KARYA BASTIAN TITO
WIRO SABLENG EPISODE LAKNAT MALAM KLIWON
SATU
MENUNGGU EMPAT PULUH SEMBILAN TAHUN
BUKU ini merupakan sisi lain dari serial Wiro Sableng
yang terbit sebelumnya, berjudul "Munculnya Sinto
Gendeng". Dalam seri tersebut dikisahkan
bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Eyang Sinto
Gendeng bersama seorang kakek sakti bernama Ki Rana
Wulung menyelamatkan Sri Baginda dan menghancurkan
kaum pemberontak yang didalangi oleh keponakan Raja
sendiri yaltu Pangeran Jingga.
Tugas ke tiga orang itu dalam membantu me-
nyelamatkan Kerajaan tidak mudah. Kaum pemberontak
dibantu oleh beberapa tokoh silat kelas tinggi, antara lain
Bergola Ijo (mati), Suto Abang (melarikan diri), Si Tangan
Besi (mati), Malaikat Serba Biru (mati), dan Nenek
Kelabang Merah (mati).
Keadaan bertambah ricuh karena ternyata beberapa
pejabat tinggi Kerajaan berkhianat dan ikut membantu
kaum pemberontak. Mereka di antaranya adalah Raden
Aryo Braja yang Kepala Balatentara Kerajaan (mati) dan
Turonggo Wesi (Perwira Tinggi Balatentara Kerajaan, mati).
Sebagai balas budi jasa besar ke tiga orang itu, walau
mereka menolak namun Raja memaksa menyerahkan
sebuah peta yang menunjukkan letak sebuah telaga
rahasia yang penuh dengan kandungan emas. Kisah telaga
rahasia ini kemudian dituturkan dalam serial Wiro Sableng
ke-37 berjudul "Telaga Emas Berdarah".
Ketika Eyang Sinto Gendeng berkelahi hidup mati
melawan Nenek Kelabang Merah, guru Pendekar 212 itu
mengeluarkan satu ilmu sakti yang mampu memancarikan
dua larik sinar biru dari sepasang matanya. Pendekar 212
terkejut melihat kejadian itu. Dua larik sinar biru itu
ternyata luar biasa hebatnya. Wiro menyadari, selama
digembleng di puncak Gunung Gede sang guru tidak
pernah mewariskan ilmu kesaktian itu padanya. Diam-diam
sang pendekar merasa kecewa. Apa betul ucapan orang
bahwa seorang guru tidak pernah mengajarkan atau
mewariskan semua ilmu kepandaiannya pada seorang
murid?
Karena tidak suka memendam hati yang membuatnya
merasa tidak enak, di sebuah sungai kecil Wiro berkata
pada sang guru.
"Eyang, rupanya benar ucapan orang. Bahwa tidak ada
guru yang mengajarkan seluruh kepandaian pada
muridnya!"
Saat itu Sinto Gendeng hentikan larinya, berpaling pada
sang murid dengan wajah merah dan membentak.
"Apa maksudmu anak sableng?"
"Tadi kulihat Eyang mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik
sinar biru melesat keluar dari mata dan merontokkan
tubuh kelabang sakti…!"
"Hemm... begitu?"si nenek bergumam. "Ucapan orang
itu mungkin benar. Tapi aku mau tanya. Berapa usiamu
sekarang, anak sableng...?"
"Dua... dua puluh satu Eyang!"
"Betul! Itu berarti kau harus menunggu empat puluh
sembilan tahun lagi untuk dapat menguasai ilmu itu!"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Mengapa begitu, Eyang?"
"Selama sepasang matamu masih terpikat pada
keindahan dunia, selama kedua matamu masih suka
melihat wajah perempuan cantik dan tubuh yang bagus
mulus, selama kau suka melihat aurat perempuan yang
terlarang yang bukan istrimu, selama itu pula kau tak bakal
dapat menguasal ilmu itu!"
Mendengar ucapan sang guru Pendekar 212 Wiro
Sableng jadi tertegun diam. Sambil garuk-garuk kepala dia
membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sang
guru ternyata sudah berkelebat lenyap dari hadapannya.
"Ah... nenek-nenek itu mungkin benar. Aku masih suka
melihat wajah cantik, melihat dada kencang dan paha
putih. Ha... ha… ha.... Biarlah aku tidak menguasai ilmu itu!
Ha... ha... ha!"
DUA
DIKURUNG JARING LIMA PENJURU JAGAD
WIRO memandang ke langit. Sang surya dilihatnya
telah menggelincir jauh ke barat.
Sebentar lagi sang mentari ini akan segera
tenggelam. Siang akan berganti dengan malam. Setelah
merenung sesaat Pendekar 212 segera tinggalkan tempat
itu. Untuk menghibur hati dia berjalan sambil bersiul-siul
membawakan lagu tak menentu. Di satu tempat Wiro
hentikan siulannya. Telinganya menangkap suara
gemericik kucuran air. Mendadak saja pemuda ini merasa
haus. Maka diapun melangkah ke jurusan datangnya
suara. Tidak sampai berjalan sejauh sepuluh tombak, Wiro
hentikan langkah. Di depan sana ada sebuah pancuran
bambu yang airnya mengucur jatuh ke atas bebatuan lalu
tersebar kemana-mana dalam bentuk aliran-aliran kecil. Di
sebuah batu tak seberapa besar di dekat pancuran, Wiro
melihat si nenek duduk sambil bertopang dagu, menatap
ke arah air yang mengucur dari mulut pancuran bambu.
"Sedang apa nenek ini berada di sini," berpikir Wiro. Lalu
senyumnya menyeruak. Kembali dia membatin. "Jangan-
jangan dia sengaja menunggu aku di sini. Jangan-jangan
dia berubah pikiran hendak mengajarkan ilmu dua larik
sinar biru yang bisa melesat keluar dari mata itu!" Berpikir
begitu Wiro segera dekati Eyang Sinto Gendeng dan
menegur.
"Eyang, aku kira kau sudah pergi jauh. Ternyata
nongkrong di sini. Apakah kau hendak mandi mem
bersihkan diri dengan air pancuran?"
"Anak sableng! Jangan kau berani menghina aku! Siapa
yang mau mandi? Apa kau kira aku tidak pernah mandi-
mandi?!" Si nenek bicara dengan suara keras mata
melotot. Tapi pandangannya tidak beralih dari arah
pancuran.
Sang murid kembali tersenyum. Dalam hati dia berkata.
"Nek, kalau kau sering mandi, tubuhmu tidak dekil begitu
dan pakaianmu tidak bau pesing!"
"Anak setan! Apa yang barusan kau ucapkan dalam
hati?!"
Hardikan si nenek membuat Wiro Sableng tergagau.
"Celaka, mungkin dia tahu apa yang tadi kubilang dalam
hati!"
Wiro cepat berkata. "Maafkan aku Nek, aku tidak
berucap apa-apa. Cuma aku heran melihat kau ada di sini.
Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Seolah ada
ganjalan dalam hatimu. Eyang, mungkin juga kau
mendadak berubah pikiran?"
"Anak setan! Apa maksudmu?! Pikiran aku yang mana
yang berubah? Atau kau mau bilang aku berubah jadi
setengah waras atau mendadak jadi sinting?!" Sinto
Gendeng kembali membentak. Dua matanya tetap saja
menatap ke arah pancuran bambu.
"Maksudku, mungkin aku tidak usah menunggu empat
puluh sembilan tahun. Kau mau mengajarkan ilmu dua
jalur sinar biru itu sekarang juga...."
"Benar-benar anak setan! Bertahun-tahun kau ikut aku
di puncak Gunung Gede! Apa selama itu kau pernah
melihat aku berubah pikiran?!"
"Memang tidak pernah Eyang," jawab Wiro masih
senyum dan kali ini sambil garuk kepala. "Tapi per-
timbangan tertentu bisa membuat seseorang berubah.
Misal, kau menyadari tantangan dan bahaya di dalam
rimba persilatan semakin besar. Hingga...."
"Hingga aku merasa perlu membekalimu dengan ilmu
dua larik sinar biru itu! Begitu?!"
"Kira-kira begitu Nek," jawab Wiro lalu tertawa lebar.
Lima tusuk kundai perak yang menancap di kulit kepala
si nenek berjingkrak. Mulutnya yang kempot
digembungkan.
"Anak setan! Lekas angkat kaki dari sini! Jangan sampai
aku menggebukmu karena muak!"
"Eyang, maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu
marah. Aku tidak memikirkan lagi soal ilmu itu. Juga tidak
untuk masa empat puluh sembilan tahun mendatang. Apa
perlunya kepandaian di usia sudah bau tanah. Justru ilmu
itu harus dimanfaatkan selagi muda untuk menolong
sesama.... "
Sinto Gendeng cemberut sebentar lalu tertawa
mengekeh.
"Anak sableng! Kau pandai memilih kata-kata agar
hatiku bisa terenyuh! Hik... hik... hik! Sekalipun angin sejuk
atau angin api mendera hatiku, jangan harap Sinto
Gendeng bisa berubah pikiran! Sudah! Pergi sana! Jangan
mengganggu diriku lebih lama!"
Wiro membungkuk hormat. "Jika begitu kehendak
Eyang, aku minta diri sekarang. Tapi kalau boleh aku
memberi nasihat sebaiknya Eyang jangan lama-lama
berada di tempat ini...."
"Eh, memangnya kenapa? Siapa yang berani
melarang?!" Sinto Gendeng pelototkan mata ke arah air
pancuran.
"Tidak ada yang melarang Eyang. Setahuku di sekitar
sini ada binatang buas aneh berkepala macan tapi cuma
punya dua kaki. Makhluk ini jahat sekali, paling suka
menggeragot benda jelek dan bau-bau!"
"Anak setan jahanam! Mentang-mentang aku jelek dan
bau! Kau sengaja menghina mempermainkan diriku!
Makhluk apapun yang ada di sekitar sini siapa takut! Kau
memang minta digebuk!" Saking marahnya Sinto Gendeng
gerakkan tangan kiri hendak memukul sang murid.
Tapi sambil tertawa gelak-gelak Wiro sudah melompat.
Pemuda ini lambaikan tangannya. "Selamat tinggal
Eyang.... " Wiro menyelinap ke balik serumpunan pohon
bambu hutan. Baru berjalan belasan langkah tiba-tiba di
belakangnya terdengar si nenek berseru.
"Anak setan! Tunggu! Lekas kau kembali ke sini!"
Wiro tersenyum sendiri. "Ah, pasti dia benar-benar
berbalik hati. Pasti dia memanggilku untuk mengajarkan
ilmu kesaktian dahsyat itu. Mulutnya yang perot itu
memang suka bicara kasar. Tapi aku tahu hatinya seperti
emas...." Sambil tertawa-tawa Wiro kembali ke tempat
gurunya. Si nenek masih duduk di tempat tadi dan tetap
menatap ke arah pancuran bambu.
"Nek, aku sudah di sini. Ada sesuatu yang hendak kau
sampaikan padaku?"
"Malam ini malam apa?!" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan
pertanyaan.
Wiro jadi garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia menduga
si nenek akan bicara soal ilmu kesaktian itu. Ternyata
malah mengajukan pertanyaan aneh.
"Aku bertanya, kau tidak menjawab! Apa mulutmu
mendadak gagu?! Atau kupingmu tiba-tiba budek?!" Sinto
Gendeng membentak.
Sang murid garuk kepala, cepat-cepat menjawab. "Hari
ini hari Kamis, Nek. Malam nanti jelas malam Jum'at...."
"Bocah tolol! Aku juga tahu kalau hari ini hari Kamis dan
nanti malam Jum'at! Yang aku ingin tanya malam nanti
malam apa? Apa malam Legi, Pahing, Pon, Wage atau
Kliwon?! Dasar anak setan! Sudah dua puluh satu tahun
masih saja konyol dan geblek!"
Pendekar 212 mau tak mau jadi garuk-garuk kepala. Dia
berpikir-pikir. "Kalau aku tidak salah, mungkin sekali
malam nanti adalah malam Jum'at Kliwon, Nek...."
Untuk pertama kalinya si nenek alihkan pandangannya
dari air pancuran yang sejak tadi diperhatikannya. "Jangan
bicara kalau atau mungkin! Aku ingin yang pasti!" Si nenek
menghardik.
Wiro perhatikan wajah sang guru. Seperti ada
perubahan di muka si nenek yang hanya tinggal kulit
pembalut tulang itu. "Aku... aku yakin malam nanti adalah
malam Jum'at Kliwon," kata Wiro setelah berpikir lagi.
"Kau yakin?!"
"Yakin sekali Nek," jawab Wiro. Dalam hati dia merasa
heran, mengapa sang guru bertanya begitu. Ketika dia
memperhatikan lagi-lagi Wiro melihat wajah si nenek
berubah.
"Kalau kau yakin sebentar malam adalah malam Jum'at
Kliwon ya sudah! Pergi sana...."
"Jadi kau memanggilku hanya untuk bertanya itu Nek?
Jadi sekarang aku pergi saja?"
"Apa kau tuli?!" sentak Sinto Gendeng.
"Aku segera pergi Nek. Apa ada hal lain yang bisa
kulakukan untuk Eyang sebelum pergi?" tanya Wiro.
"Tidak ada! Aku hanya ingin kau tinggalkan tempat ini!"
jawab Sinto Gendeng lalu kembali dia memandang ke arah
pancuran bambu.
Melihat sikap sang guru begitu rupa sambil tersenyum
Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Lupa kalau
sebelumnya dia merasa haus. Sesaat kemudian sang surya
sudah lenyap di kaki katulistiwa sebelah barat. Siang
berganti malam. Kegelapan mulai merayap pekat.
Sinto Gendeng tarik nafas panjang. Dia ulurkan dua
tangannya untuk rnenampung air pancuran yang sejuk.
Maksudnya hendak minum beberapa teguk. Namun
gerakannya tertahan ketika telinganya yang tajam
mendengar suara-suara berkelebat. Nenek sakti ini melirik.
Lima bayangan hitarn berpencar. disekelilingnya
"Mereka sudah datang..." kata si nenek dalam hati.
"Mereka sengaja mengurungku dengan Jaring Lima
Penjuru Jagat. Selama ini mereka mengagulkan tak ada
yang mampu menembus kurungan itu. Weehhhhh! Aku
mau lihat apa benar begitu! Hik... hik... hik."
***
TIGA
DENDAM DELAPAN TAHUN
SINTO GENDENG!" satu suara membentak
dalam kegelapan. Orangnya tegak mende
kam di sebelah kanan si nenek. "Delapan
tahun mencarimu! Akhirnya kau kami temui juga! Kelahiran
kehendak Yang Kuasa! Kematian kehendak takdir!
Sebelum kami bantai kami masih memberi kesempatan
padamu untuk bertobat minta ampun!"
Di tempatnya si nenek tampak tidak bergerak. Lalu
terdengar suara tawanya cekikikan. Mula-mula perlahan
saja tapi lama-lama tambah keras dan dahsyat. Lima orang
dalam gelap kerenyitkan kening karena telinga mereka
menjadi sakit laksana dicucuk. Kelimanya saling pandang
lalu berusaha tutup jalan pendengaran masing-masing. Ada
yang mengerahkan tenaga dalam, ada pula yang menem-
pelkan telapak tangan ke telinga kiri kanan.
"Delapan tahun rupanya singkat sekali! Langkah dan
pertemuan memang bukan manusia yang mengatur! Tetapi
ada banyak manusia yang merasa seolah pandai dan
berkuasa! Padahal kebodohan mereka terkadang berakhir
di pinggir comberan liang kubur!
Hik... hik... hik!"
Kata-kata Sinto Gendeng itu membuat lima orang yang
mengurung dalam gelap menjadi marah. Namun mereka
masih bisa mengendalikan diri.
"Sinto Gendeng, apakah saat ini kau masih membawa
Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti
pasangannya?" orang di sebelah kiri bertanya.
"Weehhhh! Kalian masih saja menanyakan senjata
mustika itu. Apa selama ini tidak sanggup membuat
senjata sendiri?!"
"Kami bukan sengaja serakah untuk dapatkan senjata
orang lain!" orang di sebelah belakang menjawab. "Tapi jika
kau mau menyerahkan senjata itu mungkin kami masih
mau memilihkan cara mati yang paling enak bagimu! Ha...
ha... ha!
"Ucapanmu polos juga! Tapi aku tidak percaya kalau
hatimu juga polos! Delapan tahun kau menguntit aku! Apa
hanya karena inginkan kapak sakti itu? Pasti ada maksud
lain yang tidak terpuji! Bicara saja terang-terangan agar
kalau kubunuh kalian satu
persatu aku tidak penasaran lagi! Hik... hik... hik!" Sinto
Gendeng balas tertawa.
Orang di samping kanan Sinto Gendeng mendengus
marah. Dia bergerak melangkah. Tapi segera dibentak oleh
si nenek sambil jentikkan tangan kanannya.
"Bicara tetap di tempat! Jangan berani mendekat!"
"Wuuussss!"
Jentikan si nenek menimbulkan satu gelombang angin
yang membuat sebuah batu serta tanah di depan orang
yang barusan bergerak terbongkar besar! Orang ini cepat
bersurut dan tegak diam di tempatnya.
"Nah, begitu lebih baik. Sekarang silahkan bicara! Dan
awas! Aku tidak begitu suka melihat orang bicara ngawur!"
"Kami datang membekal dendam!" orang di sebelah
kanan berucap datar.
"Weehhh! Dendam yang mana? Delapan tahun kemana-
mana membawa dendam pasti kau repot keberatan! Hik...
hik!"
"Malam ini dendam itu akan kutumpas habis dengan
nyawa dan darahmu!"
"Aku bersyukur kalau kau bisa melakukan itu! Sekarang
majulah mendekat. Biar kulihat tampangmu!"
Orang di sebelah kanan melangkah maju. Empat
temannya melakukan hal yang sama walau tidak terlalu
mendekati si nenek karena mereka tahu bagaimana
berbahayanya Sinto Gendeng.
"Wallaahhh! Kau ternyata pakai topeng seperti muka
barong! Mana aku bisa mengenali dirimu!" Sinto Gendeng
geleng-gelengkan kepala. Sambil berbuat begitu dia melirik
empat orang lainnya. Mereka semua berjubah hitam dan
juga mengenakan topeng menutupi wajah masing-masing.
"Walau kami menutupi muka dengan topeng! Tapi orang
rimba persilatan mana yang tidak tahu siapa kami! Sinto
Gendeng! Jangan berpura-pura tidak tahu dendam apa
yang kami bawa!"
"Kau betul, siapa tidak tahu diri kalian! Lima manusia
berjubah hitam yang separoh dari usianya sengaja
menjalani hidup dengan menutup muka! Hik... hik... hik.
Lima Laknat Malam Kliwon! Begitu rimba persilatan
menggelari kalian karena selalu muncul menebar maut
hanya pada malam-malam Kliwon! Banyak orang
menganggap kalian angker dan hebat! Tapi jangan menjual
nama dan tampang di depan Sinto Gendeng!" .
"Bagus! Ternyata kau sudah tahu siapa kami jadi tidak
perlu susah payah berikan keterangan!" Orang di sebelah
kanan ini lalu memberi tanda dengan goyangan kepala
pada empat kawannya. Dalam gelap, lima sosok berjubah
hitam itu segera melesat menyerbu si nenek yang sampai
saat itu masih tetap duduk di atas batu di depan pancuran
bambu.
"Hilang!" dua diantara lima orang itu berseru kaget
ketika mereka dapatkan Sinto Gendeng tidak ada lagi di
atas batu dan mereka hanya melompati tempat kosong.
Di belakang mereka tiba-tiba terdengar suara tawa
cekikikan. "Jaring Lima Penjuru Jagat! Kalian agulkan
sebagai tidak bisa ditembus lawan! Nyata nya aku bisa
molos! Hik... hik... hik! Sungguh memalukan!" '
Lima orang yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai
Lima Laknat Malam Kliwon kertakkan rahang sama
menggeram. Kelimanya serentak berbalik. Lima tangan
serta merta menghantam.
"Kraakkkk!" Sebatang pohon patah dan tumbang.
"Braakkk!" Serumpunan semak belukar setinggi dada
mental berantakan.
"Byaaarr!" Sebuah batu besar ikut amblas hancur di
hantam lima pukulan tangan kosong yang mengandung
tenaga dalam tinggi.
"Hik... hik... hik! Kalian menyerang siapa? Aku ada di
sini!"
Kaget lima orang bertopeng itu bukan alang kepalang.
Mereka berpaling! Gila betul! Si nenek yang tadi ada di
belakang dan sama-sama mereka hantam dengan pukulan
yang bisa mencerai beraikan sekujur tubuhnya kini tahu-
tahu terlihat duduk enak-enakan di atas batu di depan air
pancuran. Malah saat itu enak saja dia kelihatan keluarkan
susur lalu dimasukkan ke dalam mulut dan mengunyah
terkempot-kempot!
"Perempuan tua bangka jahanam! Serbu dia dengan
jurus Lima Bintang Jatuh!" salah seorang dari lima orang
bertopeng berteriak marah.
Lima sosok berjubah hitam melesat dua tombak ke
udara. Lalu benar-benar seperti bintang jatuh ke limanya
kemudian menukik ke arah Sinto Gendeng. Lima tangan
laksana palu godam diayunkan ke lima bagian tubuh Sinto
Gendeng!
EMPAT
LAKNAT BERNASIB MALANG
DARI cepatnya alur serangan serta sambaran angin
yang menerpa tubuhnya Sinto Gendeng sadar kalau
lawan telah mengeluarkan jurus yang tak bisa
dibuat main. Karenanya nenek sakti ini juga tak mau
berlaku ayal. Di atas batu tubuhnya berputar setengah
lingkaran. Dua tangan dihantamkan ke atas. Kaki kiri
ditendangkan ke depan.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
"Dukkkk!"
Dua lengan Sinto Gendeng bergetar hebat begitu
bentrokan dengan dua lengan lawan. Tubuhnya terhenyak
jatuh ke bawah. Dua lawan terpental beberapa langkah.
Satu jotosan melanda bahunya sebelah kiri membuat si
nenek menggeram kesakitan. Di sebelah depan, satu dari
lima lawannya yang berhasil ditendangnya mencelat sambil
mengeluarkan jeritan. Orang ini terhampar di tanah,
menggeliat-geliat sambil pegangi perut. Kelihatannya dia
cukup kuat karena sesaat kemudian dia bangkit berdiri
kembali dan bergabung dengan empat temannya.
Perkelahian lima lawan satu itu berkecamuk semakin
hebat. Lima Laknat Malam Kliwon lancarkan serangan
sambil mengurung rapat. Walau sampai enam jurus di
muka mereka masih belum mampu mendaratkan serangan
di tubuh lawan namun keadaan Sinto Gendeng saat itu
benar-benar berbahaya. Seolah hanya tinggal menunggu
waktu saja. Gilanya si nenek menghadapi serbuan lima
pengeroyok dengan tenang. Mulutnya yang dipenuhi susur
terkempot-kempot dan termonyong-monyong.
Memasuki jurus ke sembilan serangan Lima Laknat
Malam Kliwon bertambah gencar laksana air bah. Sinto
Gendeng mainkan jurus-jurus pertahanan Tameng Sakti
Menerpa Hujan, Benteng Topan Melanda Samudera,
Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih.
Jurus-jurus pertahanan itu diselingnya dengan jurus-
jurus menyerang Segulung Ombak Menerpa Karang,
Membuka Jendela Memanah Rembulan, Di Balik Gunung
Memukul Halilintar serta Kepala Naga Menyusup Awan.
Lalu tidak lupa pula dia hantamkan pukulan-pukulan sakti
Orang Gila Mengebut Lalat, Kunyuk Melempar Buah, dan
Angin Puyuh.
Lima pengeroyok lambat laun menjadi leleh juga nyali
mereka. Dikeroyok lima ternyata si nenek bukan saja
mampu bertahan tapi malah balas menyerang dengan
ganas. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga diri
masing-masing dan mengurung rapat agar lawan tidak
lolos. Disamping itu mereka terus memutar otak
bagaimana bisa merobohkan Sinto Gendeng.
Di jurus ke dua puluh sembilan satu celah tipis, untuk
mendaratkan serangan terlihat oleh tiga dari lima
pengeroyok. Mereka bersirebut cepat untuk susupkan
jotosan ke dada, kepala dan ulu hati lawan. Hampir
serangan itu akan mengenai sasaran tiba-tiba Sinto
Gendeng keluarkan pekik keras. Tubuhnya bergelung
seperti ular menggeliat lalu melesat ke udara. Bersamaan
dengan itu kaki kanannya menendang. Inilah jurus yang
disebut Ular Naga Menggelung Bukit. Sebenarnya jurus ini
mempergunakan gerakan tangan untuk melibas tubuh
lawan. Tapi si nenek gantikan tangan dengan kaki dan
bukan untuk merangkul melainkan untuk menendang!
"Braaakkk!"
Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng bersarang di dada
lawan paling depan. Orang ini adalah yang sebelumnya
juga telah terluka di dalam akibat tendangan Sinto
Gendeng. Melihat kawan mereka terkapar mengerang di
tanah dan ada darah meleleh keluar dari bawah
topengnya, empat anggota Lima Laknat Malam Kliwon
menjadi leleh nyalinya. Salah seorang dari mereka berbisik
pada kawan di sebelahnya.
"Delapan tahun memburu tidak sangka kita hanya
menemui kesia-siaan! Jahanam betul! Ternyata nenek ini
sangat tinggi ilmu kepandaiannya! Beri tanda pada kawan-
kawan, agar segera tinggalkan tempat ini!"
"Bagaimana dengan teman yang satu itu?" sang kawan
bertanya.
"Tidak ada waktu untuk mengurusnya. Melihat
keadaannya nyawanya tak bisa ditolong! Kalau kita
menghabiskan waktu menolongnya salah-salah kita bakal
kena digebuk nenek keparat itu! Apa kau tidak sadar.
Sampai saat ini dia masih belum mengeluarkan Pukulan
Sinar Matahari! Apa lagi kalau dia sampai menyerang
dengan Sepasang Sinar Inti Roh, kita semua bisa celaka!"
"Kalau cuma pukulan Sinar Matahari mengapa perlu
ditakutkan? Lagi pula kita belum pasti apa benar dia
memiliki ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh
itu!"
"Sudah! Jangan banyak cerita! Kalau kau mau mampus
lebih dulu silahkan tinggal di sini!"
Setelah saling memberi tanda empat dari lima manusia
berjubah dan bertopeng hitam itu akhirnya segera
berkelebat melarikan diri.
Sinto Gendeng cabut susurnya lalu meludah ke tanah.
Dia tiada niat hendak mengejar empat orang yang kabur
itu. Dia memasukkan kembali susur ke dalam mulutnya
lalu segera dekati orang yang ditinggalkan kawan-
kawannya. Setelah pandangi sebentar wajah bertopeng itu
Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Laknat bernasib malang! Kawan-kawanmu sudah pada
kabur! Kalian biasa membunuh orang di malam Kliwon!
Kini justru kau sendiri yang bakal menerima mampus di
malam Kliwon ini! Hik... hik... hik!"
Dari balik topeng orang berjubah hitam yang tergeletak
di tanah terdengar suara bergumam. Dia seperti hendak
mengatakan sesuatu namun yang keluar justru lelehan
darah, mengucur semakin banyak dari bawah topengnya.
Dengan mempergunakan ujung kaki kirinya yang kurus
hanya tinggal tulang serta kotor, enak saja Sinto Gendeng
tanggalkan topeng di muka orang. Begitu wajahnya
tersingkap kagetlah si nenek, sampal dia keluarkan suara
seruan tertahan dan tersurut dua langkah.
"Kau!"
***
LIMA
BAHALA DARI TELUK AKHIRAT
ORANG yang tergeletak di tanah keluarkan suara
mengerang. Darah semakin banyak keluar dari
mulutnya. Matanya menatap sayu pada Sinto
Gendeng. Orang ini ternyata adalah seorang kakek
berambut dan berkumis kelabu. Walau sudah tua serta
dalam derita menahan sakit luar biasa, wajahnya masih
kelihatan gagah.
"Suro Ageng!" berseru Sinto Gendeng. "Apa mataku tidak
salah melihat? Benar kau...?!" Sepasang mata si nenek
melotot tak berkesip.
Si kakek kedipkan matanya satu kali.
"Kau tidak salah melihat Sinto. Ini memang aku... Suro
Ageng...."
Sinto Gendeng jatuhkan dirinya dan duduk di samping
kakek bernama Suro Ageng itu. "Belasan tahun kita tidak
bertemu, mengapa tahu-tahu jadi begini...? Ah! Kalau aku
tahu siapa dirimu tentu aku tidak akan menurunkan
tangan jahat...."
"Kau tidak salah Sinto! Berani berbuat berani menerima
akibat! Itu nasib diriku!"
"Suro...." Sinto Gendeng perbaiki letak kepala si kakek
hingga lebih tinggi. "Mengapa kau melakukan ini? Mengapa
kau sampai jadi anggota Lima Laknat Malam Kliwon?"
"Aku terjebak Sinto. Pimpinan mereka meracuniku
dengan tuba sejak sepuluh tahun silam. Jika aku dan
kawan-kawan berhasil membunuhmu baru dia akan
memberikan obat penawar!"
"Jahanam! Siapa orang yang jadi biang racun pimpinan
Lima Laknat Malam Kliwon itu?"
"Aku sendiri tidak tahu. Lagi pula percuma untuk
menyelidik. Apakah selama belasan tahun berpisah kau
selalu balk-baik Sinto?"
Si nenek tidak menjawab. Matanya menatap pada wajah
yang tengah sekarat menahan sakit itu. Dua mata si nenek
tampak berkaca-kaca.
"Sinto, apakah masih ada rasa cinta dalam dirimu
terhadapku seperti di masa muda dulu.... "
"Gila! Kau bicara apa ini!" sentak Sinto Gendeng. Tapi
kemudian dia merasa menyesal berkata kasar begitu dan
gigit bibirnya. Tengkuknya terasa dingin.
"Ah, kau masih galak seperti dulu saja..." kata Suro
Ageng menyeringai lalu mengerang kesakitan.
Sinto Gendeng tersenyum dan usap kepala si
kakek. "Aku akan mengobatimu! Kau pasti bisa sembuh
dan hidup lagi di jalan yang benar!" Si nenek
meraba ke balik pakalan bututnya. Namun Suro Ageng
gelengkan kepala dan berkata.
"Aku berterima kasih mendengar ucapanmu. Satu
pertanda kau masih mengasihiku. Tapi tak ada gunanya
Sinto. Lukaku sangat parah. Salah satu sisi jantungku
agaknya sudah remuk...."
"Aku yang menyebabkan! Aku yang menendangmu tadi!"
kata Sinto Gendeng sesenggukan. Lalu pukul-pukul
kepalanya sendiri.
Suro Ageng tersenyum. "Kau tahu Sinto, betapa aku
merasa bahagia. Karena tidak pernah menyangka bakal
menemui ajal di sampingmu...." Darah mengucur lagi dari
mulut si kakek.
"Jangan berkata begitu Suro. Kau akan sembuh! Kau
pasti sembuh!" Kembali si nenek meraba ke balik
pakaiannya di mana dia menyimpan sejenis obat sangat
ampuh. Kali ini Suro Ageng diam saja, memperhatikan apa
yang dilakukan Sinto Gendeng.
Namun belum sempat nenek sakti itu mengeluarkan
bungkusan obat dari balik pakaiannya sekonyong-konyong
dari kegelapan melesat satu bayangan aneh menebar bau
busuknya binatang hutan.
"Sinto awas! Aku merasa ada bahaya mengancam
dirimu..." kata Suro Ageng.
"Siapa berani mencari mati! Apa lagi dalam keadaan aku
hendak menolongmu!"
"Makhluk yang katanya mencari mati itu bernama
Kelelawar Pemancung Roh!" satu suara menjawab lalu
orang yang bicara ini melangkah mendekati Sinto Gendeng
dan Suro Ageng.
Orang ini bertubuh besar tinggi dengan sepasang kuping
mencuat ke atas. Dia memiliki dua buah tangan panjang
menjela sampal ke bawah lutut, hitam berbulu. Dua
matanya sangat kecil dan sipit, seolah terpejam.
Baik Sinto Gendeng maupun Suro Ageng sama-sama
terkejut melihat munculnya orang ini. Si kakek cepat
berbisik. "Sinto, ingat. Empat puluh tahun silam kau pernah
mengobrak-abrik sarang kaum pemberontak di selatan.
Delapan diantara orang yang kau basmi itu punya pertalian
darah sangat erat dengan Kelelawar Pemancung Roh dari
Teluk Akhirat ini. Hati-hati Sinto...."
"Aku ingat. Siapa takut...!"
"Baiknya segera kau tinggalkan tempat ini. Bukan
menganggap enteng dirimu. Tapi manusia ini punya ilmu
jahat berupa hawa beracun yang bisa membunuh siapa
saja dalam waktu singkat! Hawa itu tidak berwarna dan
tidak berbau!"
"Kau tenang saja Suro. Biar aku yang menghadapi
monyet tangan panjang ini!"
Sinto Gendeng bergerak bangkit. Gerakannya tertahan
ketika dia melihat satu keanehan terjadi dengan sosok
orang bernama Kelelawar Pemancung Roh itu. Bersamaan
dengan gerakan mengangkat ke dua tangannya ke atas
tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar menciut pendek
sampai hanya tinggal setinggi lutut. Sebaliknya dua
tangannya yang hitam berbulu semakin besar dan panjang.
"Plaakkk!"
"Plaakkk!"
Ada suara seperti kepakan sayap. Dua buah benda lebar
memayungi tempat itu hingga suasana menjadi sangat
gelap. Dalam kegelapan itu Sinto Gendeng mendongak ke
atas. Si nenek tercekat!
Di ujung-ujung tangan orang yang tubuhnya mengecil itu
kini kelihatan dua ekor kelelawar raksasa mengepakkan
sayap tiada henti. Dua matanya yang memancarkan sinar
merah memandang membersitkan maut pada Sinto
Gendeng. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigi
runcing pertanda beringas. Sepasang kaki dua kelelawar
raksasa ini ternyata menjadi satu dengan tangan orang
yang memegangnya.
"Sinto!" seru Suro Ageng. "Lekas tinggalkan tempat !nil"
Tapi si nenek mana mau perduli. Malah dia sudah
alirkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Sosok kerdil gerakkan dua lengannya. Tiba-tiba dua
kelelawar jejadian menguik dahsyat. Sebelum Sinto
Gendeng sempat pentang tangannya untuk menghantam
mendadak dari mulut dua kelelawar itu menderu tiupan
angin kencang.
"Seribu Hawa Kematian!" teriak Suro Ageng. "Sinto!
Lekas menyingkir!"
Walau sudah diperingati begitu Sinto Gendeng tetap
saja pasang kuda-kuda siap untuk menghantam dengan
pukulan sakti. Melihat hal ini Suro Ageng kumpulkan
semua tenaga yang ada lalu melompat. Ketika hawa
beracun dari dua mulut kelelawar menerpa, sosok si kakek
berada di depan Sinto Gendeng, menghalangi
membentenginya. Namun perbuatannya sia-sia belaka
karena hawa beracun yang tidak terlihat dan tidak berbau
itu telah menyungkup di sekitar mereka! Saat itu juga ke
dua orang itu megap-megap roboh ke tanah.
"Plaakk!"
"Plaakk!"
Dua kelelawar raksasa kepakkan sayapnya. Sosok orang
yang memegangnya membesar kembali. Begitu sampai
pada ukuran sebelumnya dua kelelawar serta merta
lenyap. Orang ini turunkan tangannya lalu setelah tertawa
bergelak dia tinggalkan tempat itu.
***
ENAM
PENGORBANAN DI AKHIR HAYAT
DI SATU jalan mendaki Pendekar 212 hentikan larinya.
Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan.
Hatinya gelisah. Bukan kegelapan itu yang
membuatnya gelisah. Dia merasa tidak enak karena ingat
akan gurunya yang ditinggalkan sendirian. Memang si
nenek tidak kurang suatu apa. Tapi sikapnya tidak seperti
biasa. Lalu apa pula maksudnya menanyakan malam itu
malam apa.
Selagi dia berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba dia melihat
empat bayangan hitam berkelebat di antara rerumpunan
semak belukar. Wiro cepat menyelinap, mendekam di satu
tempat gelap dan mengintai. "Jangan-jangan para tokoh
silat kaki tangan pemberontak," pikir Wiro.
"Kita kembali saja ke Kotaraja! Sialan, tidak sangka
setan satu itu tinggi sekali ilmunya!" Salah seorang dari
rombongan di dalam gelap berkata.
Wiro memperhatikan. "Mereka mengenakan jubah
hitam. Muka memakai topeng hitam seperti barong. Siapa
gerangan orang-orang ini..." pikir Wiro. Lalu didengarnya
salah seorang dari mereka berkata menyahuti ucapan
kawannya tadi.
"Kotaraja sedang tidak aman. Apa kau tidak dengar
riwayat seorang pemuda sakti mandraguna yang
menghabisi pentolan pemberontak? Kita jangan sampai
terlibat! Urusan kita ada yang lebih penting."
"Kalau begitu kita segera saja menuju ke puncak Merapi
menemui Pimpinan!" Tiga kawan yang lain menyetujui.
Maka saat itu juga ke empat orang itu berkelebat ke arah
timur dan lenyap dalam kegelapan.
Wiro keluar dari balik tempat pengintaiannya sambil
usap-usap dagu, coba menduga-duga siapa adanya ke
empat orang itu. "Dari pembicaraan mereka agaknya
mereka bukan pentolan pemberontak. Lalu siapa yang
disebut setan satu yang tinggi sekali ilmunya itu?"
Setelah berpikir beberapa saat lagi akhirnya Wiro
memutuskan untuk kembali ke tempat dia meninggalkan
Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia tidak perlu menemui
sang guru. Asal melihat si nenek berada dalam keadaan
tak kurang suatu apa hatinya baru lega dan dia lantas akan
lanjutkan perjalanan.
Karena mempergunakan ilmu lari cepat dan me
nempuh jalan yang sebelumnya sudah dilewati maka
dalam waktu singkat Wiro sampai kembali ke tempat dia
meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Namun betapa
kejutnya setengah mati ketika melihat sang guru tergeletak
di tanah dengan mata nyalang tak berkesip dan mulut
mengeluarkan busah. Di sebelahnya terkapar seorang
kakek yang juga mengeluarkan busah serta darah dari
mulutnya. Meskipun megap-megap sekarat tapi matanya
kelihatan nyalang.
"Guru! Eyang!" teriak Wiro lalu jatuhkan diri dan letakkan
kepala si nenek di atas pangkuannya.
Sosok kakek di sebelah Sinto Gendeng bergerak sedikit.
"Anak muda, siapapun kau adanya lekas ambil sebuah
sapu tangan hitam dalam saku pakaianku...."
"Katakan apa yang terjadi?! Kau siapa?!" Wiro
memotong ucapan orang.
"Jangan bertanya menghabiskan waktu! Sinto Gendeng
dalam bahaya besar. Dia bisa mati dalam beberapa
kejapan kalau tidak segera ditolong. Didalam lipatan sapu
tangan hitam ada empat butir obat. Dua berwarna putih,
dua berwarna hitam. Masukkan obat itu ke dalam mulut
Sinto Gendeng! Lekas, lakukan segera! Jangan sampai
terlambat!"
Sesaat Wiro masih bingung. Tapi kemudian dia segera
lakukan apa yang dikatakan orang. Di dalam saku kanan
pakaian hitam si kakek memang dia menemukan sehelai
sapu tangan hitam. Dalam gulungan sapu tangan itu ada
empat butir benda bulat sebesar ujung jari kelingking. Dua
berwarna putih, dua berwarna hitam. Seperti yang
dikatakan kakek tak dikenal itu Wiro masukkan obat itu ke
dalam mulut gurunya. Lalu dia mengurut tenggorokan Sinto
Gendeng hingga empat butir obat tertelan dan melewati
tenggorokan lalu masuk ke dalam perut. Begitu masuk ke
dalam usus besar, Sinto Gendeng menggeliat dan
keluarkan suara erangan keras. Dari mulutnya mengepul
asap aneh. Matanya yang tadi mendelik perlahan-lahan
menutup. Lalu sosok si nenek tidak bergerak lagi.
"Jahanam! Kau menipu! Guruku menemui ajal akibat
obat yang ditelannya!" teriak Wiro marah. Tangan kanannya
siap hendak menggebuk batok kepala si kakek.
"Anak muda! Jangan cepat salah sangka! Jangan keburu
menduga buruk. Gurumu hanya pingsan tanda obat tengah
bekerja. Walau tidak sembuh menyeluruh tapi yang penting
Sinto Gendeng sudah lolos dari lobang jarum kematian.
Coba kau periksa lengannya. Kau akan merasakan
denyutan nadi tanda dia masih hidup...."
Wiro cepat meraba pergelangan tangan kanan Sinto
Gendeng. Hatinya lega. Ternyata memang masih ada
denyutan pada urat besar si nenek.
"Orang tua, harap kau menerangkan apa yang terjadi.
Dan kau sendiri siapa?"
"Dua pertanyaanmu tidak penting. Sebelum aku
meregang nyawa ada beberapa hal yang perlu aku beri
tahu.... Pertama, Sinto Gendeng walaupun selamat dari
kematian tapi seumur hidup tubuhnya sebelah pinggang ke
bawah akan mengalami kelumpuhan. Hal kedua, satu-
satunya cara untuk mengobati kelumpuhan itu adalah
mencari sekuntum Bunga Matahari yang tumbuh
menghadap matahari terbit dan hanya mengembang pada
saat terjadi gerhana matahari. Jika kau berhasil
mendapatkan bunga itu pada saat mengembang dan
dimakan oleh Sinto Gendeng maka dia akan sembuh dari
kelumpuhan...."
"Aku sudah mendengar ucapanmu Kek! Sekarang
katakan apa yang terjadi! Siapa yang melakukan
malapetaka ini atas diri guruku? Lalu kau sendiri siapa?"
"Orangnya dikenal dengan julukan Kelelawar
Pemancung Roh. Sarangnya di Teluk Akhirat. Dia
menghantam Sinto Gendeng dengan racun Seribu Hawa
Kematian. Tidak ada satu orangpun yang mampu lolos dari
kematian jika diserang. Racun itu berupa hawa yang tidak
kelihatan dan juga tidak berbau. Karena keadaannya lebih
berat dari udara maka hawa beracun ini selalu
mengambang dari atas ke bawah. Akibatnya tidak ada yang
bisa lolos dari kematian...."
"Aku pernah mendengar nama Kelelawar Pemancung
Roh itu. Akan kucari dan kucincang sampai lumat manusia
keparat itu!" Pendekar 212 geram bukan kepalang. "Hai!
Kau belum menerangkan siapa dirimu!"
"Aku Suro Ageng. Sahabat Sinto Gendeng di masa
muda.... Aku...."
"Kalau kau benar sahabat guruku kau harus kutolong....
Kau masih memiliki obat seperti yang kau berikan pada
Eyang Sinto Gendeng?"
"Sebenarnya obat itu bisa dibagi dua, untukku dan untuk
gurumu. Tapi jika dibagi dua daya kekuatannya jadi
berkurang. Gurumu mungkin tidak banyak tertolong. Aku
memutuskan menolongnya agar bisa hidup. Sedang diriku
sendiri sudah pasrah menghadapi maut...."
"Pasti ada cara menolongmu Kek!" kata Wiro seraya
memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur
topeng yang sebelumnya dipakai Suro Ageng. Wiro lantas
ingat pada empat orang dalam gelap yang ditemuinya
sebelumnya. Ketika dia memperhatikan pula pakaian si
kakek, berdesirlah darahnya. Kakek ini mengenakan jubah
hitam seperti yang dipakai orang-orang itu! Murid Eyang
Sinto Gendeng jadi curiga.
"Kek, sebelumnya aku melihat empat orang me-
ngenakan topeng dan jubah hitam seperti yang kau
kenakan. Apakah kau punya sangkut paut dengan
mereka...?"
"Anak muda, kau pernah mendengar nama Lima Laknat
Malam Kliwon?"
"Pernah..." jawab Wiro. Lalu dia ingat. "Sebelumnya
guruku pernah bertanya malam ini malam apa! Bukankah
malam ini malam Jum'at Kliwon? Berarti...!" Sepasang mata
sang pendekar mendelik. Tubuhnya bergeletar. "Kau salah
satu dari mereka!"
Suro Ageng mengangguk perlahan.
Rahang Pendekar 212 menggembung. "Bukankah jika
Lima Laknat Malam Kliwon muncul di malam Kliwon berarti
ada orang yang bakal menjadi korbannya?! Jangan-jangan
kalian sebelumnya punya maksud keji terhadap guruku!"
"Kau benar anak muda! Tapi maksud kami tidak
kesampaian. Aku sendiri sangat menyesal...."
"Kesampaian atau tidak, menyesal atau tidak aku tidak
perduli! Biar kupecahkan dulu batok kepalamu!"
Wiro lalu angkat tangan kanannya untuk menggebuk
batok kepala Suro Ageng. Si kakek diam saja. Tidak
bergerak, berkedippun tidak seolah pasrah.
Tiba-tiba dari samping terdengar ucapan Sinto Gendeng.
"Anak setan! Kakek itu telah selamatkan nyawaku
dengan nyawanya! Mengapa kau hendak membunuhnya?!"
"Eyang!" seru Wiro. Saat itu si nenek sudah bergerak
bangkit dan duduk di tanah. Ketika dia mencoba berdiri
ternyata dia tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.
Dia pergunakan tangan meraba dua kaki itu. Kaki itu tidak
merasa apa-apa. Maka menjeritlah si nenek! Lalu terkulai
pingsan. Di saat yang sama kepala Suro Ageng terkulai
pula ke kiri. Orang ini tak bergerak lagi bertanda nyawanya
melayang sudah.
***
TUJUH
SINTO GENDENG LUMPUH
SOSOK Sinto Gendeng bergerak. Dari mulutnya keluar
erangan halus. "Nek, kau sudah siuman Nek?" tanya
Wiro yang duduk memangku kepala gurunya.
"Kepalaku berat.... Mataku sulit dibuka. Tapi aku
mendengar suaramu. Anak setan.... Apa yang terjadi
dengan diriku. Aku... aku tidak mampu menggerakkan dua
kakiku. Aku tak mampu bergerak duduk...."
"Eyang, kau tiduran saja dulu. Jangan terlalu banyak
bicara...."
"Anak setan! Berani kau melarang aku bicara?!" bentak
Sinto Gendeng. Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut
tulang kelihatan pucat.
"Nek, biar aku ceritakan apa yang terjadi denganmu. Aku
ingin ingatanmu pulih dan tabah menerima kenyataan...."
"Tabah menerima kenyataan? Eh, apa maksudmu anak
sableng?! Memangnya apa yang terjadi?!" tanya Sinto
Gendeng pula.
"Dua kakimu lumpuh Nek. Akibat racun Seribu Hawa
Kematian...."
Perlahan-lahan dua mata si nenek terbuka sedikit,
makin lebar, tambah lebar dan akhirnya memandang
mendelik pada sang murid. Dia usap dua kakinya dengan
tangan kanan. Tidak terasa apa-apa. Dia coba gerakkan
dua kaki itu. Dia tidak mampu melakukan. Sinto Gendeng
hendak menjerit tapi akhirnya sadar dan hanya bisa
pasrah
"Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat.... Dia
yang mencelakaiku. Dia melampiaskan dendam empat
puluh tahun lalu!" Rahang si nenek menggembung.
Mukanya yang seperti tengkorak tampak tambah angker.
"Dendam akan berkelanjutan. Kelelawar Pemancung Roh
benar-benar telah menanam racun! Dia kelak akan
memetik dan menelan buah racunnya! Selama bumi
terhampar, selama langit berkembang aku akan mencari
dan membunuhnya...."
"Eyang, untuk sementara harap kau tidak memikirkan
segala dendam kesumat. Kita harus mencari jalan
bagaimana bisa menyembuhkan dirimu. Menurut kakek
bernama Suro Ageng itu...."
"Suro Ageng!" Sinto Gendeng menyebut nama itu
setengah menjerit. "Mana dia?!" Sepasang mata si nenek
berputar.
"Dia ada di sebelahmu Nek. Tapi sudah mendahuluimu.
Mati akibat Seribu Hawa Kematian."
Dua mata Sinto Gendeng mendelik. Dia gerakkan
kepalanya ke kiri. Sosok Suro Ageng tergeletak di
sebelahnya. Tangan kirinya diulurkan memegang tangan si
kakek. Dia hendak menjerit namun yang keluar hanya
sesenggukan. "Suro.... Kalau saja dulu aku menerima
lamaranmu dan kawin denganmu. Kau tidak akan
mengalami nasib seperti ini. Ah...."
Wiro jadi terkesiap mendengar ucapan sang guru.
Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. "Eyang, jadi kakek
ini dulunya adalah kekasihmu di masa muda...?"
Si nenek tidak menjawab. Dalam hati Wiro bertanya-
tanya, di masa mudanya dulu sebenarnya berapa banyak si
nenek ini punya kekasih. Mungkin karena begitu
banyaknya hingga dia bingung memilih, akhirnya tak
pernah kawin-kawin. Kalau bukan dalam keadaan seperti
itu pemuda konyol ini tentu sudah menggoda sang guru.
Sinto Gendeng usap-usap mukanya yang pucat
beberapa kali. Dari mulutnya kemudian meluncur ucapan.
"Aku pantas bangga padanya. Dia sengaja me-
ngorbankan nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku!
Suro.... Sungguh tinggi budimu...."
"Eyang, sebelum menghembuskan nafas kakek itu
menerangkan bahwa satu-satunya obat yang bisa
menyembuhkan kelumpuhanmu adalah Bunga Matahari
yang tumbuh menghadap matahari terbit dan mekar pada
saat gerhana matahari...."
Kulit muka Sinto Gendeng mengerenyit.
"Orang bisa berkata begitu. Tapi Gust! Allah menjadikan
obat bukan cuma satu macam! Pasti ada obat lain yang
lebih mudah dari bunga matahari celaka itu! Kalau
mengalami kesulitan kita harus cari kawanku Si Raja Obat!
Anak setan! Apakah kau sudah siap?!"
"Siap apa maksud Eyang?" tanya Wiro heran.
"Saat ini juga kita harus berangkat ke Teluk Akhirat!
Mencari manusia berjuluk Kelelawar Pemancung Roh itu!"
"Eyang.... Keadaanmu belum pulih. Lagi pula kau.... Kau
tak bisa berjalan sendiri...."
"Aku tidak menyuruhmu mencari keledai atau kuda, apa
lagi onta tunggangan!" jawab si nenek.
"Aku tahu Nek, maksudku kau harus istirahat dulu yang
cukup. Jika kesehatanmu pulih baru kita pikirkan apa yang
harus kita lakukan...."
"Weehhhhh! Kau tahu apa mengenai diri dan
kesehatanku! Jangan kau mengatur diriku, anak sableng!"
Wiro garuk-garuk kepala. Tak ada jalan lain. Ketika dia
hendak membantu si nenek berdiri pandangannya
membentur sebuah benda tergeletak di tanah dekat kaki
Suro Ageng. Wiro segera mengambilnya.
"Benda apa itu...?" Sinto Gendeng bertanya.
Sambil memperhatikan benda yang dipegangnya Wiro
menjawab. "Sebuah kalung kepala srigala. Terbuat dari
perak. Rantainya sudah putus...."
"Kepunyaan siapa menurutmu?" tanya si nenek.
"Sulit kuduga Nek. Mungkin salah seorang dari
komplotan Lima Laknat Malam Kliwon. Mungkin juga punya
makhluk kelelawar dari Teluk Akhirat itu.... "
"Simpan baik-baik. Benda itu bisa kita jadikan bahan
pelacak dimana sarangnya Lima Laknat Malam Kliwon
serta Kelelawar Pemancung Roh!"
Wiro mengiyakan sambil mengangguk lalu masukkan
kalung kepala srigala itu ke balik pakaiannya.
"Sekarang kita harus segera tinggalkan tempat ini!" kata
Sinto Gendeng.
"Apa tidak menunggu dulu sampai pagi hari Nek? Lagi
pula bukankah kita harus mengurus mayat kakek bernama
Suro Ageng In!?"
"Mayat Suro Ageng memang menjadi ganjalan. Tapi
kalau kita melewati sebuah desa, kita bisa upahkan orang
untuk mengurusnya. Sekarang jangan banyak membantah.
Kita harus tinggalkan tempat ini. Teluk Akhirat cukup jauh
dari sini!"
"Tapi Nek, kau tak bisa berjalan sendiri. Apa lagi berlari!"
ujar Wiro pula.
"Siapa bilang aku akan jalan kaki sendiri?!" ujar si nenek
seraya menyeringai.
"Memangnya kau bisa terbang, Nek?"
"Weehhhh! Kau yang menerbangkan aku, anak setan!"
Wiro keheranan tak mengerti.
"Dukung aku di pundakmu! Kau boleh berjalan biasa,
berlari atau terbang! Suka-sukamulah! Hik... hik... hik...."
"Nek! Kau...."
"Jangan berani membantah perintah seorang guru!"
"Aku tidak membantah Eyang. Tapi bayangkan saja
kalau aku harus membawamu kemana-mana. Di dukung di
atas bahu!"
"Lalu apa kau mau mendukung aku seperti membedung
bayi di depan dada? Hik... hik... hik!"
"Kita harus mencari binatang untuk tungganganmu..."
kata Wiro pula.
"Aku gamang kalau menunggangi binatang. Aku cuma
mau didukung belakang. Nangkring di atas pundakmu! Ayo
tunggu apa lagi! Naikkan aku ke atas pundakmu Wiro!"
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Celaka benar!
Bagaimana aku bisa mendukung nenek yang sekujur
badannya bau pesirfg begini rupa!"
"Jangan kau mengumpat atau memaki dalam hatimu
anak setan! Jika kau tidak rela mendukungku, cepat kau
tinggalkan aku sekarang juga! Lalu mulai saat ini putus
hubungan kita sebagai murid dan guru!"
Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Namun dia
memang tidak bisa menolak. Tubuh sang guru diangkatnya
lalu dinaikkannya di atas pundaknya. Leher dan pundaknya
kiri kanan langsung terasa dingin oleh rembesan air
kencing yang menempeli kain panjang butut yang
dikenakan Sinto Gendeng. Rahang Pendekar 212
menggembung. Kuping hidungnya bergerak-gerak.
Celakanya si nenek duduk sambil goyang-goyangkan
badannya seperti anak kacil keenakan.
"Uh.... Kau berat sekali Nek!" kata Wiro masih belum
melangkah.
"Jangan macam-macam Wiro. Tubuhku cuma tinggal
tulang belulang! Apanya yang berat?!" Si nenek lalu jambak
rambut gondrong muridnya.
"Tubuhmu memang tidak berat Eyang. Tapi yang berat
mungkin dosamu karena terlalu banyak kekasih di masa
muda!" jawab Pendekar 212 pula.
Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar telinga kiri Wiro
lalu dipuntir lumat-lumat hingga Wiro menjerit kesakitan.
"Anak setan! Aku tahu kau tidak suka mendukungku
seperti ini! Tapi seandainya aku seorang gadis cantik jelita,
weehhhhh! Pasti kau akan bawa kemana saja dan
tanganmu akan menggerayang kesana-sini!" Sinto
Gendeng tertawa mengekeh. Dia puntir lagi telinga kiri
Wiro. "Ayo jalan!"
"Aduh Eyang! Ampun! Jangan dipuntir telingaku! Aku
segera jalan!" teriak Wiro kesakitan.
"Nah bagus kalau begitu! Hik... hik... hik...."
Belum jauh berjalan tiba-tiba Sinto Gendeng pegang tagi
telinga kiri Wiro.
"Nek...!"
"Anak setan! Kau mau bawa aku kemana?! Aku tidak
bodoh! Teluk Akhirat letaknya di sebelah selatan sana.
Mengapa kau menuju ke arah timur?"
"Anu Nek.... Ada baiknya kita lebih dulu menemui Kakek
Segala Tahu di bukit kapur tempat kediamannya. Siapa
tahu dia ada di sana. Kita bisa minta petunjuk bagaimana
caranya kau bisa disembuhkan dengan cepat...."
"Kau murid baik dan pintar!" Si nenek elus-elus rambut
gondrong muridnya. "Berjalan biasa-biasa saja. Tak usah
kesusu. Tubuhku letih sekali. Aku mau tidur barang
beberapa lama...." Sinto Gendeng rangkapkan dua
tangannya di depan dada. Matanya dipejamkan. Sesaat
kemudian terdengar suara ngoroknya sepanjang jalan.
"Nenek bau pesing sialan!" memaki Pendekar 212. "Dia
enak-enakan ngorok di atas pundakku sementara aku
sengsara. Kalau saja kau bukan guruku dari tadi-tadi kau
sudah kubanting ke tanah!" Saat itu bernafaspun sang
pendekar takut rasanya. Karena setiap dia menarik nafas,
yang masuk ke dalam rongga hidungnya adalah bau pesing
tubuh dan kain panjang butut si nenek!
TAMAT
Segera terbit:
SERIBU HAWA KEMATIAN
--------------------------------------------------
ARIO BLEDEK EPISODE PETIR DI MAHAMERU
SATU
KI SURO GUSTI BENDORO
HARI Jum'at Pahing, tepat tengah hari ketika sang
surya berada di titik tertinggi. Tidak seperti
biasanya, di puncak Gunung Mahameru sama sekali
tidak kelihatan awan putih menggantung. Sinar matahari
yang tidak terhalang menebar terik mulai dari puncak
sampai ke lereng bahkan kaki gunung. Angin tidak
sedikitpun berhembus. Udara terasa panas luar biasa dan
kesunyian mencekam hampir di setiap penjuru.
Ketika serombongan burung pipit melayang di langit
sebelah utara, sayup-sayup dari arah lereng gunung
sebelah tenggara terdengar sesuatu berkelebat disertai
suara mendesis panjang tiada henti-hentinya. Tanah
bergetar seolah ada sesuatu menjalar melewatinya
sepanjang lereng.
Rombongan burung pipit lenyap di kejauhan. Suara
berkelebat dan suara mendesis terdengar semakin keras.
Tak selang berapa lama di satu jalan setapak di antara
kerapatan pepohonan kelihatan seorang kakek berjubah
putih berlari laksana angin menuju puncak Gunung
Mahameru. Rambut dan janggutnya yang putih panjang
melambai-lambai. Wajahnya yang lanjut dimakan usia
walau penuh keriput namun tampak jernih,
membayangkan satu pribadi yang bersih. Di tangan
kanannya ada sebatang tongkat bambu berwarna kuning.
Ujung jubah sebelah bawah dan lengan jubah putih lebar
yang bergesek dengan udara itulah sumber suara yang
terdengar sejak tadi. Lalu suara mendesis tak
berkeputusan, inilah yang hampir sulit dipercaya kalau
tidak menyaksikan sendirl.
Ternyata di belakang kakek berjubah putih itu, meluncur
ratusan ular berbagai bentuk dan warna. Binatang ini
meluncur di tanah jalan setapak mengikuti larinya si orang
tua yang tengah menuju ke puncak gunung sambil tiada
hentinya mengeluarkan suara mendesis. Sosok tubuh
mereka yang ratusan banyaknya itu menimbulkan suara
menggemuruh di tanah. Sesekali kakek ini berpaling ke
belakang. Mulutnya tersenyum melihat binatang-binatang
itu. Namun dalam hati dia merasa sedih. Suara hatinya
berkata. "Tuhan memberi akal pikiran dan perasaan hati
pada manusia. Yang membuatnya lebih agung dan
membedakannya dengan binatang. Tetapi terkadang
binatang memiliki alam pikiran dan hati sanubari yang
lebih jernih dan polos dari manusia. Ular-ular itu, mereka
menunjukkan kesetiaan yang tidak semua manusia
memilikinya...."
Semakin tinggi ke puncak gunung semakin berkurang
pepohonan dan semak belukar. Sengatan sinar matahari
tambah membakar. Di mana-mana kini tampak
berhamparan batu-batu hitam berbagai ukuran.
Sekonyong-konyong dari lereng sebelah atas terdengar
suara langkah-langkah kaki kuda, bergerak ke arah orang
tua berjubah putih yang sementara mendaki ke jurusan
berlawanan. Orang tua ini segera hentikan langkahnya dan
menatap ke depan.
"Tidak sembarang kuda mampu menaiki puncak
gunung. Apa lagi gunung tinggi seperti Mahameru ini.
Binatang itu pasti kuda yang sangat terlatih. Bukan kuda
sembarangan. Mungkin sekali kuda yang biasa
dipergunakan dalam peperangan.... Keadaan di Demak
masih sangat kacau. Bukan mustahil.... "
Belum selesai orang tua itu berucap dalam hati dua ekor
kuda besar, satu berwarna coklat, satunya hitam berkilat
muncul di atasnya. Dari ladam-ladam kaki kuda yang tebal
dan bergerigi jelas bahwa dua ekor binatang ini memang
sengaja diperuntukkan untuk ditunggangi di puncak
gunung atau kawasan berbatu-batu.
Di atas kuda berwarna coklat duduk seorang bertubuh
besar, berkulit sangat hitam. Dari pakaian dan bentuk
gagang pedang yang terselip di pinggangnya jelas dia
adalah seorang Perwira Kerajaan. Yang anehnya orang ini
memegang sebuah obor besar di tangan kirinya sementara
tangan kanan menahan tali kekang kuda tunggangannya.
Di samping si Perwira, di atas kuda besar hitam yang
kelihatan garang duduk gagah seorang kakek berjubah
kuning. Jubah ini terbuat dari bahan tebal dan mahal. Di
tangan kirinya dia memegang sebatang tombak besi. Pada
ujung tombak terikat sebuah bendera berbentuk segi tiga
berwarna kuning.
Di belakang kakek berjubah putih, ratusan ular
mendadak tegakkan kepala dan mendesis keras. Kakek itu
angkat tangan kanannya. Binatang-binatang yang tadi
kelihatan galak kini tundukkan kepala, tak ada yang
bersuara tapi tetap menatap ke depan dengan pandangan
tidak berkesip. Binatang-binatang yang dalam perasaan
dan tinggi tingkat kewaspadaannya ini rupanya sudah
mencium sesuatu akan terjadi.
Setelah pandangi dua orang itu sejenak, orang
tua berjubah putih segera memaklumi ada sesuatu dibalik
kernunculan mereka. Walau hatinya merasa tidak enak
sambil tersenyum orang tua ini menegur.
"Perwira Brajanala, sahabatku Ki Dalem Sleman,
ini sungguh satu pertemuan yang tidak disangka-sangka.
Aku tak bisa menutupi kegembiraanku. Tapi juga merasa
aneh dan ingin bertanya. Gerangan apakah sebabnya
hingga Perwira Brajanala bersuluh obor besar di bawah
terang benderangnya sinar matahari?" Orang tua berjubah
putih ini ajukan pertanyaan walau sebenarnya dia sudah
tahu apa kegunaan obor besar itu. Yakni untuk melindungi
diri dari ratusan ular jika binatang-binatang itu menyerang.
Orang tua berjubah kuning bernama Ki Dalem Sleman
melirik pada Perwira di atas kuda coklat lalu berkata.
"Brajanala, kau tak perlu menjawab pertanyaannya. Karena
kitalah yang akan mengajukan banyak pertanyaan
padanya!"
Kakek jubah putih kerenyitkan kening. Sepasang alisnya
naik sesaat. Lalu kembali dia tersenyum. "Kalau sampeyan
mempunyai kepentingan mengapa tidak mengajukannya
sewaktu kita masih sama-sama di Demak. Mengapa
sampai-sampai menghabiskan waktu dan mencapaikan diri
menemuiku di lereng Mahameru ini?"
"Sebabnya lain tidak karena kau melarikan diri ketika
Kerajaan dilanda kekacauan. Padahal kau adalah salah
seorang penasihat Sultan yang dibutuhkan kehadirannya.
Tapi kau menghilang begitu saja. Untung kami masih bisa
menemuimu di sini!" Yang berkata adalah Perwira Kerajaan
bernama Brajanala yang berkulit hitam liat itu.
"Aku tidak melarikan diri. Tidak pula menghilang. Aku
memang penasihat Kerajaan. Tapi hanya sampai saat aku
dibutuhkan. Saat Sultan dan Kerajaan tidak memerlukan
diriku lagi, aku merasa tidak ada gunanya lagi berada lebih
lama di Demak. Keluarga dan turunan Sultan saling
membantai memperebutkan tahta. Sampeyan tahu sendiri
apa yang terjadi sejak Sultan Trenggono mangkat.
Pangeran Sekar Seda Lepen adik Sultan yang seyogianya
menjadi Raja menggantikan kakaknya mati dibunuh orang.
Pangeran Prawoto, putera Sultan Trenggono yang siap-siap
hendak dinobatkan sebagai Sultan Demak dibantai habis
bersama seluruh keluarganya secara keji oleh Arya
Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Aku
sendiri tidak lagi ingin terlibat dengan segala urusan dunia
dan kekuasaan. Apa lagi segala daya upayaku untuk
mendamaikan mereka tidak diperdulikan. Saat ini
Adiwijoyo, menantu mendiang Sultan Trenggono tengah
menyusun kekuatan untuk melakukan pembersihan.
Mudah-mudahan Tuhan membimbing dan melindunginya.
Aku mendoakan semoga dia berhasil, agar Kerajaan
kembali aman dan rakyat yang selama bertahun-tahun ini
hidup menderita bisa kembali menikmati hidup
tenteram...."
Ki Dalem Sleman, kakek berjubah hitam yang
memegang tombak sunggingkan senyum sinis. "Ucapanmu
seolah satu filsafat yang lebih tinggi dari langit, lebih dalam
dari dasar samudera. Namun kami berdua tahu kau berada
di Mahameru ini bukan karena tidak ingin lagi terlibat
dengan segala urusan dunia, melainkan karena ada satu
hal lain...."
"Sampeyan benar Ki Dalem Sleman," kata Ki Suro Gusti
Bendoro pula. "Aku sengaja naik ke puncak Mahameru ini
karena menurut petunjuk yang aku terima dari Gusti Allah
melalui tiga kali mimpi, setelah lima puluh tahun
menunggu, puncak Mahameru ini merupakan ujung atau
akhir perjalanan hidupku...."
"Rupanya kau manusia luar biasa sekali, Ki Suro Gusti
Bendoro. Sampai-sampai tahu dimana dan kapan akan
menemui ajal! Kau manusia murtad! Karena soal mati
hidupnya manusia hanya Tuhan yang mengetahui...."
"Aku tidak akan berdebat mengenai hidup matiku
dengan sampeyan Ki Dalem Sleman...."
"Baik! Karena kami berdua mencarimu memang bukan
untuk bicara berpanjang lebar. Kami mengetahui kau
meninggalkan Demak dengan membawa Bendera Pusaka
milik Kerajaan yang bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Itu
sebabnya kami mengejarmu sampai ke sini. Kau harus
menyerahkan Bendera Pusaka itu segera. Saat ini juga!"
Ki Suro Gusti Bendoro sangat terkejut mendengar kata-
kata Ki Dalem Sleman itu. "Ki Dalem Sleman, aku yakin
sampeyan bukan orang yang suka berburuk sangka.
Namun apa yang barusan sampeyan katakan sungguh
mengejutkan. Bagaimana sampeyan bisa menuduh aku
membawa Bendera Pusaka Kanjeng Kiai Pujoanom?"
"Kau bukannya membawa tapi mencuri Bendera Pusaka
itu!" kata Perwira Brajanala dengan suara keras dan
tampang garang.
"Astagfirullah." Ki Suro mengucap. "Seumur hidupku aku
tidak pernah mencuri. Apa lagi sampai mencuri Pusaka
Kerajaan yang sangat kujunjung tinggi. Sampeyan berdua
pasti menyirap kabar salah. Atau mungkin ada pihak yang
memfitnah...."
"Tidak ada kabar yang salah! Tidak ada orang yang
memfitnah...."
"Kalau begitu sampeyan berdua kupersilahkan
menggeledah diriku..." kata Ki Suro Gusti Bendoro dengan
suara tetap tenang.
"Buat apa menggeledah. Kau pasti sudah
menyembunyikan Bendera Pusaka itu di satu tempat
rahasia!" tukas Brajanala. "Kami ingin kau mengantar kami
ke tempat kau menyembunyikan Bendera itu!"
Kakek berjubah putih gelengkan kepala lalu berkata.
"Apa yang aku katakan adalah suara kebenaran. Aku tidak
mencuri Bendera Pusaka itu...."
"Kalau begitu terpaksa kau menggantikan Bendera
Pusaka itu dengan kau punya nyawa!" ujar Brajanala pula.
Lalu "sreettt!" Perwira Kerajaan ini hunus pedangnya.
Pedang telanjang itu berkilauan ditimpa sinar matahari.
Sang Perwira lalu sentakkan tali kekang kudanya. Binatang
ini melangkah maju mendekati Ki Suro Gusti Bendoro yang
tetap berdiri dengan tenang bahkan wajah tidak berubah
sama sekali.
***
DUA
SEBELUM AJAL BERPANTANG MATI
BEGITU pedang keluar dari sarungnya, ratusan ular
yang ada di belakang Ki Suro Gusti Bendoro serta
merta mendesis keras dan serentak melesat ke
depan. Kuda hitam dan kuda coklat meringkik tinggi sambil
angkat dua kaki depan masing-masing.
Brajanala cepat kuasai kudanya lalu babatkan obor
besar di tangan kiri. Puluhan ular bersurut mundur tapi
puluhan lainnya tetap melesat ke depan. Ki Dalem Sleman
gerakkan tangannya yang memegang tombak. Siap
menggebuk. Tombak ini bukan senjata biasa melainkan
satu senjata mustika yang bisa menebas batang pohon
dan menghancurkan batu besar.
Ketika ular-ular itu hampir melewati orang tua berjubah
putih, Ki Suro segera angkat tangannya dan berkata.
"Sahabat-sahabatku, tenanglah. Kembali ke tempatmu di
belakangku...."
Luar biasa sekali! Seperti mengerti apa yang diucapkan
si orang tua, ratusan ular itu bersurut ke belakang.
Brajanala melintangkan pedangnya di depan dada. "Ki
Suro! Apa kau lebih suka mati dengan kepala terbelah dari
pada memberi tahu dimana kau sembunyikan Bendera
Pusaka itu?!"
"Soal Bendera Pusaka sudah aku katakan, aku tidak
memilikinya. Soal kematian aku hanya berserah diri pada
Yang Maha Kuasa Maha Pencipta. Aku merasa bahagia
setelah menunggu lima puluh tahun untuk menghadap
Sang Pencipta akhirnya ada orang memberi jalan menuju
pintu akhirat. Sampeyan hendak membunuhku, aku sangat
berterima kasih. Semoga Tuhan mengampuni dosa
sampeyan. Tapi izinkan aku lebih dulu menghadap ke
Kiblat...."
Habis berkata begitu Ki Suro Gusti Bendoro putar
tubuhnya menghadap ke arah matahari tenggelam.
Di atas kuda coklat Perwira bernama Brajanala
kertakkan rahang. Tangan kanannya menggenggam
gagang pedang erat-erat. Lalu wuuut! Senjata itu
berkelebat menyilaukan di udara. Membacok dari atas ke
bawah. Sasarannya adalah batok kepala kakek berjubah
putih yang tegak dengan kepala agak tertunduk, pasrah
menunggu ajal.
Ratusan ular di belakang si kakek tegakkan kepala,
mendesis keras tapi tak ada yang berani bergerak.
"Traanggg!"
Pedang besar di tangan Perwira Brajanala laksana
menghantam benda terbuat dari baja atos. Senjata itu
patah dua begitu membentur batok kepala Ki Suro Gusti
Bendoro. Kepala si kakek sedikitpun tidak bergeming
bahkan rambutnya yang putih tidak ada yang putus barang
sehelaipun! Di atas kuda coklat Brajanala terhuyung-
huyung. Tak terasa obor besar di tangan kirinya jatuh ke
tanah. Minyak yang tumpah segera disambar nyala api.
Kebakaran besar di tempat yang kering gersang dan panas
itu akan segera terjadi kalau kakek berjubah putih tidak
lekas melakukan sesuatu. Sekali dia meniup, padamlah
kobaran api.
Untuk sesaat Brajanala masih memegang gagang
pedang namun kemudian senjata yang telah patah itu
terpaksa dilepaskannya karena tangannya terasa panas
dan pedas. Ketika diperhatikannya, terkejutlah Perwira
Demak ini karena telapak tangannya ternyata telah
terkelupas melepuh!
Perlahan-lahan Ki Suro Gusti Bendoro angkat kepalanya.
Sesaat dia menatap sang Perwira yang memandang
padanya dengan mata membeliak dan rahang
menggembung.
Ki Suro tersenyum dan berkata dengan suara lembut.
"Tuhan tidak mengizinkan sampeyan membunuhku. Ajalku
tidak berada di tangan sampeyan. Ini satu bukti bahwa ajal
manusia tidak berada di tangan manusia lainnya kecuali
dengan kehendakNya. Perwira Brajanala, semoga Gusti
Allah mengampuni kesalahan sampeyan...."
Muka hitam Perwira Kerajaan itu kelam membesi. Dua
tangannya terkepal, matanya mendelik tak berkesip dan
gerahamnya bergemeletakan.
"Ilmu kebalmu sungguh mengagumkan Ki Suro Gusti
Bendoro!" Tiba-tiba Ki Dalem Sleman membuka mulut. "Aku
mau lihat, apakah kesaktianmu bisa menahan Tombak Kiai
Sepuh Plered milikku ini!"
Begitu selesai berucap Ki Dalem, Sleman langsung
tusukkan tombak besi yang ujungnya ada bendera kecil
kuning berbentuk segitiga ke leher Ki Suro Gusti Bendoro.
"Desss!"
Tombak besi tembus sampai ke tengkuk si kakek. Darah
menyembur lalu membasahi leher, dada dan jubah putih
yang dikenakannya. Ratusan ular mendesis keras dan
tegakkan kepala. Namun seperti tadi tak ada bergerak.
Ki Dalem Sleman tertawa bergelak.
"Ki Suro! Ternyata ilmu kebalmu tidak sanggup
menghadapi tombak saktiku! Ha... ha... ha! Kau harus
berterima kasih padaku karena telah menolongmu
menemui kematian lebih cepat!"
Sepasang mata Ki Suro Gusti Bendoro menatap tak
berkesip ke arah kakek berjubah kuning. Tidak ada
bayangan rasa sakit di wajah orang tua ini. Hal ini mungkin
tidak terperhatikan oleh Ki Dalem Sleman. Puas tertawa
dia lalu cabut tombak Kiai Sepuh Plered dari leher Ki Suro.
Baik Ki Dalem Sleman maupun Perwira Brajanala mengira
begitu tombak dicabut, Ki Suro akan segera roboh ke tanah
walau tangan kanannya masih bersitopang pada tongkat
bambu kuning. Tapi bukan saja sosok kakek itu tetap tegak
tak bergerak di tempatnya. Malah terjadilah satu hal luar
biasa. Darah yang mengucur dari luka tembusan tombak
sakti di leher Ki Suro, yang meleleh membasahi leher, dada
serta jubahnya bergerak surut, naik ke atas, masuk
kembali ke dalam lobang luka. Lalu luka itu menutup
dengan sendirinya. Tak ada cacat atau bekas yang
tertinggal. Sedang noda darah di jubah si kakek lenyap
sama sekali. Jubah itu kembali putih bersih seperti se-
belumnya! Selain itu noda darah yang membasahi tombak
dan bendera kuning juga ikut sirna tanpa bekas!
Dinginlah tengkuk Ki Dalem Sleman dan Brajanala.
"Sahabatku Ki Dalem Sleman...." Ki Suro Gusti Bendoro
berkata sambil mengulas senyum. "Ternyata Tuhan juga
tidak mengizinkan sampeyan membunuhku...."
Dua orang di atas kuda putus sudah nyali mereka.
Keduanya sentakkan tali kekang kuda masing-masing lalu
menghambur lenyap ke arah lereng timur Gunung
Mahameru.
Ki Suro Gusti Bendoro hela nafas dalam lalu berucap.
"Ya Tuhan, ampuni dosa dan kesalahan ke dua orang itu.
Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka telah
perbuat."
Ki Suro Gusti Bendoro berpaling ke belakang. Ratusan
ular tegakkan kepala. Orang tua ini tersenyum yang dibalas
oleh desisan halus oleh ratusan ular. Begitu Ki Suro
memutar tubuh dan melanjutkan perjalanan menuju
puncak gunung, binatang-binatang itu segera pula
mengikuti. Sosok-sosok mereka yang menjalar di tanah
menimbulkan suara bergemuruh.
Semakin tinggi ke atas semakin terik sinar sang surya
seolah membakar puncak Mahameru. Ki Suro terus
melangkah. Ular-ular terus pula mengikutinya. Di satu
tempat di mana terdapat dua batu besar membentuk celah
kakek ini hentikan langkahnya. Ratusan ular ikut berherti.
Kembali binatang ini tegakkan kepala. Telinga si kakek
menangkap satu suara. Telapak kakinya terasa bergetar.
Ada langkah-langkah berat di balik dua batu besar di
depannya.
Tiba-tiba menggelegar satu auman dahsyat. Tanah dan
batu-batu besar di tempat itu bergetar. Sesaat kemudian
muncullah kepala seekor harimau besar. Matanya yang
hijau menyorot tajam membersitkan hawa pembunuhan.
Mulutnya menguak lebar memperlihatkan barisan gigi-gigi
besar dan taring-taring runcing serta lidah merah haus
darah. Sepasang kaki depan bergeser merendah. Kepala
perlahan-lahan dirundukkan. Pertanda raja rimba belantara
penguasa puncak Mahameru ini siap menerkam.
Di sebelah belakang ratusan ular mendesis keras.
Sebaliknya kakek yang hendak dijadikan mangsa harimau
gunung itu tetap berdiri tenang. Malah diwajahnya
menyeruak senyum. Tongkat bambunya dimelintangkan di
dada. Lalu orang tua ini membungkuk sedikit. Dari
mulutnya keluar ucapan.
"Kita sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak
sepantasnya memiliki hati dan rasa ingin menguasai. Apa
lagi berniat jahat hendak menumpahkan darah melakukan
pembunuhan. Aku berjalan di jalanku, tidak mengusik tidak
mengganggu. Engkau berjalan di jalanmu tidak mengusik
tidak mengganggu. Persahabatan adalah sesuatu yang
agung. Tetapi terkadang makhluk melupakannya karena
dorongan yang datang dari dalam diri sendiri serta tekanan
yang datang dari luar. Aku ingin bersahabat tetapi jika
nasib menakdirkan bahwa kematianku ada di tanganmu,
aku akan merelakan selembar nyawaku. Lima puluh tahun
aku menunggu kematian yang tak kunjung datang.
Agaknya saat ini kau muncul tepat pada waktunya. Dengan
kehendak Yang Maha Kuasa apa yang akan terjadi,
terjadilah...."
Kakek itu lalu duduk bersila di tanah. Tongkatnya
diletakkan di atas pangkuan. Dua tangannya ditumpahkan
di ujung lutut. "Harimau raja rimba belantara. Jika kau
datang membawa takdir bagi akhir nasibku aku ikhlas
menerima karena aku memang sudah menunggu.
Lakukanlah apa yang hendak kau lakukan...."
Dengan senyum masih membayang di wajah orang tua
itu menatap pada harimau gunung di depannya. Di sebelah
belakang, ratusan ular yang telah rnengangkat kepala siap
melesat menyerang harirnau besar. Tapi orang tua
berjubah putih angkat tangan kanannya dan berkata
lembut.
"Sahabatku, kalau takdir datang tidak ada satu
kekuatanpun bisa menghalang. Tetaplah berada di tempat
kalian. Kematian bagian setiap makhluk hidup. Tubuh tua
dan lapuk ini sudah sejak lama mendambakannya...."
Ratusan ular keluarkan suara mendesis namun sikap
mereka tidak segalak tadi lagi. Satu persatu tundukkan
kepala, menatap tak berkesip ke depan.
Harimau besar tiba-tiba mengaum lalu melompat ke
atas batu besar. Dari atas batu besar inilah binatang itu
menyergap si kakek, langsung mengarah kepala. Namun
masih dua jengkal sebelum mencapai sasarannya, dari
tubuh orang itu keluar satu hawa mengandung kekuatan
dahsyat. Harimau besar terpental ke udara. Meraung
keras. Jatuh terbanting dan terguling-guling.
Si orang tua kelihatan terkejut melihat apa yang terjadi.
Wajahnya kemudian berubah seperti menyesali diri.
"Harimau besar pembawa takdir. Aku tidak bermaksud
mencelakai dirimu. Aku lupa kalau dalam diriku masih
tersimpan sisa-sisa kekuatan tak berguna di masa muda.
Lakukanlah kembali. Serang diriku. Terkam. Aku
menginginkan kematian sebagaimana kau menginginkan
tubuhku...."
Harimau gunung bangkit berdiri. Sepasang matanya
berkilat-kilat. Didahului gerengan keras binatang ini
kembali menyerang mangsanya. Kali ini mulutnya langsung
menerkam kepala si kakek.
"Kraaakk... kraakkk.... kraakkk!"
Harimau besar itu seperti menggigit batu besar.
Hunjaman giginya yang besar-besar serta taringnya yang
runcing-runcing jangankan melukai, menggores kepala
orang tua itupun tidak sanggup. Dua kaki depannya
menyambar ke depan.
"Breettt... breettt!"
Jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro robek besar di dua
tempat di bagian dada. Namun kulit tubuhnya tidak
tergores barang sedikitpun. Harimau gunung bermata hijau
itu mengaum keras. Kibaskan ekornya lalu melompat lagi
ke batu besar sebelah kiri. Dari sini binatang ini melompat
lagi ke batu lain di sebelah sana lalu menghambur pergi
melenyapkan diri.
Untuk beberapa lamanya Ki Suro Gusti Bendoro masih
duduk bersila di tanah. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri,
berpaling ke belakang menatap ratusan ular yang masih
ada di tempat itu. Sambil melintangkan tongkat bambu
kuningnya di depan dada orang tua ini berkata.
"Para sahabatku, kiranya cukup sampai di sini kalian
mengantarku. Bagaimanapun setiap perjalanan ada
akhirnya. Kehidupan di dunia ini ada batasnya. Seratus
lima puluh tahun aku menjalani kehidupan. Lima puluh
tahun aku menunggu. Akhirnya saat penantian tiba juga.
Aku telah mendapat firasat melalui mimpi tiga kali berturut-
turut. Aku akan segera meninggalkan dunia fana ini. Walau
aku manusia dan kalian binatang tapi karena kita sama-
sama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa Maha
Pengasih aku yakin satu saat di alam baka kita akan
berjumpa lagi dalam ujud yang tidak kita ketahui. Selamat
tinggal sahabat-sahabatku...."
Ratusan ular memenuhi jalan setapak itu keluarkan
suara mendesis halus seolah sedih dan serentak
rundukkan kepala, melata sama rata dengan tanah seolah
memberi penghormatan terakhir. Mata mereka yang
biasanya tajam tak berkesip kini tampak redup lalu
teteskan air mata!
Kakek berjubah putih tundukkan kepala dan bungkuk-
kan badannya dua kali berturut-turut lalu dengan menindih
rasa berat di dalam hatinya dia memutar tubuh. Sekali
berkelebat dia telah berada beberapa tombak di atas sana.
Ratusan ular baru bergerak pergi setelah si orang tua tak
kelihatan lagi.
***
TIGA
TUJUH PETIR DARI LANGIT
TANPA menghiraukan teriknya sengatan sinar,
matahari yang seolah mau melelehkan batok
kepalanya Ki Suro Gusti Bendoro melangkah cepat
menuju puncak Mahameru. Sesekali tongkat bambu
kuningnya dipukulkan ke batu-batu yang dilewatinya hingga
mengeluarkan suara bergetar keras.
Di satu tempat orang tua yang memiliki kesaktian tinggi
ini dan melakukan perjalanan dalam mencari akhir
kehidupannya hentikan langkah. Memandang berkeliling
matanya membentur sebuah batu besar yang salah satu
sisinya ada sebuah lobang sebesar kepalan tangan.
Dada si kakek berdebar. "Batu permata..." katanya
dalam hati. "Tepat seperti yang aku lihat dalam mimpi." Dia
menatap ke langit lalu membungkuk. Selesai membungkuk
laksana terbang dia melesat dan sesaat kemudian telah
duduk bersila di atas batu, sengaja menghadap ke arah
matahari tenggelam.
Sejak pagi sang surya telah membakar batu itu dengan
sinarnya yang sangat terik. Batu besar yang diduduki si
kakek tidak beda dengan bara menyala. Tapi orang tua ini
duduk bersila dengan tenang, seolah duduk di satu tempat
yang sejuk dan nyaman. Kepalanya didongakkan ke atas
langit. Tongkat bambu kuning diletakkan di atas pangkuan
sedang dua tangan ditumpahkan di atas lipatan lutut.
Setelah berdiam diri sesaat orang tua ini pejamkan dua
matanya lalu dengan suara perlahan dan bergetar dia
berkata.
"Ya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.
PentunjukMu sudah hamba terima. Batu permata telah
hamba temui. Mohon kiranya masa penantian selama lima
puluh tahun menjadi kenyataan. KehendakMu terjadilah.
Hamba Ki Suro Gusti Bendoro sudah siap Ya Tuhan untuk
datang menghadapMu dengan segala kerendahan. Petir
pertama datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang
Kuasa, aku siap menerima deramu!"
Di tempat yang tadinya sunyi senyap itu, disekitar batu
besar tiba-tiba bertiup angin aneh yang mengeluarkan
suara seperti puluhan puput ditiup secara bersamaan.
Pada saat suara itu lenyap tiba-tiba di langit sebelah utara
berkiblat satu sinar terang menyilaukan. Bersamaan
dengan itu terdengar suara menggelegar seolah hendak
meruntuh langit mengoyak bumi.
Kiblatan sinar terang menghunjam ke bumi,
menghantam ke arah batu besar di mana orang tua
berjubah putih duduk bersila.
Batu besar hancur terbelah hangus. Orang tua yang
duduk di atasnya mencelat sampai lima tombak. Dari
mulutnya keluar jeritan setinggi langit. Ketika tubuhnya
melayang jatuh dan terkapar di tanah gunung, tangan
kanannya sebatas bahu tak ada lagi di tempatnya. Petir
yang menghantam dari langit membabat putus dan hangus
tangan itu. Potongan tangan terlempar ke udara lalu jatuh
dekat sebuah batu, perlahan-lahan berubah bentuk, leleh
menjadi seonggok bubuk pasir berwarna hitam dan
mengepulkan asap panas!
Sosok orang tua itu terkapar di tanah tak bergerak.
Jubah putihnya hangus. Mungkin nyawanya sudah putus.
Ternyata tidak. Perlahan-lahan tubuh, itu bergerak bangkit.
Tangan kirinya masih memegang tongkat bambu. Sesaat
dia duduk bersimpuh di tanah lalu berkata.
"Ya Tuhan, dera petir pertama telah hamba terima. Beri
petunjuk agar hamba segera mendapatkan petir ke dua
dan selanjutnya sampai ke tujuh." Ki Suro Gusti Bendoro
sekilas melirik ke arah kutungan tangan kanannya yang
telah berubah menjadi pasir besi hitam dan panas.
Dengan pertolongan tongkat yang dipegang di tangan
kiri orang tua berjubah putih itu melangkah meneruskan
perjalanan. Sikapnya masih tetap gagah. Dia terus
mendaki menuju puncak gunung. Tangan kanannya yang
buntung disambar petir dan sakit luar biasa seolah tidak
dirasakanrtya. Di satu tempat kembali kakek ini hentikan
langkah ketika matanya melihat batu besar bertanda dua
buah lobang sebesar kepalan.
"Batu ke dua, tanda ke dua..." membatin orang tua
berusia 150 tahun ini. Dia cucukkan tongkat bambu di
tangan kirinya ke sebuah batu. Batu berlubang ditembus
tongkat. Si kakek sendiri kemudian melesat ke udara dan
turun di atas batu bertanda dua buah lobang sebesar
kepalan.
Seperti tadi orang tua ini duduk bersila di atas batu
besar yang amat panas itu. Karena tangan kanannya
sudah buntung, kini hanya tangan kirinya yang diletakkan
di atas lipatan lutut.
Sambil mendongak ke langit, orang tua ini berucap.
"Petir ke dua, aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima
deramu. Datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang
Kuasa!"
Baru saja kalimat itu selesai diucapkan, muncul suara
angin menyerupai bunyi puput. Untuk ke dua kalinya
kemudian dari langit melesat sinar putih menyilaukan
menyambar ke bawah disertai gelegar yang menggetarkan
puncak Gunung Mahameru.
Batu yang diduduki Ki Suro Gusti Bendoro pecah hangus
berkeping-keping. Sosok si kakek mencelat tinggi ke udara
dibarengi jeritannya yang keras luar biasa. Sosoknya
kemudian terbanting jatuh di celah antara dua buah batu
hitam. Dari mulutnya keluar suara mengerang. Darah
mengucur dari telinga dan hidungnya. Dua kakinya
melejang beberapa kali. Saat itu ternyata dia tidak lagi
memiliki tangan kiri. Seperti tangan kanan, tangan kirinya
juga telah buntung hangus dihantam petir yang menyam-
bar dahsyat dari langit!
Lalu keanehan terulang kembali. Potongan tangan kiri Ki
Suro Gusti Bendoro yang tercampak di tanah perlahan-
lahan berubah menjadi setumpuk debu kasar menyerupai
pasir besi berwarna hitam dan mengepulkan asap.
Di sela batu, tubuh Ki Suro berguling ke kiri. Dua kakinya
menggapai-gapai. Dengan bersandar ke salah satu batu di
dekatnya dia berusaha bangkit. Tongkat bambu kuningnya
masih menancap di atas batu hitam. Dia melesat ke atas
batu. Dengan mulutnya dia menyambar tongkat bambu itu.
Lalu dengan langkah terhuyung-huyung dia kembali
mendaki menuju puncak gunung.
Sekali ini dia bergerak tidak semudah sebelumnya.
Sesekali dia hentikan langkah, menarik nafas panjang dan
menatap ke langit. Di satu pendakian kakinya tersandung.
Tubuhnya tersungkur di hadapan sebuah batu. Ketika dia
memandang ke depan dia melihat tiga buah lubang pada
batu itu.
"Batu ke tiga..." membatin Ki Suro. Sepasang matanya
membesar. Dia segera kerahkan tenaga dalam ke bawah
lalu menjejakkan kaki. Kemudian tubuhnya melayang dan
tegak di atas batu. Sesaat dia tegak tergontai-gontai. Lalu
perlahan-lahan dia dudukkan diri bersila.
"Petir ke tiga. Datanglah. Aku Ki Suro Gusti Bendoro siap
menerima deramu!"
Angin bertiup menimbulkan suara seperti puput. Di
langit menggelegar suara petir. Cahaya menyilaukan
menyambar panas dan ganas untuk ke tiga kalinya. Kali ini
kaki kanan si kakek amblas putus sebatas pangkal paha,
mencelat bersama hancuran batu. Lalu seperti yang
kejadian dengan dua tangannya, kutungan paha yang
gosong hangus ini berubah menjadi pasir besi berwarna
hitam.
Sosok Ki Suro Gusti Bendoro sendiri saat itu setengah
terpendam di tanah. Orang lain dalam keadaan buntung
tiga anggota tangannya disambar petir pasti sudah
menemui ajal. Namun kakek satu ini sungguh luar biasa.
Beringsut-ingsut dia mampu keluar dari pendaman tanah.
Lalu dengan hanya mempergunakan satu kaki dia
melompat berjingkat-jingkat menuju ke bagian gunung
sebelah atas. Setiap jatuh dia berusaha bangkit lalu
melompat lagi. Di satu tempat orang tua ini seperti
kehabisan nafas dan sandarkan dirinya pada satu batu
berbentuk pilar. Tenggorokannya seperti tercekik. Sekujur
tubuhnya terutama yang putus dihantam petir sakit dan
panas bukan main. Darah makin banyak mengalir dari
hidung serta telinganya, malah kini juga dari mulut.
Tongkat bambu kuning yang masih digigit
dimulutnya kini tampak ikut basah oleh noda darah.
"Masih empat petir..." membatin Ki Suro. Dia
memandang berkeliling, mencari-cari. Akhirnya dia melihat
empat lubang di sebuah batu berbentuk pilar enam
langkah di sebelah depan sana. Dengan berjingkrak-
jingkrak dia dekati batu setinggi tiga tombak itu. Ki Suro
atur jalan nafas. Kerahkan tenaga dalam ke kaki kiri lalu
begitu dia hentakkan kaki itu ke tanah tubuhnya melesat
ke udara dan seperti seekor burung bangau dia hinggap di
ujung batu berbentuk pilar!
"Petir ke empat! Datanglah! Aku Ki Suro Gusti Bendoro
siap menunggu!" Si kakek berteriak tapi suara teriakannya
tidak sekeras sebelumnya. Apa lagi mulutnya kini dipenuhi
darah dan setengah tersumbat oleh tongkat bambu yang
digigitnya.
Suara angin menyerupai lengkingan tiupan puput
menggema di seputar pilar batu. Lalu.
"Blaaarrr!"
Di angkasa melesat sinar terang, menghunjam ke
puncak Gunung Mahameru disertai gelegar yang membuat
nyawa serasa terbang. Sebelum petir ke empat
menghantam kaki kirinya, Ki Suro menyembur ke depan.
Tongkat bambu kuning melesat ke udara lalu menancap di
sebuah batu. Dari mulut Ki Suro sendiri kemudian keluar
jeritan setinggi langit serta semburan darah. Tubuhnya
terlempar jauh lalu jatuh terbanting di atas batu rata. Saat
itu keadaannya sungguh mengerikan karena kaki kirinya
telah putus dan hangus dibabat hantaman petir. Kutungan
kaki ini seperti anggota tubuh terdahulu berubah menjadi
bubuk pasir berwarna hitam mengepul.
Untuk beberapa lamanya tubuh tanpa anggota badan itu
terkapar tak bergerak. Lalu ada erangan halus. Kepala
yang berselemotan darah bergerak ke kiri. Sepasang mata
bergerak-gerak.
"Batu ke lima.... Di mana batu kelima...." Dalam
menanggung sakit yang amat sangat Ki Suro Gusti Bendoro
mencari-cari. Rasa takut muncul. Tanpa tangan dan kaki
bagaimana mungkin dia mencari batu ke lima. Dia tidak
tahu kalau batu di mana dia terkapar saat itu justru adalah
batu kelima karena di salah satu sudut yang tidak terlihat
oleh mata si kakek ada lima buah lubang sebesar kepalan.
"Batu kelima.... Aku harus menemukan batu ke lima!
Tuhan tolong hambaMu ini! Beri petunjuk...."
Di bawah sinar terik matahari tanpa didahului lagi oleh
suara angin menyerupai tiupan puput, untuk ke lima
kalinya di langit berkiblat cahaya putih menyilaukan mata.
Gelegar dahsyat lagi-lagi mengguncang Gunung Mahameru.
"Blaaarrr! Craaasss!"
Tubuh Ki Suro Gusti Bendoro putus tepat di bagian
pusar. Jeritan orang tua ini lebih menyerupai raungan
binatang. Sisa tubuhnya dari pinggang ke atas hangus
menghitam sementara bagian bawah yang terputus begitu
terbanting ke tanah serta merta berubah menjadi bubuk
hitam!
Sepasang mata Ki Suro membeliak. Bagian hitamnya
seolah lenyap dan hanya bagian putihnya saja yang
terlihat. Namun sulit dipercaya, dalam keadaan tubuh
terkutung-kutung seperti itu orang tua ini masih belum
menemui ajal. Kepalanya, walau sangat lemah masih bisa
digerakkan ke kiri dan ke kanan.
"Ya Tuhan, beri hambamu ini kekuatan mendapatkan
batu ke enam dan ke tujuh...." Tak dapat dipastikan dari
mana keluarnya suara itu. Entah dari mulut atau liang
perut si kakek. Saat itu tubuhnya terjepit antara celah dua
kepingan batu besar bekas hancuran batu datar di mana
sebelumnya dia jatuh terkapar. Ternyata pada masing-
masing belahan batu terdapat lubang-lubang sebesar
kepalan. Pada belahan sebelah kanan berjumlah enam
lubang sedang pada batu sebelah kiri ada tujuh lubang.
"Petir ke enam, petir ke tujuh! Datanglah! Datanglah
berbarengan! Aku ingin masa penantian lima puluh tahun
ini segera berakhir! Aku ingin roh ini segera melayang ke
alam baka! Petir ke enam! Petir ke tujuh! Aku siap
menerima deramu!"
Bagi orang yang berada di tempat itu dan mendengar
suara Ki Suro Gusti Bendoro maka yang terdengar
hanyalah suara bergumam menggidikkan. Dan di puncak
semua kengerian itu dari atas langit, satu cahaya terang
diikuti cahaya ke dua menyambar dahsyat. Puncak Gunung
Mahameru laksana mau runtuh.
"Blaaar!"
"Blaaarr!"
Untuk ke sekian kalinya tubuh Ki Suro amblas putus.
Kali ini di bagian dada, dihantam petir ke enam. Lalu petir
ke tujuh menyudahi segala-galanya. Kepala orang tua itu
hangus mengerikan. Setelah itu semua potongan tubuh
dan kepala berubah menjadi gundukan pasir hitam yang
mengepulkan asap panas!
Keanehan tidak terhenti sampai di situ. Onggokan-
onggokan pasir besi hitam dan panas yang bertebaran di
beberapa tempat dan berasal dari potongan-potongan
tubuh Ki Suro Gusti Bendoro berubah menjadi cairan hitam
lalu bergerak meluncur di tanah seolah binatang melata,
menuju ke satu tempat. Begitu saling bertemu mendadak
udara yang tadi terang benderang kini menjadi redup. Di
langit gumpalan-gumpalan awan hitam berarak cepat me-
nutupi puncak Gunung Mahameru. Lalu gelegar guntur
mengumandang beberapa kali. Udara menjadi gelap
sesaat namun tidak ada hujan yang turun. Ketika tak
selang berapa lama gumpalan-gumpalan awan hitam
lenyap dan keadaan kembali terang, di tanah tempat
bersatunya cairan aneh yang berasal dari sosok tubuh-
tubuh Ki Suro Gusti Bendoro kini tergeletak sebilah keris
tanpa sarung.
Keris aneh ini berwarna hitam kebiru-biruan, memiliki
luk sebanyak tujuh buah. Pada dua sisinya ada tujuh jalur
memanjang berwarna kuning emas berkilauan. Keris aneh
ini bergagang terbuat dari besi, berbentuk menyerupai
angka 7, berkilau-kilau terkena sinar matahari. Sungguh
aneh. Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi kalau bukan
dengan kehendak dan kuasaNya Tuhan Seru Sekalian
Alam?
***
EMPAT
EMPU BONDAN CIPTANING
SEBELUM menuturkan apa yang terjadi selanjutnya
dengan jazad Ki Suro Gusti Bendoro yang telah
berubah menjadi keris itu kita kembali dulu pada
satu rangkaian peristiwa yang berlangsung beberapa waktu
sebelumnya.
Di tepi telaga berair jernih, sejuk dan sunyi itu Empu
Bondan Ciptaning duduk bersila tengah melaksanakan
samadi penuh khusuk. Sampai dengan pagi itu telah tiga
malam empat hari dia melakukan samadi. Agaknya dia
tidak akan berhenti sebelum maksud tujuannya tercapai.
Beberapa malam yang lalu orang tua ini bermimpi
bahwa dia bakal kedatangan seorang tamu sangat penting.
Tamu itu akan mengunjunginya di tepi telaga tersebut. Jadi
itulah sebanya Empu Bondan tidak beranjak dari telaga,
melakukan samadi sambil menunggu kedatangan orang.
Empu yang terkenal memiliki keahlian membuat
berbagai macam senjata ini, terutama keris konon mampu
membuat sebilah keris tanpa menempanya, tapi dengan
mengandalkan jari-jari tangannya yang akan dijadikan
senjata menjadi besi tempaan dan membakar besi yang
akan dijadikan senjata mustika. Tidak mengherankan
banyak sekali orang yang ingin minta dibuatkan berbagai
macam senjata sakti pada sang Empu. Mulai dari prajurit
sampai raja, mulai dari orang baik-baik sampai para
penjahat. Namun tidak mudah untuk bisa mencari dan
bertemu dengan Empu Bondan Ciptaning.
Menjelang tengah hari seorang kakek berjubah putih
bertongkat bambu kuning muncul di tepi telaga. Dari debu
yang melekat di pakaiannya jelaslah dia baru saja
melakukan perjalanan jauh. Orang tua ini mengusap
wajahnya lalu tersenyum. Walau tubuhnya terasa letih
namun hatinya gembira karena orang yang dicarinya sejak
dua purnama lalu akhimya ditemuinya juga.
Melihat sang Empu tengah khusuk bersamadi, sambil
menunggu orang tua berjubah putih memutuskan untuk
melakukan sholat Zuhur terlebih dulu. Maka dia
mengambil air wudhu di telaga lalu mencari tempat yang
bersih untuk sembahyang. Selesai sembahyang kakek ini
berzikir. Dia baru menghentikan zikirnya ketika melihat dua
mata Empu Bondan Ciptaning perlahan-lahan terbuka,
menatap ke arahnya. Dua pasang mata saling bertemu
pandang. Dua wajah sama-sama menyeruakkan senyum.
"Saudaraku Kiai Suro Gusti Bendoro!" berucap Empu
Bondan Ciptaning. "Rupanya dirimulah yang kulihat dalam
bayangan samadiku. Sungguh aku tidak menyangka. Aku
merasa berbahagia dapat bertemu dengan dirimu. Orang
tua ini lalu bangkit berdiri, menghampiri kakek berjubah
putih. Keduanya lalu saling berpeluk-pelukan lama sekali,
melepaskan kerinduan karena paling tidak selama dua
lima tahun mereka tidak pernah bertemu.
"Saudaraku Empu Bondan Ciptaning, aku tak kalah
gembira bertemu dengan dirimu. Sudah berapa tahun
senjata yang sampeyan ciptakan selama dua puluh lima
tahun kita tak pernah bertemu?"
Empu Bondan Ciptaning tertawa lebar. Ke dua orang tua
itu lalu mencari tempat yang enak untuk duduk berhadap-
hadapan di tepi telaga.
"Belakangan ini aku jadi malas. Sudah jarang sekali aku
membuat senjata. Apa lagi yang namanya keris...."
"Mengapa begitu sahabatku? Mengapa sampeyan jadi
malas" bertanya Ki Suro Gusti Bendoro.
"Kupikir-pikir, buat apa aku membuat keris, men-
ciptakan berbagai senjata sakti kalau pada akhirnya hanya
dipergunakan untuk menumpahkan darah. Dipakai untuk
saling membunuh...."
"Sampeyan sebagai pembuat tidak salah, senjata-
senjata itu juga tidak salah. Yang salah justru orang-orang
yang mempergunakannya secara keliru..." kata Ki Suro
Gusti Bendoro pula.
"Mungkin begitu, saudaraku. Namun paling tidak aku
merasa ikut bertanggung jawab. Kalau tidak kubuat
senjata itu, tidak akan ada yang mati terbunuh. Karenanya
aku putuskan untuk tidak membuat keris atau apapun
lagi!"
"Lalu apa kerja sampeyan? Hanya bersunyi diri di tepi
telaga sejuk ini?"
"Aku sengaja memilih tempat ini sejak sepuluh tahun
silam. Karena suasana di dunia luar sangat merisaukan
diriku. Kerajaan selalu dilanda kekacauan. Aku mendapat
firasat ditahun-tahun mendatang kekacauan akan tambah
menjadi-jadi. Aku tak ingin campur tangan. Aku juga tahu
ada orang-orang Kerajaan yang diutus untuk mencariku.
Jangan-jangan kau adalah salah seorang dari mereka.
Bukankah kau salah seorang kepercayaan Sultan Demak?"
"Sampeyan dan aku sama. Sudah sejak lama aku
mengundurkan diri dari kehidupan Kerajaan. Jadi sam-
peyan tidak usah merisaukan siapa diriku. Aku adalah
sahabatmu, saudaramu...."
"Aku bahagia mendengar ucapanmu itu, Ki Suro. Hatiku
benar-benar terasa sejuk. Apa lagi kalau aku ingat aku
seorang Hindu, kau seorang Muslim...."
Ki Suro Gusti Bendoro tersenyum dan pegang bahu
sahabatnya itu. "Walau kita berlainan kepercayaan, tapi
perbedaan agama tidak bisa memutuskan tali
persahabatan dan tali persaudaraan. Itulah keagungan
Yang Maha Kuasa...."
Empu Bondan Ciptaning tersenyum dan angguk-
anggukkan kepalanya. "Sekarang ceritakan padaku,
gerangan apa yang membuatmu mencariku. Sampai-
sampai bayanganmu muncul dalam samadiku. Aku merasa
ada sesuatu yang penting...."
"Sangat penting," sahut Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Ada
sesuatu yang harus aku serahkan padamu sebelum aku
melakukan perjalanan menuju puncak Gunung
Mahameru...."
"Tunggu dulu..." kata Empu Bondan Ciptaning. "Kau
menyebut niat hendak naik ke puncak Mahameru. Hal ini
mengingatkan aku akan sesuatu. Apakah...?" Sang Empu
tidak teruskan ucapannya. Wajahnya mendadak berubah
redup tanpa ada kesedihan di lubuk hatinya.
Ki Suro anggukkan kepala dengan perlahan. Wajahnya
juga ikut larut dalam perasaan. "Lima puluh tahun aku
menunggu. Aku sudah mendapat petunjuk dari Yang Maha
Kuasa. Saatnya bakal datang tidak lama lagi. Itu sebabnya
aku harus mempersiapkan diri dari sekarang...."
"Kiai, saudaraku.... Apakah ini berarti kali terakhir kita
bertemu?" Empu Bondan Ciptaning ulurkan tangannya
memegangi lengan Ki Suro Gusti Bendoro.
"Jangan bertanya seperti itu saudaraku..." jawab Ki Suro
walau hatinya semakin ikut tenggelam dalam kesedihan.
"Kita sama-sama tahu bahwa kehidupan di dunia ini
hanyalah sementara saja. Merupakan satu persinggahan
sebelum kita sampai ke hidupan yang abadi, yaitu alam
akhirat, alam baka. Berpisah di dunia, dengan kehendak
Yang Maha Kuasa kelak kita akan bertemu di alam akhirat"
Empu Bondan Ciptaning akhirnya tersenyum luruh.
"Saudaraku, belum pernah aku bertemu orang yang
mengadapi akhir hidupnya penuh senyum dan
ketabahan...."
"Ketabahan, bukankah itu dasar dari tawakal dan
keimanan dalam agama kita...?" ujar Ki Suro pula.
"Kau benar Kiai. Nah sekarang beritahu saudaramu ini.
Gerangan apa yang hendak kau serahkan padaku?"
"Sebuah kitab. Sebuah kitab yang usianya hampir dua
kali usia kita berdua…." jawab Ki Suro Gusti Bendoro pula.
Lalu tangannya bergerak ke balik jubah putihnya.
***
LIMA
KITAB “HIKAYAT KERATON KUNO”
DARI dalam jubah putihnya Ki Suro Gusti Bendoro
keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun lontar.
Orang tua ini memegang kitab itu dengan sangat
hati-hati. Karena selain daun lontarnya sudah sangat tua
dan rapuh, agaknya kitab itu juga merupakan sebuah
benda langka dan sangat berharga bahkan mungkin
merupakan sebuah kitab sakti atau keramat.
Ki Suro letakkan kitab tipis yang terdiri hanya dari
beberapa halaman itu di atas pangkuan sahabatnya.
Sesaat Empu Bondan Ciptaning pandangi kitab daun lontar
di atas pangkuannya itu dengan air muka tidak percaya.
Lalu dia menatap wajah sahabatnya. Walau kitab tersebut
tidak memiliki sampul dan judul namun sang Empu sudah
maklum kitab apa itu adanya karena dia telah pernah
mendengar keberadaan buku ini sejak puluhan tahun
silam.
"Kiai Suro, apa tidak salah aku menduga. Bukankah
kitab yang hendak kau berikan ini adalah Kitab Hikayat
Keraton Kuno yang pernah dibicarakan orang sejak
setengah abad silam?" '
"Tidak salah dugaanmu, saudaraku." kata Ki Suro pula.
"Memang itu adalah kitab Hikayat Keraton Kuno yang
banyak dibicarakan orang. Banyak yang ingin memilikinya
walau menempuh jalan sulit. Bahkan dengan darah dan
nyawa!"
"Dari mana kau mendapatkan kitab in! Kiai Suro?
Bukankah seharusnya berada di Keraton Demak?
Bukankah ini salah satu benda pusaka keraton?"
Ki Suro Gusti Bendoro gelengkan kepala.
"Begitu banyak orang yang menginginkan kitab ini.
Termasuk para petinggi di beberapa Keraton. Hingga
muncul semacam kepercayaan bahwa kitab ini adalah
milik atau benda pusaka Keraton. Entah Keraton yang
mana...."
"Aneh, lalu bagaimana kitab ini sampai di tanganmu.
Lalu mengapa pula hendak kau berikan padaku?" Kembali
Empu Bondan Ciptaning bertanya.
"Peristiwanya sekitar empat puluh tahun lalu," Ki Suro
memulai keterangannya. "Saat itu aku berada di selatan
pedataran pasir Tengger. Udara panas bukan main.
Matahari seolah hanya satu jengkal di atas ubun-ubun.
Bahkan hembusan anginpun laksana kobaran api
membakar jagat. Dalam perjalanan itu aku membekal satu
kantong kulit berisi sisa air yang mungkin cuma sebanyak
dua atau tiga teguk. Walau haus aku tak mau
meminumnya karena perjalananku masih jauh. Aku harus
menemukan mata air dulu baru berani meneguk air dalam
kantong kulit. Selain itu aku juga membekal sepotong ubi
rebus. Aku juga tidak memakan ubi itu sebelum mendapat
makanan pengganti.
Pada saat aku berada dipuncak rasa lapar dan rasa
haus yang luar biasa itulah di satu tempat ketinggian aku
melihat seseorang duduk bersila di atas pasir. Kepalanya
dilindungi sebuah caping lebar. Karena heran, lagi pula
sudah sekian lama tidak berjumpa orang lain maka aku
naik ke pedataran pasir itu menemui orang tadi. Maksudku
ingin bertutur sapa barang sepatah dua patah.
Orang ini ternyata seorang pengemis tua, berpakaian
compang camping, penuh robek dan tambalan. Kulitnya
ditumbuhi koreng di mana-mana. Badannya mengeluarkan
hawa busuk. Aku jadi tertegun dan tak tahu mau berbuat
apa. Padahal sebelumnya ingin sekali aku berkenalan dan
bertegur sapa. Pengemis tua itu sendiri tampaknya seolah
tidak perduli akan kehadiranku di tempat itu.
Dan sahabatku Empu Bondan Ciptaning. Tahukah
sampeyan apa yang tengah dilakukan pengemis tua itu di
atas pedataran pasir yang panas itu? Dia duduk khidmat
tengah berzikir!"
Empu Bondan Ciptaning kerutkan kening. "Luar biasa..."
katanya sambil gelengkan kepala.
"Karena aku tidak ingin mengganggu ibadahnya maka
setelah membungkuk memberikan penghormatan aku
berniat hendak meninggalkan tempat itu...." Ki Suro
lanjutkan kisahnya. Namun tiba-tiba pengemis tua itu buka
capingnya. Aku lihat wajahnya. Astagafirullah, pengemis itu
ternyata memiliki sepasang mata putih semua. Dia buta.
Dalam keadaan seperti itu si pengemis lalu sodorkan
capingnya dalam keadaan terbalik ke arahku. Aku terpe-
rangah. Bagaimana mungkin, di pedataran pasir luas
seperti itu, orang tua itu masih hendak mengemis minta
sedekah. Apa lagi saat itu aku tidak membawa uang
barang sekepingpun. Tetapi sepertinya tahu apa yang ada
dalam benak dan hatiku, pengemis itu tiba-tiba berkata.
"Insan berjubah. Aku tidak inginkan uangmu. Kalau kau
membawa makanan itulah yang aku minta. Sudah dua hari
aku di pedataran pasir ini. Tak sepotong makananpun
pernah masuk ke dalam perutku." Hatiku hiba. Aku
memang membawa sepotong kecil ubi rebus. Aku
sendiripun tengah menahan lapar luar biasa. Tapi melihat
keadaannya yang seperti itu, hatiku menjadi luluh tak tega.
Ubi yang tinggal sepotong aku serahkan padanya. Dia tidak
mengatakan apa-apa, langsung saja memakan habis ubi
rebus itu tanpa mengupas kulitnya.
Setelah kulihat pengemis itu memakan habis ubi dan
wajahnya tampak segar, kembali aku membungkuk dan
hendak meninggalkannya. Namun seperti tadi dia ulurkan
lagi caping bambunya lalu berkata. "Insan berjubah, ubi
yang kau berikan sudah kumakan habis. Walau cuma
sepotong kecil tapi masih ada gunanya sebagai penangsal
perutku. Kau sungguh baik, hatimu sungguh mulia. Namun
makan tanpa minum sungguh tidak sedap. Apa lagi aku
haus sekali. Dua hari aku berada di pedataran pasir ini.
Tidak setetes airpun pernah melewati tenggorokanku. Aku
tahu kau ada membawa air. Kiranya kau mau
memberikannya padaku." Aku terkejut mendengar ucapan
pengemis tua itu. Matanya buta tapi aneh dia tahu aku
membawa air. Bagaimana ini? Hendak kuberikan
persediaanku sangat terbatas dan aku sendiri sudah
dilanda haus yang sangat hebat. Kulitku sekering
pedataran pasir Tengger. Namun lagi-lagi aku merasa tidak
tega jika aku tidak memenuhi permintaannya. Aku mungkin
saja masih bisa bertahan, pengemis itu mungkin tidak.
Saat itu si pengemis telah mengulurkan capingnya kembali.
Mau tak mau akhirnya kuberikan kantong kulit berisi air
kepadanya. Kuletakkan di dalam caping yang
ditengadahkannya itu. Aku berharap dia tidak akan
menghabiskan semua air yang cuma sedikit itu. Pengemis
tua itu mengambil kantong kulit yang ada dalam capingnya.
Di luar dugaanku dia meneguk air dalam kantong sampai
habis! Dalam keadaan kosong kantong dikembalikannya
padaku. Aku membalik-balikkan kantong itu berulang kali,
menekannya di sana-sini namun tidak setetes airpun yang
masih tersisa. Selagi aku kebingungan kulihat pengemis
tua itu malah tersenyum padaku. Lalu dia berucap. "Kau
sungguh balk, hatimu sungguh mulia. Tuhan akan
memberkahimu. "
Setelah berkata begitu pengemis ini tiba-tiba ulurkan
lagi capingnya. Membuat aku terkejut. Apa lagi yang
hendak dimintanya dariku, pikirku. Mungkin dia inginkan
jubah putihku? Karena aku tidak memperhatikan ke arah
caping, melainkan memandangi wajah si pengemis sambil
menunggu apa yang akan diucapkannya, pengemis tua itu
lalu acungkan capingnya sambil digoyang-goyang. Aku lalu
memperhatikan ke arah caping yang dipegangnya. Men-
dadak aku jadi terkejut. Di dalam caping itu kulihat ada
sebuah kitab terbuat dari daun lontar yang sudah rapuh.
Pastilah kitab itu sangat tua sekali. Aku membungkuk
sedikit, memperhatikan kitab itu. Si pengemis kembali
menggoyangkan capingnya lalu berkata. "Ambillah. Kitab
itu untukmu karena memang berjodoh dengan dirimu...."
Aku tidak mengerti. Kembali si pengemis menyuruh aku
mengambil kitab itu. Sampai tiga kali akhirnya kuulurkan
tangan mengambil kitab itu. Begitu kitab berada dalam
tanganku si pengemis berkata. "Menghadaplah ke kiblat
dan mulailah membaca kitab itu."
Walau hatiku merasa heran tapi entah mengapa aku
mengikuti apa yang diucapkan si pengemis tua. Begitu aku
menghadap ke arah yang dikatakan pengemis itu, saat itu
juga aku merasakan satu keanehan. Serta merta aku tidak
lagi merasa kepanasan, lapar ataupun haus.
Sang surya yang tadinya serasa seperti hanya satu
jengkal di atas kepala kini seperti berubah menjadi
rembulan yang memancarkan cahaya indahnya di malam
yang sejuk. Rasa lapar dan dahaga yang kuderita hebat
mendadak lenyap dan tubuhku terasa segar bugar. Seolah-
olah aku ini baru saja selesai mandi di dalam satu telaga
yang jernih dan berair sejuk. Penuh perasaan heran aku
membalikkan badan ke arah si pengemis tadi. Tetapi,
astagafirullah. Pengemis tua itu tak ada lagi di tempat tadi
dia duduk! Aku mencari dan memandang seantero pe-
dataran pasir. Orang itu tidak kelihatan. Aku berteriak
memanggil-manggil. "Ki sanak.... Ki sanak pengemis!"
Suaraku lenyap ditelan udara kawasan pedataran pasir.
Kemana lenyapnya pengemis aneh itu, pikirku. Lalu
kuperhatikan pasir di sekitarku. Kalau dia memang sudah
meninggalkan tempat itu pasti ada jejak-jejak kakinya di
atas pasir. Tapi aku tidak melihat apa-apa! Kupejamkan ke
dua mataku. Dalam hati dan pikiranku aku menduga.
Jangan-jangan pengemis tua tadi adalah Malaikat. Tapi
kemudian kusadari mana mungkin Malaikat akan menemui
diriku yang rendah dan hina ini. Walau demikian aku
langsung ingat pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang
mampu melakukan apa saja yang mustahil bagi kita
manusia. Langsung saja aku menjatuhkan diri dan
bersujud. Menyebut nama Tuhan berulang kali dan
memohon petunjuk serta bimbinganNya. Lalu aku berdiri.
Setelah memandang berkeliling akhirnya kutinggalkan
tempat itu dengan mengepit erat kitab kuno itu. Aku tahu
betul saat itu aku berada jauh di tengah-tengah Pedataran
Pasir Tengger. Namun sungguh aneh, seolah ada yang
membimbing, langkahku ringan dan cepat. Sebelum sang
surya condong ke barat aku sudah sampai di satu jalan me-
nurun menuju ke sebuah desa. Padahal jika tidak terjadi
sesuatu keanehan atas diriku dengan pengemis tua itu,
niscaya menjelang Magrib baru aku bisa sampai di tempat
itu. Aku tidak segera memasuki desa itu tetapi mencari
tempat yang enak di bawah kerindangan sebuah pohon
dan duduk di situ. Dari balik jubah kukeluarkan kitab yang
kuperoleh dari pengemis aneh itu. Namun belum sempat
kitab kubuka, mendadak berkelebat satu bayangan. Tahu-
tahu di hadapanku berdiri seorang nenek berwajah angker.
Sekujur muka dan kulit ubuhnya berlapis sisik hitam
kebiru-biruan. Ketika dia menyeringai kulihat deretan gigi-
giginya panjang dan merah. Waktu dia menjulurkan
lidahnya, lidah itu juga berwarna merah, basah seperti
bergelimang darah. Selain itu lidah si nenek ternyata
bercabang dua. Aku segera mengenali siapa adanya nenek
ini. Dia adalah tokoh silat dari timur yang dijuluki Si Lidah
Bangkai. Siapa saja yang sampai tersentuh lidah
bercabangnya serta merta akan berubah menjadi bangkai
alias menemui ajal!"
Empu Bondan Ciptaning yang mendengar penuturan
sahabatnya itu tampak terkejut. "Si Lidah Bangkai..." ujar
sang Empu. "Nenek ular yang sepanjang hidupnya selalu
gentayangan berbuat kejahatan dan keonaran. Kalau tidak
salah kabar yang aku sirap, dia terlibat dalam pembantaian
keluarga Pangeran Prawoto yang dilakukan oleh Ario
Penangsang. Heran, usia sudah begitu lanjut, Malaikat
Maut sudah siap untuk menjemput, mengapa masih mau-
maunya berbuat kejahatan menumpah darah menebar
kematian...." Empu Bondan Ciptaning hela nafas panjang,
menanti Ki Suro Gusti Bendoro melanjutkan penuturannya.
***
ENAM
SI LIDAH BANGKAI
NENEK yang muka dan badannya bersisik hitam
kebiru-biruan itu sesaat menatap dengan matanya
yang besar berkilat ke arah Ki Suro Gusti Bendoro
yang juga memandang kepadanya dengan air muka tenang
walau dalam hati sudah merasa kurang enak.
"Setiap muncul nenek satu ini selalu mendatangkan
malapetaka. Bahala apa yang hendak diperbuatnya
terhadapku," kata Ki Suro dalam hati.
Perlahan-lahan nenek yang dijuluki Si Lidah Bangkai itu
angkat kepalanya, mendongak ke langit. Dia julurkan lidah
merah bercabangnya dua kali berturut-turut lalu tertawa
melengking seperti suara kuda meringkik. Ki Suro yang
belum pernah mendengar suara tawa seperti itu mau tak
mau jadi tercekat. Namun orang tua ini tetap duduk
dengan tenang, menatap penuh waspada ke arah si nenek.
"Orang tua berjubah putih, apa benar kau orangnya yang
bernama Ki Suro Gusti Bendoro? Yang konon menjadi
kepercayaan Keraton Demak?" Tiba-tiba si nenek ajukan
pertanyaan dengan suara lantang.
Ki Suro tersenyum lalu menjawab. "Sampeyan benar.
Aku memang Ki Suro Gusti Bendoro. Tapi aku sudah sejak
lama tidak lagi punya sangkut paut dengan Keraton
Demak. Saat ini aku tidak lebih dari seorang musafir yang
tengah melakukan perjalanan pengembaraan...."
Si Lidah Bangkai tatap lekat-lekat wajah Ki Suro lalu
seperti tadi kembali dia tertawa meringkik. Lidahnya yang
besar merah dan bercabang menjulur-julur keluar.
"Kalau orang sepentingmu tidak lagi berada di Keraton
Demak, tentu ada apa-apanya! Apakah kau mau
menerangkan?"
Ki Suro gelengkan kepala. Sambil tersenyum dia
berkata. "Tidak ada yang perlu kuterangkan. Sampeyan
orang berkepandaian tinggi dan luas pengalaman tentu
sudah tahu apa yang terjadi di Kesultanan Demak...."
Si nenek tertawa panjang. "Ki Suro, kau pandai memuji.
Tapi aku kurang percaya pada orang yang suka memuji.
Karena apa yang dikatakan mungkin tidak sama dengan
apa yang ada di dalam hatinya...."
Walau disindir orang seperti itu, Ki Suro tetap
tersenyum. Dengan suara tenang dia berucap. "Aku setuju
dengan pendapat sampeyan. Dalam hidup ini kepercayaan
adalah hal paling utama. Karenanya tidak salah kalau
orang-orang tua kita membuat ujarujar yang berbunyi
Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak
percaya."
Wajah bersisik si nenek yang berjuluk Si Lidah Bangkai
itu tampak berubah ungu. Ini satu pertanda bahwa dia
sedang dalam keadaan marah karena merasa tersinggung
oleh ucapan Ki Suro tadi. Seperti diketahui nenek ini
adalah momok nomor satu yang paling ditakuti sekaligus
dibenci dikawasan timur. Orang-orang persilatan dari
kalangan tertentu bukan saja tidak menyukainya tetapi
juga tidak mempercayainya. Itu sebabnya dia merasa kena
tempelak oleh ucapan Ki Suro tadi. Walau telinga dan
hatinya terasa panas tapi dengan cepat dia kuasai diri.
Mukanya yang tadi ungu perlahan kembali berubah men-
jadi hitam kebiruan. Malah kembali dia tertawa me-
lengking-lengking. Lalu dia meludah ke tanah. Ludahnya
kental dan berwarna merah seperti darah. Ludah itu jatuh
di tanah hanya satu langkah dari hadapan Ki Suro.
"Hemmm.... Nenek ini mulai berbuat olah mencari
perkara. Dia sengaja meludah untuk memancing
kemarahanku. Aku harus waspada dan bersabar diri," kata
Ki Suro Gusti Bendoro dalam hati.
"Ki Suro, tapi kau berkata bahwa saat ini kau tak lebih
sebagal seorang musafir yang tengah melakukan
pengembaraan. Jika orang sepentingmu merelakan diri
meninggalkan kehidupan senang di Keraton lalu
melakukan perjalanan pengembaraan, pasti ada sesuatu
yang tengah kau cari...."
"Sampeyan sungguh tajam pandangan dan pikiran," kata
Ki Suro lagi-lagi dengan tersenyum. "Bagiku kehidupan
Keraton bukanlah satu kehidupan yang menyenangkan.
Dimanapun aku berada tujuan hidupku bukanlah untuk
mencari kesenangan. Aku mengembara untuk
menghabiskan sisa hidup ini agar bisa lebih mendekatkan
diri kepada Sang Pencipta, Tuhan Seru Sekalian Alam...."
"Sungguh satu ucapan yang mencerminkan ketinggian
budi dan kemuliaan jiwa!" memuji Si Lidah Bangkai tapi
lalu tertawa panjang seolah mengejek.
"Ki Suro, jika aku tidak salah menduga. Bukankah kau-
barusan mengadakan perjalanan ke kawasan pedataran
pasir Tengger?"
"Sampeyan benar. Memang aku barusan dari sana..."
jawab Ki Suro polos.
"Kau menjawab dengan jujur. Tapi aku ingin tahu
apakah kau juga akan memberikan jawaban jujur untuk
pertanyaanku berikutnya.... Apa yang kau cari di gurun
pasir Tengger?"
"Pertanyaan sampeyan sebenarnya sudah terangkum
dalam keteranganku sebelumnya. Aku ingin mendekatkan
diri pada Illahi sebelum aku kembali menghadapNya."
"Tapi tentunya kau tidak menemukan Illahi di gurun
pasir itu, bukan?!" ujar si nenek. Dia keluarkan suara
tercekik lalu tertawa meringkik.
"Kau boleh menghina diriku Lidah Bangkai! Tapi jangan
sekali-kali berani mempermainkan Gusti Allah di
hadapanku! Aku akan menyabung nyawa untuk hal yang
satu itu!" Ki Suro Gusti Bendoro jadi marah besar karena
merasa si nenek mempermainkan nama Tuhan.
Si Lidah Bangkai cepat goyang-goyangkan tangan
kanannya. "Sabar, seorang Kiai sepertimu harus sabar.
Jangan terlalu cepat berprasangka buruk dan marah.
Sekarang aku mau bertanya secara baik-baik. Siapa yang
kau temui di gurun Tengger itu? Dan apa yang kau
dapatkan di sana? Apakah kau mau menjawab?!"
Ki Suro Gusti Bendoro merenung sejenak. Setelah dia
bisa menenangkan darahnya yang tadi sempat bergejolak
baru dia menjawab.
"Nenek, walau aku merasa kau keliwat memaksa dan
seperti tengah memeriksa aku sebagai seorang pesakitan,
tapi aku akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur," kata
Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Di gurun pasir Tengger, aku
secara kebetulan bertemu dengan seorang pengemis
bermata buta. Aku tidak tahu siapa namanya atau apakah
dia mempunyai semacam gelar dan julukan. Dia
menyerahkan kitab tua terbuat dari daun lontar ini
padaku." Ki Suro Gusti Bendoro lalu perlihatkan kitab daun
lontar yang ada di tangan kanannya, lalu meletakkan kitab
itu di atas pangkuannya.
Sepasang mata si nenek membesar, menatap tajam
pada kitab yang ada di tangan kanan Ki Suro. "Kau
memang manusia paling jujur dan polos di atas bumi ini.
Karenanya tidak salah kalau aku juga ingin polos dan
terus-terang...."
"Apa maksud sampeyan dengan ucapan itu?" bertanya
Ki Suro.
"Aku ingin agar kau menyerahkan kitab itu padaku!" kata
Si Lidah Bangkai sambil acungkan telunjuk tangan kanan,
menunjuk tepat-tepat ke arah kitab yang ada di atas
pangkuan Ki Suro. Lalu dia mendongak ke langit, kemudian
tertawa seperti kuda meringkik. Lidahnya yang basah
merah dan bercabang kembali menjulur-julur.
"Hemm... tak salah dugaanku. Nenek satu ini memang
sengaja muncul untuk mencari perkara," membatin Ki
Suro. Karena memang sudah menduga kemunculan si
nenek memang tidak bermaksud baik maka Ki Suro tidak
begitu terkejut mendengar kata-kata Si Lidah Bangkai itu.
Masih dengan tersenyum dia berkata. "Tak mungkin kitab
ini kuserahkan pada sampeyan. Kitab ini adalah titipan
pengemis di gurun pasir Tengger itu. Aku harus menjaga
dan memeliharanya baik-baik."
"Katamu kau tengah menghabisi sisa hidup. Kalau
memang sudah mau mati mengapa masih menginginkan
memiliki kitab itu?"
"Kalau aku sudah mati itu perkara lain. Bagaimana
jadinya nanti dengan kitab ini tentu tidak akan kuketahui
lagi. Tetapi selagi aku masih hidup, kitab ini tetap akan
berada di tanganku dan kujaga baik-baik."
"Kalau begitu, untuk mempercepat urusan, biar kau
kubunuh saja saat ini juga! Begitu kau mati kau tak ada
urusan lagi dengan kitab itu. Begitu maumu, bukan? Hik...
hik... hik!"
Si nenek tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap. Dari
mulutnya keluar suara seperti meniup. Lalu lidahnya yang
merah basah bercabang dua melesat keluar. Secara aneh
lidah ini berubah panjang dan ujungnya menyambar ke
arah leher Ki Suro Gusti Bendoro!
(Bersambung Ke Episode berikutnya)
-------------------------------------------------
KUNGFU SABLENG EPISODEJENDRAL SLEBOR
SATU
PERGURUAN Bintang Muncrat memang bukan merupakan
satu perguruan kungfu terkenal. Apa lagi memiliki
pendekar-pendekar kondang lihay kawakan. Letak
perguruannyapun di desa Khan Cut, sebuah desa terpencil
di kaki gunung. Perguruan silat yang dianggap
"kampungan" itu dipimpin oleh seorang guru kungfu
bernama Tay Kun Ing. Kabarnya dia pernah menjadi anak
murid Siauw Lim Pay sekitar selusin tahun yang silam, tapi
dikeluarkan secara tidak hormat gara-gara ketahuan
mengintip juru masak, yakni seorang encim-encim gembrot
yang sedang kencing pagi di pinggir got.
Tay Kun Ing bertubuh kerempeng. Kepalanya botak
plontos macam pentol geretan. Dia memiliki wajah dan
kepala berwarna kuning karena selalu diplitur dengan
kunyit campur kencur dan minyak jelantah. Mungkin itulah
pangkal sebabnya orang sedesa memanggilnya dengan
nama Tay Kun Ing. Siapa nama sebenarnya konon tidak
satu orang pun yang tahu.
Meski tidak punya nama besar, namun perguruan silat
Bintang Muncrat menjadi buah bibir pemuda-pemuda
sedesa Khan Cut bahkan tembus sampai puluhan lie di
luar desa. Sebabnya lain tidak di perguruan itu terdapat
seorang murid perempuan berkulit mulus berwajah imut-
imut. Namanya Giok Ngek. Dia merupakan murid
kesayangan Tay Kun Ing dan kabarnya masih keponakan
sang guru silat.
Kecantikan Giok Ngek inilah yang membuat perguruan
kungfu Bintang Muncrat menjadi tersohor dan
dipergunjingkan orang dimana-mana. Telah banyak pula
pemuda-pemuda coba memikat sang dara. Yang ingin
kenal secara sopan dan baik-baik saja dipandang sebelah
mata oleh Giok Ngek. Apa lagi yang secara kurang ajar.
Dianggap kentut basi oleh sang dara.
Kejelitaan Giok Ngek itu akhirnya sampai pula ke telinga
besar tebal dan mablang seorang Jenderal bernama King
No Kong yang tinggal di kota Tu Lie, di Propinsi Wong Siet,
sekitar 130 lie dari desa Khan Cut.
Jenderal ini memiliki tubuh tinggi besar dan kekar.
Bibirnya tebal, giginya malang melintang tidak karuan
seperti pagar dicabut maling. Perwira tinggi ini bukan saja
terkenal sebagai Jenderal Pantat Botol alias Jenderal
Slebor, suka menenggak minuman keras dan jadi pemabok
nomor satu, tapi sekaligus juga tersohor sebagai Jenderal
Mata Bongsang alias Mata Keranjang! Walau terlahir
kedua matanya tidak sebesar bongsang tapi justru
menyembul bengkak seperti mata ikan Maskoki dan juling
pula!
Begitulah sang Jenderal dikenal sebagai manusia tidak
boleh melihat jidat licin dan betis mulus alias tak boleh
melihat perempuan cantik. Baik yang sudah punya suami
apa lagi yang masih muda dan masih gadis tentunya! Telah
banyak gadis-gadis dan istri-istri orang yang jatuh ke
tangan Jenderal King No Kong ini. Dan agaknya dia masih
belum merasa puas. Ketika mendengar dari salah seorang
anak buahnya bahwa di desa Khan Cut ada seorang gadis
anak murid perguruan kungfu Bintang Muncrat memiliki
kecantikan serta potongan tubuh selangit tembus bernama
Giok Ngek, langsung saja badan sang Jenderal menjadi
angot panas dingin ingin ketemu. Siang terbayang-bayang
malam terkenang-kenang waktu tidur jadi impian. Dia ingin
menyaksikan sendiri dengan mata maskokinya yang juling.
Sampai di mana kecantikan wajah dan kebagusan
potongan tubuh sang dara. Jika nanti ternyata memang
seperti yang diceritakan anak buahnya, daun muda satu itu
pasti tidak boleh dibiarkan begitu saja. Akan diboyongnya
ke gedung kediamannya yang punya dua puluh satu kamar
di Tu Lie!
Maka bersama tiga orang pengawal Jenderal Slebor King
No Kong pada suatu pagi buta selagi orang dan binatang
masih pada terpulas nyenyak, dia berangkat menuju desa
Khan Cut dengan menunggang kuda. Sepanjang perjalanan
sang Jenderal tidak henti-hentinya meneguk minuman
keras dari buli-buli tanah yang dibawa para pengiringnya.
Sambil menenggak minuman dia tertawa-tawa sendiri
membayangkan kecantikan wajah serta kebagusan dan
kemulusan tubuh Giok Ngek hingga sepintas Jenderal ini
kelihatan tidak beda dengan orang yang agak rada-rada
alias kurang wajar!
***
DUA
GURU kungfu Tay Kun Ing sedang duduk-duduk santai
di serambi rumah. Tangan kanannya asyik mengupil
sedang tangan kiri memegang kitab komik terlaris
pada masa itu yaitu serial "Super Amoy" jilid ke 32. Tentu
saja manusia kerempeng muka kuning ini sangat terkejut
ketika melihat seorang tinggi besar bertampang garang
berpakaian kebesaran Jenderal Kerajaan beserta tiga
pengawalnya tahu-tahu muncul memasuki pekarangan
rumah, melewati pintu pagar yang sudah doyong.
Sambil bertanya-tanya dalam hati apa gerangan maksud
tujuan sang Jenderal datang ke tempat kediamannya, guru
kungfu Tay Kun Ing letakkan kitabnya lalu berdiri dan
cepat-cepat turun dari serambi rumah, menyambut
kedatangan tetamu penting itu.
Begitu sampai di hadapan sang Jenderal, Tay Kun Ing
langsung menjura dalam-dalam memberi penghormatan.
Begitu patah pinggangnya membungkuk hingga dia hampir
keluarkan kentut.
Jenderal King No Kong pencongkan bibirnya yang tebal
monyong. Kedua matanya yang juling berputar beberapa
kali. Lalu sambil menunjuk pada papan nama perguruan
Bintang Muncrat yang tergantung di bawah talang air
rumah dia menegur.
"Tuyul kerempeng muka tai! Kau kacung penjaga
perguruan kungfu ini?!"
Seumur hidupnya baru sekali itu Tay Kun Ing dipanggil
dengan sebutan tuyul! Apa lagi sebutan muka tai! Hatinya
langsung panas dan dia jadi tambah marah karena dia
dianggap sebagai kacung perguruan! Kalau saja bukan
seorang Jenderal yang dihadapinya, pasti sudah sejak tadi-
tadi dia menghantam dengan jurus "sayap kampret lapar
menggebrak puncak Taysan" yaitu satu jurus tamparan
yang bisa membuat mulut lawan pecah berdarah!
Dengan menahan sakit hati guru kungfu Tay Kun Ing
kembali menjura dan berkata. "Jenderal Yang Mulia, saya
bernama Tay Kun Ing. Pemilik dan ketua perguruan Bintang
Muncrat ini. Jadi bukan kacung seperti yang Jenderal bilang
tadi...."
"Hemmmmm, begitu...?" Dua mata maskoki Jenderal
Slebor kembali berputar. Dia melirik kian kemari, mencari-
cari kalau-kalau tersembul wajah gadis cantik bernama
Giok Ngek itu.
"Jenderal Yang Mulia, ada gerangan keperluan apakah
sampai Jenderal dan para pengawal datang dari jauh,
berkunjung ke tempat saya ini?" Tay Kun Ing ajukan
pertanyaan.
"Pertama sekali ketahuilah, Jenderalmu yang mulia ini
bernama King No Kong. Jenderal Kaisar yang paling
tercemar. Eh! Maksudku paling terkenal di seantero
daratan Tiongkok!"
"Hay ya! Jadi pinceng berhadapan dengan Jenderal Kong
No King yang kesohor itu!" Kembali Tay Kun Ing menjura
dalam-dalam (pinceng = saya yang rendah).
"Bangsat kurang ajar!" bentak Jenderal Slebor.
"Namaku King No Kong! Jangan dibalik Kong No King!
Apa tubuhmu mau ke balik kaki ke atas kepala ke
bawah?!"
"Maaf Jenderal! Mohon maaf dan ampunmu! Pinceng
tidak biasa berhadapan dengan orang besar seperti
Jenderal. Jadi...."
"Jadi apa jidatmu mau kuletakkan di pantat dan
pantatmu kutaruh di jidat hah?!" menghardik sang
Jenderal.
"Hay ya! Ampun Jenderal," kata Tay Kun Ing sambil
membungkuk berulang kali. "Kalau pinceng punya pantat
ditaruh di jidat dan jidat ditaruh di pantat bagaimana mau
makan dan buang air! Bisa-bisa salah kamar!"
Guru kungfu Tay Kun Ing diam-diam mulai merasa tidak
enak. Dia sudah pernah mendengar nama Jenderal satu
ini. Jenderal pemabuk yang suka mengganggu anak istri
orang. "Jangan-jangan kedatangan si pantat botol ini mau
menyatroni pinceng punya murid si Giok Ngek!"
Di atas kudanya Jenderal Slebor King No Kong meneguk
buli-buli arak hingga mengeluarkan suara menyiplak dan
minuman keras itu berlelehan di dagunya yang ditutupi
berewok tebal kotor berdebu. "Aku ampuni kesalahanmu
Tay Kun Ing!" berkata Jenderal Slebor. "Sekarang lekas kau
suruh
keluar murid keponakanmu yang bernama Giok Ngek itu!
Aku mau lihat apa kecantikan serta kebagusan tubuhnya
benar-benar seperti yang disohorkan orang selama ini! Apa
kecantikan dan potongan tubuhnya benar-benar bisa
membuat aku jadi ngek"
"Cialat! Cialat muridku!" keluh Tay Kun Ing dalam hati.
Untuk sesaat dia hanya bisa tertegun bingung.
"Tuyul muka kuning! Apa kau tuli atau budek hingga
tidak menjalankan apa yang diperintahkan Jenderal kami!"
Salah seorang pengawal sang Jenderal tiba-tiba
menghardik.
Guru kungfu Tay Kun Ing menyumpah panjang pendek
dalam hati.
"Ba... baik Jenderal Yang Mulia. Pinceng akan panggil
gadis itu keluar. Harap mau bersabar dan sudi
menunggu..." Tay Kun Ing putar tubuhnya yang kerempeng.
Tapi belum lagi dia sempat melangkah tiba-tiba dari pintu
depan rumah muncul seorang perempuan muda bertubuh
gemuk-gendut luar biasa. Pakaiannya yang berwarna
berbunga warna-warni kelihatan ketat kesempitan hingga
bagian-bagian tubuhnya menyembul seperti berserabutan
yaitu bagian dada yang gembrot ayun-ayunan, lalu perut
yang gendut menonjol, kemudian bagian pantat yang
melembung seperti ada boncengannya serta dua paha
yang gebyar-gebyor!
Dara super gemuk ini memiliki rambut hitam diponi di
bagian depan dan dikonde besar di sebelah belakang.
Rambutnya hitam berkilat dan bau apak karena diberi
minyak jelantah! Wajahnya ditemploki bedak tebal tak
karuan. Pada bagian pipi kiri kanan diberi pemerah
mencolok sedang bibirnya yang tebal berselomotan dengan
gincu berwarna merah mencorong, berlepotan sampai ke
dagu dan atas bibir. Wajahnya yang bulat dan selalu
keringatan itu tentu saja jauh dari cantik!
***
TIGA
GURU kungfu Tay Kun Ing terpaku bengong
keheranan. Dia tidak kenal siapa adanya gadis
gendut melembung berdada gembrot ini. Bahkan dia
tidak pernah melihatnya sebelumnya. Sungguh aneh kalau
tahu-tahu gadis ini muncul begitu saja di dalam rumah!
Lain halnya dengan Jenderal Slebor King No Kong.
Sepasang mata maskokinya semakin membeliak dan
bertambah juling ketika memandang sang dara. Dengan
mulut termonyong-monyong sang Jenderal berpaling pada
anak buahnya yang ada di samping kiri.
"Jadi ini dia gadis bernama Giok Ngek yang katamu
wajah serta potongan tubuhnya selangit tembus!"
Belum lagi si anak buah menjawab, gadis gemuk dengan
dandanan kacau balau seperti kampung dilanda angin
puting beliung itu, melangkah menuruni tangga serambi.
Setiap langkah yang dibuatnya membuat sekujur tubuhnya
mulai dari dada sampai ke pinggul bergoyang ayun-ayunan.
"Betul sekali Jenderal Yang Mulia," si gadis berucap
sambil lontarkan senyum genit manja. "Saya memang Giok
Ngek. Bintang perguruan Bintang Muncrat dan rembulan
desa Khan Cut. Jenderal Yang Mulia, apakah kau datang
mencari saya untuk minta dingek?!"
Muka jelek Jenderal King No Kong menjadi merah
padam. Bukan saja dia merasa tertipu, tapi juga diejek dan
dihina di hadapan para pengawalnya. Dia sengaja datang
jauh-jauh untuk melihat kecantikan dan kebagusan tubuh
yang disohorkan itu. Ternyata setelah berhadapan muka,
wajah dan potongan tubuh Giok Ngek berbeda seperti
siang dengan malam, seperti susu dengan tuba, seperti
madu dengan racun!
"Keparat sialan! Ada yang berani menipuku! Ratusan lie
datang dari jauh ternyata hanya untuk menyaksikan seekor
kuda nil yang diberi baju serta didandani seperti barongsay
mabok begini rupa! Guru kungfu Tay Kun Ing! Terima dulu
hadiah kejengkelanku!"
Habis berkata begitu Jenderal Slebor King No Kong
hantamkan buli-buli arak yang terbuat dari tanah di tangan
kirinya ke kepala botak guru kungfu Tay Kun Ing. Buli-buli
tanah itu hancur berantakan sedang guru kungfu bertubuh
kerempeng itu menjerit kesakitan, pegangi kepalanya
sementara tubuhnya melintir mata mendelik melihat
bintang-bintang kacau balau di atasnya. Tubuh kerempeng
itu kemudian terjerongkang ambruk di tanah, setengah
pingsan setengah semaput!
Jenderal Slebor itu kini berpaling pada tiga pengawalnya.
Lalu membentak. "Keparat! Kalian bertiga menipuku!"
"Plaakk! Plaaakk! Plaaak!"
Tiga kali tangan kanan sang Jenderal bergerak pulang
balik. Tiga pengawal terhuyung-huyung di atas kuda,
merintih kesakitan terkena tamparan Jenderal King No
Kong. Salah seorang dari mereka sambil pegangi mukanya
yang bengab masih mengoceh.
"Wajahnya mungkin tidak menarik Jenderal Yang Mulia.
Memang benar seperti barongsay mabok! Tapi lihat
dadanya. Besar luar biasa. Kelapa saja masih kalah besar!"
"Setan alas! Kau makanlah kelapa muda barongsay
mabok itu!" teriak sang Jenderal. Dicekalnya leher pakaian
pengawal yang barusan berani membuka mulut itu lalu
dilemparkannya ke arah gadis gemuk berbaju warna warni.
Tabrakan yang keras membuat kedua orang itu sama-
sama jatuh terjengkang. Si pengawal pegangi kepalanya
yang benjut sambil mengerang kesakitan. Dia tak habis
pikir. Jelas-jelas tadi kepalanya menumbuk dada gemuk si
gadis. Dia menyangka akan jatuh di atas bagian tubuh yang
montok itu tentu lembut-lembut enak. Tapi ternyata dada
sang gadis keras seperti batu! Kepalanya seperti
menghantam tembok!
"Hay ya! Geger otakku!" keluh si pengawal masih
terduduk di tanah keliangan. Apa sebenarnya yang ada di
balik dada gadis gembrot itu?
"Jenderal pantat botol doyan perempuan!" Tiba-tiba satu
suara membentak. Yang membentak ternyata adalah si
gadis gembrot. Suaranya yang tadi halus seperti suara
perempuan kini mendadak berubah, keras dan serak!
"Susah-susah dicari kini kau malah datang sendiri! Hari
ini tiba saatnya aku membalaskan sakit hati suhu!" (suhu =
guru). Dengan kecepatan luar biasa si gadis yang mengaku
bernama Giok Ngek itu menerjang ke arah Jenderal King
No Kong.
***
EMPAT
JENDERAL King No Kong yang sejak tadi sudah muak
melihat tampang dan tingkah laku si gadis gembrot
segera ambil buli-buli arak yang tergantung di kantong
pelana kuda. Dengan benda ini hendak dikepruknya kepala
barongsay betina itu. Namun seorang anak buahnya cepat
melompat dari kuda seraya berseru. "Jenderal! Biar aku
yang menghajar kuda nil betina ini!"
Jenderal King No Kong hentikan gerakannya. Si
pengawal cepat memapaki sang dara gembrot hendak
memberi hajaran. Tapi entah bagaimana tangan kanannya
yang hendak dipakai menjotos tahu-tahu kena dicekal
orang, dibetot lalu dipuntir ke belakang punggung hingga
dia menjerit keras kesakitan.
"Monyet jelek tak berguna! Makan dulu kakiku ini!"
hardik si gadis. Kaki kanannya melayang ke pantat si
pengawal.
"Bukkkk!"
Anak buah Jenderal King No Kong mencelat lalu
tersungkur jungkir balik di tanah. Mukanya berkelukuruan
diparut tanah!
"Kurang ajar!" teriak Jenderal Slebor marah sekali. Dia
tidak menyangka sama sekali kalau gadis gemuk itu
demikian lincah dan cepat gerakannya. Dia berpaling pada
anak buahnya yang di sebelah kanan.
"Lekas kau hajar kuda nil kesurupan itu! Cincang kalau
perlu!"
Mendengar perintah sang Jenderal pengawal itu segera
"sreett!" Cabut goloknya. Lalu melompat turun dari atas
kuda. Tapi begitu berhadapan dengan sang dara dia tidak
segera menyerang. Sambil melintangkan golok di depan
dada, pengawal yang ada tompel di pipi kirinya ini cengar-
cengir lebih dulu. Bahkan kedap-kedipkan matanya lalu
berkata.
"Nonaku manis, walau tuan besarku marah selangit
tembus padamu, tapi aku tauke-mu ini bisa memintakan
pengampunan bagi dirimu. Asal saja kau ehem! Tau kan
apa yang aku maksudkan? Ya... ya... ya! "
"Tidak, aku tidak tahu apa yang kau maksudkan!" jawab
Giok Ngek pura-pura tidak mengerti tapi sambil balas
kedipkan mata dan lontarkan senyum genit.
Merasa mendapat pasaran, menyangka si gadis suka
padanya maka setengah berbisik dia berkata. "Kau pura-
pura takut dan serahkan diri. Nanti ikut aku. Kita
bersenang-senang di atas ranjang. Kau tahu, aku paling
suka pada perempuan bertubuh dan berdandan
amburadul sepentimu!"
"Oh, begitukah?" Gadis gemuk tersenyum lalu cibirkan
bibirnya. Lalu dia mendamprat. "Kacung tak tahu diri! Sama
saja dengan majikanmu! Tampang seperti kodok! Mulut
bau jamban! Biar aku tuanmu ini memberi pelajaran
padamu!" Lalu Giok Ngek hantamkan satu jotosan ke muka
pengawal tompel itu.
Merasa sangat terhina oleh caci maki si gadis, pengawal
itu serta merta babatkan golok besarnya. Yang di arah
langsung leher Giok Ngek!
Guru kungfu Tay Kun Ing yang menyaksikan semua
kejadian itu dalam keadaan masih keliangan pejamkan
mata saking ngerinya. Tebasan golok si pengawal
datangnya laksana kilat. Si gadis gemuk tampaknya susah
untuk berkelit selamatkan batang lehernya. Namun apa
yang kemudian terjadi sukar dipercaya sang guru kungfu
maupun sang Jenderal.
Dara berbadan super gemuk itu menyambut serangan
golok dengan melompat ke kiri. Lalu tangan kanannya
menyelinap berputar menempel pergelangan tangan lawan.
Di lain kejap golok di tangan si pengawal tadi telah
berpindah tangan. Malah kini gagang golok itu
dipergunakan lawannya untuk mengemplang kepala lawan
berulang kali hingga kepala itu bukan saja benjat-benjut
tapi juga luka mengucurkan darah. Dalam keadaan babak
belur pengawal ini akhirnya melosoh jatuh ke tanah tak
sadarkan diri!
Rahang Jenderal King No Kong menggelembung.
Gerahamnya bergemeletakan. Ditenggaknya arak dalam
buli-buli tanah sampai habis. Buli-buli yang kosong
kemudian dibantingkannya ke tanah. Dengan mata
membelalak merah dia melompat turun dari kuda.
Langsung menyerang dara gemuk. Gerakan sang Jenderal
enteng dan cepat serta mengeluarkan suara angin
berkesiuran pertanda dia memiliki kepandaian kungfu yang
tinggi.
Sebaliknya si gadis gemuk berdiri tenang-tenang saja.
Malah berkacak pinggang dengan sikap mengejek ketika
Jenderal pemabuk itu menyerangnya dan berkata:
"Jenderal Slebor! Kau memang harus dingek!"
"Giok Ngek! Aku bersumpah akan mengekmu sampai
mampus!" teriak sang Jenderal kalap. Tinju kanannya
berkelebat menderu ke arah pipi kanan gadis bertubuh
gemuk itu. Yang diserang gerakkan badannya secara aneh.
Pukulan sang Jenderal hanya mengenai tempat kosong.
Nyaris tubuhnya ikut terpelintir karena daya dorong
pukulan yang kuat tadi. Dengan penuh geram dan beringas
Jenderal King No Kong balikkan tubuh. Kaki kanannya
mencelat kirimkan satu tendangan ke arah perut lawan.
Tapi lagi-lagi serangan kedua ini hanya mengenai
tempat kosong. Malah kini gadis gemuk itu meng-
hampirinya sambil rentangkan ke dua tangan bersikap
seperti orang hendak merangkul mesra sedang bibirnya
dimonyongkan ke depan seolah hendak mencium sang
Jenderal penuh nafsu!
Karuan saja Jenderal King No Kong tambah
menggelegak amarahnya. Dia benar-benar dibuat malu,
diejek dan dihina! Begitu tendangannya tidak mengenai
sasaran dia susul dengan hantaman tangan ke muka si
gembrot!
Apa yang terjadi kemudian membuat terkejut semua
orang. Serangan Jenderal itu bukan saja kembali hanya
mengenai tempat kosong namun saat itu terdengar suara
"plaaakk!" Jenderal King No Kong menjerit keras sambil
pegangi mukanya yang barusan kena ditampar Giok Ngek.
Bibirnya pecah dan kucurkan darah!
Sang Jenderal membentak garang. Seperti kalap dia
ingin merobek-robek tubuh gadis gemuk itu. Tapi tiba-tiba
dia tegak tak bergerak. Dengan sekujur tubuh bergeletar
dia bertanya.
"Barongsay betina! Tadi kau mengatakan hendak
membalaskan sakit hati suhumu! Suhumu yang mana?
Siapa! Yang botak bermuka kuning itu?! Siapa kau
sebenarnya?!"
***
LIMA
GIOK NGEK menyeringai. Setelah awasi tampang
Jenderal itu sejenak dia lalu berkata. "Jenderal
pantat botol mata maskoki! Kau dengar baik-baik
ucapanku!
Hari ini jika kau tidak bersumpah dan bertobat tidak
akan mengganggu lagi anak gadis dan istri orang, lalu
minta ampun karena telah menyiksa suhuku selama
bertahun-tahun, maka aku akan buat nyawamu tidak betah
tinggal dalam tubuh busukmu itu!"
"Kentut busuk! Siapa sih suhumu?!" bentak Jenderal
Slebor.
"Suhuku Dewi Ngong Kong!" jawab gadis gembrot
setengah berteriak.
Jenderal King No Kong tersentak kaget. Dia tadi
memang sudah curiga bahwa dara gemuk itu bukanlah
murid Tay Kun Ing. Tapi dia sama sekali tidak menyangka
kalau si gadis ternyata mengaku sebagal murid Dewl
Ngong Kong!
Walau kaget tapi Jenderal Slebor cepat kuasa diri.
"Hemmm... jadi kau adalah murid si nenek lihay yang
bergelar Dewi Ngong Kong itu! Bagus! Bagus! Suhunya
tidak tahu diuntung! Muridnya tidak tahu diri! Hari ini biar
aku tuan besarmu memberi pelajaran matematika... eh
salah! Maksudku pelajaran sopan santun!"
Jenderal Slebor tutup ucapannya dengan mencabut
golok panjang yang terselip di pinggang. Sang Jenderal
memang terkenal hebat ilmu goloknya. Begitu golok
berkelebat satu kali terdengar suara "cras!" Si gadis gemuk
terpekik. Untung dia cepat melompat mengelak hingga
kepalanya tidak jadi sasaran babatan golok. Rambutnya
berbusaian dan kini tanpa konde - yang ternyata konde
palsu - kelihatanlah rambut serta wajahnya yang asli!
Ternyata sang dara super gemuk ini adalah seorang lelaki!
"Banci kalengan!" teriak Jenderal Slebor marah besar
sampai ke dua matanya seperti mau melompat dari
rongganya. "Kau akan kucincang sampai lumat! Lalu
kujadikan perkedel dan kukirim ke neraka! Rohmu akan
jadi setan banci penasaran!"
"Jongos Gie Le!" berseri guru kungfu Tay Kun Ing ketika
penuh rasa tak percaya dia mengenali dara gemuk itu
bukan lain adalah jongos di tempat kediamannya yang
selama ini dikenal sebagai pemuda pendiam dan dungu.
"Cuma jongos rupanya! Jahanam betul! Berani menghina
mengerjaiku!" Jenderal King No Kong mendamprat marah.
Untuk ke dua kalinya golok besar di tangan kanannya
membabat ke arah dada jongos Gie Le.
"Breett!"
Jongos Gie Le melompat ke belakang dengan muka
sepucat kertas. Dada pakaiannya robek besar dan
keluarlah potongan-potongan kain pel serta dua mangkok
besar terbuat dari porselen! Mangkok porselen inilah yang
tadi dihantam kepala salah seorang pengawal Jenderal
Slebor hingga kepalanya jadi benjut!
"Banci tengik! Jangan harap kau bisa lolos!" 'teriak
Jenderal Slebor. Sesekali tangannya bergerak maka golok
itu menabur serangan berantai. Jongos Gie Le terpaksa
berlompatan kian kemari cari selamat.
Beberapa jurus berlalu tanpa sang Jenderal mampu
melukai lawannya. Tiba-tiba terdengar seruan si jongos.
"Jenderal juling! Cukup kau jual lagak! Sekarang pinjamkan
dulu golokmu padaku!"
Kepandaian silat jongos yang bekerja di perguruan silat
Bintang Muncrat itu ternyata tidak berada di bawah tingkat
kepandaian Jenderal King No Kong. Karena begitu
seruannya tadi lenyap, terdengar suara "kraakk!" Disusul
suara jeritan sang Jenderal. Tulang sambungan siku tangan
kanan Jenderal Slebor ternyata telah remuk dihajar jotosan
si gemuk Gie Le dan goloknya yang terlepas mental ke
udara secepat kilat disambar oleh jongos Itu.
Lalu golok itu berkelebat menderu-deru memutari
sekujur tubuh bagian bawah Jenderal Slebor. Tali
celananya putus! Celana yang jebol robek di sana-sini itu
melorot turun bersama celana dalamnya! Akibatnya
sebatas pinggang ke bawah Jenderal King No Kong
berubah menjadi King No Celana alias setengah telanjang!
Selagi sang Jenderal kalang kabut menutupi auratnya,
jongos Gie Le ketok kepalanya dengan gagang golok hingga
perwira tinggi itu terhuyung-huyung kelojotan macam orang
teler.
"Jenderal hidung belang!" berseru jongos Gie Le.
"Sekarang aku perkenalkan padamu jurus kungfu bernama
Dewa Cebok!" Pemuda gemuk ini buang golok yang
dipegangnya lalu tangan kanannya berkelebat cepat ke
bagian bawah perut sang Jenderal. Terdengar suara
ceplak-ceplok seperti orang cebok sungguhan. Jeritan
Jenderal Slebor itu menggelegar berkepanjangan.
"Ampun! Tobat! Ampun!" jerit sang Jenderal. Dia
berusaha lindungi bagian tubuh paling berharga yang
dimilikinya. Tapi sia-sia belaka.
Setelah puas mengerjai Jenderal itu, jongos Gie Le
hadiahkan satu tendangan keras ke pantatnya hingga
tubuh tinggi besar itu mencelat mental melewati pagar
halaman.
"Sekarang kau boleh pergi! Bawa begundal-begundalmu!
Ingat! Jika kau masih berani mengganggu suhuku Dewi
Ngong Kong berarti liang kubur hanya tinggal sejengkal dari
tenggorokanmu! Ayo lekas angkat kaki dari hadapanku!"
Jenderal King No Kong melangkah terbungkuk-bungkuk.
Sambil melangkah pergi dia pegangi auratnya sebelah
bawah. "Aku akan pergi! Ampun! Aku bersumpah tidak
akan mengganggu gurumu lagi! Tidak akan mengganggu
anak gadis dan istri orang! Tapi anuku ini! Ampun! Bonyok
berat! Remuk semua! Acak-acakkan! Tak bisa dipakai lagi!
Cialat...! Benar-benar cialat!"
Diikuti tiga anak buahnya Jenderal Slebor tinggalkan
perguruan Bintang Muncrat dengan kuda tunggangan
masing-masing.
Sambil pegangi kepalanya yang benjut besar akibat
dikepruk dengan buli-buli arak guru kungfu Tay Kun Ing
melangkah sempoyongan mendekati jongos Gie Le. Kalau
dulu sikapnya selalu kasar terhadap jongos itu kini berubah
total, hormat dan kagum.
"Gie Le, tidak kusangka kau sebenarnya adalah seorang
pendekar kungfu berkepandaian tinggi!" Guru kungfu itu
terdiam sejenak. Lalu melanjutkan. "Juga tidak kusangka
kau adalah muridnya Dewi Ngong Kong yang terkenal di
daerah Tiongkok itu. Jika aku boleh tanya perbuatan
apakah yang telah dilakukan oleh Jenderal King No Kong
terhadap suhumu?"
Jongos Gie Le usap-usap keningnya yang keringatan.
Sambil membuka pakaian perempuan yang dikenakannya
di atas baju dan celana panjangnya, jongos ini
menerangkan. "Dulu sewaktu masih muda dan Jenderal
King No Kong baru berpangkat Kopral, dia naksir berat
sama suhuku malah sampai-sampai ajukan lamaran. Tapi
suhu menolak dijadikan istri karena sudah tahu sifat lelaki
itu. Mata keranjang suka mengganggu anak istri orang
serta pemabuk berat. Kopral King No Kong marah dan
malu besar pinangannya ditolak. Karena sebelumnya dia
sudah sesumbar pasti akan dapat menggaet suhu sebagai
istrinya. Rasa malu berubah menjadi marah lalu menjadi
dendam. Maka dia mulai mengganggu suhu. Dia mencuri
setiap celana dalam yang dimiliki suhu. Pokoknya di mana
saja dia menemui celana dalam suhu, mungkin di bakul
tempat kain kotor, atau di tempat cucian, di tali jemuran
bahkan sampai-sampai ke lemari pasti diambilnya!
Akibatnya dapat dibayangkan bagaimana penderitaan
suhu. Selama belasan tahun beliau hidup sebagai
perempuan yang tidak pernah bisa punya celana dalam.
Tidak pernah memakai celana dalam.... "
Untuk beberapa lamanya guru kungfu Tay Kun Ing
tertegun tak bisa bicara. Lalu sambil tersenyum dia
keluarkan kocek kain yang tergantung dl balik pakaiannya.
Dari dalam kocek ini diambilnya dua tail perak dan
diserahkannya pada jongos Gie Le. "Ambillah. Pergi ke
pasar. Beli sepuluh lusin celana dalam untuk suhumu!"
"She... she! Kamsia… kamsia!" kata jongos Gie Le seraya
menjura berulang kali.
"Mulai hari ini kau kuangkat jadi Wakilku di perguruan
Bintang Muncrat!" menambahkan Tay Kun Ing.
"Terima kasih atas kepercayaan guru! Tapi untuk jadi
wakilmu aku tidak perlu memplitur muka dan kepalaku
dengan kunyit serta kencur bukan?"
Guru kungfu Tay Kun Ing tertawa mengekeh. Dari balik
pintu muncul satu wajah cantik jelita. Itulah wajah gadis
bernama Giok Ngek, murid dan keponakan sang guru
kungfu. Si gadis ulurkan tangannya nya menarik lengan Gie
Le. Tawa Tay Kun Ing langsung berhenti.
"Hay ya! Naga-naganya pinceng bakal kehilangan
keponakan!" Guru kungfu itu garuk-garuk kepalanya lalu
mengambil komik "Super Amoy" yang tercampak di serambi
rumah dan melanjutkan bacaannya!
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar