Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
HARI masih dalam dekapan malam ketika ka-
kek berambut putih meletak itu berdiri terpaku bagai
arca batu. Keterkejutan telah menghantam dan mem-
buat sesak isi dadanya. Sinar matanya nanar menatap
seorang pemuda berpakaian putih-kuning yang tengah
berlari-lari mengitari bayangan bangunan rumah
panggung.
Sikap dan perbuatan pemuda bertubuh tinggi
tegap itu memang jelas menyiratkan keganjilan. Se-
hingga, rasa heran bercampur khawatir menyeruak
masuk ke hati sanubari kakek berpakaian kuning-
merah yang sedang menyaksikannya. Kerut-merut di
wajah si kakek jadi terlihat makin kentara.
"Bancakluka! Bancakluka! Apa yang tengah
kau lakukan?!" tegur si kakek.
Pemuda bertubuh tinggi tegap tak menghenti-
kan perbuatannya. Dia terus berlari-lari mengitari
bangunan rumah panggung yang terbuat dari susunan
kayu jati. Apa yang dilakukan si pemuda mirip perbua-
tan orang yang telah kehilangan akal sehat. Sementara
menilik dari keringat yang membanjiri sekujur tubuh-
nya, dapat dipastikan bila dia telah berlari mengempos
tenaga cukup lama. Memang, tak kurang dari lima pu-
luh kali dia berlari mengitari rumah panggung yang
cukup besar itu.
Ya! Dia memang Bancakluka. Dan, kakek yang
tengah menatap penuh kekhawatiran itu adalah ayah-
nya, Bancakdulina, baulau atau kepala Suku Asantar.
Berkali-kali sudah Bancakluka berlari sem-
poyongan dan hampir terpeleset jatuh. Tenaganya
hampir terkuras habis. Namun demikian, tak ada tanda-tanda bila dia akan segera menghentikan perbua-
tannya.
"Bancakluka! Hentikan perbuatan gilamu itu!"
seru Bancakdulina, lebih keras.
Tapi, seruan itu pun tak mampu menghentikan
langkah kaki Bancakluka. Si pemuda terus berlari.
Kehadiran Bancakdulina dianggap seperti angin lalu.
Tapi tak seberapa lama kemudian, setelah
memperhatikan tingkah laku putranya yang ganjil, ta-
hulah Bancakdulina bila ada kekuatan gaib yang ten-
gah mempengaruhi jalan pikiran Bancakluka. Oleh ka-
renanya, cepat Bancakdulina menghimpun kekuatan
batinnya. Lalu....
"Pada akhirnya kebenaran selalu mengungguli
kejahatan. Kekuatan putih akan menghalau kekuatan
hitam. Hom asantamas dadaulas... hurinas...!" seru
Bancakdulina sambil menjulurkan kedua pergelangan
tangannya ke depan.
Slaps...!
Bush...!
Di bawah daun pintu rumah panggung yang
terbuka timbul percikan api biru. Asap putih turut
mengepul. Lalu seiring dengan lenyapnya api dan asap
itu, Bancakluka menghentikan langkah kakinya. Hing-
ga tampak kemudian, si pemuda berdiri limbung, lalu
jatuh tertelungkup di bawah tangga rumah. Tak dapat
lagi dia menggerakkan seluruh anggota tubuhnya ka-
rena kesadarannya telah hilang. Pingsan!
Mengkhawatirkan keselamatan putra tunggal-
nya itu, bergegas Bancakdulina meloncat mendekati.
Setelah memeriksa keadaan si pemuda, semakin ya-
kinlah Bancakdulina bila putranya itu baru saja terke-
na pengaruh kekuatan sihir jahat. Namun, keadaan
Bancakluka tidak seberapa membahayakan. Dia jatuh
pingsan hanya karena kelelahan. Oleh karenanya, da-
patlah Bancakdulina menghirup napas lega.
Usai melonggarkan kain baju Bancakluka, ka-
kek yang tubuhnya masih tampak tegap itu mengurut-
urut beberapa tempat di sekitar dada si pemuda. Lalu,
dipanggulnya tubuh Bancakluka menaiki anak tangga.
Sampai di ambang pintu, Bancakdulina terhe-
nyak langkah. Lewat sinar lampu yang menyorot dari
dalam rumah, mata si kakek dapat mengetahui adanya
butiran garam dan kacang hijau yang menebar di lan-
tai papan.
"Hmm.... Benar dugaanku. Ada orang sengaja
punya maksud tak baik...," gumam Bancakdulina.
Dengan telapak kakinya, baulau atau kepala
Suku Asantar itu menjatuhkan butiran garam dan ka-
cang hijau ke tanah. Kemudian, dia berjalan memasuki
salah satu kamar yang terletak di balai-balai. Tubuh
Bancakluka yang masih lemah tak berdaya dibaring-
kannya di atas dipan. Di lain kejap....
Menggerigap kaget Bancakluka. "Seno! Sati!
Tunggu!" serunya, seperti mengigau. Dia pun tersadar
dari pingsannya.
"Tenanglah. Tetaplah berbaring...," sahut Ban-
cakdulina.
Kembali jari-jari tua Bancakdulina mengurut
dada Bancakluka. Urutan yang mengandung aliran te-
naga dalam dan dilakukan dengan penuh perasaan
kasih itu dapat menyadarkan Bancakluka pada kea-
daan sekelilingnya. Namun, pandangan mata si pemu-
da yang semula sayu berubah nanar saat mengetahui
dirinya telah berada di dalam kamar bersama ayahnya.
"Silasati.... Dia membawa pemuda itu...," desah
Bancakluka seraya beranjak bangun, tapi Bancakduli-
na menekan dadanya sehingga tubuh si pemuda terbaring kembali.
"Aku melihat sinar ketakutan dan kekhawatiran
di matamu. Cobalah ceritakan apa yang telah terja-
di...," pinta Bancakdulina dengan suara berat berwi-
bawa.
"Sangkuk...," desis Bancakluka, menyebut
panggilan untuk seorang ayah.
"Ya. Ini aku ayahmu, Bancakluka. Kalau kau
belum siap bicara panjang, diamlah dulu beberapa la-
ma...."
Bancakluka pun menuruti nasihat ayahnya.
Diam merenung. Matanya menatap tatanan bambu
yang menopang sirap. Pikirannya melayang pada peris-
tiwa yang baru dialaminya.
"Sudah tenangkah pikiranmu, Bancakluka?"
desak Bancakdulina akhirnya, tak sabaran. "Ingat-
ingat apa yang telah terjadi pada dirimu. Kenapa den-
gan Silasati? Dan, siapa yang kau maksud dengan pe-
muda itu...?"
"Maafkan aku, Sangkuk...," desah Bancakluka
lagi, bangkit duduk di tepi pembaringan. Kali ini Ban-
cakdulina membiarkannya.
"Cepatlah kau ceritakan apa yang baru kau
alami," desak Bancakdulina, makin tak sabaran. "Ha-
tiku jadi amat tak enak. Bila ada orang yang membu-
tuhkan pertolongan, kita bisa cepat memberi uluran
tangan. Tak perlu kau mengulur waktu. Kau sudah ti-
dak apa-apa, bukan?"
Bancakluka mengusap wajahnya beberapa kali.
Dengan sepuluh jari tangannya, di meraup anak-anak
rambutnya ke belakang. Sesaat tatapannya tak lagi
nanar.
"Silasati baru saja datang ke rumah ini. Ka-
tanya, Sangkuk yang menyuruh,..," tutur pemuda yang
dicalonkan menjadi baulau atau kepala suku untuk
menggantikan ayahnya itu.
"Lalu?" buru Bancakdulina. Nada suaranya se-
dikit meninggi karena kakek ini merasa tak menyuruh
Silasati datang ke rumahnya.
"Gadis itu meminta Seno Prasetyo untuk datang
menghadap Sangkuk...."
"Dia mau?"
Mengangguk Bancakluka.
"Pemuda itu percaya benar pada ucapan Silasa-
ti. Sehingga, tanpa kesulitan Silasati mengajaknya ke-
luar dari rumah ini...."
Mendengar penuturan itu, langsung berkerut
rapat kening Bancakdulina. Bayangan buruk semakin
menggeluti benaknya. Apa maksud Silasati mengajak
pergi Seno Prasetyo? Kenapa hal itu dilakukan tengah
malam? Apakah dia sengaja hendak memancing perka-
ra untuk memutuskan tali pertunangannya dengan
Bancakluka?
"Sejak melihat Silasati, sebenarnya aku sudah
menaruh curiga," lanjut Bancakluka. "Oleh karenanya,
aku hendak mencegah kepergian gadis itu bersama
Seno Prasetyo. Namun.... "
Kalimat Bancakluka menggantung.
Cepat Bancakdulina menyahuti. "Kau hendak
mengejar mereka, bukan? Tapi, kau tidak tahu bila di
muka pintu rumah ini telah diberi taburan benda yang
mengandung kekuatan sihir. Menurut perasaanmu,
kau berlari-lari mengejar Silasati dan Seno Prasetyo.
Benar begitu, bukan? Kenyataannya..., kau cuma ber-
lari mengitari bangunan rumah ini...."
Wajah Bancakluka semakin kusut.
Aku tak tahu kenapa Silasati bisa berbuat se-
perti itu. Apakah Sangkuk tidak menyuruhnya?"
Menggeleng Bancakdulina. "Menurut dugaan-
ku, kemungkinan besar Silasati sengaja memancing
kemarahanmu agar kau memutuskan tali pertunangan
dengannya. Kita tahu sendiri, sejak kecil Silasati telah
akrab dengan Sadeng Sabantar. Mungkin apa yang ba-
ru terjadi ini adalah siasat mereka. Karena, mereka
saling mencinta dan tak mau tali cinta mereka putus
gara-gara aku menjodohkan dirimu dengan Silasati,
Bancakluka.... Atau mungkin, ada orang lain yang
memaksa Silasati untuk melakukan semua perbuatan
tak terpuji ini."
Bancakdulina bangkit dari kursi. Tatapan ma-
tanya berubah nyalang. Ada api kemarahan tergambar
di bola mata kakek itu. Sebagai seorang kepala suku
yang tentunya cukup terpandang di mata warga Su-
ku Asantar, Bancakdulina tak bisa membiarkan ke-
luarganya dilecehkan ataupun dihina orang. Walau be-
lum jelas apa maksud perbuatan Silasati sebenarnya,
tapi Bancakdulina telah menganggap Silasati menyim-
pan setitik api dalam sekam. Namun, Bancakdulina
pun tak mau bertindak gegabah. Segala sesuatunya
memang harus dibuktikan kebenarannya dulu.
"Kita ke rumah Bancaksika saja. Kita cari kete-
rangan di rumah pamanmu itu," ajak Bancakdulina
kemudian.
Bancakluka tak menjawab. Namun, dia bangkit
berdiri pertanda menyetujui ajakan ayahnya.
Bancaksika adalah ayah Silasati, dan merupa-
kan adik Bancakdulina. Dalam aturan adat suku yang
terletak di ujung selatan Pulau Salyadwipa itu, setiap
warga Suku Asantar diperbolehkan melakukan perka-
winan sedarah. Oleh karenanya, sah-sah saja kalau
Bancakdulina menjodohkan Bancakluka dengan Sila-
sati yang tak lain keponakannya sendiri.
Sementara, rumah Bancaksika bersebelahan
dengan rumah Bancakdulina. Jadi, Bancakdulina dan
putranya tak butuh waktu banyak untuk sampai di
tempat yang dituju.
"Bancaksika! Bancaksika!" seru Bancakdulina
sembari mengetuk daun pintu keras-keras.
Tak lama Bancakdulina menunggu. Pintu ru-
mah segera terkuak, dan tampaklah seraut wajah ku-
sut milik Bancaksika yang baru bangun tidur.
"Kau...? Ada apa malam-malam begini?" ujar
ayah Silasati itu, seperti menegur.
"Silasati ada, Wak?" Bancakluka yang bertanya.
'Wak' sama artinya dengan 'paman'.
"Kau mencari tunanganmu? Malam-malam be-
gini? Ada apa?" Bancaksika malah balik bertanya. Le-
laki yang hampir menginjak umur enam puluh tahun
ini tak mendengar langkah kaki Bancakluka saat ber-
lari-lari mengelilingi rumahnya. Karena, dia tertidur
amat pulas.
"Ada sesuatu yang harus dibuktikan kebena-
rannya. Aku ingin tahu apakah putrimu itu masih ada
di rumah, Sika?" desak Bancakdulina.
"Tentu saja ada. Masuklah...," sahut Bancaksi-
ka yang belum mengetahui perbuatan tak terpuji Sila-
sati.
Saat Bancakdulina dan Bancakluka berjalan
memasuki rumah untuk menuju ke ruang tamu, Ban-
caksika memasuki serambi belakang. Namun tak sebe-
rapa lama kemudian, terdengar seruan terkejut Ban-
caksika.
"Dia... dia tidak ada!"
Bancakdulina dan Bancakluka saling pandang.
* * *
Cahaya rembulan menyiram temaram. Puri
Dewa Langit tegak menantang dalam kebisuan. Hem-
busan angin bercampur kabut membentuk butiran
embun, yang kemudian menetes jatuh tersambut se-
nyum rerumputan. Dingin masih membelenggu dan te-
rasa meremas tulang. Sepi mencekam!
Keadaan alam sekitar sangat bertolak belakang
dengan apa yang tengah dirasakan pemuda berpakaian
biru-biru itu. Isi dada si pemuda bergemuruh kencang
karena desakan gairah yang bergelora dan terus me-
nyentak-nyentak. Jantung yang berdegup lebih cepat
membuat aliran darahnya berdesir tak karuan. Urat-
urat di sekujur tubuhnya turut bergeletaran seiring
hasratnya yang semakin memuncak.
Dengan dengus napas memburu bak seekor
kuda yang dipaksa mendaki tebing terjal, pemuda be-
rambut panjang tergerai itu menciumi buah dada wa-
nita berkulit kuning yang berdiri setengah telanjang!
Pemuda yang tampaknya telah kehilangan sifat
kemanusiaannya itu adalah Pendekar Bodoh Seno Pra-
setyo! Dan, wanita berparas cantik yang menjadi pe-
lampiasan hasrat si pemuda tak lain dari Danyangsuli!
(Untuk mengetahui asal mula kejadian ini, silakan si-
mak serial Pendekar Bodoh dalam episode : "Sengketa
Ahli Sihir").
Merasakan ciuman ganas Pendekar Bodoh, Da-
nyangsuli menggelinjang manja. Kedua kakinya berge-
rak tak tentu arah. Urat-urat darahnya pun turut ber-
geletaran.
Kegembiraan semakin terpancar di sorot mata
ahli sihir yang juga pandai ilmu tenung itu. Bukan saja
karena ciuman nafsu Pendekar Bodoh, tetapi juga ka-
rena teringat akan rencananya yang akan segera men-
jadi kenyataan.
Terbawa luapan rasa gembira, Danyangsuli tak
dapat menahan suara tawanya. Tubuh bagian atas si
wanita yang tak tertutup tampak bergoyang-goyang
mengikuti irama tawa. Sementara, Pendekar Bodoh te-
rus menelusuri keindahan tubuh wanita itu dengan
bibir dan lidahnya....
"Ha ha ha...!" tawa gelak Danyangsuli. "Ayo! Te-
rus! Lampiaskan hasratmu, Seno! Ha ha ha...! Sema-
kin kau tergeluti nafsu, semakin mudah aku menghi-
sap inti kekuatan tubuhmu! Ha ha ha...! Aku akan
menjadi ratu sihir yang terhebat! Ha ha ha...!"
Saat wanita bertubuh sintal montok itu larut
dalam kegembiraannya, Pendekar Bodoh larut dalam
hasrat jiwa mudanya. Pengaruh sihir yang diterapkan
Danyangsuli benar-benar tak dapat dilawan dan telah
membuat Pendekar Bodoh lupa segala-galanya. Yang
ada dalam benak Pendekar Bodoh hanyalah keinginan
untuk melampiaskan segenap gairahnya yang sudah
tak dapat dibendung lagi!
Tampak kemudian, Pendekar Bodoh mengang-
kat tubuh Danyangsuli seraya membaringkannya di
tanah berumput tebal. Dan, Danyangsuli pun mem-
biarkan kain bawahnya disingkapkan. Bola mata Da-
nyangsuli semakin berbinar saat melihat Pendekar Bo-
doh mulai membuka kancing bajunya sendiri. Memang
itulah yang menjadi tujuan Danyangsuli. Melalui hu-
bungan badan, Danyangsuli akan menghisap habis se-
luruh inti kekuatan tubuh Pendekar Bodoh!
Dan apabila hal itu menjadi kenyataan, seluruh
kekuatan tenaga dalam sang pendekar akan mengalir
ke tubuh Danyangsuli. Kalau tenaga dalamnya telah
lenyap, akan lenyap pula seluruh ilmu kesaktian Pen-
dekar Bodoh. Sementara, bagi seorang pendekar sejati
macam Pendekar Bodoh, kehilangan ilmu kesaktian
merupakan suatu malapetaka yang lebih mengerikan
dibanding kematian!
Tapi, benarkah Pendekar Bodoh akan menemui
nasib naasnya di Pulau Salyadwipa itu? Tak ada yang
sanggup menjawabnya, kecuali sang Penguasa Tung-
gal. Sementara, putaran waktu yang terus berlalu
membuat kokok ayam alas mulai terdengar mengoyak
sepi. Semburat cahaya jingga di langit timur mulai
muncul pula. Fajar akan segera datang menjelang....
"Jahanam...!" dengus Danyangsuli tiba-tiba.
"Matahari akan segera muncul. Tak dapat aku mene-
ruskan niatku!"
Kasar sekali wanita berkulit kuning langsat dan
tampak mulus tanpa cacat itu mencengkeram bahu
Pendekar Bodoh. Tubuh si pemuda langsung jatuh
berdebam saat Danyangsuli mendorongnya.
Akan tetapi, bagai orang kesetanan Pendekar
Bodoh bergegas bangkit. Karena gairah masih mengu-
asai jalan pikirannya, dia hendak menerkam tubuh
sintal Danyangsuli.
Cepat Danyangsuli berkelit. Terkaman Pende-
kar Bodoh hanya mengenai tempat kosong. Selagi tu-
buh Pendekar Bodoh masih meluncur di udara, den-
gan cepat pula Danyangsuli mengenakan kembali ba-
junya. Tak lupa dia pun merapikan kain bawahnya
yang berwarna merah gemerlap.
"Kau hendak ke mana? Aku.... Aku...," ujar
Pendekar Bodoh dengan raut wajah menyiratkan keke-
cewaan.
Danyangsuli tak menjawab. Matanya menatap
sebatang tongkat yang berada di dekat kaki Pendekar
Bodoh. Panjang tongkat itu tak lebih dari dua jengkal.
Berwarna putih. Satu ujungnya tumpul, dan yang sa-
tunya lagi runcing. Tongkat Dewa Badai!
Sekali lihat, Danyangsuli dapat memastikan bi-
la tongkat pendek itu adalah sebuah senjata mustika.
Maka tanpa pikir panjang lagi, dia langsung menyam-
bar senjata andalan Pendekar Bodoh yang telah lepas
dari belitan ikat pinggangnya.
Lalu sambil mencekal erat Tongkat Dewa Badai,
Danyangsuli menjatuhkan beberapa totokan di tubuh
Pendekar Bodoh. Dan, Pendekar Bodoh pun tak dapat
menghindar karena pikirannya masih dikuasai ilmu
sihir wanita cantik itu....
***
DUA
MENDENGAR bisikan mesra yang dibarengi
sentuhan dan belaian lembut menggoda, tak kuasa
Seno menolak manakala Danyangsuli menanggalkan
pakaiannya. Dan..., tak kuasa pula ia menolak saat
wanita cantik itu memeluknya..., menciuminya..., serta
merebahkan tubuhnya di atas tilam berkain sutera.
"Seno.... Seno...," sebut Danyangsuli di antara
dengus nafasnya yang memburu. "Ayolah, Seno. Kelua-
rkan seluruh tenagamu...."
"Ya! Ya, Suli.... Kau cantik sekali. Aku tak akan
mengecewakanmu...," sambut Seno. Gelegak hasratnya
semakin bergelora.
Murid Dewa Dungu itu mendekap erat tubuh
polos Danyangsuli. Dan..., Danyangsuli pun membalas
dekapan seraya mendaratkan ciuman lebih ganas.
Kamar indah bertabur warna biru laut yang
mereka tempati segera dipenuhi suara desahan napas
dan rintihan manja. Seno dan Danyangsuli saling ber
tukar kemesraan.
Namun tanpa disadari oleh Seno..., semakin dia
mengempos tenaga, semakin cepat inti kekuatan tu-
buhnya terhisap. Hingga lama-kelamaan, Seno mera-
sakan tubuhnya amat lemah. Lalu di lain kejap, dia
tak dapat menggerakkan tubuhnya lagi. Dia pun jatuh
menggelosoh ke lantai dingin, bagai selembar kain tak
berharga!
Sementara, Danyangsuli yang masih terbaring
di tilam tampak tersenyum puas. Bola matanya berbi-
nar-binar saat bangkit.
Tanpa mempedulikan keadaan tubuhnya yang
tak tertutup selembar benang, wanita berwajah cantik
jelita itu menatap tubuh lemah Pendekar Bodoh yang
tergolek telentang di lantai. Sinar mata si pemuda telah
redup. Inti kekuatan tubuhnya telah terhisap habis
oleh Danyangsuli. Itu berarti seluruh ilmu kesaktian
Pendekar Bodoh turut lenyap!
"Ha ha ha...!" tawa gelak Danyangsuli. "Sung-
guh malang nasibmu, Seno. Seluruh inti kekuatan tu-
buh-mu telah pindah ke tubuhku. Kini, dirimu tak le-
bih berharga dari seonggok sampah! Ha ha ha...!"
"Danyangsuli...," sebut Seno, pelan sekali. "Ke-
napa... kenapa kau tega.... Apa salahku...?"
"Salahmu? Hmmm.... Hanya satu kesalahanmu
sehingga aku bisa berlaku seperti ini terhadapmu. Ke-
salahanmu adalah karena kau bodoh! Ha ha ha...!"
"Iblis kau, Danyangsuli!"
"Aku iblis? Boleh! Boleh saja kau sebut begitu.
Aku memang iblis! Ha ha ha...! Iblis yang amat pandai
dalam memanfaatkan kebodohanmu! Ha ha ha...!"
"Keparat! Terkutuk kau, Danyangsuli! Masih
banyak tugas yang harus kuselesaikan.... Kembalikan
inti kekuatan tubuhku!"
"Tugas? Tugas apa? Jika ilmu kesaktianmu te-
lah musnah, tak ada lagi yang dapat kau perbuat. Ti-
dak percaya? Bangkitlah! Kalau kau mampu, akan ku
turuti permintaanmu. Akan kukembalikan inti kekua-
tan tubuhmu...."
"Be... benarkah itu? Jangan ingkar janji...!"
Danyangsuli cuma tersenyum.
Bergegas Seno menghimpun tenaganya yang
masih tersisa. Dia mencoba bangkit. Tapi..., untuk
menggerakkan jari-jari tangannya saja dia tak mampu!
"Ha ha ha...!" tertawa lagi Danyangsuli. "Bagai-
mana, Seno? Masihkah kau berniat untuk menyelesai-
kan tugas-tugasmu?"
"Jahanam kau, Danyangsuli! Kau... kau bina-
tang terkutuk!" maki Seno, penuh kebencian.
Ingin rasanya dia memecahkan batok kepala
Danyangsuli. Ingin rasanya dia mencabik-cabik tubuh
wanita jahat itu. Namun..., keinginannya hanya tinggal
keinginan. Kalau menggerakkan jari-jari tangan saja
tak mampu, apalagi membunuh Danyangsuli yang ten-
tunya mempunyai ilmu kesaktian hebat!
Setidaknya untuk saat itu!
Maka, yang dapat dilakukan Seno hanyalah
merutuk, menyumpah, dan mencaci-maki Danyangsu-
li. Sampai akhirnya, dia pun merutuk kebodohannya
sendiri. Dia menyesal dan benar-benar amat menyesal.
Tapi, nasi telah menjadi bubur. Apa guna penyesalan
kalau semuanya telah terjadi?
"Seno...," sebut Danyangsuli kemudian. "Dalam
keadaan seperti itu, aku tahu kau sangat menderita.
Aku ingin menawarkan jasa baik kepadamu, Seno. Aku
akan melepaskan dirimu dari penderitaan. Bersedia-
kah kau?"
"Jahanam! Jangan bermanis mulut lagi! Aku
muak melihat tampangmu! Pergi kau!" umpat Seno.
"Hmmm... Bodoh benar kau! Aku benar-benar
ingin melepaskan dirimu dari penderitaan!"
"Jangan membual!"
"Aku tidak membual! Dengar baik-baik! Aku
memang ingin melepaskan dirimu dari penderitaan.
Dan, jalan satu-satunya untuk melepaskan dirimu dari
penderitaan itu adalah membunuhmu!"
"Membunuhku?" kejut Seno. Nanar pandan-
gannya menatap sosok Danyangsuli yang seakan telah
berubah wujud menjadi makhluk amat menyeramkan.
"Ya!" angguk Danyangsuli. Begitu yakin ahli si-
hir itu mengucapkan perkataannya. Oleh karenanya,
tatapan Seno semakin nanar. Bayangan kematian yang
amat mengenaskan segera berkelebatan di pelupuk
matanya.
"Jangan! Aku masih ingin hidup! Aku masih
muda! Masih banyak yang bisa kuperbuat!" teriak Se-
no, mencetuskan ketakutannya.
"Benar apa yang kau katakan. Memang masih
banyak yang bisa kau perbuat. Tapi..., justru karena
itulah aku tak mau di kelak kemudian hari, kau men-
jadi duri dalam hidupku! Maka, amatlah tepat bila aku
mengambil keputusan untuk mencabut nyawamu!
Bersiap-siaplah untuk mati, Seno! Semoga kau dapat
menerima kematianmu dengan ikhlas...."
Di ujung kalimatnya, Danyangsuli mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke tangan kanan. Di lain kejap,
telapak tangannya telah berubah warna menjadi me-
rah menyala-nyala. Hawa panas menebar ke seluruh
ruangan. Pendekar Bodoh yang sudah tak punya ke-
kuatan lagi merasakan tubuhnya bagai digodok di
tungku pembakaran!
"Jangan! Jangan bunuh aku!" pinta Seno dengan bola mata melotot. Semakin menjadi-jadi rasa ta-
kutnya.
Tapi..., Danyangsuli yang sudah dikuasai nafsu
membunuh mana mau mendengarkan permintaan
pemuda remaja itu. Sambil tersenyum penuh keme-
nangan, Danyangsuli menghadapkan telapak tangan
kanannya ke wajah Seno. Sesaat, mulutnya mengelua-
rkan suara menggerendeng. Lalu....
"Mati kau...!" seru wanita bertubuh sintal mon-
tok itu seraya menghentakkan telapak tangannya ke
depan.
Wusss...!
Seberkas sinar merah yang amat panas luar bi-
asa, melesat ke arah Seno. Dan..., nyawa si pemuda
pun tampaknya akan segera dijemput ajal karena tak
ada lagi yang bisa dilakukannya, kecuali menjerit seke-
ras mungkin....
"Jangannn...!"
Blarrr...!
Jeritan Pendekar Bodoh yang sangat panjang
dan menyayat hati segera tertelan ledakan dahsyat.
Seberkas sinar merah yang melesat dari telapak tan-
gan Danyangsuli tepat menerpa dadanya. Dan..., ta-
matlah riwayat pemuda lugu itu dengan tubuh hancur-
lebur menjadi setumpuk abu!
* * *
Melonjak kaget Seno bagai tersambar petir. Ma-
tanya nanar memandang keadaan di sekelilingnya. Me-
lihat dinding-dinding cadas yang kasar bertonjolan, ta-
hulah dia bila dirinya berada di dalam gua.
"Ya, Tuhan.... Apa yang telah terjadi?" Murid
Dewa Dungu itu mencubit lengannya sendiri beberapa
kali. Sakit! Berarti dia masih hidup! Namun, dia belum
percaya benar pada kenyataan itu. Dia tekap dada ki-
rinya. Jantungnya masih berdetak. Ditariknya napas
panjang. Ada hawa sejuk yang mengalir ke sekujur tu-
buhnya. Dia benar-benar masih hidup!
"Ya, Tuhan...," sebut Seno lagi. "Mimpi buruk!
Mimpi buruk! Aku habis mimpi buruk.... Tapi, mimpi
itu benar-benar seperti kenyataan! Oh, benar-benar
mengerikan!"
Sambil tetap duduk mendeprok di lantai gua
yang dingin, Seno mengedarkan pandangan sekali lagi.
Ingatannya melayang ke kejadian yang baru diala-
minya.
"Malam begitu dingin.... Aku mendengar Silasa-
ti berbicara dengan Bancakluka. Aku keluar dari ka-
mar karena Silasati disuruh Kakek Bancakdulina un-
tuk menjemputku...," gumam si pemuda. "Aku mendu-
ga Kakek Bancakdulina memang membutuhkan ban-
tuanku. Oleh karenanya, malam itu juga aku pergi
bersama Silasati. Tapi ternyata, Silasati tidak disuruh
Kakek Bancakdulina. Ada seorang wanita cantik yang
sengaja menunggu kedatanganku bersama Silasati di
dekat Puri Dewa Langit. Wanita itu mengaku bernama
Danyangsuli dan bergelar Ratu Sihir Tercantik. Ada
seorang pemuda yang berdiri di dekatnya. Tubuh pe-
muda itu kaku kejang seperti kena totok. Namun ke-
mudian, Danyangsuli memulihkan keadaannya. La-
lu..., pemuda itu pergi bersama Silasati. Dan, tinggal-
lah aku bersama Danyangsuli...."
Sampai di situ gumaman Pendekar Bodoh ter-
henti. Ditariknya napas panjang berulang kali. Setelah
terlongong bengong beberapa saat, dia berkata-kata la-
gi seorang diri.
"Dari sinar matanya, aku tahu wanita itu me
nyimpan maksud tak baik terhadapku. Dia menggoda-
ku dengan memperlihatkan bagian tubuhnya yang ter-
larang. Aku sempat terpana dan darahku pun berdesir
aneh. Namun kemudian, aku menjadi muak dan jijik
melihat perlakuan wanita itu. Aku pergi meninggal-
kannya. Tapi tiba-tiba, tubuhku terasa limbung..., dan
aku tak ingat apa-apa lagi. Dia telah membawaku ke
tempat ini...."
Setelah menghapus peluh di wajahnya, pemuda
lugu itu merapikan pakaiannya yang kedodoran. Na-
mun mendadak, dia terkesiap.
"Astaga! Tongkat Dewa Badai-ku lenyap!" se-
runya.
Walau telah memutar pandangan dan mencari-
cari di beberapa tempat, Seno tetap tak dapat mene-
mukan senjata andalannya. Maka, menggeram marah-
lah dia teringat akan sosok Danyangsuli yang telah
memasang perangkap terhadapnya.
"Pasti wanita itu yang membawa senjataku!" pi-
kir Seno. "Aku harus cepat keluar dari tempat ini. Aku
harus merampas kembali senjataku sebelum dia
menggunakannya untuk tujuan tak baik!"
Karena desakan rasa khawatir, Seno meloncat
mengikuti jalan di lorong gua. Namun tanpa diketa-
huinya, ada sebentuk benteng gaib yang menahan lun-
curan tubuhnya. Hingga....
Jder...!
"Argh...!"
Diiringi suara ledakan seperti genderang dipu-
kul keras, tubuh Seno terpental balik lalu jatuh bergu-
lingan di lantai gua. Walau tak mendapat cedera berar-
ti, tak urung sekujur tubuhnya terasa amat sakit, teru-
tama kepalanya yang sempat membentur lantai gua
yang keras.
"Hmmm.... Rupanya, Danyangsuli menutup lo-
rong gua ini dengan kekuatan sihirnya." tebak Seno.
"Dan tampaknya, benteng gaib itu amat kuat. Aku tak
tahu bagaimana cara mendobraknya.... Tapi, aku ha-
rus cepat keluar dari tempat ini!"
Meskipun rasa pening di kepalanya masih be-
lum lenyap, Seno memaksakan diri untuk berpikir ke-
ras. Dia tak paham ilmu sihir. Oleh karenanya, pemu-
da berpakaian biru-biru itu cuma dapat duduk terme-
nung beberapa lama.
"Ah! Kalau cuma duduk diam, sampai mati aku
akan tetap terkurung di tempat ini. Kenapa tak ku co-
ba mendobrak benteng gaib itu dengan 'Pukulan Inti
Dingin'?" cetus Seno kemudian.
Tanpa pikir panjang, pemuda berambut pan-
jang tergerai itu mengalirkan kekuatan tenaga dalam-
nya ke tangan kanan. Hingga di lain kejap, pergelan-
gan tangan kanannya telah berubah warna menjadi
kuning keemasan. Hawa dingin menebar. Dan, hawa
dingin itu semakin terasa saat Seno melancarkan pu-
kulan jarak jauhnya!
Wusss...!
Blarrr...!
Terkejut tiada terkira Seno. Pukulan jarak
jauhnya terpental balik, tak mampu mendobrak atau-
pun menjebol benteng gaib ciptaan Danyangsuli!
Bergegas Seno menjatuhkan tubuhnya ke dekat
dinding gua sebelah kiri, karena lapisan salju kuning
keemasan meluruk ke arahnya. Saat itu juga, seluruh
ruangan gua nyaris tertutup lapisan salju wujud dari
'Pukulan Inti Dingin' Seno. Akibatnya, hawa dingin be-
nar-benar terasa menusuk tulang. Lebih dingin dari
hawa udara di kutub selatan sekalipun!
"Untung aku tak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamku. Kalau itu kulakukan, tamatlah
riwayatku sampai di sini...," gumam Seno.
Benar kata hati pemuda lugu itu. Andai tadi dia
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, ben-
teng gaib ciptaan Danyangsuli tetap tak akan dapat di-
dobrak ataupun dijebol. Pukulan jarak jauh Seno ju-
stru akan membahayakan keselamatannya sendiri.
Tampak kemudian, pemuda remaja berparas
tampan itu duduk terpuruk sambil cengar-cengir. Tapi
setelah merasakan hawa dingin yang hendak membe-
kukan cairan darahnya, cepat dia keluarkan ilmu
'Pukulan Inti Panas'. Dari pergelangan tangan kirinya
yang berubah warna menjadi putih berkilat menebar
hawa panas. Lapisan salju langsung lenyap tanpa be-
kas. Hawa dingin pun tak lagi menyerang!
"Tak ada persoalan yang tak dapat dipecahkan.
Pasti ada jalan untuk keluar dari tempat ini. Aku ha-
rus mencari jalan itu!" Seno membulatkan tekadnya.
Jari-jari tangan pemuda lugu itu bergerak un-
tuk memeriksa dinding gua. Namun, keningnya segera
berkerut rapat karena ada sesuatu yang membuatnya
heran.
"Aneh!" desisnya. "Telapak tanganku tak dapat
menyentuh dinding gua ini. Telah ku dorong sekuat
tenaga, tapi tetap saja dinding ini tak tersentuh. Ru-
panya, aku telah terkurung benteng gaib yang tercipta
dari ilmu sihir Danyangsuli!"
Tak mau putus asa, Seno berjalan ke sana-sini.
Terus mencari jalan keluar. Tapi, berulang kail dia me-
rutuk kesal. Tak ada jalan keluar yang dapat ditemu-
kannya. Benteng gaib Danyangsuli benar-benar telah
mengurung ruangan gua yang ditempati Seno!
Hingga di lain kejap, Pendekar Bodoh terlihat
duduk mendeprok sambil terus cengar-cengir. Tangan
kanannya terangkat lalu menggaruk-garuk kepalanya
yang tak gatal....
"Mati aku!" desisnya.
***
TIGA
PAGI rebah mengantar terang. Kicau burung
dan gemercik suara aliran sungai adalah nyanyian
alam yang tiada bandingnya. Lembut mempesona,
mengelus gendang telinga. Ditambah marak sinar men-
tari yang menyiram hangat, anugerah Yang Kuasa be-
nar-benar terasa sampai ke relung jiwa.
Tapi bukan karena sedang menikmati suasana
pagi yang memang layak untuk dinikmati kalau wanita
itu sengaja berlama-lama merendam tubuhnya di anak
Sungai Simandau. Dengan rambut basah terurai, dia
tampak tersenyum-senyum seorang diri. Tatapan ma-
tanya tertuju ke Bukit Silambar yang samar-samar ter-
lihat dari balik rimbunan daun pohon yang tumbuh di
tepi aliran sungai.
Bukan pula karena memikirkan keelokan bukit
itu kalau dia juga tak pernah mengalihkan pandan-
gannya walau sekejap. Ya! Dia memang tengah mela-
munkan sesuatu yang membuat hatinya begitu gembi-
ra. Pendekar Bodoh-lah yang menjadi buah lamunan-
nya!
"Seno Prasetyo telah kusekap dalam 'Benteng
Sihir Mengurung'. Kecuali aku sendiri, tak akan ada
orang lain yang dapat membebaskannya...," kata hati
wanita berkulit kuning langsat yang tak lain Danyang-
suli. "Hmmm.... Keinginanku akan segera tercapai.
Tinggal menunggu saja. Ketika hari telah jatuh dalam
dekapan malam, inti kekuatan tubuh pemuda itu akan
kuhisap sampai habis! Ha ha ha...!"
Danyangsuli tertawa bergelak. Air sungai yang
jernih memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang
bergoyang-goyang terbawa desakan irama tawa. Timbul
gelombang kecil di permukaan air. Gelombang itu
membesar saat Danyangsuli menggerak-gerakkan ke-
dua tangannya.
Namun tak lama kemudian, wajah wanita ber-
tubuh amat menggiurkan itu berubah menegang ga-
rang. Sorot matanya yang semula berbinar terang be-
rubah tajam menusuk. Indera pendengarannya yang
cukup tajam menangkap langkah kaki orang!
"Hmmm.... Menilik langkahnya yang lebar dan
pijakannya yang berat, aku tahu dia seorang lelaki. Be-
rani benar dia mengusik ketenanganku. Kalau dia sen-
gaja ingin mengintipku, berarti dia manusia yang telah
bosan hidup! Aku pun tak akan segan mencabut nya-
wanya. Biar orang lain semakin tahu, aku tak bisa di-
buat main-main!"
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas Da-
nyangsuli menenggelamkan tubuhnya seraya berenang
menepi. Dia bermaksud mengambil pakaiannya yang
diletakkan di tepi sungai. Tapi walau dia telah menye-
lam untuk menyembunyikan diri, tubuh telanjangnya
tetap terlihat. Air Sungai Simandau terlalu bening un-
tuk dapat menyembunyikan kemolekan tubuh wanita
berusia tiga puluh tahun itu. Saat menyelam, tetap sa-
ja terlihat sebuah pemandangan yang benar-benar
akan sanggup meruntuhkan iman siapa pun lelaki
yang melihatnya!
Dan... saat muncul di permukaan air, tak dapat
lagi digambarkan betapa terkejutnya Danyangsuli.
Terdesak hawa amarah, bola matanya langsung melo-
tot dan tampak berkilat-kilat.
Di dekat pakaian Danyangsuli yang menumpuk
di atas batu, tampak seorang lelaki yang tengah duduk
bersila. Sikap lelaki itu menunjukkan bahwa dia sen-
gaja menunggu kedatangan Danyangsuli!
Dia seorang pemuda berparas cukup tampan.
Berambut ikal panjang. Tubuhnya yang tegap terbung-
kus pakaian hitam-hitam.
Dia Sasak Padempuan! (Tentang tokoh ini, si-
mak kembali serial Pendekar Bodoh dalam episode :
'Sengketa Ahli Sihir").
"Jahanam! Apa yang kau lakukan di sini, Pa-
dempuan?!" tegur Danyangsuli, keras menggelegar.
"Tahan hawa amarahmu dulu, Suli...," sahut
Sasak Padempuan, tenang. "Sengaja aku mendatangi-
mu di tempat ini karena ada sesuatu yang harus kubi-
carakan denganmu."
"Tapi..., sungguh tidak pada tempatnya bila kau
menungguku ketika aku dalam keadaan seperti ini,
bukan?" tegur Danyangsuli lagi, duduk mendeprok di
dalam air. Namun, tubuh bagian atasnya tetap saja
terlihat dengan jelas.
"Jangan berlagak sok alim, Suli...," cibir Sasak
Padempuan. "Aku tahu siapa dirimu. Bagaimanapun,
kita pernah menjadi sepasang kekasih. Kita pernah
menikmati kebahagiaan bersama-sama. Oleh kare-
nanya, tak perlu kau bersikap ketus macam itu. Kau
bukan gadis belia yang akan marah ketika tubuh te-
lanjangnya diintip orang. Tubuhmu memang amat
menggiurkan, Suli. Tapi, aku datang bukan untuk
mengintip ataupun mencoba menikmati keindahan tu-
buhmu itu. Ada sesuatu yang memang harus kubica-
rakan denganmu. Segeralah naik. Kenakan pakaian
mu...."
Sasak Padempuan tak mempedulikan tatapan
Danyangsuli yang semakin tajam. Tenang-tenang saja
dia memungut pakaian yang menumpuk di hadapan-
nya. Pakaian itu langsung dilemparkannya ke arah
Danyangsuli.
Tak mau pakaiannya tercebur ke dalam air,
Danyangsuli merentangkan tangannya untuk me-
nyambut. Sambil menahan hawa amarahnya yang nya-
ris meledak, bergegas dirinya naik ke tepian. Cepat dia
kenakan pakaiannya. Sasak Padempuan tetap duduk
bersila di tempatnya. Matanya tak lepas memandang
apa yang tengah dilakukan wanita cantik itu.
"Kurang ajar kau, Padempuan!" geram Da-
nyangsuli setelah mengenakan pakaiannya. "Apa kau
sudah bosan hidup, heh? Masa lalu kita hanya tinggal
masa lalu. Tidak ada hubungan apa-apa lagi di antara
kita, Padempuan! Segera enyah kau dari hadapanku!"
"Hmmm.... Di saat dirimu kuat, kau bisa berka-
ta ketus terhadapku. Apa kau lupa bila kau pernah
merengek dan mengemis cinta terhadapku, Suli?" ser-
gap Sasak Padempuan, tetap tenang. "Nyiur melambai-
lah elok dipandang mata. Buahnya enaklah jua bila di-
rasa. Walau amarah telah sesakkan dada. Hendaklah
ingat cita-cita dibawa ke mana."
"Memanglah enak buah kelapa muda. Panaslah
siang hari kan sirna, berkat seteguk air di dalam
buahnya. Siapa yang lupa pada cita-cita? Kalau kea-
daan telah memaksa, apalah guna dicapai berdua?"
"Bagus benar kata-katamu itu, Suli?" sindir Sa-
sak Padempuan. "Aku mencuri Kitab Palanumsas se-
benarnya bukan untuk tujuan pribadiku sendiri, me-
lainkan untuk dirimu juga. Tapi setelah usahaku gag-
al, kenapa kau hendak mencampakkan diriku? Para
sesepuh Suku Asantar memang telah memusnahkan
kekuatan sihir ku. Aku memang telah tak punya ke-
mampuan apa-apa lagi. Tapi, tidaklah kau tahu jika
aku masih punya otak yang masih bisa digunakan un-
tuk berpikir? Aku bukan sepah tebu yang mesti di-
buang setelah hilang sari manisnya...."
"Tak perlu banyak cakap, Padempuan!" sergap
Danyangsuli yang tampak lebih elok dengan pakaian
merah gemerlapnya. "Tidakkah kau sayang pada nya-
wamu? Bila ada orang yang memergokimu berada di
tempat ini, kemungkinan besar kau akan dihadapkan
ke Pengadilan Agung lagi. Kau akan dihukum mati!
Bukankah kau telah dijatuhi hukuman buang oleh pa-
ra sesepuh suku? Kau tak boleh dekat-dekat lagi den-
gan Perkampungan Suku Asantar! Cepat katakan apa
maumu! Dan, cepat pula enyah dari hadapanku! Aku
tak mau turut menanggung getah dosa-dosamu, Pa-
dempuan!"
"Tega benar kau berkata seperti itu, Suli...," de-
sah Sasak Padempuan. "Aku memang orang terbuang.
Tapi, jauh di lubuk hatiku, aku ingin mengembalikan
harkat dan martabatku sebagai keturunan Umpak Pa-
dempuan. Aku ingin membalas semua perbuatan war-
ga suku yang berulang kali telah menghina dan amat
melecehkan diriku! Jauh di lubuk hatiku pula, aku in-
gin mengembalikan nama besar Umpak Padempuan!"
"Hmmm.... Kau ingin menjadi baulau, Padem-
puan?"
"Begitulah...."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Danyangsuli
yang biasa memperkenalkan dirinya sebagai Ratu Sihir
Tercantik. "Walau kau keturunan Umpak Padempuan
yang boleh dikata cikal-bakal keberadaan Suku Asan-
tar, tidakkah kau berpikir siapa dan bagaimana keadaanmu sekarang ini? Tak ada warga Suku yang me-
nyukaimu, apalagi mendukung dan mencalonkanmu
sebagai baulau. Tidak pula kau punya kekuatan yang
bisa diandalkan untuk menduduki jabatan sebagai
baulau!"
"Justru karena itulah aku datang ke hadapan-
mu, Suli...," cetus Sasak Padempuan, penuh pengha-
rapan.
Walau dia amat tersinggung mendengar suara
tawa dan perkataan Danyangsuli, tak hendak dia me-
nuruti hati panas. Karena memang dia amat membu-
tuhkan bantuan wanita itu. Kalau keinginannya telah
terpenuhi, bolehlah nanti dia membuat urusan tersen-
diri. Begitulah isi hati Sasak Padempuan.
"Apa maksudmu sebenarnya, Padempuan?!"
bentak Danyangsuli tiba-tiba.
"Aku ingin meminta bantuanmu, Suli," sahut
Sasak Padempuan, beranjak bangkit menghampiri.
"Bantuan itu tidak terlalu menyusahkan dirimu. Aku
yakin kau pasti bersedia memenuhinya...."
Danyangsuli diam. Tapi lewat tatapan matanya,
jelas bila wanita cantik itu menunggu Sasak Padem-
puan melanjutkan perkataannya.
"Suli...," sebut Sasak Padempuan dengan lem-
but. "Aku tahu..., sampai saat ini ilmu sihirmu adalah
yang terhebat. Karena, kau memiliki cincin mustika
bernama 'Permata Kelelawar Dewa'...."
Seperti diingatkan, perlahan Danyangsuli men-
gangkat tangan kanannya. Ditatapnya sejenak cincin
hitam bercupu kelelawar yang melingkar di jari ten-
gahnya.
"Aku mohon, Suli, gunakan daya gaib cincinmu
itu untuk mengembalikan kekuatan ilmu sihir ku...,"
pinta Sasak Padempuan.
Tetap diam Danyangsuli. Tatapannya beralih ke
wajah tampan Sasak Padempuan yang menyiratkan
berjuta pengharapan.
"Sekali ini saja, Suli. Sungguh aku sangat
mengharapkan uluran tanganmu...," pinta Sasak Pa-
dempuan, mengiba.
"Kalau aku menolak?" tanya Danyangsuli, ter-
senyum sinis.
"Perkataanmu tak menyiratkan isi hatimu, Suli.
Aku tahu siapa dirimu."
"Kau yakin?"
"Yakin sekali. Sejak dulu aku yakin dan per-
caya benar, kau tak akan pernah mengecewakan aku.
Seperti apa yang kulakukan kepadamu sejak dulu, aku
juga tak pernah mengecewakanmu...."
"Ha ha ha...!" mendadak Danyangsuli tertawa
bergelak-gelak, keras sekali. "Keyakinan sering kali
membuat orang jadi nekat. Kalau orang sudah nekat,
mana dapat orang berpikir dengan jernih? Namun...,
kau datang ke hadapanku tentu karena kau telah ber-
pikir dan menimbang. Ha ha ha...! Tapi, benarkah kau
yakin bila aku akan dapat mengembalikan kekuatan
sihirmu?"
"Yakin! Yakin sekali!" sahut Sasak Padempuan,
tegas.
Danyangsuli menatap tajam wajah pemuda
berpakaian hitam-hitam itu. Lalu, dia tertawa bergelak
lagi, lebih keras... dan lebih panjang berderai....
Namun mendadak, ahli sihir yang juga pandai
ilmu tenung itu menghadapkan cincin 'Permata Kele-
lawar Dewa'-nya ke tubuh Sasak Padempuan. Si pe-
muda melonjak girang dalam hati karena menyangka
Danyangsuli akan menuruti permintaannya. Tapi
alangkah terkejutnya dia manakala....
"Tiupan angin puling beliung datang. Tubuh
Sasak Padempuan terhisap dan terlontar ke puncak
Bukit Silambar. Hom asantamas hawarnas... sam-
las...!" seru Danyangsuli.
Saat itu juga muncul tiupan angin puting be-
liung. Sasak Padempuan hanya dapat memekik parau
saat tubuhnya terhisap masuk ke putaran angin ganas
itu. Hanya dalam satu kejap mata, tubuh si pemuda
telah terbawa melayang tinggi dan terlontar jauh ke
puncak Bukit Silambar!
* * *
Kemauan keras untuk dapat terus hidup mem-
buat Sasak Padempuan tak sampai jatuh pingsan, wa-
lau rasa sakit merejam sekujur tubuhnya. Putaran an-
gin puting beliung membuat tubuh si pemuda berpu-
tar-putar terhisap, dan terhempas mengikuti ke mana
angin itu membawanya.
Bukan saja tulang-belulangnya terasa telah
hancur berantakan, Sasak Padempuan juga merasa-
kan kepalanya amat pening bagai dipukuli palu go-
dam. Namun, semangat hidup pemuda itu benar-benar
bagai api yang terus menyala, sehingga membuatnya
dapat mempertahankan kesadarannya.
Meski samar-samar Sasak Padempuan dapat
melihat bagaimana keadaan puncak Bukit Silambar
yang akan segera menyambut luncuran tubuhnya.
Puncak bukit yang terletak cukup jauh dari perkam-
pungan Suku Asantar itu dipenuhi bongkah-bongkah
batu besar. Kalau tidak tersangkut di dahan pohon,
pastilah tubuh Sasak Padempuan akan hancur beran-
takan bila jatuh di tanah berbatu-batu itu!
Menyadari nasibnya yang akan segera dijemput
ajal, tak dapat lagi Sasak Padempuan menahan diri.
Dengan bola mata terbelalak lebar, berteriaklah dia se-
kuat tenaga. Maka diiringi deru angin puting beliung
ciptaan Danyangsuli, terdengar jeritan Sasak Padem-
puan yang keras parau.
Satwa-satwa yang berada di puncak Bukit Si-
lambar terkejut. Mereka lari lintang pukang seakan
merasakan badan bukit hendak meledak.
"Jahanam kauuuu, Danyangsuli...!" jerit Sasak
Padempuan saat tubuhnya hampir terbanting jatuh di
atas lempengan batu besar.
Mengetahui nyawanya yang tak mungkin terto-
long lagi, Sasak Padempuan memejamkan matanya ra-
pat-rapat. Tapi saat pandangannya tertutup kegelapan,
mendadak dia merasakan tubuhnya amat ringan, dan
memang terasa amat ringan. Gemuruh suara putaran
angin puting beliung tak terdengar lagi. Berarti, kekua-
tan angin itu telah lenyap pula!
Namun demikian, Sasak Padempuan belum be-
rani membuka kelopak matanya. Satu tarikan napas,
dua tarikan napas..., dia menunggu. Tiga tarikan...,
bahkan sampai tarikan napas ketujuh dia terus me-
nunggu dengan hati berdebar-debar tak karuan. Ta-
pi..., tubuhnya tak juga jatuh di atas lempengan batu!
Merasakan keganjilan itu, tanpa pikir panjang
Sasak Padempuan membuka kelopak matanya. Dan...,
terkejutlah dia melihat tubuhnya sendiri yang tengah
mengambang di udara!
"Astaga!" seru si pemuda, menyimpan rasa gi-
rang di hati.
Bola mata pemuda berkulit sawo matang itu
langsung berbinar. Perlahan, dia merasakan tubuhnya
melayang turun..., lalu mendarat di lempengan batu
tanpa cedera sedikit pun!
"Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?" seru si
pemuda lagi, memutar pandangan ke sana-sini.
Beberapa kali ditariknya napas panjang. Den-
gan penuh perasaan lega, dia meloncat turun dari lem-
pengan batu tempat tubuhnya mendarat.
Tak lama kemudian, pemuda itu tampak duduk
terpuruk memikirkan peristiwa yang baru dialaminya.
"Dua kali aku mengalami peristiwa aneh ini...,"
desis Sasak Padempuan. "Pertama, ketika para sese-
puh suku membuang tubuhku dari perkampungan
Suku Asantar. Tubuhku melayang lalu mendarat di
lempengan batu itu juga. Aku tak mendapat cedera
apa-apa. Dan kini..., hal itu terulang lagi. Untung kali
ini pun aku tak mati karena ulah Danyangsuli. Apakah
lempengan batu itu mengandung kekuatan gaib yang
dapat menyelamatkan jiwaku?"
"Benar!"
Terdengar suara menyahuti ucapan Sasak Pa-
dempuan.
Tentu saja Sasak Padempuan terkejut. Ketika
menoleh ke belakang, ternyata tak jauh darinya telah
berdiri seorang wanita cantik berpakaian merah gemer-
lap. Wanita berkulit kuning langsat dan bertubuh amat
menggiurkan itu berdiri sambil menyungging senyum
manis di bibir. Dia Danyangsuli!
"Benar dugaanmu, Padempuan...," ujar Da-
nyangsuli, menyambung ucapannya tadi. "Lempengan
batu itu memang telah kuisi kekuatan gaib. Kekuatan
itulah yang membuat tubuhmu dapat mendarat tanpa
mendapat cedera."
"Jahanam kau, Danyangsuli!" bentak Sasak
Padempuan, tak percaya pada ucapan si wanita. "Jan-
gan membual! Kau baru saja berniat membunuhku.
Siapa yang mau percaya pada ucapanmu?"
"Kau tak percaya? Boleh! Tapi sesungguhnya,
tanpa pertolonganku, mana mungkin kau bisa menghi-
rup udara segar dalam keadaan segar-bugar seperti
ini?"
Terdiam Sasak Padempuan. "Pada Pengadilan
Agung, para sesepuh suku sebenarnya hendak mem-
buangmu ke Teluk Balisang. Aku tahu rencana mereka
sebelum dilangsungkannya Pengadilan Agung. Oleh
karenanya, aku mengisi kekuatan gaib ke salah satu
lempengan batu di puncak bukit ini. Dan, kekuatan
gaib itu telah menahan luncuran tubuhmu manakala
tubuhmu terbuang oleh kekuatan ilmu sihir mereka,"
jelas Danyangsuli.
Tetap terdiam Sasak Padempuan. Mendengar
ucapan Danyangsuli yang kini tampak penuh kesung-
guhan, hatinya mulai percaya bila wanita itu memang
tak bermaksud buruk kepadanya.
"Andai tubuhmu benar-benar mendarat di Te-
luk Balisang, paling tidak tulang lengan atau kakimu
ada yang patah. Kalau memang umurmu masih ditak-
dirkan lebih panjang. Kalau tidak, yah hanya kematian
yang akan kau terima...," lanjut Danyangsuli.
"Lalu, kenapa di tepi Sungai Simandau tadi si-
kapmu begitu ketus dan tampak ingin membunuhku?"
tanya Sasak Padempuan, masih berusaha menyelidik.
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Danyangsuli.
"Apa kau lupa bila aku adalah Ratu Sihir Tercantik?
Begitulah caraku bercanda dengan seorang pemuda
yang menjadi tambatan hati! Ha ha ha...!"
"Huh! Keterlaluan kau, Suli!" sentak Sasak Pa-
dempuan, tapi jelas bila dalam hati dia tersenyum se-
nang.
"Sekarang sudah siapkah kau, Padempuan?"
tanya Danyangsuli kemudian.
"Siap apanya?" balik bertanya Sasak Padem-
puan.
"Bukankah kau menginginkan aku mengemba-
likan kekuatan ilmu sihirmu?"
"Oh! Betul! Aku siap! Siap sekali!"
"Hmmm.... Yah! Ketahuilah, para sesepuh suku
menyimpan kekuatan ilmu sihirmu di dalam sebuah
batu yang berada di muara Sungai Simandau."
"Aku harus mengambilnya dulu?"
Menggeleng Danyangsuli. "Tak perlu," katanya
seraya mengeluarkan sebutir batu berwarna kuning,
besarnya tak lebih dari biji kelereng. "Di sinilah kekua-
tan ilmu sihirmu tersimpan. Begitu Pengadilan Agung
selesai, aku langsung mengambilnya."
"Terima kasih. Terima kasih, Suli. Kau baik se-
kali...," desis Sasak Padempuan.
***
EMPAT
"SANGKUK...," sebut Bancakluka yang tengah
berbincang-bincang dengan Bancakdulina di serambi
depan rumahnya, "Aku benar-benar tak mengerti...,
ada maksud dan tujuan apa di balik peristiwa yang ba-
ru terjadi ini? Silasati hilang bersama Seno Prasetyo.
Sadeng Sabantar pun demikian. Apakah ada kemung-
kinan bila mereka berada di satu tempat? Mungkinkah
mereka tengah bersembunyi karena ada orang yang
bermaksud jahat?"
Bancakdulina menatap lekat wajah putra tung-
galnya itu. Sebagai seorang ayah, Bancakdulina dapat
merasakan adanya kesedihan dan rasa kehilangan di
balik ucapan Bancakluka. Tapi mau apa lagi? Telah dia
kerahkan hampir seluruh warga suku untuk mencari
Silasati. Seno Prasetyo, dan Sadeng Sabantar yang ti-
ba-tiba lenyap, namun daya upayanya itu tak membu-
ahkan hasil apa-apa. Silasati, Seno Prasetyo, dan Sa-
deng Sabantar tetap tak dapat ditemukan. Mereka le-
nyap bagai tertelan bumi!
"Sangkuk...," sebut Bancakluka lagi. "Apakah
Sangkuk punya gagasan lain untuk dapat menemukan
mereka? Kalau benar mereka bersembunyi karena
menghindari kejaran orang jahat, kita harus menge-
rahkan warga suku kita lagi, Sangkuk. Kita harus me-
nemukan mereka terlebih dulu. Kalau orang jahat itu
keburu menemukan mereka, mereka akan celaka...."
"Belum tentu...," sergap Bancakdulina. "Kalau
Silasati dan Sadeng Sabantar bersembunyi di satu
tempat, mungkin benar. Karena kemungkinan besar,
mereka saling mencinta dan tak mau melihat tali per-
tunanganmu dengan Silasati memutuskan tali cinta
mereka itu...."
"Apa yang Sangkuk katakan memang masuk di
akal. Tapi, bagaimana dengan Seno Prasetyo? Kenapa
dia turut menghilang? Apakah memang ada orang ja-
hat yang tidak suka melihat kehadirannya di Perkam-
pungan Suku Asantar ini? Dan, bermaksud mencela-
kakan pemuda itu?"
"Begitulah kira-kira. Menurut dugaanku, entah
didahului dengan peristiwa apa, Sadeng Sabantar dija-
dikan semacam sandera oleh seseorang yang punya
maksud tak baik terhadap Seno Prasetyo. Silasati yang
amat mencintai Sadeng Sabantar dipaksa untuk mem-
bawa Seno Prasetyo keluar dari rumah ini. Lalu setelah
Seno Prasetyo jatuh ke tangan orang jahat itu, Silasati
dan Sadeng Sabantar menjadi amat ketakutan karena
merasa bersalah telah menjerumuskan seorang tamu
terhormat macam Seno Prasetyo. Dan, karena rasa
bersalah itulah mereka tak berani menampakkan diri
di Perkampungan Suku Asantar ini. Yang merasa ke-
takutan itu terutama Silasati. Kalau dia muncul, bu-
kankah kau bisa mengorek keterangan dan memak-
sanya untuk bicara? Bukankah kau yang menjadi sak-
si perbuatan Silasati yang membawa pergi Seno Pra-
setyo?"
"Ya! Ya, aku bisa memahami jalan pikiran
Sangkuk," sahut Bancakluka. "Tapi bagaimanapun, ki-
ta tetap harus dapat menemukan mereka bertiga. Ka-
lau Silasati dan Sadeng Sabantar yang kita temukan
terlebih dulu, kita bisa mengorek keterangan dari me-
reka. Aku khawatir akan terjadi apa-apa terhadap Se-
no Prasetyo. Walau punya ilmu kesaktian tinggi, dia te-
ramat lugu sehingga amat mudah ditipu dan dikelabui
orang. Apalagi, dia sama sekali tak mengerti ilmu sihir.
Bagi seorang ahli sihir, amatlah mudah untuk menja-
tuhkan pemuda itu ke dalam jurang marabahaya...."
Terdiam sejenak Bancakdulina. Setelah berpi-
kir-pikir, akhirnya dia mengambil keputusan, "Kita
minta bantuan para sesepuh. Jika mereka mengga-
bungkan kekuatan ilmu sihir, aku yakin Seno Prasetyo
dan Silasati beserta Sadeng Sabantar akan dapat di-
temukan."
"Aku setuju dengan gagasan Sangkuk itu,"
sambut Bancakluka. "Tapi..., ada sesuatu yang harus
kutanyakan kepada Sangkuk...."
"Katakanlah...."
Menarik napas panjang Bancakluka. Lalu ka-
tanya, "Kemarin setelah selesainya Pengadilan Agung,
Sangkuk mengumumkan bahwa upacara pengangka-
tan baulau yang baru dimajukan. Kenapa harus begi
tu? Aku merasa belum siap, Sangkuk. Bukankah
Sangkuk tahu kalau ilmu sihir ku masih teramat ren-
dah? Aku khawatir ada pemuda lain yang menantang-
ku mengadu ilmu Sihir..."
"Kekhawatiranmu sama sekali tak beralasan,
Anakku...," sergap Bancakdulina dengan suara lembut.
"Segala sesuatunya telah kupertimbangkan dengan
masak. Aku telah memikirkan untung dan ruginya...."
"Maksud Sangkuk?" buru Bancakluka.
"Selama menduduki jabatan sebagai baulau,
aku telah membuka mata lebar-lebar. Ilmu sihir ke-
luarga kita menduduki urutan keempat. Urutan per-
tama diduduki oleh para sesepuh, yang memang tak
perlu kita ragukan lagi kemampuan mereka. Urutan
kedua diduduki oleh para ksatria. Namun sejak bebe-
rapa tahun yang lalu, para ksatria telah disumpah
bahwa mereka tak boleh mencalonkan diri sebagai
baulau. Tugas mereka hanya melindungi keamanan
dan ketenteraman Suku Asantar dari serangan atau
gangguan suku lain. Jadi, mereka bukan saingan. Kau
pasti tahu hal itu, Anakku. Boleh dibilang, akulah ksa-
tria terakhir Suku Asantar yang bisa menduduki jaba-
tan sebagai baulau...."
"Ya. Aku tahu. Sebelum Sangkuk menjadi bau-
lau, Sangkuk adalah seorang ksatria. Lalu, urutan
yang ketiga diduduki oleh siapa, Sangkuk?"
"Keturunan Umpak Padempuan."
"Ah! Dengan lenyapnya kekuatan ilmu sihir Sa-
sak Padempuan, bukankah tak ada lagi keturunan
Umpak Padempuan yang memiliki ilmu sihir hebat?"
"Mungkin kau benar. Keturunan Umpak Pa-
dempuan hanya tinggal Sasak Padempuan. Dan, pe-
muda itu pun sudah disambut kekuatan ilmu sihirnya
oleh para sesepuh suku. Tapi..., aku punya firasat
kuat. Kekuatan ilmu sihir Sasak Padempuan memang
telah dimasukkan ke sebutir batu yang berada di dasar
Sungai Simandau. Tapi, firasatku mengatakan bila Sa-
sak Padempuan akan dapat mengambil kembali keku-
atan ilmu sihirnya. Oleh karena itu, sebelum Sasak
Padempuan mendapatkan kembali kekuatan ilmu si-
hirnya, kau harus menjadi baulau terlebih dulu,
Anakku. Maka, terpaksa aku memajukan diri upacara
pengangkatanmu."
Mengangguk-angguk Bancakluka.
Pemuda tampan berumur dua puluh lima ta-
hun itu dapat memahami tindakan ayahnya. Tapi, ma-
sih ada satu hal yang menjadi beban pikirannya. Kalau
nanti dirinya benar-benar dapat diangkat menjadi bau-
lau atau kepala suku, siapa yang akan mendampin-
ginya? Siapa itu calon istrinya? Sementara, saat seka-
rang ini Bancakdulina ayahnya masih berkeras untuk
menjodohkan dirinya dengan Silasati. Padahal....
"Kenapa diam saja?" tegur Bancakdulina tiba-
tiba.
Bancakluka sempat menggerigap kaget. Tersa-
dar dari lamunannya.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Ya! Ya, tung-
gu apa lagi? Kita temui para sesepuh suku sekarang.
Jangan khawatir. Calon Istrimu itu akan dapat kita
temukan...."
Walau tebakan Bancakdulina kurang tepat,
Bancakluka bangkit dari tempat duduknya untuk se-
gera keluar rumah. Soal siapa yang akan menjadi is-
trinya bisa dipikirkan nanti. Yang lebih penting, Seno
Prasetyo dan Silasati beserta Sadeng Sabantar harus
ditemukan secepatnya!
* * *
Siang itu sinar mentari menyiram garang. Na-
mun demikian, Sasak Padempuan dan Danyangsuli
tak peduli pada sengatan panasnya yang terasa mem-
bakar. Mereka sama-sama dalam sikap semadi, saling
berhadapan dengan jarak sekitar tiga tombak. Semen-
tara, di hadapan Danyangsuli tergeletak sebutir batu
kecil berwarna kuning.
Ya! Danyangsuli memang tengah berusaha
mengembalikan kekuatan ilmu sihir Sasak Padem-
puan. Kekuatan ilmu sihir yang tersimpan di batu kali,
yang tergeletak di hadapan Danyangsuli itu, hendak
dimasukkan kembali ke tubuh si pemuda. Dan tam-
paknya, keinginan Sasak Padempuan akan segera
membuahkan hasil manakala....
Danyangsuli membuka kelopak matanya seraya
mendekatkan cincin 'Permata Kelelawar Dewa' ke batu
kuning yang berada di atas selembar daun waru.
"Dengan kekuatan cincin 'Permata Kelelawar
Dewa', daya gaib Sasak Padempuan yang tersimpan di
dalam batu ini akan kembali ke asalnya. Hom Asantar-
nas hawarnas... samlas...!" seru wanita berpakaian
merah gemerlap itu.
Mendadak, batu kuning di hadapan Danyang-
suli memancarkan sinar merah amat menyilaukan.
Pancaran sinar itu semakin lama semakin menebal be-
sar, lalu lepas dari batu kuning dan membentuk gum-
palan besar.
Wesss...!
"Wuahhh...!"
Memekik kesakitan Sasak Padempuan. Sinar
merah yang menerpa tubuhnya terasa amat panas luar
biasa. Kontan bola mata si pemuda melotot besar den-
gan tubuh bercucuran keringat.
"Cepatlah! Cepatlah, Suli! Aku tak tahan...!" seSiang itu sinar mentari menyiram garang. Na-
mun demikian, Sasak Padempuan dan Danyangsuli
tak peduli pada sengatan panasnya yang terasa mem-
bakar. Mereka sama-sama dalam sikap semadi, saling
berhadapan dengan jarak sekitar tiga tombak. Semen-
tara, di hadapan Danyangsuli tergeletak sebutir batu
kecil berwarna kuning.
Ya! Danyangsuli memang tengah berusaha
mengembalikan kekuatan ilmu sihir Sasak Padem-
puan. Kekuatan ilmu sihir yang tersimpan di batu kali,
yang tergeletak di hadapan Danyangsuli itu, hendak
dimasukkan kembali ke tubuh si pemuda. Dan tam-
paknya, keinginan Sasak Padempuan akan segera
membuahkan hasil manakala....
Danyangsuli membuka kelopak matanya seraya
mendekatkan cincin 'Permata Kelelawar Dewa' ke batu
kuning yang berada di atas selembar daun waru.
"Dengan kekuatan cincin 'Permata Kelelawar
Dewa', daya gaib Sasak Padempuan yang tersimpan di
dalam batu ini akan kembali ke asalnya. Hom Asantar-
nas hawarnas... samlas...!" seru wanita berpakaian
merah gemerlap itu.
Mendadak, batu kuning di hadapan Danyang-
suli memancarkan sinar merah amat menyilaukan.
Pancaran sinar itu semakin lama semakin menebal be-
sar, lalu lepas dari batu kuning dan membentuk gum-
palan besar.
Wesss...!
"Wuahhh...!"
Memekik kesakitan Sasak Padempuan. Sinar
merah yang menerpa tubuhnya terasa amat panas luar
biasa. Kontan bola mata si pemuda melotot besar den-
gan tubuh bercucuran keringat.
"Cepatlah! Cepatlah, Suli! Aku tak tahan...!" seru Sasak Padempuan, menahan rasa sakit yang benar-
benar merejam sekujur tubuhnya.
Danyangsuli menarik napas panjang dua kali.
Sedikit terkejut wanita cantik itu melihat Sasak Pa-
dempuan yang melonjak-lonjak kepanasan. Maka tan-
pa pikir panjang lagi, dia sorongkan cincin 'Permata
Kelelawar Dewa' ke arah pemuda itu seraya berseru....
"Daya gaib cincin 'Permata Kelelawar Dewa'
pasti sanggup mengalahkan gabungan kekuatan sihir
para sesepuh Suku Asantar. Saat ini juga kekuatan si-
hir Sasak Padempuan kembali ke tubuh pemiliknya.
Hom asantarnas hawarnas... samlas...!"
Kejadian lebih aneh segera terlihat. Gumpalan
sinar merah yang menyelubungi tubuh Sasak Padem-
puan tiba-tiba terpental tinggi ke udara. Saat masih
melayang, gumpalan sinar itu berubah bentuk menjadi
kerucut. Lalu..., bagian ujungnya yang lancip melesat
cepat sekali. Masuk ke tubuh Sasak Padempuan mela-
lui ubun-ubun!
Cusss...!
"Wuahhh...!"
Memekik parau lagi Sasak Padempuan.
Gumpalan sinar merah berbentuk kerucut ma-
suk perlahan ke tubuh Sasak Padempuan. Pada waktu
masuk itulah Sasak Padempuan merasakan siksaan
yang amat menyakitkan. Sekuat tenaga dia berusaha
menahan rasa sakit itu. Karena kalau dia tak tahan
dan sampai jatuh pingsan, maka sia-sialah usaha Da-
nyangsuli yang hendak mengembalikan kekuatan ilmu
sihirnya.
"Tahan, Padempuan! Sedikit lagi! Sedikit lagi!"
seru Danyangsuli, tetap menyorongkan cincin musti-
kanya ke arah Sasak Padempuan.
Tak ada yang dapat dilakukan Sasak Padem
puan kecuali menjerit-jerit dan melonjak-lonjak bagai
orang kesurupan. Namun tak lama kemudian, gumpa-
lan sinar merah lenyap. Masuk semuanya ke tubuh
Sasak Padempuan. Dan, Sasak Padempuan pun tak
lagi tersiksa oleh rasa sakit. Rasa sakit yang semula
merejamnya kini lenyap tanpa sisa. Bahkan, tubuhnya
malah terasa amat ringan dan segar bugar!
Angin yang berhembus di kala mentari bersinar
panas adalah anugerah yang tiada taranya. Sasak Pa-
dempuan menikmati benar hembusan angin itu. Ke-
ringat yang membanjiri tubuhnya lenyap perlahan.
Berkali-kali dia menarik napas lega. Rasa puas dan
gembira terpancar jelas di sorot matanya.
"Danyangsuli..., kau baik sekali...," ucap pemu-
da berambut ikal panjang itu.
Danyangsuli tak menjawab.
"Kau baik sekali, Suli. Katakan dengan apa aku
harus membalas budimu...," ucap Sasak Padempuan
lagi.
"Hmmm.... Kau tampak begitu yakin kalau ke-
kuatan ilmu sihirmu telah kau dapatkan kembali. Ti-
dakkah kau ingin mencobanya dulu...?"
"Oh! Ya! Ya! Aku memang perlu mencobanya!"
sahut Sasak Padempuan.
Dengan bola mata tetap berbinar, Sasak Pa-
dempuan mengarahkan pandangan ke lereng bukit.
Dia julurkan kedua tangannya seraya berkata....
"Aku ingin melihat kekuatan mana yang me-
nang apabila sebatang pohon dan sebongkah batu di-
adu. Hom asantarnas paranas... ramsas...!"
Di ujung kalimat pemuda berpakaian hitam-
hitam itu, sebongkah batu sebesar kerbau yang terge-
letak di lereng bukit tampak terangkat ke udara. Batu
gunung yang cukup keras itu lalu melesat dan membentur sebatang pohon bergaris tengah satu depa!
Wusss...!
Blarrr...!
Diiringi ledakan keras, batang pohon pecan
berkeping-keping. Pecahannya berhamburan ke berba-
gai penjuru. Sementara, daun-daunnya pun turut me-
nebar bagai siraman hujan. Dan, bongkah batu yang
menerpanya terlontar balik. Saat masih melayang di
udara, batu itu retak lalu pecah berkeping-keping pula!
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sasak Padem-
puan. "Kekuatan ilmu sihir ku telah kembali! Ha ha
ha...! Terima kasih! Terima kasih, Suli! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak, mendadak pemuda
bertubuh kekar itu berkelebat menerkam Danyangsuli.
Terkaman si pemuda amat cepat luar biasa, sehingga
Danyangsuli tak sempat menghindar.
"Uh! Apa yang hendak kau lakukan, Padem-
puan?!" tegur Danyangsuli, merasakan tubuhnya ter-
guling-gulling dalam dekapan Sasak Padempuan.
"Sebagai ucapan terima kasihku, aku ingin
memberikan kemesraan, Suli...," sahut si pemuda se-
raya melumat bibir Danyangsuli.
Danyangsuli pun menggelinjang manakala je-
mari tangan Sasak Padempuan bergerak nakal di ba-
gian tubuhnya yang terlarang. Sejenak, Danyangsuli
menikmati perlakuan Sasak Padempuan itu. Tapi sete-
lah ingat sosok Pendekar Bodoh, mendadak Danyang-
suli menepis dekapan Sasak Padempuan.
"Hentikan, Padempuan!" bentaknya seraya
mendorong sekuat tenaga.
"Ekh...!"
Hampir saja tubuh Sasak Padempuan terlontar
ke kaki bukit. Tapi dengan mengeluarkan ilmu perin-
gan tubuhnya, dia bersalto beberapa kali di udara. Setelah menjejak ranting pohon, dia melentingkan tu-
buhnya ke hadapan Danyangsuli.
"Kenapa... kenapa kau menolak, Suli...?" tanya
si pemuda, penuh rasa heran.
Memang, biasanya Danyangsuli amat suka bila
diajak bercinta oleh Sasak Padempuan. Danyangsuli
biasa bersikap seperti kuda binal yang tak pernah
mengenal kata puas. Tapi kali ini? Kenapa dia menolak
ajakan untuk bercinta? Begitulah pertanyaan yang ada
di benak Sasak Padempuan.
"Aku harus menyimpan tenagaku untuk kugu-
nakan nanti malam, Padempuan...," ujar Danyangsuli,
pelan.
"Menyimpan tenaga? Untuk nanti malam? Apa
maksudmu?" bertambah heran Sasak Padempuan.
"Kau tahu pemuda asing bernama Seno Pra-
setyo, bukan?"
Tak menyahuti Sasak Padempuan. Hanya tata-
pan matanya yang terus menyelidik dan meminta pen-
jelasan.
"Pemuda itu memiliki inti kekuatan tubuh yang
amat hebat. Aku hendak menghisapnya!" lanjut Da-
nyangsuli.
"Lewat hubungan badan?"
"Tentu saja!"
"Uh!" dengus Sasak Padempuan, cemburu.
"Jangan khawatir, Padempuan. Aku tetap men-
jadi milikmu, dan akan tetap menjadi milikmu! Sela-
manya! Setelah aku dapat menguras seluruh inti ke-
kuatan tubuhnya, pemuda itu akan kubunuh!"
"Benarkah itu?"
"Mana pernah aku menipumu?"
"Baik, aku percaya. Tapi, aku ingin melihat du-
lu di mana pemuda itu sekarang."
"Dia kusekap di sebuah gua. Dia tak akan da-
pat meloloskan diri karena telah ku kurung pula den-
gan 'Benteng Sihir Mengurung'. Jika kau ingin meli-
hatnya, ikutlah aku.... "
Cepat Sasak Padempuan mengerahkan ilmu la-
ri cepatnya ketika melihat Danyangsuli berkelebat me-
nuruni bukit....
***
LIMA
ITULAH dia!" tunjuk Danyangsuli ke arah Pen-
dekar Bodoh yang tengah duduk termenung.
Melalui lorong gua, berjarak sekitar dua puluh
tombak dari hadapan Pendekar Bodoh yang berada da-
lam 'Benteng Sihir Mengurung', Sasak Padempuan
menatap tak berkedip. Sesaat, hawa amarah bercam-
pur dendam menggeluti hati sanubarinya. Tempo hari,
karena ulah Pendekar Bodoh-lah Sasak Padempuan
mendapat celaka. Pendekar Bodoh-lah penyebab di-
rinya sampai bisa dihadapkan ke Pengadilan Agung,
yang berakibat kekuatan ilmu sihirnya dilenyapkan
oleh para sesepuh suku.
Tapi setelah tahu bila Pendekar Bodoh tak da-
pat berbuat apa-apa, bahkan melihat kehadirannya
bersama Danyangsuli pun tak mampu, hawa amarah
dan dendam dalam diri Sasak Padempuan bisa terkikis
dan terlupakan beberapa waktu. Pada saatnya nanti,
Pendekar Bodoh akan tetap mati di tangannya! Begitu-
lah isi hati Sasak Padempuan.
Pandangan Seno memang tertutup oleh tabib
gaib yang diciptakan Danyangsuli. Di sekitarnya, dia
hanya dapat melihat dinding-dinding gua dan bayang-
bayang putih yang seperti telah membutakan matanya.
Sehingga, dia tak dapat melihat kedatangan Sasak Pa-
dempuan bersama Danyangsuli.
"Walau tampan, wajah pemuda itu seperti
orang berotak udang...," kata hati Sasak Padempuan.
"Jauh-jauh dia datang dari tanah Jawa kiranya hanya
untuk menemui kematian. Hmmm.... Tunggu saja,
Pemuda Dungu! Setelah kuselesaikan urusanku den-
gan Danyangsuli, hari kematianmu akan segera da-
tang!"
Bosan melihat sosok Pendekar Bodoh yang te-
rus diam termenung, Sasak Padempuan mengalihkan
pandangannya ke wajah cantik Danyangsuli. Lalu den-
gan suara berat, dia bertanya....
"Benarkah kau akan membunuh pemuda itu,
Suli?"
"Ya! Tentu saja setelah aku menghisap habis in-
ti kekuatan tubuhnya," jawab Danyangsuli, tegas.
"Untuk menghisap inti kekuatan tubuh pemuda
itu, tidak adakah cara lain selain dengan berhubungan
badan?"
"Kenapa? Kau tidak suka?"
"Tentu saja! Mana ada lelaki rela membagi tu-
buh kekasihnya dengan lelaki lain?"
"Jangan khawatir, Padempuan.... Setelah se-
mua berjalan sesuai rencanaku, bukankah aku akan
tetap menjadi milikmu? Kecemburuanmu tidak pada
tempatnya. Aku hanya ingin menghisap inti kekuatan
tubuh pemuda itu! Bukan untuk bercinta dengannya!
Walau kuakui dia seorang pemuda gagah yang amat
menarik...."
"Baik! Aku percaya! Tapi..., satu permintaanku.
Sebelum kau mewujudkan keinginanmu itu, layani
aku dulu!"
"Ah! Jangan begitu, Padempuan! Bukan aku
tak mau, tapi... sudah kukatakan tadi bila aku harus
menyimpan tenaga...."
"Kau hanya mengada-ada saja! Kalau kau me-
lakukan hal yang kuinginkan itu denganku sekarang,
apakah tenagamu akan banyak yang hilang? Kalau
bercinta, kau memang amat ganas dan liar. Tapi, tena-
gamu akan cepat pulih. Percayalah...."
Terdiam Danyangsuli. Meragu hatinya tiba-tiba.
Dia tak mau membuat kecewa Sasak Padempuan, tapi
dia juga tak mau rencananya untuk menghisap inti
kekuatan tubuh Pendekar Bodoh akan menemui ham-
batan.
Selagi wanita bertubuh sintal montok itu berpi-
kir dan menimbang, cepat sekali Sasak Padempuan
merengkuh bahunya. Hanya dengan satu sentakan ke-
cil, tubuh Danyangsuli telah terbaring telentang di lan-
tai gua yang dingin.
"Kau... kau.... Uh! Emmm...."
Danyangsuli hendak mengucapkan sesuatu,
tapi bibirnya keburu dilumat oleh Sasak Padempuan.
Tak kuasa pula Danyangsuli menepis pelukan si pe-
muda yang mengerahkan seluruh tenaganya. Dan...,
pasrah sudah Danyangsuli manakala Sasak Padem-
puan menjadikan tubuhnya sebagai alat pemuas ha-
sratnya....
Seno Prasetyo yang berada di dalam 'Benteng
Sihir Mengurung' tampak mengerutkan kening. Dia tak
melihat apa-apa di sekitar gua, tapi telinganya me-
nangkap dengus napas memburu. Dengus napas itu
dibarengi suara rintihan seorang wanita....
"Kurang ajar!" geram Seno. "Pasti wanita jahat
itu tengah melakukan hal tak senonoh di dalam gua
ini! Tak tahu malu! Benar-benar tak tahu malu!"
Mendengar suara rintihan Danyangsuli, Seno
tak dapat menahan rasa jengkel. Berkali-kali dia me-
maki dan mengumpat. Perutnya yang sebenarnya su-
dah minta diisi menjadi amat mual. Tapi..., tak ada
yang dapat dilakukan murid Dewa Dungu itu kecuali
menutup lubang telinganya rapat-rapat.
* * *
Dengan peluh bercucuran, tubuh Danyangsuli
tergolek lemas di lantai gua. Sedikit malas dia rapikan
lagi letak pakaiannya. Sementara, Sasak Padempuan
yang telah mengenakan kembali pakaiannya langsung
berdiri berkacak pinggang. Tatapannya pada Danyang-
suli berubah sinis dan terlihat amat menghina.
"Tidakkah kau sadar bila satu peristiwa besar
telah terjadi padamu, Suli?" ujar si pemuda.
Perlahan, Danyangsuli beringsut duduk. Diba-
lasnya tatapan Sasak Padempuan dengan segudang
tanda tanya di hati.
"Jawab pertanyaanku, Suli! Tidakkah kau sa-
dar bila satu peristiwa besar telah terjadi padamu?"
ulang Sasak Padampuan.
"Peristiwa apa?" selidik Danyangsuli. "Kenapa
sikapmu berubah begini aneh, Padempuan? Baru saja
aku menuruti kemauanmu, apakah kau hendak balas
kebaikanku ini dengan sikap anehmu itu?!"
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sasak Padem-
puan. "Belum pernah aku berjumpa dengan orang tolol
sepertimu, Suli!! Kematianmu sudah di pelupuk mata,
kenapa kau sama sekali tak menyadarinya?"
"Apa maksudmu, Padempuan?!" sentak Da-
nyangsuli. Bangkit berdiri dan menatap wajah Sasak
Padempuan lekat-lekat.
"Masih ingatkah kau, Suli? Ketika pertama kali
aku mengenalmu, aku mengatakan bahwa dalam be-
nakku ini tersimpan cita-cita besar? Masih ingatkah
pula kau bila untuk mewujudkan cita-citaku, aku
akan melakukan segala cara?"
"Jangan bicara terbelit-belit, Padempuan!" ben-
tak Danyangsuli, amat penasaran dan mulai menaruh
curiga.
"Kau telah mengembalikan kekuatan ilmu sihir-
ku, tentu saja aku menyampaikan banyak terima ka-
sih. Tapi kurasa, dengan kemampuan ilmu sihir ku
yang sekarang ini, aku masih belum seberapa yakin
untuk dapat mengalahkan ilmu sihir para sesepuh dan
ksatria suku. Oleh karenanya, aku butuh satu sumber
kekuatan lagi. Dan..., itu bisa kudapatkan dari cincin
'Permata Kelelawar Dewa'!"
"Apa? Kau hendak merebut cincin mustikaku?"
kejut Danyangsuli.
"Ha ha ha...!" tertawa lagi Sasak Padempuan.
"Aku bukan hendak merebut cincin mustikamu, Suli.
Bukan hendak! Tapi sudah! Cincin mustikamu sudah
berada di tanganku! Ha ha ha...!"
Kaget tiada terkira Danyangsuli. Apalagi, sete-
lah dia melihat jari tengah tangan kanannya. Cincin
'Permata Kelelawar Dewa' ternyata memang sudah tak
berada di tempatnya lagi!
"Jahanam kau, Padempuan!" hardik wanita
berparas cantik menawan Ku. "Kau memaksaku ber-
hubungan kiranya hanya untuk mengelabui aku! Se-
tan alas kau, Padempuan! Kembalikan cincin mustika-
ku! Kalau tidak, ingin kulihat sampai di mana kau
punya ketebalan kulit, sampai di mana pula kau
punya kekerasan tulang!"
"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan,
mengacungkan cincin 'Permata Kelelawar Dewa' yang
telah berada di jari tengah tangan kanannya. "Karena
kau beberapa kali telah berbuat baik kepadaku, tak
keberatan aku memberimu kesempatan untuk mere-
but kembali cincin mustikamu, Suli. Tapi jika gagal...,
kuharap kau tidak menyesal bila terjadi apa-apa pa-
damu...."
"Haram Jadah! Mati saja kau, Padempuan!"
Sambil berseru demikian, Danyangsuli melon-
cat sebat. Telapak tangan kanannya yang telah beru-
bah warna menjadi merah membara berkelebat ganas
untuk segera membuat remuk kepala Sasak Padem-
puan!
Terdorong hawa amarah yang menyesakkan
dada, lupa sudah Danyangsuli pada rasa cinta kasih-
nya terhadap Sasak Padempuan. Yang ada dalam be-
naknya hanyalah keinginan untuk mendapatkan kem-
bali cincin 'Permata Kelelawar Dewa'. Bila perlu, Sasak
Padempuan memang harus dibunuh!
Wesss...!
"Hiahhh...!"
Melihat serangan Danyangsuli yang amat ber-
bahaya, menggembor keras Sasak Padempuan. Dia ta-
hu benar, ilmu pukulan apa yang tengah diterapkan
oleh Danyangsuli. Oleh karenanya, cepat dia lenting-
kan tubuhnya ke samping kanan. Dia tak boleh berde-
katan dengan telapak tangan Danyangsuli yang mene-
barkan hawa amat panas, apalagi bersentuhan!
Namun karena Danyangsuli terus memburunya
dengan penuh nafsu membunuh, tanpa pikir panjang
Sasak Padempuan mengeluarkan ilmu pukulannya
yang terhebat. Maka di saat tubuh si pemuda me-
layang di udara dan hampir menyentuh langit-langit
gua, timbul sinar biru berkeredapan. Sinar biru itu
memancar dari pergelangan tangan kanan Sasak Pa-
dempuan!
"Hendak kulihat apakah pukulan 'Kelabang Pa-
nas'-mu dapat menahan pukulan 'Racun Ular Hijau'-
ku, Suli?! Terimalah ini! Hiahhh...!"
Sambil menggembor keras, Sasak Padempuan
melentingkan tubuhnya ke arah Danyangsuli. Bau bu-
suk yang amat menyengat hidung menebar ke mana-
mana. Danyangsuli sadar bila hawa beracun tengah
menyerbu ke arahnya. Maka, cepat dia hentakkan te-
lapak tangan kanannya yang dilambari ilmu pukulan
'Kelabang Panas' ke depan. Maksudnya adalah untuk
membuat serangkum angin pukulan yang bisa meng-
halau hawa beracun yang menebar dari penerapan il-
mu pukulan 'Racun Ular Hijau' Sasak Padempuan!
Namun.... bersamaan dengan itu Sasak Padem-
puan menghentakkan pula telapak tangan kanannya
ke depan. Hingga tak dapat dicegah lagi, dua ilmu pu-
kulan tingkat tinggi bentrok!
Blammm...!
* * *
Pendekar Bodoh merasakan lantai gua bergun-
cang keras. Karena terkurung oleh 'Benteng Sihir Men-
gurung', tubuh Pendekar Bodoh terpelanting ke sana-
sini, hingga membuatnya jatuh bergulingan.
Cepat dia keluarkan ilmu kebal 'Perisai Dewa
Badai' untuk melindungi tubuhnya dari akibat bentu-
ran yang bisa mendatangkan luka dalam. Untung pula,
guncangan itu tidak berlangsung lama. Langit-langit
gua dan dinding-dindingnya tidak sampai runtuh.
"Hmmm.... Aku tak dapat melihat apa-apa, tapi
aku tahu kalau di dekat tempatku terkurung ini ten-
gah terjadi pertempuran seru...," kata hati Pendekar
Bodoh. "Aneh-aneh saja! Tadi aku mendengar suara
orang berlaku tak senonoh, sekarang aku mendengar
suara pertempuran. Mungkinkah yang sedang bertem-
pur itu Danyangsuli pula? Dan, lawannya adalah se-
seorang yang hendak menolongku? Bancakluka? Ban-
cakdulina?"
Pendekar Bodoh duduk merenung. Tak hendak
dia berbuat apa-apa. Telah dicobanya berkali-kali men-
jebol 'Benteng Sihir Mengurung', tapi usahanya hanya
sia-sia belaka. Oleh karena tak mau membuang tenaga
untuk sesuatu yang tak mungkin bisa dilakukannya,
dia pun cuma duduk termenung memikirkan segala
sesuatu yang akan segera terjadi.
"Salah satu dari orang yang sedang bertempur
itu pasti akan mendatangiku...," pikir Seno. "Bila yang
datang Bancakluka ataupun Bancakdulina, aku akan
selamat. Kalau yang datang Danyangsuli, aku tak tahu
bagaimana nasibku. Boleh saja Danyangsuli menghi-
sap seluruh inti kekuatan tubuhku..., namun dia ha-
rus berkorban banyak untuk mewujudkan keinginan-
nya itu!"
Mengikuti pikiran di benaknya, Pendekar Bo-
doh bangkit berdiri seraya bersiap siaga. Di lain kejap,
wajah murid Dewa Dungu itu tampak menegang. Urat-
urat di kedua lengannya tampak membiru dan berton-
jolan. Tanpa sadar, dia telah mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya.
* * *
"Hmmm.... Ilmu pukulan kita seimbang, Suli...,"
dengus Sasak Padempuan. "Tapi... dengan cincin
'Permata Kelelawar Dewa' di tanganku, dapatkah kau
mengimbangi kehebatan ilmu sihir ku?"
"Bangsat kau, Padempuan!" sahut Danyangsuli.
"Walau kau telah merampas cincin mustika yang me-
rupakan azimatku, jangan harap kau dapat mengung-
guli kekuatan ilmu sihir ku! Apa kau lupa bila aku
adalah Ratu Sihir Tercantik?"
Tersenyum sinis Sasak Padempuan. Di sekitar
kaki pemuda berambut ikal panjang itu tersebar peca-
han batu cadas, berasal dari pecahan langit-langit dan
dinding gua yang runtuh.
"Aku tak pernah lupa kalau kau adalah Ratu
Sihir Tercantik, Suli...," ujar Sasak Padempuan kemu-
dian, "Kata 'ratu' memang menunjukkan derajat ter-
tinggi. Tapi kukira..., kaulah yang lupa. Bukankah ge-
lar Ratu Sihir Tercantik kau peroleh karena kau memi-
liki cincin 'Permata Kelelawar Dewa'? Tapi kalau cincin
azimatmu telah berada di tanganku, masih pantaskah
kau memakai gelar Ratu Sihir Tercantik? Ha ha ha...!
Akulah yang mempunyai kekuatan sihir tertinggi. Aku-
lah Raja Alam Sihir! Raja ilmu sihir yang tak terkalah-
kan! Ha ha ha...!"
Mendengus gusar Danyangsuli. Wajahnya yang
cantik berubah garang dan tampak penuh nafsu mem-
bunuh. Lalu dengan bola mata melotot besar, dia ber-
kata....
"Boleh kau menyebut dirimu sebagai Raja Alam
Sihir, tapi buktikan dulu kemampuanmu!"
Untuk melepas hawa amarah dan kebencian-
nya, wanita berkulit kuning langsat itu menjulurkan
kedua tangannya ke depan. Melihat sikapnya, jelas bila
dia hendak mengeluarkan ilmu sihirnya. Hingga terli-
hat kemudian....
"Naga Petinggi Neraka datang! Melumat habis
tubuh sialmu itu, Padempuan! Hom asantarnas ha
warnas... samlas...!"
Aneh! Dari ujung sepuluh jari tangan Danyang-
suli mengepul asap putih kemerahan. Kepulan asap itu
semakin lama semakin menebal, lalu membentuk wu-
jud seekor naga terbang yang siap mencabik-cabik tu-
buh Sasak Padempuan!
Tahu ada bahaya mengancam jiwanya, cepat
Sasak Padempuan menjulurkan kedua tangannya ke
depan. Dengan bantuan daya gaib cincin 'Permata Ke-
lelawar Dewa', dia keluarkan salah satu ilmu sihirnya
untuk menandingi ilmu sihir Danyangsuli.
"Cambuk Mahkota Api datang. Menghajar Naga
Petinggi Neraka! Hom asantarnas paranas... ramsas...!"
Sama dengan apa yang terjadi pada Danyang-
suli tadi. Ujung sepuluh jari Sasak Padempuan juga
mengepulkan asap putih kemerahan. Namun ketika
menebal, asap ciptaan Sasak Padempuan membentuk
wujud sebuah cambuk terbang raksasa. Di ujung ga-
gang cambuk terdapat mahkota emas. Sementara, ta-
linya yang sepanjang sepuluh depa senantiasa dikobari
lidah api menyala-nyala!
Jder...!
Jder...!
Dua kali Cambuk Mahkota Api mengibas. Cepat
Naga Petinggi Neraka membalikkan badan seraya me-
nyemburkan kobaran api yang tak kalah panas. Maka
tak dapat dihindari lagi, pertarungan dua kekuatan il-
mu sihir segera berlangsung seru.
Sementara, Sasak Padempuan dan Danyangsuli
yang mengendalikan gerak Cambuk Mahkota Api dan
Naga Petinggi Neraka tampak berdiri tegak di tempat-
nya. Kedua tangan mereka tak lagi terjulur, melainkan
sama-sama bersedekap dengan kelopak mata terpejam
rapat. Dan ketika terjadi pertempuran seru antara
Cambuk Mahkota Api dengan Naga Petinggi Neraka,
kepala mereka terlihat mengepulkan asap tipis.
Kekuatan ilmu sihir kedua anak manusia itu
terwakili oleh Cambuk Mahkota Api dan Naga Petinggi
Neraka yang sama-sama bernafsu untuk segera mero-
bohkan lawan!
Ruangan gua yang cukup lebar cukup membe-
rikan peluang bagi Cambuk Mahkota Api dan Naga Pe-
tinggi Neraka untuk mengeluarkan kehebatan masing-
masing.
Mulut Naga Petinggi Neraka tak pernah berhen-
ti menyemburkan api ganas. Ekornya pun mengibas ke
sana-sini untuk memotong hancur Cambuk Mahkota
Api!
Namun tampaknya, gerakan Cambuk Mahkota
Api lebih gesit. Berkali-kali tubuh Naga Petinggi Neraka
terhajar telak. Hingga, tubuh Naga Petinggi Neraka
tampak menggeliat kesakitan dan mulutnya mengelua-
rkan suara geram yang keras bergemuruh!
Jder...!
"Hmmmm...!"
Pertempuran antara Cambuk Mahkota Api den-
gan Naga Petinggi Neraka tak berlangsung lama. Kehe-
batan ilmu sihir Sasak Padempuan benar-benar ter-
bukti. Cambuk Mahkota Api yang menjadi sarana un-
tuk dapat mengalahkan ilmu sihir Danyangsuli mam-
pu menjadikan Naga Petinggi Neraka sebagai bulan-
bulanan!
"Argh...!"
Diawali satu jeritan pendek, mendadak sikap
berdiri Danyangsuli jadi sempoyongan. Sekujur tu-
buhnya mulai terbungkus lapisan asap. Dan... tampak
kemudian, pakaian Danyangsuli robek-robek dengan
sendirinya. Lalu, kulit tubuhnya yang semula halus
mulus jadi dipenuhi luka panjang seperti luka akibat
cambukan yang amat kuat!
Jder...!
Cambuk Mahkota Api tepat menghajar kepala
Naga Petinggi Neraka. Dan..., tubuh naga terbang itu
langsung terpelanting jatuh, lalu lenyap tanpa bekas!
Bersamaan dengan itu, tubuh Danyangsuli terpelant-
ing jatuh pula!
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sasak Padem-
puan seraya menarik kekuatan ilmu sihirnya. "Kini te-
lah kubuktikan bahwa aku adalah Raja Alam Sihir! Ha
ha ha...! Telah kukalahkan Ratu Sihir Tercantik! Ha ha
ha...!"
Sambil terus tertawa bergelak-gelak, pemuda
berpakaian hitam-hitam itu menatap sosok Danyang-
suli yang terbaring lemah di lantai gua. Tubuh Da-
nyangsuli tampak penuh luka, hingga cairan darahnya
pun keluar bertetesan....
"Sengaja aku membiarkanmu menghirup udara
segar beberapa lama, Suli...," ujar Sasak Padempuan
kemudian. "Tentu kau tak lupa bila Seno Prasetyo ma-
sih berada di dalam gua ini. Kekuatan ilmu sihirmu te-
lah melemah, Suli. Pemuda itu akan dapat keluar dari
'Benteng Sihir Mengurung' dengan sendirinya.... Kare-
na sejak semula kau berniat tak baik kepadanya, di-
alah yang akan mewakili aku untuk membunuhmu!
Ha ha ha...!"
"Jahanam!" sentak Danyangsuli.
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, wa-
nita yang telah terluka parah itu hendak menerjang.
Namun, keinginannya tak terpenuhi. Luka-luka di tu-
buhnya terlalu parah. Hingga, tubuhnya jatuh terbant-
ing lagi di lantai gua!
Sementara, suara tawa Sasak Padempuan masih terus terdengar beberapa lama walau si pemuda te-
lah pergi meninggalkan tempat....
***
ENAM
SAMPAI beberapa lama, Seno tak dapat men-
dengar suara apa-apa lagi, kecuali desah napas dan
detak jantungnya sendiri. Sehingga, suasana di dalam
gua terasa amat sepi. Bahkan, teramat sepi dan sunyi!
Namun ketika Seno lebih menajamkan indera
pendengarannya, mendadak dia menggerigap kaget.
Rasa hatinya menjadi berdebar-debar, namun terbersit
rasa senang juga.
Telinga pemuda remaja berpakaian biru-biru
itu dapat menangkap suara seorang wanita yang se-
dang berusaha membuka 'Benteng Sihir Mengurung'
dengan kekuatan ilmu sihir! Siapa dia gerangan? Da-
nyangsuli? Atau, seorang warga Suku Asantar lainnya?
"'Benteng Sihir Mengurung' tak lagi berguna.
Terbukalah agar orang yang terkurung dapat menghi-
rup udara bebas! Hom asantarnas hawarnas... sam-
las...!"
Suara wanita yang sedang mengucapkan kata-
kata untuk membangkitkan kekuatan gaib ilmu sihir
itu terdengar amat lirih dan seperti sedang menahan
rasa sakit. Hati Seno semakin berdebar-debar tak ka-
ruan. Jantungnya pun terasa berdetak lebih cepat, se-
hingga membuat sesak jalan nafasnya. Apalagi sete-
lah....
Ssshhh...! Splash...!
Didahului oleh suara mendesis seperti bara api
tersiram air, dinding-dinding gua yang mengurung Se-
no mengepulkan asap tipis. Dan ketika asap tipis itu
lenyap, mata Seno dapat melihat dengan leluasa. Lo-
rong gua yang semula tertutup bayang-bayang putih
kini dapat terlihat dengan jelas.
Itu berarti tak ada lagi kekuatan sihir yang
mengurung dan memenjarakan Pendekar Bodoh.
'Benteng Sihir Mengurung' telah lenyap!
Namun, segera terlihat Seno berdiri terpaku
dengan mata terbelalak, penuh rasa terkejut. Sekitar
dua puluh tombak dari hadapannya, dia melihat seo-
rang wanita yang tengah tergolek lemah di lantai gua.
Wajah si wanita yang sebenarnya amat cantik tampak
amat pucat dengan bibir membiru. Hampir sekujur tu-
buhnya dipenuhi luka memanjang seperti akibat haja-
ran cambuk. Sementara, pakaiannya yang berwarna
merah gemerlap terlihat lengket karena telah ternoda
cairan darah!
"Danyangsuli...!" desis Seno, melompat meng-
hampiri.
"Syu.... Syukurlah kalau kau masih dalam kea-
daan segar bugar, Seno...," sambut si wanita yang
memang Danyangsuli adanya.
Susah payah wanita berumur tiga puluh tahun
itu beringsut bangkit untuk dapat duduk bersandar
pada dinding gua. Seno menatap terlongong bengong.
Seno tahu bila Danyangsuli adalah seorang ahli sihir
berperangai jahat, yang berniat mencelakakan dirinya.
Namun melihat keadaan Danyangsuli yang ter-
luka parah, Seno jadi tak tahu apa yang harus diper-
buatnya. Meneruskan perhitungan dengan wanita ja-
hat itu? Atau, meninggalkannya pergi? Tapi, siapa tadi
yang telah membuka 'Benteng Sihir Mengurung'? Da-
nyangsuli-kah? Kalau memang Danyangsuli, lalu apa
maksud wanita itu sebenarnya?
"Sedikit banyak, aku bisa merasakan apa yang
tengah kau rasakan saat ini, Seno...," ujar Danyangsu-
li, penuh kesungguhan. "Jangan heran jika kau meli-
hat keadaanku jadi seperti ini. Ini semua terjadi kare-
na kebodohan dan kecerobohanku...."
"Kau yang membebaskan aku?" tanya Seno.
"Ya," jawab Danyangsuli.
"Lalu..., kenapa kau terluka? Dan, siapa yang
melukaimu? Bancakluka? Bancakdulina?" tanya Seno
lagi, agak tergagap. Iba juga hatinya melihat Danyang-
suli yang terus meringis kesakitan. Tapi, haruskah dia
memberi pertolongan? Sementara, dia tahu bila wanita
itu adalah seorang ahli sihir yang amat berbahaya!
"Tentu masih segar dalam ingatanmu, seorang
pemuda bernama Sasak Padempuan...."
"Kenapa dengan dia?"
"Dialah yang telah membuatku seperti ini!"
"Dia? Bagaimana bisa? Bukankah kekuatan il-
mu sihirnya telah dilenyapkan oleh para sesepuh Suku
Asantar?"
"Ketahuilah..., sebenarnya Sasak Padempuan
adalah kekasihku. Dan, siapa yang tega melihat orang
yang dicintainya hidup dalam kesengsaraan...?"
"Maksudmu?" kejar Seno, mulai tertarik men-
dengar penuturan Danyangsuli. Sejenak, dia lupa pada
rasa laparnya.
"Aku mengembalikan kekuatan ilmu sihir Sa-
sak Padempuan," beri tahu Danyangsuli. "Tapi
sayang..., aku tak pernah menyangka bila Sasak Pa-
dempuan punya niat tak baik terhadapku. Usai men-
dapatkan kembali kekuatan ilmu sihirnya, dia meram-
pas cincin 'Permata Kelelawar Dewa' yang menjadi
azimatku...."
"Lalu, dia membuatmu terluka parah seperti
ini?" tebak Seno.
Danyangsuli diam tak menjawab. Namun, tata-
pan matanya jelas membenarkan tebakan Seno.
"Kau jahat, Danyangsuli! Apa yang dilakukan
Sasak Padempuan sudah pantas kau terima! Bagai-
manapun, kau harus menebus kejahatanmu! Kau ter-
luka parah! Kau memang pantas untuk mati!" sembur
Seno tiba-tiba.
Mendesah panjang Danyangsuli. "Ya! Ya! Aku
memang orang jahat! Aku memang pantas mati untuk
menebus dosa-dosaku!" ujarnya dengan suara berge-
tar. "Tapi..., ada beberapa hal yang harus kuberitahu-
kan kepadamu...."
"Apa itu? Kau hendak meminta maaf? Lalu,
mengembalikan Tongkat Dewa Badaiku, bukan?" sa-
hut Seno, terdengar menyelidik.
"Itu hanya salah satunya. Tapi yang lebih pent-
ing, kau harus tahu bila saat ini Sasak Padempuan
memiliki kekuatan ilmu sihir yang amat hebat. Dia in-
gin menjadi baulau Suku Asantar! Dapat kau bayang-
kan bila manusia jahat macam Sasak Padempuan
menjadi pemimpin sekelompok orang yang biasa hidup
rukun dan damai. Suku Asantar akan menjadi ajang
pertumpahan darah! Karena, dia ingin membalaskan
sakit hatinya terhadap orang-orang yang pernah
menghina dan melecehkan harkat martabatnya seba-
gai keturunan Umpak Padempuan!"
"Lalu, apa hubungannya dengan diriku?" sahut
Seno, mulai percaya lagi pada ucapan Danyangsuli.
"Aku tahu kau seorang pemuda yang berjiwa
ksatria pendekar. Aku tahu kau tak akan pernah
membiarkan sebuah kejahatan berlangsung di depan
matamu. Jiwa kependekaranmu pasti terpanggil untuk
mencegah Sasak Padempuan melakukan kejahatan...."
Walau terluka parah, rupanya Danyangsuli ma-
sih mampu berkata-kata sedemikian lama. Keinginan-
nya untuk dapat bertahan hiduplah yang telah mem-
perpanjang usianya sampai beberapa lama. Sebelum
ajal datang menjemput, Danyangsuli memang bertekad
untuk menyampaikan apa yang ada di hatinya kepada
murid Dewa Dungu itu, termasuk menumpahkan ama-
rah dan bencinya atas perlakuan Sasak Padempuan.
Pendekar Bodoh yang melihat keadaan Da-
nyangsuli yang semakin payah tampak diam terlon-
gong bengong lagi. Karena belum dapat mengambil ke-
putusan apa yang harus dilakukannya, Pendekar Bo-
doh pun cuma bisa berdiri terpaku sambil cengar-
cengir beberapa lama.
"Uh...!"
Mendadak, Danyangsuli mengeluh pendek. Se-
telah memuntahkan darah segar, tubuhnya jatuh
menggelosoh ke lantai gua. Namun, dia berusaha se-
kuat tenaga untuk dapat terus duduk.
"Kau... kau...," ujar Seno, entah apa maksud-
nya. Yang Jelas, pemuda ini menjadi amat kasihan me-
lihat keadaan Danyangsuli. Haruskah dia memberi
pertolongan?
"Seno.... Seno...," sebut Danyangsuli. "Jika di
hatimu ada keinginan untuk menolongku, aku banyak
mengucapkan terima kasih. Tapi, luka-lukaku terlalu
parah.... Kematian itu sudah semakin dekat. Aku min-
ta..., balikkan badanmu. Kau lihat dinding gua yang
menonjol itu...."
"Kenapa? Kenapa...?" Seno malah bertanya, tak
melaksanakan permintaan Danyangsuli.
"Cepatlah, Seno! Kalau maut keburu menjem-
putku, kau akan menyesal. Aku tak bermaksud jahat
lagi kepadamu.... Percayalah!"
Kali ini, mendengar ucapan Danyangsuli yang
mengiba dan terlihat penuh kesungguhan, tak dapat
Seno menolak permintaan wanita itu. Dan ketika Seno
telah membalikkan badan....
"Kau lihat tonjolan dinding gua yang paling be-
sar?"
"Ya! Aku melihatnya. Ada apa?"
"Tekan dengan mengalirkan sedikit tenaga da-
lam."
"Untuk apa?"
"Cepatlah!"
Seno nyengir kuda sebentar. Namun akhirnya,
dia menuruti Juga permintaan Danyangsuli itu. Tak
lupa dia mempertinggi kewaspadaan. Bukankah segala
sesuatu bisa saja terjadi? Walau Danyangsuli memang
telah terluka parah, jangan-jangan dia masih menyim-
pan maksud buruk!
Tapi setelah Seno menekan tonjolan dinding
gua, seperti yang diminta Danyangsuli, alangkah gem-
biranya pemuda lugu itu. Tonjolan dinding gua yang
berupa batu tiba-tiba bergeser perlahan ke atas. La-
lu..., di dinding gua terlihat sebuah lubang. Dan, di da-
lam lubang itu terdapat sebatang tongkat pendek ber-
warna putih.
"Tongkat Dewa Badai...!" desis Seno, bersorak
girang dalam hati.
"Cepat ambil senjata mustikamu itu!" seru Da-
nyangsuli.
"Ya! Ya!" sahut Seno seraya menyambar Tong-
kat Dewa Badai yang tergeletak di depan matanya.
Kejadian aneh terulang lagi!
Begitu Seno mengambil senjatanya, tonjolan
batu di dinding gua bergeser turun kembali, dan menutup lubang yang semula digunakan untuk menyim-
pan Tongkat Dewa Badai.
"Kemarilah cepat!" seru Danyangsuli, keras se-
kali.
Menggerigap kaget Seno. Karena sempat terlon-
gong bengong melihat keanehan di dinding gua, dia ja-
di terkejut mendengar seruan Danyangsuli.
"Duduklah di hadapanku...," pinta Danyangsu-
li, setengah memerintah.
"Duduk? Untuk apa?" tolak Seno.
"Sudahlah! Turuti saja permintaanku. Duduk-
lah di hadapanku! Aku tak bermaksud buruk terha-
dapmu. Atau bila kau ragu, bukankah kau bisa mem-
bunuhku dengan Tongkat Dewa Badaimu itu?"
"Ya! Ya!" sambut Seno akhirnya.
Melihat Pendekar Bodoh telah duduk bersila di
hadapannya, cepat Danyangsuli bersedekap seraya
menegakkan punggung dengan bersandar di dinding
gua.
"Pejamkan matamu, Seno! Jika kau merasakan
tubuhmu direjam rasa sakit, bertahanlah! Bertahanlah
agar tak jatuh pingsan!"
"Kau hendak berbuat apa?" kejut Seno, tanpa
sadar beringsut mundur.
"Diamlah di tempatmu! Lakukan apa yang ku-
minta!"
"Aku tak tahu apa maksudmu! Kenapa aku ha-
rus menuruti permintaanmu?"
"Tolol! Aku hendak memasukkan kekuatan il-
mu sihir ku ke tubuhmu!"
"Apa?"
***
TUJUH
DI dalam sebuah rumah panggung besar, Ban-
cakluka dan Bancakdulina duduk bersila dengan hati
berdebar-debar. Sudah sepenanakan nasi lamanya me-
reka menunggu lima orang sesepuh suku yang tengah
khusuk bersemadi.
Di sisi kanan ayah dan anak itu tampak Ban-
caksika dan istrinya, yang tak lain dari orangtua Sila-
sati. Sementara, di sisi kiri terlihat sepasang suami-
istri lain, sebaya dengan Bancaksika dan istrinya.
Sepasang suami-istri yang tampak amat gelisah
itu mengenakan pakaian bagus, terbuat dari bahan
mahal. Yang wanita memakai perhiasan emas berlian
di leher dan pergelangan tangannya. Dan, yang lelaki
memakai hiasan cemeti emas di dada kiri. Keduanya
adalah orangtua Sadeng Sabantar, salah satu keluarga
terpandang di Suku Asantar.
Mereka semua yang tengah duduk di atas any-
aman tikar itu jelas menyimpan rasa tak sabaran. Ra-
sa khawatir yang juga terpancar di sorot mata mereka.
Lima orang sesepuh suku yang sedang duduk
bersemadi memakai jubah hitam. Mereka bersedia me-
nuruti permintaan Bancakdulina, walau sebenarnya
permintaan Bancakdulina lebih banyak bersifat priba-
di. Namun karena Bancakdulina adalah seorang bau-
lau atau kepala suku yang telah banyak menunjukkan
jasa baiknya terhadap kesejahteraan warga Suku
Asantar, para sesepuh suku jadi tak keberatan meme-
nuhi permintaan ayah Bancakluka itu.
Seperti yang telah direncanakan bersama Ban-
cakluka, dan karena segala daya upaya yang telah di-
lakukan tak membuahkan hasil, terpaksa Bancakduli
na meminta bantuan para sesepuh suku untuk dapat
menemukan Seno Prasetyo yang hilang bersama Sila-
sati dan Sadeng Sabantar. Sementara, menurut aturan
adat Suku Asantar, para sesepuh suku sama sekali tak
bertanggung jawab jika ada seorang warga suku yang
hilang. Tanggung jawab sepenuhnya berada di pundak
baulau atau kepala suku.
"Sampai berapa lama lagi kita harus menunggu,
Sangkuk?" keluh Bancakluka sambil mengeluk ping-
gangnya yang terasa amat kaku.
"Sebentar lagi," sahut Bancakdulina. "Lihat si-
kap semadi mereka. Tubuh mereka tampak bergetar.
Kita akan segera tahu hasilnya...."
Benar kata kakek berambut putih meletak itu.
Tidak sampai sepuluh tarikan napas kemudian, satu
persatu lima orang sesepuh suku mulai membuka ma-
ta. Salah seorang dari mereka yang bertubuh amat ku-
rus, yang tampaknya menjadi pemimpin, langsung be-
ringsut ke hadapan Bancakdulina.
"Bagaimana? Bagaimana, Uwak Labodang?"
tanya Bancakdulina, tak sabaran.
Lelaki berumur delapan puluh tahun bernama
Kaluak Labodang tampak menarik napas panjang be-
berapa kali. Terlalu banyak kerutan di wajahnya. Su-
kar untuk menebak apa yang ada di hati kakek itu
dengan menilik dari perubahan raut wajahnya.
Setelah menatap wajah Bancakdulina, Kaluak
Labodang yang sudah tua renta itu mengalihkan pan-
dangan ke wajah Bancaksika dan Karusang Sabantar,
ayah Sadeng Sabantar. Lalu katanya....
"Aku dan para sesepuh suku lainnya telah be-
rusaha sekuat tenaga. Namun, kalian semua mesti ta-
hu bila apa yang telah terjadi ini tak lain karena ke-
hendak Yang Di Atas juga...."
"Maksud Uwak?" buru Bancakdulina.
"Kau tak perlu khawatir, Dulina. Karena me-
mang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka berti-
ga dalam keadaan tak kurang suatu apa...."
Mendengar keterangan Kaluak Labodang, Ban-
cakdulina dan semua orang yang berada di dalam ru-
mah panggung itu langsung menarik napas lega. Un-
tuk beberapa saat, kekhawatiran yang terpancar di so-
rot mata mereka langsung lenyap. Namun demikian,
hati mereka masih tetap berdebar-debar menantikan
keterangan Kaluak Labodang selanjutnya.
"Mereka di mana? Apakah kita bisa mendatan-
ginya?" tanya Bancakluka, yang juga tak dapat mena-
han rasa ingin tahunya.
"Silasati dan Sadeng Sabantar berada di suatu
tempat. Aku tak dapat mengatakan mereka ada di ma-
na. Tapi yang pasti, mereka akan segera kembali den-
gan kemauan mereka sendiri," tutur Kaluak Labodang.
Di ujung kalimat kakek uzur itu, istri Bancak-
sika langsung meneteskan air mata bahagia. Di-
ucapkannya kata-kata syukur. Demikian pula dengan
istri Karusang Sabantar yang tak dapat menahan rasa
haru pula.
"Seno Prasetyo?" bum Bancakluka yang merasa
berhutang budi kepada Pendekar Bodoh.
"Pemuda asing yang datang dari tanah Jawa itu
berada di suatu tempat berbeda. Dia juga dalam kea-
daan selamat tak kurang suatu apa. Hanya saja...."
"Hanya saja apa?" semakin tak sabaran Ban-
cakluka mendengar ucapan Kaluak Labodang yang
menggantung.
"Ada kekuatan gaib yang menyelubungi diri
pemuda itu. Aku tak bisa menghubunginya melalui
pancaran batin."
"Lalu...?"
Bancakluka bertanya lagi. Tapi sebelum Kaluak
Labodang menjawab, mendadak terdengar suara keme-
resek di atas atap. Suara itu disusul dengan berkele-
batnya sebuah bayangan putih berkilat!
Set...!
"Awasss...!"
Bancakdulina berteriak keras sekali. Cepat ka-
kek berambut putih meletak itu mendorong tubuh pu-
tranya ke kanan. Tak ayal lagi, tubuh Bancakluka ja-
tuh bergulingan. Tapi, justru karena tindakan Ban-
cakdulina itulah jiwa Bancakluka bisa terselamatkan!
"Haram jadah!" maki Bancakluka yang merasa
dibokong orang.
Sementara di dalam rumah terjadi kegaduhan
karena jeritan istri Bancaksika dan Karusang Saban-
tar, tanpa pikir panjang Bancakluka bangkit seraya
berkelebat keluar rumah. Namun, tak ada siapa-siapa
yang dapat ditemuinya. Dengan membawa rasa kesal,
dia hendak mengitari rumah untuk mencari jejak si
pembokong. Tapi....
"Tak perlu kau cari!" cegah Bancakdulina dari
dalam rumah. "Pembokong itu mengirim serangan
dengan kekuatan gaib. Dia tidak ada di sekitar sini!"
Karena kesal, Bancakluka menggedruk tanah
beberapa kali. Namun akhirnya, dia kembali masuk ke
rumah.
"Duduklah, Anakku...," sambut Bancakdulina,
menyimpan geram kemarahan pula.
Saat Bancakluka duduk bersila kembali, Ban-
cakdulina melanjutkan ucapannya.
"Pisau inilah yang hendak merenggut jiwamu
tadi. Ada sehelai surat di gagangnya. Bukalah. Mung-
kin surat itu sengaja ditujukan kepadamu...."
Dengan pandangan sedikit nanar, Bancakluka
menerima sebilah pisau yang disodorkan ayahnya.
Tergesa-gesa sekali Bancakluka membuka sehelai ker-
tas yang terikat di gagang pisau itu. Dan, segera pula
Bancakluka membaca tulisan yang tertera di kertas....
Bancakluka,
Pada hari pengangkatan baulau yang baru nan-
ti, mungkin kau menyangka bila tak akan ada pemuda
lain yang sanggup menandingi ilmu bela dirimu. Tapi,
kuharap kau jangan takabur dulu. Ada seorang pemuda
berhati baja yang bermaksud mencoba kemampuanmu,
sekaligus merebut kedudukan baulau yang kau perki-
rakan pasti jatuh ke tanganmu. Dan yang lebih penting,
dia akan membuat malu dirimu dan bapakmu yang su-
dah tua bangka itu! Ingat! Sebentar lagi, derajatmu
akan jatuh ke tempat yang paling rendah!
Raja Alam Sihir
Usai membaca isi surat itu, kening Bancakluka
berkerut rapat. Bancakdulina yang dapat melihat pe-
rubahan air muka putranya bergegas menyambar su-
rat di tangan pemuda itu. Dan setelah membaca isinya,
kerut di kening Bancakdulina pun tampak makin ken-
tara.
"Raja Alam Sihir? Siapa dia?" tanya Bancakdu-
lina.
"Aku tak tahu. Aku tak mengenalnya," jawab
Bancakluka.
"Lalu, siapa pemuda yang turut menginginkan
kedudukan baulau itu?"
"Aku juga tak tahu. Mungkin si penulis surat
itu sendiri."
"Raja Alam Sihir?"
"Mungkin sekali"
* * *
Tak kuasa menahan rasa sakit yang merejam
tubuhnya, Seno menjerit keras sekali. Jeritan pemuda
remaja itu terdengar amat panjang dan menyayat hati.
Menggema di seluruh ruangan gua.
Dari sekujur tubuh Danyangsuli yang tengah
duduk bersandar pada dinding gua memancar sinar
merah menyilaukan mata. Pancaran sinar merah itu
lalu masuk ke tubuh Seno melalui ubun-ubun!
Semakin keras Seno menjerit.
Rasa sakit semakin merejam tubuh murid De-
wa Dungu itu. Namun sebelum kesadarannya hilang,
sinar merah yang memancar dari tubuh Danyangsuli
telah habis masuk ke tubuh Seno. Sehingga, rasa sakit
yang dirasakan Seno lenyap dengan tiba-tiba.
"Maafkan aku, Seno...," desis Danyangsuli.
"Aku telah memaksamu menerima kekuatan ilmu sihir
ku...."
"Apa? Kau telah memindahkan kekuatan ilmu
sihirmu ke tubuhku?" sahut Seno, setengah tak per-
caya. Sifat lugu jelas tersirat di wajahnya.
"Begitulah. Kau sekarang mempunyai kekuatan
ilmu sihir yang cukup hebat. Walau tak sehebat yang
dipunyai Sasak Padempuan, tapi aku yakin kau akan
dapat mengimbangi ilmu sihir pemuda itu, karena kau
mempunyai dasar kekuatan batin dan kesaktian he-
bat...."
Seno diam terpaku. Dua bola matanya terus
menatap wajah Danyangsuli yang semakin pucat.
"Seno...," sebut Danyangsuli kemudian. Kali ini
suaranya terdengar penuh getaran namun lebih lirih.
"Aku telah mengembalikan senjata mustikamu. Kekua-
tan ilmu sihir ku pun kuberikan kepadamu. Oleh ka-
renanya, kupikir tidak ada lagi utang-piutang di antara
kita. Aku telah menebus dosaku kepadamu, bukan?"
"Kau... kau tampak makin lemah...," sahut Se-
no. "Aku harus menolongmu!"
Pendekar Bodoh yang pada dasarnya punya si-
fat welas asih bergegas mendekati Danyangsuli untuk
memberi pertolongan. Atau paling tidak, meringankan
rasa sakit wanita itu dengan memberikan beberapa to-
tokan. Tapi, Danyangsuli menolak. Tangan kanannya
yang hampir tak punya tenaga tampak bergoyang le-
mah, mencegah tindakan Pendekar Bodoh.
"Tak perlu," ujar wanita itu. "Sebagai seorang
pemuda berilmu tinggi, kau tentu tahu kalau jiwaku
tak mungkin bisa diselamatkan lagi."
"Tapi..., aku tak bisa membiarkan.... "
"Sudahlah!" sergap Danyangsuli, cepat. "Sebe-
lum terlambat, aku harus mengatakan bagaimana cara
membuka kekuatan ilmu sihir yang ada pada dirimu.
Dengar baik-baik, Seno...."
Seno terdiam. Matanya tak pernah lepas mena-
tap wajah pucat Danyangsuli.
"Jika kau ingin membuka kekuatan ilmu sihir-
mu, satukan terlebih dulu perhatianmu ke satu titik.
Lalu, katakan apa yang kau inginkan, dan akhiri den-
gan kata kunci hom asantarnas hawarnas... samlas....
Tirukan kata kunci itu, Seno...."
"Hom asantarnas hawarnas... samlas...," tiru
Seno.
"Bagus! Lega rasa hatiku. Aku akan dapat mati
dengan mata terpejam. Namun sebelumnya, aku ingin
kau melakukan satu pekerjaan untukku.... "
"Apa itu? Kalau masih di jalan kebenaran, pasti
akan kukerjakan...."
"Kau memang baik. Aku tak akan menyuruhmu
berbuat yang menyimpang. Permintaanku hanyalah...."
Sampai di situ sulit sekali Danyangsuli beru-
cap. Lidahnya terasa amat kaku. Namun, dia masih
mencoba untuk mengatakan keinginan terakhirnya
kepada Seno.
"Bu.. bunuh...."
"Aku harus membunuh? Membunuh siapa?"
kejar Seno. Rasa penasaran dan tegang tiba-tiba
menggeluti hatinya.
"Bu... bunuh Sasak Pa... dem... puan...!" Sete-
lah mengucapkan kalimat itu, kepala Danyangsuli ja-
tuh terkulai ke kanan. Tubuhnya turut jatuh mengge-
losoh di lantai gua. Malaikat kematian telah mencabut
nyawanya. Namun, perasaan puas jelas tergambar di
bibirnya yang terus menyungging senyum.
"Danyangsuli! Danyangsuli!" seru Seno.
Murid Dewa Dungu itu mengguncang-
guncangkan tubuh Danyangsuli. Melihat Danyangsuli
yang telah menyadari kesalahannya, ada rasa kehilan-
gan di hatinya....
***
DELAPAN
BANCAKLUKA berdiri termangu. Di dalam ka-
mar yang pernah ditempati Pendekar Bodoh itu, tak
ada yang dapat diperbuat Bancakluka kecuali menatap
dipan kosong dengan sinar mata nanar. Ketidakbera-
daan Pendekar Bodoh membuatnya merasa kehilan
gan.
Walau belum kenal mendalam, ada rasa senang
dalam hati Bancakluka bila berada bersama Pendekar
Bodoh. Sifat Pendekar Bodoh yang amat lugu kadang
membuat jengkel. Tapi justru dari rasa jengkel itulah
Bancakluka bisa menjadi cepat akrab.
"Aku tak tahu di mana pendekar muda itu be-
rada. Tapi aku yakin..., dia akan datang lagi ke Per-
kampungan Suku Asantar ini," gumam Bancakluka.
Perlahan, pemuda bertubuh tinggi tegap itu me-
langkah. Dia rebahkan tubuhnya di atas dipan. Di-
usapnya anak-anak rambut yang menutupi wajahnya.
Matanya menerawang ke langit-langit kamar yang ter-
buat dari anyaman bambu berlabur warna kuning gad-
ing.
"Sebentar lagi pengangkatan baulau yang baru
akan dilaksanakan...," gumam Bancakluka lagi. "Aku
jadi tak yakin akan bisa mendapatkan kedudukan ke-
pala suku itu. Apalagi dengan munculnya seseorang
yang mengaku bergelar Raja Alam Sihir! Hmmm....
Siapa dia sebenarnya? Mungkinlah salah seorang pe-
muda Suku Asantar ini?"
Cukup lama Bancakluka berkata-kata dengan
dirinya sendiri. Tatapannya tak pernah lepas dari lan-
git-langit kamar. Rasa gelisah makin menyerbu hati
sanubarinya.
Tidak seperti kebiasaan yang berlaku di suku-
suku lainnya di Pulau Salyadwipa, Suku Asantar me-
miliki kebiasaan tersendiri dalam hal menentukan
ataupun pengangkatan kepala suku. Suku-suku lain
pasti memilih pemimpin seorang lelaki berumur yang
telah matang pengalaman. Namun warga Suku Asantar
sejak puluhan tahun lalu, lebih senang memilih pe-
mimpinnya seorang pemuda. Pemimpin Suku Asantar
itu boleh belum matang pengalaman asalkan memiliki
ilmu beladiri tinggi sekaligus ahli ilmu sihir.
Mungkin menurut perhitungan warga Suku
Asantar, seorang pemimpin yang masih muda akan le-
bih lama memegang jabatannya. Sehingga, tidak perlu
sering-sering mengadakan upacara pengangkatan ke-
pala suku baru, yang dapat dipastikan banyak diwar-
nai kekerasan, bahkan sampai menimbulkan pertum-
pahan darah.
Tapi menurut kebiasaan Suku Asantar pula,
seorang kepala suku harus segera digantikan bila dia
telah menginjak usia enam puluh tahun. Dan oleh ka-
rena itulah Bancakdulina yang saat sekarang masih
menduduki jabatan sebagai kepala suku harus segera
mengundurkan diri.
"Hmmm.... Andai Seno Prasetyo masih berada
di sini, tak akan aku merasakan gelisah seperti ini...,"
kata hati Bancakluka. "Harus kuakui, aku memang
membutuhkan kehadiran pemuda itu. Bukan karena
ingin meminta bantuannya. Tapi entah karena apa, ji-
ka aku melihat pemuda itu, semangatku jadi menyala
dan berkobar-kobar...."
Bancakluka membenarkan letak berbaringnya.
Namun mendadak, tangan kanannya menyentuh ben-
da yang terasa aneh di bawah bantal. Terdorong rasa
ingin tahu, diangkatnya bantal itu.
Berkerut kening Bancakluka melihat sebuah
cermin berukir yang semula tergolek di bawah bantal.
Cermin itu cuma selebar telapak tangan, berbentuk
persegi empat. Ukiran pada keempat sisinya terlihat
amat bagus, seperti ukiran pada cermin putri istana.
Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'!
Rupanya, Pendekar Bodoh lupa membawanya
saat dia menerima ajakan Silasati. (Simak lagi serial
Pendekar Bodoh dalam episode: "Sengketa Ahli Sihir").
"Astaga!"
Tersentak kaget Bancakluka. Ketika memeriksa
cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa', dia tidak meli-
hat bayangan wajahnya di permukaan cermin itu.
Bancakluka hanya dapat melihat bayang-bayang bu-
ram. Tentu saja keanehan itu membuat si pemuda ka-
get.
Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' me-
mang bukan cermin sembarangan, melainkan cermin
ajaib milik seorang manusia setengah ular bernama
Ratu Perut Bumi, yang dipinjamkan kepada Pendekar
Bodoh.
"Aku yakin cermin ini sebuah benda musti-
ka...," pikir Bancakluka, tangannya yang memegang
cermin tampak bergetar. "Tapi, bagaimana cermin ini
bisa berada di sini? Hmmm.... Walau aku tak pernah
melihat sebelumnya, aku yakin pula bila cermin ini mi-
lik Seno Prasetyo. Mungkin dia lupa membawanya...."
Ketika Bancakluka berpikir-pikir itulah terden-
gar pintu kamar diketuk. Disusul dengan suara pang-
gilan....
"Luka...! Luka...!"
"Ya, Sangkuk!" sahut Bancakluka yang telah
hafal warna suara ayahnya.
Karena tak mau cermin temuannya diketahui
orang, termasuk ayahnya sendiri, pemuda berparas
tampan itu menyembunyikan cermin 'Terawang Tem-
pat Lewati Masa' ke balik bajunya.
Daun pintu terkuak. Muncullah seraut wajah
tua milik Bancakdulina.
"Lama sekali kau menyendiri di kamar ini. Ada
apa gerangan?" tanya lelaki tua itu, seperti menegur.
Bancakluka tak menjawab.
"Aku tahu kau mengharap kehadiran pemuda
itu. Tapi, dia tak berada di sekitar kita lagi. Jangan
berharap yang bukan-bukan, Anakku. Harapan kosong
hanya akan membuatmu pandai berkhayal, sementara
kita hidup di dunia nyata. Ada banyak tantangan yang
mesti kau hadapi. Yakinlah dengan kemampuanmu
sendiri. Kalau kau punya keinginan dan kau yakin
akan berhasil mewujudkannya, tak ada yang tak
mungkin.... Keinginanmu itu pasti dapat kau raih!"
"Ya! Ya! Aku tahu, Sangkuk...," sahut Bancak-
luka.
"Kalau tahu, kenapa kau tidak segera beranjak
dari tempatmu? Hari sudah sore. Apa kau lupa bila ha-
ri ini adalah hari pengangkatan baulau baru?"
"Oh! Ya! Ya, Sangkuk!" sambut Bancakluka,
agak tergagap.
Ketika hendak keluar kamar, Bancakdulina
menepuk bahu putra tunggalnya itu.
"Sebagian besar warga Suku Asantar mengha-
rapkan dirimu dapat menggantikan diriku sebagai
baulau. Jangan kecewakan mereka."
"Ya, Sangkuk," ucap Bancakluka. Kali ini ter-
dengar tegas dan penuh keyakinan.
* * *
Tanah lapang yang terletak di ujung utara Per-
kampungan Suku Asantar itu tampak ramai sekali.
Berduyun-duyun warga suku datang untuk menyaksi-
kan upacara pengangkatan pemimpin mereka yang ba-
ru. Sementara orang jadi tak sabaran menantikan
Bancakluka yang akan unjuk kebolehan, sinar mentari
di belahan langit barat menyiramkan sinar lembut. Be-
raneka jenis burung berkicau bersahutan. Satwa
satwa bersayap itu seperti turut tak sabar untuk sege-
ra melihat Bancakluka menampakkan diri.
Namun tak lama kemudian...
Dung! Blang!
Dung! Blang!
Seorang pemuda kekar yang tentunya bertena-
ga kuat memukul genderang amat keras. Tepat dengan
berhentinya pukulan genderang itu, Bancakdulina
naik ke panggung kecil yang berada di sudut timur ta-
nah lapang. Kehadiran si kakek disambut sorak-sorai
para pengunjung karena mereka tahu bila upacara
pengangkatan baulau baru akan segera dilaksanakan.
"Terima kasih...! Terima kasih...!" seru Bancak-
dulina, mengacungkan tangan kanannya. Saat sorak-
sorai tak lagi terdengar, dia berkata, "Terima kasih atas
kesediaan kalian semua untuk datang ke tanah lapang
ini. Saya tahu harapan kalian semua sebagai warga
Suku Asantar. Tentu kalian semua menginginkan seo-
rang pemimpin yang cakap, memiliki kemampuan yang
bisa diandalkan, dan yang lebih penting lagi, bisa dija-
dikan panutan. Maka, tak berlebihan kiranya kalau
saya mencalonkan Bancakluka untuk menggantikan
kedudukanku sebagai baulau Suku Asantar...."
Di ujung kalimat kakek berambut putih mele-
tak itu, suara sorak-sorai ditimpali tepuk tangan riuh
kembali terdengar. Apalagi setelah Bancakluka tampak
berjalan ke tengah tanah lapang. Perhatian seluruh
pengunjung beralih ke sosok pemuda gagah berparas
tampan itu. Dengan langkah berat, Bancakdulina tu-
run dari panggung karena tak ada lagi yang memper-
hatikan dirinya.
Sementara sepasang kaki Bancakluka melang-
kah tegap, melangkah pula sepuluh orang pemuda
berperawakan kekar dan gagah. Kesepuluh pemuda itu
adalah para ksatria suku. Mereka semua menyandang
beraneka macam senjata tajam, termasuk lembing be-
rujung lancip dan panah.
Ketika Bancakluka menghentikan langkahnya
tepat di dalam garis melingkar yang berada di tengah-
tengah tanah lapang, para ksatria terus berjalan dan
mengambil jarak sekitar tiga puluh tombak dari hada-
pan calon baulau baru itu. Suara sorak-sorai kembali
terdengar manakala Bancakluka mulai memperli-
hatkan kemampuan beladirinya dengan memperaga-
kan jurus-jurus ilmu silat.
Ringan sekali tubuh Bancakluka berkelebatan
ke sana-sini. Kedua tangan dan kakinya senantiasa
bergerak cepat. Jurus-jurus yang diperagakannya cu-
kup enak dipandang, bahkan tampak indah sekali mi-
rip sebuah tarian. Namun demikian, setiap tangan
atau kaki si pemuda bergerak timbul suara menderu
keras. Pertanda gerakan-gerakan itu mengandung ba-
haya besar apabila digunakan untuk menyerang la-
wan.
Matahari telah tenggelam separo di garis langit
barat saat Bancakluka menyelesaikan peragaan jurus-
jurus ilmu silatnya. Berulang kali tepukan riuh-rendah
terdengar sebagai cetusan rasa puas para pengunjung
atas kemampuan Bancakluka.
Namun, suasana jadi hening sunyi tatkala para
ksatria menggeser tempat berdirinya untuk mengambil
jarak. Semua mata memandang dengan wajah tegang.
Rupanya, kesepuluh ksatria itu hendak menguji ke-
tangguhan Bancakluka dengan melemparkan senjata-
senjata yang mereka bawa. Sementara, Bancakluka
masih berdiri tenang walau nafasnya terdengar sedikit
memburu, dan kain bajunya pun telah basah oleh ke-
ringat.
Saat-saat yang amat mendebarkan segera ber-
langsung. Para ksatria benar-benar melemparkan sen-
jata-senjata yang mereka bawa. Golok, pedang, lemb-
ing, dan puluhan belati segera melesat ke arah Ban-
cakluka!
Zing! Wut! Srattt...!
"Hiahhh...!"
Sambil memekik nyaring, Bancakluka melen-
tingkan tubuhnya tinggi sekali. Untuk menghindari
hujan senjata tajam yang dilemparkan para ksatria,
seorang calon baulau tak diperkenankan keluar dari
lingkaran yang bergaris tengah sepuluh depa. Tapi, hal
itu tak seberapa membuat kesulitan bagi Bancakluka.
Karena dia memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup
hebat, mudah saja baginya menghindari hujan senjata
yang menyerbu beruntun ke tubuhnya.
Namun ketika para ksatria mulai merentang
busur dan menyerang Bancakluka dengan puluhan
anak panah, semua pengunjung menahan napas. Tak
ada yang dapat bersuara. Demikian pula Bancakduli-
na. Tentu saja Bancakdulina mengkhawatirkan kese-
lamatan putra tunggalnya. Tapi, tekad dan keinginan
si kakek sudah amat bulat. Sebelum ajal menjemput-
nya, dia ingin melihat Bancakluka menjadi pemimpin
Suku Asantar untuk menggantikannya. Dan, dia yakin
keinginannya itu akan terwujud. Hingga, dapatlah
Bancakdulina menekan rasa khawatir di hatinya.
Akan tetapi karena hujan anak panah meng-
guyur bak air bah yang tak pernah ada habisnya, Ban-
cakluka jadi amat kerepotan. Beberapa kali tubuhnya
hampir tertembus. Kaum wanita dan anak-anak yang
berada di pinggir tanah lapang, tak kuasa melihat ade-
gan yang amat mendebarkan itu. Mereka mengalihkan
pandangan. Beberapa orang di antaranya bahkan menjerit ngeri seraya menutup mata rapat-rapat.
Untunglah, sebelum sesuatu yang tak diingin-
kan terjadi, anak panah yang dibawa para ksatria ke-
buru habis. Berarti Bancakluka telah berhasil menga-
tasi ujian pertama.
Bancakdulina yang berdiri di depan kerumunan
orang banyak tampak menarik napas lega beberapa
kali. Rasa puas dan bangga tergambar jelas di sorot
matanya.
Namun selagi semua orang bertepuk tangan
dan mengelu-elukan kehebatan Bancakluka, entah da-
ri mana datangnya tiba-tiba melesat lima belas anak
panah. Lesatan anak panah itu luar biasa cepat, dan
semuanya tertuju ke bagian-bagian tubuh Bancakluka
yang paling berbahaya!
Sratttt...!
Hanya beberapa orang berkepandaian tinggi
yang dapat melihat luncuran belasan anak panah itu.
Termasuk Bancakluka. Maka tanpa pikir panjang, si
pemuda segera mengempos tubuh tinggi-tinggi. Tapi...
Wuttt...!
Aneh sekali! Dua belas anak panah lewat begitu
saja di bawah kaki Bancakluka yang tengah melayang
di udara. Namun, tiga lainnya berbelok arah dan terus
mengejar ke mana tubuh Bancakluka hendak menda-
rat!
"Keparat!" geram si pemuda. "Ada orang jahat
sengaja hendak mencelakakan diriku!"
Cepat sekali kedua tangan Bancakluka berge-
rak. Dua anak panah berhasil ditangkapnya. Namun...,
yang satu lagi tak dapat dihindarinya. Anak panah itu
terus melesat dan tepat menerpa perut si pemuda!
Bancakdulina yang sempat melihat kejadian itu
kontan memekik gusar dengan bola mata melotot besar. Namun, si kakek jadi heran, bahkan teramat he-
ran. Bancakluka tampak berdiri di tengah lingkaran
tanpa mendapat luka sedikit pun. Sementara, anak
panah yang menerpa perutnya tadi malah hancur-
lebur menjadi debu!
Bancakluka sendiri tak kalah heran. Dia berdiri
terpaku menatap kain bajunya yang berlubang. Ba-
gaimana mungkin tubuhnya jadi kebal? Sementara,
dia merasa tak memiliki ilmu kebal!
"Astaga!" kesiap si pemuda. "Rupanya, anak
panah itu membentur cermin yang kubawa ini"
Benar dugaan Bancakluka. Anak panah yang
hendak merenggut jiwanya tadi memang membentur
cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' yang dibawa si
pemuda. Karena membentur sebuah cermin mustika
yang tentunya mempunyai banyak kelebihan, anak
panah tadi langsung remuk. Dan, itu berarti telah me-
nyelamatkan jiwa Bancakluka.
Sorak-sorai terus membahana panjang. Bebe-
rapa orang langsung menyatakan kekagumannya den-
gan mengelu-elukan nama Bancakluka dengan suara
gegap gempita. Sementara, Bancakluka sendiri masih
tampak berdiri terpaku beberapa lama.
"Hmmm.... Ada orang sengaja mengirim seran-
gan dengan menggunakan kekuatan gaib," pikir pemu-
da berpakaian putih-kuning itu. "Aku tak tahu siapa
dia. Mungkinkah Raja Alam Sihir?"
Selagi Bancakluka berpikir-pikir, kembali gen-
derang besar dipukul.
Dung! Blang!
Dung! Blang!
Sesepuh suku yang paling berpengaruh, Kaluak
Labodang, naik ke panggung. Dengan suaranya yang
serak, dia berkata, "Bancakluka telah lulus ujian pertama dengan baik sekali. Untuk ujian kedua, dia harus
dapat memusnahkan makhluk ciptaanku ini!"
Setelah menarik napas panjang tiga kali, kakek
uzur berjubah hitam itu mengeluarkan ilmu sihirnya.
Si kakek menjulurkan kedua tangannya seraya berka-
ta....
"Rajawali Selaksa Petir datang menyerang! Un-
tuk menguji Bancakluka dengan membuat alang rin-
tang! Hom asantarnas yalamas... sarnas...!"
Dalam waktu bersamaan, Bancakluka berseru,
"Kuubah wujudku menjadi Naga Kepala Tiga! Akan le-
nyap segala alang rintang yang ada! Hom asantarnas
dadaulas... hurinas...!"
Ketika di udara muncul seekor burung rajawali
yang disebut sebagai Rajawali Selaksa Petir, tiba-tiba
leher Bancakluka melolor panjang menjadi tiga buah!
Dan..., kepalanya yang juga telah berjumlah tiga beru-
bah menjadi kepala naga!
Karena kemampuan mengubah wujud itulah
orang-orang Suku Asantar memberi gelar Bancakluka
sebagai Naga Kepala Tiga. Dan, kehebatan Naga Kepala
Tiga segera terlihat manakala Rajawali Selaksa Petir
mulai menyerang.
Hebat sekali makhluk ciptaan Kaluak Labodang
itu. Kedua bola mata Rajawali Selaksa Petir sanggup
mengeluarkan kilatan sinar putih seperti petir.
Glar!
Glar!
Hari yang sudah menjelang malam jadi terang-
benderang karena pijaran sinar petir yang keluar dari
bola mata Rajawali Selaksa Petir. Namun, ledakan
yang ditimbulkan terasa amat memekakkan gendang
telinga.
Melihat serangan ganas, cepat Naga Kepala Tiga
menyemburkan lidah-lidah api lewat ketiga mulutnya.
Dan ternyata, lidah-lidah api itu selalu dapat memus-
nahkan serangan petir Rajawali Selaksa Petir. Berkali-
kali timbul ledakan keras saat lidah api dan pijaran pe-
tir bentrok. Tapi tampaknya, lidah-lidah api yang me-
nyembur dari mulut Naga Kepala Tiga memang lebih
unggul. Hingga tak seberapa lama kemudian, tubuh
Rajawali Selaksa Petir hangus terbakar dan musnah
tiada berbekas!
"Hidup Naga Kepala Tiga!"
"Hidup Bancakluka!"
"Naga Kepala Tiga pantas menjadi pemimpin
Suku Asantar!"
"Bancakluka pemuda terhebat!"
Begitulah teriakan kagum orang-orang yang
menyaksikan kehebatan Bancakluka. Sementara, Ban-
cakluka yang telah mengubah wujudnya menjadi ma-
nusia biasa lagi cuma mengangguk-anggukkan kepala.
Walau pemuda gagah itu dapat lulus dari ujian
kedua, tak urung hatinya berdebar-debar. Menurut ja-
lan pikirannya, Raja Alam Sihir pasti akan muncul di
ujian ketiga. Oleh karenanya, Bancakluka tampak
mempertinggi kewaspadaan. Siapa tahu Raja Alam Si-
hir mengirim serangan gelap.
Kembali Kaluak Labodang naik ke panggung.
"Dengan baik pula, Bancakluka telah melewati ujian
kedua. Kini tiba saatnya kemampuan pemuda itu di-
coba pada ujian ketiga!" serunya. "Kepada para pemu-
da Suku Asantar lainnya yang berniat menjadi pemim-
pin suku, segeralah datang ke dekat panggung. Satu
persatu di antara kalian boleh mencoba kemampuan
Bancakluka. Siapa pun yang memenangkan pertarun-
gan akan diangkat menjadi baulau Suku Asantar!"
Suasana jadi hening. Obor-obor besar telah di
nyalakan di beberapa tempat Hening terus terasa. Tak
satu pun pemuda Suku Asantar yang berani unjuk di-
ri!
"Baik!" seru Kaluak Labodang lagi.
"Karena tak ada pemuda lain yang berniat men-
jadi pemimpin Suku Asantar dengan mencoba dulu
kemampuan Bancakluka, oleh karenanya ku nyatakan
bila Bancakluka telah melewati ujian ketiga. Dan..., dia
pun berhak menduduki jabatan sebagai baulau!"
Di ujung kalimat kakek tua renta itu, pemuda
bertubuh kekar yang bertugas memukul genderang
hendak melaksanakan tugasnya. Tapi sebelum suara
debam genderang membahana di angkasa, tiba-tiba
sesosok bayangan berkelebat ke tengah tanah lapang!
"Akulah yang akan mencoba kemampuan pe-
muda sombong ini!" teriak si bayangan.
Semua mata memandang penuh keterkejutan.
Tak terkecuali Bancakluka. Yang datang ternyata Sa-
sak Padempuan!
"Akulah Raja Alam Sihir!" kenal pemuda be-
rambut ikal panjang itu. "Akulah yang akan menjadi
pemimpin Suku Asantar! Namun sebelumnya, aku
akan mencabut nyawamu, Bancakluka!"
***
SEMBILAN
HE Siapa itu?!" tegur Kaluak Labodang yang te-
lah lamur matanya, tetap berdiri di atas panggung.
"Aku, Wak! Aku Raja Alam Sihir!" sahut Sasak
Padempuan, keras menggelagar.
"Raja Alam Sihir? He!! Bukankah kau Sasak
Padempuan?"
"Benar! Namun kini, kau bisa menyebutku Raja
Alam Sihir, Wak! Dan..., maksud kedatanganku ke
tempat ini adalah untuk turut mencalonkan diri seba-
gai baulau!"
"Tidak! Tidak ada Raja Alam Sihir! Pengadilan
Agung telah menjatuhkan hukuman buang kepadamu,
Padempuan! Kau bukan lagi warga Suku Asantar! Kau
tidak berhak mencalonkan diri sebagai baulau. Bah-
kan menginjakkan kaki di Perkampungan Suku Asan-
tar pun, kau dilarang keras!"
"Ha ha ha...!" mendadak Sasak Padempuan ter-
tawa bergelak. "Walau seribu aturan menghadang, wa-
lau seribu aral merintang, Raja Alam Sihir pantang
berbelok tujuan. Apa pun kata orang, meski sinis mata
memandang, Raja Alam Sihir tetap berniat menjadi
baulau Suku Asantar. Raja Alam Sihir akan mengem-
balikan nama besar Umpak Padempuan!"
"Hei! Jangan banyak mulut, Padempuan! Kupi-
kir kau sudah tak waras lagi. Pengadilan Agung telah
memusnahkan kekuatan ilmu sihirmu, mana dapat
kau mengalahkan Bancakluka?" teriak Kaluak Labo-
dang, lebih keras.
"Ilmu sihir ku musnah? Ha ha ha...! Lihatlah
ini...!"
Tenang sekali Sasak Padempuan mengha-
dapkan tubuhnya ke arah Kaluak Labodang. Dengan
kedua tangan terjulur, dia berkata, "Biar semua orang
membuka mata. Meledaklah panggung yang ditempati
orang tua jelek itu! Hom asantarnas paranas... ram-
sas...!"
Terkejut Kaluak Labodang. Panggung tempat-
nya berdiri tiba-tiba bergetar kencang dan mengelua-
rkan suara berderak-derak!
"Awasss...!" seru Bancakdulina, bisa menebak
apa yang akan terjadi.
Bergegas Kaluak Labodang meloncat jauh. Dan
begitu kaki si kakek mendarat di tanah, panggung
yang terbuat dari bilah-bilah kayu jati meledak hancur.
Pecahan kayu berhamburan ke berbagai penjuru!
Belasan orang yang berada di sekitar panggung
kontan jadi panik. Mereka lari berserabutan. Sementa-
ra, pemuda kekar yang membawa genderang besar
tampak meloncat jauh meninggalkan tempatnya pula.
Namun, tak lupa dia membawa genderangnya yang
memang harus dapat diselamatkan.
Untunglah, ulah Sasak Padempuan tidak sam-
pai merenggut korban jiwa. Tidak ada yang cedera
ataupun menderita luka-luka.
Meski begitu, tindakan Sasak Padempuan tadi
sudah cukup untuk memancing kemarahan seluruh
warga Suku Asantar yang berada di pinggir tanah la-
pang. Namun, mereka tak berani berbuat apa-apa ke-
cuali merutuk dan mengumpat-umpat.
Menganggap Sasak Padempuan sengaja mem-
buat keributan yang bisa membahayakan keselamatan
orang banyak, bergegas Bancakdulina meloncat ke
tengah tanah lapang. Dengan sinar mata berkilat, dia
berkata....
"Aku tahu kau telah mendapatkan kembali ke-
kuatan ilmu sihirmu. Namun, sungguh perbuatanmu
ini hanya pantas dilakukan binatang yang tak tahu
aturan! Pergi kau! Atau, kau ingin seluruh warga Suku
Asantar mengeroyok dan mencincang tubuhmu?!"
"Ha ha ha...!" tertawa lagi Sasak Padempuan.
"Mana mereka berani membunuhku? Bukankah mere-
ka semua tahu kalau aku keturunan Umpak Padem-
puan? Apa mereka tidak takut akan mendapat kutuk?"
Tak salah apa yang dikatakan Sasak Padem-
puan. Seorang kepala suku dan keturunannya memili-
ki harkat dan martabat tinggi. Dia tak boleh dibunuh
oleh warga Suku Asantar lainnya. Kalau ada yang be-
rani melakukannya, maka seluruh warga suku akan
kejatuhan kutuk para dewa. Demikianlah kepercayaan
adat yang masih melekat erat di benak warga Suku
Asantar.
Mengingat hat itu, Bancakdulina jadi ragu. Apa
yang harus dilakukannya? Mengusir Sasak Padem-
puan? Jelas pemuda itu tak akan mau. Memaksa den-
gan kekerasan? Itu pun tak boleh dilakukan. Lalu, apa
yang mesti diperbuat sebelum Sasak Padempuan be-
nar-benar melaksanakan niat buruknya?
Meragu pula Bancakluka.
Namun pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu
memaksakan diri untuk berkata, "Jika kau tahu ke-
percayaan warga Suku Asantar, kenapa kau berniat
membunuhku? Bukankah itu sama artinya dengan
kau hendak membuat malapetaka di perkampungan
suku yang dirintis oleh leluhurmu itu?"
"Hmmm.... Encer juga otakmu, Bancakluka...,"
cibir Sasak Padempuan. "Apa pun yang terjadi, aku
akan tetap membunuhmu! Kalau kutuk para dewa be-
nar-benar menimpa seluruh warga Suku Asantar, itu
malah kebetulan sekali. Aku memang berniat membuat
malapetaka! Suku Asantar dirintis oleh leluhurku,
Umpak Padempuan, tak salah kalau aku yang akan
menghancurkannya! Ha ha ha...! Bersiap-siaplah kau,
Bancakluka! Aku ingin melihat kemajuan ilmu sihirmu
setelah tempo hari kau dapat dengan mudah ku pe-
cundangi!"
Semakin meragu Bancakluka. Haruskah dia tu-
ruti tantangan Sasak Padempuan? Tapi, bagaimana
nanti kalau kutuk para dewa benar-benar menimpa se-
luruh warga Suku Asantar?
Tak dapat membuat keputusan sendiri, Ban-
cakluka menatap wajah Bancakdulina, mengharap du-
kungan ataupun jalan keluar dari ayahnya itu. Na-
mun, Bancakdulina pun tengah bingung! Maka, jadilah
mereka berdua sama-sama berdiri terpaku tanpa ber-
buat apa-apa. Sementara, semua orang yang berdiri di
pinggir tanah lapang semakin ribut dengan mengelua-
rkan kata-kata kotor, menyumpah dan mencaci maki
Sasak Padempuan.
Para ksatria dan sesepuh suku pun tak berani
bertindak. Mereka percaya bila kutuk akan benar-
benar jatuh jika Sasak Padempuan dibunuh.
Pada saat-saat yang mendebarkan itulah men-
dadak berkelebat sesosok bayangan, langsung melesat
ke tengah tanah lapang. Ketika telah mendarat di per-
mukaan tanah, dapatlah dilihat bila dia seorang pe-
muda remaja berpakaian biru-biru dengan ikat ping-
gang kain merah. Berparas tampan, rambutnya pan-
jang tergerai. Namun, tatapan matanya terlihat amat
lugu seperti orang berotak bebal. Si Pendekar Bodoh
Seno Prasetyo!
"Tenanglah! Tenanglah!" ujar murid Dewa Dun-
gu itu. "Aku tahu kepercayaan yang ada di sini. Oleh
karenanya, akulah yang akan membereskan pemuda
sombong itu! Aku bukan warga Suku Asantar. Bukan-
kah tak akan melanggar kepercayaan di sini jika aku
sampai membunuh pemuda itu?"
Seno berkata-kata penuh keyakinan. Tapi, jelas
bukan karena bermaksud menyombongkan diri atau-
pun memamerkan kemampuannya. Kata-katanya tadi
tercetus hanya karena sifatnya yang amat lugu.
Bancakluka berseru girang. Melihat kehadiran
Seno, terbersit satu harapan di lubuk hatinya. Tapi,
benarkah Seno akan dapat menggagalkan niat buruk
Sasak Padempuan?
Sasak Padempuan telah menunjukkan keheba-
tan ilmu sihirnya. Apakah Seno dapat memberi perla-
wanan? Bukankah dia sama sekali tak mengerti ilmu
sihir? Begitulah pertanyaan yang ada di benak Ban-
cakluka.
"Jangan gegabah, Seno!" tegur Bancakluka,
menyembunyikan rasa senangnya. "Aku tak ingin me-
lihatmu celaka. Urusan dengan Sasak Padempuan
adalah urusan semua warga Suku Asantar. Biarlah
kami sendiri yang akan menyelesaikannya!"
Nyengir kuda sejenak Seno. Setelah menatap
lekat wajah Bancakluka, dia berkata, "Bagaimana cara
warga sukumu akan menyelesaikan urusannya dengan
Sasak Padempuan, Bancakluka? Siapa yang berani
membunuh pemuda itu? Apa tidak takut kejatuhan
kutuk?"
"Tapi...."
Bancakluka hendak menyahuti ucapan Seno,
namun suaranya keburu tertelan suara tawa Sasak
Padempuan.
"Ha ha ha...! Dasar pemuda tolol! Yakin benar
kau pada kemampuanmu. Cobalah buka matamu le-
bar-lebar!"
Sasak Padempuan menjulurkan kedua tangan-
nya ke arah Seno. Dia keluarkan ilmu sihirnya untuk
membunuh pemuda lugu itu!
"Putaran angin puting beliung muncul! Tubuh
pemuda tolol itu terisap! Dan, terbanting mati! Hom
asantarnas paranas... ramsas...!"
Seno tidak menjadi kaget ataupun ciut nyalinya
melihat Sasak Padempuan bermaksud membunuhnya.
Karena telah mencoba berkali-kali dan melatih mem-
bangkitkan ilmu sihir pemberian Danyangsuli, dia ya-
kin akan bisa mengatasi putaran angin puting beliung
ciptaan Sasak Padempuan.
Tampak kemudian, Seno menjulurkan kedua
tangannya pula seraya berkata....
"Putaran angin puting beliung yang lebih besar
muncul! Angin puting beliung kecil terisap dan mus-
nah! Hom asantarnas hawarnas... samlas...!"
Dan ternyata..., Pendekar Bodoh pun mampu
menciptakan angin puting beliung.
Wessss...!
Putaran angin puting beliung ciptaan Seno le-
bih besar dua kali lipat dibanding ciptaan Sasak Pa-
dempuan. Ketika terjadi bentrokan, timbul ledakan ke-
ras menggelegar. Angin puting beliung ciptaan Sasak
Padempuan benar-benar terisap, lalu keduanya lenyap
tanpa bekas!
"Haram jadah! Kurang ajar!" geram Sasak Pa-
dempuan.
Sementara pemuda berpakaian hitam-hitam itu
digeluti rasa jengkel dan amarah, Bancakluka berseru
girang. Tak dapat digambarkan lagi betapa gembiranya
Bancakluka melihat Seno telah memiliki kekuatan il-
mu sihir, bahkan mampu mengalahkan ilmu sihir Sa-
sak Padempuan.
Melalui sinar rembulan dan obor-obor besar
yang dipasang di beberapa tempat, dapatlah dilihat ba-
gaimana perubahan air muka Sasak Padempuan. Raut
wajahnya yang semula garang dan mencerminkan sifat
tinggi hatinya, berubah pucat pasi karena menahan
rasa malu. Tapi justru karena desakan rasa malu itu-
lah amarah dalam diri Sasak Padempuan menyeruak
lepas dan membuatnya berniat membinasakan siapa
saja yang berada di hadapannya!
"Aku panggil Cambuk Mahkota Api! Binasalah
semua orang yang berada di tempat ini! Hom asantar-
nas... paranas... ramsas...!"
Kali ini Sasak Padempuan mengeluarkan selu-
ruh kekuatan ilmu sihirnya. Bahkan menggunakan
pula daya gaib cincin 'Permata Kelelawar Dewa' yang
melingkar di jari tengah tangan kanannya. Sehingga,
cincin azimat bercupu kelelawar itu memancarkan si-
nar merah berkilat!
"Celaka!" seru Bancakluka dan Bancakdulina
ketika melihat wujud Cambuk Mahkota Api yang me-
layang di udara.
Jder...!
Jder...!
Dua kali Cambuk Mahkota Api menyalak di
angkasa. Lidah-lidah api yang menyelubungi cambuk
raksasa itu kontan bertebaran, membuat malam jadi
terang-benderang!
Bancakluka dan ayahnya yang masih belum
dapat menentukan tindakan apa yang harus mereka
lakukan untuk menghentikan niat buruk Sasak Pa-
dempuan tampak berdiri terpaku. Namun setelah me-
nyadari ada bahaya mengancam jiwa, cepat mereka
meloncat jauh. Sementara sambil meloncat Bancaklu-
ka berteriak ke arah Pendekar Bodoh.
"Seno! Lekas tinggalkan tempat ini!"
Seno tetap berdiri tenang. Bukan dia tak tahu
kalau Cambuk Mahkota Api bisa merenggut jiwanya.
Namun, dia memang berniat memberi perlawanan. Un-
ggul pada gebrakan pertama tadi membuat Seno se-
makin yakin bila dia bisa mengalahkan ilmu sihir Sa-
sak Padempuan. Tapi, benarkah demikian?
"Golok Mata Dewa datang! Membuat lumpuh
Cambuk Mahkota Api! Hom asantarnas hawarnas...
samlas...!"
Di ujung kalimat Pendekar Bodoh, tiba-tiba
muncul sebilah golok raksasa yang tajam berkilat.
Langsung melesat dan meluruk Cambuk Mahkota Api!
Zing...! Wuttt...!
Pertempuran seru antara dua kekuatan ilmu
sihir segera berlangsung. Golok Mata Dewa terus ber-
desing ganas dan berusaha membabat putus Cambuk
Mahkota Api. Tapi, tentu saja Cambuk Mahkota Api
tak mau tinggal diam. Senjata raksasa ciptaan Sasak
Padempuan itu terus berkelebatan dan senantiasa
mengeluarkan suara ledakan keras. Lidah-lidah api
yang menyelubungi tali cambuk berusaha melelehkan
Golok Mata Dewa.
Orang-orang yang semula hendak berlari me-
ninggalkan tempat ketika melihat keganasan Cambuk
Mahkota Api tampak mengurungkan niat mereka. Me-
reka semua kembali berdiri di pinggir tanah lapang un-
tuk menyaksikan pertarungan antara Cambuk Mahko-
ta Api melawan Golok Mata Dewa. Mengetahui sifat ja-
hat Sasak Padempuan yang sejak dulu tak mereka su-
kai, mereka jadi berharap Golok Mata Dewa ciptaan
Pendekar Bodoh akan dapat melumpuhkan keganasan
Cambuk Mahkota Api.
Tapi tampaknya, harapan seluruh warga Suku
Asantar itu hanya akan tinggal harapan ketika....
Jder...! Werrr...!
Didahului ledakan keras, tiba-tiba tali Cambuk
Mahkota Api bergerak cepat sekali. Berhasil membelit
bilah Golok Mata Dewa!
Tubuh Pendekar Bodoh yang tengah berdiri
bersedekap dengan mata terpejam rapat tampak berge-
tar. Si pemuda mengempos seluruh kekuatan ilmu si
hirnya. Namun..., bilah Golok Mata Dewa tetap tak da-
pat membebaskan diri dari belitan Cambuk Mahkota
Api!
Bahkan ketika Sasak Padempuan mening-
katkan kekuatan ilmu sihirnya, Golok Mata Dewa tam-
pak melengkung. Kalau golok terbang itu sampai pa-
tah, maka tubuh Pendekar Bodoh akan turut patah
menjadi dua bagian!
"Astaga!" kejut Bancakluka, penuh rasa khawa-
tir.
Dengan hati berdebar kencang, pemuda itu me-
loncat mendekati Seno. Namun ketika hendak mem-
bantu Seno dengan mengalirkan kekuatan ilmu sihir-
nya, dia jadi ragu. Kalau Sasak Padempuan terbunuh,
tidakkah kutuk para dewa akan menjadi kenyataan?
Pada saat Bancakluka masih terpaku dalam ke-
raguan, tubuh Pendekar Bodoh terbungkuk. Kedua
tangannya tak lagi bersedekap, melainkan terjulur ke
depan dan bergerak-gerak tak tentu arah.
Namun, gerakan Pendekar Bodoh yang telah
berada di ambang ajal itu diartikan lain oleh Bancak-
luka. Gerakan tangan Pendekar Bodoh dikiranya me-
minta sesuatu kepadanya. Dan teringat akan cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa', bergegas Bancakluka
memberikan cermin ajaib itu kepada Pendekar Bodoh!
Slaps...!
Luar biasa! Suatu keajaiban terjadi. Saat cer-
min 'Terawang Tempat Lewati Masa' menyentuh tela-
pak tangan kanan Pendekar Bodoh, Golok Mata Dewa
memancarkan sinar biru. Belitan Cambuk Mahkota
Api lepas. Dan..., cambuk raksasa itu langsung terpen-
tal jauh, lalu lenyap tanpa bekas!
"Wuahhhh...!"
Memekik parau Sasak Padempuan. Seiring
dengan terpentalnya Cambuk Mahkota Api, tubuh si
pemuda mencelat jauh. Lalu, jatuh terbanting di tanah
keras!
Pendekar Bodoh yang merasa telah dapat men-
galahkan ilmu sihir Sasak Padempuan langsung mem-
buka kelopak matanya. Dia jadi heran melihat cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa' yang telah berada da-
lam genggamannya.
"Cermin itu benar-benar luar biasa, Seno...!" se-
ru girang Bancakluka.
Pendekar Bodoh cuma terlongong bengong. Se-
mentara, Sasak Padempuan tampak meloncat bangkit.
Dari mulut, lubang hidung, dan telinganya meleleh da-
rah segar. Dengan sikap berdiri sempoyongan, dia ber-
seru lantang....
"Kedua orangtua ku mati menjatuhkan diri dari
puncak Bukit Silambar gara-gara mereka dihina dan
dikucilkan! Tak bolehkah jika aku membalas kematian
mereka?! Kalian semua Jahanam! Kalian semua ke-
jam!"
Setelah menumpahkan seluruh kekesalan ha-
tinya, Sasak Padempuan bermaksud mengeluarkan il-
mu sihirnya yang terhebat, yaitu 'Sihir Peruntuh Gu-
nung'!
Karena kekuatan ilmu sihir pemuda itu dibantu
daya gaib cincin 'Permata Kelelawar Dewa', dapat di-
pastikan bila kedahsyatan ilmu 'Sihir Peruntuh Gu-
nung' akan berlipat ganda!
"Aku Sasak Padempuan. Adalah keturunan
Umpak Padempuan. Para dewa di jagat raya memper-
dengarkan keinginanku. 'Sihir Peruntuh Gunung' akan
menunjukkan kehebatannya.... "
Mendengar kata 'Sihir Peruntuh Gunung', se-
bagian orang yang berada di pinggir tanah lapang jadi
bergidik ngeri. Perkampungan Suku Asantar akan
hancur lebur bila ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' benar-
benar dikeluarkan oleh Sasak Padempuan. Maka den-
gan perasaan kalut dan panik luar biasa, orang-orang
itu lari pontang-panting untuk mencari selamat!
"Binasakan semua orang yang berada di tempat
ini! Hancurkan Perkampungan Suku Asantar!" lanjut
Sasak Padempuan. Hom asantarnas paranas..."
Tapi sebelum pemuda yang sudah kalap itu
mengakhiri kata kunci ilmu sihirnya, Seno mengirim
pukulan jarak jauh dengan 'Pukulan Inti Dingin'!
Memang, tak ada cara lain bagi Seno untuk
menyelamatkan seluruh warga Suku Asantar kecuali
melancarkan pukulan jarak jauh. Walau seluruh ke-
kuatan ilmu sihir Danyangsuli telah dimasukkan ke
tubuhnya, tapi dia tak punya ilmu sihir yang mampu
menandingi kedahsyatan ilmu 'Sihir Peruntuh Gu-
nung'. Dan tampaklah kemudian....
Wusss...!
"Wuahhh...!"
Sekali lagi Sasak Padempuan memekik parau.
Tertimpa gumpalan salju yang melesat dari telapak
tangan kanan Pendekar Bodoh, tubuh pemuda itu ter-
pental keras. Ketika jatuh ke tanah, wujudnya telah
berubah menjadi tulang-belulang terbungkus lapisan
salju kuning keemasan!
Selagi semua mata menatap terbelalak, Pende-
kar Bodoh meloncat sebat. Dengan bantuan sinar obor,
dapat ditemukannya cincin 'Permata Kelelawar Dewa'
yang semula dipakai Sasak Padempuan.
Cincin yang masih utuh tanpa cacat itu lalu di-
berikan kepada Bancakluka.
"Cincin azimat ini milik Danyangsuli. Tapi ka-
rena dia telah meninggal, kau miliki saja. Barangkali di
kelak hari nanti akan sangat berguna bagimu, Bancak-
luka. Selamat! Kau baulau Suku Asantar yang baru."
Kalimat Seno ditimpali sorak-sorai warga Suku
Asantar yang masih berada di pinggir tanah lapang.
Sementara, Bancakluka masih berdiri terpaku, tak se-
gera menerima cincin pemberian Pendekar Bodoh.
Bancakdulina pun menatap dengan mulut ter-
buka lebar. Sementara, pemuda kekar yang bertugas
memukul genderang langsung menjalankan tugasnya.
Dung! Blang!
Dung! Blang!
* * *
"Sebenarnya warga Suku Asantar tak pernah
menghina ataupun mengucilkan kedua orangtua Sa-
sak Padempuan. Orang-orang sini hanya tak suka me-
lihat sifat sombong Kalam Padempuan dan istrinya.
Jadi, bukan karena perbuatan warga Suku Asantar si-
ni kalau kedua orangtua Sasak Padempuan itu nekat
bunuh diri...," tutur Bancakdulina.
"Lalu, mereka bunuh diri karena apa?" buru
Seno.
"Entahlah," geleng Bancakdulina.
"Mungkin karena terdorong rasa malu. Sebab,
tak satu pun keturunan Umpak Padempuan yang bisa
menduduki jabatan baulau lagi," cetus Bancakluka.
"Mungkin juga," tegas Bancakdulina.
Seno cuma mengangguk-anggukkan kepala.
Dia telanjur membunuh Sasak Padempuan. Namun,
tak ada yang perlu disesali. Sasak Padempuan me-
mang orang jahat yang patut dibinasakan. Dendam ke-
sumat Sasak Padempuan pada warga Suku Asantar
sama sekali tak beralasan.
Sambil berbincang di balai-balai rumah, ketiga
orang itu menikmati kopi manis yang disuguhkan.
Namun, ketenangan mereka jadi terusik dengan keha-
diran Silasati dan Sadeng Sabantar yang datang ber-
sama Bancaksika dan Karusang Sabantar.
"Maafkan aku, Dulina...," ucap Bancaksika se-
telah dipersilakan duduk. "Bukan aku hendak menca-
but kembali kesepakatan di antara kita berdua. Ter-
paksa aku harus memutuskan tali pertunangan Silasa-
ti dengan Bancakluka. Karena... karena Silasati men-
gancam bunuh diri bila tak diperbolehkan menikah
dengan Sadeng Sabantar...."
"Benar begitu, Sati?" selidik Bancakdulina.
Silasati mengangguk.
"Maafkan aku, Tuan Baulau...," ujar Sadeng
Sabantar dengan badan terbungkuk. "Sejak kecil, aku
dan Silasati telah berteman akrab. Kami berdua hen-
dak melanjutkan persahabatan itu dengan membentuk
rumah tangga bersama. Tapi kalau Tuan baulau tak
menyetujui, Tuan baulau boleh membunuh kami ber-
dua..."
Usai berkata, Sadeng Sabantar membentur-
benturkan dahinya ke lantai papan. Benturan itu cu-
kup keras, membuat dahi si pemuda berdarah.
"Anakku!" cegah Karusang Sabantar, meme-
gangi bahu putranya.
"Ha ha ha...!" mendadak Bancakdulina tertawa
bergelak. "Aku bukan baulau lagi. Kalian semua tak
perlu takut dan segan. Suku Asantar telah mempunyai
baulau baru. Bancakluka! Apa kalian lupa? Dan soal
pertunangan antara Bancakluka dengan Silasati, aku
memang berniat membicarakan hal ini denganmu, Si-
ka. Kebetulan kalau kau datang. Aku juga berniat
memutuskan tali pertunangan di antara anak kita.... "
"Benar begitu?" sahut Bancaksika, setengah tak
percaya.
"Ya! Kau tak perlu khawatir, Sika! Silasati boleh
menikah dengan Sadeng Sabantar. Kau senang, Sati?"
"Ya! Ya, Wak...," Jawab Silasati dengan hati
berbunga-bunga.
"Tak mengancam mau bunuh diri lagi?"
Silasati menunduk malu.
"Kau... kau tak apa-apa, Luka?" ganti Bancak-
sika yang bertanya kepada Bancakluka.
"Kalau Sadeng Sabantar dapat membahagiakan
Silasati, kenapa aku mesti keberatan?" jawab Bancak-
luka. "Perlu kukatakan pula, sebenarnya sejak dulu
aku telah mempunyai kekasih yang amat kucintai. Dia
adalah...."
Bancakluka tak meneruskan ucapannya karena
dari serambi belakang muncul seorang gadis membawa
nampan berisi minuman dalam cangkir untuk dis-
uguhkan pada para tamu. Gadis itu cantik sekali. Ku-
litnya putih mulus seperti tanpa cacat sama sekali.
"Rami Sedadang...," desis Bancaksika.
"Ya! Dialah calon Istri Bancakluka, Sika," jelas
Bancakdulina. "Dia putri Suta Sedadang, satu-satunya
warga Suku Asantar yang menjadi saudagar."
"Tapi..., ayah Rami Sedadang masih berada di
tanah Jawa. Kalau barang dagangannya sudah habis,
dia tentu cepat kembali. Dan..., cepat pula bagi Ban-
cakluka untuk menikahi kekasihnya," tambah Seno
seraya cengar-cengir.
"Kau kenapa?" tanya Bancakluka yang melihat
kebiasaan buruk Pendekar Bodoh.
"Ah! Tak apa-apa! Aku cuma iri kepadamu, Lu-
ka. Kau begitu beruntung. Sedang aku? Hi hi.... Mau
menikah dengan siapa?"
Ucapan Seno memaksa semua orang tersenyum
geli. Sementara, Bancakdulina malah tertawa bergelak-gelak....
SELESAI
Segera terbit!!!!
RAHASIA SUMUR TUA
0 comments:
Posting Komentar