..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 30 November 2024

JOKO SABLENG EPISODE KITAB SERAT BIRU

JOKO SABLENG EPISODE KITAB BIRU




 SATU



DATUK Hitam tegak di atas tanah 

ruangan gua dengan air muka berubah 

beringas. Sepasang bola matanya mendelik 

angker bergerak liar ke seluruh ruangan 

dan keluar mulut gua. Tapi kakek ini makin 

dibuat terhenyak, karena dia tidak me-

nangkap adanya seseorang! 

"Pendengaranku jelas baru saja 

mendengar suara orang! Jahanam betul! Mana 

bangsat manusianya?!" sang datuk 

perdengarkan makian keras. Sementara 

sepasang matanya terus perhatikan keadaan 

sekeliling. Namun sejauh ini dia tetap tak 

bisa menangkap adanya seseorang, hingga 

seraya palingkan kepala ke arah Dewa Sukma 

yang tetap memejamkan mata seolah tak 

hiraukan bahaya sedang mengancam, Datuk 

Hitam menenangkan diri sendiri dengan 

bergumam pelan. 

"Mungkin telingaku yang tergoda.... 

Lagi pula perlu apa turuti ucapan orang 

kalau hendak membunuh bangsat ini?!" 

Namun meski si kakek telah berusaha 

menenangkan diri, jelas wajahnya masih 

membayangkan kebimbangan. Hingga untuk 

sekian kalinya, sang datuk edarkan 

pandangannya sekali lagi. Ketika yakin 

bahwa sepasang matanya memang tidak


melihat adanya orang, dia angkat kedua 

tangannya kembali siap lepaskan pukulan 

maut pada Dewa Sukma. 

Belum sampai kedua tangan sang datuk 

bergerak lepaskan pukulan, kembali 

terdengar suara teguran. Malah kali ini 

terngiang jelas di telinga si kakek seolah 

suara itu diperdengarkan di depan teli-

nganya! 

"Aneh. Orang telah menyuruhnya pergi. 

Tapi masih tegak melotot bahkan hendak 

teruskan niat lepaskan pukulan. Hik... 

hik... hik...! Apakah dia mengira sebagai 

malaikat maut yang seenaknya saja bisa 

cabut nyawa orang?!" 

Datuk hitam cepat sentakkan kepala 

dengan kedua tangan bergerak memukul ke 

samping, hingga saat itu juga lamping 

ruangan gua bagian sisi kanan berantakan 

dan untuk beberapa saat ruangan gua itu 

bergetar keras! Seraya angkat kembali 

kedua tangannya Datuk Hitam membentak. 

"Bertampang apa pun kau adanya, 

kenapa tak berani tampakkan diri, nah?! 

Terdengar suara orang tertawa 

panjang. Lalu terdengar ucapan. 

"Tampangku mungkin akan membuatmu 

kecewa. Tapi agar kau tak penasaran, 

kuturuti kata-katamu! Hik... hik... 

hik...!" 

Suara tawa orang belum lenyap, tahu-

tahu ruangan gua disesaki bau busuk. Namun 

sesaat kemudian berubah menjadi bau luar 

biasa harum. Tatkala Datuk Hitam menoleh


ke samping kiri, terlihat tegak seorang 

nenek mengenakan jubah warna merah menyala 

sepuluh langkah dari tempatnya berdiri. 

Nenek ini berambut putih sebatas 

tengkuk. Sepasang kelopak matanya besar 

tapi matanya yang menjorok masuk amat 

sipit. Mulutnya selalu bergerak-gerak 

memainkan gumpalan tembakau hitam keluar 

masuk! 

"Ratu Malam!" desis Datuk Hitam 

mengenali siapa adanya nenek berjubah 

merah. "Kemunculannya pasti untuk urusan 

peta itu!" duga Datuk Hitam lalu turunkan 

kedua tangannya. 

"Untung kau masih mengenali 

tampangku, Datuk Hitam...! Kuharap kau tak 

kecewa dengan tampang ini! Hik... hik... 

hik...! Lebih dari itu, mudah-mudahan rasa 

penasaranmu sirna...." 

"Ratu Malam! Terangkan apa hubunganmu 

dengan manusia tergantung ini sampai kau 

menghalangi urusanku?!" 

Ratu Malam tertawa lebih dulu sebelum 

berkata. "Seribu keterangan tak akan 

membuatmu mengerti! Lebih baik segera 

tinggalkan tempat ini!" 

"Aku yang punya urusan dahulu. Aku 

berhak melakukan apa yang kumau! Harap kau 

jangan mengganggu urusanku! Dan lekas 

angkat kaki dari hadapanku!" 

"Wah. Bagaimana bisa begitu?! Kau 

boleh punya urusan dahulu, tapi tidak 

berarti kau berhak melakukan apa yang kau 

mau!"


Habis berkata begitu Ratu Malam putar 

tubuh membelakangi Datuk Hitam. Kepalanya 

ditengadahkan, lalu dari mulutnya 

terdengar siulan dendangkan nyanyian. 

Kedua kakinya pun ikut bergerak-gerak 

seakan mengikuti irama siulan. 

Untuk sesaat Datuk Hitam pandangi 

punggung si nenek. Dan setelah ditunggu 

agak lama Ratu Malam tetap bersiul malah 

kini dengan goyang-goyangkan kepalanya ke 

kanan dan kiri, Datuk Hitam keluarkan 

bentakan keras. 

"Ratu Malam! Kau benar-benar ingin 

berurusan denganku!" 

Ratu Malam putuskan siulannya, tapi 

kepalanya masih tetap bergoyang-goyang. 

Lalu terdengar nenek ini berujar. 

"Itu dugaanmu! Aku punya urusan 

dengan orang yang digantung, bukan dengan 

kau!" 

Sejurus Datuk Hitam terdiam. Namun 

sepasang 

mata kakek ini berkilat, rahangnya 

mengembang. Mulutnya bergerak membuka, 

namun sebelum ucapannya terdengar, Ratu 

Malam telah berujar lagi. 

"Harap kau dengar ucapanku, 

tinggalkan tempat ini, atau...." 

"Jahanam!" potong Datuk Hitam. 

"Urusanku belum selesai!" sentaknya dengan 

sepasang mata di-pentangkan besar pandangi 

bagian belakang tubuh Ratu Malam. 

"Selesai atau belum bukan urusanku! 

Hik... hik... hik...! Yang kuminta kau


lekas angkat kaki dari belakangku!" 

Meski dadanya bergemuruh mendengar 

kata-kata Ratu Malam, namun kakek ini 

cepat berpikir. "Meski mulut gua 

berantakan, lalu pemuda bangsat yang 

menyebut dirinya Malaikat Penggali Kubur 

barusan dari sini, tapi aku belum mendapat 

jawaban pasti dari mulut Dewa Sukma 

sendiri tentang peta itu. Hemmm.... Siapa 

tahu Dewa Sukma sebenarnya masih menyimpan 

peta itu. Aku harus membawanya dan 

mengorek keterangan dari mulutnya!" 

Datuk Hitam segera putar diri 

menghadap Dewa Sukma. Lalu kedua tangannya 

bergerak menjulur menakup pada pinggang 

Dewa Sukma. Kejap kemudian sang datuk 

sentakkan tubuh Dewa Sukma yang 

menggantung. Namun kakek ini jadi 

terkesiap. Jangankan sosok Dewa Sukma 

melorot jatuh, bergeming pun tidak! Bahkan 

saat itu juga Datuk Hitam segera lepaskan 

kedua tangannya dari pinggang Dewa Sukma 

dan mundur dua langkah. Sepasang matanya 

membeliak menatap pada kedua tangannya 

yang baru saja memegang pinggang Dewa 

Sukma. Ternyata kedua telapak tangan sang 

datuk telah menggembung! 

"Laknat! Sinar apa sebenarnya yang 

menggantung dan membelit tubuh Dewa Sukma 

ini?!" maki Datuk Hitam sambil kerahkan 

tenaga dalam pada kedua tangannya yang 

menggembung dan terasa luar biasa panas. 

Selagi Datuk Hitam dilanda keheranan 

dengan apa yang baru saja dialami, Ratu


Malam yang tegak membelakangi tiba-tiba 

menegur. 

"Datuk! Apakah perlu kuulangi lagi 

ucapanku?!" 

"Persetan! Urusanku belum tuntas. 

Jangan harap aku tinggalkan tempat ini 

tanpa mendapat apa-apa!" 

Lalu tanpa acuhkan ucapan Ratu Malam, 

Datuk Hitam kerahkan tenaga dalam dan 

cepat kedua tangannya menakup pinggang 

Dewa Sukma. Mula-mula sang datuk merasakan 

hawa hangat masuk melalui kedua telapak 

tangannya. Sadar akan apa yang hendaK 

terjadi, kakek ini segera lipat gandakan 

tenaga dalam. Hingga hawa hangat itu meski 

pelan-pelan berubah panas namun si kakek 

masih mampu untuk menahannya. 

Tak menunggu lama, Datuk Hitam segera 

lorot-kan sepasang kakinya ke bawah. 

Serentak kedua tangannya membetot. Namun 

hingga keringat keluar membasahi tubuhnya, 

tali berupa sinar yang menggantung tubuh 

Dewa Sukma tak juga lepas. 

"Gila! Aku tak bisa menunggu lama-

lama!" seru Datuk Hitam. Lalu dia lepaskan 

telapak tangannya dari pinggang Dewa 

Sukma. Kejap lain kedua tangannya bergerak 

menghantam ke atas, ke arah tali berupa 

sinar hitam yang menggantung tubuh Dewa 

Sukma. 

Beettt! Beettt! 

Pukulan Datuk Hitam menyambar tali 

berupa sinar, namun sang datuk jadi 

melengak. Walau pukulannya mengenai


sasaran, namun tali itu hanya bergoyang-

goyang! 

"Setan keparat!" maki sang datuk. 

Cepat dia kembali kerahkan tenaga dalam. 

Mendadak sentak kedua telapak tangannya 

mengembang dan didorong keras ke atas, 

lepaskan pukulan sakti 'Puspa Jagat'. 

Suasana pekat kejap itu segera 

menyungkup ruangan gua. Lalu terdengar 

suara.... Tass! Tasss! 

Berulangkah, disusul dengan suara 

bergede-bukan benda jatuh. 

Saat suasana terang kembali, tampak 

sosok Dewa Sukma telentang di lantai gua 

dengan mata terpejam rapat dan napas 

megap-megap. Perlahan-lahan Dewa Sukma 

buka kelopak matanya. Lalu hendak bergerak 

bangkit. Namun kakek ini jadi kernyitkan 

dahi, sementara sepasang matanya 

perhatikan Datuk Hitam. 

Datuk Hitam tertawa mengekeh. "Dewa 

Sukma. Maaf, untuk sementara waktu tubuhmu 

kubuat tidak bisa bergerak!" 

Ternyata seraya menarik pinggang Dewa 

Sukma selagi hendak dibetot ke bawah, 

Datuk Hitam lancarkan totokan, hingga saat 

tubuh Dewa Sukma telah jatuh di lantai 

gua, orang tua itu tak bisa membuat 

gerakan! Bahkan suaranya pun laksana 

tersumbat di tenggorokan! 

Tanpa berkata-kata lagi, Datuk Hitam 

melangkah dua tindak ke depan. Tangan kiri 

kanan bergerak hendak meraih tubuh Dewa 

Sukma yang masih dalam keadaan tertotok.


Namun baru saja kedua tangannya menyentuh 

pinggang, Ratu Malam perdengarkan ucapan. 

"Harap tinggalkan tempat ini 

sendirian, Datuk Hitam!" 

Datuk Hitam tarik pulang kedua 

tangannya. Lalu dengan mata melotot besar 

dia angkat kepalanya dan putar diri 

menghadap Ratu Malam. Raut wajahnya yang 

berwarna hitam makin mengelam. Dari hi-

dungnya terdengar dengusan keras. Jelas 

pertanda kakek berwajah hitam angker ini 

sedang menahan marah besar. Tapi kembali 

dada Datuk Hitam diusik urusan peta. Jika 

turuti hawa kemarahan ingin rasanya sang 

datuk segera lepaskan pukulan pada Ratu 

Malam. Namun kakek berwajah hitam ini 

sekali lagi masih berpikir. Dia sadar, 

siapa adanya Ratu Malam. Kalau pun dia 

dapat mengimbangi tak urung pasti akan 

mengalami cedera, padahal dia harus memba-

wa tubuh Dewa Sukma. 

Berpikir sampai di situ akhirnya 

Datuk Hitam berujar. 

"Ratu Malam! Kalau kau punya urusan 

dengan anak manusia ini, cepat 

selesaikan!" 

Ratu Malam balikkan tubuh. Sepasang 

matanya sejenak berputar bergantian 

menatap ke arah Dewa Sukma dan Datuk 

Hitam. Kejap kemudian terdengar dia 

tertawa panjang sebelum akhirnya berkata. 

"Urusanku dengannya tak boleh dilihat 

dan didengar orang lain! Jadi harap angkat 

kaki dari sini!"


Tubuh Datuk Hitam tampak bergetar 

menahan marah. "Kau manusia serakah tak 

tahu diuntung! Jangan berani ucapkan 

perintah dan berani bergerak dari 

tempatmu, kau cari mampus!" 

Habis berkata demikian, Datuk Hitam 

bergerak memutar. Tubuhnya sedikit 

membungkuk, sementara tangan kanannya 

bergerak ke bawah. Saat sang datuk kembali 

menghadap Ratu Malam, tubuh Dewa Sukma 

telah berada di pundaknya! 

Tanpa memandang lagi pada Ratu Malam, 

Datuk Hitam segera berkelebat. Tapi 

langkah sang datuk tertahan tatkala tiba-

tiba Ratu Malam gerakkan jubahnya dan 

tahu-tahu sosoknya tegak menghadang empat 

langkah di hadapan Datuk Hitam! 

"Kau cari mati berani hadang 

langkahku!" gertak Datuk Hitam. Kedua 

telapak tangannya dikembangkan. Kakek ini 

tahu siapa lawan yang dihadapi, hingga dia 

langsung siapkan pukulan sakti 'Puspa Ja-

gat'. 

Begitu mengetahui Ratu Malam tetap 

tak beranjak dari hadapannya, Datuk Hitam 

segera dorong kedua tangannya kirimkan 

pukulan 'Puspa Jagat'! Ruangan gua kembali 

diselimuti kegelapan. Lalu menghampar 

udara luar biasa panas disusul dengan 

menggebraknya gelombang angin kencang! 

Ratu Malam tak tinggal diam. Begitu 

keadaan gelap, nenek ini segera pukulkan 

kedua tangannya ke depan.


Di antara kegelapan suasana terlihat 

cahaya menyeruak. Lalu menghampar hawa 

luar biasa dingin yang tak lama kemudian 

menindih lenyap hawa panas yang keluar 

dari pukulan Datuk Hitam. Gelombang angin 

kencang yang melesat dari telapak tangan 

sang datuk laksana ditekan kekuatan hebat 

dari sebelah atas, hingga bukan saja 

membuat gelombang angin itu tertahan namun 

kejap itu juga menukik deras ke bawah 

menghantam lantai ruangan gua. 

Bummm! 

Lantai ruangan gua pecah berantakan 

membentuk lobang menganga lebar. Di 

sebelah depan sana, sosok Datuk Hitam 

tampak tersapu deras ke belakang sebelum 

terhenti setelah menghantam bagian samping 

ruangan gua. Sosok Dewa Sukma yang tadi 

ada di pundaknya mencelat mental dan 

jatuh berge-debukan di lantai. 

Di seberang, sosok Ratu Malam 

terhuyung-huyung. Tapi sebelum tubuhnya 

menghantam bagian samping ruangan gua. si 

nenek dapat kuasai diri. Seraya memainkan 

gumpalan tembakau hitam di mulutnya, Ratu 

Malam tertawa pendek lantas melangkah maju 

tiga tindak 

Sambil bersandar punggung pada bagian 

samping ruangan gua, Datuk Hitam sibakkan 

rambut yang menghalangi sepasang matanya. 

Kedua tangan kakek ini tampak bergetar. 

Dadanya bergerak turun na*k tak karuan. 

Dan samar-sama' dari balik rambut yang 

menutupi sebagian wajahnya tampak darah


kehitaman kei jar dari sela mulutnya. 

"Jahanam! Ini gara-gara Malaikat 

Penggali Kubur keparat! Jika saja tidak 

bentrok lebih dulu dengannya, tak mungkin 

aku terluka begini rupa! Sialan betul!" 

maki Datuk Hitam sambil kerahkan tenaga 

dalam untuk mengatasi rasa sakit pada 

dadanya. 

Seperti diketahui, sebelum ini Datuk 

Hitam sempat bentrok dengan Malaikat 

Penggali Kubur. (Lebih jelasnya baca 

episode: "Malaikat Penggali Kubur"). Meski 

saat itu tak mengalami cedera, namun mau 

tak mau membawa pengaruh saat pukulan yang 

dilepaskan bentrok dengan pukulan Ratu Ma-

lam. 

"Jika urusan ini tak cepat selesai, 

bisa-bisa aku yang akan celaka!" bisik 

Datuk Hitam. Serta-merta kakek ini alirkan 

tenaga dalamnya kembali pada kedua telapak 

tangan dan sepasang kakinya. Di lain kejap 

tiba-tiba tubuh Datuk Hitam melenting satu 

tombak ke atas. Membuat gerakan telentang 

di udara. Masih dengan telentang sosoknya 

berputar-putar melesat ke arah Ratu Malam. 

Kedua tangannya pun serta-merta mendorong 

lepaskan pukulan. Kakek ini telah kerahkan 

jurus 'Mendera Bayu' sekaligus kirimkan 

pukulan 'Puspa Jagat'. Selama malang 

melintang dalam rimba persilatan hanya 

beberapa orang yang benar-benar berilmu 

tinggi yang dapat lolos jika Datuk Hitam 

telah kerahkan gabungan jurus 'Mendera 

Bayu' dan 'Puspa Jagat'.


Ratu Malam sendiri sejenak tampak 

terpana dengan sepasang mata dibeliakkan 

dan mulut terkancing rapat. Nenek ini 

bukan hanya merasakan hawa panas dan 

menderunya gelombang angin yang luar biasa 

dahsyat, namun juga tak dapat memastikan 

di «ana beradanya sosok Datuk Hitam, 

karena ruangan gua telah berubah gelap 

gulita! 

Sambil menggerendeng panjang pendek, 

akhirnya Ratu Malam membuat gerakan 

berputar-putar. Terdengar deruan mendesis-

desis. Lalu tampak kabut putih membungkus 

tubuh si nenek laksana pembatas yang 

memagari. 

Gelombang angin menebar hawa panas 

dan sepasang kaki Datuk Hitam terus 

mendekat. Sejengkal lagi gelombang angin 

dan tendangan kaki menggebrak tubuh Ratu 

Malam yang terbungkus kabut putih, sang 

datuk keluarkan bentakan keras. 

Braakkk! Bummm! 

Terdengar benturan keras yang disusul 

dengan dentuman menggelegar. Ruangan gua 

bergetar keras. Mulut gua yang berantakan 

tampak ambrol menganga. Langit-langit 

ruangan gua rontok menaburkan batu-batu 

kecil. 

Sosok Datuk Hitam terlihat mental 

balik laksana menghantam benda keras. 

Begitu kerasnya mental-an tubuhnya, sampai 

tak sempat bagi sang datuk untuk berusaha 

hentikan laju tubuhnya, hingga kejap 

kemudian sosoknya menghantam bagian


samping ruangan gua. Perlahan-lahan tubuh 

Datuk Hitam melorot jatuh dengan punggung 

bersandar pada bagian samping ruangan gua. 

Darah kehitaman kini mengalir dari mulut 

dan hidungnya pertanda luka dalamnya cukup 

parah. 

Di seberang, sosok Ratu Malam tampak 

bersandar pada bagian samping ruangan gua. 

Meski masih terlihat berdiri, namun 

tubuhnya agak melorot. Wajahnya pun 

berubah pias. Jubah merahnya bagian 

samping hangus hitam. Untuk beberapa saat 

nenek berambut putih sebatas tengkuk ini 

usap-usap dadanya dengan mulut komat-kamit 

mainkan gumpalan tembakau hitam di 

dalamnya. Malah beberapa kali tampak 

menghela napas seraya menghisap gumpalan 

tembakau di mulutnya. 

"Puluhan tahun terjun dalam kancah 

persilatan, baru kali ini aku menemui 

lawan yang tak mempan gabungan pukulanku! 

Jahanam betul! Meneruskan bentrok hanya 

akan membawa celaka...," gumam Datuk 

Hitam. Sejurus dia memandang ke arah Ratu 

Malam yang kini telah tegak dan hendak 

melangkah. Lalu alihkan pandangannya pada 

sosok Dewa Sukma yang ternyata telah 

mental jauh dari tempat semula. 

"Hem.... Kalau aku tetap ingin 

membawa Dewa Sukma, nenek tua itu tidak 

bisa kulewati hari ini. Terpaksa aku pergi 

bertangan kosong!" Datuk Hitam bergerak 

bangkit. 

Sambil arahkan pandangan matanya


keluar gua, sang datuk berucap. 

"Tua bangka Ratu Malam! Saat ini aku 

bersumpah. Siapa pun tak akan kubiarkan 

menyentuh nya-w .mu! Raga dan nyawamu 

keiak akulah yang menentukan!" 

Di seberang, mendengar sumpah Datuk 

Hitam, 

Ratu Malam tertawa panjang. 

"Aku tahu. Ucapanmu hanya untuk 

menghindar. Namun aku ingin buktikan juga, 

apakah kelak ucapanmu akan jadi kenyataan. 

Hik... hik... hik...!" 

Dagu Datuk Hitam di balik uraian 

rambutnya yang menutupi wajahnya tampak 

mengembang. Kedua kakinya bergetar keras. 

Tapi daripada mencari celaka jika 

perturutkan kemarahan, akhirnya tanpa 

berkata apa-apa lagi Datuk Hitam 

berkelebat tinggalkan ruangan gua. 

Ratu Malam pandangi kepergian Datuk 

Hitam dengan tertawa mengekeh panjang. 

Lalu begitu so-? *k sang datuk lenyap, si 

nenek melangkah mende k£.i ke arah Dewa 

Sukma yang masih tergeletak diam dengan 

mata terpejam dan napas megap-megap. 


DUA 



SI nenek cepat duduk bersila di 

samping tubuh Dewa Sukma. Tangan kanan 

kirinya bergerak cepat membuat ketukan 

beberapa kali di bagian tertentu dari 

tubuh Dewa Sukma. 

Seketika itu juga Dewa Sukma buka


kelopak matanya. Tubuhnya ikut bergerak-

gerak. Mulutnya perlahan-lahan membuka 

seolah hendak bicara. Namun sebelum 

ucapannya terdengar, Ratu Malam telah 

mendahului. 

"Nanti saja bicara. Sekarang bantu 

aku mengembalikan tenagamu!" 

"Sekar Mayang...," bisik Dewa Sukma 

memanggil nama asli Ratu Malam. "Kau ini 

bagaimana? Tubuhku laksana tak bertenaga. 

Bagaimana mungkin aku bisa membantumu?!" 

Sejurus Ratu Malam perhatikan sekujur 

tubuh Dewa Sukma. Ternyata tubuh kakek ini 

telah mengembung di beberapa bagian dan 

membentuk libatan di balik pakaiannya yang 

ternyata juga telah robek tak karuan. 

"Hemm.... Ini akibat libatan sinar 

celaka itu! Hanya ada satu orang yang 

punya pekerjaan seperti ini. Apakah memang 

dia orangnya...? Ah, bisa bahaya jika 

benar-benar dia!" kata Ratu Malam dalam 

hati. Lalu tanpa bicara lagi dia balikkan 

tubuh Dewa Sukma. Kedua tangannya 

ditempelkan pada punggung si kakek yang 

juga adalah kakak seperguruannya itu. 

Dewa Sukma tampak keluarkan keluhan, 

sosoknya berguncang-guncang. Namun Ratu 

Malam tak hiraukan keluhan orang. Malah 

dia lipat gandakan 

tenaga dalamnya, hingga untuk 

beberapa saat sosok Dewa Sukma terlihat 

naik turun sejengkal dari lantai gua! Tapi 

beberapa saat kemudian, tubuh Dewa Sukma 

tampak diam, dan bersamaan dengan itu


napasnya bergerak teratur 

Ratu Malam buka kelopak matanya dan 

menarik napas lega. Lalu kedua tangannya 

mengusap bagian yang mengembung dari tubuh 

Dewa Sukma. Sedikit demi sedikit bagian 

yang mengembung dan membentuk libatan itu 

mengempis. 

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Dewa 

Sukma perdengarkan batuk berulang kali. 

Ratu Malam tarik pulang kedua tangannya. 

Lalu menatap pada Dewa Sukma yang 

perlahan-lahan membuat gerakan hendak 

bangkit. Tapi tubuhnya oleng dan sebentar 

kemudian jatuh kembali telengkup di atas 

lantai gua. 

"Jalu Paksi...," ucap Ratu Malam 

dengan sebut nama asli Dewa Sukma. 

"Alirkan tenaga dalammu untuk pulihkan 

tenaga. Aliran darahmu masih tersumbat!" 

Dewa Sukma segera balikkan tubuh 

menelen-tang. Kedua tangannya merangkap di 

atas dada. Sementara sepasang matanya 

dipejamkan rapat. Dari mulutnya terdengar 

gumaman pelan tak jelas. 

Setelah merasa aliran darahnya 

normal, Dewa Sukma buka matanya. Lalu 

pelan-pelan bergerak bangkit dan duduk 

bersila dengan kedua tangan diletakkan di 

atas paha kiri kanan. 

“Sekar Mayang.... Tumben kau 

menyambangi diriku! Kukira kau telah 

menganggapku tidak ada!" 

Ratu Malam komat-kamitkan mulut 

mainkan gumpalan tembakau hitam. Sepasang


matanya dilebarkan pandangi sosok Dewa 

Sukma 

“Dasar Tua bangka tak tahu diri! 

Sudah ditolong masih juga mengomel bicara 

tidak karuan!" gerendengnya lalu berkata. 

"Siapa manusia yang membuatmu tak berkutik 

kaki di atas kepala di bawah, he?!" 

Dewa Sukma tak memberi jawaban. Kakek 

ini terlihat arahkan pandangannya keluar 

gua: Lalu beralih pada mulut gua sebelah 

kiri yang porak poranda. 

"Jalu Paksi!" kata Ratu Malam setelah 

agak lama ditunggu Dewa Sukma tidak juga 

buka mulut. "Sesuatu telah terjadi di 

luaran sana! Aku melihat beberapa orang 

berkeliaran dan aku menduga mereka me-

megang rahasia yang selama ini kita 

simpan! Jangan-jangan kau memberikan pada 

orang yang salah.... 

"Rupanya kau tahu banyak, Sekar 

Mayang...." 

"Eh. Apa maksudmu?!" 

"Penggalan peta itu memang telah 

jatuh pada orang yang salah! Tapi itu 

bukan salahku!" 

"Sialan! Sudah jelas berbuat salah 

masih juga berdalih!" maki Ratu Malam 

setengah berteriak. Lalu menyambung. 

"Siapa keparatnya yang mengambil peta itu? 

Katakan cepat!" 

Dewa Sukma gelengkan kepala. "Aku tak 

bisa pastikan siapa dia...." 

"Setan!" tukas Ratu Malam. "Bagaimana 

bisa begitu?!"


"Kau tak juga berubah, Mayang.... 

Selalu marah-marah...," gumam Dewa Sukma 

sambil menarik napas dalam-dalam. 

"Bagaimana aku akan enak-enakan. 

Sedang penggalan peta itu adalah pesan 

mendiang guru yang harus dijaga dan 

diserahkan pada orang yang telah 

ditentukan! Dunia persilatan akan 

mengalami kiamat jika peta itu sampai 

berada di tangan orang lain. Apa kau 

berani tanggung jawab, heh?!” 

"Tapi...." 

Belum usai ucapan Dewa Sukma, kembali 

Ratu Malam telah memotong. "Tidak ada 

tapi! Meski kau tak bisa memastikan siapa 

adanya orang itu, setidak-tidaknya kau 

bisa menduga! Ayo katakan!" 

"Hemm.... Melihat pukulannya serta 

sinar hitam yang menggantungku, aku 

menduga dia adalah Dur-ga Ratih. Tapi 

menilik pakaian yang dikenakan, aku jadi 

ragu-ragu!" 

"Apa pakaian yang dikenakan? Apakah 

potongan pakaiannya merangsang sampai kau 

bertekuk lutut? Dadanya terbuka, pananya 

ternganga?!” 

Dewa Sukma yang tahu bagaimana sifat 

adik seperguruannya hanya geieng-geieng 

kepala. "Kau salah besar, Mayang. Justru 

orang itu menutup seluruh anggota 

tubuhnya. Malah wajahnya pun ditutup 

dengan cadar hitam!" 

"Kau tadi menduga siapa?!" tanya Ratu 

Malam.


"Durga Ratih...!" 

"Persis! Aku pun menduga dialah 

pembuat ulah ini! Tapi bagaimana tahu-

tahunya banyak orang yang berkeliaran dan 

seoiah-olah tahu betul seluk-beluk urusan 

peta itu?" 

"Tak ada jawaban yang pasti daripada 

mencari tahu sendiri, Mayang!" 

"Hem.... Jika begitu, kita cepat 

pergi dari sini!" ujar Ratu Malam seraya 

bangkit berdiri. 

"Hei, ada apa denganmu, hah? Kau 

menyembunyikan sesuatu! Wajahmu berubah!" 

kata Ratu Malam begitu bangkit dan 

dilihatnya Dewa Sukma tak juga beranjak 

dari tempatnya. 

"Dengar, Mayang..." 

"Sialan! Kau kira sejak tadi aku 

tuli, heh?!" 

"Ada urusan lain yang harus kau 

ketahui, Mayang...." 

"Urusan penggalan peta dan 

menyelamatkannya jauh lebih pentingi 

Urusan lain belakangan!" sahut Ratu Malam 

seraya sedikit pelototkan sepasang 

matanya. 

"Justru urusan ini ada sangkut-

pautnya dengan penggalan peta itu!" 

"Hemm.... Aku pasang telinga. Katakan 

apa urusannya!" 

Beberapa saat Dewa Sukma diam. Namun 

sesaat kemudian dia buka mulut. 

"Mendiang Eyang guru memberikan 

sebuah kotak padaku. Kotak itu berisi peta


sempurna yang menunjukkan arah ke Pulau 

Biru. Eyang sengaja memberikan padaku 

untuk menjaga kemungkinan jika salah satu 

di antara kita berlima ada yang mendapat 

halangan dan tak bisa sampaikan penggalan 

peta di tangannya pada orang yang 

ditentukan." 

"Mana sekarang kotak itu?! Orang yang 

ditentukan itu sekarang sudah muncui! 

Daripada dia mencari penggalan peta, lebih 

baik kotak itu kita serahkan. Seperti 

kukatakan, telah banyak orang berkeliaran. 

Jika tidak bertindak cepat, tidak mustahil 

akan kedahuluan orang, apalagi peta di 

tanganmu telah raib!" 

"Kotak itu juga telah raib, 

Mayang...." 

"Apa?!" teriak Ratu Malam keras. 

Nenek ini tersentak kaget dan maju satu 

tindak dengan sepasang mata mendelik 

menatap lekat pada Dewa Sukma. 

"Kau jangan bercanda, Jalu Paksi!" 

"Aku tahu mana tempat bercanda, dan 

mana tempat harus bersungguh-sungguh!" 

"Kiamat! Benar-benar kiamat!" 

gerendeng Ratu Malam seraya melangkah 

mondar-mandir dengan kedua tangan mengepal 

dan sesekali dipukulkan satu sama lain. 

"Apakah perempuan keparat itu juga 

yang menggondolnya?!" 

"Bukan. Dia seorang pemuda yang 

menyebut dirinya Malaikat Penggali Kubur. 

Dia mengaku murid Bayu Bajra...." 

"Sialan! Betul-betul sialan! Berarti


makin banyak orang telah tahu rahasia 

Pulau Biru! Ini semua akibat kesalahanmu, 

Jalu Paksi! Kesalahanmu!" kata Ratu Malam 

sambil bantingkan kedua kakinya. 

"Aku tertipu, Mayang...." 

"Alasan! Bagaimanapun cerdiknya orang 

menipu, kalau kau berpegang teguh pada 

pesan Eyang guru tak mungkin kotak itu 

jatuh pada orang! Apalagi urusan kotak itu 

hanya kau satu-satunya dari kelima murid 

Eyang guru yang dipercaya menyimpannya! 

Atau karena dia murid dari adik kandungmu 

hingga kau begitu gampang menyerah-

kannya?!" 

"Mayang! Kau jangan menduga yang 

tidak-tidak! Sudah kukatakan aku ditipu!" 

kata Dewa Sukma dengan suara sedikit 

keras. 

"Aku tidak menduga buruk, Jalu Paksi. 

Tapi saat itu tidak ada orang lain yang 

melihat! Hanya kau dan orang berjuluk 

Malaikat Penggali Kubur. Jadi hanya kalian 

berdua yang tahu pasti apa yang terjadi!" 

"Nada ucapanmu masih mencurigaiku!" 

Ratu Malam tertawa pendek. "Terus 

terang, meski aku tak mendapat kepercayaan 

Eyang guru, tapi setidak-tidaknya aku 

punya kewajiban untuk ikut campur. Apakah 

salah jika muncul satu dugaan karena aku 

tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi?!" 

"Mayang! Tak ada gunanya kita 

berdebat!" 

"Lantas?!" 

"Kita menemui Iblis Ompong, Gendeng


Panuntun, dan Dewi Es!" 

Untuk beberapa saat Ratu Malam tegak 

diam. Sepasang matanya memandang keluar 

gua. "Aku kini mengkhawatirkan pemuda itu! 

Jangan-jangan dia mendapat halangan 

sebelum berhasil menemukan penggalan peta 

itu!" 

"Siapa namanya?" tanya Dewa Sukma 

seraya bangkit. 

"Seperti ciri-ciri yang dikatakan 

Eyang guru, karena dia memiliki Pedang 

Tumpu! 131 maka rimba persilatan 

menggelarinya Pendekar Pedang Tumpul 131." 

"Kalau begitu, hem.... Bagaimana 

kalau kita berpencar, aku menemui Iblis 

Ompong, Gendeng Panuntun dan Dewi Es, 

sementara kau menyusur jalan mencari 

pemuda itu! Bukankah kau sedikit banyak 

tahu ke mana arah pemuda itu?" 

Ratu Malam tampak berpikir. Lalu 

berpaling pada Dewa Sukma dan berkata. 

"Baik. Berhasil atau tidak setengah 

purnama di depan kau kutunggu di 

tempatku!" 

Setelah berkata begitu, Ratu Malam 

melangkah ke arah mulut gua. Sejurus dia 

berhenti di mulut gua dan perhatikan mulut 

gua sebelah kiri yang porak-poranda. Nenek 

berjubah merah menyala ini terdengar 

bergumam tak jelas. Lalu menoleh ke arah 

Dewa Sukma. 

Seakan dapat menangkap apa yang ada 

dalam benak Ratu Malam, Dewa Sukma segera 

berucap. "Jangaa mengajak betdebat lagi.


Mayang! Semuanya sudah terjadi!" 

Ucapan Dewa Sukma belum selesai, Ratu 

Malam telah kembali berpaling keluar gua. 

Lalu sekali berkelebat, sosoknya lenyap 

dari pandangan kakak seperguruannya. 

Dewa Sukma menarik napas panjang. 

Lalu edarkan pandangannya ke seluruh 

ruangan gua yang be-rantakan. Kejap lain 

sosoknya melesat keluar dari gua! 



TIGA 



MATAHARI mulai menggelincir turun 

dari titik tengahnya. Satu sosok bayangan 

putih ber kelebatan cepat laksana dikejar 

hantu genta yangan. Pada satu tempat si 

sosok hentikan larinya Kepalanya berputar 

dengan sepasang mata menya pu seantero 

tempat tak jauh dari tempatnya berdiri 

Ternyata dia berada di lereng sebuah bukit 

kecil. 

"Hemm.... Tempat ini agaknya 

aman...," gumam si sosok yang ternyata 

adalah seorang pemuda berparas tampan 

berpakaian putih-putih dengan rambut 

sedikit acak-acakan dibalut ikat kepala 

yang juga berwarna putih. 

Sang pemuda berpaling ke sebelah 

kanan, di mana pada bahu kanannya tampak 

sesosok tubuh. Setelah meyakinkan sekali 

lagi bahwa tempat di mana dia berada aman, 

sang pemuda perlahan-lahan turunkan sosok 

yang ada di bahunya. 

Di hadapan si pemuda kini tampak


telentang seorang gadis muda berwajah 

jelita mengenakan pakaian warna merah 

dengan rambut panjang hitam lebat yang 

dikuncir tinggi menggunakan ikat kepala 

warna putih. Hidungnya mancung dengan bulu 

mata lentik dan ditingkahi bibir membentuk 

bagus. 

Perlahan-lahan si gadis buka kelopak 

matanya. Sejenak tampak rasa terkejut 

membayang pada raut wajahnya. Namun kejap 

kemudian berubah malah bibirnya 

sunggingkan senyum meski parasnya agak 

kemerahan. 

"Pendekar 131.... Terima kasih...," 

ucap si gadis dengan sepasang mata menatap 

tajam pada pemuda yang jongkok di 

sampingnya. 

Si pemuda menggeleng pelan. "Dewi 

Seribu Bunga.... Simpan dulu ucapan itu. 

Aku perlu memeriksa lukamu...." 

Seperti dituturkan dalam episode: 

"Malaikat Penggali Kubur", saat terjadi 

pertemuan antara Pendekar 131 Joko Sableng 

dengan Ayu Laksmi tiba-tiba muncullah Dewi 

Seribu Bunga. Karena menuruti pesan 

gurunya Dewi Siluman yang harus menying-

kirkan siapa saja yang bertemu di jalan 

dan diduga berat memburu Kitab Serat Biru, 

Ayu Laksmi segera lepaskan pukulan. Karena 

Ayu Laksmi merasa geram dengan ucapan Dewi 

Seribu Bunga, gadis ini langsung lepaskan 

pukulan pertamanya pada Dewi Seribu Bunga. 

Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga yang 

diam-diam merasa cemburu dengan Ayu Laksmi


karena melihat gadis itu berdua-dua dengan 

pemuda yang diam-diam juga dirindukannya, 

tak tinggal diam. Akhirnya terjadilah 

bentrok. Saat itulah muncul Wulandari, 

salah seorang saudara seperguruan Ayu 

Laksmi. Kedua gadis ini segera lepaskan 

pukulan bersama-sama pada Pendekar 131 

yang saat itu menolong Dewi Seribu Bunga. 

Karena tak mau dirinya celaka juga untuk 

selamatkan Dewi Seribu Bunga, murid 

Pendeta Sinting segera pula menangkis 

dengan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. 

Begitu bentrok pukulan terjadi, Pendekar 

131 cepat menyahut sosok Dewi Seribu Bunga 

dan berkelebat tinggalkan tempat. 

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala 

seraya bangkit. "Aku tak apa-apa.... Maaf, 

aku mengganggu.... Seharusnya aku tak 

muncul di tempat mana kau berada dengan 

gadis itu...," kata si gadis dengan su ra 

agak tersendat sambil arahkan pandangannya 

pada jurusan lain. 

"Dewi.... Harap jangan menduga 

terlalu jauh. Dia...." 

Belum habis kata-kata Pendekar 131, 

Dewi Seribu Bunga telah menukas. 

"Sebagai seorang gadis, aku tahu 

kenapa gadis berjubah biru itu mengucapkan 

kata-kata kasar padaku. Lebih dari itu dia 

menginginkan nyawaku!" 

"Tidak hanya kau. Tapi dia juga 

menginginkan selembar nyawaku...." 

Dewi Seribu Bunga sunggingkan senyum 

seraya tertawa perlahan. Kepalanya


dipalingkan menghadap murid Pendeta 

Sinting. Menatap sejurus lalu berkata. 

"Itu karena kehadiranku di tempat itu 

dan karena kau menolongku." 

Murid Pendeta Sinting balas menatap 

ke bola mata si gadis. Seraya ganti 

tersenyum dia berujar. 

"Dengar, Dewi! Aku memang dua kali 

bertemu dengan gadis itu. Namun sejauh ini 

aku belum tahu apa maksudnya! Yang jelas 

dia selalu menginginkan nyawaku!" * 

Dewi Seribu Bunga sedikit arahkan 

kepalanya ke samping. Tapi raut wajahnya 

masih membayangkan keraguan dengan ucapan 

yang baru saja didengarnya. Sejenak gadis 

berpakaian merah ini menarik napas dalam, 

lalu berkata pelan. 

"Namun nada ucapannya sepertinya dia 

menyimpan sesuatu padamu...." 

Joko tertawa membuat Dewi Seribu 

Bunga menoleh kembali dengan dahi 

mengernyit. Puas tertawa murid Pendeta 

Sinting ini segera berujar. 

"Dewi.... Boleh saja kau menduga, 

tapi...." 

Belum sampai murid Pendeta Sinting 

lanjutkan ucapannya mendadak terdengar 

orang melantunkan bait-bait syair. 

Tataplah hari ini 

Hari ini adalah kehidupan dari segala 

kehidupan 

Hari kemarin tak lain hanyalah mimpi 

Sedang hari esok adalah merupakan 

bayangan


Menatap hari ini, membuat hari 

kemarin berubah jadi mimpi indah. 

Menatap hari ini, membuat hari esok 

berubah bayangan penuh harapan. 

Hari ini, petunjuk datang untuk 

menghadapi badai, keangkaramurkaan, dan 

kesombongan 

Buatlah hari ini yang terindah dalam 

hidup Sebelum kita ditantang kelaliman 

orang-orang sesat. 

Sebelum kita turun ke dalam tanah 

Dari tanah menjadi tanah, di bawah 

tanah kita terbaring 

Tanpa anyelir, tanpa syair, dan tanpa 

akhir. 

Joko dan Dewi Seribu Bunga untuk 

sesaat saling berpandangan satu sama lain. 

Namun murid Pendeta Sinting segera 

tengadahkan kepala. 

"Hari ini petunjuk datang...," 

gumamnya dalam hati mengulangi bait-bait 

syair yang baru saja terdengar. "Hemm.... 

Jangan-jangan syair tadi ada hubungannya 

dengan apa yang selama ini sedang ku-

hadapi.... Petunjuk! Mungkin ada kaitannya 

dengan penggalan peta!" 

"Dewi...," ucapnya setelah agak lama 

berpikir. "Tunggulah di sini. Aku akan 

melihat ke sana! Ja-ncv pergi sebelum aku 

datang kembali. Aku tahu kau masih 

terluka. Gadis-gadis tadi tidak tertutup 

kemungkinan masih mencari kita. Kalau ada 

apa-apa cepat beri tanda!" 

"Joko...!" seru Dewi Seribu Bunga


dengan nada khawatir. Namun yang diteriaki 

sudah berkelebat ke arah puncak bukit dari 

mana suara syair terdengar. 

"Ah.... Dia masih memperhatikan 

diriku. Tapi apakah perhatiannya itu hanya 

cuma perhatian? Apakah dia menyimpan rindu 

selama tidak berjumpa seperti apa yang 

kualami?" 

Gadis berbaju merah murid Maut Mata 

Satu ini sejenak tengadahkan kepala 

memandang ke arah puncak bukit. 

"Aneh. Kenapa Pendekar 131 sepertinya 

tertarik dengan lantunan syair-syair itu. 

Menilik suaranya, orang yang perdengarkan 

syair adalah seorang perempuan. Hemmm.... 

Apakah aku harus ikut ke sana? Gadis yang 

tadi menginginkan nyawanya adalah seorang 

perempuan. Lalu orang di atas sana juga 

perempuan. Jangan-jangan...." 

Dewi Seribu Bunga sekali lagi 

tajamkan sepasang matanya memandang ke 

arah puncak bukit. Tapi karena bukit itu 

ditumbuhi pohon-pohon besar serta rimbun 

semak belukar, hingga meski gadis ini 

sampai pelototkan mata dan kepalanya 

berputar, dia tak bisa menangkap keadaan 

di puncak bukit. 

Dan tanpa sepengetahuan Dewi Seribu 

Bunga, diam-diam sejak tadi sesosok tubuh 

tampak mendekam di balik sebuah pohon 

dengan sepasang mata tak berkedip 

memperhatikan ke arah Dewi Seribu Bunga. 

"Gadis beruntung...," gumam orang di 

balik pohon pelan. "Mendapat perhatian


dari seorang pemuda yang bukan hanya 

tampan namun juga berbudi. Seandainya aku 

bukan...," gumam orang di balik pohon 

terputus. Sepasang matanya yang ternyata 

ada di balik cadar berlobang kecil-kecil 

membelalak dengan dahi mengernyit. Menatap 

lurus ke arah mana Dewi Seribu Bunga tegak 

berdiri dengan wajah dibalut kebimbangan. 

Di depan sana, Dewi Seribu Bunga yang 

diliputi keragu-raguan dan kecemasan 

tersurut mundur satu langkah ketika tiba-

tiba satu bayangan berkelebat dan tegak 

dengan sikap menghadang lima langkah di 

hadapannya! 

Mungkin karena terkejut dengan 

kedatangan orang apalagi baru saja bentrok 

dengan Ayu Laksmi dan Wulandari, tanpa 

melihat siapa adanya orang, gadis 

berpakaian merah ini cepat angkat kedua 

tangannya siap lepaskan pukulan seraya 

berteriak menegur. 

"Jangan berani berbuat macam-macam 

atau ku-putus kepalamu!" 

Orang di hadapan Dewi Seribu Bunga 

tak membuat gerakan. Sebaliknya dia 

perdengarkan tawa pendek sambil alihkan 

pandangan. Namun jelas jika wajahnya 

berubah bahkan kedua tangannya terlihat 

mengepal keluarkan suara berkeretekan. 

Mendadak Dewi Seribu Bunga turunkan 

kedua tangannya. Sepasang matanya 

membelalak menyipit. Tanpa pikir panjang 

tiba-tiba si gadis membuat gerakan 

berkelebat ke depan menghambur pada orang


seraya menjura dalam-dalam. 

"Guru...." 

Terdengar dengusan keras. Tanpa 

memandang pada Dewi Seribu Bunga orang 

yang dipanggil guru ini membentak keras. 

"Larasati! Kau benar-benar murid tak 

tahu diun-tung! Apa kau lupa akan ucapanku 

tempo hari, hah?!" 

"Maafkan, Guru...." 

Orang di hadapan Dewi Seribu Bunga 

berpaling. Dia ternyata adalah seorang 

laki-laki berusia lanjut. Parasnya bulat 

besar dilapis kulit tipis dan pucat. 

Rambutnya putih dan dikuncir ke belakang. 

Raut wajahnya hanya tampak samar-samar 

karena sebagian wajah itu tertutup 

jambang, kumis dan jenggot lebat. Kakek 

ini mengenakan rompi panjang berwarna 

kuning. Matanya yang hanya sebelah, semen-

tara sebelahnya lagi ditutup dengan sebuah 

kulit bundar yang dikaitkan dengan tali ke 

belakang kepalanya membuat kakek ini 

tambah angker. 

"Aku tanya padamu. Apa kau lupa 

dengan ucapanku tempo hari! Jawab!" bentak 

si kakek bermata satu yang bukan lain 

adalah seorang tokoh dan momok rimba 

persilatan yang tak asing lagi di kalangan 

dunia persilatan. Yakni seorang tokoh yang 

bergelar Maut Mata Satu. (Tentang Maut 

Mata Satu, silakan baca serial Joko 

Sableng dalam episode: "Ratu Pemikat"). 

Dewi Seribu Bunga untuk beberapa saat 

tak juga buka mulut memberi jawaban. Tapi


tatkala Maut Mata Satu perdengarkan lagi 

dengusan keras, si gadis cepat angkat 

bicara meski dengan kepala menunduk. 

"Aku tidak lupa dengan ucapan 

Guru....!” 

"Hemm.... Lantas kenapa kau 

berkeliaran di tempat ini, hah?! Apa yang 

kau cari?! Jawab cepat!" 

"Maaf, Guru. Selama kepergianmu, aku 

selalu cemas akan keselamatanmu. Apalagi 

kau tak juga kunjung kembali...." 

"Teruskan kata-katamu. Tapi ingat. 

Sekali tak masuk akal jangan kira aku 

enggan menampar mulutmu!" sela Maut Mata 

Satu. 

"Guru. Apa maksudmu?" 

"Sejak kita gagal mendapatkan Pedang 

Tumpul 131 dan kembali ke Teluk Panarukan, 

kulihat sikapmu berubah! Kau sering 

menyendiri dan termenung! Aku menduga 

bukan keselamatanku yang membuatmu cemas 

dan meninggalkan Teluk Panarukan. Ada hal 

lain lebih dari itu! Jangan mendustaiku, 

Larasati!" 

Larasati alias Dewi Seribu Bunga 

parasnya berubah. Dadanya berdebar keras. 

Dia tampak menunduk Jebih dalam. Diam-diam 

gadis ini berkata dalam hati. 

"Aku tak boleh mengatakannya. Guru 

pasti tidak menyukai pemuda itu! Dan aku 

juga tidak boleh mengatakan jika pemuda 

itu ada di sini. Tapi bagaimana kalau 

tiba-tiba Pendekar 131 muncul? Ah.... Ini 

pasti akan membuatku celaka! Lebih-lebih


Pendekar 131. Aku harus...." 

"Eh. Kenapa kau diam?! Apa jawabmu 

dengan ucapanku tadi, h e?!" kata Maut 

Mata Satu dengan suara masih keras memutus 

kata hati Dewi Seribu Bunga. 

Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya. 

Menatap lekat-lekat pada gurunya lalu 

berkata. 

"Guru. Kau telah kuanggap sebagai 

orangtuaku sendiri. Apa gunanya berkata 

dusta padamu?" 

Maut Mata Satu tertawa pelan. 

"Larasati! Perubahan sikapmu tak bisa 

menipu pandanganku! Tapi.... Hemmm.... Aku 

tanya padamu, siapa saja yang sempat kau 

temui sejak kau meninggalkan Teluk Pa-

narukan?!" 

Sesaat pandangan Dewi Seribu Bunga 

melirik ke arah puncak bukit. Namun kali 

ini si gadis coba menindih perasaan agar 

raut kecemasan tak membayang di air 

mukanya. 

"Aku hanya sempat jumpa dengan dua 

orang gadis. Mereka tak sebutkan siapa 

adanya. Tapi yang membuatku heran, mereka 

sepertinya ingin membunuhku!" 

"Selain dua gadis itu?!" 

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. 

"Hanya mereka yang sempat kutemui!" 

"Pemuda itu?!" tanya Maut Mata Satu. 

Meski Dewi Seribu Bunga sudah 

tegarkan hati, namun saat gurunya ajukan 

tanya tentang pemuda yang dimaksud bukan 

lain Pendekar Pedang Tumpul 131, mau tak


mau membuat gadis berpakaian merah ini 

terkesiap kaget. 

"Kau sempat jumpa dengan pemuda 

bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 

bukan?!" Maut Mata Satu ulangi tanyanya. 

"Tidak!" kata Dewi Seribu Bunga 

dengan suara bergetar agar keras. 

"Hanya...." 

"Katakan! Kenapa kau putus kata-

katamu?!" sahut Maut Mata Satu. 

"Aku menangkap kelebatan tubuhnya 

saat aku bentrok dengan dua gadis itu! Dia 

menuju arah selatan!" 

"Bagus! Kau sebelah sana, aku lewat 

sini!" kata Maut Mata Satu seraya arahkan 

telunjuk tangannya. "Kita bertemu sebelum 

petang!" 

"Aku belum mengerti maksud Guru....!" 

Maut Mata Satu pelototkan matanya 

yang hanya sebelah. "Kejar dia! Ingat 

ucapanku tempo hari. Rebut pedangnya 

dengan cara apa pun! Dengar?!" 

Meski dengan berat akhirnya kepala 

Dewi Seribu Bunga membuat gerakan 

mengangguk. Setelah melirik sejurus ke 

arah puncak bukit, Dewi Seribu Bunga 

menjura. "Aku berangkat sekarang, 

Guru...." 

Maut Mata Satu menyeringai. "Ingat! 

Jika kejadian dahulu terulang lagi, bukan 

saja tak kuizlnkan kau tinggalkan Teluk 

Panarukan, tapi kau akan tinggalkan dunia 

ini selamanya!" 

Dada Dewi Seribu Bunga membuncah


dengan berbagai perasaan mendengar ucapan 

gurunya. Namun karena berpikir tak ada 

gunanya berdebat mencari perkara, akhirnya 

gadis ini segera berkelebat tinggalkan 

iereng bukit menuju arah selatan seperti 

yang ditunjuk Maut Mata Satu. 

"Heemmm.... Anak itu tampak sangat 

cemas. Berulangkali kulihat matanya 

memandang ke arah puncak bukit...," desis 

Maut Mata Satu begitu sosok Dewi Seribu 

Bunga telah lenyap. 

"Jangan-jangan dia masih menyembu-

nyikan sesuatu padaku...." Maut Mata Satu 

untuk beberapa lama tidak segera beranjak 

dari tempatnya. Malah seraya bergumam tak 

jelas sebelah matanya mendelik angker 

memandang ke arah puncak bukit. Malah kini 

perlahan-lahan dia melangkah menuju puncak 

bukit. 

Orang di balik pohon pentangkan 

sepasang matanya dari balik cadar. 

"Jelas orang ini punya niat jahat! 

Gadis itu juga! 

Hemm.... Meski aku belum tahu apa 

sebenarnya yang terjadi di puncak bukit, 

tapi aku harus mencegah orang bermata satu 

itu!" kata orang yang mendekam di balik 

pohon dalam hati seraya alirkan tenaga 

dalam siapkan satu pukulan. Dia segera 

bergerak hendak bangkit keluar dari balik 

pohon. Tapi gerakannya tertahan malah dia 

rundukkan kembali tubuhnya ke balik pohon. 

Di depan sana, Maut Mata Satu tiba-

tiba hentikan langkah. Satu matanya


memperhatikan berkeliling lalu ke puncak 

bukit. 

"Sialan! Kenapa aku turuti rasa 

curiga yang belum pasti? Larasati 

mengatakan pemuda itu menuju arah selatan. 

Hemm.... Meski urusan Kitab Serat Biru 

kail Ini lebih penting, tapi adalah satu 

kebanggaan tersendiri jika Pedang Tumpul 

131 berhasil jatuh ke tanganku!" 

Berpikir sampai di situ, Maut Mata 

Satu segera putar diri. Hal inilah yang 

membuat sosok di balik pohon urungkan niat 

untuk keluar. Malah makin rundukkan diri 

ketika mata Maut Mata Satu mengedar 

berkeliling. 

"Hemm.... Jangan-jangan dia tahu dan 

urungkan niat menuju puncak bukit!" kata 

sosok di balik pohon dalam hati. Tapi 

sosok ini segera menarik napas lega ketika 

di depan sana dilihatnya Maut Mata Satu 

membuat gerakan berputar lalu berkelebat 

tinggalkan lereng bukit. 

"Aku akan menunggu sampai Pendekar 

131 turun. Aku harus mengatakan padanya 

siapa sebenarnya gadis berbaju merah itu! 

Gadis liar! Berkedok cinta untuk satu 

tujuan busuk! Tak akan kubiarkan jika aku 

bertemu dengannya lagi!" 

Sosok ini segera bangkit dan keluar 

dari balik pohon. Ternyata dia adalah 

seorang perempuan mengenakan pakaian 

panjang. Wajahnya mengenakan cadar 

berlobang-lobang kecil, sementara di pung-

gungnya tampak punuk besar!


EMPAT 



PENDEKAR 131 terus berkelebat ke 

puncak bukit. Namun mendadak murid Pendeta 

Sinting ini hentikan larinya dengan kening 

berkerut dan kepala berputar. Karena 

nyanyian bait-bait syair itu terdengar 

kembali. Namun bukan karena suara itu Joko 

Sableng hentikan langkah. Melainkan suara 

bait-bait syair itu laksana datang dari 

arah sebelah kanan lamping bukit. Namun 

kejap kemudian beralih ke lamping bukit 

sebelah kiri. Saat lain laksana terdengar 

dari puncak bukit. 

"Heran. Jika bukan orang 

berkepandaian tinggi, tak mungkin bisa 

lakukan hal seperti ini. Aku akan terus 

menuju puncak. Dari sebelah sana mungkin 

agak mudah menentukan di mana beradanya 

orang itu...." Joko segera teruskan 

langkah mendaki ke puncak bukit. 

Saat itulah kembali terdengar 

lantunan bait-bait syair. Tapi kali ini 

jelas datangnya dari arah puncak bukit. 

Hari penentuan telah datang 

Hilangkan rasa ragu dan bimbang 

Di hati yang bersih dan cemerlang 

Di sana petunjuk itu akan menjelang 

Gelombang arakan awan hitam telah 

menghadang 

Laskar maut telah memekik meradang 

Hanya dengan kuasa yang Maha Pengasih 

dan Penyayang


Sang penentu dapat membuat jalan 

terang 

Untuk beberapa lama, Joko simak baik-

baik bait syair yang didengarnya. 

"Apakah ini betul-betul ada kaitannya 

dengan petunjuk penggalan peta itu? 

Hemm.... Aku belum sempat melihat 

penggalan peta yang diberikan orang tua 

yang sebutkan dirinya Gendeng Panun-tun. 

Jangan-jangan aku salah jalan dan 

tertipu...." 

Murid Pendeta Sinting segera ambil 

gulungan kulit dari balik pakaiannya. 

Gulungan kulit berwarna coklat dari Ratu 

Malam, iblis Ompong, serta Gendeng 

Panuntun itu segera dibuka dan diletakkan 

bersambung satu sama lain. Tiba-tiba Joko 

mendelik besar dengan putar kepalanya 

berkeliling. 

"Astaga! Peta terakhir ini 

menunjukkan tempat ini! Jadi lantunan 

syair tadi betul-betul ada kaitannya 

dengan penggalan peta ini!" 

Joko cepat masukkan kembali tiga 

gulungan kulit di balik pakaiannya. Lalu 

berkelebat ke arah puncak bukit. Begitu 

sampai puncak bukit murid Pendeta Sinting 

ini merasakan keanehan. 

Puncak bukit yang tidak berapa luas 

itu terasa dingin luar biasa. Malah sempat 

membuat sepasang kaki Joko bergetar 

menggigil. Rahangnya pun mengatup rapat. 

Dan sepasang matanya menangkap kepulan


asap di seluruh puncak bukit! Dan ketika 

sepasang matanya terbiasa dengan asap yang 

menyelimuti puncak bukit, murid Pendeta 

Sinting ini makin membeliak. Ternyata 

rimbun dedaunan di puncak bukit bukanlah 

dedaunan biasa, melainkan gumpalan es! 

Selagi dada Joko disesaki keheranan, 

tiba-tiba terdengar suara teguran. 

"Anak manusia! Harap sebutkan nama 

dan gelarmu!" 

Sesaat Joko terkesiap. Karena dia 

belum bisa 

melihat orang yang keluarkan suara 

teguran, sepasang matanya dibeliakkan 

jelalatan menembusi kepulan asap. 

"Anak manusia!" kembali satu teguran 

terdengar. "Harap suka jawab pertanyaanku 

atau lekas tinggalkan puncak bukit!" 

"Aku.... Aku Joko Sableng...." 

Dari tengah kepulan asap puncak bukit 

terdengar gumaman ulangi nama Joko. Lalu 

terdengar suara agak keras. 

"Kau belum sebutkan siapa gelarmu!" 

Seraya menahan rasa dingin, Joko 

gelengkan kepala, lalu berujar. 

"Aku tidak punya gelar. Hanya orang-

orang kampung memberi julukan padaku 

Pendekar Pedang Tumpul 131. Padahal...." 

"Adakah kau ke sini membawa bekal?" 

suara di tengah kepulan asap menukas 

terlebih dahulu sebelum ucapan Joko 

selesai. 

"Aku tak mengerti bekal yang kau 

maksud!" ujar murid Pendeta Sinting


setelah agak lama terdiam. 

"Melihat keadaanmu, tentu kau telah 

mengadakan perjalanan cukup jauh. Adakah 

puncak bukit ini jadi tujuanmu ataukah kau 

hanya anak manusia yang tersesat jalan?!" 

"Dikatakan tujuan bisa, namun 

dikatakan tersesat jalan juga boleh!" 

"Hemm.... Bisa jelaskan padaku apa 

maksud ucapanmu itu?!" 

"Sebenarnya aku sampai di tempat ini 

secara kebetulan. Namun ternyata setelah 

kulihat dengan seksama, tempat inilah yang 

harus kutuju!" 

"Apa tujuanmu ke tempat ini?!" 

"Aku mendapat tugas dari Eyang guru 

Pendeta 

Sinting serta Manusia Dewa untuk 

menyelidik ke Pulau Biru yang diduga keras 

menyimpan Kitab Serat Biru yang sekarang 

dibicarakan dan diburu beberapa tokoh 

rimba persilatan. Baik Eyang guru maupun 

Manusia Dewa tak memberi petunjuk apa-apa 

mengenai Pulau Biru, hingga akhirnya aku 

berjalan menurutkan langkahan kaki seraya 

tanya sana tanya sini. Tapi pada satu 

tempat aku bertemu dengan seorang nenek 

yang terakhir kuketahui bergelar Ratu 

Malam. Dari padanya aku mendapatkan 

penggalan peta. Lalu ketika aku teruskan 

perjalanan, aku berjumpa dengan seorang 

tokoh yang berjuluk Iblis Ompong. Dari 

tokoh ini aku juga mendapatkan penggalan 

peta. Terakhir kali, aku bersua dengan 

orang aneh yang sebutkan diri Gendeng


Panuntun. Dari orang ini, aku juga 

mendapatkan penggalan peta. Saat aku 

mendengar bait-bait syair dari puncak 

bukit ini seakan aku merasa bahwa bait-

bait itu ada kaitannya dengan penggalan 

peta yang ada padaku. Dan ketika 

penggalan-penggalan peta itu kusambung, 

ternyata berakhir di puncak bukit ini." 

"Aku tanya!" kata suara dari tengah 

kepulan asap dingin. "Mengapa kau bersedia 

mengemban tugas yang bukan hanya berat 

namun satu-satunya nyawamu juga akan jadi 

taruhannya?!" 

"Menurut penuturan Eyang dan Manusia 

Dewa, Kitab Serat Biru adalah sebuah kitab 

sakti. Jika kitab itu sampai jatuh pada 

orang yang tidak bertanggung jawab, maka 

rimba persilatan akan ditimpa malapetaka 

besar! Demi keselamatan rimba persilatan, 

aku bersedia mengemban tugas dan aku rela 

satu-satunya nyawa milikku dipertaruhkan!" 

Dari tengah kepulan asap dingin 

terdengar lantunan bait-bait syair yang 

tadi didengar Joko. Setelah lantunan syair 

itu selesai, terdengar suara. 

"Kemarilah, Anak muda!" 

Ucapan orang belum selesai, tiba-tiba 

dari lamping bukit sebelah kanan menyambar 

gelombang angin pelan. Anehnya kepulan 

asap dingin di puncak bukit laksana 

dihantam gelombang luar biasa dahsyat dan 

seketika ambyar lalu membumbung ke 

angkasa! 

Dari tempatnya berdiri, murid Pendeta


Sinting melihat seorang perempuan yang 

wajahnya hanya tampak samar-samar, karena 

dari atas kepalanya tampak curahan air 

rintik-rintik yang menyelimuti sekujur 

tubuhnya! Anehnya, baik wajah maupun jubah 

putih yang dikenakan serta tubuhnya tidak 

basah! Rambutnya panjang bergerai hitam 

dan lebat. Perempuan ini duduk bersila di 

atas sebuah altar batu. Curahan air dari 

atas kepala si perempuan begitu sampai di 

altar batu langsung meresap, dan sesaat 

kemudian lenyap. Hingga altar batu yang 

diduduki si perempuan tetap kering! 

"Anak muda! Aku tidak suka bicara 

berulang-ulang! Harap segera turuti 

ucapanku atau putar diri dan turun bukit!" 

Tiba-tiba si perempuan buka mulut. 

Murid Pendeta Sinting sekali lagi 

pentangkan sepasang matanya. Perlahan-

lahan dia rasakan hawa dingin di sekitar 

puncak bukit berganti hangat. Dan dengan 

benak masih diliputi rasa heran, Joko 

perlahan maju mendekat ke arah si 

perempuan. 

Lima langkah dari tempat si 

perempuan, Joko Sableng hentikan langkah. 

Kini agak jelas raut wajah si perempuan. 

Ternyata dia adalah seorang perempuan 

berparas cantik jelita meski umurnya tidak 

muda lagi. Sepasang matanya lembut 

ditingkah bulu mata lentik. Hidungnya 

sedikit mancung dengan bi-Wr merah. 

"Pendekar 131! Aku telah lama 

menunggu kedatanganmu! Tiap hari aku


selalu lantunkan bait-bait syair yang tadi 

kau dengar. Memang banyak anak manusia 

yang datang ke tempat ini. Namun mereka 

tidak membawa bekal seperti yang kau 

miliki. Dan sejak hari ini aku sudah tidak 

akan lagi lantunkan syair itu!" 

"Berarti apakah kau salah seorang 

saudara seperguruan Ratu Malam?" tanya 

Joko dengan mata memandang tak berkedip. 

Si perempuan anggukkan kepala. 

"Betul! Akulah yang termuda di antara lima 

saudara seperguruan!" 

"Boleh aku tahu siapa namamu?!" 

"Anak muda! Untuk namaku, biarlah 

hanya empat saudara seperguruanku yang 

tahu...." 

Murid Pendeta Sinting angkat alis 

matanya seraya menggeleng perlahan. 

"Lalu harus bagaimana aku 

memanggilmu?!" 

"Selama ini orang-orang memanggilku 

Dewi Es!" 

Hening sejenak. Tiba-tiba si 

perempuan berjubah putih yang mengaku 

bernama Dewi Es ulurkan kedua tangannya ke 

depan. 

"Tunjukkan padaku barang yang kau 

miliki dari tiga orang yang kau sebutkan 

tadi!" 

Joko terlihat ragu-ragu. Lenyapnya 

Pedang Tumpul 131 dari tangannya membuat 

murid Pendeta Sinting ini selalu dihantui 

perasaan khawatir pada setiap orang yang 

baru dikenalnya.


"Pendekar 131! Harap ingat 

peringatanku. Aku tak suka bicara berulang 

kali!" kata Dewi Es tetap dengan kedua 

tangan terulur ke depan. 

Dengan sikap waspada, perlahan-lahan 

Joko keluarkan tiga gulungan kulit dari 

balik pakaiannya. 

Dan dengan kerahkan tenaga dalam unti 

«k menjaga segala kemungkinan, murid 

Pendeta Sinting melangkah maju. 

Di depan sana, Dewi Es perdengarkan 

suara tawa perlahan. 

"Tak perlu siapkan pukulan 'Lembur 

Kuning', Anak muda! Dan simpan kembali 

kulit itu!" 

Murid Pendeta Sinting tersentak kaget 

mendapati orang tahu dirinya siapkan 

pukulan 'Lembur Kuning'. Dengan air muka 

berubah, Joko cepat masukkan kembali 

gulungan kulit ke balik pakaiannya dan 

beringsut mundur. 

Tapi Joko terkesiap. Sepasang kakinya 

laksana dipantek tak bisa digerakkan meski 

dia coba dengan kerahkan tenaga dalamnya. 

"Dewi! Apa yang kau lakukan? Jangan 

coba-coba memuslihatiku!" teriak Joko 

dengan angkat kepalanya menatap tajam pada 

Dewi Es. 

Dewi Es tidak membuka mulut. Malah 

kini bangkit lalu melangkah ke arah Joko. 

Dua langkah di hadapan Pendekar 131, Dewi 

Es hentikan langkah. Kedua tangannya 

kembali menjulur ke depan. 

Menangkap gelagat tidak baik, murid


Pendeta Sinting cepat membuka gerakan 

dengan angkat kedua tangannya. Namun darah 

Joko laksana sirap. Kedua tangannya kejang 

kaku tak bisa digerakkan! 

"Celaka jika sampai perempuan ini 

mengambil gulungan kulit itu!” keluh Joko 

dalam hati. Diam-diam dia coba kerahkan 

tenaga dalamnya. Namun aliran tenaga 

dalamnya laksana beku tak bisa diarahkan! 

"Ilmu apa yang dimiliki perempuan 

ini?! Tangan dan kakiku kejang kaku. 

Tenaga dalamku membeku! Benar-benar 

celaka!" 

"Dewi!" teriak Joko Sableng. Namun 

sepasang mata Joko jadi membelalak besar 

karena suaranya tidak terdengar! Suara itu 

seperti tersekat di tenggo-rokan! 

"Jika dia berani bertindak macam-

macam, tak akan kuampuni nyawanya!" kata 

Joko dalam hati dengan rahang mengembung 

dan pelipis kiri kanan bergerak-gerak 

pertanda menindih hawa marah. 

Kedua tangan Dewi Es terus menjulur 

ke depan. Lalu menangkap kedua telapak 

tangan Joko. Sepasang mata sang Dewi 

mendadak terpejam rapat. Belum tahu apa 

yang hendak diperbuat Dewi Es. Pendekar 

131 merasakan kedua telapak tangannya di-

aliri hawa luar biasa dingin hingga 

tubuhnya bergetar menggigil. Ketika Joko 

melirik, nyawanya laksana terbang. 

Ternyata sekujur tubuhnya perlahan-

lahan diselimuti cairan membeku! Bahkan 

sedikit demi sedikit sepasang matanya


terasa berat. Murid Pendeta Sinting 

merasakan matanya dialiri cairan, hingga 

mau tak mau dia segera pejamkan sepasang 

matanya. 

Bersamaan dengan terpejamnya mata, 

murid Pendeta Sinting rasakan tubuhnya 

laksana ditimpa beban berat yang sangat 

dingin. Lalu dia rasakan tubuhnya 

terhuyung dan kakinya melipat. Kejap lain 

tubuhnya jatuh berdebam ke atas tanah! 

Dewi Es tarik kedua tangannya dari 

telapak tangan Joko. Dan sekali bergerak 

tubuhnya melesat mundur dan tahu-tahu 

telah duduk bersila kembali di atas batu 

altar. Sesaat kedua tangannya bergerak ke 

atas mengusap keringat yang membasahi 

wajah dan lehernya. Lalu menarik napas 

dalam-dalam dengan sepasang mata memandang 

tajam ke arah sosok Joko yang telentang. 

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Dewi 

Es tengadahkan kepala. Kedua tangannya 

mendorong ke depan ke arah Joko. Dari 

telapak tangan sang Dewi muncrat cairan 

bening namun mengepulkan asap. 

Buusss! 

Gumpalan es yang membungkus sekujur 

tubuh Pendekar 131 mendadak mencair dan 

murid Pendeta Sinting ini rasakan hawa 

hangat menjalari tubuh. Hingga dia 

perlahan-lahan buka kelopak matanya. 

Joko sejurus terkesima. Pandangan 

matanya terasa tambah tajam Dan saat dia 

bergerak bangkit, dia juga tersentak. 

Gerakannya begitu ringan dan cepat!


"Jangan-jangan ini karena...," Joko 

segera arahkan pandangannya pada Dewi Es. 

Perempuan berjubah putih ini tampak tetap 

duduk bersila dengan sekujur tubuh laksana 

dicurahi rintik-rintik air. 

"Pendekar 131!" ucap Dewi Es sebelum 

murid Pendeta Sinting sempat buka mulut. 

"Dalam dirimu sekarang ada satu kekuatan. 

Jika kau kerahkan tenaga dalam pada 

pangkal lenganmu lalu kedua tanganmu kau 

dorong menghantam, maka dari kedua 

tanganmu akan keluar satu gelombang 

kekuatan yang luar biasa dingin. Jika kau 

memegang sesuatu, maka barang yang kau 

pegang akan membatu! Jika tenaga dalam kau 

kerahkan pada dada, maka pukulan lawan 

akan mental atau setidak-tidaknya meski 

mengena namun tidak akan mencederaimu! Kau 

sekarang telah memiliki pukulan dan 

kekuatan 'Sukma Es'!" 

Entah karena terpesona dengan ucapan 

orang, hingga untuk beberapa saat murid 

Pendeta Sinting Ini masih tegak terpaku 

dengan mata tak berkeriap r *>natap pada 

Dewi Es. Begitu tersadar Pendekar 131 

segera menjura dalam-dalam. 

"Maaf atas dugaanku yang terlalu 

jauh, Dewi...." 

Dewi Es gelengkan kepala. "Kita bukan 

sebagai murid dan guru. Harap kau tidak 

membuatku malu dengan peradatan begitu 

rupa!" 

Murid Pendeta Sinting tarik pulang 

tubuhnya dan angkat kepalanya.


"Terima kasih, Dewi...." 

"Pendekar 131! Perjalananmu sudah 

dekat. Namun justru di situlah tantangan 

dan rintangan makin berat. Terimalah 

penggalan peta terakhir ini!" kata Dewi Es 

seraya ulurkan tangan kanannya yang me-

megang gulungan kulit. 

Joko melangkah maju. Lalu menyambuti 

gu-lu igan kulit dari tangan Dewi Es. 

Begitu gulungan kulit berada di 

tangan Joko, mendadak puncak bukit 

diselimuti asap. Namun kali ini Joko tidak 

merasakan dingin, hanya sepasang matanya 

tidak bisa lagi menangkap sosok Dewi Es! 

"Selamat jalan, Pendekar 131!" Joko 

pentangkan sepasang matanya menembusi asap 

yang menyungkup puncak bukit, tapi tetap 

saja matanya tidak bisa menangkap sosok 

Dewi Es. Hingga pada akhirnya murid 

Pendeta Sinting ini hanya menjura seraya 

berkata. 

"Terima kasih, Dewi.... Aku berangkat 

meneruskan perjalanan!" 

Habis berkata begitu, Joko putar diri 

lalu berkelebat menuruni puncak bukit. 

Mendadak murid Pendeta Sinting ini 

hentikan langkah. Kepalanya berputar 

dengan mata memandang sekeliling. Di kanan 

kirinya tampak berjajar pohon-pohon besar 

dan rangasan semak belukar lebat. 

"Hemmm.... Dewi Es mengatakan aku 

memiliki pukulan dan kekuatan 'Sukma Es'. 

Aku ingin buktikan bagaimana pukulan 

'Sukma Es' itu!" kata Joko dalam hati lalu


kerahkan tenaga dalam pada pangkal lengan 

tangan kanan kirinya. Kejap kemudian kedua 

tangannya mendorong ke depan, ke arah 

sebatang pohon besar. 

Wuuuttt! Wuuttt! 

Dari kedua tangan Joko menyambar 

gelombang angin dahsyat yang taburkan hawa 

luar biasa dingin. Lalu terdengar suara 

berderak. Kejap lain pohon besar di 

hadapan Joko tumbang dengan batang hancur 

berantakan dibungkus gumpalan-gumpalan es! 

Murid Pendeta Sinting jadi 

terperangah sendiri. Saat Itulah tiba-tiba 

dia teringat pada Dewi Seribu Bunga yang 

ditinggal di lereng bukit. Tanpa pikir 

panjang lagi, Joko segera berkelebat 

kembali menuruni bukit. 

Sampai di tempat tadi Dewi Seribu 

Bunga ditinggalkan, murid Pendeta Sinting 

jadi tidak enak ketika dia tidak melihat 

si gadis. 

"Ke mana dia? Jangan-jangan dua gadis 

yang mengejar itu menemukannya. Atau 

barangkali...." 

"Pendekar 131...!" satu suara membuat 

murid Pendeta Sinting putuskan kata 

hatinya dan cepat putar tubuh ke arah 

datangnya suara. 

"Kau...," gumam Joko memandang lurus 

ke depan di mana di bawah sebatang pohon 

agak besar tegak berdiri seorang perempuan 

yang wajahnya ditutup menggunakan cadar 

berlobang-lobang kecil dan di punggungnya 

terlihat punuk besar.


LIMA 



HERAN. Bagaimana perempuan ini bisa 

berada di sini? Mungkinkah dia mengikuti 

langkahku? Melihat sikapnya sepertinya dia 

sengaja menungguku! Tapi ke mana gerangan 

Dewi Seribu Bunga?" 

"Pendekar 131! Kau mencari atau 

menunggu seseorang?" tanya perempuan 

berpunuk. 

"Hemm.. Perempuan ini sengaja menekan 

nada suaranya. Siapa sebenarnya perempuan 

ini? ~ empo hari dia menolongku dan tidak 

mau sebutkan diri. Sekarang muncul lagi 

tapi bersamaan itu Dewi Seribu Bunga 

lenyap! Jangan-jangan perempuan ini...." 

"Kau tak mau jawab pertanyaanku...," 

ujar perempuan berpunuk menukas kata hati 

Joko. "Mungkin keberadaanku tidak berkenan 

di hatimu." 

Wajah di balik cadar perempuan 

berpunuk sejurus terlihat berubah. Setelah 

sepasang mata dari balik cadar menatap 

tajam, sosok perempuan berpunuk itu putar 

dirinya setengah lingkaran lalu berkelebat 

tinggalkan tempat itu. 

"Tunggu!" teriak murid Pendeta 

Sinting membuat kelebatan perempuan 

berpunuk tertahan. 

"Aku memang mencari seseorang!" ujar 

Joko. "Seorang gadis mengenakan pakaian 

warna merah. Rambutnya dikuncir...." 

"Kenapa kau mencari di sini?!" tanya


perempuan berpunuk sambil hadapkan kembali 

sosoknya ke arah Joko. 

"Hemm.... Dia tadi kutinggalkan di 

tempat ini sendirian...." 

Joko tidak teruskan keterangannya 

karena perempuan berpunuk terdengar 

tertawa perlahan lalu berkata. 

"Tentu gadis berbaju merah berambut 

dikuncir itu seorang gadis jelita. Kau 

terlalu sembrono tinggalkan seorang gadis 

jelita sendirian di tempat sunyi seperti 

ini!" 

"Dia masih dalam keadaan terluka. Aku 

coba mencari daun-daunan untuk obat...," 

kata Joko sengaja sembunyikan apa 

sebenarnya yang dialami di puncak bukit. 

"Pemuda ini pandai juga berkata 

bohong. Aku tadi jelas mendengar suara 

orang lantunkan bait-bait syair dari 

puncak bukit. Tapi.... Itu bukan hal 

penting bagiku...." Perempuan berpunuk 

diam-diam membatin. 

"Harap kau tunjukkan di mana gadis 

itu!" Mendadak Joko berujar dengan tatapan 

menyelidik ke arah perempuan berpunuk. 

"Aku tadi pergi tidak lama. Kalau sekarang 

tiba-tiba dia tidak ada pasti ada orang 

yang usil!" 

Air muka di balik cadar tampak 

tegang. "Nada bicaramu sepertinya menuduh 

padaku!" 

"Di sini tidak ada orang lain! Jadi 

harap jangan membuat urusan meski aku 

pernah berhutang budi padamu!"


"Pendekar 131! Jangan sebut-sebut 

lagi hutang budi! Dan harap jangan pula 

menduga yang bukan-bukan!" 

"Jika tidak mau dituduh, katakan di 

mana gadis itu berada!" 

"Kau tetap menuduhku menyimpan 

gadismu itu!" kata perempuan berpunuk 

dengan suara agak keras. "Dengar, Pendekar 

131! Tidak ada gunanya 

aku menyimpan seorang gadis!" 

Joko Sableng tegak dengan mulut 

terkancing diam. Di depan sana perempuan 

berpunuk tampak tengadahkan sedikit 

kepalanya. Dari mulutnya terdengar ucapan 

tak jelas. Tak selang lama, si perempuan 

berpunuk luruskan kepalanya menghadap 

Pendekar 131. 

"Maaf. Mungkin ucapanku terlalu keras 

dan kasar. Tapi aku memang tidak 

sembunyikan gadis berbaju merah itu. 

Aku...." Perempuan berpunuk tak lanjutkan 

ucapannya, hanya kepalanya terlihat meng-

geleng. 

Melihat perubahan sikap si perempuan 

cepat-cepat Pendekar 131 menyahut. 

"Ah. Seharusnya aku yang minta maaf. 

Dan terlalu lancang menuduhmu yang bukan-

bukan...." 

Sepasang mata di balik cadar 

berlobang-lobang kecil menatap tajam pada 

Pendekar 131. "Haruskah kukatakan apa yang 

kudengar dan kulihat tentang gadis berbaju 

itu? Kalau dia tidak mempercayaiku? Ah.... 

Percaya atau tidak dia harus tahu! Ini


demi keselamatan dirinya meski aku sendiri 

tahu bahwa Pedang Tumpul 131 saat ini 

berada di tangan Dewi Siluman...," pikir 

perempuan berpunuk lalu berkata. 

"Pendekar 131. Waktu aku sampai di 

sini, aku memang melihat seorang gadis 

berbaju merah. Namun tiba-tiba saja muncul 

seorang kakek mengenakan rompi panjang 

warna kuning. Dari percakapan mereka 

berdua, aku menangkap gelagat bahwa gadis 

itu punya niat tersembunyi padamu!" 

Untuk sesaat murid Pendeta Sinting 

tampak terkejut mendengar ucapan si 

perempuan. "Kakek berompi kuning. Hemm.... 

Siapa? Dewi Seribu Bunga menyimpan niat 

tersembunyi? Ah. Apakah mungkin?" 

Melihat bayang kebimbangan di wajah 

si pemuda, perempuan berpunuk segera 

lanjutkan ucapannya. "Aku tak berharap kau 

percaya begitu saja ucapanku! Namun 

setidaknya kau harus berhati-hati! Jika 

kau ingin menyusul, dia pergi menuju arah 

selatan. Selamat tinggal...!" 

"Tunggu!" kembali Joko Sableng 

berteriak menahan kelebatan perempuan 

berpunuk. Tapi kali Ini si perempuan 

teruskan kelebatan tubuhnya dan kejap 

kemudian sosoknya lenyap dari pandangan 

Pendekar 131. 

"Apakah ucapannya tidak mengada-ada? 

Tapi apakah mungkin Dewi Seribu Bunga 

betul-betul menyimpan sesuatu padaku? 

Apakah urusan Pedang Tumpul 131 seperti 

halnya beberapa waktu yang lalu? Hemm....


Siapa pula kakek yang disebutkan perempuan 

tadi? Ah. Aku jadi bingung! Tapi ada baik-

nya aku turuti ucapan perempuan tadi. 

Siapa tahu Dewi Seribu Bunga memang hendak 

teruskan urusannya yang gagal pada 

beberapa waktu yang silam...." 

Seperti dituturkan dalam episode: 

"Ratu Pemikat", Dewi Seribu Bunga mendapat 

tugas dari gurunya si Maut Mata Satu untuk 

merebut Pedang Tumpul 131. Namun pada 

akhirnya Dewi Seribu Bunga gagal 

melaksanakan tugas gurunya bahkan kalau 

saja tidak ditolong Pendekar 131, mungkin 

malapetaka akan menimpa si gadis. 

Memikir sampai di situ, murid Pendeta 

Sinting segera hendak tinggalkan tempat 

itu. Namun langkahnya tertahan ketika dari 

arah puncak bukit terdengar lantunan bait-

bait syair. 

Manusia tak akan bisa lari menghindar 

Dari belenggu asmara jika telah 

mengejar 

Pada sang rembulan segalanya di 

tumpahkan 

Pada gelombang laut semuanya 

dicurahkan 

Cinta suci tidak mengharap imbalan 

Meski nyawa harus lepas dari badan 

Joko Sableng arahkan kepalanya ke 

puncak bukit. Sepasang matanya menatap 

tajam dengan kening mengernyit seolah 

berusaha menembus rimbun dedaunan dan 

semak belukar serta mengetahui arti bait-

bait syair yang baru didengar.


"Hemm.... Belum bisa kuselami arti 

bait-bait syair tadi...," gumam Joko 

seraya terus memandang ke puncak bukit. 

Dia seolah menunggu orang lantunkan syair 

kembali. Tapi hingga sepasang kakinya te-

rasa pegal, murid Pendeta Sinting tidak 

lagi mendengar lantunan syair. 

"Heemmm.... Sudah waktunya aku 

teruskan perjalanan...," Joko Sableng 

segera keluarkan gulungan kulit yang baru 

saja diberikan Dewi Es. Setelah menyimak 

sebentar dia masukkan kembali gulungan 

kulit ke balik pakaiannya dan segera 

berkelebat tinggalkan lereng bukit. 



ENAM 



PEMUDA berjubah putih itu berkelebat 

laksana angin. Beberapa saat lalu dia 

berada di kawasan hutan kecil, namun dalam 

beberapa saat kemudian sosoknya lenyap dan 

tahu-tahu telah berada di ujung hutan yang 

jarang ditumbuhi semak belukar. Kejap 

kemudian sosoknya sudah jauh meninggalkan 

kawasan hutan kecil. Ketika memasuki 

kawasan yang tanahnya agak berpasir, si 

pemuda baru memperlambat larinya. Malah 

dia tampak mendekati sebatang pohon besar 

lalu bersandar punggung duduk berselonjor 

kaki. 

"Heemmm.... Menurut peta, kawasan ini 

sudah tidak jauh lagi dari Pulau Biru!" 

gumam si pemuda dengan kepala berputar dan 

sepasang matanya yang tajam liar


memperhatikan. "Mudah-mudahan peta ini 

bukan palsu! Jika nanti terbukti palsu, 

aku tak segan kembali ke Watugedeg dan 

membungkam mulut Dewa Sukma!" 

Dari balik jubahnya si pemuda 

keluarkan gulungan kain putih. Sepasang 

matanya kini tertuju pada kain yang 

dibentangkan di depan matanya. Kejap 

kemudian tampak kepalanya mengangguk 

dengan bibir sunggingkan senyum aneh. 

"Kitab Serat Biru! Hemm.... Menurut 

Eyang guru adalah kitab maha sakti. Yang 

berhasil mendapatkannya pasti akan jadi 

raja di raja dunia persilatan! Sebuah 

cita-cita yang sekian tahun kupendam!" Pe-

muda yang bersandar pada batang pohon 

kepalkan kedua tangannya. 

Saat itulah mendadak si pemuda 

dikejutkan dengan terdengarnya suara orang 

tertawa mengekeh panjang. Makin lama suara 

kekehan tawa makin keras pertanda orang 

makin dekat. 

Kertakkan rahang, si pemuda cepat 

selinapkan kain putih ke balik jubahnya, 

lalu dengan mata mendelik angker kepalanya 

disentakkan ke samping kanan, dari arah 

mana suara tawa orang terdengar. 

"Akan kubuat mulutnya pecah jika 

orang gila ini tak mau hentikan ulahnya!" 

desis si pemuda dengan sepasang mata tak 

berkesip memandang ke depan. 

Dari tempatnya duduk, si pemuda 

melihat seorang bertubuh besar mengenakan 

pakaian gom-brong duduk bersandar pada


batu yang tidak begitu besar. Kepalanya 

mendongak sementara tangan kanannya 

mengusap-usap perutnya, di mana dari bagi-

an yang diusap-usap itu terlihat cahaya 

memantul. 

Si pemuda kernyitkan kening dengan 

mata makin terpentang besar. Orang yang 

duduk bersandar pada batu tampak sudah 

kancingkan mulut, namun suara tawanya 

masih juga terdengar keras! Pertanda siapa 

pun dia orangnya, pasti memiliki kepan-

daian tinggi. 

Mungkin karena terburu geram merasa 

terganggu dengan suara tawa, si pemuda 

sampai berpikir sejauh itu! Malah dengan 

suara keras dia membentak. 

"Hai! Tutup mulutmu atau kuhancurkan 

dan ku-betot lidahmu!" 

Orang bertubuh besar luruskan kepala 

ke arah si pemuda. Sepasang matanya untuk 

beberapa lama mengerjap. Ternyata bola 

mata orang ini hanya tampak putih, 

pertanda jika orang ini buta. 

"Ah.... Rupanya ada seorang sobat di 

tempat ini. Maaf jika aku mengganggu...." 

Habis berkata begitu, orang bertubuh besar 

dan matanya buta ini buka mulut 

perdengarkan tawa! 

"Sialan! Orang ini sengaja bertingkah 

atau benar-benar orang gila?! Kalau orang 

gila kenapa mengerti ucapan orang?!" Si 

pemuda menduga-duga dengan mata tak 

berkesip memperhatikan. 

Sementara orang bertubuh besar terus


buka mulut perdengarkan tawa, membuat si 

pemuda makin geram dan untuk kedua kalinya 

si pemuda berteriak keras. 

"Hai! Aku tidak main-main! Kau dengar 

ucapanku, tutup mulutmu dan minggat dari 

sini atau mulutmu kubuat tidak bisa 

tertawa lagi!" 

Orang di depan sana putuskan suara 

tawanya. Namun cuma sekejap. Kejap lain 

mulutnya kembali membuka dan perdengarkan 

tawa! Membuat si pemuda putus 

kesabarannya. Seraya kertakkan rahang 

pemuda ini bergerak bangkit dan sekali 

lompat, dia telah tegak lima langkah di 

hadapan orang yang tertawa. 

"Orang ini sepertinya bukan orang 

gila! Dan pasti dia sengaja mengumbar 

tawa!" batin si pemuda dengan perhatikan 

lebih seksama pada orang di hadapannya 

yang tetap buka mulut tertawa. Namun kali 

ini suara tawanya makin lama makin lemah. 

Tapi pada saat bersamaan, si pemuda 

tersentak. Tanah di mana dia berpijak 

terasa bergetar! 

"Orang muda!" Mendadak orang bertubuh 

besar bermata buta di hadapan si pemuda 

berucap. "Mungkin kau hendak teruskan 

perjalanan, silakan! Aku pun akan teruskan 

langkahan kaki. Jika ada umur panjang 

kelak aku ingin berkata sepatah kata 

denganmu...." 

Selesai berkata begitu, orang 

bertubuh besar yang mengenakan pakaian 

gombrong besar berwarna hijau ini


tertatih-tatih bangkit. Setelah membungkuk 

sejenak kepalanya tengadah lalu mulai 

melangkah dengan tangan kanan mengusap-

usap pangkal ikat pinggangnya yang ada di 

depan perutnya yang ternyata adalah sebuah 

cermin bulat. 

"Orang aneh. Meski sepasang matanya 

buta, namun dia tahu bahwa aku adalah 

orang muda. Lalu dia juga seolah tahu 

bahwa aku hendak mengadakan perjalanan! 

Hemm.... Siapa orang tua ini? Jangan-

jangan dia seorang...." Si pemuda cepat 

berkelebat lalu tegak menghadang langkah 

si orang bertubuh besar dan bermata buta. 

"Ada apa Anak muda? Bukankah kau tadi 

memerintahku minggat dari tempat ini?!" 

"Orang tua! Siapa kau sebenarnya?!" 

si pemuda balik bertanya. 

Tetap dengan kepala tengadah, orang 

di hadapan si pemuda berucap. 

"Anak muda. Sebenarnya aku ingin 

berbincang denganmu pada suatu waktu 

kelak, bukan sekarang. Tapi karena kau 

telah ajukan tanya, tidak baik berdiam 

diri...." Sejurus orang itu hentikan 

ucapannya. Kepalanya kini lurus menghadap 

ke arah si pemuda. Sepasang matanya 

mengerjap. Lalu dia melanjutkan. 

"Orang-orang memanggilku Gendeng 

Panuntun. Orang tua yang melangkah 

turutkan kemana kaki membawa dan berteman 

dengan sebuah cermin.... Anak muda.... Kau 

telah tahu siapa aku, tidak keberatan 

sebutkan dirimu?"


"Aku Malaikat Penggali Kubur!" jawab 

si pemuda seraya perhatikan cermin bulat 

di depan perut orang bertubuh besar 

bermata buta yang bukan lain memang 

Gendeng Panuntun adanya. 

"Ah. Nama bagus. Tentu kau banyak 

mendapat rezeki bagus pula! Tapi...." 

Gendeng Panuntun menggantung ucapannya, 

membuat si pemuda yang bukan lain memang 

Malaikat Penggali Kubur cepat menyahut. 

"Tapi apa?!" 

"Aku melihat kabut menghalangi 

langkahmu!" 

Malaikat Penggali Kubur tertawa 

pendek dengan bibir menyeringai. Seraya 

arahkan pandangannya pada jurusan lain dia 

berkata. 

"Orang buta kadang-kadang ucapannya 

aneh. Aku yang tidak buta saja tidak 

melihat kabut, bagaimana mungkin orang tua 

seperti mu melihat kabut?!» 

Gendeng Panuntun balik tertawa 

pendek. "Anak muda. Bentuk mata kita 

berbeda. Jadi jangan heran jika pandangan 

kita juga jadi berbeda! Kau bisa melihat 

apa yang tak bisa kulihat, tapi kau tak 

bisa melihat apa yang bisa kulihat! Dan 

jangan lupa, penglihatan orang sepertiku 

kadangkala lebih tajam dari penglihatan 

orang bermata biasa...." 

"Katakan padaku, kabut apa yang 

menghalang langkahku!" 

Gendeng Panuntun gelengkan kepala. 

"Anak muda. Seperti ucapanku tadi, namamu


bagus, rezekimu juga bagus. Tapi karena 

ada penghalang, pada akhirnya kau tidak 

akan mendapat apa-apa!" 

Malaikat Penggali Kubur terdiam 

beberapa saat mendengar ucapan Gendeng 

Panuntun. Entah karena apa, mendadak 

pemuda ini merasa dadanya berdebar. Namun 

pemuda ini tidak begitu saja pertu-rutkan 

ucapan orang. Seraya tersenyum aneh, dia 

berkata dengan nada sedikit keras. 

"Orang tua! Kau mengatakan rezekiku 

bagus. 

Coba katakan, rezeki apa yang kau 

maksud!" 

Gendeng Panuntun geleng-gelengkan 

kepala. "Tidak Anak muda. Aku tidak mau 

usil beberkan rezeki orang. Apalagi rezeki 

itu (tak layak didengar orang lain." 

Malaikat Penggali Kubur makin tidak 

enak perasaan. Namun karena penasaran dia 

segera berucap. 

"Orang tua! Kaiau kau tidak mau 

disebut pembual besar, katakan apa yang 

kau maksud dengan rezeki bagus itu! Di 

sini tidak ada orang lain, jadi jangan 

berdalih!" 

Kembali kepala Gendeng Panuntun 

bergerak menggeleng. "Anak muda. Tidak 

baik membuka aib orang. Aku malu, apalagi 

nanti jika kau mendengarnya! Harap jangan 

memaksakan diri ingin tahu.... Karena kau 

telah tahu!" 

"Orang tua!" kata Malaikat Penggali 

Kubur membentak. "Jangan membuat


kesabaranku habis. Kau tak perlu malu. Aku 

juga tak merasa malu mendengarnya! Lekas 

katakan!" 

"Hemm... kau mau pegang kata-katamu, 

Anak muda?" 

"Jangan banyak mulut lagi!" sentak 

Maiaikat Penggali Kubur tak sabar. 

"Baiklah. Aku hanya turuti 

kemauanmu...," kata Gendeng Panuntun pada 

akhirnya. Tangan kanannya bergerak 

mengusap-usap cermin, lalu mulutnya 

membuka berucap. 

"Kau baru saja mendapat rezeki bagus, 

karena mendapatkan sesuatu yang tersimpan 

selama puluhan tahun lamanya. Lebih dari 

itu, sesuatu itu menunjukkan tempat yang 

saat ini banyak dibicarakan kahngan orang-

orang yang menamakan diri sebagai orang 

persilatan. Hanya karena kau mendapat-

kannya dengan cara tidak wajar, kelak 

aku menduga kau tidak akan mendapatkan 

apa-apa! Tapi Ingat. Itu bukan karena 

perbuatanmu, melainkan karena kau bukan 

orang yang ditentukan untuk mendapatkan-

nya...." 

Paras Malaikat Penggali Kubur kontan 

berubah. Matanya terpentang angker dengan 

rahang sedikit terangkat. "Gila! Siapa 

sebenarnya orang buta ini? Semua ucapannya 

benar! Apakah dugaannya juga akan 

terbukti?" 

Selagi Malaikat Penggali Kubur tegak 

dengan dada dibungkus berbagai tanya, 

Gendeng Panuntun telah kembali buka mulut.


"Anak muda. Kalau boleh kusarankan. 

Kembalikan saja barang tipuan itu! Dan 

lebih baik jangan teruskan perjalanan sia-

sia ini!" 

Dada Malaikat Penggali Kubur 

menggemuruh mendengar ucapan Gendeng 

Panuntun. Kalau saja perturutkan 

gemuruhnya hawa marah yang menggelegak, 

ingin dia bungkam mulut orang di hadapan-

nya, namun Malaikat Penggali Kubur adalah 

pemuda licik dan tidak mau begitu saja 

percaya pada ucapan orang. Diam-diam 

pemuda murid Bayu Bajra ini membatin. 

"Orang buta ini bilang aku bukan 

orang yang ditentukan untuk mendapatkan. 

Pasti yang dimaksud adalah mendapatkan 

Kitab Serat Biru! Hemm.... Berarti peta 

ini asli adanya dan Kitab Serat Biru 

benar-benar ada! Lebih dari itu, pasti ada 

orang yang ditentukan mendapatkan kitab 

itu! Aku harus tahu siapa adanya orang 

itu! Orang ini tentu tahu!" 

Berpikir sampai di situ, Malaikat 

Penggali Kubur lalu berujar. 

"Orang tua. Ucapanmu memang ada 

benarnya. Sebaiknya aku memang 

mengembalikan barang 

yang ada padaku ini, juga memutuskan 

perjalanan sampai di sinil" 

"Ah, aku gembira mendengar ucapanmu, 

Anak mudai" 

"Orang tua. Sebelum aku kembalikan 

barang ini, lalu pergi tak meneruskan 

perjalanan yang kau sebut sia-sia ini,


maukah kau jawab beberapa tanyaku?" 

"Hemm...." Gendeng Panuntun bergumam. 

"Sebenarnya.... Tapi tak apalah. Silakan 

tanya, tapi aku tidak menjamin bisa jawab 

semua pertanyaanmu, Anak muda!" 

"Kau tadi sebutkan aku bukan orang 

yang ditentukan untuk mendapatkannya. 

Apakah yang kau maksud Kitab Serat Biru 

yang menurut kabar tersimpan dalam Pulau 

Biru? Jika aku bukan orang yang 

ditentukan, pasti ada orang lain yang 

ditentukan mendapatkannya. Siapa dia?!" 

Sesaat Gendeng Panuntun tampak 

terkejut dengan pertanyaan Malaikat 

Penggali Kubur. Namun kejap kemudian dia 

tertawa perlahan dan berujar. 

"Aku tidak dapat memastikan berupa 

apa yang tak bisa kau dapatkan itu! 

Tentang siapa orang yang kelak ditentukan 

mendapatkannya, aku juga kesulitan untuk 

mengetahuinya!" 

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. 

"Kalau kau tidak dapat menjawab tanyaku, 

percuma aku turuti saranmu! Aku malah 

curiga padamu, jangan-jangan kau punya 

urusan yang sama denganku, lalu berpura-

pura jadi tukang bual untuk melapangkan 

jalanmu!" 

Gendeng Panuntun tertawa bergelak. 

"Anak muda! Aku orang buta. Segala yang 

ada di muka bumi seindah dan semahal apa 

pun harganya tidak akan ada artinya! Kau 

paham yang kumaksud bukan?!" 

Malaikat Penggali Kubur sengatkan


sepasang matanya menusuk tajam pada kedua 

mata Gendeng Panuntun yang berwarna putih 

seolah ingin meyakinkan bahwa orang di 

hadapannya benar-benar buta. 

"Nah, Anak muda. Kita telah banyak 

bicara. Sudah saatnya aku lanjutkan 

langkahan kaki ini! Selamat jalan...." 

Gendeng Panuntun menyisi ke samping, 

lalu melangkah hendak tinggalkan tempat 

itu. Tapi ternyata Malaikat Penggali Kubur 

tidak tinggal diam. Sebelum Gendeng 

Panuntun teruskan langkah, dia melompat 

dan lagi-lagi tegak dengan sikap meng-

hadang. 

"Ada apalagi, Anak muda?" tanya 

Gendeng Panuntun sambil hentikan langkah 

dan kibas-kibaskan pakaiannya yang 

gombrong. 

Malaikat Penggali Kubur kepalkan 

kedua tangannya dan rahangnya tampak 

mengembang dan cepat kerahkan tenaga 

dalam, karena bersamaan dengan kibasan 

tangan Gendeng Panuntun, pemuda murid Bayu 

Bajra ini rasakan sambaran angin deras! 

"Orang tua! Kau bisa tinggalkan 

tempat ini, tapi sebutkan dulu siapa 

orangnya yang kelak mendapatkan kitab 

itu!" 

"Jangan memaksakan hati, Anak 

Muda...." 

"Dengar, Orang tua! Kau mau sebutkan 

atau nyawamu akan dikubur di sini!" hardik 

Malaikat Penggali Kubur. 

Gendeng Panuntun tersenyum. "Kau


orang muda yang keras kepala. Baiklah. 

Tentang siapa orang yang kelak 

mendapatkannya, menurut dugaanku 

adalah seorang anak manusia 

berkepandaian tinggi dan pukulan sakti 

yang kau miliki dapat diatasinya! Orang 

itulah yang ditentukan mewarisi apa yang 

terpendam dalam Pulau Biru!" 

Malaikat Penggali Kubur tegak di atas 

tanah dengan sepasang mata berkilat-kilat. 

"Jahanam! Siapa yang bisa mengatasi 

pukulan sakti 'Tegala Surya'-ku?" desis si 

pemuda dengan kepala mendongak dan dahi 

mengernyit. 

Saat itulah terdengar orang tertawa 

panjang. Malaikat Penggali Kubur cepat 

sentakkan kepalanya ke depan. Pemuda ini 

melengak. Gendeng Panuntun ternyata sudah 

berada jauh dari tempatnya berdiri, dan 

melangkah perlahan-lahan menuju arah 

selatan. 

"Hem.... Pasti orang itu bukan orang 

yang bisa dipandang enteng.... Kalau mau 

ingin kuremukkan mulutnya sekarang juga. 

Tapi siapa tahu kelak orang seperti dia 

kubutuhkan...," gumam Malaikat Penggali 

Kubur seraya kembali tengadah. 

Saat itulah mendadak suara tawa 

Gendeng Panuntun diputus laksana direnggut 

setan! Malaikat Penggali Kubur cepat 

arahkan kepalanya kembali. Untuk kedua 

kalinya dia terkejut. Sosok Gendeng 

Panuntun ternyata sudah lenyap! 

Belum hilang rasa kejut Malaikat


Penggali Kubur, tiba-tiba satu deruan 

keras terdengar menyambar dari samping. Di 

lain kejap satu gelombang angin melanggar 

ganas ke arahnya! 



TUJUH 



SAMBIL kertakkan rahang, cepat 

Malaikat Penggali Kubur menyingkir dengan 

melompat ke samping, lalu berpaling ke 

arah asal datangnya sambaran angin. 

Sepasang matanya mendelik menyipit, lalu 

bibirnya sunggingkan senyum aneh. Enam 

tombak dari tempatnya berdiri murid Bayu 

Bajra melihat seorang gadis berwajah 

cantik mengenakan jubah warna kuning tegak 

dengan sepasang mata memperhatikan tak 

berkesip ke arahnya. 

Sejenak Malaikat Penggali Kubur 

perhatikan tampang si gadis. Lalu 

kepalanya mendongak. "Lima belas tahun 

lamanya dilatih guru hanya berteman 

gelombang pantai. Hem.... Rezekiku memang 

bagus. Tanpa bersusah payah mencari, 

muncul gadis cantik yang tentu membawa 

kehangatan...," desisnya dengan bibir 

tersenyum. Namun kejap kemudian senyumnya 

pupus saat dia teringat ucapan Gendeng 

Panuntun. "Orang tua itu tidak mengatakan 

siapa orangnya yang kelak bakal 

mendapatkan Kitab Serat Biru. Tapi dia 

mengatakan bahwa orang itu dapat mengatasi 

pukulanku. Jangan-jangan gadis ini orang 

yang dikatakan orangtua itu.... Hemm....


Harus kucoba, apakah dia dapat menangkis 

pukulan sakti 'Telaga Surya'-ku!" 

Berpikir sampai di sana, Malaikat 

Penggali Kubur segera melangkah mendekat. 

Sepasang matanya tak berkesip perhatikan 

si gadis dari bawah hingga atas. 

"Gadis cantik!" teriak Malaikat 

Penggali Kubur. "Katakan siapa kau!" 

Gadis berjubah kuning tunjukkan 

tampang ang-

ker tatkala mendengar dirinya disebut 

gadis cantik. Seraya tertawa pendek, dia 

berucap dengan suara keras. 

"Siapa aku, kau tak perlu tahu! Yang 

jelas aku butuhkan selembar nyawamu!" 

Malaikat Penggali Kubur tertawa 

bergelak-ge-lak. "Rupanya kau belum tahu 

siapa yang tegak di hadapanmu! Ha... ha... 

ha...! Kau butuh nyawaku, heemm.... 

Bagaimana kalau sebelum kuserahkan nyawaku 

padamu, serahkan dulu tubuhmu padaku?!" 

Paras wajah gadis berjubah kuning 

yang bukan lain adalah Wulandari, salah 

seorang murid Dewi Siluman berubah 

mengelam. Sepasang matanya mem-beliak. 

Seperti dituturkan, Dewi Siluman memerin-

tahkan pada ketiga muridnya untuk 

meneruskan perjalanan menuju arah selatan. 

Dan harus menyingkirkan siapa saja yang 

ditemui di tengah jalan. Wulandari yang 

selain itu mendapat tugas mengikuti gerak-

gerik Sitoresmi pada satu tempat 

kehilangan jejak Sitoresmi. Hingga 

akhirnya dia melanjutkan perjalanan seraya


terus mencari Sitoresmi. Saat itulah dia 

mendengar suara orang tertawa. Cepat dia 

berkelebat ke arah datangnya suara. Ketika 

sampai yang terlihat adalah pemuda 

berjubah putih. Wulandari yang tak sabaran 

segera saja melompat ke depan begitu 

mendengar ucapan Malaikat Penggali Kubur. 

Serentak dia buat putaran dengan kaki kiri 

terpacak sebagai tumpuan tubuh, sedangkan 

kaki kanan lepaskan satu tendangan keras. 

Satu gelombang angin menderu mendahului 

kaki yang menendang, pertanda tendangan 

itu dilepas dengan tenaga dalam kuat! 

Malaikat Penggali Kubur tidak membuat 

gerakan menghindar, bahkan tidak bergerak 

menangkis 

ketika tendangan si gadis berada di 

hadapannya, hingga mau tak mau tendangan 

kaki kanan Wulandari menghantam bahu 

kirinya! Bukkk! 

Sosok Malaikat Penggali Kubur hanya 

bergoyang-goyang dan mundur setengah 

langkah. Kejap lain tubuhnya telah tegak 

diam. 

"Hemm.... Tenaga dalamnya tidak 

seberapa! Tapi siapa tahu dia masih 

menyimpan tenaga sesungguhnya...," gumam 

Malaikat Penggali Kubur dalam hati. Dia 

memang sengaja tidak membuat gerakan 

menghindar atau menangkis tendangan yang 

dilepas gadis berjubah kuning. Dia ingin 

tahu sampai di mana tenaga dalam yang 

dimiliki si gadis. Dari sana dia mungkin 

akan segera bisa menduga apakah orang


kelak dapat mengatasi pukulan saktinya 

Telaga Surya'. 

"Gadis sialan!" bentak Malaikat 

Penggali Kubur dengan bibir tersenyum 

aneh. "Kau telah berlaku kurang ajar pada 

Malaikat Penggali Kubur. Kalau tadi aku 

hanya inginkan tubuhmu, sekarang nyawamu 

sekalian!" 

Entah karena sadar bahwa pemuda yang 

dihadapi memiliki kepandaian yang tidak 

sembarangan, Wulandari segera kerahkan 

tenaga dalam pada kedua tangannya siapkan 

pukulan sakti 'Kabut Neraka'. Dan serta-

merta kedua tangannya disentakkan ke 

depan. 

Wuuttt! Wuuuttt! 

Gelombang kabut berwarna kuning 

tampak melesat ke arah Malaikat Penggali 

Kubur dengan hamparkan hawa luar biasa 

panas. 

Di depan sana, Malaikat Penggali 

Kubur angkat tangan kirinya yang mengepal. 

Lalu sekonyong-konyong tangan kiri itu 

bergerak memukul ke depan. Beettt! 

Sekejap tampak sinar terang. Kejap 

lain terdengar deru hebat yang disusul 

dengan menggebraknya gelombang angin luar 

biasa dahsyat. Kabut dan hawa panas 

pukulan Wulandari tersapu, sesaat kemudian 

terdengar ledakan keras mengguncang tempat 

itu. 

Sosok Wulandari tampak terhuyung-

huyung dan tersapu mundur sampai satu 

tombak. Parasnya berubah pucat dengan


mulut mengatup rapat. Tubuhnya bergetar 

keras sementara jubah yang dikenakannya 

berkibar-kibar. 

Di seberang, Malaikat Penggali Kubur 

sung-gingkan senyum seringai. Sosoknya 

hanya mundur satu langkah. Dari bentrok 

pukulan tadi, murid Bayu Bajra ini sudah 

dapat menebak jika gadis berjubah kuning 

bukankan orang yang ditentukan mendapatkan 

Kitab Serat Biru, karena si gadis tidak 

dapat menahas pukulan yang dilancarkan, 

padahal pukulan itu masih dilancarkan 

dengan tangan kiri dan tenaga dalam belum 

setengahnya. 

Di lain pihak, Wulandari tampak 

kertakkan rahang. Setelah dapat kuasai 

diri dia cepat arahkan tenaga dalam pada 

kedua matanya. Didahului bentakan keras 

membahana, sepasang kakinya bergerak 

menghentak tanah. Bersamaan dengan itu 

dari sepasang matanya yang terpentang 

besar melesat sinar berwarna kuning. 

Malaikat Penggali Kubur terperangah 

kaget. Tanah di hadapan si gadis tampak 

membentuk jalur panjang dan rengkah 

selebar setengah tombak! Rengkahan itu 

terus bergerak cepat ke arahnya! 

"Gadis sialan! Benar-benar minta 

mampus!" teriak Malaikat Penggali Kubur 

lalu mundur dua langkah. Kedua tangannya 

dikepalkan lalu dipukulkan ke depan. 

Sejurus dari kedua tangan Malaikat 

Penggali Kubur tampak sinar terang, lalu 

terdengar deru dahsyat yang kemudian


disusul dengan menghamparnya gelombang 

angin luar biasa kencang. 

Wulandari yang saat itu lepaskan 

kilatan 'Sinar Setan' dari kedua matanya 

perdengarkan seruan tertahan. Tubuhnya 

tampak bergoyang-goyang. Namun kejap 

kemudian sosoknya tersapu mental ke 

belakang lalu jatuh telentang dengan mulut 

keluarkan darah. 

Gadis berbaju kuning salah seorang 

murid Dewi Siluman ini cepat bergerak 

bangkit. Tapi begitu tegak, tubuhnya 

limbung dengan kedua kaki melipat. Dan tak 

lama kemudian sosoknya jatuh terduduk! 

Paras wajah gadis ini semakin pias. 

Sementara mulutnya makin banyak keluarkan 

darah pertanda dia terluka bagian dalam. 

Dan ketika Wulandari meneliti, gadis ini 

tersentak. Jubah kuningnya robek besar di 

bagian depan dan hangus! 

Di seberang, meski sosok Wulandari 

mencelat mental terhantam pukulan 'Telaga 

Surya', namun kilatan Sinar Setan yang 

dilepaskannya melesat ke atas tanah dan 

terus melabrak ke arah Malaikat Penggali 

Kubur. Jalur rengkahan tanah bergerak ce-

pat laksana alunan gelombang ombak. Dan 

saat sosok Wulandari mental, rengkahan 

tanah telah sampai ke Malaikat Penggali 

Kubur dan perdengarkan gelegar hebat! 

Malaikat Penggali Kubur segera 

berkelebat selamatkan diri. Tapi tak urung 

kakinya tersambar pukulan Wulandari. 

Malaikat Penggali Kubur terlihat


sunggingkan senyum tatkala kakinya tak 

mengalami cedera. Tapi kejap kemudian dia 

merasakan perubahan pada kedua kakinya. 

Hawa luar biasa panas perlahan-lahan 

merasuki tubuh bermula dari kedua kakinya. 

Ketika dia meneliti kembali, sepasang ma-

tanya membelalak besar. Ternyata kedua 

kakinya mulai mengembung dan panas laksana 

dipanggang bara! 

"Benar-benar gadis keparat!" maki 

Malaikat Penggali Kubur. Lalu cepat 

kerahkan tenaga dalam dan menotok jalur 

darah pada kedua kakinya. Perlahan-lahan 

gembungan pada kedua kakinya mengempis 

meski rasa panas masih terasa. 

Tatkala Malaikat Penggali Kubur 

kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi 

cedera pada kakinya, di seberang sana 

Wulandari cepat lemparkan sesuatu ke 

udara. Di atas sana mendadak tampak sinar 

terang berwarna kuning. 

"Apa yang dilakukan gadis jahanam 

itu?!" desis Malaikat Penggali Kubur 

sambil angkat kepalanya. "Hem.... Mungkin 

itu satu isyarat menunjukkan di mana dia 

berada!" Malaikat Penggali Kubur sung-

gingkan senyum aneh. Lalu gerakkan tubuh. 

Dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dengan 

kepala tengadah lima langkah di hadapan 

Wulandari! 

Di hadapannya, Wulandari yang baru 

saja memberi isyarat segera kerahkan sisa 

tenaga dalamnya. 

"Kalau mulutmu tak bicara muluk di


hadapan Malaikat Penggali Kubur, tentu kau 

tak akan mengalami nasib buruk!" kata 

Malaikat Penggali Kubur lalu luruskan 

kepalanya ke arah Wulandari. 

"Jangan kira aku telah kalah!" sentak 

Wulandari dengan mata menatap tajam. 

Malaikat Penggali Kubur tertawa 

gelak-gelak. "Aku ingin tahu, apakah 

ucapanmu benar!" 

Habis berkata begitu, tangan kanan 

Malaikat Penggali Kubur tampak terangkat 

ke atas membuat Wulandari katupkan mulut 

rapat-rapat dengan kuduk merinding. Gadis 

ini sadar, sisa tenaga dalamnya tidak 

mungkin bisa menahan pukulan si pemuda 

«palagi dirinya telah terluka. Tapi gadis 

berjubah kuning ini tidak mau begitu saja 

menyerah. Saat dilihatnya tangan kanan 

Malaikat Penggali Kubur terangkat, dia 

sentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan 

'Kabut Neraka'. Namun karena keadaannya 

udah terluka, lesatan kabut yang 

keluar dari kedua tangannya kalah cepat 

dengan gelombang angin dahsyat yang 

menggebrak dari tangan kanan Malaikat 

Penggali Kubur, membuat Wulandari hanya 

bisa b rteriak tanpa bisa membuat gerakan 

menghindar! 

Sesaat lagi gelombang angin dahsyat 

pukulan Malaikat Penggali Kubur melabrak 

sosok Wulandari yang tak bisa menghindar, 

mendadak terdengar satu teriakan yang 

disusul dengan terdengarnya deruan keras. 

Malaikat Penggali Kubur merasakan ada


sambaran angin deras memangkas pukulannya, 

tidak saja membuat gelombang angin 

pukulannya melenceng namun juga sempat 

membuat sosoknya terjajar dua langkah! 

Selagi Malaikat Penggali Kubur hendak 

berpaling ke arah datangnya gelombang 

angin yang memangkas pukulannya, terdengar 

lagi satu bentakan lalu terdengar orang 

bantingkan kaki ke atas tanah. Kejap lain 

tiba-tiba satu sinar biru menggebrak ke 

arahnya dengan didahului rengkahnya tanah 

di hadapan si pemuda murid Bayu Bajra ini! 

Tahu gelagat buruk, Malaikat Penggali 

Kubur tak mau lagi bertindak ayal. Sebelum 

rengkahan tanah sampai, dia cepat jatuhkan 

diri bergulingan. Pada gulingan kelima, 

kedua tangannya segera lepaskan pukulan. 

Sinar terang yang hanya sekejap 

tampak berkiblat. Lalu disusul 

menggebraknya gelombang angin dahsyat, 

pertanda Malaikat Penggali Kubur telah 

lepaskan kembali pukulan 'Telaga Surya'. 

Tiba-tiba dari arah seberang 

terdengar orang memekik. Lalu tampak satu 

sosok mental sejauh dua tombak ke belakang 

dan bergedebukan di atas tanah. 

Malaikat Penggali Kubur cepat 

bergerak bangkit. Lalu berkelebat ke 

depan. 

Di depan sana satu sosok biru tampak 

menggeliat. Lalu bergerak-gerak akan 

bangkit. Tapi gerakan tubuhnya tertahan 

tatkala mendadak satu telapak kaki dari 

sosok berjubah putih menekan bagian pe


rutnya, membuat sosok biru tak mampu 

berbuat banyak. 

Orang yang menekankan satu kakinya ke 

perut sosok biru yang bukan lain adalah 

Malaikat Penggali Kubur sejenak pentangkan 

sepasang matanya perhatikan orang di 

bawahnya yang tak bisa bergerak. 

Ternyata orang itu adalah seorang 

gadis berparas cantik mengenakan jubah 

besar warna biru. Rambutnya sebatas bahu 

dengan mata bulat. 

"Hem.... Melihat wajah dan pakaian 

yang dikenakan, berat dugaan dia masih ada 

hubungan dengan gadis berjubah kuning 

itu!" kata Malaikat Penggali Kubur lalu 

berpaling ke samping. 

Sejarak lima belas langkah dari 

tempatnya terlihat Wulandari tergeletak 

dengan napas megap-megap dan mulut 

keluarkan erangan. Gadis berjubah kuning 

ini sosoknya mencelat saat pukulan orang 

dari arah samping sempat menyambar 

tubuhnya. 

"Keparat! Angkat kakimu!" Mendadak 

ada suara dari bawah, membuat Malaikat 

Penggali Kubur menoleh namun tak juga 

angkat kakinya dari perut sigadis. 

“Hmm... Kukira kau sudah mampus tak 

bisa bicara” ucap Malaikat Penggali Kubur 

seraya sunggingkan senyum. 

Gadis berjubah biru yang perutnya 

ditekan kaki Malaikat Penggali Kubur, dan 

bukan lain adalah Ayu Laksmi angkat tangan 

kanan kirinya. Serta-merta dia pukulkan


kedua tangannya ke arah kaki Malaikat 

Penggali Kubur. 

Tapi setengah jalan, Malaikat 

Penggali Kubur membuat gerakan dua kali. 

Bukkk! Bukkk! 

Kedua tangan Ayu Laksmi mental balik 

menghantam tanah, dan bersamaan dengan itu 

sosoknya mencelat lalu terkapar lima 

langkah dari tempatnya semula. 

Wulandari yang telah bisa bangkit 

duduk segera keluarkan pekikan saat 

melihat sosok Ayu Laksmi mencelat terkena 

tendangan kaki Malaikat Penggali Kubur. 

"Setan alas! Siapa kau?!" teriak Ayu 

Laksmi begitu bangkit duduk seraya 

pelototkan mata ke arah Malaikat Penggali 

Kubur. 

Yang ditanya menjawab dengan tertawa 

bergelak dan melangkah mendekat, membuat 

Ayu Laksmi cepat salurkan tenaga dalamnya. 

Namun gadis berjubah biru yang juga salah 

satu murid Dewi Siluman ini tersentak. 

Kedua tangannya seraya lunglai. Dan ketika 

dia meneliti ternyata kedua tangannya 

telah berubah warna menjadi kehitaman! 

Dua langkah di hadapan Ayu Laksmi, 

Malaikat Penggali Kubur berhenti. Menatapi 

sejenak sekujur tubuh si gadis, iaiu 

berujar dengan senyum aneh. 

"Bila ingin tahu siapa yang berdiri 

di hadapanmu, nanti bisa kau tanyakan pada 

gadis sialan berjubah kuning itu. Kau 

dengar?! Sekarang aku tanya siapa kau?!" 

"Aku tak mau jawab pertanyaanmu!"


jawab Ayu Laksmi dengan balas menatap. 

"Baik. Kau dan gadis berjubah kuning 

itu sama sialnya! Kau tak mau beri 

keterangan, berarti minta dipercepat untuk 

mampus!" 

Habis berkata begitu, Malaikat 

Penggali Kubur angkat kedua tangannya. 

"Masih ada kesempatan untuk bicara!" 

ujar Malaikat Penggali Kubur. 

"Jangan kira aku takut dengan 

gertakanmu!" kata Ayu Laksmi dengan 

salurkan tenaga dalamnya pada sepasang 

matanya siap lepaskan pukulan 'Sinar 

Setan'. Namun gadis ini tampak bingung, 

karena jika hendak lepaskan pukulan sakti 

'Sinar Setan' terlebih dahulu sepasang 

kakinya harus menggebrak tanah. Sedangkan 

dia kini dalam posisi duduk. 

Sementara di hadapannya, pelipis 

kanan kiri Malaikat Penggali Kubur 

bergerak-gerak, rahangnya mengembang dan 

terangkat pertanda amarahnya telah sampai 

pada puncak. 

"Jahanam! Kenapa hanya berani 

turunkan tangan maut pada orang tak 

berdaya?!" Tiba-tiba dari arah samping 

terdengar ucapan. 

Malaikat Penggali Kubur tengadahkan 

kepala. Jari telunjuknya bergerak lurus ke 

arah Wulandari yang baru saja keluarkan 

ucapan. 

"Tutup mulutmu, Gadis Sialan! Habis 

gadis ini, baru kau menyusul!" 

Habis berucap begitu tangannya yang


menunjuk pada Wulandari cepat ditarik 

pulang. Sosoknya lantas berkelebat. Dan 

tahu-tahu tubuhnya telah dua langkah di 

belakang Ayu Laksmi. Seraya menyeringai, 

kedua tangannya bergerak lepaskan jotosan 

ke arah kepala Ayu Laksmi 

Wulandari perdengarkan seruan 

tertahan. Sementara Ayu Laksmi yang 

kebingungan untuk lepaskan pukulan 'Sinar 

Setan' segera gulingkan tubuh alamatkan 

diri. Namun gadis berjubah biru ini jadi 

tercekat, karena baru saja hendak bangkit, 

dua tangan telah melabrak ganas ke arah 

kepalanya! Namun gadis ini tak mau 

menyerah begitu saja, dia segera pula 

angkat kedua tangannya. 

Namun gerakan kedua tangan Ayu Laksmi 

tertahan tatkala dari arah samping 

melabrak sinar hitam pekat yang kemudian 

disusul dengan datangnya gelombang angin 

dahsyat dari seberang. 

Sinar hitam dan gelombang yang datang 

dari dua arah ini langsung memangkas 

gerakan kedua lengan Malaikat Penggali 

Kubur. 

Malaikat Penggali Kubur tarik kedua 

tangannya, lalu membuat gerakan berputar 

sambil melompat mundur. Belum sampai 

kakinya menginjak tanah, kedua tangannya 

telah lepaskan pukulan! 

Bummm! Buummm! 

Dua ledakan keras segera mengguncang 

tempat itu tatkala pukulan Malaikat 

Penggali Kubur bentrok dengan dua pukulan


yang tadi memangkas gerakan tangannya yang 

hendak menghantam rengkah kepala Ayu 

Laksmi. 



DELAPAN 



TANAH terlihat muncrat menghalangi 

pandangan. Dan samar-samar di antara 

pekatnya suasana taburan tanah, sosok Ayu 

Laksmi yang dekat dengan terjadinya 

ledakan mencelat lalu Jatuh bergulingan. 

Sedangkan sosok Malaikat Penggali Kubur 

terjajar lima langkah. Terhuyung-huyung 

sebentar, namun cepat membuat gerakan 

melejit satu tombak ke udara dan melayang 

turun dengan kaki terpentang dan sosok 

tegak! 

Pada saat bersamaan, terdengar suara 

bergemeretakan dan hentakan kaki kuda. 

Ketika Malaikat Penggali Kubur berpaling, 

tampak sebuah kereta bergerak ke arahnya. 

Di atas bangku kusir tampak duduk 

seorang kakek berwajah pucat dan tirus. 

Sepasang matanya besar masuk ke dalam 

lipatan rongga yang besar dan dalam. 

Rambutnya putih panjang disanggul ke atas. 

Kakek kusir ini mengenakan jubah besar 

berwarna hitam. Sebelah tangannya tampak 

memegang tali kekang kuda penarik kereta 

sedangkan tangan sebelahnya lagi masuk ke 

dalam saku jubahnya. 

Di belakang tempat duduk kusir tampak 

sebuah peti persegi panjang dari kayu 

berwarna putih mengkilat, membuat Malaikat


Penggali Kubur yang tegak mengawasi 

pentangkan sepasang matanya. Bukan pada 

peti di bagian belakang karena melainkan 

pada sosok yang tegak dengan kepala 

tengadah dan tangan merangkap di depan 

dada di atas peti! 

Sosok yang tegak tengadah di atas 

peti adalah seorang perempuan berambut 

pirang. Mengenakan jubeh panjang sebatas 

lutut. Kedua tangannya yang 

merangkap di depan dada terlihat 

dibungkus dengan sarung tangan dari kulit 

yang juga berwarna hitam. Perempuan ini 

tak bisa diduga umurnya, karena mengenakan 

cadar hitam menutupi wajahnya. Dari wajah 

yang tertutup cadar itu yang tampak ha-

nyalah sepasang matanya yang tajam 

menyengat dan berbulu lentik! 

"Heran. Suara gemeretak roda kereta 

dan ladam kak! kuda sebelumnya tidak 

terdengar. Tapi tiba-tiba muncul di sini! 

Dan pasti yang memangkas pukul-anku tadi 

adalah salah seorang atau kedua-duanya 

orang di atas kereta itu! Hemm.... Siapa 

mereka ini? Apakah masih ada sangkut-

pautnya dengan kedua gadis itu?!" Diam-

diam Malaikat Penggali Kubur menduga-duga 

dengan sepasang mata tak beranjak 

memandangi kedua orang silih berganti di 

atas ketela. 

"Hemmm.... Di tempat ini ternyata 

telah banyak manusia berkeliaran. Pasti 

mereka memburu Kitab Herat Biru! 

Seandainya orang tua bermata buta itu


aebutkan dengan jelas manusia yang kelak 

mendapatkan kitab itu, aku tidak usah 

bersusah-susah mencari tahu dengan 

lepaskan pukulan ‘Telaga Surya'! Tapi apa 

boleh buat. Aku harus coba semua orang 

yang kutemui dengan pukulan 'Telaga 

Surya', karena hanya orang yang dapat 

menahan pukulanku Itulah ciri orang yang 

kelak mendapatkan kitab itu!" 

"Orang di atas kereta!" teriak 

Malaikat Penggali Kubur setelah untuk 

beberapa saat diam berpikir. “Sebutkan 

diri kalian! Juga katakan apa sangkut-paut 

kailan dengan dua gadis sialan itu!" 

"Anak muda!" Yang menjawab adalah 

kakek yang duduk di bangku kusir kereta. 

"Kau belum layak tahu siapa kami! Juga tak 

pantas tahu apa sangkut-paut kami dengan 

kedua gadis itu! Yang layak dan pantas 

bagimu menerima kematian!" 

Meski nada suara si kakek terdengar 

pelan, namun mampu menusuk gendang 

telinga! Hal ini menyadarkan pemuda murid 

Bayu Bajra ini bahwa orang di atas kereta 

memiliki tenaga dalam tinggi. Namun karena 

merasa dirinya berbekal ilmu kepandaian, 

juga karena ingin coba orang apakah mampu 

menangkis pukulan 'Telaga Surya'-nya untuk 

mencari tahu orang yang kelak mendapatkan 

Kitab Serat Biru, Malaikat Penggali Kubur 

tidak unjukkan paras takut. Dia tetap 

memandang tajam tak berkeslp, malah kini 

bibirnya sunggingkan senyum aneh! 

"Kakek!" kata Malaikat Penggali


Kubur. "Sebelum bicara soal kematian, 

pasang mata baik-baik dan lihat dulu apa 

akibatnya jika ngomong semba-rangan di 

hadapanku!" 

Sambil berkata, telunjuk Malaikat 

Penggali Kubur mengarah silih berganti 

pada sosok Ayu Laksmi dan Wulandari yang 

masih tak bisa bangkit berdiri. 

Kakek di atas kereta tertawa panjang. 

"Anak muda! Buka matamu besar-besar! Kami 

bukan mereka!" 

"Ki Buyut!" Tiba-tiba terdengar orang 

di belakang kakek kusir berucap. "Jangan 

terlalu banyak bicara!" 

Sebelum ucapan orang perempuan 

berjubah dan bercadar hitam yang bukan 

lain adalah Dewi Siluman selesai, kakek 

kusir yang dipanggil KI Buyut dan memang 

Ki Buyut Pagar Alam adanya lepaskan tali 

kekang kereta dan goyangkan bahunya. 

Malaikat Penggali Kubur tampak tersirap 

kaget, karena kakek berjubah hitam kusir 

kereta itu teiah tidak ada lagi di bangku 

kusir! Yang masih tampak adalah perempuan 

berjubah dan bercadar hitam yang tetap 

tegak di atas peti. 

"Heemmm...," Malaikat Penggali Kubur 

bergumam. Lalu bola matanya berputar liar. 

Namun pemuda ini tidak mengetahui di mana 

beradanya si kakek. Entah karena khawatir, 

dia segera palingkan kepala ke samping 

kanan. 

Saat itulah dari arah samping kiri 

Malaikat Penggali Kubur mendengar suara


orang tertawa pelan. Secepat kitei 

Malaikat Penggali Kubur tarik pulang 

kepalanya disentakkan ke samping kiri. 

Tujuh langkah dari tempatnya tegak, 

terlihat kakek berjubah hitam berdiri 

dengan kedua tangan masuk ke dalam saku 

jubahnya. 

"Kau mencariku?!" kata Ki Buyut Pagar 

Alam dengan sunggingkan senyum. 

Meski terkejut, namun Malaikat 

Penggali Kubur segera dapat kuasai diri. 

Bahkan dia cepat pula sunggingkan senyum 

seraya menggeleng dan berkata. 

"Orang berbau mayat tak perlu dicari! 

Dia akan datang sendiri!" 

"Hemm.... Begitu? Mau sebutkan dulu 

siapa kau sebelumnya...." 

"Aku Malaikat Penggali Kubur!" tukas 

si pemuda sebelum ucapan Ki Buyut selesai. 

"Gelaran indah!" ujar Ki Buyut tanpa 

sedikit pun tampakkan rasa kaget. "Hanya 

sayang tidak seindah nasib penyandangnya! 

Kasihan....! 

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur 

mem-beliak angker. Mulutnya membuka hendak 

bicara, tapi sebelum terdengar ucapannya, 

Ki Buyut Pagar Alam teiah menyambung kata-

katanya. 

"Mendengar gelaran yang kau sandang, 

tentu kau anak manusia yang baru saja 

berpijak di atas rimba persilatan! Melihat 

kemunculanmu di tempat ini, berat dugaan 

kau salah seorang yang kini sedang memburu 

barang sakti! Betul?!"


Malaikat Penggali Kubur alihkan 

pandangannya dengan seringai buruk. 

"Kau tak berhak mendengar jawaban 

dari mulutku! Kau nanti bisa cari jawaban 

di liang kubur!" 

"Baiklah. Aku akan cari jawaban di 

sana, tapi kau harus tunjukkan dulu 

jalannya!" 

"Kuturuti ucapanmu!" sentak Malaikat 

Penggali Kubur seraya meloncat ke arah Ki 

Buyut Pagar Alam. Kedua tangannya seketika 

bergerak lepaskan satu pukulan. 

Ki Buyut Pagar Alam hanya melihat 

kelebatan G in menderunya gelombang angin. 

Kejap lain tahu-tahu kedua tangan Malaikat 

Penggali Kubur telah berada dua jengkal di 

depan kepalanya! 

Ki Buyut Pagar Alam tarik pulang 

sedikit kepalanya ke belakang. Bersamaan 

dengan itu tangan kanannya yang masuk ke 

dalam saku jubahnya berkelebat ke atas. 

Bukkk! Buukkk! 

Sepasang tangan Malaikat Penggali 

Kubur beradu dengan tangan kanan Ki Buyut. 

Malaikat Penggali Kubur tampak kernyitkan 

kening dan buru-buru tarik pulang kedua 

tangannya. Lalu membuat putaran dengan 

kaki kanan langsung lepas satu tendangan. 

Ki Buyut Pagar Alam tak menangkis 

tendangan kaki Malaikat Penggali Kubur. 

Malah ia masukkan tangan kanannya kembali 

ke dalam saku jubahnya. Lalu dengan 

busungkan dada dan menatap tajam dia tegak 

menunggu.


Buukkk! 

Kaki kanan Malaikat Penggali Kubur 

telak 

menghantam dada Ki Buyut Pagar Alam. 

Namun pemuda ini terkesiap. Sosok si kakek 

tidak bergeming dari tempatnya! Malah 

sesaat kemudian perdengarkan tawa panjang! 

"Anak muda! Inikah jalan yang kau 

katakan itu?!" ujar Ki Buyut, lalu kembali 

tertawa mengekeh. 

Malaikat Penggali Kubur diam-diam 

menindih rasa kejut. Kalau orang bisa 

menahan tendangan kakinya yang bukan 

tendangan biasa, bisa dibayangkan 

bagaimana daya tahan orang itu. Tapi 

Malaikat Penggali Kubur tidak begitu saja 

mudah terkecoh. Meski orang dapat menahan 

tendangan kakinya belum tentu orang itu 

bisa membendung pukulan Telaga Surya'-nya. 

Berpikir sampai di sana, Malaikat 

Penggali Kubur cepat kerahkan tenaga dalam 

pada kedua tangannya. Lalu diangkat ke 

atas dan serta-merta dipukulkan dengan 

telapak mengepal ke arah Ki Buyut. 

Sinar terang sekejap tampak berkiblat 

pertanda murid Bayu Bajra ini hendak 

lepaskan pukulan Telaga Surya'. 

DI depannya, Ki Buyut Pagar Alam 

tampak kenakan dahi. Sepasang matanya tak 

berkesip mem-11 rhatikan Malaikat Penggali 

Kubur. 

"Tunggu!" Mendadak Ki Buyut berseru. 

"Anak ujda! Apa hubunganmu dengan Bayu 

Bajra?!"


Dengan tangan masih di atas dan siap 

teruskan h paskan pukulan, Malaikat 

Penggali Kubur tersenyum aneh. Lalu 

berucap. 

"Aku Malaikat Penggali Kubur! Tak ada 

hubung-ngan siapa pun! Dengar?!" 

“Heemm.... Selama aku malang 

melintang dalam ih iba persilatan, orang 

yang kuketahui memiliki pukulan seperti 

pemuda ini adalah Bayu Bajra! Pasti pemuda 

ini masih ada hubungan dengan tokoh itu. 

Hemm.... Bayu Bajra adalah adik kandung 

Dewa Sukma. Sementara Dewa Sukma adalah 

pemegang penggalan peta itu. Jangan-jangan 

pemuda Ini...," Ki Buyut Pagar Alam 

manggut-manggurt. 

Saat itulah mendadak Malaikat 

Penggali Kubur sentakkan kedua tangannya. 

Wuuttt! Wuuttt! 

Cahaya terang berkiblat sekejap, 

disusul dengan deruan keras dan 

menggebraknya gelombang angin luar biasa 

dahsyat! 

Seakan tahu kehebatan pukulan si 

pemuda, begitu deruan keras terdengar, Ki 

Buyut cepat keluarkan kedua tangannya lalu 

diangkat sejajar dada. Kejap lain kedua 

tangannya didorong ke depan. 

Tidak ada sambaran angin, juga tidak 

terdengar deruan, namun pada saat 

bersamaan, gelombang angin dahsyat pukulan 

Malaikat Penggali Kubur laksana disedot 

kekuatan dahsyat, dan perlahan-lahan 

gelombang angin itu mengarah pada kedua


tangan Ki Buyut. 

Malaikat Penggali Kubur sesaat jadi 

terkesiap melihat bagaimana pukulannya 

tersedot hendak masuk ke tangan lawan. 

Selain itu diam-diam pula dia terkejut 

mengetahui si kakek mengenali Bayu Bajra 

yang bukan lain adalah gurunya. 

Merasa gelagat buruk, Malaikat 

Penggali Kubur cepat lipat gandakan tenaga 

dalamnya. Sosok pemuda ini terlihat 

bergetar keras pertanda dia kerahkan 

segenap tenaga dalamnya. Dan untuk kedua 

kalinya Malaikat Penggali Kubur pukulkan 

kedua tangannya lepaskan pukulan Telaga 

Surya'. 

Mendapati hal demikian, Ki Buyut 

Pagar Alam tidak tinggal diam. Dia segera 

sentakkan kedua tangannya, hingga 

gelombang angin dahsyat pukulan Telaga 

Surya' Malaikat Penggali Kubur yang per-

tama tertahan dan kejap kemudian berbalik 

dan kini memapak pukulan Telaga Surya' 

yang dilepas Malaikat Penggali Kubur untuk 

yang kedua kalinya. 

Belum sampai dua pukulan 'Telaga 

Surya' itu bentrok di udara, mendadak dari 

arah kereta terdengar suara bentakan. Lalu 

terlihat cahaya hitam menggebrak setelah 

terlebih dahulu membuat tanah rengkah 

membentuk jalur panjang! 

Bummm! Bummm! Bummm! 

Tiga ledakan berturut-turut membuat 

tempat itu laksana dihantam gempa hebat. 

Sosok Ki Buyut Pagar Alam tampak


terhuyung-huyung hendak jatuh. Namun 

sebelum kakinya melipat, bahunya bergerak 

dua kali. Kejap itu juga tubuhnya laksana 

mental. Membumbung ke udara setinggi dua 

tombak. Tanpa membuat gerakan berputar, 

kakek ini melayang turun dan menjejak 

tanah dengan kaki tegak dan kedua tangan 

masuk ke dalam saku jubah hitamnya. 

Di seberang, sosok Malaikat Penggali 

Kubur tampak terjengkang dan terkapar di 

atas tanah dengan mulut keluarkan darah. 

Jubah putihnya berubah menjadi kehitaman 

hangus. Namun pemuda ini segera bangkit 

tatkala yakin bahwa luka dalamnya tidak 

begitu parah. 

Tapi baru saja tubuhnya tegak, satu 

bayangan hitam berkelebat dan belum sempat 

pemuda ini membuat gerakan, satu tendangan 

keras menghantam dadanya. 

Bukkk! 

Malaikat Penggali Kubur berseru 

tertahan. Tubuhnya tersapu sampai dua 

tombak ke belakang. 

Meski murid Bayu Bajra ini mampu 

bertahan tidak sampai roboh namun tak 

urung dadanya terasa sesak dan sesaat 

kemudian dia batuk-batuk sebelum akhirnya 

meludah keluarkan darah hitam! 

"Jahanam keparat!" maki Malaikat 

Penggali Kubur sambil usap-usap dadanya 

dan berpaling ke samping kanan. Sejarak 

tiga tombak, tampak perempuan berjubah dan 

bercadar hitam tegak dengan kedua tangan 

tetap melipat di depan dada.


"Hem.... Orang-orang ini memang mampu 

menangkis pukulanku. Tapi belum bisa 

kupastikan apakah dapat mengatasi 

pukulanku! Mereka hanya menangkis dengan 

mengembalikan pukulanku! Berarti bukan 

orang-orang ini yang kelak mendapatkan ki-

tab itu! Kalau kuteruskan urusan ini, 

perjalananku akan tertunda. Dan bukan tak 

mungkin ada orang yang mendahului! Hemm 

... Daripada berurusan dengan orang-orang 

tak berguna, lebih baik aku teruskan 

perjalanan!" 

"Kalian dengar!" kata Malaikat 

Penggali Kubur. "Urusan ini belum selesai! 

Kelak Malaikat Penggali Kubur akan mencari 

kalian!" 

Habis berkata begitu, Malaikat 

Penggali Kubur putar diri. Namun gerakan 

tubuhnya yang hendak berkelebat tinggalkan 

tempat itu tertahan ketika De wi Siluman 

tiba-tiba perdengarkan tawa panjang yang 

mendadak pula diputus. 

"Urusan memang belum selesai. Dan tak 

ada waktu lagi kelak!" 

Dewi Siluman angkat kedua tangannya, 

sementara sepasang kakinya dibantingkan ke 

tanah. Pertanda perempuan berjcbah dan 

bercadar hitam ini siap iepaskan pukulan 

'Kabbt Neraka' sekaligus dengan pukulan 

'Sinar Setan! 

Namun sebelum sempat lepaskan 

pukulan, Ki Buyut telah berkelebat dan 

mencekal kedua tangan Dewi Siluman. 

"Dewi....Tahan pukulan. Kita memer


lukan pemuda itu!" bisik Ki Buyut Pagar 

Alam. 

Dewi Siluman berpaling dengan 

mendengus. "Apa maksudmu Ki Buyut?!" 

"Biarkan dia pergi dulu!" ujar Ki 

Buyut Pagar Alam seraya terus pegangi 

kedua tangan Dewi Siluman. Meski menahan 

rasa geram, tapi akhirnya Dewi Siluman 

turuti ucapan si kakek. 

Sementara di depan sana, begitu tak 

ada pukulan atau ucapan lagi, Malaikat 

Penggali Kubur teruskan berkelebat 

tinggalkan tempat itu. 

"Dewi...," kata Ki Buyut Pagar Alam 

setelah Malaikat Penggali Kubur berlalu. 

"Aku yakin pemuda itu masih ada hubungan 

dengan Bayu Bajra. Sedangkan Bayu Bajra 

adalah adik kandung Dewa Sukma, orang yang 

memegang penggalan peta yang berhasil Dewi 

rebut. Kalau dia sampai di daerah sini, 

tidak tertutup kemungkinan dia memegang 

peta menuju arah Pulau Biru!" 

"Hemm.... Lalu?!" tanya Dewi Siluman 

dengan sepasang mata memandang ke arah 

mana Malaikat Penggali Kubur berkelebat. 

"Kita ikuti pemuda itu! Kereta kita 

serahkan pada Wulandari dan Ayu Laksmi!" 

Tanpa menunggu ucapan Dewi Siluman, 

Ki Buyut Pagar Alam melesat ke arah 

Wulandari yang masih terduduk. 

"Ki Buyut...," kata Wulandari dengan 

suara pelan. Ki Buyut Pagar Alam tidak 

buka mulut. Kakek ini hanya ulurkan 

kantong kecil ke arah Wulandari yang


segera disambut oleh gadis berjubah kuning 

ini. 

"Telan obat di dalam kantong ini dua 

butir. Ayu Laksmi juga beri dua butir. 

Setelah itu kalian bawa kereta menuju 

tempat yang telah ditentukan!" 

Habis memberikan kantong, Ki Buyut 

Pagar Alam kembali berkelebat mendekat 

Dewi Siluman. Dewi. Kita harus bergerak 

cepat!" 

"Hemm.... Aku heran. Dua kali ini 

Sitoresmi tak kutemui bersama dua saudara 

seperguruannya! Jangan-jangan anak itu 

berlaku bodoh!" kata Dewi Siluman sambil 

melirik ke arah Wulandari. 

"Dewi.... Itu bisa kita urus 

belakangan! Ini kesempatan baik. Kalau 

dugaanku tidak meleset, tanpa harus 

mencari penggalan sisa, kita bisa sampai 

ke Pulau Biru!" 

"Tapi...." 

"Dewi!" tukas Ki Buyut Pagar Alam. 

"Urusan yang kita hadapi membutuhkan gerak 

cepat. Siapa yang pandai manfaatkan 

situasi dan waktu dialah yang akan 

berhasil! Sekali kesempatan lolos, kita 

akan kecewa!" 

Tanpa pedulikan Dewi Siluman yang 

masih tegak berpikir, Ki Buyut Pagar Alam 

telah berkelebat mendahului ke arah mana 

Malaikat Penggali Kubur pergi. 

Meski masih diliputi tanda tanya 

dengan dugaan Ki Buyut Pagar Alam, namun 

sesaat kemudian Dewi Siluman juga


berkelebat menyusul. 

Tak berapa lama setelah Dewi Siluman 

dan Ki Buyut Pagar Alam pergi, Wulandari 

tampak bergerak bangkit, lalu melangkah ke 

arah Ayu Laksmi. Gadis berjubah kuning ini 

segera berikan dua butir obat pada Ayu 

Laksmi. Lantas menolong gadis berjubah 

biru itu untuk bergerak bangkit dan 

menuntunnya ke arah kereta. 

Tak berselang lama, di tempat itu 

terdengar gemeretak roda kereta ditingkah 

suara derap ladam kaki kuda. Kereta yang 

tadi dikusiri oleh Ki Buyut Pagar Alam itu 

kini bergerak ke arah selatan dengan 

dikusiri oleh Wulandari, sementara Ayu 

Laksmi tampak duduk di sebelahnya dengan 

sesekali mengusap dadanya. 



SEMBILAN 



MATAHARI telah tenggelam di ujung 

laut sebelah barat ketika Joko jejakkan 

kaki di pesisir Laut Selatan. Namun karena 

saat itu rembulan bersinar terang, murid 

Pendeta Sinting ini masih dengan jelas 

bisa melihat kawasan pesisir laut. 

"Peta terakhir yang kuperoleh dari 

Dewi Es menunjuk tempat ini. Lalu di situ 

tertera perahu. Hem.... Berarti aku harus 

menyeberangi laut....11 Joko Sableng 

arahkan pandangannya ke tengah laut. 

Dari tempatnya berdiri, murid Pendeta 

Sinting ini melihat gundukan hitam nun 

jauh di tengah laut. Lalu terlihat pula


kelap-kelip perahu nelayan di seberang. 

"Pulau Biru.... Dalam situasi begini, 

sulit menentukan di mana pulau itu berada. 

Terpaksa aku harus menunggu sampai suasana 

terang. Sementara menunggu waktu, aku akan 

membuat rakit...." 

Ketika ujung laut di sebelah timur 

terlihat mulai agak terang berwarna 

kekuningan pertanda sang matahari tak lama 

lagi akan muncul menerangi hamparan bumi, 

tampak sebuah rakit meluncur deras 

membelah ombak Laut Selatan. 

Tegak di atas rakit adalah seorang 

pemuda .berpakaian putih rambut panjang 

diikat dengan ikat kepala warna putih. Di 

tangannya tampak sebatang kayu yang 

sesekali diayunkan ke dalam air laut. 

"Meski belum dapat kupastikan mana 

Pulau Biru, tapi aku akan menuju salah 

satu pulau itu!" kata sang pemuda yang 

bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 

131 seraya arahkan pandangannya jauh ke 

tengah laut, di mana tampak dua gugusan 

pulau yang dari tempatnya murid Pendeta 

Sinting berdiri terlihat hitam. 

"Mudah-mudahan aku tidak salah 

alamat...," gumam Joko Sableng lalu 

ayunkan kayu di tangan kanannya ke dalam 

air laut. Rakit yang ditumpangi makin 

kencang melaju membelah gelombang menuju 

salah satu gugusan pulau di depan sana. 

Sang mentari hampir tepat di titik 

tengahnya tatkala rakit yang ditumpangi 

murid Pendeta Sinting sampai pada bagian


pinggiran pulau. Sebelum rakit merapat, 

Joko Sableng telah berkelebat dan tegak di 

pinggiran pulau dengan mata memandang 

berkeliling ke seantero pulau. 

Ternyata pulau itu tidak begitu 

besar. Tidak tampak adanya pohon atau 

tumbuhan. Yang terlihat hanyalah gugusan 

batu-batu padas dan tanah berpasir. 

Anehnya, gugusan batu-batu padas dan pasir 

yang bertebaran di tempat itu berwarna 

biru! 

"Melihat keadaannya, aku tidak datang 

ke tempat yang salah! Semua yang ada di 

tempat ini berwarna biru!" kata Joko dalam 

hati seraya sekali lagi putar kepala 

dengan sepasang mata memperhatikan. 

Tiba-tiba kening murid Pendeta 

Sinting ini berkerut. Sepasang matanya 

menebar sementara telinganya dipasang 

baik-baik. "Aneh...," gumamnya. "Mataku 

tak melihat adanya orang. Telingaku tidak 

menangkap suara gerakan. Namun kenapa 

tanah yang kupijak terasa bergetar! Ini 

bukan karena gelombang ombak.... Ada 

sesuatu yang lain!" 

"Astaga!" murid Pendeta Sinting ini 

tepuk jidatnya sendiri. "Bukankah Manusia 

Dewa pernah mengatakan Kitab Serat Biru 

ada di tangan seorang sakti bernama Ki 

Ageng Mangir Jayalaya? Jangan-jangan ini 

adaiah...." Tanpa pikir panjang lagi, 

Pendekar 131 segera berkelebat menuju 

tengah pulau. Namun sesaat Joko jadi 

bingung sendiri. Karena hingga matanya


lelah mencari, ia tak menemukan siapa-

siapa. Sementara getaran-getaran itu makin 

lama makin keras. 

"Pulau ini tampaknya kosong tak 

berpenghunil Lalu ke mana aku harus 

mencari kitab itu? Peta itu hanya 

menunjukkan jalan menuju Pulau. Tidak ada 

petunjuk lebih lanjut ke mana aku harus 

menuju setelah sampai di pulau! Hem.... 

Tapi kenapa getaran-getaran ini makin 

keras?!” 

Joko tengadahkan kepala. "Aku akan 

menelusur dari pinggiran pulau!" 

Murid Pendeta Sinting segera 

berkelebat dan kini dengan mata nyalang ia 

melangkah menyusur pinggiran pulau 

berpasir biru itu. Namun hingga tidak ada 

celah yang tertinggal, dia tetap tak 

menemukan siapa-siapa! 

"Ah. Mungkin benar apa yang dikatakan 

sebagian orang. Cerita Kitab Serat Biru 

hanyalah isapan jempol belaka! Atau.... 

Mungkin ada orang yang mendahuluiku sampai 

di tempat ini. Bertemu dengan orang sakti 

itu, lalu orang sakti yang dikatakan Ma-

nusia Dewa itu pergi tinggalkan pulau! 

Tapi kenapa orang-orang aneh seperti Ratu 

Malam, Gendeng Panuntun mengisyaratkan 

bahwa...." Murid dari jurang Tlatah Perak 

ini tidak teruskan kata hatinya karena 

saat itu terdengar orang lantunkan 

nyanyian. 

Suratan telah ditulis, takdir sudah 

digurat


Tidak satu kekuatan pun yang bisa 

merobah dan menggugat 

Bahkan hingga air mata kering dan 

tubuh melipat 

Kecuali dengan izin Tuhan Sang 

Penguasa Jagat. 

Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah 

didapat 

Akankah semuanya jadi sia-sia karena 

kebimbangan yang menjerat 

Padahal penantian ini telah lama 

berkarat 

Hanya pada Tuhan tempat manusia 

memanjat 

Suara nyanyian itu terdengar amat 

aneh di telinga murid Pendeta Sinting, 

memantul jauh namun menggema laksana 

diperdengarkan orang dari dasar jurang 

yang sangat dalam. 

Joko memandang jauh ke tengah laut 

dengan coba mengulang nyanyian yang baru 

didengar lalu coba menyimak arti nyanyian. 

"Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah 

didapat.... Eh. Jangan-jangan ini ada 

hubungannya dengan peta yang kudapat dari 

beberapa tokoh Ku! Padahal penantian ini 

telah berkarat.... Hem.... Jangan-jangan 

orang ini tokoh yang dikatakan Manusia 

Dewa! Tapi di mana aku harus mencarinya? 

Seluruh pulau telah kutelusuri, tapi tidak 

ada seorang pun! Dan suara itu sepertinya 

datang dari jauh tapi menggema laksana di 

dalam jurang.... Mungkinkah di bawah pulau


ini?!" Sekali lagi sepasang mata Joko 

memperhatikan berkeliling. 

Saat itulah matanya menangkap gugusan 

batu padas yang bergetar keras dan tak 

lama kemudian pecah berantakan! Anehnya, 

bersamaan dengan pecahnya gugusan batu 

padas itu, getaran-getaran di pulau itu 

berhenti! 

Murid Pendeta Sinting segera 

berkelebat ke arah gugusan batu padas yang 

pecah. Sampai di situ, sepasang matanya 

jadi membelalak besar. Pada bagian pecahan 

batu padas tampak sebuah lobang menganga! 

Baru saja Pendekar 131 gerakkan 

kepala melongok, satu kekuatan dahsyat 

menyedot dari dalam lobang, hingga meski 

Joko coba menahan dengan kerahkan tenaga 

dalam namun sia-sia. Tubuhnya melipat ke 

depan lalu melayang masuk ke dalam lobang! 

Bukkk! 

Joko rasakan tubuhnya menghantam 

tanah keras. Ketika dia buka kelopak 

matanya dia berada pada satu ruangan agak 

besar yang seluruh bagian dinding dan 

langit-langitnya dari batu berwarna ke-

biru-biruan. 

Dengan dada dipenuhi berbagai tanya, 

murid Pendeta Sinting ini cepat bergerak 

bangkit. Lalu edarkan pandangannya ke 

seluruh ruangan. Tapi di sini dia tak juga 

melihat seseorang. 

Di saat Joko masih mencari-cari 

dengan rasa heran, tiba-tiba terdengar 

lagi nyanyian seperti yang tadi


didengarnya di atas pulau! Tapi lagi-lagi 

suara itu laksana datang dari tempat yang 

jauh di dalam jurang. Namun kali ini Joko 

dapat menentukan dari mana sumber arah 

suara itu. 

Perlahan-lahan Joko melangkah ke 

bagian samping kanan dinding ruangan arah 

mana suara nyanyian tadi terdengar. 

Sejenak murid Pendeta Sinting ini 

perhatikan dinding ruangan bagian kanan 

itu. Lalu merabanya. 

"Tak ada pintu.... Tapi jelas suara 

tacM bersumber dari sini!" gumam Joko 

Sableng seraya gelengkan kepala. Entah 

karena tak tahu apa yang harus dilakukan, 

akhirnya dia berteriak. 

"Siapa pun adanya orang, katakan di 

mana kau berada! 

Joko menunggu. Tapi tidak ada suara 

jawaban atau terdengarnya nyanyian. Murid 

Pendeta Sinting kembali ulangi 

teriakannya. Namun tidak juga ada suara 

jawaban. 

"Eh. Jangan-jangan telingaku yang 

menipu karena aku terpengaruh dengan 

nyanyian di luar tadi...." 

Joko lalu melangkah dan duduk 

bersandar pada dinding ruangan. Baru saja 

punggungnya bersandar, dari bagian kanan 

dinding terdengar suara. 

"Aku di sini, Anak muda...!" 

Joko terkesiap, serentak dia bangkit 

lalu melompat ke dinding ruangan sebelah 

kanan. Tapi kembali dia dilanda


kebingungan. Dinding itu tak berpintu dan 

tak ada satu celah pun! 

"Aku ingin menemuimu! Bagaimana aku 

harus ke tempatmu?!" seru Joko pada 

akhirnya. 

"Hantam dinding sebelah kanan!" 

terdengar jawaban dari dalam. 

"Jika dinding ini kuhantam, jangan-

jangan orang di dalam sana itu akan 

terkena juga.... Padahal kemungkinan besar 

dialah orang sakti yang dikatakan Manusia 

Dewa!" 

Sesaat murid Pendeta Sinting dilanda 

kebimbangan. Antara menuruti ucapan orang 

atau mencari jalan lain yang lebih aman. 

Karena bukan tidak mungkin jika turuti 

ucapan orang maka orang yang ada di dalam 

sana akan turut cedera. Padahal dari 

nyanyian yang didengarnya, Pendekar 131 

sudah hampir merasa yakin bahwa orang 

itulah yang ada sangkut-pautnya dengan 

Kitab Serat Biru. 

"Anak muda. Apalagi yang kau 

tunggu?!" terdengar ucapan dari balik 

dinding. 

"Baiklah. Aku akan menghantam dinding 

ini. Tapi harap kau menyingkir!" kata 

Joko. 

Terdengar orang tertawa. Sesaat 

kemudian terdengar ucapan. 

"Jika kau melihat sendiri, tak 

mungkin kau mengatakan begitu, Anak Muda!" 

"Apa maksudmu?!" tanya Joko. 

"Jangankan menyingkir, menggerakkan


tangan pun aku tak bisa!" 

"Kenapa bisa begitu?" tanya Joko 

pula. 

"Sekarang bukan saat yang baik untuk 

tanya jawab, Anak muda! Turuti saja kata-

kataku!" 

Murid Pendeta Sinting masih tampak 

ragu-ragu. Sepasang matanya perhatikan 

dinding ruangan dengan seksama. 

"Sekali kuhantam aku yakin akan 

ambrol. Hemmm.... Orang di dalam sana itu 

tidak bisa bergerak. Aku harus tahu, 

apakah jaraknya jauh dengan dinding 

ini...!" Joko lalu kembali berteriak. 

"Apakah tempatmu cukup jauh dengan 

dinding ini?!" 

Sejenak tidak ada jawaban. Tapi tak 

lama kemudian terdengar suara. 

"Anak muda! Tempatku berada tak lebih 

cuma dua langkah dari dinding!" 

"Gila! Bagaimana ini? Tak mungkin 

orang itu selamat jika dinding ini 

ambrol!" kata Joko dalam hati lalu 

melangkah mondar-mandir. 

"Ah, bagaimana kalau yang kuhantam 

sebelah sini?!" ujar Joko pelan seraya 

melihat dinding sebelah kanan yang agak ke 

tepi. 

"Anak muda. Kau masih di situ?!" 

terdengar ucapan dari dalam dinding. 

"Hemm.... Betul. Aku akan hantam 

dinding ini, tani agak ke tepi! Dengan 

begitu kau tidak akan terkena jebolan 

dinding!"


Dari dalam terdengar orang tertawa. 

"Percuma Anak muda. Kalau yang kau hantam 

tidak yang paling tengah, kau hanya akan 

buang-buang waktu dan tenaga!" 

"Walah! Bagaimana ini!" Kembali Joko 

dilanda kebingungan. Karena tidak tahu 

harus berbuat apa, akhirnya Joko bertanya 

lagi. 

"Apakah tidak ada jalan lain selain 

menghantam jebol dinding ini?!" 

"Anak muda! Jangan banyak tanya! 

Hantam dinding atau keluarlah dari ruangan 

ini!" Kali ini suara dari balik dinding 

agak keras. 

"Baiklah. Aku hanya turuti ucapanmu! 

Harap kau nanti tidak menyesal!" 

"Tak ada penyesalan, Anak muda! 

Penantian ini sudah terlalu lama...." 

"Siapa yang menanti?" ujar Joko 

Sableng dengan melangkah mundur. 

"Aku tidak bisa jawab tanyamu 

sekarang! Karena kau bukan satu-satunya 

anak manusia yang datang ke tempat ini!" 

"Jadi?!” 

"Kau terlalu banyak tanya, Anak 

muda!" potong suara dari balik dinding. 

"Berarti telah banyak orang yang 

sebelumnya datang ke tempat ini. Dan 

mereka tak sanggup menjebol dinding itu!" 

pikir Pendekar 131 pada akhirnya. 

Setelah menarik napas dalam, murid 

Pendeta Sinting ini angkat kedua tangannya 

dan sekaligus dihantamkan pada dinding 

tepat bagian paling tengah.


Beekkk! Beekkk! 

Terdengar dua kali benda terhantam. 

Tapi murid Pendeta Sinting jadi terkesiap 

sendiri. Jangankan hancur, satu pecahan 

kecil pun tidak! Malah kejap itu juga Joko 

berseru tertahan sambil kibas-kibas-kan 

kedua tangannya. Bahkan dia membelalak 

saat meneliti ternyata kedua tangannya 

lecet dan mengembung bengkak!" 

"Anak muda! Kau sudah lakukan apa 

yang kuucapkan?!" Dari dalam dinding 

terdengar tanya. 

Joko tidak menjawab ucapan orang. 

Sebaliknya perhatikan dinding dengan mata 

mendelik tak ber-kesip. 

"Anak muda! Kerahkan segenap tenaga 

dalammu dan lepaskan pukulan andalan yang 

kau miliki!" 

"Edan! Aku tak percaya jika menjebol 

dinding begini sampai harus kerahkan 

tenaga dalam penuh dan lepaskan pukulan 

'Lembur Kuning'.... Akan kucoba sekali 

lagi!" 

Murid Pendeta Sinting mundur satu 

langkah. Dengan kerahkan separo tenaga 

dalamnya dia hantam dinding itu dengan 

kedua tangannya. 

Untuk kedua kalinya Pendekar 131 

berseru tertahan. Kedua tangannya mental 

balik! Bahkan tubuhnya ikut terseret 

mundur sampai tiga langkah! Kedua 

tangannya tambah lecet dan makin bengkak 

besar! 

"Aku hampir tak percaya!" gumam Joko


seraya pentangkan matanya. Dinding itu 

bergeming pun tidak! "Terpaksa aku turuti 

ucapan orang itu! Akan kuhantam dengan 

pukulan 'Lembur Kuning'!" 

Murid Pendeta Sinting segera kerahkan 

tenaga dalam pada kedua tangannya. Kejap 

kemudian kedua tangannya berubah menjadi 

kekuningan pertanda dia siap lepaskan 

pukulan andalan 'Lembur Kuning'. 

Didahului bentakan keras, Joko 

melompat ke depan dan serta-merta kedua 

tangannya dihantamkan ke arah dinding. 

Dua sinar kuning mencorong terlihat 

menggebrak ke depan, lalu terdengar 

dentuman keras. Ruangan terbuat dari batu 

berwarna biru itu bergetar hebat laksana 

dilanggar gempa. Hingga sosok murid 

Pendeta Sinting tampak terpental dan jatuh 

terduduk di tengah ruangan. 

Meski merasa kesakitan, Joko cepat 

bergerak bangkit dan serta-merta 

menghambur ke depan, ke arah dinding yang 

baru saja dihantam. Sepasang mata Joko 

terpentang besar dan dari mulutnya ter-

dengar gumaman tak jelas. Ternyata dinding 

itu tetap seperti sedia kala! 

"Heran. Bagaimana mungkin pukulan 

'Lembur Kuning' tidak mampu menjebol! 

Jangan-jangan ini satu isyarat bahwa kitab 

itu...." 

Kata hati Joko belum selesai, dari 

balik dinding terdengar orang berucap. 

"Aku mendengar ledakan. Berarti kau telah 

menghantam dinding itu. Aku tanya padamu,


Anak muda. Bagaimana hasilnya?!" 

"Seperti yang kau dengar, aku memang 

telah menghantam dinding itu, tapi 

jangankan jebol, rengkah pun tidak! Apa 

yang harus kulakukan sekarang?!" 

Terdengar keluhan dari balik dinding. 

Lalu terdengar suara. 

"Kau telah berusaha, Anak muda! Dan 

ternyata kau sama seperti beberapa orang 

yang datang sebelumnya! Itu telah menjadi 

jawaban apa yang harus kau ^kukan 

sekarang!" 

"Jadi aku harus meninggalkan tempat 

ini?!" ujar Joko seraya gelengkan kepala. 

"Bukan harus. Tapi apa gunanya kau 

berada di situ?! Kukira masih banyak yang 

bisa kau nikmati diluaran sana. Bukankah 

begitu?!" 

"Tapi aku tak akan keluar dari pulau 

ini sebelum mendapatkan apa yang kucari!" 

"Apa yang kau cari di sini, Anak 

muda?!" 

"Aku mengemban tugas dari Eyang 

guruku Pendeta Sinting serta seorang tokoh 

rimba persilatan bergelar Manusia Dewa 

untuk menyelidik Kitab Serat Biru!" 

"Hemm.... Begitu? Mau turuti 

ucapanku, Anak muda?!" 

"Harus kudengar dulu ucapanmu!" 

"Tinggalkan ruangan itu! Kau tidak 

akan mendapat apa-apa!" 

"Maaf. Kalau ini aku tidak bisa 

turuti ucapanmu. Aku akan tinggalkan 

ruangan ini dengan kitab di tangan!"


Terdengar orang di balik dinding 

tertawa panjang. "Tekadmu besar. Tapi 

sayang.... Kau tidak akan mendapatkan yang 

kau inginkan!" 

"Apakah orang lain telah mendapatkan 

kitab itu?!" 

"Beberapa orang memang datang ke 

tempat ini. Sama dengan dirimu, mereka 

juga menginginkan kitab Itu. Tapi sama 

juga dengan kau, mereka akhirnya harus 

pulang dengan tangan hampa!" 

"Apakah kitab itu benar-benar tidak 

ada?!" tanya Joko. 

"Aku tidak berhak menjawab! Jawaban 

itu bisa kau dengar jika kau berhasil 

membuka dinding ini! Tapi sekaligus tidak 

membuatku tewas terkena bias pukulan!" 

Hening sejenak. Murid Pendeta Sinting 

tampak duduk bersandar dengan kepala 

sesekali menggeleng. "Aku telah berusaha, 

dan nyatanya aku gagal menjebol dinding 

itu! Mungkinkah kitab itu tidak di-

takdirkan untuk kumiliki?!" 

"Anak muda! Kau telah menghantam 

dinding itu. Apakah kau tidak punya 

pukulan lain?" 

"Astaga!" Joko bergerak bangkit. 

"Bukankah aku mendapatkan pukulan 'Sukma 

Es' dari orang yang sebutkan diri Dewi 

Es?! Hemm.... Akan kucoba!" 

Tapi kembali Joko dilanda 

kebimbangan. "Kalau berhasil, tapi tidak 

mampu menyelamatkan orang itu...? Ah, 

susah!"


Setelah berpikir agak lama, akhirnya 

Joko berkata. 

"Orang di balik dinding! Aku memang 

punya satu pukulan. Tapi aku belum bisa 

pastikan apakah pukulan itu mampu menjebol 

dinding ini, juga aku tak bisa jamin 

apakah kau nanti bisa selamat jika pukul-

anku berhasil!" 

"Dengar, Anak muda! Orang yang bisa 

menjebol dinding ini sekaligus dia pasti 

bisa meredam pukulannya agar aku bisa 

selamat! Jika hal itu tak bisa dilakukan, 

jangan harap bisa jebol dinding ini!" 

"Ah, tambah sulit!" gumam Joko lalu 

kembali duduk bersandar. "Bisa menjebol 

sekaligus bisa meredam! Hem.... Dewi Es 

mengatakan sesuatu yang kupegang akan 

membeku jika kukerahkan tenaga dalam ke 

lengan...." 

Mendadak Pendekar Pedang Tumpul 131 

berdiri dengan mata tak berkedip 

memperhatikan dinding di hadapannya. 

"Jika ucapan Dewi Es benar, maka bila 

dinding ini kuhantam dengan pukulan 

'Lembur Kuning' dan berhasil jebol, maka 

tidak akan berantakan karena dinding ini 

akan membeku jika kukerahkan pukulan Sukma 

Es kearah lengan!” 

Berpikir sampai di situ, murid 

Perdeta Sinting ini lantas melangkah ke 

arah dinding. Sesaat dia meraba dinding 

itu. Lalu mundur setengah langkah. Tenaga 

dalamnya dia kerahkan pada lengan. Serta 

merta dia merasakan hawa dingin luar biasa


pada kedua tangannya. Ruangan itu pun 

perlahan-lahan dibungkus hawa dingin 

hebat. 

Tanpa menunggu lagi, Joko tempelkan 

kedua tangannya pada dinding. Serta-merta 

dinding itu laksana ditimbun es! 

Aku merasakan hawa dingin, Apakah kau 

yang melakukan, Anak muda?!" tanya suara 

dari balik dinding. 

"Aku akan mencoba! Harap kau siap-

siap!" 

"Siap apa?" suara dan balik dinding 

kembali bertanya. 

"Walah, aku lupa kalau kau tak bisa 

bergerak!” 

"Sudah lakukan saja apa yang hendak 

kau lakukan!" kata suara dari balik 

dinding. 

Setelah melihat dinding itu dilapisi 

gumpalan es, tangan kanan Joko ditarik ke 

belakang, sementara tangan kirinya tetap 

menempel di dinding. Untuk kedua kalinya 

murid Pendeta Sinting ini kerahkan tenaga 

dalam diarahkan pada tangan kanannya. Ti-

ba-tiba tangan kanan itu berubah menjadi 

kekuningan. Lalu dengan pejamkan mata, 

tangan kanannya digerakkan menghantam 

dinding! 

Bukkk! 

Byaarrr! 

Terdengar ledakan keras. Joko rasakan 

tubuhnya terhantam benda besar, hingga 

sosoknya mencelat dan menghantam dinding 

di seberang. Lalu jatuh dengan kepala


berdenyut sakit. Wajahnya berubah pucat 

dengan kedua tangan bergetar. Tapi karena 

ingin melihat apa yang terjadi, murid 

Pendeta Sinting tidak rasakan denyutan di 

kepala dan rasa ngilu di sekujur tubuhnya. 

Dia cepat bergerak bangkit dengan sepasang 

mata memandang tak berkesip ke depan. 

"Berhasil...!" seru Joko ketika dia 

melihat lobang menganga di dinding yang 

baru saja dihantamnya. Tanpa berpikir lama 

dia cepat berkelebat, lalu tegak di 

samping dinding yang kini telah jebol. 

Murid Pendeta Sinting ini seakan tak 

percaya dengan pandangan matanya. Dinding 

yang terkena hantamannya memang jebol dan 

anehnya jebolan dinding itu tidak 

berhamburan! Melainkan berserakan di 

tempat itu dan tampak masih dilapisi 

gumpalan-gumpalan es! 

"Hem.... Jadi gumpalan-gumpalan es 

ini yang bisa meredam muncratnya hamburan 

batu dinding ini! Tidak kusangka sama 

sekali...." 

"Ah, ternyata kau berhasil, Anak 

muda!" terdengar suara pelan. 

Seakan tersadar, Joko segera 

pentangkan matanya ke balik jebolan lobang 

dinding. Saat itulah matanya membentur 

sesuatu. Murid Pendeta Sinting ini 

tercekat dan makin belalakkan matanya. 

Dari tempatnya berdiri Pendekar 131 

melihat seorang laki-laki berusia lanjut 

mengenakan jubah putih. Rambutnya yang 

telah memutih tampak awut-awutan menutupi


sebagian wajah dan bahunya. Sepasang 

matanya yang samar-samar terlihat dari ce-

lah rambutnya tampak sayu. Saat Joko 

melihat ke bawah, murid Pendeta Sinting 

jadi terkesiap. Karena ternyata tubuh 

bagian bawah kakek ini berada di dalam 

lantai batu! 

"Hem.... Betul ucapan Manusia Dewa! 

Orang sakti yang dikatakannya sebagian 

tubuhnya di atas sedang sebagian lagi di 

dalam tanah! Berarti orang ini yang 

dimaksud Manusia Dewa...." 

Joko segera masuk ke balik dinding 

yang telah jebol. Lalu jongkok di samping 

kakek yang tubuh bagian atasnya terlihat, 

namun tubuh bagian bawahnya masuk ke dalam 

lantai batu. 

"Kau tidak apa-apa, Kek?!" 

Si orang tua angkat kepalanya. 

"Dengan pergunakan pukulan 'Sukma Es' kau 

berhasil meredam hamburan batu. Itu 

membuatku selamat tidak mengalami suatu 

apa!" 

Diam-diam Joko jadi terkesiap 

mendengar si kakek tahu pukulan yang baru 

saja digunakan. Sebelum Joko buka mulut, 

si kakek telah berucap lagi. 

"Orang baru bisa menjebol dinding itu 

jika dia memiliki dua kekuatan. Kekuatan 

dingin untuk meredam, dan kekuatan panas 

untuk menghantam! Dan kau berhasil 

melakukannya dengan baik. Terima kasih, 

Anak muda...." 

"Kek! Tubuhmu sebagian masih


terpendam. Bagaimana aku harus menge-

luarkanmu?!" 

Sepasang mata sayu milik si kakek 

memandang dari sela rambutnya yang awut-

awutan. "Sekali lagi kuucapkan terima 

kasih jika kau masih ingin menolongku, 

Anak muda! Lakukanlah seperti kau menjebol 

dinding tadi! Hanya dengan cara itu 

tubuhku akan selamat...." 

"Hemm.... Jika begitu, akan 

kulakukan!" ujar Joko. Lalu cepat kerahkan 

tenaga dalam pada lengannya siapkan 

pukulan 'Sukma Es'. Tangan kirinya di-

tempelkan pada lantai batu sekitar tubuh 

kakek yang terpendam, lalu tangan kanannya 

diangkat siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. 

Lantai batu di mana kakek terpendam 

mendadak ditaburi gumpalan-gumpalan es. 

Serta-merta Pendekar 131 hantamkan tangan 

kanannya dengan kerahkan pukulan 'Lembur 

Kuning'. 

Brakkk! 

Tempat itu bergetar keras. Sosok 

murid Pendeta Sinting terseret hingga tiga 

langkah. Saat dia memandang ke depan, 

tampak lantai batu di mana tubuh si kakek 

terpendam rengkah-rengkah dan sebagian 

berlobang. Namun hamburan lantai batu 

tidak sampai bertabur ke atas! 

Si kakek tampak tarik kedua tangannya 

yang ikut terpendam ke atas. Dengan 

bertumpu pada kedua telapak tangannya yang 

menekan sebagian lantai batu si kakek 

bergerak. Sosoknya melesat ke atas lalu


tegak dua langkah ke samping Joko. 

"Anak muda. Jerih payahmu tidak akan 

kulupakan. Mari kita bicara di ruangan 

sana!" sambil berkata si kakek mendahului 

melangkah menuju ruangan. Joko lalu 

menyusul dari belakang. 




SEPULUH 



SELAMA hampir seratus tahun aku 

menghuni pulau ini...," kata si kakek 

mulai buka mulut setelah dia dan Pendekar 

131 duduk berhadap-hadapan di lantai 

ruangan yang dinding dan langit-langitnya 

terdiri dari batu berwarna biru itu. 

"Entah sudah menjadi nasibku, setelah 

aku berguru pada seorang tokoh sakti, aku 

diberi tugas untuk mendiami pulau ini. Aku 

tak tahu apa maksudnya dia menyuruhku 

untuk diam di pulau ini. Yang Jelas dia 

memberikan sebuah kitab serta butiran 

merah padaku dengan pesan, kelak akan 

datang orang yang ditakdirkan memiliki 

kitab serta butiran merah itu. Dia tidak 

mengatakan siapa orangnya dan kapan dia 

akan datang. Selain itu dia berpesan agar 

aku tidak sekali-kali membuka kitab serta 

menelan butiran merah itu. Sebagai murid 

meski hal itu terasa berat, namun 

kulakukan juga. Tapi hingga dua puluh 

tahun berlalu, orang yang dikatakan guru 

tidak ada tanda-tanda akan muncul di 

tempat ini. Aku mulai gelisah dan 

khawatir. Tapi aku tetap menjalankan pesan


guruku. Hingga pada suatu malam aku 

bermimpi...." Si kakek sejenak hentikan 

keterangannya, lalu melanjutkan. 

“Seorang laki-laki berusia lanjut 

datang dalam mimpiku dan dia memberi 

pesan, persis seperti apa yang dikatakan 

guruku. Tapi sepuluh tahun setelah mimpi 

itu, orang yang dikatakan tidak juga 

muncul. Aku mulai waswas. Terutama 

mengingat usiaku yang mulai menginjak tua. 

Dan entah karena apa suatu hari aku tanpa 

sengaja melihat kitab yang diberikan guru. 

Dan tiba-tiba di hatiku tergerak untuk 

membukanya. Tapi sadar akan pesan guru dan 

orang tua dalam mimpi, akhirnya 

keinginanku kubatalkan. Hingga pada suatu 

hari di hadapanku muncullah seorang kakek, 

yang setelah kuamati dengan seksama 

ternyata dia adalah kakek yang muncul da-

lam mimpiku. Kakek itu mengatakan bahwa 

sudah menjadi suratanku untuk menunggu dan 

memberikan kitab itu serta butiran merah. 

Kakek itu juga mengatakan bahwa tidak lama 

lagi orang yang ditakdirkan mewarisi kitab 

serta butiran merah akan datang. Untuk 

memastikan orang yang ditakdirkan itu, aku 

diberi satu ilmu ‘Penembus Pagar’. Kelak 

orang yang dapat melewati ilmu ‘Penembus 

Pagar’ dialah orang yang berhak mewarisi 

kitab serta butiran merah. Begitu si kakek 

pergi, aku coba menjajal ilmu itu. 

Ternyata aku bisa melewati dinding serta 

dapat masuk ke lantai tanpa terlihat 

jebolan pada dinding serta lantai.


Anehnya, begitu tubuhku masuk ke bawah 

lantai aku diserang kantuk yang luar 

biasa." Untuk kedua kalinya si kakek 

hentikan keterangannya sebelum akhirnya 

melanjutkan. 

"Hingga aku tertidur. Aku baru bangun 

tatkala kurasa ada getaran-getaran keras. 

Saat itulah kuketahui ada orang datang di 

ruangan ini. Seperti halnya dirimu tadi, 

orang itu coba menjebol dinding, tapi tak 

berhasil. Dan begitu orang itu pergi, aku 

diserang kantuk lagi, lalu tertidur. Aku 

baru terbangun ketika ada getaran-getaran 

keras dan ada orang datang di ruangan ini. 

Begitu selanjutnya. Aku baru bangun saat 

terasa ada getaran-getaran yang menandakan 

akan datangnya seseorang. Namun hingga 

sejauh itu tidak satu pun yang berhasil 

menjebol dinding sampai akhirnya kau 

datang...." 

"Jadi selama ini kau tak makan tak 

minum?'" "Aku tertidur! Mana merasa lapar 

dan haus? Aku hanya bangun sesekali. Itu 

kalau ada getaran pertanda orang datang. 

Tapi setelah itu aku sudah tertidur lagi!" 

"Luar biasa!" gumam Joko seraya 

pandangi kakek di hadapannya. 

"Kek. Kudengar kau sempat sebutkan 

pukulanku. Bagaimana kau bisa tahu?" 

Si kakek tengadahkan sedikit 

kepalanya sebelum berucap. 

"Tiga hari sebelum kedatanganmu, 

orang tua itu kembali muncul dalam 

mimpiku. Dia mengatakan bahwa penantian


tidak akan lama lagi. Dia lalu mengajarkan 

padaku bait nyanyian. Dan mengatakan bahwa 

ilmu 'Penembus Pagar' bisa diatasi jika 

orang pergunakan pukulan 'Sukma Es' yang 

digabung dengan pukulan yang mengandung 

hawa panas!" 

"Anak muda! Siapa namamu?!" tanya si 

kakek setelah terdiam agak lama. 

"Joko Sableng, Kek.... Aku murid 

seorang yang dalam rimba persilatan 

dikenal dengan gelar Pendeta Sinting.... 

Kau sendiri siapa, Kek?" 

"Aku Ageng Mangir Jayalaya...." 

"Hm.... Tepat ucapan Manusia Dewa!" 

kata Joko dalam hati. 

"Joko. Menurut pesan, maka kaulah 

orangnya yang berhak atas kitab dan 

butiran merah yang sekarang ada 

padaku...!" Ki Ageng Mangir Jayalaya se-

linapkan kedua tangannya ke balik 

jubahnya. Saat kedua tangannya ditarik 

kembali, tampaklah sebuah kitab bersampul 

biru di tangan kanan, lalu butiran sebesar 

ibu jari berwarna merah di tangan kiri. 

"Ambillah...," ujar Ki Ageng Mangir 

Jayalaya seraya ulurkan kedua tangannya 

pada Joko. 

Begitu benar-benar berhadapan dengan 

kitab yang dicari, bukannya Pendekar 131 

cepat ulurkan kedua tangannya untuk 

mengambil. Dia seolah masih tidak percaya 

bahwa kitab yang kini diulurkan si kakek 

adalah kitab yang dicari! 

"Kitab dan butiran merah ini sudah


ditakdirkan menjadi milikmu!" kata Ki 

Ageng Mangir Jayalaya. 

Pada akhirnya dengan kedua tangan 

gemetar perlahan-lahan Joko menyambuti 

kitab dan butiran merah yang masih ada di 

tangan Ki Ageng Mangir Jayalaya. Dan 

begitu tangannya menyentuh kitab bersampul 

biru serta butiran merah, Joko rasakan 

sekujur tubuhnya dirasuki hawa hangat. 

Pada saat bersamaan sepasang matanya 

terasa ditusuk-tusuk, hingga cepat Joko 

pejamkan sepasang matanya sambil menarik 

kitab dan butiran merah dari tangan Ki 

Ageng Mangir Jayalaya. 

Ketika kitab dan butiran merah berada 

di tangannya, tusukan pada matanya lenyap. 

Saat dia buka lagi kelopak matanya, 

pandangannya terasa makin tajam! 

"Ada apa, Anak muda?" tanya Ki Ageng 

Mangir Jayalaya tak tahu apa yang sedang 

dialami murid Pendeta Sinting ini. 

"Hm.... Dia tak merasakan dan tak 

tahu apa yang kualami!" membatin Joko lalu 

gelengkan kepala dan berkata. 

"Kepalaku sedikit sakit karena 

menghantam dinding itu tadi!" 

Ki Ageng Mangir Jayalaya perhatikan 

Joko lebih seksama. "Aneh. Kurasa bukan 

karena sakit kepala anak ini berbuat 

begitu! Tapi kalau dia tak hendak 

mengatakan padaku, untuk apa aku 

memaksanya?" kata si kakek dalam hati, 

lalu berkata. 

"Telanlah butiran merah itu!"


Sejurus Joko pandangi orang tua di 

hadapannya. Dia tampak bimbang. Ki Ageng 

Mangir Jayalaya tersenyum. 

"Itu yang dikatakan orang tua dalam 

mimpiku! Telanlah!” 

Dengan tangan gemetar. Joko pandangi 

butiran merah yang ada pada tangan 

kirinya. Lalu perlahan-lahan tangannya 

diangkat. Mulutnya bergerak membuka. Dan 

butiran merah itu segera ditelan. 

Tiba-tiba murid Pendeta Sinting 

rasanan sekujur tubuhnya laksana 

dipanggang dan kejang tak bisa digerakkan 

hingga tak lama kemudian kitab yang ada di 

tangan kanannya jatuh. Sepasang matanya 

terasa pedas sekali hingga keluarkan air 

mata sementara tubuhnya basah oleh 

keringat. Namun semua itu hanya sekejap. 

Di kejap lain mendadak rasa panas itu 

lenyap! Dan saat itu juga Pendekar 131 

dapat gerakkan lagi tubuhnya. 

Saat itulah, tiba-tiba ruangan di 

mana Pendekar 131 dan Ki Ageng Mangir 

Jayalaya berada terasa bergetar. Joko dan 

Ki Ageng Mangir Jayaiaya sejurus saling 

berpandangan. 

"Ada orang datang di pulau ini...," 

gumam si kakek. "Ambil dan simpan baik-

baik kitab itu!" 

Sejenak Joko perhatikan kitab yang 

ada di sampingnya. Kitab bersampul biru 

itu pada sampulnya bertuliskan Serat Biru. 

"Orang yang datang pasti mempunyai 

tujuan-yang sama denganmu! Jangan cari


urusan dengan memperlihatkan kitab itu!" 

kata Ki Ageng Mangir Jayalaya. 

Mendengar ucapan orang, Joko tersadar 

dan cepat ambil kitab lalu dimasukkan ke 

balik pakaiannya. 

"Kek! Kau tetap di sini! Aku akan ke 

atas!" kata Joko lalu menjura hormat. Ki 

Ageng Mangir Jayalaya hanya anggukkan 

kepala sambil tersenyum. 

Joko bergerak bangkit lalu putar diri 

dan melangkah ke arah lobang yang tadi 

menyedot tubuhnya. Sejenak dia tengadah 

lalu kedua kakinya menjejak lantai 

ruangan. 

Pendekar 131 jadi terkesiap sendiri, 

karena gerak lesatan tubuhnya luar biasa 

cepat! Hingga dalam kejap lain sosoknya 

telah tegak di luar lobang di permukaan 

pulau yang ditaburi pasir dan gugusan batu 

berwarna biru. 

Namun baru saja sepasang kakinya 

menginjak tanah, satu bayangan berkelebat 

dan langsung tegak menghadang tujuh 

langkah di hadapannya! 



SEBELAS 



UNTUK beberapa saat Joko Sableng 

perhatikan orang di hadapannya. Dia adalah 

seorang pemuda mengenakan jubah putih. 

Sepasang matanya tajam dengan dagu kokoh 

dan rambut panjang lebat. 

Orang yang dipandang tengadahkan 

kepala. "Hm.... Ternyata ada anak manusia


yang mendahului langkahku! Jahanam betul! 

Siapa dia?! Apakah telah berhasil 

mendapatkan kitab sakti itu?!" gumamnya 

lalu luruskan kepala. 

Sesaat dua orang ini saling bentrok 

pandang. Murid Pendeta Sinting buka mulut 

hendak bicara. Namun sebelum ucapan keluar 

dari mulutnya, pemuda berjubah putih yang 

bukan lain adalah Gumara alias Malaikat 

Penggali Kubur telah angkat tangan 

kanannya dan berkata dengan suara keras. 

"Kau tak berhak bertanya! Aku yang 

berhak ajukan tanya!" 

Murid Pendeta Sinting angkat alis 

matanya, lalu garuk pantatnya seraya 

membatin. "Sombong betul! Tapi siapa pun 

dia adanya pasti membekal ilmu, apalagi 

bisa sampai ke tempat ini!" 

"Katakan siapa kau!" hardik Malaikat 

Penggali Kubur seraya melangkah maju satu 

tindak. 

Pendekar 131 arahkan pandangannya 

pada deburan ombak jauh di depan sana. 

Lalu berujar. "Aku Pangeran Mendut-Mendut! 

Penghuni pulau gersang ini! Boleh tahu 

siapa kau adanya?!" 

Malaikat Penggali Kubur kernyitkan 

dahi. Matanya mendelik angker mengawasi 

pemuda di hadapannya. Namun tak lama 

kemudian tawanya meledak. 

"Setan laut pun tidak akan percaya 

jika tampang macammu adalah seorang 

pangeran!" kata Malaikat Penggali Kubur di 

sela suara tawanya. Namun mendadak suara


tawanya diputus. Seraya berpaling pada 

Joko dia membentak. 

"Jangan berani mengumbar bicara tak 

karuan! Lekas katakan siapa dirimu!" 

"Silakan setan laut atau hantu pulau 

inj tidak percaya. Yang pasti aku adalah 

.Pangeran Mendut-Mendut!" ujar Joko seraya 

senyum-senyum. Lalu melanjutkan. "Kau 

te.ah mengetahui siapa diriku. Sebagai 

penghuni puiau ini, aku ingin tahu siapa 

kau adanya!" 

Malaikat Penggali Kubur keluarkan 

dengusan keras sebelum menjawab. 

"Aku Malaikat Penggali Kubur!" 

"Ah.... Kalau seorang malaikat datang 

jauh-jauh ke pulau yang gersang ini pasti 

punya tujuan penting!" 

"Penting atau tidak bukan urusanmu!" 

sentak Malaikat Penggali Kubur. "Aku tanya 

padamu, di mana disembunyikan Kitab Serat 

Biru!" 

"Apa...?!" tanya Joko sambil 

telengkan kepalanya. 

"Kau tidak tuli! Orang tanya di mana 

disembunyikan Kitab Serat Biru!" 

"Kitab Serat Biru?" tanya Joko seraya 

kerutkan kening. 

"Betul! Sebuah kitab yang akhir-akhir 

ini banyak dibicarakan kalangan rimba 

persilatan dan tidak sedikit pula orang 

yang coba mencarinya. Kitab itu menurut 

kabar yang kupercaya berada di pulau ini!" 

kata Malaikat Penggali Kubur memberi 

keterangan.


"Kau tidak kesasar ke tempat yang 

salah?!" tanya Joko 

“Malaikat Penggali Kubur tidak akan 

datang ke tempat yang salah!" 

"Dari mana kau tahu tempat ini?!" 

"Jahanam! Kau terlalu banyak tanya!" 

bentak Malaikat Penggali Kubur. Rahang 

pemuda murid Bayu Bajra ini mulai 

mengembung. 

"Ah, maaf. Sejak kecil aku berada di 

tempat ini. Tak pernah sekali pun melihat 

keadaan di luaran sana. Jadi harap 

dimengerti jika aku tak mengetahui bahwa 

banyak c.ang rimba persilatan membicarakan 

kitab yang dikabarkan berada di pulau 

ini!" 

"Hm.... Jadi kau tak mengerti?!" 

tanya Malaikat Penggali Kubur dengan mata 

berkilat. 

"Bukan hanya tidak mengerti. Namun 

baru pertama kali ini mendengar kau 

sebutkan nama kitab itu!" 

"Heran. Bagaimana mungkin? Apakah 

peta itu palsu? Tapi melihat gugusan batu 

padas serta pasir di pulau ini, aku yakin 

inilah Pulau Biru! Hm.... Jangan-jangan 

pemuda ini mendustaiku!" 

Untuk pertama kalinv Malaikat 

Penggali Kubur dilanda kebimbangan. Tapi 

mana dia percaya begitu saja akan ucapan 

orang. Apalagi ketika matanya m -numbuk 

pada hamburan batu di dekat lobang. 

"Jika mau kusarankan, lebih baik kau 

menuju puSau itu!" kata Joko setelah agak


lama keduanya sama diam sambil menunjuk 

pada pulau di sebe rang. 

"Di sini kau tidak akan menemukan 

kitab yang kau katakan! Sebagai penghuni, 

aku hafal seluk-beluk pulau ini serta apa 

saja yang ada d! dalamnya! 

Malaikat Penggali Kubur tampak 

menyeringai mendengar ucapan Joko. Diam-

diam ia membatin. 

“Melihat pakaian yang dikenakan, 

mengaku mengaku seorang Pangeran, seperti 

nya tidak masuk akal jika dia penghuni dan 

tidak pernah meninggalkan pulau ini!" Lalu 

pemuda berjubah Putih berkata: 

"Aku datang Jauh-jauh percuma jika 

tidak membuktikan sendiri semua ucapanmu! 

Dan sebelum menyelidik keseluruh 

pulau,bagaimana aku bisa menerima jika aku 

dating ke tempat yang salah!" 

Tanpa memperdulikan pandangan 

Pendekar 131, Malaikat Penggal Kubur 

melangkah kea rah lobang dari mana murid 

Pendeta Sinting, keluar. 

“Tunggu!” seru Joko seraya tehgak 

menghadang. “Ini tempatku. Aku....” 

Malaikat Penggali Kubur hentikan 

langkah. Lalu mamandang lekap pada Joko 

dan menukas ucapannya. "Dengar! Sekali kau 

bergerak dan tempatmu aku tak segan 

penggal kepalamu!” Lalu Malaikat Penggali 

Kubur teruskan langkah. 

"Meski kitab telah berada di 

tanganku, tapi bisa bahaya jika dia masuk 

ke bawah ,kata Joko dalam hati, lalu


berkata. 

"Jika kau teruskan langkah, berarti 

kau tidak menghormati Pangeran Mendut-

Mendut!" 

Malaikat Penggali Kubur tertawa 

bergelak. "Persetan dengan Pangeran! 

Persetan dengan penghormatan!" 

Pendekar 131 palangkan tangan kanan 

kirinya ke samping membuat gerakan 

penghadangan. "Persetan juga dengan 

Malaikat Penggali Kuburi" Joko ikut-ikutan 

berkata. 

"Kau mencari mampusl" bentak Malaikat 

Penggali Kubur seraya angkat tangan 

kanannya. "Persetan dengan mampus!” Eh 

salah .... Yang kumaksudkan... 

Joko tak sempat lagi teruskan 

ucapannya, karena saat itu juga Malaikat 

Penggali Kubur telah gerakkan tangan 

kanannya. 

Namun gerakan tangan kanan Malaikat 

Penggali Kubur tertahan ketika tiba-tiba 

mereka berdua dikejutkan dengan suara tawa 

bersahut-sahutan. 

Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar 

131 serentak sama palingkan kepala ke arah 

datangnya suara tawa. Namun belum sampai 

kepala masing-masing orang berpaling, dua 

bayangan hitam telah berkelebat dan tahu-

tahu tegak terjajar beberapa langkah di 

samping Malaikat Penggali Kubur. 

"Mereka!" desis Malaikat Penggali 

Kubur seraya pandangi satu persatu pada 

dua orang yang baru datang. Paras wajah


pemuda ini tampak berubah. Tapi kejap 

kemudian dia mendongak sambil keluarkan 

dengusan keras. 

Pendekar 131 kernyitkan kening lalu 

memandang pada orang yang baru datang yang 

tegak di sebelah kanan. Di situ tegak 

seorang kakek mengenakan jubah hitam 

dengan rambut disanggul ke atas. Sepasang 

matanya besar masuk ke dalam lipatan 

rongga yang besar dan dalam. Kakek ini 

tegak seraya sedikit tengadah dengan kedua 

tangan masuk ke dalam saku jubah hitamnya. 

Murid Pendeta Sinting arahkan 

pandangannya pada orang di sebelah si 

kakek. Mendadak air muka Joko berubah. 

Seraya pentangkan mata besar-besar dia 

perhatikan orang kedua ini baik-baik. Dia 

adalah seorang perempuan berambut pirang 

bergerai sepanjang punggung. Mengenakan 

jubah panjang sebatas lutut juga berwarna 

hitam. Perempuan ini tidak bisa dikenali 

karena wajahnya ditutup dengan cadar 

berwarna hitam yang berlobang di bagian 

kedua mata. Kedua tangannya yang merangkap 

di depan dada tampak dibungkus dengan 

sarung tangan dari kulit yang juga 

berwarna hitam. 

"Melihat ciri-cirinya, jangan-jangan 

perempuan ini yang mencuri Pedang Tumpul 

131! Hm.... Kebetulan sekali! Tapi aku 

harus berhati-hati...." 

Kalau Malaikat Penggali Kubur tampak 

terkejut dengan kemunculan dua orang kakek 

dan perempuan bercadar yang bukan lain


adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi 

Siluman, demikian pula halnya dengan Dewi 

Siluman. Namun perempuan ini tidak 

terkejut dengan adanya Malaikat Penggali 

Kubur, hanya dia hampir tak percaya dengan 

keberadaan Pendekar 131 di tempat itu! 

Yang paling tampak tenang ialah Ki Buyut 

Pagar Alam. 

"Bagaimana anak manusia ini bisa 

berada di tempat ini?!" gumam Dewi Siluman 

dengan menatap tajam Pendekar 131. 

Seperti diketahui, waktu terjadi 

bentrok antara Pendekar 131 dengan Ratu 

Pemikat serta Iblis Ompong, Dewi Siluman 

tiba-tiba menyeruak lalu menyambar murid 

Pendeta Sinting yang sedang melayang 

hendak jatuh dan membawanya pergi. Dan pa-

da akhirnya Dewi Siluman berhasil 

mengambil Pedang Tumpul 131 milik Joko. 

Lalu bersama dengan paman guru sekaligus 

pembantunya Ki Buyut Pagar Alam, Dewi 

Siluman teruskan perjalanan menuju arah 

selatan. Pada satu tempat mereka berdua 

bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur 

yang saat Ku juga sedang melakukan 

perjalanan menuju Pulau Biru setelah 

mendapatkan peta asli dari tangan Dewa 

Sukma. Saat itu sebenarnya Dewi Siluman 

hendak lancarkan satu pukulan pada 

Malaikat Penggali Kubur yang hendak 

berkelebat pergi, namun ditahan oleh Ki 

Buyut Pagar Alam. Kakek ini merasa curiga 

dengan Malaikat Penggali Kubur. Dia lalu 

menyarankan pada Dewi Siluman untuk


membiarkan Malaikat Penggali Kubur 

berkelbat pergi namun dengan diam-diam 

mereka mengikuti dari belakang. 

"Kalian berdua!” Mendadak Malaikat 

Penggali Kubur berteriak seraya menunjuk 

kepada Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi 

Siluman. “Urusan kita belum usai! Jangan 

berani coba-coba menambah urusan dengan 

ikut campur urusanku dengan pemuda ini!” 

sepasang mata Dewi Siluman terpentang 

besar mengarah pada Malaikat Penggali 

Kubur. ilmu .kepandaianmu masih sebatas 

telapak kaki masih juga bermulut besar! 

Dengar! Kau menyingkir dulu tunggu 

giliran. Aku akan selesaikan urusan dengan 

anak itu! 

“Hmm... Rupanya kau telah mengenal 

Pangeran keparat Ini!" desis Malaikat 

Penggali Kubur, namun diam-diam dia juga 

masih membatin. "Ucapan perempuan bercadar 

ini membuktikan bahwa pemuda yang mengaku 

bernama Pangeran Mendut-Mendut ini sudah 

berkeliaran di luaran sana. Berarti dia 

juga bukan penghuni pulau ini! Jahanam 

betul! Dia telah menipuku'” 

Mendengar Malaikat Penggali Kubur 

sebutkan Pangeran pada Pendekar 131, Dewi 

Siluman tertawa bergelak-gelak. 

"Apa kau bilang? Pangeran? Pangeran 

apa?! Dasar manusia sok tahu namun dungu! 

Dengar baik-baik agar kau tak penasaran 

jika masuk liang kubur! Pemuda yang kau 

sebut Pangeran yang kini tegak di 

hadapanmu adalah pemuda bergelar Pendekar


Pedang Tumpul 131!" 

Persetan siapa dia! Pedang Tumpul 131 

atau Pangeran Mendut-Mendut! Yang jelas 

aku punya urusan dengan dia dan jangan 

ikut campur!” 

Di lain pihak, mendengar ucapan Dewi 

Siluman yang sebutkan siapa dirinya 

sebenarnya, murid Pendeta Sinting makin 

yakin bahwa perempuan berjubah dan 

bercadar hitam itulah orang yang membawa 

lari pedangnya. Namun sejauh ini dia belum 

mau mulai buka mulut untuk bertanya. 

"Dasar manusia baru turun gunung! 

Tidak tahu siapa yang dihadapi! Buta tidak 

dapat menentukan mana Pendekar mana 

Pangeran!" kata Dewi Siluman lalu 

perdengarkan tawa mengejek. 

Rahang Malaikat Penggali Kubur 

mengatup rapat. Pelipis kiri kanannya 

bergerak-gerak. Sepasang matanya mendelik 

angker melotot pada Dewi Siluman. Kedua 

tangannya terlihat bergerak mengepal 

pertanda dia siap lepaskan pukulan. 

"Tahan!" Tiba-tiba Ki Buyut Pagar 

Alam berseru demi melihat apa yang hendak 

dilakukan Malaikat Penggali Kubur. 

"Aku bicara terus terang saja. Kau 

dan kami datang ke tempat ini pasti dengan 

tujuan memburu kitab sakti Serat Biru. 

Betul?" 

"Aku tak akan katakan tujuanku!” 

sahut Malaikat Penggali Kubur. 

Ki Buyut Pagar Alam tak hiraukan 

ucapan Malaikat Penggali Kubur. Dia


melanjutkan kata-katanya. "Keinginan kita 

ternyata telah didahului orang. Dan bukan 

tidak mungkin orang yang mendahului kita 

telah mendapatkan kitab itu! Sekaang 

bagaimana kalau kita berbagi rezeki?!” 

"Apa maksudmu?!" ujar Malaikat 

Penggali Kubur sambil memandang tajam pada 

Ki Buyut Pagar Alam. 

"Kita buktikan bersama-sama apakah 

orang itu telah mendapatkan kitab itu! 

Lalu....' 

"Bagaimana membuktikannya?!" potong 

Malaikat Penggali Kubur. 

"Kita tanya baik-baik. Kalau keras 

kepala kita cabut nyawanya bersama-sama!" 

Malaikat Penggali Kubur menyeringai 

lalu tertawa pendek. "Malaikat Penggali 

Kubur tidak butuh bantuan jika cabut nyawa 

orang! Aku punya kekuatan untuk 

melakukannya sendiri!" 

Mendengar ucapan Malaikat Penggali 

Kubur, Ki Buyut ganti perdengarkan tawa 

panjang. "Anak muda! Kami telah buktikan, 

kekuatanmu masih jauh di bawah kami! 

Bagaimana mungkin kau akan hadapi seorang 

pendekar?!" 

Rahang Malaikat Penggali Kubur makin 

mengembang dan terangkat. Pemuda ini 

hendak keluarkan suara membentak, namun Ki 

Buyut Pagar Alam telah mendahului. 

"Anak muda. Jika nyawanya telah kita 

cabut dan begitu kitab benar-benar ada. 

Kita tentukan siapa yang berhak 

memilikinya!"


Malaikat Penggali Kubur menyeringai 

sambil gelengkan kepala. "Usulmu baik. 

Tapi Malaikat Penggali Kubur masih punya 

tangan untuk mencabut nyawanya!" 

"Hm.... Baiklah. Kuberi kesempatan 

padamu untuk buktikan ucapan! Kami akan 

lihat!" 

Habis berkata begitu, Ki Buyut Pagar 

Alam mendekat ke arah Dewi Siluman dan 

berbisik. "Aku memanas-manasi dia agar dia 

segera melenyapkan pemuda berbaju putih 

itu. Setelah itu pekerjaan kita akan lebih 

ringan! Aku punya dugaan pemuda bergelar 

Pendekar Pedang Tumpu! 131 itu bukan pemu-

da semharangan! Bahkan kalau perlu kita 

cari kesempatan untuk mencabut kedua nyawa 

pemuda itu secara bersama-sama!" 

Dewi Siluman anggukkan kepala. Kedua 

orang Ini lantas melangkah menjauh dan 

berdiri berjajar perhatikan ke arah 

Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar 

Pedang tumpul 131 Joko Sableng. 



DUA BELAS 



KITA tinggalkan dulu keadaan di Pulau 

Biru. Kita kembali sejenak pada Ratu 

Pemikat dan laki-laki setengah baya 

bertubuh tinggi besar berkepala gundul 

yang mengenakan jubah toga warna putih 

hitam yang dalam rimba persilatan dikenal 

dengan Merak Kawung. 

Seperti dituturkan dalam episode: 

"Rahasia Pulau Biru", begitu Ratu Pemikat


dan Merak Kawung gagal membunuh Pendekar 

131. Merak Kawung mengusulkan pada Ratu 

Pemikat untuk menemui seseorang yang 

diyakininya mengetahui seluk-beluk tentang 

Pulau Biru. Ratu Pemikat akhirnya me-

nyetujui. Namun sebenarnya dalam benak 

masing-masing orang ini punya ulat 

tersembunyi. 

Saat itu Ratu Pemikat dan Merak 

Kawung tiba pada suatu tempat yang 

gersang. Pohon-pohon yang tumbuh tidak 

berdaun, sementara semak belukar tampak 

kering. Tanahnya pun rengkah-rengkah. 

"Kita sampai, Ratu...," gumam Merak 

Kawung seraya memandang iurus ke depan, di 

mana dari tempat mereka tampak sebuah 

gubuk berdinding jerami kering. Sambil 

bergumam tangan kanan Merak Kawung tampak 

tak henti-hentinya menelusuri ke balik 

pakaian Ratu Pemikat. Ratu Pemikat sendiri 

tampak tengadah sambil mendesah dengan 

mulut sedikit terbuka. 

Melihat sikap Ratu Pemikat, Merak 

Kawung segera melangkah maju setengah 

tindak lalu berballk. Kedua tangannya 

cepat menyusup ke balik pakaian Ratu 

Pemikat. Lalu kepalanya menunduk dan men 

cium bibir sang Ratu. Sejenak Ratu 

Pemikat membalas ciuman-ciuman Merak 

Kawung. Namun begitu Merak Kawung terlihat 

terbuai dan nafsunya mengelegak, Ratu 

Pemikat cepat tarik pulang kepalanya. 

Kita selesaikan dulu urusan! Setelah 

itu kita bersenang-senang. Bukankah waktu


kita masih banyak?" bisik Ratu Pemikat 

dengan dada turun naik.* 

Merak Kawung sepertinya tak pedulikan 

ucapan Ratu Pemikat. Dia kembali rundukkan 

kepalanya dan disusupkan di antara 

payudara sang Ratu. 

“Kekasih...Aku sebenarnya sudah tak 

taha.n Namun harap kau mengerti. Urusan 

kita belum berhasil! Atau katu ingin aku 

tinggalkan tempat ini?”!" Seraya berkata, 

Ratu pemikat keluarkan kedua tangan MerAk 

Kawung dari balik pakaiannya. 

Meski dengan dada bergetar keras dan 

mulut perdengarkan gumaman tak jelas 

akhirnya Marak Kawung putar tubuh. Lalu 

melangkah mendahului Ratu Pemikat menuju 

gubuk. 

Tiga langkah di depan gubuk yang 

pintunya tertutup itu Merak Kawung 

berhenti. Sepasang matanya liar perhatikan 

sekeliling gubuk Lalu dia buka mulut. 

Ki Jala Sutera! Adakah kau di 

dalam?!" 

Merak Kawung menunggu. Sementara Ratu 

Pemikat telah berdiri di sampingnya dengan 

rapikan pakaiannya. Tidak ada jawaban dari 

dalam gubuk, membuat Merak Kawung kembali 

berteriak. Namun untuk kali ini belum juga 

terdengar suara jawaban. Merak Kawung 

mulai terlihat cemas. Dia kembali 

berteriak. 

Tiba-tiba dari dalam gubuk terdengar 

suara orang tertawa mengekeh. 

"He...he... he... Rupanya ada orang


memberi rezeki. Memang sudah lama tubuh 

renta ini tidak merasakan hangatnya 

rezeki. He... he... he.... Masuklah!" 

Ratu Pemikat sejenak menatap pada 

Merak Kawung dengan pandangan bertanya. 

Namun Merak Kawung tidak hiraukan 

pandangan Ratu Pemikat. Dia segera 

melangkah dan tangannya mendorong pintu 

gubuk. Lalu memberi isyarat pada Ratu 

Pemikat untuk mengikuti. 

Begitu kedua orang ini masuk, dari 

tempat masing-masing mereka melihat 

sesosok tubuh rebah di pembaringan 

beralaskan jerami kering. Sosok itu kurus 

dan menggeletak hampir terbenam dalam alas 

jerami. Jika hanya dipandang sepintas 

lalu, orang menyangka sosok di pembaringan 

dipan adalah sosok manusia yang telah 

meninggal. Yang menandakan kehidupan dari 

sosok ini hanyalah dadanya yang bergerak 

pelan turun naik. Sementara sepasang 

matanya terpejam rapat. Mulutnya yang ham-

pir memutih mengatup. Wajahnya hampir 

tidak tertutup daging sedikit pun. Dan 

lebih-lebih dia hanya mengenakan celana 

pendek dekil! 

"Merak.... Apakah...." 

"Ratu!" tukas Merak Kawung pelan 

tanpa berpaling, "inilah orang yang kita 

cari! Memang hanya beberapa orang saja 

yang mengenalnya. Tapi bagi tokoh-tokoh 

rimba persilatan generasi dahulu, dia 

sudah tidak asing lagi! Beberapa puluh 

tahun yang silam namanya pernah menjadi


hantu bagi siapa saja. Dia adalah sahabat 

mendiang guruku! Jadi tidak usah takut 

atau khawatir. Aku tahu siapa dia!" 

Habis berkata begitu, Merak Kawung 

melangkah ke arah pembaringan. 

"Ki Jala Sutera! Aku Merak 

Kawung...." 

Terdengar deheman pelan. Lalu 

perlahan-lahan sepasang mata sosok di atas 

pembaringan yang dipanggil Ki Jala Sutera 

bergerak membuka, memandang ke atas. 

"Aku membaui harum seorang perempuan! 

He... he... he...! Adakah kau bersama 

bidadari?!" 

"Aku datang bersama seorang sahabat!" 

Kepala Ki Jala Sutera membuat gerakan 

berpaling. Sejurus dia memandang pada 

Merak Kawung. Lalu melebar pada Ratu 

Pemikat yang berada dua langkah di 

belakangnya. Serta-merta sepasang mata Ki 

Jala Sutera membelalak besar. Lalu dari 

mulutnya terdengar kekehan tawanya. Namun 

sejauh ini anggota tubuh lainnya tampak 

tidak bergerak. 

"Mendatangi gubukku di tengah tanah 

gersang, apalagi bersama seorang bidadari 

cantik jelita, pasti kau punya urusan.... 

He...he...he.... Katakan terus terang, 

Merak Kawung...!" 

Mendengar si kakek memuji dirinya, 

Ratu Pemikat menyumpah dalam hati. Tapi 

dia coba tersenyum meski kejap kemudian 

alihkan pandangannya ke jurusan lain. 

Merak Kawung tidak segera buka mulut


lagi. Sebaliknya dia berpaling pada Ratu 

Pemikat. Namun sebelum dia sempat berkata, 

si kakek telah berucap. 

"Merak Kawung! Katakanlah terus 

terang!" 

"Hm.... Rimba persilatan saat ini 

sedang ribut membicarakan sebuah kitab 

sakti...," Merak Kawung mulai bicara. 

"Namun tampaknya orang-orang persilatan 

itu kesulitan menentukan tempat di mana 

kitab sakti itu tersimpan!" 

"He... he... he.... Yang kau maksud 

tentu Kitab Serat Biru!" 

"Benar, Ki! Menurut mendiang guru, 

kau adalah seorang yang tahu banyak 

tentang seluk-beluk kitab sakti itu!” 

"Bukan hanya tahu seluk-beluknya, 

Tapi aku sudah pernah datang ke tempat di 

mana kitab itu diduga tersimpan'" 

Jadi kau tahu jalan menuju tempat 

itu?!" tanya Merak Kawung dengan wajah 

cerah dan bibir tersungging senyum. 

“He... he... he.... Aku menulis jalan 

menuju lembah itu!” 

Merak Kawung makin gembira, sementara 

Ratu Pemikat terlihat sunggingkan senyum 

dan melangkah mendekati Merak Kawung. 

"Ki...." kata Merak Kawung tapi 

ucapannya tidak diteruskan. Dia tampak 

bimbang dan melirik pada Ratu Pemikat. 

"He... he.. he...! Kau menginginkan 

tulisan yang menunjukkan tempat itu?!" 

Merak Kawung anggukkan kepalanya. 

Ratu Pemikat tanpa sadar ikut-ikutan


mengangguk. Lalu memandang lekat-lekat 

pada Ki Jala Sutera yang masih diam di 

atas dipan. 

Tiba-tiba Ki Jala Sutera memberi 

isyarat pada Merak Kawung agar mendekat. 

Merak Kawung cepat mendekat lalu 

condongkan kepalanya ke arah mulut Ki Jala 

Sutera. Ki Jala Sutera mengekeh sebentar 

lalu berbisik perlahan. 

Tiba-tiba wajah Merak Kawung berubah. 

Dan serentak berpaling ke arah Ratu 

Pemikat, membuat perempuan bertubuh 

bahenol dan berparas cantik ini merasa 

tidak enak. 

"He... he... he...! Merak Kawung!" 

kata Ki Jala Sutera. "Aku tidak dapat 

menunggu lama-lama!" 

Merak Kawung bergerak mundur mendekat 

kearah Ratu Pemikat. Sejurus dia pandangi 

wajah perempuan itu lekat-lekat. Merasa 

dirinya diperhatikan demikian rupa, Ratu 

Pemikat segera berkata. 

"Cara memandangmu kali ini lain, 

Merak Kawung! Ada apa? Apa yang kalian 

bicarakan tadi?!" 

Sesaat Merak Kawung tidak menjawab. 

Namun pada akhirnya laki-laki berkepala 

gundul ini berkata. 

"Ratu.... Ki Jala Sutera akan 

memberikan tulisan menuju tempat di mana 

tersimpan kitab sakti itu. Tapi dengan 

syarat..." 

Perasaan Ratu Pemikat makin tidak 

enak. Dia cepat menyahut. "Apa syarat yang


diminta?!" 

"Dia...." Merak Kawung masih 

menggantung ucapannya, membuat Ratu 

Pemikat tak sabar dan segera berseru 

dengan suara agak keras. 

"Dia kenapa?!" 

"Dia menginginkan dirimu!" 

Ratu Pemikat kernyitkan dahi. 

"Maksudmu?!" katanya dengan dada berdebar. 

"Kau diminta melayaninya bermesraan 

semalam!" 

Paras Ratu Pemikat kontan berubah 

mengetam. Sepasang matanya mendelik besar 

dengan mulut mengatup rapat. Tiba-tiba dia 

berpaling pada Merak Kawung dan berkata. 

“Gila! Tak mungkin aku turuti syarat 

yang diminta!" 

"Tapi.... Itulah satu-satunya jalan 

jika kita ingin mendapatkan kitab sakti 

itu!" 

"Gila! Ini gila! Bagaimana mungkin 

aku harus bergelut dengan tua bangka peot 

begitu rupa, he?!" 

"Itu terserah bagaimana kau saja 

Ratu! Dan semua ini juga tergantung 

padamu. Kau bersedia berarti kita 

mendapatkan kitab itu, jika kau tidak 

bersedia, untuk apa dituruti!" 

"Tidak! Aku tidak mau menuruti 

permintaan gila ini!" teriak Ratu Pemikat. 

"Ratu...." 

"Merak Kawung!" tukas Ratu Pemikat. 

"Sekali aku bilang tidak, tidak! Atau kau 

saja yang layani dia!"


Air muka Merak Kawung berubah. 

Tubuhnya tampak bergetar tanda ia menindih 

amarah. 

Saat itulah dari arah dipan terdengar 

suara kekehan tawa Ki Jala Sutera. 

"He... he... he...! Syarat telah 

kuajukan. Jika tidak setuju harap lekas 

tinggalkan tempat ini!" 

Merak Kawung berpaling pada Ratu 

Pemikat. "Ratu, Ini kesempatan paling 

berharga! Orang tua itu sering berubah 

pikiran dalam sekejap!" 

Ratu Pemikat tampak bimbang. 

"Tapi.... Ah, bagaimana aku harus...." 

Merak Kawung segera menyahut. “Kau 

bukan orang bodoh, Ratu!" bisiknya seraya 

kedipkan mata sebelah. 

"Baiklah! Aku terima syarat itu..." 

ucap Ratu Pemikat pada akhirnya. 

“He... he.... he...! Bagus! Merak 

Kawung! Untuk malam ini kau sementara 

tidur di luar!" 

Merak Kawung memandang sekali lagi 

pada Ratu Pemikat. Ratu Pemikat anggukkan 

kepalanya. Tanpa berkata lagi, Merak 

Kawung balikkan tubuh lalu melangkah 

keluar. 

Bersamaan dengan keluarnya Merak 

Kawung, tiba-tiba Ki Jala Sutera bergerak 

bangkit dan duduk dengan kedua tangan 

direntang-rentangkan. 

He... he... he.... Apalagi yang kau 

tunggu, Bidadari?!" 

Meski dalam hati menyumpah habis


habisan, namun perlahan-lahan Ratu Pemikat 

melangkah mendekati dipan. Sementara 

sepasang mata Ki Jala Sutera memandang tak 

berkesip dengan mulut komat-kamit. 

Begitu Ratu Pemikat dekat, kedua 

tangan Ki Jala Sutera segera merangkul 

sosok Ratu Pemikat dan kepalanya cepat 

pula bergerak menciumi wajah perempuan 

cantik itu. 

Ratu Pemikat sejenak tidak membuat 

gerakan apa-apa, bahkan ketika kedua 

tangan Ki Jala Sutera membuka kancing-

kancing pakaiannya. Malah sang ratu buka 

sedikit mulutnya dan perdengarkan desahan 

panjang. 

Sepasang mata si kakek makin 

terpentang besar tatkala pakaian Ratu 

Pemikat telah terbuka bagian atasnya dan 

di hadapannya tampak dua payudara besar, 

putih, dan kencang. 

Tak sabar, kedua tangan Ki Jala 

Sutera segera bergerak hendak menyentuh 

payudara sang Ratu, namun Ratu Pemikat 

cepat menangkap dan sambil duduk di atas 

dipan, sang Ratu berbisik. 

"Aku tidak mau dibodohi. Tunjukkan 

dahulu tulisan yang kau maksud!" 

Si kakek tampak kuasai dadanya yang 

bergerak cepat sebelum berkata. 

"Aku adalah manusia yang memegang 

janji!" 

Ratu Pemikat tertawa pendek. "Janji 

di mulut mana bisa dipercaya! Tunjukkan 

tulisan itu atau kau tidak akan rasakan


semua kenikmatan ini!" 

Ki Jala Sutera gerakkan tangan 

kanannya menyingkap jerami kering yang 

menjadi alas pembaringan. Di situ 

tampaklah oleh Ratu Pemikat satu buku 

tipis. 

"Buka dulu buku itu!" kata Ratu 

Pemikat. 

“Kau percaya atau tinggalkan tempat 

ini!” Kini ganti Ki Jala Sutera yang 

keluarkan ancaman, lalu tertawa mengekeh. 

Ratu Pemikat hanya bisa diam bahkan 

ketika kedua tangan Ki Jala Sutera melepas 

pakaiannya hingga perempuan bertubuh 

bahenol itu polos tanpa penutup lagi. 

Namun ketika kedua tangan si kakek hendak 

bergerak mencekal tubuhnya yang polos, 

Ratu Pemikat cepat berkelit. Dan kini 

sambil tertawa renyah Ratu Pemikat dorong 

tubuh si kakek hingga telentang di atas 

dipan. 

"Kek...," kata Ratu Pemikat dengan 

suara setengah berbisik. "Aku akan 

membuatmu tidak melupakan malam ini seumur 

hidupmu!" sambil berkata kedua tangan Ratu 

Pemikat meraba tubuh yang tinggal tulang 

belulang itu. 

Ki Jala Sutera tampak kesenangan. 

Napasnya makin memburu kencang. Malah 

ketika perlahan-lahan kedua tangan Ratu 

Pemikat membalikkan tubuhnya hingga 

menelungkup, kakek ini menurut saja. 

"Kek.... Tentu sudah lama kau tidak 

merasakan kenikmatan seperti ini!" ujar


Ratu Pemikat seraya terus gerakkan 

tangannya menelusuri punggung si kakek 

sementara tubuh polosnya duduk di paha 

sang kakek. 

Ki Jala Sutera menggumam pelan tak 

jelas karena tertindih desah napasnya yang 

memburu kencang. Malah kakek ini tidak 

merasakan saat perempuan di atas tubuhnya 

angkat kedua tangannya. Dia baru tersadar 

tatkala merasakan desiran angin kencang 

melabrak dari samping kiri kanan 

kepalanya. Namun kesadarannya sudah 

terlambat. Sebelum sempat kakek ini tahu 

apa yang terjadi, kedua tangan Ratu 

Pemikat menghantam batok kepalanya bagian 

belakang. 

“Plakkk!” 

Ki Jala Sutera hanya melengkuh pelan. 

Kepalanya rengkuh. Namun akibatnya begitu 

kedua tangan Ratu Pemikat menghantam 

rengkah kepalanya, kedua kaki si kakek 

melipat ke atas. 

Bukkk! Bukkk! 

Ratu Pemikat merasakan punggungmu 

dihantam batangan kayu besar, hingga 

tubuhnya mencelat dari atas tubuh Ki Jala 

Sutera dan jatuh terjengkang ke bawah. 

Pada saat bersamaan sosok si kakek tampak 

bergerak bangkit. Darah tampak mengucur 

deras dari kepalanya membasahi punggung 

punggung dan wajahnya. 

Menangkap gelagat tidak baik, Ratu 

Pemikat cepat bangkit dan serta-merta 

kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan


sakti 'Hamparan Langit' hingga saat itu 

juga melesat dua sinar biru terang kearah 

si kakek. 

Meski Ki Jala Sutera adalah tokoh 

yang pernah ditakuti pada beberapa tahun 

silam, namun karena kepalanya telah 

rengkah membuat gerakannya lamban, hingga 

ketika dua sinar biru pukulan Ratu Pemikat 

menggebrak, dia tidak sempat lagi meng 

hindar. 

Brulll! 

Dinding gubuk jebol terhantam sosok 

Ki Jela Sutera yang mencelat mental 

terkena pukulan Ratu Pemikat. Kakek ini 

hanya sempat terpekik, tapi tiba-tiba 

suara pekikannya terputus laksana 

direnggut setan. Sosoknya menghantam 

sebatang pohon di luar gubuk lalu jatuh di 

atas tanah dengan nyawa melayang! 

Ratu Pemikat cepat berkelebat 

menyambar pakaiannya, dan secepat itu pula 

dia menyingkap jerami di atas dipan. Buku 

tipis di atas jerami disambarnya lalu 

berkelebat keluar gubuk. 

"Ratu...!" teriak Merak Kawung. Ratu 

Pemikat berpaling sejenak. Dia memberi 

isyarat pada laki-laki berkepala gundul 

itu. "Kita tinggalkan tempat ini, cepat!" 

Merak Kawung sesaat meragu. Dia 

memandang lekat-lekat pada Ratu Pemikat. 

Ketika dia berpaling ke belakang gubuk dan 

melihat sosok Ki Jala Sutera tergeletak 

berlumur darah, dia segera angkat alis 

matanya lalu berkelebat tinggalkan tempat


itu menyusui Ratu Pemikat yang telah 

berkelebat lebih dulu. 



                           SELESAI


 

Ikuti lanjutannya dala judul: 


NERAKA PULAU BIRU

Share:

0 comments:

Posting Komentar