Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
Derap puluhan kaki kuda yang ditingkahi
teriakan-teriakan keras terdengar riuh memecah
kesunyian sore di sebuah kawasan hutan kecil.
Debu-debu membubung tinggi di sepanjang jalan
yang dilalui tak kurang dari dua puluh lelaki ka-
sar yang memacu kudanya kuat-kuat. Binatang-
binatang perkasa itu meringkik hebat. Sementara
kaki-kakinya yang kokoh terus menghentak-
hentak permukaan tanah. Padahal, dari mulutnya
telah menyemburkan cairan putih berbusa.
Tanpa mempedulikan keadaan kuda-
kudanya, mereka terus memacu kuat-kuat. Se-
hingga yang terlihat hanya bayangan hijau dari
pakaian mereka yang serba hijau serta ikat kepala
warna hijau.
Berada paling depan adalah seorang lelaki
bertubuh tinggi besar berusia empat puluh tahun.
Wajahnya bengis dengan sepasang mata menco-
rong berwarna merah menyala. Rambutnya yang
gondrong sengaja dibiarkan tergerai di bahu. Pa-
kaiannya juga serba hijau terbuat dari sutera in-
dah serta ikat kepala juga berwarna hijau. Siapa
lagi lelaki ini kalau bukan Setan Haus Darah,
Pimpinan Laskar Hijau yang baru-baru ini mere-
sahkan tanah Jawa bagian tengah. Sebelah len-
gannya tampaknya mendekap tubuh seorang ga-
dis cantik yang direbahkan di atas pangkuannya.
Gadis itu masih berusia muda, berusia ki-
ra-kira tujuh belas tahun. Wajahnya cantik ber
bentuk bulat telur. Kulit tubuhnya yang putih
bersih terbungkus pakaian indah yang juga ber-
warna hijau. Rambutnya yang hitam pekat dige-
lung ke atas, dihiasi untaian bunga melati. Se-
dang sepasang matanya yang dihiasi bulu-bulu
lentik terus terpejam. Malah dari sudut-sudut bi-
birnya tampak mengalir darah segar pertanda
tengah mengalami luka dalam.
Seperti yang dilakukan pimpinan mereka,
beberapa anggota Laskar Hijau ini juga terus
menggebah kudanya sambil memeluk tubuh seo-
rang gadis dengan menggunakan sebelah lengan-
nya. Gadis-gadis itu adalah penduduk Kampung
Sumber Dalem yang berhasil diculik. Di samping
gadis-gadis cantik, beberapa orang anggota Pasu-
kan Laskar Hijau lainnya pun juga membawa
bungkusan-bungkusan besar hasil jarahan. (Un-
tuk lebih jelasnya silakan baca episode: "Setan
Haus Darah").
Tiba di sebuah jalan setapak, Setan Haus
Darah memperlambat lari kudanya. Tindakannya
segera diikuti anak buahnya. Meski demikian, Se-
tan Haus Darah dan anak buahnya tetap waspa-
da, karena bisa jadi tiba-tiba musuh datang me-
nyerang.
"Ketua! Kita tak mungkin membiarkan ke-
jadian ini begitu saja! Kita harus menuntut balas.
Siluman Ular Putih harus secepatnya dienyahkan
dari muka bumi ini!" kata salah seorang anggota
Pasukan Laskar Hijau penuh kegeraman, setelah
menjajari langkah kuda Setan Haus Darah. Se-
perti pemimpinnya, ia juga memangku seorang
gadis yang tampak ketakutan. Wajahnya yang
cantik berbentuk lonjong pucat pasi. Matanya je-
lalatan ke sana kemari memperhatikan laki-laki
berperangai kasar yang terus mendekapnya erat-
erat. Namun dalam keadaan tertotok begitu tak
mungkin si gadis bisa memberontak.
"Bagaimana, Ketua? Apa usulku tadi dapat
diterima?" ulang lelaki bertampang bengis di
samping Setan Haus Darah.
"Hhh...!" Setan Haus Darah mendesah, tak
langsung menjawab. Rahangnya tampak men-
gembung dengan kedua pelipis bergerak-gerak.
"Tentu saja aku tak dapat melupakan penghinaan
ini, Surono! Siluman Ular Putih harus mampus di
tanganku. Tapi, aku juga sadar. Pemuda keparat
itu bukanlah pendekar sembarangan. Meski
usianya masih muda, tapi ilmunya tinggi sekali.
Buktinya aku sendiri tak mampu menghentikan
sepak terjangnya."
"Mungkin kita harus meminta bantuan Ki
Banaspati, Ketua," usul salah seorang anggota
Pasukan Laskar Hijau dari belakang, setelah
mendengar percakapan itu.
"Hm....! Bagus. Aku memang sedang memi-
kirkannya. Tapi mungkinkah Guru Besar kita
yang sudah lama mengasingkan diri dari dunia
persilatan itu mau membantuku...?" ucap Setan
Haus Darah seperti ditujukan pada dirinya sendi-
ri. Sepasang matanya yang bengis tampak mere-
dup. "Yah...! Kukira aku harus dapat membujuk
Guru agar sudi membantuku...."
"Bagaimana, Ketua?" desak lelaki di samp
ing Setan Haus Darah yang dipanggil Surono.
"Yah...! Nanti akan kuusahakan," jawab Se-
tan Haus Darah seraya mendesah. "Yang penting
sekarang kita harus sampai di tempat persembu-
nyian secepatnya. Ayo, kita tinggalkan tempat ini
secepatnya!"
Begitu habis kata-katanya, Setan Haus Da-
rah segera menggebah tali kekang kuda tunggan-
gannya.
Kuda putih tunggangan Pemimpin Laskar
Hijau seketika meringkik keras, lalu melaju cepat.
Anak buahnya pun melakukan hal yang sama.
Kuda mereka digebah cepat, meninggalkan debu-
debu yang beterbangan di belakang ditingkahi te-
riakan-teriakan nyaring.
Belum begitu jauh gerombolan Pasukan
Laskar Hijau itu bergerak, mendadak....
"Hieeekh...!"
Setan Haus Darah terkejut bukan kepalang
ketika tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik
hebat dengan kedua kaki depan terangkat tinggi-
tinggi ke udara. Kalau saja lelaki kasar Pemimpin
Laskar Hijau itu tak cepat bertindak, dengan me-
meluk leher kuda kuat-kuat bukan mustahil tu-
buhnya akan terlempar berikut gadis cantik da-
lam pangkuannya dan gadis cantik dalam pon-
dongannya tidak terlempar dari punggung kuda.
Karena kuda putih tunggangan Setan Haus
Darah berhenti mendadak, mau tak mau bebera-
pa orang anak buahnya harus menarik tali ke-
kang membuat kuda-kuda mereka berubah jadi
liar. Akibatnya, beberapa orang anak buah Setan
Haus Darah berpelantingan beserta gadis-gadis
dalam pondongan.
"Bajingan! Siapa yang berani menghalangi
jalanku, hah?!" bentak Setan Haus Darah begitu
bisa menguasai keadaan dan melihat keadaan
anak buahnya. Pandangan matanya langsung be-
redar ke segenap penjuru.
Tak ada sahutan. Apalagi menemukan ba-
tang hidung orang yang telah mengganggu perja-
lanan mereka. Namun samar-samar telinga Setan
Haus Darah yang tajam mendengar suara tawa
seseorang yang entah dari mana datangnya. Nada
tawa itu terdengar amat melecehkan!
Tentu saja hal ini membuat Setan Haus
Darah dan anak buahnya jadi menggeram murka.
Kepala mereka celingukkan ke sana kemari men-
cari-cari di sekitar pohon-pohon yang tumbuh di
situ. Namun tetap saja tak menemukan apa-apa,
kecuali semilirnya angin sore itu. Dan yang makin
membuat hati Setan Haus Darah makin gusar
bercampur amarah, ternyata suara tawa itu ter-
dengar makin memekakkan gendang telinga.
Dengan perasaan kesal bukan main, Setan
Haus Darah melompat turun dari kudanya sete-
lah meletakkan gadis dalam pelukannya di atas
punggung kuda. Dia yakin, suara sumbang itulah
yang telah menghadang jalannya. Entah menggu-
nakan ilmu apa, hingga menyebabkan kudanya
berhenti mendadak dengan sikap liar penuh keta-
kutan. Menilik hal ini, jelas orang yang mengha-
dang memiliki kepandaian tinggi.
"Bajingan! Pengecut! Ayo, tampakkan ba
tang hidungmu kalau ingin merasakan bogem
mentah Setan Haus Darah!" teriak Setan Haus
Darah. Suaranya membahana memenuhi hutan
itu.
"He he he...! Aku di sini, Biang Rampok!
Mengapa marah-marah?"
DUA
Begitu Setan Haus Darah dan anak buah-
nya berbalik, di ranting pohon yang menjuntai ke
jalan setapak telah duduk dengan enaknya seo-
rang lelaki tua berjubah hitam sampai lutut. Se-
buah topi hitam panjang bertengger di kepala.
Begitu asyik ia ongkang-ongkang kaki, padahal
ranting pohon itu kecil sekali. Tak lebih dari ibu
jari manusia dewasa. Namun anehnya tidak me-
lengkung sedikit pun menahan berat badannya!
Bisa dipastikan, lelaki tua ini memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang sudah sangat tinggi.
Perawakan tubuh si tua bau tanah itu
memang kurus kering. Kelihatannya tubuhnya
tak bertenaga dimakan usia. Wajahnya putih ber-
sih. Sepasang matanya kelabu dengan alis mata
berwarna putih. Sedang jubah hitamnya yang ke-
dodoran tampak berkibar-kibar tertiup semilirnya
angin sore.
"Bajingan! Tua bangka jelek! Siapa kau se-
benarnya?! Mengapa mengganggu perjalanan ka-
mi, hah?!" bentak Setan Haus Darah garang. Namun sebenarnya hatinya kagum juga melihat ke-
pandaian si kakek renta.
"He he he...! Kukatakan pada kalian pun,
tak ada gunanya. Percuma! Sebab aku malas ber-
kenalan dengan perampok-perampok macam ka-
lian," leceh si kakek renta yang berpenampilan
mirip seorang terpelajar pada masa itu. Kekehan-
nya membuat wajah Setan Haus Darah merah.
Geraham Pemimpin Laskar Hijau ini ber-
gemelutuk menahan marah. Sepasang matanya
yang tajam berusaha mengukur kepandaian si
kakek renta yang masih ongkang-ongkang kaki di
tempatnya.
"Ketua! Siapa pun adanya tua bangka itu,
sebaiknya beri pelajaran saja biar tahu rasa!" sela
Surono, murka bukan main.
Pimpinan Pasukan Laskar Hijau itu tak
menyabut. Keningnya kian berkerut-kerut beru-
saha menerka siapa sebenarnya tua bangka satu
ini. Melihat ciri-cirinya, Setan Haus Darah mulai
bisa menerka. Kepalanya manggut-manggut begi-
tu di benaknya tersirat sebuah nama....
"Pendidik Ulung! Di antara kita tak pernah
silang sengketa. Tapi, kenapa hari ini kau meng-
hadang perjalanan kami?!" bentak Setan Haus
Darah begitu mengenali siapa kakek di hadapan-
nya yang ternyata Pendidik Ulung.
Beberapa orang anak buah Setan Haus Da-
rah yang mendengar siapa tua bangka itu tiba-
tiba jadi ciut nyalinya. Kendati belum pernah me-
lihat secara langsung, namun nama Pendidik
Ulung di dunia persilatan sudah begitu mengge
tarkan. Sepak terjangnya tak pernah kenal am-
pun pada tokoh-tokoh sesat. Maka tak heran ka-
lau kakek renta itu sangat ditakuti kaum golon-
gan sesat.
"Syukur kalau kau masih ingat, Biang
Rampok. Tapi, patut dicatat. Meski kalian menge-
naliku, tetap saja aku akan membuat perhitungan
dengan bajingan-bajingan kecil macam kalian.
Baik ada silang sengketa secara langsung atau ti-
dak. Kalian paham? Untuk itulah aku mengha-
dang kalian!" sahut Pendidik Ulung, lugas.
"Setan alas! Kenapa jantungku jadi dag-
dig-dug begini? Padahal di belakang masih ada
anak buahku. Hm...! Aku tak boleh gegabah.
Meski ia seorang diri, aku harus tetap hati-
hati...," rutuk Setan Haus Darah dalam hati.
"Ketua! Bagaimana ini? Apakah kita harus
cepat bertindak?" bisik Surono.
"Hm...! Lihat saja perkembangannya nanti!
Aku memang malas berbentrokkan dengan tua
bangka satu ini. Tapi, kalau terpaksa, apa boleh
buat," kilah Setan Haus Darah, berbisik.
"Hey...! Kenapa kalian malah kasak kusuk?
Pasti kalian sedang menjelekkan aku. Ya?! Seka-
rang kuminta, cepat lepaskan gadis-gadis itu! Ju-
ga, harta benda yang kalian sikat!" perintah Pen-
didik Ulung berani.
Seketika, tokoh sakti dari Lembah Kalie-
rang ini segera melompat tinggi ke udara. Tubuh-
nya yang kurus kering membuat putaran bebera-
pa kali di udara, lalu mantap sekali sepasang ka-
kinya yang kurus menjejak tanah tanpa bersuara
sedikit pun!
Melihat gelagat yang tidak baik, beberapa
orang anak buah Setan Haus Darah segera men-
gurung Pendidik Ulung walau belum ada perin-
tah. Golok-golok besar di tangan mereka langsung
tercabut, menimbulkan kilauan akibat tertimpa
sinar matahari yang memerah tembaga di ufuk
barat.
Srattt! Srattt!
Pendidik Ulung terkekeh senang. Satu per-
satu dipandanginya anggota-anggota Pasukan
Laskar Hijau.
"Cecurut-cecurut macam kalian masih juga
berlagak! Kalau boleh kunasihati, baiknya me-
nyingkirlah! Aku tak ingin berurusan dengan ka-
lian. Tapi dengan Biang Rampok itulah!" tuding
Pendidik Ulung ke arah Setan Haus Darah.
Setan Haus Darah mendengus gusar. Dari
tadi amarahnya yang menggelegak memang beru-
saha ditahan, walaupun rasa gentar juga mengu-
sik hatinya. Namun manakala mendengar ejekan
Pendidik Ulung, rasa takut itu pun sirna, berganti
kenekatan.
"Bajingan! Meski nama besarmu cukup di-
perhitungkan di dunia persilatan, jangan dikira
aku takut menghadapimu, Tua Bangka Keparat!"
dengus Setan Haus Darah dengan gigi-gigi gera-
ham bergemeletukkan.
"Terserah kau mau ngomong apa, Biang
Rampok! Pokoknya apa yang kuperintahkan ha-
rus dituruti. Lepaskan gadis-gadis itu berikut
harta benda yang kalian sikat!" tandas Pendidik
Ulung.
"Jangan gegabah, Pendidik Ulung! Pantang
menyerah bagi Setan Haus Darah sebelum kita
saling bertukar jurus."
"Jadi? Kau menantangku, ya?" tukas Pen-
didik Ulung. "Bagus-bagus! Tanganku memang
sudah gatal lama tak menghajar orang. Terutama
sekali sejak kedua muridku yang murtad
mengkhianatiku. Sekarang, saatnyalah aku
menghajar manusia-manusia macam kalian! Se-
bab aku yakin, kelakuan kalian pun tak jauh ber-
beda dengan kedua orang muridku!" (Untuk men-
getahui siapa kedua orang murid Pendidik Ulung,
silakan baca episode: "Persekutuan Maut").
"Lagakmu pongah sekali, Pendidik Ulung?!
Apa kepandaianmu juga setara dengan lagakmu,
mulut besarmu, hah?!"
"Sudahlah.... Jangan bertele-tele. Seka-
rang, cepat lepaskan gadis-gadis itu! Kalau tidak,
kalian akan kuhajar sampai terkencing-kencing!"
"Siapa peduli ancamanmu, Tua Bangka
Keparat! Majulah kalau ingin nyawa busukmu
melayang!" damprat Surono. Tangan kanan Setan
Haus Darah yang berwatak berangasan.
"He he he...! Aku tidak mengancam. Aku
hanya ingin memberi sedikit pelajaran. Nah, seka-
ranglah saatnya aku memberi pelajaran!"
Sebelum kata-katanya habis, Pendidik
Ulung segera meluruk cepat. Jari-jari tangannya
yang telah berubah jadi putih berkilauan berputa-
ran cepat, siap melontarkan totokan 'Jari Putih
Dewa Langit'.
Wutt! Wuuuttt!
Bunyi gesekan udara karena jari-jari tan-
gan Pendidik Ulung bergerak-gerak begitu cepat
membuat beberapa orang anggota Pasukan
Laskar Hijau yang menjadi sasaran terlihat kocar-
kacir.
Werrr! Werrr!
Pendidik Ulung terus berkelebat, mengin-
car anak buah Setan Haus Darah yang terdekat.
Gerakan hingga tubuhnya yang terbungkus baju
jubah hitam makin di-percepat. Sementara jari-
jari tangannya pun tak luput mengancam tubuh
para pengeroyoknya.
Tukkk! Tukkk!
"Aaahh...!"
Dua kali jari tangan kanan Pendidik Ulung
bergerak cepat, seketika terdengar keluhan terta-
han dua orang anak buah Setan Haus Darah
dengan tubuh kaku tak dapat digerakkan.
Serangan Pendidik Ulung tak berhenti
sampai di situ saja. Begitu jubahnya berkelebat
ke tempat lain, jari-jari tangannya pun kembali
meminta korban. Maka saat itu pula terdengar
pekik kesakitan dari para anak buah Setan Haus
Darah yang saling susul. Tubuh mereka kontan
kaku tak dapat bergerak lagi.
Melihat sepak terjang Pendidik Ulung yang
tak dapat terbendung oleh para anak buahnya,
Setan Haus Darah menggeram penuh kemarahan.
"Setan alas! Jangan dikira aku takut men-
dengar nama besarmu, Tua Bangka Keparat!
Meski kesaktianmu setinggi langit, aku akan me
nantangmu bertarung habis-habisan!" teriak Se-
tan Haus Darah.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan merobek angkasa Setan
Haus Darah meluruk deras, menyerang Pendidik
Ulung.
"Bagus! Akhirnya kau mau turun tangan
juga, Biang Rampok!" ejek Pendidik Ulung, kalem.
"Bajingan! Makanlah bogem mentahku,
Tua Bangka Keparat!" geram Setan Haus Darah.
Kedua telapak tangan Pemimpin Laskar Hi-
jau yang terkepal erat segera melontarkan puku-
lan maut secara bertubi-tubi. Begitu kuatnya,
sampai-sampai menimbul-kan berhawa panas.
Pendidik Ulung sejenak terkekeh senang.
Lalu segera dimainkannya jurus andalannya
'Tangan Maut Dewa Kayangan', sehingga kedua
telapak tangannya kontan berwarna putih berki-
lauan sampai pangkal. Sejenak Pendidik Ulung
merentang-rentangkan kedua tangannya bak
sayap burung garuda. Lutut kanannya ditekuk ke
atas dalam-dalam.
"Hup...!"
Begitu melemparkan kaki kanannya ke be-
lakang, mendadak Pendidik Ulung menerjang ke
depan menyambut serangan Setan Haus Darah.
Kedua tangannya yang tadi direntangkan kini
menyambar cepat laksana sepasang tangan dewa.
Wesss! Wesss!
Bukan main hebatnya terjangan kakek ren-
ta dari Lembah Kalierang ini. Gerakan tangan dan
kakinya yang cepat luar biasa mampu menimbul
kan angin dingin berkesiutan yang menyambar-
nyambar. Ranting-ranting pohon kontan bergugu-
ran dengan warna berubah jadi hitam legam ter-
kena sambaran angin pukulannya.
Setan Haus Darah sempat terkesiap meli-
hat kelebatan lawan. Namun sedikit pun juga ha-
tinya tak gentar. Malah tenaga dalamnya makin
ditambah ke dalam kedua telapak tangannya....
Plak! Plak!
"Aaah...!"
Setan Haus Darah memekik tertahan. Tu-
buhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.
Kedua tangannya yang berbentrokan dengan tan-
gan Pendidik Ulung terasa nyeri bukan main. Itu
pertanda tenaga dalamnya masih setingkat di ba-
wah Pendidik Ulung.
Di hadapannya, Pendidik Ulung terkekeh
senang. Tubuhnya yang kurus kering tampak
bergoyang-goyang dengan kaki melesak ke dalam
tanah!
"Bagus! Tak sia-sia rupanya kau bergelar
Setan Haus Darah. Ternyata kecongkakanmu ada
sedikit buktinya juga. Tapi, sayang. Gelarmu
sungguh tak cocok dengan sikap maupun peran-
gaimu. Hm...! Setan Haus Darah! Sungguh satu
gelar indah yang sarat akan kecongkakan...," gu-
mam Pendidik Ulung lalu menggeleng-gelengkan
kepala. Entah apa maksud gelengannya.
"Jahanam! Aku belum kalah, Tua Bangka
Keparat! Lihat serangan!" dengus Setan Haus Da-
rah seraya membuat beberapa gerakan dengan
kedua tangannya.
Selang beberapa saat kedua telapak tangan
Setan Haus Darah kontan berubah jadi merah
menyala hingga sampai pangkal siku. Sambil
menjengekkan hidungnya sebentar, kedua telapak
tangan ditarik ke belakang, lalu tiba-tiba disen-
takkan ke depan dengan tenaga dalam penuh.
"Hea!"
Bersama teriakan nyaringnya, dari kedua
telapak tangan Setan Haus Darah meluncur dua
gulungan bola api ke depan. Tak lama kemudian,
mendadak dua gulungan bola api itu mengem-
bang, memancarkan hawa panas bukan kepalang!
Werrr! Werrr!
Melihat datangnya serangan dahsyat begi-
tu, kini giliran Pendidik Ulung yang terperanjat
kaget. Seolah tak percaya, sejenak diperhatikan-
nya gulungan bola api yang hanya tinggal satu
tombak dari tubuhnya. Tapi kemudian tiba-tiba
kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan.
"Heaaa...!"
Dikawal teriakan nyaring, saat itu pula me-
luruk dua larik sinar putih berkilauan dari kedua
telapak tangan Pendidik Ulung yang diiringi ber-
kesiurnya hawa dingin bukan kepalang! Dan keti-
ka kedua sinar putih bertubrukan dengan kedua
bola api itu....
Besss!
Tak ada satu ledakan hebat yang terjadi.
Untuk sesaat dua gulungan sinar putih dan gu-
lungan bola api itu saling gulung bergulung, seo-
lah ingin saling meluluh-lantakan.
Di tempat masing-masing, tubuh Pendidik
Ulung dan Setan Haus Darah sama-sama bergetar
hebat. Namun keduanya tak ada yang ingin men-
galah. Mereka sama-sama ngotot mempertahan-
kan kedudukan masing-masing. Bila salah satu
ada yang lengah, berarti kematianlah yang akan
merenggut.
Di saat Pendidik Ulung dan Setan Haus
Darah makin meningkatkan tenaga dalam mas-
ing-masing, mendadak Surono dan puluhan ang-
gota Pasukan Laskar Hijau lainnya telah mener-
jang dengan golok di tangan. Tentu saja sasaran-
nya adalah Pendidik Ulung.
"Modar kau, Tua Bangka Keparat!" bentak
Surono garang.
Pendidik Ulung terkesiap kaget. Puluhan
mata golok yang berkilauan di tangan anggota Pa-
sukan Laskar Hijau tampak berseliweran menge-
rikan siap menghancurkan tubuhnya. Sedang
saat itu, tak mungkin bagi Pendidik Ulung untuk
membagi serangan. Tak ada pilihan lain, terpaksa
tenaga dalamnya kian dilipatgandakan.
"Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, mendadak Pen-
didik Ulung menyentakkan kedua telapak tan-
gannya kuat-kuat ke depan. Seketika terdengar
suara menggemuruh memenuhi tempat pertarun-
gan. Bumi saat itu pula berguncang keras. Se-
mentara kaki-kaki kedua tokoh itu saling bergeta-
ran.
"Aaakh...!"
Setan Haus Darah mendadak memekik he-
bat. Seketika tubuhnya terlempar jauh ke belakang, berputar-putar sebentar dan terbanting ke-
ras.
Bukkk!
Setan Haus Darah menggeram murka.
Punggungnya yang membentur tanah terasa mau
remuk. Di samping itu tampak kedua telapak
tangannya melepuh akibat pukulannya yang
membalik. Buru-buru diambilnya sebutir obat
berwarna kuning dari kantong kecil yang mengge-
lantung di pinggang ditelannya.
Sementara akibat sentakan kuat Pendidik
Ulung, udara di sekitarnya berubah jadi dingin.
Bahkan akibat beradunya dua kekuatan sakti itu
menciptakan angin keras, membuat ranting-
ranting pohon berderak. Daun-daun berguguran
berubah jadi hitam legam. Sedang beberapa orang
anak buah Setan Haus Darah yang saat itu ten-
gah melancarkan serangan maut ke tubuh Pendi-
dik Ulung kejap itu pula memekik menyayat. Ka-
rena tubuh mereka langsung tersambar pengaruh
dua kekuatan dahsyat tadi.
Bukkk! Bukkk!
Puluhan anggota Pasukan Laskar Hijau
tampak berpelantingan ke sana kemari dan ter-
banting keras dengan paras pucat pasi!
Tak jauh dari hadapan mereka, tampak tu-
buh Pendidik Ulung sendiri tengah terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Parasnya
pucat pasi. Darah segar pun mengalir di sudut
bibir! Buru-buru Pendidik Ulung menyeka dengan
punggung tangan.
"Manusia-manusia curang! Licik! Rasakan
lah akibatnya!" dengus Pendidik Ulung sarat ke-
marahan.
Beberapa orang anggota Pasukan Laskar
Hijau yang terkena kesiuran angin akibat bentro-
kan tenaga dalam tadi tampak tertatih-tatih beru-
saha melompat bangun. Sekujur tubuh mereka
menggigil hebat. Kalau mereka ingin selamat ha-
rus segera mengerahkan tenaga dalam untuk be-
berapa saat agar hawa dingin yang menyerang
sirna. Dan kenyataannya mereka memilih menye-
lamatkan selembar nyawa. Begitu duduk, mereka
segera bersemadi.
Melihat apa yang telah menimpa anak
buahnya, Setan Haus Darah jadi mata gelap. Har-
ga dirinya merasa terinjak-injak melihat puluhan
anak buahnya celaka di tangan Pendidik Ulung.
Dengan menggeram penuh kemarahan, buru-
buru Pemimpin Laskar Hijau itu melompat ban-
gun.
"Keparat! Kau celakakan semua anak bua-
hku! Demi Iblis, aku tak terima! Akan kuenyah-
kan kau saat ini juga! Terimalah kematianmu hari
ini!" geram Setan Haus Darah, seraya memutar-
mutar kedua telapak tangannya.
Seketika, kedua telapak tangan tokoh sesat
Pimpinan Pasukan Laskar Hijau berubah jadi me-
rah menyala hingga pangkal siku, pertanda telah
mengerahkan tenaga dalamnya dengan kekuatan
penuh.
"Pukulan 'Gemuruh Badai Api'...!" desis
Pendidik Ulung dengan mata terbelalak lebar. Se-
tan Haus Darah tersenyum dingin.
"Syukur kalau kau sudah mengenali puku-
lan mautku. Berarti, kau tak akan menyesal di
akhirat nanti!"
"Hm...! Kau pasti ada hubungannya dengan
tua bangka yang bergelar Manusia Api."
"Dia guruku. Kau mulai gentar, bukan?"
"Bagus! Kalau begitu, kau dan gurumu
memang patut dilenyapkan dari muka bumi ini!"
"Jangan gegabah, Tua Bangka Keparat! Ju-
stru nyawamulah yang kini berada dalam geng-
gaman tanganku! Sekarang, rasakanlah pembala-
sanku!"
Tiba-tiba Setan Haus Darah menarik kedua
telapak tangannya ke belakang. Lalu dikawal te-
riakan nyaring, kedua telapak tangan yang telah
berubah jadi merah menyala itu segera disentak-
kan ke depan.
Werrr....
Seketika, terdengar suara badai yang
menggemuruh memenuhi tempat pertarungan. Di
samping itu, dari kedua telapak tangan Setan
Haus Darah pun telah melesat lidah api yang ber-
kobar-kobar siap melabrak tubuh Pendidik Ulung.
Wesss! Wesss!
Pendidik Ulung bukannya tidak tahu akan
datangnya bahaya maut. Meski tampak sikapnya
seperti angin-anginan, sebenarnya tokoh sakti da-
ri Lembah Kalierang ini tengah mengerahkan ju-
rus pamungkasnya 'Tulisan Maut Dewa Kayan-
gan'.
Kini, Pendidik Ulung pun menggurat-
guratkan telunjuk jari tangannya ke udara. Seke
tika, terdengar bunyi mencicit yang teramat me-
mekakkan telinga akibat guratan-guratan telun-
juknya. Di samping itu guratan kedua telunjuk
jarinya pun agak aneh. Telunjuk jari kanan
menggurat dari kanan ke kiri, sedangkan telunjuk
jari kiri menggurat dari kiri ke kanan. Pada saat
kedua telunjuk jari itu menyatu, saat itu pula
memancarkan sinar putih berkilauan yang cepat
melesat ke depan memapak kobaran api Setan
Haus Darah.
Classs!
Laksana baja panas yang dicelupkan dalam
air, sinar putih dari kedua telunjuk jari tangan
Pendidik Ulung mampu mematahkan serangan
Setan Haus Darah. Seketika, lidah api yang ber-
kobar-kobar ambyar, memporak-porandakan apa
saja yang ada di tempat pertarungan!
Bersamaan dengan itu....
"Aaa...!"
Terdengar teriakan menyayat dari beberapa
orang anak buah Setan Haus Darah yang tengah
duduk bersemadi dan juga beberapa orang gadis
hasil jarahan. Tubuh mereka terbakar hebat begi-
tu terkena sambaran lidah api dari kedua telapak
tangan Setan Haus Darah.
Bukan main murkanya hati Setan Haus
Darah melihat beberapa orang anak buahnya te-
was dengan cara amat mengerikan. Sedang saat
itu parasnya pucat pasi akibat bentrokan tenaga
dalam tadi. Dadanya terasa sesak. Pimpinan
Laskar Hijau ini berusaha bertahan, namun do-
rongan dari dalam dada membuatnya mengeluh.
Hingga....
"Huahhh!"
Darah merah kehitaman kontan meluncur
dari mulut Setan Haus Darah. Buru-buru Pimpi-
nan Pasukan Laskar Hijau itu menotok beberapa
jalan darah di tubuhnya. Ketika dadanya sedikit
lega, ia segera memberi aba-aba pada beberapa
orang anak buahnya dengan siulan.
"Tunggulah pembalasanku, Tua Bangka
Keparat!"
Setan Haus Darah terseok-seok meninggal-
kan tempat pertarungan menuju kuda tunggan-
gannya. Beberapa anak buahnya yang selamat
segera mengikuti tindakannya, hendak mening-
galkan tempat pertarungan.
Pendidik Ulung yang sudah tahu gelagat
segera bertindak. Seperti pertama kali tadi mem-
permainkan Setan Haus Darah, kedua telapak
tangannya yang terentang ke depan segera ditarik
ke belakang.
"Hieekh...!"
Laksana ada satu kekuatan gaib yang dah-
syat luar biasa, mendadak kuda tunggangan Se-
tan Haus Darah meringkik keras sambil melon-
jak-lonjak. Setan Haus Darah yang hendak me-
lompat ke punggung kudanya terpaksa mengge-
ram penuh kemarahan. Namun, ia tidak banyak
bertingkah kali ini.
"Hup!"
Begitu melihat kuda tunggangannya jadi
liar, kakinya segera menjejak tanah, melompat ke
punggung kuda di sebelahnya.
"Hea! Hea!"
Begitu mendarat di atas punggung kuda,
Setan Haus Darah segera menggebahnya. Bebe-
rapa orang anak buahnya yang sudah berada di
atas punggung kuda segera menyusul.
Pendidik Ulung menggeleng-gelengkan ke-
pala.
"Kalau saja gadis-gadis itu tak perlu dis-
elamatkan, sudah pasti akan kupatahkan batang
leher manusia biang rampok itu. Hm...! Tapi,
memang baiknya aku mengurus gadis-gadis itu.
Siapa tahu mereka masih da-pat terlolong...," gu-
mam Pendidik Ulung.
Meski telah mengambil keputusan seperti
itu, ekor mata si tua ini terus mengikuti kepergian
Setan Haus Darah dan anak buahnya. Saat so-
sok-sosok mereka mengecil tepat di lingkaran bola
matahari yang menembaga di ufuk barat, Pendi-
dik Ulung mengalihkan perhatian pada gadis-
gadis itu.
TIGA
Pendidik Ulung sejenak masih terpaku di
tempatnya. Dadanya terasa sesak akibat adu te-
naga dalam tadi. Segera diambilnya sebutir obat
pulung berwarna putih dari saku jubah hitamnya.
Sejenak diperhatikannya obat itu, lalu ditelan.
"Kalau saja banyak bertebaran tokoh sesat
berkepandaian tinggi seperti manusia edan itu,
bukan mustahil dunia persilatan akan kapiran.
Yahhh.... Untuk sementara aku dapat menghenti-
kan sepak terjangnya. Walau tidak sampai tuntas,
namun sudah cukup memberi pelajaran pada me-
reka. Hm...," gumam Pendidik Ulung, kembali
menggeleng-geleng.
Entah, apa yang tengah berkecamuk dalam
benak kakek renta dari Lembah Kalierang itu.
Yang jelas begitu melihat mayat yang berserakan
di tempat pertarungan, buru-buru ditelitinya den-
gan seksama.
"Hm...! Tak kusangka akibat angin pukulan
dari bentrokan tadi membuat anggota Pasukan
Laskar Hijau ini menemui ajal. Juga, gadis-gadis
malang itu. Hm...!"
Pendidik Ulung kembali tercenung untuk
beberapa saat. Menyaksikan puluhan mayat yang
berserakan, tapi urung membuat tengkuknya
bergidik.
"Sontoloyo! Kalau tahu mereka semua su-
dah tewas, buat apa aku melepaskan biang ram-
pok itu kabur bersama anak buahnya. Huh! Bikin
jengkel hatiku saja!" rutuknya.
Pendidik Ulung menghentak-hentakkan
kakinya kesal. Lalu si tua ini jalan mondar-
mandir sambil menyembunyikan tangan di balik
pinggang.
"Oh, ya? Baiknya aku menguburkan mayat
mereka terlebih dulu, baru kemudian mengejar
bajingan-bajingan itu," pikir Pendidik Ulung tiba-
tiba.
Habis berpikir, Pendidik Ulung segera me-
raih sebuah dahan pohon yang berserakan di
tempat itu. Setelah daun-daunnya dibersihkan,
batang pohon digunakan untuk membuat lobang
besar. Sebagai tokoh berkepandaian tinggi tak be-
gitu sulit bagi Pendidik Ulung membuat lobang
untuk menguburkan mayat-mayat Pasukan
Laskar Hijau dan gadis-gadis itu. Dengan penge-
rahan tenaga dalam, sebentar saja sudah tercipta
sebuah lobang besar. Dan dengan gerakan cepat
pula, dimasukkannya mayat-mayat itu ke dalam
lobang. Namun baru saja hendak menimbun lo-
bang tiba-tiba...
"Hoekhhh!"
Terdengar seseorang tengah muntah-
muntah tak jauh di belakang Pendidik Ulung. Bu-
ru-buru lelaki tua ini membalikkan badan. Ter-
nyata di dekat sebuah batang pohon tampak seo-
rang gadis cantik berpakaian serba hijau tengah
merintih menahan sakit. Wajahnya yang cantik
tampak pucat pasi. Darah segar yang mengalir di
sudut bibir menandakan kalau gadis cantik itu
tengah menderita luka dalam cukup parah.
"Siapakah gadis cantik itu?" gumam Pendi-
dik Ulung dengan kening berkerut. "Oh.... Dia tadi
berada di atas punggung kuda Setan Haus Darah,
lalu terlempar ketika kuda itu terkejut. Hm... me-
nilik pakaiannya, bisa jadi gadis itu juga anak
buah Setan Haus Darah. Ah... baiknya kudekati
saja...."
Si tua ini segera melangkah mendekati si
gadis. Sikapnya tetap waspada, meski melihat ga-
dis itu menderita akibat luka dalamnya.
"Siapa kamu, Cah Ayu. Dan siapa pula
yang membuatmu begini?" tanya Pendidik Ulung
sesampainya di dekat gadis cantik yang bukan
lain Arum Sari. Saat terlempar dari kuda tadi, un-
tungnya pengaruh totokan Setan Haus Darah te-
lah punah. Sehingga ketika berada di udara, ia
bisa mematahkan daya lontaran hingga tak sam-
pai membentur pohon yang kini disandarinya.
Namun demikian, gadis itu tak bisa berdiri lama-
lama ketika merasakan dadanya kian sesak saja.
Maka untuk itu ia mencoba mengobati dirinya
sendiri di bawah pohon dengan jalan bersemadi.
Pendidik Ulung memperhatikan Arum Sari
seksama. Terutama sekali pada pakaian hijau-
hijaunya yang sama persis dengan yang dikena-
kan anggota pasukan Laskar Hijau.
Arum Sari tidak langsung menjawab. Tan-
gannya kini mengurut dada sebentar seraya men-
gedarkan pandangan mata ke sekeliling. Begitu
pandang matanya berbentrokan dengan mayat-
mayat anggota Pasukan Laskar Hijau dan bebera-
pa orang gadis di dalam lobang yang baru digali,
matanya langsung membeliak lebar.
"Siapakah yang telah melakukan ini se-
mua?" Arum Sari malah balik bertanya.
Pendidik Ulung makin curiga.
"Aku. Memangnya kenapa?" jawabnya,
tandas.
"Lalu? Di manakah orang yang bergelar Se-
tan Haus Darah itu, Orang Tua?"
"Huh...!" Pendidik Ulung mendengus. "Jadi
kau mencari manusia biang rampok itu? Kau
mencari ketuamu yang pongah itu?"
Pendidik Ulung merasa yakin kalau gadis
cantik di hadapannya adalah salah seorang ang-
gota Pasukan Laskar Hijau.
"Maksudmu…?"
"Jangan berpura-pura, Cah Ayu! Kau pasti
salah seorang anak buah biang rampok yang ber-
gelar Setan Haus Darah!"
Arum Sari membelalak liar.
"Jangan menuduh sembarangan, Orang
Tua! Aku sama sekali tak ada hubungannya den-
gan mereka!" tukas Arum Sari tak senang.
"He he he...! Cah Ayu! Kau ingin mengela-
bui tua bangka macam aku ini, ya? Jangan dikira
aku dapat dikibuli!"
"Orang tua! Aku bersungguh-sungguh. Ha-
rap jangan salah paham! Aku memang mencari
Setan Haus Darah. Karena, manusia sesat itulah
yang telah mencelakakanku hingga seperti ini.
Mungkin juga teman-ku...."
Arum Sari mendadak menghentikan uca-
pannya. Sepasang matanya yang indah dengan
bulu-bulu mata yang lentik kembali beredar ke
sekeliling. Setelah tidak menemukan orang yang
dimaksud, si gadis mendesah lirih.
"Hm...! Jangan-jangan Soma telah tewas di
tangan Setan Haus Darah," gumam Arum Sari,
nyaris tak kentara.
"Siapa yang kau maksudkan, Cah Ayu?"
tanya Pendidik Ulung dengan mata ikut jelalatan
ke sana kemari mengikuti pandangan gadis cantik
di hadapannya.
"Temanku," jawab Arum Sari.
"Siapa?"
"Soma."
"Maksudmu...? Siluman Ular Putih?" tebak
Pendidik Ulung.
"Benar! Apa kau tadi melihatnya, Orang
Tua?" tanya Arum Sari harap-harap cemas.
"Hm...! Tidak. Dari tadi aku tak melihat bo-
cah edan itu. Tapi, benarkah kau teman dari bo-
cah edan itu? Apa kau bukan anak buah Setan
Haus Darah?"
"Orang tua! Harap jangan main-main! Aku
terluka karena kelicikan Setan Haus Darah. Dan
mungkin Siluman Ular Putih terluka pula...."
Kembali Arum Sari menelan kegelisahan
dalam hati. Rasanya tak sanggup untuk menga-
takan kalau Siluman Ular Putih telah menemui
ajal di tangan Setan Haus Darah. Saking cemas-
nya memikirkan keselamatan pemuda itu, tak
henti-hentinya mulutnya menggumam.
"Ah...! Bodoh benar aku ini!" ujar Pendidik
Ulung seraya menepuk jidatnya sendiri manakala
melihat sekujur tubuh Arum Sari yang dipenuhi
bintik-bintik merah.
"Ada apa, Orang Tua? Apakah kau melihat
Siluman Ular Putih?" tanya Arum Sari, tak dapat
menyembunyikan perasaannya.
Pendidik Ulung menggeleng.
"Ah...!" keluh Arum Sari sedih.
"Sudahlah! Jangan cemaskan pemuda
edan itu! Aku yakin, ia dapat mengatasi Setan
Haus Darah. Tapi kalau kau tak keberatan, seka-
rang izinkan aku mengobati lukamu! Kalau tak
salah, kau tentu terluka akibat pukulan
'Gemuruh Badai Api' milik Setan Haus Darah."
"Benar, Orang Tua. Setan Haus Darahlah
yang telah mencelakakanku. Tapi apa sekarang
kau tak lagi mencurigaiku sebagai anak buah ba-
jingan itu?"
Pendidik Ulung menggeleng.
"Nah! Sekarang, kau boleh mengobati lu-
kaku, Orang Tua!" kata Arum Sari dengan napas
sedikit tersengal. (Untuk mengetahui bagaimana
Arum Sari sampai celaka di tangan Setan Haus
Darah, baca episode sebelumnya: "Setan Haus
Darah").
"Baik."
Pendidik Ulung mengisyaratkan agar Arum
Sari berbalik. Tanpa sedikit pun curiga. Arum Sa-
ri segera berbalik membelakangi Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung bersila di belakang Arum
Sari. Segera kedua telapak tangannya ditempel-
kan di punggung si gadis. Perlahan-lahan, gadis
ini merasakan hawa dingin yang bukan kepalang
dari kedua telapak tangan Pendidik Ulung di
punggungnya sambil menggigit bibirnya kuat-
kuat, matanya dipejamkan. Hingga, hawa panas
yang mengaduk-aduk isi dadanya perlahan mulai
sirna.
"Nah, sekarang telanlah obat ini!"
Arum Sari kembali berbalik menghadap
Pendidik Ulung. Matanya sempat melihat dua bu-
tir obat pulung berwarna putih di telapak tangan
kakek renta penolongnya. Tanpa ragu-ragu sedikit
pun, segera diambilnya dua butir obat putih itu
dan ditelannya.
Selang beberapa saat, Arum Sari merasa-
kan hawa segar memasuki rongga mulutnya, dis-
usul hawa dingin yang terus mendesak hawa pa-
nas yang mengaduk-aduk dalam tubuh. Kendati
tubuhnya masih lemah, namun hatinya merasa
lega. Kini ia hanya tinggal membutuhkan waktu
untuk memulihkan tenaga dalamnya.
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik sekali.
Sebenarnya kalau boleh tahu, siapakah kau ini?"
ucap Arum Sari seraya menelangkupkan kedua
telapak tangan di depan hidung penuh hormat.
Suaranya pun terdengar lembut menyentuh re-
lung hati.
Pendidik Ulung tersenyum. Samar-samar
dipandanginya Arum Sari. Dan hatinya makin ya-
kin akan kejujuran di balik ucapan Arum Sari ta-
di. Namun si tua ini tetap tidak mempercayainya
begitu saja. Sebab, Prameswara muridnya yang
kedua juga selalu bertutur kata lembut seperti
Arum Sari saat itu. Tapi betapa berangnya hati
Pendidik Ulung, manakala mengetahui ternyata
Prameswara yang bergelar Pelajar Agung malah
mengkhianatinya! Itulah yang membuat hatinya
harus bertindak hati-hati. (Untuk mengetahui
pengkhianatan Prameswara, silakan ikuti episode:
"Persekutuan Maut" dan "Lukisan Darah").
"Jangan terlalu diungkit-ungkit kebaikan
yang tidak seberapa, Cah Ayu!" tegur Pendidik
Ulung enggan mengatakan siapa dirinya.
"Kau keberatan mengatakan siapa dirimu,
Orang Tua?" desak Arum Sari.
"Apalah artinya sebuah nama kalau tidak
ditunjang perilaku yang baik. Apalah artinya tu-
tur kata lembut, kalau tidak ditunjang dengan ha-
ti bersih," sindir Pendidik Ulung.
Yang disindir malah tersenyum,
"Memang benar, Orang Tua. Meski aku be-
lum lama mengenyam pahit getirnya dunia persi-
latan, namun setidaknya aku sudah dapat mera-
sakan kalau yang kau katakan itu benar. Kukira,
aku harus lebih berhati-hati untuk mengarungi
dunia persilatan. Aku tak ingin terpedaya hanya
karena tutur kata, maupun kelembutan seseo-
rang sebelum mengenal siapa orang itu sebenar-
nya," balas si gadis.
Pendidik Ulung jadi tak enak hati menda-
pat sindiran balik.
"Kau menyindirku, Cah Ayu?"
"Tak ada gunanya aku menyindir seseo-
rang. Apalagi, orang itu telah sangat berjasa pa-
daku. Kenapa kau tanyakan hal ini, Orang Tua?"
Pendidik Ulung menelan ludahnya sendiri.
"Siapa kau sebenarnya, Cah Ayu?"
"Aku hanyalah seorang gadis yatim piatu.
Namaku Arum Sari."
"Satu nama yang indah. Tapi, benarkah
kau yatim piatu?"
"Benar." Arum Sari mengangguk.
"Hm...? Sekarang setelah luka dalammu
sembuh, kau hendak ke mana lagi. Arum?"
"Sebenarnya tujuanku hanya satu. Setelah
pembunuh kedua orang tuaku tewas di tangan
Raja Penyihir, sekarang aku ingin sekali mencari
makam kedua orang tuaku. Apakah kau tahu, di
mana makam kedua orang tuaku yang bergelar
Sepasang Pendekar Garuda Emas, Orang Tua?"
papar Arum Sari.
"Apa? Jadi.... Kau putri dari Sepasang Pen-
dekar Garuda Emas?" Pendidik Ulung kaget bu-
kan kepalang.
"Benar, Orang Tua. Kenapa kau demikian
kaget?"
"Hhhm...!" Pendidik Ulung menghela napas
sebentar. "Tak kusangka hari ini aku akan berte-
mu putri sahabatku."
"Apakah kau mengenal mendiang kedua
orang tuaku, Orang Tua?" tanya Arum Sari gem-
bira.
"Bukan saja mengenal. Tapi, Sepasang
Pendekar Garuda Emas adalah kawan akrabku.
Jadi mulai hari ini, kau boleh memanggilku pa-
man. Paman Pendidik Ulung."
"Terima kasih. Or.... Eh, Paman Pendidik
Ulung. Sekali lagi aku menghaturkan sembah un-
tukmu," ucap Arum Sari tak dapat mengendali-
kan perasaan gembira. Kemudian dengan penuh
hormat kembali kedua telapak tangannya mene-
langkup di depan hidung.
"Sudahlah! Jangan terlalu berbasa-basi!
Aku paling tak senang melihat orang terlalu ber-
basa basi. Yang penting adalah sikap dan hati
bersih. Buat apa orang terlalu banyak berbasa
basi, kalau ternyata berhati busuk? Kau paham
maksudku. Arum Sari?"
"Paham, Paman. Tapi, apakah Paman tahu
di mana makam kedua orang tuaku?"
"Hm...! Sayang sekali aku tidak tahu. Tapi
menurut kabar angin yang kudengar selama ini,
mayat Sepasang Pendekar Garuda Emas masih
tergolek di dasar sebuah jurang di Gunung Sla-
met, setelah dilemparkan oleh Penghuni Kubur.
Aku sendiri tak begitu yakin. Bukan aku tak pe-
duli dengan mayat sahabatku. Tapi ketika aku
mencari di beberapa dasar jurang, tak kutemu-
kan. Entah berada di jurang yang mana kedua
mayat sahabatku itu. Pokoknya, di Gunung Sla-
met."
"Oh...!" Arum Sari tercekat. Seketika pa-
rasnya yang cantik jadi kian pias. "Ja..., jadi
mayat kedua orang tuaku masih berada di sebuah
jurang di Gunung Slamet...?"
Pendidik Ulung mengangguk. Hatinya kini
jadi tambah gelisah setelah tahu kalau Arum Sari
adalah putri tunggalnya Sepasang Pendekar Ga-
ruda Emas.
"Sebenarnya aku tertarik sekali dengan ga-
dis ini untuk kujadikan murid. Tapi, aku harus
berhati-hati. Aku harus menguji ketabahan ha-
tinya sebelum mengangkatnya sebagai murid.
Aku tak ingin tertipu untuk yang ketiga kali," gu-
mam Pendidik Ulung dalam hati.
"Kenapa kau pandangi aku seperti itu, Pa-
man?" kata Arum Sari menyentak lamunan Pen-
didik Ulung yang masih menatapnya.
"Terus terang aku mulai tertarik untuk me-
latihmu. Arum. Tapi, sudahlah! Jangan terlalu
kau risaukan. Sekarang, ayo ikut aku. Nanti ku
bantu kau menemukan makam kedua orang tu-
amu," ajak Pendidik Ulung.
"Baik, Paman."
Pendidik Ulung cepat melompat bangun,
diikuti Arum Sari yang mulai dapat bergerak lelu-
asa. Namun disaat hendak meninggalkan tempat
itu, tiba-tiba....
"Ehem...! Syukur. Akhirnya kau kutemu-
kan juga di sini, Arum."
Terdengar sebuah suara mengejutkan, se-
kaligus mcnggembirakan....
EMPAT
Pendidik Ulung terkesiap. Sebagai orang
berkepandaian tinggi, telinganya tadi tak me-
nangkap suara sedikit pun kalau ternyata di tem-
pat itu telah berdiri seseorang tanpa diketahui.
Untuk itulah buru-buru kepalanya cepat berpal-
ing ke arah datangnya suara.
Ternyata tak jauh di sampingnya telah ber-
diri seorang pemuda berambut gondrong tergerai
di bahu. Tubuhnya yang tinggi kekar dibalut pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih ke-
perakan. Wajahnya yang tampan berbentuk lon-
jong menyunggingkan senyum nakal sambil terus
memondong satu sosok tubuh ramping.
Sambil melangkah mendekati Pendidik
Ulung dan Arum Sari, pemuda tampan itu terse-
nyum manis. Sementara kepala gadis cantik yang
rambutnya digelung ke atas dengan hiasan mu-
tiara-mutiara indah berwarna biru itu terantuk-
antuk seiring langkah si pemuda. Tubuhnya yang
padat sintal terbungkus pakaian indah terbuat
dari sutera warna merah. Sedang parasnya yang
cantik tampak demikian pucat pasi. Malah, ada
darah kering yang masih membersit di sudut bi-
birnya.
"Siluman Ular Putih...!" sebut Pendidik
Ulung, sedikit mendengus. "Ada keperluan apa
sampai kau kemari, hah?!"
"Jangan galak-galak, Orang tua! Aku ke-
mari memang tidak ada keperluan denganmu.
Semula aku memang bermaksud menolong te-
manku. Tapi, ternyata kau sudah mendahului.
Terima kasih. Lain kali budimu pasti aku balas,"
sahut pemuda itu yang memang murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih.
Bagaimana Soma bisa sampai di tempat
ini? Itu tak lain karena memang tekad Siluman
Ular Putih yang harus mencari Arum Sari yang
dibawa lari Setan Haus Darah dan pasukannya.
Namun di tengah perjalanan si pemuda bertemu
seorang gadis yang tengah kewalahan menghada-
pi Peramal Maut. Malah nyawa gadis itu nyaris te-
rancam kalau saja Siluman Ular Putih tidak cepat
menolong.
Melihat luka dalam yang diderita, akhirnya
Siluman Ular Putih memilih menyelamatkan nya-
wa si gadis daripada meladeni Peramal Maut yang
ingin menuntut balas atas kekalahannya. (Untuk
mengetahui sakit hati Peramal Maut, baca epi-
sode: "Misteri Dewa Langit").
Siluman Ular Putih yang membawa gadis
yang sebenarnya tak lain dari Yustika alias Ratu
Adil ke tempat yang aman dari kejaran Peramal
Maut, tanpa sengaja mendengar suara orang ber-
cakap-cakap. Ternyata begitu didekati, hatinya
langsung bersorak gembira. Karena di situ ia me-
lihat Arum Sari tengah diobati oleh Pendidik
Ulung.
Sementara itu Arum Sari diam memberen-
gut. Entah kenapa, hatinya jadi rusuh sekali begi-
tu melihat kedatangan Siluman Ular Putih. Bu-
kannya tidak senang melihat kemunculan si pe-
muda, melainkan risih melihat sosok gadis yang
tengah dipondong. Harus diakui hatinya panas
oleh api cemburu.
"Arum...! Apa kau tak senang melihat keda-
tanganku? Kenapa diam saja?" tanya Siluman
Ular Putih heran.
Arum Sari malah menunduk dalam-dalam.
Melihat kegalauan Arum Sari, Pendidik
Ulung malah terkekeh senang. Lelaki ini terus
berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan
menyatu di belakang tubuhnya. Sesekali pula di-
perhatikannya wajah Siluman Ular Putih dan
Arum Sari, lalu kembali terkekeh.
"Ada apa ini? Tampaknya ada udang di ba-
lik batu. Hm...! Memang aneh kalau orang tengah
kasmaran. Ck ck ck...!" goda Pendidik Ulung
sambil menggeleng-geleng. "Bagaimana ini. Arum?
Apa kau jadi pergi denganku?"
"Jadi, Paman," sahut Arum Sari seraya me-
langkah.
Si gadis memang tengah gusar sekali den-
gan sikap Siluman Ular Putih. Dan ia merasa tak
ada gunanya lagi berlama-lama di tempat itu. Ha-
tinya terasa perih apalagi bila mengingat penola-
kan Siluman Ular Putih atas permintaan ibunya
yang bermaksud menjodohkan dengan dirinya.
"Tunggu, Arum!"
Siluman Ular Putih cepat menghadang
langkah Arum Sari dan Pendidik Ulung. Namun
gadis itu malah kian menyembunyikan wajahnya
dalam-dalam.
"Ada apa. Arum? Kenapa kau tak menyukai
kedatanganku?" cecar Siluman Ular Putih masih
belum mengerti.
"Bocah tolol! Mana ada gadis yang suka
melihat kekasihnya datang menemuinya bersama
gadis lain!" tukas Pendidik Ulung.
Siluman Ular Putih tercenung. Ia kini tahu
maksud ucapan Pendidik Ulung, namun belum
tahu bagaimana harus bersikap. Pemuda itu
hanya menggaruk-garuk kepala.
"Jangan hanya garuk-garuk kepala, Bocah
Tolol! Sekarang cepat tentukan sikap!"
"Sikap apa yang kau maksudkan, Kek?"
"Huh...!" Pendidik Ulung membanting ka-
kinya kesal. "Sikap apa, ya? Aku sendiri kurang
tahu. Mungkin kau harus cepat memilih."
"Paman! Ayo, kita tinggalkan tempat ini!"
ajak Arum Sari, seraya kembali melangkah. De-
mikian pula Pendidik Ulung.
"Eh, tunggu!" buru-buru Siluman Ular Pu-
tih menghadang langkah Arum Sari dan Pendidik
Ulung.
"Ada apa lagi, Siluman Ular Putih?" tanya
Pendidik Ulung.
"Arum...!" kata Siluman Ular Putih, sama
sekali tak menghiraukan ucapan Pendidik Ulung.
"Kau jangan salah paham, Arum!"
Arum Sari menggeleng lemah.
"Ah, sudahlah! Kenapa bertele-tele begini?
Sekarang aku dan Arum mau pergi. Kalau kau
memang mencintai Arum, baiknya setelah kau
menyembuhkan luka dalam gadis dalam pondon-
ganmu. Ayo, Arum! Kita tinggalkan tempat ini!"
"Baik, Paman."
Pendidik Ulung segera meraih lengan Arum
Sari, lalu cepat berkelebat meninggalkan tempat
itu.
"Selamat tinggal, Bocah Tolol! Jangan lupa
kuburkan mayat-mayat itu!" terdengar suara
Pendidik Ulung di kejauhan sana.
Siluman Ular Putih menggumam tak jelas.
Ketika pandang matanya tertumbuk pada mayat
yang telah berada di dalam lobang, pemuda itu
mengerti.
"Rupanya kakek itu telah menghajar Pasu-
kan Laskar Hijau. Tapi... hmm.... Kasihan sekali
gadis-gadis yang telah menjadi mayat itu. Bisa ja-
di mereka penduduk kampung di sekitar sini yang
menjadi jarahan Setan Haus Darah dan pasukan-
nya...."
Siluman Ular Putih mengedarkan pandan
gan matanya sejenak ke seputar tempat itu.
"Sialan! Rupanya tua bangka itu menyisa-
kan pekerjaan untukku. Tapi tak apa-apalah!
Nanti setelah aku selesai menyembuhkan luka
dalam gadis ini, baru aku akan menguburkan
mayat-mayat mereka...," gumam Siluman Ular
Putih akhirnya.
* * *
"Siapa kau?" Ratu Adil yang baru disem-
buhkan Soma cepat membuang tubuhnya ke
samping, begitu siuman.
Siluman Ular Putih sengaja membiarkan-
nya. Malah bibirnya menyunggingkan senyum
manis.
"Kau.... Kau, ah! Terima kasih. Kau pasti
yang telah menyelamatkan nyawaku dari tangan
Peramal Maut," ucap si gadis akhirnya mengerti
juga.
"Syukur kalau akhirnya kau mengerti. Tapi
ngomong-ngomong sebenarnya bukanlah aku
yang menyelamatkan nyawamu. Melainkan, Dia,"
sergah Siluman Ular Putih sambil menuding ke
atas.
"Maaf atas kecurigaanku tadi!"
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak basa-
basi! Baiknya ceritakan saja bagaimana kau sam-
pai bersilang sengketa dengan Peramal Maut!"
"Hm...!"
Gadis itu menggumam tak jelas. Di saat ia
hendak melompat bangun, Siluman Ular Putih telah mengulurkan tangannya, bermaksud mem-
bantu bangun.
"Terima kasih," ucap si gadis segera meraih
tangan Siluman Ular Putih dan beranjak bangun.
"Tapi sebelum kau cerita, bolehkah aku
mengetahui namamu?" tanya Siluman Ular Putih.
"Aku Yustika. Kau sendiri siapa?"
"Aku Soma. Aku senang sekali dapat ber-
kenalan denganmu."
Gadis cantik yang memang Yustika berge-
lar Ratu Adil, murid tunggal Ratu Alit hanya ter-
senyum.
"Ayo, cerita! Kenapa malah senyum-
senyum?" bisik Siluman Ular Putih tak sabar.
Sekali lagi Yustika tersenyum.
"Sebenarnya, aku sedang mencari ayah
kandungku, Soma. Tapi di tengah perjalanan aku
melihat seorang kakek renta yang tengah beristi-
rahat di bawah sebuah pohon rindang. Aku lalu
bertanya padanya barangkali mengenal ayahku.
Tapi kakek itu malah meramalku. Tentu saja aku
tak bisa mempercayai ramalannya begitu saja.
Lantas, kakek itu marah dan bermaksud membu-
nuhku. Untung saja kau segera datang meno-
long," papar Yustika.
"Hm...! Ya ya ya...! Peramal Maut memang
sering berlaku begitu. Siapa saja yang tak mau
mempercayai ramalannya, pasti akan dibunuh,"
jelas Siluman Ular Putih membenarkan.
"Sekarang aku mau tanya padamu, Soma.
Apa kau mengenal orang yang bernama Gendon
Prakoso?" lanjut Ratu Adil.
"Diakah ayah kandungmu?"
"Iya. Apakah kau mengenalnya?"
Siluman Ular Putih menggeleng seraya
menghela napas panjang. "Sayang sekali aku tak
mengenalinya.... Tapi jangan khawatir! Sebagai
sahabat, tentu aku akan membantu mencari ayah
kandungmu. Tapi, yah...! Kalau kau tak kebera-
tan tentunya."
"Aku tak keberatan sama sekali. Malah se-
baliknya."
"Bagus! Kalau begitu, ayo kita cari ayah
kandungmu itu!" ajak Siluman Ular Putih.
"Tapi mayat-mayat itu? Apakah akan di-
biarkan begitu saja, Soma?" kata Ratu Adil men-
gingatkan.
"Oh...! Ya, ampun! Kenapa aku jadi pikun
begini?" Siluman Ular Putih memukul kepalanya
sendiri. "Tentu saja aku tak mungkin membiar-
kan mayat-mayat itu, Yustika. Kau tunggu saja di
sini, ya. Biar aku yang menguburkan."
"Tapi, Soma."
"Sudahlah! Kau duduk saja. Daripada kau
membantuku, lebih baik bersemadi saja dulu biar
tenaga dalammu pulih!"
Yustika sebenarnya keberatan. Namun ka-
rena memang apa yang diucapkan Siluman Ular
Putih benar, akhirnya hanya menurut.
"Mayat-mayat siapakah mereka itu. Soma?"
"Yang mengenakan pakaian hijau-hijau itu
pasti mayat anak buah Setan Haus Darah. Se-
dang mayat gadis-gadis itu aku tidak tahu.
Mungkin penduduk kampung di sekitar sini yang
menjadi jarahan Setan Haus Darah dan pasukan-
nya."
"Hm...!" Ratu Adil mengangguk-angguk.
"Siapakah Setan Haus Darah dan pasukannya
itu. Soma?"
"Mereka adalah rampok yang sering mem-
buat keresahan penduduk kampung di sekitar
Pegunungan Perahu ini," sahut Soma seraya me-
langkah ke pinggir lobang.
Sekali lagi Ratu Adil hanya mengangguk-
angguk. Manakala pemuda berpakaian rompi dan
celana bersisik warna putih keperakan mulai me-
nimbun tanah dengan ranting pohon, gadis itu
segera duduk bersemadi.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum. Se-
sekali dinikmatinya kecantikan Ratu Adil, dengan
ekor matanya.
LIMA
Ketika bumi mulai dikungkung kegelapan
malam, satu rombongan berkuda yang semuanya
mengenakan pakaian serba hijau tengah memacu
tunggangannya memasuki kawasan perbukitan
terjal bebatuan. Bila dilihat dari atas bukit yang
lebih tinggi lagi, maka permukaan bukit yang kini
dilalui oleh rombongan berkuda itu akan tampak
memanjang seperti pedang. Maka tak heran kalau
bukit itu dinamakan Bukit Pedang.
Derap kaki kuda yang ditunggangi orang-
orang berpakaian serba hijau itu terdengar men
gusik keheningan malam. Dari kilauan sinar rem-
bulan yang menggantung di angkasa tampak ka-
lau para penunggang kuda itu semuanya lelaki
bertampang kasar.
Menilik pakaian yang dikenakan, jelas ka-
lau rombongan berkuda itu tak lain adalah Setan
Haus Darah dan sisa-sisa anak buahnya. Mereka
semua tergabung dalam Pasukan Laskar Hijau!
Jalan setapak menuju Bukit Pedang me-
mang cukup curam. Berkelok-kelok, diapit ju-
rang-jurang yang menganga lebar. Di sebuah ti-
kungan tajam Setan Haus Darah terus memacu
cepat kudanya. Beberapa orang anak buahnya
tampak agak ragu-ragu untuk memacu kuda
masing-masing secepat itu. Namun mereka tak
berani mengelak ketika sang Pemimpin memberi
isyarat dengan tangan agar mereka memacu kuda
lebih cepat lagi.
Dari cahaya bulan yang berkilauan jelas
kalau jurang-jurang itu begitu mengerikan. Kalau
saja lengah memacu kuda, bukan mustahil kema-
tianlah yang akan menghadang. Dengan melipat-
gandakan keberanian anggota Pasukan Laskar
Hijau yang kini hanya tinggal dua belas orang itu
menggebah cepat kuda mereka mengikuti Setan
Haus Darah yang tampak terus melesat cepat
tanpa mendapat kesulitan apa pun.
"Hea! Hea!"
Setelah memacu kuda menyusuri jalan se-
tapak berdebu, tak selang berapa lama Setan
Haus Darah menarik tali kekang. Kaki-kaki kuda
tunggangannya seketika menggeruk tanah di ja
lanan setapak, lalu kedua kaki depannya terang-
kat tinggi-tinggi ke udara disertai ringkikan keras.
Debu-debu kontan mengepul menambah kepeka-
tan malam.
Tepat ketika kedua belas orang anak
buahnya juga menghentikan kuda, Setan Haus
Darah melompat turun. Wajahnya yang beringas
terlihat demikian tegang. Napasnya memburu ter-
bakar amarah yang menggelegak dalam dada.
"Tunggu aku di sini!" perintah Setan Haus
Darah dengan suara keras.
"Baik, Ketua."
Setan Haus Darah mendengus gusar. Tari-
kan-tarikan dagunya menyiratkan hawa membu-
nuh. Lalu dengan langkah kasar, segera diting-
galkannya para anak buahnya menuju ke sebuah
bukit karang. Tubuhnya berkelebat cepat, menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh.
Sesampainya di ujung jalan setapak yang
menyimpang ke samping, Setan Haus Darah
menghentikan kelebatannya. Kepalanya mendon-
gak ke atas, menatap se-buah bukit batu karang
berdiri kokoh di hadapannya. Ia mengempos te-
naganya sebentar, lalu....
"Hup! Hup!"
Dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tubuh
tinggi besar Setan Haus Darah cepat berlompatan
di antara tumpukan batu-batu terjal dan terus
menuju atas. Sekilas, tubuhnya mirip capung
raksasa yang tengah terbang membubung tinggi
ke udara. Hanya seperlunya saja sepasang ka
kinya yang kokoh menjejak tanah, kemudian
kembali melesat ke atas dengan kecepatan luar
biasa!
"Hap!"
Dengan satu putaran tubuh, Setan Haus
Darah mendarat tegak di mulut sebuah goa sele-
bar setengah tombak. Sejenak lelaki tinggi besar
ini memicingkan mata, berusaha menembus ke-
pekatan goa yang tampak gelap dari luar. Lalu
perlahan-lahan kakinya mulai melangkah masuk.
Semakin Setan Haus Darah bergerak ma-
suk, ternyata lorong goa itu makin lebar. Di salah
sebuah kelok-an, lelaki ini membelok. Hingga ak-
hirnya, sampailah di sebuah ruangan yang cukup
lebar berukuran lima kali enam tombak.
Ruangan ini hanya diterangi obor yang ter-
tancap di dinding-dinding. Sehingga, dinding-
dinding goa itu tampak seperti terbakar. Semua-
nya berwarna hitam kusam. Dan dari terangnya
cahaya obor, tampak seorang kakek renta tengah
bersemadi di atas sebuah batu putih pipih.
Rambut dan pakaian yang dikenakannya
semuanya berwarna merah menyala!
"Guru! Murid datang menghadap," kata Se-
tan Haus Darah. Tubuhnya menjura, lalu bersim-
puh menghadap lelaki tua itu.
Tak ada sahutan. Hanya tiba-tiba saja batu
putih pipih tempat si tua berpakaian merah ber-
tapa itu bergerak memutar dengan amat perla-
han-lahan! Hal ini saja sudah membuktikan ka-
lau tenaga dalam si kakek yang sebenarnya berge-
lar Hantu Tangan Api ini sudah mencapai tingkat
tinggi!
Begitu membalikkan badan, tampaklah be-
tapa mengerikannya wajah tirus di hadapan Se-
tan Haus Darah. Sepasang mata si tua yang ber-
nama asli Ki Banaspati itu melesak ke dalam, ter-
tutup tulang-tulang pipinya yang menonjol ke-
luar. Baik rambut, bulu mata, alis mata, serta
jenggot yang panjang semuanya berwarna merah
menyala!
"Ada apa kau datang menemuiku, Sing-
gih?" tanya Hantu Tangan Api langsung memang-
gil nama asli muridnya.
"Aku ingin membicarakan sesuatu pada-
mu. Guru," sahut Singgih alias Setan Haus Da-
rah.
"Apa?!" cecar Hantu Tangan Api tak sabar.
Setan Haus Darah sempat melengak kaget
mendengar suara gurunya. Namun ia cepat dapat
mengendalikan perasaan.
"Anu, Guru. Aku dan pasukan telah dika-
lahkan Pendidik Ulung, Guru."
"Pendidik Ulung?! Hm...! Jadi tua bangka
dari Lembah Kalierang itu telah mempermalu-
kanmu, Singgih?"
"Benar, Guru."
"Apakah kau sudah mengerahkan pukulan
'Gemuruh Badai Api'?" tanya Hantu Tangan Api
dengan suara parau.
"Sudah, Guru. Tapi, tua bangka itu benar-
benar lihai. Meskipun aku telah mengerahkan
pukulan 'Gemuruh Badai Api', aku tetap tidak
sanggup menghadapi sepak terjangnya."
"Bodoh!" bentak Hantu Tangan Api garang.
Jari-jari tangannya yang mencengkeram batu pu-
lih pipih tempatnya bersemadi tampak kian men-
geras. Seketika, batu putih pipih itu hancur ber-
keping-keping dan mengepulkan asap tipis ber-
warna hitam!
Melihat kemurkaan gurunya, Setan Haus
Darah sedikit pun tidak berani mengangkat wa-
jah. Kepalanya tertunduk terus menekuri lantai.
Namun dia tahu, dari napas Ki Banaspati yang
memburu jelas menandakan kalau gurunya ten-
gah diamuk hawa amarah.
"Singgih! Apa hanya tua bangka Pendidik
Ulung saja yang telah mempermalukanmu, he?!"
"Bu.... Bukan, Guru."
"Jadi?" Hantu Tangan Api mengernyitkan
dahinya. "Apakah masih ada orang yang mampu
mengalahkan pukulan 'Gemuruh Badai Api' cip-
taanku, he?!"
"Be... benar, Guru. Malah orang yang men-
galahkanku kali ini masih berusia sangat muda.
Namun anehnya, kepandaiannya telah tinggi," je-
las Singgih.
"Setan alas! Percuma aku mendidikmu ber-
tahun-tahun kalau menghadapi bocah bau ken-
cur saja tidak becus. Memalukan! Kau tewas
maupun kalah di tangan Pendidik Ulung aku ma-
sih bisa maklum. Tapi dikalahkan oleh seorang
pemuda kemarin sore? Huh...! Murid macam apa
kau ini, Singgih!"
Bukan main marahnya Hantu Tangan Api
mendengar laporan muridnya.
Sementara Setan Haus Darah duduk
menggigil di tempatnya. Ia khawatir kalau-kalau
gurunya akan menurunkan tangan maut seperti
yang biasa dilakukannya terhadap tokoh-tokoh
putih.
"Sekarang apa yang harus kau lakukan se-
telah dikalahkan banyak orang, he?! Apa kau in-
gin memperdalam ilmumu?"
"Tid.... Tidak, Guru. Aku.... Aku ingin Guru
membantuku," ucap Setan Haus Darah agak gu-
gup. Hatinya merasa lega bukan main karena gu-
runya tidak menurunkan tangan maut. Meski
demikian, hati Singgih masih merasa belum ten-
teram bila gurunya belum sudi membantu dirinya
untuk memberantas musuh-musuhnya.
"Apa kau bilang? Kau ingin gurumu yang
sudah tua bangka ini untuk turun tangan?!" sen-
tak Ki Banaspati.
Setan Haus Darah cepat memutar otaknya.
Rencananya tidak boleh gagal. Yang jelas, ia ha-
rus dapat menyeret gurunya untuk turun dalam
kancah dunia persilatan. Sekaligus memberantas
musuh-musuhnya.
"Sebenarnya aku tidak bermaksud demi-
kian. Tapi berhubung Pendidik Ulung selalu men-
jelek-jelekkan nama Guru, terpaksa hal ini harus
kulaporkan. Di samping itu, malah Pendidik
Ulung bermaksud menantang Guru. Apa murid
bisa tinggal diam mendengar Guru dihina demi-
kian rupa?! Tentu saja tidak, Guru! Namun
sayang, murid dapat dikalahkan Pendidik Ulung.
Juga oleh Siluman Ular Putih."
"Keparat! Jadi Pendidik Ulung dan Siluman
Ular Putih ingin menantang bertarung?"
"Benar, Guru."
"Bajingan! Kali ini aku memang terpaksa
harus turun gunung. Akan kumusnahkan orang-
orang pongah yang kau sebut tadi. Sekarang tun-
jukkan, di mana mereka berada, Singgih?!"
"Tepatnya murid kurang tahu. Guru. Na-
mun murid yakin, Pendidik Ulung dan Siluman
Ular Putih masih berkeliaran di sekitar Pegunun-
gan Perahu ini, Guru."
"Cukup! Bagiku semua keteranganmu su-
dah cukup, Singgih. Sekarang juga akan kucari
Pendidik Ulung dan Siluman Ular Putih," sambar
Hantu Tangan Api.
Belum juga gema suaranya lenyap, Ki Ba-
naspati segera menghentakkan kedua telapak
tangannya ke bawah. Seketika, tubuhnya yang
tinggi kurus langsung me-lenting melampaui Se-
tan Haus Darah yang masih duduk bersimpuh di
tempatnya. Dan begitu menjejakkan kakinya ke
tanah, sosok Hantu Tangan Api pun segera berke-
lebat, lalu menghilang di balik dinding-dinding
goa.
Diam-diam Setan Haus Darah jadi gembira
bukan main. Kini ia tak gentar lagi untuk kembali
ke dunia persilatan. Dengan mendompleng nama
besar gurunya, lelaki tinggi besar ini yakin akan
banyak tokoh dunia persilatan yang kalang kabut.
Lebih dari itu, tentu tenaga gurunya dapat diman-
faatkan untuk memberantas tokoh-tokoh putih
yang memusuhinya.
"Hm...! Sekarang apa lagi yang mesti dita-
kutkan? Guruku Hantu Tangan Api telah turun
tangan. Siapa pun juga yang akan menentangku
akan kulibas!" gumam Setan Haus Darah seraya
mengepalkan tinjunya erat-erat.
ENAM
Matahari siang terasa panas memanggang
bumi. Daun-daun kering bercampur debu-debu
beterbangan manakala angin kering berhembus
kencang. Di sebuah pohon besar, beberapa bu-
rung jalak terdengar riuh saling bersahutan di-
tingkahi beberapa burung lain yang tengah riuh
berkelahi sambil beterbangan ke sana kemari.
Di bawah pohon besar itu pula seorang
pemuda gondrong berpakaian putih bersih yang
ditutup jubah besar warna biru tengah terlelap.
Suara-suara gaduh burung-burung jalak yang se-
dang bertengkar di atasnya sama sekali tidak
mengganggu tidurnya. Hanya wajahnya yang ga-
gah saja tampak menegang. Entah mimpi apa
pemuda berambut gondrong yang digelung ke
atas itu.
Di saat si pemuda tengah menikmati sua-
sana siang dengan mimpinya, tiba-tiba saja....
Breng! Gombreng-gombreng! Kenyataan
memang menyakitkan. Apalah artinya cinta, kalau
hanya akan menderita.
Breng! Gombreng-gombreng! Kekasih ada-
lah tambatan hati. Tapi ke mana aku harus men-
cari. Bila hati hanya dusta.
Dusta! Prol! Proolll!
Terdengar seseorang tengah membacakan
sajak ditingkahi suara cempreng, membuat si
pemuda yang tengah terlelap bersandar batang
pohon itu terbangun. Burung-burung jalak yang
tengah riuh berkicau sejenak berhenti dengan
mata memandang ke bawah.
Di bawah sana, seorang kakek tua renta
tengah berjalan santai dengan tongkat butut di
tangan. Tubuhnya kurus kering terbalut jubah
besar warna biru. Rambutnya awut-awutan tak
terawat. Wajahnya kasar penuh tonjolan daging.
Sesampainya di dekat pemuda berpakaian
biru, entah kenapa tiba-tiba saja kakek renta itu
menghentikan langkah. Hidungnya yang pesek te-
rus mengendus-endus. Lalu dengan pandang ma-
ta seksama diperhatikannya pemuda yang tengah
duduk bersandar di batang pohon.
"Hm...! Aku mencium hawa kematian dari
bau tubuhmu, Pemuda. Aku juga mencium kalau
kau akan terlunta-lunta karena cinta. Katakan!
Siapa namamu, Pemuda!" kata si kakek, langsung
saja. Nada suaranya terdengar galak, seolah-olah
ingin meyakinkan kalau apa yang diucapkan itu
benar.
"Kau bertanya padaku, Orang Tua?" Pemu-
da berpakaian biru-biru itu balik bertanya.
"Aku tanya padamu, Setan!" bentak si ka
kek renta itu.
"Hm...! Ya yaya...! Aku.... Teguh Sayekti.
Ada apa?" sahut pemuda berpakaian biru yang
memang Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis. Si-
kapnya terheran-heran melihat sikap kasar kakek
renta yang tentu saja tak lain dari Peramal Maut.
"Bagus! Kau harus ingat! Peramal Maut tak
pernah luput meramal orang. Dan kau harus
mengakuinya!" tegas Peramal Maut.
"Ya ya ya...! Aku memang sedang gelisah
karena memikirkan seorang gadis, Orang Tua.
Sudah tiga hari ini aku mencarinya. Namun, be-
lum juga kutemukan batang hidungnya. Apakah
kau dapat membantuku?"
"Membantu apa? Maksudmu membantu
untuk mendapat cinta gadis yang kau kejar-kejar
itu?"
"Hm...! Boleh kalau kau bisa."
"Sayang. Aku hanya dapat memberitahumu
kalau kau akan terlunta-lunta bila memikirkan
gadis itu. Tapi bukan mustahil kau akan menda-
patkan cintanya."
"Jadi? Aku dapat memiliki gadis yang
kuimpi-impikan itu, Orang Tua?" sambar Pembu-
nuh Iblis seraya melompat bangun dengan mata
membuka lebar. Lenyap sudah rasa kantuknya.
"Benar. Tapi yang lebih penting, kau harus
hati-hati. Sekali lengah kau akan celaka. Kau
akan modar, Bocah."
"Terima kasih, Orang Tua! Aku pasti akan
mengingat apa yang kau katakan barusan."
"Kau sudah tahu nasib apa yang akan me
nimpamu, bukan?" lanjut Peramal Maut tajam.
"Ya."
"Nah! Dengar, Bocah! Sekarang bayarlah
apa yang telah kuramalkan tadi!" ujar Peramal
Maut, menyodorkan telapak tangan kanan ke ha-
dapan Pembunuh Iblis.
"Tapi.... Tapi aku tak mempunyai uang,
Orang Tua," sahut Pembunuh Iblis gelagapan.
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya kau harus
bayar. Mana ada ramalan cuma-cuma. Di mana-
mana juga harus bayar. Cepat, Bocah!" desak Pe-
ramal Maut.
"Aku.... Aku tidak mempunyai uang, Orang
Tua," sahut Teguh Sayekti meyakinkan.
"Benar?"
"Benar."
"Bagus! Kalau begitu, nyawamulah sebagai
bayarannya!" tukas Peramal Maut. Sepasang ma-
tanya yang melesak ke dalam mendadak jadi be-
ringas. Kaki kanannya pun sudah disurutkan ke
belakang, membentuk kuda-kuda kokoh sambil
memutar-mutar tongkat bututnya.
"Kau benar-benar ingin membunuhku,
Orang Tua?" perangah Pembunuh Iblis, seolah tak
percaya melihat perubahan sikap Peramal Maut.
"Ya!"
"Tapi...? Bukankah aku tak menyuruhmu
meramalku?" tukas Pembunuh Iblis, berusaha
menenangkan Peramal Maut.
"Ya. Tapi, bukan berarti kau tak harus
membayar setelah mendengar ramalanku?"
"Hm...! Benar-benar aneh watak orang tua
ini. Belum pernah rasanya aku bertemu orang
seaneh ini sejak turun ke dunia persilatan...,"
gumam Pembunuh Iblis dalam hati. Lalu bibirnya
berdecak-decak penuh keheranan.
"Jangan berlagak, Bocah! Cepat cabut sen-
jatamu!" bentak Peramal Maut, garang.
Tanpa menunggu tanggapan Pembunuh Ib-
lis, tiba-tiba Peramal Maut telah menerjang serta-
merta tongkat di tangan kanannya diputar-putar
sehingga menimbulkan angin menderu-deru.
Werrr! Werrr!
Tentu saja Pembunuh Iblis tak ingin tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan-serangan
Peramal Maut. Tanpa banyak cakap segera pe-
dang yang menggantung di pinggang diloloskan
keluar. Langsung dihadapinya serangan tongkat
Peramal Maut.
Trang! Trang!
Terlihat bunga api berpijar saat tongkat di
tangan kanan Peramal Maut berbenturan dengan
pedang Pembunuh Iblis di udara. Keduanya sa-
ma-sama terjajar beberapa langkah ke belakang.
Teguh Sayekti mengeluh dalam hati, merasakan
tangan kanannya yang terasa kesemutan akibat
bentrokan tadi. Hal ini saja sudah membuktikan
kalau tenaga dalamnya masih kalah satu atau
dua tingkat di banding Peramal Maut.
Meski demikian, bukan berarti Pembunuh
Iblis harus menyerah begitu saja. Dengan meng-
gunakan jurus-jurus andalan, pedang di tangan
kanannya segera diputar sedemikian rupa. Seke-
tika angin kencang kontan menderu-deru, hingga
membuat jubah Peramal Maut berkibar-kibar.
"Hm...! Bagus! Rupanya kau mempunyai
ilmu pedang yang lumayan juga, Bocah. Tapi jan-
gan dikira ilmu tongkatku hanya pepesan kosong
belaka! Majulah kalau ingin merasakan gebukan
tongkatku!" ejek Peramal Maut.
"Heaaat...!"
Pembunuh Iblis yang merasa penasaran
segera menerjang Peramal Maut. Pedang di tan-
gan kanannya sengaja diarahkan lurus ke dada
lawan. Sedang telapak tangan kirinya yang telah
berubah menjadi biru siap pula melontarkan pu-
kulan maut.
Bed! Bed!
Pedang di tangan Pembunuh Iblis terus
bergerak cepat di antara gulungan tongkat di tan-
gan lawan. Namun Peramal Maut bukanlah tokoh
kemarin sore. Dengan amat mudah si tua ini da-
pat membaca ke arah mana datangnya serangan.
Setelah membuang tubuhnya ke samping, dengan
satu gerakan cepat luar biasa tiba-tiba tongkat-
nya digerakkan dari atas ke bawah, bermaksud
menggeprak kepala Pembunuh Iblis.
Werrr!
Pembunuh Iblis mendengus gusar. Begitu
melihat datangnya serangan, tubuhnya ditarik ke
belakang. Sementara pedangnya bergerak me-
nangkis tongkat di tangan Peramal Maut.
Prakk! Prakkk!
"Aakh...!"
Kembali tubuh Pembunuh Iblis terguncang
keras dan terjajar kembali kebelakang. Tangan
kanannya pun terasa kesemutan. Untung saja
pedangnya tak terlepas. Meski demikian tetap sa-
ja membuat hatinya terkejut. Lebih terkejut lagi
manakala melihat Peramal Maut tiba-tiba melent-
ing ke atas. Di udara tangan kirinya menyentak
ke arah lawan.
"Hea!"
Diiringi teriakan nyaring, seketika selarik
sinar hitam legam meluruk dari telapak tangan
kiri Peramal Maut, hendak melabrak tubuh Pem-
bunuh Iblis. Lebih hebatnya lagi ternyata selarik
sinar hitam itu juga ditingkahi hawa panas yang
bukan kepalang.
Menyadari kalau musuhnya telah menge-
luarkan ajian, tanpa banyak pikir Pembunuh Iblis
segera mengerahkan tenaga dalamnya. Ketika ke-
dua kakinya membentuk kuda-kuda kokoh, tan-
gan kirinya saat itu pula menghentak. Maka dari
telapak kirinya meluruk sinar biru, menyongsong
sinar hitam milik Peramal Maut.
Wess! Wesss!
Blammm!
Terdengar satu ledakan hebat di udara.
Bumi bergetar hebat laksana diguncang gempa.
Sementara angin berkesiur akibat bentrokan dua
tenaga dalam tinggi itu membuat ranting-ranting
pohon berderak dengan daun-daun berguguran
hangus terbakar!
Peramal Maut terkekeh senang saat meli-
hat tubuh Pembunuh Iblis terhuyung-huyung be-
berapa langkah ke belakang sambil mendekap
dadanya kuat-kuat. Parasnya pucat pasi. Darah
segar menyembur keluar, pertanda telah menga-
lami guncangan dalam dada.
"Serahkan nyawamu, Bocah!" ancam Pe-
ramal Maut garang.
Pembunuh Iblis tak menyahut. Geraham-
nya bergemelutuk penuh kemarahan.
"Bedebah! Ternyata tua bangka ini memiliki
tenaga dalam yang hebat luar biasa! Kukira aku
harus mengerahkan tenaga dalam hingga pun-
cak!" desis Pembunuh Iblis, buru-buru menyim-
pan pedangnya kembali ke dalam warangka.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu sebe-
lum ajalmu datang menjemput, Bocah!"
"Jangan gegabah, Orang Tua! Meski ke-
pandaianmu setinggi langit, tak kubiarkan harga
diriku kau injak-injak," sahut Pembunuh Iblis, te-
gar.
Peramal Maut tertawa bergelak. Suaranya
yang parau terdengar bergema di sudut-sudut
lembah.
"Jagalah nyawamu, Bocah! Pukulan 'Gelap
Ngampar'-ku akan mengantarmu menemui Raja
Akhirat!" ejek Peramal Maut.
Pembunuh Iblis menggeletukkan geraham-
nya penuh kemarahan. Dilihatnya kedua telapak
tangan Peramal Maut telah berubah jadi hitam le-
gam hingga pangkal siku. Kini Teguh Sayekti alias
Pembunuh Iblis tak berani main-main, ia yakin
pukulan 'Gelap Ngampar' yang akan dikeluarkan
Peramal Maut mengandung kekuatan dahsyat
luar biasa.
Kenyataannya, begitu Peramal Maut meng
hentakkan kedua tangannya ke depan, seketika
melesat dua larik sinar hitam legam dari telapak
tangan yang salah satunya masih menjepit tong-
kat, ditingkahi hawa panas bukan kepalang!
"Hm.... Mudah-mudahan dengan pukulan
'Cahaya Kematian', aku dapat menangggulan-
ginya.... Heaaa...!"
Pembunuh Iblis menyambut serangan den-
gan pukulan andalan 'Cahaya Kematian'. Begitu
kedua tangannya yang telah berubah biru terang
sampai pangkal lengan menyentak, seketika itu
pula meluruk dua larik sinar biru terang mela-
brak pukulan Peramal Maut!
Bummm! Bummm!
Hebat bukan main ledakan yang terjadi kali
ini. Seketika bumi berguncang keras. Ranting-
ranting pohon berderak. Bersamaan itu, Pembu-
nuh Iblis pun memekik keras. Tanpa ampun lagi
tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Tubuhnya
berputar-putar sebentar, sebelum akhirnya ter-
banting keras.
Sementara Peramal Maut tertawa bergelak.
Walau tubuhnya sempat terhuyung-huyung bebe-
rapa langkah ke belakang akibat bentrokan tadi,
namun masih jauh lebih baik dibanding keadaan
Pembunuh Iblis.
"Huahhh!"
Darah merah kehitaman kontan meluncur
dari mulut Pembunuh Iblis. Namun pemuda yang
mengenakan jubah biru itu tetap mencoba berta-
han. Sembari mendekap dadanya kuat-kuat, di-
cobanya untuk melompat bangun. Namun
sayang, begitu kedua telapak kakinya menjejak
tanah, keseimbangan tubuhnya hilang. Akibatnya
pemuda ini kembali tersuruk jatuh.
Peramal Maut menjengekkan hidungnya.
Melihat keadaan Pembunuh Iblis yang amat men-
genaskan lelaki tua bengis ini malah tertawa ber-
gelak. Nyawa manusia seolah hanya dianggap
mainan yang menyenangkan.
"Sekaranglah saatnya kau menerima kema-
tian, Bocah!" desis Peramal Maut penuh lecehan.
Dengan serta-merta, kembali telapak tangan ki-
rinya menghentak ke depan.
Seketika kembali selarik sinar hitam legam
melesat dari telapak tangan kiri Peramal Maut,
siap mengganyang tubuh Pembunuh Iblis. Namun
belum sempat sinar hitam itu mengenai sasaran,
tiba-tiba sebuah bayangan putih keperakan ber-
kelebat cepat. Langsung disambarnya tubuh
Pembunuh Iblis.
Brakkk!
Batang pohon di belakang Pembunuh Iblis
kontan tumbang begitu terkena pukulan Peramal
Maut. Debu-debu kontan membubung tinggi,
memenuhi tempat pertarungan.
"Bajingan! Siapa lagi yang ingin mengantar
nyawa, hah?!"
TUJUH
Peramal Maut mengedarkan pandangan ke
sekeliling sambil menggeram penuh kemarahan
karena lawan yang hendak dijadikan sasaran le-
nyap. Sementara, ia belum tahu siapa orang yang
menyelamatkan Pembunuh Iblis. Gulungan debu-
debu yang membubung tinggi memenuhi tempat
pertarungan membuat pandangannya terhalang.
Karena tak sabar lagi melihat orang yang telah
menggagalkan maksudnya, segera ujung jubah-
nya dia kibaskan.
Werrr!
Angin kencang dari kebutan jubah Peramal
Maut langsung membuat gulungan-gulungan de-
bu yang membubung itu sirna. Seketika itu pula,
terlihat dua sosok tubuh berdiri tak jauh di hada-
pannya. Yang sebelah kanan, seorang pemuda
gondrong berpakaian rompi dan celana bersisik
warna putih keperakan. Sambil memondong tu-
buh Pembunuh Iblis, sosok berpakaian putih ke-
perakan yang tak lain Siluman Ular Putih terse-
nyum nakal.
Sedang di sebelah Siluman Ular Putih ada-
lah seorang gadis cantik berpakaian merah. Ram-
butnya digelung ke atas semakin mempercantik
wajahnya, walaupun sedang mendengus marah.
Wajahnya menampakkan kemuakan melihat ulah
Peramal Maut yang dengan kejinya ingin membu-
nuh lawan tak berdaya.
"Kau memang biadab, Peramal Maut! Ma
nusia macam kau memang patut dilenyapkan dari
muka bumi!" hardik si gadis, garang.
"Ratu Adil! Kalau kau tak terima, boleh se-
kalian maju menghadapiku. Kebetulan sekali
tongkatku ini sudah lama tak menelan korban,"
sahut Peramal Maut, mengejek.
Gadis cantik berpakaian merah yang me-
mang Ratu Adil hanya menjengekkan hidungnya.
Memang, Yustika alias Ratu Adil sendiri pun
hampir celaka di tangan Peramal Maut. Untung
saja Siluman Ular Putih waktu itu keburu datang
menolong.
"Bagaimana, Soma? Apakah tua bangka ini
patut dihajar?" tanya Ratu Adil, meminta persetu-
juan Siluman Ular Putih.
"Terserah! Tapi...."
"Jangan khawatir, Soma! Kalau tua bangka
ini tidak curang, aku yakin belum tentu dapat
merobohkanku," potong Ratu Adil, tegas.
"Hm...! Baiklah kalau memang itu maumu.
Tapi, hati-hati! Tua bangka itu penuh tipu musli-
hat," ingat Soma.
"Aku tahu. Soma."
Peramal Maut mendengus bak kerbau mau
disembelih. Hatinya kesal sekali mendengar pem-
bicaraan Siluman Ular Putih dan Ratu Adil yang
sangat melecehkannya.
"Majulah, Gadis keparat! Kali ini kau tak
mungkin lolos dari tangan mautku!" bentak Pe-
ramal Maut.
Ratu Adil tersenyum dingin. Selangkah
demi selangkah kakinya maju mendekati Peramal
Maut.
"Bagus! Rupanya kau sudah tak sabar
menjemput ajalmu! Sekaranglah saatnya kau
modar di tanganku!"
"Jangan pongah, Peramal Maut! Ajal seseo-
rang bukan terletak di tangan manusia, tapi di
tangan Yang Maha Kuasa. Dialah yang menguasai
nyawa seseorang."
"Jangan berkhotbah di hadapanku, Bocah
Kemarin Sore! Aku jadi tak sabar lagi untuk me-
robek-robek mulutmu!" dengus Peramal Maut,
langsung menerjang.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Peramal
Maut segera mengerahkan pukulan andalannya
'Gelap Ngampar'. Maka begitu kedua telapak tan-
gannya dihentakkan ke depan, dua larik sinar hi-
tam segera melesat cepat siap meluluh-lantakkan
tubuh Ratu Adil.
Wesss! Wesss!
Ratu Adil sejenak menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dan saat merasakan hawa panas mu-
lai menyentuh kulit tubuhnya, dikerahkannya te-
naga dalam penuh. Langsung kedua telapak tan-
gannya didorong ke depan, memapak serangan
Peramal Maut.
Blammm! Blammm!"
Terdengar dua kali ledakan hebat disertai
bunga api menyebar ke segala arah. Seketika
udara panas memenuhi tempat pertarungan. An-
gin berkesiur akibat bentrokan dua tenaga dalam
tingkat tinggi itu ternyata mampu membuat po-
hon-pohon di sekitar tempat pertarungan menger
ing layu!
Sementara tubuh Peramal Maut tampak
terjajar beberapa langkah ke belakang dengan pa-
ras pucat pasi. Darah segar membersit dari sudut
bibirnya sambil menggeram penuh kemarahan,
buru-buru lelaki tua itu menyekanya dengan
punggung tangan.
Di hadapannya, tubuh Ratu Adil pun sem-
pat terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Akibat bentrokan tenaga dalam tadi kedua
tangannya terasa panas bukan main. Ratu Adil
segera menyalurkan tenaga dalamnya ke telapak
tangan hingga hawa panas yang menyerang ber-
kurang. Dadanya pun sempat terguncang, walau-
pun hanya sesaat.
"Bajingan! Kali ini aku benar-benar tak in-
gin mengampunimu, Gadis Gendeng! Kau harus
modar di tanganku!"
Kini, Peramal Maut menekuk lututnya da-
lam-dalam. Sedang tongkat di tangan kanannya
telah diselipkan di punggung. Dan ketika kedua
telapak tangan lelaki tua itu telah berubah men-
jadi kelabu hingga pangkal siku, Ratu Adil jadi
terkesiap kaget.
"Awas, Yustika! Tua bangka itu hendak me-
lontarkan 'Gada Akhirat'!" teriak Siluman Ular Pu-
tih mengingatkan dari luar tempat pertarungan.
Soma yang tengah sibuk mengobati luka
dalam Pembunuh Iblis, diam-diam tak mengalih-
kan perhatiannya pada jalannya pertarungan.
Dan pemuda itu pun siap membantu Ratu Adil bi-
la terjadi hal yang tak di-inginkan.
"Aku tahu. Soma," sahut si gadis.
"Tapi bagaimanapun juga kau harus tetap
hati-hati!"
"Terima kasih atas peringatanmu, Soma."
Yustika kembali menghadapi Peramal
Maut. Namun diam-diam telah dipersiapkannya
pukulan andalan 'Cakar Samudera' yang merupa-
kan warisan terakhir gurunya di Nusa Kamban-
gan. Maka begitu tenaga dalamnya dikerahkan,
seketika kesepuluh kuku-kuku jari tangannya te-
lah berubah menjadi biru!
Peramal Maut yang sudah kalap malah
kian menggeram murka. Begitu kedua telapak
tangannya dihentakkan ke depan, saat itu pula
meluruk dua gulungan sinar kuning terang.
Wesss! Wesss!
Ratu Adil sama sekali tidak tersurut mun-
dur. Begitu melihat datangnya serangan, kesepu-
luh jari tangannya segera diguratkan ke udara.
Maka dari jari-jari tangannya melesat sinar-sinar
biru, langsung memapak pukulan Peramal Maut.
Class! Class!
Sejenak, dua gulungan sinar kuning terang
tertahan di udara oleh sinar-sinar biru. Sementa-
ra tubuh tokoh sesat dari Gunung Kembang itu
bergetar hebat. Kedua kakinya melesak ke dalam
tanah! Namun Peramal Maut tetap tak ingin kalah
dalam adu tenaga dalam. Sambil menggeletukkan
gerahamnya kuat-kuat, tenaga dalamnya makin
dilipatgandakan ke telapak tangan.
"Hea!"
Tiba-tiba Ratu Adil memekik keras. Bersa
maan dengan itu, kesepuluh jari-jari tangannya
disentakkan ke depan. Akibatnya sepuluh larik
sinar biru dari jari-jari tangannya terus mendesak
gulungan sinar kuning milik Peramal Maut. La-
lu....
Class! Class!
Bukkk! Bukkk!
"Aughhh...."
Tanpa ampun Peramal Maut kontan menje-
rit setinggi langit begitu sinar biru dari jari-jari
tangan Ratu Adil menembus pertahanannya dan
menghantam dada. Seketika tubuhnya yang tinggi
kurus terbanting keras dengan paras pias! Tam-
pak tubuh kurus keringnya hanya menggeliat-
geliat sebentar, lalu tidak bergerak-gerak sama
sekali.
Ratu Adil sejenak termangu di tempatnya.
Ketika melihat tubuh Peramal Maut benar-benar
tak dapat bergerak lagi, selangkah demi selang-
kah si gadis pun mulai mendekati.
"Akhirnya kau tewas juga, Peramal Maut.
Manusia seperti kau memang tidak patut berke-
liaran di muka bumi ini," desis Ratu Adil.
Meski demikian Ratu Adil tetap waspada,
karena tak ingin terkecoh untuk kedua kali. Ma-
ka, diam-diam pun telah dikerahkannya pukulan
'Cakar Naga Samudera'.
Kira-kira tinggal berjarak satu tombak....
"Heh...?!"
Mendadak Ratu Adil memekik kaget ketika
tiba-tiba Peramal Maut bergulingan sambil meng-
hentakkan kedua telapak tangannya. Tanpa dapat
dicegah, dua gulungan sinar kuning terang melu-
ruk dari kedua telapak tangannya siap meluluh-
lantakkan tubuh Ratu Adil!
Wesss! Wesss!
Ratu Adil yang untungnya telah bersiap se-
gera mengerahkan pukulan 'Cakar Naga Samude-
ra'. Namun belum sempat murid Ratu Alit ini ber-
tindak....
Wesss!
Blarr!
Tiba-tiba telah melesat pula dua sinar pu-
tih yang disusul oleh dua ledakan hebat di udara.
Dengan demikian kandaslah serangan licik Pe-
ramal Maut.
Pada saat yang hampir bersamaan, Peram-
al Maut meraung setinggi langit dengan tubuh
bergeser jauh ke belakang. Namun dengan sisa-
sisa kekuatannya, ia melompat bangun. Saat itu
juga tubuhnya segera berkelebat meninggalkan
tempat itu walaupun tampak terhuyung-huyung.
Yustika yang tubuhnya sempat terlempar
ke samping akibat bentrokan pukulan tadi,
menggeram penuh kemarahan. Hampir saja ia ce-
laka di tangan Peramal Maut untuk yang kedua
kali. Gadis ini hendak mengejar, tapi tubuh Pe-
ramal Maut telah begitu jauh.
"Soma! Terima kasih! Lagi-lagi kaulah yang
menolongku," ucap Ratu Adil.
Siluman Ular Putih tidak menyahut. Ma-
tanya masih terpaku ke arah kepergian Peramal
Maut. Soma bukannya tak ingin mengejar. Hanya
rasa kasihannya terhadap Pembunuh Iblis-lah
yang membuat niatnya diurungkan.
"Benar-benar licik, Tua Bangka itu! Untung
saja aku segera bertindak," gumam Siluman Ular
Putih.
"Yah...! Kau benar. Soma. Tua bangka itu
memang licik," timpal Ratu Adil membenarkan.
"Hoekh!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
dikagetkan suara orang yang tengah muntah-
muntah. Buru-buru mereka berpaling, dan men-
dekati Pembunuh Iblis yang tengah muntah-
muntah.
"Bagaimana keadaanmu, Kawan?" tanya
Siluman Ular Putih begitu berada di samping
Pembunuh Iblis.
Pembunuh Iblis yang baru saja siuman se-
jenak membelalakkan matanya heran saat meli-
hat Siluman Ular Putih telah berada di hadapan-
nya.
"Ah...! Lagi-lagi kau yang menyelamatkan-
ku, Soma. Aku jadi malu," desah Pembunuh Iblis
dengan napas masih tersengal.
"Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Yang
penting kau selamat. Bukankah kita segolongan?
Kenapa mesti sungkan?"
"Aku mengerti, Soma," kata Pembunuh Ib-
lis.
Teguh Sayekti berusaha bangun. Dan den-
gan sigap Siluman Ular Putih segera memban-
tunya.
"Oh, ya? Siapakah temanmu itu, Soma?"
bisik Pembunuh Iblis lirih di telinga Siluman Ular
Putih. Entah mengapa setiap matanya melirik Ra-
tu Adil, dadanya bergemuruh. Bahkan tiba-tiba
timbul rasa kerinduan mendalam. Ada getaran
aneh yang menguasai dadanya.
"Yustika."
"Ooo...! Senang sekali aku bertemu den-
ganmu, Yustika. Perkenalkanlah.... Aku Teguh
Sayekti," kata Pembunuh Iblis, bergetar suaranya.
Apalagi ketika kembali menatap Yustika, wajah
gadis itu mengingatkannya pada wajah seseorang.
Tapi pemuda itu lupa, siapa.
Yustika alias Ratu Adil hanya mengangguk.
"Bagaimana? Apa lukamu sudah mendin-
gan?" tanya Soma, memecah keheningan.
"Sudah agak lumayan. Soma. Paling tinggal
memulihkan tenaga dalamku saja. Tapi ngomong-
ngomong, sekarang kau hendak ke mana lagi?"
tanya Pembunuh Iblis ingin tahu.
"Aku ingin mengejar Setan Haus Darah dan
pasukannya," jawab Soma.
Pembunuh Iblis tersenyum. Sebenarnya,
pemuda itu ingin berlama-lama lagi dengan Yus-
tika. Teguh Sayekti ingin ngobrol lebih banyak la-
gi. Tapi hatinya merasa sungkan terhadap Soma.
"Ayo, Yustika kita melanjutkan perjalanan,"
ajak Soma.
"Ayo," sahut Ratu Adil, lalu menatap Teguh
Sayekti sebentar. "Selamat tinggal, Kawan!"
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil segera
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya
dalam beberapa kelebatan saja sosok mereka te-
lah menghilang di balik kerimbunan hutan depan
sana.
"Hm...! Siluman Ular Putih benar-benar be-
runtung. Ia selalu dikerubungi gadis-gadis can-
tik... Tapi gadis yang bersama Siluman Ular Putih
barusan..., ah. Mungkinkah ia adikku...? Atau
hanya perasaanku saja? Kalau bukan, kenapa
wajahnya mirip dengan mendiang ibu...?"
DELAPAN
Peramal Maut memperlambat kelebatan-
nya. Kini ia melangkah biasa namun terlihat gon-
tai akibat luka dalam yang parah. Sementara ke-
dua tangannya terus mendekap dada kuat-kuat.
Terus ditelusurinya jalan di pinggiran sebuah de-
sa yang berbatasan dengan hamparan sawah.
"Keparat! Entah, sudah berapa kali Silu-
man Ular Putih mencampuri urusanku! Hm...!
Sampai kapan pun aku tak mungkin dapat melu-
pakan dendamku padanya...! Tunggulah pemba-
lasanku, Siluman Ular Putih!" maki Peramal Maut
dalam hati.
Kali ini, lelaki tua itu tak kuat lagi mena-
han langkah. Akibat luka dalamnya yang parah
membuat tubuhnya tersuruk jatuh. Dengan su-
sah payah, ia menggeser tubuhnya ke arah seba-
tang pohon. Begitu tubuhnya disandarkan, na-
pasnya memburu. Dadanya terasa mau pecah.
Tapi Peramal Maut berusaha bertahan.
"Edan! Tak kusangka Ratu Adil pun memi-
liki pukulan demikian dahsyat! Andai saja Siluman Ular Putih tidak membantu, aku yakin nya-
wa gadis itu sudah berada dalam genggaman tan-
ganku.... Huk huk huk...!"
Peramal Maut terbatuk-batuk. Pada saat
itu ia merasakan dari mulut dan hidungnya men-
galir darah segar. Buru-buru diambilnya butiran-
butiran biru dari kantung kecil yang menggan-
tung di pinggang. Tanpa ragu ditelannya butir-
butir biru yang memang berupa obat pulung. Per-
lahan-lahan hawa dingin akibat obat itu mulai
menjalar ke tenggorokannya. Dan hawa dingin itu
terus menerabas ke dalam perutnya.
"Untung saja aku membawa persediaan
obat. Kalau tidak, barangkali aku sudah tidak
kuat...," gumam Peramal Maut. "Yah...! Kukira
aku harus menyembuhkan luka dalamku terlebih
dulu. Masalah menuntut balas terhadap Siluman
Ular Putih, bisa ditunda untuk beberapa saat...."
Habis berpikir begitu, perlahan-lahan Pe-
ramal Maut beringsut. Dan dengan susah payah,
akhirnya ia dapat duduk bersila. Lelaki tua ini be-
rusaha menenangkan pikirannya sebentar, lalu
mulai mengalur jalan napasnya. Tak selang bera-
pa lama, tokoh sesat dari puncak Gunung Kem-
bang ini pun sudah tenggelam dalam semadinya.
Saat itu, bulan bulat penuh tampak tengah
membanggakan sinar putih keperakannya pada
jutaan bintang di angkasa. Suara jangrik di pema-
tang sawah terdengar riuh mengusik ketenangan
malam. Keadaan ini tentu saja membuat Peramal
Maut merasa nyaman untuk menyembuhkan luka
dalamnya. Tarikan-tarikan napasnya pun mulai
teratur. Tidak memburu seperti tadi. Demikian
juga dadanya. Setelah melakukan semadi untuk
beberapa saat, tubuhnya pun terasa segar.
Malam kian beranjak. Bumi pun kian dite-
rangi cahaya putih keperakan sang dewi malam.
Peramal Maut tak mau peduli. Meski luka dalam-
nya berangsur-angsur sembuh, tapi ia masih
tenggelam dalam semadinya. Kedua kelopak ma-
tanya terpejam dengan telapak tangan memegang
lutut.
Di puncak semadinya, mendadak hidung
Peramal Maut mencium bau busuk yang bukan
kepalang. Bahkan hampir membuat lelaki tua ini
muntah dengan perut mual.
"Setan! Bau busuk apa ini? Kenapa demi-
kian menusuk hidung...?" gerutu Peramal Maut.
Terpaksa lelaki tua ini menghentikan se-
madinya. Kelopak matanya membuka. Meski be-
lum sembuh benar, namun sudah terasa mendin-
gan. Luka dalamnya sudah tidak begitu meng-
ganggunya. Menyadari hal ini, diam-diam Peramal
Maut tersenyum senang.
Namun manakala bau busuk itu kian me-
nusuk hidung, tak urung juga Peramal Maut jadi
kesal bukan main. Sambil mengendus-endus hi-
dungnya, kepalanya bergerak ke samping. Namun
betapa terkejut hatinya, begitu kepalanya berpal-
ing. Ternyata tak jauh darinya telah berdiri seso-
sok tubuh tinggi kurus.
Sosok itu seorang kakek renta. Sepintas,
tubuhnya tak bertenaga. Tubuhnya yang kurus
kering terbalut pakaian warna merah menyala.
Rambut, bulu mata, alis mata, dan juga jenggot-
nya yang panjang juga berwarna merah menyala!
Wajahnya tirus kemerah-merahan dengan sepa-
sang mata melesak ke dalam tertutup tulang-
tulang pipi yang bertonjolan.
"Hantu Tangan Api...!" desis Peramal Maut
penuh keterkejutan.
Sosok kakek renta yang memang Ki Ba-
naspati alias Hantu Tangan Api hanya mendengus
kasar. Sepasang matanya yang mencorong meng-
hujam tajam ke arah Peramal Maut.
Buru-buru Peramal Maut melompat ban-
gun. Gerakannya kali ini terlihat agak ringan. Hal
ini saja sudah menandakan kalau luka dalamnya
mulai berangsur sembuh. Meski demikian, sikap-
nya tak berani gegabah. Ia tahu, siapa Hantu
Tangan Api. Seorang tokoh sesat papan atas yang
amat diperhitungkan di kalangan tokoh putih
maupun tokoh golongan hitam. Dialah momoknya
dunia persilatan yang konon sudah lama menga-
singkan diri.
"Pasti ada satu urusan yang amat penting
hingga Hantu Tangan Api sampai keluar dari
tempatnya bertapa...," gumam Peramal Maut.
"Peramal Maut! Apakah kau melihat Pendi-
dik Ulung dan orang yang bergelar Siluman Ular
Putih?" tanya Hantu Tangan Api langsung. Na-
danya tetap garang, sarat ancaman. Sebagai to-
koh persilatan, Ki Banaspati pun pernah menden-
gar nama Siluman Ular Putih, walaupun belum
melihat orangnya.
"Hm...! Jadi tua bangka satu ini sedang
mencari Siluman Ular Putih dan Pendidik Ulung?
Hm...! Kebetulan sekali. Kukira aku dapat me-
manfaatkan tenaga tua bangka ini demi memba-
las dendamku...," Peramal Maut menggumam da-
lam hati.
Sejenak Peramal Maut manggut-manggut,
lalu menatap Ki Banaspati. Matanya tampak ber-
binar-binar.
"Oh...! Jadi kau sedang mencari mereka,
Hantu Tangan Api? Kebetulan sekali. Aku me-
mang sedang mencari Pendidik Ulung. Tapi...."
"Jangan banyak bertele-tele, Peramal Maut!
Cepat katakan di mana Pendidik Ulung dan Silu-
man Ular Putih!" potong Ki Banaspati, tak sabar.
"Baik. Akan kukatakan terus terang. Aku
memang belum bertemu Pendidik Ulung. Tapi ba-
ru saja aku bertarung dengan Siluman Ular Pu-
tih," urai Peramal Maut agak gugup. Ngeri juga
hatinya kalau sampai berbentrokan dengan Ki
Banaspati.
"Bagus! Di mana sekarang Siluman Ular
Putih, Peramal Maut?" cecar Hantu Tangan Api.
"Hm...! Mungkin ia masih mengobati te-
mannya yang terluka di hutan sebelah sana!" je-
las Peramal Maut seraya menuding telunjuk ke
arah gerumbulan hutan di sebelah timur.
"Bagus! Kalau begitu aku akan segera ke
sana," kata Hantu Tangan Api seraya berbalik.
"Tunggu, Hantu Tangan Api!" cegah Peram-
al Maut menahan langkah tokoh sesat dari Bukit
Pedang itu.
"Ada apa lagi, Peramal Maut?"
Ki Banaspati berbalik gusar. Pandang ma-
tanya yang, mencorong tajam, jelas memancarkan
satu hawa kematian yang hanya dapat ditebus
dengan darah.
"Jangan gegabah, Hantu Tangan Api! Meski
kepandaianmu setinggi langit, namun kali ini aku
mencium hawa kematian dari dalam tubuhmu.
Bau busuk dari tubuhmu itulah yang menanda-
kan kau harus lebih berhati-hati. Kalau tidak,
kau bisa celaka!" ingat Peramal Maut, merasa
gatal kalau tidak meramal orang.
"Apa kau bilang? Aku akan celaka di tan-
gan Pendidik Ulung atau pemuda bau kencur ber-
gelar Siluman Ular Putih?!" sentak Hantu Tangan
Api. Bukan main gusarnya dipandang remeh de-
mikian rupa.
"Jangan salah paham, Hantu Tangan Api!
Aku hanya mengingatkan. Dan satu lagi yang pa-
tut kau ingat! Ramalanku tak pernah meleset. Be-
runtung sebenarnya kau bertemu denganku. Apa-
lagi, aku tidak menuntut upah darimu," kilah Pe-
ramal Maut.
"Setan alas! Berani benar kau meminta
upah?! Apa kau sudah bosan dengan nyawa di
ragamu, hah?!"
"Bukan itu maksudku, Hantu Tangan Api,"
elak Peramal Maut. Merasa kecut juga hatinya
melihat kegarangan Ki Banaspati.
"Lalu? Kenapa kau demikian lancang bera-
ni menahan langkahku, he?!" bentak Hantu Tan-
gan Api.
Selangkah demi selangkah Ki Banaspati
mendekati Peramal Maut. Dan hati lelaki tua jago
meramal itu makin kecut saja. Walau tidak se-
dang menderita luka dalam, belum tentu ia sang-
gup menghadapi sepak terjang Hantu Tangan Api.
Maka tak heran kalau Peramal Maut tak ingin ca-
ri perkara. Malah kalau bisa ingin memanfaatkan
tenaganya.
"Hantu Tangan Api! Kau adalah seorang
tokoh papan atas dunia persilatan. Namun ru-
panya, kau pun tetap harus berhati-hati. Mata
batinku mengatakan, kau akan celaka kalau tak
berhati-hati. Untuk itulah aku menahan lang-
kahmu!" jelas Peramal Maut, berusaha melunak-
kan hati Ki Banaspati.
"Setan! Bagaimanapun juga, kau dan ra-
malanmu tetap saja memandang remeh padaku,
Peramal Maut! Makanlah bogem mentahku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Hantu
Tangan Api telah menerjang Peramal Maut den-
gan ganas. Tubuhnya yang tinggi kurus berkele-
bat cepat laksana kilat. Sedang kedua telapak
tangannya yang terkepal segera mengirimkan jo-
tosan mengerikan.
Wutt! Wuttt!
Sebelum serangan-serangan tokoh sesat
dari Bukit Pedang itu sempat mengenai sasaran,
terlebih dahulu Peramal Maut merasakan angin
kencang disertai hawa panas menampar-nampar
kulit tubuh!
Tentu saja Peramal Maut tak ingin tubuh-
nya jadi sasaran empuk. Meski hatinya berat,
demi keselamatannya terpaksa segera dikerah
kannya pukulan 'Gelap Ngampar'. Dan begitu ke-
dua telapak tangannya berubah jadi hitam legam,
segera dipapaknya pukulan Hantu Tangan Api.
Blammm! Blammm!
Terdengar satu ledakan hebat di udara ke-
tika dua tenaga dalam tingkat tinggi itu beradu di
udara. Bumi berguncang hebat seperti terjadi
gempa. Berkesiurannya hawa panas akibat ben-
trokan bahkan mampu membuat tempat perta-
rungan dipenuhi hawa panas!
Sementara bersamaan bentrokan tadi, ter-
dengar satu pekik menyayat disusul terpentalnya
sosok tubuh Peramal Maut. Sejenak tubuhnya
berputaran, lalu terbanting keras di tanah.
Bukkk!
Peramal Maut megap-megap. Dadanya
yang baru saja sembuh dari luka dalam terasa se-
sak bukan main. Parasnya pun pucat pasi! Meski
demikian, lelaki ini tetap berusaha bertahan. Per-
lahan-lahan ia mencoba bangkit. Namun sayang,
tubuhnya kembali luruh di tanah.
Hantu Tangan Api tertawa bergelak mena-
tap keadaan Peramal Maut. Sepasang matanya
yang mencorong jelas memancarkan hawa mem-
bunuh.
"Celaka! Jangan-jangan tua bangka ini
memang menghendaki nyawaku?" desis Peramal
Maut, kecut. "Hm...! Sial benar nasibku belakan-
gan ini. Sudah dipermalukan Siluman Ular Putih
dua kali, masih pula harus berbentrokan dengan
Hantu Tangan Api."
Di depan sana, tampak Ki Banaspati mulai
melangkah mendekati Peramal Maut. Kedua tela-
pak tangannya telah berubah merah menyala
hingga pangkal siku. Sekali saja kedua telapak
tangannya dihentakkan ke depan, mustahil bagi
Peramal Maut dapat lolos dari tangan maut tokoh
sesaat dari Bukit Pedang itu.
"Ha ha ha...! Rasakanlah, Peramal Maut!
Manusia culas macam kau memang tak patut
menikmati indahnya dunia ini. Sikat saja tua
bangka culas itu, Kakek Merah!"
Tiba-tiba terdengar satu suara yang amat
dikenali Peramal Maut. Bersamaan dengan itu,
Peramal Maut melihat dua sosok bayangan berke-
lebat cepat mendekati tempat itu.
"Setan alas! Siapa lagi manusia-manusia
pencari mati ini, hah?!"
SEMBILAN
Sepasang mata merah menyala Hantu Tan-
gan Api kian bergerak-gerak beringas. Tak jauh di
hadapannya kini telah berdiri dua sosok tubuh.
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan berambut gondrong dengan pakaian rompi
dan celana bersisik warna putih keperakan. Se-
dang di sebelahnya adalah seorang gadis cantik
berpakaian indah warna merah. Rambutnya yang
hitam panjang digelung ke atas dihiasi mutiara-
mutiara indah warna biru.
"Hantu Tangan Api! Rupanya, apa yang
kau katakan benar. Mereka memang manusia-
manusia pencari mati. Dan kalau kau tahu siapa
mereka, kau tentu akan terkejut. Terutama sekali,
pemuda edan itu!" kata Peramal Maut seraya me-
nuding ke arah dua anak muda itu.
"Jangan mempermainkan aku, Peramal
Maut! Siapa dua bocah ingusan tak tahu diri itu?"
bentak Ki Banaspati.
"Ha ha ha,..!" Peramal Maut malah tertawa.
Lalu dengan susah payah ia melompat bangun.
"Katakan siapa dua bocah itu, Peramal
Maut!" bentak Hantu Tangan Api. Kali ini hawa
amarah yang menggelegak dalam dada benar-
benar tak dapat lagi dikendalikan.
"Ketahuilah, Hantu Tangan Api. Manusia-
manusia pencari mati itu adalah Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil."
"Hah?! Siluman Ular Putih?" tokoh sesat
dari Bukit Pedang itu terperangah, seolah tak
percaya dengan pendengarannya.
"Benar. Kunyuk gondrong itulah yang ber-
gelar Siluman Ular Putih!"
"Hhh...!"
Hantu Tangan Api mendengus gusar. Sepa-
sang mata bengisnya mencorong ke arah Ratu
Adil dan Siluman Ular Putih.
"Benarkah kau yang bergelar Siluman Ular
Putih, Bocah?" lanjut Hantu Tangan Api tetap
dengan suara garang.
"Harap jangan menelan mentah-mentah
apa yang dikatakan Peramal Maut, Kakek Merah!
Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya apa yang
menyebabkan kau mencari-cari Siluman Ular Pu-
tih?" ujar Siluman Ular Putih santai. Sedikit pun
tidak menyiratkan kesan gentar dari raut wajah-
nya yang selalu menyunggingkan senyum.
"Jangan terlalu banyak menjual lagak, Bo-
cah! Katakan! Benarkah kau yang bergelar Silu-
man Ular Putih?!" tanya Hantu Tangan Api minta
ketegasan.
"Hantu Tangan Api! Dia itulah yang berge-
lar Siluman Ular Putih!" sela Peramal Maut.
Siluman Ular Putih hanya mengumbar se-
nyum. Namun tidak demikian dengan Ki Banas-
pati. Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi kalau pe-
muda gondrong di hadapannya adalah orang yang
bergelar Siluman Ular Putih. Apalagi manakala
melihat ciri-ciri pemuda gondrong di hadapannya.
"Hm...! Bagus! Kalau begitu kau memang
datang mengantar nyawa, Siluman Ular Putih! Ke-
tahuilah! Sekarang aku datang memenuhi tan-
tanganmu!" dengus Ki Banaspati.
"Hey...! Siapa yang menantangmu berta-
rung, Kakek Merah? Aku merasa tidak pernah
menantangmu bertarung. Ah...! Kau ini ada-ada
saja! Mengenalmu saja baru kali ini. Bagaimana
aku bisa menantangmu bertarung? Yang benar
saja, ah?" tukas Soma, kalem.
"Keparat! Kau jangan banyak tingkah, Si-
luman Ular Putih! Mustahil aku keluar dari tem-
pat bertapa kalau tak mendengar tantanganmu
dan Pendidik Ulung!" dengus Hantu Tangan Api
lagi.
"Siapa? Siapa yang menyebarkan fitnah itu,
Kakek Merah? Apakah tua bangka Peramal Maut
itu? Eh...! Di manakah tua bangka itu?"
Siluman Ular Putih langsung celingukkan
ke sana kemari, namun tak menemukan Peramal
Maut di tempat itu. Demikian pula Yustika. Aki-
bat perhatian mereka tercurah pada Hantu Tan-
gan Api, sehingga ketika Peramal Maut pergi di-
am-diam tak seorang pun yang tahu.
"Sontoloyo! Pasti tua bangka itu yang men-
jadi biang keroknya!" gerutu Siluman Ular Putih.
"Jangan libatkan Peramal Maut, Siluman
Ular Putih. Tua bangka itu tidak tahu apa-apa!"
kata Hantu Tangan Api.
"Jadi? Peramal Maut bukan yang menye-
barkan fitnah ini? Lalu, siapa orangnya, Kakek
Merah?"
"Ini bukan fitnah, Bocah Goblok! Muridku
tak mungkin berani dusta padaku," sergah Ki Ba-
naspati.
"Oh...! Jadi muridmu yang menyebarkan
fitnah ini? Siapakah murid brengsekmu itu, Ka-
kek Merah?"
"Setan Haus Darah!" sebut Hantu Tangan
Api, tandas. "Tapi, ingat! Ini bukan fitnah. Kau
jangan mungkir, Siluman Ular Putih! Majulah ka-
lau kau ingin menantangku bertarung!"
Siluman Ular Putih mana sudi menuruti
perintah lelaki tua berbaju merah itu. Kepalanya
malah menoleh ke arah Ratu Adil.
"Bagaimana ini, Yustika!" tanya Siluman
Ular Pulih, minta pendapat.
"Kukira, memang Setan Haus Darahlah
yang telah menyebarkan fitnah ini. Habis, siapa
lagi kalau bukan dia!" sungut Ratu Adil.
"Hm...! Bisa jadi. Mungkin ia merasa den-
dam padaku, lalu menyeret gurunya dengan me-
nebar fitnah," duga Siluman Ular Putih. Kemu-
dian perhatiannya beralih pada Hantu Tangan
api. "Dengar, Kakek Merah! Buka telingamu lebar-
lebar! Aku sama sekali tidak pernah menantang-
mu bertarung. Kau paham? Mungkin karena ulah
muridmu hingga kau keluar dari tempatmu ber-
tapa. Harap jangan salah paham, Kakek Merah!"
"Hm...!" Bukan main gusarnya hati Hantu
Tangan Api. Ia tidak tahu mana yang benar. Yang
jelas, amarahnya saat itu benar-benar sudah
mencapai ubun-ubun kepala.
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kalau aku
sudah turun dari tempatku bertapa, berarti harus
ada nyawa yang harus kurenggut!" geram Ki Ba-
naspati penuh kemarahan.
"Yah...! Kenapa urusannya jadi begini, Yus-
tika? Bagaimana ini?" ujar Siluman Ular Putih, la-
lu menggaruk-garuk kepala.
"Baiknya kita tinggalkan saja tempat ini.
Soma!" cetus Ratu Adil mengusulkan.
"Ah, ya? Kau benar, Yustika. Daripada me-
ladeni Kakek Merah itu, lebih baik memang me-
ninggalkan tempat ini. Ayo!"
Siluman Ular Putih buru-buru menggan-
deng lengan Ratu Adil. Namun belum sempat me-
reka melangkah, tahu-tahu Hantu Tangan Api te-
lah melompat melewati kepala kedua orang anak
muda itu. Dan mantap sekali kakinya mendarat
di hadapan Siluman Ular Putih dan Yustika se-
jauh empat tombak.
"Boleh saja kalian berdua meninggalkan
tempat ini. Asal, tinggalkan kepala kalian di sini!"
bentak Hantu Tangan Api, sarat ancaman.
"Wah...! Mana bisa begitu, Kakek Merah."
"Bisa tidak bisa, kalian berdua harus mod-
ar di tanganku!" putus Hantu Tangan Api, lang-
sung menerjang Siluman Ular Putih dan Ratu
Adil.
Kedua telapak tangan Ki Banaspati yang
telah berubah jadi merah menyala hingga sampai
pangkal siku segera menghantam ke depan,
membuat dua larik sinar merah menyala melesat
cepat, siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih
dan Ratu Adil.
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil terperan-
gah. Mereka kontan merasakan hawa panas bu-
kan main, sebelum serangan-serangan tokoh se-
sat dari Bukit Pedang itu mengenai sasaran.
Wesss! Wesss!
Menyadari adanya ancaman berbahaya, Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil segera melempar-
kan tubuh ke samping. Sehingga, dua larik sinar
merah menyala dari kedua telapak tangan Hantu
Tangan Api terus menerabas ke belakang. Dan....
Brakkk!
Batang pohon sebesar tiga lingkaran tan-
gan manusia dewasa di belakang Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil yang menjadi sasaran seketi-
ka memperdengarkan bunyi berderak. Kemudian
disusul suara bergemuruh, sebelum akhirnya
tumbang!
Blammm!
Tanah debu berpasir kontan membubung
tinggi memenuhi tempat pertarungan. Ki Banas-
pati yang merasa geram sekali melihat serangan-
nya dapat dihindari dengan begitu mudah, kem-
bali menerjang Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
ganas. Kedua telapak tangannya yang berwarna
merah menyala kembali menghentak ke depan.
Wesss! Wesss!
Srang!
Ratu Adil cepat menarik keluar pedang pu-
sakanya yang menggelantung di pinggang. Tu-
buhnya segera melenting tinggi ke udara meng-
hindari sinar merah milik Ki Banaspati. Setelah
membuat putaran beberapa kali, dengan jurus
'Pedang Menembus Bulan' tubuhnya meluruk
dengan kecepatan luar biasa. Dan tiba-tiba, mata
pedangnya telah mengancam ubun-ubun kepala
Hantu Tangan Api.
Sedang Siluman Ular Putih sendiri pun ru-
panya tak mau ketinggalan. Begitu melihat seran-
gan datang, murid Eyang Begawan Kamasetyo se-
gera mengeluarkan jurus 'Terjangan Maut Ular
Putih' andalannya. Tubuhnya cepat melompat ke
atas, lalu meluruk dengan kedua telapak tangan
telah membentuk dua kepala ular. Dan dengan
mengandalkan patukan-patukan kedua telapak
tangannya, langsung diserangnya Hantu Tangan
Api. Hebat bukan main kecepatan serangan Silu-
man Ular Putih. Ratu Adil yang menyerang lebih
dulu bahkan sempat tersusul.
Tukkk! Tukkk!
Dua kali patukan tangan Siluman Ular Pu-
tih telak mengenai iga kiri Hantu Tangan Api.
Namun hebatnya, tubuh lelaki tua itu hanya
sempat terjajar ke samping tanpa sedikit menge-
luarkan suara pekikan. Bahkan pada saat demi-
kian, Ki Banaspati segera menghentakkan ka-
kinya ke tanah. Seketika tubuhnya yang tinggi
kurus langsung melenting tinggi ke udara. Kedua
telapak tangannya yang makin merah menyala
langsung menghentak.
Serangan Ratu Adil yang di mata Hantu
Tangan Api terlihat lambat jadi terkesiap kaget.
Sungguh sama sekali tidak disangka kalau seran-
gannya malah didahului Hantu Tangan Api. Pa-
dahal untuk merubah arah serangan, jelas tidak
mungkin.
"Awas, Yustika!" teriak Siluman Ular Putih
dari bawah.
Menyadari bahaya maut mengancam, Ratu
Adil segera mengerahkan pukulan 'Cakar Naga
Samudera' yang menjadi andalan gurunya di Nu-
sa Kambangan. Maka saat itu juga, jari-jari tan-
gannya berubah menjadi biru begitu tenaga da-
lamnya tersalur. Dan setelah memindahkan pe-
dang ke tangan kiri....
"Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Ratu Adil cepat
mengguratkan jari-jari tangan kanan ke udara.
Seketika, meluruk lima larik sinar biru dari jari-
jari tangan kanannya memapak sinar-sinar merah
yang dilepaskan Ki Banaspati.
Classs! Classs! '
Lima larik sinar biru dari jari-jari tangan
Ratu Adil langsung berbenturan dengan sinar-
sinar merah Hantu Tangan Api. Saat itu juga
tempat pertarungan jadi terang benderang. Se-
mentara tubuh Ratu Adil pun yang masih di uda-
ra kontan terlempar jauh ke belakang.
Bukkk!
Ratu Adil mengeluh tertahan begitu tu-
buhnya menghantam tanah. Parasnya pucat pas-
ti. Kedua bibirnya bergetar-getar hebat menahan
guncangan dalam dada!
"Kau tidak apa-apa, Yustika?" tanya Silu-
man Ular Putih cemas bukan main begitu berada
di dekat Ratu Adil.
Ratu Adil hanya tersenyum getir seraya
menggeleng perlahan.
"Tapi, kau terluka dalam, Yustika?" tukas
Siluman Ular Putih tak puas melihat Ratu Adil
berusaha tegar di hadapannya. Padahal ia tahu,
akibat bentrokan tenaga dalam tadi telah menga-
duk-aduk isi dada si gadis.
"Cepat telan obat ini!" ujar Siluman Ular
Putih sambil mengeluarkan butiran kuning dari
kantung kecil yang menggelantung di pinggang.
Ratu Adil cepat menerimanya dan langsung
menelan. Perlahan-lahan hawa dingin mulai men-
jalari tenggorokan dan terus menerabas ke dalam
perutnya.
"Bersemadilah, Yustika! Biar luka dalammu
tidak bertambah parah," kata Siluman Ular Putih.
Lagi-lagi Ratu Adil hanya menggeleng per
lahan. Malah dengan sigap segera melompat ban-
gun.
"Yustika! Kau masih terluka!" cegah Silu-
man Ular Putih, cemas bukan main.
"Tak apa-apa, Soma. Ayo, kita balas seran-
gan Kakek Merah itu!" ajak Ratu Adil.
Siluman Ular Putih sebenarnya tidak rela
melihat Ratu Adil terlalu memaksakan diri. Na-
mun untuk mencegah jelas tidak mungkin. Gadis
itu telah dirasuki hawa amarah. Sehingga terlihat
ingin sekali membalas kekalahannya tadi.
Di hadapan mereka, tak henti-hentinya
Hantu Tangan Api terus mengumbar tawa. Kali ini
hatinya puas sekali melihat hasil serangannya ta-
di. Hanya dalam sekali gebrakan saja, gadis la-
wannya dapat dirobohkan. Namun manakala me-
lihat Ratu Adil dan Siluman Ular Putih telah ber-
diri di tempatnya kembali, lelaki tua bengis itu ja-
di menggeram murka.
"Bagus! Aku memang sudah tidak sabar la-
gi untuk mengirim nyawa kalian menemui malai-
kat maut! Majulah!" tangan Hantu Tangan Api
bernada mengejek.
"Meski belum tahu duduk perkara yang se-
benarnya sampai kau menginginkan nyawa kami,
terpaksa kami harus membela diri, Kakek Merah,"
desis Siluman Ular Putih.
"Jangan banyak bacot, Bocah Tolol! Tahu
duduk persoalannya ataupun tidak, kalau Hantu
Tangan Api sudah berkehendak, siapa pun tidak
dapat menghalangiku. Dan sekarang, aku men-
ginginkan nyawa kalian. Maka kalian berdua pun
harus modar di tanganku!"
Belum lenyap gema suaranya, Hantu Tan-
gan Api tiba-tiba menekuk lututnya sedemikian
rupa. Sementara kedua telapak tangannya yang
masih merah menyala tiba-tiba kembali menyen-
tak ke depan. Seketika itu juga meluncur dua gu-
lungan bola api ke depan ke arah Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil.
Werrr! Werrr!
Begitu melihat datangnya serangan, Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil segera bertindak.
Serta-merta, mereka segera menghentakkan ke-
dua telapak tangan ke depan. Masing-masing
dengan pukulan andalan, untuk memapak seran-
gan. Seketika sinar merah dan sinar putih mele-
sat, membentur bola-bola api yang dikeluarkan Ki
Banaspati.
Besss!
Aneh! Ternyata tidak terdengar bunyi leda-
kan sedikit pun akibat pertemuan pukulan-
pukulan andalan yang terjadi. Namun akibatnya,
tanah di sekitar tempat pertarungan mendadak
bergetar hebat. Sementara tubuh Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil pun tampak bergetar. Apalagi
manakala gulungan dua bola api dari kedua tela-
pak tangan Hantu Tangan Api mulai mengem-
bang, menjadi lidah api yang menjulur-julur ke
tubuh mereka.
"Ah...!"
Bukan main kagetnya hati kedua anak
muda itu. Mereka tidak menyangka kalau seran-
gan-serangan Hantu Tangan Api demikian hebat.
Meski telah mengerahkan tenaga dalam penuh,
tetap saja tubuh mereka tersurut beberapa lang-
kah ke belakang. Dan....
"Hea!"
Bersama teriakannya Hantu Tangan Api
menyentakkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Akibatnya tubuh Siluman Ular Putih dan Ra-
tu Adil kontan terpelanting.
Bukk! Bukkk!
Tubuh Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
jatuh saling tumpang tindih. Dan si pemuda men-
jadi kaget bukan main manakala melihat tubuh
Ratu Adil mendadak jadi lemas tak dapat dige-
rakkan lagi. Bukan main cemasnya hati murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu.
"Yustika!"
Siluman Ular Putih memekik kalap. Buru-
buru ditelitinya urat nadi di pergelangan tangan
Ratu Adil. Ternyata Soma masih merasakan geta-
ran pada nadi si gadis. Dan pemuda itu pun bisa
menghela napas lega. Ternyata Ratu Adil hanya
pingsan. Meski demikian, Siluman Ular Putih te-
tap tak dapat menerima kenyataan itu. Setelah
menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratu Adil
segera pemuda ini melompat bangun.
"Bajingan! Kali ini aku benar-benar ingin men-
gadu nyawa denganmu, Kakek Merah!" dengus Silu-
man Ular Putih, gusar bukan main.
Hantu Tangan Api hanya tertawa bergelak. Se-
telah tawanya habis, kembali kedua telapak tangannya
disentakkan ke depan.
SEPULUH
Dua gulungan bola api dari kedua telapak
tangan Hantu Tangan Api kembali bergulung-
gulung mengerikan siap meluluhlantakan tubuh
Siluman Ular Putih. Ketika bergesekan dengan
udara terdengar suara bergemuruh mengandung
hawa panas luar biasa!
"Hm...! Rupanya kau benar-benar mengin-
ginkan kematianku, Kakek Merah. Sayang sekali.
Kukira, kau tak semudah itu untuk merobohkan-
ku," desis Siluman Ular Putih saking tak tahan
menahan amarah.
Siluman Ular Putih merasa sekarang saat-
nya untuk mengerahkan pukulan andalan
'Tenaga Inti Bumi'. Maka begitu kedua telapak
tangannya berubah putih terang hingga pangkal
siku, segera dihentakkan ke depan. Seketika me-
luruk dua larik sinar putih terang langsung me-
mapak bola-bola api.
Wesss! Wesss!
Blammm!
Terdengar ledakan hebat ketika dua tenaga
dalam tingkat tinggi itu beradu di udara. Tanah di
sekitar tempat pertarungan membuncah dan ber-
hamburan tinggi di udara. Angin berkesiur akibat
bentrokan tadi membuat daun-daun di sekitarnya
hangus terbakar!
Pada saat terjadinya bentrokan, tubuh
Hantu Tangan Api dan Siluman Ular Putih pun
sama-sama terpental ke belakang dengan paras
pias. Namun, Ki Banaspati segera dapat mengata-
si keseimbangan tubuhnya walaupun dengan wa-
jah kaget.
"Setan alas! Rupanya kau masih terhitung
murid tua bangka dari Gunung Bucu itu, Bocah!"
dengus Hantu Tangan Api.
"Harap jangan membawa-bawa nama
eyangku, Kakek Merah! Kau tak pantas menyebut
eyangku!" ejek Siluman Ular Putih seraya membe-
sut darah yang membasahi bibir dengan pung-
gung tangan.
Setelah melirik sebentar punggung tangan-
nya yang bernoda darah, Siluman Ular Putih se-
gera melompat bangun. Sayang, tubuh murid
Eyang Begawan Kamasetyo agak limbung akibat
bentrokan tadi. Namun, pemuda ini berusaha te-
gar. Malah kini bersiap-siap menggabungkan ke-
dua pukulan andalan eyangnya di Gunung Bucu.
Setelah membuat gerakan, tangan kanan
Siluman Ular Putih jadi merah menyala. Sedang
tangan kirinya telah berubah menjadi putih te-
rang penuh 'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti
Api'!
"Hebat! Tak kusangka kau yang masih se-
muda ini sudah mampu menggabungkan pukulan
'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti Api'. Benar-
benar hebat! Aku patut mengagumimu, Bocah.
Tapi sayang, kekagumanku hanya berakhir sam-
pai di sini. Karena sebentar lagi, kau akan modar
di tanganku!"
Siluman Ular Putih sedikit pun tak meng-
gubris ucapan Hantu Tangan Api. Hawa amarah
yang telah memenuhi dada membuatnya tak sa-
bar lagi untuk segera melontarkan pukulan anda-
lan.
"Sekaranglah saatnya kau menerima kema-
tianmu, Bocah! Hea!"
Di akhir bentakannya, tiba-tiba tokoh sesat
dari Bukit Pedang itu segera mengerahkan tenaga
dalamnya untuk melepas pukulan pamungkas
yang bernama pukulan 'Gemuruh Badai Api'. Dan
begitu kedua telapak tangannya telah berubah ja-
di merah terang, segera disentakkan ke depan.
Saat itu juga lidah api yang berkobar-kobar me-
luncur dari kedua telapak tangannya disertai an-
gin kencang berkesiur yang menggemuruh!
Werrr! Werrr!
Benar-benar mengerikan lidah api yang
berkobar-kobar dari kedua telapak tangan Hantu
Tangan Api. Hawa panas yang ditimbulkannya
pun amat luar biasa. Sehingga sebelum seran-
gannya mengenai sasaran, terlebih dahulu terasa
hawa panas yang membakar kulit tubuh.
"Edan! Benar-benar satu pukulan maut
yang amat mematikan. Hm...! Sungguh dunia
persilatan bisa berantakan bila sepak terjang to-
koh sesat ini tak dapat dihentikan. Yah...! Seka-
ranglah saatnya aku mencoba menghentikan se-
pak terjangnya," kata batin Siluman Ular Putih.
Tanpa banyak buang waktu, Siluman Ular
Putih pun segera menghentakkan kedua telapak
tangannya ke depan, membuat dua larik sinar
merah dan putih meluncur cepat laksana kilat.
Besss!
Tak ada ledakan yang berarti akibat ben-
trokan dua tenaga dalam barusan. Namun hebat-
nya, tubuh Siluman Ular Putih tampak goyah.
Kedua kakinya pun melesak ke dalam tanah.
Bahkan geraham si pemuda sampai bergemelutuk
saat berusaha menahan laju serangan Hantu
Tangan Api. Saat itu juga tenaga dalamnya dili-
patgandakan dengan kedua telapak tangan men-
dorong ke depan. Namun, celakanya malah kedua
kakinya makin terperosok ke dalam tanah. Dan....
"Aughhh...!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menjerit ke-
ras. Tanpa ampun tubuhnya terpental jauh ke be-
lakang dan terbanting keras.
Bukkk!
Siluman Ular Putih menggereng penuh ke-
marahan. Seisi dadanya seolah-olah diaduk-aduk
hawa panas akibat pukulan Hantu Tangan Api.
Sementara kedua telapak tangannya pun mele-
puh!
"Edan! Kenapa jadi begini? Hm...! Kukira
sudah saatnya aku harus mengeluarkan ajian
'Titisan Siluman Ular Putih'...," gumam Siluman
Ular Putih gusar.
Siluman Ular Putih cepat beringsut dan se-
gera duduk bersila. Kedua telapak tangannya di-
rangkapkan di depan dada. Sementara kedua bi-
birnya mulai bergerak-gerak membacakan mantra
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'.
Tepat ketika mantra ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih' selesai dibacakan, saat itu juga tubuh
Soma telah dipenuhi asap putih tipis. Dan kini
sosoknya yang kekar hilang terbungkus asap pu-
tih bergulung-gulung.
Di tempatnya Hantu Tangan Api tercekat
untuk beberapa saat. Namun lelaki tua sesat ini
masih belum bertindak, kecuali hanya terus
memperhatikan ilmu yang akan dikeluarkan Si-
luman Ular Putih.
Ternyata setelah asap putih yang menyeli-
muti tubuh Siluman Ular Putih itu hilang tertiup
angin....
"Ggggeeerrr...!!!"
* * *
Bukan main terkejutnya Hantu Tangan Api
begitu melihat perubahan wujud musuh mu-
danya. Seketika sepasang matanya yang menco-
rong membelalak liar. Betapa di hadapannya kini
pemuda gondrong tadi telah menjelma menjadi
sosok seekor ular putih raksasa dengan taring-
taring yang runcing!
"Hm...! Jadi?! Inikah ilmu yang kau bang-
ga-banggakan itu, Siluman Ular Putih?"
Ular putih raksasa sebesar pohon kelapa
itu hanya menggereng penuh kemarahan. Suara
gerengannya yang berat terdengar menggema di
segenap penjuru. Ekornya, tak henti-hentinya
mengibas-ngibas ke sana kemari.
Bummm! Bummm!
Bumi kontan bergetar hebat begitu terkena
kibasan-kibasan ekor Siluman Ular Putih. Tanah
berpasir di sekitar tempat pertarungan pun kon
tan membuncah ke sana kemari.
"Ggggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih mulai bersiap-siap me-
nerjang Hantu Tangan Api. Ekornya yang besar
sedikit ditekuk ke samping. Sedang taring-
taringnya yang berkilauan tertimpa sinar rembu-
lan tampak demikian mengerikan, seolah tak sa-
bar untuk mengganyang tubuh musuhnya.
"Siluman Ular Putih! Meski kau telah men-
jelma jadi ular putih raksasa, jangan dikira aku
tak dapat merobohkanmu! Hayo, majulah! Akan
kulihat, sampai di mana kehebatanmu!" tantang
tokoh sesat dari Bukit Pedang itu pongah. Seolah
ia yakin dapat merobohkan ular putih raksasa di
hadapannya dalam sekali gebrakan.
"Gggeeerrr!"
Ular Putih raksasa itu mengibas-ngibaskan
ekornya kasar. Dan dengan satu sentakan, sosok
panjangnya telah menerjang hebat Hantu Tangan
Api!
Wesss!
Justru Ki Banaspati tertawa pongah meli-
hat ular putih raksasa itu mulai bertindak. Tapi
ketika serangan Siluman Ular Putih hanya tinggal
beberapa depa lagi, tubuhnya cepat berkelit se-
raya mengirimkan satu jotosan keras yang tak
dapat dicegah lagi.
Bukk! Bukkk!
Dua kali bogem mentah Hantu Tangan Api
mendarat telak di tubuh Siluman Ular Putih. Aki-
batnya tubuh ular putih raksasa itu terlempar
jauh ke samping diiringi teriakan keras, amat
memekakkan telinga!
"Ggggeeerrr!"
Hantu Tangan Api mencelos kaget melihat
kenyataan bahwa tubuh ular putih raksasa itu
tak mengalami cedera sedikit pun. Jangankan ter-
luka. Lecet pun tidak! Melihat kenyataan ini, ha-
tinya jadi menggeram murka.
"Bangsat! Rupanya kau kebal juga terha-
dap pukulanku, Ular Putih Jejadian!"
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan
ekornya liar. Sepasang matanya yang mencorong
seolah ingin melumat tubuh lawannya.
"Majulah! Jangan dikira aku tak sanggup
meladenimu!" tantang Hantu Tangan Api diam-
diam kembali mengerahkan pukulan andalan.
Ular putih raksasa itu tampak demikian
marah begitu melihat kedua telapak tangan Han-
tu Tangan Api telah berubah jadi merah menyala
hingga ke pangkal. Hal ini saja sudah membukti-
kan kalau tokoh sesat dari Bukit Pedang ini be-
nar-benar telah mengerahkan kekuatan tenaga
dalam secara penuh.
"Gggeeerrr...!"
Tiba-tiba ular putih raksasa itu kembali
menerjang hebat. Hantu Tangan Api. Taring-
taringnya yang runcing pun kembali mengancam
lawan. Namun tokoh sesat dari Bukit Pedang ini
tak gentar sedikit pun. Dengan menjengekkan hi-
dungnya, tiba-tiba telapak tangannya kembali di-
hantamkan ke depan.
Werrr! Werrr!
Seketika dua gulungan bola api dari kedua
telapak tangan Hantu Tangan Api melesat cepat
ke depan, memapak tubuh ular putih raksasa
yang masih melayang di udara.
"Gggeeerrr! Gggeeerrr!"
Ular putih raksasa itu menggereng hebat.
Tubuhnya yang panjang jatuh ke tanah, langsung
oleng ke sana kemari. Sedang dua gulungan bola
api dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api
tak henti-hentinya menyerang ular putih raksasa
itu.
"Mampuslah kau, Ular Jejadian!"
Ular putih raksasa itu terus menggeliat.
Namun hebatnya, sosoknya yang panjang memu-
tih sama sekali tidak terpengaruh oleh gulungan
bola api yang mengurung.
Dan melihat kenyataan itu, hati Hantu
Tangan Api jadi gusar bukan main. Lebih gusar
lagi manakala tiba-tiba ekor ular putih raksasa
itu tahu-tahu telah meluruk mengancam tubuh-
nya.
"Setan alas!" geram Hantu Tangan Api
jengkel bukan main. Namun untuk menghindar ia
sudah terlambat. Akibatnya....
Bukkk!
Tanpa ampun lagi tubuh kurus kering itu
pun telah jadi sasaran empuk kibasan ekor ular
putih raksasa jelmaan murid Eyang Begawan
Kamasetyo.
Diiringi raungan setinggi langit, tubuh
Hantu Tangan Api kontan terlempar jauh ke bela-
kang dan terbanting keras dengan wajah pias.
Punggungnya yang terkena kibasan terasa mau
remuk. Untung saja tadi tenaga dalamnya telah
dikerahkan hingga tidak mengalami cedera berar-
ti.
"Bangsat! Akan kubalas kibasan ekormu
tadi, Ular Putih Keparat! Akan kuhancurkan tu-
buhmu hingga berkeping-keping!" geram Hantu
Tangan Api murka.
Tanpa banyak basa-basi lagi Hantu Tangan
Api segera melompat bangun. Darah segar yang
mengalir di sudut bibir segera dibesut dengan
menggunakan punggung tangannya.
"Kali ini kau tak mungkin lolos dari tangan
mautku, Ular Putih Keparat! Makanlah pukulan
'Gemuruh Badai Api'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Hantu Tangan
Api kembali menerjang ular putih raksasa itu ga-
nas. Kedua telapak tangannya yang kian berubah
merah menyala segera disentakkan ke arah ular
putih raksasa itu. Saat itu juga meluruk dua li-
dah api yang berkobar-kobar dari kedua telapak
tangannya, langsung melabrak tubuh Siluman
Ular Putih tanpa ampun!
"Gggeeerrr! Ggggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. So-
soknya yang panjang memutih oleng ke sana ke-
mari. Sedang lidah api yang berkobar-kobar dari
kedua telapak tangan Hantu Tangan Api terus
membakar sekujur tubuhnya tanpa ampun.
Lelaki tua kurus kering itu sendiri pun tak
sudi mengendurkan serangannya. Dengan menge-
rahkan segenap tenaga dalamnya, kobaran api
yang membakar sekujur tubuh Siluman Ular Pu-
tih pun makin mengerikan!
"Ggggeeerrr...!"
Bukan main hebatnya geliatan-geliatan tu-
buh Siluman Ular Putih. Tak henti-hentinya
ekornya dikibaskan ke sana kemari, seolah-olah
tak tahan dengan kobaran api yang memanggang
tubuhnya.
"Ha ha ha...! Hari inilah nama besarmu
akan tamat, Siluman Ular Putih!" Hantu Tangan
Api tertawa pongah.
Siluman Ular Putih kewalahan. Tampak
sekali kalau ular pulih raksasa itu sudah tak ta-
han lagi dengan lidah api yang berkobar-kobar
membakar tubuhnya.
"Ggggeeerrr...!!!"
Saking tidak tahan dengan kobaran api
yang memanggang tubuhnya, Siluman Ular Putih
menggereng hebat. Suaranya yang kasar dan be-
rat seolah-olah tengah menanggung derita maha
hebat! Ini lebih terbukti manakala tiba-tiba seku-
jur tubuhnya telah dipenuhi asap putih tipis
hingga tidak kelihatan sama sekali.
Sejenak Hantu Tangan Api tertegun di
tempatnya. Lalu lelaki ini kembali tertawa berge-
lak sambil menunggu apa yang akan dilakukan
Siluman Ular Putih.
"Ha ha ha...! Kcluarkanlah semua kepan-
daianmu, Siluman Ular Putih! Kau toh tetap akan
tewas di tanganku!" ejek Hantu Tangan Api terta-
wa bergelak. Kini tangannya diturunkan kembali,
membuat lidah api yang berkobar-kobar pun sirna.
Sementara itu asap putih yang menyelimuti
sekujur tubuh ular putih raksasa itu pun mulai
sirna. Samar-samar dari gulungan-gulungan asap
putih itu, terlihat kalau sesosok tubuh pemuda
berpakaian rompi dan celana bersisik itu tengah
duduk bersila dengan paras pias! Darah segar
pun tampak keluar dari lobang hidung dan lobang
telinga, pertanda menderita luka dalam parah.
"Celaka! Rupanya memang sudah nasibku
harus modar di tangan Hantu Tangan Api...," de-
sis Siluman Ular Putih gelisah bukan main. Seku-
jur tubuhnya terasa lemah. Sulit sekali untuk
mengerahkan tenaga dalam.
"Ha ha ha...! Daripada kau menderita se-
perti itu, lebih baik lekas kukirim menemui ma-
laikat maut, Bocah! Selamat tinggal!" ejek Hantu
Tangan Api.
Begitu habis kata-katanya, tokoh sesat dari
Bukit Pedang ini kembali menghentakkan kedua
telapak tangan ke depan, membuat dua larik si-
nar merah menyala meluncur, siap menghantam
tubuh Siluman Ular Putih.
Namun belum sempat dua larik sinar me-
rah itu mencapai sasaran, mendadak berkelebat
sesosok bayangan hitam, langsung menyambar
tubuh Siluman Ular Putih. Dan dengan kecepatan
mengagumkan meninggalkannya tempat itu.
"Bajingan! Siapa lagi yang berani main gila
dengan Hantu Tangan Api, hah?!" bentak Hantu
Tangan Api gusar bukan main.
Tapi sayang, sosok bayangan hitam itu te
lah berkelebat di kejauhan sana. Lebih dari itu,
ternyata sosok tubuh Ratu Adil yang tadi tergele-
tak di luar tempat pertarungan pun sudah tak be-
rada di tempatnya lagi!
"Setan alas! Berani benar mempermainkan
Hantu Tangan Api seperti ini!"
Saking tak kuatnya amarah yang memba-
kar dada. Hantu Tangan Api membanting kakinya
keras. Seketika, tanah tempat bekas berpijaknya
terbongkar! Tanah berpasir di tempat itu pun
kontan membubung tinggi di udara, membuat
suasana di tempat itu jadi gelap pekat. Dan saat
debu-debu yang membubung tinggi itu sirna ter-
tiup angin, ternyata sosok Hantu Tangan Api te-
lah meninggalkan tempat itu!
SEBELAS
Sosok bayangan hitam-hitam yang melari-
kan Siluman Ular Putih dan Ratu Adil terus ber-
kelebat cepat menembus kegelapan malam. Meski
sambil memanggul dua sosok tubuh, sosok
bayangan hitam itu ternyata mampu berkelebat
cepat tanpa mengalami kesulitan sedikit pun. Hal
ini jelas membuktikan kalau ilmu meringankan
tubuhnya benar-benar sudah mencapai tingkat
tinggi!
Srakkk! Srakkk!
Sesampainya di kawasan sebuah hutan ke-
cil, mendadak sosok bayangan hitam ini meng-
hentikan langkahnya. Untuk sesaat, ia masih tegak di tempatnya tanpa berbuat sesuatu. Hanya
kedua bola matanya saja yang bergerak-gerak
mengawasi keadaan sekitarnya dengan seksama.
"Hm...! Kukira tak ada orang yang sedang
mengawasiku. Juga, tua bangka itu. Sebaiknya
aku cepat masuk," gumam sosok bayangan itu
dalam hati.
Dengan langkah hati-hati, sosok bayangan
itu menyibak semak belukar yang ternyata di ba-
liknya terdapat sebuah mulut goa. Tanpa ragu-
ragu sosok bayangan itu segera membawa Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil masuk ke dalam
goa.
"Siapa?! Apakah kau yang datang, Paman?"
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan.
Sosok bayangan hitam itu tidak menyahut,
kecuali hanya batuk-batuk kecil. Kakinya terus
melangkah lebar memasuki goa. Dalam goa itu
memang tidak begitu lebar. Luasnya kira-kira
empat kali lima tombak. Namun di dalamnya ter-
dapat dua lorong kecil yang memisahkan ruang-
ruang di sebelahnya.
"Siapa yang kau bawa itu Paman?" tanya
suara halus dengan kepala menyembul dari balik
lorong goa. Ternyata suara itu datang dari mulut
seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian
serba hijau dengan rambut digelung ke atas. Hia-
san-hiasan bunga melati tampak menyemaraki
rambutnya.
Sosok bayangan hitam itu tetap tidak me-
nyahut. Ia hanya mengisyaratkan gadis itu agar
masuk. Gadis itu menurut, segera melangkah
masuk. Baru kemudian, disusul sosok bayangan
itu.
Dalam sebuah ruangan berukuran empat
kali lima tombak, sosok bayangan hitam itu sege-
ra meletakkan tubuh Siluman Ular Putih dan Ra-
tu Adil ke tumpukan jerami. Sekali lihat saja, ia
tahu kalau kedua anak muda itu tengah menderi-
ta luka dalam amat hebat.
"Siluman Ular Putih...!" desis gadis cantik
itu begitu mengenali sosok pemuda berpakaian
putih keperakan yang tengah tergeletak tak ber-
daya ditumpukan jerami.
"Ya! Dia memang Siluman Ular Putih. Tadi
sewaktu kita tidur, tiba-tiba aku mendengar sua-
ra orang tengah bertarung. Lalu diam-diam, aku
menyelinap keluar untuk melihat. Namun betapa
terkejutnya saat melihat Siluman Ular Putih ten-
gah bertarung melawan Hantu Tangan Api. Hm...!
Tak kusangka tua bangka itu kembali gentayan-
gan di dunia persilatan. Untung saja aku segera
bertindak. Kalau tidak, bukan mustahil Siluman
Ular Putih dan teman-temannya ini sudah tewas
di tangan Hantu Tangan Api."
"Siapa sebenarnya Hantu Tangan Api itu,
Paman?" tanya gadis itu penasaran sekali. Kalau
Siluman Ular Putih sampai dapat dikalahkan,
tentu Hantu Tangan Api memiliki kesaktian yang
tinggi. Begitu pikir si gadis dalam hati.
"Dia adalah salah seorang tokoh sesat yang
sangat ditakuti di dunia persilatan. Arum. Kesak-
tiannya sangat tinggi. Jarang sekali yang mampu
menandingi sepak terjangnya. Aku sendiri mung
kin tak mampu menghentikannya. Untuk itulah
aku lebih baik memilih menghindar dan menye-
lamatkan kedua orang anak muda itu," jelas so-
sok bayangan berpakaian hitam-hitam yang ter-
nyata seorang kakek renta.
"Paman Pendidik Ulung! Sedemikian he-
batnyakah kesaktian Hantu Tangan Api hingga
membuat Paman tampak ketakutan?" tanya gadis
itu yang ternyata Arum Sari, heran.
"Harus kuakui, ilmu Paman masih seting-
kat di bawah Hantu Tangan Api. Untuk itulah
Paman memilih menyelamatkan Siluman Ular Pu-
tih dan kawannya daripada meladeni Hantu Tan-
gan Api," jelas si tua yang ternyata Pendidik
Ulung.
"Hm...! Tapi, buk...."
"Sudahlah, Arum! Sekarang kau duduk sa-
ja di situ. Paman akan menyembuhkan luka da-
lam kedua anak muda itu!" potong Pendidik
Ulung cepat.
"Baik, Paman."
Pendidik Ulung segera mendekati tubuh Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil. Dalam pandan-
gan matanya, ia tahu kalau kedua anak muda itu
sama-sama menderita luka dalam parah.
Tanpa banyak cakap, Pendidik Ulung sege-
ra membalikkan tubuh Siluman Ular Putih dan
Ratu Adil. Lalu ia sendiri duduk bersila di tengah
tubuh kedua anak muda itu. Telapak tangan ka-
nannya segera ditempelkan ke punggung Siluman
Ular Putih. Sedang telapak tangan kiri segera di-
tempelkan ke punggung Ratu Adil. Sejurus ke
mudian, mulailah tenaga dalamnya disalurkan ke
tubuh Siluman Ular Putih dan Ratu Adil.
Selama Pendidik Ulung sibuk mengobati Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil, entah kenapa
hati Arum Sari jadi rusuh bukan main. Sebentar-
sebentar, matanya memandang ke arah Siluman
Ular Putih. Namun sebentar kemudian, tatapan-
nya beralih pada Ratu Adil.
"Ah...! Pantas saja Soma lebih mencintai
gadis itu dibanding aku. Harus kuakui, gadis itu
memang cantik. Mungkin masih lebih cantik dia
dibanding aku. Tapi.... Tapi...."
Arum Sari tidak melanjutkan perasaan ha-
tinya yang sedang gundah. Ia hanya menggigit bi-
birnya kuat-kuat, seolah-olah ada kegalauan di
balik wajahnya yang cantik. Gadis ini sedih sekali
bila mengingat penolakan Siluman Ular Putih atas
permintaan ibunya beberapa hari lalu. Kalau saja
Soma tak menolak permintaan ibunya, ahh...!
Arum Sari tak sanggup membayangkan betapa
bahagianya bila dapat sehidup semati bersama Si-
luman Ular Putih. Tapi sayang, pemuda itu ter-
nyata tak memenuhi permintaan ibunya. Juga,
tak memenuhi keinginan hatinya.
Arum Sari mengeluh tertahan. Tanpa sadar
matanya jadi merembang bila mengingat penola-
kan Siluman Ular Putih.
"Aku heran? Benarkah aku kalah cantik
dengan gadis cantik itu?" gumam Arum Sari kian
dipermainkan perasaan.
"Ah...!" keluh Arum Sari tiba-tiba.
Saking tidak kuatnya menahan gejolak da
lam hatinya, hampir saja Arum Sari menjerit. Un-
tung saja ia masih bisa mengendalikan perasaan-
nya. Kini matanya lekat memperhatikan Pendidik
Ulung yang tengah sibuk mengobati Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil. Dari pandang matanya, jelas
ia seperti dililit perasaan cemas kalau-kalau Si-
luman Ular Putih maupun Pendidik Ulung tahu
apa yang meresahkan hatinya. Namun akhirnya
Arum Sari menghela napas panjang.
"Tenang-tenang! Mereka tak mungkin
mendengar apa yang tengah bergolak dalam hati-
ku," desah hati Arum Sari menenangkan dirinya
sambil mengelus-elus dada.
Saat itu tampak tubuh Siluman Ular Putih
mulai bergerak-gerak. Selang beberapa saat, ter-
dengar Ratu Adil pun mengeluh. Kemudian seper-
ti tersentak kaget, Siluman Ular Putih dan Ratu
Adil pun buru-buru berbalik.
"Jangan khawatir! Kalian berada di tempat
aman," ujar Pendidik Ulung.
Kini paras kakek renta itu tampak demi-
kian pias, saking banyaknya mengeluarkan tena-
ga dalam. Di samping itu, tubuh Pendidik Ulung
pun tampak gemetaran. Siluman Ular Putih dan
Ratu Adil yang melihat keadaan Pendidik Ulung
jadi terharu sekali.
"Ah...! Ternyata kau yang telah menyela-
matkan nyawaku, Pendidik Ulung. Aku tak tahu,
bagaimana harus membalas budimu...," ujar Si-
luman Ular Putih, buru-buru menelangkupkan
kedua telapak tangan ke depan hidung penuh
hormat.
"Budimu sungguh besar, Orang Tua. Tak
mungkin aku mampu membalas budimu yang be-
sar ini," kata Ratu Adil. Dengan penuh hormat
gadis ini pun segera menelangkupkan kedua tela-
pak tangan di depan hidung.
"Sudahlah! Kita adalah orang-orang satu
golongan, kenapa kalian banyak peradatan?" te-
gur Pendidik Ulung. "Sekarang, baiknya coba ber-
semadi biar luka dalam kalian cepat sembuh!"
"Baik, Orang Tua," sahut Ratu Adil penuh
hormat. Namun manakala melihat Arum Sari
tampak diam membisu di tempatnya, gadis itu ja-
di merasa tak enak bila tidak menegurnya. "Nona
pun tentunya telah menanam budi padaku. Teri-
ma kasih, Nona. Kalau boleh tahu, siapakah na-
ma Nona? Aku, Yustika yang rendah ini mohon
berkenalan. Barangkali, lain waktu aku dapat
membalas budi Nona yang besar ini."
"Siapa yang menolongmu? Aku tidak meno-
longmu! Jadi, kenapa kau harus mengucapkan
terima kasih?!" sahut Arum Sari, terdengar ketus.
"Arum! Kau tak boleh berlaku kasar!" tegur
Pendidik Ulung.
"Benar, Arum. Ada apa sih? Sejak kita tu-
run dari Gunung Bucu, kulihat sikapmu makin
aneh? Kau sering marah-marah walau tak ada
sebab pasti," tegur Siluman Ular Putih pula.
Arum Sari memandang gusar ke arah Pen-
didik Ulung dan Siluman Ular Putih. Lalu dengan
bibir memberengut, tiba-tiba gadis itu ngeloyor
meninggalkan tempat ini.
"Kau mau ke mana, Arum?" tanya Siluman
Ular Putih.
"Sudahlah! Jangan hiraukan dia! Lebih
baik bersemadi saja biar luka dalammu cepat
sembuh!"
"Hm...! Baiklah," ujar Siluman Ular Putih
akhirnya.
Saat melihat Ratu Adil sudah tenggelam
dalam semadinya. Soma segera memusatkan piki-
rannya dan bersemadi.
* * *
Keesokan harinya, Siluman Ular Putih dan
Ratu Adil tengah duduk bersimpuh di hadapan
Pendidik Ulung. Keadaan mereka kini sedikit mu-
lai pulih setelah hampir semalam bersemadi. Wa-
lau belum sembuh benar, namun mereka kini su-
dah merasa lega karena dapat mengerahkan te-
naga dalam lagi.
"Kukira, sudah saatnya kami melanjutkan
perjalanan, Orang Tua," kata Siluman Ular Putih,
mulai membuka percakapan.
"Kenapa buru-buru benar? Bukankah luka
dalam kalian belum sembuh?" tanya Pendidik
Ulung dengan kening berkerut.
"Memang belum, Orang Tua. Tapi kami kan
bisa menyembuhkan sambil jalan."
"Yah...! Kalau memang itu sudah menjadi
kehendak kalian, aku pun tak dapat lagi mena-
han. Cuma kalau boleh tahu, sebenarnya kalian
mau ke mana? Apakah kalian ingin kembali me-
nyatroni Hantu Tangan Api dan Setan Haus Darah?"
"Betul, Orang Tua. Tapi, di samping itu
kami pun sebenarnya sedang mencari seseorang."
Siluman Ular Putih yang menjawab.
"Siapa?"
Siluman Ular Putih tidak menjawab. Ma-
tanya malah mengerdip ke arah Ratu Adil.
"Gendon Prakoso, Orang Tua. Apakah kau
pernah bertemu atau mengenal orang yang ber-
nama Gendon Prakoso?" tanya Ratu Adil.
"Hm…!" kening Pendidik Ulung berkerut
dalam. "Rasa-rasanya aku belum pernah men-
dengar nama itu. Siapakah orang yang bernama
Gendon Prakoso itu, Gadis?"
"Dia... ayah kandungku, Orang Tua."
"Oh...!" Pendidik Ulung mengangguk-
angguk. "Sayang sekali aku tak mengenalnya. Ta-
pi, aku pasti akan membantumu untuk mencari-
kan orang tuamu, Gadis."
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik sekali."
"Orang tua! Di mana Arum Sari? Kenapa
aku tak melihatnya?" tanya Siluman Ular Putih.
"Hm...! Dia sedang latihan di luar."
"Oh, ya? Kalau begitu, kami sekalian pa-
mit, Orang Tua," lanjut Siluman Ular Putih.
"Pergilah!" Pendidik Ulung menganggukkan
kepalanya.
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil sejenak
menelangkup kedua telapak tangan ke depan hi-
dung. Lalu kedua anak muda itu segera melang-
kah meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di luar goa, Siluman Ular Pu
tih dan Ratu Adil memang melihat Arum Sari ten-
gah berlatih silat. Namun begitu melihat kemun-
culan Soma bersama Ratu Adil latihannya segera
dihentikan.
"Arum...! Kami akan melanjutkan perjala-
nan kembali. Terima kasih atas semua kebaikan-
mu," ucap Siluman Ular Putih berpamitan.
"Kau akan meninggalkanku, Soma?"
Arum Sari mendadak membelalakkan ma-
tanya lebar.
"Iya."
"Dengan gadis itu?" tuding Arum Sari ke
arah Ratu Adil.
"lya. Kenapa?"
"Ah...!" Arum Sari membantingkan kakinya
kesal. "Jadi? Kau tak ingin lagi membantuku
mencari makam kedua orang tuaku, Soma?"
"Ah...! Bukan begitu maksudku, Arum. Ta-
pi...."
Melihat gelagat yang kurang menyenang-
kan, Ratu Adil yang memang berwatak halus se-
gera tahu diri.
"Aku pergi, Soma," pamit Ratu Adil, tanpa
pikir panjang lagi.
Habis berkata begitu, Ratu Adil pun segera
berkelebat cepat meninggalkan Soma dan Arum
Sari. Hanya dalam beberapa kelebatan saja so-
soknya telah berada di kejauhan sana.
"Tunggu, Yustika!"
Siluman Ular Putih hendak berkelebat
bermaksud menyusul Ratu Adil. Namun sebelum
bergerak, tiba-tiba Arum Sari telah menghadang
langkahnya.
"Jadi? Kau lebih mencintai gadis itu. So-
ma?" tanya Arum Sari, tak dapat lagi menyembu-
nyikan keresahan dalam hatinya.
"Aku.... Aku.... Ah...! Kenapa kau tanyakan
ini, Arum? Aku tidak mencintai siapa-siapa kecu-
ali ibu dan eyangku," jawab Siluman Ular Putih,
gelagapan.
"Jadi?" mata Arum Sari kian membeliak le-
bar. "Kau.... Kau memang pemuda tak tahu diri,
Soma. Kau.... Kau sekarang boleh pilih...."
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini?"
tanya Siluman Ular Putih gelisah bukan main.
Belum pernah seumur hidupnya segelisah itu.
"Kau terlalu memaksa, Arum. Baik. Untuk me-
nentukan sikapku, sekarang aku tidak mau ting-
gal di sini. Juga, tidak mau menyusul ke mana
Yustika pergi. Aku akan meneruskan perjalanan
ke utara."
Saat itu juga Siluman Ular Putih segera
berkelebat meninggalkan tempat ini. Seperti yang
diucapkannya, pemuda itu memang berkelebat
menuju utara.
Entah kenapa, hati Arum Sari malah ber-
tambah gusar. Terus diperhatikannya sosok Si-
luman Ular Putih hingga menghilang di balik ke-
rimbunan hutan depan sana. Lalu dengan lang-
kah gontai, Arum Sari pun kembali masuk ke dalam goa.
SELESAI
Segera menyusul:
WARISAN AGUNG
0 comments:
Posting Komentar