..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 07 Desember 2024

PENDEKAR BODOH EPISODE KSATRIA SERIBU SYAIR

PENDEKAR BODOH EPISODE KSATRIA SERIBU SYAIR

 Hak cipta dan copy right

pada penerbit dibawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit



SATU


MANAKALA guliran mentari hampir mencapai 

bentangan kaki langit barat, senja hari mempersiapkan 

diri untuk segera rebah memeluk bumi. Kelopak bunga 

mekar tersenyum dalam kesunyian. Kupu-kupu tak la-

gi bercanda menggoda. Hanya desau sang bayu yang 

masih setia menemani. 

"Puncak Kupu-kupu kan kudatangi.

Menuruti hasrat hati, 

ku langkahkan kaki ini. 

Namun..., bukan dewi pujaan hati

yang kan kutemui. 

Hi hi hi...

Hanya untuk seorang Putri Budukan

aku berjalan mengusik sepi.

Putri Budukan, 

di manakah kau sembunyikan diri.

Dewa Geli telah datang 

di hari janji. 

Hihihi..."

Lamat-lamat terdengar senandung sebuah lagu 

yang diiringi suara tawa mengikik. Senandung lagu 

yang tak karuan iramanya itu amat pelan. Namun 

anehnya, bisa menebar rata di seantero bukit. Bahkan, 

sampai terdengar di Puncak Kupu-kupu yang tinggi 

menjulang.

"Puncak Kupu-kupu kan kudatangi.

Menuruti hasrat hati.

Tuk menemui Putri Budukan


pengundang janji. 

Tapi..., kenapa tatapan Dewa Geli

hanya temui sepi. 

Hi hi hi....

Kepada langit dan bumi 

Dewa Geli berjanji.

Bila benar Putri Budukan 

ingkar janji, jangan menyesal

jangan sedih.

Dewa Geli tetap akan menemui 

Dengan membawa keranda mati.

Hi hi hi..."

Alunan lagu berirama datar itu terdengar lagi. 

Tapi, kali ini dari Puncak Kupu-kupu muncul alunan 

lagu lain yang menyahut. Menilik dari warna suara si 

pelantun lagu yang berada di Puncak Kupu-kupu, da-

pat dipastikan bila di seorang wanita.

"Tak perlu risau, 

tak perlu pula merasa ragu.

Datang ke Puncak Kupu-kupu, 

Dewa Geli akan segera bertemu.

Soal nanti dijamu 

dengan racun ataupun madu, 

sikap Dewa Geli 

juga yang akan jadi penentu....

Telah lama Putri Budukan 

bersedih pilu. 

Bila nanti Dewa Geli 

bukan cuma memberi harapan semu,

alangkah bahagia 

rasa hati di kalbu...."


Begitu lantunan lagu yang berasal dari Puncak 

Kupu-kupu terhenti, langsung terdengar suara tawa 

mengikik panjang. Tepatnya berasal dari punggung 

bukit sebelah utara. Di antara jajaran pohon yang di-

rambati sulur-sulur berbunga aneka warna, terlihat 

seorang bocah lelaki sepuluh tahunan tengah berjalan

dan melompat-lompat. Raut wajah si bocah tampak je-

naka dan amat menggemaskan. Tubuhnya yang tidak 

seberapa besar terbungkus pakaian putih kembang-

kembang. Penampilan si bocah jadi lebih mengge-

maskan lagi karena pakaian yang dikenakannya terli-

hat kedodoran. Kedua telapak tangannya tak terlihat 

karena tertutup oleh kain lengan bajunya yang kepan-

jangan. 

Dia Dewa Geli!

"Hi hi hi..." bocah lelaki berambut tipis itu terus 

tertawa mengikik panjang. Lalu dengan suaranya yang 

cempreng, sekali lagi dia lantunkan sebuah lagu.

"Wahai Putri Budukan 

yang sedang menanti 

kehadiran Dewa Geli....

Apa pun yang akan 

kau berikan kepadaku nanti,

Patutlah orang bersikap hati-hati.

Siapa tak tahu Putri Budukan 

pemuja sifat iri dengki?

Dewa Geli datang 

bukan dengan sembunyi-sembunyi,

Tentu saja Dewa Geli mengharap

sambutan sepenuh hati...."

Usai melantunkan lagu itu, si bocah geleng-

geleng kepala sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.


Kakinya terus melangkah naik menuju Puncak Kupu-

kupu. Sementara, dari puncak bukit yang hijau subur 

terdengar alunan lagu lain yang menyahuti.

"Cepat-cepatlah datang 

Dewa Geli yang kutunggu.

Putri Budukan sudah tak sabar 

untuk segera melepaskan sedih pilu.

Dewa Geli pastilah membawa 

obat penawar kedukaan itu...."

Dewa Geli tertawa mengikik. Setelah menga-

rahkan pandangan ke puncak bukit, ujung-ujung jari 

kakinya menotol tanah. Cepat sekali tubuh bocah yang 

terbungkus pakaian kedodoran itu berkelebat. Di lain 

kejap, dia sudah berada di Puncak Kupu-kupu yang 

sunyi. 

"Ini aku sudah datang penuhi undangan. Sege-

ralah tampakkan batang hidungmu, Putri Budukan.... 

Hi hi hi..."

Si bocah berteriak lantang diiringi suara tawa 

yang panjang mengikik. Tapi, teriakan itu segera terte-

lan desau angin. Tak ada sosok manusia lain yang me-

nampakkan diri.

Sambil menggerutu panjang pendek, Dewa Geli 

mengedarkan pandangan. Dia rundukkan kepalanya 

untuk dapat melihat tempat-tempat yang tersembunyi 

di antara semak belukar. Sebentar saja dia berbuat se-

perti itu. Bola matanya segera berbinar. Suara tawa 

pun lepas berderai pula.

"Hi hi hi... aku melihat pemandangan yang.... 

hmmm.... Jantungku dak-dik-duk-plas... karena aku 

merasa... hmmm..... Kalau saja aku tidak... hmmm... 

aku pasti akan... hmmm...."


Entah apa makna ucapan bocah berpakaian 

kedodoran itu. Dia berjongkok sambil terus mengarah-

kan pandangan ke balik semak belukar. Untuk bebe-

rapa lama, suara tawanya tak terdengar lagi.

Rupanya, si bocah sedang asyik masyuk mena-

tap sesuatu yang amat menarik perhatiannya.

Di balik semak belukar, sekitar empat tombak 

dari hadapan Dewa Geli, terlihat sesosok tubuh tengah 

terbaring telentang di tanah berumput tebat. Bagian 

atas sosok tubuh itu tertutup sulur-sulur tumbuhan 

merambat. Sementara, tubuh bagian bawahnya benar-

benar mampu menggerakkan hasrat hati kaum lelaki. 

Pantas saja bila Dewa Geli tak bosan mengarahkan 

pandangan ke tempat itu....

Walau berada di balik semak belukar, dapatlah 

dilihat dengan jelas bila ada sepasang kaki panjang 

semampai berkulit halus mulut tanpa noda. Kaki yang 

sebelah kiri menekuk ke atas, sehingga kain yang di-

kenakan oleh si pemilik kaki jadi tersingkap. Dari situ 

terciptalah satu pemandangan yang sudah cukup 

mampu untuk mengacaukan aliran darah setiap lelaki 

yang menatapnya....

"Hi hi hi...," mendadak Dewa Geli tertawa men-

gikik geli. "Bodoh benar aku ini! Aku mengintip 'milik' 

perempuan, hingga aku merasa hk.... Sementara, aku 

tak tahu apakah yang ku intip itu 'milik' Putri Budu-

kan atau bukan. Kalau milik Putri Budukan, celakalah 

aku seumur-umur. Hk.... Menyesal aku telah pelo-

totkan mata dan menahan napas. Bila tahu wajah Pu-

tri Budukan, manalah aku mau mengintip. Hiii...!"

Si bocah bangkit berdiri dengan kepala mengge-

leng-geleng. Sikap seperti orang merasa jijik. Namun 

begitu, bola matanya terus saja memelototi sepasang 

kaki mulus yang terpampang dari balik semak belukar.


"Milik' Putri Budukan atau bukan...?" desis 

Dewa Geli. "Kalau bukan 'milik' Putri Budukan, justru 

aku akan lebih menyesal lagi. Aku laki-laki..., mana bi-

sa melewatkan kesempatan ini...?"

Menuruti pikiran di benaknya, Dewa Geli ber-

jongkok lagi. Kembali dipelototinya sepasang kaki yang

berada di antara sulur-sulur tumbuhan merambat. 

Kali ini sepasang kaki berkulit halus mulus itu berge-

rak perlahan. Ganti kaki yang sebelah kanan yang me-

nekuk. Dan..., semakin berdebar-debarlah jantung 

Dewa Geli manakala mendengar suara desahan seo-

rang wanita....

"Mendekatlah kemari...," ajak suara wanita si 

pemilik kaki indah.

Dewa Geli tampak tertegun. Bola matanya se-

makin melotot besar. Tanpa sadar, mulutnya pun ikut 

terbuka lebar.

"Walau wujud lahir mu hanya seorang bocah 

sepuluh tahunan, aku tahu jiwamu seorang lelaki de-

wasa...," lanjut suara wanita sambil menggerak-

gerakkan sepasang kakinya dengan lemah gemulai. 

"Oleh karena itu, segeralah kau mendekat kemari, De-

wa Geli yang manis...."

"Ya! Ya...," sambut bocah yang memakai baju 

kedodoran.

Sambil menelan ludah, bocah berambut tipis 

itu berjalan mendekat. Dengan tatapan matanya, dia 

menelusuri lekuk liku tubuh si wanita. Karena si wani-

ta hanya mengenakan pakaian yang terbuat dari kain 

tipis, Dewa Geli jadi bebas mengarahkan pandangan. 

Hingga, tak bosan Dewa Geli berdiri berjongkok dengan 

kepala terjulur lurus ke depan mirip seekor bangau 

menunggu mangsa untuk segera dipatuk. 

Tapi... ketika tatapan Dewa Geli menerpa wajah


si wanita, maka memekik kagetlah bocah lelaki itu. Bo-

la matanya semakin melotot besar, namun raut wajah-

nya berubah pucat!

"Astaga!" seru si bocah seraya meloncat jauh ke 

belakang.

Sementara Dewa Geli menggeleng-gelengkan 

kepalanya penuh rasa ngeri dan jijik, dari balik semak 

belukar muncul seraut wajah menggiriskan. Wajah itu 

dipenuhi bisul-bisul bernanah! Maka, hilang sudah 

semua keindahan yang dilihat oleh Dewa Geli.

"Ha ha ha...! Kau kagum melihat keindahan 

kakiku. Kau tertarik melihat kemulusan tubuhku. Ta-

pi..., kini kau merasa ngeri dan jijik melihat raut wa-

jahku. Hmmm.... Tak jadi apa. Tak jadi apa.... Memang 

beginilah wujud Putri Budukan...."

Terdengar suara seorang wanita ditujukan ke-

pada Dewa Geli. Lalu, dari balik semak belukar mele-

sat sesosok tubuh. Setelah mendarat di tanah, dapat-

lah dilihat dengan jelas bila dia seorang wanita bertu-

buh tinggi semampai dengan dada montok menggiur-

kan. Kulitnya pun halus mulus tanpa sedikit pun noda 

ataupun cacat. Lekuk liku tubuh si wanita dapat dili-

hat dengan jelas karena di hanya mengenakan pakaian 

tipis berwarna putih ungu. Namun, Dewa Geli mena-

tapnya dengan pandangan ngeri dan jijik karena si 

wanita berwajah amat buruk, penuh bisul bernanah!

Dialah yang disebut sebagai Putri Budukan! 

"Ha ha ha...!" tawa gelak Putri Budukan. "Ke-

napa kau masih mengunci mulut, Dewa Geli? Tatapan 

matamu beda benar dengan tadi. Sebelum kau tahu 

raut wajahku, kau begitu terpesona melihat bagian 

bawah tubuhku. Tapi sekarang... hmmm... tatapan mu

tampak begitu menghina. Tahukah kau, Dewa Geli, si-

kap yang kau tunjukkan itu benar-benar amat menyinggung harkat pribadiku sebagai seorang wani-

ta...?"

"Ya! Ya, eh...," Dewa Geli gelagapan. "Aku su-

dah datang. Aku sudah datang, Putri Budukan...."

"Aku sudah tahu," sahut Putri Budukan dengan 

tatapan tajam berkilat. "Terima kasih. Itu berarti, aku 

akan segera terbebas dari belenggu siksa ini. Ha ha 

ha...!"

Selagi Putri Budukan tertawa bergelak-gelak, 

Dewa Geli mengerutkan kening.

"Apa maksudmu?" tanya bocah berambut tipis 

itu.

"Maksudku? Hmmm.... Apa kau tidak dapat 

menebak makna yang tersirat dari balik kalimat ku ta-

di?"

"Ada hubungannya dengan Hantu Pemetik 

Bunga?" tebak Dewa Geli sambil menggaruk kepalanya 

yang tak gatal.

"Ha ha ha...!" Putri Budukan tertawa panjang 

bergelak. Buah dadanya yang ranum terlihat naik tu-

run. Andai wanita ini tidak berwajah sedemikian bu-

ruk, pasti banyak lelaki yang akan bertekuk lutut di 

bawah kakinya.

"Hei! Kenapa kau tertawa?!" tegur Dewa Geli.

"Kau pikir, cuma kau saja yang bisa tertawa!" 

sergap Putri Budukan seraya tertawa bergelak lagi.

Kembali Dewa Geli menggaruk kepalanya yang 

tak gatal. Melihat ulah Putri Budukan, hati bocah lela-

ki Itu tergelitik. Dan..., turut tertawalah dia dengan 

suara mengikik panjang.

"Hei! Hei!" ganti Putri Budukan yang menegur. 

"Aku menertawakan kebodohanmu! Kenapa kau malah 

ikut tertawa?!"

"Menertawakan kebodohan ku?" sahut Dewa


Geli. "Aku tidak bodoh! Aku tertawa karena melihat 

kau salah menerka dan menduga. Hi hi hi.... Siapa 

yang bodoh? Aku? Hi hi hi.... Aku tidak bodoh! Hi hi 

hi...."

"Bocah gemblung! Tutup mulutmu! Atau, ku ta-

rik lidahmu keluar hingga putus saat ini juga!"

Melihat Putri Budukan naik pitam, Dewa Geli 

geleng-geleng kepala. Namun setelah mengangkat ba-

hu, dia tertawa lagi. "Hi hi hi.... Aku bicara karena aku 

punya mulut. Aku tertawa karena aku merasa senang. 

Mumpung mulutku masih utuh, mumpung masih ada 

rasa senang di hatiku, siapa pun tak dapat melarang 

aku untuk bicara dan tertawa. Hi hi hi.... Tak juga 

kau, Putri Budukan! Kau tak punya hak untuk mela-

rangku bicara dan tertawa! Hi hi hi.... Kalau ada orang 

yang punya hak melarang orang lain untuk bicara 

ataupun tertawa, maka berakhirlah usia dunia ini. Hi 

hi hi...."

Mendengus gusar Putri Budukan. "Apa yang 

kau katakan memang ada benarnya, Bocah Edan!" 

ujarnya. "Tertawalah sepuas hatimu sebelum dunia 

mu kubuat kiamat!"

"Hi hi hi.... Kau bicara seolah sedang mewakili 

turunnya takdir Sang Pencipta. Mana dapat kau mem-

buat duniaku jadi kiamat? Hi hi hi.... Jangan jual bua-

lan di hadapanku, Putri Budukan! Hi hi hi...."

"Hmmm.... Teruskan tawa jelek mu itu, Bocah 

Gemblung! Biar kau tak menyesal nantinya bila harus 

melihat cairan darahmu mengucur masuk ke lam-

bungku!"

"Kau membunuhku? Hi hi hi.... Apa salahku? 

Apa kau sangat tidak suka melihat ulah ku yang hen-

dak memotong habis 'senjata' Hantu Pemetik Bunga? 

Hi hi hi...."


"Persetan dengan Hantu Pemetik Bunga!" sen-

tak Putri Budukan. "Dia sudah kuselamatkan. Tak ada 

urusan lagi aku dengannya!"

"Lalu, untuk apa kau mengundangku kemari?" 

tanya Dewa Geli sambil menarik celananya yang hen-

dak melorot lepas.

"Hmmm.... Kau pura-pura tidak tahu atau me-

mang tidak tahu?" selidik Putri Budukan.

Melihat kesungguhan wanita buruk rupa itu, 

Dewa Geli menahan keinginan tawanya. Setelah meng-

garuk kepalanya yang tak gatal, dia berkata, "Seribu 

macam dugaan, aku bisa mencetuskan. Seribu macam 

terkaan, aku bisa menyampaikan. Tapi..., aku tak mau 

menduga dan menerka yang hanya akan mengulur 

waktu. Aku ingin kepastian dari mulutmu, Putri Bu-

dukan. Setelah kau katakan apa yang menjadi tu-

juanmu, ganti aku yang akan mengutarakan isi hati-

ku...."

Putri Budukan menatap lekat wajah Dewa Geli. 

Walau Dewa Geli hanya berupa seorang bocah lelaki 

berumur sepuluh tahunan, Putri Budukan tahu bila 

bocah itu telah berusia seratus tahun. Dan, Putri Bu-

dukan pun tahu bila si bocah memiliki sesuatu yang 

tak dimiliki oleh manusia kebanyakan. Karena men-

ginginkan sesuatu dari Dewa Geli itulah, Putri Budu-

kan memancing si bocah untuk datang ke Puncak Ku-

pu-Kupu. (Untuk mengetahui riwayat Dewa Geli dan 

asal mula pertemuannya dengan Putri Budukan, sila-

kan simak serial Pendekar Bodoh dalam episode: "Ratu 

Perut Bumi"). 

"Aku tahu, selama sembilan puluh tahun, kau 

tinggal di Istana Abadi di negeri para siluman. Karena 

puluhan tahun tinggal di suatu tempat yang tak men-

genal putaran waktu itu, darahmu mengandung satu


kekuatan gaib yang luar biasa ampuh...," ujar Putri 

Budukan kemudian. "Siapa pun yang meminum cairan 

darahmu juga mempunyai khasiat menyembuhkan 

berbagai macam penyakit. Ketahuilah kau, Bocah 

Gemblung, aku sengaja mengundangmu kemari kare-

na aku menginginkan cairan darahmu itu. Ha ha ha.... 

Aku akan segera mendapat kekuatan maha hebat! Wa-

jahku akan berubah cantik jelita! Ha ha ha...!"

"Ngaco belo!" dengus Dewa Geli. "Siapa bilang 

cairan darahku mempunyai khasiat seperti yang kau 

katakan itu, Putri Budukan?!"

"Siapa bilang? Hmmm.... Aku tak tahu siapa 

yang menyiarkan kabar itu pertama kali. Tapi, aku 

percaya akan kebenarannya. Bahkan sangat memper-

cayainya! Maka, sekaranglah aku membuktikan...."

Di ujung kalimatnya, Putri Budukan bersuit 

nyaring. Dari segenap penjuru, tiba-tiba berlesatan 

manusia-manusia kerdil, dan langsung mengepung 

Dewa Geli. 

Jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh 

orang. Semuanya hanya mengenakan cawat berwarna 

hitam. Tangan kanan membawa tombak panjang dan 

tangan kirinya mencekal jala lebar yang terbuat dari 

jalinan tali putih berkilat!

"Hi hi hi...," Dewa Geli tertawa mengikik melihat 

dirinya dikitari manusia-manusia kerdil. "Rupanya, 

Putri Budukan punya piaraan tuyul-tuyul dekil. Hi hi 

hi.... Mereka semua laki-laki. Hi hi hi... Mereka pasti 

juga senang mengintip. Hi hi hi.... Sayang, yang dapat 

mereka intip hanya Putri Budukan yang buruk rupa. 

Hi hi hi..."

Dewa Geli terus tertawa mengikik. putri Budu-

kan mendengus gusar. Ketika wanita yang wajahnya 

penuh bisul bernanah itu bersuit nyaring lagi, tiga puluh manusia kerdil langsung menerjang. Suara mereka 

bercelotehan seperti puluhan kera yang sedang men-

gamuk.

Melihat ujung-ujung tombak yang hendak me-

nyate tubuhnya, Dewa Geli terus saja tertawa panjang 

mengikik. Sikapnya seolah tak mau peduli pada ba-

haya yang tengah mengancam jiwanya. Dan ternyata..., 

sikap yang ditunjukkan si bocah bukan tanpa alasan 

karena...

Trang! Trang!

Bltak! Bltak!

Tusukan tombak datang silih berganti bagai si-

raman air bah. Namun, silih berganti pula batang-

batang senjata itu berpatahan. Dada dan punggung 

Dewa Geli yang tertusuk tombak memperdengarkan 

suara berdentang seperti perisai baja yang tak tembus 

senjata tajam. Lebih hebat lagi, batang-batang tombak 

di tangan tiga puluh manusia kerdil patah jadi dua wa-

lau sebenarnya batang-batang tombak itu terbuat dari 

sejenis kayu rotan yang amat kuat.

Putri Budukan yang sudah tahu kehebatan 

Dewa Geli tak menjadi terkejut. Sekali lagi, dia bersuit 

nyaring lagi. Tiga puluh manusia kerdil menerjang le-

bih berani. Patahan batang tombak mereka buang be-

gitu saja. Mereka menyerang dengan jala.

"Hi hi hi.... Aku bukan ikan. Kenapa kalian 

hendak menjala ku? Hi hi hi.... Kalau masih nekat, ka-

lian sendirilah yang akan ku jala! Hi hi hi...."

Dewa Geli membiarkan tubuhnya dihujani pu-

luhan jala. Namun, begitu ketiga puluh jala di tangan 

manusia kerdil telah lengkap menerpa tubuhnya, Dewa 

Geli bergerak cepat sekali. Tubuhnya menggeliat-liat 

seperti orang kepanasan. Sementara, kedua tangannya 

berkelebatan memperdengarkan suara bergemuruh ke


ras!

Di lain kejap, tiga puluh manusia kerdil berte-

riak-teriak dengan bahasa aneh yang tak bisa dimen-

gerti. Tubuh mereka semua telah terbaring di tanah 

tanpa dapat bangun lagi karena terjerat oleh jala sen-

diri!

Melihat kehebatan Dewa Geli yang dapat den-

gan mudah menaklukkan tiga puluh manusia kerdil, 

barulah Putri Budukan membelalakkan mata karena 

terkejut.

"Jahanam kau, Bocah Edan!" geramnya dengan 

sinar mata berapi-api.

Namun saat wanita berpakaian tipis tembus 

pandang itu hendak menerjang, Dewa Geli berseru lan-

tang.

"Tunggu! Kau sudah mengatakan apa mak-

sudmu mengundangku kemari. Tak adil rasanya bila 

aku tak mengatakan terlebih dulu apa maksud keda-

tanganku ini. Aku senang memenuhi undanganmu ka-

rena sebenarnya aku punya urusan denganmu, Putri 

Budukan...."

"Segera katakan urusan apa itu?!" sentak Putri 

Budukan.

"Hi hi hi.... Kau ingat Hantu Pemetik Bunga?" 

ujar Dewa Geli sambil mengulum senyum.

"Ada apa dengan dia?" selidik Putri Budukan.

"Kau sudah tahu bukan kalau aku bermaksud 

memotong habis 'senjata' durjana busuk yang suka 

mengumbar nafsu kelelakiannya itu? Nah! Beberapa 

pekan lalu, Hantu Pemetik Bunga berkata kepada ku 

bila kau juga seorang durjana busuk. Bukankah kau 

juga suka mengumbar nafsu tak baikmu pada para le-

laki?"

Mendelik mata Putri Budukan. Namun, dia tak


berkata apa-apa. Matanya tajam menatap Dewa Geli 

yang tertawa cekikikan.

"Hi hi hi.... Andai kau dikaruniai wajah cantik, 

tak perlu kau memaksa banyak lelaki untuk memua-

skan nafsu setanmu. Tapi karena kau kebetulan tak 

mendapat karunia itu, kau sering memaksakan ke-

hendak. Banyak lelaki yang telah mati karena tak mau 

meladeni kemauanmu. Hmmm.... Mereka yang telah 

mati itu adalah kaum ku, Putri Budukan. Aku turut 

merasakan penderitaan mereka sebelum kau bunuh. 

Dan.... Hi hi hi.... Kau tahu bukan apa yang akan sege-

ra kuperbuat kepadamu? Kalau Hantu Pemetik Bunga 

hendak ku potong 'senjata'-nya sampai habis, aku 

hendak memotong... hi hi hi... sampai habis pula.... Hi 

hi hi...!"

"Keparat! Laksanakan bila kau mampu!"

Menggembor keras Putri Budukan. Tiba-tiba, 

dia mengeluarkan sebuah senjata berupa bola bergeri-

gi. Bola sebesar kepala manusia dewasa itu langsung 

dilemparkan ke atas!

Glarrr...!

Bersama munculnya suara ledakan, bola berge-

rigi lenyap tanpa bekas. Dan..., terkejutlah Dewa Geli 

saat melihat tubuh tiga puluh manusia kerdil tampak 

membesar. Tali-tali jala yang membelit tubuh mereka 

putus berantakan!

Dewa Geli mengucak-ngucak matanya penuh 

rasa tak percaya. Tubuh ketiga puluh manusia kerdil 

terus membesar hingga sebesar gajah!

"Sihir...!" desis Dewa Geli.

Bocah berpakaian kedodoran itu bergegas 

menghimpun kekuatan batinnya untuk mengusir pen-

garuh sihir Putri Budukan. Tapi, tetap saja tubuh keti-

ga puluh manusia kerdil yang telah sebesar gajah tetap


tak berubah. Tubuh mereka benar-benar dapat beru-

bah menjadi raksasa!



DUA



KITA tinggalkan dulu pertarungan Dewa Geli 

dan Putri Budukan. Sekarang kita ikuti perjalanan Se-

no menyelamatkan Kemuning di Lembah Rongga Laut.

"Ceritanya panjang sekali, Seno...," ujar seorang 

gadis cantik berpakaian serba kuning. "Aku baru tahu 

siapa sebenarnya yang telah membawaku ke tempat 

mengerikan ini setelah orang itu memperkenalkan diri 

sebagai Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah.... 

Rupanya, durjana culas itu benar-benar mampu me-

rubah wajah dan bentuk tubuhnya, hingga aku sama 

sekali tak dapat mengenali."

"Ya. Ya, aku tahu kelicikan durjana itu...,," sa-

hut seorang pemuda berpakaian biru-biru dengan ikat 

pinggang kain tebal berwarna merah.

"Lalu, bagaimana kau bisa tahu kalau aku dis-

ekap Mahisa Lodra di tempat ini?" tanya si gadis yang 

tak lain dari Kemuning atau Dewi Pedang Kuning

"Ceritanya juga panjang, Kemuning...," beri ta-

hu pemuda berpakaian biru-biru, lirih seperti meng-

gumam. 

Pemuda yang duduk di hadapan Kemuning itu 

berparas tampan. Berdada bidang, dan tubuhnya pun 

tampak tegap berisi. Dengan sepasang alis yang salah 

satu ujungnya melintang ke atas bak sayap elang me-

nukik, bola mata si pemuda memperlihatkan sorot ta-

jam menusuk, menandakan ketinggian ilmunya yang 

sudah cukup sulit untuk diukur. Namun demikian, 

wajah tampan si pemuda menyiratkan sinar keluguan


dan kejujuran.

Menilik ciri-ciri pemuda yang rambutnya pan-

jang tergerai itu, siapa lagi dia kalau bukan Seno Pra-

setyo atau Pendekar Bodoh!

"Sebetulnya, Mahisa Lodra hendak menukar di-

rimu dengan Kodok Wasiat Dewa yang telah berhasil 

kudapatkan...," lanjut Seno. "Karena durjana itu amat 

licik dan culas, dia tak mau memberi tahu secara lang-

sung di mana kau disekapnya. Dia cuma memberi ku

sebuah kalimat sandi berbunyi: 'Menembus Laut Ber-

napas Dalam Air....'"

"Dan, kau bisa memecahkan kalimat sandi itu?" 

tanya Kemuning penuh haru.

Seno mengangguk. "Kalimat sandi dari Mahisa 

Lodra itu ternyata nama sebuah batu mustika, yaitu 

batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...."

"Sebentar, Seno, kau katakan tadi bila Mahisa 

Lodra hendak menukar diriku dengan Kodok Wasiat 

Dewa. Apakah benda ajaib yang berada di dalam perut 

Ikan Mas Dewa itu memang telah berhasil kau da-

patkan?"

Seno mengangguk lagi.

"Kau memberikannya?" tanya Kemuning, seper-

ti menyesali perbuatan Pendekar Bodoh.

"Jiwamu jauh lebih penting, Kemuning...," ja-

wab Seno penuh keyakinan. "Aku rela memberikan 

Kodok Wasiat Dewa kepada durjana itu asal kau sela-

mat."

"Tapi, Seno..., bila benda ajaib itu ditelan oleh 

Mahisa Lodra, tidakkah dia akan menjadi momok yang 

amat menakutkan bagi kaum rimba persilatan? Dia 

akan semakin mengumbar keangkaramurkaannya!"

"Aku tahu hal itu," sergap Seno. "Tapi, kau tak 

perlu khawatir. Kau dapat kuselamatkan. Kodok Wa


siat Dewa pun berhasil kudapatkan kembali."

"Benarkah itu?"

"Untuk apa aku berbohong? Ada seorang pen-

dekar budiman yang telah berhasil merampas Kodok 

Wasiat Dewa dari tangan Mahisa Lodra. Benda ajaib 

itu lalu diberikan lagi kepadaku...."

"Hmmm.... Baik benar orang itu. Siapa dia?" 

tanya Kemuning, penasaran.

"Namanya aku tak tahu. Dia hanya memperke-

nalkan diri dengan sebutan Ksatria Topeng Putih," ja-

wab Seno tanpa melepas pandangan dari wajah cantik 

Kemuning.

"Ksatria Topeng Putih? Tampaknya, julukan itu 

masih sangat asing bagiku...."

"Ah, sudahlah...," sergah Seno. "Kita harus se-

gera pergi dari tempat ini. Bukankah tadi kau bilang 

bahwa kau amat ngeri dan takut berada di tempat ini?"

"Ya! Kita memang harus segera pergi," sambut 

Kemuning seraya bangkit berdiri.

Pendekar Bodoh turut bangkit. Sejenak, dia 

mengedarkan pandangan. "Ketahuilah, Kemuning, 

tempat ini bernama Lembah Rongga Laut...," ujarnya.

"Aku telah mendengarnya dari mulut Mahisa 

Lodra," sahut Kemuning. "Kata durjana keparat itu, 

tempat ini tak mungkin dapat dijamah oleh manusia 

lain, kecuali Raja Penyasar Sukma dan Mahisa Lodra 

sendiri."

"Buktinya aku bisa," ujar Pendekar Bodoh se-

perti menggoda.

"Hmmm.... Kalau tidak salah aku menebak, apa 

yang dapat kau lakukan ini tentu berkat kekuatan gaib 

batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'..."

"Begitulah.... Ah! Kita tak perlu omong banyak 

di tempat ini. Aku khawatir ada marabahaya yang masih mengintai. Kita harus segera...."

Mendadak, ucapan Seno terhenti. Bola mata 

murid Dewa Dungu itu melotot besar dengan mulut 

ternganga lebar. Agaknya, dia tengah terhantam keter-

kejutan.

"Kau... kau lihat itu, Kemuning...?" ujar Pende-

kar Bodoh, gelagapan.

Dewi Pedang Kuning mengarahkan pandangan 

ke tempat yang ditunjukkan Seno. Dan, keterkejutan 

turut menghantam isi dada murid Dewi Pedang Halilin-

tar itu!

"Astaga...!" seru Kemuning dengan raut wajah 

berubah pucat.

Sejurus dengan pandangan Seno dan Kemun-

ing, terdapat sebuah bukit yang menjulang tinggi. 

Puncak bukit itu tidak berbentuk sewajarnya karena 

dipenuhi lidah api yang menebarkan cahaya putih ber-

kilat. Cahaya itu mampu menerangi seluruh tempat di 

Lembah Rongga Laut.

Ketika Seno dan Kemuning mendongak, tahu-

lah mereka bila wujud matahari tak tampak barang se-

cuil pun, apalagi sinarnya. Yang terlihat di atas kepala 

hanyalah lapisan kabut putih yang menebar rata. Kea-

daan Lembah Rongga Laut bisa sedemikian terang ka-

rena disinari cahaya aneh yang berasal dari puncak 

bukit yang berjarak puluhan tombak dari tempat Seno 

dan Kemuning berada.

"Ini bukan tempat yang aman, Kemuning. Kita 

harus segera pergi," cetus Pendekar Bodoh, menyim-

pan rasa khawatir.

"Ya! Ya, Seno. Tampaknya, tempat ini tidak be-

rada di dunia manusia," sambut Kemuning. "Dari ma-

na kau datang, Seno? Kita harus melalui tempat itu la-

gi agar kita dapat pergi."


"Tidak! Aku datang dengan bantuan kekuatan 

gaib batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam 

Air'. Dengan batu mustika itu, aku bisa bernapas di 

dalam air untuk menempuh perjalanan cukup jauh 

menelusuri lorong-lorong gua dalam laut. Kau tak 

mungkin dapat melakukan seperti apa yang telah ku-

lakukan...."

"Lalu, aku harus bagaimana?"

"Tenanglah. Kita bisa memanfaatkan lagi keku-

atan gaib batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Da-

lam Air'. Kau tak perlu mengikuti jejak ku dengan me-

nempuh perjalanan di dalam air..." 

"Caranya?"

"Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Da-

lam Air' telah masuk ke perutku. Aku harus mengelua-

rkannya terlebih dulu."

Usai berkata, Seno mengalirkan kekuatan tena-

ga dalam ke telapak tangannya. Telapak tangan yang 

telah dialiri tenaga dalam yang bersifat mengisap itu 

lalu ditempelkan ke pusar. Di lain kejap, sekujur tu-

buh Seno tampak bergetar....

Namun, perlahan wajah Seno berubah pucat. 

Tatapan matanya menyiratkan rasa bingung dan kha-

watir.

"Ada apa, Seno?" tanya Kemuning yang tak be-

gitu mengerti apa yang tengah dilakukan oleh Pende-

kar Bodoh.

"Menurut Ratu Perut Bumi, tindakan inilah 

yang harus kulakukan...," desis Seno. "Tapi..., kenapa 

batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' 

tak mau keluar dari perutku? Bahkan... uh! Kenapa isi 

perutku yang malah hendak tersedot keluar? Astaga!"

Sinar mata Pendekar Bodoh semakin menyi-

ratkan rasa bingung dan khawatir. Walau dia telah


mengerahkan sebagian besar kekuatan tenaga dalam-

nya, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam 

Air' tetap tak mau keluar dari perutnya. Tentu saja Se-

no tak mau menambah kekuatan tenaga dalamnya 

sampai ke puncak karena kalau hal itu dilakukan, ju-

stru perutnya lah yang akan jebol! Dan, hanya kema-

tianlah akibatnya!

"Ratu Perut Bumi! Ratu Perut Bumi!" seru Se-

no, menyebut nama orang yang telah memberi petun-

juk bagaimana cara mengeluarkan batu mustika yang 

berada di dalam perutnya.

Seruan pemuda lugu itu tak ada yang menya-

huti. Ratu Perut Bumi memang tak berada di Lembah 

Rongga Laut. Maka, semakin pucatlah wajah Seno. 

Apakah petunjuk Ratu Perut Bumi salah?

Sebenarnya, tanpa diketahui oleh Seno, batu 

mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' telah 

menyatu dengan Kodok Wasiat Dewa yang lebih dulu 

ditelan oleh murid Dewa Dungu itu. Penyatuan dua 

benda yang amat langka itu pada mulanya memberi-

kan manfaat besar kepada Seno. Kekuatan dahsyat 

yang terbentuk mampu menghancurkan delapan tan-

gan makhluk mengerikan yang menghadang Seno di 

gua dalam laut. (Baca serial Pendekar Bodoh dalam ep-

isode : "Ratu Perut Bumi"). Tapi sekarang ini, penya-

tuan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam 

Air' dengan Kodok Wasiat Dewa justru mendatangkan 

bahaya. Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Da-

lam Air' yang tak dapat dikeluarkan dari perut Seno 

tentu saja menghalangi si pemuda untuk dapat keluar 

dari Lembah Rongga Laut. Seno masuk ke Lembah 

Rongga Laut dengan menggunakan kekuatan gaib batu 

mustika itu. Untuk keluar, dia pun harus mengguna-

kan kekuatan gaib batu mustika itu juga! Tapi, bagai


mana mungkin Seno dapat menggunakan kekuatan 

gaib batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam 

Air' kalau batu mustika itu tak dapat dikeluarkan dari 

dalam perutnya? 

"Seno! Seno!" seru Kemuning, mengingatkan, 

karena melihat wajah Pendekar Bodoh semakin memu-

cat seperti orang kehabisan tenaga.

"Aku harus dapat mengeluarkan batu mustika 

di dalam perutku ini, Kemuning...," tekad Seno. "Aku 

harus berhasil! Kalau tidak, kita akan terkurung di 

tempat terkutuk ini seumur hidup!" Pendekar Bodoh 

mencoba lagi. Dikerahkannya tenaga dalam lebih ba-

nyak. Namun, hanya rasa sakit yang didapatkannya. 

Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' te-

tap tak dapat dikeluarkan dari perutnya! 

"Seno! Seno!" seru Kemuning lagi. "Hentikan 

perbuatanmu! Lihatlah di sana itu!" 

Mendengar seruan Kemuning kali ini, Seno me-

lepas aliran tenaga dalamnya. Lalu, dia mengarahkan 

pandangan ke tempat yang ditunjukkan oleh si gadis. 

Puluhan tombak dari hadapan kedua anak ma-

nusia berlainan jenis itu tampak benda-benda bulat 

menggelinding dari punggung bukit. Benda-benda bu-

lat itu terus menggelinding dengan cepat, mendekati 

Seno dan Kemuning....

"Benda apa itu?" tanya Kemuning dengan mata 

terbelalak lebar.

"Entahlah. Tampaknya, cuma batu...," tebak 

Seno. 

"Bukan!"

"Lalu, apa?" 

"Aku juga tak tahu. Tapi, kalau batu, kenapa 

bisa melompat-lompat seperti itu?" Seno terdiam.

Kemuning turut terdiam. Ketika benda-benda


bulat yang tengah menggelinding dan melompat-

lompat sudah dekat di hadapan mereka, memekik pa-

raulah kedua muda-mudi itu penuh rasa nyeri dan gi-

ris. Benda-benda bulat itu ternyata kepala manusia!

"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh. Semen-

tara, Kemuning langsung memeluk si pemuda dengan 

perasaan takut tak karuan!

Kepala-kepala manusia yang bergerak mende-

kati Seno dan Kemuning itu berjumlah lebih dari dua 

puluh buah! Semuanya gundul tanpa rambut dengan 

raut wajah kehitaman. Bola mata melotot. Batang hi-

dung besar. Dan, mulutnya menyeringai dingin, mem-

perlihatkan sepasang taring runcing panjang!

Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya 

makhluk hidup berbentuk bulat itu juga mempunyai 

tangan dan kaki. Hanya saja, tangan dan kaki mereka 

amat kecil dan pendek sehingga hampir tak terlihat. 

Mereka bergerak menggelinding dan melompat-lompat 

dengan menekankan tangan ataupun kakinya bergan-

tian.

"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh lagi. 

"Tempat ini benar-benar tempat terkutuk!"

"Sebelum mereka menyerang, lebih baik kita 

menyerang lebih dulu, Seno!" cetus Kemuning yang 

mulai timbul keberaniannya.

"Ya!" sambut Seno seraya meloloskan Tongkat 

Dewa Badal dari ikat pinggangnya.

Tanpa pikir panjang lagi, murid Dewa Dungu 

itu mengibaskan senjata mustika di tangannya sekuat 

tenaga, Timbul tiupan angin kencang laksana topan. 

Puluhan makhluk gundul kontan terhempas, lalu ter-

lontar tinggi di angkasa. Ada yang tercebur ke rawa-

rawa, ada pula yang membentur bongkah batu besar.

Gemuruh angin yang timbul dari kibasan Tong


kat Dewa Badai segera ditimpali suara pekik kesakitan 

makhluk-makhluk gundul. Hebatnya, mereka semua 

dapat menggelinding dan melompat-lompat lagi. Bola 

mata mereka melotot besar penuh hawa amarah. Mu-

lut mereka pun terbuka lebar seperti hendak memang-

sa Seno dan Kemuning mentah-mentah 

"Aku ke sini tidak dengan maksud buruk!" seru 

Pendekar Bodoh. "Jangan ganggu aku! Biarkan aku 

membawa sahabatku pergi!"

Seruan pemuda lugu itu cuma disahuti suara 

geram kemarahan makhluk-makhluk gundul. Dengan 

menunjukkan seringai dingin, mereka bergerak men-

gepung. 

"Aku harus mengambil pedangku, Seno..," ujar 

Dewi Pedang Kuning,

"Di mana kau simpan pedangmu?" tanya Pen-

dekar Bodoh.

"Mahisa Lodra menancapkan pedangku di ping-

gir rawa itu!"

Dengan hati berdebar-debar, Pendekar Bodoh 

mengarahkan pandangan ke sebuah rawa yang ditun-

jukkan Dewi Pedang Kuning. Di belakang empat mak-

hluk gundul, di bawah pohon kering tanpa daun, terli-

hat oleh Pendekar Bodoh sebatang pedang yang me-

nancap di tanah.

Pedang yang menancap lengkap dengan sa-

rungnya itu milik Dewi Pedang Kuning. Setan Selaksa 

Wajah-lah yang telah menancapkannya di tempat itu.

"Minggir kau!" seru Seno tiba-tiba.

Pemuda remaja berparas tampan itu memba-

rengi seruannya dengan kibasan Tongkat Dewa Badai. 

Empat makhluk gundul yang berada di hadapan si 

pemuda langsung terpental. Pekik parau kesakitan 

mengiringi lontaran tubuh mereka.


Pada saat itulah Seno meluruskan tangan ki-

rinya ke depan. Dari telapak tangan murid Dewa Dun-

gu itu keluar satu kekuatan tenaga dalam yang bersifat 

mengisap!

Wusss...!

Tep!

Di lain kejap, pedang Kemuning yang menan-

cap di tanah, sekitar dua puluh tombak dari hadapan 

Seno, tercabut lalu melesat dan menempel di telapak 

tangan kiri Seno!

"Ini pedangmu!" ujar Pendekar Bodoh, menyo-

dorkan pedang di tangannya.

"Terima kasih, Seno," sambut Dewi Pedang 

Kuning.

Murid Dewi Pedang Halilintar itu langsung 

menghunus bilah pedang kuningnya. Seno pun tam-

pak bersiap siaga untuk menghadapi segala kemung-

kinan yang terjadi. Dan tiga tarikan napas kemudian, 

apa yang dikhawatirkan Seno benar-benar menjadi ke-

nyataan. Makhluk-makhluk gundul bertangan dan 

berkaki pendek menerjang dari segala jurusan!

Suara hiruk-pikuk terdengar memekakkan 

gendang telinga. Sambil menyerang, makhluk-makhluk 

berbentuk bulat seperti bola itu mengeluarkan suara 

geram aneh yang mirip lolongan serigala. Mereka beru-

saha membenturkan tubuh mereka yang nyaris hanya 

berupa kepala ke dada Seno ataupun Kemuning. Jan-

gan dikira benturan tubuh makhluk-makhluk itu tidak 

berbahaya. Sebongkah batu sebesar kerbau pun akan 

meledak hancur bila terkena benturan tubuh mereka! 

Namun tampaknya, maksud mereka untuk 

membinasakan Seno dan Kemuning menemui kesuli-

tan. Kibasan Tongkat Dewa Badai dan pedang kuning 

di tangan Kemuning benar-benar mampu membuat


mereka mesti berpikir dua kali untuk terus bergerak 

mendekat.

Crash...!

"Wuahhh...!"

Terdengar pekik kesakitan menyayat hati. Tu-

buh salah satu makhluk gundul tertebas ketajaman 

pedang Kemuning. Tubuh si makhluk yang bulat lang-

sung terbelah jadi dua. Tapi anehnya, belahan tubuh 

makhluk itu dapat terus bergerak! Bahkan, perlahan 

namun pasti wujud belahan tubuh itu berubah jadi 

wujud semula seperti sebelum kena tebas pedang. 

Dengan kata lain, belahan tubuh si makhluk dapat 

menjadi sesosok makhluk lain dengan wujud yang sa-

ma!

"Astaga...!" kejut Dewi Pedang Kuning.

Dalam keterkejutannya, gadis bertubuh sintal 

itu mengirim serangan membabi buta. Dia keluarkan 

jurus-jurus pedang andalan. Hingga tak seberapa lama 

kemudian, dua makhluk gundul lainnya tertebas lagi. 

Namun..., mereka pun tak mati. Bahkan, menjadi ber-

lipat dua! Akibatnya, semakin lama makhluk-makhluk 

yang tengah mengeroyok Seno dan Kemuning menjadi 

berlipat ganda!

"Seno! Seno! Bagaimana ini?" seru Kemuning, 

panik terbalut rasa ngeri.

"Tenanglah, Kemuning...," sahut Pendekar Bo-

doh sambil mengibaskan Tongkat Dewa Badai-nya be-

rulang kali.

Wesss...!

Wesss...!

Kibasan Tongkat Dewa Badai menimbulkan ti-

upan angin maha dahsyat. Hampir semua makhluk 

gundul terlontar jauh. Sebagian tercebur ke rawa-

rawa. Sebagian lagi terbanting ke tanah ataupun


membentur bongkah batu besar. Tapi..., mereka meng-

gelinding dan melompat lagi. Sepertinya, mereka mem-

punyai nyawa rangkap! Bahkan, kali ini mereka me-

nyerang lebih ganas!

"Tempat terkutuk! Tempat terkutuk!" seru Pen-

dekar Bodoh terbawa rasa kalutnya.

Mendadak, murid Dewa Dungu itu menyambar 

tubuh Kemuning seraya dibawa berkelebat pergi. Dia 

kerahkan ilmu peringan tubuhnya yang bernama 

'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Di lain kejap, sosok 

dua anak manusia itu telah menghilang dari pandan-

gan. 

Namun..., makhluk-makhluk gundul yang jum-

lahnya telah berlipat ganda tak mau membiarkan Seno 

dan Kemuning lolos. Diiringi suara hingar-bingar, me-

reka menggelindingkan tubuh dan melompat-lompat 

untuk dapat mengejar calon mangsa mereka itu!



TIGA



PENDEKAR BODOH menghentikan kelebatan 

tubuhnya di sebuah lekukan tanah berbatu. 

Tempat itu cukup tersembunyi karena permu-

kaannya bergelombang-gelombang, sehingga menyu-

litkan pandangan orang.

Sebelum menurunkan tubuh Dewi Pedang Kun-

ing, Seno melompat tinggi untuk meyakinkan bahwa 

tak ada makhluk gundul yang mengejarnya.

"Kita aman...," desis Seno seraya menurunkan 

tubuh Kemuning yang semula dibopongnya.

"Kita tetap belum aman, Seno," sahut Kemun-

ing. "Selama kita masih berada di tempat ini, bahaya


akan selalu mengintai...."

Seno nyengir kuda. Hatinya ikut berdebar-

debar melihat kekhawatiran yang terpancar dari tata-

pan mata Kemuning. Namun, bagaimana dia mesti be-

rusaha untuk membawa gadis itu keluar dari Lembah 

Rongga Laut? Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas 

Dalam Air' yang bersemayam di dalam perutnya tak 

dapat dikeluarkan lagi!

"Kenapa diam saja?" tanya Kemuning, menya-

darkan Seno dari lamunannya.

"Aku bingung...," desis Seno, mengambil tempat 

duduk di atas bongkahan batu. Kemuning terdiam.

Murid Dewi Pedang Halilintar itu dapat mene-

bak apa yang ada di dalam benak Pendekar Bodoh. Si 

pemuda pasti sedang memikirkan cara untuk dapat 

keluar dari Lembah Rongga Laut. Hal itu juga yang 

menjadi pikiran di benaknya.

Namun, Kemuning yang banyak akal segera 

menepuk bahu Seno seraya berkata, "Jika kita cuma 

diam merenung, kita tetap akan terkubur di tempat 

ini...."

"Maksudmu?" tanya Seno, kebodoh-bodohan. 

"Kita harus mencari jalan keluar!" cetus Ke-

muning.

"Caranya?"

"Uh! Bodoh benar kau, Seno!" sentak Dewi Pe-

dang Kuning, sebal.

"He, kenapa kau marah? Aku cuma bertanya. 

Apa aku salah?" kilah Pendekar Bodoh.

"Aku tahu! Tapi, kurasa otakmu itu terlalu beb-

al!"

"Benarkah?" ujar Seno sambil cengar-cengir se-

perti bayi yang tak punya dosa.

"Uh! Sebal! Kau amat sulit untuk diajak bicara


sungguh-sungguh! Kau ikuti aku saja!"

"Ke mana?"

Kemuning tak menjawab.

Saat gadis itu melangkahkan kaki, bergegas 

Seno mengikuti. Berulang kali Seno menanyakan tu-

juan si gadis, tapi tak sekali pun mendapat jawaban. 

Kemuning terus melangkah dan sesekali meloncati 

bongkah-bongkah batu.

"Kita kemana?" tanya Seno untuk kesekian ka-

linya.

Pertanyaan pemuda remaja itu tidak main-

main. Karena sangat mengkhawatirkan keselamatan 

Kemuning, dia berusaha mencegah kepergian si gadis.

"Diamlah!" bentak Dewi Pedang Kuning, tak 

menoleh ataupun menghentikan langkah.

"Kemuning!" Seno balas membentak. "Jangan 

buat aku jadi penasaran! Katakan kau hendak ke ma-

na?!"

"Tentu saja mencari jalan keluar, Tolol! Apa kau 

mau terkurung seumur hidup di tempat terkutuk se-

macam ini?!"

Seno nyengir kuda seraya menggaruk kepa-

lanya yang tak gatal. "Ya! Ya, kita harus keluar dari 

tempat ini...," sahutnya, lirih.

Tak mau tertinggal, bergegas Seno meloncat 

mengejar Kemuning. Sementara, Kemuning terus saja 

melangkah. Dilewatinya semak belukar. Diedarkannya 

pandangan ke segenap penjuru. Tapi hingga beberapa 

lama, jalan yang menuju ke dunia luar belum dapat di-

temukannya. Karena lelah dan putus asa, Kemuning 

menghentikan langkah kakinya di pinggir aliran sun-

gai.

"Kau lelah, Kemuning?" tanya Seno, sudah tahu 

tapi masih saja bertanya.


Kemuning tak menjawab.

"Pedang yang terselip di punggungmu itu tam-

paknya cukup berat. Biar aku yang membawanya," ta-

war Pendekar Bodoh.

"Terima kasih," tolak Kemuning, pendek.

Tak bosan gadis yang rambutnya digelung ke 

atas itu mengedarkan pandangan. Tapi, yang dilihat-

nya cuma tanah tandus berbatu-batu. Lain itu, pan-

dangannya hanya bertumbuk pada tanah berawa-rawa 

yang dikitari semak belukar.

"Kau lihat itu!" ujar Kemuning kemudian.

Seno mengarahkan pandangan ke tempat yang 

ditunjukkan Kemuning. Dan, melengak heranlah dia. 

Di tepi aliran sungai, agak tertutup oleh gundukan ba-

tu cadas, terlihat mata air yang memancar cukup de-

ras. Anehnya, air yang memancar dari mata air itu 

berwarna merah seperti darah!

"Aneh sekali.... Aneh sekali...," desis Pendekar 

Bodoh seraya berjalan mendekati.

Seno meraup air berwarna merah. Mendadak, 

dia berjingkat. Kedua telapak tangannya terasa amat 

dingin seperti beku. Hingga, tanpa sadar Seno menjerit 

kaget dan membuang air merah yang menggenang di 

telapak tangannya.

"Ada apa, Seno?" tanya Kemuning penuh rasa 

ingin tahu.

"Air ini.... Air ini...," ujar Seno, tak jelas apa 

maksudnya.

"Kenapa dengan air itu?" kejar Kemuning, se-

makin penasaran.

"Air ini dingin sekali...."

Dewi Pedang Kuning mengerutkan kening. 

Hendak dicelupkannya jari-jari tangan kanannya ke 

sumber air merah. Tapi sebelum hal itu terlaksana, tiba-tiba Seno mencekal bahunya kuat-kuat, hingga dia 

memekik kaget. 

"Ada apa, Seno?" tanya Kemuning lagi, kali ini 

terdengar ketus dan penuh rasa kesal.

"Kita harus pergi!" seru Seno.

"Sebentar..., aku mau melihat dulu, kenapa air 

ini bisa berwarna merah...."

"Hus!" tolak Pendekar Bodoh. "Aku mendengar

suara gedebukan seperti puluhan kaki tengah bergerak 

melompat-lompat. Itu pasti suara makhluk-makhluk 

aneh yang mengejar kita!"

Mendengar penjelasan murid Dewa Dungu itu, 

Kemuning langsung menajamkan pendengaran. Dan, 

benarlah apa yang dikatakan Seno. Kemuning juga 

mendengar suara langkah kaki banyak sekali.

"Kita pergi sekarang!"

Tanpa menunggu persetujuan lagi, Pendekar 

Bodoh menyambar tubuh Kemuning. Dan, Kemuning 

pun menurut saja ketika tubuhnya dibopong si pemu-

da untuk dibawa berkelebat pergi. Kemuning sadar bila 

ilmu peringan tubuhnya jauh di bawah Pendekar Bo-

doh.

***

"Sudahlah! Sudahlah!" seru Kemuning. "Aku 

merasa amat ngeri jika kau ajak berlari seperti ini, Se-

no!"

Pendekar Bodoh tahu kalau Kemuning berada 

dalam bopongannya merasa tersiksa. Tapi karena dia 

harus segera berlari sejauh mungkin tak didengarkan-

nya seruan Kemuning itu. Pendekar Bodoh terus berla-

ri mengempos tenaga. Dengan ilmu peringan tubuh 

'Lesatan Angin Meniup Dingin', sosok Pendekar Bodoh


seakan berubah menjadi setan gentayangan!

"Turunkan aku! Turunkan aku!" seru Kemun-

ing lagi.

Gadis bertubuh sintal itu merasakan hembusan 

angin menghajar sekujur tubuhnya. Telinganya men-

jadi pekak. Dan, aliran darahnya pun berdesir tak ka-

ruan.

Seno tetap tak mau peduli!

Menurut pikiran Seno, sambil menghindari ke-

jaran makhluk-makhluk gundul, dia bisa mencari ja-

lan keluar untuk dapat pergi dari Lembah Rongga 

Laut. Tapi, apakah gagasan Seno itu membuahkan ha-

sil?

Ternyata tidak! Tanpa disadari oleh Seno, dia 

cuma berlari berputar-putar. Jalan yang telah dilalui, 

dia lalui lagi. Sementara, Seno pun tak berani mende-

kati bukit yang puncaknya terdapat semburan api ka-

rena di sekitar tempat itu suhu udara amat panas luar 

biasa.

Hingga beberapa lama kemudian, saat tenaga 

Seno mulai terkuras, si pemuda mulai sadar bila usa-

hanya sia-sia belaka. Kemuning tak henti-henti berte-

riak minta diturunkan.

"Kita berhenti di sini saja!" ujar Pendekar Bo-

doh kemudian, menurunkan tubuh Kemuning dengan 

lembut.

Dewi Pedang Kuning yang masih kesal tak mau 

menatap wajah Seno. Dia mengedarkan pandangan. 

Dan, berkerutlah kening gadis itu penuh rasa heran.

"Kau tadi membawaku berlari sedemikian jauh. 

Kukira tak kurang dari lima ratus tombak kau tempuh. 

Tapi, kenapa kita masih berada di tempat ini?" kata 

Kemuning, lirih seperti ditujukan kepada dirinya sen-

diri.


Seno nyengir kuda. "Aku juga tak tahu...," sa-

hutnya. "Tempat ini aneh sekali. Aku memang telah 

membawamu berlari lima ratus tombak lebih. Tapi 

tanpa kusadari, aku cuma berlari berputar-putar, dan 

kembali lagi ke tempat ini...."

"Celaka! Kita benar-benar akan terkubur di 

tempat terkutuk ini, Seno...."

Usai berkata, mendadak Kemuning mengham-

bur ke arah Seno. Sebagai seorang pendekar yang su-

dah biasa menghadapi tindak kekerasan dan kekeja-

man, Kemuning tidak takut mati. Pengalaman hidup-

nya bersama Dewi Pedang Halilintar telah membuat 

Kemuning berjiwa baja. Tapi, dia tak kuasa mem-

bayangkan keadaan dirinya yang akan terus terkurung 

di sebuah tempat aneh yang dihuni makhluk-makhluk 

menyeramkan. Sebagai manusia biasa yang juga 

punya hati dan perasaan, Kemuning pun merasa ngeri. 

Karena bingung dan kalut, dia cuma dapat menyan-

darkan kepalanya di dada Seno. Bola matanya mulai 

berkaca-kaca....

"Kita akan mati di tempat ini, Seno...," desah 

gadis itu.

"Kau jangan punya pikiran macam-macam, 

Kemuning...," tegur Pendekar Bodoh, berdebar-debar 

hatinya bersentuhan kulit dengan gadis yang menjadi 

bunga mimpinya. "Aku pernah mendapat nasihat dari 

Dewa Dungu Guruku. Selama otak kita masih dapat 

digunakan untuk berpikir, selama kita masih punya 

tenaga untuk berusaha, berdosa apabila kita putus 

asa..."

"Aku tahu, Seno. Tapi, dalam keadaan seperti 

ini siapa yang tak akan merasa takut dan ngeri?"

"Ah, sudahlah...," potong Seno, menepuk bahu 

Kemuning. "Kita jalan ke arah sana...."


Dewi Pedang Kuning menghapus air matanya 

yang hendak menitik jatuh. Walau dengan setengah 

hati, dia turut juga ajakan Pendekar Bodoh.

Lalu, mereka berjalan tanpa tujuan. Tak ada 

lagi kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka 

diam membisu. Namun, di dalam hati mereka berbica-

ra amat banyak. Otak mereka berputar, memikirkan 

segala sesuatu yang akan terjadi. Tapi, pada akhirnya 

rasa takut dan ngeri itu makin menebal. Dan, hanya 

satu kata yang masih tersisa di benak mereka, yaitu 

'mati'!

Namun, benarkah kedua pendekar muda itu 

akan menemui ajalnya di Lembah Rongga Laut?

"Hei! Kau lihat itu!" seru Pendekar Bodoh tiba-

tiba

"Rumah batu!" seru Kemuning pula.

"Kita ke sana. Ada rumah, pasti ada penghu-

ninya. Aku tahu kau amat lapar. Barangkali di dalam 

rumah itu ada makanan..."

Seno berlari tak sabaran. Kemuning hendak 

mengikuti langkah pemuda itu, tapi tiba-tiba dia jadi 

ragu. 

"Tunggu, Seno!" cegah Kemuning.

Pendekar Bodoh melengak heran. Langkahnya 

berhenti. "Ada apa? " tanyanya tak mengerti.

"Kita sama-sama lelah. Otak kita sama-sama 

buntu. Tapi, kita tak boleh ceroboh, Seno..." ujar Ke-

muning. 

"Memangnya ada apa?" Pendekar Bodoh ber-

tanya lagi. 

"Uh! Kau ini memang tolol atau pura-pura tolol, 

Seno?!" sentak Kemuning, muncul lagi sifat ketusnya. 

"Kita tidak tahu siapa yang menghuni rumah batu itu. 

Bagaimana kalau penghuninya malah makhluk


makhluk aneh yang lebih menyeramkan?" 

Seno terdiam. Setelah berpikir-pikir, mendadak 

murid Dewa Dungu itu menepak kepalanya sendiri. 

"Uh! Aku memang tolol! Kenapa tidak berpikiran sam-

pai di situ?" rutuknya kepada diri sendiri. 

Kemuning tersenyum kecut melihat kekonyolan 

Seno. Anehnya dia malah melangkah mendekati rumah 

batu. 

"Hei! Kau hendak ke mana?!" tanya Seno. 

"Menyelidiki rumah itu!" jelas Kemuning 

"Menyelidiki?"

"Ya! Kalau Tuhan memberikan nasib baik, siapa 

tahu kita bisa mendapatkan sesuatu di rumah itu"

"Sesuatu apa? Bukankah kita tidak boleh cero-

boh?"

"Uh! Tolol benar kau, Seno! Siapa yang cero-

boh? Apa kau tidak dengar? Aku hendak menyelidiki, 

Tolol!"

"Ya! Ya, aku memang tolol..." sambut Seno ke-

bodoh-bodohan. Pertanda ia tak marah walau berkali-

kali kena damprat.

Akhirnya, Seno dan Kemuning melangkah ber-

dampingan. Setindak-dua tindak, mereka berjalan 

mendekati rumah batu yang baru mereka temukan. 

Rumah yang terbuat dari susunan bongkah-bongkah 

batu besar itu bagian atasnya ditumbuhi sulur-sulur 

bunga beraneka warna. Sementara, di bagian depan-

nya terdapat kolam kecil namun sudah tak berair lagi.

Ketika langkah Seno dan Kemuning kurang dua 

tindak untuk mencapai pintu, mendadak dari dalam 

rumah terdengar lantunan syair... 

Di sini aku tak dapat menghitung waktu 

Aku tak tahu siang atau malam yang menemaniku

Dulu bahagia bersemayam di kalbu

Dulu semua berjalan tanpa ada sedih pilu.

Namun... kini patutlah aku menangis tersedu.

Bahagia ku hilang entah ke mana

Penderitaan datang menggantikannya

Kering sudah rasa air mata

Yang kutemui hanya duka-lara

Oh, Dewa Penguasa Jagat di atas sana...

Bila ajalku telah tiba

Beri aku kesempatan menanamkan buah pahala

Biar dosa tak menyeret ke neraka...

Lantunan syair itu terdengar amat memilukan. 

Sepertinya, dicetuskan dari buah hati orang yang amat 

menderita. Hingga untuk beberapa lama, Seno dan 

Kemuning cuma berdiri terpaku di depan pintu. Mere-

ka tak berani melangkah lagi. 

Aku mendengar langkah kaki mendekati

Aku tahu ada orang hendak memasuki rumah 

ini

Bila memang punya maksud baik

Kenapa mesti ragu berpikir?

Masuklah....

Empu rumah tak dapat memberi sambutan ra-

mah

Tapi, bergegaslah lanjutkan langkah....

Seno dan Kemuning saling pandang. Lantunan 

syair itu jelas menyiratkan persahabatan. Tapi, tidak-

kah si pelantun syair bukan sedang memasang jeba-

kan?

Seno menggaruk kepalanya yang tak gatal. Di


cekalnya erat-erat Tongkat Dewa Badal yang terselip di 

ikat pinggang. Tanpa meminta persetujuan Kemuning, 

dia melangkah memasuki rumah batu. Dan tampak-

nya, pikiran Kemuning pun sejalan dengan pikiran Se-

no. Gadis itu juga melangkah memasuki rumah batu.

Kening Buyung berkerut rapat. Keadaan di da-

lam rumah batu cukup terang, tapi dia melihat ada 

banyak obor di tempat itu. Sebenarnya, cahaya yang 

menyorot masuk dari luar sudah mampu memberi pe-

nerangan yang cukup. Jelasnya, obor-obor yang dipa-

sang di rumah itu tak berguna sama sekali. Asapnya 

malah mengganggu pernapasan.

Dan..., terhenyaklah langkah Seno akhirnya. 

Kakinya hampir saja menginjak sesosok tubuh manu-

sia. Semula, Seno tak melihatnya karena sesosok tu-

buh itu terbaring dalam cekungan tanah dan tertutup 

sulur-sulur tumbuhan kering.

"Jangan terkejut.... Bila kau telah melihat kea-

daan tubuhku yang buruk ini, itu berarti kau punya

jodoh...," ujar sosok tubuh yang terbaring di tanah.

"Kau... kau siapa?" tanya Seno, tergagap.

"Aku Setan Bodong. Singkirkan dulu kotoran 

yang menutupi tubuhku. Jangan takut! Aku bukan 

orang jahat...."

Pendekar Bodoh yang amat lugu dan mudah 

percaya pada orang lain bergegas membersihkan su-

lur-sulur tumbuhan kering yang menutupi tubuh 

orang yang dijumpainya. Sementara, Kemuning cuma 

diam. Namun, gadis cantik itu bersiap-siaga mengha-

dapi segala kemungkinan buruk yang mungkin akan 

terjadi. Jemari tangan kanannya siap menghunus bi-

lah pedang.

Tampak kemudian, di dalam cekungan tanah 

terbaring seorang kakek bertubuh gemuk bulat. Kepalanya gundul licin. Walau tua namun wajahnya tam-

pak amat jenaka. Dia mengenakan rompi dan celana 

pendek berwarna putih. Perutnya bulat besar. Apabila 

kakek itu berdiri, dapat dipastikan bila perutnya akan 

menggantung.

"Kau... kau manusia...?" ujar Seno sambil 

nyengir kuda.

"Ha ha ha...," kakek yang memperkenalkan diri 

sebagai Setan Bodong tertawa bergelak. "Tentu saja 

aku manusia!"

"Bukan begitu. Aku melihat banyak sekali 

makhluk aneh di tempat ini. Barangkali saja kau te-

man mereka...," kilah Seno.

"Hmmm.... Begitu? Lalu, kau dan temanmu itu 

manusia atau bukan?" tanya Setan Bodong tanpa 

bangkit dari sikap terbaring telentangnya.

"Aku juga manusia...," jawab Seno, lirih

"Manusia? Ha ha ha...! Siapa pun manusia 

yang masuk ke Lembah Rongga Laut tanpa seizin Raja 

Penyasar Sukma, sampai mati tak akan bisa keluar 

dari tempat terkutuk ini!"

"Benarkah itu?" seru Seno, kaget.



EMPAT



KITA kembali ke pertarungan Dewa Geli mela-

wan Putri Budukan. Puncak bukit yang menjadi ajang 

pertempuran itu terguncang-guncang seakan telah be-

rubah menjadi gunung berapi yang hendak meletus. 

Bongkah-bongkah batu besar pecah berkeping-keping. 

Puluhan batang pohon tumbang dan hancur pula men-

jadi serpihan-serpihan kecil. Pukulan jarak jauh yang 

nyasar benar-benar menciptakan kiamat di Puncak

Kupu-kupu.

Walau dikeroyok tiga puluh manusia bertubuh 

raksasa menyamai gajah. Dewa Geli tetap berada di 

atas angin. Tubuh mungil bocah berpakaian kedodo-

ran itu dapat melenting ke sana-sini dengan amat lin-

cah. Tiga puluh raksasa pengeroyoknya semakin diku-

asai hawa amarah karena tak sekali pun mereka dapat 

menyentuh tubuh si bocah, apalagi menyarangkan pu-

kulan. Pukulan mereka hanya menerpa permukaan 

tanah hingga menciptakan lubang besar. Tak jarang 

pula cuma dapat menghancurkan batu atau menum-

bangkan batang pohon.

"Hi hi hi...," tawa mengikik Dewa Geli. "Aku tadi 

sempat terkejut dan merasa ngeri. Hi hi hi... Ternyata, 

tubuh kalian cuma besar..., tapi tak berisi kekuatan 

apa-apa. Hayo! Terus serang aku! Hayo! Terus turuti 

perintah tuanmu!"

Tiga puluh manusia bertubuh sebesar gajah 

menggeram bersamaan. Jemari tangan mereka yang 

menyamai paha kerbau terus berkelebatan, berusaha 

menangkap dan meremukkan tubuh Dewa Geli.

Namun, Dewa Geli yang mempunyai ilmu pe-

ringan tubuh luar biasa hebat selalu dapat berkelebat 

lebih cepat. Dan tampaknya, Dewa Geli bermaksud 

mempermainkan mereka. Bocah berkulit hitam itu tak 

pernah balas menyerang dengan sungguh-sungguh. 

Jika ada kesempatan, si bocah cuma menjewer telinga 

ataupun menonjok hidung lawan-lawannya. Perbua-

tannya itu selalu diiringi derai tawa yang tak kunjung 

habis.

"Jahanam kau, Bocah Edan!" maki Putri Budu-

kan. "Agaknya, kau benar-benar bocah keparat yang 

amat pantas untuk dibinasakan!"

Tak mau melihat Puncak Kupu-kupu yang


menjadi tempat tinggalnya meledak hancur karena pu-

kulan dahsyat tiga puluh manusia raksasa, Putri Bu-

dukan meloncat cepat. Dia turut maju menyerang De-

wa Geli. Di tangannya telah tercekal sebuah bola ber-

gerigi.

Sambil mengirim tendangan ke kepala, Putri 

Budukan menghantamkan bola bergerigi yang diba-

wanya ke dada Dewa Geli. Namun, serangan wanita 

buruk rupa itu hanya mengenai angin kosong. Tubuh 

Dewa Geli dapat berkelebat amat cepat. Gerakan si bo-

cah licin bagai belut, dapat berpindah tempat dengan 

cepat bagai siluman

"Hi hi hi.... Keluarkan semua kepandaianmu, 

Putri Budukan...," ejek Dewa Geli. "Setelah lelaki-lelaki 

piaraan mu itu kubuat lebam-lebam wajahnya, ganti 

tubuhmu yang akan kubuat lebam-lebam! Hi hi hi...!"

Cepat sekali tubuh Dewa Geli bergerak. Terden-

gar suara tamparan mengenai sasaran lima kali. Dis-

usul suara pekik parau kesakitan. Tubuh lima manu-

sia raksasa terasa pusing karena kena tempeleng. Tu-

buh mereka lalu jatuh berguling-guling ke lereng bukit!

"Hi hi hi...," Dewa Geli tertawa lagi. "Lima orang 

sudah merasakan halusnya telapak tangan Dewa Geli. 

Lima lagi akan menyusul...."

Dan..., Dewa Geli benar-benar dapat membuk-

tikan ucapannya. Lima tubuh manusia raksasa lain-

nya ikut pula kena tempeleng. Tubuh mereka yang se-

besar gajah itu lalu jatuh bergulingan ke lereng bukit. 

Kontan timbul suara berdebam amat keras manakala 

tubuh manusia-manusia yang hanya mengenakan ca-

wat itu jatuh berdebam di tanah. Permukaan bukit ter-

guncang hebat. Gempa maha dahsyat seakan terjadi di 

Puncak Kupu-kupu.

Anehnya, sepuluh manusia raksasa yang telah


jatuh ke lereng bukit tak dapat bangkit berdiri lagi. 

Kaki dan tangan mereka cuma meronta-ronta. Semen-

tara, punggung mereka yang menempel di permukaan 

tanah seperti diberi perekat yang amat kuat.

Lalu..., tubuh raksasa sepuluh manusia berca-

wat itu mengecil..., dan terus mengecil, hingga menjadi 

manusia kerdil lagi!

"Pukulan 'Tapak Suci Pemunah Sihir'...!" kejut 

Putri Budukan yang dapat mengenali Ilmu pukulan 

yang dilancarkan oleh Dewa Geli.

"Ya! Benar apa yang kau ucapkan itu, Putri 

Budukan," sahut Dewa Geli sambil mengulum senyum. 

"Kau tak perlu penasaran. Jika ingin merasakan kehe-

batan pukulan 'Tapak Suci Pemunah Sihir', aku akan 

berbaik hati. Siapa tahu wajahmu yang buruk itu bisa 

berubah cantik? Hi hi hi...."

"Jahanam...!"

Menggembor keras Putri Budukan. Bola berge-

rigi di tangannya hendak dibuat memukul hancur ke-

pala Dewa Geli. Tapi, si bocah cuma tertawa mengikik. 

Dan tanpa disangka-sangka oleh Putri Budukan, si bo-

cah melentingkan tubuhnya seraya merampas bola 

bergerigi di tangan wanita berpakaian tipis itu!

Wutttt...!

"Heh?!"

Tak dapat digambarkan lagi betapa kesalnya 

Putri Budukan. Raut wajahnya yang buruk bertambah 

buruk. Dengan bahu naik turun terbawa desakan 

amarah, dia menatap Dewa Geli yang mengangkat 

tinggi bola bergerigi yang telah berhasil dirampas si 

bocah.

"Daripada mendapat repot dan mengeluarkan 

tenaga terlalu banyak, lebih baik kuhancurkan benda 

jelek ini!" ujar Dewa Geli.


"Jangan...!" cegah Putri Budukan.

Tapi, mana mau Dewa Geli mendengarkan te-

riakan wanita buruk rupa itu. Sambil tertawa panjang 

mengikik, bola bergerigi dibantingnya ke tanah!

Blammm...!

Ledakan keras mengiringi hancurnya bola ber-

gerigi milik Putri Budukan. Manusia-manusia bertu-

buh raksasa yang masih berada di Puncak Kupu-kupu 

memekik parau. Tubuh mereka jatuh terjengkang, lalu 

menyusut kecil, dan berubah kerdil lagi!

"Kalau cuma mengandalkan ilmu sihir macam 

ini, kau tak mungkin dapat menangkapku, Putri Bu-

dukan," cibir Dewa Geli, tangan kanannya menarik 

naik celananya yang melorot.

"Keparat! Kau boleh berkata sombong. Tapi jika 

kau mampu menahan pukulanku ini, aku bersumpah 

untuk tak keluar dari Puncak Kupu-kupu ini seumur 

hidupku!" ujar Putri Budukan.

"Boleh! Hi hi hi...," sambut Dewa Geli. "Tapi ta-

ruhannya bukan cuma sumpahmu itu. Bukankah kau 

sudah tahu bila tujuanku datang kemari adalah untuk 

memotong habis... hi hi hi... 'milik'-mu itu! Hi hi hi...!"

Putri Budukan tak mau lagi mendengarkan 

ucapan Dewa Geli. Dia alirkan seluruh kekuatan tena-

ga dalamnya ke kedua telapak tangan. Di lain kejap, 

kedua pergelangan tangan wanita buruk rupa itu be-

rubah warna menjadi hijau kemerahan. Anehnya, sua-

sana di Puncak Kupu-kupu menjadi amat sunyi dan 

terasa aneh seperti diliputi hawa di alam sihir!

"Pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'...!" kesiap Dewa 

Geli.

Bola mata bocah berambut tipis itu kontan me-

lotot besar menatap Putri Budukan yang telah bersiap 

siaga untuk melancarkan pukulan jarak jauh. Dewa


Geli yang sudah telanjur menerima tantangan Putri 

Budukan tentu saja tak dapat menarik kata-katanya 

lagi. Walau sedikit ragu akan daya tahan tubuhnya da-

lam menerima ilmu pukulan Putri Budukan, Dewa Geli 

tak mau beranjak dari tempatnya berdiri. Diam-diam 

dia keluarkan ilmu kebalnya yang bernama 'Benteng 

Pelindung Jiwa'.

Hingga akhirnya....

"Hiahhh...!"

Wusss...!

Putri Budukan menggembor keras sekali. Dua 

telapak tangannya dihentakkan ke depan dengan se-

kuat tenaga. Dua larik sinar hijau kemerahan wujud 

dari ilmu pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' melesat cepat. 

Dan....

Blarrr...!

Dua larik sinar yang memendarkan hawa aneh 

itu tepat menerpa dada Dewa Geli. Begitu ledakan ke-

ras hilang di pendengaran, Dewa Geli tertawa panjang 

mengikik sambil menepuk-nepuk dadanya yang terpu-

kul.

Bocah berkulit hitam itu tak mengalami cedera 

sedikit pun. Bahkan, kain bajunya tak robek ataupun 

terbakar. Dia tetap berdiri tegak di tempatnya dengan 

bibir terus mengulum senyum!

"Astaga...!" kejut Putri Budukan. Untuk bebera-

pa saat, wanita buruk rupa ini tak dapat menarik na-

pas karena dadanya sesak terhantam keterkejutan.

"Hi hi hi...," tawa mengikik Dewa Geli. "Kau su-

dah puas, bukan? Kau lihat sendiri, bukan? Ilmu pu-

kulan 'Sihir Penjerat Arwah' tak dapat menembus Ilmu 

kebal 'Benteng Pelindung Jiwa'. Hi hi hi.... Sebenarnya, 

aku hendak memotong habis 'sesuatu' di tubuhmu itu. 

Tapi, biarlah kau kuberi ampun, asal kau tepati sumpahmu! Aku pergi...."

Usai berkata, Dewa Geli membalikkan badan 

seraya melangkah perlahan menuruni Puncak Kupu-

kupu. Sementara, Putri Budukan cuma dapat menatap 

punggung si bocah penuh rasa penasaran dan amarah.

***

Senja terusir....

Malam berkuasa di atas mayapada. Kesunyian 

terasa amat mencekam manakala terdengar tekur bu-

rung hantu yang tersahuti lolongan serigala. Namun, 

gelap tak seberapa pekat karena bintang yang bertabu-

ran senantiasa berkedip jenaka. Sang candra pun ter-

senyum memancarkan sinar keemasannya.

Dewa Geli terus berjalan menuruni Puncak Ku-

pu-kupu. Sebentar-sebentar dia menoleh ke belakang 

seperti ada sesuatu yang dikhawatirkannya.

Saat mencapai pertengahan bukit, Dewa Geli 

menghentikan langkah. Sekujur tubuhnya amat lemah 

dan tak bertenaga. Wajahnya pun terlihat memucat 

karena dia merasa seluruh tenaganya telah hilang en-

tah ke mana.

Perlahan-lahan sepasang kaki Dewa Geli mene-

kuk. Lalu, dia jatuh terduduk. Kain baju yang dikena-

kannya basah kuyup oleh cairan keringat yang terus 

keluar, padahal hawa udara cukup dingin menusuk.

Bocah yang pernah tinggal di kerajaan siluman 

itu masih mencoba untuk tertawa. Tapi, tawanya kali 

ini terdengar sengau dan sama sekali tak menyiratkan 

kegembiraan. Apa yang terjadi?

"Apa yang ku khawatirkan telah terjadi kini. 

Pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' telah membuatku lum-

puh...," gumam Dewa Geli dengan tatapan kosong.


"Untung saja aku dapat mengelabuhi perempuan jahat 

itu. Dia tidak tahu kalau ilmu pukulannya mampu 

menembus ilmu 'Benteng Pelindung Jiwa'-ku. 

Hmmm.... Mudah-mudahan dia tak mengikutiku...."

Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, De-

wa Geli merangkak mencari tempat yang lebih tersem-

bunyi. Keadaan bocah yang biasanya tampak amat je-

naka itu kini jadi amat mengenaskan. Untuk menem-

puh jarak sepuluh tombak saja, dia mesti merangkak 

selama sepeminuman teh. Dia jatuh berulang kali. Wa-

jah dan kain bajunya jadi ternoda oleh kotoran tanah. 

Dahinya pun telah terhiasi benjolan-benjolan karena 

beberapa kali dia jatuh membentur batu.

Setelah mendapatkan tempat seperti yang diha-

rapkannya, sebuah tempat tertutup semak belukar 

dan terlindungi bongkah batu besar, Dewa Geli men-

gambil sikap semadi. Dia mencoba menghimpun hawa 

saktinya yang berpencar tak karuan. Namun, berkali-

kali dia mengeluh kesakitan. Bukan saja hawa sak-

tinya tak dapat disatukan lagi, jantungnya pun terasa 

diremas-remas. Aliran darahnya kacau. Tubuhnya se-

makin lemah. Untuk dapat duduk menegakkan pung-

gung saja, dia mesti membulatkan tekad dan men-

gumpulkan segenap tenaganya yang masih ada.

Tapi..., sebentar saja Dewa Geli dapat duduk 

bersila. Tak lama kemudian, tubuh bocah berpakaian 

kedodoran itu menekuk ke depan, lalu jatuh terjerem-

bab. Wajahnya semakin kotor. Benjolan di dahinya 

bertambah lagi.

"Ya, Tuhan...," sebut Dewa Geli. "Kalau ada 

orang bersedia membantuku mengatur aliran darah, 

aku akan segera dapat mengumpulkan lagi hawa sakti 

ku. Aku tak akan lumpuh. Tapi..., mana ada orang lain 

di tempat seperti ini? Di malam hari pula...."


Susah payah Dewa Geli mencoba untuk men-

gambil sikap semadi lagi. Namun, kali ini dia malah ja-

tuh terjengkang. Dalam keadaan rebah telentang, tak 

ada lagi yang dapat dilakukannya, kecuali berpikir dan 

memeras otak.

"Hawa sakti ku tidak lenyap. Walau berputar-

putar tak karuan, tapi inti kekuatan tubuhku itu ma-

sih ada...," kata hati Dewa Geli. "Aku yakin..., aku tak 

akan lumpuh selamanya. Keadaanku akan pulih se-

perti sedia kala. Tapi, kapan? Kalau cuma menunggu 

seperti ini, paling tidak aku butuh satu purnama agar 

hawa sakti ku dapat mengumpul lagi dengan sendi-

rinya...."

Dewa Geli menatap langit hitam yang ditebari 

bintang. Pantulan sinar keemasan sang candra mem-

beri satu harapan kepadanya. Dia harus mencoba lagi. 

Dia tak boleh pasrah menerima keadaan yang tak 

menguntungkan itu.

Tapi..., mana dapat Dewa Geli mengambil sikap 

semadi lagi untuk mengumpulkan hawa saktinya? 

Menggerakkan jemari tangannya saja dia tak bisa!

"Aku bukan orang yang takut mati. Usiaku su-

dah seratus tahun. Aku memang pantas untuk dijem-

put ajal...," ujar Dewa Geli dalam hati. "Tapi..., kalau 

aku mesti mati dengan cara disembelih oleh Putri Bu-

dukan, alangkah buruknya cara kematianku nanti. 

Aku khawatir, cairan darahku benar-benar mempunyai 

khasiat seperti yang dituturkan oleh perempuan Jahat 

itu. Bila orang jahat mendapat tambahan kekuatan, 

biasanya dia akan semakin mengumbar kejahatan-

nya.... Itu tak boleh terjadi! Putri Budukan tak boleh 

tahu aku berada di sini dalam keadaan lumpuh seperti 

ini!"

Dewa Geli membulatkan tekadnya kembali. Dia


harus bangkit duduk mengambil sikap semadi. Dia tak 

boleh lumpuh. Namun..., tenaganya yang tersisa cuma 

dapat untuk menggerakkan kelopak mata. Tubuh si 

bocah benar-benar telah lumpuh tiada daya!

Mendadak, bola mata bocah berambut tipis itu 

membelalak seperti menyimpan kekhawatiran hebat. 

Telinganya menangkap suara berisik semak-semak 

tersibak. Lalu, terdengar suara kaki melangkah....

"Kalau ada binatang buas di tempat ini, matilah 

aku...," pikir Dewa Geli. "Tapi, hal itu lebih baik asal 

aku tidak jatuh ke tangan Putri Budukan...."

Bola mata Dewa Geli semakin terbelalak. Bebe-

rapa saat nafasnya terhenti karena terbawa perasaan 

tegang. Suara langkah kaki itu semakin mendekat. 

Kemudian..., semak belukar di depan Dewa Geli tersi-

bak! Dan, muncullah seraut wajah mungil milik seo-

rang manusia kerdil!

"Celaka! Anak buah Putri Budukan!" kejut De-

wa Geli.

Bocah berkulit hitam itu hendak meloncat 

bangkit. Tentu saja maksudnya tak kesampaian kare-

na tenaganya benar-benar telah lenyap. Yang dapat di-

lakukannya hanyalah memelototkan mata, menatap 

penuh ancaman!

"Kau... kau...," ujar lelaki kerdil, menunjuk hi-

dung Dewa Geli.

Mendadak, lelaki yang tubuhnya lebih pendek 

dari Dewa Geli itu membalikkan badan. Dewa Geli jadi 

panik. Dia dapat menduga bila lelaki kerdil itu hendak 

melaporkan apa yang telah dilihatnya kepada Putri 

Budukan. Dan, itu berarti malapetaka bagi Dewa Geli!

Dewa Geli berteriak mencegah kepergian si le-

laki kerdil. Tapi, suaranya tersekat di tenggorokan! Dia 

cuma dapat mengeluh pendek, merutuk keadaannya


yang tak menguntungkan....

Sebentar kemudian, Dewa Geli melihat sepa-

sang kaki putih mulus yang berdiri di dekat kepalanya. 

Sepasang kaki itu berdiri tegak dan tak bergerak-

gerak. Pemiliknya sama sekali tak mau mengeluarkan 

suara.

Terkejutlah Dewa Geli bagai disambar petir. Se-

telah dia mengarahkan pandangan ke atas, tahulah dia 

bila pemilik sepasang kaki itu tak lain dari Putri Bu-

dukan!

"Celaka! Celaka!" keluh si bocah dalam hati. 

"Ha ha ha...!" mendadak Putri Budukan tertawa 

bergelak-gelak. "Kini, kau tahu kehebatanku, bukan? 

Kau tahu pula kepintaran ku, bukan? Ha ha ha...! Kau 

telah termakan pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'. Seben-

tar lagi, cairan darahmu akan menjadi anugerah ke-

jayaan ku! Ha ha ha...!"

Usai tertawa bergelak, wanita buruk rupa itu 

bersuit. Dari balik semak belukar, muncul sepuluh 

manusia kerdil. Mereka langsung mengangkat tubuh 

Dewa Geli beramai-ramai

"Matilah aku...," desah Dewa Geli, menutup 

mata rapat-rapat.



LIMA



DI BAWAH siraman cahaya rembulan, tubuh 

Dewa Geli terbaring telentang di atas bongkah batu 

persegi. Tubuh bocah berpakaian kedodoran itu lemah 

lunglai tiada daya. Seluruh kekuatannya telah lenyap 

tersedot oleh pengaruh pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' 

Putri Budukan. Sementara, batu persegi tempat terbaringnya tubuh si bocah tampak rata dan licin. Karena 

tiupan angin malam yang membawa lapisan kabut, 

hawa dingin batu itu terasa menusuk tulang dan amat 

menyiksa. Namun, Dewa Geli tak dapat berbuat apa-

apa lagi, kecuali pasrah pada keadaan.

Tiga puluh lelaki kerdil menari berputar-putar 

mengelilingi tubuh Dewa Geli. Sambil menari, mereka 

menyanyi pula dengan diiringi tabuhan tambur dan 

genderang. Lelaki-lelaki kerdil yang cuma mengenakan 

cawat itu tampak begitu larut dalam kegembiraan. Se-

pertinya, mereka tengah mengadakan pesta yang amat 

meriah.

Sekitar dua tombak dari batu persegi tempat 

terbaringnya Dewa Geli, Putri Budukan berdiri tegak 

mengenakan jubah hitam. Tatapan matanya tajam 

menusuk, tertuju ke tumpukan ranting kering yang 

berada di hadapannya. Lidah api segera menjilat me-

nyala-nyala saat Putri Budukan melemparkan obor ke 

tumpukan ranting kering itu. Lalu, di seantero Puncak 

Kupu-kupu terdengarlah ucapan aneh Putri Budukan 

yang melengking tinggi. Ucapan wanita buruk rupa itu 

penuh getaran yang mampu menciutkan nyali siapa 

saja yang mendengarkan.

"Roh-roh yang tersesat dalam gelap..., jiwa-jiwa 

manusia mati yang masih belum rela meninggalkan 

dunia..., setan gentayangan, jin peri perayangan, ulu-

ulu banaspati..., yang telah menjatuhkan kutuk atas 

diriku..., malam ini ku persembahkan satu tebusan 

atas kutuk yang ada pada diriku. Walau aku tak me-

nentukan hari terbaik, walau aku tak melakukan upa-

cara penghormatan..., tapi sudilah kalian melepas ku-

tuk ini. Kembalikan wajahku dalam kecantikan. Tam-

bahlah kekuatanku dalam kedahsyatan. Darah seo-

rang manusia pilihan akan menjadi tebusan...."


Usai mengucapkan kata-kata itu, Putri Budu-

kan mengangkat telapak tangan kanannya. Tabuhan 

tambur dan genderang langsung terhenti. Terhenti pu-

la tarian dan nyanyian tiga puluh lelaki kerdil. Mereka 

berjalan satu persatu dalam kebisuan, lalu memben-

tuk barisan bersap tiga di belakang Putri Budukan.

Setelah keadaan hening berlalu beberapa saat, 

Putri Budukan berjalan perlahan mendekati Dewa Geli 

yang masih terbaring tanpa daya di atas bongkah batu 

persegi. Tatapan Dewa Geli tampak nyalang karena 

menyadari bila dirinya akan dijadikan tumbal oleh Pu-

tri Budukan.

"Kutuk akan segera sirna.... Wajahku akan se-

gera berubah ayu jelita.... Kekuatanku akan berlipat 

ganda...," ujar Putri Budukan, mendesis lirih seperti 

sedang merapal mantera. 

Zing...!

Bola mata Dewa Geli langsung melotot besar. 

Putri Budukan tiba-tiba menghunus sebilah pedang 

panjang. Bilah pedang itu tampak berkilat tertimpa 

cahaya api unggun.

Jantung Dewa Geli berdegup amat kencang 

manakala melihat Putri Budukan mengambil mangkuk 

porselen yang terletak di bawah kakinya. Bayangan 

buruk menghantui benak Dewa Geli seketika. Dia ya-

kin bila mangkuk itu akan digunakan Putri Budukan 

untuk menampung cairan darahnya.

"Be... benarkah kau akan menyembelih ku...?" 

tanya Dewa Geli, terbata-bata. Lidahnya kelu dan ka-

ku.

"Tentu saja! Tentu saja!" jawab Putri Budukan. 

"Sudah kubilang, aku akan menggunakan darahmu 

untuk merubah raut wajahku yang amat buruk ini. 

Aku sudah bilang pula, cairan darahmu bisa melipat


gandakan kekuatanku. Oleh karena itu, bersiap-

siaplah.... Bila kau punya Iman, berdoalah dulu kepa-

da Tuhan-mu...."

Dewa Geli hendak berkata lagi. Tapi, kali ini li-

dahnya sudah amat kaku, sehingga hanya suara desis 

yang keluar dari mulutnya. Suara desis itu pun tak ka-

ruan maknanya.

"Tampaknya, kau sudah siap, Bocah Bagus...," 

ujar Putri Budukan, merubah panggilannya pada Dewa 

Geli.

Dewa Geli menarik napas panjang, lalu menu-

tup kelopak matanya rapat-rapat. Kematian bocah 

yang pernah tinggal di kerajaan para siluman itu sege-

ra tiba karena Putri Budukan telah mengangkat pe-

dangnya....

Sampai tiga tarikan napas, pedang Putri Budu-

kan terus mengambang di atas leher Dewa Geli. Se-

mentara, Putri Budukan sendiri memejamkan mata 

dengan mulut terkunci rapat. Entah apa yang sedang 

dilakukan oleh wanita jahat itu.

Namun tiba-tiba, Putri Budukan menjerit keras 

sekali. Pedang di tangannya terpental jauh, dan mem-

perdengarkan suara berdentang saat jatuh ke tanah. 

Mangkuk porselen di tangan kiri Putri Budukan turut 

terjatuh ke tanah.

Karena terkejut mendengar jeritan Putri Budu-

kan, Dewa Geli membuka kelopak matanya kembali. 

Lewat ekor matanya, dia melihat tubuh Putri Budukan 

berdiri terhuyung-huyung. Telapak tangan kiri wanita 

berwajah buruk penuh bisul bernanah itu menekap 

bahu kanannya yang mengepulkan asap!

"Jahanam! Siapa yang telah datang menggang-

gu pekerjaanku...?!" geram Putri Budukan sambil 

mengedarkan pandangan.


Tak ada sahutan.

Suasana sunyi lengang.

"Tampakkan batang hidungmu, Keparat! Kau 

telah membokong orang! Apakah ini yang dinamakan 

jiwa ksatria?!" seru Putri Budukan, keras menggelegar 

karena getaran suaranya dialiri tenaga dalam.

Suasana tetap sunyi lengang. 

Namun, ranting pepohonan tampak bergoyang.

Mendadak, Putri Budukan menepukkan telapak 

tangannya di atas kepala, memberi isyarat kepada tiga 

puluh lelaki kerdil untuk mencari orang yang telah 

mencederai bahu kanannya. Tapi sebelum lelaki-lelaki 

yang hanya mengenakan cawat itu bergerak berpencar, 

tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Tiupan angin 

kencang muncul. Ranting dan dahan pohon berpata-

han. Bongkah-bongkah batu yang tak seberapa besar 

terangkat dari tanah, lalu melayang jauh dan mengge-

linding ke kaki bukit. Sementara, api unggun yang tadi 

dinyalakan oleh Putri Budukan langsung padam, se-

hingga Puncak Kupu-kupu cuma diterangi pantulan 

cahaya rembulan.

"Dasar pengecut! Mana jiwa ksatria mu?!" ge-

ram Putri Budukan lagi. "Segera tampakkan batang 

hidungmu, Keparat!"

Tetap tak ada sahutan.

Tak juga ada orang lain yang muncul.

Tanpa diperintah lagi, tiga puluh lelaki kerdil 

berloncatan dan bergerak menyebar untuk mencari 

orang yang telah mencederai bahu kanan Putri Budu-

kan. Sementara, Putri Budukan sendiri juga tampak 

berlari-lari mengelilingi Puncak Kupu-kupu. Hingga 

beberapa lama, mereka jadi lupa pada Dewa Geli yang 

masih terbaring lemah di atas bongkah batu persegi.

Namun tiba-tiba..., terdengar suara lembut seorang lelaki yang melantunkan syair. Tanpa sadar, Putri 

Budukan dan tiga puluh lelaki kerdil menghentikan 

gerak tubuh mereka. Dan, mereka pun langsung me-

najamkan pendengaran....

Jika orang berbicara tentang jiwa ksatria 

Sedikit banyak pasti ada manfaat yang didapat 

Namun, manfaat apa yang bisa didapat 

Bila yang berbicara adalah biang pelaku tindak 

kejam?

Sebelum bicara....

Mestinya orang menengok dulu ke dalam 

Apakah perilaku sendiri sudah patut dijadikan 

suri teladan?

Apakah pikiran dan jiwa sendiri telah bersih da-

ri nafsu rendah?

Oleh karenanya....

Bertindak dan berperilaku punya aturan 

Berbicara pun demikian 

Agar tak nanti....

Limbah dibuang memercik ke muka sendiri 

Mendengus gusar Putri Budukan mendengar 

rentetan kata yang penuh makna sindiran itu. Sekali 

lagi, dia mengedarkan pandangan. Dan, terkesiaplah 

dia ketika melihat seorang lelaki setengah baya tengah 

berdiri tegak di dekat tubuh Dewa Geli.

"Heran aku... " kata Putri Budukan dalam hati. 

"Bagaimana orang itu bisa muncul tanpa sepengetahu-

anku? Apakah dia yang telah mencederai bahu kanan-

ku?"

Terbawa rasa penasaran, bergegas Putri Budu-

kan meloncat ke hadapan sosok lelaki yang baru mun-

cul. Ditatapnya sekujur tubuh lelaki itu penuh curiga.


"Hmmm.... Menilik garis-garis wajahmu, aku 

seperti pernah mengenal dirimu...," ujar Putri Budu-

kan, lirih seperti menggumam.

Lelaki yang berdiri di dekat Dewa Geli terse-

nyum tipis. Rambutnya yang panjang terayun-ayun 

dimainkan hembusan angin. Lelaki itu bertubuh tinggi 

tegap dan mengenakan pakaian putih-putih dengan 

ikat pinggang kain biru. Berwajah tampan rupawan. 

Dan, kulit tubuhnya pun tampak putih bersih seperti 

kulit kaum bangsawan yang biasa merawat tubuh.

Dia Ksatria Seribu Syair!

"Sebenarnya, sedari tadi aku telah berada di 

tempat ini, Putri Budukan...," ujar bekas putra mahko-

ta itu. "Sengaja aku menyembunyikan tubuhku dengan 

ilmu 'Sihir Penutup Raga'. Karena, aku ingin tahu apa 

yang akan kau perbuat terhadap bocah yang tak ber-

dosa ini. Ternyata, kau memang seorang manusia ke-

jam berdarah dingin, Putri Budukan.... Terpaksa aku 

memukul bahu kananmu!"

"Jahanam! Jadi, benar kau yang telah meng-

gangguku?!" sahut Putri Budukan. "Aku ingat seka-

rang. Bukankah kau Darma Pasulangit alias Wisnu

Sidharta yang bergelar Ksatria Seribu Syair?"

"Tak salah apa yang kau katakan. Aku yang 

rendah ini memang Ksatria Seribu Syair adanya," tegas 

Ksatria Seribu Syair. "Kau tadi sempat mengumbar ka-

ta-kata, menyebut diriku dengan sebutan pengecut 

yang tak punya sifat ksatria. Kini, aku hendak ber-

tanya, siapakah sebenarnya yang pengecut dan tak 

punya sifat ksatria itu? Aku atau kau? Memang benar 

aku telah memukul bahumu secara diam-diam. Tapi, 

tidakkah kau sadar bila aku tak melakukannya, satu 

nyawa manusia yang tak berdosa akan menjadi korban 

nafsu jahatmu? Bila aku menggagalkan niat jahatmu,


bukankah perbuatanku itu sekaligus menghindarkan 

dirimu dari dosa?"

Mendengar kalimat panjang Ksatria Seribu 

Syair, Putri Budukan tersenyum mengejek. Dia acung-

kan bilah pedang di tangannya, lurus ke muka lelaki 

berparas tampan itu.

"Kau berkata-kata seakan telah menjadi utusan 

para dewa di dunia," cibir Putri Budukan. "Aku tahu, 

selama lima tahun kau mengasingkan diri di suatu 

tempat. Jika kini kau muncul lagi, aku yakin kau telah 

berhasil mendalami sebuah ilmu kesaktian hebat. Ta-

pi, janganlah kau berlaku sombong di hadapanku! Iba-

rat sebuah istana, maka Puncak Kupu-kupu ini adalah 

istanaku. Kau masuk tanpa permisi dan tanpa izin pu-

la. Kau pun telah mencederai 'sang ratu'. Walau bukan 

cedera berat, 'sang ratu' tetap akan menjatuhkan hu-

kuman mati!"

Di ujung kalimatnya, Putri Budukan bersuit 

nyaring. Tiga puluh lelaki kerdil langsung menerjang 

berhamburan. Dengan membawa senjata pedang dan 

golok, mereka menyerang Ksatria Seribu Syair dari 

berbagai penjuru.

Namun, Ksatria Seribu Syair tampak tenang-

tenang saja. Sambil mengulum senyum, lelaki tinggi 

tegap itu memutar tubuh seraya mengibaskan kedua 

telapak tangannya! 

Wesss...!

"Wuahhh...!"

Dari kedua telapak tangan Ksatria Seribu Syair 

melesat gelombang angin pukulan dahsyat. Tubuh tiga 

puluh lelaki kerdil kontan berpentalan, dan jatuh ber-

gulingan ke lereng bukit. Pedang dan golok di tangan 

mereka terlepas dari cekalan, turut berpentalan ke 

berbagai penjuru!


Anehnya, tubuh Dewa Geli yang masih terbar-

ing lemah di atas bongkah batu persegi tak turut ter-

pental. Bahkan, bergeming pun tidak. Padahal, tubuh 

si bocah berada di dekat pusat lesatan gelombang an-

gin ciptaan Ksatria Seribu Syair.

"Keparat!" dengus Putri Budukan.

Tahu kehebatan Ksatria Seribu Syair, wanita 

buruk rupa itu langsung menerjang kalap. Pedangnya 

berkelebatan, memperdengarkan suara bergemuruh 

yang menyakitkan gendang telinga. Namun, Ksatria 

Seribu Syair dapat menghindari semua serangan itu 

dengan mudah. 

Maka, semakin memuncaklah amarah Putri 

Budukan. Sambil menggembor keras, tiba-tiba dia 

menghentikan serangannya seraya meloncat ke bela-

kang. Pedang di tangannya dia buang begitu saja.

Lewat cahaya rembulan, dapat dilihat bila tu-

buh Putri Budukan bergetar kencang. Kedua pergelan-

gan tangannya berubah warna menjadi hijau kemera-

han. Agaknya, wanita buruk rupa itu telah memper-

siapkan pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'!

Ksatria Seribu Syair menarik napas panjang 

beberapa kali. Dia merasakan suatu hawa aneh yang 

tiba-tiba mengelilingi tubuhnya. Dia seperti dibawa ke 

suatu tempat yang berada di alam sihir. Namun, lelaki 

yang sudah matang pengalaman itu tak menjadi panik 

ataupun gentar walau dia tahu kalau Putri Budukan 

hendak menyerangnya dengan pukulan 'Sihir Penjerat 

Arwah'.

Hampir semua tokoh tua di rimba persilatan 

tahu kehebatan dan kedahsyatan ilmu pukulan 'Sihir 

Penjerat Arwah'. Untuk mendalaminya, setiap orang 

harus menghirup suatu hawa udara yang berasal dari 

tubuh orang mati. Setelah hal itu dilakukan selama setahun penuh, orang yang bermaksud mendalami ilmu 

'Sihir Penjerat Arwah' harus mengadakan upacara pe-

nyembahan setan. Dan apabila upacara itu diterima, 

maka dia akan menguasai ilmu 'Sihir Penjerat Arwah' 

dengan sempurna.

Salah satu dari kehebatan ilmu hitam itu ada-

lah daya penghancurnya yang dahsyat dan mampu pu-

la menghisap seluruh kekuatan orang. Jika ada orang 

terpukul dengan telak, kalau tubuhnya tidak hancur 

luluh, seluruh inti kekuatan tubuhnya pasti akan le-

nyap. Dan, hal itu telah dirasakan oleh Dewa Geli.

"Aku tahu kau telah mempersiapkan ilmu pu-

kulan 'Sihir Penjerat Arwah', Putri Budukan," ujar Ksa-

tria Seribu Syair. "Heran aku jadinya. Kalau orang ma-

sih mau dikatakan waras, kenapa mesti menyembah 

setan? Bukankah setan lebih rendah derajatnya dari 

manusia? Untuk mendapatkan sebuah ilmu kesaktian, 

kenapa manusia tidak meminta langsung kepada Sang 

Penguasa Alam Semesta? Jika percaya akan kebesa-

ran-Nya dan berusaha sekuat tenaga, keinginan ma-

nusia itu akan terkabulkan. Tuhan yang di atas sana 

tak pernah tidur. Dia tahu segalanya. Dia maha pemu-

rah. Kepada-Nyalah seharusnya kita meminta...." 

"Tutup mulutmu, Jahanam!" sentak Putri Bu-

dukan. "Aku bukan anak ingusan yang bisa kau bujuk 

dengan kata-katamu itu! Sudah kubilang tadi, 'sang 

ratu' akan menjatuhkan hukuman mati! Terimalah 

hukuman itu sekarang! Hiahhh...!"

Sambil menggembor keras, Putri Budukan 

menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan. 

Dua larik sinar hijau kemerahan yang amat menggi-

dikkan melesat cepat ke arah Ksatria Seribu Syair!

"Manusia jahat pasti akan menerima buah ke-

jahatannya!" Seru Ksatria Seribu Syair.


Lelaki yang diam-diam telah mempersiapkan 

ilmu 'Pembalik Tenaga Lindungi Jiwa' itu menarik ke-

dua tangannya ke belakang sejajar pinggang, dan lang-

sung dihentakkan ke depan. Seberkas cahaya putih 

kebiruan tiba-tiba melesat, memperdengarkan suara 

mendengung seperti ada ribuan lebah sedang terbang! 

Lalu....

Blarrrr...! 

Blarrr...!

Dua ledakan terdengar menggelegar di angkasa. 

Paduan cahaya warna-warni menyembur ke mana-

mana. Hingga untuk beberapa saat, suasana malam di 

Puncak Kupu-kupu jadi terang benderang. Namun, di 

balik keindahan yang sempat tercipta, tampaklah satu 

pemandangan menggiriskan.

Gumpalan tanah dan bongkah-bongkah batu 

berhamburan ke segenap penjuru. Batang-batang po-

hon tumbang, lalu melayang tinggi dan jatuh berde-

bam di lereng bukit!

Jerit panjang menyayat hati terdengar manaka-

la tubuh Putri Budukan jatuh bergulingan ke tanah. 

Wanita buruk rupa itu hendak bangun, tapi seluruh 

kekuatannya telah hilang! Dan, dia pun cuma dapat 

berbaring telentang sambil mengaduh-aduh kesakitan.

Ilmu pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' yang dilan-

carkan Putri Budukan terpental balik, terhantam oleh 

kedahsyatan ilmu pukulan 'Pembalik Tenaga Lindungi 

Jiwa' Ksatria Seribu Syair. Akibatnya, ilmu pukulan 

jahat yang bersumber dari pemujaan setan itu memu-

kul Putri Budukan sendiri tanpa dapat dielakkan lagi!

"Orang menanam padi tak akan memetik ila-

lang," ujar Ksatria Seribu Syair dengan suara lembut 

berwibawa. "Jika ingin memetik buah kebaikan, ber-

buatlah baik terlebih dulu. Kejahatan hanya akan


mendatangkan celaka. Dan, kau telah merasakannya, 

Putri Budukan!"

Usai berkata, lelaki berpakaian putih-putih itu 

menyambar tubuh Dewa Geli yang masih terbaring le-

mah di atas bongkah batu persegi. Di lain kejap, sosok 

Ksatria Seribu Syair lenyap dari pandangan. Tinggallah 

Putri Budukan yang dikerumuni tiga puluh lelaki ker-

dil yang juga telah menderita luka....



ENAM



KAU jangan ngelantur, Pak Tua!" bentak Ke-

muning dengan raut wajah merah padam. "Kalau se-

tiap manusia yang masuk ke tempat ini tak akan bisa 

keluar lagi, lalu kenapa kau turut masuk juga?! Apa-

kah kau punya izin dari Raja Penyasar Sukma hingga

kau dapat keluar dari tempat ini sewaktu-waktu...?"

"Tidak! Tidak!" sahut Setan Bodong, tetap ter-

baring di cekungan tanah. "Bagaimana aku bisa keluar 

dari tempat terkutuk ini? Menggerakkan jari-jari tan-

gan saja, aku tak mampu!"

Kemuning hendak menyahuti ucapan Setan 

Bodong, namun keburu didahului oleh Pendekar Bo-

doh.

"Katakan dulu kepadaku, Pak Tua, kau ini se-

benarnya anak buah Raja Penyasar Sukma atau justru 

malah musuh orang jahat itu?" ujar Seno seraya ber-

jongkok di sisi kiri Setan Bodong.

"Memangnya kenapa?" Setan Bodong balik ber-

tanya. "Kalau aku anak buah Raja Penyasar Sukma, 

apa urusanmu? Kalaupun aku musuh orang itu, apa 

pula yang kau inginkan dariku?"

Mendengar kata-kata Setan Bodong yang ter-

dengar menyelidik, Pendekar Bodoh nyengir kuda seje-

nak. Dengan tatapan matanya, Pendekar Bodoh meme-

riksa keadaan kakek gendut itu.

"Inti kekuatan tubuh kakek ini telah lenyap...," 

kata Seno dalam hati. "Dia tak punya ilmu kesaktian 

lagi. Tapi, kenapa dia tampak begitu sombong dan 

angkuh?"

"Hei! Kenapa kau malah diam saja?!" tegur Se-

tan Bodong.

"Eh, ya, ya! Aku akan menjawab pertanyaan-

mu, Pak Tua," sahut Seno Prasetyo, tergagap. "Jika 

kau memang anak buah Raja Penyasar Sukma, aku 

akan pergi. Biarlah rayap dan cacing tanah yang akan 

melumatkan tubuhku.... Tapi, kalau kau musuh orang 

jahat itu, kita bisa bekerja sama untuk mencari jalan 

keluar...." 

Pendekar Bodoh berkata amat lugu, tanpa ada 

yang ditutup-tutupi. Setan Bodong yang mendengar-

nya malah tertawa bergelak.

"Ha ha ha...! Aku tahu kau punya sifat jujur 

dan bisa dipercaya, Bocah Bagus. Karena kau telah 

berkata apa adanya, ada baiknya bila kukatakan siapa 

diriku sebenarnya.... Aku bukan anak buah Raja Pe-

nyasar Sukma! Bukan pula musuhnya!"

"Lalu, apa? Sahabat? Atau barangkali, kau tak 

pernah bertemu langsung dengan orang jahat itu? Kau 

mendengar nama Raja Penyasar Sukma hanya lewat 

desas-desus saja?" kejar Seno, nyerocos panjang.

"Ha ha ha...!" Setan Bodong tertawa lagi. "Siapa 

bilang aku tak pernah bertemu langsung dengan Raja 

Penyasar Sukma? Justru aku mengenalnya dengan 

baik seperti aku mengenal diriku sendiri!"

"Kalau begitu, kau pasti sahabat karibnya!" tebak Pendekar Bodoh.

"Bukan!" sergap Setan Bodong.

"Kau jangan bicara bertele-tele, Pak Tua!" sen-

tak Dewi Pedang Kuning. Tiba-tiba. "Aku dan saha-

batku ini sedang dilanda kebingungan! Jangan kau 

menambah kebingungan kami!"

"Siapa yang menambah kebingungan kalian, 

Anak Manis?" sahut Setan Bodong. "Aku bicara hal 

yang sebenarnya. Kalau kalian tak mengerti, itu salah 

kalian sendiri! Aku memang bukan anak buah Raja 

Penyasar Sukma! Bukan pula musuh ataupun sahabat 

orang itu!"

"Lalu, kau apanya?" kejar Pendekar Bodoh den-

gan sabar. "Kau katakan tadi, kau mengenal baik Raja 

Penyasar Sukma. Apakah kau saudaranya? Atau 

mungkin malah bapaknya?"

Mendengar ucapan Seno, Setan Bodong tertawa 

terbahak-bahak. "Ha ha ha...! Sedari tadi tebakanmu 

tak ada yang benar! Ha ha ha...! Baiklah, daripada 

nanti kau bertambah penasaran, kukatakan saja bila 

aku adalah guru Raja Penyasar Sukma!"

"Jahanam!" geram Seno tiba-tiba. "Kalau begitu, 

aku harus membunuhmu, Pak Tua! Raja Penyasar 

Sukma adalah pembunuh ibuku! Kau pasti orang jahat 

juga! Kau pantas dihukum mati!"

"Uts tunggu dulu!" cegah Setan Bodong yang 

melihat Seno hendak menjatuhkan pukulan ke kepa-

lanya. "Aku bukanlah orang yang takut mati. Siksaan 

yang sedang ku rasakan ini pun sebenarnya sudah le-

bih menyakitkan dari kematian. Tapi..., cobalah dengar 

dulu penjelasanku.... Aku tahu kau amat jujur, Bocah 

Bagus. Tapi..., kau harus dapat berpikir lebih dewasa. 

Jangan sampai kejujuranmu itu justru akan mencela-

kakan dirimu...."


"Apa maksudmu, Pak Tua?!" dengus Seno, te-

ringat sosok ibunya yang telah dibunuh oleh Banyak 

Langkir atau Raja Penyasar Sukma.

"Sebagai manusia yang dikaruniai akal budi, 

mestinya kau selalu mengasah otak, agar pikiran wa-

wasan mu bertambah luas...," ujar Setan Bodong pe-

nuh kesungguhan, tanpa punya maksud mengolok-

olok Seno. "Tidak semua penjahat punya guru orang 

jahat. Tidak semua orang baik, gurunya juga baik. 

Dunia ini sudah tua dan rapuh. Kalau ada banyak ke-

jadian aneh, itu tandanya dunia akan segera kiamat. 

Tapi..., bukanlah suatu keanehan kalau ada seorang 

guru yang baik punya murid orang jahat. Bukankah 

manusia punya sifat teledor sehingga salah dalam 

menjatuhkan pilihan?"

"Hmmm.... Tampaknya, kau memang pandai 

memutar lidah, Pak Tua," sahut Seno. "Aku bisa men-

gerti apa yang kau katakan. Tapi, tentu saja aku tak 

mau percaya begitu saja! Katakan asal-usulmu lebih

jelas! Kalau memang kau orang baik-baik, mungkin 

aku bisa menolongmu. Dan mungkin pula, kau pun 

bersedia menolongku...."

Mendengar ucapan Pendekar Bodoh yang terus 

terang itu, Setan Bodong tertawa untuk kesekian ka-

linya.

"Ha ha ha...! Dunia ini memang seringkali tidak 

adil. Aku sudah memperkenalkan diri. Tapi, dua orang 

yang ada di hadapanku ini terus saja bertanya tanpa 

terlebih dulu menyebutkan nama dan gelar. Ya! Dunia 

ini memang seringkali tidak adil! Ha ha ha...!"

Berkerut kening Seno seketika. Ditatapnya le-

kat-lekat wajah Setan Bodong yang masih terbaring te-

lentang di cekungan tanah.

Karena merasa tak enak hati mendengar sindiran kakek gendut itu, akhirnya Seno berkata, "Aku 

bernama Seno Prasetyo. Kalau ingin tahu gelarku, aku 

akan mengatakan. Tapi, harap kau tak menertawa-

kan...." 

"Hmmm.... Apa pun gelar orang, itu hanya se-

buah sebutan untuk memudahkan orang mengenal 

dan memanggil. Yang terpenting adalah perbuatan si 

pemilik gelar itu...," ujar Setan Bodong.

"Benar. Tapi, sekali lagi, kuharap kau tak akan 

menertawakan. Gelarku tak enak didengar. Orang-

orang telanjur menyebutku sebagai Pendekar Bo-

doh...," beri tahu Seno.

"Seno Prasetyo?" ulang Setan Bodong.

Kakek berkepala gundul licin itu hendak terta-

wa, tapi cepat ditahannya keinginan itu karena tak

mau menyinggung perasaan Seno.

"Ya! Ya, aku bisa mengerti...," ujar Setan Bo-

dong kemudian. "Orang-orang menyebut mu sebagai 

Pendekar Bodoh, mungkin karena kau tampak begitu 

jujur dan lugu.... Dunia yang sudah uzur ini memang 

telah ternoda oleh tipu muslihat manusia. Kalau orang 

tidak bisa menipu, seringkali dia malah dikatakan bo-

doh.... Mungkin itu yang terjadi pada dirimu, Bocah 

Bagus...."

Kakek gendut itu mengalihkan pandangan ke 

wajah Dewi Pedang Kuning seraya bertanya, "Lalu, kau 

siapa, Anak Manis?"

"Aku Kemuning," jawab Kemuning, singkat.

"Gelarmu?"

"Perlukah itu kukatakan?" Kemuning berkata 

ketus dan tampak tak bersahabat.

Setan Bodong menyungging senyum getir, lalu 

berkata, "Kalau tak mau memperkenalkan diri, aku 

pun tak akan memperkenalkan diri pula. Pergilah....


Lebih baik aku menunggu ajal di tempat ini tanpa seo-

rang teman...."

"Jangan marah dulu, Pak Tua...," sergah Pen-

dekar Bodoh. "Sahabatku itu bergelar Dewi Pedang 

Kuning.... Oleh karena kau sudah tahu siapa kami 

berdua, sekarang katakan dengan jelas asal-usulmu. 

Cepat saja! Karena, ada puluhan makhluk jahat yang 

sedang mengejar kami...."

Setan Bodong menarik napas panjang beberapa 

kali. Setelah menatap wajah Seno dan Kemuning ber-

gantian, dia berkata, "Aku tak tahu dosa apa yang te-

lah kuperbuat.... Aku tak habis mengerti, kenapa sura-

tan ini terjadi pada diriku...?"

"Hei! Apa yang kau katakan?!" tegur Seno. "Aku 

ingin kau menceritakan asal-usulmu! Aku tak mau 

mendengar keluh kesah mu! Aku sedang bingung, Pak 

Tua. Kau tadi tertawa terus, sekarang tampak begitu 

sedih.... Sebenarnya, apa yang ada di hatimu, Pak 

Tua?"

"Hmmm.... Kalau kau ingin tahu asal-usulku, 

tentu saja kau harus mau mendengar cerita sedih ku," 

sahut Setan Bodong. "Tapi, kuharap kau tidak salah 

mengerti. Aku bukan sedang berkeluh-kesah...."

Usai mengatakan kalimat itu, Setan Bodong 

menatap lekat wajah Seno. Lewat sorot matanya, dia 

seakan sedang melongok isi hati Seno.

"Seperti kukatakan tadi, aku memang guru Ba-

nyak Langkir yang lebih kau kenal dengan sebutan Ra-

ja Penyasar Sukma...," lanjut Setan Bodong. "Namun, 

aku menjadi guru Banyak Langkir baru lima tahun 

yang lalu. Sebelumnya, dia berguru kepada Iblis Racun 

Kembang. Tentang guru pertama Banyak Langkir itu, 

aku tak bisa bercerita banyak. Hanya saja, bisa kuka-

takan bila dia masih hidup dan tinggal di Lembah Racun...."

Tiba-tiba, sinar mata Setan Bodong meredup. 

Air mukanya berubah kelam. Sesaat, dia pejamkan 

matanya seperti tengah merasakan himpitan yang san-

gat menyakitkan hati. Seno dan Kemuning jadi iba ke-

tika kakek gendut itu batuk-batuk.

"Aku tak apa-apa.... Jangan kalian pandangi 

aku seperti itu," tegur Setan Bodong.

"Aku tahu ilmu kesaktianmu telah lenyap, Pak 

Tua," ujar Pendekar Bodoh. "Tapi, aku tak tahu apa-

kah kau sedang menderita luka dalam?"

"Tak salah apa yang kau katakan. Ilmu kesak-

tianku memang telah lenyap," sahut Setan Bodong. 

"Tapi, sekali lagi, kau jangan menatap ku seperti itu. 

Aku tidak terluka dalam.... Lagi pula, aku tak mau ada 

orang yang menaruh iba atas penderitaan ku ini...."

"Tapi, Pak Tua, tampaknya kau tersiksa seka-

li...," desah Pendekar Bodoh yang tiba-tiba merasa 

amat kasihan pada Setan Bodong. "Siapa yang telah 

melenyapkan Ilmu kesaktianmu, Pak Tua?"

"Muridku sendiri."

"Raja Penyasar Sukma?"

"Ya. Lima tahun yang lalu, Banyak Langkir me-

nemuiku di Pulau Kayangan. Dia datang dengan mem-

bawa Kitab Tiga Dewa...."

Setan Bodong menghentikan bicaranya untuk 

menarik napas panjang. Wajahnya terlihat semakin 

muram. Lalu dengan suara bergetar, dia lanjutkan ce-

ritanya.

"Banyak Langkir meminta ku untuk memban-

tunya mempelajari tiga macam ilmu kesaktian yang 

terdapat dalam Kitab Tiga Dewa. Karena dia menun-

jukkan sikap baik dan tampak penuh semangat dalam 

mempelajari ilmu kesaktian, aku bersedia membantunya. Kebetulan pula aku belum punya murid. Walau 

umur Banyak Langkir sudah hampir setengah abad, 

kupikir tak ada salahnya bila aku mengangkatnya se-

bagai murid. Lalu.... Terjadilah peristiwa yang membu-

atku amat menderita ini.... Aku teledor.... Inilah buah 

dari kesalahanku sendiri...."

Seno dan Kemuning saling pandang. Keketusan 

Kemuning sudah tak tampak lagi. Seperti Seno, gadis 

cantik itu juga larut dalam suasana sedih. Namun, me-

reka tak hendak berkata apa-apa. Mereka cuma me-

nunggu Setan Bodong untuk melanjutkan ceritanya 

kembali.

"Tiga purnama yang lalu, Banyak Langkir be-

nar-benar dapat menguasai tiga ilmu kesaktian yang 

terdapat dalam Kitab Tiga Dewa...," tutur Setan Bo-

dong kemudian. "Kesadaranku datang terlambat. Aku 

baru menyadari kesalahanku ketika Banyak Langkir 

berniat membunuhku.... Niatnya itu tak kesampaian 

karena aku mempunyai sebuah ilmu mukjizat yang 

bernama 'Jiwa Rangkap Perpanjang Usia'. Tapi..., dia 

tahu kelemahan ku.... Dia tak berhasil membunuhku, 

tapi seluruh kesaktianku dimusnahkannya...." 

"Dengan cara apa, Pak Tua?" tanya Seno, pena-

saran. Pemuda remaja ini segera ingat Mahisa Lodra 

atau Setan Selaksa Wajah yang juga telah mengkhia-

nati gurunya sendiri dengan membuat lumpuh kedua 

kaki Dewa Dungu.

Untuk kesekian kalinya, Setan Bodong menatap 

lekat wajah Pendekar Bodoh. Lalu katanya, "Kau su-

dah tahu kalau aku bergelar Setan Bodong, bukan? 

Kau lihat sekarang ini, perutku memang gendut, tapi 

tidak bodong, bukan? Pusar ku biasa-biasa saja...."

"Apa hubungannya tindakan Banyak Langkir 

dengan gelarmu itu?" tanya Seno, penasaran.


"Ketahuilah, Bocah Bagus..., sebenarnya aku 

punya pusar sebesar buah terong tua. Oleh karena itu-

lah orang-orang memberi ku gelar Setan Bodong. Ta-

pi..., seperti yang kau lihat sekarang, pusar ku telah 

hilang. Banyak Langkir telah mencopotnya...."

"Mencopotnya?" kejut Seno. 

"Ya. Setelah gagal membunuhku, dia mencopot 

pusar ku saat aku sedang bersemadi. Akibatnya, selu-

ruh ilmu kesaktianku lenyap...."

"Astaga! Kejam benar muridmu itu, Pak Tua," 

dengus Seno.

"Bukan hanya itu perlakukan kejam Banyak 

Langkir," sahut Setan Bodong. "Karena takut aku akan 

dapat mengembalikan ilmu kesaktianku, tubuhku 

yang sudah tak bisa digerakkan lag dibawanya ke tem-

pat ini..."

"Jadi, selama tiga purnama penuh kau berada 

di tempat ini, Pak Tua? Siapa yang memberimu ma-

kan?"

"Aku tak makan ataupun minum. Hanya berkat 

kebesaran Tuhan, jika kau dapat menemukan aku da-

lam keadaan bernyawa."

Usai berkata mendadak kakek gendut itu me-

natap tajam perut Pendekar Bodoh.

"Ada apa, Pak Tua?" tanya Seno, heran.

"Walau ilmu kesaktianku telah lenyap, tapi 

penglihatanku masih tajam," ujar Setan Bodong penuh 

kesungguhan. "Aku tahu di dalam perutmu ada batu 

mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...."

"Benar!" tegas Seno. "Tapi, aku tak dapat men-

geluarkannya lagi."

"Hmmm.... Begitu? Karena itukah kau tidak bi-

sa keluar dari tempat ini?"

"Ya!" sahut Seno.


"Sebelum batu mustika 'Menembus Laut Ber-

napas Dalam Air' masuk ke perutmu, apakah kau me-

nelan suatu benda ajaib lainnya?"

Kening Seno berkerut rapat. Dia berusaha 

mengingat-ingat kejadian yang dialaminya sebelum 

masuk ke Lembah Rongga Laut. Tak lama kemudian, 

dia berkata....

"Ya! Ya, Pak Tua.... Sebelum batu mustika 

'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' masuk ke pe-

rutku, aku telah menelan Kodok Wasiat Dewa."

"Kodok Wasiat Dewa?" ulang Setan Bodong.

Seno mengangguk

"Astaga! Berarti kau punya satu keberuntungan 

besar, Bocah Bagus. Kalau tidak berjodoh, siapa pun 

tak akan pernah bisa mendapatkan benda ajaib itu...."

"Lalu, apa hubungannya Kodok Wasiat Dewa 

yang ku telan dengan batu mustika 'Menembus Laut 

Bernapas Dalam Air', Pak Tua?" tanya Seno, semakin 

penasaran.

"Kedua benda yang sama-sama sulit dapatkan 

itu telah menyatu di dalam perutmu!" ujar Setan Bo-

dong.

"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh dengan 

wajah pucat pasi. Bayangan buruk segera berkelebatan 

di benak pemuda lugu ini.

"Andai ilmu kesaktianku tidak musnah, aku 

pasti bisa memisahkan lagi kedua benda ajaib yang 

ada di dalam perutmu itu, Bocah Bagus...," kata Setan 

Bodong, lirih seperti tengah mengharap sesuatu yang 

tak akan pernah didapatkannya.

"Adakah suatu cara untuk mengembalikan ilmu 

kesaktianmu, Pak Tua?" tanya Kemuning yang sedari 

tadi cuma diam. Ucapannya terdengar ramah dan tak 

ketus lagi.


"Ada!" jawab Setan Bodong. "Seluruh ilmu ke-

saktianku akan kembali seperti sediakala jika ada 

orang yang dapat memasangkan kembali pusar ku..."

"Aku pasti bisa! Aku pasti bisa!" tawar Seno 

tanpa pikir panjang. "Tapi..., kalau Banyak Langkir te-

lah menghancurkan pusar mu, uh....,"

Pendekar Bodoh menggaruk kepalanya yang tak 

gatal seraya cengar-cengir. Sementara, Kemuning lang-

sung mengajukan pertanyaan pada Setan Bodong.

"Benarkah Banyak Langkir telah menghancur-

kan pusar mu, Pak Tua?"

"Itu memang yang dia inginkan," jawab Setan 

Bodong. "Tapi, di dunia ini tak satu pun senjata tajam 

yang dapat menghancurkan pusar ku...."

"Berarti, pusar mu masih ada?" tebak Kemun-

ing.

"Begitulah. Tapi, Banyak Langkir menyembu-

nyikan di suatu tempat."

"Kau tahu di mana?"

"Aku tak tahu."

Kemuning terdiam.

Seno cengar-cengir terus.

Setan Bodong menatap lekat wajah Seno.

"Hmmm.... Begini saja, Bocah Bagus..., kau 

ajak sahabatmu itu mencari pusar ku. Kalau sudah 

ketemu, kau bantu aku lagi memasang kembali pusar

ku itu. Lalu, ganti aku yang akan membantumu memi-

sahkan dua benda ajaib yang ada di dalam perutmu. 

Bagaimana?" cetus Setan Bodong yang penuh harapan.

Seno menggaruk kepalanya lagi. Dia heran

mendengar cerita Setan Bodong. Kenapa pusar kakek 

gendut itu bisa dicopot dan dipasang lagi?

"Ya! Ya! itu gagasan yang bagus, Pak Tua," 

sambut Seno kemudian. "Tapi, di mana aku harus


mencari pusar mu?"

"Aku yakin Banyak Langkir menyembunyikan-

nya di Lembah Rongga Laut ini," ujar Setan Bodong. 

"Bila kau menemukan sebuah mata air yang menyem-

burkan air merah dan terasa amat dingin, di situlah 

pusar ku berada."

"Aku tahu!" seru Seno tiba-tiba.

"Ya! Aku juga tahu!" seru Kemuning pula.

Setan Bodong cuma membelalakkan mata pe-

nuh rasa tak percaya....



TUJUH



PERLAHAN kelopak mata Dewa Geli terbuka. 

Diedarkannya pandangan beberapa saat. Namun, yang 

terlihat hanya keremangan malam dan sepi suasana 

kaki bukit.

Dalam keadaan tetap duduk bersila, bocah be-

rambut tipis itu mencoba mengalirkan kekuatan tena-

ga dalam ke bagian-bagian tubuh yang diinginkannya. 

Semua berjalan dengan baik. Itu berarti inti kekuatan 

tubuhnya telah kembali. Pengaruh pukulan 'Sihir Pen-

jerat Arwah' Putri Budukan telah lenyap.

Tentu saja Dewa Geli merasa girang. Bukan sa-

ja telah lolos dari lubang maut, dia pun telah lepas dari 

siksaan yang membelenggunya. Namun, kening si bo-

cah berkerut rapat. Ada sesuatu yang tak mengenak-

kan hatinya.

Tanpa bangkit dari duduk bersilanya, bocah 

berpakaian kedodoran itu mengedarkan pandangan la-

gi. Kerut di keningnya makin rapat. Apa yang tengah 

dia cari tak terlihat olehnya.


"Aku tahu jiwaku yang cuma selembar ini baru 

saja diselamatkan orang...," ujar Dewa Geli dengan su-

ara bergetar. "Aku tahu, bukan saja jiwaku telah terse-

lamatkan inti kekuatan tubuhku pun telah kembali 

seperti sediakala. Oleh karenanya, patutlah aku meng-

haturkan beribu terima kasih atas budi baik ini. Na-

mun..., kepada siapa aku berkata, dan kepada siapa 

pula aku akan membalas budi di kelak hari? Tidakkah 

sang pendekar budiman sudi menampakkan diri. Agar 

dapat aku yang buruk rupa ini berkenalan. Agar tak 

nanti aku yang hina ini terbelenggu rasa penasaran...." 

Mendadak, tiupan angin berdesir aneh. Hawa 

bukit yang sudah dingin menjadi lebih dingin. Dewa 

Geli terkesiap manakala mendengar lantunan syair 

yang terasa begitu dekat dengan telinganya....

Di antara sesama manusia....

tak ada istilah menanam budi

Apa yang telah kulakukan tak lain dari

kewajiban di antara sesama umat

Yang Kuasa menciptakan manusia adalah untuk

tolong-menolong dan bantu-membantu

Andai ada seorang manusia sanggup memberi 

uluran tangan

Tapi tak memberi bantuan

Berdosalah orang itu

Karena, dia telah lupa pada kodratnya

Sebagai makhluk Tuhan yang harus selalu

berbuat baik kepada sesama

Kenapa tenaga mesti disimpan dan tangan

disembunyikan bila ada yang memerlukan?

Ketahuilah, Bocah....

Merasa berhutang budi itu bagus

Agar perbuatan baik dapat kau jadikan suri teladan 

Tapi, sungguh aku tak mengharap apa-apa da-

rimu

Syukurlah bila aku telah dapat membantu 

Tuhan yang tahu

Dia-lah jua tempatku memohon sesuatu....

Melonjak kaget Dewa Geli. Tiba-tiba, dia meli-

hat seorang lelaki setengah baya tengah duduk bersila 

di atas lempengan batu, tak seberapa jauh dari hada-

pannya. Semula, Dewa Geli tak melihat siapa-siapa, 

tapi kenapa orang itu bisa mendadak berada di tempat 

ini?

"Menilik makna yang tersirat dalam bait syair

mu, aku tahu kaulah dewa penolongku...," ujar Dewa 

Geli, bangkit berdiri seraya membungkuk hormat. "Me-

rasakan makna yang tersirat dari bait syair mu pula, 

aku tahu kau seorang pendekar berbudi luhur. Aku 

yang hina-dina ini patut menghaturkan beribu terima 

kasih dan berjuta rasa hormat..."

Sosok lelaki berpakaian putih-putih yang ten-

gah duduk di lempengan batu tampak tersenyum tipis. 

Rambutnya yang tergerai panjang berkibar dipermain-

kan hembusan angin. Dengan suara lembut berwiba-

wa, dia berkata...

"Wujud mu hanya seorang bocah sepuluh ta-

hunan, tapi kau telah memiliki peradatan dan sopan-

santun yang sedemikian tinggi. Mungkinkah dalam tu-

buhmu tersimpan jiwa seorang tokoh tua...?"

Dewa Geli membungkuk hormat lagi. Lain dari 

biasanya, tak hendak dia tertawa. Karena kalau hal itu 

dia lakukan, jelas tak pada tempatnya.

"Terimalah salam hormatku...," sahut bocah 

berkulit hitam itu. "Tepatlah apa yang kau katakan,


wahai Pendekar Budiman. Aku yang rendah ini me-

mang telah berusia seratus tahun. Karena lebih dari 

separuh umurku ku habiskan di Istana Abadi, negeri 

para siluman, jadilah aku tetap berwujud seorang bo-

cah seperti ini. Aku bernama Jaka Tunggal. Namun se-

jak setahun yang lalu, orang-orang biasa menyebutku 

sebagai Dewa Geli...."

"Dewa Geli?" ulang lelaki berpakaian putih-

putih. "Hmmm.... Tampaknya, selama ini aku tak per-

nah mendengar gelarmu itu, Bocah. Maafkan aku bila 

belum mengenalmu. Sebenarnya, sejak lima tahun 

yang talu, aku telah mengasingkan diri. Hanya karena 

ada satu urusan penting, terpaksa aku keluar lagi dari 

tempat pengasingan ku untuk berbaur dengan sesama 

manusia...."

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu bangkit dari 

duduknya. Setelah menarik napas panjang, dia lan-

jutkan lagi ucapannya.

"Kupikir, kau sudah tak lagi membutuhkan 

bantuanku. Inti kekuatan tubuhmu telah kembali. Ti-

ba saatnya untukku undurkan diri...."

"Tunggu...," cegah Dewa Geli saat melihat dewa 

penolongnya hendak meninggalkan tempat. "Seumur 

hidup aku akan terus terbelenggu rasa penasaran 

apabila Pendekar Budiman tak menyebutkan nama 

ataupun gelar...."

"Hmmm.... Nama dan gelarku kurasa tak begitu 

penting. Untuk apa kau tahu nama dan gelarku kalau 

aku tak mengharap apa-apa darimu. Apa yang kula-

kukan hanyalah suatu kebetulan yang tak pernah le-

pas dari takdir Sang Penguasa Tunggal...."

Usai berkata, lelaki berpakaian putih-putih 

menjejak lempengan batu. Namun sebelum tubuhnya 

berkelebat lenyap, terdengar suara berdesing karena


ada sabetan senjata tajam. Lelaki berpakaian putih-

putih cepat mengelakkan tubuhnya karena sabetan 

senjata tajam itu sengaja ditujukan kepada dirinya.

"Mau pergi ke mana kau, Darma Pasulangit?!"

Terdengar sebuah bentakan. Di tempat itu ter-

nyata telah muncul seorang nenek berpakaian serba 

kuning. Di tangan kanannya tercekal sebilah pedang 

yang terbuat dari logam pilihan berwarna kuning. Ne-

nek itulah yang baru saja menyerang lelaki berpakaian 

putih-putih. Dia tak lain dari Dewi Pedang Halilintar!

"Nini Kembangsari...," desis lelaki berpakaian 

putih-putih, kaget. "Kedatanganmu sungguh menge-

jutkan aku. Lebih terkejut lagi aku melihatmu marah-

marah, bahkan menyerangku.... Ada apakah gerangan, 

Nini Kembangsari?"

"Jangan bermanis mulut atau bersilat lidah la-

gi, Darma Pasulangit!" bentak Dewi Pedang Halilintar 

yang punya nama kecil Nini Kembangsari. "Aku tahu 

kelicikan dan kebusukan hatimu. Sejak aku dapat 

membuka kedokmu tadi siang, aku terus mencarimu. 

Kini, jangan kau lari lagi! Dunia akan semakin kacau 

apabila tubuhmu masih menyimpan nyawa!"

Di ujung kalimatnya, Dewi Pedang Halilintar 

memasang kuda-kuda. Sikap dan tatapan matanya 

menunjukkan bahwa nenek itu benar-benar bermak-

sud membunuh lelaki berpakaian putih-putih yang tak 

lain dari Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta alias 

Ksatria Seribu Syair 

"Tunggu!" seru Dewa Geli seraya meloncat ke 

hadapan Dewi Pedang Halilintar. "Selama ini, aku 

mengenalmu sebagai seorang pendekar wanita yang 

selalu membela kaum lemah. Tapi, kenapa malam ini 

aku melihatmu telah berubah sebagai seorang manu-

sia yang haus darah, Dewi Pedang Halilintar? Lelaki


berpakaian putih-putih itu adalah dewa penolongku. 

Kenapa kau hendak membunuhnya?" 

Dewi Pedang Halilintar menatap tajam wajah 

Dewa Geli. "Kau jangan terkecoh oleh segala ucapan 

dan tingkah laku baiknya, Bocah! Bukankah kau ingin 

menjatuhkan hukuman terhadap Hantu Pemetik Bun-

ga? Kalau memang begitu maumu, segera bantu aku 

membinasakan lelaki busuk itu!"

"Aku tak mengerti apa yang kau katakan...," 

sahut Dewa Geli dengan kening berkerut rapat.

"Ketahuilah, Bocah, siang tadi di tepi aliran 

sungai yang tak seberapa jauh dari Kota Gambiran, 

aku melihat lelaki busuk itu duduk bersila dalam si-

kap semadi. Dia itu Hantu Pemetik Bunga! Aku mem-

buka topengnya! Tahulah aku bila dia ternyata Darma 

Pasulangit yang sebelumnya bergelar Ksatria Seribu 

Syair!"

Kaget tiada terkira Dewa Geli mendengar kete-

rangan Dewi Pedang Halilintar. Setengah tak percaya, 

Dewa Geli mengarahkan pandangan ke sosok Ksatria 

Seribu Syair. (Untuk mengetahui asal mula timbulnya 

rasa benci Dewi Pedang Halilintar terhadap Ksatria Se-

ribu Syair, silakan simak serial Pendekar Bodoh dalam 

episode: "Ratu Perut Bumi").

"Benarkah kau Hantu Pemetik Bunga?" tanya 

Dewa Geli dengan tatapan nanar.

"Aku... aku bukan orang yang kau sebutkan 

itu...!" tolak Ksatria Seribu Syair, agak tergagap. Piki-

rannya melayang ke peristiwa tadi slang. Waktu itu, di-

rinya yang berada dalam penyamaran sebagai Ksatria 

Topeng Putih tengah menerapkan ilmu 'Mencari Jejak 

Tunjukkan Tempat' untuk mencari jejak Pendekar Bo-

doh. Karena rohnya telah lepas dari badan kasarnya, 

dia tak dapat mengelak ketika Dewi Pedang Halilintar

membuka topeng yang dikenakannya. Dan karena to-

peng itu sama persis dengan topeng yang dikenakan 

Hantu Pemetik Bunga, Dewi Pedang Halilintar me-

nyangkanya benar-benar sebagai Hantu Pemetik Bun-

ga.

"Jahanam kau!" geram Dewi Pedang Halilintar. 

"Kau tak perlu mungkir, Darma Pasulangit! Dosa-dosa

mu telah bertumpuk. Kini tiba saatnya kau memper-

tanggungjawabkan seluruh dosamu itu!"

"Nini Kembangsari!" bentak Ksatria Seribu Syair 

yang tentu saja tak mau dituduh sembarangan. "Aku 

bukan Hantu Pemetik Bunga! Aku tahu kau menyim-

pan dendam kesumat terhadap orang itu. Tapi, aku 

benar-benar bukan Hantu Pemetik Bunga!"

"Jahanam! Rupanya, kau hendak mungkir lagi!" 

Dewi Pedang Halilintar balas membentak. "Aku bisa 

membuktikan bila kau memang Hantu Pemetik Bunga! 

Keluarkan benda yang menonjol di balik pakaianmu 

itu!"

"Apa hubungannya Hantu Pemetik Bunga den-

gan benda milikku ini?" ujar Ksatria Seribu Syair, me-

raba benda bulat gepeng yang berada di balik bajunya. 

"Aku tahu benda itu adalah topeng putih yang 

biasa kau gunakan untuk melakukan perbuatan ja-

hatmu sebagai Hantu Pemetik Bunga!" seru Dewi Pe-

dang Halilintar, amat yakin. 

Dewa Geli yang sejak lama ingin menghukum 

Hantu Pemetik Bunga tampak geleng-geleng kepala. 

Walau dalam dirinya masih tersimpan rasa kagum dan 

hormat kepada Ksatria Seribu Syair, dia menatap den-

gan pandangan penuh selidik. 

"Hi hi hi...," kali ini Dewa Geli tak dapat mena-

han tawanya. "Dunia ini tampaknya sudah edan! Hi hi 

hi...! Banyak orang baik tiba-tiba berubah jadi jahat,

itu karena dunia memang sudah edan! Hi hi hi...! Agar 

semuanya lebih jelas, turuti saja apa yang dikatakan 

Dewi Pedang Halilintar itu, Pendekar Budiman...!" 

Ksatria Seribu Syair yang tak mau penyama-

rannya sebagai Ksatria Topeng Putih diketahui orang 

tentu saja menolak. Dia cekal erat benda bulat gepeng 

yang berada di balik pakaiannya.

"Hmmm.... Kau lihat sendiri, Bocah..," ujar De-

wi Pedang Halilintar kepada Dewa Geli. "Dia tak mau 

mengeluarkan topeng itu karena takut kebusukannya 

akan terbongkar! Tapi, percayalah kepadaku, Bocah, 

dia itu memang Hantu Pemetik Bunga!"

"Hi hi hi...!' Dewa Geli tertawa lagi. "Kalau se-

muanya belum jelas, mana aku berani turun tangan? 

Agar aku mendapat keyakinan, hi hi hi..., begini sa-

ja..."

Sambil tertawa mengikik, tiba-tiba bocah ber-

pakaian kedodoran itu menghadangkan telapak tan-

gannya ke depan. Sebuah kekuatan tenaga dalam yang 

bersifat mengisap tiba-tiba melesat ke arah Ksatria Se-

ribu Syair!

Berseru kaget Ksatria Seribu Syair. Dia sama 

sekali tak menyangka bila Dewa Geli akan berbuat se-

perti itu. Hingga, tanpa dapat dicegah lagi, tiba-tiba 

benda bulat gepeng yang berada di balik pakaiannya 

tertarik keluar!

Prang...!

Benda yang ternyata berupa topeng baja putih 

itu jatuh ke tanah. Ksatria Seribu Syair mendengus 

gusar. Dewi Pedang Halilintar tersenyum sinis karena 

merasa dapat membuktikan bila Ksatria Seribu Syair 

memang Hantu Pemetik Bunga. Sementara, Dewa Geli 

tampak membelalakkan mata.

Lewat pantulan cahaya rembulan, Dewa Geli

dapat mengenali topeng yang jatuh ke tanah itu seba-

gai topeng yang biasa dikenakan oleh Hantu Pemetik 

Bunga.

"Tak kusangka.... Tak kusangka...," desis bocah 

berpakaian kedodoran itu. "Dunia memang sudah 

edan! Manusianya pun turut edan!"

Dewa Geli menatap tajam wajah Ksatria Seribu 

Syair, lalu dia tertawa mengikik. "Hi hi hi.... Sudah je-

las bila kau Hantu Pemetik Bunga! Walau kau baru sa-

ja menyelamatkan nyawaku, hukuman itu harus tetap 

kujatuhkan! Untuk mengurangi dosa-dosamu, paling 

tidak aku harus mematahkan sebelah tanganmu!"

Usai berkata, Dewa Geli langsung menerjang 

Ksatria Seribu Syair. Dewi Pedang Halilintar turut me-

nerjang pula dengan sabetan dan tusukan pedang!

"Tunggu!" teriak Ksatria Seribu Syair. "Dengar 

dulu penjelasanku!"

"Semua sudah jelas! Tak perlu kau bermanis 

mulut lagi! Lihat serangan!" sahut Dewi Pedang Halilin-

tar. Pedangnya berkelebat cepat, mengincar jalan ke-

matian di tubuh Ksatria Seribu Syair.

"Hi hi hi.... Sebenarnya, aku ingin memotong 

habis 'milik'-mu itu,"" ujar Dewa Geli. "Tapi karena kau 

baru berbuat baik kepadaku, ku potong saja tangan 

kirimu! Hi hi hi...!"

Tiba-tiba tubuh bocah berambut tipis itu berke-

lebat cepat sekali. Dengan ilmu 'Menangkap Naga Me-

matahkan Tulang', dia benar-benar hendak membuat 

tanggal tangan kiri Ksatria Seribu Syair!

"Terpaksa aku melawan!" seru Ksatria Seribu 

Syair seraya berkelit dan membalas serangan kedua 

lawannya.

"Hiahhh...!"

Trang...!


Luar biasa! Sambil menghindari cengkeraman 

sepuluh jari tangan Dewa Geli, Ksatria Seribu Syair 

menjentik bilah pedang Dewi Pedang Halilintar. Gera-

kan itu dilakukan cepat sekali. Dan karena jari-jari 

tangan kanan Ksatria Seribu Syair dialiri kekuatan te-

naga dalam tingkat tinggi, bilah pedang Dewi Pedang 

Halilintar langsung lepas dari cekalan, lalu terlontar 

jauh dan menimbulkan suara berdentang keras saat 

jatuh ke tanah.

"Haram jadah!" maki Dewi Pedang Halilintar 

dengan darah menggelegak naik sampai ke ubun-

ubun.

Tanpa pikir panjang lagi, bergegas nenek yang 

tubuhnya masih tampak sintal itu mengeluarkan seu-

tas tali putih dari balik bajunya. Begitu dialiri tenaga 

dalam, tali sepanjang dua depa lebih itu langsung be-

rubah merah membara dan diselubungi api biru yang 

panas menyala-nyala!

"Makan Cambuk Api Neraka ini!"

Sambil berseru demikian, Dewi Pedang Halilin-

tar menyabetkan cambuk pusaka di tangannya. Tim-

bul ledakan keras. Suhu udara yang semula dingin 

menusuk tulang berubah panas menyengat!

Terkejut Ksatria Seribu Syair mengetahui kehe-

batan cambuk pusaka di tangan Dewi Pedang Halilin-

tar. Sementara, sepuluh jari tangan Dewa Geli harus 

berkelebat dan mengeluarkan suara menderu ganas.

Tak mau mendapat celaka, terpaksa Ksatria Se-

ribu Syair mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya. 

Hingga, pertempuran seru pun tak dapat dihindari la-

gi....

***


DELAPAN


KAU tunggu saja di sini, Kemuning...," pinta 

Seno. Kemuning yang hendak mengikuti langkah Seno 

tampak cemberut. 

"Aku ikut!" tolaknya.

"Jangan seperti anak kecil.... Kau ingat mak-

hluk-makhluk ganas yang mengejar kita tadi? Aku tak 

ingin melihat kau celaka...." 

"Aku juga tak ingin melihat kau celaka. Eh...," 

Kemuning menekap mulutnya karena kelepasan bica-

ra.

Sebenarnya, murid Dewi Pedang Halilintar itu 

tak mau memperlihatkan isi hatinya kepada Pendekar 

Bodoh. Tapi melihat Pendekar Bodoh yang hendak me-

nempuh perjalanan berbahaya, tercetus juga rasa 

khawatirnya terhadap pemuda tampan itu.

"Hmmm...," Seno tersenyum. "Kau tak perlu 

mengkhawatirkan aku. Kau tetaplah di sini. Jaga Ka-

kek Setan Bodong. Aku akan segera kembali...."

Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Seno berkelebat 

meninggalkan halaman rumah batu. Dewi Pedang 

Kuning menatap kepergian si pemuda dengan hati 

berdebar. Haruskah dia menyusul?

"Tak perlu...," ujar Kemuning dalam hati, men-

jawab pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. "Aku 

percaya pada ilmu kesaktian Seno. Sebaiknya, aku 

kembali...."

Kemuning berusaha menghilangkan rasa kha-

watirnya terhadap keselamatan Seno. Dengan langkah 

berat, dia lalu berjalan masuk kembali ke rumah batu. 

Ditemuinya Setan Bodong yang masih terbaring lemah


di cekungan tanah.

Sementara itu, Seno berlari cepat dengan 

menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bernama 

'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Seno tampak tergesa-

gesa sekali. Dia memang tak mau kehilangan waktu. 

Pusar Setan Bodong harus segera didapatkannya. Agar 

dia bersama Kemuning dapat secepatnya pergi me-

ninggalkan Lembah Rongga Laut.

Sesampai di sebuah aliran sungai, Seno meng-

hentikan kelebatan tubuhnya. Dengan naik ke bong-

kahan batu besar, dia mengedarkan pandangan. Seno 

berusaha menemukan kembali mata air yang pernah 

dijumpainya beberapa saat tadi bersama Kemuning.

Tak lama kemudian, bola mata Seno berbinar. 

Raut wajahnya langsung berubah cerah.

"Itu dia!" seru Pendekar Bodoh dalam hati. Di 

kejauhan, dia melihat sumber air yang memancarkan 

air berwarna merah seperti darah. "Aku harus segera

ke sana! Pusar Kakek Setan Bodong pasti disembunyi-

kan di tempat itu!"

Dengan menyimpan rasa girang di hati, Seno 

meloncat turun dari bongkah batu. Namun sebelum-

nya murid Dewa Dungu itu mengerahkan lagi ilmu 

'Lesatan Angin Meniup Dingin' sampai ke puncak. 

Hingga, kelebatan tubuh pemuda berpakaian biru-biru 

itu amat sulit diikuti pandangan mata. Tubuh si pe-

muda seakan telah sulit diikuti pandangan mata.

Tubuh si pemuda seakan telah berubah menja-

di segumpal asap yang terbang tertiup angin kencang!

"Ini dia! Ini dia!" seru Seno seraya menghenti-

kan kelebatan tubuhnya.

Jantung Pendekar Bodoh berdegup lebih ken-

cang. Rasa senang dan khawatir bercampur aduk jadi 

satu. Sesaat, pikirannya jadi linglung. Yang dapat dilakukannya hanyalah cengar-cengir sambil menatap ma-

ta air yang memancarkan air merah seperti darah.

Plok! Plok!

Pendekar Bodoh menepak kepalanya sendiri 

dua kali. "Bodoh benar aku!" rutuknya kepada diri 

sendiri. "Sudah tahu diburu waktu, kenapa malah 

bengong saja?!"

Pemuda remaja itu menarik napas panjang un-

tuk menenangkan rasa hatinya yang tak karuan. Lalu, 

dia berjongkok mengamati mata air di hadapannya.

"Mungkinkah pusar Kakek Setan Bodong dita-

nam di lubang ini?" tanya Seno dalam hati. "Ah! Lebih 

baik langsung kubuktikan saja!"

Sekali lagi, Seno menarik napas panjang. Den-

gan hati tetap berdebar-debar, dia masukkan tangan 

kanannya ke lubang mata air.

Namun....

"Uhhh...!"

Murid Dewa Dungu itu melonjak kaget. Dia tak 

dapat menahan rasa dingin yang keluar dari lubang 

mata air. Bergegas dia tarik tangan kanannya kembali

"Bagaimana ini? Bagaimana Ini?" seru Pendekar 

Bodoh, mulai panik.

Mendadak, pemuda bertubuh tinggi tetap itu 

menepak kepalanya lagi. "Uh! Aku memang bodoh! Aku 

memang dungu! Kenapa tak ku lindungi tanganku 

dengan tenaga dalam?"

Pergelangan tangan Seno tampak bergetar ma-

nakala teraliri kekuatan tenaga dalam. Tak mau kehi-

langan waktu, kembali Seno memasukkan tangan ka-

nannya ke lubang mata air.

Rasa dingin yang keluar dari lubang mata air 

itu tetap menyengatnya. Tapi, Seno sudah bertekad 

bulat. Dia tak mau menarik lagi tangan kanannya.


Hingga di lain kejap, pergelangan tangan kanan pemu-

da itu amblas masuk ke lubang mata air hingga men-

capai ketiak.

Sekuat tenaga Seno menahan rasa dingin yang 

menyiksanya. Rasa dingin itu membuatnya menggigil 

hebat. Jajaran giginya saling bertautan dan memper-

dengarkan suara gemeletukan. Bahkan, otaknya pun 

terasa beku. Akibatnya, tak dapat lagi berpikir jernih. 

Kewaspadaannya jadi berkurang. Padahal, dia telah 

terkepung oleh puluhan makhluk mengerikan!

Puluhan makhluk yang nyaris hanya berupa 

kepala itu bergerak semakin dekat ke arah Seno. Den-

gan menotolkan tangan atau kaki mereka yang amat 

kecil dan pendek, mereka terus bergerak mengancam 

jiwa sang pendekar!

Sementara, Pendekar Bodoh yang terus didera 

rasa sakit akibat kedinginan tiba-tiba berseru girang. 

Jari-jari tangan kanannya yang berada di dalam lu-

bang mata air menyentuh suatu benda kenyal yang 

menjadi sumber rasa dingin. 

"Aku yakin! Ya! Aku yakin sekali! Inilah pusar 

Kakek Setan Bodong!" seru Seno seraya mencabut tan-

gan kanannya dari dalam lubang mata air. 

"Hiaaah...!" 

Swosss...!

Melonjak kaget Pendekar Bodoh. Jari-jari tan-

gan kanannya yang telah tercabut tampak mencekal 

gumpalan daging sebesar buah terong tua. Anehnya, 

gumpalan daging berwarna merah itu dapat bergerak-

gerak seperti punya nyawa!

Karena yakin benda yang dipegangnya adalah 

pusar Setan Bodong, Pendekar Bodoh tak mau mele-

paskannya walau dia merasa jijik dan ngeri bukan 

main. Mata Pendekar Bodoh tampak berbinar saat rasa


dingin yang menjalar dari gumpalan daging di tangan-

nya lenyap perlahan-lahan. Sementara, mata air tem-

pat tersimpannya gumpalan daging langsung berhenti 

mengucurkan air merah!

Tapi..., Seno tak dapat menikmati kegembi-

raannya karena tiba-tiba di belakangnya berkelebat 

sebuah bayangan bulat. Dan, tepat menerpa punggung 

pemuda itu!

Bukkk...!

"Hkkk...!"

Karena benturan benda bulat yang tak lain 

makhluk gundul itu mempunyai tenaga yang amat 

kuat, tubuh Seno langsung terlontar jauh. Setelah ber-

gulingan beberapa lama, pemuda itu terbaring telen-

tang. Dari mulutnya menyembur darah segar. Namun, 

gumpalan daging merah di tangan pemuda itu tetap 

tercekal di tangan kanan.

Pendekar Bodoh jelas menderita luka dalam. 

Tapi, untunglah jiwanya tak sampai terenggut. Tenaga 

dalam pemuda itu sudah sedemikian tingginya sehing-

ga dapat melindungi tubuhnya agar tak hancur beran-

takan.

"Celaka! Celaka!" seru Pendekar Bodoh. Ma-

tanya nanar menatap puluhan makhluk gundul yang 

berloncatan ke arahnya.

Tanpa mempedulikan rasa sakitnya, bergegas 

murid Dewa Dungu itu meloncat bangkit. Gumpalan 

daging merah yang masih bergerak-gerak dia pindah-

kan ke tangan kiri. Sementara, tangan kanannya lang-

sung mencabut Tongkat Dewa Badai.

Wesss...!

Brummm...! 

Kibasan senjata mustika di tangan Pendekar 

Bodoh menimbulkan tiupan angin kencang. Karena kibasannya dilakukan sambil memutar tubuh, semua 

makhluk gundul langsung berpentalan ke berbagai 

penjuru!

Tubuh mereka melayang seringan kapas. Bong-

kah-bongkah batu yang tertimpa kontan hancur ber-

keping-keping. Dan, tentu saja menimbulkan ledakan-

ledakan keras yang amat menyakitkan gendang telin-

ga.

Hebatnya, semua makhluk bertangan dan ber-

kaki kecil pendek itu tak cedera sedikit pun! Mereka 

langsung bangkit diiringi geram kemarahan aneh mirip 

lolongan serigala! 

Namun..., hanya kekecewaan yang mereka da-

patkan karena sosok Pendekar Bodoh telah lenyap dari 

pandangan....

***

"Alirkan tenaga dalam dengan lembut, lalu 

tempelkan di tengah perutku. Hei! Hei! Jangan terba-

lik! Yang harus ditempelkan adalah bagian ujungnya 

yang besar itu!"

Setengah berteriak Setan Bodong memberi pe-

tunjuk pada Pendekar Bodoh yang telah kembali ke 

rumah batu. Sementara, Kemuning tak berani mena-

tap gumpalan daging di tangan Pendekar Bodoh kare-

na merasa jijik dan ngeri.

"Nah! Nah! Begitu! Bergegaslah!" seru Setan 

Bodong, tak sabaran.

Pendekar Bodoh yang sebenarnya juga me-

nyimpan rasa jijik dan ngeri, tak mau membuang wak-

tu. Tergesa-gesa sekali murid Dewa Dungu itu mengi-

kuti petunjuk yang diberikan Setan Bodong.

Tatkala pusar Setan Bodong yang berupa gumpalan daging merah telah ditempelkan ke tempatnya, 

Seno dan Kemuning tampak melonjak kaget. Kulit tu-

buh Setan Bodong yang semula kuning pucat berubah 

merah matang seperti warna buah tomat masak. War-

na merah itu menjalar dari gumpalan daging yang te-

lah melekat di tengah perut si kakek.

Sesaat kemudian, dari kepala Setan Bodong 

mengepul asap tipis yang juga berwarna merah. Sema-

kin lama semakin tebal, dan menyebarkan bau sangit 

seperti bau bulu burung yang terbakar.

Saat asap merah itu telah berhenti mengepul, 

berangsur-angsur warna kulit Setan Bodong berubah 

kuning lagi seperti kulit manusia pada umumnya. 

Anehnya, warna gumpalan pusar Setan Bodong beru-

bah menjadi putih seperti kapur!

"Ilmu kesaktianmu sudah kembali, Pak Tua?" 

tanya Seno, kebodoh-bodohan.

Setan Bodong tak menjawab.

Kakek berkepala gundul licin itu memejamkan 

mata beberapa saat. Lalu, perlahan-lahan dia bangkit 

dari tidurnya. Begitu kelopak matanya terbuka, dia 

langsung tertawa bergelak....

"Ha ha ha...! Telah sirna siksa ini! Telah pergi 

derita ini! ilmu kesaktianku kembali lagi! Ha ha ha...!"

Sambil terus tertawa bergelak, Setan Bodong 

memungut dua kepal batu yang tergeletak di tanah. 

Lalu....

Pruk...!

Pruk...!

Setan Bodong menghantamkan dua kepal batu 

di tangannya ke kepala. Kedua batu yang amat keras 

itu langsung hancur menjadi serbuk halus!

"Ha ha ha...! Kekuatanku telah kembali! Murid 

murtad itu harus dihukum mati! Ha ha ha...!"


Melihat Setan Bodong terus tertawa senang, 

Pendekar Bodoh cuma nyengir kuda. Sementara, Ke-

muning menatap dengan kening berkerut rapat. Gadis 

cantik itu tak suka melihat sikap Setan Bodong yang 

mirip orang gila. 

"Pak Tua! Pak Tua!" tegur Seno kemudian. "Aku 

dan Kemuning harus segera pergi dari tempat ini. Kau 

harus menepati janjimu tadi. Keluarkan batu mustika 

'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang ada di da-

lam perutku!?"

Mendengar desakan Pendekar Bodoh itu, Setan 

Bodong kontan menghentikan tawanya. Matanya yang 

tajam menatap lekat wajah si pemuda. Sementara, 

Pendekar Bodoh sendiri tampak menahan tawa karena 

melihat gumpalan pusar Setan Bodong bergerak-gerak 

seperti ekor binatang.

"Tampaknya, kau terluka dalam, Bocah Ba-

gus..,," ujar Setan Bodong, tak mempedulikan gumpa-

lan pusarnya yang terus bergerak-gerak.

"Ya," sahut Seno. "Tapi, hanya luka ringan. 

Nanti juga akan sembuh dengan sendirinya."

"Jangan sembrono!" ujar Setan Bodong lagi.

"Ah! Sudahlah, Pak Tua. Tak usah kau perhati-

kan luka dalamku. Yang penting kau harus segera 

mengeluarkan batu mustika yang ada di dalam pe-

rutku!" desak Seno penuh kesungguhan.

"Ya! Ya! Aku tahu!" sambut Setan Bodong. 

"Membungkuklah...."

"Membungkuk? Untuk apa?"

"Turuti saja perintahku...."

Seno menatap sebentar wajah Setan Bodong. 

Walau masih ragu, akhirnya dia turuti juga perintah 

kakek berperut gendut itu.

Dan..., begitu Pendekar Bodoh membungkuk


kan badan, Setan Bodong mengangkat telapak tangan 

kanannya yang telah terkepal. Dia hendak menghan-

tam tengkuk Pendekar Bodoh!

"Tunggu!" 

Zing...!

Dengan mata terbelalak lebar, Kemuning 

menghunus bilah pedang yang terselip di punggung-

nya. Lalu, pedang yang terbuat dari logam pilihan ber-

warna kuning itu dia acungkan ke dada Setan Bodong!

"Jika kau hendak meneruskan niatmu, jan-

tungmu akan ku congkel keluar!" ancam Kemuning.

"Eh! Eh! Ada apa ini?!" seru Setan Bodong, ka-

get.

Pendekar Bodoh yang mendengar seruan Ke-

muning langsung menegakkan tubuhnya kembali. Me-

lihat gadis itu mengancam Setan Bodong dengan ujung 

pedang, Seno cuma nyengir kuda dengan tatapan tak 

mengerti.

"Kau kenapa, Kemuning?" tanya pemuda lugu 

itu.

"Hati-hati, Seno!" sahut Kemuning. "Dia hendak 

menghantam tengkukmu!"

Seno nyengir kuda lagi. Setengah tak percaya, 

dia berkata, "Benar itu, Pak Tua?"

"Ya," jawab Setan Bodong, singkat.

"Benar kau hendak menghantam ku?"

"Ya! Apa kau tuli?"

"Astaga! Apa kau hendak ingkar janji, Pak 

Tua?!"

"Tidak! Hanya ada satu cara untuk mengelua-

rkan batu mustika di dalam perutmu itu. Aku harus 

memukul tengkukmu dengan 'Tenaga Inti Es Biru'," je-

las Setan Bodong. 

"Benar begitu?" tanya Pendekar Bodoh untuk


menegaskan. 

"Apa untungnya aku membunuhmu, Tolol! Ka-

lau kau mati, batu mustika yang ada di dalam perut-

mu itu akan lenyap begitu saja tanpa bekas! Kalau su-

dah begitu, bagaimana aku akan keluar dari tempat 

terkutuk ini?!"

Mendengar penuturan Setan Bodong yang tam-

pak sungguh-sungguh, Kemuning menurunkan ujung 

pedangnya yang menempel di dada kiri si kakak. Na-

mun, Kemuning tetap waspada. Siapa tahu Setan Bo-

dong cuma bersilat lidah.

"Ya! Ya! Aku percaya padamu, Pak Tua..." ujar 

Pendekar Bodoh kemudian sambil menggaruk-garuk 

pantatnya yang gatal.

"Membungkuklah kembali...," perintah Setan 

Bodong dengan suara berat berwibawa. 

Sambil tetap menggaruk pantatnya yang masih 

gatal, Pendekar Bodoh menuruti perintah kakek berpe-

rut gendut itu. Dan... sesaat kemudian, Setan Bodong 

benar-benar menghantam tengkuk Pendekar Bodoh!

Buk...!

"Hukkk...!" 

Kemuning berseru kaget melihat Seno jatuh 

tersungkur.

"Apa yang kau lakukan, Pak Tua?!" bentak ga-

dis itu, menyimpan rasa khawatir. Ujung pedangnya 

terangkat, dan benar-benar hendak mencongkel keluar 

jantung Setan Bodong. 

Namun, Setan Bodong tak mau ambil peduli. 

Matanya tak berkedip menatap tubuh Pendekar Bodoh 

yang masih terbaring tertelungkup di tanah.

Perlahan tubuh murid Dewa Dungu itu mulai 

dilapisi bunga-bunga es berwarna biru. Kekhawatiran 

di hati Kemuning semakin bertambah karena tubuh


Pendekar Bodoh sama sekali tak menampakkan tanda-

tanda kehidupan!

"Kau membunuhnya! Kau membunuhnya!" seru 

Kemuning,

Dengan tatapan nyalang, murid Dewi Pedang 

Halilintar itu menusukkan ujung pedangnya sekuat 

tenaga! Tapi..., dada Setan Bodong amat keras bagai 

balok baja. Bilah pedang Kemuning sampai memercik-

kan bunga api dan melengkung ke atas!

Tak setetes pun darah keluar dari dada Setan 

Bodong. Agaknya, si kakek punya ilmu kebal yang 

membuat tubuhnya tak mempan senjata tajam.

"Jangan turuti hawa marah mu! Lihat itu!" seru 

Setan Bodong kemudian.

Lewat ekor matanya, Kemuning melihat tubuh 

Seno yang masih tergeletak di atas tanah. Namun, kini 

tubuh pemuda itu tampak bergerak-gerak. Kedua per-

gelangan tangannya menekuk dengan jari-jari terkepal. 

Bunga-bunga es biru langsung rontok.

"Uh...!"

Pendekar Bodoh mengeluh pendek. Perlahan 

dia bangkit. Dan..., melototlah bola mata Kemuning. Di 

atas tanah tempat terbaringnya tubuh Seno tadi, telah 

tergeletak batu berbentuk limas segitiga berwarna biru.

"Itukah batu mustika 'Menembus Laut Berna-

pas Dalam Air'...?" desis Kemuning.

Setan Bodong tak menjawab.

"Ya, Tuhan...," sebut Seno seraya memungut 

sekepal batu yang tergeletak di dekat tubuhnya.

Bergegas pemuda itu meloncat ke arah Kemun-

ing. Tanpa sadar dia memeluk dan mencium pipi si ga-

dis.

"Kita akan segera kembali ke dunia bebas, Ke-

muning!" seru Seno. "Inilah batu mustika 'Menembus


Laut Bernapas Dalam Air'!"

Kemuning yang masih merasa jengah karena 

ciuman Seno, cuma diam tanpa mengucap sepatah ka-

ta pun.

"Terima kasih, Pak Tua! Terima kasih!" seru 

Seno lag! kepada Setan Bodong. "Tapi..., bagaimana 

batu ini bisa keluar dari perutku?"

"Tak ada waktu untuk menjelaskannya," sahut 

Setan Bodong.

Kemuning menatap lekat wajah Seno yang 

tampak kebodoh-bodohan. Melihat pemuda itu terus 

cengar-cengir, Kemuning bertanya, "Kau tak apa-apa, 

Seno?"

"Seperti yang kau lihat. Aku tak apa-apa. Puku-

lan Kakek Setan Bodong tak membuatku celaka," ja-

wab Pendekar Bodoh.

"Ambil obor-obor itu!" perintah Setan Bodong 

tiba-tiba, keras membentak.

"Ada apa?" tanya Seno, heran. 

"Makhluk-makhluk itu mengepung kita."

"Astaga!"

Seno dan Kemuning melonjak kaget bersama-

sama. Mereka yang sudah percaya benar pada Setan 

Bodong bergegas mengambil obor-obor yang terpasang 

di dinding rumah batu, walau mereka belum tahu ke-

gunaannya. 

"Yang memasang obor-obor itu adalah Raja Pe-

nyasar Sukma...," beri tahu Setan Bodong. "Mungkin 

tak pernah terpikir oleh murid murtad itu bila obor-

obornya itu akan sangat berguna sekarang ini."

Usai berkata, Setan Bodong turut menyambar 

salah satu obor di dinding seraya berkelebat keluar. 

Seno dan Kemuning saling pandang sejenak. Tapi, me-

reka segera mengekor langkah Setan Bodong.

Di luar rumah batu ternyata telah berkumpul 

puluhan makhluk bertangan dan berkaki kecil pendek. 

Makhluk-makhluk buruk rupa itu tampak menyeringai 

dingin penuh nafsu membunuh!

Namun sebelum mereka menyerang....

"Bakar mereka!" perintah Setan Bodong.

Mendadak, kakek berperut gendut itu meniup 

api obor di tangannya. 

Wusss...!

Karena tiupan Setan Bodong dialiri tenaga da-

lam, lidah-lidah api yang berasal dari obor langsung 

menyembur. Puluhan makhluk berkepala gundul me-

mekik parau. Mereka lari serabutan penuh rasa takut!

Seno dan Kemuning langsung meniru tindakan 

Setan Bodong. Tak ayal lagi, lidah-lidah api menyerbu. 

Beberapa makhluk gundul yang kurang cepat meng-

hindar langsung terbakar!

Agaknya, tubuh mereka tak kebal terhadap api. 

Mereka mati dengan tubuh kering kerontang. Semen-

tara, yang lainnya terus lari tunggang-langgang menca-

ri selamat.

"Kita pergi sekarang juga!" ujar Setan Bodong 

kemudian. "Cium batu mustika di tanganmu! Tapi, 

jangan asal cium! Gunakan perasaan seperti kau se-

dang mencium kekasihmu!"

Setelah nyengir kuda sejenak, Seno mende-

katkan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam 

Air' ke bibirnya. 

"Pegang lengannya, Anak Manis...," perintah 

Satan Bodong pada Kemuning.

Tanpa pikir panjang lagi, Kemuning langsung 

memegang lengan kiri Seno. Sementara, Setan Bodong 

sendiri menempelkan telapak tangan kanannya ke 

tengkuk si pemuda.


"Bergegaslah kau cium batu itu!" seru Setan 

Bodong. 

Pendekar Bodoh yang merasa geli karena teng-

kuknya dipegang Setan Bodong tampak nyengir kuda 

lagi. Lalu, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Da-

lam Air' benar-benar diciumnya. Saat mencium, Pen-

dekar Bodoh membayangkan bibir Kemuning yang me-

rah merekah penuh daya pesona....

Dan..., perlahan-lahan sosok Seno, Kemuning, 

dan Setan Bodong mulai mengabur, lalu lenyap dari 

pandangan....

***

"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh. 

Tentu saja Seno terkejut bukan alang kepalang. 

Murid Dewa Dungu itu telah berada di sebuah kaki 

bukit. Seno mengucak-ucak mata karena merasa pan-

dangannya tak jelas. Setelah otaknya kembali jernih, 

tahulah dia bila dirinya berada di keremangan malam.

Lalu, Seno melihat sosok Kemuning dan Setan 

Bodong yang tengah berdiri di kanan kirinya. Kontan 

pemuda lugu itu melonjak girang. 

"Kemuning! Kemuning! Kita telah berada di du-

nia bebas!" seru Pendekar Bodoh. "Kita telah berada di 

dunia bebas, Pak Tua!" beri tahunya kepada Setan Bo-

dong.

"Aku sudah tahu!" sahut Setan Bodong. "Jan-

gan melonjak-lonjak seperti anak kecil! Lihat itu!"

Pendekar Bodoh mengarahkan pandangan ke 

tempat yang ditunjukkan Setan Bodong. Lewat sira-

man cahaya rembulan, dia melihat tiga sosok bayan-

gan yang tengah bertempur seru. Seorang lelaki berpa-

kaian putih-putih tengah dikeroyok oleh seorang bocah


sepuluh tahunan yang dibantu seorang nenek berpa-

kaian serba kuning.

"Dewi Pedang Halilintar...!" desis Seno, menye-

but gelar nenek berpakaian serba kuning.

"Eyang...!" teriak Kemuning, keras sekali.

Dewi Pedang Halilintar yang tengah menyerang 

Ksatria Seribu Syair dengan Cambuk Api Neraka tam-

pak terkesiap. Tanpa sadar, dia menghentikan seran-

gannya. Melihat sosok Kemuning yang sejak beberapa 

hari yang lalu hilang diculik orang, nenek itu langsung 

meloncat keluar dari ajang pertempuran.

Agaknya, rasa cinta dan kasih sayang di hati 

Dewi Pedang Halilintar mampu mengalahkan rasa ben-

cinya terhadap Ksatria Seribu Syair. Lidah-lidah api 

yang menyelubungi Cambuk Api Neraka langsung le-

nyap ketika Dewi Pedang Halilintar menarik lagi aliran 

tenaga dalamnya. Dan..., meloncatlah nenek itu penuh 

rasa girang.

"Kemuning...!" seru Dewi Pedang Halilintar se-

raya memeluk erat Kemuning muridnya. 

Sementara, Ksatria Seribu Syair yang melihat 

kehadiran Pendekar Bodoh langsung merasakan jan-

tungnya berdegup amat kencang. Penyesalan dan rasa 

bersalah tiba-tiba menghantui benaknya.

Tanpa pikir panjang lagi, bekas putra mahkota 

yang tergulingkan itu berkelebat menyambar topeng 

baja putihnya yang masih tergeletak di tanah. Dia lalu 

mengempos tenaga untuk dapat secepatnya mening-

galkan tempat....

Tahu Ksatria Seribu Syair mengambil langkah 

seribu, Dewa Geli tak mau mengejar. Dia cuma berdiri 

mematung, menatap sosok bayangan Ksatria Seribu 

Syair yang segera lenyap tertelan kegelapan malam.

"Biar saja orang itu pergi...," kata hati Dewa Geli. "Melihat sepak terjangnya yang sedemikian hebat, 

aku jadi tak yakin kalau dia memang Hantu Pemetik 

Bunga...."

"Astaga! Jahanam itu lari!" seru Dewi Pedang 

Halilintar, melepas pelukannya pada Kemuning. 

"Siapa dia, Eyang?" tanya Kemuning.

"Dia Ksatria Seribu Syair," jawab Dewi Pedang

"Apa? Ksatria Seribu Syair?" seru Pendekar Bo-

doh. 

Tentu saja pemuda lugu itu amat terkejut kare-

na dia tahu kalau Ksatria Seribu Syair adalah ayah 

kandungnya! 

"Benar dia Ksatria Seribu Syair?" ulang Pende-

kar Bodoh.

"Ya," jawab Dewi Pedang Halilintar.

"Keparat! Walau dia ayahku, aku harus menun-

tut pertanggungjawabannya! Dia berdosa besar pada 

mendiang ibuku!"

Usai berkata, Pendekar Bodoh berkelebat cepat. 

Dengan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', dia beru-

saha menyusul kelebatan tubuh Ksatria Seribu Syair!

Sementara, semua yang masih tinggal di kaki 

bukit itu cuma diam membisu. Mereka tak tahu apa 

yang ada di hati sang pendekar....



                            SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar