"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 27 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE LAKNAT MALAM KLIWON (TDS)

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

KARYA BASTIAN TITO


WIRO SABLENG EPISODE LAKNAT MALAM KLIWON



SATU


MENUNGGU EMPAT PULUH SEMBILAN TAHUN


BUKU ini merupakan sisi lain dari serial Wiro Sableng 

yang terbit sebelumnya, berjudul "Munculnya Sinto 

Gendeng". Dalam seri tersebut dikisahkan 

bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Eyang Sinto 

Gendeng bersama seorang kakek sakti bernama Ki Rana 

Wulung menyelamatkan Sri Baginda dan menghancurkan 

kaum pemberontak yang didalangi oleh keponakan Raja 

sendiri yaltu Pangeran Jingga. 

Tugas ke tiga orang itu dalam membantu me-

nyelamatkan Kerajaan tidak mudah. Kaum pemberontak 

dibantu oleh beberapa tokoh silat kelas tinggi, antara lain 

Bergola Ijo (mati), Suto Abang (melarikan diri), Si Tangan 

Besi (mati), Malaikat Serba Biru (mati), dan Nenek 

Kelabang Merah (mati). 

Keadaan bertambah ricuh karena ternyata beberapa 

pejabat tinggi Kerajaan berkhianat dan ikut membantu 

kaum pemberontak. Mereka di antaranya adalah Raden 

Aryo Braja yang Kepala Balatentara Kerajaan (mati) dan 

Turonggo Wesi (Perwira Tinggi Balatentara Kerajaan, mati). 

Sebagai balas budi jasa besar ke tiga orang itu, walau 

mereka menolak namun Raja memaksa menyerahkan 

sebuah peta yang menunjukkan letak sebuah telaga 

rahasia yang penuh dengan kandungan emas. Kisah telaga 

rahasia ini kemudian dituturkan dalam serial Wiro Sableng 

ke-37 berjudul "Telaga Emas Berdarah".


Ketika Eyang Sinto Gendeng berkelahi hidup mati 

melawan Nenek Kelabang Merah, guru Pendekar 212 itu 

mengeluarkan satu ilmu sakti yang mampu memancarikan 

dua larik sinar biru dari sepasang matanya. Pendekar 212 

terkejut melihat kejadian itu. Dua larik sinar biru itu 

ternyata luar biasa hebatnya. Wiro menyadari, selama 

digembleng di puncak Gunung Gede sang guru tidak 

pernah mewariskan ilmu kesaktian itu padanya. Diam-diam 

sang pendekar merasa kecewa. Apa betul ucapan orang 

bahwa seorang guru tidak pernah mengajarkan atau 

mewariskan semua ilmu kepandaiannya pada seorang 

murid? 

Karena tidak suka memendam hati yang membuatnya 

merasa tidak enak, di sebuah sungai kecil Wiro berkata 

pada sang guru. 

"Eyang, rupanya benar ucapan orang. Bahwa tidak ada 

guru yang mengajarkan seluruh kepandaian pada 

muridnya!"

Saat itu Sinto Gendeng hentikan larinya, berpaling pada 

sang murid dengan wajah merah dan membentak. 

"Apa maksudmu anak sableng?" 

"Tadi kulihat Eyang mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik 

sinar biru melesat keluar dari mata dan merontokkan 

tubuh kelabang sakti…!" 

"Hemm... begitu?"si nenek bergumam. "Ucapan orang 

itu mungkin benar. Tapi aku mau tanya. Berapa usiamu 

sekarang, anak sableng...?" 

"Dua... dua puluh satu Eyang!" 

"Betul! Itu berarti kau harus menunggu empat puluh 

sembilan tahun lagi untuk dapat menguasai ilmu itu!" 

Wiro garuk-garuk kepalanya. 

"Mengapa begitu, Eyang?" 

"Selama sepasang matamu masih terpikat pada 

keindahan dunia, selama kedua matamu masih suka


melihat wajah perempuan cantik dan tubuh yang bagus 

mulus, selama kau suka melihat aurat perempuan yang 

terlarang yang bukan istrimu, selama itu pula kau tak bakal 

dapat menguasal ilmu itu!" 

Mendengar ucapan sang guru Pendekar 212 Wiro 

Sableng jadi tertegun diam. Sambil garuk-garuk kepala dia 

membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sang 

guru ternyata sudah berkelebat lenyap dari hadapannya. 

"Ah... nenek-nenek itu mungkin benar. Aku masih suka 

melihat wajah cantik, melihat dada kencang dan paha 

putih. Ha... ha… ha.... Biarlah aku tidak menguasai ilmu itu! 

Ha... ha... ha!"


DUA


DIKURUNG JARING LIMA PENJURU JAGAD



WIRO memandang ke langit. Sang surya dilihatnya 

telah menggelincir jauh ke barat. 

Sebentar lagi sang mentari ini akan segera 

tenggelam. Siang akan berganti dengan malam. Setelah 

merenung sesaat Pendekar 212 segera tinggalkan tempat 

itu. Untuk menghibur hati dia berjalan sambil bersiul-siul 

membawakan lagu tak menentu. Di satu tempat Wiro 

hentikan siulannya. Telinganya menangkap suara 

gemericik kucuran air. Mendadak saja pemuda ini merasa 

haus. Maka diapun melangkah ke jurusan datangnya 

suara. Tidak sampai berjalan sejauh sepuluh tombak, Wiro 

hentikan langkah. Di depan sana ada sebuah pancuran 

bambu yang airnya mengucur jatuh ke atas bebatuan lalu 

tersebar kemana-mana dalam bentuk aliran-aliran kecil. Di 

sebuah batu tak seberapa besar di dekat pancuran, Wiro 

melihat si nenek duduk sambil bertopang dagu, menatap 

ke arah air yang mengucur dari mulut pancuran bambu. 

"Sedang apa nenek ini berada di sini," berpikir Wiro. Lalu 

senyumnya menyeruak. Kembali dia membatin. "Jangan-

jangan dia sengaja menunggu aku di sini. Jangan-jangan 

dia berubah pikiran hendak mengajarkan ilmu dua larik 

sinar biru yang bisa melesat keluar dari mata itu!" Berpikir 

begitu Wiro segera dekati Eyang Sinto Gendeng dan 

menegur. 

"Eyang, aku kira kau sudah pergi jauh. Ternyata 

nongkrong di sini. Apakah kau hendak mandi mem


bersihkan diri dengan air pancuran?" 

"Anak sableng! Jangan kau berani menghina aku! Siapa 

yang mau mandi? Apa kau kira aku tidak pernah mandi-

mandi?!" Si nenek bicara dengan suara keras mata 

melotot. Tapi pandangannya tidak beralih dari arah 

pancuran. 

Sang murid kembali tersenyum. Dalam hati dia berkata. 

"Nek, kalau kau sering mandi, tubuhmu tidak dekil begitu 

dan pakaianmu tidak bau pesing!" 

"Anak setan! Apa yang barusan kau ucapkan dalam 

hati?!" 

Hardikan si nenek membuat Wiro Sableng tergagau. 

"Celaka, mungkin dia tahu apa yang tadi kubilang dalam 

hati!" 

Wiro cepat berkata. "Maafkan aku Nek, aku tidak 

berucap apa-apa. Cuma aku heran melihat kau ada di sini. 

Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Seolah ada 

ganjalan dalam hatimu. Eyang, mungkin juga kau 

mendadak berubah pikiran?" 

"Anak setan! Apa maksudmu?! Pikiran aku yang mana 

yang berubah? Atau kau mau bilang aku berubah jadi 

setengah waras atau mendadak jadi sinting?!" Sinto 

Gendeng kembali membentak. Dua matanya tetap saja 

menatap ke arah pancuran bambu. 

"Maksudku, mungkin aku tidak usah menunggu empat 

puluh sembilan tahun. Kau mau mengajarkan ilmu dua 

jalur sinar biru itu sekarang juga...." 

"Benar-benar anak setan! Bertahun-tahun kau ikut aku 

di puncak Gunung Gede! Apa selama itu kau pernah 

melihat aku berubah pikiran?!" 

"Memang tidak pernah Eyang," jawab Wiro masih 

senyum dan kali ini sambil garuk kepala. "Tapi per-

timbangan tertentu bisa membuat seseorang berubah. 

Misal, kau menyadari tantangan dan bahaya di dalam


rimba persilatan semakin besar. Hingga...." 

"Hingga aku merasa perlu membekalimu dengan ilmu 

dua larik sinar biru itu! Begitu?!" 

"Kira-kira begitu Nek," jawab Wiro lalu tertawa lebar. 

Lima tusuk kundai perak yang menancap di kulit kepala 

si nenek berjingkrak. Mulutnya yang kempot 

digembungkan. 

"Anak setan! Lekas angkat kaki dari sini! Jangan sampai 

aku menggebukmu karena muak!" 

"Eyang, maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu 

marah. Aku tidak memikirkan lagi soal ilmu itu. Juga tidak 

untuk masa empat puluh sembilan tahun mendatang. Apa 

perlunya kepandaian di usia sudah bau tanah. Justru ilmu 

itu harus dimanfaatkan selagi muda untuk menolong 

sesama.... " 

Sinto Gendeng cemberut sebentar lalu tertawa 

mengekeh. 

"Anak sableng! Kau pandai memilih kata-kata agar 

hatiku bisa terenyuh! Hik... hik... hik! Sekalipun angin sejuk 

atau angin api mendera hatiku, jangan harap Sinto 

Gendeng bisa berubah pikiran! Sudah! Pergi sana! Jangan 

mengganggu diriku lebih lama!" 

Wiro membungkuk hormat. "Jika begitu kehendak 

Eyang, aku minta diri sekarang. Tapi kalau boleh aku 

memberi nasihat sebaiknya Eyang jangan lama-lama 

berada di tempat ini...." 

"Eh, memangnya kenapa? Siapa yang berani 

melarang?!" Sinto Gendeng pelototkan mata ke arah air 

pancuran. 

"Tidak ada yang melarang Eyang. Setahuku di sekitar 

sini ada binatang buas aneh berkepala macan tapi cuma 

punya dua kaki. Makhluk ini jahat sekali, paling suka 

menggeragot benda jelek dan bau-bau!" 

"Anak setan jahanam! Mentang-mentang aku jelek dan


bau! Kau sengaja menghina mempermainkan diriku! 

Makhluk apapun yang ada di sekitar sini siapa takut! Kau 

memang minta digebuk!" Saking marahnya Sinto Gendeng 

gerakkan tangan kiri hendak memukul sang murid. 

Tapi sambil tertawa gelak-gelak Wiro sudah melompat. 

Pemuda ini lambaikan tangannya. "Selamat tinggal 

Eyang.... " Wiro menyelinap ke balik serumpunan pohon 

bambu hutan. Baru berjalan belasan langkah tiba-tiba di 

belakangnya terdengar si nenek berseru. 

"Anak setan! Tunggu! Lekas kau kembali ke sini!" 

Wiro tersenyum sendiri. "Ah, pasti dia benar-benar 

berbalik hati. Pasti dia memanggilku untuk mengajarkan 

ilmu kesaktian dahsyat itu. Mulutnya yang perot itu 

memang suka bicara kasar. Tapi aku tahu hatinya seperti 

emas...." Sambil tertawa-tawa Wiro kembali ke tempat 

gurunya. Si nenek masih duduk di tempat tadi dan tetap 

menatap ke arah pancuran bambu. 

"Nek, aku sudah di sini. Ada sesuatu yang hendak kau 

sampaikan padaku?" 

"Malam ini malam apa?!" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan 

pertanyaan. 

Wiro jadi garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia menduga 

si nenek akan bicara soal ilmu kesaktian itu. Ternyata 

malah mengajukan pertanyaan aneh. 

"Aku bertanya, kau tidak menjawab! Apa mulutmu 

mendadak gagu?! Atau kupingmu tiba-tiba budek?!" Sinto 

Gendeng membentak. 

Sang murid garuk kepala, cepat-cepat menjawab. "Hari 

ini hari Kamis, Nek. Malam nanti jelas malam Jum'at...." 

"Bocah tolol! Aku juga tahu kalau hari ini hari Kamis dan 

nanti malam Jum'at! Yang aku ingin tanya malam nanti 

malam apa? Apa malam Legi, Pahing, Pon, Wage atau

Kliwon?! Dasar anak setan! Sudah dua puluh satu tahun 

masih saja konyol dan geblek!"


Pendekar 212 mau tak mau jadi garuk-garuk kepala. Dia 

berpikir-pikir. "Kalau aku tidak salah, mungkin sekali 

malam nanti adalah malam Jum'at Kliwon, Nek...." 

Untuk pertama kalinya si nenek alihkan pandangannya 

dari air pancuran yang sejak tadi diperhatikannya. "Jangan 

bicara kalau atau mungkin! Aku ingin yang pasti!" Si nenek 

menghardik. 

Wiro perhatikan wajah sang guru. Seperti ada 

perubahan di muka si nenek yang hanya tinggal kulit 

pembalut tulang itu. "Aku... aku yakin malam nanti adalah 

malam Jum'at Kliwon," kata Wiro setelah berpikir lagi. 

"Kau yakin?!" 

"Yakin sekali Nek," jawab Wiro. Dalam hati dia merasa 

heran, mengapa sang guru bertanya begitu. Ketika dia 

memperhatikan lagi-lagi Wiro melihat wajah si nenek 

berubah. 

"Kalau kau yakin sebentar malam adalah malam Jum'at 

Kliwon ya sudah! Pergi sana...." 

"Jadi kau memanggilku hanya untuk bertanya itu Nek? 

Jadi sekarang aku pergi saja?" 

"Apa kau tuli?!" sentak Sinto Gendeng. 

"Aku segera pergi Nek. Apa ada hal lain yang bisa 

kulakukan untuk Eyang sebelum pergi?" tanya Wiro. 

"Tidak ada! Aku hanya ingin kau tinggalkan tempat ini!" 

jawab Sinto Gendeng lalu kembali dia memandang ke arah 

pancuran bambu. 

Melihat sikap sang guru begitu rupa sambil tersenyum 

Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Lupa kalau 

sebelumnya dia merasa haus. Sesaat kemudian sang surya 

sudah lenyap di kaki katulistiwa sebelah barat. Siang 

berganti malam. Kegelapan mulai merayap pekat. 

Sinto Gendeng tarik nafas panjang. Dia ulurkan dua 

tangannya untuk rnenampung air pancuran yang sejuk. 

Maksudnya hendak minum beberapa teguk. Namun


gerakannya tertahan ketika telinganya yang tajam 

mendengar suara-suara berkelebat. Nenek sakti ini melirik. 

Lima bayangan hitarn berpencar. disekelilingnya 

"Mereka sudah datang..." kata si nenek dalam hati. 

"Mereka sengaja mengurungku dengan Jaring Lima 

Penjuru Jagat. Selama ini mereka mengagulkan tak ada 

yang mampu menembus kurungan itu. Weehhhhh! Aku 

mau lihat apa benar begitu! Hik... hik... hik." 

***


TIGA


DENDAM DELAPAN TAHUN


SINTO GENDENG!" satu suara membentak 

dalam kegelapan. Orangnya tegak mende 

kam di sebelah kanan si nenek. "Delapan 

tahun mencarimu! Akhirnya kau kami temui juga! Kelahiran 

kehendak Yang Kuasa! Kematian kehendak takdir! 

Sebelum kami bantai kami masih memberi kesempatan 

padamu untuk bertobat minta ampun!" 

Di tempatnya si nenek tampak tidak bergerak. Lalu 

terdengar suara tawanya cekikikan. Mula-mula perlahan 

saja tapi lama-lama tambah keras dan dahsyat. Lima orang 

dalam gelap kerenyitkan kening karena telinga mereka 

menjadi sakit laksana dicucuk. Kelimanya saling pandang 

lalu berusaha tutup jalan pendengaran masing-masing. Ada 

yang mengerahkan tenaga dalam, ada pula yang menem-

pelkan telapak tangan ke telinga kiri kanan. 

"Delapan tahun rupanya singkat sekali! Langkah dan 

pertemuan memang bukan manusia yang mengatur! Tetapi 

ada banyak manusia yang merasa seolah pandai dan 

berkuasa! Padahal kebodohan mereka terkadang berakhir 

di pinggir comberan liang kubur! 

Hik... hik... hik!" 

Kata-kata Sinto Gendeng itu membuat lima orang yang 

mengurung dalam gelap menjadi marah. Namun mereka 

masih bisa mengendalikan diri. 

"Sinto Gendeng, apakah saat ini kau masih membawa 

Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti


pasangannya?" orang di sebelah kiri bertanya. 

"Weehhhh! Kalian masih saja menanyakan senjata 

mustika itu. Apa selama ini tidak sanggup membuat 

senjata sendiri?!" 

"Kami bukan sengaja serakah untuk dapatkan senjata 

orang lain!" orang di sebelah belakang menjawab. "Tapi jika 

kau mau menyerahkan senjata itu mungkin kami masih 

mau memilihkan cara mati yang paling enak bagimu! Ha... 

ha... ha! 

"Ucapanmu polos juga! Tapi aku tidak percaya kalau 

hatimu juga polos! Delapan tahun kau menguntit aku! Apa 

hanya karena inginkan kapak sakti itu? Pasti ada maksud 

lain yang tidak terpuji! Bicara saja terang-terangan agar 

kalau kubunuh kalian satu 

persatu aku tidak penasaran lagi! Hik... hik... hik!" Sinto 

Gendeng balas tertawa. 

Orang di samping kanan Sinto Gendeng mendengus 

marah. Dia bergerak melangkah. Tapi segera dibentak oleh 

si nenek sambil jentikkan tangan kanannya. 

"Bicara tetap di tempat! Jangan berani mendekat!" 

"Wuuussss!" 

Jentikan si nenek menimbulkan satu gelombang angin 

yang membuat sebuah batu serta tanah di depan orang 

yang barusan bergerak terbongkar besar! Orang ini cepat 

bersurut dan tegak diam di tempatnya. 

"Nah, begitu lebih baik. Sekarang silahkan bicara! Dan 

awas! Aku tidak begitu suka melihat orang bicara ngawur!" 

"Kami datang membekal dendam!" orang di sebelah 

kanan berucap datar. 

"Weehhh! Dendam yang mana? Delapan tahun kemana-

mana membawa dendam pasti kau repot keberatan! Hik... 

hik!" 

"Malam ini dendam itu akan kutumpas habis dengan 

nyawa dan darahmu!"


"Aku bersyukur kalau kau bisa melakukan itu! Sekarang 

majulah mendekat. Biar kulihat tampangmu!" 

Orang di sebelah kanan melangkah maju. Empat 

temannya melakukan hal yang sama walau tidak terlalu 

mendekati si nenek karena mereka tahu bagaimana 

berbahayanya Sinto Gendeng. 

"Wallaahhh! Kau ternyata pakai topeng seperti muka 

barong! Mana aku bisa mengenali dirimu!" Sinto Gendeng 

geleng-gelengkan kepala. Sambil berbuat begitu dia melirik 

empat orang lainnya. Mereka semua berjubah hitam dan 

juga mengenakan topeng menutupi wajah masing-masing. 

"Walau kami menutupi muka dengan topeng! Tapi orang 

rimba persilatan mana yang tidak tahu siapa kami! Sinto 

Gendeng! Jangan berpura-pura tidak tahu dendam apa 

yang kami bawa!" 

"Kau betul, siapa tidak tahu diri kalian! Lima manusia 

berjubah hitam yang separoh dari usianya sengaja 

menjalani hidup dengan menutup muka! Hik... hik... hik. 

Lima Laknat Malam Kliwon! Begitu rimba persilatan 

menggelari kalian karena selalu muncul menebar maut 

hanya pada malam-malam Kliwon! Banyak orang 

menganggap kalian angker dan hebat! Tapi jangan menjual 

nama dan tampang di depan Sinto Gendeng!" . 

"Bagus! Ternyata kau sudah tahu siapa kami jadi tidak 

perlu susah payah berikan keterangan!" Orang di sebelah 

kanan ini lalu memberi tanda dengan goyangan kepala 

pada empat kawannya. Dalam gelap, lima sosok berjubah 

hitam itu segera melesat menyerbu si nenek yang sampai 

saat itu masih tetap duduk di atas batu di depan pancuran 

bambu. 

"Hilang!" dua diantara lima orang itu berseru kaget 

ketika mereka dapatkan Sinto Gendeng tidak ada lagi di 

atas batu dan mereka hanya melompati tempat kosong. 

Di belakang mereka tiba-tiba terdengar suara tawa


cekikikan. "Jaring Lima Penjuru Jagat! Kalian agulkan 

sebagai tidak bisa ditembus lawan! Nyata nya aku bisa 

molos! Hik... hik... hik! Sungguh memalukan!" ' 

Lima orang yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai 

Lima Laknat Malam Kliwon kertakkan rahang sama 

menggeram. Kelimanya serentak berbalik. Lima tangan 

serta merta menghantam. 

"Kraakkkk!" Sebatang pohon patah dan tumbang. 

"Braakkk!" Serumpunan semak belukar setinggi dada 

mental berantakan. 

"Byaaarr!" Sebuah batu besar ikut amblas hancur di 

hantam lima pukulan tangan kosong yang mengandung 

tenaga dalam tinggi. 

"Hik... hik... hik! Kalian menyerang siapa? Aku ada di 

sini!" 

Kaget lima orang bertopeng itu bukan alang kepalang. 

Mereka berpaling! Gila betul! Si nenek yang tadi ada di 

belakang dan sama-sama mereka hantam dengan pukulan 

yang bisa mencerai beraikan sekujur tubuhnya kini tahu-

tahu terlihat duduk enak-enakan di atas batu di depan air 

pancuran. Malah saat itu enak saja dia kelihatan keluarkan 

susur lalu dimasukkan ke dalam mulut dan mengunyah 

terkempot-kempot! 

"Perempuan tua bangka jahanam! Serbu dia dengan 

jurus Lima Bintang Jatuh!" salah seorang dari lima orang 

bertopeng berteriak marah. 

Lima sosok berjubah hitam melesat dua tombak ke 

udara. Lalu benar-benar seperti bintang jatuh ke limanya 

kemudian menukik ke arah Sinto Gendeng. Lima tangan 

laksana palu godam diayunkan ke lima bagian tubuh Sinto 

Gendeng!



EMPAT


LAKNAT BERNASIB MALANG


DARI cepatnya alur serangan serta sambaran angin 

yang menerpa tubuhnya Sinto Gendeng sadar kalau 

lawan telah mengeluarkan jurus yang tak bisa 

dibuat main. Karenanya nenek sakti ini juga tak mau 

berlaku ayal. Di atas batu tubuhnya berputar setengah 

lingkaran. Dua tangan dihantamkan ke atas. Kaki kiri 

ditendangkan ke depan. 

"Bukkk!" 

"Bukkk!" 

"Dukkkk!" 

Dua lengan Sinto Gendeng bergetar hebat begitu 

bentrokan dengan dua lengan lawan. Tubuhnya terhenyak 

jatuh ke bawah. Dua lawan terpental beberapa langkah. 

Satu jotosan melanda bahunya sebelah kiri membuat si 

nenek menggeram kesakitan. Di sebelah depan, satu dari 

lima lawannya yang berhasil ditendangnya mencelat sambil 

mengeluarkan jeritan. Orang ini terhampar di tanah, 

menggeliat-geliat sambil pegangi perut. Kelihatannya dia 

cukup kuat karena sesaat kemudian dia bangkit berdiri 

kembali dan bergabung dengan empat temannya. 

Perkelahian lima lawan satu itu berkecamuk semakin 

hebat. Lima Laknat Malam Kliwon lancarkan serangan 

sambil mengurung rapat. Walau sampai enam jurus di 

muka mereka masih belum mampu mendaratkan serangan 

di tubuh lawan namun keadaan Sinto Gendeng saat itu


benar-benar berbahaya. Seolah hanya tinggal menunggu 

waktu saja. Gilanya si nenek menghadapi serbuan lima 

pengeroyok dengan tenang. Mulutnya yang dipenuhi susur 

terkempot-kempot dan termonyong-monyong. 

Memasuki jurus ke sembilan serangan Lima Laknat 

Malam Kliwon bertambah gencar laksana air bah. Sinto 

Gendeng mainkan jurus-jurus pertahanan Tameng Sakti 

Menerpa Hujan, Benteng Topan Melanda Samudera, 

Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. 

Jurus-jurus pertahanan itu diselingnya dengan jurus-

jurus menyerang Segulung Ombak Menerpa Karang, 

Membuka Jendela Memanah Rembulan, Di Balik Gunung 

Memukul Halilintar serta Kepala Naga Menyusup Awan. 

Lalu tidak lupa pula dia hantamkan pukulan-pukulan sakti 

Orang Gila Mengebut Lalat, Kunyuk Melempar Buah, dan 

Angin Puyuh. 

Lima pengeroyok lambat laun menjadi leleh juga nyali 

mereka. Dikeroyok lima ternyata si nenek bukan saja 

mampu bertahan tapi malah balas menyerang dengan 

ganas. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga diri 

masing-masing dan mengurung rapat agar lawan tidak 

lolos. Disamping itu mereka terus memutar otak 

bagaimana bisa merobohkan Sinto Gendeng. 

Di jurus ke dua puluh sembilan satu celah tipis, untuk 

mendaratkan serangan terlihat oleh tiga dari lima 

pengeroyok. Mereka bersirebut cepat untuk susupkan 

jotosan ke dada, kepala dan ulu hati lawan. Hampir 

serangan itu akan mengenai sasaran tiba-tiba Sinto 

Gendeng keluarkan pekik keras. Tubuhnya bergelung 

seperti ular menggeliat lalu melesat ke udara. Bersamaan 

dengan itu kaki kanannya menendang. Inilah jurus yang 

disebut Ular Naga Menggelung Bukit. Sebenarnya jurus ini 

mempergunakan gerakan tangan untuk melibas tubuh 

lawan. Tapi si nenek gantikan tangan dengan kaki dan


bukan untuk merangkul melainkan untuk menendang! 

"Braaakkk!" 

Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng bersarang di dada 

lawan paling depan. Orang ini adalah yang sebelumnya 

juga telah terluka di dalam akibat tendangan Sinto 

Gendeng. Melihat kawan mereka terkapar mengerang di 

tanah dan ada darah meleleh keluar dari bawah 

topengnya, empat anggota Lima Laknat Malam Kliwon 

menjadi leleh nyalinya. Salah seorang dari mereka berbisik 

pada kawan di sebelahnya. 

"Delapan tahun memburu tidak sangka kita hanya 

menemui kesia-siaan! Jahanam betul! Ternyata nenek ini 

sangat tinggi ilmu kepandaiannya! Beri tanda pada kawan-

kawan, agar segera tinggalkan tempat ini!" 

"Bagaimana dengan teman yang satu itu?" sang kawan 

bertanya. 

"Tidak ada waktu untuk mengurusnya. Melihat 

keadaannya nyawanya tak bisa ditolong! Kalau kita 

menghabiskan waktu menolongnya salah-salah kita bakal 

kena digebuk nenek keparat itu! Apa kau tidak sadar. 

Sampai saat ini dia masih belum mengeluarkan Pukulan 

Sinar Matahari! Apa lagi kalau dia sampai menyerang 

dengan Sepasang Sinar Inti Roh, kita semua bisa celaka!" 

"Kalau cuma pukulan Sinar Matahari mengapa perlu 

ditakutkan? Lagi pula kita belum pasti apa benar dia 

memiliki ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh 

itu!" 

"Sudah! Jangan banyak cerita! Kalau kau mau mampus 

lebih dulu silahkan tinggal di sini!" 

Setelah saling memberi tanda empat dari lima manusia 

berjubah dan bertopeng hitam itu akhirnya segera 

berkelebat melarikan diri. 

Sinto Gendeng cabut susurnya lalu meludah ke tanah. 

Dia tiada niat hendak mengejar empat orang yang kabur


itu. Dia memasukkan kembali susur ke dalam mulutnya 

lalu segera dekati orang yang ditinggalkan kawan-

kawannya. Setelah pandangi sebentar wajah bertopeng itu 

Sinto Gendeng tertawa cekikikan. 

"Laknat bernasib malang! Kawan-kawanmu sudah pada 

kabur! Kalian biasa membunuh orang di malam Kliwon! 

Kini justru kau sendiri yang bakal menerima mampus di 

malam Kliwon ini! Hik... hik... hik!" 

Dari balik topeng orang berjubah hitam yang tergeletak 

di tanah terdengar suara bergumam. Dia seperti hendak 

mengatakan sesuatu namun yang keluar justru lelehan 

darah, mengucur semakin banyak dari bawah topengnya. 

Dengan mempergunakan ujung kaki kirinya yang kurus 

hanya tinggal tulang serta kotor, enak saja Sinto Gendeng 

tanggalkan topeng di muka orang. Begitu wajahnya 

tersingkap kagetlah si nenek, sampal dia keluarkan suara 

seruan tertahan dan tersurut dua langkah. 

"Kau!" 

***


LIMA


BAHALA DARI TELUK AKHIRAT


ORANG yang tergeletak di tanah keluarkan suara 

mengerang. Darah semakin banyak keluar dari 

mulutnya. Matanya menatap sayu pada Sinto 

Gendeng. Orang ini ternyata adalah seorang kakek 

berambut dan berkumis kelabu. Walau sudah tua serta 

dalam derita menahan sakit luar biasa, wajahnya masih 

kelihatan gagah. 

"Suro Ageng!" berseru Sinto Gendeng. "Apa mataku tidak 

salah melihat? Benar kau...?!" Sepasang mata si nenek 

melotot tak berkesip. 

Si kakek kedipkan matanya satu kali. 

"Kau tidak salah melihat Sinto. Ini memang aku... Suro 

Ageng...." 

Sinto Gendeng jatuhkan dirinya dan duduk di samping 

kakek bernama Suro Ageng itu. "Belasan tahun kita tidak 

bertemu, mengapa tahu-tahu jadi begini...? Ah! Kalau aku 

tahu siapa dirimu tentu aku tidak akan menurunkan 

tangan jahat...." 

"Kau tidak salah Sinto! Berani berbuat berani menerima 

akibat! Itu nasib diriku!" 

"Suro...." Sinto Gendeng perbaiki letak kepala si kakek 

hingga lebih tinggi. "Mengapa kau melakukan ini? Mengapa 

kau sampai jadi anggota Lima Laknat Malam Kliwon?" 

"Aku terjebak Sinto. Pimpinan mereka meracuniku 

dengan tuba sejak sepuluh tahun silam. Jika aku dan 

kawan-kawan berhasil membunuhmu baru dia akan


memberikan obat penawar!" 

"Jahanam! Siapa orang yang jadi biang racun pimpinan 

Lima Laknat Malam Kliwon itu?" 

"Aku sendiri tidak tahu. Lagi pula percuma untuk 

menyelidik. Apakah selama belasan tahun berpisah kau 

selalu balk-baik Sinto?" 

Si nenek tidak menjawab. Matanya menatap pada wajah 

yang tengah sekarat menahan sakit itu. Dua mata si nenek 

tampak berkaca-kaca. 

"Sinto, apakah masih ada rasa cinta dalam dirimu 

terhadapku seperti di masa muda dulu.... " 

"Gila! Kau bicara apa ini!" sentak Sinto Gendeng. Tapi 

kemudian dia merasa menyesal berkata kasar begitu dan 

gigit bibirnya. Tengkuknya terasa dingin. 

"Ah, kau masih galak seperti dulu saja..." kata Suro 

Ageng menyeringai lalu mengerang kesakitan. 

Sinto Gendeng tersenyum dan usap kepala si 

kakek. "Aku akan mengobatimu! Kau pasti bisa sembuh 

dan hidup lagi di jalan yang benar!" Si nenek 

meraba ke balik pakalan bututnya. Namun Suro Ageng 

gelengkan kepala dan berkata. 

"Aku berterima kasih mendengar ucapanmu. Satu 

pertanda kau masih mengasihiku. Tapi tak ada gunanya 

Sinto. Lukaku sangat parah. Salah satu sisi jantungku 

agaknya sudah remuk...." 

"Aku yang menyebabkan! Aku yang menendangmu tadi!" 

kata Sinto Gendeng sesenggukan. Lalu pukul-pukul 

kepalanya sendiri. 

Suro Ageng tersenyum. "Kau tahu Sinto, betapa aku 

merasa bahagia. Karena tidak pernah menyangka bakal 

menemui ajal di sampingmu...." Darah mengucur lagi dari 

mulut si kakek. 

"Jangan berkata begitu Suro. Kau akan sembuh! Kau 

pasti sembuh!" Kembali si nenek meraba ke balik


pakaiannya di mana dia menyimpan sejenis obat sangat 

ampuh. Kali ini Suro Ageng diam saja, memperhatikan apa 

yang dilakukan Sinto Gendeng. 

Namun belum sempat nenek sakti itu mengeluarkan 

bungkusan obat dari balik pakaiannya sekonyong-konyong 

dari kegelapan melesat satu bayangan aneh menebar bau 

busuknya binatang hutan. 

"Sinto awas! Aku merasa ada bahaya mengancam 

dirimu..." kata Suro Ageng. 

"Siapa berani mencari mati! Apa lagi dalam keadaan aku 

hendak menolongmu!" 

"Makhluk yang katanya mencari mati itu bernama 

Kelelawar Pemancung Roh!" satu suara menjawab lalu 

orang yang bicara ini melangkah mendekati Sinto Gendeng 

dan Suro Ageng. 

Orang ini bertubuh besar tinggi dengan sepasang kuping 

mencuat ke atas. Dia memiliki dua buah tangan panjang 

menjela sampal ke bawah lutut, hitam berbulu. Dua 

matanya sangat kecil dan sipit, seolah terpejam. 

Baik Sinto Gendeng maupun Suro Ageng sama-sama 

terkejut melihat munculnya orang ini. Si kakek cepat 

berbisik. "Sinto, ingat. Empat puluh tahun silam kau pernah 

mengobrak-abrik sarang kaum pemberontak di selatan. 

Delapan diantara orang yang kau basmi itu punya pertalian 

darah sangat erat dengan Kelelawar Pemancung Roh dari 

Teluk Akhirat ini. Hati-hati Sinto...." 

"Aku ingat. Siapa takut...!" 

"Baiknya segera kau tinggalkan tempat ini. Bukan 

menganggap enteng dirimu. Tapi manusia ini punya ilmu 

jahat berupa hawa beracun yang bisa membunuh siapa 

saja dalam waktu singkat! Hawa itu tidak berwarna dan 

tidak berbau!" 

"Kau tenang saja Suro. Biar aku yang menghadapi 

monyet tangan panjang ini!"


Sinto Gendeng bergerak bangkit. Gerakannya tertahan 

ketika dia melihat satu keanehan terjadi dengan sosok 

orang bernama Kelelawar Pemancung Roh itu. Bersamaan 

dengan gerakan mengangkat ke dua tangannya ke atas 

tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar menciut pendek 

sampai hanya tinggal setinggi lutut. Sebaliknya dua 

tangannya yang hitam berbulu semakin besar dan panjang. 

"Plaakkk!" 

"Plaakkk!" 

Ada suara seperti kepakan sayap. Dua buah benda lebar 

memayungi tempat itu hingga suasana menjadi sangat 

gelap. Dalam kegelapan itu Sinto Gendeng mendongak ke 

atas. Si nenek tercekat! 

Di ujung-ujung tangan orang yang tubuhnya mengecil itu 

kini kelihatan dua ekor kelelawar raksasa mengepakkan 

sayap tiada henti. Dua matanya yang memancarkan sinar 

merah memandang membersitkan maut pada Sinto 

Gendeng. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigi 

runcing pertanda beringas. Sepasang kaki dua kelelawar 

raksasa ini ternyata menjadi satu dengan tangan orang 

yang memegangnya. 

"Sinto!" seru Suro Ageng. "Lekas tinggalkan tempat !nil" 

Tapi si nenek mana mau perduli. Malah dia sudah 

alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. 

Sosok kerdil gerakkan dua lengannya. Tiba-tiba dua 

kelelawar jejadian menguik dahsyat. Sebelum Sinto 

Gendeng sempat pentang tangannya untuk menghantam 

mendadak dari mulut dua kelelawar itu menderu tiupan 

angin kencang. 

"Seribu Hawa Kematian!" teriak Suro Ageng. "Sinto! 

Lekas menyingkir!" 

Walau sudah diperingati begitu Sinto Gendeng tetap 

saja pasang kuda-kuda siap untuk menghantam dengan 

pukulan sakti. Melihat hal ini Suro Ageng kumpulkan


semua tenaga yang ada lalu melompat. Ketika hawa 

beracun dari dua mulut kelelawar menerpa, sosok si kakek 

berada di depan Sinto Gendeng, menghalangi 

membentenginya. Namun perbuatannya sia-sia belaka 

karena hawa beracun yang tidak terlihat dan tidak berbau 

itu telah menyungkup di sekitar mereka! Saat itu juga ke 

dua orang itu megap-megap roboh ke tanah. 

"Plaakk!" 

"Plaakk!" 

Dua kelelawar raksasa kepakkan sayapnya. Sosok orang 

yang memegangnya membesar kembali. Begitu sampai 

pada ukuran sebelumnya dua kelelawar serta merta 

lenyap. Orang ini turunkan tangannya lalu setelah tertawa 

bergelak dia tinggalkan tempat itu. 

***


ENAM


PENGORBANAN DI AKHIR HAYAT


DI SATU jalan mendaki Pendekar 212 hentikan larinya. 

Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan. 

Hatinya gelisah. Bukan kegelapan itu yang 

membuatnya gelisah. Dia merasa tidak enak karena ingat 

akan gurunya yang ditinggalkan sendirian. Memang si 

nenek tidak kurang suatu apa. Tapi sikapnya tidak seperti 

biasa. Lalu apa pula maksudnya menanyakan malam itu 

malam apa. 

Selagi dia berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba dia melihat 

empat bayangan hitam berkelebat di antara rerumpunan 

semak belukar. Wiro cepat menyelinap, mendekam di satu 

tempat gelap dan mengintai. "Jangan-jangan para tokoh 

silat kaki tangan pemberontak," pikir Wiro. 

"Kita kembali saja ke Kotaraja! Sialan, tidak sangka 

setan satu itu tinggi sekali ilmunya!" Salah seorang dari 

rombongan di dalam gelap berkata. 

Wiro memperhatikan. "Mereka mengenakan jubah 

hitam. Muka memakai topeng hitam seperti barong. Siapa 

gerangan orang-orang ini..." pikir Wiro. Lalu didengarnya 

salah seorang dari mereka berkata menyahuti ucapan 

kawannya tadi. 

"Kotaraja sedang tidak aman. Apa kau tidak dengar 

riwayat seorang pemuda sakti mandraguna yang 

menghabisi pentolan pemberontak? Kita jangan sampai 

terlibat! Urusan kita ada yang lebih penting." 

"Kalau begitu kita segera saja menuju ke puncak Merapi


menemui Pimpinan!" Tiga kawan yang lain menyetujui. 

Maka saat itu juga ke empat orang itu berkelebat ke arah 

timur dan lenyap dalam kegelapan. 

Wiro keluar dari balik tempat pengintaiannya sambil 

usap-usap dagu, coba menduga-duga siapa adanya ke 

empat orang itu. "Dari pembicaraan mereka agaknya 

mereka bukan pentolan pemberontak. Lalu siapa yang 

disebut setan satu yang tinggi sekali ilmunya itu?" 

Setelah berpikir beberapa saat lagi akhirnya Wiro 

memutuskan untuk kembali ke tempat dia meninggalkan 

Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia tidak perlu menemui 

sang guru. Asal melihat si nenek berada dalam keadaan 

tak kurang suatu apa hatinya baru lega dan dia lantas akan 

lanjutkan perjalanan. 

Karena mempergunakan ilmu lari cepat dan me 

nempuh jalan yang sebelumnya sudah dilewati maka 

dalam waktu singkat Wiro sampai kembali ke tempat dia 

meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Namun betapa 

kejutnya setengah mati ketika melihat sang guru tergeletak 

di tanah dengan mata nyalang tak berkesip dan mulut 

mengeluarkan busah. Di sebelahnya terkapar seorang 

kakek yang juga mengeluarkan busah serta darah dari 

mulutnya. Meskipun megap-megap sekarat tapi matanya 

kelihatan nyalang. 

"Guru! Eyang!" teriak Wiro lalu jatuhkan diri dan letakkan 

kepala si nenek di atas pangkuannya. 

Sosok kakek di sebelah Sinto Gendeng bergerak sedikit. 

"Anak muda, siapapun kau adanya lekas ambil sebuah 

sapu tangan hitam dalam saku pakaianku...." 

"Katakan apa yang terjadi?! Kau siapa?!" Wiro 

memotong ucapan orang. 

"Jangan bertanya menghabiskan waktu! Sinto Gendeng 

dalam bahaya besar. Dia bisa mati dalam beberapa 

kejapan kalau tidak segera ditolong. Didalam lipatan sapu


tangan hitam ada empat butir obat. Dua berwarna putih, 

dua berwarna hitam. Masukkan obat itu ke dalam mulut 

Sinto Gendeng! Lekas, lakukan segera! Jangan sampai 

terlambat!" 

Sesaat Wiro masih bingung. Tapi kemudian dia segera 

lakukan apa yang dikatakan orang. Di dalam saku kanan 

pakaian hitam si kakek memang dia menemukan sehelai 

sapu tangan hitam. Dalam gulungan sapu tangan itu ada 

empat butir benda bulat sebesar ujung jari kelingking. Dua 

berwarna putih, dua berwarna hitam. Seperti yang 

dikatakan kakek tak dikenal itu Wiro masukkan obat itu ke 

dalam mulut gurunya. Lalu dia mengurut tenggorokan Sinto 

Gendeng hingga empat butir obat tertelan dan melewati 

tenggorokan lalu masuk ke dalam perut. Begitu masuk ke 

dalam usus besar, Sinto Gendeng menggeliat dan 

keluarkan suara erangan keras. Dari mulutnya mengepul 

asap aneh. Matanya yang tadi mendelik perlahan-lahan 

menutup. Lalu sosok si nenek tidak bergerak lagi. 

"Jahanam! Kau menipu! Guruku menemui ajal akibat 

obat yang ditelannya!" teriak Wiro marah. Tangan kanannya 

siap hendak menggebuk batok kepala si kakek. 

"Anak muda! Jangan cepat salah sangka! Jangan keburu 

menduga buruk. Gurumu hanya pingsan tanda obat tengah 

bekerja. Walau tidak sembuh menyeluruh tapi yang penting 

Sinto Gendeng sudah lolos dari lobang jarum kematian. 

Coba kau periksa lengannya. Kau akan merasakan 

denyutan nadi tanda dia masih hidup...." 

Wiro cepat meraba pergelangan tangan kanan Sinto 

Gendeng. Hatinya lega. Ternyata memang masih ada 

denyutan pada urat besar si nenek. 

"Orang tua, harap kau menerangkan apa yang terjadi. 

Dan kau sendiri siapa?" 

"Dua pertanyaanmu tidak penting. Sebelum aku 

meregang nyawa ada beberapa hal yang perlu aku beri


tahu.... Pertama, Sinto Gendeng walaupun selamat dari 

kematian tapi seumur hidup tubuhnya sebelah pinggang ke 

bawah akan mengalami kelumpuhan. Hal kedua, satu-

satunya cara untuk mengobati kelumpuhan itu adalah 

mencari sekuntum Bunga Matahari yang tumbuh 

menghadap matahari terbit dan hanya mengembang pada 

saat terjadi gerhana matahari. Jika kau berhasil 

mendapatkan bunga itu pada saat mengembang dan 

dimakan oleh Sinto Gendeng maka dia akan sembuh dari 

kelumpuhan...." 

"Aku sudah mendengar ucapanmu Kek! Sekarang 

katakan apa yang terjadi! Siapa yang melakukan 

malapetaka ini atas diri guruku? Lalu kau sendiri siapa?" 

"Orangnya dikenal dengan julukan Kelelawar 

Pemancung Roh. Sarangnya di Teluk Akhirat. Dia 

menghantam Sinto Gendeng dengan racun Seribu Hawa 

Kematian. Tidak ada satu orangpun yang mampu lolos dari 

kematian jika diserang. Racun itu berupa hawa yang tidak 

kelihatan dan juga tidak berbau. Karena keadaannya lebih 

berat dari udara maka hawa beracun ini selalu 

mengambang dari atas ke bawah. Akibatnya tidak ada yang 

bisa lolos dari kematian...." 

"Aku pernah mendengar nama Kelelawar Pemancung 

Roh itu. Akan kucari dan kucincang sampai lumat manusia 

keparat itu!" Pendekar 212 geram bukan kepalang. "Hai! 

Kau belum menerangkan siapa dirimu!" 

"Aku Suro Ageng. Sahabat Sinto Gendeng di masa 

muda.... Aku...." 

"Kalau kau benar sahabat guruku kau harus kutolong.... 

Kau masih memiliki obat seperti yang kau berikan pada 

Eyang Sinto Gendeng?" 

"Sebenarnya obat itu bisa dibagi dua, untukku dan untuk 

gurumu. Tapi jika dibagi dua daya kekuatannya jadi 

berkurang. Gurumu mungkin tidak banyak tertolong. Aku


memutuskan menolongnya agar bisa hidup. Sedang diriku 

sendiri sudah pasrah menghadapi maut...." 

"Pasti ada cara menolongmu Kek!" kata Wiro seraya 

memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur 

topeng yang sebelumnya dipakai Suro Ageng. Wiro lantas 

ingat pada empat orang dalam gelap yang ditemuinya 

sebelumnya. Ketika dia memperhatikan pula pakaian si 

kakek, berdesirlah darahnya. Kakek ini mengenakan jubah 

hitam seperti yang dipakai orang-orang itu! Murid Eyang 

Sinto Gendeng jadi curiga. 

"Kek, sebelumnya aku melihat empat orang me-

ngenakan topeng dan jubah hitam seperti yang kau 

kenakan. Apakah kau punya sangkut paut dengan 

mereka...?" 

"Anak muda, kau pernah mendengar nama Lima Laknat 

Malam Kliwon?" 

"Pernah..." jawab Wiro. Lalu dia ingat. "Sebelumnya 

guruku pernah bertanya malam ini malam apa! Bukankah 

malam ini malam Jum'at Kliwon? Berarti...!" Sepasang mata 

sang pendekar mendelik. Tubuhnya bergeletar. "Kau salah 

satu dari mereka!" 

Suro Ageng mengangguk perlahan. 

Rahang Pendekar 212 menggembung. "Bukankah jika 

Lima Laknat Malam Kliwon muncul di malam Kliwon berarti 

ada orang yang bakal menjadi korbannya?! Jangan-jangan 

kalian sebelumnya punya maksud keji terhadap guruku!" 

"Kau benar anak muda! Tapi maksud kami tidak 

kesampaian. Aku sendiri sangat menyesal...." 

"Kesampaian atau tidak, menyesal atau tidak aku tidak 

perduli! Biar kupecahkan dulu batok kepalamu!" 

Wiro lalu angkat tangan kanannya untuk menggebuk 

batok kepala Suro Ageng. Si kakek diam saja. Tidak 

bergerak, berkedippun tidak seolah pasrah. 

Tiba-tiba dari samping terdengar ucapan Sinto Gendeng.


"Anak setan! Kakek itu telah selamatkan nyawaku 

dengan nyawanya! Mengapa kau hendak membunuhnya?!" 

"Eyang!" seru Wiro. Saat itu si nenek sudah bergerak 

bangkit dan duduk di tanah. Ketika dia mencoba berdiri 

ternyata dia tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. 

Dia pergunakan tangan meraba dua kaki itu. Kaki itu tidak 

merasa apa-apa. Maka menjeritlah si nenek! Lalu terkulai 

pingsan. Di saat yang sama kepala Suro Ageng terkulai 

pula ke kiri. Orang ini tak bergerak lagi bertanda nyawanya 

melayang sudah. 

***


TUJUH


SINTO GENDENG LUMPUH


SOSOK Sinto Gendeng bergerak. Dari mulutnya keluar 

erangan halus. "Nek, kau sudah siuman Nek?" tanya 

Wiro yang duduk memangku kepala gurunya. 

"Kepalaku berat.... Mataku sulit dibuka. Tapi aku 

mendengar suaramu. Anak setan.... Apa yang terjadi 

dengan diriku. Aku... aku tidak mampu menggerakkan dua 

kakiku. Aku tak mampu bergerak duduk...." 

"Eyang, kau tiduran saja dulu. Jangan terlalu banyak 

bicara...." 

"Anak setan! Berani kau melarang aku bicara?!" bentak 

Sinto Gendeng. Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut 

tulang kelihatan pucat. 

"Nek, biar aku ceritakan apa yang terjadi denganmu. Aku 

ingin ingatanmu pulih dan tabah menerima kenyataan...." 

"Tabah menerima kenyataan? Eh, apa maksudmu anak 

sableng?! Memangnya apa yang terjadi?!" tanya Sinto 

Gendeng pula. 

"Dua kakimu lumpuh Nek. Akibat racun Seribu Hawa 

Kematian...." 

Perlahan-lahan dua mata si nenek terbuka sedikit, 

makin lebar, tambah lebar dan akhirnya memandang 

mendelik pada sang murid. Dia usap dua kakinya dengan 

tangan kanan. Tidak terasa apa-apa. Dia coba gerakkan 

dua kaki itu. Dia tidak mampu melakukan. Sinto Gendeng 

hendak menjerit tapi akhirnya sadar dan hanya bisa 

pasrah


"Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat.... Dia 

yang mencelakaiku. Dia melampiaskan dendam empat 

puluh tahun lalu!" Rahang si nenek menggembung. 

Mukanya yang seperti tengkorak tampak tambah angker. 

"Dendam akan berkelanjutan. Kelelawar Pemancung Roh 

benar-benar telah menanam racun! Dia kelak akan 

memetik dan menelan buah racunnya! Selama bumi 

terhampar, selama langit berkembang aku akan mencari 

dan membunuhnya...." 

"Eyang, untuk sementara harap kau tidak memikirkan 

segala dendam kesumat. Kita harus mencari jalan 

bagaimana bisa menyembuhkan dirimu. Menurut kakek 

bernama Suro Ageng itu...." 

"Suro Ageng!" Sinto Gendeng menyebut nama itu 

setengah menjerit. "Mana dia?!" Sepasang mata si nenek 

berputar. 

"Dia ada di sebelahmu Nek. Tapi sudah mendahuluimu. 

Mati akibat Seribu Hawa Kematian." 

Dua mata Sinto Gendeng mendelik. Dia gerakkan 

kepalanya ke kiri. Sosok Suro Ageng tergeletak di 

sebelahnya. Tangan kirinya diulurkan memegang tangan si 

kakek. Dia hendak menjerit namun yang keluar hanya 

sesenggukan. "Suro.... Kalau saja dulu aku menerima 

lamaranmu dan kawin denganmu. Kau tidak akan 

mengalami nasib seperti ini. Ah...." 

Wiro jadi terkesiap mendengar ucapan sang guru. 

Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. "Eyang, jadi kakek 

ini dulunya adalah kekasihmu di masa muda...?" 

Si nenek tidak menjawab. Dalam hati Wiro bertanya-

tanya, di masa mudanya dulu sebenarnya berapa banyak si 

nenek ini punya kekasih. Mungkin karena begitu 

banyaknya hingga dia bingung memilih, akhirnya tak 

pernah kawin-kawin. Kalau bukan dalam keadaan seperti 

itu pemuda konyol ini tentu sudah menggoda sang guru.


Sinto Gendeng usap-usap mukanya yang pucat 

beberapa kali. Dari mulutnya kemudian meluncur ucapan. 

"Aku pantas bangga padanya. Dia sengaja me-

ngorbankan nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku! 

Suro.... Sungguh tinggi budimu...." 

"Eyang, sebelum menghembuskan nafas kakek itu 

menerangkan bahwa satu-satunya obat yang bisa 

menyembuhkan kelumpuhanmu adalah Bunga Matahari 

yang tumbuh menghadap matahari terbit dan mekar pada 

saat gerhana matahari...." 

Kulit muka Sinto Gendeng mengerenyit. 

"Orang bisa berkata begitu. Tapi Gust! Allah menjadikan 

obat bukan cuma satu macam! Pasti ada obat lain yang 

lebih mudah dari bunga matahari celaka itu! Kalau 

mengalami kesulitan kita harus cari kawanku Si Raja Obat! 

Anak setan! Apakah kau sudah siap?!" 

"Siap apa maksud Eyang?" tanya Wiro heran. 

"Saat ini juga kita harus berangkat ke Teluk Akhirat! 

Mencari manusia berjuluk Kelelawar Pemancung Roh itu!" 

"Eyang.... Keadaanmu belum pulih. Lagi pula kau.... Kau 

tak bisa berjalan sendiri...." 

"Aku tidak menyuruhmu mencari keledai atau kuda, apa 

lagi onta tunggangan!" jawab si nenek. 

"Aku tahu Nek, maksudku kau harus istirahat dulu yang 

cukup. Jika kesehatanmu pulih baru kita pikirkan apa yang 

harus kita lakukan...." 

"Weehhhhh! Kau tahu apa mengenai diri dan 

kesehatanku! Jangan kau mengatur diriku, anak sableng!" 

Wiro garuk-garuk kepala. Tak ada jalan lain. Ketika dia 

hendak membantu si nenek berdiri pandangannya 

membentur sebuah benda tergeletak di tanah dekat kaki 

Suro Ageng. Wiro segera mengambilnya. 

"Benda apa itu...?" Sinto Gendeng bertanya.


Sambil memperhatikan benda yang dipegangnya Wiro 

menjawab. "Sebuah kalung kepala srigala. Terbuat dari 

perak. Rantainya sudah putus...." 

"Kepunyaan siapa menurutmu?" tanya si nenek. 

"Sulit kuduga Nek. Mungkin salah seorang dari 

komplotan Lima Laknat Malam Kliwon. Mungkin juga punya 

makhluk kelelawar dari Teluk Akhirat itu.... " 

"Simpan baik-baik. Benda itu bisa kita jadikan bahan 

pelacak dimana sarangnya Lima Laknat Malam Kliwon 

serta Kelelawar Pemancung Roh!" 

Wiro mengiyakan sambil mengangguk lalu masukkan 

kalung kepala srigala itu ke balik pakaiannya. 

"Sekarang kita harus segera tinggalkan tempat ini!" kata 

Sinto Gendeng. 

"Apa tidak menunggu dulu sampai pagi hari Nek? Lagi 

pula bukankah kita harus mengurus mayat kakek bernama 

Suro Ageng In!?" 

"Mayat Suro Ageng memang menjadi ganjalan. Tapi 

kalau kita melewati sebuah desa, kita bisa upahkan orang 

untuk mengurusnya. Sekarang jangan banyak membantah. 

Kita harus tinggalkan tempat ini. Teluk Akhirat cukup jauh 

dari sini!" 

"Tapi Nek, kau tak bisa berjalan sendiri. Apa lagi berlari!" 

ujar Wiro pula. 

"Siapa bilang aku akan jalan kaki sendiri?!" ujar si nenek 

seraya menyeringai. 

"Memangnya kau bisa terbang, Nek?" 

"Weehhhh! Kau yang menerbangkan aku, anak setan!" 

Wiro keheranan tak mengerti. 

"Dukung aku di pundakmu! Kau boleh berjalan biasa, 

berlari atau terbang! Suka-sukamulah! Hik... hik... hik...." 

"Nek! Kau...." 

"Jangan berani membantah perintah seorang guru!"


"Aku tidak membantah Eyang. Tapi bayangkan saja 

kalau aku harus membawamu kemana-mana. Di dukung di 

atas bahu!" 

"Lalu apa kau mau mendukung aku seperti membedung 

bayi di depan dada? Hik... hik... hik!" 

"Kita harus mencari binatang untuk tungganganmu..." 

kata Wiro pula. 

"Aku gamang kalau menunggangi binatang. Aku cuma 

mau didukung belakang. Nangkring di atas pundakmu! Ayo 

tunggu apa lagi! Naikkan aku ke atas pundakmu Wiro!" 

Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Celaka benar! 

Bagaimana aku bisa mendukung nenek yang sekujur 

badannya bau pesirfg begini rupa!" 

"Jangan kau mengumpat atau memaki dalam hatimu 

anak setan! Jika kau tidak rela mendukungku, cepat kau 

tinggalkan aku sekarang juga! Lalu mulai saat ini putus 

hubungan kita sebagai murid dan guru!" 

Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Namun dia 

memang tidak bisa menolak. Tubuh sang guru diangkatnya 

lalu dinaikkannya di atas pundaknya. Leher dan pundaknya 

kiri kanan langsung terasa dingin oleh rembesan air 

kencing yang menempeli kain panjang butut yang 

dikenakan Sinto Gendeng. Rahang Pendekar 212 

menggembung. Kuping hidungnya bergerak-gerak. 

Celakanya si nenek duduk sambil goyang-goyangkan 

badannya seperti anak kacil keenakan. 

"Uh.... Kau berat sekali Nek!" kata Wiro masih belum 

melangkah. 

"Jangan macam-macam Wiro. Tubuhku cuma tinggal 

tulang belulang! Apanya yang berat?!" Si nenek lalu jambak 

rambut gondrong muridnya.


"Tubuhmu memang tidak berat Eyang. Tapi yang berat 

mungkin dosamu karena terlalu banyak kekasih di masa 

muda!" jawab Pendekar 212 pula. 

Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar telinga kiri Wiro 

lalu dipuntir lumat-lumat hingga Wiro menjerit kesakitan. 

"Anak setan! Aku tahu kau tidak suka mendukungku 

seperti ini! Tapi seandainya aku seorang gadis cantik jelita, 

weehhhhh! Pasti kau akan bawa kemana saja dan 

tanganmu akan menggerayang kesana-sini!" Sinto 

Gendeng tertawa mengekeh. Dia puntir lagi telinga kiri 

Wiro. "Ayo jalan!" 

"Aduh Eyang! Ampun! Jangan dipuntir telingaku! Aku 

segera jalan!" teriak Wiro kesakitan. 

"Nah bagus kalau begitu! Hik... hik... hik...." 

Belum jauh berjalan tiba-tiba Sinto Gendeng pegang tagi 

telinga kiri Wiro. 

"Nek...!" 

"Anak setan! Kau mau bawa aku kemana?! Aku tidak 

bodoh! Teluk Akhirat letaknya di sebelah selatan sana. 

Mengapa kau menuju ke arah timur?" 

"Anu Nek.... Ada baiknya kita lebih dulu menemui Kakek 

Segala Tahu di bukit kapur tempat kediamannya. Siapa 

tahu dia ada di sana. Kita bisa minta petunjuk bagaimana 

caranya kau bisa disembuhkan dengan cepat...." 

"Kau murid baik dan pintar!" Si nenek elus-elus rambut 

gondrong muridnya. "Berjalan biasa-biasa saja. Tak usah 

kesusu. Tubuhku letih sekali. Aku mau tidur barang 

beberapa lama...." Sinto Gendeng rangkapkan dua 

tangannya di depan dada. Matanya dipejamkan. Sesaat 

kemudian terdengar suara ngoroknya sepanjang jalan. 

"Nenek bau pesing sialan!" memaki Pendekar 212. "Dia 

enak-enakan ngorok di atas pundakku sementara aku 

sengsara. Kalau saja kau bukan guruku dari tadi-tadi kau 

sudah kubanting ke tanah!" Saat itu bernafaspun sang


pendekar takut rasanya. Karena setiap dia menarik nafas, 

yang masuk ke dalam rongga hidungnya adalah bau pesing 

tubuh dan kain panjang butut si nenek! 


                                TAMAT 


Segera terbit: 


SERIBU HAWA KEMATIAN


--------------------------------------------------


ARIO BLEDEK EPISODE PETIR DI MAHAMERU



SATU


KI SURO GUSTI BENDORO


HARI Jum'at Pahing, tepat tengah hari ketika sang 

surya berada di titik tertinggi. Tidak seperti 

biasanya, di puncak Gunung Mahameru sama sekali 

tidak kelihatan awan putih menggantung. Sinar matahari 

yang tidak terhalang menebar terik mulai dari puncak 

sampai ke lereng bahkan kaki gunung. Angin tidak 

sedikitpun berhembus. Udara terasa panas luar biasa dan 

kesunyian mencekam hampir di setiap penjuru. 

Ketika serombongan burung pipit melayang di langit 

sebelah utara, sayup-sayup dari arah lereng gunung 

sebelah tenggara terdengar sesuatu berkelebat disertai 

suara mendesis panjang tiada henti-hentinya. Tanah 

bergetar seolah ada sesuatu menjalar melewatinya 

sepanjang lereng. 

Rombongan burung pipit lenyap di kejauhan. Suara 

berkelebat dan suara mendesis terdengar semakin keras. 

Tak selang berapa lama di satu jalan setapak di antara 

kerapatan pepohonan kelihatan seorang kakek berjubah 

putih berlari laksana angin menuju puncak Gunung 

Mahameru. Rambut dan janggutnya yang putih panjang 

melambai-lambai. Wajahnya yang lanjut dimakan usia 

walau penuh keriput namun tampak jernih, 

membayangkan satu pribadi yang bersih. Di tangan 

kanannya ada sebatang tongkat bambu berwarna kuning. 

Ujung jubah sebelah bawah dan lengan jubah putih lebar


yang bergesek dengan udara itulah sumber suara yang 

terdengar sejak tadi. Lalu suara mendesis tak 

berkeputusan, inilah yang hampir sulit dipercaya kalau 

tidak menyaksikan sendirl. 

Ternyata di belakang kakek berjubah putih itu, meluncur 

ratusan ular berbagai bentuk dan warna. Binatang ini 

meluncur di tanah jalan setapak mengikuti larinya si orang 

tua yang tengah menuju ke puncak gunung sambil tiada 

hentinya mengeluarkan suara mendesis. Sosok tubuh 

mereka yang ratusan banyaknya itu menimbulkan suara 

menggemuruh di tanah. Sesekali kakek ini berpaling ke 

belakang. Mulutnya tersenyum melihat binatang-binatang 

itu. Namun dalam hati dia merasa sedih. Suara hatinya 

berkata. "Tuhan memberi akal pikiran dan perasaan hati 

pada manusia. Yang membuatnya lebih agung dan 

membedakannya dengan binatang. Tetapi terkadang 

binatang memiliki alam pikiran dan hati sanubari yang 

lebih jernih dan polos dari manusia. Ular-ular itu, mereka 

menunjukkan kesetiaan yang tidak semua manusia 

memilikinya...."

Semakin tinggi ke puncak gunung semakin berkurang 

pepohonan dan semak belukar. Sengatan sinar matahari 

tambah membakar. Di mana-mana kini tampak 

berhamparan batu-batu hitam berbagai ukuran. 

Sekonyong-konyong dari lereng sebelah atas terdengar 

suara langkah-langkah kaki kuda, bergerak ke arah orang 

tua berjubah putih yang sementara mendaki ke jurusan 

berlawanan. Orang tua ini segera hentikan langkahnya dan 

menatap ke depan. 

"Tidak sembarang kuda mampu menaiki puncak 

gunung. Apa lagi gunung tinggi seperti Mahameru ini. 

Binatang itu pasti kuda yang sangat terlatih. Bukan kuda 

sembarangan. Mungkin sekali kuda yang biasa 

dipergunakan dalam peperangan.... Keadaan di Demak


masih sangat kacau. Bukan mustahil.... " 

Belum selesai orang tua itu berucap dalam hati dua ekor 

kuda besar, satu berwarna coklat, satunya hitam berkilat 

muncul di atasnya. Dari ladam-ladam kaki kuda yang tebal 

dan bergerigi jelas bahwa dua ekor binatang ini memang 

sengaja diperuntukkan untuk ditunggangi di puncak 

gunung atau kawasan berbatu-batu. 

Di atas kuda berwarna coklat duduk seorang bertubuh 

besar, berkulit sangat hitam. Dari pakaian dan bentuk 

gagang pedang yang terselip di pinggangnya jelas dia 

adalah seorang Perwira Kerajaan. Yang anehnya orang ini 

memegang sebuah obor besar di tangan kirinya sementara 

tangan kanan menahan tali kekang kuda tunggangannya. 

Di samping si Perwira, di atas kuda besar hitam yang 

kelihatan garang duduk gagah seorang kakek berjubah 

kuning. Jubah ini terbuat dari bahan tebal dan mahal. Di 

tangan kirinya dia memegang sebatang tombak besi. Pada 

ujung tombak terikat sebuah bendera berbentuk segi tiga 

berwarna kuning. 

Di belakang kakek berjubah putih, ratusan ular 

mendadak tegakkan kepala dan mendesis keras. Kakek itu 

angkat tangan kanannya. Binatang-binatang yang tadi 

kelihatan galak kini tundukkan kepala, tak ada yang 

bersuara tapi tetap menatap ke depan dengan pandangan 

tidak berkesip. Binatang-binatang yang dalam perasaan 

dan tinggi tingkat kewaspadaannya ini rupanya sudah 

mencium sesuatu akan terjadi. 

Setelah pandangi dua orang itu sejenak, orang 

tua berjubah putih segera memaklumi ada sesuatu dibalik 

kernunculan mereka. Walau hatinya merasa tidak enak 

sambil tersenyum orang tua ini menegur. 

"Perwira Brajanala, sahabatku Ki Dalem Sleman, 

ini sungguh satu pertemuan yang tidak disangka-sangka. 

Aku tak bisa menutupi kegembiraanku. Tapi juga merasa


aneh dan ingin bertanya. Gerangan apakah sebabnya 

hingga Perwira Brajanala bersuluh obor besar di bawah 

terang benderangnya sinar matahari?" Orang tua berjubah 

putih ini ajukan pertanyaan walau sebenarnya dia sudah 

tahu apa kegunaan obor besar itu. Yakni untuk melindungi 

diri dari ratusan ular jika binatang-binatang itu menyerang. 

Orang tua berjubah kuning bernama Ki Dalem Sleman 

melirik pada Perwira di atas kuda coklat lalu berkata. 

"Brajanala, kau tak perlu menjawab pertanyaannya. Karena 

kitalah yang akan mengajukan banyak pertanyaan 

padanya!" 

Kakek jubah putih kerenyitkan kening. Sepasang alisnya 

naik sesaat. Lalu kembali dia tersenyum. "Kalau sampeyan 

mempunyai kepentingan mengapa tidak mengajukannya 

sewaktu kita masih sama-sama di Demak. Mengapa 

sampai-sampai menghabiskan waktu dan mencapaikan diri 

menemuiku di lereng Mahameru ini?" 

"Sebabnya lain tidak karena kau melarikan diri ketika 

Kerajaan dilanda kekacauan. Padahal kau adalah salah 

seorang penasihat Sultan yang dibutuhkan kehadirannya. 

Tapi kau menghilang begitu saja. Untung kami masih bisa 

menemuimu di sini!" Yang berkata adalah Perwira Kerajaan 

bernama Brajanala yang berkulit hitam liat itu. 

"Aku tidak melarikan diri. Tidak pula menghilang. Aku 

memang penasihat Kerajaan. Tapi hanya sampai saat aku 

dibutuhkan. Saat Sultan dan Kerajaan tidak memerlukan 

diriku lagi, aku merasa tidak ada gunanya lagi berada lebih 

lama di Demak. Keluarga dan turunan Sultan saling 

membantai memperebutkan tahta. Sampeyan tahu sendiri 

apa yang terjadi sejak Sultan Trenggono mangkat. 

Pangeran Sekar Seda Lepen adik Sultan yang seyogianya 

menjadi Raja menggantikan kakaknya mati dibunuh orang. 

Pangeran Prawoto, putera Sultan Trenggono yang siap-siap 

hendak dinobatkan sebagai Sultan Demak dibantai habis


bersama seluruh keluarganya secara keji oleh Arya 

Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Aku 

sendiri tidak lagi ingin terlibat dengan segala urusan dunia 

dan kekuasaan. Apa lagi segala daya upayaku untuk 

mendamaikan mereka tidak diperdulikan. Saat ini 

Adiwijoyo, menantu mendiang Sultan Trenggono tengah 

menyusun kekuatan untuk melakukan pembersihan. 

Mudah-mudahan Tuhan membimbing dan melindunginya. 

Aku mendoakan semoga dia berhasil, agar Kerajaan 

kembali aman dan rakyat yang selama bertahun-tahun ini 

hidup menderita bisa kembali menikmati hidup 

tenteram...." 

Ki Dalem Sleman, kakek berjubah hitam yang 

memegang tombak sunggingkan senyum sinis. "Ucapanmu 

seolah satu filsafat yang lebih tinggi dari langit, lebih dalam 

dari dasar samudera. Namun kami berdua tahu kau berada 

di Mahameru ini bukan karena tidak ingin lagi terlibat 

dengan segala urusan dunia, melainkan karena ada satu 

hal lain...." 

"Sampeyan benar Ki Dalem Sleman," kata Ki Suro Gusti 

Bendoro pula. "Aku sengaja naik ke puncak Mahameru ini 

karena menurut petunjuk yang aku terima dari Gusti Allah 

melalui tiga kali mimpi, setelah lima puluh tahun 

menunggu, puncak Mahameru ini merupakan ujung atau 

akhir perjalanan hidupku...." 

"Rupanya kau manusia luar biasa sekali, Ki Suro Gusti 

Bendoro. Sampai-sampai tahu dimana dan kapan akan 

menemui ajal! Kau manusia murtad! Karena soal mati 

hidupnya manusia hanya Tuhan yang mengetahui...." 

"Aku tidak akan berdebat mengenai hidup matiku 

dengan sampeyan Ki Dalem Sleman...." 

"Baik! Karena kami berdua mencarimu memang bukan 

untuk bicara berpanjang lebar. Kami mengetahui kau 

meninggalkan Demak dengan membawa Bendera Pusaka


milik Kerajaan yang bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Itu 

sebabnya kami mengejarmu sampai ke sini. Kau harus 

menyerahkan Bendera Pusaka itu segera. Saat ini juga!" 

Ki Suro Gusti Bendoro sangat terkejut mendengar kata-

kata Ki Dalem Sleman itu. "Ki Dalem Sleman, aku yakin 

sampeyan bukan orang yang suka berburuk sangka. 

Namun apa yang barusan sampeyan katakan sungguh 

mengejutkan. Bagaimana sampeyan bisa menuduh aku 

membawa Bendera Pusaka Kanjeng Kiai Pujoanom?" 

"Kau bukannya membawa tapi mencuri Bendera Pusaka 

itu!" kata Perwira Brajanala dengan suara keras dan 

tampang garang. 

"Astagfirullah." Ki Suro mengucap. "Seumur hidupku aku 

tidak pernah mencuri. Apa lagi sampai mencuri Pusaka 

Kerajaan yang sangat kujunjung tinggi. Sampeyan berdua 

pasti menyirap kabar salah. Atau mungkin ada pihak yang 

memfitnah...." 

"Tidak ada kabar yang salah! Tidak ada orang yang 

memfitnah...." 

"Kalau begitu sampeyan berdua kupersilahkan 

menggeledah diriku..." kata Ki Suro Gusti Bendoro dengan 

suara tetap tenang. 

"Buat apa menggeledah. Kau pasti sudah 

menyembunyikan Bendera Pusaka itu di satu tempat 

rahasia!" tukas Brajanala. "Kami ingin kau mengantar kami 

ke tempat kau menyembunyikan Bendera itu!" 

Kakek berjubah putih gelengkan kepala lalu berkata. 

"Apa yang aku katakan adalah suara kebenaran. Aku tidak 

mencuri Bendera Pusaka itu...." 

"Kalau begitu terpaksa kau menggantikan Bendera 

Pusaka itu dengan kau punya nyawa!" ujar Brajanala pula. 

Lalu "sreettt!" Perwira Kerajaan ini hunus pedangnya. 

Pedang telanjang itu berkilauan ditimpa sinar matahari. 

Sang Perwira lalu sentakkan tali kekang kudanya. Binatang


ini melangkah maju mendekati Ki Suro Gusti Bendoro yang 

tetap berdiri dengan tenang bahkan wajah tidak berubah 

sama sekali. 

***


DUA


SEBELUM AJAL BERPANTANG MATI


BEGITU pedang keluar dari sarungnya, ratusan ular 

yang ada di belakang Ki Suro Gusti Bendoro serta 

merta mendesis keras dan serentak melesat ke 

depan. Kuda hitam dan kuda coklat meringkik tinggi sambil 

angkat dua kaki depan masing-masing. 

Brajanala cepat kuasai kudanya lalu babatkan obor 

besar di tangan kiri. Puluhan ular bersurut mundur tapi 

puluhan lainnya tetap melesat ke depan. Ki Dalem Sleman 

gerakkan tangannya yang memegang tombak. Siap 

menggebuk. Tombak ini bukan senjata biasa melainkan 

satu senjata mustika yang bisa menebas batang pohon 

dan menghancurkan batu besar. 

Ketika ular-ular itu hampir melewati orang tua berjubah 

putih, Ki Suro segera angkat tangannya dan berkata. 

"Sahabat-sahabatku, tenanglah. Kembali ke tempatmu di 

belakangku...." 

Luar biasa sekali! Seperti mengerti apa yang diucapkan 

si orang tua, ratusan ular itu bersurut ke belakang. 

Brajanala melintangkan pedangnya di depan dada. "Ki 

Suro! Apa kau lebih suka mati dengan kepala terbelah dari 

pada memberi tahu dimana kau sembunyikan Bendera 

Pusaka itu?!" 

"Soal Bendera Pusaka sudah aku katakan, aku tidak 

memilikinya. Soal kematian aku hanya berserah diri pada 

Yang Maha Kuasa Maha Pencipta. Aku merasa bahagia


setelah menunggu lima puluh tahun untuk menghadap 

Sang Pencipta akhirnya ada orang memberi jalan menuju 

pintu akhirat. Sampeyan hendak membunuhku, aku sangat 

berterima kasih. Semoga Tuhan mengampuni dosa 

sampeyan. Tapi izinkan aku lebih dulu menghadap ke 

Kiblat...." 

Habis berkata begitu Ki Suro Gusti Bendoro putar 

tubuhnya menghadap ke arah matahari tenggelam. 

Di atas kuda coklat Perwira bernama Brajanala 

kertakkan rahang. Tangan kanannya menggenggam 

gagang pedang erat-erat. Lalu wuuut! Senjata itu 

berkelebat menyilaukan di udara. Membacok dari atas ke 

bawah. Sasarannya adalah batok kepala kakek berjubah 

putih yang tegak dengan kepala agak tertunduk, pasrah 

menunggu ajal. 

Ratusan ular di belakang si kakek tegakkan kepala, 

mendesis keras tapi tak ada yang berani bergerak. 

"Traanggg!" 

Pedang besar di tangan Perwira Brajanala laksana 

menghantam benda terbuat dari baja atos. Senjata itu 

patah dua begitu membentur batok kepala Ki Suro Gusti 

Bendoro. Kepala si kakek sedikitpun tidak bergeming 

bahkan rambutnya yang putih tidak ada yang putus barang 

sehelaipun! Di atas kuda coklat Brajanala terhuyung-

huyung. Tak terasa obor besar di tangan kirinya jatuh ke 

tanah. Minyak yang tumpah segera disambar nyala api. 

Kebakaran besar di tempat yang kering gersang dan panas 

itu akan segera terjadi kalau kakek berjubah putih tidak 

lekas melakukan sesuatu. Sekali dia meniup, padamlah 

kobaran api. 

Untuk sesaat Brajanala masih memegang gagang 

pedang namun kemudian senjata yang telah patah itu 

terpaksa dilepaskannya karena tangannya terasa panas 

dan pedas. Ketika diperhatikannya, terkejutlah Perwira


Demak ini karena telapak tangannya ternyata telah 

terkelupas melepuh! 

Perlahan-lahan Ki Suro Gusti Bendoro angkat kepalanya. 

Sesaat dia menatap sang Perwira yang memandang 

padanya dengan mata membeliak dan rahang 

menggembung. 

Ki Suro tersenyum dan berkata dengan suara lembut. 

"Tuhan tidak mengizinkan sampeyan membunuhku. Ajalku 

tidak berada di tangan sampeyan. Ini satu bukti bahwa ajal 

manusia tidak berada di tangan manusia lainnya kecuali 

dengan kehendakNya. Perwira Brajanala, semoga Gusti 

Allah mengampuni kesalahan sampeyan...." 

Muka hitam Perwira Kerajaan itu kelam membesi. Dua 

tangannya terkepal, matanya mendelik tak berkesip dan 

gerahamnya bergemeletakan. 

"Ilmu kebalmu sungguh mengagumkan Ki Suro Gusti 

Bendoro!" Tiba-tiba Ki Dalem Sleman membuka mulut. "Aku 

mau lihat, apakah kesaktianmu bisa menahan Tombak Kiai 

Sepuh Plered milikku ini!" 

Begitu selesai berucap Ki Dalem, Sleman langsung 

tusukkan tombak besi yang ujungnya ada bendera kecil 

kuning berbentuk segitiga ke leher Ki Suro Gusti Bendoro. 

"Desss!" 

Tombak besi tembus sampai ke tengkuk si kakek. Darah 

menyembur lalu membasahi leher, dada dan jubah putih 

yang dikenakannya. Ratusan ular mendesis keras dan 

tegakkan kepala. Namun seperti tadi tak ada bergerak. 

Ki Dalem Sleman tertawa bergelak. 

"Ki Suro! Ternyata ilmu kebalmu tidak sanggup 

menghadapi tombak saktiku! Ha... ha... ha! Kau harus 

berterima kasih padaku karena telah menolongmu 

menemui kematian lebih cepat!" 

Sepasang mata Ki Suro Gusti Bendoro menatap tak 

berkesip ke arah kakek berjubah kuning. Tidak ada


bayangan rasa sakit di wajah orang tua ini. Hal ini mungkin 

tidak terperhatikan oleh Ki Dalem Sleman. Puas tertawa 

dia lalu cabut tombak Kiai Sepuh Plered dari leher Ki Suro. 

Baik Ki Dalem Sleman maupun Perwira Brajanala mengira 

begitu tombak dicabut, Ki Suro akan segera roboh ke tanah 

walau tangan kanannya masih bersitopang pada tongkat 

bambu kuning. Tapi bukan saja sosok kakek itu tetap tegak 

tak bergerak di tempatnya. Malah terjadilah satu hal luar 

biasa. Darah yang mengucur dari luka tembusan tombak 

sakti di leher Ki Suro, yang meleleh membasahi leher, dada 

serta jubahnya bergerak surut, naik ke atas, masuk 

kembali ke dalam lobang luka. Lalu luka itu menutup 

dengan sendirinya. Tak ada cacat atau bekas yang 

tertinggal. Sedang noda darah di jubah si kakek lenyap 

sama sekali. Jubah itu kembali putih bersih seperti se-

belumnya! Selain itu noda darah yang membasahi tombak 

dan bendera kuning juga ikut sirna tanpa bekas! 

Dinginlah tengkuk Ki Dalem Sleman dan Brajanala. 

"Sahabatku Ki Dalem Sleman...." Ki Suro Gusti Bendoro 

berkata sambil mengulas senyum. "Ternyata Tuhan juga 

tidak mengizinkan sampeyan membunuhku...." 

Dua orang di atas kuda putus sudah nyali mereka. 

Keduanya sentakkan tali kekang kuda masing-masing lalu 

menghambur lenyap ke arah lereng timur Gunung 

Mahameru. 

Ki Suro Gusti Bendoro hela nafas dalam lalu berucap. 

"Ya Tuhan, ampuni dosa dan kesalahan ke dua orang itu. 

Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka telah 

perbuat." 

Ki Suro Gusti Bendoro berpaling ke belakang. Ratusan 

ular tegakkan kepala. Orang tua ini tersenyum yang dibalas 

oleh desisan halus oleh ratusan ular. Begitu Ki Suro 

memutar tubuh dan melanjutkan perjalanan menuju 

puncak gunung, binatang-binatang itu segera pula


mengikuti. Sosok-sosok mereka yang menjalar di tanah 

menimbulkan suara bergemuruh. 

Semakin tinggi ke atas semakin terik sinar sang surya 

seolah membakar puncak Mahameru. Ki Suro terus 

melangkah. Ular-ular terus pula mengikutinya. Di satu 

tempat di mana terdapat dua batu besar membentuk celah 

kakek ini hentikan langkahnya. Ratusan ular ikut berherti. 

Kembali binatang ini tegakkan kepala. Telinga si kakek 

menangkap satu suara. Telapak kakinya terasa bergetar. 

Ada langkah-langkah berat di balik dua batu besar di 

depannya. 

Tiba-tiba menggelegar satu auman dahsyat. Tanah dan 

batu-batu besar di tempat itu bergetar. Sesaat kemudian 

muncullah kepala seekor harimau besar. Matanya yang 

hijau menyorot tajam membersitkan hawa pembunuhan. 

Mulutnya menguak lebar memperlihatkan barisan gigi-gigi 

besar dan taring-taring runcing serta lidah merah haus 

darah. Sepasang kaki depan bergeser merendah. Kepala 

perlahan-lahan dirundukkan. Pertanda raja rimba belantara 

penguasa puncak Mahameru ini siap menerkam. 

Di sebelah belakang ratusan ular mendesis keras. 

Sebaliknya kakek yang hendak dijadikan mangsa harimau 

gunung itu tetap berdiri tenang. Malah diwajahnya 

menyeruak senyum. Tongkat bambunya dimelintangkan di 

dada. Lalu orang tua ini membungkuk sedikit. Dari 

mulutnya keluar ucapan. 

"Kita sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak 

sepantasnya memiliki hati dan rasa ingin menguasai. Apa 

lagi berniat jahat hendak menumpahkan darah melakukan 

pembunuhan. Aku berjalan di jalanku, tidak mengusik tidak 

mengganggu. Engkau berjalan di jalanmu tidak mengusik 

tidak mengganggu. Persahabatan adalah sesuatu yang 

agung. Tetapi terkadang makhluk melupakannya karena 

dorongan yang datang dari dalam diri sendiri serta tekanan


yang datang dari luar. Aku ingin bersahabat tetapi jika 

nasib menakdirkan bahwa kematianku ada di tanganmu, 

aku akan merelakan selembar nyawaku. Lima puluh tahun 

aku menunggu kematian yang tak kunjung datang. 

Agaknya saat ini kau muncul tepat pada waktunya. Dengan 

kehendak Yang Maha Kuasa apa yang akan terjadi, 

terjadilah...." 

Kakek itu lalu duduk bersila di tanah. Tongkatnya 

diletakkan di atas pangkuan. Dua tangannya ditumpahkan 

di ujung lutut. "Harimau raja rimba belantara. Jika kau 

datang membawa takdir bagi akhir nasibku aku ikhlas 

menerima karena aku memang sudah menunggu. 

Lakukanlah apa yang hendak kau lakukan...." 

Dengan senyum masih membayang di wajah orang tua 

itu menatap pada harimau gunung di depannya. Di sebelah 

belakang, ratusan ular yang telah rnengangkat kepala siap 

melesat menyerang harirnau besar. Tapi orang tua 

berjubah putih angkat tangan kanannya dan berkata 

lembut. 

"Sahabatku, kalau takdir datang tidak ada satu 

kekuatanpun bisa menghalang. Tetaplah berada di tempat 

kalian. Kematian bagian setiap makhluk hidup. Tubuh tua 

dan lapuk ini sudah sejak lama mendambakannya...." 

Ratusan ular keluarkan suara mendesis namun sikap 

mereka tidak segalak tadi lagi. Satu persatu tundukkan 

kepala, menatap tak berkesip ke depan. 

Harimau besar tiba-tiba mengaum lalu melompat ke 

atas batu besar. Dari atas batu besar inilah binatang itu 

menyergap si kakek, langsung mengarah kepala. Namun 

masih dua jengkal sebelum mencapai sasarannya, dari 

tubuh orang itu keluar satu hawa mengandung kekuatan 

dahsyat. Harimau besar terpental ke udara. Meraung 

keras. Jatuh terbanting dan terguling-guling. 

Si orang tua kelihatan terkejut melihat apa yang terjadi.


Wajahnya kemudian berubah seperti menyesali diri. 

"Harimau besar pembawa takdir. Aku tidak bermaksud 

mencelakai dirimu. Aku lupa kalau dalam diriku masih 

tersimpan sisa-sisa kekuatan tak berguna di masa muda. 

Lakukanlah kembali. Serang diriku. Terkam. Aku 

menginginkan kematian sebagaimana kau menginginkan 

tubuhku...." 

Harimau gunung bangkit berdiri. Sepasang matanya 

berkilat-kilat. Didahului gerengan keras binatang ini 

kembali menyerang mangsanya. Kali ini mulutnya langsung 

menerkam kepala si kakek. 

"Kraaakk... kraakkk.... kraakkk!" 

Harimau besar itu seperti menggigit batu besar. 

Hunjaman giginya yang besar-besar serta taringnya yang 

runcing-runcing jangankan melukai, menggores kepala 

orang tua itupun tidak sanggup. Dua kaki depannya 

menyambar ke depan. 

"Breettt... breettt!" 

Jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro robek besar di dua 

tempat di bagian dada. Namun kulit tubuhnya tidak 

tergores barang sedikitpun. Harimau gunung bermata hijau 

itu mengaum keras. Kibaskan ekornya lalu melompat lagi 

ke batu besar sebelah kiri. Dari sini binatang ini melompat 

lagi ke batu lain di sebelah sana lalu menghambur pergi 

melenyapkan diri. 

Untuk beberapa lamanya Ki Suro Gusti Bendoro masih 

duduk bersila di tanah. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, 

berpaling ke belakang menatap ratusan ular yang masih 

ada di tempat itu. Sambil melintangkan tongkat bambu 

kuningnya di depan dada orang tua ini berkata. 

"Para sahabatku, kiranya cukup sampai di sini kalian 

mengantarku. Bagaimanapun setiap perjalanan ada 

akhirnya. Kehidupan di dunia ini ada batasnya. Seratus 

lima puluh tahun aku menjalani kehidupan. Lima puluh


tahun aku menunggu. Akhirnya saat penantian tiba juga. 

Aku telah mendapat firasat melalui mimpi tiga kali berturut-

turut. Aku akan segera meninggalkan dunia fana ini. Walau 

aku manusia dan kalian binatang tapi karena kita sama-

sama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa Maha 

Pengasih aku yakin satu saat di alam baka kita akan 

berjumpa lagi dalam ujud yang tidak kita ketahui. Selamat 

tinggal sahabat-sahabatku...." 

Ratusan ular memenuhi jalan setapak itu keluarkan 

suara mendesis halus seolah sedih dan serentak 

rundukkan kepala, melata sama rata dengan tanah seolah 

memberi penghormatan terakhir. Mata mereka yang 

biasanya tajam tak berkesip kini tampak redup lalu 

teteskan air mata! 

Kakek berjubah putih tundukkan kepala dan bungkuk-

kan badannya dua kali berturut-turut lalu dengan menindih 

rasa berat di dalam hatinya dia memutar tubuh. Sekali 

berkelebat dia telah berada beberapa tombak di atas sana. 

Ratusan ular baru bergerak pergi setelah si orang tua tak 

kelihatan lagi. 

***


TIGA


TUJUH PETIR DARI LANGIT


TANPA menghiraukan teriknya sengatan sinar, 

matahari yang seolah mau melelehkan batok 

kepalanya Ki Suro Gusti Bendoro melangkah cepat 

menuju puncak Mahameru. Sesekali tongkat bambu 

kuningnya dipukulkan ke batu-batu yang dilewatinya hingga 

mengeluarkan suara bergetar keras. 

Di satu tempat orang tua yang memiliki kesaktian tinggi 

ini dan melakukan perjalanan dalam mencari akhir 

kehidupannya hentikan langkah. Memandang berkeliling 

matanya membentur sebuah batu besar yang salah satu 

sisinya ada sebuah lobang sebesar kepalan tangan. 

Dada si kakek berdebar. "Batu permata..." katanya 

dalam hati. "Tepat seperti yang aku lihat dalam mimpi." Dia 

menatap ke langit lalu membungkuk. Selesai membungkuk 

laksana terbang dia melesat dan sesaat kemudian telah 

duduk bersila di atas batu, sengaja menghadap ke arah 

matahari tenggelam. 

Sejak pagi sang surya telah membakar batu itu dengan 

sinarnya yang sangat terik. Batu besar yang diduduki si 

kakek tidak beda dengan bara menyala. Tapi orang tua ini 

duduk bersila dengan tenang, seolah duduk di satu tempat 

yang sejuk dan nyaman. Kepalanya didongakkan ke atas 

langit. Tongkat bambu kuning diletakkan di atas pangkuan 

sedang dua tangan ditumpahkan di atas lipatan lutut. 

Setelah berdiam diri sesaat orang tua ini pejamkan dua


matanya lalu dengan suara perlahan dan bergetar dia 

berkata. 

"Ya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. 

PentunjukMu sudah hamba terima. Batu permata telah 

hamba temui. Mohon kiranya masa penantian selama lima 

puluh tahun menjadi kenyataan. KehendakMu terjadilah. 

Hamba Ki Suro Gusti Bendoro sudah siap Ya Tuhan untuk 

datang menghadapMu dengan segala kerendahan. Petir 

pertama datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang 

Kuasa, aku siap menerima deramu!" 

Di tempat yang tadinya sunyi senyap itu, disekitar batu 

besar tiba-tiba bertiup angin aneh yang mengeluarkan 

suara seperti puluhan puput ditiup secara bersamaan. 

Pada saat suara itu lenyap tiba-tiba di langit sebelah utara 

berkiblat satu sinar terang menyilaukan. Bersamaan 

dengan itu terdengar suara menggelegar seolah hendak 

meruntuh langit mengoyak bumi. 

Kiblatan sinar terang menghunjam ke bumi, 

menghantam ke arah batu besar di mana orang tua 

berjubah putih duduk bersila. 

Batu besar hancur terbelah hangus. Orang tua yang 

duduk di atasnya mencelat sampai lima tombak. Dari 

mulutnya keluar jeritan setinggi langit. Ketika tubuhnya 

melayang jatuh dan terkapar di tanah gunung, tangan 

kanannya sebatas bahu tak ada lagi di tempatnya. Petir 

yang menghantam dari langit membabat putus dan hangus 

tangan itu. Potongan tangan terlempar ke udara lalu jatuh 

dekat sebuah batu, perlahan-lahan berubah bentuk, leleh 

menjadi seonggok bubuk pasir berwarna hitam dan 

mengepulkan asap panas! 

Sosok orang tua itu terkapar di tanah tak bergerak. 

Jubah putihnya hangus. Mungkin nyawanya sudah putus. 

Ternyata tidak. Perlahan-lahan tubuh, itu bergerak bangkit. 

Tangan kirinya masih memegang tongkat bambu. Sesaat


dia duduk bersimpuh di tanah lalu berkata. 

"Ya Tuhan, dera petir pertama telah hamba terima. Beri 

petunjuk agar hamba segera mendapatkan petir ke dua 

dan selanjutnya sampai ke tujuh." Ki Suro Gusti Bendoro 

sekilas melirik ke arah kutungan tangan kanannya yang 

telah berubah menjadi pasir besi hitam dan panas. 

Dengan pertolongan tongkat yang dipegang di tangan 

kiri orang tua berjubah putih itu melangkah meneruskan 

perjalanan. Sikapnya masih tetap gagah. Dia terus 

mendaki menuju puncak gunung. Tangan kanannya yang 

buntung disambar petir dan sakit luar biasa seolah tidak 

dirasakanrtya. Di satu tempat kembali kakek ini hentikan 

langkah ketika matanya melihat batu besar bertanda dua 

buah lobang sebesar kepalan. 

"Batu ke dua, tanda ke dua..." membatin orang tua 

berusia 150 tahun ini. Dia cucukkan tongkat bambu di 

tangan kirinya ke sebuah batu. Batu berlubang ditembus 

tongkat. Si kakek sendiri kemudian melesat ke udara dan 

turun di atas batu bertanda dua buah lobang sebesar 

kepalan. 

Seperti tadi orang tua ini duduk bersila di atas batu 

besar yang amat panas itu. Karena tangan kanannya 

sudah buntung, kini hanya tangan kirinya yang diletakkan 

di atas lipatan lutut. 

Sambil mendongak ke langit, orang tua ini berucap. 

"Petir ke dua, aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima 

deramu. Datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang 

Kuasa!" 

Baru saja kalimat itu selesai diucapkan, muncul suara 

angin menyerupai bunyi puput. Untuk ke dua kalinya 

kemudian dari langit melesat sinar putih menyilaukan 

menyambar ke bawah disertai gelegar yang menggetarkan 

puncak Gunung Mahameru. 

Batu yang diduduki Ki Suro Gusti Bendoro pecah hangus


berkeping-keping. Sosok si kakek mencelat tinggi ke udara 

dibarengi jeritannya yang keras luar biasa. Sosoknya 

kemudian terbanting jatuh di celah antara dua buah batu 

hitam. Dari mulutnya keluar suara mengerang. Darah 

mengucur dari telinga dan hidungnya. Dua kakinya 

melejang beberapa kali. Saat itu ternyata dia tidak lagi 

memiliki tangan kiri. Seperti tangan kanan, tangan kirinya 

juga telah buntung hangus dihantam petir yang menyam-

bar dahsyat dari langit! 

Lalu keanehan terulang kembali. Potongan tangan kiri Ki 

Suro Gusti Bendoro yang tercampak di tanah perlahan-

lahan berubah menjadi setumpuk debu kasar menyerupai 

pasir besi berwarna hitam dan mengepulkan asap. 

Di sela batu, tubuh Ki Suro berguling ke kiri. Dua kakinya 

menggapai-gapai. Dengan bersandar ke salah satu batu di 

dekatnya dia berusaha bangkit. Tongkat bambu kuningnya 

masih menancap di atas batu hitam. Dia melesat ke atas 

batu. Dengan mulutnya dia menyambar tongkat bambu itu. 

Lalu dengan langkah terhuyung-huyung dia kembali 

mendaki menuju puncak gunung. 

Sekali ini dia bergerak tidak semudah sebelumnya. 

Sesekali dia hentikan langkah, menarik nafas panjang dan 

menatap ke langit. Di satu pendakian kakinya tersandung. 

Tubuhnya tersungkur di hadapan sebuah batu. Ketika dia 

memandang ke depan dia melihat tiga buah lubang pada 

batu itu. 

"Batu ke tiga..." membatin Ki Suro. Sepasang matanya 

membesar. Dia segera kerahkan tenaga dalam ke bawah 

lalu menjejakkan kaki. Kemudian tubuhnya melayang dan 

tegak di atas batu. Sesaat dia tegak tergontai-gontai. Lalu 

perlahan-lahan dia dudukkan diri bersila. 

"Petir ke tiga. Datanglah. Aku Ki Suro Gusti Bendoro siap 

menerima deramu!" 

Angin bertiup menimbulkan suara seperti puput. Di


langit menggelegar suara petir. Cahaya menyilaukan 

menyambar panas dan ganas untuk ke tiga kalinya. Kali ini 

kaki kanan si kakek amblas putus sebatas pangkal paha, 

mencelat bersama hancuran batu. Lalu seperti yang 

kejadian dengan dua tangannya, kutungan paha yang 

gosong hangus ini berubah menjadi pasir besi berwarna 

hitam. 

Sosok Ki Suro Gusti Bendoro sendiri saat itu setengah 

terpendam di tanah. Orang lain dalam keadaan buntung 

tiga anggota tangannya disambar petir pasti sudah 

menemui ajal. Namun kakek satu ini sungguh luar biasa. 

Beringsut-ingsut dia mampu keluar dari pendaman tanah. 

Lalu dengan hanya mempergunakan satu kaki dia 

melompat berjingkat-jingkat menuju ke bagian gunung 

sebelah atas. Setiap jatuh dia berusaha bangkit lalu 

melompat lagi. Di satu tempat orang tua ini seperti 

kehabisan nafas dan sandarkan dirinya pada satu batu 

berbentuk pilar. Tenggorokannya seperti tercekik. Sekujur 

tubuhnya terutama yang putus dihantam petir sakit dan 

panas bukan main. Darah makin banyak mengalir dari 

hidung serta telinganya, malah kini juga dari mulut. 

Tongkat bambu kuning yang masih digigit 

dimulutnya kini tampak ikut basah oleh noda darah. 

"Masih empat petir..." membatin Ki Suro. Dia 

memandang berkeliling, mencari-cari. Akhirnya dia melihat 

empat lubang di sebuah batu berbentuk pilar enam 

langkah di sebelah depan sana. Dengan berjingkrak-

jingkrak dia dekati batu setinggi tiga tombak itu. Ki Suro 

atur jalan nafas. Kerahkan tenaga dalam ke kaki kiri lalu 

begitu dia hentakkan kaki itu ke tanah tubuhnya melesat 

ke udara dan seperti seekor burung bangau dia hinggap di 

ujung batu berbentuk pilar! 

"Petir ke empat! Datanglah! Aku Ki Suro Gusti Bendoro 

siap menunggu!" Si kakek berteriak tapi suara teriakannya


tidak sekeras sebelumnya. Apa lagi mulutnya kini dipenuhi 

darah dan setengah tersumbat oleh tongkat bambu yang 

digigitnya. 

Suara angin menyerupai lengkingan tiupan puput 

menggema di seputar pilar batu. Lalu. 

"Blaaarrr!" 

Di angkasa melesat sinar terang, menghunjam ke 

puncak Gunung Mahameru disertai gelegar yang membuat 

nyawa serasa terbang. Sebelum petir ke empat 

menghantam kaki kirinya, Ki Suro menyembur ke depan. 

Tongkat bambu kuning melesat ke udara lalu menancap di 

sebuah batu. Dari mulut Ki Suro sendiri kemudian keluar 

jeritan setinggi langit serta semburan darah. Tubuhnya 

terlempar jauh lalu jatuh terbanting di atas batu rata. Saat 

itu keadaannya sungguh mengerikan karena kaki kirinya 

telah putus dan hangus dibabat hantaman petir. Kutungan 

kaki ini seperti anggota tubuh terdahulu berubah menjadi 

bubuk pasir berwarna hitam mengepul. 

Untuk beberapa lamanya tubuh tanpa anggota badan itu 

terkapar tak bergerak. Lalu ada erangan halus. Kepala 

yang berselemotan darah bergerak ke kiri. Sepasang mata 

bergerak-gerak. 

"Batu ke lima.... Di mana batu kelima...." Dalam 

menanggung sakit yang amat sangat Ki Suro Gusti Bendoro 

mencari-cari. Rasa takut muncul. Tanpa tangan dan kaki 

bagaimana mungkin dia mencari batu ke lima. Dia tidak 

tahu kalau batu di mana dia terkapar saat itu justru adalah 

batu kelima karena di salah satu sudut yang tidak terlihat 

oleh mata si kakek ada lima buah lubang sebesar kepalan. 

"Batu kelima.... Aku harus menemukan batu ke lima! 

Tuhan tolong hambaMu ini! Beri petunjuk...." 

Di bawah sinar terik matahari tanpa didahului lagi oleh 

suara angin menyerupai tiupan puput, untuk ke lima 

kalinya di langit berkiblat cahaya putih menyilaukan mata.


Gelegar dahsyat lagi-lagi mengguncang Gunung Mahameru. 

"Blaaarrr! Craaasss!" 

Tubuh Ki Suro Gusti Bendoro putus tepat di bagian 

pusar. Jeritan orang tua ini lebih menyerupai raungan 

binatang. Sisa tubuhnya dari pinggang ke atas hangus 

menghitam sementara bagian bawah yang terputus begitu 

terbanting ke tanah serta merta berubah menjadi bubuk 

hitam! 

Sepasang mata Ki Suro membeliak. Bagian hitamnya 

seolah lenyap dan hanya bagian putihnya saja yang 

terlihat. Namun sulit dipercaya, dalam keadaan tubuh 

terkutung-kutung seperti itu orang tua ini masih belum 

menemui ajal. Kepalanya, walau sangat lemah masih bisa 

digerakkan ke kiri dan ke kanan. 

"Ya Tuhan, beri hambamu ini kekuatan mendapatkan 

batu ke enam dan ke tujuh...." Tak dapat dipastikan dari 

mana keluarnya suara itu. Entah dari mulut atau liang 

perut si kakek. Saat itu tubuhnya terjepit antara celah dua 

kepingan batu besar bekas hancuran batu datar di mana 

sebelumnya dia jatuh terkapar. Ternyata pada masing-

masing belahan batu terdapat lubang-lubang sebesar 

kepalan. Pada belahan sebelah kanan berjumlah enam 

lubang sedang pada batu sebelah kiri ada tujuh lubang. 

"Petir ke enam, petir ke tujuh! Datanglah! Datanglah 

berbarengan! Aku ingin masa penantian lima puluh tahun 

ini segera berakhir! Aku ingin roh ini segera melayang ke 

alam baka! Petir ke enam! Petir ke tujuh! Aku siap 

menerima deramu!" 

Bagi orang yang berada di tempat itu dan mendengar 

suara Ki Suro Gusti Bendoro maka yang terdengar 

hanyalah suara bergumam menggidikkan. Dan di puncak 

semua kengerian itu dari atas langit, satu cahaya terang 

diikuti cahaya ke dua menyambar dahsyat. Puncak Gunung 

Mahameru laksana mau runtuh.


"Blaaar!" 

"Blaaarr!" 

Untuk ke sekian kalinya tubuh Ki Suro amblas putus. 

Kali ini di bagian dada, dihantam petir ke enam. Lalu petir 

ke tujuh menyudahi segala-galanya. Kepala orang tua itu 

hangus mengerikan. Setelah itu semua potongan tubuh 

dan kepala berubah menjadi gundukan pasir hitam yang 

mengepulkan asap panas! 

Keanehan tidak terhenti sampai di situ. Onggokan-

onggokan pasir besi hitam dan panas yang bertebaran di 

beberapa tempat dan berasal dari potongan-potongan 

tubuh Ki Suro Gusti Bendoro berubah menjadi cairan hitam 

lalu bergerak meluncur di tanah seolah binatang melata, 

menuju ke satu tempat. Begitu saling bertemu mendadak 

udara yang tadi terang benderang kini menjadi redup. Di 

langit gumpalan-gumpalan awan hitam berarak cepat me-

nutupi puncak Gunung Mahameru. Lalu gelegar guntur 

mengumandang beberapa kali. Udara menjadi gelap 

sesaat namun tidak ada hujan yang turun. Ketika tak 

selang berapa lama gumpalan-gumpalan awan hitam 

lenyap dan keadaan kembali terang, di tanah tempat 

bersatunya cairan aneh yang berasal dari sosok tubuh-

tubuh Ki Suro Gusti Bendoro kini tergeletak sebilah keris 

tanpa sarung. 

Keris aneh ini berwarna hitam kebiru-biruan, memiliki 

luk sebanyak tujuh buah. Pada dua sisinya ada tujuh jalur 

memanjang berwarna kuning emas berkilauan. Keris aneh 

ini bergagang terbuat dari besi, berbentuk menyerupai 

angka 7, berkilau-kilau terkena sinar matahari. Sungguh 

aneh. Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi kalau bukan 

dengan kehendak dan kuasaNya Tuhan Seru Sekalian 

Alam? 

***


EMPAT


EMPU BONDAN CIPTANING


SEBELUM menuturkan apa yang terjadi selanjutnya 

dengan jazad Ki Suro Gusti Bendoro yang telah 

berubah menjadi keris itu kita kembali dulu pada 

satu rangkaian peristiwa yang berlangsung beberapa waktu 

sebelumnya. 

Di tepi telaga berair jernih, sejuk dan sunyi itu Empu 

Bondan Ciptaning duduk bersila tengah melaksanakan 

samadi penuh khusuk. Sampai dengan pagi itu telah tiga 

malam empat hari dia melakukan samadi. Agaknya dia 

tidak akan berhenti sebelum maksud tujuannya tercapai. 

Beberapa malam yang lalu orang tua ini bermimpi 

bahwa dia bakal kedatangan seorang tamu sangat penting. 

Tamu itu akan mengunjunginya di tepi telaga tersebut. Jadi 

itulah sebanya Empu Bondan tidak beranjak dari telaga, 

melakukan samadi sambil menunggu kedatangan orang. 

Empu yang terkenal memiliki keahlian membuat 

berbagai macam senjata ini, terutama keris konon mampu 

membuat sebilah keris tanpa menempanya, tapi dengan 

mengandalkan jari-jari tangannya yang akan dijadikan 

senjata menjadi besi tempaan dan membakar besi yang 

akan dijadikan senjata mustika. Tidak mengherankan 

banyak sekali orang yang ingin minta dibuatkan berbagai 

macam senjata sakti pada sang Empu. Mulai dari prajurit 

sampai raja, mulai dari orang baik-baik sampai para 

penjahat. Namun tidak mudah untuk bisa mencari dan


bertemu dengan Empu Bondan Ciptaning. 

Menjelang tengah hari seorang kakek berjubah putih 

bertongkat bambu kuning muncul di tepi telaga. Dari debu 

yang melekat di pakaiannya jelaslah dia baru saja 

melakukan perjalanan jauh. Orang tua ini mengusap 

wajahnya lalu tersenyum. Walau tubuhnya terasa letih 

namun hatinya gembira karena orang yang dicarinya sejak 

dua purnama lalu akhimya ditemuinya juga. 

Melihat sang Empu tengah khusuk bersamadi, sambil 

menunggu orang tua berjubah putih memutuskan untuk 

melakukan sholat Zuhur terlebih dulu. Maka dia 

mengambil air wudhu di telaga lalu mencari tempat yang 

bersih untuk sembahyang. Selesai sembahyang kakek ini 

berzikir. Dia baru menghentikan zikirnya ketika melihat dua 

mata Empu Bondan Ciptaning perlahan-lahan terbuka, 

menatap ke arahnya. Dua pasang mata saling bertemu 

pandang. Dua wajah sama-sama menyeruakkan senyum. 

"Saudaraku Kiai Suro Gusti Bendoro!" berucap Empu 

Bondan Ciptaning. "Rupanya dirimulah yang kulihat dalam 

bayangan samadiku. Sungguh aku tidak menyangka. Aku 

merasa berbahagia dapat bertemu dengan dirimu. Orang 

tua ini lalu bangkit berdiri, menghampiri kakek berjubah 

putih. Keduanya lalu saling berpeluk-pelukan lama sekali, 

melepaskan kerinduan karena paling tidak selama dua 

lima tahun mereka tidak pernah bertemu. 

"Saudaraku Empu Bondan Ciptaning, aku tak kalah 

gembira bertemu dengan dirimu. Sudah berapa tahun 

senjata yang sampeyan ciptakan selama dua puluh lima 

tahun kita tak pernah bertemu?" 

Empu Bondan Ciptaning tertawa lebar. Ke dua orang tua 

itu lalu mencari tempat yang enak untuk duduk berhadap-

hadapan di tepi telaga. 

"Belakangan ini aku jadi malas. Sudah jarang sekali aku 

membuat senjata. Apa lagi yang namanya keris...."


"Mengapa begitu sahabatku? Mengapa sampeyan jadi 

malas" bertanya Ki Suro Gusti Bendoro. 

"Kupikir-pikir, buat apa aku membuat keris, men-

ciptakan berbagai senjata sakti kalau pada akhirnya hanya 

dipergunakan untuk menumpahkan darah. Dipakai untuk 

saling membunuh...." 

"Sampeyan sebagai pembuat tidak salah, senjata-

senjata itu juga tidak salah. Yang salah justru orang-orang 

yang mempergunakannya secara keliru..." kata Ki Suro 

Gusti Bendoro pula. 

"Mungkin begitu, saudaraku. Namun paling tidak aku 

merasa ikut bertanggung jawab. Kalau tidak kubuat 

senjata itu, tidak akan ada yang mati terbunuh. Karenanya 

aku putuskan untuk tidak membuat keris atau apapun 

lagi!" 

"Lalu apa kerja sampeyan? Hanya bersunyi diri di tepi 

telaga sejuk ini?" 

"Aku sengaja memilih tempat ini sejak sepuluh tahun 

silam. Karena suasana di dunia luar sangat merisaukan 

diriku. Kerajaan selalu dilanda kekacauan. Aku mendapat 

firasat ditahun-tahun mendatang kekacauan akan tambah 

menjadi-jadi. Aku tak ingin campur tangan. Aku juga tahu 

ada orang-orang Kerajaan yang diutus untuk mencariku. 

Jangan-jangan kau adalah salah seorang dari mereka. 

Bukankah kau salah seorang kepercayaan Sultan Demak?" 

"Sampeyan dan aku sama. Sudah sejak lama aku 

mengundurkan diri dari kehidupan Kerajaan. Jadi sam-

peyan tidak usah merisaukan siapa diriku. Aku adalah 

sahabatmu, saudaramu...." 

"Aku bahagia mendengar ucapanmu itu, Ki Suro. Hatiku 

benar-benar terasa sejuk. Apa lagi kalau aku ingat aku 

seorang Hindu, kau seorang Muslim...." 

Ki Suro Gusti Bendoro tersenyum dan pegang bahu 

sahabatnya itu. "Walau kita berlainan kepercayaan, tapi


perbedaan agama tidak bisa memutuskan tali 

persahabatan dan tali persaudaraan. Itulah keagungan 

Yang Maha Kuasa...." 

Empu Bondan Ciptaning tersenyum dan angguk-

anggukkan kepalanya. "Sekarang ceritakan padaku, 

gerangan apa yang membuatmu mencariku. Sampai-

sampai bayanganmu muncul dalam samadiku. Aku merasa 

ada sesuatu yang penting...." 

"Sangat penting," sahut Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Ada 

sesuatu yang harus aku serahkan padamu sebelum aku 

melakukan perjalanan menuju puncak Gunung 

Mahameru...." 

"Tunggu dulu..." kata Empu Bondan Ciptaning. "Kau 

menyebut niat hendak naik ke puncak Mahameru. Hal ini 

mengingatkan aku akan sesuatu. Apakah...?" Sang Empu 

tidak teruskan ucapannya. Wajahnya mendadak berubah 

redup tanpa ada kesedihan di lubuk hatinya. 

Ki Suro anggukkan kepala dengan perlahan. Wajahnya 

juga ikut larut dalam perasaan. "Lima puluh tahun aku 

menunggu. Aku sudah mendapat petunjuk dari Yang Maha 

Kuasa. Saatnya bakal datang tidak lama lagi. Itu sebabnya 

aku harus mempersiapkan diri dari sekarang...." 

"Kiai, saudaraku.... Apakah ini berarti kali terakhir kita 

bertemu?" Empu Bondan Ciptaning ulurkan tangannya 

memegangi lengan Ki Suro Gusti Bendoro. 

"Jangan bertanya seperti itu saudaraku..." jawab Ki Suro 

walau hatinya semakin ikut tenggelam dalam kesedihan. 

"Kita sama-sama tahu bahwa kehidupan di dunia ini 

hanyalah sementara saja. Merupakan satu persinggahan 

sebelum kita sampai ke hidupan yang abadi, yaitu alam 

akhirat, alam baka. Berpisah di dunia, dengan kehendak 

Yang Maha Kuasa kelak kita akan bertemu di alam akhirat" 

Empu Bondan Ciptaning akhirnya tersenyum luruh. 

"Saudaraku, belum pernah aku bertemu orang yang


mengadapi akhir hidupnya penuh senyum dan 

ketabahan...." 

"Ketabahan, bukankah itu dasar dari tawakal dan 

keimanan dalam agama kita...?" ujar Ki Suro pula. 

"Kau benar Kiai. Nah sekarang beritahu saudaramu ini. 

Gerangan apa yang hendak kau serahkan padaku?" 

"Sebuah kitab. Sebuah kitab yang usianya hampir dua 

kali usia kita berdua…." jawab Ki Suro Gusti Bendoro pula. 

Lalu tangannya bergerak ke balik jubah putihnya. 

***


LIMA


KITAB “HIKAYAT KERATON KUNO”


DARI dalam jubah putihnya Ki Suro Gusti Bendoro 

keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun lontar. 

Orang tua ini memegang kitab itu dengan sangat 

hati-hati. Karena selain daun lontarnya sudah sangat tua 

dan rapuh, agaknya kitab itu juga merupakan sebuah 

benda langka dan sangat berharga bahkan mungkin 

merupakan sebuah kitab sakti atau keramat. 

Ki Suro letakkan kitab tipis yang terdiri hanya dari 

beberapa halaman itu di atas pangkuan sahabatnya. 

Sesaat Empu Bondan Ciptaning pandangi kitab daun lontar 

di atas pangkuannya itu dengan air muka tidak percaya. 

Lalu dia menatap wajah sahabatnya. Walau kitab tersebut 

tidak memiliki sampul dan judul namun sang Empu sudah 

maklum kitab apa itu adanya karena dia telah pernah 

mendengar keberadaan buku ini sejak puluhan tahun 

silam. 

"Kiai Suro, apa tidak salah aku menduga. Bukankah 

kitab yang hendak kau berikan ini adalah Kitab Hikayat 

Keraton Kuno yang pernah dibicarakan orang sejak 

setengah abad silam?" ' 

"Tidak salah dugaanmu, saudaraku." kata Ki Suro pula. 

"Memang itu adalah kitab Hikayat Keraton Kuno yang 

banyak dibicarakan orang. Banyak yang ingin memilikinya 

walau menempuh jalan sulit. Bahkan dengan darah dan 

nyawa!"


"Dari mana kau mendapatkan kitab in! Kiai Suro? 

Bukankah seharusnya berada di Keraton Demak? 

Bukankah ini salah satu benda pusaka keraton?" 

Ki Suro Gusti Bendoro gelengkan kepala. 

"Begitu banyak orang yang menginginkan kitab ini. 

Termasuk para petinggi di beberapa Keraton. Hingga 

muncul semacam kepercayaan bahwa kitab ini adalah 

milik atau benda pusaka Keraton. Entah Keraton yang 

mana...." 

"Aneh, lalu bagaimana kitab ini sampai di tanganmu. 

Lalu mengapa pula hendak kau berikan padaku?" Kembali 

Empu Bondan Ciptaning bertanya. 

"Peristiwanya sekitar empat puluh tahun lalu," Ki Suro 

memulai keterangannya. "Saat itu aku berada di selatan 

pedataran pasir Tengger. Udara panas bukan main. 

Matahari seolah hanya satu jengkal di atas ubun-ubun. 

Bahkan hembusan anginpun laksana kobaran api 

membakar jagat. Dalam perjalanan itu aku membekal satu 

kantong kulit berisi sisa air yang mungkin cuma sebanyak 

dua atau tiga teguk. Walau haus aku tak mau 

meminumnya karena perjalananku masih jauh. Aku harus 

menemukan mata air dulu baru berani meneguk air dalam 

kantong kulit. Selain itu aku juga membekal sepotong ubi 

rebus. Aku juga tidak memakan ubi itu sebelum mendapat 

makanan pengganti. 

Pada saat aku berada dipuncak rasa lapar dan rasa 

haus yang luar biasa itulah di satu tempat ketinggian aku 

melihat seseorang duduk bersila di atas pasir. Kepalanya 

dilindungi sebuah caping lebar. Karena heran, lagi pula 

sudah sekian lama tidak berjumpa orang lain maka aku 

naik ke pedataran pasir itu menemui orang tadi. Maksudku 

ingin bertutur sapa barang sepatah dua patah. 

Orang ini ternyata seorang pengemis tua, berpakaian 

compang camping, penuh robek dan tambalan. Kulitnya


ditumbuhi koreng di mana-mana. Badannya mengeluarkan 

hawa busuk. Aku jadi tertegun dan tak tahu mau berbuat 

apa. Padahal sebelumnya ingin sekali aku berkenalan dan 

bertegur sapa. Pengemis tua itu sendiri tampaknya seolah 

tidak perduli akan kehadiranku di tempat itu. 

Dan sahabatku Empu Bondan Ciptaning. Tahukah 

sampeyan apa yang tengah dilakukan pengemis tua itu di 

atas pedataran pasir yang panas itu? Dia duduk khidmat 

tengah berzikir!" 

Empu Bondan Ciptaning kerutkan kening. "Luar biasa..." 

katanya sambil gelengkan kepala. 

"Karena aku tidak ingin mengganggu ibadahnya maka 

setelah membungkuk memberikan penghormatan aku 

berniat hendak meninggalkan tempat itu...." Ki Suro 

lanjutkan kisahnya. Namun tiba-tiba pengemis tua itu buka 

capingnya. Aku lihat wajahnya. Astagafirullah, pengemis itu 

ternyata memiliki sepasang mata putih semua. Dia buta. 

Dalam keadaan seperti itu si pengemis lalu sodorkan 

capingnya dalam keadaan terbalik ke arahku. Aku terpe-

rangah. Bagaimana mungkin, di pedataran pasir luas 

seperti itu, orang tua itu masih hendak mengemis minta 

sedekah. Apa lagi saat itu aku tidak membawa uang 

barang sekepingpun. Tetapi sepertinya tahu apa yang ada 

dalam benak dan hatiku, pengemis itu tiba-tiba berkata. 

"Insan berjubah. Aku tidak inginkan uangmu. Kalau kau 

membawa makanan itulah yang aku minta. Sudah dua hari 

aku di pedataran pasir ini. Tak sepotong makananpun 

pernah masuk ke dalam perutku." Hatiku hiba. Aku 

memang membawa sepotong kecil ubi rebus. Aku 

sendiripun tengah menahan lapar luar biasa. Tapi melihat 

keadaannya yang seperti itu, hatiku menjadi luluh tak tega. 

Ubi yang tinggal sepotong aku serahkan padanya. Dia tidak 

mengatakan apa-apa, langsung saja memakan habis ubi 

rebus itu tanpa mengupas kulitnya.


Setelah kulihat pengemis itu memakan habis ubi dan 

wajahnya tampak segar, kembali aku membungkuk dan 

hendak meninggalkannya. Namun seperti tadi dia ulurkan 

lagi caping bambunya lalu berkata. "Insan berjubah, ubi 

yang kau berikan sudah kumakan habis. Walau cuma 

sepotong kecil tapi masih ada gunanya sebagai penangsal 

perutku. Kau sungguh baik, hatimu sungguh mulia. Namun 

makan tanpa minum sungguh tidak sedap. Apa lagi aku 

haus sekali. Dua hari aku berada di pedataran pasir ini. 

Tidak setetes airpun pernah melewati tenggorokanku. Aku 

tahu kau ada membawa air. Kiranya kau mau 

memberikannya padaku." Aku terkejut mendengar ucapan 

pengemis tua itu. Matanya buta tapi aneh dia tahu aku 

membawa air. Bagaimana ini? Hendak kuberikan 

persediaanku sangat terbatas dan aku sendiri sudah 

dilanda haus yang sangat hebat. Kulitku sekering 

pedataran pasir Tengger. Namun lagi-lagi aku merasa tidak 

tega jika aku tidak memenuhi permintaannya. Aku mungkin 

saja masih bisa bertahan, pengemis itu mungkin tidak. 

Saat itu si pengemis telah mengulurkan capingnya kembali. 

Mau tak mau akhirnya kuberikan kantong kulit berisi air 

kepadanya. Kuletakkan di dalam caping yang 

ditengadahkannya itu. Aku berharap dia tidak akan 

menghabiskan semua air yang cuma sedikit itu. Pengemis 

tua itu mengambil kantong kulit yang ada dalam capingnya. 

Di luar dugaanku dia meneguk air dalam kantong sampai 

habis! Dalam keadaan kosong kantong dikembalikannya 

padaku. Aku membalik-balikkan kantong itu berulang kali, 

menekannya di sana-sini namun tidak setetes airpun yang 

masih tersisa. Selagi aku kebingungan kulihat pengemis 

tua itu malah tersenyum padaku. Lalu dia berucap. "Kau 

sungguh balk, hatimu sungguh mulia. Tuhan akan 

memberkahimu. "

Setelah berkata begitu pengemis ini tiba-tiba ulurkan


lagi capingnya. Membuat aku terkejut. Apa lagi yang 

hendak dimintanya dariku, pikirku. Mungkin dia inginkan 

jubah putihku? Karena aku tidak memperhatikan ke arah 

caping, melainkan memandangi wajah si pengemis sambil 

menunggu apa yang akan diucapkannya, pengemis tua itu 

lalu acungkan capingnya sambil digoyang-goyang. Aku lalu 

memperhatikan ke arah caping yang dipegangnya. Men-

dadak aku jadi terkejut. Di dalam caping itu kulihat ada 

sebuah kitab terbuat dari daun lontar yang sudah rapuh. 

Pastilah kitab itu sangat tua sekali. Aku membungkuk 

sedikit, memperhatikan kitab itu. Si pengemis kembali 

menggoyangkan capingnya lalu berkata. "Ambillah. Kitab 

itu untukmu karena memang berjodoh dengan dirimu...."

Aku tidak mengerti. Kembali si pengemis menyuruh aku 

mengambil kitab itu. Sampai tiga kali akhirnya kuulurkan 

tangan mengambil kitab itu. Begitu kitab berada dalam 

tanganku si pengemis berkata. "Menghadaplah ke kiblat 

dan mulailah membaca kitab itu." 

Walau hatiku merasa heran tapi entah mengapa aku 

mengikuti apa yang diucapkan si pengemis tua. Begitu aku 

menghadap ke arah yang dikatakan pengemis itu, saat itu 

juga aku merasakan satu keanehan. Serta merta aku tidak 

lagi merasa kepanasan, lapar ataupun haus. 

Sang surya yang tadinya serasa seperti hanya satu 

jengkal di atas kepala kini seperti berubah menjadi 

rembulan yang memancarkan cahaya indahnya di malam 

yang sejuk. Rasa lapar dan dahaga yang kuderita hebat 

mendadak lenyap dan tubuhku terasa segar bugar. Seolah-

olah aku ini baru saja selesai mandi di dalam satu telaga 

yang jernih dan berair sejuk. Penuh perasaan heran aku 

membalikkan badan ke arah si pengemis tadi. Tetapi, 

astagafirullah. Pengemis tua itu tak ada lagi di tempat tadi 

dia duduk! Aku mencari dan memandang seantero pe-

dataran pasir. Orang itu tidak kelihatan. Aku berteriak


memanggil-manggil. "Ki sanak.... Ki sanak pengemis!" 

Suaraku lenyap ditelan udara kawasan pedataran pasir. 

Kemana lenyapnya pengemis aneh itu, pikirku. Lalu 

kuperhatikan pasir di sekitarku. Kalau dia memang sudah 

meninggalkan tempat itu pasti ada jejak-jejak kakinya di 

atas pasir. Tapi aku tidak melihat apa-apa! Kupejamkan ke 

dua mataku. Dalam hati dan pikiranku aku menduga. 

Jangan-jangan pengemis tua tadi adalah Malaikat. Tapi 

kemudian kusadari mana mungkin Malaikat akan menemui 

diriku yang rendah dan hina ini. Walau demikian aku 

langsung ingat pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang 

mampu melakukan apa saja yang mustahil bagi kita 

manusia. Langsung saja aku menjatuhkan diri dan 

bersujud. Menyebut nama Tuhan berulang kali dan 

memohon petunjuk serta bimbinganNya. Lalu aku berdiri. 

Setelah memandang berkeliling akhirnya kutinggalkan 

tempat itu dengan mengepit erat kitab kuno itu. Aku tahu 

betul saat itu aku berada jauh di tengah-tengah Pedataran 

Pasir Tengger. Namun sungguh aneh, seolah ada yang 

membimbing, langkahku ringan dan cepat. Sebelum sang 

surya condong ke barat aku sudah sampai di satu jalan me-

nurun menuju ke sebuah desa. Padahal jika tidak terjadi 

sesuatu keanehan atas diriku dengan pengemis tua itu, 

niscaya menjelang Magrib baru aku bisa sampai di tempat 

itu. Aku tidak segera memasuki desa itu tetapi mencari 

tempat yang enak di bawah kerindangan sebuah pohon 

dan duduk di situ. Dari balik jubah kukeluarkan kitab yang 

kuperoleh dari pengemis aneh itu. Namun belum sempat 

kitab kubuka, mendadak berkelebat satu bayangan. Tahu-

tahu di hadapanku berdiri seorang nenek berwajah angker. 

Sekujur muka dan kulit ubuhnya berlapis sisik hitam 

kebiru-biruan. Ketika dia menyeringai kulihat deretan gigi-

giginya panjang dan merah. Waktu dia menjulurkan 

lidahnya, lidah itu juga berwarna merah, basah seperti


bergelimang darah. Selain itu lidah si nenek ternyata 

bercabang dua. Aku segera mengenali siapa adanya nenek 

ini. Dia adalah tokoh silat dari timur yang dijuluki Si Lidah 

Bangkai. Siapa saja yang sampai tersentuh lidah 

bercabangnya serta merta akan berubah menjadi bangkai 

alias menemui ajal!" 

Empu Bondan Ciptaning yang mendengar penuturan 

sahabatnya itu tampak terkejut. "Si Lidah Bangkai..." ujar 

sang Empu. "Nenek ular yang sepanjang hidupnya selalu 

gentayangan berbuat kejahatan dan keonaran. Kalau tidak 

salah kabar yang aku sirap, dia terlibat dalam pembantaian 

keluarga Pangeran Prawoto yang dilakukan oleh Ario 

Penangsang. Heran, usia sudah begitu lanjut, Malaikat 

Maut sudah siap untuk menjemput, mengapa masih mau-

maunya berbuat kejahatan menumpah darah menebar 

kematian...." Empu Bondan Ciptaning hela nafas panjang, 

menanti Ki Suro Gusti Bendoro melanjutkan penuturannya. 

***


ENAM


SI LIDAH BANGKAI


NENEK yang muka dan badannya bersisik hitam 

kebiru-biruan itu sesaat menatap dengan matanya 

yang besar berkilat ke arah Ki Suro Gusti Bendoro 

yang juga memandang kepadanya dengan air muka tenang 

walau dalam hati sudah merasa kurang enak. 

"Setiap muncul nenek satu ini selalu mendatangkan 

malapetaka. Bahala apa yang hendak diperbuatnya 

terhadapku," kata Ki Suro dalam hati. 

Perlahan-lahan nenek yang dijuluki Si Lidah Bangkai itu 

angkat kepalanya, mendongak ke langit. Dia julurkan lidah 

merah bercabangnya dua kali berturut-turut lalu tertawa 

melengking seperti suara kuda meringkik. Ki Suro yang 

belum pernah mendengar suara tawa seperti itu mau tak 

mau jadi tercekat. Namun orang tua ini tetap duduk 

dengan tenang, menatap penuh waspada ke arah si nenek. 

"Orang tua berjubah putih, apa benar kau orangnya yang 

bernama Ki Suro Gusti Bendoro? Yang konon menjadi 

kepercayaan Keraton Demak?" Tiba-tiba si nenek ajukan 

pertanyaan dengan suara lantang. 

Ki Suro tersenyum lalu menjawab. "Sampeyan benar. 

Aku memang Ki Suro Gusti Bendoro. Tapi aku sudah sejak 

lama tidak lagi punya sangkut paut dengan Keraton 

Demak. Saat ini aku tidak lebih dari seorang musafir yang 

tengah melakukan perjalanan pengembaraan...." 

Si Lidah Bangkai tatap lekat-lekat wajah Ki Suro lalu


seperti tadi kembali dia tertawa meringkik. Lidahnya yang 

besar merah dan bercabang menjulur-julur keluar. 

"Kalau orang sepentingmu tidak lagi berada di Keraton 

Demak, tentu ada apa-apanya! Apakah kau mau 

menerangkan?" 

Ki Suro gelengkan kepala. Sambil tersenyum dia 

berkata. "Tidak ada yang perlu kuterangkan. Sampeyan 

orang berkepandaian tinggi dan luas pengalaman tentu 

sudah tahu apa yang terjadi di Kesultanan Demak...." 

Si nenek tertawa panjang. "Ki Suro, kau pandai memuji. 

Tapi aku kurang percaya pada orang yang suka memuji. 

Karena apa yang dikatakan mungkin tidak sama dengan 

apa yang ada di dalam hatinya...." 

Walau disindir orang seperti itu, Ki Suro tetap 

tersenyum. Dengan suara tenang dia berucap. "Aku setuju 

dengan pendapat sampeyan. Dalam hidup ini kepercayaan 

adalah hal paling utama. Karenanya tidak salah kalau 

orang-orang tua kita membuat ujarujar yang berbunyi 

Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak 

percaya." 

Wajah bersisik si nenek yang berjuluk Si Lidah Bangkai 

itu tampak berubah ungu. Ini satu pertanda bahwa dia 

sedang dalam keadaan marah karena merasa tersinggung 

oleh ucapan Ki Suro tadi. Seperti diketahui nenek ini 

adalah momok nomor satu yang paling ditakuti sekaligus 

dibenci dikawasan timur. Orang-orang persilatan dari 

kalangan tertentu bukan saja tidak menyukainya tetapi 

juga tidak mempercayainya. Itu sebabnya dia merasa kena 

tempelak oleh ucapan Ki Suro tadi. Walau telinga dan 

hatinya terasa panas tapi dengan cepat dia kuasai diri. 

Mukanya yang tadi ungu perlahan kembali berubah men-

jadi hitam kebiruan. Malah kembali dia tertawa me-

lengking-lengking. Lalu dia meludah ke tanah. Ludahnya 

kental dan berwarna merah seperti darah. Ludah itu jatuh


di tanah hanya satu langkah dari hadapan Ki Suro. 

"Hemmm.... Nenek ini mulai berbuat olah mencari 

perkara. Dia sengaja meludah untuk memancing 

kemarahanku. Aku harus waspada dan bersabar diri," kata 

Ki Suro Gusti Bendoro dalam hati. 

"Ki Suro, tapi kau berkata bahwa saat ini kau tak lebih 

sebagal seorang musafir yang tengah melakukan 

pengembaraan. Jika orang sepentingmu merelakan diri 

meninggalkan kehidupan senang di Keraton lalu 

melakukan perjalanan pengembaraan, pasti ada sesuatu 

yang tengah kau cari...." 

"Sampeyan sungguh tajam pandangan dan pikiran," kata 

Ki Suro lagi-lagi dengan tersenyum. "Bagiku kehidupan 

Keraton bukanlah satu kehidupan yang menyenangkan. 

Dimanapun aku berada tujuan hidupku bukanlah untuk 

mencari kesenangan. Aku mengembara untuk 

menghabiskan sisa hidup ini agar bisa lebih mendekatkan 

diri kepada Sang Pencipta, Tuhan Seru Sekalian Alam...." 

"Sungguh satu ucapan yang mencerminkan ketinggian 

budi dan kemuliaan jiwa!" memuji Si Lidah Bangkai tapi 

lalu tertawa panjang seolah mengejek. 

"Ki Suro, jika aku tidak salah menduga. Bukankah kau-

barusan mengadakan perjalanan ke kawasan pedataran 

pasir Tengger?" 

"Sampeyan benar. Memang aku barusan dari sana..." 

jawab Ki Suro polos. 

"Kau menjawab dengan jujur. Tapi aku ingin tahu 

apakah kau juga akan memberikan jawaban jujur untuk 

pertanyaanku berikutnya.... Apa yang kau cari di gurun 

pasir Tengger?" 

"Pertanyaan sampeyan sebenarnya sudah terangkum 

dalam keteranganku sebelumnya. Aku ingin mendekatkan 

diri pada Illahi sebelum aku kembali menghadapNya." 

"Tapi tentunya kau tidak menemukan Illahi di gurun


pasir itu, bukan?!" ujar si nenek. Dia keluarkan suara 

tercekik lalu tertawa meringkik. 

"Kau boleh menghina diriku Lidah Bangkai! Tapi jangan 

sekali-kali berani mempermainkan Gusti Allah di 

hadapanku! Aku akan menyabung nyawa untuk hal yang 

satu itu!" Ki Suro Gusti Bendoro jadi marah besar karena 

merasa si nenek mempermainkan nama Tuhan. 

Si Lidah Bangkai cepat goyang-goyangkan tangan 

kanannya. "Sabar, seorang Kiai sepertimu harus sabar. 

Jangan terlalu cepat berprasangka buruk dan marah. 

Sekarang aku mau bertanya secara baik-baik. Siapa yang 

kau temui di gurun Tengger itu? Dan apa yang kau 

dapatkan di sana? Apakah kau mau menjawab?!" 

Ki Suro Gusti Bendoro merenung sejenak. Setelah dia 

bisa menenangkan darahnya yang tadi sempat bergejolak 

baru dia menjawab. 

"Nenek, walau aku merasa kau keliwat memaksa dan 

seperti tengah memeriksa aku sebagai seorang pesakitan, 

tapi aku akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur," kata 

Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Di gurun pasir Tengger, aku 

secara kebetulan bertemu dengan seorang pengemis 

bermata buta. Aku tidak tahu siapa namanya atau apakah 

dia mempunyai semacam gelar dan julukan. Dia 

menyerahkan kitab tua terbuat dari daun lontar ini 

padaku." Ki Suro Gusti Bendoro lalu perlihatkan kitab daun 

lontar yang ada di tangan kanannya, lalu meletakkan kitab 

itu di atas pangkuannya. 

Sepasang mata si nenek membesar, menatap tajam 

pada kitab yang ada di tangan kanan Ki Suro. "Kau 

memang manusia paling jujur dan polos di atas bumi ini. 

Karenanya tidak salah kalau aku juga ingin polos dan 

terus-terang...." 

"Apa maksud sampeyan dengan ucapan itu?" bertanya 

Ki Suro.


"Aku ingin agar kau menyerahkan kitab itu padaku!" kata 

Si Lidah Bangkai sambil acungkan telunjuk tangan kanan, 

menunjuk tepat-tepat ke arah kitab yang ada di atas 

pangkuan Ki Suro. Lalu dia mendongak ke langit, kemudian 

tertawa seperti kuda meringkik. Lidahnya yang basah 

merah dan bercabang kembali menjulur-julur. 

"Hemm... tak salah dugaanku. Nenek satu ini memang 

sengaja muncul untuk mencari perkara," membatin Ki 

Suro. Karena memang sudah menduga kemunculan si 

nenek memang tidak bermaksud baik maka Ki Suro tidak 

begitu terkejut mendengar kata-kata Si Lidah Bangkai itu. 

Masih dengan tersenyum dia berkata. "Tak mungkin kitab 

ini kuserahkan pada sampeyan. Kitab ini adalah titipan 

pengemis di gurun pasir Tengger itu. Aku harus menjaga 

dan memeliharanya baik-baik." 

"Katamu kau tengah menghabisi sisa hidup. Kalau 

memang sudah mau mati mengapa masih menginginkan 

memiliki kitab itu?" 

"Kalau aku sudah mati itu perkara lain. Bagaimana 

jadinya nanti dengan kitab ini tentu tidak akan kuketahui 

lagi. Tetapi selagi aku masih hidup, kitab ini tetap akan 

berada di tanganku dan kujaga baik-baik." 

"Kalau begitu, untuk mempercepat urusan, biar kau 

kubunuh saja saat ini juga! Begitu kau mati kau tak ada 

urusan lagi dengan kitab itu. Begitu maumu, bukan? Hik... 

hik... hik!" 

Si nenek tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap. Dari 

mulutnya keluar suara seperti meniup. Lalu lidahnya yang 

merah basah bercabang dua melesat keluar. Secara aneh 

lidah ini berubah panjang dan ujungnya menyambar ke 

arah leher Ki Suro Gusti Bendoro! 

(Bersambung Ke Episode berikutnya)


-------------------------------------------------


KUNGFU SABLENG EPISODEJENDRAL SLEBOR 



SATU


PERGURUAN Bintang Muncrat memang bukan merupakan 

satu perguruan kungfu terkenal. Apa lagi memiliki 

pendekar-pendekar kondang lihay kawakan. Letak 

perguruannyapun di desa Khan Cut, sebuah desa terpencil 

di kaki gunung. Perguruan silat yang dianggap 

"kampungan" itu dipimpin oleh seorang guru kungfu 

bernama Tay Kun Ing. Kabarnya dia pernah menjadi anak 

murid Siauw Lim Pay sekitar selusin tahun yang silam, tapi 

dikeluarkan secara tidak hormat gara-gara ketahuan 

mengintip juru masak, yakni seorang encim-encim gembrot 

yang sedang kencing pagi di pinggir got. 

Tay Kun Ing bertubuh kerempeng. Kepalanya botak 

plontos macam pentol geretan. Dia memiliki wajah dan 

kepala berwarna kuning karena selalu diplitur dengan 

kunyit campur kencur dan minyak jelantah. Mungkin itulah 

pangkal sebabnya orang sedesa memanggilnya dengan 

nama Tay Kun Ing. Siapa nama sebenarnya konon tidak 

satu orang pun yang tahu. 

Meski tidak punya nama besar, namun perguruan silat 

Bintang Muncrat menjadi buah bibir pemuda-pemuda 

sedesa Khan Cut bahkan tembus sampai puluhan lie di 

luar desa. Sebabnya lain tidak di perguruan itu terdapat 

seorang murid perempuan berkulit mulus berwajah imut-

imut. Namanya Giok Ngek. Dia merupakan murid 

kesayangan Tay Kun Ing dan kabarnya masih keponakan 

sang guru silat.


Kecantikan Giok Ngek inilah yang membuat perguruan 

kungfu Bintang Muncrat menjadi tersohor dan 

dipergunjingkan orang dimana-mana. Telah banyak pula 

pemuda-pemuda coba memikat sang dara. Yang ingin 

kenal secara sopan dan baik-baik saja dipandang sebelah 

mata oleh Giok Ngek. Apa lagi yang secara kurang ajar. 

Dianggap kentut basi oleh sang dara. 

Kejelitaan Giok Ngek itu akhirnya sampai pula ke telinga 

besar tebal dan mablang seorang Jenderal bernama King 

No Kong yang tinggal di kota Tu Lie, di Propinsi Wong Siet, 

sekitar 130 lie dari desa Khan Cut. 

Jenderal ini memiliki tubuh tinggi besar dan kekar. 

Bibirnya tebal, giginya malang melintang tidak karuan 

seperti pagar dicabut maling. Perwira tinggi ini bukan saja 

terkenal sebagai Jenderal Pantat Botol alias Jenderal 

Slebor, suka menenggak minuman keras dan jadi pemabok 

nomor satu, tapi sekaligus juga tersohor sebagai Jenderal 

Mata Bongsang alias Mata Keranjang! Walau terlahir 

kedua matanya tidak sebesar bongsang tapi justru 

menyembul bengkak seperti mata ikan Maskoki dan juling 

pula! 

Begitulah sang Jenderal dikenal sebagai manusia tidak 

boleh melihat jidat licin dan betis mulus alias tak boleh 

melihat perempuan cantik. Baik yang sudah punya suami 

apa lagi yang masih muda dan masih gadis tentunya! Telah 

banyak gadis-gadis dan istri-istri orang yang jatuh ke 

tangan Jenderal King No Kong ini. Dan agaknya dia masih 

belum merasa puas. Ketika mendengar dari salah seorang 

anak buahnya bahwa di desa Khan Cut ada seorang gadis 

anak murid perguruan kungfu Bintang Muncrat memiliki 

kecantikan serta potongan tubuh selangit tembus bernama 

Giok Ngek, langsung saja badan sang Jenderal menjadi 

angot panas dingin ingin ketemu. Siang terbayang-bayang 

malam terkenang-kenang waktu tidur jadi impian. Dia ingin


menyaksikan sendiri dengan mata maskokinya yang juling. 

Sampai di mana kecantikan wajah dan kebagusan 

potongan tubuh sang dara. Jika nanti ternyata memang 

seperti yang diceritakan anak buahnya, daun muda satu itu 

pasti tidak boleh dibiarkan begitu saja. Akan diboyongnya 

ke gedung kediamannya yang punya dua puluh satu kamar 

di Tu Lie! 

Maka bersama tiga orang pengawal Jenderal Slebor King 

No Kong pada suatu pagi buta selagi orang dan binatang 

masih pada terpulas nyenyak, dia berangkat menuju desa 

Khan Cut dengan menunggang kuda. Sepanjang perjalanan 

sang Jenderal tidak henti-hentinya meneguk minuman 

keras dari buli-buli tanah yang dibawa para pengiringnya. 

Sambil menenggak minuman dia tertawa-tawa sendiri 

membayangkan kecantikan wajah serta kebagusan dan 

kemulusan tubuh Giok Ngek hingga sepintas Jenderal ini 

kelihatan tidak beda dengan orang yang agak rada-rada

alias kurang wajar! 

***


DUA


GURU kungfu Tay Kun Ing sedang duduk-duduk santai 

di serambi rumah. Tangan kanannya asyik mengupil 

sedang tangan kiri memegang kitab komik terlaris 

pada masa itu yaitu serial "Super Amoy" jilid ke 32. Tentu 

saja manusia kerempeng muka kuning ini sangat terkejut 

ketika melihat seorang tinggi besar bertampang garang 

berpakaian kebesaran Jenderal Kerajaan beserta tiga 

pengawalnya tahu-tahu muncul memasuki pekarangan 

rumah, melewati pintu pagar yang sudah doyong. 

Sambil bertanya-tanya dalam hati apa gerangan maksud 

tujuan sang Jenderal datang ke tempat kediamannya, guru 

kungfu Tay Kun Ing letakkan kitabnya lalu berdiri dan 

cepat-cepat turun dari serambi rumah, menyambut 

kedatangan tetamu penting itu. 

Begitu sampai di hadapan sang Jenderal, Tay Kun Ing 

langsung menjura dalam-dalam memberi penghormatan. 

Begitu patah pinggangnya membungkuk hingga dia hampir 

keluarkan kentut. 

Jenderal King No Kong pencongkan bibirnya yang tebal 

monyong. Kedua matanya yang juling berputar beberapa 

kali. Lalu sambil menunjuk pada papan nama perguruan 

Bintang Muncrat yang tergantung di bawah talang air 

rumah dia menegur. 

"Tuyul kerempeng muka tai! Kau kacung penjaga 

perguruan kungfu ini?!" 

Seumur hidupnya baru sekali itu Tay Kun Ing dipanggil 

dengan sebutan tuyul! Apa lagi sebutan muka tai! Hatinya


langsung panas dan dia jadi tambah marah karena dia 

dianggap sebagai kacung perguruan! Kalau saja bukan 

seorang Jenderal yang dihadapinya, pasti sudah sejak tadi-

tadi dia menghantam dengan jurus "sayap kampret lapar 

menggebrak puncak Taysan" yaitu satu jurus tamparan 

yang bisa membuat mulut lawan pecah berdarah! 

Dengan menahan sakit hati guru kungfu Tay Kun Ing 

kembali menjura dan berkata. "Jenderal Yang Mulia, saya 

bernama Tay Kun Ing. Pemilik dan ketua perguruan Bintang 

Muncrat ini. Jadi bukan kacung seperti yang Jenderal bilang 

tadi...." 

"Hemmmmm, begitu...?" Dua mata maskoki Jenderal 

Slebor kembali berputar. Dia melirik kian kemari, mencari-

cari kalau-kalau tersembul wajah gadis cantik bernama 

Giok Ngek itu. 

"Jenderal Yang Mulia, ada gerangan keperluan apakah 

sampai Jenderal dan para pengawal datang dari jauh, 

berkunjung ke tempat saya ini?" Tay Kun Ing ajukan 

pertanyaan. 

"Pertama sekali ketahuilah, Jenderalmu yang mulia ini 

bernama King No Kong. Jenderal Kaisar yang paling 

tercemar. Eh! Maksudku paling terkenal di seantero 

daratan Tiongkok!" 

"Hay ya! Jadi pinceng berhadapan dengan Jenderal Kong 

No King yang kesohor itu!" Kembali Tay Kun Ing menjura 

dalam-dalam (pinceng = saya yang rendah). 

"Bangsat kurang ajar!" bentak Jenderal Slebor. 

"Namaku King No Kong! Jangan dibalik Kong No King! 

Apa tubuhmu mau ke balik kaki ke atas kepala ke 

bawah?!" 

"Maaf Jenderal! Mohon maaf dan ampunmu! Pinceng 

tidak biasa berhadapan dengan orang besar seperti 

Jenderal. Jadi...." 

"Jadi apa jidatmu mau kuletakkan di pantat dan


pantatmu kutaruh di jidat hah?!" menghardik sang 

Jenderal. 

"Hay ya! Ampun Jenderal," kata Tay Kun Ing sambil 

membungkuk berulang kali. "Kalau pinceng punya pantat 

ditaruh di jidat dan jidat ditaruh di pantat bagaimana mau 

makan dan buang air! Bisa-bisa salah kamar!" 

Guru kungfu Tay Kun Ing diam-diam mulai merasa tidak 

enak. Dia sudah pernah mendengar nama Jenderal satu 

ini. Jenderal pemabuk yang suka mengganggu anak istri 

orang. "Jangan-jangan kedatangan si pantat botol ini mau 

menyatroni pinceng punya murid si Giok Ngek!" 

Di atas kudanya Jenderal Slebor King No Kong meneguk 

buli-buli arak hingga mengeluarkan suara menyiplak dan 

minuman keras itu berlelehan di dagunya yang ditutupi 

berewok tebal kotor berdebu. "Aku ampuni kesalahanmu 

Tay Kun Ing!" berkata Jenderal Slebor. "Sekarang lekas kau 

suruh 

keluar murid keponakanmu yang bernama Giok Ngek itu! 

Aku mau lihat apa kecantikan serta kebagusan tubuhnya 

benar-benar seperti yang disohorkan orang selama ini! Apa 

kecantikan dan potongan tubuhnya benar-benar bisa 

membuat aku jadi ngek" 

"Cialat! Cialat muridku!" keluh Tay Kun Ing dalam hati. 

Untuk sesaat dia hanya bisa tertegun bingung. 

"Tuyul muka kuning! Apa kau tuli atau budek hingga 

tidak menjalankan apa yang diperintahkan Jenderal kami!" 

Salah seorang pengawal sang Jenderal tiba-tiba 

menghardik. 

Guru kungfu Tay Kun Ing menyumpah panjang pendek 

dalam hati. 

"Ba... baik Jenderal Yang Mulia. Pinceng akan panggil 

gadis itu keluar. Harap mau bersabar dan sudi 

menunggu..." Tay Kun Ing putar tubuhnya yang kerempeng. 

Tapi belum lagi dia sempat melangkah tiba-tiba dari pintu


depan rumah muncul seorang perempuan muda bertubuh 

gemuk-gendut luar biasa. Pakaiannya yang berwarna 

berbunga warna-warni kelihatan ketat kesempitan hingga 

bagian-bagian tubuhnya menyembul seperti berserabutan 

yaitu bagian dada yang gembrot ayun-ayunan, lalu perut 

yang gendut menonjol, kemudian bagian pantat yang 

melembung seperti ada boncengannya serta dua paha 

yang gebyar-gebyor! 

Dara super gemuk ini memiliki rambut hitam diponi di 

bagian depan dan dikonde besar di sebelah belakang. 

Rambutnya hitam berkilat dan bau apak karena diberi 

minyak jelantah! Wajahnya ditemploki bedak tebal tak 

karuan. Pada bagian pipi kiri kanan diberi pemerah 

mencolok sedang bibirnya yang tebal berselomotan dengan 

gincu berwarna merah mencorong, berlepotan sampai ke 

dagu dan atas bibir. Wajahnya yang bulat dan selalu 

keringatan itu tentu saja jauh dari cantik! 

***


TIGA


GURU kungfu Tay Kun Ing terpaku bengong 

keheranan. Dia tidak kenal siapa adanya gadis 

gendut melembung berdada gembrot ini. Bahkan dia 

tidak pernah melihatnya sebelumnya. Sungguh aneh kalau 

tahu-tahu gadis ini muncul begitu saja di dalam rumah! 

Lain halnya dengan Jenderal Slebor King No Kong. 

Sepasang mata maskokinya semakin membeliak dan 

bertambah juling ketika memandang sang dara. Dengan 

mulut termonyong-monyong sang Jenderal berpaling pada 

anak buahnya yang ada di samping kiri. 

"Jadi ini dia gadis bernama Giok Ngek yang katamu 

wajah serta potongan tubuhnya selangit tembus!" 

Belum lagi si anak buah menjawab, gadis gemuk dengan 

dandanan kacau balau seperti kampung dilanda angin 

puting beliung itu, melangkah menuruni tangga serambi. 

Setiap langkah yang dibuatnya membuat sekujur tubuhnya 

mulai dari dada sampai ke pinggul bergoyang ayun-ayunan. 

"Betul sekali Jenderal Yang Mulia," si gadis berucap 

sambil lontarkan senyum genit manja. "Saya memang Giok 

Ngek. Bintang perguruan Bintang Muncrat dan rembulan 

desa Khan Cut. Jenderal Yang Mulia, apakah kau datang 

mencari saya untuk minta dingek?!" 

Muka jelek Jenderal King No Kong menjadi merah 

padam. Bukan saja dia merasa tertipu, tapi juga diejek dan 

dihina di hadapan para pengawalnya. Dia sengaja datang


jauh-jauh untuk melihat kecantikan dan kebagusan tubuh 

yang disohorkan itu. Ternyata setelah berhadapan muka, 

wajah dan potongan tubuh Giok Ngek berbeda seperti 

siang dengan malam, seperti susu dengan tuba, seperti 

madu dengan racun! 

"Keparat sialan! Ada yang berani menipuku! Ratusan lie 

datang dari jauh ternyata hanya untuk menyaksikan seekor 

kuda nil yang diberi baju serta didandani seperti barongsay

mabok begini rupa! Guru kungfu Tay Kun Ing! Terima dulu 

hadiah kejengkelanku!" 

Habis berkata begitu Jenderal Slebor King No Kong 

hantamkan buli-buli arak yang terbuat dari tanah di tangan 

kirinya ke kepala botak guru kungfu Tay Kun Ing. Buli-buli 

tanah itu hancur berantakan sedang guru kungfu bertubuh 

kerempeng itu menjerit kesakitan, pegangi kepalanya 

sementara tubuhnya melintir mata mendelik melihat 

bintang-bintang kacau balau di atasnya. Tubuh kerempeng 

itu kemudian terjerongkang ambruk di tanah, setengah 

pingsan setengah semaput! 

Jenderal Slebor itu kini berpaling pada tiga pengawalnya. 

Lalu membentak. "Keparat! Kalian bertiga menipuku!" 

"Plaakk! Plaaakk! Plaaak!" 

Tiga kali tangan kanan sang Jenderal bergerak pulang 

balik. Tiga pengawal terhuyung-huyung di atas kuda, 

merintih kesakitan terkena tamparan Jenderal King No 

Kong. Salah seorang dari mereka sambil pegangi mukanya 

yang bengab masih mengoceh. 

"Wajahnya mungkin tidak menarik Jenderal Yang Mulia. 

Memang benar seperti barongsay mabok! Tapi lihat 

dadanya. Besar luar biasa. Kelapa saja masih kalah besar!" 

"Setan alas! Kau makanlah kelapa muda barongsay 

mabok itu!" teriak sang Jenderal. Dicekalnya leher pakaian 

pengawal yang barusan berani membuka mulut itu lalu 

dilemparkannya ke arah gadis gemuk berbaju warna warni.


Tabrakan yang keras membuat kedua orang itu sama-

sama jatuh terjengkang. Si pengawal pegangi kepalanya 

yang benjut sambil mengerang kesakitan. Dia tak habis 

pikir. Jelas-jelas tadi kepalanya menumbuk dada gemuk si 

gadis. Dia menyangka akan jatuh di atas bagian tubuh yang 

montok itu tentu lembut-lembut enak. Tapi ternyata dada 

sang gadis keras seperti batu! Kepalanya seperti 

menghantam tembok! 

"Hay ya! Geger otakku!" keluh si pengawal masih 

terduduk di tanah keliangan. Apa sebenarnya yang ada di 

balik dada gadis gembrot itu? 

"Jenderal pantat botol doyan perempuan!" Tiba-tiba satu 

suara membentak. Yang membentak ternyata adalah si 

gadis gembrot. Suaranya yang tadi halus seperti suara 

perempuan kini mendadak berubah, keras dan serak! 

"Susah-susah dicari kini kau malah datang sendiri! Hari 

ini tiba saatnya aku membalaskan sakit hati suhu!" (suhu = 

guru). Dengan kecepatan luar biasa si gadis yang mengaku 

bernama Giok Ngek itu menerjang ke arah Jenderal King 

No Kong. 

***


EMPAT


JENDERAL King No Kong yang sejak tadi sudah muak 

melihat tampang dan tingkah laku si gadis gembrot 

segera ambil buli-buli arak yang tergantung di kantong 

pelana kuda. Dengan benda ini hendak dikepruknya kepala 

barongsay betina itu. Namun seorang anak buahnya cepat 

melompat dari kuda seraya berseru. "Jenderal! Biar aku 

yang menghajar kuda nil betina ini!" 

Jenderal King No Kong hentikan gerakannya. Si 

pengawal cepat memapaki sang dara gembrot hendak 

memberi hajaran. Tapi entah bagaimana tangan kanannya 

yang hendak dipakai menjotos tahu-tahu kena dicekal 

orang, dibetot lalu dipuntir ke belakang punggung hingga 

dia menjerit keras kesakitan. 

"Monyet jelek tak berguna! Makan dulu kakiku ini!" 

hardik si gadis. Kaki kanannya melayang ke pantat si 

pengawal. 

"Bukkkk!" 

Anak buah Jenderal King No Kong mencelat lalu 

tersungkur jungkir balik di tanah. Mukanya berkelukuruan 

diparut tanah! 

"Kurang ajar!" teriak Jenderal Slebor marah sekali. Dia 

tidak menyangka sama sekali kalau gadis gemuk itu 

demikian lincah dan cepat gerakannya. Dia berpaling pada 

anak buahnya yang di sebelah kanan. 

"Lekas kau hajar kuda nil kesurupan itu! Cincang kalau 

perlu!" 

Mendengar perintah sang Jenderal pengawal itu segera


"sreett!" Cabut goloknya. Lalu melompat turun dari atas 

kuda. Tapi begitu berhadapan dengan sang dara dia tidak 

segera menyerang. Sambil melintangkan golok di depan 

dada, pengawal yang ada tompel di pipi kirinya ini cengar-

cengir lebih dulu. Bahkan kedap-kedipkan matanya lalu 

berkata. 

"Nonaku manis, walau tuan besarku marah selangit 

tembus padamu, tapi aku tauke-mu ini bisa memintakan 

pengampunan bagi dirimu. Asal saja kau ehem! Tau kan 

apa yang aku maksudkan? Ya... ya... ya! " 

"Tidak, aku tidak tahu apa yang kau maksudkan!" jawab 

Giok Ngek pura-pura tidak mengerti tapi sambil balas 

kedipkan mata dan lontarkan senyum genit. 

Merasa mendapat pasaran, menyangka si gadis suka 

padanya maka setengah berbisik dia berkata. "Kau pura-

pura takut dan serahkan diri. Nanti ikut aku. Kita 

bersenang-senang di atas ranjang. Kau tahu, aku paling 

suka pada perempuan bertubuh dan berdandan 

amburadul sepentimu!" 

"Oh, begitukah?" Gadis gemuk tersenyum lalu cibirkan 

bibirnya. Lalu dia mendamprat. "Kacung tak tahu diri! Sama 

saja dengan majikanmu! Tampang seperti kodok! Mulut 

bau jamban! Biar aku tuanmu ini memberi pelajaran 

padamu!" Lalu Giok Ngek hantamkan satu jotosan ke muka 

pengawal tompel itu. 

Merasa sangat terhina oleh caci maki si gadis, pengawal 

itu serta merta babatkan golok besarnya. Yang di arah 

langsung leher Giok Ngek! 

Guru kungfu Tay Kun Ing yang menyaksikan semua 

kejadian itu dalam keadaan masih keliangan pejamkan 

mata saking ngerinya. Tebasan golok si pengawal 

datangnya laksana kilat. Si gadis gemuk tampaknya susah 

untuk berkelit selamatkan batang lehernya. Namun apa 

yang kemudian terjadi sukar dipercaya sang guru kungfu


maupun sang Jenderal. 

Dara berbadan super gemuk itu menyambut serangan 

golok dengan melompat ke kiri. Lalu tangan kanannya 

menyelinap berputar menempel pergelangan tangan lawan. 

Di lain kejap golok di tangan si pengawal tadi telah 

berpindah tangan. Malah kini gagang golok itu 

dipergunakan lawannya untuk mengemplang kepala lawan 

berulang kali hingga kepala itu bukan saja benjat-benjut 

tapi juga luka mengucurkan darah. Dalam keadaan babak 

belur pengawal ini akhirnya melosoh jatuh ke tanah tak 

sadarkan diri! 

Rahang Jenderal King No Kong menggelembung. 

Gerahamnya bergemeletakan. Ditenggaknya arak dalam 

buli-buli tanah sampai habis. Buli-buli yang kosong 

kemudian dibantingkannya ke tanah. Dengan mata 

membelalak merah dia melompat turun dari kuda. 

Langsung menyerang dara gemuk. Gerakan sang Jenderal 

enteng dan cepat serta mengeluarkan suara angin 

berkesiuran pertanda dia memiliki kepandaian kungfu yang 

tinggi. 

Sebaliknya si gadis gemuk berdiri tenang-tenang saja. 

Malah berkacak pinggang dengan sikap mengejek ketika 

Jenderal pemabuk itu menyerangnya dan berkata: 

"Jenderal Slebor! Kau memang harus dingek!" 

"Giok Ngek! Aku bersumpah akan mengekmu sampai 

mampus!" teriak sang Jenderal kalap. Tinju kanannya 

berkelebat menderu ke arah pipi kanan gadis bertubuh 

gemuk itu. Yang diserang gerakkan badannya secara aneh. 

Pukulan sang Jenderal hanya mengenai tempat kosong. 

Nyaris tubuhnya ikut terpelintir karena daya dorong 

pukulan yang kuat tadi. Dengan penuh geram dan beringas 

Jenderal King No Kong balikkan tubuh. Kaki kanannya 

mencelat kirimkan satu tendangan ke arah perut lawan. 

Tapi lagi-lagi serangan kedua ini hanya mengenai


tempat kosong. Malah kini gadis gemuk itu meng-

hampirinya sambil rentangkan ke dua tangan bersikap 

seperti orang hendak merangkul mesra sedang bibirnya 

dimonyongkan ke depan seolah hendak mencium sang 

Jenderal penuh nafsu! 

Karuan saja Jenderal King No Kong tambah 

menggelegak amarahnya. Dia benar-benar dibuat malu, 

diejek dan dihina! Begitu tendangannya tidak mengenai 

sasaran dia susul dengan hantaman tangan ke muka si 

gembrot! 

Apa yang terjadi kemudian membuat terkejut semua 

orang. Serangan Jenderal itu bukan saja kembali hanya 

mengenai tempat kosong namun saat itu terdengar suara 

"plaaakk!" Jenderal King No Kong menjerit keras sambil 

pegangi mukanya yang barusan kena ditampar Giok Ngek. 

Bibirnya pecah dan kucurkan darah! 

Sang Jenderal membentak garang. Seperti kalap dia 

ingin merobek-robek tubuh gadis gemuk itu. Tapi tiba-tiba 

dia tegak tak bergerak. Dengan sekujur tubuh bergeletar 

dia bertanya. 

"Barongsay betina! Tadi kau mengatakan hendak 

membalaskan sakit hati suhumu! Suhumu yang mana? 

Siapa! Yang botak bermuka kuning itu?! Siapa kau 

sebenarnya?!" 

***


LIMA


GIOK NGEK menyeringai. Setelah awasi tampang 

Jenderal itu sejenak dia lalu berkata. "Jenderal 

pantat botol mata maskoki! Kau dengar baik-baik 

ucapanku! 

Hari ini jika kau tidak bersumpah dan bertobat tidak 

akan mengganggu lagi anak gadis dan istri orang, lalu 

minta ampun karena telah menyiksa suhuku selama 

bertahun-tahun, maka aku akan buat nyawamu tidak betah 

tinggal dalam tubuh busukmu itu!" 

"Kentut busuk! Siapa sih suhumu?!" bentak Jenderal 

Slebor. 

"Suhuku Dewi Ngong Kong!" jawab gadis gembrot 

setengah berteriak. 

Jenderal King No Kong tersentak kaget. Dia tadi 

memang sudah curiga bahwa dara gemuk itu bukanlah 

murid Tay Kun Ing. Tapi dia sama sekali tidak menyangka 

kalau si gadis ternyata mengaku sebagal murid Dewl 

Ngong Kong! 

Walau kaget tapi Jenderal Slebor cepat kuasa diri. 

"Hemmm... jadi kau adalah murid si nenek lihay yang 

bergelar Dewi Ngong Kong itu! Bagus! Bagus! Suhunya 

tidak tahu diuntung! Muridnya tidak tahu diri! Hari ini biar 

aku tuan besarmu memberi pelajaran matematika... eh 

salah! Maksudku pelajaran sopan santun!" 

Jenderal Slebor tutup ucapannya dengan mencabut 

golok panjang yang terselip di pinggang. Sang Jenderal 

memang terkenal hebat ilmu goloknya. Begitu golok 

berkelebat satu kali terdengar suara "cras!" Si gadis gemuk


terpekik. Untung dia cepat melompat mengelak hingga 

kepalanya tidak jadi sasaran babatan golok. Rambutnya 

berbusaian dan kini tanpa konde - yang ternyata konde 

palsu - kelihatanlah rambut serta wajahnya yang asli! 

Ternyata sang dara super gemuk ini adalah seorang lelaki! 

"Banci kalengan!" teriak Jenderal Slebor marah besar 

sampai ke dua matanya seperti mau melompat dari 

rongganya. "Kau akan kucincang sampai lumat! Lalu 

kujadikan perkedel dan kukirim ke neraka! Rohmu akan 

jadi setan banci penasaran!" 

"Jongos Gie Le!" berseri guru kungfu Tay Kun Ing ketika 

penuh rasa tak percaya dia mengenali dara gemuk itu 

bukan lain adalah jongos di tempat kediamannya yang 

selama ini dikenal sebagai pemuda pendiam dan dungu. 

"Cuma jongos rupanya! Jahanam betul! Berani menghina 

mengerjaiku!" Jenderal King No Kong mendamprat marah. 

Untuk ke dua kalinya golok besar di tangan kanannya 

membabat ke arah dada jongos Gie Le. 

"Breett!" 

Jongos Gie Le melompat ke belakang dengan muka 

sepucat kertas. Dada pakaiannya robek besar dan 

keluarlah potongan-potongan kain pel serta dua mangkok 

besar terbuat dari porselen! Mangkok porselen inilah yang 

tadi dihantam kepala salah seorang pengawal Jenderal 

Slebor hingga kepalanya jadi benjut! 

"Banci tengik! Jangan harap kau bisa lolos!" 'teriak 

Jenderal Slebor. Sesekali tangannya bergerak maka golok 

itu menabur serangan berantai. Jongos Gie Le terpaksa 

berlompatan kian kemari cari selamat. 

Beberapa jurus berlalu tanpa sang Jenderal mampu 

melukai lawannya. Tiba-tiba terdengar seruan si jongos. 

"Jenderal juling! Cukup kau jual lagak! Sekarang pinjamkan 

dulu golokmu padaku!" 

Kepandaian silat jongos yang bekerja di perguruan silat


Bintang Muncrat itu ternyata tidak berada di bawah tingkat 

kepandaian Jenderal King No Kong. Karena begitu 

seruannya tadi lenyap, terdengar suara "kraakk!" Disusul 

suara jeritan sang Jenderal. Tulang sambungan siku tangan 

kanan Jenderal Slebor ternyata telah remuk dihajar jotosan 

si gemuk Gie Le dan goloknya yang terlepas mental ke 

udara secepat kilat disambar oleh jongos Itu. 

Lalu golok itu berkelebat menderu-deru memutari 

sekujur tubuh bagian bawah Jenderal Slebor. Tali 

celananya putus! Celana yang jebol robek di sana-sini itu 

melorot turun bersama celana dalamnya! Akibatnya 

sebatas pinggang ke bawah Jenderal King No Kong 

berubah menjadi King No Celana alias setengah telanjang! 

Selagi sang Jenderal kalang kabut menutupi auratnya, 

jongos Gie Le ketok kepalanya dengan gagang golok hingga 

perwira tinggi itu terhuyung-huyung kelojotan macam orang 

teler. 

"Jenderal hidung belang!" berseru jongos Gie Le. 

"Sekarang aku perkenalkan padamu jurus kungfu bernama 

Dewa Cebok!" Pemuda gemuk ini buang golok yang 

dipegangnya lalu tangan kanannya berkelebat cepat ke 

bagian bawah perut sang Jenderal. Terdengar suara 

ceplak-ceplok seperti orang cebok sungguhan. Jeritan 

Jenderal Slebor itu menggelegar berkepanjangan. 

"Ampun! Tobat! Ampun!" jerit sang Jenderal. Dia 

berusaha lindungi bagian tubuh paling berharga yang 

dimilikinya. Tapi sia-sia belaka. 

Setelah puas mengerjai Jenderal itu, jongos Gie Le 

hadiahkan satu tendangan keras ke pantatnya hingga 

tubuh tinggi besar itu mencelat mental melewati pagar 

halaman. 

"Sekarang kau boleh pergi! Bawa begundal-begundalmu! 

Ingat! Jika kau masih berani mengganggu suhuku Dewi 

Ngong Kong berarti liang kubur hanya tinggal sejengkal dari


tenggorokanmu! Ayo lekas angkat kaki dari hadapanku!" 

Jenderal King No Kong melangkah terbungkuk-bungkuk. 

Sambil melangkah pergi dia pegangi auratnya sebelah 

bawah. "Aku akan pergi! Ampun! Aku bersumpah tidak 

akan mengganggu gurumu lagi! Tidak akan mengganggu 

anak gadis dan istri orang! Tapi anuku ini! Ampun! Bonyok 

berat! Remuk semua! Acak-acakkan! Tak bisa dipakai lagi! 

Cialat...! Benar-benar cialat!" 

Diikuti tiga anak buahnya Jenderal Slebor tinggalkan 

perguruan Bintang Muncrat dengan kuda tunggangan 

masing-masing. 

Sambil pegangi kepalanya yang benjut besar akibat 

dikepruk dengan buli-buli arak guru kungfu Tay Kun Ing 

melangkah sempoyongan mendekati jongos Gie Le. Kalau 

dulu sikapnya selalu kasar terhadap jongos itu kini berubah 

total, hormat dan kagum. 

"Gie Le, tidak kusangka kau sebenarnya adalah seorang 

pendekar kungfu berkepandaian tinggi!" Guru kungfu itu 

terdiam sejenak. Lalu melanjutkan. "Juga tidak kusangka 

kau adalah muridnya Dewi Ngong Kong yang terkenal di 

daerah Tiongkok itu. Jika aku boleh tanya perbuatan 

apakah yang telah dilakukan oleh Jenderal King No Kong 

terhadap suhumu?" 

Jongos Gie Le usap-usap keningnya yang keringatan. 

Sambil membuka pakaian perempuan yang dikenakannya 

di atas baju dan celana panjangnya, jongos ini 

menerangkan. "Dulu sewaktu masih muda dan Jenderal 

King No Kong baru berpangkat Kopral, dia naksir berat 

sama suhuku malah sampai-sampai ajukan lamaran. Tapi 

suhu menolak dijadikan istri karena sudah tahu sifat lelaki 

itu. Mata keranjang suka mengganggu anak istri orang 

serta pemabuk berat. Kopral King No Kong marah dan 

malu besar pinangannya ditolak. Karena sebelumnya dia 

sudah sesumbar pasti akan dapat menggaet suhu sebagai


istrinya. Rasa malu berubah menjadi marah lalu menjadi 

dendam. Maka dia mulai mengganggu suhu. Dia mencuri 

setiap celana dalam yang dimiliki suhu. Pokoknya di mana 

saja dia menemui celana dalam suhu, mungkin di bakul 

tempat kain kotor, atau di tempat cucian, di tali jemuran 

bahkan sampai-sampai ke lemari pasti diambilnya! 

Akibatnya dapat dibayangkan bagaimana penderitaan 

suhu. Selama belasan tahun beliau hidup sebagai 

perempuan yang tidak pernah bisa punya celana dalam. 

Tidak pernah memakai celana dalam.... " 

Untuk beberapa lamanya guru kungfu Tay Kun Ing 

tertegun tak bisa bicara. Lalu sambil tersenyum dia 

keluarkan kocek kain yang tergantung dl balik pakaiannya. 

Dari dalam kocek ini diambilnya dua tail perak dan 

diserahkannya pada jongos Gie Le. "Ambillah. Pergi ke 

pasar. Beli sepuluh lusin celana dalam untuk suhumu!" 

"She... she! Kamsia… kamsia!" kata jongos Gie Le seraya 

menjura berulang kali. 

"Mulai hari ini kau kuangkat jadi Wakilku di perguruan 

Bintang Muncrat!" menambahkan Tay Kun Ing. 

"Terima kasih atas kepercayaan guru! Tapi untuk jadi 

wakilmu aku tidak perlu memplitur muka dan kepalaku 

dengan kunyit serta kencur bukan?" 

Guru kungfu Tay Kun Ing tertawa mengekeh. Dari balik 

pintu muncul satu wajah cantik jelita. Itulah wajah gadis 

bernama Giok Ngek, murid dan keponakan sang guru 

kungfu. Si gadis ulurkan tangannya nya menarik lengan Gie 

Le. Tawa Tay Kun Ing langsung berhenti. 

"Hay ya! Naga-naganya pinceng bakal kehilangan 

keponakan!" Guru kungfu itu garuk-garuk kepalanya lalu 

mengambil komik "Super Amoy" yang tercampak di serambi 

rumah dan melanjutkan bacaannya!


 

                                TAMAT




Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar