..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 18 Januari 2025

DEWI SRI TANJUNG EPISODE PERSEKUTUAN DUA IBLIS

Matjenuh

 

Pengantar 

Dalam cerita “Kobaran Api Asmara” telah diceritakan 

tentang terjadinya persaingan cinta segitiga, yang 

berakibat Kebo Pradah dan Tanu Pada mati oleh 

perbuatan Kaligis dan Sangkan. Maksudnya apabila Tanu 

Pada dan Kebo Pradah sudah dapat disingkirkan, Kaligis 

dan Sangkan akan bisa mendapatkan cinta kasih dari 

Sarindah dan Sarwiyah. 

Akan tetapi perhitungan Sangkan dan Kaligis keliru. 

Sarindah dan Sarwiyah tidak juga mau memalingkan muka 

kepada dua orang pemuda tersebut dan malah kemudian 

mencurigai. 

Di saat seperti itu, tiba-tiba tokoh sakti bernama Julung 

Pujud muncul. Kemudian secara terang-terangan, Julung 

Pujud melamar Sarwiyah untuk diperisteri oleh muridnya, 

bernama Warigagung 

Akibat dari peristiwa ini, Sarindah menjadi marah dan 

benci setengah mati kepada semua orang. Secara diam-

diam gadis ini kemudian pergi meninggalkan rumah. 

Maksudnya jelas, akan mencari Tanu Pada yang dicintai 

itu, karena waktu tiga bulan bertugas sudah selesai, belum 

juga pulang. Tetapi sudah tentu keinginan Sarindah ini 

tidak bedanya dengan menggantang asap karena Tanu 

Pada sudah mati terbunuh oleh Kaligis dan Sangkan. 

Nah, dalam cerita "Persekutuan Dua Iblis" ini, Sarindah 

mengalami berbagai peristiwa yang tidak pernah diharap-

kan sejak meninggalkan rumah. 

*** 

1


Hari sudah sore. Di ruang depan, tokoh sakti berjuluk 

Si Tangan Iblis mengelu-elukan tamunya dengan 

wajah berseri dan mulut selalu tertawa. Betapa 

tidak!?? Ikatan pertunangan antara Warigagung dengan 

cucunya, Sarwiyah, berarti antara dirinya dengan tokoh 

sakti Julung Pujud terikat sebagai keluarga. 

Padahal sudah sejak lama ia mendidik semua murid dan 

tiga orang cucunya, Sarindah, Sarwiyah maupun Sentiko 

(yang pergi diam-diam untuk memusuhi Gajah Mada dan 

Mpu Nala, dan belum diketemukan kembali ) adalah agar 

dapat membalas dendam kepada dua orang tokoh 

Majapahit, Gajah Mada dan Mpu Nala. Dan karena dalam 

menanamkan kebencian itu disertai dengan fitnah yang 

dapat membangkitkan marah, menyebabkan dendam tiga 

orang cucu ini setinggi gunung. Maka dengan tambahnya 

tenaga, Julung Pujud dan muridnya ini, Si Tangan Iblis 

merasa pasti akan dapat membalas dendam. 

Sebaliknya, Julung Pujud yang sejak muda juga mem-

benci kepada Gajah Mada dan Majapahit, juga menjadi 

gembira sekali sebab ia merasa amat beruntung, dapat 

menemukan gadis cantik cucu Si Tangan Iblis yang ber-

nama Sarwiyah ini tidak ada celanya menjadi isteri murid-

nya. Betapa tidak?!? Selain cantik juga halus, jujur, lemah 

lembut dan tentu akan setia sebagai isteri. 

Julung Pujud memandang muridnya yang diperintahkan 

duduk berdampingan dengan Sarwiyah, penuh perhatian. 

Namun demikian kakek kerdil ini diam-diam geli, kemudian 

ia terkekeh tertawa, melihat sikap dua orang muda itu. 

Ternyata baik Sarwiyah maupun Warigagung walaupun 

duduk berdampingan, mereka menundukkan kepala dan 

duduk berdiam diri bagai arca. 

“Heh… heh… heh… heh, Gagung,” katanya. “Mengapa 

sebabnya kau seperti patung dan membiarkan calon


isterimu juga seperti arca batu? Heh… heh… heh… heh, 

engkau jangan menyebabkan calon isterimu menjadi malu. 

Hayo Gagung, ajaklah dia bicara!” 

Si Tangan Iblis geli juga melihat dua orang muda itu 

duduk bagai patung. Katanya, “Wiyah! Mengapa kau 

begitu? Engkau harus amat bahagia, menjadi calon isteri 

Warigagung dan calon menantu Kakang Julung Pujud, 

orang paling sakti di dunia saat ini. Ha… ha… ha… ha, 

kedudukanmu akan terhormat dan semua orang takkan 

berani sembarangan dan mengganggu. Dayu Wiyah, 

engkau harus pandai menempatkan dirimu sebagai pihak 

tuan rumah. Ajaklah berbicara agar hubunganmu menjadi 

lebih erat. Calon suami-istri, kamu tidak boleh malu-malu! 

Akan tetapi Sarwiyah tidak juga menyahut. Ia malah 

semakin tunduk sambil mempermainkan jari tangannya, 

yang runcing dan halus itu. Hatinya sekarang ini tidak 

karuan. Mengapa yang terjadi harus seperti ini? Harus 

menjadi calon isteri seorang pemuda yang belum pernah ia 

kenal dan di luar harapannya pula? Mengapa bukan kakak 

perempuannya yang bernama Sarindah yang lebih dahulu 

mempunyai calon suami? Bukankah seharusnya Sarindah 

yang lebih tua kawin lebih dulu? 

Padahal sudah sejak lama, dirinya sudah mengikat janji 

dengan pemuda yang menarik hatinya, Kebo Pradah, yang 

murid kakeknya sendiri. 

Lalu bagaimanakah dengan pemuda itu, apakah Kebo 

Pradah tidak menjadi patah hati, dirinya dipertunangkan 

dengan pemuda lain? Ahh, ia menjadi sedih apabila ingat 

kepada kebo Pradah yang dicintai itu. 

“Kakang Pradah, mengapa harus begini?” rintihnya 

dalam hati. “Telah lama kila saling berjanji untuk menjadi 

suami-isteri. Namun nyatanya Kakekku sekarang malah 

mempertunangkan diriku dengan orang lain. Kakang, aku 

mati saja!” 

Akan tetapi bagaimanapun ia tidak berani mengemuka-

kan perasaannya itu dan juga tidak berani membantah. 

Walaupun dalam hati menentang dan tidak setuju, tetapi ia


seorang cucu yang selalu patuh dan setia kepada kakek-

nya. Maka kemudian terpikir, apabila yang terjadi sekarang 

ini sesuai dengan cita-cita luhur dari kakeknya, dan demi 

kepentingan keluarga, walaupun hatinya menangis namun 

ia bersedia mengorbankan kepentingan sendiri. 

Dan sekarang ini kakeknya menyudutkan dirinya. Mana-

kah mungkin? Dirinya seorang gadis, tetapi kakeknya 

memerintahkan seperti itu. Apakah dirinya harus ber-

inisiatif dan mendahului si pemuda? Tidak! Karena 

Warigagung tidak mengajak bicara, maka iapun tidak mau 

membuka mulut. 

Akan tetapi sebaliknya orang-orang sakti yang wataknya 

aneh dan mengakui sendiri dirinya dari golongan sesat, 

maka Si Tangan Iblis dan Julung Pujud tidak mau meng-

acuhkan tatakrama dan norma kesopanan umum lagi. 

Sebab menurut pendapat dua kakek ini, aturan-aturan 

yang dibuat manusia hanyalah mengikat kehebasan hidup. 

Oleh karena itu ketika melihat Warigagung dan Sarwiyah 

masih tetap duduk tanpa berani saling pandang, dua orang 

kakek ini kemudian saling pandang dan saling memberi 

isyarat dengan mata. Tahu-tahu dua orang kakek ini 

dengan gerakan amat ringan sudah berada di samping 

muda-mudi itu. Si Tangan Iblis segera memondong cucunya 

didudukkan di pangkuan Warigagung, dan sebaliknya 

Julung Pujud segera melingkarkan lengan Warigagung ke 

leher Sarwiyah 

Akibatnya Sarwiyah menjerit kecil tetapi tak mampu 

melawan. Demikian pula Warigagung terbelalak kaget. 

Iapun ingin memberontak tetapi tidak bisa. Sebab mereka 

sudah dilumpuhkan tanpa bisa melawan lagi. 

Julung Pujud dan Si Tangan Iblis terkekeh dan gembira 

sekali melihat Sarwiyah duduk di pangkuan Warigagung. 

Wajah dua orang muda ini saling berhadapan sekalipun 

duduk Sarwiyah miring. 

Dan atas perlakuan dua orang kakek ini, Sarwiyah ingin 

menangis saking malu. Akan tetapi Sarwiyah terpaksa 

menahan perasaan ini karena tahu akan akibatnya. Kakek



nya akan marah dan tentu menuduh dirinya menentang 

keputusan kakeknya. 

Ia justru sudah memutuskan dalam hati untuk melupa-

kan Kebo Pradah dan sekarang mengorbankan dirinya 

demi kepentingan keluarga. Disamping itu iapun ber-

perasaan halus dan cerdik. Maka ia mengerti, saat 

sekarang ini dirinya harus pandai memenangkan hati 

Julung Pujud. Ia tidak boleh main-main lagi menghadapi 

Warigagung sebagai calon suaminya. Maka dalam keadaan 

tubuhnya belum bisa digerakkan ini, ia menggunakan 

sepasang matanya untuk memandang Warigagung dan 

kemudian bihirnya yang merah merekah itu tersenyum. 

Adalah Warigagung yang menjadi gelagapan, bertatap 

pandang dengan wajah molek dalam jarak amat dekat, 

ditambah melihat pula sepasang bibir merah merekah itu 

tersenyum. Maka hati Warigagung menjadi tidak karuan 

rasanya, dan jantung pemuda ini berdenyutan seperti mau 

copot. Maklum, kendati Warigagung merupakan pemuda 

dari golongan hitam, liar dan ganas jika berhadapan 

dengan lawan, namun ia seorang pemuda yang selalu 

menghormat dan menghargai setiap wanita. Maka selama 

ini ia memandang wanita sebagai mahkluk yang terlalu 

mulia dan perlu dihormati. 

Ia tidak pernah berdekatan dengan wanita, baik kepada 

nenek-nenek dan lebih lagi terhadap wanita muda. 

Demikian pula ia juga tidak pernah berdekatan dengan 

gadis-gadis cantik seperti Sarwiyah ini. Akibat dari semua 

itu mulut Warigagung seperti terkunci. Perasaan dalam 

dadanya tidak karuan dan jantungnya melonjak-lonjak. 

Rasa tubuhnya meriang, namun ia terpikat perhatiannya 

kepada wajah Sarwiyah yang ayu itu, di samping tanpa 

disadari menyelinap pula perasaan bahagia yang belum 

pernah ia rasakan. Maka walaupun tubuhnya sekarang 

sudah pulih kembali dan dapat digerakkan, sudah tidak 

lumpuh lagi, ia tidak berusaha menarik kembali tangannya 

yang memeluk Sarwiyah. 

Menurut perasaannya, sekarang ialah tidak ingin lagi


melepaskan leher yang lembut dan halus yang kuasa 

menebarkan kehangatan yang sulit dilukiskan, disamping 

tercium pula bau yang harum dari rambut. 

Sarwiyah juga seorang gadis yang belum pernah duduk 

di pangkuan seorang pemuda, sekalipun ia pernah 

menyatakan cinta kasihnya kepada Kebo Pradah, tetapi 

selama ini pergaulannya terbatas. Paling banter mereka 

hanya bisa saling pandang dengan tatapan mesra dan 

paling banter hanya saling bersentuh lengan. Semua itu 

tidak lain karena Sarwiyah hati-hati menghadapi kakeknya. 

Oleh karena itu dalam dada gadis itupun timbul 

perasaan yang tidak karuan. Malu, berdebar, tetapi juga 

menyelinap rasa bahagia yang sulit dilukiskan. Rasa 

bahagia yang didorong oleh tekadnya ingin mengorbankan 

diri guna kepentingan keluarga. Guna kepentingan ter-

capainya cita-cita kakeknya membalas dendam kepada 

orang-orang yang menurut keterangan kakeknya, sudah 

membunuh ayah-bundanya. Yang sudah menyebabkan 

keluarganya berantakan, dan yang sudah menyebabkan 

dirinya tidak berayah dan tidak beribu lagi. 

Oleh dorongan keinginannya berkorban demi keluarga 

ini, ia melupakan jalan hidup yang pernab dilalui. Tidak 

peduli bagaimanakah calon suaminya ini. Dan yang jelas 

dirinya harus dapat menjadi seorang isteri setia. Itulah 

sebabnya gadis ini memandang wajah Warigagung mesra 

sekali kemudian tersenyum manis. Malah setelah ia 

merasa kelumpuhannya sudah pulih, ia lalu membalas 

memeluk Warigagung dan seterusnya menyembunyikan 

wajahnya di dada pemuda itu. 

Sarwiyah dapat menduga secara pasti, dengan per-

buatannya ini akan dapat membuat kakeknya puas dan 

Julung Pujud tentu gembira. 

Dugaannya temyata benar. Dua orang kakek ini ter-

kekeh sambil berjingkrakan seperti anak kecil. Lalu mereka 

saling raugkul masih sambil tertawa-tawa. Mereka 

menyambut gembira akan sikap Sarwiyah yang menunjuk-

kan cinta kasihnya kepada Warigagung.


Akan tetapi sebaliknya Warigagung menjadi gelagapan 

tidak karuan perasaannya. Walaupun antara wajah 

Sarwiyah dengan dadanya hanya terpisah oleh lapisan 

baju, namun dengus napas Sarwiyah seperti mengusap 

kulit dadanya. Jantungnya berdebar tidak keruan dan rasa 

tubuhnya meriang. 

Bagaimanapun sebagai seorang gadis yang berperasaan 

halus, Sarwiyah menjadi malu sendiri setelah melakukan-

nya. Sebab apa yang sudah dilakukan tadi sebenarnya 

bukan atas kehendak sendiri dan juga bukan desakan hati 

yang kasih, melainkan hanya dalam usaha membuat 

kakeknya senang. Maka sesudah dua orang kakek itu ber-

jingkrakan gembira, Sarwiyah segera melepaskan lengan 

Warigagung yang melingkar di leher, kemudian duduk di 

tempat semula. 

Mereka sekarang duduk berdampingan. Tetapi sekali-

pun demikian sudah menjadi lain. Kalau tadi dua orang 

muda ini duduk sambil menundukkan muka, sekarang 

tidak lagi, sedang letak duduknya juga berubah. Duduk 

mereka sekarang merapat dan berkali-kali mereka saling 

pandang disertai bibir tersenyum. 

Tak lama kemudian Warigagung memberanikan diri ber-

tanya, tetapi suaranya menggeletar, “Sarwiyah, apakah 

engkau mencintai aku?” 

“Hemm,” Sarwiyah menghela napas pendek. “Mengapa 

sebabnya engkau masih perlu.... bertanya? Engkau sudah 

dijodohkan dengan aku dan tidak bisa ditolak. Maka 

akupun... jadiriya aku dan kau harus menjadi suami-isteri.” 

Warigagung menghela napas pendek. Kenyataan yang 

dialami dan terjadi dalam lingkungannya, perjodohan 

antara gadis dengan jejaka tidak bebas. Mereka harus 

tunduk kepada pilihan orang tua dan tidak boleh 

membantah walaupun antara si gadis dan jejaka belum 

pernah kenal. 

Akibat dari sernua itu maka banyak sekali terjadi antara 

suami dan isteri, baru bisa rukun setelah lewat beberapa 

hari, minggu atau bulan. Disamping itu juga tidak sedikit


pula terjadi, perkawinan itu berakhir dengan perceraian, 

karena si isteri tidak mau melayani suami dan tidak 

mencintai. Akibatnya walaupun sudah disebut janda tetapi 

perempuan yang sudah kawin itu masih merupakan 

seorang gadis suci. 

Dan Warigagung juga tidak tahu apa sebutan per-

kawinan yang selalu terjadi dalam masyarakat. Tetapi yang 

jelas perkawinan itu tidak dilambari oleh rasa cinta kasih 

lebih dahulu. Rasa cinta baru tumbuh setelah mereka 

disebut sebagai suami-isteri. 

Hal-hal yang terjadi di sekitamya itu sekarang terjadi 

pula atas dirinya. Antara dirinya dengan Sarwiyah 

dijodohkan tanpa lambaran cinta kasih. Dan kenalpun baru 

setengah hari, diawali dengan perkelahian. 

Ia juga tidak tahu apakah mencintai Sarwiyah atau tidak. 

Yang jelas ia hanya merasa bahagia, dapat duduk ber-

dampingan dengan Sarwiyah yang cantik ini. 

Tetapi tiba-tiba Warigagung ingat akan sikap Sarwiyah 

ketika secara terang-terangan rnembela dirinya di depan 

Sarindah. Teringat sikap itu, kemudian ia bertanya. 

Sarwiyah, apakah sebabnya engkau jadi membela diriku? 

Malah engkau juga menentang kemauan kakakmu? 

Apakah itu merupakan permulaan rasa.... cinta kasihmu 

kepada diriku ? 

Sarwiyah tersenyum. Tentu saja bukan soal itu yang 

menjadi penyebab. Tetapi karena Warigagung ia anggap 

tidak bersalah, dan sebaliknya kakaknya sendiri yang ter-

lalu sombong dan mau menang sendiri. Oleh sebab itu 

orang yang tak bersalah harus ia bela. 

Tetapi di samping itu Sarwiyah memang juga tertarik 

oleh sikap Warigagung yang mau mengalah dan meng-

hormati perempuan. Selama ini ia belum pernah bertemu 

dengan pemuda bertabiat seperti Warigagung ini. Namun 

benarkah itu merupakan permulaan rasa cinta? Ia tidak 

tahu. 

Namun yang jelas, kalau tidak dipaksa oleh keadaan 

dan rasa pengorbanan demi tercapainya cita-cita mem


balas sakit hati, tentu saja ia memilih Kebo Pradah. 

“Sudahlah Kakang...” sahutnya lirih, sekarang tidak 

perlu diurus lagi tentang soal itu. Pendeknya didasari cinta 

atau tidak.... kita ini merupakan calon suami isteri. Lalu 

bagaimanakah perasaanmu.......? 

“Warigagung sendiri sebenamya belum pemah memikir-

kan wanita. Akibatnya ia tidak cepat dapat menjawab. 

Namun demikian sesuai dengan wataknya yang aneh, 

amat memuliakan dan menghormati wanita, ia tidak ingin 

membuat hati wanita tidak senang. 

“Hemm, tentu saja!” jawabnya. “Aku bahagia sekali 

menjadi calon suamimu, Sarwiyah. Siapakah yang tidak 

beruntung mempunyai calon isteri yang cantik, halus dan 

menyenangkan seperti engkau ini?” 

Manakah ada orang yang tidak menjadi senang oleh 

pujian? Manakah ada orang tidak menjadi besar hati kalau 

dikatakan cantik dan menyenangkan? Demikian pula 

Sarwiyah, ia menjadi bangga dan kemudian tanpa malu-

malu lagi ia meletakkan kepalanya ke pundak pemuda itu. 

Sikap gadis ini malah seperti pamer kepada kakeknya mau 

pun calon mertuanya, bahwa dirinya mencintai calon 

suaminya. 

Warigagung sendiri menjadi tidak karuan perasaannya 

ketika pundaknya ditindih oleh kepala Sarwiyah ini. Mula-

mula ia diam saja, tegang dan berdebar. Namun sesaat 

kemudian tangannya bergerak. Yang kanan memeluk 

pinggang dan yang kiri mengusap-usap jari tangan dan 

punggung telapak tangan Sarwiyah. 

Julung Pujud dan Si Tangan Iblis menjadi semakin 

gembira melihat dua orang muda yang dijodohkan itu 

sudah menunjukkan sikap mesra. 

Tiba-tiba Julung Pujud ketawa terkekeh, lain katanya, 

“Heh… heh… heh… heh, Tangan Iblis! Apakah engkau 

mengundang aku hanya dengan cara ini, tanpa engkau 

hidangkan tuak wangi dan keras?” 

Si Tangan Iblis baru teringat kedudukannya sebagai 

tuan rumah. Lalu ia memalingkan muka ke arah Sarwiyah,


bertanya. “Hai Wiyah! Kemanakah mbakyumu? Hayo 

perintahkan dia mengambil tuak wangi!” 

Sarwiyah mcngangguk, lalu ia minta diri kepada 

Warigagung dengan pandang mata mesra dan bibir ter-

senyum, namun tidak mengucapkan apa-apa. Warigagung 

maklum dan mengangguk. Kemudian Sarwiyah pergi ke 

belakang. 

Akan tetapi Sarindah tidak ditemukan. Para pembantu 

perempuan yang sibuk masak tidak dapat menerangkan, 

sedang para muridpun tidak bisa menjawab. Karena 

Sarindah tidak ada, ia lalu mengambil sendiri tuak 

simpanan kakeknya. Kemudian ia memerintahkan seorang 

pelayan wanita agar membawa tuak simpanan itu ke ruang 

depan untuk dihidangkan kepada tamu. 

Setelah memberi perintah agar semua hidangan 

disiapkan, maka Sarwiyah kembali ke ruang depan. Ia 

memberi laporan kepada kakeknya, bahwa Sarindah tidak 

ada dan tidak seorang pun tahu kemana pergi. 

Si Tangan Iblis rnengerutkan alis. Hatinya tidak senang 

mengapa di saat seperti itu Sarindah malah pergi? Namun 

karena dirinya sedang sibuk menerima Julung Pujud, maka 

hal ini tidak dipusingkan lagi. Ia kemudian terlihat dalam 

pembicaraan yang asyik dengan Julung Pujud. Sedangkan 

Sarwiyah karena dalam ruangan ini ada orang lain yang 

hadir, tidak berani duduk kembali dan berhimpitan dengan 

Warigagung dan malah membantu mengatur hidangan. 

Tiga orang pelayan wanita masuk membawa baki berisi 

makanan dan nasi panas mengepul di samping pula 

minuman kopi panas. Namun Sarwiyah menjadi heran, 

mengapa pelayan yang tadi diperintahkan supaya cepat 

membawa tuak simpanan untuk hidangan tamu, malah 

belum tampak? Mengapa bisa terlambat? Ia segera ber-

tanya kepada pelayan yang lain. Kemudian ia mendapat 

keterangan, pelayan yang dimaksud sedang menuju ruang 

depan. 

Apakah sebenarnya yang terjadi? Kelika pelayan ini 

sudah membawa tuak tersebut menuju ruang depan,


dicegat oleh Kaligis dan Sangkan. Dan sambil mengancam, 

Sangkan segera merebut Guci tempat tuak. Ia membuka 

penutup guci, lalu memasukkan bubuk obat ke dalam guci. 

Setelah ditutup lagi dan diguncang sebentar guci di-

kembalikan kepada si pelayan. 

“Bawalah ke depan dan suguhkan kepada tamu! 

katanya mengancam. Tetapi huh, engkau tidak boleh 

bicara, bahwa aku sudah mencegat kau. Jika engkau 

berani membuka mulut, awas! Engkau akan kami 

perlakukan seperti bukan manusia lagi. Tahu? Engkau 

akan aku siksa, mati tidak dan hidup pun tidak. Tahu? 

Engkau pasli kuculik lalu kubawa ke dalam hutan. Di sana, 

kau akan aku telanjangi, lalu nodai bersama kawanku lebih 

dahulu sampai puas. Sesudah kami puas baru kau akan 

kusiksa. Seluruh tubuhmu akan kami siram dengan air gula 

dan semut akan segera berdatangan untuk mengeroyok 

kau. Hemm, engkau tentu akan menderita hebat sekali 

sebelum mampus. Tahu?” 

Pelayan ini ngeri dan ketakutan setengah mati men-

dengar ancaman itu. Ia gemetaran, wajahnya pucat dan 

kemudian jawabnya tidak lancar, “Ampun... jangan...! 

Aku.... aku takkan bicara! 

Hati dua orang muda itu lega, kemudian secepatnya 

menyelinap ke tempat gelap dan pergi. Dua orang muda ini 

menyeringai seperti iblis. Mereka sudah menduga pasti, 

yang minum tuak akan segera mati oleh racun. Oleh 

karena itu mereka gembira sekali, sebab dengan demikian 

akan dapat menggagalkan semua rancangan guru mereka. 

Ketika si pelayan masuk ruangan, Julung Pujud yang 

amat gemar minum tuak itu, sudah ngiler. Ia melompat 

kemudian menyambar guci sebelum diserahkan oleh 

pelayan. 

Melihat sikap Julung Pujud itu Si Tangan Iblis terkekeh 

senang. Bagi dirinya sikap seperti ini lebih menyenangkan. 

Berarti tamunya benar-benar telah menganggap sebagai 

keluarga sendiri. 

Julung Pujud adalah seorang yang sudah terlalu biasa


minum tuak tanpa aturan. Kalau menggunakan seloki ia 

tidak puas. Maka ia menggelogok langsung dari guci, 

langsung masuk perut. Tetapi sekarang ini, ketika guci 

dibuka tutupnya dan mencium ban arak yang wangi, 

matanya berkedip-kedip dan mulutnya tersenyum. Anehnya 

tiba-tiba ia tidak jadi minum dan malah hidung kakek ini 

cungar-cangir. 

Melihat sikap Julung Pujud yang aneh, yang tidak jadi 

minum. Si Tangan Iblis heran. Ia menghampiri sambil 

bertanya, “Hai kakang Julung Pujud! Ada apa? Apakah 

sebabnya kau cungar-cangir macam itu?” 

Tiba-tiba mata Julung Pujud memancarkan api ke-

marahan. Bentaknya, “Bangsat Tangan Iblis! Hati dan 

mulutmu berlainan! Mulutmu manis tetapi hatimu penuh 

bulu dan sikapmu palsu. Heh… heh… heh… heh, engkau 

akan meracun aku?!” 

Sebelum Si Tangan Iblis menjawab, melayanglah tubuh 

Sarwiyah yang segera mencengkeram baju si pelayan. 

Hardiknya, “Katakan lekas! Siapa yang bertemu dengan 

kau ketika akan menghidangkan tuak kemari?” 

Melihat tingkah Sarwiyah ini barulah Si Tangan Iblis 

sadar. Agaknya memang ada tangan curang yang sengaja 

memasukkan racun ke dalam tuak. Ia kemudian meloncat 

pula ke depan si pelayan. Bentaknya, “Hayo katakan lekas! 

Siapa yang meracun tuak?” 

Pelayan itu tubuhnya gemetaran dan pucat saking 

takutnya. Bibirnya bergerak tetapi tidak juga terdengar 

suara dari mulut. Pelayan ini kebingungan sendiri 

disamping ngeri, teringat ancaman Sangkan dan Kaligis. 

Akan tetapi sebaliknya jika tidak menjawab, tidak urung 

dirinya celaka. 

Ketika itu Sarwiyah melepaskan cengkeramannya, dan 

pelayan itu cepat berlutut dengan tubuh gemetaran sambil 

menangis. Jawabnya tidak lancar. “Tidak....tidak ada.... 

orang... ohh... saya tidak... tahu...” 

Si Tangan Iblis tidak sabar lagi. Kakinya cepat me-

nendang. Hanya terdengar jerit satu kali keluar dan mulut


pelayan itu, kemudian tubuhnya terlempar dan menabrak 

tiang rumah. Kepalanya pecah dan mati saat itu juga. 

Pelayan yang lain menjadi pucat dan tubuh mereka 

gemetaran karena ketakutan setengah mati. Mereka 

kemudian mendeprok di lantai dan saking ngerinya tanpa 

terasa mereka terkencing di tempat itu juga. 

Sarwiyah menjadi pucat dan menyesal sekali mengapa 

kakeknya tidak sabaran dan sudah membunuh pelayan itu. 

Celanya, “Kek....ahh,.....apakah sebabnya pelayan itu kau 

bunuh? Kita sekarang kehilangan saksi utama yang bisa 

memberi keterangan penting, tentang usaha peracunan ini. 

Ahh jika Kakek tidak membunuh dia, aku tentu bisa 

mengorek keterangan untuk mencari siapa yang sudah 

melakukan pe racunan ini...” 

Akan tetapi Si Tangan Iblis yang sudah marah, malu dan 

penasaran oleh usaha orang meracun tuak ini, menyebab-

kan ia tidak mau mendengar teguran Sarwiyah. Tuduhan 

pertama segera ditujukan kepada Sarindah yang sudah 

meninggalkan rumah diam-diam. Sebab, orang lain tidak 

mungkin dapat melakukannya, mengingat guci itu disimpan 

di tempat yang tidak mungkin orang lain bisa masuk. 

Kakek ini segera ingat akan sikap Sarindah. Sikap yang 

tidak menyetujui ikatan pertunangan antara Warigagung 

dengan Sarwiyah. Buktinya, cucunya itu tidak mau ikut 

serta menghadiri pertunangan ini malah pergi diam-diam. 

Si Tangan Iblis heran berbareng penasaran, mengapa 

Sarindah sampai hati dan seberani itu memasukkan racun 

dalam tuak? 

Menduga peracunan ini dilakukan oleh cucunya sendiri. 

Si Tangan Iblis segera membungkuk memberi hormat 

kepada Julung Pujud dan berkata, “Kakang…..ahh, maaf-

kanlah aku. Dialah yang sudah memasukkan racun dalam 

guci itu. Hemm, untung Kakang Pujud waspada.....” 

Si Tangan Iblis tidak sabar lagi. Kakinya cepat 

menendang. Hanya terdengar jerit satu kali dari mulut 

pelayan itu, kemudian tubuhnya terlempar dan menabrak 

tiang rumah.


Kakek kerdil itu terkekeh di tengah rasa penasaran 

dicurangi dengan racun. Jawabnya, “Heh heh heh heh, 

siapakah orang bisa meracun aku? Aku adalah seorang 

ahli racun jempolan di dunia ini. Dengan hanya mencium 

baunya saja, aku udah tahu sifat segala macam racun yang 

dicampur dalam tuak. Ha... ha... hah... ha, racun yang 

dicampur dengan tuak ini memang keras. Tetapi bagai-

manapun tidak mungkin dapat membunuh maupun 

mencelakakan Julung Pujud. Heh... heh... heh... heh, tuak 

ini wangi sekalipun sudah campur dengan racun. Karena 

itu sayang kalau tidak diminum, dan akan aku habiskan 

sekali minum.” 

“Guru.....jangan.....!” teriak Sarwiyah yang berusaha 

mencegah. “Guru, di dalam masih banyak tuak simpanan.” 

“Heh... heh... heh heh heh, terima kasih menantuku 

yang manis. Kau jangan khawatir, dalam tubuhku sudah 

penuh racun. Maka racun yang masuk dalam tubuhku, 

hanya akan menambah kekuatan tubuhku saja dan 

menjadikan awet muda. Ha ha ha ha, wangi..... 

Kemudian Julung Pujud membuka mulut. Tuak dituang 

ke dalam mulut, suaranya menggelogok dan kerongkongan 

kakek kerdil ini bersuara berkeruyuk menelan tuak. Hebat! 

Sekali tenggak satu guci sudah masuk perut. 

Kakek ini memang seorang ahli racun jarang tandirigan. 

Karena setiap hari selalu bergulat dengan racun itu maka 

ia sudah membiasakan diri untuk menelan racun secara 

terukur setiap hari. Dan kebiasaan ini menyebabkan dalam 

tubuhnya kebal akan segala macam racun. Bukan saja 

Julung Pujud yang sudah puluhan tahun lamanya bergulat 

dengan racun. Sedang Warigagung yang masih muda 

itupun kebal pula terhadap segala macam racun dan bisa. 

Itulah sebabnya murid Julung Pujud ini suka bermain-main 

dengan segala macam binatang yang beracun maupun 

berbisa. 

Julung Pujud meletakkan guci yang sudah kosong di 

meja, lalu katanya. Hemm, kalau saja calon menantuku 

bukan gadis yang halus, cantik, lemah lembut dan


menyenangkan, usaha peracunan ini tentu sudah 

kujadikan alasan putus penunangan, dan engkau menjadi 

musuhku! Hmm, sudahlah Semuanya sudah terjadi dan 

tidak perlu lagi diributkan. Yang penting, cucumu yang 

kurang ajar itu harus kau urus sendiri dan kau tangkap. 

Tetapi karena yang diracuni aku, maka cucumu itu harus 

kauserahkan padaku untuk menerima hukumanya, tidak 

perlu khawatir. Aku hanya akan membalas menghukum dia 

dengan racun pula. Heh heh heh heh! 

Si Tangan Iblis dan Sarwiyah pucat mendengar tuntutan 

Julung Pujud ini. Sesungguhnya manakah mungkin si 

Tangan Iblis bisa tega kepada Sarindah? Tetapi karena 

Sarindah sendiri yang sudah memulai, maka kakek dan 

cucu ini tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiakan. 

Demikianlah, perustiwa peracunan ini dalam waktu 

singkat sudah dilupakan. Pelayan yang mati segera dirawat 

para murid, sedang Si Tangan Iblis dengan Sarwiyah sibuk 

menjamu tamunya. 

Tetapi di pihak lain diam-diam Sangkan dan Kaligis yang 

merasa bersalah menjadi gelisah sekali, ketika usaha 

mereka meracun Julung Pujud dan yang lain gagal. 

Meskipun demikian mereka menjadi terhibur juga ketika 

mereka luput dari tuduhan, dan malah yang dituduh 

Sarindah. Dan lebih lagi saksi utama dari perbuatannya 

sudah mati dan tidak bisa ditanya lagi. Dengan demikian 

kecurangan itu sudah tertutup rapat. 

Pagi hari kemudian Julung Pujud dan Warigagung minta 

diri, setelah mereka sepakat menentukan hari perkawman 

antara Sarwiyah dan Warigagung dua tahun lagi. 

Tetapi setelah Warigagung dan gurunya pergi. Si Tangan 

Iblis masih uring-uringan. Semua orang dibentak dan 

dimarahi. Dan saking marahnya kepada Sarindah yang 

dituduh telah meracun itu, maka semua murid segera 

diperintahkan pergi mencari Sarindah sampai bisa 

ditemukan, sekaligus diperintah pula mencari Sentiko yang 

sampai sekarang belum diperoleh kabar. 

Si Tangan Iblis berpesan, semua murid dilarang pulang


apabila tanpa membawa berita di mana Sentiko maupun 

Sarindah berada. Syukur sekali apabila para murid ini 

sanggup memaksa Sarindah untuk pulang. Tetapi kalau 

tidak sanggup, Si Tangan Iblis sendiri yang akan 

menangkap dan kemudian menyerahkan kepada Julung 

Pujud untuk diadili. 

Hari itu juga Kaligis, Sangkan, Senggring, Kebo Sobrah, 

Wastu, Wangalit dan Bala Rebo pergi menunaikan tugas 

baru dari guru mereka. Tentu saja dengan adanya tugas ini 

Kaligis merasa dadanya longgar. Siapa tahu ia dapat ber-

temu dengan gadis yang dicintai itu, kemudian berhasil 

membujuk dan mempengaruhi hatinya. 

Sebaliknya Sangkan yang gandrung kepada Sarwiyah 

menjadi putus harapan. Manakah dirinya bisa mendapat 

kesempatan mencintai Sarwiyah lagi, yang telah 

dipertunangkan dengan Warigagung itu? 

Akan tetapi setelah semua murid pergi, Sarwiyah ingat 

sesuatu. Ia menghampiri kakeknya, lalu berkata, “Kek, 

mengapa harus mempercayakan kepada para murid? 

Mereka tidakkan sanggup melawan Mbakyu Sarindah. 

Padahal Mbakyu seorang yang keras hati dan gampang 

marah. Salah-salah semua murid bisa celaka di tangan 

dia.” 

“Huh! Peduli apa kepada sejumlah murid tidak berguna 

itu? Huh, aku sungguh menyesal mengapa murid-muridku 

itu goblog! Hanya mencari bocah kecil saja mereka kembali 

dengan tangan kosong. Malah Ananto menjadi korban 

tergelincir di dalam jurang. Dan ahh…. bagaimanakah 

kabarnya Kebo Pradah, Tanu Pada dan Mahisa Singkir? 

Apakah sebabnya mereka sampai sekarang belum juga 

pulang?” 

“Itulah Kek, yang menyebabkan aku heran. Mungkinkah 

mereka celaka di tangan orang? Kalau tidak, manakah 

mungkin mereka berani melanggar perintah Kakek? Sebab 

itu Kek, apakah dalam soal ini Kakek tidak perlu 

menangani sendiri?” 

“Hemm,” Si Tangan Iblis menghela napas panjang.


Namun ia tidak lekas membuka mulut. 

Sarwiyah berkata lagi, “Kek manakah mungkin Mbakyu 

mau kau perintahkan pulang kalau tahu dituduh telah 

meracun tamu. Dia akan ketakutan dan tak mungkin mau 

bertemu dengan Kakek lagi.” 

“Hemm… cucu seperti itu hanya menyebabkan aku malu 

saja. Dan apakah jadinya kalau Julung Pujud marah, lalu 

putus hubungan kita dan kemudian berubah menjadi 

musuh? Huh, betapa kecewa ayah bundamu di alam baka 

kalau aku tidak dapat membalas dendam kepada Gajah 

Mada maupun Mpu Nala. Huh, cucu celaka seperti itu 

sudah sepantasnya kubunuh saja!” 

Sarwiyah pucat. Ia kenal watak kakeknya yang ganas. 

Ucapannya itu tentu bukan sekadar kata-kata, tetapi tentu 

akan terjadi pula walaupun terhadap cucunya sendiri. 

“Kek, sudah pastikah Mbakyu yang melakukan 

peracunan?” 

“Mengapa tidak? Siapakah yang bisa masuk ke tempat 

guci tuak itu disimpan, kecuali aku, engkau dan mbakyumu 

Kalau bukan mbakyumu, apakah malah engkau sendiri?” 

Si Tangan Iblis mendelik. Sarwiyah tergetar jantungnya. 

Katanya, “Kek, memang benar tiada orang lain yang bisa 

masuk ke tempat penyimpanan guci. Tetapi. Ahh.....aku 

ingat Kek......ahh.....aku ingat......” 

“Ingat apa?” 

“Pelayan itu terlampau lambat melakukan perintahku 

membawa guci tuak ke ruang depan. Ahh.... sayang sekali 

Kakek kemarin tergesa membunuh pelayan itu, hingga kita 

tidak lagi bisa memaksa supaya dia menerangkan apakah 

sebabnya terlambat datang dan mengapa pula guci itu 

beracun. Kek, terus terang aku curiga dan kurang percaya, 

jika Mbakyu yang berbuat. Aku menduga ada orang lain 

yang memancing di air keruh.” 

“Wiyah! Engkau jangan mengada-ada. Engkau jangan 

mencoba membela mbakyumu yang bersalah. Tidak peduli 

siapapun, orang yang hampir nembuat rencanaku 

berantakan harus dihukum yang setimpa. Kalau benar


Sarindah yang melakukan akupun harus juga menghukum-

nya.” 

“Kek, kalau memang ternyata benar, itu lain lagi, 

Sarwiyah membantah. Tetapi aku menjadi curiga dengan 

terjadinya beberapa peristiwa yang sudah menimpa 

keluarga kita.....” 

“Wiyah! Apakah maksudmu? Peristiwa yang mana?” 

“Kek, aku minta sudilah kakek sedikit sabar. Kek, 

semua peristiwa ini umbernya bukan lain adalah Sentiko. 

Begitu para murid kakek tugas kan, Kakang Kaligis dan 

Kakang Sangkan melaporkan Adik Ananto tergelincir 

masuk dalam jurang dan tidak tertolong.” 

Sarwiyah berhenti dan memandang kakeknya mencari 

kesan. Setelah kakeknya tidak bereaksi, ia meneruskan, 

“Mbakyu Sarindah tidak gampang mau percaya laporan itu. 

Terus terang, ketika itu akupun kurang percaya laporan itu. 

Adik Ananto dibandirig Kakang Kaligis maupun Sangkan 

lebih tinggi kepammpuannya. Mengapa dua orang itu bisa 

selamat, sedang orang yang lebih tinggi kepandaiannya 

malah tergelincir dan masuk jurang? Ini sungguh aneh!” 

Si Tangan Iblis tergagap mendengar alasan yang di-

kemukakan Sarwiyah. Sekarang ia baru ingat akan 

kejanggalan tersebut. Si Tangan Iblis seperti baru bangun 

dari tidur. 

“Teruskan!” perintahnya. “Teruskanlah Wiyah, aku ingin 

mendengar alasanmu.” 

“Sayangnya Kakek bukannya mau mengerti sikap 

Mbakyu, tetapi malah marah. Karena Kakek marah itu, 

kemudian aku dan dia pergi. Maksudnya tidak lain untuk 

mencoba melihat keadaan apakah Kakang Tanu Pada dan 

rombongannya sudah pulang? Namun ternyata aku dan 

Mbakyu malah bertemu dengan Kakang Warigagung dan 

terjadilah salah paham. Kek, timbul dugaanku bahwa 

kepergian Mbakyu tiada hubungan sama sekali dengan 

soal peracunan. Akan tetapi karena Mbakyu dalam 

keadaan gelisah memikirkan tiga orang murid yang belum 

juga pulang itu. Adalah tidak mungkin terjadi mereka


terlambat pulang apabila tidak terjadi apa-apa di 

perjalanan. Malah aku menduga pula, Mbakyu diam-diam 

sudah pergi dalam usaha mencari jejak mereka.” 

Sarwiyah berhenti dan menatap kakeknya. Ketika 

kakeknya masih berdiam diri, ia meneruskan, “Kek, 

mungkin sekali ada pihak lain yang menggunakan 

kesempatan ini melakukan kecurangan dengan mem-

bubuhkan racun dalam guci dan memaksa kepada pelayan 

itu. Dan agaknya orang itu sudah memperhitungkan bahwa 

tuduhan akan jatuh kepada Mbakyu Sarindah yang pergi.” 

“Kalau begitu, siapakah kira-kira yang sudah berbuat?” 

“Kek, aku belum tahu. Tetapi jelas bukan orang lain, 

tetapi orang serumah. Tentu saja masalah ini memerlukan 

waktu untuk penyelidikan. Kek, ah.... aku menjadi khawatir. 

Karena Kakek sudah menuduh Mbakyu, apakah jadinya 

apabila Mbakyu ketemu dengan Kakang Warigagung dan 

gurunya? Kalau benar Mbakyu memang bersalah, bagai-

manapun memetik buah tanamannya sendiri. Tetapi kalau 

dia tidak bersalah, bukankah kasihan Mbakyu yang men-

jadi korban?” 

Dipikir-pikir pendapat cucunya memang benar. Karena 

itu pada akhirnya Si Tangan Iblis setuju untuk menangani 

sendiri masalah yang dihadapi. Maka hari itu juga setelah 

selesai berkemas dan memberi pesan kepada semua 

pelayan, kakek dan cucu ini pergi meninggalkan rumah. 

Karena Sarwiyah sudah menduga ke mana kakaknya pergi, 

maka cucu dan kakek ini menuju ke arah Tanu Pada dan 

rombongannya pergi. 

* * *


2


Tanpa diduga justru kepergian Si Tangan Iblis dan 

Sarwiyah inilah yang menjadi pangkal semua 

peristiwa yang berlarut-larut. Sebab kalau saja Si 

Tangan Iblis dan Sarwiyah mau menunda satu hari saja, 

tentu akan dapat bertemu kembali dengan Sarindah tanpa 

pula mencari. Karena ternyata pada keesokan harinya 

masih pagi benar, Sarindah telah muncul kembali di 

rumah. Gadis ini melangkah dengan lesu dan wajahnya 

pucat, akibat telah kurang tidur disamping lelah sekali. 

Memang Sarindah sudah cukup jauh melakukan per-

jalanan dalam usahanya mencari Tanu Pada dan 

rombongannya. Sudah banyak orang yang ditanya dan 

sudah banyak desa yang dijelajah, tetapi tidak seorangpun 

dapat memberi keterangan. Karena merasa bingung dan 

tak tahu kemana harus menuju, akhirnya gadis ini 

memutuskan pulang saja guna memberitahukan kepada 

kakeknya. 

Tetapi betapa rasa keheranan gadis ini ketika pulang ke 

rumah, keadaannya amat sepi. Baru saja ia masuk ke 

rumah dan bertemu dengan seorang pelayan, gadis ini 

kaget setengah mati, karena pelayan itu menubruk, 

memeluk sambil menangis. 

Sarindah keheranan berbareng curiga. Tanyanya gugup. 

“Ada apa? Apakah sebabnya kau menangis? Dan mengapa 

pula rumah ini sepi, lalu ke mana Kakek dan Sarwiyah 

pergi?” 

Mendengar tangis dan suara Sarindah, pelayan yang lain 

segera berdatangan. Pelayan tertua, segera menceritakan 

apa yang sudah terjadi di rumah ini, ketika menerima 

tamu. Lalu diceritakan pula tentang terjadiriya usaha 

peracunan dan seorang pelayan mati terbunuh oleh 

kakeknya. 

Kemudian ketika pelayan tertua itu menceritakan, yang


dituduh meracun adalah dirinya, Sarindah berjingrak kaget 

dan sepasang matanya menyala marah. 

“Gila! Siapakah yang menuduh aku meracun tamu?” 

tanyanya lantang dilanda kemarahan. 

“Kakek Nona......” 

“Apa? Kakek menuduh aku meracun? Gila! Demi 

Dewata Yang Agung, aku tidak melakukannya. Apakah 

kamu semua tidak tahu dan tidak bisa menduga, siapakah 

kira-kira si peracun itu?” 

Seperti burung beo yang belajar, para pelayan itu saling 

berebut memberi alasan ketika itu repot dengan urusan 

masing-masing. 

Sarindah membentak, “Jangan berbareng. Terangkan 

bergantian.” 

Para pelayan ketakutan. Lalu seorang demi seorang 

memberi keterangan. Pendeknya semua pelayan mengata-

kan tidak tahu siapakah yang sudah melakukan peracunan 

itu. 

Akibatnya gadis berangasan ini membanting-bantingkan 

kakinya saking penasaran dan kecewa. Penasaran karena 

dirinya dituduh meracun tamu dan kecewa karena tidak 

mendapat keterangan sedikitpun yang dapat dijadikan 

pegangan untuk membersihkan diri. 

Kemudian ketika Sarindah menanyakan mengapa 

rumah sepi, pelayan tua ini menerangkan, semuanya 

sudah pergi. 

“Semuanya sudah pergi, Nona, kemarin pagi. Menurut 

keterangan Nona Sarwiyah, katanya mencari Nona.....” 

“Gila!” Sarindah geram mendengar keterangan ini. 

“Semua gila! Semua orang mencari aku. Huh, untuk apa? 

Seperti anak kecil saja orang pergi mesti dicari. Huh aku 

tidak bersalah dan aku tidak meracun siapapun. Huh, 

apakah tidak seorangpun bersedia membela aku?” 

“Nona Sarwiyah yang membela,” sahut si pelayan yang 

tadi menangis. “Oleh pembelaan Nona Sarwiyah kepada 

Nona itulah kemudian Kakek Nona pergi bersama Nona 

Sarwiyah.”


Terhibur juga hati gadis ini setelah mendengar dibela 

Sarwiyah. Lalu gadis ini teringat oleh sebabnya pergi, tanya-

nya. Apakih Kakang Tanu Pada sudah pulang? 

Semua pelayan menggelengkan kepala dan menerang-

kan Tanu Pada dan rombongannya belum pulang. 

Kemudian pelayan tua ini menyahut, 

“Kakek Nona berpesan kalau mereka pulang diperintah-

kan tetap di rumah.” 

“Mereka siapa? Tanu Pada dan rombongan. Hemm, 

kalau demikian biarlah aku menunggu mereka pulang”. 

Sambil berkata, Sarindah melangkah masuk ke ruang 

tengah. Tetapi gadis ini segera berhenti, membalikkan 

tubuh dan berteriak. “Hai! Mana kopi dan mana sarapan 

pagi? Mengapa tidak engkau sediakan seperti biasanya?” 

Pelayan tua yang bertanggung jawab cepat menyahut 

dengan gugup, “Ohh... ya memang belum Nona......” 

“Apakah sebabnya?” 

“Karena…. tak tahu Nona pulang.....” 

“Sudahlah jangan cerewet. Cepat sediakan, aku haus 

sekali dan lapar.” 

Sarindah membalikkan tubuh langsung masuk ke ruang 

tengah dan menuju ke kamarnya. 

Pelayan tua itu dengan tergopoh menuju dapur untuk 

mempersiapkan kopi dan makan pagi. Tetapi tidak urung 

mulut pelayan ini menggerundel seorang diri mencaci maki 

gadis galak itu. 

Semua pelayan memang takut kepada Sarindah yang 

galak dan gampang marah itu. Namun disamping takut 

mereka juga tidak senang. Diam-diam semua pelayan 

merasa heran mengapa antara Sarindah dan Sarwiyah 

seperti bumi dan langit? Sarwiyah gerak-geriknya halus, 

lemah lembut, sabar dan tidak pernah berbuat sewenang-

wenang kepada mereka. Kalau perlu Sarwiyah malah 

membantu urusan dapur kalau butuh makan atau minum. 

Sarindah menghempaskan tubuh ke pembaringan tanpa 

ganti pakaian. Gadis ini amat penasaran dan uring-uringan 

dituduh telah meracun tamu. Dan kemudian gadis ini


mengumpat berkali-kali. 

“Gila! Kakek gila! Semua gila! Apakah aku ini sebusuk-

busuknya manusia sehingga ada orang diracun, tuduhan 

langsung pada diriku?” 

“Hemm, bangsat busuk manakah yang sudah bermain 

curang dan meracun di rumah ini? Sarindah menduga-

duga. Huh, tidak mungkin ada orang luar bisa masuk. Huh 

tentu orang dalam sendiri. Tetapi siapakah?” 

Ia tidak bisa menduga siapa yang melakukan. Ia merasa 

sayang juga, mengapa pelayan bersangkutan sudah mati. 

“Huh, tetapi aku harus menyelidiki siapa yang curang 

itu, untuk membersihkan namaku dari noda! Aku akan 

menunggu sampai Kakang Tanu Pada datang. Akan kuajak 

dia pergi dengan aku mengadakan penyelidikan. Kalau aku 

tahu dan mendapat bukti, tahu rasa!” 

Gadis ini kemudian menguap karena mata mengantuk 

sekali, disamping amat lelah. Tiba-tiba saja ia teringat 

betapa nikmatnya dipijat sambil tiduran ini. 

“Sayem.......Sayem......!” 

“Ya..... Nona….” suara penyahutan dari arah rumah 

belakang. 

Pelayan bersangkutan segera berlarian menuju kamar 

Sarindah. Setiba di depan pintu kamar, ia bertanya. “Nona 

memanggil saya?” 

“Masuklah! Pijitlah aku, Sayem. Aku lelah sekali dua 

hari pergi jauh,” ujarnya sambil menelungkup. 

“Baik Nona,” sahut si pelayan sambil masuk kamar 

sekalipun sesungguhnya mengeluh. 

Pelayan itu segera menunaikan tugasnya memijit tubuh 

si gadis, dimulai dari kaki. 

Beberapa saat kemudian pelayan tua yang mengurus 

dapur sudah datang melapor. “Nona, kopi dan sarapan 

pagi sudah tersedia.” 

“Bawalah kemari. Aku lelah dan sedang dipijit Sayem.” 

Tergopoh pelayan tua itu mengambil kopi dan sarapan 

pagi, langsung dibawa masuk ke dalam kamar tidur. Ketika 

pelayan itu akan meletakkan di meja depan tempat tidur.


Sarindah berkata. “Mbok, suapilah aku. Bukankah nikmat 

sekali sambil dipijit dan makan disuapi?” 

Pelayan tua itu tidak membantah sekalipun dalam hati 

mengumpat. “Sudah besar dan sudah gadis lagi, tetapi 

mengapa masih seperti bayi?” 

Setelah Sarindah selesai makan dan tertidur pelayan ini 

baru bebas dari kewajibannya. Dengan langkah hati-hati 

pelayan ini meninggalkan kamar. 

Akan tetapi kemudian ternyata Tanu Pada, Kebo Pradah 

dan Mahisa Singkir tidak juga muncul, sekalipun ditunggu 

tiga hari. Sarindah semakin menjadi gelisah dan hilang 

sabar. Kemudian ia memutuskan esok pagi akan pergi 

mencari jejak Tanu Pada yang dicintai itu kalau belum juga 

muncul. 

Kasihan juga gadis ini mengharapkan munculnya orang 

yang sudah mati. Orang yang sudah tewas oleh kecurangan 

Kaligis dan Sangkan. 

Kasihan? Mengapa? Di dunia ini tidak terhitung jumlah-

nya manusia yang ditimpa kemalangan dan kesedihan. 

Semua itu terjadi oleh perbuatan manusia pula yang 

mencari keuntungan diri pribadi, dan merugikan orang lain. 

Sungguh kasihan manusia di dunia ini, manusia ber-

budaya, tetapi sesungguhnya lebih buas dibandirig dengan 

binatang buas yang tidak mengenal akan budaya. Sebagai 

akibat kebuasan manusia ini maka terjadilah perang, 

bunuh membunuh, fitnah, kecurangan, tipu muslihat dan 

banyak perbuatan jahat yang lain lagi. 

Manusia-manusia yang buas semacam ini lupa, siapa 

yang menanam pasti memetik buahnya sesuai dengan 

hukum alam. Hukum sebab dan akibat. Hukum karma. 

Namun biasanya manusia tidak mau juga mawas diri dan 

lupa kepada Yang Maha Tinggi. 

Maka berbahagialah manusia di dunia ini yang pandai 

mawas diri. Yang hidup dengan wajar tanpa merugikan 

orang lain. Yang selalu mengagungkan ambeg paramaarta 

dan pandai menempatkan diri sebagai mahkluk Yang Maha 

Tinggi. Berbahagialah manusia yang sadar akan hidupnya.


Sadar bahwa di atas manusia ini masih ada Yang Maha 

Tinggi dan Yang Maha Kuasa. 

Akan tetapi kenyataannya memang tidak gampang 

orang bisa mawas diri dan menyadari akan hidupnya ini, 

kalau memang tidak mau berusaha, kalau memang tidak 

mau menempatkan diri secara wajar. 

Demikian pula yang terjadi dalam keluarga besar Si 

Tangan Iblis ini. Karena masing-masing mengumbar 

kehendak dan kemauau sendiri, tak segan merugikan dan 

mencelakakan saudara seperguruan sendiri, maka 

terjadilah piristiwa yaag berekor panjang. 

Akhirnya Sarindah tidak kerasan lagi di rumah. Ia 

kemudian pergi juga tekadnya hanya satu, ia harus bisa 

membersihkan diri dari tuduhan mencoba membunuh 

Julung Pujud. Ia harus dapat bertemu dengan kakeknya 

atau Sarwiyah. Dan kalau perlu harus bisa bertemu dengan 

Warigagung atau Julung Pujud sendiri. Ia akan mem-

beberkan semua keadaan, kepergiannya tidak ada 

hubungan sama sekali dengan percobaan pimbunuhan itu. 

Sarindah menempuh perjalanan cepat. Ia menduga, 

kakeknya dan Sarwiyah tentu searah dengan perjalanan 

yang semula ia tempuh. Karena itu kemudian ia menuju ke 

barat. 

Pada tengah hari tibalah Sarindah di Desa Nongkojajar. 

Ia merasa lapar, kemudian masuk ke sebuah warung. 

Dalam warung ini banyak pula orang sedang jajan. Tetapi 

sebagai seorang gadis, ia merasa malu kalau harus mem-

perhatikan mereka yang pada jajan. 

Sarindah memilih sebuah meja yang masih kosong, lalu 

duduk. Seorang pelayan dengan wajah berseri mendekati. 

Lalu dengan ramah ia tersenyum dan bertanya. 

“Nona menghendaki masakan apa? Rumah makan ini 

terkenal dan langganannya terdiri atas segala lapisan 

masyarakat. Hal ini memang tidak mengherankan Nona, 

karena koki rumah makan ini, sudah puluhan tahun 

lamanya hidup di Ibukota Majapahit. Dulunya seorang juru 

masak Pangeran. Maka saya tanggung, sekali Nona masuk


di rumah makan ini, selamanya akan terkenang kepada 

kenikmatan.....” 

“Sudahlah, aku minta disediakan jeruk panas dan nasi 

pindang,” potong Sarindah yang menjadi sebal mendengar 

pelayan itu ceriwis dalam menawarkan dagangannya. 

“Apa lagi, Nona?” tanya pelayan 

“Sediakan pula ayam panggang.” 

Pelayan itu mengangguk-angguk. Namun ketika si 

pelayan itu mau pergi, ia cepat mencegah. “Eh, nanti dulu 

aku ingin bertanya, pernahkah ada seorang kakek dan 

seorang gadis yang singgah kemari?” 

Pelayan itu tersenyum jawabnya. “Wah, tentu saja 

banyak sekali. Nona, rumah makan ini amat terkenal dan 

banyak langganannya dan....” 

“Sudah, jangan menyobongkan larisnya warungmu ini! 

Aku sedang mencari kakekku dan adikku perempuan. 

Kakekku kira-kira berumur enam puluh tahun dan adikku 

berumur 19 tahun. Kau tahu apa tidak?” 

Pelayan itu pucat oleh bentakan gadis ini. Kemudian 

dengan agak gugup dan takut, sahutnya, “Ohh, maafkanlah 

Nona. Aku…….aku tidak tahu. Tetapi eh.....apakah kiranya 

Nona bisa memberikan ciri-cirinya? Perlunya aku bisa 

mengingat-ingat. Oh ya... Nona.... apakah yang Nona 

maksudkan itu seorang kakek jangkung dan seorang gadis 

cantik, lemah lembut dan gerak-geriknya halus pula....?” 

“Nah, itu dia! Sarindah gembira dan mendesak, Cepat 

terangkanlah kapan mampir ke warung ini dan tahukah 

kemana kira-kira mereka pergi? Nah terimalah ini untuk 

membeli tembakau.” 

Sarindah memberi dua keping uang tembaga sebagai 

hadiah. Dan pelayan ini menerima dengan wajah berseri 

serta mengangguk-anggukan kepala. 

“Dua hari lalu, kakek dan adik Nona jajan kemari. Tetapi 

saya tidak tahu pasti ke mana mereka pergi. Hanya dari 

pembicaraan yang dapat saya tangkap tidak lengkap, 

agaknya sedang mencari seseorang....” 

“Mereka mencari aku.”



“Oh... mengapa bisa terjadi saling mencari? Uah... 

lucu...” 

“Hai! Apanya yang lucu? Kau anggap aku ini badut ya? 

Kurang ajar!” 

Pelayan itu pucat kembali dibentak. Diam-diam pelayan 

ini merasa heran juga mengapa gadis ini berbeda jauh 

dengan adiknya yang halus itu? Baru bertemu dirinya 

sudah dibentak dua kali. 

Jawabnya agak takut. “Ahh, Nona.... maksud saya bukan 

begitu. Saya heran sekali mengapa sampai terjadi. Nona 

dan Kakek Nona saling mencari?” 

“Hemm sudahlah! Itu bukan urusanmu! Lekas siapkan 

pesananku. Tenggorokanku sudah kering dan perutku 

sudah amat lapar.” 

“Baik. Nona.” 

Pelayan itu segera pergi ke belakang. Namun diam-diam 

pelayan ini geli juga berhadapan dengan perempuan galak 

itu. 

Sarindah menyeka peluh yang membasahi lehemya. 

Hatinya agak terhibur juga meudapat keterangan, dua hari 

lalu kakeknya dan Sarwiyah meninggalkan desa ini. Ia 

percaya, tidak memerlukan waktu lama tentu sudah dapat 

bertemu dengan kakeknya. 

Karena masih menunggu pesanan ia mencoba meng-

angkat muka memandang sekitarnya kepada para tamu 

yang jajan. Pada meja di depannya enam orang laki-laki 

sedang makan sambil membicarakan masalah harga. 

Sarindah cepat bisa menduga mereka ini terdiri atas para 

pedagang. 

Ketika pandang matanya beralih ke sudut, ia melihat 

seorang laki-laki kira kira empat puluh tahun, wajahnya 

agung dan berwibawa, sedang pakaiannya indah. Di 

depannya terhalang oleh meja yang penuh hidangan, tiga 

orang laki-laki setengah baya. Mereka bicara sambil 

makan, tetapi sikap tiga orang laki-laki ini baik di saat 

menyuap maupun mengucapkan kata-kala tampak amat 

menghormati kepada laki-laki agung tersebut.


“Ahh, dia tentu orang kota Majapahit. Orang yang mem-

punyai kedudukan tinggi. Hemm, begitukah orang kota, 

pakaiannya indah?” Sarindah menduga-duga. 

Sarindah memang tidak pernah diberi kesempatan pergi 

jauh dari Tosari. Maka walaupun dirinya sekarang sudah 

gadis dewasa, ia belum pernah berkesempatan melihat 

kotaraja Majapahit. 

Sesudah itu pandang matanya beralih ke meja lain. 

Tetapi ia menjadi gelagapan sendiri ketika menyadari diri-

nya diperhatikan oleh seorang pemuda yang duduk 

sendirian seperti dirinya. 

Mara pemuda itu bersinar tajam. Ketika pandang mata 

mereka bertemu, pemuda itu tersenyum dan matanya ber-

kedip-kedip penuh arti. 

Sarindah cepat menundukkan kepala lalu mengalihkan 

pandang matanya ke arah lain. Hati Sarindah berdebar 

tetapi perasaan kewanitaannya curiga. Cara memandang 

dan tersenyum dan mengedipkan mata tadi, tampak sekali 

sikapnya kurangajar. 

Sebagai seorang gadis yang memang mempunyai 

pembawaan watak angkuh keras hati dan galak ia menjadi 

tidak senang. Dalam hatinya sudah mencaci maki, 

“Kurangajar! Engkau membanggakan ketampanan 

wajahmu? Huh, dan kau beranggapan setiap perempuan 

pasti tertarik kepadamu? Huh. tak sudi! Rasakan jika 

engkau berani lancang dan kurangajar kepadaku, kupukul 

mulutmu yang laucang dan kucukil matamu yang 

kurangajar itu.” 

Tetapi walaupun ia tidak senang dan menjadi benci 

kepada pemuda itu ia masih menggunakan sudut matanya 

melirik. Ia ingin tahu apakah pemuda itu masih me-

mandang dirinya? Ahh, ternyata benar pemuda itu me-

mandang tanpa berkedip. Diam-diam ia penasaran ber-

bareng gelisah sendiri. 

Untunglah pelayan segera datang mengantarkan 

pesanannya. Gadis yang lelah haus dan lapar ini segera 

mengalihkan perhatiannya kepada makanan dan minuman


yang sudah tersedia. Baru tiga suap Sarindah menelan nasi 

terdengar suara pemuda itu yang memanggil pelayan, yang 

baru selesai melayani Sarindah. 

“Hai, Pelayan! Cepat sediakan masakan yang sama 

seperti pesanan dia.” 

“Baik Raden, akan segera kami sediakan,” pelayan itu 

menyahut penuh hormat. 

Mendengar pemuda itu pesan makanan yang sama 

dengan pesanannya, diam-diam Sarindah amat dongkol. Ia 

menghentikan suapan nasinya, memalingkan muka ke 

arah si pemuda dengan pandang mata tidak senang. 

Namun celakanya justru si pemuda juga sedang 

memandang dirinya. Pemuda itu kembali tersenyum dan 

matanya berkedip-kedip. 

Kalau saja apa yang terjadi sekarang ini tidak di dalam 

warung makan, Sarindah yang angkuh dan berangasan itu 

tentu sudah marah dan mendamprat. Sebab dari sikap 

pemuda itu jelas, dia memang sengaja mau mengganggu 

dan mau kurangajar. Tetapi karena perutnya memang 

lapar, biarlah untuk sementara ia menyabarkan diri dan 

mengisi waktu sampai kenyang. Ia ingin tahu apa yang 

akan dilakukan pemuda itu, sesudah meninggalkan 

warung ini. Kalau pemuda ini memang akan mengganggu 

dan kurangajar, huh, ia sudah siap untuk menghajar. 

Pemuda tampan itu masih tetap memperhatikan 

Sarindah dengan pandang mata yang terpesona dan ber-

selera. Tak lama kemudian datanglah yang dipesan. 

Pemuda ini mulai makan, namun matanya bukan 

memperhatikan makanan yang tersedia, malah lebih 

banyak memperhatikan Sarindah. 

Meskipun tanpa melihat pemuda itu dapat menyuap 

nasi dan tidak keliru dalam memasukkan ke mulut. Tetapi 

makan nasi putih melulu tentu saja kurang enak. Karena 

itu ia segera menyenduk isi mangkuk berisi kuah. Tanpa 

diamati langsung dimasukkan ke dalam mulut. Tetapi tiba-

tiba.... makanan itu tidak jadi ditelan dan malah dimuntah-

kan di dekat kakinya. Bibirnya secara mendadak menjadi


merah dan air matanya keluar, disamping mluutnya men-

desis-desis. Aha... ternyata pemuda itu keliru menyenduk 

sambal. Akibatnya pemuda itu kepedasan dan megap-

megap seperti ikan kehabisan air. 

Sarindah memalingkan muka. Saking mendongkol dan 

tak kuat menahan rasa geli. Ia menghentikan makannya 

lalu ketawa terpingkal-pingkal. 

Tamu yang lain pada mulanya heran. Tetapi setelah 

memandang ke arah si pemuda, merekapun lalu ter-

senyum. 

“Itulah upahnya orang yang makan tetapi mulutnya 

jelalatan tidak melihat,” caci gadis ini dalam hati. “Hai… 

pemuda kurangajar, rasakan nanti setelah di luar warung 

jika kau berbuat kurangajar!” 

Pemuda yang kepedasan dan mendesis-desis ini amat 

malu, mendongkol dan penasaran ditertawakan oleh 

Sarindah, sedangkan tamu lain juga tersenyum dan ada 

pula yang menertawakan. Matanya mendelik ke arah para 

tamu, sedang para tamu yang dipandang menjadi takut 

dan cepat mengalihkan pandang matanya. 

Akan tetapi ketika pandang mata pemuda itu bertemu 

dengan laki-laki agung berpakaian indah, jantungnya ter-

getar dan tidak sanggup bertatap pandang. 

Pemuda itu kemudian menundukkan kepala masib 

sambil mendesis kepedasan. Guna mengurangi rasa pedas 

pada bibir dan mulutnya, pemuda itu tidak jadi makan dan 

hanya menggamang ayam panggang. 

Meskipun demikian pemuda ini diam-diam sudah 

memutuskan, setelah keluar dari warung akan membalas. 

Baik kepada para tamu yang menertawakan maupun 

kepada gadis itu. 

Para pedagang itu agaknya sudah kenyang. Mereka 

membayar lalu pergi. Setelah orang itu pergi, si pemuda 

bergegas pula ke luar setelah membayar. 

Agaknya laki-laki berpakaian indah itu sudah bisa 

menduga. Ia mengerutkan alis lalu memberi perintah 

kepada salah seorang yang duduk di depannya supaya


keluar mengawasi gerak-gerik pemuda itu. 

Dugaan laki-laki berpakaian indah itu ternyata benar. 

Pemuda tadi sedang menghadang enam pedagang tadi, 

mendelik dan membentak. Kamu tadi kurang ajar sekali 

berani menertawakan aku. 

“Huh, kamu berani menghina aku maka rasakan 

pembalasanku!” 

Enam orang pedagang itu pucat dan ketakutan. Sahut 

salah seorang dari mereka sambil membungkuk dan 

memberi hormat, “Ampunilah kami, Raden. Kami…….kami 

tidak menghina....” 

“Apa katamu? tidak menghina? Huh, enak saja kau 

bicara. Apakah aku ini kau anggap badut?” 

“Tidak Raden, tidak! Sudilah Raden memaafkan kami.” 

“Hemm, orang macam kamu harus dihajar biar tahu 

rasa. Nih makanlah pukulanku.” 

Selesai berkata pemuda itu sudah melompat ke depan 

dalam usaha memuaskan kemendongkolannya. 

Tahan! terdengar teriakan nyaring. 

Dengan gerakan ringan laki-laki suruhan priyayi tadi 

sudah menghadang di depan si pemuda. 

Si pemuda yang sudah hampir menghajar enam orang 

tersebut menarik tangannya. Lalu sambil mendelik ia 

membentak. “Siapa kau!” 

“Hemm, orang muda, aku bernama Hesti Makara. Dan 

kau, siapakah orang muda?” 

“Hemm, tidak perlu aku sembunyikan. Namaku Rudra 

Sangkala.” 

“Ahhh.... jadi engkaukah....?” Hesti Makara melengak 

kaget. 

“Benar! Tidak ada yang perlu aku tutupi.” Potong Rudra 

Sangkala tidak menunggu Hesti Makara selesai bicara. 

“Bukankah engkau ini ingin bertanya tentang peristiwa 

hancurnya Desa Mojoduwur dan terbunuh matinya Gora 

Swara itu? Huh, tumenggung macam itu mengapa tidak 

dipecat oleh Raja Majapahit?” 

“Orang muda, engkau jangan bicara sembarangan!”


hardik Hesti Makara. “Tahukah engkau Tumenggung Gora 

Swara adalah aparat Kerajaan Majapahit? Seorang yang 

pangkatnya tinggi dan segala sesuatunya hanya Sri Paduka 

Raja Puteri Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani 

sendiri yang berhak menilai salah seorang hambanya, baik 

atau buruk. Hemm, orang muda! Apakah alasanmu berani 

membunuh Tumenggung Gora Swara?” 

“Huh, apakah sebabnya kau bertanya aku berani 

membunuh tumenggung keparat itu? tumenggung yang 

sewenang-wenang, huh!” 

“Hai orang muda. Engkau jangan mengumbar mulut 

tanpa aturan.” 

“Heh heh heh heh,” Rudra Sangkala terkekeh mengejek, 

“sekalipun peristiwa itu sudah terjadi amat lama namun 

tidak mungkin bisa terhapus dari kenanganku. Huh, 

kenangan menyedihkan yang telah menimpa Ibu dan 

kakakku perempuan. “ 

“Ada apakah dengan ibu dan kakakmu?” Hesti Makara 

heran dan tertarik. 

“Huh, engkau masih juga bertanya?” Rudra Sangkala 

mendengus marah. “Akulah korban sewenang-wenang 

tumenggung keparat itu. Dahulu, dua belas tahun lalu, 

ketika aku baru berumur delapan tahun. Aku tidak tahu 

apakah alasan dan kesalahan orang tuaku. Tetapi 

nyatanya tumenggung keparat itu datang bersama prajurit. 

Ayahku mau ditangkap dan dipaksa ikut dia. Tetapi ayah 

tak mau dan melawan. Akhimya ayah dan kakakku laki-laki 

tewas dikeroyok. Kemudian aku melihat dengan mata 

kepalaku sendiri, ibuku dan kakakku perempuan menjerit-

jerit. Ibuku diseret dengan paksa oleh beberapa orang 

prajurit, sedang kakakku perempuan menjerit dan meronta 

dalam pondongan tumengggung keparat itu. Tidak 

seorangpun tetangga berani menolong. Rumahku dibakar 

dan mungkin akupun sudah dibunuh kalau saja tidak 

ditolong oleh tetangga.” 

Pemuda itu berhenti dan matanya berkaca-kaca, 

agaknya ia terkenang akan peristiwa menyedihkan yang


lelah menimpa keluarganya ketika itu. 

Namun sejenak kemudian ia sudah meneruskan, 

“Tetapi huh, agaknya para prajurit itu tahu aku masih hidup 

dan ditolong tetangga. Buktinya belum lama mereka pergi 

sudah kembali lagi. Aku digelandang jatuh bangun oleh 

kekasaran para prajurit itu. Tentu saja ketika itu aku 

menangis dan berusaha memberontak. Namun aku segera 

ditendang dan dipukuli disamping dibentak-bentak. Saking 

takutnya terpaksa aku menurut digelandang. Tetapi ketika 

prajurit itu lengah, aku berhasil memberontak dan lepas. 

Lalu aku lari secapatnya, meninggalkan mereka. Huh, 

sebagai anak kecil tentu saja aku tidak secepat mereka 

lari. Tiba-tiba kepalaku sakit dan menjerit, lalu roboh 

terrguling, entah apa yang kemudian terjadi. Ketika aku 

membuka mata, aku sudah dalam dukungan seorang 

perempuan dan dibawa lari cepat sekali.....” 

“Siapakah perempuan itu?” selidik Hesti Makara. 

“Engkau ingin tahu, huh huh. Engkau akan tekencing-

kencing mendengar nama perempuan itu. Karena 

perempuan yang menolong aku, kemudian menjadi guruku 

itu, adalah Ibu Murti Sari.” 

“Ahhh…. dia gurumu?” Lurah Prajurit Bhayangkara 

Majapahit yang bernama Hesti Makara ini benar-benar 

kaget, dan wajahnya berubah pucat. 

Tentu saja! Siapakah yang tidak kaget mendengar nama 

perempuan itu disebut sebagai guru pemuda ini? Seorang 

wanita sakti mandraguna jaman ini. 

“Heh heh heh heh, guruku itulah yang sudah menolong 

diriku. Dan dari guruku pula kemudian aku mendapat 

keterangan jelas. Guruku mengakui datang terlambat 

untuk menyelamatkan ibuku dan kakak perempuanku. Ibu 

dan kakakku telah mati dalam keadaan menyedihkan. 

Semua tewas setelah dinodai lebih dahulu...” 

“Ahh.... tak mungkin. Itu bohong! Fitnah!” 

Rudra Sangkala mendelik marah. “Apa? Fitnah. Apakah 

engkau bisa membuktikan bahwa aku bohong dan 

memfitnah? Hayo tunjukkan di mana ibu dan kakakku


perempuan sekarang berada.” 

Hesti Makara tidak dapat nunjawah. Bagaimanakah 

mungkin, ia dapat menjawab? Ia tidak tahu sama sekali 

terjadinya peristiwa itu. Tetapi sebaliknya ia juga tidak mau 

percaya kepada dongeng pemuda ini. 

“Hemm, apapun alasanmu dan bagaimanapun yang 

terjadi, kau tak boleh berbuat semau sendiri dan main 

hakim sendiri. Negara Majapahit merupakan negara 

hukum. Karena ini apa yang sudah kau lakukan itu 

merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan berdosa 

kepada Sri Paduka Raja. Hemm, anak muda, sungguh 

kebetulan. Aku memang bertugas untuk menyelidiki 

engkau. Sekarang begini saja, menyerahlah!” 

“Heh... heh... heh... heh, kau mau menangkap aku? 

Tangkaplah jika memang bisa!” ejek pemuda itu. 

“Orang muda! Aku bermaksud baik, dan engkau jangan 

takabur. Jika engkau mau menyerah baik-baik, 

kemungkinan engkau masih mendapat pengampunan Sri 

Paduka Raja. Akan tetapi apabila kau membandel, apakah 

engkau berani melawan aparat kerajaan?” 

“Heh... heh... heh... heh, mengapa tidak? Jika orang 

macam eugkau mau sewenang-wenang dan membangga-

kan kedudukanmu sebagai aparat kerajaan, huh. siapa 

takut?” 

Ketika itu laki-laki yang berpakaian indah sudah keluar 

dari warung, diiringkan dua orang yang lain. Memang 

priyayi ini bukan orang sem barangan. Dia seorang Patih 

Dalam Kerajaan Majapahit yang namanya amat terkenal. 

Adityawarman. Dia memang seorang bangsawan yang 

berpandangan luas, cerdik dan bisa bergaul dengan 

kawula cilik. 

Adityawarman sejak masih muda hubungannya dengan 

Gajah Mada amat erat. Dan dia pulalah salah seorang 

pendukung Gajah Mada untuk menduduki jabatan Patih 

Mangkubumi atau Mahapatih Majapahit. Walaupun 

sesungguhnya Gajah Mada bukan keturunan bangsawan. 

Kedudukan Adityawarman saat sekarang ini amat tinggi


di Majapahit. Dia sejajar kedudukannya dengan 

Laksamana Nala. Tetapi sesuai dengan kesukaannya 

bergaul dengan kawula cilik ini, maka Adityawarman suka 

sekali menjelajah desa. 

Adityawarman selalu mengadakan wawancara dengan 

rakyat dari hati ke hati untuk mengetahui kehidupan para 

kawula cilik. Semua itu berguna bagi dirinya dan Kerajaan 

Majapahit. Sebab dengan demikian bisa mengetahui 

keadaan yangsebenarnya, bukan hanya berdasar laporan 

dari bawahan yang belum tentu benar. Yang belum tentu 

bawahan melaporkan keadaan sebenarnya. Tetapi sering 

pula merupakan laporan yang bertentangan dengan 

keadaan sebenarnya, yang semua itu guna menutupi 

kekurangannya. Lebih lagi mereka yang suka bertindak 

sewenang-wenang, mereka takut boroknya terbuka. 

Dan sekarang ia hanya dikawal oleh tiga orang prajurit 

Bhayangkara, menjelajahi beberapa desa. Ketika 

mendengar Hesti Makara dengan pemuda itu bersitegang 

Adityawarman kaget. Maka dengan pengawalnya segera 

menghampiri. 

“Makara! Apakah sebabnya kau bersitegang?” tanyanya. 

“Gusti,” sahut Hesti Makara sambil memberikan 

sembahnya. “Di luar dugaan hamba ternyata pemuda ini 

mengaku, dialah pelaku kekejaman di Mojoduwur.” 

“Apa?” Adityawarman kaget. “Maksudmu, yang sudah 

membunuh Gora Swara dan membakar desa itu?” 

“Kalau benar, kau mau apa?” sahut Rudra Sangkala 

lantang, sambil mendelik. “Engkau siapa, berani men-

campuri urusanku?” 

Mendadak pengawal pribadi bertubuh tinggi besar 

bernama Kebo Druwoso membentak marah. “Jahanam 

busuk! Siapakah eugkau, berani kurang ajar di depan Gusti 

Adityawarman? Hayo, lekas berlutut dan mohon ampun!” 

Rudra Sangkala kaget juga mendengar disebutnya nama 

Adityawarman, seorang yang kedudukannya amat tinggi di 

Majapahit dan terkenal sakti mandraguna. Namun rasa 

kagetnya ini hanya sekilas saja, kemudian pemuda ini


ketawa terkekeh dan mengejek, “heh... heh... heh... heh, 

aku mempunyai kebebasan sebagai orang yang tidak hidup 

dari pemberian raja dan para bangsawan. Aku bukannya 

budak seperti kau. Siapakah yang sudi berlutut di depan 

orang?” 

“Bedebah!” Kebo Druwoso menyumpah. 

“Druwoso, diamlah,” ujar Adityawarman. Adityawarman 

memandang Rudra Sangkala penuh selidik, kemudian 

bertanya, “Benarkah engkau yang sudah membunuh Gora 

Swara?” 

“Mengapa masih bertanya lagi?” Tanpa tedeng aling-

aling aku sudah mengakui. “Aku berani berbuat berarti 

pula bertanggung jawab. Huh, aku bukan pengecut yang 

menyambit batu menyembunyikan tangan.” 

Sepasang mata Adityawarman menyala mendengar 

jawaban menantang ini. Tetapi dia seorang bangsawan 

tinggi yang bijaksana. Seorang yang kedudukannya tinggi 

dan pandai menguasai perasaan. Walaupun dalam hatinya 

amat marah oleh sikap Rudra Sangkala, ia menahan diri 

dan malah tersenyum. 

“Hemm, anak muda. Tahukah engkau bahwa apa yang 

sudah engkau lakukan ini merupakan perbuatan yang 

berdosa amat besar? Engkau seorang kawula, tetapi berani 

main hakim sendiri. Engkau harus sadar bahwa negara 

Majapahit merupakan negara hukum. Kalau toh henar 

Gora Swara bersalah sebaiknya kau laporkan kepada 

pejabat di Majapahit, disertai bukti-bukti. Akulah yang akan 

mengurus secara adil. Dan kalau Gora Swara sebagai 

tumenggung memang bersalah, mengapa tidak dihukum? 

Pasti! Siapapun bersalah tentu mendapat hukuman yang 

setimpal.” 

 Adityawarman berhenti dan mengambil napas. Sejenak 

kemudian ia meneruskan. “Anak muda, Aku Adityawarman. 

Dalam menegakkan keadilan dan demi hukum, tidak 

mengenal bulu. Hemm, sayang, engkau sudah lancang 

tangan dan main hakim sendiri, membunuh seorang aparat 

negara. Dosamu besar sekali anak muda, maka



menyerahlah untuk kubawa ke Majapahit dan diadili di 

sana. Apabila dalam pemeriksaan ternyata engkau tidak 

bersalah, kau tidak perlu khawatir. Aku yang menanggung 

engkau akan dibebaskan kembali.” 

Rudra Sangkala terkekeh mengejek mendengar ucapan 

Adityawarman ini. Walaupun Adityawarman terkenal 

sebagai seorang bangsawan Majapahit yang sakti 

mandragnna, ia tidak takut! Apa yang harus ditakutkan? 

Gurunya pernah berkata, dirinya sekarang merupakan 

seorang pemuda pilih tanding. Maka timbullah niatnya 

untuk membuktikan, apakah benar dirinya perkasa dan 

sakti mandraguna? 

“Heh... heh... heh... heh, kepada orang lain engkau bisa 

membujuk dan mengancam. Tetapi Rudra Sangkala tidak 

bisa digertak. Hayo, siapakah yang akan maju dan 

melawan aku? Atau kamu mau maju berbareng dan 

mengeroyok?” 

Rudra Sangkala ini sungguh sombong dan takabur di 

depan Adityawarman. Namun demikian Adityawarman tidak 

marah, ia masih tetap dapat mengendalikan perasaan. 

“Makara!” perintahnya. “Cobalah pemuda yang sombong 

ini apakah benar-benar keras?” 

Sebelum Hesti Makara sempat menjawah. Rudra 

Sangkala mendahuluinya, “Bagus! Marilah kita coba!” 

Lalu dengan sikapnya yang congkak dan sombong, 

pemuda ini sudah berdiri tegak sambil membusungkan 

dada. Mulutnya tersenyum mengejek sedang sepasang 

matanya menyala memandang Hesti Makara. 

Dada Hesti Makara seperti meledak melihat sikap 

pemuda ini. Namun demikian ia masih bersabar, ia mem-

bungkuk ke arah Adityawarman sambil memberikan 

sembahnya. Lalu ia menyanggupkan diri melaksanakan 

perintah itu. Dan setelah itu barulah ia menghadapi Rudra 

Sangkala. 

“Hai orang muda!” Bentaknya. “Katakanlah dengan apa 

kita mengukur kekuatan?” 

Rudra Sangkala menyeriugai penuh ejekan. Jawabnya,


“Engkau mau menggunakan senjata apa? Silakan! Aku 

cukup dengan dua tangan dan dua kakiku ini!” 

Berkata demikian Rudra Sangkala mengacungkan dua 

tinjunya di atas kepala dengan sikap yang amat merendah-

kan dan menghina. Sikap ini tentu saja kemarahan Hesti 

Makara semakin terbakar. Namun mengingat dirinya lebih 

tua, ia menekan perasaan. 

“Baik! Marilah kita coba dengan tangan kosong. 

Majulah!” Hesti Makara mengalah dan tidak mau memulai 

mengingat dirinya sudah tua. 

Rudra Sangkala tidak sungkan-sungkan lagi. Ia 

menerjang maju dengau jari tangan terbuka membentuk 

cengkeraman. Gerakannya cepat dan aneh. Gerakannya 

seperti kacau tidak karuan, menubruk dan mencakar. 

Begitu menerjang, kedua langannya mencengkeram ke 

arah kepala lawan. Melihat serangan lawan yang kacau ini, 

Hesti Makara tersenyum dingin. Ia tidak bergerak dan 

hanya tangan kiri menyambar cepat dengan maksud untuk 

menangkap pergelangan tangan lawan. 

“Aihhh.....!” Hesti Makara berseru kaget sambil 

melompat ke samping dan menendang. 

Kurang cepat sedikit saja dirinya tentu sudah celaka di 

tangan pemuda ini dalam segebrakan saja. 

Memang tidak pernah diduga lawan, gerakan Rudra 

Sangkala tadi mengandung rahasia gerakan yang belum 

pernah dikenal oleh Hesti Makara dan amat berbahaya, 

tahu-tahu hidungnya mencuim bau yang wangi dan hampir 

saja sepasang matanya tertusuk oleh jari lawan, karena 

tiba-tiba kepalanya menjadi pening. 

Itulah racun wangi yang dapat membuat lawan mabuk 

dan pening. Dan apabila lawan kurang berhati-hati 

menghadapi akan tertipu dan gampang sekali roboh. Rudra 

Sangkala sekarang ini sadar berhadapan dengan bahaya. 

Maka pemuda ini tidak mau membuang waktu lagi dan 

ingin secepatnya merobohkan lawan. 

Dari kaget Hesti Makara menjadi marah sekali. Ia 

membentak keras lalu mengebutkan tangan kanan yang


menerbitkan angin dahsyat ke muka Rudra Siangkala, 

disusul dengan pukulan tangan kiri ke arah dada kemudian 

disusul pula dengan tendagnan kaki kanan ke pusar. 

Akan tetapi serangan yang susul menyusul itu oleh 

Rudra Sangkala dapat dipunahkan semua dengan ber-

lompatan cepat, dan secara diam-diam pemuda ini telah 

menjetikkan racun wangi yang disimpan di bawah kuku 

jarinya yang panjang. 

Hesti Makara tidak berani sembrono. Setiap hidungnya 

menghirup bau wangi, ia cepat-cepat menutup pernafasan 

sambil mengebut dengan telapak tangan. 

Justru serangan-serangan Rudra Sangkala yang 

dicampur dengan serangan racun wangi ini menyebabkan 

Hesti Makara menjadi sangal marah, dan dalam waktu 

singkat mereka telah terlibat dalam perkelahian sengit. 

Akan tetapi Adityawarman yang awas, melihat per-

kelahian itu menjadi curiga disamping heran. Hesti Makara 

menang pengalaman dan lebih matang dalam gerakan 

maupun tenaga saktinya. Namun mengapa gerakan Hesti 

Makara sekarang ini tampak kaku, kurang tenaga dan 

takut-takut? 

Adityawarman mengamati setiap gerak serangan Rudra 

Sangkala, penuh perhatian dan selidik. Ia ingin tahu 

mengapa sebabnya Hesti Makara berkelahi tidak seperti 

biasanya. 

“Plak plak ..... bukk..... bukk....!” terdengar suara dua kali 

pukulan disusul masing-masing terhuyung ke belakang. 

Akan tetapi secepat kilat Rudra Sangkala sudah melesat 

ke depan dan melancrkan se-rangannya lagi. 

Adityawarman mengamati perkelahian itu sekian lama. 

Namun pejabat tinggi Majapahit ini belum juga bisa 

mengetahui sebabnya mengapa sekali ini Hesti Makara 

tidak segarang biasanya? 

Menurut penilaian Adityawarman, sekalipun Rudra 

Sangkala termasuk pemuda peng-pengan (jagoan), tetapi 

tingkatnya masih sedikit di bawah Hesti Makara. Jadi sulit 

dipercaya apabila Hesti Makara harus mengalami kesulitan


berhadapan dengan bocah ini. Tentu ada rahasia yang 

menyebabkan Hesti Makara kesulitan. 

Agaknya Kebo Druwoso juga melihat keanehan ini, 

katanya, “Gusti, perkenankanlah hamba menolong dan 

mengeroyok bocah itu. Nampaknya Hesti Makara 

menghadapi kesulitan.” 

Jangan! cegah Adityawarman halus. Hal itu akan 

menyebabhkan dia tersinggung dan merasa terhina. Sebab 

tidak seharusnya Hesti Makara menghadapi kesulitan 

seperti ini. Kalau sekarang sampai terjadi maka sebab 

itulah yang harus kita cari. Untuk itu tidak ada orangnya 

yang lebih tepat melakukannya, kecuali diriku sendiri. 

“Plak plak plak.....!” 

Adityawarman dan pengawalnya kaget, ketika melihat 

Hesti Makara terhuyung mundur beberapa langkah ke 

belakang dengan wajah pucat. Disusul kemudian Hesti 

Makara muntah darah segar. 

Akan tetapi agaknya Rudra Sangkala yang merasa di 

atas angin dan dapat memukul lawan sampai muntah 

darah ini, tidak mau memberi kesempatan kepada lawan 

bernapas. Ia melesat ke depan sambil berteriak nyaring. 

Maksudnya sekali pukul, lawan harus roboh dan mampus. 

“Plakk.....!” Rudra Sangkala terhuyung mundur dan 

wajahnya pucat, ketika tangannya ditangkis orang dan 

lengannya menjadi kesemutan. Mulutnya meringis 

menahan sakit, namun sesaat kemudian wajah pemuda ini 

berubah merah padam dan sepasang matanya seperti 

menyala, menatap kepada Adityawarman. 

“Huh... huh! Kamu mau mengeroyok, bagus.” ujarnya. 

“jangan maju satu demi satu, lebih banyak lebih baik.” 

Bukau main sombongnya pemuda ini. Kebo Druwoso 

penasaran dan membentak nyaring, “Kurangajar! Apakah 

engkau menganggap dirimu sudah paling sakli di dunia ini 

dan tanpa tanding lagi?” 

Rudra Sangkala mengejek. “Heh heh heh heh, kau boleh 

mencoba.” 

Hesti Makara sudah lerluka dalam. Setelah mengatur


pernapasan beberapa saat, darahnya berhenti bergolak 

dan sesak dadanya menghilang. Ternyata luka itu tidak 

berat dan tidak membahayakan. Karena itu ia segera 

bangkit lalu memperhatikan Adityawarman yang sekarang 

berhadapan dengan Rudra Sangkala. 

Dengan pandang mata yang masih sabar Adityawarman 

berkata, “Anak muda, dengar kataku. Menyerahlah dan 

jangan melawan, percayalah penguasa peradilan Majapahit 

bukanlah terdiri atas para manusia tamak. Tetapi apapun 

alasannya, main hakim sendiri tidak bisa dibenarkan.” 

Namun manakah mungkin Rudra Sangkala mau 

mendengar nasihat Adityawarman ini? Hati bocah ini 

menjadi besar setelah dapat memukul Hesti Makara 

sampai muntah darah. Ia merasa kuat. Karena itu tidak 

ada yang perlu ditakuti lagi. 

“Heh heh heh heh, tak usah banyak mulut. Sambutlah 

pukulanku!” 

Dengan gerakan cepat Rodra Sangkala sudah kembali 

menerjang ke depan. Jari tangannya meneyntil tabung 

racun wangi di bawah kuku jari. Kemudian jari tangan kiri 

yang semula bergerak membentuk cengkeraman itu sudah 

berubah menjadi tinju memukul ke arah dada disusul 

cengkeraman tangan kanan yang mencengkeram leher. 

Adityawarman hanya menggeser kaki sedikit ke kanan 

sambil mendorongkan tangan kiri, sedangkan tangan 

kanan secepat kilat menyambar pergelangan tangan 

lawan. Rudra Sangkala melompat untuk menghindar dan 

Adityawarman kaget ketika hidungnya menghirup bau 

wangi disusul rasa pening dan pandangan menjadi kabur. 

Ia cepat menahan napas dan berusaha mendorong 

pengaruh racun itu dari dalam tubuhnya. 

Pengalamannya ini menyadarkan dirinya, pengaruh bau 

wangi ini berbahaya. Kemudian ia sadar pula, inilah 

agaknya yang menjadi penyebab Hesti Makara tidak 

mampu melawan pemuda ini. 

Sadar akau keadaan, ia menjadi marah. Ketika Rudra 

Sangkala menyerang lagi, ia tidak segan-segan lagi


melayani. Sebab ia sadar, pemuda ini amat herbahaya bagi 

masyarakat disamping pelanggar hukum dan ketertiban. 

Maka merupakan kewajibannya untuk melenyapkan 

manusia jahat ini dari muka bumi. 

“Plakk..... Aihh...!” Rudra Sangkala berteriak kaget dan 

cepat melompat mundur sambil berjungkir balik. Wajah 

pemuda ini merah padam seteah berdiri kembali dan 

memandang Adityawarman dengan mata mendelik. 

Rudra Sangkala baru menyadari sekarang, laki-laki 

tampan yang gerak-geriknya halus ini malah sangat 

berbahaya. Pukulannya tadi begitu bertemu dengan 

tangkisan lawan, terasa telapak tangan lawan lunak seperti 

kapas dan tenaganya menjadi tenggelam. Kalau saja 

dirinya tadi tidak lekas menarik kembali tangannya lalu 

melompat dan berjungkir balik ke belakang, dirinya tentu 

celaka. 

Akan tetapi justru pengalaman ini menyebabkan Rudra 

Sangkala meledak kemarahannya. Ia takkan mungkin bisa 

mengalahkan lawan sakti ini, tanpa menggunakan 

pedangnya. Dan kalau perlu iapun harus melepaskan 

senjata rahasia pisau terbang yang kecil. 

Sing.... Sinar kekuning-kuningan terpancar dari pedang 

pusaka Rudra Sangkala, setelah mencabut pedang. 

“Aihh.....!” tak tercegah lagi Adityawarman maupun para 

pengawal itu berseru kaget, 

Pedang Wesi Kuning.... seru Adityawarman. 

Rudra Sangkala terkekeh, ejeknya. “Mengapa sebabnya 

engkau kaget? Heh heh heh heh, pedangku ini memang 

pedang pusaka dengan nama Wesi Kuning. Pedang yang 

ampuh tanpa lawan. Huh, karena kau terlalu mendesak 

aku, hemm, jangan sesalkan aku jika pedangku ini minun 

darahmu!” 

Sepasang mata Adityawarman menyala. Bukan saja oleh 

ucapan Rudra Sangkala yang amat takabur dan menghina, 

tetapi juga melihat pedang itu sendiri. Sebagai bangsawan 

Majapahit tentu saja ia amat kenal dengan pedang pusaka 

Wesi Kuning ini. Pedang pusaka milik Kerajaan Majapahit,


tetapi mengapa tiba-tiba sudah di tangan bocah liar ini? 

“Hemm orang muda! Dari manakah engkau memperoleh 

pedang ini? hardik Adityawarman dengan mata tidak 

berkedip. Bukan saja engkau telah berdosa membunuh 

pejabat negara, engkaupun ternyata pencuri pusaka 

keraton.” 

“Keparat!” bentak Rudra Sangkala dengan mata 

menyala. “Siapakah yang mencuri? Pedang ini pemberian 

Guruku. Mengapa sebabnya engkau sudah menuduh orang 

sembarangan?” 

“Siapakah gurumu?” 

Tidak perlu aku sembunyikan. Guruku bernama Murti 

Sari!” 

“Ahhhh…….!” Adityawarman berseru tertahan 

Bukan hanya Adityawarman, tetapi juga pengawal yang 

lain, kecuali Hesti Makara yang tadi sudah tahu. 

Akan tetapi walaupun sama-sama kaget, rasa kaget 

berlainan. Kalau para pengawal itu kaget karena Murti Sari 

terkenal sebagai wanita peng-pengan, wanita gagah 

perkasa, sebaliknya Adityawarman karena soal lain. 

Memang sudah bukan rahasia lagi bagi para bangsawan 

Majapahit tentang nama tokoh terkenal yang mengaku 

bemama Murti Sari ini. Tetapi bagi umum rahasia itu 

ditutup rapat sekali agar tidak sampai menodai nama 

Kerajaan Majapahit. 

Murti Sari adalah nama baru sesudah Sirna Dewi diusir 

dari keraton. Sebabnya diusir, akibat tindak perbuatannya 

yang menodai nama baik para bangsawan yang lain. 

Kecantikan wajah dan bentuk tubuh Murti Sari memang 

tidak tercela, karena memang cantik jelita dan menawan. 

Sebagai seorang puteri, ia telah dikawinkan seorang 

bangsawan Majapahit bemama Narmada tetapi ternyata 

Sirna Dewi seorang isteri yang tidak setia. Dia suka berbuat 

serong dengan laki-laki lain. Saking malu menyaksikan 

tingkah laku wanita itu, Narmada yang amat mencintai 

Sirna Dewi. memilih bunuh diri. 

Raja Jayanegara amat marah mendengar peristiwa itu.


Kemudian ia memerintahkan agar Sirna Dewi yang 

mencemarkan nama baik keraton itu dihukum mati. Tetapi 

sebaliknya Mahapatih atau Dyah Malayuda yang besar 

pengaruhnya dan dekat sekali hubungannya dengan raja 

memintakan ampun, dan hukuman mati itu supaya diubah 

dengan pengusiran. Atas permintaan Mahapati ini 

kemudian Raja Jayanegara setuju. Lalu diusirlah Sirna Dewi 

dan tidak diakui lagi sebagai kerabat keraton. 

Sesudah terjadinya peristiwa ini, muncullah nama tokoh 

Murti Sari, tetapi kejam dan ganas tidak sesuai dengan 

wajahnya yang cantik jelita. 

Sekarang pemuda yang mengaku sebagai muridnya ini, 

menguasai pedang pusaka keraton yang bernama Wesi 

Kuning. Ia menduga, tentu Murti Sari yang sudah mencuri 

pusaka itu di kamar pusaka. 

Dan yang menyebabkan Adityawarman heran, mengapa 

hilangnya pusaka ini dari kamar pusaka, tidak seorangpun 

tahu? Dan kapan Murti Sari mencuri? 

“Anak muda!” Bentaknya penuh wibawa. “Kembalikan 

pedang itu kepada kami. Sebab pedang itu adalah milik 

Kerajaan Majapahit.” 

“Heh... heh... heh... heh. Rudra Sangkala mengejek. 

“Enak saja engkau membuka mulut. Pendeknya pedang ini 

milikku, pedang pemberian Guruku.” 

“Anak muda! Jika kau keras kepala, aku terpaksa 

menggunakan kekerasan!” 

Tiba-tiba terdengar suara lengking amat nyaring dari 

kejauhan, disusul suara yang kecil tetapi merdu. 

“Adityawarman! Engkau berani mengganggu muridku?” 

Adityawarman kaget, demikian pula pengawal. Orang 

yang dapat berteriak dari tempat jauh dan jelas, mem-

buktikan sampai di manakah ketinggian ilmu yang 

bersangkutan, tidak lama kemudian tampak bayangan 

ramping bergerak seperti terbang. 

“Ibu!” seru Rudra Sangkala sambil menjatuhkan diri dan 

berlutut memberi hormat kepada gurunya. 

Murti Sari tersenyum manis sekali. Dan sekalipun


umurnya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih 

amat cantik sedang tubuhnya masih padat berisi, 

terpelihara. 

Selintas orang akan menduga umur Murti Sari baru 

tigapuluhan kurang. Malah Adityawarman sendiri juga 

merasa heran, mengapa perempuan ini bisa awet muda? 

“Bangkitlah Anakku!” Katanya merdu ditujukan kepada 

Rudra Sangkala. 

Perempuan cantik ini lalu menghadapi Adityawarman 

sambil bertolak pinggang. Sepasang matanya mendelik, 

namun tetap saja sepasang mata itu indah dan menyedap-

kan dipandang. Katanya diiringi ketawanya yang merdu. 

“Hi... hi... hik. Adityawarman! Hati-hati sedikit engkau 

bicara. Siapakah yang sudah mencuri pedang pusaka Wesi 

Kuning?” 

“Hemm, pedang pusaka Wesi Kuning itu benda pusaka 

milik kerajaan!” sahut Adityawarman dengan sikap tenang, 

“kalau sekarang di tangan bocah ini, mana mungkin tanpa 

mencuri?” 

“Huh, engkau kurangajar sekali Adityawarman. Lupakah 

engkau, siapakah aku ini? Engkau jangan menjadi 

sombong setelah mempunyai jabatan tinggi, huh! Aku tidak 

mencuri, tetapi aku mengambil pedang itu dari kamar 

pusaka.” 

“Mengambil tanpa seijin pemiliknya, bukankah itu 

berarti mencuri?” 

“Adityawarman!” bentak Murti Sari, “engkau keparat! 

Apakah karena engkau sekarang berkedudukan tinggi, 

dihormati orang lalu setamak ini? Kalau aku rela 

kehilangan semua hak sebagai bangsawan Majapahit dan 

hanya mengambil sebatang pedang saja, engkau masih 

sampai hati menyebut diriku sebagai pencuri? Huh, Huh, 

engkau jangan sembarangan membuka mulut!” 

Mendengar ucapan Murti Sari yang kasar dan menghina 

tuannya ini, tiga orang pengawal itu menjadi amat 

penasaran. Apakah sebabnya tuannya itu masih bisa ber-

sikap sesabar itu?


Akan tetapi sekalipun marah dan penasaran mereka 

tidak berani sembarangan membuka mulut maupun 

menyerang Murti Sari. Sebab mereka menyadari, Murti Sari 

sakti mandraguna. 

Meskipun demikian kedudukan mereka hanya sebagai 

pengawal, mereka tidak takut untuk mengorbankan nyawa 

dalam membela tuan mereka. Karena alasan itu diam-diam 

mereka sudah bersiap diri untuk membela keselamatan 

Adityawarman. 

“Murti Sari!” kata Adityawarman. “Mengapa sebabnya 

engkau menyesal kehilangan hak itu?” 

“Keparat! Siapakah yang menyesal? Aku hanya ingin 

mengatakan, apakah salahnya aku mengambil pedang itu 

untuk kepentingan muridku?” 

“Murti Sari, apa yang engkau lakukan itu memang salah. 

Benda itu adalah milik kerajaan. Maka siapapun tidak 

boleh sembarangan mengambil tanpa ijin Raja. Dan tahu-

kah engkau akan akibat dari kelancanganmu ini? Dengan 

pedang ini muridmu mengganas dan berani membunuh 

tumenggung Gora Swara.” 

“Hi... hi... hik, engkau membela tumenggung keparat itu? 

Semestinya engkaulah yang berkewajiban menghajar dia. 

Tetapi apakah sebabnya ada orang yang bersedia mewakili 

engkau dan tidak minta imbalan jasa, engkau malah tidak 

mengucapkan terima kasih? Apakah jadinya negara 

Majapahit ini kalau terdapat sepuluh orang saja yang mem-

punyai pangkat tumenggung dan perbuatannya sewenang-

wenang seperti Gora Swara itu? Dia telah menyebabkan 

muridku ini yatim piatu. Dialah yang menghancurkan 

keluarganya. Apa salahnya dengan kemampuannya sendiri 

membalas sakit hati dan menghukum bawahanmu yang 

jahat itu?” 

“Murti Sari!” bentak Adityawarman menggeledek. 

Agaknya ia telah hilang kesabarannya. “Negara ini mem-

punyai hukum dan masyarakat dilindungi oleh hukum. Tiap 

manusia tidak boleh berbuat semau sendiri dan main 

hakim sendiri. Hemm, apakah tuduhanmu bahwa Gora


Swara jahat dan sewenang-wenang itu tidak membuka 

kedokmu sendiri, bahwa engkau sendirilah yang sewenang-

wenang? Kalau benar Gora Swara bersalah, yang berhak 

menentukan salah dan tidaknya bukanlah engkau, bukan 

muridmu dan bukan aku pula. Salah dan benar itu baru 

terbukti apabila sudah diadili oleh pengadilan negara. Nah, 

mestinya laporkan tindak perbuatan dengan bukti-bukti 

dan saksi-saksi kepada hakim. Kemudian pengadilanlah 

yang akan memeriksa dan mengadili. Hemm, bukan 

dengan caramu sendiri yang main hakim sendiri.” 

Adityawarman berhenti sejenak. “Lalu, Murti Sari! 

Sekarang begini. Demi aku dan demi engkau, kembalikan 

pedang pusaka Wesi Kuning itu dan serahkan pula 

muridmu kepadaku.” 

Murti Sari terkekeh mengejek. “Heh... heh... heh... heh, 

enak saja engkau membuka mulut. Serahkan pedang dan 

serahkan murid, siapa bilang muridku bersalah? Huh... 

huh, taukah engkau siapa yang berani mengganggu murid-

ku berarti pula menantang diriku Adityawarman! Katakan-

lah terus terang, engkau berani melawan aku?” 

“Hemm, aku seorang petugas negara, tidak pandang 

bulu! Siapa yang bersalah harus mendapat hukuman yang 

setimpal. Dan sebagai seorang hamba kerajaan, nyawa aku 

pertaruhkan demi pengabdianku kepada kerajaan. Akan 

tetapi sekalipun demikian sungguh menyesal sekali, 

mengapa peristiwa semacam ini harus terjadi? Mengapa 

engkau tersesat sejauh ini”? Adityawarman menghela 

napas di tengah rasa penasaran. Karena sesungguhnya 

saja ia tidak tega harus menggunakan kekerasan terhadap 

Murti Sari. 

Murti Sari tertawa dingin, jawabnya. “Kau bilang sebagai 

petugas negara dan tidak pandang hulu? Bagus! Dan kau 

bilang aku sesat? Bagus! Marilah kita buktikan siapa di 

antara aku dan engkau, siapa yang lebih kuat? Tetapi huh, 

jangan sesalkan aku jika terpaksa aku akan membunuh 

engkau!” 

Murti Sari memalingkan muka kepada Rudra Sangkala



yang berdiri di belakangnya, lalu berkata, “Sangkala! 

Pinjamkan pedang itu padaku. Pedang Wesi Kuning setiap 

sudah dihunus tak boleh disarungkan lagi, sebelum minum 

darah manusia.” 

Rudra Sangkala segera maju dan memberikan pedang 

pusaka Wesi Kuning yang terhunus itu. Oleh sinar matahari 

yang menimpa batang pedang itu, berkilauan cahaya 

kuning. Setelah memegang pedang pusaka Wesi Kuning 

itu, katanya. “Adityawarman. Cabutlah senjatamu!” 

Dengan agak malas, Adityawarman mencabut pedang-

nya pula. Sungguh mati dalam hati Adityawarman tidak 

senang harus menghadapi Murti Sari dengan kekerasan 

ini. 

“Sring....” ketika pedang dicabut, berkilauan sinar itu 

dari batang pedang. Kemudian pedang tersebut dilintang-

kan di depan dada. 

Dua batang pedang yang sama-sama menyinarkan 

cahaya. Yang satu berkilauan dan sinarnya kuning, sedang 

sebatang lagi bersinar kebiruan. Ini merupakan bukti 

bahwa dua-duanya merupakan pedang pusaka. Memang 

pedang yang digunakan Adityawarman ini pedang Tunggul 

Naga. 

“Murti Sari!” kata Adityawarman. “Demi tugas, terpaksa 

aku meuyambut tantanganmu. Dan demi kewibawaan 

negara Majapahit pula aku harus bertindak keras kepada-

mu.” 

“Tak usah banyak mulut. Sambutlah!” lengking Murti 

Sari. 

Seleret sinar kuning menyambar ke depan. Pedang Wesi 

Kuning itu hanya sebatang saja. Tetapi di tangan Murti Sari 

ketika pedang bergerak lalu berubah menjadi beberapa 

batang, menyamhar ke arah mata, leher, pundak dan 

uluhati. 

“Trang…trang….trang…!” Benturan dua pedang me-

nimbulkan suara berdencing beberapa kali. Kemudian dua 

leret sinar biru dan kuning itu saling libat seperti kilat 

cepatnya. Pemandangan itu indah sekali bagai pelangi.


Namun di balik pandangan yang menarik itu tersembunyi-

lah ancaman maut yang mengerikan. 

Dalam waktu singkat, mereka sudah berkelahi dengan 

sengit. Tubuh mereka lenyap terbungkus oleh sinar pedang 

yang tidak pernah putus. Kadang melebar, kemudian 

menyempit lagi. Sesaat lagi terpisah menjadi dua gulung 

sinar yang menyilaukan. 

Perkelahian yang terjadi antara dua orang sakti ini men-

debarkan dan menegangkan. Lebih-lebih mereka sama-

sama memegang pedang pusaka. Suara berdencing selalu 

terdengar dan di tengah suara dencingan senjata ini, ter-

dengarlah Murti Sari berteriak kepada muridnya. 

“Sangkala! Pergilah engkau. Biarlah cacing-cacing busuk 

ini, aku sendiri yang menyelesaikan.” 

“Ibu! Manakah mungkin murid dapat meninggalkan 

Guru dalam keadaan seperti ini? Pendeknya murid baru 

mau pergi jika bersama Ibu.” 

“Kurangajar kau, Sangkala! Engkau berani membantah 

perintah Ibumu? Hayo lekaslah pergi. Ibumu akan segera 

menyusul engkau.” 

Rudra Sangkala tidak berani membantah lagi, tetapi 

baru saja akan melangkah. Kebo Druwoso sudah mem-

bentak nyaring, “Berhenti!” 

Laki-laki tinggi besar itu sudah melompat dan meng-

hadang. Namun menyusul terdengar seruan kaget dari 

mulut Kebo Druwoso sambil sibuk melompat dan 

mengebutkan dua tangannya, sehingga Rudra Sangkala 

dapat pergi tanpa gangguan lagi. 

“Apa yang sudah terjadi?” Begitu Kebo Druwoso mem-

bentak dan menghadang. Rudra Sangkala telah menyerang 

dengan senjata rahasia pisau kecil. Dalam menyambitkan 

pisau terbang ini, Rudra Sangkala tidak tanggung-

tanggung. Pisau dua kali tujuh telah menyambar ke arah 

Kebo Druwoso dalam jerak cukup dekat. Dalam kagetnya 

ia memang masih dapat menghindari sambaran pisau 

terbang kelompok pertama. Tetapi sambaran pisau yang 

kedua, sungguh di luar dugaan Kebo Druwoso. Di antara


tujuh pisau belati yang menyambar itu, masih sempat 

mampir pada pahanya. 

Pisau kecil itu menancap dan mengeluarkan darah. 

Untung sekali pisau itu tidak beracun. Pisau tersebut cepat 

dicabut lalu tempat luka itu dibubuhi obat luka, tetapi 

justru kesempatan ini menyebabkan Rudra Sangkala dapat 

pergi tanpa gangguan lagi. Sebab baik Hesti Makara 

maupun Wukir Boja yang tak menduga peristiwa itu, tidak 

sempat membantu dan menghadang 

Akan tetapi kalau Kebo Druwoso menderita rugi oleh 

serangan Rudra Sangkala, sebaliknya Murti Sari harus 

menderita rugi pula, karena tadi melawan sambil berbicara 

dengan muridnya. Oleh gerakan yang sedikit lambat saja, 

tangkisan pedangnya melesat dan menyebabkan baju 

pada bagian pundaknya robek. 

Masih untung sekali Murti Sari sempat merendahkan 

pundaknya, sehingga ujung pedang pusaka Tunggul Naga 

itu tidak melukai kulit dan dagingnya, tetapi sekalipun 

hanya robek bajunya, peristiwa ini menyebabkan Murti Sari 

amat marah. Mendadak perempuan sakti ini melengking 

nyaring, menerjang Adityawarman dengan pedang pusaka 

Wesi Kuning, sedangkan lengan kirinya sudah memegang 

saputangan kecil warna hijau. Sambil menyerang itu Murti 

Sari mengebutkan saputangan ke arah muka Aditya-

warman. 

Adityawarman kaget sekali oleh kebutan sapu tangan 

kecil ini dan sadar bahwa saputangan ini tentu 

mengandung racun berbahaya. Maka cepat-cepat ia 

menutup pernapasan. 

Saputangan kecil warna hijau ini memang amat 

berbahaya. Di saputangan inilah tersimpan racun wangi 

yang dapat menyebabkan orang pening, mabuk tak sadar-

kan diri. Dan berkat keampuhan racun wangi inilah yang 

membantu menanjaknya nama Murti Sari, sehingga di-

takuti oleh banyak orang. 

Berkat pengalamannya menghadapi Rudra Sangkala 

tadi dan menutup pernapasan, ia selamat dari serangan


racun. Namun demikian manakah mungkin dirinya dapat 

bertahan terus tanpa menghirup napas? Hal ini menyebab-

kan Adityawarman harus membagi perhatian. Sebab 

disamping menggunakan pedangnya untuk melindungi diri 

dan membalas serangan, ia juga harus menggunakan 

tangan kiri untuk mengebut guna mengusir hawa beracun 

yang selalu disebarkan oleh Murti Sari. 

Dan celakanya pula Murti Sari adalah perempuan yang 

cerdik. Makin kuat Adityawarman mengusir racun yang 

ditebarkan makin banyak pula kebutan yang dilakukan. 

Melihat repotnya Adityawarman melawan Murti Sari ini. 

Kebo Druwoso, Hesti Makara dan Wukir Boja menjadi 

khawatir sekali dan tegang. Akan tetapi untuk menerjang 

maju dan membantu, mereka juga tidak berani. Mereka 

sudah kenal watak Adityawarman. Seorang ksatrya sejati 

yaug benci setengah mati kepada apapun yang berbau 

curang. Maka kalau mereka maju membantu, hal ini bisa 

menyebabkan Adityawarman tidak senang. Sebab per-

buatan itu akan menurunkan martabat dan harga dirinya. 

Itulah sebabnya walaupun mereka kawatir, mereka tidak 

berani berbuat apa-apa dan mereka bagai semut di atas 

api. 

Dari sedikit tetapi pasti, pengaruh racun wangi yang 

sempat terhirup oleh pernapasan Adityawarman 

mempengaruhi perlawanannya. Karena pengaruh racun 

tersebut menyebabkan kepala pening, dada sesak dan 

pandang mala kabur. 

Sekalipun demikian masih untung Murti Sari belum 

melupakan hubungan keluarga dengan Adityawarman. 

Pendeknya Murti Sari sudah merasa puas apabila bisa 

menang melawan tokoh Majapahit yang namanya amat 

terkenal itu. Dengan demikian nama besarnya akan 

menjadi semakin menanjak dan akan ditakuti semua 

orang. 

“Tring trang trang cring trang.... Aihh....” 

Setelah terjadi benturan pedang berturut-turut yang 

nyaring, terdengar seruan tertahan Adityawarman, lalu


tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari pundaknya sudah 

robek berikut sedikit kulit dan dagingnya. Sekalipun 

demikian luka itu tidak berat. 

“Hi... hi... hik, Adityawarman! Engkau bersedia mengakui 

diriku yang menang atau tidak?” Murti Sari ketawa genit 

sambil mengejek. 

“Hemm,” Adityawarman menghela napas panjang. 

“Terus terang aku mengaku kalah dan pergilah. Aku takkan 

mengganggu lagi.” 

“Hi... hi... hik,” Murti Sari ketawa merdu, lalu melangkah 

meninggalkan Adityawarman yang penasaran dan para 

pingawalnya. 

Tiba-tiba Wukir Boja berteriak. “Berhenti!” 

Murti Sari berhenti juga dan mengangkat alisnya yang 

lentik. Sepasang matanya yang indah itu menyala menatap 

tajam kepada Wukir Boja. 

Akan tetapi sebelum Murti Sari sempat membuka mulut 

Adityawarman sudah mendahului membentak. “Wukir Boja 

Apakah maksudmu? Aku sudah kalah dan biarkan dia 

pergi.” 

Wukir Boja menundukkan kepala masygul, tetapi tidak 

berani membantah. 

Murti Sari terkekeh, katanya, “Adityawarman. Jika tidak 

memandang mukamu, pengawal yang lancang mulut itu 

tentu sudah aku remuk kepalanya. Sudahlah, selamat 

tinggal.” 

Sekali melompat tubuh Murti Sari yang ramping dan 

masih berisi itu, sudah bergerak cepat sekali meninggalkan 

empat orang itu yang memandang dengan hati penasaran. 

Diam-diam tiga orang pengawal ini mencela tuannya, 

mengapa mengalah kepada perempuan itu. Padahal kalau 

Murti Sari tidak menggunakan saputangan beracun ter-

sebut, manakah mungkin menang melawan Aditya-

warman? 

Di antara tiga pengawal itu yang berani mengemukakan 

perasaan hanyalah Hesti Makara. Katanya, “Gusti, dia jelas 

bersalah melindungi muridnya yang berdosa. Akan tetapi


mengapa sebabnya Gusti membiarkan dia pergi?” 

Adityawarman menghela napas panjang. Sesaat 

kemudian ia berkata penuh wibawa. “Dengarlah kamu 

semua. Apapun alasannya aku sudah dikalahkan dalam 

perkelahian tadi. Aku menderita di pundak. Benar atau 

salah seorang yang menderita kalah harus mau mengakui 

secara jujur. Dan sudah tentu pula sebagai orang yang 

kalah, aku tidak berhak menahan dia lebih lama lagi, dan 

tidak boleh pula mengganggu.” 

Tiga orang ini diam-diam mendengar jawaban Aditya-

warman memuji keagungan wataknya. Memuji sikap 

ksatrya yang penuh tanggungjawab. Namun mereka masih 

tidak percaya Adityawarman kalah benar-benar ber-

hadapan dengan Murti Sari. Dalam hal ilmu kesaktian jelas 

Adityawarman unggul. Dan sebabnya sampai menderita 

luka karena pengaruh racun wangi yang disebarkan Murti 

Sari lewat saputangan. 

Maka setelah berdiam diri beberapa saat lamanya, 

berkatalah Kebo Druwoso. “Tetapi Gusti, kalau dikatakan 

menang, kemenangan Murti Sari tidak wajar. Dia curang 

menggunakan racun.” 

“Engkau benar! sahut Adityawarman. Tetapi siapakah 

yang dapat melarang Murti Sari menggunakan akal 

ataupun racun? Dia toh butuh menang, maka tidak salah 

apabila dia menyebarkan racun wangi yaug membuat 

orang pening dan dada sesak. Hemm, sudahlah. 

Pendeknya aku sudah kalah melawan Murti Sari dan 

Marilah kita pulang.” 

Tiga orang pengawal itu tidak berani membuka mulut 

lagi. Mereka kemudian mengikuti langkah tuannya. 

Beberapa orang yang sempat menyaksikan apa yang 

terjadi, dan sempat pula mendengar pembicaraan itu tidak 

ada yang berani mengganggu, tetapi bagaimanapun dalam 

hati orang-orang ini memuji watak Adityawarman. 

Memang demikianlah watak Adityawarman. Watak 

seorang ksatrya sejati yang dijauhkan oleh rasa benci dan 

dendam. Segala langkah dan perbuatannya, terkenal selalu


bijaksana dan adil. Maka terhadap peristiwa ini terus 

terang diakui kekalahannya, tanpa mau bicara lagi tentang 

sebab musababnya menderita kekalahan. 

* * *


3


Sebagai seorang gadis remaja yang belum pernah 

pergi kemanapun, perjalanan Dewi Sritanjung 

sekarang ini menimbulkan kecanggungan juga 

disamping merasa ragu untuk berbuat. Namun sesuai 

dengan pesan Kiageng Tunjung Biru agar tidak menunjuk-

kan rasa asingnya di tengah masyarakat maka dalam me-

langkahkan kaki ini gerakkannya mantap. 

Disamping itu agar tidak menarik perhatian orang ia 

melangkah seperti yang lain apabila di tempat ramai. Baru 

setelah di tempat sepi, ia menggunakan kepandaiannya 

lari dan bergerak cepat. 

Akan tetapi walaupun Dewi Sritanjung sudah berusaha 

agar tidak tampak asing, orang yang melihat kemudaan-

nya, kecantikannya dan tubuhnya yang padat berisi itu, 

bagaimanapun menarik pula perhatian orang. Baik bagi 

orang yang hanya sekadar kagum akan kecatnikan wajah-

nya, maupun laki-laki mata keranjang yang selalu memburu 

wanita, karena menimbulkan perasaan dag dig dug. 

Disamping menarik juga menimbulkan perasaan heran. 

Sebab, sebagai seorang gadis dan cantik pula, mengapa 

berani melakukan perjalanan seorang diri? Namun 

disamping orang merasa heran, juga tidak sembarangan 

orang berani mengganggu, karena setiap orang bisa 

menduga, orang yang berani melakukan perjalanan se-

orang diri dan wanita pula, tentu sakti mandraguna. Maka 

bagi para laki-laki biasa, hanya dapat mengagumi dan tidak 

berani mengganggu. 

Pada hari ini matahari menyinarkan cahaya gemilang 

sehingga terasa terik. Maka peluh membasahi sekujur 

tubuh Dewi Sritanjung, dan gadis ini merasa kegerahan. 

Bagi gadis yang lain, jika merasa haus takkan kesulitan, 

mampir ke dalam warung lalu membeli tetapi bagi Dewi 

Sritanjung yang belum pernah mengenal nilai uang dan


belum pernah pula membeli sesuatu, merasa repot juga 

berhadapan dengan rasa haus ini. 

Benar kakeknya sudah membekali uang dan petunjuk 

seperlunya, bagaimanakah cara orang mau membeli dan 

membayar kalau jajan di warung. Namun demikian gadis 

ini masih timbul rasa ragu dan bimbang untuk membeli. 

Sebaliknya kalau harus masuk ke pekarangan orang untuk 

minta air, juga timbul rasa malu disamping takut. 

Sebenarnya saja seorang gadis berwajah cantik seperti 

Dewi Sritanjung ini, berbahaya juga berpergian seorang diri, 

sekalipun sudah membekali ilmu kesaktiannya yang cukup 

tinggi. Soalnya ia belum pernah bergaul dalam masyarakat, 

dan belum pernah pula mengenal tipu muslihat orang. 

Sudah tentu gadis belum berpengalaman seperti ini akan 

menjadi mangsa empuk bagi orang jahat. 

Masalah ini memang suduh terpikir pula oleh Kiageng 

Tunjung Biru, hingga pada mulanya timbul pula perasaan 

tidak tega. Namun kemudian Kiageng Tunjung Biru 

memaksa diri untuk melepas muridnya ini. Sebab menurut 

pendapatnya, dengan kesulitan dan bahaya yang dihadapi 

akan memberi pengalaman berharga bagi bocah itu 

sendiri, hingga cepat dapat berpikir secara dewasa dan 

kemudian tahu bahwa setiap orang yang hidup di dunia ini 

harus tahu cara bergaul dengan orang lain. 

Ketika Dewi Sritanjung menginjakkan kakinya di 

Nganjuk, matahari tepat memancarkan sinar peraknya di 

tengah jagad. Sinar matahari itu terasa panas sekali hingga 

gadis ini merasa tidak sanggup lagi menahan rasa haus. 

Untung kemudian tidak jauh di depan ada sebuah 

warung yang tidak jauh dari pasar. Sekali pun diselimuti 

rasa ragu dan bimbang, namun kakinya dipaksa pula 

supaya melangkah tanpa ragu. 

Warung itu agak besar dan beberapa meja maupun 

bangku panjang memenuhi ruangan. Beberapa 

perempuan, menikmati pesanan sambil bicara dan 

bercanda. 

Dewi Sritanjung berketetapan hati, masuk warung tanpa


ragu dan tidak pedulian lagi. Ia segera duduk di salah satu 

bangku dan mejanya masih kosong. Pendeknya, orang 

masuk warung dapat membayar, siapa dapat melarang? 

Akan tetapi ketika ia merasa menjadi perhatian orang, 

hatinya terasa berdebaran juga. Maka setelah duduk 

dengan sepasang matanya yang indah, tanpa rikuh lagi ia 

sudah membalas setiap pandangan orang, baik laki-laki 

maupun perempuan. Sebab menurut pikiran gadis ini, 

apakah salahnya kalau dirinya membalass memandang 

orang-orang itu, justru mereka juga memandang dirinya? 

Tidak disadari sama sekali oleh gadis ini, bahwa dalam 

pergaulan masyarakat pandangan perempuan yang mem-

balas pandangan laki-laki bisa menimbulkan salah duga. 

Laki-laki bisa mengir perempuan itu adalah suka me-

nanggapi ajakan laki-laki atau suka diajak kencan. 

Seorang pelayan laki-laki menghampiri dan dengan 

sikap hormat bertanya, “pesan apa?” 

Sesungguhnya bagi Dewi Sritanjung yang biasa hidup di 

dalam hutan, lebih suka minum air serai seperti 

kebiasaannya sehari-hari. Sedang dalam soal makan cukup 

singkong, ketela, gembili, kimpul atau jagung. Malah kalau 

perlu sudah cukup kenyang hanya makan daging bakar. 

Namun sesuai dengan pesan kakeknya agar tidak 

menimbulkan kesan keasingannya, maka gadis ini 

berlagak juga. Malah kemudian timbul pula seleranya 

untuk mencicipi makanan lain yang selama ini belum 

pernah dinikmati. Bukankah hal ini penting bagi dirinya dan 

penting pula dalam usaha menyesuaikan dirinya dalam 

pergaulan masyarakat yang baru saja ia kenal? 

“Terangkan yang jelas, apa saja makanan yang paling 

terkenal di warung ini,” ujarnya tanpa ragu. 

Dalam mengucapkan kata-kata ini ia cukup keras, dan 

ucapan itu memancing perhatian orang disamping ketawa 

pula. Mendengar orang tertawa dan beberapa pasang mata 

memandang dirinya, ia mengerutkan alis. Akan tetapi 

karena tidak lahu arti dari ketawa orang itu, ia hanya 

merasa heran dan aneh. Ia tidak marah dan mengalihkan



perhatian kepada pelayan yang masih berdiri di dekatnya. 

Dipandang sedemikian rupa oleh seorang gadis yang 

cantik jelita, sudah tentu si pelayan menjadi gelagapan 

disamping terpesona. Sebagai akibatnya pula mulut si 

pelayan ini seperti terkunci dan sulit mengucapkan kata-

kata. 

Pada meja yang berhadapan letaknya dengan meja Dewi 

Sritanjung, duduk dua orang pemuda. Kalau pada mulanya 

pemuda ini duduk berhadapan sekarang menggeser diri, 

kemudian mereka duduk berdampingan. Maksudnya jelas 

agar dengan demikian dapat memandang gadis itu lebih 

leluasa. 

Ketika melihat si pelayan tidak segera dapat menjawab, 

salah seorang sudah membuka mulut. “Warung ini terkenal 

dengan gulai kambing. Agaknya lebih tepat apabila Adik 

pesan nasi gulai saja.” 

Kalau gadis lain, kelancangan pemuda ini tentu sudah 

dapat menimbulkan salah paham dan salah-salah bisa 

terjadi percekcokan pula. Tetapi Dewi Sritanjung yang 

masih asing di masyarakat ini tidak marah dan malah 

mengangguk. 

“Terima kasih Saudara telah menolong aku,” katanya 

diiringi senyum manis. “Baiklah, berikan kepadaku nasi 

gulai. Sedang minumannya apa saja boleh.” 

“Lebih enak kopi tubruk,” pemuda yang lain ikut 

memberi saran, agaknya ingin pula mendapat senyum 

manis seperti temannya. 

Harapannya terkabul juga, karena gadis ini mengangguk 

sambil tersenyum manis. Ia mengucapkan terima kasihnya 

seperti tadi dan kepada pelayan ia minta disediakan kopi 

tubruk. 

Memang tidak bisa disalahkau kalau Sritanjung bersikap 

seperti itu, karena ia beranggapan bahwa dua orang 

pemuda ini memberi pertolongan. Sesuai dengan petunjuk 

kakeknya, setiap orang yang mengulurkan tangan tanpa 

diminta, itu merupakan pertolongan, dan harus diterima 

dengan senang hati sambil mengucapkan terima kasih.



Hanya agak sayang cara menanggapi pertolongan yang 

diberikan orang ini. Dewi Sritanjung menanggapi tanpa 

prasangka buruk. Ia menyangka pertolongan mereka ini 

merupakan pertolongan yang wajar. Padahal dua pemuda 

ini menerima keadaan ini dengan dugaan lain, mengira 

gadis jelita yang belum mereka kenal ini sudah bersedia 

menanggapi. 

Pemuda yang bicara pertama tadi kemudian mem-

beranikan diri bertanya. ”Apakah Adik seorang diri saja?” 

Dewi Sritanjung mengangguk sambil tersenyum, 

jawabnya, “Ya! Aku hanya seorang diri.” 

“Bolehkah kami menemani makan di meja Nona?” 

Seperti dua ekor kucing melihat tikus, mereka cepat 

bangkit, kemudian mereka duduk di depan Sritanjung, 

dibatasi oleh meja. Dengan duduk berhadapan seperti ini 

mereka dapat menikmati wajah ayu itu lebih jelas. 

Kaki dua pemuda ini saling sentuh, mengandung arti 

tertentu tanpa ungkapan kata. 

Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka itu memang 

belum tahu dan tidak menyadari bahwa cara mereka me-

mandang itu adalah kurang sopan dalam pergaulan. Hanya 

saja memang dalam dada gadis ini timbul pertanyaan pula 

yang tidak terjawab, mengapa orang-orang itu memandang 

dirinya penuh perhatian dan siap memberi pertolongan? 

Setelah satu meja, dua pemuda ini lalu memperkenal-

kan diri. Yang seorang menyebut dirinya dengan nama 

Kaligis, dan yang seorang memperkenalkan diri dengan 

nama Sangkan. Dan sebaliknya Dewi Sritanjung yang tanpa 

prasangka itu memperkenalkan diri tanpa ragu. 

Dalam kegembiraannya, kemudian Sangkan memanggil 

pelayan. Setelah pelayan itu datang, ia berkata, “kami akan 

merayakan perkenalan kami dengan Adik Sritanjung in 

karena itu sekarang tolong sediakan sate hati, masak 

buntut, gulai dan tiga piring nasi putih.” 

“Ahh,Saudara Sangkan,” ujar Sritanjung. “Aku tadi 

sudah pesan makanan yang saya butuhkan. Tetapi 

mengapa Saudara pesan lagi?”


Sangkan yang cerdik dan licin ini tentu saja lebih pandai 

memikat perhatian orang. Jawabnya, “Adik Sritanjung, 

maafkan aku. Sekarang ini Adik sebagai tamu kami maka 

harus kami hormati. Dan untuk itu, kami selenggarakan 

pesta sederhana ini.” 

Kaligis yang sudah dapat menangkap maksud Sangkan 

segera menyambut dengan ujar manis, “Benar! Adik 

Sritanjung jangan menolak itu tidak baik. Bagaimanapun 

perkenalan kita ini harus kita rayakan, sekalipun hanya 

secara sederhana.” 

“Lalu bagaimanakah dengan pesananku tadi?” 

“Hal itu gampang, sebab bisa kita batalkan. Sebab 

dalam merayakan perkenalan kita ini akan menjadi lebih 

akrab kalau kita makan hidangan yang sama,” Sangkan 

membujuk. 

Dewi Sritanjung yang tidak mempunyai prasangka buruk 

mengangguk. Ia setuju dengan maksud dua orang pemuda 

yang baru ia kenal ini. 

Sambil menunggu datangnya hidangan yang dipesan, 

Sangkan memulai dengan pertanyaan, “Apakah Adik 

Sritanjung sekarang ini sedang melakukan perjalanan? 

benarkah? Kalau benar, lalu mau ke mana?” 

“Aku? Oh. Saudara pandai sekali menduga orang.” Dewi 

Sritanjung heran mengapa Sangkan dapat menduga secara 

tepat. Memang sebenarnya aku sedang menuju Ibukota 

Majapahit. 

“Ohhh.....” tidak tercegah lagi terlepas seruan tertahan 

dari mulut Kaligis dan Sangkan. 

Tentu saja mereka menjadi heran dan hampir tidak 

percaya, karena jarak Majapahit tidak dekat. Mengapa 

gadis yang muda dan jelita ini bepergian seorang diri? 

Kalau menilik gerak-geriknya yang halus dan sikapnya yang 

polos ini, Sangkan sudah dapat menduga, gadis ini tentu 

berasal dari desa yang jauh dengan kota. Dan agaknya 

hanyalah gadis desa biasa yang tidak mengenal tajamnya 

pedang. Karena gadis ini juga tidak tampak menyandang 

senjata.


Memang tidak mengherankan apabila Sangkan sampai 

keliru duga, menganggap gadis ini gadis lemah yang tidak 

kenal ilmu kesaktian. Karena pedang pusaka Tunggul 

Wulung disembunyikan sedemikian rupa hingga tidak 

tampak. Dan hal ini dilakukan sesuai dengan petunjuk 

Kiageng Tunjung Biru. 

“Seorang diri Adik ke Ibukota Majapahit. Apakah Adik 

sudah tahu, di manakah letak kota tersebut?” pancing 

Sangkan. 

Dewi Sritanjung menggeleng. Ia memang belum tahu, 

maka ia menggeleng dan kemudian menjawab sejujurnya. 

“Baru kali ini aku mau ke sana. Kakek hanya bilang, 

Ibukota Majapahit letaknya di bagian timur. Akan tetapi di 

mana, terus terang aku belum tahu.” 

Mendengar ini Kaligis dan Sangkan saling pandang 

disusul bibir tersenyum penuh arti. 

“Ahh, kita sungguh beruntung karena kita mempunyai 

tujuan sama,” ujar Sangkan. “Apakah Adik Sritanjung tidak 

keberatan kalau kita menuju ke sana bersama-sama? 

Dengan bersama-sama berarti Adik Sritanjung mempunyai 

teman untuk diajak bicara dalam perjalanan.” 

Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka ini menyambut 

ajakan ini dengan seuyum manis dan wajah berseri. 

Apakah salahnya menerima ajakan pemuda ini justru 

dengan adanya teman, perjalanannya ke Ibukota Majapahit 

akan lebih lancar, dan kalau terjadi apa-apa bisa diminta 

pertimbangannya? 

“Tentu saja aku senang sekali,” jawabnya. “Melakukan 

perjalanan bersama kalian. Disamping itu tentunya kalian 

sudah pernah datang ke sana?” 

“Bukan hanya pernah, tetapi malah sudah berkali-kali 

datang ke sana,” Sangkan menyahut cepat, nadanya 

sungguh-sungguh. “Melakukan perjalanan ke sana ber-

sama kami tentu saja akan lebih aman dan cepat tiba di 

sana, karena tidak perlu bertanya-tanya lagi.” 

Bagi gadis ini yang masih asing dengan kota dan baru 

terjun ke masyarakat, tentu saja masih belum mengenal


macam apakah manusia jahat yang suka menggunakan 

tipu muslihat ini. Karena itu dirinya mengira, orang yang 

sudah sering ke Ibukota Majapahit akan mengenal semua 

orang. 

“Sudah berapa kali kalian ke sana?” tanyanya penuh 

minat. “Dan apakah kalian juga sudah kenal pula dengan 

seorang pemuda tampan bernama Surya Lelana?” 

Mendengar pertanyaan ini Sangkan dan Kaligis garuk-

garuk kepala. Namun Sangkan seorang licik dan licin, 

sesaat kemudian sudah menjawab mantap. “Ohh, apakah 

Adik merupakan teman baik Surya Lelana? Sungguh 

kebetulan sekali akupun sahabatnya.” 

“Bagus sekali kalau kalian juga sahabat baik Surya 

Lelana.” Dewi Sritanjung gembira sekali, hingga bibirnya 

yang indah itu tersenyum lebih indah dan sedap dipandang 

mata. Senyum gadis ini merupakan senyum polos dan 

tidak malu-malu. 

“Sungguh menyenangkan sekali Saudara,” sambut 

Sritanjung. “Dengan demikian berarti perjalananku tidak 

akan kesepian lagi. Dan sudah tentu pula melakukan 

perjalanan jauh bersama kawan akan mengurangi rasa 

lelah dan perjalanan yang jauh itu seperti tidak terasa.” 

“Adik benar,” Kaligis yang sejak tadi hanya berdiam diri 

mulai ikut bicara. “Lebih-lebih Adik belum pernah datang 

ke sana. Sebaliknya, kami yang sudah berkali-kali datang 

ke sana, dengan gampang akan mengantarkan Anda ke 

rumah Surya Lelana.” 

“Ya!” Sritanjung yang selalu menyungging senyum 

maniss ni, menyebabkan suaranya lebih merdu lagi. “Dan 

tentu rumahnya bagus sekali. Ah, lebih lagi Surya Lelana 

berdiam di rumah Mahapatih Gajah Mada. Rumah pejabat 

tinggi Majapahit itu tentu amat bagus disamping besar.” 

“Ohhhh... !” tidak tercegah lagi meluncurlah seruan 

kaget dari mulut dua orang muda ini, mendengar nama 

Gajah Mada disebut. 

Kemudian timbullah dugaan dalam hati dua pemuda ini, 

apakah hubungan gadis ini dengan Gajah Mada?


Tiba-tiba saja dua orang pemuda ini teringat kepada 

cita-cita guru mereka yang akan membalas dendam 

kepada Mahapatih Gajah Mada. Dengan demikian apabila 

dapat menangkap gadis ini, bukankah berarti mereka 

sudah dapat memberikan jasa bagi guru mereka? 

Apabila melihat pula bahwa gadis ini nampaknya 

sederhana, tentunya gadis ini cantik jelita tetapi lemah dan 

tiada kepandaian. Dan hal ini sudah tentu amat kebetulan, 

karena merupakan permulaan baik bagi mereka. 

Sebagai seorang pemuda yang licin dan licik. Sangkan 

dapat menguasai perasaan, lalu jawabnya dengan lagak 

dibuat-buat. “Ya, tentu saja rumah Mahapatih amat bagus 

dan juga luas sekali, disamping berada di tengah kota. Adik 

Sritanjung tahu, sudah tak terhitung lagi jumlahnya kami 

masuk ke rumah Mahapatih Gajah Mada. Uah… perabot 

rumahnya amat bagus, indah dan menyedapkan pandang 

mata. Demikian pula hamba sahayanya banyak sekali. 

Hemm, pendek kata Adik kebetulan sekali dapat bertemu 

dengan kami. Sebab dengan perantaraan kami Adik 

Sritanjung dengan gampang akan dapat masuk ke rumah 

Mahapatih Gajah Mada tanpa kecurigaan dan tanpa 

pemeriksaan lagi.” 

“Pemeriksaan? Pemeriksaan tentang apa?” Dewi 

Sritanjung kaget berbareng heran. Sebab kakeknya tidak 

pernah memberitahukau masalah ini. 

Meledak ketawa Sangkan dan Kaligis. Lalu Kaligis men-

dahului menjawab. “Di sana memang dijaga oleh banyak 

prajurit pengawal. Maka orang yang mau masuk ke rumah 

Mahapatih Gajah Mada tentu akan ditanya macam-macam, 

dan kalau perlu dilakukan penggeledahan.” 

“Penggeledahan bagi orang yaug dicurigai,” sambung 

Sangkan. “Tangan petugas yang menggeledah, meraba-

raba seluruh tubuh, barangkali ada senjata yang di-

sembunyikan dan bisa membahayakan Kerajaan Majapahit 

dan Mahapatih Gajah Mada. Malah kalau perlu orangpun 

diperintahkan harus membuka pakaiannya.” 

“Aihh....!” wajah Sritanjung berubah menjadi merah. “Itu


tidak sopan.....” 

Sangkan dan Kaligis menyeringai hatinya senang me-

lihat perubahan wajah dan kekagetan gadis ini. Dua orang 

muda ini gembira sekali, omong kosong dan bualannya 

dapat mempengaruhi gadis ini dengan gampang. Padahal 

jangankan sudah pernah masuk rumah Gajah Mada. 

Datang ke Ibukota Majapahit pun belum pernah. 

Akan tetapi gadis ini yang baru saja terjun ke dalam 

masyarakat, dan belum mengetahui keadaan sebenarnya, 

tentu saja gampang dipengaruhi. 

“Adik jangan kaget!” Sangkan meneruskan bualannya. 

“Itu memang sudah menjadi peraturan, guna menjaga 

ketertiban dan keamanan bagi para pejabat tinggi 

kerajaan. Akan tetapi bersama kami Adik akan aman dari 

gangguan siapapun.” 

Melihat keasyikan tiga orang muda itu para tamu yang 

sedang jajan di warung menjadi tertarik disamping heran. 

Namun semua orang tidak berani mendekati maupun 

mengganggu, setelah dalam pembicaraan itu menyebut-

nyebut nama Mahapatih Gajah Mada. Mereka lalu men-

duga, tentunya tiga orang muda ini orang-orang penting 

atau putera bangsawan Majapahit, tetapi sedang 

menyamar sebagai kawula biasa dalam melakukan tugas. 

Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Melihat 

masakan daging yang baru kali ini saja ia saksikan, dari 

mulut Dewi Sritanjung sudah terdengar suara ck ck ck, 

sedang hidungnya kembang kempis karena menghirup bau 

gurih, sedap dan wangi. Kepada masakan yang baunya 

seperti ini hidungnya merasa asing. Sebab biasanya 

apabila memasak daging di pondok gurunya, paling-paling 

hanyalah daging bakar dengan bumbu seadanya, yang 

penting asal terasa asin. 

Sangkan segera mengajak Dewi Sritanjung mulai 

makan. Sedang gadis im tanpa malu-malu sudah mulai 

mengunyah daging yang kecil-kecil itu, yang terasa sedap 

dan nikmat. Tadi ketika ia melihat daging yang diiris kecil, 

ia agak kecewa, sebab biasanya ia menghadapi daging


yang irisannya besar berikut tulang. 

Namun setelah tahu daging yang kecil inipun lebih 

sedap, gadis ini gembira sekali sambil memuji-muji 

enaknya masakan. 

“Itulah sebabnya aku tadi meuganjurkan agar Adik 

pesan gulai,” kata Sangkan dengan bangga. 

Pemuda ini merasa berjasa, gadis jelita ini cocok dengan 

gulai dan sate. 

Karena Dewi Sritanjung memang masih asing kepada 

tatacara hidup dalam masyarakat dan segala aturan tetek 

bengeknya, maka gadis ini tidak tahu bahwa dalam soal 

makanpun manusia ini di atur dengan sopan dan 

santunnya. Karena ketidaktahuannya ini maka Dewi 

Sritanjung makan dengan lahap, dan tanpa peduli lagi 

kepada yang lain. Sambil mengunyah dan menelan 

masakan yang belum pernah ia nikmati ini, berkali-kali 

gadis ini menghirup pula kuah yang hangat dengan mulut 

bersuara. 

Sesungguhnya agak merasa heran juga Sangkan 

maupun Kaligis melihat cara gadis ini makan. Mengapa 

sebagai seorang gadis menghirup kuah sampai bersuara 

seperti itu? Kalau di rumah sendiri memang tidak 

mengapa, tetapi di warung, berarti di tempat umum, makan 

yang baik harus mencegah timbulnya suara. 

Akhirnya tiga orang ini silesai makan, kemudian Kaligis 

yang membayar seluruh harga makanan, dan mereka 

meninggalkan warung itu. 

Mereka menuju ke selatan. Dewi Sritanjung di tengah 

dan diapit oleh Kaligis dan Sangkan. Dalam berjalan ini si 

gadis tahu benar menuju ke selatan, sebab matahari di 

sebelah kanan. 

Sebagai seorang yang memang belum pernah 

mengunjungi Ibukota Majapahit dan tidak tahu pula 

letaknya, maka gadis ini berdiam diri. Menurut perkiraan 

gadis ini tentu menuju langsung ke Ibukota Majapahit 

seperti janji semula. Karena mengira menuju Majapahit 

itulah maka Dewi Sritanjung melangkah pasti tanpa ragu


dan dalam perjalanan inipun mereka asyik bicara, memb-

icarakan apa saja sebagai pengisi waktu senggang. 

Akan tetapi setelah perjalanan ini lama dan setiap ter-

dapat jalan simpang selalu dilewati tanpa membelok, 

akhirnya ia bertanya. “Mengapa sebabnya kita terus ke 

selatan? Bukankah seharusnya kita menuju ke timur?” 

“Belum waktunya kita membelok ke timur, Adik manis.” 

sahut Sangkan. “Kita baru membelok ke timur, sesudah 

kita melewati hutan kecil di depan itu. Marilah Adik, 

perjalanan agak kita percepat dan Adik tidak perlu ragu.” 

Sambil berkata ini Sangkan meuyambar lengan kanan 

Dewi Sritanjung. Maksudnya, Sangkan ingin membimbing 

gadis ini agar perjalanan lebih cepat. 

“Ihhh....!” Dewi Sritanjung kaget dan cepat meronta, 

melepaskan tangan yang dipegang Sangkan. 

“Ahhh.....!” Sangkan kaget dan terhuyung hampir jatuh. 

“Hai.....kenapa, Adik Sangkan...?” Kaligis kaget melihat 

Sangkan sempoyongan. 

“Ahh, tidak apa apa!” sahut Sangkan guna menutup 

rasa malunya. “Aku terantuk batu dan hampir jatuh.” 

Jawaban ini sesungguhnya tidak masuk akal. Tetapi 

Kaligis tidak mendesak lagi dan percaya. Sebaliknya 

karena Dewi Sritanjung tidak melakukan perbuatan apa-

apa, hanya berdiam diri. 

Apa yang telah terjadi memang di luar kesadaran Dewi 

Sritanjung. Ia tidak menyadari bahwa ketika tangannya 

yang meronta tadi mengandung tenaga yang kuat dan 

mendorong Sangkan. Tenaga yang kuat itu menyalur 

sendiri ke lengannya yang menyebabkan Sangkan tak 

dapat bertahan, sekalipun diam-diam Sangkan tadi 

menggunakan tenaga pula dalam menyambar lengan Dewi 

Sritanjung. 

Akan tetapi sebaliknya, kendati Sangkan merasa 

terdorong oleh tenaga kuat yaug tidak tampak, pemuda ini 

sama sekali tidak sadar kepada keadaan. Ia tadi hanya 

mengira pegangannya kurang kuat, sehingga dirinya sendiri 

terhuyung.


“Apakah sebabnya kau pegang-pegang tangan orang?” 

protes Dewi Sritanjung tidak senang. Protes yang keluar 

dari perasaan kewanitaannya yang halus dan sepi dari 

perasaan lain. 

Sangkan hanya menyeringai. 

Tak lama kemudian tibalah mereka di hutan yang 

membentang agak luas dan mereka menerobos masuk. 

Setelah agak jauh mereka menerobos hutan, tanpa 

terduga Sangkan dan Kaligis yang sudah saling memberi 

isyarat dengan mata itu, menubruk hampir berbareng. 

“Ahhh...!” Dewi Sritanjung kaget sekali ketika tiba-tiba 

empat tangan yang kuat sudah memeluk tubuhnya. Dalam 

kagetnya gadis ini hanya dapat berteriak tertahan. 

Sebaliknya begitu berhasil menubruk dan memeluk 

tubuh gadis jelita dan montok itu, tidak tercegah lagi mulut 

Sangkan dan Kaligis sudah terkekeh gembira. Tentu saja 

mereka gembira, dengan sekali tubruk sudah berhasil. 

Jelas sekali gadis jelita ini seperti perempuan lain, 

hanyalah seorang perempuan lemah. 

Saking tidak kuasa lagi menahan selera, melihat wajah 

jelita dan menggiurkan, hampir berbareng Kaligis dan 

Sangkan sudah mencium pipi yang kuning dan montok itu. 

Namun segera terdengar suara mengaduh kesakitan 

dari mulut Kaligis dan Sangkan, disusul tubuh dua pemuda 

ini terhuyung hampir jatuh. 

Tadi ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari kiri dan 

kanan, dalam kagetnya Sritanjung hanya bisa berteriak 

tertahan. Namun naluri kewanitaannya segera mem-

beritahu, bahwa dua orang pemuda ini mempunyai maksud 

tidak baik. Lebih lagi ketika dua pemuda ini sudah 

berusaha mencium pipinya, secara otomatis gadis ini 

mendongakkan kepalanya, sehingga ujung hidung dua 

pemuda itu mendarat di leher. 

Justru sentuhan ujung hidung ke leher ini menyebabkan 

rasa ngeri. Sritanjung lalu memberontak! Hawa sakti dalam 

tubuh gadis ini segera bekerja sendiri, dan akibatnya 

walaupun Kaligis dan Sangkan bukan pemuda lemah,


mereka tak kuasa lagi mempertahankan pelukannya. 

Setelah dua pemuda ini terhuyung hampir roboh, gadis 

ini berdiri dengan wajah merah dan alis terangkat, tanda 

marah. Bentaknya, “Huh huh, apa maksudmu main peluk 

orang?” 

Sangkan dan Kaligis dapat berdiri tegak kembali. Mulut 

mereka menyeringai dan hati mereka penasaran, gemas 

dan hampir tidak kuasa lagi menahan hasrat berhadapan 

dengan gadis cantik ini. Mereka berpikir di dalam hutan 

seperti ini, dan jauh dari orang, siapakah yang bisa 

menolong gadis ini? 

“Heh... heh... heh... heh, engkau tanya apa maksud 

kami? Sangkan mengejek. Kalau laki-laki sudah memeluk 

perempuan, engkau masih juga bertanya maksudma? Adik 

Manis, engkau harus menyerah kepada kami agar tidak 

menderita. Kalau kami marah, kami merasa sayang 

kepada kecantikanmu dan sayang pula akan keindahan 

tubuhmu kalau kami harus main paksa dan menyiksa 

engkau.” 

Kaligis cepat menyambung, “Adik cantik, kami dua orang 

saudara, merupakan perkasa. Jika engkau menjadi kekasih 

kami, engkau pasti bahagia. Mari, Adik cantik kita lewatkan 

waktu dengan bersenang-senang di hutan ini. Hemm, tak 

akan ada orang yang mengganggu.” 

Dewi Sritanjung mengerutkan alis. Ucapan dua orang 

pemuda ini sebenarnya asing bagi telinganya, dan juga 

tidak tahu artinya. Tetapi walaupun demikian naluri 

kewanitaannya dapat menduga maksud dua orang pemuda 

ini tentu tidak baik. 

Setahun lalu tanpa seijinnya, Surya Lelana sudah men-

cium pipinya, akan tetapi ketika itu Surya Lelana cepat 

minta maaf, sebaliknya dirinya juga tidak marah atas per-

lakuan itu. 

Namun dua orang muda ini sekalipun juga tidak minta 

ijin lebih dahulu, dalam dadanya timbul perasaan lain. 

Naluri kewanitaannya sudah memberitahu perbuatan 

dua orang ini mengandung maksud tidak baik. Perasaan


yang demikian ini makin kuat lagi setelah termata sikap 

dua orang ini jauh berlainan dengan sikap Surya Lelana. 

Dua pemuda ini tidak mau minta maaf, sebaliknya malah 

mengucapkan kata-kata asing bagi telinganya. 

“Kau…….kau…….apakah maksudmu sesungguhnya?” 

bentaknya. 

“Heh... heh... heh... heh, jangan rewel. Adik manis, 

menyerahlah kepada kami!” Sangkan terkekeh sambil 

membusungkan dada. “Setelah kita lewatkan hari dan 

malam di hutan ini, baru kemudian kita bersama ke 

Majapahit.” 

“Ya, kita lewatkan hari dan malam bahagia di hutan 

yang sepi ini. Kaligis menyambut dengan mulut 

menyeringai. Adik cantik harus melayani kami berdua dan 

secara adil.” 

Sritanjung menjadi marah sekalipun belum begitu jelas 

maksud orang. Sebab bagaimanapun sebagai gadis yang 

terasing dari pergaulan, ia asing dengan kata cinta itu. 

“Huh... huh, kalau aku tidak sudi, kalian bisa apa?” 

tantang Dewi Sritanjung. 

Dua orang muda itu terkekeh, lalu Kaligis mengancam. 

“Hem, engkau seorang perempuan, dan takkan menang 

melawan kami. Sudahlah, jangan rewel. Jika rewel, engkau 

jangan menyalahkan kami kalau terpaksa menggunakan 

kekerasan. Hemm, Adik cantik, apapun alasannya adalah 

tidak baik kalau harus lewat jalan kekerasan. Karena itu 

menyerahlah baik-baik kepada kami.” 

Sebenarnya saja dua orang pemuda ini bukan merupa-

kan pemuda bejat moral dan selalu mengumhar nafsu 

jahat. Dorongan yang menyebabkan Kaligis dan Sangkan 

sampai lupa diri dan buas menghadapi Dewi Sritanjung ini, 

akibat diketahuinya hubungan Dewi Sritanjung dengan 

Gajah Mada. Padahal Gajah Mada adalah musuh guru 

mereka. Kalau sekarang mereka dapat menangkap dan 

memmpermainkan gadis ini, siapa yang dapat disalahkan 

justru berhadapan dengan lawan? 

Gadis ini hanya seorang diri, padahal mereka dua orang.


Apa yang harus ditakutkan dan manakah mungkin gagal 

lagi? 

Dewi Sritanjung tambah marah dan membentak, 

“Kurang ajar! ternyata kamu manusia jahat berpura-pura 

baik. Huh, kamu lekas pergi atau tidak? Jika tidak, engkau 

jangan menyalahkan aku jika aku terpaksa menghajar 

kamu!” 

Ucapan yang demikian ketus ini memancing gelak tawa 

dua pemuda itu. Kaligis dan Sangkan saling pandang dan 

mulut meringis seperti iblis kelaparan. 

“Adi Sangkan! Hayo kita keroyok saja dengan kekerasan. 

Mana mungkin kila kalah?” Kaligis mengajak. “Betapa 

gembira Guru kita, apabila kita berhasil menawan salah 

seorang yaug mempunyai hubungan dekat dengan Gajah 

Mada ini.” 

“Engkau benar. Marilah!” sambut Sangkan sambil men-

dahului menerjang ke depan dengan gerakan menubruk. 

Melihat gerakan pemuda itu sadarlah Dewi Sritanjung 

akan keadaan. Lebih lagi ketika mendengar ucapan 

mereka yang menyinggung nama Gajah Mada. Semakin 

jelaslah bahwa di balik sikap begitu baik, memang 

mengandung maksud tidak baik. 

Dengan gerakan gesit gadis ini sudah menghindarkan 

diri dari tubrukan dua lawan itu. Gerakan dua lawan ini 

walaupun cepat, menurut pandangan Dewi Sritanjung, 

masih kurang cepat. 

Gadis ini melawan dengan serangan-serangan tak 

terduga. Tubuh gadis ini berkelebat cepat sekali seperti 

kilat menyambar hingga Sangkan dan Kaligis kaget. 

Mereka menjadi sadar bahwa gadis yang tampaknya lemah 

itu ternyata bukan gadis sembarangan. Kemudian 

merekapun sadar tidak mungkin dapat mengalahkan gadis 

ini tanpa senjata. 

“Sring! Sring!” dua orang pemuda ini sudah mencabut 

pedang hampir berbareng. Sangkan menyerang dari arah 

kiri dan Kaligis menyerang dari kanan. 

Dewi Sritanjung kaget oleh sambaran pedang itu. Tetapi


tanpa kesulitan gadis ini dapat menghindari. 

“Tring! Tring! Cring! Cring!” dentingan pedang terdengar 

empat kali. Pedang Sangkan maupun Kaligis menyeleweng 

kemudian dua orang pemuda ini melompat mundur, guna 

menghindari sambaran tangan dan kaki gadis itu. 

Dalam menghadapi sambaran pedang tadi, Sritanjung 

sudah menyentil dengan jari tangannya dan berhasil mem-

buat pedang lawan menyeleweng. Hati gadis ini menjadi 

besar disamping timbul rasa percaya diri. 

Ia tadi memang nekad dan untung-untungan. Ia men-

coba untuk menangkis dengan sentilan jari tangan. Bagi 

dirinya yang belum berpengalaman menghadapi lawan 

sungguh-sungguh, apa yang dilakukan sering menimbulkan 

rasa ragu. 

Sekarang dengan hasil yang diperoleh, dirinya menjadi 

tambah mantap, dan sambil menguji pula sampai di 

manakah ilmu tangan kosong bernama "Sindhung Riwut". 

Dengan ilmu Sindhung Riwut yang berarti angin ribut 

maupun badai itu, maka gerakan Dewi Sritanjung hebat 

bukan main. Tubuhnya berkelebat cepat menerobos di 

antara sinar pedang lawan. Saking cepatnya ia bergerak, 

yang tampak hanyalah warna dari pakaiannya. 

Dewi Sritanjung memang menyukai warna bira muda. 

Maka seleret warna biru muda berkelebat seperti 

bayangan, dan makin lama gerakan gadis ini semakin 

mantap. 

“Kesempatan bagus!” ujar gadis ini dalam hati. “Selama 

ini aku hanya memperoleh kesempatan berlatih dengan 

Kakek. Dan selama itu pula Kakek tidak pernah menyerang 

aku sungguh-sungguh. Bukankah peristiwa ini dapat aku 

jadikan semacam ujian?” 

Berpikir demikian kalau semula gadis ini ingin sekali 

segera dapat menghalau lawan, sekarang menjadi lain. Ia 

mencoba kecepatannya bergerak menerobos di sela 

sambaran pedang lawan tanpa membalas menyerang. 

Berkali-kali Kaligis dan Sangkan celingukan dan heran 

karena tiba-tiba lawannya sudah lenyap. Tahu-tahu ada


angin menyambar dari belakang, maka cepat-cepat mereka 

membalikkan tubuh dan menyerang lagi. 

Setelah beberapa kali dilakukan, gerak cepatnya dengan 

mencoba kecepatan gerak tangannya. Gerakannya 

sekarang menjadi lambat, tetapi tiap kali pedang lawan 

menyambar, tring, jarinya yang lentik itu menangkis dan 

pedang lawan menyeleweng. 

Sebaliknya Kaligis dan Sangkan menjadi penasaran, 

setelah peluh mereka membasahi tubuh belum juga 

berhasil mengalahkan lawan. 

Kalau lawan juga bersenjata, hal ini masih tidak 

mengapa. Tetapi sekarang ini lawan yang dikeroyok hanya 

bertangan kosong Mengapa pedang mereka tidak pernah 

berhasil menyentuh ujung baju lawan? Dalam penasaran 

ini mereka tidak mau sadar akan keadaan, sebaliknya 

malah tambah marah dan nekad. 

Sambil membentak nyaring pedang mereka berkelebat 

lebih cepat lagi, menyambar ke arah bagian tubuh lawan 

yang berbahaya. Tetapi celakanya walaupun suara 

bentakan mereka sampai habis sambaran pedang mereka 

tak pernah berhasil menyentuh ujung baju lawan. 

Mereka berkelahi sudah cukup lama. Dewi Sritanjung 

menjadi heran sendiri melihat keadaan dua orang lawan itu 

sudah mandi peluh dan napasnya kembang kempis, 

sebaliknya dirinya masih segar dan napasnya masih biasa 

saja. 

Setelah mendapat bukti dirinya bukan gadis 

sembarangan seperti ucapan kakeknya. Dewi Sritanjung 

menjadi puas, lalu timbul rasa bosan dan muak meng-

hadapi dua pemuda ini. Mendadak terdengar bentakan 

nyaring dari mulutnya, “Lepas!” 

Sangkan dan Kaligis berteriak kaget dan wajahnya 

pucat, ketika hampir berbareng pedangnya sudah terbang, 

dan lengannya menjadi lumpuh. Untung sekali gadis ini 

tidak ingin mencelakakan pemuda itu. Ia tidak menyusuli 

serangan karena ia sudah puas. 

“Kamu tidak lekas pergi, apakah ingin merasakan


pukulanku!” bentaknya. “Huh, aku masih berlaku murah 

kepadamu, mengingat di warung tadi sudah menemani aku 

makan.” 

Menyadari gadis cantik dan menggiurkan ini berilmu 

tinggi, tanpa rewel lagi dua orang murid Si Tangan Iblis itu 

sudah melompat dan menyambar pedang, lalu berlarian 

cepat meninggalkan Dewi Sritanjung. 

Gadis ini tetap berdiri dengan mulut menyungging 

senyum puas. Sepasang matanya yang indah itu 

memandang kepergian mereka. Dan baru setelah 

bayangan dua pemuda itu tidak tampak lagi, ia menghela 

napas lega. Hatinya besar dan bangga, berkat gemblengan 

kakeknya, seorang diri dapat mengalahkan dua orang 

lawan. Karena itu dalam perjalanan selanjutnya ia tidak 

perlu khawatir lagi berhadapan dengan bahaya. Bukankah 

dirinya sekarang ini termasuk seorang sakti mandraguna? 

Ia membusungkan dadanya yang sudah membusung. Lalu 

terdengar suara hatinya yang takabur. 

“Inilah aku! Dewi Sritanjung, murid Kiageng Tunjung 

Biru. Sekalipun perempuan, belum tentu kalah melawan 

laki-laki. Huh, betapa gembira dan bangga, setelah Ayah 

dan Ibu mendengar kisahku hari ini. Ibu tentu memeluk 

diriku penuh cinta kasih, seperti yang dilakukan Kakek 

setiap kali hatinya puas melihat kemajuan ilmuku.” 

Siapa yang dapat menyalahkan Sritanjung menepuk 

dada dan takabur seperti ini? Dia masih muda. Dia belum 

mengenal corak dan isi dunia luas ini. Dan dia belum juga 

tahu betapa luasnya dunia, dalamnya lautan dan tingginya 

gunung. Dia belum tahu bahwa tidak seorangpun di dunia 

ini dapat menepuk dada merasa paling sakti dan paling 

pandai. 

Yang merasa bodoh masih ada yang lebih bodoh. Yang 

merasa pandai masih ada lagi yang lebih pandai. Betapa 

kerdil dan kecilnya manusia di dunia ini, apabila mau sadar 

akan hidupnya. Dan betapa besar kekuasaan Yang Maha 

Tinggi. Tetapi gadis semuda Dewi Sritanjung ini memang 

belum kenal dan belum tahu serta belum dapat berpikir


sejauh itu. Pengalaman hidupnya, kemudian hari akan 

menjadi guru dan pelajaran. Dikaji, dimawas, dan diselidiki, 

serta dirasakan. Dengan demikian orang menjadi benar-

benar dewasa, sebab ketidakdewasaan itu hanya lerletak 

dalam ketidaktahuannya tentang diri sendiri. Mengerti diri 

sendiri adalah permulaan daripada kebijaksanaan. 

Gadis ini kemudian melangkah, menuju utara lewat 

jalan yang tadi telah dilalui. Dan sambil melangkah ia 

bergumam. “Kakek benar? Nyatalah di dunia ini tidak 

sedikit jumlahnya manusia jahat. Hemm, aku harus hati-

hati tidak boleh sembarangan percaya kepada orang. Ahh, 

terlalu percaya kepada orang, akibatnya akan mendekat-

kan diri sendiri dengan bahaya.” 

Demikianlah pengalaman memberi pelajaran kepada 

Dewi Sritanjung. Ia menjadi sadar bahwa nasihat dan 

petunjuk kakeknya memang tidak bisa diabaikan. 

Akan tetapi belum jauh ia melangkah, tiba-tiba ia 

mendengar bentakan nyaring perempuan, “Hai Sangkan 

dan Kaligis! Kau mau lari ke mana?” 

Dewi Sritanjung menghentikan langkahnya dengan rasa 

heran, Kaligis dan Sangkan? Bukankah orang itu yang tadi 

lari setelah ia kalahkan? Sekarang ada perempuan yang 

membentak. Agaknya perempuan itupun seperti dirinya, 

pernah ditipu. 

Bagi gadis ini apapun yang terjadi akan menarik hatinya. 

Lebih-lebih ia berpikir makin banyak peristiwa yang di-

saksikan dan dialami, akan memberi pengalaman berharga 

bagi hidupnya. 

Ia membatalkan niatnya pergi. Ia melangkah kembali ke 

selatan, kemudian berlarian. Tak lama ia berlarian, ia 

melihat seorang perempuan yang wajahnya cukup cantik 

berhadapan dengan Sangkan dan Kaligis. Perempuan itu 

sikapnya garang, mendelik sambil bertolak pinggang. 

Dengan hati-hati Dewi Sritanjung menyelinap mendekat, 

lalu menyembunyikan diri di belakang batu besar. 

Kemudian ia mendengar Sangkan berkata. 

“Adi Indah...ahh.... sungguh kebetulan. Aku dan Kakang


Kaligis mencarimu setengah mati, ternyata sekarang malah 

bertemu di tempat ini.” 

Perempuan muda itu memang Sarindah mendengus 

dingin. “Apakah keperluanmu mencari aku?” 

“Atas perintah Guru, kami mencarimu untuk dipanggil 

pulang.” 

“Untuk diadili karena sudah mencoba meracun Julung 

Pujud?” 

“Ahh.... Adi Indah sudah tahu?” dua pemuda itu kaget. 

“Hi... hi... hik, kamu jangan berpura-pura di depanku dan 

kamu jangan mencoba membela diri dengan mencuci 

tanganmu yang kotor. Huh, bukankah kamu yang sudah 

menaruh racun dalam tuak itu?” 

“Tid..... tidak!” hampir berbareng Kaligis dan Sangkan 

menyangkal, tetapi tidak lancar. 

“Huh... huh, kamu bisa menipu orang lain, tetapi kamu 

tak dapat menipu aku. Kamu sudah memberi racun pada 

tuak itu, kemudian memfitnah aku, bukan? Pengecut!” 

*** 

Mengapa Sarindah bisa tahu rahasia Kaligis dan 

Sangkan? Lain siapakah yang memberi tahu? Anda akan 

mendapat jawabannya dalam buku berjudul "DEWI 

SRITANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG” 

Ceritanya akan lebih seru dan menegangkan. Karena : 

......... Mendadak Sarindah merasakan kepalanya 

berdenyutan dan pening sekali, pandang matanya kabur. 

“Trang...... Ahhhh... !” pedang Sarindah terpental terbang 

oleh pukulan Rudra Sangkala. Dan Rudra Sangkala sudah 

melompat maju lalu memeluk gadis ayu itu. Sarindah 

sudah pingsan, dalam pondongan Rudra Sangkala dan 

diciumi...... 

...... “Bocah! Kalau saja engkau tidak mempunyai 

hubungan dengan Gajah Mada, tentu saja aku tidak 

memusuhi, Karena itu sebelum aku menggunakan


kekerasan, menyerahlah aku jadikan sandra!” ancam Si 

Tangan Iblis. 

Sepasang mata Dewi Sritanjung menyala. Jawabnya 

lantang, Apakah salahnya orang mempunyai hubungan 

dengan Mahapatih Gajah Mada? Orang yang berani 

memusuhi beliau, berarti pemberontak!....... 

Sanggupkah Dewi Sritanjung menghadapi Si Tangan 

Iblis yang sakti mandraguna dan mempunyai Aji Mega 

Lengking? Dalam buku Seri Dewi Sritanjung yang berjudul 

“DEWI SRITANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG” Anda akan 

mendapat jawabannya. 


*** 


Sala, awal Maret 1987



Share:

0 comments:

Posting Komentar