SATU
Di penghujung bulan Besar, Telaga Dewa se-
nantiasa diramaikan oleh perahu sewaan para pelan-
cong. Mereka para saudagar kaya atau para bangsa-
wan yang sedang berpelesir. Namun, di antara para pe-
lancong itu, yang terbanyak adalah petualang-
petualang yang banyak berkecimpung di rimba persila-
tan.
Para saudagar dan bangsawan yang datang ke
Telaga Dewa bermaksud menikmati keindahan pano-
rama telaga dan meresapi hawa segar di awal musim
kemarau. Lain itu, mereka berharap akan dapat meli-
hat wujud ikan mas besar yang oleh penduduk setem-
pat dinamakan Ikan Mas Dewa. Ikan mas yang besar-
nya melebihi tubuh manusia dewasa itu selalu muncul
setiap tanggal satu Suro.
Sementara, para tokoh rimba persilatan yang
datang ke telaga hanya mempunyai satu tujuan, yaitu
memperebutkan sebuah benda ajaib bernama Kodok
Wasiat Dewa yang tersimpan di dalam perut Ikan Mas
Dewa. Namun, sampai saat ini belum ada seorang pun
tokoh yang mampu menangkap ikan mas itu, apalagi
mengambil Kodok Wasiat Dewa yang tersimpan di da-
lam perutnya.
Telaga Dewa yang terletak di ujung utara Pulau
Jawa adalah sebuah telaga besar yang dipagari barisan
pohon cemara.
Walau musim senantiasa berganti, air Telaga
Dewa selalu jernih. Hingga, dari atas perahu, setiap
orang bisa melihat ikan-ikan yang tengah berenang di
dalam air. Sementara, di pucuk-pucuk pohon cemara
yang memagari telaga selalu tampak sekumpulan bu
rung parkit berwarna-warni. Burung-burung itu sese-
kali terbang mendekati perahu dan tampak jinak. se-
hingga hati orang yang berada di atas perahu menjadi
sangat senang. Apalagi, mereka selalu berkicau nyar-
ing seakan mengajak bercanda pada setiap orang.
Di antara puluhan perahu yang sedang berlayar
ke tengah telaga, terlihat sebuah perahu coklat kusam
bergerak menepi. Layarnya yang berwarna kuning su-
dah digulung dan diikatkan ke tiang perahu. Pemilik-
nya seorang lelaki tua yang telah mendekati usia enam
puluh tahun. Kakek itu mendayung dengan tatapan
kosong. Berkali-kali dia mendesah. Ada pikiran tak
enak yang menggeluti benaknya.
Sebenarnya ada beberapa orang yang telah me-
nawar harga perahu si kakek untuk disewa, tapi si ka-
kek menolak dengan alasan perahunya akan diguna-
kan untuk mencari ikan. Namun ternyata, setelah be-
berapa hari berlayar ke tengah telaga, dia tak menda-
patkan hasil seperti yang diharapkannya.
Tapi, bila melihat raut wajah si kakek yang se-
demikian keruh, dapat dipastikan bukan karena masa-
lah itu yang membuat gundah hati si kakek.
Kakek bernama Karapak itu terus mendesah
dengan kening berkerut rapat. Di benaknya terbayang
wajah seorang gadis bernama Sawitri yang beberapa
pekan lalu diambilnya sebagai anak angkat. Istri Kara-
pak bernama Salindri memang tak dapat memberikan
keturunan.
"Aku harus dapat mengungkap tabir rahasia
komplotan Lembah Dewa-Dewi...," gumam si kakek,
"Ya! Aku harus dapat! Agar tak sia-sia semua jerih
payah ku selama ini!"
Sinar redup di mata Karapak berubah terang
mana-kala melihat seorang pemuda yang berjalan
mendatangi perahu yang telah ditambatkannya. Pe-
muda itu berparas tampan. Kedua alisnya tebal terben-
tang seperti sayap elang menukik. Sementara, di balik
ketampanan si pemuda terpancar sinar keluguan dan
kejujuran. Tubuhnya yang tinggi tegap terbungkus pa-
kaian biru-biru dengan ikat pinggang kain merah. An-
gin yang berhembus kencang mengibarkan anak-anak
rambutnya yang tergerai panjang.
"Pak Tua...," sapa si pemuda. "Saya hendak ber-
tanya, apakah telaga ini bernama Telaga Dewa?"
Karapak tak langsung menjawab. Ditatapnya
sosok si pemuda dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki. Melihat kegagahan dan ketampanan pemuda itu,
Karapak berpikir, "Anak angkatku juga punya kesem-
purnaan wajah dan tubuh. Hmmm.... Alangkah se-
nangnya aku andai pemuda ini bersedia kujadikan
mantu."
Berpikir demikian, untuk beberapa saat si ka-
kek lupa pada masalah pelik yang harus segera disele-
saikannya.
"Eh, Pak Tua," tegur si pemuda yang melihat
Karapak terlongong bengong.
"Eh ya, ya.... Ada apa, Anak Muda?" kesiap Ka-
rapak.
Si pemuda tersenyum. Dan, entah karena apa,
dia lalu cengar-cengir. Sementara, Karapak menatap-
nya dengan kening berkerut. Namun, di balik tatapan
Karapak yang penuh tanda tanya itu, tersimpan keka-
guman yang mencetuskan sebuah harapan.
"Inikah yang disebut Telaga Dewa, Pak Tua?"
pemuda berpakaian biru-biru bertanya lagi.
"Ya," jawab Karapak. "Agaknya, kau datang dari
jauh, Anak Muda. Siapakah kau? Apakah kau datang
juga untuk berpelesir?"
"Aku Seno Prasetyo...," kata si pemuda. "Aku
datang untuk satu tujuan. Bolehkah pada tanggal satu
Suro nanti aku meminjam perahu Pak Tua?"
Si pemuda yang memang Seno Prasetyo adanya
berkata sangat lugu, tanpa malu atau sungkan. Kon-
tan Karapak mengangkat kedua ujung alisnya. Perahu
Karapak disewa saja tidak boleh, apalagi dipinjam?!
Namun, Karapak yang sudah telanjur suka pa-
da Seno tak mau pikir panjang lagi. Sambil menyungg-
ing senyum, dia berkata, "Boleh. Boleh saja. Tapi, kau
harus membantuku mencari ikan."
Seno nyengir kuda. Pemuda remaja yang mau
saja dijuluki orang sebagai Pendekar Bodoh itu tampak
berpikir-pikir. Sepanjang usianya yang menginjak tu-
juh belas tahun, dia tak pernah berlayar mencari ikan.
Bagaimana dia bisa membantu si kakek? Apakah nanti
tidak malah merepotkan?
"He, kenapa lama berpikir?" tegur Karapak.
"Kau boleh meminjam perahu ku asal kau bantu aku
mencari ikan. Tubuhmu tinggi tegap. Tenagamu tentu
kuat...."
"Aku tidak bisa berlayar, apalagi mencari
ikan...," sahut Seno, jujur.
"Hmmm.... Aneh benar kau ini. Kau mau me-
minjam perahu, tapi tidak bisa berlayar. Lalu, perahu
ku nanti hendak kau gunakan untuk apa?"
"Aku meminjam perahu, sekaligus dengan
orangnya."
Mendengar ucapan Seno yang begitu lugu, kon-
tak Karapak tertawa. Suara tawanya lepas berderai se-
perti lak ada lagi rasa sedih di hatinya.
"Kau ini lucu, Seno...," ujar Karapak sambil
menepuk bahu Seno. "Tapi, sudahlah. Kau ikut saja.
Nanti ku ajari berlayar."
Usia berkata, Karapak melepas lagi ikatan pe-
rahunya. "Ayolah...," ajaknya, setengah memaksa.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Seno melang-
kah naik ke perahu, menuruti ajakan Karapak. Me-
mang, ada baiknya bila Seno belajar berlayar. Kalau
berlayar saja tidak bisa, bagaimana nanti dia bisa
mendapatkan Kodok Wasiat Dewa?
Kedatangan Seno ke Telaga Dewa memang
bermaksud untuk mendapatkan benda ajaib yang ter-
simpan di dalam perut Ikan Mas Dewa itu. Sebelum
berpisah dengan Dewa Dungu gurunya, Seno diperin-
tahkan untuk mencari murid murtad Dewa Dungu
yang bernama Mahisa Lodra. Seno diberi kuasa untuk
menjatuhkan hukuman kepada kakak seperguruannya
yang telah melarikan dua bagian dari Kitab Sanggalan-
git itu.
Perilaku Mahisa Lodra memang telah jauh me-
lenceng dari jalan kebenaran. Selain melarikan dua
bagian kitab milik gurunya, dia pun telah membuat
lumpuh sepasang kaki Dewa Dungu dengan cara yang
amat licik. (Baca episode perdana serial Pendekar Bo-
doh: "Tongkat Dewa Badai").
Sementara itu, Karapak dan Seno terlihat telah
berlayar ke tengah telaga. Dengan menuruti semua pe-
rintah Karapak, akhirnya dapat juga Seno mengemu-
dikan perahu dan bahkan membantu mencari ikan.
Karena mengetahui bila Seno seorang pemuda
lugu dan amat penurut, senanglah hati Karapak. Se-
mangat dalam diri Karapak bergelora lagi. Dia ingin
memamerkan kemahiran berlayarnya kepada Seno,
sekaligus ingin menunjukkan bahwa walau sudah tua
pun dia masih mahir berburu ikan di Telaga Dewa
yang amat luas.
Dan agaknya, berlayar dengan Seno membawa
keberuntungan bagi Karapak. Belum sampai mentari
tenggelam, keranjang besar di dalam perahu telah di-
penuhi berbagai jenis ikan. Maka, tak dapat lagi di-
gambarkan betapa gembiranya hati Karapak. Ketika
pulang, baru menginjak pinggir halaman rumah, dia
telah berteriak-teriak.
"Nini! Nini! Lihat! Aku pulang membawa hasil
sekeranjang penuh!"
Teriakan Karapak ditujukan kepada istrinya,
namun tidak ada siapa-siapa yang muncul dari dalam
rumah. Sambil berlari-lari, Karapak memperkeras te-
riakannya.
"Nini! Nini! Lekaslah keluar! Lihat! Aku pulang
dengan siapa?! Ada seorang pemuda cakap yang akan
menjadi teman anak kita!"
Sambil nyengir kuda, Seno mengikuti langkah
Karapak yang melonjak-lonjak kegirangan. Seno me-
langkah memasuki halaman rumah sederhana yang
terbuat dari bilah-bilah papan. Ringan saja Seno me-
langkah walau sambil menjinjing keranjang besar yang
penuh berisi ikan.
Saat Karapak dan Seno sampai di serambi de-
pan, dari ruangan sebelah dalam muncul seorang ne-
nek yang tak lain dari istri Karapak. Nenek itu menge-
nakan kebaya hijau dan kain batik bercorak parang
rusak. Dan, di belakang si nenek tampak seorang gadis
tujuh belas tahunan, mengenakan kebaya merah dan
kain batik bercorak sidomukti. Si gadis berparas can-
tik. Bulu matanya lentik dan bola matanya bening ber-
pijar penuh daya pesona. Hidungnya mancung dengan
belahan bibir merah ranum. Tubuh si gadis pun terli-
hat sintal-montok berkulit kuning langsat. Rambutnya
hitam panjang, digelung dengan hiasan dua tusuk
konde yang terbuat dari batok penyu.
"Eh, kau... kau...," kesiap Seno. Matanya terbe-
lalak menatap si gadis.
Seno kaget bukan karena melihat kecantikan si
gadis yang memang sangat menarik. Tapi, karena dia
telah mengenal gadis putri Karapak itu. Si gadis tak
lain dari Kemuning atau Dewi Pedang Kuning, yang di-
jumpai Seno beberapa waktu yang lalu.
Seno pernah menyelamatkan jiwa Kemuning
yang hampir melayang terbabat ketajaman golok Soka-
lanang. Dengan Tongkat Dewa Badai-nya, Seno mem-
buat Sokalanang lari terbirit-birit. Lalu Seno dan Ke-
muning berkenalan. Namun, Kemuning harus segera
pergi karena ditunggu Dewi Pedang Halilintar gurunya
di Kademangan Lemah Pitu. Sebelum pergi, Kemuning
menjuluki Seno sebagai Pendekar Bodoh. (Baca epi-
sode perdana : "Tongkat Dewa Badai").
"Hei! Kenapa kau, Seno?!" tegur Karapak yang
melihat Seno berdiri terpaku. Karapak menyangka bila
Seno telah jatuh hati pada putrinya di pandangan per-
tama. Maka, Karapak yang memang ingin mengambil
Seno sebagai mantu menjadi sangat senang. Kontan
Karapak tertawa bergelak, terbawa luapan kegembi-
raannya.
"Ha ha ha...! Rupanya, kau sangat tertarik me-
lihat kecantikan Sawitri, Seno. Silakan. Silakan berja-
bat tangan untuk berkenalan agar kalian cepat menja-
di akrab. Ha ha ha...!"
"Sawitri? Siapa Sawitri?" sahut Seno dengan
kening berkerut rapat.
Melihat raut wajah Seno yang menyiratkan rasa
heran, cepat Kemuning mengedipkan mata, memberi
isyarat agar Seno mengikuti kemauan Karapak. Tapi,
Seno yang amat lugu mana dapat menangkap isyarat
itu. Kedipan Kemuning malah dibalasnya dengan tata
pan tajam.
"Ayo! Ayolah, Seno. Jangan bersikap seperti
itu!" tegur Karapak. "Berjabat tanganlah. Putriku itu
bernama Sawitri. Dia akan menjadi teman baikmu."
Mendengar Karapak menyebut Kemuning seba-
gai Sawitri, Seno terlongong bengong. Setelah nyengir
kuda, dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Se-
mentara, Kemuning tampak malu-malu kucing dan
bersembunyi di belakang nenek berkebaya hijau.
"Hei! Hei!" sentak si nenek pada Kemuning. "Ti-
dakkah kau lihat pemuda itu sangat tampan? Kenapa
malah bersembunyi? Ayo, cepat perkenalkan dirimu!"
Mendapat teguran itu, Kemuning cemberut. La-
lu dengan sikap yang amat manja dan terkesan malu-
malu, dia melangkah mendekati Seno. Namun, diam-
diam gadis berparas elok rupawan itu mengirim bisi-
kan kepada Seno dengan mempergunakan ilmu mengi-
rim suara dari jarak jauh.
"Seno! Aku sedang melakukan penyamaran.
Kuharap kau mau membantuku."
Mendengar bisikan itu, Seno terkesiap. Tapi,
sebagai seorang pemuda yang pernah digembleng se-
lama lima tahun oleh Dewa Dungu yang berkepan-
daian tinggi, Seno segera tahu kalau bisikan yang di-
dengarnya itu adalah suara Kemuning. Maka, walau
dia belum tahu apa maksud Kemuning sebenarnya,
bergegas dia menyambut jabatan tangan si gadis.
"Nah! Nah, begitu!" seru Karapak melihat Seno
dan Kemuning telah berjabat tangan. "Untuk selanjut-
nya, kau harus dapat melayani Seno dengan baik, Sa-
witri. Kau harus dapat menyediakan semua keperluan
Seno. Karena, mulai saat ini dia telah menjadi anggota
keluarga kita."
"Ya. Ya...," sambut Kemuning yang disebut Ka
rapak sebagai Sawitri.
"Usia Sawitri sebaya denganmu, Seno," jelas
Karapak. "Namun, dia belum begitu mengenal aturan.
Kuharap kau sudi memaafkannya...."
"Tak jadi apa, Pak Tua. Anak gadismu itu can-
tik sekali...."
Mendengar pujian Seno yang lugu, Karapak ter-
tawa bergelak-gelak. Kakek berpakaian coklat kumal
itu semakin yakin bila Seno memang telah jatuh hati
pada Sawitri.
Sementara, istri Karapak pun turut merasa se-
nang. Tapi, karena nenek itu punya adat cerewet, dia
memasang wajah ketus saat melihat Sawitri atau Ke-
muning belum juga beranjak dari tempat berdirinya.
"Ayo, Sawitri!" tegur si nenek. "Cepatlah pergi!
Ambil uang tabungan kita! Belilah arak yang paling
bagus untuk teman barumu itu! Cepatlah!"
Kemuning menatap sejenak wajah istri Karapak
seraya menganggukkan kepala. Namun sebelum ma-
suk ke ruangan sebelah dalam, dia melempar kerlin-
gan ke arah Seno secara diam-diam.
Seno nyengir kuda, tak tahu makna kerlingan
itu.
DUA
REMBULAN sepenggal menyiramkan cahaya
tembaga. Langit hitam kelam. Bintang berkedip dalam
kebisuan. Angin berhembus dingin, tak mampu men-
gusik sepi.
Di dalam sebuah kamar yang disediakan oleh
Karapak dan istrinya, Seno terbaring telentang di atas
dipan beralas tikar daun pandan. Keningnya berkerut.
Ada sesuatu yang tengah menjadi beban pikirannya.
"Kemuning...," desis Seno, menatap langit-langit
kamar yang terbuat dari anyaman bambu. "Kenapa ne-
layan tua itu menyebut namanya sebagai Sawitri? Be-
narkah Kemuning itu anaknya? Hmmm.... Kemuning
sempat membisikkan sesuatu kepadaku. Dia sedang
menyamar, dan aku diminta untuk membantu. Untuk
apa dia menyamar? Bagaimana aku harus memban-
tunya?"
Seno mendesah. Kejadian tadi sore memang
membuat resah hatinya. Sebenarnya, Seno ingin ber-
cakap-cakap dengan Kemuning untuk meminta penje-
lasan, tapi tak ada kesempatan. Sepulang dari membeli
arak, Kemuning tak muncul-muncul lagi. Dan, Seno
pun tak berani menanyakannya kepada Karapak. Seno
merasa, sebagai orang baru, sangat tak pantas bila
bertanya-tanya.
"Hmmm.... Aneh sekali Kemuning itu...," ujar
Seno dalam hati, "Tempo hari ketika berjumpa den-
ganku, dia pergi begitu saja setelah menjulukiku seba-
gai Pendekar Bodoh. Katanya, dia hendak pergi ke Pa-
demangan Lemah Pitu karena gurunya ada di sana.
Tapi, kenapa tiba-tiba aku menemuinya di tempat ini?
Benarkah nelayan tua bernama Karapak itu ayahnya?
Kenapa usia mereka terpaut amat jauh?"
Plok!
Mendadak, Seno menggaplok kepalanya sendiri.
"Bodoh sekali aku ini!" rutuknya. "Bukankah dia ten-
gah menyamar? Tentu ada sesuatu yang tengah diseli-
dikinya! Tentu! Tapi... apa atau siapa yang tengah dis-
elidikinya...?"
Bola mata Seno melotot ketika tiba-tiba dia
mendengar suara langkah kaki mengendap-endap.
Bergegas Seno bangkit. Dia tahu kalau suara mencuri
gakan itu mendekati kamarnya.
"Hmmm.... Ada orang mendatangi kamarku dari
luar," kata hati Seno. "Kalau dia pencuri atau seseo-
rang yang bermaksud jahat lainnya, aku akan membe-
ri pelajaran kepadanya."
Terbawa perasaan tegang, Seno mencekal erat
Tongkat Dewa Badai yang terselip di balik bajunya.
Urat-urat darah di pergelangan tangannya tampak
menggembung karena tanpa sadar dia mengalirkan te-
naga dalam.
Namun..., cepat Seno mendekap mulutnya.
Hampir saja dia berseru kaget. Dia mendengar bisikan
yang begitu dekat dengan telinganya. Ada seseorang
yang memanggil namanya dengan ilmu mengirim sua-
ra.
"Seno...! Seno...!"
"Kemuning...," desis Seno.
Setelah dapat memastikan bahwa yang me-
manggilnya adalah Kemuning, tanpa pikir panjang lagi
Seno meloncat seraya membuka jendela. Gerakannya
hati-hati sekali. Seno tak mau Karapak dan istrinya
terbangun dari tidur mereka.
Lewat jendela yang dibukanya sebagian, Seno
melihat sesosok tubuh berpakaian serba kuning ten-
gah berdiri di bawah naungan pohon. Walau remang-
remang, Seno dapat memastikan bila sesosok tubuh
itu adalah Kemuning yang telah berganti pakaian.
"Keluarlah, Seno. Tutup lagi jendela mu. Ikuti
aku...."
Seno mendengar sebuah bisikan lagi. Bisikan
itu jelas berasal dari mulut seorang gadis. Bertambah
yakinlah Seno bila sesosok tubuh yang dilihatnya me-
mang Kemuning. Maka, bergegas dia meloncati jendela.
Gerakannya tak mengeluarkan suara sedikit pun ka
rena dia menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang
bernama 'Lesatan Angin Meniup Dingin'.
Namun, begitu Seno menutup kembali daun
jendelanya, sosok tubuh berpakaian serba kuning me-
lesat pergi. Dan, Seno pun mengikuti. Mudah saja bagi
Seno untuk mengikuti lesatan sosok tubuh itu karena
ilmu peringan tubuhnya lebih unggul beberapa tingkat.
Beberapa tarikan napas kemudian, di pinggir
Kota Gambiran yang terletak tak sebegitu jauh dari Te-
laga Dewa, sosok tubuh berpakaian serba kuning
menghentikan lesatannya. Seno turut berhenti.
"Bodoh sekali kau, Seno!" rutuk sesosok tubuh
yang ternyata memang Kemuning atau Dewi Pedang
Kuning. "Tadi sore, hampir saja penyamaran ku terbu-
ka akibat ulah mu! Tahukah kau, Seno, kalau penya-
maran ku sampai terbuka, maka sia-sialah semua jerih
payah ku selama ini? Nyawaku pun bisa terancam!"
"Ah! Aku...," sahut Seno, tergagap. "Aku... aku
tak tahu kalau kau sedang menyamar. Tapi... tapi, un-
tuk apakah penyamaranmu itu? Apakah kau bukan
putri orang tua bernama Karapak itu?"
"Huh! Bodoh benar kau, Seno!" sambar Kemun-
ing lagi. "Kau punya kepandaian hebat, tapi otakmu
bebal! Kau memang pantas dijuluki Pendekar Bodoh!"
"Ya..., ya! Terserah apa katamu," sambut Seno.
Pemuda lugu ini tak marah disebut berotak bebal wa-
lau sebenarnya otaknya tidak bebal.
"Ya! Kau memang Pendekar Bodoh! Matamu
dapat melihat, tapi otakmu tak mampu menimbang-
nimbang! Tentu saja aku bukan anak nelayan tua itu!
Dia dan istrinya sudah begitu uzur. Bagaimana mung-
kin mereka punya anak seusia ku! Usiaku baru tujuh
belas tahun! Kau harus tahu itu!"
"Sama...," sahut Seno sambil nyengir kuda. "Eh!
Kalau begitu, kenapa Karapak dan istrinya menyebut
mu sebagai putri mereka? Apakah kau putri angkat
mereka?"
"Hmmm.... Rupanya, otakmu bisa juga diguna-
kan untuk berpikir. Mulai hari ini, kau harus mem-
bantuku, Seno. Harus!"
"Kalau aku tak mau?" goda Seno.
"Karena kau sudah mengetahui penyamaran
ku, terpaksa aku akan membunuhmu!" ancam Kemun-
ing penuh kesungguhan seraya mencekal gagang pe-
dang yang terselip di punggungnya.
"Eh! Tunggu dulu!" cegah Seno. "Aku tadi cuma
bercanda. Tapi..., kalau kau memang ingin membu-
nuhku, mampukah kau melakukannya? Tempo hari
kau hampir tewas di tangan Sokalanang. Tidakkah kau
ingat bagaimana aku telah membuat perampok itu lari
terbirit-birit?"
Kemuning melepas cekalannya pada gagang
pedang. Kesal dia mendengar ucapan Seno. Dia me-
mang pernah ditolong Seno. Dengan mudah, Seno
mengusir Sokalanang yang hendak menjatuhkan tan-
gan maut kepadanya. Seno punya kepandaian hebat.
Kemuning merasa tak mampu menandingi kehebatan
pemuda lugu itu.
"Kau murid Dewa Dungu! Seharusnya kau
mengikuti jejak gurumu. Kau harus membantuku un-
tuk memberantas kejahatan!" seru Kemuning kemu-
dian.
"Ya..., ya! Aku tadi cuma bercanda," sambung
Seno. "Tapi, katakan dulu apa sebenarnya maksud pe-
nyamaranmu ini...."
Lewat cahaya rembulan temaram, Kemuning
menatap lekat wajah Seno. Dia seakan ingin melongok
isi hati pemuda lugu itu. Dan setelah menarik napas
panjang, Kemuning berkata, "Bila kau menghitung ha-
ri, kau pasti tahu kalau pertemuan kita tempo hari itu
telah lewat satu candra...."
"Ya, aku tahu."
Sebelum berpisah denganmu, aku mengatakan
bahwa aku akan pergi ke Kademangan Lemah Pitu.
Aku memang pergi ke sana. Bersama guruku, aku
langsung pergi ke Telaga Dewa. Kata guruku, di Telaga
Dewa setiap tanggal satu Suro selalu muncul seekor
ikan mas besar bernama Ikan Mas Dewa. Di dalam pe-
rut ikan itu terdapat... eh...."
Kemuning tak melanjutkan ucapannya. Dia me-
rasa kelepasan bicara. Ditatapnya wajah Seno penuh
selidik.
"Kau kenapa?" tegur Seno. "Aku tahu kelanju-
tan bicaramu. Bukankah kau hendak mengatakan bila
di dalam perut Ikan Mas Dewa terdapat sebuah benda
ajaib bernama Kodok Wasiat Dewa?"
"Dari mana kau tahu itu?"
"Guruku yang mengatakannya. Aku pun tahu,
di sekitar sini telah muncul puluhan tokoh rimba per-
silatan. Mereka semua tentu menginginkan Kodok Wa-
siat Dewa itu."
"Kau juga menginginkannya?"
"Ya," Jawab Seno, jujur.
Mendengar jawaban pemuda lugu itu, Kemun-
ing langsung terdiam. Setelah berpikir-pikir, akhirnya
dia berkata, "Kau baru datang tadi sore. Kau pasti be-
lum tahu kalau di tempat ini telah banyak jatuh kor-
ban...."
"Maksudmu?"
"Kata guruku, setiap tahun Telaga Dewa me-
mang selalu jadi ajang pertumpahan darah. Puluhan
tokoh rimba persilatan mati sia-sia tanpa sempat melihat bagaimana wujud Ikan Mas Dewa itu. Mereka di-
bunuh oleh sekelompok orang yang mengaku berasal
dari Lembah Dewa-Dewi. Di mana letak lembah itu dan
siapa pemimpinnya, sampai sekarang tak ada yang ta-
hu...."
"Lalu, apa tujuan mereka dengan membunuh
orang-orang yang datang ke Telaga Dewa?" tanya Seno,
tertarik.
"Komplotan Lembah Dewa-Dewi hanya membu-
nuh orang-orang yang menginginkan Kodok Wasiat
Dewa. Para pendatang lain yang terdiri dari para sau-
dagar dan bangsawan tak pernah mereka usik. Dari si-
tu bisa ditebak kalau sebenarnya komplotan Lembah
Dewa-Dewi sangat menginginkan Kodok Wasiat De-
wa...."
"Mereka telah mendapatkannya?"
"Belum. Oleh karena itu kau harus hati-hati,
Seno. Aku menduga, puluhan tokoh rimba persilatan
yang telah mati sekarang ini dibunuh oleh komplotan
Lembah Dewa-Dewi."
"Hmmm.... Aku tahu sekarang," tukas Seno.
"Penyamaranmu ini tentu ada hubungannya dengan
komplotan jahat itu."
"Ya."
"Kau menyamar sebagai putri Karapak yang tak
mengerti ilmu silat agar kau selamat...."
"Bukan begitu!" sergap Kemuning. "Aku me-
nyamar bukan karena ingin menghindari komplotan
Lembah Dewa-Dewi. Walau mereka berkepandaian
tinggi, aku tak takut! Aku hanya mengikuti petunjuk
guruku!"
"Petunjuk apa?"
Mendengar pertanyaan Seno, Kemuning men-
gedarkan pandangan seraya menajamkan pendengaran. Kemuning khawatir ada orang yang mencuri den-
gar. Tapi setelah dapat memastikan tak ada orang lain
di tempat itu, Kemuning berkata, "Guruku mencurigai
Karapak dan istrinya!"
Kontan kening Seno berkerut rapat. Tanpa sa-
dar, dia nyengir kuda. "Aneh...," desisnya. "Kenapa Ka-
rapak dan istrinya yang tak mengerti ilmu silat harus
dicurigai?"
"Nah! Di situlah letak kebodohanmu, Seno!" ru-
tuk Kemuning.
"Aku telah terkecoh?"
"Ya! Karapak dan Istrinya hanya berpura-pura
tak mengerti ilmu silat. Guruku yang berpengalaman
luas mencurigai mereka sebagai dua orang anggota
komplotan Lembah Dewa-Dewi...."
"Benarkah itu?" kejut Seno.
"Setelah datang ke Telaga Dewa, aku dan guru-
ku langsung mengadakan penyelidikan. Menurut
orang-orang yang berdiam di sekitar Telaga Dewa, Ka-
rapak dan istrinya telah cukup lama berdiam di tem-
patnya itu. Namun, pada hari-hari tertentu, Karapak
dan istrinya selalu pergi, dan tak seorang pun ada
yang tahu...,"
"Lalu?" kejar Seno, penasaran.
"Aku diperintah guruku dengan berpura-pura
menjadi anak yatim-piatu yang sedang kelaparan. Aku
mengetok pintu rumah Karapak pada malam hari dua
pekan yang lalu. Aku berhasil melakukan sandiwara
dengan baik. Karapak dan istrinya senang melihatku.
Rupanya, mereka benar-benar ingin punya anak...."
"Hmmm.... Setelah jadi anak mereka, apa hasil
penyelidikan mu? Benarkah mereka anggota komplo-
tan Lembah Dewa-Dewi?"
"Aku tak tahu. Aku tak mendapatkan apa-apa,"
jawab Kemuning seraya menghela napas panjang. "Aku
jadi tak tahu, mereka itu sangat pandai menyembu-
nyikan ilmu kepandaian yang mereka atau memang
mereka tak punya kepandaian apa-apa...."
Seno turut menghela napas panjang.
"Kebetulan kalau kau datang, Seno," ujar Ke-
muning kemudian. "Kau bisa membantuku untuk
memecahkan persoalan ini."
"Ya. Tapi, apa yang harus kulakukan?"
"Untuk sementara, jangan kau tunjukkan ilmu
silatmu. Kau turuti saja apa kata Karapak dan is-
trinya. Aku tahu mereka amat suka kepadamu. Mereka
akan menjodohkan kita...."
Kemuning tersenyum. Manisss... sekali. Darah
muda Seno kontan berdesir aneh. Ditatapnya wajah
Kemuning tanpa bosan. Seno ingin memegang tangan
Kemuning, memeluknya, lalu.... Tapi, Seno tak berani
melakukannya. Namun, malam yang dingin dan sua-
sana yang sunyi membuat keinginan Seno menghen-
tak-hentak....
"Eh, kau kenapa?" tegur Kemuning yang meli-
hat Seno terus menatapnya.
"Ah! Aku... aku...."
Seno tergagap. Dalam hatinya terjadi perang
besar. Sebagai seorang pendekar, tentu saja dia harus
menjunjung tinggi adab kesusilaan dan kesopanan.
Tapi, sebagai manusia biasa, Seno tak mampu menipu
dirinya sendiri. Dia amat tertarik melihat kecantikan
wajah dan kemontokan tubuh Kemuning.
Perang besar dalam hati Seno membuatnya
berkeringat dingin. Dan, begitu cairan keringat me-
nyentuh kain baju Seno, Kemuning terkejut karena
mencium aroma harum kayu cendana. Agaknya, ra-
muan yang telah menyatu dengan kain baju Seno bekerja bila terkena cairan keringat.
Dan anehnya, setelah mencium aroma harum
kayu cendana yang menyebar dari kain baju Seno,
otak Kemuning jadi linglung. Nafsu birahinya tiba-tiba
bangkit. Tanpa sadar, Kemuning memeluk tubuh Seno.
Erat... sekali!
"Kemuning... Kemuning...!" sebut Seno, kaget
melihat perubahan sikap si gadis.
"Kau tampan dan sangat gagah, Seno..." desis
Kemuning. "Aku... aku ingin kau memeluk ku, Seno...."
Semakin erat Kemuning memeluk Seno. Dia
tengadahkan wajahnya, mengharap ciuman si pemu-
da....
Aliran darah Seno berdesir makin kuat. Keingi-
nan yang sudah dia coba untuk ditahan malah sema-
kin menguasai jalan pikirannya. Degup jantung Seno
mengencang. Dengus nafasnya memburu. Perlahan dia
angkat kedua tangannya, lalu membalas pelukan Ke-
muning....
TIGA
SENO mencium kening Kemuning. Dan, Ke-
muning pun menerimanya dengan penuh perasaan.
Matanya terpejam rapat. Bibirnya yang merah merekah
tampak bergetar....
"Kau cantik sekali, Kemuning...," ujar Seno se-
raya mempererat pelukannya.
Terbawa hasrat hatinya yang semakin meng-
hentak-hentak, Seno mencium bibir Kemuning. Se-
mentara, Kemuning menikmati benar ciuman itu. Dia
pun balas mencium. Hingga, kedua anak manusia itu
saling pagut. Mereka terlena dalam buaian kenikmatan.
Merasakan sesuatu yang belum pernah dirasa-
kannya, lupa sudah Seno pada keadaan sekelilingnya.
Dan, Kemuning pun menurut saja ketika Seno mem-
bopong tubuhnya untuk kemudian dibaringkan di
permukaan tanah berumput tebal.
"Seno...," desis Kemuning,
"Ya..., ya, kau cantik sekali, Kemuning.... " Usai
berkata, Seno mencium lagi bibir Kemuning. Dilumat-
nya penuh hasrat menggebu. Jemari tangannya pun
mulai bergerak nakal. Satu persatu kancing baju Ke-
muning dilepaskannya. Lalu, dia singkapkan pakaian
dalam Kemuning yang berwarna putih berenda-renda!
Napas Seno terhenti manakala melihat dua bu-
kit putih halus yang tampak begitu menggemaskan.
Tak sabaran lagi, Seno membenamkan wajahnya di an-
tara belahan kedua bukit itu.
Kemuning mendesis seraya menggelinjang saat
merasakan sentuhan hangat di dadanya. Dia dekap
kepala Seno, lalu dia benamkan lebih dalam....
Sementara Seno dan Kemuning larut dalam ge-
jolak hasrat jiwa muda, rembulan sepenggal yang ber-
warna kuning pucat menyiramkan cahaya temaram.
Berjuta bintang yang berkedip-kedip tak mampu mem-
berikan cahaya lebih terang. Hembusan angin menu-
suk dingin, membuat sepi semakin merajai suasana
malam.
Sebelum godaan setan benar-benar menguasai
jalan pikiran Seno, mendadak pemuda itu menggera-
gap kaget. Seno merayap bangkit. Bayangan Ibunya
yang telah meninggal berkelebatan di benaknya.
"Ibu.... Seno bersalah, Bu. Seno lupa diri...."
Seno duduk menekuk lutut sambil berkata-
kata seorang diri. Dia mendekap wajahnya, penuh rasa
sesal. Sementara, Kemuning yang masih dikuasai naf-
su setan tampak bangkit. Tanpa membenarkan letak
pakaiannya, dia memeluk tubuh Seno dari belakang....
"Kemuning.... Kemuning!" seru Seno, mengin-
gatkan.
Namun, Kemuning tak ambil peduli. Tubuh Se-
no dipeluknya lebih erat. Pipi kanan pemuda lugu itu
diciuminya tanpa bosan.
Merasakan sentuhan sesuatu yang lembut ke-
nyal di punggungnya, hasrat Seno bangkit lagi. Tapi,
sosok ibunya yang terbayang di benaknya membuai
Seno tersadar kembali. Sedikit kasar, ditepisnya pelu-
kan Kemuning.
Tapi, Kemuning menerkam lagi. Dengan dengus
napas memburu, diciuminya kedua pipi Seno....
Seno berusaha mengelak.
"Kemuning! Ingatlah, Kemuning...! " ujarnya.
Selagi Kemuning berusaha melepaskan hasrat
hatinya, angin terus berhembus dingin. Cairan kerin-
gat di tubuh Seno menghilang. Perlahan namun pasti,
aroma harum kayu cendana yang menyebar dari baju
Seno mulai lenyap. Dan..., sedikit demi sedikit gejolak
birahi yang menguasai akal pikiran Kemuning mulai
lenyap pula.
Ketika kesadaran Kemuning telah pulih kemba-
li, gadis cantik itu melonjak kaget. Cepat dia benarkan
letak bajunya. Lalu, dengan tubuh gemetaran dan ma-
ta mendelik, dia berkata, "Apa... apa yang telah kula-
kukan...?"
Seno tak menjawab. Dia tak tahu apa yang ha-
rus dikatakannya. Yang dapat dilakukannya adalah
menunduk dan terus menunduk, menyesali apa yang
telah dilakukannya.
"Kau... kau! Apa yang telah kau lakukan kepa
daku, Seno?!" sentak Kemuning seraya menyambar
pedang yang tergeletak di tanah.
Melihat Seno tak juga membuka suara, Kemun-
ing menghunus pedangnya. Lalu, ujung pedang ber-
warna kuning itu ditodongkannya ke dada Seno!
"Katakan, Seno! Apa yang telah kau lakukan
kepadaku?!"
Perlahan Seno menegakkan wajah. Sambil me-
natap ketajaman pedang Kemuning, dia berkata, "Kita
sama-sama khilaf, Kemuning. Aku memang berdosa....
Tapi, aku belum... belum.... Kau tak perlu khawatir,
Kemuning. Kau masih... masih...."
Walau ucapan Seno banyak yang menggantung,
tapi Kemuning tahu apa yang dimaksud oleh pemuda
itu. Setelah memperhatikan keadaan dirinya, Kemun-
ing tahu bila dirinya memang belum sampai ternoda.
"Aku tadi juga khilaf, Seno...," ujar Kemuning
kemudian. "Namun, andai di lain kali kau melakukan
sesuatu yang tidak-tidak kepadaku, aku akan menga-
du nyawa denganmu!"
Seno cuma cengar-cengir melihat Kemuning
menyarungkan bilah pedangnya. Sementara, usai me-
nyandarkan kembali pedangnya ke punggung, Kemun-
ing membentak,
"Berdirilah...!"
Tanpa berkata apa-apa, Seno bangkit berdiri.
Namun, dia tak berani lagi menatap wajah cantik Ke-
muning. Dia takut akan menjadi lupa diri lagi.
"Ikuti aku...!" ajak Kemuning dengan suara ke-
tus, menyimpan kekesalan.
Melihat si gadis hendak berlari cepat, bergegas
Seno mencegah. "Hei! Kau hendak ke mana?"
"Ikuti saja aku!"
"Kalau aku tak tahu ke mana tujuanmu, aku
tak mau mengikutimu!" tolak Seno, ketolol-tololan.
"Huh! Bodoh benar kau!" semprot Kemuning.
"Kalau kau gunakan otakmu untuk berpikir, kau tentu
tahu apa yang akan kuperbuat!"
"Apa?" tanya Seno, nyengir kuda. Pemuda lugu
ini benar-benar tak tahu maksud ajakan Kemuning.
Kemuning mendelikkan mata. Dengan suara
ketus, dia berkata, "Dasar Pendekar Bodoh! Bukankah
tadi sudah ku utarakan bahwa aku punya tujuan me-
nyelidiki komplotan Lembah Dewa-Dewi? Sekarang,
aku mengajak mu pergi tentu ada hubungannya den-
gan begundal-begundal itu!"
"Ya. Ya," sahut Seno sambil menggaruk kepa-
lanya yang tak gatal.
"Cepat ikuti aku!"
Tanpa menanti persetujuan dari Seno, Kemun-
ing menjejak tanah seraya berkelebat pergi, menyusuri
tepi sebuah sungai yang berada di selatan Kota Gambi-
ran.
Karena tak mau mengecewakan Kemuning,
bergegas Seno mengikuti. Hanya dengan mengerahkan
beberapa bagian ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin',
Seno sudah dapat mengimbangi kecepatan lari Kemun-
ing. Kelebatan tubuh Seno meninggalkan tiupan angin
berhawa dingin yang ditebari aroma harum kayu cen-
dana....
* * *
"Selama dua pekan ini, hampir setiap malam
aku berada di tempat ini," beri tahu Kemuning. Gadis
itu bersembunyi di balik bongkahan batu besar berse-
mak-semak, dekat dengan aliran sungai. Tatapan ma-
tanya tertuju lurus ke arah jalan yang membelah Kota
Gambiran.
Seno yang diajak bicara tampak bersembunyi
pula di sisi kiri Kemuning, juga menatap lurus ke arah
jalan yang membelah Kota Gambiran. Karena hari su-
dah sampai pada titik tengah malam, jalan yang berja-
rak sekitar seratus tombak dari tempat persembunyian
Seno dan Kemuning itu terlihat sepi lengang. Namun
demikian, keadaan jalan cukup terang. Semua kedai
dan rumah warga kota menyalakan lampu luar di ma-
lam hari.
"Untuk apa kau mengajakku bersembunyi di
sini, Kemuning?" tanya Seno karena Kemuning tak ju-
ga melanjutkan bicaranya.
Kemuning yang masih menyimpan rasa kesal
menjawab dengan suara ketus. "Dari tempat ini, ketika
tengah malam telah lewat, aku dapat melihat kelebatan
sesosok bayangan hitam. Bayangan itu berkelebat
amat cepat, sehingga aku tak mampu mengejarnya...."
"Bayangan itu orang jahat?" tanya Seno, lugu.
"Kupikir begitu," jawab Kemuning, masih ketus.
"Setiap aku melihat kelebatan bayangan itu, esok pa-
ginya warga Kota Gambiran pasti gempar. Beberapa
orang pelancong yang menginap di rumah penginapan
ditemukan dalam keadaan terbujur kaku menjadi
mayat. Mereka yang mati selalu dari kaum rimba persi-
latan...."
"Dibunuh oleh komplotan Lembah Dewa-Dewi?"
"Kita akan buktikan nanti. Apabila bayangan
itu telah lewat, kau harus menguntitnya Seno. Aku ta-
hu kau punya ilmu peringan tubuh amat hebat. Kau
pasti dapat menangkap basah durjana itu!"
"Ya," sambut Seno. "Lalu, apa yang akan kau
kerjakan?"
"Beberapa kali mencoba menguntit bayangan
itu, tapi selalu kehilangan jejak. Kali ini, lebih baik aku
menunggu di sini. Atau, aku akan pulang diam-diam."
"Uh! Enak saja!" gerutu Seno. "Kau suruh aku
menguntit orang jahat, tapi kau malah pergi pulang!
Kalau aku tak berhasil menangkap penjahat itu dan
aku terbunuh, bagaimana?"
Hampir meledak tawa Kemuning mendengar
ucapan Seno yang begitu lugu. Namun, karena masih
ingin menunjukkan kekesalannya, cepat Kemuning
menekan rasa ingin tertawanya itu. Lalu katanya, "Ka-
lau tak bisa menangkap orang jahat, kau tak pantas
menjadi murid Dewa Dungu yang berkepandaian se-
tinggi langit! Kalau kau mati, itu lebih baik! Agar, na-
ma Dewa Dungu tak tercemar oleh kebodohanmu!"
"Eh! Eh!" Seno nyengir kuda. "Kenapa kau ber-
kata kasar seperti itu? Aku.... Eh! Kau masih marah
padaku, ya? Eh! Lupakan dulu kemarahan mu itu.
Aku...."
Mendengar ucapan Seno yang tergagap-gagap,
sekuat tenaga Kemuning menekan rasa gelinya. Na-
mun begitu, sebentuk senyuman tersungging juga di
bibirnya. Karena tak mau Seno melihat senyumnya itu,
cepat Kemuning memalingkan muka.
"Eh! Eh! Kau kenapa?" tanya Seno. Tangan ka-
nannya terangkat hendak menepuk bahu Kemuning,
tapi tak jadi. Tangan Seno mengambang di udara, lalu
bergerak turun perlahan.
"Sudah! Jangan banyak cakap! Sebal!" rutuk
Kemuning.
"Ya! Ya! Aku memang tak boleh ngomong terlalu
banyak. Tapi, kalau kau terus marah-marah seperti
itu... aduh..., bagaimana aku..., aduh...."
Kemuning mendekap mulutnya melihat Seno
salah tingkah. Walau secara lahir Kemuning menahan
tawa, tapi batinnya tertawa senang. Kemuning tahu
kalau Seno menaruh hati kepadanya. Namun, sampai
di mana pun rasa senang Kemuning, dia harus selalu
memasang wajah ketus. Menurut Kemuning, kalau di-
beri hati, setiap lelaki suka berbuat yang tidak-tidak.
Dan, apa yang terjadi di tanah berumput tebal tadi su-
dah cukup menjadi pelajaran bagi Kemuning. Dia tak
ingin hal itu terulang lagi. Namun, dia tak pernah bisa
mengerti, bagaimana dia bisa begitu terlena dalam de-
kapan Seno? Bahkan, dia merasakan desakan nafsu
birahi yang amat kuat? Apakah Seno sengaja membe-
rinya obat perangsang?
Kemuning tak pernah berpikir seperti itu sedi-
kit pun. Walau belum lama berkenalan, Kemuning bisa
menilai bila Seno adalah pemuda jujur dan amat lugu.
Seno tak mungkin berbuat jahat kepadanya. Tapi, ba-
gaimana perbuatan tak senonoh itu hampir terjadi?
Kemuning menggeleng-gelengkan kepalanya.
Untuk sementara waktu, dia tak mau memikirkan pe-
ristiwa itu lagi. Dia ingin menangkap salah seorang
anggota komplotan Lembah Dewa-Dewi. Dan, dengan
bantuan Seno, Kemuning yakin akan bisa mewujud-
kan keinginannya itu. Bila ada salah seorang anggota
komplotan Lembah Dewa-Dewi yang tertangkap, orang
itu bisa dipaksa untuk membongkar rahasia komplo-
tannya.
"Kurasa, hari telah lewat tengah malam, Se-
no...," ujar Kemuning kemudian. "Bayangan itu akan
segera lewat. Kau harus dapat menguntitnya, kemu-
dian menangkap basah!"
"Kau mau pulang?" tanya Seno, mencoba mena-
tap wajah Kemuning di balik kegelapan malam
"Dasar Pendekar Bodoh!" rutuk Kemuning.
"Semua orang pasti akan menertawakan perbuatanku
kalau aku menyuruhmu mengejar seorang penjahat,
sementara aku sendiri malah pergi...."
"Lalu, maksud bicaramu tadi?"
"Bodoh benar kau, Seno! Apa kau tidak bisa
membedakan, mana ucapanku yang sungguh-
sungguh, mana ucapanku yang bercanda?!"
"Jadi, kau tadi bercanda?"
Kemuning tak menjawab. Dia cuma menden-
gus. "Uh! Sebal!"
Seno nyengir kuda seraya menggaruk kepa-
lanya yang tak gatal. "Aneh benar gadis ini...," katanya
dalam hati. "Mendengar kata-katanya yang begitu ka-
sar, ingin rasanya aku segera pergi menjauh. Tapi...,
hatiku selalu berdebar-debar bila berdekatan dengan-
nya. Di hatiku ada rasa suka. Apakah aku telah.... Ah!"
Plok!
Mendadak, Seno menggaplok kepalanya sendiri
seraya menggerutu. "Aku memang bodoh! Banyak tu-
gas yang harus kukerjakan, tapi kenapa aku malah
memburu rasa senang ku sendiri?! Dasar aku memang
bodoh!"
"He, apa yang kau katakan, Seno?" tanya Ke-
muning yang mendengar gerutuan Seno. "Kau katakan
dirimu bodoh? Itu sudah benar! Kau memang Pende-
kar Bodoh!"
Nyengir kuda lagi Seno. Lalu dengan suara sen-
gau, dia berkata, "Aku memang bodoh, tapi tak sebo-
doh yang kau kira, Kemuning. Di dunia ini, tak ada
orang yang mau dikatakannya dirinya bodoh walau
orang itu berotak udang sekalipun! Kau tahu?!"
"Tahu! Tapi, kau memang bodoh!" bentak Ke-
muning.
Seno terdiam. Dia merasa tak mampu melawan
keketusan Kemuning. Namun setelah cengar-cengir,
dia mengutarakan kedongkolanya.
"Kau boleh merutuk ku sesuka hatimu, Kemun-
ing. Tapi, jangan di hadapan orang banyak. Aku malu!"
Kali ini, tak dapat lagi Kemuning menahan ta-
wanya. Gadis cantik bertubuh sintal montok itu terta-
wa mengikik panjang. Sementara, Seno menatap den-
gan sinar mata tak mengerti.
Namun tiba-tiba, Kemuning menghentikan ta-
wanya. Matanya melotot, menatap lurus ke jalan yang
membelah Kota Gambiran. Sesosok bayangan hitam
tampak berkelebat amat cepat, hampir tak terlihat oleh
pandangan mata.
"Itu dia, Seno!" seru Kemuning.
EMPAT
BAYANGAN ini berkelebat cepat sekali, laksana
menyatu dengan hembusan angin. Ketika melewati se-
buah perempatan, si bayangan membelok ke kiri, lalu
berhenti di sisi kanan Penginapan Asri, sebuah pengi-
napan terbesar di Kota Gambiran.
Lewat cahaya lampu yang menyorot dari pengi-
napan, dapatlah dilihat rupa sosok manusia ini. Ter-
nyata, dia seorang kakek yang mengenakan ikat kepala
kain batik. Tubuhnya masih tampak tegap berisi, ter-
bungkus pakaian serba hitam. Tatapan matanya tajam
menusuk, tertuju ke deretan jendela yang terletak di
tingkat tiga.
"Kalian manusia-manusia dungu! Mana pantas
mendapatkan Kodok Wasiat Dewa?!" gumam Si kakek.
Kakek berikat kepala batik ini lalu menjejak ta-
nah. Ringan sekali tubuhnya melayang, hinggap dan
menempel di sisi jendela salah satu kamar di tingkat
tiga. Sejenak, dia tak melakukan gerakan apa-apa, di-
am meringkuk dan dengan berpegangan pada kayu
jendela yang tertutup rapat"
Telinga si kakek mendengar suara dengkuran
dari dalam kamar. Wajahnya malah kaku menegang.
Sorot matanya tambah berkilat-kilat.
"Hmmm.... Sekaranglah saatnya," si kakek
menggumam lagi. "Kalian harus mati! Kalian tak pan-
tas memperebutkan Kodok Wasiat Dewa!"
Kakek berikat kepala batik menggerakkan tu-
buhnya, menghadap ke daun jendela yang terbuat dari
kayu jati tua. Lalu, kakek yang masih tampak gagah
ini meluruskan telunjuk jari tangan kanannya seraya
dialiri tenaga dalam. Kemudian....
Si kakek menusukkan telunjuk jarinya ke daun
jendela. Tak sedikit pun terdengar suara. Daun jendela
yang terbuat dari kayu jati itu langsung bolong!
Lewat lubang yang baru dibuatnya, kakek beri-
kat kepala batik mengintip. Keadaan di dalam kamar
remang-remang karena sinar lampu yang menempel di
dinding kamar sengaja dikecilkan. Sementara, di atas
pembaringan tergolek seorang lelaki setengah baya,
mengenakan pakaian ringkas putih-hitam. Lelaki yang
terbaring telentang itu tengah tidur lelap. Suara deng-
kurannya terdengar cukup jelas.
"Selamat tinggal, Kerbau Dungu!" gumam ka-
kek berikat kepala batik.
Lelaki tua yang masih tampak gagah ini mena-
rik napas dalam-dalam seraya menurunkan kepalanya
hingga mulutnya menyentuh lubang kecil di daun jen-
dela.
Si kakek meniup. Aneh sekali! Udara yang ke-
luar dari mulut lelaki tua ini menyerupai asap yang
berwarna hijau gelap. Dapat dipastikan bila tiupan si
kakek mempunyai daya bunuh yang amat mematikan!
Satu tarikan napas kemudian, dari dalam ka-
mar terdengar suara keluh pendek yang disusul men-
gerang. Kakek berikat kepala batik tersenyum. Diintip-
nya lagi keadaan di dalam kamar lewat lubang kecil di
daun jendela. Senyum si kakek semakin mengembang
lebar.
"Malam ini, satu kerbau telah mati. Kerbau-
kerbau lainnya harus segera menyusul...," gumam si
kakek untuk kesekian kalinya.
Kakek berikat kepala batik menggeser tubuh ke
kiri. Dengan merayap seperti cicak, dia mendekati
daun jendela di kamar lainnya.
* * *
"Turunkan aku! Turunkan aku!" pinta Kemun-
ing yang berada di gendongan pemuda lugu Seno Pra-
setyo.
"Ya! Ya! Tanpa kau minta, aku memang akan
menurunkan mu di tempat ini," sahut Seno. Pemuda
yang dijuluki Kemuning sebagai Pendekar Bodoh me-
narik kedua tangannya. Tubuh Kemuning yang meng-
gelendot di punggungnya melorot turun. Tadi terpaksa
Seno menggendong Kemuning karena ilmu peringan
tubuh si gadis berada jauh di bawahnya.
Untunglah, sewaktu Seno berlari dengan meng-
gunakan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', pemuda
tampan ini tidak berkeringat sama sekali, sehingga
aroma harum kayu cendana yang keluar dari baju Se-
no tidak membuat Kemuning mabuk kepayang.
"Kau lihat orang itu?" tanya Seno, menunjuk
kakek berikat kepala hitam yang sedang merayap di
dinding kamar Penginapan Asri.
Dari jarak sekitar dua puluh tombak, Kemun-
ing menajamkan pandangan. Setelah mengetahui so-
sok tubuh yang ditunjukkan oleh Seno, Kemuning
langsung berkata, "Itulah orang yang kita kejar. Kita
bersembunyi dulu. Dia harus ditangkap basah!"
Kemuning meloncat di sisi bangunan besar
yang tak lain dari sebuah toko, tanpa pikir panjang,
Seno langsung mengikuti. Sementara, malam semakin
larut. Dingin yang menusuk tulang membuat sepi se-
makin berkuasa.
"Orang itu terus merayap di deretan kamar di
tingkat tiga," ujar Seno, terus memperhatikan tingkah
laku kakek berikat kepala batik. "Hmmm.... Dia mem-
buat lubang di daun jendela dengan ujung jari telun-
juk. Dia mengintip.,.. Apakah dia hendak mencuri?
Atau...?"
"Diamlah!" sergap Kemuning. "Kita pasti akan
tahu apa yang akan diperbuatnya nanti."
Mendengar teguran itu, kontan Seno mengunci
mulut rapat-rapat. Namun matanya tak henti menga-
wasi segala gerak-gerik kakek berikat kepala batik.
Kebetulan, toko yang digunakan Seno dan Ke-
muning untuk bersembunyi terdapat dinding batu di
bagian depan yang berlubang-lubang. Sehingga, mere-
ka bisa leluasa mengintai tanpa takut ketahuan. Dan,
dari dalam toko yang sudah tutup itu pun tak terden-
gar suara apa pun.
Sementara itu, kakek berikat kepala batik tam-
pak mengulum senyum. "Satu kerbau lagi akan segera
dijemput ajal," gumamnya.
Seperti yang telah dilakukannya tadi, dia mena-
rik napas dalam-dalam. Lalu, dia tempelkan bibirnya
ke lubang kecil yang telah dibuatnya di daun jendela.
Terdengar suara desis lirih waktu si kakek me-
niup. Dari mulut kakek berikat kepala batik ini me-
nyembur udara aneh yang menyerupai asap berwarna
hijau gelap.
Sesaat terdengar jerit kecil yang disusul suara
benda berat jatuh ke pembaringan. Setelah itu suasa-
na hening sunyi lagi. Kakek berikat kepala batik terta-
wa pelan.
"Malam ini, cukuplah dua ekor kerbau yang
kubunuh...," desisnya seraya meloncat turun, dan ber-
kelebat cepat
* * *
"Kita kejar!" ajak Seno.
"Sebentar! Kita belum tahu apa yang telah di-
perbuat durjana itu!" tolak Kemuning.
Sementara kakek berikat kepala batik berkele-
bat menembus kegelapan malam, Kemuning dan Seno
berkelebat mendekati Penginapan Asri. Karena tak sa-
bar, Seno meloncat tinggi, dan merayap ke deretan
kamar di tingkat tiga.
Lewat lubang di daun jendela yang dibuat oleh
kakek berikat kepala batik, Seno melihat ke dalam
kamar. Dan..., betapa terkejutnya pemuda lugu ini.
Tubuhnya bergetar melihat tubuh seorang lelaki ber-
pakaian ketat ringkas, pakaian khas seorang ahli silat,
yang tergolek telentang tak berkutik. Bola mata lelaki
yang terbujur kaku di atas pembaringan itu tampak
melotot besar, dan mulutnya pun terbuka lebar dengan
kulit wajah berubah hijau gelap!
"Celaka!" seru Seno. "Orang di dalam kamar itu
mati terserang racun ganas!"
Bergegas Seno meloncat turun. Namun, pemuda lugu ini tak melihat Kemuning berada di tempatnya
lagi. Setelah mengedarkan pandangan, tahulah Seno
bila Kemuning tengah memeriksa kamar-kamar di
tingkat tiga.
Kemuning berhenti merayap ketika menemu-
kan lubang kecil di daun jendela, terpaut tiga kamar
dari tempat Seno melihat sesosok mayat di dalam ka-
mar. Kemuning turut terhantam keterkejutan. Lewat
lubang di daun jendela, dia melihat tubuh seorang le-
laki berpakaian ringkas putih-hitam yang terbujur ka-
ku di atas pembaringan. Sama seperti yang dilihat Se-
no, tubuh lelaki setengah baya itu juga tak menunjuk-
kan tanda-tanda kehidupan lagi! Kulit wajahnya telah
berubah hijau gelap. Raut muka lelaki naas itu tampak
sangat mengerikan karena bola matanya melotot besar
dengan mulut terbuka lebar!
"Celaka!" seru Kemuning yang tak menyangka
bila kakek yang diintainya telah melakukan pembunu-
han.
"Kau melihat mayat di dalam kamar itu, Ke-
muning?" tanya Seno.
"Ya. Kita kejar dia!" sahut si gadis seraya me-
loncat turun.
Sebelum kaki Kemuning menginjak tanah, Seno
berkelebat cepat. Diraihnya pinggang Kemuning, lalu
berlari mengejar kakek berikat kepala batik. Namun
sampai di mana pun Seno mengerahkan ilmu peringan
tubuhnya, bayangan si kakek tak dapat dia temukan.
Sosok kakek berikat kepala batik lenyap bagai ditelan
bumi. Agaknya, si kakek mempunyai ilmu peringan
tubuh yang tak kalah dengan Ilmu 'Lesatan Angin Me-
niup Dingin' yang sedang diterapkan oleh Seno.
"Bagaimana ini? Bagaimana ini?" seru Seno,
seperti orang kalut. Berhenti berkelebat seraya menurunkan tubuh Kemuning.
"Sudah jelas bila orang berpakaian hitam-hitam
itu baru saja melakukan pembunuhan. Dia pasti ang-
gota komplotan Lembah Dewa-Dewi," sahut Kemuning.
"Kita harus dapat menangkapnya!"
"Ya, tapi ke mana kita harus mengejar?" tanya
Seno sambil nyengir kuda.
Kemuning terdiam. Ke mana harus mengejar?
Tak dapat Kemuning menjawab pertanyaan Seno. So-
sok kakek berikat kepala batik memang telah lenyap
tanpa bekas. Sementara, waktu terus berputar. Lamat-
lamat terdengar lolongan serigala.
Mendadak, Seno memalingkan muka ke kanan.
Telinganya yang tajam dapat menangkap suara per-
tempuran. Indera pendengar Seno memang sudah se-
demikian tajamnya karena lima tahun yang lalu dia
mendapat aliran hawa sakti dari Tongkat Dewa Badai
yang ditemukannya dengan tidak sengaja.
"Kau dengar suara itu?" tanya Seno untuk me-
mastikan pendengarannya. Sebagai pemuda yang baru
berkecimpung di rimba persilatan, seringkali Seno ku-
rang begitu percaya pada kemampuannya sendiri.
"Suara apa?" Kemuning balik bertanya. "Lolon-
gan serigala itukah yang kau maksud?"
"Bukan."
"Suara apa? Aku hanya mendengar desau angin
dan lolongan serigala."
Untuk beberapa lama Seno nyengir kuda. Kare-
na suara pertempuran semakin terdengar jelas oleh-
nya, bergegas Seno menyambar lagi tubuh Kemuning.
Dengan menggamit pinggang si gadis, Seno mengem-
pos tenaga. Dia keluarkan ilmu 'Lesatan Angin Meniup
Dingin' sampai ke puncak.
Dada Kemuning kontan jadi sesak karena kesulitan bernapas. Tiupan angin terasa menghajar sekujur
tubuhnya. Andai gadis ini tidak mempunyai keteguhan
hati, dia pasti telah pingsan dalam rengkuhan tangan
Seno yang membawanya berlari amat cepat. Begitu ce-
patnya lari Seno, hingga tubuh Kemuning dan tubuh-
nya sendiri laksana dapat menghilang.
* * *
"Jahanam! Kenapa kalian menghadangku?!"
bentak kakek berikat kepala batik seraya mengirim
pukulan dan tendangan beruntun.
Dua sosok tubuh yang menjadi sasaran cepat
membuang tubuh ke belakang. Namun, kedua orang
itu mengeluarkan pekik kaget karena merasakan sam-
baran angin pukulan si kakek yang membuat kulit tu-
buh mereka menjadi pedih seperti tersayat pedang.
"Kalau kalian masih ingin menghirup udara se-
gar, biarkan aku lewat!" usir kakek berikat kepala ba-
tik, menatap tajam penuh nafsu membunuh.
Ternyata, yang menghadang langkah kaki ka-
kek berikat kepala batik adalah sepasang kakek dan
nenek. Mereka sama-sama mengenakan pakaian long-
gar, terbuat dari kain sederhana berwarna putih-
kuning. Menilik dari raut wajah mereka, kedua orang
yang sudah lanjut usia itu adalah Karapak dan is-
trinya!
"Jangan harap kami akan melepaskanmu, Ma-
hisa Lodra!" seru Karapak yang membawa senjata be-
rupa dayung perahu yang terbuat dari kayu besi.
"Siapa kau?! Begitu berani kau berbuat telen-
gas di hadapan Setan Selaksa Wajah!"
Mendengar bentakan Mahisa Lodra atau Setan
Selaksa Wajah, istri Karapak tersenyum sinis. "Buka
mata dan telingamu lebar-lebar, Mahisa Lodra! Kami
adalah Sepasang Nelayan Sakti!" kenalnya. "Bertahun-
tahun kami tinggal di pinggir Telaga Dewa dengan
maksud menghukum mati dirimu, Mahisa Lodra. Aku
dan suamiku tahu persis bila kaulah biang pelaku
yang telah membunuh puluhan tokoh silat beberapa
tahun ini!"
"Sudah cukup lama aku berdiam diri di pinggir
Telaga Dewa dengan menyamar sebagai petani nelayan
biasa, mustahil aku mau melepaskan dirimu, Mahisa
Lodra!" tambah Karapak.
"Sepasang Nelayan Sakti...," desis Setan Selak-
sa Wajah. "Aku memang pernah mendengar kebesaran
julukan kalian itu. Kalau tak salah aku menebak, ka-
lian pasti Karapak dan Salindri. Namun..., persetan
dengan segala nama dan julukan! Sungguh suatu ke-
betulan! Sedari dulu aku memendam maksud untuk
melenyapkan seluruh tokoh silat yang berani mende-
kati Telaga Dewa! Kecuali aku, tak ada satu pun ma-
nusia yang layak memiliki Kodok Wasiat Dewa!"
Istri Karapak, Salindri, yang memegang senjata
berupa pancing berjoran panjang mendengus gusar.
Setelah memberi isyarat kepada suaminya, nenek ini
langsung menerjang. Joran pancingnya berkelebat un-
tuk menotok salah satu jalan darah penting di dada
Mahisa Lodra. Sementara, mata pancingnya yang teri-
kat tali baja lentur berputar di angkasa untuk segera
menghujam ke kepala lawan.
Karapak membarengi serangan istrinya dengan
menyabetkan dayung perahunya mengarah pinggang.
Timbul suara bergemuruh keras saat dayung yang ter-
buat dari kayu besi itu berkelebat!
"Hiahhh...!"
Mahisa Lodra memekik nyaring seraya berkelebat ke atas. Tanpa mendapat kesulitan, kakek berikat
kepala batik ini menghindari serangan beruntun yang
ditujukan kepada dirinya. Sewaktu joran pancing dan
dayung melesat lewat di sisi kiri tubuhnya, mendadak
Mahisa Lodra membuat gerakan jungkir balik di udara
Wusss...!
Dari kedua telapak tangan Mahisa Lodra mele-
sat dua larik sinar biru, masing-masing mengarah ke
tubuh Karapak dan Salindri!
Pukulan jarak jauh Mahisa Lodra yang dilan-
carkan sambil bersalto di udara itu memiliki daya
penghancur luar biasa. Bongkahan sebesar gajah pun
akan lebur menjadi debu apabila tertimpa. Apalagi, tu-
buh Karapak dan Salindri yang cuma terbuat dari su-
sunan tulang dan daging empuk!
"Awasss...!" teriak Karapak yang lebih dulu me-
nyadari keadaan.
Mendengar peringatan suaminya, bergegas Sa-
lindri membuang tubuh sejauh mungkin. Sementara,
Karapak pun tampak meloncat sejauh tiga tombak.
Blarrr...!
Blarrr...!
Dua ledakan dahsyat menggelegar di angkasa.
Kesunyian malam tercabik-cabik. Satu larik sinar biru
yang melesat dari telapak tangan Mahisa Lodra mener-
pa batang pohon besar. Tak ampun lagi, batang pohon
bergaris tengah satu depa itu meledak hancur menjadi
debu halus! Sementara, yang satu larik sinar lainnya
menerpa permukaan tanah, dan membentuk kuban-
gan besar yang sudah cukup untuk menguburkan dua
bangkai gajah sekaligus!
"Jangan gentar! Kita gempur terus durjana itu!"
seru Karapak seraya menerjang lagi. Dayung di tan-
gannya berkelebatan, mengarah bagian-bagian penting
di tubuh Mahisa Lodra.
"Hanya kematian yang pantas kau terima, Ma-
hisa Lodra!" timpal Salindri.
Mengikuti tindakan suaminya, Salindri menye-
rang gencar dengan mengeluarkan seluruh kemam-
puannya. Joran pancing menyambar ke sana-sini. Me-
luncur lurus untuk menotok jalan darah penting sam-
bil sesekali berkelebat sebagai alat pemukul. Sementa-
ra, mata pancingnya terus berputar-putar di angkasa.
berusaha menghujani ke kepala Mahisa Lodra!
Berkali-kali Setan Selaksa Wajah memekik ma-
rah. Mendapat serangan yang sedemikian hebat, mau
tak mau kakek berikat kepala batik ini mesti mengelu-
arkan seluruh daya kemampuannya. Untung saja, dia
memiliki ilmu peringan tubuh bernama "Angin Pergi
Tiada Berbekas'. Sehingga, Sepasang Nelayan Sakti
mendapat kesulitan untuk mendaratkan serangan.
Dan, beberapa kali mereka dipaksa bergerak mundur
karena Mahisa Lodra mengirim serangan yang tak ka-
lah berbahaya.
Tak lebih dari dua puluh tarikan nafas, per-
tempuran di tepi hutan kecil itu sudah memuncak. Se-
pasang Nelayan Sakti dan Setan Selaksa Wajah sama-
sama tak mau membuang-buang waktu. Masing-
masing ingin segera menghabisi riwayat lawan.
Akibatnya, suasana malam di tepi hutan kecil
yang sudah cukup jauh dari Telaga Dewa itu berubah
hingar-bingar. Pekik kemarahan berbaur dengan leda-
kan keras yang timbul akibat bentrokan tenaga dalam
tingkat tinggi.
Tampak kemudian, sosok bayangan Mahisa Lo-
dra melenting tinggi, menghindari sambaran dayung
dan joran pancing Sepasang Nelayan Sakti. Namun se-
belum Mahisa Lodra menjejak tanah, dayung di tangan
Karapak berkelebat untuk meremukkan tulang kaki.
Sementara, joran pancing Salindri menyambar cepat,
hendak menebas leher. Dan, mata pancingnya pun tu-
rut ambil bagian. Dengan mengeluarkan suara men-
dengung seperti lebah, mata pancing yang terbuat dari
baja runcing itu menghujam sebat, mengarah ulu hati!
Mendapat serangan beruntun itu, Mahisa Lodra
malah tersenyum. Dengan mengibaskan ujung lengan
bajunya, Mahisa Lodra melentingkan tubuhnya lagi.
Lalu dia berjumpalitan di udara. Gerakan itu sedemi-
kian cepatnya, hingga tubuh Mahisa Lodra berubah
menjadi segumpal asap yang bergulung-gulung di uda-
ra!
"Matilah kalian! Wussss...!"
Sambil terus berjumpalitan, Mahisa Lodra me-
niup. Serangkum angin berwarna hijau gelap menyem-
bur! Sekejap mata kemudian, bau amis menyebar.
Udara di tepi hutan itu dipenuhi hawa beracun yang
timbul dari dalam perut Mahisa Lodra!
"Celaka...!"
Berteriak kaget Karapak ketika merasakan tu-
buhnya lemas tiba-tiba. Seluruh tenaganya hilang en-
tah ke mana. Dan, Salindri pun mengalami hal serupa.
Tubuhnya juga terasa lemas tanpa tenaga!
Akibatnya, serangan kakek-nenek bergelar Se-
pasang Nelayan Sakti itu jadi kendor. Maka, Mahisa
Lodra tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Kalian telah terkena 'Racun Pem-
bunuh Naga' Nyawa kalian akan segera melayang ke
neraka! Ha ha ha...!"
"Jahanam...!" geram Karapak. Kakek bertubuh
kurus ini hendak menerjang lagi, tapi tenaganya be-
nar-benar telah lenyap. Kedua tangannya bergetar, tak
kuasa memegang senjata dayungnya hingga jatuh ke
tanah.
"Telan puyer 'Penghidup Jiwa', Aki!" teriak Sa-
lindri. Senjata berupa alat pancing di tangan nenek ini
pun telah lepas dari cekalan.
Tergesa-gesa sekali Sepasang Nelayan Sakti
mengambil bungkusan kertas dari lipatan baju mere-
ka. Serbuk kuning yang berada di dalam bungkusan
itu langsung mereka telan. Tapi..., tenaga mereka tetap
tak kembali. Bahkan, perlahan-lahan wajah suami-istri
itu mulai berubah warna menjadi hijau matang!
"Hmmm.... Kalau cuma puyer picisan, mana
dapat melawan pengaruh 'Racun Pembunuh Naga'?!"
ejek Mahisa Lodra.
"Keparat! Licik sekali kau, Jahanam!" umpat
Karapak sambil mendekap dadanya yang mulai sesak.
"Binatang culas! Kau benar-benar bukan ma-
nusia, Mahisa Lodra!" tambah Salindri dengan napas
memburu, dadanya terasa sesak pula.
Mendengar kata-kata kasar Karapak dan Is-
trinya, Mahisa Lodra mengerutkan kening. Dia sedikit
heran melihat ketahanan tubuh suami-istri yang telah
berusia lanjut itu. Sebenarnya, bila seseorang telah
menghirup 'Racun Pembunuh Naga', maka tak sampai
tiga tarikan napas kemudian, jiwa orang itu pasti di-
jemput maut.
"Hmmm.... Aku dapat memastikan bila puyer
'Penghidup Jiwa' sama sekali tak mampu melawan
pengaruh 'Racun Pembunuh Naga'...," gumam Mahisa
Lodra. "Tapi kenapa mereka bisa bertahan cukup la-
ma. Hmmm.... Kemungkinan besar mereka mempunyai
tenaga simpanan. Agar tak mengulur waktu, lebih baik
ku lumatkan tubuh kakek-nenek yang sok pandai itu
dengan pukulan 'Pelebur Sukma'!"
Tanpa pikir panjang lagi, Mahisa Lodra alias
Setan Selaksa Wajah mengalirkan kekuatan tenaga da-
lam ke kedua telapak tangannya. Lalu....
"Hiahhh...!"
Sambil menggembor keras, Mahisa Lodra me-
lancarkan pukulan jarak jauh. Dua larik sinar biru
yang mempunyai daya penghancur dahsyat melesat ke
de-pan tanpa dapat dibendung lagi. Sementara, Sepa-
sang Nelayan Sakti cuma dapat membelalakkan mata.
Tubuh mereka yang lemas sudah tak memungkinkan
lagi untuk bergerak menghindar. Tampaknya, nyawa
Karapak dan istrinya benar-benar akan melayang di
tangan Setan Selaksa Wajah?
Namun tiba-tiba....
"Hanya setan laknat yang tega berbuat seperti
ini!" Terdengar teriakan keras menggelepar yang diba-
rengi melesatnya gelombang angin pukulan dahsyat!
Blarrr...!
Blarrr...!
Dua ledakan keras membahana di angkasa.
Bumi berguncang beberapa lama. Akibatnya, gumpa-
lan tanah dan bebatuan berhamburan. Beberapa ba-
tang pohon yang berada di dekat pusat ledakan terca-
but akarnya, lalu terlontar tinggi di angkasa!
Dua larik sinar biru wujud dari ilmu pukulan
'Pelebur Sukma' tampak melesat tegak lurus ke atas,
kemudian lenyap tanpa bekas. Rupanya, gelombang
angin yang memapaki ilmu pukulan Mahisa Lodra itu
mempunyai daya kekuatan yang tak kalah hebat!
"Seno...!" pekik Karapak dan istrinya, hampir
bersamaan.
Dengan tubuh sempoyongan, kakek-nenek ber-
gelar Sepasang Nelayan Sakti itu menatap tak berkedip
sosok pemuda remaja berwajah tampan yang memang
Seno Prasetyo adanya.
"Aki! Nini!" teriak Kemuning yang berdiri di be-
lakang Seno.
Bergegas Kemuning meloncat mendekati ketika
melihat Karapak dan istrinya jatuh berguling-guling.
Sementara, Seno langsung meloncat ke hada-
pan Mahisa Lodra. Tongkat Dewa Badai tampak ter-
cekal erat di tangan kanannya. Tongkat mustika itu
baru saja digunakan Seno untuk meredam pukulan
'Pelebur Sukma' Mahisa Lodra.
LIMA
AKU tahu kau baru saja melakukan pembunu-
han di Penginapan Asri," ujar Seno. "Aku pun tahu
dengan Ilmu pukulan 'Pelebur Sukma', kau hendak
membunuh Kakek Karapak dan Istrinya. Sungguh kau
manusia biadab, Pak Tua! Katakan siapa dirimu, dan
ada hubungan apa kau dengan Dewa Dungu?!"
Seno sengaja menyebut nama Dewa Dungu gu-
runya karena ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' adalah
ilmu andalan tokoh tua lumpuh yang kini masih ting-
gal di salah satu lembah di Gunung Lawu itu. Seno in-
gat benar bila sebelum berpisah, Dewa Dungu berpe-
san bahwa dia diwajibkan untuk mencari kakak seper-
guruannya yang telah salah langkah, melenceng dari
jalan kebenaran. Kakak seperguruan Seno yang telah
membuat lumpuh kedua kaki Dewa Dungu itu berna-
ma Mahisa Lodra.
Menurut penuturan Dewa Dungu, Mahisa Lo-
dra selain telah membuatnya lumpuh, juga melarikan
dua bagian Kitab Sanggalangit. Masing-masing buku
yang dilarikan oleh Mahisa Lodra itu berisi ilmu peringan tubuh bernama 'Angin Pergi Tiada Berbekas' dan
sebuah pelajaran ilmu sihir atau ilmu semacamnya
yang bernama 'Selaksa Wajah Berganti-ganti'. (Baca
episode : "Tongkat Dewa Badai").
"He! Kenapa kau diam saja?! Benarkah kau
Mahisa Lodra?!" bentak Seno melihat kakek berikat
kepala batik tak segera menjawab pertanyaannya.
Mendengus gusar Setan Selaksa Wajah. Ilmu
pukulannya dapat dikenali Seno saja sudah membuat-
nya terkejut, apalagi kini si pemuda dapat menyebut
nama Dewa Dungu dan mengatakan dengan tepat sia-
pa namanya. Padahal, kakek yang masih tampak ga-
gah ini sama sekali tak mengenal pemuda yang terke-
san amat lugu itu.
"He! Kau punya mulut untuk bicara, kenapa
kau diam saja mendengar pertanyaan orang?!" Seno
membentak lagi.
"Hmmm.... Aku tak mengenal siapa kau! Tapi
melihat mulutmu yang ceriwis itu, gatal tanganku un-
tuk segera memecahkan batok kepalamu!"
Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Setan Selaksa
Wajah menerjang. Kedua tangannya berkelebat cepat,
mengeluarkan suara menderu keras dan member-
sitkan hawa panas yang menyengat kulit!
"Hiahhh...!"
Untuk meladeni serangan si kakek, sengaja Se-
no tak menggunakan Tongkat Dewa Badai. Tongkat
mustika sepanjang dua jengkal itu disimpannya lagi di
balik pakaian.
Dengan menggunakan Ilmu 'Lesatan Angin Me-
niup Dingin', Seno meloncat ke sana-sini, menghindari
serangan kakek berikat kepala batik tanpa membalas
sama sekali. Seno bermaksud mengenali jurus-jurus
yang sedang diperagakan oleh si kakek.
"Jurus 'Memetik Bunga Melempar Batu'!" seru
Seno sambil berkelit dari pukulan dan tendangan.
Jurus 'Memetik Bunga Melempar Batu' adalah
salah satu jurus ciptaan Dewa Dungu. Seno hafal be-
nar akan ciri-ciri gerakan jurus itu karena pernah
mempelajarinya, dan dapat pula memainkannya den-
gan sempurna.
Terkejut luar biasa Setan Selaksa Wajah men-
dengar seruan Seno, apalagi setelah si pemuda menye-
rangnya dengan jurus yang sama. Maka, terbawa rasa
penasaran, Setan Selaksa Wajah bermaksud mengha-
bisi riwayat Seno secepat mungkin. Cepat Setan Selak-
sa Wajah mengganti jurus 'Memetik Bunga Melempar
Batu' yang tengah dimainkannya.
"Jurus 'Memetik Bunga Menghindari Duri'!" se-
ru Seno lagi, dapat mengenali perubahan jurus kakek
berikat kepala batik.
"Jahanam! Ada hubungan apa kau dengan De-
wa Dungu?!" sentak Setan Selaksa Wajah, terus men-
cecar dengan serangan mematikan.
"Itu pertanyaanku tadi, Pak Tua! Seharusnya
kaulah yang menjawab!" sahut Seno.
Dengan menggunakan jurus 'Memetik Bunga
Melempar Batu', Seno terus meladeni gempuran Setan
Selaksa Wajah yang memainkan jurus 'Memetik Bunga
Menghindari Duri'.
Kedua jurus itu sama-sama ciptaan Dewa Dun-
gu. Kehebatannya bukan alang-kepalang lagi. Apalagi,
Seno dan Setan Selaksa Wajah memiliki ilmu peringan
tubuh yang hebat luar biasa. Hingga ketika memain-
kan kedua jurus itu, tubuh Seno dan Setan Selaksa
Wajah berubah menjadi dua gumpal asap berwarna bi-
ru dan hitam yang saling terjang.
Selagi kedua anak manusia itu terlibat dalam
pertempuran seru, waktu terus berlalu, gelap malam
terusir oleh semburat cahaya jingga sang baskara di
ufuk timur. Hari berganti karena fajar telah menyings-
ing.
Tubuh Sepasang Nelayan Sakti tampak terbar-
ing lemah di permukaan tanah, cukup jauh dari ajang
pertempuran. Tubuh sepasang suami-istri berusia lan-
jut itu telah dipindahkan Kemuning. Sementara, den-
gan mengeluarkan seluruh daya kemampuannya yang
didapat dari Dewi Pedang Halilintar, si gadis berusaha
menyelamatkan Sepasang Nelayan Sakti yang terse-
rang 'Racun Pembunuh Naga'.
Kemuning menyalurkan hawa murni ke tubuh
Sepasang Nelayan Sakti bergantian. Walau tidak ber-
hasil mengusir pengaruh 'Racun Pembunuh Naga', tin-
dakan Kemuning dapat menghambat aliran racun yang
menuju ke jantung. Hingga untuk beberapa lama, Se-
pasang Nelayan Sakti masih dapat bertahan dari ke-
matian.
Sementara itu, pertempuran antara Seno den-
gan Mahisa Lodra semakin berlangsung sengit. Lewat
lima belas jurus kemudian, sosok bayangan Mahisa
Lodra tampak melenting menjauhi ajang pertempuran.
"Aku tidak punya banyak waktu. Katakan siapa
dirimu, dan punya hubungan apa kau dengan Dewa
Dungu?!" seru Setan Selaksa Wajah begitu mendarat di
tanah.
"Kau mengulang pertanyaanku lagi, Pak Tua!"
sahut Seno. "Kaulah yang harus menjawabnya. Apa-
kah benar kau Mahisa Lodra? Kalau benar, segera se-
rahkan kepadaku dua bagian Kitab Sanggalangit yang
kau larikan tiga puluh tahun yang lalu! Setelah itu,
kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu
yang telah membuat lumpuh Kakek Dewa Dungu!"
"Jahanam! Mulutmu semakin ceriwis saja,
Anak Muda!" bentak Mahisa Lodra. "Cepat katakan
siapa dirimu! Agar nanti aku dapat menyebarkan beri-
ta kematianmu!"
Melihat muka Mahisa Lodra yang merah padam
penuh rasa gusar, Seno nyengir kuda sambil mengga-
ruk-garuk pantatnya yang terasa gatal. Sikapnya amat
lugu dan tak dibuat-buat sama sekali. Namun, hal itu
malah membuat amarah Mahisa Lodra memuncak.
"Cepat katakan siapa dirimu, dan punya hu-
bungan apa kau dengan Dewa Dungu?!" geram si ka-
kek. "Atau, ku lumatkan tubuhmu sekarang ini juga
dengan pukulan 'Pelebur Sukma'!"
"Kau katakan siapa dirimu dulu, baru aku
memperkenalkan diri!" sahut Seno dengan wajah ke-
bodoh-bodohan.
"Bangsat! Kalau begitu, mati saja kau, Kerbau
Dungu!"
Usai berkata, kedua pergelangan tangan Mahi-
sa Lodra tampak bergetar. Dia tengah menyalurkan
kekuatan tenaga dalamnya sampai ke puncak!
Tersurut mundur si pemuda lugu Seno Pra-
setyo. Bukan karena gentar, melainkan karena tahu
kakek berikat kepala batik mempersiapkan pukulan
'Pelebur Sukma' yang teramat dahsyat. Seno tahu be-
nar ilmu pukulan itu adalah ciptaan Dewa Dungu yang
hanya diturunkan kepada murid pertamanya. Seno
sendiri tidak diajari ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' ka-
rena dia telah mendapat ilmu pukulan yang lebih dah-
syat. Ilmu pukulan yang dipelajari Seno itu berasal da-
ri salah satu bagian Kitab Sanggalangit yang bernama
'Dewa Badai Rontokkan Langit'.
"Hmmm.... Menilik dari ilmu pukulan yang te-
lah disiapkan kakek itu, dia pasti Mahisa Lodra. Ya,
tak salah lagi. Dia pasti Mahisa Lodra!" kata Seno da-
lam hati. "Dan melihat perbuatan biadabnya di Pengi-
napan Asri berikut meracuni Kakek Karapak dan is-
trinya, aku wajib melaksanakan amanat Kakek Dewa
Dungu untuk menghukum mati murid murtad ini!"
Tanpa pikir panjang lagi, bergegas Seno mem-
persiapkan pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Langit'. Di
lain kejap, kedua pergelangan tangan Seno berubah
warna menjadi putih berkilat.
Bersamaan dengan itu, Mahisa Lodra menghen-
takkan kedua telapak tangannya ke depan. Dua larik
sinar biru melesat cepat, menebarkan hawa panas luar
biasa!
WUSSS...!
Dengan menggunakan pergelangan kakinya,
Seno menghentakkan pula kedua telapak tangannya
ke depan. Dan..., melesatlah dua larik sinar putih ber-
keredapan, memapaki sinar biru yang melesat dari te-
lapak tangan Mahisa Lodra!
Blarrr...!
Blarrr...!
Dua ledakan dahsyat membahana panjang saat
empat larik sinar berbenturan di udara. Gumpalan ta-
nah dan bebatuan berhamburan. Bunga api memercik
ke segala penjuru. Keadaan di tepi hutan itu laksana
terserang gempa hebat. Puluhan pohon tumbang, se-
bagian malah meledak hancur menjadi kepingan-
kepingan kecil!
Setelah berbenturan, empat larik sinar berwar-
na biru dan putih tampak melesat tegak lurus ke atas,
kemudian berbaur menjadi satu membentuk beraneka
macam warna mirip pelangi. Hingga, keadaan di ang-
kasa menjadi terang benderang, sementara di dekat
pusat ledakan masih gelap gulita karena pandangan
tertutup oleh gumpalan tanah dan bebatuan yang ber-
hamburan.
Tampak kemudian, tubuh Seno terlontar seki-
tar tiga puluh tombak. Karena dihempaskan oleh tena-
ga dorong yang amat kuat, tubuh pemuda tampan itu
jatuh berguling-guling ke tanah!
Untunglah, Seno melindungi tubuhnya dengan
'Perisai Dewa Badai', sebuah ilmu pengerahan tenaga
dalam yang membuat tubuh Seno jadi kebal. Namun
demikian, Seno tampak meringis kesakitan sewaktu
meloncat bangkit. Walau tidak menderita luka dalam,
tapi kepala Seno terasa pening dan pandangannya pun
mengabur.
"Aku masih hidup! Aku masih hidup!" desis Se-
no sambil menggeleng-gelengkan kepala untuk men-
jernihkan pandangannya.
Begitu keadaannya telah pulih seperti sediaka-
la, bergegas Seno meloncati kubangan besar yang ter-
bentuk akibat bentrokan dua ilmu pukulan tadi. Dipu-
tarnya pandangan ke segenap penjuru untuk mencari
sosok kakek berikat kepala batik. Namun, orang yang
dicarinya itu sudah tak tampak lagi batang hidungnya.
"He! Di mana kau, Pak Tua?! Jangan lari! Kau
masih punya urusan denganku!"
Seno berteriak-teriak penuh rasa penasaran.
Kakek berikat kepala batik tetap tak dapat ditemukan-
nya. Dan selagi Seno menggedruk-gedrukkan kakinya
ke tanah karena kesal, telinga pemuda itu menangkap
sebuah bisikan yang disampaikan dengan ilmu mengi-
rim suara dari jarak jauh.
"Keparat kau, Anak Muda! Walau aku belum
mengenal dirimu, dapatlah aku menebak bila kau tak
lain dari murid Dewa Dungu! Pada saatnya nanti, uru-
san ini akan ku lanjutkan!"
Kontan Seno mencak-mencak. Dia dapat men-
genali dengan jelas bila bisikan yang didengarnya itu
adalah suara kakek berikat kepala batik.
"Hmmm.... Rupanya, kakek jelek itu masih hi-
dup," gumam Seno. "Heran aku. Menurut penuturan
Kakek Dewa Dungu, ilmu pukulan "Dewa Badai Ron-
tokkan Langit' lebih unggul dari ilmu pukulan 'Pelebur
Sukma'. Tapi, kenapa kakek yang kuduga sebagai Ma-
hisa Lodra itu tak mati?"
Sebenarnya, ilmu pukulan Seno memang satu
tingkat di atas ilmu pukulan Mahisa Lodra atau Setan
Selaksa Wajah. Namun karena Mahisa Lodra telah
memperdalam ilmu itu selama tiga puluh tahun, tentu
saja tenaga dalam si kakek meningkat berlipat ganda.
Sementara, Seno baru mendalami ilmu silat selama li-
ma tahun. Walau Seno telah menelan sebuah benda
ajaib bernama Capung Kumala, namun tenaga dalam
Seno belum dapat mengungguli tenaga dalam Mahisa
Lodra. Sehingga, ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' dan
'Dewa Badai Rontokkan Langit' menjadi seimbang.
Sewaktu terjadi bentrokan dua ilmu pukulan
tadi, Mahisa Lodra mengalami hal serupa dengan Seno.
Tubuh si kakek juga terlontar jauh dan berguling-
guling di tanah. Karena tenaga dalam Mahisa Lodra
sudah sedemikian kuatnya, dia pun tak mengalami lu-
ka dalam. Setelah bangkit, Mahisa Lodra langsung
berkelebat pergi. Dia pikir, bertempur dengan seorang
pemuda yang belum punya nama di rimba persilatan,
menang pun tak akan membuatnya lebih termasyhur,
sementara kalau kalah malah akan membuatnya men-
derita malu.
* * *
"Hei! Bodoh benar kau, Seno!" teriak lantang
Kemuning. "Cepatlah kau tolong kakek dan nenek ini!"
Seno yang masih tergeluti rasa penasaran tam-
pak terkesiap kaget. Diarahkannya pandangan ke so-
sok Kemuning yang sedang melambaikan tangan. Di
dekat Kemuning terbujur tubuh Karapak dan Salindri.
Saat terjadi ledakan keras tadi, tubuh kakek-nenek
bergelar Sepasang Nelayan Sakti itu turut terlontar.
Tapi, kemudian telah mengangkat tubuh mereka un-
tuk kemudian dibaringkan di sebuah tanah datar be-
rumput.
"Uh! Aku memang bodoh! Uh! Kenapa aku bisa
lupa kalau ada orang yang membutuhkan pertolon-
gan!" rutuk Seno kepada dirinya sendiri.
Bergegas Seno meloncat. Karena menggunakan
ilmu 'Lesatan Angin Meniup Badai', Seno telah sampai
di hadapan Kemuning dalam beberapa loncatan. Pa-
dahal jarak yang dilaluinya tak kurang dari empat pu-
luh tombak!
Kening Seno berkerut rapat melihat tubuh Ka-
rapak dan istrinya yang terbaring pingsan di atas ta-
nah. Wajah kakek-nenek itu telah berwarna hijau ma-
tang. Tahulah Seno bila mereka terserang 'Racun Pem-
bunuh Naga'. Sebenarnya, ilmu mengolah udara di da-
lam perut hingga mengandung racun ganas itu meru-
pakan salah satu ilmu andalan Dewa Dungu. Kini, Se-
no pun tahu sosok mayat di Penginapan Asri juga ter-
kena 'Racun Pembunuh Naga'. Hanya karena tergesa-
gesa, sehingga Seno tidak dapat memastikan racun
apa yang bersarang di tubuh ahli silat yang menjadi
korban pembunuhan itu
"Pantas Kakek Dewa Dungu tak mau mengajar-
kan ilmu mengolah udara di dalam perut bernama
'Racun Pembunuh Naga', kiranya ilmu itu sangat ganas dan kejam," gumam Seno. "Hmmm.... Bertambah
besar keyakinanku bila kakek berikat kepala batik itu
adalah Mahisa Lodra, kakak seperguruanku yang telah
melenceng dari jalan kebenaran!"
"Hei! Kenapa kau malah bengong, Seno?!" tegur
Kemuning melihat Seno berdiri termangu.
"Eh..., ya, ya!"
Seno tergagap. Bergegas dia berjongkok seraya
menekan dada kiri Karapak dan istrinya. Seno berna-
pas lega. Walau detak jantung kakek-nenek itu amat
lemah, tapi masih terasa akan adanya tanda-tanda ke-
hidupan.
"Semoga Tuhan berkenan memperpanjang
usiamu, Aki-Nini...," desis Seno.
Saat Seno mengeluarkan Tongkat Dewa Badai
dari balik bajunya, Kemuning menatap tak berkedip.
Walau sikap Seno tampak kebodoh-bodohan, Kemun-
ing percaya bila Seno mempunyai kepandaian hebat.
Dan, dia pun diam saja ketika Seno menempelkan
tongkat mustikanya di urat nadi pergelangan tangan
kanan Karapak.
Hanya dalam dua tarikan napas, warna hijau di
wajah Karapak berangsur-angsur lenyap. Itu berarti
pengaruh 'Racun Pembunuh Naga' di tubuh si kakek
mulai lenyap pula. Di lain kejap, Tongkat Dewa Badai
yang berwarna putih bersih menjadi hijau matang.
"Uh... "
Karapak mengeluh pendek, tersadar dari ping-
sannya. Wajah kakek kurus itu telah berwarna merah
sehat. Tongkat Dewa Badai telah menghisap habis ra-
cun yang bersarang di tubuhnya.
"Seno...," desis Karapak, mengerjap-ngerjapkan
matanya.
"Ya. Aku Seno, Kek. Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Atur jalan darahmu dengan duduk bersila.
Kek...."
Ucapan Seno terdengar amat polos dan lugu.
Namun demikian, Karapak menuruti ucapan pemuda
itu tanpa bertanya apa-apa. Sementara, Seno tampak
bangkit berdiri. Tongkat Dewa Badai yang telah ber-
warna hijau matang dijulurkan lurus ke depan. Saat
Seno mengalirkan tenaga dalam, salah satu ujung
Tongkat Dewa Badai yang runcing menyemburkan
asap berwarna hijau.
"Wusss...!"
Seno meniup. Asap yang mengandung 'Racun
Pembunuh Naga' itu segera lenyap diterbangkan angin.
"Kasihan sekali kau, Nek...," desis Seno melihat
tubuh Salindri yang masih terbaring pingsan di tanah.
Bergegas Seno mengambil tindakan. Tongkat
Dewa Badai yang telah kembali berwarna putih bersih
ditempelkannya di urat nadi pergelangan tangan ka-
nan Salindri. Seperti Karapak, pengaruh racun di tu-
buh nenek itu pun berangsur-angsur lenyap. Di lain
kejap, Salindri telah duduk bersemadi di sisi sua-
minya.
* * *
"Tak kusangka! Sungguh aku tak menyangka!"
ujar Karapak setelah sampai di rumah berdinding bi-
lah-bilah papan. "Aku tak menyangka bila kau punya
kepandaian sehebat itu, Seno. Ketika bertemu den-
ganmu, aku menduga kau hanya seorang pesilat biasa
yang tak punya kepandaian apa-apa. Kiranya, kau
adalah murid Dewa Dungu yang sangat termasyhur ti-
ga puluh tahun silam. Sungguh aku tak menyang-
ka...."
Seno yang duduk di hadapan Karapak tampak
nyengir kuda. "Kakek jangan terlalu memuji. Aku takut
nanti kepalaku membengkak besar...," sergahnya. "Aku
pun tak menyangka bila Kakek dan istri Kakek adalah
sepasang pendekar bergelar Sepasang Nelayan Sakti.
Sungguh aku juga tak menyangka, Kek...."
"Aku pun demikian. Aku sama sekali tak me-
nyangka bila kau sebenarnya bernama Kemuning, mu-
rid Dewi Pedang Halilintar...," sahut Salindri seperti la-
tah. "Sungguh pandai kau menyembunyikan kepan-
daianmu, Kemuning. Benar-benar tak kusangka bila
kau adalah Dewi Pedang Kuning...."
Karapak, Seno, dan Salindri sama-sama menge-
luarkan isi hatinya. Mereka berucap dengan mata ber-
binar-binar. Namun, Kemuning atau Dewi Pedang
Kuning tampak menundukkan kepala. Lidah si gadis
terasa kelu. Bibirnya terasa kaku untuk diajak mengu-
cap kata-kata,
"Eh, kau kenapa, Kemuning?" tegur Karapak.
"Di antara kita sudah tidak ada rahasia lagi. Adakah
sesuatu yang membuat hatimu risau?"
Perlahan Kemuning mengangkat wajah. Dita-
tapnya Karapak dengan sinar mata redup. "Maafkan
aku, Ki...," desisnya.
Kontan kening Karapak berkerut rapat. "Kau ti-
dak salah, Kemuning. Justru aku dan Nini Salindri
mesti berterima kasih kepadamu. Bersama Seno, kau
telah menyelamatkan jiwa kami...."
Kemuning diam, menunduk lagi.
"Kau kenapa, Kemuning?" buru Karapak, pena-
saran.
"Maafkan aku, Ki...," ulang Kemuning, lirih.
"Maaf? Kau tidak bersalah."
Kemuning menggeleng. Ditatapnya wajah Karapak dan Salindri bergantian, lalu katanya, "Sebenar-
nya, penyamaran ku sebagai Sawitri adalah dengan
maksud menyelidiki Aki dan Nini berdua...."
"Maksudmu?" kejar Karapak, tak mengerti.
"Aki tentu sudah tahu, setiap menjelang tanggal
satu Suro, banyak peristiwa pembunuhan di Telaga
Dewa. Kaum rimba persilatan yang menginginkan Ko-
dok Wasiat Dewa banyak yang mati di tangan komplo-
tan Lembah Dewa-Dewi...," tutur Kemuning. "Dan...,
maafkan kesalahanku dan guruku. Aku dan guruku
menaruh curiga kepada Aki dan Nini...."
"Maksudmu, kau dan Dewi Pedang Halilintar
mencurigai kami sebagai anggota komplotan Lembah
Dewa-Dewi?" tebak Karapak.
Kemuning mengangguk.
Karapak tersenyum seraya berkata, "Kau dan
gurumu memang keliru, tapi tak perlu meminta maaf.
Ketahuilah, aku dan Istriku menyamar sebagai nelayan
biasa juga dengan maksud menyelidiki komplotan
pembunuh itu...."
"Perlu juga kau ketahui, Kemuning..., komplo-
tan Lembah Dewa-Dewi benar-benar menyimpan tabir
rahasia yang tak dapat kami pecahkan," tambah Sa-
lindri. "Kami tidak tahu berapa jumlah anggota kom-
plotan itu. Yang kami tahu bahwa di dalam komplotan
itu terdapat seorang tokoh sakti bernama Mahisa Lo-
dra atau Setan Selaksa Wajah...."
"Kakek berikat kepala batik itu?" cetus Seno ti-
ba-tiba, teringat sosok kakek yang memiliki ilmu puku-
lan 'Pelebur Sukma' dan ilmu mengolah udara di da-
lam perut bernama 'Racun Pembunuh Naga'.
"Ya," jawab Salindri. "Orang yang telah meracu-
ni aku dan suamiku itu adalah Mahisa Lodra. Dengan
ilmu kesaktiannya, dia bisa merubah wajahnya sesuka
hati. Oleh karena itu dia dijuluki Setan Selaksa Wajah.
Selama bertahun-tahun tinggal di tepi Telaga Dewa,
aku terus menyelidiki komplotan Lembah Dewa-Dewi,
termasuk Mahisa Lodra. Hingga kemudian, aku dan
suamiku dapat mengenal salah satu perubahan wajah
tokoh jahat itu. Kalau dia merubah wajahnya menjadi
seorang kakek, dia selalu mengenakan ikat kepala
yang terbuat dari kain batik...."
Di ujung kalimat Salindri, Seno hendak menga-
jukan beberapa pertanyaan, namun Kemuning keburu
mendahului.
"Ada kemungkinan bila sesungguhnya komplo-
tan Lembah Dewa-Dewi itu tidak ada."
"Ya. Aku juga menduga demikian, Kemuning,"
sahut Karapak. "Dengan mengubah-ubah wajahnya,
Mahisa Lodra melakukan serangkaian pembunuhan.
Tentu saja banyak yang tidak tahu kalau pembunuhan
itu dilakukan oleh satu orang saja. Dan untuk menye-
satkan pikiran orang, Mahisa Lodra menyebarkan ka-
bar bila serangkaian pembunuhan itu dilakukan oleh
komplotan Lembah Dewa-Dewi."
"Dengan demikian, dapatlah dianggap bila
komplotan Lembah Dewa-Dewi memang tidak ada," te-
gas Salindri.
"Bisa ada, bisa tidak," sahut Seno.
Kemuning mengangkat bahu. Karapak dan is-
trinya saling pandang.
"Mahisa Lodra adalah kakak seperguruanku
yang telah melenceng jauh dari jalan kebenaran," ge-
ram Seno tiba-tiba. "Dia tega membuat lumpuh Guru
yang telah memberinya ilmu kesaktian. Lain itu, dia
pun telah melarikan dua bagian kitab milik Kakek De-
wa Dungu untuk kemudian digunakan di jalan sesat.
Hmmm.... Kakek Dewa Dungu telah memberi ku kuasa
untuk memecahkan batok kepala murid murtad itu!"
"Aku akan membantumu, Seno," sahut Kemun-
ing penuh kesungguhan.
Seno menatap lekat wajah gadis berpakaian
serba kuning itu. Mendadak, darah mudanya berdesir
saat melihat bibir Kemuning mengulum senyum. Seno
teringat kejadian semalam di mana waktu itu dia ber-
sama Kemuning hampir saja terjerumus dalam per-
buatan dosa.
Plok!
Tiba-tiba, Seno menggaplok kepalanya sendiri.
"Bodoh sekali aku ini! Kenapa aku begitu mudah ter-
goda oleh seraut wajah cantik?!" rutuknya dalam hati.
ENAM
TANGGAL tiga puluh bulan Besar....
Kota Gambiran berubah menjadi lautan manu-
sia. Para pelancong dari berbagai daerah datang bagai
guyuran air bah. Di antara para saudagar kaya dan
bangsawan yang ingin melihat wujud Ikan Mas Dewa,
banyak dijumpai tokoh silat yang telah punya nama
besar di rimba persilatan. Sehingga, Kota Gambiran
benar-benar menjadi ajang pertemuan bagi orang-
orang yang biasa berkecimpung di dunia yang penuh
kekerasan dan pertumpahan darah itu.
Di bawah siraman sinar mentari pagi yang me-
nyapa hangat, seorang pemuda bertubuh tinggi tegap
tampak berjalan perlahan memasuki keramaian kota.
Pemuda remaja berumur tujuh belas tahun itu menge-
nakan pakaian biru-biru dengan ikat pinggang kain
merah. Kulit tubuhnya kuning langsat dan halus seperti kulit wanita. Berwajah tampan. Sementara, kedua
bola matanya yang bening senantiasa menyiratkan si-
nar keluguan dan kejujuran. Dia Seno Prasetyo.
Setelah membantu Karapak mencari ikan di Te-
laga Dewa, Seno sengaja mendatangi Kota Gambiran.
Selain untuk menyelidiki dan mencari keterangan pe-
rihal Setan Selaksa Wajah, Seno bermaksud melihat
seberapa banyak orang-orang yang menginginkan Ko-
dok Wasiat Dewa. Sekiranya dapat, Seno juga bermak-
sud mengukur seberapa tinggi ilmu kepandaian mere-
ka.
Setelah berputar-putar beberapa lama, langkah
kaki Seno menapak di lantai Kedai Mawar yang meru-
pakan rumah makan terbesar di Kota Gambiran.
Seorang pelayan setengah baya menyambut ke-
datangan Seno dengan senyum ramah. Namun, di ba-
lik senyum ramah si pelayan, Seno melihat rasa kha-
watir yang memancar dari sorot mata pelayan berpa-
kaian putih-putih itu.
Di hati si pelayan memang tersimpan rasa
khawatir. Bukan karena kehadiran Seno, tapi karena
di kedai tempatnya bekerja telah didatangi beberapa
tokoh silat yang tampak kasar dan garang. Si pelayan
khawatir bila mereka akan membuat onar.
Namun, kehadiran beberapa tokoh silat itu ju-
stru membuat senang hati Seno. Maka dengan lagak
dibuat-buat seperti orang agung, Seno duduk di kursi
dengan punggung ditegakkan dan wajah sedikit diten-
gadahkan. Diambilnya beberapa keping uang logam
dari saku. bajunya. Lalu, uang pemberian Karapak itu
diberikan kepada pelayan setengah baya.
"Berikan aku anggur yang paling bagus dan
makanan yang paling enak," pinta Seno.
Kening si pelayan langsung berkerut. Selama
bekerja sebagai pelayan kedai, belum pernah dia men-
jumpai orang yang memesan makanan dengan membe-
rikan uang terlebih dulu. Namun, rasa heran di hati le-
laki berpakaian putih-putih itu segera berubah menja-
di rasa geli. Setelah menatap wajah Seno beberapa
saat, dia berlalu sambil mengulum senyum. Sejenak,
kekhawatiran di hati si pelayan lenyap.
Seno duduk diam menanti pesanannya. Sikap-
nya acuh tak acuh walau tahu banyak mata memper-
hatikan. Sementara, di sudut ruangan kedai sebelah
belakang tampak seorang gadis cantik yang juga tak
lepas memperhatikan semua gerak-gerik Seno. Gadis
berpakaian serba kuning itu duduk semeja dengan
seorang nenek yang juga berpakaian serba kuning.
Walau sudah tua, wajah si nenek masih menyiratkan
sinar kecantikan.
Seno terkesiap saat mendengar seruan yang di-
tujukan kepada dirinya.
"Dasar Pendekar Bodoh! Tolol benar kau! Mau
makan saja harus membayar lebih dulu!"
Walau merasa tersinggung, Seno diam saja. Si-
kapnya tetap acuh tak acuh. Namun, diam-diam hati
Seno berdesir juga. Dia hafal akan warna suara orang
yang telah mengolokinya itu.
"Dasar Pendekar Bodoh! Tahu dihina orang,
kenapa diam saja?!"
Sekali lagi, terdengar seruan yang ditujukan
kepada Seno. Seruan pertama dan kedua itu berasal
dari mulut yang sama, yaitu gadis cantik yang duduk
semeja dengan seorang nenek berambut panjang dige-
lung ke atas.
Tak kuasa lagi Seno menahan rasa ingin ta-
hunya. Dan, berbinarlah bola mata pemuda lugu ini
ketika melihat orang yang telah mengolokinya ternyata
Kemuning. Namun, Seno segera menundukkan kepala
karena melihat nenek yang duduk semeja dengan Ke-
muning tampak memandangnya tanpa berkedip.
"Biarlah aku pura-pura tak mengenal Kemun-
ing. Agar nanti gadis itu tak membuatku repot," pikir
Seno.
Seno benar-benar mengikuti pikiran di benak-
nya. Tapi sambil menunduk, dia memperhatikan pe-
nampilan si nenek yang terus mengawasinya.
"Kemuning pernah mengatakan ciri-ciri gu-
runya yang bergelar Dewi Pedang Halilintar. Tampak-
nya, nenek yang terus memandangku itulah Dewi Pe-
dang Halilintar," pikir Seno lagi.
Sementara, melihat sikap Seno yang kembali
acuh tak acuh, Kemuning jadi sebal. Bibirnya cembe-
rut. Lalu dengan suara lebih lantang, dia berseru lagi.
"Dasar Pendekar Bodoh! Apa kau tak tahu ka-
lau ada banyak mata yang memperhatikan dirimu?!"
"Hus! Jangan mencari gara-gara!" tegur nenek
bersanggul yang memang Dewi Pedang Halilintar.
"Aku tidak mencari gara-gara, Eyang. Aku
hanya sebal melihat sikap pemuda itu. Dia berpura-
pura tidak mengenalku!" kilah Kemuning.
"Hmmm.... Begitu? Siapa dia?" tanya Dewi Pe-
dang Halilintar, tertarik. Nenek ini turut merasa pena-
saran melihat sikap Seno.
"Bukankah aku telah bercerita kepada Eyang
tentang Sepasang Nelayan Sakti. Pemuda itulah yang
telah menyelamatkan nyawa mereka dari keganasan
'Racun Pembunuh Naga'," beri tahu Kemuning.
"Seno Prasetyo?"
"Ya. Dia Pendekar Bodoh!"
Mendengar kata-kata Kemuning yang cukup
keras, semua orang yang berada di kedai langsung
mengarahkan pandangan lagi ke arah Seno. Dan kare-
na kata-kata Kemuning itulah, di kelak kemudian hari
tokoh-tokoh rimba persilatan lebih mengenal Seno se-
bagai Pendekar Bodoh.
Sementara, Seno masih melanjutkan sikap
acuh tak acuhnya. Namun dalam hati dia berkata,
"Sebenarnya, panas juga telingaku mendengar Kemun-
ing terus mengatakan aku sebagai Pendekar Bodoh.
Tapi, tak apa. Biarlah orang banyak mengenalku seba-
gai Pendekar Bodoh asal aku tidak benar-benar bo-
doh."
Seno nyengir kuda sejenak. Lewat ekor ma-
tanya, dia melihat wajah Kemuning yang tampak cem-
berut. "Sehari yang lalu, gadis itu pergi tanpa berpami-
tan kepadaku. Rupanya, dia hendak menemui gu-
runya," kata hati murid Dewa Dungu ini. "Hmmm....
Apakah dia bermaksud mempertemukan Dewi Pedang
Halilintar dengan Sepasang Nelayan Sakti?"
Bola mata Seno berbinar ketika melihat pelayan
setengah baya telah datang menyuguhkan anggur dan
makanan pesanannya. Tanpa ambil pusing dengan
keadaan di sekitarnya lagi, Seno menyantap makanan-
nya. Suara kecapan mulut terdengar jelas karena Seno
makan seperti orang kelaparan.
"Agaknya, di kedai ini ada seekor monyet yang
habis puasa satu bulan. Ha ha ha...!"
Mendadak, terdengar suara sindiran yang di-
ikuti tawa bergelak. Tanpa sadar Seno menghentikan
makannya. Dengan kening berkerut rapat, Seno mena-
tap seorang kakek kurus yang mengucap sindiran tadi.
Kakek berpakaian kuning-hitam itu duduk se-
meja dengan seorang kakek yang sebaya dengannya
namun bertubuh gemuk bundar. Mereka adalah Dua
Iblis Dari Gunung Batur. Yang kurus dikenal dengan
julukan Iblis Perenggut Roh, dan yang gemuk berjuluk
Iblis Pencabut Jiwa.
Tersinggung juga Seno disindir sebagai seekor
monyet. Namun sebelum dia membalas ejekan Iblis Pe-
renggut Roh itu, dari sisi kiri tempat duduk Seno ter-
dengar suara lantang.
"Sungguh kau tak tahu diri, Iblis Perenggut
Roh! Seorang pemuda tampan kau katakan seekor
monyet, lalu kau yang sudah bangkotan itu lebih pan-
tas disebut apa?"
Yang berkata adalah seorang kakek berwajah
halus, mengenakan pakaian serba hijau seperti orang
terpelajar. Dia bernama Bagus Tembini, namun lebih
dikenal sebagai Sastrawan Berbudi.
Di samping kakek berambut putih tergerai itu
duduk seorang tokoh tua lain bergelar Pendeta Tasbih
Terbang. Dia memang seorang pendeta ahli silat. Den-
gan kepala gundul licin, wajah si pendeta menyiratkan
sikap welas asih. Tubuhnya yang tinggi besar terbung-
kus jubah kuning dan di bahunya terselampir kain
merah bercorak kotak-kotak. Seuntai tasbih melingkar
di leher kakek yang tampak amat pendiam itu.
"Hmmm.... Keparat kau, Sastrawan Jelek!" ge-
ram iblis Perenggut Roh. "Aku berkata tidak menyindir
dirimu. Kenapa kau mencampuri urusan orang? Apa-
kah monyet geblek itu anakmu?!"
"Bukan. Tapi, cobalah kau jaga mulutmu. Apa
kau tak tersinggung bila disamakan dengan seekor
monyet?" sahut Sastrawan Berbudi yang tampaknya
menaruh belas kasihan kepada Seno.
Mendelik mata Iblis Perenggut Roh. Kakek ku-
rus yang punya sifat berangasan ini naik darah. Dan,
semakin mendidih saja darah Iblis Perenggut Roh keti-
ka Dewi Pedang Halilintar turut memojokkannya.
"Dari dulu kau selalu menyebut orang seenak
perutmu sendiri! Sebenarnya, kalau kau mau berkaca
sebentar saja, maka kau akan tahu bagaimana wajah-
mu yang mirip tikus comberan itu!"
Ucapan Dewi Pedang Halilintar diikuti suara
tawa bergemuruh pengunjung kedai. Maka, tak dapat
digambarkan lagi betapa marahnya Iblis Perenggut
Roh. Dengan sinar mata berapi-api, dia menatap wajah
Dewi Pedang Halilintar.
"Kurang ajarrr...! Apa kau tidak tahu sedang
berhadapan dengan siapa?!" bentak Iblis Perenggut
Roh seraya bangkit dari tempat duduknya.
Bibir Dewi Pedang Halilintar mengulum se-
nyum. "Siapa yang tak kenal kau? Sekali lihat, setiap
orang pasti akan mengingat dirimu seumur hidup. Ka-
rena, kau punya mulut monyong dan kumis kaku pan-
jang yang benar-benar mirip tikus comberan!"
"Bangsat!"
Sambil memaki, Iblis Perenggut Roh menjejak
lantai. Mendadak, tubuh kakek kurus ini melayang ce-
pat seperti burung walet. Jemari tangan kanannya ter-
kepal dan menjulur lurus ke depan.
Para pengunjung kedai yang telah mengenal Ib-
lis Perenggut Roh terperangah. Mereka menatap kele-
batan tubuh si kakek tanpa berkedip. Walau tahu Iblis
Perenggut Roh punya sifat berangasan, mereka sama
sekali tak menyangka bila si kakek hendak menjatuh-
kan tangan maut.
Kepalan tangan kanan Iblis Perenggut Roh me-
mang dialiri tenaga dalam tingkat tinggi. Sekali lihat,
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang tahu
kalau Iblis Perenggut Roh bermaksud menghantam
dada Dewi Pedang Halilintar dengan pukulan
'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'. Karena ilmu pukulan
itulah nama Dua Iblis dari Gunung Batur pernah bebe-
rapa kali menggegerkan rimba persilatan karena ber-
hasil mengalahkan tokoh-tokoh jajaran atas. Sayang-
nya, Dua Iblis dari Gunung Batur lebih terkenal seba-
gai dua tokoh beraliran hitam yang sering membuat
onar. Oleh karena itu, mereka memang lebih pantas
dipanggil 'iblis'.
Set...!
Dewi Pedang Halilintar yang telah mengetahui
kehebatan ilmu pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Ji-
wa' bergegas bangkit seraya menghunus pedang yang
terselip di punggungnya. Cepat sekali gerakan guru
Kemuning ini. Di lain kejap, terdengar ledakan keras
menggelegar mirip halilintar. Akibatnya, lantai kedai
bergetar. Semua meja dan kursi yang masih kosong
tampak bergeser.
Semua mata memandang tak berkedip ketika
tubuh Iblis Perenggut Roh tertahan di udara, lalu jatuh
terduduk di lantai. Namun, kakek kurus ini dapat se-
gera bangkit karena tak mendapat luka apa-apa.
Hanya wajahnya yang tampak pucat-pasi karena ter-
hantam keterkejutan.
Sastrawan Berbudi, Pendeta Tasbih Terbang,
dan Seno menghela napas panjang menyaksikan ade-
gan mendebarkan yang baru saja berlangsung. Iblis
Pencabut Jiwa yang tak sempat berbuat apa-apa pun
menarik napas lega. Mata mereka yang tajam dapat
melihat dengan jelas apa yang telah dilakukan oleh
Dewi Pedang Halilintar.
Sewaktu kepalan tangan Iblis Perenggut Roh
kurang sedepa untuk mengenai sasaran, Dewi Pedang
Kuning mengibaskan bilah pedang yang telah dihu-
nusnya. Kibasan pedang di tangan nenek berilmu ting-
gi itu menimbulkan ledakan keras yang mampu menahan terjangan Iblis Perenggut Roh.
"Jahanam kau, Nenek Kudisan!" geram Iblis Pe-
renggut Roh, menahan rasa malu. "Saat ini juga aku
menantangmu untuk bertempur seribu jurus!"
Usai berkata, Iblis Perenggut Roh melirik sau-
dara seperguruannya. Sebagai seorang tokoh golongan
hitam, dia tak merasa malu untuk meminta bantuan
Iblis Pencabut Jiwa.
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
tampak geleng-geleng kepala melihat perilaku Iblis Pe-
renggut Roh yang tak mengindahkan aturan di rimba
persilatan. Mereka menganggap Iblis Perenggut Roh
sebagai manusia yang tak tahu diri. Andai Dewi Pe-
dang Halilintar bermaksud menurunkan tangan maut
pada gebrakan tadi, mana mungkin Iblis Perenggut
Roh masih dapat menghirup udara segar.
Tapi tampaknya, Dewi Pedang Halilintar yang
punya sifat keras kepala dan sedikit tinggi hati berse-
dia meladeni tantangan Iblis Perenggut Roh. Dia julur-
kan pedangnya yang terbuat dari logam pilihan ber-
warna kuning ke muka Iblis Perenggut Roh.
"Tua bangka tak tahu malu! Tak sampai lima
puluh jurus pun kepalamu pasti menggelinding di ke
tanah!" ujar Dewi Pedang Halilintar.
"Baik! Baik! Kita keluar mencari tempat yang
lebih lapang!" sambut Iblis Perenggut Roh.
"Tunggu!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras menggelegar.
Semua orang langsung mengarahkan pandangan ke
Sastrawan Berbudi yang telah bangkit berdiri.
"Tahan hawa amarah!" Sastrawan Berbudi me-
lanjutkan teriakannya. "Kalian sudah tua. Kenapa ma-
sih bersifat kekanak-kanakan? Hanya karena persoa-
lan sepele, darah tak perlu ditumpahkan! Lebih baik
kalian menyimpan tenaga untuk digunakan esok hari!"
Yang dimaksud 'esok hari' oleh Sastrawan Ber-
budi adalah perebutan Kodok Wasiat Dewa di Telaga
Dewa. Tentu saja tidak mudah untuk mendapatkan
benda ajaib yang tersimpan di dalam perut Ikan Mas
Dewa itu. Karena, di rimba persilatan sudah lama ter-
siar kabar bila Ikan Mas Dewa memiliki kekuatan luar
biasa. Kibasan ekornya saja sudah cukup mampu un-
tuk menggulingkan dua puluh perahu sekaligus.
"Kita pergi!"
Sambil berkata demikian, Dewi Pedang Halilin-
tar menyarungkan pedangnya seraya menggamit len-
gan Kemuning. Setelah meninggalkan beberapa keping
uang logam di meja, nenek bersanggul itu berkelebat
keluar kedai. Setengah terpaksa, Kemuning mengikuti.
Agaknya, Dewi Pedang Halilintar mau menuruti nasi-
hat Sastrawan Berbudi.
Namun, Iblis Perenggut Roh tidak demikian.
Karena tergeluti rasa malu dan penasaran, dia ber-
maksud mengajak kakak seperguruannya untuk men-
gejar Dewi Pedang Halilintar. Tapi, Iblis Perenggut Roh
jadi kecewa karena Iblis Pencabut Jiwa menolak aja-
kannya dengan menggeleng-gelengkan kepala.
"Biarkan nenek itu pergi!" ujar Iblis Pencabut
Jiwa seraya menenggak segelas arak. Tubuhnya yang
gemuk bulat tampak bergoyang-goyang ketika cairan
arak keras mengalir ke dalam perutnya.
"Tapi..., dia telah membuatku malu!" desak Iblis
Perenggut Roh.
"Kau dengar ucapanku tidak?!" bentak Iblis
Pencabut Jiwa. Cairan arak yang masih tersisa di
rongga mulutnya menyemprot keluar.
"Dia telah mencoreng mukaku!" dengus Iblis
Perenggut Roh dengan mata mendelik. "Walau kau tak
mau membantu, aku akan tetap membuat perhitungan
dengan nenek cerewet itu!"
Iblis Perenggut Roh menjejak tanah untuk sege-
ra berkelebat keluar kedai. Tapi tiba-tiba, Iblis Penca-
but Jiwa bangkit berdiri. Cepat sekali tangan kanan-
nya bergerak!
Plak...!
"Uhhh...!"
Memekik kesakitan Iblis Perenggut Roh. Tu-
buhnya berpusing ke kanan terkena tamparan Iblis
Pencabut Jiwa.
Setelah mendapat tamparan yang cukup keras
itu, Iblis Perenggut Roh berdiri terpaku dengan kepala
tertunduk. Rupanya, dia menyimpan rasa takut terha-
dap kakak seperguruannya.
"Ha ha ha...!"
Mendadak, terdengar suara tawa lepas berderai.
Kontan Iblis Perenggut Roh menggeram marah. Bola
matanya melotot besar, tak berkedip menatap Seno
yang sedang tertawa terpingkal-pingkal.
"Hei! Apa yang kau tertawakan, Monyet Bau?!"
bentak Iblis Perenggut Roh dengan muka merah pa-
dam.
"Eh! Eh! Maaf, Pak Tua...," ujar Seno, gelaga-
pan.
"Kau mentertawakan aku, heh?!"
"Ya. Eh..."
Cepat Seno mendekap mulut karena kelepasan
bicara. Tadi, pemuda lugu ini memang merasa geli me-
lihat sikap iblis Perenggut Roh yang tampak begitu ta-
kut kepada Iblis Pencabut Jiwa.
"Jahanam!" geram Iblis Perenggut Roh.
Kakek kurus yang merasa terhina itu tak kuasa
menahan hawa amarah. Jajaran giginya yang bertautan memperdengarkan suara gemelutuk. Seluruh rasa
kesalnya tertumpah pada Seno.
Dengan sorot mata tajam menusuk, Iblis Pe-
renggut Roh menghampiri. Begitu sampai di hadapan
Seno, tangan kanan Iblis Perenggut Roh melayang un-
tuk menepuk bahu kiri si pemuda!
Melihat Seno yang tampak tenang-tenang saja,
seluruh pengunjung kedai terbelalak. Walau hanya se-
buah tepukan, jangan dikira jemari tangan Iblis Pe-
renggut Roh tidak berbahaya. Karena, tepukan itu dis-
ertai ilmu pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'!
Balok baja pun akan lumer terkena pukulan tokoh se-
sat itu, apalagi bahu seorang pemuda yang hanya ter-
diri dari tulang dan segumpal daging empuk!
"Jangan!" cegah Pendeta Tasbih Terbang yang
sedari tadi cuma diam. Kakek gundul ini langsung me-
loncat bangkit untuk menolong jiwa Seno, tapi mana
sempat?
Ketika telapak tangan Iblis Perenggut Roh
hampir menyentuh bahu Seno, semua pengunjung ke-
dai memejamkan mata karena tak tega melihat akibat
yang akan diterima si pemuda yang bertampang kebo-
doh-bodohan. Hanya Iblis Pencabut Jiwa yang tampak
tenang-tenang saja melihat perbuatan adik sepergu-
ruannya.
Kakek bertubuh gemuk bulat itu memang telah
terbiasa melihat Iblis Perenggut Roh melakukan tinda-
kan semena-mena.
Sementara, Seno yang diam tak bergeming bu-
kan tidak tahu kalau ada bahaya yang sedang men-
gancam jiwanya. Pada waktu terjadi bentrokan antara
Dewi Pedang Halilintar dengan Iblis Perenggut Roh ta-
di, Seno sudah dapat mengukur sampai di mana kehe-
batan ilmu pukulan Iblis Perenggut Roh.
Maka ketika merasakan tiupan angin dingin
yang dibarengi bau anyir darah yang menebar dari te-
lapak tangan Iblis Perenggut Roh, Seno mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke bahu kirinya. Dengan ilmu
'Perisai Dewa Badai', Seno bermaksud menadahi tepu-
kan maut Iblis Perenggut Roh!
Blammm...!
Terdengar suara ledakan cukup keras. Sekali
lagi, semua pengunjung kedai membelalakkan mata,
termasuk Iblis Pencabut Jiwa. Mereka terperangah me-
lihat tubuh Iblis Perenggut Roh yang tiba-tiba mencelat
dan membentur dinding kedai sampai jebol! Sementa-
ra, Seno masih duduk diam di tempatnya sambil cen-
gar-cengir!
Rupanya, ilmu pukulan 'Merenggut Roh Men-
cabut Jiwa' tak mampu menembus ilmu kebal Seno
yang bernama 'Perisai Dewa Badai'. Beberapa orang
tampak bertepuk tangan melihat kehebatan Seno.
Yang lainnya, menyampaikan rasa kagumnya dengan
tatapan mata. Hal itu membuat Seno salah tingkah.
"Aku pergi saja! Aku pergi saja!" desis Seno
sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Saat Iblis Perenggut Roh kembali masuk ke ke-
dai dengan langkah sempoyongan, Seno beranjak per-
gi. Karena terburu-buru, tanpa sadar Seno mengguna-
kan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin'.
"Astaga!" seru beberapa orang ketika melihat
tubuh Seno berkelebat amat cepat seakan dapat
menghilang.
Suasana kedai jadi ramai karena semua pen-
gunjung membicarakan kehebatan Seno. Demikian ju-
ga dengan Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Ter-
bang.
"Siapa dia?" tanya Sastrawan Berbudi.
"Kalau tidak salah aku mendengar, tadi murid
Dewi Pedang Halilintar menyebut pemuda itu sebagai
Pendekar Bodoh," jawab Pendeta Tasbih Terbang.
Mendengar ucapan kakek berkepala gundul itu,
seluruh pengunjung kedai semakin ramai membicara-
kan Seno yang disebut-sebut sebagai Pendekar Bodoh.
TUJUH
PUCUK-PUCUK cemara meliuk gemulai tersapu
hembusan sang bayu. Burung parkit aneka warna
bernyanyi dalam canda riang. Namun, kegembiraan di
hati mereka segera terhalau manakala bau anyir darah
menebar. Bau menusuk hidung itu berasal dari hala-
man rumah sederhana yang terbuat dari bilah-bilah
papan.
Ketika hembusan sang bayu bertambah ken-
cang, bau anyir darah semakin menyengat. Belasan
burung parkit mencicit ngeri seraya terbang ke angka-
sa luas. Mereka tak kuasa melihat sebuah pemandan-
gan yang sungguh amat mengenaskan.
Di halaman rumah papan yang tak beberapa
jauh dari Telaga Dewa tampak dua sosok mayat terbu-
jur kaku dalam keadaan telentang. Pakaian kedua
orang yang telah dijemput ajal itu penuh lumuran da-
rah yang mulai mengering.
Wajah kedua mayat itu sama-sama menggam-
barkan rasa penasaran. Rahang mereka tampak meng-
gembung hingga berbentuk balok persegi empat. Dan,
bola mata mereka pun melotot besar dengan mulut
ternganga lebar.
Mereka adalah seorang kakek dan nenek. Dilihat dari garis-garis wajahnya, mereka tak lain dari Ka-
rapak dan Salindri alias Sepasang Nelayan Sakti!
"Ya, Tuhan...."
Sebuah pekik parau merobek suasana sepi.
Dengan menyebut nama Sang Penguasa Tunggal, seo-
rang pemuda remaja berlari panik penuh rasa tidak
percaya. Pemuda berpakaian biru-biru dengan ikat
pinggang kain merah itu membelalakkan mata. Seku-
jur tubuhnya bergetar karena jantungnya berdegup le-
bih kencang.
"Kakek Karapak.... Nenek Salindri...," sebut si
pemuda yang tak lain dari Seno Prasetyo.
Tak percaya pada penglihatannya sendiri, Seno
memeriksa jalan napas Karapak dan Salindri. Diperik-
sanya pula detak jantung sepasang suami-istri berusia
lanjut itu. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Jiwa mere-
ka memang telah melayang beberapa waktu yang lalu.
Sejenak Seno mengedarkan pandangan. Tak
ada manusia lain yang terlihat. Suasana sunyi sepi.
Hanya desau angin yang terdengar.
"Pembunuh kejam itu tentu telah pergi...," pikir
Seno, raut wajah keruh. Lalu dengan suara bergetar,
pemuda lugu ini berkata, "Kakek dan nenek yang
baik..., kasihan sekali kau.... Aku tahu Kakek dan Ne-
nek berdua mati dibunuh orang. Percayalah kepadaku.
Akan kubalas tindakan biadab ini. Ya. Akan kubalas
tindakan biadab ini!"
Setelah mengatakan tekadnya, Seno memeriksa
lagi jenazah Karapak dan Salindri. Tepat di ulu hati
kakek-nenek itu terdapat luka berlubang yang tembus
sampai ke punggung.
"Hmmm.... Aku tahu kakek dan nenek ini dibu-
nuh orang dengan tusukan senjata tajam. Mungkin
pedang atau senjata semacamnya," pikir Seno.
Murid Dewa Dungu ini mengedarkan pandan-
gan lagi, lalu melangkah untuk mencari sesuatu yang
bisa digunakan sebagai petunjuk mencari si pembu-
nuh.
Seno memasuki rumah bilah-bilah papan. Na-
mun, di rumah sederhana itu, Seno tak menemukan
apa-apa. Seno berdiri termangu sejenak. Hatinya be-
nar-benar sedih dan perih teriris-iris. Selama beberapa
hari tinggal bersama Karapak dan Salindri, kakek-
nenek bergelar Sepasang Nelayan Sakti itu telah mem-
perlihatkan sikap ramah dan penuh kasih sayang.
Terbayang di benak Seno, ucapan Karapak
yang ingin menjodohkan dirinya dengan Kemuning.
Ucapan si kakek yang mengiang di telinga itu membuat
hati Seno makin sedih. Hingga, pada puncak kesedi-
hannya, Seno teringat pada sosok Ibunya yang juga
mati dibunuh orang.
Dengan langkah gontai, Seno keluar rumah. Di-
tatapnya langit biru yang ditebari awan perak. Di atas
sana, Seno seakan dapat melihat sosok ibunya yang
bernama Dewi Ambarsari atau Putri Bunga Putih.
"Maafkan Seno, Bu...," desis Seno, tetap me-
nengadahkan wajah. "Belum dapat aku mencari siapa
orang-orang yang telah menyengsarakan Ibu, kini Seno
mesti kehilangan dua orang tua yang juga menyayangi
Seno. Seno sedih sekali, Bu. Seno bersalah.... Seno tak
mampu mencegah tindakan kejam itu...."
Seno menumpahkan rasa sedihnya dengan
berkata-kata seorang diri. Namun, Seno tak mau me-
nangis. Karena kalau menangis, berarti dia tidak ta-
bah. Dan kalau tidak tabah, berarti dia tak kuasa men-
jalani hidup yang memang penuh tantangan dan co-
baan.
Begitulah pengertian yang telah mendarah daging dalam diri Seno sejak kecil.
Dengan langkah masih gontai, Seno melangkah
ke halaman samping rumah. Mendadak, langkah pe-
muda lugu itu terhenyak. Cepat diambilnya sebatang
kayu besi yang tergeletak di tanah. Batang kayu ber-
warna hitam itu ternyata potongan dayung perahu.
"Dayung ini senjata Kakek Karapak," desis Se-
no, mengamati potongan kayu di tangannya. "Dayung
ini terpapas jadi dua karena tebasan senjata tajam.
Hmmm.... Bersama Nenek Salindri, Kakek Karapak
tentu habis melakukan pertempuran sengit melawan
orang bersenjata pedang atau golok."
Melangkah lagi Seno. Di balik tonjolan batu be-
sar, Seno menemukan joran pancing yang juga telah
terpotong sebagian. Bekas potongannya rata karena
memang tertebas oleh senjata tajam,
"Joran pancing ini senjata Nenek Salindri. Aku
yakin bila pembunuh itu memang seorang pesilat yang
mahir memainkan senjata pedang atau golok," pikir
Seno. "Tapi, siapa? Mungkinkah Setan Selaksa Wajah?
Atau, orang lain anggota komplotan Lembah Dewa-
Dewi?"
Seno cengar-cengir, tak mampu menjawab per-
tanyaan di benaknya. Tapi mendadak, bola mata pe-
muda berwajah tampan itu melotot. Di bawah batang
pohon cemara, dia melihat sesosok tubuh terbaring
miring.
Bergegas Seno meloncat menghampiri. Sosok
tubuh yang dilihat Seno itu mengenakan pakaian ser-
ba kuning. Rambutnya yang telah berwarna dua dige-
lung ke atas. Dan, di punggungnya terikat sarung pe-
dang kosong.
Seno terkesiap ketika tahu jemari tangan kanan
sosok tubuh itu mencengkeram sebatang pedang yang
terbuat dari logam pilihan berwarna kuning. Dan, bilah
pedang itu penuh berlumuran darah yang telah men-
gering!
"Dewi Pedang Halilintar...!" pekik Seno setelah
dapat mengenali sosok tubuh yang ditemukannya
Tanpa pikir panjang lagi, Seno memeriksa kea-
daan sosok tubuh yang memang Dewi Pedang Halilin-
tar itu. Seno dapat merasakan detak jantung si nenek,
berarti guru Kemuning itu masih hidup.
Namun, Seno terkesiap lagi saat menemukan
sebentuk luka di bahu kiri Dewi Pedang Halilintar. Lu-
ka itu tidak seberapa besar, seperti bekas cabikan. Se-
no segera dapat memastikan bila luka di bahu guru
Kemuning itu bekas sambaran mata pancing!
Kontan mata Seno berkilat-kilat karena tergelu-
ti pikiran tak enak. Seperti orang kesetanan, Seno
membalikkan tubuh Dewi Pedang Halilintar. Di pung-
gung si nenek, Seno menemukan luka memar akibat
benturan senjata tumpul.
Benak Seno semakin digeluti pikiran tak enak.
Dapat dipastikan bila dua luka di tubuh Dewi Pedang
Halilintar akibat senjata Salindri dan Karapak, yang
memang biasa menggunakan senjata alat pancing dan
dayung perahu. Melihat darah yang melumuri pedang
Dewi Pedang Halilintar, kemungkinan besar nenek ber-
sanggul Itulah yang telah membunuh Sepasang Ne-
layan Sakti. Bukankah tubuh Dewi Pedang Halilintar
terdapat luka akibat senjata Karapak dan Salindri?
Ingin rasanya Seno memecahkan batok kepala
Dewi Pedang Halilintar saat itu juga. Tapi, dia tak mau
berbuat gegabah. Dia harus dapat membuktikan kebe-
narannya dulu.
Tak sabaran lagi Seno menotok beberapa jalan
darah di tubuh Dewi Pedang Halilintar. Setelah nenek
bersanggul itu siuman, Seno hendak mengorek penga-
kuan darinya.
"Uh...!"
Pada totokan kelima di dada kiri, Dewi Pedang
Halilintar mengeluh pendek, tersadar dari pingsannya.
Karena si nenek menderita luka dalam akibat pukulan
dayung, tangannya langsung mendekap dadanya yang
sesak.
"Pendekar Bodoh...," desis Dewi Pedang Halilin-
tar, mengerjap-ngerjapkan mata.
"Ya. Ini aku," sahut Seno, cepat. "Engkaukah
yang telah membunuh Sepasang Nelayan Sakti?"
"Uh...!"
Dewi Pedang Halilintar mengeluh kesakitan,
mencoba duduk sambil memegangi punggungnya. Se-
no memungut bilah pedang kuning yang terlepas dari
cekalan nenek bersanggul itu.
"Kau dengar perkataan ku tidak, Nek?" ujar Se-
no, menunjukkan bilah pedang yang berlumuran da-
rah. "Engkaukah yang telah membunuh Sepasang Ne-
layan Sakti?"
"Uh...!"
Mengeluh lagi Dewi Pedang Halilintar. Nafasnya
terdengar memburu. Seno mendelikkan mata melihat
si nenek menundukkan kepala, tak menjawab perta-
nyaannya.
"Aku tahu kau terluka dalam," ucap Seno, ke-
ras membentak. "Walau begitu, tentu kau masih bisa
menjawab pertanyaanku. Engkaukah yang telah mem-
bunuh Sepasang Nelayan Sakti?"
Tak Juga menjawab Dewi Pedang Halilintar. Dia
terus menunduk sambil mendesah-desah. Seno men-
dengus gusar. Andai Seno tak ingat nasihat ibunya
bahwa Seno harus berlaku sopan dan hormat kepada
siapa saja terutama kepada orang tua, pastilah saat itu
Seno telah menonjok mulut Dewi Pedang Halilintar
yang tak mau menjawab pertanyaannya.
"Pedangmu ini berlumuran darah, Nek!" geram
Seno yang masih memegang bilah pedang kuning. "Ka-
lau kau tidak segera menjawab pertanyaanku, maka
darah yang melumuri pedang ini akan bertambah lagi!
Kau tak menjawab, berarti kau mengakui. Engkaulah
pembunuh Sepasang Nelayan Sakti!"
"Bukan...," sahut Dewi Pedang Halilintar, lirih
seperti orang menggumam.
"Bukan? Lalu, siapa?" desak Seno.
Dewi Pedang Halilintar diam. Kepalanya me-
nunduk lagi. Seno jadi sebal karena si nenek terus
mendesah-desah.
"Kakek Karapak dan Nenek Salindri mati terke-
na tusukan senjata tajam. Dan, aku menemukan diri-
mu yang pingsan dengan memegang pedang berlumu-
ran darah. Sementara, aku tahu di bahu kirimu terda-
pat luka sambaran mata pancing senjata Nenek Salin-
dri. Lain itu, di punggungmu terdapat luka memar aki-
bat pukulan benda tumpul yang kemungkinan besar
adalah pukulan dayung perahu senjata Kakek Kara-
pak," ujar Seno, panjang lebar. "Melihat bukti-bukti
yang sedemikian kuat, apakah kau mau mungkir?"
"Aku tidak membunuh mereka...," elak Dewi
Pedang Halilintar. "Aku tidak membunuh siapa-
siapa...."
"Lalu, darah yang melumuri pedangmu ini da-
rah siapa?" sergap Seno.
"Darah Karapak dan istrinya."
"Kalau begitu, memang engkaulah pembunuh
Sepasang Nelayan Sakti itu!"
"Bukan!"
"Ngaco belo! Kau jangan membuatku bingung,
Nek! Kau jangan berkata terbelit-belit!"
Seno membentak keras sekali. Bahunya naik
turun karena desakan napas memburu. Amarah Seno
benar-benar hendak meledak. Walau Seno bukanlah
seorang pemuda yang gampang naik pitam, tapi kare-
na desakan rasa sedih dan kehilangan, darahnya jadi
mendidih. Apalagi, Dewi Pedang Halilintar tak segera
memberi penjelasan.
"Kau akui bila darah yang melumuri pedangmu
adalah pedang Sepasang Nelayan Sakti, tapi kenapa
kau tak mau mengakui bila kaulah pembunuh kakek-
nenek itu?!" seru Seno dengan sorot mata berkilat-
kilat.
"Aku tidak membunuh siapa-siapa...," sahut
Dewi Pedang Halilintar.
Bummm...!
Terdesak rasa jengkel, Seno menggedruk tanah.
Tanpa sadar gedrukannya disertai tenaga dalam. Aki-
batnya, bumi berguncang, dan tubuh Dewi Pedang Ha-
lilintar jatuh berguling-guling.
"Dasar Pendekar Bodoh!" maki Dewi Pedang
Halilintar kemudian. Bola matanya melotot besar, tak
berkedip menatap wajah Seno.
Melihat perubahan sikap si nenek, Seno meng-
geram marah. "Aku memang Pendekar Bodoh! Tapi,
kalau cuma memecahkan kepala seseorang pembunuh
kejam macam kau, kurasa aku cukup mampu!"
"Aku bukan pembunuh!" elak Dewi Pedang Ha-
lilintar. Usai berkata, guru Kemuning ini mendekap
dadanya, yang sesak. Dia lalu terbatuk-batuk.
Melihat penderitaan si nenek, Seno jadi iba dan
kasihan. Tapi setelah ingat bila dia punya bukti kuat
untuk menuduh si nenek sebagai seorang pembunuh,
cepat Seno menepis rasa iba dan kasihannya. Ditatap-
nya wajah si nenek dengan sorot mata makin berapi-
api.
Tapi, Dewi Pedang Halilintar yang punya sifat
tinggi hati balas menatap tajam pula. Walau menderita
luka dalam, dia tidak gentar sama sekali melihat tata-
pan Seno yang seakan ingin menelannya hidup-hidup.
"Aku bukan pembunuh!" seru si nenek lagi.
"Bukti sudah cukup kuat! Kau jangan mung-
kir!" bentak Seno.
"Aku tidak mungkir! Aku memang bukan pem-
bunuh! Dasar kau Pendekar Bodoh! Mana tahu siasat
licik orang?!"
Seno mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
tanyanya. Mendadak, amarah di hati pemuda lugu ini
menurun.
"Sekujur tubuhku terasa sakit. Tapi, hatiku le-
bih sakit lagi!" ujar Dewi Pedang Halilintar.
Usai berkata, nenek yang tubuhnya masih
tampak sintal itu bangkit berdiri sambil meringis kesa-
kitan. Dia melangkah sempoyongan. Begitu sampai di
hadapan Seno, dia berkata, "Serahkan pedangku!"
"Enak saja!" tolak Seno. "Kau seorang pembu-
nuh! Justru pedang ini akan kugunakan untuk me-
menggal kepalamu!"
"Bodoh sekali kau!" bentak Dewi Pedang Hali-
lintar. "Aku harus segera menyelamatkan muridku! Bi-
la kau masih penasaran, kau bisa menemuiku di lain
waktu! Serahkan pedang itu!"
Mendengar ucapan si nenek yang sama sekali
tak takut kepadanya, Seno mengerutkan kening lagi.
Tanpa sadar dia melakukan kebiasaan buruknya, yak-
ni nyengir kuda. Hidungnya berkernyit dengan kelopak
mata menyipit. Kalau sudah begitu, wajah Seno semakin tampak kebodoh-bodohan.
"Eh! Kau tadi berkata hendak menyelamatkan
muridmu?" ujar Seno kemudian. "Kenapa dengan Ke-
muning?"
"Dia diculik orang!" sahut Dewi Pedang Halilin-
tar. "Cepat serahkan pedang itu!"
Seno menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ti-
ba-tiba, otaknya jadi bebal memikirkan semua ucapan
Dewi Pedang Halilintar. Bukti sudah kuat, tapi kenapa
si nenek bersikeras menolak tuduhan bahwa dialah
pembunuh Sepasang Nelayan Sakti? Apakah nenek itu
memang bukan pembunuhnya? Lalu, kenapa pula si
nenek mengatakan Kemuning diculik orang?
Plok!
Mendadak, Seno menggaplok kepalanya sendiri.
Untuk beberapa lama, dia cuma dapat cengar-cengir
seperti telah hilang akal pikirannya. Namun, begitu te-
ringat pada Sepasang Nelayan Sakti yang telah terbu-
jur kaku menjadi mayat, Seno menodongkan pedang di
tangannya ke dada Dewi Pedang Halilintar.
"Kau jangan membuat aku bingung, Nek!" har-
dik Seno. "Cepat katakan siapa sebenarnya yang telah
membunuh Kakek Karapak dan istrinya! Dan, apa pula
yang telah terjadi pada Kemuning!"
"Aku tak biasa diancam seperti ini!" tantang
Dewi Pedang Halilintar.
Pergelangan tangan Seno bergetar melihat tata-
pan tajam Dewi Pedang Halilintar. Tanpa terasa, pe-
dang ditangannya melorot turun.
"Andai kau mau berpikir matang, kau pasti ta-
hu apa yang sebenarnya telah terjadi," ujar Dewi Pe-
dang Halilintar sambil mendekap dada. "Ada orang ja-
hat yang hendak membunuhku dengan meminjam
tanganmu, Pendekar Bodoh!"
"Apa maksudmu?" seru Seno kaget. Dewi pe-
dang Halilintar tak segera menjawab. Dia terbatuk-
batuk beberapa lama. Setelah menarik napas beberapa
kali, barulah dia dapat bernapas dengan lega. Tata-
pannya pada Seno tiba-tiba berubah redup.
"Aku tahu kau seorang pemuda yang lugu dan
jujur, Seno...," ujar si nenek kemudian. "Percayalah
kepadaku. Aku bukan seorang pembunuh kejam se-
perti yang kau kira. Aku tidak membunuh Sepasang
Nelayan Sakti. Bersama mereka, aku dan Kemuning
baru saja bertempur melawan seorang pemuda yang
punya ilmu kesaktian amat tinggi..."
"Benarkah itu?" selidik Seno sambil menyengir
kuda.
"Aku dan Kemuning sedang mengunjungi Sepa-
sang Nelayan Sakti. Kedatanganku adalah dengan satu
maksud untuk meminta maaf. Kau tahu aku telah sa-
lah menilai orang. Sepasang Nelayan Sakti yang ter-
nyata dua tokoh beraliran putih telah kusangka seba-
gai anggota komplotan Lembah Dewa-Dewi" tutur Dewi
Pedang Halilintar.
Guru Kemuning itu memaksakan diri untuk bi-
cara banyak walau dengan napas tersengal-sengal. Se-
no membiarkan saja karena dia ingin tahu peristiwa
pembunuhan Sepasang Nelayan Sakti yang sebenar-
nya.
"Di rumah sederhana itu," lanjut Dewi Pedang
Halilintar, menunjuk rumah kediaman Sepasang Ne-
layan Sakti, "Aku dan Sepasang Nelayan Sakti sempat
beramah-tamah dan menyusun siasat untuk menjebak
Setan Selaksa Wajah. Namun tiba-tiba, dari halaman
depan terdengar teriakan keras yang menyuruh Kami
semua keluar. Karena teriakan itu kata-kata kotor
yang tak enak didengar telinga, aku bersama Kemuning dan Sepasang Nelayan Sakti keluar rumah...."
"Ternyata, yang berteriak itu siapa?" tanya Se-
no, mulai percaya pada ucapan Dewi Pedang Halilintar.
"Kami semua tak mengenal," jawab si nenek.
"Dia seorang pemuda kekar yang mengenakan pakaian
serba merah. Dan...."
Dewi Pedang Halilintar tak meneruskan ceri-
tanya. Mendadak, air bening mengambang di pelupuk
matanya.
"Terus bagaimana, Nek?" kejar Seno, terharu.
"Pemuda itu langsung menyerang kami...," ujar
Dewi Pedang Halilintar, lirih seperti mengandung pe-
nyesalan dalam. "Dia sangat hebat luar biasa. Ilmu pe-
ringan tubuhnya benar-benar telah mencapai tingkat
sangat tinggi. Lalu...."
"Lalu apa, Nek?" Seno semakin penasaran.
"Pedangku dirampas. Dengan pedangku ini, dia
membabat putus senjata Sepasang Nelayan Sakti yang
berupa dayung perahu dan joran pancing...."
Cerita Dewi Pedang Halilintar terhenti lagi. Air
bening yang mengambang di pelupuk matanya tampak
menitik ke pipi. Sesaat kemudian, dia terbatuk-batuk
lagi.
"Kau terluka dalam, Nek...," ucap Seno, kebo-
doh-bodohan.
"Ya. Tapi, aku harus bercerita dulu kepada-
mu...," sahut Dewi Pedang Halilintar. "Setelah pemuda
jahat itu berhasil membabat putus senjata Sepasang
Nelayan Sakti, dia tertawa bergelak-gelak. Dia mengu-
cap kata-kata penuh kesombongan yang membuat hati
kami semua jadi panas membara. Secara bersamaan,
kami menerjang. Namun...," Dewi Pedang Halilintar
menyeka air matanya, "Tiba-tiba, Sepasang Nelayan
Sakti memekik parau. Dada mereka tertembus pedang
di tangan pemuda jahat itu...."
Mendelik mata Seno mendengar cerita Dewi Pe-
dang Halilintar. Amarahnya memuncak lagi. "Benarkah
apa yang kau katakan itu, Nek?" selidiknya lagi.
"Kalau kau tak percaya, kau boleh bunuh aku
sekarang juga."
Mendengar ucapan Dewi Pedang Halilintar itu,
Seno mendesah. Antara percaya dan tidak, Seno ber-
kata, "Lanjutkan ceritamu, Nek."
Dewi Pedang Halilintar batuk-batuk sebentar,
lalu berkata, "Kemuning yang berilmu lebih rendah di-
totok hingga tak dapat berbuat apa-apa. Dan dengan
kecepatan luar biasa, pemuda itu memungut potongan
senjata yang tergeletak di tanah. Tak dapat aku meng-
hindar ketika mata pancing melukai bahu kiriku. Sela-
gi aku mengaduh kesakitan, tiba-tiba pemuda itu
menggebuk punggungku dengan potongan dayung...."
"Lalu?" buru Seno.
"Aku jatuh ke tanah. Namun sebelum pingsan,
aku sempat melihat pemuda berpakaian serba merah
itu menyambar tubuh Kemuning dan membawanya la-
ri...."
"Keparat!" geram Seno tiba-tiba.
"Bila kau menemukan tubuhku yang terkulai
pingsan dengan tangan mencekal pedang kuning, itu
karena perbuatan pemuda jahat itu pula. Sebelum
membawa lari Kemuning, dia melemparkan pedang
yang dibawanya ke arah ku. Aku memungutnya. Tentu
saja aku hendak mengejar guna menyelamatkan Ke-
muning, tapi bayang-bayang gelap keburu menyelimuti
pandanganku...."
Dewi Pedang Halilintar mengakhiri ceritanya
dengan desah panjang. Ditatapnya wajah Seno lekat-
lekat seraya berkata, "Serahkan pedang itu. Aku akan
pergi mencari Kemuning...."
Seno berpikir-pikir sebentar. Dia tak melihat
adanya dusta atau suatu kebohongan dalam cerita
Dewi Pedang Halilintar. Maka, dia angsurkan pedang
di tangannya yang memang milik Dewi Pedang Halilin-
tar.
"Kau hendak mencari Kemuning ke mana,
Nek?" tanya Seno dengan suara lembut dan polos.
"Ke mana saja," jawab Dewi Pedang Halilintar.
"Sampai ke ujung langit pun Kemuning harus kute-
mukan kembali. Bila perlu aku akan mengadu nyawa
dengan pemuda yang melarikan Kemuning itu!"
"Tapi, kau menderita luka dalam, Nek...."
Tersenyum Dewi Pedang Halilintar. Ditatapnya
wajah Seno lekat-lekat seraya berkata, "Kau tak perlu
mengkhawatirkan keadaanku. Luka dalamku pasti bi-
sa ku atasi. Namun, Seno...," suara Dewi Pedang Hali-
lintar bergetar. "Kau seorang pemuda yang amat lugu
dan jujur. Kemuning banyak bercerita hingga aku tahu
siapa dirimu. Hati-hatilah. Di dunia ini banyak manu-
sia jahat. Hati-hatilah. Jangan sampai mereka meman-
faatkan keluguan dan kejujuranmu...."
Usai berkata, Dewi Pedang Halilintar memba-
likkan badan seraya melangkah meninggalkan tempat.
Seno menatap punggung si nenek tanpa berkedip.
"Aku akan membantumu mencari Kemuning,
Nek!" teriak Seno.
Namun, Dewi Pedang Halilintar terus melang-
kah. Seno cuma dapat mendesah.
Plok!
Sekali lagi, Seno menggaplok kepalanya sendiri.
"Bodoh benar aku ini!" rutuknya kepada diri sendiri.
"Kenapa aku hanya berdiri bengong di tempat ini. Aku
harus segera mengurus jenazah Kakek Karapak dan istrinya!"
DELAPAN
SATU Suro.... Semburat cahaya jingga di kaki
langit timur hanya dapat memberi keremangan. Sang
baskara bagai putri malu untuk menampakkan wu-
judnya. Walau hari baru saja menyingsing fajar, Telaga
Dewa telah diramaikan hiruk-pikuk suara orang. Pu-
luhan perahu tampak berjajar memenuhi pinggiran te-
laga.
Manakala kepala sang baskara terlihat samar-
samar, suasana di Telaga Dewa, berubah sunyi. Tak
ada lagi orang yang membuka percakapan. Semua di-
am membisu dalam ketegangan. Terutama tokoh-tokoh
rimba persilatan yang menginginkan Kodok Wasiat
Dewa yang tersimpan di dalam perut Ikan Mas Dewa.
Putaran waktu terus berlalu. Sang baskara
yang telah menampakkan wujud utuhnya menyiram-
kan cahaya hangat. Pagi telah tiba. Keremangan teru-
sir. Namun, di hari yang telah menjadi terang bende-
rang itu, ikan Mas Dewa tak juga ada tanda-tanda
akan menampakkan diri.
Semua yang menanti kehadiran ikan mas rak-
sasa yang memiliki kekuatan luar biasa itu menjadi ge-
lisah. Bukan saja tokoh-tokoh rimba persilatan, juga
para saudagar kaya dan bangsawan yang memang
sangat berhasrat untuk dapat melihat wujud Ikan Mas
Dewa. Namun akhirnya, penantian mereka membua-
hkan hasil juga. Saat sang baskara naik dua jengkal
dari kaki langit timur, mendadak di tengah telaga sinar
kuning keemasan melesat tinggi ke atas. Sinar itu me-
lesat cepat sekali, dan menimbulkan gelombang besar
yang disertai ombak setinggi pohon kelapa.
Di bawah lesatan sinar kuning keemasan, terli-
hat seekor ikan yang panjang tubuhnya sekitar tiga
depa. Ikan yang meloncat di atas permukaan air itu
bersisik kuning mengkilat yang benar-benar mirip
emas yang berkilau tertimpa sinar mentari.
"Ikan Mas Dewa...!" seru orang-orang di atas
perahu, gegap gempita.
Selagi puluhan perahu bergerak serentak men-
dekati, ikan mas raksasa yang memang Ikan Mas Dewa
tampak meluncur berputar-putar di tengah telaga.
Timbul gelombang yang lebih besar. Belasan perahu
yang bergerak di depan langsung terbalik. Pekik parau
terdengar susul-menyusul.
Gelombang yang dibuat oleh Ikan Mas Dewa
benar-benar kuat luar biasa. Belasan perahu lagi, yang
ditumpangi tokoh-tokoh silat, tampak saling bentur.
Sebagian pecah berantakan. Sebagian lagi terbalik.
Tentu saja para penumpangnya menjadi panik. Demi
keselamatan nyawa, bergegas mereka berenang mene-
pi. Tak hendak lagi berusaha menangkap Ikan Mas
Dewa.
Namun tiba-tiba, tiga buah perahu melesat
amat cepat. Penumpangnya adalah tiga orang kakek
yang sama-sama berpakaian serba putih.
Sesaat, terdengar suara mendesing disertai ge-
muruh angin. Tiga batang tombak meluncur deras.
Ujung-ujungnya yang terbuat dari besi runcing menga-
rah kepala Ikan Mas Dewa!
Buk! Buk! Buk!
Ketiga ujung tombak tepat menerpa kepala Ikan
Mas Dewa. Namun, betapa terkejutnya tiga kakek ber-
pakaian serba putih yang berada di atas perahu. Tom-
bak-tombak yang mereka lemparkan tak dapat melukai
Ikan Mas Dewa. Dua batang terlontar balik lalu tengge-
lam ke dasar telaga. Sementara, yang satunya lagi pa-
tah jadi dua, dan turut tenggelam pula.
Sebenarnya, ketiga kakek pelempar tombak itu
bukanlah orang sembarangan. Di rimba persilatan,
mereka terkenal dengan julukan Tiga Saudagar Putih.
Mereka adalah ahli memainkan senjata tombak. Dan,
lemparan ketiga tombak tadi sesungguhnya sudah cu-
kup mampu untuk menembus batu karang sebesar
kerbau. Namun agaknya, lemparan tombak mereka tak
berarti sama sekali bagi Ikan Mas Dewa yang memang
memiliki kekuatan luar biasa.
Tampak kemudian, Ikan Mas Dewa mengi-
baskan ekornya. Gerakannya terlihat pelan, namun ti-
ba-tiba terbentuk ombak besar yang mampu melontar-
kan perahu Tiga Saudara Putih!
Seperti beberapa tokoh silat lainnya yang telah
mendapat nasib apes, Tiga Saudara Putih pun berge-
gas berenang ke tepi telaga.
Sementara, Ikan Mas Dewa terus meluncur
berputar-putar. Semakin besar gelombang dan ombak
yang terbuat. Akibatnya, semakin banyak perahu yang
terbalik atau pecah karena saling bentur. Para sauda-
gar dan bangsawan tak berani mendayung perahu ke
tengah telaga. Kekuatan Ikan Mas Dewa benar-benar
membuat mereka ngeri. Belasan saudagar dan bang-
sawan bahkan tampak tergesa-gesa menambatkan pe-
rahu lalu meloncat ke daratan.
Namun, bagi para pesilat yang sudah terbiasa
melihat sesuatu yang menggiriskan, kekuatan Ikan
Mas Dewa malah membuat semangat mereka terbakar.
Sambil menjaga keseimbangan perahu agar tak terba-
lik, mereka melemparkan berbagai jenis senjata tajam.
Maka dalam beberapa kejap mata, puluhan tombak,
pedang, golok, trisula, dan anak panah tampak berle-
satan.
Namun, Ikan Mas Dewa tampak tenang-tenang
saja. Hujan senjata yang menimpa tubuhnya tak satu
pun yang dapat melukai. Padahal, senjata-senjata itu
dilemparkan dengan kekuatan penuh yang disertai te-
naga dalam.
Melihat tubuh Ikan Mas Dewa yang kebal, la-
ma-kelamaan para pelempar senjata tajam jadi putus
asa. Satu-persatu mereka mundur teratur. Namun,
banyak di antara mereka yang mesti minggir dengan
berenang karena perahu yang mereka tumpangi telah
terbalik ataupun pecah.
Pada saat Ikan Mas Dewa meloncat-loncat ke
atas air memperlihatkan keelokan tubuhnya, terdengar
siulan panjang amat keras. Lalu, dari arah utara telaga
meluncur sebuah perahu kecil secepat luncuran anak
panah lepas dari busur. Penumpangnya seorang pe-
muda remaja berumur tujuh belas tahun. Berwajah
tampan dan mengenakan pakaian biru-biru dengan
ikat pinggang kain merah. Rambutnya yang tergerai
panjang tampak berkibaran karena terhempas tiupan
angin kencang.
Dia Seno Prasetyo!
Setelah menguburkan jenazah Sepasang Ne-
layan Sakti, sebenarnya Seno telah berputar-putar ke
berbagai tempat untuk mencari pembunuh kakek-
nenek itu. Tentu saja Seno sangat mengkhawatirkan
keselamatan Kemuning karena menurut penuturan
Dewi Pedang Halilintar, Kemuning diculik orang yang
telah membunuh Sepasang Nelayan Sakti. Dewi Pe-
dang Halilintar berkata bahwa si orang jahat adalah
seorang pemuda kekar yang mengenakan pakaian ser-
ba merah. Namun hingga hari berganti, Seno tak dapat
menemukan penjahat itu. Akhirnya, Seno memu-
tuskan untuk mencari jejak si penjahat di Telaga De-
wa. Dan ketika melihat kemunculan Ikan Mas Dewa,
Seno teringat tujuannya semula untuk mendapatkan
Kodok Wasiat Dewa seperti yang telah dipesankan oleh
Dewa Dungu gurunya. Dengan turut memperebutkan
Kodok Wasiat Dewa, Seno berharap akan dapat ber-
jumpa dengan si penjahat untuk kemudian membuat
perhitungan.
Byarrr...! Byarrr...!
Melihat kedatangan perahu yang ditumpangi
Seno, Ikan Mas Dewa mengibaskan ekornya dua kali.
Terciptalah dua gulungan ombak setinggi pohon kela-
pa. Seno tidak menjadi panik karena dia sudah cukup
mahir mengendalikan perahu hasil ajaran Karapak.
Dua gulungan ombak ciptaan Ikan Mas Dewa mampu
mengangkat perahu Seno. Tapi, Seno dapat berbuat
sedemikian rupa hingga perahunya dapat meluncur
turun lagi tanpa terbalik.
Srat...! Srat...!
Tiba-tiba, Seno melemparkan dua utas tali pan-
jang berwarna putih berkilat. Bagai ular yang amat ge-
sit, dua utas tali pemberian Salindri yang terbuat dari
baja lentur itu langsung melilit sirip dan ekor Ikan Mas
Dewa!
Tentu saja Ikan Mas Dewa tak tinggal diam. Dia
memberontak dengan mengerahkan seluruh daya ke-
kuatannya. Hingga, segulung ombak sebesar bukit ter-
bentuk. Permukaan air telaga naik tiga tombak dan
meluber ke daratan. Puluhan perahu berpentalan ke
udara!
Namun demikian, Ikan Mas Dewa tak dapat
melepaskan diri dari belitan tali baja Seno. Sementara,
perahu Seno pun tak terbalik ataupun terlontar. Perahu Seno bagai lengket di permukaan air, naik-turun
mengikuti ombak atau gelombang besar yang dicipta-
kan oleh Ikan Mas Dewa.
Hingga sepeminum teh, Ikan Mas Dewa terus
mengempos tenaga untuk dapat membebaskan diri.
Tapi sampai tenaganya terkuras, belitan tali baja Seno
tak dapat terlepas. Dan perlahan-lahan, gerakan Ikan
Mas Dewa melemah. Sedikit demi sedikit, ombak atau-
pun gelombang di tengah telaga mulai lenyap.
Kemudian, dari tepi telaga terdengar sorak-
sorai yang mengelu-elukan kehebatan Seno. Namun
karena mereka tak tahu nama Seno yang sebenarnya,
mereka menyebut dengan julukan yang pernah mereka
dengar dari mulut Kemuning.
"Pendekar Bodoh! Hebat sekali kau, Pendekar
Bodoh!"
"Luar biasa! Pendekar Bodoh memang luar bi-
asa!"
"Ajaib! Pendekar Bodoh seorang pemuda ajaib!"
Begitulah teriakan para tokoh silat yang pernah meli-
hat Seno di Kedai Mawar tempo hari. Dan, pesilat-
pesilat lainnya pun turut mengelu-elukan kehebatan
Seno. Karena tak tahu pula nama Seno yang sebenar-
nya, mereka juga menyebut Seno dengan sebutan Pen-
dekar Bodoh.
Belum reda sorak-sorai yang terdengar dari tepi
telaga, mendadak dua buah perahu meluncur cepat
mendekati perahu Seno. Mereka dua orang kakek ber-
pakaian kuning-hitam. Satu bertubuh kurus kerem-
peng dan yang satunya lagi bertubuh gemuk bulat.
Mereka adalah Dua Iblis dari Gunung Batur, Iblis Pe-
renggut Roh dan Iblis Pencabut Jiwa!
Ketika perahu Dua Iblis dari Gunung Batur
hampir mendekati perahu Seno, mereka memisahkan
diri. Iblis Perenggut Roh langsung melepas pukulan
'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'. Kakek kurus itu me-
nyertai pukulan jarak jauhnya dengan tenaga dalam
penuh. Dia tak mau kejadian di Kedai Mawar terulang
lagi. Sementara, Iblis Pencabut Jiwa tampak meloncat
untuk merampas dua utas tali baja di tangan Seno.
"Hiahhh...!"
Wusss...!
Tahu ada bahaya mengancam, cepat Seno me-
nyatukan kedua talinya ke tangan kiri. Dengan kedua
kaki menjepit bilah kayu di geladak perahu, Seno me-
loncat tinggi untuk menghindari sambaran tangan Iblis
Pencabut Jiwa. Dan, telapak tangan kanannya yang di-
lambari Ilmu pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Langit'
mengibas guna memapaki pukulan jarak jauh Iblis Pe-
renggut Roh!
Blar...!
Selarik sinar putih berkilat bentrok dengan dua
larik sinar kuning. Walau Seno cuma mengerahkan
seperempat bagian tenaga dalamnya, tapi sudah cukup
mampu untuk meredam pukulan 'Merenggut Roh
Mencabut Jiwa'. Bahkan, tubuh Iblis Perenggut Roh
tampak terlontar dari perahu, lalu tercebur ke telaga.
Untung dia tak mendapat cedera, sehingga dapat bere-
nang ke tepian.
Byurrr...!
Iblis Pencabut Jiwa pun tercebur ke telaga ka-
rena sambarannya hanya mengenai tempat kosong.
Sambil memapaki pukulan jarak jauh Iblis Perenggut
Roh, Seno meloncat tinggi dengan menjepit perahunya.
Hingga, usaha Iblis Pencabut Jiwa tak menghasilkan
apa-apa. Dan, dia pun tercebur ke telaga.
Terucap sumpah serapah dari mulut Iblis Pen-
cabut Jiwa. Namun, dia pun tak dapat berbuat apa
apa lagi kecuali berenang ke tepian, menyusul saudara
seperguruannya. Walau tubuh kakek itu gemuk bulat,
tapi dia dapat berenang dengan cepat.
Seno bernapas lega. Matanya menatap Ikan
Mas Dewa yang sudah tampak jinak. Namun, tanpa
diduga-duga oleh pemuda lugu ini, dari arah bela-
kangnya melesat empat perahu yang ditumpangi em-
pat kakek berkepala gundul. Mereka mengenakan
rompi kuning dan celana merah.
Keempat kakek itu langsung menerjang Seno
dengan serangan-serangan mematikan. Mereka melon-
cat bergantian dan saling bertukar perahu. Seno jadi
kerepotan. Selain harus menghindari sambaran golok
yang datang bertubi-tubi, dia pun harus tetap meme-
gangi tali baja yang membelit Ikan Mas Dewa.
"Empat Setan Gundul! Kalian benar-benar tak
tahu peradatan!"
Tiba-tiba, dari sisi kiri perahu Seno terdengar
teriakan keras yang dibarengi melesatnya sebuah pe-
rahu. Penumpangnya seorang kakek berwajah halus
yang mengenakan pakaian serba hijau. Dia Bagus
Tembini alias Sastrawan Berbudi!
Usai berteriak, Sastrawan Berbudi langsung
menerjang salah seorang dari empat kakek berkepala
gundul yang disebut sebagai Empat Setan Gundul. Ce-
pat sekali gerakan Sastrawan Berbudi. Dengan meng-
gunakan sebatang bambu sepanjang tiga jengkal yang
ujungnya terdapat bulu-bulu halus, dia berani me-
nangkis tebasan golok yang mengarah ke pinggang Se-
no.
Trang...!
Bunga api memercik ke mana-mana ketika alat
tulis Sastrawan Berbudi berbenturan dengan golok sa-
lah seorang dari Empat Setan Gundul. Pertempuran
sengit segera berlangsung.
Melihat ada orang yang membantu Seno, Empat
Setan Gundul bertambah beringas. Mereka memain-
kan senjata golok bagai orang kesetanan. Nafsu mem-
bunuh benar-benar telah menguasai jalan pikiran me-
reka.
"Puji bagi Tuhan seru sekalian alam...."
Terdengar sebuah desisan halus. Empat Setan
Gundul, Sastrawan Berbudi, dan Seno tampak terke-
siap. Tanpa sadar mereka menghentikan pertempuran.
Dari barat, mereka melihat sebuah perahu bergerak
pelan mendekati. Di atas perahu itu terlihat seorang
kakek berjubah kuning dan berselempang kain merah
kotak-kotak. Dia adalah Pendeta Tasbih terbang.
"Kalian Empat Setan Gundul, kenapa melang-
gar aturan?" tegur Pendeta Tasbih Terbang setelah be-
rada di dekat arena pertempuran. "Apakah kalian tak
tahu, mengeroyok seorang pemuda tak bersenjata ada-
lah perbuatan licik?"
"Jahanam kau, Pendeta Jelek!" sahut salah seo-
rang dari Empat Setan Gundul. "Apa pedulimu datang
ke tempat ini?! Apakah juga bermaksud sama dengan
sastrawan dungu itu?!"
"Segala puji bagi Tuhan...," sebut Pendeta Tas-
bih Terbang, menyambut ucapan kasar yang didengar-
nya dengan sikap sabar. "Aku tidak biasa mencampuri
urusan orang. Tapi, aku tidak bisa membiarkan per-
buatan tak adil berlangsung di hadapanku."
"Jangan banyak bacot kau, Pendeta Jelek!" ma-
ki salah satu dari Empat Setan Gundul yang menge-
nakan kalung perak. "Jangan banyak alasan! Katakan
saja kalau kau juga menginginkan Kodok Wasiat De-
wa!"
"Tidak!" tolak Pendeta Tasbih Terbang, menggelengkan kepalanya yang gundul licin. "Aku datang ke
Telaga Dewa ini hanya untuk mencegah terjadinya per-
tumpahan darah. Berdosa kalau aku turut mempere-
butkan Kodok Wasiat Dewa. Sekali lagi aku katakan,
aku hanya ingin mencegah terjadinya pertumpahan
darah. Harap kalian tahu itu!"
"Terlalu banyak mulut kau, Pendeta Jelek!"
Usai berkata, salah seorang dari Empat Setan
Gundul langsung menerjang Pendeta Tasbih Terbang.
Sementara, salah satu temannya lagi menyerang Sa-
strawan Berbudi. Mereka menyabetkan golok dengan
membabi buta. Terpaksa Pendeta Tasbih Terbang me-
loloskan senjata berubah tasbih yang melingkar di le-
hernya. Dan, Sastrawan Berbudi pun tak segan-segan
lagi mengeluarkan jurus-jurusnya andalannya dengan
menggunakan senjatanya yang berupa alat tulis.
Sementara, dua orang lagi menyerang Seno.
Golok mereka menyambar-nyambar, mengincar jalan
darah mematikan di tubuh Seno. Gerakan mereka cu-
kup cepat karena mereka memiliki ilmu peringan tu-
buh yang bisa diandalkan.
Empat Setan Gundul memang bukanlah tokoh
sembarangan. Mereka termasuk empat orang tokoh
aliran hitam tingkat atas. Tempat tinggal mereka sebe-
narnya di Pesisir Laut Selatan. Dan karena biasa hidup
di tepi laut, mereka jadi mahir berperahu ataupun be-
renang. Oleh karena itu, mereka sama sekali tak men-
dapat kesulitan ketika harus bertempur di tengah Te-
laga Dewa.
Andai Seno tak mendapat bantuan Sastrawan
Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang, dia pasti terde-
sak hebat. Karena selain harus menghindari serangan
yang datang bagai guyuran air bah, Ikan Mas Dewa
yang berada dalam belitan tali bajanya mulai memberontak lagi. Gulungan ombak besar pun kembali mun-
cul!
Terpaksa Seno mengeluarkan Tongkat Dewa
Badai yang tersimpan di balik pakaiannya. Dengan
tangan kiri tetap memegang erat kedua tali baja, tan-
gan kanan Seno mengibas dua kali. Tongkat Dewa
Badal berkelebat menimbulkan tiupan angin kencang.
Sesaat kemudian, terdengar dua pekik parau.
Tubuh dua orang pengeroyok Seno tampak terlontar
tinggi di udara karena terhempas gelombang angin pu-
kulan Tongkat Dewa Badai!
Tubuh kedua kakek itu tercebur lalu tenggelam
ke air telaga. Susah payah mereka berenang ke atas.
Golok mereka pun terlepas dari cekalan. Begitu sampai
di permukaan air telaga, kedua orang itu mendengar
dua jerit kesakitan. Rupanya, kedua teman mereka
pun telah dapat dipukul mundur oleh Sastrawan Ber-
budi dan Pendeta Tasbih Terbang.
Terpaksa Empat Setan Gundul berenang mene-
pi. Mereka harus melupakan tujuan mereka untuk
mendapatkan Kodok Wasiat Dewa.
Sementara itu, setelah mengalahkan kedua
pengeroyoknya, Seno menatap Ikan Mas Dewa dengan
sinar mata aneh. Ikan Mas Dewa tak bergerak-gerak
lagi, membalas tatapan Seno dengan sinar mata redup.
Ikan Mas Dewa diam terapung di permukaan
air. Sisik-sisik tubuhnya tampak berkilauan tertimpa
sinar mentari. Sementara, orang-orang yang berdiri di
tepi telaga semakin mengelu-elukan sebutan Pendekar
Bodoh yang telah berhasil menjinakkan Ikan Mas De-
wa.
"Ya, Tuhan... " desis Seno, kaget.
Ikan Mas Dewa yang masih diam terapung di
permukaan air tampak mengedip-ngedipkan kelopak
matanya. Tentu saja Seno kaget karena mana ada di
dunia ini seekor ikan yang dapat mengedipkan ma-
tanya? Dan..., keterkejutan Seno berubah menjadi rasa
kasihan saat melihat butir-butir air bening yang me-
netes dari mata Ikan Mas Dewa.
"Ya, Tuhan...," desis Seno lagi. "Ikan itu me-
nangis. Agaknya, dia minta belas kasihan.... Oh! Sung-
guh aku berdosa besar bila tidak melepaskannya...."
Terdorong rasa kasihan, si pemuda lugu Seno
Prasetyo lupa pada tujuannya untuk mendapatkan
Kodok Wasiat Dewa. Sambil menatap haru, Seno mele-
pas aliran tenaga dalamnya. Dua utas tali baja men-
gendor. Ikan Mas Dewa pun terbebas dari belitan. Na-
mun, Ikan raksasa bersisik kuning kemilau itu tidak
langsung pergi. Sambil terus meneteskan air mata, dia
mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda terima
kasih.
Seno tambah terharu. Tapi tiba-tiba, bola mata
pemuda lugu ini terbelalak lebar. Dia melihat sesosok
bayangan merah yang berkelebat di permukaan air.
Bayangan itu berkelebat cepat sekali. Namun, mata
Seno yang tajam dapat melihat bila si bayangan mem-
bawa sebilah pedang yang memancarkan sinar kuning
berkeredepan. Jelas sekali bila pedang itu adalah seje-
nis pedang pusaka yang tentu saja memiliki ketajaman
luar biasa!
Melihat si bayangan terus melesat mendekati
Ikan Mas Dewa, Seno jadi khawatir. Walau Ikan Mas
Dewa kebal terhadap senjata tajam, tapi apakah dia
juga kebal terhadap tusukan atau tebasan pedang pu-
saka?
"Awas...!"
Seno berteriak keras untuk memberi peringa-
tan. Ikan Mas Dewa menggerakkan sirip dan ekornya,
namun... lesatan bayangan merah lebih cepat. Akibat-
nya.....
Crept!
Crash...!
Byarrr...! Byarrr...!
Ikan Mas Dewa menggeliat kesakitan. timbul
gulungan ombak besar. Air telaga yang semula jernih
berubah merah karena ternoda oleh cairan darah
"Ya, Tuhan...."
Sekali lagi, Seno menyebut nama kebesaran
Sang Penguasa Tunggal. Pemuda ini dapat melihat
dengan jelas bagaimana pedang pusaka di tangan so-
sok orang yang baru datang menusuk dan menebas
tubuh Ikan Mas Dewa. Kekhawatiran Seno terbukti.
Ikan Mas Dewa memang tidak kebal terhadap ketaja-
man pedang pusaka! Sementara, Seno sendiri tidak
sempat berbuat apa-apa karena pikirannya sedang lin-
glung akibat terhantam keterkejutan.
"Ha ha ha...! Matilah kau, Ikan Keparat! Akan
segera kurobek perutmu untuk mengambil Kodok Wa-
siat Dewa!" ujar sosok orang yang baru melukai Ikan
Mas Dewa
Dia seorang pemuda gagah bertubuh tinggi te-
gap. Mengenakan pakaian serba merah yang terbuat
dari bahan mahal. Di kepalanya melingkar ikat kepala
merah yang terbuat dari kain sutera. Dengan pongah-
nya, dia terus tertawa bergelak-gelak sambil menatap
Ikan Mas Dewa yang masih menggeliat kesakitan.
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
tampak terperangah. Di balik rasa tak suka melihat
kekejaman yang baru saja berlangsung, mereka me-
nyimpan rasa kagum. Pemuda berbaju merah dapat
berdiri tegak di atas permukaan air tanpa menumpang
perahu. Kedua telapak kakinya dialasi dua bilah papan
sepanjang dua jengkal.
"Pusaka Pedang Naga...," desis Sastrawan Ber-
budi dan Pendeta Tasbih Terbang ketika melihat wujud
pedang di tangan pemuda berbaju merah.
Sementara, Seno pun tampak terkejut. Bola
matanya melotot besar seperti hendak meloncat dari
rongganya. Dia melihat tak berkedip pada sosok pe-
muda berbaju merah yang terus tertawa bergelak-
gelak.
"Hmmm.... Melihat bentuk tubuh dan pakaian
yang dikenakannya, kemungkinan besar pemuda itu-
lah yang telah membunuh Sepasang Nelayan Sakti dan
menculik Kemuning...," pikir Seno. "Ciri-cirinya persis
seperti yang dikatakan oleh Dewi Pedang Halilintar. Ya!
Pasti dialah penjahat itu. Aku harus membuat perhi-
tungan sekarang juga!"
Seno menatap sosok pemuda berbaju merah
dengan segudang dendam di hati. Namun, hati pemu-
da lugu ini bergetar ketika melihat kelopak mata kiri
pemuda berbaju merah yang selalu terpejam di saat
tertawa.
Ucapan Dewa Dungu langsung mengiang lagi di
telinga Seno. Sebelum Seno diperintah pergi dari tem-
pat persembunyiannya, Dewa Dungu menugaskan Se-
no mencari Mahisa Lodra yang telah tersesat jalan.
"Sepandai-pandainya Mahisa Lodra merubah
wajahnya, kau akan tetap dapat mengenalinya," kata
Dewa Dungu waktu itu. "Mahisa Lodra mempunyai be-
kas luka di batok kepala bagian belakang.... Ada satu
ciri lain yang pasti dapat kau kenali. Kalau tertawa, ke-
lopak mata Mahisa Lodra yang sebelah kiri akan selalu
terpejam."
Teringat akan ucapan gurunya itu, Seno lang-
sung berteriak, "Keparat kau, Mahisa Lodra! Kau mu
rid murtad yang benar-benar layak dikirim ke neraka!"
Pemuda berbaju merah yang memang Mahisa
Lodra tampak terkesiap. Namun, pemuda ini menutupi
keterkejutannya dengan tertawa bergelak-gelak. Meli-
hat Seno hendak menerjangnya, dia menyilangkan pe-
dangnya ke depan dada untuk berjaga-jaga.
Namun, Mahisa Lodra yang bergelar Setan Se-
laksa Wajah itu tak memperhatikan Seno lagi ketika
melihat Ikan Mas Dewa berenang cepat, berlalu dari
hadapannya.
"Hei! Jangan lari kau, Ikan Buduk!" seru Mahi-
sa Lodra seraya mengejar.
Kelebatan tubuh Mahisa Lodra cepat sekali ka-
rena dia mengeluarkan ilmu peringan tubuh tingkat
tinggi yang bernama 'Angin Pergi Tiada Berbekas'. Na-
mun, luncuran tubuh Ikan Mas Dewa pun tak kalah
cepat walau dia telah menderita luka-luka.
Luncuran tubuh Ikan Mas Dewa menuju ke tepi
telaga sebelah timur. Orang-orang yang berada di sebe-
lah sana pun langsung bersorak-sorai. Tapi, wujud
Ikan Mas Dewa mendadak hilang karena telah menye-
lam ke air telaga.
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
tampak menggerakkan perahunya menuju ke sana.
Sementara, Seno tampak cengar-cengir. Mestinya dia
langsung mengejar Mahisa Lodra. Tapi, itu tak dilaku-
kannya karena otaknya tiba-tiba sangat bebal. Rasa
kasihan, penyesalan, dan segudang amarah bercampur
dendam telah membuat sikap Seno jadi sedemikian
bodoh.
Tapi, Sikap bodoh Seno itu justru mendatang-
kan sebuah keberuntungan. Tiba-tiba, Ikan Mas Dewa
menampakkan wujudnya di dekat perahu Seno. Tubuh
Ikan raksasa itu berada satu tombak di bawah permukaan air telaga yang jernih. Karena tak ada orang lain
yang berada di dekat Seno, maka hanya Seno sendiri-
lah yang melihat kehadiran Ikan Mas Dewa.
"Maafkan aku...," desis Seno penuh kesunggu-
han, terdesak penyesalan. "Aku telah membuatmu
sengsara. Tubuhmu terluka, kau pasti merasa kesaki-
tan. Aku ingin menolongmu, tapi aku tak tahu bagai-
mana caranya...."
Seno berkata-kata seakan Ikan Mas Dewa da-
pat mengerti makna ucapannya. Mata Seno tak berke-
dip ketika melihat Ikan Mas Dewa mengangguk-
anggukkan kepalanya. Lalu, sang Ikan membuka mu-
lutnya. Dan....
Slup!
Dari mulut Ikan Mas Dewa melesat sebuah
benda sebesar kedondong. Seno menangkapnya. Ter-
nyata, benda itu berupa gumpalan sinar putih yang di
dalamnya terdapat sebentuk katak kecil berwarna
emas,
"Kodok Wasiat Dewa...," desis Seno antara sa-
dar dan tidak.
Di dalam air, Ikan Mas Dewa menganggukkan
kepalanya tiga kali, lalu menyelam dan menghilang da-
ri pandangan. Sementara, Seno langsung memasukkan
benda pemberian sang ikan ke saku bajunya. Benda
itulah yang disebut sebagai Kodok Wasiat Dewa!
Teringat pada Mahisa Lodra, Seno mengarah-
kan pandangan ke timur. Sosok Mahisa Lodra sudah
tak terlihat lagi. Yang dilihat Seno hanyalah sekelom-
pok orang yang terus berteriak-teriak. Sastrawan Ber-
budi dan Pendeta Tasbih Terbang tak tampak pula.
Mereka pergi entah ke mana....
SELESAI
Ikuti petualangan selanjutnya :
SETAN SELAKSA WAJAH
0 comments:
Posting Komentar