..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 08 Desember 2024

PENDEKAR BODOH EPISODE RAHASIA SUMUR TUA

PENDEKAR BODOH EPISODE RAHASIA SUMUR TUA

 Hak cipta dan copy right

pada penerbit di bawah lindungan

undang-undang


Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit



SATU



HARI telah lewat tengah malam ketika tiba-

tiba air hujan mengguyur hebat. Berkali-kali 

kilatan petir menyambar. Ledakan guntur kerap 

menimpali, menambah suasana makin 

menggiriskan.

Badai pun datang mendadak!

Tiupan angin mengencang garang. Suara 

keretak ranting patah mulai terdengar, dan 

semakin kerap terdengar seiring tiupan angin 

yang makin menggila. Titik-titik air hujan 

menghempas keras, mampu menggelincirkan 

sebongkah batu sebesar kerbau. Didahului 

gumpalan tanah yang menjadi longsor, batang-

batang pohon terlontar dan berhamburan di 

angkasa.

Badai makin menghebat!

Namun demikian, puri tua yang terletak di 

sebuah dataran berumput itu tetap kokoh tegak 

menantang. Tak goyah ataupun bergeming. 

Hanya dua lentera yang dipasang di kanan-kiri 

pintu gerbang yang tampak bergoyang-goyang. 

Lewat sinar lentera itulah dapat dibaca sebuah 

papan nama yang dipasang di atas daun pintu.

Pondok Matahari!

Gumpalan tanah yang dibawa tiupan angin 

menerpa daun pintu tua berlabur warna hijau 

daun itu.

Namun, bukan karena gumpalan tanah 

kalau tiba-tiba daun pintu Pondok Matahari tiba-

tiba terkuak jebol!

Brakk...!


Dari dalam bangunan melesat sebat 

sesosok tubuh manusia. Sosok tubuh yang tak 

lagi bernyawa itu langsung bergulingan di tanah 

berumput yang mulai berlubang-lubang. 

Pakaiannya yang berwarna putih-putih bukan 

saja telah basah oleh air hujan, juga ternoda 

cairan darah segar yang menetes-netes. Sosok 

tubuh yang malang itu mati dengan kepala pecah 

dan dada amblong!

Dua kejap mata kemudian, sesosok tubuh 

melesat lagi dari dalam puri. Lesatan tubuh itu 

jatuh bergulingan pula di tanah becek berlubang-

lubang. Dia pun mati dengan cara yang sama. 

Batok kepalanya pecah dan dadanya amblong 

bolong!

Pemandangan yang lebih mengenaskan 

terlihat di dalam puri. Lewat sinar lampu yang 

dipasang di beberapa tempat, terlihat cairan 

darah segar yang membanjir di lantai. Mayat-

mayat bergelimpangan bagai onggokan sampah 

yang tak berguna. Sementara, di ruangan yang 

lebih dalam terdengar jerit kematian seakan tiada 

pernah terhenti. Tubuh-tubuh terluka 

berpentalan membentur dinding. Cairan darah 

semakin membanjir seiring korban jiwa yang 

terus berjatuhan.

Biang pelaku pembunuhan yang mirip jagal 

haus darah itu seorang lelaki berambut putih 

riap-riapan. Tubuhnya tinggi besar namun 

bongkok, membuat sikap berdirinya tak bisa 

tegak. Dia hanya mengenakan selembar cawat


merah, sehingga bulu-bulu lebat berwarna hitam 

kekuningan di sekujur tubuhnya terlihat jelas 

seperti bulu kera.

Kedua bola mata lelaki berleher pendek itu 

senantiasa melotot seperti hendak keluar dari 

rongganya. Sementara, hidungnya pun amat 

pesek, nyaris hanya dua lubang tanpa batang 

hidung. Sehingga, wajahnya benar-benar tak 

sedap dipandang mata, bahkan terlihat 

menggidikkan. Lebih menyeramkan lagi, kepala 

lelaki berusia lima puluh tahun itu ditumbuhi 

tanduk yang bagian ujungnya melengkung ke 

depan, tampak runcing berkilat.

Dia Wanara Kadang, yang lebih dikenal 

dengan sebutan Iblis Pemburu Dosa!

Ketika itu Wanara Kadang tengah 

bertempur melawan keroyokan sisa-sisa penghuni 

Pondok Matahari yang tinggal sepuluh orang. 

Namun tampaknya, kesepuluh orang itu pun 

sudah tak mungkin dapat berbuat banyak untuk 

menghentikan kekejaman Wanara Kadang. Rasa 

putus asa jelas tergambar di sorot mata mereka.

Berkali-kali tusukan ataupun babatan 

pedang sepuluh penghuni Pondok Matahari yang 

rata-rata berusia tiga puluh tahun itu mengenai 

sasaran. Tapi, tubuh Wanara Kadang amat keras 

seperti balok baja yang tak mempan senjata 

tajam. Jangankan membuat luka, memotong 

bulu-bulu tubuh Iblis Pemburu Dosa pun pedang 

para pemuda itu tak mampu sama sekali!

"Ha ha ha...!" tawa gelak Wanara Kadang


atau Iblis Pemburu Dosa. "Terus! Terus mainkan 

pedang kalian. Semakin ganas kalian menyerang, 

semakin senang rasa hatiku. Ha ha ha...!"

Saat sepuluh orang pemuda yang tengah 

mengeroyok memperhebat serangan, mereka 

semakin terpana dalam keterkejutan. Mereka jadi

tak habis pikir, sosok tubuh yang tengah mereka 

serang itu sebenarnya manusia atau bukan. 

Kalau manusia, kenapa bentuk tubuh dan raut 

wajahnya amat buruk? Bagaimana pula dia bisa 

kebal terhadap senjata tajam? 

Sementara sepuluh lawannya melompat 

mundur karena gentar, Wanara Kadang tertawa 

bergelak-gelak lagi. Mulutnya terbuka lebar, 

memperlihatkan jajaran giginya yang kecil-kecil 

mirip gigi ikan. Gusi, lidah, dan rongga mulutnya 

berwarna merah darah. Hidungnya yang nyaris 

hanya berupa dua lubang tampak bergerak naik-

turun seiring suara tawanya yang meledak-ledak. 

Namun demikian, kedua bola mata Wanara 

Kadang yang besar menonjol terus menatap 

bergantian kesepuluh lawannya penuh nafsu 

membunuh!

"Jahanam!" geram salah seorang pemuda 

yang berpakaian kuning-kuning, timbul lagi 

keberaniannya. "Wujudmu begitu buruk. Tapi, 

perilakumu lebih buruk lagi. Dasar binatang kau, 

Wanara Kadang!"

Mendengus gusar Iblis Pemburu Dosa. 

Ditatapnya wajah si pemuda dengan sinar mata 

berkilat. Lalu dengan suara serak dan ngorok dia


menyahuti, "Memang! wujud dan perilaku 

memang buruk. Oleh karenanya, sah-sah saja 

jika aku membunuhmu, Cecurut Bau!" 

Di ujung kalimatnya, Wanara Kadang 

menghadapkan telapak tangan kanannya ke 

tubuh pemuda berpakaian kuning-kuning. 

Gerakan lelaki berbulu lebat itu tampak tak 

bertenaga dan seperti main-main. Tapi, lewat 

gerakan itulah Wanara Kadang hendak 

menjatuhkan tangan maut!

Wusss...!

Tahu dirinya menjadi sasaran serangan, 

bergegas si pemuda meloncat menghindar. 

Namun, gerak tubuhnya kalah cepat. Sebentuk 

kekuatan tak kasat mata menahan loncatan 

tubuhnya, sehingga si pemuda hanya dapat 

berdiri terpukau di udara dengan mata terbelalak. 

Dan di lain kejap....

Bummm...!

Luar biasa! Pemuda berpakaian kuning-

kuning tak berdaya sama sekali untuk menahan 

gempuran tenaga dalam Iblis Pemburu Dosa. Dia 

pun tak sempat menjerit ketika tubuhnya 

meledak hancur menjadi debu yang segera 

beterbangan menutupi pandangan!

"Astaga...!" kejut sembilan pemuda lainnya 

yang menyaksikan kejadian menggiriskan itu.

Sampai beberapa lama, mereka cuma 

dapat berdiri heran tanpa berbuat apa-apa. 

Nyawa mereka seakan ikut melayang melihat 

kehebatan dan kekejaman Wanara Kadang.


Sementara, Wanara Kadang atau Iblis 

Pemburu Dosa tertawa bergelak-gelak. Melihat 

sikap lelaki bermuka amat buruk itu, tampaknya 

dia memang punya tabiat dan perilaku buruk 

yang gampang menjatuhkan tangan maut.

"Cepat katakan di mana Hati Selembut 

Dewa berada!" bentak Wanara Kadang di akhir 

tawa gelaknya.

"Kami semua tak tahu! Kenapa kau masih 

ngotot saja, Iblis Pemburu Dosa?!" sergap pemuda 

berpakaian putih-merah, balas membentak.

"Aku tak percaya kalian tak tahu di mana 

orang tua jelek itu berada. Kalian tentu sengaja 

menutup-nutupi keberadaannya!"

"Terserah apa katamu, Iblis Laknat! 

Enyahlah kau dari tempat ini! Hiahhh...!"

Mendadak, pemuda berpakaian putih-

merah yang bertubuh tinggi tegap itu menerjang 

nekat. Bilah pedangnya berkelebat cepat dan 

menimbulkan suara berdesing keras, hendak 

memenggal leher Iblis Pemburu Dosa!

Zing...!

"Setan Alas! Kau benar-benar tak tahu 

diuntung, Anak Muda!" seru Wanara Kadang.

Walau tahu ada bahaya mengancam 

jiwanya, lelaki yang hanya mengenakan cawat itu 

tak menggerakkan tubuhnya untuk menghindar. 

Dan ketika babatan pemuda berpakaian putih-

merah hampir mengenai sasaran, Iblis Pemburu 

Dosa menekan kedua pelipisnya dengan ujung 

jari tengah dan telunjuk. Lalu....


Swosss...!

"Wuahhh...!"

Tak dapat digambarkan lagi betapa 

terkejutnya delapan pemuda penghuni Pondok 

Matahari. Setengah tak percaya mereka melihat 

ujung tanduk Wanara Kadang yang dapat 

menyemburkan gumpalan api panas menyala-

nyala. Tubuh pemuda berpakaian putih-merah 

yang masih melayang di udara langsung terbakar. 

Bilah pedangnya terlontar lepas dari cekalan. 

Sementara, tubuhnya yang telah terbungkus 

gumpalan api tampak jatuh berdebam di lantai. 

Setelah berkelojotan sejenak, tubuh pemuda naas 

itu berubah menjadi setumpuk abu yang 

menebarkan bau sangit!

Melihat peristiwa menggiriskan 

berlangsung kembali, delapan pemuda yang 

tersisa menjadi mata gelap. Tak dapat mereka 

berpikir jernih lagi. Dengan pedang masing-

masing yang tajam berkilat, mereka menyerang 

bersamaan!

Kali ini Iblis Pemburu Dosa juga tak mau 

bergerak menghindar. Sambil tertawa bergelak-

gelak, dia menadahi tusukan dan babatan 

delapan bilah pedang yang menghujani tubuhnya!

Seiring ledakan guntur yang menggelegar 

di angkasa, bunga api memercik memenuhi salah 

satu ruangan di Pondok Matahari itu. Suara 

berdentang terdengar memekakkan gendang 

telinga. Tusukan dan babatan pedang kedelapan 

pemuda penghuni Pondok Matahari tetap tak


dapat melukai tubuh Iblis Pemburu Dosa. 

Padahal, mereka telah mengerahkan kekuatan 

sampai ke puncak! Seperti yang sudah-sudah, 

jangankan melukai, memotong bulu tubuh lelaki 

yang kepalanya ditumbuhi tanduk itu pun tak 

mampu!

"Kalian hanya cecurut dungu!" cibir Iblis 

Pemburu Dosa.

Sambil berkata demikian, Iblis Pemburu 

Dosa memutar tubuh. Kedua telapak tangannya 

berkelebat cepat sekali. Jerit kematian segera 

terdengar menyayat hati. Tubuh delapan pemuda 

penghuni Pondok Matahari tiba-tiba terpental dan 

membentur dinding ruangan dengan keras. 

Kontan kepala mereka remuk. Sementara, dada 

ataupun perut mereka pun telah jebol akibat 

hantaman Iblis Pemburu Dosa!

Suasana di dalam ruangan jadi hening 

sunyi. Namun di luar Pondok Matahari, badai 

belum berhenti. Seiring dengan jatuhnya air 

hujan yang deras mengguyur, tiupan angin terus 

memporak-porandakan keadaan alam sekitar. 

Makin banyak pepohonan yang tumbang. 

Gumpalan tanah turut berhamburan. Genteng-

genteng bangunan Pondok Matahari pun mulai 

bergeser tempat, sebagian malah terlontar jauh. 

Agaknya, ketegaran Pondok Matahari tak luput 

pula dari ujian berat.

Perlahan Iblis Pemburu Dosa melangkah 

mendekati tubuh seorang pemuda yang tergolek 

di sudut ruangan. Pemuda yang baru menerima


hantaman di dadanya itu belum mati. Dia 

memang sengaja tak dibunuh. Iblis Pemburu 

Dosa hendak mengorek keterangan dari 

mulutnya.

Setelah Iblis Pemburu Dosa mendaratkan 

beberapa totokan di tubuhnya, si pemuda 

mengeluh pendek dan tersadar dari pingsannya. 

Melihat sosok Iblis Pemburu Dosa yang berdiri di 

hadapannya, dia tak berbuat apa-apa kecuali 

meringis kesakitan sambil mendekap dadanya 

yang terasa amat sesak.

"Katakan di mana Hati Selembut Dewa 

berada!" bentak Iblis Pemburu Dosa. Lima jari 

tangannya yang ditumbuhi kuku hitam panjang 

mencengkeram erat kain baju si pemuda.

"Uhhh...! Aku tak tahu!"

"Tolol! Jika kau masih berkeras hati 

mengatakan 'tak tahu', kau akan segera 

menyusul kematian teman-temanmu!"

"Bu... bunuh saja cepat! Siapa takut 

mati?!"

Menggerendeng marah Iblis Pemburu Dosa. 

Dengan bola mata berkilat-kilat menahan hawa 

amarah, didorongnya tubuh si pemuda.

Bruk! 

"Ukh...!"

Pemuda berpakaian hijau-hitam itu 

memekik pendek. Cukup keras punggungnya 

membentur dinding. Sesaat ringis kesakitan 

menghiasi bibirnya lagi.

"Katakan di mana junjunganmu itu berada,


Tolol!" bentak Iblis Pemburu Dosa, makin tak 

sabar.

"Bunuh saja aku!" sahut si pemuda dengan 

segudang rasa benci.

Mendengus gusar Iblis Pemburu Dosa. 

Telapak tangan kanannya berkelebat cepat dan 

tepat menerpa pipi kiri pemuda bernama Bantar 

Ludira itu.

Kembali si pemuda memekik parau karena 

kepalanya membentur dinding. Dari lubang 

hidung dan mulutnya mengalir darah segar. 

Tamparan Wanara Kadang jelas memperparah 

luka dalamnya.

"Jahanam kau! Cuah...!" Bantar Ludira 

menyemburkan ludah bercampur cairan darah ke 

muka Wanara Kadang. Cairan kental yang 

terdapat empat biji gigi itu menyemprot deras. 

Cukup berbahaya karena dialiri tenaga dalam. 

Tetapi, mudah saja Wanara Kadang menghindar. 

Sementara, tangan kanannya kembali 

mencengkeram kain baju si pemuda.

"Ku ulangi sekali lagi, katakan di mana 

Hati Selembut Dewa berada!"

"Kau punya kesaktian hebat. Kenapa tidak 

kau cari sendiri?!"

Mendadak, cengkeraman Iblis Pemburu 

Dosa beralih ke daun telinga kiri Bantar Ludira. 

Begitu Iblis Pemburu Dosa menarik tangannya, 

pekik parau segera memenuhi ruangan. Daun 

telinga si pemuda tanggal!

"Ini baru telinga kirimu! Bila kau tak ingin


kehilangan telinga kananmu, cepat katakan di 

mana Hati Selembut Dewa berada!"

Tak memberi jawaban Bantar Ludira. Dia 

cuma mengaduh-aduh sambil menekap telinga 

kirinya yang terus mengucurkan darah dan tentu 

saja terasa amat perih.

Cepat sekali tangan kiri Iblis Pemburu 

Dosa bergerak. Tahu-tahu ganti daun telinga 

kanan si pemuda yang berada dalam cekalannya. 

Siap untuk dibetot sampai tanggal!

"Kau belum tuli, bukan? Cepat katakan 

apa yang kuminta. Atau, kau akan menjadi 

seorang pemuda malang yang tak mempunyai 

daun telinga sama sekali!"

Bergidik ngeri Bantar Ludira mendengar 

ancaman itu. Bayangan buruk segera muncul di 

benaknya. Dia tahu benar kekejaman Iblis 

Pemburu Dosa. Namun, haruskah dia khianati 

Hati Selembut Dewa yang selama ini telah 

menanam banyak budi kepadanya?

"Cepat katakan!"

"Uhhh...!" keluh Bantar Ludira, merasakan 

daun telinga kanannya amat sakit karena diremas 

kuat-kuat. 

"Cepat katakan, Tolol!"

"Tidak! Bunuh saja aku!"

Menggeram marah Iblis Pemburu Dosa 

melihat kekerasan hati Bantar Ludira. Sambil 

menggerendeng penuh rasa kesal, lelaki berbulu 

lebat itu menarik tangan kirinya. Maka, saat itu 

juga Bantar Ludira menjerit keras sekali.


Daun telinga kanannya turut tanggal!

Tak kuasa menahan sakit, tubuh si 

pemuda langsung menggelosoh ke lantai. Pingsan! 

Sementara, cairan darah segar menetes deras dari 

luka barunya.

"Hmmm.... Apa boleh buat. Agaknya, aku 

memang harus menyiksa pemuda ini...," pikir 

Iblis Pemburu Dosa.

Cekatan sekali jemari tangan lelaki 

bermuka amat buruk itu melancarkan beberapa 

totokan di tubuh Bantar Ludira. Pada totokan 

keenam yang dijatuhkan di jalan darah di dekat 

ulu hati, si pemuda siuman. Namun begitu 

kesadarannya kembali, dia langsung memaki-

maki.

"Jahanam kau, Wanara Kadang! Binatang! 

Biadab! Bunuh saja aku!"

Menyeringai dingin Iblis Pemburu Dosa, 

memperlihatkan jajaran giginya yang kecil-kecil 

namun runcing seperti gigi ikan. "Kalau cuma 

membunuhmu, aku tak keberatan. Pekerjaan itu 

sama mudahnya dengan membalikkan telapak 

tangan. Tapi..., aku perlu keterangan darimu. Di 

mana Hati Selembut Dewa berada? Katakan!"

"Jahanam! Cari saja sendiri!"

"Hmmm.... Baiklah. Aku paling suka 

menyiksa orang. Hendak kulihat sampai berapa 

lama kau dapat bertahan....!"

Usai berkata, Iblis Pemburu Dosa 

menjulurkan tangannya ke muka Bantar Ludira. 

Cepat si pemuda memalingkan wajah karena


menyangka Iblis Pemburu Dosa hendak 

mencongkel biji matanya.

"Ha ha ha...!" tawa gelak Iblis Pemburu 

Dosa, membiarkan tangan kanannya 

mengambang di udara. "Aku belum berbuat apa-

apa, kenapa kau jadi amat ketakutan seperti ini?"

"Jahanam! Siapa takut?"

Tiba-tiba, Bantar Ludira berbuat amat 

nekat. Tanpa mempedulikan rasa sakit di kedua 

telinganya, dia menghantam dada Iblis Pemburu 

Dosa. Namun, Iblis Pemburu Dosa dapat 

membaca serangan si pemuda. Ringan sekali 

tangan kanannya berkelebat.

Dan....

Tap! Krak...! 

"Waahhh...!"

Menjerit amat keras Bantar Ludira. 

Tubuhnya bergetar karena menahan rasa sakit 

yang benar-benar menyiksa. Iblis Pemburu Dosa 

telah meremas hancur lima jari tangannya!

"Jahanammm...!" pekik si pemuda 

kemudian.

Tak mempedulikan keselamatan dirinya, 

pemuda berambut panjang tergerai itu meloncat 

bangkit. Dilancarkannya tendangan ke kepala 

Iblis Pemburu Dosa. Tapi, serangan itu pun dapat 

ditebak oleh Iblis Pemburu Dosa.

Sekali lagi, tangan kanan lelaki berbulu 

lebat itu bergerak cepat! Akibatnya....

Bret...!

"Uhhh...!"


Bantar Ludira memekik pendek. Setelah 

berpusing ke kiri, tubuhnya membentur dinding, 

lalu jatuh pingsan lagi. Kulit kepalanya tampak 

mengelupas, memperlihatkan tulang 

tempurungnya yang telah berlumuran darah!

Sementara, Iblis Pemburu Dosa tertawa 

bergelak-gelak. Tangan kanannya masih 

mencekal sebagian rambut si pemuda yang telah 

berhasil dijebol berikut kulit kepalanya.

"Sebelum memberitahukan di mana Hati 

Selembut Dewa berada, dia tak boleh mati. Aku 

harus memaksanya bicara!" gumam Iblis 

Pemburu Dosa.

Untuk ketiga kalinya, tubuh Bantar Ludira 

menjadi sasaran totokan Iblis Pemburu Dosa. Dan 

begitu si pemuda siuman, Iblis Pemburu Dosa 

langsung membentak garang.

"Jika kau tak ingin merasakan siksaan 

yang lebih menyakitkan, katakan di mana Hati 

Selembut Dewa berada!"

"Cuhhh...!"

Bantar Ludira malah meludahi muka Iblis 

Pemburu Dosa. Dia sudah bertekad bulat untuk 

tak mengatakan di mana junjungannya berada. 

Pikir si pemuda, kalaupun dia menuruti 

permintaan Iblis Pemburu Dosa, dia akan tetap 

dibunuh.

Dan setelah meludahi muka Iblis Pemburu 

Dosa, pemuda yang sudah tak punya harapan 

untuk hidup lagi itu bertindak lebih berani. 

Kepalan tangan kirinya melayang deras guna


menggedor dada Iblis Pemburu Dosa. Tapi, 

kembali dia memekik kesakitan. Jemari tangan 

kirinya berhasil diremas hancur pula oleh Iblis 

Pemburu Dosa!

"Katakan di mana Hati Selembut Dewa!" 

bentak Iblis Pemburu Dosa dengan bola mata 

melotot besar.

"Baik! Aku akan mengatakannya setelah 

yang ini...."

Sambil menahan rasa sakitnya, Bantar 

Ludira menjejak lantai ruangan. Saat itu juga 

tubuhnya melesat ke atas!

Prakkk...!

"Hek...!"

Iblis Pemburu Dosa cuma dapat berdiri 

membelalakkan mata ketika melihat kepala 

Bantar Ludira pecah berantakan karena 

membentur dinding ruangan yang amat keras. 

Rupanya, si pemuda memilih mati dengan cara 

bunuh diri daripada disiksa Iblis Pemburu Dosa 

untuk mengatakan di mana Hati Selembut Dewa 

berada.

Sementara Iblis Pemburu Dosa berdiri 

terpaku, hujan di luar bertambah deras. Makin 

kerap guntur meledak di angkasa. Badai tak juga 

reda.... 


DUA



JIKA ingin berpelesir ke Salyadwipa,

tunggu saja kedatanganku di Pelabuhan 

Lokambang ini. Aku pasti mengantarmu dengan 

senang hati," ujar lelaki setengah baya berpakaian 

putih-kuning seraya menepuk-nepuk bahu 

pemuda remaja yang berdiri di hadapannya.

Si pemuda cuma nyengar-nyengir. Tak 

dapat dia berkata apa-apa kecuali mengeluarkan 

suara desah pendek. Dia pun cuma mengangguk-

anggukkan kepala ketika si lelaki setengah baya 

menjabat tangannya erat-erat.

"Aku bisa menebak isi hatimu. Seperti yang 

ku rasakan, kau pasti berat untuk mengatakan 

kata perpisahan."

Pemuda remaja berpakaian biru-biru 

dengan ikat pinggang kain merah tetap tak 

berkata sepatah kata pun. Memang berat rasa 

hati ketika harus berpisah dengan orang yang 

begitu baik. Lidah pun terasa kaku-kelu untuk 

mengungkapkan apa yang tengah dirasakannya.

"Sikapmu ini tampak aneh, Seno. Kalau 

ada jodoh, bukankah kita tetap akan bisa 

berjumpa lagi? Kenapa mesti dijadikan beban 

pikiran? Atau mungkin..., kau tengah berpikir 

untuk melupakan segala sesuatu yang pernah 

kau alami bersama warga suku Asantar?" lanjut

lelaki setengah baya, bernama Suta Sedadang.

"Ah, Paman.... Mana mungkin aku dapat 

melupakan warga Suku Asantar yang begitu 

ramah dan baik hati kepadaku? Bagaimana aku 

dapat melupakan budi baik Paman yang telah 

mengantarku ke Pulau Salyadwipa dan kini


mengantarku pula untuk kembali ke tanah 

Jawa?" sergap pemuda berpakaian biru-biru yang 

tak lain Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh.

"Ha ha ha.... Kau memang pemuda hebat, 

Seno. Aku tahu kau tak akan pernah melupakan 

budi orang. Tapi kalau aku ingin kau tetap 

mengingat keberadaan Suku Asantar, bukanlah 

karena urusan balas-membalas budi. Aku hanya 

mengungkapkan rasa hatiku. Aku senang 

sekaligus bangga sekali dapat berkenalan dan 

berbuat sesuatu untuk seorang pendekar muda 

macam kau, Seno...."

"Ah, Paman jangan terlalu menyanjung. 

Apalah artinya aku ini bila dibanding tokoh-tokoh 

rimba persilatan lainnya yang amat banyak dan 

termashyur? Aku hanyalah sebutir pasir di gurun 

nan luas. Tak pantas aku dipuji ataupun 

disanjung. Kalau kepalaku membesar, bisa pecah 

nantinya."

"Hmmm.... Yah! Kau memang rendah hati, 

Seno. Oleh karena itulah aku amat suka 

kepadamu. Tapi, ingat kata-kataku tadi. Kalau 

kau ingin berpelesir atau ada suatu urusan di 

Salyadwipa, tunggu saja kapalku berlabuh di 

Lokambang ini. Dua purnama sekali, aku pasti 

datang."

"Ya, Paman. Terima kasih. Paman baik 

sekali. Mungkin suatu saat nanti Tuhan memang 

akan mempertemukan kita...."

Di ujung kalimatnya, Seno membungkuk 

hormat. Suta Sadandang, pemilik kapal dagang


besar yang baru saja ditumpangi Seno, bergegas

mengulurkan tangan kanannya untuk 

menegakkan kembali tubuh Seno.

"Tak perlu bersikap seperti ini."

"Ah, Paman. Aku menghormat, tentu saja 

karena merasa suka dan segan kepada Paman."

"Aku tahu. Tapi, aku tak suka peradatan 

yang macam-macam. Kau lihat, semua awak 

kapal bersikap biasa-biasa saja kepadaku, 

bukan?"

Seno cuma nyengir kuda.

Merasakan kebenaran ucapan Suta 

Sedadang, pemuda yang baru berlayar dari Pulau 

Salyadwipa itu melangkah untuk turun dari 

geladak kapal. Suta Sedadang mengantarkan 

sampai kaki si pemuda menginjak pasir pantai.

"Selamat jalan, Seno."

"Selamat tinggal, Paman. Kalau usia sama 

panjang, bolehlah nanti kita buat lagi pertemuan. 

Semoga Paman dan seluruh awak kapal selalu 

dalam lindungan Yang Kuasa...."

"Tuhan juga menyertaimu, Seno."

Sambil melangkah, Seno melambaikan 

tangannya. Suta Sedadang turut melambaikan 

tangannya dan menatap dengan senyum 

dipaksakan. Dia merasa ada sesuatu yang hilang 

dari lubuk hatinya melihat kepergian Seno. 

Namun ketika sosok Seno benar-benar hilang dari 

pandangannya, salah seorang warga Suku 

Asantar itu segera menyibukkan diri dengan 

berjalan mondar-mandir, sesekali berteriak


memberi perintah dan arahan kepada awak kapal 

yang tengah bekerja menurunkan barang.

Sementara, Seno terus berjalan 

meninggalkan Pelabuhan Lokambang. Sesaat, 

ingatan si pemuda melayang ke peristiwa yang 

baru dialaminya di perkampungan Suku Asantar.

Dalam usahanya mencari Hantu Pemetik 

Bunga, Seno sampai menginjakkan kaki di Pulau 

Salyadwipa. Kebetulan Suta Sedadang adalah 

salah seorang warga Suku Asantar yang hampir 

semua warganya terkenal sebagai ahli ilmu sihir.

Dalam perjalanan ke Pulau Salyadwipa, 

Suta Sedadang banyak bercerita tentang 

kehebatan ilmu sihir Suku Asantar. Dan karena 

tertarik, Seno menyempatkan diri untuk singgah 

di perkampungan suku itu.

Akan tetapi, keterangan perihal Hantu 

Pemetik Bunga tidak diperoleh. Seno malah 

terseret ke dalam sengketa para ahli sihir. Dia 

dijebak dan disekap oleh seorang ahli sihir 

bernama Danyangsuli atau Ratu Sihir Tercantik 

yang bermaksud mengisap habis inti kekuatan 

tubuhnya.

Untunglah, nasib baik masih berkenan 

mengikuti Seno. Danyangsuli celaka di tangan 

Sasak Padempuan. Sementara, untuk 

membalaskan sakit hati dan dendam 

kesumatnya, Danyangsuli memasukkan kekuatan 

ilmu sihirnya ke tubuh Seno. Berkat kekuatan 

ilmu sihir wanita itulah Seno dapat mengatasi 

sengketa yang terjadi antara Sasak Padempuan


dengan orang-orang Suku Asantar lainnya.

Sasak Padempuan terbunuh pada saat 

orang-orang Suku Asantar mengadakan upacara 

pengangkatan kepala suku baru. Sasak 

Padempuan yang punya tabiat buruk bermaksud 

membuat ricuh upacara adat itu. Terpaksa Seno 

menjatuhkan tangan maut. Dengan matinya 

Sasak Padempuan, ketenangan dan ketenteraman 

kembali dalam kehidupan warga Suku Asantar.

Walau Hantu Pemetik Bunga tak dapat 

ditemukan, Seno dapat berbesar hati karena 

uluran tangannya banyak membantu mengatasi 

kemelut yang terjadi di Suku Asantar. Dengan 

menumpang lagi kapal dagang milik Suta 

Sedadang, Seno memutuskan untuk kembali ke 

tanah Jawa.

Keputusan dan tindakan Seno amatlah 

tepat karena Hantu Pemetik Bunga memang tidak 

berada di Pulau Salyadwipa. Maksud Seno 

mencari Hantu Pemetik Bunga adalah untuk 

membuktikan bahwa ayahnya. Darma Pasulangit 

atau Ksatria Seribu Syair alias Ksatria Topeng 

Putih, bukan orang jahat seperti dituduhkan Dewi 

Pedang Halilintar.

Berkat petunjuk cermin ajaib 'Terawang 

Tempat Lewati Masa', Seno jadi yakin bila Hantu 

Pemetik Bunga tengah bersembunyi di suatu 

tempat. Entah di mana, tapi yang jelas tokoh 

jahat itu masih berada di tanah Jawa. (Kisah 

Pendekar Bodoh bersama para ahli sihir Suku 

Asantar bisa disimak dalam episode: "Sengketa


Ahli Sihir")

"Heran aku...," desis Seno ketika memasuki 

kota Suradipa, ratusan tombak jauhnya dari 

Pelabuhan Lokambang. "Kenapa kota ini jadi 

begini sepi? Aku tak melihat seorang manusia 

pun. Hmmm.... Kota ini telah jadi kota mati. Apa 

gerangan yang telah terjadi?"

Sepasang kaki remaja berparas tampan itu 

terus melangkah menapaki jalan-jalan di kota 

Suradipa. Namun, hanya kesunyian yang 

menyambutnya. Kota Suradipa memang telah jadi 

kota mati. Tak satu pun kegiatan berlangsung. 

Tak juga ada manusia yang dapat dijumpai Seno.

Semua kedai, maupun rumah-rumah 

penduduk tampak terkunci rapat. Sebagian pintu 

rumah penduduk malah dibiarkan terbuka lebar 

seperti ditinggalkan oleh pemiliknya dengan 

tergesa-gesa sekali.

Semakin jauh kaki Seno melangkah, rasa 

heran dan penasaran semakin menyeruak masuk 

ke benak si pemuda. Sehingga, kening murid 

Dewa Dungu itu berkerut rapat. Hidungnya pun 

terlihat kembang kempis karena mencium bau 

yang tak mengenakkan hati.

"Aku yakin..., kota ini baru saja menjadi 

ajang pertempuran. Atau mungkin, malah 

menjadi ajang pembantaian keji. Aku mencium 

bau anyir darah amat menyengat," gumam Seno.

Untuk membuktikan dugaannya, pemuda 

yang punya sifat amat dungu itu mengedarkan 

pandangan ke berbagai penjuru. Setiap sudut


tempat tak ada yang luput dari perhatiannya. 

Sampai kemudian, terhenyaklah langkah si 

pemuda di depan sebuah kedai besar yang daun 

pintunya telah jebol.

Dari pinggir jalan dapat dilihat cairan 

darah yang mengotori lantai dan dinding kedai. 

Meskipun cairan darah itu telah mengering, tapi 

baunya masih tajam menusuk hidung.

Seno memasuki kedai yang menarik 

perhatiannya itu. Terbawa pikiran tak enak, dia 

cekal erat Tongkat Dewa Badai yang terselip di 

ikat pinggangnya. Dengan kewaspadaan penuh, 

sepasang kakinya menapaki lantai kedai. Tapi, 

tak satu pun petunjuk yang dapat ditemukannya. 

Keadaan kota Suradipa yang sepi-sunyi masih 

menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan.

Sesaat kemudian, Seno terlihat cengar-

cengir seraya meneruskan langkah. Beberapa kali 

dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ketika 

sampai di ujung utara kota, air muka si pemuda 

tiba-tiba berubah tegang. Indera pendengarannya 

yang tajam menangkap suara senjata tajam 

membentur benda keras. Suara orang bertempur? 

Atau, suara orang berlatih ilmu pedang?

Guna mendapat jawaban atas pertanyaan 

itu, bergegas Seno menuju asal suara. 

Dikeluarkannya ilmu peringan tubuh 'Tiupan 

Angin Meniup Dingin'. Sehingga, tubuh si pemuda 

dapat melesat cepat dan seakan telah berubah 

menjadi segumpal asap berwarna biru!

Lesatan tubuh Seno baru berhenti ketika


melihat seorang kakek berpakaian serba putih 

longgar mirip jubah. Kakek berusia sekitar tujuh 

puluh tahun itu tampak sibuk melakukan 

sesuatu dengan pedangnya. Tubuh si kakek 

berkelebatan ke sana-sini seperti tengah 

memainkan jurus-jurus silat. Tapi sesungguhnya, 

dia tengah menimbun sebuah lubang cukup besar 

yang baru dibuatnya.

Setiap bilah pedang si kakek membentur 

batu, terdengar suara berdentang. Suara dentang 

pedang itulah yang tadi didengar Seno.

"Hmmm.... Aneh sekali sikap orang tua 

itu...," gumam Pendekar Bodoh yang menatap 

dari jarak sekitar dua puluh tombak. "Sepertinya, 

dia tengah memperagakan jurus silat. Tapi, aku 

tahu kalau dia tengah menimbun sesuatu dalam 

lubang besar itu. Entah apa yang ditimbunnya. 

Aku harus bisa mengorek keterangan dari mulut 

orang tua itu. Mungkin dia tahu apa yang telah 

terjadi di kota Suradipa ini...."

Mengikuti pikiran di benaknya, tak sabar 

Seno melompat. Ringan sekali tubuhnya 

melayang. Sekali jejak, dia telah berada di dekat 

kakek berpakaian serba putih.

Namun, kakek yang amat mahir 

memainkan senjata pedang itu tak mau 

menghentikan perbuatannya. Dia terus menusuk, 

membabat ataupun memutar pedangnya. Dia 

seakan tak tahu kalau ada orang yang tengah 

memperhatikan segala gerak-geriknya.

Semakin tak sabar Seno. "Kek! Hentikan


perbuatanmu sejenak! Aku ingin bertanya 

kepadamu!" teriaknya, keras menggelegar.

Tapi..., kakek berpakaian serba putih yang 

seluruh rambutnya juga berwarna putih tak mau 

mengindahkan teriakan Seno. Malah tiba-tiba....

"Hiahh...!"

Zing...! 

Bukan main kagetnya Seno. Ujung pedang 

si kakek yang runcing berkilat tiba-tiba melesat 

amat cepat, mengarah tepat ke jantungnya!

"Uts...!"

Dengan menggulingkan tubuhnya ke 

tanah, Seno berhasil menghindari serangan maut 

itu. Namun, bilah pedang si kakek terus mengejar 

ke mana pun tubuhnya bergerak. Tusukan 

ataupun babatan mencecar hebat, datang dan 

pergi bagai tak pernah berhenti!

"Keparat!" geram Pendekar Bodoh yang 

telah mengeluarkan lagi ilmu peringan tubuhnya. 

"Melihat sikapmu yang tak bersahabat ini, 

agaknya kaulah biang penyebab pertumpahan 

darah di kota ini."

Kakek berpakaian serba putih tak 

menyahuti ucapan Seno. Pedangnya terus 

mengirim serangan maut. Setiap bilah pedang si 

kakek berkelebat, timbul suara mendengung amat 

keras, menyakitkan gendang telinga.

Karena kakek bertubuh tinggi kurus itu 

memiliki ilmu pedang hebat dan ilmu peringan 

tubuh yang hebat pula, Seno jadi terdesak. 

Terpaksa Seno meloloskan Tongkat Dewa Badai


dari ikat pinggangnya.

Wesss...!

Kibasan senjata mustika di tangan 

Pendekar Bodoh menimbulkan gelombang angin 

pukulan dahsyat. Tubuh kakek berpakaian serba 

putih yang tengah menyerang gencar tiba-tiba 

terpental jauh. Namun dengan bersalto beberapa 

kali di udara, dia bisa mendarat sigap di tanah.

Kini tampaklah bagaimana raut wajah 

kakek itu dengan jelas. Selain rambutnya telah 

memutih semua, alis beserta kumis dan 

jenggotnya pun telah memutih. Sinar matanya 

redup seperti sudah tak punya semangat hidup 

lagi.

Melihat sikap berdirinya yang tegak kokoh, 

jelas dia tak menderita luka dalam. Itu 

menandakan bahwa dia memiliki tenaga dalam 

yang bisa diandalkan. Karena, gelombang angin 

pukulan yang ditimbulkan kibasan Tongkat Dewa 

Badai tadi bila menimpa seorang pesilat biasa, 

pastilah dia menderita luka dalam amat berat.

"Siapa kau, Kek? Kenapa menyerangku?" 

tanya Pendekar Bodoh, sekaligus menegur.

Namun, terkejut lagi murid Dewa Dungu 

itu. Si kakek tidak menjawab pertanyaan yang 

ditujukan kepadanya. Dia malah menangis. Air 

matanya jatuh berlelehan di pipinya yang sudah 

dipenuhi kerut-merut!

"Eh! Kau menangis? Kenapa... kenapa 

menangis?" ujar Seno, menyatakan 

keheranannya. Melihat si kakek yang tampak tak


lagi berbahaya, diselipkannya kembali batang 

Tongkat Dewa Badai ke ikat pinggang.

Kakek berpakaian serba putih tetap berdiri 

diam. Lalu air matanya mengalir deras bak 

bendungan jebol, tak terdengar suara sedikit pun 

dari mulutnya.

Setelah berulang kali mengusap lengannya 

dengan lengan baju, kakek yang wajahnya 

tampak amat memelas itu berkata, "Kau... kau 

Seno Prasetyo, bukan?"

"Ya. Kenapa?" sahut Seno seraya melempar 

pertanyaan. Heran juga dirinya dapat dikenali. 

"Pendekar Bodoh?" 

"Ya. Kenapa?" 

"Ikuti aku!"

Sambil menyarungkan pedangnya, kakek 

berkulit kuning itu menjejak tanah. Cepat sekali 

tubuhnya berkelebat meninggalkan kota 

Suradipa.

Pendekar Bodoh terlongong-longong 

sejenak. Tapi karena terdesak rasa penasaran, 

bergegas dia mengikuti kelebatan tubuh si kakek!



TIGA



CEPAT sekali kelebatan tubuh kakek 

berpakaian serba putih itu. Memaksa Seno untuk 

mengerahkan seluruh kemampuan ilmu peringan 

tubuhnya agar tak kehilangan jejak.

Seno jadi merasa ditantang untuk

menunjukkan kemampuannya. Dan mengingat 

kemampuan si kakek yang tadi telah 

menyerangnya mati-matian, hati Seno semakin 

panas. Hingga, ia kerahkan ilmu 'Lesatan Angin 

Meniup Dingin'-nya sampai ke puncak! 

Sementara, mentari yang telah tegak 

memayung di atas kepala membuat hawa udara 

terasa panas membakar. Langit biru bersih. Tak 

ada tanda-tanda bila hari akan turun hujan 

walau saat itu tanah Jawa tengah berada di 

musim penghujan. 

Kesal bukan main Pendekar Bodoh.

Pemuda remaja bertubuh tinggi tegap itu 

sempat merutuk dan memaki-maki. Hatinya 

terasa telah meradang. Sampai di mana pun dia 

mengerahkan ilmu peringan tubuhnya, sosok 

bayangan kakek berpakaian serba putih tetap tak 

dapat disusul. Seno hanya mampu mengimbangi 

kecepatan gerak kakek yang tampaknya 

menyimpan banyak rahasia itu.

Namun di balik rasa kesalnya, Seno 

menyimpan kekaguman. Selama malang 

melintang di rimba persilatan, belum ada orang 

yang dapat menyamai kehebatan ilmu 'Lesatan 

Angin Meniup Dingin'-nya kecuali ilmu 'Angin 

Pergi Tiada Berbekas' Mahisa Lodra atau Setan 

Selaksa Wajah. Dan kini, ilmu peringan tubuh 

Seno itu tak berdaya sama sekali untuk 

mengungguli kecepatan gerak tubuh kakek 

berpakaian serba putih.

Si kakek yang tengah dikuntit Seno


memang bukan orang sembarangan. Selain 

memiliki ilmu peringan tubuh yang hebat luar 

biasa, dia juga ahli memainkan senjata pedang. 

Oleh karena itu, kaum rimba persilatan amat 

menyegani dan menghormatinya sebagai seorang 

tokoh jajaran atas yang memang patut disegani 

dan dihormati.

Dia bernama Mahendra Karnaka. Namun, 

banyak tokoh rimba persilatan yang lebih senang 

menyebut sekaligus memberi julukan Hati 

Selembut Dewa.

Setelah berlari hampir sepenanakan nasi, 

kakek yang sejak sepuluh tahun lalu 

mengasingkan diri itu menghentikan kelebatan 

tubuhnya di sebuah padang rumput. Dia berhenti 

tepat di depan pintu gerbang sebuah bangunan 

besar berupa puri. Pondok Matahari!

Sementara menunggu kedatangan 

Pendekar Bodoh, Mahendra Karnaka mengatur 

jalan napasnya yang terdengar memburu. Seperti 

Pendekar Bodoh, tadi dia pun telah mengerahkan 

ilmu peringan tubuhnya sampai ke puncak. Dan 

rupanya, kemampuan mereka seimbang.

Tiga kejap mata kemudian, Seno sampai di 

hadapan Mahendra Karnaka. Napas si pemuda 

juga terdengar memburu. Wajahnya berubah 

memerah dengan peluh berlelehan. Kain bajunya 

pun telah basah oleh keringat.

"Aneh sekali. Keringat pemuda itu 

menebarkan aroma harum bunga cendana...," 

kata hati Mahendra Karnaka. "Aku yakin, pakaian


yang dia kenakan bukan pakaian sembarangan. 

Pakaian itu bisa menebarkan aroma harum bila 

terkena air keringat. Aku yakin pula, pakaian 

pemuda itu pasti mempunyai kelebihan lain yang 

lebih hebat dari sekadar menebarkan aroma 

harum...."

Benar dugaan Hati Selembut Dewa. 

Pakaian Seno memang bukan pakaian 

sembarangan. Pakaian si pemuda yang 

merupakan pemberian Dewa Dungu itu telah 

direndam selama bertahun-tahun di dalam 

ramuan obat-obatan. Aroma harum yang 

ditebarkannya bisa mengusir serangga berbahaya 

dan beberapa jenis binatang berbisa lainnya. 

Namun demikian, tak pernah diduga oleh Dewa 

Dungu maupun Seno sendiri, aroma harum 

pakaian itu juga bisa membangkitkan gairah 

wanita yang menghirupnya!

"Ke... kenapa kau berlari ke tempat ini?" 

tegur Seno dengan napas masih terengah-engah. 

"Kau siapa? Apakah kau pelaku pembantaian di 

kota Suradipa?"

Hati Selembut Dewa tak menjawab. 

Matanya menatap sosok Seno dari ujung rambut 

sampai ujung kaki. Lalu dengan suara berat, dia 

balik bertanya....

"Benar kau Pendekar Bodoh?"

"Itu sudah kujawab!" sahut Seno, masih 

menyimpan rasa kesal dan penasaran. "Kau tak 

perlu bertanya lagi. Jawablah pertanyaanku 

dulu!"


"Benar kau Pendekar Bodoh?" ulang Hati 

Selembut Dewa.

Mendelik mata Seno. Namun setelah 

geleng-geleng kepala, dia nyengir kuda beberapa 

saat.

"Kau ini aneh, Kek. Kalau memang aku 

Pendekar Bodoh, apa perlumu? Kau benar-benar 

membuatku heran, Kek! Benda apa sebenarnya 

yang telah kau timbun di kota Suradipa tadi? 

Dan, bisakah kau menjelaskan kenapa kau tiba-

tiba menyerangku lalu mengajakku ke tempat ini? 

Sebelum bertemu denganmu, aku melihat ceceran 

darah manusia di sebuah kedai. Bisakah pula 

kau menjelaskannya?"

Raut wajah Hati Selembut Dewa berubah 

tegang mendadak. Tanpa berkata apa-apa, dia 

melompat ke depan untuk melancarkan totokan 

maut!

Menggeram marah Seno melihat serangan 

itu. Cepat dia berkelit ke kiri. Terdesak rasa kesal 

di hatinya, si pemuda balas menyerang. Kepalan 

tangan kanannya berkelebat cepat untuk 

menggedor dada Hati Selembut Dewa!

"Rasakan Ini!"

Wuttt...!

Hanya dengan menggerakkan sedikit 

tubuhnya, Mahendra Karnaka berhasil berkelit. 

Kemudian dengan gerakan yang luar biasa cepat, 

amat sulit diikuti pandangan mata, jemari tangan 

kanannya yang semula digunakan untuk 

menjatuhkan totokan berubah mencengkeram. Isi


perut Seno pasti akan pecah berhamburan bila 

terkena cengkeraman yang disertai tenaga dalam 

tingkat tinggi itu!

Walau mata Seno tak dapat melihat 

gerakan lawan, tapi telinganya dapat mendengar 

jelas desir angin yang menuju ke tubuh bagian 

bawahnya. Tahu ada bahaya mengancam jiwa, 

cepat dia melompat tinggi. Dengan gerakan 

'Kunyuk Lapar Menyambar Pisang', tangan kanan 

si pemuda berkelebat tak kalah cepat!

Terperangah Hati Selembut Dewa melihat 

kecepatan gerak Seno. Apalagi setelah Seno 

membalas cengkeramannya dengan cengkeraman 

pula.

Tanpa pikir panjang Hati Selembut Dewa 

membuang tubuhnya ke kanan. Dia berhasil 

menghindari serangan Seno. Tapi, dia pun mesti 

merelakan kain bajunya robek di bagian dada.

"Kau... kau Pendekar Bodoh?" kesiap Hati 

Selembut Dewa dengan sinar mata menyelidik, 

tak meneruskan serangannya.

Pendekar Bodoh yang masih memegang 

sobekan baju si kakek masih senyum-senyum. 

Dia merasa unggul pada gebrakan tadi. Tapi 

karena hatinya masih kesal dan panas, dia 

bermaksud memberi pelajaran kepada si kakek 

yang dianggapnya tak tahu aturan.

"Terimalah ini!" seru Seno seraya 

melemparkan kain putih di tangannya.

Meski lemparan Pendekar Bodoh terlihat 

asal-asalan, jangan dikira tidak berbahaya.


Lemparan itu disertai pengerahan tenaga amat 

kuat. Ketika melesat di udara, sobekan kain 

menegang kaku, seakan telah berubah menjadi 

lempengan logam. Bila mengenai tubuh manusia, 

pasti akan tembus dan membuat lubang besar!

Namun, Mahendra Karnaka yang berusia 

lanjut dapat menunjukkan pengalamannya 

sebagai seorang tokoh tua yang sudah lama 

malang-melintang di rimba persilatan. Mendengar 

suara gemuruh yang menuju ke arahnya, dia 

tahu bila lemparan Seno amatlah berbahaya. 

Anehnya, dia tidak berusaha berkelit ataupun 

menyampok sobekan kain itu. Dia hanya 

membuka mulut lebar-lebar seraya meniup!

"Wusss...!"

Luar biasa! Sobekan kain yang 

dilemparkan Seno tiba-tiba tertahan di udara, lalu 

hancur luluh menjadi serbuk halus yang segera 

lenyap diterbangkan angin!

"Hebat! Hebat...!" puji Seno, tak dapat 

menyembunyikan kekagumannya.

Hati Selembut Dewa malah mendengus 

gusar. Setelah menatap wajah Seno lekat-lekat, 

dia berkata, "Kalau kau memang Pendekar Bodoh, 

aku ingin mengadu kekuatan denganmu!"

Di ujung kalimatnya, kakek yang sifat dan 

sikapnya sulit ditebak itu menarik napas panjang 

seraya mengalirkan kekuatan tenaga dalam ke 

tangan kanan. Wajahnya yang semula kuning-

pucat mendadak memerah garang.

Ketika si kakek mengambil ancang-ancang,


Seno tahu apa yang harus dilakukannya. 

Mengadu kekuatan dengan seorang tokoh tua 

macam Hati Selembut Dewa amatlah berbahaya. 

Walau telah melihat kehebatan si kakek waktu 

menghancurkan sobekan kain baju tadi, Seno 

belum bisa mengukur sampai di mana kekuatan 

tenaga dalam bakal lawannya itu.

Namun dengan melihat usia Hati Selembut 

Dewa yang diperkirakan telah lebih dari tujuh 

puluh tahun, sedikit banyak Seno bisa menerka-

nerka. Paling tidak, Hati Selembut Dewa telah 

melatih dan meningkatkan tenaga dalamnya 

selama lima puluh tahun. Dalam kurun waktu 

selama itu, orang yang melatih tenaga dalamnya 

dengan sungguh-sungguh akan mendapatkan 

kekuatan luar biasa dahsyat.

"Apa boleh buat, aku harus melayani 

tantangan orang tua itu. Tapi, aku tak mau 

membunuh siapa-siapa untuk saat ini...," kata

hati Pendekar Bodoh. "Aku tak akan 

mengeluarkan ilmu pukulan. Tapi, aku akan 

mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamku 

untuk menahan gempuran kakek yang 

tampaknya menyimpan banyak rahasia itu."

Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas 

Seno mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya ke 

tangan kanan. Benar-benar sampai ke puncak!

Walau usia Seno masih amat muda untuk 

ukuran orang-orang yang telah menceburkan diri 

ke kancah rimba persilatan, tapi tenaga dalam 

murid Dewa Dungu itu tidak bisa dianggap


enteng. Karena telah menelan 'Capung Kumala' 

dan 'Kodok Wasiat Dewa', tenaga dalam Seno jadi 

meningkat berlipat-lipat. Dengan menelan salah 

satu dari dua benda ajaib itu, sama artinya Seno 

telah melatih tenaga dalamnya selama dua puluh 

tahun. Apalagi, Seno telah menelan kedua benda 

ajaib yang amat langka itu. Lebih-lebih, Seno pun 

telah mendapatkan tambahan tenaga dalam 

ketika dipukul Setan Bodong dengan Tenaga Inti 

Es Biru (Baca serial Pendekar Bodoh episode: 

"Tongkat Dewa Abadi" sampai "Pusaka Pedang 

Naga" yang terdiri dari delapan episode).

Dan tampaknya, adu kekuatan antara 

Pendekar Bodoh dengan Hati Selembut Dewa 

benar-benar menjadi kenyataan. Dengan tangan 

kanan terjulur lurus, tubuh Hati Selembut Dewa 

melesat sebat. Sementara, Pendekar Bodoh cuma 

memasang kuda-kuda tanpa menggerakkan 

tubuhnya. Namun, tangan kanannya yang 

terjulur ke depan menunjukkan bahwa dia 

bermaksud menahan gempuran Hati Selembut 

Dewa!

Ketika dua telapak tangan yang dialiri 

tenaga dalam tingkat tinggi bertemu, ledakan 

keras menggelegar terdengar memecah kesunyian. 

Dua tenaga dalam dari aliran berbeda benar-

benar bentrok!

Blarrr...!

Bersamaan dengan timbulnya ledakan 

yang mengguncangkan permukaan tanah itu, 

Pendekar Bodoh merasakan satu kekuatan hebat


yang memaksa tubuhnya terpental. Tapi dengan

menarik kaki kanannya ke belakang, dia dapat 

bertahan, walau tak urung kedua pergelangan 

kakinya terbenam satu jengkal ke dalam tanah.

Dengan ilmu 'Perisai Dewa Badai', Seno 

dapat melindungi isi dadanya. Sehingga, dia tak 

sampai menderita luka dalam akibat adu 

kekuatan tadi.

Di lain pihak, Hati Selembut Dewa pun 

merasakan satu kekuatan hebat yang 

memaksanya melangkah mundur sampai lima 

tindak. Kekuatan yang timbul akibat bentrokan 

dua tenaga dalam itu membuat aliran tenaga 

dalam Hati Selembut Dewa berbalik menyerang 

dirinya sendiri. Tentu saja dia tak dapat 

menghindar. Hingga, si kakek merasakan isi 

dadanya bergetar kencang dan terasa amat sesak.

Hati Selembut Dewa merasakan adanya 

cairan darah yang bergerak naik melalui 

kerongkongan dan hendak menyembur keluar. 

Tapi karena tak mau menunjukkan luka 

dalamnya, cepat dia katupkan mulutnya rapat-

rapat. Cairan darah yang hendak keluar 

ditelannya lagi.

"Wajahmu pucat sekali, Kek. Aku tahu kau 

terluka dalam. Kenapa mesti memaksakan diri?" 

ujar Seno tanpa punya maksud mengolok 

ataupun mengejek.

Tepat di ujung kalimat pemuda remaja itu, 

Hati Selembut Dewa merasakan kepalanya amat 

pening. Pandangannya mengabur. Mau tak mau


dia pun harus mengakui bila dirinya telah terluka 

dalam cukup parah. Hingga, tak ada cara lain 

untuk mengatasi luka dalamnya itu kecuali 

dengan duduk bersemadi dan mengatur aliran 

darahnya yang kacau.



EMPAT



WARNA merah jingga di langit timur 

meronta lepas dari dekapan gelap. Tersenyum 

malu sang baskara dengan sinar terangnya yang 

hangat menggoda. 

Fajar menyingsing.

Di putaran waktu yang membawa hari 

menjelang pagi, Mahendra Karnaka atau Hati 

Selembut Dewa menutup semadinya dengan 

tatapan heran. Perlahan dia bangkit seraya 

mengedarkan pandangan.

"Tak terasa waktu berlalu amat cepat. 

Cukup lama aku bersemadi sampai hari hampir 

berganti...," gumam si kakek. "Tenaga dalam 

pemuda itu memang luar biasa. Kini aku yakin 

bila dia benar-benar Pendekar Bodoh. Tapi..., di 

mana dia sekarang?"

Sambil melangkah, kakek berpakaian serba 

putih itu terus mengedarkan pandangan. Namun, 

sosok Pendekar Bodoh tetap tak ditemukannya. 

Dan waktu dia menatap bangunan Pondok 

Matahari, perasaan sedih tiba-tiba mengiris dan 

terasa menyayat-nyayat hatinya.

Mahendra Karnaka berdiri terpaku 

beberapa lama. Rasa sedih semakin mengiris 

hatinya. Tak terkira air mata menitik dan 

berlelehan di kedua pipinya.

Ketika melangkah memasuki halaman 

Pondok Matahari, terkesiap hati Hati Selembut 

Dewa. Telinganya mendengar suara dengkuran 

orang. Ternyata, Pendekar Bodoh tengah terlelap 

tidur di salah satu sudut dinding bangunan 

Pondok Matahari. 

Sikap tidur Pendekar Bodoh meringkuk 

memeluk lutut seperti trenggiling melingkar. 

Agaknya, dia memang amat terlelap dalam 

tidurnya. Namun saat Hati Selembut Dewa 

menghampiri, si pemuda langsung bangun.

"Kau... kau telah menyelesaikan semadimu, 

Kek?" tanya Seno dengan suara datar dan terlihat 

amat lugu. Jari tangan kanannya mengucak-ucak 

mata. 

Setelah lama terdiam, Hati Selembut Dewa 

menyahuti, "Melihat sikapmu ini, tampaknya kau 

sama sekali tak membenciku.... Tidakkah kau 

merasa sakit hati karena sikap kasarku 

kepadamu?"

"Membenci? Sakit hati? Untuk apa?"

"Bukankah aku telah menyerangmu tanpa 

sebab yang pasti? Kalau kau tak punya ilmu 

kepandaian hebat, bukankah kau bisa celaka?"

Nyengir kuda Seno beberapa saat. Lalu

katanya, "Entahlah. Aku tak tahu jalan pikiranku 

sendiri. Sepertinya, aku mendengar bisikan yang


mengatakan bahwa aku tak boleh membencimu, 

Kek. Apalagi, menyakitimu dengan membalas 

semua perlakuanmu kepadaku.... Setelah aku 

melihat raut wajahmu yang tampak murung itu, 

aku jadi yakin sekarang. Kau bukan orang jahat. 

Tapi entahlah... Mungkin aku salah. Tapi... tapi.... 

Ah! Aku tak boleh membunuh orang tanpa alasan 

yang pasti...."

Terdiam hati Hati Selembut Dewa 

mendengar kalimat Pendekar Bodoh yang 

terputus-putus. Dan lama si kakek diam saja, 

Pendekar Bodoh tampak cengar-cengir. 

Sementara, wajah mentari telah terlihat utuh di 

langit timur. Pagi telah datang mengantar terang. 

Suasana di sekitar Pondok Matahari tak lagi sepi. 

Burung-burung mulai berkicau dan beterbangan 

di angkasa nan luas.

"Lihatlah itu...," pinta Hati Selembut Dewa 

kemudian, duduk bersila di hadapan Pendekar 

Bodoh.

Tanpa pikiran macam-macam, Seno 

menoleh ke arah yang ditunjukkan si kakek. Tak 

seberapa jauh dari bangunan Pondok Matahari, 

Seno melihat gundukan tanah merah berbentuk 

bundaran besar. Terdapat dua patok kayu di 

pinggiran gundukan tanah itu.

"Ketahuilah, Seno, di dalam gundukan 

tanah itu terdapat dua puluh lima mayat 

muridku," jelas Hati Selembut Dewa dengan suara 

bergetar, menyiratkan kesedihan mendalam.

"Apa?" kesiap Seno, seperti tak percaya


pada ucapan si kakek.

"Mereka semua mati dibunuh Wanara 

Kadang atau Iblis Pemburu Dosa," lanjut Hati 

Selembut Dewa.

"Jadi... jadi apa yang kau lakukan di kota 

Suradipa itu adalah juga mengubur mayat 

orang?"

"Ya. Ketika kau datang, aku baru saja 

selesai menimbun mayat murid-muridku juga...."

Terkejut Seno saat melihat bola mata Hati 

Selembut Dewa berkaca-kaca. Dan, si kakek yang 

tak dapat menahan kesedihan hatinya segera 

tampak menangis bersimbah air mata.

"Heran aku. Dua kali aku melihatmu 

menangis, Kek. Sebenarnya, kau ini siapa? Dan, 

kenapa murid-muridmu dibunuh orang?" tanya 

Seno, menceritakan keingintahuannya.

Mendapat pertanyaan itu, air mata 

Mahendra Karnaka semakin mengalir deras. 

Dengan suara patah-patah, dia berkata, "Namaku 

Mahendra Karnaka. Orang-orang memberiku 

gelar Hati Selembut Dewa. Sejak sepuluh tahun 

lalu, aku telah mengasingkan diri di tempat ini. 

Aku mengangkat beberapa orang murid. Bersama 

mereka. aku mendirikan puri yang kuberi nama 

Pondok Matahari.... "

"Jadi, puri ini milikmu?" potong Seno. 

"Ya," angguk Mahendra Karnaka. 

"Mendengar keberadaanku yang mengasingkan

diri di tempat ini, banyak pemuda datang dan 

meminta kesediaanku untuk mengangkat mereka


sebagai murid. Aku senang. Mereka semua yang 

datang kepadaku memang punya maksud baik. 

Mereka ingin jadi seorang pendekar pembela

kebenaran...." 

"Lalu?"

"Lebih dari seratus orang muridku telah 

meninggalkan Pondok Matahari ini karana telah 

menyelesaikan pelajaran. Namun, aku tak suka 

bila mereka berkecimpung di rimba persilatan

yang penuh kekerasan dan pertumpahan darah. 

Untuk menjadi seorang pendekar pembela 

kebenaran, seseorang tidak harus terjun ke rimba 

persilatan...."

"Bagaimana bisa membela kebenaran kalau 

tidak bertempur dan melawan orang jahat?" tanya 

Seno, amat lugu.

"Selain memberikan ilmu bela diri, aku 

juga memberikan bekal ilmu lain kepada mereka. 

Aku mengajarkan cara-cara berdagang. Sehingga, 

hampir semua muridku yang telah keluar dari 

Pondok Matahari ini benar-benar mengikuti 

keinginanku. Mereka menjadi pedagang di kota-

kota besar, termasuk kota Suradipa. Dengan 

menjadi pedagang pun, mereka tetap bisa 

menegakkan dan membela kebenaran. Kota besar 

yang tentu berpenduduk padat biasanya terdapat 

banyak orang jahat. Di sanalah tenaga mereka 

dibutuhkan...."

Seno mengangguk-angguk, dapat 

memahami keterangan Hati Selembut Dewa. Tapi 

karena masih penasaran, dia bertanya, "Lalu,


kenapa murid-muridmu itu dibunuh orang? 

Apakah ada orang jahat yang memang tidak suka 

dan menyimpan dendam kepada mereka?

Mahendra Karnaka menghapus butiran air 

bening yang masih menitik dari sudut matanya. 

"Sebelum aku mendirikan Pondok Matahari, aku 

mempunyai musuh bebuyutan. Dia mempunyai 

ilmu kepandaian tinggi, tapi sifat dan tindak-

tanduknya sungguh tak bisa dijadikan suri 

teladan.... Namun berkat ilmu pedang yang 

kumiliki, berkali-kali dia kalah dalam 

pertempuran. Sayangnya, dia tak pernah jera, 

bahkan semakin kuat rasa bencinya kepadaku. 

Dan rupanya, setelah sepuluh tahun berlalu, dia 

muncul lagi. Murid-muridku yang masih tinggal 

di Pondok Matahari ini dibunuhnya semua. 

Murid-muridku yang tinggal di kota Suradipa pun 

menerima nasib sama. Mereka mati di tangan 

orang jahat itu. Dan..., seluruh warga kota 

Suradipa tiba-tiba mengungsi karena takut dan 

ngeri melihat kekejaman dan kesaktian orang 

yang telah membantai murid-muridku itu...."

"Jahat benar! Jahat benar!" seru Seno tiba-

tiba. "Eh! Siapa orang jahat itu, kek?"

"Tadi sudah kukatakan. Dia bernama 

Wanara Kadang dan berjuluk Iblis Pemburu 

Dosa."

"Ya. Ya, aku ingat." Setelah menggaruk-

garuk pantatnya yang tiba-tiba terasa amat gatal, 

pemuda lugu ini bertanya. "Tapi..., kenapa kau 

menyerangku tanpa alasan yang jelas, Kek...? Apa


kau kira aku saudara atau sahabat Iblis Pemburu 

Dosa?"

"Tidak! Tidak!" sahut Hati Selembut Dewa, 

cepat. "Senang sekali aku bertemu denganmu. 

Namun, aku pun ingin membuktikan bahwa kau 

memang Pendekar Bodoh." 

"Untuk apa?" 

"Sejak aku keluar dari Pondok Matahari, 

aku banyak mendengar cerita tentang seorang 

pemuda remaja berparas tampan dan selalu 

mengenakan pakaian biru-biru dengan ikat 

pinggang merah. Untuk membuktikan bahwa kau 

memang Pendekar Bodoh yang memiliki ilmu 

kepandaian hebat, tak ada cara lain kecuali

menyerangmu dengan sungguh-sungguh.... "

"Untuk apa?"

Seno bertanya lagi karena keterangan Hati 

Selembut Dewa belum memberikan jawaban.

"Selain aku mendengar cerita tentang 

dirimu, aku pun mendengar cerita tentang 

kehebatan Wanara Kadang yang telah berhasil 

menyempurnakan ilmu kepandaiannya. Orang 

jahat itu memiliki ilmu 'Lima Pukulan Pencair 

Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'. 

Kehebatan ilmu itu sungguh-sungguh akan 

membuat orang lari ketakutan. Walau lawan 

punya tenaga dalam yang lebih unggul sampai 

tiga tingkat, jika terjadi benturan anggota tubuh 

dengan Wanara Kadang, seluruh tulang tubuh 

orang itu akan mencair. Hingga, tubuhnya akan 

berubah menjadi segumpal daging basah tanpa


tulang sedikit pun!"

"Ilmu sesat!" celetuk Seno.

"Sementara jika Wanara Kadang 

mengeluarkan ilmu 'Mengadu Tenaga Menjebol

Perut', sampai di mana pun kekuatan tenaga 

dalam lawannya, perut orang itu pasti akan jebol! 

Dan, tentu saja kematianlah akibatnya! "

"Astaga! Ilmu macam apa itu?!" celetuk 

Seno lagi. Ada bayangan ngeri di sinar matanya,

"Oleh karena itulah, Seno, betapa 

senangnya aku ketika bertemu denganmu. Walau 

kau lihat air mukaku amat masam, 

sesungguhnya kegembiraan tengah merajai 

hatiku. Setelah dapat membuktikan bahwa kau 

benar-benar Pendekar Bodoh, aku pun harus 

mengatakan satu permohonan kepadamu. Aku 

yang sudah tua renta ini membutuhkan bantuan 

untuk menghentikan kebiadaban Wanara Kadang. 

Kalau dia tidak segera dihentikan dia akan 

mendatangi murid-muridku lainnya. Mereka akan 

ditanya di mana aku berada. Dan akhirnya, 

mereka semua akan dibunuh...."

Seno tampak berpikir-pikir. Sudah menjadi 

kewajibannya untuk membantu seseorang yang 

memang membutuhkan bantuan. Akan tetapi, 

dapatkah dia meredam ilmu sesat Wanara 

Kadang?

"Ketika terjadi pembantaian di Pondok 

Matahari ini dan di kota Suradipa, kau berada di 

mana, Kek?" tanya Seno sambil menimbang.

"Tiga candra yang lalu, aku mengambil


murid baru. Murid itu amat cerdas dan berbakat. 

Hingga, aku melatihnya di suatu tempat 

tersembunyi. Aku bermaksud menurunkan 

seluruh ilmu kepandaianku kepadanya. Terus 

terang, murid-muridku yang terdahulu tidak ada 

yang kuwarisi ilmu kepandaianku sampai 

tuntas.... Aku membawa murid baruku ke suatu 

tepat tersembunyi dengan satu maksud agar 

murid-muridku yang berada di Pondok Matahari 

ini tidak menjadi iri hati jika melihat aku 

menurunkan ilmu simpananku."

"Dan ketika kau datang, semua muridmu 

yang berada di sini telah menjadi mayat semua?"

"Begitulah.... Karena sudah lama aku 

meninggalkan Pondok Matahari, aku memberikan 

pelajaran ilmu pedang kepada murid baruku itu 

untuk dilatihnya sendiri. Sementara, aku lalu 

kembali ke Pondok Matahari...."

Mendadak, air mata Hati Selembut Dewa 

mengalir lagi. Dengan suara terbata-bata, dia 

lanjutkan ceritanya.

"Menilik ciri-ciri yang ada pada mayat 

murid-muridku, aku yakin bila yang membunuh 

mereka adalah Wanara Kadang. Aku pun 

bermaksud membalas kebiadabannya itu. Aku 

pergi ke kota Suradipa. Di kota itu, sebagian 

muridku yang telah kuanggap menyelesaikan 

pelajaran bertempat tinggal. Aku bermaksud 

memberitahu kekejaman Wanara Kadang agar 

mereka berhati-hati, karena bisa saja Wanara 

Kadang juga bermaksud membantai mereka.


Tapi..., kedatanganku terlambat...." 

Iba hati Seno melihat Mahendra Karnaka 

mendekap wajah lalu menangis sesenggukan. 

Mahendra Karnaka menangis seperti seorang 

wanita yang baru saja ditinggal mati putra 

tercintanya.

Kakek berpakaian serba putih itu memang 

amat gampang menangis bila hatinya merasa 

sedih. Mungkin karena itulah orang-orang rimba 

persilatan menjulukinya sebagai Hati Selembut 

Dewa.

Sementara Hati Selembut Dewa terus larut 

dalam tangisnya, Seno mulai tampak cengar-

cengir lagi. Sayang, si pemuda tidak menanyakan 

siapa murid baru Hati Selembut Dewa yang 

diceritakan tadi. Kalau tahu, Seno pasti melonjak 

girang. Karena, murid baru Hati Selembut Dewa 

adalah Kemuning atau Dewi Pedang Kuning.

Bukan saja Seno telah mengenal 

Kemuning, tapi si gadis juga telah menjadi 

kembang mimpinya selama ini. Ya! Kemuning 

adalah gadis dambaan hati Seno.


LIMA



DUA sosok bayangan itu berkelebat cepat 

sekali. Bahkan, lebih cepat dari lesatan anak 

panah lepas dari busur. Sehingga, sosok tubuh 

mereka nyaris tak dapat diikuti pandangan mata.

Sesekali melenting tinggi, melewati


bongkah-bongkah batu besar ataupun meloncati 

tonjolan akar pepohonan yang mencuat dari 

dalam tanah. Saat mendarat, kedua sosok 

bayangan itu langsung berkelebat lagi tanpa 

meninggalkan suara sedikit pun.

Sesampai di sebuah gurun berbatu-batu, 

yang dinamakan Gurun Selaksa Batu, barulah 

dua sosok bayangan itu menghentikan kelebatan 

tubuhnya. Ternyata, mereka adalah si Pendekar 

Bodoh, Seno Prasetyo dan si Hati Selembut Dewa, 

Mahendra Karnaka!

"Di sinikah dia tinggal?" tanya Seno.

Sambil bertanya, murid Dewa Dungu itu 

mengedarkan pandangan. Namun, yang terlihat 

cuma bongkah batu-batu besar yang menutup 

permukaan tanah. Si pemuda jadi paham dan 

maklum kenapa dataran luas yang didatanginya 

itu dinamakan Gurun Selaksa Batu.

Mahendra Karnaka tak segera menjawab 

pertanyaan Pendekar Bodoh. Si kakek juga sibuk 

mengedarkan pandangan. Sorot matanya yang 

biasanya redup-teduh dan penuh welas asih kini 

tampak tajam menusuk. Rupanya, dia tengah 

berada dalam kewaspadaan penuh. 

"Aku tak melihat siapa-siapa. Benarkah di 

sini dia tinggal?" ulang Seno.

"Sebelum aku mengasingkan diri dan 

membangun Pondok Matahari, memang di sinilah 

Wanara Kadang tinggal," sahut Hati Selembut 

Dewa akhirnya.

"Kau mengasingkan diri sudah begitu lama,

Kek. Ada banyak kemungkinan bila orang jahat 

itu telah berpindah tempat."

"Memang. Tapi, kita harus melakukan 

pencarian dari tempat ini dulu. Walau ada 

kemungkinan dia tak dapat kita temukan, 

barangkali ada suatu petunjuk yang bisa 

menuntun kita."

"Misalnya apa?" tanya Seno seraya nyengir 

kuda tanpa bermaksud mengejek ataupun 

menggoda.

Hati Selembut Dewa tak menjawab. Dia 

meloncat-loncat dari satu batu ke batu lain. 

Anehnya, kedua bola matanya terus menatap ke 

bawah.

"Apa dia tinggal di bawah batu?" buru 

Seno, berteriak keras.

"Hati-hatilah! Wanara Kadang punya 

kebiasaan berdiam diri di dalam tanah. Dia bisa 

muncul tiba-tiba seraya menyerangmu!" sahut 

Hati Selembut Dewa, balas berteriak.

Sambil cengar-cengir, Seno menggaruk 

kepalanya yang tak gatal. Sampai beberapa lama, 

matanya menatap ke bawah untuk berjaga-jaga. 

Tapi, mana ada manusia dapat hidup di dalam 

tanah?

Seno teringat pada Ratu Perut Bumi yang 

tinggal di Istananya yang bernama Liang Hawa 

Dingin. Tempat tinggal manusia setengah ular itu 

berada jauh di dalam tanah. Dia mampu bertahan 

hidup karena dalam dirinya mengalir darah 

siluman. Kalau Wanara Kadang? Apakah lelaki


berjuluk Iblis Pemburu Dosa itu juga mempunyai 

darah keturunan siluman?

Selagi Seno berpikir-pikir, di bagian lain 

terlihat Hati Selembut Dewa meloncat tinggi ke 

udara. Di bekas pijakan kaki si kakek tiba-tiba 

muncul getaran hebat. Diiringi suara gemuruh 

keras, bongkah-bongkah batu berhamburan ke 

angkasa!

"Awas, Seno! Di tempat ini akan segera 

muncul banyak kubangan!" seru Mahendra

Karnaka begitu menginjakkan kakinya di 

bongkahan batu lain yang tak turut terlontar.

Namun, peringatan kakek bertubuh kurus 

tinggi itu terlambat. Pendekar Bodoh sempat 

terpana melihat batu-batu yang berpentalan di 

udara. Peristiwa itu membuatnya lengah. 

Permukaan tanah di bawah batu yang dipijaknya 

terbuka mendadak. Dia tak sempat berbuat apa-

apa ketika tubuhnya meluncur turun, dan masuk 

ke kubangan besar!

"Ya, Tuhan...," desis Hati Selembut Dewa 

dengan tatapan menyiratkan kekagetan.

Bergegas kakek berpakaian serba putih itu 

meloncat ke pinggir lubang tempat terjerumusnya 

tubuh Pendekar Bodoh. Namun, sosok Pendekar 

Bodoh tiada terlihat lagi. Hanya jeritan ngeri si 

pemuda yang masih terdengar sampai beberapa 

lama.

Lubang tempat terjerumusnya tubuh 

Pendekar Bodoh tampak dalam sekali. Sejauh 

Hati Selembut Dewa memandang, yang terlihat


cuma kegelapan semata!

Bergidik ngeri Hati Selembut Dewa. Melihat 

lubang bergaris tengah dua depa yang begitu 

dalam, tampaknya tak ada kemungkinan bagi 

Pendekar Bodoh untuk menyelamatkan diri.

"Ya, Tuhan...," desis Mahendra Karnaka 

dengan hati berdebar tak karuan. "Menyesal aku 

telah menyeret pemuda itu ke persoalan yang 

tengah kuhadapi. Aku telah membuatnya celaka! 

Kasihan sekali.... Dia mati dalam usia begitu 

muda.... Oh! Maafkan aku, Seno...."

Tanpa terasa, butiran air bening menetes 

dari sudut mata si kakek. Cukup lama dia tak 

beranjak atau berpindah tempat. Kedua bola 

matanya yang terus berkaca-kaca tak henti 

menatap ke kedalaman lubang.

"Seno...!" teriaknya di sela-sela isakan 

tangis. "Seno...! Kau dengar suaraku?" Tak ada 

sahutan.

"Seno...!" teriaknya lagi, disertai aliran 

tenaga dalam. Sehingga suaranya menggema 

panjang di kedalaman lubang.

Namun, tetap tak ada sahutan.

"Ya, Tuhan...," sahut si kakek untuk 

kesekian kalinya.

Sedih bukan main rasa hati kakek 

bertubuh kurus tinggi itu. Rasa sesal dan berdosa 

memburunya pula. Kalau dia tidak meminta 

Pendekar Bodoh untuk turut mengatasi masalah 

yang sedang dihadapinya, bukankah pemuda 

lugu itu tak akan mati begini cepat? Itu berarti


dialah yang menyebabkan kematian Pendekar 

Bodoh!

Hati Selembut Dewa benar-benar larut 

dalam rasa sesal dan sedih. Dan tanpa 

disangkanya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh 

yang dibarengi guncangan hebat. Hati Selembut 

Dewa terkejut bagai disambar petir.

Bergegas dia meloncat jauh karena merasa 

jiwanya terancam. Dengan mata terbelalak lebar, 

si kakek segera tahu apa yang tengah terjadi.

Sekitar lima tombak dari sisi lubang 

jebakan bongkah-bongkah batu tampak 

berpentalan ke udara. Bersamaan dengan 

gumpalan tanah yang turun berhamburan, 

melesat sesosok bayangan dari dalam lubang 

yang baru terbentuk. Sosok bayangan itu lalu 

mendarat sigap di atas bongkah batu besar

Napas Mahendra Karnaka seakan telah 

terhenti. Memucat wajahnya ketika melihat sosok 

manusia yang baru muncul dari dalam tanah.

Sosok manusia itu seorang lelaki berambut 

putih riap-riapan. Berwajah amat buruk. 

Tubuhnya tinggi besar namun bongkok, dan 

ditumbuhi bulu lebat berwarna hitam 

kekuningan. Persis seekor kera. Lebih 

menggiriskan lagi, kepalanya ditumbuhi tanduk 

yang bagian ujungnya melengkung ke depan!

"Wanara Kadang...," desis Hati Selembut 

Dewa. Jantungnya berdegup amat cepat, 

membuat dadanya amat sesak.

Benar! Sosok manusia yang baru muncul


itu memang Wanara Kadang atau Iblis Pemburu 

Dosa!

"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Wanara 

Kadang melihat raut wajah Hati Selembut Dewa 

yang memucat. "Setelah ku bantai murid-

muridmu, kiranya kau mau menampakkan diri 

juga, Mahendra...."

"Jahanam!" geram hati Hati Selembut 

Dewa, menekan debar-debar di hatinya. "Jadi 

benar dugaanku. Kiranya memang kau biang 

pelaku pembunuhan keji itu!"

"Ha ha ha...!" tertawa lagi Wanara Kadang. 

"Murid-muridmu mati karena kebodohan mereka 

sendiri. Membunuh cecurut-cecurut busuk itu 

sama sekali tak memberikan kepuasan bagiku. 

Yang kuinginkan adalah nyawamu, Mahendra! 

Oleh karenanya, bersiap-siaplah untuk mati!"

"Hmmm.... Benar pula dugaanku. 

Rupanya, kau memang manusia jahat yang tak 

pernah bisa mengendalikan hawa nafsu. Kau tak 

pernah bisa melupakan api permusuhan di antara 

kita...."

"Tepat! Apa pun yang terjadi, aku memang 

punya maksud membinasakan dirimu, Mahendra! 

Juga orang-orang sepertimu! Aku ingin 

membinasakan siapa saja!"

Suara sengau Iblis Pemburu Dosa 

mendadak terdengar bergetar. Sepertinya, dia 

tengah mengeluarkan seluruh beban yang selama 

ini membuat sakit hatinya. Beban itu berupa 

dendam kemarahan, nafsu membunuh, dan


semua hal buruk lainnya. Tapi, kenapa bisa 

demikian? Mustahil orang bisa jadi jahat tanpa 

sebab-musabab! Lalu, apa sebab-musabab itu?"

"Aku tak pernah tahu, kenapa aku 

dilahirkan sebagai manusia yang buruk rupa 

seperti ini...?" sesal lelaki berbulu lebat itu. 

"Sementara, aku melihat semua orang di 

sekeliling ku memiliki tubuh dan raut wajah 

sempurna. Sungguh Tuhan telah berlaku tak adil 

terhadapku!"

"Karena itukah kau sejak dulu selalu 

mengumbar angkara murka?" selidik Mahendra 

Karnaka. 

"Ya! Karena aku ingin menuntut keadilan!" 

"Sayang seribu kali sayang...," desah Hati 

Selembut Dewa. "Bentuk tubuh dan raut 

wajahmu memang buruk, Wanara Kadang. Tapi, 

kau masih memiliki keberuntungan. Andai kau 

mau membuka mata lebar-lebar, kau pasti akan 

dapat melihat nasib orang-orang yang jauh lebih 

buruk darimu...."

"Keparat!" maki Wanara Kadang tiba-tiba. 

"Aku tak butuh petuahmu! Aku telah bersumpah 

bahwa seumur hidupku aku akan selalu 

menuntut keadilan! Dan, keadilan itu hanya akan 

kudapatkan bila aku telah membinasakan orang-

orang di sekitar ku!"

"Hmmm.... Kau boleh menuntut keadilan 

yang kau mau itu. Tapi, jangan lumuri tanganmu 

dengan darah manusia yang tak bersalah apa-

apa. Aku percaya bila di hati kecilmu kau merasa


berdosa ketika melakukan...."

"Hentikan!" potong Iblis Pemburu Dosa, 

keras menggelegar. "Sekali lagi kukatakan, aku 

tak butuh petuah darimu! Kuakui, sejak dulu 

hanya kau yang luput dari tangan mautku. 

Bahkan, kau pun telah berkali-kali 

mempecundangi ku. Tapi kini..., setelah aku 

dapat menyempurnakan ilmu 'Lima Pukulan 

Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjebol 

Perut', jangan harap kau akan dapat 

mengalahkan aku lagi!"

Bergetar hati Mahendra Karnaka 

mendengar kata-kata Iblis Pemburu Dosa. Namun 

cepat dia tutupi debar-debar di hatinya dengan 

berkata, "Jangan lupa! Sejak dulu kau tak pernah 

bisa mengalahkan ilmu pedang 'Memburu Jiwa 

Mengejar Roh'-ku! Sekarang pun kurasa kau 

tetap tak akan mampu mengalahkan ilmu 

pedangku itu!"

"Ha ha ha...!" tawa gelak Iblis Pemburu 

Dosa. "Aku memang bisa merasakan kehebatan 

ilmu pedangmu itu. Tapi kau harus tahu, 

kemunculanku kali ini juga berbekal perhitungan 

masak. Tidakkah kau lihat pemuda geblek 

bergelar Pendekar Bodoh yang telah menerima 

nasib naasnya tadi? Kau tentu telah melihat 

sendiri. Lubang tempatnya terjeblos hampir tak 

dapat diukur kedalamannya. Andai tubuhnya tak 

remuk ketika jatuh di dasar tanah berbatu-batu, 

ratusan ular berbisa lah yang akan mencabut 

nyawanya! Ha ha ha...!"


"Jahanam! Kau benar-benar manusia 

buruk luar-dalam, Wanara Kadang! Wajahmu 

amat buruk, tapi hatimu lebih buruk lagi! Kau 

licik dan keji! Sekarang tak ada alasan lagi untuk 

mengampuni nyawamu!"

Karena dikuasai rasa penasaran dan 

hawa amarah yang tiba-tiba muncul dalam hati, 

Mahendra Karnaka jadi lupa pada rasa gentarnya. 

Dia tak ingat lagi bila Iblis Pemburu Dosa benar-

benar telah berhasil menyempurnakan dua ilmu 

sesat yang amat berbahaya.

Yang ada dalam benak Mahendra Karnaka 

hanyalah keinginan untuk segera menghentikan 

kekejaman Iblis Pemburu Dosa. Apalagi ketika dia 

teringat akan nasib naas Pendekar Bodoh yang 

telah jatuh ke lubang perangkap. Maka karena 

tak dapat menahan gejolak perasaannya, serta-

merta Mahendra Karnaka menghunus bilah 

pedang yang terselip di punggungnya.

Set...!

Namun bersamaan dengan itu, Iblis 

Pemburu Dosa menggedrukkan kaki kanannya ke 

bongkah batu yang menopang tubuhnya.

Duk...!

Wusss...!

Mendadak dari sela-sela bongkah batu, 

sekitar satu tombak di belakang Hati Selembut 

Dewa, melesat gumpalan besi berwarna hitam. 

Dan ketika gumpalan besi sebesar kambing itu 

masih melayang di udara, terkejut tiada terkira 

Hati Selembut Dewa. Dia merasakan ada


kekuatan maha dahsyat yang menarik bilah 

pedang yang tercekal di tangan kanannya!

"Hh! Astaga!"

Keterkejutan Hati Selembut Dewa tak bisa 

digambarkan lagi. Bilah pedangnya tiba-tiba 

terlepas dari cekalan, dan melekat pada gumpalan 

besi hitam yang kemudian jatuh di sela-sela batu!

Merasa pedang adalah sarana satu-satunya 

untuk dapat menahan dua ilmu sesat iblis 

Pemburu Dosa, bergegas Hati Selembut Dewa 

meloncat. Langsung dicekalnya lagi hulu 

pedangnya untuk dilepas dari gumpalan besi 

hitam. Tapi ternyata, gumpalan besi itu 

mengandung daya tarik yang amat kuat. Sampai 

di mana pun Hati Selembut Dewa mengeluarkan 

tenaga, bilah pedangnya tak dapat dilepas. Ketika 

ditarik ke atas, gumpalan besi justru turut 

terangkat!

"Ha ha ha...!" tawa pongah Iblis Pemburu 

Dosa. "Sudah kukatakan, kemunculanku kali ini 

selain berbekal dua ilmu kesaktian yang telah ku 

sempurnakan, juga berbekal perhitungan yang 

masak. Salah satu dari perhitunganku itu 

bukankah telah kau lihat? Apakah kau mau 

bertempur dengan membawa gumpalan besi yang 

begitu berat?"

Menggeram marah Hati Selembut Dewa.

"Licik! Licik sekali kau, Wanara Kadang!"

Terdorong luapan rasa kesal, kakek 

berpakaian serba putih itu melemparkan bilah 

pedangnya ke arah Iblis Pemburu Dosa. Maka,


bilah pedang yang melekat pada gumpalan besi 

sebesar kambing itu melesat sebat dan 

mengeluarkan suara menderu ganas!

Namun sambil tertawa bergelak-gelak, Iblis 

Pemburu Dosa meloncat tinggi ke udara. 

Gumpalan besi bersama bilah pedang cuma 

membentur bongkah batu besar. Diiringi ledakan 

keras menggelegar, bongkah batu yang tertimpa 

langsung meledak hancur menjadi butiran kerikil 

yang terbang berhamburan. Sementara, bilah 

pedang Hati Selembut Dewa dan gumpalan besi 

hitam tetap utuh dan tetap pula melekat erat!

"Ha ha ha...! Aku akan segera menebus 

kekalahan ku sepuluh tahun yang lalu, 

Mahendra! Kematianmu adalah cita-cita hidupku! 

Bersiap-siaplah untuk menghadap malaikat 

penjaga neraka!"

Sambil berkata demikian, Iblis Pemburu 

Dosa menerjang ganas. Kedua telapak tangannya 

yang berupa cakar berkuku hitam panjang 

berkelebat cepat untuk merobek-robek tubuh Hati 

Selembut Dewa!

"Hiahhh...!"



ENAM



ANTARA sadar dan tidak Seno merasakan 

tubuhnya meluncur amat cepat, seperti ada 

kekuatan hebat yang mengisap ke bawah dan tak 

dapat dilawan sama sekali. Dia tak tahu sampai


berapa lama tubuhnya meluncur turun dari 

permukaan tanah. Sudah berkali-kali dia 

mencoba memperlambat luncuran tubuhnya 

dengan mengatur jalan napas. Namun, usahanya 

itu sia-sia belaka. Tubuhnya tetap saja meluncur 

cepat.

Tak mau menerima kematian begitu saja, 

Seno mementangkan kedua pergelangan 

tangannya, berusaha menggapai dinding lubang. 

Tapi, usaha itu pun tak membuahkan hasil. 

Dicobanya pula menekuk pergelangan kaki seraya 

berjumpalitan untuk dapat bergerak mendekati 

dinding lubang. Tapi..., kegagalan pula yang dia 

dapatkan. Tubuhnya tetap saja meluncur turun 

dan terus mendekati kematian!

Namun sebelum sesuatu yang tak 

diinginkan benar-benar terjadi, telinganya yang 

tajam dapat menangkap suara berdebum. Suara 

itu berasal dari beberapa bongkah batu yang telah 

jatuh mencapai dasar lubang. Hal itu 

menandakan bila malaikat kematian semakin 

dekat mengintai nyawa Pendekar Bodoh!

"Astaga!" seru si pemuda dalam hati. "Aku 

hampir mencapai dasar lubang. Mati aku! Oh! 

Kudengar pula suara desis ratusan ular! Oh! Aku 

tak mau mati dikeroyok binatang-binatang 

menjijikkan itu!"

Dengan membulatkan tekad dan 

mengumpulkan daya pikirannya yang masih 

tersisa, Seno mencabut Tongkat Dewa Badai yang 

terselip di ikat pinggangnya. Senjata mustika


berupa tongkat sepanjang dua jengkal itu 

ditusukkan ke kanan-kiri sambil berjumpalitan. 

Namun, dinding lubang tetap tak terjangkau. 

Semakin ke dalam ternyata lubang jebakan 

semakin melebar. Sehingga, Seno tak dapat 

berbuat banyak dengan senjata andalannya.

Maka, keringat dingin segera membanjiri 

tubuh si pemuda. Membayangkan apa yang akan 

segera terjadi pada dirinya, dia pun memekik 

ngeri tanpa sadar.

Untunglah, pada saat-saat terakhir nyawa 

Seno bagai telur di ujung tanduk, dia mendapat 

gagasan cemerlang. Cepat sekali dia melepas ikat 

pinggangnya yang terbuat dari kain tebal 

berwarna merah.

Ketika dialiri tenaga dalam, mendadak ikat 

pinggang itu mengejang kaku laksana telah 

berubah menjadi sebatang tombak. Hingga 

kemudian, dalam kegelapan yang menyelimuti 

pandangannya, Seno menghujamkan ujung ikat 

pinggangnya ke dinding lubang.

"Hih...!"

Blusss...!

Kali ini usaha Seno membuahkan hasil. 

Salah satu ujung ikat pinggangnya dapat 

mencapai dinding lubang dan menancap sampai 

beberapa bagian. Namun, ikat pinggang yang 

hanya terbuat dari selembar kain panjang itu tak

mampu menahan luncuran tubuh Seno, walau si 

pemuda telah mengerahkan seluruh tenaga 

dalamnya untuk membuat ikat pinggangnya terus


mengejang kaku. Hingga di lain kejap, tubuh 

Seno terpelanting membentur dinding lubang. 

Tapi sebelum ujung ikat pinggangnya terlepas, 

cepat dia tusukkan ujung Tongkat Dewa Badai-

nya.

"Hih...!"

Pruk...!

Bersorak girang Seno dalam hati. Tusukan 

Tongkat Dewa Badai tepat menghujam ke 

permukaan batu. Sehingga, ujung senjata 

mustika itu dapat menancap dengan kuat, dan 

mampu menahan luncuran tubuhnya.

"Syukurlah.... Syukurlah...," desis pemuda 

remaja berparas tampan itu. Kedua tangannya 

berpegangan erat pada batang Tongkat Dewa 

Badai yang menancap di bongkahan batu yang 

menonjol dari dinding lubang. Sementara, kedua 

kakinya terus bergerak untuk mencari pijakan.

Setelah menarik napas lega beberapa kali, 

mulailah Seno merayap ke atas. Dengan 

menghujam-hujamkan ikat pinggang dan Tongkat 

Dewa Badai-nya bergantian, dapatlah si pemuda 

bergerak naik. Hingga sampai kemudian.... 

"Astaga...!"

Berseru kaget Seno. Tanpa disadarinya dia 

telah menemukan lubang lain. Lubang itu cukup 

besar untuk dapat dimasuki, sehingga Seno 

berharap akan dapat mencapai permukaan tanah 

dengan jalan yang lebih cepat dan lebih aman 

pula.

Dan ternyata ketika Seno menyusurinya,


lubang itu memang menuju ke atas. Seno pun 

jadi girang bukan main. Dia tak peduli pada dasar 

lubang yang basah dan becek. Tak peduli pula dia 

pada bau tanah menusuk hidung. Si pemuda 

terus merayap naik menyusuri lubang temuannya 

yang mirip lorong gua bawah tanah.

Namun demikian, Seno mencekal erat 

batang Tongkat Dewa Badai di tangan kanan. 

Siapa tahu ada ular atau binatang berbisa lain 

yang menghadang di depan.

"Syukurlah.... Syukurlah...," ungkap rasa 

girang di hati Seno. "Kegelapan tak lagi menutupi 

pandanganku. Aku melihat seberkas sinar di 

kejauhan. Sinar mataharikah itu?"

Seperti mendapat tambahan tenaga baru, 

semangat hidup Seno jadi berkobar-kobar. Tak 

sabaran dia menyusuri lubang temuannya yang 

memang berupa lorong gua bawah tanah.

Semakin jauh bergerak, Seno jadi tahu bila 

lorong gua yang ditelusurinya berupa tanah 

berongga yang diapit dua tebing tinggi. Kedua 

permukaan tebing dilapisi lumut berair, membuat 

tangan yang memegangnya terasa licin sekali. 

Sementara, di dasar lorong terdapat sebuah aliran 

air kecil.

Dengan mengikuti aliran air itu, dan 

dengan bantuan sinar yang menerobos jauh di 

depan, Seno terus bergerak naik. Hingga tak lama 

kemudian, Seno dapat mengetahui bila sinar yang 

dilihatnya bukan sinar matahari. Sinar itu berasal 

dari sekeping batu pipih lonjong berwarna biru.


"Batu Aneh! Batu Aneh!" seru Seno seperti 

anak kecil"

Murid Dewa Dungu itu memberanikan diri 

untuk memungut Batu yang memancarkan sinar 

itu ternyata bandul kalung. Sementara, tali 

kalung terbuat dari sejenis benang yang amat 

kuat dan tak mudah putus.

"Kalung bagus! Kalung bagus!!" seru Seno 

disertai lonjakan girang.

Sambil cengar-cengir, pemuda lugu itu 

mengamati kalung temuannya. Senang sekali dia, 

sehingga kalung itu dia kenakan di lehernya. 

Setelah ikat pinggangnya dikenakan lagi, 

sepasang kakinya mulai bergerak kembali 

menyusuri lorong gua.

Tak banyak mendapat kesulitan dia. 

Bandul kalung di lehernya dapat memberikan 

penerangan cukup. Sinar itu pun berwarna 

kebiruan dan terasa lembut di mata, sehingga 

Seno tidak khawatir akan terjadi apa-apa pada 

dirinya. Akan tetapi....

"Ya, Tuhan..." 

Seno memekik kaget tiba-tiba. Detak 

jantungnya berdetak amat cepat. Tubuhnya pun 

bergetar kencang. Tanpa sadar mulutnya 

ternganga lebar dengan bola mata melotot besar!

Matahari telah berada di dekat garis 

cakrawala barat. Cepat sekali waktu berlalu. 

Namun demikian, pertempuran antara Mahendra 

Karnaka melawan Wanara Kadang masih 

berlangsung seru. Belum tampak tanda-tanda


siapa di antara kedua tokoh tua itu yang akan 

segera keluar sebagai pemenang.

Mahendra Karnaka yang tak mau 

bersentuhan kulit dengan Wanara Kadang 

menggunakan sarung pedangnya untuk 

memainkan Jurus 'Memburu Jiwa Mengejar Roh'. 

Walau senjata di tangan Mahendra Karnaka tidak 

tajam dan tidak pula berujung runcing, tapi 

Wanara Kadang sempat dibuat kerepotan. 

Beberapa kali tubuhnya kena gebuk yang 

mendatangkan rasa sakit hebat. Ilmu kebalnya 

sama sekali tak berguna karena tenaga dalam 

Mahendra Karnaka lebih unggul satu tingkat.

"Keparat!" geram Iblis Pemburu Dosa. 

"Cukuplah kita bermain-main. Aku tak mau 

memberi hati lagi. Lihat apa yang akan segera 

kulakukan!"

Di ujung kalimat itu, mendadak tubuh Iblis 

Pemburu Dosa melesat tinggi. Selagi melayang di 

udara, dia berjumpalitan beberapa kali. Dan

ketika meluncur turun lagi, terkejutlah Hati 

Selembut Dewa. Kedua telapak tangan Iblis 

Pemburu Dosa memancarkan sinar merah 

menyala-nyala! 

"'Tenaga Selaksa Roh'...!" desis Mahendra 

Karnaka, tak sadar berdiri terpaku tanpa berbuat 

apa-apa. 

Tampak kemudian, kakek berwajah teduh 

itu tersurut mundur dua langkah. Sejuta 

bayangan buruk segera berkelebatan di 

benaknya. 'Tenaga Selaksa Roh' adalah suatu


ilmu penghimpun tenaga dalam aliran sesat yang 

sangat sulit untuk diukur kedahsyatannya.

Untuk memiliki 'Tenaga Selaksa Roh', 

dibutuhkan sepuluh ribu manusia hidup untuk 

digunakan sebagai latihan sekaligus korban. 

Manusia sebanyak itu mati dibunuh secara 

berkala, sedikitnya tiga orang sehari.

Sebelum dijadikan korban, mereka dicekoki 

cairan sejenis racun yang dapat melipatgandakan 

kekuatan dan daya tahan tubuh. Setelah itu, 

mereka akan dihajar dengan pukulan beruntun 

sampai mati.

Selanjutnya, orang yang bermaksud 

mendapatkan 'tenaga Selaksa Roh' akan 

mengisap bau bangkai para korbannya sampai 

bangkai-bangkai itu tinggal tulang-belulang. 

Tentu saja hal itu membutuhkan waktu 

bertahun-tahun. Namun, waktu yang sedemikian 

lama cukup sebanding dengan hasil yang 

didapatkan.

Walau 'Tenaga Selaksa Roh' tidak 

meningkatkan kekuatan tenaga dalam seseorang 

yang mendalaminya, tapi orang itu akan memiliki 

satu kekuatan aneh di luar jangkauan akal 

pikiran manusia pada umumnya. Dengan 'Tenaga 

Selaksa Roh', seseorang akan dapat menahan 

ilmu pukulan sehebat apa pun. Walau lawan 

memiliki kekuatan tenaga dalam tiga kali lipat, 

orang tersebut tetap tak akan mampu 

menghadapi kedahsyatan 'Tenaga Selaksa Roh'.

Jadi, wajar saja bila Hati Selembut Dewa


tampak begitu terkejut ketika melihat Iblis 

Pemburu Dosa memperlihatkan ilmu itu. Dan 

memang, berkat ilmu penghimpun tenaga dalam 

itulah Iblis Pemburu Dosa dapat 

menyempurnakan ilmu 'Lima Pukulan Pencair 

Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'.

"Ha ha ha...!" tawa gelak Wanara Kadang. 

"Wajahmu tampak sangat pucat, Mahendra. Aku 

tahu apa yang ada di hatimu. Kau merasa gentar 

dan takut, bukan? Tapi, jangan coba-coba 

melarikan diri! Kau lari sampai ke kolong langit 

pun, aku akan terus mengejarmu, karena 

kematianmu adalah cita-cita hidupku!" 

"Hmmm.... Siapa yang gentar dan takut? 

Aku bukan pengecut yang mudah dipecundangi 

orang. Kalaupun aku benar-benar mati di 

tanganmu, bukankah kematianku adalah 

kematian seorang ksatria? Dan kau pun harus 

tahu, mati sebagai ksatria adalah cita-cita hidup 

seorang pendekar sejati!"

"Bagus! Bagus sekali! Kalau memang 

seperti itu tekadmu, semakin mudah aku 

mewujudkan keinginanku. Bersiap-siaplah! Tak 

akan ada keajaiban yang dapat menyelamatkan 

nyawamu!"

Dengan telapak tangannya yang 

memancarkan sinar merah menggidikkan, Iblis 

Pemburu Dosa menyerang ganas. Tentu saja Hati 

Selembut Dewa tak mau mati konyol. Sarung 

pedang di tangan kanannya berkelebatan untuk 

dapat terus menjaga jarak.


Hati Selembut Dewa memang tak boleh 

bersentuhan kulit dengan Iblis Pemburu Dosa. 

Kalau hal itu sampai terjadi, 'Tenaga Selaksa Roh' 

pasti akan merenggut jiwanya. 

Karena ilmu peringan tubuhnya lebih 

unggul, dapatlah Hati Selembut Dewa menghajar 

lagi tubuh Iblis Pemburu Dosa. Berulang kali 

tubuh lawannya itu jatuh bergulingan dan 

membentur bongkah batu.

Hal demikian membuat amarah Iblis 

Pemburu Dosa meledak-ledak. Semakin bernafsu 

dia untuk segera dapat menyudahi riwayat Hati 

Selembut Dewa.

Dan tampaknya, keberuntungan tak selalu 

berpihak pada Hati Selembut Dewa. Batang 

usianya yang sudah lapuk membuat tenaganya 

cepat terkuras. Sementara, tusukan dan gebukan 

sarung pedangnya tak begitu berpengaruh pada 

Iblis Pemburu Dosa. Hingga di lain kejap, 

terbelalaklah mata Hati Selembut Dewa.

Sarung pedang si kakek dapat ditangkap 

oleh jemari tangan lawan. Dan ketika Iblis 

Pemburu Dosa mengeluarkan suara 

menggerendeng, sarung pedang yang terbuat dari 

kayu jati itu langsung hancur luluh menjadi 

serbuk halus!

"Ha ha ha...!" tawa girang Wanara Kadang. 

"Setelah senjatamu kuhancurkan, ingin kulihat 

sampai berapa lama kau dapat bertahan.... "

"Jahanam!" sahut Mahendra Karnaka. 

"Aku percaya, kebenaran akan selalu dapat


menekan kejahatan. Jika aku tak bisa 

menghentikan kejahatanmu, suatu saat nanti 

pasti akan muncul sinar kebenaran yang akan 

mengantar jiwamu ke pintu neraka!"

Usai berkata, kakek berpakaian serba 

putih itu menerjang nekat. Telapak tangan 

kanannya terjulur lurus ke depan untuk 

memukul hancur isi dada Wanara Kadang!

Namun, yang diserang malah tertawa 

bergelak. Tanpa menggeser kedudukan tubuh, dia 

sorongkan pula telapak tangan kanannya untuk 

menapaki pukulan yang tertuju ke dadanya.

Terkejut tiada terkira Hati Selembut Dewa. 

Walau kekuatan tenaga dalamnya unggul satu 

tingkat, tapi bila sampai terjadi adu tenaga, tidak 

mustahil nyawanya akan melayang saat itu juga. 

Namun... untuk menarik lagi pergelangan 

tangannya, sudah tak ada kesempatan.

Maka, yang dapat dilakukan Hati Selembut 

Dewa hanyalah mengerahkan seluruh kekuatan 

tenaga dalamnya seraya mengharap datangnya 

keberuntungan. Akan tetapi....

Blarrr...!

Bentrokan dua kekuatan tenaga dalam 

tingkat tinggi benar-benar terjadi. Ledakan keras 

menggelegar terdengar membahana panjang. 

Karena kalah tenaga, tubuh Iblis Pemburu Dosa 

terpental jauh. Namun dengan bersalto beberapa 

kali di udara, dia dapat mendarat sigap tanpa 

kurang suatu apa.

Sebaliknya, Hati Selembut Dewa cuma


tersurut mundur tiga langkah. Tapi..., wajahnya 

terlihat amat pucat, bahkan lebih pucat dari 

wajah orang yang sudah dijemput ajal. 

Sementara, bola matanya melotot besar seperti 

hendak meloncat keluar dari rongganya.

Kedua tangan kakek berkulit kuning itu 

menekan perutnya yang tampak menggembung 

besar seperti balon yang baru ditiup sekuat 

tenaga. Dan..., perut si kakek memang hendak 

meletus! 

"Ha ha ha...!" tertawa bergelak lagi Iblis 

Pemburu Dosa. "Kau baru merasakan kehebatan 

Ilmu 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'! Kau akan 

segera mati dengan perut pecah berantakan. 

Tapi..., aku tak mau melihatmu mati sebelum kau 

menerima 'Lima Pukulan Pencair Tulang'-ku! 

Hiaahhh...!"

Tubuh Wanara Kadang berkelebat cepat. 

Dan, Mahendra Karnaka yang sudah berada di 

ambang kematian tak dapat menghindar 

manakala lelaki berbulu lebat itu menghujani 

lima pukulan beruntun. Satu pukulan menerpa 

dahi, dua di bahu, dan dua pukulan lagi tepat 

bersarang di lutut!

Akibatnya sungguh amat menggiriskan! 

Diiringi jeritan panjang menyayat hati, tubuh 

Mahendra Karnaka jatuh ke tanah tanpa nyawa. 

Seluruh tulang-belulang tubuhnya langsung 

mencair. Sementara, perutnya yang masih 

menggembung langsung meledak!

Bau anyir menebar bersama isi perut yang


berhamburan ke berbagai penjuru. Hati Selembut 

Dewa mati dengan tubuh berubah menjadi 

segumpal daging tipis tanpa tulang sedikit pun!



TUJUH



MEMANG bukan hal sewajarnya bila Seno 

melihat seorang kakek berjubah merah yang 

tengah duduk bersila di dalam gua bawah tanah. 

Permukaan tanah yang becek dan lembab sudah 

cukup membuat orang tak betah tinggal berlama-

lama. Tapi, kenapa kakek berjubah merah itu 

terus duduk tenang dalam sikap semadi?

Berkat bantuan sinar yang memancar dari 

bandul kalungnya, Seno dapat melihat sosok si 

kakek dengan jelas. Kelopak mata kakek yang 

sudah sangat uzur itu terpejam rapat. Raut 

wajahnya yang sudah dipenuhi kerut-merut 

malah menyiratkan sifat welas asih dan 

keluhuran budi. Dan karena duduk bersila di atas 

lempengan batu besar, tak ada rembesan air yang 

mengotori jubah maupun kulit tubuhnya.

Rambutnya yang telah memutih semua 

digelung ke atas dengan ikatan gelang perak, 

mirip dandanan punggawa tinggi kerajaan. 

Sementara, kumis dan jenggotnya yang juga telah 

memutih semua tampak bersih tanpa noda. 

Sepertinya, si kakek memang pandai merawat 

keadaan dirinya.


"Heran aku. Kalau cuma untuk 

memperdalam ilmu kesaktian, kenapa kakek itu 

mesti menyiksa diri dengan tinggal di tempat 

menyedihkan seperti ini?" gumam Pendekar 

Bodoh, memberanikan diri mendekati. "Hmmm.... 

Aneh sekali! Kenapa aku tak mendengar 

hembusan napas dan detak jantungnya? Atau, 

telingaku sendiri yang telah tuli?"

Seperti orang yang benar-benar berotak 

amat bebal, Seno menepuk-nepuk kedua 

telinganya. Dia ingin membuktikan bahwa 

telinganya masih normal.

Dan terbawa rasa penasaran, pemuda lugu 

itu melangkah lebih dekat. Dia pertajam lagi 

indera pendengarannya yang memang masih 

normal. Tapi..., hembusan napas dan detak 

jantung si kakek tetap tak terdengar!

"Jangan-jangan... dia telah mati...," pikir si 

pemuda, bulu kuduknya tiba-tiba berdiri 

meremang.

Setelah menarik napas panjang untuk 

menekan debar-debar di hatinya, Seno hendak 

memeriksa detak jantung si kakek. Tapi..., 

alangkah terkejutnya dia. Begitu jari tangannya 

menyentuh dada, tubuh si kakek langsung jatuh 

terjengkang!

Anehnya, walau telah jatuh terjengkang, 

sikap tubuh si kakek tetap dalam keadaan 

bersemadi. Kedua tangannya tetap bersedekap. 

Dan, kakinya pun tetap bersila seperti semula!

"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh. Mata


murid Dewa Dungu itu terbelalak lebar melihat 

kain jubah si kakek yang perlahan hancur 

menjadi serpihan kecil. Agaknya, kain jubah si 

kakek sudah sedemikian tuanya, sehingga 

menjadi lapuk.

Dengan mengumpulkan segenap 

keberaniannya, Seno memeriksa keadaan kakek 

yang tampak amat aneh itu. Hingga....

"Aku tahu sekarang...," kata hati Seno 

kemudian. "Rupanya, kakek itu telah mati 

puluhan tahun lalu. Tubuhnya tidak sampai 

membusuk hancur karena hawa di gua bawah 

tanah ini selalu dingin. Tubuhnya memang telah 

jadi beku.... Namun, ada kemungkinan bila kakek 

ini mempunyai sebuah ilmu kesaktian yang 

membuat jasadnya tak membusuk walau telah 

lama dijemput ajal...."

Pendekar Bodoh tidak seberapa larut 

dalam pikiran di benaknya karena perhatiannya 

segera tertuju pada gambar dan tulisan yang 

terukir di dinding gua sebelah kanan. Gambar-

gambar yang sengaja diukir di dinding cadas itu 

memperlihatkan gerakan tangan yang terdiri dari 

lima gerakan memukul. Sementara, deretan 

tulisan di bawahnya memberi petunjuk dan 

penjelasan bagaimana cara menguasai lima 

gerakan memukul itu.

Setelah memperhatikan beberapa lama, 

Seno jadi geleng-geleng kepala. Ada rasa ngeri 

yang tiba-tiba muncul di hatinya. Walau telah 

menemukan sebuah pelajaran ilmu pukulan, tak


terbersit rasa senang sedikit pun. Karena, dia 

menganggap ilmu pukulan itu terlalu ganas dan 

kejam. Lebih-lebih, bisa merusak diri sendiri.

Berdiri cengar-cengir Seno. Pandangannya 

beralih ke dinding gua sebelah kiri. Di sana, dia 

juga melihat gambar dan tulisan yang juga 

merupakan petunjuk untuk menguasai sebuah 

ilmu pukulan. Namun karena ilmu pukulan itu 

sama ganas dan kejam, Seno tak mau 

memperhatikan dengan seksama. Tatapannya 

malah beralih ke mayat kakek berjubah merah 

yang masih duduk bersila dalam keadaan 

terbaring.

"Kasihan sekali kau, Kek...," desis Seno. 

"Aku bisa menebak. Yang mengukir dua ilmu 

pukulan di dinding gua ini pasti kau, dengan 

maksud untuk kau wariskan kepada siapa saja 

yang berjodoh. Tapi, maafkan aku. Walau telah 

menemukan tempat yang amat tersembunyi ini, 

aku merasa tidak berjodoh untuk mempelajari 

dua ilmu pukulanmu itu. Bagiku, dua ilmu 

pukulanmu itu terlalu ganas dan kejam.... Namun 

sebagai manusia beradab, aku menghaturkan 

rasa hormatku kepadamu. Siapa pun kau, aku 

wajib menguburkan jenazahmu. Semoga kau 

dapat hidup tenang di alam sana...."

Seno mengedarkan pandangan ke seluruh 

ruangan gua. Dicarinya tempat yang cocok untuk 

menguburkan jenazah kakek berjubah merah. 

Namun, dia segera berdiri terpaku. Pandangannya 

tertumbuk pada barisan huruf yang tertera di


atas lempengan batu.

Tulisan itu berbunyi:

Kalau ingin menguburkan badan kasar 

yang tak berguna ini, pindahkan lempengan batu 

tempat duduk ku. Selayaknya aku dikubur di 

bawah batu.

Cengar-cengir lagi Seno. Karena rasa iba 

dan kasihan, dia tak merasa jijik atau ngeri ketika 

memindahkan tubuh kakek berjubah merah dari 

atas lempengan batu. Dibaringkannya tubuh 

kaku beku itu di sudut ruangan yang tak becek. 

Dan, mulailah Seno mengempos tenaga untuk 

dapat menuruti wasiat si kakek.

Hanya dengan mengerahkan sebagian kecil 

tenaga dalamnya, dapatlah Seno menggeser 

lempengan batu bergaris tengah dua depa. 

Namun, matanya segera terbelalak. Antara rasa 

heran dan terkejut dia melihat sebuah kitab 

bersampul merah yang semula tertindih 

lempengan batu.

Karena tertarik, Seno memungutnya. Kitab 

itu sudah amat tua. Sampulnya sudah mulai 

lapuk. Walau hidungnya mencium bau apek yang 

menusuk, dibukanya juga halaman kitab itu.

Selamat. Dengan menemukan tubuhku yang 

sudah menjadi mayat ini, kemungkinan besar kau 

memang ditakdirkan untuk menjadi ketua 

Perkumpulan Beruang Merah.

Setelah melihat dua pelajaran ilmu pukulan


yang terukir di dinding gua, pasti terbersit dalam 

benakmu bahwa dua ilmu pukulan itu amat ganas 

dan kejam. Memang demikianlah halnya. Apa 

yang telah kau lihat bukan untuk dikuasai, tapi 

kau wajib mempelajarinya. Agar nanti, kau dapat 

menumpas orang-orang yang memiliki kedua ilmu 

pukulan sesat itu dan menegakkan kembali panji-

panji Perkumpulan Beruang Merah.

Ingat! Kau wajib mempelajari, bukan 

menguasai! Kedua ilmu pukulan itu bernama 'Lima 

Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga

Menjebol Perut'

"Astaga...!" kesiap Seno dengan tubuh 

bergetar. Kitab bersampul merah di tangannya 

turut bergetar dan menebarkan debu.

Dua ilmu pukulan yang disebutkan dalam 

kitab bersampul merah mengingatkan Seno pada 

Iblis Pemburu Dosa. Menurut Hati Selembut 

Dewa, Iblis Pemburu Dosa telah menguasai ilmu 

"Lima Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu 

Tenaga Menjebol Perut'. Jadi, si penulis kitab 

mempunyai keinginan agar orang-orang jahat 

seperti Iblis Pemburu Dosa dapat ditumpas. Oleh 

karenanya, menyesal Seno telah berprasangka 

buruk pada kakek berjubah merah.

Tapi, kenapa kakek itu menyebutkan 

bahwa dirinya kemungkinan besar memang 

ditakdirkan untuk menjadi ketua Perkumpulan 

Beruang Merah? Perkumpulan apakah itu? 

Kenapa dia belum pernah mendengar kabar


beritanya?

Seno jadi penasaran. Dibacanya lagi tulisan 

pada kitab bersampul merah.

Jika seseorang memiliki 'Tenaga Selaksa 

Roh', dia akan dapat menguasai ilmu 'Lima 

Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga 

Menjebol Perut' dengan sempurna. Dunia akan 

hancur dalam cengkeraman kejahatan. Oleh 

karena itulah aku mengasingkan diri di tempat ini. 

Hanya dengan satu maksud untuk mempelajari 

kelemahan sekaligus menciptakan sebuah ilmu 

atau jurus yang bisa mengatasi kedahsyatan 'Lima 

Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga 

Menjebol Perut'.

Pasti kau bertanya-tanya siapa diriku 

sebenarnya. Dapatlah kukatakan bahwa aku 

adalah ketua ketiga Perkumpulan Beruang Merah.

Sejak Perkumpulan Beruang Merah 

didirikan oleh kakekku, Buana Seta, telah 

berkobar api permusuhan dengan Saka 

Wanengpati terikat sumpah yang harus memusuhi 

dan membinasakan keturunan Buana Seta. Dan 

karena Buana Seta adalah pendiri Perkumpulan 

Beruang Merah, maka semua anak buah serta 

ketua selanjutnya juga dimusuhi oleh Saka 

Wanengpati beserta keturunannya.

Dua tahun setelah aku diangkat menjadi 

ketua perkumpulan, aku tahu bila salah satu 

keturunan Saka Wanengpati berhasil menguasai 

ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu


Tenaga Menjebol Perut' dengan sempurna. Aku tak 

mau seluruh anggota perkumpulanku jadi korban. 

Terpaksa Perkumpulan Beruang Merah 

kububarkan. Tapi, seluruh anggota dan 

keturunannya akan terus terikat sumpah bahwa 

mereka akan tetap setia pada perkumpulan 

sampai kemudian muncul ketua baru.

Demikianlah. Aku lalu mengasingkan diri di 

tempat ini. Ketika aku berhasil mendapatkan apa 

yang kuinginkan, usia tua telah menggerogoti 

kekuatan ku. Lebih buruk lagi, separo tubuhku jadi 

lumpuh. Aku tak bisa lagi kembali ke dunia bebas. 

Hingga kutinggalkan semua yang telah 

kudapatkan dalam bentuk kitab dan ukiran di 

dinding gua.

Selamat. Aku yakin kau memang 

ditakdirkan untuk menjadi ketua Perkumpulan 

Beruang Merah yang keempat. Untuk mengetahui 

takdir itu, sebelum menemukan jenazahku, kau 

pasti telah menemukan kalung 'Permata Dewi 

Matahari'.

Kalung itulah lambang kekuasaan 

Perkumpulan Beruang Merah. Hanya orang yang 

berjodoh yang bisa menemukannya.

Dengan kalung mustika itu, kau akan dapat 

menegakkan kembali panji-panji perkumpulan 

besar yang sebentar lagi akan kau pimpin. Namun 

sebelumnya, kau harus menumpas dulu orang-

orang yang memiliki ilmu 'Lima Pukulan Pencair 

Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjeboli Perut'. 

Mereka semua orang jahat. Kau akan dapat


membuktikannya nanti.

Salya Tirta Raharja.

Menghela napas panjang Seno setelah 

membaca halaman pertama sampai kelima kitab 

bersampul merah. Mengikuti rasa hatinya yang 

semakin penasaran, Seno membuka halaman 

berikutnya seraya membaca lebih teliti.

Karena kau telah menggeser lempengan 

batu tempat duduk ku, alat rahasia yang 

kupasang di gua ini akan bekerja. Gambar dan 

tulisan yang tertera pada dinding akan terhapus.

Dan karena kitab ini telah tersentuh telapak 

tangan, kitab ini pun akan segera hancur. Kau 

harus dapat mempelajari isinya hanya dalam 

waktu sehari semalam.

Inilah ujian yang sengaja kubuat untukmu. 

Jadi pemimpin tidak mudah. Kau harus siap 

dalam segala hal. Dalam keadaan seperti apa pun, 

kau harus siap menghadapi tantangan dan 

cobaan.

Seno menggaruk-garuk kepalanya yang tak 

gatal. Mampukah dirinya menempuh ujian itu?

"Tuhan..., berilah aku kekuatan...," desis 

Seno, membulatkan tekat.

Dan..., berpaculah pemuda itu dengan 

waktu!

* * *


Melonjak kaget Seno.

Dinding gua di kanan-kirinya tiba-tiba 

bergetar. Disertai suara gemuruh, dinding berupa 

tanah cadas itu retak-retak, lalu mengelupas 

menjadi debu halus. Tentu saja gambar dan 

tulisan yang tertera di permukaan dinding itu 

lenyap tanpa bekas!

Lebih terkejut lagi Seno.

Kitab bersampul merah yang tercekal di 

tangan kanannya tiba-tiba terasa amat panas. 

Sehingga, tanpa sadar Seno melepas cekalannya.

Dan... sebelum jatuh ke lantai gua yang 

becek, mendadak kitab warisan Salya Tirta 

Raharja itu hancur-luluh menjadi serpihan-

serpihan kecil yang tak mungkin disatukan lagi!

"Astaga...!" seru Pendekar Bodoh dalam 

keterkejutannya. "Luar biasa! Luar biasa! Pesan 

kakek itu benar-benar menjadi kenyataan. 

Hmmm.... Untung aku telah selesai mempelajari 

isi kitab dan gambar di dinding gua ini."

Seno cengar-cengir beberapa lama.

Usaha kerasnya tidak sia-sia. Kini dia 

dapat mengetahui di mana letak kelemahan ilmu 

'Lima Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu 

Tenaga Menjebol Perut'. Dia pun jadi yakin akan 

bisa menuruti wasiat Salya Tirta Raharja. Namun, 

benarkah dirinya memang ditakdirkan untuk 

menjadi ketua Perkumpulan Beruang Merah?

Selagi Seno berpikir-pikir, keterkejutan 

menghantamnya lagi. Kali ini dia sampai


melompat ke belakang dan berseru keras sekali.

Jenazah Salya Tirta Raharja tiba-tiba dapat 

bergerak tanpa sebab. Kedua tangan dan kakinya 

yang semula terlipat tampak bergerak perlahan 

menjadi lurus! Sehingga, tubuh si kakek tidak 

melengkung lagi.

"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh. "Apa 

yang kulihat ini apakah sebuah pertanda bila 

arwah kakek itu turut merasa senang melihat 

keberhasilanku?"

Seno cengar-cengir lagi. Tapi ketika ingat 

akan kewajibannya, dia segera menggali lubang 

untuk menguburkan jenazah Salya Tirta Raharja, 

persis seperti pesan si kakek yang tertulis di 

lempengan batu.



DELAPAN



PAGI baru datang mengantar terang 

manakala nenek berpakaian putih penuh 

tambalan itu keluar dari gubuk bambunya. Tegap 

sekali dia melangkah walau batang usianya telah 

mencapai delapan puluh tahun.

Tatapan matanya tertuju lurus ke depan, 

nyaris tak pernah berkedip. Dia pun tak peduli 

pada hembusan angin yang mengibarkan anak-

anak rambutnya. Sepasang kakinya terus 

melangkah seiring rasa hatinya yang panas 

bergelora.

Nenek berkulit putih itu baru


menghentikan langkahnya ketika telah sampai di 

dekat sumur tua yang sudah tak berair lagi. Dari 

bibir sumur setinggi pinggang, dilongoknya 

kedalaman sumur. Lubang sumur yang telah 

berumur lebih dari satu abad itu ternyata amat 

dalam. Sinar matahari tak mampu menerobos 

masuk. Setajam apa pun mata memandang, yang 

terlihat hanyalah kegelapan. Namun demikian, 

nenek berkulit putih tak pernah bosan menatap 

ke bawah sampai beberapa lama.

Setelah berulang kali menarik napas 

panjang, nenek yang raut wajahnya menyiratkan 

sejuta duka itu mundur dua langkah. Raut 

wajahnya semakin muram-durjana. Setitik demi 

setitik air bening bergulir dari kedua sudut 

matanya. 

Entah apa yang ada di benak nenek 

berambut panjang tergerai itu. Yang jelas sinar 

matanya pun menyiratkan kesedihan mendalam.

Sekuat tenaga dia menahan diri agar tak 

terisak. Dia paksa rasa hatinya agar tak semakin 

larut dalam kesedihan. Usai menghapus air mata 

dengan ujung lengan baju, dia membungkuk 

hormat tiga kali ke arah sumur.

Begitu khidmat dia menghormat. Dia 

seakan berada di hadapan seorang petinggi atau 

penguasa yang amat layak untuk diberi

penghormatan.

"Tuan Salya Tirta Raharja...," desis nenek 

berkulit putih dengan suara bergetar haru. 

"Empat puluh tahun lebih aku menanti, namun


belum ada tanda-tanda nyata yang menunjukkan 

bila Tuan akan segera muncul. Jika Tuan 

bermaksud menguji kesetiaanku, bukankah 

penantian selama empat puluh tahun cukup bisa 

dijadikan ukuran? Keturunan Saka Wanengpati 

sudah waktunya untuk ditumpas! Panji-panji 

Perkumpulan Beruang Merah harus segera 

ditegakkan kembali!"

Sinar mata si nenek mendadak berubah 

terang menyala-nyala. Sepertinya, timbul suatu 

pengharapan besar dalam hatinya. Dan, dia yakin 

bila pengharapan itu akan menjadi kenyataan.

"Tuan Salya Tirta Raharja...," desis si 

nenek lagi. "Bukan aku hendak berani menasihati 

Tuan. Tapi, Tuan harus tahu bila salah satu 

keturunan Saka Wanengpati telah banyak 

meminta korban nyawa manusia yang tak 

berdosa. Sudah saatnya Tuan menampakkan 

diri.... Ataukah seluruh pengharapanku akan sia-

sia belaka? Apakah aku memang harus 

menunggu sampai mati di tempat ini...?"

Di ujung kalimatnya, nenek bernama 

Kembang Andini itu menekuk lutut seraya 

membenturkan dahinya ke tanah tiga kali. 

Mendadak, sinar matanya meredup kembali. 

Sedih di hatinya terasa lagi....

"Ketika masih muda, ketika nama 

Perkumpulan Beruang Merah masih harum dan 

jaya, orang-orang memberiku gelar Dewi Cinta 

Kasih yang terkenal setia,... Jika Tuan benar-

benar hendak menguji kesetiaanku, wajiblah aku


menunjukkannya..."

Tiba-tiba, nenek yang sebenarnya punya 

nama besar pada masanya itu mengeluarkan 

sebilah pisau kecil dari balik bajunya. Tubuh si 

nenek tampak bergetar karena detak jantungnya 

berdegup amat cepat. Pisau kecil berujung lancip 

dicekalnya erat di tangan kanan, lalu diangkat 

tinggi-tinggi....

"Untuk menunjukkan kesetiaanku, aku 

akan menyumbang darah untuk panji-panji 

Perkumpulan Beruang Merah yang pernah 

menjadi tempat bernaungku. Semoga setiap tetes 

darahku dapat memberi jalan terang bagi 

kebangkitan perkumpulan. Semoga 

pengorbananku ini tidak sia-sia...."

Dengan sinar mata nanar, Kembang Andini 

atau Dewi Cinta Kasih menggenggam gagang 

pisaunya lebih erat. Tekadnya sudah bulat untuk 

mati di ujung pisaunya sendiri. Dan..., bilah pisau 

itu benar-benar bergerak cepat. Ujungnya yang 

lancip berkilat berkelebat untuk menusuk 

jantung si nenek! 

Set...!

Ting...! 

Alangkah terkejutnya Dewi Cinta Kasih. 

Pisau kecil yang sudah siap mencabut nyawanya 

tiba-tiba terlepas dari genggamannya dan 

terpental jauh. Sebutir kerikil yang dilemparkan 

dengan disertai aliran tenaga dalam tingkat tinggi 

telah menggagalkan niat si nenek untuk 

melakukan bunuh diri!


"Eyang! Apa yang hendak Eyang lakukan?!"

Terdengar sebuah teguran yang dibarengi 

kelebatan sesosok bayangan. Ketika berhenti di 

hadapan Dewi Cinta Kasih, sosok bayangan itu 

ternyata seorang gadis berusia dua puluh tahun. 

Rambutnya yang hitam panjang diikat dengan 

penjepit emas, sebagian dibiarkan tergerai ke 

bahu. Kedua bola matanya bersinar bening. 

Cantik sekali dia. Dan, kecantikannya semakin 

terpancar karena dia mengenakan pakaian putih 

berkembang-kembang yang terbuat dari sutera 

halus.

Dia Sekar Telasih atau Putri Hati Lurus, 

yang tak lain cucu Dewi Cinta Kasih sendiri.

Di punggung gadis bertubuh tinggi 

semampai itu terikat sebuah senjata berupa alat 

musik kecapi. Sementara, tangan kirinya 

mencekal ikatan dua ekor kelinci gemuk yang 

sudah tak bernyawa.

"Eyang! Sungguh aku tak pernah menduga 

bila Eyang akan berbuat seperti ini!"

Sekar Telasih yang baru menyelamatkan 

jiwa neneknya, menegur lagi. Ditatapnya wajah 

Dewi Cinta Kasih penuh tanda tanya dan rasa tak 

percaya. Tanpa sadar, dua ekor kelinci hasil 

buruannya yang telah siap dipanggang jatuh ke 

tanah.

Dewi Cinta Kasih tak kuasa membalas 

tatapan cucunya. Kepalanya tertunduk. Butiran 

air mata yang bergulir lagi jatuh ke pangkuannya.

"Eyang...," sebut Sekar Telasih, duduk


bersimpuh dihadapan neneknya. "Jika Eyang 

benar-benar hendak mengakhiri hidup dengan 

bunuh diri, mana keyakinan Eyang yang pernah 

Eyang katakan kepadaku? Panji-panji 

Perkumpulan Beruang Merah akan tegak kembali! 

Eyang juga pernah mengatakan, Eyang punya 

firasat bila Perkumpulan Beruang Merah akan 

jaya kembali seperti dulu. Kalau sekarang Eyang 

bunuh diri, berarti Eyang tak percaya pada diri 

Eyang sendiri? Seburuk-buruknya orang adalah 

yang tidak bisa mempercayai dirinya sendiri. 

Bukankah itu keyakinan yang selalu Eyang 

tekankan kepadaku?"

Terisak haru Dewi Cinta Kasih. Dengan air 

mata terus bercucuran, dipeluknya erat tubuh 

Sekar Telasih. Mendengar kata-kata cucunya, 

menyesal sekali dia telah melakukan apa yang 

sebenarnya tidak boleh dilakukan. Penantian 

panjang yang tak kunjung membuahkan hasil 

memang seringkali mendatangkan rasa putus 

asa. Namun, apakah keputusasaan mesti 

berakhir dengan kematian dengan cara yang tak 

benar?

"Cucuku...," desis si nenek, menumpahkan 

segala sedih hatinya ke dalam pelukan Sekar 

Telasih.

"Sudahlah, Eyang. Aku bisa merasakan 

kesedihan Eyang. Eyang tidak seorang diri. Sejak 

kecil aku telah menemani Eyang di tempat ini. 

Dan sampai kapan pun, aku akan tetap 

menemani Eyang. Aku akan turut menunggu


sampai sang ketua menampakkan diri...?"

"Oh! Sekar cucuku...." 

"Sudahlah. Eyang lihat dua kelinci gemuk 

itu. Aku baru saja menangkapnya. Pagi ini aku 

ingin merasakan masakan Eyang yang paling 

enak. Eyang tak akan mengecewakan cucu Eyang 

yang semata wayang ini, bukan?"

Kalimat Sekar Telasih terdengar begitu 

manja. Namun, justru karena itulah Kembang 

Andini dapat melupakan kesedihannya walau 

cuma untuk beberapa waktu. Si nenek 

melepaskan pelukannya. Setelah menghapus 

butiran air mata, dia bangkit seraya berjalan 

memungut dua ekor kelinci hasil buruan Sekar 

Telasih.

"Jangan khawatir, Sekar. Mana aku pernah 

mengecewakan cucuku yang amat cantik dan 

baik hati?"

"Ya! Ya, Eyang juga baik hati. Sementara 

Eyang memasak, aku akan membersihkan 

halaman ini." 

"Ya! Ya!"

* * *

Setelah mengubur jenazah Salya Tirta 

Raharja, Seno segera menyusuri sebuah lorong 

yang ditemukannya. Kali ini lorong yang 

disusurinya lebih panjang dan berliku-liku. Tak 

jarang dia menemukan gua-gua bawah tanah 

lainnya.


Karena ingin cepat keluar menghirup udara 

segar, dia tak mau berhenti atau beristirahat 

walau cuma sebentar. Tak peduli dia pada 

keadaan tubuhnya yang amat lelah dan mulai 

terasa ngilu di beberapa tempat. Tak peduli juga 

dia pada rasa lapar yang membuat perutnya 

tersiksa melilit-lilit. Kalaupun ada keinginan 

untuk berhenti dan makan, apa yang harus 

dimakannya?

Seno jadi heran. Menurut perkiraannya, 

Salya Tirta Raharja telah tinggal di gua bawah 

tanah selama puluhan tahun. Lalu, apa yang 

dimakan kakek itu untuk dapat menyambung 

hidup? Apakah lumut hijau licin yang banyak 

terdapat di dinding gua?

Sementara berpikir-pikir, tak terasa Seno 

telah merayap tegak lurus ke atas. Dan, samar-

samar dilihatnya setitik sinar putih terang yang 

diperkirakannya sebagai sinar matahari. Maka, 

tak sabaran lagi dia mengempos tenaga agar 

segera dapat mencapai permukaan tanah. 

Tongkat Dewa Badai di tangannya terus 

menghujam ke dinding lubang. Dia pun terus 

merayap naik dengan sejuta pengharapan.

Sampai akhirnya..., Pendekar Bodoh benar-

benar mencapai permukaan tanah. Dapat 

dilihatnya sinar matahari yang nyata bersinar 

terang. Dapat dilihatnya pula sebuah puncak 

gunung yang tinggi menjulang, jajaran pohon 

hijau subur, dan burung-burung dadali yang 

beterbangan di angkasa luas. Tapi..., keadaan


tubuhnya yang sudah sedemikian lemah 

memaksanya untuk jatuh pingsan....

"Astaga...!"

Menggerigap kaget Seno.

Telinganya mendengar suara orang yang 

menyatakan keterkejutan. Terpikir akan adanya 

bahaya yang bisa merenggut jiwanya, Seno 

menguatkan tekad agar tak jatuh pingsan. Dalam 

keadaan terbaring lemah, dia edarkan 

pandangan. Tongkat Dewa Badai dicekalnya erat 

di tangan kanan. Dia pun siap menghadapi segala 

kemungkinan buruk yang akan segera terjadi.

Sementara itu, Sekar Telasih atau Putri

Hati Lurus yang tengah beristirahat di bawah 

naungan pohon rindang, terkejut luar biasa. 

Napasnya terasa telah berhenti beberapa lama. 

Dia melihat seorang pemuda remaja berpakaian 

biru-biru keluar dari lubang sumur yang selama 

ini dirawatnya dengan baik bersama Kembang 

Andini neneknya.

Tapi, alangkah kecewanya Sekar Telasih. 

Orang yang keluar dari lubang sumur kenapa 

hanya seorang pemuda remaja? Apakah ketua 

ketiga Perkumpulan Beruang Merah, Salya Tirta 

Raharja, dapat mengubah bentuk tubuh dan raut 

wajahnya menjadi muda kembali?

"Bukan! Dia bukan Eyang Tirta Raharja," 

tegas Sekar Telasih dalam hati. "Jangan-jangan... 

dia orang usil yang punya tujuan tak baik. 

Hmmm.... Aku harus melumpuhkannya dulu 

untuk kemudian kukorek keterangan!"


Mengikuti jalan pikirannya, bergegas Sekar 

Telasih bangkit seraya berkelebat menyerang. 

Tangan kanannya bergerak cepat sekali untuk 

menjatuhkan totokan di tubuh pemuda 

berpakaian biru-biru, yang tak lain si Pendekar 

Bodoh; Seno Prasetyo!

Walau keadaannya sudah amat payah, 

Seno masih dapat melihat kelebatan sosok 

bayangan Putri Hati Lurus yang menuju ke 

arahnya. Dia pun dapat mendengar desir halus 

yang merupakan suara gerakan yang bermaksud 

menjatuhkan totokan.

Selagi masih bisa, tentu saja Seno tak mau 

diam saja. Cepat dia kibaskan Tongkat Dewa 

Badai. Gelombang angin pukulan yang akan 

muncul dimaksudkan untuk membuat terpental 

tubuh si penyerang. Tapi.... 

Duk...! 

"Uh...!"

Cepat sekali Sekar Telasih mengubah 

gerakannya. Dia berhasil memukul siku kanan 

Seno. Sehingga, batang Tongkat Dewa Badai si 

pemuda terlepas dari cekalan sebelum sempat 

digunakan. Terkejut setengah mati Seno. 

Telinganya yang tajam menangkap lagi suara 

desir halus. Dada kiri dan kanannya menjadi 

sasaran totokan. Maka, cepat dia usir rasa ngilu 

di pergelangan tangan kanannya. Dan tanpa pikir 

panjang, dia gunakan gerakan 'Lima Pukulan 

Pencair Tulang' untuk meredam serangan lawan.

Seno hanya menggunakan sebagian kecil


tenaga dalamnya agar tak berakibat buruk bagi si 

penyerang. Bagaimanapun, dia tak boleh 

bertindak gegabah. Dia belum tahu siapa 

penyerangnya. Untuk apa mesti menjatuhkan 

tangan maut? Lagi pula, si penyerang tidak 

bermaksud membunuhnya, hanya menjatuhkan 

totokan yang dimaksudkan untuk membuatnya 

lumpuh sementara waktu.

Kaget bukan main Putri Hati Lurus yang 

dapat mengenali gerakan Seno. Serta-merta dia 

gagalkan serangannya seraya meloncat mundur.

"'Lima Pukulan Pencair Tulang'...!" seru si 

gadis dengan raut wajah tegang.

"Eh! Eh..., aku...."

Tergagap Seno melihat si penyerang 

ternyata seorang gadis berparas cantik jelita. Dia 

cuma dapat berdiri terpaku menatap sosok Putri 

Hati Lurus yang memang tanpa cacat.

Sementara, Sekar Telasih juga berdiri 

terpaku beberapa lama. Dia pun tak menyangka 

bila pemuda yang diserangnya memiliki wajah 

sedemikian tampan. Namun, cepat si gadis 

mengusir rasa terpesona di hatinya.

"Pemuda itu baru saja memperlihatkan 

gerakan 'Lima Pukulan Pencair Tulang'. Hanya 

orang jahat yang bisa menguasainya," kata hati

Sekar Telasih. "Hmmm.... Dia pasti punya 

hubungan dengan Iblis Pemburu Dosa! Aku harus 

bertindak cepat sebelum dia membuatku celaka!"

Cekatan sekali Putri Hati Lurus melepas 

ikatan kecapi di punggungnya. Dawai-dawai


senjata berupa alat musik itu segera disentilnya!

Tring! Crang!

"Argh...!"

Seno memekik keras. Dadanya terasa amat 

sesak. Kepalanya pun terasa amat pening luar 

biasa. Cepat dia kerahkan ilmu kebal 'Perisai 

Dewa Badai' untuk melindungi dirinya dari suara 

sentilan dawai kecapi yang menyerangnya. Tapi 

apa daya? Keadaan tubuhnya terlalu lemah. 

Dan..., dia pun jatuh terjengkang ke tanah 

berdebu!



SEMBILAN



SIAPA itu?" Kembang Andini atau Dewi 

Cinta Kasih bertanya heran. Si nenek sempat 

dikejutkan oleh suara petikan kecapi Sekar 

Telasih. Dia tinggalkan kesibukan di gubuk 

bambunya yang tak seberapa jauh dari sumur tua 

tempat Seno keluar dari lorong dan gua bawah 

tanah.

"Entah. Dia datang dari dalam sumur," 

sahut Sekar Telasih sambil mengikat lagi senjata 

kecapinya ke punggung.

"Apa? Dia datang dari dalam sumur?" 

Begitulah. Untung aku dapat segera 

melumpuhkannya. Dia menyerangku dengan 

'Lima Pukulan Pencair Tulang'." 

"Hah?!"


Keterkejutan di hati Dewi Cinta Kasih 

semakin menjadi-jadi. Sinar matanya berkilat 

menatap sosok Pendekar Bodoh yang terbaring 

lemah telentang. Mendadak, si nenek 

melancarkan tujuh totokan jarak jauh!

Tiga totokan menyadarkan Seno dari 

pingsannya. Namun yang empat lagi memaksa 

Seno untuk tetap terbaring di tanah karena kedua 

tangan dan kakinya berhasil dilumpuhkan.

"Katakan siapa dirimu! Bagaimana kau 

bisa datang dari dalam sumur?!" bentak si nenek, 

melangkah menghampiri.

Pendekar Bodoh cuma berkeluh kesah. 

Dadanya terasa sesak sekali. Tapi, dia tak bisa 

berbuat apa-apa kecuali mengeluh dan 

mengaduh. Dia pun tak dapat melihat sosok Dewi

Cinta Kasih dengan jelas karena pandangannya 

terhalang sinar matahari yang sangat 

menyilaukan.

"Jangan berlagak bodoh, Anak Muda! 

Katakan siapa dirimu! Benarkah kau datang dari 

dalam sumur?!" bentak Kembang Andini lagi.

"Uh! Dadaku sesak sekali.... Kau siapa?" 

Menggeram marah Kembang Andini 

mendengar ucapan Pendekar Bodoh yang balik 

bertanya. Dipunggutnya Tongkat Dewa Badai 

yang tergeletak tak jauh dari tempat Seno 

terbaring. Hendak diancamnya Seno dengan 

tongkat pendek yang salah satu ujungnya runcing 

itu. Namun mendadak, si nenek memekik lirih.

"Ih...!"


"Eyang!" teriak khawatir Sekar Telasih, 

bergegas meloncat ke dekat neneknya.

"Tak apa-apa," sahut Dewi Cinta Kasih. 

"Aku hanya terkejut. Tongkat ini mengalirkan 

hawa dingin ke tubuhku."

"Itu pasti senjata mustika," cetus Sekar 

Telasih.

"Hei! Kembalikan! Tongkat itu milikku!" 

seru Seno, berusaha bangkit, namun tidak bisa. 

Pengaruh totokan Kembang Andini benar-benar 

tak sanggup dilawannya.

"Aku tahu ini milikmu. Tapi, jangan paksa 

aku membunuhmu dengan senjatamu sendiri!" 

sergap Dewi Cinta Kasih, menodongkan ujung 

Tongkat Dewa Badai ke dada Seno. "Katakan 

siapa kau! Bagaimana kau bisa datang dari dalam 

sumur?!"

"Uh! Untuk menjawab pertanyaanmu, aku 

perlu bercerita panjang. Bagaimana dapat 

bercerita kalau kau menotok dan mengancamku 

seperti ini?" desah Seno dengan wajah kebodoh-

bodohan.

Plak!

"Aduh!"

Memekik kesakitan Seno. Tubuhnya 

berguling ke kanan. Kembang Andini 

mendaratkan tamparan cukup keras, yang tentu 

saja tak dapat dielakkan oleh Seno.

"Sinar matamu seperti orang berotak bebal. 

Tapi ternyata, kau pandai bicara!" dengus si 

nenek. "Jangan harap kau dapat mengelabuiku!


Bukankah kau tadi hendak membunuh cucuku 

dengan 'Lima Pukulan Pencair Tulang'? Kalau 

kulepaskan pengaruh totokan di tubuhmu, kau 

pasti akan membunuhku dengan ilmu sesat itu!"

"Tidak! Siapa yang mau membunuh orang? 

Aku bukan orang jahat!" elak Seno, amat lugu.

Dewi Cinta Kasih tak mau percaya begitu 

saja. Dianggapnya Seno sengaja hendak mengadu 

ketajaman lidah. Maka karena desakan rasa 

kesal, sekali lagi telapak tangan kirinya bergerak 

menampar.

Kontan tubuh Pendekar Bodoh berguling-

guling karena tamparan si nenek kali ini lebih 

keras.

"Kau! Kau...! Kejam benar kau, Nek! Aku 

bukan orang jahat! Aku tak pernah berniat 

membunuh muridmu! Apa yang kulakukan hanya 

untuk membela diri.... Cucumu itulah yang tiba-

tiba menyerangku!" sembur Pendekar Bodoh, 

menahan sakit. Walau panas rasa hatinya, raut 

wajahnya tetap terlihat kebodoh-bodohan.

"Membela diri? Kenapa kau gunakan "Lima 

Pukulan Pencair Tulang' yang begitu ganas dan 

kejam? Dari mana kau dapatkan ilmu itu?!" 

sergap Sekar Telasih, turut memojokkan Seno.

"'Lima Pukulan Pencair Tulang' memang 

ganas dan kejam. Tapi..., aku sungguh-sungguh 

tak berniat membunuhmu, Gadis Galak! Aku 

baru mempelajari ilmu itu, dan aku tak sengaja 

ketika memainkannya!" kilah Seno lagi, membalas 

tatapan Sekar Telasih.


Tatapan Pendekar Bodoh tampak begitu 

lugu, tapi terasa menghujam ke relung hati Sekar 

Telasih. Oleh karenanya, cepat Sekar Telasih 

memalingkan muka.

Mendadak, timbul debar-debar aneh di hati 

gadis cantik jelita itu. Tanpa disadari, pipi si gadis 

jadi merah merona. Sementara, detak jantungnya 

terasa berdetak lebih cepat, membuat aliran 

darahnya berdesir tak karuan.

"Hmmm.... Mana aku mau percaya pada 

bualanmu!" bentak Dewi Cinta Kasih. "Kau 

katakan bila dirimu bukan orang jahat. Tapi, 

kenapa kau mau mempelajari ilmu sesat itu?" 

"Ucapanmu begitu ketus, Nek! Tidak 

bisakah kau bersikap sopan sedikit? Dua kali kau 

menamparku. Coba kalau aku tidak tertotok, 

mana berani kau menamparku?"

"Hmmm.... Punya otak juga kau, Bocah 

Gemblung! Kau memancingku untuk 

membebaskan pengaruh totokan di tubuhmu. 

Setelah bebas, seperti yang kukatakan tadi, 

bukankah kau hendak membunuhku dengan 

'Lima Pukulan Pencair Tulang'? Aku tak mau mati 

konyol! Justru kaulah yang akan segera dijemput 

ajal kalau tidak segera menceritakan siapa 

dirimu!"

Seno nyengir kuda beberapa saat. Karena 

sinar matahari tak mengganggu pandangannya 

lagi, ditatapnya lekat wajah Dewi Cinta Kasih. 

Kini dia tahu. Walau tampak galak dan tega hati, 

Kembang Andini punya sifat welas-asih. Hal itu


terpancar dari sorot mata si nenek.

"Baik! Baik!" ujar Seno akhirnya. "Kalau 

kau memang ingin tahu siapa diriku dan 

bagaimana aku bisa melakukan gerakan 'Lima 

Pukulan Pencair Tulang', baiklah aku 

ceritakan...."

Sementara Seno menarik napas panjang, 

Kembang Andini menunggu tak sabar. Sekar 

Telasih bergeser ke belakang tubuh si nenek. 

Sepertinya, dia hendak menyembunyikan diri dari 

tatapan Seno.

"Namaku Seno Prasetyo. Orang-orang 

memberiku gelar Pendekar Bodoh...."

"Apa? Pendekar Bodoh?" 

Terkesiap heran Kembang Andini. Julukan 

Seno terdengar aneh di telinganya. Namun karena 

belum mengenal siapa Seno dan bagaimana sepak 

terjang pemuda remaja itu, tetap saja Kembang 

Andini memasang muka ketus.

Lebih dari empat puluh tahun Kembang 

Andini mengasingkan diri. Wajar kalau dia tak 

mengenal keharuman nama Pendekar Bodoh yang 

pernah beberapa kali menggemparkan rimba 

persilatan.

"Kenapa? Kau heran mendengar 

julukanku? Bagiku, apalah arti julukan. Asal aku 

tidak benar-benar bodoh, terserah kalau orang-

orang memberiku julukan Pendekar Bodoh."

"Tak perlu kau jelaskan panjang-lebar 

tentang julukanmu itu! Ceritakan cepat, 

bagaimana kau bisa memainkan 'Lima Pukulan


Pencair Tulang'!"

Mendengar bentakan Dewi Cinta Kasih itu, 

Pendekar Bodoh malah cengar-cengir beberapa 

lama, Namun karena tak mau tetap disangka 

orang jahat, cepat murid Dewa Dungu itu 

menyadari keadaan. Segera dia berkata....

"Sebenarnya, apa yang kualami ini benar-

benar di luar dugaanku. Aku berjumpa dengan 

seseorang yang membutuhkan bantuanku. 

Namun sebelum sempat memberi bantuan, aku 

terjerumus ke lubang jebakan yang amat dalam. 

Untung aku tak mati. Setelah mengikuti lorong-

lorong bawah tanah, aku menemukan jenazah 

seorang kakek yang sudah beku. Menurut tulisan 

yang tertera dalam kitab peninggalannya, jenazah 

itu ternyata bekas ketua Perkumpulan Beruang 

Merah. Namanya...."

Plak...!

"Uuhh...!"

Tak dapat Seno melanjutkan ucapannya. 

Kembang Andini tiba-tiba menampar amat keras. 

Si nenek sama sekali tak percaya pada ucapan 

Seno, membuat amarahnya bangkit. 

Akibat tamparan si nenek, tubuh Seno 

langsung bergulingan sejauh dua tombak. Untung 

Kembang Andini hanya menggunakan tenaga 

luar. Kalau tidak, pastilah kepala Seno pecah 

berantakan!

"Jangan me.... Eh!" 

Kembang Andini tak jadi menghardik. 

Matanya terbeliak lebar melihat kalung yang


melingkar di leher Seno. Semula, kalung itu tak 

terlihat karena tertutup kain baju si pemuda.

Sekali lihat, Kembang Andini dapat 

memastikan bila kalung yang dikenakan Seno 

adalah kalung 'Permata Dewa Matahari', lambang 

kekuasaan Perkumpulan Beruang Merah!

"Astaga! Benarkah apa yang kau ucapkan? 

Tuan... Tuan Salya Tirta Raharja telah meninggal? 

Dan, kau... kau berjodoh dengan kalung 'Permata 

Dewa Matahari'...?" ujar si nenek dengan bola 

mata tetap melotot, seperti tak percaya pada apa 

yang tengah terjadi.

"Uh! Kepalaku pening sekali!" keluh 

Pendekar Bodoh. "Jika aku mengatakan hal yang 

sebenarnya, apakah kau akan menamparku lagi, 

Nek? Apakah aku harus berbohong?"

"Ba... bagaimana kau bisa mendapatkan 

kalung itu?" buru Kembang Andini dengan hati 

berdebar tak karuan.

Melihat perubahan sikap si nenek, Seno 

menarik napas panjang beberapa kali. Lalu, dia 

ceritakan semua kejadian yang baru dialaminya 

ketika terjerumus ke lubang jebakan.

Dan begitu Seno selesai bercerita, air mata 

Dewi Cinta Kasih langsung jatuh bercucuran. 

Dengan segudang rasa sesal, dia bebaskan 

pengaruh totokan di tubuh Seno. Tongkat Dewa 

Badai langsung pula dia sodorkan ke hadapan si 

pemuda.

"Aku yang bodoh ini menyatakan rasa sesal 

yang mendalam atas perbuatanku yang tak


terpuji tadi...," ujar si nenek seraya berlutut dan 

membentur-benturkan dahinya ke tanah. "Segala 

hormat dan kesetiaan kuaturkan kepada Ketua 

Baru! Semoga Perkumpulan Beruang Merah jaya 

kembali...."

"En! Apa-apaan ini?" tegur Seno. "Kau 

kenapa, Nek? Kenapa sikapmu begitu cepat 

berubah-ubah?"

"Aku adalah Kembang Andini dan bergelar 

Dewi Cinta Kasih. Aku pengikut setia Tuan Salya 

Tirta Raharja. Ketika beliau mengasingkan diri di 

gua bawah tanah untuk menciptakan jurus atau 

ilmu yang bisa mengatasi ilmu 'Lima Pukulan 

Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjebol 

Perut', aku menunggu di dekat sumur tua itu 

sampai sekarang.... Dari sumur itulah Tuan Salya 

Tirta Raharja masuk ke gua bawah tanah."

"Berapa lama kau menunggu, Nek? Pasti 

sudah bertahun-tahun...," cetus Seno, cengar-

cengir lagi.

Kembang Andini yang masih duduk 

bersimpuh, merendahkan tubuhnya. Lalu 

menyahuti, "Memang. Aku yang bodoh ini 

memang telah menunggu lebih dari empat puluh 

tahun."

"Apa? Selama itu kau menunggu?" 

"Demikianlah."

"Eh! Kau tak perlu bersikap seperti ini, 

Nek. Aku... aku bukan orang yang pantas diberi 

penghormatan. Aku hanya seorang pemuda 

miskin papa. Aku tak punya apa-apa...."


Mendadak, timbul rasa kasihan di hati 

Seno melihat Kembang Andini terus menguras air 

mata. Disentuhnya bahu si nenek agar berdiri 

tegak. Tapi, nenek berpakaian putih penuh 

tambalan itu menolak. 

"Tuan Seno telah ditakdirkan untuk 

menjadi ketua keempat Perkumpulan Beruang 

Merah. Mana aku berani berdiri sejajar dengan 

Tuan...?"

"Ah! Dari mana kau tahu kalau aku 

memang ditakdirkan menjadi ketua Perkumpulan 

Beruang Merah? Siapa tahu tulisan Kakek Salya 

Tirta Raharja di kitabnya itu salah?"

"Tidak! Tuan Salya Tirta Raharja tidak 

salah. Kalung 'Permata Dewa Matahari' adalah 

sebuah benda mustika yang mengandung daya 

gaib. Kalau tidak berjodoh, sampai kapan pun 

orang lain tak akan bisa mendapatkannya...."

Seno menggaruk-garuk kepalanya yang tak 

gatal. Diamatinya bandul kalung yang melingkar 

di lehernya. Bandul kalung yang bisa 

memancarkan sinar terang bila berada di tempat 

gelap itu berwarna putih bening mirip intan. 

Terasa dingin jika disentuh dengan telapak 

tangan.

"Eh! Di mana Sekar Telasih? Kenapa dia 

tak berada di sisiku?" ujar Kembang Andini tiba-

tiba.

Perlahan nenek yang pernah menjadi 

pengikut setia Salya Tirta Raharja itu 

memberanikan diri untuk mengedarkan


pandangan. Tapi, sosok Sekar Telasih tetap tak 

terlihat. Si gadis memang telah pergi beberapa 

waktu lalu.

"Kau cari siapa, Nek?" tanya Seno. Raut 

wajahnya terlihat kebodoh-bodohan lagi.

"Cucuku," jawab Kembang Andini.

"Cucumu? Gadis cantik itu?"

Mengangguk Kembang Andini.

"Aku melihat dia tiba-tiba berkelebat pergi. 

Tampaknya, dia tak suka terhadapku."

"Ah! Mana boleh begitu? Aku akan 

mengajar adat kepadanya!"

"Ah! Sudahlah. Perutku lapar sekali. Kau 

punya makanan, Nek?" ucap Seno, sama sekali 

tak sakit hati walau dirinya baru ditampar 

Kembang Andini tiga kali.

"Ya! Ya, Tuan! Aku baru saja memasak 

daging kelinci yang lezat. Tuan pasti suka!"

"Benarkah itu?" bola mata Seno langsung 

bersinar senang. "Tapi..., jangan panggil aku 

tuan. Panggil saja Seno...."

"Ya! Ya!"



SEPULUH



BERI aku waktu satu candra untuk 

mengumpulkan anggota Perkumpulan Beruang 

Merah yang masih ada beserta anak keturunan 

mereka. Aku yakin, nama Perkumpulan Beruang 

Merah akan harum kembali seperti dulu...," ujar 

Dewi Cinta Kasih yang sedang duduk beralas


tikar di gubuk bambunya, yang ternyata amat 

bersih dan senantiasa terawat.

Pendekar Bodoh diam beberapa lama. 

Tubuhnya terasa amat segar setelah mandi di air 

pancuran sore itu. Daging kelinci masakan si 

nenek pun benar-benar sesuai dengan seleranya. 

Bukan saja telah membuat laparnya hilang, tapi 

juga memberikan rasa puas berlebih-lebih.

"Terserah apa yang akan kau lakukan, Nek. 

Tapi kau mesti tahu, aku tak pernah merasa 

sebagai Ketua Perkumpulan Beruang Merah...," 

kata Seno akhirnya.

"Ah! Tuan Seno! Kenapa Tuan bersikap 

seperti ini? Kalung 'Permata Dewa Matahari' yang 

Tuan pakai adalah suatu tanda bila Tuan adalah 

Ketua Perkumpulan Beruang Merah selanjutnya. 

Kalung itu adalah amanat tiga Ketua 

Perkumpulan Beruang Merah terdahulu."

"Aku tak bisa memimpin orang banyak, 

Nek. Aku tak tahu bagaimana caranya mengatur 

orang. Lagi pula, aku tak berpengalaman dalam 

segala hal."

"Tuan...."

"Ah! Jangan panggil aku 'tuan'. Aku jadi 

amat risih dan tak enak hati...."

"Ya! Ya, Seno. Aku bisa menduga-duga isi 

hatimu. Mungkin kau belum percaya bila 

Perkumpulan Beruang Merah benar-benar ada 

dan pernah berjaya puluhan tahun silam. Andai 

aku dapat mengumpulkan kembali orang-orang 

yang masih setia pada perkumpulan itu,


bersediakah kau berjanji untuk menjadi 

pemimpin kami...?"

Seno nyengir kuda.

"Baiklah...," putus murid Dewa Dungu itu 

untuk menyenangkan hati si nenek yang tampak 

amat ngotot. "Tapi sekali lagi kukatakan, aku tak 

berpengalaman. Bagaimana kalau nantinya aku 

mengecewakan orang-orang yang telah kau 

kumpulkan? Tapi walau bagaimanapun, aku akan 

tetap menuruti wasiat Kakek Satya Tirta Raharja 

untuk menumpas keturunan Saka Wanengpati, 

yang memiliki ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' 

dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'. Maksud 

tujuanku ini hanya untuk menumpas kejahatan. 

Lain itu tidak...."

"Syukurlah kalau kau mau berjanji, Seno. 

Urusan kepemimpinan di perkumpulan, bisa 

dirundingkan nanti. Kau tidak harus memimpin 

seorang diri. Banyak tokoh berkepandaian tinggi 

dan matang pengalaman yang akan membantumu 

dengan penuh kesetiaan. Dan soal menumpas 

keturunan Saka Wanengpati seperti yang tertulis 

dalam kitab peninggalan Tuan Salya Tirta 

Raharja, dapatlah kukatakan jika orang yang 

harus kau tumpas tinggal satu orang saja. Yaitu, 

Wanara Kadang alias Iblis Pemburu Dosa."

"Iblis Pemburu Dosa?" 

"Ya! Kenapa?"

"Kebetulan sekali! Aku memang berniat 

menumpas orang itu!"

"Kau pernah berjumpa?"


Seno menggeleng. Namun, segera dia 

ceritakan pertemuannya dengan Hati Selembut 

Dewa yang meminta bantuannya untuk turut 

menumpas Iblis Pemburu Dosa.

"Dia sudah tak ada," beri tahu Kembang 

Andini di akhir cerita Seno.

"Apa? Maksudmu Kakek Mahendra 

Karnaka telah meninggal?" kejut Pendekar Bodoh.

"Demikianlah. Dia mati di tangan Iblis 

Pemburu Dosa. Akulah yang menguburkan 

jenazahnya." 

"Bagaimana bisa begitu?" 

"Aku tak tahu peristiwanya. Tapi melihat 

tubuh Mahendra Karnaka yang tinggal daging 

tipis tanpa tulang, aku bisa memastikan bila 

pemilik Pondok Matahari itu mati akibat 'Lima 

Pukulan Pencair Tulang'. Dan, hanya Iblis 

Pemburu Dosa yang bisa melakukannya."

Terdiam Seno. Sedih rasa hatinya 

mendengar berita kematian Hati Selembut Dewa. 

Belum sempat dia memberi bantuan seperti yang 

diminta, ternyata si kakek keburu dijemput ajal.

"Hampir setiap hari, aku selalu datang ke 

Gurun Selaksa Batu untuk mengamati gerak-

gerik Iblis Pemburu Dosa. Sayang, kedatanganku 

tempo hari terlambat. Aku tak bisa berbuat apa-

apa untuk mencegah Mahendra Karnaka agar tak 

bentrok dengan manusia kejam itu...."

"Dia keturunan Saka Wanengpati?" tanya 

Seno, kebodoh-bodohan.

"Ya! Seperti yang kukatakan tadi, hanya


dialah keturunan Saka Wanengpati. Kedua 

orangtua manusia kejam itu mati dibunuh Iblis 

Pemburu Dosa sendiri!" 

"Ah! Sebegitu kejamkah dia?"

"Begitulah. Iblis Pemburu Dosa punya 

wajah dan bentuk tubuh amat buruk. Dia amat 

menyesali keadaan dirinya itu. Dia menyalahkan 

kedua orang tuanya. Dan, dia pun tega 

membunuh mereka. Bukan hanya itu. Dia juga 

merasa iri melihat orang lain memiliki 

kesempurnaan wajah dan bentuk tubuh. 

Akibatnya, dia selalu mencari gara-gara dan 

mengumbar nafsu sesat. Dia tak akan pernah 

puas sebelum membantai semua orang yang 

dijumpainya. Wajar saja kalau dia pun 

membunuh Mahendra Karnaka. Selain untuk 

menuruti nafsu sesatnya. Iblis Pemburu Dosa 

juga menyimpan dendam permusuhan dengan 

Mahendra Karnaka sejak lama...."

Seno mengangguk-angguk. Kini semakin 

yakin hatinya bila Iblis Pemburu Dosa memang 

seorang tokoh jahat yang amat layak untuk 

dienyahkan dari muka bumi.

Mendadak, raut wajah pemuda lugu itu 

berubah tegang. Kepalanya berpaling ke kiri. Si 

pemuda tengah menajamkan pendengaran.

"Kau dengar suara itu?" ujar Seno 

kemudian, hendak memastikan suara yang 

didengarnya.

"Aku juga mendengar. Tak usah khawatir. 

Aku tahu tabiat cucuku itu. Itu ulahnya," sahut


Kembang Andini seraya bangkit berdiri untuk 

beranjak ke luar.

Sementara itu, di halaman gubuk bambu 

tampak seorang gadis bertubuh tinggi semampai 

sedang berjalan dengan muka kusut. Begitu 

langkahnya terhenti, dia lepas ikatan senjata 

berupa alat musik kecapi yang tersandang di 

punggungnya.

"Hei! Keluar kau pemuda tolol yang 

mengaku bernama Seno Prasetyo!" teriak si gadis 

yang tak lain Sekar Telasih atau Putri Hati Lurus.

"Sekar!" tegur Kembang Andini, meloncat 

keluar dari gubuk bambu. "Apa yang baru kau 

ucapkan, hei?! Tidak tahukah kau bila Seno 

adalah Ketua baru Perkumpulan Beruang Merah? 

Dia membawa amanat Tuan Salya Tirta Raharja!"

Sekar Telasih menggeleng-gelengkan 

kepalanya. Matanya menatap tajam sosok 

Pendekar Bodoh yang telah berdiri di sisi kanan 

Dewi Cinta Kasih.

"Eyang jangan terkecoh olehnya!" seru 

gadis berwajah cantik jelita itu. "Aku tak habis 

mengerti, bagaimana mungkin Eyang bisa begitu 

saja percaya bila kalung yang dikenakannya 

adalah kalung 'Permata Dewa Matahari'...? Lagi 

pula, Ketua Perkumpulan Beruang Merah 

haruslah seseorang yang memiliki ilmu kesaktian 

tinggi. Bukankah Eyang melihat sendiri, betapa 

mudahnya beberapa waktu tadi aku 

merobohkannya? Pantaskah dia menjadi 

pemimpin perkumpulan kita?"


Seno cuma cengar-cengir mendengar 

ucapan Putri Hati Lurus yang nyerocos panjang 

bak air hujan mengguyur deras. Melihat sikap si 

gadis yang begitu ketus, mendadak Seno teringat 

pada Kemuning, si buah hatinya. Di manakah 

gadis itu sekarang? Apakah dia juga merasakan 

apa yang tengah dirasakannya?

"Lihat itu, Eyang!" tambah Putri Hati 

Lurus. "Kalau dia tak bermaksud mengelabui 

kita, kenapa dia cuma diam saja? Kenapa dia tak 

membela diri?" 

"Eh! Kenapa kau marah-marah?" sergap 

Seno. Tolol sekali pertanyaan pemuda lugu itu. 

Sepertinya, dia tak mendengar tuduhan Sekar 

Telasih.

"Sekar!" tegur Kembang Andini dengan 

muka merah padam. "Aku memang sudah tua, 

Sekar! Tapi, aku belum buta. Aku bisa melihat 

bila kalung yang dikenakan Seno benar-benar 

kalung 'Permata Dewa Matahari'!"

"Eyang boleh percaya! Aku tidak!"

"Kurang ajar! Sejak kapan kau berani 

kepadaku heh?!"

Kesal bukan main Kembang Andini. Dia 

merasa malu pada Pendekar Bodoh yang telah 

dianggapnya sebagai Ketua baru Perkumpulan 

Beruang Merah. Maka karena terdesak suasana 

hatinya yang tak karuan, meloncatlah si nenek 

untuk menampar wajah Sekar Telasih!

Namun, Pendekar Bodoh meloncat lebih 

cepat.


Dihadangnya kelebatan tubuh Kembang 

Andini. Sehingga, terpaksa si nenek 

mengurungkan niatnya.

"Sudahlah, Nek...," ujar Seno. "Sejak 

semula aku memang tak pernah merasa diriku 

sebagai ketua perkumpulan apa pun. Daripada 

kau bersitegang dengan cucumu sendiri, 

kuserahkan saja kalung ini kepadamu. Anggap 

saja kau tak pernah berjumpa denganku, Nek. 

Tapi jangan khawatir, menghentikan 

keangkaramurkaan Iblis Pemburu Dosa adalah 

kewajibanku...."

Di ujung kalimatnya, Seno menyodorkan 

kalung 'Permata Dewa Matahari' kepada Kembang 

Andini.

"Ah! Bagaimana bisa begini?" sahut si 

nenek seraya berlutut, tak menerima kalung 

pemberian Seno.

"Kenapa kau ini, Nek? Aku bukan raja yang 

patut disembah. Hanya karena aku, kau tega 

hendak menyakiti cucumu sendiri. Aku hanya 

perusak kebahagiaan orang...," ujar Seno dengan 

penuh kesungguhan, namun kata-katanya 

terdengar amat lugu. "Kalau kau tak mau 

menerima kalung ini, kuserahkan saja pada 

cucumu itu!"

Dengan beban perasaan di hati, Seno 

melemparkan kalung 'Permata Dewa Matahari' ke 

arah Putri Hati Lurus. Si gadis malah mendelik 

bengong. Sikap dan perbuatan Seno sama sekali 

tak diduganya.


Gadis berpakaian putih berkembang-

kembang itu berdiri terpaku. Kalung 'Permata 

Dewa Matahari' membentur dadanya, lalu jatuh 

ke tanah. Sementara, Seno bergegas meloncat 

untuk berkelebat pergi.

"Tunggu...!" cegah Sekar Telasih.

Terpaksa Seno menghentikan kelebatan 

tubuhnya. Lalu katanya, "Tak ada lagi yang perlu 

dibicarakan, bukan? Aku sudah mengakui bila 

aku memang bukan Ketua Perkumpulan Beruang 

Merah atau perkumpulan lainnya. Kalung 

mustika itu pun sudah kuserahkan kepadamu. 

Tak ada lagi persoalan di antara kita!"

"Tunggu!" cegah Sekar Telasih waktu 

melihat Seno hendak meninggalkan tempat. "Kau 

pikir tidak ada urusan di antara kita? Huh! Kau 

bermaksud menipu! Kemungkinan besar kau 

kaki-tangan Iblis Pemburu Dosa! Terkutuklah aku 

kalau membiarkan dirimu pergi dari tempat ini!"

Geleng-geleng kepala Seno. Tanpa sadar 

dia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. 

Sampai beberapa lama dia cuma diam. 

Bagaimana harus membela diri? Bagaimana 

harus memberi penjelasan?

Otak Seno jadi buntu. Yang dapat 

dilakukannya cuma berdiri cengar-cengir.

Ketika itulah Sekar Telasih menyentil 

dawai-dawai kecapinya. Gelombang suara yang 

mempunyai daya bunuh hebat segera menyerang 

Seno!

Cepat Pendekar Bodoh menyadari keadaan.


Dikeluarkannya ilmu 'Perisai Dewa Badai' untuk 

membentengi tubuhnya. Dan kekuatan si pemuda 

yang sudah pulih kembali, benar-benar dapat 

menunjukkan kehebatannya. Gelombang suara 

petikan kecapi Sekar Telasih tak berakibat apa-

apa pada diri si pemuda!

Menggeram marah Putri Hati Lurus. 

Disentilnya berkali-kali dawai kecapinya lebih 

kuat. Gelombang suara yang menyerang Seno 

pun semakin hebat menghajar. Tapi, ilmu kebal 

'Perisai Dewa Badai' lebih hebat lagi. Si pemuda 

tetap dapat berdiri tenang sambil terus cengar-

cengir!

"Jahanam! Punya kepandaian juga kau 

rupanya! Lihat serangan! Hiaaahhh...!"

Tiba-tiba, Sekar Telasih menerjang. Kecapi 

di tangan kanannya berkelebat cepat dan 

mengeluarkan suara bergemuruh keras. Hendak 

mengepruk pecah kepala Seno!

"Sekar!" cegah Kembang Andini seraya 

melompat.

Namun Sekar Telasih tak mau peduli. 

Terus dia gerakkan kecapinya. Sementara, Seno 

langsung meloncat jauh untuk menghindari 

serangan si gadis.

Dan tampaknya, Sekar Telasih tak mau 

membiarkan Seno lolos. Dicecarnya murid Dewa 

Dungu itu dengan serangan-serangan mematikan.

Dewi Cinta Kasih jadi bingung. Sampai 

beberapa lama si nenek cuma diam terpaku tanpa 

berbuat apa-apa. Melihat Sekar Telasih yang


menyerang Seno dengan penuh kesungguhan, 

hatinya jadi ragu. Benarkah Seno mengelabuinya? 

Benarkah pemuda itu kaki-tangan Iblis Pemburu 

Dosa?

Dengan benak kusut, si nenek melangkah 

dan memungut kalung 'Permata Dewa Matahari' 

yang tergeletak di tanah. Sesaat dia terkesiap. 

Bandul kalung 'Permata Dewa Matahari' 

mengalirkan hawa dingin ke telapak tangan 

kanannya. Tapi, si nenek tak mau peduli.

"Aku harus membuktikan keaslian kalung 

ini...," pikir nenek berpakaian putih penuh 

tambalan itu.

Mendadak, melonjak kaget Dewi Cinta 

Kasih. Ketika mengalirkan tenaga dalam, bandul 

kalung 'Permata Dewa Matahari' memancarkan 

sinar bening berkilauan!

"Sekar!" seru si nenek. "Kalung ini asli! 

Seno memang ketua baru perkumpulan kita!"

Tanpa sadar Putri Hati Lurus 

menghentikan serangannya. Dia berdiri terpaku 

dengan mata terbelalak lebar.

"Kalung 'Permata Dewa Matahari'...!" 

desisnya.

Rasa hati Sekar Telasih jadi berdebar tak 

karuan. Dia merasa telah melakukan dosa besar. 

Oleh karenanya, segera dia menjatuhkan 

tubuhnya untuk menyampaikan sembah sujud 

dan sejuta sesal. Tapi..., Pendekar Bodoh telah 

berkelebat pergi!


                         SELESAI



Segera menyusul!!!

MUNCULNYA SANG PEWARIS


Share:

0 comments:

Posting Komentar