebagai seorang ahli silat 

tingkat tinggi yang sudah cukup pengala-

man malang melintang di dunia persilatan, 

hatinya merasa penasaran bukan main dapat


dipermainkan lawannya yang kelihatannya 

masih hijau. Dan agaknya, tokoh sesat da-

ri barat itu kini tidak sekadar memberi 

pelajaran pada Soma, melainkan membunuh-

nya. Dan pada satu kesempatan yang tidak 

mungkin dihindari Soma, kedua telapak 

tangan Denok Supi yang penuh racun kemba-

li mengancam dada.

Wuuttt...!

Soma kaget bukan main. Serangan ini 

jelas sangat membahayakan bagi keselama-

tannya. Apalagi dalam jarak sedekat itu. 

Tak ada pilihan lain, harus ditangkisnya 

kedua telapak tangan Denok Supi.

Duk! Duk!

Terdengar suara benturan keras dari 

dua tenaga dalam tinggi di udara. Akibat-

nya tubuh Soma bergoyang-goyang. Kedua 

kakinya melesak beberapa rambut ke dalam 

tanah. Sedang Denok Supi terhuyung-huyung 

beberapa langkah ke belakang. Wajahnya 

pucat pasi. Dan dari bibirnya mengelua-

rkan darah segar.

"Pukulan 'Tenaga Inti Bumi'...!" 

desis Denok Supi kaget.

Soma sendiri kaget bukan main. Ti-

dak disangka pukulannya tadi menyebabkan 

musuhnya terluka. Dan lebih kagetnya la-

gi, musuhnya mengenali jurus pukulannya 

tadi. 

Soma tersenyum-senyum bagai orang 

bodoh.


"Benar! Itu memang yang dinamakan 

pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Apa kau 

masih penasaran? Tapi, sayang. Aku tidak 

punya waktu meladenimu. Selamat tinggal!"

Sehabis berkata begitu, pemuda ini 

segera mengerahkan ilmu meringankan tu-

buhnya meninggalkan tempat itu. Dan dalam 

sekejap saja, tubuhnya telah menghilang 

dari balik kerimbunan pohon cemara.

Denok Supi menggeram marah. Dalam 

hatinya bertanya-tanya, siapa pemuda tam-

pan berbaju rompi bersisik berwarna putih 

keperakan tadi?

"Jahanam? Dia pasti murid si tua 

bangka Begawan Kamasetyo! Siapa lagi?" 

desis Denok Supi penuh kemarahan, sebelum 

akhirnya meninggalkan tempat itu.

***

Di kaki langit sebelah barat, mata-

hari sebentar lagi tenggelam. Sinarnya 

yang keemasan mulai pudar, menebar ke se-

bagian lereng barat Gunung Batu. Keadaan 

di sekitar puncak gunung itu sunyi. Hanya 

terdengar beberapa kicauan burung yang 

hendak pulang ke sarang.

Dan dalam terpaan angin lembut sore 

itu, Soma berdiri mematung bagai tonggak 

tak bernyawa. Matanya yang tajam menge-

darkan pandangan ke segenap penjuru. Ke-

dua bibirnya berkemik-kemik, seperti me


nyesali sesuatu.

"Aku sudah sampai di puncak Gunung 

Batu. Tapi, mengapa sepi sekali? Mana Ma-

hesa, si Pendekar Kujang Emas, ayahku 

itu? Kok dia tak muncul-muncul?" gumam 

Soma kecewa.

Sebatas mata memandang, Soma hanya 

menemukan hamparan batu besar kecil. Tak 

ada satu tumbuhan pun yang tumbuh di sa-

na. Pemuda ini tidak putus asa. Dia terus 

mencari orang yang dimaksudkan ibunya. 

Sehingga tak terasa senja mulai berganti 

malam.

Bulan sepotong di langit sebelah 

timur, tidak cukup menerangi tempat itu. 

Soma akhirnya memutuskan untuk melan-

jutkan pencariannya esok hari.

***

Dua tahun ke belakang, sebelum Soma 

menginjakkan kakinya di tempat yang sama, 

di puncak Gunung Batu, Mahesa atau yang 

lebih terkenal sebagai Pendekar Kujang 

Emas tengah duduk berhadap-hadapan dengan

seorang pemuda tampan di atas bongkahan 

batu

Wajah pemuda itu tampan, berbentuk 

bulat telur. Kulitnya putih bersih. Sepa-

sang matanya yang tajam dihiasi alis mata 

tebal. Hidungnya mancung, pas sekali den-

gan bentuk bibirnya yang tipis. Tubuhnya


tinggi kekar, dibalut pakaian rapi seka-

li, seperti pakaian terpelajar saat itu. 

Sedang rambutnya yang gondrong dikuncir 

sebagian ke belakang, semakin menambah 

ketampanannya. 

Gerak-gerik sikap pemuda itu pun 

lembut. Sehingga membuat Mahesa sangat 

menyayanginya. Bahkan pemuda di hadapan-

nya sudah dianggap seperti anak kandung 

sendiri. Maka tak heran kalau semua ke-

pandaian ilmu silatnya diturunkan kepada 

pemuda itu. Seorang pemuda malang yang 

dulu ditemukan dalam pelukan ibunya yang 

sudah menjadi mayat, sewaktu Mahesa se-

dang mencari istrinya yang hilang entah 

ke mana.

"Prameswara...!" panggil Mahesa me-

mecah keheningan malam. "Aku kira semua 

kepandaian silatku telah kuturunkan semua 

padamu. Sekarang sudah saatnya kita ber-

pisah. Kalau kau tidak keberatan, tolong 

carikan istriku, Prameswara! Namanya Ra-

tri. Aku sudah terlalu tua untuk turun 

gunung. Apa kau tidak keberatan?" 

"Tentu saja tidak, Guru. Seberat 

apa pun tugas Guru, akan kulaksanakan," 

jawab Prameswara, santun dan tegas. 

"Ya, ya...! Aku percaya. Aku berpe-

san, gunakanlah semua kepandaianmu untuk 

membela yang lemah dan menegakkan kebena-

ran. Tetaplah berpegang teguh pada apa 

yang kuajarkan di sini. Mengerti?"


"Mengerti, Guru. Aku akan menjun-

jung tinggi semua yang Guru ajarkan pada-

ku," sahut Prarpeswara mantap.

"Nah, sekarang teruskanlah latihan-

mu! Besok pagi kau boleh turun gunung!" 

"Baik, Guru."

***

Siang di Desa Ganggurdi. Matahari 

tersaput awan. Beberapa orang petani nam-

pak baru pulang dari sawah. Suara canda 

dan tawa mereka mengusik kesunyian desa. 

Dari ujung desa yang lain, Prames-

wara mulai memperlambat langkahnya. Sedi-

kit pun tidak nampak keringat membasahi 

wajahnya, pertanda ilmu meringankan tu-

buhnya sudah mencapai tingkat tinggi. Pa-

dahal dia baru saja menempuh perjalanan 

jauh. Sejak turun gunung, desa itulah 

yang pertama kali dijumpainya.

Saat mulai memasuki jalan desa itu, 

Prameswara melihat suasana desa itu agak 

ramai dibanding di ujung desa tadi. Bebe-

rapa orang petani yang tadi asyik bercan-

da mulai berpisah, pulang ke rumah mas-

ing-masing. 

Prameswara masuk ke dalam sebuah 

kedai, agak terpisah dari perumahan pen-

duduk. Dua orang pelayan cantik menyambut 

kedatangannya. Kebetulan suasana sedang 

sepi. Yang ada hanya Prameswara seorang.


"Silakan duduk, Tuan! Mau makan 

apa?" sambut salah seorang gadis cantik 

itu senang. Sepasang matanya yang jeli 

menatap Prameswara penuh kagum.

Prameswara memperhatikannya sekilas 

dengan senyum terkembang di bibir.

"Tolong sediakan makanan dan arak 

yang paling enak di kedai ini!" ujar Pra-

meswara dengan suara santun. Namun aneh-

nya, sikap pemuda itu sungguh tidak cocok 

dengan tutur sapanya yang santun.

"Ba..., baik" sahut pelayan itu gu-

gup. Sejenak pandangan matanya melirik 

Prameswara.

Prameswara mengacuhkannya,

Pelayan itu menghela napas panjang.

"Sayang! Dia memang tampan, tapi 

sombongnya tidak ketulungan," kata batin 

pelayan itu, sebelum akhirnya masuk ke 

dalam

"Tuaaaampan sekali pemuda itu. Sia-

pa namanya, Yu?" tanya pelayan lain penuh 

kagum. 

"Huh! Sombongnya minta ampun. Boro-

boro tahu namanya. Aku jadi sebel! Seper-

tinya dia saja yang paling tampan," geru-

tu pelayan yang tadi menyambut kedatangan 

Prameswara kesal. "Sudah! Sekarang gili-

ran mu mengantarkan makanan ke depan!" 

"Benar, nih? Apa kau tidak menyesal 

kalau pemuda itu jatuh cinta padaku?" ka-

ta pelayan yang satunya, senang dapat me


layani tamunya yang tampan.

"Siapa peduli!" 

"Baik, baik! Kalau begitu, aku akan 

mengantar makanan ini padanya. Lihat sa-

ja, Mbakyu! Aku pasti dapat menaklukkan 

pemuda yang katamu sombong itu," kata pe-

layan berpakaian. Kebaya warna kuning itu 

senang. Kemudian bergegas dia menyediakan 

makanan yang dipesan Prameswara. 

"Silakan dimakan, Tuan! Ini arak 

dan makanan yang paling lezat di kedai 

ini. Juga di kedai-kedai lainnya. Sila-

kan! Silakan!" kata pelayan itu genit.

Lagi-lagi Prameswara hanya memper-

hatikan pelayan itu sekilas. Sama sekali 

tidak ada senyum. Bahkan matanya sinis 

sekali memperhatikan pelayan itu. Lalu 

tanpa banyak cakap lagi, araknya mulai 

ditenggak. Tidak seperti para tokoh dunia 

persilatan lainnya, arak putih itu di-

tuang dulu ke dalam gelas dari batu me-

rah. Lalu ditenggaknya sedikit demi sedi-

kit. 

Pelayan berbaju kuning itu mengedu-

mel diperlakukan seperti itu. Namun dia 

tidak putus asa.

"Bagaimana, Tuan? Bukankah cukup 

enak arak di kedai ini?" kata pelayan ini 

ceriwis. 

Prameswara memandang pelayar itu 

tajam.

"Beginikah caramu menyambut tamu


yang makan di sini?" gerendeng Prameswa-

ra.

"I.... Iya! Eh, ti... tidak, Tuan!" 

jawab pelayan berkebaya kuning itu gugup.

"Kalau begitu, cepatlah enyah dari 

hadapanku!" usir Prameswara dingin. 

"Ba...,baik!"

Pelayan berkebaya kuning itu ber-

maksud beranjak dari tempatnya. Namun ti-

ba-tiba saja langkahnya berhenti, saat 

dua orang lelaki aneh masuk ke dalam ke-

dainya. Sejenak pelayan berkebaya kuning 

itu memperhatikan heran ke arah kedua 

orang tamu anehnya. Yang satu bertubuh 

pendek, berkulit hitam legam. Matanya bu-

lat berwarna hitam. Hidungnya bundar. Bi-

birnya yang berwarna hitam agak dlawer 

dengan gigi berwarna kuning. Rambutnya 

pun awut-awutan, cocok sekali dengan pa-

kaian hitam-hitamnya yang kumal.

Sedang laki-laki satunya bertubuh 

tinggi kurus. Mukanya tirus dengan mata 

besar berwarna hitam. Hidungnya mancung 

sekali, seperti hidung betet. Demikian 

juga giginya yang mancung menjorok ke de-

pan. Rambut dan pakaian laki-laki itu pun 

sama-sama kumalnya. Dan sembari tertawa 

mengakak, mereka langsung menghenyakkan 

pantatnya tak jauh dari kursi Prameswara.

"Ayo, kita rayakan pertemuan kita 

di sini, Sorogompo! Kamu mau pesan apa?" 

tanya laki-laki bertubuh tinggi kurus ke


pada laki-laki bertubuh pendek yang di-

panggil Sorogompo.

"Baik, Mayang Kekek. Rupanya hampir 

selama lima belas tahun kita berpisah, 

sekarang kau sudah kaya, ya? Aku mau pe-

san arak yang paling wangi di sini. Juga, 

makanan yang paling enak. Tapi kalau ada, 

aku lebih suka daging kambing. Biar kuat 

itu.... Ha ha ha...!" sahut Sorogompo.

"Mintalah daging kambing dan arak 

yang paling wangi. Bahkan minta bintang 

pun, aku pun tidak keberatan. Tapi bayar 

sendiri! Ha ha ha...! jawab laki-laki 

tinggi kurus yang dipanggil Mayang Kekek, 

langsung disambung suaranya yang sember.

"Apa? Kau mau mempermainkan aku, 

Mayang Kekek? Kau tidak jadi mentraktir

ku?!" tukas Sorogompo mendelik gusar.

"Lho? Siapa peduli? Kau makan untuk 

mengisi perutmu sendiri. Aku juga. Siapa 

peduli? Memangnya aku bapak moyangmu?!" 

jawab Mayang Kekek acuh tak acuh.

"Kau menjatuhkan harga diriku, 

Mayang Kekek. Kalau saja tidak ada gadis 

cantik di sampingku, aku tak akan marah. 

Tapi sekarang, kau harus menerima akibat 

dari bacotmu yang lancang ini!"

Sorogompo cepat meraih asbak ter-

buat dari pangkal pohon bambu, langsung 

dilemparkannya ke arah muka Mayang Kekek.

Cepat sekali lemparan yang dilaku-

kan Sorogompo itu. Apalagi dalam jarak


yang demikian dekatnya. Namun, Mayang Ke-

kek hanya tertawa-tawa saja melihat se-

rangan kawannya. Dan begitu asbak itu 

hendak menghajar wajahnya, jari telunjuk 

tangan kanannya terangkat. Cepat diteri-

manya asbak itu, dan diputar-putarnya 

dengan tangan kirinya.

"Seranganmu lamban sekali, Sorogom-

po! Buat apa bertapa bertahun-tahun kalau 

tenaga dalammu tetap seperti ini. Nih, 

asbakmu kukembalikan!" ejek Mayan Kekek, 

seraya melontarkan kembali asbak itu ke 

muka Sorogompo. 

Asbak itu terdorong ke depan. 

Mayang Kekek penasaran sekali. Segera te-

naga dalamnya dikerahkan. Dan akibatnya 

asbak itu kembali lagi. Tentu saja Suro-

gompo tidak mau kalah dalam adu tenaga 

dalam itu. Demikian pula Mayang Kekek. 

Kedua orang itu terus mengemposkan tenaga 

dalam hingga akhirnya asbak itu tertahan 

di udara!

Pelayan berkebaya kuning yang sudah 

cukup berpengalaman berhadapan dengan to-

koh-tokoh sakti dunia persilatan hanya 

berdiri menggigil di tempatnya. Namun ti-

dak demikian Prameswara. Semula kedua 

orang tua itu memang dibiarkan menjual 

lagak di depannya. Namun lama kelamaan 

merasa terganggu juga.

"Kalian ini orang tua tak tahu di-

ri! Sudah bau tanah masih menjual lagak


di depanku!" bentak Prameswara sambil 

menggerakkan tangan kanannya santai, seo-

lah-olah sedang mengusir lalat di depan 

hidungnya. Akibatnya....

Prak!

Asbak yang terkena pukulan jarak 

jauh pemuda itu kontan pecah berantakan. 

Dan akibatnya pula, tenaga dalam Mayang 

Kekek dan Sorogompo jadi saling serang 

secara langsung.

Duk!

Terdengar benturan tenaga dalam di 

udara. Akibatnya, tubuh kedua orang itu 

bergetar hebat. Bangku tempat berpijak 

langsung hancur berantakan.

Pelayan berkebaya kuning itu menje-

rit-jerit ketakutan, langsung ngacir ke 

dalam.

Kedua orang itu kontan menoleh ke 

arah Prameswara. Mereka yakin pemuda itu-

lah yang membuat ulah. Mata mereka kontan 

membelalak lebar

"Anak muda?! Mengapa kau berani 

lancang mencampuri urusan kami?!" hardik 

Mayang Kekek. Prameswara mendengus.

"Aku tidak bermaksud mencampuri 

urusan kalian? Tapi berhubung kalian te-

lah menjual lagak di depanku, aku tidak 

dapat membiarkannya. Apalagi, kalian te-

lah mengganggu selera makanku. Apa itu 

salah?"

"Salah! Itu jelas salah! Mau meng


ganggu selera makanmu, kek. Mau membunuh-

mu sekalipun, kek. Apa pedulimu?!" dengus 

Sorogompo. Tak dapat lagi amarah ditahan.

Dia melompat ke hadapan Prameswara. Kedua 

tangannya yang sudah gatal-gatal langsung 

bergerak menampar.

Prameswara sedikit menarik tubuhnya 

ke belakang. Sedang tangan kanannya me-

nyambar mangkuk sopnya, menyerang Soro-

gompo.

Pyarrr...!

"Aaakh...!"

Sorogompo memekik kaget. Untunglah 

Mayang Kekek segera membantu menahan se-

rangan Prameswara. Malah kalau pemuda itu 

tidak cepat melempar tubuhnya ke bela-

kang, bisa jadi tubuhnya sudah dibasahi 

kuah sopnya.

"Kau jangan turut campur, Mayang 

Kekek! Aku masih sanggup menghadapi bocah 

ini!"

Sorogompo cepat melesat ke depan. 

Langsung diserangnya Prameswara dengan 

jurus-jurus andalan. Hebat sekali seran-

gan kakek bertubuh kerdil itu, membuat 

pemuda ini kewalahan bukan main. Tubuhnya 

sudah beberapa kali berjumpalitan ke uda-

ra. Dan akhirnya mereka berdua telah be-

rada di luar kedai.

"Bagus! Rupanya kau punya sedikit 

kepandaian!" dengus Sorogompo gusar. Su-

dah tiga jurus berlalu, namun belum juga


dapat menyentuh tubuh lawan.

"Tidak usah banyak bacot dulu, 

Orang Tua! Lihat saja bagaimana aku meng-

hajarmu nanti," kata Prameswara.

"Bocah sombong!" geram Sorogompo 

penuh kemarahan.

"Ayo, Sorogompo! Hajar saja bocah 

itu! Gebuk pantatnya!" teriak Mayang Ke-

kek dari luar kancah pertarungan.

Sorogompo meloncat ke depan. Pra-

meswara cepat membabat pedang. Segera 

disambutnya serangan itu. Tanpa membuang-

buang waktu lagi, Prameswara langsung me-

mainkan jurus-jurus pedangnya yang pernah 

dipelajari dari Pendekar Kujang Emas.

"Hm...! Kau pasti muridnya Pendekar 

Kujang Emas. Tapi, sayang. Kau tidak 

punya sopan santun pada orang tua. Apa 

kau belum pernah diajari sopan santun 

oleh gurumu?!" kata Sorogompo mulai men-

genali jurus-jurus andalan Prameswara.

"Syukur kalau kau sudah tahu nama 

guruku. Jadi sudah seharusnya kau berte-

kuk lutut dan memohon maaf atas kelancan-

ganmu!" desis Prameswara.

"Hm...! Kau memang patut diajari 

sopan santun Bocah. Biarlah aku yang me-

wakili gurumu mengajari sopan santun," 

kata Sorogompo kesal.

Meski hanya bersenjata tangan ko-

song, Sorogompo sama sekali tidak kewala-

han menghadapi Prameswara yang bersenjata


pedang. Perlahan namun pasti, Sorogompo 

dapat mendesak. Bahkan sudah beberapa 

kali tangannya berhasil mendarat telak di 

tubuh pemuda itu.

Prameswara menggeram penuh kemara-

han. Kedua tangannya kini telah berubah 

menjadi biru, siap melontarkan pukulan 

mautnya.

"Apa kau mengenali pukulan ini, 

Orang Tua?" ejek Prameswara.

"Hanya pukulan 'Cahaya Kilat Bi-

ru'," desis Soro gompo. "Sayangnya puku-

lan maut itu kau pergunakan dengan seme-

na-mena. Kau memang tidak layak menjadi 

murid Pendekar Kujang Emas. Sebagai te-

mannya, aku merasa bertanggung jawab un-

tuk memberimu pelajaran."

"Jangan banyak bacot, Orang Tua! 

Pukulan inilah yang akan mengantar nyawa-

mu ke neraka!" bentak Prameswara.

"Lakukanlah! Akan kulihat, sampai 

di mana kehebatan pukulanmu," tantang So-

rogompo berani.

Bukan main marahnya Prameswara. 

Ternyata pemuda ini memang berwatak som-

bong. Hatinya tidak terima direndahkan 

sedemikian rupa. Maka dengan menggunakan 

jurus sakti 'Kilat Menyambar Bumi', Pra-

meswara kembali menerjang Sorogompo. Tan-

gan kirinya yang telah berubah menjadi 

biru, beberapa kali menyambar-nyambar ga-

nas, Namun Sorogompo dapat menghindari


dengan mudah. 

"Terus pukul aku, Bocah! Mengapa 

berhenti?!" ejek Sorogompo. 

"Jahanam! Hari ini adalah hari ke-

matianmu, Orang Tua!"

Prameswara mempercepat gerakan pe-

dangnya. Tubuhnya yang tinggi kekar me-

lenting ke udara. Dan ketika menukik ke 

bawah, tahu-tahu ujung pedang di tangan-

nya telah mengancam ubun-ubun Sorogompo. 

Sedang tangan kirinya siap melontarkan 

pukulan 'Cahaya Kilat Biru'.

Hebat sekali serangan Prameswara. 

Malah Sorogompo sendiri sempat terkejut 

dibuatnya. Namun sebagai seorang tokoh 

silat yang sudah cukup berpengalaman, dia 

tidak jadi gugup, walau saat itu kurang 

menguntungkan. Dengan miringkan tubuhnya 

ke kiri menghindari tusukan pedang, tan-

gan kanannya cepat memapak pukulan 

'Cahaya Kilat Biru' di tangan kiri Pra-

meswara. Bahkan juga dilontarkannya puku-

lan saktinya yang diberi nama 'Orang Gila 

Mengamuk'.

Duk! 

Blarrr...!

Hebat bukan main akibat pertemuan 

dua tenaga dalam di udara itu. Bahkan tu-

buh Sorogompo yang pendek bergoyang-

goyang. Kedua kakinya melesak beberapa 

rambut ke dalam tanah. Sedang tubuh Pra-

meswara yang masih melayang-layang di


udara kembali terlempar ke udara. Sekujur 

tubuhnya menggigil. Wajahnya pucat pasi. 

Dan dari kedua bibirnya mengalir darah 

segar, pertanda menderita luka dalam cu-

kup parah.

"Bagaimana, Anak Muda? Apa kau ma-

sih punya muka melawan aku?" ejek Soro-

gompo puas. "Kalau saja kau bukan murid 

Pendekar Kujang Emas sahabatku, tidak se-

gan-segannya aku membunuhmu. Tapi, kali 

ini kau kumaafkan. Sekarang pergilah! Aku 

muak melihatmu!"

"Hey, tunggu! Jangan biarkan bocah 

itu pergi dulu, Sorogompo! Aku harus 

menghajar pantatnya dulu!" teriak Mayang 

Kekek gemas.

Prameswara yang sudah tidak mempu-

nyai muka, cepat kabur dari tempat itu. 

Meski menderita luka dalam yang cukup pa-

rah, namun dia dapat melangkah cepat dan 

tempat ini.

Mayang Kekek menghentak-hentakkan 

kaki kanannya kesal bukan main.

"Ini semua gara-gara kau, Sorogom-

po! Kau harus membayar hutang pemuda itu! 

Aku harus menggebuk pantatmu!" maki 

Mayang Kekek gemas.


6

Prameswara kecewa bukan main. Ma-

rah, benci dendam bercampur menjadi satu. 

Apa yang dipelajarinya hampir delapan be-

las tahun lebih, ternyata hanya menemui 

kesia-siaan belaka. Dia tidak dapat ber-

buat banyak dihina oleh Sorogompo. Watak 

pemuda ini yang memang tinggi hati, tak 

ingin ada seorang pun melebihi dirinya, 

merasa harus membalaskan sakit hatinya. 

Namun karena belum mampu, dia ingin men-

cari seorang guru tangguh.

Itulah rencana yang sudah tersusun 

dalam benak Prameswara. Padahal kalau mau 

mawas diri, kepandaiannya saat itu sudah 

jauh dari lumayan. Dia tidak berpikir ka-

lau musuh yang dihadapi tadi adalah seo-

rang tokoh sakti. Jangankan dirinya. Gu-

runya pun, belum tentu sanggup mengalah-

kan Sorogompo. Akan tetapi, rupanya Pra-

meswara tidak berpikir demikian. Yang di-

pikirkan hanya kekalahan dan balas dendam 

saja.

"Untuk apa aku belajar silat berta-

hun-tahun kalau hanya menemukan kesia-

siaan seperti ini!" dengus Prameswara ge-

lisah sambil melangkah gontai di pinggi-

ran Hutan Sawo Kembar. Berhari-hari dia 

melakukan perjalanan tanpa arah tujuan. 

Penasarannya terlalu tenggelam dalam ke-

sedihan, karena dipermalukan Sorogompo


Dan ini membuat apa yang ditugaskan gu-

runya jadi terabaikan!

Menurut desas-desus yang sempat di-

dengar Prameswara di sepanjang perjala-

nan, di sebelah barat Hutan Sawo Kembar 

ada seorang tokoh sakti berjuluk Manusia 

Rambut Merah. Konon, ilmu silatnya tinggi 

sekali sehingga sulit sekali dicari tan-

dingannya. Maka, kesanalah pemuda itu me-

langkah menemui tokoh sesat itu.

Begitu sampai di sebelah barat hu-

tan ini tiba-tiba Prameswara merasa tanah 

tempatnya berpijak bergetar hebat, mem-

bentuk garis seperti galian pasir mende-

katinya. Belum hilang rasa kagetnya, ti-

ba-tiba kedua kakinya seperti terbetot 

dari dalam tanah. 

Prameswara cepat mengerahkan ilmu 

meringankan tubuhnya. Namun anehnya, ke-

dua kakinya sulit sekali digerakkan. Dan 

ini membuatnya, kalang kabut. Seketika 

itu juga tenaga dalamnya dikerahkan. Tan-

gan kanannya kini berwarna biru dan lang-

sung dihantamkan ke tanah, Kemudian den-

gan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya 

yang sudah mencapai tingkat tinggi, Pra-

meswara cepat meloncat ke ranting pohon 

dibelakangnya. 

Gundukan pasir di bawah terus men-

gejar ke akar pohon tempat Prameswara

bertengger. Dalam beberapa kejap kemu-

dian, pohon itu tersedot dari dalam ta


nah.

"Heh?!" 

Prameswara kaget bukan kepalang, 

Pohon tempatnya berpijak hampir setengah-

nya melesak ke dalam tanah. Cepat pemuda 

itu meloncat ke ranting pohon lainnya. 

Dan anehnya, gundukan tanah yang berge-

rak-gerak seperti punya mata saja dan te-

rus mengejar.

Dalam hati murid Pendekar Kujang 

Emas ini berdecak kagum. Dia menduga, 

pasti ada orang pintar yang sedang unjuk 

kepandaian padanya. Namun Prameswara ti-

dak bisa menebak, ilmu apa yang dipergu-

nakan orang dalam tanah itu. Mungkin se-

macam ilmu 'Amblas Bumi' atau semacam il-

mu apa. 

"Hup...!"

Prameswara kembali meloncat ke 

ranting pohon lain. Dan kini gundukan ta-

nah di bawahnya tidak mengejarnya. Tapi 

bergetar-getar hebat. Dan tidak lama ke-

mudian..... 

Broll...! 

"Hyaaat...!"

Gundukan pasir itu membuncah seir-

ing teriakan seseorang yang melengking 

tinggi dari dalam gundukan tanah itu!

Terkejut bukan main Prameswara ke-

tika melihat dari dalam gundukan tanah 

muncul seorang laki-laki berpakaian merah 

darah dengan satu lentingan cantik seka


li. Setelah berputaran di udara, kakinya 

mendarat mantap di tanah.

Orang itu tinggi besar. Rambutnya 

berwarna merah menyala. Dia sekarang ber-

diri beberapa tombak di depan Prameswara. 

Wajahnya menampakkan kegarangan dengan 

mata besar. Hidungnya pun besar dipadu 

alis mata dan kumis tebal yang berwarna 

kemerah-merahan.

"Pasti orang inilah yang berjuluk 

Manusia Rambut Merah," gumam Prameswara 

dalam hati.

Pemuda ini merasa harus menggunakan 

akalnya agar dapat membujuk orang tua 

yang nampak baru berumur lima puluh lima 

tahunan itu untuk menjadi gurunya. Dia 

sudah melihat ilmu yang sudah diperagakan 

orang itu. Tapi bagaimanapun juga, Pra-

meswara harus mengujinya! Dia tidak ingin 

hanya membuang-buang waktu kalau ternyata 

orang ini berilmu rendah.

"Siapa pun yang berani melewati 

daerah kekuasaanku harus modar!" dengus 

lelaki yang memang berjuluk Manusia Ram-

but Merah garang. Tubuhnya yang tinggi 

besar tahu-tahu berkelebatan cepat ke 

ranting pohon tempat Prameswara berteng-

ger. Sedang tangannya yang berwarna merah 

menyala telah melontarkan pukulan maut-

nya.

Wesss...! 

Prakk!


Ranting pohon tempat Prameswara 

berpijak hancur berantakan. Sebagian yang 

lainnya layu! Untungnya, pemuda itu cepat 

meloncat turun. Saat ini pikiran Prames-

wara mulai bekerja keras. 

"Sabar, Orang Tua! Soal membunuhku 

itu gampang. Tapi kedatanganku kemari, 

justru ingin bertemu denganmu...," cegah 

Prameswara santun.

"Jadi, kau menantangku?! Kau yang 

membangunkan tapa pendemku, Bocah?" har-

dik Manusia Rambut Merah garang. Kedua 

tangannya yang berwarna merah menyala 

hingga ke lengan kembali menyambar-

nyambar tubuh Prameswara ganas. 

Prameswara kewalahan bukan main da-

lam menghindari. Jangankan terkena puku-

lannya, terkena sambaran anginnya saja 

Prameswara sudah merasakan hawa panas me-

nyengat kulitnya.

"Aku tidak bermaksud demikian, 

Orang Tua. Terus terang, aku hanya ingin 

melihat kebenaran desas-desus yang kuden-

gar di sepanjang perjalananku tentang ke-

hebatanmu, Orang Tua. Bukankah kau yang 

berjuluk Manusia Rambut Merah?" oceh Pra-

meswara, mulai menjalankan siasatnya.

"Benar. Tapi itu bukan berarti aku 

harus mengurungkan niatku untuk membunuh-

mu, Bocah!" hardik tokoh itu lagi garang. 

"Aku tahu. Tapi percuma saja kalau 

ingin membuktikan kehebatanmu padaku. Aku



hanyalah anak kemarin sore. Sudah pasti 

akan kalah," sahut Prameswara merendah.

Manusia Rambut Merah gusar bukan 

main dipanas-panasi seperti itu. Kedua 

kakinya yang besar bergetar-getar. Demi-

kian pula tanah yang dipijaknya.

"Jadi, tokoh silat mana yang pantas

menjadi lawanku, Bocah?" kata Manusia 

Rambut Merah gusar.

"Banyak. Tapi, bukan itu maksud ke-

datanganku, Orang Tua!"

"Bedebah! Kau mulai mempermainkan-

ku, Bocah?!"

"Tidak ada gunanya aku mempermain-

kanmu, Orang Tua. Aku percaya kehebatan-

mu. Untuk itu aku datang kemari. Maksudku 

tidak lain ingin berguru padamu," tutur 

Prameswara semakin mantap dengan renca-

nanya.

"Anjing kurap! Kau hanya memper-

mainkanku! Kau pikir gampang menjadi mu-

ridku?!"

Bukan main marahnya Manusia Rambut 

Merah mendengar penuturan Prameswara. Ke-

dua kaki dan tangannya yang sudah lama 

sekali tidak memakan korban terasa sudah 

gatal-gatal ingin dilampiaskannya. Kemu-

dian dengan satu gerakan sebat, kembali 

Manusia Rambut Merah menyerang Prameswa-

ra.

Nyali Prameswara tidak ciut. Sambil 

berloncatan menghindari serangan, mulut


nya tak henti-hentinya mengejek.

"Heh?! Kau pikir aku pun gampang 

menerimamu sebagai guruku, Orang Tua! 

Jangan harap dengan kehebatanmu ini aku 

mau menerima guru begitu saja!" kata Pra-

meswara sengaja memanas-manasi.

"Jahanam...! Sekarang katakan, sia-

pa gurumu?! Biar aku patahkan batang le-

hernya?!" dengus Manusia Rambut Merah pe-

nasaran bukan main.

"Tidak segampang itu, Orang Tua. 

Ada syaratnya," tangkis Prameswara makin 

membuat Manusia Rambut Merah penasaran.

Manusia Rambut Merah menghentikan 

serangannya. Wajahnya kelam membesi den-

gan rahang bertonjolan.

"Katakanlah! Apa syaratmu, Bocah?!" 

ujar Manusia Rambut Merah, keras.

"Tidak terlalu sulit sebenarnya. 

Jika kau dapat membunuh guruku, aku hanya 

ingin agar kau mengangkatku sebagai mu-

rid," sahut Prameswara penuh kemenangan.

"Anjing kurap! Babi gempul! Kau 

hanya mempermainkanku, Bocah?!"

Bukan main marahnya Manusia Rambut 

Merah. Kedua telapak tangannya yang ber-

warna merah menyala kembali dihantamkan.

Hebat bukan main serangan-serangan 

Manusia Rambut Merah itu. Kalau saja Pra-

meswara tidak cepat membuang tubuhnya be-

berapa kali ke samping kanan, sudah pasti 

terkena sambaran pukulan maut dari tangan


Manusia Rambut Merah. Dan melihat seran-

gan-serangannya dapat dihindari, Manusia 

Rambut Merah makin penasaran saja.

"Bilang saja kau tidak berani, 

Orang Tua! Pakai berdalih ingin membunuh-

ku segala! Jangankan membunuh guruku. 

Menghadapi aku saja, kau masih kewala-

han," pancing Prameswara, makin membuat 

Manusia Rambut Merah penasaran.

Padahal, Prameswara sendiri sudah 

mengeluarkan keringat dingin menghadapi 

serangan-serangan Manusia Rambut Merah 

yang sangat ganas dan keji. Kalau saja 

tokoh sesat itu tidak menghentikan seran-

gan-serangannya. mungkin dalam satu atau 

dua jurus kemudian pemuda ini akan tewas. 

Siasat menjual nama gurunya inilah satu-

satunya yang paling ampuh untuk mengobar-

kan amarah Manusia Rambut Merah.

"Jahanam...! Sekarang katakan siapa 

nama gurumu, Bocah! Aku sudah gatal-gatal 

ingin menghajar gurumu!" bentak Manusia 

Rambut Merah, gusar bukan main.

"Tapi, kau mau menerima syaratku, 

bukan?" tukas Prameswara senang

"Baik. Aku terima syaratmu!"

"Hm.... Kalau begitu...," Prameswa-

ra cepat memutar otaknya. "Sekarang begi-

ni saja. Kau tidak perlu repot-repot men-

datangi puncak Gunung Batu. Tapi sebaik-

nya tantang saja guruku di puncak Gunung 

Merapi, tepat pada malam purnama bulan


ini. Apa kau menerimanya, Orang Tua?"

"Baik. Di mana pun tempatnya, aku 

siap meladeninya. Tapi, siapa nama gurumu 

itu?!" bentak Manusia Rambut Merah ber-

tanya penuh penasaran.

Prameswara tersenyum licik.

"Kau harus hati-hati kalau mengha-

dapi guruku nanti. Guruku bernama Mahesa, 

atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar 

Kujang Emas. Apa kau masih berani melan-

jutkan tantangan setelah kau tahu nama 

besar guruku?"

"Jahanam! Jangankan Pendekar Kujang 

Emas! Ditambah sepuluh orang seperti dia 

pun aku tak akan mundur! Cepat sekarang 

sampaikan tantanganku pada gurumu, Bo-

cah!" 

"Baik! Sekarang juga aku akan pu-

lang ke Gunung Batu untuk menyampaikan 

tantanganmu ini. Tapi, ingat! Kau tidak 

boleh lupa dengan syarat yang telah kua-

jukan!"

"Baik. Apa pun syaratnya, bukan ma-

salah bagiku," geram Manusia Rambut Me-

rah, seakan-akan tidak sabar ingin segera 

bertemu Pendekar Kujang Emas.

Prameswara tersenyum. Hatinya ter-

senyum penuh kemenangan, membayangkan Ma-

nusia Rambut Merah dapat memenangkan per-

tandingannya nanti. Dan dia berharap, 

akan menemukan seorang guru yang tangguh 

agar dapat menguasai dunia persilatan!


* * *

Puncak Gunung Batu berselimut awan 

putih. Matahari yang baru saja menampak-

kan sinar keemasannya hangat memanasi le-

reng sebelah timur. Dari arah sebelah ti-

mur Prameswara tengah berlari kencang me-

nuju puncak. Gerakan kedua kakinya cepat 

sekali, menandakan kalau ilmu meringankan 

tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.

Sebenarnya perasaan pemuda ini ge-

lisah sekali. Memang ada sesuatu yang 

mengganjal dirinya. Bagaimana dia akan 

menceritakan pada gurunya kalau habis 

bentrok dengan Manusia Rambut Merah, dan 

apakah gurunya sudi menerima tantangan? 

Pemuda ini memeras otaknya. Bagaimanapun 

juga, rencananya harus berjalan lancar.

Kini Prameswara sudah tiba di pun-

cak Gunung Batu. Pemuda itu melihat Mahe-

sa yang berjuluk Pendekar Kujang Emas se-

dang bercakap-cakap dengan eyangnya, Pen-

dekar Pedang Kilat Buana. Segera Prames-

wara bersimpuh di hadapan kedua orang tua 

itu. 

"Guru...!"

Mahesa menautkan kedua alisnya.

"Prameswara? Kau sudah pulang? Apa 

kau sudah menemukan Ratri?" tanya Mahesa 

heran.

Prameswara menggelengkan kepala. 

Lemah.


"Maaf, Guru! Aku belum menemukan-

nya."

"Lantas, mengapa pulang? Kulihat 

kau gelisah sekali. Pakaianmu compang-

camping. Ada apa?"

Prameswara memperhatikan pakaiannya 

yang compang-camping sebentar. Tadi sebe-

lum naik ke puncak Gunung Batu. dia sem-

pat merobek pakaiannya agar berkesan ha-

bis bertempur dengan seseorang.

"Begini, Guru. Aku malu sekali. Se-

seorang telah membuatku malu," lapor Pra-

meswara gugup namun tetap menjaga kesan-

tunannya.

"Maksudmu? Kau..., kau habis ber-

tempur dengan seseorang?" tebak Mahesa.

"Benar, Guru. Kepandaian orang itu 

tinggi sekali. Aku tidak sanggup mengha-

dapinya," lapor Prameswara memelas.

"Hm...!"

Mahesa mengelus-elus janggutnya. 

Seseorang yang dapat mengalahkan kepan-

daian muridnya, berarti kepandaian orang 

itu sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

"Kepandaianmu memang sudah tinggi, 

Prameswara. Tapi, kau juga harus sadar. 

Di atas langit, masih ada langit. Jadi, 

wajar saja kalau masih ada seseorang yang 

mengalahkanmu, Muridku," lanjut Pendekar 

Kujang Emas.

"Aku mengerti, Guru. Tapi, bukan 

itu saja persoalan yang sebenarnya,


Guru," sahut Prameswara mulai menjalankan 

siasatnya. "Untuk itulah aku pulang mene-

mui Guru."

"Maksudmu...?"

"Orang itu telah menantang Guru, 

nanti pada malam purnama bulan ini," je-

las Prameswara.

Mahesa terperanjat dari tempat du-

duknya. Pandangan matanya sempat melirik 

ke arah eyangnya, Pendekar Pedang Kilat 

Buana yang lebih banyak diam mendengar-

kan.

Melihat itu Prameswara diam-diam 

jadi menyesal.

"Mengapa aku tidak meminta barang

satu atau dua jurus pada Eyang Guru?!" 

pikir Prameswara. "Tapi, tidak! Eyang 

Guru pernah bersumpah tidak ingin mempu-

nyai murid lagi. Dan aku dulu juga pernah 

membujuknya untuk menurunkan ilmu-ilmu 

andalannya padaku. Dan dia tidak mau."

Prameswara menghela napas sesak se-

kali. Kalau saja Eyang Guru mau menurun-

kan ilmunya padanya, belum tentu dia mem-

punyai niat sejahat itu.

"Siapa nama orang itu, Prameswara?" 

tanya Mahesa akhirnya.

"Aku tidak tahu, Guru. Tapi, aku 

masih ingat ciri-cirinya. Orang itu ting-

gi besar berpakaian serba merah. Rambut-

nya pun juga berwarna merah, Guru," jelas 

Prameswara.


"Hm...! Manusia Rambut Merah...," 

gumam Mahesa.

"Jadi, Guru sudah mengenalnya?"

"Belum. Aku hanya pernah mendengar 

tokoh itu. Konon, kepandaiannya tinggi 

sekali. Tapi, bukankah sudah lama sekali 

menghilang dari dunia persilatan?" tukas 

Mahesa, entah ditujukan pada siapa.

Prameswara diam membisu.

"Dia memang sudah lama sekali meng-

hilang dari dunia persilatan, Muridku. 

Tapi, bisa jadi muncul kembali di dunia 

persilatan untuk menebar dosa," sela Pen-

dekar Pedang Kilat Buana, membuka sua-

ranya.

"Benar, Eyang. Seandainya yang 

Eyang katakan benar, dunia persilatan 

pasti akan gempar," kata Mahesa pada 

eyangnya.

"Benar!" sambut Pendekar Pedang Ki-

lat Buana singkat. "Tapi, bagaimana den-

gan tantangannya? Apa kau akan menerima, 

Muridku?"

"Itulah yang sedang aku pikirkan, 

Eyang," desah Mahesa. "Apa Eyang mengi-

zinkanku menerima tantangannya?"

Pendekar Pedang Kilat Buana yang 

sudah sangat tua menghela napas panjang-

nya. Jenggotnya yang panjang memutih di-

elus-elus dengan tangan kanan.

"Sebagai seorang pendekar, pantang 

tidak menerima tantangan seseorang."


"Jadi, Eyang mengizinkanku menerima 

tantangan itu?" tanya Mahesa.

"Begitulah...."

"Baik!"

Mahesa menggeretakkan gerahamnya. 

Pandangan matanya kali ini kembali ditu-

jukan pada muridnya.

"Lantas, di mana aku harus menerima 

tantangannya, Muridku?" tanya Mahesa pada 

Prameswara.

"Dia..., dia menantang Guru untuk 

bertanding di puncak Gunung Merapi pada 

malam purnama bulan ini Guru."

"Baik. Kuterima tantangannya!"

***

Udara dingin menusuk puncak Gunung 

Merapi. Alam disekitarnya seolah mati 

terbawa suasana tegang. Cahaya bulan yang 

bersinar purnama cukup menerangi puncak-

nya. Sinarnya yang berwarna keperakan, 

menimpa dua raut wajah dua orang laki-

laki tua yang berdiri saling berhadap-

hadapan siap menyabung nyawa.

Yang satu berpakaian serba merah 

dengan rambut berwarna merah menyala. Di-

alah yang terkenal sebagai Manusia Rambut 

Merah. Sedang di hadapannya adalah seo-

rang laki-laki berusia sekitar empat pu-

luh lima tahun dengan pakaian berwarna 

biru-biru. Wajahnya yang berbentuk segi


empat masih menampakkan sisa-sisa ketam-

panannya di waktu muda. Orang ini tak 

lain Mahesa alias Pendekar Kujang Emas. 

Dan sesuai julukannya, orang ini pun 

menggenggam sebilah kujang yang memantul-

kan sinar keemasan.

"Di antara kita tidak ada silang 

sengketa. Mengapa kau menantangku berta-

rung?" tanya Mahesa kalem. Sama sekali 

tidak gentar menghadapi tantangan itu.

"Betul! Di antara kita memang tidak 

ada silang sengketa. Tapi, aku penasaran 

mendengar nama besarmu. Apa kau takut me-

nerima tantanganku?" balas Manusia Rambut 

Merah, bernada mengejek.

"Aku tidak pernah takut menerima 

tantangan siapa pun. Hanya aku heran, 

mengapa kau menantangku? Untuk apa?!" 

tanya Mahesa lagi, kalem.

"Tidak untuk apa-apa. Yang penting 

sekarang, cepat kita bertarung sampai ada 

yang mampus. Kau atau aku!" dengus Manu-

sia Rambut Merah garang.

"Baik! Lakukanlah! Kau yang menan-

tangku. Kau pula yang memulainya!" sambut 

Mahesa.

"Bagus! Bersiap-siaplah menerima 

kematianmu, Pendekar! Aku tidak ingin 

bersilat lidah denganmu. Hiyaaat...!"

Sehabis berkata begitu, Manusia 

Rambut Merah langsung menyerang Mahesa 

dengan senjatanya yang berupa cambuk.


Tarrr! Tarrr!

Hebat sekali serangan Manusia Ram-

but Merah dipadu gerakan kaki dan tangan-

nya yang cepat sekali. Mahesa cepat putar 

kujangnya, memapak serangan. Dan dalam 

sekejap saja kedua orang itu telah ber-

tempur hebat dengan jurus-jurus andalan. 

Kini yang terlihat hanya bayangan merah 

dan biru yang berkelebat. Kadang saling 

bertemu, dan kadang terpisah beberapa 

tombak.

Prameswara sendiri yang diam-diam 

menyaksikan pertarungan hidup mati antara 

gurunya dengan Manusia Rambut Merah, sam-

pai berdecak kagum beberapa kali. Dan di-

am-diam pula dia memuji kehebatan Manusia 

Rambut Merah. Perlahan namun pasti, tokoh 

sesat itu berhasil mendesak Mahesa. Gu-

lungan-gulungan cambuk hitamnya terus me-

maksa sinar kuning yang berpendar-pendar 

di tangan Mahesa untuk terus bertahan.

"Hyaaa!"

Mahesa cepat putar kujangnya me-

nangkis serangan Manusia Rambut Merah. 

Kemudian dalam sekejap saja, Pendekar Ku-

jang Emas telah memainkan jurus maut Pen-

dekar Pedang Kilat Buana. Akibatnya, 

sungguh hebat bukan main. Tubuh Manusia 

Rambut Merah terpaksa harus berjumpalitan 

di udara. Bahkan pada jurus ke sebelas 

tadi, hampir saja tubuhnya terkena samba-

ran kujang di tangan Mahesa.


"Gerrr!"

Manusia Rambut Merah menggeram ma-

rah. Cambuknya cepat dilipat di balik 

pinggangnya. Sementara Pendekar Kujang 

Emas sendiri keheranan melihat lelaki itu 

tidak menggunakan senjatanya.

Namun dalam beberapa kejap kemu-

dian, tubuh Manusia Rambut Merah berputar 

cepat seperti gasing. Dan anehnya lagi, 

tempat berpijaknya berhamburan menyerang 

Mahesa seperti hendak menguruk.

Kini Pendekar Kujang Emas benar-

benar dibuat bingung bukan main. Entah 

dengan menggunakan ilmu apa, tahu-tahu 

tubuh tinggi besar Manusia Rambut Merah 

melesak ke dalam tanah.

Belum sempat kekagetan Mahesa hi-

lang, tahu-tahu gundukan pasir di hada-

pannya bergerak cepat mendekatinya. Kemu-

dian kedua kakinya terasa seperti terbe-

tot ke dalam tanah.

"Ah...!"

Bukan main kagetnya Pendekar Kujang 

Emas mendapati ilmu yang dikeluarkan Ma-

nusia Rambut Merah. Dia memang pernah 

mendengar ilmu 'Amblas Bumi" seperti yang 

dilakukan Manusia Rambut Merah. Namun ba-

ru kali ini melihatnya. Seketika itu juga 

tubuh laki-laki setengah baya ini menge-

luarkan keringat dingin. Betotan di kedua 

kakinya begitu kuat.

"Hiih...!"


Mahesa tak sempat berpikir panjang 

lagi. Dengan menggunakan ilmu meringankan 

tubuhnya yang sudah mencapai tingkat 

tinggi, Pendekar Kujang Emas berhasil me-

lepaskan diri dari betotan Manusia Rambut 

Merah.

"Hyaaat...!"

Bersamaan teriakan Mahesa yang mem-

bahana, tiba-tiba saja tanah tempatnya 

berpijak membuncah ke udara. Tampak seso-

sok tubuh tinggi besar keluar dari dalam 

tanah. Dan tanpa diduga, tahu-tahu Manu-

sia Rambut Merah telah melontarkan puku-

lan maut ke tubuh Pendekar Kujang Emas.

"Pukulan 'Kelabang Geni'!"

Mahesa tersentak kaget melihat se-

leret sinar merah melesat dari kedua te-

lapak tangan Manusia Rambut Merah. Cepat 

dipapaknya serangan Manusia Rambut Merah 

dengan pukulan andalannya, 'Cahaya Kilat 

Biru'.

Blarrr...!

Terdengar benturan dua tenaga dalam 

di udara. Akibatnya sungguh hebat. Tanah 

di sekitar pertarungan bergetar hebat. 

Tumbuh-tumbuhan dalam jarak sepuluh meter 

langsung layu! Sedang tubuh Manusia Ram-

but Merah bergetar hebat. Sementara, tu-

buh Mahesa terlempar beberapa tombak ke 

belakang, pertanda tenaga dalamnya kalah 

satu atau dua tingkat,

"Huaaah...!"


Mahesa muntahkan darah segar. Wa-

jahnya kontan pucat pasi.

"He he he...! Kau harus merasakan 

pukulan 'Kelabang Geni'ku, Pendekar?" 

ejek Manusia Rambut Merah. "Sekarang te-

rimalah kematianmu! Hiyaaat...!"

Kembali seleret sinar merah melun-

cur, begitu kedua telapak tangan Manusia 

Rambut Merah menghentak.

Pendekar Kujang Emas tidak berani 

bertindak ayal-ayalan untuk memapak se-

rangan. Apalagi benturan tenaga dalam ta-

di sudah membuktikan kalau tenaga dalam-

nya kalah satu atau dua tingkat. Maka ce-

pat tubuhnya melenting menghindari puku-

lan yang mengandung hawa panas. Dan saat 

tubuhnya melayang di udara, Mahesa cepat 

meluncur tajam. Kujangnya diputar-putar 

mengancam ubun-ubun kepala Manusia Rambut 

Merah.

Hebat sekali serangan Mahesa ini. 

Tetapi sayangnya, Manusia Rambut Merah 

bukanlah tokoh silat kemarin sore. Dia 

sudah cukup berpengalaman malang melin-

tang di dunia persilatan. Maka begitu ma-

ta ujung kujang di tangan Pendekar Kujang 

Emas mendekati kepalanya, cambuknya cepat 

dicabut kembali. Langsung ditangkisnya 

serangan kujang dengan cambuk yang tiba-

tiba saja berubah keras seperti lempengan 

baja.

Cring!


Bunga api berpijar dengan bunyi 

mendenting yang mengiringi. Tangan Manu-

sia Rambut Merah terasa kesemutan. Se-

dangkan tubuh Mahesa bergetar hebat. Sial 

sekali nasib Pendekar Kujang Emas. Semula 

dia bermaksud menghindari benturan tenaga 

dalam dengan Manusia Rambut Merah. Tapi 

kini malah kembali mengalami kejadian se-

rupa. Dan di saat tubuhnya bergetar hebat 

Manusia Rambut Merah kembali menyerang 

dengan pukulan 'Kelabang Geni'nya.

"Hyaaat...!"

Mahesa cepat berjumpalitan ke uda-

ra. Tubuhnya yang tadi terkena sambaran 

pukulan Manusia Rambut Merah tadi terasa 

nyeri bukan main. Pendekar Kujang Emas 

sadar kalau dirinya mulai terpengaruh ha-

wa racun akibat pukulan lawannya. Dan ini 

tentu saja menghambat gerakannya. 

"Ha ha ha...! Kau terluka, Pende-

kar? Apa kau tidak mau mengakui keheba-

tanku?" ejek Manusia Rambut Merah.

Mahesa menggeretakkan gerahamnya. 

Gerakan kujang di tangan kanannya makin 

dipercepat. Namun tetap saja sia-sia. Ge-

rakannya tidak lagi selincah tadi. Dan 

kesempatan ini segera dimanfaatkan Manu-

sia Rambut Merah. Pada satu kesempatan 

yang tidak mungkin dihindari Mahesa, Ma-

nusia Rambut Merah menghentakkan kedua 

tangannya ke depan. Dan....

Duk!


"Augh...!"

Mahesa memekik nyeri begitu tubuh-

nya terhantam pukulan telak Manusia Ram-

but Merah. Tubuhnya yang tinggi terlempar 

beberapa tombak ke belakang. Wajahnya pu-

cat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat. 

Dari mulutnya keluar darah segar kehitam-

hitaman. Dan beberapa saat kemudian tubuh 

Mahesa pun mengejang, lalu diam dan tak 

berkutik lagi. Mati!

Manusia Rambut Merah tertawa terba-

hak-bahak. Suaranya menggema ke segenap 

penjuru.

"Bagus! Kau memang hebat, Orang 

Tua!" Prameswara bertepuk tangan menyam-

but kemenangan Manusia Rambut Merah.

"Tak sia-sia aku mempunyai calon 

sepertimu, Orang Tua!" 

"Ha ha ha...! Sekarang baru kau li-

hat kehebatanku, ya!" kata Manusia Rambut 

Merah, jumawa. "Benar, Guru."

"Heh?!" dengus Manusia Rambut Me-

rah. "Jangan seenaknya memanggilku 

'guru', Bocah. Ada syaratnya?"

Prameswara gusar bukan main, takut 

Manusia Rambut Merah akan mengingkari 

janji. Karena bukan mustahil orang sesat 

macam dia mengingkari janji.

"Apa syaratnya, Guru?" tanya Pra-

meswara berharap-harap cemas. 

"Carikan aku empat puluh perawan 

yang masih suci, baru kau kuanggap murid


ku!" ujar Manusia Rambut Merah, kemudian 

disusul suara tawanya yang lantang.

"Baik, Guru! Baik!"

7

Pagi menjelang. Kicau burung jalak 

yang mulai keluar dari sarang untuk men-

cari makan meramaikan sua-sana pagi. Ki-

caunya merdu, saling bersahutan satu den-

gan yang lain. Sementara matahari perla-

han bergerak pada garis edarnya.

Soma yang tertidur pulas di balik 

batu besar mengerjap-ngerjapkan matanya 

pedih ketika sinar matahari tepat menyi-

nari wajahnya.

"Busyet! Mati apa tidur, aku ini?!" 

gerutu Soma.

Pemuda ini cepat meloncat bangun. 

Badannya terasa segar sudah setelah ham-

pir semalam beristirahat panjang. Kemu-

dian dengan bermalas-malasan dia mengge-

liat.

"Huaaahhh!"

Ingin sebenarnya Soma meneruskan 

tidurnya kalau saja tidak teringat tugas 

di pundaknya. Sejenak pandangan matanya 

beredar ke segenap penjuru. Tidak menemu-

kan apa-apa. Hanya hamparan pasir dan ba-

tu besar kecil yang memenuhi puncak Gu-

nung Batu.



Soma meloncat ke atas batu sebesar 

kerbau. Pandangan matanya kembali menelu-

suri sekitar tempat itu. Tetap saja tidak 

ditemukan apa-apa, selain hamparan pasir 

dan bebatuan besar kecil. Pemuda ini ti-

dak putus asa. Dia terus mencari kebera-

daan Mahesa dan gurunya, Pendekar Pedang 

Kilat Buana.

"Kau mencari siapa, Anak Muda?!"

Tiba-tiba terdengar teguran lembut 

dari belakang.

Soma cepat berbalik. Tampak kini di 

hadapannya berdiri seorang lelaki tua 

renta berpakaian serba putih, tengah me-

mandang curiga. Usianya sulit sekali di-

tafsirkan. Rambutnya panjang memutih. De-

mikian juga jenggotnya yang panjang.

Dahi Soma berkernyit. Dia memang 

belum begitu mengenali ciri-ciri ayahnya. 

Eyang Begawan Kamasetyo dan Ratri, 

ibunya, hanya mengatakan kalau ayahnya 

bernama Mahesa. Atau lebih terkenal seba-

gai Pendekar Kujang Emas yang tinggal di 

puncak Gunung Batu. Itu saja! Keterangan 

berikutnya Soma tidak begitu memahaminya.

"Inikah ayahku? Kok, sudah tua se-

kali?" gumam Soma sambil menggaruk-garuk 

kepala. "Tapi, bukan mustahil kalau orang 

tua inilah ayahku. Sebab Begawan Kama-

setyo pun sudah sangat tua. Bisa jadi 

orang tua inilah ayahku?" pikir Soma ke-

bingungan.



"Hm...! Anu, Orang Tua! Aku..., aku 

mau tanya. Benarkah ini puncak Gunung Ba-

tu?" tanya Soma hati-hati.

"Seperti yang kau lihat, Anak Muda. 

Di sini bayak bebatuan, sesuai namanya. 

Ada apa? Nampaknya kau sedang mencari se-

suatu?" tukas orang tua bertubuh tinggi 

kurus itu tetap lembut.

"Benar! Benar sekali, Orang Tua! 

Aku memang sedang mencari seseorang. Apa 

kau bisa membantuku?" sorak Soma kegiran-

gan.

"Aku belum bisa mengatakan iya, ka-

lau kau belum mengatakannya, Anak Muda," 

kata orang tua itu kalem.

"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik 

sekali. Aku jauh-jauh datang kemari tidak 

lain hanya ingin mencari ayahku. Menurut 

keterangan ibuku, ayahku bernama Mahesa. 

Atau lebih terkenal sebagai Pendekar Ku-

jang Emas. Apa kau mengenalnya, Orang 

Tua?" jelas Soma.

"Anak muda...! Ja..., jadi? Kau 

anak Mahesa?"

Orang tua berpakaian serba putih 

yang tidak lain Pendekar Pedang Kilat Bu-

ana terperanjat kaget.

"Ada apa, Orang Tua? Mengapa kau 

pandangi aku seperti melihat iblis berku-

mis?! Ada apa?!" tanya Soma seenak ha-

tinya.

Pendekar Pedang Kilat Buana tidak


menanggapi ocehan Soma. Kini dia sudah 

dapat tersenyum kenakalan Soma.

"Kau tadi bilang anak Mahesa, Anak 

Muda? Apa kau anak Ratri? Cucu Adi Bega-

wan Kamasetyo?"

"Hey?! Bagaimana kau bisa mengenali 

ibu dan eyangku, Orang Tua?" tanya Soma 

terperanjat kaget. "Ah...! Jangan-jangan, 

kau ini tukang nujum atau tukang ramal, 

ya? Iya?!"

"Hush! Aku bukan tukang nujum atau 

tukang ramal. Aku Ki Ageng Banaran, gu-

runya ayahmu."

Kali ini Soma benar-benar dibuat 

terkejut bukan kepalang. Matanya yang 

agak kebiru-biruan membelalak lebar. 

"Ya, ampun! Ibu pasti akan marah 

besar kalau aku tidak bersikap hormat pa-

damu, Orang Tua!" Soma menepuk jidatnya 

sendiri. "Maafkan aku, Orang Tua! Ah...!, 

Bagaimana, ya, aku harus memanggilmu?"

Ki Ageng Banaran tersenyum.

"Panggil saja aku Eyang, Anak Mu-

da!"

"Terima kasih. Tapi, kau juga tidak 

boleh memanggilku anak muda lagi, Eyang! 

Namaku Soma," ucap Soma mulai kambuh pe-

nyakitnya.

"Ya, ya, ya...! Pasti Eyang akan 

memanggilmu Soma. Nah! Sekarang, cerita-

kan bagaimana kabar ibu dan eyangmu! Apa 

mereka baik-baik saja?"


"Curang! Curang! Eyang curang! 

Eyang sendiri belum mau bercerita, menga-

pa Eyang harus menyuruhku bercerita ter-

lebih dahulu?" tukas Soma bersungut-

sungut.

"Baik! Baik! Sekarang apa yang in-

gin kau tanyakan, Soma?" tanya Ki Ageng 

Banaran mengalah.

"Nah, begitu dong! Itu baru namanya 

eyangku!" goda Soma. "Sekarang, tolong 

katakan di mana Ayah, Eyang? Itu saja!"

Ki Ageng Banaran menghela napas 

panjang. Dia sudah menduga kalau Soma me-

nanyakan hal itu.

"Ayo duduk dulu, Cucuku! Nanti 

Eyang ceritakan di mana ayahmu berada."

Ki Ageng Banaran meraih bahu Soma. 

Diajaknya pemuda itu duduk di sebuah 

bongkahan batu besar.

"Ketahuilah, Cucuku! Sesungguhnya 

ayahmu sudah lama mati. Seseorang yang 

mengaku bernama Manusia Rambut Merah te-

lah membunuhnya di puncak Gunung Merapi," 

jelas Ki Ageng Banaran, melanjutkan.

"Manusia Rambut Merah?!" ulang So-

ma.

"Benar, Cucuku."

"Oh...!"

Soma mengeluh sedih. Sikap nakalnya 

seketika hilang. Dan tanpa sadar lengan 

Ki Ageng Banaran dipegangi erat-erat. Wa-

jahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar


getar hebat menahan pukulan batinnya yang 

tiba-tiba.

"Aku harus membuat perhitungan den-

gan Manusia Rambut Merah! Aku harus me-

nuntut balas! Aku harus menuntut ba-

las...!" geram Soma penuh kemarahan.

"Tapi, cobalah selidiki Prameswara! 

Barangkali dia tahu sebab musababnya ten-

tang kematian ayahmu itu," ujar Pendekar 

Pedang Kilat Buana lagi.

"Siapa Prameswara itu, Eyang?" 

tanya Soma ingin tahu.

"Prameswara adalah murid, sekaligus 

anak angkat Mahesa, Cucuku. Tapi, sejak 

Mahesa melayani tantangan Manusia Rambut 

Merah, dia tidak muncul lagi kemari."

Soma mengangguk-angguk. Hatinya 

saat itu rusuh sekali. Kerinduannya untuk 

bertemu ayahnya sirna, berganti amarah 

membuncah! Hanya ada satu keinginan dalam 

diri Soma. Membalas dendam!

***

Hutan Randu Blatung adalah salah 

satu daerah kekuasaan Manusia Rambut Me-

rah. Letaknya, tidak begitu berjauhan 

dengan Hutan Sawo Kembar tempatnya bermu-

kim. Sesuai namanya, hutan ini memang ba-

nyak ditumbuhi pohon randu. Konon, dulu 

di tengah hutan itu terdapat sebuah pohon 

randu raksasa yang banyak sekali dihuni


blatung. Sehingga hutan itu diberi nama 

Hutan Randu Blatung.

Pada akhir-akhir ini, sejak Manusia 

Rambut Merah muncul kembali ke dunia per-

silatan, hampir tidak ada seorang pendu-

duk desa pun yang berani masuk ke dalam 

hutan itu. Pernah ada beberapa orang kam-

pung yang nekat masuk ke dalam hutan un-

tuk mencari kayu bakar, namun anehnya ti-

dak pernah pulang lagi ke desanya. Bahkan 

akhir-akhir ini kegelisahan penduduk di 

sekitar Hutan Randu Blatung makin bertam-

bah. Seseorang yang mengaku utusan Manu-

sia Rambut Merah sering menyambangi kam-

pung-kampung di sekitarnya untuk menculik 

gadis-gadis cantik.

Orang yang mengaku utusan Manusia 

Rambut Merah itu masih muda. Menurut ke-

terangan beberapa orang penduduk yang 

pernah melihat, orang itu berwajah tam-

pan. Pakaiannya seperti pakaian seorang 

terpelajar saat itu. Sepak terjangnya pun 

menggiriskan. Tidak peduli siang maupun 

malam. Layaknya seperti setan saja, pemu-

da itu datang dan pergi begitu saja. Dan 

kepergian orang itu selalu ditandai jeri-

tan seorang gadis dalam pondongan.

Siang ini matahari di luar Hutan 

Randu Blatung panas menyengat bumi. Musim 

kemarau yang berkepanjangan menyebabkan 

tanah di sekitar hutan merekah. Pohon-

pohon di sekitarnya pun mengering. Hampa


ran sawah yang membentang di luar Desa 

Wonodadi tak dapat lagi diandalkan hasil-

nya. Pohon-pohon padi yang sudah mengun-

ing rusak dimakan tikus. Menyedihkan se-

kali nasib penduduk desa yang terancam 

paceklik itu. Belum lagi menghadapi pen-

deritaan yang datangnya dari utusan Manu-

sia Rambut Merah!

Dan dalam terpaan angin lembut 

siang itu, seorang pemuda gondrong berpa-

kaian rompi dan celana bersisik1 warna 

putih keperakan tengah melangkah santai 

masuk ke Desa Wonodadi. Sebuah rajahan 

bergambar ular putih di dada kanannya 

nampak terlihat nyata dari rompinya yang 

terkuak tanpa kancing. Dan sambil ber-

siul-siul kecil, kakinya terus melangkah 

masuk ke desa itu. Entah, lagu apa yang 

dinyanyikan. Yang jelas pemuda tampan 

yang tidak lain Soma nampak riang sekali. 

"Berhenti!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyar-

ing yang datangnya dari arah luar desa. 

Dan bersamaan dengan teriakan, dari balik 

rindangnya pepohonan di luar desa segera 

bermunculan beberapa orang penduduk desa 

menghadang perjalanan Soma dengan senjata 

apa pun.

Soma menautkan kedua alisnya tajam.

"Ada apa ini? Mengapa kalian meng-

hadangku?" tanya Soma heran.

"Jangan banyak bacot! Kau pasti


orangnya! Kau pasti orang yang mengaku 

utusan Manusia Rambut Merah!" hardik 

orang yang membentak tadi, garang.

Orang itu tinggi kurus berpakaian 

seperti seorang pemuda desa. Rambutnya 

yang panjang memutih digelung ke atas. 

Wajahnya yang sebenarnya ramah, terlihat 

garang. Sedang di sampingnya, berdiri 

seorang gadis cantik berpakaian merah. 

Dari sikapnya jelas, kalau gadis itu tak 

bisa dianggap sembarangan. Umurnya seki-

tar delapan belas tahun. Dan gadis cantik 

yang telah memegang pedangnya terus me-

mandangi Soma. Demikian pula beberapa 

orang penduduk kampung yang berdiri di 

belakangnya.

"Aku? Aku utusan Manusia Rambut Me-

rah?" tukas Soma sambil menunjuk dadanya 

sendiri. "Ah...! Kalian ini bagaimana 

sih? Jangan-jangan kalian ini sedang men-

gigau ya? Tapi masa' sih, mengigau ramai-

ramai begini?"

Sehabis berkata begitu, Soma terse-

nyum-senyum sendiri mirip orang kurang 

waras.

"Bocah edan! Jangan seenak udelmu 

mengumbar suara! Mengaku sajalah kalau 

kau utusan Manusia Rambut Merah?!" bentak 

gadis cantik berbaju merah ikut-ikutan 

garang. 

"Nona Pendekar ini betul. Sebaiknya 

kau mengaku saja! Jangan mungkir! Kaulah


yang menculik dan memperkosa gadis-gadis 

desa ini?!" lanjut yang lain.

Soma garuk-garuk kepala. 

"Aduuuh...! Pantesan tadi malam aku 

mimpi dikejar-kejar orang gila. Eh..., 

tak tahunya memang benar mimpiku itu," 

oceh Soma lagi-lagi.

"Apa kau bilang? Kau mengatakan ka-

lau kami ini orang-orang gila?!" hardik 

gadis cantik berbaju merah mulai kehabi-

san kesabaran.

"Ah...! Siapa bilang begitu? Aku 

hanya bilang, aku tadi mimpi!" jawab Soma 

enteng. "Kau jangan terlalu perasa 

dong?!"

"Setan! Buat apa meladeni omongan 

bocah sinting ini, Ki Lurah! Kita cincang 

saja bocah ini ramai-ramai, biar tidak 

mengganggu ketenangan desa!" ujar salah 

seorang penduduk desa yang memegang golok 

besar, tak sabar.

"Benar, Ki Lurah! Tunggu apa lagi? 

Kita cincang saja bocah ini!" sahut yang 

lain penuh kemarahan.

"Setuju, Ki Lurah. Kita cincang sa-

ja bocah ini...!" sahut penduduk kampung 

yang lain kompak.

"Wah, wah, wah...! Ini namanya pe-

merkosaan hak! Tidak bagus! Tidak bagus!" 

khotbah Soma, sok tahu. Tapi otaknya yang 

cerdik cepat mencium sesuatu yang tidak 

beres di batik semua ini.


"Serang,..!"

Terdengar teriakan bernada memerin-

tah. Seketika itu juga penduduk kampung 

yang sudah kalap menyerang Soma dengan 

senjata di tangan.

Soma menggeretakkan gerahamnya kes-

al. Dan sambil berloncatan ke sana kemari 

menghindari serangan-serangan, tak henti-

hentinya mulut Soma mengoceh.

"Kasihan sekali kalian ini! Apa ka-

lian sudah mulai kemasukkan setan hutan 

ini, ya? Mengapa kalian liar begini?"

"Jangan banyak bacot! Terima saja 

kematianmu hari ini, Bocah Edan!" teriak 

gadis berbaju merah gusar bukan main. Dan 

gadis ini merasa paling kesal, melihat 

serangannya dapat dihindarkan Soma dengan 

mudah. Padahal jurus-jurus andalan sudah 

dikeluarkan.

"Nona manis! Mengapa kau jadi ikut-

ikutan latah seperti mereka? Apa kau ha-

bis putus cinta, ya? Iya?! Pantesan...!" 

ejek Soma.

"Bedebah! Belum puas aku kalau be-

lum merobek-robek mulutmu, Bocah!" pekik 

gadis cantik berbaju merah penuh kemara-

han. Cepat diterjangnya Soma. Tangan ka-

nannya yang memegang pedang ditusukkan ke 

arah dada. Sementara tangan sebelah kiri 

siap mengirimkan pukulan maut.

Soma cepat berjumpalitan menghinda-

ri serangan-serangan, terutama sekali se


rangan gadis cantik berbaju merah yang 

tidak bisa dianggap enteng. Dengan meng-

gunakan ilmu meringankan tubuhnya yang 

sudah mencapai tingkat tinggi, semua se-

rangan dapat dihindari dengan mudah.

"Nona manis! Dari tadi kau memakiku 

'bocah-bocah' melulu. Apa kau pikir aku 

ini anakmu? Tapi, tak apa-apalah! Aku se-

nang kok menjadi anakmu. Apalagi menjadi 

anak dari gadis secantikmu. He he he...!" 

goda Soma. "Ayo, dong! Katanya belum puas 

kalau belum mencium mulutku. He he 

he...!"

Bukan main marahnya gadis cantik 

berbaju merah itu mendengar godaan Soma. 

Tangan kirinya yang berubah menjadi hijau 

sampai ke pangkal lengan siap dipukulkan.

"Ih...! Mengerikan! Kau sudah mulai 

main-main dengan pukulan maut segala. Ibu 

macam apaan ini!" celoteh Soma, tak hen-

ti-hentinya.

Melihat ketangguhan pemuda yang di-

keroyoknya, orang yang tadi dipanggil Ki 

Lurah segera mengisyaratkan penduduk kam-

pung untuk mundur, namun tetap dalam kea-

daan mengurung.

Melihat hal ini, kening Soma ber-

kernyit.

"Mau apa mereka? Kok mundur semua? 

Apa sudah takut menghadapiku?" gumam So-

ma.

"Pasukan pemanah! Siap laksanakan


tugas! Cincang tubuh bocah itu sampai lu-

mat!" teriak Ki Lurah memerintah.

Puluhan penduduk kampung dengan bu-

sur panah di tangan segera bermunculan 

dari balik semak dalam jarak dua puluh 

tombak dari Soma.

Pemuda ini terkejut bukan main. Na-

mun diam-diam dia memuji siasat perang 

yang telah diterapkan Ki Lurah.

"Alamak! Mati aku! Mengapa kau de-

mikian keji padaku, Ki Lurah. Sumpah mam-

pus aku bukan utusan Manusia Rambut Me-

rah!" teriak Soma kebingungan.

Bukannya Soma bingung menghadapi 

serangan anak panah dari beberapa orang 

penduduk kampung, melainkan bingung meli-

hat kekalapan mereka. Dan begitu aba-aba 

serang keluar dari mulut Ki Lurah, pulu-

han anak panah di tangan para penduduk 

kampung segera melesat, siap mencincang 

tubuh Soma.

Set! Set!

Tak! Tak!

Begitu pemuda ini mengibaskan tan-

gan kanan. Maka puluhan anak panah pun 

jatuh berserakan di tanah. Sebenarnya mu-

dah saja bagi Soma untuk melumpuhkan me-

reka kalau memang punya niat jahat. Namun 

justru karena tidak ingin melukai orang 

lemah, membuatnya kebingungan sendiri 

menghadapi kekalapan mereka. Dan sekarang 

sudah saatnya bagi pemuda ini untuk me


nyadarkan mereka dari kekalapan.

Berpikir demikian, Soma pun cepat 

bertindak sebelum puluhan anak panah pen-

duduk kampung kembali menyerang. Tubuhnya 

seketika berkelebat cepat. Dengan gerakan 

tangan yang sulit diikuti pandangan mata 

penduduk kampung, Soma cepat menotok tu-

buh gadis cantik berbaju merah yang kebe-

tulan paling dekat dengannya. Dan....

Tuk!

"Ahh...!"

Jari-jari tangan kanan Soma tepat 

menotok jalan darah di punggung gadis 

itu. Maka tanpa ampun lagi, tubuh gadis 

berbaju merah langsung roboh. Untungnya 

cepat disambar tubuh gadis itu hingga ti-

dak jatuh ke tanah.

"Maafkan aku, Ibu! Bukan maksudku 

lancang padamu. Tapi, jangan melotot be-

gitu, dong! Nanti aku carikan kayu bakar. 

Tenang-tenang saja, ya! Pokoknya Ibu ma-

sak saja yang enak. Jangan terlalu pedas, 

jangan terlalu manis, ya?!" kata Soma, 

menggoda.

Ki Lurah dan beberapa orang pendu-

duk kampung yang ada di tempat itu jadi 

kalang kabut melihat gadis penolong mere-

ka yang bisa diharapkan bantuannya berada 

dalam cengkeraman Soma.

"Serang bocah keparat itu! Tapi, 

jangan sampai melukai gadis itu!" perin-

tah Ki Lurah penuh kemarahan.


"Tunggu, Ki Lurah! Soal serang-

menyerang gampang. Tapi, apa Ki Lurah ti-

dak pernah berpikir, mengapa aku tidak 

melarikan gadis ini? Padahal, gampang sa-

ja kalau aku mau," cegah Soma bermaksud 

mempengaruhi Ki Lurah.

"Omong kosong! Apa kau tidak lihat 

penduduk kampung yang sudah mengepungmu, 

he?! Mereka semua siap merajam tubuhmu, 

tahu?!" bentak salah seorang penduduk 

kampung menyahuti.

Soma menggaruk-garuk kepala, persis 

orang kehilangan akal.

"Bagaimana, Ki Lurah? Apa kau per-

caya pada keteranganku tadi atau keteran-

gan pendudukmu?"

Ki Lurah bukanlah orang bodoh. Dulu 

sebelum menjabat sebagai lurah, dia juga 

seorang tokoh persilatan. Dan melihat se-

pak terjang pemuda yang dicurigainya se-

bagai penculik, pikirannya jadi lain.

"Hm...! Apa yang dikatakan pemuda 

ini benar. Kalau dia mau, bukanlah hal 

yang sulit untuk melarikan Ratih dari ke-

pungan. Buktinya saja, meski aku dibantu 

beberapa orang penduduk kampung, tetap 

saja belum bisa meringkusnya. Malah seka-

rang, Ratih berada dalam tawanannya," gu-

mam Ki Lurah dalam hati.

"Bagaimana, Ki? Jangan diam mema-

tung saja! Aku ngeri melihat panah-panah 

di tangan penduduk kampungmu, Ki. Aku ta


kut, Ki. Aku masih ingin hidup. Aku juga 

masih doyan makan nasi tempe, Ki!" oceh 

Soma seolah-olah takut melihat beberapa 

orang penduduk kampung siap merajam tu-

buhnya.

Mau tidak mau Ki Lurah yang sedang 

kebingungan tersenyum juga melihat ting-

kah Soma yang ugal-ugalan. Namun dia juga 

tidak gampang percaya mendengar keteran-

gan Soma. 

"Menurut keterangan salah seorang 

penduduk, orang yang membuat keonaran 

adalah seorang pemuda berwajah tampan. 

Rambutnya hitam panjang digelung sebagian 

ke belakang. Pakaiannya rapi sekali, se-

perti pakaian terpelajar saat ini. Namun 

sikapnya tidak ugal-ugalan seperti pemuda 

ini. Juga, tidak memiliki rajahan bergam-

bar ular putih di dada kanannya?" pikir 

Ki Lurah dalam hati.

"Bagaimana, Ki? Kok, malah diam sa-

ja?! Ayo, dong, Ki! Tolong aku! Lihat 

tuh! Penduduk sudah tidak sabar merajam 

tubuhku! Cepat usir mereka pulang, Ki!" 

ratap Soma.

"Tahan serangan! Kita memburu orang 

yang salah!" teriak Ki Lurah pada para 

penduduk.

Ki Lurah melebarkan senyumnya.

"Maaf, Anak Muda. Kami semua telah 

salah mencurigai orang. Aku yakin, kau 

bukan orang yang kami maksudkan. Dan kami


juga minta maaf atas kebodohan kami."

"Maksud Ki Lurah...? Apakah Ki Lu-

rah sudah tidak mencurigaiku lagi?" tanya 

Soma. 

"Ya."

"Wah...! Terima kasih sekali, Ki! 

Terima kasih!"

Soma bersorak-sorak kegirangan per-

sis anak kecil mendapat permainan baru. 

Dan akibatnya kedua tangannya yang dari 

tadi memegang tubuh gadis cantik berbaju 

merah itu terlepas. Lalu...

Buk!

"Augh...!"

Gadis cantik bernama Ratih itu me-

mekik tertahan. Matanya yang indah mende-

lik ke arah Soma penuh kemarahan.

"Auow...! Maaf, aku tidak sengaja, 

Ibu! Jangan marah, ya?!"

Soma cepat tersadar. Kemudian tan-

gannya cepat menotok. Begitu gadis itu 

terlepas dari totokannya, tangan mungil-

nya langsung menampar pipi Soma dua kali.

Plak! Plak!

"Wadaouuuh...! Mengapa Ibu jadi ga-

lak begini? Aku sudah menolongmu, Ibu," 

rintih Soma seraya memegang pipinya yang 

terkena tamparan.

Beberapa orang penduduk kampung 

yang melihat hanya tersenyum-senyum saja. 

Namun tidak demikian Ratih. Dengan kema-

rahan meluap-luap, gadis itu langsung me


nyerang Soma.

Soma berlari-lari ketakutan. 

"Ibu! Ibu! Siapa sudi jadi ibumu!" 

teriak Ratih penuh kemarahan.

"Sudahlah, Ratih! Paman yakin pemu-

da ini bukanlah orang jahat," kata Ki Lu-

rah melerai.

Soma cengar-cengir.

"Oh, jadi nama Ibu, Ratih, ya? 

Hm..., manis sekali kedengarannya, seper-

ti orangnya," kata Soma ceriwis.

"Sekali lagi kau panggil Ibu, aku 

tidak segan-segan merobek mulutmu, Bo-

cah!" geram Ratih.

"Nah..., nah! Kau sendiri memang-

gilku bocah. Mengapa aku tidak boleh me-

manggilmu Ibu?" kata Soma.

"Sudahlah, Tuan Pendekar! Sebaiknya 

ur...."

"Namaku bukan Tuan Pendekar, Ki! 

Namaku Soma!" potong Soma.

"Ya, ya, ya...! Kau sudah mengenal-

kan namamu, Nak Soma. Aku juga harus men-

genalkan diri, bukan?" kata Ki Lurah 

ikut-ikutan latah.

Sambil tersenyum-senyum kecil, Ki 

Lurah mengulurkan tangannya pada Soma.

Soma menerima uluran tangan Ki Lu-

rah.

"Aku memang lurah di Desa Wonodadi 

inf. Namaku, Ki Suroloyo. Dan sebagai lu-

rah di sini, rasanya tak enak kalau tidak


minta maaf padamu atas kebodohan kami ta-

di."

Soma gerah sekali diperlakukan se-

perti itu. Tangannya yang masih dalam 

cengkeraman Ki Lurah Suroloyo buru-buru 

dilepaskan.

"Lupakan saja, Ki! Aku sendiri juga 

sudah melupakannya, kok," jawab Soma dis-

ertai senyum manis. Lalu matanya mengerl-

ing nakal ke arah Ratih. Ratih mendelik 

gusar.

Ki Lurah Suroloyo yang melihat itu 

hanya tersenyum-senyum saja.

"Sudahlah, Nak Soma! Kalau Nak Soma 

tidak keberatan, bolehkah kami meminta 

pertolonganmu?"

"Oh, ya? Hampir aku lupa!" Soma me-

nepuk jidatnya sendiri. "Sebenarnya ada 

apa sih? Kok, sampai Ki Lurah membawa 

penduduk kampung kemari? Pakai bawa-bawa 

pedang lagi? Apa ada ayam Ki Lurah yang 

dicolong maling?"

Ki Lurah tersenyum. Sama sekali ti-

dak tersinggung atas ucapan Soma.

"Tidak, Nak Soma. Sebenarnya ceri-

tanya begini...."

Ki Lurah menghela napas panjang, 

kemudian dengan suara sedikit bergetar 

diceritakannya kejadian yang sedang di-

alami. Tidak lain, mengenai penculikan 

beberapa orang gadis di desanya. Dan Ki 

Lurah Suroloyo juga menceritakan kalau


hari ini, penculik itu akan menculik anak 

gadisnya.

"Hm...! Jadi begitu persoalannya, 

ya?" gumam Soma mengangguk-anggukkan ke-

pala. "Pantas kalian jadi kalap begini. 

Tapi ngomong-ngomong, bagaimana Ki Lurah 

tahu kalau hari ini si penculik itu akan 

mengambil anak gadismu?"

"Seperti biasa, penculik itu selalu 

menancapkan bunga mawar merah di pintu 

depan rumah calon korban. Dan pagi tadi, 

bunga mawar menancap di pintu depan rumah 

kami, Nak Soma."

"Ya, ya, ya... Aku mengerti," Soma 

lagi-lagi mengangguk-anggukkan kepala.

"Tapi.... Tapi, ma..., maukah Nak 

Soma membantu kami menangkap penculik 

itu?" tanya Ki Lurah Suroloyo malu-malu.

Soma garuk-garuk kepala. Matanya 

yang nakal kembali mengerling ke arah Ra-

tih

"Bagaimana, Nak Soma? Apa kau kebe-

ratan?"

"Tidak! Sama sekali tidak. Tapi ada 

syaratnya, Ki!" sahut Soma.

"Syarat?" Ki Lurah Suroloyo membe-

lalakkan matanya, gelisah. "Apa syarat 

itu?" 

Soma tertawa.

"Jangan gusar, Ki. Syaratnya tidak 

berat kok. Hanya tolong perkenalkan aku 

pada Ratih! Itu saja. Tidak berat, kan?"


"Apa?!"

Suara itu adalah pekikan melengking 

dan mulut Ratih. Gadis itu gusar bukan 

main melihat kenakalan Soma. Tangannya 

yang gatal-gatal kembali menampar pipi, 

namun Soma cepat berkelit ke samping.

"Wah, wah, wah...! Kenapa jadi ga-

lak begini, Ki?"

"Habis kau sendiri yang usil, sih?" 

kata Ki Lurah Suroloyo tak dapat lagi 

membendung tawanya. Demikian juga bebera-

pa orang penduduk kampung yang melihat 

kejadian itu.

"Syaratnya aku cabut, Ki! Gadis 

yang ingin kukenal ngamuk. Aku tidak in-

gin berkenalan dengan gadis pemarah!" te-

riak Soma di antara serangan-serangan Ra-

tih.

Ki Lurah Suroloyo dan beberapa 

orang penduduk kampung hanya bisa mele-

barkan tawanya.

"Aneh sekali! Dalam keadaan tegang 

seperti itu, masih saja membuat ulah," 

pikir Ki Lurah.

8

Soma diam membisu di tempat duduk-

nya. Matanya yang nakal lebih senang mem-

perhatikan Ratih yang duduk di samping Ki 

Lurah Suroloyo. Terlihat sesekali gadis 

itu mendelik gusar. Dan pemuda itu hanya


cengar-cengir saja. Malah matanya kembali 

mengerling nakal ke arah gadis itu.

Beberapa orang penduduk kampung 

yang sedang mengikuti jalannya rapat yang 

dipimpin langsung Ki Lurah Suroloyo hanya 

tersenyum-senyum saja memperhatikan ting-

kah Soma. Lelaki tua ini sebenarnya tahu 

apa yang dilakukan Soma. Tapi dia lebih 

senang membicarakan tentang kekhawatiran 

akan kemunculan orang yang akan menculik 

anak gadisnya. Juga membicarakan tentang 

kegelisahan penduduk kampung yang akan 

mencari kayu bakar di Hutan Randu Bla-

tung.

"Untuk sementara, saudara-saudara 

sekalian harap jangan keluar masuk dulu 

ke dalam Hutan Randu Blatung. Terlalu 

berbahaya. Bukannya aku menghalang-

halangi kalian untuk mencari kayu bakar. 

Sama sekali tidak. Ini semua demi kesela-

matan kalian. Dan nanti, bila orang yang 

telah membuat keonaran di desa tertang-

kap, baru kalian boleh mencari kayu bakar 

kembali. Apa kalian setuju?" sambung Ki 

Lurah Suroloyo di antara kerumunan pendu-

duk di pendopo kelurahan.

"Setujuuu...!" sahut penduduk Desa 

Wonodadi, serempak.

"Terima kasih atas pengertian ka-

lian. Sekarang, tindakan apa yang akan 

kita lakukan dengan kemunculan tokoh pem-

buat onar di kampung kita? Apa kalian ada


yang mempunyai pendapat?" kata Ki Lurah 

Suroloyo penuh wibawa.

"Tidak ada tindakan apa pun selain

meringkus orang yang membuat onar di kam-

pung kita, Ki Lurah!" kata seorang pemuda 

bertubuh tinggi tegap di antara kerumunan 

penduduk itu. Suaranya terdengar lantang.

"Maksudmu apa, Sembodo? Apa kau te-

tap menghendaki pembuat onar itu dihabi-

si?" tanya Ki Lurah Suroloyo.

"Benar, Ki Lurah. Aku kira itulah 

jalan satu-satunya yang terbaik," sahut 

orang yang dipanggil Sembodo lantang.

"Baik, baik. Aku mengerti perasaan-

mu, Sembodo. Tapi bagaimana dengan sauda-

ra-saudara yang lain? Apa setuju dengan 

usul Sembodo?" tanya Ki Lurah Suroloyo 

meminta pertimbangan penduduknya.

"Setujuuu...!" teriak penduduk kam-

pung serempak.

"Terima kasih. Sekali lagi aku 

ucapkan terima kasih. Tapi, aku kira ti-

dak ada jeleknya kalau meminta pendapat 

dari kedua tamu kita. Kalian setuju, bu-

kan?"

"Setujuuu...!"

"Nah, Nak Soma! Sekarang silakan 

kau memberi pengarahan pada kami. Apa kau 

mempunyai pendapat yang bagus?" ujar Ki 

Lurah Suroloyo.

Soma tergagap. Tadi telinganya sama 

sekali tidak mendengar percakapan antara


Ki Lurah Suroloyo dan penduduk kampung, 

saking asyiknya memperhatikan kecantikan 

Ratih. Dan sekarang ditanya Ki Lurah Su-

roloyo demikian, Soma jadi geragapan.

"Apa? Ki Lurah menanyakan aku ten-

tang soal apa? Soal pendapatku? Ah...! 

Kukira, kecantikan Ratih sungguh menga-

gumkan, Ki. Cuaaantik sekali. Aku sangat 

menyukainya! Terutama sekali matanya itu. 

Coba perhatikan! Cantik bukan?" oceh Soma 

ngelantur tak ketahuan juntrungan

Dan sehabis berkata begitu, Soma 

jadi menautkan alisnya yang tebal dalam-

dalam. Dia merasa aneh, mengapa semua 

penduduk kampung memandangi dirinya se-

perti itu. Malah sebagian ada yang terta-

wa terbahak-bahak.

"Pemuda edan!" desis Ratih penuh 

kemarahan.

Sekarang Ratih tidak berani lagi 

memaki Soma dengan makian 'bocah edan' 

Dia takut, akan membuat sikap Soma makin 

ugal-ugalan.

"Lho, lho? Mengapa marah-marah pa-

daku, Ratih? Ada apa ini? Memang kenya-

taannya begitu, kok. Kau cantik, cantik 

sekali!"

"Tidak lucu, tahu?!" hardik Ratih 

penuh kemarahan.

"Lho, lho...?! Apa-apaan pula ini? 

Aku tak sedang melucu? Aku memang tak ta-

hu mengapa kalian menertawakan aku, kok


jawab Soma tanpa dosa.

"Begini, Nak Soma...," ujar Ki Lu-

rah mencoba bersabar. Namun tetap saja 

orang tua itu tidak dapat menyembunyikan 

senyumnya. "Tadi aku minta pendapatmu 

mengenai akan munculnya si Pembuat Onar 

di kampung ini. Semua penduduk kampung 

sudah sepakat untuk menghabisinya. Lan-

tas, bagaimana dengan pendapatmu sendi-

ri?"

"Oh...! Aku kira meminta pendapatku 

tentang kecantikan Ratih," desah Soma sa-

ma sekali tidak menghiraukan kemarahan 

Ratih. "Tapi, kalau Ki Lurah meminta pen-

dapatku ya, lakukan saja! Toh, buat apa 

buang-buang waktu begini? Rapat..., ra-

pat! Apa itu? Yang penting tindakan! Bu-

kan omongan. Betul, kan?" kata Soma pan-

jang lebar.

"Betul!" sahut penduduk kampung itu 

serempak.

"Dan satu lagi, kalian tidak perlu 

takut mencari kayu bakar di Hutan Randu 

Blatung. Aku jamin aman. Manusia Rambut 

Merah itu bukan bermukim di hutan itu, 

melainkan di Hutan Sawo Kembar. Aku cukup 

tahu itu."

Soma berdiri dari tempat duduknya. 

Sejenak pandangannya menyapu Ki Lurah Su-

roloyo dan Ratih.

"Sekarang maafkan aku, saudara-

saudara sekalian. Aku mau ke belakang se


bentar. Silakan saudara-saudara mene-

ruskan rapat. Silakan! Silakan!" lanjut 

Soma.

Sehabis berkata begitu, tanpa mem-

pedulikan pandangan mata penduduk, Soma 

langsung ngeloyor keluar. Ratih dan pen-

duduk kampung itu terus memperhatikan ke-

pergian pemuda sinting itu. Dan kemarahan 

gadis ini makin bertambah ketika dari ba-

lik jendela ruang pendopo, Soma tampak 

masuk ke dalam kamarnya!

"Anjing kurap! Mau apa pemuda gila 

itu masuk ke kamarku?!" rutuk batin Ra-

tih, gusar bukan main.

Ki Lurah Suroloyo hanya bisa meng-

geleng-geleng. Kemudian setelah keadaan 

tenang, rapat pun kembali dilanjutkan. 

Namun belum begitu lama lelaki tua ini 

membicarakan tentang siasatnya menghadapi 

orang yang membuat onar, tiba-tiba sa-

ja....

"Aaa...!"

Kesunyian desa itu dikejutkan oleh 

lengking kematian beberapa penduduk yang 

sedang berjaga di luar pendopo kelurahan. 

Kemudian disusul pula jeritan penduduk 

kampung yang lari tunggang langgang entah 

ke mana.

Ki Lurah Suroloyo dan juga beberapa 

orang penduduk Desa Wonodadi hanya bisa 

saling berpandangan. Mulut mereka terkun-

ci, membayangkan ketakutan luar biasa.


"Dia datang...," desah Ki Lurah Su-

roloyo lirih.

Semua penduduk kampung yang ada di 

pendopo kelurahan makin tercekat. Wajah 

mereka menegang membayangkan kematian.

***

Apa yang dikatakan Ki Lurah Suro-

loyo memang benar. Orang yang disebut-

sebut sebagai si Pembuat Onar memang te-

lah muncul di desa itu. Empat orang pen-

duduk desa yang ditugaskan menjaga di de-

pan pendopo telah roboh tak dapat bangun 

lagi. Dua orang mati dengan keadaan kepa-

la retak. Dua orang lainnya mati dengan 

usus terburai.

Suasana berubah menjadi mengerikan 

sekali. Beberapa orang penduduk desa yang 

melihat kejadian itu lebih senang melari-

kan diri meninggalkan desanya. Sedang 

yang mempunyai anak gadis, buru-buru me-

nyelamatkannya ke tempat aman.

"Ki Lurah Suroloyo! Cepat serahkan 

anak gadismu! Kalau tidak, semua penduduk 

desa ini akan kubantai!" teriak orang 

yang menebarkan maut barusan itu lantang.

Dalam keremangan malam masih terli-

hat kalau orang itu masih muda. Wajahnya 

tampan dengan kulit putih bersih. Rambut-

nya yang hitam panjang digelung sebagian 

ke belakang. Pakaiannya pun rapi sekali,


persis seperti pakaian orang terpelajar. 

Dia tidak lain Prameswara! Murid tunggal 

Pendekar Kujang Emas!

Ki Lurah Suroloyo keluar dari pen-

dopo. Matanya yang tua memandang pemuda 

di hadapannya garang. Ratih dan beberapa 

orang penduduk kampung yang tadi mengiku-

ti jalannya rapat berdiri di belakang Ki 

Lurah Suroloyo.

"Langkahi dulu mayatku, sebelum 

mengambil anak gadisku, Bocah Edan!" har-

dik Ki Lurah Suroloyo penuh kemarahan.

"Kau kedengarannya galak sekali, 

Ki. Apa kegalakan mulutmu dapat menyela-

matkan nyawa tuamu?" ejek Prameswara si-

nis. Pandangan matanya lembut. Namun da-

lam kelembutan matanya tersimpan kekejian 

luar biasa!

"Jangan banyak bacot, Pemuda Edan! 

Bersiap-siaplah sebelum pedangku mencin-

cang tubuhmu!" bentak Ratih, tak dapat 

mengendalikan amarahnya. Mungkin dikare-

nakan kekesalannya terhadap Soma itulah 

yang membuat amarahnya cepat naik.

"Ah...! Rupanya kau cantik juga, 

Manis. Sungguh beruntung guruku menda-

patkan dua orang gadis cantik seperti 

ini. Tapi, tidak! Guruku tidak boleh men-

dapatkan kedua gadis ini. Aku harus men-

gambilnya satu. Dan, kaulah pilihanku, 

Manis!"

"Keparat! Kau harus merasa kan aki


bat mulut kotormu, Kunyuk Edan!"

Ratih tidak dapat lagi mengendali-

kan amarahnya. Tangan kanannya cepat men-

cabut gagang pedangnya. Dan tanpa banyak 

cakap lagi langsung diserangnya Prameswa-

ra.

"Wah, wah, wah...! Hebat sekali 

permainan pedangmu, Manis. Tapi nanti aku 

ingin lihat, apakah kehebatan permainan 

pedangmu juga sehebat permainanmu di ran-

jang, Manis," ejek Prameswara.

Bukan main marahnya gadis itu. Ge-

rahamnya dikeretakkan kuat-kuat. Gerakan 

putaran pedangnya pun makin dipercepat, 

membentuk gulungan putih mendesak tubuh 

Prameswara.

Namun Prameswara bukanlah tokoh 

sembarangan. Dia adalah murid tunggal 

Pendekar Kujang Emas, sekaligus juga mu-

rid Manusia Rambut Merah yang berhasil 

dikelabuinya. Dan kini pemuda itu diang-

kat menjadi murid.

Menghadapi serangan Ratih yang ne-

kat, Prameswara hanya tersenyum-senyum 

kecil. Sama sekali tidak terlihat kewala-

han.

Ki Lurah Suroloyo geram bukan main. 

Melihat Ratih telah turun tangan, tidak 

ada pilihan baginya kecuali cepat meme-

rintahkan penduduk untuk menyerang Pra-

meswara.

Seketika itu juga, beberapa orang


penduduk kampung yang kalap menerjang 

Prameswara dengan berbagai macam senjata. 

Ki Lurah Suroloyo sendiri memegang senja-

ta rantai baja. Tak heran kalau dulu dia 

sangat disegani di dunia persilatan den-

gan julukannya Baja Setan.

"Kalian manusia-manusia tak tahu 

diri! Apa kalian sudah bosan hidup? Baik! 

Jangan salahkan kalau aku sedikit kasar 

pada kalian. Lihat seranganku!" bentak 

Prameswara halus.

Suara pemuda itu membahana, mengge-

tarkan hati penduduk kampung. Karena te-

riakannya diiringi tenaga dalam tinggi. 

Bahkan Ki Lurah Suroloyo dan Ratih sendi-

ri pun merasakan getaran pada gendang te-

linga akibat teriakan Prameswara tadi

"Ha...ha...ha...!"

Prameswara tertawa. Kedua tangannya 

yang berkulit putih bersih mulai berkele-

bat kesana kemari. Dan setiap kelebatan 

tangannya diikuti lengking kematian pen-

duduk kampung.

Dugh! Dugh!

"Augh...!"

Jerit para penduduk kampung yang 

terkena tamparan dan cengkeraman tangan 

Prameswara terdengar memilukan. Dan ber-

samaan itu, tubuh para penduduk kampung 

pun roboh tak mampu bangun lagi. Darah 

segar langsung keluar dari kepala dan pe-

rut yang robek lebar. Darah segar kembali


menggenang membasahi tanah depan pendopo 

yang kering. 

"Lihat teman-teman kalian! Apa ka-

lian belum kapok!" bentak Prameswara mem-

buat nyali sebagian penduduk kampung men-

ciut.

"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa 

denganmu, Bocah Setan!" pekik Ki Lurah 

Suroloyo membahana. Tangan kanannya yang 

memegang rantai baja cepat digerakkan ke 

depan mengarah ke kepala Prameswara.

Pemuda itu tersenyum mengejek. Ran-

tai baja yang mengarah ke lengannya di-

tangkis dengan tangan kiri.

Prak!

Rantai baja di tangan Ki Lurah Su-

roloyo terpental ke belakang. Dan ini 

membuat mata lelaki tua itu terbelalak 

liar. Tangannya yang memegang rantai ter-

getar hebat. Selama malang melintang di 

dunia persilatan, belum pernah ada seo-

rang tokoh silat pun yang mampu menerima 

pukulan rantai bajanya. Bahkan tadi tena-

ga dalamnya sudah dikerahkan sepenuhnya.

"Sekarang terimalah seranganku, Ki 

Lurah! Lihat!"

Prameswara bergerak cepat mendesak 

Ki Lurah Suroloyo. Sementara Ratih dan 

beberapa orang penduduk kampung cepat 

membantu. Akan tetapi, sayang gerakan 

Prameswara terlalu cepat bagi mereka. Dan 

dalam sekejap saja....


Duk!

"Augh...!"

Ki Lurah Suroloyo memekik menyayat 

terkena tamparan tangan Prameswara. Tu-

buhnya yang tinggi kurus terbanting keras 

ke dinding pendopo.

"Jahanam...! Kau melukai lurah ka-

mi!" bentak salah seorang penduduk kam-

pung itu berani.

"Minggirlah kalau masih sayang nya-

wa!" bentak Prameswara garang. Tubuhnya 

yang tinggi ramping berkelebat cepat se-

kali menampar dan menendang para pendu-

duk.

Ratih yang ikut membantu serangan 

nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa 

kali sabetan pedangnya hanya mengenai 

tempat kosong. Bahkan sudah beberapa kali 

hampir saja terkena tamparan tangan Pra-

meswara. Untung tubuhnya dapat cepat ber-

kelit.

"He he he..., Manis! Mengapa kau 

galak sekali? Padahal aku tak ingin kasar 

padamu. Tapi, baik! Aku akan melumpuhkan-

mu dulu, baru nanti kau melayaniku. Ha ha 

ha...!"

"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa 

denganmu!" dengus Ratih penuh kemarahan. 

Gerakan pedang di tangan kanannya makin 

dipercepat. Sedang tangan kirinya pun mu-

lai berubah menjadi kehijau-hijauan hing-

ga ke pangkal lengan


Prameswara mendengus.

"Jangan salahkan kalau aku sedikit 

kasar padamu, Manis!"

"Jangan banyak bacot! Aku muak me-

lihat tampangmu, Kunyuk Edan!" bentak Ra-

tih penuh kemarahan.

"He he he...! Kau nekat juga, Ma-

nis!"

Prameswara menggerakkan tangannya 

menyambut serangan Ratih. Namun, anehnya. 

Begitu tangannya hendak membentur pedang 

Ratih, Prameswara cepat memutar tangan-

nya. Dan tahu-tahu tangannya bergerak me-

notok tubuh Ratih.

Tuk!

"Ah...!"

Ratih terpekik kaget bukan kepa-

lang. Tubuhnya yang terkena totokan lang-

sung roboh ke tanah. Beberapa orang pen-

duduk kampung yang melihat jadi ciut nya-

linya. Satu persatu para penduduk kampung 

berjalan mundur menjauhi pertempuran.

Prameswara tertawa berkakakan. Tu-

buh Ratih yang kaku tak dapat digerakkan, 

dipeluknya erat-erat.

"Ahh...! Mengapa Kakang bermain se-

rong begini?! Katanya ingin menjemputku, 

Kang?"

Tiba-tiba dari arah belakang Pra-

meswara terdengar suara cempreng, mirip 

suara perempuan. Namun jelas sekali kalau 

suara itu sengaja dibuat-buat.


Prameswara menggeretakkan geraham-

nya seraya berbalik. Di depannya nampak 

seorang gadis berpakaian merah mirip pa-

kaian gadis dalam pelukan Prameswara. 

Anehnya gadis itu bertubuh tinggi kekar. 

Sikapnya sengaja dibuat genit. Dan ketika 

melangkah mendekati Prameswara, maka nam-

paklah penampilannya yang norak. Bibirnya 

yang agak tebal diolesi gincu warna merah 

menyala. Demikian pula pipinya. Rambutnya 

yang panjang sebatas bahu dikuncir ke be-

lakang. Namun lucunya, bedaknya yang me-

nutupi wajah tidak rata. Mungkin karena 

terburu-buru!

Mata Ratih terbelalak liar.

"Pemuda sinting! Mengapa masih ber-

sikap ugal-ugalan dalam keadaan tegang 

begini? Pakai pakaianku lagi?" gumam Ra-

tih dalam hati.

Prameswara sendiri pun terkejut bu-

kan main melihat kemunculan gadis aneh 

itu. Sekali pandang saja dia tahu kalau 

gadis ini adalah seorang pemuda.

"Aih..., Kakang? Mengapa bengong 

saja? Katanya ingin menjemputku? Ayo 

dong, Kang?" oceh gadis itu merajuk manja 

bukan main.

"Bocah edan! Apa kau sudah bosan 

hidup?!" bentak Prameswara garang.

"Aih..., Kakang? Mengapa jadi galak 

begini? Ayo dong lepaskan gadis itu! Aku 

bisa cemburu, lho? Katanya Kakang ingin



menculikku? Ayo dong, Kang! Aku juga in-

gin merasakan, seperti apa sih enaknya 

diculik dan diperkosa. Hik hik hik...."

Bukan main marahnya Prameswara. Dia 

merasa telah dipermainkan gadis aneh itu

"Kau mempermainkanku, Bocah Edan?! 

Apa kau mempunyai nyawa rangkap, sehingga 

berani mempermainkanku, he?!" bentak Pra-

meswara garang. Tangan kanannya yang me-

meluk Ratih dilepaskannya.

Ratih memekik kecil ketika tubuhnya 

jatuh ke tanah.

"Aku tidak mempunyai nyawa rangkap, 

Kakang. Tadi sudah kubuang ke kakus!" ja-

wab gadis aneh yang tak lain Soma seenak 

hati.

Bukan main marahnya Prameswara. 

Seumur hidup belum pernah dia diperlaku-

kan seperti itu. Dan saking marahnya, 

tanpa sadar kedua telapak tangannya telah 

berubah menjadi kebiru-biruan hingga ke 

pangkal lengan. Itu pertanda pukulan maut 

'Cahaya Kilat Buana'nya siap dilontarkan.

"Wah, wah, wah...! Kang Mas ini ke-

napa sih? Kok, kedua tangannya berubah 

menjadi biru? Apa Kang Mas tadi habis 

membuat tikar pandan? Cuci dulu dong tan-

gannya biar tidak belepotan tinta!" ejek 

Soma makin membuat Prameswara murka.

"Jangan banyak tingkah, Bocah Teng-

kik! Hari ini adalah hari kematianmu!"

"Lho, lho...? Kok, malah bicara


soal kematian segala? Apa Kang Mas tidak 

cinta lagi padaku?" kata gadis aneh itu 

makin sulit dikendalikan.

Prameswara menggeram marah. Tak se-

patah kata pun keluar dari bibirnya yang 

bergetar. Sepasang matanya yang tajam 

mendelik gusar, seperti akan loncat dari 

tempatnya. Kemudian dengan kemarahan me-

luap-luap, Prameswara melontarkan pukulan 

maut ke arah tubuh gadis aneh itu.

Wesss!

Seleret sinar biru kontan melesat 

dari kedua telapak tangan Prameswara, me-

nyambar ganas ke tubuh Soma yang berwujud 

gadis aneh.

Soma berloncatan ke sana kemari 

menghindari pukulan maut Prameswara. Sem-

bari berloncatan, mulutnya tak henti-

hentinya mengoceh.

"Panas! Panas! Ih...! Mengerikan 

sekali! Apakah Kang Mas ingin membunuh-

ku?"

Prameswara tidak peduli. Melihat 

serangan pertamanya dapat dihindari, ha-

tinya semakin terbakar. Kedua tangannya 

yang berwarna biru kembali menyerang Soma 

tanpa ampun. Hebat sekali serangannya, 

karena segenap kekuatan tenaga dalamnya 

dikerahkan. 

Wess! Wesss!

Kali ini Soma sulit sekali menghin-

dari pukulan-pukulan maut Prameswara.



Meski sesekali berhasil menghindari, na-

mun hal ini jelas tidak mungkin terus 

bertahan. Maka ketika tangannya berwarna 

keputihan tahu-tahu Soma telah membalas 

serangan-serangan Prameswara.

Wesss!

Seleret sinar putih terang seketika 

melesat dari kedua telapak tangan Soma, 

bergerak cepat sekali memapak cahaya biru 

yang meledak-ledak dari kedua telapak 

tangan Prameswara. Akibatnya....

Blar! Blarrr!

Soma bergetar hebat. Tubuhnya ber-

goyang-goyang. Sedang Prameswara ter-

huyung-huyung beberapa langkah ke bela-

kang. Wajahnya kontan pucat pasi. Bibir-

nya bergetar-getar hebat, pertanda tenaga 

dalamnya masih kalah satu tingkat di ba-

wah Soma.

"Kenapa, Kang Mas? Kok, hanya ben-

gong saja? Wajahmu pucat pasi. Mengapa 

Kang Mas memandangku seperti itu? Aku bu-

kan naga gondrong, Kang Mas. Jangan ta-

kut!" ejek Soma habis-habisan.

Prameswara menggeram marah. Disada-

ri kalau lawan yang dihadapinya bukan to-

koh sembarangan. Melihat hal itu, tanpa 

malu-malu lagi, senjata andalannya segera 

dicabut. Kujang Emas!

"Hey...! Bukankah itu Kujang Emas? 

Jangan-jangan itu senjata andalan ayah-

ku?!" gumam Soma. "Tunggu! Apa hubunganmu


dengan Pendekar Kujang Emas, he?"

"Jangan banyak bacot! Hari ini ada-

lah hari kematianmu!"

Sehabis berkata begitu, tanpa mem-

buang-buang waktu lagi Prameswara lang-

sung menyerang Soma hebat.

Sembari berjumpalitan ke sana kema-

ri, Soma terus berpikir. Bagaimana pemuda 

lawannya ini menggunakan senjata andalan 

ayahnya? Mungkinkah dia Prameswara? Bisa 

jadi?!

"Hm...! Kau pasti Prameswara! Pas-

ti! Tak salah lagi!" gumam Soma. 

Prameswara yang sedang mendesak So-

ma hebat jadi terkesiap. Sejenak dipan-

danginya Soma heran.

"Bagaimana mungkin pemuda sinting 

itu bisa mengenali namaku?" pikir Prames-

wara.

Namun keterkejutan Prameswara diha-

pus dengan kepongahannya.

"Kalau iya, kau mau apa?!" tantang 

Prameswara.

"Aku ingin menanyakan beberapa per-

tanyaan padamu," kata Soma bersungguh-

sungguh.

Sikap ugal-ugalan pemuda ini lenyap 

entah ke mana begitu melihat senjata an-

dalan ayahnya.

"Aku yakin kau pasti murid Pendekar 

Kujang Emas! Tapi, mengapa senjata kujang 

ini bisa jatuh ke tanganmu? Kau pasti ada


sangkut pautnya dengan kematian ayahku!"

"Kalau iya, kau mau apa?!" kata 

Prameswara, lagi-lagi dengan kalimat sa-

ma.

"Hm...! Kalau benar, aku harus mem-

bunuhmu. Juga, Manusia Rambut Merah!" ge-

ram Soma penuh kemarahan,

"Lakukanlah! Jangan banyak bacot!"

Soma cepat mengeluarkan senjata 

anehnya dari balik pinggangnya. Anak Pa-

nah Bercakra Kembar yang berbentuk aneh 

sekali, seperti batang anak panah yang 

berlubang. Mata anak panah itu berbentuk 

kepala ular, hingga sampai ke tangkainya. 

Dan di kanan-kiri kepala ular itu terda-

pat dua gerigi terbuat dari besi baja.

Begitu mengeluarkan senjata anda-

lannya, Soma langsung menyerang Prameswa-

ra dengan jurus 'Terjangan Maut Ular Pu-

tih'. Seketika itu juga angin kencang da-

ri dua gerigi di kepala senjatanya berde-

sir ke arah Prameswara.

Prameswara terkejut bukan main.

Pemuda sesat ini sadar kalau musuh-

nya mempunyai kepandaian sangat tinggi. 

Untuk itu, kujangnya cepat diputar. Sege-

ra dihadapinya kehebatan serangan lawan 

dengan jurus sakti 'Kilat Menyambar Bu-

mi'. Namun tetap saja Prameswara kewala-

han. Gulungan kujang di tangan kanannya 

tetap saja tertindih gulungan putih di 

tangan Soma


Bahkan pada jurus ke sepuluh, ham-

pir saja Prameswara terkena sambaran sen-

jata di tangan Soma. Untungnya, dia cepat 

berkelit ke samping. Sehingga serangan 

Soma gagal.

Sekarang dalam keadaan terdesak se-

perti itu, Prameswara cepat meloncat jauh 

ke belakang. Pada saat tubuhnya melayang 

tinggi ke udara, Prameswara cepat putar 

tubuhnya seperti gasing. Dan ketika dua 

kakinya menginjak ke tanah, seketika itu 

juga tanah yang dipijak membuncah ke uda-

ra. Dan tubuhnya pun langsung lenyap da-

lam tanah yang membuncah. Itulah ilmu an-

dalan guru barunya, Manusia Rambut Merah!

Soma terkejut. Dia belum tahu, ilmu 

apa yang dikeluarkan Prameswara. Namun 

belum sempat berpikir lebih jauh, tahu-

tahu terasa angin kencang berdesir ken-

cang yang datangnya dari dalam tanah. So-

ma tak sempat lagi mengelak. Dan...

Duk!

"Augh...!"

Soma memekik nyeri. Tubuhnya yang 

terkena pukulan 'Cahaya Kilat Biru' itu 

langsung melambung tinggi ke udara.

Pada saat yang bersamaan, tanah di 

bawah kembali membuncah ke udara. Dari 

dalamnya muncul Prameswara, kedua telapak 

tangannya yang biru kembali menyerang So-

ma ganas.

Dan Soma yang baru saja mendarat


cepat memapak dengan pukulan saktinya

'Tenaga Inti Bumi'!

Duk!

"Uhh...!"

Prameswara terhuyung-huyung ke be-

lakang. Dan Soma tidak menyia-nyiakan ke-

sempatan ini. Terus diserangnya Prameswa-

ra dengan hebat. Namun sebelum niatnya 

terlaksana, tahu-tahu tanah di hadapannya 

kembali membuncah ke udara. Tidak lama 

Soma merasakan sepasang kakinya seperti 

dibetot dari dalam tanah. Kuat sekali!

Soma kewalahan bukan main. Perlahan 

namun pasti, kedua kakinya terus melesak 

ke dalam tanah. Tidak ada pilihan lain. 

Dia harus mengerahkan ilmu pamungkasnya. 

'Titisan Siluman Ular Putih'!

Sejenak Soma memusatkan pikirannya. 

Dan dalam beberapa kejap kemudian asap 

putih tipis telah menyelimuti tubuhnya, 

hingga hilang sama sekali. Beberapa saat 

kemudian....

"Gggeeerrr...!"

Seketika itu juga, mata penduduk 

kampung yang melihat kejadian itu jadi 

membelalak lebar, seolah tak percaya den-

gan apa yang terlihat. Begitu asap putih 

yang menyelimuti tubuh Soma menghilang, 

tampak seekor Ular Putih sebesar pohon 

kelapa.'

"Ular Putih...!" desis penduduk 

kampung yang menonton pertempuran itu


takjub.

Bentuk Ular Putih itu mengerikan 

sekali. Taringnya besar bertonjolan siap 

memangsa tubuh lawannya.... Sedang seba-

gian ekornya yang terpendam ke dalam ta-

nah menggeliat-geliat seperti sedang men-

cari sesuatu.

Prameswara yang saat itu masih be-

rada dalam tanah, merasakan kalau ekor 

Siluman Ular Putih mulai mengepit tubuh-

nya kuat-kuat. Dia memberontak, namun 

sia-sia saja. Tubuhnya yang terjepit ta-

hu-tahu terangkat ke atas. Dan tanpa am-

pun lagi....

Tubuh Prameswara yang dikepit ekor 

Siluman Ular Putih terbanting-banting di 

tanah. Dalam beberapa kejap kemudian tu-

buhnya pun kembali terlontar ke udara.

Siluman Ular Putih kembali mengejar 

musuhnya. Namun sayangnya, Prameswara 

yang sedang kalang kabut itu langsung 

mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 

yang sudah mencapai tingkat tinggi, me-

ninggalkan tempat itu.

Siluman Ular Putih meloncat tinggi 

ke udara mengejar Prameswara. Sayang, pe-

muda berpakaian pelajar telah jauh me-

ninggalkannya. Sejenak Siluman Ular Putih 

nampak ragu-ragu melanjutkan pengejaran-

nya. Dilihatnya Ki Lurah Suroloyo yang 

terluka parah tengah tertatih-tatih meng-

hampirinya.


"Ah, Ki Lurah Suroloyo terluka pa-

rah. Aku harus mengobatinya dulu," pikir 

Siluman Ular Putih. 

"Gggeeerrr...!"

Asap putih tipis kembali menyelimu-

ti tubuh Ular Putih, hingga tidak keliha-

tan sama sekali. Dan ketika asap putih 

menghilang, maka yang nampak di hadapan 

penduduk kampung bukan lagi Siluman Ular 

Putih, melainkan seorang gadis aneh ber-

pakaian merah. Soma! Dan kini, gadis aneh 

itu sedang bersungut-sungut kesal melihat 

buruannya kabur.

"Kau. Kaukah Ular Putih itu. Soma?" 

tanya Ratih bergidik membayangkan tubuh 

Siluman Ular Putih tadi.

Soma hanya tersenyum saja. Kemudian 

didekatinya Ratih. Segera dibebaskannya 

gadis itu dari totokan Prameswara.

"Ah, iya?! Kau pasti Siluman Ular 

Putih itu?" timpal salah seorang penduduk 

kampung. "Tak kusangka pemuda itu dapat 

menjelma menjadi Ular Putih," lanjutnya 

lagi bergumam.

"Ya, ya, ya...! Kau.... Kau pantas 

sekali mendapat julukan itu, Nak Soma!" 

kata Ki Lurah Suroloyo di antara napasnya 

yang tersengal.

"Ya, ya, ya...! Ki Lurah benar! Kau 

pantas mendapat julukan itu, Saudara So-

ma," sahut Ratih. "Tapi, mengapa kau men-

curi pakaianku?"


Soma tidak menyahuti. Dia hanya 

tertawa-tawa saja. Namun begitu menyadari 

kalau Ki Lurah Suroloyo mengalami luka 

parah, pemuda itu segera mendekatinya. 

Dibawanya tubuh lelaki itu masuk ke dalam 

rumahnya.

Sementara itu beberapa orang pendu-

duk yang masih tercekat melihat kejadian 

aneh tadi masih terus berteriak-teriak 

kegirangan dari halaman pendopo.

"Hidup Soma...! Hidup Siluman Ular 

Putih...!" 

"Hidup Siluman Ular Putiiihhh...!"


                         SELESAI


Segera terbit:

MANUSIA RAMBUT MERAH



Share:

0 comments:

Posting Komentar