Pengantar
Dalam cerita “Kobaran Api Asmara” telah diceritakan
tentang terjadinya persaingan cinta segitiga, yang
berakibat Kebo Pradah dan Tanu Pada mati oleh
perbuatan Kaligis dan Sangkan. Maksudnya apabila Tanu
Pada dan Kebo Pradah sudah dapat disingkirkan, Kaligis
dan Sangkan akan bisa mendapatkan cinta kasih dari
Sarindah dan Sarwiyah.
Akan tetapi perhitungan Sangkan dan Kaligis keliru.
Sarindah dan Sarwiyah tidak juga mau memalingkan muka
kepada dua orang pemuda tersebut dan malah kemudian
mencurigai.
Di saat seperti itu, tiba-tiba tokoh sakti bernama Julung
Pujud muncul. Kemudian secara terang-terangan, Julung
Pujud melamar Sarwiyah untuk diperisteri oleh muridnya,
bernama Warigagung
Akibat dari peristiwa ini, Sarindah menjadi marah dan
benci setengah mati kepada semua orang. Secara diam-
diam gadis ini kemudian pergi meninggalkan rumah.
Maksudnya jelas, akan mencari Tanu Pada yang dicintai
itu, karena waktu tiga bulan bertugas sudah selesai, belum
juga pulang. Tetapi sudah tentu keinginan Sarindah ini
tidak bedanya dengan menggantang asap karena Tanu
Pada sudah mati terbunuh oleh Kaligis dan Sangkan.
Nah, dalam cerita "Persekutuan Dua Iblis" ini, Sarindah
mengalami berbagai peristiwa yang tidak pernah diharap-
kan sejak meninggalkan rumah.
***
1
Hari sudah sore. Di ruang depan, tokoh sakti berjuluk
Si Tangan Iblis mengelu-elukan tamunya dengan
wajah berseri dan mulut selalu tertawa. Betapa
tidak!?? Ikatan pertunangan antara Warigagung dengan
cucunya, Sarwiyah, berarti antara dirinya dengan tokoh
sakti Julung Pujud terikat sebagai keluarga.
Padahal sudah sejak lama ia mendidik semua murid dan
tiga orang cucunya, Sarindah, Sarwiyah maupun Sentiko
(yang pergi diam-diam untuk memusuhi Gajah Mada dan
Mpu Nala, dan belum diketemukan kembali ) adalah agar
dapat membalas dendam kepada dua orang tokoh
Majapahit, Gajah Mada dan Mpu Nala. Dan karena dalam
menanamkan kebencian itu disertai dengan fitnah yang
dapat membangkitkan marah, menyebabkan dendam tiga
orang cucu ini setinggi gunung. Maka dengan tambahnya
tenaga, Julung Pujud dan muridnya ini, Si Tangan Iblis
merasa pasti akan dapat membalas dendam.
Sebaliknya, Julung Pujud yang sejak muda juga mem-
benci kepada Gajah Mada dan Majapahit, juga menjadi
gembira sekali sebab ia merasa amat beruntung, dapat
menemukan gadis cantik cucu Si Tangan Iblis yang ber-
nama Sarwiyah ini tidak ada celanya menjadi isteri murid-
nya. Betapa tidak?!? Selain cantik juga halus, jujur, lemah
lembut dan tentu akan setia sebagai isteri.
Julung Pujud memandang muridnya yang diperintahkan
duduk berdampingan dengan Sarwiyah, penuh perhatian.
Namun demikian kakek kerdil ini diam-diam geli, kemudian
ia terkekeh tertawa, melihat sikap dua orang muda itu.
Ternyata baik Sarwiyah maupun Warigagung walaupun
duduk berdampingan, mereka menundukkan kepala dan
duduk berdiam diri bagai arca.
“Heh… heh… heh… heh, Gagung,” katanya. “Mengapa
sebabnya kau seperti patung dan membiarkan calon
isterimu juga seperti arca batu? Heh… heh… heh… heh,
engkau jangan menyebabkan calon isterimu menjadi malu.
Hayo Gagung, ajaklah dia bicara!”
Si Tangan Iblis geli juga melihat dua orang muda itu
duduk bagai patung. Katanya, “Wiyah! Mengapa kau
begitu? Engkau harus amat bahagia, menjadi calon isteri
Warigagung dan calon menantu Kakang Julung Pujud,
orang paling sakti di dunia saat ini. Ha… ha… ha… ha,
kedudukanmu akan terhormat dan semua orang takkan
berani sembarangan dan mengganggu. Dayu Wiyah,
engkau harus pandai menempatkan dirimu sebagai pihak
tuan rumah. Ajaklah berbicara agar hubunganmu menjadi
lebih erat. Calon suami-istri, kamu tidak boleh malu-malu!
Akan tetapi Sarwiyah tidak juga menyahut. Ia malah
semakin tunduk sambil mempermainkan jari tangannya,
yang runcing dan halus itu. Hatinya sekarang ini tidak
karuan. Mengapa yang terjadi harus seperti ini? Harus
menjadi calon isteri seorang pemuda yang belum pernah ia
kenal dan di luar harapannya pula? Mengapa bukan kakak
perempuannya yang bernama Sarindah yang lebih dahulu
mempunyai calon suami? Bukankah seharusnya Sarindah
yang lebih tua kawin lebih dulu?
Padahal sudah sejak lama, dirinya sudah mengikat janji
dengan pemuda yang menarik hatinya, Kebo Pradah, yang
murid kakeknya sendiri.
Lalu bagaimanakah dengan pemuda itu, apakah Kebo
Pradah tidak menjadi patah hati, dirinya dipertunangkan
dengan pemuda lain? Ahh, ia menjadi sedih apabila ingat
kepada kebo Pradah yang dicintai itu.
“Kakang Pradah, mengapa harus begini?” rintihnya
dalam hati. “Telah lama kila saling berjanji untuk menjadi
suami-isteri. Namun nyatanya Kakekku sekarang malah
mempertunangkan diriku dengan orang lain. Kakang, aku
mati saja!”
Akan tetapi bagaimanapun ia tidak berani mengemuka-
kan perasaannya itu dan juga tidak berani membantah.
Walaupun dalam hati menentang dan tidak setuju, tetapi ia
seorang cucu yang selalu patuh dan setia kepada kakek-
nya. Maka kemudian terpikir, apabila yang terjadi sekarang
ini sesuai dengan cita-cita luhur dari kakeknya, dan demi
kepentingan keluarga, walaupun hatinya menangis namun
ia bersedia mengorbankan kepentingan sendiri.
Dan sekarang ini kakeknya menyudutkan dirinya. Mana-
kah mungkin? Dirinya seorang gadis, tetapi kakeknya
memerintahkan seperti itu. Apakah dirinya harus ber-
inisiatif dan mendahului si pemuda? Tidak! Karena
Warigagung tidak mengajak bicara, maka iapun tidak mau
membuka mulut.
Akan tetapi sebaliknya orang-orang sakti yang wataknya
aneh dan mengakui sendiri dirinya dari golongan sesat,
maka Si Tangan Iblis dan Julung Pujud tidak mau meng-
acuhkan tatakrama dan norma kesopanan umum lagi.
Sebab menurut pendapat dua kakek ini, aturan-aturan
yang dibuat manusia hanyalah mengikat kehebasan hidup.
Oleh karena itu ketika melihat Warigagung dan Sarwiyah
masih tetap duduk tanpa berani saling pandang, dua orang
kakek ini kemudian saling pandang dan saling memberi
isyarat dengan mata. Tahu-tahu dua orang kakek ini
dengan gerakan amat ringan sudah berada di samping
muda-mudi itu. Si Tangan Iblis segera memondong cucunya
didudukkan di pangkuan Warigagung, dan sebaliknya
Julung Pujud segera melingkarkan lengan Warigagung ke
leher Sarwiyah
Akibatnya Sarwiyah menjerit kecil tetapi tak mampu
melawan. Demikian pula Warigagung terbelalak kaget.
Iapun ingin memberontak tetapi tidak bisa. Sebab mereka
sudah dilumpuhkan tanpa bisa melawan lagi.
Julung Pujud dan Si Tangan Iblis terkekeh dan gembira
sekali melihat Sarwiyah duduk di pangkuan Warigagung.
Wajah dua orang muda ini saling berhadapan sekalipun
duduk Sarwiyah miring.
Dan atas perlakuan dua orang kakek ini, Sarwiyah ingin
menangis saking malu. Akan tetapi Sarwiyah terpaksa
menahan perasaan ini karena tahu akan akibatnya. Kakek
nya akan marah dan tentu menuduh dirinya menentang
keputusan kakeknya.
Ia justru sudah memutuskan dalam hati untuk melupa-
kan Kebo Pradah dan sekarang mengorbankan dirinya
demi kepentingan keluarga. Disamping itu iapun ber-
perasaan halus dan cerdik. Maka ia mengerti, saat
sekarang ini dirinya harus pandai memenangkan hati
Julung Pujud. Ia tidak boleh main-main lagi menghadapi
Warigagung sebagai calon suaminya. Maka dalam keadaan
tubuhnya belum bisa digerakkan ini, ia menggunakan
sepasang matanya untuk memandang Warigagung dan
kemudian bihirnya yang merah merekah itu tersenyum.
Adalah Warigagung yang menjadi gelagapan, bertatap
pandang dengan wajah molek dalam jarak amat dekat,
ditambah melihat pula sepasang bibir merah merekah itu
tersenyum. Maka hati Warigagung menjadi tidak karuan
rasanya, dan jantung pemuda ini berdenyutan seperti mau
copot. Maklum, kendati Warigagung merupakan pemuda
dari golongan hitam, liar dan ganas jika berhadapan
dengan lawan, namun ia seorang pemuda yang selalu
menghormat dan menghargai setiap wanita. Maka selama
ini ia memandang wanita sebagai mahkluk yang terlalu
mulia dan perlu dihormati.
Ia tidak pernah berdekatan dengan wanita, baik kepada
nenek-nenek dan lebih lagi terhadap wanita muda.
Demikian pula ia juga tidak pernah berdekatan dengan
gadis-gadis cantik seperti Sarwiyah ini. Akibat dari semua
itu mulut Warigagung seperti terkunci. Perasaan dalam
dadanya tidak karuan dan jantungnya melonjak-lonjak.
Rasa tubuhnya meriang, namun ia terpikat perhatiannya
kepada wajah Sarwiyah yang ayu itu, di samping tanpa
disadari menyelinap pula perasaan bahagia yang belum
pernah ia rasakan. Maka walaupun tubuhnya sekarang
sudah pulih kembali dan dapat digerakkan, sudah tidak
lumpuh lagi, ia tidak berusaha menarik kembali tangannya
yang memeluk Sarwiyah.
Menurut perasaannya, sekarang ialah tidak ingin lagi
melepaskan leher yang lembut dan halus yang kuasa
menebarkan kehangatan yang sulit dilukiskan, disamping
tercium pula bau yang harum dari rambut.
Sarwiyah juga seorang gadis yang belum pernah duduk
di pangkuan seorang pemuda, sekalipun ia pernah
menyatakan cinta kasihnya kepada Kebo Pradah, tetapi
selama ini pergaulannya terbatas. Paling banter mereka
hanya bisa saling pandang dengan tatapan mesra dan
paling banter hanya saling bersentuh lengan. Semua itu
tidak lain karena Sarwiyah hati-hati menghadapi kakeknya.
Oleh karena itu dalam dada gadis itupun timbul
perasaan yang tidak karuan. Malu, berdebar, tetapi juga
menyelinap rasa bahagia yang sulit dilukiskan. Rasa
bahagia yang didorong oleh tekadnya ingin mengorbankan
diri guna kepentingan keluarga. Guna kepentingan ter-
capainya cita-cita kakeknya membalas dendam kepada
orang-orang yang menurut keterangan kakeknya, sudah
membunuh ayah-bundanya. Yang sudah menyebabkan
keluarganya berantakan, dan yang sudah menyebabkan
dirinya tidak berayah dan tidak beribu lagi.
Oleh dorongan keinginannya berkorban demi keluarga
ini, ia melupakan jalan hidup yang pernab dilalui. Tidak
peduli bagaimanakah calon suaminya ini. Dan yang jelas
dirinya harus dapat menjadi seorang isteri setia. Itulah
sebabnya gadis ini memandang wajah Warigagung mesra
sekali kemudian tersenyum manis. Malah setelah ia
merasa kelumpuhannya sudah pulih, ia lalu membalas
memeluk Warigagung dan seterusnya menyembunyikan
wajahnya di dada pemuda itu.
Sarwiyah dapat menduga secara pasti, dengan per-
buatannya ini akan dapat membuat kakeknya puas dan
Julung Pujud tentu gembira.
Dugaannya temyata benar. Dua orang kakek ini ter-
kekeh sambil berjingkrakan seperti anak kecil. Lalu mereka
saling raugkul masih sambil tertawa-tawa. Mereka
menyambut gembira akan sikap Sarwiyah yang menunjuk-
kan cinta kasihnya kepada Warigagung.
Akan tetapi sebaliknya Warigagung menjadi gelagapan
tidak karuan perasaannya. Walaupun antara wajah
Sarwiyah dengan dadanya hanya terpisah oleh lapisan
baju, namun dengus napas Sarwiyah seperti mengusap
kulit dadanya. Jantungnya berdebar tidak keruan dan rasa
tubuhnya meriang.
Bagaimanapun sebagai seorang gadis yang berperasaan
halus, Sarwiyah menjadi malu sendiri setelah melakukan-
nya. Sebab apa yang sudah dilakukan tadi sebenarnya
bukan atas kehendak sendiri dan juga bukan desakan hati
yang kasih, melainkan hanya dalam usaha membuat
kakeknya senang. Maka sesudah dua orang kakek itu ber-
jingkrakan gembira, Sarwiyah segera melepaskan lengan
Warigagung yang melingkar di leher, kemudian duduk di
tempat semula.
Mereka sekarang duduk berdampingan. Tetapi sekali-
pun demikian sudah menjadi lain. Kalau tadi dua orang
muda ini duduk sambil menundukkan muka, sekarang
tidak lagi, sedang letak duduknya juga berubah. Duduk
mereka sekarang merapat dan berkali-kali mereka saling
pandang disertai bibir tersenyum.
Tak lama kemudian Warigagung memberanikan diri ber-
tanya, tetapi suaranya menggeletar, “Sarwiyah, apakah
engkau mencintai aku?”
“Hemm,” Sarwiyah menghela napas pendek. “Mengapa
sebabnya engkau masih perlu.... bertanya? Engkau sudah
dijodohkan dengan aku dan tidak bisa ditolak. Maka
akupun... jadiriya aku dan kau harus menjadi suami-isteri.”
Warigagung menghela napas pendek. Kenyataan yang
dialami dan terjadi dalam lingkungannya, perjodohan
antara gadis dengan jejaka tidak bebas. Mereka harus
tunduk kepada pilihan orang tua dan tidak boleh
membantah walaupun antara si gadis dan jejaka belum
pernah kenal.
Akibat dari sernua itu maka banyak sekali terjadi antara
suami dan isteri, baru bisa rukun setelah lewat beberapa
hari, minggu atau bulan. Disamping itu juga tidak sedikit
pula terjadi, perkawinan itu berakhir dengan perceraian,
karena si isteri tidak mau melayani suami dan tidak
mencintai. Akibatnya walaupun sudah disebut janda tetapi
perempuan yang sudah kawin itu masih merupakan
seorang gadis suci.
Dan Warigagung juga tidak tahu apa sebutan per-
kawinan yang selalu terjadi dalam masyarakat. Tetapi yang
jelas perkawinan itu tidak dilambari oleh rasa cinta kasih
lebih dahulu. Rasa cinta baru tumbuh setelah mereka
disebut sebagai suami-isteri.
Hal-hal yang terjadi di sekitamya itu sekarang terjadi
pula atas dirinya. Antara dirinya dengan Sarwiyah
dijodohkan tanpa lambaran cinta kasih. Dan kenalpun baru
setengah hari, diawali dengan perkelahian.
Ia juga tidak tahu apakah mencintai Sarwiyah atau tidak.
Yang jelas ia hanya merasa bahagia, dapat duduk ber-
dampingan dengan Sarwiyah yang cantik ini.
Tetapi tiba-tiba Warigagung ingat akan sikap Sarwiyah
ketika secara terang-terangan rnembela dirinya di depan
Sarindah. Teringat sikap itu, kemudian ia bertanya.
Sarwiyah, apakah sebabnya engkau jadi membela diriku?
Malah engkau juga menentang kemauan kakakmu?
Apakah itu merupakan permulaan rasa.... cinta kasihmu
kepada diriku ?
Sarwiyah tersenyum. Tentu saja bukan soal itu yang
menjadi penyebab. Tetapi karena Warigagung ia anggap
tidak bersalah, dan sebaliknya kakaknya sendiri yang ter-
lalu sombong dan mau menang sendiri. Oleh sebab itu
orang yang tak bersalah harus ia bela.
Tetapi di samping itu Sarwiyah memang juga tertarik
oleh sikap Warigagung yang mau mengalah dan meng-
hormati perempuan. Selama ini ia belum pernah bertemu
dengan pemuda bertabiat seperti Warigagung ini. Namun
benarkah itu merupakan permulaan rasa cinta? Ia tidak
tahu.
Namun yang jelas, kalau tidak dipaksa oleh keadaan
dan rasa pengorbanan demi tercapainya cita-cita mem
balas sakit hati, tentu saja ia memilih Kebo Pradah.
“Sudahlah Kakang...” sahutnya lirih, sekarang tidak
perlu diurus lagi tentang soal itu. Pendeknya didasari cinta
atau tidak.... kita ini merupakan calon suami isteri. Lalu
bagaimanakah perasaanmu.......?
“Warigagung sendiri sebenamya belum pemah memikir-
kan wanita. Akibatnya ia tidak cepat dapat menjawab.
Namun demikian sesuai dengan wataknya yang aneh,
amat memuliakan dan menghormati wanita, ia tidak ingin
membuat hati wanita tidak senang.
“Hemm, tentu saja!” jawabnya. “Aku bahagia sekali
menjadi calon suamimu, Sarwiyah. Siapakah yang tidak
beruntung mempunyai calon isteri yang cantik, halus dan
menyenangkan seperti engkau ini?”
Manakah ada orang yang tidak menjadi senang oleh
pujian? Manakah ada orang tidak menjadi besar hati kalau
dikatakan cantik dan menyenangkan? Demikian pula
Sarwiyah, ia menjadi bangga dan kemudian tanpa malu-
malu lagi ia meletakkan kepalanya ke pundak pemuda itu.
Sikap gadis ini malah seperti pamer kepada kakeknya mau
pun calon mertuanya, bahwa dirinya mencintai calon
suaminya.
Warigagung sendiri menjadi tidak karuan perasaannya
ketika pundaknya ditindih oleh kepala Sarwiyah ini. Mula-
mula ia diam saja, tegang dan berdebar. Namun sesaat
kemudian tangannya bergerak. Yang kanan memeluk
pinggang dan yang kiri mengusap-usap jari tangan dan
punggung telapak tangan Sarwiyah.
Julung Pujud dan Si Tangan Iblis menjadi semakin
gembira melihat dua orang muda yang dijodohkan itu
sudah menunjukkan sikap mesra.
Tiba-tiba Julung Pujud ketawa terkekeh, lain katanya,
“Heh… heh… heh… heh, Tangan Iblis! Apakah engkau
mengundang aku hanya dengan cara ini, tanpa engkau
hidangkan tuak wangi dan keras?”
Si Tangan Iblis baru teringat kedudukannya sebagai
tuan rumah. Lalu ia memalingkan muka ke arah Sarwiyah,
bertanya. “Hai Wiyah! Kemanakah mbakyumu? Hayo
perintahkan dia mengambil tuak wangi!”
Sarwiyah mcngangguk, lalu ia minta diri kepada
Warigagung dengan pandang mata mesra dan bibir ter-
senyum, namun tidak mengucapkan apa-apa. Warigagung
maklum dan mengangguk. Kemudian Sarwiyah pergi ke
belakang.
Akan tetapi Sarindah tidak ditemukan. Para pembantu
perempuan yang sibuk masak tidak dapat menerangkan,
sedang para muridpun tidak bisa menjawab. Karena
Sarindah tidak ada, ia lalu mengambil sendiri tuak
simpanan kakeknya. Kemudian ia memerintahkan seorang
pelayan wanita agar membawa tuak simpanan itu ke ruang
depan untuk dihidangkan kepada tamu.
Setelah memberi perintah agar semua hidangan
disiapkan, maka Sarwiyah kembali ke ruang depan. Ia
memberi laporan kepada kakeknya, bahwa Sarindah tidak
ada dan tidak seorang pun tahu kemana pergi.
Si Tangan Iblis rnengerutkan alis. Hatinya tidak senang
mengapa di saat seperti itu Sarindah malah pergi? Namun
karena dirinya sedang sibuk menerima Julung Pujud, maka
hal ini tidak dipusingkan lagi. Ia kemudian terlihat dalam
pembicaraan yang asyik dengan Julung Pujud. Sedangkan
Sarwiyah karena dalam ruangan ini ada orang lain yang
hadir, tidak berani duduk kembali dan berhimpitan dengan
Warigagung dan malah membantu mengatur hidangan.
Tiga orang pelayan wanita masuk membawa baki berisi
makanan dan nasi panas mengepul di samping pula
minuman kopi panas. Namun Sarwiyah menjadi heran,
mengapa pelayan yang tadi diperintahkan supaya cepat
membawa tuak simpanan untuk hidangan tamu, malah
belum tampak? Mengapa bisa terlambat? Ia segera ber-
tanya kepada pelayan yang lain. Kemudian ia mendapat
keterangan, pelayan yang dimaksud sedang menuju ruang
depan.
Apakah sebenarnya yang terjadi? Kelika pelayan ini
sudah membawa tuak tersebut menuju ruang depan,
dicegat oleh Kaligis dan Sangkan. Dan sambil mengancam,
Sangkan segera merebut Guci tempat tuak. Ia membuka
penutup guci, lalu memasukkan bubuk obat ke dalam guci.
Setelah ditutup lagi dan diguncang sebentar guci di-
kembalikan kepada si pelayan.
“Bawalah ke depan dan suguhkan kepada tamu!
katanya mengancam. Tetapi huh, engkau tidak boleh
bicara, bahwa aku sudah mencegat kau. Jika engkau
berani membuka mulut, awas! Engkau akan kami
perlakukan seperti bukan manusia lagi. Tahu? Engkau
akan aku siksa, mati tidak dan hidup pun tidak. Tahu?
Engkau pasli kuculik lalu kubawa ke dalam hutan. Di sana,
kau akan aku telanjangi, lalu nodai bersama kawanku lebih
dahulu sampai puas. Sesudah kami puas baru kau akan
kusiksa. Seluruh tubuhmu akan kami siram dengan air gula
dan semut akan segera berdatangan untuk mengeroyok
kau. Hemm, engkau tentu akan menderita hebat sekali
sebelum mampus. Tahu?”
Pelayan ini ngeri dan ketakutan setengah mati men-
dengar ancaman itu. Ia gemetaran, wajahnya pucat dan
kemudian jawabnya tidak lancar, “Ampun... jangan...!
Aku.... aku takkan bicara!
Hati dua orang muda itu lega, kemudian secepatnya
menyelinap ke tempat gelap dan pergi. Dua orang muda ini
menyeringai seperti iblis. Mereka sudah menduga pasti,
yang minum tuak akan segera mati oleh racun. Oleh
karena itu mereka gembira sekali, sebab dengan demikian
akan dapat menggagalkan semua rancangan guru mereka.
Ketika si pelayan masuk ruangan, Julung Pujud yang
amat gemar minum tuak itu, sudah ngiler. Ia melompat
kemudian menyambar guci sebelum diserahkan oleh
pelayan.
Melihat sikap Julung Pujud itu Si Tangan Iblis terkekeh
senang. Bagi dirinya sikap seperti ini lebih menyenangkan.
Berarti tamunya benar-benar telah menganggap sebagai
keluarga sendiri.
Julung Pujud adalah seorang yang sudah terlalu biasa
minum tuak tanpa aturan. Kalau menggunakan seloki ia
tidak puas. Maka ia menggelogok langsung dari guci,
langsung masuk perut. Tetapi sekarang ini, ketika guci
dibuka tutupnya dan mencium ban arak yang wangi,
matanya berkedip-kedip dan mulutnya tersenyum. Anehnya
tiba-tiba ia tidak jadi minum dan malah hidung kakek ini
cungar-cangir.
Melihat sikap Julung Pujud yang aneh, yang tidak jadi
minum. Si Tangan Iblis heran. Ia menghampiri sambil
bertanya, “Hai kakang Julung Pujud! Ada apa? Apakah
sebabnya kau cungar-cangir macam itu?”
Tiba-tiba mata Julung Pujud memancarkan api ke-
marahan. Bentaknya, “Bangsat Tangan Iblis! Hati dan
mulutmu berlainan! Mulutmu manis tetapi hatimu penuh
bulu dan sikapmu palsu. Heh… heh… heh… heh, engkau
akan meracun aku?!”
Sebelum Si Tangan Iblis menjawab, melayanglah tubuh
Sarwiyah yang segera mencengkeram baju si pelayan.
Hardiknya, “Katakan lekas! Siapa yang bertemu dengan
kau ketika akan menghidangkan tuak kemari?”
Melihat tingkah Sarwiyah ini barulah Si Tangan Iblis
sadar. Agaknya memang ada tangan curang yang sengaja
memasukkan racun ke dalam tuak. Ia kemudian meloncat
pula ke depan si pelayan. Bentaknya, “Hayo katakan lekas!
Siapa yang meracun tuak?”
Pelayan itu tubuhnya gemetaran dan pucat saking
takutnya. Bibirnya bergerak tetapi tidak juga terdengar
suara dari mulut. Pelayan ini kebingungan sendiri
disamping ngeri, teringat ancaman Sangkan dan Kaligis.
Akan tetapi sebaliknya jika tidak menjawab, tidak urung
dirinya celaka.
Ketika itu Sarwiyah melepaskan cengkeramannya, dan
pelayan itu cepat berlutut dengan tubuh gemetaran sambil
menangis. Jawabnya tidak lancar. “Tidak....tidak ada....
orang... ohh... saya tidak... tahu...”
Si Tangan Iblis tidak sabar lagi. Kakinya cepat me-
nendang. Hanya terdengar jerit satu kali keluar dan mulut
pelayan itu, kemudian tubuhnya terlempar dan menabrak
tiang rumah. Kepalanya pecah dan mati saat itu juga.
Pelayan yang lain menjadi pucat dan tubuh mereka
gemetaran karena ketakutan setengah mati. Mereka
kemudian mendeprok di lantai dan saking ngerinya tanpa
terasa mereka terkencing di tempat itu juga.
Sarwiyah menjadi pucat dan menyesal sekali mengapa
kakeknya tidak sabaran dan sudah membunuh pelayan itu.
Celanya, “Kek....ahh,.....apakah sebabnya pelayan itu kau
bunuh? Kita sekarang kehilangan saksi utama yang bisa
memberi keterangan penting, tentang usaha peracunan ini.
Ahh jika Kakek tidak membunuh dia, aku tentu bisa
mengorek keterangan untuk mencari siapa yang sudah
melakukan pe racunan ini...”
Akan tetapi Si Tangan Iblis yang sudah marah, malu dan
penasaran oleh usaha orang meracun tuak ini, menyebab-
kan ia tidak mau mendengar teguran Sarwiyah. Tuduhan
pertama segera ditujukan kepada Sarindah yang sudah
meninggalkan rumah diam-diam. Sebab, orang lain tidak
mungkin dapat melakukannya, mengingat guci itu disimpan
di tempat yang tidak mungkin orang lain bisa masuk.
Kakek ini segera ingat akan sikap Sarindah. Sikap yang
tidak menyetujui ikatan pertunangan antara Warigagung
dengan Sarwiyah. Buktinya, cucunya itu tidak mau ikut
serta menghadiri pertunangan ini malah pergi diam-diam.
Si Tangan Iblis heran berbareng penasaran, mengapa
Sarindah sampai hati dan seberani itu memasukkan racun
dalam tuak?
Menduga peracunan ini dilakukan oleh cucunya sendiri.
Si Tangan Iblis segera membungkuk memberi hormat
kepada Julung Pujud dan berkata, “Kakang…..ahh, maaf-
kanlah aku. Dialah yang sudah memasukkan racun dalam
guci itu. Hemm, untung Kakang Pujud waspada.....”
Si Tangan Iblis tidak sabar lagi. Kakinya cepat
menendang. Hanya terdengar jerit satu kali dari mulut
pelayan itu, kemudian tubuhnya terlempar dan menabrak
tiang rumah.
Kakek kerdil itu terkekeh di tengah rasa penasaran
dicurangi dengan racun. Jawabnya, “Heh heh heh heh,
siapakah orang bisa meracun aku? Aku adalah seorang
ahli racun jempolan di dunia ini. Dengan hanya mencium
baunya saja, aku udah tahu sifat segala macam racun yang
dicampur dalam tuak. Ha... ha... hah... ha, racun yang
dicampur dengan tuak ini memang keras. Tetapi bagai-
manapun tidak mungkin dapat membunuh maupun
mencelakakan Julung Pujud. Heh... heh... heh... heh, tuak
ini wangi sekalipun sudah campur dengan racun. Karena
itu sayang kalau tidak diminum, dan akan aku habiskan
sekali minum.”
“Guru.....jangan.....!” teriak Sarwiyah yang berusaha
mencegah. “Guru, di dalam masih banyak tuak simpanan.”
“Heh... heh... heh heh heh, terima kasih menantuku
yang manis. Kau jangan khawatir, dalam tubuhku sudah
penuh racun. Maka racun yang masuk dalam tubuhku,
hanya akan menambah kekuatan tubuhku saja dan
menjadikan awet muda. Ha ha ha ha, wangi.....
Kemudian Julung Pujud membuka mulut. Tuak dituang
ke dalam mulut, suaranya menggelogok dan kerongkongan
kakek kerdil ini bersuara berkeruyuk menelan tuak. Hebat!
Sekali tenggak satu guci sudah masuk perut.
Kakek ini memang seorang ahli racun jarang tandirigan.
Karena setiap hari selalu bergulat dengan racun itu maka
ia sudah membiasakan diri untuk menelan racun secara
terukur setiap hari. Dan kebiasaan ini menyebabkan dalam
tubuhnya kebal akan segala macam racun. Bukan saja
Julung Pujud yang sudah puluhan tahun lamanya bergulat
dengan racun. Sedang Warigagung yang masih muda
itupun kebal pula terhadap segala macam racun dan bisa.
Itulah sebabnya murid Julung Pujud ini suka bermain-main
dengan segala macam binatang yang beracun maupun
berbisa.
Julung Pujud meletakkan guci yang sudah kosong di
meja, lalu katanya. Hemm, kalau saja calon menantuku
bukan gadis yang halus, cantik, lemah lembut dan
menyenangkan, usaha peracunan ini tentu sudah
kujadikan alasan putus penunangan, dan engkau menjadi
musuhku! Hmm, sudahlah Semuanya sudah terjadi dan
tidak perlu lagi diributkan. Yang penting, cucumu yang
kurang ajar itu harus kau urus sendiri dan kau tangkap.
Tetapi karena yang diracuni aku, maka cucumu itu harus
kauserahkan padaku untuk menerima hukumanya, tidak
perlu khawatir. Aku hanya akan membalas menghukum dia
dengan racun pula. Heh heh heh heh!
Si Tangan Iblis dan Sarwiyah pucat mendengar tuntutan
Julung Pujud ini. Sesungguhnya manakah mungkin si
Tangan Iblis bisa tega kepada Sarindah? Tetapi karena
Sarindah sendiri yang sudah memulai, maka kakek dan
cucu ini tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiakan.
Demikianlah, perustiwa peracunan ini dalam waktu
singkat sudah dilupakan. Pelayan yang mati segera dirawat
para murid, sedang Si Tangan Iblis dengan Sarwiyah sibuk
menjamu tamunya.
Tetapi di pihak lain diam-diam Sangkan dan Kaligis yang
merasa bersalah menjadi gelisah sekali, ketika usaha
mereka meracun Julung Pujud dan yang lain gagal.
Meskipun demikian mereka menjadi terhibur juga ketika
mereka luput dari tuduhan, dan malah yang dituduh
Sarindah. Dan lebih lagi saksi utama dari perbuatannya
sudah mati dan tidak bisa ditanya lagi. Dengan demikian
kecurangan itu sudah tertutup rapat.
Pagi hari kemudian Julung Pujud dan Warigagung minta
diri, setelah mereka sepakat menentukan hari perkawman
antara Sarwiyah dan Warigagung dua tahun lagi.
Tetapi setelah Warigagung dan gurunya pergi. Si Tangan
Iblis masih uring-uringan. Semua orang dibentak dan
dimarahi. Dan saking marahnya kepada Sarindah yang
dituduh telah meracun itu, maka semua murid segera
diperintahkan pergi mencari Sarindah sampai bisa
ditemukan, sekaligus diperintah pula mencari Sentiko yang
sampai sekarang belum diperoleh kabar.
Si Tangan Iblis berpesan, semua murid dilarang pulang
apabila tanpa membawa berita di mana Sentiko maupun
Sarindah berada. Syukur sekali apabila para murid ini
sanggup memaksa Sarindah untuk pulang. Tetapi kalau
tidak sanggup, Si Tangan Iblis sendiri yang akan
menangkap dan kemudian menyerahkan kepada Julung
Pujud untuk diadili.
Hari itu juga Kaligis, Sangkan, Senggring, Kebo Sobrah,
Wastu, Wangalit dan Bala Rebo pergi menunaikan tugas
baru dari guru mereka. Tentu saja dengan adanya tugas ini
Kaligis merasa dadanya longgar. Siapa tahu ia dapat ber-
temu dengan gadis yang dicintai itu, kemudian berhasil
membujuk dan mempengaruhi hatinya.
Sebaliknya Sangkan yang gandrung kepada Sarwiyah
menjadi putus harapan. Manakah dirinya bisa mendapat
kesempatan mencintai Sarwiyah lagi, yang telah
dipertunangkan dengan Warigagung itu?
Akan tetapi setelah semua murid pergi, Sarwiyah ingat
sesuatu. Ia menghampiri kakeknya, lalu berkata, “Kek,
mengapa harus mempercayakan kepada para murid?
Mereka tidakkan sanggup melawan Mbakyu Sarindah.
Padahal Mbakyu seorang yang keras hati dan gampang
marah. Salah-salah semua murid bisa celaka di tangan
dia.”
“Huh! Peduli apa kepada sejumlah murid tidak berguna
itu? Huh, aku sungguh menyesal mengapa murid-muridku
itu goblog! Hanya mencari bocah kecil saja mereka kembali
dengan tangan kosong. Malah Ananto menjadi korban
tergelincir di dalam jurang. Dan ahh…. bagaimanakah
kabarnya Kebo Pradah, Tanu Pada dan Mahisa Singkir?
Apakah sebabnya mereka sampai sekarang belum juga
pulang?”
“Itulah Kek, yang menyebabkan aku heran. Mungkinkah
mereka celaka di tangan orang? Kalau tidak, manakah
mungkin mereka berani melanggar perintah Kakek? Sebab
itu Kek, apakah dalam soal ini Kakek tidak perlu
menangani sendiri?”
“Hemm,” Si Tangan Iblis menghela napas panjang.
Namun ia tidak lekas membuka mulut.
Sarwiyah berkata lagi, “Kek manakah mungkin Mbakyu
mau kau perintahkan pulang kalau tahu dituduh telah
meracun tamu. Dia akan ketakutan dan tak mungkin mau
bertemu dengan Kakek lagi.”
“Hemm… cucu seperti itu hanya menyebabkan aku malu
saja. Dan apakah jadinya kalau Julung Pujud marah, lalu
putus hubungan kita dan kemudian berubah menjadi
musuh? Huh, betapa kecewa ayah bundamu di alam baka
kalau aku tidak dapat membalas dendam kepada Gajah
Mada maupun Mpu Nala. Huh, cucu celaka seperti itu
sudah sepantasnya kubunuh saja!”
Sarwiyah pucat. Ia kenal watak kakeknya yang ganas.
Ucapannya itu tentu bukan sekadar kata-kata, tetapi tentu
akan terjadi pula walaupun terhadap cucunya sendiri.
“Kek, sudah pastikah Mbakyu yang melakukan
peracunan?”
“Mengapa tidak? Siapakah yang bisa masuk ke tempat
guci tuak itu disimpan, kecuali aku, engkau dan mbakyumu
Kalau bukan mbakyumu, apakah malah engkau sendiri?”
Si Tangan Iblis mendelik. Sarwiyah tergetar jantungnya.
Katanya, “Kek, memang benar tiada orang lain yang bisa
masuk ke tempat penyimpanan guci. Tetapi. Ahh.....aku
ingat Kek......ahh.....aku ingat......”
“Ingat apa?”
“Pelayan itu terlampau lambat melakukan perintahku
membawa guci tuak ke ruang depan. Ahh.... sayang sekali
Kakek kemarin tergesa membunuh pelayan itu, hingga kita
tidak lagi bisa memaksa supaya dia menerangkan apakah
sebabnya terlambat datang dan mengapa pula guci itu
beracun. Kek, terus terang aku curiga dan kurang percaya,
jika Mbakyu yang berbuat. Aku menduga ada orang lain
yang memancing di air keruh.”
“Wiyah! Engkau jangan mengada-ada. Engkau jangan
mencoba membela mbakyumu yang bersalah. Tidak peduli
siapapun, orang yang hampir nembuat rencanaku
berantakan harus dihukum yang setimpa. Kalau benar
Sarindah yang melakukan akupun harus juga menghukum-
nya.”
“Kek, kalau memang ternyata benar, itu lain lagi,
Sarwiyah membantah. Tetapi aku menjadi curiga dengan
terjadinya beberapa peristiwa yang sudah menimpa
keluarga kita.....”
“Wiyah! Apakah maksudmu? Peristiwa yang mana?”
“Kek, aku minta sudilah kakek sedikit sabar. Kek,
semua peristiwa ini umbernya bukan lain adalah Sentiko.
Begitu para murid kakek tugas kan, Kakang Kaligis dan
Kakang Sangkan melaporkan Adik Ananto tergelincir
masuk dalam jurang dan tidak tertolong.”
Sarwiyah berhenti dan memandang kakeknya mencari
kesan. Setelah kakeknya tidak bereaksi, ia meneruskan,
“Mbakyu Sarindah tidak gampang mau percaya laporan itu.
Terus terang, ketika itu akupun kurang percaya laporan itu.
Adik Ananto dibandirig Kakang Kaligis maupun Sangkan
lebih tinggi kepammpuannya. Mengapa dua orang itu bisa
selamat, sedang orang yang lebih tinggi kepandaiannya
malah tergelincir dan masuk jurang? Ini sungguh aneh!”
Si Tangan Iblis tergagap mendengar alasan yang di-
kemukakan Sarwiyah. Sekarang ia baru ingat akan
kejanggalan tersebut. Si Tangan Iblis seperti baru bangun
dari tidur.
“Teruskan!” perintahnya. “Teruskanlah Wiyah, aku ingin
mendengar alasanmu.”
“Sayangnya Kakek bukannya mau mengerti sikap
Mbakyu, tetapi malah marah. Karena Kakek marah itu,
kemudian aku dan dia pergi. Maksudnya tidak lain untuk
mencoba melihat keadaan apakah Kakang Tanu Pada dan
rombongannya sudah pulang? Namun ternyata aku dan
Mbakyu malah bertemu dengan Kakang Warigagung dan
terjadilah salah paham. Kek, timbul dugaanku bahwa
kepergian Mbakyu tiada hubungan sama sekali dengan
soal peracunan. Akan tetapi karena Mbakyu dalam
keadaan gelisah memikirkan tiga orang murid yang belum
juga pulang itu. Adalah tidak mungkin terjadi mereka
terlambat pulang apabila tidak terjadi apa-apa di
perjalanan. Malah aku menduga pula, Mbakyu diam-diam
sudah pergi dalam usaha mencari jejak mereka.”
Sarwiyah berhenti dan menatap kakeknya. Ketika
kakeknya masih berdiam diri, ia meneruskan, “Kek,
mungkin sekali ada pihak lain yang menggunakan
kesempatan ini melakukan kecurangan dengan mem-
bubuhkan racun dalam guci dan memaksa kepada pelayan
itu. Dan agaknya orang itu sudah memperhitungkan bahwa
tuduhan akan jatuh kepada Mbakyu Sarindah yang pergi.”
“Kalau begitu, siapakah kira-kira yang sudah berbuat?”
“Kek, aku belum tahu. Tetapi jelas bukan orang lain,
tetapi orang serumah. Tentu saja masalah ini memerlukan
waktu untuk penyelidikan. Kek, ah.... aku menjadi khawatir.
Karena Kakek sudah menuduh Mbakyu, apakah jadinya
apabila Mbakyu ketemu dengan Kakang Warigagung dan
gurunya? Kalau benar Mbakyu memang bersalah, bagai-
manapun memetik buah tanamannya sendiri. Tetapi kalau
dia tidak bersalah, bukankah kasihan Mbakyu yang men-
jadi korban?”
Dipikir-pikir pendapat cucunya memang benar. Karena
itu pada akhirnya Si Tangan Iblis setuju untuk menangani
sendiri masalah yang dihadapi. Maka hari itu juga setelah
selesai berkemas dan memberi pesan kepada semua
pelayan, kakek dan cucu ini pergi meninggalkan rumah.
Karena Sarwiyah sudah menduga ke mana kakaknya pergi,
maka cucu dan kakek ini menuju ke arah Tanu Pada dan
rombongannya pergi.
* * *
2
Tanpa diduga justru kepergian Si Tangan Iblis dan
Sarwiyah inilah yang menjadi pangkal semua
peristiwa yang berlarut-larut. Sebab kalau saja Si
Tangan Iblis dan Sarwiyah mau menunda satu hari saja,
tentu akan dapat bertemu kembali dengan Sarindah tanpa
pula mencari. Karena ternyata pada keesokan harinya
masih pagi benar, Sarindah telah muncul kembali di
rumah. Gadis ini melangkah dengan lesu dan wajahnya
pucat, akibat telah kurang tidur disamping lelah sekali.
Memang Sarindah sudah cukup jauh melakukan per-
jalanan dalam usahanya mencari Tanu Pada dan
rombongannya. Sudah banyak orang yang ditanya dan
sudah banyak desa yang dijelajah, tetapi tidak seorangpun
dapat memberi keterangan. Karena merasa bingung dan
tak tahu kemana harus menuju, akhirnya gadis ini
memutuskan pulang saja guna memberitahukan kepada
kakeknya.
Tetapi betapa rasa keheranan gadis ini ketika pulang ke
rumah, keadaannya amat sepi. Baru saja ia masuk ke
rumah dan bertemu dengan seorang pelayan, gadis ini
kaget setengah mati, karena pelayan itu menubruk,
memeluk sambil menangis.
Sarindah keheranan berbareng curiga. Tanyanya gugup.
“Ada apa? Apakah sebabnya kau menangis? Dan mengapa
pula rumah ini sepi, lalu ke mana Kakek dan Sarwiyah
pergi?”
Mendengar tangis dan suara Sarindah, pelayan yang lain
segera berdatangan. Pelayan tertua, segera menceritakan
apa yang sudah terjadi di rumah ini, ketika menerima
tamu. Lalu diceritakan pula tentang terjadiriya usaha
peracunan dan seorang pelayan mati terbunuh oleh
kakeknya.
Kemudian ketika pelayan tertua itu menceritakan, yang
dituduh meracun adalah dirinya, Sarindah berjingrak kaget
dan sepasang matanya menyala marah.
“Gila! Siapakah yang menuduh aku meracun tamu?”
tanyanya lantang dilanda kemarahan.
“Kakek Nona......”
“Apa? Kakek menuduh aku meracun? Gila! Demi
Dewata Yang Agung, aku tidak melakukannya. Apakah
kamu semua tidak tahu dan tidak bisa menduga, siapakah
kira-kira si peracun itu?”
Seperti burung beo yang belajar, para pelayan itu saling
berebut memberi alasan ketika itu repot dengan urusan
masing-masing.
Sarindah membentak, “Jangan berbareng. Terangkan
bergantian.”
Para pelayan ketakutan. Lalu seorang demi seorang
memberi keterangan. Pendeknya semua pelayan mengata-
kan tidak tahu siapakah yang sudah melakukan peracunan
itu.
Akibatnya gadis berangasan ini membanting-bantingkan
kakinya saking penasaran dan kecewa. Penasaran karena
dirinya dituduh meracun tamu dan kecewa karena tidak
mendapat keterangan sedikitpun yang dapat dijadikan
pegangan untuk membersihkan diri.
Kemudian ketika Sarindah menanyakan mengapa
rumah sepi, pelayan tua ini menerangkan, semuanya
sudah pergi.
“Semuanya sudah pergi, Nona, kemarin pagi. Menurut
keterangan Nona Sarwiyah, katanya mencari Nona.....”
“Gila!” Sarindah geram mendengar keterangan ini.
“Semua gila! Semua orang mencari aku. Huh, untuk apa?
Seperti anak kecil saja orang pergi mesti dicari. Huh aku
tidak bersalah dan aku tidak meracun siapapun. Huh,
apakah tidak seorangpun bersedia membela aku?”
“Nona Sarwiyah yang membela,” sahut si pelayan yang
tadi menangis. “Oleh pembelaan Nona Sarwiyah kepada
Nona itulah kemudian Kakek Nona pergi bersama Nona
Sarwiyah.”
Terhibur juga hati gadis ini setelah mendengar dibela
Sarwiyah. Lalu gadis ini teringat oleh sebabnya pergi, tanya-
nya. Apakih Kakang Tanu Pada sudah pulang?
Semua pelayan menggelengkan kepala dan menerang-
kan Tanu Pada dan rombongannya belum pulang.
Kemudian pelayan tua ini menyahut,
“Kakek Nona berpesan kalau mereka pulang diperintah-
kan tetap di rumah.”
“Mereka siapa? Tanu Pada dan rombongan. Hemm,
kalau demikian biarlah aku menunggu mereka pulang”.
Sambil berkata, Sarindah melangkah masuk ke ruang
tengah. Tetapi gadis ini segera berhenti, membalikkan
tubuh dan berteriak. “Hai! Mana kopi dan mana sarapan
pagi? Mengapa tidak engkau sediakan seperti biasanya?”
Pelayan tua yang bertanggung jawab cepat menyahut
dengan gugup, “Ohh... ya memang belum Nona......”
“Apakah sebabnya?”
“Karena…. tak tahu Nona pulang.....”
“Sudahlah jangan cerewet. Cepat sediakan, aku haus
sekali dan lapar.”
Sarindah membalikkan tubuh langsung masuk ke ruang
tengah dan menuju ke kamarnya.
Pelayan tua itu dengan tergopoh menuju dapur untuk
mempersiapkan kopi dan makan pagi. Tetapi tidak urung
mulut pelayan ini menggerundel seorang diri mencaci maki
gadis galak itu.
Semua pelayan memang takut kepada Sarindah yang
galak dan gampang marah itu. Namun disamping takut
mereka juga tidak senang. Diam-diam semua pelayan
merasa heran mengapa antara Sarindah dan Sarwiyah
seperti bumi dan langit? Sarwiyah gerak-geriknya halus,
lemah lembut, sabar dan tidak pernah berbuat sewenang-
wenang kepada mereka. Kalau perlu Sarwiyah malah
membantu urusan dapur kalau butuh makan atau minum.
Sarindah menghempaskan tubuh ke pembaringan tanpa
ganti pakaian. Gadis ini amat penasaran dan uring-uringan
dituduh telah meracun tamu. Dan kemudian gadis ini
mengumpat berkali-kali.
“Gila! Kakek gila! Semua gila! Apakah aku ini sebusuk-
busuknya manusia sehingga ada orang diracun, tuduhan
langsung pada diriku?”
“Hemm, bangsat busuk manakah yang sudah bermain
curang dan meracun di rumah ini? Sarindah menduga-
duga. Huh, tidak mungkin ada orang luar bisa masuk. Huh
tentu orang dalam sendiri. Tetapi siapakah?”
Ia tidak bisa menduga siapa yang melakukan. Ia merasa
sayang juga, mengapa pelayan bersangkutan sudah mati.
“Huh, tetapi aku harus menyelidiki siapa yang curang
itu, untuk membersihkan namaku dari noda! Aku akan
menunggu sampai Kakang Tanu Pada datang. Akan kuajak
dia pergi dengan aku mengadakan penyelidikan. Kalau aku
tahu dan mendapat bukti, tahu rasa!”
Gadis ini kemudian menguap karena mata mengantuk
sekali, disamping amat lelah. Tiba-tiba saja ia teringat
betapa nikmatnya dipijat sambil tiduran ini.
“Sayem.......Sayem......!”
“Ya..... Nona….” suara penyahutan dari arah rumah
belakang.
Pelayan bersangkutan segera berlarian menuju kamar
Sarindah. Setiba di depan pintu kamar, ia bertanya. “Nona
memanggil saya?”
“Masuklah! Pijitlah aku, Sayem. Aku lelah sekali dua
hari pergi jauh,” ujarnya sambil menelungkup.
“Baik Nona,” sahut si pelayan sambil masuk kamar
sekalipun sesungguhnya mengeluh.
Pelayan itu segera menunaikan tugasnya memijit tubuh
si gadis, dimulai dari kaki.
Beberapa saat kemudian pelayan tua yang mengurus
dapur sudah datang melapor. “Nona, kopi dan sarapan
pagi sudah tersedia.”
“Bawalah kemari. Aku lelah dan sedang dipijit Sayem.”
Tergopoh pelayan tua itu mengambil kopi dan sarapan
pagi, langsung dibawa masuk ke dalam kamar tidur. Ketika
pelayan itu akan meletakkan di meja depan tempat tidur.
Sarindah berkata. “Mbok, suapilah aku. Bukankah nikmat
sekali sambil dipijit dan makan disuapi?”
Pelayan tua itu tidak membantah sekalipun dalam hati
mengumpat. “Sudah besar dan sudah gadis lagi, tetapi
mengapa masih seperti bayi?”
Setelah Sarindah selesai makan dan tertidur pelayan ini
baru bebas dari kewajibannya. Dengan langkah hati-hati
pelayan ini meninggalkan kamar.
Akan tetapi kemudian ternyata Tanu Pada, Kebo Pradah
dan Mahisa Singkir tidak juga muncul, sekalipun ditunggu
tiga hari. Sarindah semakin menjadi gelisah dan hilang
sabar. Kemudian ia memutuskan esok pagi akan pergi
mencari jejak Tanu Pada yang dicintai itu kalau belum juga
muncul.
Kasihan juga gadis ini mengharapkan munculnya orang
yang sudah mati. Orang yang sudah tewas oleh kecurangan
Kaligis dan Sangkan.
Kasihan? Mengapa? Di dunia ini tidak terhitung jumlah-
nya manusia yang ditimpa kemalangan dan kesedihan.
Semua itu terjadi oleh perbuatan manusia pula yang
mencari keuntungan diri pribadi, dan merugikan orang lain.
Sungguh kasihan manusia di dunia ini, manusia ber-
budaya, tetapi sesungguhnya lebih buas dibandirig dengan
binatang buas yang tidak mengenal akan budaya. Sebagai
akibat kebuasan manusia ini maka terjadilah perang,
bunuh membunuh, fitnah, kecurangan, tipu muslihat dan
banyak perbuatan jahat yang lain lagi.
Manusia-manusia yang buas semacam ini lupa, siapa
yang menanam pasti memetik buahnya sesuai dengan
hukum alam. Hukum sebab dan akibat. Hukum karma.
Namun biasanya manusia tidak mau juga mawas diri dan
lupa kepada Yang Maha Tinggi.
Maka berbahagialah manusia di dunia ini yang pandai
mawas diri. Yang hidup dengan wajar tanpa merugikan
orang lain. Yang selalu mengagungkan ambeg paramaarta
dan pandai menempatkan diri sebagai mahkluk Yang Maha
Tinggi. Berbahagialah manusia yang sadar akan hidupnya.
Sadar bahwa di atas manusia ini masih ada Yang Maha
Tinggi dan Yang Maha Kuasa.
Akan tetapi kenyataannya memang tidak gampang
orang bisa mawas diri dan menyadari akan hidupnya ini,
kalau memang tidak mau berusaha, kalau memang tidak
mau menempatkan diri secara wajar.
Demikian pula yang terjadi dalam keluarga besar Si
Tangan Iblis ini. Karena masing-masing mengumbar
kehendak dan kemauau sendiri, tak segan merugikan dan
mencelakakan saudara seperguruan sendiri, maka
terjadilah piristiwa yaag berekor panjang.
Akhirnya Sarindah tidak kerasan lagi di rumah. Ia
kemudian pergi juga tekadnya hanya satu, ia harus bisa
membersihkan diri dari tuduhan mencoba membunuh
Julung Pujud. Ia harus dapat bertemu dengan kakeknya
atau Sarwiyah. Dan kalau perlu harus bisa bertemu dengan
Warigagung atau Julung Pujud sendiri. Ia akan mem-
beberkan semua keadaan, kepergiannya tidak ada
hubungan sama sekali dengan percobaan pimbunuhan itu.
Sarindah menempuh perjalanan cepat. Ia menduga,
kakeknya dan Sarwiyah tentu searah dengan perjalanan
yang semula ia tempuh. Karena itu kemudian ia menuju ke
barat.
Pada tengah hari tibalah Sarindah di Desa Nongkojajar.
Ia merasa lapar, kemudian masuk ke sebuah warung.
Dalam warung ini banyak pula orang sedang jajan. Tetapi
sebagai seorang gadis, ia merasa malu kalau harus mem-
perhatikan mereka yang pada jajan.
Sarindah memilih sebuah meja yang masih kosong, lalu
duduk. Seorang pelayan dengan wajah berseri mendekati.
Lalu dengan ramah ia tersenyum dan bertanya.
“Nona menghendaki masakan apa? Rumah makan ini
terkenal dan langganannya terdiri atas segala lapisan
masyarakat. Hal ini memang tidak mengherankan Nona,
karena koki rumah makan ini, sudah puluhan tahun
lamanya hidup di Ibukota Majapahit. Dulunya seorang juru
masak Pangeran. Maka saya tanggung, sekali Nona masuk
di rumah makan ini, selamanya akan terkenang kepada
kenikmatan.....”
“Sudahlah, aku minta disediakan jeruk panas dan nasi
pindang,” potong Sarindah yang menjadi sebal mendengar
pelayan itu ceriwis dalam menawarkan dagangannya.
“Apa lagi, Nona?” tanya pelayan
“Sediakan pula ayam panggang.”
Pelayan itu mengangguk-angguk. Namun ketika si
pelayan itu mau pergi, ia cepat mencegah. “Eh, nanti dulu
aku ingin bertanya, pernahkah ada seorang kakek dan
seorang gadis yang singgah kemari?”
Pelayan itu tersenyum jawabnya. “Wah, tentu saja
banyak sekali. Nona, rumah makan ini amat terkenal dan
banyak langganannya dan....”
“Sudah, jangan menyobongkan larisnya warungmu ini!
Aku sedang mencari kakekku dan adikku perempuan.
Kakekku kira-kira berumur enam puluh tahun dan adikku
berumur 19 tahun. Kau tahu apa tidak?”
Pelayan itu pucat oleh bentakan gadis ini. Kemudian
dengan agak gugup dan takut, sahutnya, “Ohh, maafkanlah
Nona. Aku…….aku tidak tahu. Tetapi eh.....apakah kiranya
Nona bisa memberikan ciri-cirinya? Perlunya aku bisa
mengingat-ingat. Oh ya... Nona.... apakah yang Nona
maksudkan itu seorang kakek jangkung dan seorang gadis
cantik, lemah lembut dan gerak-geriknya halus pula....?”
“Nah, itu dia! Sarindah gembira dan mendesak, Cepat
terangkanlah kapan mampir ke warung ini dan tahukah
kemana kira-kira mereka pergi? Nah terimalah ini untuk
membeli tembakau.”
Sarindah memberi dua keping uang tembaga sebagai
hadiah. Dan pelayan ini menerima dengan wajah berseri
serta mengangguk-anggukan kepala.
“Dua hari lalu, kakek dan adik Nona jajan kemari. Tetapi
saya tidak tahu pasti ke mana mereka pergi. Hanya dari
pembicaraan yang dapat saya tangkap tidak lengkap,
agaknya sedang mencari seseorang....”
“Mereka mencari aku.”
“Oh... mengapa bisa terjadi saling mencari? Uah...
lucu...”
“Hai! Apanya yang lucu? Kau anggap aku ini badut ya?
Kurang ajar!”
Pelayan itu pucat kembali dibentak. Diam-diam pelayan
ini merasa heran juga mengapa gadis ini berbeda jauh
dengan adiknya yang halus itu? Baru bertemu dirinya
sudah dibentak dua kali.
Jawabnya agak takut. “Ahh, Nona.... maksud saya bukan
begitu. Saya heran sekali mengapa sampai terjadi. Nona
dan Kakek Nona saling mencari?”
“Hemm sudahlah! Itu bukan urusanmu! Lekas siapkan
pesananku. Tenggorokanku sudah kering dan perutku
sudah amat lapar.”
“Baik. Nona.”
Pelayan itu segera pergi ke belakang. Namun diam-diam
pelayan ini geli juga berhadapan dengan perempuan galak
itu.
Sarindah menyeka peluh yang membasahi lehemya.
Hatinya agak terhibur juga meudapat keterangan, dua hari
lalu kakeknya dan Sarwiyah meninggalkan desa ini. Ia
percaya, tidak memerlukan waktu lama tentu sudah dapat
bertemu dengan kakeknya.
Karena masih menunggu pesanan ia mencoba meng-
angkat muka memandang sekitarnya kepada para tamu
yang jajan. Pada meja di depannya enam orang laki-laki
sedang makan sambil membicarakan masalah harga.
Sarindah cepat bisa menduga mereka ini terdiri atas para
pedagang.
Ketika pandang matanya beralih ke sudut, ia melihat
seorang laki-laki kira kira empat puluh tahun, wajahnya
agung dan berwibawa, sedang pakaiannya indah. Di
depannya terhalang oleh meja yang penuh hidangan, tiga
orang laki-laki setengah baya. Mereka bicara sambil
makan, tetapi sikap tiga orang laki-laki ini baik di saat
menyuap maupun mengucapkan kata-kala tampak amat
menghormati kepada laki-laki agung tersebut.
“Ahh, dia tentu orang kota Majapahit. Orang yang mem-
punyai kedudukan tinggi. Hemm, begitukah orang kota,
pakaiannya indah?” Sarindah menduga-duga.
Sarindah memang tidak pernah diberi kesempatan pergi
jauh dari Tosari. Maka walaupun dirinya sekarang sudah
gadis dewasa, ia belum pernah berkesempatan melihat
kotaraja Majapahit.
Sesudah itu pandang matanya beralih ke meja lain.
Tetapi ia menjadi gelagapan sendiri ketika menyadari diri-
nya diperhatikan oleh seorang pemuda yang duduk
sendirian seperti dirinya.
Mara pemuda itu bersinar tajam. Ketika pandang mata
mereka bertemu, pemuda itu tersenyum dan matanya ber-
kedip-kedip penuh arti.
Sarindah cepat menundukkan kepala lalu mengalihkan
pandang matanya ke arah lain. Hati Sarindah berdebar
tetapi perasaan kewanitaannya curiga. Cara memandang
dan tersenyum dan mengedipkan mata tadi, tampak sekali
sikapnya kurangajar.
Sebagai seorang gadis yang memang mempunyai
pembawaan watak angkuh keras hati dan galak ia menjadi
tidak senang. Dalam hatinya sudah mencaci maki,
“Kurangajar! Engkau membanggakan ketampanan
wajahmu? Huh, dan kau beranggapan setiap perempuan
pasti tertarik kepadamu? Huh. tak sudi! Rasakan jika
engkau berani lancang dan kurangajar kepadaku, kupukul
mulutmu yang laucang dan kucukil matamu yang
kurangajar itu.”
Tetapi walaupun ia tidak senang dan menjadi benci
kepada pemuda itu ia masih menggunakan sudut matanya
melirik. Ia ingin tahu apakah pemuda itu masih me-
mandang dirinya? Ahh, ternyata benar pemuda itu me-
mandang tanpa berkedip. Diam-diam ia penasaran ber-
bareng gelisah sendiri.
Untunglah pelayan segera datang mengantarkan
pesanannya. Gadis yang lelah haus dan lapar ini segera
mengalihkan perhatiannya kepada makanan dan minuman
yang sudah tersedia. Baru tiga suap Sarindah menelan nasi
terdengar suara pemuda itu yang memanggil pelayan, yang
baru selesai melayani Sarindah.
“Hai, Pelayan! Cepat sediakan masakan yang sama
seperti pesanan dia.”
“Baik Raden, akan segera kami sediakan,” pelayan itu
menyahut penuh hormat.
Mendengar pemuda itu pesan makanan yang sama
dengan pesanannya, diam-diam Sarindah amat dongkol. Ia
menghentikan suapan nasinya, memalingkan muka ke
arah si pemuda dengan pandang mata tidak senang.
Namun celakanya justru si pemuda juga sedang
memandang dirinya. Pemuda itu kembali tersenyum dan
matanya berkedip-kedip.
Kalau saja apa yang terjadi sekarang ini tidak di dalam
warung makan, Sarindah yang angkuh dan berangasan itu
tentu sudah marah dan mendamprat. Sebab dari sikap
pemuda itu jelas, dia memang sengaja mau mengganggu
dan mau kurangajar. Tetapi karena perutnya memang
lapar, biarlah untuk sementara ia menyabarkan diri dan
mengisi waktu sampai kenyang. Ia ingin tahu apa yang
akan dilakukan pemuda itu, sesudah meninggalkan
warung ini. Kalau pemuda ini memang akan mengganggu
dan kurangajar, huh, ia sudah siap untuk menghajar.
Pemuda tampan itu masih tetap memperhatikan
Sarindah dengan pandang mata yang terpesona dan ber-
selera. Tak lama kemudian datanglah yang dipesan.
Pemuda ini mulai makan, namun matanya bukan
memperhatikan makanan yang tersedia, malah lebih
banyak memperhatikan Sarindah.
Meskipun tanpa melihat pemuda itu dapat menyuap
nasi dan tidak keliru dalam memasukkan ke mulut. Tetapi
makan nasi putih melulu tentu saja kurang enak. Karena
itu ia segera menyenduk isi mangkuk berisi kuah. Tanpa
diamati langsung dimasukkan ke dalam mulut. Tetapi tiba-
tiba.... makanan itu tidak jadi ditelan dan malah dimuntah-
kan di dekat kakinya. Bibirnya secara mendadak menjadi
merah dan air matanya keluar, disamping mluutnya men-
desis-desis. Aha... ternyata pemuda itu keliru menyenduk
sambal. Akibatnya pemuda itu kepedasan dan megap-
megap seperti ikan kehabisan air.
Sarindah memalingkan muka. Saking mendongkol dan
tak kuat menahan rasa geli. Ia menghentikan makannya
lalu ketawa terpingkal-pingkal.
Tamu yang lain pada mulanya heran. Tetapi setelah
memandang ke arah si pemuda, merekapun lalu ter-
senyum.
“Itulah upahnya orang yang makan tetapi mulutnya
jelalatan tidak melihat,” caci gadis ini dalam hati. “Hai…
pemuda kurangajar, rasakan nanti setelah di luar warung
jika kau berbuat kurangajar!”
Pemuda yang kepedasan dan mendesis-desis ini amat
malu, mendongkol dan penasaran ditertawakan oleh
Sarindah, sedangkan tamu lain juga tersenyum dan ada
pula yang menertawakan. Matanya mendelik ke arah para
tamu, sedang para tamu yang dipandang menjadi takut
dan cepat mengalihkan pandang matanya.
Akan tetapi ketika pandang mata pemuda itu bertemu
dengan laki-laki agung berpakaian indah, jantungnya ter-
getar dan tidak sanggup bertatap pandang.
Pemuda itu kemudian menundukkan kepala masib
sambil mendesis kepedasan. Guna mengurangi rasa pedas
pada bibir dan mulutnya, pemuda itu tidak jadi makan dan
hanya menggamang ayam panggang.
Meskipun demikian pemuda ini diam-diam sudah
memutuskan, setelah keluar dari warung akan membalas.
Baik kepada para tamu yang menertawakan maupun
kepada gadis itu.
Para pedagang itu agaknya sudah kenyang. Mereka
membayar lalu pergi. Setelah orang itu pergi, si pemuda
bergegas pula ke luar setelah membayar.
Agaknya laki-laki berpakaian indah itu sudah bisa
menduga. Ia mengerutkan alis lalu memberi perintah
kepada salah seorang yang duduk di depannya supaya
keluar mengawasi gerak-gerik pemuda itu.
Dugaan laki-laki berpakaian indah itu ternyata benar.
Pemuda tadi sedang menghadang enam pedagang tadi,
mendelik dan membentak. Kamu tadi kurang ajar sekali
berani menertawakan aku.
“Huh, kamu berani menghina aku maka rasakan
pembalasanku!”
Enam orang pedagang itu pucat dan ketakutan. Sahut
salah seorang dari mereka sambil membungkuk dan
memberi hormat, “Ampunilah kami, Raden. Kami…….kami
tidak menghina....”
“Apa katamu? tidak menghina? Huh, enak saja kau
bicara. Apakah aku ini kau anggap badut?”
“Tidak Raden, tidak! Sudilah Raden memaafkan kami.”
“Hemm, orang macam kamu harus dihajar biar tahu
rasa. Nih makanlah pukulanku.”
Selesai berkata pemuda itu sudah melompat ke depan
dalam usaha memuaskan kemendongkolannya.
Tahan! terdengar teriakan nyaring.
Dengan gerakan ringan laki-laki suruhan priyayi tadi
sudah menghadang di depan si pemuda.
Si pemuda yang sudah hampir menghajar enam orang
tersebut menarik tangannya. Lalu sambil mendelik ia
membentak. “Siapa kau!”
“Hemm, orang muda, aku bernama Hesti Makara. Dan
kau, siapakah orang muda?”
“Hemm, tidak perlu aku sembunyikan. Namaku Rudra
Sangkala.”
“Ahhh.... jadi engkaukah....?” Hesti Makara melengak
kaget.
“Benar! Tidak ada yang perlu aku tutupi.” Potong Rudra
Sangkala tidak menunggu Hesti Makara selesai bicara.
“Bukankah engkau ini ingin bertanya tentang peristiwa
hancurnya Desa Mojoduwur dan terbunuh matinya Gora
Swara itu? Huh, tumenggung macam itu mengapa tidak
dipecat oleh Raja Majapahit?”
“Orang muda, engkau jangan bicara sembarangan!”
hardik Hesti Makara. “Tahukah engkau Tumenggung Gora
Swara adalah aparat Kerajaan Majapahit? Seorang yang
pangkatnya tinggi dan segala sesuatunya hanya Sri Paduka
Raja Puteri Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani
sendiri yang berhak menilai salah seorang hambanya, baik
atau buruk. Hemm, orang muda! Apakah alasanmu berani
membunuh Tumenggung Gora Swara?”
“Huh, apakah sebabnya kau bertanya aku berani
membunuh tumenggung keparat itu? tumenggung yang
sewenang-wenang, huh!”
“Hai orang muda. Engkau jangan mengumbar mulut
tanpa aturan.”
“Heh heh heh heh,” Rudra Sangkala terkekeh mengejek,
“sekalipun peristiwa itu sudah terjadi amat lama namun
tidak mungkin bisa terhapus dari kenanganku. Huh,
kenangan menyedihkan yang telah menimpa Ibu dan
kakakku perempuan. “
“Ada apakah dengan ibu dan kakakmu?” Hesti Makara
heran dan tertarik.
“Huh, engkau masih juga bertanya?” Rudra Sangkala
mendengus marah. “Akulah korban sewenang-wenang
tumenggung keparat itu. Dahulu, dua belas tahun lalu,
ketika aku baru berumur delapan tahun. Aku tidak tahu
apakah alasan dan kesalahan orang tuaku. Tetapi
nyatanya tumenggung keparat itu datang bersama prajurit.
Ayahku mau ditangkap dan dipaksa ikut dia. Tetapi ayah
tak mau dan melawan. Akhimya ayah dan kakakku laki-laki
tewas dikeroyok. Kemudian aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri, ibuku dan kakakku perempuan menjerit-
jerit. Ibuku diseret dengan paksa oleh beberapa orang
prajurit, sedang kakakku perempuan menjerit dan meronta
dalam pondongan tumengggung keparat itu. Tidak
seorangpun tetangga berani menolong. Rumahku dibakar
dan mungkin akupun sudah dibunuh kalau saja tidak
ditolong oleh tetangga.”
Pemuda itu berhenti dan matanya berkaca-kaca,
agaknya ia terkenang akan peristiwa menyedihkan yang
lelah menimpa keluarganya ketika itu.
Namun sejenak kemudian ia sudah meneruskan,
“Tetapi huh, agaknya para prajurit itu tahu aku masih hidup
dan ditolong tetangga. Buktinya belum lama mereka pergi
sudah kembali lagi. Aku digelandang jatuh bangun oleh
kekasaran para prajurit itu. Tentu saja ketika itu aku
menangis dan berusaha memberontak. Namun aku segera
ditendang dan dipukuli disamping dibentak-bentak. Saking
takutnya terpaksa aku menurut digelandang. Tetapi ketika
prajurit itu lengah, aku berhasil memberontak dan lepas.
Lalu aku lari secapatnya, meninggalkan mereka. Huh,
sebagai anak kecil tentu saja aku tidak secepat mereka
lari. Tiba-tiba kepalaku sakit dan menjerit, lalu roboh
terrguling, entah apa yang kemudian terjadi. Ketika aku
membuka mata, aku sudah dalam dukungan seorang
perempuan dan dibawa lari cepat sekali.....”
“Siapakah perempuan itu?” selidik Hesti Makara.
“Engkau ingin tahu, huh huh. Engkau akan tekencing-
kencing mendengar nama perempuan itu. Karena
perempuan yang menolong aku, kemudian menjadi guruku
itu, adalah Ibu Murti Sari.”
“Ahhh…. dia gurumu?” Lurah Prajurit Bhayangkara
Majapahit yang bernama Hesti Makara ini benar-benar
kaget, dan wajahnya berubah pucat.
Tentu saja! Siapakah yang tidak kaget mendengar nama
perempuan itu disebut sebagai guru pemuda ini? Seorang
wanita sakti mandraguna jaman ini.
“Heh heh heh heh, guruku itulah yang sudah menolong
diriku. Dan dari guruku pula kemudian aku mendapat
keterangan jelas. Guruku mengakui datang terlambat
untuk menyelamatkan ibuku dan kakak perempuanku. Ibu
dan kakakku telah mati dalam keadaan menyedihkan.
Semua tewas setelah dinodai lebih dahulu...”
“Ahh.... tak mungkin. Itu bohong! Fitnah!”
Rudra Sangkala mendelik marah. “Apa? Fitnah. Apakah
engkau bisa membuktikan bahwa aku bohong dan
memfitnah? Hayo tunjukkan di mana ibu dan kakakku
perempuan sekarang berada.”
Hesti Makara tidak dapat nunjawah. Bagaimanakah
mungkin, ia dapat menjawab? Ia tidak tahu sama sekali
terjadinya peristiwa itu. Tetapi sebaliknya ia juga tidak mau
percaya kepada dongeng pemuda ini.
“Hemm, apapun alasanmu dan bagaimanapun yang
terjadi, kau tak boleh berbuat semau sendiri dan main
hakim sendiri. Negara Majapahit merupakan negara
hukum. Karena ini apa yang sudah kau lakukan itu
merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan berdosa
kepada Sri Paduka Raja. Hemm, anak muda, sungguh
kebetulan. Aku memang bertugas untuk menyelidiki
engkau. Sekarang begini saja, menyerahlah!”
“Heh... heh... heh... heh, kau mau menangkap aku?
Tangkaplah jika memang bisa!” ejek pemuda itu.
“Orang muda! Aku bermaksud baik, dan engkau jangan
takabur. Jika engkau mau menyerah baik-baik,
kemungkinan engkau masih mendapat pengampunan Sri
Paduka Raja. Akan tetapi apabila kau membandel, apakah
engkau berani melawan aparat kerajaan?”
“Heh... heh... heh... heh, mengapa tidak? Jika orang
macam eugkau mau sewenang-wenang dan membangga-
kan kedudukanmu sebagai aparat kerajaan, huh. siapa
takut?”
Ketika itu laki-laki yang berpakaian indah sudah keluar
dari warung, diiringkan dua orang yang lain. Memang
priyayi ini bukan orang sem barangan. Dia seorang Patih
Dalam Kerajaan Majapahit yang namanya amat terkenal.
Adityawarman. Dia memang seorang bangsawan yang
berpandangan luas, cerdik dan bisa bergaul dengan
kawula cilik.
Adityawarman sejak masih muda hubungannya dengan
Gajah Mada amat erat. Dan dia pulalah salah seorang
pendukung Gajah Mada untuk menduduki jabatan Patih
Mangkubumi atau Mahapatih Majapahit. Walaupun
sesungguhnya Gajah Mada bukan keturunan bangsawan.
Kedudukan Adityawarman saat sekarang ini amat tinggi
di Majapahit. Dia sejajar kedudukannya dengan
Laksamana Nala. Tetapi sesuai dengan kesukaannya
bergaul dengan kawula cilik ini, maka Adityawarman suka
sekali menjelajah desa.
Adityawarman selalu mengadakan wawancara dengan
rakyat dari hati ke hati untuk mengetahui kehidupan para
kawula cilik. Semua itu berguna bagi dirinya dan Kerajaan
Majapahit. Sebab dengan demikian bisa mengetahui
keadaan yangsebenarnya, bukan hanya berdasar laporan
dari bawahan yang belum tentu benar. Yang belum tentu
bawahan melaporkan keadaan sebenarnya. Tetapi sering
pula merupakan laporan yang bertentangan dengan
keadaan sebenarnya, yang semua itu guna menutupi
kekurangannya. Lebih lagi mereka yang suka bertindak
sewenang-wenang, mereka takut boroknya terbuka.
Dan sekarang ia hanya dikawal oleh tiga orang prajurit
Bhayangkara, menjelajahi beberapa desa. Ketika
mendengar Hesti Makara dengan pemuda itu bersitegang
Adityawarman kaget. Maka dengan pengawalnya segera
menghampiri.
“Makara! Apakah sebabnya kau bersitegang?” tanyanya.
“Gusti,” sahut Hesti Makara sambil memberikan
sembahnya. “Di luar dugaan hamba ternyata pemuda ini
mengaku, dialah pelaku kekejaman di Mojoduwur.”
“Apa?” Adityawarman kaget. “Maksudmu, yang sudah
membunuh Gora Swara dan membakar desa itu?”
“Kalau benar, kau mau apa?” sahut Rudra Sangkala
lantang, sambil mendelik. “Engkau siapa, berani men-
campuri urusanku?”
Mendadak pengawal pribadi bertubuh tinggi besar
bernama Kebo Druwoso membentak marah. “Jahanam
busuk! Siapakah eugkau, berani kurang ajar di depan Gusti
Adityawarman? Hayo, lekas berlutut dan mohon ampun!”
Rudra Sangkala kaget juga mendengar disebutnya nama
Adityawarman, seorang yang kedudukannya amat tinggi di
Majapahit dan terkenal sakti mandraguna. Namun rasa
kagetnya ini hanya sekilas saja, kemudian pemuda ini
ketawa terkekeh dan mengejek, “heh... heh... heh... heh,
aku mempunyai kebebasan sebagai orang yang tidak hidup
dari pemberian raja dan para bangsawan. Aku bukannya
budak seperti kau. Siapakah yang sudi berlutut di depan
orang?”
“Bedebah!” Kebo Druwoso menyumpah.
“Druwoso, diamlah,” ujar Adityawarman. Adityawarman
memandang Rudra Sangkala penuh selidik, kemudian
bertanya, “Benarkah engkau yang sudah membunuh Gora
Swara?”
“Mengapa masih bertanya lagi?” Tanpa tedeng aling-
aling aku sudah mengakui. “Aku berani berbuat berarti
pula bertanggung jawab. Huh, aku bukan pengecut yang
menyambit batu menyembunyikan tangan.”
Sepasang mata Adityawarman menyala mendengar
jawaban menantang ini. Tetapi dia seorang bangsawan
tinggi yang bijaksana. Seorang yang kedudukannya tinggi
dan pandai menguasai perasaan. Walaupun dalam hatinya
amat marah oleh sikap Rudra Sangkala, ia menahan diri
dan malah tersenyum.
“Hemm, anak muda. Tahukah engkau bahwa apa yang
sudah engkau lakukan ini merupakan perbuatan yang
berdosa amat besar? Engkau seorang kawula, tetapi berani
main hakim sendiri. Engkau harus sadar bahwa negara
Majapahit merupakan negara hukum. Kalau toh henar
Gora Swara bersalah sebaiknya kau laporkan kepada
pejabat di Majapahit, disertai bukti-bukti. Akulah yang akan
mengurus secara adil. Dan kalau Gora Swara sebagai
tumenggung memang bersalah, mengapa tidak dihukum?
Pasti! Siapapun bersalah tentu mendapat hukuman yang
setimpal.”
Adityawarman berhenti dan mengambil napas. Sejenak
kemudian ia meneruskan. “Anak muda, Aku Adityawarman.
Dalam menegakkan keadilan dan demi hukum, tidak
mengenal bulu. Hemm, sayang, engkau sudah lancang
tangan dan main hakim sendiri, membunuh seorang aparat
negara. Dosamu besar sekali anak muda, maka
menyerahlah untuk kubawa ke Majapahit dan diadili di
sana. Apabila dalam pemeriksaan ternyata engkau tidak
bersalah, kau tidak perlu khawatir. Aku yang menanggung
engkau akan dibebaskan kembali.”
Rudra Sangkala terkekeh mengejek mendengar ucapan
Adityawarman ini. Walaupun Adityawarman terkenal
sebagai seorang bangsawan Majapahit yang sakti
mandragnna, ia tidak takut! Apa yang harus ditakutkan?
Gurunya pernah berkata, dirinya sekarang merupakan
seorang pemuda pilih tanding. Maka timbullah niatnya
untuk membuktikan, apakah benar dirinya perkasa dan
sakti mandraguna?
“Heh... heh... heh... heh, kepada orang lain engkau bisa
membujuk dan mengancam. Tetapi Rudra Sangkala tidak
bisa digertak. Hayo, siapakah yang akan maju dan
melawan aku? Atau kamu mau maju berbareng dan
mengeroyok?”
Rudra Sangkala ini sungguh sombong dan takabur di
depan Adityawarman. Namun demikian Adityawarman tidak
marah, ia masih tetap dapat mengendalikan perasaan.
“Makara!” perintahnya. “Cobalah pemuda yang sombong
ini apakah benar-benar keras?”
Sebelum Hesti Makara sempat menjawah. Rudra
Sangkala mendahuluinya, “Bagus! Marilah kita coba!”
Lalu dengan sikapnya yang congkak dan sombong,
pemuda ini sudah berdiri tegak sambil membusungkan
dada. Mulutnya tersenyum mengejek sedang sepasang
matanya menyala memandang Hesti Makara.
Dada Hesti Makara seperti meledak melihat sikap
pemuda ini. Namun demikian ia masih bersabar, ia mem-
bungkuk ke arah Adityawarman sambil memberikan
sembahnya. Lalu ia menyanggupkan diri melaksanakan
perintah itu. Dan setelah itu barulah ia menghadapi Rudra
Sangkala.
“Hai orang muda!” Bentaknya. “Katakanlah dengan apa
kita mengukur kekuatan?”
Rudra Sangkala menyeriugai penuh ejekan. Jawabnya,
“Engkau mau menggunakan senjata apa? Silakan! Aku
cukup dengan dua tangan dan dua kakiku ini!”
Berkata demikian Rudra Sangkala mengacungkan dua
tinjunya di atas kepala dengan sikap yang amat merendah-
kan dan menghina. Sikap ini tentu saja kemarahan Hesti
Makara semakin terbakar. Namun mengingat dirinya lebih
tua, ia menekan perasaan.
“Baik! Marilah kita coba dengan tangan kosong.
Majulah!” Hesti Makara mengalah dan tidak mau memulai
mengingat dirinya sudah tua.
Rudra Sangkala tidak sungkan-sungkan lagi. Ia
menerjang maju dengau jari tangan terbuka membentuk
cengkeraman. Gerakannya cepat dan aneh. Gerakannya
seperti kacau tidak karuan, menubruk dan mencakar.
Begitu menerjang, kedua langannya mencengkeram ke
arah kepala lawan. Melihat serangan lawan yang kacau ini,
Hesti Makara tersenyum dingin. Ia tidak bergerak dan
hanya tangan kiri menyambar cepat dengan maksud untuk
menangkap pergelangan tangan lawan.
“Aihhh.....!” Hesti Makara berseru kaget sambil
melompat ke samping dan menendang.
Kurang cepat sedikit saja dirinya tentu sudah celaka di
tangan pemuda ini dalam segebrakan saja.
Memang tidak pernah diduga lawan, gerakan Rudra
Sangkala tadi mengandung rahasia gerakan yang belum
pernah dikenal oleh Hesti Makara dan amat berbahaya,
tahu-tahu hidungnya mencuim bau yang wangi dan hampir
saja sepasang matanya tertusuk oleh jari lawan, karena
tiba-tiba kepalanya menjadi pening.
Itulah racun wangi yang dapat membuat lawan mabuk
dan pening. Dan apabila lawan kurang berhati-hati
menghadapi akan tertipu dan gampang sekali roboh. Rudra
Sangkala sekarang ini sadar berhadapan dengan bahaya.
Maka pemuda ini tidak mau membuang waktu lagi dan
ingin secepatnya merobohkan lawan.
Dari kaget Hesti Makara menjadi marah sekali. Ia
membentak keras lalu mengebutkan tangan kanan yang
menerbitkan angin dahsyat ke muka Rudra Siangkala,
disusul dengan pukulan tangan kiri ke arah dada kemudian
disusul pula dengan tendagnan kaki kanan ke pusar.
Akan tetapi serangan yang susul menyusul itu oleh
Rudra Sangkala dapat dipunahkan semua dengan ber-
lompatan cepat, dan secara diam-diam pemuda ini telah
menjetikkan racun wangi yang disimpan di bawah kuku
jarinya yang panjang.
Hesti Makara tidak berani sembrono. Setiap hidungnya
menghirup bau wangi, ia cepat-cepat menutup pernafasan
sambil mengebut dengan telapak tangan.
Justru serangan-serangan Rudra Sangkala yang
dicampur dengan serangan racun wangi ini menyebabkan
Hesti Makara menjadi sangal marah, dan dalam waktu
singkat mereka telah terlibat dalam perkelahian sengit.
Akan tetapi Adityawarman yang awas, melihat per-
kelahian itu menjadi curiga disamping heran. Hesti Makara
menang pengalaman dan lebih matang dalam gerakan
maupun tenaga saktinya. Namun mengapa gerakan Hesti
Makara sekarang ini tampak kaku, kurang tenaga dan
takut-takut?
Adityawarman mengamati setiap gerak serangan Rudra
Sangkala, penuh perhatian dan selidik. Ia ingin tahu
mengapa sebabnya Hesti Makara berkelahi tidak seperti
biasanya.
“Plak plak ..... bukk..... bukk....!” terdengar suara dua kali
pukulan disusul masing-masing terhuyung ke belakang.
Akan tetapi secepat kilat Rudra Sangkala sudah melesat
ke depan dan melancrkan se-rangannya lagi.
Adityawarman mengamati perkelahian itu sekian lama.
Namun pejabat tinggi Majapahit ini belum juga bisa
mengetahui sebabnya mengapa sekali ini Hesti Makara
tidak segarang biasanya?
Menurut penilaian Adityawarman, sekalipun Rudra
Sangkala termasuk pemuda peng-pengan (jagoan), tetapi
tingkatnya masih sedikit di bawah Hesti Makara. Jadi sulit
dipercaya apabila Hesti Makara harus mengalami kesulitan
berhadapan dengan bocah ini. Tentu ada rahasia yang
menyebabkan Hesti Makara kesulitan.
Agaknya Kebo Druwoso juga melihat keanehan ini,
katanya, “Gusti, perkenankanlah hamba menolong dan
mengeroyok bocah itu. Nampaknya Hesti Makara
menghadapi kesulitan.”
Jangan! cegah Adityawarman halus. Hal itu akan
menyebabhkan dia tersinggung dan merasa terhina. Sebab
tidak seharusnya Hesti Makara menghadapi kesulitan
seperti ini. Kalau sekarang sampai terjadi maka sebab
itulah yang harus kita cari. Untuk itu tidak ada orangnya
yang lebih tepat melakukannya, kecuali diriku sendiri.
“Plak plak plak.....!”
Adityawarman dan pengawalnya kaget, ketika melihat
Hesti Makara terhuyung mundur beberapa langkah ke
belakang dengan wajah pucat. Disusul kemudian Hesti
Makara muntah darah segar.
Akan tetapi agaknya Rudra Sangkala yang merasa di
atas angin dan dapat memukul lawan sampai muntah
darah ini, tidak mau memberi kesempatan kepada lawan
bernapas. Ia melesat ke depan sambil berteriak nyaring.
Maksudnya sekali pukul, lawan harus roboh dan mampus.
“Plakk.....!” Rudra Sangkala terhuyung mundur dan
wajahnya pucat, ketika tangannya ditangkis orang dan
lengannya menjadi kesemutan. Mulutnya meringis
menahan sakit, namun sesaat kemudian wajah pemuda ini
berubah merah padam dan sepasang matanya seperti
menyala, menatap kepada Adityawarman.
“Huh... huh! Kamu mau mengeroyok, bagus.” ujarnya.
“jangan maju satu demi satu, lebih banyak lebih baik.”
Bukau main sombongnya pemuda ini. Kebo Druwoso
penasaran dan membentak nyaring, “Kurangajar! Apakah
engkau menganggap dirimu sudah paling sakli di dunia ini
dan tanpa tanding lagi?”
Rudra Sangkala mengejek. “Heh heh heh heh, kau boleh
mencoba.”
Hesti Makara sudah lerluka dalam. Setelah mengatur
pernapasan beberapa saat, darahnya berhenti bergolak
dan sesak dadanya menghilang. Ternyata luka itu tidak
berat dan tidak membahayakan. Karena itu ia segera
bangkit lalu memperhatikan Adityawarman yang sekarang
berhadapan dengan Rudra Sangkala.
Dengan pandang mata yang masih sabar Adityawarman
berkata, “Anak muda, dengar kataku. Menyerahlah dan
jangan melawan, percayalah penguasa peradilan Majapahit
bukanlah terdiri atas para manusia tamak. Tetapi apapun
alasannya, main hakim sendiri tidak bisa dibenarkan.”
Namun manakah mungkin Rudra Sangkala mau
mendengar nasihat Adityawarman ini? Hati bocah ini
menjadi besar setelah dapat memukul Hesti Makara
sampai muntah darah. Ia merasa kuat. Karena itu tidak
ada yang perlu ditakuti lagi.
“Heh heh heh heh, tak usah banyak mulut. Sambutlah
pukulanku!”
Dengan gerakan cepat Rodra Sangkala sudah kembali
menerjang ke depan. Jari tangannya meneyntil tabung
racun wangi di bawah kuku jari. Kemudian jari tangan kiri
yang semula bergerak membentuk cengkeraman itu sudah
berubah menjadi tinju memukul ke arah dada disusul
cengkeraman tangan kanan yang mencengkeram leher.
Adityawarman hanya menggeser kaki sedikit ke kanan
sambil mendorongkan tangan kiri, sedangkan tangan
kanan secepat kilat menyambar pergelangan tangan
lawan. Rudra Sangkala melompat untuk menghindar dan
Adityawarman kaget ketika hidungnya menghirup bau
wangi disusul rasa pening dan pandangan menjadi kabur.
Ia cepat menahan napas dan berusaha mendorong
pengaruh racun itu dari dalam tubuhnya.
Pengalamannya ini menyadarkan dirinya, pengaruh bau
wangi ini berbahaya. Kemudian ia sadar pula, inilah
agaknya yang menjadi penyebab Hesti Makara tidak
mampu melawan pemuda ini.
Sadar akau keadaan, ia menjadi marah. Ketika Rudra
Sangkala menyerang lagi, ia tidak segan-segan lagi
melayani. Sebab ia sadar, pemuda ini amat herbahaya bagi
masyarakat disamping pelanggar hukum dan ketertiban.
Maka merupakan kewajibannya untuk melenyapkan
manusia jahat ini dari muka bumi.
“Plakk..... Aihh...!” Rudra Sangkala berteriak kaget dan
cepat melompat mundur sambil berjungkir balik. Wajah
pemuda ini merah padam seteah berdiri kembali dan
memandang Adityawarman dengan mata mendelik.
Rudra Sangkala baru menyadari sekarang, laki-laki
tampan yang gerak-geriknya halus ini malah sangat
berbahaya. Pukulannya tadi begitu bertemu dengan
tangkisan lawan, terasa telapak tangan lawan lunak seperti
kapas dan tenaganya menjadi tenggelam. Kalau saja
dirinya tadi tidak lekas menarik kembali tangannya lalu
melompat dan berjungkir balik ke belakang, dirinya tentu
celaka.
Akan tetapi justru pengalaman ini menyebabkan Rudra
Sangkala meledak kemarahannya. Ia takkan mungkin bisa
mengalahkan lawan sakti ini, tanpa menggunakan
pedangnya. Dan kalau perlu iapun harus melepaskan
senjata rahasia pisau terbang yang kecil.
Sing.... Sinar kekuning-kuningan terpancar dari pedang
pusaka Rudra Sangkala, setelah mencabut pedang.
“Aihh.....!” tak tercegah lagi Adityawarman maupun para
pengawal itu berseru kaget,
Pedang Wesi Kuning.... seru Adityawarman.
Rudra Sangkala terkekeh, ejeknya. “Mengapa sebabnya
engkau kaget? Heh heh heh heh, pedangku ini memang
pedang pusaka dengan nama Wesi Kuning. Pedang yang
ampuh tanpa lawan. Huh, karena kau terlalu mendesak
aku, hemm, jangan sesalkan aku jika pedangku ini minun
darahmu!”
Sepasang mata Adityawarman menyala. Bukan saja oleh
ucapan Rudra Sangkala yang amat takabur dan menghina,
tetapi juga melihat pedang itu sendiri. Sebagai bangsawan
Majapahit tentu saja ia amat kenal dengan pedang pusaka
Wesi Kuning ini. Pedang pusaka milik Kerajaan Majapahit,
tetapi mengapa tiba-tiba sudah di tangan bocah liar ini?
“Hemm orang muda! Dari manakah engkau memperoleh
pedang ini? hardik Adityawarman dengan mata tidak
berkedip. Bukan saja engkau telah berdosa membunuh
pejabat negara, engkaupun ternyata pencuri pusaka
keraton.”
“Keparat!” bentak Rudra Sangkala dengan mata
menyala. “Siapakah yang mencuri? Pedang ini pemberian
Guruku. Mengapa sebabnya engkau sudah menuduh orang
sembarangan?”
“Siapakah gurumu?”
Tidak perlu aku sembunyikan. Guruku bernama Murti
Sari!”
“Ahhhh…….!” Adityawarman berseru tertahan
Bukan hanya Adityawarman, tetapi juga pengawal yang
lain, kecuali Hesti Makara yang tadi sudah tahu.
Akan tetapi walaupun sama-sama kaget, rasa kaget
berlainan. Kalau para pengawal itu kaget karena Murti Sari
terkenal sebagai wanita peng-pengan, wanita gagah
perkasa, sebaliknya Adityawarman karena soal lain.
Memang sudah bukan rahasia lagi bagi para bangsawan
Majapahit tentang nama tokoh terkenal yang mengaku
bemama Murti Sari ini. Tetapi bagi umum rahasia itu
ditutup rapat sekali agar tidak sampai menodai nama
Kerajaan Majapahit.
Murti Sari adalah nama baru sesudah Sirna Dewi diusir
dari keraton. Sebabnya diusir, akibat tindak perbuatannya
yang menodai nama baik para bangsawan yang lain.
Kecantikan wajah dan bentuk tubuh Murti Sari memang
tidak tercela, karena memang cantik jelita dan menawan.
Sebagai seorang puteri, ia telah dikawinkan seorang
bangsawan Majapahit bemama Narmada tetapi ternyata
Sirna Dewi seorang isteri yang tidak setia. Dia suka berbuat
serong dengan laki-laki lain. Saking malu menyaksikan
tingkah laku wanita itu, Narmada yang amat mencintai
Sirna Dewi. memilih bunuh diri.
Raja Jayanegara amat marah mendengar peristiwa itu.
Kemudian ia memerintahkan agar Sirna Dewi yang
mencemarkan nama baik keraton itu dihukum mati. Tetapi
sebaliknya Mahapatih atau Dyah Malayuda yang besar
pengaruhnya dan dekat sekali hubungannya dengan raja
memintakan ampun, dan hukuman mati itu supaya diubah
dengan pengusiran. Atas permintaan Mahapati ini
kemudian Raja Jayanegara setuju. Lalu diusirlah Sirna Dewi
dan tidak diakui lagi sebagai kerabat keraton.
Sesudah terjadinya peristiwa ini, muncullah nama tokoh
Murti Sari, tetapi kejam dan ganas tidak sesuai dengan
wajahnya yang cantik jelita.
Sekarang pemuda yang mengaku sebagai muridnya ini,
menguasai pedang pusaka keraton yang bernama Wesi
Kuning. Ia menduga, tentu Murti Sari yang sudah mencuri
pusaka itu di kamar pusaka.
Dan yang menyebabkan Adityawarman heran, mengapa
hilangnya pusaka ini dari kamar pusaka, tidak seorangpun
tahu? Dan kapan Murti Sari mencuri?
“Anak muda!” Bentaknya penuh wibawa. “Kembalikan
pedang itu kepada kami. Sebab pedang itu adalah milik
Kerajaan Majapahit.”
“Heh... heh... heh... heh. Rudra Sangkala mengejek.
“Enak saja engkau membuka mulut. Pendeknya pedang ini
milikku, pedang pemberian Guruku.”
“Anak muda! Jika kau keras kepala, aku terpaksa
menggunakan kekerasan!”
Tiba-tiba terdengar suara lengking amat nyaring dari
kejauhan, disusul suara yang kecil tetapi merdu.
“Adityawarman! Engkau berani mengganggu muridku?”
Adityawarman kaget, demikian pula pengawal. Orang
yang dapat berteriak dari tempat jauh dan jelas, mem-
buktikan sampai di manakah ketinggian ilmu yang
bersangkutan, tidak lama kemudian tampak bayangan
ramping bergerak seperti terbang.
“Ibu!” seru Rudra Sangkala sambil menjatuhkan diri dan
berlutut memberi hormat kepada gurunya.
Murti Sari tersenyum manis sekali. Dan sekalipun
umurnya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih
amat cantik sedang tubuhnya masih padat berisi,
terpelihara.
Selintas orang akan menduga umur Murti Sari baru
tigapuluhan kurang. Malah Adityawarman sendiri juga
merasa heran, mengapa perempuan ini bisa awet muda?
“Bangkitlah Anakku!” Katanya merdu ditujukan kepada
Rudra Sangkala.
Perempuan cantik ini lalu menghadapi Adityawarman
sambil bertolak pinggang. Sepasang matanya mendelik,
namun tetap saja sepasang mata itu indah dan menyedap-
kan dipandang. Katanya diiringi ketawanya yang merdu.
“Hi... hi... hik. Adityawarman! Hati-hati sedikit engkau
bicara. Siapakah yang sudah mencuri pedang pusaka Wesi
Kuning?”
“Hemm, pedang pusaka Wesi Kuning itu benda pusaka
milik kerajaan!” sahut Adityawarman dengan sikap tenang,
“kalau sekarang di tangan bocah ini, mana mungkin tanpa
mencuri?”
“Huh, engkau kurangajar sekali Adityawarman. Lupakah
engkau, siapakah aku ini? Engkau jangan menjadi
sombong setelah mempunyai jabatan tinggi, huh! Aku tidak
mencuri, tetapi aku mengambil pedang itu dari kamar
pusaka.”
“Mengambil tanpa seijin pemiliknya, bukankah itu
berarti mencuri?”
“Adityawarman!” bentak Murti Sari, “engkau keparat!
Apakah karena engkau sekarang berkedudukan tinggi,
dihormati orang lalu setamak ini? Kalau aku rela
kehilangan semua hak sebagai bangsawan Majapahit dan
hanya mengambil sebatang pedang saja, engkau masih
sampai hati menyebut diriku sebagai pencuri? Huh, Huh,
engkau jangan sembarangan membuka mulut!”
Mendengar ucapan Murti Sari yang kasar dan menghina
tuannya ini, tiga orang pengawal itu menjadi amat
penasaran. Apakah sebabnya tuannya itu masih bisa ber-
sikap sesabar itu?
Akan tetapi sekalipun marah dan penasaran mereka
tidak berani sembarangan membuka mulut maupun
menyerang Murti Sari. Sebab mereka menyadari, Murti Sari
sakti mandraguna.
Meskipun demikian kedudukan mereka hanya sebagai
pengawal, mereka tidak takut untuk mengorbankan nyawa
dalam membela tuan mereka. Karena alasan itu diam-diam
mereka sudah bersiap diri untuk membela keselamatan
Adityawarman.
“Murti Sari!” kata Adityawarman. “Mengapa sebabnya
engkau menyesal kehilangan hak itu?”
“Keparat! Siapakah yang menyesal? Aku hanya ingin
mengatakan, apakah salahnya aku mengambil pedang itu
untuk kepentingan muridku?”
“Murti Sari, apa yang engkau lakukan itu memang salah.
Benda itu adalah milik kerajaan. Maka siapapun tidak
boleh sembarangan mengambil tanpa ijin Raja. Dan tahu-
kah engkau akan akibat dari kelancanganmu ini? Dengan
pedang ini muridmu mengganas dan berani membunuh
tumenggung Gora Swara.”
“Hi... hi... hik, engkau membela tumenggung keparat itu?
Semestinya engkaulah yang berkewajiban menghajar dia.
Tetapi apakah sebabnya ada orang yang bersedia mewakili
engkau dan tidak minta imbalan jasa, engkau malah tidak
mengucapkan terima kasih? Apakah jadinya negara
Majapahit ini kalau terdapat sepuluh orang saja yang mem-
punyai pangkat tumenggung dan perbuatannya sewenang-
wenang seperti Gora Swara itu? Dia telah menyebabkan
muridku ini yatim piatu. Dialah yang menghancurkan
keluarganya. Apa salahnya dengan kemampuannya sendiri
membalas sakit hati dan menghukum bawahanmu yang
jahat itu?”
“Murti Sari!” bentak Adityawarman menggeledek.
Agaknya ia telah hilang kesabarannya. “Negara ini mem-
punyai hukum dan masyarakat dilindungi oleh hukum. Tiap
manusia tidak boleh berbuat semau sendiri dan main
hakim sendiri. Hemm, apakah tuduhanmu bahwa Gora
Swara jahat dan sewenang-wenang itu tidak membuka
kedokmu sendiri, bahwa engkau sendirilah yang sewenang-
wenang? Kalau benar Gora Swara bersalah, yang berhak
menentukan salah dan tidaknya bukanlah engkau, bukan
muridmu dan bukan aku pula. Salah dan benar itu baru
terbukti apabila sudah diadili oleh pengadilan negara. Nah,
mestinya laporkan tindak perbuatan dengan bukti-bukti
dan saksi-saksi kepada hakim. Kemudian pengadilanlah
yang akan memeriksa dan mengadili. Hemm, bukan
dengan caramu sendiri yang main hakim sendiri.”
Adityawarman berhenti sejenak. “Lalu, Murti Sari!
Sekarang begini. Demi aku dan demi engkau, kembalikan
pedang pusaka Wesi Kuning itu dan serahkan pula
muridmu kepadaku.”
Murti Sari terkekeh mengejek. “Heh... heh... heh... heh,
enak saja engkau membuka mulut. Serahkan pedang dan
serahkan murid, siapa bilang muridku bersalah? Huh...
huh, taukah engkau siapa yang berani mengganggu murid-
ku berarti pula menantang diriku Adityawarman! Katakan-
lah terus terang, engkau berani melawan aku?”
“Hemm, aku seorang petugas negara, tidak pandang
bulu! Siapa yang bersalah harus mendapat hukuman yang
setimpal. Dan sebagai seorang hamba kerajaan, nyawa aku
pertaruhkan demi pengabdianku kepada kerajaan. Akan
tetapi sekalipun demikian sungguh menyesal sekali,
mengapa peristiwa semacam ini harus terjadi? Mengapa
engkau tersesat sejauh ini”? Adityawarman menghela
napas di tengah rasa penasaran. Karena sesungguhnya
saja ia tidak tega harus menggunakan kekerasan terhadap
Murti Sari.
Murti Sari tertawa dingin, jawabnya. “Kau bilang sebagai
petugas negara dan tidak pandang hulu? Bagus! Dan kau
bilang aku sesat? Bagus! Marilah kita buktikan siapa di
antara aku dan engkau, siapa yang lebih kuat? Tetapi huh,
jangan sesalkan aku jika terpaksa aku akan membunuh
engkau!”
Murti Sari memalingkan muka kepada Rudra Sangkala
yang berdiri di belakangnya, lalu berkata, “Sangkala!
Pinjamkan pedang itu padaku. Pedang Wesi Kuning setiap
sudah dihunus tak boleh disarungkan lagi, sebelum minum
darah manusia.”
Rudra Sangkala segera maju dan memberikan pedang
pusaka Wesi Kuning yang terhunus itu. Oleh sinar matahari
yang menimpa batang pedang itu, berkilauan cahaya
kuning. Setelah memegang pedang pusaka Wesi Kuning
itu, katanya. “Adityawarman. Cabutlah senjatamu!”
Dengan agak malas, Adityawarman mencabut pedang-
nya pula. Sungguh mati dalam hati Adityawarman tidak
senang harus menghadapi Murti Sari dengan kekerasan
ini.
“Sring....” ketika pedang dicabut, berkilauan sinar itu
dari batang pedang. Kemudian pedang tersebut dilintang-
kan di depan dada.
Dua batang pedang yang sama-sama menyinarkan
cahaya. Yang satu berkilauan dan sinarnya kuning, sedang
sebatang lagi bersinar kebiruan. Ini merupakan bukti
bahwa dua-duanya merupakan pedang pusaka. Memang
pedang yang digunakan Adityawarman ini pedang Tunggul
Naga.
“Murti Sari!” kata Adityawarman. “Demi tugas, terpaksa
aku meuyambut tantanganmu. Dan demi kewibawaan
negara Majapahit pula aku harus bertindak keras kepada-
mu.”
“Tak usah banyak mulut. Sambutlah!” lengking Murti
Sari.
Seleret sinar kuning menyambar ke depan. Pedang Wesi
Kuning itu hanya sebatang saja. Tetapi di tangan Murti Sari
ketika pedang bergerak lalu berubah menjadi beberapa
batang, menyamhar ke arah mata, leher, pundak dan
uluhati.
“Trang…trang….trang…!” Benturan dua pedang me-
nimbulkan suara berdencing beberapa kali. Kemudian dua
leret sinar biru dan kuning itu saling libat seperti kilat
cepatnya. Pemandangan itu indah sekali bagai pelangi.
Namun di balik pandangan yang menarik itu tersembunyi-
lah ancaman maut yang mengerikan.
Dalam waktu singkat, mereka sudah berkelahi dengan
sengit. Tubuh mereka lenyap terbungkus oleh sinar pedang
yang tidak pernah putus. Kadang melebar, kemudian
menyempit lagi. Sesaat lagi terpisah menjadi dua gulung
sinar yang menyilaukan.
Perkelahian yang terjadi antara dua orang sakti ini men-
debarkan dan menegangkan. Lebih-lebih mereka sama-
sama memegang pedang pusaka. Suara berdencing selalu
terdengar dan di tengah suara dencingan senjata ini, ter-
dengarlah Murti Sari berteriak kepada muridnya.
“Sangkala! Pergilah engkau. Biarlah cacing-cacing busuk
ini, aku sendiri yang menyelesaikan.”
“Ibu! Manakah mungkin murid dapat meninggalkan
Guru dalam keadaan seperti ini? Pendeknya murid baru
mau pergi jika bersama Ibu.”
“Kurangajar kau, Sangkala! Engkau berani membantah
perintah Ibumu? Hayo lekaslah pergi. Ibumu akan segera
menyusul engkau.”
Rudra Sangkala tidak berani membantah lagi, tetapi
baru saja akan melangkah. Kebo Druwoso sudah mem-
bentak nyaring, “Berhenti!”
Laki-laki tinggi besar itu sudah melompat dan meng-
hadang. Namun menyusul terdengar seruan kaget dari
mulut Kebo Druwoso sambil sibuk melompat dan
mengebutkan dua tangannya, sehingga Rudra Sangkala
dapat pergi tanpa gangguan lagi.
“Apa yang sudah terjadi?” Begitu Kebo Druwoso mem-
bentak dan menghadang. Rudra Sangkala telah menyerang
dengan senjata rahasia pisau kecil. Dalam menyambitkan
pisau terbang ini, Rudra Sangkala tidak tanggung-
tanggung. Pisau dua kali tujuh telah menyambar ke arah
Kebo Druwoso dalam jerak cukup dekat. Dalam kagetnya
ia memang masih dapat menghindari sambaran pisau
terbang kelompok pertama. Tetapi sambaran pisau yang
kedua, sungguh di luar dugaan Kebo Druwoso. Di antara
tujuh pisau belati yang menyambar itu, masih sempat
mampir pada pahanya.
Pisau kecil itu menancap dan mengeluarkan darah.
Untung sekali pisau itu tidak beracun. Pisau tersebut cepat
dicabut lalu tempat luka itu dibubuhi obat luka, tetapi
justru kesempatan ini menyebabkan Rudra Sangkala dapat
pergi tanpa gangguan lagi. Sebab baik Hesti Makara
maupun Wukir Boja yang tak menduga peristiwa itu, tidak
sempat membantu dan menghadang
Akan tetapi kalau Kebo Druwoso menderita rugi oleh
serangan Rudra Sangkala, sebaliknya Murti Sari harus
menderita rugi pula, karena tadi melawan sambil berbicara
dengan muridnya. Oleh gerakan yang sedikit lambat saja,
tangkisan pedangnya melesat dan menyebabkan baju
pada bagian pundaknya robek.
Masih untung sekali Murti Sari sempat merendahkan
pundaknya, sehingga ujung pedang pusaka Tunggul Naga
itu tidak melukai kulit dan dagingnya, tetapi sekalipun
hanya robek bajunya, peristiwa ini menyebabkan Murti Sari
amat marah. Mendadak perempuan sakti ini melengking
nyaring, menerjang Adityawarman dengan pedang pusaka
Wesi Kuning, sedangkan lengan kirinya sudah memegang
saputangan kecil warna hijau. Sambil menyerang itu Murti
Sari mengebutkan saputangan ke arah muka Aditya-
warman.
Adityawarman kaget sekali oleh kebutan sapu tangan
kecil ini dan sadar bahwa saputangan ini tentu
mengandung racun berbahaya. Maka cepat-cepat ia
menutup pernapasan.
Saputangan kecil warna hijau ini memang amat
berbahaya. Di saputangan inilah tersimpan racun wangi
yang dapat menyebabkan orang pening, mabuk tak sadar-
kan diri. Dan berkat keampuhan racun wangi inilah yang
membantu menanjaknya nama Murti Sari, sehingga di-
takuti oleh banyak orang.
Berkat pengalamannya menghadapi Rudra Sangkala
tadi dan menutup pernapasan, ia selamat dari serangan
racun. Namun demikian manakah mungkin dirinya dapat
bertahan terus tanpa menghirup napas? Hal ini menyebab-
kan Adityawarman harus membagi perhatian. Sebab
disamping menggunakan pedangnya untuk melindungi diri
dan membalas serangan, ia juga harus menggunakan
tangan kiri untuk mengebut guna mengusir hawa beracun
yang selalu disebarkan oleh Murti Sari.
Dan celakanya pula Murti Sari adalah perempuan yang
cerdik. Makin kuat Adityawarman mengusir racun yang
ditebarkan makin banyak pula kebutan yang dilakukan.
Melihat repotnya Adityawarman melawan Murti Sari ini.
Kebo Druwoso, Hesti Makara dan Wukir Boja menjadi
khawatir sekali dan tegang. Akan tetapi untuk menerjang
maju dan membantu, mereka juga tidak berani. Mereka
sudah kenal watak Adityawarman. Seorang ksatrya sejati
yaug benci setengah mati kepada apapun yang berbau
curang. Maka kalau mereka maju membantu, hal ini bisa
menyebabkan Adityawarman tidak senang. Sebab per-
buatan itu akan menurunkan martabat dan harga dirinya.
Itulah sebabnya walaupun mereka kawatir, mereka tidak
berani berbuat apa-apa dan mereka bagai semut di atas
api.
Dari sedikit tetapi pasti, pengaruh racun wangi yang
sempat terhirup oleh pernapasan Adityawarman
mempengaruhi perlawanannya. Karena pengaruh racun
tersebut menyebabkan kepala pening, dada sesak dan
pandang mala kabur.
Sekalipun demikian masih untung Murti Sari belum
melupakan hubungan keluarga dengan Adityawarman.
Pendeknya Murti Sari sudah merasa puas apabila bisa
menang melawan tokoh Majapahit yang namanya amat
terkenal itu. Dengan demikian nama besarnya akan
menjadi semakin menanjak dan akan ditakuti semua
orang.
“Tring trang trang cring trang.... Aihh....”
Setelah terjadi benturan pedang berturut-turut yang
nyaring, terdengar seruan tertahan Adityawarman, lalu
tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari pundaknya sudah
robek berikut sedikit kulit dan dagingnya. Sekalipun
demikian luka itu tidak berat.
“Hi... hi... hik, Adityawarman! Engkau bersedia mengakui
diriku yang menang atau tidak?” Murti Sari ketawa genit
sambil mengejek.
“Hemm,” Adityawarman menghela napas panjang.
“Terus terang aku mengaku kalah dan pergilah. Aku takkan
mengganggu lagi.”
“Hi... hi... hik,” Murti Sari ketawa merdu, lalu melangkah
meninggalkan Adityawarman yang penasaran dan para
pingawalnya.
Tiba-tiba Wukir Boja berteriak. “Berhenti!”
Murti Sari berhenti juga dan mengangkat alisnya yang
lentik. Sepasang matanya yang indah itu menyala menatap
tajam kepada Wukir Boja.
Akan tetapi sebelum Murti Sari sempat membuka mulut
Adityawarman sudah mendahului membentak. “Wukir Boja
Apakah maksudmu? Aku sudah kalah dan biarkan dia
pergi.”
Wukir Boja menundukkan kepala masygul, tetapi tidak
berani membantah.
Murti Sari terkekeh, katanya, “Adityawarman. Jika tidak
memandang mukamu, pengawal yang lancang mulut itu
tentu sudah aku remuk kepalanya. Sudahlah, selamat
tinggal.”
Sekali melompat tubuh Murti Sari yang ramping dan
masih berisi itu, sudah bergerak cepat sekali meninggalkan
empat orang itu yang memandang dengan hati penasaran.
Diam-diam tiga orang pengawal ini mencela tuannya,
mengapa mengalah kepada perempuan itu. Padahal kalau
Murti Sari tidak menggunakan saputangan beracun ter-
sebut, manakah mungkin menang melawan Aditya-
warman?
Di antara tiga pengawal itu yang berani mengemukakan
perasaan hanyalah Hesti Makara. Katanya, “Gusti, dia jelas
bersalah melindungi muridnya yang berdosa. Akan tetapi
mengapa sebabnya Gusti membiarkan dia pergi?”
Adityawarman menghela napas panjang. Sesaat
kemudian ia berkata penuh wibawa. “Dengarlah kamu
semua. Apapun alasannya aku sudah dikalahkan dalam
perkelahian tadi. Aku menderita di pundak. Benar atau
salah seorang yang menderita kalah harus mau mengakui
secara jujur. Dan sudah tentu pula sebagai orang yang
kalah, aku tidak berhak menahan dia lebih lama lagi, dan
tidak boleh pula mengganggu.”
Tiga orang ini diam-diam mendengar jawaban Aditya-
warman memuji keagungan wataknya. Memuji sikap
ksatrya yang penuh tanggungjawab. Namun mereka masih
tidak percaya Adityawarman kalah benar-benar ber-
hadapan dengan Murti Sari. Dalam hal ilmu kesaktian jelas
Adityawarman unggul. Dan sebabnya sampai menderita
luka karena pengaruh racun wangi yang disebarkan Murti
Sari lewat saputangan.
Maka setelah berdiam diri beberapa saat lamanya,
berkatalah Kebo Druwoso. “Tetapi Gusti, kalau dikatakan
menang, kemenangan Murti Sari tidak wajar. Dia curang
menggunakan racun.”
“Engkau benar! sahut Adityawarman. Tetapi siapakah
yang dapat melarang Murti Sari menggunakan akal
ataupun racun? Dia toh butuh menang, maka tidak salah
apabila dia menyebarkan racun wangi yaug membuat
orang pening dan dada sesak. Hemm, sudahlah.
Pendeknya aku sudah kalah melawan Murti Sari dan
Marilah kita pulang.”
Tiga orang pengawal itu tidak berani membuka mulut
lagi. Mereka kemudian mengikuti langkah tuannya.
Beberapa orang yang sempat menyaksikan apa yang
terjadi, dan sempat pula mendengar pembicaraan itu tidak
ada yang berani mengganggu, tetapi bagaimanapun dalam
hati orang-orang ini memuji watak Adityawarman.
Memang demikianlah watak Adityawarman. Watak
seorang ksatrya sejati yang dijauhkan oleh rasa benci dan
dendam. Segala langkah dan perbuatannya, terkenal selalu
bijaksana dan adil. Maka terhadap peristiwa ini terus
terang diakui kekalahannya, tanpa mau bicara lagi tentang
sebab musababnya menderita kekalahan.
* * *
3
Sebagai seorang gadis remaja yang belum pernah
pergi kemanapun, perjalanan Dewi Sritanjung
sekarang ini menimbulkan kecanggungan juga
disamping merasa ragu untuk berbuat. Namun sesuai
dengan pesan Kiageng Tunjung Biru agar tidak menunjuk-
kan rasa asingnya di tengah masyarakat maka dalam me-
langkahkan kaki ini gerakkannya mantap.
Disamping itu agar tidak menarik perhatian orang ia
melangkah seperti yang lain apabila di tempat ramai. Baru
setelah di tempat sepi, ia menggunakan kepandaiannya
lari dan bergerak cepat.
Akan tetapi walaupun Dewi Sritanjung sudah berusaha
agar tidak tampak asing, orang yang melihat kemudaan-
nya, kecantikannya dan tubuhnya yang padat berisi itu,
bagaimanapun menarik pula perhatian orang. Baik bagi
orang yang hanya sekadar kagum akan kecatnikan wajah-
nya, maupun laki-laki mata keranjang yang selalu memburu
wanita, karena menimbulkan perasaan dag dig dug.
Disamping menarik juga menimbulkan perasaan heran.
Sebab, sebagai seorang gadis dan cantik pula, mengapa
berani melakukan perjalanan seorang diri? Namun
disamping orang merasa heran, juga tidak sembarangan
orang berani mengganggu, karena setiap orang bisa
menduga, orang yang berani melakukan perjalanan se-
orang diri dan wanita pula, tentu sakti mandraguna. Maka
bagi para laki-laki biasa, hanya dapat mengagumi dan tidak
berani mengganggu.
Pada hari ini matahari menyinarkan cahaya gemilang
sehingga terasa terik. Maka peluh membasahi sekujur
tubuh Dewi Sritanjung, dan gadis ini merasa kegerahan.
Bagi gadis yang lain, jika merasa haus takkan kesulitan,
mampir ke dalam warung lalu membeli tetapi bagi Dewi
Sritanjung yang belum pernah mengenal nilai uang dan
belum pernah pula membeli sesuatu, merasa repot juga
berhadapan dengan rasa haus ini.
Benar kakeknya sudah membekali uang dan petunjuk
seperlunya, bagaimanakah cara orang mau membeli dan
membayar kalau jajan di warung. Namun demikian gadis
ini masih timbul rasa ragu dan bimbang untuk membeli.
Sebaliknya kalau harus masuk ke pekarangan orang untuk
minta air, juga timbul rasa malu disamping takut.
Sebenarnya saja seorang gadis berwajah cantik seperti
Dewi Sritanjung ini, berbahaya juga berpergian seorang diri,
sekalipun sudah membekali ilmu kesaktiannya yang cukup
tinggi. Soalnya ia belum pernah bergaul dalam masyarakat,
dan belum pernah pula mengenal tipu muslihat orang.
Sudah tentu gadis belum berpengalaman seperti ini akan
menjadi mangsa empuk bagi orang jahat.
Masalah ini memang suduh terpikir pula oleh Kiageng
Tunjung Biru, hingga pada mulanya timbul pula perasaan
tidak tega. Namun kemudian Kiageng Tunjung Biru
memaksa diri untuk melepas muridnya ini. Sebab menurut
pendapatnya, dengan kesulitan dan bahaya yang dihadapi
akan memberi pengalaman berharga bagi bocah itu
sendiri, hingga cepat dapat berpikir secara dewasa dan
kemudian tahu bahwa setiap orang yang hidup di dunia ini
harus tahu cara bergaul dengan orang lain.
Ketika Dewi Sritanjung menginjakkan kakinya di
Nganjuk, matahari tepat memancarkan sinar peraknya di
tengah jagad. Sinar matahari itu terasa panas sekali hingga
gadis ini merasa tidak sanggup lagi menahan rasa haus.
Untung kemudian tidak jauh di depan ada sebuah
warung yang tidak jauh dari pasar. Sekali pun diselimuti
rasa ragu dan bimbang, namun kakinya dipaksa pula
supaya melangkah tanpa ragu.
Warung itu agak besar dan beberapa meja maupun
bangku panjang memenuhi ruangan. Beberapa
perempuan, menikmati pesanan sambil bicara dan
bercanda.
Dewi Sritanjung berketetapan hati, masuk warung tanpa
ragu dan tidak pedulian lagi. Ia segera duduk di salah satu
bangku dan mejanya masih kosong. Pendeknya, orang
masuk warung dapat membayar, siapa dapat melarang?
Akan tetapi ketika ia merasa menjadi perhatian orang,
hatinya terasa berdebaran juga. Maka setelah duduk
dengan sepasang matanya yang indah, tanpa rikuh lagi ia
sudah membalas setiap pandangan orang, baik laki-laki
maupun perempuan. Sebab menurut pikiran gadis ini,
apakah salahnya kalau dirinya membalass memandang
orang-orang itu, justru mereka juga memandang dirinya?
Tidak disadari sama sekali oleh gadis ini, bahwa dalam
pergaulan masyarakat pandangan perempuan yang mem-
balas pandangan laki-laki bisa menimbulkan salah duga.
Laki-laki bisa mengir perempuan itu adalah suka me-
nanggapi ajakan laki-laki atau suka diajak kencan.
Seorang pelayan laki-laki menghampiri dan dengan
sikap hormat bertanya, “pesan apa?”
Sesungguhnya bagi Dewi Sritanjung yang biasa hidup di
dalam hutan, lebih suka minum air serai seperti
kebiasaannya sehari-hari. Sedang dalam soal makan cukup
singkong, ketela, gembili, kimpul atau jagung. Malah kalau
perlu sudah cukup kenyang hanya makan daging bakar.
Namun sesuai dengan pesan kakeknya agar tidak
menimbulkan kesan keasingannya, maka gadis ini
berlagak juga. Malah kemudian timbul pula seleranya
untuk mencicipi makanan lain yang selama ini belum
pernah dinikmati. Bukankah hal ini penting bagi dirinya dan
penting pula dalam usaha menyesuaikan dirinya dalam
pergaulan masyarakat yang baru saja ia kenal?
“Terangkan yang jelas, apa saja makanan yang paling
terkenal di warung ini,” ujarnya tanpa ragu.
Dalam mengucapkan kata-kata ini ia cukup keras, dan
ucapan itu memancing perhatian orang disamping ketawa
pula. Mendengar orang tertawa dan beberapa pasang mata
memandang dirinya, ia mengerutkan alis. Akan tetapi
karena tidak lahu arti dari ketawa orang itu, ia hanya
merasa heran dan aneh. Ia tidak marah dan mengalihkan
perhatian kepada pelayan yang masih berdiri di dekatnya.
Dipandang sedemikian rupa oleh seorang gadis yang
cantik jelita, sudah tentu si pelayan menjadi gelagapan
disamping terpesona. Sebagai akibatnya pula mulut si
pelayan ini seperti terkunci dan sulit mengucapkan kata-
kata.
Pada meja yang berhadapan letaknya dengan meja Dewi
Sritanjung, duduk dua orang pemuda. Kalau pada mulanya
pemuda ini duduk berhadapan sekarang menggeser diri,
kemudian mereka duduk berdampingan. Maksudnya jelas
agar dengan demikian dapat memandang gadis itu lebih
leluasa.
Ketika melihat si pelayan tidak segera dapat menjawab,
salah seorang sudah membuka mulut. “Warung ini terkenal
dengan gulai kambing. Agaknya lebih tepat apabila Adik
pesan nasi gulai saja.”
Kalau gadis lain, kelancangan pemuda ini tentu sudah
dapat menimbulkan salah paham dan salah-salah bisa
terjadi percekcokan pula. Tetapi Dewi Sritanjung yang
masih asing di masyarakat ini tidak marah dan malah
mengangguk.
“Terima kasih Saudara telah menolong aku,” katanya
diiringi senyum manis. “Baiklah, berikan kepadaku nasi
gulai. Sedang minumannya apa saja boleh.”
“Lebih enak kopi tubruk,” pemuda yang lain ikut
memberi saran, agaknya ingin pula mendapat senyum
manis seperti temannya.
Harapannya terkabul juga, karena gadis ini mengangguk
sambil tersenyum manis. Ia mengucapkan terima kasihnya
seperti tadi dan kepada pelayan ia minta disediakan kopi
tubruk.
Memang tidak bisa disalahkau kalau Sritanjung bersikap
seperti itu, karena ia beranggapan bahwa dua orang
pemuda ini memberi pertolongan. Sesuai dengan petunjuk
kakeknya, setiap orang yang mengulurkan tangan tanpa
diminta, itu merupakan pertolongan, dan harus diterima
dengan senang hati sambil mengucapkan terima kasih.
Hanya agak sayang cara menanggapi pertolongan yang
diberikan orang ini. Dewi Sritanjung menanggapi tanpa
prasangka buruk. Ia menyangka pertolongan mereka ini
merupakan pertolongan yang wajar. Padahal dua pemuda
ini menerima keadaan ini dengan dugaan lain, mengira
gadis jelita yang belum mereka kenal ini sudah bersedia
menanggapi.
Pemuda yang bicara pertama tadi kemudian mem-
beranikan diri bertanya. ”Apakah Adik seorang diri saja?”
Dewi Sritanjung mengangguk sambil tersenyum,
jawabnya, “Ya! Aku hanya seorang diri.”
“Bolehkah kami menemani makan di meja Nona?”
Seperti dua ekor kucing melihat tikus, mereka cepat
bangkit, kemudian mereka duduk di depan Sritanjung,
dibatasi oleh meja. Dengan duduk berhadapan seperti ini
mereka dapat menikmati wajah ayu itu lebih jelas.
Kaki dua pemuda ini saling sentuh, mengandung arti
tertentu tanpa ungkapan kata.
Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka itu memang
belum tahu dan tidak menyadari bahwa cara mereka me-
mandang itu adalah kurang sopan dalam pergaulan. Hanya
saja memang dalam dada gadis ini timbul pertanyaan pula
yang tidak terjawab, mengapa orang-orang itu memandang
dirinya penuh perhatian dan siap memberi pertolongan?
Setelah satu meja, dua pemuda ini lalu memperkenal-
kan diri. Yang seorang menyebut dirinya dengan nama
Kaligis, dan yang seorang memperkenalkan diri dengan
nama Sangkan. Dan sebaliknya Dewi Sritanjung yang tanpa
prasangka itu memperkenalkan diri tanpa ragu.
Dalam kegembiraannya, kemudian Sangkan memanggil
pelayan. Setelah pelayan itu datang, ia berkata, “kami akan
merayakan perkenalan kami dengan Adik Sritanjung in
karena itu sekarang tolong sediakan sate hati, masak
buntut, gulai dan tiga piring nasi putih.”
“Ahh,Saudara Sangkan,” ujar Sritanjung. “Aku tadi
sudah pesan makanan yang saya butuhkan. Tetapi
mengapa Saudara pesan lagi?”
Sangkan yang cerdik dan licin ini tentu saja lebih pandai
memikat perhatian orang. Jawabnya, “Adik Sritanjung,
maafkan aku. Sekarang ini Adik sebagai tamu kami maka
harus kami hormati. Dan untuk itu, kami selenggarakan
pesta sederhana ini.”
Kaligis yang sudah dapat menangkap maksud Sangkan
segera menyambut dengan ujar manis, “Benar! Adik
Sritanjung jangan menolak itu tidak baik. Bagaimanapun
perkenalan kita ini harus kita rayakan, sekalipun hanya
secara sederhana.”
“Lalu bagaimanakah dengan pesananku tadi?”
“Hal itu gampang, sebab bisa kita batalkan. Sebab
dalam merayakan perkenalan kita ini akan menjadi lebih
akrab kalau kita makan hidangan yang sama,” Sangkan
membujuk.
Dewi Sritanjung yang tidak mempunyai prasangka buruk
mengangguk. Ia setuju dengan maksud dua orang pemuda
yang baru ia kenal ini.
Sambil menunggu datangnya hidangan yang dipesan,
Sangkan memulai dengan pertanyaan, “Apakah Adik
Sritanjung sekarang ini sedang melakukan perjalanan?
benarkah? Kalau benar, lalu mau ke mana?”
“Aku? Oh. Saudara pandai sekali menduga orang.” Dewi
Sritanjung heran mengapa Sangkan dapat menduga secara
tepat. Memang sebenarnya aku sedang menuju Ibukota
Majapahit.
“Ohhh.....” tidak tercegah lagi terlepas seruan tertahan
dari mulut Kaligis dan Sangkan.
Tentu saja mereka menjadi heran dan hampir tidak
percaya, karena jarak Majapahit tidak dekat. Mengapa
gadis yang muda dan jelita ini bepergian seorang diri?
Kalau menilik gerak-geriknya yang halus dan sikapnya yang
polos ini, Sangkan sudah dapat menduga, gadis ini tentu
berasal dari desa yang jauh dengan kota. Dan agaknya
hanyalah gadis desa biasa yang tidak mengenal tajamnya
pedang. Karena gadis ini juga tidak tampak menyandang
senjata.
Memang tidak mengherankan apabila Sangkan sampai
keliru duga, menganggap gadis ini gadis lemah yang tidak
kenal ilmu kesaktian. Karena pedang pusaka Tunggul
Wulung disembunyikan sedemikian rupa hingga tidak
tampak. Dan hal ini dilakukan sesuai dengan petunjuk
Kiageng Tunjung Biru.
“Seorang diri Adik ke Ibukota Majapahit. Apakah Adik
sudah tahu, di manakah letak kota tersebut?” pancing
Sangkan.
Dewi Sritanjung menggeleng. Ia memang belum tahu,
maka ia menggeleng dan kemudian menjawab sejujurnya.
“Baru kali ini aku mau ke sana. Kakek hanya bilang,
Ibukota Majapahit letaknya di bagian timur. Akan tetapi di
mana, terus terang aku belum tahu.”
Mendengar ini Kaligis dan Sangkan saling pandang
disusul bibir tersenyum penuh arti.
“Ahh, kita sungguh beruntung karena kita mempunyai
tujuan sama,” ujar Sangkan. “Apakah Adik Sritanjung tidak
keberatan kalau kita menuju ke sana bersama-sama?
Dengan bersama-sama berarti Adik Sritanjung mempunyai
teman untuk diajak bicara dalam perjalanan.”
Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka ini menyambut
ajakan ini dengan seuyum manis dan wajah berseri.
Apakah salahnya menerima ajakan pemuda ini justru
dengan adanya teman, perjalanannya ke Ibukota Majapahit
akan lebih lancar, dan kalau terjadi apa-apa bisa diminta
pertimbangannya?
“Tentu saja aku senang sekali,” jawabnya. “Melakukan
perjalanan bersama kalian. Disamping itu tentunya kalian
sudah pernah datang ke sana?”
“Bukan hanya pernah, tetapi malah sudah berkali-kali
datang ke sana,” Sangkan menyahut cepat, nadanya
sungguh-sungguh. “Melakukan perjalanan ke sana ber-
sama kami tentu saja akan lebih aman dan cepat tiba di
sana, karena tidak perlu bertanya-tanya lagi.”
Bagi gadis ini yang masih asing dengan kota dan baru
terjun ke masyarakat, tentu saja masih belum mengenal
macam apakah manusia jahat yang suka menggunakan
tipu muslihat ini. Karena itu dirinya mengira, orang yang
sudah sering ke Ibukota Majapahit akan mengenal semua
orang.
“Sudah berapa kali kalian ke sana?” tanyanya penuh
minat. “Dan apakah kalian juga sudah kenal pula dengan
seorang pemuda tampan bernama Surya Lelana?”
Mendengar pertanyaan ini Sangkan dan Kaligis garuk-
garuk kepala. Namun Sangkan seorang licik dan licin,
sesaat kemudian sudah menjawab mantap. “Ohh, apakah
Adik merupakan teman baik Surya Lelana? Sungguh
kebetulan sekali akupun sahabatnya.”
“Bagus sekali kalau kalian juga sahabat baik Surya
Lelana.” Dewi Sritanjung gembira sekali, hingga bibirnya
yang indah itu tersenyum lebih indah dan sedap dipandang
mata. Senyum gadis ini merupakan senyum polos dan
tidak malu-malu.
“Sungguh menyenangkan sekali Saudara,” sambut
Sritanjung. “Dengan demikian berarti perjalananku tidak
akan kesepian lagi. Dan sudah tentu pula melakukan
perjalanan jauh bersama kawan akan mengurangi rasa
lelah dan perjalanan yang jauh itu seperti tidak terasa.”
“Adik benar,” Kaligis yang sejak tadi hanya berdiam diri
mulai ikut bicara. “Lebih-lebih Adik belum pernah datang
ke sana. Sebaliknya, kami yang sudah berkali-kali datang
ke sana, dengan gampang akan mengantarkan Anda ke
rumah Surya Lelana.”
“Ya!” Sritanjung yang selalu menyungging senyum
maniss ni, menyebabkan suaranya lebih merdu lagi. “Dan
tentu rumahnya bagus sekali. Ah, lebih lagi Surya Lelana
berdiam di rumah Mahapatih Gajah Mada. Rumah pejabat
tinggi Majapahit itu tentu amat bagus disamping besar.”
“Ohhhh... !” tidak tercegah lagi meluncurlah seruan
kaget dari mulut dua orang muda ini, mendengar nama
Gajah Mada disebut.
Kemudian timbullah dugaan dalam hati dua pemuda ini,
apakah hubungan gadis ini dengan Gajah Mada?
Tiba-tiba saja dua orang pemuda ini teringat kepada
cita-cita guru mereka yang akan membalas dendam
kepada Mahapatih Gajah Mada. Dengan demikian apabila
dapat menangkap gadis ini, bukankah berarti mereka
sudah dapat memberikan jasa bagi guru mereka?
Apabila melihat pula bahwa gadis ini nampaknya
sederhana, tentunya gadis ini cantik jelita tetapi lemah dan
tiada kepandaian. Dan hal ini sudah tentu amat kebetulan,
karena merupakan permulaan baik bagi mereka.
Sebagai seorang pemuda yang licin dan licik. Sangkan
dapat menguasai perasaan, lalu jawabnya dengan lagak
dibuat-buat. “Ya, tentu saja rumah Mahapatih amat bagus
dan juga luas sekali, disamping berada di tengah kota. Adik
Sritanjung tahu, sudah tak terhitung lagi jumlahnya kami
masuk ke rumah Mahapatih Gajah Mada. Uah… perabot
rumahnya amat bagus, indah dan menyedapkan pandang
mata. Demikian pula hamba sahayanya banyak sekali.
Hemm, pendek kata Adik kebetulan sekali dapat bertemu
dengan kami. Sebab dengan perantaraan kami Adik
Sritanjung dengan gampang akan dapat masuk ke rumah
Mahapatih Gajah Mada tanpa kecurigaan dan tanpa
pemeriksaan lagi.”
“Pemeriksaan? Pemeriksaan tentang apa?” Dewi
Sritanjung kaget berbareng heran. Sebab kakeknya tidak
pernah memberitahukau masalah ini.
Meledak ketawa Sangkan dan Kaligis. Lalu Kaligis men-
dahului menjawab. “Di sana memang dijaga oleh banyak
prajurit pengawal. Maka orang yang mau masuk ke rumah
Mahapatih Gajah Mada tentu akan ditanya macam-macam,
dan kalau perlu dilakukan penggeledahan.”
“Penggeledahan bagi orang yaug dicurigai,” sambung
Sangkan. “Tangan petugas yang menggeledah, meraba-
raba seluruh tubuh, barangkali ada senjata yang di-
sembunyikan dan bisa membahayakan Kerajaan Majapahit
dan Mahapatih Gajah Mada. Malah kalau perlu orangpun
diperintahkan harus membuka pakaiannya.”
“Aihh....!” wajah Sritanjung berubah menjadi merah. “Itu
tidak sopan.....”
Sangkan dan Kaligis menyeringai hatinya senang me-
lihat perubahan wajah dan kekagetan gadis ini. Dua orang
muda ini gembira sekali, omong kosong dan bualannya
dapat mempengaruhi gadis ini dengan gampang. Padahal
jangankan sudah pernah masuk rumah Gajah Mada.
Datang ke Ibukota Majapahit pun belum pernah.
Akan tetapi gadis ini yang baru saja terjun ke dalam
masyarakat, dan belum mengetahui keadaan sebenarnya,
tentu saja gampang dipengaruhi.
“Adik jangan kaget!” Sangkan meneruskan bualannya.
“Itu memang sudah menjadi peraturan, guna menjaga
ketertiban dan keamanan bagi para pejabat tinggi
kerajaan. Akan tetapi bersama kami Adik akan aman dari
gangguan siapapun.”
Melihat keasyikan tiga orang muda itu para tamu yang
sedang jajan di warung menjadi tertarik disamping heran.
Namun semua orang tidak berani mendekati maupun
mengganggu, setelah dalam pembicaraan itu menyebut-
nyebut nama Mahapatih Gajah Mada. Mereka lalu men-
duga, tentunya tiga orang muda ini orang-orang penting
atau putera bangsawan Majapahit, tetapi sedang
menyamar sebagai kawula biasa dalam melakukan tugas.
Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Melihat
masakan daging yang baru kali ini saja ia saksikan, dari
mulut Dewi Sritanjung sudah terdengar suara ck ck ck,
sedang hidungnya kembang kempis karena menghirup bau
gurih, sedap dan wangi. Kepada masakan yang baunya
seperti ini hidungnya merasa asing. Sebab biasanya
apabila memasak daging di pondok gurunya, paling-paling
hanyalah daging bakar dengan bumbu seadanya, yang
penting asal terasa asin.
Sangkan segera mengajak Dewi Sritanjung mulai
makan. Sedang gadis im tanpa malu-malu sudah mulai
mengunyah daging yang kecil-kecil itu, yang terasa sedap
dan nikmat. Tadi ketika ia melihat daging yang diiris kecil,
ia agak kecewa, sebab biasanya ia menghadapi daging
yang irisannya besar berikut tulang.
Namun setelah tahu daging yang kecil inipun lebih
sedap, gadis ini gembira sekali sambil memuji-muji
enaknya masakan.
“Itulah sebabnya aku tadi meuganjurkan agar Adik
pesan gulai,” kata Sangkan dengan bangga.
Pemuda ini merasa berjasa, gadis jelita ini cocok dengan
gulai dan sate.
Karena Dewi Sritanjung memang masih asing kepada
tatacara hidup dalam masyarakat dan segala aturan tetek
bengeknya, maka gadis ini tidak tahu bahwa dalam soal
makanpun manusia ini di atur dengan sopan dan
santunnya. Karena ketidaktahuannya ini maka Dewi
Sritanjung makan dengan lahap, dan tanpa peduli lagi
kepada yang lain. Sambil mengunyah dan menelan
masakan yang belum pernah ia nikmati ini, berkali-kali
gadis ini menghirup pula kuah yang hangat dengan mulut
bersuara.
Sesungguhnya agak merasa heran juga Sangkan
maupun Kaligis melihat cara gadis ini makan. Mengapa
sebagai seorang gadis menghirup kuah sampai bersuara
seperti itu? Kalau di rumah sendiri memang tidak
mengapa, tetapi di warung, berarti di tempat umum, makan
yang baik harus mencegah timbulnya suara.
Akhirnya tiga orang ini silesai makan, kemudian Kaligis
yang membayar seluruh harga makanan, dan mereka
meninggalkan warung itu.
Mereka menuju ke selatan. Dewi Sritanjung di tengah
dan diapit oleh Kaligis dan Sangkan. Dalam berjalan ini si
gadis tahu benar menuju ke selatan, sebab matahari di
sebelah kanan.
Sebagai seorang yang memang belum pernah
mengunjungi Ibukota Majapahit dan tidak tahu pula
letaknya, maka gadis ini berdiam diri. Menurut perkiraan
gadis ini tentu menuju langsung ke Ibukota Majapahit
seperti janji semula. Karena mengira menuju Majapahit
itulah maka Dewi Sritanjung melangkah pasti tanpa ragu
dan dalam perjalanan inipun mereka asyik bicara, memb-
icarakan apa saja sebagai pengisi waktu senggang.
Akan tetapi setelah perjalanan ini lama dan setiap ter-
dapat jalan simpang selalu dilewati tanpa membelok,
akhirnya ia bertanya. “Mengapa sebabnya kita terus ke
selatan? Bukankah seharusnya kita menuju ke timur?”
“Belum waktunya kita membelok ke timur, Adik manis.”
sahut Sangkan. “Kita baru membelok ke timur, sesudah
kita melewati hutan kecil di depan itu. Marilah Adik,
perjalanan agak kita percepat dan Adik tidak perlu ragu.”
Sambil berkata ini Sangkan meuyambar lengan kanan
Dewi Sritanjung. Maksudnya, Sangkan ingin membimbing
gadis ini agar perjalanan lebih cepat.
“Ihhh....!” Dewi Sritanjung kaget dan cepat meronta,
melepaskan tangan yang dipegang Sangkan.
“Ahhh.....!” Sangkan kaget dan terhuyung hampir jatuh.
“Hai.....kenapa, Adik Sangkan...?” Kaligis kaget melihat
Sangkan sempoyongan.
“Ahh, tidak apa apa!” sahut Sangkan guna menutup
rasa malunya. “Aku terantuk batu dan hampir jatuh.”
Jawaban ini sesungguhnya tidak masuk akal. Tetapi
Kaligis tidak mendesak lagi dan percaya. Sebaliknya
karena Dewi Sritanjung tidak melakukan perbuatan apa-
apa, hanya berdiam diri.
Apa yang telah terjadi memang di luar kesadaran Dewi
Sritanjung. Ia tidak menyadari bahwa ketika tangannya
yang meronta tadi mengandung tenaga yang kuat dan
mendorong Sangkan. Tenaga yang kuat itu menyalur
sendiri ke lengannya yang menyebabkan Sangkan tak
dapat bertahan, sekalipun diam-diam Sangkan tadi
menggunakan tenaga pula dalam menyambar lengan Dewi
Sritanjung.
Akan tetapi sebaliknya, kendati Sangkan merasa
terdorong oleh tenaga kuat yaug tidak tampak, pemuda ini
sama sekali tidak sadar kepada keadaan. Ia tadi hanya
mengira pegangannya kurang kuat, sehingga dirinya sendiri
terhuyung.
“Apakah sebabnya kau pegang-pegang tangan orang?”
protes Dewi Sritanjung tidak senang. Protes yang keluar
dari perasaan kewanitaannya yang halus dan sepi dari
perasaan lain.
Sangkan hanya menyeringai.
Tak lama kemudian tibalah mereka di hutan yang
membentang agak luas dan mereka menerobos masuk.
Setelah agak jauh mereka menerobos hutan, tanpa
terduga Sangkan dan Kaligis yang sudah saling memberi
isyarat dengan mata itu, menubruk hampir berbareng.
“Ahhh...!” Dewi Sritanjung kaget sekali ketika tiba-tiba
empat tangan yang kuat sudah memeluk tubuhnya. Dalam
kagetnya gadis ini hanya dapat berteriak tertahan.
Sebaliknya begitu berhasil menubruk dan memeluk
tubuh gadis jelita dan montok itu, tidak tercegah lagi mulut
Sangkan dan Kaligis sudah terkekeh gembira. Tentu saja
mereka gembira, dengan sekali tubruk sudah berhasil.
Jelas sekali gadis jelita ini seperti perempuan lain,
hanyalah seorang perempuan lemah.
Saking tidak kuasa lagi menahan selera, melihat wajah
jelita dan menggiurkan, hampir berbareng Kaligis dan
Sangkan sudah mencium pipi yang kuning dan montok itu.
Namun segera terdengar suara mengaduh kesakitan
dari mulut Kaligis dan Sangkan, disusul tubuh dua pemuda
ini terhuyung hampir jatuh.
Tadi ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari kiri dan
kanan, dalam kagetnya Sritanjung hanya bisa berteriak
tertahan. Namun naluri kewanitaannya segera mem-
beritahu, bahwa dua orang pemuda ini mempunyai maksud
tidak baik. Lebih lagi ketika dua pemuda ini sudah
berusaha mencium pipinya, secara otomatis gadis ini
mendongakkan kepalanya, sehingga ujung hidung dua
pemuda itu mendarat di leher.
Justru sentuhan ujung hidung ke leher ini menyebabkan
rasa ngeri. Sritanjung lalu memberontak! Hawa sakti dalam
tubuh gadis ini segera bekerja sendiri, dan akibatnya
walaupun Kaligis dan Sangkan bukan pemuda lemah,
mereka tak kuasa lagi mempertahankan pelukannya.
Setelah dua pemuda ini terhuyung hampir roboh, gadis
ini berdiri dengan wajah merah dan alis terangkat, tanda
marah. Bentaknya, “Huh huh, apa maksudmu main peluk
orang?”
Sangkan dan Kaligis dapat berdiri tegak kembali. Mulut
mereka menyeringai dan hati mereka penasaran, gemas
dan hampir tidak kuasa lagi menahan hasrat berhadapan
dengan gadis cantik ini. Mereka berpikir di dalam hutan
seperti ini, dan jauh dari orang, siapakah yang bisa
menolong gadis ini?
“Heh... heh... heh... heh, engkau tanya apa maksud
kami? Sangkan mengejek. Kalau laki-laki sudah memeluk
perempuan, engkau masih juga bertanya maksudma? Adik
Manis, engkau harus menyerah kepada kami agar tidak
menderita. Kalau kami marah, kami merasa sayang
kepada kecantikanmu dan sayang pula akan keindahan
tubuhmu kalau kami harus main paksa dan menyiksa
engkau.”
Kaligis cepat menyambung, “Adik cantik, kami dua orang
saudara, merupakan perkasa. Jika engkau menjadi kekasih
kami, engkau pasti bahagia. Mari, Adik cantik kita lewatkan
waktu dengan bersenang-senang di hutan ini. Hemm, tak
akan ada orang yang mengganggu.”
Dewi Sritanjung mengerutkan alis. Ucapan dua orang
pemuda ini sebenarnya asing bagi telinganya, dan juga
tidak tahu artinya. Tetapi walaupun demikian naluri
kewanitaannya dapat menduga maksud dua orang pemuda
ini tentu tidak baik.
Setahun lalu tanpa seijinnya, Surya Lelana sudah men-
cium pipinya, akan tetapi ketika itu Surya Lelana cepat
minta maaf, sebaliknya dirinya juga tidak marah atas per-
lakuan itu.
Namun dua orang muda ini sekalipun juga tidak minta
ijin lebih dahulu, dalam dadanya timbul perasaan lain.
Naluri kewanitaannya sudah memberitahu perbuatan
dua orang ini mengandung maksud tidak baik. Perasaan
yang demikian ini makin kuat lagi setelah termata sikap
dua orang ini jauh berlainan dengan sikap Surya Lelana.
Dua pemuda ini tidak mau minta maaf, sebaliknya malah
mengucapkan kata-kata asing bagi telinganya.
“Kau…….kau…….apakah maksudmu sesungguhnya?”
bentaknya.
“Heh... heh... heh... heh, jangan rewel. Adik manis,
menyerahlah kepada kami!” Sangkan terkekeh sambil
membusungkan dada. “Setelah kita lewatkan hari dan
malam di hutan ini, baru kemudian kita bersama ke
Majapahit.”
“Ya, kita lewatkan hari dan malam bahagia di hutan
yang sepi ini. Kaligis menyambut dengan mulut
menyeringai. Adik cantik harus melayani kami berdua dan
secara adil.”
Sritanjung menjadi marah sekalipun belum begitu jelas
maksud orang. Sebab bagaimanapun sebagai gadis yang
terasing dari pergaulan, ia asing dengan kata cinta itu.
“Huh... huh, kalau aku tidak sudi, kalian bisa apa?”
tantang Dewi Sritanjung.
Dua orang muda itu terkekeh, lalu Kaligis mengancam.
“Hem, engkau seorang perempuan, dan takkan menang
melawan kami. Sudahlah, jangan rewel. Jika rewel, engkau
jangan menyalahkan kami kalau terpaksa menggunakan
kekerasan. Hemm, Adik cantik, apapun alasannya adalah
tidak baik kalau harus lewat jalan kekerasan. Karena itu
menyerahlah baik-baik kepada kami.”
Sebenarnya saja dua orang pemuda ini bukan merupa-
kan pemuda bejat moral dan selalu mengumhar nafsu
jahat. Dorongan yang menyebabkan Kaligis dan Sangkan
sampai lupa diri dan buas menghadapi Dewi Sritanjung ini,
akibat diketahuinya hubungan Dewi Sritanjung dengan
Gajah Mada. Padahal Gajah Mada adalah musuh guru
mereka. Kalau sekarang mereka dapat menangkap dan
memmpermainkan gadis ini, siapa yang dapat disalahkan
justru berhadapan dengan lawan?
Gadis ini hanya seorang diri, padahal mereka dua orang.
Apa yang harus ditakutkan dan manakah mungkin gagal
lagi?
Dewi Sritanjung tambah marah dan membentak,
“Kurang ajar! ternyata kamu manusia jahat berpura-pura
baik. Huh, kamu lekas pergi atau tidak? Jika tidak, engkau
jangan menyalahkan aku jika aku terpaksa menghajar
kamu!”
Ucapan yang demikian ketus ini memancing gelak tawa
dua pemuda itu. Kaligis dan Sangkan saling pandang dan
mulut meringis seperti iblis kelaparan.
“Adi Sangkan! Hayo kita keroyok saja dengan kekerasan.
Mana mungkin kila kalah?” Kaligis mengajak. “Betapa
gembira Guru kita, apabila kita berhasil menawan salah
seorang yaug mempunyai hubungan dekat dengan Gajah
Mada ini.”
“Engkau benar. Marilah!” sambut Sangkan sambil men-
dahului menerjang ke depan dengan gerakan menubruk.
Melihat gerakan pemuda itu sadarlah Dewi Sritanjung
akan keadaan. Lebih lagi ketika mendengar ucapan
mereka yang menyinggung nama Gajah Mada. Semakin
jelaslah bahwa di balik sikap begitu baik, memang
mengandung maksud tidak baik.
Dengan gerakan gesit gadis ini sudah menghindarkan
diri dari tubrukan dua lawan itu. Gerakan dua lawan ini
walaupun cepat, menurut pandangan Dewi Sritanjung,
masih kurang cepat.
Gadis ini melawan dengan serangan-serangan tak
terduga. Tubuh gadis ini berkelebat cepat sekali seperti
kilat menyambar hingga Sangkan dan Kaligis kaget.
Mereka menjadi sadar bahwa gadis yang tampaknya lemah
itu ternyata bukan gadis sembarangan. Kemudian
merekapun sadar tidak mungkin dapat mengalahkan gadis
ini tanpa senjata.
“Sring! Sring!” dua orang pemuda ini sudah mencabut
pedang hampir berbareng. Sangkan menyerang dari arah
kiri dan Kaligis menyerang dari kanan.
Dewi Sritanjung kaget oleh sambaran pedang itu. Tetapi
tanpa kesulitan gadis ini dapat menghindari.
“Tring! Tring! Cring! Cring!” dentingan pedang terdengar
empat kali. Pedang Sangkan maupun Kaligis menyeleweng
kemudian dua orang pemuda ini melompat mundur, guna
menghindari sambaran tangan dan kaki gadis itu.
Dalam menghadapi sambaran pedang tadi, Sritanjung
sudah menyentil dengan jari tangannya dan berhasil mem-
buat pedang lawan menyeleweng. Hati gadis ini menjadi
besar disamping timbul rasa percaya diri.
Ia tadi memang nekad dan untung-untungan. Ia men-
coba untuk menangkis dengan sentilan jari tangan. Bagi
dirinya yang belum berpengalaman menghadapi lawan
sungguh-sungguh, apa yang dilakukan sering menimbulkan
rasa ragu.
Sekarang dengan hasil yang diperoleh, dirinya menjadi
tambah mantap, dan sambil menguji pula sampai di
manakah ilmu tangan kosong bernama "Sindhung Riwut".
Dengan ilmu Sindhung Riwut yang berarti angin ribut
maupun badai itu, maka gerakan Dewi Sritanjung hebat
bukan main. Tubuhnya berkelebat cepat menerobos di
antara sinar pedang lawan. Saking cepatnya ia bergerak,
yang tampak hanyalah warna dari pakaiannya.
Dewi Sritanjung memang menyukai warna bira muda.
Maka seleret warna biru muda berkelebat seperti
bayangan, dan makin lama gerakan gadis ini semakin
mantap.
“Kesempatan bagus!” ujar gadis ini dalam hati. “Selama
ini aku hanya memperoleh kesempatan berlatih dengan
Kakek. Dan selama itu pula Kakek tidak pernah menyerang
aku sungguh-sungguh. Bukankah peristiwa ini dapat aku
jadikan semacam ujian?”
Berpikir demikian kalau semula gadis ini ingin sekali
segera dapat menghalau lawan, sekarang menjadi lain. Ia
mencoba kecepatannya bergerak menerobos di sela
sambaran pedang lawan tanpa membalas menyerang.
Berkali-kali Kaligis dan Sangkan celingukan dan heran
karena tiba-tiba lawannya sudah lenyap. Tahu-tahu ada
angin menyambar dari belakang, maka cepat-cepat mereka
membalikkan tubuh dan menyerang lagi.
Setelah beberapa kali dilakukan, gerak cepatnya dengan
mencoba kecepatan gerak tangannya. Gerakannya
sekarang menjadi lambat, tetapi tiap kali pedang lawan
menyambar, tring, jarinya yang lentik itu menangkis dan
pedang lawan menyeleweng.
Sebaliknya Kaligis dan Sangkan menjadi penasaran,
setelah peluh mereka membasahi tubuh belum juga
berhasil mengalahkan lawan.
Kalau lawan juga bersenjata, hal ini masih tidak
mengapa. Tetapi sekarang ini lawan yang dikeroyok hanya
bertangan kosong Mengapa pedang mereka tidak pernah
berhasil menyentuh ujung baju lawan? Dalam penasaran
ini mereka tidak mau sadar akan keadaan, sebaliknya
malah tambah marah dan nekad.
Sambil membentak nyaring pedang mereka berkelebat
lebih cepat lagi, menyambar ke arah bagian tubuh lawan
yang berbahaya. Tetapi celakanya walaupun suara
bentakan mereka sampai habis sambaran pedang mereka
tak pernah berhasil menyentuh ujung baju lawan.
Mereka berkelahi sudah cukup lama. Dewi Sritanjung
menjadi heran sendiri melihat keadaan dua orang lawan itu
sudah mandi peluh dan napasnya kembang kempis,
sebaliknya dirinya masih segar dan napasnya masih biasa
saja.
Setelah mendapat bukti dirinya bukan gadis
sembarangan seperti ucapan kakeknya. Dewi Sritanjung
menjadi puas, lalu timbul rasa bosan dan muak meng-
hadapi dua pemuda ini. Mendadak terdengar bentakan
nyaring dari mulutnya, “Lepas!”
Sangkan dan Kaligis berteriak kaget dan wajahnya
pucat, ketika hampir berbareng pedangnya sudah terbang,
dan lengannya menjadi lumpuh. Untung sekali gadis ini
tidak ingin mencelakakan pemuda itu. Ia tidak menyusuli
serangan karena ia sudah puas.
“Kamu tidak lekas pergi, apakah ingin merasakan
pukulanku!” bentaknya. “Huh, aku masih berlaku murah
kepadamu, mengingat di warung tadi sudah menemani aku
makan.”
Menyadari gadis cantik dan menggiurkan ini berilmu
tinggi, tanpa rewel lagi dua orang murid Si Tangan Iblis itu
sudah melompat dan menyambar pedang, lalu berlarian
cepat meninggalkan Dewi Sritanjung.
Gadis ini tetap berdiri dengan mulut menyungging
senyum puas. Sepasang matanya yang indah itu
memandang kepergian mereka. Dan baru setelah
bayangan dua pemuda itu tidak tampak lagi, ia menghela
napas lega. Hatinya besar dan bangga, berkat gemblengan
kakeknya, seorang diri dapat mengalahkan dua orang
lawan. Karena itu dalam perjalanan selanjutnya ia tidak
perlu khawatir lagi berhadapan dengan bahaya. Bukankah
dirinya sekarang ini termasuk seorang sakti mandraguna?
Ia membusungkan dadanya yang sudah membusung. Lalu
terdengar suara hatinya yang takabur.
“Inilah aku! Dewi Sritanjung, murid Kiageng Tunjung
Biru. Sekalipun perempuan, belum tentu kalah melawan
laki-laki. Huh, betapa gembira dan bangga, setelah Ayah
dan Ibu mendengar kisahku hari ini. Ibu tentu memeluk
diriku penuh cinta kasih, seperti yang dilakukan Kakek
setiap kali hatinya puas melihat kemajuan ilmuku.”
Siapa yang dapat menyalahkan Sritanjung menepuk
dada dan takabur seperti ini? Dia masih muda. Dia belum
mengenal corak dan isi dunia luas ini. Dan dia belum juga
tahu betapa luasnya dunia, dalamnya lautan dan tingginya
gunung. Dia belum tahu bahwa tidak seorangpun di dunia
ini dapat menepuk dada merasa paling sakti dan paling
pandai.
Yang merasa bodoh masih ada yang lebih bodoh. Yang
merasa pandai masih ada lagi yang lebih pandai. Betapa
kerdil dan kecilnya manusia di dunia ini, apabila mau sadar
akan hidupnya. Dan betapa besar kekuasaan Yang Maha
Tinggi. Tetapi gadis semuda Dewi Sritanjung ini memang
belum kenal dan belum tahu serta belum dapat berpikir
sejauh itu. Pengalaman hidupnya, kemudian hari akan
menjadi guru dan pelajaran. Dikaji, dimawas, dan diselidiki,
serta dirasakan. Dengan demikian orang menjadi benar-
benar dewasa, sebab ketidakdewasaan itu hanya lerletak
dalam ketidaktahuannya tentang diri sendiri. Mengerti diri
sendiri adalah permulaan daripada kebijaksanaan.
Gadis ini kemudian melangkah, menuju utara lewat
jalan yang tadi telah dilalui. Dan sambil melangkah ia
bergumam. “Kakek benar? Nyatalah di dunia ini tidak
sedikit jumlahnya manusia jahat. Hemm, aku harus hati-
hati tidak boleh sembarangan percaya kepada orang. Ahh,
terlalu percaya kepada orang, akibatnya akan mendekat-
kan diri sendiri dengan bahaya.”
Demikianlah pengalaman memberi pelajaran kepada
Dewi Sritanjung. Ia menjadi sadar bahwa nasihat dan
petunjuk kakeknya memang tidak bisa diabaikan.
Akan tetapi belum jauh ia melangkah, tiba-tiba ia
mendengar bentakan nyaring perempuan, “Hai Sangkan
dan Kaligis! Kau mau lari ke mana?”
Dewi Sritanjung menghentikan langkahnya dengan rasa
heran, Kaligis dan Sangkan? Bukankah orang itu yang tadi
lari setelah ia kalahkan? Sekarang ada perempuan yang
membentak. Agaknya perempuan itupun seperti dirinya,
pernah ditipu.
Bagi gadis ini apapun yang terjadi akan menarik hatinya.
Lebih-lebih ia berpikir makin banyak peristiwa yang di-
saksikan dan dialami, akan memberi pengalaman berharga
bagi hidupnya.
Ia membatalkan niatnya pergi. Ia melangkah kembali ke
selatan, kemudian berlarian. Tak lama ia berlarian, ia
melihat seorang perempuan yang wajahnya cukup cantik
berhadapan dengan Sangkan dan Kaligis. Perempuan itu
sikapnya garang, mendelik sambil bertolak pinggang.
Dengan hati-hati Dewi Sritanjung menyelinap mendekat,
lalu menyembunyikan diri di belakang batu besar.
Kemudian ia mendengar Sangkan berkata.
“Adi Indah...ahh.... sungguh kebetulan. Aku dan Kakang
Kaligis mencarimu setengah mati, ternyata sekarang malah
bertemu di tempat ini.”
Perempuan muda itu memang Sarindah mendengus
dingin. “Apakah keperluanmu mencari aku?”
“Atas perintah Guru, kami mencarimu untuk dipanggil
pulang.”
“Untuk diadili karena sudah mencoba meracun Julung
Pujud?”
“Ahh.... Adi Indah sudah tahu?” dua pemuda itu kaget.
“Hi... hi... hik, kamu jangan berpura-pura di depanku dan
kamu jangan mencoba membela diri dengan mencuci
tanganmu yang kotor. Huh, bukankah kamu yang sudah
menaruh racun dalam tuak itu?”
“Tid..... tidak!” hampir berbareng Kaligis dan Sangkan
menyangkal, tetapi tidak lancar.
“Huh... huh, kamu bisa menipu orang lain, tetapi kamu
tak dapat menipu aku. Kamu sudah memberi racun pada
tuak itu, kemudian memfitnah aku, bukan? Pengecut!”
***
Mengapa Sarindah bisa tahu rahasia Kaligis dan
Sangkan? Lain siapakah yang memberi tahu? Anda akan
mendapat jawabannya dalam buku berjudul "DEWI
SRITANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG”
Ceritanya akan lebih seru dan menegangkan. Karena :
......... Mendadak Sarindah merasakan kepalanya
berdenyutan dan pening sekali, pandang matanya kabur.
“Trang...... Ahhhh... !” pedang Sarindah terpental terbang
oleh pukulan Rudra Sangkala. Dan Rudra Sangkala sudah
melompat maju lalu memeluk gadis ayu itu. Sarindah
sudah pingsan, dalam pondongan Rudra Sangkala dan
diciumi......
...... “Bocah! Kalau saja engkau tidak mempunyai
hubungan dengan Gajah Mada, tentu saja aku tidak
memusuhi, Karena itu sebelum aku menggunakan
kekerasan, menyerahlah aku jadikan sandra!” ancam Si
Tangan Iblis.
Sepasang mata Dewi Sritanjung menyala. Jawabnya
lantang, Apakah salahnya orang mempunyai hubungan
dengan Mahapatih Gajah Mada? Orang yang berani
memusuhi beliau, berarti pemberontak!.......
Sanggupkah Dewi Sritanjung menghadapi Si Tangan
Iblis yang sakti mandraguna dan mempunyai Aji Mega
Lengking? Dalam buku Seri Dewi Sritanjung yang berjudul
“DEWI SRITANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG” Anda akan
mendapat jawabannya.
***
Sala, awal Maret 1987
0 comments:
Posting Komentar