..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 07 Desember 2024

PENDEKAR BODOH EPISODE RATU PERUT BUMI

PENDEKAR BODOH EPISODE RATU PERUT BUMI

 Hak cipta dan copy right 

pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

ANGIN berhembus kencang, terasa menampar
wajah dan membeset kulit. Gemuruh suaranya mene-
puk-nepuk gendang telinga. Butiran pasir berhambu-
ran, menyerbu ke segenap penjuru. Bongkah-bongkah
batu pun berpentalan, menambah dahsyatnya suara
gemuruh yang terdengar.
Badai yang sedang berlangsung di Padang An-
gin Malaikat seakan telah mengawali datangnya hari
kiamat. Apalagi, di tengah tanah luas berpasir itu mu-
lai muncul serbuan angin puting beliung. Maka, sema-
kin tebal butiran pasir yang berhamburan menutup
pandangan mata. Semakin banyak pula bongkah-
bongkah batu yang berpentalan. Hingga, suasana di
Padang Angin Malaikat benar-benar amat mengiriskan.
Anehnya, di atas hamparan tanah luas yang
amat jarang dijamah manusia itu tampak gumpalan
cahaya kuning yang terus melayang dan berputar-
putar di angkasa. Lesatan gumpalan cahaya yang cu-
kup terang dan menyilaukan mata itu menimbulkan
suara bersiut keras seperti suara puluhan pedang yang
disabetkan bersamaan.
Beberapa kejap mata kemudian, tampaklah
pemandangan yang lebih mengiriskan. Bongkah-
bongkah batu yang terlontar mendekati gumpalan ca-
haya kuning terlihat meledak hancur menjadi debu ha-
lus yang segera lenyap terbawa putaran angin puling
beliung.
Mendadak, gumpalan cahaya kuning yang
mempunyai daya penghancur luar biasa itu melesat
cepat ke utara. Suara bersiut yang ditimbulkan pun
semakin keras terdengar. Dan ketika gumpalan cahaya

itu mengambang di udara, sekitar tiga tombak dari
permukaan tanah, terdengar teriakan seorang lelaki.
Menggema panjang di seantero Padang Angin Malai-
kat...
"Jahanam! Memancing kemarahan Raja Penya-
sar Sukma sama artinya dengan mengundang Malaikat
Pencabut Nyawa!"
Suara teriakan yang menyiratkan kemarahan
itu terus berkumandang sampai beberapa tarikan na-
pas. Hebatnya, di seputar gumpalan cahaya kuning,
hembusan angin melemah. Putaran angin puting be-
liung pun tampak melesat menjauh. Namun, beberapa
bongkah batu malah meledak hancur berkeping-
keping. Agaknya, suara yang terdengar dari dalam
gumpalan cahaya kuning itu mempunyai daya peng-
hancur yang luar biasa pula.
"Haram jadah! Tidak juga kau mau menunjuk-
kan batang hidungmu! Kembalikan Kodok Wasiat De-
wa kepadaku! Atau, kau akan menghadapi ilmu puku-
lan 'Dewa Penghancur'...!"
Suara yang muncul dari dalam gumpalan ca-
haya kuning itu terdengar lagi. Putaran angin puting
beliung semakin melesat menjauh. Selain bongkah-
bongkah batu yang masih melayang di udara, bong-
kah-bongkah batu yang telah jatuh ke tanah pun turut
meledak hancur. Pecahannya kembali menutupi pan-
dangan mata. Sinar mentari pun tak mampu menem-
bus, hingga kegelapan merajai suasana siang di Pa-
dang Angin Malaikat....
"Setan alas! Keparat! Apa aku harus menam-
pakkan diri, heh?! Hmmm.... Baik! Baik kalau begitu!
Jemari tanganku akan segera meremas batok kepala-
mu!"
Tiba-tiba, gumpalan cahaya kuning yang mengambang di udara tampak melesat berputar-putar lagi.
Tapi, kali ini putarannya terus bergerak ke bawah.
Hingga sesaat kemudian....
Wesss...!
Splasss...!
Gumpalan cahaya kuning itu menyentuh per-
mukaan tanah berpasir, lalu lenyap tanpa bekas. Se-
bagai gantinya, di tempat mendaratnya gumpalan ca-
haya kuning muncul sebuah bayangan kuning yang
tak lain sesosok tubuh manusia!
Seperti ada keajaiban, tiba-tiba badai yang me-
landa Padang Angin Malaikat reda, lalu lenyap hingga
suasana menjadi sunyi lengang. Hanya desau angin
yang terdengar. Butiran pasir pun hanya beterbangan
sekitar dua jengkal di atas permukaan tanah, sehingga
keadaan Padang Angin Malaikat yang tandus dapat di-
lihat dengan jelas.
Sosok manusia yang baru muncul ternyata seo-
rang kakek berpakaian serba kuning. Anehnya, kulit
dan rambut lelaki tua itu berwarna sama dengan pa-
kaiannya, kuning seperti dilumuri perasan kunyit. Le-
bih aneh lagi, ternyata si kakek duduk di atas batu
persegi pipih yang terus melayang di udara!
Menilik dari garis-garis wajahnya, dapatlah di-
pastikan bila kakek berusia enam puluh tahunan itu
adalah Banyak Langkir alias Raja Penyasar Sukma.
Tapi, bagaimana dia bisa memiliki kesaktian yang se-
demikian hebat?
Lima tahun yang lalu, sebenarnya kulit dan
rambut Banyak Langkir tidak berwarna kuning seperti
dilumuri air perasan kunyit. Namun karena dia telah
berhasil mempelajari isi Kitab Tiga Dewa yang dicu-
rinya dari Istana Mahespati, maka kehebatan ilmu ke-
saktian yang terdapat dalam kitab itu telah mengubah

warna kulit dan rambutnya. Dab karena dia pun, telah
berhasil menguasai dengan sempurna ilmu 'Dewa Ang-
kasa' yang merupakan salah satu bagian dari isi Kitab
Tiga Dewa, kakek itu mampu menerbangkan tubuhnya
sambil duduk bersila di atas lempengan batu. Kemam-
puan itu diperolehnya dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalam yang bersifat mendorong, dan mengatur-
nya sedemikian rupa sehingga dia dapat membuat tu-
buhnya seolah-olah memang terbang di angkasa. Sam-
bil mengeluarkan kemampuannya itu, Banyak Langkir
membungkus tubuhnya dengan ilmu 'Sinar Kuning
Penyamar Raga', sehingga tubuhnya tersamar oleh
gumpalan cahaya kuning yang terus memancar.
"Segera tampakkan batang hidungmu, Kepa-
rat!" seru Banyak Langkir atau Raja Penyasar Sukma,
keras menggelegar.
Wajah kakek itu tampak menegang dengan bola
mata melotot besar. Bahunya terlihat naik turun ter-
bawa dengus nafasnya yang memburu karena desakan
hawa amarah.
"Kembalikan Kodok Wasiat Dewa kepadaku,
Keparat!"
Raja Penyasar Sukma berteriak lebih lantang.
Tapi, tetap tak ada orang lain yang menampakkan diri.
Setelah membahana beberapa lama, teriakan kakek
yang pernah menjadi orang kepercayaan Prabu Wira
Parameswara itu segera lenyap tertelan desau angin
padang.
Mendengus gusar Raja Penyasar Sukma. Dia
menarik napas panjang, lalu menempelkan telapak
tangan kirinya ke lempengan batu yang didudukinya.
Timbul suara mendesis seperti bara api tersiram air.
Lempengan batu pipih yang diduduki Raja Penyasar
Sukma tampak berputar di angkasa.

"Bedebah! Agaknya, orang yang telah melarikan
Kodok Wasiat Dewa itu telah meninggalkan tempat
ini...," gumam Raja Penyasar Sukma sambil mengedar-
kan pandangan ke segenap penjuru.
Mendadak, kakek bertubuh tegap berisi itu
menggerendeng keras. Kedua telapak tangannya di-
angkat tinggi-tinggi ke atas. Ketika bertepuk di atas
kepala, timbul ledakan dahsyat. Butiran pasir dan
bongkah-bongkah batu yang berada di bawah Raja Pe-
nyasar Sukma yang tengah duduk di atas lempengan
batu pipih tampak beterbangan bagai dihempas angin
topan.
Ketika kedua telapak tangan Raja Penyasar
Sukma yang menyatu diturunkan di depan dada, seku-
jur tubuh kakek itu tiba-tiba memancarkan cahaya hi-
jau berkilat, semakin lama semakin terang dan me-
nebal. Lalu....
Blarrr...!
Blarrr...!
Dua ledakan dahsyat menggelegar. Semakin
banyak butiran pasir yang beterbangan. Hebatnya, ca-
haya hijau berkilat yang memancar dari tubuh Raja
Penyasar Sukma bertambah luas pancarannya. Hingga
di sekitar Raja Penyasar Sukma, sejauh sepuluh tom-
bak lebih, keadaan menjadi terang-benderang namun
amat menyilaukan mata.
Sesaat kemudian, Raja Penyasar Sukma meng-
gerendeng lagi. Cahaya hijau berkilat yang memancar
dan tubuh kakek itu tiba-tiba memanas. Akibatnya,
suhu udara di Padang Angin Malaikat naik beberapa
kali lipat dari suhu udara semula. Cuilan-cuilan kayu
yang kebetulan berada di tempat itu langsung terbakar
hangus menjadi abu!
Itulah ilmu kesaktian lain yang diperoleh Raja

Penyasar Sukma dari Kitab Tiga Dewa. Dengan ilmu
pukulan 'Dewa Penghancur', dia bisa menciptakan ca-
haya panas yang bisa melelehkan apa saja, termasuk
balok besi ataupun baja!
Tapi agaknya, pameran kekuatan yang tengah
ditunjukkan oleh Raja Penyasar Sukma itu sia-sia saja.
Tak ada orang lain yang menyaksikan. Maka, semakin
memuncaklah amarah Raja Penyasar Sukma. Dia le-
satkan lempengan batu yang didudukinya ke sana-sini
sambil terus mengedarkan pandangan. Namun, orang
yang dicarinya memang sudah tak ada lagi di Padang
Angin Malaikat....
***
Sementara itu, di pinggir sebelah timur Padang
Angin Malaikat, seekor katak raksasa tampak melom-
pat-lompat Suara berdebam keras terdengar meme-
kakkan gendang telinga setiap tubuh katak berkulit hi-
jau kehitaman dan kasar bergerigi itu mendarat di ta-
nah.
Bummm...! Bummm...!
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Sang katak raksasa terus melompat-lompat
sambil mengeluarkan suara ngorok yang tak kalah ke-
ras. Bola matanya yang berwarna merah berkilat me-
mandang lurus ke kejauhan. Agaknya, satwa raksasa
itu tengah mencari sesuatu.
"Kita berputar ke selatan, Adiguna!"
Terdengar suara keras menggelegar yang men-
gandung makna memerintah. Sang katak raksasa
langsung memutar tubuh. Arah lompatannya pun
langsung menuju ke selatan.
Suara perintah tadi ternyata berasal dari mulut

seorang pemuda berpakaian serba merah yang sedang
duduk menggantungkan kaki di leher sang katak rak-
sasa! Pemuda itu bertubuh tinggi tegap. Wajahnya
tampan, namun sorot matanya menyiratkan kekeja-
man dan keangkaramurkaan. Dia Mahisa Lodra!
Usia lelaki itu sebenarnya telah lewat enam pu-
luh tahun. Tapi karena memiliki ilmu 'Selaksa Wajah
Berganti-ganti', dia mengubah raut wajahnya hingga
mirip seorang pemuda tiga puluh tahunan. Dengan il-
mu yang berasal dari salah satu bagian Kitab Sangga-
langit itu, Mahisa Lodra dapat mengubah raut wajah
dan bentuk tubuhnya sekehendak hati. Bahkan, men-
jadi seorang wanita sekalipun!
Karena itulah orang-orang di rimba persilatan
menjulukinya dengan sebutan Setan Selaksa Wajah.
Dan kalau sekarang dia berada di Padang Angin Malai-
kat, pasti karena mempunyai urusan penting. Hal itu
terbukti setelah dia berkata...
"Agaknya, kita harus memutar haluan lagi, Adi-
guna. Orang yang telah melarikan Kodok Wasiat Dewa
itu tentu bermaksud mengecoh kita...."
Kodok Wasiat Dewa yang dimaksud oleh Setan
Selaksa Wajah adalah sebuah benda ajaib yang semula
berada di dalam perut Ikan Mas Dewa. Siapa pun yang
menelan benda ajaib itu akan mendapat kekuatan luar
biasa, sama halnya dengan melatih ilmu silat selama
dua puluh tahun!
Sebenarnya, Setan Selaksa Wajah telah berhasil
mendapatkan Kodok Wasiat Dewa. Dengan akal bu-
lusnya, dia memaksa Seno Prasetyo atau Pendekar Bo-
doh menyerahkan benda ajaib itu. Sementara, Pende-
kar Bodoh sendiri mendapatkannya berkat kebaikan
Ikan Mas Dewa. Ikan raksasa yang menyimpan Kodok
Wasiat Dewa di dalam perutnya itu membalas budi

baik Pendekar Bodoh karena Pendekar Bodoh mele-
paskan jeratannya. (Baca serial Pendekar Bodoh dalam
episode: "Kemelut Di Telaga Dewa").
"Ayo cepat, Adiguna!" seru Setan Selaksa Wa-
jah, tak sabaran. "Kita harus mendapatkan kembali
benda ajaib itu. Tak seorang pun boleh memilikinya,
termasuk Raja Penyasar Sukma!"
Mendengar perintah Setan Selaksa Wajah yang
menyiratkan kegusaran itu, bergegas sang katak rak-
sasa bernama Adiguna memutar tubuh.
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Setelah mengeluarkan suara ngorok panjang,
sepasang kaki Adiguna menjejak tanah. Tubuhnya
yang sebesar gajah dewasa tiba-tiba melesat ke atas.
Usai menempuh jarak sepuluh tombak, tubuh katak
raksasa itu mendarat lagi di tanah. Namun, begitu
menyentuh permukaan tanah berpasir, tubuhnya
langsung melesat lagi. Dan, dengan cara melompat-
lompat seperti itu, dia menuruti setiap perintah Setan
Selaksa Wajah yang tengah duduk menggantungkan
kaki di lehernya.
Sementara, di bagian lain Padang Angin Malai-
kat, Raja Penyasar Sukma juga berusaha keras untuk
mencari orang yang telah melarikan Kodok Wasiat De-
wa.
Dengan caranya masing-masing, Setan Selaksa
Wajah dan Raja Penyasar Sukma seakan tengah ber-
lomba untuk mendapatkan kembali benda ajaib yang
amat langka itu.
Mereka memang sama-sama bernafsu untuk
memiliki benda ajaib itu. Semula, Setan Selaksa Wajah
rela menyerahkan Kodok Wasiat Dewa kepada Raja
Penyasar Sukma karena dia tengah menyusun siasat
yang amat licik. Tapi sebelum siasat itu terlaksana,

Kodok Wasiat Dewa berhasil dirampas dan dilarikan
oleh Ksatria Topeng Putih. (Agar lebih jelas, silakan
simak serial Pendekar Bodoh dalam episode: "Setan Se-
laksa Wajah").
"Astaga...!"
Mendadak, Setan Selaksa Wajah berseru kaget.
Tanpa sadar, kedua telapak tangannya menekan kepa-
la Adiguna. Akibatnya sang katak raksasa menghenti-
kan lompatannya.
Bola mata Setan Selaksa Wajah tampak melotot
besar. Demikian pula dengan Adiguna. Kedua makhluk
berlainan jenis itu sama-sama menatap permukaan
tanah yang meletup-letup seperti ada kekuatan aneh
yang mendorong dari dalam. Dari jarak sekitar dua pu-
luh tombak, mereka terus mengarahkan pandangan
tanpa berkedip. Hingga sampai akhirnya....
Brummmm...!
Swosss...!
Permukaan tanah yang meletup-letup tadi jebol
karena memang ada kekuatan dahsyat yang mendo-
rong dari dalam. Lalu bersamaan dengan gumpalan
tanah dan butiran pasir yang menyembur ke atas, me-
lesat sesosok bayangan besar panjang berwarna hijau
kehitaman.
"Khrokkk...!"
Adiguna mengeluarkan suara ngorok keras.
Tubuhnya bergetar karena terhantam keterkejutan. Se-
telah Setan Selaksa Wajah yang duduk di leher katak
raksasa itu pun tampak membelalakkan mata semakin
lebar. Sambil mengatur jalan nafasnya yang tiba-tiba
kacau, Setan Selaksa Wajah terus mengarahkan pan-
dangan ke depan.
Sosok makhluk yang baru muncul dari dalam
tanah ternyata seorang wanita berparas cantik menawan mengenakan pakaian merah gemerlap seperti seo-
rang ratu. Di kepalanya bertengger sebuah mahkota
emas bertahtakan intan berlian. Anehnya, dari ping-
gang ke bawah, sosok makhluk itu berupa ekor ular
yang panjang melingkar, berwarna hijau kehitaman
dan tampak berkilat-kilat karena tertimpa sinar mata-
hari.
"Ratu Perut Bumi...!" desis Setan Selaksa Wajah
dalam keterkejutannya.
Bola mata kakek berwajah pemuda itu semakin
melotot besar saat melihat sosok tubuh lain yang bera-
da dalam gendongan makhluk setengah manusia se-
tengah ular yang memang Ratu Perut Bumi adanya. Di
punggung makhluk aneh itu bergayut seorang pemuda
berpakaian biru-biru dengan ikat pinggang merah ter-
buat dari kain tebal. Si pemuda bertubuh tinggi tegap.
Berwajah tampan, namun menyiratkan keluguan.
Pemuda tujuh betas tahunan yang melingkar-
kan lengan di leher Ratu Perut Bumi itu tak bergerak
sama sekali. Sementara, kelopak matanya pun tertu-
tup rapat. Agaknya, dia dalam keadaan tak sadarkan
diri.
"Pendekar Bodoh...!" desis Setan Selaksa Wajah
lagi, menyebut julukan pemuda dalam gendongan Ratu
Perut Bumi.
Pemuda berpakaian biru-biru itu memang Seno
Prasetyo atau Pendekar Bodoh. Ratu Perut Bumi telah
membawanya masuk ke dalam tanah dan menempuh
jarak ratusan tombak untuk menemui Setan Selaksa
Wajah karena Ratu Perut Bumi mempunyai urusan
dengan kakek berwajah pemuda itu. Sementara, untuk
menyelesaikan urusan itu, Ratu Perut Bumi merasa
perlu untuk meminta bantuan Pendekar Bodoh. (Per-
temuan antara Ratu Perut Bumi dengan Pendekar Bodoh bisa disimak pada episode: "Setan Selaksa Wa-
jah").
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Sang katak raksasa Adiguna mengeluarkan su-
ara ngorok berulang kali. Bola matanya yang berwarna
merah terus memelototi Ratu Perut Bumi. Kedua ka-
kinya bergeser-geser, membuat butiran pasir beterban-
gan menutupi pandangan. Rupanya, satwa raksasa
berkulit kasar berduri itu telah bersiap sedia untuk
menyerang. Namun, Setan Selaksa Wajah menenang-
kan. Telapak tangan kanan murid murtad Dewa Dun-
gu itu mengelus-elus leher Adiguna. Hingga, sang ka-
tak raksasa dapat menahan diri.
Sementara, Ratu Perut Bumi tampak mengge-
rak-gerakkan ekornya, lalu melepas lengan Pendekar
Bodoh yang melingkar di lehernya. Sebelum diturun-
kan ke tanah, Ratu Perut Bumi memberikan beberapa
totokan di tubuh pemuda itu.
"Uhhh...!" keluh si pemuda lugu Seno Prasetyo,
tersadar dari pingsannya.
"Tenanglah...," ujar Ratu Perut Bumi, "Lihatlah
siapa yang berdiri di hadapanmu...."
Sambil menegakkan kedua kakinya di atas ta-
nah, Seno mengucak-ucak matanya. Begitu kekaburan
yang menutupi pandangannya lenyap, dia melonjak
kaget.
"Ya, Tuhan...," sebut Seno, melihat wujud sang
katak raksasa Adiguna.
Namun, keterkejutan dalam diri Seno segera
berubah menjadi hawa amarah setelah melihat Setan
Selaksa Wajah yang tengah duduk menggantungkan
kaki di leher katak sebesar gajah dewasa itu.
"Mahisa Lodra keparat!" geram Seno, menyebut
nama kecil Setan Selaksa Wajah.

"Ha ha ha...!" Setan Selaksa Wajah tertawa ber-
gelak. "Kenapa kau malah datang ke sini, Pemuda Geb-
lek?! Apa kau telah dapat memecahkan kata-kata san-
di yang kuberikan? Kenapa pula kau mengajak mak-
hluk buruk rupa itu, heh?! Apa kau tidak sayang pada
nyawa Kemuning?!"
Sebelum Pendekar Bodoh menyahuti ucapan
Setan Selaksa Wajah, Ratu Perut Bumi meluruskan
ekornya. Tiba-tiba tubuh manusia setengah ular itu
melesat cepat ke depan. Segera Setan Selaksa Wajah
mempersiapkan diri untuk menghalau segala kemung-
kinan buruk. Tapi agaknya, Ratu Perut Bumi tidak
bermaksud menyerang. Lesatan tubuh manusia seten-
gah ular itu berhenti tiga tombak dari hadapan Adigu-
na.
"Serahkan cermin 'Terawang Tempat Lewati
Masa'...!" seru Ratu Perut Bumi.
Walau manusia setengah ular itu tidak menye-
rang, tapi ucapannya menyerupai sebilah pedang yang
langsung menusuk jantung Setan Selaksa Wajah.
Hingga sampai beberapa saat, Setan Selaksa Wajah
cuma dapat membelalakkan mata dengan mulut ter-
buka lebar. Sementara, jantungnya pun berdegup ken-
cang sekali!
***
DUA


SOSOK bayangan itu berkelebat cepat sekali.
Meloncat-loncat di antara bongkahan batu besar. Bah-
kan, sesekali melesat tinggi, melewati jajaran pohon
yang menghadang di depan. Menilik arah kelebatan
nya, dapat dipastikan bila dia baru keluar dari Padang
Angin Malaikat.
Setelah melewati sebuah hutan kecil yang bera-
da di kaki Bukit Pralambang, sosok bayangan itu
memperlambat kelebatan tubuhnya. Deru angin yang
ditimbulkan tak lagi terdengar. Namun demikian, di
belakang kelebatan bayangan itu selalu dipenuhi debu
tebal.
Sesaat kemudian, si bayangan benar-benar
menghentikan kelebatan tubuhnya. Dia lalu berjalan
perlahan menyusuri aliran sungai yang terletak di uta-
ra Kota Gambiran. Ternyata, dia seorang lelaki bertu-
buh tinggi tegap, mengenakan pakaian putih-putih
dengan ikat pinggang kain berwarna biru. Kulitnya pu-
tih bersih seperti kulit seorang bangsawan yang biasa
merawat tubuh. Sementara, rambutnya yang panjang
diikat dengan sehelai sapu tangan sutera merah.
Sayangnya, dia mengenakan topeng yang terbuat dari
baja putih, sehingga wajahnya tak dapat dikenali. Na-
mun, dari dua lubang yang terdapat pada topeng itu,
dapatlah dilihat bila dia memiliki sepasang mata ben-
ing yang bersinar tajam, menandakan ilmu kepan-
daiannya yang sudah sangat sulit untuk diukur.
Menilik ciri-cirinya itu, siapa lagi dia kalau bu-
kan Ksatria Topeng Putih!
"Walau aku belum berhasil merampas kembali
Pusaka Pedang Naga, tapi aku tak patut bersedih hati.
Kodok Wasiat Dewa berada di tanganku. Kedua manu-
sia jahat itu tak mungkin lagi memanfaatkannya untuk
mengumbar keangkaramurkaan...," gumam Ksatria
Topeng Putih.
Dari balik topeng baja putihnya, lelaki yang
sengaja menyembunyikan jatidirinya itu menatap men-
tari yang tengah memayung di atas kepala. Merasakan

jalannya waktu yang berputar cepat, dia menarik na-
pas panjang seraya melanjutkan gumamannya.
"Aku harus segera menemui Seno Prasetyo. Ko-
dok Wasiat Dewa harus kuserahkan kepadanya. Dia
memang berhak."
Ksatria Topeng Putih mengeluarkan sebuah
kantong putih dari balik bajunya. Hati-hati sekali di-
bukanya tali pengikat kantong itu. Ternyata, di dalam-
nya terdapat gumpalan cahaya putih, dan di dalam
gumpalan cahaya putih itu terdapat gumpalan cahaya
lain yang menyerupai seekor katak berwarna emas.
Gumpalan cahaya itulah yang disebut sebagai Kodok
Wasiat Dewa!
Sebentar saja Ksatria Topeng Putih mengamati
benda ajaib yang berasal dari dalam perut ikan Mas
Dewa itu. Tali kantong segera diikatnya kembali. Lalu,
kantong putih berisi Kodok Wasiat Dewa disimpannya
lagi di balik pakaiannya.
"Benda ajaib ini tidak boleh terlalu lama berada
di tanganku. Terlalu berbahaya!" kata hati Ksatria To-
peng Putih. "Aku memang harus segera menemui Seno
Prasetyo. Tapi..., di mana aku harus menemui pemuda
itu...?"
Sambil memutar otak, Ksatria Topeng Putih
melangkahkan kakinya. Sementara, angin yang bertiup
sepoi-sepoi membuat burung-burung terlena dalam
kebisuan. Mereka tak peduli pada lambaikan ranting-
ranting pohon yang seperti mengajak untuk bercanda.
"Kasihan sekali pemuda itu...," desah Ksatria
Topeng Putih tiba-tiba. "Waktu untuk menyelamatkan
Kemuning semakin pendek. Kalau sampai dia tak ber-
hasil menyelamatkan gadis itu, Mahisa Lodra benar-
benar dapat mengelabuinya mentah-mentah...."
Ksatria Topeng Putih menghentikan langkah

kakinya. Ditariknya napas panjang berulang kali. Lalu,
sambil menunduk, memutar otak lagi untuk dapat
menemui orang yang dimaksudkannya. Mendadak, le-
laki bertopeng itu berseru girang. Ketika mengangkat
wajah, kedua bola matanya yang berada di balik to-
peng tampak berbinar-binar.
"Hmmm.... Selama lima tahun ini, bukankah
aku terus berlatih mempertajam indera keenam? Ke-
napa tidak kucoba ilmu 'Mencari Jejak Tunjukkan
Tempat'?"
Menuruti pikiran di benaknya, lelaki bertopeng
itu melangkah ke atas lempengan batu yang terlindun-
gi oleh rimbunan daun pohon perdu yang cukup besar.
Setelah mengambil sikap semadi, segera dia menyatu-
kan segenap pikiran dan kekuatan batinnya untuk da-
pat menerapkan ilmu 'Mencari Jejak Tunjukkan Tem-
pat'.
Ilmu 'Mencari Jejak Tunjukkan Tempat' adalah
sebuah ilmu pelacak jejak yang bersumber pada keta-
jaman indera keenam. Siapa pun yang dapat mengua-
sai ilmu itu dengan sempurna akan dapat melacak je-
jak seseorang yang dicarinya, asalkan orang yang dica-
rinya itu pernah berjumpa sebelumnya. Namun, jarang
sekali ada orang yang dapat menguasai ilmu 'Mencari
Jejak Tunjukkan Tempat'. Selain memiliki ketajaman
indera keenam, orang yang bermaksud menguasainya
harus pula memiliki jiwa bersih tanpa ternodai oleh se-
gala nafsu buruk.
Lewat dua puluh tarikan napas kemudian, tu-
buh Ksatria Topeng Putih yang tengah duduk bersila di
atas lempengan batu tampak bergetar. Semakin lama
getarannya semakin kuat. Hingga sampai akhirnya,
dari tengkuk dan kepala Ksatria Topeng Putih mengepul asap tipis.

Namun, ketika asap itu berhenti mengepul,
berhenti pula detak jantung dan tarikan napas Ksatria
Topeng Putih! Apa yang terjadi? Agaknya, roh lelaki
bertopeng itu telah lepas dari badan kasarnya!
***
Trang...!
Trang...!
Dua senjata tajam berbenturan di udara. Ber-
samaan dengan terdengarnya suara berdentang keras,
bunga api berpijar dan memercik ke mana-mana. Se-
mentara, dua sosok bayangan terlihat melayang sekitar
empat tombak dari permukaan tanah. Setelah bersalto
beberapa kali di udara, kedua bayangan itu mendarat
dengan sigap.
Salah satu dari kedua orang yang baru menga-
du ketajaman senjata itu ternyata seorang nenek ber-
pakaian serba kuning. Rambutnya yang telah berwar-
na dua digelung ke atas. Walau sudah tua, tapi tu-
buhnya masih tampak montok berisi. Raut wajahnya
pun masih jelas menggambarkan garis-garis kecanti-
kannya.
Dia Dewi Pedang Halilintar!
Tepat lima belas tombak di hadapan nenek
yang memegang pedang berbilah kuning itu berdiri
seorang lelaki berpakaian serba putih, namun masih
mengenakan baju luar berwarna merah yang terdapat
sulaman benang emas bergambar sepasang elang. So-
sok tubuhnya tinggi tegap dan tampak gagah. Kulitnya
pun putih halus seperti kulit wanita. Tapi, wajahnya
tak dapat dikenali karena tertutup topeng yang terbuat
dari sejenis logam berwarna putih.
"Jahanam kau, Hantu Pemetik Bunga!" umpat

Dewi Pedang Halilintar. "Tak dapat kau menculik
dayang-dayang istana, kini kau sengaja mencari gara-
gara denganku. Huh! Apa kau pikir dirimu memiliki
kesaktian dewa, sehingga kau berbuat seenak perutmu
sendiri?!"
Lelaki bertopeng yang disebut sebagai Hantu
Pemetik Bunga menyabetkan pedang yang dibawanya.
Gerakannya pelan saja. Tapi, sabetan pedang yang di-
hiasi ukiran elang itu sudah cukup mampu untuk
menciptakan serangkum angin pukulan.
Wusss...!
Melihat ada bahaya yang tengah meluruk ke
arahnya, Dewi Pedang Halilintar mendengus gusar. Di-
tirukannya gerakan Hantu Pemetik Bunga. Sabetan
pedang di tangan nenek itu menciptakan serangkum
angin pukulan pula. Akibatnya....
Blarrr...!
Sebuah ledakan cukup keras menggelegar di
angkasa. Gumpalan tanah dan bebatuan berhamburan
menutupi pandangan mata. Dan, ketika keadaan men-
jadi tenang kembali, di dekat pusat ledakan tadi telah
terbentuk kubangan besar sedalam dua depa!
"Ha ha ha...!" tawa gelak Hantu Pemetik Bunga.
"Kiranya, kehebatan ilmu 'Pedang Halilintar Rontokkan
Awan' bukan cuma bualan semata. Tapi..., aku masih
ragu. Apakah ilmu itu sanggup meredam ilmu 'Sabetan
Pedang Memenggal Naga' ini? Hmmm.... Kita buktikan
saja!"
Di ujung kalimatnya, Hantu Pemetik Bunga
menarik kaki kiri ke belakang. Pedang tajam berkilat
yang berada di cekalan jemari tangan kanan siap dis-
abetkan. Agaknya, lelaki bertopeng itu sengaja pamer
kepandaian. Tapi sebelum dia benar-benar memperli-
hatkan ilmu 'Sabetan Pedang Memenggal Naga', Dewi

Pedang Halilintar mengangkat telapak tangan kirinya
seraya berseru lantang.
"Tunggu...! Di antara kita sebenarnya tidak ada
silang sengketa, kenapa kau tampak begitu bernafsu
untuk mengadu kepandaian? Di kotapraja tadi, aku
memang memergoki dirimu yang hendak membawa lari
seorang dayang. Tapi, bukankah aku sama sekali tak
mencampuri urusanmu itu?"
"Hmmm.... Kau memang tidak mencampuri
urusanku, Nenek Gendeng. Tapi, kehadiranmu di ko-
tapraja tadi merupakan awal kegagalan ku! Hmmm....
Kau harus menebus kesalahanmu itu sekarang! Ber-
siap-siaplah!"
Hantu Pemetik Bunga menyilangkan pedang di
depan dada. Dengan kaki sedikit ditekuk, dia menga-
lirkan kekuatan tenaga dalam ke bilah pedangnya.
Namun, sekali lagi Dewi Pedang Halilintar berseru lan-
tang.
"Tunggu...! Sebenarnya, aku bukan tak mau
meladeni sikap sombong dan congkak mu ini. Tapi ka-
rena aku mempunyai urusan yang amat penting, harap
kau sudi membiarkan aku pergi."
"Ha ha ha...!" Hantu Pemetik Bunga tertawa
bergelak. "Di kotapraja, kau telah meneriaki ku dengan
sebutan 'Penjahat Culas Penculik Dayang'. Tentu kau
tahu dengan mata kepala sendiri. Sebelum aku berha-
sil melarikan wanita yang kuinginkan, puluhan praju-
rit telah datang mengepung ku. Hmmm.... Kini, aku te-
lah menjadi seorang buronan. Semua itu gara-gara
ulah mu, Nenek Gendeng!"
"Ngaco belo!" maki Dewi Pedang Halilintar, ke-
ras menggelegar. Mendengar tuduhan Hantu Pemetik
Bunga, nenek yang punya sifat keras kepala ini agak-
nya mulai naik pitam. "Pandai sekali kau menjatuhkan

kesalahan pada orang lain, Lelaki Busuk! Sejak dulu
kau telah menjadi buronan kerajaan! Itu bukan salah-
ku! Siapa pun tahu kalau kau adalah seorang penjahat
edan yang suka menculik dan merenggut kehormatan
seorang wanita. Tapi..., kalau sekarang memang punya
maksud menjajal kepandaianku, baiklah kulayani!"
Dengan pandangan berapi-api, Dewi Pedang
Halilintar menatap Hantu Pemetik Bunga. Hawa ama-
rah telah membuatnya lupa pada sebuah urusan yang
harus segera diselesaikannya. Sambil menggerendeng,
dia memasang kuda-kuda dengan pedang ditegakkan
di depan dada. Sementara, Hantu Pemetik Bunga yang
memang menyimpan rasa benci terhadap nenek itu
langsung mempersiapkan lagi ilmu 'Sabetan Pedang
Memenggal Naga'. Dan sekejap mata kemudian....
"Hiahhh...!"
Bet...!
Hantu Pemetik Bunga menggembor keras. Bilah
pedang yang telah dialiri kekuatan tenaga dalam dis-
abetkan ke depan. Seberkas sinar putih melengkung
melesat untuk segera membelah tubuh Dewi Pedang
Halilintar!
"Walet Menerjang Badai...!"
Mendadak, Dewi Pedang Halilintar berseru ke-
ras sekali. Saat sinar putih yang melesat dari bilah pe-
dang Hantu Pemetik Bunga baru menempuh jarak dua
tombak, Dewi Pedang Halilintar menjejak tanah. Sece-
pat kilat, tubuh nenek itu melesat ke depan. Sambil
berjumpalitan empat kali di udara, dia mengibaskan
bilah pedangnya. Selarik sinar kuning menggidikkan
tiba-tiba meluruk deras ke arah Hantu Pemetik Bunga!
Rupanya, Dewi Pedang Halilintar sengaja
menggabungkan jurus 'Walet Menerjang Badai' dengan
ilmu 'Pedang Halilintar Rontokkan Awan'. Ilmu Pedang

Halilintar Rontokkan Awan adalah salah satu ilmu an-
dalan Dewi Pedang Halilintar. Sinar kuning yang mele-
sat dari bilang pedang nenek itu sudah cukup mampu
untuk menghancurkan sebongkah batu sebesar gajah,
apalagi tubuh manusia yang cuma terdiri dari susunan
tulang dan daging empuk!
Di lain kejap, terdengar dua ledakan keras yang
membahana panjang di angkasa. Sinar putih yang me-
lesat dari bilah pedang Hantu Pemetik Bunga yang tak
mengenai sasaran tampak menerpa pohon. Akibatnya,
batang pohon bergaris tengah satu depa itu langsung
tumbang bagai ditebas sebilah pedang yang amat ta-
jam.
Dan, selarik sinar kuning yang melesat dari bi-
lah pedang Dewi Pedang Halilintar cuma mampu
membuat lubang besar di tanah. Sebelum sinar yang
mempunyai daya penghancur dahsyat itu mengenai
sasaran, Hantu Pemetik Bunga telah melentingkan tu-
buhnya sekitar lima tombak ke samping kiri.
"Jahanam kau, Nenek Gendeng!" maki Hantu
Pemetik Bunga yang sempat terpukau melihat keheba-
tan ilmu pedang Dewi Pedang Halilintar.
"Kaulah yang jahanam!" balas Dewi Pedang Ha-
lilintar, tak kalah keras. "Kau jangan cuma berani
memaki orang. Coba buka topengmu! Ingin kulihat wa-
jah burukmu yang pastilah mirip monyet buduk!"
"Keparat! Agaknya, sebelum membunuhmu,
aku harus merobek-robek bibirmu yang nyinyir itu!"
Sambil menggembor keras, Hantu Pemetik Bunga me-
nerjang ganas. Dikeluarkannya jurus-jurus andalan.
Karena lelaki bertopeng itu memiliki ilmu peringan tu-
buh tingkat tinggi, maka tubuhnya segera berubah
menjadi segumpal asap putih yang terus berkelebatan.
Bilah pedangnya pun senantiasa mengeluarkan sinar

putih berkilat yang dibarengi suara gemuruh keras ba-
gai hempasan badai.
Menghadapi serangan yang dilancarkan penuh
kesungguhan itu, mau tak mau Dewi Pedang Halilintar
mesti mengeluarkan seluruh daya kemampuannya.
Maka, sebentar saja pertempuran antara kedua
anak manusia berlainan jenis itu telah berlangsung se-
ru. Mereka sama-sama bernafsu untuk segera meng-
hentikan perlawanan lawan. Dewi Pedang Halilintar
yang juga memiliki ilmu peringan tubuh tingkat tinggi
mampu mengimbangi kecepatan gerak Hantu Pemetik
Bunga. Hingga sampai sepuluh jurus, pertempuran
masih tampak seimbang.
Tetapi setelah memasuki jurus kesebelas, Han-
tu Pemetik Bunga yang biasa berlaku licik mulai men-
jalankan tipu muslihat yang telah tersusun dalam be-
naknya. Saat terjadi bentrokan senjata di udara, sam-
bil melentingkan tubuh ke kiri, dia menebarkan bubuk
racun!
Bubuk itu amat halus dan hampir tak dapat di-
lihat. Namun demikian, Dewi Pedang Halilintar yang
sudah cukup kenyang makan asam garam rimba persi-
latan cepat menyadari keadaan. Dia curiga pada aroma
harum yang tiba-tiba menyebar. Maka tanpa pikir pan-
jang lagi, nenek yang tubuhnya masih tampak sintal
itu mengempos tenaga untuk dapat meloncat jauh ke
belakang.
"Dasar penjahat licik tak tahu malu!" semprot
Dewi Pedang Halilintar. Sambil berkata, nenek ini
mengeluarkan sebutir pil penawar racun dari lipatan
baju, dan langsung ditelannya.
Hantu Pemetik Bunga cuma mendengus gusar.
Matanya menatap tajam sosok Dewi Pedang Halilintar
yang berdiri enam tombak dari hadapannya. Dengan

pedang ditudingkan, dia berkata, "Kalau dalam lima
jurus lagi aku tidak bisa menjatuhkan mu, akan ku-
penggal leherku sendiri!"
"Baik! Buktikan kata-katamu itu!" sambut Dewi
Pedang Halilintar, tersenyum sinis.
"Hmmm.... Bila kau pernah melihat orang diba-
kar hidup-hidup, kau akan segera merasakan siksaan
seperti itu! Lihatlah!"
Usai berkata, lelaki bertopeng itu menyarung-
kan bilah pedangnya. Sebagai gantinya, dia mengelua-
rkan seutas tali dari balik baju luarnya. Sambil meng-
gerendeng, tali lentur sepanjang dua depa lebih itu
disabetkannya ke atas.
Cletarrr...!
Aneh sekali! Tiba-tiba, tali di tangan Hantu Pe-
metik Bunga yang semula berwarna putih berubah
menjadi merah membara dan diselubungi api biru
yang panas menyala-nyala. Terkena hawa panas cam-
buk itu, rerumputan yang berada di dekat Hantu Pe-
metik Bunga kontan mengering layu. Bahkan, sebagian
malah terbakar hangus!
"Cambuk Api Neraka...!" kejut Dewi Pedang Ha-
lilintar, menyebut nama senjata di tangan Hantu Pe-
metik Bunga.
Bola mata Dewi Pedang Halilintar melotot be-
sar. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Bayan-
gan buruk pun berkelebatan di benaknya. Bukan ka-
rena gentar melihat kehebatan senjata lawan, tapi ka-
rena ingatannya melayang ke sosok orang yang pernah
sangat berarti dalam hidupnya.
"Kau terkejut melihat senjata yang kubawa ini?"
cibir Hantu Pemetik Bunga. "Kau ingat pada kakek
jompo bergelar Dewa Keadilan? Hmmm.... Ketahuilah,
Nenek Gendeng, bekas kekasihmu itu telah menerima

keadilannya sendiri. Tubuhnya telah kucincang untuk
menjadi santapan tikus-tikus pemakan daging di Lem-
bah Kebencian! Dan..., hemmm..., beruntung sekali di-
riku. Dewa Keadilan mati, senjata andalannya menjadi
milikku! Ha ha ha...!"
Hantu Pemetik Bunga tertawa sombong penuh
kegembiraan. Dewi Pedang Halilintar yang tak pernah
menyangka bila Dewa Keadilan telah menemui ajal di
tangan lelaki bertopeng itu tampak menundukkan ke-
pala. Batinnya terpukul. Telah lama dia berpisah den-
gan Dewa Keadilan yang pernah mengukir kenangan
indah di dalam ingatannya. Tapi sekarang yang mun-
cul justru berita kematiannya. Maka, siapa yang tak
akan menjadi sedih dan berduka? Tanpa terasa, air
bening bergulir dari sudut mata Dewi Pedang Halilin-
tar. Beban batinnya bertambah lagi. Dewi Pedang Kun-
ing muridnya yang hilang diculik orang belum dapat
ditemukan, lelaki yang sampai saat ini masih sangat
dicintainya pun malah pergi untuk selama-lamanya.
"Jahanam! Kubunuh kau...!"
Terbawa rasa sedih di hatinya, Dewi Pedang
Halilintar memekik parau. Butiran air mata memercik
di tanah. Pandangannya berubah nanar penuh nafsu
membunuh. Rasa sedih dan kehilangan membuat Dewi
Pedang Halilintar lupa diri. Dadanya menjadi sesak ka-
rena terdesak oleh hawa amarah yang harus segera di-
tumpahkan. Maka, dia pun menerjang ganas. Bila pe-
dangnya berkelebat cepat diiringi ledakan keras!
Hantu Pemetik Bunga yang pada dasarnya te-
lah menyimpan segudang rasa benci terhadap nenek
itu balas menerjang. Cambuk Api Neraka di tangannya
disabetkan ke sana-sini, berusaha membakar hangus
tubuh Dewi Pedang Halilintar!
Cletarrr...! Jderrr...!

***
TIGA


APA? Kau meminta cermin 'Terawang Tempat
Lewati Masa'?" ujar Setan Selaksa Wajah untuk menu-
tupi debar-debar di hatinya. "Tahukah kau, heh Manu-
sia Ular, cermin ajaib milikmu itu telah kuhancurkan?!
Segeralah enyah dari tempat ini! Bila terlalu lama be-
rada di hadapanmu, aku bisa mati kehabisan napas.
Bau busukmu terlalu menyengat!"
Mendengar kata-kata yang sangat menghina
itu, Ratu Perut Bumi malah tersenyum. Dengan suara
lembut, manusia setengah ular itu menyahuti, "Saat
aku pergi ke Lembah Kebencian, diam-diam kau ma-
suk ke Liang Hawa Dingin. Kau curi cermin 'Terawang
Tempat Lewati Masa' milikku yang kusimpan di sana.
Agaknya, kau memang seorang durjana yang tak sedi-
kit pun punya sifat ksatria. Tapi hari ini tak mungkin
kau dapat mengelabui aku lagi. Dengan ilmu tembus
pandang bernama 'Menatap Gelap Ciptakan Terang',
aku tahu bila cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'
berada di balik bajumu. Serahkan benda yang bukan
hak milikmu itu. Aku akan melupakan semua kebusu-
kan yang pernah kau perbuat terhadapku...."
"Ha ha ha...!" mendadak Setan Selaksa Wajah
tertawa bergelak. "Mendaki gunung bersemak pedang,
menyeberangi lautan bertepi api adalah perbuatan su-
lit dan menaruhkan nyawa. Setelah dapat kumiliki apa
yang kuinginkan, kenapa aku mesti melepaskannya?"
Kakek berwajah pemuda yang berpakaian serba
merah itu masih saja menunjukkan sikap congkak dan
sombong. Namun, dalam hati dia melengak heran me-
lihat kemampuan Ratu Perut Bumi yang dapat menge-
tahui cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' yang ter-
simpan di balik lipatan bajunya.
"Kau mendaki gunung bersemak pedang atas
kemauanmu sendiri. Kau menyeberangi lautan bertepi
api, tak ada yang mendesak dan meminta. Kau berlaku
demikian hanya sekadar menuruti nafsu tak baik-
mu...," sahut Ratu Perut Bumi, tetap dengan suara
lembut. "Tapi, bila ada orang yang dirugikan karena
ulah mu itu, tak mungkin dia tinggal diam melihat apa
yang menjadi haknya dirampas dan dicuri. Sama hal-
nya dengan aku, Mahisa Lodra. Cermin 'Terawang
Tempat Lewati Masa' adalah hak milikku, kenapa kau
berkeras kepala untuk tak mau mengembalikannya?"
Mendengus gusar Setan Selaksa Wajah. Murid
murtad Dewa Dungu itu sadar benar akan ketinggian
ilmu Ratu Perut Bumi. Walau belum pernah bentrok
secara langsung, tapi menurut desas-desus yang ter-
siar di rimba persilatan, Setan Selaksa Wajah menge-
tahui bila Ratu Perut Bumi adalah manusia titisan si-
luman ular. Oleh karenanya, Ratu Perut Bumi memili-
ki ilmu kesaktian yang hampir bisa disejajarkan den-
gan siluman ataupun dewa.
Perasaan tak enak yang menggeluti hati Setan
Selaksa Wajah semakin terasa. Rasa gentar dan kha-
watir turut menggelutinya. Apalagi, luka dalam akibat
pukulan tak kasar mata yang dilancarkan oleh Raja
Penyasar Sukma masih belum dapat diatasinya. Lain
itu, di belakang Ratu Perut Bumi pun berdiri Pendekar
Bodoh. Walau pemuda itu terkesan amat lugu dan ke-
bodoh-bodohan, tapi Setan Selaksa Wajah sadar pula
akan ketinggian ilmu kesaktiannya.
Oleh karena itu, diam-diam Setan Selaksa Wajah menepuk leher satwa tunggangannya, memberi
isyarat agar katak raksasa itu menghimpun tenaga
'Mengolah Api Guncangkan Bumi' di dalam perutnya.
"Ratu.... Ratu...," sebut si pemuda lugu Seno
Prasetyo sambil meloncat mendekati Ratu Perut Bumi.
"Sebelum mengajakku ke padang yang amat tandus
ini, kau katakan bila batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air' dibawa kakek jelek yang menya-
markan wajahnya itu. Kenapa tak kau minta sekalian,
Ratu? Aku memerlukannya untuk menyelamatkan
Kemuning...."
Pemuda berjuluk Pendekar Bodoh itu berkata
lugu dan jujur. Nada ucapannya jelas menyiratkan ra-
sa khawatir akan keselamatan Kemuning. Terlebih lagi,
menyiratkan pula rasa kasih sayang terhadap murid
Dewi Pedang Halilintar itu.
Setan Selaksa Wajah yang mendengar Seno
menyebut batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Da-
lam Air' tampak terkesiap. Ucapan Seno benar adanya.
Setan Selaksa Wajah memang membawa batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang tersimpan
pula di balik bajunya. Seperti cermin 'Terawang Tem-
pat Lewati Masa' yang dicurinya dari Liang Hawa Din-
gin, batu mustika itu juga hasil curian.
Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' adalah milik Raja Penyasar Sukma yang semula
tersimpan di suatu tempat bernama Lembah Rongga
Laut. Setan Selaksa Wajah yang punya seribu akal bu-
lus berhasil mencurinya tanpa sepengetahuan Raja
Penyasar Sukma.
Satu pertanyaan segera timbul dalam benak Se-
tan Selaksa Wajah. Bagaimana mungkin ada orang lain
yang tahu kalau dirinya membawa batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'?

"Hmmm.... Pemuda lugu itu tahu kalau aku
membawa batu mustika 'Menembus Laut Bernapas
Dalam Air' karena diberi tahu oleh Ratu Perut Bumi.
Sungguh aku tak menduga. Kiranya, Ratu Perut Bumi
benar-benar memiliki mata siluman yang bisa melihat
apa yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa...," pikir
Setan Selaksa Wajah.
Karena khawatir kata-kata Seno tadi didengar
oleh Raja Penyasar Sukma, Setan Selaksa Wajah men-
gedarkan pandangan ke segenap penjuru. Namun,
kekhawatirannya tidak beralasan karena Raja Penya-
sar Sukma tak terlihat.
"He, kenapa kau malah tengok sana tengok ini,
Mahisa Lodra?!" tegur Seno. "Jangan buat dosa lebih
banyak lagi. Segera serahkan cermin ajaib yang dimin-
ta oleh Ratu Perut Bumi! Serahkan pula batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'! Kemuning yang
tidak bersalah apa-apa harus segera kuselamatkan...."
Ucapan Pendekar Bodoh ditimpali Setan Selak-
sa Wajah dengan tawa bergelak.
"Ha ha ha...! Kau meminta seperti seorang raja
yang punya kuasa besar. Huh! Kau tak punya hak un-
tuk meminta apa-apa dariku, Bocah Tolol!"
Mendengar tolakan itu, Seno nyengir kuda se-
jenak, talu menatap lekat wajah Ratu Perut Bumi. "Ba-
gaimana ini, Ratu? Dia tak mau menyerahkan apa
yang kita inginkan...."
Tersenyum Ratu Perut Bumi melihat keluguan
Pendekar Bodoh. "Aku tahu Kemuning disandera lelaki
itu di Lembah Rongga Laut. Dia memang dalam ba-
haya. Kau tak punya waktu banyak untuk menyela-
matkannya. Apa boleh buat, tunjukkan kepandaian-
mu, Seno. Paksa durjana itu agar bersedia menyerah-
kan batu mustika yang kau inginkan. Rampas pula

cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' milikku...."
"Kau sendiri bagaimana, Ratu?" ujar Seno, se-
perti ragu-ragu.
"Aku akan berdiam di tempat ini sampai kau
berhasil mendapatkan kedua benda langka itu."
"Berdiam diri? Tanpa berbuat apa-apa?"
Mendengar ucapan Seno yang terkesan menye-
lidik itu, air muka Ratu Perut Bumi mengelam. Untuk
beberapa lama, manusia setengah ular itu cuma diam
tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Ratu..., kau kenapa?" tanya Seno, heran.
"Maafkan aku, Seno..." desah Ratu Perut Bumi.
"Aku berada dalam kutukan seseorang. Kutukan itu
membuatku tak bisa melakukan pertempuran. Aku tak
bisa mengerahkan tenaga dalam. Kalau ku langgar, ali-
ran darahku akan berbalik. Jantungku akan pecah...."
Ratu Perut Bumi berkata pelan sekali. Dia ta-
kut ucapannya akan didengar oleh Setan Selaksa Wa-
jah. Setelah menarik napas panjang, dia melanjutkan
perkataannya.
"Tentang siapa aku dan bagaimana aku bisa
terkena kutukan, lain waktu akan ku jelaskan. Berge-
gaslah kau paksa Mahisa Lodra untuk menyerahkan
kedua benda yang amat langka itu. Bukankah Kemun-
ing harus segera kau selamatkan?"
Seno menatap lekat wajah Ratu Perut Bumi. Ti-
dak ada lagi rasa ngeri ataupun jijik melihat wujud
manusia setengah ular itu. Yang ada dalam hatinya
kini malah rasa iba dan kasihan. Namun setelah ingat
akan sosok Kemuning yang berada dalam bahaya, dia
melangkah tiga tindak ke depan. Wujud satwa tung-
gangan Setan Selaksa Wajah yang berupa seekor katak
raksasa tak lagi membuatnya giris. Lalu, dengan suara
lantang dia berkata....

"Kulihat wajahmu pucat. Aku tahu kau tengah
menderita luka dalam. Bila kau masih berkeras kepala,
jangan salahkan aku jika menambah parah luka da-
lammu itu, Mahisa Lodra!"
Menggerendeng Setan Selaksa Wajah. Leher
Adiguna ditepuknya seraya memerintah, "Bakar bocah
sok pandai itu!"
Sang katak raksasa Adiguna yang telah meng-
himpun tenaga 'Mengolah Api Guncangkan Bumi', me-
negakkan kepalanya. Setelah mengeluarkan suara
ngorok keras, satwa berkulit kasar bergerigi itu me-
nyemburkan gumpalan api merah menyala-nyala!
"Awasss...!" teriak Ratu Perut Bumi.
Pendekar Bodoh yang sempat terpukau melihat
kehebatan Adiguna, bergegas meloncat jauh ke samp-
ing kiri. Sementara, Ratu Perut Bumi tampak mengge-
rakkan ekornya seraya melesat tiga tombak ke samp-
ing kanan.
Gumpalan api yang keluar dari mulut Adiguna
menerpa tanah berpasir. Diiringi suara ledakan cukup
keras, lidah-lidah api berhamburan ke mana-mana.
Akibatnya, suhu udara di Padang Angin Malaikat yang
sudah panas semakin bertambah panas.
Dari dalam perut Adiguna terdengar suara ber-
gemuruh seperti suara bergejolaknya kawah gunung
berapi. Sekali lagi, katak raksasa itu membuka mulut-
nya lebar-lebar seraya menyemburkan gumpalan api
yang lebih besar!
Swosss...!
Blammm...!
Si pemuda lugu Seno Prasetyo yang menjadi
sasaran dapat berkelit dengan mudah. Kali ini, permu-
kaan tanah berpasir yang terhantam gumpalan api
tampak berkubang dalam. Semakin banyak lidah api

yang berhamburan. Suhu udara pun meningkat sema-
kin panas.
"Bakar dia hidup-hidup!" seru Setan Selaksa
Wajah.
Mulut Adiguna mengeluarkan suara ngorok ke-
ras, lalu menyemburkan lagi gumpalan api. Seno yang
menjadi sasaran tentu saja tak mau dipaksa berlonca-
tan ke sana-sini. Cepat dia keluarkan Tongkat Dewa
Badainya. Senjata berupa tongkat putih sepanjang dua
jengkal itu langsung dikibaskan.
Set...!
Wusss...!
Serangkum angin pukulan yang memperden-
garkan suara bergemuruh keras tiba-tiba menerjang
ganas ke arah Adiguna. Gumpalan api yang menyem-
bur dari mulutnya tertelan lenyap tanpa bekas. Se-
mentara, serangkum angin pukulan yang timbul akibat
kibasan Tongkat Dewa Badai terus meluruk, berlipat
ganda beberapa kali dari kekuatan tiupan angin topan!
"Haram jadah!" umpat Setan Selaksa Wajah.
Tak mau melihat tubuh Adiguna dan tubuhnya
sendiri terlontar oleh serangkum angin pukulan yang
tampak amat mengiriskan itu, Setan Selaksa Wajah
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Dua larik sinar biru berkeredapan langsung melesat
menebarkan hawa panas luar biasa. Rupanya, Setan
Selaksa Wajah tak mau tanggung-tanggung. Kakek
berwajah pemuda itu telah mengeluarkan ilmu puku-
lannya yang terhebat, yaitu ilmu pukulan 'Pelebur
Sukma'!
Maka, bentrokan dua kekuatan dahsyat tak
dapat dibendung lagi. Sebuah ledakan keras menggele-
gar di angkasa. Tenaga ledakan itu mampu melontar-
kan tubuh Ratu Perut Bumi belasan tombak dari kedudukannya semula. Untunglah walau manusia seten-
gah siluman itu tak dapat melindungi tubuhnya den-
gan kekuatan tenaga dalam, dia tak sampai menderita
luka yang berarti,
Sementara, tubuh Pendekar Bodoh tampak ja-
tuh berguling-guling di tanah berpasir. Namun, dia se-
gera bangkit dalam keadaan segar bugar.
Berlainan dengan Setan Selaksa Wajah. Ketika
melancarkan pukulan 'Pelebur Sukma' tadi, dia lupa
pada luka dalam yang masih dideritanya. Pengerahan
tenaga dalam yang terlalu besar menyebabkan aliran
darah menjadi kacau. Akibatnya Setan Selaksa Wajah
merasakan jantungnya bagai terjepit dua bilah baja.
Walau dia berhasil meredam angin pukulan senjata
mustika Seno, tak urung darah segar meleleh dari su-
dut bibirnya. Itu tandanya bila luka dalam yang dideri-
ta Setan Selaksa Wajah telah bertambah parah.
Namun, sebagai tokoh tua yang sudah punya
nama besar di rimba persilatan, tentu saja Setan Se-
laksa Wajah tak sudi dipecundangi oleh seorang tokoh
muda yang belum begitu ternama macam Pendekar
Bodoh. Maka, dicarinya daya upaya untuk dapat me-
mukul roboh pemuda lugu itu.
"Luka dalam yang ku derita tak memungkinkan
aku untuk bertempur," kata hati Setan Selaksa Wajah.
"Jalan satu-satunya untuk dapat meloloskan diri ada-
lah dengan mengandalkan kekuatan Adiguna."
Mengikuti pikiran di benaknya, kakek berwajah
pemuda itu menepuk lagi leher sang katak raksasa
Adiguna seraya memerintah, "Keluarkan Lidah Maut-
mu, Adiguna! Rampas senjata di tangan bocah geblek
itu! Lalu, potong-potong tubuhnya sesukamu!"
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Sang katak raksasa Adiguna membuka mulut

nya lebar-lebar, memperlihatkan jajaran giginya yang
bagai susunan bongkah batu runcing. Begitu menga-
tup kembali, melesat sebuah benda pipih panjang ber-
warna merah berkilat. Itulah Lidah Maut Adiguna yang
dapat membelit sekuat tali baja dan membabat setajam
pedang!
"Awasss...!" teriak Ratu Perut Bumi yang meli-
hat Seno tampak berdiri terpaku.
Tapi, sebenarnya teriakan manusia berdarah si-
luman itu tak perlu. Pendekar Bodoh memang sengaja
menanti ujung Lidah Maut Adiguna mendekat. Murid
Dewa Dungu yang baru beberapa candra berkecim-
pung di rimba persilatan itu percaya benar pada kehe-
batan senjata mustika di tangannya.
Bet...!
Swik...! Swik...!
Lidah Maut Adiguna berhasil melilit batang
Tongkat Dewa Badai di tangan Seno. Dari jarak sekitar
sepuluh tombak, Ratu Perut Bumi tampak membela-
lakkan mata penuh rasa khawatir. Karena, sambil te-
tap melilit Tongkat Dewa Badai, ujung Lidah Maut Adi-
guna terus meluncur dibarengi suara berdesing mirip
desingan pedang. Lidah katak raksasa yang memang
setajam pedang itu hendak menebas putus leher si
pemuda lugu Seno Prasetyo!
"Khroookkkk...!"
"Astaga...!"
Tiba-tiba, sang katak raksasa Adiguna menge-
luarkan pekik parau berupa suara ngorok panjang.
Sementara, Setan Selaksa Wajah pun berseru kaget,
dan langsung memucat wajahnya. Bola mata lelaki
berpakaian serba merah itu melotot besar bagai hen-
dak keluar dari rongganya. Hatinya tergeluti sejuta ra-
sa tak percaya!

Apa yang terjadi?
Ketika Lidah Maut Adiguna tinggal seusapan
untuk dapat segera mengenai sasaran, cepat sekali
Seno mengeluarkan ilmu kebalnya yang bernama
'Perisai Dewa Badai'. Seno pun percaya benar pada ke-
tangguhan ilmu yang dipelajarinya dari Kitab Sangga-
langit itu karena telah beberapa kali diuji. Jika Seno
mengeluarkan ilmu yang bersumber dari pengerahan
tenaga dalam tingkat tinggi itu, asal bukan senjata
mustika, maka tak ada satu pun senjata tajam yang
mampu melukai Seno.
Dan, kekebalan tubuh Seno itu memang ter-
bukti. Lidah Maut Adiguna tak mampu memenggal
leher Seno, bahkan menggores pun tidak. Lidah katak
raksasa itu seperti membentur balok baja yang amat
keras sehingga menerbitkan suara berdentang yang
memekakkan gendang telinga.
Keterkejutan Adiguna tampak pada bola ma-
tanya yang melotot besar. Namun sebelum satwa tung-
gangan Setan Selaksa Wajah itu mengulangi seran-
gannya, batang Tongkat Dewa Badai yang masih terbe-
lit Lidah Maut-nya tiba-tiba dikibaskan ke kiri oleh
pemiliknya!
Srattt...!
"Krooookkkkk...!"
Sang katak raksasa mengeluarkan suara ngo-
rok lebih panjang dan lebih keras pula. Bola matanya
yang berwarna merah tampak berair. Rupanya, dia
tengah menahan rasa sakit yang sangat menyiksa. Li-
dah Maut-nya telah terpotong oleh kibasan Tongkat
Dewa Badai!
"Celaka! Celaka!'
Berseru kaget Setan Selaksa Wajah. Adiguna
menggeliat-geliat seraya melonjak kesakitan, membuat

tubuh Setan Selaksa Wajah yang duduk di leher katak
raksasa itu berguncang-guncang.
Dengan menepuk-nepuk leher Adiguna, Setan
Selaksa Wajah berusaha menenangkan satwa tung-
gangannya itu. Tapi tampaknya, Adiguna tak ambil pe-
duli lagi pada Setan Selaksa Wajah. Rasa sakit telah
membuat beku akal pikirannya.
"Adiguna...!" tiba-tiba Setan Selaksa Wajah me-
nyebut nama satwa tunggangannya, keras menggele-
gar. "Kita pergi dari tempat ini!"
Mendengar perintah Setan Selaksa Wajah yang
menyiratkan rasa penasaran dan hawa amarah itu, se-
kali lagi Adiguna mengeluarkan suara ngorok panjang.
Sambil menahan rasa sakit, katak raksasa itu menje-
jak tanah seraya melompat jauh untuk mencari sela-
mat!
"Durjana licik! Mau pergi ke mana kau?!"
Seno menggembor keras. Dengan mengerahkan
ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', pemuda tampan
itu langsung mengempos tenaga untuk mengejar. Ke-
cepatan gerak tubuh Seno luar biasa sekali. Sosok tu-
buhnya laksana dapat menghilang!
"Haram jadah!"
"Khrokkk...!"
Setan Selaksa Wajah dan sang katak raksasa
Adiguna sama-sama menumpahkan keterkejutannya
dengan berseru keras. Sosok Pendekar Bodoh tiba-tiba
telah berdiri menghadang di hadapan mereka!
"Tinggalkan dua benda yang kuinginkan!" seru
Seno sambil mengacungkan Tongkat Dewa Badai. Ba-
gian ujungnya yang runcing tampak berkilat tertimpa
sinar mentari.
"Boleh! Kali ini, kau boleh meminta sesuatu da-
riku. Terimalah...!" sahut Setan Selaksa Wajah.

Mendadak, kakek berwajah pemuda itu me-
niup. Karena tiupan si kakak disertai pengerahan te-
naga dalam, timbul serangkum angin pukulan yang
cukup kuat. Anehnya, serangkum angin pukulan itu
berwarna hijau gelap!
Untuk kesekian kalinya, Ratu Perut Bumi
membelalakkan mata melihat Pendekar Bodoh yang te-
rancam bahaya. Maka, dia pun berteriak lantang men-
gingatkan.
"'Racun Pembunuh Naga'! Awassss...!"
***
EMPAT


DENGAN menggunakan ilmu 'Pedang Halilintar
Rontokkan Awan', Dewi Pedang Halilintar berusaha
mendesak Hantu Pemetik Bunga. Namun, kehebatan
Cambuk Api Neraka di tangan lelaki bertopeng itu be-
nar-benar luar biasa. Setiap disabetkan menimbulkan
ledakan keras yang amat memekakkan gendang telin-
ga. Sementara, suhu udara semakin meningkat panas
karena api biru yang menyelubungi tali cambuk itu
memercik ke mana-mana.
Lima jurus telah berlalu dengan cepat. Tam-
paknya, sangat sulit bagi Dewi Pedang Halilintar untuk
segera dapat merobohkan Hantu Pemetik Bunga. Wa-
lau pedang nenek yang rambutnya digelung ke atas itu
terbuat dari logam pilihan, tapi tetap saja tak mampu
meredam kehebatan Cambuk Api Neraka.
Tak dapat mendesak lawan, Dewi Pedang Hali-
lintar semakin naik pitam. Nenek keras kepala itu me-
nerjang semakin ganas dan kalap. Seluruh kekuatan

tenaga dalamnya disalurkan ke batang pedang. Hing-
ga, suara ledakan hingar-bingar semakin berkuasa di
ajang pertempuran itu. Setiap disabetkan, senjata De-
wi Pedang Halilintar dan Hantu Pemetik Bunga sama-
sama menerbitkan ledakan keras. Namun, hawa ama-
rah seringkali membuat orang jadi kehilangan kewas-
padaannya. Begitu pula dengan Dewi Pedang Halilin-
tar. Hawa amarah dalam diri guru Dewi Pedang Kuning
itu membuatnya jadi mata gelap. Dalam benaknya
hanya punya satu keinginan, yaitu membunuh Hantu
Pemetik Bunga secepatnya. Tapi, dia sendiri lupa bila
Hantu Pemetik Bunga juga punya keinginan yang sa-
ma. Hingga sampai suatu saat....
Trang...!
Wuttt...!
Bentrokan senjata terjadi. Dewi Pedang Halilin-
tar mendelikkan mata melihat pedang kuningnya ter-
belit oleh Cambuk Api Neraka. Sambil mendengus gu-
sar, Dewi Pedang Halilintar mengempos seluruh tena-
ganya untuk dapat melepas belitan. Tapi, tali cambuk
pusaka itu bagai punya perekat yang amat kuat, terus
membelit senjata Dewi Pedang Halilintar tanpa dapat
dilepaskan lagi!
"Ha ha ha...!" Hantu Pemetik Bunga tertawa
pongah. "Ayo, terus kerahkan tenagamu, Nenek Gen-
deng! Semakin banyak kau mengeluarkan tenaga, kau
akan segera merasakan kehebatan cambuk ini! Ha ha
ha...!"
"Jahanam!" sentak Dewi Pedang Halilintar. "Bo-
leh kau berkata semaumu, tapi kau juga harus mau
melihat kekuatanku! Hiahhh...!"
Menggembor keras Dewi Pedang Halilintar. Dia
kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Tapi...,
mendadak wajah nenek itu memucat. Bola matanya

melotot besar. Belitan Cambuk Api Neraka tak dapat
dia lepaskan, tenaga malah tersedot!
"Ha ha ha...!" Hantu Pemetik Bunga tertawa
pongah lagi. "Kau sudah merasakan kehebatan cam-
buk ini, bukan? Kalau masih penasaran, teruslah ke-
rahkan tenagamu. Kau akan segera mati lemas! Ha ha
ha...!"
Semakin melotot bola mata Dewi Pedang Hali-
lintar mendengar ucapan Hantu Pemetik Bunga. Rasa
kalut dan bingung segera menggeluti batin nenek itu.
Bagaimana mungkin dia melepaskan belitan tali Cam-
buk Api Neraka pada bilah pedangnya tanpa menge-
rahkan tenaga? Tapi, kalau dia benar-benar menge-
rahkan tenaga, tubuhnya justru menjadi lemas karena
tenaga yang dia keluarkan tersedot oleh tali Cambuk
Api Neraka!
Dalam kebingungannya, tiba-tiba Dewi Pedang
Halilintar berbuat nekat. Kakinya menjejak tanah se-
raya melesatkan tubuhnya ke depan!
"Mati kau, Jahanam!"
Ujung pedang Dewi Pedang Halilintar melesat
cepat untuk menusuk jantung Hantu Pemetik Bunga.
Namun, Hantu Pemetik Bunga yang sudah menduga
akan datangnya serangan itu tampak melentingkan
tubuhnya ke kiri. Begitu menginjak tanah, lelaki ber-
topeng itu mengibaskan cambuk pusaka di tangannya!
"Hiahhh...!"
Wuttt...!
Tubuh Dewi Pedang Halilintar bergetar kencang
dan hendak terlontar mengikuti arah kibasan Cambuk
Api Neraka. Tentu saja Dewi Pedang Halilintar tak mau
membiarkan hal itu terjadi pada dirinya. Terpaksa De-
wi Pedang Halilintar melepas cekalannya pada hulu
pedang kuning!

"Ha ha ha...!" Hantu Pemetik Bunga tertawa
mengejek. "Kau lepaskan pedangmu. Rupanya kau su-
dah menyerah untuk menerima ajalmu, Nenek Gen-
deng!"
Usai berkata, lelaki bertopeng itu mengibaskan
lagi cambuk pusaka di tangannya. Bilah pedang kun-
ing yang masih terbelit tiba-tiba melesat cepat untuk
segera membelah tubuh pemiliknya sendiri!
Semakin memucat wajah Dewi Pedang Halilin-
tar. Kedudukannya sudah tak memungkinkan lagi un-
tuk menghindar. Namun demikian, dia masih mencoba
mempertahankan nyawa dengan melancarkan pukulan
jarak jauh!
Wusss...!
Prang...!
Selarik sinar kuning yang melesat dari telapak
tangan Dewi Pedang Halilintar cepat menghantam bi-
lah pedangnya sendiri. Tapi karena tenaga nenek itu
sudah berkurang banyak, pukulan jarak jauhnya cu-
ma mampu menggetarkan bilah pedang kuning. Seke-
jap mata kemudian, bilah pedang yang terbuat dari lo-
gam pilihan itu meluruk lagi!
Set...!
"Ih...!"
Memekik kaget Dewi Pedang Halilintar. Walau
bilah pedang kuning tak sampai merenggut nyawanya,
tapi bahu kiri nenek itu terserempet. Darah segar
muncrat karena ada sebagian daging yang terkoyak!
Hantu Pemetik Bunga tertawa bergelak-gelak
menatap Dewi Pedang Halilintar yang sedang meringis
kesakitan sambil menekap bagian tubuhnya yang ter-
luka. Namun sebelum Hantu Pemetik Bunga mengu-
cap kata-kata ejekan, Dewi Pedang Halilintar menda-
hului dengan suara geram kemarahan.

"Keparat kau, Lelaki Durjana! Aku memang te-
lah terluka, tapi jangan harap kau dapat membunuh-
ku dengan mudah!"
Sambil mengucapkan kalimat itu, Dewi Pedang
Halilintar membalut lukanya dengan sehelai sapu tan-
gan lebar berwarna kuning. Untung, Dewi Pedang Hali-
lintar tak pernah melumuri bilah pedangnya dengan
cairan racun, sehingga nenek itu tak perlu khawatir di-
rinya akan keracunan.
Sementara, Hantu Pemetik Bunga yang melihat
keberanian dan kenekatan Dewi Pedang Halilintar ma-
lah tertawa senang.
"Ha ha ha...! Sebelum kau mati, tentu kau ingin
memegang terlebih dulu hulu pedangmu. Nah! Seka-
rang, terimalah...!"
Walau Dewi Pedang Halilintar bukanlah orang
yang takut mati, tapi saat melihat Hantu Pemetik Bun-
ga hendak mengibaskan kembali tali Cambuk Api Ne-
raka, hatinya bergetar juga. Tanpa sadar, nenek ber-
pakaian serba kuning itu tersurut mundur.
Namun..., Hantu Pemetik Bunga yang sudah
bersiap-siap menjatuhkan tangan maut tiba-tiba tersu-
rut mundur pula beberapa langkah. Dengan bola mata
melotot besar, raut wajahnya yang tersembunyi di ba-
lik topeng langsung memucat seperti mayat!
Tentu saja Dewi Pedang Halilintar terkejut dan
heran. Sikap yang ditunjukkan Hantu Pemetik Bunga
benar-benar mirip orang yang digeluti perasaan takut.
Sampai beberapa tarikan napas, Dewi Pedang
Halilintar terus menatap tanpa tahu apa gerangan
yang telah terjadi pada Hantu Pemetik Bunga. Dewi
Pedang Halilintar semakin heran melihat lelaki berto-
peng itu tak henti-henti melangkah mundur dengan
keringat dingin bercucuran.

"Dewa Geli...! Dewa Geli...!" seru Hantu Pemetik
Bunga berulang kali.
Tubuh Hantu Pemetik Bunga tampak gemeta-
ran. Tanpa sadar, dia melepas aliran tenaga dalam pa-
da Cambuk Api Neraka. Lidah api biru yang menyelu-
bungi cambuk pusaka itu langsung lenyap, dan ben-
tuknya berubah lagi menjadi seutas tali pipih berwarna
putih. Pedang kuning milik Dewi Pedang Halilintar
kontan jatuh ke tanah.
"Jangan! Jangan!" seru Hantu Pemetik Bunga
sambil memegangi celana bagian dalamnya.
Tiba-tiba, seruan lelaki bertopeng itu disahuti
oleh suara seorang bocah lelaki.
"Tidak di sana, tidak di sini, rupanya kau masih
saja suka berbuat macam-macam! Hayo! Kemari kau!
Aku sudah siapkan pisau untukmu!"
Dewi Pedang Halilintar menoleh. Ternyata, di
belakang nenek itu telah berdiri seorang bocah lelaki
berumur sepuluh tahunan. Tubuh mungil si bocah
terbungkus pakaian putih berkembang-kembang.
Tampaknya, pakaian yang dikenakan bocah itu untuk
ukuran orang dewasa, sehingga kain lengan baju dan
celananya kedodoran. Namun, hal itu malah menam-
bah kejenakaan yang terpancar dari wajah si bocah.
"Dewa Geli...," desis Dewi Pedang Halilintar
yang telah mengenal sosok bocah berpakaian kedodo-
ran.
Kalau Dewi Pedang Halilintar berseru girang da-
lam hati melihat kehadiran Dewa Geli, berlainan benar
dengan Hantu Pemetik Bunga. Betapa takutnya lelaki
bertopeng itu saat Dewa Geli mengacungkan sebilah
pisau ke arahnya.
"Jangan! Jangan!" Hantu Pemetik Bunga berse-
ru lagi sambil menekap celana bagian depannya. "Aku

berjanji.... Ya, aku berjanji....!"
"Hi hi hi...!" bocah yang disebut sebagai Dewa
Geli tertawa cekikikan. "Aku sudah bosan mendengar
janji-janji manis mu! Hayo! Cepat kemari! Kau harus
disunat lagi sampai habis! Sudah berapa banyak gadis
yang kau renggut kehormatannya? Hukuman itu san-
gat cocok untukmu!"
Dewa Geli menutup perkataannya dengan sua-
ra tawa mengikik. Hantu Pemetik Bunga terus melang-
kah mundur. Agaknya, lelaki bertopeng itu menyimpan
perasaan takut yang berlebihan terhadap Dewa Geli.
Bagaimana bisa begitu?
Walau wujud lahir Dewa Geli hanya berupa
seorang bocah yang masih tampak ingusan, tapi sebe-
narnya dia telah berusia seratus tahun! Selama sembi-
lan puluh tahun, dia tinggal bersama kaum siluman di
sebuah tempat bernama Istana Abadi.
Istana Abadi adalah sebuah tempat yang letak-
nya berada di luar tempat kediaman manusia biasa.
Dewa Geli yang punya nama kecil Jaka Tunggal bisa
berada di tempat itu karena dia diambil anak angkat
oleh ratu Istana Abadi yang bernama Ayu Raseksi,
yang tak lain dari ibu kandung Ratu Perut Bumi. (Ten-
tang hubungan antara Ayu Raseksi dengan putrinya
yang berupa manusia setengah ular akan diceritakan
pada episode lain).
Istana Abadi tidak mengenal apa yang dinama-
kan dengan putaran waktu. Sehingga, walau tinggal di
tempat itu selama sembilan puluh tahun, wujud Jaka
Tunggal tak berubah, tetap berwujud seorang bocah
sepuluh tahunan. Meski begitu, jiwa dan pikiran Jaka
Tunggal dapat berkembang sebagaimana mestinya.
Dengan kata lain, Jaka Tunggal yang berupa seorang
bocah sepuluh tahunan punya jiwa dan pikiran kakek

kakek yang telah berusia seratus tahun.
Diangkat oleh anak seorang ratu siluman ma-
cam Ayu Raseksi tentu saja Jaka Tunggal mendapat
gemblengan ilmu kesaktian yang pilih tanding. Keper-
luan sehari-harinya pun serba tercukupi tanpa kurang
suatu apa. Namun, bocah itu tetap tak bisa lepas dari
hasrat nuraninya sebagai manusia biasa. Dia pun
memutuskan untuk kembali ke alam kehidupannya
semula. Dan, Ayu Raseksi tak keberatan.
Tapi sebelum pergi, Jaka Tunggal diberi tugas
yang ada hubungannya dengan Ratu Perut Bumi, pu-
trinya. (Hal ini juga akan diceritakan pada episode
lain).
Hingga sampai sekarang, Jaka Tunggal telah
tinggal di alam kehidupan manusia biasa hampir satu
tahun. Namun, belum pernah sekalipun dia bertatap
muka dengan Ratu Perut Bumi yang biasa tinggal di
dalam tanah. Sehingga, dia pun belum dapat melaksa-
nakan tugas yang diberikan oleh Ayu Raseksi, ratu Is-
tana Abadi.
Sebagai seorang anak manusia yang punya il-
mu kesaktian tingkat tinggi, Jaka Tunggal tak dapat
membendung hasrat hatinya untuk turut berkecim-
pung di rimba persilatan. Dan, selama hampir setahun
itulah orang-orang mengenal Jaka Tunggal sebagai
seorang bocah aneh yang suka tertawa cekikikan wa-
lau tanpa sebab.
Namun, tak satu pun kaum rimba persilatan
yang berani memandang rendah kepadanya karena dia
memiliki ilmu kesaktian yang hampir dapat disejajar-
kan dengan dewa. Oleh karenanya, Jaka Tunggal diju-
luki orang sebagai Dewa Geli.
Dalam pengembaraannya untuk mencari Ratu
Perut Bumi, sepak terjang Dewa Geli selalu berada di

jalan kebenaran. Tanpa diajari oleh siapa pun, dia ta-
hu kalau kebenaran mesti dijunjung dan keadilan
mesti ditegakkan.
Banyak tokoh jahat yang telah dipecundangi
Dewa Geli. Dia antara mereka, banyak yang kemudian
sadar untuk menjadi orang baik-baik. Namun, banyak
pula yang cuma bermanis mulut belaka. Berjanji tak
akan mengulangi perbuatan jahat, tapi di belakang
Dewa Geli, mereka tetap saja mengumbar nafsu ren-
dah. Dan, salah satu dari mereka-mereka yang hanya
bermanis mulut itu adalah Hantu Pemetik Bunga.
Dalam suatu pertempuran, Hantu Pemetik
Bunga pernah dipukul roboh dengan mudah oleh De-
wa Geli. Karena takut dibunuh, lelaki bertopeng itu
meratap, mengiba, dan berjanji untuk tak mengulangi
perbuatan jahatnya yang suka menculik gadis-gadis
cantik kemudian merenggut kehormatannya.
Dewa Geli yang pada dasarnya punya sifat we-
las asih mau melepaskan Hantu Pemetik Bunga. Tapi
di lain hari, dia mendengar kabar bila Hantu Pemetik
Bunga masih suka melakukan perbuatan buruknya.
Oleh karena itu, Dewa Geli bermaksud menghukum le-
laki bertopeng itu dengan memotong bagian tubuhnya
yang paling berharga sebagai seorang lelaki.
***
Melihat Hantu Pemetik Bunga yang terus me-
langkah mundur dan seperti hendak melarikan diri,
Dewa Geli meloncat maju. Diiringi suara tawa mengi-
kik panjang, tubuh bocah berpakaian kedodoran itu
melesat cepat, lebih cepat dari luncuran anak panah
lepas dari busur!
"Jangan! Jangan!"

Hantu Pemetik Bunga berseru lantang. Kedua
telapak tangannya semakin rapat menekap bagian de-
pan celananya. Sementara, Dewa Geli yang telah berdi-
ri satu tombak di hadapan lelaki bertopeng itu tampak
mengacung-acungkan pisau yang tercekal di tangan
kanannya.
"Hi hi hi...! Hayo! Cepat buka celana mu! Sete-
lah ku potong 'senjata'-mu, bolehlah kau pergi. Hi hi
hi...! Kalau sudah ku potong, kau pasti kapok! Hi hi
hi...!"
Mendengar ucapan itu, Hantu Pemetik Bunga
menggigil ketakutan. Keringat dingin semakin mengu-
cur deras. Apalagi, Dewa Geli tampak melangkah
menghampirinya!
"Jangan! Jangan!" seru Hantu Pemetik Bunga
untuk kesekian kalinya.
Hilang sudah semua kesombongan dan ke-
congkakan lelaki bertopeng itu. Yang ada dalam be-
naknya hanyalah perasaan takut dan gentar.
Namun mendadak, Hantu Pemetik Bunga men-
galirkan tenaga dalam ke Cambuk Api Neraka yang
masih tercekal di tangan kanannya. Dalam sekejap
mata, tali cambuk pusaka itu diselubungi lidah-lidah
api berwarna biru. Lalu....
Jderrr...!
Jderrr...!
Dua kali Hantu Pemetik Bunga menyabetkan
Cambuk Api Neraka. Tapi, Dewa Geli yang menjadi sa-
saran malah tertawa cekikikan dan sengaja menadahi.
Dewi Pedang Halilintar yang berada di belakang
bocah lelaki itu tampak membelalakkan mata karena
terkejut. Tapi, kekhawatiran di hati nenek itu sungguh
tak beralasan. Tubuh Dewa Geli yang terhajar sabetan
Cambuk Api Neraka tak mengalami luka sedikit pun!

Bocah lelaki itu tetap berdiri tegak di tempatnya. Bah-
kan, kain bajunya tak sobek ataupun terbakar. Padah-
al, sabetan Cambuk Api Neraka yang dilancarkan oleh
Hantu Pemetik Bunga tadi sudah cukup mampu untuk
menghancurkan bongkah batu sebesar gajah!
"Hmmm.... Rupanya, sebelum disunat, kau ma-
sih ingin main-main dulu...," ujar Dewa Geli. "Hi hi
hi...! Boleh! Boleh saja! Agar kau nanti tak penasaran
setelah 'barang'-mu itu benar-benar ku potong habis!"
Rasa takut dalam diri Hantu Pemetik Bunga
membuatnya jadi nekat. Sekali lagi, dia sabetkan
Cambuk Api Neraka di tangannya!
Jderrr...!
Seperti tadi, Dewa Geli menadahi sabetan cam-
buk pusaka itu. Dia pun tetap berdiri tegak di tempat-
nya tanpa kurang suatu apa. Namun, ketika Hantu
Pemetik Bunga hendak mendaratkan sabetan berikut-
nya, Dewa Geli mengangkat tangan kirinya. jari-Jari
mungil bocah berpakaian kedodoran itu berkelebat ce-
pat sekali. Tahu-tahu Cambuk Api Neraka telah ber-
pindah tangan.
"Senjata ini kuserahkan kepadamu, Nenek Bu-
diman.... Kupikir, kau lebih berhak," ujar Dewa Geli.
Cambuk Api Neraka yang telah berhasil dirampasnya
dia lemparkan ke arah Dewi Pedang Halilintar.
Bergegas Dewi Pedang Halilintar menangkap
cambuk pusaka yang telah kembali ke wujud aslinya,
berupa seutas tali pipih berwarna putih.
Sementara, Hantu Pemetik Bunga semakin di-
landa rasa takut. Namun, dia belum mau menyerah.
Dia hunus bilah pedang berukir yang terselip di pung-
gungnya. Dengan sekuat tenaga, disambitkannya pe-
dang itu ke dada Dewa Geli!
Zing...!

Tep...!
"Hi hi hi...!" Dewi Geli tertawa cekikikan. Pe-
dang Hantu Pemetik Bunga berhasil ditangkapnya
dengan mudah. Sejenak pedang itu ditimang-
timangnya.
"Pedang bagus! Pedang bagus! Sayang, diguna-
kan di jalan yang tak benar. Hi hi hi...! Lebih baik di-
hancurkan saja!"
Sambil melanjutkan tawanya, Dewa Geli me-
nyabetkan bilah pedang di tangannya. Hantu Pemetik
Bunga meloncat jauh ke belakang karena menyangka
sabetan itu ditujukan kepada dirinya. Tapi ternyata,
Dewa Geli memang tidak bermaksud menjatuhkan
tangan maut.
Dewa Geli cuma mau menunjukkan kekuatan
tenaga dalamnya. Bilah pedang yang disabetkannya ti-
ba-tiba meleleh jadi cairan putih kental yang tumpah
ke permukaan tanah, seperti sebatang lilin yang mele-
leh karena terbakar api!
"Astaga...!" kejut Hantu Pemetik Bunga.
"Hayo! Kini tiba saatnya aku memotong milik-
mu itu. Hi hi hi...!"
Sambil tertawa cekikikan, Dewa Geli melangkah
perlahan. Pisau di tangan kanannya siap untuk memo-
tong habis 'senjata' Hantu Pemetik Bunga yang biasa
digunakan untuk mengumbar nafsu setan!
***

DELAPAN

TANPA diberi peringatan oleh Ratu Perut Bumi
pun sebenarnya Pendekar Bodoh sudah tahu kalau Se-
tan Selaksa Wajah tengah menyerangnya dengan ilmu
mengolah racun dalam perut bernama 'Racun Pembu-
nuh Naga'. Pendekar Bodoh yang juga murid Dewa
Dungu tentu saja tahu kedahsyatan ilmu yang amat
berbahaya itu. Bila seseorang telah menghirup 'Racun
Pembunuh Naga', tidak sampai tiga tarikan napas ke-
mudian, jiwa orang itu pasti akan dijemput maut den-
gan tubuh lebam-lebam dan paru-paru pecah!
Oleh karena itu, Pendekar Bodoh tak mau
sungkan-sungkan lagi. Tongkat Dewa Badai yang
punya khasiat memusnahkan segala jenis racun diki-
baskan ke depan!
Wesss...!
Kibasan Tongkat Dewa Badai walau tak disertai
aliran tenaga dalam sudah cukup mampu untuk me-
nimbulkan serangkum angin pukulan dahsyat, apalagi
Pendekar Bodoh mengaliri senjatanya itu dengan selu-
ruh kekuatan tenaga dalamnya. Maka, akibatnya
sungguh tak pernah disangka oleh Setan Selaksa Wa-
jah. Demikian pula dengan Ratu Perut Bumi yang
mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Bodoh.
Gelombang angin pukulan yang luar biasa dah-
syat tiba-tiba meluruk deras tanpa dapat dibendung
lagi. Tiupan angin bercampur racun yang keluar dari
mulut Setan Selaksa Wajah kontan lenyap tanpa be-
kas. Lalu, terdengar suara berdebuk keras. Tubuh
sang katak raksasa Adiguna yang sebesar gajah terlon-
tar jauh, kemudian jatuh berdebam dan tak bangun-
bangun lagi. Satwa tunggangan Setan Selaksa Wajah

itu mati dengan dada jebol, tembus sampai ke pung-
gung!
Sementara, Setan Selaksa Wajah berhasil me-
nyelamatkan diri dengan meloncat turun dari leher
Adiguna. Namun, begitu murid murtad Dewa Dungu
itu menginjakkan kakinya di tanah, Pendekar Bodoh
telah berdiri tegak di hadapannya dengan Tongkat De-
wa Badai ditudingkan.
"Mahisa Lodra...," sebut pemuda lugu itu. "Aku
sebenarnya mengemban tugas dari Kakek Dewa Dungu
untuk meminta dua bagian Kitab Sanggalangit yang te-
lah kau curi tiga puluh tahun silam. Kakek Dewa Dun-
gu pun memberikan kuasa kepadaku untuk menghu-
kum mati seorang murid murtad macam dirimu. Ta-
pi..., aku masih mau memberi kesempatan kepadamu
untuk bertobat. Serahkan...."
"Ha ha ha...!" Setan Selaksa Wajah memotong
ucapan si pemuda lugu Seno Prasetyo dengan tawa
bergelak. "Soal dua bagian Kitab Sanggalangit, dapat-
lah kuberi penjelasan kepadamu bahwa kedua bagian
kitab itu telah ku bakar musnah! Ha ha ha...!"
Setan Selaksa Wajah menutup ucapannya den-
gan tertawa bergelak lagi. Agaknya, kakek yang mam-
pu mengubah wajahnya menjadi seorang pemuda itu
benar-benar manusia congkak dan keras kepala. Wa-
lau tahu dirinya menderita luka dalam yang tak bisa
dibilang ringan, dia masih bisa menunjukkan kesom-
bongannya.
Seno pun mendengus gusar. Ada rasa sesal di
hatinya setelah tahu dia bagian Kitab Sanggalangit su-
dah dibakar musnah oleh Setan Selaksa Wajah. Tapi,
apakah itu bukan akal licik Setan Selaksa Wajah un-
tuk mempertahankan kitab curiannya?
Namun, Seno yang amat lugu dan jujur percaya

begitu saja pada ucapan Setan Selaksa Wajah. Usai
mendesah panjang wujud rasa sesalnya, pemuda ber-
paras tampan itu berkata, "Kalau begitu, cepat serah-
kan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' agar aku segera dapat menyelamatkan Kemuning!
Serahkan pula cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'
milik Ratu Perut Bumi!"
"Hmmm.... Begitukah maumu?" sahut Setan
Selaksa Wajah. "Baik! Baiklah aku turuti apa maumu.
Aku memang telah terluka dalam hingga tak mampu
memberikan perlawanan kepadamu...."
Di ujung kalimatnya, Setan Selaksa Wajah me-
masukkan jemari tangan kanannya ke balik lipatan
bajunya. Tapi tiba-tiba, dia berseru lantang.
"Mati kau!"
Begitu keluar dari balik lipatan baju, jemari
tangan kanan Setan Selaksa Wajah menyentil ke de-
pan. Sebutir batu kecil yang tak lebih besar dari biji
kelereng melesat sebat. Mengarah ke kepala Seno!
Pendekar Bodoh berseru kaget. Dia tak me-
nyangka sama sekali bila akan diserang dengan senja-
ta rahasia. Tapi, dia masih sempat mengangkat Tong-
kat Dewa Badai-nya untuk melindungi kepala.
Set...!
Ting...!
Walau gerakan Seno tampak asal-asalan, tapi
gerakan itu merupakan gerak bawah sadar. Selama li-
ma tahu digembleng Dewa Dungu, tentu saja Seno ju-
ga dilatih mempertajam indera keenamnya. Sehingga,
gerakan bawah sadar Seno jadi tepat memukul balik
senjata rahasia Setan Selaksa Wajah.
Dan, Setan Selaksa Wajah pun membelalakkan
mata melihat senjata rahasianya melesat hendak
menghujam ke dadanya sendiri!

"Ih...!"
Susah payah murid murtad Dewa Dungu itu
berkelit. Dia pun dapat bernapas dengan lega karena
terhindar dari bahaya maut. Senjata rahasianya yang
berupa sebutir batu terus melesat ke belakang tubuh-
nya. Begitu jatuh ke tanah berpasir, batu kecil itu
langsung meledak dan menebarkan asap beracun ber-
warna hitam!
"Rupanya, kau benar-benar seorang durjana li-
cik yang patut mati, Mahisa Lodra!" seru Pendekar Bo-
doh, naik pitam.
Melihat Seno menatap dengan mata berkilat
penuh nafsu membunuh, Setan Selaksa Wajah tersu-
rut mundur. Pada langkah ketiga, tiba-tiba dia memba-
likkan badan seraya mengambil langkah seribu!
"Pengecut! Mana mungkin aku melepaskan-
mu?!" Menggembor keras si pemuda lugu Seno Pra-
setyo. Dikeluarkannya ilmu 'Lesatan Angin Meniup
Dingin' untuk dapat mengejar kelebatan tubuh Setan
Selaksa Wajah yang menggunakan ilmu peringan tu-
buh bernama 'Angin Pergi Tiada Berbekas'.
Sebenarnya, ilmu peringan tubuh dua anak
manusia yang sama-sama murid Dewa Dungu itu
seimbang. Namun, karena Setan Selaksa Wajah tengah
menderita luka dalam, dia tak dapat mengempos tena-
ga sekehendak hatinya. Akibatnya, belum genap berla-
ri dua puluh tombak, dia telah terkejar!
"Berhenti kau!" geram Seno. Jemari tangan ka-
nannya mengepal untuk menggedor punggung Setan
Selaksa Wajah.
Bukkk...!
"Argh...!"
Memekik kesakitan Setan Selaksa Wajah. Bo-
gem mentah Pendekar Bodoh tepat menerpa punggungnya. Suara berdebum keras terdengar manakala
lelaki berpakaian serba merah itu jatuh tersungkur la-
lu bergulingan di tanah.
Setan Selaksa Wajah mencoba bangkit. Tapi,
luka dalamnya terlalu parah. Darah segar menyembur
dari mulut dan lubang hidungnya. Dia pun jatuh ter-
sungkur lagi dengan tubuh lemah tiada daya!
"Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku...!" iba
murid murtad Dewa Dungu itu.
Seno nyengir kuda sejenak. Setelah melakukan
kebiasaannya itu, dia berkata, "Kalau kau tak kubu-
nuh, darah orang-orang yang tak berdosa akan terus
tumpah. Bersiap-siaplah! Aku akan segera menjalan-
kan amanat Kakek Dewa Dungu yang telah kau khia-
nati!"
"Jangan...!" seru Setan Selaksa Wajah dengan
suara serak parau. "Jangan bunuh aku! Bukankah
kau menginginkan batu mustika 'Menembus Laut Ber-
napas Dalam Air' dan cermin 'Terawang Tempat Lewati
Masa'? Ini...! Ini...!"
Setan Selaksa Wajah memasukkan jemari tan-
gan kanannya ke balik lipatan bajunya. Kali ini, kakek
berwajah pemuda itu benar-benar mengeluarkan dua
benda mustika yang diinginkan Seno.
"Ini...! ini...! Terimalah...! Tapi, jangan kau bu-
nuh aku...," iba Setan Selaksa Wajah lagi.
Ratu Perut Bumi tampak melesatkan tubuhnya
seraya menyambar dua benda mustika di tangan Setan
Selaksa Wajah. Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'
langsung diselipkannya ke lipatan kain bajunya. Se-
mentara, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Da-
lam Air' diamat-amatinya beberapa lama. Batu mustika
yang sebenarnya milik Raja Penyasar Sukma itu ber-
bentuk limas segitiga sama sisi, besarnya tak lebih besar dari kepalan tangan bocah berumur lima tahun.
"Batu mustika ini asli, Seno," beri tahu Ratu
Perut Bumi, menunjukkan batu mustika berwarna bi-
ru terang di tangannya. "Untuk mengakhiri urusan ini,
terserah kepadamu hendak kau apakah durjana kepa-
rat itu...."
"Jangan...! Jangan bunuh aku...!" iba Setan Se-
laksa Wajah untuk kesekian kalinya. Saking takutnya,
butiran air mata sampai menetes ke pipinya. Tak tam-
pak lagi sifat angkuh dan sombong pada dirinya.
Melihat Setan Selaksa Wajah yang duduk men-
deprok tanpa daya, Seno cuma cengar-cengir. Ha-
ruskah dia membunuh orang yang sudah tak berdaya?
"Apa lagi yang kau pikirkan, Seno?" tegur Ratu
Perut Bumi. "Lelaki durjana itu memang pantas untuk
mati!"
"Ya! Ya.., tapi...," sahut Seno, ragu-ragu. "Aku
tak boleh membunuh orang yang sudah tak ber-
daya...."
"Hmmm.... Kau memang seorang ksatria sejati,"
puji Ratu Perut Bumi. "Kalau begitu, Mahisa Lodra tak
perlu kau bunuh. Musnahkan saja seluruh ilmu ke-
saktiannya."
"Ya! Ya, itu gagasan yang bagus!"
Seno melangkah beberapa tindak ke hadapan
Setan Selaksa Wajah. Dia bermaksud menotok hancur
seluruh urat darah penting di tubuh tokoh jahat itu.
Tentu saja Setan Selaksa Wajah terserang rasa
takut luar biasa. Tak dapat dia membayangkan bagai-
mana keadaan dirinya setelah kehilangan seluruh ilmu
kesaktiannya. Akal pikiran lelaki berpakaian serba me-
rah itu jadi buntu. Tanpa sadar, dia meratap dan me-
mohon sambil beringsut menjauhi Pendekar Bodoh.
Namun, Pendekar Bodoh yang sudah amat benci melihat segala kejahatan Setan Selaksa Wajah tak
mau mengurungkan niatnya. Tekadnya sudah bulat
untuk segera melenyapkan seluruh ilmu kesaktian Se-
tan Selaksa Wajah. Tapi....
"Tunggu...!"
Tiba-tiba, Ratu Perut Bumi mencegah. Seno
menatap heran. Aliran tenaga dalam di ujung telunjuk
jarinya dia lepas lagi. Namun sebelum dia mengutara-
kan rasa herannya. Ratu Perut Bumi berkata....
"Aku mendengar bisikan gaib. Satukan kekua-
tan batinmu, Seno. Tampaknya, bisikan gaib itu senga-
ja ditujukan kepada kita...."
Sejenak, Seno mengarahkan pandangan ke so-
sok Setan Selaksa Wajah yang terus beringsut men-
jauh. Seno membiarkannya karena dia yakin lelaki ja-
hat itu sudah tak punya kemampuan lagi untuk mela-
rikan diri. Luka dalam Setan Selaksa Wajah terlalu pa-
rah untuk dipaksa mengempos tenaga guna melarikan
diri.
"Cepatlah, Seno...," desak Ratu Perut Bumi.
Melihat kesungguhan manusia setengah ular
itu, Seno langsung menyatukan kekuatan batinnya.
Tiga tarikan napas kemudian dia mendengar suara....
"Ratu Perut Bumi dan kau, Pendekar Bodoh,
dua benda mustika yang kalian inginkan telah kalian
dapatkan. Segera pergi dari tempat ini! Raja Penyasar
Sukma sedang menuju ke tempat kalian. Untuk se-
mentara, lebih baik kalian tak bertatap muka dengan-
nya."
Suara bisikan itu lenyap sampai di situ. Ratu
Perut Bumi dan Pendekar Bodoh sating pandang. Me-
reka sama-sama tak tahu siapa yang telah mengirim
bisikan. Tapi yang jelas, bisikan itu tidak dikirim den-
gan menggunakan ilmu mengirim suara dari jarak

jauh.
"Bagaimana ini, Ratu?" tanya Seno, kebodoh-
bodohan.
Ratu Perut Bumi diam. Dia sendiri tak tahu apa
yang harus diperbuat. Pergi meninggalkan Padang An-
gin Malaikat secepatnya atau tetap tinggal di tempat?
Tapi, bagaimana kalau Raja Penyasar Sukma benar-
benar akan datang?
"Sebaiknya kita pergi saja, Seno...," cetus Ratu
Perut Bumi kemudian.
"Kenapa?" tanya Seno, tak mengerti.
Sebenarnya, dalam diri Seno telah timbul rasa
senang karena Raja Penyasar Sukma akan segera da-
tang. Dia tahu kalau Raja Penyasar Sukma adalah Ba-
nyak Langkir yang telah membunuh ibunya lima tahun
silam. Bukankah hal ini merupakan kesempatan bagus
untuk melampiaskan dendam?
"Kita pergi saja, Seno. Aku tahu kau menyim-
pan dendam kesumat terhadap Raja Penyasar Sukma.
Tapi, ketahuilah lelaki itu saat sekarang telah mengua-
sai isi Kitab Tiga Dewa. Bukan aku meremehkan ke-
mampuanmu. Tapi, kupikir belum saatnya kau mem-
buat perhitungan dengan tokoh kejam yang haus da-
rah itu.... Lagi pula, kau harus segera menyelamatkan
nyawa Kemuning...," jelas Ratu Perut Bumi.
Seno hendak menolak ajakan manusia seten-
gah ular itu. Setan Selaksa Wajah telah dapat dikalah-
kannya. Tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi
untuk merobohkan pula Raja Penyasar Sukma. Tapi...,
tiba-tiba Ratu Perut Bumi menyambar tubuh Seno!
Dengan memeluk tubuh pendekar muda itu,
Ratu Perut Bumi melenting ke atas, lalu menukik de-
ras, dan amblas ke dalam tanah!
Bersamaan dengan lenyapnya sosok Ratu Perut

Bumi dan Pendekar Bodoh, dari arah tenggara melesat
gumpalan cahaya kuning yang diiringi tiupan angin
kencang.
"Raja Penyasar Sukma...!" desis Setan Selaksa
Wajah di antara rasa benci dan suka.
***
Tak kuasa Dewi Pedang Halilintar melihat ade-
gan yang akan segera berlangsung di hadapannya. Dia
pun menutup mata dengan segudang rasa ngeri dan ji-
jik.
"Hi hi hi...! Hayo! Buka! Buka celana mu itu,
Orang Jahat! Hi hi hi...!"
Sambil tertawa cekikikan, Dewa Geli memutar-
mutar pisau yang dibawanya. Sementara, kakinya te-
rus melangkah mendekati Hantu Pemetik Bunga....
Terbawa rasa takutnya, Hantu Pemetik Bunga
jadi kalap. Sambil mundur beberapa tindak, dia mem-
persiapkan pukulan jarak jauh. Namun, Dewa Geli
yang sudah menduga apa yang akan diperbuat oleh le-
laki bertopeng itu masih bersikap tenang dan tertawa
cekikikan. Hingga sampai akhirnya....
"Hiahhh...!"
Wusss...!
Hantu Pemetik Bunga menggembor keras seka-
li. Kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan.
Serta-merta dua larik sinar putih berkeredapan mele-
sat ganas ke arah Dewa Geli!
Tapi..., Dewa Geli terus saja tertawa cekikikan.
Lagak lagunya seperti tak mau ambil peduli pada ba-
haya yang tengah mengancam jiwanya.
Dewi Pedang Halilintar yang terbawa rasa te-
gang tampak meloncat untuk memapaki pukulan jarak

jauh Hantu Pemetik Bunga. Bagaimanapun, Dewa Geli
adalah manusia biasa yang tubuhnya juga terdiri dari
susunan tulang dan daging empuk. Oleh karena itu,
kekhawatiran Dewi Pedang Halilintar memang cukup
beralasan.
"Diam saja di tempatmu, Nenek yang baik!" se-
ru Dewa Geli tiba-tiba.
Sambil mengatakan kalimat itu, Dewa Geli
mengibaskan tangan kirinya untuk membuat mental
dua larik sinar putih yang melesat dari kedua telapak
tangan Hantu Pemetik Bunga. Rupanya, Dewa Geli tak
mau bertindak gegabah. Dia tak mau sembarangan
menadahi pukulan jarak jauh Hantu Pemetik Bunga
yang punya daya penghancur cukup dahsyat.
Di lain kejap, terdengar sebuah ledakan keras.
Gelombang angin pukulan ciptaan Dewa Geli mampu
meredam pukulan jarak jauh Hantu Pemetik Bunga.
Dua larik sinar putih yang hendak merenggut nyawa
Dewa Geli tampak terpental lurus ke angkasa, lalu hi-
lang tanpa bekas!
Semakin takut Hantu Pemetik Bunga. Tak ada
yang dapat diperbuatnya lagi untuk mempertahankan
'senjata'-nya yang paling berharga, kecuali meratap
dan memohon belas kasihan,
"Jangan! Jangan kau lakukan itu...! Aku benar-
benar akan menepati janji ku...."
"Hmmm.... Begitu? Memang amatlah bagus
apabila kau menepati janjimu," sambut Dewa Geli.
"Tapi, 'milik'-mu itu tetap harus ku potong!"
Di ujung kalimatnya, Dewa Geli melesatkan tu-
buhnya. Pisau tajam di tangannya siap menjalankan
tugas!
"Jangaaaannnn...!"
Hantu Pemetik Bunga berteriak lantang. Den

gan kelopak mata tertutup, kedua telapak tangannya
menekap erat celana bagian depannya. Tapi, usaha
melindungi bagian tubuhnya yang paling berharga itu
sia-sia saja karena Dewa Geli melancarkan totokan ter-
lebih dulu!
Tuk! Tuk!
"Wuaahhh..!"
Memekik kesakitan Hantu Pemetik Bunga. Ja-
lan darah besar di kedua bahunya yang tertotok terasa
sakit luar biasa. Hingga, tanpa sadar dia membuka te-
kapannya pada celana bagian depannya!
"Hi hi hi...! Kini sudah tiba saatnya.... Hi hi
hi...!"
Dewa Geli tertawa mengikik. Secepat kilat tan-
gan kirinya melorotkan celana Hantu Pemetik Bunga.
Dan, terpampanglah sebuah pemandangan yang mem-
buat Dewi Pedang Halilintar membuang muka penuh
rasa jijik.
Namun sebelum Dewa Geli berhasil melaksana-
kan niatnya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan.
Bayangan itu berkelebat cepat sekali, dan langsung
melancarkan tendangan!
Desss...!
"Wadow...!"
Dewa Geli memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
lontar karena kena tendang dengan telak. Untunglah,
bocah berpakaian kedodoran itu memiliki tenaga da-
lam yang sudah semakin kuatnya, sehingga tendangan
yang mendarat di tubuhnya tak menimbulkan luka da-
lam yang berarti.
Bergegas Dewa Geli bangkit. Sambil memegangi
bahu kirinya yang kena tendang, dia tertawa cekikikan
lagi. Pisau yang hendak digunakan untuk menghukum
Hantu Pemetik Bunga masih tercekal erat di tangan

kanannya.
"Hi hi hi...! Rupanya, kau yang datang, Putri
Budukan...," ujar Dewa Geli.
Mata bocah berambut tipis itu menatap seorang
wanita berpakaian putih-ungu yang telah berdiri di sisi
kiri Hantu Pemetik Bunga. Tubuh si wanita tampak
montok menggiurkan. Dan, kulitnya pun putih bersih.
Tapi, raut wajahnya amat mengerikan karena dipenuhi
bisul-bisul bernanah!
Dia memang Putri Budukan, seorang tokoh ja-
hat yang juga telah punya nama besar di rimba persila-
tan!
"Hi hi hi...! Apa maksudmu menendangku, Ne-
nek Jelek?" lanjut Dewa Geli. "Apa kau kekasih lelaki
bertopeng itu? Hi hi hi...! Pantas! Pantas bila kau hen-
dak menolongnya! Hi hi hi...!"
Putri Budukan tak menyahuti ucapan Dewa
Geli. Ditatapnya Hantu Pemetik Bunga seraya berkata,
"Kau pergilah! Bocah edan itu biar kuhadapi!"
Hantu Pemetik Bunga yang sudah tahu keting-
gian ilmu Putri Budukan langsung bersorak girang da-
lam hati. Tanpa pikir panjang lagi, dia bergegas melon-
cat jauh untuk mencari selamat!
"Hei! Mau pergi ke mana kau?!" cegah Dewa Ge-
li seraya mengejar.
"Biarkan dia pergi, Bocah Edan!" sergap Putri
Budukan.
Sambil berkata, wanita buruk rupa itu mema-
paki lesatan tubuh Dewa Geli dengan sebuah tendan-
gan. Dewa Geli yang sudah merasakan bagaimana ke-
kuatan tendangan Putri Budukan terpaksa menghen-
tikan lesatan tubuhnya untuk berkelit.
"Nenek keparat kau!" umpat Dewa Geli, penasa-
ran.

"Sekali lagi kukatakan, biarkan Hantu Pemetik
Bunga pergi!" sahut Putri Budukan. "Untuk melam-
piaskan rasa penasaran mu, datanglah ke Puncak Ku-
pu-kupu! Kutunggu kau di sana!"
Usai berkata, Putri Budukan berkelebat pergi.
Ilmu peringan tubuh wanita buruk rupa itu amat he-
bat. Tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi bayangan
yang hampir tak dapat dilihat.
"Hi hi hi...! Baik! Baik! Aku akan datang meme-
nuhi undanganmu, Nenek Jelek! Aku memang punya
urusan denganmu! Sebelum ku potong habis 'senjata'
Hantu Pemetik Bunga, bolehlah aku menghajarmu du-
lu!"
Bocah berkulit hitam itu berkata-kata seakan
Putri Budukan masih berada di hadapannya. Setelah
tertawa mengikik, dia berkelebat mengikuti jejak Putri
Budukan!
Dewi Pedang Halilintar yang masih berdiri di
tempatnya tampak geleng-geleng kepala melihat kece-
patan gerak Dewa Geli. Teringat akan Hantu Pemetik
Bunga yang telah mempecundanginya dengan Cambuk
Api Neraka, dia bergegas berkelebat pergi pula. Dengan
Cambuk Api Neraka yang telah berada di tangannya,
Dewi Pedang Halilintar yakin bila Hantu Pemetik Bun-
ga akan dapat dirobohkannya.
***

ENAM


DEWI Pedang Halilintar menghentikan keleba-
tan tubuhnya di tepi aliran sungai yang terletak di uta-
ra Kota Gambiran. Matanya yang tajam melihat sosok
manusia berpakaian putih-putih tengah duduk bersila
di balik rimbunan pohon.
Hati-hati sekali Dewi Pedang Halilintar melang-
kah mendekati. Sosok manusia yang dilihat nenek itu
tampaknya sedang bersemadi. Dia duduk bersila di
atas lempengan batu dengan tangan bersedekap. Wa-
jahnya tak dapat dikenali karena dia mengenakan to-
peng yang terbuat dari baja putih.
"Hmmm.... Kiranya kau bersembunyi di sini,
Durjana Laknat...," ujar Dewi Pedang Halilintar dalam
hati.
Guru Kemuning itu menyangka bila si lelaki
bertopeng adalah Hantu Pemetik Bunga yang sedang
dikejarnya. Dia tak tahu bila sebenarnya orang yang
tengah duduk bersila di lempengan batu itu adalah
Ksatria Topeng Putih!
Bentuk tubuh, warna kulit, dan topeng yang
dikenakan Ksatria Topeng Putih memang nyaris serupa
benar dengan Hantu Pemetik Bunga. Potongan dan
warna pakaian mereka pun sama persis. Hanya saja,
Hantu Pemetik Bunga masih mengenakan lagi baju
luar berwarna merah. Tapi, perbedaan yang amat sedi-
kit itu tak pernah masuk dalam pikiran Dewi Pedang
Halilintar. Dia benar-benar menyangka bila Ksatria To-
peng Putih adalah Hantu Pemetik Bunga.
"Kau telah membuat luka di bahu kiriku, Bang-
sat!" geram Dewi Pedang Halilintar. "Kau harus mene-
busnya dengan menggelindingkan kepalamu ke tanah!"
Berkerut kening nenek berpakaian serba kun-
ing itu. Walau dia telah membuat suara berisik, lelaki
bertopeng tak juga bangun dari sikap semadinya.
"Hmmm.... Durjana laknat itu mungkin sedang
menghimpun hawa sakti untuk melepas pengaruh to-
tokan Dewa Geli di kedua bahunya," pikir Dewi Pedang

Halilintar. "Tak dapat aku menunggu terlalu lama. Dia
harus segera kubunuh! Dosanya terlalu besar untuk
dibiarkan hidup!"
Dewi Pedang Halilintar melangkah semakin de-
kat. Hawa amarah dan dendam kesumat membuat ne-
nek itu tak dapat berpikir jernih lagi. Yang ada dalam
benaknya hanyalah keinginan membunuh, membu-
nuh, dan membunuh!
Namun, sejenak Dewi Pedang Halilintar jadi ra-
gu. Sebagai seorang tokoh tua yang cukup ternama di
rimba persilatan, amatlah tak pantas apabila dia
membunuh orang yang tak memberikan perlawanan.
Tapi setelah Dewi Pedang Halilintar teringat
ucapan Hantu Pemetik Bunga yang mengatakan bah-
wa Dewa Keadilan telah mati dibunuhnya, keraguan
dalam nenek itu langsung hilang. Kematian Dewa Kea-
dilan harus segera dibalaskan. Maka, sambil menden-
gus gusar, Dewi Pedang Halilintar menghunus bilah
pedang kuning yang semula telah diselipkan di pung-
gungnya!
"Sebelum lelaki licik itu kubunuh, ada baiknya
bila aku membuka topeng yang dikenakannya...," cetus
Dewi Pedang Halilintar sebelum menjatuhkan tangan
maut.
Dewi Pedang Halilintar melangkah dua tindak
lagi. Sementara, Ksatria Topeng Putih yang tengah me-
nerapkan ilmu 'Mencari Jejak Tunjukkan Tempat' tak
bergerak sama sekali. Tentu saja lelaki berkulit putih
halus itu tak mengetahui kehadiran Dewi Pedang Hali-
lintar karena rohnya telah berpisah dari badan kasar-
nya. Hingga di lain kejap kemudian....
Set...!
Tang...!
Dengan menggunakan ujung pedangnya, Dewi

Pedang Halilintar memutuskan tali pengikat topeng
yang dikenakan oleh Ksatria Topeng Putih. Topeng
yang terbuat dari baja putih itu langsung jatuh berden-
tang di lempengan batu, lalu menggelinding ke tanah.
Dan..., terbelalaklah mata Dewi Pedang Halilin-
tar! Aliran darahnya tiba-tiba berdesir tak karuan.
Jantungnya pun berdegup lebih kencang!
"Ksatria Seribu Syair...!" kejut Dewi Pedang Ha-
lilintar, seperti tak percaya pada penglihatannya sendi-
ri.
Ksatria Topeng Putih yang disangka Dewi Pe-
dang Halilintar sebagai Hantu Pemetik Bunga memang
Ksatria Seribu Syair adanya!
"Tak kusangka! Benar-benar tak kusangka...,"
desis Dewi Pedang Halilintar. "Aku tahu Ksatria Seribu
Syair adalah bekas putra mahkota yang telah tergu-
lingkan. Aku pun tahu kalau dia menjadi buronan
orang-orang Raksa Jalinti yang kini menduduki takhta
Mahespati. Tapi..., aku mengenal Ksatria Seribu Syair
sebagai seorang pendekar yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran. Selama lima tahun terakhir ini, aku
tak pernah lagi mendengar sepak terjangnya. Kiranya,
dia telah berubah jadi manusia jahat bergelar Hantu
Pemetik Bunga...."
Keraguan di hati Dewi Pedang Halilintar mun-
cul kembali. Walau belum pernah menjajal kepandaian
Ksatria Seribu Syair secara langsung, Dewi Pedang Ha-
lilintar tahu kalau bekas putra mahkota itu berilmu
tinggi. Haruskah dia membunuhnya selagi ada kesem-
patan bagus? Kalau dibiarkan hidup, bukankah orang
yang disangkanya sebagai Hantu Pemetik Bunga itu
akan terus mengumbar nafsu jahat?
Belum dapat Dewi Pedang Halilintar memu-
tuskan apa yang harus diperbuatnya, tiba-tiba Ksatria

Seribu Syair membuka kelopak mata. Itu tandanya bila
roh Ksatria Seribu Syair telah kembali ke badan ka-
sarnya.
Terkejut tiada terkira lelaki berpakaian putih-
putih itu ketika tahu ada orang yang berdiri di hada-
pannya dengan membawa pedang terhunus. Lebih ter-
kejut lagi dia saat mengetahui topeng yang dikenakan-
nya telah jatuh ke tanah. Itu berarti jati dirinya yang
sengaja disembunyikan telah diketahui orang lain,
"Dewi Pedang Halilintar...," desis Ksatria Seribu
Syair dengan suara bergetar. "Apa yang sedang kau
perbuat?"
"Haram jadah!" maki Dewi Pedang Halilintar.
"Tentu saja aku hendak membunuhmu! Tak pernah
kusangka bila kau seorang penjahat, Darma Pasulan-
git!"
Dewi Pedang Halilintar menyebut nama kecil
Ksatria Seribu Syair. Sementara, Ksatria Seribu Syair
tambah terkejut mendengar kata-kata nenek itu.
"Kau hendak membunuhku? Apa salahku?"
ujar Ksatria Seribu Syair, tak mengerti.
"Huh! Jangan berpura-pura! Aku sudah tahu
sifat belang mu! Bangkitlah! Hadapi aku!"
Mendengar tantangan Dewi Pedang Halilintar,
Ksatria Seribu Syair geleng-geleng kepala.
"Di antara kita tidak ada bibit permusuhan, ke-
napa mesti berbuat kekerasan?" ujar lelaki bertubuh
tinggi tegap itu tanpa bangkit dari duduk bersilanya.
"Kau terlalu banyak mulut! Lihat serangan!"
Tiba-tiba, Dewi Pedang Halilintar menerjang.
Ketajaman pedangnya benar-benar hendak memenggal
leher Ksatria Seribu Syair!
Tentu saja lelaki yang tak tahu kesalahannya
itu tak mau mati konyol. Dua jempol kakinya menotol

lempengan batu. Dan, ringan sekali tubuhnya me-
layang lalu mendarat di tanah dalam keadaan berdiri.
Sambaran pedang Dewi Pedang Halilintar hanya men-
genai angin kosong.
"Tahan amarah mu dulu, Nini Kembangsari!"
seru Ksatria Seribu Syair, menyebut nama kecil Dewi
Pedang Halilintar.
Tapi, Dewi Pedang Halilintar yang sudah gelap
mata mana mau mendengar kata-kata itu. Mengetahui
ketinggian ilmu Ksatria Seribu Syair, tanpa ragu lagi
dia mengeluarkan Cambuk Api Neraka yang tersimpan
di balik bajunya.
Cambuk pusaka itu dicekalnya di tangan kiri.
Begitu dialiri tenaga dalam, cambuk yang berupa seu-
tas tali pipih berwarna putih itu langsung diselubungi
lidah api biru. Hawa panasnya menebar ke mana-
mana!
"Bagaimana mungkin kau mau membunuhku,
Nini Kembangsari?" Ksatria Seribu Syair berseru lagi
penuh rasa heran dan tak habis mengerti.
Tapi, kata-kata lelaki bertubuh tinggi tegap itu
disambuti Dewi Pedang Halilintar dengan sabetan
cambuk dan tebasan pedang!
Jderrr...!
Wuttt...!
Sambil menghindari serangan, Ksatria Seribu
Syair berusaha mengingatkan Dewi Pedang Halilintar
yang telah dikuasai nafsu membunuh. Namun, Dewi
Pedang Halilintar malah menyerang makin ganas.
Cambuk Api Neraka dan pedang kuning di tangan ne-
nek itu terus mengirim serangan susul-menyusul.
Mengetahui Dewi Pedang Halilintar tak dapat
diingatkan lagi, Ksatria Seribu Syair jadi bingung. Dia
teringat akan satu urusan yang harus segera diselesai

kannya. Dia meraba lipatan bagian dalam bajunya. Se-
telah tahu kantong berisi Kodok Wasiat Dewa masih
berada di tempatnya, lelaki itu berkelebat menyambar
topengnya yang tergeletak di tanah seraya berkata...
"Aku tak punya waktu untuk melayanimu, Nini
Kembangsari! Berpikirlah masak-masak sebelum ber-
tindak!"
Di ujung kalimatnya, Ksatria Seribu Syair men-
gempos tenaga. Dan, tubuh lelaki yang sengaja me-
nyembunyikan jatidirinya dengan memakai julukan
Ksatria Topeng Putih itu berkelebat cepat meninggal-
kan Dewi Pedang Halilintar.
"Pengecut!" maki Dewi Pedang Halilintar yang
tak dapat mengimbangi kelebatan tubuh Ksatria Seri-
bu Syair.
Tinggallah nenek itu mengumpat-umpat tiada
henti. Semua sumpah serapah dikeluarkannya untuk
melampiaskan rasa dongkol, kecewa, dan hawa ama-
rah.
Ksatria Seribu Syair atau Ksatria Topeng Putih
yang telah berkelebat lenyap tak pernah menyangka
bila pertemuannya dengan Dewi Pedang Halilintar tadi
akan menimbulkan persoalan rumit di kelak kemudian
hari....
* * *
Sinar mentari sore lembut menyapa bagai seo-
rang perawan melempar senyuman. Hembusan sang
bayu merdu merayu dalam kesunyian. Sementara,
aneka bunga merah jingga mekar berkembang menye-
jukkan mata.
Namun, burung-burung yang tengah bersuka
ria tak lagi memperdengarkan kicau riangnya. Karena,

di kaki bukit itu tiba-tiba muncul suatu keanehan.
Permukaan tanah yang dijalari semak berduri tampak
bergetar. Seiring suara gemuruh bagai gempa, bong-
kah-bongkah batu menggelinding. Dedaunan rontok
berguguran. Hingga, satwa-satwa hutan yang kebetu-
lan berada di tempat itu memekik ketakutan seraya
berlari menjauh.
Ketika burung-burung melesat terbang ke lan-
git biru, getaran yang timbul dari dalam tanah semakin
kuat. Lalu...., gumpalan tanah bercampur kerikil me-
nyembur ke angkasa. Akibatnya, akar dan sulur semak
belukar turut terlontar ke atas.
Brummm...!
Swosss...!
Mendadak, permukaan tanah di pusat getaran
itu berlubang! Semakin banyak gumpalan tanah yang
menyembur. Dan di lain kejap, dari dalam tanah mele-
sat sosok bayangan hijau panjang!
Setelah mendarat, dapatlah dilihat bagaimana
rupa sosok bayangan yang muncul dari dalam tanah
itu. Ternyata, dia seorang wanita cantik berpakaian
merah gemeriap. Di kepalanya bertengger mahkota
emas bertahtakan intan berlian. Anehnya, wanita be-
rambut panjang tergerai itu tubuh bagian bawahnya
berupa ekor ular yang mempunyai sisik hijau kehita-
man!
Dia Ratu Perut Bumi!
Dalam bopongan wanita setelah ular itu tampak
seorang pemuda berpakaian biru-biru dengan ikat
pinggang kain tebal merah. Tubuh si pemuda lemas
lunglai karena dia dalam keadaan tak sadarkan diri.
Dilihat dari garis-garis wajahnya yang menyi-
ratkan keluguan dan kejujuran, siapa lagi dia kalau
bukan si Pendekar Bodoh Seno Prasetyo.

"Kau harus segera siuman, Seno...," desis Ratu
Perut Bumi yang semula telah menotok pingsan Seno
Prasetyo.
Hati-hati sekali wanita berdarah siluman itu
membaringkan tubuh Pendekar Bodoh di bawah rim-
bunan daun trembesi. Diberikannya beberapa totokan.
Tiga tarikan napas kemudian, Pendekar Bodoh menge-
luh pendek seraya membuka kelopak mata.
"Di mana aku...?" keluh Seno. Ratu Perut Bumi
cuma diam memperhatikan. Sementara, Seno langsung
bangkit duduk dan mengedarkan pandangan.
"Bukit Pralambang. Aku berada di kaki Bukit
Pralambang...," ujar Seno kemudian seraya menatap
lekat wajah Ratu Perut. Bumi. "Ratu...," sebutnya. "Un-
tuk apa kau membawaku kemari? Aku ingin menum-
pas orang yang telah membunuh ibuku! Bawa aku
kembali ke Padang Angin Malaikat!"
Sambil menggelengkan kepala, Ratu Perut Bu-
mi tersenyum. Diusapnya kotoran tanah yang melekat
di kening Pendekar Bodoh.
"Seno.... Aku bisa merasakan apa yang saat ini
kau rasakan. Dendam kesumat dan hawa amarah tak
akan pernah membuat manusia hidup tenteram. Se-
makin besar dendam dan amarah dalam dada, sema-
kin sulit orang mencapai kebahagiaan..," tutur manu-
sia setengah ular itu. "Tahan dulu gejolak jiwa muda-
mu, Seno. Raja Penyasar Sukma adalah manusia jahat
yang amat licik. Kau belum seberapa matang pengala-
man. Walau sekarang ini ilmu kesaktianmu setinggi
langit, jangan harap kau akan dapat mengalahkan
orang itu...."
"Tapi, Ratu...," seta Seno. "Berdosakah aku bila
tidak membalaskan kematian ibuku."
"Aku tahu. Tapi, tidakkah kau ingat bila ada sa

tu pekerjaan penting yang harus segera kau tunaikan?
Kau lupa pada Kemuning?"
"Astaga!" kejut Seno. "Kenapa otakku jadi bebal
begini?! Kenapa aku lupa pada Kemuning?!"
"Itulah satu alasan lagi kenapa aku membawa-
mu pergi meninggalkan Padang Angin Malaikat."
Seno nyengir kuda sejenak. Sekali lagi, murid
Dewa Dungu itu mengedarkan pandangan. Ditatapnya
puncak bukit yang tinggi menjulang. Ditatapnya jaja-
ran pohon hijau subur yang tumbuh menyejukkan
pandangan. Lalu, ditatapnya lekat-lekat wajah Ratu
Perut Bumi.
"Ini Bukit Pralambang, Ratu...," ujar pemuda
remaja berparas tampan itu, lirih seperti menggumam.
"Ya, aku tahu," sahut Ratu Perut Bumi. "Senga-
ja aku membawamu kemari."
"Untuk apa?"
"Kau ingat bisikan gaib yang kau dengar di Pa-
dang Angin Malaikat?" Seno mengangguk.
"Tanpa kau ketahui, bisikan itu terdengar lagi
oleh ku, dan menyuruhku datang ke tempat ini bersa-
mamu."
"Kau percaya pada bisikan itu, Ratu? Bagaima-
na kalau...."
"Hus!" potong Ratu Perut Bumi. "Selalu berhati-
hati memang baik. Tapi, kita tak boleh terlalu curiga.
Aku yakin orang yang menyampaikan bisikan gaib itu
bermaksud baik kepada kita."
"Tapi, Ratu..,."
Seno hendak menyahuti ucapan Ratu Perut
Bumi, namun suaranya tersekat di tenggorokan. Telin-
ga murid Dewa Dungu itu menangkap suara berkele-
batnya orang yang sedang menuju ke tempatnya bera-
da."Kau dengar suara itu, Ratu?" ujar Seno.
"Ya. Dia pasti orang yang menyuruhku datang
ke tempat ini," sahut Ratu Perut Bumi.
Pendekar Bodoh dan Ratu Perut Bum! sama-
sama mengarahkan pandangan ke utara. Dua tarikan
napas kemudian, tampak sosok bayangan putih yang
berkelebat meloncati bongkah-bongkah batu besar dan
pepohonan. Ringan sekali bayangan itu melesat, bagai
seekor burung walet yang sedang terbang melayang.
"Ksatria Topeng Putih...," desis Seno setelah so-
sok bayangan putih berada di hadapannya.
Sementara Seno bangkit berdiri, sosok orang
yang baru muncul yang memang Ksatria Topeng Putih
mengeluarkan sebuah kantong putih dari balik ba-
junya. Dari dalam kantong itu, dia mengambil sebuah
gumpalan sinar putih yang di dalamnya terdapat gum-
palan sinar lain berwarna emas yang berbentuk seekor
katak.
"Kodok Wasiat Dewa...," desis Seno lagi dengan
mata terbelalak.
Seno mengucak-ucak mata. Sepertinya, dia tak
percaya pada penglihatannya sendiri. Bagaimana
mungkin Kodok Wasiat Dewa berada di tangan Ksatria
Topeng Putih? Bukankah benda ajaib itu telah dis-
erahkannya kepada Setan Selaksa Wajah? Apakah Se-
tan Selaksa Wajah belum menelannya? Apakah Ksatria
Topeng Putih telah merampas benda ajaib yang berasal
dari dalam perut Ikan Mas Dewa itu?
Tak lama Pendekar Bodoh tergeluti segudang
tanda tanya. Karena, Ksatria Topeng Putih yang bisa
menebak isi hati pemuda itu langsung memberi penje-
lasan.
"Semula, benda ajaib ini hendak diserahkan Se-
tan Selaksa Wajah kepada Raja Penyasar Sukma. Untunglah, sebelum orang jahat itu menggunakannya se-
bagai sarana mengumbar keangkaramurkaan, aku
berhasil merampasnya.... Kodok Wasiat Dewa diberi-
kan ikan Mas Dewa kepadamu, Seno. Terimalah....
Benda ajaib ini milikmu."
Usai berkata lelaki yang wajahnya telah tertu-
tup topeng itu menyodorkan Kodok Wasiat Dewa yang
dibawanya kepada Pendekar Bodoh. Tapi, Pendekar
Bodoh tak langsung menerimanya karena hati pemuda
itu tengah digeluti perasaan heran dan tak percaya.
Ksatria Topeng Putih yang telah merampas Kodok Wa-
siat Dewa, yang tentu saja dengan mempertaruhkan
nyawa, kenapa malah menyerahkan benda ajaib itu
kepadanya? Apakah Ksatria Topeng Putih punya sifat
dan pribadi yang sedemikian baiknya, sehingga dia tak
mau mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya?
Walau sesuatu itu bisa mendatangkan manfaat besar
bagi dirinya?
"Terimalah, Seno...," desak Ratu Perut Bumi.
"Kau pasti membutuhkan benda itu karena kau akan
segera menempuh bahaya besar."
"Bahaya besar?" tanya Seno, tak mengerti.
"Bukankah kau hendak menyelamatkan Ke-
muning?" ujar Ratu Perut Bumi. "Gadis itu disekap Se-
tan Selaksa Wajah di Lembah Rongga Laut. Untuk me-
nembus tempat itu kau akan menghadapi makhluk-
makhluk aneh berkepandaian tinggi...."
Seno nyengir kuda. Pemuda yang sudah tahu
khasiat Kodok Wasiat Dewa itu lalu menatap Ksatria
Topeng Putih. Sikapnya seakan ingin melongok raut
wajah Ksatria Topeng Putih yang tersembunyi di balik
topeng.
"Segeralah kau terima milikmu ini. Kau tak bo-
leh mengulur waktu...," ujar Ksatria Topeng Putih yang

melihat Seno cuma berdiri bengong menatapnya.
"Ya. Ya, aku memang membutuhkan benda
itu," sambut Seno kemudian. Diambilnya kantong pu-
tih berisi Kodok Wasiat Dewa dari tangan Ksatria To-
peng Putih.
"Terima kasih.... Terima kasih...," ujar Seno.
"Tapi..., kenapa kau mau berlaku begini baik kepada-
ku, Paman...?"
Ksatria Topeng Putih tak menjawab. Dia men-
galihkan pandangan ke sosok Ratu Perut Bumi seraya
berkata. "Kau telah menanam budi baik kepada Seno,
Ratu. Itu sama artinya kau pun telah menanam budi
baik kepadaku. Kalau hanya sekadar terima kasih,
malu aku mengucapkannya. Lain waktu, budi baikmu
ini akan kubalas...."
Ratu Perut Bumi mengerutkan kening. Manusia
berdarah siluman itu tak mengerti maksud ucapan
Ksatria Topeng Putih. Namun, dia tak hendak mem-
persoalkannya.
"Kaukah yang telah mengirim bisikan gaib ke-
padaku, Orang Asing?" tanya Ratu Perut Bumi kemu-
dian.
Ksatria Topeng Putih mengangguk.
"Kau menyuruhku membawa Seno kemari apa-
kah hanya untuk menyerahkan Kodok Wasiat Dewa
kepada pemuda itu?"
Ksatria Topeng Putih mengangguk lagi. "Tapi...,
andai kau masih mau menanam budi baik lagi, beri-
kan petunjuk kepada Seno agar dia dapat pergi ke
Lembah Rongga Laut...," pintanya.
"Pasti," sambut Ratu Perut Bumi. "Dengan ban-
tuan Seno, aku telah berhasil mendapatkan kembali
cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'. Karena batu
mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' telah

pula berada di tanganku, aku akan segera mengantar-
kan Seno ke Lembah Rongga Laut."
Menarik napas lega Ksatria Topeng Putih. Dari
balik topeng baja putihnya, dia menatap lekat wajah
Seno. Ada keharuan dan rasa kasih sayang yang ter-
pancar dari sorot mata lelaki berpakaian putih-putih
itu.
"Hati-hatilah, Seno..." nasihatnya. "Di dunia ini
ada banyak macam kejahatan. Kalau kau tak pandai-
pandai menggunakan otak untuk menimbang dan ber-
pikir, kau pasti akan tertelan oleh kejahatan itu. Sekali
lagi, hati-hatilah. Semoga Tuhan memberkati mu...."
Usai berkata, Ksatria Topeng Putih menatap
wajah Ratu Perut Bumi. "Selamat jalan, Ratu. Di lain
waktu akan kubalas budi baikmu ini...."
"Aku tak tahu apa maksudmu, Orang Asing...,"
sahut Ratu Perut Bumi. "Kau katakan aku telah me-
nanam budi baik kepada Seno. Kau katakan pula
bahwa aku pun telah menanam budi baik kepadamu.
Budi baik macam apa yang telah kuberikan kepada-
mu? Sepertinya, kau sangat mengasihi Seno. Ada hu-
bungan apa kau dengannya?"
Mendengar pertanyaan Ratu Perut Bumi yang
seperti menyelidik itu, Ksatria Topeng Putih tercekat.
Untuk beberapa lama, dia tak bisa membuka suara.
Mendadak, hatinya diliputi perasaan tak enak.
"Aku harus segera pergi," ujar lelaki bertopeng
itu kemudian seraya berkelebat pergi.
"Tunggu...!" teriak Seno.
Tapi, Ksatria Topeng Putih tak mau menghenti-
kan kelebatan tubuhnya. Dia terus berlari dan berlari.
Dia mengempos seluruh tenaganya. Hingga, tubuhnya
berkelebat amat cepat seakan dapat menghilang. Tapi,
perasaan tak enak itu terus mengejar, dan terus memburunya.
"Seno Prasetyo...," desah Ksatria Topeng Putih.
"Seno Prasetyo.... Apakah kau putra Dewi Ambarsari?
Kalau benar, berarti kau adalah...?" Lelaki bertopeng
itu tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Tanpa terasa
butiran air bening menitik dari sudut matanya....
Rasa sedih dan pilu tiba-tiba menyeruak masuk
dalam hati Ksatria Topeng Putih. Dia teringat akan is-
trinya yang bernama Dewi Ambarsari atau Putri Bunga
Putih. Setelah sekian lama berpisah, terbersit rasa rin-
du yang tak dapat ditahannya. Di mana sekarang wa-
nita cantik yang pernah mengukir kenangan indah
bersamanya itu? Di mana pula bocah lelaki putranya
yang dibawa pergi sejak kecil oleh Dewi Ambarsari?
Ksatria Topeng Putih tak dapat menjawab per-
tanyaan yang berkecamuk di benaknya. Tapi, dia yakin
bila Seno Prasetyo adalah putranya yang hilang bela-
san tahun silam....
***
TUJUH


SEPENINGGAL Ksatria Topeng Putih, Pendekar
Bodoh berdiri termangu. Melihat kebaikan Ksatria To-
peng Putih, ingatannya melayang ke sosok Dewa Dun-
gu yang saat sekarang ini tentu masih berada di salah
satu lembah Gunung Lawu. Gurunya yang sudah be-
rusia lanjut itu juga amat baik kepadanya. Hati Pende-
kar Bodoh jadi sedih karena ingat akan keadaan Dewa
Dungu yang lumpuh.
"Mahisa Lodra keparat!" geram Pendekar Bodoh
teringat nama orang yang telah membuat lumpuh gurunya.
Namun sebelum pemuda lugu itu semakin ha-
nyut terbawa arus rasa sedih, dia menggeleng-
gelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan-
bayangan yang tak mengenakkan hatinya. Dia pun in-
gat akan satu pengertian bahwa rasa sedih tak pernah
bisa mendatangkan manfaat apa-apa. Rasa sedih ju-
stru akan menjauhkan manusia dari kebahagiaan. Pa-
dahal, kebahagiaan adalah tujuan manusia hidup di
dunia.
Begitulah pengertian yang selalu melekat di be-
nak Seno. Pengertian itu didapat Seno semasa masih
tinggal bersama ibunya. Tapi, tanpa disadari oleh Se-
no, dengan mengingat pengertian itu, sosok ibunya
yang telah meninggal berkelebatan di benaknya.
"Ibu...," desis Seno sambil mendongakkan kepa-
la, seakan dapat melihat bayangan ibunya di langit bi-
ru. "Semoga kau berbahagia menjalani tahap kehidu-
panmu yang ketiga, Bu. Yakinlah, Bu aku akan segera
membalaskan sakit hatimu...."
Lalu, Seno teringat pada Banyak Langkir yang
telah membunuh ibunya. Teringat pula dia pada kata-
kata ibunya sebelum meninggal.
"Seno...," ucap Dewi Ambarsari, Ibu Pendekar
Bodoh, lima tahun silam, "Kau harus tahu bahwa apa
yang terjadi pada ibu ini tak lain karena akibat keti-
dakjujuran ayahmu.... Ayahmu telah berbohong. Dan,
Ibu yang sebenarnya tidak bersalah apa-apa turut me-
nanggung akibatnya...."
Setelah mengatakan itu, Dewi Ambarsari men-
ceritakan riwayat hidup ayah Seno yang bernama
Darma Pasulangit. Dan, menggeram marahlah Seno.
Karena ketidakjujuran lelaki itu, ibu Seno jadi hidup
terlunta-lunta penuh kesengsaraan. Bahkan sampai

akhirnya, Dewi Ambarsari mati dibunuh Banyak Lang-
kir yang sebenarnya bermaksud mencari Darma Pasu-
langit, ayah Seno.
"Jahanam...!" gembor Seno, keras sekali. "Akan
kucari kau Darma Pasulangit! Kau harus mempertang-
gungjawabkan perbuatanmu! Kalau perlu, aku akan
membunuhmu! Aku bersumpah! Sampai ke ujung du-
nia pun akan kucari...!"
"Hei! Hei!" tegur Ratu Perut Bumi yang melihat
Pendekar Bodoh berkata-kata seorang diri. "Kau kena-
pa, Seno...?"
"Eh! Tidak, tidak, Ratu.... Aku tidak apa-apa...,"
kesiap Seno, menyembunyikan apa yang tengah dira-
sakannya.
Ratu Perut Bumi menatap lekat wajah tampan
Seno. Yang ditatap cepat menundukkan kepala, tak
kuasa membalas tatapan manusia setengah ular itu.
"Kita harus segera pergi, Seno...," cetus Ratu
Perut Bumi kemudian. "Naiklah ke punggungku. Kau
sudah tahu apa yang harus kau lakukan. Tak perlu
aku memaksamu lagi...."
"Ya! Ya, Ratu...," sambut Seno.
Walau merasa risih dan tak enak hati, Pende-
kar Bodoh naik ke punggung Ratu Perut Bumi, dan
melingkarkan kedua tangannya ke leher wanita berda-
rah siluman itu.
Pendekar Bodoh memejamkan mata saat mera-
sakan tubuhnya terbawa melayang ke atas lalu menu-
kik cepat ke bawah. Sesaat kemudian, dia mendengar
suara bergemuruh. Dan, tubuhnya terasa melayang la-
gi, tapi kali ini seperti melalui jalan di bawah tanah
yang berkelok-kelok.
Tanpa membuka kelopak mata, Seno tahu ka-
lau dirinya tengah berada di dalam perut bumi. Dia

tengah melalui lorong-lorong panjang yang dibuat oleh
Ratu Perut Bumi.
Dua peminuman teh berlalu....
Mendadak, suara gemuruh yang didengar Seno
semakin keras. Tubuhnya terasa terbawa melesat naik
lalu ke bawah lagi. Lalu, suara gemuruh itu lenyap dan
tak muncul-muncul lagi. Kini, yang didengar Seno ha-
nyalah suara gemericik air dan kicauan beraneka jenis
burung.
"Buka matamu. Kita sudah sampai...."
Mendengar perintah Ratu Perut Bumi itu, pe-
lan-pelan Seno membuka kelopak matanya. Dia masih
khawatir apabila ada kotoran tanah yang akan masuk
ke mata.
Tapi setelah Seno benar-benar membuka kelo-
pak matanya, tahulah dia bila dirinya telah berada di
sebuah muara sungai berbatu-batu. Dan, di depan
pemuda itu terlihat sebuah lubang besar di tanah. Se-
no tahu kalau lubang itu adalah jalan keluar Ratu Pe-
rut Bumi yang menggendong dirinya, yang telah me-
nempuh perjalanan lewat jalan bawah tanah.
"Inikah tempat yang bernama Lembah Rongga
Laut itu...?" tanya Seno sambil meloncat turun dari
punggung Ratu Perut Bumi.
"Bukan," jawab Ratu Perut Bumi. "Muara sun-
gai ini hanya sekadar pintu luar untuk dapat menem-
bus Lembah Rongga Laut."
"Begitukah? Lalu, bagaimana aku bisa pergi ke
sana?"
"Telan dulu Kodok Wasiat Dewa yang kau bawa.
Setelah tenaga dalammu meningkat, akan kuberitahu-
kan bagaimana cara mendatangi Lembah Rongga
Laut."
Seno mengeluarkan kantong putih yang tersimpan di balik pakaiannya. Diambilnya Kodok Wasiat
Dewa yang berada di dalam kantong itu.
"Terima kasih, Ikan Mas Dewa...," desis Seno.
"Kau telah berbuat baik kepadaku. Benda pemberian-
mu ini akan segera ku telan.... Mudah-mudahan ber-
manfaat besar bagiku...."
Pemuda lugu itu menatap sebentar wujud Ko-
dok Wasiat Dewa yang berupa gumpalan sinar. Lalu,
dia pejamkan matanya seraya membuka mulut lebar-
lebar.
Slup...!
"Hkkk...!"
Kaget tiada terkira Seno. Kodok Wasiat Dewa
yang baru didekatkan ke bibir tiba-tiba lepas dari ce-
kalannya, dan meloncat masuk ke mulutnya, kemu-
dian amblas ke dalam perut.
"Astaga...!" kejut Seno.
Tubuh Pendekar Bodoh bergetar kencang. Dia
merasakan tubuhnya seakan membesar bengkak men-
jadi dua kali lipat dari ukuran semula. Hawa panas
berputar-putar di sekitar pusarnya. Lalu, hawa panas
itu berpencar ke seluruh aliran darah.
Tampak kemudian, tubuh Pendekar Bodoh se-
makin bergetar kencang. Karena kepanasan, segera
pemuda remaja itu bermandikan keringat. Tentu saja
keringat itu membasahi kain baju Seno. Dan... tanpa
disadari oleh Seno, terciumlah aroma wangi kayu cen-
dana yang membangkitkan gairah!
"Keanehan apa yang terjadi pada pemuda
itu...," gumam Ratu Perut Bumi.
"Setiap berkeringat, tubuhnya pasti menebar-
kan aroma wangi kayu cendana yang bisa membang-
kitkan gairah. Mungkinkah baju yang dikenakannya
adalah baju mustika...?"

Ratu Perut Bumi tak dapat menjawab perta-
nyaan yang ada di benaknya. Tapi, dia tak mau mem-
persoalkan hal itu. Sebelum gairah benar-benar men-
guasainya, bergegas wanita berdarah siluman itu men-
gerahkan ilmu 'Melebur Nafsu Membersihkan Jiwa',
hingga aroma wangi yang menebar dari baju Seno tak
berpengaruh apa-apa lagi terhadapnya.
"Uhhh..!?"
Mulut Pendekar Bodoh mengeluarkan suara ke-
luhan. Hawa panas yang dirasakannya telah lenyap.
Tapi sebagai gantinya, hawa dingin tiba-tiba
menyerang sekujur tubuhnya. Dan, menggigil kedingi-
nanlah dia. Barisan giginya yang bertautan memper-
dengarkan suara gemelutuk. Tubuhnya yang semula
terasa membesar, kini terasa mengecil dan kembali ke
ukuran semula.
Sebentar saja Seno merasakan siksaan itu. Tak
sampai dua puluh tarikan napas kemudian, dia mera-
sakan tubuhnya amat ringan dan segar-bugar. Wajah
pemuda itu pun tampak berseri-seri. Sorot matanya
bertambah tajam berbinar, pertanda tenaga dalamnya
telah meningkat beberapa tingkat.
"Pegang batu mustika 'Menembus Laut Berna-
pas Dalam Air' ini, Seno...," ujar Ratu Perut Bumi, me-
nyodorkan batu berbentuk lima segitiga di tangannya.
Pendekar Bodoh menerima batu mustika itu
tanpa berkata apa-apa. Setelah mengamatinya, dia
bertanya, "Aku harus berbuat bagaimana, Ratu?"
"Tempelkan batu mustika itu di pusar mu," beri
tahu Ratu Perut Bumi. "Jika kau telah merasakan tu-
buhmu tersedot oleh satu kekuatan yang tak tampak,
usahakan agar kau tak pingsan. Karena kalau ping-
san, bahaya besar tengah mengintai mu...."
"Lalu..., apa yang harus kuperbuat lagi?" desak

Seno.
"Kau tak perlu bertanya-tanya lagi. Kau akan
tahu sendiri. Batu mustika di tanganmu itu akan
membawamu ke Lembah Rongga Laut. Setelah berhasil
menyelamatkan Kemuning, batu mustika 'Menembus
Laut Bernapas Dalam Air' keluarkan dari dalam pe-
rutmu dengan menempelkan telapak tangan di pusar.
Kerahkan tenaga dalam yang bersifat menghisap....
Untuk pergi dari Lembah Rongga Laut, batu mustika
itu cukup kau cium. Tapi sebelumnya, suruh Kemun-
ing memegang salah satu bagian tubuhmu. Misalnya,
lengan atau apa...."
"Sebentar, Ratu...," sela Seno. "Kau katakan ta-
di, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'
harus ku keluarkan dari dalam perut, apakah batu
mustika ini bisa masuk sendiri ke perutku?"
"Begitulah," jawab Ratu Perut Bumi, singkat.
Seno nyengir kuda. Rasa heran menggeluti be-
naknya. Bagaimana mungkin sekepal batu yang tak
bernyawa bisa masuk ke perut? Apakah harus ku telan
dulu?
"Aku tahu pertanyaan yang ada di benakmu,
Seno," tebak Ratu Perut Bumi. "Pertanyaan itu akan
terjawab bila kau sudah menempelkan batu mustika
yang kau bawa itu ke pusar mu."
Seno mengangguk-angguk walau belum men-
gerti benar maksud ucapan Ratu Perut Bumi. "Kau
hendak ikut aku ke Lembah Rongga Laut, bukan?"
pintanya.
Ratu Perut Bumi menggeleng. "Jika ikut, aku
malah akan merepotkan mu. Bukankah kau sudah ta-
hu kalau aku tidak bisa mengerahkan tenaga dalam?"
"Tapi, Ratu...."
Seno hendak mengutarakan isi hatinya untuk

mendesak Ratu Perut Bumi agar ikut bersamanya ke
Lembah Rongga Laut, tapi manusia setengah siluman
itu keburu memotong.
"Sudahlah. Waktumu tak banyak. Kalau ter-
lambat, kau akan menyesal seumur hidup...."
Seno terdiam.
"Segera tempelkan batu mustika yang kau bawa
itu ke pusar mu," desak Ratu Perut Bumi kemudian.
Seno menatap lekat wajah manusia setengah
ular itu. Lalu, dia meraba pinggangnya. Setelah tahu
Tongkat Dewa Badai masih terselip di ikat pinggang,
dia berkata, "Aku akan segera pergi, Ratu. Andai nanti
umur kita sama panjang, aku akan membalas budi
baikmu ini...."
Bibir Ratu Perut Bumi menyungging senyum ti-
pis. "Kau telah menolongku untuk mendapatkan kem-
bali cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa', Kau tidak
berhutang budi kepadaku. Apa yang kulakukan ini
hanya untuk membalas budi baikmu itu... Nah! Seka-
rang, tunggu apa lagi?"
"Ya! Ya, Ratu.... "
Kembali Seno menatap wajah Ratu Perut Bumi.
Lalu, dia membuka kancing bajunya seraya menem-
pelkan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' ke pusar.
"Ya, Tuhan...."
Seno melonjak kaget. Tiba-tiba, batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' lenyap masuk ke
perutnya!
"Ratu...!" teriak Seno.
Murid Dewa Dungu itu hendak bertanya apa
yang tengah terjadi pada dirinya. Tapi, sosok Ratu Pe-
rut Bumi terlihat mengabur, lalu lenyap tanpa bekas!
Seno menyangka bila Ratu Perut Bumi dapat

menghilang. Dia tidak tahu bahwa dirinyalah justru
yang menghilang, tersedot oleh kekuatan gaib yang
berpendar dari batu mustika 'Menembus Laut Berna-
pas Dalam Air' yang telah berada di dalam perutnya.
"Semoga Tuhan Melindungimu, Seno...," desis
Ratu Perut Bumi yang sudah tak melihat sosok Pende-
kar Bodoh lagi.
Sejenak, wanita setengah siluman itu berdiri
termangu dalam kesendirian. Tapi setelah ingat pada
keadaan, bergegas dia melentingkan tubuhnya. Usai
menukik tajam, tubuh manusia berdarah siluman itu
amblas masuk ke dalam tanah!
***
DELAPAN


SENO merasakan tubuhnya terlontar amat ce-
pat. Matanya seakan telah buta karena apa yang dili-
hatnya hanya kegelapan. Pemuda remaja itu memekik
parau manakala tubuhnya direjam rasa sakit yang be-
nar-benar amat menyakitkan. Kedua tangan dan ka-
kinya tak dapat digerakkan lagi. Lumpuh! Dan, tena-
ganya pun bagai tersedot habis tanpa sisa. Tulang-
belulangnya juga terasa telah patah berantakan. Aliran
darah yang kacau membuat jantungnya berdetak lebih
cepat. Hingga, kepalanya terasa amat pening luar bi-
asa!
Antara sadar dan tidak, Seno teringat pesan
Ratu Perut Bumi yang mengatakan bahwa dia tak bo-
leh pingsan. Karena kalau pingsan bahaya besar akan
mengintai.
Oleh karena itu, Seno berusaha sekuat tenaga

untuk tetap sadar meskipun siksaan yang dirasakan-
nya hampir tak dapat ditahannya lagi.
Dicobanya untuk membentengi tubuhnya den-
gan ilmu 'Perisai Dewa Badai', tapi ilmu itu seakan te-
lah lenyap pula. Seluruh tenaga dalamnya hilang entah
ke mana!
"Ya, Tuhan...," sebut Seno dalam hati. "Andai
aku harus mati, aku rela asal Kau memberi ku kesem-
patan terlebih dulu untuk menunaikan kewajiban-
ku...."
Dengan menyebut nama Sang Penguasa Tung-
gal berkali-kali, Seno jadi bersikap pasrah. Karena
memang hidup mati manusia berada di tangan-Nya.
Dalam kepasrahan itulah Seno merasakan ketentera-
man. Pikirannya jadi jernih. Sedikit demi sedikit, rasa
pening di kepalanya berkurang. Berkurang pula semua
rasa sakit yang merejam tubuhnya.
Sesaat kemudian, mata Seno Jadi silau. Seber-
kas cahaya putih yang amat terang tiba-tiba menerpa
tubuhnya dari depan. Cepat Seno memejamkan mata
lagi karena takut cahaya yang amat menyilaukan itu
akan membutakannya.
"Ya, Tuhan...," kejut Seno.
Mendadak, hawa dingin menyerang. Lamat-
lamat Seno mendengar suara meletupnya gelembung-
gelembung air. Rasa sakit yang merejam hilang tiba-
tiba.
Seno memberanikan diri membuka kelopak ma-
ta. Dan....
"Astaga...!"
Pemuda remaja itu berseru kaget. Kain baju
dan celananya basah kuyup. Sementara, di hadapan-
nya terpampang beraneka jenis ikan. Batu karang dan
sulur-sulur tumbuhan berwarna-warni terpampang di

mana-mana.
Suara letupan gelembung itu semakin terden-
gar jelas. Mulut Seno terasa asin. Ketika membuka ma-
ta lebih lebar, tahulah Seno bila dirinya berada di da-
sar laut!
"Aneh! Bagaimana aku bisa berada di tempat
ini?" tanya Seno dalam hati. "Aku berada di dasar laut,
tapi kenapa mataku tak pedih? Dan, bagaimana pula
aku bisa bernapas dengan leluasa? Mungkinkan ini
berkat kesaktian batu mustika 'Menembus Laut Ber-
napas Dalam Air' yang telah masuk ke perutku?"
Karena tak lagi terserang rasa sakit, Seno men-
coba mengalirkan tenaga dalam ke pergelangan tan-
gan. Semuanya berjalan dengan lancar. Itu berarti ke-
kuatan tenaga dalam Seno telah kembali seperti sedia-
kala.
"Hmmm.... Inikah tempat yang bernama Lem-
bah Rongga Laut itu?" kembali Seno bertanya dalam
hati. "Apa yang kulihat hanya gundukan-gundukan
batu karang, tumbuhan laut, dan berbagai jenis ikan.
Lalu, di mana Kemuning?"
Seno menggerakkan tangan dan kakinya untuk
berenang. Tubuhnya melesat cukup cepat, meninggal-
kan suara berdebur di belakang. Diedarkannya pan-
dangan ke berbagai penjuru. Saat melihat sebuah lu-
bang besar di antara gundukan batu karang, matanya
sedikit berbinar.
"Mungkin Kemuning disekap Setan Selaksa Wa-
jah di gua itu...," pikir Seno. "Aku harus segera ke sa-
na."
Tak sabaran Seno menggerakkan tangan dan
kakinya agar segera sampai di gua yang dituju. Tapi
setelah berada di depan mulut gua itu, dia malah
menghentikan gerak tubuhnya. Keraguan menyeruak

masuk di benaknya. Bagaimana mungkin Kemuning
disekap di sebuah gua dalam laut? Apakah dia juga bi-
sa bernapas dalam air?
"Tak mungkin Kemuning berada di dalam gua
itu...," pikir Seno lagi. "Lewat cermin 'Terawang Tempat
Lewati Masa' yang dibawa Setan Selaksa Wajah, aku
melihat Kemuning berada di sebuah rawa-rawa. Gadis
itu tidak berada di dalam air...."
Menuruti pikirannya di benaknya, Seno menge-
darkan pandangan lagi. Dia jadi heran dan tak habis
mengerti. Apa sebabnya dia bisa mengarahkan pan-
dangan dengan jelas? Menurut penuturan orang-
orang, di dasar laut keadaan gelap gulita karena sinar
mentari tak dapat menerobos masuk.
"Heran aku...," ujar Seno dalam hati. "Aku tak
mempunyai ilmu tembus pandang, tapi kenapa pan-
danganku bisa amat jelas seperti ini? Apakah hal ini
juga berkat keajaiban batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air'?"
Tak mau Seno larut dalam keheranan. Dia ha-
rus bertindak cepat. Jiwa Kemuning harus segera dis-
elamatkan! Tapi, bagaimana bisa Seno menyelamatkan
Kemuning kalau dia tak tahu di mana gadis itu dis-
ekap?
Seno nyengir kuda beberapa lama. Sambil terus
berpikir-pikir, murid Dewa Dungu itu melongok mulut
gua yang berada di hadapannya. Seno pun membela-
lakkan mata karena terkejut. Dinding-dinding gua itu
dipenuhi lukisan yang menggambarkan sebuah keme-
wahan. Ada lukisan istana megah, takhta raja, tiara,
dan perhiasan intan berlian, serta lukisan barang atau
benda berharga lainnya.
Karena tertarik, tanpa sadar Seno memasuki
gua dalam laut yang tampak aneh itu. Sambil mengamat-amati lukisan, dia terus masuk makin ke dalam.
Diikutinya lorong gua yang berkelok-kelok. Hingga
sampai akhirnya....
"Tanpa izin Raja Penyasar Sukma, siapa pun
yang memasuki tempat ini akan menerima kematian!"
Terdengar suara keras menggelegar. Seno ter-
sentak kaget. Dari lorong depan tiba-tiba muncul so-
sok makhluk menyeramkan!
"Ya, Tuhan...," sebut Seno untuk kesekian ka-
linya.
Sosok makhluk yang mendatangi Pendekar Bo-
doh itu tubuh bagian bawahnya berupa ekor ikan, dan
bagian atasnya berbentuk kepala cumi-cumi. Anehnya,
di kepala makhluk itu terdapat bulatan merah bening
yang menonjol besar ke depan. Seno menduga bila bu-
latan itu adalah mata karena dapat berkedip-kedip.
Tapi, jumlahnya cuma satu. Sementara, di bawah mata
tunggal si makhluk mengerikan terdapat sebuah rong-
ga lebar. Di pinggirnya mencuat keluar dua taring se-
panjang satu jengkal. Itulah mulut si makhluk menge-
rikan. Walau makhluk itu tak punya kaki, tapi tan-
gannya ada delapan. Melolor panjang dan terus berge-
rak tiada henti!
"Siapa kau?!" tanya Seno tanpa sadar, tubuh-
nya bergetar, menyimpan rasa giris di hati.
Usai berkata, murid Dewa Dungu itu terserang
rasa heran lagi. Ternyata, dia pun bisa berkata-kata di
dalam air.
"Orang yang masuk ke tempat ini tak punya
hak bertanya!" seru makhluk bertangan delapan. "Apa-
lagi orang itu masuk tanpa izin Raja Penyasar Sukma.
Seperti kau, Bocah Gemblung! Cepat benturkan kepa-
lamu ke dinding gua agar aku tak perlu bersusah
payah mengeluarkan tenaga untuk membunuhmu!"

"Membunuhku?" sahut Pendekar Bodoh. "Apa
salahku? Aku bukan orang gila! Tak sudi aku mem-
benturkan kepalaku ke dinding!"
"Whrammm...!"
Mendadak, makhluk bertangan delapan meng-
geram keras sekali. Air bergelombang besar. Lukisan-
lukisan yang menempel di dinding gua kontan berge-
rak terayun-ayun. Sementara, bongkah-bongkah batu
karang di dasar gua tampak menggelinding ke sana-
sini.
"Aku tahu kau marah," ujar Seno, kebodoh-
bodohan. "Tapi, aku datang bukan dengan maksud bu-
ruk. Aku harus menyelamatkan seorang temanku yang
disekap di suatu tempat bernama Lembah Rongga
Laut...."
"Kau punya maksud baik ataupun buruk, sama
saja! Kau tetap akan mati!" sahut makhluk bertangan
delapan.
"Tapi, aku harus menyelamatkan temanku,..,"
desak Pendekar Bodoh.
"Kau jangan membual!" sentak makhluk ber-
tangan delapan. "Tanpa bantuan Setan Selaksa Wajah,
tak satu pun manusia dapat bertahan hidup di Lem-
bah Rongga Laut!"
"Ya! Ya, betul! Temanku itu diculik dan disekap
oleh Setan Selaksa Wajah!" seru Seno, sedikit melen-
ceng dari arah pembicaraan si makhluk mengerikan
yang berada di hadapannya.
"Jangan banyak mulut lagi! Persetan dengan
temanmu itu! Aku harus segera membunuhmu! Kalau
Raja Penyasar Sukma tahu ada di tempat ini, aku sen-
diri yang akan celaka!"
Usai berkata, makhluk bertangan delapan
menggerakkan ekornya. Tiba-tiba, dua di antara delapan tangannya melesat cepat hendak menangkap tu-
buh Seno. Timbul suara gemuruh keras, pertanda dua
tangan si makhluk mengerikan mempunyai tenaga
yang amat kuat.
Tak mau mendapat celaka, bergegas Seno me-
lentingkan tubuhnya ke kiri. Namun, dua tangan lain
milik si makhluk mengerikan berkelebat menghadang.
Satu hendak menggedor dada, satunya lagi hendak
meremukkan batok kepala!
"Terpaksa aku melawanmu, Makhluk Buruk!"
Sambil berseru demikian, Pendekar Bodoh
mencabut Tongkat Dewa Badai yang terselip di ikat
pinggangnya. Dua tangan si makhluk mengerikan
hendak dibabatnya sampai putus!
Pluk!
Melonjak kaget Seno. Senjata mustika di tan-
gannya terpental seperti membentur karet yang amat
kenyal. Tangan si makhluk mengerikan ternyata tak
mempan dibabat Tongkat Dewa Badai. Padahal, baba-
tan senjata mustika itu sudah cukup mampu memo-
tong balok baja bergaris tengah dua jengkal!
"Kau harus mati! Kau harus mati!" geram mah-
luk bertangan delapan.
Kini, makhluk yang kulit tubuhnya kasar bersi-
sik itu menyerang Seno dengan gencar. Kedelapan tan-
gannya berkelebatan semua. Tak ayal lagi, gelombang
besar muncul. Tubuh Seno terombang-ambing, hingga
tak punya kesempatan untuk balas menyerang. Ber-
tempur dalam air, Seno tak dapat mengeluarkan ilmu
peringan tubuhnya yang bernama 'Lesatan Angin me-
niup Dingin'.
Karena Tongkat Dewa Badai tak dapat menda-
tangkan manfaat, maka jalan satu-satunya bagi Seno
untuk dapat memberi perlawanan adalah menunjuk

kan kekuatan tenaga dalamnya.
Pada saat delapan tangan si makhluk mengeri-
kan mengepung Seno dari berbagai penjuru, tanpa pi-
kir panjang lagi murid Dewa Dungu itu melepas puku-
lan 'Dewa Badai Rontokkan Langit'!
Kedahsyatan ilmu pukulan yang berasal dari
Kitab Sanggalangit itu tak dapat diukur lagi. Apalagi,
Seno telah mendapat tambahan tenaga dalam dari Ko-
dok Wasiat Dewa yang baru saja ditelannya. Maka, di
lain kejap terdengar suara ledakan amat keras. Gelom-
bang besar menyerbu. Bongkah-bongkah batu karang
berpentalan. Lukisan-lukisan di dinding gua langsung
ambyar menjadi serbuk halus!
Tapi..., makhluk bertangan delapan yang terke-
na dengan telak pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Lan-
git' cuma tersurut mundur. Tak sedikit pun mendapat
luka!
"Astaga...!" kejut Seno dengan bola mata melo-
tot besar.
Kalut dan bingung segera menyerbu ke hati sa-
nubari Pendekar Bodoh. Makhluk bertangan delapan
selain kebal terhadap babatan Tongkat Dewa Badai,
juga tak mempan pukulan 'Dewa Badai Rontokkan
Langit', apa lagi yang dapat dilakukan Seno untuk
memukul roboh makhluk mengerikan itu?
"Sampai di mana pun kehebatan makhluk cip-
taan Tuhan, dia pasti punya kelemahan...," pikir Seno,
menenteramkan dirinya sendiri. "Aku harus menemu-
kan kelemahan makhluk itu!"
Tongkat Dewa Badai tetap tercekal di tangan
kanan, pemuda berpakaian biru-biru itu mendahului
menerjang. Tapi, tanpa diketahui oleh Seno, delapan
tangan si makhluk mengerikan molor panjang. Dan
sebelum serangan pemuda itu membuahkan hasil, tubuhnya telah tercengkeram!
Seno memekik keras. Tubuhnya terasa dijepit
balok-balok baja yang amat kuat. Lalu, terdengar sua-
ra berkerutukan. Seno pun mendelik ngeri karena tu-
lang-belulangnya hendak hancur berantakan!
Sebelum hal yang mengidikkan itu terjadi, Pen-
dekar Bodoh mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Dengan Ilmu 'Perisai Dewa Badai' dia ber-
maksud melindungi tubuhnya. Namun, ternyata ilmu
kebal itu pun tak berguna apa-apa. Suara berkerutu-
kan terus terdengar. Tulang-belulang Seno benar-
benar hendak remuk!
Namun pada saat-saat yang amat menegangkan
itu, tiba-tiba tubuh Seno diselubungi cahaya kuning
keemasan. Lalu, terdengar suara pekik kesakitan dari
mulut makhluk bertangan delapan! Cengkeramannya
pada tubuh Seno lepas. Dan, Seno pun terbelalak pe-
nuh rasa tak percaya. Kedelapan tangan si makhluk
mengerikan tiba-tiba meledak hancur menjadi serpi-
han daging berbau anyir!
Apa yang terjadi?
Tanpa disadari oleh Seno, batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang berada di
dalam perutnya menciptakan satu kekuatan maha
dahsyat. Batu mustika itu bisa begitu karena Seno te-
lah lebih dulu menelan Kodok Wasiat Dewa. Tanpa
disadari pula oleh Seno, kedua benda yang amat lang-
ka itu menyatu. Saat tubuh Seno hendak diremas
hancur oleh makhluk bertangan delapan, kekuatan
yang tercipta dari penyatuan kedua benda langka itu
terdesak keluar. Akibatnya, kedelapan tangan si mak-
hluk mengerikan hancur berantakan!
"Aku selamat! Aku selamat!" Pendekar Bodoh
berseru girang walau tak tahu apa yang telah terjadi

pada dirinya. Selagi makhluk bertangan delapan me-
lonjak-lonjak kesakitan, Seno melentingkan tubuhnya,
terus masuk ke rongga gua bagian dalam. Kini, dia ya-
kin bila Lembah Rongga Laut berada di salah satu ba-
gian gua itu. Karena, kalau Lembah Rongga Laut tidak
berada di gua itu, untuk apa dijaga oleh sesosok mak-
hluk yang memiliki kekuatan hebat?
Semakin lama Pendekar Bodoh bergerak me-
masuki lorong gua, dia semakin menambah kewaspa-
daan. Tak seberapa lama kemudian, tanpa terasa Seno
bergerak ke atas. Hingga di lain kejap, kepala Seno
menyembul ke permukaan air!
"Astaga...!" kesiap Seno.
Pemuda remaja itu mendapati dirinya berada di
suatu tempat berawa-rawa. Bergegas Seno berenang
menepi. Diselipkannya Tongkat Dewa Badai ke ikat
pinggang karena tampaknya tempat berawa-rawa yang
telah didatanginya itu amat sunyi, tak ada makhluk
lain. Sehingga, Seno yakin bila tak ada bahaya lagi.
"Aku yakin inilah tempat yang bernama Lem-
bah Rongga Laut," pikir Seno. "Keadaan tempat ini sa-
ma persis dengan tempat yang kulihat melalui cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa'."
Bola mata Pendekar Bodoh melotot besar ma-
nakala melihat sesosok tubuh digantung di dahan po-
hon yang melengkung ke tengah rawa-rawa. Sosok
orang yang digantung dalam keadaan terikat dan mu-
lut terbungkam sehelai sapu tangan itu berpakaian
serba kuning. Kulit tubuhnya putih halus. Dia seorang
gadis cantik yang tak lain dari Kemuning atau Dewi
Pedang Kuning!
Yang mengerikan, di bawah kaki Kemuning
yang terselonjor lurus, terdapat belasan buaya lapar
yang siap mencabik-cabik tubuh murid Dewi Pedang

Halilintar itu! Sementara, beberapa ekor tikus kuning
tampak sedang mengerati tali pengikat kedua tangan
Kemuning yang disatukan dengan dahan pohon. Apa-
bila tali itu putus, tubuh Kemuning akan jatuh terce-
bur ke rawa-rawa! Dan, apa yang selanjutnya terjadi
sudah bisa dibayangkan. Belasan buaya lapar akan
segera berpesta pora!
Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar Bodoh me-
loncat. Tubuhnya melayang cepat, dan hinggap di da-
han pohon tempat Kemuning digantung. Beberapa
ekor tikus yang hendak mengerat putus tali pengikat
tubuh gadis itu langsung ditendangnya hingga terpen-
tal jauh, dan tercebur ke rawa-rawa. Lalu, dibawanya
tubuh Kemuning ke tempat lain. Buaya-buaya yang
tengah menunggu jatuhnya tubuh Kemuning cuma
dapat menatap penuh kekecewaan.
"Kemuning! Kemuning!" panggil Seno, tergeluti
rasa senang bercampur khawatir.
Setelah membaringkan tubuh Kemuning ke ta-
nah berumput, Pendekar Bodoh melepas ikatan di ke-
dua tangan dan kaki gadis itu. Dilepasnya pula sehelai
sapu tangan yang menutupi mulut si gadis. Usai diberi
beberapa totokan, perlahan-lahan kelopak mata Ke-
muning terbuka. Segera gadis itu tersadar dari ping-
sannya. Begitu melihat seraut wajah tampan milik Se-
no, dia langsung bangkit seraya memeluk pemuda
yang telah manyelamatkannya itu.
"Seno.... Seno...," sebut Kemuning. "Aku takut
sekali, Seno. Bawa aku pergi dari tempat ini...."
"Tenanglah. Kau telah selamat. Tanpa kau min-
ta, aku pasti membawamu pergi," sahut Seno.
Kemuning menatap lekat wajah Pendekar Bo-
doh. Dia tumpahkan tangis kebahagiaan dalam pelukan si pemuda...

                     SELESAI


Segera terbit!!!

KSATRIA SERIBU SYAIR


Share:

0 comments:

Posting Komentar