Hak cipta dan copy right
pada penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
MANAKALA guliran mentari hampir mencapai
bentangan kaki langit barat, senja hari mempersiapkan
diri untuk segera rebah memeluk bumi. Kelopak bunga
mekar tersenyum dalam kesunyian. Kupu-kupu tak la-
gi bercanda menggoda. Hanya desau sang bayu yang
masih setia menemani.
"Puncak Kupu-kupu kan kudatangi.
Menuruti hasrat hati,
ku langkahkan kaki ini.
Namun..., bukan dewi pujaan hati
yang kan kutemui.
Hi hi hi...
Hanya untuk seorang Putri Budukan
aku berjalan mengusik sepi.
Putri Budukan,
di manakah kau sembunyikan diri.
Dewa Geli telah datang
di hari janji.
Hihihi..."
Lamat-lamat terdengar senandung sebuah lagu
yang diiringi suara tawa mengikik. Senandung lagu
yang tak karuan iramanya itu amat pelan. Namun
anehnya, bisa menebar rata di seantero bukit. Bahkan,
sampai terdengar di Puncak Kupu-kupu yang tinggi
menjulang.
"Puncak Kupu-kupu kan kudatangi.
Menuruti hasrat hati.
Tuk menemui Putri Budukan
pengundang janji.
Tapi..., kenapa tatapan Dewa Geli
hanya temui sepi.
Hi hi hi....
Kepada langit dan bumi
Dewa Geli berjanji.
Bila benar Putri Budukan
ingkar janji, jangan menyesal
jangan sedih.
Dewa Geli tetap akan menemui
Dengan membawa keranda mati.
Hi hi hi..."
Alunan lagu berirama datar itu terdengar lagi.
Tapi, kali ini dari Puncak Kupu-kupu muncul alunan
lagu lain yang menyahut. Menilik dari warna suara si
pelantun lagu yang berada di Puncak Kupu-kupu, da-
pat dipastikan bila di seorang wanita.
"Tak perlu risau,
tak perlu pula merasa ragu.
Datang ke Puncak Kupu-kupu,
Dewa Geli akan segera bertemu.
Soal nanti dijamu
dengan racun ataupun madu,
sikap Dewa Geli
juga yang akan jadi penentu....
Telah lama Putri Budukan
bersedih pilu.
Bila nanti Dewa Geli
bukan cuma memberi harapan semu,
alangkah bahagia
rasa hati di kalbu...."
Begitu lantunan lagu yang berasal dari Puncak
Kupu-kupu terhenti, langsung terdengar suara tawa
mengikik panjang. Tepatnya berasal dari punggung
bukit sebelah utara. Di antara jajaran pohon yang di-
rambati sulur-sulur berbunga aneka warna, terlihat
seorang bocah lelaki sepuluh tahunan tengah berjalan
dan melompat-lompat. Raut wajah si bocah tampak je-
naka dan amat menggemaskan. Tubuhnya yang tidak
seberapa besar terbungkus pakaian putih kembang-
kembang. Penampilan si bocah jadi lebih mengge-
maskan lagi karena pakaian yang dikenakannya terli-
hat kedodoran. Kedua telapak tangannya tak terlihat
karena tertutup oleh kain lengan bajunya yang kepan-
jangan.
Dia Dewa Geli!
"Hi hi hi..." bocah lelaki berambut tipis itu terus
tertawa mengikik panjang. Lalu dengan suaranya yang
cempreng, sekali lagi dia lantunkan sebuah lagu.
"Wahai Putri Budukan
yang sedang menanti
kehadiran Dewa Geli....
Apa pun yang akan
kau berikan kepadaku nanti,
Patutlah orang bersikap hati-hati.
Siapa tak tahu Putri Budukan
pemuja sifat iri dengki?
Dewa Geli datang
bukan dengan sembunyi-sembunyi,
Tentu saja Dewa Geli mengharap
sambutan sepenuh hati...."
Usai melantunkan lagu itu, si bocah geleng-
geleng kepala sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.
Kakinya terus melangkah naik menuju Puncak Kupu-
kupu. Sementara, dari puncak bukit yang hijau subur
terdengar alunan lagu lain yang menyahuti.
"Cepat-cepatlah datang
Dewa Geli yang kutunggu.
Putri Budukan sudah tak sabar
untuk segera melepaskan sedih pilu.
Dewa Geli pastilah membawa
obat penawar kedukaan itu...."
Dewa Geli tertawa mengikik. Setelah menga-
rahkan pandangan ke puncak bukit, ujung-ujung jari
kakinya menotol tanah. Cepat sekali tubuh bocah yang
terbungkus pakaian kedodoran itu berkelebat. Di lain
kejap, dia sudah berada di Puncak Kupu-kupu yang
sunyi.
"Ini aku sudah datang penuhi undangan. Sege-
ralah tampakkan batang hidungmu, Putri Budukan....
Hi hi hi..."
Si bocah berteriak lantang diiringi suara tawa
yang panjang mengikik. Tapi, teriakan itu segera terte-
lan desau angin. Tak ada sosok manusia lain yang me-
nampakkan diri.
Sambil menggerutu panjang pendek, Dewa Geli
mengedarkan pandangan. Dia rundukkan kepalanya
untuk dapat melihat tempat-tempat yang tersembunyi
di antara semak belukar. Sebentar saja dia berbuat se-
perti itu. Bola matanya segera berbinar. Suara tawa
pun lepas berderai pula.
"Hi hi hi... aku melihat pemandangan yang....
hmmm.... Jantungku dak-dik-duk-plas... karena aku
merasa... hmmm..... Kalau saja aku tidak... hmmm...
aku pasti akan... hmmm...."
Entah apa makna ucapan bocah berpakaian
kedodoran itu. Dia berjongkok sambil terus mengarah-
kan pandangan ke balik semak belukar. Untuk bebe-
rapa lama, suara tawanya tak terdengar lagi.
Rupanya, si bocah sedang asyik masyuk mena-
tap sesuatu yang amat menarik perhatiannya.
Di balik semak belukar, sekitar empat tombak
dari hadapan Dewa Geli, terlihat sesosok tubuh tengah
terbaring telentang di tanah berumput tebat. Bagian
atas sosok tubuh itu tertutup sulur-sulur tumbuhan
merambat. Sementara, tubuh bagian bawahnya benar-
benar mampu menggerakkan hasrat hati kaum lelaki.
Pantas saja bila Dewa Geli tak bosan mengarahkan
pandangan ke tempat itu....
Walau berada di balik semak belukar, dapatlah
dilihat dengan jelas bila ada sepasang kaki panjang
semampai berkulit halus mulut tanpa noda. Kaki yang
sebelah kiri menekuk ke atas, sehingga kain yang di-
kenakan oleh si pemilik kaki jadi tersingkap. Dari situ
terciptalah satu pemandangan yang sudah cukup
mampu untuk mengacaukan aliran darah setiap lelaki
yang menatapnya....
"Hi hi hi...," mendadak Dewa Geli tertawa men-
gikik geli. "Bodoh benar aku ini! Aku mengintip 'milik'
perempuan, hingga aku merasa hk.... Sementara, aku
tak tahu apakah yang ku intip itu 'milik' Putri Budu-
kan atau bukan. Kalau milik Putri Budukan, celakalah
aku seumur-umur. Hk.... Menyesal aku telah pelo-
totkan mata dan menahan napas. Bila tahu wajah Pu-
tri Budukan, manalah aku mau mengintip. Hiii...!"
Si bocah bangkit berdiri dengan kepala mengge-
leng-geleng. Sikap seperti orang merasa jijik. Namun
begitu, bola matanya terus saja memelototi sepasang
kaki mulus yang terpampang dari balik semak belukar.
"Milik' Putri Budukan atau bukan...?" desis
Dewa Geli. "Kalau bukan 'milik' Putri Budukan, justru
aku akan lebih menyesal lagi. Aku laki-laki..., mana bi-
sa melewatkan kesempatan ini...?"
Menuruti pikiran di benaknya, Dewa Geli ber-
jongkok lagi. Kembali dipelototinya sepasang kaki yang
berada di antara sulur-sulur tumbuhan merambat.
Kali ini sepasang kaki berkulit halus mulus itu berge-
rak perlahan. Ganti kaki yang sebelah kanan yang me-
nekuk. Dan..., semakin berdebar-debarlah jantung
Dewa Geli manakala mendengar suara desahan seo-
rang wanita....
"Mendekatlah kemari...," ajak suara wanita si
pemilik kaki indah.
Dewa Geli tampak tertegun. Bola matanya se-
makin melotot besar. Tanpa sadar, mulutnya pun ikut
terbuka lebar.
"Walau wujud lahir mu hanya seorang bocah
sepuluh tahunan, aku tahu jiwamu seorang lelaki de-
wasa...," lanjut suara wanita sambil menggerak-
gerakkan sepasang kakinya dengan lemah gemulai.
"Oleh karena itu, segeralah kau mendekat kemari, De-
wa Geli yang manis...."
"Ya! Ya...," sambut bocah yang memakai baju
kedodoran.
Sambil menelan ludah, bocah berambut tipis
itu berjalan mendekat. Dengan tatapan matanya, dia
menelusuri lekuk liku tubuh si wanita. Karena si wani-
ta hanya mengenakan pakaian yang terbuat dari kain
tipis, Dewa Geli jadi bebas mengarahkan pandangan.
Hingga, tak bosan Dewa Geli berdiri berjongkok dengan
kepala terjulur lurus ke depan mirip seekor bangau
menunggu mangsa untuk segera dipatuk.
Tapi... ketika tatapan Dewa Geli menerpa wajah
si wanita, maka memekik kagetlah bocah lelaki itu. Bo-
la matanya semakin melotot besar, namun raut wajah-
nya berubah pucat!
"Astaga!" seru si bocah seraya meloncat jauh ke
belakang.
Sementara Dewa Geli menggeleng-gelengkan
kepalanya penuh rasa ngeri dan jijik, dari balik semak
belukar muncul seraut wajah menggiriskan. Wajah itu
dipenuhi bisul-bisul bernanah! Maka, hilang sudah
semua keindahan yang dilihat oleh Dewa Geli.
"Ha ha ha...! Kau kagum melihat keindahan
kakiku. Kau tertarik melihat kemulusan tubuhku. Ta-
pi..., kini kau merasa ngeri dan jijik melihat raut wa-
jahku. Hmmm.... Tak jadi apa. Tak jadi apa.... Memang
beginilah wujud Putri Budukan...."
Terdengar suara seorang wanita ditujukan ke-
pada Dewa Geli. Lalu, dari balik semak belukar mele-
sat sesosok tubuh. Setelah mendarat di tanah, dapat-
lah dilihat dengan jelas bila dia seorang wanita bertu-
buh tinggi semampai dengan dada montok menggiur-
kan. Kulitnya pun halus mulus tanpa sedikit pun noda
ataupun cacat. Lekuk liku tubuh si wanita dapat dili-
hat dengan jelas karena di hanya mengenakan pakaian
tipis berwarna putih ungu. Namun, Dewa Geli mena-
tapnya dengan pandangan ngeri dan jijik karena si
wanita berwajah amat buruk, penuh bisul bernanah!
Dialah yang disebut sebagai Putri Budukan!
"Ha ha ha...!" tawa gelak Putri Budukan. "Ke-
napa kau masih mengunci mulut, Dewa Geli? Tatapan
matamu beda benar dengan tadi. Sebelum kau tahu
raut wajahku, kau begitu terpesona melihat bagian
bawah tubuhku. Tapi sekarang... hmmm... tatapan mu
tampak begitu menghina. Tahukah kau, Dewa Geli, si-
kap yang kau tunjukkan itu benar-benar amat menyinggung harkat pribadiku sebagai seorang wani-
ta...?"
"Ya! Ya, eh...," Dewa Geli gelagapan. "Aku su-
dah datang. Aku sudah datang, Putri Budukan...."
"Aku sudah tahu," sahut Putri Budukan dengan
tatapan tajam berkilat. "Terima kasih. Itu berarti, aku
akan segera terbebas dari belenggu siksa ini. Ha ha
ha...!"
Selagi Putri Budukan tertawa bergelak-gelak,
Dewa Geli mengerutkan kening.
"Apa maksudmu?" tanya bocah berambut tipis
itu.
"Maksudku? Hmmm.... Apa kau tidak dapat
menebak makna yang tersirat dari balik kalimat ku ta-
di?"
"Ada hubungannya dengan Hantu Pemetik
Bunga?" tebak Dewa Geli sambil menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Ha ha ha...!" Putri Budukan tertawa panjang
bergelak. Buah dadanya yang ranum terlihat naik tu-
run. Andai wanita ini tidak berwajah sedemikian bu-
ruk, pasti banyak lelaki yang akan bertekuk lutut di
bawah kakinya.
"Hei! Kenapa kau tertawa?!" tegur Dewa Geli.
"Kau pikir, cuma kau saja yang bisa tertawa!"
sergap Putri Budukan seraya tertawa bergelak lagi.
Kembali Dewa Geli menggaruk kepalanya yang
tak gatal. Melihat ulah Putri Budukan, hati bocah lela-
ki Itu tergelitik. Dan..., turut tertawalah dia dengan
suara mengikik panjang.
"Hei! Hei!" ganti Putri Budukan yang menegur.
"Aku menertawakan kebodohanmu! Kenapa kau malah
ikut tertawa?!"
"Menertawakan kebodohan ku?" sahut Dewa
Geli. "Aku tidak bodoh! Aku tertawa karena melihat
kau salah menerka dan menduga. Hi hi hi.... Siapa
yang bodoh? Aku? Hi hi hi.... Aku tidak bodoh! Hi hi
hi...."
"Bocah gemblung! Tutup mulutmu! Atau, ku ta-
rik lidahmu keluar hingga putus saat ini juga!"
Melihat Putri Budukan naik pitam, Dewa Geli
geleng-geleng kepala. Namun setelah mengangkat ba-
hu, dia tertawa lagi. "Hi hi hi.... Aku bicara karena aku
punya mulut. Aku tertawa karena aku merasa senang.
Mumpung mulutku masih utuh, mumpung masih ada
rasa senang di hatiku, siapa pun tak dapat melarang
aku untuk bicara dan tertawa. Hi hi hi.... Tak juga
kau, Putri Budukan! Kau tak punya hak untuk mela-
rangku bicara dan tertawa! Hi hi hi.... Kalau ada orang
yang punya hak melarang orang lain untuk bicara
ataupun tertawa, maka berakhirlah usia dunia ini. Hi
hi hi...."
Mendengus gusar Putri Budukan. "Apa yang
kau katakan memang ada benarnya, Bocah Edan!"
ujarnya. "Tertawalah sepuas hatimu sebelum dunia
mu kubuat kiamat!"
"Hi hi hi.... Kau bicara seolah sedang mewakili
turunnya takdir Sang Pencipta. Mana dapat kau mem-
buat duniaku jadi kiamat? Hi hi hi.... Jangan jual bua-
lan di hadapanku, Putri Budukan! Hi hi hi...."
"Hmmm.... Teruskan tawa jelek mu itu, Bocah
Gemblung! Biar kau tak menyesal nantinya bila harus
melihat cairan darahmu mengucur masuk ke lam-
bungku!"
"Kau membunuhku? Hi hi hi.... Apa salahku?
Apa kau sangat tidak suka melihat ulah ku yang hen-
dak memotong habis 'senjata' Hantu Pemetik Bunga?
Hi hi hi...."
"Persetan dengan Hantu Pemetik Bunga!" sen-
tak Putri Budukan. "Dia sudah kuselamatkan. Tak ada
urusan lagi aku dengannya!"
"Lalu, untuk apa kau mengundangku kemari?"
tanya Dewa Geli sambil menarik celananya yang hen-
dak melorot lepas.
"Hmmm.... Kau pura-pura tidak tahu atau me-
mang tidak tahu?" selidik Putri Budukan.
Melihat kesungguhan wanita buruk rupa itu,
Dewa Geli menahan keinginan tawanya. Setelah meng-
garuk kepalanya yang tak gatal, dia berkata, "Seribu
macam dugaan, aku bisa mencetuskan. Seribu macam
terkaan, aku bisa menyampaikan. Tapi..., aku tak mau
menduga dan menerka yang hanya akan mengulur
waktu. Aku ingin kepastian dari mulutmu, Putri Bu-
dukan. Setelah kau katakan apa yang menjadi tu-
juanmu, ganti aku yang akan mengutarakan isi hati-
ku...."
Putri Budukan menatap lekat wajah Dewa Geli.
Walau Dewa Geli hanya berupa seorang bocah lelaki
berumur sepuluh tahunan, Putri Budukan tahu bila
bocah itu telah berusia seratus tahun. Dan, Putri Bu-
dukan pun tahu bila si bocah memiliki sesuatu yang
tak dimiliki oleh manusia kebanyakan. Karena men-
ginginkan sesuatu dari Dewa Geli itulah, Putri Budu-
kan memancing si bocah untuk datang ke Puncak Ku-
pu-Kupu. (Untuk mengetahui riwayat Dewa Geli dan
asal mula pertemuannya dengan Putri Budukan, sila-
kan simak serial Pendekar Bodoh dalam episode: "Ratu
Perut Bumi").
"Aku tahu, selama sembilan puluh tahun, kau
tinggal di Istana Abadi di negeri para siluman. Karena
puluhan tahun tinggal di suatu tempat yang tak men-
genal putaran waktu itu, darahmu mengandung satu
kekuatan gaib yang luar biasa ampuh...," ujar Putri
Budukan kemudian. "Siapa pun yang meminum cairan
darahmu juga mempunyai khasiat menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Ketahuilah kau, Bocah
Gemblung, aku sengaja mengundangmu kemari kare-
na aku menginginkan cairan darahmu itu. Ha ha ha....
Aku akan segera mendapat kekuatan maha hebat! Wa-
jahku akan berubah cantik jelita! Ha ha ha...!"
"Ngaco belo!" dengus Dewa Geli. "Siapa bilang
cairan darahku mempunyai khasiat seperti yang kau
katakan itu, Putri Budukan?!"
"Siapa bilang? Hmmm.... Aku tak tahu siapa
yang menyiarkan kabar itu pertama kali. Tapi, aku
percaya akan kebenarannya. Bahkan sangat memper-
cayainya! Maka, sekaranglah aku membuktikan...."
Di ujung kalimatnya, Putri Budukan bersuit
nyaring. Dari segenap penjuru, tiba-tiba berlesatan
manusia-manusia kerdil, dan langsung mengepung
Dewa Geli.
Jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh
orang. Semuanya hanya mengenakan cawat berwarna
hitam. Tangan kanan membawa tombak panjang dan
tangan kirinya mencekal jala lebar yang terbuat dari
jalinan tali putih berkilat!
"Hi hi hi...," Dewa Geli tertawa mengikik melihat
dirinya dikitari manusia-manusia kerdil. "Rupanya,
Putri Budukan punya piaraan tuyul-tuyul dekil. Hi hi
hi.... Mereka semua laki-laki. Hi hi hi... Mereka pasti
juga senang mengintip. Hi hi hi.... Sayang, yang dapat
mereka intip hanya Putri Budukan yang buruk rupa.
Hi hi hi..."
Dewa Geli terus tertawa mengikik. putri Budu-
kan mendengus gusar. Ketika wanita yang wajahnya
penuh bisul bernanah itu bersuit nyaring lagi, tiga puluh manusia kerdil langsung menerjang. Suara mereka
bercelotehan seperti puluhan kera yang sedang men-
gamuk.
Melihat ujung-ujung tombak yang hendak me-
nyate tubuhnya, Dewa Geli terus saja tertawa panjang
mengikik. Sikapnya seolah tak mau peduli pada ba-
haya yang tengah mengancam jiwanya. Dan ternyata...,
sikap yang ditunjukkan si bocah bukan tanpa alasan
karena...
Trang! Trang!
Bltak! Bltak!
Tusukan tombak datang silih berganti bagai si-
raman air bah. Namun, silih berganti pula batang-
batang senjata itu berpatahan. Dada dan punggung
Dewa Geli yang tertusuk tombak memperdengarkan
suara berdentang seperti perisai baja yang tak tembus
senjata tajam. Lebih hebat lagi, batang-batang tombak
di tangan tiga puluh manusia kerdil patah jadi dua wa-
lau sebenarnya batang-batang tombak itu terbuat dari
sejenis kayu rotan yang amat kuat.
Putri Budukan yang sudah tahu kehebatan
Dewa Geli tak menjadi terkejut. Sekali lagi, dia bersuit
nyaring lagi. Tiga puluh manusia kerdil menerjang le-
bih berani. Patahan batang tombak mereka buang be-
gitu saja. Mereka menyerang dengan jala.
"Hi hi hi.... Aku bukan ikan. Kenapa kalian
hendak menjala ku? Hi hi hi.... Kalau masih nekat, ka-
lian sendirilah yang akan ku jala! Hi hi hi...."
Dewa Geli membiarkan tubuhnya dihujani pu-
luhan jala. Namun, begitu ketiga puluh jala di tangan
manusia kerdil telah lengkap menerpa tubuhnya, Dewa
Geli bergerak cepat sekali. Tubuhnya menggeliat-liat
seperti orang kepanasan. Sementara, kedua tangannya
berkelebatan memperdengarkan suara bergemuruh ke
ras!
Di lain kejap, tiga puluh manusia kerdil berte-
riak-teriak dengan bahasa aneh yang tak bisa dimen-
gerti. Tubuh mereka semua telah terbaring di tanah
tanpa dapat bangun lagi karena terjerat oleh jala sen-
diri!
Melihat kehebatan Dewa Geli yang dapat den-
gan mudah menaklukkan tiga puluh manusia kerdil,
barulah Putri Budukan membelalakkan mata karena
terkejut.
"Jahanam kau, Bocah Edan!" geramnya dengan
sinar mata berapi-api.
Namun saat wanita berpakaian tipis tembus
pandang itu hendak menerjang, Dewa Geli berseru lan-
tang.
"Tunggu! Kau sudah mengatakan apa mak-
sudmu mengundangku kemari. Tak adil rasanya bila
aku tak mengatakan terlebih dulu apa maksud keda-
tanganku ini. Aku senang memenuhi undanganmu ka-
rena sebenarnya aku punya urusan denganmu, Putri
Budukan...."
"Segera katakan urusan apa itu?!" sentak Putri
Budukan.
"Hi hi hi.... Kau ingat Hantu Pemetik Bunga?"
ujar Dewa Geli sambil mengulum senyum.
"Ada apa dengan dia?" selidik Putri Budukan.
"Kau sudah tahu bukan kalau aku bermaksud
memotong habis 'senjata' durjana busuk yang suka
mengumbar nafsu kelelakiannya itu? Nah! Beberapa
pekan lalu, Hantu Pemetik Bunga berkata kepada ku
bila kau juga seorang durjana busuk. Bukankah kau
juga suka mengumbar nafsu tak baikmu pada para le-
laki?"
Mendelik mata Putri Budukan. Namun, dia tak
berkata apa-apa. Matanya tajam menatap Dewa Geli
yang tertawa cekikikan.
"Hi hi hi.... Andai kau dikaruniai wajah cantik,
tak perlu kau memaksa banyak lelaki untuk memua-
skan nafsu setanmu. Tapi karena kau kebetulan tak
mendapat karunia itu, kau sering memaksakan ke-
hendak. Banyak lelaki yang telah mati karena tak mau
meladeni kemauanmu. Hmmm.... Mereka yang telah
mati itu adalah kaum ku, Putri Budukan. Aku turut
merasakan penderitaan mereka sebelum kau bunuh.
Dan.... Hi hi hi.... Kau tahu bukan apa yang akan sege-
ra kuperbuat kepadamu? Kalau Hantu Pemetik Bunga
hendak ku potong 'senjata'-nya sampai habis, aku
hendak memotong... hi hi hi... sampai habis pula.... Hi
hi hi...!"
"Keparat! Laksanakan bila kau mampu!"
Menggembor keras Putri Budukan. Tiba-tiba,
dia mengeluarkan sebuah senjata berupa bola bergeri-
gi. Bola sebesar kepala manusia dewasa itu langsung
dilemparkan ke atas!
Glarrr...!
Bersama munculnya suara ledakan, bola berge-
rigi lenyap tanpa bekas. Dan..., terkejutlah Dewa Geli
saat melihat tubuh tiga puluh manusia kerdil tampak
membesar. Tali-tali jala yang membelit tubuh mereka
putus berantakan!
Dewa Geli mengucak-ngucak matanya penuh
rasa tak percaya. Tubuh ketiga puluh manusia kerdil
terus membesar hingga sebesar gajah!
"Sihir...!" desis Dewa Geli.
Bocah berpakaian kedodoran itu bergegas
menghimpun kekuatan batinnya untuk mengusir pen-
garuh sihir Putri Budukan. Tapi, tetap saja tubuh keti-
ga puluh manusia kerdil yang telah sebesar gajah tetap
tak berubah. Tubuh mereka benar-benar dapat beru-
bah menjadi raksasa!
DUA
KITA tinggalkan dulu pertarungan Dewa Geli
dan Putri Budukan. Sekarang kita ikuti perjalanan Se-
no menyelamatkan Kemuning di Lembah Rongga Laut.
"Ceritanya panjang sekali, Seno...," ujar seorang
gadis cantik berpakaian serba kuning. "Aku baru tahu
siapa sebenarnya yang telah membawaku ke tempat
mengerikan ini setelah orang itu memperkenalkan diri
sebagai Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah....
Rupanya, durjana culas itu benar-benar mampu me-
rubah wajah dan bentuk tubuhnya, hingga aku sama
sekali tak dapat mengenali."
"Ya. Ya, aku tahu kelicikan durjana itu...,," sa-
hut seorang pemuda berpakaian biru-biru dengan ikat
pinggang kain tebal berwarna merah.
"Lalu, bagaimana kau bisa tahu kalau aku dis-
ekap Mahisa Lodra di tempat ini?" tanya si gadis yang
tak lain dari Kemuning atau Dewi Pedang Kuning
"Ceritanya juga panjang, Kemuning...," beri ta-
hu pemuda berpakaian biru-biru, lirih seperti meng-
gumam.
Pemuda yang duduk di hadapan Kemuning itu
berparas tampan. Berdada bidang, dan tubuhnya pun
tampak tegap berisi. Dengan sepasang alis yang salah
satu ujungnya melintang ke atas bak sayap elang me-
nukik, bola mata si pemuda memperlihatkan sorot ta-
jam menusuk, menandakan ketinggian ilmunya yang
sudah cukup sulit untuk diukur. Namun demikian,
wajah tampan si pemuda menyiratkan sinar keluguan
dan kejujuran.
Menilik ciri-ciri pemuda yang rambutnya pan-
jang tergerai itu, siapa lagi dia kalau bukan Seno Pra-
setyo atau Pendekar Bodoh!
"Sebetulnya, Mahisa Lodra hendak menukar di-
rimu dengan Kodok Wasiat Dewa yang telah berhasil
kudapatkan...," lanjut Seno. "Karena durjana itu amat
licik dan culas, dia tak mau memberi tahu secara lang-
sung di mana kau disekapnya. Dia cuma memberi ku
sebuah kalimat sandi berbunyi: 'Menembus Laut Ber-
napas Dalam Air....'"
"Dan, kau bisa memecahkan kalimat sandi itu?"
tanya Kemuning penuh haru.
Seno mengangguk. "Kalimat sandi dari Mahisa
Lodra itu ternyata nama sebuah batu mustika, yaitu
batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...."
"Sebentar, Seno, kau katakan tadi bila Mahisa
Lodra hendak menukar diriku dengan Kodok Wasiat
Dewa. Apakah benda ajaib yang berada di dalam perut
Ikan Mas Dewa itu memang telah berhasil kau da-
patkan?"
Seno mengangguk lagi.
"Kau memberikannya?" tanya Kemuning, seper-
ti menyesali perbuatan Pendekar Bodoh.
"Jiwamu jauh lebih penting, Kemuning...," ja-
wab Seno penuh keyakinan. "Aku rela memberikan
Kodok Wasiat Dewa kepada durjana itu asal kau sela-
mat."
"Tapi, Seno..., bila benda ajaib itu ditelan oleh
Mahisa Lodra, tidakkah dia akan menjadi momok yang
amat menakutkan bagi kaum rimba persilatan? Dia
akan semakin mengumbar keangkaramurkaannya!"
"Aku tahu hal itu," sergap Seno. "Tapi, kau tak
perlu khawatir. Kau dapat kuselamatkan. Kodok Wa
siat Dewa pun berhasil kudapatkan kembali."
"Benarkah itu?"
"Untuk apa aku berbohong? Ada seorang pen-
dekar budiman yang telah berhasil merampas Kodok
Wasiat Dewa dari tangan Mahisa Lodra. Benda ajaib
itu lalu diberikan lagi kepadaku...."
"Hmmm.... Baik benar orang itu. Siapa dia?"
tanya Kemuning, penasaran.
"Namanya aku tak tahu. Dia hanya memperke-
nalkan diri dengan sebutan Ksatria Topeng Putih," ja-
wab Seno tanpa melepas pandangan dari wajah cantik
Kemuning.
"Ksatria Topeng Putih? Tampaknya, julukan itu
masih sangat asing bagiku...."
"Ah, sudahlah...," sergah Seno. "Kita harus se-
gera pergi dari tempat ini. Bukankah tadi kau bilang
bahwa kau amat ngeri dan takut berada di tempat ini?"
"Ya! Kita memang harus segera pergi," sambut
Kemuning seraya bangkit berdiri.
Pendekar Bodoh turut bangkit. Sejenak, dia
mengedarkan pandangan. "Ketahuilah, Kemuning,
tempat ini bernama Lembah Rongga Laut...," ujarnya.
"Aku telah mendengarnya dari mulut Mahisa
Lodra," sahut Kemuning. "Kata durjana keparat itu,
tempat ini tak mungkin dapat dijamah oleh manusia
lain, kecuali Raja Penyasar Sukma dan Mahisa Lodra
sendiri."
"Buktinya aku bisa," ujar Pendekar Bodoh se-
perti menggoda.
"Hmmm.... Kalau tidak salah aku menebak, apa
yang dapat kau lakukan ini tentu berkat kekuatan gaib
batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'..."
"Begitulah.... Ah! Kita tak perlu omong banyak
di tempat ini. Aku khawatir ada marabahaya yang masih mengintai. Kita harus segera...."
Mendadak, ucapan Seno terhenti. Bola mata
murid Dewa Dungu itu melotot besar dengan mulut
ternganga lebar. Agaknya, dia tengah terhantam keter-
kejutan.
"Kau... kau lihat itu, Kemuning...?" ujar Pende-
kar Bodoh, gelagapan.
Dewi Pedang Kuning mengarahkan pandangan
ke tempat yang ditunjukkan Seno. Dan, keterkejutan
turut menghantam isi dada murid Dewi Pedang Halilin-
tar itu!
"Astaga...!" seru Kemuning dengan raut wajah
berubah pucat.
Sejurus dengan pandangan Seno dan Kemun-
ing, terdapat sebuah bukit yang menjulang tinggi.
Puncak bukit itu tidak berbentuk sewajarnya karena
dipenuhi lidah api yang menebarkan cahaya putih ber-
kilat. Cahaya itu mampu menerangi seluruh tempat di
Lembah Rongga Laut.
Ketika Seno dan Kemuning mendongak, tahu-
lah mereka bila wujud matahari tak tampak barang se-
cuil pun, apalagi sinarnya. Yang terlihat di atas kepala
hanyalah lapisan kabut putih yang menebar rata. Kea-
daan Lembah Rongga Laut bisa sedemikian terang ka-
rena disinari cahaya aneh yang berasal dari puncak
bukit yang berjarak puluhan tombak dari tempat Seno
dan Kemuning berada.
"Ini bukan tempat yang aman, Kemuning. Kita
harus segera pergi," cetus Pendekar Bodoh, menyim-
pan rasa khawatir.
"Ya! Ya, Seno. Tampaknya, tempat ini tidak be-
rada di dunia manusia," sambut Kemuning. "Dari ma-
na kau datang, Seno? Kita harus melalui tempat itu la-
gi agar kita dapat pergi."
"Tidak! Aku datang dengan bantuan kekuatan
gaib batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air'. Dengan batu mustika itu, aku bisa bernapas di
dalam air untuk menempuh perjalanan cukup jauh
menelusuri lorong-lorong gua dalam laut. Kau tak
mungkin dapat melakukan seperti apa yang telah ku-
lakukan...."
"Lalu, aku harus bagaimana?"
"Tenanglah. Kita bisa memanfaatkan lagi keku-
atan gaib batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Da-
lam Air'. Kau tak perlu mengikuti jejak ku dengan me-
nempuh perjalanan di dalam air..."
"Caranya?"
"Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Da-
lam Air' telah masuk ke perutku. Aku harus mengelua-
rkannya terlebih dulu."
Usai berkata, Seno mengalirkan kekuatan tena-
ga dalam ke telapak tangannya. Telapak tangan yang
telah dialiri tenaga dalam yang bersifat mengisap itu
lalu ditempelkan ke pusar. Di lain kejap, sekujur tu-
buh Seno tampak bergetar....
Namun, perlahan wajah Seno berubah pucat.
Tatapan matanya menyiratkan rasa bingung dan kha-
watir.
"Ada apa, Seno?" tanya Kemuning yang tak be-
gitu mengerti apa yang tengah dilakukan oleh Pende-
kar Bodoh.
"Menurut Ratu Perut Bumi, tindakan inilah
yang harus kulakukan...," desis Seno. "Tapi..., kenapa
batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'
tak mau keluar dari perutku? Bahkan... uh! Kenapa isi
perutku yang malah hendak tersedot keluar? Astaga!"
Sinar mata Pendekar Bodoh semakin menyi-
ratkan rasa bingung dan khawatir. Walau dia telah
mengerahkan sebagian besar kekuatan tenaga dalam-
nya, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' tetap tak mau keluar dari perutnya. Tentu saja Se-
no tak mau menambah kekuatan tenaga dalamnya
sampai ke puncak karena kalau hal itu dilakukan, ju-
stru perutnya lah yang akan jebol! Dan, hanya kema-
tianlah akibatnya!
"Ratu Perut Bumi! Ratu Perut Bumi!" seru Se-
no, menyebut nama orang yang telah memberi petun-
juk bagaimana cara mengeluarkan batu mustika yang
berada di dalam perutnya.
Seruan pemuda lugu itu tak ada yang menya-
huti. Ratu Perut Bumi memang tak berada di Lembah
Rongga Laut. Maka, semakin pucatlah wajah Seno.
Apakah petunjuk Ratu Perut Bumi salah?
Sebenarnya, tanpa diketahui oleh Seno, batu
mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' telah
menyatu dengan Kodok Wasiat Dewa yang lebih dulu
ditelan oleh murid Dewa Dungu itu. Penyatuan dua
benda yang amat langka itu pada mulanya memberi-
kan manfaat besar kepada Seno. Kekuatan dahsyat
yang terbentuk mampu menghancurkan delapan tan-
gan makhluk mengerikan yang menghadang Seno di
gua dalam laut. (Baca serial Pendekar Bodoh dalam ep-
isode : "Ratu Perut Bumi"). Tapi sekarang ini, penya-
tuan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' dengan Kodok Wasiat Dewa justru mendatangkan
bahaya. Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Da-
lam Air' yang tak dapat dikeluarkan dari perut Seno
tentu saja menghalangi si pemuda untuk dapat keluar
dari Lembah Rongga Laut. Seno masuk ke Lembah
Rongga Laut dengan menggunakan kekuatan gaib batu
mustika itu. Untuk keluar, dia pun harus mengguna-
kan kekuatan gaib batu mustika itu juga! Tapi, bagai
mana mungkin Seno dapat menggunakan kekuatan
gaib batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' kalau batu mustika itu tak dapat dikeluarkan dari
dalam perutnya?
"Seno! Seno!" seru Kemuning, mengingatkan,
karena melihat wajah Pendekar Bodoh semakin memu-
cat seperti orang kehabisan tenaga.
"Aku harus dapat mengeluarkan batu mustika
di dalam perutku ini, Kemuning...," tekad Seno. "Aku
harus berhasil! Kalau tidak, kita akan terkurung di
tempat terkutuk ini seumur hidup!" Pendekar Bodoh
mencoba lagi. Dikerahkannya tenaga dalam lebih ba-
nyak. Namun, hanya rasa sakit yang didapatkannya.
Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' te-
tap tak dapat dikeluarkan dari perutnya!
"Seno! Seno!" seru Kemuning lagi. "Hentikan
perbuatanmu! Lihatlah di sana itu!"
Mendengar seruan Kemuning kali ini, Seno me-
lepas aliran tenaga dalamnya. Lalu, dia mengarahkan
pandangan ke tempat yang ditunjukkan oleh si gadis.
Puluhan tombak dari hadapan kedua anak ma-
nusia berlainan jenis itu tampak benda-benda bulat
menggelinding dari punggung bukit. Benda-benda bu-
lat itu terus menggelinding dengan cepat, mendekati
Seno dan Kemuning....
"Benda apa itu?" tanya Kemuning dengan mata
terbelalak lebar.
"Entahlah. Tampaknya, cuma batu...," tebak
Seno.
"Bukan!"
"Lalu, apa?"
"Aku juga tak tahu. Tapi, kalau batu, kenapa
bisa melompat-lompat seperti itu?" Seno terdiam.
Kemuning turut terdiam. Ketika benda-benda
bulat yang tengah menggelinding dan melompat-
lompat sudah dekat di hadapan mereka, memekik pa-
raulah kedua muda-mudi itu penuh rasa nyeri dan gi-
ris. Benda-benda bulat itu ternyata kepala manusia!
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh. Semen-
tara, Kemuning langsung memeluk si pemuda dengan
perasaan takut tak karuan!
Kepala-kepala manusia yang bergerak mende-
kati Seno dan Kemuning itu berjumlah lebih dari dua
puluh buah! Semuanya gundul tanpa rambut dengan
raut wajah kehitaman. Bola mata melotot. Batang hi-
dung besar. Dan, mulutnya menyeringai dingin, mem-
perlihatkan sepasang taring runcing panjang!
Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya
makhluk hidup berbentuk bulat itu juga mempunyai
tangan dan kaki. Hanya saja, tangan dan kaki mereka
amat kecil dan pendek sehingga hampir tak terlihat.
Mereka bergerak menggelinding dan melompat-lompat
dengan menekankan tangan ataupun kakinya bergan-
tian.
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh lagi.
"Tempat ini benar-benar tempat terkutuk!"
"Sebelum mereka menyerang, lebih baik kita
menyerang lebih dulu, Seno!" cetus Kemuning yang
mulai timbul keberaniannya.
"Ya!" sambut Seno seraya meloloskan Tongkat
Dewa Badal dari ikat pinggangnya.
Tanpa pikir panjang lagi, murid Dewa Dungu
itu mengibaskan senjata mustika di tangannya sekuat
tenaga, Timbul tiupan angin kencang laksana topan.
Puluhan makhluk gundul kontan terhempas, lalu ter-
lontar tinggi di angkasa. Ada yang tercebur ke rawa-
rawa, ada pula yang membentur bongkah batu besar.
Gemuruh angin yang timbul dari kibasan Tong
kat Dewa Badai segera ditimpali suara pekik kesakitan
makhluk-makhluk gundul. Hebatnya, mereka semua
dapat menggelinding dan melompat-lompat lagi. Bola
mata mereka melotot besar penuh hawa amarah. Mu-
lut mereka pun terbuka lebar seperti hendak memang-
sa Seno dan Kemuning mentah-mentah
"Aku ke sini tidak dengan maksud buruk!" seru
Pendekar Bodoh. "Jangan ganggu aku! Biarkan aku
membawa sahabatku pergi!"
Seruan pemuda lugu itu cuma disahuti suara
geram kemarahan makhluk-makhluk gundul. Dengan
menunjukkan seringai dingin, mereka bergerak men-
gepung.
"Aku harus mengambil pedangku, Seno..," ujar
Dewi Pedang Kuning,
"Di mana kau simpan pedangmu?" tanya Pen-
dekar Bodoh.
"Mahisa Lodra menancapkan pedangku di ping-
gir rawa itu!"
Dengan hati berdebar-debar, Pendekar Bodoh
mengarahkan pandangan ke sebuah rawa yang ditun-
jukkan Dewi Pedang Kuning. Di belakang empat mak-
hluk gundul, di bawah pohon kering tanpa daun, terli-
hat oleh Pendekar Bodoh sebatang pedang yang me-
nancap di tanah.
Pedang yang menancap lengkap dengan sa-
rungnya itu milik Dewi Pedang Kuning. Setan Selaksa
Wajah-lah yang telah menancapkannya di tempat itu.
"Minggir kau!" seru Seno tiba-tiba.
Pemuda remaja berparas tampan itu memba-
rengi seruannya dengan kibasan Tongkat Dewa Badai.
Empat makhluk gundul yang berada di hadapan si
pemuda langsung terpental. Pekik parau kesakitan
mengiringi lontaran tubuh mereka.
Pada saat itulah Seno meluruskan tangan ki-
rinya ke depan. Dari telapak tangan murid Dewa Dun-
gu itu keluar satu kekuatan tenaga dalam yang bersifat
mengisap!
Wusss...!
Tep!
Di lain kejap, pedang Kemuning yang menan-
cap di tanah, sekitar dua puluh tombak dari hadapan
Seno, tercabut lalu melesat dan menempel di telapak
tangan kiri Seno!
"Ini pedangmu!" ujar Pendekar Bodoh, menyo-
dorkan pedang di tangannya.
"Terima kasih, Seno," sambut Dewi Pedang
Kuning.
Murid Dewi Pedang Halilintar itu langsung
menghunus bilah pedang kuningnya. Seno pun tam-
pak bersiap siaga untuk menghadapi segala kemung-
kinan yang terjadi. Dan tiga tarikan napas kemudian,
apa yang dikhawatirkan Seno benar-benar menjadi ke-
nyataan. Makhluk-makhluk gundul bertangan dan
berkaki pendek menerjang dari segala jurusan!
Suara hiruk-pikuk terdengar memekakkan
gendang telinga. Sambil menyerang, makhluk-makhluk
berbentuk bulat seperti bola itu mengeluarkan suara
geram aneh yang mirip lolongan serigala. Mereka beru-
saha membenturkan tubuh mereka yang nyaris hanya
berupa kepala ke dada Seno ataupun Kemuning. Jan-
gan dikira benturan tubuh makhluk-makhluk itu tidak
berbahaya. Sebongkah batu sebesar kerbau pun akan
meledak hancur bila terkena benturan tubuh mereka!
Namun tampaknya, maksud mereka untuk
membinasakan Seno dan Kemuning menemui kesuli-
tan. Kibasan Tongkat Dewa Badai dan pedang kuning
di tangan Kemuning benar-benar mampu membuat
mereka mesti berpikir dua kali untuk terus bergerak
mendekat.
Crash...!
"Wuahhh...!"
Terdengar pekik kesakitan menyayat hati. Tu-
buh salah satu makhluk gundul tertebas ketajaman
pedang Kemuning. Tubuh si makhluk yang bulat lang-
sung terbelah jadi dua. Tapi anehnya, belahan tubuh
makhluk itu dapat terus bergerak! Bahkan, perlahan
namun pasti wujud belahan tubuh itu berubah jadi
wujud semula seperti sebelum kena tebas pedang.
Dengan kata lain, belahan tubuh si makhluk dapat
menjadi sesosok makhluk lain dengan wujud yang sa-
ma!
"Astaga...!" kejut Dewi Pedang Kuning.
Dalam keterkejutannya, gadis bertubuh sintal
itu mengirim serangan membabi buta. Dia keluarkan
jurus-jurus pedang andalan. Hingga tak seberapa lama
kemudian, dua makhluk gundul lainnya tertebas lagi.
Namun..., mereka pun tak mati. Bahkan, menjadi ber-
lipat dua! Akibatnya, semakin lama makhluk-makhluk
yang tengah mengeroyok Seno dan Kemuning menjadi
berlipat ganda!
"Seno! Seno! Bagaimana ini?" seru Kemuning,
panik terbalut rasa ngeri.
"Tenanglah, Kemuning...," sahut Pendekar Bo-
doh sambil mengibaskan Tongkat Dewa Badai-nya be-
rulang kali.
Wesss...!
Wesss...!
Kibasan Tongkat Dewa Badai menimbulkan ti-
upan angin maha dahsyat. Hampir semua makhluk
gundul terlontar jauh. Sebagian tercebur ke rawa-
rawa. Sebagian lagi terbanting ke tanah ataupun
membentur bongkah batu besar. Tapi..., mereka meng-
gelinding dan melompat lagi. Sepertinya, mereka mem-
punyai nyawa rangkap! Bahkan, kali ini mereka me-
nyerang lebih ganas!
"Tempat terkutuk! Tempat terkutuk!" seru Pen-
dekar Bodoh terbawa rasa kalutnya.
Mendadak, murid Dewa Dungu itu menyambar
tubuh Kemuning seraya dibawa berkelebat pergi. Dia
kerahkan ilmu peringan tubuhnya yang bernama
'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Di lain kejap, sosok
dua anak manusia itu telah menghilang dari pandan-
gan.
Namun..., makhluk-makhluk gundul yang jum-
lahnya telah berlipat ganda tak mau membiarkan Seno
dan Kemuning lolos. Diiringi suara hingar-bingar, me-
reka menggelindingkan tubuh dan melompat-lompat
untuk dapat mengejar calon mangsa mereka itu!
TIGA
PENDEKAR BODOH menghentikan kelebatan
tubuhnya di sebuah lekukan tanah berbatu.
Tempat itu cukup tersembunyi karena permu-
kaannya bergelombang-gelombang, sehingga menyu-
litkan pandangan orang.
Sebelum menurunkan tubuh Dewi Pedang Kun-
ing, Seno melompat tinggi untuk meyakinkan bahwa
tak ada makhluk gundul yang mengejarnya.
"Kita aman...," desis Seno seraya menurunkan
tubuh Kemuning yang semula dibopongnya.
"Kita tetap belum aman, Seno," sahut Kemun-
ing. "Selama kita masih berada di tempat ini, bahaya
akan selalu mengintai...."
Seno nyengir kuda. Hatinya ikut berdebar-
debar melihat kekhawatiran yang terpancar dari tata-
pan mata Kemuning. Namun, bagaimana dia mesti be-
rusaha untuk membawa gadis itu keluar dari Lembah
Rongga Laut? Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas
Dalam Air' yang bersemayam di dalam perutnya tak
dapat dikeluarkan lagi!
"Kenapa diam saja?" tanya Kemuning, menya-
darkan Seno dari lamunannya.
"Aku bingung...," desis Seno, mengambil tempat
duduk di atas bongkahan batu. Kemuning terdiam.
Murid Dewi Pedang Halilintar itu dapat mene-
bak apa yang ada di dalam benak Pendekar Bodoh. Si
pemuda pasti sedang memikirkan cara untuk dapat
keluar dari Lembah Rongga Laut. Hal itu juga yang
menjadi pikiran di benaknya.
Namun, Kemuning yang banyak akal segera
menepuk bahu Seno seraya berkata, "Jika kita cuma
diam merenung, kita tetap akan terkubur di tempat
ini...."
"Maksudmu?" tanya Seno, kebodoh-bodohan.
"Kita harus mencari jalan keluar!" cetus Ke-
muning.
"Caranya?"
"Uh! Bodoh benar kau, Seno!" sentak Dewi Pe-
dang Kuning, sebal.
"He, kenapa kau marah? Aku cuma bertanya.
Apa aku salah?" kilah Pendekar Bodoh.
"Aku tahu! Tapi, kurasa otakmu itu terlalu beb-
al!"
"Benarkah?" ujar Seno sambil cengar-cengir se-
perti bayi yang tak punya dosa.
"Uh! Sebal! Kau amat sulit untuk diajak bicara
sungguh-sungguh! Kau ikuti aku saja!"
"Ke mana?"
Kemuning tak menjawab.
Saat gadis itu melangkahkan kaki, bergegas
Seno mengikuti. Berulang kali Seno menanyakan tu-
juan si gadis, tapi tak sekali pun mendapat jawaban.
Kemuning terus melangkah dan sesekali meloncati
bongkah-bongkah batu.
"Kita kemana?" tanya Seno untuk kesekian ka-
linya.
Pertanyaan pemuda remaja itu tidak main-
main. Karena sangat mengkhawatirkan keselamatan
Kemuning, dia berusaha mencegah kepergian si gadis.
"Diamlah!" bentak Dewi Pedang Kuning, tak
menoleh ataupun menghentikan langkah.
"Kemuning!" Seno balas membentak. "Jangan
buat aku jadi penasaran! Katakan kau hendak ke ma-
na?!"
"Tentu saja mencari jalan keluar, Tolol! Apa kau
mau terkurung seumur hidup di tempat terkutuk se-
macam ini?!"
Seno nyengir kuda seraya menggaruk kepa-
lanya yang tak gatal. "Ya! Ya, kita harus keluar dari
tempat ini...," sahutnya, lirih.
Tak mau tertinggal, bergegas Seno meloncat
mengejar Kemuning. Sementara, Kemuning terus saja
melangkah. Dilewatinya semak belukar. Diedarkannya
pandangan ke segenap penjuru. Tapi hingga beberapa
lama, jalan yang menuju ke dunia luar belum dapat di-
temukannya. Karena lelah dan putus asa, Kemuning
menghentikan langkah kakinya di pinggir aliran sun-
gai.
"Kau lelah, Kemuning?" tanya Seno, sudah tahu
tapi masih saja bertanya.
Kemuning tak menjawab.
"Pedang yang terselip di punggungmu itu tam-
paknya cukup berat. Biar aku yang membawanya," ta-
war Pendekar Bodoh.
"Terima kasih," tolak Kemuning, pendek.
Tak bosan gadis yang rambutnya digelung ke
atas itu mengedarkan pandangan. Tapi, yang dilihat-
nya cuma tanah tandus berbatu-batu. Lain itu, pan-
dangannya hanya bertumbuk pada tanah berawa-rawa
yang dikitari semak belukar.
"Kau lihat itu!" ujar Kemuning kemudian.
Seno mengarahkan pandangan ke tempat yang
ditunjukkan Kemuning. Dan, melengak heranlah dia.
Di tepi aliran sungai, agak tertutup oleh gundukan ba-
tu cadas, terlihat mata air yang memancar cukup de-
ras. Anehnya, air yang memancar dari mata air itu
berwarna merah seperti darah!
"Aneh sekali.... Aneh sekali...," desis Pendekar
Bodoh seraya berjalan mendekati.
Seno meraup air berwarna merah. Mendadak,
dia berjingkat. Kedua telapak tangannya terasa amat
dingin seperti beku. Hingga, tanpa sadar Seno menjerit
kaget dan membuang air merah yang menggenang di
telapak tangannya.
"Ada apa, Seno?" tanya Kemuning penuh rasa
ingin tahu.
"Air ini.... Air ini...," ujar Seno, tak jelas apa
maksudnya.
"Kenapa dengan air itu?" kejar Kemuning, se-
makin penasaran.
"Air ini dingin sekali...."
Dewi Pedang Kuning mengerutkan kening.
Hendak dicelupkannya jari-jari tangan kanannya ke
sumber air merah. Tapi sebelum hal itu terlaksana, tiba-tiba Seno mencekal bahunya kuat-kuat, hingga dia
memekik kaget.
"Ada apa, Seno?" tanya Kemuning lagi, kali ini
terdengar ketus dan penuh rasa kesal.
"Kita harus pergi!" seru Seno.
"Sebentar..., aku mau melihat dulu, kenapa air
ini bisa berwarna merah...."
"Hus!" tolak Pendekar Bodoh. "Aku mendengar
suara gedebukan seperti puluhan kaki tengah bergerak
melompat-lompat. Itu pasti suara makhluk-makhluk
aneh yang mengejar kita!"
Mendengar penjelasan murid Dewa Dungu itu,
Kemuning langsung menajamkan pendengaran. Dan,
benarlah apa yang dikatakan Seno. Kemuning juga
mendengar suara langkah kaki banyak sekali.
"Kita pergi sekarang!"
Tanpa menunggu persetujuan lagi, Pendekar
Bodoh menyambar tubuh Kemuning. Dan, Kemuning
pun menurut saja ketika tubuhnya dibopong si pemu-
da untuk dibawa berkelebat pergi. Kemuning sadar bila
ilmu peringan tubuhnya jauh di bawah Pendekar Bo-
doh.
***
"Sudahlah! Sudahlah!" seru Kemuning. "Aku
merasa amat ngeri jika kau ajak berlari seperti ini, Se-
no!"
Pendekar Bodoh tahu kalau Kemuning berada
dalam bopongannya merasa tersiksa. Tapi karena dia
harus segera berlari sejauh mungkin tak didengarkan-
nya seruan Kemuning itu. Pendekar Bodoh terus berla-
ri mengempos tenaga. Dengan ilmu peringan tubuh
'Lesatan Angin Meniup Dingin', sosok Pendekar Bodoh
seakan berubah menjadi setan gentayangan!
"Turunkan aku! Turunkan aku!" seru Kemun-
ing lagi.
Gadis bertubuh sintal itu merasakan hembusan
angin menghajar sekujur tubuhnya. Telinganya men-
jadi pekak. Dan, aliran darahnya pun berdesir tak ka-
ruan.
Seno tetap tak mau peduli!
Menurut pikiran Seno, sambil menghindari ke-
jaran makhluk-makhluk gundul, dia bisa mencari ja-
lan keluar untuk dapat pergi dari Lembah Rongga
Laut. Tapi, apakah gagasan Seno itu membuahkan ha-
sil?
Ternyata tidak! Tanpa disadari oleh Seno, dia
cuma berlari berputar-putar. Jalan yang telah dilalui,
dia lalui lagi. Sementara, Seno pun tak berani mende-
kati bukit yang puncaknya terdapat semburan api ka-
rena di sekitar tempat itu suhu udara amat panas luar
biasa.
Hingga beberapa lama kemudian, saat tenaga
Seno mulai terkuras, si pemuda mulai sadar bila usa-
hanya sia-sia belaka. Kemuning tak henti-henti berte-
riak minta diturunkan.
"Kita berhenti di sini saja!" ujar Pendekar Bo-
doh kemudian, menurunkan tubuh Kemuning dengan
lembut.
Dewi Pedang Kuning yang masih kesal tak mau
menatap wajah Seno. Dia mengedarkan pandangan.
Dan, berkerutlah kening gadis itu penuh rasa heran.
"Kau tadi membawaku berlari sedemikian jauh.
Kukira tak kurang dari lima ratus tombak kau tempuh.
Tapi, kenapa kita masih berada di tempat ini?" kata
Kemuning, lirih seperti ditujukan kepada dirinya sen-
diri.
Seno nyengir kuda. "Aku juga tak tahu...," sa-
hutnya. "Tempat ini aneh sekali. Aku memang telah
membawamu berlari lima ratus tombak lebih. Tapi
tanpa kusadari, aku cuma berlari berputar-putar, dan
kembali lagi ke tempat ini...."
"Celaka! Kita benar-benar akan terkubur di
tempat terkutuk ini, Seno...."
Usai berkata, mendadak Kemuning mengham-
bur ke arah Seno. Sebagai seorang pendekar yang su-
dah biasa menghadapi tindak kekerasan dan kekeja-
man, Kemuning tidak takut mati. Pengalaman hidup-
nya bersama Dewi Pedang Halilintar telah membuat
Kemuning berjiwa baja. Tapi, dia tak kuasa mem-
bayangkan keadaan dirinya yang akan terus terkurung
di sebuah tempat aneh yang dihuni makhluk-makhluk
menyeramkan. Sebagai manusia biasa yang juga
punya hati dan perasaan, Kemuning pun merasa ngeri.
Karena bingung dan kalut, dia cuma dapat menyan-
darkan kepalanya di dada Seno. Bola matanya mulai
berkaca-kaca....
"Kita akan mati di tempat ini, Seno...," desah
gadis itu.
"Kau jangan punya pikiran macam-macam,
Kemuning...," tegur Pendekar Bodoh, berdebar-debar
hatinya bersentuhan kulit dengan gadis yang menjadi
bunga mimpinya. "Aku pernah mendapat nasihat dari
Dewa Dungu Guruku. Selama otak kita masih dapat
digunakan untuk berpikir, selama kita masih punya
tenaga untuk berusaha, berdosa apabila kita putus
asa..."
"Aku tahu, Seno. Tapi, dalam keadaan seperti
ini siapa yang tak akan merasa takut dan ngeri?"
"Ah, sudahlah...," potong Seno, menepuk bahu
Kemuning. "Kita jalan ke arah sana...."
Dewi Pedang Kuning menghapus air matanya
yang hendak menitik jatuh. Walau dengan setengah
hati, dia turut juga ajakan Pendekar Bodoh.
Lalu, mereka berjalan tanpa tujuan. Tak ada
lagi kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka
diam membisu. Namun, di dalam hati mereka berbica-
ra amat banyak. Otak mereka berputar, memikirkan
segala sesuatu yang akan terjadi. Tapi, pada akhirnya
rasa takut dan ngeri itu makin menebal. Dan, hanya
satu kata yang masih tersisa di benak mereka, yaitu
'mati'!
Namun, benarkah kedua pendekar muda itu
akan menemui ajalnya di Lembah Rongga Laut?
"Hei! Kau lihat itu!" seru Pendekar Bodoh tiba-
tiba
"Rumah batu!" seru Kemuning pula.
"Kita ke sana. Ada rumah, pasti ada penghu-
ninya. Aku tahu kau amat lapar. Barangkali di dalam
rumah itu ada makanan..."
Seno berlari tak sabaran. Kemuning hendak
mengikuti langkah pemuda itu, tapi tiba-tiba dia jadi
ragu.
"Tunggu, Seno!" cegah Kemuning.
Pendekar Bodoh melengak heran. Langkahnya
berhenti. "Ada apa? " tanyanya tak mengerti.
"Kita sama-sama lelah. Otak kita sama-sama
buntu. Tapi, kita tak boleh ceroboh, Seno..." ujar Ke-
muning.
"Memangnya ada apa?" Pendekar Bodoh ber-
tanya lagi.
"Uh! Kau ini memang tolol atau pura-pura tolol,
Seno?!" sentak Kemuning, muncul lagi sifat ketusnya.
"Kita tidak tahu siapa yang menghuni rumah batu itu.
Bagaimana kalau penghuninya malah makhluk
makhluk aneh yang lebih menyeramkan?"
Seno terdiam. Setelah berpikir-pikir, mendadak
murid Dewa Dungu itu menepak kepalanya sendiri.
"Uh! Aku memang tolol! Kenapa tidak berpikiran sam-
pai di situ?" rutuknya kepada diri sendiri.
Kemuning tersenyum kecut melihat kekonyolan
Seno. Anehnya dia malah melangkah mendekati rumah
batu.
"Hei! Kau hendak ke mana?!" tanya Seno.
"Menyelidiki rumah itu!" jelas Kemuning
"Menyelidiki?"
"Ya! Kalau Tuhan memberikan nasib baik, siapa
tahu kita bisa mendapatkan sesuatu di rumah itu"
"Sesuatu apa? Bukankah kita tidak boleh cero-
boh?"
"Uh! Tolol benar kau, Seno! Siapa yang cero-
boh? Apa kau tidak dengar? Aku hendak menyelidiki,
Tolol!"
"Ya! Ya, aku memang tolol..." sambut Seno ke-
bodoh-bodohan. Pertanda ia tak marah walau berkali-
kali kena damprat.
Akhirnya, Seno dan Kemuning melangkah ber-
dampingan. Setindak-dua tindak, mereka berjalan
mendekati rumah batu yang baru mereka temukan.
Rumah yang terbuat dari susunan bongkah-bongkah
batu besar itu bagian atasnya ditumbuhi sulur-sulur
bunga beraneka warna. Sementara, di bagian depan-
nya terdapat kolam kecil namun sudah tak berair lagi.
Ketika langkah Seno dan Kemuning kurang dua
tindak untuk mencapai pintu, mendadak dari dalam
rumah terdengar lantunan syair...
Di sini aku tak dapat menghitung waktu
Aku tak tahu siang atau malam yang menemaniku
Dulu bahagia bersemayam di kalbu
Dulu semua berjalan tanpa ada sedih pilu.
Namun... kini patutlah aku menangis tersedu.
Bahagia ku hilang entah ke mana
Penderitaan datang menggantikannya
Kering sudah rasa air mata
Yang kutemui hanya duka-lara
Oh, Dewa Penguasa Jagat di atas sana...
Bila ajalku telah tiba
Beri aku kesempatan menanamkan buah pahala
Biar dosa tak menyeret ke neraka...
Lantunan syair itu terdengar amat memilukan.
Sepertinya, dicetuskan dari buah hati orang yang amat
menderita. Hingga untuk beberapa lama, Seno dan
Kemuning cuma berdiri terpaku di depan pintu. Mere-
ka tak berani melangkah lagi.
Aku mendengar langkah kaki mendekati
Aku tahu ada orang hendak memasuki rumah
ini
Bila memang punya maksud baik
Kenapa mesti ragu berpikir?
Masuklah....
Empu rumah tak dapat memberi sambutan ra-
mah
Tapi, bergegaslah lanjutkan langkah....
Seno dan Kemuning saling pandang. Lantunan
syair itu jelas menyiratkan persahabatan. Tapi, tidak-
kah si pelantun syair bukan sedang memasang jeba-
kan?
Seno menggaruk kepalanya yang tak gatal. Di
cekalnya erat-erat Tongkat Dewa Badal yang terselip di
ikat pinggang. Tanpa meminta persetujuan Kemuning,
dia melangkah memasuki rumah batu. Dan tampak-
nya, pikiran Kemuning pun sejalan dengan pikiran Se-
no. Gadis itu juga melangkah memasuki rumah batu.
Kening Buyung berkerut rapat. Keadaan di da-
lam rumah batu cukup terang, tapi dia melihat ada
banyak obor di tempat itu. Sebenarnya, cahaya yang
menyorot masuk dari luar sudah mampu memberi pe-
nerangan yang cukup. Jelasnya, obor-obor yang dipa-
sang di rumah itu tak berguna sama sekali. Asapnya
malah mengganggu pernapasan.
Dan..., terhenyaklah langkah Seno akhirnya.
Kakinya hampir saja menginjak sesosok tubuh manu-
sia. Semula, Seno tak melihatnya karena sesosok tu-
buh itu terbaring dalam cekungan tanah dan tertutup
sulur-sulur tumbuhan kering.
"Jangan terkejut.... Bila kau telah melihat kea-
daan tubuhku yang buruk ini, itu berarti kau punya
jodoh...," ujar sosok tubuh yang terbaring di tanah.
"Kau... kau siapa?" tanya Seno, tergagap.
"Aku Setan Bodong. Singkirkan dulu kotoran
yang menutupi tubuhku. Jangan takut! Aku bukan
orang jahat...."
Pendekar Bodoh yang amat lugu dan mudah
percaya pada orang lain bergegas membersihkan su-
lur-sulur tumbuhan kering yang menutupi tubuh
orang yang dijumpainya. Sementara, Kemuning cuma
diam. Namun, gadis cantik itu bersiap-siaga mengha-
dapi segala kemungkinan buruk yang mungkin akan
terjadi. Jemari tangan kanannya siap menghunus bi-
lah pedang.
Tampak kemudian, di dalam cekungan tanah
terbaring seorang kakek bertubuh gemuk bulat. Kepalanya gundul licin. Walau tua namun wajahnya tam-
pak amat jenaka. Dia mengenakan rompi dan celana
pendek berwarna putih. Perutnya bulat besar. Apabila
kakek itu berdiri, dapat dipastikan bila perutnya akan
menggantung.
"Kau... kau manusia...?" ujar Seno sambil
nyengir kuda.
"Ha ha ha...," kakek yang memperkenalkan diri
sebagai Setan Bodong tertawa bergelak. "Tentu saja
aku manusia!"
"Bukan begitu. Aku melihat banyak sekali
makhluk aneh di tempat ini. Barangkali saja kau te-
man mereka...," kilah Seno.
"Hmmm.... Begitu? Lalu, kau dan temanmu itu
manusia atau bukan?" tanya Setan Bodong tanpa
bangkit dari sikap terbaring telentangnya.
"Aku juga manusia...," jawab Seno, lirih
"Manusia? Ha ha ha...! Siapa pun manusia
yang masuk ke Lembah Rongga Laut tanpa seizin Raja
Penyasar Sukma, sampai mati tak akan bisa keluar
dari tempat terkutuk ini!"
"Benarkah itu?" seru Seno, kaget.
EMPAT
KITA kembali ke pertarungan Dewa Geli mela-
wan Putri Budukan. Puncak bukit yang menjadi ajang
pertempuran itu terguncang-guncang seakan telah be-
rubah menjadi gunung berapi yang hendak meletus.
Bongkah-bongkah batu besar pecah berkeping-keping.
Puluhan batang pohon tumbang dan hancur pula men-
jadi serpihan-serpihan kecil. Pukulan jarak jauh yang
nyasar benar-benar menciptakan kiamat di Puncak
Kupu-kupu.
Walau dikeroyok tiga puluh manusia bertubuh
raksasa menyamai gajah. Dewa Geli tetap berada di
atas angin. Tubuh mungil bocah berpakaian kedodo-
ran itu dapat melenting ke sana-sini dengan amat lin-
cah. Tiga puluh raksasa pengeroyoknya semakin diku-
asai hawa amarah karena tak sekali pun mereka dapat
menyentuh tubuh si bocah, apalagi menyarangkan pu-
kulan. Pukulan mereka hanya menerpa permukaan
tanah hingga menciptakan lubang besar. Tak jarang
pula cuma dapat menghancurkan batu atau menum-
bangkan batang pohon.
"Hi hi hi...," tawa mengikik Dewa Geli. "Aku tadi
sempat terkejut dan merasa ngeri. Hi hi hi... Ternyata,
tubuh kalian cuma besar..., tapi tak berisi kekuatan
apa-apa. Hayo! Terus serang aku! Hayo! Terus turuti
perintah tuanmu!"
Tiga puluh manusia bertubuh sebesar gajah
menggeram bersamaan. Jemari tangan mereka yang
menyamai paha kerbau terus berkelebatan, berusaha
menangkap dan meremukkan tubuh Dewa Geli.
Namun, Dewa Geli yang mempunyai ilmu pe-
ringan tubuh luar biasa hebat selalu dapat berkelebat
lebih cepat. Dan tampaknya, Dewa Geli bermaksud
mempermainkan mereka. Bocah berkulit hitam itu tak
pernah balas menyerang dengan sungguh-sungguh.
Jika ada kesempatan, si bocah cuma menjewer telinga
ataupun menonjok hidung lawan-lawannya. Perbua-
tannya itu selalu diiringi derai tawa yang tak kunjung
habis.
"Jahanam kau, Bocah Edan!" maki Putri Budu-
kan. "Agaknya, kau benar-benar bocah keparat yang
amat pantas untuk dibinasakan!"
Tak mau melihat Puncak Kupu-kupu yang
menjadi tempat tinggalnya meledak hancur karena pu-
kulan dahsyat tiga puluh manusia raksasa, Putri Bu-
dukan meloncat cepat. Dia turut maju menyerang De-
wa Geli. Di tangannya telah tercekal sebuah bola ber-
gerigi.
Sambil mengirim tendangan ke kepala, Putri
Budukan menghantamkan bola bergerigi yang diba-
wanya ke dada Dewa Geli. Namun, serangan wanita
buruk rupa itu hanya mengenai angin kosong. Tubuh
Dewa Geli dapat berkelebat amat cepat. Gerakan si bo-
cah licin bagai belut, dapat berpindah tempat dengan
cepat bagai siluman
"Hi hi hi.... Keluarkan semua kepandaianmu,
Putri Budukan...," ejek Dewa Geli. "Setelah lelaki-lelaki
piaraan mu itu kubuat lebam-lebam wajahnya, ganti
tubuhmu yang akan kubuat lebam-lebam! Hi hi hi...!"
Cepat sekali tubuh Dewa Geli bergerak. Terden-
gar suara tamparan mengenai sasaran lima kali. Dis-
usul suara pekik parau kesakitan. Tubuh lima manu-
sia raksasa terasa pusing karena kena tempeleng. Tu-
buh mereka lalu jatuh berguling-guling ke lereng bukit!
"Hi hi hi...," Dewa Geli tertawa lagi. "Lima orang
sudah merasakan halusnya telapak tangan Dewa Geli.
Lima lagi akan menyusul...."
Dan..., Dewa Geli benar-benar dapat membuk-
tikan ucapannya. Lima tubuh manusia raksasa lain-
nya ikut pula kena tempeleng. Tubuh mereka yang se-
besar gajah itu lalu jatuh bergulingan ke lereng bukit.
Kontan timbul suara berdebam amat keras manakala
tubuh manusia-manusia yang hanya mengenakan ca-
wat itu jatuh berdebam di tanah. Permukaan bukit ter-
guncang hebat. Gempa maha dahsyat seakan terjadi di
Puncak Kupu-kupu.
Anehnya, sepuluh manusia raksasa yang telah
jatuh ke lereng bukit tak dapat bangkit berdiri lagi.
Kaki dan tangan mereka cuma meronta-ronta. Semen-
tara, punggung mereka yang menempel di permukaan
tanah seperti diberi perekat yang amat kuat.
Lalu..., tubuh raksasa sepuluh manusia berca-
wat itu mengecil..., dan terus mengecil, hingga menjadi
manusia kerdil lagi!
"Pukulan 'Tapak Suci Pemunah Sihir'...!" kejut
Putri Budukan yang dapat mengenali Ilmu pukulan
yang dilancarkan oleh Dewa Geli.
"Ya! Benar apa yang kau ucapkan itu, Putri
Budukan," sahut Dewa Geli sambil mengulum senyum.
"Kau tak perlu penasaran. Jika ingin merasakan kehe-
batan pukulan 'Tapak Suci Pemunah Sihir', aku akan
berbaik hati. Siapa tahu wajahmu yang buruk itu bisa
berubah cantik? Hi hi hi...."
"Jahanam...!"
Menggembor keras Putri Budukan. Bola berge-
rigi di tangannya hendak dibuat memukul hancur ke-
pala Dewa Geli. Tapi, si bocah cuma tertawa mengikik.
Dan tanpa disangka-sangka oleh Putri Budukan, si bo-
cah melentingkan tubuhnya seraya merampas bola
bergerigi di tangan wanita berpakaian tipis itu!
Wutttt...!
"Heh?!"
Tak dapat digambarkan lagi betapa kesalnya
Putri Budukan. Raut wajahnya yang buruk bertambah
buruk. Dengan bahu naik turun terbawa desakan
amarah, dia menatap Dewa Geli yang mengangkat
tinggi bola bergerigi yang telah berhasil dirampas si
bocah.
"Daripada mendapat repot dan mengeluarkan
tenaga terlalu banyak, lebih baik kuhancurkan benda
jelek ini!" ujar Dewa Geli.
"Jangan...!" cegah Putri Budukan.
Tapi, mana mau Dewa Geli mendengarkan te-
riakan wanita buruk rupa itu. Sambil tertawa panjang
mengikik, bola bergerigi dibantingnya ke tanah!
Blammm...!
Ledakan keras mengiringi hancurnya bola ber-
gerigi milik Putri Budukan. Manusia-manusia bertu-
buh raksasa yang masih berada di Puncak Kupu-kupu
memekik parau. Tubuh mereka jatuh terjengkang, lalu
menyusut kecil, dan berubah kerdil lagi!
"Kalau cuma mengandalkan ilmu sihir macam
ini, kau tak mungkin dapat menangkapku, Putri Bu-
dukan," cibir Dewa Geli, tangan kanannya menarik
naik celananya yang melorot.
"Keparat! Kau boleh berkata sombong. Tapi jika
kau mampu menahan pukulanku ini, aku bersumpah
untuk tak keluar dari Puncak Kupu-kupu ini seumur
hidupku!" ujar Putri Budukan.
"Boleh! Hi hi hi...," sambut Dewa Geli. "Tapi ta-
ruhannya bukan cuma sumpahmu itu. Bukankah kau
sudah tahu bila tujuanku datang kemari adalah untuk
memotong habis... hi hi hi... 'milik'-mu itu! Hi hi hi...!"
Putri Budukan tak mau lagi mendengarkan
ucapan Dewa Geli. Dia alirkan seluruh kekuatan tena-
ga dalamnya ke kedua telapak tangan. Di lain kejap,
kedua pergelangan tangan wanita buruk rupa itu be-
rubah warna menjadi hijau kemerahan. Anehnya, sua-
sana di Puncak Kupu-kupu menjadi amat sunyi dan
terasa aneh seperti diliputi hawa di alam sihir!
"Pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'...!" kesiap Dewa
Geli.
Bola mata bocah berambut tipis itu kontan me-
lotot besar menatap Putri Budukan yang telah bersiap
siaga untuk melancarkan pukulan jarak jauh. Dewa
Geli yang sudah telanjur menerima tantangan Putri
Budukan tentu saja tak dapat menarik kata-katanya
lagi. Walau sedikit ragu akan daya tahan tubuhnya da-
lam menerima ilmu pukulan Putri Budukan, Dewa Geli
tak mau beranjak dari tempatnya berdiri. Diam-diam
dia keluarkan ilmu kebalnya yang bernama 'Benteng
Pelindung Jiwa'.
Hingga akhirnya....
"Hiahhh...!"
Wusss...!
Putri Budukan menggembor keras sekali. Dua
telapak tangannya dihentakkan ke depan dengan se-
kuat tenaga. Dua larik sinar hijau kemerahan wujud
dari ilmu pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' melesat cepat.
Dan....
Blarrr...!
Dua larik sinar yang memendarkan hawa aneh
itu tepat menerpa dada Dewa Geli. Begitu ledakan ke-
ras hilang di pendengaran, Dewa Geli tertawa panjang
mengikik sambil menepuk-nepuk dadanya yang terpu-
kul.
Bocah berkulit hitam itu tak mengalami cedera
sedikit pun. Bahkan, kain bajunya tak robek ataupun
terbakar. Dia tetap berdiri tegak di tempatnya dengan
bibir terus mengulum senyum!
"Astaga...!" kejut Putri Budukan. Untuk bebera-
pa saat, wanita buruk rupa ini tak dapat menarik na-
pas karena dadanya sesak terhantam keterkejutan.
"Hi hi hi...," tawa mengikik Dewa Geli. "Kau su-
dah puas, bukan? Kau lihat sendiri, bukan? Ilmu pu-
kulan 'Sihir Penjerat Arwah' tak dapat menembus Ilmu
kebal 'Benteng Pelindung Jiwa'. Hi hi hi.... Sebenarnya,
aku hendak memotong habis 'sesuatu' di tubuhmu itu.
Tapi, biarlah kau kuberi ampun, asal kau tepati sumpahmu! Aku pergi...."
Usai berkata, Dewa Geli membalikkan badan
seraya melangkah perlahan menuruni Puncak Kupu-
kupu. Sementara, Putri Budukan cuma dapat menatap
punggung si bocah penuh rasa penasaran dan amarah.
***
Senja terusir....
Malam berkuasa di atas mayapada. Kesunyian
terasa amat mencekam manakala terdengar tekur bu-
rung hantu yang tersahuti lolongan serigala. Namun,
gelap tak seberapa pekat karena bintang yang bertabu-
ran senantiasa berkedip jenaka. Sang candra pun ter-
senyum memancarkan sinar keemasannya.
Dewa Geli terus berjalan menuruni Puncak Ku-
pu-kupu. Sebentar-sebentar dia menoleh ke belakang
seperti ada sesuatu yang dikhawatirkannya.
Saat mencapai pertengahan bukit, Dewa Geli
menghentikan langkah. Sekujur tubuhnya amat lemah
dan tak bertenaga. Wajahnya pun terlihat memucat
karena dia merasa seluruh tenaganya telah hilang en-
tah ke mana.
Perlahan-lahan sepasang kaki Dewa Geli mene-
kuk. Lalu, dia jatuh terduduk. Kain baju yang dikena-
kannya basah kuyup oleh cairan keringat yang terus
keluar, padahal hawa udara cukup dingin menusuk.
Bocah yang pernah tinggal di kerajaan siluman
itu masih mencoba untuk tertawa. Tapi, tawanya kali
ini terdengar sengau dan sama sekali tak menyiratkan
kegembiraan. Apa yang terjadi?
"Apa yang ku khawatirkan telah terjadi kini.
Pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' telah membuatku lum-
puh...," gumam Dewa Geli dengan tatapan kosong.
"Untung saja aku dapat mengelabuhi perempuan jahat
itu. Dia tidak tahu kalau ilmu pukulannya mampu
menembus ilmu 'Benteng Pelindung Jiwa'-ku.
Hmmm.... Mudah-mudahan dia tak mengikutiku...."
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, De-
wa Geli merangkak mencari tempat yang lebih tersem-
bunyi. Keadaan bocah yang biasanya tampak amat je-
naka itu kini jadi amat mengenaskan. Untuk menem-
puh jarak sepuluh tombak saja, dia mesti merangkak
selama sepeminuman teh. Dia jatuh berulang kali. Wa-
jah dan kain bajunya jadi ternoda oleh kotoran tanah.
Dahinya pun telah terhiasi benjolan-benjolan karena
beberapa kali dia jatuh membentur batu.
Setelah mendapatkan tempat seperti yang diha-
rapkannya, sebuah tempat tertutup semak belukar
dan terlindungi bongkah batu besar, Dewa Geli men-
gambil sikap semadi. Dia mencoba menghimpun hawa
saktinya yang berpencar tak karuan. Namun, berkali-
kali dia mengeluh kesakitan. Bukan saja hawa sak-
tinya tak dapat disatukan lagi, jantungnya pun terasa
diremas-remas. Aliran darahnya kacau. Tubuhnya se-
makin lemah. Untuk dapat duduk menegakkan pung-
gung saja, dia mesti membulatkan tekad dan men-
gumpulkan segenap tenaganya yang masih ada.
Tapi..., sebentar saja Dewa Geli dapat duduk
bersila. Tak lama kemudian, tubuh bocah berpakaian
kedodoran itu menekuk ke depan, lalu jatuh terjerem-
bab. Wajahnya semakin kotor. Benjolan di dahinya
bertambah lagi.
"Ya, Tuhan...," sebut Dewa Geli. "Kalau ada
orang bersedia membantuku mengatur aliran darah,
aku akan segera dapat mengumpulkan lagi hawa sakti
ku. Aku tak akan lumpuh. Tapi..., mana ada orang lain
di tempat seperti ini? Di malam hari pula...."
Susah payah Dewa Geli mencoba untuk men-
gambil sikap semadi lagi. Namun, kali ini dia malah ja-
tuh terjengkang. Dalam keadaan rebah telentang, tak
ada lagi yang dapat dilakukannya, kecuali berpikir dan
memeras otak.
"Hawa sakti ku tidak lenyap. Walau berputar-
putar tak karuan, tapi inti kekuatan tubuhku itu ma-
sih ada...," kata hati Dewa Geli. "Aku yakin..., aku tak
akan lumpuh selamanya. Keadaanku akan pulih se-
perti sedia kala. Tapi, kapan? Kalau cuma menunggu
seperti ini, paling tidak aku butuh satu purnama agar
hawa sakti ku dapat mengumpul lagi dengan sendi-
rinya...."
Dewa Geli menatap langit hitam yang ditebari
bintang. Pantulan sinar keemasan sang candra mem-
beri satu harapan kepadanya. Dia harus mencoba lagi.
Dia tak boleh pasrah menerima keadaan yang tak
menguntungkan itu.
Tapi..., mana dapat Dewa Geli mengambil sikap
semadi lagi untuk mengumpulkan hawa saktinya?
Menggerakkan jemari tangannya saja dia tak bisa!
"Aku bukan orang yang takut mati. Usiaku su-
dah seratus tahun. Aku memang pantas untuk dijem-
put ajal...," ujar Dewa Geli dalam hati. "Tapi..., kalau
aku mesti mati dengan cara disembelih oleh Putri Bu-
dukan, alangkah buruknya cara kematianku nanti.
Aku khawatir, cairan darahku benar-benar mempunyai
khasiat seperti yang dituturkan oleh perempuan Jahat
itu. Bila orang jahat mendapat tambahan kekuatan,
biasanya dia akan semakin mengumbar kejahatan-
nya.... Itu tak boleh terjadi! Putri Budukan tak boleh
tahu aku berada di sini dalam keadaan lumpuh seperti
ini!"
Dewa Geli membulatkan tekadnya kembali. Dia
harus bangkit duduk mengambil sikap semadi. Dia tak
boleh lumpuh. Namun..., tenaganya yang tersisa cuma
dapat untuk menggerakkan kelopak mata. Tubuh si
bocah benar-benar telah lumpuh tiada daya!
Mendadak, bola mata bocah berambut tipis itu
membelalak seperti menyimpan kekhawatiran hebat.
Telinganya menangkap suara berisik semak-semak
tersibak. Lalu, terdengar suara kaki melangkah....
"Kalau ada binatang buas di tempat ini, matilah
aku...," pikir Dewa Geli. "Tapi, hal itu lebih baik asal
aku tidak jatuh ke tangan Putri Budukan...."
Bola mata Dewa Geli semakin terbelalak. Bebe-
rapa saat nafasnya terhenti karena terbawa perasaan
tegang. Suara langkah kaki itu semakin mendekat.
Kemudian..., semak belukar di depan Dewa Geli tersi-
bak! Dan, muncullah seraut wajah mungil milik seo-
rang manusia kerdil!
"Celaka! Anak buah Putri Budukan!" kejut De-
wa Geli.
Bocah berkulit hitam itu hendak meloncat
bangkit. Tentu saja maksudnya tak kesampaian kare-
na tenaganya benar-benar telah lenyap. Yang dapat di-
lakukannya hanyalah memelototkan mata, menatap
penuh ancaman!
"Kau... kau...," ujar lelaki kerdil, menunjuk hi-
dung Dewa Geli.
Mendadak, lelaki yang tubuhnya lebih pendek
dari Dewa Geli itu membalikkan badan. Dewa Geli jadi
panik. Dia dapat menduga bila lelaki kerdil itu hendak
melaporkan apa yang telah dilihatnya kepada Putri
Budukan. Dan, itu berarti malapetaka bagi Dewa Geli!
Dewa Geli berteriak mencegah kepergian si le-
laki kerdil. Tapi, suaranya tersekat di tenggorokan! Dia
cuma dapat mengeluh pendek, merutuk keadaannya
yang tak menguntungkan....
Sebentar kemudian, Dewa Geli melihat sepa-
sang kaki putih mulus yang berdiri di dekat kepalanya.
Sepasang kaki itu berdiri tegak dan tak bergerak-
gerak. Pemiliknya sama sekali tak mau mengeluarkan
suara.
Terkejutlah Dewa Geli bagai disambar petir. Se-
telah dia mengarahkan pandangan ke atas, tahulah dia
bila pemilik sepasang kaki itu tak lain dari Putri Bu-
dukan!
"Celaka! Celaka!" keluh si bocah dalam hati.
"Ha ha ha...!" mendadak Putri Budukan tertawa
bergelak-gelak. "Kini, kau tahu kehebatanku, bukan?
Kau tahu pula kepintaran ku, bukan? Ha ha ha...! Kau
telah termakan pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'. Seben-
tar lagi, cairan darahmu akan menjadi anugerah ke-
jayaan ku! Ha ha ha...!"
Usai tertawa bergelak, wanita buruk rupa itu
bersuit. Dari balik semak belukar, muncul sepuluh
manusia kerdil. Mereka langsung mengangkat tubuh
Dewa Geli beramai-ramai
"Matilah aku...," desah Dewa Geli, menutup
mata rapat-rapat.
LIMA
DI BAWAH siraman cahaya rembulan, tubuh
Dewa Geli terbaring telentang di atas bongkah batu
persegi. Tubuh bocah berpakaian kedodoran itu lemah
lunglai tiada daya. Seluruh kekuatannya telah lenyap
tersedot oleh pengaruh pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'
Putri Budukan. Sementara, batu persegi tempat terbaringnya tubuh si bocah tampak rata dan licin. Karena
tiupan angin malam yang membawa lapisan kabut,
hawa dingin batu itu terasa menusuk tulang dan amat
menyiksa. Namun, Dewa Geli tak dapat berbuat apa-
apa lagi, kecuali pasrah pada keadaan.
Tiga puluh lelaki kerdil menari berputar-putar
mengelilingi tubuh Dewa Geli. Sambil menari, mereka
menyanyi pula dengan diiringi tabuhan tambur dan
genderang. Lelaki-lelaki kerdil yang cuma mengenakan
cawat itu tampak begitu larut dalam kegembiraan. Se-
pertinya, mereka tengah mengadakan pesta yang amat
meriah.
Sekitar dua tombak dari batu persegi tempat
terbaringnya Dewa Geli, Putri Budukan berdiri tegak
mengenakan jubah hitam. Tatapan matanya tajam
menusuk, tertuju ke tumpukan ranting kering yang
berada di hadapannya. Lidah api segera menjilat me-
nyala-nyala saat Putri Budukan melemparkan obor ke
tumpukan ranting kering itu. Lalu, di seantero Puncak
Kupu-kupu terdengarlah ucapan aneh Putri Budukan
yang melengking tinggi. Ucapan wanita buruk rupa itu
penuh getaran yang mampu menciutkan nyali siapa
saja yang mendengarkan.
"Roh-roh yang tersesat dalam gelap..., jiwa-jiwa
manusia mati yang masih belum rela meninggalkan
dunia..., setan gentayangan, jin peri perayangan, ulu-
ulu banaspati..., yang telah menjatuhkan kutuk atas
diriku..., malam ini ku persembahkan satu tebusan
atas kutuk yang ada pada diriku. Walau aku tak me-
nentukan hari terbaik, walau aku tak melakukan upa-
cara penghormatan..., tapi sudilah kalian melepas ku-
tuk ini. Kembalikan wajahku dalam kecantikan. Tam-
bahlah kekuatanku dalam kedahsyatan. Darah seo-
rang manusia pilihan akan menjadi tebusan...."
Usai mengucapkan kata-kata itu, Putri Budu-
kan mengangkat telapak tangan kanannya. Tabuhan
tambur dan genderang langsung terhenti. Terhenti pu-
la tarian dan nyanyian tiga puluh lelaki kerdil. Mereka
berjalan satu persatu dalam kebisuan, lalu memben-
tuk barisan bersap tiga di belakang Putri Budukan.
Setelah keadaan hening berlalu beberapa saat,
Putri Budukan berjalan perlahan mendekati Dewa Geli
yang masih terbaring tanpa daya di atas bongkah batu
persegi. Tatapan Dewa Geli tampak nyalang karena
menyadari bila dirinya akan dijadikan tumbal oleh Pu-
tri Budukan.
"Kutuk akan segera sirna.... Wajahku akan se-
gera berubah ayu jelita.... Kekuatanku akan berlipat
ganda...," ujar Putri Budukan, mendesis lirih seperti
sedang merapal mantera.
Zing...!
Bola mata Dewa Geli langsung melotot besar.
Putri Budukan tiba-tiba menghunus sebilah pedang
panjang. Bilah pedang itu tampak berkilat tertimpa
cahaya api unggun.
Jantung Dewa Geli berdegup amat kencang
manakala melihat Putri Budukan mengambil mangkuk
porselen yang terletak di bawah kakinya. Bayangan
buruk menghantui benak Dewa Geli seketika. Dia ya-
kin bila mangkuk itu akan digunakan Putri Budukan
untuk menampung cairan darahnya.
"Be... benarkah kau akan menyembelih ku...?"
tanya Dewa Geli, terbata-bata. Lidahnya kelu dan ka-
ku.
"Tentu saja! Tentu saja!" jawab Putri Budukan.
"Sudah kubilang, aku akan menggunakan darahmu
untuk merubah raut wajahku yang amat buruk ini.
Aku sudah bilang pula, cairan darahmu bisa melipat
gandakan kekuatanku. Oleh karena itu, bersiap-
siaplah.... Bila kau punya Iman, berdoalah dulu kepa-
da Tuhan-mu...."
Dewa Geli hendak berkata lagi. Tapi, kali ini li-
dahnya sudah amat kaku, sehingga hanya suara desis
yang keluar dari mulutnya. Suara desis itu pun tak ka-
ruan maknanya.
"Tampaknya, kau sudah siap, Bocah Bagus...,"
ujar Putri Budukan, merubah panggilannya pada Dewa
Geli.
Dewa Geli menarik napas panjang, lalu menu-
tup kelopak matanya rapat-rapat. Kematian bocah
yang pernah tinggal di kerajaan para siluman itu sege-
ra tiba karena Putri Budukan telah mengangkat pe-
dangnya....
Sampai tiga tarikan napas, pedang Putri Budu-
kan terus mengambang di atas leher Dewa Geli. Se-
mentara, Putri Budukan sendiri memejamkan mata
dengan mulut terkunci rapat. Entah apa yang sedang
dilakukan oleh wanita jahat itu.
Namun tiba-tiba, Putri Budukan menjerit keras
sekali. Pedang di tangannya terpental jauh, dan mem-
perdengarkan suara berdentang saat jatuh ke tanah.
Mangkuk porselen di tangan kiri Putri Budukan turut
terjatuh ke tanah.
Karena terkejut mendengar jeritan Putri Budu-
kan, Dewa Geli membuka kelopak matanya kembali.
Lewat ekor matanya, dia melihat tubuh Putri Budukan
berdiri terhuyung-huyung. Telapak tangan kiri wanita
berwajah buruk penuh bisul bernanah itu menekap
bahu kanannya yang mengepulkan asap!
"Jahanam! Siapa yang telah datang menggang-
gu pekerjaanku...?!" geram Putri Budukan sambil
mengedarkan pandangan.
Tak ada sahutan.
Suasana sunyi lengang.
"Tampakkan batang hidungmu, Keparat! Kau
telah membokong orang! Apakah ini yang dinamakan
jiwa ksatria?!" seru Putri Budukan, keras menggelegar
karena getaran suaranya dialiri tenaga dalam.
Suasana tetap sunyi lengang.
Namun, ranting pepohonan tampak bergoyang.
Mendadak, Putri Budukan menepukkan telapak
tangannya di atas kepala, memberi isyarat kepada tiga
puluh lelaki kerdil untuk mencari orang yang telah
mencederai bahu kanannya. Tapi sebelum lelaki-lelaki
yang hanya mengenakan cawat itu bergerak berpencar,
tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Tiupan angin
kencang muncul. Ranting dan dahan pohon berpata-
han. Bongkah-bongkah batu yang tak seberapa besar
terangkat dari tanah, lalu melayang jauh dan mengge-
linding ke kaki bukit. Sementara, api unggun yang tadi
dinyalakan oleh Putri Budukan langsung padam, se-
hingga Puncak Kupu-kupu cuma diterangi pantulan
cahaya rembulan.
"Dasar pengecut! Mana jiwa ksatria mu?!" ge-
ram Putri Budukan lagi. "Segera tampakkan batang
hidungmu, Keparat!"
Tetap tak ada sahutan.
Tak juga ada orang lain yang muncul.
Tanpa diperintah lagi, tiga puluh lelaki kerdil
berloncatan dan bergerak menyebar untuk mencari
orang yang telah mencederai bahu kanan Putri Budu-
kan. Sementara, Putri Budukan sendiri juga tampak
berlari-lari mengelilingi Puncak Kupu-kupu. Hingga
beberapa lama, mereka jadi lupa pada Dewa Geli yang
masih terbaring lemah di atas bongkah batu persegi.
Namun tiba-tiba..., terdengar suara lembut seorang lelaki yang melantunkan syair. Tanpa sadar, Putri
Budukan dan tiga puluh lelaki kerdil menghentikan
gerak tubuh mereka. Dan, mereka pun langsung me-
najamkan pendengaran....
Jika orang berbicara tentang jiwa ksatria
Sedikit banyak pasti ada manfaat yang didapat
Namun, manfaat apa yang bisa didapat
Bila yang berbicara adalah biang pelaku tindak
kejam?
Sebelum bicara....
Mestinya orang menengok dulu ke dalam
Apakah perilaku sendiri sudah patut dijadikan
suri teladan?
Apakah pikiran dan jiwa sendiri telah bersih da-
ri nafsu rendah?
Oleh karenanya....
Bertindak dan berperilaku punya aturan
Berbicara pun demikian
Agar tak nanti....
Limbah dibuang memercik ke muka sendiri
Mendengus gusar Putri Budukan mendengar
rentetan kata yang penuh makna sindiran itu. Sekali
lagi, dia mengedarkan pandangan. Dan, terkesiaplah
dia ketika melihat seorang lelaki setengah baya tengah
berdiri tegak di dekat tubuh Dewa Geli.
"Heran aku... " kata Putri Budukan dalam hati.
"Bagaimana orang itu bisa muncul tanpa sepengetahu-
anku? Apakah dia yang telah mencederai bahu kanan-
ku?"
Terbawa rasa penasaran, bergegas Putri Budu-
kan meloncat ke hadapan sosok lelaki yang baru mun-
cul. Ditatapnya sekujur tubuh lelaki itu penuh curiga.
"Hmmm.... Menilik garis-garis wajahmu, aku
seperti pernah mengenal dirimu...," ujar Putri Budu-
kan, lirih seperti menggumam.
Lelaki yang berdiri di dekat Dewa Geli terse-
nyum tipis. Rambutnya yang panjang terayun-ayun
dimainkan hembusan angin. Lelaki itu bertubuh tinggi
tegap dan mengenakan pakaian putih-putih dengan
ikat pinggang kain biru. Berwajah tampan rupawan.
Dan, kulit tubuhnya pun tampak putih bersih seperti
kulit kaum bangsawan yang biasa merawat tubuh.
Dia Ksatria Seribu Syair!
"Sebenarnya, sedari tadi aku telah berada di
tempat ini, Putri Budukan...," ujar bekas putra mahko-
ta itu. "Sengaja aku menyembunyikan tubuhku dengan
ilmu 'Sihir Penutup Raga'. Karena, aku ingin tahu apa
yang akan kau perbuat terhadap bocah yang tak ber-
dosa ini. Ternyata, kau memang seorang manusia ke-
jam berdarah dingin, Putri Budukan.... Terpaksa aku
memukul bahu kananmu!"
"Jahanam! Jadi, benar kau yang telah meng-
gangguku?!" sahut Putri Budukan. "Aku ingat seka-
rang. Bukankah kau Darma Pasulangit alias Wisnu
Sidharta yang bergelar Ksatria Seribu Syair?"
"Tak salah apa yang kau katakan. Aku yang
rendah ini memang Ksatria Seribu Syair adanya," tegas
Ksatria Seribu Syair. "Kau tadi sempat mengumbar ka-
ta-kata, menyebut diriku dengan sebutan pengecut
yang tak punya sifat ksatria. Kini, aku hendak ber-
tanya, siapakah sebenarnya yang pengecut dan tak
punya sifat ksatria itu? Aku atau kau? Memang benar
aku telah memukul bahumu secara diam-diam. Tapi,
tidakkah kau sadar bila aku tak melakukannya, satu
nyawa manusia yang tak berdosa akan menjadi korban
nafsu jahatmu? Bila aku menggagalkan niat jahatmu,
bukankah perbuatanku itu sekaligus menghindarkan
dirimu dari dosa?"
Mendengar kalimat panjang Ksatria Seribu
Syair, Putri Budukan tersenyum mengejek. Dia acung-
kan bilah pedang di tangannya, lurus ke muka lelaki
berparas tampan itu.
"Kau berkata-kata seakan telah menjadi utusan
para dewa di dunia," cibir Putri Budukan. "Aku tahu,
selama lima tahun kau mengasingkan diri di suatu
tempat. Jika kini kau muncul lagi, aku yakin kau telah
berhasil mendalami sebuah ilmu kesaktian hebat. Ta-
pi, janganlah kau berlaku sombong di hadapanku! Iba-
rat sebuah istana, maka Puncak Kupu-kupu ini adalah
istanaku. Kau masuk tanpa permisi dan tanpa izin pu-
la. Kau pun telah mencederai 'sang ratu'. Walau bukan
cedera berat, 'sang ratu' tetap akan menjatuhkan hu-
kuman mati!"
Di ujung kalimatnya, Putri Budukan bersuit
nyaring. Tiga puluh lelaki kerdil langsung menerjang
berhamburan. Dengan membawa senjata pedang dan
golok, mereka menyerang Ksatria Seribu Syair dari
berbagai penjuru.
Namun, Ksatria Seribu Syair tampak tenang-
tenang saja. Sambil mengulum senyum, lelaki tinggi
tegap itu memutar tubuh seraya mengibaskan kedua
telapak tangannya!
Wesss...!
"Wuahhh...!"
Dari kedua telapak tangan Ksatria Seribu Syair
melesat gelombang angin pukulan dahsyat. Tubuh tiga
puluh lelaki kerdil kontan berpentalan, dan jatuh ber-
gulingan ke lereng bukit. Pedang dan golok di tangan
mereka terlepas dari cekalan, turut berpentalan ke
berbagai penjuru!
Anehnya, tubuh Dewa Geli yang masih terbar-
ing lemah di atas bongkah batu persegi tak turut ter-
pental. Bahkan, bergeming pun tidak. Padahal, tubuh
si bocah berada di dekat pusat lesatan gelombang an-
gin ciptaan Ksatria Seribu Syair.
"Keparat!" dengus Putri Budukan.
Tahu kehebatan Ksatria Seribu Syair, wanita
buruk rupa itu langsung menerjang kalap. Pedangnya
berkelebatan, memperdengarkan suara bergemuruh
yang menyakitkan gendang telinga. Namun, Ksatria
Seribu Syair dapat menghindari semua serangan itu
dengan mudah.
Maka, semakin memuncaklah amarah Putri
Budukan. Sambil menggembor keras, tiba-tiba dia
menghentikan serangannya seraya meloncat ke bela-
kang. Pedang di tangannya dia buang begitu saja.
Lewat cahaya rembulan, dapat dilihat bila tu-
buh Putri Budukan bergetar kencang. Kedua pergelan-
gan tangannya berubah warna menjadi hijau kemera-
han. Agaknya, wanita buruk rupa itu telah memper-
siapkan pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'!
Ksatria Seribu Syair menarik napas panjang
beberapa kali. Dia merasakan suatu hawa aneh yang
tiba-tiba mengelilingi tubuhnya. Dia seperti dibawa ke
suatu tempat yang berada di alam sihir. Namun, lelaki
yang sudah matang pengalaman itu tak menjadi panik
ataupun gentar walau dia tahu kalau Putri Budukan
hendak menyerangnya dengan pukulan 'Sihir Penjerat
Arwah'.
Hampir semua tokoh tua di rimba persilatan
tahu kehebatan dan kedahsyatan ilmu pukulan 'Sihir
Penjerat Arwah'. Untuk mendalaminya, setiap orang
harus menghirup suatu hawa udara yang berasal dari
tubuh orang mati. Setelah hal itu dilakukan selama setahun penuh, orang yang bermaksud mendalami ilmu
'Sihir Penjerat Arwah' harus mengadakan upacara pe-
nyembahan setan. Dan apabila upacara itu diterima,
maka dia akan menguasai ilmu 'Sihir Penjerat Arwah'
dengan sempurna.
Salah satu dari kehebatan ilmu hitam itu ada-
lah daya penghancurnya yang dahsyat dan mampu pu-
la menghisap seluruh kekuatan orang. Jika ada orang
terpukul dengan telak, kalau tubuhnya tidak hancur
luluh, seluruh inti kekuatan tubuhnya pasti akan le-
nyap. Dan, hal itu telah dirasakan oleh Dewa Geli.
"Aku tahu kau telah mempersiapkan ilmu pu-
kulan 'Sihir Penjerat Arwah', Putri Budukan," ujar Ksa-
tria Seribu Syair. "Heran aku jadinya. Kalau orang ma-
sih mau dikatakan waras, kenapa mesti menyembah
setan? Bukankah setan lebih rendah derajatnya dari
manusia? Untuk mendapatkan sebuah ilmu kesaktian,
kenapa manusia tidak meminta langsung kepada Sang
Penguasa Alam Semesta? Jika percaya akan kebesa-
ran-Nya dan berusaha sekuat tenaga, keinginan ma-
nusia itu akan terkabulkan. Tuhan yang di atas sana
tak pernah tidur. Dia tahu segalanya. Dia maha pemu-
rah. Kepada-Nyalah seharusnya kita meminta...."
"Tutup mulutmu, Jahanam!" sentak Putri Bu-
dukan. "Aku bukan anak ingusan yang bisa kau bujuk
dengan kata-katamu itu! Sudah kubilang tadi, 'sang
ratu' akan menjatuhkan hukuman mati! Terimalah
hukuman itu sekarang! Hiahhh...!"
Sambil menggembor keras, Putri Budukan
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Dua larik sinar hijau kemerahan yang amat menggi-
dikkan melesat cepat ke arah Ksatria Seribu Syair!
"Manusia jahat pasti akan menerima buah ke-
jahatannya!" Seru Ksatria Seribu Syair.
Lelaki yang diam-diam telah mempersiapkan
ilmu 'Pembalik Tenaga Lindungi Jiwa' itu menarik ke-
dua tangannya ke belakang sejajar pinggang, dan lang-
sung dihentakkan ke depan. Seberkas cahaya putih
kebiruan tiba-tiba melesat, memperdengarkan suara
mendengung seperti ada ribuan lebah sedang terbang!
Lalu....
Blarrrr...!
Blarrr...!
Dua ledakan terdengar menggelegar di angkasa.
Paduan cahaya warna-warni menyembur ke mana-
mana. Hingga untuk beberapa saat, suasana malam di
Puncak Kupu-kupu jadi terang benderang. Namun, di
balik keindahan yang sempat tercipta, tampaklah satu
pemandangan menggiriskan.
Gumpalan tanah dan bongkah-bongkah batu
berhamburan ke segenap penjuru. Batang-batang po-
hon tumbang, lalu melayang tinggi dan jatuh berde-
bam di lereng bukit!
Jerit panjang menyayat hati terdengar manaka-
la tubuh Putri Budukan jatuh bergulingan ke tanah.
Wanita buruk rupa itu hendak bangun, tapi seluruh
kekuatannya telah hilang! Dan, dia pun cuma dapat
berbaring telentang sambil mengaduh-aduh kesakitan.
Ilmu pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' yang dilan-
carkan Putri Budukan terpental balik, terhantam oleh
kedahsyatan ilmu pukulan 'Pembalik Tenaga Lindungi
Jiwa' Ksatria Seribu Syair. Akibatnya, ilmu pukulan
jahat yang bersumber dari pemujaan setan itu memu-
kul Putri Budukan sendiri tanpa dapat dielakkan lagi!
"Orang menanam padi tak akan memetik ila-
lang," ujar Ksatria Seribu Syair dengan suara lembut
berwibawa. "Jika ingin memetik buah kebaikan, ber-
buatlah baik terlebih dulu. Kejahatan hanya akan
mendatangkan celaka. Dan, kau telah merasakannya,
Putri Budukan!"
Usai berkata, lelaki berpakaian putih-putih itu
menyambar tubuh Dewa Geli yang masih terbaring le-
mah di atas bongkah batu persegi. Di lain kejap, sosok
Ksatria Seribu Syair lenyap dari pandangan. Tinggallah
Putri Budukan yang dikerumuni tiga puluh lelaki ker-
dil yang juga telah menderita luka....
ENAM
KAU jangan ngelantur, Pak Tua!" bentak Ke-
muning dengan raut wajah merah padam. "Kalau se-
tiap manusia yang masuk ke tempat ini tak akan bisa
keluar lagi, lalu kenapa kau turut masuk juga?! Apa-
kah kau punya izin dari Raja Penyasar Sukma hingga
kau dapat keluar dari tempat ini sewaktu-waktu...?"
"Tidak! Tidak!" sahut Setan Bodong, tetap ter-
baring di cekungan tanah. "Bagaimana aku bisa keluar
dari tempat terkutuk ini? Menggerakkan jari-jari tan-
gan saja, aku tak mampu!"
Kemuning hendak menyahuti ucapan Setan
Bodong, namun keburu didahului oleh Pendekar Bo-
doh.
"Katakan dulu kepadaku, Pak Tua, kau ini se-
benarnya anak buah Raja Penyasar Sukma atau justru
malah musuh orang jahat itu?" ujar Seno seraya ber-
jongkok di sisi kiri Setan Bodong.
"Memangnya kenapa?" Setan Bodong balik ber-
tanya. "Kalau aku anak buah Raja Penyasar Sukma,
apa urusanmu? Kalaupun aku musuh orang itu, apa
pula yang kau inginkan dariku?"
Mendengar kata-kata Setan Bodong yang ter-
dengar menyelidik, Pendekar Bodoh nyengir kuda seje-
nak. Dengan tatapan matanya, Pendekar Bodoh meme-
riksa keadaan kakek gendut itu.
"Inti kekuatan tubuh kakek ini telah lenyap...,"
kata Seno dalam hati. "Dia tak punya ilmu kesaktian
lagi. Tapi, kenapa dia tampak begitu sombong dan
angkuh?"
"Hei! Kenapa kau malah diam saja?!" tegur Se-
tan Bodong.
"Eh, ya, ya! Aku akan menjawab pertanyaan-
mu, Pak Tua," sahut Seno Prasetyo, tergagap. "Jika
kau memang anak buah Raja Penyasar Sukma, aku
akan pergi. Biarlah rayap dan cacing tanah yang akan
melumatkan tubuhku.... Tapi, kalau kau musuh orang
jahat itu, kita bisa bekerja sama untuk mencari jalan
keluar...."
Pendekar Bodoh berkata amat lugu, tanpa ada
yang ditutup-tutupi. Setan Bodong yang mendengar-
nya malah tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Aku tahu kau punya sifat jujur
dan bisa dipercaya, Bocah Bagus. Karena kau telah
berkata apa adanya, ada baiknya bila kukatakan siapa
diriku sebenarnya.... Aku bukan anak buah Raja Pe-
nyasar Sukma! Bukan pula musuhnya!"
"Lalu, apa? Sahabat? Atau barangkali, kau tak
pernah bertemu langsung dengan orang jahat itu? Kau
mendengar nama Raja Penyasar Sukma hanya lewat
desas-desus saja?" kejar Seno, nyerocos panjang.
"Ha ha ha...!" Setan Bodong tertawa lagi. "Siapa
bilang aku tak pernah bertemu langsung dengan Raja
Penyasar Sukma? Justru aku mengenalnya dengan
baik seperti aku mengenal diriku sendiri!"
"Kalau begitu, kau pasti sahabat karibnya!" tebak Pendekar Bodoh.
"Bukan!" sergap Setan Bodong.
"Kau jangan bicara bertele-tele, Pak Tua!" sen-
tak Dewi Pedang Kuning. Tiba-tiba. "Aku dan saha-
batku ini sedang dilanda kebingungan! Jangan kau
menambah kebingungan kami!"
"Siapa yang menambah kebingungan kalian,
Anak Manis?" sahut Setan Bodong. "Aku bicara hal
yang sebenarnya. Kalau kalian tak mengerti, itu salah
kalian sendiri! Aku memang bukan anak buah Raja
Penyasar Sukma! Bukan pula musuh ataupun sahabat
orang itu!"
"Lalu, kau apanya?" kejar Pendekar Bodoh den-
gan sabar. "Kau katakan tadi, kau mengenal baik Raja
Penyasar Sukma. Apakah kau saudaranya? Atau
mungkin malah bapaknya?"
Mendengar ucapan Seno, Setan Bodong tertawa
terbahak-bahak. "Ha ha ha...! Sedari tadi tebakanmu
tak ada yang benar! Ha ha ha...! Baiklah, daripada
nanti kau bertambah penasaran, kukatakan saja bila
aku adalah guru Raja Penyasar Sukma!"
"Jahanam!" geram Seno tiba-tiba. "Kalau begitu,
aku harus membunuhmu, Pak Tua! Raja Penyasar
Sukma adalah pembunuh ibuku! Kau pasti orang jahat
juga! Kau pantas dihukum mati!"
"Uts tunggu dulu!" cegah Setan Bodong yang
melihat Seno hendak menjatuhkan pukulan ke kepa-
lanya. "Aku bukanlah orang yang takut mati. Siksaan
yang sedang ku rasakan ini pun sebenarnya sudah le-
bih menyakitkan dari kematian. Tapi..., cobalah dengar
dulu penjelasanku.... Aku tahu kau amat jujur, Bocah
Bagus. Tapi..., kau harus dapat berpikir lebih dewasa.
Jangan sampai kejujuranmu itu justru akan mencela-
kakan dirimu...."
"Apa maksudmu, Pak Tua?!" dengus Seno, te-
ringat sosok ibunya yang telah dibunuh oleh Banyak
Langkir atau Raja Penyasar Sukma.
"Sebagai manusia yang dikaruniai akal budi,
mestinya kau selalu mengasah otak, agar pikiran wa-
wasan mu bertambah luas...," ujar Setan Bodong pe-
nuh kesungguhan, tanpa punya maksud mengolok-
olok Seno. "Tidak semua penjahat punya guru orang
jahat. Tidak semua orang baik, gurunya juga baik.
Dunia ini sudah tua dan rapuh. Kalau ada banyak ke-
jadian aneh, itu tandanya dunia akan segera kiamat.
Tapi..., bukanlah suatu keanehan kalau ada seorang
guru yang baik punya murid orang jahat. Bukankah
manusia punya sifat teledor sehingga salah dalam
menjatuhkan pilihan?"
"Hmmm.... Tampaknya, kau memang pandai
memutar lidah, Pak Tua," sahut Seno. "Aku bisa men-
gerti apa yang kau katakan. Tapi, tentu saja aku tak
mau percaya begitu saja! Katakan asal-usulmu lebih
jelas! Kalau memang kau orang baik-baik, mungkin
aku bisa menolongmu. Dan mungkin pula, kau pun
bersedia menolongku...."
Mendengar ucapan Pendekar Bodoh yang terus
terang itu, Setan Bodong tertawa untuk kesekian ka-
linya.
"Ha ha ha...! Dunia ini memang seringkali tidak
adil. Aku sudah memperkenalkan diri. Tapi, dua orang
yang ada di hadapanku ini terus saja bertanya tanpa
terlebih dulu menyebutkan nama dan gelar. Ya! Dunia
ini memang seringkali tidak adil! Ha ha ha...!"
Berkerut kening Seno seketika. Ditatapnya le-
kat-lekat wajah Setan Bodong yang masih terbaring te-
lentang di cekungan tanah.
Karena merasa tak enak hati mendengar sindiran kakek gendut itu, akhirnya Seno berkata, "Aku
bernama Seno Prasetyo. Kalau ingin tahu gelarku, aku
akan mengatakan. Tapi, harap kau tak menertawa-
kan...."
"Hmmm.... Apa pun gelar orang, itu hanya se-
buah sebutan untuk memudahkan orang mengenal
dan memanggil. Yang terpenting adalah perbuatan si
pemilik gelar itu...," ujar Setan Bodong.
"Benar. Tapi, sekali lagi, kuharap kau tak akan
menertawakan. Gelarku tak enak didengar. Orang-
orang telanjur menyebutku sebagai Pendekar Bo-
doh...," beri tahu Seno.
"Seno Prasetyo?" ulang Setan Bodong.
Kakek berkepala gundul licin itu hendak terta-
wa, tapi cepat ditahannya keinginan itu karena tak
mau menyinggung perasaan Seno.
"Ya! Ya, aku bisa mengerti...," ujar Setan Bo-
dong kemudian. "Orang-orang menyebut mu sebagai
Pendekar Bodoh, mungkin karena kau tampak begitu
jujur dan lugu.... Dunia yang sudah uzur ini memang
telah ternoda oleh tipu muslihat manusia. Kalau orang
tidak bisa menipu, seringkali dia malah dikatakan bo-
doh.... Mungkin itu yang terjadi pada dirimu, Bocah
Bagus...."
Kakek gendut itu mengalihkan pandangan ke
wajah Dewi Pedang Kuning seraya bertanya, "Lalu, kau
siapa, Anak Manis?"
"Aku Kemuning," jawab Kemuning, singkat.
"Gelarmu?"
"Perlukah itu kukatakan?" Kemuning berkata
ketus dan tampak tak bersahabat.
Setan Bodong menyungging senyum getir, lalu
berkata, "Kalau tak mau memperkenalkan diri, aku
pun tak akan memperkenalkan diri pula. Pergilah....
Lebih baik aku menunggu ajal di tempat ini tanpa seo-
rang teman...."
"Jangan marah dulu, Pak Tua...," sergah Pen-
dekar Bodoh. "Sahabatku itu bergelar Dewi Pedang
Kuning.... Oleh karena kau sudah tahu siapa kami
berdua, sekarang katakan dengan jelas asal-usulmu.
Cepat saja! Karena, ada puluhan makhluk jahat yang
sedang mengejar kami...."
Setan Bodong menarik napas panjang beberapa
kali. Setelah menatap wajah Seno dan Kemuning ber-
gantian, dia berkata, "Aku tak tahu dosa apa yang te-
lah kuperbuat.... Aku tak habis mengerti, kenapa sura-
tan ini terjadi pada diriku...?"
"Hei! Apa yang kau katakan?!" tegur Seno. "Aku
ingin kau menceritakan asal-usulmu! Aku tak mau
mendengar keluh kesah mu! Aku sedang bingung, Pak
Tua. Kau tadi tertawa terus, sekarang tampak begitu
sedih.... Sebenarnya, apa yang ada di hatimu, Pak
Tua?"
"Hmmm.... Kalau kau ingin tahu asal-usulku,
tentu saja kau harus mau mendengar cerita sedih ku,"
sahut Setan Bodong. "Tapi, kuharap kau tidak salah
mengerti. Aku bukan sedang berkeluh-kesah...."
Usai mengatakan kalimat itu, Setan Bodong
menatap lekat wajah Seno. Lewat sorot matanya, dia
seakan sedang melongok isi hati Seno.
"Seperti kukatakan tadi, aku memang guru Ba-
nyak Langkir yang lebih kau kenal dengan sebutan Ra-
ja Penyasar Sukma...," lanjut Setan Bodong. "Namun,
aku menjadi guru Banyak Langkir baru lima tahun
yang lalu. Sebelumnya, dia berguru kepada Iblis Racun
Kembang. Tentang guru pertama Banyak Langkir itu,
aku tak bisa bercerita banyak. Hanya saja, bisa kuka-
takan bila dia masih hidup dan tinggal di Lembah Racun...."
Tiba-tiba, sinar mata Setan Bodong meredup.
Air mukanya berubah kelam. Sesaat, dia pejamkan
matanya seperti tengah merasakan himpitan yang san-
gat menyakitkan hati. Seno dan Kemuning jadi iba ke-
tika kakek gendut itu batuk-batuk.
"Aku tak apa-apa.... Jangan kalian pandangi
aku seperti itu," tegur Setan Bodong.
"Aku tahu ilmu kesaktianmu telah lenyap, Pak
Tua," ujar Pendekar Bodoh. "Tapi, aku tak tahu apa-
kah kau sedang menderita luka dalam?"
"Tak salah apa yang kau katakan. Ilmu kesak-
tianku memang telah lenyap," sahut Setan Bodong.
"Tapi, sekali lagi, kau jangan menatap ku seperti itu.
Aku tidak terluka dalam.... Lagi pula, aku tak mau ada
orang yang menaruh iba atas penderitaan ku ini...."
"Tapi, Pak Tua, tampaknya kau tersiksa seka-
li...," desah Pendekar Bodoh yang tiba-tiba merasa
amat kasihan pada Setan Bodong. "Siapa yang telah
melenyapkan Ilmu kesaktianmu, Pak Tua?"
"Muridku sendiri."
"Raja Penyasar Sukma?"
"Ya. Lima tahun yang lalu, Banyak Langkir me-
nemuiku di Pulau Kayangan. Dia datang dengan mem-
bawa Kitab Tiga Dewa...."
Setan Bodong menghentikan bicaranya untuk
menarik napas panjang. Wajahnya terlihat semakin
muram. Lalu dengan suara bergetar, dia lanjutkan ce-
ritanya.
"Banyak Langkir meminta ku untuk memban-
tunya mempelajari tiga macam ilmu kesaktian yang
terdapat dalam Kitab Tiga Dewa. Karena dia menun-
jukkan sikap baik dan tampak penuh semangat dalam
mempelajari ilmu kesaktian, aku bersedia membantunya. Kebetulan pula aku belum punya murid. Walau
umur Banyak Langkir sudah hampir setengah abad,
kupikir tak ada salahnya bila aku mengangkatnya se-
bagai murid. Lalu.... Terjadilah peristiwa yang membu-
atku amat menderita ini.... Aku teledor.... Inilah buah
dari kesalahanku sendiri...."
Seno dan Kemuning saling pandang. Keketusan
Kemuning sudah tak tampak lagi. Seperti Seno, gadis
cantik itu juga larut dalam suasana sedih. Namun, me-
reka tak hendak berkata apa-apa. Mereka cuma me-
nunggu Setan Bodong untuk melanjutkan ceritanya
kembali.
"Tiga purnama yang lalu, Banyak Langkir be-
nar-benar dapat menguasai tiga ilmu kesaktian yang
terdapat dalam Kitab Tiga Dewa...," tutur Setan Bo-
dong kemudian. "Kesadaranku datang terlambat. Aku
baru menyadari kesalahanku ketika Banyak Langkir
berniat membunuhku.... Niatnya itu tak kesampaian
karena aku mempunyai sebuah ilmu mukjizat yang
bernama 'Jiwa Rangkap Perpanjang Usia'. Tapi..., dia
tahu kelemahan ku.... Dia tak berhasil membunuhku,
tapi seluruh kesaktianku dimusnahkannya...."
"Dengan cara apa, Pak Tua?" tanya Seno, pena-
saran. Pemuda remaja ini segera ingat Mahisa Lodra
atau Setan Selaksa Wajah yang juga telah mengkhia-
nati gurunya sendiri dengan membuat lumpuh kedua
kaki Dewa Dungu.
Untuk kesekian kalinya, Setan Bodong menatap
lekat wajah Pendekar Bodoh. Lalu katanya, "Kau su-
dah tahu kalau aku bergelar Setan Bodong, bukan?
Kau lihat sekarang ini, perutku memang gendut, tapi
tidak bodong, bukan? Pusar ku biasa-biasa saja...."
"Apa hubungannya tindakan Banyak Langkir
dengan gelarmu itu?" tanya Seno, penasaran.
"Ketahuilah, Bocah Bagus..., sebenarnya aku
punya pusar sebesar buah terong tua. Oleh karena itu-
lah orang-orang memberi ku gelar Setan Bodong. Ta-
pi..., seperti yang kau lihat sekarang, pusar ku telah
hilang. Banyak Langkir telah mencopotnya...."
"Mencopotnya?" kejut Seno.
"Ya. Setelah gagal membunuhku, dia mencopot
pusar ku saat aku sedang bersemadi. Akibatnya, selu-
ruh ilmu kesaktianku lenyap...."
"Astaga! Kejam benar muridmu itu, Pak Tua,"
dengus Seno.
"Bukan hanya itu perlakukan kejam Banyak
Langkir," sahut Setan Bodong. "Karena takut aku akan
dapat mengembalikan ilmu kesaktianku, tubuhku
yang sudah tak bisa digerakkan lag dibawanya ke tem-
pat ini..."
"Jadi, selama tiga purnama penuh kau berada
di tempat ini, Pak Tua? Siapa yang memberimu ma-
kan?"
"Aku tak makan ataupun minum. Hanya berkat
kebesaran Tuhan, jika kau dapat menemukan aku da-
lam keadaan bernyawa."
Usai berkata mendadak kakek gendut itu me-
natap tajam perut Pendekar Bodoh.
"Ada apa, Pak Tua?" tanya Seno, heran.
"Walau ilmu kesaktianku telah lenyap, tapi
penglihatanku masih tajam," ujar Setan Bodong penuh
kesungguhan. "Aku tahu di dalam perutmu ada batu
mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...."
"Benar!" tegas Seno. "Tapi, aku tak dapat men-
geluarkannya lagi."
"Hmmm.... Begitu? Karena itukah kau tidak bi-
sa keluar dari tempat ini?"
"Ya!" sahut Seno.
"Sebelum batu mustika 'Menembus Laut Ber-
napas Dalam Air' masuk ke perutmu, apakah kau me-
nelan suatu benda ajaib lainnya?"
Kening Seno berkerut rapat. Dia berusaha
mengingat-ingat kejadian yang dialaminya sebelum
masuk ke Lembah Rongga Laut. Tak lama kemudian,
dia berkata....
"Ya! Ya, Pak Tua.... Sebelum batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' masuk ke pe-
rutku, aku telah menelan Kodok Wasiat Dewa."
"Kodok Wasiat Dewa?" ulang Setan Bodong.
Seno mengangguk
"Astaga! Berarti kau punya satu keberuntungan
besar, Bocah Bagus. Kalau tidak berjodoh, siapa pun
tak akan pernah bisa mendapatkan benda ajaib itu...."
"Lalu, apa hubungannya Kodok Wasiat Dewa
yang ku telan dengan batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air', Pak Tua?" tanya Seno, semakin
penasaran.
"Kedua benda yang sama-sama sulit dapatkan
itu telah menyatu di dalam perutmu!" ujar Setan Bo-
dong.
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh dengan
wajah pucat pasi. Bayangan buruk segera berkelebatan
di benak pemuda lugu ini.
"Andai ilmu kesaktianku tidak musnah, aku
pasti bisa memisahkan lagi kedua benda ajaib yang
ada di dalam perutmu itu, Bocah Bagus...," kata Setan
Bodong, lirih seperti tengah mengharap sesuatu yang
tak akan pernah didapatkannya.
"Adakah suatu cara untuk mengembalikan ilmu
kesaktianmu, Pak Tua?" tanya Kemuning yang sedari
tadi cuma diam. Ucapannya terdengar ramah dan tak
ketus lagi.
"Ada!" jawab Setan Bodong. "Seluruh ilmu ke-
saktianku akan kembali seperti sediakala jika ada
orang yang dapat memasangkan kembali pusar ku..."
"Aku pasti bisa! Aku pasti bisa!" tawar Seno
tanpa pikir panjang. "Tapi..., kalau Banyak Langkir te-
lah menghancurkan pusar mu, uh....,"
Pendekar Bodoh menggaruk kepalanya yang tak
gatal seraya cengar-cengir. Sementara, Kemuning lang-
sung mengajukan pertanyaan pada Setan Bodong.
"Benarkah Banyak Langkir telah menghancur-
kan pusar mu, Pak Tua?"
"Itu memang yang dia inginkan," jawab Setan
Bodong. "Tapi, di dunia ini tak satu pun senjata tajam
yang dapat menghancurkan pusar ku...."
"Berarti, pusar mu masih ada?" tebak Kemun-
ing.
"Begitulah. Tapi, Banyak Langkir menyembu-
nyikan di suatu tempat."
"Kau tahu di mana?"
"Aku tak tahu."
Kemuning terdiam.
Seno cengar-cengir terus.
Setan Bodong menatap lekat wajah Seno.
"Hmmm.... Begini saja, Bocah Bagus..., kau
ajak sahabatmu itu mencari pusar ku. Kalau sudah
ketemu, kau bantu aku lagi memasang kembali pusar
ku itu. Lalu, ganti aku yang akan membantumu memi-
sahkan dua benda ajaib yang ada di dalam perutmu.
Bagaimana?" cetus Setan Bodong yang penuh harapan.
Seno menggaruk kepalanya lagi. Dia heran
mendengar cerita Setan Bodong. Kenapa pusar kakek
gendut itu bisa dicopot dan dipasang lagi?
"Ya! Ya! itu gagasan yang bagus, Pak Tua,"
sambut Seno kemudian. "Tapi, di mana aku harus
mencari pusar mu?"
"Aku yakin Banyak Langkir menyembunyikan-
nya di Lembah Rongga Laut ini," ujar Setan Bodong.
"Bila kau menemukan sebuah mata air yang menyem-
burkan air merah dan terasa amat dingin, di situlah
pusar ku berada."
"Aku tahu!" seru Seno tiba-tiba.
"Ya! Aku juga tahu!" seru Kemuning pula.
Setan Bodong cuma membelalakkan mata pe-
nuh rasa tak percaya....
TUJUH
PERLAHAN kelopak mata Dewa Geli terbuka.
Diedarkannya pandangan beberapa saat. Namun, yang
terlihat hanya keremangan malam dan sepi suasana
kaki bukit.
Dalam keadaan tetap duduk bersila, bocah be-
rambut tipis itu mencoba mengalirkan kekuatan tena-
ga dalam ke bagian-bagian tubuh yang diinginkannya.
Semua berjalan dengan baik. Itu berarti inti kekuatan
tubuhnya telah kembali. Pengaruh pukulan 'Sihir Pen-
jerat Arwah' Putri Budukan telah lenyap.
Tentu saja Dewa Geli merasa girang. Bukan sa-
ja telah lolos dari lubang maut, dia pun telah lepas dari
siksaan yang membelenggunya. Namun, kening si bo-
cah berkerut rapat. Ada sesuatu yang tak mengenak-
kan hatinya.
Tanpa bangkit dari duduk bersilanya, bocah
berpakaian kedodoran itu mengedarkan pandangan la-
gi. Kerut di keningnya makin rapat. Apa yang tengah
dia cari tak terlihat olehnya.
"Aku tahu jiwaku yang cuma selembar ini baru
saja diselamatkan orang...," ujar Dewa Geli dengan su-
ara bergetar. "Aku tahu, bukan saja jiwaku telah terse-
lamatkan inti kekuatan tubuhku pun telah kembali
seperti sediakala. Oleh karenanya, patutlah aku meng-
haturkan beribu terima kasih atas budi baik ini. Na-
mun..., kepada siapa aku berkata, dan kepada siapa
pula aku akan membalas budi di kelak hari? Tidakkah
sang pendekar budiman sudi menampakkan diri. Agar
dapat aku yang buruk rupa ini berkenalan. Agar tak
nanti aku yang hina ini terbelenggu rasa penasaran...."
Mendadak, tiupan angin berdesir aneh. Hawa
bukit yang sudah dingin menjadi lebih dingin. Dewa
Geli terkesiap manakala mendengar lantunan syair
yang terasa begitu dekat dengan telinganya....
Di antara sesama manusia....
tak ada istilah menanam budi
Apa yang telah kulakukan tak lain dari
kewajiban di antara sesama umat
Yang Kuasa menciptakan manusia adalah untuk
tolong-menolong dan bantu-membantu
Andai ada seorang manusia sanggup memberi
uluran tangan
Tapi tak memberi bantuan
Berdosalah orang itu
Karena, dia telah lupa pada kodratnya
Sebagai makhluk Tuhan yang harus selalu
berbuat baik kepada sesama
Kenapa tenaga mesti disimpan dan tangan
disembunyikan bila ada yang memerlukan?
Ketahuilah, Bocah....
Merasa berhutang budi itu bagus
Agar perbuatan baik dapat kau jadikan suri teladan
Tapi, sungguh aku tak mengharap apa-apa da-
rimu
Syukurlah bila aku telah dapat membantu
Tuhan yang tahu
Dia-lah jua tempatku memohon sesuatu....
Melonjak kaget Dewa Geli. Tiba-tiba, dia meli-
hat seorang lelaki setengah baya tengah duduk bersila
di atas lempengan batu, tak seberapa jauh dari hada-
pannya. Semula, Dewa Geli tak melihat siapa-siapa,
tapi kenapa orang itu bisa mendadak berada di tempat
ini?
"Menilik makna yang tersirat dalam bait syair
mu, aku tahu kaulah dewa penolongku...," ujar Dewa
Geli, bangkit berdiri seraya membungkuk hormat. "Me-
rasakan makna yang tersirat dari bait syair mu pula,
aku tahu kau seorang pendekar berbudi luhur. Aku
yang hina-dina ini patut menghaturkan beribu terima
kasih dan berjuta rasa hormat..."
Sosok lelaki berpakaian putih-putih yang ten-
gah duduk di lempengan batu tampak tersenyum tipis.
Rambutnya yang tergerai panjang berkibar dipermain-
kan hembusan angin. Dengan suara lembut berwiba-
wa, dia berkata...
"Wujud mu hanya seorang bocah sepuluh ta-
hunan, tapi kau telah memiliki peradatan dan sopan-
santun yang sedemikian tinggi. Mungkinkah dalam tu-
buhmu tersimpan jiwa seorang tokoh tua...?"
Dewa Geli membungkuk hormat lagi. Lain dari
biasanya, tak hendak dia tertawa. Karena kalau hal itu
dia lakukan, jelas tak pada tempatnya.
"Terimalah salam hormatku...," sahut bocah
berkulit hitam itu. "Tepatlah apa yang kau katakan,
wahai Pendekar Budiman. Aku yang rendah ini me-
mang telah berusia seratus tahun. Karena lebih dari
separuh umurku ku habiskan di Istana Abadi, negeri
para siluman, jadilah aku tetap berwujud seorang bo-
cah seperti ini. Aku bernama Jaka Tunggal. Namun se-
jak setahun yang lalu, orang-orang biasa menyebutku
sebagai Dewa Geli...."
"Dewa Geli?" ulang lelaki berpakaian putih-
putih. "Hmmm.... Tampaknya, selama ini aku tak per-
nah mendengar gelarmu itu, Bocah. Maafkan aku bila
belum mengenalmu. Sebenarnya, sejak lima tahun
yang talu, aku telah mengasingkan diri. Hanya karena
ada satu urusan penting, terpaksa aku keluar lagi dari
tempat pengasingan ku untuk berbaur dengan sesama
manusia...."
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu bangkit dari
duduknya. Setelah menarik napas panjang, dia lan-
jutkan lagi ucapannya.
"Kupikir, kau sudah tak lagi membutuhkan
bantuanku. Inti kekuatan tubuhmu telah kembali. Ti-
ba saatnya untukku undurkan diri...."
"Tunggu...," cegah Dewa Geli saat melihat dewa
penolongnya hendak meninggalkan tempat. "Seumur
hidup aku akan terus terbelenggu rasa penasaran
apabila Pendekar Budiman tak menyebutkan nama
ataupun gelar...."
"Hmmm.... Nama dan gelarku kurasa tak begitu
penting. Untuk apa kau tahu nama dan gelarku kalau
aku tak mengharap apa-apa darimu. Apa yang kula-
kukan hanyalah suatu kebetulan yang tak pernah le-
pas dari takdir Sang Penguasa Tunggal...."
Usai berkata, lelaki berpakaian putih-putih
menjejak lempengan batu. Namun sebelum tubuhnya
berkelebat lenyap, terdengar suara berdesing karena
ada sabetan senjata tajam. Lelaki berpakaian putih-
putih cepat mengelakkan tubuhnya karena sabetan
senjata tajam itu sengaja ditujukan kepada dirinya.
"Mau pergi ke mana kau, Darma Pasulangit?!"
Terdengar sebuah bentakan. Di tempat itu ter-
nyata telah muncul seorang nenek berpakaian serba
kuning. Di tangan kanannya tercekal sebilah pedang
yang terbuat dari logam pilihan berwarna kuning. Ne-
nek itulah yang baru saja menyerang lelaki berpakaian
putih-putih. Dia tak lain dari Dewi Pedang Halilintar!
"Nini Kembangsari...," desis lelaki berpakaian
putih-putih, kaget. "Kedatanganmu sungguh menge-
jutkan aku. Lebih terkejut lagi aku melihatmu marah-
marah, bahkan menyerangku.... Ada apakah gerangan,
Nini Kembangsari?"
"Jangan bermanis mulut atau bersilat lidah la-
gi, Darma Pasulangit!" bentak Dewi Pedang Halilintar
yang punya nama kecil Nini Kembangsari. "Aku tahu
kelicikan dan kebusukan hatimu. Sejak aku dapat
membuka kedokmu tadi siang, aku terus mencarimu.
Kini, jangan kau lari lagi! Dunia akan semakin kacau
apabila tubuhmu masih menyimpan nyawa!"
Di ujung kalimatnya, Dewi Pedang Halilintar
memasang kuda-kuda. Sikap dan tatapan matanya
menunjukkan bahwa nenek itu benar-benar bermak-
sud membunuh lelaki berpakaian putih-putih yang tak
lain dari Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta alias
Ksatria Seribu Syair
"Tunggu!" seru Dewa Geli seraya meloncat ke
hadapan Dewi Pedang Halilintar. "Selama ini, aku
mengenalmu sebagai seorang pendekar wanita yang
selalu membela kaum lemah. Tapi, kenapa malam ini
aku melihatmu telah berubah sebagai seorang manu-
sia yang haus darah, Dewi Pedang Halilintar? Lelaki
berpakaian putih-putih itu adalah dewa penolongku.
Kenapa kau hendak membunuhnya?"
Dewi Pedang Halilintar menatap tajam wajah
Dewa Geli. "Kau jangan terkecoh oleh segala ucapan
dan tingkah laku baiknya, Bocah! Bukankah kau ingin
menjatuhkan hukuman terhadap Hantu Pemetik Bun-
ga? Kalau memang begitu maumu, segera bantu aku
membinasakan lelaki busuk itu!"
"Aku tak mengerti apa yang kau katakan...,"
sahut Dewa Geli dengan kening berkerut rapat.
"Ketahuilah, Bocah, siang tadi di tepi aliran
sungai yang tak seberapa jauh dari Kota Gambiran,
aku melihat lelaki busuk itu duduk bersila dalam si-
kap semadi. Dia itu Hantu Pemetik Bunga! Aku mem-
buka topengnya! Tahulah aku bila dia ternyata Darma
Pasulangit yang sebelumnya bergelar Ksatria Seribu
Syair!"
Kaget tiada terkira Dewa Geli mendengar kete-
rangan Dewi Pedang Halilintar. Setengah tak percaya,
Dewa Geli mengarahkan pandangan ke sosok Ksatria
Seribu Syair. (Untuk mengetahui asal mula timbulnya
rasa benci Dewi Pedang Halilintar terhadap Ksatria Se-
ribu Syair, silakan simak serial Pendekar Bodoh dalam
episode: "Ratu Perut Bumi").
"Benarkah kau Hantu Pemetik Bunga?" tanya
Dewa Geli dengan tatapan nanar.
"Aku... aku bukan orang yang kau sebutkan
itu...!" tolak Ksatria Seribu Syair, agak tergagap. Piki-
rannya melayang ke peristiwa tadi slang. Waktu itu, di-
rinya yang berada dalam penyamaran sebagai Ksatria
Topeng Putih tengah menerapkan ilmu 'Mencari Jejak
Tunjukkan Tempat' untuk mencari jejak Pendekar Bo-
doh. Karena rohnya telah lepas dari badan kasarnya,
dia tak dapat mengelak ketika Dewi Pedang Halilintar
membuka topeng yang dikenakannya. Dan karena to-
peng itu sama persis dengan topeng yang dikenakan
Hantu Pemetik Bunga, Dewi Pedang Halilintar me-
nyangkanya benar-benar sebagai Hantu Pemetik Bun-
ga.
"Jahanam kau!" geram Dewi Pedang Halilintar.
"Kau tak perlu mungkir, Darma Pasulangit! Dosa-dosa
mu telah bertumpuk. Kini tiba saatnya kau memper-
tanggungjawabkan seluruh dosamu itu!"
"Nini Kembangsari!" bentak Ksatria Seribu Syair
yang tentu saja tak mau dituduh sembarangan. "Aku
bukan Hantu Pemetik Bunga! Aku tahu kau menyim-
pan dendam kesumat terhadap orang itu. Tapi, aku
benar-benar bukan Hantu Pemetik Bunga!"
"Jahanam! Rupanya, kau hendak mungkir lagi!"
Dewi Pedang Halilintar balas membentak. "Aku bisa
membuktikan bila kau memang Hantu Pemetik Bunga!
Keluarkan benda yang menonjol di balik pakaianmu
itu!"
"Apa hubungannya Hantu Pemetik Bunga den-
gan benda milikku ini?" ujar Ksatria Seribu Syair, me-
raba benda bulat gepeng yang berada di balik bajunya.
"Aku tahu benda itu adalah topeng putih yang
biasa kau gunakan untuk melakukan perbuatan ja-
hatmu sebagai Hantu Pemetik Bunga!" seru Dewi Pe-
dang Halilintar, amat yakin.
Dewa Geli yang sejak lama ingin menghukum
Hantu Pemetik Bunga tampak geleng-geleng kepala.
Walau dalam dirinya masih tersimpan rasa kagum dan
hormat kepada Ksatria Seribu Syair, dia menatap den-
gan pandangan penuh selidik.
"Hi hi hi...," kali ini Dewa Geli tak dapat mena-
han tawanya. "Dunia ini tampaknya sudah edan! Hi hi
hi...! Banyak orang baik tiba-tiba berubah jadi jahat,
itu karena dunia memang sudah edan! Hi hi hi...! Agar
semuanya lebih jelas, turuti saja apa yang dikatakan
Dewi Pedang Halilintar itu, Pendekar Budiman...!"
Ksatria Seribu Syair yang tak mau penyama-
rannya sebagai Ksatria Topeng Putih diketahui orang
tentu saja menolak. Dia cekal erat benda bulat gepeng
yang berada di balik pakaiannya.
"Hmmm.... Kau lihat sendiri, Bocah..," ujar De-
wi Pedang Halilintar kepada Dewa Geli. "Dia tak mau
mengeluarkan topeng itu karena takut kebusukannya
akan terbongkar! Tapi, percayalah kepadaku, Bocah,
dia itu memang Hantu Pemetik Bunga!"
"Hi hi hi...!' Dewa Geli tertawa lagi. "Kalau se-
muanya belum jelas, mana aku berani turun tangan?
Agar aku mendapat keyakinan, hi hi hi..., begini sa-
ja..."
Sambil tertawa mengikik, tiba-tiba bocah ber-
pakaian kedodoran itu menghadangkan telapak tan-
gannya ke depan. Sebuah kekuatan tenaga dalam yang
bersifat mengisap tiba-tiba melesat ke arah Ksatria Se-
ribu Syair!
Berseru kaget Ksatria Seribu Syair. Dia sama
sekali tak menyangka bila Dewa Geli akan berbuat se-
perti itu. Hingga, tanpa dapat dicegah lagi, tiba-tiba
benda bulat gepeng yang berada di balik pakaiannya
tertarik keluar!
Prang...!
Benda yang ternyata berupa topeng baja putih
itu jatuh ke tanah. Ksatria Seribu Syair mendengus
gusar. Dewi Pedang Halilintar tersenyum sinis karena
merasa dapat membuktikan bila Ksatria Seribu Syair
memang Hantu Pemetik Bunga. Sementara, Dewa Geli
tampak membelalakkan mata.
Lewat pantulan cahaya rembulan, Dewa Geli
dapat mengenali topeng yang jatuh ke tanah itu seba-
gai topeng yang biasa dikenakan oleh Hantu Pemetik
Bunga.
"Tak kusangka.... Tak kusangka...," desis bocah
berpakaian kedodoran itu. "Dunia memang sudah
edan! Manusianya pun turut edan!"
Dewa Geli menatap tajam wajah Ksatria Seribu
Syair, lalu dia tertawa mengikik. "Hi hi hi.... Sudah je-
las bila kau Hantu Pemetik Bunga! Walau kau baru sa-
ja menyelamatkan nyawaku, hukuman itu harus tetap
kujatuhkan! Untuk mengurangi dosa-dosamu, paling
tidak aku harus mematahkan sebelah tanganmu!"
Usai berkata, Dewa Geli langsung menerjang
Ksatria Seribu Syair. Dewi Pedang Halilintar turut me-
nerjang pula dengan sabetan dan tusukan pedang!
"Tunggu!" teriak Ksatria Seribu Syair. "Dengar
dulu penjelasanku!"
"Semua sudah jelas! Tak perlu kau bermanis
mulut lagi! Lihat serangan!" sahut Dewi Pedang Halilin-
tar. Pedangnya berkelebat cepat, mengincar jalan ke-
matian di tubuh Ksatria Seribu Syair.
"Hi hi hi.... Sebenarnya, aku ingin memotong
habis 'milik'-mu itu,"" ujar Dewa Geli. "Tapi karena kau
baru berbuat baik kepadaku, ku potong saja tangan
kirimu! Hi hi hi...!"
Tiba-tiba tubuh bocah berambut tipis itu berke-
lebat cepat sekali. Dengan ilmu 'Menangkap Naga Me-
matahkan Tulang', dia benar-benar hendak membuat
tanggal tangan kiri Ksatria Seribu Syair!
"Terpaksa aku melawan!" seru Ksatria Seribu
Syair seraya berkelit dan membalas serangan kedua
lawannya.
"Hiahhh...!"
Trang...!
Luar biasa! Sambil menghindari cengkeraman
sepuluh jari tangan Dewa Geli, Ksatria Seribu Syair
menjentik bilah pedang Dewi Pedang Halilintar. Gera-
kan itu dilakukan cepat sekali. Dan karena jari-jari
tangan kanan Ksatria Seribu Syair dialiri kekuatan te-
naga dalam tingkat tinggi, bilah pedang Dewi Pedang
Halilintar langsung lepas dari cekalan, lalu terlontar
jauh dan menimbulkan suara berdentang keras saat
jatuh ke tanah.
"Haram jadah!" maki Dewi Pedang Halilintar
dengan darah menggelegak naik sampai ke ubun-
ubun.
Tanpa pikir panjang lagi, bergegas nenek yang
tubuhnya masih tampak sintal itu mengeluarkan seu-
tas tali putih dari balik bajunya. Begitu dialiri tenaga
dalam, tali sepanjang dua depa lebih itu langsung be-
rubah merah membara dan diselubungi api biru yang
panas menyala-nyala!
"Makan Cambuk Api Neraka ini!"
Sambil berseru demikian, Dewi Pedang Halilin-
tar menyabetkan cambuk pusaka di tangannya. Tim-
bul ledakan keras. Suhu udara yang semula dingin
menusuk tulang berubah panas menyengat!
Terkejut Ksatria Seribu Syair mengetahui kehe-
batan cambuk pusaka di tangan Dewi Pedang Halilin-
tar. Sementara, sepuluh jari tangan Dewa Geli harus
berkelebat dan mengeluarkan suara menderu ganas.
Tak mau mendapat celaka, terpaksa Ksatria Se-
ribu Syair mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya.
Hingga, pertempuran seru pun tak dapat dihindari la-
gi....
***
DELAPAN
KAU tunggu saja di sini, Kemuning...," pinta
Seno. Kemuning yang hendak mengikuti langkah Seno
tampak cemberut.
"Aku ikut!" tolaknya.
"Jangan seperti anak kecil.... Kau ingat mak-
hluk-makhluk ganas yang mengejar kita tadi? Aku tak
ingin melihat kau celaka...."
"Aku juga tak ingin melihat kau celaka. Eh...,"
Kemuning menekap mulutnya karena kelepasan bica-
ra.
Sebenarnya, murid Dewi Pedang Halilintar itu
tak mau memperlihatkan isi hatinya kepada Pendekar
Bodoh. Tapi melihat Pendekar Bodoh yang hendak me-
nempuh perjalanan berbahaya, tercetus juga rasa
khawatirnya terhadap pemuda tampan itu.
"Hmmm...," Seno tersenyum. "Kau tak perlu
mengkhawatirkan aku. Kau tetaplah di sini. Jaga Ka-
kek Setan Bodong. Aku akan segera kembali...."
Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Seno berkelebat
meninggalkan halaman rumah batu. Dewi Pedang
Kuning menatap kepergian si pemuda dengan hati
berdebar. Haruskah dia menyusul?
"Tak perlu...," ujar Kemuning dalam hati, men-
jawab pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. "Aku
percaya pada ilmu kesaktian Seno. Sebaiknya, aku
kembali...."
Kemuning berusaha menghilangkan rasa kha-
watirnya terhadap keselamatan Seno. Dengan langkah
berat, dia lalu berjalan masuk kembali ke rumah batu.
Ditemuinya Setan Bodong yang masih terbaring lemah
di cekungan tanah.
Sementara itu, Seno berlari cepat dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bernama
'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Seno tampak tergesa-
gesa sekali. Dia memang tak mau kehilangan waktu.
Pusar Setan Bodong harus segera didapatkannya. Agar
dia bersama Kemuning dapat secepatnya pergi me-
ninggalkan Lembah Rongga Laut.
Sesampai di sebuah aliran sungai, Seno meng-
hentikan kelebatan tubuhnya. Dengan naik ke bong-
kahan batu besar, dia mengedarkan pandangan. Seno
berusaha menemukan kembali mata air yang pernah
dijumpainya beberapa saat tadi bersama Kemuning.
Tak lama kemudian, bola mata Seno berbinar.
Raut wajahnya langsung berubah cerah.
"Itu dia!" seru Pendekar Bodoh dalam hati. Di
kejauhan, dia melihat sumber air yang memancarkan
air berwarna merah seperti darah. "Aku harus segera
ke sana! Pusar Kakek Setan Bodong pasti disembunyi-
kan di tempat itu!"
Dengan menyimpan rasa girang di hati, Seno
meloncat turun dari bongkah batu. Namun sebelum-
nya murid Dewa Dungu itu mengerahkan lagi ilmu
'Lesatan Angin Meniup Dingin' sampai ke puncak.
Hingga, kelebatan tubuh pemuda berpakaian biru-biru
itu amat sulit diikuti pandangan mata. Tubuh si pe-
muda seakan telah sulit diikuti pandangan mata.
Tubuh si pemuda seakan telah berubah menja-
di segumpal asap yang terbang tertiup angin kencang!
"Ini dia! Ini dia!" seru Seno seraya menghenti-
kan kelebatan tubuhnya.
Jantung Pendekar Bodoh berdegup lebih ken-
cang. Rasa senang dan khawatir bercampur aduk jadi
satu. Sesaat, pikirannya jadi linglung. Yang dapat dilakukannya hanyalah cengar-cengir sambil menatap ma-
ta air yang memancarkan air merah seperti darah.
Plok! Plok!
Pendekar Bodoh menepak kepalanya sendiri
dua kali. "Bodoh benar aku!" rutuknya kepada diri
sendiri. "Sudah tahu diburu waktu, kenapa malah
bengong saja?!"
Pemuda remaja itu menarik napas panjang un-
tuk menenangkan rasa hatinya yang tak karuan. Lalu,
dia berjongkok mengamati mata air di hadapannya.
"Mungkinkah pusar Kakek Setan Bodong dita-
nam di lubang ini?" tanya Seno dalam hati. "Ah! Lebih
baik langsung kubuktikan saja!"
Sekali lagi, Seno menarik napas panjang. Den-
gan hati tetap berdebar-debar, dia masukkan tangan
kanannya ke lubang mata air.
Namun....
"Uhhh...!"
Murid Dewa Dungu itu melonjak kaget. Dia tak
dapat menahan rasa dingin yang keluar dari lubang
mata air. Bergegas dia tarik tangan kanannya kembali
"Bagaimana ini? Bagaimana Ini?" seru Pendekar
Bodoh, mulai panik.
Mendadak, pemuda bertubuh tinggi tetap itu
menepak kepalanya lagi. "Uh! Aku memang bodoh! Aku
memang dungu! Kenapa tak ku lindungi tanganku
dengan tenaga dalam?"
Pergelangan tangan Seno tampak bergetar ma-
nakala teraliri kekuatan tenaga dalam. Tak mau kehi-
langan waktu, kembali Seno memasukkan tangan ka-
nannya ke lubang mata air.
Rasa dingin yang keluar dari lubang mata air
itu tetap menyengatnya. Tapi, Seno sudah bertekad
bulat. Dia tak mau menarik lagi tangan kanannya.
Hingga di lain kejap, pergelangan tangan kanan pemu-
da itu amblas masuk ke lubang mata air hingga men-
capai ketiak.
Sekuat tenaga Seno menahan rasa dingin yang
menyiksanya. Rasa dingin itu membuatnya menggigil
hebat. Jajaran giginya saling bertautan dan memper-
dengarkan suara gemeletukan. Bahkan, otaknya pun
terasa beku. Akibatnya, tak dapat lagi berpikir jernih.
Kewaspadaannya jadi berkurang. Padahal, dia telah
terkepung oleh puluhan makhluk mengerikan!
Puluhan makhluk yang nyaris hanya berupa
kepala itu bergerak semakin dekat ke arah Seno. Den-
gan menotolkan tangan atau kaki mereka yang amat
kecil dan pendek, mereka terus bergerak mengancam
jiwa sang pendekar!
Sementara, Pendekar Bodoh yang terus didera
rasa sakit akibat kedinginan tiba-tiba berseru girang.
Jari-jari tangan kanannya yang berada di dalam lu-
bang mata air menyentuh suatu benda kenyal yang
menjadi sumber rasa dingin.
"Aku yakin! Ya! Aku yakin sekali! Inilah pusar
Kakek Setan Bodong!" seru Seno seraya mencabut tan-
gan kanannya dari dalam lubang mata air.
"Hiaaah...!"
Swosss...!
Melonjak kaget Pendekar Bodoh. Jari-jari tan-
gan kanannya yang telah tercabut tampak mencekal
gumpalan daging sebesar buah terong tua. Anehnya,
gumpalan daging berwarna merah itu dapat bergerak-
gerak seperti punya nyawa!
Karena yakin benda yang dipegangnya adalah
pusar Setan Bodong, Pendekar Bodoh tak mau mele-
paskannya walau dia merasa jijik dan ngeri bukan
main. Mata Pendekar Bodoh tampak berbinar saat rasa
dingin yang menjalar dari gumpalan daging di tangan-
nya lenyap perlahan-lahan. Sementara, mata air tem-
pat tersimpannya gumpalan daging langsung berhenti
mengucurkan air merah!
Tapi..., Seno tak dapat menikmati kegembi-
raannya karena tiba-tiba di belakangnya berkelebat
sebuah bayangan bulat. Dan, tepat menerpa punggung
pemuda itu!
Bukkk...!
"Hkkk...!"
Karena benturan benda bulat yang tak lain
makhluk gundul itu mempunyai tenaga yang amat
kuat, tubuh Seno langsung terlontar jauh. Setelah ber-
gulingan beberapa lama, pemuda itu terbaring telen-
tang. Dari mulutnya menyembur darah segar. Namun,
gumpalan daging merah di tangan pemuda itu tetap
tercekal di tangan kanan.
Pendekar Bodoh jelas menderita luka dalam.
Tapi, untunglah jiwanya tak sampai terenggut. Tenaga
dalam pemuda itu sudah sedemikian tingginya sehing-
ga dapat melindungi tubuhnya agar tak hancur beran-
takan.
"Celaka! Celaka!" seru Pendekar Bodoh. Ma-
tanya nanar menatap puluhan makhluk gundul yang
berloncatan ke arahnya.
Tanpa mempedulikan rasa sakitnya, bergegas
murid Dewa Dungu itu meloncat bangkit. Gumpalan
daging merah yang masih bergerak-gerak dia pindah-
kan ke tangan kiri. Sementara, tangan kanannya lang-
sung mencabut Tongkat Dewa Badai.
Wesss...!
Brummm...!
Kibasan senjata mustika di tangan Pendekar
Bodoh menimbulkan tiupan angin kencang. Karena kibasannya dilakukan sambil memutar tubuh, semua
makhluk gundul langsung berpentalan ke berbagai
penjuru!
Tubuh mereka melayang seringan kapas. Bong-
kah-bongkah batu yang tertimpa kontan hancur ber-
keping-keping. Dan, tentu saja menimbulkan ledakan-
ledakan keras yang amat menyakitkan gendang telin-
ga.
Hebatnya, semua makhluk bertangan dan ber-
kaki kecil pendek itu tak cedera sedikit pun! Mereka
langsung bangkit diiringi geram kemarahan aneh mirip
lolongan serigala!
Namun..., hanya kekecewaan yang mereka da-
patkan karena sosok Pendekar Bodoh telah lenyap dari
pandangan....
***
"Alirkan tenaga dalam dengan lembut, lalu
tempelkan di tengah perutku. Hei! Hei! Jangan terba-
lik! Yang harus ditempelkan adalah bagian ujungnya
yang besar itu!"
Setengah berteriak Setan Bodong memberi pe-
tunjuk pada Pendekar Bodoh yang telah kembali ke
rumah batu. Sementara, Kemuning tak berani mena-
tap gumpalan daging di tangan Pendekar Bodoh kare-
na merasa jijik dan ngeri.
"Nah! Nah! Begitu! Bergegaslah!" seru Setan
Bodong, tak sabaran.
Pendekar Bodoh yang sebenarnya juga me-
nyimpan rasa jijik dan ngeri, tak mau membuang wak-
tu. Tergesa-gesa sekali murid Dewa Dungu itu mengi-
kuti petunjuk yang diberikan Setan Bodong.
Tatkala pusar Setan Bodong yang berupa gumpalan daging merah telah ditempelkan ke tempatnya,
Seno dan Kemuning tampak melonjak kaget. Kulit tu-
buh Setan Bodong yang semula kuning pucat berubah
merah matang seperti warna buah tomat masak. War-
na merah itu menjalar dari gumpalan daging yang te-
lah melekat di tengah perut si kakek.
Sesaat kemudian, dari kepala Setan Bodong
mengepul asap tipis yang juga berwarna merah. Sema-
kin lama semakin tebal, dan menyebarkan bau sangit
seperti bau bulu burung yang terbakar.
Saat asap merah itu telah berhenti mengepul,
berangsur-angsur warna kulit Setan Bodong berubah
kuning lagi seperti kulit manusia pada umumnya.
Anehnya, warna gumpalan pusar Setan Bodong beru-
bah menjadi putih seperti kapur!
"Ilmu kesaktianmu sudah kembali, Pak Tua?"
tanya Seno, kebodoh-bodohan.
Setan Bodong tak menjawab.
Kakek berkepala gundul licin itu memejamkan
mata beberapa saat. Lalu, perlahan-lahan dia bangkit
dari tidurnya. Begitu kelopak matanya terbuka, dia
langsung tertawa bergelak....
"Ha ha ha...! Telah sirna siksa ini! Telah pergi
derita ini! ilmu kesaktianku kembali lagi! Ha ha ha...!"
Sambil terus tertawa bergelak, Setan Bodong
memungut dua kepal batu yang tergeletak di tanah.
Lalu....
Pruk...!
Pruk...!
Setan Bodong menghantamkan dua kepal batu
di tangannya ke kepala. Kedua batu yang amat keras
itu langsung hancur menjadi serbuk halus!
"Ha ha ha...! Kekuatanku telah kembali! Murid
murtad itu harus dihukum mati! Ha ha ha...!"
Melihat Setan Bodong terus tertawa senang,
Pendekar Bodoh cuma nyengir kuda. Sementara, Ke-
muning menatap dengan kening berkerut rapat. Gadis
cantik itu tak suka melihat sikap Setan Bodong yang
mirip orang gila.
"Pak Tua! Pak Tua!" tegur Seno kemudian. "Aku
dan Kemuning harus segera pergi dari tempat ini. Kau
harus menepati janjimu tadi. Keluarkan batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang ada di da-
lam perutku!?"
Mendengar desakan Pendekar Bodoh itu, Setan
Bodong kontan menghentikan tawanya. Matanya yang
tajam menatap lekat wajah si pemuda. Sementara,
Pendekar Bodoh sendiri tampak menahan tawa karena
melihat gumpalan pusar Setan Bodong bergerak-gerak
seperti ekor binatang.
"Tampaknya, kau terluka dalam, Bocah Ba-
gus..,," ujar Setan Bodong, tak mempedulikan gumpa-
lan pusarnya yang terus bergerak-gerak.
"Ya," sahut Seno. "Tapi, hanya luka ringan.
Nanti juga akan sembuh dengan sendirinya."
"Jangan sembrono!" ujar Setan Bodong lagi.
"Ah! Sudahlah, Pak Tua. Tak usah kau perhati-
kan luka dalamku. Yang penting kau harus segera
mengeluarkan batu mustika yang ada di dalam pe-
rutku!" desak Seno penuh kesungguhan.
"Ya! Ya! Aku tahu!" sambut Setan Bodong.
"Membungkuklah...."
"Membungkuk? Untuk apa?"
"Turuti saja perintahku...."
Seno menatap sebentar wajah Setan Bodong.
Walau masih ragu, akhirnya dia turuti juga perintah
kakek berperut gendut itu.
Dan..., begitu Pendekar Bodoh membungkuk
kan badan, Setan Bodong mengangkat telapak tangan
kanannya yang telah terkepal. Dia hendak menghan-
tam tengkuk Pendekar Bodoh!
"Tunggu!"
Zing...!
Dengan mata terbelalak lebar, Kemuning
menghunus bilah pedang yang terselip di punggung-
nya. Lalu, pedang yang terbuat dari logam pilihan ber-
warna kuning itu dia acungkan ke dada Setan Bodong!
"Jika kau hendak meneruskan niatmu, jan-
tungmu akan ku congkel keluar!" ancam Kemuning.
"Eh! Eh! Ada apa ini?!" seru Setan Bodong, ka-
get.
Pendekar Bodoh yang mendengar seruan Ke-
muning langsung menegakkan tubuhnya kembali. Me-
lihat gadis itu mengancam Setan Bodong dengan ujung
pedang, Seno cuma nyengir kuda dengan tatapan tak
mengerti.
"Kau kenapa, Kemuning?" tanya pemuda lugu
itu.
"Hati-hati, Seno!" sahut Kemuning. "Dia hendak
menghantam tengkukmu!"
Seno nyengir kuda lagi. Setengah tak percaya,
dia berkata, "Benar itu, Pak Tua?"
"Ya," jawab Setan Bodong, singkat.
"Benar kau hendak menghantam ku?"
"Ya! Apa kau tuli?"
"Astaga! Apa kau hendak ingkar janji, Pak
Tua?!"
"Tidak! Hanya ada satu cara untuk mengelua-
rkan batu mustika di dalam perutmu itu. Aku harus
memukul tengkukmu dengan 'Tenaga Inti Es Biru'," je-
las Setan Bodong.
"Benar begitu?" tanya Pendekar Bodoh untuk
menegaskan.
"Apa untungnya aku membunuhmu, Tolol! Ka-
lau kau mati, batu mustika yang ada di dalam perut-
mu itu akan lenyap begitu saja tanpa bekas! Kalau su-
dah begitu, bagaimana aku akan keluar dari tempat
terkutuk ini?!"
Mendengar penuturan Setan Bodong yang tam-
pak sungguh-sungguh, Kemuning menurunkan ujung
pedangnya yang menempel di dada kiri si kakak. Na-
mun, Kemuning tetap waspada. Siapa tahu Setan Bo-
dong cuma bersilat lidah.
"Ya! Ya! Aku percaya padamu, Pak Tua..." ujar
Pendekar Bodoh kemudian sambil menggaruk-garuk
pantatnya yang gatal.
"Membungkuklah kembali...," perintah Setan
Bodong dengan suara berat berwibawa.
Sambil tetap menggaruk pantatnya yang masih
gatal, Pendekar Bodoh menuruti perintah kakek berpe-
rut gendut itu. Dan... sesaat kemudian, Setan Bodong
benar-benar menghantam tengkuk Pendekar Bodoh!
Buk...!
"Hukkk...!"
Kemuning berseru kaget melihat Seno jatuh
tersungkur.
"Apa yang kau lakukan, Pak Tua?!" bentak ga-
dis itu, menyimpan rasa khawatir. Ujung pedangnya
terangkat, dan benar-benar hendak mencongkel keluar
jantung Setan Bodong.
Namun, Setan Bodong tak mau ambil peduli.
Matanya tak berkedip menatap tubuh Pendekar Bodoh
yang masih terbaring tertelungkup di tanah.
Perlahan tubuh murid Dewa Dungu itu mulai
dilapisi bunga-bunga es berwarna biru. Kekhawatiran
di hati Kemuning semakin bertambah karena tubuh
Pendekar Bodoh sama sekali tak menampakkan tanda-
tanda kehidupan!
"Kau membunuhnya! Kau membunuhnya!" seru
Kemuning,
Dengan tatapan nyalang, murid Dewi Pedang
Halilintar itu menusukkan ujung pedangnya sekuat
tenaga! Tapi..., dada Setan Bodong amat keras bagai
balok baja. Bilah pedang Kemuning sampai memercik-
kan bunga api dan melengkung ke atas!
Tak setetes pun darah keluar dari dada Setan
Bodong. Agaknya, si kakek punya ilmu kebal yang
membuat tubuhnya tak mempan senjata tajam.
"Jangan turuti hawa marah mu! Lihat itu!" seru
Setan Bodong kemudian.
Lewat ekor matanya, Kemuning melihat tubuh
Seno yang masih tergeletak di atas tanah. Namun, kini
tubuh pemuda itu tampak bergerak-gerak. Kedua per-
gelangan tangannya menekuk dengan jari-jari terkepal.
Bunga-bunga es biru langsung rontok.
"Uh...!"
Pendekar Bodoh mengeluh pendek. Perlahan
dia bangkit. Dan..., melototlah bola mata Kemuning. Di
atas tanah tempat terbaringnya tubuh Seno tadi, telah
tergeletak batu berbentuk limas segitiga berwarna biru.
"Itukah batu mustika 'Menembus Laut Berna-
pas Dalam Air'...?" desis Kemuning.
Setan Bodong tak menjawab.
"Ya, Tuhan...," sebut Seno seraya memungut
sekepal batu yang tergeletak di dekat tubuhnya.
Bergegas pemuda itu meloncat ke arah Kemun-
ing. Tanpa sadar dia memeluk dan mencium pipi si ga-
dis.
"Kita akan segera kembali ke dunia bebas, Ke-
muning!" seru Seno. "Inilah batu mustika 'Menembus
Laut Bernapas Dalam Air'!"
Kemuning yang masih merasa jengah karena
ciuman Seno, cuma diam tanpa mengucap sepatah ka-
ta pun.
"Terima kasih, Pak Tua! Terima kasih!" seru
Seno lag! kepada Setan Bodong. "Tapi..., bagaimana
batu ini bisa keluar dari perutku?"
"Tak ada waktu untuk menjelaskannya," sahut
Setan Bodong.
Kemuning menatap lekat wajah Seno yang
tampak kebodoh-bodohan. Melihat pemuda itu terus
cengar-cengir, Kemuning bertanya, "Kau tak apa-apa,
Seno?"
"Seperti yang kau lihat. Aku tak apa-apa. Puku-
lan Kakek Setan Bodong tak membuatku celaka," ja-
wab Pendekar Bodoh.
"Ambil obor-obor itu!" perintah Setan Bodong
tiba-tiba, keras membentak.
"Ada apa?" tanya Seno, heran.
"Makhluk-makhluk itu mengepung kita."
"Astaga!"
Seno dan Kemuning melonjak kaget bersama-
sama. Mereka yang sudah percaya benar pada Setan
Bodong bergegas mengambil obor-obor yang terpasang
di dinding rumah batu, walau mereka belum tahu ke-
gunaannya.
"Yang memasang obor-obor itu adalah Raja Pe-
nyasar Sukma...," beri tahu Setan Bodong. "Mungkin
tak pernah terpikir oleh murid murtad itu bila obor-
obornya itu akan sangat berguna sekarang ini."
Usai berkata, Setan Bodong turut menyambar
salah satu obor di dinding seraya berkelebat keluar.
Seno dan Kemuning saling pandang sejenak. Tapi, me-
reka segera mengekor langkah Setan Bodong.
Di luar rumah batu ternyata telah berkumpul
puluhan makhluk bertangan dan berkaki kecil pendek.
Makhluk-makhluk buruk rupa itu tampak menyeringai
dingin penuh nafsu membunuh!
Namun sebelum mereka menyerang....
"Bakar mereka!" perintah Setan Bodong.
Mendadak, kakek berperut gendut itu meniup
api obor di tangannya.
Wusss...!
Karena tiupan Setan Bodong dialiri tenaga da-
lam, lidah-lidah api yang berasal dari obor langsung
menyembur. Puluhan makhluk berkepala gundul me-
mekik parau. Mereka lari serabutan penuh rasa takut!
Seno dan Kemuning langsung meniru tindakan
Setan Bodong. Tak ayal lagi, lidah-lidah api menyerbu.
Beberapa makhluk gundul yang kurang cepat meng-
hindar langsung terbakar!
Agaknya, tubuh mereka tak kebal terhadap api.
Mereka mati dengan tubuh kering kerontang. Semen-
tara, yang lainnya terus lari tunggang-langgang menca-
ri selamat.
"Kita pergi sekarang juga!" ujar Setan Bodong
kemudian. "Cium batu mustika di tanganmu! Tapi,
jangan asal cium! Gunakan perasaan seperti kau se-
dang mencium kekasihmu!"
Setelah nyengir kuda sejenak, Seno mende-
katkan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' ke bibirnya.
"Pegang lengannya, Anak Manis...," perintah
Satan Bodong pada Kemuning.
Tanpa pikir panjang lagi, Kemuning langsung
memegang lengan kiri Seno. Sementara, Setan Bodong
sendiri menempelkan telapak tangan kanannya ke
tengkuk si pemuda.
"Bergegaslah kau cium batu itu!" seru Setan
Bodong.
Pendekar Bodoh yang merasa geli karena teng-
kuknya dipegang Setan Bodong tampak nyengir kuda
lagi. Lalu, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Da-
lam Air' benar-benar diciumnya. Saat mencium, Pen-
dekar Bodoh membayangkan bibir Kemuning yang me-
rah merekah penuh daya pesona....
Dan..., perlahan-lahan sosok Seno, Kemuning,
dan Setan Bodong mulai mengabur, lalu lenyap dari
pandangan....
***
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh.
Tentu saja Seno terkejut bukan alang kepalang.
Murid Dewa Dungu itu telah berada di sebuah kaki
bukit. Seno mengucak-ucak mata karena merasa pan-
dangannya tak jelas. Setelah otaknya kembali jernih,
tahulah dia bila dirinya berada di keremangan malam.
Lalu, Seno melihat sosok Kemuning dan Setan
Bodong yang tengah berdiri di kanan kirinya. Kontan
pemuda lugu itu melonjak girang.
"Kemuning! Kemuning! Kita telah berada di du-
nia bebas!" seru Pendekar Bodoh. "Kita telah berada di
dunia bebas, Pak Tua!" beri tahunya kepada Setan Bo-
dong.
"Aku sudah tahu!" sahut Setan Bodong. "Jan-
gan melonjak-lonjak seperti anak kecil! Lihat itu!"
Pendekar Bodoh mengarahkan pandangan ke
tempat yang ditunjukkan Setan Bodong. Lewat sira-
man cahaya rembulan, dia melihat tiga sosok bayan-
gan yang tengah bertempur seru. Seorang lelaki berpa-
kaian putih-putih tengah dikeroyok oleh seorang bocah
sepuluh tahunan yang dibantu seorang nenek berpa-
kaian serba kuning.
"Dewi Pedang Halilintar...!" desis Seno, menye-
but gelar nenek berpakaian serba kuning.
"Eyang...!" teriak Kemuning, keras sekali.
Dewi Pedang Halilintar yang tengah menyerang
Ksatria Seribu Syair dengan Cambuk Api Neraka tam-
pak terkesiap. Tanpa sadar, dia menghentikan seran-
gannya. Melihat sosok Kemuning yang sejak beberapa
hari yang lalu hilang diculik orang, nenek itu langsung
meloncat keluar dari ajang pertempuran.
Agaknya, rasa cinta dan kasih sayang di hati
Dewi Pedang Halilintar mampu mengalahkan rasa ben-
cinya terhadap Ksatria Seribu Syair. Lidah-lidah api
yang menyelubungi Cambuk Api Neraka langsung le-
nyap ketika Dewi Pedang Halilintar menarik lagi aliran
tenaga dalamnya. Dan..., meloncatlah nenek itu penuh
rasa girang.
"Kemuning...!" seru Dewi Pedang Halilintar se-
raya memeluk erat Kemuning muridnya.
Sementara, Ksatria Seribu Syair yang melihat
kehadiran Pendekar Bodoh langsung merasakan jan-
tungnya berdegup amat kencang. Penyesalan dan rasa
bersalah tiba-tiba menghantui benaknya.
Tanpa pikir panjang lagi, bekas putra mahkota
yang tergulingkan itu berkelebat menyambar topeng
baja putihnya yang masih tergeletak di tanah. Dia lalu
mengempos tenaga untuk dapat secepatnya mening-
galkan tempat....
Tahu Ksatria Seribu Syair mengambil langkah
seribu, Dewa Geli tak mau mengejar. Dia cuma berdiri
mematung, menatap sosok bayangan Ksatria Seribu
Syair yang segera lenyap tertelan kegelapan malam.
"Biar saja orang itu pergi...," kata hati Dewa Geli. "Melihat sepak terjangnya yang sedemikian hebat,
aku jadi tak yakin kalau dia memang Hantu Pemetik
Bunga...."
"Astaga! Jahanam itu lari!" seru Dewi Pedang
Halilintar, melepas pelukannya pada Kemuning.
"Siapa dia, Eyang?" tanya Kemuning.
"Dia Ksatria Seribu Syair," jawab Dewi Pedang
"Apa? Ksatria Seribu Syair?" seru Pendekar Bo-
doh.
Tentu saja pemuda lugu itu amat terkejut kare-
na dia tahu kalau Ksatria Seribu Syair adalah ayah
kandungnya!
"Benar dia Ksatria Seribu Syair?" ulang Pende-
kar Bodoh.
"Ya," jawab Dewi Pedang Halilintar.
"Keparat! Walau dia ayahku, aku harus menun-
tut pertanggungjawabannya! Dia berdosa besar pada
mendiang ibuku!"
Usai berkata, Pendekar Bodoh berkelebat cepat.
Dengan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', dia beru-
saha menyusul kelebatan tubuh Ksatria Seribu Syair!
Sementara, semua yang masih tinggal di kaki
bukit itu cuma diam membisu. Mereka tak tahu apa
yang ada di hati sang pendekar....
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar