..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 22 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE MANUSIA RAMBUT MERAH

Manusia Rambut Merah

 MANUSIA BERAMBUT MERAH

Hak cipta dan copy right pada 

penerbit dibawah lindungan 

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit


1

Ada satu pepatah kuno yang mengatakan, 

satu musuh itu terlalu banyak. Lantas? Mengapa 

dunia persilatan selalu diwarnai permusuhan? Itu 

tidak lain karena ulah mereka yang mengaku se-

bagai golongan hitam. Mereka terlalu mengobral 

nafsu dan keserakahan. Nafsu membunuh, nafsu 

menguasai dunia persilatan, ataupun nafsu men-

gincar harta dan pangkat.

Sebaliknya, kaum pendekar selalu dibekali 

kekuatan batin. Suatu kehendak suci yang mulia, 

yakni menegakkan kebenaran. Dan jika mereka 

berurusan dengan para tokoh golongan sesat. Itu 

didasari hanya untuk membela yang lemah, serta 

menegakkan kebenaran. Sedikit pun tak ada ha-

srat untuk menguasai dunia persilatan.

Dan apa yang dialami Prameswara memang 

sungguh memprihatinkan. Ia bukan saja berkein-

ginan membunuh ataupun menguasai dunia per-

silatan, bahkan juga berkeinginan mendapatkan 

apa saja. Termasuk, harta dan pangkat. Setelah 

dikalahkan Soma, nafsu amarah pemuda berpa-

kaian rapi murid Mahesa itu makin berkobar saja. 

Rupanya apa yang didapat dari guru sebelumnya 

maupun guru yang sekarang yang dikenal sebagai 

Manusia Rambut Merah, belum cukup. Jangan-

kan untuk menguasai dunia persilatan. Untuk 

membunuh Soma saja belum sanggup (Baca : 

"Misteri Bayi Ular"}.


Di tepi barat Hutan Sawo Kembar, Pra-

meswara berlari cepat seperti berpacu dengan 

senja yang mulai merayap. Kegelapan sebentar la-

gi akan menguasai alam mayapada. Beberapa bu-

rung jalak ramai berkicau menuju ke sarang di 

ranting-ranting pohon besar yang menjulang ting-

gi.

Meski senja belum terlelap dalam pera-

duannya, namun suasana dalam hutan itu sudah 

mulai gelap. Cahaya sinar matahari yang merah 

tembaga di ufuk sebelah barat sana, hampir tidak 

mampu menerobos masuk ke dalam rimbunnya 

Hutan Sawo Kembar.

Tanpa peduli semak belukar yang mengha-

dang, pemuda berpakaian seperti seorang terpela-

jar zamannya itu terus berlari kencang menuju 

dalam hutan. Ilmu meringankan tubuhnya me-

mang sudah mencapai tingkat tinggi. Rambutnya 

yang gondrong dan dikuncir sebagian ke belakang 

berkibaran diterpa angin. Wajahnya yang berben-

tuk bulat telah dipenuhi peluh. Sorot matanya 

yang lembut terus memperhatikan jalan di de-

pannya.

Begitu tiba di depan sebuah pohon randu 

besar, Prameswara menghentikan larinya. Ia ber-

diri mematung, seperti sedang mengawasi pohon 

itu. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya yang agak ke-

biru-biruan menahan luka dalam berkemik-

kemik.

"Guru...!" desis pemuda itu bergetar. Nada 

suaranya terdengar menghiba.


Tidak ada sahutan. Hanya dirasakannya 

tanah yang dipijak bergetar. Prameswara yakin, 

gurunya mendengar panggilan. Dan kenyataan-

nya memang demikian. Tanah yang semula berge-

tar-getar, tiba-tiba saja membuncah tinggi ke 

udara. Bersamaan dengan itu, menyembul satu 

sosok bayangan serba merah ke permukaan ta-

nah.

Kini tampak jelas kalau sosok bayangan itu 

adalah seorang laki-laki tua bertubuh tinggi be-

sar, terbungkus pakaian serba merah. Rambut-

nya berwarna merah menyala. Demikian pula alis 

mata, kumis tebal, dan jenggotnya. Hidungnya 

besar. Juga bibirnya. Dan laki-laki tua itu nam-

pak masih duduk khusuk dalam semedinya. Ke-

dua matanya yang terpejam perlahan-lahan ter-

buka. Siapa lagi tokoh ini kalau bukan Manusia 

Rambut Merah, guru baru Prameswara!

"Guru...!" desis pemuda itu lagi masih tetap 

dalam sikap berdiri!

Dari sikapnya jelas membuktikan kalau 

Prameswara memiliki watak tinggi hati. Tak mau 

dia direndahkan oleh siapa pun. Meski oleh gu-

runya sendiri sekalipun. Kalaupun ia mau bersi-

kap menghormat pada Mahesa guru pertamanya, 

itu karena merasa sungkan saja. Bagaimanapun 

juga Mahesa adalah orang yang merawat dan 

mendidiknya hingga menjadi seorang pemuda. 

Tapi setelah gurunya meninggal, sekarang tidak 

ada lagi orang yang pantas dihormatinya di dunia 

ini!


Manusia Rambut Merah menggeram. Bu-

kannya kesal melihat muridnya tidak berlaku so-

pan padanya. Melainkan kesal melihat Prameswa-

ra tidak membawa calon korban untuknya, seper-

ti biasanya.

"Mengapa kau tidak menjalankan perin-

tahku, Bocah?! Mana gadis terakhir yang akan 

kau jadikan korban?!" tuntut Manusia Rambut 

Merah. Matanya yang memerah itu terus menatap 

tajam muridnya. Kemudian keningnya berkerut 

melihat keadaan muridnya yang memelaskan.

"Kali ini tidak ada korban terakhir untuk-

mu, Guru!" jawab Prameswara tegas. Suaranya 

memang lembut. Namun, sangat menyinggung 

perasaan Manusia Rambut Merah.

"Apa maksudmu bicara begitu, Bocah?! 

Apa kau lupa siapa aku?!" desis laki-laki tua ber-

pakaian serba merah, merasa gusar sekali.

"Tidak. Kau adalah guruku," sahut Pra-

meswara, kalem.

"Nah...," Manusia Rambut Merah men-

gangkat alisnya.

"Jangan potong pembicaraanku dulu, 

Guru!" sergah Prameswara. "Kau memang guru-

ku. Tapi, aku pikir percuma berguru padamu. Un-

tuk itu, aku tidak sudi mencarikan gadis calon 

korban untukmu!"

"Keparat!" Manusia Rambut Merah cepat 

mengangkat tangan kanannya, siap mengirimkan 

pukulan maut 'Kelabang Geni' ke tubuh Prameswara.


"Tunggu dulu, Guru!" tahan pemuda ini. 

"Kau jangan marah dulu! Kau harus tahu, ternya-

ta apa yang diajarkan padaku selama ini hanya-

lah ilmu picisan! Percuma aku belajar padamu, 

Guru!"

Bukan main geramnya Manusia Rambut 

Merah mendengar penuturan muridnya yang san-

gat merendahkan harkatnya sebagai tokoh sesat 

berkesaktian tinggi. Tangan kanannya yang su-

dah terangkat tinggi-tinggi langsung digerakkan 

ke depan. Maka seketika seleret sinar merah dari 

telapak tangan manusia Rambut Merah meluruk 

ke tubuh Prameswara.

"Uts!"

Derrr...!

Prameswara meloncat ke samping kiri. Aki-

batnya, pukulan 'Kelabang Geni' gurunya meng-

hantam pohon besar di belakangnya hingga lang-

sung berderak roboh.

Sementara bagian yang terkena pukulan 

hangus terbakar.

"Jangan cepat naik darah, Guru! Pukulan 

'Kelabang Geni'-mu memang hebat. Tapi, bagiku 

tetap sama saja. Tidak ada artinya sama sekali 

kalau ternyata aku tidak sanggup merobohkan 

musuhku!" cibir Prameswara, melecehkan.

"Jadi? Kau..., kau dikalahkan seseorang?" 

tanya Manusia Rambut Merah, sekaligus terkejut.

"Malah orang yang mengalahkan aku ma-

sih muda. Sebaya denganku," tambah Prameswa-

ra lagi memanas-manasi. "Apa itu tidak membuktikan ilmumu picisan, Guru?!"

"Tidak mungkin!" sentak laki-laki bertubuh 

tinggi besar itu. "Kau jangan sembarangan ngo-

mong, Bocah! Tokoh silat mana pun tidak mung-

kin mampu menerima pukulan 'Kelabang Geni'ku. 

Apalagi kalau digabung dengan ilmu 'Amblas Bu-

mi'-ku. Tak mungkin! Sulit dipercaya kau dika-

lahkan oleh siapa pun! Hayo! Sekarang, katakan 

siapa orang yang telah mengalahkanmu Bocah?!"

Prameswara tersenyum kecut. "Jangan ter-

lalu bayak bermimpi, Guru! Kau pasti mudah da-

pat dikalahkannya. Kepandaian silatnya tinggi 

sekali. Sulit diukur."

"Bedebah! Aku tidak menanyakan itu!" 

bentak Manusia Rambut Merah, seperti kebaka-

ran jenggot. "Cepat katakan! Siapa nama orang 

yang telah mengalahkanmu!"

"Aku tidak tahu namanya, Guru. Yang je-

las, ia seorang pemuda. Waktu itu ia menyamar 

sebagai seorang gadis. Dan satu lagi, Guru. Pe-

muda itu dapat menjelma menjadi Siluman Ular 

Putih!"

"Apa?! Siluman Ular Putih?!" mata Manusia 

Rambut Merah kontan terbelalak liar.

"Benar, Guru. Apa kau takut menghada-

pinya?" Prameswara memanas-manasi. Dan ini 

semakin membuat kemarahan Manusia Rambut 

Merah berkobar-kobar.

"Jahanam! Aku tidak takut menghada-

pinya, tahu?!"

Manusia Rambut Merah seketika meloncat


bangun dari tempat duduknya saking gusarnya. 

Gerakan kedua kakinya ringan sekali, sehingga 

hampir tidak menimbulkan suara sedikit pun. 

Padahal daun-daun kering di bawahnya yang te-

rinjak seharusnya hancur. Tapi tubuh tinggi be-

sar itu seperti tidak berbobot saja kala kedua ka-

kinya menginjak daun-daun kering.

"Kau sendirilah yang bodoh, Bocah! Men-

gapa tidak ditarik dari dalam tanah?!" tuding laki-

laki berpakaian serba merah ini.

"Percuma! Tetap saja ilmu Guru tidak ada 

artinya dibanding kepandaiannya. Aku akan te-

was di tangannya, Guru!"

"Setan! Kau terlalu merendahkan ilmuku, 

Bocah?! Apa kau sudah bosan hidup?!" bentak 

Manusia Rambut Merah, saking gusarnya. Kedua 

telapak tangannya yang berwarna merah hingga 

ke lengan siap melontarkan pukulan maut 

'Kelabang Geni' ke tubuh Prameswara.

"Aku tidak bermaksud demikian, Guru. 

Tapi kalau kenyataannya ilmu Guru masih ren-

dah, apa aku harus membesar-besarkan? Tidak! 

Aku tidak sudi membesar-besarkan ilmu picisan 

seperti itu. Bahkan mulai saat ini juga, aku me-

mutuskan hubungan kita. Kau bukan lagi guru-

ku!"

Kali ini kemarahan Manusia Rambut Me-

rah benar-benar bagai bisul yang siap meletus. 

Wajahnya menegang. Rahangnya yang keras 

menggemelutuk. Dan kedua telapak tangannya 

yang berwarna merah menyala tidak dapat dita


han lagi.

"Setan! Kau terlalu merendahkanku, Bo-

cah! Kau layak modar di tanganku!" bentak laki-

laki tua itu sambil mengibaskan tangannya.

Wesss...!

Dua leret sinar merah menyala melesat 

saat kedua telapak tangan Manusia Rambut Me-

rah siap menghantam Prameswara.

Pemuda ini terkejut bukan main. Meski se-

jak tadi sudah bersiap-siap, namun melihat se-

rangan gurunya yang demikian hebatnya, tak 

urung juga langsung berkeringat dingin. Apalagi 

serangan laki-laki tua itu dilancarkan dalam jarak 

demikian dekatnya. Tak ada pilihan lain, pukulan 

'Kelabang Geni' dipapaknya.

Werrr!

Bunyi bergemuruh langsung memenuhi 

tempat itu, begitu Prameswara menghentak kedua 

tangannya melepaskan pukulan 'Cahaya Kilat Bi-

ru'. Dari kedua telapak tangannya yang berwarna 

biru berpendar-pendar melesat sinar biru. Lalu....

Blarrr...!

Sungguh dahsyat akibat pertemuan dua 

tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Tanah ber-

getar-getar. Pohon-pohon dalam jarak sepuluh 

tombak seperti tersengat petir dan langsung men-

jadi layu. Manusia Rambut Merah sendiri sampai 

tergetar hebat. Tubuhnya yang tinggi besar ber-

goyang-goyang. Kedua kakinya melesak beberapa 

jari ke dalam tanah.

Sedang Prameswara langsung terhuyung


huyung beberapa langkah ke belakang. Wajahnya 

pucat pasi. Jantungnya seperti akan rontok aki-

bat benturan tenaga dalam tadi. Dan saking tidak 

tahannya.... 

"Hoeeekh...!"

Prameswara pun muntahkan darah segar.

"Ha ha ha...! Itu baru pukulan 'Kelabang 

Geni'ku, Bocah! Apa kau akan sanggup bertahan 

kalau aku mengeluarkan ilmu 'Wejangan Iblis'?!" 

ejek Manusia Rambut Merah penuh kemenangan.

"Jangan bangga dulu, Guru! Ilmu 

'Wejangan Iblis' memang hebat. Tapi, apa kau lu-

pa kalau aku sedang terluka dalam yang parah? 

Hmm.... Kalau aku tidak sedang terluka, belum 

tentu kau dapat mengalahkanku demikian mu-

dahnya! Belum lagi kalau kau menghadapi orang 

yang telah mengalahkanku. Apa kau sanggup ber-

tahan dalam tiga jurus?!" ejek Prameswara, makin 

keterlaluan.

"Bajingaaannn...! Kau tidak tahu diuntung, 

Bocah! Belum puas aku kalau belum menghirup 

darahmu!"

Sungguh tak dapat dibayangkan kemara-

han dalam dada laki-laki tua guru Prameswara. 

Kedua tangannya yang berwarna merah semakin 

menyala, disertai uap hitam terus menyelimuti.

Memang belum sempurna ilmu 'Wejangan 

Iblis'-nya, karena belum genap mendapatkan em-

pat puluh darah perawan suci sebagai korban. 

Kendati demikian, Prameswara tidak mau gega-

bah. Apalagi masih dalam keadaan terluka parah.


Maka tanpa banyak pikir lagi, kedua kakinya 

langsung menjejak tanah, dan berkelebat mening-

galkan tempat itu. Dalam sekejap saja tubuhnya 

telah menghilang di antara kegelapan Hutan Sawo 

Kembar. 

Manusia Rambut Merah menyumpah sera-

pah. Cepat ilmu meringankan tubuhnya dikerah-

kan untuk mengejar muridnya. Dalam beberapa 

kali hentakan kaki ke tanah, tokoh sesat itu da-

pat menyusul Prameswara. Namun baru saja 

menjejakkan kakinya di tanah mendadak serang-

kum angin dingin telah meluruk ke arah Manusia 

Rambut Merah.

Laki-laki tua itu cepat mengerahkan puku-

lan 'Kelabang Geni'. Kedua telapak tangannya 

yang telah berubah merah darah cepat dorongkan 

ke depan. Seketika itu juga, seleret sinar merah

dari kedua telapak tangannya keluar untuk me-

nyambut seleret sinar biru di depannya! 

Blarrr...!

Terdengar gelegar hebat ketika pukulan 

'Kelabang Geni' milik Manusia Rambut Merah 

bentrok dengan pukulan 'Cahaya Kilat Biru' milik 

Prameswara. Bunga api kontan berpijar. Pohon-

pohon di sekitarnya pun layu! Dan saat itu juga 

terdengar pula satu pekik tertahan di depan sana. 

Tubuh tegap murid murtad Pendekar Pedang Kilat 

Buana terhuyung-huyung sebentar, lalu cepat 

menjejakkan kakinya ke tanah. Seketika diting-

galkannya tempat itu.

Manusia Rambut Merah menggeram. Sua


ranya yang lantang menggetar-getarkan tanah di 

sekitarnya. Sedang tubuhnya yang tinggi besar 

sedikit bergetar akibat bentrokkan tadi. Namun....

Kali ini ia tidak lagi bernafsu mengejar 

Prameswara. Hanya saja hatinya masih penasa-

ran pada orang yang telah mengalahkan bekas 

muridnya. Teringat itu, Manusia Rambut Merah 

kembali menjejakkan kedua kakinya ke tanah. 

Dan dalam sekejap saja, bayangan merahnya te-

lah menghilang di antara kegelapan Hutan Sawo 

Kembar.

***

Malam mulai merambah Desa Wonodadi.

Sentir-sentir (lampu minyak) di sepanjang jalan 

desa mulai dinyalakan. Beberapa orang penduduk 

nampak masih asyik membicarakan tentang ke-

hebatan Siluman Ular Putih di serambi pendopo 

kelurahan. 

Sedang di dalam rumahnya, Ki Lurah Suro-

loyo sedang menjamu kedua orang tamunya. So-

ma dan Ratih. Wajah Ki Lurah Suroloyo yang ba-

ru saja disembuhkan Soma alias Siluman Ular 

Putih nampak masih pucat pasi. Namun, ia tetap 

memaksakan diri untuk menemani bersama anak 

dan istrinya.

Soma yang saat itu masih berpakaian me-

rah milik Ratih bingung sekali memperhatikan 

kecantikan dua orang gadis di hadapannya. Ma-

tanya yang tajam seperti mata rajawali, sesekali


melirik putrid tunggal Ki Lurah Suroloyo penuh 

kagum.

Ki Lurah Suroloyo hanya tersenyum saja. 

Penampilan Soma kali ini benar-benar menggeli-

kan. Rambutnya yang gondrong dikuncir dua ke 

belakang. Bibirnya diberi gincu warna merah me-

nyala. Demikian pula kedua pipinya. Sedang wa-

jahnya yang putih dipupuri bedak putih. Cuma 

sayangnya bedaknya tidak rata menyapu wajah-

nya. Malah berkesan clemongan.

"Adik manis, siapa namamu?" tanya Soma 

pada putri tunggal Ki Lurah Suroloyo.

"Kustini, Tu..., Tuan," jawab putri Ki Lurah 

Suroloyo malu-malu. Wajahnya yang cantik kem-

bali menunduk setelah tadi menengadah sebentar 

menjawab pertanyaan Soma.

"Ah...! Jangan panggil aku Tuan, dong! Kan 

tak enak didengar. Panggil saja aku mbakyu! Kan 

lebih enak kedengarannya," sergah Soma genit. 

Suaranya sengaja dibuatnya kecil mirip perem-

puan. Sembari berkata begitu kedua bibirnya pun 

diplenceng-plencengkan ke sana kemari.

Kustini tertawa cekikikan.

"Jangan cekikikan begitu dong! Ayo, pang-

gil aku mbakyu!" goda Soma semakin menjadi-

jadi.

"I..., iya, Mbak.... Mbakyu," jawab Kustini 

malu-malu.

Soma tertawa geli dalam hati. Dengan 

panggilan 'mbakyu' pada dirinya malah semakin 

membuat tingkahnya berlebihan. Bibirnya terus


dimencong-mencongkan ke sana kemari.

"Aih...! Mengapa malu-malu, Adik Manis? 

Kita kan sesama wanita? Ayo, dong! Bersikaplah 

yang santai!" kata Soma lagi.

"Sudah, sudah! Muak aku mendengar oce-

hanmu, Pemuda Sinting!" bentak Ratih. Gadis ini 

tak berani memaki pemuda itu dengan makian 

'bocah edan' lagi. Takut malah dirinya yang akan 

dikerjai Soma.

"Aih...! Mengapa Mbakyu Ratih jadi uring-

uringan begini?! Apa Mbakyu Ratih cemburu? 

Jangan begitu, dong! Kita kan sesama wanita. 

Bukan begitu, Dik Kustini?"

"Tak lucu!" semprot Ratih sewot.

"Aduuuh...! Aku tidak sedang melucu, 

Mbakyu Ratih! Aku sedang bertanya pada Dik 

Kustini, kok?" jawab Soma makin menyebalkan 

hati Ratih.

"Jangan cerewet! Kau pikir ini lucu? Ayo, 

cepat lepas pakaianku!" bentak Ratih kesal.

"Aduuuh...! Mbakyu Ratih kok jadi pelit 

amat sih? Aku pinjam dulu dong?" goda Soma.

Ratih mendelik gusar. Ujung pedangnya 

tahu-tahu menyambar kepala Soma.

Tak!

"Aduuhh...! Mbak Ratih, kok jadi galak 

amat sih?!" Soma alias Siluman Ular Putih cen-

gar-cengir memegangi kepalanya yang cenat-

cenut digetok ujung gagang pedang.

"Cepat lepaskan pakaianku! Atau kuhan-

curkan kepalamu dengan pedang ini?!" ancam Ra


tih seraya mengacung-acungkan pedangnya.

"Ja..., jangan!" Soma menyingkir ngeri.

Ki Lurah Suroloyo beserta anak istrinya 

hanya tersenyum saja melihat sikap Soma yang 

nakal. Sedang Soma yang sudah menjauh dari 

ruang tamu mulai menanggalkan pakaian merah 

milik Ratih.

"Awas! Kau jangan mengintipku, Ratih! 

Nanti kau bisa naksir beneran sama aku, lho!" ce-

loteh Soma.

Ratih tidak mempedulikan ocehan pemuda 

itu lagi.

Namun diam-diam dalam hatinya mulai 

timbul rasa suka pada Soma.

"Sekarang tindakan apa yang harus kami 

lakukan, Nak Ratih? Meskipun si Pembuat Onar 

di kampung kami sudah pergi, namun kami tetap 

merasa cemas kalau-kalau dia muncul lagi ke de-

sa ini," ungkap Ki Lurah Suroloyo membuka per-

cakapan.

"Aku mengerti kekhawatiran Ki Lurah. 

Hanya aku sendiri belum tahu bagaimana harus 

bertindak, Ki," sahut Ratih, terus-terang.

"Mengapa kalian jadi bingung begini?! Apa 

ada ayam kalian yang dicuri maling?" sela Soma.

Kali ini si pemuda sudah mengenakan pa-

kaian kebesarannya. Rompi dan celana bersisik 

putih keperakan. Dan dari rompinya yang terbu-

ka, tampak rajahan bergambar ular putih di dada 

kanan. Sedang tangan kanannya memegang baju 

merah milik Ratih.


"Nih, kukembalikan pakaianmu! Tapi jan-

gan ditagih uang sewanya, ya! Aku tak punya 

duit," kata pemuda yang dijuluki Siluman Ular 

Putih ini seraya melemparkan baju merah di tan-

gan kanan pada pemiliknya.

Ratih cepat menangkapnya.

"Jangan dicium! Nanti kau bisa tidak dapat 

tidur selama tujuh malam kalau mencium bau 

keringatku!" goda Soma.

"Jangan bercanda! Kami sedang bersung-

guh-sungguh, tahu?!" hardik Ratih jengkel.

"Oh...! Jadi ceritanya sedang seru, nih?!" 

Siluman Ular Putih mengolok-olok.

Ratih mendelik gusar. Tangan kanannya 

kembali mencabut gagang pedangnya siap meng-

getok kepala pemuda itu.

"Jangan mendelik begitu, ah! Nanti mata-

mu bisa loncat keluar. Kalau sudah begitu, siapa 

yang sudi mencintai gadis buta? Iya, kan?" celo-

teh Soma semakin ngelantur tak karuan juntrun-

gannya.

"Pemuda sinting! Apa aku tidak tahu kami 

sedang bersungguh-sungguh?!" hardik Ratih, sak-

ing gusarnya.

"Oh..., maaf! Kalau begitu, aku tinggal saja, 

ya. Sel...."

"Tunggu!" teriak Ratih, menghentikan 

langkah Siluman Ular Putih.

"Apa lagi?" kata pemuda itu, menjengkel-

kan.

"Kau benar-benar memuakkan, Soma! Apa


kau tidak tahu, utusan Manusia Rambut Merah 

sebentar lagi akan kemari? Malah mungkin ber-

sama Manusia Rambut Merah sendiri?"

"Ah...! Sok tahu, kau! Mana mungkin Ma-

nusia Rambut Merah berani kemari? Apa kuping-

nya ingin ku jewer sampai menjerit-jerit minta 

ampun?" tukas Soma seenak perut. Padahal di-

am-diam omongan Ratih diakui kebenarannya. 

Tapi, mana mungkin ia mau mengakuinya begitu 

saja. Malah lebih senang menurutkan kehendak 

hatinya.

"Tapi...," kata Ki Lurah Suroloyo.

"Sudahlah, Ki!" potong pemuda itu. "Tak 

usah dicemaskan Manusia Rambut Merah dan 

urusannya! Aku yakin, mereka tidak akan kemari. 

Malah aku sendiri yang akan ke sana untuk men-

carinya. Aku masih mempunyai sedikit urusan 

dengan mereka. Selamat tinggal!"

Sehabis berkata begitu, tanpa banyak ca-

kap lagi Siluman Ular Putih langsung keluar dari 

rumah Ki Lurah Suroloyo. Dan tubuhnya cepat 

berkelebat pergi dari tempat ini.

"Tunggu, Nak Soma!" teriak Ki Lurah Suro-

loyo kecewa.

"Jangan khawatir, Ki! Kunyuk-kunyuk itu 

tidak bakal kembali ke kampung mu. Percayalah! 

Oh, ya tolong sampaikan salam manisku pada 

Kustini, Ki!"

Tiba-tiba terdengar suara menggema me-

menuhi ruang tamu rumah Ki Lurah Suroloyo. 

Sedang si empunya suara entah sudah sampai di


mana.

Sementara Ratih kecewa sekali. Sebenar-

nya ia ingin sekali melakukan perjalanan bersama 

pemuda sinting itu. Namun sayangnya Soma su-

dah meninggalkannya. Dan ketika bermaksud 

berpamitan pada Ki Lurah Suroloyo, tiba-tiba sa-

ja....

"Kau jangan cemburu, Ratih! Aku memang 

menyukai putri Ki Lurah Suroloyo. Tapi, terus te-

rang aku lebih menyukaimu. Percayalah!"

Terdengar bisikan lembut yang hanya bisa 

ditangkap telinga gadis itu sendiri

"Pemuda sinting...!" desis Ratih, diam-diam 

mengakui kehebatan Soma dalam mengirimkan 

suara jarak jauhnya.

"Ada apa, Nak Ratih? Kok, Nak Ratih ma-

rah-marah sendiri...?" tanya Ki Lurah Suroloyo 

heran.

Ratih jadi tersipu malu. Pipinya yang ber-

warna keputihan langsung memerah.

"Ah.... Tidak ada apa-apa kok, Ki. Izinkan 

aku menyusul kepergian Soma. Tadi aku lupa 

menanyakan sesuatu padanya," kilah gadis itu 

beralasan.

Ki Lurah Suroloyo maklum. Pandangan 

mata gadis di hadapannya tak dapat lagi didustai 

nya. Laki-laki ini tahu, apa yang sebenarnya se-

dang berkecamuk dalam hati tamunya.

"Aku mengerti, Nak Ratih. Kalau memang 

kau masih mempunyai urusan dengan Soma, si-

lakan meneruskan perjalanan. Tapi, bukan berarti ini pengusiran, lho?" kata Ki Lurah Suroloyo di 

antara senyumnya.

"Terima kasih, Ki. Selamat tinggal semua-

nya!" 

Tanpa banyak cakap lagi Ratih segera me-

ninggalkan rumah Ki Lurah Suroloyo. Dan dalam 

beberapa saat saja, bayangan tubuhnya pun su-

dah menghilang di antara kegelapan malam.

Ki Lurah Suroloyo menggeleng-gelengkan 

kepala penuh kagum. Kemudian digandeng nya 

anak dan istrinya masuk ke dalam kamar. Namun 

anehnya, kali ini Kustini tidak menuruti ajakan 

ayahnya. Matanya yang indah terus memperhati-

kan ke arah Soma tadi menghilang dengan sorot 

aneh.

Sekali lagi Ki Lurah Suroloyo menggeleng-

gelengkan kepala heran. Bukannya heran melihat 

kehebatan Ratih dan Soma, melainkan heran me-

lihat perubahan sikap putri tunggalnya.

2

Menuju Hutan Sawo Kembar bukan satu 

perjalanan gampang. Bagi mereka yang tidak 

memiliki ilmu meringankan tubuh jangan harap 

bisa selamat sampai tujuan. Di samping tempat-

nya susah untuk dilewati, di hutan itu juga masih 

banyak berkeliaran kawanan perampok yang ber-

kepandaian tinggi. Namun hal itu bukanlah men-

jadi halangan bagi Soma. Ilmu meringankan tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu sudah 

mencapai taraf tinggi. Demikian juga kepandaian 

silatnya. Hanya saja, Siluman Ular Putih belum 

tahu seluk-beluk Hutan Sawo Kembar. Ditambah 

lagi malam yang pekat tanpa sinar rembulan. Hal 

ini cukup membuat Soma kebingungan untuk 

menentukan letak persembunyian Manusia Ram-

but Merah.

Sebenarnya ada keinginan untuk menunda 

perjalanannya besok hari. Namun si pemuda te-

tap memaksakan diri menemui musuh besarnya 

itu malam ini juga. Akibatnya hampir semalaman 

Soma hanya bisa mondar-mandir di seputar hu-

tan itu. Dan karena belum juga menemukan tem-

pat persembunyian Manusia Rambut Merah, ak-

hirnya diputuskan pencariannya dilanjutkan esok 

hari.

Kebetulan sekali saat itu ada sebatang po-

hon randu yang cukup nyaman untuk beristira-

hat sementara. Maka tanpa banyak pikir lagi, 

Soma pun segera meloncat ke ranting pohon. 

Mungkin karena saking lelah setelah hampir se-

harian menempuh perjalanan panjang, akhirnya 

si pemuda tertidur juga.

Pagi menjelang. Burung berkicau ramai di 

ranting-ranting pohon, menyambut indahnya pagi 

ini. Cahaya sinar matahari hanya membentuk ri-

buan titik berkilau bak permata, tak mampu me-

nembus kerimbunan Hutan Sawo Kembar. Se-

mentara itu, angin yang bertiup semilir semakin 

membuat Soma terbuai dalam mimpi. Mulutnya


menyeringai kegelian seperti membayangkan be-

laian jari-jari tangan para bidadari. Namun entah 

mengapa, sesuatu yang tadinya menggerayangi 

tubuhnya, kini mulai berani menggigit dan nyeri 

sekali!

Soma membuka mata. Dan betapa terke-

jutnya hatinya ketika dilihatnya puluhan semut 

merah tengah berpesta pora menikmati kulit tu-

buhnya. Seketika itu juga ia berteriak kalang ka-

but. Bagian-bagian yang digigit semut beracun 

pedih bukan main. Soma tidak tahan lagi. Ia ber-

jingkrak ke sana kemari tanpa disadari kalau di-

rinya masih berada di ranting pohon. Dan akibat-

nya....

Bukkk!

"Aduuuhh...!"

Si pemuda terjatuh berdebam ke tanah. 

Kebetulan sekali bagian tubuh yang membentur 

tanah itu tepat pada tulang ekornya.

"Emak, tolooong...!" teriak murid Eyang Be-

gawan Kamasetyo alias Siluman Ular Putih itu ka-

lang kabut. Bagian tulang ekor yang membentur 

tanah terasa nyeri bukan kepalang. Perutnya te-

rasa mulas seperti orang telat buang hajat. Belum 

lagi sekujur tubuhnya yang digigit puluhan semut 

merah. Dan lebih menyebalkan lagi ada satu-dua 

ekor semut merah yang nakal menggigit 

'perkutut'nya.

Bukan main kalang kabutnya si pemuda. 

Saking tidak tahannya menerima gigit-gigitan se-

mut merah akhirnya semua pakaian yang menutupi tubuhnya dilepaskan. Dan satu persatu se-

mut merah yang menempel di sekujur tubuhnya 

disapu dengan tangannya.

"Sekarang sudah beres. Tak ada satu se-

mut sialan itu di tubuhku lagi. Aman...," desah 

Soma sambil celingukan ke sana kemari, khawatir 

kalau ada orang lain yang melihat. 

"Hik hik hik.... Untungnya tidak ada orang 

yang melihat. Kalau ada, wah! Bisa berabe! Sial 

sekali nasibku hari ini. Aku kira seorang bidadari 

cantik yang sedang membelai-belai tubuhku. Eh, 

nggak tahunya malah semut keparat itu. Sial! Si-

al!"

Selesai mengomel, buru-buru Siluman Ular 

Putih mengenakan kembali pakaiannya.

Lega sudah sekarang hati Soma. Sejenak 

diperhatikannya tempat itu seksama. 

"Semua ini gara-gara Manusia Rambut Me-

rah! Awas kalau ketemu nanti! Aku pasti akan 

menjejalinya dengan semut merah! Biar tahu rasa 

dia!" omel pemuda itu lagi belum puas.

Tiba-tiba pandangan mata Soma tertum-

buk pada sebatang pohon randu yang tumbang. 

Sedang keadaan di sekitar tempat itu terlihat po-

rak-poranda, seperti ratusan gajah ngamuk. Si 

pemuda berjalan mendekati pohon randu yang 

tumbang. Semakin dekat jidatnya berkernyit ma-

kin dalam.

"Jelas pohon randu ini tumbang dengan 

cara tidak wajar. Pasti ada seseorang yang mero-

bohkannya dengan pukulan maut. Ya, ya, ya....



Buktinya saja, bagian yang terkena pukulan ini 

hangus terbakar. Demikian juga daun-daunnya 

yang layu," gumam Soma dalam hati. "Lantas, 

siapa yang melakukan ini semua?"

Soma semakin tajam menautkan kedua 

alisnya.

"Menilik bagian yang terkena pukulan, pas-

ti kejadiannya belum lama. Mungkin kemarin 

sore. Atau, tadi malam sebelum aku datang. Dan 

mengenai siapa yang melakukannya, harus dis-

elidiki dulu!"

Siluman Ular Putih terus meneliti keadaan 

sekitarnya. Dan tak jauh dari pohon randu yang 

tumbang itu, ditemukannya muntahan darah ker-

ing. Langsung ditelitinya dengan seksama.

"Hm.... Jelas.... Rupanya tadi malam telah 

terjadi pertarungan. Mungkin Manusia Rambut 

Merah dengan orang lain. Atau bisa jadi dengan 

utusan nya sendiri yang telah gagal menjalankan 

perintahnya!"

Soma mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Pandangan matanya kembali terus mengamati 

tempat itu. Tidak menemukan apa-apa, selain ta-

nah di sekitar tempat itu yang berantakan. Na-

mun, tiba-tiba saja....

Trang! Trang!

"Heh?!"

Pendengaran si pemuda yang tajam men-

dadak mendengar dentingan suara senjata tajam

beradu yang datangnya dari sebelah barat Hutan 

Sawo Kembar. Dia tersentak sejenak, sebelum


akhirnya menjejakkan kakinya meninggalkan 

tempat itu. Tubuhnya cepat berkelebat di antara 

pohon-pohon di dalam hutan ini. 

* * *

Begitu tiba, Soma malah duduk ongkang-

ongkang kaki di sebatang ranting pohon. Matanya 

yang tajam terus memperhatikan pertempuran di 

bawahnya. Mulutnya yang ceriwis terus saja ber-

celoteh meramaikan jalannya pertarungan. Pa-

dahal ia tahu gadis cantik berbaju merah-merah 

yang sedang dikeroyok sekawanan begal berpa-

kaian hitam-hitam itu tidak lain dari Ratih, yang 

baru saja dikenalnya di Desa Wonodadi.

"Wah, wah, wah...! Pagi-pagi saja sudah 

pada tawuran. Apa sih, yang kalian ributkan? Se-

perti anak kecil yang belum dikasih makan saja" 

celoteh Soma seenak perut.

Lima orang perampok Hutan Sawo Kembar 

seketika itu juga menghentikan serangan. Demi-

kian pula Ratih. Dan gadis cantik berbaju merah-

merah itu menggeram marah, melihat Soma ten-

gah asyik duduk ongkang-ongkang kaki di atas 

ranting pohon randu, tak jauh dari tempat perta-

rungan. Penampilan nya cukup norak, masih se-

perti kemarin sore. Rambutnya yang gondrong di-

kuncir dua ke belakang. Kedua bibirnya masih 

berwarna kemerahan. Hanya bedanya sekarang, 

pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo itu ti-

dak lagi berpakaian merah-merah milik Ratih, ta-

pi memakai baju rompi dan celana bersisik warna


putih keperakan. Dan rompinya yang terbuka 

tanpa kancing terlihat sebuah rajahan bergambar 

ular putih di dada kanan.

"Pemuda sinting...!" geram Ratih jengkel. 

Hatinya jengkel bukan main melihat kelakuan 

pemuda itu. Bukannya membantu melihat dirinya 

dikeroyok sekawanan perampok, malah ngeledek.

"Ayo, teman-teman! Kita serang gadis som-

bong ini! Biar aku dan Bergodo yang melindungi 

kalian," teriak salah seorang, yang agaknya men-

jadi kepala rampok itu garang.

Sedikit pun Ratih tidak gentar menghadapi 

keroyokan itu. Dan begitu ketiga orang perampok 

mulai menyerang kedua kakinya, pedangnya ce-

pat berputar menangkis. Sementara kepala ram-

pok dan seorang anak buahnya menyerang tubuh

bagian atas gadis itu.

"Wah, wah, wah...! Benar-benar satu ton-

tonan menarik. Lumayanlah buat mengganjal pe-

rutku yang keroncongan," celoteh Soma lagi.

Ratih geram bukan main. Untuk sementa-

ra, serangan-serangan para pengeroyoknya masih 

dapat dibendungnya. Tapi, lama kelamaan, bukan 

mustahil dirinya akhirnya roboh juga.

"Hik hik hik...! Rasain sekarang, Gadis 

Sombong! Terus desak gadis itu!" teriak Soma ke-

girangan.

"Pemuda sinting...! Mengapa ongkang-

ongkang kaki saja, he?! Cepat bantu aku!" bentak 

Ratih penuh kemarahan.

Sambaran-sambaran pedang gadis berpa


kaian merah-merah itu makin ganas saja. Sedang 

tangan kirinya yang berwarna putih berkali-kali 

menghentak, melontarkan pukulan maut.

"Ha ha ha...! Baik, baik! Satu permintaan 

yang bagus sekali! Aku akan segera turun. Seka-

lian melihat, bagaimana caranya kunyuk-kunyuk 

bodoh ini menghajarmu, ya?!" celoteh Soma se-

raya meloncat turun dari ranting pohon itu.

Gerakannya ringan sekali. Sama sekali ti-

dak menimbulkan suara kala kedua kakinya 

menginjak tanah berdebu.

Ratih memberengut. Matanya yang indah 

sempat membelalak lebar ke arah Soma.

"Sudah, sudah! Jangan cemberut saja! 

Awas, lihat serangan! Jaga kepalamu baik-baik! 

Ah...! Bukan begitu cara menangkisnya. Tapi, be-

gini nih...."

Soma mengambil ranting kering di bawah 

kakinya. Dan tiba-tiba tubuhnya meluruk ke da-

lam kancah pertarungan. Kebetulan sekali salah 

seorang dari pengeroyok sedang menggerakkan 

pedangnya, membabat Ratih dari atas ke bawah. 

Tanpa banyak cakap lagi, Siluman Ular Putih me-

nangkis serangan dengan ranting di tangannya. 

Prakkk!

Aneh sekali! Ranting kecil di tangan Soma 

sama sekali tidak patah terbabat pedang di tan-

gan salah seorang pengeroyok Ratih. Malah, si 

pengeroyok yang meringis kesakitan.

"Nah, nah...! Kalau sudah begitu, baru kita 

balas serangannya. Begini nih caranya men


rang," ujar Soma sok tahu sembari menggerakkan 

ranting di tangan kanannya menotok tubuh orang 

yang meringis kesakitan itu.

Tuk! 

"Aaah...!"

Ujung ranting di tangan Soma tepat meno-

tok punggung. Dan tanpa ampun lagi, orang itu 

langsung roboh tak dapat bergerak lagi. Matanya 

yang tajam membelalak liar memandangi Soma.

"Ha ha ha...! Salah sendiri mengapa tidak 

mau menangkis seranganku. Sekarang rasain 

akibatnya," celoteh Soma.

Laki-laki berkumis tebal yang menjadi 

pimpinan perampok itu membelalakkan matanya. 

Ia tak percaya kalau pemuda aneh yang tadi 

memberi semangat kepada mereka kini malah 

berbalik membela mangsanya. Bahkan meroboh-

kan pula salah seorang kawannya. Melihat itu, ia 

menggeram marah, karena merasa telah diper-

mainkan. Maka dengan garangnya pedangnya di-

gerakkan membabat tubuh Soma.

Soma alias Siluman Ular Putih yang hen-

dak keluar dari arena pertempuran terperanjat 

kaget.

"Eh..., eh! Kok, malah menyerang aku? Itu, 

tuh, musuhmu!"

Sambil menunjuk Ratih yang sedang sibuk 

menghadapi para pengeroyoknya, si pemuda 

menggeser tubuhnya ke kanan, menghindari se-

rangan pedang. 

"Ah! Kau bandel rupanya! Apa kau ingin ku


jewer hingga telingamu panjang sebelah?" ejek 

Soma yang tak membalas serangan pimpinan pe-

rampok itu.

Si pemuda bermaksud meloncat keluar 

kancah pertarungan. Namun sambaran pedang di 

tangan pimpinan perampok itu kembali mengan-

cam tubuhnya.

"Baik baik! Kau memang bandel sekali. Aku 

bukan saja ingin menjewer kuping mu, tapi juga 

ingin mencabuti kumismu sampai rontok, tahu?!"

Dengan gerakan cepat Soma bergerak ke 

samping kiri. Dan ketika pedang di tangan pimpi-

nan perampok terus mengejar ke kiri, Siluman 

Ular Putih cepat meloncat tinggi ke udara. Sambil 

berputaran, tangan kirinya segera menjewer telin-

ga, sedang tangan kanannya siap meraih kumis 

tebal pimpinan perampok itu.

Rrrtt...!

"Aaau...!"

Pimpinan perampok itu memekik, begitu 

kedua tangan nakal Siluman Ular Putih tepat 

mengenai sasaran. Kupingnya terasa panas bu-

kan main. Sementara kumisnya rontok sebagian 

dengan darah segar keluar dari lukanya. Bahkan 

tubuhnya langsung tersuruk di tanah, akibat 

kuatnya tarikan yang dilakukan Siluman Ular Pu-

tih.

"Ha ha ha...! Lucu, lucu sekali! Kau tak 

ubahnya seperti anak kecil yang menunggu gili-

ran di jamban, Orang Tua!" teriak Siluman Ular

Putih kegirangan begitu mendarat di tanah. Ke


dua tangannya mendekap ke perut, saking tidak 

tahannya melihat tingkah pimpinan perampok 

itu.

Laki-laki berkumis itu meraung-raung ke-

sakitan.

Sebagian wajahnya yang garang berlepotan 

darah dari kumisnya yang rontok sebagian.

Dan bersamaan dengan jatuhnya laki-laki 

berkumis lebat itu, Ratih pun berhasil meroboh-

kan salah seorang dari tiga pengeroyoknya. Meli-

hat hal ini, kepala perampok itu gusar bukan 

main. Kini baru disadari, siapa lawan yang se-

dang dihadapi. Maka dengan satu isyarat mata 

kepada kawan-kawannya, dia segera bangkit dan 

berlari tunggang langgang meninggalkan tempat 

itu. Gerakannya diikuti teman-temannya, setelah 

membawa dua orang yang terluka.

"Nah, nah, nah...! Begitu juga lebih baik. 

Aku takut kawanku yang cantik ini bisa tambah 

murka kalau kalian tidak cepat-cepat enyah dari 

hadapannya," celoteh Soma.

Ratih bersungut-sungut. Hatinya masih 

kesal dengan kelakuan Siluman Ular Putih tadi. 

Bukannya tadi membantu dirinya, malah mem-

bantu kawanan rampok itu.

"Nah! Sekarang, apa lagi yang harus aku 

perbuat? Kawanan begal itu sudah enyah dari 

hadapan kita. Apa kau ingin meneruskan perjala-

nan? Atau...."

Soma menggaruk-garuk kepala tanpa me-

lanjutkan bicara. Entah mengapa tiba-tiba saja


kepalanya ingin digaruk-garuk Padahal, rambut-

nya tidak gatal. Sementara matanya yang cerdik 

bergerak-gerak nakal.

"Oh, ya? Ngomong-ngomong, kau masih 

penasaran padaku, ya? Lantas, kau menyusulku 

kemari?" baru Soma melanjutkan bicaranya

"Memangnya, kau sendiri yang punya uru-

san dengan Manusia Rambut Merah?! Huh! Dasar 

pemuda edan!" sungut Ratih sinis.

"Oh...! Jadi, kau punya urusan dengan 

Manusia Rambut Merah, ya? Aku kira kau masih 

penasaran padaku? Ya, sudah! Kalau begitu, se-

lamat tinggal!"

Soma alias Siluman Ular Putih sempat 

menghadiahi gadis itu dengan seulas senyum 

manis sebelum akhirnya berkelebat pergi. Gera-

kan kedua kakinya cepat sekali.

Sebentar saja, bayangan tubuhnya lenyap 

di antara kerimbunan pohon randu.

Ratih sebenarnya ingin sekali mencegah 

kepergian pemuda itu. Akan tetapi entah menga-

pa, ia hanya membanting-bantingkan kaki ka-

nannya dengan kesal. Pandangan matanya masih 

tertuju ke arah lenyapnya bayangan pemuda yang 

diam-diam mulai mencuri sekeping hatinya.

3

Siang terik. Matahari tepat pada titik ten-

gahnya, seperti hendak memanggang siapa saja



yang ada di bawahnya. Debu-debu di sepanjang 

jalan diluar Hutan Sawo Kembar beterbangan ka-

la dua ekor kuda jantan tak begitu kencang me-

nelusuri jalanan itu. Penunggangnya adalah dua 

orang wanita.

Melihat dari pakaian ringkas dan cara me-

nunggang kuda yang lincah, kedua orang itu pasti 

bukanlah wanita sembarangan. Yang sebelah ka-

nan adalah seorang wanita berpakaian biru tua, 

dengan cadar penutup wajah berwarna biru. 

Usianya belum terlalu tua. Paling baru berumur 

empat puluh lima tahunan. Namun menilik tu-

buhnya yang padat dan sintal, mungkin orang 

akan mengira wanita itu baru berumur tiga pulu-

han tahun. Orang ini dijuluki Perempuan Berca-

dar Biru.

Sedang di sebelah Perempuan Bercadar Bi-

ru adalah seorang gadis cantik yang juga berpa-

kaian biru tua. Usianya kira-kira delapan belas 

tahun. Wajahnya yang cantik tampak kemerah-

merahan tertimpa panasnya sinar matahari. Se-

dang rambutnya yang hitam panjang sebatas ba-

hu dikuncir dua ke belakang. Dan sambil terus 

memacu kudanya kencang, ia terus saja ber-

nyanyi riang. Kepalanya digoyang-goyangkan ke 

kanan-kiri seirama lagu yang sedang dinyanyi-

kan.

"Tutup mulutmu, Ayuni! Tuli aku menden-

gar suaramu," hardik Perempuan Bercadar Biru 

pada gadis bernama Ayuni.

"Ah..., Guru! Mengapa sih, Guru selalu


mengusik kesenanganku?!" tukas Ayuni.

"Diam! Kalau aku bilang tutup mulut, kau 

harus tutup mulut, mengerti?!" hardik Perempuan 

Bercadar Biru lagi galak.

Ayuni mengedumel. Kedua bibirnya yang 

indah memberengut.

"Apa enaknya sih, melakukan perjalanan 

jauh dengan berdiam diri begini?" sahut gadis 

berbaju biru itu masih saja membantah.

Perempuan Bercadar Biru mendelik gusar. 

Kedua bibirnya berkemik-kemik, siap melontar-

kan makian. Namun belum sempat bibirnya ter-

buka, tiba-tiba saja

"Benar! Benar sekali apa yang dikatakan 

muridmu itu, Perempuan Bercadar Biru! Mengapa 

sih kamu usil amat?!"

Kedua orang wanita cantik itu dikejutkan 

oleh suara sumbang yang datangnya entah dari 

mana, menyahuti ucapan Ayuni. Suaranya meng-

gemuruh, menggetarkan tanah di sekitarnya.

Perempuan Bercadar Biru dan Ayuni saling 

berpandangan. Tanpa melihat sosoknya pun, me-

reka tahu kalau ada seorang tokoh berkepandaian 

tinggi sedang menghadang perjalanan. Ayuni 

mengedarkan pandangan ke segenap penjuru, 

namun tetap saja tidak menemukan siapa-siapa.

"Apa yang kau cari, Anak Muda? Aku di si-

ni!"

Suara sumbang itu kembali terdengar 

menggemuruh dari tanah yang bergetar di seki-

tarnya. Beberapa saat lamanya kemudian, tanah


yang bergetar ini tiba-tiba saja membuncah tinggi 

ke udara. Bersamaan dengan itu, sesosok bayan-

gan merah menyala keluar dari tanah.

Seketika itu juga, dua ekor kuda jantan 

tunggangan Perempuan Bercadar Biru dan Ayuni 

meringkik ketakutan. Kedua kakinya terangkat 

tinggi-tinggi ke atas. Untungnya mereka tangkas 

sekali, sehingga tidak terlempar dari punggung 

kuda.

"Siapa kau?! Mengapa menghadang perja-

lanan kami?!" bentak Perempuan Bercadar Biru 

pada seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang 

terbungkus pakaian merah-merah yang keluar 

dan dalam tanah.

Laki-laki berpakaian merah-merah itu ter-

senyum sinis. Rambutnya yang juga berwarna 

merah menyala dibiarkan riap-riapan menutupi 

sebagian wajahnya yang garang. Matanya bulat 

memerah dengan hidung besar. Sementara alis 

mata, kumis, dan jenggot berwarna merah menya-

la. Usia sebenarnya sudah sangat tua. Namun 

anehnya tubuhnya masih nampak kekar seperti 

orang baru berumur setengah baya.

"Kau..., kaukah Manusia Rambut Merah 

dari Hutan Sawo Kembar?" tebak Perempuan Ber-

cadar Biru setelah mengenali ciri-ciri orang yang 

menghadang itu. Dan hatinya kaget bukan main 

melihat siapa sebenarnya tokoh sesat ini.

"Ha ha ha...! Syukur kalau kau masih in-

gat, Perempuan Bercadar Biru. Berhubung aku 

tidak berurusan denganmu, sebaiknya kau menyingkir saja! Aku ada sedikit urusan dengan mu-

ridmu yang cantik ini," ujar Manusia Rambut Me-

rah angkuh sambil mengerling ke arah Ayuni 

dengan matanya yang nakal.

Ayuni bergidik melihat pandangan mata 

Manusia Rambut Merah. Biarpun belum berpen-

galaman di dunia persilatan, namun naluri kewa-

nitaannya menangkap kalau orang di hadapannya 

punya niat tidak baik.

"Siapa peduli?! Aku tidak pernah punya 

urusan denganmu, Badut Merah!" bentak Ayuni 

ketus.

"Aku memang tidak pernah punya urusan 

denganmu, Cah Ayu. Tapi aku sendiri yang akan 

mengurusmu. Ha ha ha...!"

Perempuan Bercadar Biru menggeretakkan 

gerahamnya pertanda amarah yang tengah bergo-

lak. Ia memang belum pernah berurusan dengan 

Manusia Rambut Merah yang menjadi momok 

dunia persilatan beberapa puluh tahun lalu. Na-

mun melihat muridnya hendak diganggu, pe-

dangnya pun cepat diloloskan. Walaupun, sebe-

narnya diam-diam sempat terkejut juga menden-

gar nama besar Manusia Rambut Merah!

"Kunyuk Merah besar kepala! Apa kau be-

lum pernah merasakan tajamnya pedangku, he?! 

Nih, rasakan kalau kau ingin menjilat tajamnya 

pedangku!" bentak Ayuni sambil mencabut pe-

dangnya. Seketika tubuhnya melompat ringan, 

langsung menyerang Manusia Rambut Merah.

"Aku paling senang berurusan dengan ga


dis galak sepertimu, Cah Ayu. Cuma aku sangsi, 

apa kau juga bisa galak di atas ranjang?!" leceh 

Manusia Rambut Merah seraya berkelit ke samp-

ing menghindari serangan.

"Bajingaaan...! Kau terlalu merendahkan-

ku, Kunyuk Merah!" teriak Ayuni kalap. Samba-

ran-sambaran pedangnya semakin dipercepat, 

mengurung Manusia Rambut Merah.

Laki-laki berpakaian merah-merah tokoh 

sesat dunia persilatan ini tersenyum dingin. Se-

rangan-serangan Ayuni dilayani hanya dengan 

meliuk-liukkan tubuhnya. Malah begitu ada ke-

sempatan, tubuhnya menerobos pertahanan Ayu-

ni, dengan tangan siap menotok Lalu....

Tukkk!

"Aaakh...!"

Ayuni memekik kecil begitu jari-jari tangan 

Manusia Rambut Merah mendarat di punggung-

nya. Dan seketika itu juga, tubuhnya yang ramp-

ing jatuh berdebam ke tanah tanpa dapat dige-

rakkan lagi.

Perempuan Bercadar Biru kaget bukan 

main. Sungguh tidak disangka sama sekali kalau 

muridnya akan sedemikian mudahnya diroboh-

kan. Ia sendiri belum tentu mampu merobohkan 

dalam waktu sesingkat itu! Tapi Manusia Rambut 

Merah?

"Bedebah! Kalau kau mengganggu murid-

ku, demi Tuhan aku akan mengadu nyawa den-

ganmu!" teriak Perempuan Bercadar Biru kalap.

"Ha ha ha...! Sudah kubilang, aku tidak


punya urusan denganmu. Aku hanya mempunyai 

urusan dengan muridmu yang cantik ini. Sekali-

gus, untuk menyempurnakan ilmu 'Wejangan Ib-

lis'-ku!" ujar Manusia Rambut Merah seraya ber-

kelebat, mendekati tubuh Ayuni. Namun sayang-

nya, Perempuan Bercadar Biru telah terlebih da-

hulu mendekatinya.

Manusia Rambut Merah geram bukan 

main. Dan sebelum gadis itu dibebaskan dari to-

tokan, Manusia Rambut Merah cepat lancarkan 

pukulan 'Kelabang Geni' dengan tangan menghen-

tak. 

Wessss!

Seketika seleret sinar merah dari kedua te-

lapak tangan Manusia Rambut Merah menyambar 

ganas ke tubuh Perempuan Bercadar Biru.

Perempuan Bercadar Biru mengurungkan 

niatnya. Tak mungkin niatnya diteruskan kalau 

masih ingin berumur panjang. Dan begitu melihat 

seleret sinar merah dari kedua telapak tangan 

Manusia Rambut Merah, tubuhnya langsung ber-

kelit ke samping kiri sambil menghentakkan ke-

dua tangannya, memapaki pukulan 'Kelabang 

Geni'.

Wesss!

Blarrr...!

Bukan main hebatnya akibat pertemuan 

dua tenaga dalam tingkat tinggi itu. Tanah di se-

kitar kancah pertarungan bergetar hebat. Pohon-

pohon dalam jarak sepuluh tombak bergoyang-

goyang terkena sambaran angin yang keluar dari


benturan tadi. Sementara itu tubuh Perempuan 

Bercadar Biru terhuyung-huyung beberapa lang-

kah ke belakang. Cadar biru penutup wajahnya 

sudah diremasi cairan berwarna merah darah. Je-

las, tokoh sakti dari Pulau Karimunjawa itu terlu-

ka dalam.

Namun tidak demikian halnya Manusia 

Rambut Merah. Tokoh sesat dari Hutan Sawo 

Kembar itu hanya sedikit bergetar, namun sama 

sekali tidak membahayakan bagi keselamatan ji-

wanya.

"Huh! Untung saja aku tidak menghendaki 

nyawamu, Perempuan Bercadar Biru! Kalau saja 

aku mau, apa kau masih bisa menghirup napas 

seperti ini? Tapi berhubung kau telah lancang be-

rani mencampuri urusanku, terpaksa sekali aku 

harus menghukummu. Biarlah kau jadi mangsa 

binatang-binatang buas hutan ini," ejek Manusia 

Rambut Merah, dingin menggetarkan.

Perempuan Bercadar Biru memasang ku-

da-kudanya kuat-kuat, menunggu jurus apa lagi 

yang akan dikeluarkan Manusia Rambut Merah.

Sementara, Manusia Rambut Merah kini 

menyilangkan kedua tangannya ke depan dada. 

Kedua kakinya dirapatkan dalam-dalam. Kemu-

dian tiba-tiba saja tubuhnya berputar cepat seka-

li, seperti putaran gasing. Dan ketika tanah mem-

buncah tinggi ke udara, tubuh Manusia Rambut 

Merah pun amblas ke dalam tanah!

Perempuan Bercadar Biru semakin me-

ningkatkan kewaspadaan. Ia tidak ingin bertindak


ceroboh seperti tadi. Ia lebih senang menunggu, 

apa yang akan dilakukan musuhnya. Dan dalam 

beberapa kejap kemudian...

"Auuww...!"

Tiba-tiba saja Perempuan Bercadar Biru 

memekik kaget. Kedua kakinya mendadak terasa 

seperti sedang dibetot seseorang dari dalam ta-

nah.

Perempuan Bercadar Biru jadi kebingun-

gan. Perlahan-lahan tubuhnya semakin melesak 

ke dalam tanah. Cepat tenaga dalamnya dikerah-

kan untuk melepaskan betotan. Namun, rupanya 

sia-sia saja. Bukan saja ia tak mampu mele-

paskan diri dari betotan, tapi juga merasakan 

tangan Manusia Rambut Merah telah menotoknya 

dari dalam tanah!

"Ah...!" pekik Perempuan Bercadar Biru ka-

get bukan alang kepalang. Tiba-tiba saja sekujur 

tubuhnya lemas tak dapat; digerakkan sama se-

kali!

"Ha ha ha...! Sekarang rasakan hukuman-

ku, Perempuan Usil!" leceh Manusia Rambut Me-

rah masih dari dalam tanah. Suaranya mengge-

ma, menggetarkan tanah di sekitarnya.

Tidak lama kemudian, Manusia Rambut 

Merah pun kembali keluar dari dalam tanah yang 

tiba-tiba membuncah tinggi ke udara. Setelah 

berputaran beberapa kali, kakinya mendarat ma-

nis di dekat tubuh Ayuni.

"Bajingan...! Jangan ganggu muridku!" te-

riak Perempuan Bercadar Biru yang terpendam


hingga sebatas leher, tanpa bisa bergerak.

"Jangan banyak bacot! Urus saja dirimu 

baik-baik!" dengus Manusia Rambut Merah sam-

bil mengangkat tubuh Ayuni ke dalam pondon-

gannya.

"Demi Tuhan, aku akan mengejarmu sam-

pai ke ujung akhirat pun kalau kau berani me-

nyentuh muridku!" geram Perempuan Bercadar 

Biru garang.

"Lakukanlah! Lakukanlah, kalau kau me-

mang bisa!" tantang Manusia Rambut Merah me-

nyakitkan.

Dalam pondongan tokoh sesat itu, Ayuni 

pun menjerit-jerit kalap. Namun hanya sebentar

saja, karena Manusia Rambut Merah buru-buru 

menotok lehernya. Sehingga, gadis itu tidak dapat 

berteriak-teriak lagi.

"Silakan menikmati hukumanku, Perem-

puan Bercadar Biru! Selamat tinggal!"

Manusia Rambut Merah cepat berkelebat 

meninggalkan tempat itu. Gerakan kedua kakinya 

ringan sekali. Dan dalam sekejap saja, bayangan-

nya lenyap di antara rimbunnya hutan di depan 

sana.

Sementara itu Perempuan Bercadar Biru 

itu terus menyumpah-nyumpah penuh kemara-

han. Hampir sekujur tubuhnya yang tertotok di-

pendam dalam tanah, hingga sampai ke pangkal 

leher.

***


Manusia Rambut Merah terus berlari ke 

arah utara. Gerakannya ringan sekali seperti ka-

pas, meski tengah memondong tubuh Ayuni. Na-

mun anehnya kali ini, gadis itu tidak dilarikan ke 

tempat persembunyiannya di Hutan Sawo Kem-

bar, melainkan ke sebuah gua tersembunyi di 

pantai utara.

Jarak yang ditempuh sebenarnya cukup 

jauh. Namun dengan ilmu meringankan tubuhnya 

yang sudah mencapai tingkat tinggi, Manusia 

Rambut Merah dapat menempuh perjalanan 

hanya dalam waktu setengah malam saja. Kini 

mulut gua itu sudah terlihat oleh matanya, ter-

samar dari tepi pantai. Letaknya di atas lereng 

sebelah barat batu karang raksasa berbentuk se-

perti pedang. Agaknya sulit sekali bagi manusia 

biasa mendaki lereng bukit batu karang itu. Di 

samping letaknya yang condong ke utara, batu 

karang itu juga licin sekali.

Sejenak Manusia Rambut Merah berdiri 

mematung di bawah batu karang itu. Pandangan 

matanya tajam mengamati keadaan sekeliling, se-

perti takut kelihatan orang lain. Setelah dirasanya 

aman, baru tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar 

itu meloncat ke batu karang.

"Hup!"

Sekali sentak saja, Manusia Rambut Merah 

dapat mencapai dinding sebelah barat batu ka-

rang. Dan sekarang, nampaklah mulut gua. Tidak 

terlalu besar memang. Hanya pas untuk satu


orang saja. Itu saja sempit sekali bagi Manusia 

Rambut Merah yang memiliki badan tinggi besar.

"Guru...! Aku datang memenuhi panggi-

lanmu, Guru. Ini adalah perawan suci yang 

keempat puluh untukmu...," desis Manusia Ram-

but Merah.

Tak ada sahutan. Hanya dinding-dinding 

batu karang itu bergetar-getar dan dalam, lalu 

perlahan-lahan terbuka lebar.

"Kau mendengar suaraku, Guru? Terima 

kasih," lanjut Manusia Rambut Merah lagi, masih 

dengan desisan.

Aneh memang bila kedua kaki tokoh sesat 

ini gemetar kala masuk ke dalam gua. Entah, 

mengapa. Mula-mula jalan masuk gua datar saja. 

Tapi dua tombak kemudian, jalan telah menukik 

tajam ke bawah. Manusia Rambut Merah melon-

gokkan kepalanya ke bawah. Tampak jalanan gua 

itu berkelok-kelok ke bawah. Dan langkahnya 

pun kembali diteruskan. Dan, sampailah ia di sa-

tu tempat datar yang cukup luas. Dinding-dinding 

batu gua itu bukan lagi terbuat dari batu karang, 

tapi dari tanah merah biasa. Maka bisa disimpul-

kan kalau gua itu berhubungan dengan daratan.

Keadaan di sekitar gua cukup menyeram-

kan. Tak ada penerangan sama sekali, sehingga 

suasana tampak gelap. Manusia Rambut Merah 

memandang ke satu tempat dengan sinar mata 

aneh. Entah siapa yang sedang ditunggu tokoh 

sesat itu. Orang yang tadi dipanggil guru pun ti-

dak menampakkan batang hidungnya.


Drrr...!

Brolll...!

Namun tiba-tiba saja tanah di dalam gua 

itu bergetar hebat. Bersamaan dengan itu, me-

nyembul satu sosok berpakaian putih-putih dari 

permukaan tanah.

Begitu menginjakkan kakinya di tanah, 

tampak jelas kalau sosok itu adalah seorang laki-

laki sangat tua. Usianya sulit sekali ditafsirkan. 

Rambutnya yang panjang berwarna putih telah 

rontok di sana sini di makan usia. Wajahnya 

mengerikan sekali. Kedua matanya melesak ke 

dalam tanpa hidung. Kedua bibirnya tipis sekali, 

hampir tidak kelihatan. Tubuhnya pun kurus, 

hanya tinggal kulit pembalut tulang.

Pada zamannya, tokoh tua ini sangat dita-

kuti dalam rimba persilatan. Julukannya pun 

sangat mengerikan. Jerangkong Hidup! Dan kini, 

laki-laki bertubuh kurus kering itu membuka ma-

tanya yang melesak ke dalam perlahan-lahan. Ta-

jam sekali pandangannya, menandakan tenaga 

dalamnya sudah mencapai tingkat yang sangat 

tinggi.

"Kau tahu, mengapa aku menyuruhmu 

membawa korbanku kemari, Jarkasi?" tanya Je-

rangkong Hidup langsung memanggil nama asli 

Manusia Rambut Merah. Suaranya menggema, 

seperti suara dari dalam alam gaib. Dan anehnya 

lagi, kedua bibirnya yang tipis sama sekali tidak 

bergerak-gerak saat berbicara.

"Belum, Guru," sahut Manusia Rambut


Merah alias Jarkasi.

"Bodoh! Apa kau lupa, malam apa sekarang 

ini?" bentak Jerangkong Hidup kasar.

"Ma..., malam Jumat Kliwon, Guru," jawab 

Manusia Rambut Merah, gugup.

"Kalau sudah tahu, mengapa kau tidak ce-

pat membawa korbanmu itu kemari?!"

"Ba.., baik, Guru."

Manusia Rambut Merah cepat menurun-

kan tubuh Ayuni dari pondongannya. Dan dile-

takkan tubuh gadis yang tertotok itu di atas batu 

pipih tak jauh dan Jerangkong Hidup.

Ayuni hanya bergidik ngeri tanpa bisa ber-

teriak, apalagi bergerak. Sekujur tubuhnya diba-

sahi keringat dingin. Ia tidak tahu, nasib apa 

yang akan dialaminya nanti. Semuanya serba 

menakutkan, serba menegangkan. Tidak tahu la-

gi, apa yang harus diperbuatnya. Ia hanya bisa 

menunggu datangnya waktu.

"Cepat lakukan upacara!" perintah Jerang-

kong Hidup, tegas.

"Baik, Guru," sahut Jarkasi, patuh.

Manusia Rambut Merah duduk bersila di 

hadapan gurunya yang juga segera bersila. Kedua 

matanya terpejam. Bibirnya berkemik-kemik me-

lantunkan sebaris mantra.

Sementara Jerangkong Hidup memperhati-

kan muridnya seksama, Kedua bibirnya juga ber-

kemik-kemik, membacakan mantra. Entah dari 

mana, perlahan-lahan asap hitam tebal mulai 

bergulung-gulung di hadapan Jerangkong Hidup


dan muridnya. Beberapa kejap kemudian, asap 

hitam tebal itu pun mulai membentuk sesosok te-

ramat mengerikan! Sepasang matanya berwarna 

merah saga. Hidungnya lancip memanjang. Kedua 

bibirnya berwarna merah menyala. Giginya tam-

pak putih berkilau dengan kedua taring panjang. 

Tak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang kurus 

dan perut buncit. Makhluk itu adalah jelmaan da-

ri alam kegelapan yang menjadi pujaan Jerang-

kong Hidup dan muridnya.

Ayuni bergidik ngeri dan memekik dalam 

hati. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat 

nyali gadis itu menciut. Untungnya ia masih ta-

bah. Hanya matanya saja yang bergerak-gerak liar 

mencari jalan keluar.

"Ia ingin meminjam jazadmu, Jarkasi. Ber-

siap-siaplah menerima kehadirannya! Nanti kau 

akan mendapatkan ilmu 'Wejangan Iblis' yang kau 

idam-idamkan itu," jelas Jerangkong Hidup kem-

bali membuka suaranya.

Kali ini matanya tidak lagi dipejamkan. 

Namun kedua bibirnya yang tipis itu terus saja 

berkemik-kemik.

"Baik, Guru. Aku sudah siap."

Manusia Rambut Merah tetap diam dalam 

duduk semedinya. Kedua matanya pun tetap ter-

tutup rapat-rapat, menunggu makhluk yang men-

jadi pujaannya masuk ke dalam raganya.

Slep! 

Bayangan makhluk hitam itu cepat sekali 

masuk ke dalam raga Manusia Rambut Merah.


Seketika itu juga, tubuh tokoh sesat ini bergetar 

hebat. Kedua matanya yang terpejam kontan ter-

belalak liar memandang tubuh Ayuni. Kalau saja 

gadis itu tidak dalam keadaan tertotok, sudah 

pasti akan menjerit ngeri. Wajahnya pucat bagai 

mayat. Bibirnya bergetar-getar membayangkan 

kengerian luar biasa!

Perlahan Manusia Rambut Merah yang su-

dah menyatu dengan jasad makhluk hitam yang 

sangat mengerikan itu, mulai berjalan mendekati 

Ayuni. Tak terasa gadis itu mulai meneteskan air 

mata saking tidak kuatnya melihat bahaya maut 

yang akan datang menjemput.

Kali ini suasana tegang dalam gua benar-

benar sudah mencapai puncaknya. Ayuni tak ta-

han lagi. Ia langsung tak sadarkan diri saat Ma-

nusia Rambut Merah mulai bergerak menyentuh 

tubuhnya. Menanggalkan pakaiannya, dan...

Tak ada satu orang pun yang dapat menye-

lamatkan Ayuni dari cengkeraman kedua manu-

sia pemuja iblis itu.

Korban terakhir telah terlaksana. Suara 

tawa sumbang Jerangkong Hidup dan muridnya 

terdengar susul-menyusul, seperti nyanyian pu-

luhan iblis yang sedang asyik berpesta pora di da-

lam kegelapan!

***

Malam baru saja berlalu. Kini alam maya-

pada sepenuhnya dikuasai kegelapan. Rindang


nya pepohonan dan cahaya bulan yang tersuruk-

suruk di ufuk barat, tak mampu menerangi jagat 

raya ini.

Sementara dari arah timur ujung jalan di 

luar Hutan Sawo Kembar, terlihat seorang pemu-

da berpakaian rompi dan celana bersisik warna 

putih keperakan tengah berlari kencang ke arah 

selatan. Kini rambut pemuda itu tidak lagi dikun-

cir dua ke belakang, melainkan dibiarkan tergerai 

di bahu. Tubuhnya yang tinggi tegap bergerak 

ringan sekali, menyusuri jalanan. Siapa lagi pe-

muda tampan itu kalau bukan murid tunggal 

Eyang Begawan Kamasetyo. Soma yang dijuluki 

orang Siluman Ular Putih.

Saat Siluman Ular Putih tengah asyik me-

lenggang di tengah jalan, tiba-tiba saja....

Tak!

"Aahh...!"

Soma memekik kaget, ketika kakinya me-

nendang sesuatu. Hampir saja pemuda itu ter-

sungkur, kalau saja tidak cepat meloncat tinggi 

ke udara, lalu mendarat manis di tanah. Namun 

belum sempat hilang rasa kagetnya....

"Keparat! Siapa lagi yang usil mengganggu-

ku, he?!"

Tiba-tiba pemuda itu kembali dikejutkan 

oleh bentakan seseorang.

"Eh, eh...! Siapa lagi ini? Kok, kedengaran-

nya seperti sedang marah-marah padaku?" Soma 

celingukan ke sana kemari, namun tidak mene-

mukan siapa-siapa.


"Anjing kurap budukan! Matamu ditaruh di 

mana, he?! Apa kau tidak lihat?!" bentak suara 

itu lagi kalap.

Jelas, suara bentakan barusan di sekitar 

sini. Soma mengedarkan pandangannya ke seki-

tarnya sambil garuk-garuk kepala. Dan tiba-tiba 

saja pandangan matanya tertumbuk pada kepala 

seseorang yang tertutup kain cadar biru, seperti 

tergolek di tengah jalan.

"Ha?! Apa itu? Kau.... Kau...! Set..., se-

taaaann...!" pekik Soma kaget bukan alang kepa-

lang.

Seketika itu juga sambil sesekali menoleh 

ke belakang si pemuda langsung lari tunggang-

langgang meninggalkan tempat itu. Mulutnya tak 

henti-hentinya berteriak-teriak, persis orang ke-

surupan. Watak kependekarannya lenyap, entah 

ke mana. Yang jelas ia betul-betul terkejut.

"Bocah edan! Mengapa kau lari?! Aku bu-

kan setan," teriak kepala yang tergolek kebingun-

gan sendiri melihat orang yang menendangnya 

tadi kabur.

Mendengar teriakan itu, Soma menghenti-

kan larinya. Hatinya jadi bimbang. Dan dengan 

hati berdebar, kepalanya dipaksakan untuk me-

noleh.

"Bocah edan! Aku manusia sepertimu. To-

longlah aku, Anak Muda!" pinta orang itu. Dia 

khawatir, kalau Soma benar-benar akan men-

ganggapnya hantu dan akan meninggalkannya. 

"Aku ini manusia biasa sepertimu. Seseorang te


lah menguburku macam begini, tahu?"

"Jadi..., jadi? Kau..., kau manusia? Bukan 

setan?" 

"Bukan!"

"Ba..., baik! Kalau begitu aku akan meno-

longmu...," kali ini Soma tidak berlagak bodoh la-

gi. Dia kasihan juga pada orang yang dipendam 

itu. "Apa yang harus kulakukan untukmu, 

Mbakyu. Eh...?! Bagaimana ya, aku harus me-

manggilmu?"

"Jangan cerewet! Cepat gali tanah ini!" ben-

tak orang yang ternyata terpendam itu kesal.

"Aduuuh...!" Soma garuk-garuk kepala.

"Jangan garuk-garuk kepala saja! Ayo, le-

kas gali tanah ini!" bentak orang terpendam, tak 

sabar.

"Tapi, nanti kau harus buka cadarmu, ya! 

Aku ingin lihat, kau pantas mendampingiku atau 

tidak?" kata Soma mulai kambuh penyakit usil-

nya.

Orang yang ternyata seorang wanita itu 

mengedumel, tak menyahuti ocehan Soma. Hanya 

matanya saja yang membelalak lebar.

Soma tahu, wanita itu malas meladeni oce-

hannya. Namun ia tidak peduli. Mulutnya terus 

saja nyerocos seperti nenek-nenek kehilangan si-

rih.

"Cuma begini saja kau tak bisa mengata-

sinya. Lantas, buat apa bawa-bawa pedang sega-

la? Oh, ya? Kulihat tadi ada dua bilah pedang ter-

geletak di sana. Kau pasti seorang pendekar. Tapi,


mengapa kau tak bisa keluar dari tempat ini? 

Hm.... Jangan-jangan kau sedang bertelur di da-

lam tanah? Lihat nih, jurus apa yang akan kuke-

luarkan!"

Siluman Ular Putih tiba-tiba menggerakkan 

kedua tangannya, seperti hendak meraup. Gera-

kan kedua tangannya kelihatan seperti orang 

main-main. Namun anehnya, begitu kedua tan-

gannya menyentuh tanah, seketika itu juga tanah 

langsung berhamburan ke udara.

"Augh...!"

Dan bersamaan tanah yang berhamburan 

ke udara, tampak sesosok tubuh ramping berpa-

kaian biru tua ikut terbawa keluar. Orang itu 

memekik lirih kala tubuhnya membentur tanah.

Soma tidak mempedulikannya. Pemuda ini 

tengah asyik mengebut-ngebutkan kedua tangan-

nya dari kotoran tanah. Sedang matanya mem-

perhatikan kubangan tanah, tempat wanita ber-

pakaian biru tua itu tadi terkubur. Senyumnya 

tampak terkembang di bibir. Dan setelah ditung-

gu beberapa saat lamanya, Siluman Ular Putih 

jadi mengernyitkan dahinya karena tidak men-

dengar suara apa pun dari orang yang baru dito-

longnya.

"Dasar manusia tak tahu diri! Setelah dito-

long langsung kabur! Huh!" rutuk Soma.

"Aku tidak kabur, tahu?!"

"Hei, kau dimana...? Ya, ampun! Kenapa 

kau tiduran di situ?" teriak Soma menghardik.

"Aku tertotok, tahu!" kata wanita itu kesal.


"Oh oh oh...!" Soma melenguh mirip tikus 

kena cuka. "Maaf..., maaf! Aku tidak mengira ka-

lau kau tertotok. Pantas saja kau hanya tiduran 

saja."

"Jangan banyak bacot! Ayo, cepat lepaskan 

totokanku!" hardik wanita ini tak sabar. 

"Enak saja! Memangnya aku budakmu. 

Buka dulu cadarmu. Baru aku melepaskan toto-

kanmu," goda Soma.

"Bocah edan! Bagaimana aku bisa melepas 

kain penutup wajahku, kalau aku masih dalam 

keadaan tertotok begini!"

"Oh iya, ya? Hampir saja aku lupa!"Soma 

cengar-cengir mirip orang sinting. Namun, toh 

akhirnya mau juga membukakan totokan wanita 

itu. "Sudah sekarang cepat buka cadarmu! Aku 

ingin lihat, cantikkah wajah yang ditutup cadar 

itu!"

Perempuan Bercadar Biru tidak mempedu-

likan ocehan Soma. Ia hanya menggerak-

gerakkan tangan dan kakinya setelah hampir se-

tengah hari tubuhnya tak dapat digerakkan di da-

lam tanah.

"Lambat amat sih! Seperti pesinden saja! 

Ayo, cepat buka cadarmu!" desak Soma, tak sa-

bar.

Perempuan Bercadar Biru kesal sekali. Dan 

mendadak tangan kanannya berkelebat cepat, 

menampar pipi pemuda nyinyir di hadapannya.

Plak!

Plak!


Dua kali pipi Soma terkena tamparan tan-

gan mungil Perempuan Bercadar Biru, membuat-

nya memaki tak karuan. Ia tadi menyangka Pe-

rempuan Bercadar Biru itu akan menuruti kein-

ginannya membuka cadar. Akan tetapi, yang di-

dapat malah tamparan keras pada pipinya.

"Huh! Orang macam apa ini! Sudah dito-

long, pakai main tampar lagi!" gerutu Soma. 

"Diam kau!"

"Kau yang diam, perempuan tak tahu diri!" 

balas Soma kesal. "Kenapa kau tampar pipiku?!"

"Kau menyebalkan sekali, Anak Muda!"

"Baik, baik! Mungkin kau benar. Aku me-

mang menyebalkan. Tapi, aku mau tanya, sung-

guh-sungguh. Mengapa kau berendam di dalam 

tanah tadi? Apa kau sedang mencari ilmu sakti?" 

tanya Soma ingin tahu.

"Kau cerewet sekali! Aku tak sudi meladeni 

omonganmu. Sekarang juga, aku akan menyela-

matkan muridku. Selamat tinggal, dan terima ka-

sih!"

"Hei, tunggu dulu!" tahan Soma, cepat 

memegang lengan wanita itu sebelum sempat 

berkelebat pergi.

"Apalagi?!"

"Jangan begitu, ah! Kau kan belum menja-

wab pertanyaanku. Pertama, kau belum menceri-

takan mengapa tadi terkubur seperti itu? Kedua, 

mengapa kau tidak mengatakan padaku, siapa 

orang yang telah menculik muridku? Ketiga, kau 

belum mau membuka cadarmu? Keempat, kau


belum me...."

"Sudah, sudah! Pusing aku mendengar 

ocehanmu!" penggal Perempuan Bercadar Biru 

memberontak dari cengkeraman tangan Soma ka-

sar.

"Ah! Kau tidak sabaran amat, sih?!" goda 

Soma. "Apa kau takut pada aku?"

Perempuan Bercadar Biru mendengus kes-

al. "Kau mau dengar ceritaku apa tidak?!"

"Oh...! Ya, ya...! Cepat katakan, siapa yang 

telah mencelakakanmu dan muridmu itu!"

Perempuan Bercadar Biru tidak langsung 

menjawab pertanyaan Soma. Ia sebenarnya kesal 

sekali melihat tingkah pemuda ini. Namun toh 

akhirnya mulutnya tersenyum juga melihat ting-

kah pemuda yang ugal-ugalan ini.

"Manusia Rambut Merah...," desis Perem-

puan Bercadar Biru penuh kemarahan.

"Manusia Rambut Merah?!" ulang Soma. 

Matanya kontan terbeliak lebar.

"Ya. Dialah yang telah mencelakakanku 

dan menculik muridku!"

"Hm...!"

Soma menggeram penuh kemarahan. Gi-

ginya gemeletukan. Rahangnya bertonjolan me-

nahan amarah menggelegak.

"Sudah, ya! Selamat tinggal! Dan, terima 

kasih atas bantuanmu tadi!"

Sehabis berkata begitu, tanpa banyak ca-

kap lagi Perempuan Bercadar Biru langsung 

menggenjot kedua kakinya meninggalkan tempat


ini.

Soma sendiri masih asyik dengan pikiran-

nya sampai lupa kalau wanita itu telah jauh me-

ninggalkan dirinya.

"Eh..., tunggu dulu! Kau belum membuka 

cadarmu...!" teriak Soma, begitu teringat Perem-

puan Bercadar Biru lagi. Namun sayangnya wani-

ta itu sudah lenyap dari pandangan matanya.

Soma memaki panjang pendek. Lalu den-

gan satu tekad mantap Siluman Ular Putih pun 

cepat mengikuti Perempuan Bercadar Biru. Kare-

na, yakin kalau orang itu pasti akan mencari Ma-

nusia Rambut Merah di sarangnya, di Hutan Sa-

wo Kembar.

Dengan sekali hentak saja, si pemuda telah 

jauh melesat ke depan. Ia terus berlari, menyusu-

ri hutan yang cukup lebat itu.

***

Soma menggeram marah. Di Hutan Sawo 

Kembat ternyata tidak ditemukan siapa-siapa, ke-

cuali tanah di sekitar hutan itu yang hancur be-

rantakan. Siluman Ular Putih terus memutar 

otaknya. Mungkinkah Manusia Rambut Merah ti-

dak membawa calon korbannya kemari?

"Ah, keparat! Bisa juga tikus merah itu ti-

dak membawa calon korbannya kemari? Lantas, 

ke manakah calon korbannya dibawa?" Soma ga-

ruk-garuk kepala, coba berpikir keras. 

Si pemuda penasaran sekali. Tanah di seki


tar hutan itu berantakan. Bisa jadi Manusia 

Rambut Merah membawa calon korbannya ke da-

lam tanah. Bukankah ia dapat amblas bumi?

Soma cengar-cengir mirip tikus kena cuka. 

Otaknya yang cerdik segera bekerja. Namun be-

lum sempat niatnya terlaksana, tiba-tiba saja 

pendengarannya yang tajam mendengar gemere-

sek daun-daun kering terinjak kaki seseorang. 

Dengan gerakan cepat, tubuhnya menyelinap ke 

balik sebuah pohon.

"Ah..., ternyata dia!" gumam Soma dalam 

hati.

Di hadapan Siluman Ular Putih saat itu 

terlihat seorang perempuan berpakaian biru tua 

dengan wajah tertutup cadar warna biru tua pula. 

Kakinya melangkah hati-hati dengan sebilah pe-

dang di tangan.

Soma cengar-cengir di tempat persembu-

nyiannya. Dengan menggunakan ilmu meringan-

kan tubuh 'Menjangan Kencana', pemuda ini tadi 

dapat mendahului Perempuan Bercadar Biru.

"Huaaa ha ha...! Apa yang kau cari, Tikus 

Pemalu? Mengapa kau tidak membuka cadarmu? 

Ayo, cepat buka cadarmu! Kau masih hutang pa-

daku!" teriak Soma lantang di tempat persembu-

nyiannya. Suaranya membahana memenuhi Hu-

tan Sawo Kembar.

Perempuan Bercadar Biru celingukan. Ia 

seperti mengenal suara pemuda ceriwis itu.

"Ah..., tak mungkin! Mana mungkin pemu-

da sinting itu dapat mendahului ke tempat ini?"


gumam Perempuan Bercadar Biru, yakin. Meski 

sudah mengenal suara itu, namun sikapnya tetap 

waspada kalau-kalau si empunya suara adalah 

orang yang menculik muridnya.

"Huaaa ha ha,..! Baru kali ini kulihat orang 

setolol kau, Perempuan Bercadar Biru? Apa kau 

ingin buang hajat di tempat ini?" teriak Soma lagi 

lantang.

Perempuan Bercadar Biru mengedarkan 

pandangan ke segenap penjuru. Gagang pedang-

nya tergenggam erat-erat, siap melindungi diri da-

ri serangan musuh

"Anjing kurap! Lekas tampakkan hidung-

mu!" bentak Perempuan Bercadar Biru penuh 

kemarahan.

"Ah... Kau ingin melihat hidungku? Tidak, 

ah! Aku malu. Aku harus pinjam cadarmu dulu. 

Bukankah kau masih hutang padaku? Ya ya ya...! 

Kau masih hutang padaku. Sekarang juga, aku 

ingin kau membayarnya kontan. Tapi, sayangnya 

aku bukan lintah darat. Aku tak ingin menagih-

mu berikut bunganya."

Perempuan Bercadar Biru gemas bukan 

main. Kini si empunya suara mulai dikenali, jelas 

suara itu tidak lain milik pemuda nyinyir yang 

menolongnya tadi. Namun belum sempat bertin-

dak lebih lanjut, tiba-tiba saja pendengarannya 

yang sangat terlatih mendengar angin berkesiur 

menyambar cadar penutup wajahnya. Dan belum 

sempat berkelit menghindar, tahu-tahu cadar bi-

ru penutup wajahnya telah tergenggam, di tangan


pemuda penolongnya.

"Ah...! Ternyata kau sudah tua, Perem-

puan! Tapi tak apa-apa. Wajahmu masih lumayan 

kok, masih cantik. Ha ha ha...!"

Bukan main kagetnya Perempuan Bercadar 

Biru. Sungguh tidak disangka gerakan pemuda 

penolongnya begitu cepat, melebihi kecepatannya. 

Buktinya, dalam satu gebrakan saja ia telah kehi-

langan cadar penutup wajahnya. Kalau saja pe-

muda itu bermaksud jahat, bukan mustahil nya-

wanyalah yang melayang.

Tapi, Perempuan Bercadar Biru tak meng-

hiraukan itu semua. Kemarahan telah membuat 

tokoh dari Pulau Karimunjawa itu gusar bukan 

main. Wajahnya yang cantik seperti wajah seo-

rang gadis berusia tiga puluh tahun nampak ke-

merah-merahan saking gusarnya. Sementara bi-

birnya bergetar-getar.

"Kau.... Kau...! Jahanam! Kau harus mem-

bayar mahal atas kekurangajaranmu ini, Bocah!" 

bentak Perempuan Bercadar Biru penuh kemara-

han. Seketika tubuhnya berkelebat. Pedang di 

tangan kanannya cepat menyambar-nyambar ga-

nas menyerang Soma.

"Pengibul! Kau..., kau tukang ngibul! Kau 

sendiri sudah berjanji akan melepaskan cadarmu 

kalau aku melepaskan totokanku tadi. Tapi, men-

gapa kau tak mengakuinya? Ah, dasar pengibul!" 

teriak Soma lantang sembari berloncatan ke sana 

kemari menghindari sambaran-sambaran pedang. 

Gerakan kedua kakinya asal-asalan saja, seperti



bukan gerakan seorang ahli silat. Namun aneh-

nya, sambaran-sambaran pedang Perempuan 

Bercadar Biru itu hanya menemui tempat kosong. 

"Cepat kembalikan cadarku! Atau kupeng-

gal batang lehermu, Bocah!" bentak Perempuan 

Bercadar Biru, berapi-api.

"Ah, dasar pengibul! Curang! Curang!" te-

riak Soma, terus menghindari.

Perempuan Bercadar Biru tak mempeduli-

kan ocehan Soma. Pemuda penolongnya terus sa-

ja didesak dengan serangan ganas. Namun aneh-

nya serangan-serangannya selalu dapat dihindari 

dengan mudah. Padahal jurus-jurus andalannya 

sudah dikeluarkan.

"Wah wah wah...! Mengapa urusannya jadi 

begini?! Apa salahku, he?! Dasar, Perempuan Tu-

kang Kibul!" oceh Soma seenak perut.

"Pemuda sinting tak tahu adat! Cepat kem-

balikan cadarku! Kalau tidak aku akan mengadu 

nyawa denganmu!" teriak Perempuan Bercadar 

Biru.

"Sabar dikit kenapa, sih? Orang sabar itu 

disayang Tuhan lho?" ledek Soma.

Perempuan Bercadar Biru menggeram ma-

rah. Nampak kesabarannya sudah habis. Dan pe-

dang di tangan kanannya siap kembali menyerang 

Soma dengan jurus-jurus andalan.

"Heit! Tunggu! Daripada jadi biang penyakit 

sawan, lebih baik kukembalikan saja. Nih! Teri-

malah cadar jelekmu ini!"

Soma melemparkan cadar itu asal-asalan


saja sembari menjejakkan kaki kanannya me-

ninggalkan tempat itu.

Perempuan Bercadar Biru itu menangkap-

nya dengan tangan kiri. Namun anehnya, begitu 

berhasil meraih cadar, tangan kirinya yang untuk 

menangkap terasa bergetar hebat. Seketika itu ju-

ga wajah wanita ini pucat pasi. Bibirnya bergetar-

getar. Sedang matanya yang membelalak liar te-

rus memperhatikan cadar biru di tangan kirinya. 

Dan begitu kepalanya menengadahkan kembali, 

bayangan tubuh pemuda penolongnya tadi sudah 

menghilang di antara kerimbunan Hutan Sawo 

Kembar.

"Pemuda hebat...! Tapi sayang, sikapnya 

ugal-ugalan...," desis Perempuan Bercadar Biru 

dengan bibir bergetar-getar.

4

Matahari sudah sejak tadi tenggelam di ka-

ki langit sebelah barat. Sementara angkasa raya 

tampak cerah, tak ada awan mengembang. Bulan 

purnama perlahan-lahan merayap ke tengah-

tengah cakrawala dari sebelah selatan, membuat 

suasana lingkaran bumi makin terang benderang.

Di bawah pancaran sinar bulan, di lereng 

sebelah selatan Gunung Merapi nampak sebuah 

bayangan hitam tengah berlari kencang menaiki 

puncak. Gerakan kedua kakinya aneh sekali, se-

perti bersejingkat. Namun dalam waktu sebentar


saja, ia sudah sampai ke puncak yang dituju.

Begitu menghentikan gerakannya, tampak 

jelas kalau bayangan itu adalah seorang laki-laki 

pendek gempal. Dan dari pakaian hitamnya yang 

kedodoran, nampak tersembul gagang golok hing-

ga ke pangkal leher. Kepalanya botak. Usianya 

sekitar tujuh puluh tahun. Dialah yang di kalan-

gan persilatan dikenal sebagai Raja Golok Dari 

Utara.

Raja Golok Dari Utara langsung mengedar-

kan pandangan dengan alis berkerut.... Cukup 

lama juga ia diam termenung seperti itu.

"Ah...! Keparat! Jangan-jangan mereka ti-

dak datang ke Puncak Merapi ini! Hm.... Rupanya 

Raja Racun Dari Selatan, Denok Supi, dan Algojo 

Dari Timur telah membohongiku. Ah...! Benar-

benar keparat! Awas! Kalau kalian benar-benar 

membohongiku! Jangan salahkan kalau terpaksa 

tempat persembunyian kalian kuobrak-abrik satu 

persatu!" gerutu Raja Golok Dari Utara penuh 

kemarahan dengan bibir berkemik-kemik.

Wajah bulat laki-laki pendek gempal ini 

menegang.

Rahangnya yang keras bertonjolan. Namun 

entah mengapa sehabis mengeluarkan gerutuan-

nya, mendadak ia jadi terkesiap sendiri. Seketika 

itu matanya membelalak liar. Bibirnya pun kem-

bali berkemik-kemik.

"Ah...! Jangan-jangan malah aku sendiri 

yang salah menghitung tanggal, sehingga mereka 

belum datang. Tapi..., tapi..., ah! Tidak mungkin!


Tidak mungkin aku salah menghitung tanggal. 

Malam ini adalah tepat malam purnama di bulan 

Asyuro tahun ini. Ya ya ya...! Aku yakin betul...," 

desah laki-laki pendek yang di daerah utara di-

kenal sebagai tokoh sesat ini seraya mengangguk-

anggukkan kepala.

Memang, seperti tahun-tahun sebelumnya, 

antara Raja Golok Dari Utara dengan Raja Racun 

Dari Selatan, Denok Supi, dan Algojo Dari Timur 

selalu mengadakan uji laga dan kepandaian seca-

ra persahabatan, guna menjadi tokoh sesat nomor 

satu di dunia persilatan. Untuk itu, pada tahun 

ini keempat tokoh datuk sesat itu kembali men-

gadakan pertemuan di puncak Gunung Merapi.

Dan rupanya kali ini Raja Golok Dari Utara 

datang lebih awal. Setelah puas dengan keyaki-

nannya, maka tokoh sesat dari utara ini pun se-

gera menghenyakkan pantatnya di sebuah batu 

besar. Namun baru saja niatnya terlaksana, men-

dadak pendengarannya yang tajam mendengar 

gerakan-gerakan mencurigakan di balik semak-

semak di depannya.

"Siapa yang bersembunyi di balik semak? 

Keluaaarrr...!" bentak Raja Golok Dari Utara ga-

lak. Suaranya yang disertai tenaga dalam mem-

bahana, mengusik ketenangan malam di puncak 

Gunung Merapi.

Tidak ada sahutan.

Raja Golok Dari Utara menggeram. Dari 

duduknya, tubuhnya yang pendek gempal tahu-

tahu telah melenting tinggi ke udara dengan golok


di tangan. Dari udara, ia melihat di balik semak-

semak beberapa orang berpakaian compang-

camping tengah saling berpandangan. Karena me-

reka melihat orang yang sejak tadi diperhatikan 

sudah tidak ada di tempatnya. Beberapa saat me-

reka celingukkan dengan wajah terkejut. Namun 

belum sempat hilang rasa heran mereka.... 

"Hyaaat...!"

Tahu-tahu sebuah bayangan hitam pendek 

itu telah mengayunkan goloknya ke salah seorang 

berpakaian pengemis disertai bentakan menggele-

gar. Dan....

Crasss!

"Aaakh...!"

Terdengar satu jeritan menyayat yang dis-

usul robohnya satu orang berpakaian pengemis. 

Perutnya yang terkena sambaran golok robek 

dengan isi terburai. Tanpa ampun lagi, pengemis 

bertubuh kurus itu pun langsung ambruk ke ta-

nah tak dapat bergerak-gerak lagi. Darah lang-

sung bersimbah di tanah.

"Raja Golok! Di antara kita tidak ada silang 

sengketa. Mengapa kau membunuh seorang ang-

gota Pengemis Tongkat Hitam?!" teriak salah seo-

rang pengemis berpakaian compang-camping 

yang pada lengan kanannya mengenakan pita 

warna kuning penuh kemarahan.

"Apa pedulimu, Pengemis Penjelajah! Di an-

tara kita memang tidak ada silang sengketa. Tapi 

kalau aku menginginkan nyawa kalian, kau mau 

apa, he?!" hardik sosok bayangan pendek yang


memang Raja Golok Dari Utara angkuh, setelah 

mendarat di tanah dengan manis sekali. 

Pengemis berpita warna kuning yang di-

panggil Pengemis Penjelajah itu menggeram. Se-

bagai tokoh Pengemis Tongkat Hitam yang bertu-

gas mengawasi dan bertanggung jawab atas kea-

manan wilayah bagian tengah, Pengemis Penjela-

jah tak mau bertindak ayal-ayalan. Segera tong-

kat hitamnya digerakkan, memberi aba-aba pada 

teman-temannya.

Maka dalam sekejap saja, Raja Golok Dari 

Utara telah dikepung dua puluh orang berpakaian 

pengemis.

"Jembel-jembel tak tahu diri! Suruh seka-

lian Ki Samiaji, ketua kalian kemari! Biar sekalian 

kubasmi!" ujar Raja Golok Dari Utara tertawa 

pongah.

"Jangan terlalu banyak mengumbar suara, 

Raja Golok! Ketua kami tak pantas berhadapan 

muka denganmu. Lekaslah menyerah sebelum 

kami mencincang tubuhmu!" kata Pengemis Pen-

jelajah yang kira-kira berusia tiga puluh tahunan 

itu berani.

"Setan alas! Kau harus membayar mahal 

atas penghinaanmu ini, Jembel Busuk!" geram 

Raja Golok Dari Utara murka.

Golok di tangan kanan laki-laki pendek itu 

kembali menyambar-nyambar ganas. Gerakannya 

cepat sekali, sehingga sulit diikuti mata para pen-

geroyoknya. Sehingga....

Cras! Cras!



"Aaah...!"

Dan dalam waktu tidak lama, sepuluh 

orang pengemis telah berjatuhan ke tanah dengan

usus terburai oleh sambaran golok tokoh sesat 

dari utara itu.

Bukan main marahnya Pengemis Penjela-

jah melihat sepuluh orang anak buahnya roboh 

tak dapat bangun lagi dengan luka mengerikan. 

Maka dengan satu lengkingan tinggi, pengemis 

yang menguasai wilayah tengah itu bergerak me-

nerjang hebat tanpa menghiraukan keselamatan 

dirinya.

Raja Golok Dari Utara tersenyum menge-

jek. Serangan Pengemis Penjelajah dilayaninya 

dengan sambaran golok yang semakin mengga-

nas. Terpaksa Pengemis Penjelajah bergerak 

mundur. Dan itu tidak disia-siakan Raja Golok 

Dari Utara. Sasarannya kini adalah para penge-

mis lainnya. Setiap sambaran goloknya selalu 

meminta korban para pengeroyoknya. Lalu den-

gan gerakan tak terduga, tubuhnya berkelebat ke 

arah Pengemis Penjelajah sambil mengebutkan 

golok. Dan....

Crasss!

"Ah...!" pekik Pengemis Penjelajah dengan 

wajah pucat pasi, ketika tangannya tersambar go-

lok hingga putus sampai siku. Darah, langsung 

mengucur deras. Sambil berdiri sempoyongan, 

Pengemis Penjelajah menotok urat tangannya 

yang buntung agar aliran darah berhenti.

Melihat hal itu, beberapa orang pengemis


yang masih hidup segera berteriak memanggil 

kawan-kawannya yang lain. Namun sayangnya, 

bantuan yang diharapkan tidak kunjung datang 

juga. Para pengemis itu hanya mendengar jeritan-

jeritan kematian yang datangnya dari arah utara. 

Jelas itu berasal dari mulut para pengemis yang 

berada di puncak gunung sebelah utara!

Pengemis Penjelajah jadi menggeram penuh 

kemarahan. Dengan melupakan keselamatan di-

rinya, ia jadi nekat menyerang Raja Golok Dari 

Utara.

"Iblis! Aku ingin mengadu nyawa dengan-

mu!" teriak Pengemis Penjelajah kalap.

Laki-laki pendek yang merupakan tokoh 

sesat dari utara itu tertawa-tawa senang. Samba-

ran-sambaran goloknya semakin menggila. Dan di 

saat bermaksud menghabisi nyawa Pengemis Pen-

jelajah, mendadak....

"Hik hik hik...! Aku jadi iri melihat kesera-

kahanmu, Raja Golok! Si Tua kurus Raja Racun 

pun sedang asyik berpesta pora di sebelah sana. 

Mengapa kau tidak membagi-bagi rejeki padaku? 

Ayo cepat minggir! Beri aku jalan!"

Dari arah berlawanan terdengar suara 

merdu seorang wanita yang bernada melecehkan.

Belum hilang gaung suara merdu itu, tahu-

tahu di hadapan Raja Golok Dari Utara telah ber-

diri seorang wanita cantik berpakaian serba kun-

ing. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke 

atas. Sebenarnya usia wanita ini sudah sangat 

tua. Namun karena memiliki ilmu awet muda, sehingga nampak seperti seorang gadis yang baru 

berusia dua puluh delapan tahun. Dandanannya 

pun menyolok. Wajahnya yang putih bersih diole-

si bedak tebal yang agak luntur, karena keringat. 

Bibir dan kedua pipinya berwarna kemerah-

merahan. Nampak menor sekali penampilannya. 

Sedang di pinggangnya yang ramping nampak 

terselip gagang gunting senjata andalannya.

"Kau makin nampak cantik saja, Denok 

Supi! Apa resepmu sehingga nampak awet muda 

begini?" sambut Raja Golok Dari Utara, langsung 

mengenali siapa yang datang.

"Hik hik hik..!! Kau mau tahu saja," jawab 

sosok wanita genit yang ternyata Denok Supi. 

Tingkahnya pun makin dibuat-buat semenarik 

mungkin.

"Hm...! Kau pasti sering mengurung pemu-

da-pemuda tampan sebagai obat awet muda-

mu...."

"Kau sudah tahu, mengapa bertanya? Apa 

kau naksir aku? Hik hik hik...," jawab wanita ge-

nit itu lagi.

Sementara itu Pengemis Penjelajah tersen-

tak kaget. Sungguh tidak disangka kalau wanita 

cantik di hadapannya adalah Denok Supi, tokoh 

sesat dari wilayah barat yang sudah sangat ter-

kenal di dunia persilatan. Ia memang belum per-

nah bertemu muka dengannya. Namun sebagai 

seorang tokoh pengemis yang bertugas menjelaja-

hi wilayah tengah, telinganya sudah terlalu sering 

mendengar kekejian tokoh sesat di hadapannya.


Melihat hal itu Pengemis Penjelajah jadi 

berpikir lain. Jelas kedua tokoh sesat itu tidak 

mungkin sanggup dihadapi seorang diri. Jangan-

kan menghadapi keduanya. Menghadapi Raja Go-

lok Dari Utara pun, ia dan kawan-kawannya ma-

sih belum sanggup. Apalagi saat ini anak buah-

nya hanya tinggal dua orang saja.

Tanpa banyak pikir panjang lagi, di saat 

Raja Golok Dari Utara sedang bercakap-cakap 

dengan Denok Supi, Pengemis Penjelajah segera 

memberi aba-aba pada kedua orang temannya 

untuk segera meninggalkan puncak Gunung Me-

rapi. Namun sayangnya baru beberapa langkah, 

kembali terdengar suara tawa Raja Golok Dari 

Utara.

"Ha ha ha...! Jembel-jembel busuk! Kalian 

mau lari ke mana?!"

Raja Golok Dari Utara tersenyum dingin. 

Tangan kirinya cepat bergerak ke muka. Dan dari 

kekuatan yang tidak nampak saat tangan kiri Ra-

ja Golok Dari Utara mengibas ke dalam, tahu-

tahu tubuh Pengemis Penjelajah itu sudah terbe-

tot ke arahnya. Dan dengan suara tawa yang ber-

derai, tokoh sesat itu menyentakkan tangannya 

ke atas.

Wuuttt!

"Aaakh...!"

Seketika itu juga tubuh Pengemis Penjela-

jah melambung tinggi ke udara tanpa tersentuh. 

Dan dengan enaknya, Raja Golok Dari Utara me-

mutar-mutar tubuh pengemis itu di udara! Suatu


pertunjukan tenaga dalam yang sangat tinggi!

"Raja Golok! Kau jangan serakah! Itu ba-

gianku!" bentak Denok Supi kesal.

"Ha ha ha...! Kalau saja aku tidak meman-

dang wajahmu yang cantik ini, mana sudi aku 

memberikan rejekiku ini padamu. Nih, terimalah 

pemberianku."

Raja Golok Dari Utara menggerakkan tan-

gan kirinya. Dilemparkannya tubuh Pengemis 

Penjelajah itu kepada Denok Supi. Cepat sekali 

tubuh pengemis itu meluncur ke muka Denok 

Supi.

Denok Supi tahu, itu bukanlah sembarang 

lemparan. Dan ia tidak ingin kalah ujuk gigi. Ma-

ka dengan tangkasnya segera ditahannya seran-

gan Raja Golok dengan sentakan tangannya yang 

berisi tenaga dalam tak kalah tinggi. Sehingga, 

tubuh Pengemis Penjelajah mengambang di uda-

ra!

Raja Golok Dari Utara tertawa berkakakan. 

Merasa tak mau kalah, setelah menyelipkan kem-

bali goloknya ke pinggang, kekuatan tenaga da-

lamnya segera ditambahkan.

Pengemis Penjelajah menjerit-jerit hebat 

mendapat dorongan dua tenaga dalam dari arah 

berlawanan. Tubuhnya yang mengambang di uda-

ra sudah mengeluarkan bunyi bergemeretak dari 

tulang-tulangnya yang hancur berantakan. Men-

genaskan sekali nasibnya di tangan kedua orang 

tokoh sesat itu. Tubuhnya yang tadi berkelojotan, 

sekarang diam tak bergerak-gerak sama sekali.


Rupanya tokoh pengemis ini telah mati di udara.

Denok Supi dan Raja Golok Dari Utara tak 

peduli. Mereka terus saja mengadu tenaga dalam 

dengan perantara tubuh Pengemis Penjelajah 

yang sudah membeku!

Mendadak di saat Denok Supi dan Raja Go-

lok Dari Utara sedang mengadu kekuatan tenaga 

dalam.

"Memalukan sekali perbuatan kalian! Se-

perti anak-anak kecil yang sedang berebut mai-

nan saja!"

Kedua orang itu mendadak mendengar su-

ara sember yang diiringi berkesiurnya hawa din-

gin menyerang tubuh Pengemis Penjelajah yang 

sudah menjadi mayat!

Wesss!

Bukkk!

Begitu terkena pukulan jarak jauh, seketi-

ka itu juga tubuh Pengemis Penjalajah yang su-

dah menjadi mayat terlempar beberapa tombak ke 

depan dalam keadaan hancur berantakan. Sedang 

akibat dari serangan itu, Denok Supi dan Raja 

Golok Dari Utara jadi saling serang sendirian. Un-

tungnya begitu merasakan hawa dingin berkesiur 

tadi, mereka sudah bersiap-siap mengurangi ke-

kuatan tenaga dalam. Sehingga begitu tubuh 

Pengemis Penjelajah terkena pukulan pembo-

kongnya, mereka cepat melempar tubuh ke bela-

kang.

Sekarang di hadapan Denok Supi dan Raja 

Golok Dari Utara telah berdiri seorang kakek tua


bertubuh tinggi kurus dengan pakaian compang-

camping, mirip pengemis. Rambutnya panjang 

awut-awutan. Wajahnya tirus kepucatan, tak ber-

kumis dan berjenggot. Dan sepasang matanya le-

bar berwarna merah. Tokoh ini tidak lain dari 

seorang tokoh sesat yang merajai di daerah sela-

tan. Julukannya pun cukup seram. Raja Racun 

Dari Selatan!

"Hm...! Rupanya kau yang usil mengganggu 

keasyikan kami, Raja Racun!" dengus Denok Supi 

penuh kemarahan.

"Kalau memang iya, kalian mau apa?!" tan-

tang Raja Racun Dari Selatan dengan suara 

sember.

"Setan alas! Apa kau belum pernah mera-

sakan tajamnya golokku, Raja Racun!" bentak Ra-

ja Golok Dari Utara gusar, tak mau kalah gertak.

"Heh! Siapa takut?! Menghadapi kalian 

berdua saja, aku masih sanggup. Majulah kalau 

kalian ingin merasakan pukulan 'Telapak Tangan 

Kelabang Hitam'-ku!"

Bukan main marahnya Denok Supi dan 

Raja Golok Dari Utara mendengar tantangan Raja 

Racun Dari Selatan yang pongah itu. Seketika itu 

juga, kedua orang tokoh sesat itu siap melancar-

kan serangan. Namun tiba-tiba saja....

"Tunggu!"

Ketiga orang itu dikagetkan oleh suara te-

riakan yang disertai suara berdebum menggetar-

getarkan tanah di sekitarnya. Tanpa sadar mere-

ka mengalihkan pandangan ke arah datangnya


suara. 

"Hmm.... Algojo Dari Timur...!"

***

Dari arah timur muncul seorang laki-laki 

tinggi besar berpakaian norak sekali, berwarna 

merah dan kuning. Rambut kepalanya dikuncir 

ke atas. Hanya itu saja rambutnya, selebihnya 

plontos! Sebuah anting bundar besar nampak 

menghiasi telinga kirinya. Wajahnya dingin mem-

bayangkan kekejian luar biasa, dengan mata be-

sar dan hidung besar, serta rahangnya yang ke-

ras.

Orang tinggi besar itu memang seorang to-

koh sesat yang merajai wilayah timur. Julukan-

nya, Algojo Dari Timur. Dan sekarang tokoh sesat 

dari timur itu terus melangkah disertai suara 

berdebum menggetar-getarkan tanah di sekitar-

nya!

"Algojo Dari Timur! Apa kau pikir kepan-

daianmu sudah dapat menundukanku?!" kata Ra-

ja Golok Dari Utara yang paling berangasan di an-

tara keempat tokoh sesat itu. Nada suaranya ter-

dengar pongah.

"Ha ha ha...! Kau pintar sekali mengumbar 

suara, Raja Golok. Apa kau pikir kau juga sang-

gup menahan pukulan 'Badai Gurun Pasir'-ku?!"

Raja Golok Dari Utara mengerutukkan ge-

rahamnya. Saking gusarnya goloknya segera dilo-

loskan.


Sret!

"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Rupanya kau 

sudah tidak sabar menunggu pertandingan ini, 

ya?! Baik! Tapi, tunggu dulu! Apa pertandingan 

ini masih tetap dengan cara lama?" kata Algojo 

Dan Timur.

"Jangan banyak bacot! Dengan cara apa 

pun, aku tidak peduli. Golokku ini sudah gatal-

gatal ingin merobek mulutmu yang lebar, tahu?! 

Heaaa...!"

Raja Golok Dari Utara tak dapat menahan 

diri lagi. Segera diserangnya Algojo Dari Timur 

dengan jurus-jurus andalannya. Gerakan kedua 

kaki dan tangannya cepat sekali, menyebabkan 

pepohonan di puncak Gunung Merapi bergoyang-

goyang terkena sambaran angin serangan. Namun 

musuh yang dihadapinya kali ini adalah tokoh se-

sat yang merajai daerah timur. Maka wajar saja 

kalau serangan-serangan Raja Golok pari Utara 

dapat dihindari dengan mudah.

"Baik! Mulai sekarang pertandingan untuk 

menentukan siapa yang paling pantas mendapat 

sebutan datuk sesat nomor satu kali ini, masih 

tetap dengan cara lama. Yakni, kita harus saling 

serang. Entah, siapa musuh kita. Setuju atau tak 

setuju, kalian semua harus menyetujuinya!" te-

riak Algojo Dari Timur lantang setelah berhasil 

menghindari serangan Raja Golok Dari Utara.

Dan setelah berkata demikian Algojo Dari 

Timur pun segera melolos senjata andalannya. 

Yakni sebuah parang besar. Panjangnya hampir


satu jengkal lebih.

"Kau pongah sekali kedengarannya, Setan 

Gundul! Apa dipikir, kau sendiri yang paling jago 

di antara kami?!" kata Denok Supi seraya men-

gerling ke arah Raja Racun Dari Selatan.

Raja Racun Dari Selatan memahami mak-

sud isyarat kerlingan itu.

"Benar sekali apa yang dikatakan Denok 

Supi! Jangan dikira dengan kepandaianmu yang 

sedengkul dapat mengalahkan kami, Setan Gun-

dul!" tambah Raja Racun Dari Selatan.

"Ha ha ha...! Kalian ini terlalu perasa be-

nar. Siapa yang bilang demikian? Aku tidak ber-

maksud meremehkan kalian. Tapi kalau kalian 

takut, sebaiknya pulang saja sebelum parangku 

meminta korban," teriak Algojo Dari Timur di an-

tara gerakan-gerakan bayangan Raja Golok Dari 

Utara yang terus mendesaknya.

"Setan gundul! Kau terlalu memandang 

rendah kami. Jangan salahkan kalau gunting 

mautku ini memenggal lehermu!" teriak Denok 

Supi penuh kemarahan seraya mencabut senjata 

andalannya yang berupa gunting raksasa sepan-

jang setengah tombak.

Sehabis berkata begitu, tanpa banyak bica-

ra lagi tokoh sesat dari barat itu langsung menye-

rang Algojo Dari Timur yang sedang bertempur 

hebat melawan Raja Golok.

Raja Racun Dari Selatan yang tadi menye-

tujui isyarat mata Denok Supi pun segera menye-

rang Algojo Dari Timur dengan jurus-jurus anda


lan. Meski hanya menggunakan tangan kosong, 

namun serangan-serangan tokoh tua dari selatan 

ini tidak kalah hebat.

Melihat ketiga orang saingannya maju 

mengeroyok, Algojo Dari Timur jadi kewalahan 

bukan main. Entah sudah berapa kali tubuhnya 

yang tinggi besar itu berjumpalitan di udara sam-

bil menangkis dengan parangnya yang besar.

Crak! Crak!

Denok Supi terus mendesak ganas Algojo 

Dari Timur. Guntingnya yang besar tak henti-

hentinya menyerang bagian-bagian yang paling 

membahayakan di tubuh musuhnya. Pada saat 

yang sama, Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-

cun Dari Selatan terus mendesak tak kalah sen-

gitnya.

"Hyaaat!" pekik Raja Racun Dari Selatan 

dan Raja Golok Dari Utara hampir bersamaan.

Algojo Dari Timur terperangah. Tak mung-

kin serangan kedua saingan utamanya dihindari 

dalam waktu bersamaan. Keadaannya saat ini ku-

rang menguntungkan, setelah menghindari se-

rangan-serangan Denok Supi tadi. Namun, tentu 

saja ia juga tidak ingin mati konyol.

Untuk itu, segera ditangkisnya serangan 

golok di tangan kanan Raja Golok Dari Utara den-

gan menggunakan parangnya.

Trang!

Pada saat yang sama, Algojo Dari Timur 

menahan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hi-

tam' milik Raja Racun Dari Selatan dengan puku


lan 'Badai Gurun Pasir' di tangan kirinya.

Blarrr...!

Algojo Dari Timur tak sanggup lagi mena-

han pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam'. Di 

samping saat itu tenaga dalamnya harus dipecah 

jadi dua karena harus menahan golok di tangan 

Raja Golok keadaannya memang tak mengun-

tungkan. Maka tanpa ampun lagi tubuh tinggi be-

sar itu terlempar beberapa tombak ke belakang, 

dan jatuh berdebam di tanah yang kering. Seketi-

ka dari mulutnya mengeluarkan darah segar. Je-

las, tokoh sesat dari timur itu menderita luka da-

lam yang hebat.

Algojo Dari Timur menggeram penuh kema-

rahan. Matanya yang merah mengerikan seperti 

hendak memangsa saingan-saingan utamanya....

* * *

Sementara itu jauh dari puncak Gunung 

Merapi yang menjadi ajang pertempuran tokoh-

tokoh sesat dunia persilatan, Siluman Ular Putih 

tengah berlari kencang menuju puncak Gunung 

Merapi. Sebenarnya hatinya masih ragu-ragu 

dengan tujuannya. Ia hanya menggunakan pera-

saan hatinya saja, kalau-kalau di puncak Gunung 

Merapi dapat menemukan orang yang sedang di-

cari-carinya. Manusia Rambut Merah!

Ketika sedang berlari kencang di Lembah 

Batu Ular, mendadak pemuda murid Eyang Be-

gawan Kamasetyo itu menghentikan langkahnya.


Matanya yang agak kebiru-biruan membelalak 

ngeri. 

Di hadapannya saat itu tampak berpuluh-

puluh ular hitam berukuran sebesar ibu jari kaki 

orang dewasa tengah berdiam saling melingkar 

seperti onggokan mie; di bawah sebuah batu be-

sar berbentuk kepala ular. Sedang di hadapan se-

kumpulan ular, nampak seorang kakek tua ber-

caping pandan tengah asyik meniup seruling. 

Namun begitu mendengar langkah kaki seseorang 

yang mendekati, kepala puluhan ular yang semu-

la mengikuti alunan suara suling jadi mengalih-

kan perhatian ke arah Soma dengan tatapan liar.

"Eh...?! Mengapa ular-ular itu jadi mem-

perhatikanku seperti itu?" gumam Soma, seraya 

menarik mundur tubuhnya.

Orang tua bercaping pandan itu tidak 

mempedulikan ocehan Soma. Serulingnya terus 

saja ditiup, memberi aba-aba untuk menyerang 

pemuda pendatang yang telah mengganggu kea-

syikan mereka. Maka saat itu juga, puluhan ular 

hitam perlahan-lahan mulai bergerak mendekati 

Siluman Ular Putih.

"Lho, lho...? Mengapa jadi begini?" gumam 

Soma heran. "Eh, Orang Tua! Mengapa ular-

ularmu kau suruh kemari?! Ayo, lekas suruh pu-

lang mereka, Orang Tua! Hush! Hush! 

Hussshhh...!'" Soma mendesis sambil menggerak-

gerakkan kedua tangannya, bermaksud mengusir 

ular-ular itu.

Orang tua bercaping pandan itu sekali lagi


meniup serulingnya dengan suara aneh. Maka 

puluhan ular yang mulai mendekati Soma makin 

beringas jadinya. Kepalanya diangkat tinggi-

tinggi, siap mematuk mangsa.

"Ya, ampun! Mengapa jadi begini?! Apa do-

saku, sehingga hari ini aku bertemu dengan ular-

ular tak tahu diri ini?" gumam Soma mulai ber-

siap-siap menghadapi serangan.

Orang tua bercaping pandan dan ular-ular 

hitam itu sepertinya tidak menghiraukan ocehan 

pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo. Bah-

kan gerakan-gerakan ular itu satu-dua mulai me-

nyerang Soma!

"Jangan salahkan aku kalau aku mengha-

bisi ular-ular peliharaanmu ini, Orang Tua!" ben-

tak Soma marah, karena omongannya sedari tadi 

hanya dianggap seperti angin lalu. 

Plak! Plak!

Sambil berkata begitu, pemuda ini pun 

mulai bergerak menampar kesana kemari disertai 

tenaga dalam, menangkis serangan-serangan ular 

yang makin mengganas. Namun anehnya ular-

ular hitam itu tidak mati.

Siluman Ular Putih penasaran sekali. Tak 

mungkin pukulan tenaga dalamnya tidak sanggup 

memukul hancur ular-ular itu. Jangankan hanya 

ular sebesar ibu jari kaki orang dewasa, batu se-

besar gajah pun akan hancur bila terkena samba-

ran tangannya. Namun ular-ular ini? Tubuh ular-

ular hitam itu hanya terlempar ke kanan kiri ter-

kena tamparan-tamparan tangannya, setelah itu


kembali menyerang ganas.

"Ah... ! Kau ini bagaimana sih, Orang Tua 

?! Apa kau tidak mendengar omonganku?! Ayo, 

lekas suruh ular-ularmu ini kembali! Atau..., jan-

gan-jangan kau sendiri budek, ya? Iya?"

Meski sibuk menghadapi serangan pulu-

han ular hitam itu, Soma tak henti-hentinya terus 

mengoceh. Namun orang tua aneh bercaping 

pandan itu terus saja meniup suling, menyuruh 

ular-ularnya menyerang.

Habis sudah kesabaran Soma. Kini ia tidak 

segan-segan lagi menambah kekuatan tenaga da-

lamnya, menampar ular-ular hitam itu. Akibatnya 

ular-ular hitam yang nekat terlempar ke kanan 

dan kiri dengan kepala retak dan mengeluarkan 

darah segar.

"Jangan salahkan kalau aku menghabisi 

ular-ular hitam peliharaanmu, Orang Tua!" den-

gus Soma.

Orang tua bercaping pandan tersenyum 

dingin. Sama sekali tidak terpengaruh ucapan 

Soma. Bibirnya yang berwarna kehitaman tak 

henti-hentinya terus meniup sulingnya.

Dalam beberapa kejap kemudian, mata Si-

luman Ular Putih jadi terbelalak lebar, tak per-

caya dengan apa yang dilihat. Darah ular-ular hi-

tam yang menetes-netes dan kepalanya yang re-

tak, secara ajaib kembali menjelma ular-ular hi-

tam baru. Maka semakin lama tempat itu sema-

kin dipenuhi ular hitam berjumlah tak terkira!

"Ah...!" pekik Soma kaget bukan kepalang.


Jelmaan-jelmaan ular hitam itu mengge-

liat-geliat. Kepalanya diangkat tinggi-tinggi me-

mandang Soma. Kemudian dengan gerakan cepat 

sekali, ular-ular hitam baru itu menyerang Soma 

dengan tak kalah ganas!

Siluman Ular Putih kewalahan bukan 

main. Ia tidak berani lagi memukul hancur ular-

ular hitam yang hanya akan menambah jumlah 

ular jelmaan milik orang tua bercaping pandan 

itu. Maka tubuhnya hanya bergerak ke kanan-kiri 

menghindari serangan-serangan dengan otak be-

kerja keras mencari jalan keluar!

Sret!

Saat itu juga Soma mengeluarkan senjata 

andalannya dari balik pinggang. Anak Panah Ber-

cakra Kembar! Sebuah senjata pusaka yang tak 

ada duanya baik dari bentuknya yang aneh mau-

pun kehebatannya.

Namun setelah mengeluarkan senjata 

pemberian Eyang Begawan Kamasetyo, Siluman 

Ular Putih bukannya menyerang, melainkan ma-

lah meloncat tinggi ke udara. Setelah berputaran 

beberapa kali ke belakang, tubuhnya mendarat 

dalam keadaan duduk bersila di rerumputan.

Sementara ular-ular hitam itu bergerak 

mendekati Soma. Tanpa banyak pikir panjang la-

gi, pemuda ini segera menempelkan pangkal Anak 

Panah Bercakra Kembar. Dan, mulailah pangkal 

anak panah itu ditiup seperti apa yang dilakukan 

orang tua bercaping pandan.

Perlahan namun pasti, suara anak panah


di tangan Soma yang juga dapat digunakan seba-

gai suling segera menindih suara suling orang 

bercaping pandan. Akibatnya, ular-ular hitam itu 

jadi kebingungan. Sebentar kepala mereka berge-

rak memandang Soma, sebentar kemudian balik 

memandang orang tua bercaping pandan.

Dalam hati, Siluman Ular Putih tersenyum. 

Ia memang sudah menduga kalau ular-ular hitam 

itu hanya ular jejadian. Maka setelah berpikir 

demikian, ia mengambil keputusan untuk mela-

wan dengan menggunakan tiupan anak panah-

nya. Dan ketika tiupan anak panahnya semakin 

dapat menindih suara suling di tangan orang tua 

bercaping pandan, ular-ular hitam itu pun mulai 

bergerak membalik. Mereka, mendekati orang tua 

bercaping pandan itu dengan mata beringas!

Dahi orang tua bercaping pandan ini ber-

kernyit dalam-dalam saat ular-ular hitam cip-

taannya mulai berani menyerangnya!

"Ha ha ha...! Inilah mungkin yang dinama-

kan senjata makan tuan, Orang Tua. Sekarang 

rasakan pembalasanku!" teriak Soma kegirangan.

Orang tua bercaping pandan itu cepat me-

nyimpan sulingnya ke balik pinggang. Namun te-

tap diam di tempatnya dalam keadaan bersila. 

Hanya kedua bibirnya saja yang berkemik-kemik 

membacakan mantra. Sedang tangan kirinya te-

lah meraih caping pandannya. Diletakkannya 

caping itu di hadapannya seperti orang memasang 

bubu.

Slup! Slup!


Aneh sekali! Begitu orang tua itu selesai 

membacakan mantra, satu persatu ular-ular hi-

tam yang jumlahnya tak terkira mulai masuk ke 

dalam caping pandan. Ban perlahan-lahan mere-

ka menghilang dari pandangan mata Soma!

Soma berdecak kagum saking takjubnya, 

tangan kanannya pun sudah menggaruk-garuk 

rambut kepalanya.

"He he he...! Apa yang kau lihat, Anak Mu-

da? Mengapa matamu melotot seperti itu?" tanya 

orang tua bercaping sambil menunggu ular-ular 

hitamnya untuk masuk ke dalam caping pandan-

nya seluruhnya. Dan ketika seluruh ular hitam 

itu menghilang, caping pandannya kembali dike-

nakan tanpa seekor ular pun terlihat di sana!

"Kau..., kau pasti orang tua yang berjuluk 

Raja Penyihir...," desis Soma takjub.

Pemuda ini tidak menyangka akan bertemu 

tokoh dunia persilatan yang sudah sangat terken-

al itu. Menurut cerita ibunya dan Eyang Begawan 

Kamasetyo, orang yang berjuluk Raja Penyihir 

mempunyai watak aneh. Sulit sekali diduga, apa 

golongannya. Kadang ia membela golongan lurus 

yang sedang terdesak oleh golongan sesat. Namun 

juga sebaliknya. Tak segan-segan pula ia membu-

nuh golongan para pendekar meski tanpa sebab 

yang pasti. Dan hebatnya lagi, orang tua bercap-

ing pandan itu juga memiliki ilmu silat cukup be-

rarti. Tak kalah dengan ilmu sihirnya yang sudah 

mencapai tingkat sangat tinggi.

"He he he...! Rupanya kau telah mengenal


ku, Anak Muda...," kata orang tua bercaping pan-

dan berjuluk Raja Penyihir seraya bangkit berdiri. 

Dan perlahan-lahan ia mulai mendekati Soma.

Tinggi orang tua bercaping pandan itu bi-

asa-biasa saja. Paling hanya setinggi sebatang 

tombak. Wajahnya tirus dengan rahangnya ber-

tonjolan. Matanya agak sipit dengan hidungnya 

kecil. Sementara bibirnya agak tebal berwarna hi-

tam. Sedang tubuhnya yang kurus kering itu di-

balut pakaian tambal-tambalan yang sudah com-

pang-camping di sana-sini.

"Nama besarmu sudah tersiar ke segenap 

penjuru mata angin. Siapa pun yang berkecim-

pung di dunia persilatan, pasti mengenalmu, 

Orang Tua. Tapi, mengapa kau menyuruh ular-

ularmu itu menyerangku?!" sahut Soma, bernada 

tak suka.

"Ha ha ha...!"

Orang tua bercaping pandan itu tertawa 

bekakakan.

"Huh! Apa kau tidak menggangguku, he?! 

Apa dengan kedatanganmu ini, kau tidak meng-

ganggu keasyikkanku bermain-main dengan ular-

ularku?" hardik orang tua bercaping pandan ini 

galak.

"Enak saja kau menuduhku seperti itu, 

Orang Tua! Memangnya lembah ini milik nenek 

moyangmu!"

"Mau milik nenek moyangku, kek. Milik 

nenek moyangmu, kek. Siapa peduli?! Yang jelas, 

kau telah mengganggu keasyikkanku. Kau harus


bertanggung jawab!"

"Heh! Kau pikir aku takut dengan permai-

nan anak kecilmu itu?!"

"Lihatlah baik-baik, kalau kau tidak takut 

padaku!" kata Raja Penyihir itu mulai berubah 

nada suaranya.

Soma merasakan getaran-getaran halus 

mempengaruhi hatinya, namun tak mempeduli-

kannya. Ia terus saja memandangi Raja Penyihir 

lekat-lekat. Dan beberapa kejap kemudian, ma-

tanya jadi terbelalak lebar. Dilihatnya, perlahan-

lahan tubuh orang tua bercaping pandan itu mu-

lai membesar. Bahkan berubah menjadi makhluk 

raksasa yang mengerikan sekali! Wajahnya hitam 

legam. Matanya mencorong berwarna merah saga. 

Dan dua buah taring besar mencuat di kanan-kiri 

ujung-ujung giginya yang putih bersih!

Soma bergidik ngeri. Kepalanya terus saja 

mendongak memandang ke atas.

"Ha ha ha...! Apa lagi yang akan kau laku-

kan, Anak Muda? Apa kau belum mau menye-

rah?" kata raksasa hitam mengerikan jelmaan Ra-

ja Penyihir mengejek. Suaranya bukan lagi milik 

orang tua itu, melainkan suara seseorang yang 

entah dari mana asalnya. Seperti suara dari da-

lam liang kubur!

"Sudah berapa kali kukatakan, hanya per-

mainan anak kecil saja. Siapa takut?!" sahut Si-

luman Ular Putih, enteng.

Soma tak lagi memperhatikan raksasa 

tinggi besar di hadapannya. Kini buru-buru di


tiupnya pangkal anak panahnya yang sekaligus 

juga sebagai suling. Dengan suara sulingnya, ia 

bermaksud mengusir raksasa tinggi besar jelmaan 

Raja Penyihir.

"Tiuplah senjata andalanmu itu sampai 

mulutmu berbusa. Kalau aku kalah, aku akan 

berguru padamu. Tapi kalau kau yang kalah, kau 

harus menjadi muridku, Bocah!"

"Heh! Siapa sudi menjadi muridmu. Paling-

paling aku akan dijadikan tumbalmu saja," celo-

teh Soma, tak gentar sedikit pun.

"Apa kau bilang, Bocah? Kau tidak mau 

menjadi muridku? Kalau begitu, kau harus kuberi 

pelajaran terlebih dahulu!"

Soma tidak mempedulikan ocehan raksasa 

hitam yang amat mengerikan itu. Senjata anda-

lannya terus ditiup seperti tadi.

Sementara raksasa hitam tinggi besar itu 

sama sekali tidak terpengaruh oleh tiupan suling 

Soma. Malah kini bergerak mendekati pemuda 

itu. Dan tahu-tahu kakinya yang sebesar pohon 

kelapa telah menendang tubuh Siluman Ular Pu-

tih telak sekali.

Bukkk!

"Augh...!" jerit Soma.

Tubuh si pemuda yang terkena tendangan 

raksasa hitam itu langsung terpental beberapa 

tombak ke samping kanan. Ulu hatinya terasa 

nyeri sekali. Namun ia tak pedulikan lagi dan se-

gera bangkit duduk. Senjata andalannya terus sa-

ja ditiup. Namun lagi-lagi tubuhnya dapat dijadi


kan bulan-bulanan raksasa hitam tinggi besar 

itu.

Bukkk!

Bukkk!

Soma menggeram. Tak ada lagi nafsu un-

tuk meniup senjata andalannya. Kini matanya 

memandang raksasa tinggi besar di hadapannya 

dengan penuh kemarahan. Dan saking tak kuat-

nya menahan kemarahan dalam dada, perlahan-

lahan sekujur tubuhnya mulai diselimuti asap 

putih tipis. Sehingga, akhirnya bayangan tubuh-

nya tidak kelihatan sama sekali!

Mata raksasa hitam tinggi besar itu terbela-

lak liar, ia memang belum tahu, ilmu apa yang 

akan dikeluarkan anak muda itu. Dan belum 

sempat ia bertindak lebih lanjut, tiba-tiba saja 

terlihat seekor ular putih sebesar pohon kelapa 

tengah menggeliat-geliat di antara kepulan asap 

putih tipis.

"Ggggeeerrr...!"

Raksasa hitam tinggi besar jelmaan Raja 

Penyihir mundur beberapa langkah ke belakang. 

Sama sekali tidak disangka kalau pemuda itu da-

pat menjelma menjadi seekor ular putih raksasa! 

Raja Penyihir tak tahu kalau yang dihadapinya 

adalah Siluman Ular Putih.

"Eh...! Rupanya kau pintar juga main ba-

dut-badutan seperti ini ya, Anak Muda. Pantas..., 

pantas!" kata Raja Penyihir sama sekali tidak ta-

kut melihat Siluman Ular Putih di hadapannya. 

Malah selangkah demi selangkah raksasa hitam


itu mulai mendekati ular raksasa tersebut.

"Gggeeerrr...!"

Siluman Ular Putih menggeram penuh ke-

marahan. Tubuhnya yang sebesar pohon kelapa 

tahu-tahu telah mencelat ke depan, menyerang 

raksasa hitam di hadapannya. Dalam sekejap sa-

ja, tubuh raksasa Raja Penyihir sudah dibelit Si-

luman Ular Putih. Bahkan tanpa ampun lagi, tu-

buh tinggi besar raksasa hitam itu mulai dibant-

ing-bantingkan ke tanah. Sedang mulut ular rak-

sasa yang runcing itu telah mencabik-cabik tubuh 

Raja Penyihir.

"Augh...!"

Raksasa hitam tinggi besar itu melolong se-

tinggi langit. Dari luka-lukanya yang mengelua-

rkan darah segar mulai menetes-netes ke tanah. 

Namun saat itu juga darah yang menyentuh ta-

nah terjadi kejadian serupa, saat Soma mengha-

dapi ular-ular hitam buatan orang bercaping pan-

dan. Hanya saja, kali ini tetesan-tetesan darah itu 

menjelma menjadi puluhan raksasa hitam tinggi 

besar. Bentuknya sama persis dengan raksasa hi-

tam tinggi besar yang dilukai Siluman Ular Putih.

"Gggeeerrr...!"

Siluman Ular Putih menggeram hebat. Kali 

ini tubuhnya mulai dibuat rebutan oleh raksasa 

hitam tinggi besar yang jumlahnya makin mem-

bengkak, tak dapat dihitung. Bahkan beberapa 

kali dibuat bulan-bulanan, hingga menyebabkan 

debu-debu beterbangan memenuhi arena perta-

rungan itu.


Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja 

sekujur tubuh Siluman Ular Putih yang tidak 

sanggup menghadapi keroyokan raksasa-raksasa 

hitam, mulai diselimuti asap putih tipis. Sehingga 

bayangan tubuhnya tidak kelihatan sama sekali.

Sejenak raksasa-raksasa hitam itu seperti 

terpaku. Mereka hanya menunggu, apa yang akan 

dilakukan Siluman Ular Putih. Dan ketika asap 

putih tipis itu tersapu angin, terlihat seorang pe-

muda berambut gondrong bercelana dan rompi 

bersisik warna putih keperakan, tengah meman-

dangi raksasa-raksasa hitam yang masih mengeli-

lingi dirinya dengan sinar mata ngeri.

"Set..., setaaaan...! Ada setaaan...!"

Tanpa banyak pikir lagi, Soma yang berge-

lar Siluman Ular Putih segera menyelinap di anta-

ra laki-laki sebesar pohon kelapa. Tubuhnya ber-

kelebat cepat meninggalkan tempat itu dengan 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh 

'Menjangan Kencana'.

Raksasa-raksasa hitam tinggi besar itu ber-

lari-lari mengejarnya. Namun baru beberapa 

langkah saja, bayangan Soma telah menghilang di 

antara rimbunnya pohon bambu di depan sana.

Melihat hal itu, raksasa-raksasa hitam 

tinggi besar ini hanya tertawa berkakakan, saling 

sahut-menyahut memenuhi Lembah Batu Ular. 

Suaranya terus menggema seperti ribuan setan 

berpesta pora.

Dan beberapa saat lamanya kemudian, tu-

buh raksasa-raksasa hitam tinggi besar itu mulai


menyatu ke dalam raksasa hitam yang pertama. 

Sehingga, akhirnya tinggal menjadi satu raksasa 

hitam tinggi besar di tengah-tengah Lembah Batu 

Ular. Dan, kini raksasa hitam tinggi besar itu pun 

mulai menyusut, menjadi sosok orang tua bercap-

ing pandan yang sedang tertawa-tawa kegirangan! 

Sosok Raja Penyihir!

5

Soma terus berlari meninggalkan Lembah 

Batu Ular. Wajahnya menegang. Bukannya lelah 

karena terus berlari, melainkan ngeri melihat apa 

yang baru saja dialaminya. Dalam keadaan demi-

kian, mendadak saja..."

"Tunggu, Sobat! Mengapa kau terbirit-birit 

seperti ini? Ada apa?"

Dari arah samping terdengar teriakan. Na-

mun pemuda itu tak peduli. Malah larinya sema-

kin dipercepat, tanpa menoleh lagi ke belakang.

"Hup!"

Soma kali ini harus menghentikan larinya. 

Di depannya telah menghadang seorang gadis 

berpakaian tambalan dan compang-camping. Be-

runtung sekali gadis itu tadi sedikit di depan So-

ma. Kalau tidak, jangan harap dapat mengejar 

pemuda yang tengah mengerahkan ilmu merin-

gankan tubuh 'Menjangan Kencana'.

Melihat gadis cantik berpakaian tambal-

tambalan di hadapannya, mata Soma kontan ter


belalak lebar. Rasa takutnya akan muncul kakek 

tua berpakaian tambal-tambalan tadi, kembali 

menguasai hatinya.

"Minggir...! Jangan ganggu aku lagi! Biar-

pun kau berubah menjadi kadal, menjadi monyet, 

atau menjadi gadis secantik apa pun, aku tak su-

di meladeni permainan anak-anakmu, Badut 

Tua!" geram Soma sengit.

"Eh, eh...! Kau bilang aku 'Badut Tua'?" 

bentak gadis cantik berpakaian tambal-tambalan 

itu tersinggung.

"Yah...! Siapa lagi badut tua itu kalau bu-

kan kau! Minggir! Jangan ganggu aku lagi!"

Soma yang dijuluki orang Siluman Ular Pu-

tih nekat menerjang gadis cantik yang dicurigai 

jelmaan orang tua bercaping pandan. Namun, ga-

dis ini mana mau diperlakukan seperti itu. Ha-

tinya yang merasa tersinggung atas ucapan pe-

muda itu tadi cepat menghadang langkah Soma 

kembali,

"Kau mau apa? Mau menakut-nakutiku 

dengan permainan anak-anakmu? Aku tak sudi. 

Lebih baik beri aku jalan! Minggir!"

Gadis cantik berbaju tambal-tambalan itu 

mengernyitkan alis matanya yang tebal dalam-

dalam. Di samping kesal oleh makian-makian ta-

di, diam-diam juga merasa heran melihat diri So-

ma. Meski belum pernah bertemu pemuda murid 

Eyang Begawan Kamasetyo ini, namun kabar 

yang tersiar tentang munculnya seorang pendekar 

muda yang bergelar Siluman Ular Putih, telah


terdengar juga olehnya. Dan ciri-ciri pendekar 

muda itu, mirip benar dengan pemuda ini....

"Kau sebenarnya kenapa? Mengapa kau 

takut sekali bertemu denganku?" tanya gadis itu, 

mulai melunak nada bicaranya.

"Siapa yang takut?" sergah Soma Gusar.

"Kalau tidak takut, mengapa lari terbirit-

birit seperti tadi. Ada apa?" tanya gadis itu heran.

Soma menautkan kedua alis matanya da-

lam-dalam. Matanya yang agak kebiru-biruan, 

memandangi gadis cantik di hadapannya seksa-

ma.

"Mengapa dia tidak mengeluarkan ilmu si-

hirnya? Kok, malah menertawakanku?" gumam 

Soma, lirih.

"Eh, ngaco! Siapa yang jadi tukang sihir? 

Justru melihat tingkahmu yang aneh inilah aku 

jadi geli."

"Jadi..., jadi? Kau..., kau bukan tukang si-

hir itu? Maksudku, bukan kakek tua bercaping 

pandan yang berjuluk Raja Penyihir?"

"Ih...! Omonganmu semakin ngelantur ti-

dak karuan. Siapa kakek tua bercaping pandan 

yang berjuluk Raja Penyihir?"

"Benarkah? Ja..., jadi kau..., kau bukan 

Raja Penyihir itu?" ulang Soma.

"Hik hik hik...! Sudah kubilang, aku bukan 

Raja Penyihir yang kau maksudkan. Apa kau tadi 

bertemu orang tua itu? Pantas saja tingkahmu ja-

di begini!" kata gadis itu sambil memamerkan se-

nyumnya dan melangkah mendekati.


Soma alias Siluman Ular Putih mundur be-

berapa langkah. Matanya masih membayangkan 

perasaan ngeri kalau-kalau gadis cantik di hada-

pannya memang benar Raja Penyihir.

"Sudah, ah! Aku pikir ada apa. Selamat 

tinggal!" kata gadis cantik itu masih diiringi se-

nyum.

Sehabis berkata begitu, gadis cantik berba-

ju tambal-tambalan itu pun cepat menjejakkan 

kedua kakinya, meninggalkan hutan bambu. Na-

mun baru beberapa langkah, Soma sudah berke-

lebat dan cepat menghadangnya.

"Tunggu dulu! Kalau kau bukan Raja Pe-

nyihir itu, lantas siapa?" kejar Soma.

"Bilang saja kau mau berkenalan dengan-

ku. Pakai berlagak segala!" cibir gadis itu mele-

cehkan.

"Eh, eh...! Aku bukannya berlagak. Tadi 

aku benar-benar bertemu Raja Penyihir itu," tu-

kas Soma gelagapan. Tanpa sadar tangannya su-

dah menggaruk-garuk rambut kepala.

"Oh,.. "

Hanya itu yang keluar dari mulut gadis 

cantik ini. Padahal, sebenarnya Soma mengha-

rapkan lebih.

"Aku senang sekali berkenalan denganmu. 

Namaku Soma," kata Soma mulai dapat mengen-

dalikan perasaannya.

"Siapa?"

"Soma," ulang pemuda itu.

"Tidak! Maksudku siapa yang nanya?" tu


kas gadis ini diiringi senyum menggoda.

"Eh, eh, eh...! Kau mau mempermainkan 

aku, ya? Bilang dong, siapa namamu?" sungut 

Soma kesal.

Gadis cantik berbaju tambal-tambalan itu 

tersenyum-senyum menggoda.

"Namaku.... Sal..., Salindri," jelas gadis itu 

dengan nada suara menggemaskan.

"Oh...! Lembut sekali namamu.... Pas sekali 

dengan orangnya," puji Soma seraya mengang-

guk-angguk.

Duh! Wanita mana yang tidak senang dipu-

ji seorang pemuda tampan? Meski gadis berbaju 

tambal-tambalan yang ternyata bernama Salindri 

ini hanya tersenyum-senyum menggoda, namun 

dalam hatinya pun mulai mengagumi ketampa-

nan pemuda di hadapannya. Dan di saat sedang 

mengagumi murid Eyang Begawan Kamasetyo ini, 

tiba-tiba....

"Hura, hura...!"

"Heh?!"

Sebuah teriakan terdengar dari arah barat, 

menyentak kesadaran Salindri.

Tanpa banyak pikir lagi Salindri segera 

menjejakkan kakinya meninggalkan tempat itu, 

tanpa menghiraukan Soma sama sekali

"Eh, tunggu dulu! Mengapa kau lari seperti 

dikejar setan?"

Siluman Ular Putih cepat berkelebat me-

nyusul langkah gadis itu. Dalam waktu yang tidak 

lama gadis itu dapat disusul.


***

Salindri terus mengedarkan pandangan ke 

segenap penjuru. Tidak mungkin telinganya salah 

dengar. Teriakan tadi adalah sebagai isyarat ka-

lau keamanan anggota Pengemis Tongkat Hitam 

sedang dalam keadaan bahaya.

"Ada apa, sih? Kok, kau nampak seperti 

orang linglung?" tanya Soma tak dapat menahan 

rasa herannya.

"Kau tadi mendengar teriakan seseorang?" 

Salindri malah balik bertanya.

"Aku.... Aku.... Ya! Tadi aku mendengar te-

riakan seseorang. Apa kau sedang mencari orang 

yang berteriak itu?"

"Ya," sahut Salindri singkat.

Gadis itu kini memperhatikan semak-

semak di depannya. Tampak sangat mencuriga-

kan. Dan belum sempat Salindri bergerak untuk 

melihat apa yang ada di balik semak, mendadak 

terdengar erangan seseorang.

Tanpa banyak pikir lagi, Salindri meloncat 

ke balik semak itu. Dan benar saja! Ternyata di 

balik semak tengah terbaring seorang pemuda 

berbaju tambal-tambalan yang sama persis den-

gan pakaian gadis itu. Keadaannya sangat men-

cemaskan. Tangan kanannya buntung, mengelua-

rkan banyak darah segar. Wajahnya pucat pasi, 

Bibirnya bergetar-getar hebat, menahan nyeri 

yang menusuk ulu hati. Pengemis muda itu tidak


lain salah seorang anggota Pengemis Tongkat Hi-

tam yang selamat dari tangan-tangan maut Raja 

Golok Dari Utara dan Denok Supi di puncak Gu-

nung Merapi, saat Pengemis Penjelajah dijadikan 

sasaran untuk mengadu tenaga dalam!

"Paniti! Apa yang terjadi denganmu?!" sen-

tak Salindri yang mengenali pemuda ini kaget bu-

kan kepalang. Buru-buru jari-jari tangannya yang 

lentik menotok pangkal lengan pengemis muda 

itu hingga darah yang mengucur terhenti.

"Kau mengenal pemuda ini, Sobat?" tanya 

Soma, yang tahu-tahu telah berdiri di samping 

Salindri.

"Iya. Dia adalah salah seorang anggota 

Pengemis Tongkat Hitam yang diketuai ayahku," 

jelas Salindri tanpa mengalihkan perhatian pada 

pemuda tampan di sampingnya. Jari-jari tangan-

nya yang mungil kembali bergerak menotok ke 

tengkuk pengemis muda itu hingga tersadar. 

"Oh...! Kau.... Kau Nona Salindri," desah 

pengemis muda bernama Paniti dengan susah 

payah begitu matanya terbuka.

"Iya. Aku Salindri. Mengapa kau bisa terlu-

ka seperti ini? Siapa yang telah melakukannya?" 

sahut Salindri.

"Raj..., Raja Golok. Dan..., dan Denok Supi 

di puncak Gunung Merapi. Me..., mereka juga te-

lah menahan Kakang Respati, si..., si Pengemis 

Penjelajah," jelas Paniti dengan napas tersengal 

menjelang ajal

"Lantas, bagaimana Respati, Paniti?" tanya


Salindri mulai kalap,

"Mungkin..., mungkin telah tewas..., 

ohh...!" keluh Paniti memanjang. Kepalanya ter-

kulai ke kiri dan tak bergerak-gerak lagi. Mati!

Salindri menggeretakkan gerahamnya 

kuat-kuat.

"Partai Pengemis Tongkat Hitam tidak per-

nah berselisih paham dengan mereka. Tapi men-

gapa mereka mulai menurunkan tangan keji pada 

anggota-anggota Pengemis Tongkat Hitam? Aku 

harus menuntut balas atas kematian saudara-

saudara satu golongan!" desis Salindri, penuh 

kemarahan.

"Ya ya ya...! Aku mengerti. Tapi, apa tidak 

sebaiknya kita kubur saja kawanmu ini?!" timpal 

Soma.

Salindri mendongak ke atas. Tak sepatah 

kata pun keluar dari bibirnya yang bergetar-getar.

Soma yang dijuluki Siluman Ular Putih 

mengerti kesedihan gadis itu. Maka tanpa banyak 

cakap lagi pemuda ini mulai menggali tanah di 

sekitarnya, menggunakan tongkat hitam milik 

Paniti.

Karena mengerahkan tenaga dalamnya, 

beberapa saat kemudian, Soma telah membuat 

Hang kabur buat pengemis muda itu.

Namun ketika Soma hendak mengangkat 

tubuh pengemis muda yang telah membeku itu, 

tiba-tiba saja pandangannya yang tajam menang-

kap dua kelebatan bayangan yang melintas di ha-

dapannya menuju ke puncak Gunung Merapi.


Yang satu berpakaian merah dengan rambut di-

kuncir ke belakang. Sedang di sampingnya seo-

rang laki-laki bertubuh tegap dengan mengena-

kan pakaian serba putih.

Sejenak Soma mengamati kedua orang di 

depan sana dengan seksama. Namun karena te-

rangnya sinar rembulan malam itu agak terhalang 

oleh rimbunnya hutan bambu, membuat Soma 

sulit sekali mengenali. Pemuda ini hanya melihat 

gerakan kedua kaki orang itu yang sangat cepat. 

Malah dalam waktu tidak lama, bayangan tubuh 

kedua orang itu pun lenyap di antara rimbunnya 

hutan bambu di depan sana.

"Siapa mereka, Soma?" tanya Salindri, mu-

lai memanggil nama pemuda itu.

Soma mengangkat kedua bahunya.

"Mana aku tahu?" sahut pemuda tampan 

ini kalem.

Salindri memberengut. Tak puas dengan 

jawaban Soma.

"Lho? Kok, malah cemberut? Sungguh aku 

tidak tahu siapa mereka. Tapi kalau kau masih 

penasaran, nanti kita bisa mengikutinya setelah 

menguburkan mayat temanmu ini," tukas Soma.

Salindri diam tak menyahut. Diam-diam 

hatinya semakin mengagumi pemuda tampan di 

hadapannya. Ketika Soma mulai meletakkan 

mayat Paniti ke dalam lubang kubur, Salindri pun 

segera membantu.

***


Kalau saja Soma tahu siapa kedua bayan-

gan orang itu, terutama sekali gadis cantik yang 

berpakaian merah-merah, pasti akan mengejar. 

Gadis berpakaian merah-merah itu tidak lain dari 

Ratih. Sedang di sampingnya berlari seorang laki-

laki berpakaian putih-putih. 

Laki-laki itu tidak begitu tinggi, namun 

bentuk tubuhnya tegap. Wajahnya putih bersih 

tanpa kumis dan jenggot. Sebilah gagang pedang 

nampak tersembul di balik punggungnya.

Dan di saat orang itu tengah berlari ken-

cang menuju ke puncak Gunung Merapi, menda-

dak terdengar pekik-pekik ketakutan yang da-

tangnya dari sebelah utara. Laki-laki itu cepat 

menarik lengan Ratih. Segera mereka berbelok ke 

arah utara, untuk melihat apa yang terjadi.

Begitu sampai di tempat kejadian, mata 

kedua orang itu langsung terbelalak lebar. Tam-

pak di hadapan mereka sesosok tubuh tinggi be-

sar dengan kulit hitam legam telah menghadang. 

Sedang di kanan-kiri raksasa hitam itu beberapa

orang pengemis berpakaian tambal-tambalan ten-

gah lari tunggang langgang, lalu menghilang di 

balik kegelapan malam.

Seketika itu juga Ratih dan laki-laki di se-

belahnya menghentikan langkah. Wajah gadis itu 

bahkan menjadi pucat pasi. Belum pernah ia me-

lihat makhluk mengerikan dengan taring-taring 

panjang itu. Namun, rupanya, tidak demikian 

dengan laki-laki tua di sebelahnya. Dan agaknya


raksasa hitam tinggi besar di hadapannya itu su-

dah cukup dikenalnya.

"Lekaslah kembali ke wujudmu semula, 

Raja Penyihir! Apa kau lupa, siapa aku?" teriak 

laki-laki berpakaian putih ini lantang.

Ratih sebentar memandang raksasa hitam 

tinggi besar di hadapannya dengan sinar mata 

ngeri. Sebentar kemudian tatapannya beralih pa-

da laki-laki di sebelahnya.

"Romo mengenal raksasa hitam ini?" tanya 

Ratih kurang percaya.

Laki-laki tua yang ternyata ayahnya Ratih 

ini menganggukkan kepalanya.

"Siapa kau?! Apakah kau teman dari jem-

bel-jembel angkuh itu?"

Terdengar suara raksasa hitam besar itu. 

Suaranya berat, menggema di seputar lembah.

"Aku Gagak Seto, Paman dari Pendekar Ku-

jang Emas! Dan aku Tumenggung Kerajaan Mata-

ram!" teriak lelaki berusia lima puluh tahun lebih 

itu lantang.

"Hmm...!" raksasa hitam tinggi besar itu 

mendengus. Suaranya tetap menggema memenu-

hi lembah.

"Lekaslah kau kembali ke wujudmu, Raja 

Penyihir!" teriak laki-laki berpakaian putih-putih 

bernama Gagak Seto.

Raksasa hitam tinggi besar yang tidak lain 

Raja Penyihir perlahan-lahan menyusutkan tu-

buhnya. Dan dalam waktu tidak lama, raksasa hi-

tam tinggi besar itu mulai berubah menjadi kakek


tua bercaping pandan!

"Selamat berjumpa kembali, Ki Damar Su-

to!" sapa Gagak Seto ramah.

"Diam! Aku tak suka peradatan macam be-

gini!" bentak Raja Penyihir yang ternyata bernama 

Ki Damar Suto itu, galak.

Gagak Seto yang sangat dihormati di ka-

langan keratonpun nampak tidak tersinggung 

oleh ucapan kasar Raja Penyihir. Namun tidak 

demikian dengan Ratih....

"Jaga mulutmu yang lancang, Orang Tua! 

Atau ku robek-robek mulutmu dengan pedangku, 

he!" bentak Ratih berani.

Gagak Seto cemas sekali. Ia takut kalau 

Raja Penyihir yang aneh ini akan murka.

"Diam dulu, Ratih! Biarkan Romomu yang 

bicara!" bisik Gagak Seto lirih.

Ratih memberengut kesal. Namun toh, di-

turutinya juga perintah romonya.

"He he he...! Ucapan putrimu yang cantik 

jelita ini sungguh membuat telingaku memerah, 

Gagak Seto. Kalau kau tidak dapat memberi bebe-

rapa keterangan padaku, jangan salahkan kalau 

aku terpaksa sedikit memberi pelajaran padamu!"

"Katakanlah! Barangkali aku dapat mem-

beri keterangan padamu," ujar Gagak Seto kalem.

"He he he...! Tidak terlalu sulit pertanyaan-

ku untuk dijawab, Gagak Seto. Pertama, apakah 

kau tahu di mana calon muridku berada?"

"Ah...! Pertanyaanmu aneh sekali, Ki. Mana 

aku tak tahu. Jangankan untuk memberi keterangan di mana calon muridmu itu berada, men-

getahui orangnya pun aku belum."

"Satu! Pertanyaanku belum dijawab dengan 

baik. Kalau kau tidak juga dapat menjawab per-

tanyaanku yang kedua ini, terpaksa sekali aku 

harus menghajarmu!" ancam Raja Penyihir tak 

sabar.

"Kau curang sekali, Raja Penyihir! Mau 

seenaknya saja memaksakan keinginanmu. Kalau 

Romoku tidak tahu, kau mau apa?!" tantang Ra-

tih sengit.

"Sudahlah, Ratih! Biarkan Raja Penyihir bi-

cara!" ujar Gagak Seto pada putrinya.

Ratih cemberut. Matanya yang indah me-

mandang Raja Penyihir penuh kebencian.

"He he he...! Benar! Benar sekali apa yang 

kau katakan. Rupanya kau cukup bijaksana..., 

Raja Penyihir tertawa-tawa senang. "Nah! Dengar 

pertanyaanku yang kedua, Gagak Seto. Calon 

murid yang sedang kucari-cari mempunyai ke-

pandaian silat yang tinggi. Bahkan bisa berubah 

wujud menjadi Siluman Ular Putih. Apakah kau 

tahu, siapa nama pemuda itu. Siapa nama gu-

runya. Dan, di mana tempat tinggalnya?" beron-

dong Raja Penyihir sekaligus.

Gagak Seto bingung sekali. Jangankan un-

tuk mengetahui siapa guru dan tempat tinggal 

pemuda yang dimaksudkan Raja Penyihir. Men-

genal orangnya pun, belum. Lantas, bagaimana 

dapat memberi keterangan pada Raja Penyihir?!

"Aku tahu nama pemuda itu!" kata Ratih


tiba-tiba.

"Siapa?" tanya Raja Penyihir, hampir ber-

samaan dengan Gagak Seto.

"Soma!" kata Ratih, seraya mengangkat bi-

birnya sinis.

"Kau tidak berbohong?" tukas Raja Penyi-

hir, masih belum percaya.

"Tidak ada gunanya berbohong. Aku sudah 

beberapa kali bertemu dengan pemuda sinting 

itu."

"Baik! Kalau begitu, kau pun tahu siapa 

nama gurunya. Dan, di mana tempat tinggalnya, 

bukan? Nah! Sekarang, katakanlah, Anak Manis!" 

kata Raja Penyihir kegirangan.

Kali ini gantian Ratih yang kebingungan. 

Meski sudah beberapa kali bertemu Soma yang 

diam-diam mulai mengusik hatinya, tapi mana 

tahu nama guru pemuda itu? Apalagi tempat 

tinggalnya?

"Aku..., aku...! Aku..., aku hanya mengenal 

namanya saja," jawab Ratih gelagapan.

"Tidak mungkin! Kau pasti tahu, siapa gu-

runya. Dan, di mana tempat tinggalnya!" desak 

Raja Penyihir tidak mau tahu kesulitan Ratih dan 

Gagak Seto.

"Sungguh aku tidak tahu...," jawab Ratih 

gelagapan. 

"Baiklah. Kalau kau masih belum mau 

memberi keterangan padaku, terpaksa sekali aku 

harus menggebukmu."

Raja Penyihir bersiap-siap mengerahkan


kekuatan sihirnya. Bibirnya yang kehitaman mu-

lai berkemik-kemik.

Sementara Gagak Seto berdiri dengan kaki 

tegang di tempatnya.

Ratih celingukan, tak tahu apa yang harus 

diperbuat...

Pada saat Raja Penyihir mulai mengerah-

kan kekuatan batinnya, tiba-tiba saja....

"Huaaa ha ha...! Siapa sudi jadi calon mu-

ridmu, Badut Tua! Kau pikir, kau dapat menga-

lahkan aku dengan permainan anak-anakmu itu, 

he?! Jangan mimpi Badut Tua!"

Ketiga orang itu dikejutkan oleh tawa se-

seorang yang sangat melecehkan Raja Penyihir.

Raja Penyihir menggeram penuh kemara-

han. Bibirnya tidak lagi berkemik-kemik. Hanya 

pandangan matanya saja yang tajam memperha-

tikan semak-semak di depannya.

***

Soma dan Salindri cepat keluar dari tempat 

persembunyiannya. Seperti yang telah disepakati, 

begitu kedua orang itu selesai menguburkan 

mayat pengemis muda anggota Pengemis Tongkat 

Hitam, kedua anak muda itu langsung mengikuti 

bayangan merah-merah dan putih yang tadi me-

lintas di hadapannya.

Dan ketika sampai di luar hutan bambu, 

hati Soma jadi tersentak ketika melihat bayangan 

merah yang ternyata Ratih. Dan gadis itu sudah 

sangat dikenalnya. Namun, pemuda itu tak mengenal, siapa laki-laki bertubuh tegap di samping 

gadis itu. Dan ketika Raja Penyihir menyebut-

nyebut tentang dirinya, Soma jadi tidak tahan lagi 

untuk tidak keluar dari tempat persembunyian-

nya.

Sebenarnya kalau saja Soma yang bergelar 

Siluman Ular Putih tidak terlambat sampai di 

tempat itu, tentu akan terkejut mendengar pen-

gakuan orang di samping Ratih. Karena laki-laki 

itu sebenarnya masih terhitung paman dari Pen-

dekar Kujang Emas, ayahnya! Sayang, pemuda ini 

hanya mendengar buntut dari percakapan mereka 

yang menyinggung-nyinggung tentang dirinya. 

Sehingga ia tidak mengenal, siapa laki-laki beru-

sia lima puluh lima tahunan di samping Ratih.

"Ha ha ha...! Mengapa kau melotot seperti 

melihat setan gondrong saja, Badut Tua? Ayo, ke-

jar aku! Katanya kau ingin menjadikan aku mu-

ridmu!" tantang Soma menggoda.

Dan sehabis berkata begitu, Soma pun se-

gera menggandeng lengan Salindri meninggalkan 

tempat itu.

Raja Penyihir geram bukan main. Tanpa 

mempedulikan Ratih dan Gagak Seto lagi segera 

dikejarnya Soma. Namun sayangnya ilmu merin-

gankan tubuh orang tua bercaping pandan itu ti-

daklah sehebat Soma. Sehingga, ia dapat diper-

mainkan Soma dengan mudah.

"Ayo, Badut Tua! Kejar aku! Mengapa letoi 

amat? Apa kau tadi habis berkencan dengan ular-

ularmu, ya?" celoteh Soma sambil terus menggandeng gadis cantik di sampingnya.

Ratih yang melihat Soma menggandeng ga-

dis cantik berpakaian tambal-tambalan yang be-

lum dikenalnya, entah mengapa jadi gusar sekali. 

Tanpa sadar gerahamnya bergemelutuk penuh 

kemarahan.

"Aku harus mengejarnya, Romo."

Ratih cepat menjejakkan kedua kakinya 

meninggalkan ayahnya. Namun sayangnya tangan 

Gagak Seto keburu menangkap lengannya.

"Jangan, Ratih! Terlalu berbahaya. Lagi pu-

la, buat apa mengejar mereka? Urusan kita sendi-

ri dengan Manusia Rambut Merah pun belum 

beres. Ayo, cepat tinggalkan tempat ini!"

"Tapi...."

"Sudahlah, Ratih! Jangan banyak memban-

tah! Turuti saja kata-kata Romo!"

Gagak Seto cepat meraih lengan putrinya. 

Langsung diajaknya gadis itu naik ke puncak Gu-

nung Merapi yang menjulang tinggi di hadapan-

nya.

Sedang Ratih hanya dapat memberengut 

kesal. Matanya terus memperhatikan Soma yang 

sedang menggoda Raja Penyihir dengan sinar ma-

ta cemburu! Sebenarnya hatinya juga gemas, 

mengapa ayahnya mesti menyusulnya?

Memang semula Gagak Seto sendiri yang 

menyuruh putri tunggalnya itu untuk menyelidiki 

keberadaan Manusia Rambut Merah. Namun se-

telah menunggu beberapa saat, Ratih belum juga 

pulang memberi laporan, Tumenggung Kerajaan


Mataram ini jadi mencemaskan keselamatan pu-

trinya. Dan tanpa diiringi satu orang prajurit pun, 

dan dengan berpakaian biasa, ia menyusul pu-

trinya. Kebetulan sekali, mereka bertemu di Lem-

bah Klidung. Sebuah lembah yang membentang 

antara kaki Gunung Sumbing dan Gunung Sindo-

ro. Dari lembah inilah ayah dan anak itu melaku-

kan perjalanan menuju ke puncak Gunung Mera-

pi!

6

Pertempuran di puncak Gunung Merapi 

antara para datuk sesat dari empat penjuru angin 

terlihat makin seru. Meski dikeroyok tiga orang 

saingan utamanya, rupanya Algojo Dan Timur 

masih mampu bertahan dengan mengandalkan 

pukulan 'Badai Gurun Pasir' dan pukulan 

'Pemecah Bumi'. Namun lambat laun disadari ka-

lau begini terus-menerus sudah pasti akan roboh 

juga.

"Tunggu...! Apakah begini cara kalian un-

tuk menentukan datuk sesat nomor satu di anta-

ra kita?!" bentak Algojo Dari Timur menyindir, se-

telah baru saja dapat meloloskan diri dari gempu-

ran-gempuran ketiga orang saingan utamanya 

dengan cara melompat tinggi keluar dan kancah 

pertempuran.

"Aku paling benci melihat orang pongah


sepertimu, Setan Botak. Secara langsung maupun 

tidak, omonganmu tadi sangat merendahkan ka-

mi. Lantas, apakah cara ini salah?" tukas Denok 

Supi, segera maju selangkah. Agaknya menjadi 

juru bicara kedua orang temannya.

"Salah besar kalau kalian mengatakan aku 

pongah. Apa tindakan kalian selama ini di dunia 

persilatan tidak demikian? Ayo jawab, Denok!" 

dengus Algojo Dari Timur memojokkan.

Denok Supi yang merasa dipojokkan jadi 

terdiam. Hanya matanya saja yang melotot me-

mandang ke arah Algojo Dari Timur.

"Siapa peduli?! Bagaimanapun juga kau te-

lah merendahkan Kami. Kalau kami menge-

royokmu, apa yang dapat kau perbuat?!" bentak 

Raja Golok Dari Utara.

"Tidak ada pilihan kecuali terus melawan! 

Hanya aku menyayangkan, tak kusangka datuk-

datuk sesat yang berjuluk Raja Golok Dari Utara, 

Raja Racun Dari Selatan, dan kan Denok Supi, 

ternyata mempunyai watak demikian rendah. 

Memalukan!" teriak Algojo Dari Timur.

Meski juga digolongkan sebagai datuk sesat 

yang merajai di daerah timur, namun sebenarnya 

Algojo Dan Timur paling benci melihat cara-cara 

licik yang sering dilakukan golongan hitam. 

Hanya karena tindakannya yang kejam ketika 

menumpas musuh-musuhnya demi kepentingan 

pribadinya, baik dari golongan putih maupun go-

longan hitam itu sendiri, maka tak heran kalau ia 

mendapat julukan Algojo Dari Timur!


"Jangan sok alim, Setan Botak! Semua 

orang di dunia persilatan tahu, siapa dirimu. Pa-

kai berkhotbah segala!" cibir Denok Supi sengit.

"Buat apa kita berdebat dengan manusia 

satu ini? Lebih baik enyahkan saja biar urusan 

cepat selesai!" teriak Raja Racun Dari Selatan 

dengan suara sember.

"Betul! Mari kita cincang setan gundul ini 

ramai-ramai, Kawan!" teriak Raja Golok Dari Uta-

ra tak sabar.

Dan sehabis berkata begitu, Raja Golok 

pun kembali menyerang Algojo Dari Timur hebat. 

Gerakan golok di tangan kanannya menyambar-

nyambar ganas mengurung pertahanan lawannya.

Melihat Raja Golok Dari Utara telah men-

dahului menyerang, Raja Racun Dari Selatan dan 

Denok Supi pun tidak mau ketinggalan. Dengan 

jurus-jurus andalan, mereka kembali menggem-

pur Algojo Dari Timur.

Bukan main hebatnya serangan ketiga to-

koh sesat itu. Dan ini membuat Algojo Dari Timur 

benar-benar kewalahan. Andai saja ketiganya ma-

ju satu persatu, belum tentu dapat merobohkan 

tokoh sesat dari timur itu. Namun kali ini uru-

sannya sudah lain. Mau tidak mau, Algojo Dari 

Timur harus menghadapi mereka. Dan entah su-

dah berapa kali tubuhnya yang tinggi besar itu 

terpaksa berjumpalitan ke sana kemari menghin-

dari bacokan-bacokan golok Raja Golok Dari Uta-

ra dan jepitan gunting di tangan Denok Supi.

Sekarang pada jurus yang kesebelas, Algojo


Dari Timur benar-benar mati kutu. Bacokan golok 

di tangan Raja Golok yang datang dari depan 

sungguh sulit dihindari. Belum lagi serangan 

gunting Denok Supi yang datangnya dari samping 

kiri. Mau berkelit ke samping kanan, jelas tidak 

mungkin. Karena di sana ada Raja Racun yang 

siap dengan pukulan 'Telapak Kelabang Hitam'-

nya.

"Hyaaat!"

"Hyaaat...!"

Cring!

Algojo Dari Timur nekat menangkis golok di 

tangan Raja Golok Dari Utara dengan parang pan-

jangnya. Sedang serangan Denok Supi yang da-

tang dari kiri hanya dihindari dengan berkelit ke 

samping kanan. Sangat berbahaya sekali sebe-

narnya. Karena di samping kanan, Raja Racun 

Dari Selatan siap dengan pukulan 'Telapak Kela-

bang Hitam'. Dan....

Bukkk!

"Aaakh...!"

Tanpa ampun lagi, tubuh raksasa Algojo 

Dari Timur langsung terlempar beberapa tombak 

ke belakang begitu pukulan 'Telapak Kelabang Hi-

tam' Raja Racun Dari Selatan menghantam pung-

gungnya. Seketika itu juga, wajah Algojo Dari Ti-

mur menjadi pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar 

hebat, pertanda mengalami luka dalam cukup 

lumayan. Untung saja tadi tubuhnya yang terke-

na pukulan sempat dilindungi tenaga dalam. Se-

hingga tidak begitu membahayakan keselamatan


nya.

"Hoeeekh...!"

Algojo Dari Timur muntahkan darah segar. 

Dadanya terasa sesak akibat racun kelabang hi-

tam yang bersarang di tubuhnya mulai bekerja. 

Buru-buru tangannya merogoh saku, mengambil 

obat pulung yang langsung ditelannya. Kemudian 

dengan tertatih-tatih dicoba bangun.

"Ha ha ha...! Bersiap-siaplah menemui ib-

lis-iblis gentayangan di dasar neraka, Setan Bo-

tak!" teriak Raja Golok Dari Utara sebelum berge-

rak ke depan dengan golok di tangan.

Tentu saja Denok Supi dan Raja Racun Da-

ri Selatan tak mau kalah. Dengan jurus-jurus an-

dalan, kedua orang tokoh sesat itu pun kembali 

menerjang ganas Algojo Dari Timur yang sudah 

terluka.

"Hyaaat...!"

"Hyaaat...!"

Algojo Dari Timur kali ini benar-benar ne-

kat ingin mengadu nyawa. Parang panjangnya 

yang siap menangkis golok di tangan Raja Golok, 

sekaligus menangkis gunting di tangan Denok 

Supi. Sedang serangan Raja Racun yang mengan-

dalkan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam', 

siap dihadapi dengan pukulan 'Badai Gurun Pa-

sir'.

Namun belum sempat serangan-serangan 

ketiga tokoh sesat itu sampai di dekat tubuh Algo-

jo Dari Timur, mendadak tanah tempat berpijak 

bergetar-getar hebat. Selang beberapa kejap ke


mudian....

Brolll!

"Heh?!"

Tanah yang bergetar-getar hebat itu men-

dadak membuncah tinggi ke udara. Dan bersa-

maan dengan itu nampak sesosok bayangan me-

rah menyala muncul dari dasar bumi, dan men-

darat manis. Begitu ringannya hingga tak menim-

bulkan suara sedikit pun saat mendarat tak jauh 

dari Algojo Dari Timur berdiri!

Orang yang baru datang bertubuh tinggi 

besar. Pakaiannya berwarna merah darah. Ma-

tanya besar, demikian pula hidungnya. Sedang 

rambut, alis mata, kumis, dan jenggotnya pun 

berwarna merah menyala!

"Ma.... Manusia Rambut Merah...!" pekik 

keempat tokoh sesat dunia persilatan itu hampir 

berbarengan. 

***

"Ha ha ha...! Tidak salah lagi! Memang aku-

lah yang berjuluk Manusia Rambut Merah," kata 

sosok yang memang Manusia Rambut Merah ter-

tawa mengakak. Suara beratnya yang sarat tena-

ga dalam menggema ke segenap penjuru. "Kuden-

gar di sini akan diadakan pemilihan tokoh sesat 

di dunia persilatan? Lantas, mengapa kalian tidak 

memanggilku? Apa kalian pikir, ilmu kalian 

mampu menandingi ilmuku, he?!"

"Aku tidak pernah menganggap kau masuk


dalam hitungan kami. Untuk itu, lekaslah pulang 

ke sarangmu di Hutan Sawo Kembar sebelum go-

lokku merajam tubuhmu!" bentak Raja Golok ga-

rang.

Walau tadi sempat ciut nyalinya melihat 

ilmu Manusia Rambut Merah yang baru saja dipe-

ragakan, namun karena sikap congkaknya yang 

berlebihan membuat Raja Golok Dari Utara me-

mandang rendah.

"Kau terlalu memandang rendah padaku, 

Raja Golok! Karena kau telah berani lancang ber-

kata demikian, maka kau pulalah orang pertama 

yang akan kugebuk," desis Manusia Rambut Me-

rah penuh kemarahan.

"Majulah! Jangan hanya pintar mengumbar 

suara saja!" tantang Raja Golok Dan Utara, nekat.

"Setan alas! Jangan salahkan kalau aku 

sedikit kasar menggebukmu, Raja Golok!"

Manusia Rambut Merah cepat melolos 

cambuk pusakanya dari pinggang. Seketika dis-

erangnya Raja Golok dengan lecutan cambuknya.

Ctarrr...! 

Ctarrr...!

Cambuk hitam itu cepat meliuk-liuk me-

nyerang tubuh Raja Golok Dari Utara.

Tokoh sesat dari utara ini tersenyum men-

gejek. Golok mautnya segera digerakkan ke de-

pan, memapak serangan cambuk Manusia Ram-

but Merah.

Prattt!

Golok di tangan tokoh bertubuh pendek itu


berhasil memapak serangan. Namun anehnya, 

cambuk itu masih utuh seperti sediakala. Sama 

sekali tidak rusak akibat babatan goloknya. Bah-

kan tangan Raja Golok sendirilah yang merasa 

kesemutan akibat tangkisannya tadi.

"Ha ha ha...! Sekarang rasakan lecutan 

cambukku, Raja Golok," ejek Manusia Rambut 

Merah yang bernama asli Jarkasi ini.

Ctar!

Ctar!

Dua kali cambuk di tangan Ki Jarkasi 

menghajar tubuh Raja Golok Dari Utara tanpa 

dapat dihindari lagi.

"Augh...!"

Raja Golok Dari Utara memekik setinggi 

langit. Tubuhnya yang terkena cambuk langsung 

memerah. Sambil berdiri sempoyongan, matanya 

memandang Manusia Rambut Merah beringas.

"Teman-teman! Ayo, kita cincang iblis me-

rah ini ramai-ramai!" teriak Raja Golok Dan Utara 

pada teman-temannya.

Denok Supi dan Raja Racun Dari Selatan 

cepat bergerak ke depan. Mereka langsung me-

nyerang Manusia Rambut Merah dengan ganas. 

Sedang Algojo Dari Timur yang tadi mendapat lu-

ka parah akibat pukulan 'Telapak Tangan Kela-

bang Hitam' tengah duduk bersemadi untuk me-

mulihkan luka dalamnya.

"Kalian ini benar-benar tidak tahu diri! Apa 

kalian pikir dapat mengalahkan aku, he?!" bentak 

Ki Jarkasi angkuh.


"Jangan banyak bacot! Lihat saja, bagai-

mana nanti kami mencincang tubuhmu Manusia 

Rambut Merah!" balas Denok Supi merasa pena-

saran melihat Raja Golok Dari Utara dapat cedera 

dalam sekali gebrakan.

"Bagus, bagus! Aku jadi ingin melihat, apa-

kah kalian ini pantas mendapat julukan datuk-

datuk sesat yang tersohor di dunia persilatan ini!" 

ejek Manusia Rambut Merah.

Kali ini Ki Jarkasi tidak memberi hati lagi 

terhadap ketiga pengeroyoknya. Tanpa banyak 

membuang-buang waktu lagi, Manusia Rambut 

Merah menghentak tangan kirinya ke depan. Ma-

ka seketika itu juga serangkum angin dingin me-

luruk menyerang Denok Supi dan Raja Racun Da-

ri Selatan, Dan bersamaan dengan itu, kembali 

cambuk di tangan kanannya melecut di udara.

Ctarrr! 

Ctarrr!

Denok Supi, Raja Golok Dari Utara, dan 

Raja Racun kalang kabut menghadapi dua seran-

gan itu. Namun sebagai seorang tokoh sesat yang 

sudah banyak makan asam garam, mereka tidak 

gugup. Dengan sedikit miringkan tubuhnya ke ki-

ri, Denok Supi pun dapat menghindari pukulan 

'Kelabang Geni'. Sementara Raja Racun Dari Sela-

tan dan Raja Golok Dari Utara memberanikan diri 

menangkis serangan cambuk dan pukulan 

'Kelabang Geni'.

Plakkk!

Plakkk!


Blarrr...!

Manusia Rambut Merah yang tenaga da-

lamnya terbagi-bagi dalam serangannya jadi ter-

huyung-huyung akibat benturan tenaga dalam 

barusan. Namun untungnya tidak sampai mem-

bahayakan keselamatannya.

"He he he...! Rupanya hanya segini keheba-

tan Manusia Rambut Merah yang kesohor itu!" 

ejek Raja Racun Dari Selatan dengan suara semb-

er.

Ki Jarkasi menggeram penuh kemarahan. 

Jelas, ia paling tidak senang dilecehi orang. Maka 

segera cambuknya diselipkan lagi ke pinggang.

"Jangan berbangga dulu, Raja Racun! Apa 

kau belum merasakan ilmu 'Wejangan Iblis'-ku?!"

"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Ma-

nusia Rambut Merah! Sejengkal pun aku tak 

mundur?!" tantang Raja Racun Dari Selatan.

Ki Jarkasi tersenyum mengejek sambil 

memasang kuda-kuda. Kedua tangannya yang 

siap mengeluarkan ilmu 'Wejangan Iblis' yang ba-

ru saja disempurnakan di gua pantai utara ber-

sama gurunya Jerangkong Hidup, telah berubah 

menjadi merah menyala!

"Bersiap-siaplah kalian merasakan keheba-

tan ilmuku ini, Kawan! "Hyaaat...!"

Seleret sinar merah menyala seketika ke-

luar dari kedua telapak tangan Manusia Rambut 

Merah begitu dihentakkan.

Raja Racun Dari Selatan tidak berani me-

mandang rendah kehebatan pukulan 'Wejangan


Iblis'. Ia yang sudah cukup pengalaman tahu ka-

lau pukulan Manusia Rambut Merah mengan-

dung racun keji. Setelah membuat kuda-kuda, 

cepat dipapakinya dengan pukulan 'Telapak Tan-

gan Kelabang Hitam'.

"Hyaaat...!"

"Hyaaat...!"

Blarrr...!

Hebat bukan main akibat pertemuan dua 

tenaga dalam di udara barusan. Tanah di sekitar 

tempat itu bergetar hebat. Pohon-pohon pun men-

jadi layu. Sementara Manusia Rambut Merah 

nampak tenang-tenang saja di tempatnya. Sedikit 

pun tidak terpengaruh akibat pertemuan tenaga 

dalam tadi.

Dan rupanya tidak demikian dengan Raja 

Racun Dari Selatan. Tubuhnya langsung terpental 

ke belakang begitu benturan terjadi. Dan seketika 

itu juga wajahnya pucat pasi. Darah segar pun 

membasahi bibirnya.

"He he he...! Apa kalian belum juga mau 

mengakui kehebatan ilmuku? Ayo, siapa lagi yang 

mau maju!" tantang Ki Jarkasi pongah.

"Heh! Kau hanya mengandalkan pukulan 

mautmu saja. Apa kau berani menghadapi kami 

berdua dengan senjata cambukmu itu?" tukas Ra-

ja Golok Dari Utara belum juga mau mengalah.

"Apa bedanya? Toh aku dapat mengalah-

kan kalian. Dan aku pulalah yang pantas menda-

pat julukan datuk nomor satu di dunia persilatan 

ini," sahut Manusia Rambut Merah bangga.


"Aku mau mengakuimu sebagai datuk no-

mor satu di dunia persilatan, asal kau dapat 

mengalahkan kami dengan menggunakan cam-

bukmu itu, Manusia Rambut Merah!" kata Raja 

Golok Dari Utara masih membandel.

"Baik, baik! Kuterima tantanganmu ini. Ta-

pi, ingat! Kalau kau masih bertanya macam-

macam, terpaksa aku akan mengirim nyawamu 

ke neraka. Tahu?!" geram Ki Jarkasi jengkel.

"Majulah! Aku hanya ingin menjajal kehe-

batan cambukmu saja!" ujar Raja Golok Dari Uta-

ra.

Manusia Rambut Merah kesal. Tangannya 

yang kekar cepat melolos kembali cambuknya. 

Kemudian tanpa banyak cakap lagi, segera dis-

erangnya Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi.

Ctarrr! 

Ctarrr!

Meski dikeroyok begitu, cambuk Manusia 

Rambut Merah tetap dapat mengurung pertaha-

nan Denok Supi dan Raja Golok Dari Utara. Per-

lahan namun pasti, Ki Jarkasi terus mendesak 

kedua orang tokoh sesat dari barat dan utara itu 

hingga tidak dapat membalas serangan sama se-

kali.

Ctarrr!

Ctarrr!

"Aaakh...!"

"Auuhh...!"

Dua kali cambuk di tangan Manusia Ram-

but Merah melecut menyengat tubuh Denok Supi


dan Raja Golok Dari Utara hingga tersentak dan 

jatuh ke tanah. Mereka kontan memekik setinggi 

langit. Tubuh yang terkena cambuk langsung 

memerah.

"He he he...! Kalau saja kalian bukan satu 

golongan, sudah pasti akan kukirim nyawa anjing 

kalian ke neraka! Tahu?!" hardik Ki Jarkasi ga-

rang.

Denok Supi dan Raja Golok saling berpan-

dangan. Kini kedua orang itu tidak lagi bernafsu 

melanjutkan pertarungan. Mereka hanya bisa di-

am membisu di tempatnya.

"Bagus! Bagus! Mulai hari ini kalian be-

rempat harus mengakui aku sebagai datuk sesat 

nomor satu di empat penjuru mata angin. Siapa 

yang berani menentang keputusanku ini, berarti 

mati!" teriak Ki Jarkasi angkuh.

"Dan satu lagi! Cepat cari keterangan ten-

tang seorang pemuda yang dapat menjelma men-

jadi Siluman Ular Putih! Syukur kalau kalian da-

pat menghabisinya sekalian. Kalau tidak, cepat 

beri laporan padaku! Mengerti?!"

"Baik!" sahut para tokoh sesat yang bi-

asanya berpenampilan garang itu, patuh.

"Nah! Sekarang enyahlah kalian dari hada-

panku!" perintah Manusia Rambut Merah ang-

kuh.

"Baik!" 

Para tokoh sesat itu serempak bangkit. 

Demikian pula Algojo Dari Timur yang masih ter-

luka dalam. Namun belum sempat mereka bergerak dari tempatnya....

"Tunggu...! Kau tidak boleh meninggalkan 

tempat ini, Manusia Rambut Merah! Aku akan 

membuat perhitungan denganmu!"

Mendadak dari arah utara puncak Gunung 

Merapi terdengar seseorang berteriak-teriak lan-

tang, menantang Manusia Rambut Merah!

***

Di hadapan Manusia Rambut Merah dan 

keempat orang tokoh sesat yang telah ditakluk-

kannya, berdiri seorang laki-laki berpakaian putih 

dan seorang gadis berpakaian merah-merah. Me-

reka tak lain Gagak Seto dan Ratih, putrinya.

Manusia Rambut Merah mendengus. Ma-

tanya yang memerah memandangi Gagak Seto 

dan gadis itu dengan tatapan congkak!

"Lihatlah! Bagaimana caranya aku meng-

hajar orang-orang yang mencari mati di tempat 

ini," kata Ki Jarkasi pada keempat orang tokoh 

sesat ini, tanpa sekedip pun menoleh.

Keempat tokoh sesat yang semula bermak-

sud meninggalkan puncak Gunung Merapi jadi 

mengurungkan niatnya. Dan tanpa diperintah 

pun, mereka telah mengurung Gagak Seto dan 

Ratih.

"Lagakmu sombong sekali, Manusia Ram-

but Merah! Aku datang kemari bukannya ingin 

menangkapmu. Melainkan ingin mencabut nyawa 

anjingmu atas meninggalnya keponakanku, Pendekar Kujang Emas tahun lalu!"

"Ha ha ha...! Mengapa kau tidak bawa ke-

mari Pendekar Pedang Kilat buana sekalian, biar 

masalah ini cepat selesai?!" kata Manusia Rambut 

Merah di antara tawanya yang menggema ke seki-

tarnya.

"Tidak perlu aku membawa-bawa beliau 

kemari. Aku sendiri, Gagak Seto cukup mampu 

mengirim nyawa anjingmu ke neraka!" tantang 

Gagak Seto, berani.

Tangan kanannya cepat melolos pedang 

dari pinggang. 

Sret!

Ratih yang melihat ayahnya sudah menca-

but pedang pun cepat mencabut pedangnya pula. 

Gadis ini siap membantu ayahnya menghadapi 

Manusia Rambut Merah.

"Cepat keluarkan semua kepandaian kalian 

kalau benar-benar ingin mencari mati!" tantang Ki 

Jarkasi mengejek.

"Kunyuk merah besar kepala! Terimalah 

kematianmu hari ini! Hyaaat....!" teriak Ratih 

sambil meluruk deras. Pedang di tangan kanan-

nya telah menyambar-nyambar ganas.

Ki Jarkasi tersenyum mengejek. Dan tiba-

tiba jubah merahnya dikebutkan sekali. Maka se-

ketika itu juga serangkum angin dingin meluruk 

deras.

"Ah...!"

Ratih memekik. Tubuhnya yang terkena 

sambaran angin kebutan Manusia Rambut Merah


langsung terlempar ke belakang.

Dan Gagak Seto cepat menyerang, begitu 

melihat putrinya yang terpental ke belakang dike-

jar Manusia Rambut Merah. Hebat sekali seran-

gan pedang Tumenggung Kerajaan Mataram ini, 

karena telah mengeluarkan jurus andalannya.

"Hyaaat...! Hyaaat...!"

Gagak Seto semakin mempercepat seran-

gannya. Ia yang cukup tahu kehebatan musuh-

nya, tidak mau membuang-buang waktu lagi. Te-

rus digempuri Manusia Rambut Merah dengan 

hebat.

Untuk beberapa saat, Gagak Seto cukup 

dapat merepotkan Manusia Rambut Merah. Na-

mun setelah Ki Jarkasi mencabut cambuknya, 

perlahan-lahan ayahnya Ratih ini mulai terdesak.

Ratih yang tadi sempat merasakan keli-

haian Manusia Rambut Merah dalam segebrakan 

saja, cepat kembali maju menyerang dengan pe-

dangnya.

Ctarrr!

Ctarrr!

Beberapa kali cambuk di tangan Manusia 

Rambut Merah menyengat udara. Dan beberapa 

kali pula tubuh Gagak Seto dan Ratih tersengat 

lidah cambuk. Seketika itu juga pakaian yang di-

kenakan mereka koyak di sana sini. Sementara 

bagian tubuh yang terkena lecutan tampak me-

merah!

Manusia Rambut Merah tertawa terbahak-

bahak. Lecutan-lecutan cambuknya terdengar


makin menggiriskan.

"Biar lebih enak kita bertarung, bagaimana 

kalau putrimu yang cantik ini diamankan dulu, 

Gagak Seto?"

Sebelum kata-kata habis, Ki Jarkasi berke-

lebat cepat. Dan tahu-tahu tangannya terjulur 

menotok pundak Ratih yang belum bisa mengua-

sai keadaannya.

Tuk!

"Aaah...!"

Ratih mengeluh. Tubuhnya yang terkena 

totokan langsung ambruk ke tanah.

"Demi Tuhan! Kalau kau mengganggu pu-

triku, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ma-

nusia Rambut Merah!" pekik Gagak Seto kalap 

bukan main melihat putri tunggalnya dapat di-

lumpuhkan Manusia Rambut Merah.

Ki Jarkasi tersenyum mengejek. Begitu 

berbalik, lecutan-lecutan cambuknya kembali 

bergerak cepat. 

Ctarrr! Ctarrr!

Mendapat serangan demikian, Gagak Seto 

kewalahan bukan main. Dan kini tubuhnya telah 

terkurung lecutan-lecutan cambuk Manusia 

Rambut Merah. Bahkan entah sudah beberapa 

kali tubuhnya yang memerah tersengat cambuk. 

Untung saja ia masih dapat bertahan. Beberapa 

kali tubuhnya melompat ke belakang sehingga 

keadaannya tak semakin parah.

Ki Jarkasi geram bukan main. Ia sudah ti-

dak sabar ingin merobohkan Gagak Seto. Maka


lecutan-lecutan cambuknya makin dipercepat. 

Sementara tangan kirinya telah berubah merah 

menyala, siap melancarkan pukulan 'Kelabang 

Geni'.

Ctarrr!

Ctarrr!

"Hyaaat...!"

Kali ini serangan-serangan Manusia Ram-

but Merah sungguh hebat bukan main. Diiringi 

lecutan-lecutan cambuknya yang menggiriskan, 

tangan kiri Ki Jarkasi melontarkan pukulan 

maut.

Wesss!

Gagak Seto memutar pedangnya, menang-

kis lecutan-lecutan cambuk di tangan kanan Ma-

nusia Rambut Merah. Pada saat yang sama tan-

gan kiri Manusia Rambut Merah berkelebat ke 

depan.

Seketika itu juga, wajah Gagak Seto pucat 

pasi berkesiurnya angin dingin yang datang da-

lam jarak yang demikian dekat rasa-rasanya sulit 

sekali dihindari. Apalagi tubuhnya sendiri pun 

sempat bergetar hebat, setelah menangkis seran-

gan cambuk.

"Romo! Awas...!" teriak Ratih kalang kabut.

Wesss...!

Namun tiba-tiba saja seleret sinar putih te-

rang yang entah dari mana datangnya, menghan-

tam pukulan 'Kelabang Geni' yang dilontarkan 

Manusia Rambut Merah.

Blarrr...!


Terdengar suara berdentum keras sekali, 

akibat benturan dua tenaga dalam tingkat tinggi 

di udara. Tanah di sekitar puncak Gunung Merapi 

bergetar hebat. Pohon-pohon pun menjadi layu!

Mata Manusia Rambut Merah terbelalak 

lebar. Tubuhnya yang tinggi besar sempat berge-

tar hebat akibat benturan tenaga dalam barusan. 

Dan sekarang di hadapannya telah berdiri seo-

rang pemuda tampan dengan celana dan rompi 

bersisik warna putih keperakan.

Tubuh pemuda itu tinggi kekar. Kulit wa-

jahnya putih bersih. Matanya yang agak kebiru-

biruan bersinar tajam seperti mata rajawali. Se-

dang rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai 

di bahu. Sebuah rajahan bergambar ular putih di 

dada kanan, nampak terlihat dari rompinya yang 

terbuka tanpa kancing.

Sementara di belakang pemuda yang masih 

tersenyum-senyum nakal memandang Manusia 

Rambut Merah, berdiri seorang gadis cantik ber-

pakaian tambal-tambalan. Di samping gadis ini 

berdiri pula seorang lelaki tua bertubuh tinggi ku-

rus yang juga mengenakan pakaian tambal-

tambalan. Sedang jauh di belakangnya nampak 

terlihat seorang lelaki tua bercaping pandan ten-

gah terseok-seok menaiki puncak Gunung Mera-

pi.

"Siluman Ular Putih...!" teriak Ratih kegi-

rangan setelah tahu siapa pemuda tampan yang 

telah menyelamatkan nyawa ayahnya.

Mendengar disebutnya Siluman Ular Putin


yang sedang diperbincangkan banyak orang, se-

ketika itu juga Manusia Rambut Merah dan juga 

semua orang yang berada di puncak Gunung Me-

rapi jadi terkejut bukan main. Mereka semua ti-

dak menyangka kalau orang yang dijuluki Silu-

man Ular Putih ternyata masih muda

"Kaukah orang yang bergelar Siluman Ular 

Putih?!" desis Manusia Rambut Merah garang,

begitu melihat orang yang dicari-carinya telah 

menampakkan batang hidungnya.

"Kalau iya, kau mau apa?!" tukas Soma 

acuh tak acuh.

Ki Jarkasi melotot lebar. Saking marahnya, 

ia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata.

Soma tidak mempedulikannya. Malah ke-

palanya berpaling ke arah Ratih.

"Selamat bertemu kembali, Kawanku Yang 

Cantik! Kenapa kau hanya tiduran saja di situ? 

Apa kau lebih senang melihat nyawa orang me-

layang sambil tiduran begitu?" sapa Soma alias 

Siluman Ular Putih kalem tanpa menghiraukan 

kemarahan Manusia Rambut Merah.

"Putriku tertotok."

Gagak Seto yang baru saja diselamatkan 

nyawanya oleh Soma segera menyahuti sambil 

menghampiri putrinya untuk melepaskan toto-

kan.

"Oh...! Jadi Ratih itu putrimu ya, Orang 

Tua? Pantas saja wajahnya cantik sekali. Habis, 

ayahnya ganteng, sih! Tidak seperti kunyuk me-

rah itu!" tunjuk Soma pada Manusia Rambut Merah. "Untung saja ayahmu bukan kunyuk merah 

itu. Kalau iya, bukannya tidak mungkin gigimu 

pun merah. Hik hik hik...! Mengerikan sekali!"

Ki Jarkasi menggeram penuh kemarahan. 

Belum pernah seumur hidupnya ia direndahkan 

seperti itu. Apalagi yang merendahkannya hanya 

seorang pemuda kemarin sore!

"Bocah sinting! Apa kau belum tahu berha-

dapan dengan siapa?!" bentak Manusia Rambut 

Merah garang.

"Kau...?! Ha ha ha...!" Soma tertawa. Tan-

gan kanannya membungkam ke mulut. "Melihat 

ciri-cirimu, kau pasti orang yang bergelar Kunyuk 

Besar Berambut Merah, bukan? Kebetulan sekali. 

Aku memang sedikit ada urusan denganmu."

Bukan main marahnya Ki Jarkasi. Tanpa 

disadarinya kedua telapak tangannya hingga ke 

pangkal lengan telah berubah menjadi merah me-

nyala, siap melontarkan pukulan 'Kelabang Geni'.

"Tunggu dulu, Kunyuk Merah! Aku hanya 

ingin mendengar pengakuanmu, sebelum menco-

pot nyawamu dari tubuhmu! Apa benar kau yang 

telah membunuh Mahesa, Pendekar Kujang Emas 

itu?"

"Kalau iya, kau mau apa, Bocah Edan?!" 

tantang Manusia Rambut Merah kalap.

"Bagus! Bagus! Kalau begitu, ketahuilah. 

Aku adalah putra tunggal Mahesa, si Pendekar 

Kujang Emas itu. Dan mengenai kedatanganku 

kemari, telah kukatakan tadi. Ingin mencopot 

nyawamu. Aku pikir, masa hidupnya di alam


mayapada ini sudah habis. Nah! Sekarang ber-

siaplah menerima kematianmu, Kunyuk Merah!"

Meski mengucapkan kata-kata itu dengan 

gayanya yang ugal-ugalan, namun sebenarnya da-

lam diri pemuda murid Eyang Begawan Kama-

setyo itu berkecamuk dendam membara.

Beberapa orang yang ada di tempat itu 

sempat membelalakkan mata lebar, begitu men-

dengar pengakuan Soma. Termasuk Salindri. Na-

mun kekagetan gadis itu hanya sebentar saja. 

Apalagi telinganya tadi mendengar percakapan 

Soma dengan Ratih begitu mesranya. Dan entah 

mengapa, hatinya jadi panas sekali.

"Ja..., jadi kau anak Mahesa, Anak Muda?" 

tanya Gagak Seto agak gugup.

"Benar, Orang Tua. Ada apa? Nampaknya 

kau terkejut sekali?" tanya Soma enteng.

"Ketahuilah, Anak Muda! Aku sebenarnya 

masih terhitung paman tiri dari ayahmu. Dan ke-

datanganku kemari bersama putriku ini, tidak 

lain ingin menuntut balas atas kematian Mahesa 

beberapa tahun yang lalu," jelas Gagak Seto.

"Oh...! Benarkah?" mata Soma terbelalak 

lebar-lebar, seolah-olah tidak mempercayai omon-

gan orang berpakaian putih-putih di hadapannya.

"Benar, Anak Muda. Aku, Gagak Seto, me-

mang masih terhitung paman tiri ayahmu. Dan 

kalau tidak salah, namamu Soma, bukan? Ratih 

sudah beberapa kali bercerita padaku. Katanya, 

kalian sudah saling kenal..."

"Benar, Pam..., eh! Eyang!" ralat Soma ce


pat. Diam-diam hatinya senang sekali, karena ti-

dak menyangka masih mempunyai seorang pa-

man dari almarhum ayahnya. Mahesa, yang lebih 

terkenal sebagai Pendekar Kujang Emas.

"Benar, Soma. Meski usiaku belum terlalu 

tua, aku memang masih terhitung eyangmu," 

tambah Gagak Seto lagi senang.

"Hm...," Soma mengangguk-anggukkan ke-

palanya. "Kalau begitu aku harus memanggil pu-

trimu Bibik Ratih dong?" gumam si pemuda se-

perti pada diri sendiri.

"Boleh! Boleh! Memang Ratih masih terhi-

tung bibikmu! Tapi, sudahlah! Ngobrolnya nanti 

saja!" kata Gagak Seto seraya memberi isyarat ke 

arah Manusia Rambut Merah yang sudah bersiap-

siap melontarkan pukulan 'Kelabang Geni'.

"Kau bilang akan mencopot nyawaku, Bo-

cah Edan? Apa kau punya nyawa rangkap se-

hingga berani berkata selancang itu?!" geram Ki 

Jarkasi gusar. "Kalau begitu, terimalah pukulan 

'Kelabang Geni'. Hyaaat...!"

Wesss...!

Seleret sinar merah menyala meluruk dari 

kedua telapak tangan Manusia Rambut Merah ke 

arah Soma.

"Keluarkanlah semua kepandaianmu sebe-

lum ajalmu tiba, Kunyuk Merah!"

Soma mengangkat kedua tangannya. Seke-

tika itu juga, seleret sinar putih terang berkeredep 

melesat dari kedua telapak tangannya, memapaki 

pukulan 'Kelabang Geni'.


Wesss!

Blarrr...!

Hebat bukan main pertemuan dua tenaga 

dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi itu. 

Tanah di puncak Gunung Merapi bagai dilanda 

gempa. Pohon-pohon menjadi layu seketika.

Tubuh Soma sendiri pun bergetar hebat 

akibat pertemuan dua tenaga dalam itu. Sedang 

tubuh Manusia Rambut Merah sempat tergoyang-

goyang dengan kedua kaki melesak ke dalam ta-

nah. Hal ini, menandakan kalau tenaga dalam 

mereka hanya berselisih sedikit. Namun, masih 

unggul murid Eyang Begawan Kamasetyo.

Sementara Salindri yang saat itu kurang 

waspada karena gemas melihat tingkah laku So-

ma pada Ratih tadi, hampir saja terkena samba-

ran angin akibat benturan dua tenaga dalam tadi. 

Untung saja, tubuhnya segera ditarik oleh laki-

laki tua berpakaian tambalan di sebelahnya.

"Apa kau ingin mencari mampus di sini, 

Salindri?! Mengapa kau tidak berusaha menying-

kir?!" bentak lelaki tua itu kesal, setelah berhasil 

mengamankan Salindri.

Salindri memberengut. Entah mengapa ga-

dis itu jadi cepat sekali naik darah.

"Sudahlah, Ayah! Apa Ayah tidak ingin ce-

pat-cepat menghajar Raja Golok dan Denok Supi 

yang telah membantai murid-murid anggota Pen-

gemis Tongkat Hitam?" sergah Salindri, yang ter-

nyata putri laki-laki berpakaian pengemis itu.

Begitu laki-laki yang merupakan Ketua


Pengemis Tongkat Hitam dan bernama Ki Samiaji 

ini diingatkan akan kematian murid-muridnya, 

langsung saja menggeram penuh kemarahan. Dan 

tanpa banyak cakap lagi, tongkat hitamnya pun 

telah menyambar-nyambar ganas menyerang Raja 

Golok Dari Utara dan Denok Supi

"Iblis-iblis tua tak tahu malu! Aku datang 

menuntut balas atas kematian murid-murid ang-

gota Pengemis Tongkat Hitam. Bersiap-siaplah ka-

lian semua menerima kematianmu hari ini!" teriak 

Ki Samiaji garang di antara gulungan-gulungan 

hitam tongkatnya yang terus mendesak Raja Go-

lok Dari Utara dan Denok Supi.

Sebenarnya, Ki Samiaji enggan berurusan 

dengan Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi. 

Tapi berhubung mendapat laporan salah seorang 

muridnya yang terlepas dari tangan maut Raja 

Golok Dari Utara dan Denok Supi, terpaksa seba-

gai Ketua Pengemis Tongkat Hitam ia harus turun 

tangan. Sedang salah seorang pengemis lainnya 

yang selamat dari tangan kedua iblis tua itu, mati 

di tengah perjalanan setelah ditemukan Soma dan 

Salindri. Kebetulan sekali letak markas Pengemis 

Tongkat Hitam dengan puncak Gunung Merapi ti-

dak begitu jauh. Maka diiringi dua puluh orang 

anggota Pengemis Tongkat Hitam, Ki Samiaji pun 

bergerak ke puncak Gunung Merapi

Dan kini kedua puluh orang anggota Pen-

gemis Tongkat Hitam yang tadi diperintahkan 

bersembunyi di lereng selatan pun mulai bergerak 

menyerang Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi, begitu Ki Samiaji bersuit beberapa kali.

Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi ke-

walahan bukan main, menghadapi serangan-

serangan Ki Samiaji yang dibantu Salindri dan 

dua puluh orang anggota Pengemis Tongkat Hi-

tam. Bahkan mereka nyaris tidak dapat memba-

las serangan. Perlahan namun pasti kedua iblis 

tua itu semakin terdesak hebat.

"Kawan-kawan! Cepat bantu menumpas 

jembel-jembel busuk ini!" teriak Raja Golok Dari 

Utara kepada Raja Racun Dari Selatan dan Algojo 

Dari Timur.

"Kalau saja tidak memandang kalian seba-

gai orang-orang satu golongan, malas aku mem-

bantumu," gerutu Raja Racun Dari Selatan den-

gan suara sember.

Dan sehabis berkata begitu, Raja Racun 

Dari Selatan pun cepat menerjang ke arena perta-

rungan dengan pukulan-pukulan 'Telapak Tangan 

Kelabang Hitam'.

Dalam waktu yang tidak lama, empat orang 

anggota Pengemis Tongkat Hitam itu pun sudah 

tergeletak di tanah dengan sekujur tubuh meng-

hitam terkena pukulan 'Telapak Tangan Kelabang 

Hitam'. 

Sementara, Algojo Dari Timur nampak ra-

gu-ragu untuk membantu ketiga orang kawannya. 

Sebenarnya, bukannya ia tidak mau membantu. 

Tapi, berhubung telah terluka dalam akibat dike-

royok tiga orang kawannya, Algojo Dari Timur jadi 

sakit hati. Namun di saat tokoh sesat dari timur


ini ragu-ragu dengan apa yang akan diperbuat. 

Wesss...!

Tiba-tiba saja angin dingin berkesiur me-

nyerang ke arah Algojo Dari Timur, secepat kilat 

tubuhnya dilempar ke samping kiri. Begitu mena-

tap ke arah pembokong barusan, tokoh sesat dari 

timur itu langsung mengenali. Pembokong itu ti-

dak lain dari orang tua bercaping pandan yang 

berjuluk Raja Penyihir!

"He he he...! Gerakanmu cepat sekali. Pan-

tas saja, kau mendapat julukan Algojo Dari Ti-

mur," celoteh orang tua bercaping pandan, seo-

lah-olah merasa tidak bersalah atas perbuatan 

curangnya barusan.

Ibarat harimau dicolek pantatnya, Algojo 

Dari Timur pun menggeram penuh kemarahan.

"Raja Penyihir! Di antara kita tidak ada si-

lang sengketa. Mengapa kau membokongku? Apa 

kau pikir aku takut menghadapi ilmu sihirmu?!" 

dengus Algojo Dari Timur.

"He he he...! Di antara kita memang tidak 

ada silang sengketa. Toh, kau dan ketiga orang 

kawanmu tetap sama saja. Sama-sama dari go-

longan sesat, golongan orang yang suka membuat 

onar di dunia. Buat apa bersilat lidah?"

"Keparat! Rasakan pembalasanku ini! 

Heaaa...!" teriak Algojo Dari Timur, seraya meng-

hentakkan dua telapak tangannya yang telah be-

rubah putih menyilaukan mata hingga ke pangkal 

lengannya. Namun dengan gerakan lincah, Raja 

Penyihir cepat melompat ke udara. Dan....


Wesss...!

Blarrr...!

Batu gunung sebesar kerbau yang berada 

di belakang Raja Penyihir tadi hancur berkeping-

keping begitu terkena pukulan 'Badai Gurun Pa-

sir' milik Algojo Dari Timur.

Orang tua bercaping pandan itu mengge-

leng-geleng takjub.

Melihat serangan pertamanya gagal, Algojo 

Dari Timur jadi murka. Tangan kanannya cepat 

melolos parang panjang dari balik punggungnya. 

Dan langsung diserangnya Raja Penyihir dengan 

hebat.

Gagak Seto dan Ratih yang semula ber-

maksud ingin membantu Soma, jadi mengurung-

kan niatnya. Ternyata pemuda murid Eyang Be-

gawan Kamasetyo itu dapat mengatasi Manusia 

Rambut Merah, musuh besarnya. Namun ketika 

melihat beberapa orang anggota Pengemis Tong-

kat Hitam mulai jatuh bergelimpangan dengan 

sekujur tubuh menghitam, Gagak Seto pun jadi 

menggeram penuh kemarahan.

"Ayo, lekas kita bantu Ketua Pengemis 

Tongkat Hitam itu, Ratih!" ajak Gagak Seto kepa-

da putrinya.

Dan sehabis berkata begitu, tanpa banyak 

cakap lagi Tumenggung Kerajaan Mataram itu 

langsung menerjang Raja Racun dengan pedang-

nya.

Ratih memberengut. Bukannya tidak mau 

membantu Ketua Pengemis Tongkat Hitam, namun entah mengapa begitu melihat keakraban 

Soma dengan Salindri, ia jadi geram. Bahkan 

membenci gadis berpakaian compang-camping 

itu.

"Ayo, Bibik Ratih? Mengapa kau tidak mau 

membantu ayahmu menghadapi tua bangka itu?!" 

teriak Soma, yang tengah sibuk menghadapi Ma-

nusia Rambut Merah itu. Pemuda itu tak bermak-

sud menggoda, saat memanggil Ratih dengan se-

butan 'bibik'.

"Sekali lagi kau menyebutku Bibik Ratih, 

kucongkel kedua bola matamu, Soma!" sahut Ra-

tih kesal.

"Habis aku harus bilang bagaimana? Orang 

kenyataannya kau bibikku kok?" omel Siluman 

Ular Putih.

"Cerewet!" sungut Ratih kesal, namun toh 

akhirnya mau juga membantu ayahnya mengha-

dapi Raja Racun Dari Selatan.

Soma lega. Sekarang pemuda ini dapat 

menghadapi Manusia Rambut Merah dengan te-

nang.

Ki Jarkasi gusar bukan main. Hampir de-

lapan jurus lebih tapi ia belum mampu meroboh-

kan musuhnya. Jangankan merobohkan. Me-

nyentuh seujung rambutnya pun belum. 

"Hyaaat...!" 

Ctarrr! Ctarrr!

Diiringi bentakan keras, Manusia Rambut 

Merah melecutkan cambuknya yang menggi-

riskan. Sementara tangan kirinya telah berubah


menjadi merah menyala hingga ke pangkal len-

gan, siap melancarkan pukulan1 'Wejangan Iblis' 

yang telah disempurnakan bersama gurunya di 

gua Pantai Utara.

"Jangan terlalu bernafsu, Kunyuk Merah! 

Aku jadi takut. Kulihat rambut merahmu berdiri 

seperti landak saja. Hih...! Ngeri," ejek Soma sem-

bari berloncatan ke sana kemari, menghindari le-

cutan-lecutan cambuk di tangan Manusia Ram-

but Merah.

Tubuh pemuda ini meliuk-liuk di antara 

kelebatan cambuk Manusia Rambut Merah. Se-

dang kedua tangannya yang berbentuk kepala 

ular pun telah memainkan jurus-jurus sakti 'Ular 

Kembar Mengejar Mangsa'. Sehingga perlahan 

namun pasti, Siluman Ular Putih mulai mendesak 

Ki Jarkasi. Dan untuk mempertajam serangan-

serangannya, cepat dikeluarkannya jurus-jurus 

sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.

Manusia Rambut Merah menggereng penuh 

kemarahan. Padahal jurus-jurus andalannya te-

lah dikeluarkan. Namun, tetap saja terdesak he-

bat. Mendadak telapak tangan kirinya yang telah 

berwarna merah menyala cepat dilontarkan ke 

tubuh Soma.

Wesss!

Seketika seleret sinar merah menyala mele-

sat dari telapak tangan kiri Ki Jarkasi.

Tidak ada pilihan lain. Soma yang sedang 

sibuk menghindari lecutan-lecutan cambuk Ma-

nusia Rambut Merah harus cepat memapak serangan dengan pukulan 'Inti Bumi'. Seketika tan-

gannya menghentak ke depan.

"Hyaaat...!" 

Blarrr...!

Seleret sinar putih terang berkeredepan da-

ri kedua telapak tangan Soma yang memapak pu-

kulan 'Kelabang Geni' menimbulkan ledakan dah-

syat. Tampak tubuh tinggi besar Manusia Rambut 

Merah terhuyung-huyung beberapa langkah ke 

belakang. Tanah di sekitar puncak Gunung Mera-

pi pun bergetar-getar hebat. Pohon-pohon layu 

bagai terbakar.

Sementara itu tubuh Soma sendiri pun ter-

getar dengan kedua kaki melesak beberapa ram-

but ke dalam tanah. Namun, mulutnya tetap me-

nyunggingkan senyum nakal. Kemudian sembari 

ngoceh tidak karuan, cepat diloloskannya senjata 

andalannya. Anak Panah Bercakra Kembar!

Maka seketika itu juga, hawa dingin yang 

bukan alang kepalang memenuhi kancah pertem-

puran! Beberapa orang Pengemis Tongkat Hitam 

yang berkepandaian rendah langsung menggigil 

kedinginan! Malah tiga orang pengemis berpa-

kaian tambal-tambalan segera duduk bersemadi!

"Ayo, maju! Aku ingin lihat, sampai di ma-

na kehebatanmu. Jangan-jangan nama besarmu 

hanyalah kosong belaka! Ayo, maju!" teriak Soma.

Siluman Ular Putih tak henti-hentinya 

mengejek. Kaki kirinya ditekuk seperti orang du-

duk. Sedang kaki kanannya disilangkan ke kaki 

kirinya. Sementara anak panah senjata andalan


nya digunakan untuk menunjuk-nunjuk Manusia 

Rambut Merah. Persis nenek-nenek sedang me-

marahi cucunya.

Manusia Rambut Merah menggeram penuh 

kemarahan. Cambuk di tangan kanannya dipu-

tar-putar di atas kepala. Saat itu juga, serangkum 

angin kencang berkesiur meluruk sebelum cam-

buknya bergerak maju.

"Sudahlah! Ayo, kalau mau menyerang 

aku! Pakai bertingkah macam-macam lagi!" ejek 

Soma.

Pemuda ini cepat menggeser kaki kirinya 

sedikit ke kanan, menghindari sambaran angin 

kencang Manusia Rambut Merah. Namun kea-

daannya masih tetap duduk ongkang-ongkang 

kaki seperti tadi!

"Di...! Ih...! Kok main angin-anginan begini? 

Apa kau tidak takut masuk angin, Kunyuk Me-

rah? Kudengar kau tidak mempunyai bini. Lan-

tas, siapa yang akan mengerokimu nanti?"

"Bocah edan! Belum puas aku kalau belum 

meneguk darah anjingmu! Hyaaat!"

Manusia Rambut Merah benar-benar mur-

ka. Cambuk di tangan kanannya makin berkele-

bat cepat mengurung pertahanan Soma. Hebat 

bukan main serangannya. 

Ctarrr!

Ctarrr!

Namun Soma sama sekali tidak ciut nya-

linya melihat liukan-liukan cambuk di tangan to-

koh sesat dari Hutan Sawo Kembar itu. Malah


tingkahnya makin ugal-ugalan. Sambil ngoceh ti-

dak karuan, Siluman Ular Putih berloncatan ke 

sana kemari menghindari lecutan-lecutan cam-

buk. Tindakannya pun terlihat seperti orang 

main-main. Lecutan cambuk itu hanya ditangkis 

bila perlu saja.

"Ayo, Kunyuk Merah! Kejar aku...! Kejar 

daku! Kau kutangkap!" ejek Soma habis-habisan. 

Mulutnya yang nakal mulai bernyanyi-nyanyi ke-

girangan.

Ki Jarkasi kini sadar. Meski musuhnya 

masih muda, namun tidak berani memandang 

ringan lagi. Maka segera dikeluarkannya ilmu an-

dalannya. Kedua kakinya segera ditekuk keba-

wah. Sedang kedua tangannya ditangkupkan ke 

atas seperti orang menyembah. Itulah salah satu 

pembuka jurus sakti 'Wejangan Iblis'.

"Eh eh eh...! Apa yang kau lakukan, Ku-

nyuk Merah? Kok, nungging-nungging seperti itu? 

Apa mau buang hajat? Hei, jangan di sini. Sana, 

pergi! Pergi!" kata, Soma seraya mengibas-

ngibaskan senjata anehnya mengusir pergi Manu-

sia Rambut Merah.

Namun mendadak saja Soma mengerutkan 

keningnya dalam-dalam, saat melihat kedua tan-

gan Manusia Rambut Merah telah berubah men-

jadi merah darah sampai ke pangkal lengan. Dan 

begitu tangannya yang menelungkup itu diturun-

kan, seketika itu juga berkesiur angin panas dis-

ertai bau amis yang bukan alang kepalang!

"Eh, eh...!"


Hampir saja Siluman Ular Putih tidak ta-

han dibuatnya. Namun untung saja cepat tersa-

dar. Cepat tubuhnya digulingkan ke kiri.

Serangan Manusia Rambut Merah lewat 

beberapa jengkal di samping Soma. Sementara si-

nar merah yang menebarkan bau amis terus me-

nerabas.

"Aaah...!"

Akibatnya dua orang pengemis berpakaian 

tambal-tambalan langsung terpental disertai pe-

kikan setinggi langit. Tubuhnya yang terkena se-

rangan nyasar itu langsung hangus terbakar, tak 

dapat bergerak-gerak lagi! 

"Keparat...! Kau harus bertanggung jawab 

atas nyawa dua orang pengemis itu, Kunyuk Me-

rah!" geram Soma penuh kemarahan.

Pemuda ini cepat meloncat tinggi ke udara. 

Tangan kanannya cepat melemparkan senjata 

mustikanya ke arah Manusia Rambut Merah. Se-

mentara tangan kirinya cepat melontarkan puku-

lan 'Inti Bumi'

"Hyaaat! Hyaaat...!"

Wesss!

Wesss!

Hebat bukan main serangan Siluman Ular 

Putih kali ini. Bagai anak panah yang lepas dari 

busur, senjata pusakanya langsung melesat me-

nyerang dengan kecepatan sulit diikuti pandan-

gan mata. Sementara satu sinar putih terang yang 

berkeredep menyusul di belakangnya, tak jauh 

dari senjata anak panah itu!


Menghadapi serangan yang demikian he-

bat, Manusia Rambut Merah cepat melempar tu-

buhnya ke samping kanan. Senjata pusaka Pe-

muda itu berhasil dihindari. Dan bersamaan den-

gan itu, tangan kirinya yang makin berwarna me-

rah darah cepat menyambut pukulan 'Inti Bumi' 

Siluman Ular Putih.

Wesss!

Blarrr...!

Terdengar benturan keras di udara. Tubuh 

Soma bergetar hebat akibat bentrokan tenaga da-

lam barusan. Wajahnya menegang. Bibirnya ber-

kemik-kemik penuh kemarahan.

Sementara pada saat yang sama, senjata 

anak panah Siluman Ular Putih yang tadi luput 

mengenai sasaran, entah mendapat tenaga gaib 

dari mana, tahu-tahu telah membalik. Kini kem-

bali menyerang Manusia Rambut Merah dengan 

kecepatan luar biasa!

Mata Manusia Rambut Merah melotot le-

bar-lebar. Saking marahnya, ia tidak sempat 

mengeluarkan kata-kata lagi. Kedua kakinya yang 

melesak ke dalam tanah, tahu-tahu telah mence-

lat tinggi ke udara. Cambuk di tangan kanannya 

kini mulai menegang penuh berisi tenaga dalam. 

Dalam keadaan melayang-layang seperti itu, Ki 

Jarkasi terus menyerang Soma hebat, sekaligus 

menghindari serangan anak panah.

Sementara itu pertarungan di tempat lain 

pun tak kalah seru dibandingkan pertarungan 

Soma melawan Manusia Rambut Merah. Ki Samiaji yang bertempur hebat melawan Raja Golok 

Dari Utara, merasa penasaran sekali. Setelah, se-

kian jurus berlangsung, musuhnya belum juga di-

robohkan. Demikian juga Gagak Seto yang ber-

tempur hebat melawan Raja Racun. Sedang Sa-

lindri dan Ratih, nampak agak sungkan harus 

saling bahu membahu menghadapi Denok Supi. 

Padahal, mereka telah dibantu sebelas orang ang-

gota Pengemis Tongkat Hitam. Namun tetap be-

lum mampu melumpuhkan tokoh sesat dari barat 

itu.

Sementara itu Raja Penyihir yang mengha-

dapi Algojo Dari Timur telah mengeluarkan ilmu-

ilmu sihirnya. Dan ini membuat tokoh sesat dari 

timur itu mulai gentar. Apalagi setelah Raja Pe-

nyihir berubah wujud menjadi raksasa hitam 

mengerikan.

Tentu saja Algojo Dari Timur jadi ciut nya-

linya. Menghadapi Raja Penyihir dalam bentuk as-

linya saja, ia sudah kewalahan. Apalagi kini 

menghadapi raksasa hitam jelmaan orang tua 

bercaping pandan itu. Maka tanpa pikir panjang 

lagi, Algojo Dan Timur pun segera mengambil 

langkah seribu. Tubuhnya berkelebat cepat, me-

ninggalkan puncak Gunung Merapi

Raksasa hitam jelmaan Raja Penyihir 

hanya tertawa-tawa berkakakan. Kemudian per-

lahan-lahan puluhan tubuhnya menciut kembali 

menjelma menjadi orang tua bercaping pandan.

"Ha ha ha...! Baru segitu saja sudah lari 

tunggang langgang!" omel orang tua bercaping


pandan itu di antara suara tawanya yang berge-

lak. "Eh..., eh! Tapi, mana bocah sinting calon 

muridku?"

Raja Penyihir celingukkan ke sana kemari 

mencari-cari Soma. Dan ketika dilihatnya pemuda 

yang sedang dicarinya sedang bertempur hebat 

melawan Manusia Rambut Merah, buru-buru ia 

meloncat mendekati kancah pertarungan, dan 

duduk ongkang-ongkang kaki menonton jalannya 

pertarungan. Sesekali mulutnya bersorak-sorak 

kegirangan menyaksikan calon muridnya dapat 

mengerjai lawannya dengan sikap ugal-ugalan.

"Ayo, Calon Muridku! Gebuk pantatnya! 

Jambak rambutnya sampai protol. Cabuti semua 

bulu kumis dan jenggotnya yang merah itu. Seka-

lian alis matanya, biar jadi memedi sawah!" teriak 

Raja Penyihir kegirangan.

"Baik, baik! Akan kulakukan semua perin-

tahmu, sebelum aku mengirim nyawanya pada 

Raja Akhirat, Orang Tua. Tapi ngomong-ngomong, 

siapa yang sudi menjadi muridmu?" teriak Soma 

menanggapi ocehan Raja Penyihir sambil berta-

rung.

"Eh eh eh...! Jadi kau membangkang tidak 

mau menjadi muridku, ya?!" teriak orang tua itu 

gusar.

Sekarang Raja Penyihir tidak lagi duduk 

ongkang-ongkang kaki seperti tadi, melainkan 

sudah berdiri berkacak pinggang di luar kancah 

pertarungan.

Kali ini Soma tidak lagi menanggapi. Perha


tiannya kini dipusatkan kepada Manusia Rambut 

Merah untuk melaksanakan apa yang baru saja 

diperintahkan Raja Penyihir. Segera pemuda ini 

memasang kuda-kuda, siap memainkan jurus 

sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.

"Kunyuk Merah! Bersiap-siaplah kujadikan 

memedi sawah seperti yang dikatakan orang tua 

sinting itu!" ancam Soma, langsung mencelat 

tinggi ke udara menyerang Manusia Rambut Me-

rah.

Ki Jarkasi menggerutukkan gerahamnya 

kuat-kuat. Kedua tangannya yang telah berubah 

merah menyala hingga ke pangkal lengan siap 

menyambut serangan.

Siluman Ular Putih bukannya mengendur-

kan serangannya, malah semakin mempercepat 

gerakan kedua tangannya. Begitu Manusia Ram-

but Merah melepas pukulan 'Wejangan Iblis'-nya 

yang menebarkan bau amis, Soma segera me-

nangkisnya dengan pukulan 'Inti Bumi'-nya. In-

ilah siasatnya untuk mengerjai Ki Jarkasi.

Wesss...!

Bllarrr...!

Terdengar ledakan dahsyat akibat perte-

muan dua kekuatan tenaga dalam tinggi.

Manusia Rambut Merah terhuyung-huyung 

beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Soma 

sendiri hanya tergetar saja. Dan di saat Ki Jarkasi 

belum sempat berbuat apa-apa, tangan kanan 

pemuda ini cepat bergerak ke depan mencabut 

rontok kumis laki-laki tinggi besar itu.


"Augh...!" pekik Manusia Rambut Merah 

melengking. Kumisnya yang tercabut tadi lang-

sung memerah, mengeluarkan darah segar.

Soma tertawa-tawa terpingkal-pingkal.

Orang tua bercaping pandan yang semula 

sangat gusar dengan penolakan Soma, kini mulai 

tertawa-tawa senang.

"Nah, nah...! Itu hadiahnya, karena kau te-

lah lancang membunuh Pendekar Kujang Emas, 

ayahku!" celoteh Soma. "Sekarang, lihatlah seran-

gan berikutnya! Mungkin bukan saja rambutmu 

yang rontok. Malah, bisa juga nyawamu yang me-

layang. Hati-hatilah, Kunyuk Merah!"

Geraham Ki Jarkasi bergemelutuk. Tiba-

tiba saja tubuhnya diputar cepat sekali seperti 

gasing. Seketika itu juga, tanah di puncak Gu-

nung Merapi itu membuncah tinggi, ke udara. 

Dan bersamaan dengan itu, tahu-tahu tubuhnya 

telah amblas ke dalam bumi!

"Eh...! Mau ngapain? Kok, malah main pe-

tak umpet?" tanya Soma, heran. Namun ketika 

menyadari kalau Manusia Rambut Merah adalah 

guru Prameswara yang dapat amblas bumi itu, 

pemuda ini jadi garuk-garuk kepala.

"Awas, Bocah Edan! Ia mulai menyerang-

mu!" teriak Raja Penyihir memperingatkan.

Memang benar apa yang dikatakan orang 

tua bercaping pandan itu. Tanah tempat Manusia 

Rambut Merah amblas bumi tadi mulai bergerak-

gerak cepat mendekati. Soma menunggunya se-

bentar. Dan begitu tanah yang bergerak-gerak di


bawahnya makin dekat, buru-buru Siluman Ular 

Putih melompat tinggi ke udara.

Seperti yang telah diduga ketika mengha-

dapi Prameswara, Manusia Rambut Merah pasti 

akan muncul kembali ke udara dan melancarkan 

serangan mautnya. Dan ternyata perhitungan 

pemuda ini benar. Begitu tanah di bawahnya 

membuncah, langsung dikirimkannya pukulan 

'Inti Bumi' dan 'Inti Api' secara bersamaan pada 

bayangan merah yang baru muncul dari dalam 

tanah dengan sebuah serangan berupa sinar me-

rah darah.

Wesss! Wesss!

Dua leret sinar putih terang berkeredepan 

dan merah menyala dari kedua telapak tangan 

Soma, cepat menghantam seleret sinar merah da-

rah dari kedua telapak tangan Manusia Rambut 

Merah. Akibatnya....

Blarrr...!

Hebat bukan main pertemuan dua tenaga 

dalam kedua orang itu kali ini, karena sama-sama 

mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.

Beberapa orang yang sedang bertempur 

pun dapat merasakan hawa panas akibat perte-

muan dua tenaga dalam tadi. Namun, itu hanya 

sebentar. Setelah hawa panas itu menghilang, 

mereka kembali melanjutkan pertarungan.

Sementara itu Manusia Rambut Merah 

yang sempat terhuyung-huyung beberapa langkah 

ke belakang langsung memuntahkan darah segar. 

Jelas, Ki Jarkasi menderita luka dalam yang cukup lumayan. Mendapati kenyataan ini, hatinya 

jadi gusar sekali. Apalagi ketika melihat ketiga da-

tuk sesat yang telah menjadi anak buahnya mulai 

terdesak hebat oleh musuh-musuhnya.

Sedang Algojo Dari Timur pun sudah tak 

terlihat lagi batang hidungnya. 

Pada saat itu pula Denok Supi tengah 

mengamuk hebat dengan jarum-jarum beracun-

nya. Seketika itu juga, beberapa orang pengemis 

berpakaian tambal-tambalan jatuh bergelimpan-

gan ke tanah, tak mampu bangun lagi. Mati! Na-

mun Denok Supi sendiri pun harus menebusnya 

dengan mahal. Ia harus merelakan tangan kirinya 

yang buntung akibat terbabat pedang di tangan 

Gagak Seto yang turun membantu putrinya.

Melihat keadaan tiga orang kawannya yang 

kurang menguntungkan. Tanpa banyak pikir pan-

jang lagi Manusia Rambut Merah yang sudah ter-

luka parah langsung berbalik. Begitu kaki kanan-

nya ke tanah, tubuhnya berkelebat cepat dan le-

nyap dalam kegelapan malam.

"Hei...! Kunyuk Merah mau lari ke mana 

kau?!" teriak Soma gusar.

Pemuda ini tak menyangka kalau musuh 

besarnya akan lari meninggalkannya. Maka sece-

patnya kakinya menjejak tanah dan berkelebat 

mengejar. Namun baru beberapa langkah me-

ninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja sebuah 

bayangan hitam memanjang telah melibat leher-

nya!

"Heit...! Tunggu dulu! Kau tidak boleh me


ninggalkan tempat ini begitu saja! Aku harus 

mendengar kesanggupanmu. Maukah kau menja-

di muridku?!" cegah Raja Penyihir tanpa mempe-

dulikan kemarahan Soma.

"Ya, ampun! Kau lihat! Musuh besar yang 

telah membunuh ayahku melarikan diri. Aku be-

lum puas kalau belum membunuhnya, Orang 

Tua! Tapi mengapa kau menghalang-halangi 

langkahku?" maki Soma gusar bukan main. Ke-

dua tangannya bergerak-gerak, membabat putus 

bayangan hitam yang memanjang. Namun aneh-

nya, bayangan hitam yang mengikat lehernya ma-

lah semakin kencang mencekik lehernya.

"He he he...! Kau tidak mungkin dapat 

memutuskan 'Tali Gaib'-ku, Bocah Edan!" ejek 

orang tua bercaping pandan itu di antara suara 

tawanya.

"Orang tua! Sebenarnya apa yang kau in-

ginkan?" bentak Soma kewalahan tak dapat me-

mutuskan 'Tali Gaib' buatan Raja Penyihir.

"Seperti yang telah kukatakan tadi, aku 

hanya ingin tanya apakah kau mau menjadi mu-

ridku? Tapi kalau seandainya saja menolak, tak 

mungkin aku mau melepaskan 'Tali Gaib'-ku. 

Ayo, sekarang jawab! Bersediakah menjadi mu-

ridku?"

"Tapi..., tapi, aku harus menyelesaikan 

masalahku dulu dengan Kunyuk Merah itu, 

Orang Tua," sergah Soma kesal.

"Baik. Aku akan melepaskanmu. Asal mu-

lai sekarang, kau harus memanggilku guru. Mau


kan?"

"Baik, Orang Tua," sahut Soma kesal.

"Guru! Panggil aku guru, tahu!"

"Ba..., baik, Guru!" ulang Soma ragu-ragu.

Orang tua bercaping pandan itu tertawa-

tawa kegirangan. Lalu, dilepaskannya 'Tali Gaib'-

nya yang mengikat leher Soma.

"Nah! Sekarang kau boleh mengejar musuh 

besarmu itu. Mungkin ia lari ke tempat pertapaan 

gurunya di gua Pantai Utara, tak jauh dari Hutan 

Asem Arang," jelas Raja Penyihir, membuat keka-

lutan Soma sedikit berkurang.

"Baik, Guru! Sekarang juga aku akan men-

gejarnya ke sana!"

Sehabis berkata begitu, Soma pun segera 

berkelebat cepat meninggalkan puncak Gunung 

Merapi.

"Tunggu dulu, Muridku! Aku juga masih 

punya urusan barang satu jurus dengan si tua 

bangka Jerangkong Hidup itu," teriak Raja Penyi-

hir lantang.

Soma yang sedang kesal karena musuh be-

sarnya kabur, tidak mempedulikan ocehan calon 

gurunya. Pemuda itu terus saja berlari kencang, 

meninggalkan puncak Gunung Merapi.

"Murid sinting! Murid sunting...!" maki Raja 

Penyihir sambil membanting-banting kaki kanan-

nya kesal.

Sementara itu pertempuran di puncak Gu-

nung Merapi masih berjalan seru. Meski tangan 

kanan Denok Supi buntung, namun masih bisa


mendesak lawan-lawannya hebat. Ratih dan Sa-

lindri kewalahan bukan main. Entah sudah bera-

pa kali kedua gadis cantik itu terpaksa berjumpa-

litan di udara menghindari jarum-jarum hijau 

yang berkeredepan milik Denok Supi. 

Serrr!

Serrr!

Bukan main kagetnya Ratih dan Salindri 

melihat sinar hijau berkeredep yang demikian ba-

nyaknya. Tak mungkin mereka dapat menghin-

dar. Namun, mendadak saja serangkum angin 

dingin lagi-lagi memukul rontok jarum-jarum hi-

jau milik Denok Supi.

"Lagi-lagi kau yang menghalang-halangi se-

rangan-seranganku, Gagak Seto!" bentak Denok 

Supi penuh kemarahan. Tangan kanannya cepat 

menyebar jarum-jarum hijaunya ke arah Gagak 

Seto.

Gagak Seto yang saat itu sedang sibuk 

menghadapi serangan-serangan Raja Racun Dari 

Selatan hanya tersenyum. Dengan sekali meng-

hentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh 

tinggi tegapnya telah mencelat ke udara menghin-

dari serangan-serangan jarum hijau milik Denok 

Supi. Pada saat melayang-layang seperti itu, tan-

gan kiri yang telah berubah menjadi kuning hing-

ga sampai ke pangkal lengan, cepat didorong ke 

depan memapak pukulan 'Telapak Tangan Kela-

bang Hitam' milik Raja Racun Dari Selatan. Se-

dang tangan kanannya cepat memutar pedang 

sedemikian rupa, menangkis jarum-jarum hijau


Denok Supi yang masih terus meluruk cepat.

Wesss! Wesss!

Serrr! Serrr!

Blarrr...!

Terdengar ledakan keras di udara. Tubuh 

Gagak Seto yang masih melayang-layang di udara 

bergetar hebat, dan langsung mencelat tinggi ke 

udara akibat bentrok dengan pukulan 'Telapak 

Tangan Kelabang Hitam' milik Raja Racun Dari 

Selatan. Kalau saja tidak membagi serangannya, 

belum tentu paman tiri Pendekar Kujang Emas 

dapat dibuatnya sempoyongan seperti itu oleh Ra-

ja Racun Dari Selatan. Buktinya, meski sesekali 

membantu teman-temannya yang terdesak hebat 

oleh musuh-musuhnya, toh tetap saja Raja Racun 

Dari Selatan belum mampu merobohkannya.

Dan di saat tubuhnya mencelat tinggi ke 

udara itu, Gagak Seto kembali memainkan jurus 

saktinya 'Pedang Sakti Bintang Emas'. Tubuhnya 

yang semula melayang-layang di udara, cepat 

menukik tajam menyerang Denok Supi dengan 

kecepatan mengagumkan.

"Ah...!" pekik Denok Supi tertahan.

Namun, bukan berarti tokoh sesat dari ba-

rat ini jadi gugup. Begitu melihat pedang di tan-

gan Gagak Seto berkelebat hendak menusuk 

ubun-ubun kepalanya, wanita genit ini cepat me-

lempar tubuhnya ke samping sambil kembali me-

nyebar jarum-jarum racunnya.

Sedang Raja Racun Dari Selatan yang me-

lihat kawannya kewalahan, segera menerjang be


gitu pendekar dari Keraton Mataram itu menje-

jakkan kedua kakinya di tanah.

Namun belum sempat Raja Racun Dari Se-

latan melaksanakan niatnya, mendadak Ratih 

dan Salindri telah menerjang dengan pedang di 

tangan. Sehingga, tokoh sesat dari selatan itu ter-

paksa mengalihkan serangan ke arah dua lawan 

barunya.

Sementara itu, meski Ki Samiaji dibantu 

kedua puluh orang muridnya yang kini hanya 

tinggal empat orang, masih saja belum mampu 

mengatasi serangan-serangan Raja Golok Dari 

Utara. Bahkan keadaannya dan empat orang mu-

ridnya sangat mengkhawatirkan. Sedang untuk 

meminta bantuan Gagak Seto maupun muridnya, 

jelas tidak mungkin. Karena mereka sama-sama 

tengah sibuk bertarung.

"Raja Penyihir!"

Begitu Ki Samiaji melihat Raja Penyihir 

yang sedang ngoceh tak karuan karena kesal di 

tinggal kabur Soma, cepat berteriak memanggil 

orang tua bercaping pandan itu.

"Cepat bantu kami menghajar iblis-iblis 

tengik ini, Raja Penyihir!" teriak Ki Samiaji.

Raja Penyihir langsung menoleh. Matanya 

yang lebar memperhatikan jalannya pertempuran 

itu sebentar. Lucu sekali sebenarnya. Karena, 

orang tua aneh itu nampak ogah-ogahan.

Ki Samiaji yang melihat ulah Raja Penyihir 

jadi cemas. Namun belum sempat mengeluarkan 

teriakannya kembali....


"Tahan senjata! Siapapun yang tidak me-

nuruti perintahku, aku tidak segan-segan lagi me-

lemparkan tubuh kalian dari puncak Gunung Me-

rapi ini!" bentak Raja Penyihir dengan suara ber-

getar aneh, menyerang jalan pikiran semua orang 

yang berada di puncak Gunung Merapi.

Ajaib sekali! Begitu mendengar bentakan 

Raja Penyihir, entah mengapa tiba-tiba saja se-

mua orang yang berada di puncak Gunung Mera-

pi menghentikan serangan. Semula, tubuh mere-

ka sempat bergetar hebat seperti ada kekuatan 

gaib yang membuat tubuh sulit digerakkan. Dan 

akhirnya, tidak bisa digerak-gerakkan sama seka-

li!

Semua orang yang ada di sini sama-sama 

terbelalak seolah tidak mempercayai apa yang di-

alami. Dan dari mata yang terbelalak lebar, wajah 

Denok Supi, Raja Racun Dari Selatan dan Raja 

Golok Dari Utara kontan menjadi pucat pasi!

"Bagus! Bagus! Rupanya kalian anak-

anakku yang penurut semua!" ujar Raja Penyihir. 

"Nah, sekarang dengar! Kalian bertiga, Iblis-iblis 

Tengik! Hari ini nyawa tengik kalian kuampuni. 

Cepat tinggalkan tempat ini, sebelum pikiranku 

berubah!" hardik Raja Pengemis garang, tidak lagi 

dipenuhi kekuatan batinnya.

Semua orang yang ada di sini kembali ter-

belalak lebar, seolah-olah tidak percaya kalau tu-

buh kaku mereka dapat kembali digerakkan da-

lam waktu yang demikian singkat. Dan begitu da-

pat bergerak, Denok Supi, Raja Golok Dari Utara


maupun Raja Racun Dari Selatan pun segera ber-

kelebat meninggalkan tempat itu.

"Raja Penyihir! Mengapa kau biarkan kabur 

iblis-iblis keji itu?!" tanya Ki Samiaji kecewa bu-

kan main melihat musuh yang telah membantai 

banyak murid-muridnya dibiarkan pergi begitu 

saja.

"Itu bukan urusanku!" sahut orang tua 

aneh bergelar Raja Penyihir itu galak. "Gara-gara 

mengurus kalian, aku jadi ketinggalan beberapa 

langkah oleh calon muridku itu!"

Sehabis berkata demikian, Raja Penyihir 

cepat berkelebat menyusul muridnya.

"Terima kasih atas bantuanmu tadi, Gagak 

Seto...," ucap Ki Samiaji. Nada suaranya kaku se-

kali.

"Jangan terlalu berbasa-basi, Samiaji! Su-

dah sewajarnya kita penghuni alam mayapada ini 

harus saling tolong-menolong, saling kasih men-

gasihi," sergah Gagak Seto kalem.

Ki Samiaji hanya bisa mengangguk-

angguk. Namun wajahnya yang menegang tetap 

saja masih menyimpan kesedihan dan kekesalan.

Sementara itu Ratih dan Salindri yang tadi 

melihat Soma telah berlari turun gunung menge-

jar Manusia Rambut Merah, hanya bisa membe-

rengut kesal. Mata mereka tak henti-hentinya te-

rus memandangi ke arah lenyapnya bayangan 

pemuda tadi.

"Romo! Apakah kita tidak menyusulnya?" 

tanya Ratih pada ayahnya tiba-tiba.


Gagak Seto tersenyum. Ia maklum, apa 

yang tengah dialami putrinya.

"Romo kira, Soma tidak kesulitan mengha-

dapi orang yang telah membunuh ayahnya, 

Anakku! Sebaiknya, kita pulang saja ke kota raja 

untuk memperdalam ilmu silatmu. Lain kali, baru 

kau boleh melanjutkan pengembaraanmu," ujar 

Gagak Seto arif.

Ratih makin memberengut kesal.

"Aku pamit dulu, Samiaji. Lain kali kalau 

ke kotaraja, singgahlah ke rumah kami! Selamat 

tinggal!" ucap Gagak Seto lagi, seraya meraih len-

gan putrinya. Dan mereka segera berkelebat me-

ninggalkan puncak Gunung Merapi.

"Tentu saja, Gagak Seto!" ujar Ki Samiaji 

seraya mengangguk-angguk.

Kemudian ketika bayangan Gagak Seto dan 

putrinya telah berkelebat di antara kegelapan ma-

lam, Ki Samiaji pun segera perintahkan keempat 

orang murid dan putrinya untuk mengubur mayat 

murid-muridnya yang lain.

7

Manusia Rambut Merah terus berlari ken-

cang meninggalkan puncak Gunung Merapi. 

Hampir setengah malaman Ki Jarkasi berlari ken-

cang menuju utara, yang tidak lain ingin mene-

mukan Jerangkong Hidup gurunya di gua karang 

di Pantai Utara!


Pagi itu matahari baru saja menampakkan 

sinarnya yang merah kekuning emasan di ufuk 

timur. Ramainya kicau burung camar yang ter-

bang menuju laut lepas semakin memantapkan 

lahirnya pagi hari itu.

Ki Jarkasi tengah berlari kencang mende-

kati batu karang berbentuk pedang di pinggir 

pantai. Begitu langkahnya terhenti pada jarak 

dua tombak di depan batu karang, kepalanya ce-

lingukan sebentar. Sepertinya ia takut kalau ada 

orang lain yang melihat perbuatannya. Dan belum 

juga Manusia Rambut Merah melangkah kemba-

li....

"Manusia Rambut Merah keparat! Berhari-

hari aku mencarimu, tapi baru sekarang unjuk 

gigi, he?!"

Manusia Rambut Merah tersentak kaget 

saat terdengar bentakan dari belakang. Tubuhnya 

cepat diputar. Tahu-tahu di depannya telah berdi-

ri seseorang berpakaian biru-biru dengan cadar 

penutup wajahnya yang juga berwarna biru. Di 

tangan kanannya tergenggam sebilah pedang.

"Perempuan Bercadar Biru...!" desis Manu-

sia Rambut Merah, sedikit lega.

"Bagus! Kalau masih ingat aku. Sekarang 

aku mau tanya, mana muridku?! Lekas kembali-

kan!" bentak tokoh wanita dari Pulau Karimunja-

wa ini garang.

"Ha ha ha...! Sayang! Sayang sekali, mu-

ridmu yang cantik telah menjadi bangkai, Perem-

puan Bercadar Biru!" sahut Manusia Rambut Me


rah, bernada mengejek.

"Anjing kurap budukan! Aku harus menun-

tut balas atas kematian muridku," pekik Perem-

puan Bercadar Biru itu kalap. Langsung tubuh-

nya meluruk. Tangan kanan yang memegang pe-

dang panjang itu telah berkelebat cepat menye-

rang Manusia Rambut Merah.

Ki Jarkasi menarik ujung bibirnya. Meski 

sebenarnya sedang terluka parah, namun gerakan 

tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar itu terlihat 

masih lincah saat berloncatan kesana kemari 

menghindari serangan.

"Lebih baik kau bunuh diri saja, Perem-

puan Bercadar Biru! Kau tak mungkin dapat 

mengalahkanku. Pergilah! Sana...!"

Sehabis berkata demikian, Ki Jarkasi ber-

kelebat mendekati wanita itu. Dan tiba-tiba tela-

pak tangan kanannya dihantamkan ke punggung 

Perempuan Bercadar Biru. Dan....

Bukkk!

"Aaakh...!"

Perempuan Bercadar Biru terjajar beberapa 

tombak ke samping kanan. Wajahnya pucat pasi. 

Bibirnya bergetar-getar, pertanda isi dadanya ter-

guncang.

"Demi kehormatan muridku, aku akan 

mengadu nyawa denganmu Manusia Rambut Me-

rah!" desis Perempuan Bercadar Biru.

Tokoh dari Pulau Karimunjawa itu nekat 

menerjang Manusia Rambut Merah, mengguna-

kan jurus-jurus andalannya. Namun sayang yang


dihadapinya kali ini bukanlah tokoh silat kemarin 

sore. Manusia Rambut Merah adalah tokoh ber-

kepandaian sangat tinggi. Sehingga wajar saja ka-

lau serangan-serangan perempuan itu mudah se-

kali dimentahkan. Bahkan telapak tangan kanan 

Ki Jarkasi yang telah memerah, siap mengirimkan 

pukulan kejinya ke dada Perempuan Bercadar Bi-

ru.

Wesss!

Perempuan Bercadar Biru memekik terta-

han. Tak mungkin lagi serangan Manusia Rambut 

Merah dihindari. Apalagi dalam jarak sedekat itu. 

Kini yang bisa dilakukan hanya memejamkan ma-

ta. Pasrah! Namun di saat yang paling genting ba-

gi keselamatannya, tiba-tiba saja.... 

Wesss!

Seleret sinar putih terang berkeredep yang 

entah dari mana datangnya, langsung memapaki 

pukulan 'Kelabang Geni' milik Manusia Rambut 

Merah!

Blarrr...!

Mata Manusia Rambut Merah terbelalak 

liar. Tubuhnya yang tinggi kekar terhuyung-

huyung beberapa langkah ke belakang dengan 

darah segar membasahi bibirnya.

"Ha ha ha...! Selamat berjumpa kembali, 

Kunyuk Merah! Dan juga kau, Perempuan Berca-

dar Biru! Tapi, berhubung aku sedang mendapat 

tugas dari Raja Akhirat untuk mencabut nyawa 

Kunyuk Merah ini, terpaksa aku harus menyele-

saikan tugasku dulu," kata seorang pemuda tampan bercelana dan berompi putih keperakan ber-

sisik, yang tadi menahan pukulan 'Kelabang Geni' 

milik Manusia Rambut Merah. Pemuda itu tak 

lain memang Siluman Ular Putih.

Dan sehabis berkata begitu, Soma yang 

sudah geram sekali langsung melesat, menyerang 

Manusia Rambut Merah. Tidak tanggung-

tanggung langsung dikeluarkannya jurus-jurus 

sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'

Dukkk! Dukkk!

"Augh...!" jerit Manusia Rambut Merah se-

tinggi langit.

Tokoh sesat ini memang sudah luka parah 

setelah bertarung dengan Siluman Ular Putih se-

belumnya. Jadi, mana mungkin dapat menangkis 

serangan-serangan. Maka tanpa ampun lagi tu-

buh tinggi besarnya terhuyung-huyung beberapa 

langkah ke belakang.

Soma tidak mau mempedulikan lagi kea-

daan Ki Jarkasi yang sudah terluka parah dan te-

rus saja menyerang dengan hebat. Namun baru 

beberapa jurus menyerang, mendadak tanah di 

sekitar tempat itu bergetar-getar hebat. Dan....

Brolll!

Tidak lama kemudian, tanah yang berge-

rak-gerak telah membuncah tinggi ke udara ber-

sama munculnya sesosok bayangan putih-putih 

dari dalam tanah.

"Guru...!" teriak Manusia Rambut Merah 

yang sudah kepayahan. Hatinya kini sedikit lega, 

saat melihat kehadiran satu sosok kurus kering


berwajah mengerikan.

Laki-laki berusia sangat tua itu hanya 

mendengus. Aneh sekali suaranya. Kedua bibir-

nya pun sama sekali tidak bergerak-gerak.

Manusia Rambut Merah yang melihat ke-

datangan laki-laki menyeramkan yang memang 

gurunya itu langsung kembali timbul semangat-

nya. Dengan tertawa-tawa sumbang segera me-

nyerang Soma. Dan ternyata, sosok berjuluk Je-

rangkong Hidup itu sendiri pun turut pula mem-

bantu muridnya.

Siluman Ular Putih menggeram penuh ke-

marahan. Tangan kanannya cepat mencabut ke-

luar senjata andalannya. Anak Panah Bercakra 

Kembar. Maka seketika itu juga hawa dingin 

menggigit tulang menebar ke sekitarnya. Bahkan 

Perempuan Bercadar Biru yang berdiri di sudut 

batu karang langsung menggigil kedinginan!

Dan begitu merasakan angin dingin berke-

siur menyerang tubuhnya, Soma langsung meng-

genjot kedua kakinya ke tanah. Di saat tubuhnya 

melayang-layang tinggi, cepat senjata pusakanya 

dilemparkan ke arah Manusia Rambut Merah. 

Sedang tangan kirinya yang telah memutih hingga 

ke pangkal lengan, siap pula mengirimkan puku-

lan 'Inti Bumi'

Hebat bukan main serangan Siluman Ular 

Putih ini. Bagai anak panah yang lepas dari bu-

sur, senjata pusaka pemuda itu melesat menye-

rang Ki Jarkasi dengan kecepatan sulit sekali di-

ikuti pandangan mata. Sementara, satu sinar putih terang berkeredep dari tangan kirinya menyu-

sul di belakang, tak jauh dari senjata anak panah 

itu!

Meski dengan susah payah, Manusia Ram-

but Merah cepat menggulingkan tubuhnya ke 

samping, menghindari serangan anak panah. Se-

mentara Jerangkong Hidup memapak pukulan 

'Inti Bumi' dengan pukulan 'Kelabang Geni'.

Wesss!

Blarrr...!

Terdengar benturan keras akibat perte-

muan dua tenaga dalam tingkat tinggi. Tubuh Si-

luman Ular Putih terhuyung-huyung beberapa 

langkah ke belakang. Wajahnya menegang. Bibir-

nya berkemik-kemik penuh kemarahan.

Pada saat ini, laksana sebuah rencong, 

senjata Anak Panah Bercakra Kembar yang tadi 

luput mengenai sasaran, entah mendapat tenaga 

gaib dari mana, tiba-tiba saja telah berputar balik 

ke arah Soma. Dan si pemuda yang sedang ter-

huyung-huyung cepat menangkapnya.

Tap!

Begitu senjata pusaka itu telah kembali di 

tangan, Siluman Ular Putih pun kembali melem-

parkannya diiringi sinar putih terang yang berke-

redep menyerang Manusia Rambut Merah dan gu-

runya. 

Ki Jarkasi dan Jerangkong Hidup hanya 

tersenyum mengejek. Dan dengan gerakan-

gerakan kedua kaki dan tangan yang cepat, murid 

dan guru itu pun dapat mematahkan serangan,


sekaligus menyerang balik.

Kini perlahan namun pasti, Soma mulai 

terdesak hebat. Jangankan untuk membalas se-

rangan. Untuk menghindari saja susah sekali. 

Bahkan entah sudah berapa kali tubuhnya yang 

tinggi tegap itu harus jumpalitan di udara, meng-

hindari serangan-serangan kedua iblis itu.

Bukkk!

Bukkk!

"Aaakh...!"

Pada akhirnya, serangan Manusia Rambut 

Merah dan Jerangkong Hidup dapat mendarat te-

lak di tubuh Soma. Seketika itu juga tubuh pe-

muda ini terhuyung-huyung beberapa langkah ke 

belakang disertai muntahan darah segar.

"Huaaah,..!"

Soma menggeram penuh kemarahan. Tan-

pa disadari saat amarahnya tidak dapat dikenda-

likan, tiba-tiba saja sekujur tubuh pemuda ini 

mulai dipenuhi asap putih tipis. Sehingga pada 

akhirnya, bayangan tubuhnya tidak kelihatan 

sama sekali! Dan saat asap putih tipis itu menghi-

lang tertiup angin, tiba-tiba saja dari asap putih 

tipis itu terlihat bayangan sesosok ular putih se-

besar pohon kelapa, tengah menggeliat-geliat he-

bat!

"Gggeeerrr...!"

"Siluman Ular Putih...!" desis Manusia 

Rambut Merah dan Jerangkong Hidup hampir 

berbarengan. 

"Gggeeerrr...!"


Siluman Ular Putih mendadak mencelat 

tinggi ke udara, langsung menerjang Manusia 

Rambut Merah dan Jerangkong Hidup.

Di lain tempat, Perempuan Bercadar Biru 

membelalakkan matanya lebar-lebar. Wanita yang 

berdiri menggigil di sudut batu karang dengan 

wajah pucat ini benar-benar dibuat terkejut bu-

kan main. Tidak disangka sama sekali kalau pe-

muda sinting yang pernah menggodanya di luar 

Hutan Sawo Kembar ternyata Siluman Ular Putih 

yang saat ini jadi buah bibir kalangan persilatan.

"Sungguh tidak kusangka kalau pemuda 

sinting ini yang mendapatkan julukan Siluman 

Ular Putih...," desah Perempuan Bercadar Biru, 

penuh kagum.

Sepasang mata wanita ini yang tersem-

bunyi di balik cadar biru penutup wajahnya, tak 

henti-hentinya terus mengikuti pertarungan hi-

dup mati di hadapannya. Betapa dilihatnya Silu-

man Ular Putih sudah pula membelit tubuh Ma-

nusia Rambut Merah dengan mulut siap meren-

cah. Selang beberapa saat lamanya kemudian....

"Aaa...!"

Terdengarlah lengking kematian Manusia 

Rambut Merah yang telah dilempar keluar dari 

kancah pertarungan dengan sekujur tubuh terca-

bik-cabik mengerikan. Sedangkan pada saat itu, 

tubuh Siluman Ular Putih sendiri pun terlempar 

pula, setelah sebelumnya ketika tengah memang-

sa Manusia Rambut Merah, Jerangkong Hidup 

menghantamnya dengan pukulan 'Kelabang Geni'.


"Gggeeerrr...!"

Siluman Ular Putih mendesis hebat. Tu-

buhnya yang terlempar keluar kancah pertarun-

gan cepat menggeliat ke belakang siap kembali 

menerjang Jerangkong Hidup. Namun sebelum 

tubuhnya bergerak....

"Bagus, Muridku! Ternyata kau sudah da-

pat menggebuk Kunyuk Merah itu sampai mam-

pus. Sekarang kau minggirlah! Si tua bangka Je-

rangkong Hidup ini giliranku."

Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang 

menegur Siluman Ular Putih. Dan tahu-tahu, di 

tengah-tengah antara Siluman Ular Putih dan Je-

rangkong Hidup berdiri seorang laki-laki tua ber-

caping pandan.

"Tua bangka Raja Penyihir! Kau rupanya! 

Hm.... Majulah sekalian kalau ingin mampus!" 

bentak Jerangkong Hidup tanpa menggerak-

gerakkan bibirnya sama sekali.

"Tunggu dulu, Jerangkong Hidup! Di anta-

ra kita memang masih ada urusan. Tapi, tunggu 

dulu ya! Aku harus mengamankan muridku ini."

Sehabis berkata begitu, orang tua bercap-

ing pandan yang memang Raja Penyihir telah 

menggerakkan tangan kanannya ke depan. Dan 

dari telapaknya tiba-tiba meluncur bayangan hi-

tam memanjang dan langsung mengikat tubuh Si-

luman Ular Putin! Lalu, saat itu juga tubuhnya 

meluruk, menyerang Jerangkong Hidup.

Siluman Ular Putih menggeliat-geliat hebat. 

Seketika itu juga sekujur tubuhnya mulai diselimuti asap putih tipis, hingga jadi tidak kelihatan 

sama sekali. Dan saat asap putih tipis tersapu 

angin tampak seorang pemuda tampan bercelana 

dan rompi bersisik warna putih keperakan tengah 

memegangi dadanya menahan sakit. Sementara 

darah segar tampak telah membasahi bibir pe-

muda itu akibat pukulan 'Kelabang Geni' milik 

Jerangkong Hidup tadi

"Hukk! Hukkk! Sial! Sial! Bagaimana aku 

harus melarikan diri dari orang tua itu?! Rupanya 

orang tua itu telah mengikatku dengan 'Tali Gaib'. 

Huh!" gerutu Soma kesal. Dan lebih kesalnya lagi 

ketika melihat pangkal 'Tali Gaib' itu diikat pada 

kaki kiri Raja Penyihir yang sedang bertempur 

hebat melawan Jerangkong Hidup.

"Aku sumpahin mampus di tangan Jerang-

kong Hidup kau, Orang Tua!" omel Soma kesal.

Raja Penyihir tidak mempedulikan ocehan 

Soma. Saat itu, ilmu-ilmu sihirnya sedang dike-

rahkan.

Rupanya, Soma sendiri pun juga tidak mau 

mempedulikan orang tua itu. Ia hanya berjalan 

tertatih-tatih, mendekati Perempuan Bercadar Bi-

ru. Namun anehnya, layaknya sebuah karet, 'Tali 

Gaib' terasa agak menjerat langkahnya. Dan lebih 

anehnya lagi, kaki kiri Raja Penyihir sama sekali 

tidak terpengaruh tarikan Soma. Kaki itu tetap 

saja dapat bergerak lincah, seperti tidak terbebani 

apa-apa! 

"Hai!" sapa Soma pada Perempuan Berca-

dar Biru. "Bagaimana dengan luka-lukamu? Sakit, ya?"

Perempuan Bercadar Biru meringis kesaki-

tan seraya menganggukkan kepala. Namun dari 

pandangan matanya, ia sangat mengagumi pe-

muda di hadapannya yang bergelar Siluman Ular 

Putih.

"Sama!" sahut Soma mulai kambuh penya-

kitnya.

Lalu tanpa permisi lagi, pemuda murid 

Eyang Begawan Kamasetyo pun sudah menotok 

beberapa jalan darah di bagian punggung Perem-

puan Bercadar Biru. Sehingga akhirnya, rasa sa-

kit wanita itu sedikit berkurang.

"Terima kasih. Lagi-lagi kau yang meno-

longku," ucap Perempuan Bercadar Biru sedikit 

mulai lega.

"Lho...? Siapa dulu penolongnya?!" kata 

Soma jumawa, seraya mengacungkan ibu jarinya 

dan telunjuknya ke dadanya sendiri.

"Se..., sebenarnya aku ingin membunuh 

Manusia Rambut Merah. Tapi, sayang. Aku tidak 

bisa," ungkap Perempuan Bercadar Biru.

"Lho...! Jelas tidak bisa dong. Aku sendiri 

saja hampir mampus di tangannya. Apalagi, ada 

bangkotan tua Jerangkong Hidup itu. Kunyuk 

Merah itu jadi besar kepala saja. Tapi, sudahlah! 

Aku ingin lihat, bagaimana orang tua sinting Raja 

Penyihir itu digebuk Jerangkong Hidup!"

Sehabis berkata begitu, Soma pun mema-

lingkan wajahnya ke arah pertarungan.

Tampak saat itu Raja Penyihir tengah ter


tawa bergelak-gelak melihat 'Tali Gaib'-nya berha-

sil melibat leher Jerangkong Hidup!

Seketika itu juga, orang tua bercaping 

pandan itu, menggerak-gerakkan 'Tali Gaib'-nya 

ke sana kemari, membentur-benturkan tubuh ku-

rus Jerangkong Hidup ke batu-batu cadas, diser-

tai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi.

Jrot! Jrot!

"Aaa...!"

Disertai lengkingan panjang, Jerangkong 

Hidup tewas dengan tubuh hancur. Serpihan-

serpihan tubuhnya berceceran di tanah disertai 

percikan darah.

"Eh...!" desah Soma.

Pemuda ini menarik mundur dadanya. Ke-

dua alis matanya bertautan tajam. Kepalanya 

menggeleng-geleng heran.

"Wah wah wah...! Ternyata sumpahku tak 

mempan, Orang Tua! Kau masih hidup!" lanjut Si-

luman Ular Putih penuh kagum.

Tak disangka, 'Tali Gaib' milik Raja Penyi-

hir demikian hebat.

Raja Penyihir tertawa bergelak-gelak. Ma-

tanya yang lebar sejenak memandangi tubuh ku-

rus Jerangkong Hidup yang hancur berantakan di 

dinding-dinding batu cadas. Kemudian, cepat di-

gabungkannya kembali 'Tali Gaib' di tangan ka-

nannya dengan 'Tali Gaib' yang mengikat di kaki 

kirinya.

"Ha ha ha...! Sumpah apa pun kalau keluar 

dari mulut baumu, tak bakalan mempan. Apa kau


ingin kusumpahi?" tukas Raja Penyihir.

"Terima kasih! Buang saja sumpahmu ke 

laut sana!" kata Soma seraya menggelengkan ke-

palanya kuat-kuat.

"Nah! Kalau begitu, cepat ikut aku ke Gu-

nung Tidar! Ayo!" ajak orang tua bercaping pan-

dan itu, cepat menarik 'Tali Gaib'-nya kuat-kuat.

Aneh sekali! Seketika tubuh Soma lang-

sung tersentak ke depan mengikuti tarikan. Ke-

mudian sambil tertawa-tawa senang, Raja Penyi-

hir terus menyeret 'Tali Gaib' yang mengikat leher 

pemuda itu.

"Tunggu, Orang Tua! Leherku sakit sekali!" 

teriak Soma.

Raja Penyihir tidak mempedulikannya. 

Sambil bersiul-siul kecil terus diseretnya Soma 

tanpa ampun.

Sementara itu Perempuan Bercadar Biru 

hanya menggeleng-geleng saja, sebelum akhirnya 

berkelebat meninggalkan tempat yang baru saja 

dinodai darah tokoh-tokoh sesat berhati iblis.



                             SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar