..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 18 Januari 2025

DEWI SRI TANJUNG EPISODE KOBARAN API ASMARA

matjenuh

 

Pengantar

Cerita "Kobaran Api Asmara" ini didahului 

dengan cerita Si Tangan Iblis. Agar para pembaca 

tidak terganggu, ringkasan cerita dalam buku Si 

Tangan Iblis dapat disimak seperti di bawah ini:

Seorang tokoh sakti bernama Taruno alias 

Si Tangan Iblis bertempat tinggal di Tosari, 

pegunungan Tengger. Ia bekas prajurit Majapahit 

yang dipecat karena melakukan kesalahan. 

Akibatnya Si Tangan Iblis menjadi dendam baik 

kepada Mahapati Gajah Mada maupun Mpu Nala.

Si Tangan Iblis mempunyai tiga orang 

cucu, bernama Sarindah, Sarwiyah dan Sentiko. 

Disamping itu mempunyai belasan orang murid. 

Baik cucu dan murid ini dididik secara sesat 

untuk memusuhi Gajah Mada, Mpu Nala dan 

sekaligus Raja Majapahit. Dan khusus kepada tiga 

cucunya, ia menanamkan kebencian dan dendam 

kepada Mpu Nala dan Gajah Mada dengan fitnah, 

bahwa dua tokoh inilah yang sudah memperkosa 

ibunya dan menghancurkan keluarga. Maka 

dendam ini harus terbalas.

Sentiko menjadi terbakar kemarahannya 

lalu melarikan diri. Keluarga geger mencari, dan 

terjadilah beberapa macam peristiwa yang menarik 

dan mendebarkan. Sebab ternyata antara murid 

bernama Tanu Pada dan Kebo Pradah dengan 

Kaligis dan Sangkan, diam-diam memperebutkan 

cinta Sarindah dan Sarwiyah. Untuk itu Sangkan 

dan Kaligis tak segan membunuh orang yang 

menghalangi.

Sedang Sentiko dalam perjalanan 

menderita luka akibat terlalu bandel tak 

mengukur kekuatan diri melawan orang yang 

bukan tandingannya. Untung ia ditolong oleh Giri


Samodra dan kemudian menjadi muridnya. 

Benarkah Sentiko berhasil? Baca saja Si Tangan 

Iblis man pun Kobaran Api Asmara. Anda akan 

mendapatkan jawabannya.

1

Setelah berhasil membunuh Ananto 

secara curang, maka Kaligis dan Sang-

kan saling setuju untuk membunuh Kebo 

Pradah dan Tanu Pada, yang menjadi 

saingannya dalam memperebutkan gadis 

cantik cucu gurunya sendiri, Sarindah 

dan Sarwiyah. Pendeknya apapun yang 

akan terjadi, mereka takkan mundur.

Ya, memang api asmara sudah 

berkobar di dalam dada Sangkan maupun 

Kaligis. Kobaran api ini kemudian 

mendorong kepada dua pemuda itu 

sanggup melakukan perbuatan tidak ter-

puji. Di dunia ini banyak sekali ter-

jadi peristiwa yang tidak diharapkan, 

sebagai akibat tidak kuasa lagi 

menahan hati yang sedang digoda oleh 

asmara ini. Manusia yang berbudaya 

bisa tergelincir melakukan perbuatan 

yang buas dan kejam melebihi binatang 

buas.

Dan bagi Sangkan maupun Kaligis 

ini tidak sulit untuk mengejar dua 

orang saudara seperguruannya itu, 

karena mereka tahu kemana tujuan Tanu 

Pada dan Kebo Pradah dalam usaha men


cari jejak Sentiko yang melarikan diri 

dari rumah. Dan Tanu Pada maupun Kebo 

Pradah melakukan tugas bertiga dengan 

Mahisa Singkir, menuju ke arah 

selatan.

Dua pemuda ini sudah memperhi-

tungkan, apabila nanti sudah dapat 

bertemu, dan terjadi perselisihan, 

saksi satu-satunya hanyalah Mahisa 

Singkir seorang. Padahal Mahisa Sing-

kir masih mempunyai hubungan keluarga 

dengan Sangkan. Mengingat masih 

mempunyai hubungan keluarga ini, maka 

Mahisa Singkir akan menimbang-nimbang 

lebih dahulu apabila akan berpihak 

kepada Tanu Pada maupun Kebo Pradah.

Demikianlah akhirnya Sangkan dan 

Kaligis bergerak cepat dan mengambil 

jalan pintas. Maksudnya agar dapat 

menghadang dua orang lawannya itu di 

tempat yang menguntungkan. Dan agar 

bisa menang mereka sudah merencanakan 

akan menyerang dulu dan urusan 

belakang. Menurut perhitungan mereka, 

asalkan sudah dapat membunuh salah 

seorang, pekerjaan akan menjadi lebih 

mudah.

Hari sudah sore ketika Sangkan 

dan Kaligis tiba di Desa Sukorejo, 

sebelah selatan Desa Nongkojajar. 

Namun yang terjadi kemudian mereka 

menjadi terbelalak kaget dan ngeri 

ketika melihat pemandangan yang sama 

sekali belum pernah mereka saksikan.


Di atas sebuah batu yang tidak 

begitu besar, seorang pemuda nongkrong 

sambil meniup seruling bambu. Rambut 

pemuda itu tidak digelung, tetapi 

dibiarkan terurai di atas pundak dan 

belakang punggung.

Sesungguhnya saja keadaan pemuda 

itu sendiri tidak luar biasa bagi 

mereka. Adapun yang menyebabkan 

Sangkan dan Kaligis terbelalak dan 

ngeri, adalah mahkluk yang memenuhi 

tempat di depan pemuda itu, dan mereka 

hampir tidak percaya kepada pandang 

mata sendiri.

Di tangan pemuda itu berkumpul 

banyak sekali binatang melata dan 

berbisa. Binatang berbisa itu ber-

kelompok sesuai dengan jenisnya. 

Karena itu ada kelompok kelabang, ba-

bak salu, kalajengking, ketonggeng, 

serangga dan sebagainya. Dan anehnya 

binatang itu seperti mengenal irama 

seruling yang ditiup pemuda tersebut. 

Dalam kelompok masing-masing binatang 

itu menari-nari. Kelabang dan babak 

salu yang kakinya amat banyak itu 

menari dengan berdiri dengan kepala 

berlenggok-lenggok dibarengi oleh 

gerakan kaki yang mengerikan.

Ada pula binatang itu yang 

berdiri saling berpegangan, seakan 

menirukan manusia yang sedang ber-

joget. Dan yang lebih mengerikan lagi 

adalah kalajengking dan ketonggeng.


Caranya menari dengan kepala di bawah 

dan ekor di atas. Ekor yang mempunyai 

sengat berbisa itu meliuk-liuk dengan 

gaya luar biasa.

Memang mengherankan sekali. 

Mungkinkah suara sending pemuda itu, 

yang kuasa mengundang binatang-bina-

tang ini? Dan dari mana pula binatang 

ini datang sehingga dapat berkumpul 

dalam jumlah ribuan banyaknya?

Kaligis dan Sangkan terpaku di 

tempatnya berdiri saking merasa takut 

dan ngeri. Tetapi celakanya binatang 

berbisa itu menari-nari memenuhi jalan 

sehingga tidak mungkin bisa lewat.

Untung Sangkan cerdik, bisiknya, 

Marilah kita mencari jalan lewat 

pematang sawah saja.

Baiklah. Kiranya lewat pematang 

sawah lebih aman, Kaligis setuju.

Akan tetapi ah.... belum juga dua 

orang ini sempat menggerakkan kaki, 

irama seruling itu tiba-tiba saja be-

rubah dan melengking tinggi. Binatang 

itu bergerak berkelompok lalu ber-

baris. Dan tak lama kemudian lenyaplah 

ke lubang masing-masing. Namun keper-

gian binatang-binatang itu kemudian 

diganti dengan binatang melata yang 

lebih berbahaya, terdengar suara 

berisik dan berdesis.

Kaligis dan Sangkan hampir ping-

san ketika melihat munculnya beraneka 

ragam jenis ular yang semua menuju ke


tempat si pemuda. Jumlahnya ratusan 

ekor, dari yang kecil sebesar 

kelingking sampai sebesar lengan orang 

dewasa, lalu berkumpul di depan si 

pemuda.

Setelah tidak ada ular yang 

muncul lagi, tiba-tiba irama sending 

meninggi dan memekakkan telinga. Dua 

pemuda ini terkejut dan hampir tak 

dapat bernapas, ketika melihat ratusan 

ekor ular itu secara serentak meng-

angkat kepala lalu berlenggok-lenggok 

menari secara lincah. Seakan-akan 

ular-ular itu berubah menjadi ahli 

tari yang sedang asyik berjoget.

Dan di saat Kaligis dan Sangkan 

merasa ngeri tak dapat bergerak itu, 

tiba-tiba si pemuda memalingkan muka. 

Pemuda itu mengerutkan kening pertanda 

tidak senang. Ia menghentikan tiupan 

serulingnya sambil memandang dengan 

mata mendelik.

Hai... siapa kalian! bentaknya. 

Apakah sebabnya kalian berani meng-

intip permainanku? Huh, menyebalkan 

sekali, dan kalian mengganggu aku 

bermain-main.

Kaligis dan Sangkan seperti 

terkunci mulutnya tak bisa membuka 

mulut. Apa pula setelah pemuda itu 

menghentikan tiupan serulingnya, semua 

ular itu berhenti menari, lalu aneka 

macam ular tersebut menyebar kesana 

kemari, menuju tempat sembunyi masing


masing.

Dan yang lebih mengerikan lagi 

adalah cara bergerak ular berwarna 

hitam yang panjangnya lebih kurang 

hanya satu kaki. Ular hitam yang 

pendek ini disebut orang dengan nama 

ular Bandhotan. Ular ini bukannya 

melata, tetapi menekuk tubuhnya, 

kemudian melenting sekitar dua atau 

tiga depa jauhnya. Tiap orang yang 

tersambar oleh ular Bandhotan ini, 

besar kemungkinannya melayang nyawanya 

apabila tergigit oleh gigi yang 

mengandung bisa keras. Disamping ular 

bandhotan tersebut, ada pula ular yang 

berkaki empat, hingga berjalan seperti 

kadal (bengkarung).

Untung sekali agaknya pemuda itu 

tidak ingin kehilangan semua ular yang 

dapat memberi keasyikan bagi dirinya 

itu. Dan tiba-tiba saja si pemuda ini 

meniup serulingnya dengan irama 

melengking tinggi, hingga ular yang 

semula bergerak pergi itu seperti 

tertarik oleh pengaruh ajaib, cepat-

cepat kembali ke arah si pemuda sambil 

menari-nari.

Di saat Sangkan dan Kaligis 

ketakutan setengah mati melihat per-

tunjukkan yang menyeramkan ini, 

terdengar suara orang memanggil.

Hai, Adi Kaligis dan Sangkan. 

Apakah sebabnya kalian berada di situ?

Dua orang ini kenal benar akan


suara orang yang memanggil, ialah Tanu 

Pada. Namun celakanya kaki seperti 

berakar di tanah dan tak bisa 

digerakkan. Sedang mulutnya juga ter-

kunci tak bisa menjawab. Mereka hanya 

mampu memalingkan muka saja dengan 

wajah sedih, tetapi tidak dapat 

menjawab.

Tanu Pada, Kebo Pradah dan Mahisa 

Singkir menjadi heran melihat keadaan 

dua orang saudaranya itu yang seperti 

tidak wajar. Mereka cepat menghampiri, 

tetapi setelah tiba, mereka inipun 

berdiri terpaku dan ngeri, melihat 

ratusan ekor ular sedang asyik menari 

mengikuti irama seruling.

Tetapi dengan bertambahnya orang 

yang menonton permainannya ini menye-

babkan pemuda ini makin tidak senang. 

Matanya berkilat memandang lima pemuda 

itu, namun mulutnya tidak mengucapkan 

sesuatu.

Mendadak tiupan sending pemuda 

itu berubah. Iramanya meninggi dan 

nadanya cepat. Apa yang terjadi 

kemudian? Ternyata lima pemuda ini 

seperti mati berdiri. Sebab secara 

tiba-tiba ratusan ekor ular tersebut 

bergerak saling mendahului ke arah 

mereka berdiri. Ratusan ekor ular itu 

berdesis, sedang ular bandhotan yang 

amat berbisa itu dengan gerakan aneh, 

menekuk tubuh dan melenting tinggi 

ingin mendahului yang lain.


Barisan ular itu sudah dalam 

jarak dekat. Tiba-tiba di dalam 

ketakutan dan ngeri ini, timbullah 

keberanian Tanu Pada. Teriaknya, Hayo 

kita lawan ular-ular jahanam ini!

Sring....! Ia mendahului mencabut 

pedang, kemudian diikuti oleh Kebo 

Pradah dan Mahisa Singkir. Setelah 

tiga orang ini mulai menyerang dengan 

senjata, barulah Kaligis dan Sangkan 

timbul keberaniannya. Mereka mengikuti 

perbuatan saudaranya melawan.

Beberapa ekor ular yang datang 

lebih dahulu segera terbabat mati. 

Namun barisan ular yang di belakangnya 

masih terus membanjir datang dan 

mendesis-desis.

Senjata mereka menyambar cepat 

dan ular yang menyerbu menjadi 

bangkai. Namun ular yang beraneka 

macam jenisnya itu tidak gentar dan 

terus menyerbu sambil berdesis. Mereka 

seperti tambah buas dan gerakan lebih 

gesit. Guna menanggulangi mengamuknya 

ular itu lima orang murid Si Tangan 

Iblis ini hams mengerahkan kepandaian 

dan kegesitannya, melompat ke sana dan 

kemari sambil menyabetkan senjatanya. 

Dan lima pemuda ini sadar, apabila 

lengah nyawa sebagai taruhannya.

Setelah bangkai ular besar dan 

kecil berserakan di sana sini, tumpang 

tindih dan darah yang amis menusuk 

hidung, tiba-tiba pemuda aneh itu


menghentikan tiupan serulingnya. Sete-

lah tiupan sending berhenti, ular yang 

masih tersisa kaget lalu bubar dan 

melarikan diri.

Si pemuda aneh meloncat turun 

dari batu dan membentak lantang, Bang-

sat keparat! Kamu berani mengganggu 

kesenanganku dan membunuh ular-ularku? 

Huh, jangan salahkan aku jika kamu 

haras mengganti nyawa ular itu dengan 

nyawamu!

Diam-diam lima pemuda ini kaget, 

ketika melihat gerakan si pemuda aneh 

yang amat ringan. Jarak yang lebih dua 

puluh depa itu cukup dengan tiga kali 

lompatan. Kemudian si pemuda berdiri 

di depan mereka dengan sikap angkuh 

dan mendelik.

Kaligis yang berangasan cepat 

tersinggung dan marah. Ia sudah akan 

menerjang maju untuk menghajar pemuda 

sombong ini, karena dirinya tidak 

merasa bersalah. Dan sebaliknya ia 

malah merasa terganggu karena jalan 

penuh dengan binatang menjijikkan dan 

berbisa hingga tidak dapat lewat. 

Untung Tanu Pada yang sabar cepat 

dapat mencegah, sebab ia sudah menduga 

pemuda ini bukan sembarangan. Meng-

ingat kemungkinan itu maka harus 

berhati-hati dalam menghadapi.

Kisanak, kami hanya membela diri 

oleh serangan ular-ular itu, sahutnya 

sabar. Lalu apakah sebabnya Kisanak


menjadi marah? Sebenarnya saja malah 

Kisanak yang telah mengganggu kami, 

karena Kisanak bermain ular di jalan 

umum.

Huh! Aku mengganggu kamu? Apanya 

yang aku ganggu? pemuda itu mendelik.

Sudah aku katakan, jalan ini 

jalan umum. Tetapi ternyata Kisanak 

menggunakan jalan ini untuk bermain-

main dengan ular sehingga kami tidak 

bisa lewat.

Tidak peduli, heh heh heh heh. 

Tidak peduli! Kamu sudah menyebabkan 

ularku banyak yang mati. Huh, kamu 

harus mengganti dengan nyawa pula. 

Hayo heh heh heh heh, lekaslah 

berlutut supaya kamu tidak mati oleh 

siksaanku!

Bangsat jahanam! Kaligis tak 

kuasa lagi menahan kemarahannya. Nih, 

rasakan pedangku.

Kaligis sudah melompat ke depan 

menerjang dengan pedang. Ia meng-

gunakan serangan berantai mengarah 

mata, tenggorokan, ulu hati dan pusar 

sekaligus. Dan gerakan Kaligis ini 

cepat dan berbahaya.

Akan tetapi pemuda ini tidak 

bergerak dari tempatnya berdiri dan 

malah terkekeh, Heh heh heh heh, 

dengan bekal kepandaianmu serendah ini 

berani menghina Warigagung murid Bapa 

Julung Pujud yang sakti mandraguna?

Sambil mengejek, tangan kanan


pemuda itu diangkat, lalu terdengar 

suara tring tring tring....

Semua serangan Kaligis dapat 

dipunahkan hanya dengan sentilan jari 

tangan. Malah menyusul kemudian pedang 

Kaligis terpental terbang, diikuti 

pekik nyaring dan robohnya pemuda itu.

Empat orang murid Si Tangan Iblis 

yang lain menjadi pucat dan 

terbelalak. Bukan saja karena sekali 

gebrak Kaligis sudah roboh, tetapi 

juga karena mendengar nama Julung 

Pujud. Mereka sudah pernah mendengar 

dari cerita guru tentang tokoh sakti 

yang bertempat tinggal di Blambangan. 

Tokoh sakti yang bernama Julung Pujud 

itu wataknya aneh disamping kejam. 

Maka oleh Si Tangan Iblis dianjurkan 

agar mereka menjauhkan diri dari tokoh 

sakti tersebut, demikian pula ternadap 

mereka yang mempunyai hubungan dengan 

Julung Pujud.

Sekarang tanpa diduga mereka 

bertemu dan berhadapan dengan seorang 

pemuda yang menyebut dirinya sebagai 

murid Julung Pujud. Kalau mengindahkan 

pesan guru, mereka harus mengalah dan 

secepatnya menghindarkan diri.

Akan tetapi sekarang ini mereka 

sudah marah dan disamping itu juga 

sangsi, benarkah pemuda ini murid 

tokoh sakti Julung Pujud? Pemuda ini 

masih lebih muda daripada mereka, 

kira-kira baru sembilan belas tahun.


Apakah harus mengalah begitu saja, 

padahal mereka tidak merasa bersalah? 

Disamping itu hanya menghadapi seorang 

saja, mungkinkah mereka kalah kalau 

maju berbareng dan mengeroyok?

Tanpa berunding lebih dulu semua 

murid Tangan Iblis ini sudah sepakat, 

kalau mereka mengeroyok tak mungkin 

kalah.

Jahanam kau! teriak Tanu Pada. 

Sangkamu dengan menyebut nama Julung 

Pujud kami menjadi takut? Hayo, 

keroyok!

Murid-murid Tangan Iblis ini 

sudah menerjang maju dengan senjata 

masing-masing. Malah Kaligis sendiri 

yang tadi roboh terpukul oleh Wari-

gagung, sudah meloncat dan menyambar 

senjatanya lalu ikut menerjang lagi.

Bagus! Kamu mengandalkan jumlah 

banyak mengeroyok aku, heh heh heh 

heh! sambut pemuda yang mengaku 

bernama Warigagung ini dengan ke-

tawanya mengejek. Dengan gerakan 

ringan serangan dari lima orang itu 

dapat dihindari dengan gampang.

Akan tetapi serangan yang pertama 

luput segera disusuli dengan serangan 

yang lebih dahsyat menggunakan jurus 

ilmu pedang yang paling berbahaya.

Wut wut wut..... Tetapi semua 

serangan itu luput lagi. Warigagung 

yang baru berusia sembilan belas tahun 

ini dengan gerakan lincah seperti


bayangan, berhasil menyelamatkan diri 

sambil ketawa terkekeh mengejek.

Heh heh heh heh, monyet tidak 

tanu diri berani melawan aku. Kuberi 

kesempatan tiga kali untuk menyerang. 

Dan sesudah itu, kamu semua harus 

roboh mampus. Heh heh heh heh, kamu 

sendiri yang mencari penyakit, berani 

mengganggu kesenanganku!

Wut wut wut.... Tanpa mempe-

dulikan ejekan Warigagung, lima 

saudara seperguruan ini sudah kembali 

menyerang dengan dahsyat. Serangan 

mereka yang ketiga kalinya ini luput 

lagi. Namun demikian Warigagung dalam 

usaha menyelamatkan diri terpaksa 

harus bergulingan di tanah. Karena 

bagian kosong tidak ada lain kecuali 

bagian bawah dan terpaksa harus ber-

gulingan, akibatnya pakaian Warigagung 

yang indah dari kain sutera mahal itu, 

sekarang menjadi kotor dan berbau 

anyir pula, sebab tanah di sekitar 

mereka berkelahi itu dipenuhi bangkai 

ular.

Karena pakaiannya menjadi kotor 

ini Warigagung menjadi marah sekali. 

Matanya bagaikan menyinarkan api. 

Apabila tadi sikapnya merendahkan dan 

mengejek, sekarang tidak. Sebab diam-

diam ia memang kaget oleh serangan me-

reka tadi.

Si Tangan Iblis memang sudah 

membekali ilmu kepada murid-muridnya



secara baik sekali. Walaupun tadi 

sekali gebrak Kaligis bisa dipukul 

roboh, namun setelah mengeroyok 

keadaan menjadi lain. Mereka memang 

sudah dibekali ilmu khusus untuk 

mengeroyok, bernama ilmu Bala Srewu. 

Ilmu ini yang paling tepat apabila 

dilakukan oleh sepuluh atau lima belas 

orang. Namun lima orangpun sudah cukup 

berbahaya. Dengan kerjasama yang baik, 

lawan tidak diberi kesempatan mencari 

tempat kosong. Maka dalam usahanya 

menyelamatkan diri tadi, Warigagung 

terpaksa bergulingan.

Melihat hasil serangan kerjasama 

ini, lima orang pemuda ini menjadi 

mantap. Tanu Pada segera berteriak 

memberi aba-aba untuk meng gunakan 

jurus ilmu Bala Srewu yang paling 

ampuh. Udan Awu! Udan Awu! (hujan abu, 

hujan abu).

Maksud serangan ini, mereka harus 

membuntu jalan lawan supaya tidak 

dapat menyelamatkan diri. Dan mereka 

menduga pasti sekali ini lawannya akan 

roboh.

Tingkat kepandaian Warigagung se-

benarnya memang lebih tinggi dibanding 

dengan lima saudara seperguruan itu. 

Tetapi kalau harus menghadapi ke-

royokan, tidak gampang mendapat 

kemenangan. Sadar keadaan ini, cepat 

luar biasa Warigagung sudah mencabut 

pedang dan berbareng itu tangan kiri


mempersiapkan jarum hitam yang beracun 

jahat,

Trang... trang... tring... 

tring... wut... Aduh...!

Tangkisan pedangnya dibarengi 

lepasnya jarum beracun dari tangan 

kiri. Kaligis dan Sangkan terhuyung ke 

belakang, pedang mereka lepas dari 

tangan dan dua orang ini meringis 

kesakitan karena lengan kanan mendadak 

lumpuh.

Racun jarum hitam Warigagung 

memang bekerja amat cepat. Dalam waktu 

seperempat hari saja jiwa orang akan 

melayang jika tidak mendapatkan obat 

pemunahnya.

Tanu Pada, Kebo Pradah dan Mahisa 

Singkir lebih hati-hati dibanding 

Kaligis dan Sangkan.

Mereka masih selamat, karena 

mengubah gerak serangan dengan 

menangkis sambaran jarum, dan kemudian 

secepat kilat pula meneruskan gerak 

tangkisan itu untuk menyerang lagi.

Akan tetapi dengan hanya tiga 

orang ini, pertahanan menjadi lemah 

dan sebaliknya Warigagung sudah meng-

gunakan pedang dan tangan kiri siap 

menyebarkan jarum beracun, maka tiga 

orang ini tidak lagi dapat menekan 

lawan. Dengan gerakan yang lincah dan 

ringan Warigagung gampang menghindar-

kan diri, lalu wut wut... beberapa 

batang jarum hitam lepas dan menyambar



ke arah lawan, dibarengi sambaran 

pedangnya.

Cring cring..... Aduhhh.....!

Beberapa batang jarum itu memang 

dapat mereka tangkis, tetapi tidak 

seluruhnya. Mahisa Singkir yang 

menangkis sambaran pedang lawan itu 

mengaduh karena pahanya mendadak 

lumpuh. Sedangkan Tanu Pada dan Kebo 

Pradah yang lebih memperhatikan 

serangan jarum, terluka pundaknya oleh 

tikaman lawan. Pundak amat sakit dan 

darah mengucur. Namun dua orang 

saudara ini masih meneruskan 

perlawanan mereka untuk melindungi 

keselamatan yang lain.

Akan tetapi perlawanan Tanu Pada 

dan Kebo Pradah ini sudah kurang 

berarti. Maka dalam dua gebrakan saja 

dua orang ini terguling roboh dengan 

luka panjang pada paha, ditambah pula 

oleh menancapnya sebatang jarum pada 

lengan. Setelah semua lawan roboh, 

Warigagung terkekeh sambil menyarung-

kan pedangnya.

Heh heh heh heh heh. Warigagung 

terkekeh lalu katanya sombong. Rasakan 

jarumku. Sebelum mampus kamu akan 

menderita siksaan hebat!

Tanpa mempedulikan lima orang 

saudara seperguruan yang menderita 

itu, Warigagung melangkahkan kaki 

masih sambil terkekeh. Tak lama 

kemudian sayup-sayup terdengar suara


sending yang ditiup Warigagung. 

Lima orang saudara seperguruan 

ini memang amat menderita. Mereka 

terluka jarum beracun pada lengan. 

Pertama kali yang mereka rasakan 

lengan menjadi lumpuh tidak dapat 

digerakkan. Sesaat kemudian mereka 

merasa seperti digelitik, sehingga 

mereka tertawa-tawa di tengah derita.

Mereka ingin menahan keinginan 

tertawa itu, tetapi pengaruh dari 

racun memang aneh. Orang yang sudah 

terkena racun jarum hitam Warigagung 

tak mungkin dapat menahan ketawanya. 

Kemudian orang yang menderita itu 

perutnya kaku karena ketawa terus. Tak 

lama kemudian akan terjadi, korban ini 

menderita siksaan hebat sekali karena 

korban merasa seperti dikeroyok oleh 

ribuan semut dan seterusnya akan mati.

Demikian pula lima orang saudara 

seperguruan ini. Setelah perut mereka 

kaku karena ketawa terus, beberapa 

saat kemudian mereka merintih-rintih 

dan berguling-guling sehingga pakaian 

mereka kotor.

Ketika itu cuaca sudah menjadi 

gelap. Sebagai biasa para penduduk 

pedesaan setelah matahari terbenam 

lebih suka berdiam dalam rumah. Kalau 

toh mereka gelisah di dalam rumah, 

mereka lebih suka bertandang ke rumah 

tetangga dekat. Oleh karena itu jalan 

desa di tempat ini sepi sekali dan


tidak seorangpun lewat.

Lima orang murid Tangan Iblis ini 

terus bergulingan tak kuasa menahan 

derita. Malah Kaligis yang kasar dan 

tak tahan derita itu, mengerang tidak 

karuan. Tubuhnya yang tinggi besar 

bergulingan terus dan akhirnya masuk 

ke dalam selokan. Untung sekali 

selokan itu kering. Kalau saja berisi 

air, Kaligis tentu sudah mati tak 

dapat bernapas.

Di saat lima orang sauadara 

seperguruan ini tersiksa dan hampir 

direnggut maut, tiba-tiba berkele-

batlah bayangan yang gesit. Tahu-tahu 

seorang kakek yang tubuhnya gendut 

pendek, telah berdiri di tempat itu. 

Kakek gendut ini memakai jubah putih 

yang kedodoran, terlalu panjang dan 

terlalu longgar, hingga tubuhnya yang 

sudah gendut itu tampak lebih gendut 

lagi.

Ayaaa..... bocah-bocah ini, 

mengapa bergulingan dan merintih? 

kakek gendut itu menggumam sambil 

memperhatikan sekeliling.

Akan tetapi kemudian ia menekap 

hidungnya sendiri karena tidak tahan 

menghirup bau darah ular yang anyir 

dan amis, sambil berjingkrak seperti 

tapak kakinya tertusuk duri. Ah.... 

racun.... bisa..... ahhh, nyawa bocah-

bocah ini diancam maut. Hemmm.....

kasihan......


Mendadak kakinya bergerak dan 

menendang mereka yang sedang tersiksa 

dan merintih-rintih itu. Ahhh, mengapa 

kakek ini sampai hati menambah derita 

para korban racun Warigagung? Uah, 

tidak menolong malah menendangi.

Namun apabila saat itu ada orang 

yang melihat, akan menjadi terbelalak. 

Tendangan itu tampaknya keras dan yang 

ditendang segera melesat lebih lima 

depa jauhnya. Tetapi tubuh yang diten-

dang tidak terbanting keras, tetapi 

melayang perlahan dan kemudian 

menggeletak di tanah tanpa suara. 

Empat kali kakek itu menendang, 

berturut-turut tubuh Kebo Pradah, Tanu 

Pada, Sangkan dan Mahisa Singkir 

melayang dan jatuhnya dapat berjajar 

seperti diatur.

Kakek gendut ini kemudian 

melangkah perlahan menghampiri. Namun 

tiba-tiba telinganya yang peka 

mendengar gerakan dalam selokan. Kakek 

gendut ini mengamati sejenak, lalu, 

Ahh, masih ada satu lagi.

Kemudian terulang seperti tadi, 

ia menendang. Tubuh Kaligis segera 

melesat dan sesaat kemudian melayang 

turun di samping yang lain.

Setelah mengadakan pemeriksaan 

sebentar, kakek ini menghela napas 

panjang. Gumamnya, Ahhh.... tak 

kusangka, orang sesat itu masih juga 

belum kapok. Begitu muncul kembali


sudah menimbulkan korban lagi. 

Hemm.... semoga Dewata Agung bersedia 

menunjukkan jalan benar kepada orang 

itu. Hemm, Julung Pujud....

Agaknya kakek ini sudah dapat 

menduga siapa yang menyebabkan lima 

orang muda ini menderita keracunan 

hebat.

Akan tetapi dugaan kakek ini 

kurang tepat, karenanya yang mela-

kukannya bukan Julung Pujud, melainkan 

muridnya. Tetapi walaupun demikian, 

setelah melihat korban sudah menyebut 

orang sesat itu belum kapok adalah 

jelas kakek ini sudah kenal dengan 

Julung Pujud.

Kenyataan memang demikian. 

Dahulu, lebih duapuluh tahun yang 

lalu, Julung Pujud melakukan perbuatan 

tercela, tangannya ganas dan jahat, 

maka dimusuhi banyak orang. Kemudian 

dalam perkelahian secara ksatrya, 

seorang lawan seorang, akhirnya Julung 

Pujud dikalahkan oleh Mpu Anusa Dwipa. 

Dan orang inilah yang di sebut bernama 

Mpu Anusa Dwipa itu.

Waktu itu memang banyak orang 

yang menuntut agar Julung Pujud 

dibunuh saja. Tetapi Mpu Anusa Dwipa 

berpendapat lain. Ia ingin memberi 

kesempatan kepada Julung Pujud untuk 

memperbaiki diri dengan berbuat baik. 

Sebaliknya Julung Pujud sendiri juga 

bersumpah tidak lagi melakukan


perbuatan jahat.

Sejak itu tidak terdengar lagi 

Julung Pujud mengganas sampai lebih 

dua puluh tahun. Maka semua orang 

menduga tentunya Julung Pujud sudah 

benar-benar kapok, dan semua orang 

sudah melupakan nama kakek itu.

Akan tetapi hari ini tanpa 

terduga Mpu Anusa Dwipa sendiri 

menyaksikan keganasan serupa dan 

korbannya lima orang muda. Tentu saja 

diam-diam kakek gendut ini tidak 

senang. Dalam hati kakek ini khawatir 

juga, dunia akan digemparkan lagi oleh 

perbuatan ganas yang dilakukan oleh 

Julung Pujud terhadap orang tidak 

berdosa.

Setelah mengadakan pemeriksaan 

dan tahu benar, semua korban luka oleh 

sebatang jarum, maka kakek ini segera 

mencabut jarum beracun itu. Dan 

sesudah itu kakek ini mengambil lima 

butir obat kering warna merah. Satu 

persatu obat itu dihancurkan dengan 

air lalu diminumkan kepada korban.

Yang terjadi kemudian sungguh 

mengherankan. Semua korban tak lama 

kemudian bergerak seperti orang habis 

tidur lelap. Dan setelah merasa pasti 

lima pemuda ini tertolong, ia 

tersenyum lega, lalu melangkah pergi 

entah kemana.

Watak Mpu Anusa Dwipa memang 

demikian. Ia selalu ringan tangan


menolong orang tanpa pamrih. Ia selalu 

mengulurkan tangan, tetapi tidak 

mengharapkan balasan dari orang. Bagi 

dirinya sudah gembira sekali apabila 

orang yang ditolong dapat hidup 

senang.

Hanya yang agak aneh, Mpu Anusa 

Dwipa tidak pernah pilih bulu. Baik 

korban itu orang jahat maupun orang 

baik semuanya di tolong dengan senang 

hati.

Apakah sebabnya Mpu Anusa Dwipa 

berbuat seperti ini? Padahal menurut 

pendapat umum orang yang jahat tidak 

perlu ditolong. Namun kakek ini 

mempunyai pendirian sendiri. Ia 

memberi pertolongan dan mengulurkan 

tangannya, kepada setiap pihak yang 

perlu ditolong dan tanpa diminta, baik 

kepada manusia maupun kepada binatang.

Namun justru pendiriannya yang 

aneh ini malah menyebabkan nama kakek 

ini amat terkenal. Ia disegani dan 

dihormati oleh semua pihak, baik dari 

golongan jahat maupun sebaliknya. Akan 

tetapi justru oleh keanehan wataknya 

ini pula, sulitlah orang mau mencari 

dia. Dan sebaliknya tanpa dicari malah 

datang sendiri, seperti yang terjadi 

sekarang ini.

Demikianlah, kira-kira tengah 

malam lima orang muda ini sudah sadar 

hampir berbarengan. Mereka kaget dan 

cepat meloncat bangun ketika menda


patkan diri menggeletak di atas rumput 

di bawah langit. Dari mereka itu hanya 

Kebo Pradah yang begitu meloncat 

segera meringis kesakitan. Namun 

ketika meraba paha yang terluka, ia 

terbelalak. Sebab paha yang terluka 

itu sekarang sudah diobati dan dibalut 

dengan kain.

Untuk beberapa saat lamanya lima 

orang muda ini saling pandang. Tetapi 

sejenak kemudian mereka ingat, tadi 

mengeroyok seorang pemuda. Namun 

mereka dikalahkan, Lalu ke manakah 

pemuda tadi, dan mengapa mereka 

ditinggalkan begitu saja tidak 

dibunuh?

Tanu Pada menjadi khawatir kalau 

pemuda itu kembali lagi dan meng-

ganggu. Karena itu ia cepat mengajak 

saudara-saudaranya untuk pergi. Kat-

anya, Tempat ini amat berbahaya dan 

Marilah kita selekasnya meneruskan 

perjalanan.

Mereka berpendapat sama, tempat 

ini amat berbahaya. Kalau pemuda ganas 

itu datang kembali, mereka akan 

celaka.

Malam itu tiada bulan di angkasa 

dan hanya diterangi oleh bintang. 

Namun demikian sinar bintang itu besar 

bantuannya bagi mereka, dan agak ngeri 

juga melihat bangkai ratusan ular yang 

tadi mereka bantai. Untuk tidak 

bersentuhan dengan bangkai ular itu


maka mereka terpaksa berlompatan.

Ketika itu Tanu Pada dan Kebo 

Pradah berjalan di depan, bersama 

Mahisa Singkir, sedang Sangkan dan 

Kaligis sengaja berjalan di belakang. 

Diam-diam meraka saling sentuh dan 

berbisik.

Sementara itu diam-diam Tanu 

Pada, Kebo Pradah dan Mahisa Singkir 

heran oleh hadirnya Sangkan dan 

Kaligis di tempat ini. Bukankah tugas 

yang ditetapkan menuju ke timur 

bersama Ananto? Tetapi mengapa Ananto 

tidak ikut serta?

Sekalipun heran mengapa Sangkan 

dan Kaligis muncul di tempat ini, Tanu 

Pada masih menyabarkan diri. Ia baru 

akan minta keterangan dua orang itu 

setelah masuk ke dalam desa Sukorejo 

dan mendapat penginapan. Tanu Pada 

percaya para penduduk desa itu akan 

mau menerima mereka menginap. Orang 

yang datang dengan maksud baik para 

penduduk tentu menyambut dengan baik 

pula.

Tetapi kalau Tanu Pada dapat 

menyabarkan diri, sebaliknya Kebo 

Pradah tidak. Ia terlalu curiga kepada 

dua orang ini. Maka sambil melangkah 

dan tanpa berpaling, ia bertanya, 

Kakang Kaligis dan Kakang Sangkan. 

Mengapa kalian tiba-tiba berada di 

tempat ini?

Sangkan yang lebih cerdik dan


lincah cepat mendahului menjawab, 

Memang kami bergegas kemari guna 

bertemu dengan Kakang Tanu Pada. Ada 

sesuatu yang perlu kita bicarakan, 

namun nanti sajalah, tak enak kita 

bicara di tempat ini. Karena siapa 

tahu pemuda jahat itu datang lagi dan 

mengganggu kita? Kami akan memberi 

laporan selengkapnya setelah tiba di 

desa depan itu.

Namun Kebo Pradah seorang pemuda 

yang teliti dan gampang curiga. Ia 

tidak puas dengan jawaban itu. Ia 

berhenti membalikkan tubuh sambil 

bertanya, Soal apakah yang perlu 

dipikirkan itu? Dan mengapa pula 

kalian tidak langsung saja lapor 

kepada Guru?

Sangkan yang licik tertawa. 

Jawabnya, Kita semua ini mendapat 

tugas dari Guru. Dan Kakang Tanu Pada 

adalah murid tertua. Padahal kau tahu 

juga bahwa pada saat kita mau 

berangkat Kakang Tanu Pada yang 

dipercaya Guru untuk mengatur. Maka 

tidak enak kiranya apabila aku 

langsung lapor kepada Guru, tanpa 

lewat Kakang Tanu Pada.

Mendengar jawaban ini Tanu Pada 

yang jujur mengangguk tanda bisa 

menerima. Dan ia malah berterima kasih 

dan merupakan tanda adik sepergu-

ruannya ini menghormati dirinya 

sebagai murid tertua.


Terima kasih Adi Sangkan, 

katanya. Engkau percaya padaku sebagai 

murid tertua. Baiklah, memang lebih 

tepat menunggu sampai di desa Sukorejo

itu kita bicarakan.

Kebo Pradah kurang senang men-

dengar jawaban Tanu Pada ini. Namun 

dirinya seorang adik perguruan yang 

baik. Ia tak mau membantah kakak 

seperguruannya, dan kemudian ia diam 

saja dan melangkah mendampingi Tanu 

Pada.

Sebaliknya Mahisa Singkir yang 

melangkah di depan paling kanan 

hatinya agak gelisah. Ia tidak membuka 

mulut tetapi diam-diam selalu kha-

watir. Sebagai seorang yang masih 

mempunyai hubungan keluarga dengan 

Sangkan, ia cukup kenal akan wataknya, 

disamping tahu pula diam-diam Sangkan 

tidak senang kepada Kebo Pradah dan 

tahu pula persaingan diam-diam 

memperebutkan Sarwiyah.

Disamping itu iapun tahu pula 

antara Kaligis dengan Tanu Pada diam-

diam juga bersaing dalam memperebutkan 

Sarindah. Ia pernah mendengar langsung 

dari mulut Sangkan yang mencintai 

Sarwiyah dan Kaligis mencintai 

Sarindah. Akan tetapi sayang, dua 

orang ini tidak mendapat tanggapan 

dari dua gadis itu, karena sudah 

menjatuhkan pilihan kepada pemuda 

lain.


Di saat Mahisa Singkir sedang 

berpikir ini, tiba-tiba ia menjadi 

kaget mendengar pekik kesakitan dari 

samping. Kemudian ia terbelalak kaget 

melihat robohnya Tanu Pada dan Kebo 

Pradah. Darah membanjir keluar dari 

punggung, sedang Kaligis dan Sangkan 

masih memegang pedang bernoda darah, 

menyeringai seperti iblis.

Mampus kau! geram Kaligis.

Kakang.... apa yang kaulakukan? 

Mahisa Singkir gugup.

Akan tetapi Kaligis dengan 

mendelik sudah membentak, Singkir! 

Engkau jangan mencampuri urusan ini 

kalau masih ingin hidup.

Sangkan cepat menyambung dengan 

nada membujuk, Singkir, memang tidak 

seharusnya kau mencampuri urusan 

pribadi ini, supaya kau selamat. Eng-

kau masih mempunyai hubungan keluarga 

dengan diriku. Asal engkau tidak 

berkhianat, aku dan Kakang Kaligis 

takkan mencelakakan engkau.

Tetapi.....tetapi.....Mahisa 

Singkir terbata-bata saking tegang dan 

khawatir. Engkau tahu, kepergianku 

bersama Kakang Tanu Pada dan Kakang 

Kebo Pradah. Bagaimana.... aku harus 

menjawab....jika kelak Guru bertanya?

Kaligis membentak, Huh, mengapa 

kau setolol itu? Katakan saja di jalan 

dihadang penjahat. Tanu Pada dan Kebo 

Pradah mampus di tangan penjahat dan


kau berhasil menyelamatkan diri.

Mana mungkin Guru percaya... ? 

Mahisa Singkir gelisah, menundukkan 

kepala lalu mengamati dua saudara yang 

menjadi korban itu bergantian.

Ternyata kegelisahannya sejak 

tadi terbukti. Kaligis dan Sangkan 

sudah menyerang Tanu Pada dan Kebo 

Pradah secara curang. Agaknya tikaman 

dari belakang itu tepat menembus 

jantung.

Sangkan mendelik tidak senang. 

Kesabarannya hilang, lalu mengancam, 

Pendeknya peristiwa ini hanya kau 

seorang yang tahu. Kalau rahasia kami 

ini sampai bocor, engkaulah orangnya 

yang membocorkan. Dan apabila terjadi 

demikian kau harus menebus dengan 

nyawamu. Tahu?

Mahisa Singkir pucat. Ia sadar 

kalau membantah, jiwanya tentu 

melayang di tangan dua orang ini. Ia 

tidak dapat berbuat lain kecuali harus 

tunduk. Jawabnya kemudian, Baiklah! 

Urusan ini adalah urusan kalian 

sendiri dan aku tidak akan ikut 

campur. Dan akupun berjanji takkan 

membuka rahasia ini kepada siapapun. 

Akan tetapi sebaliknya akupun tidak 

mungkin kembali ke Tosari.

Mengapa begitu? bentak Kaligis. 

Kalau begitu, kau lain di bibir lain 

di hati!

Kakang, kau jangan cepat curiga,


Mahisa Singkir menjawab sambil 

menghela napas dalam. Engkau tahu aku 

tidak mungkin dapat berdusta kepada 

Guru. Mengingat hal itu maka tiada 

jalan lain yang lebih baik, kecuali 

sejak sekarang aku menyingkir dari 

Guru.

Mahisa Singkir berhenti sejenak 

mengambil napas. Lalu, Lenyapnya 

Kakang Tanu Pada dan Kebo Pradah tentu 

akan merupakan peristiwa besar bagi 

Mbakyu Sarindah maupun Mbakyu Sar-

wiyah. Manakah mungkin gampang percaya 

jika aku memberi laporan, bahwa dua 

orang itu tewas di tangan penjahat 

sedangkan diriku selamat tak kurang 

suatu apa? Hemm, salah-salah diriku 

sendiri yang dicurigai dan kemudian 

disiksa. Nah, kalau sudah terjadi 

seperti itu, manakah mungkin aku kuat 

lagi menyimpan rahasia ini? Itulah 

sebabnya aku memutuskan paling selamat 

kalau aku ikut menghilang juga.

Sangkan puas. Katanya, Bagus! 

Keputusan yang tepat, dan jalan ini 

memang yang terbaik.

Tetapi sekarang bagaimana dengan 

mayat dua orang ini ?

Hemm, mengapa sebabnya kau repot? 

Letakkan dua mayat ini di tepi desa. 

Esok pagi tentu akan dirawat orang. 

Hayo cepat, dan kita pergi dari sini!

Kaligis sudah mendahului menyam-

bar mayat Tanu Pada. Mau tak mau


Sangkan mengikuti dan menyambar mayat 

Kebo Pradah. Lalu dua orang ini 

berlarian menuju desa.

Mahisa Singkir tak kuasa menahan 

mengalirnya air mata. Ia kemudian lari 

cepat ke jurusan lain. Lalu ia duduk 

di atas batu, sambil terisak. Hati 

pemuda ini amat sedih dan masygul. 

Mengapa antara saudara seperguruan 

sendiri terjadi persaingan dan 

mengakibatkan saling bunuh? Apakah 

kalau begitu cinta itu jahat? Cinta, 

apakah mendorong manusia melakukan 

perbuatan terkutuk? Ahh, ia menjadi 

ngeri sendiri.

Lama sekali pemuda ini menangis 

sedih dan menyesali peristiwa yang 

baru terjadi. Tidak pernah terbayang 

sama sekali dalam benaknya, Tanu Pada 

dan Kebo Pradah akan mati seperti itu. 

Disamping ia menyesalkan peristiwa 

yang baru terjadi, iapun menjadi 

bingung sendiri. Kepergiannya tanpa 

minta diri kepada orangtua. Namun se-

karang karena takut bertemu dengan 

gurunya, tidak mungkin ia kembali ke 

Tosari dan menemui orang tuanya.

Saking bingung dan sedih, tiba-

tiba saja timbul keputusannya yang 

nekad. Hemm, aku tidak sanggup menjadi 

murid murtad dan menjadi anak tidak 

berbakti kepada orang tua. Daripada 

hidup terus tetapi menderita, lebih 

baik mati saja....


Sringg....! Pedang dicabut. 

Kemudian secara nekad mata pedang itu 

disabetkan ke leher sendiri.

Akan tetapi ahh.... Mahisa 

Singkir kaget sendiri karena tiba-tiba 

pedangnya runtuh ke tanah terpukul 

oleh benda. Dengan sigap pemuda ini 

meloncat karena menduga ada orang yang 

menyerang dirinya. Dalam keadaan 

seperti ini ia tak takut mati. 

Siapapun akan dihadapi dengan mata 

terbuka dan hati tabah.

Heh heh heh heh. Engkau mau apa 

orang muda? mendadak seorang kakek 

gendut memakai jubah putih kedodoran 

sudah muncul di depan Mahisa Singkir. 

Munculnya kakek itu tiba-tiba dan 

menyebabkan Mahisa Singkir berjingkrak 

kaget.

Siapa kau! bentaknya menggeletar. 

Engkau manusia atau hantu?

Kakek gendut yang bukan lain Mpu 

Anusa Dwipa ini terkekeh, hingga 

perutnya yang gendut itu bergerak-

gerak.

Heh heh heh heh, adakah hantu 

dapat bicara seperti manusia? Hai 

orang muda, apakah sebabnya engkau 

ingin memenggal lehermu sendiri?

Kau.....kau yang sudah 

menyebabkan pedangku runtuh?

Heh heh heh heh, kalau benar, 

mengapa?

Aku mau bunuh diri. Mengapa


sebabnya kau mengganggu?

Heh heh heh heh, apakah sebabnya 

kau mau bunuh diri? Agaknya engkau 

menghadapi urusan pribadi yang ruwet, 

sehingga engkau ingin mengakhiri 

hidupmu dengan jalan itu? Hemm, orang 

muda. Engkau keliru jika menganggap 

urusan dapat selesai begitu saja jika 

engkau sudah bunuh diri?

Mengapa tidak? Bukankah sesudah 

aku mati segala urusan menjadi 

rampung?

Ha ha ha ha, kau picik 

pengetahuan tentang hidup dan mati 

anak muda. Sudah tentukah engkau mati 

jika memenggal lehermu sendiri? Apakah 

kau lupa semua kehidupan di dunia ini 

hanya Dewata Agung saja yang 

menentukan? Jika tidak dikehendaki 

engkau takkan bisa mati. Hemm, orang 

muda, apakah engkau lupa bahwa sesuai 

dengan kepercayaan dalam agama, bakal 

terjadinya kehidupan lagi setelah 

manusia ini meninggal dunia? Keta-

huilah hai anak muda, orang yang mati 

membunuh diri, dalam kehidupan kemu-

dian hari, bisa tersesat. Senangkah 

kau apabila harus menjelma sebagai 

cacing atau babi?

Mendengar ini Mahisa Singkir 

terbelalak. Serta merta pemuda ini 

menjatuhkan diri dan berlutut, lalu 

terdengar katanya yang setengah 

meratap.


Kakek, ohh.... terima kasih atas 

nasihat kakek. Tetapi .... aku bingung 

dan tak tahu apa yang harus aku 

lakukan, karena saudara seperguruanku 

saling bunuh dan aku takut bertemu 

kembali dengan guruku. Itulah sebabnya 

aku menjadi nekad mau membunuh diri. 

Kalau sekarang Kakek melarang aku 

membunuh diri, tolonglah.... aku yang 

malang ini....

Mpu Anusa Dwipa terkekeh, Heh heh 

heh heh, apakah maksudmu orang muda? 

Aku sendiri manusia yang tanpa tempat 

tinggal, Aku sendiri beratap langit 

dan berselimut embun.

Ambillah diriku sebagai murid.

"Hait...." kakek gendut ini 

berjingkrak. Walaupun tubuhnya gendut, 

namun tubuhnya bisa ringan sekali dan 

melenting cukup tinggi.

Mahisa Singkir melongo saking 

kagum. Tahulah pemuda ini, kakek 

gendut ini seorang sakti mandraguna. 

Mungkin tidak kalah sakti dengan 

gurunya. Ia harus bisa diterima 

sebagai muridnya.

Kau ingin menjadi muridku? Murid 

apa, heh heh heh heh. Aku tidak 

mempunyai ilmu kepandaian apa-apa.


Heh heh heh heh. Engkau mau apa 

orang muda? mendadak seorang kakek 

gendut memakai jubah putih kedodoran 

sudah muncul di depan Mahisa Singkir.

Aku tidak perduli Kakek pandai 

apa. Pendeknya, Kakek harus menjadi 

guruku. Jika kakek menolak, aku akan 

membunuh diri saja.....Mahisa Singkir 

mendesak dan tidak memberi kesempatan 

kepada Mpu Anusa Dwipa menolak.

Hemm, sesungguhnya engkau ini 

murid siapakah, anak muda?

Si Tangan Iblis.


Hait.....lagi-lagi Mpu Anusa 

Dwipa berjingkrak lagi. Baru tangannya 

sudah iblis, apalagi kakinya. Tentu 

gurumu sakti mandraguna. Tetapi me-

ngapa sebabnya engkau tinggalkan 

pergi?

Mahisa Singkir tidak mau bicara 

kepanjangan. Pendeknya ia harus 

mendapat kepastian, sedia ataukah 

tidak kakek ini menerima sebagai 

murid.

Karena itu kemudian katanya 

berubah menjadi ketus, Sudahlah, Kek, 

mau atau tidak menerima diriku sebagai 

murid? Kalau tak mau tidak apa. 

Pergilah dan aku mau membunuh diri.

Mpu Anusa Dwipa terkekeh. Dan 

tentu sesuai dengan wataknya yang suka 

menolong, ia tak sanggup membiarkan 

orang muda ini bunuh diri. Namun 

sebaliknya untuk menerima sebagai 

murid, iapun keberatan. Dirinya tidak 

pernah punya murid. Namun sudah tidak 

terhitung jumlahnya manusia yang 

diberi bagian ilmu kesaktiannya.

Kakek ini mengusap jenggotnya 

yang putih panjang menjuntai. Lalu 

katanya, Engkau seorang anak muda yang 

keras hati, tetapi jujur. Hemm, 

baiklah aku akan mendidik kau sambil 

lalu selama dua tahun. Dan engkau 

tidak berhak pula menyebut aku sebagai 

guru.

Betapa gembira hati pemuda ini


sulit dilukiskan. Ia menjatuhkan diri 

dan berlutut sampai dahinya membentur 

tanah.

Mari kita pergi dari sini. Tapi 

ingat, aku bukan gurumu, ujar kakek 

itu.

Tanpa membantah Mahisa Singkir 

mengikuti di belakang. Akan tetapi 

pemuda ini menjadi terbelalak kaget 

dan kelabakan, karena gerakan kakek 

gendut itu amat gesit. Ia sudah 

melangkah cepat, kemudian lari. Akan 

tetapi ternyata dirinya tidak dapat 

mendekati kakek itu. Namun ia 

mengeraskan hati dan terus berlarian, 

sekalipun napasnya sudah keluar dan 

masuk telinganya. Ia takkan berhenti 

berlari mengejar Mpu Anusa Dwipa 

sebelum napasnya putus. Karena ia 

sadar tentu kakek gendut itu menguji 

kesetiaannya.

2

Tiga bulan telah berlalu tanpa 

terasa. Tibalah batas waktu para murid 

Si Tangan Iblis harus kembali ke 

Tosari memberi laporan hasil tugasnya. 

Rombongan yang datang pertama kali 

adalah Wastu, Warigalit dan Bala Rebo. 

Hari itu juga menyusul datang 

rombongan murid yang menuju ke utara, 

Kuda Sobrah, Senggring dan Pahang.


Semua murid yang sudah tiba ini 

menyebabkan Si Tangan Iblis, Sarindah 

dan Sarwiyah menghela napas sedih dan 

menyesal. Karena semua pulang tanpa 

membawa hasil.

Harapan Si Tangan Iblis tinggal 

kepada rombongan Tanu Pada dan 

rombongan Kaligis. Orang tua ini 

berharap, mudah-mudahan murid yang be-

lum datang melapor itu berhasil.

Akan tetapi esok paginya Si 

Tangan Iblis, Sarindah dan Sarwiyah 

kaget ketika Kaligis dan Sangkan 

datang tanpa Ananto. Maka timbul 

pertanyaan dalam hati kakek dan cucu 

ini, ke mana Ananto?

Untunglah Kaligis maupun Sangkan 

cukup cerdik dan mengenal pula watak 

gurunya. Sebelum gurunya bertanya, dua 

orang murid ini sudah berlutut di 

depan Si Tangan Iblis sambil mem-

benturkan dahi di tanah. Dan guna 

menutupi rahasia kebusukannya, dua 

murid ini malah sudah menangis sambil 

meratap-ratap mohon supaya dibunuh 

mati saja.

Guru.... hu hu huuuuukkk.....

bunuh sajalah murid yang tidak berguna 

seperti aku ini! ratap Sangkan di 

tengah tangisnya.

Benar.... Guru.... bunuh sajalah 

kami.... Kaligis menirukan.

Sarindah dan Sarwiyah yang diam-

diam benci kepada Kaligis maupun


Sangkan, tidak senang dan merasa 

sebal. Mengapa dua orang ini begitu 

datang sudah menangis dan minta 

dibunuh?

Huh huh, pemuda cengeng tiada 

guna! bentak Sarindah. Apa sih 

sulitnya membunuh kamu berdua, kalau 

memang berdosa? Lekas katakanlah apa 

sebabnya kamu datang dan meratap-ratap 

? Sebal aku melihat murid Kakek yang 

gampang menitikkan air mata.

Sarwiyah tak kalah angkuh dan 

ketusnya. Bentaknya, Huh huh melihat 

kamu datang tanpa Sentiko, jelas kamu 

tak becus mencari. Tapi huh, di mana 

Ananto? Mengapa tidak datang bersama 

kamu?

Si Tangan Iblis mengerutkan alis. 

Kakek ini kurang senang mendengar 

ucapan dan sikap cucunya. Tegurnya, 

Indah! Wiyah! Sikapmu jangan sekasar 

itu kepada saudara seperguruan 

sendiri. Ibaratnya kita semua ini 

adalah telor dalam satu sarang, dan

ibarat pula setandan pisang. Yang satu 

busuk yang lainpun menjadi busuk. 

Tahu? Kamu semua harus rukun dan 

bersatu padu dan kelak kemudian hari 

kamu semua menunaikan tugas suci!

Si Tangan Iblis memang mendidik 

murid-muridnya penuh disiplin, 

menanamkan kerukunan adalah dengan 

harapan kemudian hari semua murid ini 

dapat mewakili dirinya membalaskan


sakit hati kepada musuh-musuhnya. 

Mengingat cita-cita ini maka ia 

terang-terangan menegur sikap cucunya.

Kaligis dan Sangkan, apa yang 

sudah terjadi? Ceritakanlah sejujur-

nya, apakah sebabnya Ananto tidak 

datang bersama kamu? Lalu di manakah 

dia sekarang? tanya Si Tangan Iblis 

dengan nada sabar, sesuai kedudukannya 

sebagai guru.

Sangkan yang lebih pandai bicara, 

segera memberikan laporannya. Ia 

mengarang cerita, bahwa di saat lewat 

pada tebing gunung yang licin, Ananto 

terpeleset jatuh dan masuk ke dalam 

jurang. Dikatakan pula bahwa ia 

bersama Kaligis sudah berusaha 

menolong. Tetapi justru usaha mereka 

itu malah hampir saja Kaligis 

tergelincir masuk ke jurang.

Bohong! bentak Sarindah tiba-tiba 

dan sring... gadis cantik ini sudah 

menghunus pedang dan me-ompat ke 

depan. Pedangnya menyambar untuk 

memancung leher Kaligis dan juga 

Sangkan sekaligus.

Tring.....! Sarindah terhuyung 

mundur dan hampir saja pedangnya 

lepas. Telapak tangannya panas sedang 

lengannya seperti lumpuh, sebab 

pedangnya yang menyambar sudah 

disentil dengan jari tangan kakeknya 

sendiri.

Indah! Apa maksudmu? tegur Si


Tangan Iblis sambil mendelik marah.

Aku tidak percaya keterangannya. 

Keterangan itu bohong belaka, Kek, dan 

Kakek harus mengadakan penyelidikan di 

tempat, baru aku bisa mempertim-

bangkan. Apabila keterangan mereka 

tidak masuk akal, sepatutnyalah murid 

jahat ini dihukum mati.

Sadar keselamatan nyawanya dalam 

bahaya, Sangkan yang licin cepat 

menyahut setengah menantang, Adi 

Sarindah! Apakah alasanmu menuduh 

keteranganku bohong? Mau menyelidiki 

di tempat peristiwa silakan. Tetapi 

sebaliknya, bagaimanakah kalau kete-

ranganku ini benar? Kalau Guru memang 

mempersalahkan aku tak becus menjaga 

keselamatan Adi Ananto, itu urusan 

lain. Dan sebagai murid, akupun sudah 

mengaku bersalah, karena itu aku sudah 

menyerahkan jiwaku dan kalau perlu 

dihukum mati oleh Guru, sebagai 

penebus kesalahanku, akupun tidak 

menyesal. Karena bagaimanapun, murid 

yang setia dan baik harus tunduk 

kepada Guru. Tetapi karena masalah ini 

di luar kemampuan kami dan merupakan 

kecelakaan, hanya Dewata saja yang 

sudah tahu.

Sudah, sudahlah! cegah Si Tangan 

Iblis. Kalian jangan ribut sendiri. 

Sarindah, sekalipun engkau cucuku, 

tetapi dalam urusan perguruan, kau pun 

kedudukanmu sebagai murid. Dalam


perguruan sikap seorang guru harus 

adil dan bijaksana dan tidak boleh 

pilih kasih. Tahu?

Sarindah terbungkam mendengar 

ucapan kakeknya yang keras ini. Namun 

diam-diam gadis ini tetap pada 

pendiriannya, tidak percaya keterangan 

Sangkan itu. Disamping timbul rasa 

tidak percaya, gadis inipun menjadi 

marah juga. Ia merasa malu dibentak 

dan ditegur kakeknya di depan orang 

lain. Maka sambil membantingkan kaki 

gadis ini kemudian menyeret adiknya

diajak pergi meninggalkan rumah.

Si Tangan Iblis menghela napas 

panjang. Ia menyesal juga mengapa 

terpaksa menegur cucunya sendiri 

secara keras. Namun apa harus dikata? 

Ia dalam kedudukannya sebagai guru 

tidak boleh pilih kasih dalam 

menghadapi semua muridnya. Maka 

Sarindah yang mau menang sendiri tidak 

boleh terjadi, apa pula secara lancang 

sudah berusaha membunuh orang, sebelum 

ada pembuktian salah dan benarnya 

keterangan Sangkan. Disamping itu ia 

merasa pula sedang menghadapi 

persoalan yang lebih penting, tentang 

Sentiko. Karena itu dengan sikap yang 

sabar, ia menanyakan tentang hasil 

usaha para murid dalam usaha mencari 

Sentiko.

Dengan kepandaiannya mengarang 

cerita, Sangkan menerangkan secara


lancar tentang peristiwa Ananto, 

diberi bumbu yang menarik. Hingga Si 

Tangan Iblis mendengarkan penuh 

perhatian.

Padahal kenyataan yang terjadi 

jelas berbeda. Kaligis maupun Sangkan 

tidak menunaikan tugas semestinya. 

Kenyataannya sesudah berhasil membunuh 

Tanu Pada dan Kebo Pradah, mereka 

menghabiskan waktu untuk pergi ke mana 

mereka sukai. Dalam hal ini Sangkan 

malah menceritakan pula dalam 

perjalanan menunaikan tugas hampir 

saja mati di tangan seorang pemuda 

yang berkawan dengan binatang berbisa.

Si Tangan Iblis terbeliak kaget 

mendengar cerita ini. Orang yang 

terkenal berkawan dengan binatang 

berbisa, hanya Julung Pujud. Apakah 

orang itu masih hidup dan pemuda itu 

muridnya? Kalau benar, sungguh 

kebetulan, Julung Pujud bisa dijadikan 

sekutunya.

Di mana kau bertemu dengan pemuda 

itu? tanya Si Tangan Iblis. Apakah 

pemuda itu berdua dengan seorang tua 

kerdil yang rambutnya dibiarkan 

terurai tanpa digelung?

Melihat gurunya tertarik, Sangkan 

gembira. Kalau gurunya sudah tertarik 

persoalan lain bukankah ini merupakan 

permulaan yang menguntungkan? Berarti 

dirinya takkan didesak tentang 

persoalan Ananto. Jawabnya cepat,


Tidak, Guru. Apakah guru sudah kenal 

dengan guru bocah itu? Kalau tak salah 

dia mengaku bernama Warigagung, sedang 

gurunya, dia menyebut nama Julung 

Pujud.

Ha ha ha ha, memang benar dia! 

Sayang, bocah itu sendirian saja. 

Kalau gurunya hadir, hemm.....betapa 

menggembirakan. Karena tahukah kau 

guru bocah itu merupakan sahabat 

baikku? Telah puluhan tahun lamanya 

nama Julung Pujud lenyap dan semula 

aku mengira dia sudah mati. Namun 

ternyata sekarang, nyawa orang kerdil 

itu masih ulet juga.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh 

suara lengkingan nyaring. Seperti anak 

panah lepas dari busur, tubuh Si 

Tangan Iblis melesat keluar rumah. 

Lalu kakek itu berlarian seperti 

terbang menuju ke timur.

Kaligis dan Sangkan saling 

pandang dengan bibir tersenyum, hati 

merasa lega dan merasa bebas dari 

bahaya. Kemudian seperti murid yang 

lain, dua orang inipun berlarian 

mengikuti jejak gurunya.

Si Tangan Iblis berlarian cepat 

sekali dengan hati gelisah. Karena 

lengkingan nyaring tadi merupakan 

tanda bahaya dalam perguruannya. 

Lengking yang sudah amat ia kenal itu, 

tentu lengking cucunya sendiri, 

Sarwiyah. Hanya yang menyebabkan kakek


ini heran, bahaya apakah yang 

mengancam cucunya itu dan mengapa pula 

sebabnya Sarwiyah pergi diam-diam?

Memang sesungguhnya, dengan hati 

amat mendongkol, Sarindah dan Sarwiyah 

meninggalkan rumah diam-diam. Karena 

semua murid kakeknya sudah pulang 

sedang yang belum tinggal Tanu Pada, 

Kebo Pradah dan Mahisa Singkir, maka 

Sarindah segera mengajak adiknya pergi 

untuk menjemput rombongan murid yang 

belum pulang itu. Dengan kata lain 

Sarindah sudah merindukan Tanu Pada 

sedang Sarwiyah sendiri sudah rindu 

kepada Kebo Pradah.

Dan sebenarnya kakak beradik ini 

gelisah juga, mengapa pemuda yang 

mereka rindukan itu terlambat datang? 

Maka daripada di rumah hati tidak 

tenang, lebih baik pergi dari rumah 

sambil mencari hawa baru.

Dalam perjalanan ini Sarindah 

yang berangasan itu bersungut-sungut 

mencela sikap kakeknya. Katanya, Huh, 

mengapa sebabnya Kakek jadi begitu? 

Mengapa Kakek malah membela Kaligis 

dan Sangkan? Huh, aku benci sekali.

Hemm, sudahlah, engkau jangan 

marah-marah sendiri seperti itu! sahut 

Sarwiyah yang nadanya seperti memberi 

nasihat.

Watak kakak beradik ini memang 

berlainan. Sarindah berangasan, 

sebaliknya Sarwiyah sabar dan agak


pendiam.

Kita memang tidak bisa begitu 

saja menyalahkan Kakek. Sebab kita 

belum memperoleh bukti, benar dan 

tidaknya keterangan dua orang itu. 

Guna mencari keterangan, tentu saja 

kita harus mendapat bantuan Kakang 

Kebo Pradah dan Kakang Tanu Pada. 

Hemm, tetapi sayang sekali mengapa 

mereka terlalu lambat? Mudah-mudahan 

kita tidak terlalu jauh harus 

menjemput.

Tetapi huh, sikap Kakek itu, 

mengapa malah berpihak kepada dua 

bedebah itu? Huh, kalau saja tidak 

dihalangi Kakek, lehernya tentu sudah 

putus kubabat pedang. Huh, benci aku 

melihat dia! Sarindah mengucapkan 

kata-katanya dengan geram. Coba siapa 

yang tidak benci? Matanya itu seperti 

iblis kalau memandang aku. Huh, 

sangkanya dia pemuda tampan dan aku 

tertarik? Huh, kalau melihat orang, 

mulutnya cengar-cengir seperti monyet!

Tiba-tiba terdengar suara orang 

ketawa terkekeh. Belum juga lenyap 

suaranya sudah muncul seorang pemuda 

yang rambutnya tidak digelung, 

mendelik dan menghardik, Hai, apa 

katamu tadi? Siapa yang cengar-cengir 

seperti monyet?

Munculnya pemuda itu yang bukan 

lain Warigagung menyebabkan dua gadis 

ini kaget. Dalam keadaan sedang uring


uringan ini, menyebabkan Sarindah amat 

tersinggung. Gadis ini mendelik dan 

marah. Dan pemuda ini malah bisa 

dijadikan sasaran kemarahannya.

Engkau itulah yang cengar-cengir 

seperti iblis. Huh, apakah sangkamu 

dengan pakaianmu macam itu, menjadi 

tambah keren dan tampan? Huh, muak aku 

melihat kau!

Warigagung ketawa terkekeh. Akan 

tetapi matanya mendelik marah. Ia juga 

pemuda berangasan, gampang marah dan 

suka gila-gilaan. Jangan lagi kepada 

orang yang menyinggung perasaannya, 

walaupun kepada orang yang tak 

bersalah sekalipun, ia bisa bertindak 

semau sendiri. Suka mengganggu orang 

untuk memancing kemarahan dan 

tangannya ganas dan tidak segan 

membunuh manusia.

Sesuai dengan wataknya itu maka 

balasnya tak kurang lantang. Kau 

bilang apa? Aku seperti iblis, heh heh 

heh heh. Sangkamu kau ini seperti apa? 

Huh, engkau perempuan bawel. Perempuan 

lancang mulut, apakah sangkamu kau 

cantik? Huh huh, engkaupun seperti 

wewe gombel penjaga kuburan!

Mbakyu, tegur adiknya. Sudahlah, 

jangan kau layani dia. Mari kita 

mengambil jalan lain.

Apa? bentak Sarindah. Kita harus 

mengalah kepada pemuda gila ini? Kita 

mau saja dihina orang? Huh huh, tidak!


Aku tidak takut! Aku masih sanggup 

menghajar pemuda liar dan lancang 

mulut ini!

Bagus, heh heh heh heh! Dengan 

apa engkau mau menghajar aku? ejek 

Warigagung. Marilah kita coba, dan 

tanganku sudah gatal untuk menampar 

mulutmu yang bawel itu. Heh heh heh 

heh, aku ingin melihat. Apakah pipimu 

yang halus dan bibirmu yang merah 

itu.....

Sring.. Sarindah mencabut pedang.

Mampuslah! teriaknya sambil 

menerjang ke arah Warigagung. Gadis 

yang wataknya memang berangasan ini 

sudah tidak kuasa lagi menahan 

kemarahannya. Begitu menyerang dengan 

pedang sekaligus sudah menyerang mata, 

leher dan ulu hati.

Sarwiyah yang memang lebih sabar 

berdiri menonton ia tak akan memberi 

bantuan kepada mbakyunya, kalau 

keadaan tidak memerlukan benar. Karena 

bantuan itu hanya akan merendahkan 

martabat kakak-perempuannya yang belum 

tentu kalah.

Ahhh....! Warigagung berteriak 

kaget, ketika tiba-tiba sinar putih 

yang panjang menyerang dirinya dengan 

ganas dan cepat. Ia melompat ke sam-

ping sambil menyentil dengan jari 

tangan.

Akan tetapi pedang Sarindah 

seperti ular hidup. Sentilan jari


tangan Warigagung tidak kena, malah 

hampir saja lengannya tertabas pedang.

Dalam hal ilmu pedang, Sarindah 

memang merupakan murid terpandai dan 

tingkatya lebih tinggi dibanding 

Sarwiyah.

Memang tidak percuma Si Tangan 

Iblis menggembleng cucunya semenjak 

masih kecil. Maka tidak mengherankan 

kalau pedangnya bergerak seperti hidup 

dan menyambar ke depan dengan ganas.

Akan tetapi sekalipun usianya 

masih lebih muda, Warigagung dididik 

penuh disiplin dan penuh ketekunan 

oleh Julung Pujud, tokoh sakti 

mandraguna yang wataknya aneh. Maka 

serangan ganas yang dilakukan Sarindah 

itu disamping menimbulkan kegembira-

annya juga menyebabkan pemuda ini 

marah. Ketika pedang sarindah 

berkelebat dari atas membabat leher 

yang diteruskan ke bawah untuk menikam 

dada, dengan gesit Warigagung menekuk 

tubuh lalu berjungkir balik ke 

belakang beberapa jauhnya. Begitu 

berdiri, tahu-tahu pedang dengan hulu 

dihias ukiran kepala ular sudah di 

tangan.

Pemuda ini meringis dan mulai 

beringas. Bentaknya geram, Huh, tanpa 

sebab kau sudah menyerang aku dengan 

ganas dan berusaha membunuhku. Karena 

itu engkau jangan menyalahkan aku jika 

pedangku ini sampai melubangi tubuhmu!


Enak saja kau bicara! ejek 

Sarindah. Engkau sendiri yang akan 

mampus dalam tanganku. Berbareng 

dengan ucapannya yang terakhir, 

Sarindah sudah menerjang ke depan. 

Sinar putih yang panjang berkelebat, 

kemudian bergulung membungkus tubuh 

lawan.

Tetapi serangan yang hebat itu 

hanya disambut dengan ketawa Wari-

gagung yang terkekeh dan sesaat 

kemudian, trang.... benturan pedang 

terdengar nyaring.

Sarindah memekik tertahan dan 

tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke 

belakang. Gadis ini meringis menahan 

sakit disamping tambah marah.

Sebaliknya Warigagung hanya 

mundur dua langkah ke belakang, lalu 

pemuda ini terkekeh merendahkan.

Peristiwa yang terjadi ini di 

luar dugaan. Sarindah menahan rasa 

sakit karena lengannya seperti lumpuh. 

Kemudian dengan sinar mata yang 

beringas, gadis ini memaki.

Bangsat hina! Engkau berani 

kurangajar di tempat ini? Huh Sar-

wiyah! Mari kita keroyok dan kita 

bunuh pemuda busuk ini.

Sring! Sarwiyah menghunus pedang-

nya setelah mendapat izin kakaknya. 

Lalu kakak-beradik ini membagi 

serangan dahsyat. Sarindah menyerang 

bagian tubuh atas sedang Sarwiyah me


nyerang bagian tengah dan bawah.

Serangan ini merupakan serangan 

ganas dan amat berbahaya, karena 

serangan kakak beradik ini menutup 

ruang gerak Warigagung.

Trang trang..... Auww....!

Warigagung berhasil menghalau 

sambaran dua batang pedang kakak 

beradik ini dengan tangkisan pedang-

nya. Namun pemuda ini tidak urung 

harus berteriak kaget sambil melompat 

ke belakang. Sebab ternyata walaupun 

ia berhasil menangkis pedang tersebut, 

pedang lawan meluncur kembali 

menyerang. Pedang Sarindah hampir saja 

melukai lehernya, sedang pedang 

Sarwiyah hampir saja melubangi pe-

rutnya.

Apa yang terjadi memang di luar 

dugaan Warigagung. Pedang yang bisa 

ditangkis itu sekalipun mental 

menyeleweng masih merupakan ancaman 

berbahaya.

Memang inilah termasuk keis-

timewaan ilmu pedang yang dicampur 

dengan gaya permainan tombak hasil 

ciptaan Si Tangan Iblis. Kehebatan 

ilmu pedang itu baru tampak nyata dan 

lebih ganas apabila sudah mengeroyok. 

Gabungan tenaga dan kerjasama dalam 

mengeroyok ini akibatnya akan 

menyulitkan pihak yang dikeroyok. 

Karena kekuatannya akan menjadi 

berlipat ganda. Demikian pula yang


terjadi sekarang ini, walaupun 

Warigagung seorang pemuda yang sudah 

mendapat gemblengan Julung Pujud, 

tidak urung agak kesulitan juga 

menghadapi keroyokan ini. Kecepatan 

dan perubahan gerak pedang lawan ini 

sulit diduga, dan hanya karena menge-

rahkan kepandaiannya saja Warigagung 

sanggup menghadapi keroyokan ini.

Kalau pada tiga bulan lalu 

Warigagung menghadapi lima orang murid 

Si Tangan Iblis tanpa kesulitan, 

adalah tidak mengherankan. Karena 

tingkat para murid Si Tangan Iblis itu 

jauh di bawah Sarwiyah maupun 

Sarindah. Jangan lagi terhadap dua 

orang gadis ini, baru dengan Ananto 

dan Sentiko saja, tingkat Tanu Pada 

dan adik-adik seperguruannya masih 

kalah tinggi. Itulah sebabnya Wari-

gagung menghadapi keroyokan dua orang 

ini harus mengerahkan kepandaiannya. 

Sekalipun demikian Warigagung hanya 

kuasa mengimbangi saja tanpa bisa 

mendesak.

Keadaan ini menyebabkan Wari-

gagung yang mempunyai watak liar dan 

ganas itu menjadi penasaran. Hanya 

untungnya sekalipun pemuda ini ganas, 

Warigagung merupakan seorang pemuda 

yang tak sampai hati mengganas kepada 

perempuan. Ia masih mempunyai sifat-

sifat baik terhadap wanita. Ia 

demikian menghormati. Oleh sebab itu


walaupun ia seorang pemuda yang 

mempunyai sifat liar, ia benci kepada 

laki-laki yang berani menghina dan 

mempermainkan perempuan. Tak segan-

segan membunuh orang dalam usahanya 

membela wanita.

Mengapa Warigagung mempunyai 

watak dan sikap seperti ini terhadap 

perempuan? Semua ini mempunyai sangkut 

paut dengan sejarah hidupnya sendiri. 

Ia tidak akan lupa kepada peristiwa 

yang telah menimpa ibunya.

Peristiwa itu terjadi ketika 

Warigagung baru berumur enam tahun. 

Pada suatu hari terjadilah percekcokan 

antara ayah dan ibunya. Sikap ayahnya 

memang sewenang-wenang dan kasar 

terhadap ibunya. Maka dalam per-

cekcokan ini ayahnya telah memukuli 

ibunya. Bukan saja dengan tangan dan 

kaki, tetapi juga menggunakan alat 

pemukul. Karena dipukuli dan disiksa 

sedemikian rupa oleh ayahnya, sebagai 

akibatnya ibu itu meninggal karena 

luka-lukanya yang berat dan tidak kuat 

menahan sakit. Dan ketika itu entah 

mengapa sebabnya, walaupun ia baru 

berumur enam tahun, tidak tahan 

melihat ibunya menggeletak dan mandi 

darah. Ia kemudian marah dan membela 

ibunya, dengan mengambil alat pemukul 

dari kayu yang semula dipergunakan 

ayahnya memukuli ibunya. Kemudian 

menggunakan seluruh kekuatannya, ia


memukul ayahnya dari belakang.

Pukulan itu walaupun tidak 

menimbulkan sakit tetapi ayah yang 

sedang mata gelap ini bukannya 

menginsyafi kesalahannya telah membu-

nuh isterinya sendiri, malah segera 

menyambar alat pemukul tersebut dan 

direbut. Warigagung berusaha memper-

tahankan alat pemukul itu tetapi kalah 

kuat dan roboh terguling. Dalam 

kalapnya ayah ini segera memukuli 

Warigagung sekuat tenaga sambil 

berteriak, Mampuslah kau anak durhaka!

Bukk.....! sekali pukul Wari-

gagung yang kecil itu hanya menjerit 

satu kali lalu pingsan.

Untung ketika alat pemukul itu 

melayang untuk kedua kalinya, si ayah 

yang kalap terhuyung ke belakang 

roboh, terdorong oleh angin yang kuat 

sekali. Ternyata saat itu muncullah 

Julung Pujud yang menyelamatkan 

Warigagung, dan seterusnya menjadi 

gurunya.

Peristiwa meninggalnya si ibu 

yang amat dicintai itu dan di tangan 

ayahnya sendiri, mengesan sekali dalam 

sanubari bocah itu. Peristiwa itu se-

lalu menjadi kenangan pahit dan tidak 

bisa dilupakan sekejap pun, kecuali di 

kala tidur.

Apa yang terjadi ini kemudian

mempengaruhi watak dan tabiatnya. Ia 

menjadi seorang pemuda yang amat


menghormati kepada wanita. Ia takkan 

rela melihat setiap wanita yang 

direndahkan laki-laki. Tanpa peduli 

lagi, siapa yang dibelanya dan laki-

laki yang berani merendahkan tentu di-

siksa dan mungkin malah dibunuh mati.

Tetapi apakah sebabnya sekarang 

ini ia menjadi marah dan melawan 

kepada Sarindah dan Sarwiyah soalnya 

bukan lain karena sikap Sarindah ini 

amat menyinggung perasaan dan 

menyebabkan ia menjadi marah. 

Warigagung masih ingat bahwa yang 

dihadapi ini perempuan, sekaum dengan 

ibunya. Maka walaupun penasaran tidak 

segera dapat mengalahkan lawan, ia 

masih dapat membatasi diri. Ia tidak 

mau menggunakan jarum beracun yang 

berbahaya itu.

Akan tetapi ternyata usahanya 

mengalahkan dua orang gadis ini tidak 

juga berhasil. Walaupun ia sudah 

mengerahkan kepandaiannya dan seratus 

jurus sudah lewat, keadaan masih tetap 

imbang. Diam-diam ia menjadi gelisah, 

karena untuk melukai dengan jarum 

beracun tidak sampai hati. Lalu apa 

yang harus dilakukan menghadapi dua 

gadis ini!

Untung ia segera ingat perempuan 

jijik kepada binatang melata. Lebih-

lebih sebangsa ular. Teringat itu 

timbullah akalnya. Ia akan mengundang 

ular, dan ia percaya di tempat ini



banyak binatang itu.

Mendadak ia melengking nyaring 

sambil melompat jauh ke belakang. Pada 

kesempatan ini ia segera mencabut 

serulingnya, dan segera pula meniup 

serulingnya itu dengan langan kiri.

Pada mulanya kakak-beradik ini 

heran dan curiga melihat lawannya 

mencabut seruling lalu meniup. Namun 

sesaat kemudian dengan melengking 

nyaring dan marah, Sarindah dan 

Sarwiyah sudah menerjang maju 

berbareng. Sarindah menyerang dari 

arah kiri, sedang Sarwiyah menyerang 

dari arah kanan. Angin yang dingin 

dari pedang segera menyambar ke arah 

Warigagung.

Warigagung yang sedang meniup 

seruling menggunakan tangan kiri tentu 

saja tak mau melayani serangan 

tersebut dan menggunakan kelincahannya 

menghindar sambil menangkis.

Trang trang trang 

Tulit.... tulit…..tulit....!

Benturan senjata pedang terdengar 

berkali-kali dan diselingi suara 

seruling yang nyaring.

Melihat lawannya hanya selalu 

menangkis sambil meniup serulingnya 

ini, tiba-tiba mereka menjadi curiga. 

Khawatir kalau lawan menggunakan ilmu 

sihir. Maka Sarindah segera mem-

perhebat serangannya, sambil mengan-

jurkan kepada adiknya untuk berbuat


sama.

Wiyah! Hayo lekas kita bunuh 

pemuda liar ini!

Mari kita berlomba Mbakyu, dia 

sudah tidak dapat membalas serangan 

kita. Tetapi di saat dua orang kakak-

beradik ini memperhebat serangannya, 

tiba-tiba terdengarlah suara berisik 

dari segala jurusan dan terdengar pula 

suara desis panjang yang saling sahut.

Pada mulanya dua orang gadis ini 

heran. Tetapi setelah suara berisik 

itu menjadi semakin dekat sedang suara 

mendesis semakin nyata terdengar, baik 

Sarindah maupun Sarwiyah menjadi kaget 

dan pucat. Ular yang tidak terhitung 

banyak nya bergerak cepat dari segala 

penjuru. Suara desis tidak pernah 

putus, dan bau anyir bercampur amis 

segera menusuk hidung mereka, 

menyebabkan dua gadis ini mual.

Dua orang gadis ini memang cukup 

tangguh apabila berhadapan dengan 

manusia. Tetapi begitu berhadapan 

dengan puluhan ekor ular besar dan 

kecil yang saling mendesis, menjulur-

kan lidah merah, mereka menjadi ngeri 

dan ketakutan. Tidak tercegah lagi 

niereka mengangkat tangan kiri untuk 

menutup mata dan wajah. Mereka tak 

tahan melihat ular sebanyak itu dan 

sekarang sudah mengurung dari segala 

jurusan. Antara mereka dengan 

Warigagung sekarang telah dipisahkan



oleh pagar ular hidup. Warigagung 

sudah menyarungkan pedangnya, dan 

sekarang pemuda ini duduk di atas batu 

sambil asyik meniup serulingnya.

Senang juga hati Warigagung 

melihat lawannya sekarang tidak 

berdaya itu. Kalau saja yang dikurung 

ular itu bukan perempuan, Warigagung 

sudah tentu menurunkan tangan maut. Ia 

bisa menyerang dengan jarum yang 

beracun, atau menggerakkan ular-ular 

itu dengan irama serulingnya untuk 

menyerang. Namun karena perempuan, 

maka dalam hatinya sudah merasa puas 

apabila perempuan ini menjerit-jerit 

minta ampun.

Tiba-tiba pemuda ini menghentikan 

tiupan serulingnya, gehingga ular-ular 

itu berhenti bergerak. Sejenak 

kemudian terdengar suara Warigagung 

yang tertawa dan berkata, Ha ha ha ha, 

kamu takut ular? Hayo, lekaslah kamu 

minta ampun dan mengaku kalah. Ular-

ular itu akan segera kuusir pergi dan 

engkau takkan diganggu lagi.

Walaupun ngeri, setelah ular-ular 

itu tidak bergerak, mereka berani 

membuka mata. Namun ketika mendengar 

tuntutan Warigagung supaya menyerah, 

Sarindah yang berangasan menjadi 

marah.

Huh! bentaknya. Dengan mengandal-

kan ular yang liar itu, kau sudah 

sombong dan lancang mulut? Hayo jika


engkau memang jantan, singkirkanlah 

ular-ular itu dan kita berkelahi lagi.

Heh heh heh heh, aku tidak suka 

berkelahi dengan perempuan. Maka biar 

ular-ular itu saja yang mewakili aku 

mengeroyok kamu! sahut Warigagung.

Walaupun semula mereka takut 

melihat puluhan ular yang datang dan 

menjadi ketakutan, tetapi sekarang 

perasaan itu sudah berkurang. Maka 

mendengar ucapan Warigagung ini mereka 

menjadi salah paham. Mereka mengira 

pemuda itu merendahkan dan menghina. 

Mereka juga mengira diri mereka 

bukanlah lawan yang sepadan. Padahal 

ucapan Warigagung ini sejujurnya, dan 

ia benar-benar merasa tak enak hati 

berkelahi melawan perempuan. Sebab 

setiap berhadapan dengan lawan 

perempuan segera terbayang di depan 

matanya ibunya yang menggeletak mati 

dan mandi darah oleh siksaan ayahnya.

Karena salah paham Sarindah dan 

Sarwiyah menjadi marah. Lalu 

terdengarah kata Sarindah yang 

lantang, Wiyah! Mari kita bunuh semua 

ular ini.

Mari! sambut Sarwiyah penuh 

semangat. Kuatkan hatimu dan jangan 

terpengaruh.

Kakak beradik ini segera bergerak 

dan meloncat menggunakan pedang 

masing-masing untuk mulai membabat 

ular yang mengurung itu.



Akan tetapi sebaliknya Warigagung 

segera ketawa terkekeh, lalu meniup 

serulingnya dengan nada tinggi. Hingga 

puluhan ular itu bergerak lagi, ada 

yang tiba-tiba berdiri dengan mengang-

kat kepala, sedang ular bandhotan yang 

pendek itu melenting menyambar kakak 

beradik itu.

Sekalipun hati dua gadis ini 

masih diliputi rasa ngeri dan takut, 

pedangnya segera bergerak juga. 

Beberapa ekor ular segera tertabas 

oleh pedang hingga kelojotan dan mati. 

Dalam waktu singkat dua gadis yang 

setengah ngeri ini sudah membunuh 

banyak ular. Pedangnya sudah dicat 

oleh merahnya darah ular dan di 

sekitar gadis itu sudah digenangi 

darah ular yang berbau amis. Dan 

walaupun mereka berusaha menahan namun 

tidak urung kepala mereka menjadi 

pening, perut mual dan ingin muntah.

Warigagung tetap saja duduk di

atas batu dan terus meniup serulingnya 

dengan nada tinggi. Namun demikian ia 

tidak mau mencelakakan kakak beradik 

itu, dan tiupan serulingnya hanya 

menyuruh ular itu menari, dan bukan 

menyerang. Dan celakanya walaupun 

sudah tidak terhitung lagi jumlahnya

ular yang mati, jumlah itu seperti 

tidak pernah berkurang. Karena tiupan 

seruling itu kuasa mengundang ular 

yang semula masih berdiam diri di


dalam liang. Malah kalau semula yang 

datang mengurung paling besar hanya 

sebesar ibu jari kaki, sekarang ular 

yang berdatangan lagi ini lebih besar. 

Ada yang sebesar lengan orang dewasa 

dan ada pula yang sebesar betis 

manusia dewasa.

Darah ular yang anyir membelabar 

di sana sini. Dan bangkai ular telah 

banyak menggeletak memenuhi sekitar 

mereka. Mau tidak mau dua gadis ini 

menjadi ngeri, disamping sudah hampir 

muntah. Saking tak kuasa lagi 

menghadapi keadaan seperti ini, tidak 

tercegah lagi mulut Sarindah sudah 

melengking nyaring. Kemudian disusul 

pula oleh lengkingan Sarwiyah yang 

nyaring tajam untuk memberitahu kepada 

kakeknya, diri mereka berhadapan 

dengan bahaya.

Tetapi justru kebetulan lengking 

nyaring dua gadis ini mengatasi suara 

seruling. Maka untuk beberapa saat 

ular yang berkerumun itu gerakannya 

kacau tak karuan. Ada yang membalikkan 

diri untuk pergi dan ada pula yang 

berhenti bergerak.

Dalam keadaan hampir tidak 

tertahankan lagi ini mendadak 

terdengar bentakan nyaring. Hai, siapa 

berani kurangajar di tempat ini dan 

mengganggu cucuku?

Bentakan itu disusul dengan 

berkelebatnya bayangan yang cepat.


Kemudian muncullah Si Tangan Iblis. 

Ketika melihat cucunya dengan wajah 

pucat dan payah dikurung puluhan ular, 

kakek ini menjadi marah. Dua belah 

tangannya bergerak cepat sekali, 

saling susul menyambar ke depan. Angin 

yang amat kuat segera menyambar ke 

arah ular tersebut seperti lesus. Dan 

ular yang terserang ketakutan lalu 

tidak memperdulikan irama seruling 

Warigagung sudah kacau dan pergi.

Sarindah dan Sarwiyah menjadi 

gembira melihat munculnya sang kakek. 

Dengan berloncatan di sela bangkai 

ular, dua gadis ini segera menghampiri 

Si Tangan Iblis.

Sebaliknya Warigagung menjadi 

beringas dan marah sekali, melihat 

barisan ularnya bubar berantakan. 

Pemuda ini meloncat berdiri dan dengan 

mata merah serta mendelik sudah 

membentak, Siapa kau, berani mengusir 

ularku?

Si Tangan Iblis terkekeh, 

jawabnya, Anak, mengapa engkau menjadi 

penasaran? Dan mengapa pula sebabnya 

engkau memusuhi cucuku? Di antara kita 

ini adalah orang sendiri. Apakah 

engkau tidak tahu?

Mendengar ucapan kakeknya itu 

Sarindah heran, lalu mencela, Kakek,

pemuda busuk dan liar seperti itu, 

mengapa kau katakan orang sendiri? Dia 

telah memusuhi aku dan akupun belum


kalah melawan dia!

Si Tangan Iblis memalingkan 

mukanya, lalu menghardik, Sarindah, 

kau jangan lancang mulut. Dia ini 

bukan orang lain, dia bernama Wari-

gagung murid sahabatku Julung Pujud.

Kemudian sambil memandang 

Warigagung, kakek ini meneruskan, 

Anak, mana gurumu?

Mendengar ucapan kakek ini yang 

tepat, Warigagung mengerutkan alis 

tetapi ragu. Benarkah kakek ini 

sahabat gurunya? Tetapi tentu saja pe-

muda ini tak gampang percaya, dan 

malah timbul dugaannya, tentu kakek 

ini berusaha membujuk karena takut 

kepada gurunya. Menduga demikian 

pemuda ini menyahut dingin.

Hemm, siapa mau percaya kepada 

omonganmu? Hayo katakanlah siapa 

namamu, orang tua?

Tetapi sikap Warigagung yang agak 

kurang menghormat ini tidak menye-

babkan Si Tangan Iblis marah. Memang 

ada sebabnya. Pertama, berhadapan 

dengan guru pemuda ini kalau sampai 

terjadi perselisihan adalah amat 

berbahaya. Yang kedua, Si Tangan Iblis 

memang mempunyai maksud tertentu. Ia 

ingin mengikat persahabatan dengan 

Julung Pujud kerena tenaga kakek itu 

apabila dapat dibujuk amat penting 

artinya bagi cita-citanya.

Hemm, orang muda, apakah gurumu


tidak pernah menyebut nama Si Tangan 

Iblis yang berdiam di Tosari? 

pancingnya. Dalam hati ia menduga 

pasti, bahwa bocah ini sudah pernah 

mendengar namanya.

Namun ternyata dugaan Si Tangan 

Iblis ini salah. Warigagung mengge-

lengkan kepalanya dan menjawab, Aku 

belum pernah mendengar dan Guru tidak 

pernah menyebut pula.

Si Tangan Iblis mengerutkan 

alisnya tidak senang. Benarkah Julung 

Pujud tidak pernah menyebut namanya? 

Dan benar pulakah Julung Pujud 

menganggap dirinya rendah, sehingga 

tidak pernah mau menyebut namanya? 

Diam-diam kakek ini penasaran. Ia 

merasa dirinya pilih tanding tetapi 

mengapa diremehkan Julung Pujud?

Kakek ini lupa akan watak dan 

tabiat Julung Pujud yang aneh, yang 

lain dari yang lain. Sejak mudanya 

Julung Pujud adalah seorang angkuh, 

mau menang sendiri dan merasa tanpa 

tanding. Itulah sebabnya dahulu dia 

dimusuhi banyak tokoh sakti. Karena 

watak dan tabiatnya ini maka barang 

tentu Julung Pujud tak pernah 

memandang sebelah mata kepada orang 

lain. Dan tak aneh pula kalau ia tidak 

pernah menceritakan perihal orang 

sakti kepada muridnya. Dan inilah 

sebabnya Warigagung tidak mengenal Si 

Tangan Iblis.


Akan tetapi kakek ini belum 

percaya. Mungkin Julung Pujud tidak 

menyebut namanya aseli. Karena itu ia 

bertanya lagi, Dan nama Taruno?

Warigagung menggelengkan kepala-

nya lagi dan menjawab, Tidak pernah.

Si Tangan Iblis menjadi amat 

penasaran mendengar jawaban seperti 

ini. Ia termasuk pula seorang yang 

selalu membanggakan diri sebagai ma-

nusia sakti pilih tanding. Baik 

keganasan, kekejaman maupun keane-

hannya tidak terpaut banyak dengan 

Julung Pujud. Maka dengan nada tidak 

senang Si Tangan Iblis berkata.

Huh, baiklah jika demikian. 

Sekarang katakanlah apa maksudmu 

datang dan mengacau di sini?

Warigagung menjadi tidak senang 

dituduh mengacau itu. Kenyataan ia 

tidak mengacau, dan dua orang gadis 

itu sendiri yang menyerang dirinya. 

Tetapi dasar Warigagung tidak kalah 

anehnya dengan Julung Pujud. Maka 

pemuda ini mendelik dan membentak 

lantang. Aku mengacau? Aku datang 

kemari tidak mengganggu siapapun. Dan 

kalau tidak ingat dia perempuan, 

apakah mungkin masih bernyawa lagi?

Jangan mengumbar mulut tanpa 

aturan! balas Sarindah tidak kurang 

galak dan lantangnya. Hayo, jika 

engkau memang jantan, cabut pedangmu 

dan mari kembali berkelahi sampai


siapa yang mandi darah.

Warigagung terkekeh. Jawabnya, 

Jika engkau laki-laki, tantanganmu 

akan segera kusambut dengan keras. 

Tetapi karena kau perempuan, aku tak 

melayani. Terserah penilaianmu, kau 

anggap pengccut atau takut terserah!

Tetapi justru jawaban Warigagung 

yang terus terang ini malah menye-

babkan Sarindah tamhah penasaran 

merasa direndahkan. Maka sambil 

mendelik dan meraba hulu pedangnya 

gadis ini membentak lagi, Bangsat 

busuk! Engkau berani merendahkan aku? 

Sangkamu tiap perempuan lemah dan 

tidak ada harganya melawan kau? Nih, 

makanlah!

Sarindah sudah melompat maju 

dengan pedang terhunus. Maksudnya akan 

segera menyerang Warigagung yang 

dianggapnya terlalu merendahkan dan 

menghina itu. Namun Si Tangan Iblis 

waspada. Kakek ini bermata tajam dan 

ia tahu cucunya ini bukanlah lawan 

pemuda itu yang seimbang. Bukti sudah 

ada, dengan mengeroyok saja tak dapat 

mengalahkan, apalagi hanya seorang 

diri. Manakah mungkin? Dan hal itu 

malah akan menimbulkan rasa malu saja.

Indah, jangan lancang! cegah 

kakeknya. Serahkan kepada kakekmu 

untuk mengurus bocah ini.

Sekalipun Sarindah marah terpaksa 

mundur teratur. Kalau sekarang


kakeknya sanggup "mengurus" berarti 

akan menyelesaikan bocah kurangajar 

itu. Maka diam-diam ia berharap agar 

kakeknya menangkap pemuda liar itu 

kemudian ia bisa menghina dan 

menyiksanya. Sebab pemuda ini sombong 

dan merendahkan dirinya.

Si Tangan Iblis memandang Wari-

gagung penuh perhatian. Kemudian 

dengan nada yang masih sabar ia 

bertanya, Katakanlah. Mana gurumu? 

Sebab tidak pada tempatnya apabila aku 

harus berurusan dengan engkau, orang 

muda.

Dasar Warigagung seorang pemuda 

aneh. Ia ketawa terkekeh, lalu 

jawabnya, Heh heh heh heh, apakah 

setiap aku pergi harus disertai oleh 

Guru? Huh, huh apakah aku ini bocah 

cilik, sehingga harus diawasi terus 

oleh Guru? Hemm, engkau tadi bilang 

akan menyelesaikan urusanku. Urusan 

apa? Aku tidak mempunyai urusan apa-

apa. Kalau tadi sampai terjadi 

perselisihan, bukan aku yang memulai, 

tetapi malah cucumu itu sendiri. Aku 

tadi tertawa sendiri, mengapa cucumu 

menjadi marah dan menyerang aku?

Akan tetapi sekalipun cucunya 

yang bersalah, manakah mungkin Si 

Tangan Iblis mau mengerti dan 

menyalahkan cucunya sendiri? Oleh 

sebab itu bentaknya lantang, Hai orang 

muda. Apakah maksudmu keluyuran di


tempat ini?

Apakah sebabnya aku harus 

memberitahu kepada engkau? sahut 

Warigagung dengan ketus. Gunung ini 

siapakah pemiliknya? Setiap orang 

mempunyai hak untuk menginjak dan 

menikmati keindahannya. Aku senang 

melihat pemandangan disini, maka tim-

bullah keinginanku untuk menjelajah. 

Tentu saja menjelajah suatu daerah, 

bermaksud bisa mengetahui keadaan 

sebaik-baiknya.

Kurangajar! bentak Sarindah yang 

masih panas. Kalau demikian engkau 

datang ke tempat ini mempunyai maksud 

tidak baik. Engkau tentu menyelidik.

Apa? Menyelidik? Menyelidik apa? 

Warigagung mendelik. Apakah sangkamu 

gunung ini merupakan gunung emas, 

sehingga setiap orang yang kesini akan 

mencuri emas? Heh heh heh heh, lueu!! 

Apakah engkau yang menjadi pemilik, 

sehingga bisa melarang orang datang?

3

Di saat mereka saling bantah dan 

merasa diri masing-masing benar ini, 

mendadak terdengarlah suara orang 

menembang, tembang Durma, yang isinya 

menantang kepada Tangan Iblis.

Heh Taruno, Si Tangan Iblis


keparat! 

Kowe aja mung ndhelik. 

Yen nyata prawira. Pethukna 

krodhaningwang. 

Iki Mahisa Jaladri. 

Mungsuhmu lawas. 

Sapa Lena ngemasi. 

Suara orang yang menembang itu 

terdengar jelas, sayup-sayup terbawa 

angin.

Si Tangan Iblis mengerutkan 

alisnya dan tampak sedang mengingat-

ingat nama Mahisa Jaladri. Tiba-tiba 

saja kakek ini terkekeh nyaring dan 

tajam di udara.

Hai, manusia busuk Mahisa 

Jaladri, teriaknya. Aku disini dan kau 

jangan asal dapat membuka mulut!

Suara teriakan Si Tangan Iblis 

itu nyaring sekali dan bisa terdengar 

dari tempat jauh. Dan sesaat kemudian 

terdengar pula suara jawaban dari 

tempat jauh dan jelas.

Bagus, heh heh heh. Engkau jangan 

menjadi pengecut dan menyembunyikan 

diri sebelum aku datang.

Jangan sombong. Aku menanti di 

sini!

Sarindah, Sarwiyah dan Warigagung 

yang mendengar tantang-menantang dari 

tempat jauh itu menjadi tegang dan 

berdebar. Mereka menunggu perkembangan 

lebih lanjut, sehingga melupakan


urusan sendiri.

Tak lama kemudian dari tempat 

yang agak jauh dan di bagian bawah, 

tampak seseorang yang gerakannya cepat 

sekali. Walaupun orang itu sedang 

mendaki, namun gerakannya seperti 

terbang saja. Diam-diam tiga orang 

muda ini berdebar. Menilik gerakannya 

yang ringan dan amat cepat itu, dapat 

diduga orang yang menantang itu bukan 

orang sembarangan. Dengan demikian 

akan segera terjadilah perkelahian 

hebat.

Tiga orang muda ini kemudian 

terbelalak memandang perhatian kepada 

seorang kakek yang baru saja tiba. 

Kakek ini membiarkan rambutnya acak-

acakan tidak disanggul dan tidak 

ditutup dengan ikat kepala. Pakaiannya 

menarik dan aneh sekali, karena 

pakaiannya itu warna-warni seperti 

pakaian bocah kecil. Kumis dan 

jenggotnya seperti buntut tikus.

Melihat itu sekalipun Warigagung 

sendiri membiarkan rambutnya keriapan, 

menjadi geli dan lalu ketawa ter-

pingkal-pingkal seperti melihat badut 

yang beraksi di atas panggung.

Mahisa Jaladri tidak senang dan 

tersinggung. Ia mendelik ke arah 

Warigagung dan bentaknya, Kurangajar! 

Engkau berani menertawakan aku?

Aku tertawa sendiri, siapakah 

yang melarang? Heh heh heh heh, sahut


pemuda itu tanpa gentar sedikitpun

Mahisa Jaladri mengalihkan 

pandang matanya ke arah Si Tangan 

Iblis. Kemudian tanyanya, Hai Taruno. 

Muridmukah bocah liar ini?

Hemm..... siapakah yang sudi 

mempunyai murid seperti itu? sahut Si 

Tangan Iblis dingin. Sudahlah, apa 

maksudmu sesudah engkau berhadapan 

dengan aku? Engkau mengumbar mulut 

tanpa aturan. Apakah kau ingin kugebug 

seperti dulu?

Mahisa Jaladri ketawa dingin. 

Sahutnya, Heh heh heh heh, sudah lama 

sekali aku mencari kau, tetapi engkau 

menyembunyikan diri seperti bekicot. 

Huh, itulah sebabnya aku menantang 

engkau di sepanjang jalan.

Kakek ini berhenti sejenak dan 

mengamati Si Tangan Iblis. Setelah 

puas, terusnya, Huh huh, dahulu memang 

benar engkau bisa memukul aku. Tetapi 

sekarang, mari kita tentukan siapakah 

yang lebih unggul. Kalau aku kalah 

biarlah aku mampus. Tetapi sebaliknya 

apabila kau kalah, kaupun harus 

mampus, heh heh heh.

Sepasang mata Si Tangan Iblis 

memancarkan api saking marahnya. Lalu 

katanya geram, Mahisa Jaladri! Kalau 

saja engkau tidak mengumbar mulut 

disepanjang jalan, mungkin aku masih 

bisa mengampunimu. Tetapi karena kau 

sudah lancang mulut, jangan sesalkan


aku jika tanganku menjadi kejam dan 

membunuh kau!

Akan tetapi Mahisa Jaladri 

menyambut ancaman itu dengan ketawanya 

yang terkekeh. Sahutnya tak kalah 

garang, Dan sebaliknya, engkaupun 

harus membayar hutangmu dengan bunga. 

Katakanlah, siapakah dua orang gadis 

itu? Muridmu?

Hai tua bangka! teriak Sarindah 

marah. Kalau aku cucunya, kau bisa 

apa? Engkau sudah hampir mampus masih 

juga banyak tingkah.

Mahisa Jaladri terkekeh gembira 

mendengar dua gadis itu cucu Tangan 

Iblis. Saking dalam dendamnya kepada 

Tangan Iblis, lalu timbullah niat 

kakek ini yang mengerikan. Kalau 

dahulu Si Tangan Iblis yang menghan-

curkan rumah tangganya dengan 

memperkosa isterinya, maka apabila 

berhasil mengalahkan Tangan Iblis, ia 

akan menuntut bunganya. Perempuan muda 

ini akan dibalas untuk dihina dan 

diperkosa.

Memperoleh pikiran seperti ini, 

Mahisa Jaladri terkekeh seperti iblis. 

Katanya, Heh heh heh heh, bagus 

sekali! Tangan Iblis harus membayar 

bunga yang mahal. Huh, jika kau 

mampus, dua orang cucumu yang cantik 

akan segera aku permainkan seperti 

perlakuanmu waktu itu kepada isteriku.

Bangsat tua! tiba-tiba Warigagung


melesat ke depan sambil mencaci. 

Pemuda ini sekarang sudah berdiri di 

depan Mahisa Jaladri dengan mendelik. 

Dampratnya, Apa katamu tadi? Engkau 

akan menghina perempuan? Huh, di 

depanku mana bisa kau berbuat 

sekehendak hatimu sendiri?

Mahisa Jaladri terbelalak kaget. 

Namun sesaat kemudian ia terkekeh, Heh 

heh heh heh, engkau mau apa? Dan 

apamukah dua gadis itu?

Dia bukan apa-apa denganku. Malah 

kenalpun aku belum! Tetapi sekalipun 

belum kenal, dia adalah perempuan 

seperti ibuku yang sudah meninggal. 

Siapapun yang berani menghina perem-

puan, lebih dahulu harus berhadapan 

dengan aku.

Si Tangan Iblis maupun dua orang 

cucunya heran mendengar jawaban 

Warigagung itu. Tetapi Sarindah justru 

gadis angkuh. Ia mendelik curiga dan 

cepat salah duga mengapa sebabnya 

pemuda itu tiba-tiba menjadi pembela. 

Ia mengira Warigagung akan menjual 

jasa karena tertarik oleh kecan-

tikannya. Siapakah yang sudi ber-

sahabat dengan pemuda liar seperti 

itu?

Karena salah duga Sarindah sudah 

membentak, Kurangajar kau! Siapakah 

yang sudi minta bantuanmu? Aku dan 

adikku tidak membutuhkan bantuan 

pemuda macam kau.


Warigagung memalingkan kepalanya 

ke arah Sarindah dengan alis berkerut. 

Kemudian terdengar jawabannya, Apakah 

sangkamu, aku mengharapkan balas jasa? 

Pendeknya engkau butuh bantuan maupun 

tidak, aku akan membunuh setiap laki-

laki yang berani menghina wanita.

Tangan Iblis tambah heran 

mendengar ucapan pemuda ini. Sebab 

dari nada ucapan dan sikapnya, jelas

pemuda ini bicara jujur. Apakah 

sebabnya murid Julung Pujud ini 

mempunyai pendirian seaneh ini?

Akan tetapi Si Tangan Iblis 

sekarang ini merasa ditantang Mahisa 

Jaladri hingga tidak telaten lagi 

orang berbantahan. Ia melangkah maju, 

lalu dengan sikap halus ia berkata, 

Anak, terima kasih atas perhatianmu 

kepada cucuku. Namun engkau harap 

mundur dulu. Sebab yang ditantang 

bukan kau tetapi aku. Anak, kalau 

terjadi apa-apa, bukankah gurumu akan 

marah kepadaku?

Kalau saja Si Tangan Iblis ini 

ucapannya kasar dan mengusir manakah 

mungkin pemuda aneh ini mau tunduk? Ia 

tentu menjadi tersinggung dan marah. 

Namun karena sikap Si Tangan Iblis 

halus dan membujuk, maka tanpa diminta 

untuk dua kalinya, Warigagung sudah 

mengundurkan diri. Lalu pemuda ini 

berdiri agak menjauh, namun seru-

lingnya tetap masih terpegang oleh


tangan. Ia akan segera mengundang 

barisan ular, apabila dua orang gadis 

itu dalam bahaya dan agar dapat 

melindungi keselamatan gadis itu.

Mahisa Jaladri yang tidak senang 

akan sikap dan kelancangan Warigagung, 

bertanya kepada Si Tangan Iblis, 

Siapakah bocah kurangajar itu? Huh, 

terangkanlah sebelum kau mampus.

Si Tangan Iblis terkekeh me-

ngejek, Heh heh heh heh, kalau engkau 

mendengar nama guru bocah itu, kau 

tentu ketakutan setengah mati. De-ngar 

baik-baik, dia bernama Warigagung dan 

murid Julung Pujud.

Benar juga dugaan Si Tangan 

Iblis. Mendengar disebutnya nama 

Julung Pujud, maka Mahisa Jaladri 

kaget. Namun demikian ia cepat ber-

hasil menekan perasaannya, sehingga 

perubahan wajahnya tidak tampak. 

Bentaknya kemudian, Huh, Taruno! 

Katakanlah sekarang, kau ingin mati 

dengan cara apa?

Heh heh heh heh, kau takabur! 

sahut Si Tangan Iblis mengejek. Kau 

yang segera akan mampus, masih juga 

banyak mulut. Kita tua sama tua, maka 

kau kupersilakan memilih dengan cara 

apa kita selesaikan urusan lama ini ?

Huhh huhh, dengan cara apa? Kita 

berkelahi sampai salah seorang mampus. 

Hayo, kita mulai sekarang juga! 

bentaknya.


Lalu tanpa memberi kesempatan 

kepada lawan, ia sudah menyerang. 

Agaknya Mahisa Jaladri sudah tidak 

sabar lagi dan ingin cepat-cepat dapat 

membalas sakit hatinya.

Ketika tangan Mahisa Jaladri 

dengan telapak tangan terbuka menampar 

ke depan, angin yang dahsyat segera 

menyambar ke depan. Dan walaupun tidak 

tampak, angin ini tidak boleh 

diremehkan, karena tamparan ini 

mengandung hawa panas seperti lahar 

gunung berapi. Apabila yang terserang 

angin tamparan ini sebatang pohon, 

maka pohon itu akan segera hangus dan 

tumbang. Dan apabila tamparan itu 

diarahkan kepada batu, maka batu itu 

akan hancur lebur.

Akan tetapi yang dihadapi 

sekarang ini seorang tokoh sakti yang 

terkenal dengan julukannya Si Tangan 

Iblis. Seorang tokoh sakti pula dan 

terkenal dengan tangannya yang ganas. 

Ia sudah dapat menduga apabila orang 

ini dahulu pernah ia kalahkan, 

sekarang datang dan menantang. Maka 

walaupun Si Tangan Iblis seorang 

angkuh, ia tidak berani sembrono. 

Cepat-cepat ia menggeser diri ke 

samping sambil mengebut dengan telapak 

tangan untuk memunahkan serangan 

lawan.

Perkelahian dua orang kakek yang 

dipengaruhi oleh dendam kesumat ini


dalam waktu singkat terjadi sengit 

sekali. Mereka bergerak cepat, makin 

lama tubuh dua orang itu seakan 

lenyap, tinggal merupakan bayangan 

berkelebat dan segulung warna 

pakaiannya. Angin yang dahsyat dan 

panas menyambar ke sekitarnya, dan mau 

tidak mau tiga orang muda itu terpaksa 

mundur menjauhi.

Daun-daun dan ranting pohon di 

sekitar gelanggang perkelahian itu 

rontok dan bosah-basih. Rumput yang 

semula menghijau segera layu seperti 

disiram air panas, hingga tiga orang 

muda yang melihat perkelahian itu 

hatinya tegang sekali. Mereka sadar, 

salah seorang tentu tak bernyawa dalam 

perkelahian ini.

Hawa di sekitar gelanggang 

perkelahian semakin menjadi panas, 

bertentangan dengan keadaan sehari-

hari, pegunungan ini berhawa dingin.

Memang tidak aneh apabila sampai 

terjadi keadaan seperti ini. Selama 

puluhan tahun di Tidar, Mahisa Jaladri 

menggembleng diri. Hati yang mendendam 

karena sakit hati mendorong kakek ini 

melatih diri secara tekun dan tidak 

mengenal lelah. Sebagai hasil ke-

tekunan dan keuletannya berlatih ini 

ia mendapat kemajuan pesat sekali. Di 

sekitar desa tempat tinggalnya, ia 

terkenal sebagai kakek sakti yang 

dihormati dan dipuja-puja karena


terkenal anti kejahatan.

Sekarang ia telah bertemu dan 

berkelahi dengan orang yang 

menyebabkan hidupnya merana. Sekarang 

hanya satu di antara dua yang harus 

dihadapi. Kalah berkelahi dan mati 

atau menang dan bisa membalas dendam. 

Orang yang dipengaruhi dendam yang 

mendalam tentu saja sepak terjangnya 

setengah nekad. Ia mengerahkan seluruh 

kemampuannya, dan makin lama 

serangannya semakin menjadi hebat dan 

berbahaya.

Melihat sepak terjang Mahisa 

Jaladri ini dalam hati Si Tangan Iblis 

tertawa mengejek. Ia justru orang yang 

cerdik dan licin. Ia seorang ganas 

tetapi juga banyak tipu muslihatnya. 

Padahal pantangan bagi seorang yang 

sedang berkelahi, kalau sudah tidak 

kuasa mengendalikan perasaannya. Sebab 

orang itu akan menjadi seperti kalap, 

sehingga kurang memperhatikan 

penjagaan diri. Maka Si Tangan Iblis 

yang sudah mengetahui kelemahan lawan 

ini, segera menggunakan keadaan ini 

sebaik-baiknya.

Demikianlah, perkelahian ini 

berlangsung sengit sekali dan duaratus 

jurus sudah dilalui. Namun belum juga 

bisa diketahui mana yang lebih unggul. 

Tidak seorangpun yang kendor serangan 

dan perlawanannya. Sedang hawa panas 

semakin melanda sekitarnya hingga



rumput kering dan mati.

Warigagung menjadi tidak telaten 

menonton perkelahian itu. Pemuda ini

memasang serulingnya di depan mulut, 

lalu berlagu untuk menghibur diri 

sambil melangkah pergi. Melihat itu 

Sarindah yang masih penasaran kepada 

pemuda itu menjadi marah.

Hai! Mau ke mana kau! bentaknya 

sambil memburu.

Sarwiyah berusaha mencegah, 

Mbakyu, biarkan dia pergi!

Tetapi Sarindah tidak peduli dan 

malah menjadi marah. Hardiknya, Wiyah! 

Kau mau menentang aku? Huh, tidak kau 

bantupun aku berani menghadapi dia!

Sarwiyah terpaksa menutup mulut, 

kemudian mengikuti mbakyunya yang 

mengejar Warigagung.

Oleh bentakan Sarindah itu 

Warigagung membalikkan tubuh, ia 

berhenti meniup seruling dan memandang 

Sarindah yang sudah memegang pedang 

terhunus. Mata pemuda ini berkedip-

kedip, kemudian bertanya, Aku mau 

pergi, apakah sebabnya kau meng-

halangi?

Urusan kita belum selesai. 

Mengapa kau mau ngacir pergi ?

Warigagung menjawab dengan nada 

dingin, Hemm, antara aku dan engkau 

tiada urusan apa-apa. Karena itu 

engkau jangan mengganggu aku lagi.

Huh, enak saja kau membuka mulut.


Pendeknya aku belum puas sebelum 

engkau mampus di tanganku!

Warigagung memandang Sarindah 

dengan pandang mata heran. Sepasang 

matanya tiba-tiba menyala kembali, 

sesudah ia ingat yang dihadapi 

sekarang ini perempuan. Ia tidak 

mungkin mau bertengkar dengan 

perempuan. Tetapi sebaliknya iapun 

tidak mau celaka di tangan perempuan.

Hemm, kalau saja kau laki-laki, 

ucapanmu yang lancang ini sudah 

kujadikan alasan untuk membunuh kau. 

Tetapi karena engkau perempuan, aku 

tidak mau berkelahi.

Akan tetapi justru ucapan 

Warigagung ini malah menyebabkan Sa-

rindah tambah marah. Ia merasa diren-

dahkan. Bentaknya lantang, Bangsat 

busuk. Engkau jangan menggunakan 

alasan yang dicari-cari. Dengar, belum 

tentu perempuan kalah dengan laki-

laki. Huh huh, dan jika kau 

beranggapan perempuan itu lemah, baik! 

Sekarang anggaplah aku bukan peremp-

uan. Aku seorang laki-laki yang 

sanggup membunuh kau!

Sepasang mata Warigagung menyala 

liar. Tantangan ini kuasa membang-

kitkan kemarahannya. Namun sesaat 

kemudian ia ingat kembali bagaimanapun 

yang dihadapi sekarang ini perempuan, 

sekaum dengan ibunya. Karena itu 

segera terbayang kembali peristiwa


belasan tahun lalu, ibunya mati di 

tangan ayahnya sendiri.

Ia menghela napas, lalu jawabnya, 

Tidak! Aku tidak boleh melawan 

perempuan. Ibuku di alam sana akan 

menyumpah menjadi seekor cacing. Ti-

dak! Aku tidak mau berkelahi dengan 

kau!

Sarwiyah merasa heran. Dan 

sebagai seorang gadis yang perasaannya 

halus, sabar dan teliti, ia segera 

bisa menduga apa yang sudah terjadi 

atas pemuda ini. Agaknya pemuda ini 

ingat pesan ibunya sebelum meninggal, 

tidak boleh bermusuhan dengan 

perempuan. Diam-diam ia menjadi 

terharu kepada Warigagung. Dirinya 

sendiri sudah tidak berayah bunda, dan 

kiranya pemuda inipun demikian pula, 

dan berarti pemuda ini senasib dengan 

dirinya. Dalam pada itu, kalau pemuda 

ini tidak mau bermusuhan, mengapa 

kakaknya ingin memaksa? Ia harus bisa 

mencegah.

Mbakyu, jika dia memang tidak mau 

melawan mengapakah sebabnya kau 

memaksa? Biarkanlah dia pergi dan mari 

kita lihat siapa yang menang antara 

kakek dengan orang itu.

Tetapi ia malah dibentak oleh 

Sarindah, Kurangajar kau! Apakah 

engkau menerima demikian saja dihina 

dan direndahkan bocah busuk itu? Dia 

begitu sombong, hayo tak usah banyak


mulut, kita bunuh habis perkara!

Sarwiyah tidak senang atas sikap 

kakaknya ini. Namun kalau harus 

menentang saudara tuanya juga tidak 

sanggup. Gadis ini memandang Wari-

gagung dengan ragu. Pandang matanya 

demikian sayu dan seakan minta kepada 

pemuda itu agar mau mengalah.

Warigagung dapat pula menangkap 

sinar mata gadis itu yang lembut, 

berbeda dengan kakaknya, dan seakan 

penuh harap agar mau mengalah kepada 

kakaknya. Walaupun pemuda liar dan 

ganas, tetapi Warigagung mempunyai 

kelembutan jika berhadapan dengan 

perempuan. Hatinya tergetar dan merasa 

iba pula kepada gadis ini.

Sudahlah, kata Warigagung. Aku 

mengaku kalah, dan sekarang izinkahlah 

aku pergi meninggalkan tempat ini 

untuk melanjutkan perjalanan.

Sarwiyah gembira sekali mendengar 

ucapan pemuda itu yang sesuai dengan 

harapannya. Ia berharap agar urusan 

ini selesai sampai di sini.

Akan tetapi di luar dugaannya, 

Sarindah bukannya menjadi reda oleh 

sikap mengalah pemuda ini, malah 

bentaknya, Huh, enak saja kau mengaku 

kalah. Orang yang merasa kalah harus 

tunduk kepada yang menang. Huh, aku 

baru mau percaya jika kau benar-benar 

merasa kalah, jika engkau mau duduk 

bersila di depanku, kemudian menyembah


aku tujuh kali.

Sepasang mata Warigagung kembali 

menyala. Ia amat tersinggung karena 

perintah itu amat merendahkan. Padahal 

apa yang diucapkan tadi bukan dirinya 

benar-benar kalah, dan ia hanya me-

ngalah saja, karena tak mau berurusan 

dengan perempuan. Bagaimana rasa 

segannya bermusuhan dengan perempuan, 

diam-diam pemuda ini menjadi tidak 

senang. Biarlah untuk hadiah bagi 

perempuan galak dan cerewet dan mau 

menang sendiri ini, perlu dihajar 

sedikit. Namun sebaliknya terhadap 

Sarwiyah yang halus itu bagaimanakah 

mungkin dirinya tega? Gadis itu takkan 

diganggu.

Hemm, engkau terlalu memaksa aku! 

katanya. Jika demikian hayo kita coba 

lagi, siapa yang menang dan siapa pula 

yang kalah.

Tanpa banyak mulut lagi, 

mendengar ucapan Warigagung ini, 

Sarindah sudah menerjang ke depan 

dengan pedangnya. Sarwiyah menyesal 

bukan main karena ia tadi sudah 

berusaha mencegah, namun ternyata 

kakaknya sudah memulai. Apa boleh 

buat. Ia tidak tega kepada kakaknya, 

maka iapun segera menghunus pedang dan 

membantu.

Warigagung jungkir balik ke 

belakang menghindarkan serangan men-

dadak itu. Tiba-tiba pada tangan kanan


sudah terpegang pedang hitam berhulu 

tiruan kepala ular.

Trang trang.... pedangnya ber-

hasil menangkis pedang dua gadis itu 

hingga terpental menyeleweng. Secepat 

kilat Warigagung melesat ke samping. 

Sebab ia tahu, pedang gadis yang 

terpental itu masih dapat menyerang 

lagi.

Sarindah yang amat penasaran ini 

menyerang dengan sengit. Sebaliknya 

Sarwiyah yang agak ragu, serangannya 

hanya sekedar membantu dan tidak 

sungguh-sungguh. Warigagung mengerut-

kan alis atas sikap gadis ini, dan 

diam-diam timbul rasa terima kasih 

kepada Sarwiyah.

Akan tetapi Sarindah merasakan 

pula keraguan adiknya. Ia menjadi 

marah, bentaknya, Wiyah! Mengapa se-

babnya kau tidak sungguh-sungguh? Kau 

jangan main sandiwara.

Sarwiyah terkejut sekali. Ia 

menjadi serba salah. Untuk menyerang 

benar-benar ia tidak sampai hati 

justru pemuda itu tidak bersalah. 

Tetapi sebaliknya kalau tidak sungguh-

sungguh, kakaknya marah.


Trang trang.......pedangnya 

berhasil menangkis pedang dua gadis 

itu hingga terpental menyeleweng.

Sementara itu Si Tangan Iblis 

kaget ketika melihat cucunya berkelahi 

lagi dengan murid Julung Pujud. 

Mengapa cucunya itu tidak mau men-

dengar nasihatnya? Kakek ini menjadi 

gelisah dan khawatir, karena ia tahu


dua orang cucunya itu takkan menang 

melawan Warigagung. Dan bukan saja 

Warigagung bukan lawan yang seimbang. 

tetapi apabila guru bocah itu tiba-

tiba muncul bisa menimbulkan salah 

paham dan merugikan rencananya. Namun 

demikian untuk mencoba mencegah dengan 

teriakan, juga tidak mungkin.

Jalan satu-satunya ia harus 

selekasnya dapat mengalahkan Mahisa 

Jaladri. Tiba-tiba kakek ini membentak 

nyaring, disusul dari telapak 

tangannya mengepul uap hitam yang 

segera menyerang Mahisa Jaladri. 

Inilah Aji Mega Langking. Apabila 

digunakan dari telapak tangan segera 

keluar asap hitam. Dan asap hitam ini 

amat berbahaya karena mengandung 

racun. Orang yang terserang segera 

keracunan.

Mahisa Jaladri juga insyaf akan 

bahayanya asap hitam itu. Ia segera 

mengebut untuk menghalau dan 

membuyarkan asap hitam itu. Tetapi 

celakanya karena harus repot mengebut 

dan mengusir asap hitam ini Mahisa 

Jaladri menderita rugi. Makin lama ia 

semakin terdesak, sedang asap hitam 

yang keluar dari telapak tangan Si 

Tangan Iblis makin lama menjadi tambah 

tebal.

Tak lama kemudian terdengar jerit 

ngeri dan panjang dari mulut Mahisa 

Jaladri, disusul robohnya tubuh kakek


itu. Ternyata oleh serangan Aji Mega 

Langking itu, Mahisa Jaladri tidak 

kuasa bertahan. Ia kemudian roboh dan 

nyawa melayang, dalam keadaan 

menyedihkan sekali. Dari lubang 

hidung, mata, telinga dan lubang tubuh 

lain keluar darah hitam.

Si Tangan Iblis ketawa panjang 

setelah berhasil merobohkan lawannya. 

Sejenak kemudian tubuhnya meluncur 

seperti anak panah, ke arah Warigagung 

yang sedang berkelahi melawan Sarindah 

dan Sarwiyah. Ketika tangan kakek ini 

mengebut, tiga orang muda itu 

terhuyung mundur beberapa langkah ke 

belakang. Si Tangan Iblis berdiri di 

antara mereka dengan sepasang mata

menyinarkan api saking marah.

Bocah kurangajar! bentaknya 

kepada Warigagung. Apakah engkau 

menyombongkan kepandaianmu di tempat 

ini ?

Sebelum Warigagung sempat me-

nyahut, Sarwiyah mendahului, Kakek, 

bukan dia yang salah....

Wiyah! Tutup mulutmu. Apakah 

engkau akan membela lawan? bentak 

Sarindah sambil mendelik.

Akan tetapi kali ini Sarwiyah 

yang merasa pada pihak yang benar, 

tidak mau mengalah begitu saja. Apa 

yang terjadi justru mbakyunya yang 

terlalu mendesak, dan ia tidak tega 

pemuda yang tidak bersalah itu


dibentak kakeknya.

Aku tidak membela siapapun! 

bantahnya. Aku hanya mengatakan 

sebenarnya, toh dia tadi mau pergi 

tetapi kau cegah. Malah dia sudah 

mengaku kalah, tetapi engkau memaksa 

dan malah mengajak berkelahi.

Huh huh, Sarindah geram, engkau 

anak kecil tahu apa? Kedatangannya ke 

tempat ini amat mencurigakan. Sudah 

tentu dia mengandung maksud yang tidak 

baik.

Sarindah bukan saja galak tetapi 

juga licin. Ia segera dapat menga-

lihkan persoalan yang dapat 

menyudutkan Sarwiyah, kepada soal lain 

yang cukup beralasan. Dengan demikian 

kakeknya tentu dapat membenarkan 

sikapnya, bahwa apa yang sudah 

dilakukan sudah sesuai dengan 

wewenangnya.

Ternyata jawaban Sarindah ini 

berpengaruh terhadap kakeknya. Si 

Tangan Iblis menatap Warigagung penuh 

selidik. Kemudian katanya angkuh, Huh 

huh, kalau saja aku tidak memandang 

muka gurumu, hemm, mana bisa aku 

mengampuni kelancanganmu ini? Seka-

rang, lekaslah kau minggat dari tempat 

ini dan lebih dahulu kau harus mohon 

maaf kepadaku!

Manakah mungkin Warigagung mau 

menerima begitu saja, oleh sikap kasar 

dan bentakan orang? Sepasang mata



pemuda itu menyala seperti 

mengeluarkan api saking marahnya. 

Tetapi ketika pandang matanya ter-

tumbuk sinar mata Sarwiyah yang redup, 

yang penuh iba dan permohonan, tiba-

tiba saja hati pemuda ini menjadi 

ragu. Hanya saja pengaruh pandang mata 

Sarwiyah itu cuma sekejap.

Lalu pemuda ini menatap tajam 

kepada Si Tangan Iblis, sahutnya 

ketus, Aku tidak bersalah apa-apa, 

mengapa sebabnya aku harus minta maaf? 

Sudah aku katakan gunung ini tiada 

pemiliknya, dan apabila ada orang yang 

mengaku sebagai pemilik adalah bohong. 

Huh, apabila orang menginjakkan kaki 

di gunung ini lalu dituduh melakukan 

sesuatu, mana mungkin aku bisa 

menerima begitu saja? Pendeknya aku 

bukan anjing. Aku berada di tempat ini 

tidak lain untuk menghibur diri, dan 

kalau aku sudah bosan di sini tanpa 

ada yang menyuruh, aku tentu pergi. 

Tetapi sebaliknya apabila orang 

sewenang-wenang, menggebah aku seperti 

aNJing, aku tidak sudi!

Sepasang mata Si Tangan IblIs 

menyala mendengar jawaban ini. Ia 

mendengus kemudian berkata dingin, 

Hemm, aku sudah berlaku murah 

mengingat gurumu. Tetapi jika kau 

membandel, tidak bisa menempatkan 

dirimu sebagai orang muda, huh, jangan 

salahkan aku jika aku terpaksa


mengusir kau seperti anjing!

Kalau Warigagung sudah tersing-

gung, sudah marah, tidak takut kepada 

siapapun. Karena sikap kakek itu 

kasar, ia lalu berdiri tegak dan 

membusungkan dada. Sikapnya angkuh, 

sahutnya menantang, Hem, jika engkau 

orang tua mau memaksakan kehendakmu 

sendiri dan sewenang-wenang, siapa 

takut?

Warigagung menangkap kilatan mata 

Sarwiyah yang seperti mau menangis. 

Namun pemuda yang sudah marah ini 

tidak peduli lagi. Ia tidak takut 

mati, sebaliknya ia takkan bisa 

menerima orang sengaja menghina 

dirinya.

Kurangajar! bentak kakek ini. 

Engkau bocah kemarin sore berani 

menantang aku?

Aku tidak menantang. Tetapi aku 

tidak takut kepada siapapun yang 

sengaja menghina aku! jawab pemuda ini 

lebih ketus lagi.

Si Tangan Iblis amat penasaran 

berhadapan dengan pemuda bandel ini. 

Ia menjadi lupa kepada keadaan dirinya 

yang sudah kakek-kakek yang tidak 

sepantasnya melawan orang muda. 

Katanya, Hayo, mulailah!

Tanpa membuka mulut lagi, pemuda 

itu sudah melompat ke depan meng-

gerakkan pedangnya. SaDar akan dirinya 

sekarang ini berhadapan dengan seorang


kakek yang tingkatnya jauh lebih 

tinggi, maka serangannya mengarah 

empat bagian tubuh berbahaya. Ialah 

pusar, uluhati, leher dan mata. 

Gerakannya cepat dan bertenaga, gaya 

serangannya juga mantap, dan 

membuktikan pemuda ini sudah menguasai 

ilmu pedangnya secara baik sekali.

Tring tring tring tring..... 

Heh heh heh heh....!

Semua serangan dapat dipatahkan 

Si Tangan Iblis. Kakek ini terkekeh 

tetapi diam-diam kaget juga. Mengapa 

sebabnya pedang itu tidak lepas dari 

tangan, padahal sentilan jarinya 

mengandung tenaga yang amat dahsyat? 

Semua muridnya termasuk Sarindah dan 

Sarwiyah takkan kuasa mempertahankan 

pedangnya apabila sudah ia sentil.

Kenapa pemuda ini tidak?

Keadaan ini justru menyebabkan Si 

Tangan Iblis penasaran dan iri kepada 

Julung Pujud. Mengapa Julung Pujud 

dapat menggembleng muridnya seperti 

ini, sedang dirinya tidak? Padahal ia 

merasa pasti dalam dalam cara mendidik 

dan menggembleng murid, ia tidak perlu 

kalah. Dan saking penasaran dan iri

hati ini, kakek ini menjadi lupa. 

Kalau tadi hanya bermaksud mengusir 

saja, sekarang timbul niatnya untuk 

menghajar, agar berkurang kebandelan 

dan kesombongan bocah ini.

Terpengaruh oleh rasa penasaran


dan irihati ini maka ketika pedang 

Warigagung tidak lepas dari tangan, ia 

segera menyusuli serangan dengan 

mengebut. Kebutan telapak tangan ini 

perlahan saja, namun sesungguhnya amat 

berbahaya, karena kebutan ini 

mengandung tenaga kuat dan mengandung 

hawa panas pula.

Warigagung kaget sekali dan cepat 

melesat menghindarkan diri. Sebenarnya 

sebagai akibat tangkisan Si Tangan 

Iblis tadi, lengannya panas sekali 

seperti dibakar oleh api. Meskipun 

demikian ia seorang pemuda yang keras 

hati. Ia menahan rasa sakit untuk 

mempertahankan pedangnya.

Akan tetapi mendadak ia merasakan 

dadanya diserang oleh hawa panas dan 

seperti ditindih, hingga sesak!

Sayang sekali Warigagung seorang 

pemuda bandel dan nekad. Tindihan 

tenaga panas yang menyebabkan dadanya 

sesak itu malah menyebabkan Warigagung 

penasaran. Ia memaksa diri, pedangnya 

bergerak dengan jurus rahasia menye-

rang lawan. Pendeknya sebelum dirinya 

roboh, sedikitnya ia harus dapat 

melukai kakek ini. Jurus simpanan ini 

merupakan jurus aneh, namun apabila 

berhadapan dengan orang sakti tidak 

bisa menolong.

Tiba-tiba pedangnya bergerak se-

perti mau memancung lehernya sendiri. 

Si Tangan Iblis kaget sekali,


lengannya dengan jari terbuka dan 

terulur untuk meneengkeram dan merebut 

pedang itu. Tetapi mendadak kakek ini 

kaget sekali dan cepat-cepat menarik 

tangan kanan disusul dengan tangan 

kiri mengebut.

Hampir saja lengan kanannya 

buntung tertabas pedang Warigagung. 

Tetapi justru gerak tipu yang hampir 

mencelakakan ini menyebabkan Si Tangan 

Iblis menggeram marah. Ketika pedang 

Warigagung kembali berkelebat menye-

rang, ia tidak bergerak menghindari. 

Namun ketika ujung pedang hampir 

menyentuh bajunya, jari tengah dan 

jari telunjuk kakek ini hampir 

menyentuh bajunya, jari tengah dan 

jari telunjuk kakek ini sudah menjepit 

batang pedang berbareng membentak, 

sehingga pedang pemuda ini lepas dan 

tubuhnya terhuyung ke belakang.

Melihat itu Sarwiyah pucat. 

Pemuda itu tidak bersalah aa-apa, 

mengapa kakek dan mbakyunya memusuhi? 

Ia menjadi tidak senang dan marah. 

Akan tetapi sebaliknya untuk mencela 

juga tidak berani. Maka yang bisa 

dilakukan kemudian hanyalah memandang 

penuh rasa khawatir, apabila pemuda 

itu sampai celaka di tangan kakeknya. 

Bagaimanapun ia sudah kenal watak 

kakeknya. Apabila sudah marah 

tangannya menjadi ganas dan bisa 

menurunkan tangan maut.



Namun sebaliknya Warigagung bu-

kannya tunduk dan menyerah setelah 

pedangnya dirampas orang. Pemuda ini 

malah tambah marah dan kalap. Ia 

pernah mendapat nasihat dari gurunya, 

bahwa senjata ibarat nyawanya sendiri. 

Untuk membela senjatanya itu, maka 

Warigagung tak takut mengorbankan 

nyawa. Karena itu sambil melengking 

nyaring, Warigagung melompat ke depan. 

Tangan kiri membentuk cakar sedang 

tangan kanan meninju dada.

Hai! Kau belum juga mau menyerah? 

Si Tangan Iblis kaget melihat 

kenekatan pemuda itu.

Ia berdiri tegak. Pukulan ke arah 

dada diterima dengan dada. Sedang 

tangan kiri yang be-maksud menceng-

keram pusar ia tangkap. Kemudian 

tangan itu dipuntir ke belakang.

Ketika kakek ini mendorong, 

Warigagung hampir terjerembab mencium 

tanah. Untung pemuda ini cukup 

tangkas. Ia berjungkir balik beberapa 

kali untuk mematahkan tenaga dorongan 

dan kemudian meloncat berdiri. Pemuda 

ini sekarang matanya beringas.

Huh! Bagiku tidak ada kata 

menyerah. Nyawaku hanya selembar, 

matipun tidak akan penasaran di tangan 

seorang kakek yang bukan tandinganku!

Si Tangan Iblis merasa disindir. 

Wajahnya menjadi merah padam, lalu 

dengusnya dingin, Hemm, engkau sendiri


yang mencari penyakit. Kalau saja aku 

tidak memandang muka gurumu, apakah 

aku masih dapat bersikap seperti ini?

Karena berkali-kali nama gurunya 

disebut, Warigagung tambah penasaran. 

Bantahnya, Huh! Berkali-kali kau 

menyebut Guruku. Jika saat ini Guruku 

ada, apakah engkau berani menghina aku 

seperti ini?

Wajah kakek ini tambah merah 

padam saking merah berbareng malu. 

Sebenarnya memang demikian, apabila 

Julung Pujud sekarang ini hadir, kakek 

ini takkan berani gegabah. Bagai-

manapun kakek ini masih akan hitung-

hitung kekuatannya lebih dahulu, jika 

Julung Pujud sampai marah.

Akan tetapi karena sejak tadi 

guru pemuda ini tidak juga muncul, 

maka keangkuhan kakek ini tidak 

berkurang. Jawabnya dingin, Huh huh, 

sangkamu jika gurumu hadir aku takut? 

Engkau sendiri yang bandel dan tidak 

pandai menghormati orang tua. Tentu

saja gurumupun tidak senang dengan 

sikapmu yang kurangajar ini.

Kakek ini mengucapkan kata-kata 

seperti itu bukan lain karena malu, di 

depan murid dan cucunya dianggap takut 

kepada orang lain. Namun demikian 

karena sesungguhnya ia gentar apabila 

berhadapan dengan Julung Pujud, maka 

ucapannya miring. Ia menekankan bahwa 

dalam persoalan ini Warigagung yang


bersalah. Hingga ia ingin menyalahkan 

orang dan menempatkan dirinya pada 

pihak yang benar.

Warigagung ketawa terkekeh saking 

penasaran. Katanya, Heh heh heh heh, 

engkau orang tua menjadi sombong dapat 

merebut pedangku. Tetapi sekarang, 

rasakan jarumku!

Hampir berbareng dengan ucapannya 

dari tangan Warigagung sudah menyambar 

puluhan bintik hitam. Saking marah dan 

penasaran, Warigagung menyerang dengan 

jarum beracun dalam jumlah banyak.

Pemuda ini justru amat terlatih 

dalam hal menyambitkan senjata rahasia 

jarum. Maka ketika tangan bergerak, 

jarum-jarum itu segera menyambar ke 

arah bagian tubuh yang berbahaya.

Walaupun sejak tadi kakek ini 

sudah menduga, tidak urung terkejut 

juga melihat menyambitnya jarum 

beracun yang kecil itu, sebab 

menyambarnya jarum itu amat cepat dan 

di luar dugaannya.

Akan tetapi Si Tangan Iblis 

seorang tokoh sakti. Sekalipun jarum 

itu kecil, ia dapat melihat 

menyambarnya jarum itu.

Kakek ini tidak menjadi gugup. Ia 

melepas ikat kepalanya dipergunakan 

mengebut. Angin yang amat kuat segera 

menyambar dan jarum-jarum beracun itu 

segera menyeleweng atau runtuh ke 

tanah. Tidak sebatangpun jarum yang


dapat menyentuh tubuh kakek itu.

Tetapi gerakan tangan yang 

memutarkan ikat kepala itu tidak ber-

henti untuk mengebut jarum. Gerakannya 

diteruskan untuk membalas menyerang 

Warigagung. Tampaknya memang hanya 

selembar kain ikat kepala dan hanya 

benda yang lemas dan tipis. Akan 

tetapi di tangan seorang sakti, benda 

lemas ini dapat berubah menjadi 

senjata berbahaya.

Gerakan kakek ini cepat tidak 

terduga. Warigagung yang sudah menyia-

pkan jarum beracun untuk menyerang 

lagi, tidak sempat melepaskan. Dan 

tiba-tiba saja lengan pemuda ini 

menjadi lumpuh, hingga jarum yang 

digenggam runtuh ke tanah. Sebelum 

pemuda ini dapat membela diri sudah 

jatuh terduduk oleh sabetan ikat 

kepala yang menyambar kaki.

Si Tangan Iblis yang amat 

penasaran atas kekurangajaran Wari-

gagung sudah menggerakkan tangan untuk 

mencengkeram pundak bocah itu dengan 

maksud agar sambungan tulang pundaknya 

lepas.

4

Akan tetapi mendadak gerakan 

kakek ini berhenti dan kaget sekali 

ketika mendengar jerit Sarindah yang 

nyaring. Jerit itu kemudian disusul



oleh bentakan Sarwiyah.

Si Tangan Iblis berpaling dan 

mendadak wajahnya pucat. Ternyata 

cucunya, Sarindah, sekarang sudah 

tidak bisa berkutik lagi, dikepit oleh 

Kakek Kerdil. Sedang Sarwiyah menggu-

nakan pedang masih terus menghujani 

serangan kepada kakek itu, tetapi 

serangannya tidak pernah berhasil 

seperti menyerang bayangan.

Kakek ini terbelalak disamping 

amat kagum. Ia tidak mendengar gerakan 

orang itu, tetapi tahu-tahu Julung 

Pujud sudah berhasil menawan Sarindah.

Karena khawatir, Si Tangan Iblis 

sudah membentak, Hai Julung Pujud. 

Engkau curang! Apakah sebabnya kau 

menawan cucuku yang tak bersalah?

Heh heh heh heh, siapakah yang 

curang? sahut kakek kerdil ini yang 

tidak lain memang Julung Pujud. Huh, 

engkau tak tahu malu dan akan 

mencelakakan muridku. Apakah sebabnya 

aku tidak boleh membalas dengan cara 

menawan cucumu? Hayo, lekas 

lakukanlah! Jika engkau berani men-

celakakan muridku, maka cucumu inipun 

mati dalam tanganku!

Wajah Si Tangan Iblis merah 

padam. Ia sadar, keadaan amat 

berbahaya. Julung Pujud terkenal 

sebagai orang liar dan ganas. Anca-

mannya akah dibuktikan apabila dirinya 

bersikeras. Namun demikian tentu saja


ia tidak mau mengalah begitu saja. Ia 

harus mengejek dulu.

Ha ha ha ha, Julung Pujud, 

engkaulah yang tidak tahu malu. Sejak 

tadi kau menyembunyikan diri, tahu-

tahu kau menggunakan kesempatan secara 

curang.

Julung Pujud terkekeh, Heh heh 

heh heh, yang curang dan tak tahu malu 

itu sesungguhnya siapa? Hayo, katakan 

siapa? Engkau jangan hanya mencari 

menang sendiri dan merasa benar. Aku 

bertanya, apakah kesalahan muridku? 

Dia tidak mengganggu siapapun, dan 

malah bersikap mengalah pula kepada 

dua orang cucumu ini. Kalau muridku 

mau berkelahi, huh huh, aku berani 

bertaruh dengan potong jari, dua orang 

cucumu ini sekalipun mengeroyok tak 

mungkin menang melawan muridku. Huh, 

aku tahu dengan mata kepala sendiri. 

Ketika engkau sedang sibuk mengadu 

tulang dengan Mahisa Jaladri, muridku 

meniup seruling dengan maksud pergi. 

Tetapi cucumu perempuan yang galak ini 

malah menghina dan merendahkan 

muridku. Huh, terimalah!

Julung Pujud melemparkan Sarindah 

ke arah Si Tangan Iblis. Sebagai 

seorang yang sudah banyak makan garam 

tentu saja Julung Pujud tidak sekadar 

melemparkannya. Maka diam-diam Si 

Tangan Iblis mengerahkan tenaga sakti 

ke arah kaki agar berat badannya



bertambah. Dengan kuda-kuda yang kuat 

ini kemudian ia menyambut tubuh 

Sarindah yang melayang ke arahnya.

Akan tetapi ahhh.... Si Tangan 

Iblis menjadi kaget. Sekalipun ia 

sudah mengerahkan tenaga dalam 

menyambut, tidak urung kuda-kudanya 

masih tergempur. Nyatalah bahwa 

sekalipun tubuhnya kerdil, Julung 

Pujud tidak dapat diremehkan tentang 

kekuatan tenaganya.

Julung Pujud sudah melompat dan 

menolong muridnya. Kemudian sambil 

menatap tajam kepada Si Tangan Iblis, 

hardiknya, Cucumu yang galak itulah 

yang menjadi gara-gara. Jika tidak 

percaya engkau bisa bertanya kepada 

cucumu yang muda. Muridku tidak mau 

melayani dan malah mengalah, tetapi 

cucumu yang galak itu masih memaksa. 

Tentu saja muridku terpaksa melayani 

sekalipun tidak bersungguh-sungguh.

Digerutu oleh hardikan ini untuk 

sejenak Si Tangan Iblis bungkam. Sebab 

apa yang sudah terjadi memang benar, 

Sarindah yang menimbulkan gara-gara. 

Akan tetapi manakah mungkin Si Tangan 

Iblis mau saja pihaknya dipersalahkan. 

Ia terkekeh lalu jawabnya.

Heh heh heh heh, engkau mencari 

enak sendiri tanpa mau mawas diri. 

Kalau saja muridmu tidak keluyuran 

sampai di daerah ini, mana mungkin 

sampai terjadi peristiwa ini? Dengan


begitu jelaslah muridmu yang bersalah.

Ha ha ha ha, ho ho ho ho, engkau 

mencari-cari alasan dalam usahamu 

membela diri. Siapakah yang bisa 

melarang muridku mendaki gunung ini? 

ejek Julung Pujud. Sudahlah, tiada 

gunanya saling bantah dan memper-

salahkan mana yang salah dan mana yang 

benar. Yang jelas kau orang tua yang 

tidak tahu malu. Engkau sudah memaksa

dan menghina muridku, dan sekarang 

engkau harus bertanggung jawab.

Apakah maksudmu? Apa yang harus 

aku pertanggungjawabkan ?

Engkau harus melawan aku 

sekarang, tua sama tua, barulah ramai 

dan menyenangkan. Jika perlu malah 

bisa ditambah pula yang muda dengan

muda. Suruhlah cucumu mengeroyok mu-

ridku.

Kalau saja menurutkan watak dan 

keangkuhannya, seharusnya Si Tangan 

Iblis harus menerima tantangan ini. 

Tetapi kakek ini bukan seorang tolol. 

Bukan seorang yang hanya menurutkan 

perasaannya. Ia dapat memperhitungkan 

tentang untung ruginya bermusuhan 

dengan Julung Pujud. Ia justru 

mempunyai rencana dan cita-cita yang 

sangat tinggi. Makin banyak sekutu dan 

sahabat, justru akan sangat 

menguntungkan. Maka ia harus dapat 

menarik Julung Pujud sebagai kawan 

seperjuangan, untuk membunuh Mahapatih


Gajah Mada dan Mpu Nala.

Akan tetapi sebaliknya ia juga 

tahu tentang watak Julung Pujud yang 

aneh. Tanpa siasat tidaklah mungkin 

Julung Pujud dapat menerima ajakannya. 

Oleh karena itu Si Tangan Iblis 

tertawa terkekeh.

Heh heh heh heh, tidak lucu! 

Tidak lucu!

Hai, apanya yang lucu? Aku 

bukanlah badut dan tentu saja tidak 

lucu! bentak Julung Pujud.

Heh heh heh heh, yang aku maksud 

tidak lucu itu, adalah apabila antara 

aku dan engkau saling jotos dan 

mengadu tulang keropos ini, sahut Si 

Tangan Iblis. Engkau disebut orang, 

dari golongan sesat sebaliknya akupun 

disebut orang sesat pula. Kalau 

menggunakan nama agak mentereng, aku 

dan engkau disebut orang dengan nama 

golongan hitam. Nah, manakah bisa 

terjadi antara golongan sendiri saling

hantam dan saling pukul? Tidak urung 

dunia ini akan menertawakan kita. Kau 

harus sadar bahwa musuh golongan hitam 

adalah orang yang menyebut dirinya 

dari aliran putih atau lurus bersih. 

Nah, itu baru tepat! Coba sekarang 

pikirkanlah, apa yang aku katakan ini 

salah?

Julung Pujud mendengus dingin, 

Hemm, engkau berputar lidah tidak 

karuan. Katakan saja engkau tidak


berani melawan aku, habis perkara! 

Huh, apakah sebabnya engkau harus 

berputar-putar haluan menggunakan 

alasan golongan hitam dan dan lurus 

bersih!??

Julung Pujud berhenti dan 

menebarkan pandang mata ke sekeliling. 

Kemudian ia tersenyum dan meneruskan, 

Heh heh heh heh, tetapi jika aku 

rasakan, benar juga alasanmu. Antara 

golongan sendiri tidak merugikan kita 

sendiri dan sebaliknya golongan sana 

yang bakal bersorak kegirangan.

Julung Pujud berhenti lagi, 

kemudian, Hemm, tetapi tidak gampang 

engkau mau bersahabat dengan aku. 

Kecuali apabila engkau sendiri 

memenuhi persyaratan yang aku ajukan.

Diam-diam Si Tangan Iblis gembira 

sekali mendengar ucapan Julung Pujud 

ini. Sekalipun demikian kakek ini 

pura-pura mendelik dan marah, 

Kurangajar kau! Syarat macam apa saja 

yang engkau maksudkan itu?

Ha ha ha ha, syaratnya tidak 

berat. Namun demikian pasti, dan 

engkau tidak boleh menolak. Sebab 

apabila engkau menolak berarti terang-

terangan engkau menghina Julung Pujud, 

dan sudah tentu hinaan itu baru bisa 

impas dengan mengalirnya darah. Hai 

Tangan Iblis! Antara kita sekarang 

harus dijalin hubungan batin. Hubungan 

keluarga! Dengan begitu, antara kita


ini tidak bisa digoyahkan lagi.

Si Tangan Iblis melongo heran. 

Tanyanya dalam hati, hubungan 

keluarga? Lalu hubungan yang bagai-

mana? Karena tidak mengerti maksud 

Julung Pujud, lalu ia bertanya, Apakah 

maksudmu dengan hubungan keluarga ini?

Heh heh heh heh, apakah sebabnya 

kau men jadi tolol? Muridku masih 

jejaka tulen, ting ting! Sebaliknya 

cucumu juga masih perawan suci! Maka 

sekarang juga aku malamar cucumu yang 

muda itu, untuk menjadi isteri 

muridku. Ha ha ha ha, setuju atau 

tidak setuju?

Guru......! Warigagung yang tidak 

pernah mimpi gurunya meminang gadis 

dan dijodohkan dengan dirinya, menjadi 

kaget. Maksudnya akan membantah tetapi 

Julung Pujud sudah memberi isyarat 

dengan gerakan tangan, hingga bocah 

ini tidak berani membuka mulut lagi. 

Sekalipun demikian sepasang 

matanya segera memandang ke arah 

sarwiyah. Sebagai seorang pemuda ia 

memang tertarik juga oleh sikap gadis 

yang halus itu, justru disamping juga 

cantik. Tetapi sekalipun demikian ia 

tidak tahu apakah dirinya suka kepada 

gadis itu, karena yang dirasakan 

sekarang ini hanyalah, gadis bernama 

Sarwiyah itu menimbulkan kesan sejuk 

dalam hatinya. Tetapi benarkah 

perasaan ini merupakan tanda dirinya


jatuh cinta?

Sarwiyah tidak berbeda, juga 

menjadi kaget dan hatinya tidak 

karuan. Soalnya walaupun belum terang-

terangan, hatinya sudah terlanjur 

terisi oleh Kebo Pradah. Ia tidak 

membenci pemuda itu dan malah tertarik 

oleh sikapnya yang amat menghargai dan 

menghormati wanita. Akan tetapi cinta? 

Ahh, dirinya tidak tahu, karena sudah 

tertambat oleh Kebo Pradah. Namun 

sebaliknya kalau harus menolak, ia 

tidak berani. Karena disamping Si 

Tangan Iblis sebagai kakeknya juga 

sebagai gurunya. Tentu saja sebagai 

kakek dan pengganti orang tuanya, 

mempunyai wewenang dalam soal 

perjodoan ini.

Disamping semua itu, Sarwiyah 

juga dapat berpikir jauh. Ia tahu 

tentang cita-cita kakeknya yang akan 

membalas dendam. Padahal musuh 

kakeknya adalah Mahapatih Gajah Mada 

dan Mpu Nala. Mereka merupakan dua 

tokoh sakti mandraguna jaman ini, 

disamping amat tinggi kedudukannya. 

Tentu saja kakeknya membutuhkan kawan 

seperjuangan yang juga sakti man-

draguna.

Padahal kakek kerdil ini sedia 

bekerjasama asalkan saja dirinya mau 

diperistri oleh Warigagung. Dirinya 

amat kecil dan tidak berarti apabila 

dibandingkan dengan cita-cita kakeknya


yang amat tinggi itu. Dan lebih dari 

itu justru cita-cita kakeknya adalah 

untuk membalas dendam kematian ayah 

bundanya. Maka dirinya dituntut darma

baktinya sebagai anak kepada orang 

tuanya. Betapa marah ayah bundanya di 

alam sana, apabila dirinya tidak dapat 

membantu kakeknya membalas dendam. 

Mengingat semua itu gadis ini diam-

diam memutuskan takkan menentang 

keputusan kakeknya.

Si Tangan Iblis memandang 

Sarwiyah dan Warigagung bergantian. 

Lalu katanya, Hemm.... Julung Pujud, 

engkau jangan menghina diriku.

Siapa yang menghina ? Julung 

Pujud mendelik. Aku berkata sebenarnya 

dan aku mewakili muridku untuk 

meminang cucumu yang muda itu. Ehh... 

siapa namanya?

Namanya Sarwiyah, sahut Si Tangan 

Iblis. Tetapi apakah sopan jika engkau 

mengajukan pinangan di jalan seperti 

ini?

Ho,ho heh heh heh, engkau ini 

seorang dungu ataukah memang tolol? 

Aku dan kau bertemu di sini dan bukan 

di rumahmu. Julung Pujud mengejek. 

Karena kita ketemu di sini tentu saja 

di sini pula aku meminang.

Jika engkau memang berbicara 

sungguh-sungguh, engkau tentu bersedia 

datang ke rumahku.

Mengapa tidak? Tetapi eh, lebih


dahulu engkau harus memberi kepastian. 

Engkau terima atau kau tolak 

pinanganku ini? Jika engkau berani me-

nolak, huh huh! Engkau dan aku harus 

berkelahi dan salah seorang harus 

mampus.

Heh heh heh heh, manakah ada 

orang tua yang tidak menjadi gembira, 

mempunyai besan seperti engkau ini? 

Pendeknya, pinanganmu aku terima. 

Tentang kapan pernikahan dilangsung-

kan, kemudian hari kita rundingkan. 

Hayolah, sekarang kita pulang.

Nanti dulu! Julung Pujud 

mencegah. Engkau sudah membunuh Mahisa 

Jaladri. Karena itu tidak baik jika 

engkau biarkan menggeletak di sini dan 

bakal menjadi busuk menjijikkan. Maka 

lebih baik kalau kita buang saja ke 

jurang.

Selesai berkata, kaki Julung 

Pujud bergerak menendang. Kakinya 

hanya kecil dan pendek, sesuai dengan 

tubuhnya yang kerdil. Namun akibat

dari tendangannya membuat orang 

terbelalak kagum. Sebab begitu di-

tendang, tubuh Mahisa Jaladri sudah 

terbang tinggi. Julung Pujud segera 

memburu. Ketika tubuh Mahisa Jaladri 

hampir jatuh ke tanah, kaki Julung 

Pujud bergerak lagi menendang. Hanya 

empat kali Julung Pujud menendang, 

tubuh Mahisa Jaladri sudah terlempar 

ke dalam jurang amat dalam.


Mereka memang orang-orang aneh 

dan sudah memaklumkan diri dari 

golongan hitam. Tentu saja cara 

berpikirnyapun lain. Bagi mereka, 

perbuatan yang kejam dan ganas 

merupakan lambang kejan-tanan dan 

kebanggaan. Itulah sebabnya mereka 

tidak perlu menyempurnakan jenazah 

Mahisa Jaladri dengan dikubur atau 

dibakar, melainkan hanya dibuang saja 

ke jurang. Dengan demikian mereka 

membiarkan jenazah manusia itu menjadi

mangsa binatang buas.

Dalam perjalanan pulang ini hati 

Sarwiyah sama dengan perasaan 

Warigagung. Rasanya tidak karuan, 

campur aduk antara gelisah, berdebar 

gembira dan bimbang. Mereka tidak tahu 

apa yang harus dilakukan. Antara 

mereka tidak memulai dengan cinta, 

tetapi terpaksa harus tunduk dan tidak 

berani membantah.

Memang sesungguhnya bagi Sar-

wiyah, rasa cintanya pertama kali 

jatuh kepada Kebo Pradah. Namun 

demikian ia sudah mengenal watak 

kakeknya. Kalau dirinya menentang dan 

mengemukakan alasan sudah terlanjur 

memilih Kebo Pradah, kakeknya akan 

marah dan bahayanya, Kebo Pradah bisa 

dianggap sebagai penghalang dan dibu-

nuh, Ia takkan rela kalau pemuda itu 

harus menjadi korban karena cinta. Dan 

ia akan memberi nasihat kepada pemuda


itu agar melupakan dirinya. Semua itu 

demi keselamatan masing-masing.

Sebaliknya diam-diam Sarindah 

marah dan penasaran kepada adiknya. 

Dalam hati ia mencaci maki, mengapa 

Sarwiyah tidak setia dan khianat 

kepada Kebo Pradah. Buktinya bertemu 

dengan pemuda lain sudah berpaling dan 

melupakan saudara seperguruan sendiri.

Kurangajar! Pantas dia tadi 

membela bocah itu! cacinya dalam hati 

yang ditujukan kepada Sarwiyah. Pantas 

perempuan tidak setia dan mata 

keranjang itu membela, tetapi apa sih 

pemuda itu yang pantas dibanggakan? 

Sudah wajahnya tidak tampan, rambutnya 

riap-riapan seperti gendruwo dan liar 

pula. Apanya yang harus dipilih? 

Apakah pemuda itu berilmu tinggi ?

Ia menatap Sarwiyah dengan mata 

bersinar marah. Untung ketika itu 

Sarwiyah melangkah sambil menundukkan 

muka, sehingga tidak melihat kakeknya, 

perempuan ini tentu sudah mengerocok 

adiknya dengan kata-kata tajam dan 

kalau perlu dengan pukulan sebagai 

hajaran dengan pukulan sebagai 

hajaran.

Akan tetapi karena takut, yang 

bisa dilakukan hanya mengumpat saja 

dalam hati, Perempuan tidak tahu malu. 

Huh, kapan Kebo Pradah pulang, aku 

akan membeberkan semuanya. Sundal 

busuk! Engkau perlu kuhajar babar


belur!

Saat sekarang ini orang yang 

paling gembira dan bahagia adalah Si 

Tangan Iblis. Ia seperti mimpi 

kejatuhan bulan. Bukan saja ia 

berhasil menarik Julung Pujud sebagai 

kawan dan sekutu, tetapi malah 

merupakan besan. Tentu saja sebagai 

besan dalam membela kepentingannya, 

Julung Pujud tidak akan tanggung-

tanggung. Dalam pada itu Warigagung 

juga sudah tampak bakat dan k-

pandaiannya. Sebagai calon menantu, 

Warigagung dituntut oleh tugas dan 

kewajiban membalaskan sakit hati 

mertuanya.

Demikianlah, setelah tiba di 

rumah, para murid Si Tangan Iblis 

heran dan bertanya-tanya ketika 

gurunya pulang bersama kakek kerdil 

dan seorang pemuda riap-riapan. Hanya 

Kaligis dan Sangkan saja yang menjadi 

kaget setengah mati. Pemuda itulah 

yang hampir membunuh mereka beberapa 

bulan lalu. Diam-diam dua orang muda 

ini menjadi penasaran dan ingin 

membalas dendam. Tetapi manakah 

mungkin bisa? Ketika itu sudah 

mengeroyok tetapi hasilnya malah 

hampir mati.

Benci, dendam dan penasaran dalam 

hati Sangkan semakin bertambah memun-

cak, ketika mendengar Sarwiyah atas 

kehendak gurunya telah dipertunangkan


dengan pemuda liar yang berkawan 

dengan ular itu. Dengan demikian 

tertutuplah kemungkinan untuk bisa 

mendapat perhatian dari Sarwiyah.

Kaligis juga marah dan penasaran. 

Ia mengajak Sangkan menyingkir di 

tempat yang jauh, lalu bisiknya, Adi 

Sangkan, ah, mengapa bisa terjadi se-

perti ini ? Huh, Guru tidak adil. 

Mengapa justru mempunyai banyak murid 

laki-laki, tetapi malah menjodohkan 

Sarwiyah dengan orang lain? Disamping 

itu mengapa malah adiknya lebih dahulu 

yang dipertunangkan?

Sangkan tidak lekas menyahut. Ia 

menghela napas sedih, kemudian Kaligis 

berkata lagi, Adi Sangkan, kita harus 

berusaha menggagalkan semua ini. Ahh, 

sungguh kebetulan sekali. Bukankah hai 

ini malah memberi jalan kepada kita 

untuk melemparkan fitnah, bahwa Kakang 

Tanu Pada dan Kakang Kebo Pradah sudah 

mati terbunuh oleh pemuda liar itu? 

Dengan demikian Guru kita akan menjadi 

marah, lalu pertunangan dibatalkan.

Hemm, engkau ini bagaimana? 

Sangkan mencela. Apakah engkau sengaja 

menjebak dirimu sendiri ke dalam 

perangkap?

Apa? Apa maksudmu?

Bukankah arah tugas kita ber-

lainan? Mengapa kita bisa tahu Tanu 

Pada dan Kebo Pradah mati, terbunuh 

oleh bocah liar itu? Hemm, tak urung


rahasia kita malah terbongkar dan kita 

celaka. Tahu? Belum lagi kecurigaan 

Sarindah kepada kita tentang Ananto. 

Huh, kita tentu dihukum mati oleh 

Guru.

Kaligis menghela napas pendek. 

Sebenarnya bagi dirinya memang tidak 

mempunyai kepentingan langsung tentang 

pertunangan Sarwiyah. Akan tetapi ia 

tidak tega kepada Sangkan, yang 

tertutup harapannya mencintai Sar-

wiyah. Kegagalan pemuda ini akan 

berpengaruh juga terhadap dirinya. 

Karena Sangkan mengetahui rahasia 

dirinya. Karena bingung akhirnya 

Kaligis hanya dapat bertanya, Lalu, 

bagaimanakah menurut pendapatmu?

Sangkan menghela napas juga. Ia 

masih belum tahu apa yang harus 

dilakukan. Otaknya menjadi bebal dan 

tak bisa berpikir. Tetapi sesaat kemu-

dian pemuda licin dan cerdik ini 

tersenyum. Katanya, Hemm, mengapa 

susah? Aku sudah menemukan cara yang 

tepat.

Apa yang akan kaulakukan?

Sangkan berbisik di dekat telinga 

Kaligis. Atas bisikan ini Kaligis 

mengangguk-angguk tanda setuju. Bagus! 

Itu cara yang bagus.

Kalau dua orang pemuda ini pena-

saran, Sarindah lebih mendongkol dan 

penasaran lagi. Bukan hanya penasaran 

memikirkan Sarwiyah saja, tetapi juga


gelisah memikirkan Tanu Pada yang 

belum juga pulang kembali.

Tiba-tiba saja timbullah niatnya 

untuk pergi diam-diam dan mencari Tanu 

Pada. Dalam hatinya timbul rasa 

khawatir, jangan-jangan rombongan Tanu 

Pada dalam perjalanan mendapat bahaya.

Hemm, benar! gumamnya. Kakang 

Tanu Pada seorang murid setia dan 

selalu patuh kepada Kakek. Tak mungkin 

dia berani mengabaikan perintah Kakek 

tanpa alasan yang dapat dipertanggung-

jawabkan. Ah, jangan-jangan memang 

berhadapan dengan bahaya di 

perjalanan, hingga terhalang pulang.

Khawatir keselamatan Tanu Pada 

ini hatinya tambah gelisah dan 

tekadnya untuk menyusul menjadi 

semakin kuat secepatnya ia mengambil 

beberapa lembar pakaiannya lalu 

dibungkus. Kemudian dengan hati-hati 

ia meninggalkan rumah tanpa diketahui 

seorangpun.

***

Sampai di sini cerita ini 

selesai, namun demikian cerita belum 

tamat dan para pembaca yang budiman 

silakan mengikuti cerita yang lebih 

menarik dengan judul "PERSEKUTUAN DUA 

IBLIS". Menarik, karena "Persekutuan 

Dua Iblis" ini terdiri dari dua orang 

tokoh sakti Julung Pujud dan Si Tangan


Iblis. Persekutuan dengan maksud 

melawan Gajah Mada dan Mpu Nala. 

Berhasilkah usaha dua iblis ini? Ikuti 

saja kutipan serba ringkas antara 

lain:

.....Heh heh heh heh, Rudra 

Sangkala terkekeh. Engkau jangan 

bandel dan keras kepala Adik manis. 

Percayalah aku benar-benar jatuh cinta 

kepadamu!

Tetapi Sarindah terus menghujani 

serangan berbahaya tanpa membuka 

mulut. Sebab ia sudah menduga pemuda 

ini tentu seorang bejat moral. Pemuda 

yang suka mempermainkan perempuan dan 

seorang pemuda yang hanya mengumbar 

nafsu.

Tetapi mendadak Sarindah merasa 

kepalanya berdenyutan pening sekali. 

Pandang matanya kabur. Sekalipun 

demikian Sarindah masih terus 

menyerang.

Trang......! Aihhh.......! pedang 

Sarindah terpental terbang, terpukul 

oleh Rudra Sangkala. Pemuda ini 

terkekeh gembira, kemudian melompat ke 

depan dan menyambar tubuh gadis yang 

sudah limbung hampir roboh.

Heh heh heh heh kau takkan dapat 

lepas lagi dari tanganku, katanya 

sambil memondong Sarindah dan hujan 

ciuman bertubi mendarat di pipi halus, 

maupun serbuan pada bibir......

.......Julung Pujud mengancam,



Karena sudah meracun diriku, cucumu 

Sarindah harus kau serahkan kepadaku 

untuk menerima hukumannya. Tak perlu 

khawatir, aku akan menghukum dia 

dengan racun pula!

Terpikir kemudian oleh Tangan 

Iblis untuk mencari dan memberi 

hukuman sendiri. Lalu bersama Sarwiyah 

mencari jejak Sarindah untuk memberi 

hukuman....

...... Saputangan kecil warna 

hijau itu memang amat berbahaya. Di 

sapu tangan inilah tersimpan "racun 

wangi" yang dapat menyebabkan orang 

pusing, mabuk dan tidak sadarkan diri. 

Dan berkat keampuhan racun inilah yang 

membantu nama Murtisari terkenal 

sebagai wanita sakti, hingga ditakuti 

banyak orang.

Adityawarman cepat menutup 

pernapasan, sehingga tidak menghirup 

racun wangi itu berkat pengalamannya 

ketika ia berhadapan dengan Rudra 

Sangkala. Hingga Adityawarman tidak 

terpengaruh oleh racun itu.

.....Dewi Sritanjung (tokoh 

kita), adalah gadis lugu, jujur dan 

tidak mengenal tipu muslihat maupun 

berbohong, karena sejak kecil hidup 

terasing di hutan.

Sebagai gadis yang belum mengenal 

corak manusia hidup di dalam 

masyarakat luas ini, maka Dewi 

Sritanjung tidak menyadari, di dunia


ini tidak sedikit orang yang tidak 

segan melakukan penipuan menggunakan 

akal untuk memperoleh keuntungan 

pribadi.

Nah, karena Dewi Sritanjung lugu, 

jujur dan tidak kenal arti bohong ini, 

dalam perjalanan ke kota Majapahit 

mencari ayah kandungnya, tertipu oleh 

dua orang laki-laki yang terpesona 

oleh kejelitaan wajahnya. Ia tidak 

menyadari, dirinya di bawa ke dalam 

hutan..... dan gadis ini.....ahh....





                        T a m a t


https://matjenuhkhairil.blogspot.com




Share:

0 comments:

Posting Komentar