Hak cipta dan copy right
pada penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
TANGGAL lima belas, bulan Sapar, penangga-
lan Jawa.
Sang candra bundar bak kuning telur melekat
di layar hitam langit kelam. Kerlip berjuta bintang ber-
canda dalam permainan cahaya gemerlap. Putaran
waktu berlalu, membawa hari ke tengah malam buta.
Sepi menggeluti bumi, berkuasa di atas mayapada.
Angin berhembus dingin, mengusik tatanan si-
rap yang menjadi atap rumah joglo di lereng Gunung
Lawu. Rumah yang menjadi tempat tinggal para murid
Perguruan Tapak Sakti itu tergeluti sepi pula. Semua
penghuninya telah terlelap dalam buaian mimpi. Di an-
tara suara dengkur orang tidur, terdengar tekur bu-
rung hantu yang ditimpali suara jangkrik mengerik.
Malam semakin larut.
Namun, di tengah sepi yang merajai suasana
malam di Perguruan Tapak Sakti itu, seorang bocah le-
laki terbaring gundah di dalam empok, bangunan kecil
di sisi kiri-belakang rumah joglo.
Tubuh kurus si bocah menggeletak miring di
atas tumpukan jerami. Berkali-kali dia mendesah pan-
jang. Ada beban berat yang membebani batinnya, se-
hingga dia kelihatan begitu resah.
Saat si bocah menggerakkan tubuhnya, terbar-
ing telentang, dapatlah dilihat wajahnya yang tampan
namun tampak sangat lugu. Bola matanya yang bun-
dar bening menatap kosong tatanan bambu yang me-
nopang sirap. Alisnya tebal, kedua ujungnya meleng-
kung ke atas, memberi kesan gagah laksana sayap
elang menukik. Hidungnya mancung dengan sebentuk
bibir kemerahan.
Sayang, ketampanan bocah berumur dua belas
tahun itu agak tersamar oleh noda lumpur yang mele-
kat di kedua pipinya. Tubuhnya pun hanya terbung-
kus pakaian kumal penuh tambalan. Di beberapa ba-
gian malah terlihat robek-robek karena tak sempat di-
tambal.
"Ibu...," desis si bocah bernama Seno Prasetyo.
"Maafkan aku, Bu.... Mungkin aku telah mengecewa-
kan mu. Aku telah datang ke Perguruan Tapak Sakti,
menuruti pesanmu, tapi aku tak dapat belajar ilmu si-
lat di sini...."
Seno mengerjap-ngerjapkan matanya untuk
menahan air bening yang hendak tumpah. Dia tak
mau menangis. Kalau dia sampai menangis, berarti dia
tak tabah. Kalau dia tak tabah, berarti dia tak kuasai
menjalani hidup yang penuh tantangan ini. Begitulah
pengertian yang selalu melekat di benak Seno.
Namun, tak dapat bocah amat lugu itu mengu-
sir rasa sedih di hatinya. Sebagai manusia biasa, dia
pun tak mampu menipu diri sendiri. Bayangan Ibunya
tiba-tiba berkelebat di benaknya....
* * *
Ketika itu sang baskara baru beranjak naik. Si-
narnya lemah, hingga hembusan angin leluasa mem-
beri kesejukan di kemarau panjang yang sedang me-
landa tanah Jawa.
Dengan pandangan nanar, Seno menatap pe-
tak-petak sawah yang gundul tanpa tanaman. Di anta-
ra pematang, terlihat permukaan tanah kering retak-
retak.
Sedih hati Seno. Dia tak bisa menanam apa-apa
di tanah kering seperti itu. Namun kemudian, tercetus
sebuah gagasan. Dia akan mengambil air sungai yang
membelah bukit di tempat ia tinggal. Dia akan memin-
ta izin Ibunya terlebih dulu. Kalau ada apa-apa, biar
nanti dia tidak disalahkan.
Terkadang Seno merasa heran dan tak habis
mengerti, kenapa Ibunya mau tinggal seorang diri di
balik bukit sebelah selatan. Padahal, di punggung bu-
kit sebelah utara terdapat aliran sungai yang bisa di-
manfaatkan untuk bercocok tanam di musim kemarau.
Kini, saat musim kemarau telah tiba, petak-petak sa-
wah yang telah dibuat oleh Seno bersama ibunya me-
mang tak dapat ditanami lagi.
"Ah! Bagaimanapun, aku harus menanam padi.
Aku harus membuat sawah kering ini menjadi basah.
Walau aku harus berjalan jauh melingkari bukit sam-
bil memikul gentong-gentong berisi air, aku akan tetap
melakukannya," tekat Seno.
Karena merasa mendapat gagasan cemerlang,
sedih di hati Seno jadi hilang. Dengan mata berbinar-
binar, dia bawa kakinya melangkah setengah berlari,
untuk dapat segera pulang dan mengutarakan gaga-
sannya kepada sang ibunda tercinta.
Namun mendadak, Seno terhenyak kaget. Kon-
tan langkahnya terhenti. Dari jarak sepuluh tombak,
dengan kaki gemetaran, Seno menatap tak berkedip
sebuah gubuk bambu yang nyaris terbakar musnah
oleh si jago merah.
Lidah-lidah api begitu cepat melalap gubuk
yang menjadi tempat tinggal Seno bersama Ibunya itu.
Mulut Seno pun ternganga, penuh rasa tidak percaya.
Ibu Seno bukanlah orang yang ceroboh, sehingga ke-
bakaran itu mustahil terjadi karena keteledoran. Pasti
ada orang yang telah berbuat jahat! Tapi, siapa? Bu-
kankah Seno dan ibunya tinggal di bukit terpencil yang
hampir tak mungkin dijamah orang lain?
Trang! Trang!
Terdengar suara benturan senjata tajam. Seno
terhantam keterkejutan lagi. Karena yakin ada orang
yang sedang bertempur di halaman belakang rumah-
nya, cepat Seno berlari menuju ke sana. Lupa sudah
dia pada keadaan rumahnya yang tengah terbakar.
Tak dipedulikannya si jago merah yang terus melalap
ganas. Seno berlari sekuat tenaga agar dapat segera
sampai di halaman belakang.
Dan ketika Seno tengah berlari, terdengar oleh-
nya suara seorang lelaki yang disambung kata-kata
kasar. Ucapan orang itu begitu keras dan penuh pen-
garuhi sehingga tanpa sadar Seno menghentikan lang-
kahnya lagi.
"Ha ha ha...! Susah payah aku mencarimu, ki-
ranya kau berada di sini. Setelah ku bakar rumahmu,
masihkah kau berkeras hati untuk tetap tak mau
mengatakan di mana suamimu berada? Hayo, cepat
katakan, di mana Darma Pasulangit berada?! Atau, ke-
tajaman pedangku ini akan segera mencincang tu-
buhmu!"
Begitu kalimat yang penuh ancaman itu terhen-
ti, Seno mendengar suara seorang wanita yang telah
dikenalnya. yaitu suara ibunya.
"Banyak Langkir keparat! Jahanam kau kaki-
tangan raja licik Parameswara! Siapa takut menghada-
pi ketajaman pedangmu? Kalau memang mampu, se-
gera kau buktikan kata-katamu itu!"
Lalu, Seno mendengar rentetan kata-kata kotor
si lelaki. Disusul kemudian dengan terdengarnya suara
berdesing babatan pedang. Suara benturan senjata ta-
jam ditimpali pekik kemarahan terdengar pula.
Seno baru menyadari keadaan saat mendengar
jerit kesakitan ibunya. Namun ketika hendak berlari,
kaki kanan Seno tersandung batu. Karena tak dapat
menjaga keseimbangan tubuhnya, dia pun menggelo-
sor jatuh ke tanah berdebu.
Trang! Wukh!
"Argh...!"
Sekali lagi, terdengar jerit kesakitan sang ibu.
Pandangan si bocah lugu Seno Prasetyo jadi semakin
nyalang dan penuh rasa khawatir. Bergegas dia melon-
cat bangkit. Tapi karena tergesa-gesa dan tidak hati-
hati, dia terpeleset. Dia pun jatuh menggelosor kemba-
li. Malang, kali ini kepala si bocah membentur sebong-
kah batu yang menonjol di permukaan tanah. Karena
benturannya cukup keras, bocah berpakaian itu jatuh
pingsan!
Sementara itu, di dekat gubuk bambu yang
masih dilahap keganasan api, seorang wanita cantik
bersenjata pedang tampak berdiri terhuyung-huyung.
Kain bajunya yang berwarna putih telah ternoda cairan
darah. Ada luka di bahu kiri dan pinggang kanannya.
Luka itu tidak seberapa dalam, tapi cukup banyak
mengeluarkan darah.
Dia Ibu Seno Prasetyo, Dewi Ambarsari yang
bergelar Putri Bunga Putih!
Sekitar dua tombak di hadapan pendekar wani-
ta itu, berdiri seorang lelaki setengah baya berpakaian
kuning-hijau. Rambutnya panjang, diikat dengan sehe-
lai kain merah. Tangan kanannya mencekal sebatang
pedang yang ternoda beberapa titik cairan darah.
"Aku telah membuat tubuhmu terluka. Masih-
kah kau tak mau mengatakan di mana Darma Pasu-
langit berada?" ujar lelaki bernama Banyak Langkir
itu, menatap bengis sosok Dewi Ambarsari.
"Huh! Walau telah terluka, jangan harap kau
dapat mengancamku dengan gertak sambal mu itu! Li-
hat...!"
Mendadak, Dewi Ambarsari menyambitkan pe-
dangnya. Sambitan pedang itu dilakukan dengan se-
kuat tenaga, mengarah tepat ke jantung Banyak Lang-
kir!
Wuttt...!
Trang...!
Dengan satu tangkisan yang disertai pengera-
han tenaga dalam tingkat tinggi, mudah sekali Banyak
Langkir membuat terpental pedang Dewi Ambarsari.
Tapi..., alangkah terkejutnya lelaki berperawakan ke-
kar itu. Tiba-tiba, luncuran pedang Dewi Ambarsari
berbalik arah. Melesat lebih cepat dan hendak menu-
suk Jantung Banyak Langkir lagi!
"Haram jadah!" maki Banyak Langkir seraya
berkelit.
Wuttt...!
Tusukan pedang Dewi Ambarsari hanya men-
genai tempat kosong. Anehnya, pedang itu kembali
berbalik arah. Terus mengejar ke mana pun Banyak
Langkir berkelit!
Sementara lelaki itu meloncat ke sana-sini un-
tuk menghindari bahaya maut, Dewi Ambarsari tam-
pak menggerak-gerakkan kedua telapak tangan. Agak-
nya, dia tengah mengendalikan gerak pedangnya den-
gan menggunakan kekuatan tenaga dalam yang bersi-
fat menarik dan mendorong.
Dewi Ambarsari menamakan ilmu itu 'Pedang
Terbang Memburu Jiwa'. Dan berkat ilmu itulah gelar
Putri Bunga Putih jadi cepat terkenal di rimba persila-
tan.
Akan tetapi, tak mudah untuk melumpuhkan
Banyak Langkir. Sebagai orang kepercayaan Prabu Wi
ra Parameswara, tentu saja dia memiliki ilmu kesak-
tian tinggi. Dan... salah satu ilmu kesaktian lelaki itu
terlihat manakala...,
Blus...!
Pedang Dewi Ambarsari tepat menembus perut
Banyak Langkir. Namun Banyak Langkir malah terta-
wa bergelak. Tak ada cairan darah yang menetes. Lela-
ki itu tak merasa kesakitan sama sekali!
"Ha ha ha...! Dengan Ilmu 'Lubangi Tubuh Me-
nahan Senjata!', tak akan ada orang yang dapat mem-
bunuhku! Kau tahu itu, Ambarsari? Buka matamu le-
bar-lebar!"
Dewi Ambarsari yang tengah berusaha menca-
but pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam jarak
jauh tampak terkesiap. Matanya terbeliak lebar saat
melihat Banyak Langkir menepuk-nepuk dadanya sen-
diri. Seirama dengan tepukan itu, pedang Dewi Ambar-
sari semakin dalam menembus perutnya!
Lalu, cepat sekali Banyak Langkir membalikkan
badan seraya menepuk dadanya lebih keras!
Buk...! Wuttt...!
Mendadak, pedang Dewi Ambarsari melesat ke-
luar dan hendak menusuk dada sang empunya sendiri!
"Ilmu setan! Ilmu setan!" seru Dewi Ambarsari
dalam keterkejutannya.
Bergegas wanita cantik itu menggeser kedudu-
kan tubuh. Tangan kanannya turut berkelebat. Walau
telah terluka, dia masih dapat bergerak cepat. Bilah
pedang yang hendak menusuk dadanya berhasil di-
tangkap.
Akan tetapi, Dewi Ambarsari tidak tahu bila
Banyak Langkir telah menerjang. Jerit kesakitan sege-
ra terdengar saat ketajaman pedang Banyak Langkir
kembali melukai tubuh Dewi Ambarsari!
"Sengaja aku tak langsung membunuhmu, Am-
barsari," ujar Banyak Langkir dengan senyum keme-
nangan menghias di bibir. "Sekali lagi, katakan di ma-
na Darma Pasulangit berada!"
Dalam keadaan jatuh terduduk, Dewi Ambarsa-
ri menatap tajam sosok Banyak Langkir. Tak terdapat
sinar ketakutan di matanya walau dia berada di am-
bang maut.
"Keparat kau, Banyak Langkir!" geram wanita
itu, menahan rasa sakit. "Kalaupun aku tahu di mana
Darma Pasulangit berada, tak akan kukatakan! Kau
hanya kaki-tangan raja licik, Parameswara!"
Berkerut kening Banyak Langkir mendengar
kata-kata Dewi Ambarsari. "Hmmm.... Jadi, wanita ini
tak tahu tempat persembunyian Darma Pasulangit.
Sayang... sayang sekali...," ucapnya dalam hati.
"Bunuhlah aku kalau memang itu yang menjadi
keinginanmu!" tantang Dewi Ambarsari, mengacung-
kan pedang.
"Tak perlu! Aku tak perlu repot-repot mengelua-
rkan tenaga lagi," sahut Banyak Langkir. "Walau luka-
lukamu tidak seberapa dalam, tapi kalau banyak da-
rah yang keluar, bukankah kau tetap akan mati?"
Di ujung kalimatnya, Banyak Langkir tertawa
bergelak. Perlahan kakinya melangkah. Namun, di be-
naknya terkandung satu maksud.... "Dewi Ambarsari
dan Darma Pasulangit memiliki seorang anak laki-laki.
Anak itu harus kubunuh pula!"
Kaki Banyak Langkir terus melangkah... ke uta-
ra! Dan karena salah arah itulah bahaya tak jadi men-
gancam Seno Prasetyo yang masih tergolek pingsan.
Karena putaran waktu terus berlalu, Seno pun
siuman. Begitu ingatannya kembali, si bocah langsung
meraba-raba kepalanya yang benjol.
"Ibuuu...!" teriak bocah itu ketika melihat gu-
buk bambunya yang telah hangus terbakar.
Bergegas Seno bangkit. Siku kanannya tampak
memar, sementara lutut kirinya pun lecet dan menge-
luarkan darah. Tapi, Seno tak menghiraukan rasa sa-
kit. Dia berlari, berlari, dan berlari sekencang mung-
kin.
Sesampai di halaman belakang, Seno tak meli-
hat siapa-siapa kecuali seorang wanita cantik berpa-
kaian serba putih, yang tengah tergolek lemah di ta-
nah. Wanita yang tak lain ibu Seno Prasetyo itu tam-
pak bermandikan darah.
"Ibuuu...!" pekik khawatir Seno, melompat ke
hadapan sang ibu seraya menopang kepala wanita itu.
"Seno anakku...," desis sang Ibu bernama Dewi
Ambarsari. "Maafkan Ibu, Nak.... Ibu harus pergi...."
"Tidakkk...! Ibu tidak boleh pergi! Seno tak mau
hidup sendiri!" pekik Seno lagi, semakin khawatir. Apa-
lagi luka di dada sang ibu terus mengucurkan darah
segar.
Sementara, Dewi Ambarsari yang direjam rasa
sakit mencoba tersenyum. Dengan tangan gemetaran,
dielusnya rambut Seno penuh kasih. Kontan rasa haru
merebak di hati si bocah. Bibirnya bergetar dan ma-
tanya pun berkaca-kaca. Seno hendak menangis.
"Anakku, Seno Prasetyo...," sebut sang ibu den-
gan suara berat berwibawa. "Sampai di mana pun kau
merasakan kesengsaraan dan kedukaan, kau tidak bo-
leh menangis! Apa kau lupa pada nasihat Ibu?"
"Ya. Ya, Ibu. Seno tidak lupa, tapi...," menggan-
tung kalimat Seno, Ditekannya perasaan sedih yang
menggeluti batinnya. Air mata yang hendak jatuh me-
nitik diusapnya pula.
"Seno,.., kalau kau masih ingat nasihat Ibu itu,
coba kau ulangi. Ibu ingin mendengarnya...," perintah
sang ibu, sungguh-sungguh.
Seno mengusap lagi matanya untuk menghalau
air bening yang hendak tumpah. Sambil memandang
wajah pucat sang Ibu, Seno berkata, "Mana dapat Seno
lupa pada nasihat yang seringkali Ibu berikan...? Da-
lam keadaan apa pun, Seno tidak boleh menangis. Ka-
lau Seno menangis, berarti Seno tidak tabah. Kalau
Seno tidak tabah, berarti Seno tak kuasa menjalani hi-
dup yang kata Ibu memang penuh tantangan dan co-
baan...."
"Bagus!" puji sang ibu Dewi Ambarsari. "Kalau
nanti Ibu pergi, Seno tidak boleh menangis pula. Ku-
burkan mayat Ibu sedalam kau mampu menggali ta-
nah di Bukit Takeran ini..."
"Ibuuu...," desis Seno. "Ibu tidak boleh pergi.
Siapa nanti yang menemani Seno...?"
"Hus!" sentak sang ibu, menekap luka di da-
danya. "Kau harus tahu, Seno. Semua manusia menja-
lani tiga tahap kehidupan yang telah ditentukan oleh
Sang Pencipta. Pertama, hidup di alam kandungan se-
bagai janin. Kedua, hidup di alam nyata atau dunia fa-
na seperti yang Seno lihat dan rasakan ini. Ketiga atau
yang terakhir, setiap manusia akan hidup di alam bar-
zah atau alam kekal. Di sana, setiap manusia akan
menerima pembalasan dari segala perbuatannya di
dunia fana. Yang baik akan menerima budi kebaikan-
nya dan yang jahat akan menerima balasan siksa dari
kejahatannya...."
"Ibu...," sebut Seno semakin khawatir karena
melihat sang ibu begitu memaksakan diri untuk dapat
berbicara banyak.
"Seno! Kau tidak boleh menangis!" sentak sang
ibu lagi. "Ibu akan segera pergi untuk menjalani kehi
dupan Ibu yang ketiga. Relakan kepergian Ibu. Setelah
kau mengubur mayat Ibu nanti, pergilah ke Perguruan
Tapak Sakti. Belajarlah ilmu olah kanuragan di pergu-
ruan silat yang terletak di lereng Gunung Lawu itu.
Kau di sana akan mendapat banyak teman. Jadi, tak
perlu kau sesali kepergian Ibu nanti...."
"Ya. Ya, Bu. Tapi...."
"Hus! Tak ada kata 'tapi' lagi!" potong sang ibu.
"Ingat satu lagi pesan ibu. Seumur hidup kau harus
jujur. Sekali kau tidak jujur, maka akan ada ketidakju-
juran yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Kalau sudah
begitu, kau akan terbiasa berbohong. Dan kalau sudah
terbiasa berbohong, suatu saat kau pasti akan meme-
tik buah kebohongan mu itu...."
"Ya. Ya, Bu. Seno berjanji akan selalu jujur...,"
sambut Seno penuh kesungguhan.
"Bagus! Kau memang anak yang baik," puji
sang ibu. "Kenapa Ibu berkata bahwa kau harus selalu
jujur, Seno? Kau harus tahu bahwa apa yang terjadi
pada Ibu ini tak lain karena akibat ketidakjujuran
ayahmu.... Ayahmu telah berbohong. Dan, Ibu yang
sebenarnya tidak bersalah apa-apa turut menanggung
akibatnya pula...."
"Ayah?" kesiap si bocah lugu Seno Prasetyo.
"Siapa sebenarnya ayah Seno, Bu? Kenapa Seno tidak
pernah bertemu dengannya? Apakah dia masih hidup,
Bu? Di mana dia sekarang? Dan, kenapa dia membo-
hongi Ibu?"
Dewi Ambarsari menarik napas panjang men-
dengar si bocah yang mencecarnya dengan rentetan
pertanyaan. Dewi Ambarsari teringat masa lalunya.
Rasa sedih tiba-tiba datang merejam kalbunya. Air ma-
tanya hendak menitik, tapi cepat dia tekan rasa sedih
itu.
Kemudian dengan suara yang mulai terbata-
bata, Dewi Ambarsari berkata, "Ayahmu bernama
Darma Pasulangit. Dia seorang putra mahkota raja
Mahespati yang bernama Darma Sagotra. Sayangnya,
ayahmu tak dapat diangkat menjadi raja karena seo-
rang punggawa kerajaan berpangkat senopati berhasil
menyulut api pemberontakan. Kakekmu, Eyang Darma
Sagotra, meninggal di ujung keris Senopati Raksa Ja-
linti. Lalu, ayahmu menjadi seorang buronan.... Berta-
hun-tahun dia mengasingkan diri dan terus berlatih
ilmu bela diri. Hingga lima tahun kemudian, dia keluar
dari tempat persembunyiannya dengan memakai gelar
Ksatria Seribu Syair, karena ayahmu memang pandai
membuat syair dan sajak.... Kemudian, dia berkenalan
dengan Ibu. Waktu itu Ibu sudah cukup punya nama
di rimba persilatan. Orang-orang menjuluki Ibu seba-
gai Putri Bunga Putin.... Huk! Huk!”
Terbelalak mata Seno melihat sang ibu batuk-
batuk dan dari sudut bibirnya melelehkan darah segar.
"Ibuuu...!" pekik khawatir si bocah. "Katakan
bagaimana aku harus menolong Ibu?! Katakan Ibu!
Apakah aku harus menggendong Ibu menuruni bukit
untuk pergi ke seorang tabib? Katakan Ibu! Jangan
buat Seno jadi ketakutan seperti ini!"
"Hus! Kau tidak bersalah, kenapa harus ta-
kut?!" sentak sang ibu untuk kesekian kalinya. Tak
ada seorang pun tabib yang dapat menolong Ibu. Luka-
luka Ibu terlalu parah.... Oleh karena itu, yang dapat
Seno lakukan hanyalah mendengarkan kata-kata Ibu
ini...."
"Ya. Ya, Seno mengerti. Tapi...."
"Sudah Ibu bilang, tidak ada kata 'tapi'! Buka
telingamu lebar-lebar. Dengarkan kata-kata ibumu
ini...."
Mengangguk si bocah lugu Seno Prasetyo. Ang-
gukannya perlahan dan penuh getaran karena mena-
han air mata yang mendesak hendak tumpah.
"Perkenalan Ibu dengan Ksatria Seribu Syair
berlanjut menjadi akrab...," Dewi Ambarsari mene-
ruskan ceritanya. "Kami sama-sama jatuh cinta dan
menikah, lalu lahirlah kau, Seno. Namun, kau harus
tahu. Ibu mau menikah dengan Ksatria Seribu Syair
karena Ibu tidak tahu kalau dia sebenarnya adalah
seorang bekas putra mahkota bernama Darma Pasu-
langit. Ayahmu itu telah membohongi Ibu. Semula, dia
mengaku bernama Wisnu Sidharta.... Hingga sampai
akhirnya, terjadilah rentetan peristiwa yang amat men-
gerikan itu. Saat kau masih berumur enam bulan, ke
mana pun ibu dan ayahmu pergi, kami selalu dikejar-
kejar orang yang punya satu niat, yakni membunuh
kami. Karena Ibu curiga, Ibu melakukan penyelidikan.
Dan kemudian, Ibu dapat membuktikan bahwa ayah-
mu memang telah membohongi Ibu. Dengan memakai
nama Wisnu Sidharta dan bergelar Ksatria Seribu
Syair, ayahmu bermaksud menyusun kekuatan untuk
merebut kembali takhta Kerajaan Mahespati yang telah
direbut Senopati Raksa Jalinti. Namun, maksud
ayahmu itu tercium, dan Senopati Raksa Jalinti pun
mengirim kaki-tangannya untuk membunuh ayahmu
dan tentu saja Ibumu ini.... Karena tak tahan hidup
selalu jadi buronan orang, Ibu memisahkan diri den-
gan ayahmu. Ibu terus hidup berpindah-pindah men-
cari tempat yang aman sambil merawat dirimu hingga
kau sebesar ini...."
"Lalu, ke mana perginya Ayah, Bu?" tanya Se-
no, tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.
Kepala sang ibu menggeleng lemah. "Ibu tak ta-
hu. Namun, yang harus kau tahu, sekarang Ibu telah
menjadi korban kebohongan ayahmu. Dan secara tak
langsung, kau pun turut menanggung akibatnya. Kau
akan menjadi anak piatu, Seno...."
"Tidak, Bu! Ibu tidak boleh pergi!" pekik Seno,
kalut.
"Hus! Sudah Ibu bilang bahwa setiap manusia
akan menjalani tiga tahap kehidupan. Ibu pun demi-
kian. Ibu harus pergi untuk menjalani tahap kehidu-
pan Ibu yang ketiga...," tutur Dewi Ambarsari, menco-
ba tersenyum untuk menguatkan hati putranya. "Dan
sebelum Ibu pergi, Ibu Ingatkan sekali lagi. Kau harus
tabah menjalani kehidupan ini. Selain tabah, kau ha-
rus jujur pula. Kau tidak boleh berbohong. Apa yang
terjadi pada Ibu ini, bisa kau jadikan sebagai pelaja-
ran.... Huk! Huk!"
Dewi Ambarsari menutup kalimatnya dengan
batuk-batuk. Darah segar meleleh lagi dari sudut bi-
birnya. Dia pun menekap erat luka di dadanya dengan
tangan kanan. Sementara, tangan kirinya membelai
rambut si bocah lugu Seno Prasetyo.
"Ibu...," desis Seno dengan kesedihan yang se-
makin merebak.
"Seno anakku...," sahut Dewi Ambarsari. Kepala
Seno ditekannya lalu diciumnya kedua pipi si bocah.
Seno pun terhanyut haru dalam ciuman itu.
Namun, segera dia memekik parau saat mengetahui
pelukan sang ibu melemah dan hembusan nafasnya
terhenti karena terlalu banyak darah yang keluar. Dewi
Ambarsari meninggal dalam pelukan buah kasihnya....
"Ibuuu...! Ibuuu...!"
Seno memekik berulang kali. Dia panggil seraya
menggoyang-goyangkan tubuh ibunya. Tapi, Dewi Am-
barsari tetap diam. Kelopak matanya terpejam rapat.
Bibirnya menyungging senyum. Dewi Ambarsari tampak begitu ikhlas melepas nyawanya dalam pelukan si
bocah lugu Seno Prasetyo.
Walau kesedihan telah membuat remuk redam
hati Seno, tapi bocah lelaki itu tak mau menangis. Te-
kadnya sudah bulat untuk menuruti semua nasihat
dan pesan ibunya. Saat sang baskara tegak lurus di
atas kepala; Seno mulai menggali tanah dengan meng-
gunakan pedang peninggalan ibunya yang baru saja
digunakan untuk bertempur.
Menuruti pesan sang ibu, Seno menggali tanah
sekuat tenaga. Dia ingin mengubur jenazah ibunya se-
dalam dia mampu. Dan karena menggali dengan sege-
nap tekad membaja, dia mampu membuat lubang se-
dalam dua tombak. Ketika itu hari sudah menjelang
malam.
Susah payah Seno membopong jenazah ibunya
untuk disemayamkan. Pedang peninggalan sang ibu
turut dikuburkan pula. Begitu lubang makam sudah
ten timbun rapi, Seno tergolek pingsan karena kelela-
han.
Saat cahaya fajar menyiramkan warna keema-
san, Seno siuman. Sampai sang baskara beranjak naik
membawa hari menjadi pagi, Seno terus duduk ber-
simpuh, mengucap doa-doa bagi sang ibu.
"Ibu...," desis si bocah lugu kemudian. "Aku ta-
hu orang yang membunuh Ibu adalah seorang lelaki
bernama Banyak Langkir atas suruhan Raksa Jalinti.
Aku bersumpah untuk membalas kebiadaban ini!"
Seno tahu nama orang yang telah membunuh
ibunya karena dia sempat mendengar sang ibu menye-
but nama lelaki yang membakar rumah dan kemudian
membunuh wanita yang paling dicintainya itu.
"Aku akan pergi ke Perguruan Tapak Sakti," te-
kad si bocah lugu lagi. "Setelah cukup menimba ilmu,
akan kucari pula ayahku yang bernama Darma Pasu-
langit atau Wisnu Sidharta yang bergelar Ksatria Seri-
bu Syair. Walau dia ayahku, aku tetap akan meminta
pertanggung jawabannya karena dia telah membohongi
mu dan kemudian membuatmu begitu menderita,
Bu...."
Usai mengutarakan tekad hatinya, Seno men-
cium pusara ibunya. Lalu, dia bangkit seraya meman-
dang sisa gubuk bambunya yang telah terbakar habis
menjadi arang dan setumpuk abu.
Seno lalu mendorong-dorong sebongkah batu
sebesar kambing untuk dijadikan tanda di makam
ibunya. Karena batu itu cukup berat dan letaknya cu-
kup jauh, Seno pun mendapat kesulitan. Tapi, Seno
punya tekad baja. Dia tak mau menyerah. Hingga keti-
ka sang baskara telah bergeser di atas kepala, akhir-
nya dapatlah Seno meletakkan nisan bongkah batu di
makam ibunya.
Dengan keringat membanjir dan perut lapar
melilit-lilit, Seno menatap makam ibunya beberapa la-
ma. Diciumnya nisan bongkah batu seraya berkata,
"Seno pergi ke Gunung Lawu sekarang, Bu. Semoga
Ibu dapat tenang dan bahagia dalam menjalani kehi-
dupan Ibu yang ketiga...."
Seno menguatkan hatinya agar tak menangis.
Dia bungkukkan badannya tiga kali, lalu membalikkan
badan, berjalan tertatih-tatih menuruni lereng Bukit
Takeran....
***
DUA
GUNUNG Lawu terletak di sebelah barat Bukit
Takeran. Namun karena tidak seberapa paham akan
daerah-daerah di sekitarnya, langkah kaki si bocah lu-
gu Seno Prasetyo melenceng arah ke utara. Dia berja-
lan dengan semangat dan tekad yang panas bergelora.
Tapi, semangat dan tekad besar itu justru membuat
Seno melangkah tanpa perhitungan matang.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari,
sampailah dia di tepi Alas Roban. Karena bingung me-
lihat hutan yang begitu luas dan lebat, Seno bermak-
sud mencari dusun atau desa sebagai tempat untuk
beristirahat, sekaligus mencari keterangan di mana le-
tak Perguruan Tapak Sakti yang berada di lereng Gu-
nung Lawu.
Sebenarnya, sejak dari turun dari Bukit Take-
ran, Seno telah melihat puncak sebuah gunung yang
tinggi menjulang. Namun karena tidak yakin apakah
gunung yang dilihatnya itu adalah puncak Gunung
Lawu atau bukan, Seno berjalan ke utara. Lagi pula,
puncak gunung yang dilihatnya itu tak sebegitu jauh
dari Bukit Takeran, sehingga Seno berpikiran bahwa
tak mungkin ibunya memberikan wasiat yang begitu
mudah dicapai. Bukankah kalau orang punya tujuan
dan cita-cita tinggi akan banyak mendapat kesulitan
dan tantangan? Kalau Perguruan Tapak Sakti di lereng
Gunung Lawu dapat dicapai dengan mudah, lalu di
mana letak kesulitan dan tantangan itu? Begitulah pi-
kiran yang ada di benak Seno. Sehingga, dia tak mau
mengambil arah ke puncak gunung yang sejak semula
telah terlihat olehnya.
Tapi setelah langkah kakinya sampai di tepi
Alas Roban, barulah Seno sadar bila telah tersesat ja-
lan. Dia lalu memutuskan untuk berjalan ke timur. Di
sepanjang perjalanan, dia makan seadanya. Asal dapat
menghilangkan rasa laparnya, apa pun makanan yang
dia jumpai akan disantapnya.
Pada perjalanan di hari ketiga, langkah kaki si
bocah lugu Seno Prasetyo sampai di sebuah desa ter-
pencil bernama Karangmojo. Di desa itu, Seno berma-
lam sehari di rumah seorang petani miskin. Dari petani
itu, Seno mendapat keterangan bahwa puncak gunung
yang sejak semula dilihatnya ternyata memang puncak
Gunung Lawu. Maka, tiada henti Seno merutuk dan
mengutuk kebodohannya sendiri.
Dan dari mulut si petani miskin pula, Seno
mendapat keterangan lain yang tak kalah berharga.
Menurut cerita petani itu, tujuh belas tahun yang lalu
di kotapraja Mahespati memang terjadi pertempuran
besar-besaran. Pasukan pemberontak yang dipimpin
oleh Senopati Raksa Jalinti bermaksud menggulingkan
takhta Prabu Darma Sagotra, yang kemudian berhasil
dibunuhnya.
Pasukan kerajaan lalu tercerai-berai. Banyak
yang mati, banyak pula yang melarikan diri. Sang pu-
tra mahkota Darma Pasulangit pun turut mencari se-
lamat, dan tak terdengar lagi kabar beritanya.
Kemudian, Senopati Raksa Jalinti mengangkat
dirinya sendiri sebagai raja Mahespati. Setahun setelah
memegang tampuk kekuasaan, Raksa Jalinti menggan-
ti namanya menjadi Wira Parameswara.
"Lalu, sampai sekarang ini apakah Prabu Wira
Parameswara dapat menjalankan pemerintahan den-
gan baik, Kek?" tanya Seno di pagi hari itu.
Si petani miskin yang tak lebih dari seorang
kakek kurus tak segera menjawab pertanyaan si bo
cah. Diambilnya sepotong ubi yang disuguhkan is-
trinya. Setelah menyantap habis ubi itu, barulah dia
membuka suara lagi.
"Walau mendapat kekuasaan dengan cara yang
tidak benar, boleh dikata Prabu Wira Parameswara da-
pat menjalankan pemerintahan dengan baik. Dia dapat
berbuat adil dan bijaksana, sehingga hati para pung-
gawa istana menjadi senang. Dan tampaknya, rakyat
pun puas pula melihat kepemimpinan sang Prabu.
Hanya saja...."
"Hanya saja apa, Kek?" kejar Seno karena men-
dengar kalimat si petani yang menggantung.
"Hmmm.... Tampaknya, kau begitu tertarik
mendengar cerita ku. Memangnya kau ini siapa?" si pe-
tani malah menyelidik.
Mendengar pertanyaan itu, ingin rasanya Seno
berdusta. Karena kalau dia berterus terang, bukan
mustahil dirinya berada dalam bahaya. Bukankah di-
rinya adalah putra bekas putra mahkota Mahespati,
Darma Pasulangit yang mencoba menyusun kekuatan
untuk dapat merebut kembali takhta kerajaan? Bu-
kankah ayahnya itu terus menjadi buronan, yang bu-
kan mustahil dirinya turut menjadi buronan pula?
"Hei! Kenapa kau diam saja, Seno? Kau tak
mendengar pertanyaanku?" sentak si petani miskin.
Sejenak, Seno nyengir kuda. Teringat akan pe-
san ibunya yang melarangnya untuk berbohong, ak-
hirnya Seno menjawab.
"Aku adalah putra Ksatria Seribu Syair."
"Ksatria Seribu Syair?" kening si petani berke-
rut rapat. Sebagai seorang petani yang tak mau men-
campuri urusan rimba persilatan, orang tua ini tak ta-
hu siapa itu Ksatria Seribu Syair.
"Kakek tidak pernah mendengar nama Ksatria
Seribu Syair?" tanya Seno, kebodoh-bodohan.
"Aku seorang petani miskin yang tak tahu uru-
san rimba persilatan. Mana aku mengenal orang yang
kau sebutkan itu?" ujar si petani. "Tapi, cobalah kau
terangkan siapa Ksatria Seribu Syair itu?"
Seno nyengir kuda lagi. Karena melihat kebai-
kan si petani dan karena tak mau berbohong pula, ter-
paksa Seno bercerita.
"Sebenarnya, Ksatria Seribu Syair itu adalah
sebuah gelar, Kek. Dia sendiri bernama Darma Pasu-
langit. Tapi dulu ketika berjumpa dengan ibuku, dia
mengaku bernama Wisnu Sidharta. Kemudian...."
"Sebentar!” potong si petani. "Kau tadi berkata
bahwa Ksatria Seribu Syair adalah Darma Pasulangit.
Berarti, kau ini putra bekas calon pewaris takhta Ma-
hespati.... Benarkah itu?"
"Benar, Kek," angguk Seno. "Kemudian, setelah
ibuku tahu kalau ayahku sebenarnya adalah seorang
buronan, ibuku lari dengan membawa diriku. Hingga
beberapa candra yang lalu, aku dan ibuku tinggal di
Bukit Takeran. Tapi, kini Ibuku telah meninggal dibu-
nuh orang, Kek...."
Si petani tak seberapa mendengarkan cerita
Buyung lagi. Begitu tahu bila Seno adalah putra Dar-
ma Pasulangit, hatinya langsung diliputi perasaan tak
enak. Rasa takut dan khawatir bergelut pula dalam di-
rinya.
"Seno...," sebut si petani kemudian, tarikan na-
fasnya tiba-tiba memburu. "Bukan aku tak memboleh-
kan kau tinggal di tempat ini. Tapi, kau harus tahu,
kalau kau berada di sini, sama saja aku memelihara
anak harimau...."
"Kakek mengusirku?" tanya Seno, kebodoh-
bodohan lagi.
"Tidak! Aku tidak mengusirmu!” tukas si petani,
cepat. "Sampai hari ini, kudengar orang-orang Prabu
Wira Parameswara terus mencari ayahmu itu. Aku tak
mau terkena getahnya...."
Usai berkata, si petani membungkus suguhan
ubi yang masih tersisa dengan daun pisang. Lalu, dia
sodorkan bungkusan ubi itu kepada Seno seraya ber-
kata, "Aku tidak mengusirmu. Tapi, kau harus pergi
jauh-jauh dari desa ini. Bawalah ubi ini sebagai be-
kalmu...."
Si petani bangkit berdiri dari tikar pandan. Wa-
lau dia berkata tidak mengusir, namun dipaksanya
Seno untuk berdiri. Lalu, si bocah yang masih terlon-
gong bengong diseretnya keluar rumah.
"Hei! Kenapa dengan bocah itu, Aki?!” tegur istri
si petani yang tiba-tiba muncul dari serambi belakang.
"Walau kita tak punya anak, tapi bocah lelaki
ini harus cepat angkat kaki dari rumah kita, Ni!” seru
si petani.
"Kenapa?!" sentak si istri, agak marah. "Dia pu-
tra Darma Pasulangit!"
"Apa?"
"Dia putra Darma Pasulangit!"
"Bekas putra mahkota yang menjadi buronan
itu?"
"Ya!"
Mendengar keterangan suaminya, mendadak
amarah si nenek ditujukan kepada Seno yang sebe-
narnya tak berdosa apa-apa. Seno yang masih tampak
terlongong bengong didorong-dorongnya sampai keluar
dari halaman rumah. Akhirnya, Seno pun menyadari
keadaan. Demi keselamatan si petani dan istrinya dia
memang harus segera pergi.
Seno melangkah cepat. Tapi....
"Tunggu dulu!" cegah si petani.
Langkah Seno terhenti seraya menoleh. Tampak
olehnya si kakek miskin yang menyorongkan bungku-
san ubi sambil berkata, "Bawalah ubi ini, Seno!"
Karena Seno masih harus berjalan jauh yang
tentu saja butuh makanan, segera dia melangkah un-
tuk menerima ubi pemberian si petani. Tapi, istri lelaki
tua itu tiba-tiba merampas bungkusan ubi yang hen-
dak diberikan kepada Seno.
"Jangan, Aki!" sergah si nenek. "Jangan beri
apa-apa kepada bocah itu. Kalau orang-orang sang
Prabu tahu kita memberi makan pada anak Darma Pa-
sulangit, kita nanti bisa celaka!"
"Ya. Ya!" sambut si kakek.
Seno menarik napas panjang. Setelah nyengir
kuda sejenak karena kecewa, dia melangkah cepat un-
tuk segera dapat pergi dari desa Karangmojo. Dia pun
melangkah semakin cepat, agar dapat sampai pula di
lereng Gunung Lawu yang kini telah dia ketahui letak-
nya.
* * *
Enam hari kemudian....
Setelah melalui aral rintangan berupa tebing
terjal dan rimbunan semak belukar, sampailah Seno di
sebuah rumah joglo besar beratap sirap. Rumah yang
terletak di lereng Gunung Lawu itu adalah padepokan
Perguruan Tapak Sakti.
Namun sayang, beberapa murid perguruan silat
itu mengusir dan menghardik Seno. Tampang si bocah
memang kelihatan begitu kotor dan dekil. Selembar
pakaian yang melekat di tubuhnya pun sudah robek di
sana-sini. Selain itu, kedatangan Seno pun bertepatan
dengan meninggalnya ketua padepokan yang bernama
Ki Tunggul Jaladara yang telah digerogoti usia tua. Se-
hingga, dalam suasana berkabung, anak murid Pergu-
ruan Tapak Sakti tak mau menerima tamu. Apalagi,
tamu itu hanya seorang bocah macam Seno Prasetyo
yang miskin-papa.
Namun karena tekad di hati Seno sudah sede-
mikian besar dan kuat, dia tak mau pergi jauh dari
padepokan. Dengan tidur di atas pohon, dia menunggu
selama tujuh hari sampai suasana berkabung habis.
Dan pada pagi itu, dengan tubuh lelah lunglai
karena kurang makan dan kepayahan, Seno menda-
tangi lagi Perguruan Tapak Sakti.
Kebetulan kedatangan Seno disambut langsung
oleh Gagak Ireng, seorang murid tertua yang telah
menggantikan Ki Tunggul Jaladara. Tapi, nasib apes
agaknya masih suka mengiringi perjalanan hidup si
bocah lugu Seno Prasetyo. Gagak Ireng ternyata punya
sifat berangasan dan tinggi hati. Sifat buruk itu ter-
cermin dari kata-katanya manakala dia menyambut
Seno di halaman padepokan.
"Hei! Tujuh hari yang lalu, menurut laporan
anak buahku, ada seorang bocah gembel datang kema-
ri. Apakah gembel itu kau?"
Gagak Ireng yang bertubuh tinggi besar dan
brewokan menatap tajam wajah dekil Seno, seakan in-
gin menelan tubuh si bocah. Sementara, Seno yang
mendengar ucapan kasar Gagak Ireng tampak ragu-
ragu. Dia tak segera menjawab karena tak tahu yang
disebut bocah gembel itu dirinya atau bukan. Seno
merasa, walau tubuhnya kurus kotor dan berpakaian
compang-camping, tapi dirinya bukan gembel. Bukan-
kah dirinya putra sepasang pendekar? Menurut piki-
ran Seno, putra seorang tokoh terkenal tidak bisa dis
ebut gembel, bagaimanapun keadaannya.
"Hei! Kau dengar pertanyaanku atau tidak?!"
sentak Gagak Ireng yang melihat Seno diam terpekur.
"Pertanyaan apa, Tuan Pendekar?" si bocah ba-
lik bertanya dengan raut wajah kebodoh-bodohan.
Semakin melotot bola mata Gagak Ireng. "Dasar
tuli!" umpatnya. "Tujuh hari yang lalu ada seorang bo-
cah gembel datang kemari. Apakah bocah gembel itu
kau?!"
Seno tak segera menjawab lagi. Setelah berpi-
kir-pikir, akhirnya dia berkata, "Tujuh hari yang lalu
saya memang datang ke padepokan ini, Tuan Pende-
kar. Tapi..., saya bukan gembel...."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Gagak Ireng me-
lihat keluguan si bocah. "Kalau bukan gembel, lalu kau
ini apa?! Pengemis? Atau gelandangan?"
"Saya bukan pengemis, Tuan Pendekar. Seu-
mur hidup, saya memang tidak pernah mengemis. Ta-
pi, kalau diberi makanan orang, saya sangat senang
dan pasti menerimanya. Tapi, saya tidak mengemis,
Tuan Pendekar. Saya diberi bukan karena saya me-
minta...," tutur Seno. "Tapi, Tuan Pendekar, kalau saya
disebut gelandangan, mungkin ada benarnya. Bebera-
pa hari ini saya memang hidup menggelandang karena
melakukan perjalanan jauh. Ibu saya baru saja me-
ninggal, Tuan Pendekar...."
Mendengar kata-kata si bocah yang tampak be-
gitu jujur dan terkesan sangat lugu, Gagak Ireng ter-
tawa bergelak lagi. Suara tawa ketua Perguruan Tapak
Sakti yang baru itu begitu kerasnya, sampai belasan
murid yang tengah berlatih di halaman belakang
menghentikan latihannya karena terkejut. Tapi setelah
mengenali suara tawa itu berasal dari mulut sang ke-
tua, mereka segera melanjutkan latihan lagi.
"Ha ha ha...! Kau ini lucu, Bocah! Kau tidak
mau disebut gembel, tapi mau disebut sebagai gelan-
dangan. Lalu, apa bedanya gembel dengan gelandan-
gan?" kejar Gagak Ireng. Pemuda berumur tiga puluh
tahunan ini mulai suka pada Seno karena melihat ke-
luguan si bocah.
Mendengar pertanyaan Gagak Ireng, Seno
nyengir kuda sejenak. Matanya mengerjap-ngerjap, se-
hingga wajahnya tampak jenaka. Namun, dia bingung
juga. Apa bedanya gembel dan gelandangan? Dia tak
bisa menjawab. Tapi karena dia tadi sudah telanjur
berkata tak mau disebut gembel dan membolehkan
orang menyebut dirinya sebagai gelandangan, maka
diputarnya otak untuk mencari perbedaan dua sebu-
tan itu.
"Begini, Tuan Pendekar...," ujar Seno kemu-
dian. "Gembel itu orang jelek dan sangat miskin. Kalau
gelandangan, dia juga sangat miskin, tapi belum tentu
kalau dia jelek...."
"Ha ha ha...!” tertawa lagi Gagak Ireng. "Kau ini
aneh, Bocah. Aku tahu kau sangat lugu dan jujur. Apa
yang ada di hatimu, maka itulah yang kau katakan.
Aku pun tahu kedatanganmu ini tentu punya maksud
agar aku bersedia mengangkatmu sebagai murid. Kau
sudah memenuhi salah satu syarat. Karena kejuju-
ranmu itu. Tapi, ada banyak syarat lain yang harus
kau penuhi agar bisa menjadi murid Perguruan Tapak
Sakti..."
"Apa saja itu, Tuan Pendekar?" buru Seno. "Apa
pun akan saya lakukan agar saya dapat belajar ilmu
silat. Saya harus membalas kematian ibu saya. Ibu
saya dibunuh orang, Tuan Pendekar...."
"Hmmm.... Itu alasan basi, Bocah. Hampir se-
mua murid di padepokan ini berkata punya dendam
karena orangtua atau orang yang sangat dicintainya
mati dibunuh orang, lalu datang ke padepokan ini un-
tuk belajar ilmu silat, agar kelak dapat menuntut ba-
las. Dulu, ketika pertama kali datang ke hadapan Ki
Tunggul Jaladara, aku pun punya alasan seperti itu.
Tapi, aku tidak berbohong. Kedua orang tuaku me-
mang mati dibunuh orang. Kemudian, aku diterima.
Namun sebelum diberi pelajaran ilmu silat, Ki Tunggul
Jaladara memberi wejangan. Suatu saat nanti, aku bo-
leh menuntut balas pada si pembunuh kedua orang
tuaku. Tapi, aku tidak boleh menuntut balas karena
alasan dendam. Apa yang kulakukan hanyalah karena
dorongan jiwa pendekar bahwa yang jahat mesti dibe-
rantas, kebenaran mesti dijunjung, dan keadilan mesti
ditegakkan.... Kau mengerti apa yang kukatakan, Bo-
cah?"
Nyengir kuda Seno. Karena umurnya belum ge-
nap dua belas tahun, yang tentu saja akal pikirannya
tidak seberapa pintar, maka hanya beberapa bagian
kalimat Gagak Ireng yang dapat dimengertinya.
Sementara, Gagak Ireng yang melihat Seno te-
rus nyengir kuda, tertawa bergelak lagi. "Ha ha ha...!
Kau tak mengerti pun tak jadi apa, Bocah. Pada saat-
nya nanti, kau pasti akan mengerti. Yang penting, agar
bisa diterima menjadi murid Perguruan Tapak Sakti,
kau harus jujur. Lain itu, kau harus punya jiwa ksa-
tria. Membela yang lemah, dan menindas yang kuat
namun jahat.... Sekarang, aku ingin tahu, siapa na-
mamu, kenapa ibumu sampai meninggal dibunuh
orang, dan apakah ayahmu sudah meninggal pula?"
Senang sekali hati Seno mendengar kata-kata
Gagak Ireng yang kini terdengar ramah dan bersaha-
bat. Karena desakan rasa senangnya itu, dia bangkit
dari duduk bersimpuhnya, lalu mencium kedua kaki
Gagak Ireng.
"Eh! Eh! Kau ini kenapa?" sentak Gagak Ireng
karena kaget melihat perilaku si bocah.
Seno duduk bersimpuh lagi. "Saya senang,
Tuan Pendekar. Sungguh saya senang sekali...."
"Kenapa?"
"Karena saya akan diterima jadi murid...."
"Siapa bilang? Aku baru mau bertanya, Bodoh!”
Mengelam paras Seno mendengar ucapan Ga-
gak Ireng yang kembali keras dan ketus. Setelah nyen-
gir kuda sejenak, si bocah berkata, "Saya kira Tuan
Pendekar mau mengangkat saya sebagai murid...."
"Untuk menjadi murid Perguruan Tapak Sakti
tidak mudah, Bocah. Ada banyak syarat dan ujian
yang harus kau penuhi. Namun kesemuanya itu, yang
terpenting adalah sifat. Hanya orang bersifat jujur dan
ksatria yang dapat menjadi murid padepokan ini...."
"Saya pasti jujur, Tuan Pendekar," sambut Se-
no. "Seumur hidup, saya tak akan berbohong. Sebelum
meninggal, ibu saya berpesan bahwa saya tidak boleh
berbohong. Kalau berbohong, suatu saat saya pasti
akan celaka."
"Bagus! Tapi kuharap kesanggupan untuk me-
menuhi pesan Ibumu itu bukan hanya untuk bermanis
mulut saja. Kau harus benar-benar menjalankannya.
Sekarang, katakan siapa namamu dan ceritakan asal-
usulmu...."
"Nama saya Seno Prasetyo, Tuan Pendekar,"
ujar Seno dengan mata berbinar-binar karena men-
dengar nada ucapan Gagak ireng melembut lagi. "Sejak
kecil, saya hidup berpindah-pindah dengan ibu saya.
Ibu saya bernama Dewi Ambarsari. Beberapa candra
yang lalu, bersama Ibu, saya tinggal di lereng Bukit
Takeran. Namun, sekitar dua puluh hari yang lalu, sebelum saya datang ke padepokan ini, rumah saya di
Bukit Takeran dibakar orang. Dan..., ibu saya dibu-
nuh...."
Wajah Seno berubah muram durja saat menga-
takan bila Ibunya dibunuh orang. Setelah menarik na-
pas panjang untuk menguatkan hatinya, dia menyam-
bung ucapannya.
"Sebelum meninggal, ibu saya bercerita bahwa
sebenarnya ibu saya bergelar Putri Bunga Putih. Dan,
ayah saya adalah Darma Pasulangit atau Ksatria Seri-
bu Syair...."
"Apa?!" kejut Gagak Ireng. Tanpa sadar pemuda
brewokan ini tersurut mundur. "Kau bohong! Kau dus-
ta! Darma Pasulangit adalah buronan kerajaan. Mana
mungkin dia membiarkan putranya hidup berkeliaran
seperti dirimu?!"
"Sungguh, Tuan Pendekar! Saya tidak berbo-
hong! Kalau berbohong, saya akan celaka," tegas Seno.
"Ayah saya memang Darma Pasulangit atau Ksatria Se-
ribu Syair. Ibu saya Dewi Ambarsari atau Putri Bunga
Putih...."
Begitu Seno berhenti berkata, Gagak Ireng maju
selangkah. Mendadak tangan kanannya berkelebat!
Plakkk...!
"Aduhhh...!"
Gagak Ireng menampar wajah Seno. Walau
hanya menggunakan tenaga luar, tapi tamparan itu
sudah cukup mampu untuk membuat tubuh Seno ter-
pelanting dan jatuh berguling-guling.
Terkejut bukan main si bocah lugu Seno Pra-
setyo. Setelah bangkit dia menatap tak mengerti. Ke-
napa Gagak Ireng menamparnya? Apa salahnya? Bu-
kankah dia telah berkata jujur?
Seno duduk bersimpuh lagi. Pakaiannya yang
kotor terlihat makin kotor. Pipi kirinya yang bengkak
lebam terasa panas luar biasa. Tapi, Seno mampu me-
nahan rasa sakit itu. Dia pun tak menangis. Dan me-
mang, dia tak boleh menangis. Kalau menangis, berarti
dia tidak tabah. Kalau tidak tabah, berarti dia tak kua-
sa menjalani hidup yang penuh cobaan dan tantangan
ini. Dengan pengertian itu, Seno pun menganggap
tamparan Gagak Ireng sebagai cobaan hidupnya. Un-
tuk mencapai tujuan dan cita-cita tinggi, sudah wajar
apabila menemui banyak aral dan rintangan.
Sementara Seno terlihat duduk bersimpuh lagi
dan diam terpekur, Gagak Ireng melototkan bola mata.
Dengan kata-kata keras menggelegar, dia berujar.
"Kalau kau keturunan Putri Bunga Putih dan
Ksatria Seribu Syair, tak mungkin kau dengan mudah
dapat kutampar! Walau umurmu belum seberapa, an-
dai kau memang benar putra kedua pendekar itu, kau
pasti bisa berkelit! Atau..., kau memang sengaja tak
berkelit?"
"Saya... saya tidak bohong, Tuan Pendekar...,"
sahut Seno, tergagap. "Saya memang anaknya Putri
Bunga Putih dan Ksatria Seribu Syair. Tapi..., saya tak
mengerti ilmu silat karena kedua orangtua saya tak
pernah mengajari.... Saya tidak pernah berjumpa den-
gan ayah saya. Sementara, saya pun hidup berpindah-
pindah dengan ibu saya, sehingga Ibu saya tak punya
waktu untuk mengajari ilmu silat kepada saya. Dan,
saya pun tak pernah minta diajari karena saya tidak
tahu kalau sebenarnya ibu saya adalah seorang pen-
dekar wanita bergelar Putri Bunga Putih...."
"Bohong!" sentak Gagak Ireng dengan mata
mendelik. "Pergi kau! Perguruan Tapak Sakti tak
mungkin menerima pendusta macam kau! Masih kecil
sudah pandai berbohong, apalagi nanti kalau sudah
besar! Ayo, cepat pergi kau!"
Kasar sekali Gagak Ireng mencekal lengan
Buyung. Lalu, tubuh si bocah dilemparkannya keluar
halaman. Namun, bergegas Seno bangkit. Tak dia ra-
sakan rasa sakit yang merejam tubuhnya. Dia berlari.
Sesampai di hadapan Gagak Ireng lagi, dia bentur-
benturkan dahinya ke tanah, sampai benjol dan berda-
rah.
"Terimalah saya sebagai murid, Tuan Pende-
kar...," iba Seno. "Apa pun akan kulakukan asal Tuan
Pendekar meluluskan permohonan saya...."
Melihat kenekatan si bocah, Gagak Ireng mere-
dam amarahnya. Dan setelah berpikir-pikir, dia berka-
ta, "Andai kau benar anak Ksatria Seribu Syair, kau
malah akan kulempar jauh-jauh dari padepokan ini.
Aku tak mau Perguruan Tapak Sakti punya urusan
dengan pihak kerajaan. Tapi karena aku tak percaya
kalau kau anak buronan itu, bolehlah kau tinggal di
sini...."
"Terima kasih... terima kasih, Tuan Pende-
kar...," sambut Seno, membentur-benturkan lagi da-
hinya ke tanah.
"Aku belum selesai bicara! Kau boleh tinggal di
sini, tapi bukan sebagai murid! Tiap pagi kau harus
menggembalakan kambing dan mencari rumput untuk
makanan kuda. Dan sore harinya, kau harus mencari
air untuk keperluan ku!”
Berkerut kening Seno mendengar ucapan Ga-
gak Ireng. Tanpa sadar, dia menatap Gagak Ireng sam-
bil nyengir kuda. Dan dalam hati, dia berkata, "Tam-
paknya aku sedang diuji. Aku harus menerima ujian
itu. Aku tak boleh mengecewakan Ibu...."
Lalu, Seno menganggukkan kepalanya seraya
berkata, "Saya terima apa pun tugas dari Tuan Pendekar...."
TIGA
MANAKALA terdengar kokok ayam alas, si bo-
cah lugu Seno Prasetyo tersadar dari lamunannya. Dia
menatap nanar tatanan bambu yang menopang atap
sirap. Dia masih punya waktu beberapa saat untuk ti-
dur. Namun, kelopak matanya tak juga mau terpejam.
Apalagi, ketika dari halaman belakang terdengar hiruk
pikuk para murid Perguruan Tapak Sakti yang hendak
memulai latihan.
"Maafkan aku, Bu...," desah Seno. "Aku tak da-
pat berlatih ilmu silat seperti mereka. Walau telah
enam candra di sini, tapi tiap hari yang kulakukan ha-
nyalah menggembalakan kambing, mencari rumput
untuk makanan kuda, dan mencari air untuk keper-
luan Tuan Gagak Ireng...."
Si bocah nyengir kuda, lalu memiringkan tu-
buhnya untuk dapat tidur walau cuma sebentar. Tapi
karena hatinya terserang gelisah dan perasaan tak
enak hatinya, kelopak matanya tetap tak mau dipe-
jamkan.
"Maafkan Seno, Bu...," desah si bocah lagi. "Aku
telah menuruti pesan Ibu untuk datang ke Perguruan
Tapak Sakti. Tapi, aku tak memperoleh apa-apa di sini.
Tak ada yang mau mengajari ku ilmu silat. Tak Juga
Tuan Gagak Ireng...."
Seno menelentangkan tubuhnya lagi. Saat ter-
dengar teriakan para pemuda yang tengah berlatih il-
mu silat, dia bangkit dari tempat tidurnya yang berupa
tumpukan jerami. Perlahan dibukanya jendela. Gera-
kannya hati-hati sekali, seperti tak mau ada orang
yang melihat apa yang akan diperbuatnya.
"Kalau di padepokan ini aku tak dapat mempe-
roleh pelajaran ilmu silat, aku akan menyesal seumur
hidup. Aku harus belajar ilmu silat! Harus! Agar aku
dapat membalas kematian ibuku...," tekad Seno dalam
hati.
Begitu mendapat gagasan bagus, Seno merayap
keluar tembok tempat tinggalnya lewat jendela. Dia te-
rus merayap, hingga sampai di sisi kiri kandang kamb-
ing. Lalu dari balik anyaman bambu yang dibuat reng-
gang, dia mengintip belasan pemuda yang tengah ber-
latih ilmu silat di halaman belakang.
Senang sekali hati Seno saat melihat Gagak
Ireng memberikan petunjuk-petunjuk kepada anggota
baru Perguruan Tapak Sakti. Walau samar-samar ka-
rena hari masih agak gelap, Seno dapat mencatat se-
mua petunjuk Gagak Ireng ke dalam otaknya. Dan saat
para murid mempraktekkan petunjuk Gagak Ireng,
Seno pun mengikuti.
Seno menggerakkan tangan dan kakinya mem-
bentuk kuda-kuda. Lalu, dia angkat kedua tangannya
ke atas seraya dirangkapkan di depan dada. Setelah
itu, kedua tangan dan kakinya bergerak melakukan
serangan ataupun tangkisan.
Sungguh tak bisa digambarkan betapa senang-
nya hati Seno. Usai memperagakan jurus curiannya,
dia mengintip lagi. Lalu, memperagakannya lagi. Men-
gintip lagi, memperagakannya lagi. Demikian seterus-
nya.
Tentu saja semua gerakan si bocah lugu Seno
Prasetyo terlihat kaku dan sedikit asal-asalan. Tapi, itu
pun sudah membuat hati si bocah teramat senang.
Sehingga, tak bosan dia mengulang-ulang jurus hasil
curiannya.
Saking senangnya, Seno sampai lupa pada tugasnya menggembalakan kambing dan mencari rum-
put yang harus dilakukannya begitu matahari terbit di
ufuk timur. Suara kambing mengembik karena lapar
pun tak terdengar lagi oleh Seno, padahal dia berada di
dekat kandang binatang piaraan itu.
"Seno...!”
Tiba-tiba terdengar panggilan keras menggele-
gar. Seno pun melonjak kaget. Waktu menoleh, tahu-
lah dia bila Gagak Ireng telah berdiri tak seberapa jauh
darinya dengan pandangan tajam berkilat. Sementara,
matahari telah menampakkan seluruh wajahnya, ber-
sinar membawa terang.
"Tuan Pendekar..., saya... ya, ya... saya harus
menggembalakan kambing...," ujar Seno tergagap dan
merasa bersalah karena hampir melalaikan tugasnya.
Usai berkata, Seno melangkah masuk ke kan-
dang untuk mengeluarkan kambing-kambing yang
hendak digembalakannya. Tapi, lima jari tangan yang
amat kuat tiba-tiba mencengkeram kain bajunya. Tu-
buh kurus Seno diangkat, lalu dibawa keluar lagi dari
kandang.
Bruk...!
"Uh...!"
Tubuh Seno dijatuhkan di tanah. Dia menga-
duh kesakitan karena tulang belikatnya membentur
batu. Sambil meringis-ringis, Seno mengiba pada Ga-
gak Ireng yang telah membanting tubuhnya.
"Maafkan saya, Tuan.... Saya memang bersalah.
Tapi, kambing-kambing tak akan mati hanya karena
saya terlambat menggembalakan mereka...."
"Bukan karena itu!" bentak Gagak Ireng.
Melihat bola mata Gagak ireng yang melotot be-
sar, nyali Seno langsung menciut. Dia pun merasa ma-
lu ketika melihat para murid yang menontonnya dari
kejauhan. Walau mereka tidak mengeluarkan suara,
tapi Seno merasa seperti diejek dan diolok-olok.
"Apa yang kau lakukan tadi, Seno?!" Gagak
Ireng membentak lagi.
Seno cengar-cengir. Wajahnya terlihat amat bo-
doh. Dengan suara bergetar dia berkata, "Saya... saya
memperagakan beberapa jurus ilmu silat, Tuan Pende-
kar...."
"Hmmm.... Begitu, yah! Siapa yang mengajari-
mu?!"
"Saya belajar sendiri, Tuan Pendekar...."
"Belajar sendiri?"
"Ya, Tuan Pendekar. Saya tadi melihat Tuan
Pendekar memberikan petunjuk pada para murid baru.
Lalu, saya mencobanya...."
"Hmmm.... Kalau begitu, kau tadi mengintip
alias mencuri lihat!" ujar Gagak Ireng, tatapannya te-
tap tajam menusuk. "Ayo, berdiri kau, Seno!”
Mendapat perintah itu, perlahan Seno bangkit
berdiri sambil mendekap tulang belikatnya yang masih
terasa sakit.
"Kau bukan murid Perguruan Tapak Sakti! Kau
tidak boleh memperagakan jurus ilmu silat ciptaan
mendiang Ki Tunggul Jaladara!"
Di ujung kalimatnya, Gagak Ireng mengayun-
kan telapak tangan kanannya!
Plakkk...!
"Aduhhh...!"
Begitu telapak tangan Gagak Ireng mendarat di
pipi kiri Seno, tubuh kurus si bocah mencelat! Lalu,
membentur dinding kandang yang terbuat dari any-
aman bambu. Tak ayal lagi, anyaman bambu itu ber-
patahan. Menimbulkan suara berderak gaduh yang
disusul dengan mengembik-embiknya belasan ekor
kambing!
Untunglah, walau kurus tapi tubuh Seno cu-
kup kuat. Dia tak mendapat luka yang berarti. Saat dia
bangkit, hanya luka memar dan lecet yang terlihat.
Hebatnya, begitu dapat berdiri, Seno langsung
berjalan menghampiri Gagak Ireng lagi seraya duduk
bersimpuh di hadapan ketua Perguruan Tapak Sakti
itu. Dia pun tidak menangis. Andai tamparan Gagak
Ireng mendarat di pipi bocah lain seusia Seno, pastilah
bocah itu akan menangis menggerung-gerung karena
kesakitan.
Namun, Gagak Ireng yang kurang pengalaman
tak dapat melihat kelebihan Seno itu. Keteguhan hati
si bocah tak menjadikan Gagak Ireng senang, tapi ma-
lah membuat memuncaknya amarah. Kalau saja Ki
Tunggul Jaladara masih hidup, pendiri Perguruan Ta-
pak Sakti itu pasti menerima Seno sebagai murid den-
gan senang hati. Sebagai tokoh tua yang sudah ke-
nyang makan asam-garam rimba persilatan, Ki Tung-
gul Jaladara pasti dapat melihat kelebihan Seno bila
dibanding dengan bocah lain seusianya.
"Hayo! Pergi kau sekarang!" usir Gagak Ireng
kemudian.
Terkejut bukan main Seno mendengar ucapan
keras itu. Dia pun memberanikan diri untuk menatap
wajah garang pemuda brewokan yang berdiri di hada-
pannya.
"Kenapa Tuan Pendekar mengusir saya...?" ujar
Seno. "Saya mengaku bersalah, Tuan Pendekar telah
menghukum saya, tapi kenapa Tuan Pendekar mengu-
sir saya...?"
"Padepokan ini haram didiami oleh seorang
pencuri busuk macam kau!"
"Tapi, Tuan Pendekar..., saya hanya mencuri li
hat..."
"Hanya mencuri lihat, katamu?!" sentak Gagak
Ireng. "Kau bukan hanya mencuri lihat! Kau telah me-
mainkan jurus-jurus 'Tapak Sakti'! Yang bukan murid,
dilarang memainkan jurus itu! Kau tahu, para pemuda
menjadi murid baru di sini itu telah membayar banyak
kepadaku. Mereka para putra lurah atau demang,
bahkan ada yang putra seorang adipati! Tapi, kau?
Kau cuma gembel yang mengaku-aku sebagai anak
Ksatria Seribu Syair! Hmmm.... Tempat ini sudah tak
boleh kau jamah lagi, Seno! Enyahlah kau sekarang
juga!"
"Tapi, Tuan Pendekar...."
Seno hendak mengucap beberapa patah kata
untuk berkilah, tapi jemari tangan Gagak Ireng keburu
mencengkeram kain bajunya. Sekali lagi, tubuh kurus
Seno dilemparkan begitu saja, seperti melemparkan
seonggok sampah.
Seno jatuh bergulingan, hingga mencapai tepi
halaman belakang. Belasan pemuda murid baru Per-
guruan Tapak Sakti tampak menatap haru pada sosok
Seno yang merangkak bangkit. Mereka tak habis men-
gerti, kenapa Gagak Ireng bisa sampai berbuat kasar
seperti itu? Mereka ingin berbuat sesuatu untuk meno-
long Seno, tapi mereka takut akan mendapat hukuman
juga dari Gagak Ireng. Maka, yang dapat mereka laku-
kan hanyalah menatap dan terus menatap tatkala Se-
no melangkah tertatih-tatih menghampiri Gagak Ireng
lagi.
"Hei! Kau rupanya keras kepala, Seno!" bentak
Gagak Ireng. "Tidakkah kau takut bila kupecahkan ba-
tok kepalamu?!"
"Tuan Pendekar...," desis Seno, menahan rasa
sakit yang merejam sekujur tubuhnya. "Sebelum meninggal, ibu saya berpesan agar saya belajar ilmu silat
di Perguruan Tapak Sakti ini. Kalau saya pergi, berarti
saya telah melawan wasiat terakhir ibu saya. Harap
Tuan Pendekar mau mengerti...."
"Hmmm... Apa pun pesan ibumu, aku tak pe-
duli! Segeralah enyah dari tempat ini!"
Melihat Gagak Ireng hendak menampar Seno
lagi, salah seorang pemuda murid baru memberanikan
diri untuk maju. Setengah memaksa, dibawanya Seno
menjauhi Gagak Ireng.
"Tidak! Aku tidak mau pergi!" berontak Seno.
"Hus! Kalau kau keras kepala, kau bisa mati!"
bisik si pemuda. "Di tanah Jawa ini, banyak perguruan
silat. Kau bisa mencari padepokan lain.... kalaupun
kau diperbolehkan tinggal di tempat ini lagi, kau tetap
tak akan mendapat pelajaran ilmu silat. Di sini, untuk
belajar, para murid harus membayar. Ini adalah atu-
ran baru yang dibuat oleh ketua baru itu...."
"Hei, Gati! Kau berkata apa pada bocah itu?!"
tegur Gagak Ireng yang melihat si pemuda membisik-
kan sesuatu di telinga Seno.
"Ah! Saya hanya menyarankan agar Seno sege-
ra pergi, Guru," jawab si pemuda yang dipanggil Gati.
Sementara, Seno tampak mengusap darah ker-
ing yang meleleh dari sudut bibirnya. Pipi kirinya terli-
hat bengkak memerah. Namun, tak ada rasa sakit
yang membayang di matanya. Dia tatap wajah Gati pe-
nuh keluguan. Seno pun merasakan kebenaran uca-
pan pemuda bertubuh kekar itu. Maka, melangkahlah
Seno mendekati Gagak Ireng. Bukan untuk merengek-
rengek lagi, melainkan untuk berpamitan.
"Saya pikir, saya memang tidak pantas untuk
tinggal di padepokan ini. Saya minta pamit, Tuan Pen-
dekar. Maafkan segala kesalahan saya...."
Seno membungkuk tiga kali, lalu membalikkan
badan seraya melangkah. Dia berjalan tertatih-tatih
melewati samping kiri rumah joglo untuk kemudian
keluar dari Perguruan Tapak Sakti.
Begitu sosok Seno hilang dari pandangan, Ga-
gak Ireng memerintahkan para murid barunya untuk
membentuk barisan lagi. Sebentar saja, suasana pagi
di Perguruan Tapak Sakti telah diramaikan oleh teria-
kan para pemuda yang sedang berlatih ilmu silat.
Seperti tak ada kejadian apa-apa, Gagak Ireng
pun tampak bersemangat memberi petunjuk-petunjuk.
Namun, andai Ki Tunggul Jaladara masih hidup, dia
pasti akan menyesali perbuatan Gagak Ireng di pagi
itu.
Sebelum meninggal, hanya karena terpaksalah
Ki Tunggul Jaladara mengangkat Gagak Ireng sebagai
ketua Perguruan Tapak Sakti untuk menggantikannya.
Karena, para murid Ki Tunggul Jaladara yang telah
tamat mendapat pelajaran sedang merantau semua.
Yang ada di padepokan hanya Gagak Ireng. Maka, tak
ada pilihan lain bagi Ki Tunggul Jaladara untuk tidak
mengangkat Gagak Ireng sebagai penggantinya.
EMPAT
DENGAN wajah kusut-masai dan hati gundah-
gulana, si bocah lugu Seno Prasetyo duduk terpekur di
tengah padang rumput. Di situlah Seno selama enam
candra ini menggembalakan kambing-kambingnya.
Namun, kambing-kambing itu tak dapat dia gembala-
kan lagi karena dia telah diusir dari Perguruan Tapak
Sakti.Lama sekali Seno duduk terpekur di tengah pa-
dang rumput yang masih berada di lereng Gunung La-
wu itu. Dia tak tahu ke mana harus melangkahkan
kaki lagi. Dia ingin mencari perguruan silat lainnya,
tapi ke mana?
"Maafkan Seno, Bu...," desis si bocah, teringat
peristiwa sedih yang baru dialaminya. "Seno baru tahu
dan sadar kini. Seno telah berbuat tidak jujur. Seno te-
lah mencuri lihat orang berlatih silat. Seno telah me-
mainkan jurus-jurus silat yang sebenarnya tidak boleh
Seno lakukan. Seno berdosa, Bu.... Kini, Seno harus
memetik buah dari ketidakjujuran Seno itu, Bu. Seno
diusir, Bu.... Seno tak tahu lagi ke mana harus pergi,
Bu...."
Seno mendongak. Ditatapnya jajaran pohon hi-
jau subur. Dia arahkan pandangannya lebih ke atas.
Dia berharap dapat melihat sosok ibunya di atas sana.
Tentu saja harapannya itu hanya mendatangkan rasa
kecewa belaka. Dia tak melihat bayangan siapa-siapa d
sana. Namun, dia masih ingin menyampaikan isi ha-
tinya kepada ibunya yang telah tiada.
"Sungguh Seno telah sadar, Bu.... Semoga Ibu
dapat memaafkan Seno...," desis si bocah lagi. "Seno
telah dapat memetik pelajaran yang sangat berharga.
Seno bersumpah untuk jujur selamanya...."
Begitu Seno menghentikan ucapannya, menda-
dak langit yang semula cerah berubah remang-remang.
Gumpalan awan bergerak berarak-arak dari selatan
menutupi wajah sang baskara. Hembusan angin terasa
mengencang....
Terkejut Seno melihat perubahan cuaca yang
begitu tiba-tiba itu. Lebih terkejut lagi dia saat melihat
iring-iringan kambing yang berjalan dari arah Pergu-
ruan Tapak Sakti. Seno mengenali belasan kambing itu
sebagai milik Gagak Ireng karena Seno biasa meng-
gembalakannya setiap hari.
Melihat belasan kambing yang terus berjalan
mendekatinya, Seno bangkit berdiri. Seno tak melihat
orang lain yang datang bersama kambing-kambing itu.
Agaknya, mereka dilepas begitu saja agar dapat men-
cari makan sendiri.
Namun, begitu menginjakkan kaki di padang
rumput, kambing-kambing itu tidak langsung merum-
put. Mereka mendekati Seno seraya mengembik-embik.
"Aku tahu... aku tahu...," ujar Seno. "Kalian
tentu lapar. Kalian tidak bisa mencari rumput sendiri
karena rumput-rumput di padang ini telah kering. Bo-
lehlah aku carikan rumput yang masih hijau segar.
Tapi setelah itu, kalian harus pulang sendiri. Aku tak
bisa mengantarkan karena aku tak boleh menjamah
lagi Perguruan Tapak Sakti,..."
Usai berkata, Seno berjalan naik, melewati ba-
tu-batu besar di lereng gunung itu. Tapi, baru saja Se-
no melangkah, tiupan angin mendadak jadi kencang.
Debu bersama daun-daun kering beterbangan. Saat ti-
upan angin bertambah kencang lagi, semakin bingun-
glah Seno.
"Celaka!" seru si bocah. "Angin puyuh akan da-
tang!"
Seno hendak menggiring kambing-kambingnya
untuk berlindung ke sebuah gua. Tapi, melihat tiupan
angin yang begitu kencang, kambing-kambing itu jadi
panik. Mereka tak mau digiring Seno. Mereka lari ber-
pencaran. Lari mereka yang berlainan arah tak me-
mungkinan Seno untuk mengumpulkan mereka Lagi.
Sementara, angin berhembus semakin kencang.
Semakin banyak debu dan daun-daun kering yang be-
terbangan. Belasan kambing kini sudah tak terlihat la
gi. Walau Seno sangat mengkhawatirkan keselamatan
mereka, tapi Seno pun harus memikirkan keselama-
tannya sendiri. Tentu saja Seno tak mau tubuhnya di-
hempaskan tiupan angin yang bisa membuatnya jatuh
berguling-guling ke bawah gunung.
Seno pun berlari sekuat tenaga. Beberapa kali
dia hampir terpeleset jatuh. Tapi untunglah, sebelum
tiupan angin benar-benar mengganas, Seno telah sam-
pai di gua yang dia tuju.
* * *
Setelah angin puyuh berlalu, cuaca kembali ce-
rah Sang baskara dapat memancarkan sinarnya den-
gan leluasa. Seno keluar dari gua dengan hati lega.
Namun, begitu ingat pada kambing-kambingnya, ha-
tinya jadi kalut. Bergegas dia berlari untuk mencari.
Dan..., tersenyum senanglah Seno. Dari kejauhan, dia
melihat belasan kambing yang tengah berkumpul se-
perti sedang menantikan kehadirannya.
Seno berlari menuju ke padang rumput tempat
kambing-kambing berkumpul. Namun sebelum sampai
di sana, langkahnya terhenyak. Sambil nyengir kuda,
Seno menatap sebuah tempat bekas longsoran. Long-
soran itu terjadi karena tiupan angin puyuh yang
mengganas tadi.
Di sebidang tanah longsoran itu terdapat nisan
kubur yang diseraki benda-benda yang sangat menarik
perhatian Seno. Benda-benda itu berupa patung batu
yang dipahat sangat halus dan indah. Bentuk patung
ada yang menyerupai manusia ataupun hewan.
Namun, Seno tak seberapa memperhatikan pa-
tung-patung kuno itu lagi saat dia menemukan sebuah
tongkat pendek berwarna putih mengkilat. Panjang
tongkat itu cuma dua jengkal. Satu ujungnya bulat-
tumpul, dan ujung yang satunya lagi tampak runcing.
Saat memegang tongkat pendek itu, Seno terke-
jut. Tubuhnya mendadak terasa amat ringan dan se-
gar. Batang tongkat mengalirkan hawa sejuk.
"Tongkat ajaib! Tongkat ajaib!" desis Seno.
Kontan keterkejutan Seno berubah menjadi ke-
gembiraan yang meluap-luap. Saking senangnya, dia
melonjak dan menari-nari. Batang tongkat diputar-
putarnya di atas kepala.
Wusss...! Wusss...!
Seno melonjak kaget. Dia mendengar suara ge-
muruh angin yang bertiup di atas kepalanya. Dia pun
menghentikan putaran tongkatnya. Mendadak, gemu-
ruh angin itu pun lenyap.
"Tongkat ajaib! Tongkat ajaib!" seru Seno lagi.
Seno tahu kalau suara gemuruh angin di atas
kepalanya tadi berasal dari putaran tongkat di tangan
kanannya. Terdorong rasa senang, Seno mengibas-
ngibaskan tongkat pendek temuannya itu!
Wusss! Wusss!
B1ammm...! Blammm...!
Luar biasa! Kibasan tongkat di tangan Seno
menimbulkan serangkum angin pukulan. Dua bong-
kah batu besar terpental, dan menggelinding ke kaki
gunung.
Dengan kegembiraan yang semakin meluap,
Seno menghampiri bongkah batu sebesar anak kamb-
ing. Lalu, dia menggoreskan bagian ujung tongkat yang
runcing ke permukaan batu itu.
Set...!
Prukkk...!
"Astaga...!"
Melonjak kaget lagi si bocah lugu Seno Pra
setyo. Batu yang terkena goresan tongkat tiba-tiba ter-
belah jadi dua. Bekas belahannya halus rata seperti di-
tebas sebilah pedang yang amat tajam!
Karena masih ingin mencoba kehebatan tong-
kat mustika di tangannya, Seno mencari sebongkah
batu lain yang lebih keras. Lalu dengan mengerahkan
seluruh tenaganya, dia tusuk batu itu!
Brummm...!
Bergegas Seno meloncat ke belakang. Bongkah
batu keras yang ditusuknya hancur berkeping keping.
Pecahannya menyebar ke berbagai penjuru. Untung,
Seno dapat meloncat cepat ke belakang, sehingga tu-
buhnya tak sempat tertimpa pecahan-pecahan batu
itu.
Dalam luapan kegembiraannya, tiba-tiba Seno
teringat ibunya yang telah meninggal. Dengan mata
berbinar-binar, dia mendongak menatap langit. Seno
seakan dapat melihat sosok Ibunya di atas sana.
"Ibu...," desis si bocah. "Kini, Seno tak lagi se-
dih, Bu. Seno telah menemukan tongkat ajaib. Seno
akan menghajar semua orang jahat, Bu. Seno akan se-
gera menuntut balas pada Banyak Langkir!"
Usai berkata, mendadak wajah Seno terlihat
muram. Setelah nyengir kuda sejenak, dia menggu-
mam, "Kalau cuma berbekal tongkat ajaib ini, mung-
kinkah aku bisa menuntut balas pada Banyak Lang-
kir? Ibuku yang seorang pendekar saja bisa dikalah-
kannya, apalagi diriku...."
Seno menimang tongkat mustika sambil cen-
gar-cengir. Mendadak, air mukanya cerah lagi.
"Aku harus belajar silat! Aku harus belajar si-
lat!" seru Seno kepada dirinya sendiri.
Saat pandangan Seno bertumbuk pada nisan
batu yang diseraki patung-patung kuno, dia melang
kah menghampiri. Dia bersihkan gumpalan tanah yang
menempel di nisan itu. Hingga, Seno dapat melihat ba-
risan huruf yang dipahat rapi. Sebenarnya, Seno su-
dah cukup pandai membaca. Namun, tulisan yang ter-
tera di batu nisan itu terdiri dari huruf-huruf kuno,
sehingga Seno tak dapat membacanya.
Seno jadi kecewa. Tapi, rasa kecewa justru
membuatnya bersemangat untuk menggali tanah di
sekitar batu nisan. Dia berharap akan mendapat se-
buah benda pusaka lagi.
Sepeminum teh lamanya Seno menggali. Kini,
terlihat olehnya sebuah makam batu berukuran besar.
Panjangnya tiga depa, dengan lebar dua depa.
Di tiap bagian pinggir makam batu, dilekati ba-
tok kura-kura yang berjumlah puluhan. Seno bersorak
girang dalam hati saat melihat puluhan batok kura-
kura itu terdapat ukiran indah yang melukiskan orang
sedang memperagakan jurus silat. Dan, di bagian ba-
wah batok terdapat tulisan yang menerangkan gam-
bar-gambar di atasnya. Tapi karena tulisan itu terdiri
dari huruf-huruf kuno, Seno tak dapat membacanya
pula. Saat memperhatikan gambar yang terukir di pu-
luhan batok kura-kura, Seno teringat pada mendiang
ibunya. Ibunya pernah dan bahkan sering menyuruh
Seno duduk bersila dan mengatur pernapasan setiap
pagi.
Waktu itu, Seno tidak tahu apa maksud ibunya
itu. Dia hanya menurut tanpa bertanya apa-apa. Dan
kini, Seno melihat ada beberapa gambar di batok kura-
kura yang sama persis dengan apa yang pernah dila-
kukannya semasa ibunya masih hidup.
Seno mengurutkan gambar-gambar yang dili-
hatnya seraya menirunya. Pertama, dia duduk bersila
dengan mata terpejam seraya mengatur pernapasan
seperti yang pernah diajarkan oleh ibunya. Kedua tan-
gannya bersedekap. Sementara, tongkat mustika te-
muannya terus tercekal erat di jemari tangan kanan-
nya.
Saat Seno mengosongkan pikiran, dia merasa-
kan hawa aneh yang mengalir dari tongkat mustika.
Hawa aneh itu masuk ke tubuhnya, lalu berputar-
putar di sekitar pusar.
Namun karena merasa pening, Seno menghen-
tikan semadinya. Dia tatap tongkat mustikanya dengan
kening berkerut. Dia tak mau bersemadi lagi. Dia takut
kepalanya akan bertambah pening.
Seno bangkit berdiri. Dia perhatikan gambar di
batok kura-kura lainnya. Dia meniru gambar itu. Ke-
dua tangan dan kakinya bergerak, dan terus bergerak.
Tanpa disadari oleh Seno, dia telah memainkan jurus-
jurus silat yang amat hebat.
Seperti tak punya lelah, Seno terus mempera-
gakan semua gambar yang terukir di batok kura-kura.
Kedua tangan dan kakinya terus bergerak. Semakin
lama semakin cepat. Tongkat mustika pun berkeleba-
tan....
Tanpa disadari juga oleh si bocah lugu Seno
Prasetyo, kelebatan tongkat mustika di tangannya te-
lah menimbulkan serangkaian angin pukulan dahsyat.
Hingga....
Blarrr...!
Blarrr...!
Dua ledakan keras menggelegar di angkasa.
Makam batu besar hancur berkeping-keping. Dan, ten-
tu saja puluhan batok kura-kura turut meledak han-
cur!
"Astaga...!" kejut Seno.
Melihat batok kura-kura yang kini telah hancur
menjadi kepingan-kepingan kecil, Seno berdiri terpaku.
Namun, dia tak menjadi menyesal ataupun kecewa ka-
rena semua gambar yang terdapat di batok kura-kura
telah pindah ke otaknya. Gambar-gambar orang mem-
peragakan jurus silat itu telah dapat dia hafal dan tak
mungkin terlupakan lagi.
Saat berdiri terpaku, tanpa sengaja Seno men-
gosongkan pikiran. Mendadak dia melonjak kaget. Dia
mendengar suara kambing mengembik-embik yang be-
gitu dekat dengan telinganya.
Seno menoleh, tapi dia tak melihat seekor
kambing pun yang ada di dekatnya. Waktu melihat ke
kejauhan, barulah Seno melihat belasan kambing yang
tengah memakan rumput kering.
"Aneh...!" desis Seno. "Aku tadi mendengar den-
gan jelas suara kambing mengembik, tapi tak ada
kambing yang berada di dekatku. Apakah kambing-
kambing di padang rumput itu yang mengembik tadi?
Tapi, kambing-kambing itu begitu jauh dari sini, ba-
gaimana aku bisa mendengar suaranya?"
Berkerut kening Seno memikirkan keanehan
yang baru dia alami. Dia pun cengar-cengir sampai be-
berapa lama....
Sebenarnya, tanpa disadari oleh Seno, dalam
tubuhnya telah bersemayam hawa sakti yang dapat
membuat pendengarannya jadi sangat peka. Hawa sak-
ti itu mengalir dari tongkat mustika waktu dia berse-
madi beberapa saat tadi.
Saat menatap kambing-kambing yang tengah
merumput, tanpa sadar Seno mengosongkan pikiran
lagi. Kali ini, telinganya menangkap suara langkah ka-
ki berderap-derap. Langkah kaki itu diberangi dengus
napas memburu dan lolongan serigala!
Karena terkejut, Seno meloncat ke belakang.
Dia putar pandangan, tapi tak ada seekor pun serigala
yang terlihat. Seno pun menarik napas panjang. Dia
tak mengerti keanehan apa yang telah terjadi pada di-
rinya.
Sambil mengelus-elus tongkat mustikanya, Se-
no cengar-cengir. Dan, Seno pun benar-benar terpe-
ranjat kaget saat melihat ke kejauhan. Di padang rum-
put, puluhan ekor serigala tampak datang menyerbu
belasan kambing.
Belasan kambing yang biasa digembalakan Se-
no itu lari berserabutan. Namun, jumlah serigala yang
datang terlalu banyak, sehingga mereka terkepung!
"Celaka! Celaka!" seru Seno.
Walau mempunyai keteguhan hati dan ketaba-
han tinggi, tubuh Seno bergetar karena khawatir dan
takut. Dia mengkhawatirkan keselamatan kambing-
kambing milik Gagak Ireng itu. Tapi, dia juga takut
apabila puluhan serigala yang datang akan menge-
pungnya pula.
Waktu melihat tubuh belasan kambing dicabik-
cabik serigala, Seno lupa pada rasa takutnya. Dia pan-
dangi tongkat mustika di tangannya. Dia benci melihat
keganasan serigala. Dia ingin menghentikan kegana-
san itu!
Maka tanpa memikirkan keselamatan dirinya
lagi, Seno berlari sekuat tenaga. Seno pun terperangah
heran saat merasakan tubuhnya dapat melesat cepat.
Jarak puluhan tombak dicapainya hanya dalam bebe-
rapa kejap mata. Tapi sampai di mana pun cepatnya
dia berlari, belasan kambing telah tergeletak tanpa
nyawa. Tubuh mereka tercerai-berai, menjadi rebutan
puluhan serigala. Cairan darah membanjiri tanah pa-
dang rumput kering. Bau anyir pun tercium di mana-
mana....
Sementara, puluhan serigala yang melihat ke-
datangan Seno langsung meninggalkan santapan me-
reka. Serigala-serigala itu merasa terganggu oleh keda-
tangan Seno. Maka, bergegas mereka mengepung!
Tampak kemudian, seekor serigala yang tu-
buhnya hampir sama dengan tubuh Seno, melolong
panjang seraya menerkam!
Sebagai seorang bocah yang belum pernah ber-
tempur melawan serigala, tentu saja wajah Seno men-
jadi pucat. Bola matanya melotot karena kaget. Namun
demikian, kesadarannya tidak hilang. Tangan kanan-
nya yang memegang tongkat mustika mengibas!
Wusss...!
"Hauuung...!"
Serangkum angin pukulan melesat dari batang
tongkat. Tubuh serigala yang hendak menerkam Seno
tampak terlontar, jatuh berdebam di tanah, lalu bergu-
lingan, dan diam tak berkutik lagi. Mati!
Namun, Seno tak dapat menarik napas lega.
Serigala-serigala lainnya datang menerkam bergantian.
Karena tak mau mati konyol, Seno mengibas-
ngibaskan tongkat mustikanya. Dia mainkan jurus si-
lat yang baru dipelajarinya dari batok kura-kura.
Padang rumput itu segera diramaikan pekik ke-
sakitan serigala. Tubuh mereka berpentalan. Ada yang
batok kepalanya pecah, ada yang isi perutnya ambrol,
bahkan ada yang tubuhnya terbelah jadi dua. Mereka
mati terkena sabetan dan tusukan tongkat mustika di
tangan Seno!
Namun..., karena jumlah serigala yang menyer-
bu puluhan ekor dan Seno pun tak punya pengalaman
bertempur, maka lama-lama pertahanan Seno jadi
kendor.
Sambil memutar-mutar tongkat mustikanya,
Seno terus melangkah mundur. Perlahan tapi pasti,
langkah kaki Seno mulai mendekati bibir tebing yang
amat curam
Saat dua ekor serigala menerkam bersamaan,
Seno mengibaskan tongkat mustikanya. Terdengar ge-
muruh angin menderu yang disusul dengan lolongan
panjang. Tubuh dua ekor serigala yang hendak meng-
habisi riwayat Seno tampak terlontar tinggi. Cairan da-
rah muncrat dari luka-luka di tubuh mereka. Tapi..,
waktu mengibaskan tongkat mustikanya tadi, Seno tak
mampu menjaga keseimbangan tubuh. Dalam keadaan
terhuyung-huyung, tiga ekor serigala menerkam lagi
secara bersamaan!
"Mati aku...!" keluh si bocah.
Tongkat mustika yang dikibaskan Seno hanya
mampu membunuh seekor serigala yang sedang me-
nerkam. Sementara, dua ekor lainnya lolos. Tubuh me-
reka melesat dengan cakar terjulur lurus ke depan!
Brukkk...!
"Argh...!
Dada dan perut Seno terbentur cakar dua ekor
serigala. Karena terkaman mereka mengandung tenaga
yang amat kuat, tubuh Seno terpental. Setelah bergu-
lingan, tubuh bocah lugu itu jatuh ke dalam jurang!
LIMA
DARI kejauhan, kakek berpakaian merah-hitam
ini menatap Perguruan Tapak Sakti dengan senyum
sinis tersungging di bibir. Ujung-ujung ikat kepalanya
yang bercorak batik tampak berkibar, dimainkan hem-
busan angin gunung. Walau batang usianya sudah la
puk, tubuh si kakek masih terlihat sehat gagah. Kedua
kakinya berdiri kokoh tegak di atas lempengan batu
besar.
"Hmmm.... Andai orang-orang di perguruan itu
tak mau menurut pada titah sang Prabu, aku punya
kuasa untuk melumatkan tubuh mereka. Termasuk
ketua perguruan mereka...," gumam si kakek.
Teringat tugas yang harus segera dilaksana-
kannya, kakek bersorot mata tajam menusuk ini ber-
gegas menjejak lempengan batu. Seperti anak panah
lepas dari busur, tubuh si kakek melesat cepat, hingga
berubah menjadi bayangan yang hampir kasat mata!
Ringan sekali bayangan si kakek melenting dan
menukik di antara tonjolan batu-batu gunung. Rimbu-
nan semak belukar dan jajaran pohon diloncatinya
dengan mudah. Bayangan si kakek seakan dapat me-
nyatu dengan hembusan angin.
Tak sampai sepuluh tarikan napas, kaki si ka-
kek telah menginjak pelataran Perguruan Tapak Sakti.
Dalam waktu sesingkat itu, dia telah melewati jarak
hampir tiga ratus tombak. Itu pun harus melalui rin-
tangan alam, pegunungan yang tak begitu bersahabat.
Jadi, bisa dibayangkan betapa hebatnya ilmu peringan
tubuh si kakek.
Dengan suara serak parau, si kakek berteriak
lantang, "Hei! Aku datang membawa titah sang Prabu!
Harap Ki Tunggul Jaladara sendiri yang menyambut
ku!"
Teriakan si kakek terdengar keras menggelegar
di angkasa. Karena dialiri tenaga dalam, getaran sua-
ranya mampu menerbangkan debu dan dedaunan
yang berserakan di tanah. Sementara, ranting-ranting
pohon pun tampak bergoyang bagai dihempas angin
kencang.
Tampak kemudian, lima orang pemuda berlari-
lari dari halaman belakang. Mereka adalah adik seper-
guruan Gagak Ireng, ketua Perguruan Tapak Sakti
yang baru diangkat enam candra yang lalu.
Kelima pemuda itu langsung menghampiri ka-
kek berpakaian merah hitam yang berdiri berkacak
pinggang di pelataran. Sementara, si kakek yang meli-
hat kedatangan mereka, langsung menggerendeng ma-
rah.
"Hmmm.... Apakah KI Tunggul Jaladara sudah
begitu uzur, sehingga dia tidak bisa berjalan sendiri
untuk menyambut kedatanganku?!"
Mendengar ucapan yang tak bersahabat itu, ke-
lima murid Ki Tunggul Jaladara langsung menge-
rutkan kening. Belum pernah mereka melihat ada
orang yang begitu memandang remeh pada pendiri
perguruan mereka.
"Maaf, Pak Tua...," ujar salah seorang pemuda
yang berpakaian serba putih. "Pak Tua ini siapa? Dan,
untuk apa mencari Ki Tunggul Jaladara?"
"Kau tidak berhak menanyakan itu, Anak Mu-
da!" sentak si kakek berikat kepala batik. "Cepat suruh
si tua bangka Tunggul Jaladara untuk datang ke ha-
dapanku!"
Mendengus gusar pemuda berbaju putih men-
dengar kata-kata si kakek yang semakin meremehkan
gurunya. Dia melangkah dua tindak. Ditatapnya wajah
si kakek tajam-tajam.
"Kau ini siapa, Pak Tua?!" geramnya. "Kau da-
tang tanpa diundang, kenapa main perintah seenak
perutmu sendiri?! Kau pikir, kami anak murid Pergu-
ruan Tapak Sakti tak dapat melemparkan tubuhmu ke
kaki gunung sana?!"
"Hmmm.... Kata-katamu membuat panas telingaku, Anak Muda...," sahut kakek berikat kepala batik.
"Kalau kau memang mampu melemparkan tubuhku ke
kaki gunung, kenapa tidak kau laksanakan sekarang
juga?"
Sebenarnya, pemuda berbaju putih bukanlah
orang yang mudah berbuat kekerasan. Tapi demi
membela nama perguruannya yang diremehkan dan
untuk mengajar adat pula pada si kakek, pemuda ber-
tubuh kekar ini maju beberapa tindak lagi. Lalu, den-
gan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata, ke-
dua tangan si pemuda berkelebat. Hendak disambar-
nya tubuh kakek berikat kepala batik. Namun....
Krakkk...!
"Wuahhh...!"
Kedua tangan kakek berikat kepala batik ter-
nyata dapat berkelebat lebih cepat. Sepuluh jari tangan
si kakek mencengkeram pergelangan tangan pemuda
berbaju putih. Lalu, terdengar suara gemeretak tulang
patah yang disusul pekik kesakitan!
Brukkk...!
Kakek berikat kepala batik melemparkan tubuh
pemuda berbaju putih. Karena dilemparkan dengan
tenaga yang amat kuat, tubuh si pemuda jatuh berde-
bam ke tanah, hingga menerbangkan batu-batu kerikil!
Dalam keadaan telentang, bola mata pemuda
berbaju putih tampak melotot besar dengan mulut
ternganga lebar. Kedua tulang lengannya patah. Dan,
tulang kepala bagian belakangnya pun telah retak ka-
rena membentur tanah keras. Setelah berkelojotan se-
jenak, si pemuda menghembuskan nafasnya yang te-
rakhir!
Terkejut bukan main empat pemuda lainnya.
Sebenarnya, saudara seperguruan mereka yang telah
mati itu memiliki kepandaian yang tak bisa dibilang
ringan. Dia telah berguru pada Ki Tunggul Jaladara se-
lama tiga tahun, tapi kenapa dia bisa begitu mudah
dibunuh oleh kakek berikat kepala batik?
Melihat kehebatan si kakek, tanpa terasa empat
pemuda adik seperguruan Gagak Ireng melangkah
mundur. Nyali mereka langsung menciut. Tapi, sebagai
seorang murid perguruan yang sering mendapat we-
jangan dari Ki Tunggul Jaladara, cepat mereka meng-
halau rasa takut dan giris. Mati dalam memberantas
kejahatan dan kekejaman adalah cita-cita seorang
pendekar sejati. Begitulah pengertian yang selalu dita-
namkan Ki Tunggul Jaladara kepada anak muridnya.
"Tua bangka keparat!" maki salah seorang pe-
muda berbaju kuning. "Rupanya, kau iblis kejam yang
tersesat jalan! Enyahlah kau ke neraka!"
Usai berkata, pemuda bertubuh tinggi tegap itu
menerjang. Tangan kanannya terjulur lurus ke depan
untuk menghantam dada si kakek, Sementara, tangan
kirinya ditekuk tapi siap mengirim serangan pula.
"Ciattt...!"
"Hiahhh..!"
Ternyata, tiga pemuda lainnya turut menerjang.
Jadilah kakek berikat kepala batik diserang dari empat
penjuru angin. Tapi tampaknya, si kakek seperti tak
ambil peduli walau tahu bahaya tengah mengancam
jiwanya. Namun, saat serangan keempat pemuda
hampir mengenai sasaran, dia memekik tinggi seraya
memutar tubuh!
Terdengar deru angin bergemuruh, disusul jerit
kematian empat pemuda murid Ki Tunggul Jaladara.
Putaran tubuh kakek berikat kepala batik telah mem-
buat tubuh mereka berpentalan. Saat jatuh berdebam
di tanah, dapat dilihat bila tubuh mereka telah berlu-
muran darah segar. Jiwa mereka melayang tanpa dapat ditahan lagi!
Kini, sepi menyelimuti Perguruan Tapak Sakti.
Perlahan, sang baskara bergeser ke barat. Sinarnya
melemah, membawa kesejukan. Semilir angin segera
melenakan....
Namun, suasana sepi dan kesejukan udara gu-
nung malah membuat hati kakek berikat kepala batik
memanas. Dengan berdiri berkacak pinggang, dia me-
nanti beberapa saat. Tapi, orang yang dicarinya tetap
tak mau muncul
"Hei! Tunggul Jaladara keparat!" teriak si ka-
kek. "Apakah telingamu sudah tertutup usia bangko-
tan mu, sehingga kau tak dapat mendengar jerit kema-
tian anak buahmu?! Hayo, cepat keluar! Ada titah sang
Prabu yang harus kusampaikan kepadamu!”
Kakek berikat kepala batik menunggu lagi. Ta-
pi, hanya desau angin gunung yang menyahuti teria-
kannya. Tak ada sosok manusia yang muncul dari da-
lam padepokan.
"Hmmm.... Tua bangka bernyali kadal! Kalau
ku bakar gubuk reot mu itu, mungkin kau baru mau
menampakkan batang hidungmu!"
Di ujung teriakannya, kakek berikat kepala ba-
tik mengeluarkan dua butir batu api dari saku cela-
nanya. Dia benar-benar hendak membakar Perguruan
Tapak Sakti!
Sambil mendengus gusar, si kakek mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke jari-jari tangannya. Dan,
apabila nanti kedua permukaan batu api dibenturkan,
akan melesat bunga-bunga api ke bangunan rumah
joglo beratap sirap. Tapi sebelum si kakek mewujud-
kan niatnya, terdengar teriakan keras menggelegar....
"Jahanam! Menyatroni Perguruan Tapak Sakti,
sama halnya dengan mencari mati!"
Kakek berikat kepala batik mengurungkan
niatnya. Saat menoleh ke belakang, tahulah dia bila di
belakangnya telah berdiri seorang pemuda brewokan
mengenakan pakaian putih-kuning. Pemuda bertubuh
tegap itu adalah Gagak Ireng. Sementara, di belakang
Gagak Ireng tampak berbaris sekitar tiga puluh pemu-
da. Mereka adalah murid pertengahan dan murid baru
Gagak Ireng. Bersama Gagak Ireng, mereka baru kem-
bali dari latihan yang mengambil tempat di kaki gu-
nung sebelah utara.
"Hmmm.... Cecurut-cecurut dungu pula yang
datang ke hadapanku...," dengus kakek berikat kepala
batik. "Kenapa bukan Tunggul Jaladara sendiri yang
menampakkan batang hidung?!"
Mendengar ucapan si kakek yang sangat mere-
mehkan, terbelalak mata Gagak Ireng. Lebih terkejut
lagi dia setelah melihat kelima mayat adik sepergu-
ruannya yang tergolek kaku di pelataran.
"Jahanam! Orang tua bau busuk! Kaukah yang
telah membunuh saudara-saudara seperguruanku
ini?!" geram Gagak Ireng.
"Mereka mati untuk menebus kesalahan sendi-
ri!" tukas kakek berikat kepala batik. "Aku mencari
Tunggul Jaladara, tapi kenapa mereka yang datang
menemuiku? Karena mereka menggangguku, terpaksa
aku turun tangan!"
"Iblis laknat! Kejam benar kau, Pak Tua!" geram
Gagak Ireng lagi. "Kau datang mencari Ki Tunggul Ja-
ladara, tidak tahukah kau bila guruku itu telah me-
ninggal enam candra yang lalu?!"
"Meninggal? Tunggul Jaladara meninggal? Ha
ha ha...!" kakek berikat kepala batik tertawa bergelak.
"Pantas! Pantas sekali bila teriakan ku tadi tak pernah
dia dengar! Rupanya, tua bangkotan itu telah mati! Ha
ha ha...!"
"Hmmm.... Kau tertawa tampak begitu gembira.
Aku tahu, di balik suara tawamu itu, kau hanya me-
mandang sebelah mata pada kami-kami anak murid
Perguruan Tapak Sakti," ujar Gagak Ireng, menyimpan
geram kemarahan di hati. "Sudah kubilang tadi, me-
nyatroni Perguruan Tapak Sakti, berarti mencari mati.
Apalagi, kau telah membunuh lima adik sepergurua-
nku, Pak Tua! Kau layak dilemparkan ke neraka seka-
rang juga!"
Di ujung kalimatnya, Gagak Ireng memasang
kuda-kuda. Kedua pergelangan kakinya dibuka seraya
menggerakkan telapak tangan di depan dada. Semen-
tara, para pemuda di belakangnya tampak tersurut
mundur. Mereka sadar bila Gagak Ireng akan segera
terlibat dalam pertempuran sengit. Ilmu kepandaian
mereka yang masih dangkal tentu saja tak bisa digu-
nakan untuk membantu Gagak Ireng. Yang dapat me-
reka lakukan hanyalah menyingkir jauh-jauh.
"Tunggu dulu!" sergah kakek berikat kepala ba-
tik
Tapi, Gagak Ireng tak mau mendengarkan te-
riakan si kakek. Dia terus menggerakkan kedua tan-
gannya di depan dada. Sesaat kemudian, kedua perge-
langan tangan Gagak Ireng memancarkan sinar putih
berkeredepan. Itulah ciri Ilmu pukulan 'Tapak Sakti
Pelebur Jagat', yang menjadi Ilmu andalan Perguruan
Tapak Sakti. Agaknya, Gagak Ireng benar-benar akan
membalas kematian lima adik seperguruannya.
Namun sebelum Gagak Ireng menerjang, kakek
berikat kepala batik mengeluarkan lempengan logam
kuning dari balik bajunya. Di salah satu permukaan
logam berwarna kuning itu terdapat ukiran Dewa Wis-
nu yang tengah duduk di punggung burung Jatayu.
"Aku membawa titah sang Prabu. Harap kau
bersabar dulu!" seru si kakek, mengacungkan lempen-
gan logam ke depan.
"Lencana Dewa Wisnu...," kesiap Gagak Ireng.
Tanpa sadar, pemuda ini menarik lagi ilmu pukulan
yang telah disiapkannya.
Lencana Dewa Wisnu adalah tanda pelimpah
wewenang dari Prabu Wira Parameswara. Siapa pun
yang memegang lencana yang terbuat dari emas cam-
puran itu dapat melakukan tindakan apa saja untuk
kepentingan Kerajaan Mahespati. Dan, dia juga memi-
liki wewenang tak terbatas, termasuk membunuh
orang yang dianggap membahayakan atau tak mema-
tuhi undang-undang kerajaan.
"Sebenarnya, kedatanganku ini adalah untuk
menyampaikan titah sang Prabu kepada Tunggul Jala-
dara...," ujar kakek berikat kepala batik. "Tapi karena
dia telah meninggal, maka titah sang Prabu itu wajib
dilaksanakan oleh penggantinya!”
"Siapa kau sebenarnya, Pak Tua...?" tanya Ga-
gak Ireng dengan suara bergetar. Pemuda ini berusaha
meredam kemarahannya. Untuk berurusan dengan
utusan sang Prabu yang mempunyai kekuasaan besar,
dia harus pikir-pikir dulu.
"Kau dapat mengenali lencana yang kubawa ini,
berarti kau telah tahu kalau aku adalah orang keper-
cayaan Prabu Wira Parameswara," sahut kakek berikat
kepala batik. "Tapi kalau kau ingin tahu nama dan ge-
larku, kau harus mengatakan dulu siapa yang meng-
gantikan kedudukan Tunggul Jaladara di padepokan
ini...."
Dengan hati yang masih mendongkol, Gagak
Ireng berkata, "Akulah sekarang yang menjadi ketua
Perguruan Tapak Sakti...."
"Kau?"
"Ya. Aku bernama Gagak Ireng."
"Hmmm.... Sebuah nama yang cukup gagah,"
puji si kakek, tapi dalam hati dia mengejek. Lalu den-
gan suara lantang, utusan Prabu Wira Parameswara
ini berkata, "Agar kau nanti tak ragu-ragu dalam me-
laksanakan titah sang Prabu, baiklah kukatakan siapa
diriku sebenarnya. Aku bernama Mahesa Lodra, na-
mun orang-orang biasa menyebutku sebagai Setan Se-
laksa Wajah!"
Usai berkata, kakek yang mengaku bernama
Mahesa Lodra atau Setan Selaksa Wajah mengusap
mukanya tiga kali. Dan..., terbelalaklah mata Gagak
Ireng dan para pemuda yang berdiri jauh di belakang-
nya.
Ternyata, muka tua Mahisa Lodra telah beru-
bah menjadi muka seorang pemuda tiga puluh tahu-
nan. Muka baru Mahisa Lodra itu begitu halus dan
tampan, dihiasi sepasang alls yang tampak gagah ber-
wibawa. Hanya saja, sorot matanya tetap tajam menu-
suk, menyiratkan kebengisan.
Gagak Ireng kaget bukan main. Sebelum ini,
dia memang belum pernah bertemu langsung dengan
Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah. Tapi, sering
kali dia mendengar kehebatan dan sepak terjang tokoh
beraliran sesat itu.
Sebenarnya, begitu mengetahui bila tokoh yang
berdiri di hadapannya adalah Mahisa Lodra, Gagak
Ireng ingin segera menghabisi riwayat tokoh sesat itu.
Sebagai anak murid Ki Tunggul Jaladara, Gagak Ireng
wajib menyingkirkan semua tokoh jahat. Tapi karena
Mahisa Lodra membawa Lencana Dewa Wisnu, Gagak
Ireng berusaha meredam hasrat hatinya. Dia ingin
mendengar terlebih dulu apa yang dititahkan sang
Prabu kepadanya.
"Ketahuilah kau, Gagak Ireng...," ujar Mahisa
Lodra kemudian. "Sang Prabu menitahkan agar semua
anak murid Perguruan Tapak Sakti ikut membantu to-
koh-tokoh istana dalam mencari dan memburu Darma
Pasulangit atau Ksatria Seribu Syair yang telah meng-
ganti namanya menjadi Wisnu Sidharta! Titah sang
Prabu ini terutama dibebankan kepadamu, Gagak
Ireng! Karena kau telah menggantikan kedudukan
Tunggul Jaladara sebagai ketua perguruan.... Berang-
katlah sekarang juga. Kalau sudah bertemu, bunuh
bekas putra mahkota itu! Bawa kepalanya ke hadapan
sang Prabu!"
Berkerut kening Gagak Ireng mendengar uca-
pan Mahisa Lodra. Gagak Ireng tak pernah menyangka
akan mendapat tugas dari Prabu Wira Parameswara.
Sejak Perguruan Tapak Sakti didirikan oleh Ki Tunggul
Jaladara sekitar dua puluh tahun yang lalu, tokoh-
tokoh istana ataupun sang Prabu sendiri tak pernah
mengusik keberadaan perguruan silat yang terletak di
lereng Gunung Lawu itu, baik semasa pemerintahan
Prabu Darma Sagotra maupun Prabu Wira Parameswa-
ra. Kalau sekarang Prabu Paremeswara memberikan
tugas yang amat berat kepada semua anak murid Per-
guruan Tapak Sakti, tentu saja hal itu mengherankan
Gagak Ireng.
Menurut desas-desus yang terdengar Gagak
Ireng tahu kalau Ksatria Seribu Syair adalah putra
Prabu Darma Sagotra yang telah digulingkan oleh Se-
nopati Raksa Jalinti. Setahun setelah menjadi raja,
Senopati Raksa Jalinti mengganti namanya menjadi
Wira Parameswara. Sementara, Ksatria Seribu Syair te-
rus menyusun kekuatan untuk dapat merebut kembali
takhta Kerajaan Mahespati. Jadi, bisa dibayangkan betapa berat tugas Gagak Ireng bersama anak murid Per-
guruan Tapak Sakti lainnya bila harus membunuh
Ksatria Seribu Syair yang tentunya telah berhasil men-
gumpulkan puluhan tokoh sakti sebagai andalannya.
"Hei! Kenapa kau diam saja, Gagak Ireng?!"
bentak Mahisa Lodra. "Apakah kau tak mendengar ka-
ta-kataku tadi?!"
Gagak Ireng menggeragap kaget. Sadarlah dia
bila telah terdiam beberapa lama. Ditatapnya wajah
tampan Mahisa Lodra yang masih memegang Lencana
Dewa Wisnu. Dengan suara berat, dia berkata, "Keta-
huilah kau, Mahisa Lodra.... Perguruan Tapak Sakti
tak pernah mau mencampuri urusan kerajaan..., seka-
rang ataupun esok hari! Dan, sudah menjadi pendi-
rianku, seumur hidup aku tak mau berhubungan den-
gan kaki-tangan raja! Aku tak mau menuruti perintah
siapa pun!"
"Hmmm.... Ucapanmu itu menyiratkan bahwa
kau menolak titah sang Prabu. Mayat lima adik seper-
guruanmu itu apakah belum bisa kau jadikan sebagai
pelajaran?"
"Justru karena kekejamanmu itu, aku menolak
perintah seorang utusan macam kau!"
"Bedebah!" maki Mahisa Lodra dengan raut
muka merah-padam. "Menolak perintahku, sama hal-
nya dengan menolak perintah sang Prabu. Menolak pe-
rintah sang Prabu, berarti mati!"
"Sama dengan aturan yang telah kubuat!" sa-
hut Gagak Ireng. "Menyatroni Perguruan Tapak Sakti,
berarti kematian pula!"
Mendengus gusar Mahisa Lodra melihat kebe-
ranian Gagak Ireng. Walau tadi Mahisa Lodra dapat
membunuh lima murid langsung Ki Tunggul Jaladara
dengan mudah, tapi kali ini dia tak mau bertindak gegabah. Gagak Ireng diangkat menjadi ketua perguruan
tentu karena memiliki kesaktian yang dapat diandal-
kan.
Selagi Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah
memasang kuda-kuda, Gagak Ireng tampak memutar-
mutar kedua tangannya di depan dada. Sesaat kemu-
dian, kedua pergelangan tangan Gagak Ireng meman-
carkan cahaya putih berkeredepan. Itu tandanya Ga-
gak Ireng telah mengetrapkan ilmu pukulan 'Tapak
Sakti Pelebur Jagat'
"Hiahhh...!"
Gagak Ireng menggembor keras seraya meng-
hentakkan telapak tangan dan kirinya bergantian. La-
lu, melesat dua bayangan tangan berwarna putih se-
perti perak. Andai salah satu bayangan tangan itu
membentur sebongkah batu, maka batu itu akan han-
cur-lebur menjadi debu! Sementara, yang menjadi sa-
sarannya adalah tubuh Mahisa Lodra yang terdiri dari
rangkaian tulang dan gumpalan daging. Apakah tubuh
Mahisa Lodra akan hancur-lebur menjadi debu pula?
Tampaknya, Mahisa Lodra dapat menyadari
bahaya yang tengah mengancam jiwanya. Sambil
menghembuskan napas panjang, dia sorongkan kedua
telapak tangannya ke depan. Dua larik sinar biru me-
lesat, memapaki dua bayangan tangan wujud dari pu-
kulan 'Tapak Sakti Pelebur Jagat'
Wusss...!
Blarrr...!
Blarrr...!
Dua ledakan keras menggelegar di angkasa. Ge-
taran suara itu mampu menerbangkan atap sirap yang
menopang rumah joglo Perguruan Tapak Sakti. Rant-
ing dan dahan pohon berpatahan. Sementara, sekitar
tiga puluh pemuda yang berdiri jauh di belakang Gagak Ireng tampak terlontar, dan jatuh bergulingan ke
kaki gunung!
Terbentur dua larik sinar biru yang melesat da-
ri telapak tangan Mahisa Lodra, dua bayangan tangan
wujud dari ilmu pukulan 'Tapak Sakti Pelebur Jagat'
langsung musnah tiada berbekas. Sementara, lesatan
dua larik sinar biru berbelok arah, melesat tegak lurus
ke atas, lalu musnah pula tiada berbekas.
Namun, di pusat ledakan yang terjadi karena
benturan dua ilmu pukulan tingkat tinggi itu telah
membuat kubangan besar di tanah. Kubangan yang
terbentuk di tengah pelataran itu cukup besar untuk
menguburkan dua ekor gajah sekaligus!
"Lumayan juga kau punya kesaktian, Gagak
Ireng," ujar Mahisa Lodra.
"Aku tidak butuh pujian mu!" sahut Gagak
Ireng. "Yang kubutuhkan adalah nyawamu untuk me-
nebus kematian lima adik seperguruanku!"
Usai berkata, Gagak Ireng menerjang ganas.
Kedua tangannya yang memancarkan sinar putih ber-
kelebatan ke sana-sini, mencari jalan kematian di tu-
buh Mahisa Lodra. Gagak Ireng terus mencecar dengan
jurus-jurus mematikan yang didapatkannya dari Ki
Tunggul Jaladara. Setiap tangannya bergerak, terden-
gar deru angin bergemuruh yang mendatangkan hawa
panas luar biasa. Karena Gagak Ireng menyerang se-
perti kesetanan, tak ayal lagi rumah joglo padepokan-
nya terbakar hangus!
Namun, sampai di mana pun Gagak Ireng men-
geluarkan kepandaiannya, Mahisa Lodra dapat mela-
deni tanpa mendapat kesulitan. Tubuh Mahisa Lodra
dapat bergerak sedemikian cepat, hingga berubah
menjadi bayangan yang berlesatan ke sana-sini. Dia
pun mengirim serangan balasan yang tak kalah berbahayanya. Hingga tiga puluh jurus kemudian....
Desss...!
"Arghhh...!"
Gagak Ireng memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
lontar ke atas, lalu jatuh berdebam di tanah. Setelah
berkelojotan, tubuh pemuda berewokan itu mengejang
kaku. Segera nyawanya melayang dengan tulang iga
remuk berpatahan
Rupanya, Gagak Ireng terkena pukulan 'Jari
Pematah Tulang' milik Mahisa Lodra!
"Ha ha ha...!” si Setan Selaksa Wajah Mahisa
Lodra tertawa bergelak, tak berkedip menatap tubuh
kaku Gagak Ireng. "Begitulah akibatnya kalau mem-
bangkang pada perintah Setan Seribu Wajah!"
Sejenak, Mahisa Lodra mengedarkan pandan-
gan. Tapi, anak murid Perguruan Tapak Sakti lainnya
sudah tak terlihat lagi. Saat terjadi bentrokan ilmu pu-
kulan jarak jauh tadi, tubuh mereka terlontar, dan ja-
tuh bergulingan ke kaki gunung. Dengan luka memar
dan lecet, kemudian mereka menyingkir sejauh mung-
kin. Pikir mereka, membela Gagak Ireng berarti memu-
suhi pihak kerajaan, yang sama artinya dengan tinda-
kan bunuh diri. Sementara, kalau menuruti kehendak
Mahisa Lodra, sama halnya dengan menyeberangi lau-
tan api. Ksatria Seribu Syair dan para andalannya
yang harus mereka bunuh adalah tokoh-tokoh berilmu
tinggi. Karena itulah mereka memilih pergi dari pade-
pokan untuk kemudian pulang ke rumah masing-
masing mencari selamat.
Gagak Ireng memang belum pernah mengajar-
kan kepada mereka tentang perlunya memupuk rasa
memiliki pada perguruan silat yang susah payah didi-
rikan oleh Ki Tunggul Jaladara. Sehingga, rasa cinta
dan kesetiaan mereka pada perguruan teramat tipis.
Maka, tak heran apabila mereka bisa dibilang berjiwa
pengecut.
Sementara itu, wajah sang baskara telah teng-
gelam separo di garis cakrawala barat. Petang akan se-
gera tiba untuk mengantarkan datangnya sang Dewi
Malam.
Melihat hari yang akan segera menjadi gelap,
Mahisa Lodra mengusap wajahnya tiga kali. Di lain ke-
jap, wajah tokoh yang tak jelas berapa umurnya ini be-
rubah menjadi wajah seorang kakek lagi. Lalu, dia
menjejak tanah seraya berkelebat menuruni lereng gu-
nung....
ENAM
SEWAKTU membuka kelopak mata, si bocah
lugu Seno Prasetyo hanya dapat melihat bayang-
bayang hitam. Maka, dia kerjapkan matanya beberapa
lama. Hingga, dapatlah dia lihat dinding-dinding gua
yang dipenuhi tonjolan batu.
"Oh.... Di mana aku...?" keluh si bocah. Rasa
sakit menyiksa Seno. Kepalanya pening. Tulang-
belulang tubuhnya terasa seperti telah patah beranta-
kan. Angin yang semilir dingin membuat bulu kuduk
Seno berdiri.
Seno mencoba bangkit dari lantai gua tempat-
nya terbaring. Tapi, cepat dia urungkan niat itu karena
dadanya terasa amat sesak. Kedua tangan dan kakinya
pun amat sulit digerakkan, lemas tanpa tenaga.
Dengan tetap terbaring telentang, Seno mena-
tap langit-langit gua. Pikirannya menerawang pada ke-
jadian yang baru dialaminya.
"Di sebuah makam batu besar, aku menemu
kan tongkat ajaib...," gumam si bocah. "Lalu, aku ber-
tempur dengan puluhan serigala yang telah memangsa
belasan kambing milik Tuan Gagak Ireng.... Sebagian
dari serigala-serigala itu dapat kubunuh, tapi... aku
terlontar jatuh ke jurang.,.. Aku masih hidup. Pasti
ada orang yang telah menolongku...."
Selagi Seno berpikir-pikir, dari balik dinding
gua sebelah dalam terdengar suara seorang lelaki
tua....
"Bocah bagus, kau menderita luka dalam yang
cukup berat. Jangan mencoba berdiri. Akan ku usaha-
kan untuk...."
Suara itu menggantung. Si empunya suara
mengucapkannya dengan perlahan-lahan dan seperti
sedang berpikir berat.
Dengan menggerakkan kepala ke kanan-kiri,
Seno berusaha mencari asal suara yang didengarnya.
Tapi dia tak melihat siapa-siapa di dekatnya. Dan, se-
lagi Seno terpana heran, suara seorang lelaki tua itu
terdengar lagi....
"Tiga puluh tahun bukanlah jangka waktu yang
pendek. Begitu panjang aku menanti dalam penderi-
taan. Tak mungkin aku membuang kesempatan ini be-
gitu saja...."
Suara itu berhenti sejenak, lalu disambung lagi.
"Ah! Aku yang sudah tua ini sudah tak membu-
tuhkan apa-apa lagi. Lebih baik barang itu kuberikan
kepadanya...."
Terdengar kemudian, suara helaan napas pan-
jang beberapa kali. Tentu saja Seno tidak tahu siapa
empunya suara itu, tapi dia sudah yakin bila pemilik
suara itulah yang telah menolongnya. Maka, tak dapat
Seno menahan hasrat hatinya untuk bertanya.
"Kakek yang baik..., di manakah kau? Cobalah
tampakkan dirimu. Aku ingin mengucapkan terima ka-
sih...."
Seno menggeragap kaget ketika merasakan
hembusan angin dingin yang bertiup di sisi kanan tu-
buhnya. Dan, terbelalaklah mata si bocah saat melihat
seorang kakek yang tiba-tiba telah duduk bersila di
dekatnya. Raut wajah kakek itu mencerminkan sifat
welas asih dan kehalusan budi. Hanya saja, tatapan
matanya tampak kosong seperti orang berotak bebal.
Rambutnya yang putih panjang digelung ke atas dan
dilingkari sebuah gelang perak. Sementara, pakaian-
nya amat kumal berwarna kelabu. Anehnya, pakaian si
kakek menyiarkan aroma harum bunga kenanga.
Seno diam saja saat si kakek mengelus-elus
dahinya. Dia dengarkan penuh perhatian kata-kata si
kakek yang diucapkan dengan suara lemah lembut.
"Bocah bagus..., kau tentu telah mempelajari
ilmu silat. Atau paling tidak, kau pernah berlatih da-
sar-dasar ilmu silat. Jika tidak, mana mungkin kau
dapat selamat? Kau telah jatuh dari tempat yang se-
demikian tingginya...."
Senang sekali hati Seno merasakan elusan
lembut jemari tangan si kakek. Seno dapat merasakan
ada pancaran kasih sayang di balik elusan itu. Kecuali
dari ibunya, belum pernah Seno mendapatkan kasih
sayang yang begitu tulus sebelum ini. Maka, tak bosan
Seno menatap wajah si kakek penuh kasih pula. Hing-
ga, dia pun lupa pada rasa sakitnya sampai beberapa
lama.
Sementara, kakek berbaju kumal yang melihat
Seno terus menatapnya lantas tersenyum. Dia tarik
tangan kanannya seraya bertanya, "Kau pernah mem-
pelajari ilmu pukulan?"
Seno hendak menggeleng, tapi pening di kepalanya terasa lagi. Maka, dia menjawab dengan suara
desis.
"Aku tak pernah belajar ilmu silat. Ibu hanya
mengajarkan cara mengatur pernapasan dengan du-
duk bersila."
Mendengar jawaban si bocah, kakek berjubah
kumal terdiam. Lalu, bibirnya menyungging senyum
senang.
"Jika nanti kau telah menelan 'Capung Kumala'
kau harus mengatur jalan nafasmu. Agar, inti kekua-
tan 'Capung Kumala' dapat menyatu dengan hawa
murni di tubuhmu. Luka dalammu akan sembuh. Ba-
rulah nanti aku membantumu mengatur jalan darah."
Kening si bocah lugu Seno Prasetyo berkerut
rapat. Dia tak tahu makna ucapan kakek berbaju
kumal. Namun, Seno tak dapat berpikir lama karena
keterkejutan segera menghantam dirinya. Tubuh si
kakek tiba-tiba lenyap, meninggalkan tiupan angin
dingin.
Begitu sosok kakek berbaju kumal lenyap, Seno
ingin bangkit. Tapi, teringat pada pesan si kakek yang
melarangnya berdiri, dia pun mengurungkan niatnya.
Hanya pikirannya yang melayang ke mana-mana.
Sesaat kemudian, Seno merasakan tiupan an-
gin dingin lagi. Sosok kakek berbaju kumal tiba-tiba
telah berada di sisi kanannya kembali. Namun, kali ini
wajah si kakek terlihat tegang. Kedua tangannya berge-
tar menyangga gumpalan cahaya kuning keemasan se-
besar buah kedondong. Di dalam gumpalan cahaya itu
terdapat seekor capung berwarna putih berkilat, meng-
gerak-gerakkan sayapnya seperti hendak terbang lepas
dari kurungan cahaya.
Seno hendak bertanya, tapi kakek berbaju
kumal keburu berkata, "Lekas buka mulutmu...."
Perkataan si kakek mengandung kekuatan
aneh yang memaksa Seno menuruti perintah itu. Dan,
begitu mulut Seno terbuka, si kakek menjejalkan gum-
palan cahaya yang dibawanya!
"Huk! Uh...!”
Tersedak Seno karena harus menelan benda
yang cukup besar. Anehnya, setelah dapat menelan
gumpalan cahaya, Seno merasakan sebuah hawa han-
gat yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Hawa hangat
itu berasal dari pusar.
"Kau telah menelan 'Capung Kumala'. Seka-
rang, duduklah bersila. Atur jalan pernafasanmu...."
Mendengar perintah kakek berbaju kumal, ber-
gegas Seno bangkit. Dia pun bersorak girang dalam ha-
ti. Dia dapat menggerakkan tubuhnya dengan leluasa.
Pening dan rasa sakit yang merejam tubuhnya telah
lenyap pula.
Namun, saat duduk bersila dengan mata terpe-
jam, Seno merasakan hawa hangat yang mengalir dari
pusarnya berubah jadi panas membakar. Tubuh Seno
kontan bergetar. Dia merasa kepanasan seperti dima-
sukkan ke tungku pembakaran!
"Cepat atur jalan nafasmu!" seru kakek berbaju
kumal, menyiratkan rasa khawatir.
Tanpa pikir panjang lagi, Seno menjalankan pe-
rintah si kakek. Dia atur jalan nafasnya seperti yang
pernah diajari oleh mendiang ibunya.
Sementara, kakek berbaju kumal terus mena-
tap tak berkedip. Diam-diam timbul rasa heran di hati
kakek berwajah teduh ini. Dia tahu Seno telah jatuh
dari tebing yang sangat tinggi. Seorang pesilat kelas
menengah pun akan mati bila terjatuh dari tebing se-
tinggi lebih dari lima ratus tombak itu. Tapi, bagaima-
na Seno dapat selamat? Memang benar Seno pernah
berlatih menghimpun tenaga dalam walau tanpa dis-
adarinya, tapi itu saja belum menjamin keselamatan!
Dalam keheranannya, si kakek mengeluarkan
sebatang tongkat pendek dari balik baju kumalnya. Sa-
lah satu ujung tongkat putih sepanjang dua jengkal itu
tampak runcing.
"Tongkat Dewa Badai ini kutemukan di dekat
tubuh bocah itu. Mungkinkah benda mustika ini telah
mengalirkan hawa sakti, sehingga tubuhnya tak han-
cur berantakan waktu jatuh ke tanah?"
Sambil terus menatap wajah lugu Seno Pra-
setyo, si kakek mengelus-elus tongkat mustika di tan-
gannya. Dia tersenyum senang waktu melihat getaran
tubuh Seno melemah dan napas si bocah pun berhem-
bus sangat teratur.
Siapakah sebenarnya kakek berbaju kumal itu?
Di rimba persilatan, dia masuk dalam golongan
tokoh jajaran atas yang sudah sangat sulit dicari tan-
dingannya. Sekitar tiga puluh tahun silam, orang-
orang biasa menyebutnya sebagai Dewa Dungu walau
sebenarnya otak si kakek tidak dungu ataupun bebal.
Kaum rimba persilatan memberi julukan Dewa Dungu
karena tatapan mata si kakek yang senantiasa kosong
seperti orang berotak bebal. Lagi pula, si kakek juga
punya sifat pelupa, sehingga kadang-kadang perbua-
tannya terkesan amat bodoh.
Dewa Dungu pernah mengambil seorang murid
yang punya bakat luar biasa untuk mendalami ilmu si-
lat. Namun sayang, Dewa Dungu telah keliru dalam
menilai sifat dan pribadi muridnya. Hingga pada ak-
hirnya, kekeliruan itu membuat Dewa Dungu terus di-
rundung rasa sesal.
Sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, Dewa
Dungu menemukan setumpuk buku pelajaran ilmu si
lat. Buku-buku ilmu silat itu terdiri dari lima bagian.
Namun, karena tidak terdapat gambar-gambar yang
memberikan petunjuk, Dewa Dungu agak kesulitan da-
lam mempelajarinya. Maka, Dewa Dungu mengajak
muridnya menyingkir dari keramaian agar dapat mem-
pelajari isi buku-buku temuannya tanpa ada gang-
guan.
Selama beberapa tahun tinggal bersama di se-
buah lembah sepi, Dewa Dungu dapat mencium peri-
laku muridnya yang tak baik. Oleh karena itu, Dewa
Dungu tak mau menurunkan semua ilmu kesaktian-
nya.
Tindakan Dewa Dungu itu justru membuat si
murid membenci dan menyusun sebuah siasat licik.
Saat Dewa Dungu duduk bersemadi, beberapa aliran
darahnya ditotok. Aliran darah Dewa Dungu jadi ka-
cau, kemudian menyebabkan 'salah api'. Akibatnya,
sepasang kaki Dewa Dungu lumpuh!
Tapi sebelum kejadian itu, Dewa Dungu telah
menyembunyikan lima buku temuannya secara terpi-
sah-pisah. Namun demikian, si murid yang jahat ber-
hasil mendapatkannya walau cuma dua buku. Dan, la-
rilah murid murtad itu dengan membawa dua kitab
curiannya. Dewa Dungu yang telah lumpuh ditinggal-
kannya tanpa belas kasihan sedikit pun.
Beruntung bagi Dewa Dungu. Walau lumpuh,
dia dapat bertahan hidup sampai sekarang ini. Dia
tinggal di sebuah gua yang terletak di salah satu lem-
bah Gunung Lawu. Dalam kesendiriannya itu, Dewa
Dungu telah mendapatkan 'Capung Kumala' yang
mempunyai khasiat luar biasa, yang kemudian diberi-
kannya kepada si bocah lugu Seno Prasetyo.
Demikianlah riwayat kakek berbaju kumal yang
tak lain dari Dewa Dungu itu. Sekarang, tokoh tua
yang telah berumur hampir delapan puluh tahun itu
tampak menempelkan kedua telapak tangannya ke
punggung Seno.
Hingga, dalam semadinya, Seno merasakan se-
buah aliran hawa hangat lain yang masuk ke tubuh-
nya. Hawa hangat yang berasal dari telapak tangan
Dewa Dungu itu mengalir ke seluruh urat darah di tu-
buh Seno. Sebentar kemudian, raut wajah si bocah ter-
lihat merah sehat.
Setelah membantu Seno mengatur aliran da-
rahnya, Dewa Dungu menggeser duduknya dengan
menggunakan telapak tangan sebagai pijakan. Tahulah
Seno, bila sang dewa penolongnya ternyata seorang
kakek lumpuh.
"Bertahun-tahun aku tinggal di gua ini. Berta-
hun-tahun aku melatih daya batin ku...," ujar Dewa
Dungu, menatap wajah Seno lekat-lekat. "Tak mungkin
aku salah menentukan pilihan lagi. Bocah bagus...,
aku dapat membaca sifat dan pribadimu dari raut wa-
jah dan sorot matamu. Kau seorang bocah yang amat
lugu dan jujur.... Sekarang, ikutlah aku...."
Usai berkata, kedua tangan Dewa Dungu me-
nekan lantai gua. Dan, terbelalaklah mata Seno. Si bo-
cah terkejut melihat tubuh Dewa Dungu yang tiba-tiba
berpindah tempat, sekitar lima tombak dari hadapan-
nya.
"Ayo! Ikutlah aku...!" ajak Dewa Dungu, me-
lambaikan tangannya.
Seno nyengir kuda sejenak, lalu berlari-lari
mengikuti lesatan tubuh Dewa Dungu yang memasuki
bagian gua sebelah dalam. Sambil berlari, Seno berpi-
kir-pikir. Dia merasa langkah kakinya dapat berkelebat
cepat, namun dia tak tahu apa penyebabnya. Tapi, ka-
rena tak mau tertinggal, cepat dia mengusir segala
tanda tanya yang berkecamuk di benaknya.
Kini, Seno telah menginjakkan kaki di sebuah
ruangan berhawa sejuk. Dia memandang kagum pada
tatanan meja dan kursi yang terbuat dari batu. Di de-
kat meja dan kursi itu terdapat sebuah rak buku yang
juga terbuat dari batu.
"Duduklah...," perintah Dewa Dungu.
Walau Seno tak tahu apa yang akan diperbuat
si kakek pada dirinya, namun dia menurut juga. Dia
duduk di salah satu kursi batu yang dingin. Sewaktu
Dewa Dungu menggeser tubuh mendekati rak buku,
Seno menyentuh bahunya.
"Kakek yang baik..., yang baru ku telan tadi
apa? Kenapa tubuhku jadi bertambah ringan seperti
ini?"
"'Capung Kumala'. Yang kau telan tadi adalah
'Capung Kumala'. Jika seorang ahli silat menelannya,
sama artinya dengan dia tekun berlatih selama dua
puluh tahun," jawab Dewa Dungu, penuh kesunggu-
han. "Tiga puluh tahun lamanya aku menunggu ke-
munculan barang ajaib itu. Hmmm.... Kau memang
punya peruntungan yang bagus,..."
Mendengar itu, Seno jadi tak enak hati. Dia te-
lah menelan barang ajaib milik Dewa Dungu yang telah
menunggu kemunculannya selama tiga puluh tahun.
Lalu, dengan suara bergetar mengandung penyesalan,
Seno berkata, "Tidak seharusnya Kakek memberikan
barang yang sangat berharga itu kepada ku. Kalau di
dunia ada lagi barang macam itu, aku akan berjuang
sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Aku harus
mengganti kebaikan Kakek...."
Tersenyum lebar Dewa Dungu. Bola matanya
membesar dan tampak lucu. "Sudahlah, tak perlu kau
pikirkan soal ganti-mengganti kebaikan," sahutnya.
"Untuk mendapatkan 'Capung Kumala* sangat tergan-
tung pada peruntungan. Menunggu sampai seratus ta-
hun pun, belum tentu 'Capung Kumala' akan muncul
lagi."
"Kakek baik sekali...," ujar Seno. Turun dari
kursi seraya berlutut di hadapan Dewa Dungu.
"Hmmm.... Walau batang usiamu belum sebe-
rapa, kau telah memiliki peradatan bagus. Tapi, aku
tak butuh penghormatan yang berlebihan. Bangkitlah.
Ceritakan siapa dirimu sebenarnya...."
Dengan isyarat tangan, Dewa Dungu menyuruh
Seno untuk duduk lagi di kursi. Tapi kali ini, Seno
menggeleng. Seno tak mau duduk di atas, sementara
ada orang tua yang duduk di bawah. Begitulah perada-
tan Jawa yang diketahui Seno dari mendiang ibunya.
Dan, Dewa Dungu pun tak mau memaksa. Dia biarkan
Seno duduk bersila di hadapannya.
"Nama lengkap ku adalah Seno Prasetyo,
Kek...," ujar si bocah. "Ibuku yang bernama Dewi Am-
barsari atau Putri Bunga Putih baru saja dibunuh
orang, Kek...," lalu, bocah berpakaian compang-
camping ini menceritakan peristiwa di Bukit Takeran,
termasuk kedatangannya di Perguruan Tapak Sakti,
hingga dia jatuh ke dalam jurang.
Sewaktu Seno bercerita bahwa dia telah mene-
mukan sebuah makam batu besar yang terdapat pulu-
han batok kura-kura, Dewa Dungu membelalakkan
mata.
"Luar biasa! Penemuan yang bagus!" serunya.
Dewa Dungu lalu menggeser tubuhnya mende-
kati rak buku. Diambilnya tiga buku tua yang ter-
bungkus rapi. Setelah membuka halaman buku-buku
itu beberapa lembar, dia berkata, "Sekarang, kau tun-
jukkan padaku gerakan-gerakan yang telah kau hafal
itu...."
Seno menurut saja. Ditariknya napas panjang,
lalu menggerakkan anggota-anggota tubuhnya, persis
seperti gambar yang terukir di puluhan batok kura-
kura.
Semakin lama, gerakan Seno semakin cepat.
Dewa Dungu menatap tak berkedip. Kepalanya meng-
geleng-geleng karena kagum.
Sepeminum teh kemudian, dengan tubuh ber-
mandi keringat Seno duduk bersila lagi di hadapan
Dewa Dungu. Sementara, Dewa Dungu tampak mem-
buka-buka halaman tiga buku di pangkuannya.
"Sama persis. Sama persis...," gumam Dewa
Dungu.
Kakek lumpuh itu lalu berkata sambil menatap
wajah Seno lekat-lekat, "Semua gerakan yang kau pe-
ragakan tadi sama persis dengan isi ketiga buku ini.
Ketahuilah, ketiga buku ini berisikan pelajaran tentang
ilmu tenaga dalam, ilmu pukulan, dan ilmu menggu-
nakan senjata berupa tongkat pendek.... Telah pulu-
han tahun aku mempelajarinya, namun tak dapat aku
mendalami secara menyeluruh. Ketiga kitab ini ditulis
oleh seorang tetua pendiri aliran Angin Selatan. Ke-
mungkinan besar, makam yang kau temui itu adalah
makam si tetua yang bernama Sanggalangit."
Dewa Dungu mengambil napas panjang. Ke-
ningnya berkerut rapat, seperti ada sesuatu yang tiba-
tiba membebani pikirannya. Namun tak lama kemu-
dian, dia melanjutkan perkataannya.
"Sebenarnya, buku ciptaan Sanggalangit atau
Kitab Sanggalangit terdiri dari lima buku. Sayangnya,
dua buku lainnya telah dilarikan oleh si binatang itu!"
Mendelik mata Dewa Dungu saat mengucapkan
'si binatang'. Seno tak tahu siapa yang dimaksud dalam kata itu karena Dewa Dungu tak mau menje-
laskan.
Sementara, Dewa Dungu mengeluarkan tongkat
pendek yang telah tersimpan di balik bajunya. Lalu ka-
tanya, "Tongkat mustika ini kutemukan tak seberapa
jauh dari tempat tubuhmu tergeletak pingsan...."
"Ya. Ya, tongkat ajaib itu milikku, Kek," tukas
Seno. Gembira sekali hati bocah lugu itu. Tongkat
mustika, hasil temuannya yang dia sangka hilang ter-
nyata disimpan oleh Dewa Dungu.
"Tahukah kau, Seno, apa nama tongkat ini?"
tanya Dewa Dungu kemudian.
Seno nyengir kuda seraya menggeleng.
"Menurut bagian pertama dari Kitab Sangga-
langit, tongkat pendek ini bernama Tongkat Dewa Ba-
dai. Tongkat Dewa Badai adalah sebuah senjata mus-
tika. Hanya orang yang mempunyai keberuntungan
besar yang dapat memilikinya...."
Seno mengangguk-angguk.
"Tongkat Dewa Badai memiliki daya kekuatan
luar biasa," lanjut Dewa Dungu. "Bila dikibas-kibaskan
akan menimbulkan tiupan angin kencang laksana ba-
dai. Bila dipukulkan atau ditusukkan ke bongkah ba-
tu, maka bongkah batu itu akan hancur berkeping-
keping...."
Seno mengangguk-angguk lagi. Dalam hati dia
membenarkan ucapan si kakek karena pernah mem-
buktikannya.
"Dan, di balik kedahsyatan Tongkat Dewa Badai
ini terdapat satu khasiat yang tak kalah hebat. Tong-
kat Dewa Badai dapat memusnahkan pengaruh segala
jenis racun, baik yang berasal dari hewan maupun
yang berasal dari tumbuhan. Maka, kau harus dapat
menyimpannya sebaik mungkin...."
Usai berkata, Dewa Dungu menyodorkan Tong-
kat Dewa Badai. Seno menerima tongkat mustika itu
dengan kedua tangan. Namun, segera dia meletakkan-
nya ke lantai. Dia lalu berlutut seraya berkata, "Kakek
baik sekali.... Dapatkah Kakek menerimaku sebagai
murid? Aku berjanji akan menggunakan ilmu kesak-
tian yang kudapatkan dari Kakek di jalan kebena-
ran...."
Dewa Dungu tak menjawab. Namun, setelah
Seno membentur-benturkan dahinya ke lantai, dia
berkata, "Sudah kubilang, aku tak butuh peradatan
yang berlebihan. Duduklah lagi," tangan Dewa Dungu
mengangkat bahu Seno. Begitu Seno duduk bersila la-
gi, dia menyambung kalimatnya. "Tak usah kau me-
minta, aku memang akan mengangkatmu sebagai mu-
rid. Tapi, harap kau katakan asal-usulmu lebih jelas.
Kau mengaku anak dari Dewi Ambarsari atau Putri
Bunga Putih. Aku tak mengenal ibumu yang kau kata-
kan baru meninggal itu. Karena, tiga puluh tahun le-
bih aku tak berkecimpung di rimba persilatan. Kini,
harap kau ceritakan siapa ayahmu, masih hidupkah
dia atau telah meninggal seperti ibumu?"
Tanpa pikir panjang lagi, Seno berkata, "Ayah
Seno bernama Darma Pasulangit yang bergelar Ksatria
Seribu Syair...."
"Sebentar," tukas Dewa Dungu, mengerutkan
kening. "Darma Pasulangit adalah putra mahkota Ke-
rajaan Mahespati. Ketika aku masih berkecimpung di
rimba persilatan, dia masih kanak-kanak. Sekarang
ini, dia pasti telah menggantikan Darma Sagotra ayah-
nya sebagai raja...."
"Tidak, Kek," ganti Seno yang menukas. "Sebe-
lum meninggal, ibuku bercerita bahwa Senopati Raksa
Jalinti berhasil menggulingkan takhta Prabu Darma
Sagotra. Sementara, Darma Pasulangit ayahku terus
menjadi buronan sampai sekarang...."
Semakin rapat kerut di kening Dewa Dungu.
Bola matanya berputar-putar. Walau sedang berpikir
keras, tapi wajahnya terlihat lucu.
"Tak jadi apa. Tak jadi apa...," ujar Dewa Dungu
kemudian, ditujukan kepada dirinya sendiri. "Gua
tempat tinggalku ini berada di lembah yang tersem-
bunyi dan jarang dijamah manusia. Tak akan ada yang
tahu kalau anak Darma Pasulangit berada di sini."
"Kakek jadi mengangkat ku sebagai murid?"
tanya Seno yang sempat mendengar perkataan Dewa
Dungu.
"Tentu saja," jawab si kakek, cepat. "Siapa pun
kau, bagaimanapun asal-usulmu, aku tetap akan
mengangkatmu sebagai murid. Aku tahu kau punya
jiwa bersih. Kau amat lugu dan jujur. Namun, ada satu
syarat yang harus kau penuhi...."
"Asal bukan perbuatan jahat, apa pun syarat
Kakek akan kulaksanakan," sahut Seno penuh keyaki-
nan.
Dewa Dungu mengangguk-angguk sambil men-
gelus jenggotnya yang tak seberapa lebat. Lalu ka-
tanya, "Baiklah, kau belajar ilmu olah kanuragan dulu.
Pada saatnya nanti, kau akan tahu apa yang harus
kau kerjakan untukku."
Maka, hari itu juga si bocah lugu Seno Prasetyo
dan Dewa Dungu melakukan upacara pengangkatan
guru dan murid di depan meja sembahyang. Dan, kee-
sokan harinya Dewa Dungu mulai mencurahkan selu-
ruh ilmu kesaktiannya kepada Seno. Sementara, Seno
pun menerima dan menjalankan semua petunjuk gu-
runya dengan penuh kesungguhan.
Selain mengajarkan ilmu kesaktiannya sendiri,
Dewa Dungu juga mengajarkan isi Kitab Sanggalangit
yang terdiri dari tiga buku. Seno pun dapat menerima
semua pelajaran dan petunjuk dengan baik karena dia
punya tekad dan semangat besar. Selain itu, khasiat
'Capung Kumala' yang telah ditelannya turut memban-
tu banyak dalam menerima gemblengan Dewa Dungu.
Dapat dipastikan, bila kelak di kemudian hari di rimba
persilatan akan muncul seorang pendekar muda yang
belum tentu dapat dicari dalam jangka waktu seratus
tahun.
TUJUH
PUTARAN waktu berlalu sedemikian cepat. Ke-
cuali kekuatan Sang Pencipta, tak ada kekuatan lain
yang mampu menahannya. Tak juga kekuatan manu-
sia yang punya banyak kekurangan. Tanpa terasa, li-
ma tahun telah berlalu. Tentu saja banyak perubahan
yang telah terjadi.
Seno Prasetyo yang dulunya hanya seorang bo-
cah kurus dekil, kini telah berubah menjadi seorang
pemuda remaja berumur tujuh belas tahun. Ketampa-
nan wajahnya tak lagi tersamar oleh debu dan kotoran.
Sebagai seorang anak manusia yang telah menginjak
dewasa, Seno tahu arti kebersihan.
Karena tiap hari berlatih ilmu silat, tubuh Seno
menjadi tinggi tegap, berdada bidang, dengan sepasang
tangan dan kaki yang kokoh kuat. Rambutnya hitam
panjang, dibiarkan tergerai bebas di punggung. Sepa-
sang alisnya yang menyerupai sayap elang menukik te-
lah menebal, hingga mirip sepasang golok yang diben-
tangkan. Hidungnya mancung, bertengger di atas bibir
kemerahan. Namun, keluguan Seno masih tetap terpancar di balik ketampanan wajahnya.
Sebenarnya, lima tahun adalah ukuran waktu
terpendek untuk mendalami ilmu kesaktian. Tapi, ka-
rena Seno telah menelan 'Capung Kumala' dan digem-
bleng oleh seorang tokoh sakti yang sangat matang
pengalaman, dia mendapat kemajuan yang amat pesat.
Seluruh ilmu kesaktian Dewa Dungu telah dapat dis-
erap. Dan, isi Kitab Sanggalangit dapat pula dipahami
inti-sarinya.
Pagi itu, dengan mengenakan pakaian yang ter-
buat dari besetan kulit harimau, Seno tampak me-
mainkan salah satu jurus yang terdapat dalam Kitab
Sanggalangit. Sementara, Dewa Dungu yang lumpuh
mengawasi dari jarak sekitar lima belas tombak.
"Bagus! Bagus!" puji Dewa Dungu, keras meng-
gelegar. "Sekarang, mainkan jurus 'Dewa Badai Meng-
hajar Lautan'"
Mendengar perintah gurunya, Seno menghenti-
kan gerakannya, lalu dia berkelebat lagi, memainkan
jurus lain yang terdapat dalam Kitab Sanggalangit.
Hebat sekali jurus yang sedang dimainkan Se-
no. Tubuh pemuda tampan itu dapat berkelebat amat
cepat, hingga berubah menjadi bayangan coklat yang
menyerupai asap. Sementara, Tongkat Dewa Badai te-
rus berkelebat pula. Dan, setiap Tongkat Dewa Badai
mengibas, timbul tiupan angin kencang laksana badai
topan.
"Jangan ragu-ragu! Tambah tenaga! Anggap
kau sedang melawan seorang musuh tangguh!"
Sekali lagi, Dewa Dungu berteriak. Segera Seno
mengempos tenaga. Dia alirkan beberapa bagian tena-
ga dalamnya ke Tongkat Dewa Badai. Maka tak ayal
lagi, kibasan tongkat mustika itu menimbulkan leda-
kan-ledakan keras yang membarengi tiupan angin
kencang!
Karena Seno terus menambah kekuatan tenaga
dalamnya, tiupan angin yang ditimbulkan oleh kibasan
Tongkat Dewa Badai semakin kuat bergemuruh. Gum-
palan tanah dan bongkahan batu mulai beterbangan
Ranting dan dahan pohon berpatahan. Sementara, be-
berapa batang pohon kecil tampak tercabut dari akar-
nya, lalu terlontar jauh dan menghilang dari pandan-
gan.
Dewa Dungu tersenyum puas melihat kema-
juan yang telah dicapai muridnya. Namun, di balik se-
nyum itu Dewa Dungu menahan napas. Dia mengelua-
rkan ilmu memperberat tubuh agar tubuhnya tak tu-
rut dilontarkan oleh badai topan ciptaan yang timbul
akibat kibasan Tongkat Dewa Badai.
"Cukup! Cukup!" seru Dewa Dungu kemudian.
Bergegas Seno menghentikan kelebatan tubuh-
nya. Dia pun sedikit heran melihat keadaan di sekitar-
nya. Permukaan tanah telah dipenuhi kubangan.
Bongkah-bongkah batu yang semula berada di dekat-
nya, kini sudah tak terlihat lagi. Sementara, pohon-
pohon di sekitarnya telah menjadi gundul. Ranting dan
dahannya banyak yang sempal patah. Beberapa pohon
kecil tak berada di tempatnya lagi.
"Arahkan pandanganmu ke tebing batu itu, Se-
no!" perintah Dewa Dungu. "Dari tempatmu berdiri,
cobalah kau hancurkan tebing batu itu dengan puku-
lan 'Dewa Badai Rontokkan Langit'!”
Tanpa berkata apa-apa, Seno membungkukkan
badannya, menghadap ke Dewa Dungu. Setelah itu,
dia membalikkan badan. Ditatapnya tebing batu yang
dimaksud oleh sang Guru. Lalu, dia alirkan beberapa
bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan. Dipasang-
nya kuda-kuda seraya....
"Hiahhh...!"
Seno memekik tinggi. Pergelangan tangan ka-
nannya yang telah berubah warna menjadi putih berki-
lat, dia hentakkan ke depan. Saat itu juga, melesat se-
larik sinar putih berkeredepan dari telapak tangan ka-
nan Seno!
Wusss...!
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras menggelegar di angka-
sa. Bumi berguncang bagai terjadi gempa. Debu men-
gepul tebal. Pecahan batu berhamburan ke berbagai
penjuru!
Manakala pandangan telah menjadi terang lagi,
tebing batu yang menjadi sasaran pukulan jarak jauh
Seno telah hancur luluh. Rata dengan permukaan ta-
nah!
"Hebat! Hebat!" puji Dewa Dungu. "Aku tahu
kau tidak menggunakan seluruh kekuatan tenaga da-
lammu. Itu lebih baik. Aku tak mau melihat seluruh
tempat di lembah Gunung Lawu ini menjadi porak-
poranda.... Sekarang, kita kembali ke gua, Seno. Ada
sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu."
"Baik, Kek," sambut Seno, membungkukkan
badan.
Bergegas Dewa Dungu membalikkan tubuhnya.
Kedua tangannya menekan tanah. Tiba-tiba, tubuh
kakek lumpuh itu melesat cepat, dan menghilang dari
pandangan!
Seno yang sudah tahu ke mana perginya Dewa
Dungu, bergegas menjejak tanah. Dia kerahkan ilmu
peringan tubuh untuk dapat mengimbangi lesatan
sang Guru.
* * * *
"Seluruh kepandaian yang kumiliki telah kuwa-
riskan kepadamu. Isi Kitab Sanggalangit telah dapat
kau serap pula," ujar Dewa Dungu setelah berada di
dalam gua. "Kini, sudah saatnya kau keluar dari lem-
bah Gunung Lawu yang sepi ini. Carilah pengalaman
sendiri. Ingat! Di pundakmu terpikul beban kewajiban.
Membela yang lemah. Memberantas yang kuat namun
jahat, Menjunjung tinggi kebenaran. Dan, selalu beru-
saha untuk dapat menegakkan keadilan. Nah! Pagi ini
juga, kau boleh pergi...."
Berkerut kening Seno mendengar perkataan
Dewa Dungu. Untuk beberapa lama, dia nyengir kuda.
Rupanya, kebiasaan buruk semasa kecil itu terus ter-
bawa sampai dia tumbuh menjadi pemuda remaja.
"Tidak, Kek...," tolak Seno kemudian. "Aku akan
tinggal di sini sampai beberapa tahun lagi. Kaki Kakek
belum sembuh. Kalau aku pergi, siapa lagi yang akan
melayani Kakek?"
Mendengar ucapan Seno yang masih terkesan
lugu itu, Dewa Dungu tersenyum lebar. "Kau pikir,
siapa yang melayaniku sebelum kau tinggal di tempat
ini bersamaku? Sejak puluhan tahun yang lalu, dalam
keadaan lumpuh, aku terbiasa melayani diriku sendiri.
Tapi..., aku pun bisa merasakan isi hatimu. Kau tidak
tega meninggalkan diriku yang sudah semakin tua ren-
ta digerogoti usia ini."
Seno diam. Dalam hati, dia membenarkan uca-
pan Dewa Dungu. Memang, berat rasanya meninggal-
kan sang Guru yang sangat menyayanginya itu. Apala-
gi, sang Guru dalam keadaan lumpuh.
"Di dunia ini, tidak ada satu pun kejadian yang
tidak berubah...," lanjut Dewa Dungu. "Kau tak perlu
mengkhawatirkan keadaanku, Seno. Selama lebih dari
tiga puluh lima tahun aku tinggal di tempat ini, aku
dapat menyerap saripati Kitab Sanggalangit. Aku dapat
menghimpun kembali inti kekuatan tubuhku. Tak le-
bih dari setahun lagi, sepasang kakiku akan sembuh
seperti sediakala. Oleh karena itu, kau tak perlu kha-
watir, Seno. Pergilah. Carilah pengalaman di dunia
luar...."
Usai berkata, Dewa Dungu menepuk-nepuk
bahu Seno yang belum juga mau angkat kaki. Menda-
dak, kakek berbaju kumal itu menggaplok kepalanya
sendiri.
Plok...!
"Uh! Bodoh sekali aku ini! Penyakit lupa ku be-
lum juga mau hilang!"
Setelah merutuk dirinya sendiri, Dewa Dungu
berkata kepada Seno. "Untung kau belum pergi, Seno.
Ada satu hal penting yang harus kau kerjakan untuk-
ku."
"Apa itu, Kek?" tanya Seno.
"Masih ingatkah kau pada satu syarat ku sebe-
lum kau kuterima sebagai murid?"
Seno nyengir kuda sejenak, lalu menjawab, "Ya.
Aku harus mengerjakan satu tugas untuk Kakek."
Dewa Dungu menatap wajah Seno lekat-lekat.
Dia seakan ingin melongok isi hati muridnya itu.
"Sebenarnya, kau mempunyai kakak sepergu-
ruan. Dia bernama Mahisa Lodra," tutur Dewa Dungu
kemudian. "Lebih dari tiga puluh tahun yang lalu ber-
sama muridku itu, aku mempelajari isi Kitab Sangga-
langit di tempat ini. Namun sayang, Mahisa Lodra
mempunyai sifat-sifat yang tak terpuji. Aku telah keliru
memilihnya sebagai murid...."
Bergetar suara Dewa Dungu saat bercerita. Te-
ringat masa lalunya, hati Dewa Dungu tergeluti rasa
sedih. Sementara, Seno mendengarkan cerita gurunya
dengan penuh perhatian.
"Karena aku tak mau menurunkan seluruh il-
mu kesaktianku, Mahisa Lodra menyusun siasat licik.
Saat aku bersemadi, beberapa jalan darahku ditotok-
nya. Jalan darahku jadi 'salah api' yang menyebabkan
sepasang kakimu lumpuh," lanjut Dewa Dungu. "Dan,
Kitab Sanggalangit yang ku sembunyikan secara terpi-
sah, dapat dicurinya dua bagian. Masing-masing buku
yang dilarikan oleh Mahisa Lodra itu berisi tentang il-
mu peringan tubuh bernama 'Angin Pergi Tiada Berbe-
kas' dan sebuah pelajaran ilmu sihir atau ilmu sema-
camnya yang bernama 'Selaksa Wajah Berganti-ganti'."
Dewa Dungu menghentikan ceritanya untuk
mengambil napas panjang. Lalu, dengan suara tetap
bergetar, dia melanjutkan lagi.
"Kalau Mahisa Lodra dapat mendalami kedua
bagian dari Kitab Sanggalangit itu, maka dia akan da-
pat berlari secepat angin. Dan, dia pun dapat merubah
wajahnya sesuka hatinya. Dia bisa merubah wajahnya
menjadi seorang pemuda tampan atau seorang kakek
tua renta, bahkan dia pun dapat merubah wajahnya
menjadi seorang wanita. Dan..., sekarang kau harus
tahu tugasmu, Seno. Carilah murid murtad itu sampai
ketemu. Kalau dia kau temui sebagai seorang penja-
hat, kau boleh menamatkan riwayatnya. Dan, kalau
kau temui dia sebagai seorang pendekar, ampuni jiwa
murid murtad itu. Namun, mintalah kedua buku ba-
gian dari Kitab Sanggalangit untuk kau pelajari."
"Baik, Kek," sambut Seno. "Aku akan melaksa-
nakan tugas dari kakek ini dengan sekuat tenaga."
"Bagus! Percayalah, Yang di Atas selalu menyer-
tai orang-orang yang berjalan di jalan kebenaran. An-
dai nanti kau temui Mahisa Lodra sebagai seorang
penjahat, kau tak perlu takut atau gentar. Kau akan
dapat mengimbangi ilmu peringan tubuhnya dengan
'Lesatan Angin Meniup Dingin' yang telah kuajarkan
kepadamu. Kau tak perlu takut melihat kesulitan pula.
Sepandai-pandainya Mahisa Lodra merubah wajahnya,
kau tetap akan dapat mengenalinya. Mahisa Lodra
mempunyai bekas luka di batok kepala bagian bela-
kang. Luka itu sebesar telur ayam dan tak ditumbuhi
rambut.... Bila kau masih sulit untuk dapat mengena-
linya. Ada ciri lain yang pasti dapat kau kenali. Kalau
tertawa, kelopak mata Mahisa Lodra yang sebelah kiri
akan selalu terpejam. Nah! Kau boleh berangkat seka-
rang, Seno...."
Dengan penuh haru, Seno berlutut seraya men-
cium kaki Dewa Dungu. Namun, saat dia bangkit un-
tuk segera meninggalkan tempat, mendadak Dewa
Dungu berseru.
"Tunggu dulu!"
Seno duduk bersila lagi. Sementara, Dewa
Dungu tampak menggaplok kepalanya untuk yang ke-
dua kali.
Plok...!
"Duh! Pelupa benar aku ini!"
Usai merutuk dirinya sendiri, Dewa Dungu
menggeser tubuh seraya mengambil sebuah bungku-
san yang tersimpan di antara sela-sela rak buku yang
terbuat dari batu.
Sewaktu Dewa Dungu membuka bungkusan
itu, Seno mencium aroma kayu cendana yang semer-
bak mewangi. Isi bungkusan ternyata selembar baju
lengan panjang berwarna biru dan selembar celana
berwarna biru pula. Pakaian itu terlipat rapi, dan di
atasnya terdapat ikat pinggang kain berwarna merah.
"Bertahun-tahun aku menjalin seuntai demi
seuntal benang untuk kubuat menjadi sebentuk pa-
kaian lengkap," tutur Dewa Dungu. "Setelah jadi, aku
merendamnya ke dalam ramuan obat pengawet yang
telah ku campur dengan sari kayu cendana. Inilah ha-
silnya...."
Dewa Dungu menunjuk pakaian di tangannya
seraya menyodorkan kepada Seno.
"Pakaian ini untukmu. Pakailah...."
"Terima kasih, Kek. Aku akan selalu mema-
kainya agar senantiasa ingat pada budi baik Kakek,"
terima Seno.
"Sekarang, kau boleh pergi. Eh! Tunggu dulu!"
Seno nyengir kuda melihat Dewa Dungu meng-
garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Agaknya, Dewa
Dungu lupa lagi pada sesuatu yang harus dia sampai-
kan pula kepada Seno.
"Yah! Yah, aku ingat," ujar Dewa Dungu, mena-
tap wajah Seno lekat-lekat. "Sebelum kau mencari Ma-
hisa Lodra, ada baiknya bila kau pergi ke Telaga Pe-
tuah Dewa yang terletak di ujung utara pulau Jawa. Di
sana, setiap tanggal satu Suro akan muncul seekor
ikan mas besar. Di dalam perut ikan itu terdapat
'Kodok Wasiat Dewa'. Dapatkan kodok itu, lalu makan-
lah. Kau akan tahu sendiri khasiatnya nanti. Nah! Ku-
kira tak ada lagi yang terlupakan. Kau boleh berang-
kat."
Seno berlutut lagi. Kembali dia cium kaki Dewa
Dungu. "Aku mohon pamit, Kek...," katanya dengan
suara lirih karena desakan rasa haru.
***
DELAPAN
SEORANG pemuda bertubuh tinggi tegap tam-
pak berdiri termangu di atas tonjolan batu. Pakaiannya
yang berwarna serba biru berkibaran tertiup angin gu-
nung. Kedua ujung ikat pinggangnya yang terbuat dari
kain berwarna merah terlihat mengibas-ngibas. Ber-
sama hembusan angin, pakaian si pemuda menyiarkan
aroma harum kayu cendana.
Mata si pemuda yang bersinar terang menatap
jurus ke rimbunan pohon dan semak-belukar yang ada
di hadapannya. Setelah cengar-cengir, dia menge-
rutkan kening, seperti ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya.
"Hmmm.... Tak mungkin aku salah lihat. Tanah
datar itu adalah letak Perguruan Tapak Sakti. Aku ya-
kin benar. Selama enam candra aku pernah tinggal di
tempat itu lima tahun yang lalu. Tapi..., kenapa rumah
joglo beratap sirap itu tak lagi tampak? Hanya rimbu-
nan pohon dan semak-belukar yang kulihat. Apakah
Perguruan Tapak Sakti telah bubar? Atau, ada satu
musibah, sehingga Perguruan Tapak Sakti roboh rata
dengan tanah? Atau barangkali, Perguruan Tapak Sak-
ti telah berpindah tempat?"
Pemuda remaja berumur tujuh belas tahun itu
menggumam panjang dengan kening berkerut rapat.
Sepasang matanya terus menatap rimbunan pohon
dan semak belukar di hadapannya. Dia Seno Prasetyo!
Setelah menerima pesan dan tugas dari gu-
runya, Seno pergi meninggalkan gua tempat tinggal-
nya. Dia hendak pergi ke Telaga Petuah Dewa yang ter-
letak di ujung utara pulau Jawa. Namun dia pikir, ada
baiknya bila melihat-lihat dulu keadaan Perguruan Ta-
pak Sakti yang pernah ditinggalnya semasa kecil. Tapi
ternyata, Perguruan Tapak Sakti telah tiada. Tentu sa-
ja Seno tidak tahu bila rumah perguruan itu telah
musnah lima tahun yang lalu akibat kedatangan Mahi-
sa Lodra atau Setan Selaksa Wajah, yang tak lain dari
kakak seperguruannya sendiri.
"Hmmm.... Untuk apa aku memikirkan padepo-
kan yang mungkin memang telah berpindah tempat
itu? Lebih baik aku ke Telaga Petuah Dewa sekarang
juga."
Mengikuti pikiran di benaknya, Seno melang-
kah menuruni lereng gunung. Sang baskara sedikit
naik dari bentangan garis cakrawala timur. Angin se-
milir lembut membawa sejuk. Burung-burung bercan-
da dalam kicau riang. Melihat satwa bersayap aneka
warna itu, hati Seno jadi gembira. Dia melangkah rin-
gan seperti tanpa beban apa-apa.
Namun setelah melewati kaki gunung, langkah
Seno terhenti mendadak. Hatinya menjadi galau. Dia
teringat pada Dewa Dungu yang lumpuh. Dia amat
sayang dan kasihan pada kakek bertubuh kurus yang
telah cukup jauh ditinggalkannya itu. Tapi, ketika in-
gat pada tingkah polah sang Guru yang sering meng-
gaplok-gaplok kepalanya sendiri, Seno tersenyum seo-
rang diri. Dewa Dungu memang punya kebiasaan
aneh. Kalau lupa pada sesuatu, dia akan menggaplok-
gaplok kepalanya sendiri sampai sesuatu yang dilupa-
kannya itu teringat lagi.
"Semoga kakimu cepat sembuh, Kek...," doa
Seno, menghadap ke punggung gunung. "Mudah-
mudahan di kelak hari nanti Yang di Atas memperte-
mukan kita lagi...."
Sejenak, Seno memejamkan matanya, berusaha
mengusir rasa haru di hatinya. Dia tak ingin rasa haru
terus bergelut di hatinya yang hanya akan memberati
langkah kakinya.
Namun, begitu bayangan Dewa Dungu hilang
dari benaknya, Seno teringat pada ibunya yang telah
meninggal. Seno tengadah, menatap langit biru. Kalau
ingat pada mendiang ibunya, begitulah kebiasaan yang
dilakukan Seno sejak kecil. Dengan tengadah menatap
langit, dia seakan melihat sosok ibunya di atas sana.
"Ibu...," desis Seno. "Kata Kakek Dewa Dungu
yang menjadi guru Seno, Seno telah selesai mendalami
ilmu kesaktian. Seno diperintah pergi untuk mencari
pengalaman di dunia luar. Seno mohon restu, Bu. Se-
no akan selalu mengingat semua pesan Ibu...."
Kalimat Seno terhenti. Dia menekan perasaan
agar tak menangis. Dia harus tabah. Tak ada yang per-
lu ditangisi. Dewi Ambarsari ibunya telah berbahagia
menjalani tahap kehidupannya yang ketiga.
Dengan kepala tetap tengadah, Seno teringat
pada sumpah yang pernah dia ucapkan di depan ma-
kam ibunya.
"Setelah mendapatkan 'Kodok Wasiat Dewa',
sambil mencari Mahisa Lodra yang telah melarikan
dua bagian Kitab Sanggalangit, akan kucari pula Ba-
nyak Langkir yang telah membunuh ibuku. Aku harus
membalas kebiadaban lelaki suruhan Prabu Wira Pa-
rameswara itu. Akan kucari pula ayahku yang berna-
ma Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta yang berge-
lar Ksatria Seribu Syair. Walau dia ayahku, aku tetap
akan meminta pertanggungjawabannya karena dia te-
lah membohongi dan membuat ibuku menderita."
Usai mengucap tekadnya, Seno memutar pan-
dangan sejenak. Dia tentukan arah mata angin. Lalu,
dia melangkah ke utara. Telaga Petuah Dewa yang
menjadi tujuannya memang terletak di ujung utara pu-
lau Jawa.
Tapi..., belum genap seratus langkah Seno ber-
jalan, telinganya menangkap suara benturan senjata
tajam yang disahuti pekik kemarahan orang yang ten-
gah bertempur. Selama lima tahun hidup di tempat
sunyi yang terpisah dari peradaban dunia luar, Seno
belum pernah melihat orang bertempur. Maka, suara
pertempuran yang didengarnya itu begitu menarik
perhatiannya. Tanpa pikir panjang lagi, dia mengelua-
rkan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Di lain ke-
jap, tubuh Seno berkelebat lenyap, meninggalkan ti-
upan angin dingin yang menebarkan aroma wangi
kayu cendana.
* * *
"Hiahhh...!"
Trang...!
Sebilah pedang berwarna kuning dan sebilah
golok besar berwarna putih berkilat tampak berbentu-
ran di udara. Bunga api berpijar dan meletik ke mana-
mana. Pedang kuning terpental. Untung, pemiliknya
mencekal erat, sehingga pedang itu tidak lepas dari pe-
gangan.
"Ha ha ha...!" pemilik golok tertawa bergelak.
"Kau kalah tenaga, Kemuning. Sadarkah kau bila wa-
jahmu tampak begitu pucat? Aku tahu hatimu panas,
tapi sebaiknya kau segera angkat kaki. Kalau tidak
mengingat nama besar gurumu, sudah dari tadi-tadi
kupenggal kepalamu!"
Yang berkata itu seorang lelaki setengah baya
bertubuh kekar. Wajahnya kasar bercambang bauk le-
bat. Mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala kain berwarna hitam pula. Tatapannya tajam me-
nusuk menyiratkan sifatnya yang biasa berbuat kejam.
"Sokalanang keparat!" umpat gadis bersenjata
pedang yang dipanggil Kemuning. "Mengingat begitu
banyak kejahatan yang telah kau perbuat, enak betul
kalau kau menyuruhku pergi. Kau seorang perampok
hina! Justru kepalamulah yang harus kupenggal!"
Kemuning menunjuk hidung Sokalanang den-
gan ujung pedangnya. Pakaiannya yang serba kuning
tampak berkibaran tertiup angin, hingga tekuk-liku
tubuhnya yang sintal membayang jelas di mata Soka-
lanang.
"Hmmm... Tubuhmu sungguh menggiurkan,
Kemuning...," desis Sokalanang. "Andai kau bukan
murid Dewi Pedang Halilintar, ingin rasanya aku ber-
main cinta denganmu. Ha ha ha...!"
"Jahanam! Bercintalah kau dengan malaikat
kematian!"
Sambil menggembor keras, Kemuning mener-
jang. Melihat tusukan pedang yang mengarah ke jan-
tung, cepat Sokalanang menyabetkan goloknya ke de-
pan!
Trang...!
Benturan senjata tajam terdengar lagi. Bunga
api memercik. Kemuning mendengus gusar merasakan
jemari tangan kanannya yang kesemutan. Jelas bila
dia kalah tenaga. Untung, pedang kuningnya terbuat
dari logam pilihan, sehingga tidak sampai terbabat ku-
tung.
Kemuning tidak menjadi gentar mengetahui di-
rinya kalah tenaga. Dia empos tubuhnya seraya mengi-
rim serangan beruntun dengan jurus-jurus andalan.
Dia tutupi kekalahannya dengan ilmu peringan tubuh.
Hingga, tubuh Kemuning dapat meletik ke sana-sini
dengan cepat, menghindari benturan senjata.
Menggeram marah Sokalanang mengetahui di-
rinya terkurung oleh babatan pedang Kemuning. Tak
mau mati konyol, cepat dia mainkan jurus andalan pu-
la. Pertempuran jadi seimbang.
Namun, lewat tiga jurus kemudian, golok Soka-
lanang tampak melesat sebat hendak membabat ping-
gang kiri Kemuning. Sementara, kedudukan Kemuning
tak memungkinkan untuk berkelit. Terpaksa Kemun-
ing menyabetkan pedangnya untuk menangkis!
Trang...!
"Ih...!"
Tangan kanan Kemuning yang memegang pe-
dang bergetar kencang. Aliran darahnya mengalir den-
gan cepat ke otak, hingga Kemuning jadi linglung seje-
nak. Pedang Kemuning masih tercekal erat, tapi si ga-
dis tidak tahu kalau golok Sokalanang berkelebat lagi.
Mengarah pinggang kanan!
Wuk...!
Kemuning tak dapat berkelit atau menangkis
lagi. Kalau tidak terbabat jadi dua, tubuh Kemuning
pasti menderita luka yang amat parah!
Namun sebelum ketajaman golok Sokalanang
benar-benar mengenai sasaran, mendadak berkelebat
sesosok bayangan biru yang menyabetkan tongkat
pendek berwarna putih!
Trang...!
"Heh?!"
Betapa terkejutnya Sokalanang. Goloknya
membentur sebuah benda yang amat keras. Dengan
mata mendelik, dia menatap bilah goloknya yang telah
rompal di beberapa bagian!
"Paman tidak boleh gegabah...," ujar si peno-
long Kemuning.
Dia seorang pemuda remaja berpakaian serba
biru dengan ikat pinggang merah. Wajahnya tampan,
namun terkesan amat lugu. Dia tak lain dari Seno Pra-
setyo! Di tangan kanannya tercekal sebatang tongkat
pendek yang salah satu ujungnya runcing. Tongkat
yang panjangnya cuma dua jengkal dan berwarna pu-
tih itu adalah Tongkat Dewa Badai!
"Siapa kau?! Kenapa mencampuri urusan
orang?!" bentak Sokalanang, menyimpan rasa giris.
"Namaku Seno Prasetyo, Paman. Aku tidak bisa
membiarkan perbuatan kejam berlangsung di hada-
panku," sahut Seno, lugu.
Melihat wajah si pemuda yang tampak kebo-
doh-bodohan, lenyap rasa giris di hati Sokalanang.
Nafsu membunuhnya timbul. Ketajaman goloknya
yang telah cacat dia sabetkan sepenuh tenaga!
Tahu ada bahaya mengancam jiwanya, Seno
yang sudah bisa mengukur tenaga Sokalanang cuma
mengalirkan sebagian kecil kekuatan tenaga dalamnya
ke Tongkat Dewa Badai. Lalu, tongkat mustika itu dia
kibaskan
Wusss...!
"Wuahhh...!"
Kibasan Tongkat Dewa Badai menimbulkan ti-
upan angin kencang bergemuruh. Sabetan golok tidak
sampai mengenai sasaran karena tubuh pemiliknya
keburu terlontar, lalu jatuh bergulingan sejauh sepu-
luh tombak.
Namun, hawa amarah membuat Sokalanang
lupa diri. Sebagai seorang tokoh yang sudah cukup
lama malang-melintang di rimba persilatan, Sokala-
nang merasa malu bila dipencundangi oleh seorang
pemuda remaja macam Seno Prasetyo. Maka, bergegas
Sokalanang bangkit. Dipungutnya golok putih yang
tergeletak di tanah. Lalu, dia menerjang kalap!
"Maafkan aku, Paman...," ujar Seno, masih
terkesan lugu.
Sambil mengucapkan kata itu, Seno menya-
betkan Tongkat Dewa Badai. Sekali lagi, timbul tiupan
angin kencang, bergemuruh keras laksana badai to-
pan. Tubuh Sokalanang yang tengah melesat di udara
tampak terpental jauh, lalu jatuh berdebam di tanah
keras. Sementara, goloknya lepas lagi dari cekalan, dan
melayang hilang dari pandangan
Susah payah Sokalanang bangkit. Tulang belu-
lang tubuhnya terasa telah hancur berantakan. Kali
ini, Sokalanang dapat menyadari bila ilmu kepan-
daiannya terpaut amat jauh bila dibanding dengan il-
mu kepandaian Seno. Maka, tanpa menghiraukan har-
ga dirinya lagi, Sokalanang lari terbirit-birit bagai meli-
hat setan gentayangan
Seno menatap kepergian Sokalanang sambil
cengar-cengir. Dia menggumam, "Maafkan aku, Pa-
man. Tidak sepantasnya aku berlaku demikian terha-
dap orang tua. Aku berbuat hanya karena terpaksa,
supaya Paman tahu diri..."
"Hei! Kenapa kau cengar-cengir?"
Menggeragap kaget Seno mendengar perkataan
yang ditujukan pada dirinya. Saat menoleh, aliran da-
rah Seno berdesir aneh. Matanya tak berkedip mena-
tap wajah cantik Kemuning. Sungguh Seno tak me-
nyangka bila orang yang ditolongnya adalah seorang
gadis yang bertampang sedemikian menawan.
"Kau... kau...."
Seno tergagap. Dia kagum melihat kecantikan
Kemuning. Wajar, karena usia Seno sedang tumbuh
menginjak dewasa. Apalagi, dia belum pernah melihat
seorang pun wanita sejak tinggal bersama Dewa Dungu.
Sementara, Kemuning yang melihat keterpa-
naan Seno tampak tersenyum. Namun, senyuman itu
justru membuat Seno tersipu. Kepalanya tertunduk.
Pikirannya jadi linglung.
"Hei, kenapa kau?" tegur Kemuning.
Sebenarnya, Kemuning ingin tertawa melihat
perilaku Seno yang tampak lucu. Tapi, Kemuning me-
nahan keinginannya itu karena tak mau membuat ter-
singgung dewa penolongnya.
"Eh, aku tak apa-apa...," sahut Seno, membe-
ranikan diri menatap wajah Kemuning.
Melihat seraut wajah tampan namun tampak
kebodoh-bodohan milik Seno, Kemuning tersenyum la-
gi. Sementara, Seno tak kuasa membalas tatapan Ke-
muning. Dia alihkan pandangannya ke gagang pedang
Kemuning yang telah disarungkan di punggung.
"Terima kasih...," ucap Kemuning kemudian.
"Terima kasih? Untuk apa?" tanya Seno sambil
nyengir kuda.
Kemuning tersenyum kembali. "Kau telah me-
nolongku. Aku harus mengucap terima kasih."
"Eh, ya, ya..."
"Kalau tidak ada kau, mungkin aku telah terbu-
jur menjadi mayat. Tahukah kau siapa lelaki brewokan
bersenjata golok tadi?"
Seno menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku tidak
mengenal siapa-siapa. Aku baru keluar dari sebuah
lembah sunyi di lereng Gunung.... Lawu."
"Hmmm.... Begitu?" sahut Kemuning. "Pantas
kau begitu canggung. Rupanya, kau baru melihat du-
nia luar. Di lembah sunyi itu, kau pasti tinggal cuma
berdua dengan gurumu. Dan karena telah mena-
matkan pelajaran, kau diperintah untuk pergi mencari
pengalaman. Benar, bukan?"
Ucapan Kemuning begitu lancar dan tegas.
Agaknya, si gadis berotak encer dan cukup matang
pengalaman walau umurnya sebaya dengan Seno.
"Ya. Ya, begitulah," sahut Seno, membenarkan
tebakan Kemuning.
"Aku tadi sempat mendengar kau menyebutkan
nama. Benarkah namamu Seno Prasetyo?"
"Ya. Kau?"
"Aku Kemuning. Orang-orang biasa menye-
butku sebagai Dewi Pedang Kuning. Tapi, kau jangan
meremehkan kemampuanku. Aku memang kalah me-
lawan perampok hina tadi. Kau harus tahu, aku me-
mang belum menamatkan pelajaran dari guruku. Ka-
lau mau tahu, guruku bergelar Dewi Pedang Halilintar.
Guruku jauh berbeda dengan gurumu. Guruku tak
mau mengajari ku ilmu silat di tempat sunyi. Guruku
memberi pelajaran sambil mengembara. Katanya, agar
aku cepat mendapat pengalaman."
Mendengar ucapan Kemuning yang nyerocos
panjang, Seno cuma menjawab singkat, "Ya. Ya."
"Eh, aku ingin tahu, siapa gurumu?"
"Dewa Dungu."
"Dewa Dungu?"
Kemuning tampak terkejut. Keningnya berkerut
seperti mengingat-ingat sesuatu. Lalu katanya, "Menu-
rut cerita guruku, Dewa Dungu pernah menggempar-
kan rimba persilatan sekitar empat puluh tahun silam.
Semua penjahat akan lari terbirit-birit bila melihat wa-
jah gurumu itu. Mereka takut dan giris mendengar se-
pak terjang Dewa Dungu yang selalu memusuhi orang
jahat. Tapi..., dia lalu pergi mengasingkan diri dengan
muridnya yang bernama Mahisa Lodra. Di mana kakak
seperguruanmu itu sekarang?"
"Aku tak tahu."
Seno menjawab sambil nyengir kuda. Kemuning
tersenyum. Tapi agaknya, Kemuning tak mau mengo-
rek lebih jauh tentang Mahisa Lodra. Kemuning tak
bertanya pula tentang keberadaan Dewa Dungu seka-
rang ini.
"Eh, bagaimana kau bisa bertempur dengan
Paman Brewokan tadi?" tanya Seno kemudian.
"Dia orang jahat. Namanya Sokalanang. Aku
menguntitnya dari Kademangan Lemah Pitu," jawab
Kemuning. "Eh, Seno, sebenarnya aku ingin bercakap-
cakap lebih lama denganmu. Tapi, aku takut guruku
marah. Aku meninggalkannya di Kademangan Lemah
Pitu tanpa minta izin lebih dulu...."
"Ya. Ya, kau harus segera kembali menemui gu-
rumu...."
Kemuning hendak berkelebat pergi, tapi urung.
Dia menatap lekat wajah Seno seraya berkata, "Kau
sudah tahu nama dan gelarku. Aku sudah tahu na-
mamu, tapi belum tahu gelarmu...."
Seno cengar-cengir. "Aku tak punya gelar. Aku
belum bertemu dengan orang banyak, tak ada yang
memberi ku gelar. Guruku juga tak pernah memberi
gelar...," katanya.
Tersenyum Kemuning mendengar ucapan Seno
yang terkesan amat lugu dan jujur. "Maukah kau ku-
beri gelar?" tawarnya.
Seno nyengir lagi. "Boleh," sambutnya Kemun-
ing menatap lekat wajah Seno yang tampak kebodoh-
bodohan. Lalu sambil tersenyum, dia berkata, "Kau
pantas memakai gelar Pendekar Bodoh."
"Pendekar Bodoh?" Seno menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Ya! Pendekar Bodoh!" seru Kemuning seraya
menjejak tanah, berkelebat pergi.
"Hei! Tunggu...!"
Seno berteriak lantang untuk mencegah keper-
gian Kemuning, tapi tubuh si gadis terus berkelebat,
hingga hilang dari pandangan.
Tinggallah Seno cengar-cengir seorang diri.
Sambil berjalan perlahan, dia menggumam.
"Pendekar Bodoh.... Aku Pendekar Bodoh...? Ya.
Ya, aku Pendekar Bodoh...."
SELESAI
Ikuti petualangan selanjutnya :
KEMELUT DI TELAGA DEWA
0 comments:
Posting Komentar