..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 29 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE LUKISAN DARAH

matjenuh

 Hak cipta dan copy right pada 

penerbit di bawah lindungan 
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

Rona merah tembaga masih menghiasi seba-
gian langit di sebelah barat. Gumpalan awan hitam 
yang berarak makin membuat suasana malam itu te-
rasa mencekam. Sementara kerlip berjuta bintang ter-
lihat terpuruk, tak berdaya menembus kegelapan ma-
lam.
Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat di 
antara kerapatan pohon di luar hutan Kadipaten Ple-
ret. Gerakan kaki sosok berpakaian hitam yang begitu 
ringan membuat langkahnya terayun cepat, hingga da-
lam waktu yang tidak lama telah sampai di luar tem-
bok batas kadipaten. Sosok ini segera menyelinap ke 
balik rindangnya sebatang pohon. Sepasang matanya 
yang mencorong tajam terus memperhatikan tembok 
tinggi di hadapannya. Dengan senyum sinis terkem-
bang di bibir. Sosok bayangan hitam mengalihkan 
pandangan matanya pada keempat prajurit jaga di de-
pan pintu gerbang sebelah barat Kadipaten Pleret.
Sosok ini terlihat semakin memperlebar se-
nyum. Wajahnya yang kasar penuh cambang dan ku-
mis tampak demikian menyeramkan. Rambutnya pan-
jang tergerai sebahu. Berperut buncit dengan Sepa-
sang mata mencorong tajam. Tubuh sosok itu tinggi 
besar.
Di kepalanya melingkar ikat kepala berwarna 
hitam. Sosok berpakaian hitam-hitam itu tidak lain 
Raja Maling.
Seperti dituturkan dalam Persekutuan Maut, 
Raja Maling kini telah bersekutu dengan Pangeran Pe-
mimpin dan Pelajar Agung. Atas perintah kedua orang 
itu pulalah Raja Maling hendak mencuri Lukisan Da-
rah yang disimpan dalam ruang pusaka Kadipaten Ple

ret.
"Hm...! Hanya prajurit-prajurit bodoh tak ber-
guna. Sebaiknya secepatnya aku masuk ke dalam," 
gumam Raja Maling seraya mengangguk-anggukkan 
kepala.
Senyum sinisnya masih terkembang di bibir. 
Dengan sekali menjejakkan kaki sosok Raja Maling 
meloncat ke atas tembok. Sejenak diperhatikannya 
keadaan sekitar dengan seksama. Setelah dirasanya 
aman, karena tak ada satu prajurit jaga pun yang me-
mergoki dirinya, Raja Maling meloncat turun lalu ber-
lari menuju istana kadipaten.
Tiba di samping bangunan utama istana, Raja 
Maling melesat naik ke atas wuwungan atau atap ban-
gunan istana Kadipaten Pleret. Berkat ilmu meringan-
kan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi itu 
Raja Maling dengan mudah mengecoh para prajurit ja-
ga di sekitar istana. Kini ia telah berada di atas wu-
wungan. Raja Maling sejenak memperhatikan keadaan 
sekitar. 
"Aku memang sudah tahu Lukisan Darah ter-
simpan di ruang pusaka lorong bawah tanah. Tapi aku 
tidak tahu pasti di mana tempat yang dimaksudkan 
guru itu. Yang pasti di satu tempat yang sangat raha-
sia. Kukira aku harus mengorek keterangan dari seo-
rang prajurit," pikir Raja Maling.
Raja Maling segera mengedarkan pandangan-
nya kembali. Malam belum begitu larut. Tampak bebe-
rapa prajurit jaga kadipaten siap siaga di tempat mas-
ing-masing. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari bi-
asanya. Mungkin dikarenakan akan meletusnya pem-
berontakan hingga Adipati Pleret memerintahkan un-
tuk memperketat penjagaan. Hal ini memaksa Raja 
Maling harus berhati-hati.
Sebenarnya mudah saja bagi tokoh sesat itu

untuk melumpuhkan para prajurit jaga dengan ajian 
'Sirep Sukma'. Tapi menurutnya hal tersebut tak ada 
gunanya. Ia hanya ingin mengetahui di mana letak 
ruang pusaka tempat tersimpannya Lukisan Darah. Ia 
cuma perlu melumpuhkan salah seorang prajurit. Tapi 
di bagian belakang istana itu terdapat empat orang 
prajurit jaga.
Raja Maling mengeretakkan gerahamnya seben-
tar. Lalu, dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh, Raja Maling berkelebat lincah di atas wuwungan. 
Sementara di bawah bangunan dekat taman kesa-
triaan empat orang prajurit tengah berjaga. Sepasang 
mata mereka dengan awas memperhatikan keadaan 
sekitar.
Mendadak keempat prajurit jaga itu dikejutkan 
oleh berkelebatnya sesosok tubuh dari atas wuwun-
gan. Keempatnya yang memang dalam keadaan siaga 
cepat menyambuti sosok hitam itu dengan pedang di 
tangan. Namun sayang gerakan mereka terlalu lamban 
dibandingkan gerak tangan sosok hitam.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Empat kali tangan Raja Maling bergerak cepat. 
Terdengar pekik keempat prajurit jaga kala tubuh me-
reka tertotok. Sehabis menotok kaku keempat prajurit 
jaga, Raja Maling menotok urat-urat leher mereka. Se-
ketika teriakan para prajurit jaga itu terhenti. Namun 
teriakan mereka tadi telah mengundang perhatian pra-
jurit lain hingga ingin melihat apa yang terjadi. Men-
dengar suara ribut-ribut, Raja Maling buru-buru me-
nyembunyikan ketiga orang prajurit jaga ke balik seba-
tang pohon. Sedang yang seorang diseretnya ke tempat 
yang aman.
"Aku tidak ingin menyakitimu. Tapi kalau kau 
tidak mau menuruti kemauanku, terpaksa aku akan 
membunuhmu! Sekarang cepat katakan di mana letak

ruang pusaka?!" bentak Raja Maling garang. Suaranya 
tidak begitu lantang karena takut terdengar oleh para 
prajurit.
Sepasang mata prajurit jaga itu membelalak 
liar. Kedua bibirnya hanya berkemik-kemik tanpa se-
patah kata pun yang terucap. Namun perasaan ngeri 
mendengar ancaman Raja Maling tampak terbayang je-
las di wajahnya. Raja Maling cukup tahu itu. Namun ia 
belum juga bertindak. Malah lelaki itu kembali mem-
bentak garang.
"Sekali lagi kau tidak mau menuruti kemaua-
nku, jangan harap aku akan mengampuni nyawamu, 
Prajurit. Cepat katakan di mana letak ruang pusaka?!"
Prajurit jaga kembali membelalakkan matanya 
liar. Dari kilatan mata itu Raja Maling mendapat kesan 
kalau prajurit tersebut akan membuka suara.
"Baik. Aku berjanji tidak akan membunuhmu 
kalau kau mau bicara," Raja Maling lalu menotok pulih 
jalan suara di tenggorokan prajurit itu. "Nah, sekarang 
katakan di mana letak ruang pusaka. Kalau kau berte-
riak, aku akan segera meremukkan batok kepalamu!"
"Kau.... Kau siapa?" kata prajurit itu gemeta-
ran.
"Jangan banyak tanya! Cepat katakan di mana 
letak ruang pusaka!"
Prajurit jaga menelan ludahnya sebentar.
"Ruang pusaka terletak persis di belakang ista-
na. Kau dapat memasukinya setelah membuka pintu 
batu di samping taman. Tapi meski kau dapat masuk, 
belum tentu bisa mengalahkan orang tua aneh yang 
bergelar Penjaga Pintu."
"Jangan banyak bacot! Aku, Raja Maling, tidak 
pernah takut pada siapa pun!" bentak Raja Maling.
Lalu jari-jari tangannya yang besar kembali 
menotok jalan suara prajurit jaga.

Prajurit itu kembali terbungkam walau sebe-
narnya ia masih ingin berkata. Raja Maling sendiri se-
gera berkelebat ke belakang istana. Gerakan kedua 
kakinya ringan sekali. Dalam beberapa kelebatan saja 
Raja Maling telah sampai di halaman belakang taman 
kadipaten.
Sejenak Raja Maling memperhatikan keadaan 
seputar taman. Sepasang matanya yang mencorong ta-
jam kini tertuju pada batu sebesar kerbau di dekat po-
hon nangka.
"Hm...! Ini pasti pintu batu yang dimaksud pra-
jurit itu. Sebab di seputar taman hanya ada batu itu 
saja. Aku harus membuka pintu batu itu terlebih da-
hulu. Mengenai orang tua aneh yang bergelar Penjaga 
Pintu tak perlu ku khawatirkan. Dengan menggunakan 
aji 'Sirep Sukma' pasti dapat kulumpuhkan orang tua 
aneh itu," kata Raja Maling dalam hati.
Raja Maling melangkah lebar mendekati batu 
sebesar kerbau. Sesampainya di dekat batu besar Raja 
Maling tertegun bingung tak tahu apa yang harus di-
perbuat. Ia belum menemukan cara bagaimana mem-
buka pintu batu.
Kalau dihancurkan jelas tidak mungkin. Di 
samping batu itu belum tentu terbuka, suara ribut dari 
pecahan batu akan mengundang para prajurit untuk 
berdatangan. Raja Maling tak menginginkan hal itu 
terjadi. Maka diputuskannya untuk mengerahkan te-
naga dalam guna menggeser pintu batu. Sebab, keba-
nyakan tempat rahasia yang ditutup dengan batu da-
pat dibuka dengan cara menggesernya atau menemu-
kan alat rahasia untuk membukanya.
"Ya. Kukira aku harus mencari alat rahasia itu 
terlebih dahulu. Kalau tidak berhasil terpaksa aku 
menggeser pintu batu," pikir Raja Maling lebih lanjut.
Kedua telapak tangan yang sudah gatal ingin

mendapatkan Lukisan Darah segera meraba beberapa 
bagian batu. Sementara sepasang mata Raja Maling
begitu seksama memperhatikan keadaan batu. Setelah 
beberapa saat lamanya Raja Maling tidak juga mene-
mukan alat rahasia yang dicari. Raja Maling menyu-
rutkan langkahnya setindak.
"Setan alas! Aku hanya membuang-buang wak-
tu saja. Seharusnya sudah sedari tadi ku geser pintu 
batu keparat itu. Baik. Sekarang juga aku akan meng-
geser pintu batu ini!"
Raja Maling mempersiapkan diri sejenak. Dis-
ingsingkannya lengan baju sebelum menempelkan ke-
dua telapak tangannya ke batu. Perlahan namun pasti 
Raja Maling mengerahkan tenaga dalam.
Krek! Krek!
Ternyata pintu batu itu bergeser. Raja Maling 
gembira bukan main. Sedikit demi sedikit tampaklah 
lobang menganga di hadapannya. Lobang itu memang 
tidak terlalu lebar, namun cukup untuk menerobos ke 
dalam. Tanpa banyak cakap Raja Maling segera masuk 
ke dalam lobang. 
Wesss!
Laksana segumpal kapas kedua telapak kaki 
Raja Maling mendarat di lantai ruangan dengan tanpa 
menimbulkan bunyi. Sejenak Raja Maling memperha-
tikan suasana dalam ruangan bawah tanah itu. Dari 
temaramnya sinar obor di sudut ruangan dapat terlihat 
jelas berbagai macam senjata pusaka Kadipaten Pleret. 
Dan, sepasang mata Raja Maling membeliak lebar. 
Pandang matanya tertumbuk pada sebuah lukisan 
wanita telanjang berwarna merah darah.
Raja Maling gemetaran di tempatnya melihat 
barang yang akan dicuri itu. Lukisan di sudut ruangan 
tersebut memang cukup menggetarkan hati. Bukan sa-
ja karena Raja Maling ingin mencuri lukisan itu, hatinya juga tergetar melihat sepasang buah dada yang 
membusung dalam lukisan berwarna merah darah. 
Bagian pahanya tertutup kain tipis berwarna putih. 
Raja Maling terangsang melihat pemandangan indah di 
hadapannya. Padahal ia tahu itu hanyalah sebuah lu-
kisan. Konon, warna merah dalam lukisan itu adalah 
darah perawan yang digunakan untuk melukis.
"Lukisan hebat.... Aku harus secepatnya men-
gambil lukisan itu!" desis Raja Maling.
Perlahan-lahan Raja Maling mulai melangkah 
mendekati. Baru saja dua langkah kakinya terayun, 
mendadak ia dikejutkan oleh bentakan garang seseo-
rang. Disusul berkelebatnya sesosok bayangan.
"Siapa pun adanya kau pasti mempunyai mak-
sud tidak baik! Nyawamulah sebagai tebusan kelan-
canganmu memasuki ruang pusaka bawah tanah ini!"
***
Raja Maling membelalakkan mata lebar-lebar. 
Di hadapannya kini telah tegak seorang kakek berusia 
delapan puluh tahunan. Rambutnya yang panjang 
memutih digelung ke atas. Tubuhnya tinggi kurus, di-
balut jubah besar warna kuning. Tangan kanan kakek 
itu menggenggam sebatang tongkat berkepala ular ko-
bra yang juga berwarna kuning.
"Hm...! Inikah orang tua aneh yang bergelar 
Penjaga Pintu?" gumam Raja Maling dalam hati. "Aku 
harus berhati-hati. Melihat kemunculannya yang sama 
sekali tidak terdengar olehku, bukan mustahil orang 
tua di hadapanku ini memiliki kepandaian tinggi"
"Sebaiknya enyahlah kau dari hadapanku, Tua 
Bangka Busuk! Percuma saja kau menghadapi Raja 
Maling. Aku memang mempunyai maksud tidak baik. 
Aku menginginkan Lukisan Darah!"

Orang tua aneh yang bergelar Penjaga Pintu 
terkesiap kaget. Dadanya sedikit ditarik ke belakang.
Lalu, dengan sepasang mata berkilat-kilat Pen-
jaga Pintu membentak Raja Maling.
"Bedebah! Kau pikir gampang mewujudkan 
niatmu, Raja Maling? Boleh saja kau curi lukisan itu 
kalau dapat melangkahi mayatku terlebih dahulu!"
Raja Maling tersenyum sinis. Tampak sekali ka-
lau ia tidak takut menghadapi Penjaga Pintu. Malah 
dengan sedikit mencibirkan bibir Raja Maling terus 
melangkah tanpa peduli. Namun baru beberapa lang-
kah, Raja Maling merasakan berkesiurnya angin dingin 
yang menyambar dada.
"Keparat! Berani kau menghalangi maksudku, 
he?!" bentak Raja Maling seraya mengibaskan tangan 
kanan. Seketika, serangkum angin dingin dari kibasan 
tangan itu memapaki pukulan Penjaga Pintu.
Bummm...!
Raja Maling memekik kaget. Tubuhnya terpen-
tal ke belakang hingga membentur dinding.
"Setan alas! Tak kusangka tenaga dalam orang 
tua ini begitu tinggi. Tak salah apa yang dikatakan
prajurit jaga tadi. Aku harus berhati-hati!" geram Raja 
Maling.
Penjaga Pintu kembali menyerang Raja Maling. 
Diiringi teriakan nyaring kedua telapak tangannya 
yang berubah kekuningan hingga ke pangkal siku me-
luruk maju.
Raja Maling menggerutu dalam hati. Belum 
sempat serangan Penjaga Pintu mengenai sasaran, an-
gin dingin telah berkesiur menyambar-nyambar tu-
buhnya.
Raja Maling kesal bukan main. Bukan kesal 
melihat datangnya serangan, melainkan kesal men-
dengar teriakan Penjaga Pintu yang tentu mengundang

para prajurit jaga. Maka begitu melihat datangnya se-
rangan, Raja Maling segera mendorong kedua telapak 
tangannya dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
"Heaaa...!"
Dikawal bentakan keras Raja Maling memapaki 
pukulan Penjaga Pintu. Terdengar ledakan dahsyat 
memenuhi ruangan. Batu-batu kecil dari atap ruangan 
jatuh berguguran.
Raja Maling sendiri memekik keras. Tubuhnya 
terlempar, dan untuk kedua kali membentur tembok di 
belakangnya. Parasnya langsung berubah pias. Darah 
segar mengalir dari sudut-sudut bibir. Agaknya Raja 
Maling menderita luka dalam cukup hebat.
Di hadapannya Penjaga Pintu terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Namun hanya 
sebentar. Setelah dapat menguasai keseimbangan ba-
dan, Penjaga Pintu kembali menyerang Raja Maling. 
Kedua telapak tangannya yang berwarna kuning siap 
menghajar tubuh lawan.
Raja Maling mengeluh. Dalam dua kali gebra-
kan, jelas tadi tenaga dalamnya masih kalah beberapa 
tingkat di bawah lawan.
"Kalau begini caranya aku bisa modar. Aku ha-
rus secepatnya mengeluarkan aji 'Sirep Sukma'," pikir 
Raja Maling.
Lelaki itu segera mengerahkan kekuatan batin-
nya. Kedua bibirnya berkemik-kemik membacakan 
mantra ajian 'Sirep Sukma'. Selang beberapa saat, 
mendadak Penjaga Pintu menghentikan serangannya. 
Sepasang matanya membelalak lebar. Namun, menda-
dak pula sepasang mata itu meredup seolah-olah dis-
erang rasa kantuk yang luar biasa.
Raja Maling tertawa gembira. Di saat Penjaga 
Pintu berusaha melawan rasa kantuk yang menye-
rangnya, kedua telapak tangan Raja Maling menghantam ke depan.
Bukkk! Bukkk!
Penjaga Pintu memekik keras. Tanpa ampun 
lagi tubuhnya yang tinggi kurus langsung terlempar ke 
belakang bak layangan putus dari benangnya, lalu 
menghantam dinding ruangan.
"Itulah akibatnya bagi orang yang berani mela-
wan Raja Maling!" desis Raja Maling penuh kemenan-
gan.
Penjaga Pintu merintih kesakitan. Telapak tan-
gannya mendekap dada erat-erat. Sebelah tangan yang 
lain menggapai-gapai dinding ruangan berusaha untuk 
bangkit. Namun sayang tubuhnya kembali luruh ke 
lantai. Dan di saat Raja Maling melangkah mendekati 
Lukisan Darah yang keramat, dengan napas tersengal 
Penjaga Pintu berteriak sekeras mungkin.
"Ma.... Maling...!"
Habis berteriak, kepala Penjaga Pintu jatuh ter-
kulai dan tidak bergerak-gerak lagi. Mendengar teria-
kan tadi Raja Maling jadi gusar bukan main. Buru-
buru didekatinya Lukisan Darah lalu segera menyam-
barnya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah 
mencapai tingkat tinggi, Raja Maling berkelebat cepat 
keluar dari ruangan bawah tanah.
"Hea...!"
Sekali menjejakkan kakinya tubuh tinggi besar 
Raja Maling telah melesat cepat. Namun baru saja ke-
dua telapak tangan Raja Maling mendarat di luar 
ruangan, terdengar teriakan-teriakan beberapa orang. 
"Maling! Ia mencuri Lukisan Darah!"
"Tangkap maling itu!"
"Kita cincang sampai lumat!"
Raja Maling menggeram penuh kemarahan. Ka-
lau menurutkan perasaan ingin ia menghajar prajurit-
prajurit jaga itu. Namun Raja Maling berpikir lain. Ba

gaimanapun juga ia tidak ingin bentrok dengan para
prajurit Kadipaten Pleret. Jika akhirnya harus kehilan-
gan Lukisan Darah. Malah bukan mustahil nyawanya 
turut melayang.
Begitu melihat beberapa prajurit Kadipaten Ple-
ret berlarian mengejar dirinya, Raja Maling menjejak-
kan kakinya ke tanah dan berkelebat meninggalkan 
tempat itu. Sosok tinggi besar Raja Maling dengan ce-
pat menghilang di kegelapan malam.
Sambil berteriak-teriak nyaring para prajurit 
Kadipaten Pleret terus melakukan pengejaran. Bahkan 
beberapa tokoh sakti kadipaten turut mengejar. Sa-
yang, ilmu meringankan tubuh tokoh-tokoh sakti Ka-
dipaten Pleret masih di bawah kepandaian ilmu Raja 
Maling. Sebentar saja mereka telah kehilangan jejak 
buruannya.
Prajurit-prajurit kadipaten merasa kecewa. Na-
mun apa boleh buat. Mereka telah kehilangan jejak si 
pencuri. Dengan sangat terpaksa mereka segera mela-
porkan hilangnya Lukisan Darah pada Adipati Pleret.
Sang adipati murka bukan main. Saat itu juga 
Adipati Pleret memerintahkan beberapa tokoh sakti 
kadipaten untuk mencari sampai ketemu orang yang 
telah mencuri Lukisan Darah.
***
DUA


Malam itu angin berhembus sangat kencang. 
Ranting-ranting pohon di luar Kadipaten Pleret saling 
berderak, seolah-olah mengisyaratkan pada seluruh 
penghuni alam mayapada agar selalu mengingat Yang 
Maha di Atas. Karena hanya Yang Maha di Atas sajalah

yang memiliki kekuasaan begitu besar. Mendatangkan 
angin dan membiarkan rembulan bersinar terang, se-
perti suasana malam itu.
Dalam terangnya sinar rembulan sesosok tu-
buh berpakaian putih keperakan tampak berdiri tegak 
di bibir sebuah jurang dalam Hutan Pager Kukuh. 
Suatu hutan lebat di sebelah barat Kadipaten Pleret. 
Bak tonggak kaku sosok berpakaian putih keperakan 
itu terus memperhatikan nyala obor di bawah jurang.
Sosok itu adalah seorang pemuda tampan ber-
wajah polos kekanak-kanakan. Usianya kira-kira dela-
pan belas tahun. Rambutnya tergerai di bahu. Rompi 
bersisiknya yang berwarna putih keperakan terlihat 
berkibar-kibar tertiup angin. Tampaklah senjata pusa-
ka yang berupa anak panah bercakra kembar. Cukup 
unik memang senjata anak muda bergelang akar bahar 
di kedua pergelangan tangannya itu. Pemuda tampan 
tersebut tidak lain murid Eyang Begawan Kamasetyo. 
Sepasang matanya yang tajam bak sepasang mata ra-
jawali terus memperhatikan nyala obor. Entah kenapa 
tiba-tiba murid Eyang Begawan Kamasetyo itu menge-
rutkan kening.
"Heran. Tak kusangka di tempat sesunyi ini 
terdapat sebuah bangunan megah. Aku dapat melihat-
nya dengan samar-samar. Jangan-jangan tempat itu 
yang menjadi markas gerombolan pemberontak Partai 
Kawula Sejati? Bisa jadi!" gumam Soma pelan.
Dan kenyataannya, di bawah jurang Sana me-
mang terdapat banyak nyala obor. Dibantu dengan te-
rangnya sinar rembulan tampaklah sebuah bangunan 
megah. Tempat itulah yang menjadi sarang kaum 
pemberontak Partai Kawula Sejati.
"Ya...! Aku yakin pasti tempat itulah markas 
kaum pemberontak Pimpinan Pangeran Pemimpin. Ka-
lau tidak, di mana lagi? Aku sudah berputar-putar di


sekitar hutan ini. Aku harus secepatnya ke sana. Salah 
seorang Putri Kadipaten Pleret yang bernama Putri Se-
kartaji saat ini tengah menjadi tawanan Pangeran Pe-
mimpin. Aku harus secepatnya membebaskan Putri 
Sekartaji. Kalau perlu sekalian menumpas manusia-
manusia pemberontak itu!" kata Soma lagi berkata 
sendirian. 
Murid Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar 
Siluman Ular Putih itu pun hendak meninggalkan 
tempat tersebut. Namun baru saja kakinya akan di-
ayunkan, sepasang matanya yang tajam melihat se-
sosok tubuh berpakaian hitam-hitam tengah mengen-
dap-endap menuruni jurang itu.
Soma curiga dibuatnya. Sosok hitam itu seo-
rang laki-laki bertubuh tinggi besar. Tangan kanannya 
menenteng sebuah pigura berisi lukisan dalam kea-
daan terbalik. Tatkala sosok hitam itu membalikkan 
badan barulah Soma dapat melihat kalau lukisan ter-
sebut ternyata bergambar seorang wanita telanjang. 
Itulah Lukisan Darah yang baru saja dicuri Raja Mal-
ing! Dan melihat ciri-ciri sosok berpakaian hitam me-
mang dialah tokoh sesat itu.
"Ooooi...! Siapa di situ?!" teriak Soma lantang. 
Tubuhnya segera berkelebat mendekati Raja Maling.
Raja Maling terkesiap kaget. Tidak disangka dia 
akan bertemu seseorang yang tak dikenal di dekat 
markas Partai Kawula Sejati.
"Hm...! Siapakah kunyuk gondrong ini? Apakah 
ia salah seorang tokoh sakti kadipaten yang ditu-
gaskan untuk menangkap aku? Atau, bisa jadi seorang 
mata-mata Kadipaten Pleret?" gumam Raja Maling.
Soma mengerutkan kening. Sepasang matanya 
terus memperhatikan lukisan telanjang di tangan Raja 
Maling. Tiba-tiba murid Eyang Begawan Kamasetyo itu 
tersenyum.

"Lukisanmu sungguh menarik, Orang Tua? Ta-
pi kenapa harus bergambar wanita telanjang? Meski 
sebenarnya aku senang sekali melihatnya. Hebat! Ru-
panya kau seorang pelukis andal. Siapa namamu, 
Orang Tua?"
Raja Maling menyipitkan mata. Dipandanginya 
pemuda gondrong di hadapannya lekat-lekat.
"Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? Ditanya 
kok malah memandangi. Apa memang begini watak 
seorang pelukis. Kukira tidak, kan? Lantas kenapa kau 
tampak uring-uringan begitu?"
"Jangan banyak bacot! Siapa kau sebenarnya. 
Dan mau apa kau datang ke tempat ini?!" bentak Raja 
Maling.
"Ah...! Rupanya benar. Ternyata kau pemarah, 
Orang Tua. Tapi tidak apa-apa. Aku senang berkenalan 
dengan seorang pemarah. Namaku Soma. Seorang 
pengembara miskin lagi bodoh. Mengenai maksudku 
menemuimu sekarang, aku hanya ingin bertanya apa 
benar tempat di bawah jurang sana itu markas Partai 
Kawula Sejati yang ingin memberontak?"
Raja Maling makin menyipitkan mata. Ia ber-
tanya-tanya sendiri dalam hati. Siapa pemuda di ha-
dapannya ini sebenarnya? Melihat sikapnya yang keto-
lol-tololan pasti ia bukan mata-mata kadipaten mau-
pun tokoh sakti yang ditugaskan untuk menangkap di-
rinya. Tapi kenapa ia menanyakan markas Partai Ka-
wula Sejati? Apa ia ingin bersekutu dengan tokoh-
tokoh lainnya yang ingin membantu perjuangan Pan-
geran Pemimpin? 
"Kalau memang itu adalah markas Partai Kawu-
la Sejati, kau mau apa, Bocah? Apa kau ingin berga-
bung dengan Pangeran Pemimpin? Kau kira mudah, 
he! Jangankan pemuda dungu macam kau, aku sendiri 
belum tentu diterima menjadi anggota Partai Kawula

Sejati kalau tidak berhasil mencu...," hampir saja Raja 
Maling kelepasan bicara.
"Mencuri maksudmu? Jadi kau pencuri? Apa 
kau mencuri lukisan itu, Orang Tua?"
"Jangan banyak bacot! Aku pencuri kek, tidak 
kek, itu bukan urusanmu!" bentak Raja Maling.
Habis membentak, Raja Maling bergegas hen-
dak meninggalkan tempat itu. Namun pemuda gon-
drong di hadapannya telah menghadang langkahnya.
"Tunggu dulu, Orang Tua. Kau belum menja-
wab pertanyaanku. Kau tidak boleh meninggalkanku 
begitu saja."
"Kau mau apa sebenarnya? Apa kau tidak tahu 
tengah berhadapan dengan siapa, he?!"
"Aku... aku memang belum tahu siapa kau, 
Orang Tua. Tapi melihat gerak-gerikmu bukan musta-
hil kau seorang pencuri. Kalau tidak, kenapa kau ta-
kut bertemu aku? Jadi benar kau pencuri kan?"
Raja Maling tertawa bergelak.
Entah kenapa Soma jadi ikut-ikutan tertawa. 
Dan sambil menuding-nudingkan telunjuk jarinya ke 
muka Raja Maling, Soma pun berkata, "Melihat tam-
pangmu yang memuakkan kau pasti seorang pencuri 
cabul. Mana ada maling yang sudi mencuri lukisan 
bergambar wanita telanjang. Ah...! Jangan-jangan kau 
orang sakit, Orang Tua. Kau menginginkan gambar 
wanita telanjang itu daripada melihat tubuh seorang 
wanita. Untuk apa? Untuk dikeloni, ya?" ejek Soma.
Seketika Raja Maling menghentikan tawanya. 
Sepasang matanya mendadak mencorong tajam mem-
perhatikan pemuda gondrong di hadapannya.
"Tutup mulutmu, Bocah! Aku, Raja Maling, be-
lum pernah membiarkan orang lain menghinaku. Dan 
karena kau telah menghinaku, maka nyawamulah se-
bagai tebusannya!"

Soma alias Siluman Ular Putih sedikit pun ti-
dak takut mendengar ancaman Raja Maling. Malah ia 
makin memperkeras suara tawanya.
"Jadi kaukah yang bergelar Raja Maling? Pan-
tas! Tampangmu memang seram. Tapi aku benar-
benar tidak mengerti. Tak kusangka Raja Maling yang 
kesohor itu hanyalah seorang laki-laki sakit. Senang-
nya mengeloni gambar wanita telanjang dibandingkan 
memeluk tubuh seorang wanita cantik!" ejek Siluman 
Ular Putih makin menjadi.
"Setan alas! Kau harus membayar mahal peng-
hinaanmu ini, Bocah! Terimalah kematianmu hari ini. 
Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Raja Maling lang-
sung mengirimkan serangan untuk menggempur Silu-
man Ular Putih. Sambil memegangi lukisan di tangan 
kiri, Raja Maling melontarkan bogem mentahnya ke 
muka Soma. Dengan jurus itu ia ingin merobohkan
pemuda gondrong di hadapannya.
Plak!
Siluman Ular Putih mengayunkan tangan ka-
nan untuk menangkis jotosan Raja Maling. Akibatnya, 
Raja Maling kontan memekik kaget. Tangan kanannya 
terasa ngilu bukan main seperti membentur tembok 
baja.
Menyadari musuhnya memiliki kepandaian 
yang lumayan, Raja Maling menggembor penuh kema-
rahan. Tanpa disadari telapak tangan kanannya hingga 
ke pangkal siku telah berubah hitam legam.
"Hea...!"
Raja Maling menggembor keras seraya mendo-
rong telapak tangan kanannya ke depan. Seketika sele-
ret sinar hitam melesat siap melabrak tubuh Siluman 
Ular Putih. Bersamaan dengan datangnya serangan, 
bertiup angin panas yang menyambar-nyambar tubuh

lawan. Tentu saja Siluman Ular Putih tidak membiar-
kan tubuhnya jadi sasaran empuk. Dengan mengerah-
kan pukulan sakti tenaga 'Inti Bumi', Soma memapaki 
pukulan Raja Maling. 
Bummm...!!
Satu ledakan dahsyat tercipta akibat perte-
muan dua tenaga dalam. Tenaga pukulan Raja Maling 
berhamburan menghantam ranting-ranting pohon 
hingga hangus terbakar.
Tubuh Raja Maling sendiri terpental ke bela-
kang menghantam batang pohon. Seisi dadanya ter-
guncang hebat. Soma memegangi dadanya, Raja Mal-
ing segera meloncat bangun. Bukannya hendak me-
nyerang Siluman Ular Putih, melainkan berkelebat ce-
pat meninggalkan tempat itu.
"Tunggu pembalasanku, Kunyuk Gondrong! 
Sayang sekali hari ini aku tak ada nafsu untuk men-
jajal kepandaianmu. Tapi, ingat. Raja Maling tidak 
pernah membiarkan orang yang telah menghinanya 
hidup lebih lama!" teriak Raja Maling dari kejauhan.
Siluman Ular Putih hanya menggaruk-garuk 
kepala. Ia tidak berkeinginan mengejar Raja Maling. 
Karena menurutnya ia tidak pernah mempunyai masa-
lah dengan tokoh sesat itu. Di samping itu Soma be-
lum yakin kalau Raja Maling telah mencuri seperti 
yang dikatakannya tadi.
Jika saja Siluman Ular Putih tahu kalau luki-
san di tangan Raja Maling adalah lukisan keramat mi-
lik Kadipaten Pleret, bukan mustahil ia akan mengejar 
Raja Maling untuk merebut kembali lukisan itu. Na-
mun sayang Siluman Ular Putih tidak tahu. Ini suatu 
keberuntungan bagi Raja Maling. Dengan lukisan itu-
lah Pangeran Pemimpin ingin menyingkap harta karun 
yang tersembunyi.
"Ah...! Kenapa tadi kubiarkan Raja Maling me

larikan diri. Harusnya aku menangkapnya. Terus te-
rang aku mulai curiga. Kulihat Raja Maling terus ber-
kelebat ke dasar jurang di mana markas Partai Kawula 
Sejati berada. Jangan-jangan Raja Maling memang sa-
lah seorang anggota partai itu. Bodohnya aku! Se-
karang aku mulai mengerti. Raja Maling akan diterima 
jadi anggota partai asal ia berhasil mencuri sesuatu. 
Ya.... Lukisan itu. Tapi ada apa sebenarnya dengan lu-
kisan itu hingga Pangeran Pemimpin memerintahkan 
Raja Maling untuk mencurinya? Pasti mengandung se-
suatu yang berharga. Aku harus menyelidikinya," kata 
murid Eyang Begawan Kamasetyo sambil mengangguk-
anggukkan kepala.
Tekad Soma untuk menyelidiki Partai Kawula 
Sejati makin menjadi. Tanpa banyak pikir lagi murid 
Eyang Begawan Kamasetyo berkelebat cepat menuruni 
jurang. Tujuannya sudah pasti bangunan markas Par-
tai Kawula Sejati.
***
TIGA


"Bagus! Cepat serahkan gadis itu!" kata seseo-
rang dari kursi kebesarannya.
Ia seorang laki-laki berusia empat puluh tahun. 
Mengenakan pakaian bangsawan Jawa. Wajahnya pu-
tih bersih. Sikapnya lembut seperti kebanyakan priyayi 
kadipaten. Dan, kenyataannya ia memang masih ketu-
runan Adipati Pleret Tua dari seorang selir. Namanya 
Raden Sembodo atau lebih terkenal dengan julukan 
Pangeran Pemimpin.
Orang yang diperintah laki-laki itu adalah seo-
rang guru dan murid dari Gunung Lawu. Yang sebelah

kanan seorang kakek berusia enam puluh tahun. Wa-
jahnya garang. Tubuhnya yang pendek kurus mirip 
orang cacingan dibalut pakaian ketat warna hitam. La-
ki-laki yang tidak lain Bajing Ireng itu mengangguk-
anggukkan kepala sambil mengetuk-ngetukkan tong-
kat hitamnya di lantai.
Di sebelahnya berdiri seorang pemuda gagah 
berusia dua puluh dua tahun. Mengenakan pakaian 
ketat warna biru. Rambutnya yang panjang sebahu di-
kuncir sebagian ke belakang. Di pinggangnya tam-pak 
tergantung sebilah pedang. Pemuda ini bergelar Bajing 
Biru.
Kedua guru dan murid dari Gunung Lawu itu 
berkeinginan untuk bersekutu dengan Pangeran Pe-
mimpin. Maka sebagai tanda kesungguhan, mereka 
menangkap seorang gadis cantik yang masih terhitung
adik Adipati Pleret yang sekarang.
Melihat tengah berhadapan dengan orang yang 
sangat dikenalnya, gadis cantik di samping Bajing 
Ireng dan Bajing Biru melototkan mata heran. Kalau 
saja jalan suaranya tidak tertotok sudah pasti Putri 
Sekartaji akan bertanya. Untuk apa ia dihadapkan pa-
da Pangeran Pemimpin yang masih terhitung kakak ti-
rinya?
"Apa ini berarti kau telah menerima kami seba-
gai anggota Partai Kawula Sejati, Pangeran Pemimpin?" 
kata Bajing Ireng membuka suara.
"Pasti. Asal kau mau tunduk dan setia di bawah 
perintahku, aku akan menerima kalian menjadi anggo-
ta Partai Kawula Sejati," sahut. Pangeran Pemimpin 
penuh wibawa.
"Terima kasih. Kami pasti tidak akan mengece-
wakan mu, Pangeran Pemimpin."
"Baik. Sekarang serahkan gadis itu padaku. 
Kau lepaskan dulu totokannya!" kata Pangeran Pe

mimpin seraya mengerling ke arah Bajing Ireng.
Bajing Ireng yang sudah cukup pengalaman 
tentu saja mengerti maksud kerlingan mata Pangeran 
Pemimpin. Tanpa banyak, cakap Bajing Ireng mele-
paskan totokan gadis itu. Namun tidak melepaskan to-
tokan di tubuhnya. Habis menotok pulih jalan suara 
Putri Sekartaji, Bajing Ireng menyerahkan gadis cantik 
itu di hadapan Pangeran Pemimpin dan kembali ke 
tempatnya semula.
"Kangmas Sembodo! Apa sebenarnya yang 
Kangmas inginkan? Untuk apa Kangmas menang-
kapku?" Putri Sekartaji tak dapat menyembunyikan 
perasaan heran. Meski dalam hatinya marah sekali 
dengan tindakan kakak tirinya, namun Putri Sekartaji 
masih dapat menahan.
"Tenanglah, Nimas Putri Sekartaji. Kalau kau 
mau menuruti kemauanku, tentu aku tidak akan me-
nyakitimu," bujuk Pangeran Pemimpin.
"Tidak, Kangmas. Aku tidak akan tenang kalau 
Kangmas belum mengatakan maksud Kangmas mena-
hanku dan mengapa Kangmas keluar dari kadipaten? 
Apa yang Kangmas inginkan? Apa Kangmas tidak ingin 
berkumpul dengan Kangmas Adipati?"
Pangeran Pemimpin yang bernama asli Raden 
Sembodo hanya tersenyum tipis. Namun dari tarikan 
senyumannya jelas ia tengah menyembunyikan suatu 
kelicikan. Entah kelicikan apa, Putri Sekartaji belum 
tahu.
"Sudahlah, Nimas. Kau tak usah banyak tanya. 
Pokoknya kau turuti saja kemauanku. Nanti kau akan 
tahu sendiri apa yang Kangmas inginkan," habis ber-
kata begitu, Pangeran Pemimpin memalingkan kepa-
lanya ke arah salah seorang anggota Partai Kawula Se-
jati. "Sentono! Tolong kau bawa adikku ini ke kamar!"
"Baik, Ketua!"

Orang yang dipanggil Sentono segera meloncat 
bangun. Namun ketika ia hendak melangkah mende-
kati Putri Sekartaji, semua yang berada di ruang pen-
dopo markas Partai Kawula Sejati mendengar suara 
tawa bergelak dari pintu masuk pendopo.
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang bernasib 
mujur, Pangeran Pemimpin! Kini aku telah menda-
patkan apa yang kau inginkan!"
***
Seketika Pangeran Pemimpin dan semua orang 
di ruang pendopo memalingkan kepala ke arah da-
tangnya suara. Di depan pintu masuk tampak seorang 
laki-laki bertubuh tinggi besar tengah melangkah ma-
suk. Di tangan kanan lelaki itu tergenggam sebuah lu-
kisan bergambar seorang wanita telanjang. Itulah Lu-
kisan Darah yang sangat diinginkan Pangeran Pemim-
pin.
"Lukisan Darah...!" desis Pangeran Pemimpin 
hampir bersamaan dengan Pelajar Agung yang duduk 
di sampingnya.
Putri Sekartaji kontan membelalakkan mata le-
bar-lebar. Ia yang semula tidak begitu tertarik melihat 
kedatangan Raja Maling kini segera menolehkan kepa-
la memandang sosok berpakaian hitam-hitam itu. Se-
ketika Putri Sekartaji memekik kaget.
"Ya, ampun! Apa sebenarnya yang diinginkan 
Kangmas Sembodo? Kenapa Kangmas menyuruh se-
seorang mencuri Lukisan Darah? Untuk apa?!" desis 
Putri Sekartaji gusar bukan main. "Kangmas! Kau... 
kau...," saking gusarnya Putri Sekartaji tak dapat me-
neruskan ucapannya. Hanya sepasang matanya berki-
lat-kilat memperhatikan Pangeran Pemimpin dan Raja 
Maling bergantian.

"Diamlah kau, Nimas!" bentak Pangeran Pe-
mimpin tak senang. Lalu kembali meneruskan uca-
pannya kepada Sentono. "Sentono! Kenapa kau tidak 
lekas membawa adikku yang cantik ini ke kamar? 
Hayo, lekas bawa Nimas Putri Sekartaji ke kamar!"
"Baik!"
Sentono kembali meneruskan langkahnya 
mendekati Putri Sekartaji. Putri Kadipaten Pleret itu 
menggeram penuh kemarahan. Namun ketika tangan 
kekar Sentono menyambar lengannya, Putri Sekartaji 
hanya bisa melontarkan umpatan serapah. Apalah 
yang bisa ia perbuat. Dalam keadaan tertotok seperti 
itu tak mungkin Putri Sekartaji bisa berbuat banyak. 
Paling hanya bisa melototkan mata ketika tubuhnya 
diseret masuk ke kamar.
Pangeran Pemimpin mencibirkan bibir sinis. 
Sedikit pun ia tidak merasa kasihan mendengar ratap-
tangis Putri Sekartaji. Malah kini dengan sikap yang
angkuh Pangeran Pemimpin kembali memalingkan ke-
pala ke arah Raja Maling.
"Raja Maling! Kuhargai hasil kerjamu kali ini. 
Aku senang sekali kau berhasil mendapatkan Lukisan 
Darah yang sangat kuinginkan. Majulah kemari, Raja 
Maling!"
"Baik."
Raja Maling melangkah ke depan dan duduk di 
hadapan ketuanya. Pangeran Pemimpin segera memin-
ta lukisan di tangan Raja Maling. Dan dengan senang 
hati Raja Maling menyerahkan lukisan hasil curiannya.
Pangeran Pemimpin mengamatinya dengan 
seksama. Di sampingnya Pelajar Agung turut memper-
hatikan lukisan tersebut.
"Bagaimana sobatku, Pelajar Agung? Apakah 
lukisan ini asli?" tanya Pangeran Pemimpin.
"Hm...!" Pelajar Agung sejenak menghela napas.

"Tampaknya lukisan ini asli, Pangeran Pemimpin. Tapi 
apakah kau sudah tahu bagaimana cara menyingkap 
rahasia dalam lukisan ini?"
Pangeran Pemimpin tidak menyahut. Ia hanya 
mengangguk-anggukkan kepala seraya mengalihkan 
perhatiannya pada Raja Maling.
"Apakah kau tahu bagaimana caranya me-
nyingkap rahasia dalam Lukisan Darah ini, Raja Mal-
ing?" kata Pangeran Pemimpin pada Raja Maling yang 
tengah menegakkan dadanya di tempat duduk karena 
rasa bangga. Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa 
dialah yang paling berjasa.
"Sebagai murid Maling Tanpa Bayangan tentu 
saja aku tahu bagaimana cara menyingkap rahasia da-
lam Lukisan Darah itu, Pangeran Pemimpin!" kata Raja 
Maling dengan suara lantang.
"Kalau begitu cepat katakan bagaimana ca-
ranya aku menyingkap rahasia itu. Nanti kalau per-
juangan kita berhasil, aku akan mengangkatmu men-
jadi pejabat tinggi di Kadipaten Pleret!" sahut Pangeran 
Pemimpin tak sabar.
Raja Maling sejenak mengedarkan pandangan 
ke arah semua yang hadir di ruang pendopo. Lalu den-
gan senyum terkembang di bibir, Raja Maling pun ber-
kata, "Tanpa kau perintah pun aku akan mengatakan-
nya padamu. Nah. Sekarang kau perintahkanlah bebe-
rapa orang anak buah kita untuk mencari darah pera-
wan kembar. Sebab hanya dengan menyiramkan darah 
perawan kembar pada lukisan itu, rahasia Lukisan Da-
rah akan tersingkap. Dan dengan mudah kau akan 
mendapatkan harta karun yang berlimpah dari peta 
yang tergambar dalam Lukisan Darah, Pangeran Pe-
mimpin!"
Tanpa sadar, Pangeran Pemimpin menelan lu-
dahnya sendiri saking girangnya mendengar keteran

gan Raja Maling. Kemudian dengan tanpa pikir pan-
jang lagi, Pangeran Pemimpin memerintahkan bebera-
pa anak buahnya untuk mencari darah perawan kem-
bar.
Iblis Muka Merah dan Setan Mayat Merah yang 
diperintahkan untuk mencari darah perawan kembar 
segera meloncat bangun dan berkelebat meninggalkan 
ruangan pendopo.
"Sekarang apa rencana kita selanjutnya, So-
batku Pelajar Agung? Apa kau ada rencana lain?" 
tanya Pangeran Pemimpin pada pembantu utamanya 
yang duduk di sampingnya.
"Kukira kita tak perlu banyak mengatur renca-
na. Sekarang kita tinggal menunggu hasil kerja Iblis 
Muka Merah dan Setan Mayat Merah. Nanti kalau kita 
sudah dapat menyingkap rahasia dalam Lukisan Da-
rah, baru kita mengatur siasat bagaimana caranya 
menggempur Kadipaten Pleret," kata Pelajar Agung ka-
lem.
Pangeran Pemimpin mengangguk-anggukkan 
kepala. "Tapi sebentar!" ujar Pangeran Pemimpin tiba-
tiba. Mulutnya didekatkan ke telinga Pelajar Agung. 
"Dengarlah rencanaku, Sobatku. Bagaimana kalau aku 
memaksa Adipati Pleret untuk menyerahkan kekua-
saannya padaku? Ia pasti tidak akan berkutik kalau 
ku paksa."
"Maksudmu kau ingin memanfaatkan adik tiri-
mu yang cantik itu?" kata Pelajar Agung yang dapat 
menebak maksud Pangeran Pemimpin.
"Ah...! Tak kusangka kau juga demikian licik-
nya, Sobatku. Tapi kukira untuk menghemat biaya se-
kaligus untuk mengurangi jatuhnya korban sebaiknya 
aku memang harus memanfaatkan adik tiriku. Kalau 
aku mengancam ingin membunuhnya, mustahil adipa-
ti keparat itu tidak mau menyerahkan kekuasaannya

padaku!" kata Pangeran Pemimpin setengah mengge-
ram.
"Lalu bagaimana dengan rahasia Lukisan Da-
rah itu? Apa kau juga masih tertarik?"
"Tentu saja, Sobatku. Dengan mendapatkan 
harta karun yang terkandung dalam Lukisan Darah, 
sudah pasti aku akan bisa memanfaatkannya. Kita 
membutuhkan banyak biaya untuk perjuangan ini...."
"Baiklah kalau begitu. Sekarang uruslah adik 
tirimu yang cantik itu. Aku ingin menghirup udara se-
gar di luar," kata Pelajar Agung menukas.
"Pergilah! Kalau kau sudah bosan di luar, kau 
boleh memilih beberapa gadis yang ada di markas ki-
ta!" kata Pangeran Pemimpin. Disusul dengan suara 
tawanya yang bergelak.
"Baik. Nanti aku akan memilih sendiri," kata 
Pelajar Agung dengan diiringi senyum.
Pangeran Pemimpin melipatgandakan suara 
tawanya sambil memandangi punggung Pelajar Agung 
yang melangkah keluar pendopo. Ketika dilihatnya 
bayangan Pelajar Agung menghilang di balik pintu ger-
bang, Pangeran Pemimpin membubarkan orang-orang 
yang ada di ruang pendopo. Dia sendiri kemudian se-
gera masuk ke dalam kamar.
***
EMPAT


Melakukan perjalanan di malam hari bukanlah 
pekerjaan mudah. Apalagi perjalanan memasuki sa-
rang lawan. Di samping angin malam itu bertiup san-
gat kencang, di sekitar markas Partai Kawula Sejati 
tentu banyak sekali dipasang jebakan maut.

Murid Eyang Begawan Kamasetyo tidak berani 
bersikap gegabah. Dengan kewaspadaan tinggi, Soma 
terus berkelebat dari dahan pohon satu ke dahan po-
hon lain. Ia sengaja melakukan perjalanan melalui ja-
lur atas. Sebab, kemungkinan jebakan maut dipasang 
di atas pohon tidaklah sebanyak yang dipasang di ba-
wah. Hal itu tentu saja sangat menguntungkan Soma.
Meski demikian Soma tetap berhati-hati. Ke-
mungkinan terperangkap jebakan bukan mustahil lagi. 
Dan, kenyataannya memang demikian. Baru saja ia 
meloncat ke dahan pohon di hadapannya, mendadak 
berkesiur angin dingin menyambar tubuh.
Soma menggerutu kesal. Dilihatnya dua bayan-
gan hitam bergerak cepat menyerang dirinya dari arah 
yang berlawanan. Soma cepat meloncat ke dahan po-
hon di sebelah, hingga dua bayangan hitam yang me-
nyerang dirinya terus melesat berlawanan arah. Na-
mun, mendadak bayangan hitam yang ternyata tum-
pukan ranting-ranting pohon yang mencuat tajam 
kembali menyerang Soma dengan kecepatan menga-
gumkan.
Soma memekik. Samar-samar ia melihat dua 
sosok tubuh berpakaian hitam-hitam di atas pohon 
sana yang menggerakkan ranting-ranting pohon. Maka 
ketika bayangan hitam ranting-ranting pohon yang
menyerang dirinya makin dekat, Soma segera mendo-
rongkan kedua telapak tangannya ke samping kiri dan 
kanan. Seketika dua rangkum angin kencang melesat 
cepat mendorong ranting-ranting pohon ke tempat 
asalnya.
Wesss! Wesss!
Prakkk!
Bersamaan dengan kembalinya ranting-ranting 
pohon ke tempat semula, terdengar dua lengking ke-
matian yang teramat menyayat hati. Selang beberapa

saat tampak dua sosok tubuh berpakaian hitam dari 
pohon di kanan kiri Soma jatuh bergedebukan ke ta-
nah.
"Salah kalian sendiri kenapa bermain-main 
dengan jebakan maut. Rasakan itu senjata makan 
tuan!" gerutu Soma kesal.
Soma kembali berkelebat dari dahan pohon sa-
tu ke pohon lain. Seperti yang dialami tadi, ternyata 
jebakan yang dipasang di atas pohon bukan hanya sa-
tu.
Jenisnya pun beragam. Namun dengan meng-
gunakan ilmu meringankan tubuh 'Menjangan Kenco-
no' Soma dapat melewati jebakan maut itu hingga ak-
hirnya sampai di sebuah tanah datar berumput.
Soma tidak langsung meloncat turun. Sepasang 
matanya yang tajam memperhatikan keadaan sekitar. 
Dilihatnya di atas tanah datar di hadapannya terdapat 
empat atau lima buah bangunan besar. Di sekeliling 
bangunan tampak beberapa anggota Partai Kawula Se-
jati tengah berjaga-jaga dengan senjata di tangan. Se-
mentara di seputar halaman luar markas Partai Kawu-
la Sejati terdapat kubangan lumpur hidup. Soma me-
renung sesaat di tempatnya.
"Sungguh suatu tempat persembunyian yang 
amat berbahaya. Orang luar yang tidak tahu jalan ra-
hasia masuk ke dalam markas pasti akan celaka. Cer-
dik sekali orang yang bergelar Pangeran Pemimpin. 
Kukira aku harus berhati-hati bila menghadapinya 
nanti," gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo. "Se-
karang aku harus meloncat turun. Tak ada pilihan 
lain, aku harus mengerahkan ajian 'Titisan Siluman 
Ular Putih' untuk menerobos masuk ke dalam mar-
kas."
Soma pun meloncat turun. Ternyata tanah 
tempat berpijak kedua kaki murid Eyang Begawan


Kamasetyo sangat lembek. Untung saja ilmu merin-
gankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi. Begi-
tu merasakan kelembekan tanah tempatnya berpijak, 
Soma melenting tinggi ke udara dan berpijak jauh dari 
kubangan lumpur hidup.
Paras murid Eyang Begawan Kamasetyo itu 
tampak berubah. Dilihatnya tanah lumpur tempatnya 
berpijak tadi mencekung ke dalam siap memangsa tu-
buh siapa saja. Selang beberapa saat lumpur hidup itu 
kembali bergerak seperti keadaan semula.
"Jangkrik gempul! Hampir saja aku modar ter-
sedot lumpur keparat itu!" Soma mengomel sendirian.
Sejenak Soma kemudian berdiam diri. Lalu ke-
dua bibirnya berkemik-kemik membacakan mantra, 
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Sekujur tubuh mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo diselimuti asap putih 
hingga bayangan tubuhnya tidak kelihatan lagi. Dan 
ketika asap putih yang menyelimuti tubuh Soma sirna 
tertiup angin, terdengar suatu desisan lirih.
"Ssssst...! Ssssst...!"
Itulah salah satu kehebatan ajian 'Titisan Silu-
man Ular Putih'. Ilmu tersebut dapat mengatur besar 
kecilnya jelmaan ular putih sesuai dengan kemauan 
Soma. Dalam keadaan berupa seekor ular putih kecil 
kini 'Soma' dengan leluasa dapat menerobos masuk ke 
dalam markas Partai Kawula Sejati.
Meski demikian, ular putih sebesar ibu jari kaki 
manusia dewasa itu memperhatikan keadaan sekitar 
seperti masih takut dengan jebakan lumpur hidup 
yang siap menyedot tubuhnya. Ketika dirasanya cukup 
aman, perlahan-lahan ular putih kecil jelmaan Soma 
itu merayap dan menghilang di balik semak belukar.
***

Seperti layaknya seorang manusia saja, ular 
putih kecil itu menjulur-julurkan kepalanya keluar da-
ri balik semak di halaman depan markas Partai Kawula 
Sejati. Beberapa anggota Partai Kawula Sejati yang 
tengah berjaga-jaga tidak melihat kemunculan ular pu-
tih jelmaan tersebut. Dan meski sepasang mata mere-
ka terus memperhatikan keadaan sekitar, tetap saja ti-
dak melihat kala ular putih kecil merayap mendekati 
sebatang pohon di halaman samping.
"Sssst...! Sssst...!"
Ular putih kecil itu terus mendekati batang po-
hon lalu menyelinap ke tempat yang aman. Sesam-
painya di sana, ular putih kecil menjulur-julurkan ke-
palanya seperti tengah mengintip anggota Partai Kawu-
la Sejati yang tengah berjaga.
Perlahan sekujur tubuh ular putih kecil dipe-
nuhi asap putih. Sosok memanjang ular putih itu tidak 
kelihatan lagi. Ketika asap putih sirna tampaklah so-
sok pemuda tampan murid Eyang Begawan Kamasetyo 
yang bergelar Siluman Ular Putih.
"Penjaga-penjaga taat! Tapi sayang mereka se-
mua tidak becus. Mata mereka saja yang melotot tanpa 
mengetahui kedatanganku. Huh!" cemooh Soma. Per-
lahan.
Saat itu suasana di dalam markas Partai Kawu-
la Sejati terasa lengang. Bunyi jangkrik terdengar sal-
ing bersahutan. Bulan bersinar purnama. Sinarnya 
yang keperakan berpendar-pendar menerangi tempat 
itu. Dengan sangat hati-hati Soma berkelebat ke atas 
wuwungan. Mulailah ia mencari di mana Putri Sekarta-
ji ditawan.
***

LIMA

Sepasang mata indah gadis dalam kamar itu 
berkilat-kilat penuh kemarahan. Sentono yang ditu-
gaskan Pangeran Pemimpin untuk membawa masuk 
gadis itu hanya tersenyum kaku. Lalu dengan sikap 
kaku pula anggota Partai Kawula Sejati tersebut me-
langkah keluar. Namun, gadis cantik berpakaian serba 
hijau yang tidak lain Putri Sekartaji itu tahu kalau 
Sentono berjaga-jaga di luar pintu.
"Apa sebenarnya yang diinginkan Kangmas 
Sembodo? Kenapa ia menahanku seperti ini? Kangmas 
Sembodo juga banyak mengumpulkan tokoh-tokoh 
sakti dunia persilatan. Bahkan memerintahkan Raja 
Maling untuk mencuri Lukisan Darah. Apakah Kang-
mas Sembodo memang ingin memberontak? Kalau iya, 
sungguh aku tak mengerti jalan pikirannya...," pikir 
Putri Sekartaji dengan kemarahan yang menggelegak.
Putri Sekartaji mengeretakkan gerahamnya 
kuat-kuat. Sepasang matanya yang indah berkilauan 
sejenak memperhatikan keadaan kamar. Kamar itu tak 
ubahnya kamar putri kadipaten. Ada ranjang merah 
bersepraikan kain indah berwarna merah jingga. Di-
lengkapi meja kursi tempat berhias dengan berbagai 
macam alat kecantikan yang menebarkan bau harum.
Namun pikiran Putri Sekartaji saat itu tengah 
rusuh bukan main. Ia sama sekali tidak tertarik meli-
hat keadaan kamar. Pandangan matanya segera di-
alihkan ke arah pintu ketika perlahan-lahan terdengar 
pintu dibuka dari luar. Muncullah seraut wajah gagah 
yang sangat dikenalnya. Siapa lagi kalau bukan Raden 
Sembodo yang kini bergelar Pangeran Pemimpin.
"Kangmas! Untuk apa sebenarnya Kangmas 
menahanku?" kata Putri Sekartaji tak dapat lagi me

nahan perasaan. Suaranya terdengar seperti orang 
membentak.
Laki-laki gagah yang mengenakan pakaian 
bangsawan Jawa itu hanya tersenyum tipis untuk me-
nyembunyikan sifat liciknya. Lalu dengan senyum ma-
sih terkembang di bibir Pangeran Pemimpin mendekati 
adik tirinya dan duduk di tepi ranjang.
Putri Sekartaji sebenarnya ingin meloncat ban-
gun. Namun totokan Bajing Ireng masih mempengaru-
hi jalan darahnya. Putri Sekartaji hanya bisa menggigit 
bibir.
"Tenanglah, Nimas Sekartaji. Kenapa kau ber-
kata sekasar ini? Aku memang menginginkan mu di 
sini. Tapi kalau kau mau bersikap manis, tak mungkin 
kau diperlakukan seperti ini."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kangmas," ka-
ta Putri Sekartaji seraya menautkan alis matanya.
Pangeran Pemimpin makin memperlebar se-
nyum. Kini tampaklah betapa licik senyum laki-laki 
itu.
"Aku tak perlu banyak bicara denganmu, Ni-
mas. Kau pasti tahu apa yang tengah kurencanakan. 
Maka untuk menghemat biaya maupun jatuhnya kor-
ban, aku ingin kau membantuku merebut takhta Ka-
dipaten Pleret."
"Apa?! Kangmas ingin merebut takhta Kadipa-
ten Pleret? Gila!" pekik Putri Sekartaji. "Kenapa, 
Kangmas? Apa Kangmas tidak puas dengan kedudu-
kan yang sekarang?"
"Sudahlah, Nimas! Kau tak perlu menggurui 
ku. Mau tidak mau kau harus menandatangani surat 
perjanjian ini!" tukas Pangeran Pemimpin tak sabar.
Putri Sekartaji memandang penuh kebencian 
pada kakak tirinya. Mana mau ia menandatangani su-
rat perjanjian yang berisikan pemaksaan pada Adipati

Pleret untuk menyerahkan takhtanya kepada Pangeran 
Pemimpin. Biar dibunuh sekalipun gadis cantik itu te-
tap akan bertahan. 
"Aku tak sudi menandatangani segala tetek 
bengek surat perjanjian itu, Pangeran Pemberontak!" 
teriak Putri Sekartaji keras-keras.
"He he he...! Kalau begitu kau tak sayang pada 
dirimu sendiri, Nimas!" Pangeran Pemimpin tampaknya 
tidak main-main. Sepasang matanya kini memperhati-
kan dada membusung Putri Sekartaji. Tanpa sadar la-
ki-laki yang masih terhitung kakak tiri Putri Sekartaji 
itu menelan ludahnya sendiri.
"Biar dibunuh sekalipun aku tak sudi menan-
datangani surat perjanjian itu!" Putri Sekartaji menan-
tang pandang mata Pangeran Pemimpin.
"Hm...! Rupanya kau ingin melihat apa yang in-
gin kulakukan, Nimas?!" kata Pangeran Pemimpin se-
raya menatap sekujur tubuh Putri Sekartaji dengan ja-
kun turun naik. Lalu, didekatinya tubuh menantang 
Putri Sekartaji yang tak berdaya di atas ranjang. Tanpa 
ampun lagi kain penutup tubuh Putri Sekartaji direng-
gut dengan kasar.
Bret!
Pakaian hijau-hijau di tubuh Putri Sekartaji ro-
bek. Seketika tampaklah sepasang buah dada yang 
membusung terpampang jelas di pelupuk mata Pange-
ran Pemimpin.
"Ah...!" Putri Sekartaji memekik tertahan. Ingin 
rasanya ia menutupi dadanya yang terpentang. Namun 
apalah dayanya. Tubuhnya kaku tak dapat digerakkan 
akibat totokan Bajing Ireng. Putri Sekartaji hanya da-
pat memandang Pangeran Pemimpin dengan dada tu-
run naik saking tak dapat mengendalikan amarahnya.
Melihat dada Putri Sekartaji yang bergerak tu-
run naik, dada Pangeran Pemimpin tiba-tiba menjadi

sesak. Nafasnya memburu seolah tak sanggup lagi me-
nahan hasratnya yang bergejolak. Tanpa mengenal be-
las kasihan Pangeran Pemimpin segera melemparkan 
robekan kain hijau. Pangeran Pemimpin masih beru-
saha menahan hasratnya.
"He he he...! Kau masih bersikeras tak mau 
menandatangani surat perjanjian itu, Manis?!" kata 
Pangeran Pemimpin setelah menelan ludahnya bebera-
pa kali. Matanya sedari tadi tak lepas memandangi 
keelokan tubuh Putri Sekartaji.
"Tidak!" jerit Putri Sekartaji histeris. 
"Kalau begitu, sayang sekali. Terpaksa aku 
akan sedikit menyakiti kulit tubuhmu yang mulus ini."
Kembali tangan Pangeran Pemimpin merenggut 
kain penutup tubuh Putri Sekartaji. Sehingga, gadis 
cantik itu kini benar-benar tanpa selembar benang 
pun menutupi kulit tubuhnya yang putih bersih.
Pangeran Pemimpin mengumbar senyum licik-
nya. "Apa kau masih bersikeras juga, Manis?"
"Biadab! Manusia licik! Siapa sudi menanda-
tangani surat perjanjian itu!" Putri Sekartaji berteriak-
teriak karena kalutnya.
"Kalau begitu kau menginginkan aku memper-
kosamu!"
Putri Sekartaji hanya memejamkan mata. Tak 
tahu apa yang harus diperbuat. Air matanya merembes 
keluar membasahi kedua pipi.
"Baik. Kehendakmu memang demikian ru-
panya."
Pangeran Pemimpin segera naik ke atas ran-
jang. Kedua tangannya yang kekar mulai menjamah 
tubuh Putri Sekartaji. Putri Kadipaten Pleret itu sema-
kin memejamkan mata. Mau muntah rasanya kala mu-
lut laki-laki yang masih terhitung kakak tirinya itu 
menciumi wajah dan bibir. Namun tidak ada yang bisa

diperbuat Putri Sekartaji. Terpaksa ia menerima semua 
perlakuan Pangeran Pemimpin.
"Ingatlah, Kangmas. Aku ini masih terhitung 
adikmu. Apakah kau tega memperlakukan adikmu se-
perti ini, Kangmas?" bujuk Putri Sekartaji di sela-sela 
isak tangisnya.
Pangeran Pemimpin sejenak menghentikan per-
buatannya. Sepasang matanya meneliti wajah Putri 
Sekartaji dengan seksama. Sedikit pun tidak terbersit 
rasa welas asih sebagaimana layaknya seorang kakak.
"Demi apa yang kucita-citakan, terpaksa aku 
harus menutup mata. Kecuali kalau kau mau menan-
datangani surat perjanjian itu, tentu aku tidak akan 
memaksamu seperti ini, Nimas," kata Pangeran Pe-
mimpin lembut. Namun tetap sama saja masih men-
gandung ancaman.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan, Kang-
mas?"
"Apa aku harus mengulangnya sampai seribu 
kali? Aku menginginkan takhta Kadipaten Pleret, ta-
hu!" bentak Pangeran Pemimpin tanpa mengindahkan 
bagaimana perasaan adik tirinya. Kemudian, dengan 
jari-jari tangan bergetar Pangeran Pemimpin kembali 
menjamah tubuh Putri Sekartaji yang teramat menan-
tang hasratnya itu.
Belum sampai Pangeran Pemimpin meneruskan 
niatnya merusak kehormatan adik tirinya, ia menden-
gar langkah seseorang mendekati kamar. Langkah itu 
terhenti di luar pintu kamar.
"Siapa di luar?!" bentak Pangeran Pemimpin tak 
senang.
***
Orang yang menghentikan langkahnya di luar


segera menampakkan diri di hadapan Pangeran Pe-
mimpin. Orang itu berusia lima puluh tahunan. Wa-
jahnya yang tirus menyembunyikan kebengisan yang 
luar biasa. Rambutnya putih memanjang digelung ke 
atas. Tubuhnya tinggi kekar. Mengenakan pakaian ke-
tat berwarna hitam. Sepasang matanya melirik ke arah 
tubuh polos Putri Sekartaji.
"Ada apa, Ki Caringin?!" bentak Pangeran Pe-
mimpin jengkel bukan main.
Orang tua yang dipanggil Ki Caringin tergagap 
kaget. Seketika pandang matanya dialihkan pada Pan-
geran Pemimpin. Lalu, dengan suara bergetar Ki Ca-
ringin pun berkata.
"Ma... maaf, Pangeran. Iblis Muka Merah dan 
Setan Mayat Merah ingin melapor."
"Keparat! Apa matamu buta, he?! Kau kan bisa 
menunggu di luar?!"
Meski mulutnya berkata demikian, Pangeran 
Pemimpin mau juga turun dari ranjang. Ki Caringin 
yang merasa bersalah berkali-kali memohon ampun. 
Untung saja Pangeran Pemimpin tidak segera menu-
runkan tangan mautnya. Ia hanya sejenak memperha-
tikan tubuh Putri Sekartaji, lalu dengan tanpa banyak 
cakap lagi dia pergi meninggalkan kamar.
Ki Caringin maklum kalau Pangeran Pemimpin 
tak menyukai kehadirannya. Begitu lelaki tersebut 
berkelebat keluar, Ki Caringin pun melangkah pergi. 
Baru saja Ki Caringin melangkah beberapa tindak 
pendengarannya yang tajam tiba-tiba mendengar geru-
tuan seseorang.
"Huh, slompret! Asam betul buah sawo ini! Da-
sar buah-buahan milik kaum pemberontak. Meski su-
dah masak tetap saja asam rasanya. Huh!"
***

ENAM

Ki Caringin mengerutkan kening heran. Demi-
kian juga dua orang penjaga yang ada di dekatnya. Se-
ketika mereka mendongakkan kepalanya ke atas. 
Tampak di atas dahan pohon sesosok tubuh tengah 
asyik memakan buah sawo. Mulutnya tak henti-henti 
mengunyah sambil terus mengomel tak karuan.
"Siapa di situ?!" bentak Ki Caringin garang.
Sosok berpakaian rompi dan celana bersisik 
putih keperakan yang tidak lain murid Eyang Begawan 
Kamasetyo itu sengaja tidak menyahuti. Tapi sebelum 
Ki Caringin dan dua orang penjaga mencabut senjata, 
Soma cepat melayang turun. Kedua kakinya mendarat 
ringan sekali laksana kapas. Dan begitu kedua kaki 
Soma menjejak tanah, segera berkelebat dengan jari-
jari tangan terkembang, siap menotok Ki Caringin dan
kedua anggota Partai Kawula Sejati.
Tukkk! Tukkk!
Ki Caringin dan kedua orang itu hanya sempat 
memekik tertahan. Jari-jari Soma telak sekali menotok 
kaku tubuh mereka. Ketika ketiganya sudah tertotok, 
Soma tidak langsung masuk ke dalam kamar. Ia masih 
harus menotok jalan suara ketiga orang itu.
"Kenapa kalian melototi aku? Apa kalian tidak 
percaya kalau buah-buah sawo ini asam? Kalau tak 
percaya, cobalah kalian cicipi!" Setelah berkata begitu, 
Soma cepat membagi buah sawo di tangan menjadi ti-
ga bagian. Dijejalkannya bagian-bagian sawo itu ke 
mulut Ki Caringin dan kedua kawannya.
Ketiga orang itu gelagapan tidak karuan. Sepa-
sang mata Ki Caringin melotot penuh kemarahan. So-
ma hanya tersenyum-senyum.
"Bagaimana? Cukup asam, kan? Makanya ka

lian harus mempercayai omonganku!" kata Soma ber-
celoteh.
Ki Caringin dan kedua orang penjaga makin 
membelalakkan mata. Soma tak ingin melanjutkan 
guyonannya. Keselamatan Putri Sekartaji yang diuta-
makan. Begitu teringat akan putri tersebut, Siluman 
Ular Putih segera berkelebat masuk ke dalam kamar. 
Sebab sewaktu tadi ia masih mengintai dari balik ke-
rimbunan pohon sawo samar-samar terdengar jeritan 
seorang gadis yang datangnya dari arah kamar itu. 
Soma yakin Putri Sekartaji ditawan di kamar tersebut.
Soma mendobrak pintu kamar. 
Brak! 
Pintu kamar pun terbuka. Soma segera menye-
lonong masuk begitu saja. Mendadak, sepasang mata 
murid Eyang Begawan Kamasetyo membelalak liar me-
lihat pemandangan indah di hadapannya. Agak jengah 
ia sebenarnya. Namun entah kenapa Soma senang se-
kali melihat pemandangan indah itu.
"Kau...?!" pekik Putri Sekartaji, tak percaya me-
lihat pemuda gondrong yang dijumpainya di kedai ma-
kan telah berada di hadapannya. (Mengenai pertemuan 
Soma dengan Putri Sekartaji, silakan baca : "Perseku-
tuan Maut").
"Ya. Aku. Kaget, ya?" ujar Soma seraya men-
gumbar senyum. "Hayo, lekas bangun! Tunggu apa la-
gi? Apa kau senang aku melototi tubuhmu, he?"
Putri Sekartaji sedikit merundukkan kepala. 
Seketika paras gadis cantik itu memerah. Namun un-
tuk menyembunyikan aurat tubuhnya dari sepasang 
mata nakal pemuda gondrong di hadapannya jelas ti-
dak mungkin. Tubuhnya masih kaku tak dapat dige-
rakkan.
"Aku... aku masih tertotok," ucap Putri Sekarta-
ji malu-malu.

"Oh...! Pantas!" Soma menepuk jidatnya sendiri. 
Lalu dengan pandang mata sedikit melirik pada tubuh 
polos Putri Sekartaji, Soma buru-buru mendekati.
Putri Sekartaji makin jengah dibuatnya. Ketika 
Soma membebaskan totokan tubuhnya, Putri Sekartaji 
memejamkan mata. Dan begitu terbebas dari totokan 
Putri Sekartaji segera mengenakan pakaiannya kemba-
li walau terkoyak di sana-sini.
"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nya-
waku," kata Putri Sekartaji agak gugup melihat sepa-
sang mata Soma terus memandangi tubuhnya. 
Soma tersenyum manis. Seolah-olah ingin me-
mikat gadis cantik di hadapannya dengan senyum 
yang terkembang.
"Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini!" ucapan 
Putri Sekartaji mengagetkan Soma. Matanya yang ber-
binar-binar indah sejenak memperhatikan senyum 
pemuda tampan itu penuh kagum.
"Ayo! Tapi siapa dong namamu? Apa benar kau 
yang bernama Putri Sekartaji?" kata Soma sebelum 
melangkah keluar.
Putri Sekartaji sejenak menghentikan langkah. 
Sepasang matanya kini balik memperhatikan Soma.
"Dari mana kau mengetahui namaku?"
"Gampang! Prajurit sandi itulah yang memberi-
tahuku. Katanya kau ditawan oleh orang yang bergelar 
Pangeran Pemimpin. Tapi benar kan kau yang berna-
ma Putri Sekartaji?"
"Ya."
"Kalau begitu maafkan kelancanganku, Tuan 
Putri. Aku benar-benar tidak menyangka akan berte-
mu dengan Tuan Putri di tempat ini," kata Soma se-
raya menyatukan kedua telapak tangannya di depan 
dada.
Putri Sekartaji tidak suka diperlakukan seperti


itu. Dengan agak gugup, ia segera menukas, "Sudah-
lah. Sebaiknya mari cepat kita tinggalkan tempat ini."
"Baik. Apakah Tuan Putri tidak ingin mengenal 
namaku?" kata Soma. Kakinya menjajari langkah Putri 
Sekartaji yang telah mendahului.
"Boleh-boleh. Tapi kuminta kau jangan me-
manggilku Tuan Putri. Panggil saja aku seperti kau 
memanggil kawan-kawanmu yang lain."
"Oh.... Jadi kau menganggapku sebagai teman, 
Putri Sekartaji?" Soma gembira bukan main dapat ber-
kenalan dengan gadis cantik itu. Masih keturunan 
Adipati Pleret lagi.
"Asal kau tidak macam-macam."
"Aku janji tidak akan macam-macam. Karena 
sebenarnya aku sendiri cuma semacam. Tapi aku se-
nang sekali bisa berkenalan denganmu. Namaku So-
ma. Kau tidak malu berkenalan denganku kan?"
"Tidak," sahut Putri Sekartaji pendek.
"Kalau beg...."
"Sudahlah, Soma. Sebaiknya kita jangan berca-
kap-cakap dulu. Kita masih berada di markas Partai 
Kawula Sejati. Sekarang kita harus secepatnya me-
ninggalkan tempat ini. Ayo!" Putri Sekartaji menukas 
sambil mempercepat langkah.
"Baik," sahut Soma tanpa banyak membantah. 
Ia pun mempercepat langkahnya menyusul Putri Se-
kartaji.
Baru beberapa belas langkah Soma dan Putri 
Sekartaji meninggalkan kamar, mereka telah dihadang 
oleh puluhan anggota Partai Kawula Sejati.
"Berhenti!"
"Minggir! Siapa pun adanya kalian tak berhak 
menghalangi jalanku!" bentak Putri Sekartaji.
Tapi para anggota Partai Kawula Sejati yang di-
bantu beberapa tokoh sakti dunia persilatan telah

mengepung dirinya dengan senjata di tangan. Siluman 
Ular Putih tampak mengerutkan keningnya da-lam-
dalam.
"Bodohnya aku! Kenapa tadi aku malah ber-
tanya yang tidak-tidak pada Putri Sekartaji. Memang 
aku senang sekali dapat berkenalan dengan gadis can-
tik itu. Pemuda mana sih yang tidak senang berkena-
lan dengannya. Namun seharusnya aku lebih mengu-
tamakan keselamatan kami. Kalau sudah begini, aku 
juga yang kapiran," gerutu murid Eyang Begawan Ka-
masetyo.
"Tuan Putri maafkan kami. Kami tidak bermak-
sud menghalangi Tuan Putri. Tapi saat ini Tuan Putri 
masih sangat dibutuhkan Ketua. Untuk itu sudilah 
Tuan Putri tinggal barang satu atau dua malam di 
markas kami," kata orang yang tadi membentak. Ke-
dengarannya memang sangat santun, tapi sesungguh-
nya dalam ucapannya yang penuh hormat itu terkan-
dung maksud-maksud tertentu. Dan Putri Sekartaji 
tahu apa yang diinginkan orang-orang Partai Kawula 
Sejati.
"Lucu sekali kedengarannya. Satu permintaan 
yang tidak mungkin dituruti. Bagaimana Tuan Putri 
sudi menuruti keinginan Ketua kalian kalau hanya in-
gin mendapat celaka? Apa ini bukan yang dina-makan 
pemaksaan secara halus? Begitu, kan?" kata Siluman 
Ular Putih menanggapi permintaan itu. "Ada-ada saja! 
Dasar manusia-manusia pemberontak tak tahu atu-
ran!"
"Diam kau, Kunyuk Gondrong! Kau tak patut 
bicara. Melihat tampangmu saja aku mau muntah, 
apalagi mendengar bacotmu!" bentak orang itu jengkel.
"Sudahlah. Buat apa membuang-buang waktu. 
Sebaiknya kita tangkap saja Tuan Putri. Si kunyuk 
gondrong itu dicincang pun tak jadi soal," kata anggota

Partai Kawula Sejati lainnya menyahuti.
"Mau enaknya saja kalian ini! Mentang-
mentang aku laki-laki kalian mau sembarangan men-
cincangku, he!" gerutu Soma. Murid Eyang Begawan 
Kamasetyo itu lantas menggaruk-garuk kepalanya 
yang tidak gatal.
"Diam! Sekali lagi kau membacot, kupecahkan 
batok kepalamu!" Orang yang pertama membentak ga-
rang.
"Baik-baik. Aku sih mau saja diam. Tapi tolong 
jangan kau apa-apakan temanku yang cantik ini! Dan 
sekali lagi kuminta berilah temanku yang cantik itu ja-
lan keluar."
"Setan alas! Kau memang patut modar di tan-
ganku, Kunyuk Gondrong!" Tangan kiri orang pertama 
segera memberi isyarat pada teman-temannya. "Hayo, 
Teman-teman. Kita cincang kunyuk gondrong ini. Yang 
lainnya cepat tangkap Tuan Putri!"
Anggota Partai Kawula Sejati yang dibantu be-
berapa tokoh sesat dunia persilatan merangsek maju. 
Putri Sekartaji merapatkan tubuhnya pada Siluman 
Ular Putih. Ia berbisik lirih pada pemuda itu.
"Hayo, kita lawan iblis-iblis itu sampai titik da-
rah penghabisan, Kawan. Seandainya aku mati, aku 
tidak menyesal karena mati secara gagah di samping-
mu."
"Benarkah? Suatu kehormatan besar kalau kau 
sudi mati di sampingku, Putri Sekartaji. Tapi aku tak 
mau mati dengan cara konyol seperti ini. Aku malah 
ingin mati di pangkuanmu. Mungkin di kamar pengan-
tin, Putri. Asal bersamamu," kata Siluman Ular Putih 
menggoda.
"Kau ini bagaimana sih, Soma?! Dalam keadaan 
terdesak seperti ini masih juga bercanda. Hayo, lekas 
kita hadapi manusia-manusia pemberontak itu!"

"Baik," sahut Siluman Ular Putih dengan se-
nyum nakal terkembang di bibir. Dan senyum itu sen-
gaja ditujukan pada Putri Sekartaji.
Namun saat itu Putri Sekartaji tidak begitu 
memperhatikan senyum Soma. Perhatiannya tengah 
ditujukan ke arah datangnya serangan para anggota 
Partai Kawula Sejati. Dan di saat gadis cantik adik tiri 
Pangeran Pemimpin mencabut keluar pedangnya, se-
mua yang ada di halaman samping markas Partai Ka-
wula Sejati dikejutkan oleh bentakan seseorang.
"Tahan senjata! Kalian tidak boleh membunuh 
Kunyuk Gondrong itu! Akulah yang berhak menguliti 
batok kepalanya!"
Para pengeroyok Siluman Ular Putih dan Putri 
Sekartaji langsung menghentikan serangan. Di hada-
pan mereka kini telah tegak seorang pemuda tampan 
berusia dua puluh dua tahun. Pakaiannya putih dila-
pisi jubah hitam panjang sampai ke lutut. Di kepa-
lanya bertengger topi hitam yang pada bagian atasnya 
memanjang. Penampilan sosok berjubah hitam itu mi-
rip seorang pelajar.
"Pelajar Agung...!" desis beberapa anggota Par-
tai Kawula Sejati.
Pelajar Agung hanya menganggukkan kepala 
dengan angkuh. Sepasang matanya yang menyiratkan 
kelicikan tak henti-hentinya menatap Siluman Ular Pu-
tih.
Soma sendiri tampak tak dapat mengendalikan 
amarahnya begitu melihat sosok di hadapannya. Di-
alah Prameswara, musuh besar Siluman Ular Putih 
yang telah mencelakakan ayah kandungnya, Pendekar 
Kujang Emas! (Mengenai Prameswara yang kini telah 
bergelar Pelajar Agung, silakan baca : "Misteri Bayi 
Ular" dan "Manusia Rambut Merah").
"Prameswara! Meski kau bersembunyi ke lo
bang semut sekalipun tak mungkin aku melepaskan-
mu begitu saja. Dosamu sudah bertumpuk. Aku ingin 
menuntut balas atas tewasnya ayahku, sekaligus me-
minta kembali Kujang Emas yang kau rampas!" bentak 
Siluman Ular Putih penuh kemarahan.
"Kau bisa apa, Siluman Ular Putih. Apa mata-
mu buta? Meski kesaktianmu setinggi langit, tak 
mungkin kau dapat mengalahkanku!" sahut Pelajar 
Agung yang bernama asli Prameswara itu.
"Jangan banyak bacot. Makanlah pukulan 'Inti 
Bumi'-ku. Hea...!"
Diiringi teriakan lantang kedua telapak tangan 
Siluman Ular Putih yang telah menjadi putih terang 
segera didorongkan ke depan. Seketika melesat cepat 
siap melabrak tubuh Pelajar Agung.
Prameswara tersenyum sinis. Sebelum menge-
rahkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru', Pelajar Agung 
memerintahkan anggota Partai Kawula Sejati dan to-
koh-tokoh sakti dunia persilatan untuk menangkap 
Putri Sekartaji.
"Hea...!"
Bummm...!!!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam itu. Bumi bergetar hebat laksana dilanda gempa. 
Dinding-dinding bangunan markas Partai Kawula Seja-
ti sampai berguncang.
Tubuh Prameswara dan Siluman Ular Putih 
sama-sama terjajar ke belakang, pertanda tenaga da-
lam kedua orang itu berimbang. Bersamaan dengan 
bentroknya dua tenaga dalam tadi, anggota Partai Ka-
wula Sejati yang dibantu tokoh-tokoh dunia persilatan 
mengeroyok Putri Sekartaji.
Soma menggereng penuh kemarahan. Dilihat-
nya Putri Sekartaji berjumpalitan ke sana kemari 
menghindari serangan para pengeroyoknya. Hampir

saja gadis cantik itu terkena totokan salah seorang to-
koh sesat. Untung saja Siluman Ular Putih segera 
mengirimkan pukulan tenaga 'Inti Bumi' untuk meng-
hadang serangan tokoh sesat itu. Untuk sementara Pu-
tri Sekartaji pun selamat.
"Putri, lekas tinggalkan tempat ini. Biar aku 
yang menahan serangan mereka!" teriak Siluman Ular 
Putih.
"Tidak, Soma. Tak mungkin aku meninggalkan 
tempat pertarungan. Apalagi kau demikian baiknya te-
lah menolongku!" Putri Sekartaji menyahuti seraya 
menghindari gempuran para pengeroyoknya.
Soma sebenarnya ingin menjawab, namun saat 
itu Pelajar Agung telah menyerangnya. Kedua telapak 
tangan bekas murid Pendekar Kujang Emas itu makin 
membiru hingga sampai ke pangkal lengan. Dengan 
pukulan 'Cahaya Kilat Biru' itulah Prameswara kemba-
li mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan.
Gggguuurrr...!
Bunyi mengguruh yang diiringi berkesiurnya 
hawa panas menghantam ke depan. Siluman Ular Pu-
tih mengeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Belum 
sempat serangan Putri Sekartaji mengenai sasaran ti-
upan angin panas telah lebih dulu membakar kulit tu-
buh.
Soma menggembor penuh kemarahan. Ia mulai 
melipatgandakan tenaga dalamnya. Begitu dilihatnya 
dua larik sinar biru semakin mendekat, tanpa banyak 
pikir panjang lagi Soma melontarkan pukulan tenaga 
'Inti Api'.
Wesss! Wesss!
Blaaarrr...!!!
Sekali lagi terdengar ledakan hebat akibat ben-
trokan dua tenaga dalam. Hawa panas akibat bentrok 
itu berhamburan menghantam apa saja. Beberapa


anggota Partai Kawula Sejati yang memiliki kepandaian 
rendah kontan menjerit hebat. Sekujur tubuhnya han-
gus terbakar!
Siluman Ular Putih dan Pelajar Agung sendiri 
terpental jauh ke belakang. Wajah mereka pias. Darah 
segar membasahi sudut-sudut bibir. Tampaknya ke-
dua orang itu menderita luka dalam cukup hebat.
Dari luar tempat pertarungan Pangeran Pe-
mimpin memperhatikan jalannya pertarungan. Ia yang 
tadi sempat menemui Iblis Muka Merah dan Setan 
Mayat Merah segera keluar dari ruang pendopo untuk 
melihat apa yang terjadi. Ternyata di halaman samping 
markas Partai Kawula Sejati tengah terjadi pertarun-
gan sengit.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, Pange-
ran Pemimpin tahu kalau pemuda gondrong yang tam-
pak kedungu-dunguan itu memiliki kepandaian hebat. 
Malah mungkin sedikit lebih hebat dibanding Pelajar 
Agung. Kenyataan itu membuat hati Pangeran Pemim-
pin girang bukan main.
"Hea...!"
Dengan menggunakan jurus 'Terjangan Maut 
Siluman Ular Putih' murid Eyang Begawan Kamasetyo 
kembali menerjang Pelajar Agung. Sambil menyerang 
demikian, Siluman Ular Putih terus berusaha meno-
long Putri Sekartaji dari gempuran para pengeroyok-
nya. Hal ini tentu saja sangat merepotkan Soma.
Pelajar Agung yang mengetahui perhatian la-
wan terpecah, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. 
Melalui jurus 'Pedang Pembawa Maut' yang dimainkan 
dengan menggunakan senjata Kujang Emas, Pelajar 
Agung meladeni serangan Siluman Ular Putih.
"Jahanam! Itu senjata milik mendiang ayahku 
Pendekar Kujang Emas. Lekas kembalikan senjata ter-
sebut, Bangsat!" bentak Siluman Ular Putih dengan

amarah yang menggelegak.
Pelajar Agung hanya tersenyum sinis. Gulun-
gan sinar kuning keemasan tampak demikian menge-
rikan terus mendesak Siluman Ular Putih. Bahkan tak 
jarang gulungan sinar kuning tersebut hampir menge-
nai tubuh Soma. Di saat tengah hebat-hebatnya Pela-
jar Agung mendesak Siluman Ular Putih, seseorang ti-
ba-tiba menghentikan serangannya.
"Sobatku Pelajar Agung! Tahan senjata!"
***
Pelajar Agung mendengus gusar. Namun toh 
akhirnya ia mau juga menghentikan serangannya. Se-
pasang matanya yang berkilat-kilat penuh kemarahan 
menatap Pangeran Pemimpin yang telah tegak di sam-
pingnya.
"Kenapa kau suruh aku menahan serangan, 
Pangeran Pemimpin!"
"Sabar, Sobatku," bisik Pangeran Pemimpin li-
rih di telinga Pelajar Agung. "Aku mempunyai rencana 
bagus. Kulihat pemuda gondrong itu memiliki kepan-
daian yang hebat. Aku ingin sekali menjadikan pemu-
da itu pembantuku, Sobat."
Pelajar Agung mendengus sinis.
"Dia itu musuh besarku, Pangeran. Aku harus 
mengenyahkannya secepat mungkin!" geram Pelajar 
Agung tak senang.
"Begitukah?" Pangeran Pemimpin menautkan 
alisnya. "Tapi... bagaimanapun perjuangan kita adalah 
segala-galanya. Kukira untuk sementara kau bisa me-
nangguhkan urusan pribadimu. Turutilah permin-
taanku kali ini, Sobat. Kalau misalnya perjuangan kita 
berhasil, kau tentunya dapat dengan mudah membu-
nuh pemuda gondrong itu. Kesaktianmu pun tak kalah


dibandingkan dengan pemuda itu," bujuk Pangeran 
Pemimpin.
"Hm.... Baiklah!" Pelajar Agung akhirnya me-
nyanggupi.
"Terima kasih atas pengertianmu, Sobat," ujar 
Pangeran Pemimpin seraya menepuk pundak Pelajar 
Agung.
Sejenak ia mengedarkan pandangan ke seputar 
tempat pertarungan. Ternyata pengeroyokan terhadap 
Putri Sekartaji telah berhenti begitu Pangeran Pemim-
pin berteriak tadi. Pangeran Pemimpin segera menga-
lihkan tatapannya ke arah murid Eyang Begawan Ka-
masetyo,
"Hm...!" Pangeran Pemimpin mendengus seraya 
mengangguk-anggukkan kepala. "Siapa kau sebenar-
nya, Bocah? Kenapa berani mengacau di tempat ka-
mi?"
"Siapa yang mengacau? Aku tidak mengacau di 
tempatmu. Justru kalianlah yang telah mengacau 
keamanan Kadipaten Pleret. Apa itu namanya bukan 
pengacau?" kata Siluman Ular Putih seenak dengkul-
nya.
"Hm.... Begitu?!" Pangeran Pemimpin menden-
gus. Kedua kupingnya tampak bergerak-gerak, pertan-
da laki-laki yang mengenakan pakaian bangsawan Ja-
wa itu tengah menahan gejolak amarah. "Bocah som-
bong! Apakah kau tidak tahu tengah berhadapan den-
gan siapa, he?!"
"Dia itu yang bergelar Pangeran Pemimpin, Ka-
wan," bisik Putri Sekartaji di telinga Siluman Ular Pu-
tih.
"Ya ya.... Aku sudah tahu. Aku sudah cukup 
tahu kalau tampang manusia pemberontak ya sema-
cam dia itu!" kata Soma seraya menudingkan telunjuk 
jarinya ke wajah Pangeran Pemimpin.

Pangeran Pemimpin gusar bukan main. Namun 
ia berusaha menahan amarahnya.
"Terserah kau mau bilang apa, Bocah. Yang je-
las saat ini keadaanmu sudah terjepit. Tak mungkin 
kau lolos dari tempat ini. Untuk itu cepatlah serahkan 
diri. Kalau kau berlaku manis terhadapku, aku pun 
akan berlaku manis terhadapmu pula. Terlebih bila 
kau mau diajak kerjasama," Pangeran Pemimpin ber-
kata lunak. Akalnya yang cerdik cepat bekerja agar 
dapat merengkuh Siluman Ular Putih untuk menjadi 
pembantunya.
"Cih...! Tak tahu malu! Mana sudi kawanku ini 
kau ajak merebut takhta Kadipaten Pleret, Pangeran 
Pengkhianat!" teriak Putri Sekartaji dengan berapi-api. 
Bagaimanapun ia khawatir kalau Soma yang nampak 
polos kekanak-kanakan akan bersedia diajak bekerja-
sama oleh Pangeran Pemimpin.
"Tutup mulutmu, Nimas! Aku tidak bicara den-
ganmu!" hardik Pangeran Pemimpin kesal.
Putri Sekartaji mengeretakkan gerahamnya.
Pangeran Pemimpin tidak begitu memperhati-
kan. Sepasang matanya yang licik kini dialihkan pada 
Siluman Ular Putih.
"Apa pendapatmu, Bocah? Aku bermaksud baik 
padamu. Aku berkeinginan mengajakmu turut mere-
but takhta Kadipaten Pleret seperti yang dikatakan 
adikku itu. Bila nanti perjuangan kita berhasil tentu 
aku tidak mungkin melupakan jasamu. Kau boleh 
memilih kedudukan apa saja. Apa kau keberatan, Bo-
cah?"
Soma tersenyum-senyum menggoda. Putri Se-
kartaji cemas bukan main. Ia khawatir Soma mulai 
terpengaruh tawaran Pangeran Pemimpin.
Soma bergumam sambil mengangguk-
anggukkan kepala. "Jadi benar kan? Kalian memang

gerombolan pemberontak yang tengah dikejar-kejar 
pasukan kadipaten. Kau telah mengakuinya sendiri. 
Dan mengenai tawaranmu tadi, sebenarnya memang 
sangat menggiurkan. Tapi sayang aku tidak mau. Aku 
takut Kanjeng Adipati akan murka lalu menggantung-
ku. Mampuslah aku nantinya. Padahal aku masih 
doyan makan nasi. Tapi nggak tahu kalau dirimu. 
Mungkin kau sudah bosan makan nasi tempe sehingga 
nekat mau bunuh diri dengan jalan seperti ini!" kata 
Siluman Ular Putih asal bunyi.
Bukan main marahnya Pangeran Pemimpin 
mendengar ucapan Soma. Kedua pelipisnya tampak 
bergerak-gerak. Ketua Partai Kawula Sejati itu agaknya 
tak dapat lagi mengendalikan amarah. Sementara, di-
am-diam Putri Sekartaji makin mendekati murid Eyang 
Begawan Kamasetyo.
"Tangkap kunyuk gondrong itu!" teriak Pange-
ran Pemimpin tiba-tiba didorong oleh rasa marahnya.
Para anggota Partai Kawula Sejati yang dibantu 
tokoh-tokoh sakti dunia persilatan segera melangkah 
maju. Namun Pelajar Agung telah lebih dulu memben-
tak garang.
"Mundur! Akulah yang berhak mengirim nyawa 
kunyuk gondrong ini ke dasar neraka!"
"Bagus! Yang lainnya boleh menangkap gadis 
itu!" kata Pangeran Pemimpin menimpali.
"Sebaiknya kita beradu punggung, Soma," Putri 
Sekartaji mengajukan usul.
"Baik. Tapi aku lebih senang kalau kau sele-
kasnya meninggalkan tempat ini, Putri."
"Sekali lagi kau bicara seperti itu, aku tak sudi 
jadi kawanmu, Soma!" sungut Putri Sekartaji kesal.
"Ah...! Kenapa kau cemberut begini, Putri? 
Baik. Hayo, kita hadapi monyet-monyet pemberontak 
ini. Aku pun akan rugi besar kalau kau tidak lagi men

ganggapku sebagai kawan," kata Soma dengan diiringi 
senyuman.
Siluman Ular Putih mencabut keluar senjata 
pusaka Anak Panah Bercakra Kembar. Seperti na-
manya, senjata andalan murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu memang sebatang anak panah yang sedikit 
melengkung pada bagian ujungnya. Dari bagian ujung 
panah yang melengkung melilit kepala ular hingga ke 
badan anak panah. Di kepala ular itu tampak dua 
buah cakra kembar di kanan kirinya. Sedang di bagian 
badan terdapat lobang mirip lobang suling.
Begitu Siluman Ular Putih mengerahkan tenaga 
dalam, hawa dingin yang menggigilkan tubuh meme-
nuhi tempat pertarungan. Sejenak Pangeran Pemimpin 
berdecak kagum melihat senjata aneh di tangan Soma. 
Ketika dirasakannya hawa dingin menusuk-nusuk ku-
lit, Pangeran Pemimpin gusar bukan main. Rasa ka-
gumnya melihat kehebatan senjata lawan mendadak 
sirna, berganti dengan rasa jengkel yang memuncak. 
Dilihatnya beberapa anak buahnya yang memiliki ke-
pandaian rendah jatuh bergelimpangan tak kuat me-
nahan amukan hawa dingin. Malah beberapa tokoh si-
lat segera bersemadi untuk mengusir hawa dingin itu.
Pangeran Pemimpin tak ingin membiarkan 
anak buahnya sengsara. Beberapa anak buahnya 
kembali bergelimpangan dengan wajah pias. Pangeran 
Pemimpin kontan menggembor penuh kemarahan.
"Bocah edan! Berani kau menjual lagak di de-
panku. Terimalah kematianmu hari ini, Bocah!"
Namun belum sempat Pangeran Pemimpin me-
lancarkan serangan, Pelajar Agung telah memegang 
lengannya.
"Kunyuk gondrong ini bagianku, Pangeran. Ku-
kira sebaiknya kau urus saja adik tirimu yang cantik 
itu. Katanya kau ingin memanfaatkan gadis itu!" kata

Pelajar Agung mengingatkan. 
"Hm...!"
Pangeran Pemimpin mendengus tak senang. 
Namun ketika dilihatnya Pelajar Agung telah menye-
rang Siluman Ular Putih, terpaksa ia segera menyerang 
Putri Sekartaji dari arah berlawanan. Meski dengan 
menggunakan tangan kosong serangan Pangeran Pe-
mimpin yang dibantu beberapa anggota Partai Kawula 
Sejati dan tokoh sakti dunia persilatan membuat Putri 
Sekartaji kalang kabut.
Keadaan ini tentu saja sangat menyita perha-
tian Siluman Ular Putih. Untung saja Pelajar Agung ti-
dak ingin dibantu para anggota Partai Kawula Sejati, 
hingga sedikit banyak Soma dapat membantu Putri 
Sekartaji bila mengalami desakan dari para penge-
royoknya.
"Hea...!"
Siluman Ular Putih menghantamkan kedua te-
lapak tangannya ke depan. Seketika dua larik sinar 
putih melesat cepat siap melabrak tubuh Pelajar 
Agung.
Pelajar Agung rupanya telah siap menghadapi 
pukulan tenaga 'Inti Bumi' lawan. Begitu melihat dua 
larik sinar putih menyerang dirinya, Pelajar Agung 
mencoba memapaki dengan pukulan 'Kelabang Geni' 
yang dipelajarinya dari mendiang Manusia Rambut 
Merah. 
"Hea...!"
Pelajar Agung melengking tinggi. Dari kedua te-
lapak tangannya membersit sinar merah menyala. 
Blaarrr...!!!
Hebat bukan main benturan dua tenaga dalam 
itu. Angin kencang berhamburan memporak-
porandakan semua yang ada di sekitar tempat perta-
rungan. Ranting-ranting pohon hangus terbakar terkena sambaran pukulan 'Kelabang Geni'. Sebagian lain 
kontan membeku begitu terkena pukulan tenaga 'Inti 
Bumi' Siluman Ular Putih.
Tubuh Soma dan Pelajar Agung sendiri terjeng-
kang ke belakang. Isi dada mereka serasa mau jebol.
Pada saat Siluman Ular Putih terjengkang men-
dadak Putri Sekartaji menjerit histeris. Bahunya yang 
terkena sambaran pedang salah seorang pengeroyok 
mengeluarkan darah segar. Soma cemas bukan main. 
Gempuran para pengeroyok Putri Sekartaji tampak 
demikian hebat. Putri Sekartaji dipaksa berjumpalitan 
ke sana kemari menghindari serangan.
"Hea...! Hea...!"
Pangeran Pemimpin yang dibantu anak buah-
nya dan beberapa tokoh sakti dunia persilatan terus 
mendesak Putri Sekartaji. Kalau saja Siluman Ular Pu-
tih tidak cepat bertindak bukan mustahil gadis cantik 
itu akan roboh. Untung saja pada saat totokan jari-jari 
Pangeran Pemimpin hampir mengenai sasaran, dengan 
kecepatan yang luar biasa Siluman Ular Putih melem-
parkan senjata andalannya. 
Wesss!
Pangeran Pemimpin terkesiap kaget. Kalau ne-
kat meneruskan serangan tubuhnya akan jadi sasaran 
empuk serangan anak panah. Tentu saja Pangeran 
Pemimpin tidak ingin tubuhnya terluka. Dengan san-
gat terpaksa sekali Pangeran Pemimpin kemudian 
membuang tubuhnya ke samping. Senjata anak panah 
Siluman Ular Putih terus melesat ke belakang.
Pangeran Pemimpin tersenyum girang. Tanpa 
mengenai belas kasihan sedikit pun, ia dan beberapa 
anak buahnya kembali menyerang Putri Sekartaji. Me-
reka tidak tahu kalau secara tiba-tiba anak panah Si-
luman Ular Putih membalik dan kembali menyerang 
para pengeroyok itu dengan kecepatan yang menga

gumkan.
Clep!
Anggota Partai Kawula Sejati yang berada pal-
ing belakang memekik setinggi langit. Anak panah Si-
luman Ular Putih telak mengenai punggungnya. Pange-
ran Pemimpin dan beberapa anak buahnya seketika 
memalingkan kepala. Dilihatnya salah seorang anggota 
Partai Kawula Sejati ambruk ke tanah dengan seba-
tang anak panah menancap di punggung.
Pangeran Pemimpin menggembor penuh kema-
rahan. Dilanjutkan lagi serangannya yang tadi tertun-
da. Putri Sekartaji kembali dibuatnya kalang kabut.
Untung saja lagi-lagi Siluman Ular Putih yang 
tengah sibuk menghadapi gempuran Pelajar Agung 
masih sempat memberi bantuan. Sayang, tindakan ini 
telah membahayakan keselamatan Siluman Ular Putih 
sendiri. Baru saja pukulan tenaga 'Inti Bumi' dilontar-
kan tiba-tiba Pelajar Agung mengirimkan pukulan 
'Cahaya Kilat Biru' ke arah dirinya. 
Wesss! Wesss!
Siluman Ular Putih meloncat tinggi ke udara. 
Namun dengan gerakan yang sangat tidak terduga, Pe-
lajar Agung telah memapaki lesatan tubuh Soma den-
gan telapak tangan terkembang.
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali hantaman dua telapak tangan pe-
nuh pukulan 'Cahaya Kilat Biru' mengenai dada Soma. 
Tubuh Siluman Ular Putih langsung terlempar jauh ke 
belakang lalu jatuh berdebum di tanah.
Soma mengerang kesakitan. Ia berusaha bang-
kit dengan susah payah. Sayang, tak sanggup. Malah 
darah segar menghambur dari mulutnya.
Melihat keadaan Siluman Ular Putih, Putri Se-
kartaji memekik histeris. Hal ini malah memperburuk 
keadaannya. Tanpa diduga, jari-jari Pangeran Pemimpin berhasil menotok punggung Putri Sekartaji.
Tukkk! Tukkk!
Putri Sekartaji hanya bisa memekik tertahan. 
Seketika tubuhnya kaku tak dapat digerakkan.
Melihat Putri Sekartaji telah tertawan, Siluman 
Ular Putih menggeram marah. Kedua pelipisnya berge-
rak-gerak. Murid Eyang Begawan Kamasetyo itu tam-
paknya tak dapat lagi mengendalikan amarahnya yang 
menggelegak. Mendadak, rambut Soma berubah men-
jadi ratusan ular putih dengan kepala terangkat tinggi-
tinggi!
"Manusia pengecut! Lepaskan gadis itu! Kalau 
kalian mengganggu seujung rambut pun, demi Tuhan 
aku akan mengobrak-abrik markas kalian!"
Pangeran Pemimpin hanya tersenyum sinis, Se-
dikit pun ia tidak gentar mendengar ancaman Siluman 
Ular Putih. Baginya Soma hanyalah seorang pemuda 
sakti yang memiliki otak bebal.
"Keadaanmu terjepit, Bocah. Kau tak patut 
memerintah aku. Justru kaulah yang harus patuh pa-
da perintahku. Sekarang lekas letakkan senjatamu!" 
bentak Pangeran Pemimpin ketika melihat senjata 
anak panah telah tergenggam di tangan Soma. Padahal 
tadi senjata itu sempat diambil salah seorang anggota 
Partai Kawula Sejati.
Pangeran Pemimpin tahu bagaimana cara Si-
luman Ular Putih merebut senjata andalannya itu. Di-
am-diam kekaguman Pangeran Pemimpin makin ber-
tambah. Meski Soma tengah sibuk menghadapi seran-
gan Pelajar Agung. Pemuda itu masih sempat menca-
but senjata anak panahnya dari tubuh sang korban.
"Aku akan melepaskan senjataku kalau kau 
pun melepaskan gadis itu, Pangeran Pemberontak!" Si-
luman Ular Putih tak kalah gertak.
Entah kenapa Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Pelajar Agung tampak tak begitu menyukai si-
kap Pangeran Pemimpin. Agaknya ia tidak ingin Silu-
man Ular Putih tewas di tangan Pangeran Pemimpin.
"Jangan banyak bacot, Bocah! Turuti saja ke-
mauanku jika masih ingin melihat gadis cantik ini ber-
kepala utuh!" ancam Pangeran Pemimpin. Jari-jari 
tangannya yang membentuk patukan ular siap mere-
mukkan batok kepala Putri Sekartaji.
"Sebenarnya apa maumu, Pangeran Pemim-
pin?" kata Siluman Ular Putih kesal melihat kelicikan 
Pangeran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin kembali tertawa bergelak.
"Seperti yang kukatakan tadi, aku hanya ingin 
kau bergabung dengan para anggota Partai Kawula Se-
jati untuk merebut takhta Kadipaten Pleret. Kalau kau 
masih keberatan tentu aku tak akan segan-segan me-
remukkan batok kepala gadis ini. Sekarang jawab! Kau 
sudi bergabung denganku atau tidak?!"
Siluman Ular Putih dicekam kebimbangan. Un-
tuk membiarkan Putri Sekartaji tewas di depan ma-
tanya tanpa dapat membela sedikit pun, jelas ia tidak 
rela. Namun kalau menuruti kemauan Pangeran Pe-
mimpin untuk membantu perjuangannya, itu jelas ti-
dak mungkin. Soma akhirnya memutuskan untuk 
mengelabui Pangeran Pemimpin dengan ilmu sihirnya.
Siluman Ular Putih mulai mengerahkan kekua-
tan batinnya. Kedua bibir Soma berkemik-kemik. Se-
pasang matanya yang tajam mendadak mencorong ta-
jam mengerikan.
Putri Sekartaji sendiri yang melihat sepasang 
mata Soma jadi bergidik ngeri. Namun ketika Siluman 
Ular Putih membentak, Putri Sekartaji merasakan 
adanya getaran aneh menyerang jalan pikirannya.
"Pangeran Pemimpin! Lepaskan gadis itu. Apa 
matamu buta? Coba perhatikan aku baik-baik! Bu

kankah aku Romomu Adipati Pleret Tua?"
Sekujur tubuh Pangeran Pemimpin bergetar 
hebat. Apa yang dilihatnya saat itu benar-benar mem-
buat hatinya heran bukan main. Di hadapannya bu-
kan lagi sosok pemuda gondrong yang mengenakan 
pakaian rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Yang ada sosok lelaki tua berusia tujuh pulu-
han tahun dengan rambut putih digelung ke atas dan 
mengenakan pakaian bangsawan Jawa. Itulah pakaian 
kebesaran yang biasa dikenakan Adipati Pleret Tua.
"Ba... baik, Romo. Aku akan segera melepaskan 
gadis ini," kata Pangeran Pemimpin dengan suara ber-
getar. Perlahan-lahan ia melepaskan Putri Sekartaji 
dari ancamannya.
"Bagus! Rupanya kau masih mentaatiku, Pan-
geran Pemimpin. Sekarang lekaslah kalian semua yang 
ada di tempat ini untuk bersujud. Kalian tak pantas 
menemuiku dengan cara berdiri begini. Hayo, lekas 
berlutut!" bentak Siluman Ular Putih lagi. Suaranya 
bergetar-getar aneh menyerang jalan pikiran semua 
yang ada di halaman samping markas Partai Kawula 
Sejati.
Seperti yang diperintahkan Soma, Pangeran 
Pemimpin dan juga semua yang ada di halaman samp-
ing langsung menjatuhkan diri ke tanah dan berlutut 
di hadapan pemuda itu.
Sebenarnya Soma ingin sekali menggoda Putri 
Sekartaji, namun ketika dilihatnya gadis itu tampak 
ketakutan maka niatnya diurungkan. Disambarnya 
tubuh Putri Sekartaji lalu berkelebat cepat meninggal-
kan tempat itu. Sosok murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu hilang di balik kegelapan malam.
Bersamaan dengan lenyapnya bayangan Silu-
man Ular Putih pengaruh sihir itu pun sirna. Pangeran 
Pemimpin murka bukan main. Sadarlah dia kalau telah diperdaya. Sambil berteriak-teriak penuh kemara-
han diperintahkannya beberapa anak buahnya untuk 
menangkap Siluman Ular Putih dan Putri Sekartaji.
"Tangkap mereka! Cepat tangkap Siluman Ular 
Putih dan Putri Sekartaji!"
***
DELAPAN


"Soma! Lepaskan totokanku! Aku masih sang-
gup berlari sendiri!" teriak Putri Sekartaji dari pondon-
gan murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Soma tidak mempedulikan. Sambil terus berke-
lebat cepat dari dahan satu ke dahan pohon lain, Soma 
hanya tersenyum-senyum menggoda. Putri Sekartaji 
jengkel sekali. Tak henti-henti ia terus berteriak hingga 
suaranya serak. Namun Soma tetap membawanya per-
gi tanpa menghiraukan teriakan-teriakan itu.
"Soma! Jangan gila! Kau mau bawa aku ke ma-
na? Hayo, lekas lepaskan totokanku, Soma!"
"Kenapa kau berteriak-teriak minta dilepaskan 
totokanmu, Putri? Bukankah enak di atas pondongan-
ku? Kau ini bagaimana sih. Orang enak-enak digen-
dong malah minta dituruni. Aku senang sekali kalau 
kau mau gantian menggendongku. Apa kau ingin 
menggendongku, Putri?" kata Soma menggoda.
Meski Soma berkata demikian, namun sebe-
narnya dalam hati murid Eyang Begawan Kamasetyo 
itu berkata lain. Ia tidak ingin keselamatan Putri Se-
kartaji terancam meski adik tiri Pangeran Pemimpin itu 
memiliki kepandaian lumayan. Namun Soma tetap me-
rasa khawatir jika Putri Sekartaji berlari sendiri. Di 
samping perjalanan malam itu memang cukup sulit, di

seputar markas Partai Kawula Sejati banyak sekali je-
bakan maut.
"Soma! Apa sebenarnya yang kau inginkan? 
Apa kau ingin mencelakakanku? Terkutuklah kau, 
Soma! Awas nanti kalau kau melepaskan totokanku. 
Aku pasti tidak akan memaafkan kekurangajaranmu 
ini!"
Soma tetap tidak mempedulikan ancaman gadis 
cantik dalam pondongannya. Sambil sesekali menggo-
da Putri Sekartaji, Soma terus berkelebat meninggal-
kan markas Partai Kawula Sejati. Sampailah murid 
Eyang Begawan Kamasetyo itu di luar hutan. Baru saja 
Soma menghentikan langkah dan bermaksud menu-
runkan tubuh Putri Sekartaji, terdengar bentakan ga-
rang dari sesosok bayangan yang berkelebat datang.
"Berani kau menyentuh tubuh gadis itu berarti 
kau tak sayang lagi pada nyawamu, Bocah!"
Soma menautkan alis matanya dalam-dalam. 
Sosok di hadapannya benar-benar membuat hatinya 
terperanjat. Dia seorang kakek tua renta. Berusia kira-
kira tujuh puluh tahunan. Wajahnya putih bersih. Se-
pasang matanya kelabu dengan alis dan bulu mata 
berwarna putih. Ia mengenakan topi hitam panjang mi-
rip topi seorang pelajar. Jubahnya hitam kedodoran 
sampai ke lutut. Sosok tinggi kurus yang mirip pe-
nampilan seorang pelajar itu tak lain Marabunta atau 
lebih dikenal dengan julukan Pendidik Ulung.
Soma heran bercampur kecut melihat sosok di 
hadapannya. Bukan heran melihat penampilannya, 
melainkan heran karena melihat kemunculannya.
"Sosok di hadapanku ini jelas memiliki ilmu 
meringankan tubuh yang tinggi. Apalagi dengan sepa-
sang mata yang mencorong. Aku yakin orang tua renta 
ini memiliki tenaga dalam hebat. Siapakah sebenarnya 
dia? Kalau ia salah seorang sekutu Pangeran Pemim


pin, ini benar-benar celaka. Keamanan Kadipaten Ple-
ret dan dunia persilatan terancam!" gumam murid 
Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati.
"Memalukan sekali perbuatanmu, Bocah! Bera-
ninya kau bertindak kurang ajar di hadapanku. Hayo, 
lekas lepaskan gadis itu!" bentak Pendidik Ulung ga-
rang.
"Eh eh eh...! Kau menuduhku telah bersikap 
kurang ajar. Apa tidak budek telingaku? Jangan-
jangan malah matamu yang lamur? Siapa yang berani 
bersikap kurang ajar di hadapanmu? Kenal saja tidak 
kok menuduh sembarangan. Enak saja!"
"Apa kau bilang? Kau tidak bersikap kurang 
ajar di hadapanku? Apa dengan melarikan seorang ga-
dis di tengah hutan sesunyi ini bukan perbuatan ku-
rang ajar? Kau ini benar-benar memuakkan. Aku pal-
ing benci melihat pemuda pengecut sepertimu! Aku ta-
hu apa yang akan kau lakukan. Kalau saja aku tidak 
segera muncul, kau pasti sudah menelanjangi gadis itu 
dan memperkosanya. Iya, kan?!"
Soma bersiul-siul kecil mendengar tuduhan 
Pendidik Ulung.
"Bocah sinting! Orang ditanya malah bersiul-
siul. Pakai melototi aku lagi. Kau demikian beraninya 
menjual lagak di hadapanku Pendidik Ulung!" Kedua 
telapak tangan Pendidik Ulung yang telah berubah pu-
tih berkilauan sudah gatal ingin melontarkan pukulan 
mautnya.
"Ah...! Jadi... kau.... Pendidik Ulung?! Ibu dan 
eyangku bisa marah besar kalau aku tahu tak berlaku 
hormat padamu, Orang Tua. Maaf. Aku benar-benar 
tidak tahu kau orang tua sakti yang bergelar Pendidik 
Ulung," Soma sangat terkejut mendengar keterangan 
orang tua di hadapannya. Pendidik Ulung adalah salah 
seorang sahabat eyangnya di Gunung Bucu.

"Diam! Kau pikir aku tidak tahu sifat manusia 
pengecut sepertimu. Benar-benar memuakkan, Bocah. 
Setelah mendengar nama besarku beraninya kau men-
jilat seperti ini. Padahal dalam hati kau tengah berpikir 
bagaimana caranya agar dapat selekasnya menikmati 
kehangatan tubuh gadis itu. Hayo, sekarang lepaskan 
gadis itu!"
"Ba... baik. Tanpa kau suruh pun aku akan me-
lepaskan temanku ini," sahut Soma. Murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu segera menurunkan tubuh gadis 
cantik dalam pondongannya. Namun ketika jari-jari 
tangannya hendak menotok pulih jalan darah di tubuh 
Putri Sekartaji, segulung sinar hitam dari tangan Pen-
didik Ulung telah melesat cepat ke arahnya.
Soma terperanjat kaget. Ia mengira Pendidik 
Ulung akan menyerang dirinya. Tanpa pikir panjang 
murid Eyang Begawan Kamasetyo menggeser tubuh-
nya ke samping. Ternyata gulungan sinar hitam itu
bukan menyerang dirinya. Sinar itu bergerak cepat 
menyambar tubuh Putri Sekartaji dan melemparkan-
nya ke samping.
Soma tak dapat lagi menyembunyikan rasa ka-
gum. Berkali-kali mulutnya berdecak melihat sinar hi-
tam yang ternyata ikat pinggang orang tua itu me-
nyambar tubuh Putri Sekartaji dengan demikian mu-
dah. Sungguh suatu pertunjukan tenaga dalam tingkat 
tinggi. Begitu tubuh Putri Sekartaji berguling ke samp-
ing, gadis cantik itu segera meloncat tinggi ke udara 
dan menjejakkan sepasang kakinya yang jenjang ke
tanah dengan sangat ringannya.
"Hebat! Tak kusangka ikat pinggang kakek ini 
mampu melepaskan totokan di tubuh Putri Sekartaji!" 
gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo penuh ka-
gum.
"Kau menjengkelkanku, Soma. Aku benci kau.

Benci!" teriak Putri Sekartaji.
"Benar! Pemuda sinting ini memang menjeng-
kelkan. Kukira ia patut mendapat sedikit pelajaran. 
Minggirlah kau, Gadis. Tangan-tanganku yang rapuh 
ini kukira masih sanggup mematahkan batang leher-
nya. Lihatlah bagaimana caranya aku menghajar pe-
muda tak tahu malu ini!" kata Pendidik Ulung.
Habis berkata, Pendidik Ulung melangkah be-
berapa tindak ke depan. Dimainkannya jurus 'Tangan 
Maut Dewa Kayangan'.
Siluman Ular Putih terkejut. Bukan karena me-
rasakan berkesiurnya angin dingin sebelum serangan 
itu menerpa dirinya, jurus-jurus yang dikeluarkan 
Pendidik Ulung benar-benar sama seperti yang di-
miliki Prameswara alias Pelajar Agung.
"Tunggu, Orang Tua! Menilik jurus-jurus yang 
tengah kau keluarkan, apakah kau guru Prameswara 
yang kini bergelar Pelajar Agung?" kata Soma seraya 
menyurutkan langkahnya setindak ke belakang.
Seketika Pendidik Ulung menghentikan seran-
gan. Sepasang matanya yang tajam mencorong mem-
perhatikan pemuda gondrong di hadapannya.
"Benar. Apakah kau pernah bersilang sengketa 
dengan muridku?" hardik Pendidik Ulung.
"Bukan hanya bersilang sengketa. Bahkan aku 
menginginkan nyawanya!"
"Kenapa?" Pendidik Ulung menautkan alis ma-
ta.
"Karena dia telah mempengaruhi Manusia 
Rambut Merah untuk membunuh ayah kandungku 
Pendekar Kujang Emas."
"Kau... anaknya Pendekar Kujang Emas?!" Pen-
didik Ulung tak dapat menyembunyikan rasa terkejut-
nya.
"Buat apa aku mengaku-aku, Orang Tua. Sekarang aku benar-benar tidak mengerti. Ternyata saha-
bat eyangku yang terkenal itu telah ditipu mentah-
mentah. Bukannya mencari murid baik-baik. Eh... ma-
lah mencari murid bejat macam Prameswara."
"Siapa sebenarnya Prameswara itu? Kalau kau 
tidak dapat menjelaskannya, jangan harap aku akan 
melepaskanmu begitu saja."
Siluman Ular Putih tersenyum.
"Dia adalah bekas murid Pendekar Kujang 
Emas. Namun entah karena apa kemudian ia berguru 
pada Manusia Rambut Merah. Aku tahu hal ini karena 
Prameswara mampu menguasai ilmu ‘Amblas Bumi’ 
milik Manusia Rambut Merah. Sedang ayahku tewas di 
tangan Manusia Rambut Merah. Mungkinkah kejadian 
ini tidak ada sangkut pautnya dengan Prameswara? 
Dan apakah kau tidak mengenal siapa Manusia Ram-
but Merah?"
"Manusia Rambut Merah? Ya ya aku kenal dia. 
Dia seorang tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar," 
ujar Pendidik Ulung seraya mengangguk-anggukkan 
kepala. Sepasang matanya yang kelabu terus memper-
hatikan murid Eyang Begawan Kamasetyo. Namun se-
benarnya orang tua sakti itu tengah mengingat kembali 
pertemuannya dengan Prameswara beberapa bulan la-
lu. Tiba-tiba Pendidik Ulung bergumam sendirian. "Ya 
ya ya. Tentu Manusia Rambut Merah telah terkena bu-
juk rayunya. Aku cukup tahu siapa Manusia Rambut 
Merah...."
Soma mengerutkan kening. Samar-samar ia 
mulai mengerti duduk persoalannya. "Apakah kau juga 
terkena bujuk rayu manusia culas itu, Orang Tua?"
"Mungkin iya, mungkin juga tidak. Yang jelas 
saat itu aku sangat terkesan dengan sikapnya yang 
santun. Apalagi ketika itu aku sedang kecewa dengan 
kelakuan bekas muridku yang bergelar Samber Nyawa.

Kalau aku tahu dia seorang pengecut, sudah pasti ti-
dak sudi aku menerimanya sebagai murid. Huh! Sung-
guh bodoh aku yang tua ini!" keluh Pendidik Ulung 
jengkel.
"Kalau sekarang kau tahu apa yang tengah di-
rencanakan oleh muridmu yang bergelar Pelajar 
Agung, tentu kau akan terkejut, Orang Tua. Dia kini 
bergabung dengan Pangeran Pemimpin yang bermak-
sud menggulingkan kekuasaan Adipati Pleret."
"Hm...!" Pendidik Ulung mengeretakkan gera-
hamnya. "Tak kusangka muridku seculas ini. Aku se-
benarnya juga sudah mendengar desas-desus ini. 
Bahkan Ki Rombeng memintaku untuk bertemu den-
gan para pendekar lain. Tentu mereka akan membica-
rakan sepak terjang muridku. Huh! Benar benar men-
gecewakan. Tak kusangka aku memiliki murid-murid 
bejat. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menyeli-
diki sepak terjang muridku atau terus menemui Ki 
Rombeng di puncak Gunung Anjasmoro?"
Soma membiarkan orang tua itu kebingungan 
sendiri. Dalam hati ia merasa sedikit lega karena Pen-
didik Ulung telah melupakan perselisihan dengan di-
rinya.
"Ah...! Kukira sebaiknya aku menemui Ki Rom-
beng terlebih dahulu," gumam Pendidik Ulung tiba-
tiba. Kedua kakinya siap berkelebat meninggalkan 
tempat itu. Namun ketika pandang matanya bertemu 
dengan Putri Sekartaji, mendadak orang tua itu meng-
hentikan langkah dan berbalik memandang Siluman 
Ular Putih.
"Ada apa lagi, Orang Tua? Kenapa kau tidak le-
kas-lekas pergi dari hadapanku?" kata Soma menggo-
da. Senyum nakalnya tersungging di bibir.
"Memang aku akan meninggalkan tempat ini. 
Tapi apa kau kira aku bodoh. Tidak! Aku tidak bodoh!

Aku takkan mungkin membiarkan kehormatan gadis 
itu kau rusak. Meski saat ini aku sedang bingung
mendengar sepak terjang muridku, aku tidak akan 
membiarkan kejahatan berlangsung di depan mata. 
Sekarang aku ingin meminta pertanggungjawaban mu
mengapa kau melarikan gadis itu!" kata Pendidik 
Ulung. Jari telunjuknya menuding ke arah Putri Sekar-
taji yang sedari tadi hanya membisu mendengarkan 
percakapan Pendidik Ulung dan Soma.
"Tunggu, Orang Tua. Kau salah paham. Aku 
melarikan gadis itu justru karena ingin menyela-
matkannya dari cengkeraman Pangeran Pemimpin dan 
muridmu yang bejat itu."
"Heh?! Jadi kau bermaksud menyelamatkan 
gadis itu. Apa tidak budek telingaku?" Pendidik Ulung 
mengerutkan keningnya. Dengan pandang mata curiga 
tatapannya dialihkan pada Putri Sekartaji. "Benarkah 
apa yang dikatakan pemuda sinting itu, Gadis?"
"Be... benar, Orang Tua," jawab Putri Sekartaji 
agak gugup.
Bagaimanapun ia tidak ingin pemuda yang te-
lah menolong dirinya celaka di tangan Pendidik Ulung. 
Namun sebenarnya hati gadis itu mulai terusik dengan 
ketampanan Soma.
Mendengar ucapan Putri Sekartaji, Pendidik 
Ulung jadi gelisah. Pandang matanya kini tidak lagi 
memusuhi Siluman Ular Putih. Malah dengan kening 
berkerut Pendidik Ulung kembali membuka suara.
"Jadi kau telah menyelamatkan gadis itu dari 
cengkeraman Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung?"
"Iya, dong. Makanya jadi orang jangan semba-
rang menuduh. Kalau salah kan malu sendiri!" ujar 
Soma seraya menepuk dada.
"Berarti kau telah bertemu dengan muridku, 
Bocah," kata Pendidik Ulung tak menghiraukan gu

rauan Siluman Ular Putih.
"Bukan hanya bertemu. Malah kami saling ber-
tukar jotosan barang satu-dua jurus. Sayang, mereka 
terlalu pengecut. Ingin rasanya aku meremukkan ba-
tok kepala muridmu, Orang Tua."
"Hm...! Tampaknya kau memiliki sedikit kepan-
daian, Bocah. Kukira kau pun harus hadir di puncak 
Gunung Anjasmoro guna membicarakan sepak terjang 
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung!"
"Usulmu sebenarnya baik sekali, Orang Tua. 
Tapi sayang aku tidak bisa menuruti."
"Kenapa?"
"Aku lebih senang berduaan dengan temanku 
yang cantik ini daripada bepergian denganmu, Orang 
Tua," kata Soma menggoda.
"Berani kau menggodaku seperti ini, Bocah?" 
Pendidik Ulung marah karena merasa dipermainkan.
"Eh eh eh...! Jangan marah dulu, Orang Tua. 
Siapa pun juga akan lebih senang berduaan dengan 
seorang gadis cantik dibandingkan dengan seorang la-
ki-laki tua. Nanti dikira apa aku ini."
"Mulutmu terlalu lancang. Tapi, aku yakin kau 
pasti memiliki hati yang baik."
"Jelas dong. Setidak-tidaknya lebih baik diban-
dingkan kelakuan muridmu yang bejat itu!" sahut So-
ma asal-asalan.
"Hm...!"
Pendidik Ulung mengeretakkan gerahamnya. 
Ingin sebenarnya ia memberi sedikit pelajaran pada 
pemuda gondrong di hadapannya. Namun niat itu di-
urungkan. Sepasang mata Pendidik Ulung malah 
memperhatikan rajahan ular putih kecil di dada Soma.
"Jangan-jangan saat ini aku tengah berhadapan 
dengan pemuda edan yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih. Apakah kau pemuda edan itu, Bocah?"
Soma tertawa bergelak. Ia tidak menampakkan 
rasa tersinggung dimaki 'pemuda edan' oleh Pendidik 
Ulung. Malah sambil menuding-nudingkan telunjuk-
nya, murid Eyang Begawan Kamasetyo kembali meng-
goda guru Pelajar Agung.
"Kalau mau mengigau sebaiknya jangan di sini, 
Orang Tua. Mana berani aku yang rendah ini bergelar 
Siluman Ular Putih."
"Ya ya ya.... Sudah. Lupakan saja. Tapi sekali 
lagi kuperingatkan. Kalau terjadi sesuatu dengan gadis 
itu, akulah orang yang pertama akan meremukkan ba-
tok kepalamu!" ancam Pendidik Ulung serius.
Siluman Ular Putih makin memperlebar tawa.
Pendidik Ulung tidak menggubris. Sepasang 
matanya dipelototkan sebelum berkelebat meninggal-
kan tempat itu.
"Kau memang keterlaluan, Soma. Pada orang 
tua saja berani bertindak seenak dengkulmu, apalagi 
terhadapku. Mungkin akan lebih kurang ajar!" kata 
Putri Sekartaji tiba-tiba.
***
Soma terperanjat kaget. Ia yang tengah mem-
perhatikan kepergian Pendidik Ulung buru-buru me-
malingkan kepala. Putri Sekartaji tengah bersungut-
sungut seraya memperhatikan dirinya.
"Eh...! Apa tadi kau bilang, Putri?"
"Kau memang menjengkelkan, Soma. Sebenar-
nya aku ingin menamparmu. Tapi tadi aku sudah me-
maafkan kelancanganmu."
"Kenapa? Apa tadi aku bersikap lancang pada-
mu? Yang benar saja. Bukankah enak digendong? Kau 
dapat memejamkan mata seperti terlelap dalam pon-
dongan ibumu. Kalau aku sih pasti akan minta tam
bah. Tapi sudahlah. Ngomong-ngomong tadi kau su-
dah memaafkan aku. Kenapa?"
Ditanya seperti itu Putri Sekartaji jadi keki. Ia 
yang diam-diam terpesona melihat ketampanan pemu-
da di hadapannya hanya terus memperhatikan Soma.
"Kok jadi diam. Ada apa? Jangan-jangan kau 
mulai ketularan penyakit orang tua itu. Atau, jangan-
jangan kau naksir aku?" Lalu disusul dengan suara 
tawa Soma yang bergelak.
Semburat rona merah mewarnai kedua pipi Pu-
tri Sekartaji. Beruntung saat itu malam masih menye-
limuti bumi, sehingga murid Eyang Begawan Kama-
setyo tidak sempat melihat rona merah di pipinya. Pu-
tri Sekartaji jadi jengkel mendengar godaan Siluman 
Ular Putih. Tangan kanannya kemudian bergerak ce-
pat.
Plak! Plak!
Dua kali telapak tangan Putri Sekartaji menda-
rat di pipi Soma, hingga kepalanya oleng ke kanan kiri.
"Aduuuh...! Sudah kuduga tanganmu pasti ha-
lus, Putri. Rasanya aku ingin tambah. Tapi jangan 
kencang-kencang. Kalau perlu dielus-elus saja pipiku 
ini," rupanya murid Eyang Begawan Kamasetyo belum 
jera juga.
Putri Sekartaji mendelikkan mata. Tangan ka-
nannya kembali siap menampar pipi Soma. Namun 
anehnya Soma malah menyorongkan pipinya ke depan. 
Tentu saja Putri Sekartaji jadi mengurungkan niatnya.
"Kenapa tidak diteruskan, Putri? Kau tidak te-
ga? Jangan-jangan kau memang naksir aku?"
"Soma! Jangan kurang ajar!" pekik Putri Sekar-
taji saking jengkelnya. Tangan kanannya kini tampak 
tak segan-segan lagi akan menampar pipi Soma.
Soma tertawa bergelak. Melihat tangan Putri 
Sekartaji sudah terangkat tinggi-tinggi, Soma pun bu

ru-buru menyingkir.
"Baik, baik. Aku berjanji tidak akan kurang ajar 
lagi. Sekarang rencanamu mau ke mana?" kata Soma 
mulai serius.
Putri Sekartaji menurunkan tangannya kemba-
li. Mulutnya masih memberengut. Ditanya seperti itu 
Putri Sekartaji jadi kebingungan sendiri.
"Aku tidak tahu. Mungkin akan segera mela-
porkan Kangmas Sembodo pada Kangmas Adipati. Aku 
tidak tahu pasti, Soma."
"Sebaiknya kau melaporkan pengkhianatan 
Pangeran Pemimpin pada Adipati Pleret, Putri. Ini bu-
kan masalah kecil. Lekaslah pulang ke kadipaten," 
usul Soma.
"Tapi... aku ingin laporanku lebih nyata," Putri 
Sekartaji keberatan. Ia merasa betah berduaan dengan 
murid Eyang Begawan Kamasetyo. Walau terkadang 
gurauan Soma keterlaluan, namun sebenarnya Putri 
Sekartaji sangat menyukai.
"Laporan yang lebih nyata. Maksudmu bagai-
mana, Putri? Aku kok malah jadi bingung sendiri. Bu-
kankah Pangeran Pemimpin bermaksud memberontak 
terhadap Kadipaten Pleret? Apakah itu bukan laporan 
yang nyata?"
"Aku ingin kau turut serta." 
"Apa?"
"Soma! Apa telingamu tuli? Aku ingin kau ikut 
denganku untuk melaporkan sepak terjang Pangeran 
Pemimpin. Apa kau keberatan?" kata Putri Sekartaji 
setengah berteriak.
"Bagaimana, ya? Sebenarnya aku keberatan. 
Tapi baiklah. Asal mulai sekarang kau harus memang-
gilku Kangmas Soma!"
"Apa?"
Soma tertawa bergelak. Rasanya senang sekali
bisa menggoda Putri Sekartaji seperti itu.
***
SEMBILAN


Pangeran Pemimpin melangkah lebar menuju 
ruang pendopo. Di sana telah menunggu Iblis Muka 
Merah dan Setan Mayat Merah. Tanpa banyak cakap 
Pangeran Pemimpin segera duduk di kursi kebesaran-
nya. Pelajar Agung menyusul kemudian duduk di kursi 
samping Pangeran Pemimpin.
Sementara dua orang gadis kembar di samping 
Iblis Muka Merah dan Setan Mayat Merah terlihat ke-
takutan. Mereka baru saja diculik Iblis Muka Merah 
dan Setan Mayat Merah dari sebuah dusun tak jauh 
dari markas Partai Kawula Sejati. Wajah kedua gadis 
itu tidaklah terlalu mengecewakan. Wajahnya bulat te-
lur dengan kulit tubuh yang putih bersih. Rambutnya 
hitam panjang dibiarkan tergerai sampai ke punggung. 
Kedua gadis kembar ini sama-sama mengenakan kem-
ben hitam dengan kain panjang biru tua.
Melihat hasil tangkapan Iblis Muka Merah dan 
Setan Mayat Merah, wajah Pangeran Pemimpin sedikit 
menunjukkan keceriaan. Hal ini terlihat jelas oleh Iblis 
Muka Merah dan Setan Mayat Merah.
"Bagaimana, Pangeran Pemimpin? Apakah ke-
dua gadis kembar ini cukup memenuhi syarat?" kata 
Iblis Muka Merah.
Pangeran Pemimpin hanya mengangguk-ang-
gukkan kepala sambil tangan kanannya memegangi 
jenggot.
"Aku belum tahu pasti. Mungkin kedua gadis 
kembar ini cukup memenuhi syarat. Tapi, sebaiknya

kita tanyakan dulu pada Raja Maling. Dialah yang 
mengetahui rahasia Lukisan Darah. Bukan begitu, So-
batku Pelajar Agung?" ujar Pangeran Pemimpin me-
nyahuti.
"Ya ya.... Sebaiknya cepat panggil Raja Maling 
kemari. Hanya dia yang tahu rahasia Lukisan Darah," 
ujar Pelajar Agung membenarkan pendapat Pangeran 
Pemimpin.
Pangeran Pemimpin mengangguk-anggukkan 
kepala. Tangan kanannya yang sedari tadi mengelus-
elus jenggot segera mengisyaratkan agar salah seorang 
anak buahnya mendekat. Seorang anak buah Partai 
Kawula Sejati yang merasa dipanggil buru-buru men-
dekati.
"Lekas kau panggil Raja Maling kemari!" perin-
tah Pangeran Pemimpin.
"Baik, Pangeran!" Laki-laki berusia empat puluh 
tahunan itu bergegas pergi meninggalkan ruang pen-
dopo.
"Sekarang tidak ada pilihan lain. Terpaksa kita 
harus menjalankan rencana kita yang terakhir, So-
batku Pelajar Agung. Kalau saja pemuda keparat yang 
bergelar Siluman Ular Putih itu tidak membawa lari 
Nimas Putri Sekartaji, kita tentu dapat dengan mudah 
merebut takhta Kadipaten Pleret. Tapi sekarang tidak 
ada pilihan lain. Terpaksa kita harus mengumpulkan
banyak dana dengan cara menyingkap rahasia Lukisan 
Darah."
"Ya. Aku juga marah sekali dengan Siluman 
Ular Putih. Suatu saat aku pasti akan membuat perhi-
tungan dengannya. Belum puas rasanya kalau belum 
dapat meremukkan batok kepalanya!" geram Pelajar 
Agung.
"Ya! Dan kau harus berhati-hati dengan ilmu 
sihirnya," kata Pangeran Pemimpin mengingatkan.

"Tentu. Itu sudah aku perhitungkan."
"Aku percaya denganmu, Sobat. Sekarang kita 
harus secepatnya mengetahui rahasia Lukisan Darah. 
Nah, itu Raja Maling sudah datang!"
Di pintu ruang pendopo tampak Raja Maling 
tengah melangkah lebar mendekati Pangeran Pemim-
pin. Di belakangnya mengikuti anggota Partai Kawula 
Sejati yang diperintah tadi. Begitu berada di dekat 
Pangeran Pemimpin, Raja Maling segera membuka su-
ara.
"Ha ha ha...! Tak kusangka sobatku Iblis Muka 
Merah dan Setan Mayat Merah berhasil secepat ini 
mendapatkan dua orang gadis kembar. Hebat. Aku sa-
lut pada kalian."
"Raja Maling, duduklah. Aku ingin bicara den-
ganmu!" kata Pangeran Pemimpin memerintah.
Sejenak Raja Maling memperlebar suara ta-
wanya. Lalu ia segera menghenyakkan pantat di samp-
ing Iblis Muka Merah.
"Nah, sekarang aku sudah duduk. Apa yang in-
gin kau tanyakan, Pangeran Pemimpin?"
"Mengenai dua orang gadis kembar itu. Apakah 
sudah memenuhi syarat?" Pangeran Pemimpin menun-
juk ke arah dua orang gadis kembar di samping Iblis 
Muka Merah dan Setan Mayat Merah.
Raja Maling buru-buru menolehkan kepalanya 
ke samping. Sepasang mata garang Raja Maling mem-
perhatikan kedua gadis kembar itu lekat-lekat. Tanpa 
sadar jakun murid Maling Tanpa Bayangan itu berge-
rak-gerak. Sepasang matanya terus memperhatikan le-
kuk-lekuk tubuh kedua gadis kembar itu.
"Bagaimana, Raja Maling? Apakah kedua gadis 
kembar itu sudah memenuhi syarat?" tanya Pangeran 
Pemimpin tak sabar.
"Oh, ya ya.... Sangat memenuhi syarat!" kata

Raja Maling buru-buru setelah menelan ludahnya sen-
diri. Kalau saja kedua gadis kembar itu tidak sedang 
dibutuhkan, sudah pasti Raja Maling ingin menikmati 
hangatnya tubuh mereka. Namun sayang terpaksa kali 
ini Raja Maling harus menunda keinginannya.
"Bagus! Kalau begitu, buat apa kita membuang-
buang waktu? Mengapa tidak sekarang saja kita mem-
bereskan urusan ini?"
"Sabar, Pangeran Pemimpin. Kita memang ha-
rus selekasnya membereskan urusan ini. Tapi kita se-
baiknya menunggu saat yang tepat, yaitu tengah ma-
lam nanti. Sekarang aku harus menyiapkan peralatan 
terlebih dahulu."
"Baiklah. Cepat kerjakan apa yang ingin kau 
lakukan, Raja Maling."
"Baik!"
Raja Maling segera beranjak dari tempat du-
duknya. Sejenak sepasang mata berwarna merah saga 
itu memperhatikan kedua gadis kembar. Lalu ia segera 
pergi meninggalkan ruang pendopo.
***
Di tengah ruang khusus yang hanya diterangi 
nyala lilin tampak lukisan seorang wanita telanjang 
berwarna merah darah telah dipersiapkan oleh Raja 
Maling. Keadaan Lukisan Darah itu terlihat sedikit 
aneh. Wajahnya yang berwarna kemerah-merahan kini 
tampak demikian memelas. Sorot matanya layu, seo-
lah-olah tidak rela dirinya jatuh ke tangan orang ber-
hati culas. Sorot mata lukisan wanita telanjang itu 
seakan tahu kekejian apa yang sebentar lagi akan ter-
jadi di ruang tersebut.
Di hadapan Lukisan Darah sosok tinggi besar 
Raja Maling tengah duduk bersila. Kedua bibirnya

yang hitam berkemik-kemik membaca mantra. Semen-
tara tangan kanannya terus mengaduk-aduk keme-
nyan dalam tungku kecil di hadapannya. Maka tak he-
ran kalau ruang khusus itu dipenuhi bau kemenyan 
yang teramat menusuk hidung.
Di samping Raja Maling tergeletak di lantai dua 
sosok gadis kembar. Tubuh mereka kaku tak dapat di-
gerakkan. Wajah mereka pun pucat pasi. Hanya sepa-
sang matanya saja yang bergerak-gerak liar seolah in-
gin berteriak minta tolong pada dinding-dinding ka-
mar.
"Sudah saatnya...!" desis Raja Maling pada di-
rinya sendiri. Tangannya tak lagi mengaduk-aduk ke-
menyan di tungku. Raja Maling beranjak dari duduk 
untuk mendekati tubuh kedua calon korbannya.
Meski kedua gadis kembar itu mengetahui ke-
kejian apa yang akan menimpa dirinya, namun naluri 
mereka mengisyaratkan kalau keselamatan dirinya 
tengah terancam. Saking tidak tahannya didera oleh 
perasaan takut, kedua gadis kembar itu menitikkan 
airmata. Raja Maling hanya tertawa bergelak mem-
bayangkan permainan maut yang sebentar lagi akan 
dilakukannya.
"Gadis-gadis cantik yang malang. Sebenarnya 
sayang sekali kalian harus mati percuma tanpa terle-
bih dahulu aku menikmati kehangatan tubuh kalian!" 
de-sis Raja Maling semakin membuat kedua gadis 
kembar itu ketakutan.
Raja Maling makin melipatgandakan tawanya. 
Setelah reda, dengan perlahan-lahan diambilnya dua 
butir pil hitam yang telah dipersiapkan dari dalam sa-
ku.
"Ha ha ha...! Telanlah pil pemberianku ini, Gadis!"
Raja Maling tak ragu-ragu untuk menjejalkan

kedua pil hitam itu ke dalam mulut mereka. Dengan 
sedikit memaksa, Raja Maling berhasil melakukannya. 
Perlahan-lahan kedua pil hitam memasuki kerongkon-
gan kedua gadis kembar.
Raja Maling girang bukan main. Di tangan ka-
nannya kini telah tergenggam dua batang jarum kecil 
yang baru saja diambilnya dari dalam saku. Lalu, ke-
dua batang itu ditusukkan ke pergelangan tangan ke-
dua calon korbannya. Setelah menusuk pergelangan 
tangan, Raja Maling segera menghisap darah mereka 
bergantian.
Kedua gadis kembar itu meringis kesakitan. Ra-
ja Maling tidak mempedulikannya. Ia terus menghisap 
darah mereka hingga mulutnya menggembung. Kemu-
dian Raja Maling menyemburkan campuran darah ke-
dua gadis itu ke permukaan lukisan.
Wurrr...!!!
Ajaib sekali! Begitu darah kedua gadis kembar 
itu membasahi Lukisan Darah, seketika warna merah 
dalam lukisan mendadak pudar, berganti dengan gura-
tan-guratan merah yang membentuk sebuah peta.
Bukan main girangnya Raja Maling. Begitu me-
lihat Lukisan Darah mulai menunjukkan gambar se-
buah peta, Raja Maling kembali menghisap darah di 
pergelangan tangan kedua korbannya. Dan seperti ta-
di, darah di mulutnya kembali disemburkan pada Lu-
kisan Darah hingga akhirnya lukisan itu membentuk 
sebuah peta yang jelas.
"Ha ha ha...! Aku telah mendapatkan peta harta 
karun! Aku telah mendapatkan peta harta karun!!!" 
Raja Maling berteriak-teriak penuh kegembiraan.
Sementara, keadaan kedua gadis kembar itu 
tampak sangat memprihatinkan. Wajahnya pias kare-
na darah mereka telah banyak terkuras. Dan ketika 
Raja Maling mendekati kedua gadis itu, ternyata mereka telah menemui ajal karena kehabisan darah.
***
SEPULUH


Di ruang pendopo markas Partai Kawula Sejati, 
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung tidak sabar lagi 
menunggu hasil kerja Raja Maling. Iblis Muka Merah 
dan Setan Mayat Merah pun demikian. Kedua tokoh 
sesat itu berkali-kali memalingkan kepalanya ke bela-
kang, namun Raja Maling belum juga muncul.
"Bagaimana pendapatmu, Pelajar Agung? Apa-
kah Raja Maling dapat menyingkap rahasia yang ter-
sembunyi dalam Lukisan Darah?" tanya Pangeran Pe-
mimpin tak sabar.
"Hm...!" Pelajar Agung mengeretakkan gera-
hamnya seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Me-
nurut perkiraanku, Raja Maling dapat menyingkap ra-
hasia itu. Percuma saja ia menjadi murid Maling Tanpa 
Bayangan kalau tak dapat menyingkap rahasia Luki-
san Darah."
"Kukira pendapat wakil ketua benar, Pangeran. 
Sebab hanya Raja Maling seorang yang tahu rahasia 
Lukisan Darah. Kenapa Pangeran segusar ini?" kata 
Iblis Muka Merah menyahuti.
"Aku memang gusar sekali, Iblis Muka Merah. 
Apalagi setelah kepergian Nimas Putri Sekartaji. Kukira 
untuk sementara kita harus menunda rencana kita. 
Meski demikian kita harus terus mengamati perkem-
bangan kadipaten."
"Benar. Kita harus terus menyebar mata-mata. 
Aku takut pasukan kadipaten keburu datang menye-
rang markas ini sebelum kita siap siaga," kata Pelajar

Agung membuka suara.
"Ha ha ha...! Rupanya mimpi kalian semua da-
pat terwujud. Tak kusangka dengan demikian mudah-
nya aku dapat menyingkap rahasia Lukisan Darah!"
***
Pangeran Pemimpin melengak kaget. Namun 
ketika mengenali suara tawa itu, mendadak senyum-
nya terkembang. Seketika Pangeran Pemimpin mema-
lingkan kepala ke arah datangnya suara.
Raja Maling melangkah gagah memasuki ruang 
pendopo. Tangan kanannya menggenggam Lukisan 
Darah yang telah berubah gambarnya. Bukan lagi ber-
gambar seorang wanita telanjang berwarna merah da-
rah, melainkan guratan-guratan mirip sebuah peta.
"Bagus! Aku senang sekali mendengar keberha-
silanmu. Lekaslah kau mendekat, Raja Maling!" kata 
Pangeran Pemimpin.
Sambil melangkah lebar mendekati Pangeran 
Pemimpin, Raja Maling terus mengumbar tawanya.
Lalu dengan membusungkan dada, Raja Maling 
menyerahkan Lukisan Darah yang telah berubah. Pan-
geran Pemimpin dan Pelajar Agung yang duduk ber-
dampingan mengamati Lukisan Darah dengan seksa-
ma. Lukisan itu memang telah berubah.
"Kalau tidak salah tonjolan besar dalam peta ini 
adalah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Aku ya-
kin ini. Lalu...."
"Salah, Pangeran. Tonjolan besar dalam lukisan 
itu bukanlah gambar Gunung Merbabu atau Merapi. 
Cobalah Pangeran amati tonjolan-tonjolan kecil di seki-
tar tonjolan besar sebelah kiri. Apa di sekitar Gunung 
Merapi maupun Gunung Merbabu ada gunung-gunung 
kecil seperti dalam gambar?" kata Raja Maling tiba

tiba.
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung men-
dongakkan kepala. Sepasang matanya memperhatikan 
Raja Maling. Diperhatikan seperti itu, Raja Maling ma-
lah mengumbar tawa.
"Kalau bukan Gunung Merapi dan Merbabu, la-
lu gunung apa lagi, Raja Maling? Kau jangan seenak-
nya menafsirkan rahasia peta ini!" hardik Pangeran 
Pemimpin tak suka.
Raja Maling tersenyum-senyum kecil. Bibirnya 
sedikit mencibir sinis, seolah hanya dia seorang yang 
tahu rahasia itu.
"Kukira tidak percuma Pangeran Pemimpin 
memiliki pembantu seperti aku. Apa Pangeran lupa 
siapa aku. Raja Maling, murid Maling Tanpa Bayangan 
yang kesohor itu. Sudah pasti aku tahu rahasia dalam 
peta Lukisan Darah," kata Raja Maling ringan sekali.
"Kenapa tidak lekas kau katakan, Raja Maling!" 
tukas Iblis Muka Merah kesal melihat tingkah Raja 
Maling.
"Memang aku ingin mengatakannya, tapi kau 
keburu menyela!" Sepasang mata Raja Maling yang 
berwarna merah saga berkilat-kilat memandangi Iblis 
Muka Merah. Namun Iblis Muka Merah tidak takut 
melihat kemarahan Raja Maling.
"Sudahlah. Kenapa kalian bersitegang begini?" 
tegur Pangeran Pemimpin. "Sekarang kalau kau tahu 
lekas katakan gunung apa yang terdapat dalam peta 
ini, Raja Maling."
"Baik," Raja Maling melangkah lebar mendekati 
Pangeran Pemimpin. "Coba perhatikan tonjolan-
tonjolan kecil di sekitar tonjolan besar ini, Pangeran. 
Apa tonjolan ini bukan menunjukkan Gunung Sindo-
ro? Sedang di sebelah kanannya adalah Gunung 
Sumbing."

"Hm...," Pangeran Pemimpin mengangguk-
anggukkan kepala. Dari raut wajahnya nampak kalau 
Pangeran Pemimpin belum puas dengan penjelasan 
tersebut. "Lalu, tonjolan-tonjolan kecil ini menunjuk-
kan gunung apa?"
"Tonjolan yang agak besar ini pasti Gunung 
Kembang. Sedang tonjolan yang kecil ini tidak lain Gu-
nung Batu. Kemungkinan besar letak harta karun be-
rada di sekitar Gunung Kembang. Coba perhatikan 
tanda anak panah kecil yang menunjuk ke tonjolan 
Gunung Kembang ini." 
"Hm... Ya ya...."
"Kalau begitu sudah jelas. Sekarang kita bisa 
lekas ke sana untuk mendapatkan harta karun," kata 
Pelajar Agung menukas.
"Bukan begitu persoalannya," sahut Raja Mal-
ing. "Sekarang pun kita bisa berangkat mencari harta 
karun. Tapi apa kita tidak ingin mendapat petunjuk 
yang lebih jelas?"
"Apakah kau mendapat petunjuk lain, Raja 
Maling?"
"Tadi aku sudah meneliti Lukisan Darah ini. 
Dan aku sedikit mendapat petunjuk. Cobalah buka li-
patan kecil yang tersembunyi di belakang lukisan, 
Pangeran. Mungkin petunjuk itu yang dapat memban-
tu kita mendapatkan harta karun."
Pangeran Pemimpin buru-buru membuka lipa-
tan kecil yang ditunjukkan Raja Maling. Jari-jari tan-
gannya sedikit gemetaran waktu membuka lipatan di 
belakang lukisan. Seketika sepasang mata Pangeran 
Pemimpin membelalak lebar.
"Apa maksudnya ini, Raja Maling? Kenapa 
hanya bertuliskan 'Penguasa Alam'?"
Raja Maling tersenyum.
"Apakah Pangeran belum pernah mendengar ju

lukan Penguasa Alam. Dia seorang tokoh sakti yang 
sulit sekali dicari tandingannya. Penguasa Alam-lah 
yang mengetahui di mana harta karun berada. Dialah 
kunci terakhir untuk mendapatkan harta karun ini, 
Pangeran."
"Kita bujuk saja dia. Siapa tahu mau?" kata 
Pangeran Pemimpin bersemangat. "Sebelumnya aku 
mengucapkan terima kasih atas semua keteranganmu 
ini, Raja Maling. Kalau perjuangan kita berhasil aku 
berjanji akan mengangkatmu menjadi pejabat tinggi. 
Kau boleh menunjuk wanita mana saja untuk dijadi-
kan selir," lanjut Pangeran Pemimpin menambahi.
Raja Maling tertawa bergelak. Sepasang ma-
tanya yang berkilat-kilat jelas menunjukkan kalau mu-
rid Maling Tanpa Bayangan itu senang sekali dengan 
tawaran Pangeran Pemimpin. Raja Maling jadi menelan 
ludah membayangkan beberapa orang selir yang can-
tik-cantik tengah mengerumuni dirinya.
"Aku tahu, Pangeran. Tapi bukan itu persoa-
lannya. Yang jelas, sekarang kita harus mendapatkan 
harta karun itu secepatnya."
"Memang itulah yang kuinginkan, Raja Maling."
"Dan itu tidak mudah. Di samping Penguasa 
Alam memiliki hati yang kejam luar biasa. Dia pun 
memiliki kesaktian hebat."
"Setan alas! Kau tidak memandang sebelah ma-
ta padaku, Raja Maling!" bentak Pelajar Agung tiba-
tiba. Ia yang memiliki watak tinggi hati tak mau dika-
lahkan oleh siapa pun. Rasanya sudah tidak sabar lagi 
untuk segera berhadapan dengan Penguasa Alam.
"Aku percaya. Kau memang memiliki kepan-
daian hebat, Pelajar Agung. Tapi kalau berhadapan 
dengan Penguasa Alam, aku ragu. Apakah kau dapat 
mengatasi Penguasa Alam? Kau akan tewas di tangan-
nya," sahut Raja Maling sinis.

Bukan main geramnya hati Pelajar Agung. Jari-
jari tangannya mencengkeram lengan kursi kuat-kuat. 
Seketika terdengar bunyi kayu jati hancur diiringi 
mengepulkan asap putih.
"Sekali lagi kau berkata seperti itu, kupecahkan 
batok kepalamu, Raja Maling! Aku, Pelajar Agung, se-
dikit pun tidak gentar menghadapi Penguasa Alam. 
Untuk membuktikannya sekarang juga aku akan men-
cari Penguasa Alam dan merampas harta karun yang 
kita butuhkan darinya!"
Habis berkata, Pelajar Agung berkelebat keluar 
dari ruangan pendopo. Pangeran Pemimpin gelisah se-
kali setelah teriakannya untuk mencegah tidak di-
gubris oleh Pelajar Agung.
"Cepat ikuti dia. Aku khawatir ia akan menda-
pat celaka di tangan Penguasa Alam!" perintah Pange-
ran Pemimpin.
"Baik," sahut Iblis Muka Merah dan Setan 
Mayat Merah bersamaan. Dengan menggunakan ilmu 
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat 
tinggi, kedua tokoh sesat itu berkelebat menyusul Pela-
jar Agung.
Tidak demikian dengan Raja Maling. Ia yang 
gemas sekali dengan sifat tinggi hati Pelajar Agung 
hanya memandangi kepergiannya.
"Kenapa kau tidak turut membantu Pelajar 
Agung, Raja Maling?" tegur Pangeran Pemimpin.
"Terus terang aku muak sekali melihat ting-
kahnya. Tapi kalau memang Pangeran memerintahkan, 
dengan senang hati aku akan menyusul manusia pon-
gah itu!" kata Raja Maling ketus.
"Kalau begitu, lekaslah kau pergi!"
"Baik."
***

SEBELAS

Malam masih menyelimuti bumi. Di belahan 
langit sebelah barat cahaya bulan purnama mulai me-
redup. Tiada kegairahan yang terpancar dari suasana 
malam itu. Sementara angin seolah malas berhembus, 
hingga membuat suasana malam bertambah lengang.
Dalam kegelapan malam, sesosok tubuh berpa-
kaian serba hitam berkelebat cepat di antara kerapa-
tan pohon di luar Kadipaten Pleret. Entah kenapa 
mendadak sosok bayangan itu menghentikan langkah-
nya. Wajahnya yang tua tampak demikian gelisah. Ke-
dua bibirnya pun berkemik-kemik.
"Keparat! Kalau begini caranya aku bisa mati 
penasaran. Aku harus memeriksa kebenaran itu. Ka-
lau memang muridku yang bergelar Pelajar Agung te-
lah berbuat kesalahan, maka akulah orang pertama 
yang akan memecahkan batok kepalanya," gumam so-
sok berjubah hitam yang tidak lain Pendidik Ulung. 
"Aku harus menangguhkan urusanku untuk menemui 
Ki Rombeng. Aku tak mungkin membiarkan begitu saja 
sepak terjang muridku."
Pendidik Ulung kembali menjejakkan kakinya 
ke tanah dan berkelebat cepat meninggalkan tempat 
itu. Gerakan kedua kakinya ringan sekali laksana ter-
bang. Dalam beberapa kelebatan saja sosok tinggi ku-
rus Pendidik Ulung telah hilang di balik kerapatan po-
hon.
***
Sosok Pendidik Ulung berkelebatan dari dahan 
pohon yang satu ke pohon lain. Sebagai seorang tokoh 
tua yang sudah kenyang malang melintang di dunia

persilatan, Pendidik Ulung tentu tak mau melakukan 
perjalanan melalui bawah. Apalagi perjalanan malam 
itu memasuki markas Partai Kawula Sejati.
Pendidik Ulung sadar benar tentu di seputar 
markas telah ditebar banyak jebakan. Dan ia tidak 
mau terkecoh oleh jebakan-jebakan itu. Atas dasar 
perhitungan itulah Pendidik Ulung melakukan perjala-
nan melalui jalan atas.
Pendidik Ulung makin bergerak masuk ke da-
lam hutan. Tiba-tiba sepasang mata Pendidik Ulung 
bersinar terang. Tak jauh di hadapannya tampak lima 
buah bangunan megah di atas tanah rerumputan. Di 
sekitar bangunan berpuluh-puluh anak buah Partai 
Kawula Sejati tengah berjaga-jaga dengan senjata di 
tangan.
Pendidik Ulung memperhatikan keadaan seki-
tar. Lalu sosok tinggi kurus itu berkelebat menuju ha-
laman depan markas Partai Kawula Sejati. Beberapa 
anggota Partai Kawula Sejati yang tengah berjaga-jaga 
tersentak kaget. Ketika menyadari kemunculan orang 
asing yang belum dikenal, mereka segera mengurung 
Pendidik Ulung.
"Siapa kau? Berani kau memasuki markas Par-
tai Kawula Sejati, he?!"
"Minggir! Aku tak ada urusan dengan cecurut 
macam kalian. Aku ingin bertemu dengan muridku 
yang bergelar Pelajar Agung!" bentak Pendidik Ulung 
tak kalah garang.
Para anggota Partai Kawula Sejati itu melengak 
kaget. Di saat mereka tertegun inilah Pendidik Ulung 
berteriak lantang.
"Pelajar Agung! Keluar kau! Aku, Pendidik 
Ulung, ingin meminta pertanggungjawaban mu!"
Tak ada sahutan. Para anggota Partai Kawula 
Sejati semakin curiga. Kalau mengaku gurunya, mengapa Pendidik Ulung ingin meminta pertanggung-
jawaban muridnya? Dan kalau hanya meminta per-
tanggungjawaban karena Pelajar Agung telah berseku-
tu dengan Pangeran Pemimpin, jelas Pendidik Ulung 
mempunyai maksud tidak baik terhadap Partai Kawula 
Sejati. Begitu antara lain kesimpulan anak buah Pan-
geran Pemimpin.
"Setan alas! Jadi benar kau telah bersekongkol 
dengan kaum pemberontak, Pelajar Agung!" bentak 
Pendidik Ulung lagi. Suaranya bergema memenuhi se-
genap penjuru.
Sayang, kembali tidak terdengar sahutan dari 
Pelajar Agung. Pendidik Ulung marah bukan main. 
Jangankan menampakkan diri untuk menemuinya, Pe-
lajar Agung menyahuti teriakannya pun tidak.
"Keparat! Berani kau tidak mempedulikan 
panggilanku, Murid Murtad! Baik kalau begitu. Aku 
yakin kini kau pasti telah bersekongkol dengan manu-
sia-manusia pemberontak. Patut kau ketahui, Murid 
Murtad! Akulah orang pertama yang akan memenggal 
kepalamu!"
"Jangan bodoh, Orang Tua! Kau bisa apa hing-
ga berani mengacau di tempat ini!" bentak seseorang 
dari samping.
Dia seorang laki-laki berusia empat puluh ta-
hunan. Wajahnya garang. Rambutnya yang hitam pan-
jang digelung ke atas. Laki-laki itu mengenakan jubah 
besar berwarna kuning.
Di kanan kiri laki-laki berjubah kuning berdiri 
dua orang kakek berusia enam puluh tahunan. Yang 
sebelah kanan seorang kakek bermata juling. Tubuh-
nya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna hi-
tam. Sedang di sebelah kiri berdiri kakek bercodet 
memanjang di pipi. Ia mengenakan ikat kepala biru 
serta jubah besar yang juga berwarna biru.

Pendidik Ulung kaget bukan main melihat keti-
ga orang laki-laki itu. Menilik pakaiannya jelas mereka 
bukanlah anggota Partai Kawula Sejati. Mereka ada-
lah sekutu Pangeran Pemimpin yang terdiri dari tokoh-
tokoh sesat dunia persilatan. Tak jauh dari ketiga 
orang tokoh sesat itu tampak pula Algojo Dari Timur, 
Denok Supi, Raja Golok Dari Utara, serta Raja Racun 
Dari Selatan.
"Hm...! Tak kusangka di tempat ini banyak ber-
kumpul tokoh-tokoh sesat dunia persilatan. Tampak-
nya aku harus berhati-hati. Untuk menghadapi mere-
ka satu persatu mungkin aku masih dapat melayani. 
Namun kalau maju bersama, inilah yang merepotkan-
ku," gumam Pendidik Ulung dalam hati.
"Tua bangka tak tahu diri. Berhubung kau te-
lah mengotori tempat ini, maka nyawamulah tebusan-
nya!" bentak pimpinan anak buah Partai Kawula Sejati.
"Hm.... Pemberontak-pemberontak kecil. Ming-
girlah kalian semua. Aku tidak ada urusan dengan ka-
lian. Aku hanya ingin menemui muridku Pelajar 
Agung. Benarkah muridku telah bersekongkol dengan 
ketua Partai Kawula Sejati?" kata Pendidik Ulung den-
gan menahan gejolak amarah.
"Kalau memang iya, kau mau apa, he?!"
"Bagus! Kalau begitu kabar yang kuterima me-
mang benar adanya. Sekarang cepat suruh keluar ma-
nusia durjana yang bergelar Pelajar Agung!" kali ini 
Pendidik Ulung tak dapat mengendalikan amarahnya 
lagi.
"Tua bangka sepertimu mana pantas menemui 
wakil ketua. Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. 
Atau, barangkali kau sudah bosan hidup?!" bentak to-
koh sesat dunia persilatan yang mengenakan jubah 
kuning.
"Tidak ada satu manusia pun yang bosan hi

dup. Apalagi aku. Cepat suruh keluar murid murtad 
itu. Mumpung kesabaranku belum habis!" Pendidik 
Ulung semakin tak sabar.
"Kau memang benar-benar ingin mencari mati, 
Orang Tua! Makanlah rantai bajaku! Hea...!"
Dikawal dengan bentakan nyaring, tokoh sesat 
berjubah kuning yang bergelar Rantai Kumala Kuning 
segera menerjang Pendidik Ulung. Rantai bajanya yang 
berwarna kuning menyambar-nyambar ganas diiringi 
berkesiurnya angin kencang. Bersamaan dengan ber-
kelebatnya rantai baja di tangan Rantai Kumala Kun-
ing, beberapa anak buah Pangeran Pemimpin serentak 
menyerang Pendidik Ulung.
Melihat datangnya serangan, Pendidik Ulung 
tak segan-segan lagi segera bertindak. Sekali kakinya 
dihentakkan ke tanah, tubuh tinggi kurus itu bergerak 
cepat laksana kilat. Jari-jari tangannya terkembang 
untuk melontarkan totokan 'Jari-jari Putih Dewa 
Kayangan'.
Tukkk! Tukkk!
Totokan jari-jari Pendidik Ulung telak mengenai 
dada dua orang anak buah Pangeran Pemimpin. Seke-
tika keduanya memekik setinggi langit. Tubuh mereka 
limbung ke kiri dengan dada berlobang. Dan bilamana 
kedua anak buah Pangeran Pemimpin itu jatuh berge-
debukan di tanah maka dapat dipastikan keduanya 
meregang nyawa.
"Setan alas! Berani kau membunuh dua orang 
anggota kami. Rasakan pembalasanku!" geram pimpi-
nan anak buah Pangeran Pemimpin.
Laki-laki berusia empat puluh tahunan itu 
kembali menerjang Pendidik Ulung. Pedang di tangan 
kanannya digerakkan sedemikian rupa seolah-olah in-
gin membelah tubuh Pendidik Ulung menjadi dua ba-
gian. Sedang tangan kirinya siap pula melontarkan

pukulan maut.
"Hea...! Hea...!"
Pendidik Ulung sedikit menggeser tubuh ke
samping hingga serangan itu hanya menemui angin 
kosong. Kemudian Pendidik Ulung melontarkan ten-
dangan samping kanannya ke dada lawan.
Bukkk!
Telak sekali tendangan tersebut mendarat di 
dada lawan. Darah segar menyembur dari mulut pim-
pinan anak buah Pangeran Pemimpin. Sedang tubuh-
nya yang masih melayang di udara terus meluncur ke 
belakang.
Bukan main marahnya para tokoh sesat dunia 
persilatan yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin. 
Tanpa diperintah, mereka segera menerjang Pendidik 
Ulung. Menghadapi serangan yang datangnya laksana 
banjir bandang, Pendidik Ulung mengeluarkan jurus 
andalannya 'Tangan Maut Dewa Kayangan'. Seketika 
kedua telapak tangan Pendidik Ulung berubah putih 
berkilauan. Dengan menggunakan jurus 'Tangan Maut 
Dewa Kayangan' inilah Pendidik Ulung balik menye-
rang para pengeroyoknya.
Sayang, serangan balik Pendidik Ulung hanya 
sebentar saja dapat mengatasi gempuran lawan. Bebe-
rapa jurus kemudian Pendidik Ulung mulai kewalahan. 
Apalagi saat itu Algojo Dari Timur, Denok Supi, Raja 
Golok, dan Raja Racun Dari Selatan turut mengeroyok. 
Tanpa ampun lagi tubuh tinggi kurus Pendidik Ulung 
dipaksa berjumpalitan di udara menghindari gempu-
ran-gempuran lawan. Bahkan tak jarang tubuhnya 
terkena serangan lawan pada bagian-bagian yang me-
matikan. Untung saja tenaga dalam Pendidik Ulung 
cukup tinggi. Kalau tidak, bukan mustahil orang tua 
itu sudah menemui ajal di tangan para pengeroyoknya.
"Bertobatlah pada malaikat maut sebelum nya


wa busukmu kukirim ke dasar neraka, Pendidik 
Ulung!" ejek Raja Racun memerahkan telinga lawan.
Pendidik Ulung hanya tertawa sumbang men-
dengar ejekan Raja Racun. Meski ia tengah sibuk 
menghadapi gempuran, sepasang matanya terus men-
cari-cari sosok muridnya. Tapi sosok Pelajar Agung be-
lum juga menampakkan batang hidungnya. Pendidik 
Ulung geram bukan main. Dengan kemarahan meluap 
kemudian dilancarkannya serangan balik melalui jurus 
pamungkas ‘Tulisan Maut Dewa Kayangan’ yang diga-
bungkan dengan totokan 'Jari-jari Putih Dewa Kayan-
gan'.
"Tahan senjata! Tua bangka ini bukanlah uru-
san kalian!"
***
Pendidik Ulung melengak kaget. Ia amat men-
genal pemilik suara bentakan itu. Ketika memalingkan 
kepala ke arah datangnya suara, Pendidik Ulung pun 
menggeram penuh kemarahan.
Dari arah pintu pendopo markas Partai Kawula 
Sejati sosok Pelajar Agung melangkah mendekati tem-
pat pertarungan dengan lagaknya yang angkuh. Ia saat 
itu keluar dari markas Partai Kawula Sejati untuk me-
nemui Penguasa Alam. Niatnya jadi diurungkan begitu 
melihat sosok gurunya tengah dikeroyok beberapa to-
koh sesat dunia persilatan.
"Apa kau bilang, Prameswara? Kau memanggil-
ku tua bangka?!" tegur Pendidik Ulung dengan kening 
berkerut.
Prameswara alias Pelajar Agung hanya terse-
nyum sinis. Tangan kanannya dikibaskan ke samping, 
mengisyaratkan pada tokoh-tokoh sesat yang tengah 
mengeroyok Pendidik Ulung untuk menyingkir.

"Memangnya kenapa? Kenyataannya kau sudah 
tua bangka!" kata Pelajar Agung menyakitkan.
"Haram jadah! Jadi benar kau sudah membe-
rontak, Bocah?!" geram Pendidik Ulung dengan gigi 
bergemeletukkan.
"Tidak usah banyak bacot, Orang Tua. Kalau 
saja kau bukan guruku, sudah kupenggal batang le-
hermu!"
"Setan alas! Tak kusangka kau akan tersesat 
sejauh ini! Akulah orang yang akan memenggal batang 
lehermu. Hayo, lekas cabut senjatamu. Atau kau ingin 
mengandalkan pengeroyokan?!" ejek Pendidik Ulung 
memanas-manasi.
"Jangan banyak bacot. Kedua tanganku ini ma-
sih sanggup untuk meremukkan batok kepalamu!"
"Bagus! Kalau begitu terimalah kematianmu 
hari ini, Bocah!"
Pendidik Ulung segera memainkan jurus anda-
lan 'Tulisan Maut Dewa Kayangan' yang semula hen-
dak digunakan untuk menyerang para pengeroyoknya. 
Dengan menggunakan senjata sepasang pena, Pendi-
dik Ulung mulai memainkan jurus pertama. Pena di 
tangan kanannya bergerak lemah gemulai dari kanan 
ke kiri. Pena di tangan kiri bergerak dari kiri ke kanan 
membentuk sebuah huruf gaib yang hanya diketahui 
Pendidik Ulung dan Pelajar Agung.
Melihat Pendidik Ulung mengeluarkan jurus 
andalannya, tanpa banyak pikir lagi Pelajar Agung 
mengeluarkan jurus yang sama. Kedua telunjuk Pela-
jar Agung menggurat di udara. Terdengarlah bunyi 
men-cicit yang teramat memekakkan telinga. Dan saat 
kedua ujung pena Pendidik Ulung menyatu, selarik si-
nar putih yang berkilauan melesat cepat menyerang 
Pelajar Agung.
Pelajar Agung mengeretakkan gerahamnya penuh kemarahan. Kedua telunjuk jarinya buru-buru 
disatukan. Seketika itu tampak pula selarik sinar pu-
tih berkilauan melesat cepat memapaki serangan gu-
runya.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam 
itu. Bumi berguncang hebat laksana dilanda gempa. 
Dinding-dinding markas Partai Kawula Sejati bergetar 
hebat.
Sewaktu terjadi bentrokan di udara, tubuh 
tinggi kekar Pelajar Agung terlempar beberapa tombak 
ke belakang. Parasnya pucat pasi. Darah segar mem-
basahi sudut-sudut bibir. Agaknya murid durhaka 
Pendekar Kujang Emas itu menderita luka dalam cu-
kup parah.
Dan apa yang dialami Pelajar Agung juga me-
nimpa Pendidik Ulung. Namun keadaan Pendidik 
Ulung sedikit lebih beruntung. Tubuh Pendidik Ulung 
hanya terjajar beberapa langkah ke belakang dengan 
paras pias. Beberapa saat kemudian Pendidik Ulung 
sudah dapat mengendalikan keseimbangan tubuhnya. 
Pendidik Ulung kembali menggurat-guratkan kedua 
ujung penanya di udara. Kali ini gerakan kedua pe-
nanya tampak demikian lamban. Namun anehnya ter-
dengar suara mencicit dari guratan pena Pendidik 
Ulung. Itulah jurus kedua dari rangkaian jurus 
'Tulisan Maut Dewa Kayangan'.
"Terimalah kematianmu hari ini, Bocah. Aku 
tak segan-segan lagi untuk membunuhmu. Dulu kau 
berjanji akan mematuhi segala pesanku. Tapi apa yang 
kau janjikan hanyalah omong kosong. Hayo, maju! Le-
kas hadapi gurumu!"
Prameswara mengeretakkan geraham penuh 
kemarahan.


"Hm...! Tak mungkin aku menghadapi tua 
bangka ini dengan jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayan-
gan'. Dia lebih ahli dibandingkan aku. Tak ada pilihan 
lain. Terpaksa aku harus mengeluarkan ilmu yang te-
lah kupelajari dari mendiang guruku Manusia Rambut 
Merah!" gumam Pelajar Agung dalam hati.
Tanpa banyak cakap Pelajar Agung segera men-
gerahkan ilmu 'Amblas Bumi'. Prameswara yang kini 
bergelar Pelajar Agung memutar tubuhnya laksana 
gasing. Seketika tanah di sekitar Pelajar Agung mem-
buncah tinggi ke udara begitu tubuh tinggi kekarnya 
cepat amblas ke dalam bumi.
Pendidik Ulung dan semua yang berada di ha-
laman depan markas Partai Kawula Sejati berdecak 
penuh kagum. Beberapa saat tidak ada tanda-tanda 
kalau Pelajar Agung akan melakukan serangan. Meski 
demikian, Pendidik Ulung tetap waspada.
Manakala dilihatnya gundukan tanah di hada-
pannya bergerak cepat menuju dirinya, Pendidik Ulung 
melontarkan pukulan maut ke arah gundukan tanah 
yang bergerak itu.
Bummm...!
Gundukan tanah di hadapan Pendidik Ulung 
membuncah tinggi ke udara dan membentuk lobang 
yang cukup dalam. Namun dalam lekukan tanah yang 
berlobang Pendidik Ulung tidak menemukan sosok Pe-
lajar Agung. Pendidik Ulung gusar bukan main. Kedua 
telapak tangannya makin putih berkilauan sampai ke 
pangkal siku. Agaknya Pendidik Ulung telah menge-
rahkan seluruh tenaga dalamnya.
Tiba-tiba tanah di hadapan Pendidik Ulung 
membuncah tinggi ke udara. Bersamaan dengan itu 
tubuh Pelajar Agung menyembul dari dalam tanah 
dengan kedua telapak tangan siap melontarkan puku-
lan 'Cahaya Kilat Biru'.

Pendidik Ulung kaget bukan main. Untung saja 
indera keenamnya cukup tajam. Secepat kilat dilontar-
kannya pukulan 'Tangan Penggebuk Dewa'. Dua larik 
sinar putih berkilauan dari kedua telapak tangan Pen-
didik Ulung melesat cepat ke depan.
Bummm...!!!
Bumi bergetar hebat. Ranting-ranting pohon di 
sekitar tempat pertarungan hangus terbakar. Bak 
layangan putus benangnya, tubuh Pelajar Agung lang-
sung limbung ke samping dan tak dapat bangun lagi. 
Pingsan!
Pendidik Ulung sendiri tak dapat mengendali-
kan keseimbangan tubuhnya. Dadanya terguncang he-
bat serasa mau jebol. Pada saat Pendidik Ulung kehi-
langan keseimbangan badan mendadak serangkum 
angin dingin yang datangnya dari belakang telah me-
nyambar tubuh. Pendidik Ulung berusaha mengelak. 
Sayang, gerakan tubuhnya kurang cepat. Tanpa am-
pun lagi dadanya terkena sambaran angin dingin itu!
Bukkk! Bukkk!
Pendidik Ulung menggembor keras-keras. Tu-
buhnya terpental beberapa tombak ke belakang dan ja-
tuh berdebam di tanah. Kakek itu mengeretakkan ge-
rahamnya penuh kemarahan. Sambil memegangi da-
danya yang serasa mau pecah, sepasang mata tajam 
Pendidik Ulung memperhatikan sosok tubuh di hada-
pannya.
"Pembokong keparat! Rasakan pembalasanku!"
***
Sosok di hadapan Pendidik Ulung hanya terta-
wa bergelak. Ia adalah seorang laki-laki gagah berusia 
empat puluh tahunan. Tubuhnya tinggi kekar dibalut 
pakaian bangsawan Jawa. Siapa lagi sosok itu kalau

bukan Ketua Partai Kawula Sejati yang bergelar Pange-
ran Pemimpin.
"Bagaimana mungkin kau dapat membalasku 
kalau membawa tubuhmu saja masih susah payah!" 
ejek Pangeran Pemimpin.
Dan kenyataannya memang demikian. Begitu 
Pendidik Ulung ingin melontarkan pukulan 'Tangan 
Penggebuk Dewa', mendadak ia muntah darah. Perla-
han-lahan tubuhnya luruh ke tanah. Meski demikian 
Pendidik Ulung berusaha tetap tegak di tempatnya. 
Namun Pangeran Pemimpin melontarkan totokannya 
dengan kecepatan kilat.
Tukkk! Tukkk!
Tanpa ampun tubuh Pendidik Ulung yang ten-
gah sekarat terpelanting ke tanah dan tak dapat berge-
rak lagi. Sepasang matanya yang mencorong tajam te-
rus memperhatikan Pangeran Pemimpin penuh keben-
cian.
Pangeran Pemimpin tersenyum Sinis.
"Seret tua bangka ini ke kamar tahanan!" perin-
tah Pangeran Pemimpin pada beberapa orang anak 
buahnya.
"Kenapa tidak kita habisi saja tua bangka ini, 
Ketua?" kata Setan Mayat Merah mengusulkan.
"Iya, Ketua! Kenapa tidak kita habisi saja tua 
bangka ini? Nanti malah jadi batu sandungan di ke-
mudian hari!" tambah Iblis Muka Merah.
Pangeran Pemimpin menggelengkan kepala. 
Saat itu akalnya yang licik telah mendapatkan satu 
rencana. Dan ia yakin akan berhasil dengan renca-
nanya tersebut.
"Tidak! Sayang sekali kalau orang sehebat itu 
dihabisi begitu saja. Sebenarnya saat ini aku memang 
ingin membunuhnya. Tapi terpaksa aku harus mengu-
rungkan niatku. Aku lebih senang memanfaatkan tua

bangka itu!" kata Pangeran Pemimpin. Lalu disusul 
dengan senyumnya yang licik.
"Kalau boleh tahu rencana apa itu, Ketua?" Se-
tan Mayat Merah kembali membuka suara.
"Nanti. Nanti aku terangkan. Sekarang lekas se-
ret tua bangka itu ke kamar tahanan. Yang lainnya se-
gera mengobati teman kita yang terluka."
"Baik."
Beberapa anak buah Pangeran Pemimpin sege-
ra menyeret tubuh Pendidik Ulung ke kamar tahanan. 
Yang lainnya membawa para anggota Partai Kawula 
Sejati yang terluka ke dalam markas.
Pangeran Pemimpin melambaikan tangan ka-
nannya ke arah Raja Racun. Raja Racun buru-buru 
menghampiri sekutunya.
"Ada yang bisa kubantu, Pangeran?"
"Hm.... Ya ya...," ujar Pangeran Pemimpin. "To-
long persiapkan racun yang dapat mempengaruhi jalan 
pikiran seseorang, Raja Racun."
"Tampaknya kau serius sekali dalam masalah 
ini, Pangeran. Apakah kau tengah merencanakan se-
suatu?"
"Aku ingin mendapatkan harta karun itu sece-
patnya. Untuk itu aku harus memanfaatkan tua bang-
ka tadi. Kulihat kepandaiannya tinggi sekali. Mungkin 
ia dapat melumpuhkan Penguasa Alam."
"Ah...! Kau licik sekali, Pangeran. Tak kusangka 
otakmu demikian liciknya. Baik-baik. Dengan senang 
hati aku akan membantumu, Pangeran!" sahut Raja 
Racun bersemangat.
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Laki-laki 
berpakaian bangsawan Jawa itu senang sekali. Tu-
buhnya berguncang-guncang di antara suara tawanya 
yang membahana memenuhi angkasa raya.

SELESAI

Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode :

PENGUASA ALAM
















 


Share:

0 comments:

Posting Komentar