..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 23 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE LEMBAH KODOK PERAK

Lembah Kodok Perak


 Hak cipta dan copy right pada 

penerbit dibawah lindungan 

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


1

Ribuan ular emas di dalam kubangan lo-

rong bawah tanah Istana Ular Emas semakin 

mendekati Siluman Ular Putih dan Angkin Pem-

bawa Maut. Malah ada beberapa ekor ular emas 

yang kembali menggigit kaki. Maka tanpa ampun 

lagi darah segar kembali mengucur, membuat kaki 

terasa nyeri bukan main.

Soma dan Angkin Pembawa Maut meringis 

menahan sakit. Si gadis memejamkan matanya 

rapat-rapat. Kedua bibirnya kembali berkemik-

kemik melantunkan tembang-tembang kesukaan-

nya sewaktu masih kecil. Seolah-olah tidak dipe-

dulikannya lagi gigitan-gigitan ular emas yang 

mengerubungi tubuh mereka. (Untuk mengetahui, 

mengapa Siluman Ular Putih dan Angkin Pembawa 

Maut berada dalam kobakan bawah tanah di Ista-

na Ular Emas, baca episode: "Istana Ular Emas").

Kini perlahan-lahan pemuda gondrong ber-

pakaian rompi dan celana bersisik putih kepera-

kan itu mulai mengeluarkan anak panah bercakra 

kembar yang merupakan senjata pusakanya un-

tuk menghadapi serangan ular-ular emas di hada-

pannya. Aneh sekali senjata andalan pemuda mu-

rid Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Bucu 

itu. Seperti namanya, senjata pusaka itu memang 

berbentuk anak panah. Pada bagian ujungnya 

yang melengkung ke atas berbentuk kepala ular. 

Di kanan kiri kepala ular itu terdapat dua buah 

cakra kembar terbuat dari lempengan baja murni. 

Taringnya yang mencuat lurus ke depan, terbuat 

dari besi baja putih murni. Mirip sebuah pisau. 

Sedang pada bagian badan anak panah yang ber-

bentuk badan ular terdapat pula dua buah lubang 

mirip lubang suling.


Dan hebatnya lagi, begitu senjata pusaka 

itu tergenggam di tangan Soma, mendadak saja 

hawa dingin yang bukan alang kepalang mulai 

memenuhi sekitarnya. Gadis cantik dengan ram-

but terurai sebahu yang duduk di sampingnya 

sempat pula membuka kedua kelopak matanya. 

Sekujur tubuh seketika menggigil kedinginan!

"Senjata apakah itu, Soma?" tanya Angkin 

Pembawa Maut dengan mata membelalak penuh 

kagum.

Soma tidak menyahut. Malah didekatkan-

nya lubang-lubang senjata pusakanya yang mirip 

lubang suling ke dekat bibir. Dan mulai ia me-

niupnya.

Tulit... tut... tut.... Tulit...!

Ternyata, ular-ular emas itu kontan diam 

terpaku di tempatnya, tak lagi menyerang dua ca-

lon korbannya. Malah mereka menggoyang-

goyangkan kepala sambil melelet-leletkan lidah-

nya, mengikuti suara lembut dari alunan senjata 

di tangan Soma!

Angkin Pembawa Maut yang tadinya sudah 

pasrah dan putus asa terhadap serangan-

serangan ular-ular emas tadi, kini seolah menda-

pat semangat baru untuk menikmati hidup kem-

bali. Dengan perlahan-lahan dihampirinya ular-

ular emas itu. Kemudian satu persatu binatang 

melata yang terdiam itu ditangkap dan dibeset pe-

rutnya untuk diambil hatinya yang berwarna hijau 

tua, lalu dimakannya.

Gadis cantik itu tersenyum senang. Kepa-

lanya sedikit berpaling ke arah Soma yang tengah 

asyik meniup senjata pusakanya. Setelah diperha-

tikan sekian lama, Angkin Pembawa Maut telah 

mendapat satu cara untuk membagi sebagian dari 

hati ular emas itu di tangannya.


Ternyata biar bagaimanapun pendeknya 

alunan lagu yang dimainkan, tetap saja Soma ha-

rus menghela napasnya. Maka pas dalam keadaan 

demikian, Angkin Pembawa Maut cepat meman-

faatkan waktu yang pendek itu untuk menjejalkan 

hati ular-ular emas itu ke mulut Soma.

Dan untuk memakan hati ular emas yang 

amis itu memang bukanlah sesuatu yang mudah. 

Apalagi, Siluman Ular Putih tidak boleh menahan 

alunan merdu dari senjata pusaka di tangannya 

terlalu lama, agar ular-ular emas beringas itu ti-

dak lagi menyerang.

Begitu melihat Angkin Pembawa Maut me-

nyodorkan hati ular emas di tangannya ke dekat 

mulutnya, Soma buru-buru menelannya. Sehing-

ga, ia hanya sebentar saja kehilangan waktu un-

tuk meniup senjata anehnya kembali.

Maka dalam waktu yang tidak lama, kedua 

anak muda itu pun telah memakan banyak hati 

ular emas. Dan dengan sendirinya tenaga dalam 

Angkin Pembawa Maut mulai pulih seperti sedia-

kala. Malah tenaga dalamnya terasa bertambah 

beberapa kali lipat. Sementara perlahan-lahan 

Soma merasakan totokan Bunda Kurawa di pung-

gungnya pun mulai punah. Sehingga, tubuh ba-

gian bawahnya dapat digerakkan dengan leluasa!

"Angkin! Aku mulai dapat menggerakkan 

bagian bawah tubuhku!" sorak Soma, girang bu-

kan main.

"Benarkah?" sahut gadis cantik itu dengan 

mata berbinar. "Aku..., aku sendiri rasa-rasanya 

juga sudah dapat menggunakan kepandaianku la-

gi berkat hati ular emas ini, Soma."

"Ah...! Kalau begitu sebaiknya cepat ting-

galkan tempat terkutuk ini! Aku sudah muak me-

lihat bangkai-bangkai ular ini. Hayo, lekas, Ang


kin!" ajak Siluman Ular Putih. 

"Baik! Baik! Tapi, sebaiknya kau terus me-

niup senjata aneh mu agar ular-ular emas itu ti-

dak lagi menyerang!" usul Angkin Pembawa Maut.

"Tapi... tapi, sebaiknya lewat sebelah mana, 

Angkin? Jangan-jangan di luar sana Bunda Kura-

wa dan murid-muridnya sudah menunggu keda-

tangan kita?" tukas Soma cemas.

"Hm..., ya! Aku mengerti. Tapi, sebaiknya 

cepat keluar dari kubangan maut ini terlebih da-

hulu, Soma!"

"Baik"

Tanpa banyak cakap lagi, Siluman Ular Pu-

tih dan Angkin Pembawa Maut segera menjejakkan 

kedua kakinya dengan menggunakan ilmu merin-

gankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat 

tinggi. Tubuh mereka kontan melayang, dan ak-

hirnya mendarat di bibir kubangan.

Sejenak Soma melongokkan kepalanya ke 

bawah. Pemuda ini langsung bergidik ngeri. Dili-

hatnya di bawah kubangan sana berpuluh-puluh 

ular emas yang mati terbeset perutnya kini tengah 

menjadi santapan kawan-kawannya.

"Soma! Lekas kita tinggalkan tempat ini!" 

ajak Angkin Pembawa Maut, sedikit berteriak.

Kepala Soma terangguk-angguk. Senjata 

pusakanya yang masih tergenggam di tangan ka-

nan buru-buru diselipkan ke pinggang. Kemudian 

dengan mengikuti langkah Angkin Pembawa Maut, 

Siluman Ular Putih segera melangkah lebar.

Begitu Angkin Pembawa Maut membuka 

pintu batu di hadapannya, maka tampaklah se-

buah lorong kecil yang entah menembus ke mana. 

Namun gadis itu terus meneruskan langkahnya 

masuk ke dalam lorong.

Keadaan lorong memang cukup gelap. Le


barnya pun hanya cukup untuk seorang. Angkin 

Pembawa Maut tahu kalau, itulah satu-satunya ja-

lan tembus menuju halaman belakang Istana Ular 

Emas.

"Sebenarnya lorong ini akan tembus ke 

mana, Angkin?" tanya Soma ingin tahu.

"Sebentar lagi kita akan sampai di halaman 

belakang Istana Ular Emas ini."

"Hm..., begitu," sahut pemuda gondrong di 

belakang Angkin Pembawa maut. 

Angkin Pembawa Maut terus saja menyu-

suri lorong. Dan akhirnya samar-samar mereka 

melihat tampak seberkas cahaya dari balik sebuah 

lubang di kejauhan sana. Dengan perasaan se-

nang bukan main, si gadis mempercepat langkah-

nya menuju cahaya samar-samar di depannya.

Selang beberapa saat, kedua anak muda 

itu pun sampai di depan sebuah mulut lorong 

yang tembus di halaman belakang Istana Ular 

Emas. Tanpa banyak pikir panjang lagi mereka 

pun bergegas keluar. Namun baru saja menjejak-

kan kakinya di luar lorong, mendadak....

"Hebat! Hebat! Tak kusangka kalian dapat 

lolos dari Ular-Ular Emasku. Tapi, jangan harap 

kalian dapat keluar dari Istana Ular Emas ini den-

gan selamat! Bersiaplah menerima kematian ka-

lian hari ini!"

***

Soma dan Angkin Pembawa Maut terkejut 

bukan main ketika tahu-tahu telah berlompatan 

beberapa sosok tubuh ramping berpakaian kuning 

keemasan. Orang yang menegur barusan adalah 

seorang perempuan cantik berusia kira-kira lima 

puluh lima tahun. Meski demikian, wajahnya ma


sih tetap kelihatan cantik seperti baru berusia tiga 

puluh tahun saja. Kulit wajahnya putih bersih. 

Sepasang matanya tajam. Hidungnya mancung. 

Bibirnya tipis berwarna merah. Rambutnya yang 

hitam panjang digelung ke atas. Sedang tubuh 

tinggi semampainya dibalut dengan pakaian indah 

terbuat dari sutera berwarna kuning keemasan. 

Dan kini perempuan cantik yang tidak lain Bunda 

Kurawa berdiri tegak di antara beberapa orang 

muridnya. Lagaknya bak seorang ratu yang ingin 

mengadili bawahannya.

"Bunda! Buat apa menghadang kami? Toh, 

di antara kita sudah tidak ada hubungan guru dan 

murid!" seru Angkin Pembawa Maut, bernada 

khawatir.

Sehabis berkata begitu Angkin Pembawa 

Maut pun segera mendekatkan kepalanya ke telin-

ga Soma.

"Cepat tinggalkan tempat ini, Soma! Jan-

gan hiraukan aku!" ujar si gadis.

Soma tersenyum nakal seraya menggaruk-

garuk kepala.

"Mendengar gertak sambal cecurut tua itu, 

mengapa mesti takut, Angkin? Justru seharusnya 

kau bersyukur dapat keluar dari kubangan manu-

sia berhati ular macam nenek-nenek cantik itu, 

Angkin!"

Merah padam wajah Bunda Kurawa men-

dengar ejekan si pemuda. Kedua pelipisnya berge-

rak-gerak pertanda wanita cantik pemilik Istana 

Ular Emas itu tak dapat lagi mengendalikan ama-

rahnya.

"Kematian sudah di depan mata masih bisa 

jual lagak di depanku!" dengus Bunda Kurawa sa-

rat ancaman.

Tangan kanan wanita ini segera memberi


isyarat pada beberapa orang muridnya untuk se-

gera menyerang Soma dan Angkin Pembawa Maut. 

Maka seketika tidak kurang dari dua puluh orang 

murid Istana Ular Emas segera melolos pedang di 

pinggang, langsung menyerang Soma dan Angkin 

Pembawa Maut.

"Dasar Manusia Pengecut! Manusia Berhati 

Ular! Beraninya main keroyokan lewat tangan mu-

rid-muridnya. Memalukan sekali! Memalukan! 

Tampangnya saja yang sok alim. Padahal hatinya 

lebih busuk daripada perampok tengik sekalipun!" 

rutuk Soma seraya berkelebat cepat di antara gu-

lungan-gulungan pedang yang menyerangnya.

Namun anehnya Bunda Kurawa yang licik 

tidak ikut menyerang Soma. Ia malah menyerang 

hebat pada Angkin Pembawa Maut. Tentu saja ga-

dis cantik yang mulai jatuh hati pada Siluman 

Ular Putin kewalahan bukan main menghadapi se-

rangan-serangan bekas gurunya. Meski kesak-

tiannya telah pulih seperti sediakala, dan bahkan 

tenaga dalamnya bertambah beberapa kali lipat, 

tetap saja berada di bawah angin.

Melihat itu Soma geram bukan main. Na-

mun, ia sendiri juga tidak mudah untuk keluar 

dari gempuran murid-murid Istana Ular Emas. 

Maka segera dikeluarkannya jurus sakti 

'Terjangan Maut Ular Putih'. Tangan kirinya yang 

sudah menjadi putih terang siap pula melancar-

kan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Sedang tan-

gan kanannya yang berwarna merah menyala su-

dah terangkum pukulan sakti 'Tenaga Inti Api'.

"Menyingkir kalian semua! Aku tidak ada 

urusan dengan kalian!" bentak Soma.

Beberapa orang murid Istana Ular Emas 

yang mengeroyok Siluman Ular Putih mana mau 

menuruti perintah itu? Malah mereka semakin


memperhebat serangan. Dan ini tentu saja mem-

buat Siluman Ular Putih jadi geram bukan main. 

Padahal ia ingin secepatnya membantu Angkin 

Pembawa Maut dalam menghadapi Bunda Kurawa!

"Baik! Baik! Kalau begitu kalian memang 

tidak tahu diuntung. Nih, makanlah jari-jari tan-

ganku!"

Saat itu juga Soma mendorongkan telapak 

tangan kirinya ke depan. Seketika itu juga berke-

lebat seleret sinar putih terang yang diiringi berke-

siurnya hawa dingin ke arah murid-murid Istana 

Ular Emas.

"Hip!"

Beberapa orang murid Istana Ular Emas 

cepat menggabungkan tenaga dalam. Dan bersa-

maan tangan mereka menghentak. 

Wesss!

Seleret sinar kuning berbau amis bukan 

kepalang meluruk cepat, memapaki seleret sinar 

putih terang dari telapak tangan kiri Siluman Ular 

Putih. Lalu.... 

Blaaarrr...! 

Terdengar letusan hebat di udara saat ter-

jadi benturan dua buah kekuatan. Siluman Ular 

Putih terhuyung beberapa langkah ke belakang. 

Darah segar langsung membasahi sudut-sudut bi-

birnya. Sementara beberapa orang murid Istana 

Ular Emas terpental laksana daun kering tertiup 

angin.

Bunda Kurawa geram bukan main. Untuk 

menjalankan rencana liciknya, tokoh dari Istana 

Ular Emas ini segera mengeluarkan jurus-jurus 

saktinya. Kedua tangannya yang telah berubah 

menjadi kuning sampai ke pangkal, cepat bergerak 

ke depan.

Splassh...!


Maka tampaklah sinar kuning keemasan 

dari kedua telapak tangan Bunda Kurawa, melu-

ruk ke tubuh Angkin Pembawa Maut itulah puku-

lan sakti 'Ular Emas' yang telah dilatihnya selama 

lebih dari dua puluh tahun.

Angkin Pembawa Maut cepat mengempos 

tubuhnya, meloncat tinggi ke udara menghindari 

serangan sehingga sinar kuning keemasan yang 

menebarkan bau amis itu terus meluruk ke bela-

kang. Dan....

Blaarrr...!

Dinding-dinding batu cadas yang terkena 

pukulan sakti 'Ular Emas' kontan hancur berkep-

ing-keping. Bumi bergetar bagai ada gempa. Po-

hon-pohon berkesiur, terkena angin sambarannya.

Sementara itu begitu serangannya hanya 

mengenai dinding-dinding batu cadas, Bunda Ku-

rawa pun berkelebat cepat bukan main. Jari-jari 

tangannya telah terkembang, siap menghantam 

beberapa jalan darah di tubuh lawannya.

Angkin Pembawa Maut terkesiap dengan 

paras pucat pasi. Ia sangat tahu jurus apa yang 

tengah dikeluarkan bekas gurunya yang tidak lain 

dari jurus sakti 'Ular Emas Menggusur Bulan'. 

Dan belum sempat dia berbuat sesuatu tahu-tahu 

totokan jari tangan Bunda Kurawa telah mendarat 

telak di punggungnya.

Tukkk!

Seketika itu juga tubuh Angkin Pembawa 

Maut limbung dan ambruk di tanah. Tubuhnya 

yang terkena totokan tadi tak dapat digerakkan la-

gi!

Begitu mendarat, Bunda Kurawa cepat 

menjambak rambut Angkin Pembawa Maut. Se-

hingga, tubuh gadis itu terangkat tinggi-tinggi 

dengan mulut meringis kesakitan.


"Hentikan pertempuran!" bentak Bunda 

Kurawa.

Siluman Ular Putih kaget bukan alang ke-

palang melihat Angkin Pembawa Maut tertawan 

oleh Bunda Kurawa. Geram bukan main hatinya. 

Tak mungkin ia dapat menolong Angkin Pembawa 

Maut selain menggeram penuh kemarahan.

"Manusia culas! Lepaskan Angkin! Siapa 

pun juga tidak boleh mengganggu Angkin!" bentak 

Soma, sarat kemarahan.

"Keparat! Kedudukanmu saat ini tidak pan-

tas memerintah, Bocah! Akulah yang berkuasa di 

tempat ini. Dan, aku pulalah yang berhak meng-

hukum murid bejat ku ini! Mau kubunuh sekali-

pun kamu mau apa?!" dengus Bunda Kurawa.

Memang, bagaimanapun, wanita ini merasa 

jerih menghadapi pemuda sakti yang bergelar Si-

luman Ular Putih sehingga tidak berani mengang-

gap enteng. Apalagi ia dan muridnya pernah diha-

jar oleh pemuda gondrong murid Eyang Begawan 

Kamasetyo itu kemarin malam.

"Demi Tuhan! Kalau kau berani menyentuh 

gadis itu seujung rambut pun, akan ku obrak-

abrik istanamu!" teriak Siluman Ular Putih penuh 

kemarahan.

"Sebelum kau melaksanakan niatmu, kepa-

la gadismu ini akan kuhancurkan terlebih dahulu. 

Apa kau tidak sayang melihat gadismu yang cantik 

ini mati dalam usia muda?" tukas Bunda Kurawa, 

tak kalah gertak. Tangan kanannya yang terkepal 

erat-erat siap meremukkan batok kepala Angkin 

Pembawa Maut. 

Soma menggerutkan gerahamnya kuat-

kuat. Se sepasang mata birunya terus mencorong 

memandangi Bunda Kurawa penuh kemarahan.

"Jangan hiraukan aku, Soma! Lekas ting


galkan tempat ini! Aku..., aku pasti akan me..., 

menyertaimu. Mungkin di hari penitisan kita nan-

ti. Lekas tinggalkan tempat ini, Soma! Aku..., aku 

me... menyayangi mu...." 

Soma menggeleng-gelengkan kepala lemah. 

Hatinya trenyuh mendengar ucapan gadis cantik 

itu. Maka diam-diam pun mulai dikerahkannya 

kekuatan batin! 

"Bunda Kurawa! Apa kau masih memban-

del tidak mau melepaskan Angkin Pembawa Maut? 

Apa kau lupa kalau murid yang tengah kau ancam 

adalah murid kesayangan mu?" bentak Soma den-

gan suara bergetar-getar aneh, menyerang jalan 

pikiran Bunda Kurawa. 

Wanita setengah baya ini terkesiap kaget 

dengan mata terbelalak liar. Sebentar dipandan-

ginya pemuda gondrong di hadapannya. Sebentar 

kemudian pandangannya beralih pada Angkin 

Pembawa Maut dalam cengkeraman tangannya. 

Pegangan tangannya pun mulai mengendur. Ke-

dua lututnya goyah. Namun hal itu hanya seben-

tar. Karena ternyata, Bunda Kurawa pun memang 

ahli dalam ilmu sihir. Maka buru-buru kekuatan 

sihirnya dikerahkan.

"Kunyuk gondrong! Rupanya kau pintar ju-

ga bermain sulap! Jangan dikira aku tidak dapat 

memunahkan ilmu sihir mu, Bocah?" bentak Bun-

da Kurawa berusaha mematahkan kekuatan sihir 

Siluman Ular Putih. "Sekarang kalau ingin gadis-

mu yang cantik ini selamat, sebaiknya turuti saja 

kata-kataku! Aku ada sedikit tawaran menarik un-

tukmu."

"Tawaran? Tawaran apa?!" tukas murid 

Eyang Begawan Kamasetyo, sengit

"Mudah. Mudah sekali. Coba kau perhati-

kan lembah di balik bukit depan sana baik-baik!"


Soma menuruti apa yang diucapkan Bunda 

Kurawa. Memang, di balik keremangan malam ter-

lihat sebuah lembah luas tertutup bukit kecil. Lalu 

dengan perasaan bingung Siluman Ular Putih 

kembali berpaling ke arah Bunda Kurawa.

"Itulah yang dinamakan Lembah Kodok Pe-

rak," tunjuk Bunda Kurawa, sebelum Soma angkat 

bicara. "Salah satu penghalang utamaku untuk 

menguasai dunia persilatan adalah Tiga Jenggot, 

Empat Brewok dan Tujuh Kumis yang tinggal di 

lembah itu. Terus terang, mereka adalah orang-

orang yang paling ditakuti golongan kami. Maka, 

kalau belum mampu menundukkan orang-orang 

Lembah Kodok Perak, kami golongan Ular Emas 

belum merasa puas. Dan untuk menundukkan 

mereka, tidak ada pilihan lain. Aku harus mencari 

orang gagah untuk mencuri Kitab Kodok Perak 

Sakti. Setelah kami dapat mempelajarinya baru 

kami dapat menundukkan mereka."

Soma hanya tertawa dingin sambil mengga-

ruk-garuk kepalanya.

"Buat apa kau jelaskan hal itu padaku ka-

lau akhirnya aku tidak sudi menuruti tawaran gi-

lamu ini?" katanya kalem.

Bunda Kurawa tersenyum licik.

"Pemuda sontoloyo! Aku tidak yakin kalau 

kau sebagai seorang pendekar gagah yang berotak 

cerdas belum mengerti maksud kata-kataku tadi. 

Terus terang saja kukatakan padamu. Kalau kau 

masih menginginkan gadismu ini selamat, pergilah 

ke Lembah Kodok Perak untuk mencuri Kitab Ko-

dok Perak Sakti. Kalau kau keberatan, jangan ha-

rap dapat melihat Angkin lagi. Kau paham, Bo-

cah?"

"Jangkrik buntung! Apa dari sekian banyak 

muridmu yang cantik ini salah satu tidak ada yang


berani masuk ke dalam Lembah Kodok Perak? 

Mengapa malah menyuruhku?"

"Jangan banyak tanya lagi, Bocah! Jika di 

antara golongan kami ada yang mempunyai ke-

pandaian untuk mengambilnya, buat apa menyu-

ruhmu lagi? Aku hanya menginginkan jawabanmu 

saja. Kau mau pergi ke Lembah Kodok Perak atau 

tidak? Dan tentunya kau tahu, keselamatan ga-

dismu ini hanya tergantung dari jawabanmu kali 

ini!"

Soma menggerutkan gerahamnya kuat-

kuat. Hampir saja amarahnya, tidak dapat diken-

dalikan kalau tidak mengingat akan keselamatan 

Angkin Pembawa Maut. Walau hatinya panas ingin 

menghajar Bunda Kurawa dan murid-muridnya, 

namun tetap saja tidak berdaya.

"Bocah tolol! Mengapa kau tidak lekas ting-

galkan tempat ini? Apa kau ingin melihat kepala 

gadismu yang cantik ini hancur, he?!" bentak 

Bunda Kurawa penuh kelicikan.

Tangan kanan Bunda Kurawa yang sudah 

berubah menjadi kuning keemasan kembali me-

nodong di atas ubun-ubun kepala Angkin Pemba-

wa Maut. Sekali gerak saja, jangankan batok kepa-

la manusia, batu sebesar gajah pun akan hancur 

berkeping-keping terkena pukulan 'Ular Emas' 

Bunda Kurawa!

Siluman Ular Putih bingung bukan main. 

Kalau menurutkan perasaan, pemuda ini ingin 

mengamuk saja. Namun bila mengingat keselama-

tan Angkin Pembawa Maut, Soma harus berpikir 

lebih panjang lagi. Bagaimanapun juga, keselama-

tan gadis itu sangat dikhawatirkannya.

"Jangan kau turuti kata-kata manusia 

sundal ini, Soma! Sebaiknya cepat tinggalkan 

tempat ini! Jangan hiraukan aku lagi! Cepatlah,


Soma! Aku mohon! Demi Tuhan aku mohon, So-

ma! Aku... aku me... menyayangi mu...," tangis 

Angkin Pembawa Maut memelaskan.

Soma menggeleng-geleng. Hatinya trenyuh 

bukan main

"Tidak, Angkin! Kau tenang-tenang sajalah 

di sini Angkin. Doakan saja aku dapat mencuri ki-

tab yang diinginkan wanita itu!" ujar Soma, lalu 

kembali menatap Bunda Kurawa. "Hm.... Apa ja-

minan mu kalau ternyata kau tidak menepati 

omongan mu, Bunda Kurawa?"

"Maksudmu?"

"Kalau aku dapat mencuri Kitab Kodok Pe-

rak Sakti, apa kau masih menawan Angkin Pem-

bawa Maut?"

Bunda Kurawa tersenyum penuh keme-

nangan. Sepasang matanya yang jeli jelas menam-

pakkan kelicikannya. Soma mengeluh. Ia tahu, 

apa arti sorot mala wanita cantik di hadapannya.

"Jangan khawatir! Aku pasti akan menepati 

kata-kataku. Murid-muridkulah saksinya," tegas

Bunda Kurawa.

"Baik. Kali ini terpaksa aku pegang omon-

gan mu, Bunda Kurawa. Tapi kalau sampai tidak 

menepati janji, jangan salahkan kalau aku terpak-

sa mengobrak-abrik istanamu itu. Termasuk, se-

mua penghuninya. Selamat tinggal, Angkin! Jaga-

lah dirimu baik-baik!"

Sehabis berkata begitu, Siluman Ular Putih 

segera berkelebat cepat. Angkin Pembawa Maut 

yang melihat kesanggupan Soma mencuri Kitab 

Kodok Perak Sakti hanya mencucurkan air ma-

tanya, tak kuasa berbuat apa-apa, kecuali mende-

sah lirih.

"Ba... Baik, Soma. Kudoakan agar kau ber-

hasil mencuri Kitab Kodok Perak Sakti...."


Dan karena saking tidak tahannya mena-

han perasaan hatinya, gadis cantik itu pun menu-

rut saja ketika salah seorang kakak seperguruan-

nya menyeretnya ke dalam kamar tahanan!

***

2

Langit angkasa raya masih kelam. Cahaya 

bulan dan kerlip berjuta bintang tampak tertutup 

awan tebal, membuat suasana makin dikuasai ke-

gelapan.

Dari balik kegelapan malam Siluman Ular 

Putih terus berlari cepat keluar dari halaman Ista-

na Ular Emas. Hanya dalam beberapa jejakan ka-

ki, pemuda gondrong murid Eyang Begawan Ka-

masetyo itu pun telah sampai di pinggir parit lebar 

berisi ribuan ular emas. Sejenak kepalanya diga-

ruk-garuk. Matanya jelalatan mencari-cari akal 

bagaimana cara melompat keluar dari parit di ha-

dapannya. Dan mendadak, pandang matanya ter-

tumbuk pada serumpun pohon bambu tak jauh 

dari tempatnya berdiri.

"Ah...! Mengapa aku tidak menggunakan 

pohon bambu itu untuk menyeberang seperti yang 

telah dilakukan orang tua pendek berkulit hitam 

legam tempo hari?" desah Soma seraya menepuk 

jidatnya sendiri.

Orang tua pendek berkulit hitam legam 

yang dimaksudkan pemuda gondrong itu tidak 

lain dari Ki Sorogompo yang telah diselamatkan 

dari tiang gantungan kemarin siang.

Maka sehabis berkata begitu Soma lantas 

berlari mendekati rumpun pohon bambu di de-

pannya. Dan dengan menggunakan telapak tangan 

kanannya, segera dirobohkannya sebatang pohon


bambu di depannya.

Krakkk...!

Terdengar suara berderak dari batang po-

hon bambu yang terkena pukulan telapak tangan 

Soma. Dan batang pohon bambu itu pun jatuh 

meliuk ke seberang parit. Soma sedikit mendorong 

ke samping agar batang pohon bambu jatuh tepat 

di atas tanggul seberang parit.

Kemudian dengan sedikit mengerahkan il-

mu meringankan tubuhnya, Siluman Ular Putih 

segera meniti batang pohon bambu itu. Dan se-

bentar saja, kedua kakinya mendarat mulus di 

tanggul seberang tanpa menimbulkan sedikit sua-

ra pun!

Sesampainya di tanggul seberang, Soma 

bukannya langsung berkelebat meninggalkan 

Lembah Kuripan melainkan memperhatikan seje-

nak gedung Istana Ular Emas dengan hati cemas.

"Jangan khawatir, Angkin! Tenang-

tenanglah di situ! Aku akan berusaha mengambil 

Kitab Kodok Perak Sakti di Lembah Kodok Perak 

dan kembali lagi ke Istana Ular Emas," bisiknya.

Baru kemudian, Soma kembali berkelebat 

meninggalkan Lembah Kuripan. Gerakan kedua 

kakinya tampak aneh sekali, seperti orang berjalan 

biasa. Namun dalam beberapa kejapan mata saja, 

bayangan tubuhnya telah lenyap di antara kegela-

pan malam!

***

Siang itu matahari terasa panas memang-

gang bumi. Tanah merah tampak pecah berpetak-

petak seperti tak kuasa menahan sinar matahari 

di musim kemarau panjang. Rumput-rumput liar 

meranggas mati. Ranting-ranting pohon jati gun


dul. Daun-daunnya rontok berserakan di bawah-

nya.

Di bawah terik sinar matahari yang me-

manggang bumi, tampak dari arah barat seorang 

pemuda berpakaian putih keperakan tengah berla-

ri kencang melalui jalan setapak di pinggiran hu-

tan jati. Gerakannya ringan sekali. Laksana seekor 

capung, pemuda berambut gondrong yang tidak 

lain Soma alias Siluman Ular Putih terus melesat 

ke timur, menuju Lembah Kodok Perak. Dan 

anehnya kala kedua kakinya menjejak tanah, de-

bu-debu di sepanjang jalan setapak tidak beter-

bangan! Demikian pula daun-daun jati kering yang 

terpijak kakinya pun tidak menimbulkan suara 

sedikit pun. Jelas, ilmu meringankan tubuh pe-

muda murid Eyang Begawan Kamasetyo itu sudah 

mencapai tingkat tinggi.

Trangng!

"Heaaa...!"

Namun ketika pemuda itu sampai di se-

buah pengkolan di luar hutan jati, mendadak te-

linganya yang tajam mendengar dentingan senjata 

beradu dan bentakan garang beberapa orang. Se-

ketika lari cepatnya dihentikan. Telinganya sema-

kin dipertajam. Dan ternyata memang benar. Sua-

ra-suara bentakan dan berdentingannya senjata 

beradu itu datangnya dari sebelah kanan, di luar 

hutan pohon jati.

"Rupanya di luar hutan sana sedang ada 

pertarungan. Coba kulihat sebentar," gumam So-

ma dalam hati.

Kedua kaki si pemuda pun kembali berge-

rak aneh, menuju luar hutan jati sebelah kanan. 

Gerakan kedua kakinya memang seperti orang 

berjalan biasa. Namun anehnya dalam waktu yang

tidak lama, ia telah sampai di sebuah tanggul di


luar hutan pohon jati.

Cring! Cring! 

Soma terkesiap kaget. Sepasang mata bi-

runya terbelalak lebar. Di bawah lampingan tem-

patnya berpijak tampak seorang gadis cantik ber-

pakaian putih-putih tengah bertarung melawan ti-

ga orang laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan 

sepasang pedang putih tergenggam di tangan. Ju-

rus-jurus yang dimainkan gadis cantik itu aneh 

sekali. Belum lagi gulungan-gulungan rambutnya 

yang tak kalah ganas dibanding sepasang pedang 

di tangannya. Namun meski telah mengeluarkan 

jurus-jurus andalannya, tetap saja keadaannya 

terdesak hebat. Bahkan beberapa kali ruyung baja 

di tangan salah seorang pengeroyoknya hampir sa-

ja mengenai tubuhnya.

"Ah...! Bukankah gadis cantik itu Aryani, 

Putri tunggal Lowo Kuru alias Pendekar Kelelawar 

Putih?!" gumam Soma kaget bukan main ketika 

mengenali gadis cantik itu. "Ah, iya?! Mengapa aku 

jadi lupa begini? Dan sepasang pedang putih itu 

pasti Pedang Kelelawar Putih. Yah! Aku tidak 

mungkin pangling dengan sepasang pedang sakti 

itu. Juga, gadis cantik pemiliknya itu!" 

Soma tidak sempat berpikir panjang lagi. 

Melihat gadis cantik yang ternyata Aryani putri 

Lowo Kuru dalam bahaya itu, tubuhnya segera 

berkelebat turun. Kedua telapak tangannya yang 

telah berubah menjadi putih terang hingga sampai 

ke pangkal siap melancarkan pukulan sakti 

'Tenaga Inti Bumi'!

"Sungguh tidak tahu malu! Cecurut-

cecurut tua bau tanah beraninya main keroyok. 

Jangan khawatir, Aryani! Aku datang membantu-

mu!"

Kedua telapak tangan Soma yang sudah


berubah menjadi putih terang hingga sampai ke 

pangkal cepat menghentak ke arah ketiga orang 

pengeroyok Aryani. 

Wesss!

Sebelum pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi' 

Siluman Ular Putih mengenai sasaran didahului 

pula oleh angin dingin yang meluruk cepat ke arah 

tiga orang pengeroyok Aryani!

Ketiga orang itu terkesiap kaget. Buru-buru 

mereka lemparkan tubuh ke kanan dan kiri, 

menghindari serangan Soma. 

"Terima kasih, Siluman Ular Putih. Tak ku-

sangka kita akan bertemu di sini," ucap Aryani, 

berbinar-binar matanya melihat kehadiran Silu-

man Ular Putih. Semangatnya yang semula ciut 

menghadapi ketiga orang pengeroyoknya, kini 

kembali berkobar-kobar.

"Aryani! Mengapa kau kelayapan sampai 

kemari? Apa kau ini kurang kerjaan, he? Mengapa 

kau tinggalkan perguruanmu yang masih kocar-

kacir?!" tegur Soma alis Siluman Ular Putih.

"Kau selalu begitu! Setiap bertemu aku 

pasti marah-marah! Hayo, sekarang bantu aku 

mencincang Tiga Setan Ruyung Baja ini dulu! 

Awas, jangan sampai lolos! Nanti baru ku jelaskan, 

mengapa aku bentrok dengan ketiga kecoak tua 

ini," kata Aryani bersungut-sungut.

"Baik! Tapi harus ada imbalannya!" 

"Apa?"

"Kau harus mau mencarikan kutu ram-

butku!" seloroh Soma.

"Ah...! Kau ini...! Dalam keadaan seperti ini 

saja masih sempat bercanda! Hayo, lekas bantu 

aku menghajar tiga kecoak tua ini!"

"Baik"

Aryani langsung mengempos tenaganya.


Tubuhnya berkelebat cepat begitu melihat tiga la-

wannya yang berjuluk Tiga Setan Ruyung Baja te-

lah bangkit berdiri. Sepasang Pedang Kelelawar 

Putih warisan Lowo Kuru telah pula diputar-putar 

sedemikian rupa, seolah menciptakan pertahanan 

yang kokoh.

Sementara Soma telah pula berkelebat, 

membantu serangan.

"Hm...! Jadi, kalian tiga monyet tua yang 

bergelar Tiga Setan Ruyung Baja? Ah.... Tapi aku 

melihat kalian hanyalah sebagai tiga orang pemain 

ketoprak kesasar," ejek Soma sambil menyerang.

"Setan Alas! Jaga bacotmu, Bocah Edan! 

Huh! Rupanya kau belum tahu, sedang berhada-

pan dengan siapa, he?!" bentak satu dari Tiga Se-

tan Ruyung Baja yang berkumis melintang. "Aku, 

Ki Gagak Ireng, tak segan-segan melenyapkan 

orang yang sok usil. Dua temanku Ki Jlampring 

dan Ki Suketpitu adalah dua orang beringas yang 

haus darah!"

"Wah wah...! Gertakan mu boleh juga, mo-

nyet berkumis, Bocah Edan!" teriak lelaki berku-

mis itu penuh kemarahan.

Ruyung baja di tangan kanan si kumis pun 

cepat menyerang murid Eyang Begawan Kama-

setyo. Bersamaan itu, kedua orang temannya 

mengalihkan perhatian dari Aryani. Mereka lang-

sung menyerang ganas Siluman Ular Putih.

Sambil tersenyum nakal, Soma mulai men-

gerahkan jurus-jurus sakti 'Terjangan Maut Ular 

Putih'. Telapak tangan kanannya pun mulai beru-

bah merah menyala penuh pukulan sakti 'Tenaga 

Inti Api'. Sedang tangan kirinya yang telah beru-

bah menjadi putih terang telah disiapi pukulan 

sakti 'Tenaga Inti Bumi'.

"Ciaaat...!"


Dalam sekejapan saja, Soma telah mener-

jang Tiga Setan Ruyung Baja. Belum lagi amukan 

Aryani alias Bidadari Kecil. Dengan jurus-jurus 

'Sumur Kematian' serta gulungan-gulungan ram-

butnya yang tak kalah hebat dengan sepasang pe-

dang putih di tangan, si gadis pun langsung bantu 

menyerang ketiga orang musuhnya.

Kali ini Tiga Setan Ruyung Baja benar-

benar kewalahan. Apalagi ketika tadi mendengar 

kalau pemuda gondrong yang membantu Aryani 

adalah Siluman Ular Putih. Dari sini mereka tahu 

kalau pemuda itu adalah seorang pendekar muda 

yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia persi-

latan. Akibatnya, nyali ketiga orang tokoh sesat 

dari Gunung Tidar itu mulai ciut. Sepasang mata 

mereka mulai mencari-cari kesempatan untuk me-

larikan diri.

"Jangan biarkan ketiga kecoak tua ini ka-

bur, Soma! Mereka harus membayar kontan atas 

nyawa lima orang murid Perguruan Kelelawar Pu-

tih yang mereka bantai!" teriak Aryani geram. 

"Oh begitu...," sahut Siluman Ular Putih 

masih diiringi senyum nakalnya.

Kedua telapak tangan Soma yang memben-

tuk kepala ular terus mendesak hebat musuh-

musuhnya. Beberapa kali patukan-patukan tan-

gannya hampir saja meremukkan tubuh Tiga Se-

tan Ruyung Baja.

Namun, rupanya kepandaian ketiga tokoh 

sesat ini boleh juga. Dengan menggunakan ruyung 

baja, berkali-kali mereka mampu mementahkan 

serangan Siluman Ular Putih. Namun sayangnya, 

mereka belum mampu balas serangan

Menyadari serangannya belum memperoleh 

hasil, Aryani jadi geram sekali. Gerakan pedang-

nya semakin dipercepat. Gulungan-gulungan ram


butnya yang mendadak berubah kaku laksana ba-

ja hitam tak henti-hentinya mendesak musuhnya.

Wesss! Wesss!

Bahkan tebasan-tebasan pedang di tangan 

si gadis pun bagaikan tidak putus-putusnya men-

cari sasaran di tubuh lelaki yang dikenal sebagai 

Ki Jlampring.

Wutt! Wuttt!

Ki Jlampring cepat memutar ruyung ba-

janya memapak serangan Aryani. Sekali ruyung 

bajanya berkelit di antara gulungan-gulungan 

rambut dan tebasan-tebasan pedang gadis cantik 

itu.

Saat itu pula Aryani menambah tenaga da-

lamnya. Sekali menggerakkan pedang di tangan 

kanannya....

Tak!

"Huk?!"

Ruyung baja di tangan Ki Jlampring pun 

terpental! Lelaki ini terkejut bukan main. Bahkan 

telapak tangan kanannya terasa panas, pertanda 

tenaga dalamnya masih kalah satu tingkat di ba-

wah lawannya. Dan belum sempat ruyung bajanya 

yang terpental digerakkan ke belakang, tahu-tahu 

gulungan hitam rambut Aryani kembali mengan-

cam batok kepalanya!

Wuuttt...!

Paras Ki Jlampring jadi pucat pasi. Tak 

mungkin serangan Aryani dihindari. Ia hanya 

sempat melihat gulungan rambut Aryani yang ke-

ras laksana gulungan baja hitam sebelum akhir-

nya....

Prakkk!

"Aaakh...!"

Gulungan rambut hitam Aryani tepat men-

darat di batok kepala Ki Jlampring. Tanpa ampun


lagi kepala salah satu tokoh sesat dari Gunung Ti-

dar itu remuk. Darah merah beserta otaknya seke-

tika berhamburan. Sepasang matanya membeliak 

liar, sebelum akhirnya jatuh berkelojotan ke tanah 

dan tidak bergerak-gerak lagi!

"Heaaat...!"

Sehabis menghabisi nyawa salah seorang 

Tiga Setan Ruyung Baja, Aryani kembali berkele-

bat menerjang salah seorang pengeroyok Siluman 

Ular Putih. Sementara Soma tampak tidak begitu 

bernafsu menghadapi kedua orang musuhnya. Ka-

lau saja pemuda gondrong itu mau bukan musta-

hil sudah dari tadi nyawa mereka melayang.

Melihat hal ini Aryani sangat geram. Ia 

yang memang bermaksud menghabisi tiga orang 

yang telah mengacau di perguruan Kelelawar Pu-

tih, jadi tidak dapat mengendalikan amarahnya la-

gi. Tebasan-tebasan pedangnya dan gulungan-

gulungan rambut hitamnya makin bergerak meng-

giriskan. Dan....

Cras! Prakkk!

"Aaa...!"

Hanya dalam waktu kurang dari tiga jurus, 

dua orang dari Tiga Setan Ruyung Baja pun am-

bruk ke tanah dengan batok kepala remuk!

***

"Hei? Kau kesurupan setan sawah, ya? 

Mengapa kejam sekali membantai mereka?" tegur 

Siluman Ular Putih, kurang senang melihat kebe-

ringasan Aryani.

"Jangan banyak cincong, Soma! Hutang 

nyawa harus dibayar nyawa! Ketiga kecoak tua ini 

telah membantai lima orang murid Perguruan Ke-

lelawar Putih. Aku sebagai ketua Perguruan Kele


lawar Putih merasa terhina sekali. Dan penghi-

naan itu harus ditebus!" bentak Aryani galak.

Soma berdecak-decak ngeri melihat kega-

nasan Aryani. Sebentar mata birunya memperha-

tikan ketiga mayat yang bergelimpangan di tanah, 

lalu beralih pada Aryani dengan sinar mata heran.

"Aku heran, mengapa sedikit pun kau tidak 

mempunyai rasa welas asih, Aryani?! Kalau saja 

ayahmu tahu apa yang telah kau perbuat di sini, 

tentu akan marah," cetus Siluman Ular Putih.

Aryani tidak mempedulikan ocehan Soma, 

kecuali hanya membesut darah yang membasahi 

sepasang pedangnya pada baju hitam salah seo-

rang musuhnya. Lalu dimasukkannya sepasang 

Pedang Kelelawar Putih kembali ke sarungnya.

"Sebenarnya kenapa kau jadi demikian ke-

ji?" tegur Siluman Ular Putih lagi.

"Aku jengkel. Jengkel sekali! Juga padamu 

yang cerewet! Kalau saja kau bukan temanku, su-

dah pasti kuremukkan batok kepalamu!" jawab 

Aryani ketus.

Sekali lagi Soma berdecak-decak heran. La-

lu tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Bagaimanapun juga kau tidak bol..." 

"Jangan cerewet!" potong Aryani, "Justru di 

samping aku mengejar musuh-musuh Perguruan 

Kelelawar Putih, aku ada sedikit kabar buruk un-

tukmu! Tapi, kau malah cerewet seperti nenek-

nenek kehilangan sirih!" 

"Hey...? Kabar buruk apa, Aryani?" tanya 

Soma heran.

"Makanya jangan cerewet!" sentak Aryani 

lagi, masih menampakkan kejengkelannya. "Du-

duklah dulu!"

"Hm...." 

Soma mengangkat kedua bahunya, seraya


tersenyum kecut. Lalu tanpa banyak cakap lagi, 

pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kama-

setyo itu pun meletakkan pantatnya di rerumpu-

tan kering.

Aryani pun segera meletakkan pantatnya di 

depan Soma. Wajahnya masih menampakkan ke-

kesalan hatinya.

"Kau sedang dikejar-kejar banyak tokoh 

sakti dunia persilatan!" kata Aryani, membuat 

Soma terbeliak kaget.

"Hey.... Ada urusan apa denganku? Menga-

pa mereka mengejar-ngejarku?" tukas si pemuda.

"Entahlah! Tapi yang pasti, Teratai Emas-

lah yang telah membujuk mereka sehingga mau 

membantu. Meski Istana Ular Emas dimusuhi ba-

nyak tokoh sakti dunia persilatan, terutama sekali 

dari golongan putih, namun diam-diam Teratai 

Emas mempunyai hubungan yang baik dengan li-

ma ketua partai ternama. Bukan saja perguruan 

Tengkorak Serigala dan Ular Merah yang sudah 

dapat dibujuknya, bahkan tiga partai lainnya pun 

juga sudah siap membantu. Hati-hatilah kalau 

kau bertemu mereka nanti! Sekarang sampai di 

sini dulu keteranganku. Karena masih ada urusan 

lain, terpaksa aku tidak dapat membantu. Selamat 

tinggal!" jelas Aryani.

Aryani cepat melompat bangun. Dan seke-

tika tubuhnya sudah berkelebat meninggalkan Si-

luman Ular Putih.

Soma menggaruk-garuk kepala. Sepasang 

mata birunya tak henti-hentinya memperhatikan 

bayangan putih di hadapannya hingga menghilang 

di sebuah tikungan. Lalu dengan perasaan masih 

dibalut kebingungan, pemuda berambut gondrong 

itu cepat melompat bangun.

"Ah...! Aku sendiri juga menyesal tidak da


pat membantumu, Aryani" gumam Soma dalam 

hati, sebelum akhirnya berkelebat cepat menuju 

Lembah Kodok Perak.

***

3

Di kaki langit sebelah timur, matahari me-

mantulkan sinar merah jingganya. Ayam jantan 

liar mengumandangkan kokoknya yang gagah, 

menyapa hari di pagi muda. Gumpalan awan putih 

laksana kapas berarak-arak di cakrawala. Semen-

tara, tiupan angin bebukitan terasa semakin me-

nambah indahnya pagi ini.

Jauh di luar pinggiran hutan jati, tampak 

berkelebat cepat sesosok bayangan merah darah 

menuju sebuah gubuk yang terletak di pinggir ja-

lan. Gubuk yang ala kadarnya itu biasa dijadikan 

tempat bersinggah para pencari kayu bakar mau-

pun para pemburu bila kemalaman. Ukurannya 

tidak terlalu besar. Paling hanya pas untuk tidur 

empat atau lima orang. Tiang-tiang penyangganya 

terbuat dari batang-batang kayu. Atapnya terbuat 

dari rumput-rumput kering yang ditata sedemi-

kian rupa.

Begitu berhenti berkelebat di depan gubuk, 

bayangan merah yang ternyata seorang lelaki ting-

gi tegap berpakaian merah darah itu mengedarkan 

pandangannya. Wajahnya menegang. Rahangnya 

bertonjolan. Rambutnya gondrong sebatas bahu. 

Keningnya diikat oleh kain berwarna merah. 

Usianya kira-kira lima puluh tahun.

Dari sikapnya, lelaki setengah baya ini 

tampak gelisah sekali. Lalu sepasang matanya 

memperhatikan ke dalam gubuk.


"Jahanam! Rupanya mereka belum da-

tang!" desis orang bertubuh tinggi besar itu tak 

sabar.

Lelaki itu masih berdiri tegak di depan gu-

buk. Keningnya berkerut-kerut. Lalu dengan ra-

hang menggembung penuh kemarahan, kakinya 

melangkah mendekati gubuk, pantatnya langsung 

dihenyakkan di depan, dan duduk menunggu. Ke-

palanya sesekali melongok ke kanan kiri jalan, 

namun apa yang diharapkan belum juga nampak.

Selang beberapa saat, dari arah timur tam-

pak berkelebat sesosok bayangan hitam menuju 

ke gubuk. Sementara jauh di sebelah selatan, 

tampak pula dua sosok bayangan berpakaian kun-

ing tengah berkelebat melewati pematang sawah. 

Arahnya juga menuju ke arah gubuk.

"Bedebah! Akhirnya mereka datang juga!" 

dengus lelaki berpakaian merah darah di dekat 

gubuk masih menunjukkan kejengkelan.

"Ha ha ha...! Rupanya Iblis Kelabang Merah 

paling getol dengan urusan macam begini. Mana 

teman-teman yang lain?"

Sebuah suara berisi tenaga dalam tinggi 

terdengar kasar, memenuhi lataran tandus pinggi-

ran hutan jati. Dan belum hilang gaungnya, tahu-

tahu di depan lelaki tua bertubuh tinggi besar 

yang bergelar Iblis Kelabang Merah berdiri satu 

sosok lelaki berpakaian serba hitam. Gerakan ke-

dua kakinya ringan sekali! Sama sekali tidak me-

nimbulkan suara saat menjejak tanah kering di 

depan gubuk. Jelas ilmu meringankan tubuhnya 

sudah mencapai tingkat tinggi!

Wajah lelaki berpakaian hitam-hitam yang 

kini tegak di hadapan Iblis Kelabang Merah itu ti-

rus. Rambutnya gondrong awut-awutan. Sepasang 

matanya mencorong tajam, pertanda tenaga da


lamnya sudah mencapai tingkat tinggi! Usianya ki-

ra-kira empat puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi 

kurus. Di tangan kanannya tergenggam senjata 

toya berwarna hitam. Dan sesuai senjata di tan-

gan, ia adalah Ketua Perguruan Toya Hitam. Nama 

aslinya jarang sekali diketahui orang. Tapi di du-

nia persilatan, siapa yang tak kenal dengan Raja 

Toya?!

Mendengar ucapan Raja Toya yang berpe-

rangai kasar, Iblis Kelabang Merah hanya menge-

rutkan jidatnya. Sepasang matanya yang memerah 

terus terpaku pada sosok tinggi kurus di hada-

pannya.

"Nada bicaramu sungguh memerahkan te-

lingaku, Raja Toya! Kalau saja kau bukan kawan-

ku, sudah pasti ular-ular merahku kusuruh 

menggerogoti tubuh kurus keringmu!" desis Iblis 

Kelabang Merah, sengit.

Entah kapan mengambilnya, tahu-tahu di 

tangan kanan Iblis Kelabang Merah telah tergeng-

gam dua ekor ular merah sebesar ibu jari tangan 

manusia dewasa!

"Ha ha ha...! Kau pikir aku takut mengha-

dapi ular-ular merahmu, he?!" dengus Raja Toya 

tak kalah sengit. "Tapi, mengapa kau hanya sendi-

rian? Mana teman-teman lainnya?"

Iblis Kelabang Merah mendengus.

"Hm.... Rupanya telingamu sudah budek. 

Sehingga kedatangan Julung Pucut dan Julung 

Kencono tidak terdengar?"

Mata Raja Toya melotot gusar. Namun ke-

tika mendengar langkah-langkah halus di bela-

kangnya, kepalanya segera berpaling ke belakang.

Pada saat yang sama, di hadapan Raja 

Toya dan Iblis Kelabang Merah telah berdiri dua 

sosok laki-laki berjubah kuning. Baik bentuk tubuh, paras maupun rambut mereka yang gon-

drong dikuncir ke belakang benar-benar sulit di-

bedakan. Hanya nama sajalah yang membedakan 

orang kembar ini. Mereka masing-masing bernama 

Ki Julung Pucut dan Julung Kencono. Tapi mereka 

lebih terkenal sebagai Sepasang Iblis Kembar Dari 

Gunung Srandil!

"Apa kalian sudah lama di sini?" tanya 

yang bernama Ki Julung Pucut, kalem saja.

"Pakai tanya segala!" jawab Iblis Kelabang 

Merah geram. "Aku sudah hampir karatan, tahu?!"

"Lantas, mengapa si cantik Teratai Emas 

tidak muncul kemari?" timpal Ki Julung Kencono 

heran.

Raja Toya dan Iblis Kelabang Merah hanya 

mendengus seraya mengangkat kedua bahu.

"Kalian ini cerewet amat! Apa kalian juga 

ingin ikut-ikutan membantu Teratai Emas mem-

bantai pendekar muda yang bergelar Siluman Ular 

Putih?!" sentak Iblis Kelabang Merah." 

"Apa kalian pikir, hanya kalian saja yang 

mampu membantai Siluman Ular Putih?" sergah 

Ki Julung Pucut ketus.

"Sudahlah! Mengapa kalian jadi bersitegang 

begini?!" lerai Raja Toya.

"Pokoknya sekarang tunggu saja Teratai 

Emas! Kalau misalnya wanita cantik itu tidak 

muncul, terpaksa kita harus mencari pem... " 

"Auuungng...!" 

Belum sempat Raja Toya menyelesaikan 

ucapannya, mendadak mereka dikejutkan oleh su-

ara auman serigala yang entah dari mana datang-

nya. Begitu keras sehingga memenuhi dataran 

tandus di luar hutan jati. Agaknya suara auman 

itu dialiri tenaga dalam tingkat tinggi! 

Tanpa diketahui mereka, tahu-tahu tak


jauh dari tempat itu telah berdiri seorang laki-laki 

bertubuh kurus kering. Saking kurusnya, mem-

buat sosoknya yang berbalut kain putih menyeru-

pai tengkorak! Wajahnya tirus kepucatan dengan 

tulang-tulang pipi bertonjolan. Hidungnya kecil 

melesak ke dalam. Sepasang matanya mencorong, 

menyembunyikan kekejaman luar biasa. Meski 

demikian, sepasang matanya yang mencorong itu 

jelas berisi tenaga dalam tinggi sekali! Lebih dari 

itu, ilmu meringankan tubuhnya pun sudah men-

capai tingkat yang sulit sekali diukur! Buktinya 

saja, kedatangannya sampai saat ini tidak diketa-

hui keempat orang yang sejak tadi ada di sini.

"Benar! Aku setuju dengan pendapat Raja 

Toya. Kalau memang Teratai Emas tidak muncul 

kemari, tidak ada pilihan lain. Kita terpaksa harus 

mencari pemuda itu," cetus sosok kurus kering 

berbalut kain putih yang langsung menyerobot 

pembicaraan.

Bukan main kagetnya keempat orang itu. 

Mereka semua tidak menyangka kalau sang em-

punya suara auman itu telah berada di bela-

kangnya. Sebab suara auman itu tadi seperti ter-

dengar jauh di depan sana! Maka seketika itu juga 

keempat orang itu segera berpaling ke belakang.

"Te... Tengkorak Serigala!" sebut keempat 

orang itu hampir berbarengan. Sepasang mata me-

reka pun terbelalak lebar, seolah tidak percaya 

dengan apa yang dilihat.

Sosok bertubuh kurus kering itu memang 

berjuluk Tengkorak Serigala. Ia adalah salah seo-

rang tokoh sesat yang sangat ditakuti di dunia 

persilatan saat itu. Dan melihat kekagetan keem-

pat orang kawannya, Tengkorak Serigala hanya 

mengangguk-anggukkan angkuh. Sedang tongkat 

putih berkepala tengkorak serigala di tangan ka


nannya diketuk-ketukkan ke tanah. Meski hanya 

mengetuk-ngetuk perlahan seperti orang main-

main, namun akibatnya membuat tanah di seki-

tarnya bergetar hebat!

Lagi-lagi keempat orang itu terkesiap kaget. 

Namun Iblis Kelabang Merah yang berperangai ka-

sar cepat dapat menyembunyikan kekagetannya.

"Setan alas! Kau terlalu berlagak di hada-

panku, Tengkorak Serigala?! Apa kau pikir aku ta-

kut dengan nama besarmu, he?! Orang lain boleh 

takut padamu. Tapi aku, jangan dikira takut 

menghadapimu!" bentaknya, garang.

Tengkorak Serigala tersenyum dingin. Se-

pasang matanya yang mencorong tampak semakin 

mengerikan. Agaknya tokoh sesat yang konon be-

rasal dari Lembah Kematian itu tak dapat lagi 

mengendalikan amarahnya.

"Rupanya kau mempunyai nyawa rangkap, 

Iblis Kelabang Merah! Apa kau belum pernah me-

rasakan Tongkat Serigalaku?!" desis Tengkorak 

Serigala. Tangan kanannya yang memegang tong-

kat putih berkepala tengkorak serigala siap dige-

rakkan untuk menyerang Iblis Kelabang Merah.

"Heh...?"

Namun belum sempat tokoh sesat dari 

Lembah Kematian itu bertindak, mendadak tong-

kat putihnya tidak dapat digerakkan! Begitu ma-

tanya melirik, ternyata tongkat putihnya menem-

pel di toya milik Raja Toya!

"Edan!"

Tengkorak Serigala gusar bukan main. Se-

pasang matanya yang mencorong itu kini menatap 

Raja Toya penuh kemarahan. Sedang tangan ki-

rinya siap pula melancarkan pukulan maut ke da-

da lelaki bersenjata toya itu.

"Sabar, Tengkorak Serigala! Coba perhati


kan baik-baik pemuda gendeng di sana itu! Jan-

gan-jangan, pemuda itulah yang dimaksudkan Te-

ratai Emas," bisik Raja Toya seraya menunjukkan 

ujung toyanya ke arah yang dimaksudkan.

"Hm..,," gumam Tengkorak Serigala, tak je-

las.

Tangan kirinya yang siap melancarkan pu-

kulan maut ke dada Raja Toya terhenti di udara. 

Sedang matanya yang mencorong kini mengikuti 

ke arah mana ujung toya itu ditujukan

Dan ternyata memang benar. Di ujung ja-

lan berdebu sana, tampak seorang pemuda gon-

drong berpakaian rompi dan celana bersisik warna 

putih keperakan tengah jalan lenggang kangkung 

seenaknya tanpa mempedulikan keadaan sekitar. 

Dan sembari terus bersiul-siul kecil, pemuda yang 

memiliki rajahan kecil bergambar ular putih di da-

danya itu terus melangkah di jalan berdebu, tepat 

di depan kelima orang tokoh sesat ini.

"Hm...! Menilik ciri-ciri yang telah dicerita-

kan Teratai Emas, pasti pemuda sinting itulah 

yang bergelar Siluman Ular Putih. Coba perhati-

kan baik-baik!" bisik Iblis Kelabang Merah.

"Heran! Apa dunia sekarang ini sudah ter-

balik? Biasanya hanya perempuan saja yang suka 

kasak-kusuk. Tapi, kenapa sekarang laki-laki juga 

ikut-ikutan latah seperti perempuan? Heran! He-

ran...," celoteh pemuda gondrong itu, entah ditu-

jukan pada siapa.

Kelima orang tokoh sesat itu terkesiap. Me-

reka tidak menyangka kalau kasak-kusuk barusan 

terdengar pemuda gondrong di hadapannya. Lebih 

dari itu, mereka itu merasa tersindir dengan apa 

yang diucapkan si pemuda.

"Bocah sinting! Hentikan langkahmu!" ben-

tak Iblis Kelabang Merah gusar.


"Eh eh eh...! Ada apa ini? Mengapa kau 

menyuruhku berhenti, Orang Tua?" sahut pemuda 

gondrong yang tidak lain Soma alias Siluman Ular 

Putih, pura-pura terkejut. Dan begitu langkahnya 

terhenti, sepasang matanya terus memperhatikan 

kelima orang tokoh sesat di hadapannya heran.

"Jangan berlagak pilon! Apa maksud uca-

panmu barusan, he?!" bentak Iblis Kelabang Me-

rah garang.

"Lho...? Kenapa kalian jadi uring-uringan 

begini? Tadi samar-samar kudengar pada kasak-

kusuk beberapa ekor nyamuk hutan? Apakah sa-

lah kalau aku menanggapinya?" tukas Soma see-

nak dengkul.

Bukan main marahnya kelima orang tokoh 

sesat itu. Bagaimanapun juga, mereka merasa ter-

sindir dikatakan sebagai nyamuk hutan.

"Jaga mulutmu, Bocah Edan! Apa kau be-

lum tahu berhadapan dengan siapa, he?.'" bentak 

Iblis Kelabang Merah garang. 

"Heh...!"

Disertai dengusan menggetarkan, Iblis Ke-

labang Merah menjejakkan kakinya ke tanah. Dan 

tahu-tahu, tubuh tinggi besarnya telah mendarat 

di hadapan Soma. Sementara keempat orang to-

koh sesat yang sebenarnya memang sedang men-

cari-cari Siluman Ular Putih tak mau ketinggalan. 

Sebentar saja, mereka telah mengurung Soma?

Sedangkan Soma bersiul-siul kecil. Sebelah 

tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Setan Alas! Kau berani bertindak ayal-

ayalan di hadapan kami, he?! Apa kau sudah bo-

san hidup?!" Lagi-lagi Iblis Kelabang Merah yang 

berperangi kasar itu membentak Soma garang.

"Sungguh aku tak mengerti. Sebenarnya 

apa sih yang kalian inginkan? Apa kalian mengin


ginkan harta? Kalau memang iya, sungguh sayang 

kalian salah mengincar mangsa. Aku bukanlah 

orang kaya. Memang, paman ku dulu juragan sa-

pi. Kaya lagi. Tapi sayang, semua hartanya ludes 

diganyang perampok. Dan menurut keterangan 

paman ku, wajah-wajah rampok itu mirip kalian!" 

celoteh Soma makin jadi. 

"Kunyuk gondrong! Sebutkan namamu se-

belum aku mencabut nyawa busukmu!" bentak Ki 

Julung Pucut, tak dapat lagi mengendalikan ama-

rahnya.

"Kau menanyakan siapa aku, Orang Tua? 

Aku, ya aku. Mengapa kalian meributkan siapa 

aku? Toh, aku sendiri juga tidak meributkan siapa 

aku."

"Setan Alas! Makanlah kelabang-kelabang 

merahku. Kunyuk Gondrong!" bentak Iblis Kela-

bang Merah gusar bukan main. Tangan kanannya 

cepat menyusup ke saku bajunya mengambil dua 

ekor kelabang merah. Namun belum sempat tan-

gannya bergerak kembali....

"Tunggu, Iblis Kelabang Merah!" cegah Raja 

Toya. "Kunyuk gondrong ini memang layak menja-

di santapan kelabang-kelabang merahmu. Tapi 

menilik ciri-cirinya, dialah yang bergelar Siluman 

Ular Putih."

Raja Toya sejenak memalingkan kepalanya 

ke arah Soma.

"Hey, Bocah! Kaukah Bocah gendeng yang 

bergelar Siluman Ular Putih itu?"

"Ah...! Kalian ini selalu saja meributkan 

aku. Sebenarnya, ada apa kalian mencari-cari Si-

luman Ular Putih?"

"Atas permintaan seseorang, kami berlima 

memang ingin membalas sakit hati sahabat kami. 

Bahkan kalau perlu, melenyapkan Siluman Ular


Putih dari muka bumi ini! Nah agar kami tak salah 

menjatuhkan tangan, kau sendiri siapa sebenar-

nya? Mengapa tidak berani menyebutkan nama-

mu?"

Soma tertawa bergelak. Kepalanya men-

dongak ke atas dengan tangan menggaruk-garuk 

kepala.

"Disebutkan juga tidak akan ada artinya. 

Karena memang akulah orang yang kalian cari-

cari!"

"Sudah kuduga!" terabas Tengkorak Seriga-

la.

"Kalau sudah menduga, lantas mengapa 

mesti buang-buang waktu?" timpal Iblis Kelabang 

Merah. "Mari, kita cincang bocah edan ini ramai-

ramai! Heaa...!"

Disertai teriakan merobek angkasa, Iblis 

Kelabang Merah pun mendahului kawan-

kawannya menyerang Siluman Ular Putih. Tangan 

kanannya yang masih memegang dua ekor kela-

bang merah cepat bergerak ke depan. Paling tidak 

agar kelabang-kelabang merah itu lebih leluasa 

mematuk tubuh musuhnya. Sedang tangan ki-

rinya siap pula mencengkeram dada Siluman Ular 

Putih.

"Hiaaattt...!" 

Melihat Iblis Kelabang Merah telah berge-

rak mendahului, keempat tokoh sesat lainnya pun 

tidak mau ketinggalan. Seperti orang berlomba, 

masing-masing segera menyerang hebat Siluman 

Ular Putih. Meski belum bisa mengukur kepan-

daian si pemuda namun keempat tokoh sesat itu 

sudah langsung menyerang dengan senjata! Teng-

korak Serigala menyerang dengan tongkat putih 

berkepala tengkorak serigala. Raja Toya mengan-

dalkan senjatanya yang berupa toya hitam. Sedang


Sepasang Iblis Kembar Dari Gunung Srandil me-

nyerang dari arah belakang dengan senjata ber-

bentuk cemeti panjang berekor sembilan!

Hebat bukan main serangan-serangan me-

reka. Laksana banjir bandang yang memporak-

porandakan apa saja, tubuh Siluman Ular Putih 

seperti terhimpit lima kekuatan dahsyat dari lima 

jurusan! Bukan mustahil kalau dalam satu gebra-

kan saja, tubuh pemuda gondrong murid Eyang 

Begawan Kamasetyo itu akan jadi korban.

Tentu saja Siluman Ular Putih tidak meng-

hendaki hal demikian. Melihat serangan-serangan 

kelima orang pengeroyoknya, tidak tanggung-

tanggung langsung dikeluarkan jurus-jurus sak-

tinya 'Terjangan Maut Ular Putih'. Tangan kanan-

nya telah berubah menjadi merah menyala penuh 

pukulan sakti 'Tenaga Inti Api'. Sedang tangan ki-

rinya yang telah berubah menjadi putih terang 

hingga ke pangkal lengan, penuh pukulan sakti 

'Tenaga Inti Bumi'.

"Hyaaatt...!"

Siluman Ular Putih membentak nyaring, 

sebelum kedua tangannya bergerak cepat di anta-

ra gulungan senjata-senjata lawannya. Namun ti-

dak seperti dugaan mereka, pemuda itu bukannya 

menyerang ketiga pengeroyok yang ada di depan-

nya, melainkan menyerang Sepasang Iblis Kembar 

Dari Gunung Srandil. Dengan sekali putar tubuh-

nya, tahu-tahu kedua telapak tangannya yang 

membentuk kepala ular telah mengancam dada 

kedua lelaki kembar di belakangnya.

"Heh...?!"

Sepasang Iblis Kembar Dari Gunung Sran-

dil terkesiap kaget, tidak menyangka akan menjadi 

serangan pertama Siluman Ular Putih. Dan dalam 

jarak yang demikian dekat, tentu saja cemeti panjang di tangan mereka jadi kehilangan ruang ge-

rak! Dan belum sempat salah seorang memapak 

serangan, patukan kedua telapak tangan Siluman 

Ular Putih telah mendarat telak di dada kedua Ib-

lis Kembar Dari Gunung Srandil.

Tukkk! Tukkk! 

"Aaakhh...!"

Kedua lelaki kembar itu memekik nyaring. 

Dada mereka yang terkena patukan tangan Silu-

man Ular Putih terasa mau jebol!

Meski demikian lelaki kembar yang berna-

ma Ki Julung Pucut tidak sampai terpental seperti 

adiknya. Begitu tubuhnya tersentak ke belakang, 

kontan cemeti berekor sembilannya digerakkan 

dari atas ke bawah. Dia bermaksud menotok sem-

bilan jalan darah kematian di tubuh Siluman Ular 

Putih.

"Uts...!Sial...! "

Siluman Ular Putih terkesiap kaget. Ia ti-

dak mengira akan mendapat serangan balik demi-

kian hebatnya. Belum lagi serangan-serangan ke-

tiga orang pengeroyok lain yang datang dari bela-

kang. Tanpa banyak membuang waktu pemuda ini 

cepat membuang tubuhnya ke belakang. Na-

mun....

Ctarrr!

"Aaakh...!"

Sayang, meski Siluman Ular Putih telah 

melempar tubuhnya demikian rupa, tetap saja da-

danya terkena lecutan cemeti berekor sembilan di 

tangan Ki Julung Pucut! Bahkan tongkat putih mi-

lik Tengkorak Serigala pun mendarat telak di da-

danya.

Bukk! Bukkk!

"Aaakh...!"

Kembali Siluman Ular Putih memekik ter


tahan. Tanpa ampun lagi, tubuhnya jatuh bergul-

ing-gulingan ke samping. Wajahnya pucat pasi. 

Darah segar tampak membasahi sudut-sudut bi-

birnya. Sedang iganya yang terkena sodokan tong-

kat tadi terasa mau remuk! Belum lagi lecutan 

cemeti berekor sembilan di tangan Ki Julung Pu-

cut yang terasa perih bukan main.

Siluman Ular Putih menggerutkan gera-

hamnya penuh kemarahan. Dan karena tidak da-

pat mengendalikan amarahnya, mendadak rambut 

kepalanya telah berubah menjadi ratusan ular pu-

tih liar dengan kepala terangkat tinggi-tinggi!

"Heh...?!"

Kelima orang tokoh sesat yang mengeroyok 

Siluman Ular Putih terkesiap kaget. Sepasang ma-

ta mereka membeliak liar. Apa yang terlihat benar-

benar mengerikan. Dan sejenak pula, mereka 

menghentikan serangan.

"Hup!"

Tentu saja kesempatan itu tidak disia-

siakan Siluman Ular Putih untuk segera meloncat 

bangun. Sembari meloncat demikian, cepat senjata 

andalannya yang berupa Anak Panah Bercakra 

Kembar dikeluarkan. Maka seketika itu juga, hawa 

dingin yang bukan kepalang telah memenuhi tem-

pat itu!

Lagi-lagi kelima orang pengeroyok Siluman 

Ular Putih terkesiap kaget. Sepasang mata mereka 

memandang penuh kagum pada senjata aneh di 

tangan si pemuda. Segera mereka mengerahkan 

tenaga dalam untuk mengusir hawa dingin yang 

ditebarkan senjata aneh di tangan Siluman Ular 

Putih.

"Hebat! Kau memang pantas mendapat ju-

lukan Siluman Ular Putih, Bocah! Tapi sayang, 

nama besarmu akan tamat hari ini!" kata Raja


Toya, membuyarkan kekagetan keempat teman-

nya.

"Ah...! Kalian selalu saja meributkan aku. 

Sampai soal kematian pun, kalian tetap saja meri-

butkannya. Heran! Heran! Apa tidak ada kerjaan 

lain selain meributkanku?!" kata Soma alias Silu-

man Ular Putin seenak perutnya.

"Jahanam! Buat apa bicara panjang lebar 

dengan bocah sinting ini?! Mari, sebaiknya cincang 

bocah sinting ini ramai-ramai!" geram Ki Julung 

Kencono penuh kemarahan.

Sehabis berkata begitu, Ki Julung Kencono 

yang tadi sempat merasakan kehebatan patukan 

tangan Siluman Ular Putih cepat menggerakkan 

cemeti berekor sembilannya. Arah serangannya 

adalah beberapa jalan darah kematian di tubuh 

pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kama-

setyo!

Siluman Ular Putih tersenyum kecut. Ia 

sadar, untuk mengatasi keroyokan kelima orang 

tokoh sesat yang berkepandaian tinggi itu bukan-

lah satu hal yang mudah. Namun, bagaimanapun 

juga pemuda ini tetap tidak mau lari meninggal-

kan arena pertarungan. Padahal, bahaya maut 

menghadang di depan mata!

"Hip!"

Begitu melihat serangan Ki Julung Kenco-

no, Siluman Ular Putih yang cepat mengeluarkan 

jurus-jurus sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'. 

Tangan kanannya yang memegang senjata pusaka 

itu terlihat semakin berubah menjadi merah me-

nyala! Sedang tangan kirinya pun makin putih te-

rang menyilaukan mata. 

"Heaaa...!" 

Disertai teriakan garang, Soma mendo-

rongkan telapak tangan kanannya yang penuh


pukulan sakti 'Tenaga Inti Api' ke depan. Maka, 

seketika itu senjata anak panah di tangan kanan-

nya melesat cepat ke depan. Bersamaan dengan 

itu, seleret sinar merah menyala dari telapak tan-

gan kanannya, terus menerabas dada Ki Julung 

Kencono. Sedang tangan kirinya yang telah meru-

bah menjadi putih terang menyilaukan mata, su-

dah menghentak ke depan. Dilepaskannya puku-

lan saktinya 'Tenaga Inti Bumi' ke arah Tengkorak 

Serigala dan Raja Toya! 

Wesss! Wesss!

Hebat bukan main serangan-serangan Si-

luman Ular Putih kali ini! Ki Julung Kencono men-

geluarkan keringat dingin. Ia tidak sempat lagi 

berpikir bagaimana harus menyerang musuh mu-

danya, kalau ingin selamat.

"Hup!"

Maka begitu melihat serangan-serangan Si-

luman Ular Putih yang demikian hebatnya, Ki Ju-

lung Kencono pun cepat melempar tubuhnya ke 

samping. Sehingga, seleret sinar merah menyala 

dari telapak tangan Siluman Ular Putih hanya 

mengenai tempat kosong.

Namun, alangkah terkejutnya Ki Julung 

Kencono ketika melihat senjata anak panah itu ti-

ba-tiba membelok cepat dan kembali menyerang 

dirinya! Sama, sekali tidak disangka kalau senjata 

pusaka itu akan melesat demikian rupa! Maka 

tanpa ampun lagi.... 

Clep!

"Aughhh....!

Dada kanan Ki Julung Kencono kontan ter-

tancap mata pisau di ujung kepala senjata aneh 

itu, tanpa dapat berkelit sedikit pun. Ia memekik 

setinggi langit. Matanya membeliak lebar. Tangan 

kanannya mendekap senjata pusaka itu dan men


cabutnya. Namun begitu senjata aneh itu tercabut 

keluar dari dada, tubuh tinggi kekarnya ambruk 

ke tanah, tak dapat bergerak-gerak lagi. Mati.

"Jahanam! Kau membunuh kembaran ku, 

Bocah!" pekik Ki Julung Pucut penuh kemarahan.

Sejenak matanya membeliak liar meman-

dangi saudara kembarnya. 

Kemudian dengan kemarahan meluap, Ki 

Julung Pucut pun segera menerjang Siluman Ular 

Putih garang!

Siluman Ular Putih yang tengah kewalahan 

menghadapi serangan begitu pukulan sakti 

'Tenaga Inti Bumi' dapat dimentahkan Tengkorak 

Serigala dan Raja Toya dengan mudah, kini makin 

kewalahan setelah Ki Julung Pucut ikut mener-

jang. Meski telah mengerahkan jurus-jurus maut 

'Terjangan Maut Ular Putih', tetap saja belum 

mampu menghadapi gempuran-gempuran keem-

pat orang pengeroyoknya. Untung saja tadi senjata 

pusakanya sempat dipungut kembali dari tangan 

Ki Julung Kencono, sehingga dapat digunakan un-

tuk menghadapi gempuran-gempuran keempat 

orang pengeroyoknya.

Namun, bagaimanapun juga keempat orang 

pengeroyoknya itu bukanlah tokoh-tokoh semba-

rangan. Maka dalam sepuluh jurus kemudian, Si-

luman Ular Putih benar-benar berada di bawah 

angin. Jangankan untuk membalas. Untuk meng-

hindar saja, rasanya tidak sanggup! Bahkan tak 

jarang pula sekujur tubuhnya terkena hantaman-

hantaman senjata di tangan para pengeroyoknya!

Keadaan ini tentu saja sangat membahaya-

kan bagi keselamatan Siluman Ular Putih. Kalau 

saja dibiarkan barang beberapa jurus lagi, bukan 

mustahil pemuda murid Eyang Begawan Kama-

setyo itu tewas. Namun di saat yang paling genting


bagi keselamatan Siluman Ular Putih, mendadak 

berkelebat berpuluh-puluh sinar kuning keemasan 

ke arah empat orang pengeroyok Siluman Ular Pu-

tih!

Bukan main kagetnya hati keempat orang 

pengeroyok Siluman Ular Putih. Seketika itu juga 

mereka menghentikan serangan, dan sibuk me-

nangkis sinar kuning keemasan yang menyerang 

sekujur tubuh mereka.

Werrr! Werrr!

Cring! Cring!

Sekali lagi, keempat orang pengeroyok Si-

luman Ular Putih terpekik kaget. Ternyata sinar 

kuning keemasan itu tidak lain adalah jarum-

jarum emas!

"Mengapa kalian memusuhi kami! Bukan-

kah kalian semua murid Istana Ular Emas?!"

***

4

Empat pasang mata para pengeroyok Silu-

man Ular Putih terbeliak liar. Kini di belakang pe-

muda sakti itu telah berdiri tegak lima orang gadis 

cantik berpakaian kuning keemasan. Mereka itu-

lah yang tadi menyerang dengan jarum-jarum 

emas ke arah empat tokoh sesat itu.

"Kami tidak bermaksud memusuhi kalian 

tapi hanya ingin melindungi pemuda itu untuk 

beberapa saat," jelas salah seorang gadis yang pal-

ing cantik, dingin

Gadis cantik itu kira-kira berusia dua pu-

luh dua tahun. Rambutnya panjang dibiarkan ter-

gerai di bahu. Sepasang matanya jeli. Hidungnya 

tipis. Bibirnya pun tipis dengan bentuk dagu runc-

ing. Sedang tubuhnya yang tinggi ramping terbalut



pakaian ketat warna kuning keemasan

"Setan Cantik! Kau bicara terlalu berbelit-

belit. Bukankah kalian berlima terhitung masih 

saudara seperguruan dengan Teratai Emas? Lan-

tas, mengapa kalian menghalang-halangi kami un-

tuk membunuh pemuda sinting itu. Padahal, kami 

sedang menjalankan permintaan Teratai Emas?" 

sergah Iblis Kelabang Merah.

"Sudah kukatakan, kami tidak bermaksud 

menghalang-halangi maksud kalian. Namun ber-

hubung kami masih punya sedikit urusan dengan 

pemuda itu, maka kali ini terpaksa kami harus 

melindunginya," kilah Setan Cantik, lalu berpaling 

ke arah Siluman Ular Putih. "Siluman Ular Putih! 

Mengapa kau masih belum berangkat ke Lembah 

Kodok Perak? Bahkan malah bentrok dengan 

keempat orang tua ini segala!"

Siluman Ular Putih tersenyum tipis. Sepa-

sang mata birunya terus memandangi kelima 

orang gadis cantik di hadapannya tanpa berkedip.

"Hm...! Mau bentrok dengan lima ekor 

nyamuk hutan ini kek, mau ribut dengan Setan 

Langit kek, apa pedulimu?" cibir Siluman Ular Pu-

tih, kesal. "Dan, ingat! Hanya karena Angkin ma-

sih berada dalam cengkeraman tangan nenek-

nenek peot Bunda Kurawa itulah terpaksa aku 

menuruti kemauan kalian. Oh, iya mengapa kalian 

mengikutiku? Apa kalian pikir, aku sudi menerima 

pertolonganmu."

"Sudah kuduga, kau pasti akan berkata 

demikian! Tapi, apa kau masih ingat perjanjian ki-

ta?"

Soma mendengus kesal. Bagaimanapun, ia 

tidak ingin berhutang budi dengan murid-murid 

Istana Ular Emas yang hanya akan menjerat di-

rinya dalam permainan licik Bunda Kurawa!


"Setan Cantik! Cepat enyahkan empat ga-

dis temanmu itu dari hadapanku! Aku sebagai 

seorang laki-laki sejati mana sudi menerima ban-

tuan maupun perlindungan kalian?!" bentak Silu-

man Ular Putih.

"Hm...! Kalau saja Bunda Kurawa tidak se-

dang membutuhkan tenagamu, sudah pasti kuro-

bek-robek mulut lancang mu itu, Kunyuk Gon-

drong!" dengus Setan Cantik.

"Sudahlah, Mbakyu Setan Cantik! Tidak 

ada gunanya bicara panjang lebar dengan pemuda 

sinting itu. Mungkin saja ia sudah lupa kalau 

Angkin Pembawa Maut masih berada dalam ceng-

keraman kita," ujar salah seorang gadis cantik 

murid Istana Ular Emas, kesal.

Pemuda gondrong murid Eyang Begawan 

Kamasetyo itu menyunggingkan senyum. "Aku le-

bih suka mati daripada menerima bantuan ka-

lian."

"Lantas, bagaimana dengan Kitab Kodok 

Perak Sakti yang telah kau janjikan pada kami?" 

tukas Setan Cantik lagi.

"Ya, tergantung dari kesudahan pertempu-

ranku di sini nanti," sahut Soma seenaknya.

"Apa kau sudah tidak memperhatikan ke-

selamatan Angkin Pembawa Maut lagi, Kunyuk 

Gondrong?"

"Dalam keadaan seperti ini, kukira aku 

hanya dapat memasrahkan keselamatan Angkin 

Pembawa Maut pada kebijaksanaan Bunda Kura-

wa. Lantas, mengapa aku harus repot-repot memi-

kirkan kejadian yang belum tentu terjadi? Toh, 

Angkin Pembawa Maut sendiri juga sudah memak-

lumi keadaanku."

"Siluman Ular Putih....!" panggil Setan Can-

tik, agak mereda nada suaranya. "Sebenarnya ka


mi golongan Ular Emas belum pernah mengalah 

pada siapa pun. Tapi kali ini dengan sangat ter-

paksa kami harus mengalah juga padamu. Baik-

lah.... Meski kau tidak menginginkan bantuan, ta-

pi kami tetap akan terus menolongmu."

"Setan Cantik! Meski nama besar Istana 

Ular Emas sangat ditakuti di dunia persilatan, tapi 

jangan harap aku takut dengan golongan mu. Jika 

kalian masih bersikeras ingin mencampuri uru-

sanku di sini, jangan salahkan kalau aku terpaksa 

harus bertarung dengan kalian!"

"Siluman Ular Putih! Lihatlah keadaanmu 

sekarang! Apa kau pikir dengan kepandaianmu 

sekarang akan mampu mengatasi keempat orang 

pengeroyok mu?" cibir Setan Cantik.

"Dasar manusia-manusia sontoloyo! Pakai 

berkhotbah lagi! Lekas, enyah kalian dari hada-

panku! Atau harapan kalian untuk mendapatkan 

Kitab Kodok Perak Sakti dari Lembah Kodok Perak 

akan hilang he?!" bentak murid Eyang Begawan 

Kamasetyo kesal.

"Baiklah! Jika memang betul nasibmu akan 

tewas di tempat ini, siapa pun juga tidak akan da-

pat menolongmu. Tapi jika memang peruntungan

mu masih bagus jangan lupa Kitab Kodok Perak 

Sakti yang telah dijanjikan pada kami harus kau 

dapatkan!"

Sehabis berkata begitu, Setan Cantik pun 

kembali menyimpan pedang ular emasnya ke da-

lam warangka seraya mengibaskan lengan ba-

junya. Melihat isyarat itu, maka tanpa banyak ca-

kap lagi keempat orang adik seperguruan Setan 

Cantik pun segera menyimpan pedang ular kem-

bali. Dan mereka segera berkelebat cepat mening-

galkan tempat itu, mengikuti Setan Cantik yang 

telah lebih dulu berkelebat.


Soma hanya menggeleng-geleng. Sepasang 

mata birunya terus memperhatikan kelima sosok 

gadis berpakaian kuning keemasan di kejauhan 

sana. Ketika akhirnya bayangan mereka menghi-

lang di sebuah tikungan depan sana, baru pan-

dangan si pemuda beralih pada empat lelaki yang 

tadi mengeroyoknya.

***

"Ha ha ha...! Sungguh tolol! Baru kali ini 

kulihat pemuda ada setolol ini. Kalau saja mau 

menerima bantuan kelima orang murid Istana Ular 

Emas tadi, mungkin kau masih dapat meninggal-

kan tempat ini dengan selamat. Tapi sekarang, 

jangan harap kau dapat selamat dari lubang ke-

matian, Bocah!" ejek Raja Toya dengan tawa berge-

lak.

Soma tersenyum tipis. Meski sadar bahaya 

maut masih menghadang di depan mata, tapi si-

kapnya masih ugal-ugalan. Malah kini mulai ber-

siul-siul kecil seenaknya.

"Kalian jangan terlalu jumawa dulu, Orang 

Tua! Pemenang dari pertarungan kita belum jelas. 

Sebetulnya aku masih ada sedikit urusan di Lem-

bah Kodok Perak. Dan aku pun sudah siap me-

nantikan kedatangan kalian di sana. Tapi seka-

rang ini, lain persoalannya. Hanya gara-gara ka-

lian urusanku jadi kacau. Jika saja aku dapat lo-

los dari kepungan ini, awas! Tunggulah pembala-

sanku nanti!"

"Jangan bermimpi, Bocah! Hari ini adalah 

hari kematianmu. Bersiap-siaplah menemui Raja 

Akhirat," ancam Iblis Kelabang Merah, angkuh.

Sehabis berkata begitu, Iblis Kelabang Me-

rah cepat menerjang Siluman Ular Putih ganas.


Dua ekor ular merah di tangan kanannya meliuk-

liuk, berusaha mematuk tubuh Soma. Pada saat 

yang sama, ketiga orang pengeroyok Siluman Ular 

Putih ikut pula menerjang. Bahkan serangan-

serangan mereka kali ini melebihi kehebatan se-

rangan yang pertama. Hebatnya lagi sebelum sem-

pat senjata-senjata di tangan mereka mengenai 

sasaran, terlebih dahulu telah berkesiur angin ke-

ras menyerang tubuh Siluman Ular Putih!

Wesss! Wesss!

Siluman Ular Putih menggerutkan gera-

hamnya kuat-kuat. Disadari betul, sekali saja len-

gah nyawanya lah taruhannya! Maka saat itu pula 

Soma mengerahkan segenap kepandaiannya. Sen-

jata pusaka di tangan kanannya bergerak-gerak 

menggiriskan. Malah bak sebuah rencong senjata 

itu sesekali melesat cepat menyerang para penge-

royoknya. Dan begitu luput dari sasaran, Siluman 

Ular Putih pun cepat menangkap kembali senjata 

pusakanya yang bisa memutar balik ke tempat 

asalnya!

Di samping itu, kedua telapak tangan So-

ma yang telah berubah menjadi putih terang dan 

merah menyala hingga ke pangkal, sesekali mele-

paskan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi' dan 

'Tenaga Inti Api'-nya. Namun sayang, berkali-kali 

pula serangan balik Siluman Ular Putih dapat di-

mentahkan para pengeroyoknya.

"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bo-

cah! Biar tidak menyesal sebelum bertemu Raja 

Akhirat!" ejek Raja Toya.

Siluman Ular Putih menggerutu dalam ha-

ti. Keadaannya kali ini benar-benar sangat 

mengkhawatirkan. Gempuran-gempuran keempat 

orang pengeroyoknya bukan saja teramat memba-

hayakan bagi keselamatan jiwanya, melainkan juga cukup menggetar-getaran tanah di sekitar are-

na pertempuran! Daun-daun jati rontok terkena 

sambaran angin pukulan! Malah ada beberapa ba-

tang pohon jati yang tumbang, terkena pukulan 

nyasar.

Lebih dari itu, pakaian Siluman Ular Putih 

pun sudah tampak compang-camping tidak ka-

ruan terkena gebukan-gebukan toya di tangan Ra-

ja Toya maupun tongkat putih di tangan Tengko-

rak Serigala. Belum lagi cemeti ekor sembilan mi-

lik Ki Julung Pucut, dan juga dua ekor ular merah 

peliharaan Iblis Kelabang Merah yang tak mungkin 

dapat dipandang sebelah mata. Soma yang biasa 

bersikap ugal-ugalan kini tampak demikian tegang 

menghadapi gempuran-gempuran empat penge-

royoknya.

Sulit rasanya si pemuda keluar dari ke-

pungan keempat orang pengeroyoknya yang telah 

mengurung di segenap penjuru angin! Diam-diam 

Siluman Ular Putih mengeluh dalam hati. 

Wesss! Wesss!

Namun dalam keadaan terdesak seperti itu, 

Siluman Ular Putih jadi nekat. Tak ada pilihan 

lain, sehingga terpaksa harus keluar dari kepun-

gan. Dan begitu salah satu serangan hampir me-

nyentuh tubuhnya, cepat dilontarkan nya pukulan 

sakti 'Tenaga Inti Bumi' ke arah Raja Toya. Kare-

na, hanya tokoh sesat itu sajalah yang keadaan-

nya kurang menguntungkan.

Seleret sinar putih terang dari telapak tan-

gan kiri Siluman Ular Putih meluruk ke arah tu-

buh tinggi kekar Raja Toya. Dan seperti yang telah 

diperhitungkan, Raja Toya pasti akan berkelit 

menghindar.

Bersamaan itu, serangan-serangan ketiga 

orang tokoh sesat lainnya bertubi-tubi berdatan


gan. Angin dingin berkesiuran menerpa sekujur 

tubuh Siluman Ular Putih, sebelum serangan-

serangan itu mengenai sasaran!

Tanpa banyak pikir panjang lagi, Siluman 

Ular Putih segera meloncat tinggi. Begitu di udara, 

dilontarkan nya pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi' 

ke arah tiga orang pengeroyok di belakangnya.

Bed! Bed!

Siluman Ular Putih berputaran beberapa 

kali di udara. Begitu tubuhnya meluruk, tangan 

kanan cepat diraihnya ujung toya di tangan Raja 

Toya!

Wuttt...!

Raja Toya terkesiap bukan main. Sungguh 

tidak disangka kalau Siluman Ular Putih akan ber-

tindak demikian nekat. Tentu saja toyanya tidak 

ingin direbut. Maka dengan gerakan yang sulit di-

terka, Raja Toya cepat memutar toyanya sedemi-

kian rupa.

Wettt!

Siluman Ular Putih tersenyum senang. 

Memang, itulah yang diinginkannya! Begitu toya di 

tangan Raja Toya terlihat berkelebat cepat mema-

pak tubuhnya, kedua lututnya segera ditekuk.

Tap!

"Hup!" 

Wesss! 

Mengagumkan sekali! Dengan gerakan luar 

biasa cepat, kedua telapak kaki Soma mampu 

mendarat di pangkal toya! Lalu seketika itu pula 

Siluman Ular Putih cepat menutulkan kedua tela-

pak kakinya untuk melesat ke belakang.

Sebenarnya apa yang dilakukan Siluman 

Ular Putih itu terlalu berbahaya bagi keselama-

tannya. Salah perhitungan sedikit saja, bukan ti-

dak mustahil nyawa akan lenyap.


Manis sekali Siluman Ular Putih mendarat 

di tanah. Kedua matanya menatap tajam para 

pengeroyoknya yang hanya berdecak kagum.

Semula mereka mengira kalau tubuh Silu-

man Ular Putih bakal terkena gebukan toya di 

tangan Raja Toya. Namun, rupanya apa yang di-

perkirakan tidak menjadi kenyataan.

Senyum nakal kini menghias di bibir pe-

muda gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo 

itu. Namun, meski demikian diam-diam, ajian pa-

mungkasnya mulai dikerahkan 'Titisan Siluman 

Ular Putih'!

Sejenak Siluman Ular Putih mendongak ke 

atas. Kedua bibirnya berkemik-kemik, merapal 

ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'! Selang beberapa 

saat, tampak tubuh tinggi kekarnya mulai dipenu-

hi uap putih tipis. Sehingga, akhirnya bayangan 

tubuh pemuda gondrong murid Eyang Begawan 

Kamasetyo itu tidak kelihatan sama sekali tertu-

tup uap putih!

Sementara di tempatnya, keempat orang 

pengeroyok Siluman Ular Putih masih terpaku. 

Sepasang mata mereka tak berkedip melihat apa 

yang tengah dilakukan musuh mudanya. Dan be-

lum sempat hilang rasa heran keempat orang pen-

geroyok Siluman Ular Putih itu, mendadak.... 

Ggggeeerrr...!

Bukan main terkejutnya hati keempat to-

koh sesat itu. Apa yang dilihatnya benar-benar 

membuat sepasang mata mereka kontan terbeliak. 

Tampak dari balik asap putih tipis di hadapan me-

reka terlihat sesosok tubuh panjang berwarna pu-

tih sebesar pohon kelapa! Sepasang matanya ber-

warna merah saga! Kedua taringnya mengerikan.

"Si... Siluman Ular Putih!" desis keempat 

tokoh sesat itu penuh kagum.



Sepasang mata merah saga Siluman Ular 

Putih memandangi keempat orang musuhnya, seo-

lah-olah sebagai jawaban atas keterkejutan mere-

ka.

Wuttt!

Dan belum sempat ada yang bertindak, ti-

ba-tiba sosok panjang sebesar kelapa itu telah me-

lesat cepat menyerang keempat orang musuhnya! 

Kecepatan lesatannya sungguh mengagumkan. 

Belum sempat taring-taring Siluman Ular Putih 

mengenai sasaran, terlebih dahulu telah berkesiur 

angin yang bukan main kencangnya!

Gggeeerrr...! 

"Hup!"

"Hiaaah...!"

Buru-buru keempat orang pengeroyok Si-

luman Ular Putih melempar tubuh masing-masing 

ke kanan dan kiri, sehingga, selamatlah mereka 

dari terkaman ular raksasa itu.

Begitu serangan pertama tidak membawa 

hasil, Siluman Ular Putih cepat mengibaskan 

ekornya ketika keempat pengeroyoknya baru saja 

bangkit. Sekali lagi, tanpa banyak pikir panjang 

para tokoh sesat itu kembali melempar tubuh 

masing-masing ke kanan dan kiri.

Buk!

Terdengar suara yang keras bukan main 

sewaktu tubuh sosok panjang Siluman Ular Putih 

mendarat di tanah. Dan seketika itu juga di seki-

tar arena pertempuran bergetar hebat! Debu-debu 

beterbangan memenuhi tempat itu.

Untuk sementara waktu, keempat orang 

tokoh sesat itu cukup aman dari bahaya maut. 

Dan kini mereka saling berpandangan, seolah ten-

gah menyusun rencana lewat tatapan mata untuk 

dapat menundukkan Siluman Ular Putih.


"Hiaaa...!" 

"Shaaa...!"

Begitu mendapat kata sepakat, maka 

Tengkorak Serigala dan Ki Julung Pucut menye-

rang dari arah depan. Sedang Raja Toya dan Iblis 

Kelabang Merah segera menyerang dari belakang. 

Bahkan untuk mempertajam serangan, Iblis Kela-

bang Merah telah menyimpan kembali kedua ekor 

ular merahnya ke balik saku jubahnya, dan cepat 

mengeluarkan pedang merah dari balik punggung. 

Lalu seketika itu pula pedangnya digerakkan bebe-

rapa kali ke tubuh Siluman Ular Putih! Sementara 

pada saat yang sama toya milik Raja Toya pun 

menderu dahsyat. Dan 

Crakk! Crakkk!

Bukkk! Bukkk!

Dua kali pedang Iblis Kelabang Merah dan 

toya Raja Toya tepat mengenai tubuh Siluman 

Ular Putih. Namun anehnya senjata mereka seper-

ti membentur lempengan baja yang kuat bukan 

main! Bahkan telapak tangan kedua orang itu te-

rasa kesemutan!

"Setan Alas! Ternyata ular jahanam ini 

kebal senjata tajam!" gerutu Iblis Kelabang Merah 

penuh keterkejutan.

"Heaaa...!

Crak! Crak!

Sehabis berkata begitu, Iblis Kelabang Me-

rah pun kembali membacokkan pedangnya bebe-

rapa kali ke tubuh Siluman Ular Putih, hasilnya 

tetap sama saja. Jangankan dapat membabat bun-

tung, untuk melukai kulit tubuh Siluman Ular Pu-

tih saja tak mampu.

"Jahanam! Benar-benar jahanam! Ternyata 

tubuhnya kebal senjata tajam. Ah...! Bagaimana 

ini?" keluh Iblis Kelabang Merah, nyaris putus asa.


"Coba kalian serang dengan pukulan-

pukulan maut! Sementara itu, aku dan Tengkorak 

Serigala akan mencoba mencari letak kelemahan-

nya!" teriak Ki Julung Pucut lantang.

"Baik!" sahut Raja Toya dan Iblis Kelabang 

Merah hampir bersamaan.

Maka tanpa banyak cakap lagi, kedua 

orang itu pun segera mengerahkan pukulan-

pukulan maut. Kini, kedua tangan Raja Toya mu-

lai berubah menjadi hitam legam sampai ke pang-

kal. Sedang kedua telapak tangan Iblis Kelabang 

Merah telah berubah menjadi merah darah penuh 

racun-racun keji kelabang merah!

"Nih, makanlah pukulan maut ku Racun 

Kelabang Merah! Heaaa...!" teriak Iblis Kelabang 

Merah garang, sambil menghentakkan kedua tan-

gannya.

Seketika itu, seleret sinar merah menyala 

dari kedua telapak tangan Iblis Kelabang Merah 

melabrak sosok tubuh memanjang Siluman Ular 

Putih. Bersamaan itu, Raja Toya pun telah melon-

tarkan pukulan mautnya 'Gelap Sekati'!

Wesss! Wesss!

Bukkk! Bukkk!

"Grrhhh...!"

Siluman Ular Putih meraung hebat. Tu-

buhnya terpental beberapa tombak ke samping. 

Debu-debu beterbangan menutupi sosok panjang-

nya. Ditempatnya Raja Toya dan Iblis Kelabang 

Merah tertawa-tawa senang melihat hasil pukulan 

mereka tadi.

"Graghhh...!"

"Heh?"

Namun mendadak terdengar gerengan he-

bat Siluman Ular Putih. Seketika itu juga Raja 

Toya dan Iblis Kelabang Merah menghentikan sua


ra tawa, melihat sosok Siluman Ular Putih masih 

utuh seperti semula! Sedikit pun kulit tubuhnya 

tidak mengalami kekurangan satu apa.

"Ah...! Tak mungkin! Tak mungkin tubuh-

nya kebal terhadap pukulan 'Gelap Sekati'-ku!" te-

riak Raja Toya tak percaya. Padahal tadi telah di-

bayangkan kalau tubuh Siluman Ular Putih akan 

hancur berkeping-keping. Tapi, apa yang dilihat-

nya kali ini benar-benar membuat matanya terbe-

lalak lebar! Seketika itu juga nyali Raja Toya lu-

mer!

"Ah...! Bagaimana ini? Sungguh aku tidak 

mengerti, mengapa pukulan 'Racun Kelabang Me-

rah' tidak berpengaruh sama sekali! Padahal tadi 

aku telah kerahkan sepenuhnya tenaga dalamku!" 

desis Iblis Kelabang Merah, tak kalah herannya 

dengan Raja Toya.

Walaupun belum sempat mengerahkan 

ajian, namun tak urung Ki Julung Pucut dan 

Tengkorak Serigala sampai terlonjak dari tempat-

nya berdiri saking herannya. Apalagi ketika meli-

hat sepasang mata Siluman Ular Putih mencorong 

beringasan ke arah empat orang pengeroyoknya. 

Mereka benar-benar tak habis pikir.

"Hm...! Tak mungkin sekujur tubuh Silu-

man Ular Putih ini kebal terhadap senjata tajam 

maupun pukulan maut. Pasti ada kelemahannya!" 

gumam Tengkorak Serigala seraya dengan kening 

berkerut dalam. "Hm...! Mungkin letak kelemahan 

Siluman Ular Putih adalah sepasang matanya."

Sehabis berpikir demikian, Tengkorak Seri-

gala menoleh ke arah teman-temannya. 

"Mari kita serang matanya, Kawan-kawan! 

Barangkali itulah letak kelemahannya!"

"Hm...! Bisa jadi! Sebab, orang yang paling 

sakti sekalipun tak mungkin bisa melindungi bagian matanya," sahut Ki Julung Pucut.

"Ya..., itu kalau manusia. Tapi yang sedang 

kita hadapi ini kan ular!" sergah Ki Julung Pucut, 

kurang sependapat.

"Meski demikian, bagaimanapun juga Si-

luman Ular Putih adalah jelmaan kunyuk gon-

drong itu tadi!" sahut Ki Julung Pucut tidak mau 

kalah.

"Sudahlah! Aku kira tidak ada jeleknya ka-

lau mencoba menyerang bagian mata. Hayo lekas 

bertindak! Mumpung ular jejadian itu belum me-

nyerang!" kata Raja Toya melerai.

Mendengar perdebatan, Siluman Ular Putih 

hanya menggereng beberapa kali. Suaranya cukup 

membuat nyali keempat orang musuhnya tergetar. 

Juga membuat tanah di sekitar pertempuran ber-

getar! Dan layaknya seorang manusia saja ular 

raksasa itu tiba-tiba mendahului menyerang. Ke-

dua taringnya tampak demikian menggiriskan. 

Sementara kibasan-kibasan ekor pun makin cepat 

luar biasa.

Keempat orang tokoh sesat itu kontan ko-

car-kacir. Namun hal itu berlangsung tidak lama. 

Kini dengan senjata di tangan, keempat penge-

royok itu mulai melancarkan serangan. Raja Toya 

dan Iblis Kelabang Merah masih menyerang bagian 

belakang. Sedang Tengkorak Serigala dan Ki Ju-

lung Pucut tetap menyerang bagian depan. Namun 

mereka sama-sama mengincar sepasang mata Si-

luman Ular Putih.

Weesss! Weesss! 

Cemeti panjang berekor sembilan di tangan 

Ki Julung Pucut meliuk-liuk mengerikan di depan 

mata Siluman Ular Putih. Beberapa kali ular rak-

sasa jelmaan Soma itu mengeluarkan gerengan se-

raya menangkis dengan bagian belakang kepalanya.

Wesss!

Kali ini cemeti panjang berekor sembilan di 

tangan Ki Julung Pucut bergerak meliuk demikian 

cepat, begitu salah satu ujungnya tertangkis kepa-

la bagian belakang Siluman Ular Putih. Sasaran-

nya adalah sepasang mata Siluman Ular Putih!

"Graghhrr...!"

Siluman Ular Putih menggereng setinggi 

langit, membuat tanah di sekitar arena pertempu-

ran bergetar hebat!

Namun belum sempat dua ujung cemeti di 

tangan Ki Julung Pucut mengenai sasaran, tiba-

tiba....

Wesss! Pletak!

Uap putih tebal tahu-tahu menutupi seku-

jur tubuh Siluman Ular Putih. Bersamaan dengan 

itu dua ujung cemeti di tangan Ki Julung Pucut 

terpental ke belakang, begitu membentur uap pu-

tih tebal yang menyelimuti Siluman Ular Putih!

"Heh...?!"

Ki Julung Pucut melongo, heran dengan 

kejadian di depan matanya. Sementara itu uap pu-

tih tebal semakin menyelimuti tubuh Siluman Ular 

Putih. Di lain tempat ketiga orang tokoh sesat 

lainnya hanya berdiri terkesima.

"Ah...! Ilmu apa lagi yang akan dikeluarkan 

Kunyuk Gondrong itu?" desis Ki Julung Pucut.

Sepasang mata lelaki ini tak berkedip me-

mandangi uap putih tebal di depannya. Dan belum 

sempat hilang keterkejutannya, mendadak samar-

samar sepasang matanya melihat sesosok pemuda 

berambut gondrong dengan pakaian rompi dan ce-

lana bersisik warna putih keperakan tengah men-

gurut-urut belakang kepalanya. Mungkin akibat 

terkena cambukan cemeti di tangan Ki Julung Pucut tadi! Wajahnya pun tampak pucat pasi. Di su-

dut-sudut bibirnya tampak darah segar mengalir 

keluar! Sosok yang tak lain Soma ini tampak mulai 

kepayahan.

Diam-diam Ki Julung Pucut dan ketiga 

orang temannya merasa girang, karena kemenan-

gan hampir di depan mata.

"Heaaa...!"

Maka disertai teriakan menggelegar keem-

pat orang itu serentak menyerang Siluman Ular 

Putih.

Siluman Ular Putih melihat serangan 

keempat pengeroyoknya dengan sepasang mata 

membelalak lebar. Parasnya terlihat makin pias! 

Pemuda ini telah benar-benar parah. Segalanya 

kini diserahkan pada Yang Maha Tunggal. Apalagi, 

memang sulit rasanya menghindar.

Slap!

Tras! Trak! Trang! Plak! 

Namun di saat yang mengkhawatirkan bagi 

Soma, seleret sinar putih yang entah datang dari 

mana tahu-tahu telah menangkis keempat senjata 

di tangan para tokoh sesat itu.

Empat senjata di tangan para pengeroyok 

Siluman Ular Putih berpentalan ke belakang den-

gan tubuh tergetar hebat! Namun untungnya me-

reka masih dapat mempertahankan senjata mas-

ing-masing. Sehingga, tidak sampai terlepas dari 

genggamannya.

"Manusia-manusia Laknat! Tiada jemu juga 

kalian menebar dosa di muka bumi ini!"

"Kau...! Siapa kau? Mengapa berani main 

gila di hadapan kami?!" bentak Iblis Kelabang Me-

rah.

Sepasang mata lelaki ini menatap liar so-

sok tinggi kurus yang kini telah berdiri tegak tak


jauh dari tempat pertempuran! Ketiga temannya 

pun terkesiap kaget dengan mata terbelalak.

***

5

Sosok yang menyelamatkan Siluman Ular 

Putih dari kematian adalah seorang lelaki bertu-

buh tinggi kurus terbalut pakaian putih. Usianya 

sudah sangat renta, bahkan sulit sekali ditaksir. 

Rambutnya panjang memutih tergerai di bahu. 

Wajahnya tirus. Sepasang matanya mencorong ta-

jam, pertanda tenaga dalamnya sudah mencapai 

tingkat yang sulit sekali diukur! 

Dengan sinar mata tajam, lelaki tua itu te-

rus memandangi keempat orang pengeroyok Silu-

man Ular Putih. Kedua bibirnya berkemik-kemik. 

Jari-jari tangannya terus memilin-milin biji-biji 

tasbih putih yang tadi digunakan untuk mengha-

lau serangan keempat tokoh sesat itu terhadap Si-

luman Ular Putih!

"Siapa aku?" kata lelaki tua ini. 

"Aku hanyalah segumpal tanah. Mengapa 

kalian meributkan aku? Dan mengapa pula kalian 

tidak mau mencuci bersih otak dan hati? Mengapa 

kalian malah mengumbar kegilaan? Bila semua 

yang ada di alam semesta ini musnah, apakah arti 

kegilaan kalian? Alangkah indahnya bila berpe-

gang teguh pada tali kasih sayang. Sebab hanya 

tali kasih sayang sajalah yang dap...."

"Setan Alas!" Potong Iblis Kelabang Merah, 

membentak. "Kematian sudah di depan mata ma-

sih banyak bacot! Di sini bukanlah tempat berk-

hotbah, tahu?!"

Saat itu juga Iblis Kelabang Merah meng-

hentakkan kedua telapak tangannya yang telah


berwarna merah darah ke depan. Maka seleret si-

nar merah dari kedua telapak tangannya melesat 

menyerang tubuh ringkih orang tua berbalut kain 

putih. Padahal, jangankan tubuh ringkih. Batu 

gunung sebesar gajah pun akan hancur berkep-

ing-keping terkena pukulan 'Racun Kelabang Me-

rah'.

Wesss!

Bukkk!

Seleret sinar merah itu telak sekali meng-

hantam dada. Namun anehnya, lelaki tua kurus 

itu masih tetap tegak di tempatnya! Jangankan 

hancur berkeping-keping, seperti yang telah di-

bayangkan Iblis Kelabang Merah. Bergeming dari 

tempat berdirinya pun tidak! Malah, pada kain pu-

tih pembalut tubuh lelaki tua itu tampak cairan 

merah berwarna merah darah! Namun, itu bukan-

nya darah lelaki tua itu, melainkan racun kela-

bang merah yang berbau amis bukan kepalang.

Bukan main kagetnya tokoh sesat itu meli-

hat kesaktian orang tua berkain putih. Bahkan Si-

luman Ular Putih sampai melongo dibuatnya, sak-

ing herannya.

"Bolehkah aku mengetahui nama besarmu, 

Orang Tua?" cetus Soma, saking penasarannya.

"Pergilah! Jangan terlalu banyak mem-

buang waktu dengan pertanyaan bodoh mu! Sam-

paikan saja salamku pada eyang mu, Adi Begawan 

Kamasetyo!" ujar lelaki tua sakti itu dengan se-

nyum arif terkembang di bibir.

Siluman Ular Putih terkesiap. Ia tidak me-

nyangka kalau orang tua sakti di hadapannya 

mengenal eyangnya, sekaligus gurunya!

"Baik. Tapi kalau eyangku bertanya salam 

dari mana, aku mesti jawab apa?"

"Adi Begawan Kamasetyo pasti tahu dari


siapa salam itu. Sekarang lekaslah tinggalkan 

tempat ini! Nampaknya kau sedang menghadapi 

urusan besar."

"Benar, Orang Tua. Dan aku pun mengu-

capkan terima kasih atas pertolonganmu ini."

"Sudahlah! Jangan terlalu banyak berbasa-

basi! Lekas tinggalkan tempat ini!"

"Se.... Sebenarnya aku ingin sekali melihat 

bagaimana caramu menghajar empat ekor nyamuk 

hutan itu. Tapi, baiklah. Sekarang juga aku akan 

pergi ke Lembah Kodok Perak. Selamat tinggal, 

Orang Tua!" kata Soma, lalu cepat berkelebat dari 

tempat itu.

"Setan Alas! Kau harus bertanggung jawab 

atas lenyapnya kunyuk gondrong itu, Orang Tua!" 

bentak Iblis Kelabang Merah penuh kemarahan 

seraya mendorongkan kedua telapak tangannya 

yang berwarna merah.

Bersamaan dengan itu, ketiga orang tokoh 

sesat lainnya telah mengurung lelaki tua berbalut 

kain putih dengan senjata tergenggam di tangan.

Sedikit pun lelaki tua arif itu tidak gentar 

melihat serangan-serangan para pengeroyoknya. Ia 

hanya menjentikkan ujung telunjuk kanannya.

Wesss! 

Maka, seleret sinar putih menyilaukan ma-

ta melesat, memapak seleret sinar merah menyala 

dari kedua telapak tangan Iblis Kelabang Merah. 

Lalu....

Bummm...! 

Iblis Kelabang Merah terpental beberapa 

tombak ke belakang. Tubuhnya berputar-putar, 

sebelum akhirnya jatuh bergedebuk di tanah tan-

pa dapat bergerak-gerak lagi. Mati!

Bukan main kagetnya ketiga tokoh sesat 

yang belum sempat melepas serangan. Namun


kematian Iblis Kelabang Merah bukannya mem-

buat hati mereka jera. Seketika mereka segera 

menyerang lelaki tua tinggi kurus itu dengan ju-

rus-jurus andalan.

Anehnya, lelaki sakti itu hanya berkelebat 

ke sana kemari menghindari serangan sambil te-

rus memperhatikan gerakan-gerakan kaki dan 

tangan ketiga lawannya. Hingga tiga jurus berlalu, 

ia masih terus asyik memperhatikan jurus-jurus 

para pengeroyoknya.

"Keparat! Mengapa kau hanya menghindar 

saja, Orang Tua? Hayo, lekas balas serangan kami 

sebelum nyawa busukmu melayang!" teriak Teng-

korak Serigala penasaran.

"Baik-baik! Kalau kalian memang meng-

hendakinya. Tapi sebelumnya jangan kaget dengan 

jurus-jurus yang akan ku keluarkan. Nan, lihat-

lah! Apa kau mengenali jurus ini?" sahut lelaki tua 

kurus itu, kalem.

Kedua lututnya segera ditekuk sedemikian 

rupa. Tangan kirinya mendorong ke depan. Tan-

gan kanannya membuat cengkeraman dari bawah 

ke atas, seperti yang tadi telah dilakukan Tengko-

rak Serigala.

Tentu saja Tengkorak Serigala kaget bukan 

main, melihat jurus-jurus yang dikeluarkan lelaki 

tua sakti berbalut kain putih itu. Karena, itu ada-

lah jurus-jurus miliknya sendiri yang tadi diper-

gunakan untuk menyerang si tua berbalut kain 

putih itu.

Lebih anehnya lagi, jurus 'Tongkat Putih 

Penggebuk Dewa' milik Tengkorak Serigala yang 

dikeluarkan lelaki tua sakti itu malah jauh lebih 

hebat disbanding jurus yang dikeluarkannya tadi!

"Jahanam! Dari mana kau pelajari jurus 

'Tongkat Putih Penggebuk Dewa'-ku, Orang Tua?"


pekik Tengkorak Serigala kaget bukan main. Tidak 

menyangka kalau lelaki tua sakti di hadapannya 

mampu mengeluarkan jurus-jurus andalannya 

jauh lebih hebat dibanding miliknya.

Lelaki tua sakti itu hanya tersenyum tipis. 

Dengan menggunakan jurus sakti yang dipelajari 

dalam sekali lihat saja, ia terus mendesak Tengko-

rak Serigala! Bahkan mampu pula menahan se-

rangan-serangan Tengkorak Serigala dan Ki Ju-

lung Pucut.

Kemudian setelah menyerang Tengkorak 

Serigala, lelaki tua sakti itu pun kembali menye-

rang Raja Toya dan Ki Julung Pucut hebat. Dan 

hebatnya lagi, serangannya pun menggunakan ju-

rus-jurus yang tadi dikeluarkan Raja Toya dan Ki 

Julung Pucut! Bahkan pula jauh lebih hebat!

Seperti yang dialami Tengkorak Serigala, 

Raja Toya dan Ki Julung Pucut kaget bukan alang 

kepalang. Mereka tidak menyangka kalau musuh-

nya mampu menirukan jurus-jurus andalan mere-

ka yang demikian hebat. Padahal jurus-jurus itu 

hanya mereka sajalah yang mengetahuinya. Tapi, 

lelaki tua itu?

Diam-diam Ki Julung Pucut mengerutkan 

keningnya dalam-dalam. Ia tadi baru saja dapat 

keluar dari tekanan-tekanan lelaki tua sakti itu.

"Hm...! Kalau tidak salah, di dunia persila-

tan ini hanya ada satu orang yang mampu meni-

rukan jurus-jurus sakti seseorang dalam sekali li-

hat saja. Tokoh sakti itu tidak lain adalah, Eyang 

Bromo!" gumam Ki Julung Pucut dalam hati.

Sehabis menggumam begitu, Ki Julung Pu-

cut menatap tajam lelaki tua sakti itu. 

"Eyang Bromo! Di antara kita tidak pernah 

ada silang sengketa. Tapi, mengapa kali ini kau 

memusuhi kami?!" bentaknya, garang.


Bukan main kagetnya hati Raja Toya dan 

Tengkorak Serigala mendengar disebut-sebutnya 

tokoh sakti nomor satu di dunia persilatan. Maka, 

seketika itu juga nyali mereka pun kontan ciut.

"Benar! Di antara kita memang tidak ada 

silang sengketa. Tapi, mengapa kalian belum jera 

juga menebar angkara murka di muka bumi ini? 

Lekaslah kembali ke jalan kebenaran! Dan cucilah 

hati dan otak kalian dengan kasih sayang!" ujar le-

laki tua berbalut kain putih bernama Eyang Bro-

mo diiringi senyum arif.

"Jahanam! Tua bangka bau tanah! Hari ini 

kami mengaku kalah. Tapi, awas! Tunggulah pem-

balasanku nanti!" teriak Tengkorak Serigala den-

gan rahang menggembung.

Sehabis berkata begitu, Tengkorak Serigala 

pun segera berkelebat cepat meninggalkan tempat 

itu. Selang beberapa saat, Ki Julung Pucut dan 

Raja Toya pun ikut menyusul kepergian kawannya 

setelah menyambar mayat Ki Julung Kencono dan 

Iblis Kelabang Merah.

"Bagaimana mungkin mampu menjadi kafi-

lah di muka bumi, kalau hati mereka masih jauh 

dari rasa kasih dan sayang...," desah Eyang Bromo 

seraya menggeleng-geleng.

Sepasang mata lelaki tua ini sempat meli-

hat bayangan ketiga orang itu menghilang di se-

buah tikungan di depan sana. Kemudian setelah 

menghela napas panjang, kakinya menjejak tanah. 

Maka dalam sekejapan mata saja, sosoknya telah 

jauh berkelebat ke dalam hutan jati!

***

6

Setelah bersemadi selama dua hari untuk

memulihkan tenaga dalamnya, yang terkuras sete-

lah bertarung dengan beberapa tokoh sesat, Silu-

man Ular Putih kini telah berdiri di sebuah tang-

gul. Matanya tak lepas memandang ke arah bukit 

kecil di kejauhan sana. Sinar matahari sore ini 

berwarna jelaga menyapu sebagian badan bukit.

"Semprul! Di mana sih letaknya Lembah 

Kodok Perak? Apa di balik bukit sana? Kalau tidak 

salah waktu itu Bunda Kurawa memang mengata-

kan demikian. Yah yah...! Sebaiknya sekarang juga 

aku pergi ke sana," kata Soma dengan mata seolah 

mencari-cari.

Di saat Soma bermaksud turun dari tang-

gul, mendadak matanya melihat sesosok tubuh 

berpakaian hitam-hitam tengah melenggang santai 

sepuluh tombak di bawah sana. Tubuh orang itu 

tinggi besar dengan rambut gondrong sebahu. 

Usianya kira-kira tiga puluh lima tahun. Namun 

anehnya wajah kotaknya tampak demikian kaku, 

seperti mayat hidup!

Soma seperti bergidik melihat tampang 

angker orang itu. Namun toh akhirnya murid 

Eyang Begawan Kamasetyo ini cepat meloncat tu-

run. Langsung dijajarinya langkah orang itu.

"Maaf, Paman! Apa benar letak Lembah 

Kodok Perak itu di belakang bukit sana itu?" tanya 

Soma seraya menuding ke arah seonggok bukit hi-

jau di kejauhan sana. 

Namun anehnya orang tua tinggi besar itu 

sama sekali tidak mempedulikan. Malah langkah-

nya makin dipercepat

Soma penasaran sekali. Buru-buru lang-

kahnya dipercepat. Sekali tangannya terulur, pun-

dak lelaki itu pun telah tertepuk.

"Maaf, Paman! Apa benar Lembah Kodok 

Perak itu letaknya di belakang bukit sana?" ulang


Soma.

Lelaki bertubuh tinggi besar itu memaling-

kan kepalanya. Diperhatikannya pemuda gon-

drong di sampingnya dengan seksama. Kemudian 

dengan sikapnya yang kaku seperti mayat hidup, 

langkahnya kembali diteruskan. 

"Sontoloyo! Manusia apa dedemit sawah? 

Ditanya malah melotot?" gerutu Soma kesal.

Lelaki berpakaian hitam-hitam itu tetap ti-

dak mempedulikan ucapan murid Eyang Begawan 

Kamasetyo. Malah langkahnya semakin dipercepat

Sementara Soma hanya menggeleng-geleng 

saja. Namun pemuda ini tak patah semangat. Se-

ketika tubuhnya berkelebat. Dan kini ia kembali 

menjajari langkah lelaki aneh berpakaian hitam-

hitam itu.

Lelaki aneh berpakaian hitam-hitam itu 

menghentikan langkahnya. Keningnya berkerut-

kerut. Sepasang matanya yang besar terus mena-

tap tajam Siluman Ular Putih tanpa berkedip.

"Pergilah kau ke tempat asalmu, Bocah! 

Dari mana kau datang, ke sana pulalah kau kem-

bali. Dan, jangan bermimpi untuk dapat masuk ke 

dalam Lembah Kodok Perak!" dengus lelaki berpa-

kaian hitam-hitam itu.

Secepat lelaki ini berbalik, secepat itu pula 

tubuhnya kembali berkelebat cepat meninggalkan 

Siluman Ular Putih seorang diri. 

"Tunggu dulu, Paman! Hup!"

Begitu habis kata-katanya, Siluman Ular 

Putih cepat meloncat jauh. Langsung dihadangnya 

langkah lelaki itu. Sepasang mata birunya terus 

menatap tajam tak berkedip. 

Wajah kaku lelaki berpakaian hitam-hitam 

itu demikian mengerikan. Tak sepatah kata pun 

terucap dari kedua bibirnya yang berkemik-kemik.


Hanya matanya saja yang balas memandang So-

ma.

"Mengapa kau tak menjawab pertanyaan-

ku, Paman?" tegur Soma.

"Karena kau punya maksud yang tidak 

baik, Bocah!" jawab lelaki berpakaian hitam-hitam 

itu pendek.

Soma melengak kaget.

Bagaimana mungkin lelaki aneh ini dapat 

mengetahui maksud kedatangannya ke Lembah 

Kodok Perak? Memang Soma sedikit punya mak-

sud tidak baik di Lembah Kodok Perak. Tapi, ba-

gaimana mungkin dia dapat mengetahuinya? So-

ma bertanya-tanya dalam hati.

"Kalau memang iya, apa pedulimu? Dan 

sebenarnya, kau ini siapa? Mengapa usil dengan 

urusanku segala?" kata Soma kesal.

Wajah kaku berkumis itu tampak demikian 

garang. Mulutnya berkemik-kemik menahan gejo-

lak amarah.

"Percuma saja kukatakan. Karena kau sen-

diri juga tidak mungkin dapat mengetahuinya!" 

jawab lelaki berkumis lebat itu ketus.

Soma tertawa bergelak. Telunjuk jarinya di-

tudingkan ke muka lelaki berkumis itu seraya 

menggeleng-geleng.

"Bagaimana mungkin kau dapat mengata-

kan percuma kalau kau sendiri belum menye-

butkan namamu? Dan jika dugaanku tidak salah, 

kau ini tentu salah seorang dari Tiga Jenggot, Em-

pat Brewok dan Tujuh Kumis dari Lembah Kodok 

Perak. Atau setidak-tidaknya, mempunyai hubun-

gan yang erat sekali dengan orang-orang Lembah 

Kodok Perak," cecar Siluman Ular Putih.

Wajah kaku laki-laki berkumis lebat itu 

tampak menegang. Sepasang matanya berkilat


kilat. Kedua bibirnya berkemik-kemik pertanda 

tengah menahan amarah menggelegak.

Tanpa mempedulikan kemarahan lelaki di 

hadapannya, Soma maju setindak.

"Kau tidak mau mengatakannya juga, Pa-

man?!" cecar Soma lagi dengan suara agak keras.

"Orang-orang dari golongan Lembah Kodok 

Perak belum pernah memberitahukan namanya, 

tahu?!" bentak laki-laki berkumis lebat itu, tak ka-

lah keras.

Soma tertawa ganda, saking jengkelnya 

melihat sikap kaku lelaki di hadapannya. Namun 

mendadak suara tawanya berhenti ketika tanpa 

banyak cakap, laki-laki berkumis lebat itu ber-

jongkok sampai pantatnya menyentuh tanah.

"Kok...! Kok...!"

Aneh! Lelaki ini mendadak mengeluarkan 

suara mirip kodok. Bersamaan dengan itu, kedua 

jari-jari tangannya didorongkan ke depan

Wesss...!

Maka seketika itu juga serangkum angin 

dingin dari kedua jari-jari tangan lelaki berkumis 

itu telah meluruk ke arah Siluman Ular Putih he-

bat!

Pemuda ini terkesiap kaget. Sungguh tidak 

disangka kalau lelaki berkumis lebat itu akan me-

nyerang dirinya demikian hebatnya. Saking terke-

simanya Siluman Ular Putih, tak sempat lagi me-

mapak.

"Hup!"

Hanya melempar tubuhnya ke belakang 

yang dapat dilakukan Soma. Namun tetap saja ge-

rakan tubuhnya masih kalah cepat. Sehingga tan-

pa ampun lagi.

Tuk! Tuk!

Dada Siluman Ular Putih kontan terhan


tam sambaran angin dingin dari jari-jari tangan le-

laki berkumis tebal itu! Seketika itu juga tubuhnya 

makin terlempar beberapa tombak ke belakang. 

Sebentar pemuda itu berputar-putar sebelum ak-

hirnya jatuh mencium tanah.

Siluman Ular Putih mengeluarkan sumpah 

serapah dalam hati. Wajahnya pucat pasi. Kedua 

bibir meringis menahan nyeri.

"Sontoloyo! Bagaimana mungkin aku dapat 

dirobohkan dalam segebrakan?" maki Siluman 

Ular Putih dalam hati. 

Bersama dengan itu hawa dingin akibat to-

tokan jarak jauh lelaki berkumis tebal itu pun mu-

lai menjalar ke dalam tubuhnya! Siluman Ular Pu-

tih tidak tahan lagi. Sekujur tubuhnya menggigil 

kedinginan.

"Kampret! Benar-benar kampret! Mengapa 

tadi aku bertindak ayal-ayalan?" rutuk Soma.

Siluman Ular Putih kini mencoba bangkit. 

Namun anehnya sekujur tubuhnya terasa beku! 

Jangankan untuk meloncat bangun. Untuk meng-

gerakkan kedua tangannya pun rasanya sulit!

"Celaka! Mengapa bisa begini?!" gumam 

Soma kalang kabut.

"Heh! Kepandaian cuma seujung kuku, 

mau nekat ingin datang ke Lembah Kodok Perak," 

dengus lelaki berkumis itu. "Tapi kalau kau pena-

saran juga ingin pergi ke sana, berjalanlah ke be-

lakang bukit sebelah selatan sana. Cuma syarat-

nya, bebaskan dirimu dulu dari totokanku."

Siluman Ular Putih menggerutkan gera-

hamnya kuat-kuat. Diam-diam ia pun mulai men-

gerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Namun baru 

saja ia mengambil napas, mendadak lelaki berku-

mis lebat itu pun telah berkelebat cepat mening-

galkan tempat ini.



Soma melengak, kaget mendapati dirinya 

ternyata dalam keadaan tertotok. Tapi Siluman 

Ular Putih yakin, lelaki tadi tidak bermaksud jahat 

terhadapnya. Padahal kalau mau, bukan mustahil 

Siluman Ular Putih dapat dibunuh dengan mudah. 

Dan Soma cuma tertotok.

"Siapa sebenarnya lelaki berkumis lebat 

itu? Apakah ia juga termasuk salah seorang dari 

Tiga Jenggot, Empat Brewok, dan Tujuh Kumis 

dari Lembah Kodok Perak? Kalau memang iya, 

sungguh hebat kesaktian orang-orang Lembah Ko-

dok Perak. Menghadapi seorang dari mereka saja, 

aku tak berdaya. Apalagi menghadapi mereka se-

mua. Ah...! Bagaimana ini?" gumam Soma gelisah.

Namun begitu teringat akan keselamatan 

Angkin Pembawa Maut, Soma pun lantas mencoba 

membebaskan dirinya dari pengaruh totokan. Na-

mun tubuhnya sama sekali tak bisa digerakkan, 

Bahkan terasa beku.

"Sontoloyo! Mengapa tubuhku jadi beku 

seperti ini?" rutuk Soma gelisah bukan main. Apa-

lagi ketika dilihatnya tiba-tiba awan hitam bergu-

lung-gulung di angkasa, pertanda sebentar lagi 

akan turun hujan. Maka tak henti-hentinya pe-

muda ini menyumpah serapah.

"Sialan! Terpaksa aku harus berdiam diri dalam 

keadaan beku seperti ini. Kehujanan lagi! Huh!"

***

7

Baru setelah matahari menampakkan si-

narnya di ufuk timur, Soma mulai dapat mele-

paskan diri dari pengaruh totokan. Itu pun secara 

bertahap, setelah ia melepaskan pukulan sakti 

'Tenaga Inti Api'.


"Hyaaat!"

Begitu pengaruh totokan telah benar-benar 

sirna, Siluman Ular Putih meloncat bangun. Meski 

demikian gerakannya masih terasa kaku. Maka 

kembali dicobanya kerahkan pukulan sakti 

'Tenaga Inti Api'-nya. Dan saat itu pula tubuhnya 

terasa enteng sekali.

"Sontoloyo! Tak kusangka akibat totokan si 

kumis tadi demikian hebat. Untung saja ia tidak 

menginginkan nyawaku. Huh! Awas nanti kalau 

ketemu!" gerutu Siluman Ular Putih jengkel, se-

raya berkelebat dari tempat ini.

Siluman Ular Putih mengerahkan seluruh 

kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Seperti 

yang dikatakan lelaki tadi, Soma kini menuju bu-

kit sebelah selatan. Karena, memang di sanalah le-

tak Lembah Kodok Perak. 

Kini Soma tiba di sebuah hutan lebat. Sak-

ing lebatnya, matahari sampai tidak mampu me-

nembuskan sinar-sinarnya. Pohon-pohon besar 

berusia ratusan tahun tumbuh berjajar dengan 

akar-akarnya yang bertonjolan di sana-sini. Setin-

dak demi setindak, pemuda ini mulai menyusuri 

jalan setapak di pinggiran hutan. Di tempat asing 

seperti ini, Siluman Ular Putih merasa perlu me-

ningkatkan kewaspadaannya. Mata dan telinganya 

dipasang tajam-tajam.

"Okh...!"

"Hah...?!"

Tiba-tiba pendengaran Siluman Ular Putih 

yang sudah sangat terlatih samar-samar menden-

gar rintihan seseorang. Langkahnya langsung di-

hentikan sebentar. Sepasang matanya bergerak-

gerak, mencari asal suara rintihan tadi.

Namun sebentar kemudian, Soma menge-

luh. Entah karena apa, tiba-tiba suara rintihan itu



menghilang. Kalau saja mengingat urusannya di 

Lembah Kodok Perak, ingin rasanya pemuda itu 

cepat meninggalkan hutan itu. Namun jiwa kepen-

dekarannya menuntut lain. Perlahan-lahan ka-

kinya kembali melangkah menuju ke arah datang-

nya suara rintihan itu.

Setelah menemukan sumber suara, sepa-

sang mata biru Siluman Ular Putih pun kontan 

membelalak lebar. Di balik semak-semak belukar 

tampak olehnya sesosok lelaki berpakaian hitam-

hitam tengah menggeletak dengan sekujur tubuh 

matang biru. Wajahnya pucat pasi. Tampak darah 

segar membasahi sudut-sudut bibirnya. Dan ia ti-

dak lain dari lelaki berkumis lebat yang telah 

mencelakakan Soma tadi malam!

Soma langsung melompat dan menyingkap 

semak-semak belukar di hadapannya. Kemudian 

tanpa banyak cakap, langsung diangkatnya tubuh 

tinggi besar lelaki itu ke tepi jalan. Dan sekali lihat 

saja, murid Eyang Begawan Kamasetyo tahu kalau 

orang yang telah menganiaya lelaki berkumis itu 

lebih dari satu orang. 

"Hm ! Kalau melihat luka-lukanya pasti 

akibat terkena pukulan tongkat putih milik Teng-

korak Serigala. Dan yang di dada kiri ini pasti aki-

bat terkena pukulan Raja Toya. Sedang pada ulu 

hatinya, pasti akibat terkena lecutan cemeti di 

tangan Ki Julung Pucut. Pasti!" gumam Soma.

"Berarti semalam lelaki ini dikeroyok pula 

oleh orang-orang suruhan Teratai Emas"

Kening Soma berkerut dalam. Rasa ibanya 

terhadap lelaki ini langsung muncul. Padahal, se-

mula Siluman Ular Putih mau membuat perhitun-

gan bila berjumpa lagi. Tapi begitu melihat kea-

daan lelaki berkumis ini sangat memprihatinkan,

keinginannya pun sirna. Apalagi lelaki ini tidak


bermaksud jahat terhadap dirinya. Hanya sekadar 

memberi peringatan. Buktinya akhirnya lelaki itu 

menjelaskan letak Lembah Kodok Perak

"Yah...! Bagaimanapun juga, aku memang 

patut berterima kasih pada lelaki ini. Meski ting-

kah lakunya aneh, tapi aku yakin kalau orang-

orang penghuni Lembah Kodok Perak bukanlah 

dari golongan sesat. Sekarang, sebaiknya aku ha-

rus secepatnya mengantarnya ke Lembah Kodok 

Perak. Sekalian, menyelidiki suasana lembah itu!" 

pikir Soma dalam hati. 

Dan sehabis berpikir demikian, Soma pun 

cepat memondong tubuh tinggi besar itu ke pun-

daknya. Dan secepatnya Siluman Ular Putih ber-

kelebat menuju bukit hijau di sebelah selatan sa-

na.

Setelah melewati jalan berkelok-kelok, ak-

hirnya Siluman Ular Putih mulai memasuki dae-

rah Lembah Kodok Perak. Sebuah lembah luas 

jauh di luar muara Kali Angkrik. Semak-semak be-

lukar tampak tumbuh liar di sana-sini. Tingginya 

hampir setinggi badan manusia. Sementara di se-

kitar lembah pun masih banyak kubangan lumpur 

hidup. Sedang jauh di ujung lembah, tampak dua 

bukit kembar tegak di sana. Pada bagian tengah-

nya, terdapat pula dataran berumput hijau. Sa-

mar-samar pada dinding-dinding bukit tampak 

pula titik-titik hitam kecil. Entah titik-titik apa itu. 

Soma tidak tahu. Dan ia pun tidak berani main-

main. Meski ilmu meringankan tubuhnya sudah 

mencapai tingkat tinggi, sikapnya tetap hati-hati. 

Apalagi, saat ini masih memanggul sosok lelaki 

berpakaian hitam-hitam yang diduga keras adalah 

salah seorang penghuni Lembah Kodok Perak.

Semakin pemuda gondrong itu masuk ke 

dalam Lembah Kodok Perak, kegelisahan semakin


menjadi-jadi. Tangan kanannya sebentar-sebentar 

menggaruk-garuk kepala. Memang, Soma yakin 

kalau itu Lembah Kodok Perak. Namun bagaima-

napun juga ia masih bingung untuk memastikan 

tempat tinggal Tiga Jenggot, Empat Brewok dan 

Tujuh Kumis dari Lembah Kodok Perak. Sedang 

untuk menanyakan orang dalam pondongannya 

jelas tidak mungkin. Jangankan untuk memberi 

keterangan sepanjang itu. Untuk mengeluarkan 

sepatah kata pun, lelaki berkumis tebal itu tidak 

mampu. Di samping itu pula, belum tentu orang 

dalam pondongannya mau memberi keterangan.

"Ah...! Bagaimana ini? Aku kok merasakan 

tubuh orang dalam pondongan ku semakin lama 

semakin dingin? Ah...! Jangan-jangan ia sudah..."

Soma tidak meneruskan bicaranya. Tangan 

kanannya cepat meraih pergelangan tangan si 

kumis. Lantas keningnya berkerut heran. Ternyata 

orang dalam pondongannya sudah tewas!

Sejenak Siluman Ular Putih menghentikan 

langkahnya. Diperhatikannya sosok dalam pon-

dongannya dengan perasaan tidak menentu. Lalu 

sepasang mata birunya beralih ke lembah di ha-

dapannya.

"Ah...! Apa yang harus kulakukan? Orang 

berpakaian hitam-hitam dalam pondongan ku ini 

sudah tewas. Perlukah aku membawa masuk ke 

dalam Lembah Kodok Perak? Tapi jika mengingat 

besar kemungkinan kalau orang dalam pondongan

ku ini adalah orang dari penghuni Lembah Kodok 

Perak, mengapa aku harus menelantarkannya? Di 

samping itu, aku yakin kalau tempat tinggal 

orang-orang Lembah Kodok Perak tentu tidak jauh 

lagi. Yah yah...! Mengapa aku harus menelantar-

kannya? Sebaiknya kubawa saja sekalian mayat 

ini," pikir Soma dalam hati.


Berpikir demikian, kembali murid Eyang 

Begawan Kamasetyo berkelebat cepat menyusuri 

jalan setapak di depannya. Dan ketika sampai di 

lereng sebelah selatan bukit hijau di sampingnya, 

mendadak mata birunya kontan bersinar-sinar. 

Kelebatan tubuhnya berhenti mendadak. Di de-

pannya, tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak 

dua buah gubuk kecil beratap anyaman daun-

daun jati. Letak kedua gubuk itu pun agak ber-

pencaran. Dari gubuk satu ke gubuk lainnya, kira-

kira berjarak dua puluh tombak.

"Mungkinkah gubuk-gubuk itu merupakan 

tempat tinggal para penghuni Lembah Kodok Pe-

rak? Hm...! Bisa jadi!"

Kepala Soma terangguk-angguk. Sepasang 

mata birunya lekat memperhatikan dua buah gu-

buk kecil di hadapannya. Kemudian, entah men-

dapat kekuatan dari mana, kedua kakinya pun 

mulai berjalan mendekati salah satu dari gubuk 

itu.

***

Tiba di depan salah satu gubuk, Siluman 

Ular Putih jadi ragu-ragu. Pintu gubuk itu me-

mang terkunci. Meski demikian, Soma tidak berani 

sembarangan nyelonong ke dalam. Diletakkannya 

mayat orang dalam pondongannya dengan hati-

hati sekali. Lalu ia berjalan mendekati pintu.

"Permisi! Apa di dalam ada orang?!" teriak-

nya.

"Kau mau mencari siapa?!"

Tiba-tiba terdengar satu bentakan garang 

dari belakang, membuat Soma terlonjak kaget. Se-

ketika itu juga badannya berbalik. Tampak di ha-

dapannya seorang lelaki bertubuh tinggi besar 

dengan pakaian warna hitam-hitam. Usianya kira


kira empat puluh tahunan. Rambutnya panjang 

sebahu. Wajahnya kaku berbentuk persegi. Ra-

hangnya bertonjolan. Dan sepasang matanya yang 

besar sebesar jengkol terus memandang Siluman 

Ular Putih tajam.

Siluman Ular Putih mengerutkan kening 

dalam-dalam. Bukan hanya heran melihat tam-

pang kaku lelaki di hadapannya, melainkan juga 

heran. Bagaimana mungkin langkah kaki orang itu 

tidak dapat terdengar telinganya? Padahal dalam 

jarak seratus tombak pun, ia masih dapat men-

dengar langkah kaki orang. Namun lelaki berku-

mis lebat di hadapannya, benar-benar mengagum-

kan! Itu saja sudah membuktikan kalau ilmu me-

ringankan tubuh lelaki berkumis lebat itu tinggi 

sekali!

Soma tersenyum seramah mungkin. Seo-

lah-olah senyum itulah, senyumnya yang paling 

manis yang pernah diberikan kepada orang. Kedua 

tangannya merangkap di depan dada.

"Maaf, Paman! Mau numpang tanya. Be-

narkah lembah ini adalah Lembah Kodok Perak?"

Wajah kaku lelaki berkumis lebat di hada-

pan Siluman Ular Putih tampak demikian garang. 

Sepasang matanya yang sebesar jengkol tak ber-

kedip terus pandangi pemuda gondrong di hada-

pannya. 

Diperlakukan seperti itu Soma jadi gusar. 

Entah kenapa, lagi-lagi tangannya sudah garuk-

garuk kepala. Senyum nakalnya pun tampak ter-

kembang di bibir

"Aku ingin bertemu beberapa orang peng-

huni Lembah Kodok Perak. Dapatkah kau menun-

jukkan jalannya padaku, Paman?" jelas Soma se-

dikit memperkeras nada bicaranya, seolah-olah 

takut tidak terdengar.


Lelaki berkumis lebat itu tetap diam mem-

bisu. Tak sepatah kata pun terucap dari kedua bi-

birnya yang kaku. Kemudian dengan tidak mem-

pedulikan pertanyaan Siluman Ular Putih, kakinya 

mulai dilangkahkan masuk ke dalam gubuk dan 

menguncinya rapat-rapat dari dalam.

Soma hanya melongo saking herannya.

"Jangkrik buntung! Sungguh tidak ramah 

sekali tingkahnya!" gerutu Soma dalam hati.

Namun pemuda ini masih penasaran den-

gan tingkah lelaki tadi. Lantas kedua kakinya ce-

pat bergerak mendekati pintu gubuk. Namun baru 

beberapa langkah, mendadak dari lubang gubuk 

itu melesat cepat sebuah benda putih ke arahnya.

Wesss!

Soma terkesiap kaget. Tentu saja tubuhnya 

tidak ingin terkena hantaman benda putih yang 

melesat menyerang dirinya. Maka tanpa banyak 

pikir lagi, Siluman Ular Putih cepat melompat be-

berapa kali ke samping. Akan tetapi anehnya, lesa-

tan benda putih itu mendadak berhenti di udara!

Sekali lagi, Soma terkesiap kaget. Dan be-

lum hilang kagetnya, benda putih yang tadi sem-

pat berhenti di udara, kini malah mulai melayang 

turun! Ternyata, benda putih itu adalah secarik 

kertas putih!

"Semprul! Ternyata hanya sebuah kertas!" 

gerutu Soma kesal.

Dengan sekali loncat, tahu-tahu kertas pu-

tih yang masih melayang-layang di udara pun te-

lah tersambar tangan murid Eyang Begawan Ka-

masetyo. Kemudian dengan perasaan mendongkol 

mulai dibukanya lipatan kertas dan membacanya.

Lekas lemparkan mayat si kumis ke depan 

pintu gubukku! Dan cepat lari menyingkir dari sini!


Kening Soma berkerut jengkel membaca tu-

lisan itu. Lalu tanpa banyak pikir panjang lagi, se-

gera diangkatnya mayat lelaki berkumis dan di-

lemparkannya ke arah pintu gubuk!

Brakkk!

Terdengar satu benturan keras. Pintu gu-

buk itu terbuka. Sepasang mata besar lelaki ber-

kumis itu mencorong tajam dari balik pintu gu-

buknya yang terbuka.

Sementara Siluman Ular Putih bertolak 

pinggang di depan pintu gubuk. Senyum nakalnya 

tampak terkembang di bibir.

"Hei, Paman! Apa kau juga salah seorang 

dari penghuni Lembah Kodok Perak? Dan apa kau 

juga tidak mengenali temanmu yang sudah habis 

masa kontraknya di dunia?" kata Soma seenak 

dengkul

Pemuda itu masih mengumbar senyum na-

kalnya. Telunjuk jari tangan kanannya dituding-

tudingkan ke arah laki-laki berkumis di dalam gu-

buk. Sementara itu mulutnya terus mengoceh 

panjang pendek. Namun... 

"Kok...! Kok...!"

Tidak disangka-sangka, tiba-tiba dari da-

lam gubuk terdengar dua kali bunyi mirip suara 

kodok! Bersamaan dengan itu mendadak serang-

kum angin kencang yang hebat luar biasa telah 

menyerang ke arah Siluman Ular Putih!

Wesss! Wesss!

Soma yang pernah merasakan kehebatan 

pukulan seperti itu, tentu saja tidak mau celaka 

untuk kedua kalinya. Tanpa banyak cakap lagi, 

cepat tubuhnya melompat ke atas dahan pohon 

tak jauh dari tempatnya berdiri.

Bummm...! Bummm...!


Terdengar dua kali benturan keras meme-

nuhi lembah itu. Selang beberapa saat, terdengar 

bunyi berderak dari batang pohon jati sebesar dua 

lingkaran tangan manusia dewasa tumbang, aki-

bat terkena pukulan lelaki berkumis lebat di da-

lam gubuk!

Biarpun Soma dapat bergerak cepat dan 

melompat ke atas dahan pohon, namun tentu saja 

masih merasakan desir angin pukulan tadi. Tanah 

di sekitar tempat itu pun bergetar hebat. Batang 

pohon kayu jati yang jadi sasaran berlubang be-

sar, mengepulkan uap putih tipis!

Soma termenung beberapa saat. Melihat 

kehebatan orang berkumis di dalam gubuk, entah 

mengapa hatinya jadi ragu-ragu akan dapat me-

nyelesaikan urusannya di Lembah Kodok Perak. 

Baru satu orang berkumis dari Lembah Kodok Pe-

rak saja, belum tentu dapat dikalahkannya. Belum 

lagi dengan penghuni-penghuni lainnya. Kalau 

mereka maju satu persatu, mungkin Siluman Ular 

Putih mampu mengalahkannya. Namun kalau me-

reka maju bersama-sama?

"Kau ini kenapa sih, Paman? Kenapa uring-

uringan begini? Jangan salah paham, dong! Orang 

yang membunuh si kumis itu bukannya aku. Jika 

kau masih tidak percaya, coba periksa mayat te-

manmu itu!" ujar Siluman Ular Putih kesal.

Dari sela-sela daun jati yang tumbuh lebat, 

Soma dapat melihat lelaki berkumis itu mulai ke-

luar dari gubuknya. Sepasang matanya yang besar 

jelalatan ke sana kemari, mencari-cari ke arah 

mana pemuda tadi melarikan diri. Tidak lama ke-

mudian lelaki berkumis itu pun mulai membopong 

mayat kawannya. Sejenak matanya yang besar se-

perti jengkol mulai memeriksa tubuh temannya 

yang sudah menjadi mayat.


"Kau jangan salah paham, Paman! Aku bu-

kannya pembunuh temanmu itu. Aku hanya men-

gantarkan mayatnya itu kemari," kata Soma dari 

atas pohon.

"Turun kau, Bocah Sinting! Aku ada sedikit 

pertanyaan untukmu," bentak lelaki bermata jeng-

kol itu garang.

Soma tertawa bergelak. 

"Kau ini lucu sekali, Paman. Jika aku su-

dah turun, kau pasti akan menyerangku dengan 

pukulan maut mu, bukan? Mana sudi aku turun. 

Enakan di sini sambil melihat-lihat pemandan-

gan," kata Soma di antara tawanya.

Lelaki bermata jengkol melotot lebar-lebar. 

Wajahnya yang kaku tampak demikian garangnya.

"Cepat turun, Bocah! Aku tidak akan me-

nyerangmu lagi," sungut orang berkumis itu kesal.

"Baik. Tapi, kau harus janji dulu, Paman! 

Janji tidak boleh menyerangku lagi!" kata Soma, 

masih ogah-ogahan beranjak dari tempat duduk-

nya.

"Iya! Aku berjanji!" sahut lelaki itu kesal.

"Awas, kalau kau mungkir! Kau pasti akan 

kualat! Arwah temanmu itu akan mencungkil ma-

ta jengkol mu!" celoteh Soma seraya melayang tu-

run.

Lelaki berkumis lebat itu menggeram pe-

nuh kemarahan. Namun anehnya, ia mau saja 

menuruti perintah pemuda gondrong murid Eyang 

Begawan Kamasetyo. Hanya sepasang matanya sa-

ja yang menatap tajam Siluman Ular Putih.

"Jawab pertanyaanku dengan benar, Bo-

cah!" ujar lelaki itu kaku. "Apa maksudmu sehing-

ga kau mau mengantar mayat temanku ini kemari, 

Bocah?" tanya lelaki itu.

Soma tidak langsung menjawab. Malah


tangannya sibuk menggaruk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal. Sepertinya ia sengaja ingin men-

gulur-ulur waktu.

"Jawab, Bocah! Jangan garuk-garuk kepala 

saja!" bentak orang berkumis itu kesal.

"Sabar dong, Paman! Aku memang tidak 

punya niatan apa-apa dengan menolong temanmu. 

Tapi aku pikir, sudah cukup rasanya kalau kau 

mengetahui bukannya aku yang membunuh te-

manmu itu," sahut Soma, agak berdusta. Karena 

kedatangannya ke Lembah Kodok Perak jelas ada 

maksudnya.

"He...!" lelaki berkumis itu menggumam tak 

jelas. Selangkah demi selangkah mulai didekati 

pemuda gondrong di hadapannya.

Soma terkesiap kaget, buru-buru menying-

kir ngeri.

"Lantas, dari mana kau dapat mengetahui 

kalau ia adalah salah seorang penghuni Lembah 

Kodok Perak?" susul lelaki itu seraya menuding-

kan telunjuknya ke arah mayat temannya. 

"Yeh...! Mudah sekali. Karena ia pun per-

nah menyerangku dengan ilmu yang kau gunakan 

barusan," jawab Siluman Ular Putih tanpa pikir 

panjang lagi.

Bukan main gusarnya lelaki berkumis lebat 

itu mendengar jawaban-jawaban Siluman Ular Pu-

tih yang sepertinya tengah meledek. Namun, ba-

gaimanapun juga, amarahnya masih dapat diken-

dalikan.

"Baik, baik! Kuterima alasanmu, Bocah. 

Lantas, mengapa kau sudi datang kemari mengan-

tarkan mayat temanku itu?" cecar lelaki mata 

jengkol itu.

"Sebenarnya tadi aku ingin membuangnya 

ke semak belukar. Tapi kupikir, kok kasihan. Lantas kubawa saja kemari. Apa itu salah, Paman?" 

kata Soma berpura-pura bodoh.

"Hm...!" lelaki bermata besar ini menggu-

mam tak jelas. Tampak sekali kalau ia tidak puas 

mendengar jawaban Soma. "Kalau begitu, kau pun 

tahu siapa orang yang telah membunuhnya, Bo-

cah. Di manakah orang-orang yang telah membu-

nuh adik seperguruanku ini?"

"Yah...! Mana aku tahu? Aku tidak melihat 

dengan mata kepalaku sendiri," sahut Soma see-

naknya. "Tapi jangan khawatir, Paman! Yang pasti 

temanmu itu pasti terkena pukulan 'Tongkat Pu-

tih' Tengkorak Serigala. Juga terkena pukulan Ra-

ja Toya. Sedang pada ulu hatinya pasti terkena le-

cutan cemeti berekor sembilan milik Ki Julung Pu-

cut dari Gunung Srandil, Paman."

Lelaki Mata Jengkol membelalakkan ma-

tanya liar. Rahangnya yang bertonjolan menggem-

bung, pertanda tengah menahan, gejolak amarah 

yang menggelegak.

"Hm...! Orang-orang Lembah Kodok Perak 

belum pernah keluar dari sarangnya menyatroni 

tokoh-tokoh dunia persilatan mana pun. Tapi, 

mengapa tiga orang tokoh sesat itu malah memu-

suhi kami?" gumam lelaki berkumis ini, entah di-

tujukan pada siapa.

Soma hanya tersenyum senang. Dibiarkan-

nya lelaki bermata besar itu mengoceh seorang di-

ri.

Dan melihat ketenangan sikap pemuda 

gondrong di hadapannya, lelaki berkumis itu pun 

jadi curiga

"Baik. Kuterima semua alasanmu, Bocah. 

Tapi biar bagaimanapun juga aku tetap mencuri-

gai kedatanganmu kemari Bocah," desisnya. 

Soma tersenyum lebar.


"Kau memang pantas mencurigai kedatan-

ganku, Paman. Karena kedatanganku kemari sen-

gaja untuk meminta sedikit petunjuk bagaimana 

caranya mempelajari ilmu 'Kok-kokan'mu yang 

hebat itu. Sekaligus meminjam Kitab Kodok Perak 

Sakti milik kalian," ujar Soma, terus terang.

Lelaki berkumis dan bermata besar itu me-

lotot. Dipandanginya pemuda gondrong di hada-

pannya dengan tajam. Lalu entah karena apa, 

mendadak ia tertawa dengan bergelak-gelak. 

"Jangan mimpi, Bocah Sinting!" kata lelaki 

itu di antara tawa bergelaknya "Jangankan bocah 

ingusan macam kau! Kami, Tiga Jenggot, Empat 

Brewok dan Tujuh Kumis dari Lembah Kodok Pe-

rak pun belum mampu menamatkan semua pela-

jaran yang terdapat di dalam Kitab Kodok Perak 

Sakti. Apalagi kau! Mana mungkin kau mampu 

mempelajari kitab itu. Kau tahu! Hanya karena in-

gin mempelajari kitab itu saja, kami penghuni 

Lembah Kodok Perak dilarang keras keluar ke du-

nia ramai. Tapi sayang. Daksiro tidak tahan dan 

melarikan diri. Dan biarpun telah menjadi mayat, 

hukuman atas pelanggaran Daksiro pun akan te-

tap dilaksanakan. Kalau sudah begitu, bagaimana 

mungkin kau dapat betah tinggal bertahun-tahun 

di tempat ini, Bocah?"

Soma terkesiap kaget. Namun hanya se-

bentar. Sejurus kemudian ia telah dapat mengata-

si keterkejutannya.

"Alaaah...! Itu kan hanya alasanmu saja, 

Paman. Pokoknya kujamin, aku pasti dapat mem-

pelajari Kitab Kodok Perak Sakti itu dalam waktu 

singkat. Dan yang lebih penting lagi, kau pasti 

akan kubantu bagaimana menguasai ilmu yang 

terkandung di dalamnya. Kau mau, kan?" oceh Si-

luman Ular Putih.


Lelaki berkumis tebal ini mendengus.

"Sudah kubilang jangan mimpi, Bocah! Kau 

tidak akan dapat mempelajari kitab milik kami. 

Dan satu lagi ingat! Kami orang-orang Lembah 

Kodok Perak tetap akan menuntut atas tewasnya 

Daksiro," tegas lelaki berkumis ini. "Sekarang, 

mumpung urusannya, belum berlarut-larut! Ce-

patlah tinggalkan tempat ini! Kalau kau masih 

bersikeras tidak mau meninggalkan tempat ini, 

jangan salahkan kami, kalau terpaksa harus 

membunuhmu di sini!"

Soma menggaruk-garuk kepala. Keningnya 

berkerut-kerut. Namun akalnya yang cerdik tentu 

saja tidak mau membenturkan diri pada orang-

orang Lembah Kodok Perak. Ia malah lebih senang 

mengambil jalan lain.

"Baik, baik! Kalau kalian memang kebera-

tan, aku juga nggak apa-apa. Paling aku hanya 

menggerutu kesal dalam perjalanan pulang," geru-

tu Soma kesal.

Lalu tanpa banyak cakap lagi, Siluman 

Ular Putih berkelebat cepat meninggalkan Lembah 

Kodok Perak

Lelaki berkumis dan bermata besar itu 

sempat tersenyum mendengar apa yang dikatakan 

pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kama-

setyo itu barusan. Aneh sekali memang senyum-

nya. Namun sayang hanya sebentar. Karena raut 

kakunya kembali menghiasi wajahnya ketika 

bayangan putih keperakan Siluman Ular Putih 

menghilang di sebuah tikungan. Kemudian tanpa 

banyak membuang waktu lagi, sambil memanggul 

mayat adik seperguruannya, ia segera berlari ma-

suk ke dalam Lembah Kodok Perak.

***


8

Benarkah Soma alias Siluman Ular Putih 

meninggalkan Lembah Kodok Perak? Apakah ia 

sudah tega membiarkan Angkin Pembawa Maut te-

rancam bahaya maut di Istana Ular Emas? 

Ternyata tidak. Begitu lelaki bermata besar 

tadi berkelebat, Siluman Ular Putih cepat berbalik 

kembali, Dengan, mengerahkan ilmu lari cepatnya 

'Menjangan Kencono', tubuhnya terus berkelebat. 

Hingga akhirnya, bayangan hitam lelaki bermata 

besar yang sedang memanggul adik seperguruan-

nya kini terlihat di kejauhan sana.

Soma terus berkelebat mengikuti lelaki di 

depannya. Dengan cara itu, berarti Siluman Ular 

Putih akan lebih mudah dapat menemukan letak 

persembunyian Tiga Jenggo, Empat Brewok dan 

Tujuh Kumis para penghuni Lembah Kodok Perak.

Siluman Ular Putih menghentikan larinya 

ketika lelaki yang diikutinya berhenti di depan se-

buah gubuk kecil yang kira-kira jaraknya dua pu-

luh tombak dari gubuknya. Kemudian setelah me-

letakkan mayat adik seperguruannya, lelaki ber-

mata besar itu menendang pintu gubuk. Lalu tu-

buhnya kembali berkelebat cepat menuju tempat-

nya semula.

Dari jarak sekitar lima puluh tombak di 

tempat persembunyiannya, Soma melihat, dari da-

lam gubuk muncul seorang lelaki berkumis lebat. 

Usianya, tidak berselisih jauh dengan lelaki ber-

mata besar tadi. Dan tanpa banyak cakap pula, 

dibopongnya mayat di depan gubuk, lalu berkele-

bat cepat menuju gubuk berikutnya. 

Dengan, hati-hati sekali Soma kembali ber-

kelebat cepat mengikuti lelaki berpakaian serba hi-

tam di depan. Dari ternyata apa yang dilakukan le


laki itu pun sama persis dengan apa yang dilaku-

kan lelaki bermata besar tadi. Yakni, meletakkan 

mayat lelaki bernama Daksiro di depan pintu gu-

buk berikutnya, lalu menendang pintu gubuk dan 

cepat berkelebat menuju tempatnya semula. 

Siluman Ular Putih yang baru saja meng-

hentikan kelebatannya memandang dengan kening 

berkerut. Sebentar kemudian baru ia paham. Ter-

nyata dengan cara berantai demikian, mayat Dak-

siro terus dibawa masuk ke dalam Lembah Kodok 

Perak oleh lelaki berkumis lainnya. Tanpa mengu-

rangi kewaspadaannya, Soma terus membayang-

bayangi apa yang tengah dilakukan orang-orang 

penghuni Lembah Kodok Perak. Hingga akhirnya, 

sampailah pemuda gondrong murid Eyang Bega-

wan Kamasetyo di sebuah dataran luas. 

Dataran itu terletak diantara dua buah bu-

kit kecil di kanan kiri. Dari terangnya sinar mata-

hari siang itu, tampak pula kalau dataran itu di-

penuhi berpuluh-puluh kubangan besar, berisi ra-

tusan kodok besar berwarna putih keperakan! Di 

kanan kiri dinding-dinding bukit pun banyak se-

kali terdapat lubang besar tempat keluar masuk 

kodok-kodok perak itu!

Dengan sangat hati-hati sekali Siluman 

Ular Putih terus mengikuti sosok lelaki berpakaian 

hitam-hitam di depan. Namun mendadak lelaki di 

depan sana menghentikan langkahnya.

"Hm... rupanya Tongkat Serigala, Raja 

Toya, dan Ki Julung Pucut," gumam Soma seraya 

menghentikan langkahnya dan segera mencari 

tempat persembunyian. "Tapi di mana Iblis Kela-

bang Merah? Apa mungkin ia telah tewas di tan-

gan lelaki tua sakti, yang waktu itu menolongku? 

Ah, masa bodoh. Ingin kulihat, apa yang hendak 

mereka lakukan terhadap lelaki berpakaian hitam


itu. Hm.... Ketiga tokoh sesat itu kini ditemani dua 

lelaki lain yang sekali lihat saja bisa tertebak, ke-

pandaian mereka tak bisa dianggap sepele..." 

Memang, tiga lelaki yang menghadang tak 

lain dari para tokoh sesat yang tempo hari menge-

royok Soma. Sedang dua sosok yang lain, Soma 

belum dapat mengetahuinya dengan pasti.

Sementara itu lelaki berpakaian hitam yang 

tengah memondong mayat Daksiro tampak masih 

tegak memandangi kelima sosok yang mengha-

dangnya. Tampak sekali kalau lelaki yang juga 

berkumis lebat itu tengah ragu-ragu. Sebentar ter-

lihat melangkah maju, namun sebentar kemudian 

menghentikan langkahnya. Tapi, tiba-tiba ia su-

dah mengambil keputusan. Perlahan-lahan dile-

takkannya mayat Daksiro di atas rerumputan. La-

lu seketika diserangnya kelima penghadangnya 

tanpa banyak cakap lagi.

Pertarungan tak seimbangpun berlangsung 

seru. Masing-masing mengandalkan kepandaian-

nya. Sebetulnya kepandaian mereka seimbang. 

Tapi karena lelaki berkumis itu dikeroyok lima, 

maka sebentar saja ia sudah jadi bulan-bulanan 

para tokoh sesat itu.

***

Siluman Ular Putih bukannya tak mau 

membantu lelaki berkumis yang tengah dikeroyok 

oleh lima tokoh sesat itu. Karena pada saat yang 

gawat, ternyata lelaki itu bisa melarikan diri wa-

laupun dengan susah payah. Untung saja larinya 

ke arah Soma. Maka begitu dekat, Siluman Ular 

Putih langsung menyambar tubuhnya dan mem-

bawanya ke tempat yang aman.

Lalu dengan gerakan cepat luar biasa, So


ma menotok beberapa jalan darah di tubuh lelaki 

berpakaian hitam itu.

"Maaf, Paman! Terpaksa aku harus mem-

perlakukan mu begini. Karena kalau tidak, celaka-

lah dirimu nanti!" ucap Soma, seraya meletakkan 

lelaki itu di tanah.

Walau lelaki ini nampak menunjukkan ke-

marahannya, Soma tidak peduli. Pemuda itu ma-

lah mulai membuka pakaian hitam milik lelaki itu

dan memeriksanya. Tampak tiga bekas pukulan 

maut yang berbeda di dadanya. Diam-diam Silu-

man Ular Putih menggeram dalam hati. Kemudian 

tanpa banyak cakap lagi, pemuda gondrong ini se-

gera menempelkan kedua telapak tangannya ke 

dada lelaki itu.

Perlahan-lahan hawa dingin dari kedua te-

lapak tangan Soma mulai menjalar masuk ke da-

lam tubuh lelaki itu. Dan perlahan-lahan pula, lu-

ka dalam penghuni Lembah Kodok Perak itu pun 

mulai sembuh. Namun Soma terus memaksakan 

diri untuk mengobati. Dan, tanpa disadari di bela-

kangnya kini telah berdiri tegak lima orang tokoh 

sesat yang tadi telah mencelakakan lelaki berku-

mis lebat penghuni Lembah Kodok Perak. 

"Kunyuk Gondrong! Rupanya kau sudah 

sampai kemari! Kebetulan sekali. Memang kami 

berlima sedang mencari-cari mu!" 

Soma terkesiap kaget mendengar bentakan 

barusan. Untung saja Siluman Ular Putih sudah 

selesai menyembuhkan luka dalam lelaki penghu-

ni Lembah Kodok Perak itu. Kemudian dengan te-

nang sekali, jari-jari tangan pemuda itu. Cepat 

menotok pulih lelaki yang ditolongnya.

Lelaki itu memandang cerah pada Soma. 

"Terima kasih, Anak Muda. Aku Daksapati. 

Kau siapa?" tanya lelaki berkumis yang ternyata


bernama Daksapati. 

"Aku Soma, simpan dulu terima kasih mu

itu, Paman. Rupanya kelima tokoh sesat yang 

menghadangmu tak suka dengan tindakanku. Li-

hat! Mereka mulai bersiap-siap menyerang."

Daksapati menatap tajam lima tokoh sesat 

itu yang mulai menggerakkan tangannya. Namun 

belum sempat terjadi sesuatu...

"Siapa kalian berani mengotori Lembah Ko-

dok Perak?! Apa kalian semua tidak tahu peratu-

ran di sini?!"

***

Semua yang ada di Lembah Kodok Perak 

ini kaget begitu mendengar bentakan yang disertai 

tenaga dalam tinggi. Bahkan tak lama kemudian, 

berlompatan beberapa sosok berpakaian serba hi-

tam.

Berdiri paling depan adalah seorang lelaki 

tua bertubuh kurus kering. Wajahnya pucat pasi 

seperti mayat. Jenggot putihnya panjang menjun-

tai. Disampingnya berdiri dua orang lelaki tua ku-

rus kering yang juga mempunyai jenggot putih 

panjang menjuntai sampai ke dada. Di belakang-

nya, berdiri empat orang lain yang juga berusia 

tua. Mereka semua memiliki brewok tebal berwar-

na hitam mengkilat!

Siluman Ular Putih membelalakkan ma-

tanya. Ia yakin, ketujuh orang berpakaian hitam 

itu tidak lain dari Tiga Jenggot, dan Empat Brewok 

penghuni Lembah Kodok Perak yang sangat dita-

kuti orang-orang Istana Ular Emas! Sedangkan 

Tujuh Kumis adalah yang memiliki gubuk-gubuk 

tadi.

"Harap kalian orang-orang tua penghuni


Lembah Kodok Perak jangan terlalu menaruh curi-

ga padaku. Aku memang sengaja datang ke Lem-

bah Kodok Perak ini. Namun ketika aku menemu-

kan Paman berkumis ini tengah menderita luka 

parah, maka aku pun memberanikan diri mencoba 

memberi pengobatan," kilah Soma penuh hormat 

seraya rangkapkan kedua telapak tangannya ke 

depan dada.

"Benar, Kakang Pangestu. Aku baru saja 

diobatinya setelah...."

"Diam kau, Daksapati! Aku tak bertanya 

padamu!"

Kata-kata Daksapati terputus oleh benta-

kan lelaki berjenggot yang paling tua, bernama 

Pangestu.

"Kau datang dari mana, Bocah? Apa kau 

tidak tahu peraturan kami yang tidak mengizinkan 

orang luar masuk kemari?!" bentak Pangestu lagi 

garang.

Soma menghela napasnya panjang. Entah 

karena apa, tiba-tiba tangan kanannya sudah ga-

ruk-garuk kepala. 

"Maafkan kelancanganku, Orang Tua! Aku 

hanyalah seorang pengembara miskin. Namaku 

Soma dari Gunung Bucu," ucap murid Eyang Be-

gawan Kamasetyo kalem. "Dikarenakan satu hal 

yang sangat mendesak, terpaksa aku memberani-

kan diri masuk ke Lembah Kodok Perak ini untuk 

mempelajari Kitab Kodok Perak Sakti. Tentu saja 

hal ini bukan untuk tujuan pribadi semata, me-

lainkan hanya untuk membasmi orang-orang go-

longan Ular Emas yang sangat kejam luar biasa."

Salah satu dari Tiga Jenggot yang beram-

but dikuncir kontan tertawa bergelak.

"Kau rupanya sedang bermimpi, Bocah 

Sinting! Apa tidak salah pendengaranku ini?" ka


tanya.

Soma hanya tersenyum kecil.

Sementara itu, lima tokoh sesat yang men-

ginginkan nyawa Siluman Ular Putih tampak su-

dah tak sabar untuk membunuh buruannya. 

Tengkorak Serigala, Raja Toya, dan Ki Julung Pu-

cut maju selangkah dengan senjata di tangan. Se-

dang dua orang lainnya yang belum dikenal Silu-

man Ular Putih tampak masih tenang-tenang di 

tempatnya. Mereka malah lebih senang memper-

hatikan ketujuh orang penghuni Lembah Kodok 

Perak yang baru datang.

Kedua tokoh yang berpakaian seperti per-

tapa itu berusia tidak kurang dari tujuh puluh ta-

hun. Yang sebelah kanan adalah seorang lelaki 

bertubuh tinggi kurus. Pakaiannya hanya berupa 

libatan kain berwarna coklat tua. Sedang laki-laki 

di sampingnya bertubuh tinggi besar. Pakaiannya 

juga dari libatan kain berwarna merah jingga. Wa-

lau berpakaian pertapa, namun wajah mereka 

tampak kaku dan dingin, menyiratkan kelicikan 

dan kekejaman. Di dunia persilatan mereka ber-

dua dikenal sebagai Dua Pertapa Iblis Dari Gu-

nung Tugel!

"Bocah Sinting! Sebaiknya lekas tinggalkan 

tempat ini. Kau pikir gampang mempelajari Kitab 

Kodok Perak Sakti milik kami, heh?! Jangan ber-

mimpi, Bocah! Cepat tinggalkan tempat ini!" ben-

tak Pangestu.

"Tapi bagaimana dengan kelima kunyuk 

sesat yang nyasar kemari itu, Orang Tua? Apa me-

reka juga tidak diperbolehkan masuk kemari?" 

tanya Soma, bermaksud mengadu domba mereka. 

Tiga Jenggot dan Empat Brewok dari Lem-

bah Kodok Perak menggeram penuh kemarahan. 

Wajah mereka menegang. Dan sepasang mata mereka yang mencorong kini pun mulai beralih ke 

arah lima tokoh sesat yang berdiri tak jauh dari 

tempat itu. 

"Hm...! Apa kalian berlima juga tidak tahu 

peraturan dalam Lembah Kodok Perak ini? Men-

gapa kalian berani lancang masuk ke dalam Lem-

bah Kodok Perak?!" tegur satu dari Tiga Jenggot 

yang berambut panjang bergerai 

"Orang Tua! Kelima kunyuk kesasar itu 

bukan saja bermaksud mengotori Lembah Kodok 

Perak, tapi juga telah membunuh Paman Daksiro. 

Mereka juga yang telah mencelakakan Paman 

Daksapati. Untung saja aku segera menolongnya!" 

jelas Soma semakin mengipasi kemarahan orang-

orang penghuni Lembah Kodok Perak. 

"Kau tidak berbohong, Bocah?" tukas satu 

dari Empat Brewok yang berkepala botak.

"Buat apa aku berbohong? Sebenarnya me-

reka berlima datang kemari memang ingin mencari 

aku. Maka, biarkan aku menggebuk mereka, 

Orang Tua," kata Soma cerdik.

"Jangan banyak bacot, Bocah! Kau sendiri 

pun harus lekas menyingkir dari tempat ini!" ben-

tak si botak kesal

"Kalian mengapa memusuhi orang-orang 

penghuni Lembah Kodok Perak? Bertahun-tahun 

kami sengaja tidak menampakkan diri ke dunia 

persilatan, tapi mengapa kalian malah mengotori 

Lembah Kodok Perak? Apa kalian pikir kekuatan 

kami tidak cukup untuk membasmi kalian, he?!" 

timpal satu dari Empat Brewok yang bertubuh 

gempal 

"Sebenarnya kami tidak bermaksud memu-

suhi orang-orang Lembah Kodok Perak. Tapi, kami 

hanya ingin membunuh bocah sinting itu!" kilah 

Tengkorak Serigala seraya menunjuk Soma


"Tutup bacotmu!" bentak lelaki brewok 

yang bertubuh sedang dengan mata berkilat-kilat. 

"Kalau kalian tidak bermusuhan dengan kami, 

mengapa membunuh dan melukai adik sepergu-

ruan kami?!" 

Sehabis berkata begitu, lelaki brewok ber-

tubuh sedang itu pun sudah. menekuk kedua lu-

tutnya. Kedua tangannya dibentangkan demikian 

rupa. Dan dengan setengah berjongkok, Tengkorak 

Serigala siap diserangnya.

"Kok...! Kok...!"

Terdengar dua kali bunyi mirip kodok dari 

mulut lelaki brewok bertubuh sedang. Bersamaan 

dengan itu, mendadak serangkum angin dingin 

dari kedua telapak tangannya menyerang ke arah 

Tengkorak Serigala. 

Tengkorak Serigala kaget bukan main. Se-

belum pukulan lelaki brewok itu mengenai sasa-

ran, terlebih dahulu sudah terasa angin dingin 

yang menyerang sekujur tubuh. Tentu saja Teng-

korak Serigala tidak ingin dirinya celaka. Maka 

tanpa pikir panjang lagi, segera dikeluarkannya 

pukulan Tongkat Putih Penggebuk Dewa-nya.'

Wesss! Wesss! 

Blarrr...! 

Terdengar satu letusan hebat di udara aki-

bat pertemuan dua tenaga dalam di udara tadi. 

Tubuh Tengkorak Serigala terpental beberapa 

tombak ke belakang! Wajahnya pucat pasi! Tam-

pak darah segar pun membasahi sudut-sudut bi-

birnya!

Sementara itu lelaki brewok bertubuh se-

dang hanya sempat tergetar hebat. Kedua kakinya 

melesak beberapa jari ke dalam tanah. Kemudian 

dengan menggeram penuh kemarahan, kembali di-

terjangnya Tengkorak Serigala. Namun sayangnya,


keempat orang kawan Tengkorak Serigala segera 

menghadang dengan pukulan-pukulan jarak jauh.

Wesss!

Tentu saja hal ini tidak dibiarkan oleh para 

penghuni Lembah Kodok Perak lainnya. Maka se-

ketika mereka memapak serangan-serangan keji 

itu dengan pukulan jarak jauh pula.

Blarrr! Blarrr...! 

Terdengar beberapa kali letusan di udara. 

Tubuh masing-masing terjajar beberapa langkah. 

Begitu terjadi benturan tenaga dalam, mereka kini 

kembali saling serang. Maka seketika itu pula ter-

jadi pertarungan sengit dengan menggelar ilmu-

ilmu tingkat tinggi.

***

"Ah...! Mengapa aku tidak segera menyeli-

nap ke dalam Lembah Kodok Perak selagi mereka 

bertarung. Mungkin untuk sementara waktu aku 

dapat bersembunyi di dalam lubang-lubang kecil 

di dinding-dinding bukit itu. Kalau saja lubang-

lubang kecil itu saling bertembusan, mana mung-

kin orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak 

tahu kalau aku bersembunyi di sana?" pikir Soma 

dalam hati.

"Tapi.... Tapi, bagaimana kalau akhirnya 

mereka tahu? Dan, bagaimana pula kalau dalam 

lubang-lubang kecil itu ternyata banyak jebakan 

maut? Ah...! Tidak ada pilihan lain. Kupikir, me-

mang itulah satu-satunya jalan terbaik untuk 

menghindari bentrokan dengan orang-orang Lem-

bah Kodok Perak...."

Sehabis berpikir demikian, diam-diam So-

ma pun mulai bergerak hati-hati sekali mendekati 

lubang-lubang kecil di dinding bukit. Namun apa


yang dilakukan Siluman Ular Putih ternyata telah 

menolong lima orang tokoh sesat itu dari gempu-

ran-gempuran orang-orang penghuni Lembah Ko-

dok Perak.

"Tunggu! Mengapa kalian menyerang kami 

habis-habisan? Apa kalian tidak lihat? Kalau ku-

nyuk gondrong itu tengah kabur. Jelas, dia adalah 

pembunuh adik seperguruan kalian. Jika bukan 

dia, mengapa bocah itu harus lari dari sini?" 

Pangestu dan juga enam orang penghuni 

Lembah Kodok Perak yang lainnya kontan meng-

hentikan serangan. Kepala mereka langsung ber-

paling ke belakang. Tampak pemuda gondrong 

murid Eyang Begawan Kamasetyo itu memang 

tengah berlari cepat luar biasa menuju ke lubang-

lubang kecil di dinding bukit. Tentu saja mereka 

tidak membiarkan pemuda gondrong itu masuk ke 

dalam Lembah Kodok Perak. Maka tanpa banyak 

cakap lagi, ketujuh orang penghuni Lembah Kodok 

Perak itu segera berkelebat menyusul Siluman 

Ular Putih.

Dan kenyataannya ilmu meringankan tu-

buh ketujuh orang Lembah Kodok Perak itu me-

mang luar biasa hebatnya. Untungnya, Soma telah 

bergerak terlebih dahulu. Jika tidak, sudah pasti 

dapat terkejar oleh mereka. 

Soma menyadari kalau dirinya tengah dike-

jar. Maka kecepatan larinya makin ditambah, Na-

mun, tanpa disangka-sangkanya sama sekali, tiba-

tiba di belakangnya terasa serangkum angin din-

gin yang bukan alang kepalang... 

***


9

Slap! 

Blarrr...! 

Sebelum Siluman Ular Putih terhantam 

pukulan jarak jauh berhawa dingin, tubuhnya te-

lah lebih dulu melompat. Sehingga pukulan itu 

hanya menghantam tanah yang dipijak sebelum-

nya 

Dua kali pemuda itu berputaran di udara, 

lalu menukikkan tubuhnya ke salah satu lubang 

di dinding bukit. Saat itu juga suasana gelap dan 

pengap menyambutnya. 

Perlahan-lahan pandang mata Siluman 

Ular Putih mulai dapat menyesuaikan diri dengan 

suasana gelap dalam lorong bukit itu. Dan waktu 

berjalan terasa kalau tanah dalam gua itu tidak 

rata. Banyak bertebaran kubangan-kubangan be-

sar kecil. Entah berisi apa. Yang jelas lebar dan 

tinggi lorong bukit itu cukup untuk dilalui dua 

orang manusia dewasa.

"Sontoloyo! Mengapa aku bisa nyasar sam-

pai ke mari?" gerutu Soma dalam hati 

Samar-samar Siluman Ular Putih, menden-

gar suara langkah kaki beberapa orang pengejar-

nya yang mulai memasuki di lorong bukit. Karena 

untuk keluar melalui mulut lubang masuk tadi je-

las tidak mungkin, maka Soma terus berjalan ke 

dalam lorong bukit. Sambil berjalan dipungutnya 

sebuah batu kerikil. Lalu dilemparkannya ke lo-

rong lain, tak jauh dari para pengejarnya.

Plukkk!

Begitu terdengar suara di lorong lain, bebe-

rapa orang pengejar buru-buru berlari ke arah da-

tangnya suara.

Soma sedikit merasa lega karena siasatnya


berhasil. Dan ia segera membawa tubuhnya ke da-

lam lorong lain. Dan semakin dalam Soma mema-

suki lorong, semakin bingung dibuatnya. Di hada-

pannya kini banyak sekali lorong gua yang entah 

menembus ke mana? Padahal di belakangnya, Tiga 

Jenggot dan Empat Brewok penghuni Lembah Ko-

dok Perak terus saja melakukan pengejaran.

Sejenak Siluman Ular Putih memperhati-

kan lorong-lorong gua bawah tanah ini seksama. 

Satu di antara tujuh lorong gua bawah tanah itu 

tampak gelap sekali dan berkesan angker. Sedang 

enam lorong lainnya tampak sedikit agak terang 

dan mungkin tembus keluar. Dan sungguh aneh. 

Ternyata yang dipilihnya malah lorong gua yang 

tampak gelap pekat.

Seperti ada yang menuntun langkahnya, 

perlahan-lahan Siluman Ular Putih membawa tu-

buhnya masuk ke dalam lorong gua yang paling 

gelap. Jika saja pemuda ini lebih seksama, tentu 

akan berpikir tujuh kali untuk memasuki gua itu. 

Seperti yang tercantum dalam mulut dinding gua, 

di situ tertulis Jalan Kematian. Namun rupanya 

hal ini tidak disadarinya.

"Bocah sinting itu mencari penyakit saja. 

Beraninya ia masuk ke dalam 'Jalan Kematian'."

Terdengar salah seorang pengejar mengge-

rutu panjang pendek, membuat Soma melengak 

kaget. Apa yang didengar barusan membuat ha-

tinya bergidik ngeri. Betapa dalam lorong gua itu 

samar-samar terlihat beberapa buah kubangan 

besar yang menghadang jalannya. Maka segera 

langkahnya dihentikan. Tubuhnya langsung me-

rapat di dinding lorong yang membentuk ular.

"Mungkinkah bocah sinting itu masuk ke-

mari?" terdengar suara bernada ragu-ragu.

"Kurasa bocah sinting itu tidak mungkin


mengambil jalan tolol ini, Manduro," sahut salah 

seorang.

Di tempat persembunyiannya, Soma mena-

han jalan pernapasannya sebentar. Dengan cara 

ini, para pengejarnya yang berkepandaian tinggi 

dapat dikecohnya. Karena hanya mendengar tari-

kan napas saja, bukan mustahil para pengejar 

akan dapat menemukan tempat persembunyian-

nya.

Samar-samar dari tempat persembunyian-

nya Soma dapat melihat berkelebatnya beberapa 

orang pengejar di depan mulut lorong Jalan Kema-

tian. Dan ketika para pengejarnya sudah melewati 

tempat persembunyiannya, pemuda ini baru dapat 

menghela napas lega.

Perlahan-lahan Soma kembali membawa 

tubuhnya menyusuri lorong gelap di depannya. 

Namun tiba-tiba kakinya menjejak kosong! Seketi-

ka itu juga kedua tangannya bergerak menarik 

apa saja. Untung saja tangan kanannya dapat me-

raih tonjolan batu di dinding-dinding lorong gua. 

Sehingga, tubuhnya dapat bertahan. Kemudian 

tubuhnya pun cepat-cepat ditarik ke atas.

"Kampret! Hampir saja aku kejeblos ke da-

lam kubangan!" gerutu Siluman Ular Putih.

Didasari rasa ingin tahu, Siluman Ular Pu-

tih melongok ke dalam lubang. Samar-samar ma-

tanya melihat dua buah benda putih keperakan di 

tengah-tengah dasar kubangan. Tapi, ia harus me-

lanjutkan perjalanannya. Kalau ingin meneruskan 

perjalanan, mau tidak mau harus melewati ku-

bangan besar di hadapannya. 

Maka dengan cara merayap Soma berusaha 

melewati kubangan. Telapak-telapak tangannya di-

tancapkan ke dinding-dinding gua. Dengan men-

gerahkan ilmu meringankan tubuh, perlahan


lahan Soma mulai merayap. Sementara itu, kedua 

kakinya meraba-raba ke bawah, mencari tempat 

berpijak.

"Hup!"

Hanya sekali lompat, Siluman Ular Putih 

berhasil mendarat di bibir seberang kubangan. 

Namun lagi-lagi Soma terpaksa nyengir sendiri. 

Karena baru berjalan sepuluh, sebuah kubangan 

kembali menghadang.... 

***

Soma perlahan-lahan menjulurkan kepala 

ke dalam kubangan. Ketika Siluman Ular Putih 

menajamkan pandangan, tampak di dasar kuban-

gan dua ekor kodok raksasa putih keperakan se-

besar tempayan tengah berjongkok berhadapan. 

Ketika kodok di sebelah kanan berbunyi sekali, 

tampak uap kuning dari mulutnya.

Siluman Ular Putih berpikir keras, bagai-

mana caranya melewati kubangan ini tanpa mem-

buang tenaga...

"Hm... dapat!" soraknya begitu menemukan 

akal. Soma cepat meraih dua buah batu. Dengan 

pengerahan tenaga dalam lumayan, dilemparkan-

nya batu-batu itu ke masing-masing kodok 

Duk! Duk!

"Kok!"

"Kok!" 

Mungkin karena dikira mendapat serangan 

dari kodok yang satu, kodok yang lain langsung 

menyerang. Maka saat itu pula terjadilah perta-

rungan antara dua kodok. 

Masing-masing kodok tak mau menyerah 

kalah. Seperti yang telah dilakukan kodok lawan-

nya, kodok yang satu lantas mengeluarkan uap


kuning. 

Soma yang tengah asyik menyaksikan per-

tarungan dua ekor kodok perak raksasa itu men-

dadak tersenyum sendiri dengan mata berbinar.

"Itulah gerakan-gerakan yang digunakan 

orang-orang Lembah Kodok Perak! Ya ya ya...! Aku 

masih ingat betul. Paman Daksiro juga pernah 

menyerangku dengan jurus-jurus seperti itu. Se-

karang tahulah aku, mengapa kodok-kodok perak 

ini disimpan di dalam kubangan ini. Rupanya me-

reka adalah guru dari orang-orang Lembah Kodok 

Perak!!" gumam Soma dalam hati.

Kemudian Soma pun kembali perhatikan 

dua ekor kodok perak di dasar kubangan yang 

tengah bertarung. Namun kini kedua ekor kodok 

itu sudah sama-sama tak bergerak dalam keadaan 

terlentang. Mati. Di leher masing-masing tampak 

melilit sejenis benang warna kuning.

"Hei? Benda apakah itu...?" gumam Soma 

dalam hati. Sepasang mata birunya yang tajam 

kembali memperhatikan dua ekor kodok perak 

yang telah jadi mayat itu.

Tanpa banyak pikir lagi, Soma cepat me-

lompat turun ke dasar kubangan. Segera diambil-

nya untaian benang-benang kuning yang melilit 

leher kedua ekor kodok perak itu. 

Soma hendak meloncat ke atas. Namun be-

lum juga niatnya terlaksana....

"Hei... rupanya di sini pun masih ada lo-

rong...."

Sepasang mata biru Siluman Ular Putih ja-

di berbinar-binar. Dilihatnya di dinding sebelah ki-

ri kubangan terdapat sebuah lorong memanjang 

yang entah menembus ke mana. Kembali didasari 

sifat ingin tahu, pemuda ini segera memasuki lo-

rong itu. Tubuhnya merayap hati-hati sekali menyusuri lorong.

Tiba di lorong yang agak luas, Siluman Ular 

Putih menghentikan langkahnya. Bulu kuduknya 

kontan merinding melihat sebuah kerangka ma-

nusia! 

Kening Soma berkerut dalam. Sepasang 

mata birunya tak henti-hentinya terus menatap 

kerangka itu. Sedang tak jauh dari kerangka, tam-

pak sebilah tombak panjang. Dan samar-samar 

tampak pula pada batang tombak itu beberapa 

buah huruf Jawa Kuno yang berbunyi: Tombak Ra-

ja Akhirat!

"Tombak bagus! Tombak bagus!" gumam 

Soma dalam hati. Tangan kanannya segera diju-

lurkan meraih tombak itu. Namun buru-buru di-

batalkannya. Tiba-tiba hatinya merasa ragu-ragu 

sekali. Entah mengapa. Kembali diperhatikannya 

tombak di hadapannya dengan sinar mata penuh 

kagum. Dan karena kekagumannya inilah yang 

membuat murid Eyang Begawan Kamasetyo ak-

hirnya memungut tombak itu.

Dan sejenak itu pula Soma terus perhati-

kan tombak.

Kemudian sembari memegang Tombak Raja 

Akhirat di tangan kanannya, Soma kembali melan-

jutkan perjalanannya. Namun anehnya, semakin 

jauh menyusuri lorong bawah tanah, maka lorong 

makin menyempit. Dan hingga akhirnya, langkah 

Siluman Ular Putih terhenti!

Di hadapannya kini terlihat sebuah lorong 

kecil yang tidak mungkin dilalui. Namun samar-

samar sepasang matanya yang tajam melihat se-

buah lubang kecil sebesar lubang bambu di sudut 

lorong. Dan entah mengapa, hatinya jadi girang 

bukan main. 

Sret!


Begitu tombak diarahkan, ke lubang, sinar 

kuning keemasan seketika itu juga meluncur dari 

mata Tombak Raja Akhirat.

Soma mengangguk-angguk penuh kagum. 

Tombak di tangan kanannya digerak-gerakkan se-

demikian rupa. Dan anehnya, tanah lubang kecil 

tadi berguguran begitu terkena sambaran-

sambaran sinar tombak di tangan Soma. 

Soma makin kagum. Sekali lagi Tombak 

Raja Akhirat di tangan kanannya digerak-

gerakkan. Dan akibatnya lubang gua itu semakin 

hebat berguguran, membentuk lorong kembali. 

Dan kini pemuda itu bisa masuk ke dalam lorong 

selanjutnya.

***

"Ah...! Harta benda milik siapakah itu?" de-

sah Soma seraya menggaruk-garuk kepala, begitu 

tiba di sebuah ruangan yang terang-benderang. 

"Jangan-jangan aku malah nyasar masuk ke sa-

rangnya para rampok?"

Siluman Ular Putih kini memang tiba di 

ruangan bawah tanah yang diterangi cahaya obor 

dari minyak jarak. Yang membuat Soma terka-

gum-kagum, ternyata di dalam ruangan ini terda-

pat tumpukan-tumpukan batu permata dari ber-

bagai ukuran.

Perlahan-lahan Siluman Ular Putih mulai 

menggerakkan kedua kakinya mendekati tumpu-

kan-tumpukan batu permata itu. Begitu sampai, 

sejenak pandangannya menebar. Dan sepasang 

mata birunya kini tertumbuk pada sesosok tubuh 

tua renta tengah khusuk bersemadi di sudut 

ruangan. Usianya mungkin lebih dari delapan pu-

luh tahun. Itu bisa dibuktikan dari rambut panjangnya yang memutih sebatas bahu. Belum lagi 

bila menilik wajahnya yang kepucatan penuh ke-

rutan. Sedang tubuhnya yang tinggi kurus dibalut 

pakaian ketat warna putih.

Soma tidak tahu, siapa laki-laki tua renta 

yang sedang bersemadi di sudut ruangan. Yang je-

las, entah mengapa Siluman Ular Putih jadi segan 

sekali melihatnya. Maka dengan langkah mantap 

didekatinya orang tua itu. Lalu, dia duduk bersila 

di hadapannya.

"Terimalah hormatku, Orang Tua! Aku So-

ma dari Gunung Bucu sengaja menghaturkan sa-

lam hormatku padamu," ucap Soma penuh hor-

mat.

Tapi lelaki tua berpakaian itu tetap di-

am di tempatnya, tanpa bergerak-gerak sama se-

kali. Demikian juga dadanya yang kurus kerem-

peng!

Soma heran bukan main. Sekali lagi dipan-

danginya dada orang tua itu seksama. Ternyata, 

dada itu memang tidak bergerak sama sekali! Ka-

rena terdorong rasa ingin tahunya, Siluman Ular 

Putih mengulur tangannya. Dipegangnya denyut 

nadi orang tua itu. Dingin!

Namun tiba-tiba saja tangan kurus kering 

lelaki tua renta itu bergerak cepat sekali memapak 

tangan Soma! 

Plakkk! 

"Auwww...!" 

Soma meringis kesakitan. Tangannya yang 

terkena papakan tadi terasa mau remuk! 

"Ah...! Kau masih hidup, Orang Tua! Lan-

tas, mengapa mempermainkan ku demikian ru-

pa?" sungut Soma kesal 

"Bocah bau kencur! Apa kau ingin mencari 

mati di sini, he?!" bentak lelaki tua itu garang me


rasa terganggu dengan apa yang telah dilakukan 

Soma.

"Orang Tua! Terus terang aku cuma heran, 

mengapa kau sampai bisa terkurung di sini?"

Lelaki itu malah melotot lebar. Keningnya 

berkerut-kerut saking herannya. 

"Apakah kau membutuhkan tenagaku, 

Orang Tua?"

Lelaki renta itu mengangguk-angguk. 

"Katakan, tugas apa yang harus kujalan-

kan, Orang Tua! Aku pasti akan menjalankan tu-

gasmu," sambung Soma cepat. 

"Apa kau dapat menangkap mereka untuk 

dibawa kemari, Bocah?" 

Belum sempat Soma memberi jawaban, ti-

ba-tiba sepasang mata mencorong lelaki tua renta 

itu memandangi Tombak Raja Akhirat di pinggang 

Soma. Kemudian tanpa banyak, cakap lagi, dilan-

carkannya satu pukulan maut ke tubuh Siluman 

Ular Putih! 

Wesss! 

Sebelum serangan lelaki tua renta itu men-

genai sasaran, terlebih dahulu telah terasa hawa 

dingin yang meluruk cepat. Maka tanpa banyak 

pikir lagi, Siluman Ular Putin langsung menghan-

tamkan tangannya. Dilepaskannya pukulan sakti 

'Tenaga Inti Bumi'-nya untuk memapak.

Wesss! 

Blarrr...! 

Soma memekik setinggi langit. Tubuhnya 

mental beberapa tombak ke belakang, langsung 

membentur dinding ruangan. Seketika itu juga wa-

jahnya pucat pasi! Tampak darah segar membasa-

hi sudut-sudut bibirnya! Sedang sekujur tubuh-

nya terasa beku! Jangankan untuk meloncat ban-

gun. Untuk menggerakkan kedua tangannya saja


tidak mampu!

Siluman Ular Putih mengeluh pasrah. Na-

mun anehnya, entah karena apa, tiba-tiba saja se-

pasang mata prang tua renta yang membelalak le-

bar itu bersinar-sinar penuh kegembiraan! Dan 

belum sempat Soma membuka suara....

"Bocah! Cepat katakan! Ada hubungan apa 

kau dengan Adi Begawan Kamasetyo?" 

Soma terkesiap kaget. Sungguh tidak dis-

angka kalau orang tua renta, yang terkurung di 

dalam gua bawah tanah Lembah Kodok Perak itu 

kenal dengan eyangnya. 

"Beliau adalah eyang sekaligus guruku, 

Orang Tua," jawab Soma terpatah-patah dengan 

mulut menyeringai 

"Hm... Jadi kau cucu Adi Begawan Kama-

setyo," gumam orang tua renta itu seraya men-

gangguk-angguk. "Ketahuilah, Cucuku! Sebenar-

nya aku ini adalah kakak ipar dari eyang mu. Aku 

Eyang Prana Supit."

"Ja..., Jadi kalau begitu kau masih terhi-

tung eyangku, Orang Tua? Ah...! Maafkan ketidak-

tahuan ku, Orang Tua!" ucap Soma girang bukan 

main. 

Namun ketika hendak bangun, Soma jadi 

mengeluh. Tubuhnya yang beku sedikit pun tidak 

bisa digerakkan! 

Lelaki tua bernama Eyang Prana Supit itu 

tahu apa yang tengah dialami pemuda gondrong di 

hadapannya. Maka cepat dikeluarkannya sebuah 

obat pulung berwarna kuning dari dalam saku ba-

junya. Segera dia bangkit dan berjalan mendekati 

Soma. "Telanlah obat ini, Cucuku!" ujarnya 

Tanpa banyak cakap, Siluman Ular Putih 

membuka mulutnya. Dan Eyang Prana Supit pun 

memasukkan obat itu ke dalam mulut si pemuda.


Soma menelannya dengan susah payah. 

Sementara lelaki tua renta itu sudah menotok be-

berapa jalan darah di tubuh Soma. 

Selang beberapa saat, Soma pun mulai da-

pat menggerak-gerakkan tubuhnya. Luka dalam-

nya akibat pukulan lelaki tua ini pun sirna begitu 

menelan obat barusan. 

"Terima kasih, Eyang. Kau baik sekali," 

ucap Soma.

"Sudahlah! Jangan terlalu banyak perada-

tan! Sekarang ceritakan, mengapa Tombak Raja 

Akhirat itu sampai jatuh ke tanganmu, Cucuku?"

"Aku hanya menemukannya di salah se-

buah lorong bawah tanah di Lembah Kodok Perak 

ini, Eyang" 

Eyang Prana Supit mengangguk-

anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin mena-

nyakan, bagaimana caranya Soma masuk ke da-

lam tempat kurungan itu. Akan tetapi entah kare-

na apa yang keluar dari mulutnya malah mengenai 

persoalan pribadinya

"Cucuku! Mungkin waktu pertemuan kita 

ini hanya sebentar. Maukah kau menuruti permin-

taanku?"

"Tentu saja, Eyang. Mengapa Eyang berka-

ta demikian?" 

"Baiklah! Sudah kuduga kau pasti akan 

berkata demikian," kata Eyang Prana Supit seraya 

menyunggingkan senyum "Tapi sebelum mengata-

kan permintaanku, terlebih dahulu aku akan me-

wariskan sesuatu padamu, Cucuku"

"Apa itu, Eyang?" tanya Soma girang bukan 

main

Lelaki renta itu hanya tersenyum. Tangan 

kanannya cepat mengeluarkan dua buah lembaran 

kain sutera berwarna kuning kemerah-merahan


"Kedua benda inilah yang akan kuwariskan 

padamu, Cucuku. Kami, orang-orang Lembah Ko-

dok Perak menamakan kedua benda ini adalah Ki-

tab Kodok Perak Sakti. Karena, bila lembaran-

sutera ini dicelup ke dalam air panas maka tam-

paklah jurus-jurus 'Kodok Perak Sakti' dalam ke-

dua lembaran sutera ini. Meski hanya terdiri dan 

tiga jurus. Tapi, kau harus mempelajarinya nanti 

sepulangnya dari sini,"

"Mengapa demikian, Eyang?" tanya Soma 

tak mengerti 

"Sudahlah! Sebaiknya turuti saja perintah-

ku, Cucuku! Sekarang kau mendekatlah dan den-

garlah permintaanku, Cucuku! Aku hanya minta, 

setelah dapat menguasai jurus-jurus 'Kodok Perak 

Sakti', kau jangan mengganggu orang-orang peng-

huni Lembah Kodok Perak! Kau paham, Cucuku?"

"Paham, Eyang," sahut Soma seraya men-

dekat 

"Dan permintaanku yang kedua, berikan 

Kitab Kodok Perak Sakti yang asli itu kepada 

orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak! Se-

benarnya tadi aku memang ingin kau membantu-

ku menangkapi orang-orang penghuni Lembah 

Kodok Perak guna untuk membalas sakit hatiku. 

Termasuk juga kakak seperguruanku, Ki Cucuk 

Prana yang menjadi ketua Lembah Kodok Perak 

ini. Merekalah yang membuatku berada di tempat 

ini. Tapi, entah mengapa setelah bertemu den-

ganmu pikiranku jadi berubah."

"Mengapa demikian, Eyang?"

"Sebenarnya ceritanya panjang. Tapi, baik-

lah! Untuk lebih jelasnya, kau boleh mendengar 

ceritaku."

Soma mengangguk pasti,

"Dengarlah, Cucuku! Di samping aku ini


eyang mu, sebenarnya aku ini adalah orang hu-

kuman Lembah Kodok Perak. Berpuluh-puluh ta-

hun lalu, aku telah diusir pergi karena berani ke-

luar dari Lembah Kodok Perak. Tapi hal itu karena 

waktu itu Raja Iblis dari Istana Ular Emas datang 

kemari. Salah seorang adik seperguruanku yang 

mencoba menghadang sepak terjangnya tewas di 

tangan Raja Iblis. Maka begitu mendengar kalau 

adik seperguruanku tewas, Maka aku nekat ke-

luar. Kucari Raja Iblis. Dan akhirnya aku dapat 

menyeretnya kemari. Sehingga ia menemui ajal di 

sini. Kerangka yang kau lihat di lorong gua itulah 

kerangka mayat Raja Iblis."

"Hm...! Jadi hanya karena nekat keluar da-

ri Lembah Kodok Perak inilah, Eyang sampai dita-

wan di sini," tebak Soma sambil mengangguk-

angguk.

"Nah, kalau kau sudah paham duduk per-

soalannya, sebaiknya sekarang lekas cepat kau 

balikkan badanmu ke belakang. Agar kau lebih 

cepat menguasai jurus-jurus yang terkandung da-

lam Kitab Kodok Perak Sakti itu. Dan aku ingin 

menyalurkan tenaga 'Kodok Perak Sakti'-ku ke da-

lam tubuhmu, Cucuku," ujar Eyang Prana Supit.

"Baiklah, Eyang," sahut Soma. Tanpa ba-

nyak cakap, Soma segera berbalik ke belakang. 

Kemudian Eyang Prana Supit segera menempelkan 

kedua telapak tangan ke punggung Soma. 

Seketika itu, Siluman Ular Putih merasa-

kan hawa dingin yang bukan kepalang menerabas 

ke dalam tubuhnya. 

Soma menggerutkan gerahamnya kuat-

kuat. Sambil terus mengalihkan tenaga 'Kodok Pe-

rak Sakti' ke tubuh Soma, Eyang Prana Supit te-

rus memberi petunjuk pada Soma bagaimana ca-

ranya mengendalikan hawa dingin yang berputar


putar di bawah perutnya. 

"Nah! Sekarang kau sudah dapat mempela-

jari jurus-jurus yang terkandung dalam Kitab Ko-

dok Perak Sakti itu dengan mudah. Aku sudah 

mengalihkan tenaga 'Kodok Perak Sakti' ke dalam 

tubuhmu. Sekarang lekas tinggalkan tempat ini! 

Kau boleh lewat pintu sebelah sana! Tapi jangan 

lupa tutup lagi pintunya!" ujar Eyang Prana Supit, 

begitu selesai mengalihkan tenaga 'Kodok Perak 

Sakti' ke dalam tubuh Soma dan kembali duduk 

bersemadi seperti semula. 

"Tapi, Eyang...?"

Begitu bangkit Soma cemas sekali melihat 

wajah Eyang Prana Supit demikian pucat. Napas-

nya terengah-engah seperti orang habis lari jauh. 

Kedua tangannya pun gemetaran.

"Sudahlah! Jangan banyak membantah, 

Cucuku! Lekas kau tinggalkan tempat ini!" ujar le-

laki tua itu terengah-engah. 

Soma melangkah ragu-ragu. Sejenak di-

pandanginya wajah pias di hadapannya dengan 

perasaan bingung. Namun akhirnya pemuda gon-

drong itu tidak dapat menolak permintaan lelaki 

tua itu. Kemudian sambil sesekali memalingkan 

kepala ke belakang, Soma mulai keluar dari ruan-

gan.

Eyang Prana Supit memejamkan matanya 

rapat-rapat. Dadanya terlihat makin naik turun. 

Kemudian ketika pintu ruangan tertutup dari luar, 

lelaki tua ini telah menghembuskan napasnya 

yang terakhir dalam keadaan masih duduk bersemadi! 



                           SELESAI


https://matjenuhkhairil.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar