DATUK Hitam tegak di atas tanah
ruangan gua dengan air muka berubah
beringas. Sepasang bola matanya mendelik
angker bergerak liar ke seluruh ruangan
dan keluar mulut gua. Tapi kakek ini makin
dibuat terhenyak, karena dia tidak me-
nangkap adanya seseorang!
"Pendengaranku jelas baru saja
mendengar suara orang! Jahanam betul! Mana
bangsat manusianya?!" sang datuk
perdengarkan makian keras. Sementara
sepasang matanya terus perhatikan keadaan
sekeliling. Namun sejauh ini dia tetap tak
bisa menangkap adanya seseorang, hingga
seraya palingkan kepala ke arah Dewa Sukma
yang tetap memejamkan mata seolah tak
hiraukan bahaya sedang mengancam, Datuk
Hitam menenangkan diri sendiri dengan
bergumam pelan.
"Mungkin telingaku yang tergoda....
Lagi pula perlu apa turuti ucapan orang
kalau hendak membunuh bangsat ini?!"
Namun meski si kakek telah berusaha
menenangkan diri, jelas wajahnya masih
membayangkan kebimbangan. Hingga untuk
sekian kalinya, sang datuk edarkan
pandangannya sekali lagi. Ketika yakin
bahwa sepasang matanya memang tidak
melihat adanya orang, dia angkat kedua
tangannya kembali siap lepaskan pukulan
maut pada Dewa Sukma.
Belum sampai kedua tangan sang datuk
bergerak lepaskan pukulan, kembali
terdengar suara teguran. Malah kali ini
terngiang jelas di telinga si kakek seolah
suara itu diperdengarkan di depan teli-
nganya!
"Aneh. Orang telah menyuruhnya pergi.
Tapi masih tegak melotot bahkan hendak
teruskan niat lepaskan pukulan. Hik...
hik... hik...! Apakah dia mengira sebagai
malaikat maut yang seenaknya saja bisa
cabut nyawa orang?!"
Datuk hitam cepat sentakkan kepala
dengan kedua tangan bergerak memukul ke
samping, hingga saat itu juga lamping
ruangan gua bagian sisi kanan berantakan
dan untuk beberapa saat ruangan gua itu
bergetar keras! Seraya angkat kembali
kedua tangannya Datuk Hitam membentak.
"Bertampang apa pun kau adanya,
kenapa tak berani tampakkan diri, nah?!
Terdengar suara orang tertawa
panjang. Lalu terdengar ucapan.
"Tampangku mungkin akan membuatmu
kecewa. Tapi agar kau tak penasaran,
kuturuti kata-katamu! Hik... hik...
hik...!"
Suara tawa orang belum lenyap, tahu-
tahu ruangan gua disesaki bau busuk. Namun
sesaat kemudian berubah menjadi bau luar
biasa harum. Tatkala Datuk Hitam menoleh
ke samping kiri, terlihat tegak seorang
nenek mengenakan jubah warna merah menyala
sepuluh langkah dari tempatnya berdiri.
Nenek ini berambut putih sebatas
tengkuk. Sepasang kelopak matanya besar
tapi matanya yang menjorok masuk amat
sipit. Mulutnya selalu bergerak-gerak
memainkan gumpalan tembakau hitam keluar
masuk!
"Ratu Malam!" desis Datuk Hitam
mengenali siapa adanya nenek berjubah
merah. "Kemunculannya pasti untuk urusan
peta itu!" duga Datuk Hitam lalu turunkan
kedua tangannya.
"Untung kau masih mengenali
tampangku, Datuk Hitam...! Kuharap kau tak
kecewa dengan tampang ini! Hik... hik...
hik...! Lebih dari itu, mudah-mudahan rasa
penasaranmu sirna...."
"Ratu Malam! Terangkan apa hubunganmu
dengan manusia tergantung ini sampai kau
menghalangi urusanku?!"
Ratu Malam tertawa lebih dulu sebelum
berkata. "Seribu keterangan tak akan
membuatmu mengerti! Lebih baik segera
tinggalkan tempat ini!"
"Aku yang punya urusan dahulu. Aku
berhak melakukan apa yang kumau! Harap kau
jangan mengganggu urusanku! Dan lekas
angkat kaki dari hadapanku!"
"Wah. Bagaimana bisa begitu?! Kau
boleh punya urusan dahulu, tapi tidak
berarti kau berhak melakukan apa yang kau
mau!"
Habis berkata begitu Ratu Malam putar
tubuh membelakangi Datuk Hitam. Kepalanya
ditengadahkan, lalu dari mulutnya
terdengar siulan dendangkan nyanyian.
Kedua kakinya pun ikut bergerak-gerak
seakan mengikuti irama siulan.
Untuk sesaat Datuk Hitam pandangi
punggung si nenek. Dan setelah ditunggu
agak lama Ratu Malam tetap bersiul malah
kini dengan goyang-goyangkan kepalanya ke
kanan dan kiri, Datuk Hitam keluarkan
bentakan keras.
"Ratu Malam! Kau benar-benar ingin
berurusan denganku!"
Ratu Malam putuskan siulannya, tapi
kepalanya masih tetap bergoyang-goyang.
Lalu terdengar nenek ini berujar.
"Itu dugaanmu! Aku punya urusan
dengan orang yang digantung, bukan dengan
kau!"
Sejurus Datuk Hitam terdiam. Namun
sepasang
mata kakek ini berkilat, rahangnya
mengembang. Mulutnya bergerak membuka,
namun sebelum ucapannya terdengar, Ratu
Malam telah berujar lagi.
"Harap kau dengar ucapanku,
tinggalkan tempat ini, atau...."
"Jahanam!" potong Datuk Hitam.
"Urusanku belum selesai!" sentaknya dengan
sepasang mata di-pentangkan besar pandangi
bagian belakang tubuh Ratu Malam.
"Selesai atau belum bukan urusanku!
Hik... hik... hik...! Yang kuminta kau
lekas angkat kaki dari belakangku!"
Meski dadanya bergemuruh mendengar
kata-kata Ratu Malam, namun kakek ini
cepat berpikir. "Meski mulut gua
berantakan, lalu pemuda bangsat yang
menyebut dirinya Malaikat Penggali Kubur
barusan dari sini, tapi aku belum mendapat
jawaban pasti dari mulut Dewa Sukma
sendiri tentang peta itu. Hemmm.... Siapa
tahu Dewa Sukma sebenarnya masih menyimpan
peta itu. Aku harus membawanya dan
mengorek keterangan dari mulutnya!"
Datuk Hitam segera putar diri
menghadap Dewa Sukma. Lalu kedua tangannya
bergerak menjulur menakup pada pinggang
Dewa Sukma. Kejap kemudian sang datuk
sentakkan tubuh Dewa Sukma yang
menggantung. Namun kakek ini jadi
terkesiap. Jangankan sosok Dewa Sukma
melorot jatuh, bergeming pun tidak! Bahkan
saat itu juga Datuk Hitam segera lepaskan
kedua tangannya dari pinggang Dewa Sukma
dan mundur dua langkah. Sepasang matanya
membeliak menatap pada kedua tangannya
yang baru saja memegang pinggang Dewa
Sukma. Ternyata kedua telapak tangan sang
datuk telah menggembung!
"Laknat! Sinar apa sebenarnya yang
menggantung dan membelit tubuh Dewa Sukma
ini?!" maki Datuk Hitam sambil kerahkan
tenaga dalam pada kedua tangannya yang
menggembung dan terasa luar biasa panas.
Selagi Datuk Hitam dilanda keheranan
dengan apa yang baru saja dialami, Ratu
Malam yang tegak membelakangi tiba-tiba
menegur.
"Datuk! Apakah perlu kuulangi lagi
ucapanku?!"
"Persetan! Urusanku belum tuntas.
Jangan harap aku tinggalkan tempat ini
tanpa mendapat apa-apa!"
Lalu tanpa acuhkan ucapan Ratu Malam,
Datuk Hitam kerahkan tenaga dalam dan
cepat kedua tangannya menakup pinggang
Dewa Sukma. Mula-mula sang datuk merasakan
hawa hangat masuk melalui kedua telapak
tangannya. Sadar akan apa yang hendaK
terjadi, kakek ini segera lipat gandakan
tenaga dalam. Hingga hawa hangat itu meski
pelan-pelan berubah panas namun si kakek
masih mampu untuk menahannya.
Tak menunggu lama, Datuk Hitam segera
lorot-kan sepasang kakinya ke bawah.
Serentak kedua tangannya membetot. Namun
hingga keringat keluar membasahi tubuhnya,
tali berupa sinar yang menggantung tubuh
Dewa Sukma tak juga lepas.
"Gila! Aku tak bisa menunggu lama-
lama!" seru Datuk Hitam. Lalu dia lepaskan
telapak tangannya dari pinggang Dewa
Sukma. Kejap lain kedua tangannya bergerak
menghantam ke atas, ke arah tali berupa
sinar hitam yang menggantung tubuh Dewa
Sukma.
Beettt! Beettt!
Pukulan Datuk Hitam menyambar tali
berupa sinar, namun sang datuk jadi
melengak. Walau pukulannya mengenai
sasaran, namun tali itu hanya bergoyang-
goyang!
"Setan keparat!" maki sang datuk.
Cepat dia kembali kerahkan tenaga dalam.
Mendadak sentak kedua telapak tangannya
mengembang dan didorong keras ke atas,
lepaskan pukulan sakti 'Puspa Jagat'.
Suasana pekat kejap itu segera
menyungkup ruangan gua. Lalu terdengar
suara.... Tass! Tasss!
Berulangkah, disusul dengan suara
bergede-bukan benda jatuh.
Saat suasana terang kembali, tampak
sosok Dewa Sukma telentang di lantai gua
dengan mata terpejam rapat dan napas
megap-megap. Perlahan-lahan Dewa Sukma
buka kelopak matanya. Lalu hendak bergerak
bangkit. Namun kakek ini jadi kernyitkan
dahi, sementara sepasang matanya
perhatikan Datuk Hitam.
Datuk Hitam tertawa mengekeh. "Dewa
Sukma. Maaf, untuk sementara waktu tubuhmu
kubuat tidak bisa bergerak!"
Ternyata seraya menarik pinggang Dewa
Sukma selagi hendak dibetot ke bawah,
Datuk Hitam lancarkan totokan, hingga saat
tubuh Dewa Sukma telah jatuh di lantai
gua, orang tua itu tak bisa membuat
gerakan! Bahkan suaranya pun laksana
tersumbat di tenggorokan!
Tanpa berkata-kata lagi, Datuk Hitam
melangkah dua tindak ke depan. Tangan kiri
kanan bergerak hendak meraih tubuh Dewa
Sukma yang masih dalam keadaan tertotok.
Namun baru saja kedua tangannya menyentuh
pinggang, Ratu Malam perdengarkan ucapan.
"Harap tinggalkan tempat ini
sendirian, Datuk Hitam!"
Datuk Hitam tarik pulang kedua
tangannya. Lalu dengan mata melotot besar
dia angkat kepalanya dan putar diri
menghadap Ratu Malam. Raut wajahnya yang
berwarna hitam makin mengelam. Dari hi-
dungnya terdengar dengusan keras. Jelas
pertanda kakek berwajah hitam angker ini
sedang menahan marah besar. Tapi kembali
dada Datuk Hitam diusik urusan peta. Jika
turuti hawa kemarahan ingin rasanya sang
datuk segera lepaskan pukulan pada Ratu
Malam. Namun kakek berwajah hitam ini
sekali lagi masih berpikir. Dia sadar,
siapa adanya Ratu Malam. Kalau pun dia
dapat mengimbangi tak urung pasti akan
mengalami cedera, padahal dia harus memba-
wa tubuh Dewa Sukma.
Berpikir sampai di situ akhirnya
Datuk Hitam berujar.
"Ratu Malam! Kalau kau punya urusan
dengan anak manusia ini, cepat
selesaikan!"
Ratu Malam balikkan tubuh. Sepasang
matanya sejenak berputar bergantian
menatap ke arah Dewa Sukma dan Datuk
Hitam. Kejap kemudian terdengar dia
tertawa panjang sebelum akhirnya berkata.
"Urusanku dengannya tak boleh dilihat
dan didengar orang lain! Jadi harap angkat
kaki dari sini!"
Tubuh Datuk Hitam tampak bergetar
menahan marah. "Kau manusia serakah tak
tahu diuntung! Jangan berani ucapkan
perintah dan berani bergerak dari
tempatmu, kau cari mampus!"
Habis berkata demikian, Datuk Hitam
bergerak memutar. Tubuhnya sedikit
membungkuk, sementara tangan kanannya
bergerak ke bawah. Saat sang datuk kembali
menghadap Ratu Malam, tubuh Dewa Sukma
telah berada di pundaknya!
Tanpa memandang lagi pada Ratu Malam,
Datuk Hitam segera berkelebat. Tapi
langkah sang datuk tertahan tatkala tiba-
tiba Ratu Malam gerakkan jubahnya dan
tahu-tahu sosoknya tegak menghadang empat
langkah di hadapan Datuk Hitam!
"Kau cari mati berani hadang
langkahku!" gertak Datuk Hitam. Kedua
telapak tangannya dikembangkan. Kakek ini
tahu siapa lawan yang dihadapi, hingga dia
langsung siapkan pukulan sakti 'Puspa Ja-
gat'.
Begitu mengetahui Ratu Malam tetap
tak beranjak dari hadapannya, Datuk Hitam
segera dorong kedua tangannya kirimkan
pukulan 'Puspa Jagat'! Ruangan gua kembali
diselimuti kegelapan. Lalu menghampar
udara luar biasa panas disusul dengan
menggebraknya gelombang angin kencang!
Ratu Malam tak tinggal diam. Begitu
keadaan gelap, nenek ini segera pukulkan
kedua tangannya ke depan.
Di antara kegelapan suasana terlihat
cahaya menyeruak. Lalu menghampar hawa
luar biasa dingin yang tak lama kemudian
menindih lenyap hawa panas yang keluar
dari pukulan Datuk Hitam. Gelombang angin
kencang yang melesat dari telapak tangan
sang datuk laksana ditekan kekuatan hebat
dari sebelah atas, hingga bukan saja
membuat gelombang angin itu tertahan namun
kejap itu juga menukik deras ke bawah
menghantam lantai ruangan gua.
Bummm!
Lantai ruangan gua pecah berantakan
membentuk lobang menganga lebar. Di
sebelah depan sana, sosok Datuk Hitam
tampak tersapu deras ke belakang sebelum
terhenti setelah menghantam bagian samping
ruangan gua. Sosok Dewa Sukma yang tadi
ada di pundaknya mencelat mental dan
jatuh berge-debukan di lantai.
Di seberang, sosok Ratu Malam
terhuyung-huyung. Tapi sebelum tubuhnya
menghantam bagian samping ruangan gua. si
nenek dapat kuasai diri. Seraya memainkan
gumpalan tembakau hitam di mulutnya, Ratu
Malam tertawa pendek lantas melangkah maju
tiga tindak
Sambil bersandar punggung pada bagian
samping ruangan gua, Datuk Hitam sibakkan
rambut yang menghalangi sepasang matanya.
Kedua tangan kakek ini tampak bergetar.
Dadanya bergerak turun na*k tak karuan.
Dan samar-sama' dari balik rambut yang
menutupi sebagian wajahnya tampak darah
kehitaman kei jar dari sela mulutnya.
"Jahanam! Ini gara-gara Malaikat
Penggali Kubur keparat! Jika saja tidak
bentrok lebih dulu dengannya, tak mungkin
aku terluka begini rupa! Sialan betul!"
maki Datuk Hitam sambil kerahkan tenaga
dalam untuk mengatasi rasa sakit pada
dadanya.
Seperti diketahui, sebelum ini Datuk
Hitam sempat bentrok dengan Malaikat
Penggali Kubur. (Lebih jelasnya baca
episode: "Malaikat Penggali Kubur"). Meski
saat itu tak mengalami cedera, namun mau
tak mau membawa pengaruh saat pukulan yang
dilepaskan bentrok dengan pukulan Ratu Ma-
lam.
"Jika urusan ini tak cepat selesai,
bisa-bisa aku yang akan celaka!" bisik
Datuk Hitam. Serta-merta kakek ini alirkan
tenaga dalamnya kembali pada kedua telapak
tangan dan sepasang kakinya. Di lain kejap
tiba-tiba tubuh Datuk Hitam melenting satu
tombak ke atas. Membuat gerakan telentang
di udara. Masih dengan telentang sosoknya
berputar-putar melesat ke arah Ratu Malam.
Kedua tangannya pun serta-merta mendorong
lepaskan pukulan. Kakek ini telah kerahkan
jurus 'Mendera Bayu' sekaligus kirimkan
pukulan 'Puspa Jagat'. Selama malang
melintang dalam rimba persilatan hanya
beberapa orang yang benar-benar berilmu
tinggi yang dapat lolos jika Datuk Hitam
telah kerahkan gabungan jurus 'Mendera
Bayu' dan 'Puspa Jagat'.
Ratu Malam sendiri sejenak tampak
terpana dengan sepasang mata dibeliakkan
dan mulut terkancing rapat. Nenek ini
bukan hanya merasakan hawa panas dan
menderunya gelombang angin yang luar biasa
dahsyat, namun juga tak dapat memastikan
di «ana beradanya sosok Datuk Hitam,
karena ruangan gua telah berubah gelap
gulita!
Sambil menggerendeng panjang pendek,
akhirnya Ratu Malam membuat gerakan
berputar-putar. Terdengar deruan mendesis-
desis. Lalu tampak kabut putih membungkus
tubuh si nenek laksana pembatas yang
memagari.
Gelombang angin menebar hawa panas
dan sepasang kaki Datuk Hitam terus
mendekat. Sejengkal lagi gelombang angin
dan tendangan kaki menggebrak tubuh Ratu
Malam yang terbungkus kabut putih, sang
datuk keluarkan bentakan keras.
Braakkk! Bummm!
Terdengar benturan keras yang disusul
dengan dentuman menggelegar. Ruangan gua
bergetar keras. Mulut gua yang berantakan
tampak ambrol menganga. Langit-langit
ruangan gua rontok menaburkan batu-batu
kecil.
Sosok Datuk Hitam terlihat mental
balik laksana menghantam benda keras.
Begitu kerasnya mental-an tubuhnya, sampai
tak sempat bagi sang datuk untuk berusaha
hentikan laju tubuhnya, hingga kejap
kemudian sosoknya menghantam bagian
samping ruangan gua. Perlahan-lahan tubuh
Datuk Hitam melorot jatuh dengan punggung
bersandar pada bagian samping ruangan gua.
Darah kehitaman kini mengalir dari mulut
dan hidungnya pertanda luka dalamnya cukup
parah.
Di seberang, sosok Ratu Malam tampak
bersandar pada bagian samping ruangan gua.
Meski masih terlihat berdiri, namun
tubuhnya agak melorot. Wajahnya pun
berubah pias. Jubah merahnya bagian
samping hangus hitam. Untuk beberapa saat
nenek berambut putih sebatas tengkuk ini
usap-usap dadanya dengan mulut komat-kamit
mainkan gumpalan tembakau hitam di
dalamnya. Malah beberapa kali tampak
menghela napas seraya menghisap gumpalan
tembakau di mulutnya.
"Puluhan tahun terjun dalam kancah
persilatan, baru kali ini aku menemui
lawan yang tak mempan gabungan pukulanku!
Jahanam betul! Meneruskan bentrok hanya
akan membawa celaka...," gumam Datuk
Hitam. Sejurus dia memandang ke arah Ratu
Malam yang kini telah tegak dan hendak
melangkah. Lalu alihkan pandangannya pada
sosok Dewa Sukma yang ternyata telah
mental jauh dari tempat semula.
"Hem.... Kalau aku tetap ingin
membawa Dewa Sukma, nenek tua itu tidak
bisa kulewati hari ini. Terpaksa aku pergi
bertangan kosong!" Datuk Hitam bergerak
bangkit.
Sambil arahkan pandangan matanya
keluar gua, sang datuk berucap.
"Tua bangka Ratu Malam! Saat ini aku
bersumpah. Siapa pun tak akan kubiarkan
menyentuh nya-w .mu! Raga dan nyawamu
keiak akulah yang menentukan!"
Di seberang, mendengar sumpah Datuk
Hitam,
Ratu Malam tertawa panjang.
"Aku tahu. Ucapanmu hanya untuk
menghindar. Namun aku ingin buktikan juga,
apakah kelak ucapanmu akan jadi kenyataan.
Hik... hik... hik...!"
Dagu Datuk Hitam di balik uraian
rambutnya yang menutupi wajahnya tampak
mengembang. Kedua kakinya bergetar keras.
Tapi daripada mencari celaka jika
perturutkan kemarahan, akhirnya tanpa
berkata apa-apa lagi Datuk Hitam
berkelebat tinggalkan ruangan gua.
Ratu Malam pandangi kepergian Datuk
Hitam dengan tertawa mengekeh panjang.
Lalu begitu so-? *k sang datuk lenyap, si
nenek melangkah mende k£.i ke arah Dewa
Sukma yang masih tergeletak diam dengan
mata terpejam dan napas megap-megap.
DUA
SI nenek cepat duduk bersila di
samping tubuh Dewa Sukma. Tangan kanan
kirinya bergerak cepat membuat ketukan
beberapa kali di bagian tertentu dari
tubuh Dewa Sukma.
Seketika itu juga Dewa Sukma buka
kelopak matanya. Tubuhnya ikut bergerak-
gerak. Mulutnya perlahan-lahan membuka
seolah hendak bicara. Namun sebelum
ucapannya terdengar, Ratu Malam telah
mendahului.
"Nanti saja bicara. Sekarang bantu
aku mengembalikan tenagamu!"
"Sekar Mayang...," bisik Dewa Sukma
memanggil nama asli Ratu Malam. "Kau ini
bagaimana? Tubuhku laksana tak bertenaga.
Bagaimana mungkin aku bisa membantumu?!"
Sejurus Ratu Malam perhatikan sekujur
tubuh Dewa Sukma. Ternyata tubuh kakek ini
telah mengembung di beberapa bagian dan
membentuk libatan di balik pakaiannya yang
ternyata juga telah robek tak karuan.
"Hemm.... Ini akibat libatan sinar
celaka itu! Hanya ada satu orang yang
punya pekerjaan seperti ini. Apakah memang
dia orangnya...? Ah, bisa bahaya jika
benar-benar dia!" kata Ratu Malam dalam
hati. Lalu tanpa bicara lagi dia balikkan
tubuh Dewa Sukma. Kedua tangannya
ditempelkan pada punggung si kakek yang
juga adalah kakak seperguruannya itu.
Dewa Sukma tampak keluarkan keluhan,
sosoknya berguncang-guncang. Namun Ratu
Malam tak hiraukan keluhan orang. Malah
dia lipat gandakan
tenaga dalamnya, hingga untuk
beberapa saat sosok Dewa Sukma terlihat
naik turun sejengkal dari lantai gua! Tapi
beberapa saat kemudian, tubuh Dewa Sukma
tampak diam, dan bersamaan dengan itu
napasnya bergerak teratur
Ratu Malam buka kelopak matanya dan
menarik napas lega. Lalu kedua tangannya
mengusap bagian yang mengembung dari tubuh
Dewa Sukma. Sedikit demi sedikit bagian
yang mengembung dan membentuk libatan itu
mengempis.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Dewa
Sukma perdengarkan batuk berulang kali.
Ratu Malam tarik pulang kedua tangannya.
Lalu menatap pada Dewa Sukma yang
perlahan-lahan membuat gerakan hendak
bangkit. Tapi tubuhnya oleng dan sebentar
kemudian jatuh kembali telengkup di atas
lantai gua.
"Jalu Paksi...," ucap Ratu Malam
dengan sebut nama asli Dewa Sukma.
"Alirkan tenaga dalammu untuk pulihkan
tenaga. Aliran darahmu masih tersumbat!"
Dewa Sukma segera balikkan tubuh
menelen-tang. Kedua tangannya merangkap di
atas dada. Sementara sepasang matanya
dipejamkan rapat. Dari mulutnya terdengar
gumaman pelan tak jelas.
Setelah merasa aliran darahnya
normal, Dewa Sukma buka matanya. Lalu
pelan-pelan bergerak bangkit dan duduk
bersila dengan kedua tangan diletakkan di
atas paha kiri kanan.
“Sekar Mayang.... Tumben kau
menyambangi diriku! Kukira kau telah
menganggapku tidak ada!"
Ratu Malam komat-kamitkan mulut
mainkan gumpalan tembakau hitam. Sepasang
matanya dilebarkan pandangi sosok Dewa
Sukma
“Dasar Tua bangka tak tahu diri!
Sudah ditolong masih juga mengomel bicara
tidak karuan!" gerendengnya lalu berkata.
"Siapa manusia yang membuatmu tak berkutik
kaki di atas kepala di bawah, he?!"
Dewa Sukma tak memberi jawaban. Kakek
ini terlihat arahkan pandangannya keluar
gua: Lalu beralih pada mulut gua sebelah
kiri yang porak poranda.
"Jalu Paksi!" kata Ratu Malam setelah
agak lama ditunggu Dewa Sukma tidak juga
buka mulut. "Sesuatu telah terjadi di
luaran sana! Aku melihat beberapa orang
berkeliaran dan aku menduga mereka me-
megang rahasia yang selama ini kita
simpan! Jangan-jangan kau memberikan pada
orang yang salah....
"Rupanya kau tahu banyak, Sekar
Mayang...."
"Eh. Apa maksudmu?!"
"Penggalan peta itu memang telah
jatuh pada orang yang salah! Tapi itu
bukan salahku!"
"Sialan! Sudah jelas berbuat salah
masih juga berdalih!" maki Ratu Malam
setengah berteriak. Lalu menyambung.
"Siapa keparatnya yang mengambil peta itu?
Katakan cepat!"
Dewa Sukma gelengkan kepala. "Aku tak
bisa pastikan siapa dia...."
"Setan!" tukas Ratu Malam. "Bagaimana
bisa begitu?!"
"Kau tak juga berubah, Mayang....
Selalu marah-marah...," gumam Dewa Sukma
sambil menarik napas dalam-dalam.
"Bagaimana aku akan enak-enakan.
Sedang penggalan peta itu adalah pesan
mendiang guru yang harus dijaga dan
diserahkan pada orang yang telah
ditentukan! Dunia persilatan akan
mengalami kiamat jika peta itu sampai
berada di tangan orang lain. Apa kau
berani tanggung jawab, heh?!”
"Tapi...."
Belum usai ucapan Dewa Sukma, kembali
Ratu Malam telah memotong. "Tidak ada
tapi! Meski kau tak bisa memastikan siapa
adanya orang itu, setidak-tidaknya kau
bisa menduga! Ayo katakan!"
"Hemm.... Melihat pukulannya serta
sinar hitam yang menggantungku, aku
menduga dia adalah Dur-ga Ratih. Tapi
menilik pakaian yang dikenakan, aku jadi
ragu-ragu!"
"Apa pakaian yang dikenakan? Apakah
potongan pakaiannya merangsang sampai kau
bertekuk lutut? Dadanya terbuka, pananya
ternganga?!”
Dewa Sukma yang tahu bagaimana sifat
adik seperguruannya hanya geieng-geieng
kepala. "Kau salah besar, Mayang. Justru
orang itu menutup seluruh anggota
tubuhnya. Malah wajahnya pun ditutup
dengan cadar hitam!"
"Kau tadi menduga siapa?!" tanya Ratu
Malam.
"Durga Ratih...!"
"Persis! Aku pun menduga dialah
pembuat ulah ini! Tapi bagaimana tahu-
tahunya banyak orang yang berkeliaran dan
seoiah-olah tahu betul seluk-beluk urusan
peta itu?"
"Tak ada jawaban yang pasti daripada
mencari tahu sendiri, Mayang!"
"Hem.... Jika begitu, kita cepat
pergi dari sini!" ujar Ratu Malam seraya
bangkit berdiri.
"Hei, ada apa denganmu, hah? Kau
menyembunyikan sesuatu! Wajahmu berubah!"
kata Ratu Malam begitu bangkit dan
dilihatnya Dewa Sukma tak juga beranjak
dari tempatnya.
"Dengar, Mayang..."
"Sialan! Kau kira sejak tadi aku
tuli, heh?!"
"Ada urusan lain yang harus kau
ketahui, Mayang...."
"Urusan penggalan peta dan
menyelamatkannya jauh lebih pentingi
Urusan lain belakangan!" sahut Ratu Malam
seraya sedikit pelototkan sepasang
matanya.
"Justru urusan ini ada sangkut-
pautnya dengan penggalan peta itu!"
"Hemm.... Aku pasang telinga. Katakan
apa urusannya!"
Beberapa saat Dewa Sukma diam. Namun
sesaat kemudian dia buka mulut.
"Mendiang Eyang guru memberikan
sebuah kotak padaku. Kotak itu berisi peta
sempurna yang menunjukkan arah ke Pulau
Biru. Eyang sengaja memberikan padaku
untuk menjaga kemungkinan jika salah satu
di antara kita berlima ada yang mendapat
halangan dan tak bisa sampaikan penggalan
peta di tangannya pada orang yang
ditentukan."
"Mana sekarang kotak itu?! Orang yang
ditentukan itu sekarang sudah muncui!
Daripada dia mencari penggalan peta, lebih
baik kotak itu kita serahkan. Seperti
kukatakan, telah banyak orang berkeliaran.
Jika tidak bertindak cepat, tidak mustahil
akan kedahuluan orang, apalagi peta di
tanganmu telah raib!"
"Kotak itu juga telah raib,
Mayang...."
"Apa?!" teriak Ratu Malam keras.
Nenek ini tersentak kaget dan maju satu
tindak dengan sepasang mata mendelik
menatap lekat pada Dewa Sukma.
"Kau jangan bercanda, Jalu Paksi!"
"Aku tahu mana tempat bercanda, dan
mana tempat harus bersungguh-sungguh!"
"Kiamat! Benar-benar kiamat!"
gerendeng Ratu Malam seraya melangkah
mondar-mandir dengan kedua tangan mengepal
dan sesekali dipukulkan satu sama lain.
"Apakah perempuan keparat itu juga
yang menggondolnya?!"
"Bukan. Dia seorang pemuda yang
menyebut dirinya Malaikat Penggali Kubur.
Dia mengaku murid Bayu Bajra...."
"Sialan! Betul-betul sialan! Berarti
makin banyak orang telah tahu rahasia
Pulau Biru! Ini semua akibat kesalahanmu,
Jalu Paksi! Kesalahanmu!" kata Ratu Malam
sambil bantingkan kedua kakinya.
"Aku tertipu, Mayang...."
"Alasan! Bagaimanapun cerdiknya orang
menipu, kalau kau berpegang teguh pada
pesan Eyang guru tak mungkin kotak itu
jatuh pada orang! Apalagi urusan kotak itu
hanya kau satu-satunya dari kelima murid
Eyang guru yang dipercaya menyimpannya!
Atau karena dia murid dari adik kandungmu
hingga kau begitu gampang menyerah-
kannya?!"
"Mayang! Kau jangan menduga yang
tidak-tidak! Sudah kukatakan aku ditipu!"
kata Dewa Sukma dengan suara sedikit
keras.
"Aku tidak menduga buruk, Jalu Paksi.
Tapi saat itu tidak ada orang lain yang
melihat! Hanya kau dan orang berjuluk
Malaikat Penggali Kubur. Jadi hanya kalian
berdua yang tahu pasti apa yang terjadi!"
"Nada ucapanmu masih mencurigaiku!"
Ratu Malam tertawa pendek. "Terus
terang, meski aku tak mendapat kepercayaan
Eyang guru, tapi setidak-tidaknya aku
punya kewajiban untuk ikut campur. Apakah
salah jika muncul satu dugaan karena aku
tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi?!"
"Mayang! Tak ada gunanya kita
berdebat!"
"Lantas?!"
"Kita menemui Iblis Ompong, Gendeng
Panuntun, dan Dewi Es!"
Untuk beberapa saat Ratu Malam tegak
diam. Sepasang matanya memandang keluar
gua. "Aku kini mengkhawatirkan pemuda itu!
Jangan-jangan dia mendapat halangan
sebelum berhasil menemukan penggalan peta
itu!"
"Siapa namanya?" tanya Dewa Sukma
seraya bangkit.
"Seperti ciri-ciri yang dikatakan
Eyang guru, karena dia memiliki Pedang
Tumpu! 131 maka rimba persilatan
menggelarinya Pendekar Pedang Tumpul 131."
"Kalau begitu, hem.... Bagaimana
kalau kita berpencar, aku menemui Iblis
Ompong, Gendeng Panuntun dan Dewi Es,
sementara kau menyusur jalan mencari
pemuda itu! Bukankah kau sedikit banyak
tahu ke mana arah pemuda itu?"
Ratu Malam tampak berpikir. Lalu
berpaling pada Dewa Sukma dan berkata.
"Baik. Berhasil atau tidak setengah
purnama di depan kau kutunggu di
tempatku!"
Setelah berkata begitu, Ratu Malam
melangkah ke arah mulut gua. Sejurus dia
berhenti di mulut gua dan perhatikan mulut
gua sebelah kiri yang porak-poranda. Nenek
berjubah merah menyala ini terdengar
bergumam tak jelas. Lalu menoleh ke arah
Dewa Sukma.
Seakan dapat menangkap apa yang ada
dalam benak Ratu Malam, Dewa Sukma segera
berucap. "Jangaa mengajak betdebat lagi.
Mayang! Semuanya sudah terjadi!"
Ucapan Dewa Sukma belum selesai, Ratu
Malam telah kembali berpaling keluar gua.
Lalu sekali berkelebat, sosoknya lenyap
dari pandangan kakak seperguruannya.
Dewa Sukma menarik napas panjang.
Lalu edarkan pandangannya ke seluruh
ruangan gua yang be-rantakan. Kejap lain
sosoknya melesat keluar dari gua!
TIGA
MATAHARI mulai menggelincir turun
dari titik tengahnya. Satu sosok bayangan
putih ber kelebatan cepat laksana dikejar
hantu genta yangan. Pada satu tempat si
sosok hentikan larinya Kepalanya berputar
dengan sepasang mata menya pu seantero
tempat tak jauh dari tempatnya berdiri
Ternyata dia berada di lereng sebuah bukit
kecil.
"Hemm.... Tempat ini agaknya
aman...," gumam si sosok yang ternyata
adalah seorang pemuda berparas tampan
berpakaian putih-putih dengan rambut
sedikit acak-acakan dibalut ikat kepala
yang juga berwarna putih.
Sang pemuda berpaling ke sebelah
kanan, di mana pada bahu kanannya tampak
sesosok tubuh. Setelah meyakinkan sekali
lagi bahwa tempat di mana dia berada aman,
sang pemuda perlahan-lahan turunkan sosok
yang ada di bahunya.
Di hadapan si pemuda kini tampak
telentang seorang gadis muda berwajah
jelita mengenakan pakaian warna merah
dengan rambut panjang hitam lebat yang
dikuncir tinggi menggunakan ikat kepala
warna putih. Hidungnya mancung dengan bulu
mata lentik dan ditingkahi bibir membentuk
bagus.
Perlahan-lahan si gadis buka kelopak
matanya. Sejenak tampak rasa terkejut
membayang pada raut wajahnya. Namun kejap
kemudian berubah malah bibirnya
sunggingkan senyum meski parasnya agak
kemerahan.
"Pendekar 131.... Terima kasih...,"
ucap si gadis dengan sepasang mata menatap
tajam pada pemuda yang jongkok di
sampingnya.
Si pemuda menggeleng pelan. "Dewi
Seribu Bunga.... Simpan dulu ucapan itu.
Aku perlu memeriksa lukamu...."
Seperti dituturkan dalam episode:
"Malaikat Penggali Kubur", saat terjadi
pertemuan antara Pendekar 131 Joko Sableng
dengan Ayu Laksmi tiba-tiba muncullah Dewi
Seribu Bunga. Karena menuruti pesan
gurunya Dewi Siluman yang harus menying-
kirkan siapa saja yang bertemu di jalan
dan diduga berat memburu Kitab Serat Biru,
Ayu Laksmi segera lepaskan pukulan. Karena
Ayu Laksmi merasa geram dengan ucapan Dewi
Seribu Bunga, gadis ini langsung lepaskan
pukulan pertamanya pada Dewi Seribu Bunga.
Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga yang
diam-diam merasa cemburu dengan Ayu Laksmi
karena melihat gadis itu berdua-dua dengan
pemuda yang diam-diam juga dirindukannya,
tak tinggal diam. Akhirnya terjadilah
bentrok. Saat itulah muncul Wulandari,
salah seorang saudara seperguruan Ayu
Laksmi. Kedua gadis ini segera lepaskan
pukulan bersama-sama pada Pendekar 131
yang saat itu menolong Dewi Seribu Bunga.
Karena tak mau dirinya celaka juga untuk
selamatkan Dewi Seribu Bunga, murid
Pendeta Sinting segera pula menangkis
dengan pukulan sakti 'Lembur Kuning'.
Begitu bentrok pukulan terjadi, Pendekar
131 cepat menyahut sosok Dewi Seribu Bunga
dan berkelebat tinggalkan tempat.
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala
seraya bangkit. "Aku tak apa-apa.... Maaf,
aku mengganggu.... Seharusnya aku tak
muncul di tempat mana kau berada dengan
gadis itu...," kata si gadis dengan su ra
agak tersendat sambil arahkan pandangannya
pada jurusan lain.
"Dewi.... Harap jangan menduga
terlalu jauh. Dia...."
Belum habis kata-kata Pendekar 131,
Dewi Seribu Bunga telah menukas.
"Sebagai seorang gadis, aku tahu
kenapa gadis berjubah biru itu mengucapkan
kata-kata kasar padaku. Lebih dari itu dia
menginginkan nyawaku!"
"Tidak hanya kau. Tapi dia juga
menginginkan selembar nyawaku...."
Dewi Seribu Bunga sunggingkan senyum
seraya tertawa perlahan. Kepalanya
dipalingkan menghadap murid Pendeta
Sinting. Menatap sejurus lalu berkata.
"Itu karena kehadiranku di tempat itu
dan karena kau menolongku."
Murid Pendeta Sinting balas menatap
ke bola mata si gadis. Seraya ganti
tersenyum dia berujar.
"Dengar, Dewi! Aku memang dua kali
bertemu dengan gadis itu. Namun sejauh ini
aku belum tahu apa maksudnya! Yang jelas
dia selalu menginginkan nyawaku!" *
Dewi Seribu Bunga sedikit arahkan
kepalanya ke samping. Tapi raut wajahnya
masih membayangkan keraguan dengan ucapan
yang baru saja didengarnya. Sejenak gadis
berpakaian merah ini menarik napas dalam,
lalu berkata pelan.
"Namun nada ucapannya sepertinya dia
menyimpan sesuatu padamu...."
Joko tertawa membuat Dewi Seribu
Bunga menoleh kembali dengan dahi
mengernyit. Puas tertawa murid Pendeta
Sinting ini segera berujar.
"Dewi.... Boleh saja kau menduga,
tapi...."
Belum sampai murid Pendeta Sinting
lanjutkan ucapannya mendadak terdengar
orang melantunkan bait-bait syair.
Tataplah hari ini
Hari ini adalah kehidupan dari segala
kehidupan
Hari kemarin tak lain hanyalah mimpi
Sedang hari esok adalah merupakan
bayangan
Menatap hari ini, membuat hari
kemarin berubah jadi mimpi indah.
Menatap hari ini, membuat hari esok
berubah bayangan penuh harapan.
Hari ini, petunjuk datang untuk
menghadapi badai, keangkaramurkaan, dan
kesombongan
Buatlah hari ini yang terindah dalam
hidup Sebelum kita ditantang kelaliman
orang-orang sesat.
Sebelum kita turun ke dalam tanah
Dari tanah menjadi tanah, di bawah
tanah kita terbaring
Tanpa anyelir, tanpa syair, dan tanpa
akhir.
Joko dan Dewi Seribu Bunga untuk
sesaat saling berpandangan satu sama lain.
Namun murid Pendeta Sinting segera
tengadahkan kepala.
"Hari ini petunjuk datang...,"
gumamnya dalam hati mengulangi bait-bait
syair yang baru saja terdengar. "Hemm....
Jangan-jangan syair tadi ada hubungannya
dengan apa yang selama ini sedang ku-
hadapi.... Petunjuk! Mungkin ada kaitannya
dengan penggalan peta!"
"Dewi...," ucapnya setelah agak lama
berpikir. "Tunggulah di sini. Aku akan
melihat ke sana! Ja-ncv pergi sebelum aku
datang kembali. Aku tahu kau masih
terluka. Gadis-gadis tadi tidak tertutup
kemungkinan masih mencari kita. Kalau ada
apa-apa cepat beri tanda!"
"Joko...!" seru Dewi Seribu Bunga
dengan nada khawatir. Namun yang diteriaki
sudah berkelebat ke arah puncak bukit dari
mana suara syair terdengar.
"Ah.... Dia masih memperhatikan
diriku. Tapi apakah perhatiannya itu hanya
cuma perhatian? Apakah dia menyimpan rindu
selama tidak berjumpa seperti apa yang
kualami?"
Gadis berbaju merah murid Maut Mata
Satu ini sejenak tengadahkan kepala
memandang ke arah puncak bukit.
"Aneh. Kenapa Pendekar 131 sepertinya
tertarik dengan lantunan syair-syair itu.
Menilik suaranya, orang yang perdengarkan
syair adalah seorang perempuan. Hemmm....
Apakah aku harus ikut ke sana? Gadis yang
tadi menginginkan nyawanya adalah seorang
perempuan. Lalu orang di atas sana juga
perempuan. Jangan-jangan...."
Dewi Seribu Bunga sekali lagi
tajamkan sepasang matanya memandang ke
arah puncak bukit. Tapi karena bukit itu
ditumbuhi pohon-pohon besar serta rimbun
semak belukar, hingga meski gadis ini
sampai pelototkan mata dan kepalanya
berputar, dia tak bisa menangkap keadaan
di puncak bukit.
Dan tanpa sepengetahuan Dewi Seribu
Bunga, diam-diam sejak tadi sesosok tubuh
tampak mendekam di balik sebuah pohon
dengan sepasang mata tak berkedip
memperhatikan ke arah Dewi Seribu Bunga.
"Gadis beruntung...," gumam orang di
balik pohon pelan. "Mendapat perhatian
dari seorang pemuda yang bukan hanya
tampan namun juga berbudi. Seandainya aku
bukan...," gumam orang di balik pohon
terputus. Sepasang matanya yang ternyata
ada di balik cadar berlobang kecil-kecil
membelalak dengan dahi mengernyit. Menatap
lurus ke arah mana Dewi Seribu Bunga tegak
berdiri dengan wajah dibalut kebimbangan.
Di depan sana, Dewi Seribu Bunga yang
diliputi keragu-raguan dan kecemasan
tersurut mundur satu langkah ketika tiba-
tiba satu bayangan berkelebat dan tegak
dengan sikap menghadang lima langkah di
hadapannya!
Mungkin karena terkejut dengan
kedatangan orang apalagi baru saja bentrok
dengan Ayu Laksmi dan Wulandari, tanpa
melihat siapa adanya orang, gadis
berpakaian merah ini cepat angkat kedua
tangannya siap lepaskan pukulan seraya
berteriak menegur.
"Jangan berani berbuat macam-macam
atau ku-putus kepalamu!"
Orang di hadapan Dewi Seribu Bunga
tak membuat gerakan. Sebaliknya dia
perdengarkan tawa pendek sambil alihkan
pandangan. Namun jelas jika wajahnya
berubah bahkan kedua tangannya terlihat
mengepal keluarkan suara berkeretekan.
Mendadak Dewi Seribu Bunga turunkan
kedua tangannya. Sepasang matanya
membelalak menyipit. Tanpa pikir panjang
tiba-tiba si gadis membuat gerakan
berkelebat ke depan menghambur pada orang
seraya menjura dalam-dalam.
"Guru...."
Terdengar dengusan keras. Tanpa
memandang pada Dewi Seribu Bunga orang
yang dipanggil guru ini membentak keras.
"Larasati! Kau benar-benar murid tak
tahu diun-tung! Apa kau lupa akan ucapanku
tempo hari, hah?!"
"Maafkan, Guru...."
Orang di hadapan Dewi Seribu Bunga
berpaling. Dia ternyata adalah seorang
laki-laki berusia lanjut. Parasnya bulat
besar dilapis kulit tipis dan pucat.
Rambutnya putih dan dikuncir ke belakang.
Raut wajahnya hanya tampak samar-samar
karena sebagian wajah itu tertutup
jambang, kumis dan jenggot lebat. Kakek
ini mengenakan rompi panjang berwarna
kuning. Matanya yang hanya sebelah, semen-
tara sebelahnya lagi ditutup dengan sebuah
kulit bundar yang dikaitkan dengan tali ke
belakang kepalanya membuat kakek ini
tambah angker.
"Aku tanya padamu. Apa kau lupa
dengan ucapanku tempo hari! Jawab!" bentak
si kakek bermata satu yang bukan lain
adalah seorang tokoh dan momok rimba
persilatan yang tak asing lagi di kalangan
dunia persilatan. Yakni seorang tokoh yang
bergelar Maut Mata Satu. (Tentang Maut
Mata Satu, silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode: "Ratu Pemikat").
Dewi Seribu Bunga untuk beberapa saat
tak juga buka mulut memberi jawaban. Tapi
tatkala Maut Mata Satu perdengarkan lagi
dengusan keras, si gadis cepat angkat
bicara meski dengan kepala menunduk.
"Aku tidak lupa dengan ucapan
Guru....!”
"Hemm.... Lantas kenapa kau
berkeliaran di tempat ini, hah?! Apa yang
kau cari?! Jawab cepat!"
"Maaf, Guru. Selama kepergianmu, aku
selalu cemas akan keselamatanmu. Apalagi
kau tak juga kunjung kembali...."
"Teruskan kata-katamu. Tapi ingat.
Sekali tak masuk akal jangan kira aku
enggan menampar mulutmu!" sela Maut Mata
Satu.
"Guru. Apa maksudmu?"
"Sejak kita gagal mendapatkan Pedang
Tumpul 131 dan kembali ke Teluk Panarukan,
kulihat sikapmu berubah! Kau sering
menyendiri dan termenung! Aku menduga
bukan keselamatanku yang membuatmu cemas
dan meninggalkan Teluk Panarukan. Ada hal
lain lebih dari itu! Jangan mendustaiku,
Larasati!"
Larasati alias Dewi Seribu Bunga
parasnya berubah. Dadanya berdebar keras.
Dia tampak menunduk Jebih dalam. Diam-diam
gadis ini berkata dalam hati.
"Aku tak boleh mengatakannya. Guru
pasti tidak menyukai pemuda itu! Dan aku
juga tidak boleh mengatakan jika pemuda
itu ada di sini. Tapi bagaimana kalau
tiba-tiba Pendekar 131 muncul? Ah.... Ini
pasti akan membuatku celaka! Lebih-lebih
Pendekar 131. Aku harus...."
"Eh. Kenapa kau diam?! Apa jawabmu
dengan ucapanku tadi, h e?!" kata Maut
Mata Satu dengan suara masih keras memutus
kata hati Dewi Seribu Bunga.
Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya.
Menatap lekat-lekat pada gurunya lalu
berkata.
"Guru. Kau telah kuanggap sebagai
orangtuaku sendiri. Apa gunanya berkata
dusta padamu?"
Maut Mata Satu tertawa pelan.
"Larasati! Perubahan sikapmu tak bisa
menipu pandanganku! Tapi.... Hemmm.... Aku
tanya padamu, siapa saja yang sempat kau
temui sejak kau meninggalkan Teluk Pa-
narukan?!"
Sesaat pandangan Dewi Seribu Bunga
melirik ke arah puncak bukit. Namun kali
ini si gadis coba menindih perasaan agar
raut kecemasan tak membayang di air
mukanya.
"Aku hanya sempat jumpa dengan dua
orang gadis. Mereka tak sebutkan siapa
adanya. Tapi yang membuatku heran, mereka
sepertinya ingin membunuhku!"
"Selain dua gadis itu?!"
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala.
"Hanya mereka yang sempat kutemui!"
"Pemuda itu?!" tanya Maut Mata Satu.
Meski Dewi Seribu Bunga sudah
tegarkan hati, namun saat gurunya ajukan
tanya tentang pemuda yang dimaksud bukan
lain Pendekar Pedang Tumpul 131, mau tak
mau membuat gadis berpakaian merah ini
terkesiap kaget.
"Kau sempat jumpa dengan pemuda
bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131
bukan?!" Maut Mata Satu ulangi tanyanya.
"Tidak!" kata Dewi Seribu Bunga
dengan suara bergetar agar keras.
"Hanya...."
"Katakan! Kenapa kau putus kata-
katamu?!" sahut Maut Mata Satu.
"Aku menangkap kelebatan tubuhnya
saat aku bentrok dengan dua gadis itu! Dia
menuju arah selatan!"
"Bagus! Kau sebelah sana, aku lewat
sini!" kata Maut Mata Satu seraya arahkan
telunjuk tangannya. "Kita bertemu sebelum
petang!"
"Aku belum mengerti maksud Guru....!"
Maut Mata Satu pelototkan matanya
yang hanya sebelah. "Kejar dia! Ingat
ucapanku tempo hari. Rebut pedangnya
dengan cara apa pun! Dengar?!"
Meski dengan berat akhirnya kepala
Dewi Seribu Bunga membuat gerakan
mengangguk. Setelah melirik sejurus ke
arah puncak bukit, Dewi Seribu Bunga
menjura. "Aku berangkat sekarang,
Guru...."
Maut Mata Satu menyeringai. "Ingat!
Jika kejadian dahulu terulang lagi, bukan
saja tak kuizlnkan kau tinggalkan Teluk
Panarukan, tapi kau akan tinggalkan dunia
ini selamanya!"
Dada Dewi Seribu Bunga membuncah
dengan berbagai perasaan mendengar ucapan
gurunya. Namun karena berpikir tak ada
gunanya berdebat mencari perkara, akhirnya
gadis ini segera berkelebat tinggalkan
iereng bukit menuju arah selatan seperti
yang ditunjuk Maut Mata Satu.
"Heemmm.... Anak itu tampak sangat
cemas. Berulangkali kulihat matanya
memandang ke arah puncak bukit...," desis
Maut Mata Satu begitu sosok Dewi Seribu
Bunga telah lenyap.
"Jangan-jangan dia masih menyembu-
nyikan sesuatu padaku...." Maut Mata Satu
untuk beberapa lama tidak segera beranjak
dari tempatnya. Malah seraya bergumam tak
jelas sebelah matanya mendelik angker
memandang ke arah puncak bukit. Malah kini
perlahan-lahan dia melangkah menuju puncak
bukit.
Orang di balik pohon pentangkan
sepasang matanya dari balik cadar.
"Jelas orang ini punya niat jahat!
Gadis itu juga!
Hemm.... Meski aku belum tahu apa
sebenarnya yang terjadi di puncak bukit,
tapi aku harus mencegah orang bermata satu
itu!" kata orang yang mendekam di balik
pohon dalam hati seraya alirkan tenaga
dalam siapkan satu pukulan. Dia segera
bergerak hendak bangkit keluar dari balik
pohon. Tapi gerakannya tertahan malah dia
rundukkan kembali tubuhnya ke balik pohon.
Di depan sana, Maut Mata Satu tiba-
tiba hentikan langkah. Satu matanya
memperhatikan berkeliling lalu ke puncak
bukit.
"Sialan! Kenapa aku turuti rasa
curiga yang belum pasti? Larasati
mengatakan pemuda itu menuju arah selatan.
Hemm.... Meski urusan Kitab Serat Biru
kail Ini lebih penting, tapi adalah satu
kebanggaan tersendiri jika Pedang Tumpul
131 berhasil jatuh ke tanganku!"
Berpikir sampai di situ, Maut Mata
Satu segera putar diri. Hal inilah yang
membuat sosok di balik pohon urungkan niat
untuk keluar. Malah makin rundukkan diri
ketika mata Maut Mata Satu mengedar
berkeliling.
"Hemm.... Jangan-jangan dia tahu dan
urungkan niat menuju puncak bukit!" kata
sosok di balik pohon dalam hati. Tapi
sosok ini segera menarik napas lega ketika
di depan sana dilihatnya Maut Mata Satu
membuat gerakan berputar lalu berkelebat
tinggalkan lereng bukit.
"Aku akan menunggu sampai Pendekar
131 turun. Aku harus mengatakan padanya
siapa sebenarnya gadis berbaju merah itu!
Gadis liar! Berkedok cinta untuk satu
tujuan busuk! Tak akan kubiarkan jika aku
bertemu dengannya lagi!"
Sosok ini segera bangkit dan keluar
dari balik pohon. Ternyata dia adalah
seorang perempuan mengenakan pakaian
panjang. Wajahnya mengenakan cadar
berlobang-lobang kecil, sementara di pung-
gungnya tampak punuk besar!
EMPAT
PENDEKAR 131 terus berkelebat ke
puncak bukit. Namun mendadak murid Pendeta
Sinting ini hentikan larinya dengan kening
berkerut dan kepala berputar. Karena
nyanyian bait-bait syair itu terdengar
kembali. Namun bukan karena suara itu Joko
Sableng hentikan langkah. Melainkan suara
bait-bait syair itu laksana datang dari
arah sebelah kanan lamping bukit. Namun
kejap kemudian beralih ke lamping bukit
sebelah kiri. Saat lain laksana terdengar
dari puncak bukit.
"Heran. Jika bukan orang
berkepandaian tinggi, tak mungkin bisa
lakukan hal seperti ini. Aku akan terus
menuju puncak. Dari sebelah sana mungkin
agak mudah menentukan di mana beradanya
orang itu...." Joko segera teruskan
langkah mendaki ke puncak bukit.
Saat itulah kembali terdengar
lantunan bait-bait syair. Tapi kali ini
jelas datangnya dari arah puncak bukit.
Hari penentuan telah datang
Hilangkan rasa ragu dan bimbang
Di hati yang bersih dan cemerlang
Di sana petunjuk itu akan menjelang
Gelombang arakan awan hitam telah
menghadang
Laskar maut telah memekik meradang
Hanya dengan kuasa yang Maha Pengasih
dan Penyayang
Sang penentu dapat membuat jalan
terang
Untuk beberapa lama, Joko simak baik-
baik bait syair yang didengarnya.
"Apakah ini betul-betul ada kaitannya
dengan petunjuk penggalan peta itu?
Hemm.... Aku belum sempat melihat
penggalan peta yang diberikan orang tua
yang sebutkan dirinya Gendeng Panun-tun.
Jangan-jangan aku salah jalan dan
tertipu...."
Murid Pendeta Sinting segera ambil
gulungan kulit dari balik pakaiannya.
Gulungan kulit berwarna coklat dari Ratu
Malam, iblis Ompong, serta Gendeng
Panuntun itu segera dibuka dan diletakkan
bersambung satu sama lain. Tiba-tiba Joko
mendelik besar dengan putar kepalanya
berkeliling.
"Astaga! Peta terakhir ini
menunjukkan tempat ini! Jadi lantunan
syair tadi betul-betul ada kaitannya
dengan penggalan peta ini!"
Joko cepat masukkan kembali tiga
gulungan kulit di balik pakaiannya. Lalu
berkelebat ke arah puncak bukit. Begitu
sampai puncak bukit murid Pendeta Sinting
ini merasakan keanehan.
Puncak bukit yang tidak berapa luas
itu terasa dingin luar biasa. Malah sempat
membuat sepasang kaki Joko bergetar
menggigil. Rahangnya pun mengatup rapat.
Dan sepasang matanya menangkap kepulan
asap di seluruh puncak bukit! Dan ketika
sepasang matanya terbiasa dengan asap yang
menyelimuti puncak bukit, murid Pendeta
Sinting ini makin membeliak. Ternyata
rimbun dedaunan di puncak bukit bukanlah
dedaunan biasa, melainkan gumpalan es!
Selagi dada Joko disesaki keheranan,
tiba-tiba terdengar suara teguran.
"Anak manusia! Harap sebutkan nama
dan gelarmu!"
Sesaat Joko terkesiap. Karena dia
belum bisa
melihat orang yang keluarkan suara
teguran, sepasang matanya dibeliakkan
jelalatan menembusi kepulan asap.
"Anak manusia!" kembali satu teguran
terdengar. "Harap suka jawab pertanyaanku
atau lekas tinggalkan puncak bukit!"
"Aku.... Aku Joko Sableng...."
Dari tengah kepulan asap puncak bukit
terdengar gumaman ulangi nama Joko. Lalu
terdengar suara agak keras.
"Kau belum sebutkan siapa gelarmu!"
Seraya menahan rasa dingin, Joko
gelengkan kepala, lalu berujar.
"Aku tidak punya gelar. Hanya orang-
orang kampung memberi julukan padaku
Pendekar Pedang Tumpul 131. Padahal...."
"Adakah kau ke sini membawa bekal?"
suara di tengah kepulan asap menukas
terlebih dahulu sebelum ucapan Joko
selesai.
"Aku tak mengerti bekal yang kau
maksud!" ujar murid Pendeta Sinting
setelah agak lama terdiam.
"Melihat keadaanmu, tentu kau telah
mengadakan perjalanan cukup jauh. Adakah
puncak bukit ini jadi tujuanmu ataukah kau
hanya anak manusia yang tersesat jalan?!"
"Dikatakan tujuan bisa, namun
dikatakan tersesat jalan juga boleh!"
"Hemm.... Bisa jelaskan padaku apa
maksud ucapanmu itu?!"
"Sebenarnya aku sampai di tempat ini
secara kebetulan. Namun ternyata setelah
kulihat dengan seksama, tempat inilah yang
harus kutuju!"
"Apa tujuanmu ke tempat ini?!"
"Aku mendapat tugas dari Eyang guru
Pendeta
Sinting serta Manusia Dewa untuk
menyelidik ke Pulau Biru yang diduga keras
menyimpan Kitab Serat Biru yang sekarang
dibicarakan dan diburu beberapa tokoh
rimba persilatan. Baik Eyang guru maupun
Manusia Dewa tak memberi petunjuk apa-apa
mengenai Pulau Biru, hingga akhirnya aku
berjalan menurutkan langkahan kaki seraya
tanya sana tanya sini. Tapi pada satu
tempat aku bertemu dengan seorang nenek
yang terakhir kuketahui bergelar Ratu
Malam. Dari padanya aku mendapatkan
penggalan peta. Lalu ketika aku teruskan
perjalanan, aku berjumpa dengan seorang
tokoh yang berjuluk Iblis Ompong. Dari
tokoh ini aku juga mendapatkan penggalan
peta. Terakhir kali, aku bersua dengan
orang aneh yang sebutkan diri Gendeng
Panuntun. Dari orang ini, aku juga
mendapatkan penggalan peta. Saat aku
mendengar bait-bait syair dari puncak
bukit ini seakan aku merasa bahwa bait-
bait itu ada kaitannya dengan penggalan
peta yang ada padaku. Dan ketika
penggalan-penggalan peta itu kusambung,
ternyata berakhir di puncak bukit ini."
"Aku tanya!" kata suara dari tengah
kepulan asap dingin. "Mengapa kau bersedia
mengemban tugas yang bukan hanya berat
namun satu-satunya nyawamu juga akan jadi
taruhannya?!"
"Menurut penuturan Eyang dan Manusia
Dewa, Kitab Serat Biru adalah sebuah kitab
sakti. Jika kitab itu sampai jatuh pada
orang yang tidak bertanggung jawab, maka
rimba persilatan akan ditimpa malapetaka
besar! Demi keselamatan rimba persilatan,
aku bersedia mengemban tugas dan aku rela
satu-satunya nyawa milikku dipertaruhkan!"
Dari tengah kepulan asap dingin
terdengar lantunan bait-bait syair yang
tadi didengar Joko. Setelah lantunan syair
itu selesai, terdengar suara.
"Kemarilah, Anak muda!"
Ucapan orang belum selesai, tiba-tiba
dari lamping bukit sebelah kanan menyambar
gelombang angin pelan. Anehnya kepulan
asap dingin di puncak bukit laksana
dihantam gelombang luar biasa dahsyat dan
seketika ambyar lalu membumbung ke
angkasa!
Dari tempatnya berdiri, murid Pendeta
Sinting melihat seorang perempuan yang
wajahnya hanya tampak samar-samar, karena
dari atas kepalanya tampak curahan air
rintik-rintik yang menyelimuti sekujur
tubuhnya! Anehnya, baik wajah maupun jubah
putih yang dikenakan serta tubuhnya tidak
basah! Rambutnya panjang bergerai hitam
dan lebat. Perempuan ini duduk bersila di
atas sebuah altar batu. Curahan air dari
atas kepala si perempuan begitu sampai di
altar batu langsung meresap, dan sesaat
kemudian lenyap. Hingga altar batu yang
diduduki si perempuan tetap kering!
"Anak muda! Aku tidak suka bicara
berulang-ulang! Harap segera turuti
ucapanku atau putar diri dan turun bukit!"
Tiba-tiba si perempuan buka mulut.
Murid Pendeta Sinting sekali lagi
pentangkan sepasang matanya. Perlahan-
lahan dia rasakan hawa dingin di sekitar
puncak bukit berganti hangat. Dan dengan
benak masih diliputi rasa heran, Joko
perlahan maju mendekat ke arah si
perempuan.
Lima langkah dari tempat si
perempuan, Joko Sableng hentikan langkah.
Kini agak jelas raut wajah si perempuan.
Ternyata dia adalah seorang perempuan
berparas cantik jelita meski umurnya tidak
muda lagi. Sepasang matanya lembut
ditingkah bulu mata lentik. Hidungnya
sedikit mancung dengan bi-Wr merah.
"Pendekar 131! Aku telah lama
menunggu kedatanganmu! Tiap hari aku
selalu lantunkan bait-bait syair yang tadi
kau dengar. Memang banyak anak manusia
yang datang ke tempat ini. Namun mereka
tidak membawa bekal seperti yang kau
miliki. Dan sejak hari ini aku sudah tidak
akan lagi lantunkan syair itu!"
"Berarti apakah kau salah seorang
saudara seperguruan Ratu Malam?" tanya
Joko dengan mata memandang tak berkedip.
Si perempuan anggukkan kepala.
"Betul! Akulah yang termuda di antara lima
saudara seperguruan!"
"Boleh aku tahu siapa namamu?!"
"Anak muda! Untuk namaku, biarlah
hanya empat saudara seperguruanku yang
tahu...."
Murid Pendeta Sinting angkat alis
matanya seraya menggeleng perlahan.
"Lalu harus bagaimana aku
memanggilmu?!"
"Selama ini orang-orang memanggilku
Dewi Es!"
Hening sejenak. Tiba-tiba si
perempuan berjubah putih yang mengaku
bernama Dewi Es ulurkan kedua tangannya ke
depan.
"Tunjukkan padaku barang yang kau
miliki dari tiga orang yang kau sebutkan
tadi!"
Joko terlihat ragu-ragu. Lenyapnya
Pedang Tumpul 131 dari tangannya membuat
murid Pendeta Sinting ini selalu dihantui
perasaan khawatir pada setiap orang yang
baru dikenalnya.
"Pendekar 131! Harap ingat
peringatanku. Aku tak suka bicara berulang
kali!" kata Dewi Es tetap dengan kedua
tangan terulur ke depan.
Dengan sikap waspada, perlahan-lahan
Joko keluarkan tiga gulungan kulit dari
balik pakaiannya.
Dan dengan kerahkan tenaga dalam unti
«k menjaga segala kemungkinan, murid
Pendeta Sinting melangkah maju.
Di depan sana, Dewi Es perdengarkan
suara tawa perlahan.
"Tak perlu siapkan pukulan 'Lembur
Kuning', Anak muda! Dan simpan kembali
kulit itu!"
Murid Pendeta Sinting tersentak kaget
mendapati orang tahu dirinya siapkan
pukulan 'Lembur Kuning'. Dengan air muka
berubah, Joko cepat masukkan kembali
gulungan kulit ke balik pakaiannya dan
beringsut mundur.
Tapi Joko terkesiap. Sepasang kakinya
laksana dipantek tak bisa digerakkan meski
dia coba dengan kerahkan tenaga dalamnya.
"Dewi! Apa yang kau lakukan? Jangan
coba-coba memuslihatiku!" teriak Joko
dengan angkat kepalanya menatap tajam pada
Dewi Es.
Dewi Es tidak membuka mulut. Malah
kini bangkit lalu melangkah ke arah Joko.
Dua langkah di hadapan Pendekar 131, Dewi
Es hentikan langkah. Kedua tangannya
kembali menjulur ke depan.
Menangkap gelagat tidak baik, murid
Pendeta Sinting cepat membuka gerakan
dengan angkat kedua tangannya. Namun darah
Joko laksana sirap. Kedua tangannya kejang
kaku tak bisa digerakkan!
"Celaka jika sampai perempuan ini
mengambil gulungan kulit itu!” keluh Joko
dalam hati. Diam-diam dia coba kerahkan
tenaga dalamnya. Namun aliran tenaga
dalamnya laksana beku tak bisa diarahkan!
"Ilmu apa yang dimiliki perempuan
ini?! Tangan dan kakiku kejang kaku.
Tenaga dalamku membeku! Benar-benar
celaka!"
"Dewi!" teriak Joko Sableng. Namun
sepasang mata Joko jadi membelalak besar
karena suaranya tidak terdengar! Suara itu
seperti tersekat di tenggo-rokan!
"Jika dia berani bertindak macam-
macam, tak akan kuampuni nyawanya!" kata
Joko dalam hati dengan rahang mengembung
dan pelipis kiri kanan bergerak-gerak
pertanda menindih hawa marah.
Kedua tangan Dewi Es terus menjulur
ke depan. Lalu menangkap kedua telapak
tangan Joko. Sepasang mata sang Dewi
mendadak terpejam rapat. Belum tahu apa
yang hendak diperbuat Dewi Es. Pendekar
131 merasakan kedua telapak tangannya di-
aliri hawa luar biasa dingin hingga
tubuhnya bergetar menggigil. Ketika Joko
melirik, nyawanya laksana terbang.
Ternyata sekujur tubuhnya perlahan-
lahan diselimuti cairan membeku! Bahkan
sedikit demi sedikit sepasang matanya
terasa berat. Murid Pendeta Sinting
merasakan matanya dialiri cairan, hingga
mau tak mau dia segera pejamkan sepasang
matanya.
Bersamaan dengan terpejamnya mata,
murid Pendeta Sinting rasakan tubuhnya
laksana ditimpa beban berat yang sangat
dingin. Lalu dia rasakan tubuhnya
terhuyung dan kakinya melipat. Kejap lain
tubuhnya jatuh berdebam ke atas tanah!
Dewi Es tarik kedua tangannya dari
telapak tangan Joko. Dan sekali bergerak
tubuhnya melesat mundur dan tahu-tahu
telah duduk bersila kembali di atas batu
altar. Sesaat kedua tangannya bergerak ke
atas mengusap keringat yang membasahi
wajah dan lehernya. Lalu menarik napas
dalam-dalam dengan sepasang mata memandang
tajam ke arah sosok Joko yang telentang.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Dewi
Es tengadahkan kepala. Kedua tangannya
mendorong ke depan ke arah Joko. Dari
telapak tangan sang Dewi muncrat cairan
bening namun mengepulkan asap.
Buusss!
Gumpalan es yang membungkus sekujur
tubuh Pendekar 131 mendadak mencair dan
murid Pendeta Sinting ini rasakan hawa
hangat menjalari tubuh. Hingga dia
perlahan-lahan buka kelopak matanya.
Joko sejurus terkesima. Pandangan
matanya terasa tambah tajam Dan saat dia
bergerak bangkit, dia juga tersentak.
Gerakannya begitu ringan dan cepat!
"Jangan-jangan ini karena...," Joko
segera arahkan pandangannya pada Dewi Es.
Perempuan berjubah putih ini tampak tetap
duduk bersila dengan sekujur tubuh laksana
dicurahi rintik-rintik air.
"Pendekar 131!" ucap Dewi Es sebelum
murid Pendeta Sinting sempat buka mulut.
"Dalam dirimu sekarang ada satu kekuatan.
Jika kau kerahkan tenaga dalam pada
pangkal lenganmu lalu kedua tanganmu kau
dorong menghantam, maka dari kedua
tanganmu akan keluar satu gelombang
kekuatan yang luar biasa dingin. Jika kau
memegang sesuatu, maka barang yang kau
pegang akan membatu! Jika tenaga dalam kau
kerahkan pada dada, maka pukulan lawan
akan mental atau setidak-tidaknya meski
mengena namun tidak akan mencederaimu! Kau
sekarang telah memiliki pukulan dan
kekuatan 'Sukma Es'!"
Entah karena terpesona dengan ucapan
orang, hingga untuk beberapa saat murid
Pendeta Sinting Ini masih tegak terpaku
dengan mata tak berkeriap r *>natap pada
Dewi Es. Begitu tersadar Pendekar 131
segera menjura dalam-dalam.
"Maaf atas dugaanku yang terlalu
jauh, Dewi...."
Dewi Es gelengkan kepala. "Kita bukan
sebagai murid dan guru. Harap kau tidak
membuatku malu dengan peradatan begitu
rupa!"
Murid Pendeta Sinting tarik pulang
tubuhnya dan angkat kepalanya.
"Terima kasih, Dewi...."
"Pendekar 131! Perjalananmu sudah
dekat. Namun justru di situlah tantangan
dan rintangan makin berat. Terimalah
penggalan peta terakhir ini!" kata Dewi Es
seraya ulurkan tangan kanannya yang me-
megang gulungan kulit.
Joko melangkah maju. Lalu menyambuti
gu-lu igan kulit dari tangan Dewi Es.
Begitu gulungan kulit berada di
tangan Joko, mendadak puncak bukit
diselimuti asap. Namun kali ini Joko tidak
merasakan dingin, hanya sepasang matanya
tidak bisa lagi menangkap sosok Dewi Es!
"Selamat jalan, Pendekar 131!" Joko
pentangkan sepasang matanya menembusi asap
yang menyungkup puncak bukit, tapi tetap
saja matanya tidak bisa menangkap sosok
Dewi Es. Hingga pada akhirnya murid
Pendeta Sinting ini hanya menjura seraya
berkata.
"Terima kasih, Dewi.... Aku berangkat
meneruskan perjalanan!"
Habis berkata begitu, Joko putar diri
lalu berkelebat menuruni puncak bukit.
Mendadak murid Pendeta Sinting ini
hentikan langkah. Kepalanya berputar
dengan mata memandang sekeliling. Di kanan
kirinya tampak berjajar pohon-pohon besar
dan rangasan semak belukar lebat.
"Hemmm.... Dewi Es mengatakan aku
memiliki pukulan dan kekuatan 'Sukma Es'.
Aku ingin buktikan bagaimana pukulan
'Sukma Es' itu!" kata Joko dalam hati lalu
kerahkan tenaga dalam pada pangkal lengan
tangan kanan kirinya. Kejap kemudian kedua
tangannya mendorong ke depan, ke arah
sebatang pohon besar.
Wuuuttt! Wuuttt!
Dari kedua tangan Joko menyambar
gelombang angin dahsyat yang taburkan hawa
luar biasa dingin. Lalu terdengar suara
berderak. Kejap lain pohon besar di
hadapan Joko tumbang dengan batang hancur
berantakan dibungkus gumpalan-gumpalan es!
Murid Pendeta Sinting jadi
terperangah sendiri. Saat Itulah tiba-tiba
dia teringat pada Dewi Seribu Bunga yang
ditinggal di lereng bukit. Tanpa pikir
panjang lagi, Joko segera berkelebat
kembali menuruni bukit.
Sampai di tempat tadi Dewi Seribu
Bunga ditinggalkan, murid Pendeta Sinting
jadi tidak enak ketika dia tidak melihat
si gadis.
"Ke mana dia? Jangan-jangan dua gadis
yang mengejar itu menemukannya. Atau
barangkali...."
"Pendekar 131...!" satu suara membuat
murid Pendeta Sinting putuskan kata
hatinya dan cepat putar tubuh ke arah
datangnya suara.
"Kau...," gumam Joko memandang lurus
ke depan di mana di bawah sebatang pohon
agak besar tegak berdiri seorang perempuan
yang wajahnya ditutup menggunakan cadar
berlobang-lobang kecil dan di punggungnya
terlihat punuk besar.
LIMA
HERAN. Bagaimana perempuan ini bisa
berada di sini? Mungkinkah dia mengikuti
langkahku? Melihat sikapnya sepertinya dia
sengaja menungguku! Tapi ke mana gerangan
Dewi Seribu Bunga?"
"Pendekar 131! Kau mencari atau
menunggu seseorang?" tanya perempuan
berpunuk.
"Hemm.. Perempuan ini sengaja menekan
nada suaranya. Siapa sebenarnya perempuan
ini? ~ empo hari dia menolongku dan tidak
mau sebutkan diri. Sekarang muncul lagi
tapi bersamaan itu Dewi Seribu Bunga
lenyap! Jangan-jangan perempuan ini...."
"Kau tak mau jawab pertanyaanku...,"
ujar perempuan berpunuk menukas kata hati
Joko. "Mungkin keberadaanku tidak berkenan
di hatimu."
Wajah di balik cadar perempuan
berpunuk sejurus terlihat berubah. Setelah
sepasang mata dari balik cadar menatap
tajam, sosok perempuan berpunuk itu putar
dirinya setengah lingkaran lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" teriak murid Pendeta
Sinting membuat kelebatan perempuan
berpunuk tertahan.
"Aku memang mencari seseorang!" ujar
Joko. "Seorang gadis mengenakan pakaian
warna merah. Rambutnya dikuncir...."
"Kenapa kau mencari di sini?!" tanya
perempuan berpunuk sambil hadapkan kembali
sosoknya ke arah Joko.
"Hemm.... Dia tadi kutinggalkan di
tempat ini sendirian...."
Joko tidak teruskan keterangannya
karena perempuan berpunuk terdengar
tertawa perlahan lalu berkata.
"Tentu gadis berbaju merah berambut
dikuncir itu seorang gadis jelita. Kau
terlalu sembrono tinggalkan seorang gadis
jelita sendirian di tempat sunyi seperti
ini!"
"Dia masih dalam keadaan terluka. Aku
coba mencari daun-daunan untuk obat...,"
kata Joko sengaja sembunyikan apa
sebenarnya yang dialami di puncak bukit.
"Pemuda ini pandai juga berkata
bohong. Aku tadi jelas mendengar suara
orang lantunkan bait-bait syair dari
puncak bukit. Tapi.... Itu bukan hal
penting bagiku...." Perempuan berpunuk
diam-diam membatin.
"Harap kau tunjukkan di mana gadis
itu!" Mendadak Joko berujar dengan tatapan
menyelidik ke arah perempuan berpunuk.
"Aku tadi pergi tidak lama. Kalau sekarang
tiba-tiba dia tidak ada pasti ada orang
yang usil!"
Air muka di balik cadar tampak
tegang. "Nada bicaramu sepertinya menuduh
padaku!"
"Di sini tidak ada orang lain! Jadi
harap jangan membuat urusan meski aku
pernah berhutang budi padamu!"
"Pendekar 131! Jangan sebut-sebut
lagi hutang budi! Dan harap jangan pula
menduga yang bukan-bukan!"
"Jika tidak mau dituduh, katakan di
mana gadis itu berada!"
"Kau tetap menuduhku menyimpan
gadismu itu!" kata perempuan berpunuk
dengan suara agak keras. "Dengar, Pendekar
131! Tidak ada gunanya
aku menyimpan seorang gadis!"
Joko Sableng tegak dengan mulut
terkancing diam. Di depan sana perempuan
berpunuk tampak tengadahkan sedikit
kepalanya. Dari mulutnya terdengar ucapan
tak jelas. Tak selang lama, si perempuan
berpunuk luruskan kepalanya menghadap
Pendekar 131.
"Maaf. Mungkin ucapanku terlalu keras
dan kasar. Tapi aku memang tidak
sembunyikan gadis berbaju merah itu.
Aku...." Perempuan berpunuk tak lanjutkan
ucapannya, hanya kepalanya terlihat meng-
geleng.
Melihat perubahan sikap si perempuan
cepat-cepat Pendekar 131 menyahut.
"Ah. Seharusnya aku yang minta maaf.
Dan terlalu lancang menuduhmu yang bukan-
bukan...."
Sepasang mata di balik cadar
berlobang-lobang kecil menatap tajam pada
Pendekar 131. "Haruskah kukatakan apa yang
kudengar dan kulihat tentang gadis berbaju
itu? Kalau dia tidak mempercayaiku? Ah....
Percaya atau tidak dia harus tahu! Ini
demi keselamatan dirinya meski aku sendiri
tahu bahwa Pedang Tumpul 131 saat ini
berada di tangan Dewi Siluman...," pikir
perempuan berpunuk lalu berkata.
"Pendekar 131. Waktu aku sampai di
sini, aku memang melihat seorang gadis
berbaju merah. Namun tiba-tiba saja muncul
seorang kakek mengenakan rompi panjang
warna kuning. Dari percakapan mereka
berdua, aku menangkap gelagat bahwa gadis
itu punya niat tersembunyi padamu!"
Untuk sesaat murid Pendeta Sinting
tampak terkejut mendengar ucapan si
perempuan. "Kakek berompi kuning. Hemm....
Siapa? Dewi Seribu Bunga menyimpan niat
tersembunyi? Ah. Apakah mungkin?"
Melihat bayang kebimbangan di wajah
si pemuda, perempuan berpunuk segera
lanjutkan ucapannya. "Aku tak berharap kau
percaya begitu saja ucapanku! Namun
setidaknya kau harus berhati-hati! Jika
kau ingin menyusul, dia pergi menuju arah
selatan. Selamat tinggal...!"
"Tunggu!" kembali Joko Sableng
berteriak menahan kelebatan perempuan
berpunuk. Tapi kali Ini si perempuan
teruskan kelebatan tubuhnya dan kejap
kemudian sosoknya lenyap dari pandangan
Pendekar 131.
"Apakah ucapannya tidak mengada-ada?
Tapi apakah mungkin Dewi Seribu Bunga
betul-betul menyimpan sesuatu padaku?
Apakah urusan Pedang Tumpul 131 seperti
halnya beberapa waktu yang lalu? Hemm....
Siapa pula kakek yang disebutkan perempuan
tadi? Ah. Aku jadi bingung! Tapi ada baik-
nya aku turuti ucapan perempuan tadi.
Siapa tahu Dewi Seribu Bunga memang hendak
teruskan urusannya yang gagal pada
beberapa waktu yang silam...."
Seperti dituturkan dalam episode:
"Ratu Pemikat", Dewi Seribu Bunga mendapat
tugas dari gurunya si Maut Mata Satu untuk
merebut Pedang Tumpul 131. Namun pada
akhirnya Dewi Seribu Bunga gagal
melaksanakan tugas gurunya bahkan kalau
saja tidak ditolong Pendekar 131, mungkin
malapetaka akan menimpa si gadis.
Memikir sampai di situ, murid Pendeta
Sinting segera hendak tinggalkan tempat
itu. Namun langkahnya tertahan ketika dari
arah puncak bukit terdengar lantunan bait-
bait syair.
Manusia tak akan bisa lari menghindar
Dari belenggu asmara jika telah
mengejar
Pada sang rembulan segalanya di
tumpahkan
Pada gelombang laut semuanya
dicurahkan
Cinta suci tidak mengharap imbalan
Meski nyawa harus lepas dari badan
Joko Sableng arahkan kepalanya ke
puncak bukit. Sepasang matanya menatap
tajam dengan kening mengernyit seolah
berusaha menembus rimbun dedaunan dan
semak belukar serta mengetahui arti bait-
bait syair yang baru didengar.
"Hemm.... Belum bisa kuselami arti
bait-bait syair tadi...," gumam Joko
seraya terus memandang ke puncak bukit.
Dia seolah menunggu orang lantunkan syair
kembali. Tapi hingga sepasang kakinya te-
rasa pegal, murid Pendeta Sinting tidak
lagi mendengar lantunan syair.
"Heemmm.... Sudah waktunya aku
teruskan perjalanan...," Joko Sableng
segera keluarkan gulungan kulit yang baru
saja diberikan Dewi Es. Setelah menyimak
sebentar dia masukkan kembali gulungan
kulit ke balik pakaiannya dan segera
berkelebat tinggalkan lereng bukit.
ENAM
PEMUDA berjubah putih itu berkelebat
laksana angin. Beberapa saat lalu dia
berada di kawasan hutan kecil, namun dalam
beberapa saat kemudian sosoknya lenyap dan
tahu-tahu telah berada di ujung hutan yang
jarang ditumbuhi semak belukar. Kejap
kemudian sosoknya sudah jauh meninggalkan
kawasan hutan kecil. Ketika memasuki
kawasan yang tanahnya agak berpasir, si
pemuda baru memperlambat larinya. Malah
dia tampak mendekati sebatang pohon besar
lalu bersandar punggung duduk berselonjor
kaki.
"Heemmm.... Menurut peta, kawasan ini
sudah tidak jauh lagi dari Pulau Biru!"
gumam si pemuda dengan kepala berputar dan
sepasang matanya yang tajam liar
memperhatikan. "Mudah-mudahan peta ini
bukan palsu! Jika nanti terbukti palsu,
aku tak segan kembali ke Watugedeg dan
membungkam mulut Dewa Sukma!"
Dari balik jubahnya si pemuda
keluarkan gulungan kain putih. Sepasang
matanya kini tertuju pada kain yang
dibentangkan di depan matanya. Kejap
kemudian tampak kepalanya mengangguk
dengan bibir sunggingkan senyum aneh.
"Kitab Serat Biru! Hemm.... Menurut
Eyang guru adalah kitab maha sakti. Yang
berhasil mendapatkannya pasti akan jadi
raja di raja dunia persilatan! Sebuah
cita-cita yang sekian tahun kupendam!" Pe-
muda yang bersandar pada batang pohon
kepalkan kedua tangannya.
Saat itulah mendadak si pemuda
dikejutkan dengan terdengarnya suara orang
tertawa mengekeh panjang. Makin lama suara
kekehan tawa makin keras pertanda orang
makin dekat.
Kertakkan rahang, si pemuda cepat
selinapkan kain putih ke balik jubahnya,
lalu dengan mata mendelik angker kepalanya
disentakkan ke samping kanan, dari arah
mana suara tawa orang terdengar.
"Akan kubuat mulutnya pecah jika
orang gila ini tak mau hentikan ulahnya!"
desis si pemuda dengan sepasang mata tak
berkesip memandang ke depan.
Dari tempatnya duduk, si pemuda
melihat seorang bertubuh besar mengenakan
pakaian gom-brong duduk bersandar pada
batu yang tidak begitu besar. Kepalanya
mendongak sementara tangan kanannya
mengusap-usap perutnya, di mana dari bagi-
an yang diusap-usap itu terlihat cahaya
memantul.
Si pemuda kernyitkan kening dengan
mata makin terpentang besar. Orang yang
duduk bersandar pada batu tampak sudah
kancingkan mulut, namun suara tawanya
masih juga terdengar keras! Pertanda siapa
pun dia orangnya, pasti memiliki kepan-
daian tinggi.
Mungkin karena terburu geram merasa
terganggu dengan suara tawa, si pemuda
sampai berpikir sejauh itu! Malah dengan
suara keras dia membentak.
"Hai! Tutup mulutmu atau kuhancurkan
dan ku-betot lidahmu!"
Orang bertubuh besar luruskan kepala
ke arah si pemuda. Sepasang matanya untuk
beberapa lama mengerjap. Ternyata bola
mata orang ini hanya tampak putih,
pertanda jika orang ini buta.
"Ah.... Rupanya ada seorang sobat di
tempat ini. Maaf jika aku mengganggu...."
Habis berkata begitu, orang bertubuh besar
dan matanya buta ini buka mulut
perdengarkan tawa!
"Sialan! Orang ini sengaja bertingkah
atau benar-benar orang gila?! Kalau orang
gila kenapa mengerti ucapan orang?!" Si
pemuda menduga-duga dengan mata tak
berkesip memperhatikan.
Sementara orang bertubuh besar terus
buka mulut perdengarkan tawa, membuat si
pemuda makin geram dan untuk kedua kalinya
si pemuda berteriak keras.
"Hai! Aku tidak main-main! Kau dengar
ucapanku, tutup mulutmu dan minggat dari
sini atau mulutmu kubuat tidak bisa
tertawa lagi!"
Orang di depan sana putuskan suara
tawanya. Namun cuma sekejap. Kejap lain
mulutnya kembali membuka dan perdengarkan
tawa! Membuat si pemuda putus
kesabarannya. Seraya kertakkan rahang
pemuda ini bergerak bangkit dan sekali
lompat, dia telah tegak lima langkah di
hadapan orang yang tertawa.
"Orang ini sepertinya bukan orang
gila! Dan pasti dia sengaja mengumbar
tawa!" batin si pemuda dengan perhatikan
lebih seksama pada orang di hadapannya
yang tetap buka mulut tertawa. Namun kali
ini suara tawanya makin lama makin lemah.
Tapi pada saat bersamaan, si pemuda
tersentak. Tanah di mana dia berpijak
terasa bergetar!
"Orang muda!" Mendadak orang bertubuh
besar bermata buta di hadapan si pemuda
berucap. "Mungkin kau hendak teruskan
perjalanan, silakan! Aku pun akan teruskan
langkahan kaki. Jika ada umur panjang
kelak aku ingin berkata sepatah kata
denganmu...."
Selesai berkata begitu, orang
bertubuh besar yang mengenakan pakaian
gombrong besar berwarna hijau ini
tertatih-tatih bangkit. Setelah membungkuk
sejenak kepalanya tengadah lalu mulai
melangkah dengan tangan kanan mengusap-
usap pangkal ikat pinggangnya yang ada di
depan perutnya yang ternyata adalah sebuah
cermin bulat.
"Orang aneh. Meski sepasang matanya
buta, namun dia tahu bahwa aku adalah
orang muda. Lalu dia juga seolah tahu
bahwa aku hendak mengadakan perjalanan!
Hemm.... Siapa orang tua ini? Jangan-
jangan dia seorang...." Si pemuda cepat
berkelebat lalu tegak menghadang langkah
si orang bertubuh besar dan bermata buta.
"Ada apa Anak muda? Bukankah kau tadi
memerintahku minggat dari tempat ini?!"
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya?!"
si pemuda balik bertanya.
Tetap dengan kepala tengadah, orang
di hadapan si pemuda berucap.
"Anak muda. Sebenarnya aku ingin
berbincang denganmu pada suatu waktu
kelak, bukan sekarang. Tapi karena kau
telah ajukan tanya, tidak baik berdiam
diri...." Sejurus orang itu hentikan
ucapannya. Kepalanya kini lurus menghadap
ke arah si pemuda. Sepasang matanya
mengerjap. Lalu dia melanjutkan.
"Orang-orang memanggilku Gendeng
Panuntun. Orang tua yang melangkah
turutkan kemana kaki membawa dan berteman
dengan sebuah cermin.... Anak muda.... Kau
telah tahu siapa aku, tidak keberatan
sebutkan dirimu?"
"Aku Malaikat Penggali Kubur!" jawab
si pemuda seraya perhatikan cermin bulat
di depan perut orang bertubuh besar
bermata buta yang bukan lain memang
Gendeng Panuntun adanya.
"Ah. Nama bagus. Tentu kau banyak
mendapat rezeki bagus pula! Tapi...."
Gendeng Panuntun menggantung ucapannya,
membuat si pemuda yang bukan lain memang
Malaikat Penggali Kubur cepat menyahut.
"Tapi apa?!"
"Aku melihat kabut menghalangi
langkahmu!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa
pendek dengan bibir menyeringai. Seraya
arahkan pandangannya pada jurusan lain dia
berkata.
"Orang buta kadang-kadang ucapannya
aneh. Aku yang tidak buta saja tidak
melihat kabut, bagaimana mungkin orang tua
seperti mu melihat kabut?!»
Gendeng Panuntun balik tertawa
pendek. "Anak muda. Bentuk mata kita
berbeda. Jadi jangan heran jika pandangan
kita juga jadi berbeda! Kau bisa melihat
apa yang tak bisa kulihat, tapi kau tak
bisa melihat apa yang bisa kulihat! Dan
jangan lupa, penglihatan orang sepertiku
kadangkala lebih tajam dari penglihatan
orang bermata biasa...."
"Katakan padaku, kabut apa yang
menghalang langkahku!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala.
"Anak muda. Seperti ucapanku tadi, namamu
bagus, rezekimu juga bagus. Tapi karena
ada penghalang, pada akhirnya kau tidak
akan mendapat apa-apa!"
Malaikat Penggali Kubur terdiam
beberapa saat mendengar ucapan Gendeng
Panuntun. Entah karena apa, mendadak
pemuda ini merasa dadanya berdebar. Namun
pemuda ini tidak begitu saja pertu-rutkan
ucapan orang. Seraya tersenyum aneh, dia
berkata dengan nada sedikit keras.
"Orang tua! Kau mengatakan rezekiku
bagus.
Coba katakan, rezeki apa yang kau
maksud!"
Gendeng Panuntun geleng-gelengkan
kepala. "Tidak Anak muda. Aku tidak mau
usil beberkan rezeki orang. Apalagi rezeki
itu (tak layak didengar orang lain."
Malaikat Penggali Kubur makin tidak
enak perasaan. Namun karena penasaran dia
segera berucap.
"Orang tua! Kaiau kau tidak mau
disebut pembual besar, katakan apa yang
kau maksud dengan rezeki bagus itu! Di
sini tidak ada orang lain, jadi jangan
berdalih!"
Kembali kepala Gendeng Panuntun
bergerak menggeleng. "Anak muda. Tidak
baik membuka aib orang. Aku malu, apalagi
nanti jika kau mendengarnya! Harap jangan
memaksakan diri ingin tahu.... Karena kau
telah tahu!"
"Orang tua!" kata Malaikat Penggali
Kubur membentak. "Jangan membuat
kesabaranku habis. Kau tak perlu malu. Aku
juga tak merasa malu mendengarnya! Lekas
katakan!"
"Hemm... kau mau pegang kata-katamu,
Anak muda?"
"Jangan banyak mulut lagi!" sentak
Maiaikat Penggali Kubur tak sabar.
"Baiklah. Aku hanya turuti
kemauanmu...," kata Gendeng Panuntun pada
akhirnya. Tangan kanannya bergerak
mengusap-usap cermin, lalu mulutnya
membuka berucap.
"Kau baru saja mendapat rezeki bagus,
karena mendapatkan sesuatu yang tersimpan
selama puluhan tahun lamanya. Lebih dari
itu, sesuatu itu menunjukkan tempat yang
saat ini banyak dibicarakan kahngan orang-
orang yang menamakan diri sebagai orang
persilatan. Hanya karena kau mendapat-
kannya dengan cara tidak wajar, kelak
aku menduga kau tidak akan mendapatkan
apa-apa! Tapi Ingat. Itu bukan karena
perbuatanmu, melainkan karena kau bukan
orang yang ditentukan untuk mendapatkan-
nya...."
Paras Malaikat Penggali Kubur kontan
berubah. Matanya terpentang angker dengan
rahang sedikit terangkat. "Gila! Siapa
sebenarnya orang buta ini? Semua ucapannya
benar! Apakah dugaannya juga akan
terbukti?"
Selagi Malaikat Penggali Kubur tegak
dengan dada dibungkus berbagai tanya,
Gendeng Panuntun telah kembali buka mulut.
"Anak muda. Kalau boleh kusarankan.
Kembalikan saja barang tipuan itu! Dan
lebih baik jangan teruskan perjalanan sia-
sia ini!"
Dada Malaikat Penggali Kubur
menggemuruh mendengar ucapan Gendeng
Panuntun. Kalau saja perturutkan
gemuruhnya hawa marah yang menggelegak,
ingin dia bungkam mulut orang di hadapan-
nya, namun Malaikat Penggali Kubur adalah
pemuda licik dan tidak mau begitu saja
percaya pada ucapan orang. Diam-diam
pemuda murid Bayu Bajra ini membatin.
"Orang buta ini bilang aku bukan
orang yang ditentukan untuk mendapatkan.
Pasti yang dimaksud adalah mendapatkan
Kitab Serat Biru! Hemm.... Berarti peta
ini asli adanya dan Kitab Serat Biru
benar-benar ada! Lebih dari itu, pasti ada
orang yang ditentukan mendapatkan kitab
itu! Aku harus tahu siapa adanya orang
itu! Orang ini tentu tahu!"
Berpikir sampai di situ, Malaikat
Penggali Kubur lalu berujar.
"Orang tua. Ucapanmu memang ada
benarnya. Sebaiknya aku memang
mengembalikan barang
yang ada padaku ini, juga memutuskan
perjalanan sampai di sinil"
"Ah, aku gembira mendengar ucapanmu,
Anak mudai"
"Orang tua. Sebelum aku kembalikan
barang ini, lalu pergi tak meneruskan
perjalanan yang kau sebut sia-sia ini,
maukah kau jawab beberapa tanyaku?"
"Hemm...." Gendeng Panuntun bergumam.
"Sebenarnya.... Tapi tak apalah. Silakan
tanya, tapi aku tidak menjamin bisa jawab
semua pertanyaanmu, Anak muda!"
"Kau tadi sebutkan aku bukan orang
yang ditentukan untuk mendapatkannya.
Apakah yang kau maksud Kitab Serat Biru
yang menurut kabar tersimpan dalam Pulau
Biru? Jika aku bukan orang yang
ditentukan, pasti ada orang lain yang
ditentukan mendapatkannya. Siapa dia?!"
Sesaat Gendeng Panuntun tampak
terkejut dengan pertanyaan Malaikat
Penggali Kubur. Namun kejap kemudian dia
tertawa perlahan dan berujar.
"Aku tidak dapat memastikan berupa
apa yang tak bisa kau dapatkan itu!
Tentang siapa orang yang kelak ditentukan
mendapatkannya, aku juga kesulitan untuk
mengetahuinya!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai.
"Kalau kau tidak dapat menjawab tanyaku,
percuma aku turuti saranmu! Aku malah
curiga padamu, jangan-jangan kau punya
urusan yang sama denganku, lalu berpura-
pura jadi tukang bual untuk melapangkan
jalanmu!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak.
"Anak muda! Aku orang buta. Segala yang
ada di muka bumi seindah dan semahal apa
pun harganya tidak akan ada artinya! Kau
paham yang kumaksud bukan?!"
Malaikat Penggali Kubur sengatkan
sepasang matanya menusuk tajam pada kedua
mata Gendeng Panuntun yang berwarna putih
seolah ingin meyakinkan bahwa orang di
hadapannya benar-benar buta.
"Nah, Anak muda. Kita telah banyak
bicara. Sudah saatnya aku lanjutkan
langkahan kaki ini! Selamat jalan...."
Gendeng Panuntun menyisi ke samping,
lalu melangkah hendak tinggalkan tempat
itu. Tapi ternyata Malaikat Penggali Kubur
tidak tinggal diam. Sebelum Gendeng
Panuntun teruskan langkah, dia melompat
dan lagi-lagi tegak dengan sikap meng-
hadang.
"Ada apalagi, Anak muda?" tanya
Gendeng Panuntun sambil hentikan langkah
dan kibas-kibaskan pakaiannya yang
gombrong.
Malaikat Penggali Kubur kepalkan
kedua tangannya dan rahangnya tampak
mengembang dan cepat kerahkan tenaga
dalam, karena bersamaan dengan kibasan
tangan Gendeng Panuntun, pemuda murid Bayu
Bajra ini rasakan sambaran angin deras!
"Orang tua! Kau bisa tinggalkan
tempat ini, tapi sebutkan dulu siapa
orangnya yang kelak mendapatkan kitab
itu!"
"Jangan memaksakan hati, Anak
Muda...."
"Dengar, Orang tua! Kau mau sebutkan
atau nyawamu akan dikubur di sini!" hardik
Malaikat Penggali Kubur.
Gendeng Panuntun tersenyum. "Kau
orang muda yang keras kepala. Baiklah.
Tentang siapa orang yang kelak
mendapatkannya, menurut dugaanku
adalah seorang anak manusia
berkepandaian tinggi dan pukulan sakti
yang kau miliki dapat diatasinya! Orang
itulah yang ditentukan mewarisi apa yang
terpendam dalam Pulau Biru!"
Malaikat Penggali Kubur tegak di atas
tanah dengan sepasang mata berkilat-kilat.
"Jahanam! Siapa yang bisa mengatasi
pukulan sakti 'Tegala Surya'-ku?" desis si
pemuda dengan kepala mendongak dan dahi
mengernyit.
Saat itulah terdengar orang tertawa
panjang. Malaikat Penggali Kubur cepat
sentakkan kepalanya ke depan. Pemuda ini
melengak. Gendeng Panuntun ternyata sudah
berada jauh dari tempatnya berdiri, dan
melangkah perlahan-lahan menuju arah
selatan.
"Hem.... Pasti orang itu bukan orang
yang bisa dipandang enteng.... Kalau mau
ingin kuremukkan mulutnya sekarang juga.
Tapi siapa tahu kelak orang seperti dia
kubutuhkan...," gumam Malaikat Penggali
Kubur seraya kembali tengadah.
Saat itulah mendadak suara tawa
Gendeng Panuntun diputus laksana direnggut
setan! Malaikat Penggali Kubur cepat
arahkan kepalanya kembali. Untuk kedua
kalinya dia terkejut. Sosok Gendeng
Panuntun ternyata sudah lenyap!
Belum hilang rasa kejut Malaikat
Penggali Kubur, tiba-tiba satu deruan
keras terdengar menyambar dari samping. Di
lain kejap satu gelombang angin melanggar
ganas ke arahnya!
TUJUH
SAMBIL kertakkan rahang, cepat
Malaikat Penggali Kubur menyingkir dengan
melompat ke samping, lalu berpaling ke
arah asal datangnya sambaran angin.
Sepasang matanya mendelik menyipit, lalu
bibirnya sunggingkan senyum aneh. Enam
tombak dari tempatnya berdiri murid Bayu
Bajra melihat seorang gadis berwajah
cantik mengenakan jubah warna kuning tegak
dengan sepasang mata memperhatikan tak
berkesip ke arahnya.
Sejenak Malaikat Penggali Kubur
perhatikan tampang si gadis. Lalu
kepalanya mendongak. "Lima belas tahun
lamanya dilatih guru hanya berteman
gelombang pantai. Hem.... Rezekiku memang
bagus. Tanpa bersusah payah mencari,
muncul gadis cantik yang tentu membawa
kehangatan...," desisnya dengan bibir
tersenyum. Namun kejap kemudian senyumnya
pupus saat dia teringat ucapan Gendeng
Panuntun. "Orang tua itu tidak mengatakan
siapa orangnya yang kelak bakal
mendapatkan Kitab Serat Biru. Tapi dia
mengatakan bahwa orang itu dapat mengatasi
pukulanku. Jangan-jangan gadis ini orang
yang dikatakan orangtua itu.... Hemm....
Harus kucoba, apakah dia dapat menangkis
pukulan sakti 'Telaga Surya'-ku!"
Berpikir sampai di sana, Malaikat
Penggali Kubur segera melangkah mendekat.
Sepasang matanya tak berkesip perhatikan
si gadis dari bawah hingga atas.
"Gadis cantik!" teriak Malaikat
Penggali Kubur. "Katakan siapa kau!"
Gadis berjubah kuning tunjukkan
tampang ang-
ker tatkala mendengar dirinya disebut
gadis cantik. Seraya tertawa pendek, dia
berucap dengan suara keras.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu! Yang
jelas aku butuhkan selembar nyawamu!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa
bergelak-ge-lak. "Rupanya kau belum tahu
siapa yang tegak di hadapanmu! Ha... ha...
ha...! Kau butuh nyawaku, heemm....
Bagaimana kalau sebelum kuserahkan nyawaku
padamu, serahkan dulu tubuhmu padaku?!"
Paras wajah gadis berjubah kuning
yang bukan lain adalah Wulandari, salah
seorang murid Dewi Siluman berubah
mengelam. Sepasang matanya mem-beliak.
Seperti dituturkan, Dewi Siluman memerin-
tahkan pada ketiga muridnya untuk
meneruskan perjalanan menuju arah selatan.
Dan harus menyingkirkan siapa saja yang
ditemui di tengah jalan. Wulandari yang
selain itu mendapat tugas mengikuti gerak-
gerik Sitoresmi pada satu tempat
kehilangan jejak Sitoresmi. Hingga
akhirnya dia melanjutkan perjalanan seraya
terus mencari Sitoresmi. Saat itulah dia
mendengar suara orang tertawa. Cepat dia
berkelebat ke arah datangnya suara. Ketika
sampai yang terlihat adalah pemuda
berjubah putih. Wulandari yang tak sabaran
segera saja melompat ke depan begitu
mendengar ucapan Malaikat Penggali Kubur.
Serentak dia buat putaran dengan kaki kiri
terpacak sebagai tumpuan tubuh, sedangkan
kaki kanan lepaskan satu tendangan keras.
Satu gelombang angin menderu mendahului
kaki yang menendang, pertanda tendangan
itu dilepas dengan tenaga dalam kuat!
Malaikat Penggali Kubur tidak membuat
gerakan menghindar, bahkan tidak bergerak
menangkis
ketika tendangan si gadis berada di
hadapannya, hingga mau tak mau tendangan
kaki kanan Wulandari menghantam bahu
kirinya! Bukkk!
Sosok Malaikat Penggali Kubur hanya
bergoyang-goyang dan mundur setengah
langkah. Kejap lain tubuhnya telah tegak
diam.
"Hemm.... Tenaga dalamnya tidak
seberapa! Tapi siapa tahu dia masih
menyimpan tenaga sesungguhnya...," gumam
Malaikat Penggali Kubur dalam hati. Dia
memang sengaja tidak membuat gerakan
menghindar atau menangkis tendangan yang
dilepas gadis berjubah kuning. Dia ingin
tahu sampai di mana tenaga dalam yang
dimiliki si gadis. Dari sana dia mungkin
akan segera bisa menduga apakah orang
kelak dapat mengatasi pukulan saktinya
Telaga Surya'.
"Gadis sialan!" bentak Malaikat
Penggali Kubur dengan bibir tersenyum
aneh. "Kau telah berlaku kurang ajar pada
Malaikat Penggali Kubur. Kalau tadi aku
hanya inginkan tubuhmu, sekarang nyawamu
sekalian!"
Entah karena sadar bahwa pemuda yang
dihadapi memiliki kepandaian yang tidak
sembarangan, Wulandari segera kerahkan
tenaga dalam pada kedua tangannya siapkan
pukulan sakti 'Kabut Neraka'. Dan serta-
merta kedua tangannya disentakkan ke
depan.
Wuuttt! Wuuuttt!
Gelombang kabut berwarna kuning
tampak melesat ke arah Malaikat Penggali
Kubur dengan hamparkan hawa luar biasa
panas.
Di depan sana, Malaikat Penggali
Kubur angkat tangan kirinya yang mengepal.
Lalu sekonyong-konyong tangan kiri itu
bergerak memukul ke depan. Beettt!
Sekejap tampak sinar terang. Kejap
lain terdengar deru hebat yang disusul
dengan menggebraknya gelombang angin luar
biasa dahsyat. Kabut dan hawa panas
pukulan Wulandari tersapu, sesaat kemudian
terdengar ledakan keras mengguncang tempat
itu.
Sosok Wulandari tampak terhuyung-
huyung dan tersapu mundur sampai satu
tombak. Parasnya berubah pucat dengan
mulut mengatup rapat. Tubuhnya bergetar
keras sementara jubah yang dikenakannya
berkibar-kibar.
Di seberang, Malaikat Penggali Kubur
sung-gingkan senyum seringai. Sosoknya
hanya mundur satu langkah. Dari bentrok
pukulan tadi, murid Bayu Bajra ini sudah
dapat menebak jika gadis berjubah kuning
bukankan orang yang ditentukan mendapatkan
Kitab Serat Biru, karena si gadis tidak
dapat menahas pukulan yang dilancarkan,
padahal pukulan itu masih dilancarkan
dengan tangan kiri dan tenaga dalam belum
setengahnya.
Di lain pihak, Wulandari tampak
kertakkan rahang. Setelah dapat kuasai
diri dia cepat arahkan tenaga dalam pada
kedua matanya. Didahului bentakan keras
membahana, sepasang kakinya bergerak
menghentak tanah. Bersamaan dengan itu
dari sepasang matanya yang terpentang
besar melesat sinar berwarna kuning.
Malaikat Penggali Kubur terperangah
kaget. Tanah di hadapan si gadis tampak
membentuk jalur panjang dan rengkah
selebar setengah tombak! Rengkahan itu
terus bergerak cepat ke arahnya!
"Gadis sialan! Benar-benar minta
mampus!" teriak Malaikat Penggali Kubur
lalu mundur dua langkah. Kedua tangannya
dikepalkan lalu dipukulkan ke depan.
Sejurus dari kedua tangan Malaikat
Penggali Kubur tampak sinar terang, lalu
terdengar deru dahsyat yang kemudian
disusul dengan menghamparnya gelombang
angin luar biasa kencang.
Wulandari yang saat itu lepaskan
kilatan 'Sinar Setan' dari kedua matanya
perdengarkan seruan tertahan. Tubuhnya
tampak bergoyang-goyang. Namun kejap
kemudian sosoknya tersapu mental ke
belakang lalu jatuh telentang dengan mulut
keluarkan darah.
Gadis berbaju kuning salah seorang
murid Dewi Siluman ini cepat bergerak
bangkit. Tapi begitu tegak, tubuhnya
limbung dengan kedua kaki melipat. Dan tak
lama kemudian sosoknya jatuh terduduk!
Paras wajah gadis ini semakin pias.
Sementara mulutnya makin banyak keluarkan
darah pertanda dia terluka bagian dalam.
Dan ketika Wulandari meneliti, gadis ini
tersentak. Jubah kuningnya robek besar di
bagian depan dan hangus!
Di seberang, meski sosok Wulandari
mencelat mental terhantam pukulan 'Telaga
Surya', namun kilatan Sinar Setan yang
dilepaskannya melesat ke atas tanah dan
terus melabrak ke arah Malaikat Penggali
Kubur. Jalur rengkahan tanah bergerak ce-
pat laksana alunan gelombang ombak. Dan
saat sosok Wulandari mental, rengkahan
tanah telah sampai ke Malaikat Penggali
Kubur dan perdengarkan gelegar hebat!
Malaikat Penggali Kubur segera
berkelebat selamatkan diri. Tapi tak urung
kakinya tersambar pukulan Wulandari.
Malaikat Penggali Kubur terlihat
sunggingkan senyum tatkala kakinya tak
mengalami cedera. Tapi kejap kemudian dia
merasakan perubahan pada kedua kakinya.
Hawa luar biasa panas perlahan-lahan
merasuki tubuh bermula dari kedua kakinya.
Ketika dia meneliti kembali, sepasang ma-
tanya membelalak besar. Ternyata kedua
kakinya mulai mengembung dan panas laksana
dipanggang bara!
"Benar-benar gadis keparat!" maki
Malaikat Penggali Kubur. Lalu cepat
kerahkan tenaga dalam dan menotok jalur
darah pada kedua kakinya. Perlahan-lahan
gembungan pada kedua kakinya mengempis
meski rasa panas masih terasa.
Tatkala Malaikat Penggali Kubur
kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi
cedera pada kakinya, di seberang sana
Wulandari cepat lemparkan sesuatu ke
udara. Di atas sana mendadak tampak sinar
terang berwarna kuning.
"Apa yang dilakukan gadis jahanam
itu?!" desis Malaikat Penggali Kubur
sambil angkat kepalanya. "Hem.... Mungkin
itu satu isyarat menunjukkan di mana dia
berada!" Malaikat Penggali Kubur sung-
gingkan senyum aneh. Lalu gerakkan tubuh.
Dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dengan
kepala tengadah lima langkah di hadapan
Wulandari!
Di hadapannya, Wulandari yang baru
saja memberi isyarat segera kerahkan sisa
tenaga dalamnya.
"Kalau mulutmu tak bicara muluk di
hadapan Malaikat Penggali Kubur, tentu kau
tak akan mengalami nasib buruk!" kata
Malaikat Penggali Kubur lalu luruskan
kepalanya ke arah Wulandari.
"Jangan kira aku telah kalah!" sentak
Wulandari dengan mata menatap tajam.
Malaikat Penggali Kubur tertawa
gelak-gelak. "Aku ingin tahu, apakah
ucapanmu benar!"
Habis berkata begitu, tangan kanan
Malaikat Penggali Kubur tampak terangkat
ke atas membuat Wulandari katupkan mulut
rapat-rapat dengan kuduk merinding. Gadis
ini sadar, sisa tenaga dalamnya tidak
mungkin bisa menahan pukulan si pemuda
«palagi dirinya telah terluka. Tapi gadis
berjubah kuning ini tidak mau begitu saja
menyerah. Saat dilihatnya tangan kanan
Malaikat Penggali Kubur terangkat, dia
sentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'. Namun karena keadaannya
udah terluka, lesatan kabut yang
keluar dari kedua tangannya kalah cepat
dengan gelombang angin dahsyat yang
menggebrak dari tangan kanan Malaikat
Penggali Kubur, membuat Wulandari hanya
bisa b rteriak tanpa bisa membuat gerakan
menghindar!
Sesaat lagi gelombang angin dahsyat
pukulan Malaikat Penggali Kubur melabrak
sosok Wulandari yang tak bisa menghindar,
mendadak terdengar satu teriakan yang
disusul dengan terdengarnya deruan keras.
Malaikat Penggali Kubur merasakan ada
sambaran angin deras memangkas pukulannya,
tidak saja membuat gelombang angin
pukulannya melenceng namun juga sempat
membuat sosoknya terjajar dua langkah!
Selagi Malaikat Penggali Kubur hendak
berpaling ke arah datangnya gelombang
angin yang memangkas pukulannya, terdengar
lagi satu bentakan lalu terdengar orang
bantingkan kaki ke atas tanah. Kejap lain
tiba-tiba satu sinar biru menggebrak ke
arahnya dengan didahului rengkahnya tanah
di hadapan si pemuda murid Bayu Bajra ini!
Tahu gelagat buruk, Malaikat Penggali
Kubur tak mau lagi bertindak ayal. Sebelum
rengkahan tanah sampai, dia cepat jatuhkan
diri bergulingan. Pada gulingan kelima,
kedua tangannya segera lepaskan pukulan.
Sinar terang yang hanya sekejap
tampak berkiblat. Lalu disusul
menggebraknya gelombang angin dahsyat,
pertanda Malaikat Penggali Kubur telah
lepaskan kembali pukulan 'Telaga Surya'.
Tiba-tiba dari arah seberang
terdengar orang memekik. Lalu tampak satu
sosok mental sejauh dua tombak ke belakang
dan bergedebukan di atas tanah.
Malaikat Penggali Kubur cepat
bergerak bangkit. Lalu berkelebat ke
depan.
Di depan sana satu sosok biru tampak
menggeliat. Lalu bergerak-gerak akan
bangkit. Tapi gerakan tubuhnya tertahan
tatkala mendadak satu telapak kaki dari
sosok berjubah putih menekan bagian pe
rutnya, membuat sosok biru tak mampu
berbuat banyak.
Orang yang menekankan satu kakinya ke
perut sosok biru yang bukan lain adalah
Malaikat Penggali Kubur sejenak pentangkan
sepasang matanya perhatikan orang di
bawahnya yang tak bisa bergerak.
Ternyata orang itu adalah seorang
gadis berparas cantik mengenakan jubah
besar warna biru. Rambutnya sebatas bahu
dengan mata bulat.
"Hem.... Melihat wajah dan pakaian
yang dikenakan, berat dugaan dia masih ada
hubungan dengan gadis berjubah kuning
itu!" kata Malaikat Penggali Kubur lalu
berpaling ke samping.
Sejarak lima belas langkah dari
tempatnya terlihat Wulandari tergeletak
dengan napas megap-megap dan mulut
keluarkan erangan. Gadis berjubah kuning
ini sosoknya mencelat saat pukulan orang
dari arah samping sempat menyambar
tubuhnya.
"Keparat! Angkat kakimu!" Mendadak
ada suara dari bawah, membuat Malaikat
Penggali Kubur menoleh namun tak juga
angkat kakinya dari perut sigadis.
“Hmm... Kukira kau sudah mampus tak
bisa bicara” ucap Malaikat Penggali Kubur
seraya sunggingkan senyum.
Gadis berjubah biru yang perutnya
ditekan kaki Malaikat Penggali Kubur, dan
bukan lain adalah Ayu Laksmi angkat tangan
kanan kirinya. Serta-merta dia pukulkan
kedua tangannya ke arah kaki Malaikat
Penggali Kubur.
Tapi setengah jalan, Malaikat
Penggali Kubur membuat gerakan dua kali.
Bukkk! Bukkk!
Kedua tangan Ayu Laksmi mental balik
menghantam tanah, dan bersamaan dengan itu
sosoknya mencelat lalu terkapar lima
langkah dari tempatnya semula.
Wulandari yang telah bisa bangkit
duduk segera keluarkan pekikan saat
melihat sosok Ayu Laksmi mencelat terkena
tendangan kaki Malaikat Penggali Kubur.
"Setan alas! Siapa kau?!" teriak Ayu
Laksmi begitu bangkit duduk seraya
pelototkan mata ke arah Malaikat Penggali
Kubur.
Yang ditanya menjawab dengan tertawa
bergelak dan melangkah mendekat, membuat
Ayu Laksmi cepat salurkan tenaga dalamnya.
Namun gadis berjubah biru yang juga salah
satu murid Dewi Siluman ini tersentak.
Kedua tangannya seraya lunglai. Dan ketika
dia meneliti ternyata kedua tangannya
telah berubah warna menjadi kehitaman!
Dua langkah di hadapan Ayu Laksmi,
Malaikat Penggali Kubur berhenti. Menatapi
sejenak sekujur tubuh si gadis, iaiu
berujar dengan senyum aneh.
"Bila ingin tahu siapa yang berdiri
di hadapanmu, nanti bisa kau tanyakan pada
gadis sialan berjubah kuning itu. Kau
dengar?! Sekarang aku tanya siapa kau?!"
"Aku tak mau jawab pertanyaanmu!"
jawab Ayu Laksmi dengan balas menatap.
"Baik. Kau dan gadis berjubah kuning
itu sama sialnya! Kau tak mau beri
keterangan, berarti minta dipercepat untuk
mampus!"
Habis berkata begitu, Malaikat
Penggali Kubur angkat kedua tangannya.
"Masih ada kesempatan untuk bicara!"
ujar Malaikat Penggali Kubur.
"Jangan kira aku takut dengan
gertakanmu!" kata Ayu Laksmi dengan
salurkan tenaga dalamnya pada sepasang
matanya siap lepaskan pukulan 'Sinar
Setan'. Namun gadis ini tampak bingung,
karena jika hendak lepaskan pukulan sakti
'Sinar Setan' terlebih dahulu sepasang
kakinya harus menggebrak tanah. Sedangkan
dia kini dalam posisi duduk.
Sementara di hadapannya, pelipis
kanan kiri Malaikat Penggali Kubur
bergerak-gerak, rahangnya mengembang dan
terangkat pertanda amarahnya telah sampai
pada puncak.
"Jahanam! Kenapa hanya berani
turunkan tangan maut pada orang tak
berdaya?!" Tiba-tiba dari arah samping
terdengar ucapan.
Malaikat Penggali Kubur tengadahkan
kepala. Jari telunjuknya bergerak lurus ke
arah Wulandari yang baru saja keluarkan
ucapan.
"Tutup mulutmu, Gadis Sialan! Habis
gadis ini, baru kau menyusul!"
Habis berucap begitu tangannya yang
menunjuk pada Wulandari cepat ditarik
pulang. Sosoknya lantas berkelebat. Dan
tahu-tahu tubuhnya telah dua langkah di
belakang Ayu Laksmi. Seraya menyeringai,
kedua tangannya bergerak lepaskan jotosan
ke arah kepala Ayu Laksmi
Wulandari perdengarkan seruan
tertahan. Sementara Ayu Laksmi yang
kebingungan untuk lepaskan pukulan 'Sinar
Setan' segera gulingkan tubuh alamatkan
diri. Namun gadis berjubah biru ini jadi
tercekat, karena baru saja hendak bangkit,
dua tangan telah melabrak ganas ke arah
kepalanya! Namun gadis ini tak mau
menyerah begitu saja, dia segera pula
angkat kedua tangannya.
Namun gerakan kedua tangan Ayu Laksmi
tertahan tatkala dari arah samping
melabrak sinar hitam pekat yang kemudian
disusul dengan datangnya gelombang angin
dahsyat dari seberang.
Sinar hitam dan gelombang yang datang
dari dua arah ini langsung memangkas
gerakan kedua lengan Malaikat Penggali
Kubur.
Malaikat Penggali Kubur tarik kedua
tangannya, lalu membuat gerakan berputar
sambil melompat mundur. Belum sampai
kakinya menginjak tanah, kedua tangannya
telah lepaskan pukulan!
Bummm! Buummm!
Dua ledakan keras segera mengguncang
tempat itu tatkala pukulan Malaikat
Penggali Kubur bentrok dengan dua pukulan
yang tadi memangkas gerakan tangannya yang
hendak menghantam rengkah kepala Ayu
Laksmi.
DELAPAN
TANAH terlihat muncrat menghalangi
pandangan. Dan samar-samar di antara
pekatnya suasana taburan tanah, sosok Ayu
Laksmi yang dekat dengan terjadinya
ledakan mencelat lalu Jatuh bergulingan.
Sedangkan sosok Malaikat Penggali Kubur
terjajar lima langkah. Terhuyung-huyung
sebentar, namun cepat membuat gerakan
melejit satu tombak ke udara dan melayang
turun dengan kaki terpentang dan sosok
tegak!
Pada saat bersamaan, terdengar suara
bergemeretakan dan hentakan kaki kuda.
Ketika Malaikat Penggali Kubur berpaling,
tampak sebuah kereta bergerak ke arahnya.
Di atas bangku kusir tampak duduk
seorang kakek berwajah pucat dan tirus.
Sepasang matanya besar masuk ke dalam
lipatan rongga yang besar dan dalam.
Rambutnya putih panjang disanggul ke atas.
Kakek kusir ini mengenakan jubah besar
berwarna hitam. Sebelah tangannya tampak
memegang tali kekang kuda penarik kereta
sedangkan tangan sebelahnya lagi masuk ke
dalam saku jubahnya.
Di belakang tempat duduk kusir tampak
sebuah peti persegi panjang dari kayu
berwarna putih mengkilat, membuat Malaikat
Penggali Kubur yang tegak mengawasi
pentangkan sepasang matanya. Bukan pada
peti di bagian belakang karena melainkan
pada sosok yang tegak dengan kepala
tengadah dan tangan merangkap di depan
dada di atas peti!
Sosok yang tegak tengadah di atas
peti adalah seorang perempuan berambut
pirang. Mengenakan jubeh panjang sebatas
lutut. Kedua tangannya yang
merangkap di depan dada terlihat
dibungkus dengan sarung tangan dari kulit
yang juga berwarna hitam. Perempuan ini
tak bisa diduga umurnya, karena mengenakan
cadar hitam menutupi wajahnya. Dari wajah
yang tertutup cadar itu yang tampak ha-
nyalah sepasang matanya yang tajam
menyengat dan berbulu lentik!
"Heran. Suara gemeretak roda kereta
dan ladam kak! kuda sebelumnya tidak
terdengar. Tapi tiba-tiba muncul di sini!
Dan pasti yang memangkas pukul-anku tadi
adalah salah seorang atau kedua-duanya
orang di atas kereta itu! Hemm.... Siapa
mereka ini? Apakah masih ada sangkut-
pautnya dengan kedua gadis itu?!" Diam-
diam Malaikat Penggali Kubur menduga-duga
dengan sepasang mata tak beranjak
memandangi kedua orang silih berganti di
atas ketela.
"Hemmm.... Di tempat ini ternyata
telah banyak manusia berkeliaran. Pasti
mereka memburu Kitab Herat Biru!
Seandainya orang tua bermata buta itu
aebutkan dengan jelas manusia yang kelak
mendapatkan kitab itu, aku tidak usah
bersusah-susah mencari tahu dengan
lepaskan pukulan ‘Telaga Surya'! Tapi apa
boleh buat. Aku harus coba semua orang
yang kutemui dengan pukulan 'Telaga
Surya', karena hanya orang yang dapat
menahan pukulanku Itulah ciri orang yang
kelak mendapatkan kitab itu!"
"Orang di atas kereta!" teriak
Malaikat Penggali Kubur setelah untuk
beberapa saat diam berpikir. “Sebutkan
diri kalian! Juga katakan apa sangkut-paut
kailan dengan dua gadis sialan itu!"
"Anak muda!" Yang menjawab adalah
kakek yang duduk di bangku kusir kereta.
"Kau belum layak tahu siapa kami! Juga tak
pantas tahu apa sangkut-paut kami dengan
kedua gadis itu! Yang layak dan pantas
bagimu menerima kematian!"
Meski nada suara si kakek terdengar
pelan, namun mampu menusuk gendang
telinga! Hal ini menyadarkan pemuda murid
Bayu Bajra ini bahwa orang di atas kereta
memiliki tenaga dalam tinggi. Namun karena
merasa dirinya berbekal ilmu kepandaian,
juga karena ingin coba orang apakah mampu
menangkis pukulan 'Telaga Surya'-nya untuk
mencari tahu orang yang kelak mendapatkan
Kitab Serat Biru, Malaikat Penggali Kubur
tidak unjukkan paras takut. Dia tetap
memandang tajam tak berkeslp, malah kini
bibirnya sunggingkan senyum aneh!
"Kakek!" kata Malaikat Penggali
Kubur. "Sebelum bicara soal kematian,
pasang mata baik-baik dan lihat dulu apa
akibatnya jika ngomong semba-rangan di
hadapanku!"
Sambil berkata, telunjuk Malaikat
Penggali Kubur mengarah silih berganti
pada sosok Ayu Laksmi dan Wulandari yang
masih tak bisa bangkit berdiri.
Kakek di atas kereta tertawa panjang.
"Anak muda! Buka matamu besar-besar! Kami
bukan mereka!"
"Ki Buyut!" Tiba-tiba terdengar orang
di belakang kakek kusir berucap. "Jangan
terlalu banyak bicara!"
Sebelum ucapan orang perempuan
berjubah dan bercadar hitam yang bukan
lain adalah Dewi Siluman selesai, kakek
kusir yang dipanggil KI Buyut dan memang
Ki Buyut Pagar Alam adanya lepaskan tali
kekang kereta dan goyangkan bahunya.
Malaikat Penggali Kubur tampak tersirap
kaget, karena kakek berjubah hitam kusir
kereta itu teiah tidak ada lagi di bangku
kusir! Yang masih tampak adalah perempuan
berjubah dan bercadar hitam yang tetap
tegak di atas peti.
"Heemmm...," Malaikat Penggali Kubur
bergumam. Lalu bola matanya berputar liar.
Namun pemuda ini tidak mengetahui di mana
beradanya si kakek. Entah karena khawatir,
dia segera palingkan kepala ke samping
kanan.
Saat itulah dari arah samping kiri
Malaikat Penggali Kubur mendengar suara
orang tertawa pelan. Secepat kitei
Malaikat Penggali Kubur tarik pulang
kepalanya disentakkan ke samping kiri.
Tujuh langkah dari tempatnya tegak,
terlihat kakek berjubah hitam berdiri
dengan kedua tangan masuk ke dalam saku
jubahnya.
"Kau mencariku?!" kata Ki Buyut Pagar
Alam dengan sunggingkan senyum.
Meski terkejut, namun Malaikat
Penggali Kubur segera dapat kuasai diri.
Bahkan dia cepat pula sunggingkan senyum
seraya menggeleng dan berkata.
"Orang berbau mayat tak perlu dicari!
Dia akan datang sendiri!"
"Hemm.... Begitu? Mau sebutkan dulu
siapa kau sebelumnya...."
"Aku Malaikat Penggali Kubur!" tukas
si pemuda sebelum ucapan Ki Buyut selesai.
"Gelaran indah!" ujar Ki Buyut tanpa
sedikit pun tampakkan rasa kaget. "Hanya
sayang tidak seindah nasib penyandangnya!
Kasihan....!
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur
mem-beliak angker. Mulutnya membuka hendak
bicara, tapi sebelum terdengar ucapannya,
Ki Buyut Pagar Alam teiah menyambung kata-
katanya.
"Mendengar gelaran yang kau sandang,
tentu kau anak manusia yang baru saja
berpijak di atas rimba persilatan! Melihat
kemunculanmu di tempat ini, berat dugaan
kau salah seorang yang kini sedang memburu
barang sakti! Betul?!"
Malaikat Penggali Kubur alihkan
pandangannya dengan seringai buruk.
"Kau tak berhak mendengar jawaban
dari mulutku! Kau nanti bisa cari jawaban
di liang kubur!"
"Baiklah. Aku akan cari jawaban di
sana, tapi kau harus tunjukkan dulu
jalannya!"
"Kuturuti ucapanmu!" sentak Malaikat
Penggali Kubur seraya meloncat ke arah Ki
Buyut Pagar Alam. Kedua tangannya seketika
bergerak lepaskan satu pukulan.
Ki Buyut Pagar Alam hanya melihat
kelebatan G in menderunya gelombang angin.
Kejap lain tahu-tahu kedua tangan Malaikat
Penggali Kubur telah berada dua jengkal di
depan kepalanya!
Ki Buyut Pagar Alam tarik pulang
sedikit kepalanya ke belakang. Bersamaan
dengan itu tangan kanannya yang masuk ke
dalam saku jubahnya berkelebat ke atas.
Bukkk! Buukkk!
Sepasang tangan Malaikat Penggali
Kubur beradu dengan tangan kanan Ki Buyut.
Malaikat Penggali Kubur tampak kernyitkan
kening dan buru-buru tarik pulang kedua
tangannya. Lalu membuat putaran dengan
kaki kanan langsung lepas satu tendangan.
Ki Buyut Pagar Alam tak menangkis
tendangan kaki Malaikat Penggali Kubur.
Malah ia masukkan tangan kanannya kembali
ke dalam saku jubahnya. Lalu dengan
busungkan dada dan menatap tajam dia tegak
menunggu.
Buukkk!
Kaki kanan Malaikat Penggali Kubur
telak
menghantam dada Ki Buyut Pagar Alam.
Namun pemuda ini terkesiap. Sosok si kakek
tidak bergeming dari tempatnya! Malah
sesaat kemudian perdengarkan tawa panjang!
"Anak muda! Inikah jalan yang kau
katakan itu?!" ujar Ki Buyut, lalu kembali
tertawa mengekeh.
Malaikat Penggali Kubur diam-diam
menindih rasa kejut. Kalau orang bisa
menahan tendangan kakinya yang bukan
tendangan biasa, bisa dibayangkan
bagaimana daya tahan orang itu. Tapi
Malaikat Penggali Kubur tidak begitu saja
mudah terkecoh. Meski orang dapat menahan
tendangan kakinya belum tentu orang itu
bisa membendung pukulan Telaga Surya'-nya.
Berpikir sampai di sana, Malaikat
Penggali Kubur cepat kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Lalu diangkat ke
atas dan serta-merta dipukulkan dengan
telapak mengepal ke arah Ki Buyut.
Sinar terang sekejap tampak berkiblat
pertanda murid Bayu Bajra ini hendak
lepaskan pukulan Telaga Surya'.
DI depannya, Ki Buyut Pagar Alam
tampak kenakan dahi. Sepasang matanya tak
berkesip mem-11 rhatikan Malaikat Penggali
Kubur.
"Tunggu!" Mendadak Ki Buyut berseru.
"Anak ujda! Apa hubunganmu dengan Bayu
Bajra?!"
Dengan tangan masih di atas dan siap
teruskan h paskan pukulan, Malaikat
Penggali Kubur tersenyum aneh. Lalu
berucap.
"Aku Malaikat Penggali Kubur! Tak ada
hubung-ngan siapa pun! Dengar?!"
“Heemm.... Selama aku malang
melintang dalam ih iba persilatan, orang
yang kuketahui memiliki pukulan seperti
pemuda ini adalah Bayu Bajra! Pasti pemuda
ini masih ada hubungan dengan tokoh itu.
Hemm.... Bayu Bajra adalah adik kandung
Dewa Sukma. Sementara Dewa Sukma adalah
pemegang penggalan peta itu. Jangan-jangan
pemuda Ini...," Ki Buyut Pagar Alam
manggut-manggurt.
Saat itulah mendadak Malaikat
Penggali Kubur sentakkan kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuttt!
Cahaya terang berkiblat sekejap,
disusul dengan deruan keras dan
menggebraknya gelombang angin luar biasa
dahsyat!
Seakan tahu kehebatan pukulan si
pemuda, begitu deruan keras terdengar, Ki
Buyut cepat keluarkan kedua tangannya lalu
diangkat sejajar dada. Kejap lain kedua
tangannya didorong ke depan.
Tidak ada sambaran angin, juga tidak
terdengar deruan, namun pada saat
bersamaan, gelombang angin dahsyat pukulan
Malaikat Penggali Kubur laksana disedot
kekuatan dahsyat, dan perlahan-lahan
gelombang angin itu mengarah pada kedua
tangan Ki Buyut.
Malaikat Penggali Kubur sesaat jadi
terkesiap melihat bagaimana pukulannya
tersedot hendak masuk ke tangan lawan.
Selain itu diam-diam pula dia terkejut
mengetahui si kakek mengenali Bayu Bajra
yang bukan lain adalah gurunya.
Merasa gelagat buruk, Malaikat
Penggali Kubur cepat lipat gandakan tenaga
dalamnya. Sosok pemuda ini terlihat
bergetar keras pertanda dia kerahkan
segenap tenaga dalamnya. Dan untuk kedua
kalinya Malaikat Penggali Kubur pukulkan
kedua tangannya lepaskan pukulan Telaga
Surya'.
Mendapati hal demikian, Ki Buyut
Pagar Alam tidak tinggal diam. Dia segera
sentakkan kedua tangannya, hingga
gelombang angin dahsyat pukulan Telaga
Surya' Malaikat Penggali Kubur yang per-
tama tertahan dan kejap kemudian berbalik
dan kini memapak pukulan Telaga Surya'
yang dilepas Malaikat Penggali Kubur untuk
yang kedua kalinya.
Belum sampai dua pukulan 'Telaga
Surya' itu bentrok di udara, mendadak dari
arah kereta terdengar suara bentakan. Lalu
terlihat cahaya hitam menggebrak setelah
terlebih dahulu membuat tanah rengkah
membentuk jalur panjang!
Bummm! Bummm! Bummm!
Tiga ledakan berturut-turut membuat
tempat itu laksana dihantam gempa hebat.
Sosok Ki Buyut Pagar Alam tampak
terhuyung-huyung hendak jatuh. Namun
sebelum kakinya melipat, bahunya bergerak
dua kali. Kejap itu juga tubuhnya laksana
mental. Membumbung ke udara setinggi dua
tombak. Tanpa membuat gerakan berputar,
kakek ini melayang turun dan menjejak
tanah dengan kaki tegak dan kedua tangan
masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
Di seberang, sosok Malaikat Penggali
Kubur tampak terjengkang dan terkapar di
atas tanah dengan mulut keluarkan darah.
Jubah putihnya berubah menjadi kehitaman
hangus. Namun pemuda ini segera bangkit
tatkala yakin bahwa luka dalamnya tidak
begitu parah.
Tapi baru saja tubuhnya tegak, satu
bayangan hitam berkelebat dan belum sempat
pemuda ini membuat gerakan, satu tendangan
keras menghantam dadanya.
Bukkk!
Malaikat Penggali Kubur berseru
tertahan. Tubuhnya tersapu sampai dua
tombak ke belakang.
Meski murid Bayu Bajra ini mampu
bertahan tidak sampai roboh namun tak
urung dadanya terasa sesak dan sesaat
kemudian dia batuk-batuk sebelum akhirnya
meludah keluarkan darah hitam!
"Jahanam keparat!" maki Malaikat
Penggali Kubur sambil usap-usap dadanya
dan berpaling ke samping kanan. Sejarak
tiga tombak, tampak perempuan berjubah dan
bercadar hitam tegak dengan kedua tangan
tetap melipat di depan dada.
"Hem.... Orang-orang ini memang mampu
menangkis pukulanku. Tapi belum bisa
kupastikan apakah dapat mengatasi
pukulanku! Mereka hanya menangkis dengan
mengembalikan pukulanku! Berarti bukan
orang-orang ini yang kelak mendapatkan ki-
tab itu! Kalau kuteruskan urusan ini,
perjalananku akan tertunda. Dan bukan tak
mungkin ada orang yang mendahului! Hemm
... Daripada berurusan dengan orang-orang
tak berguna, lebih baik aku teruskan
perjalanan!"
"Kalian dengar!" kata Malaikat
Penggali Kubur. "Urusan ini belum selesai!
Kelak Malaikat Penggali Kubur akan mencari
kalian!"
Habis berkata begitu, Malaikat
Penggali Kubur putar diri. Namun gerakan
tubuhnya yang hendak berkelebat tinggalkan
tempat itu tertahan ketika De wi Siluman
tiba-tiba perdengarkan tawa panjang yang
mendadak pula diputus.
"Urusan memang belum selesai. Dan tak
ada waktu lagi kelak!"
Dewi Siluman angkat kedua tangannya,
sementara sepasang kakinya dibantingkan ke
tanah. Pertanda perempuan berjcbah dan
bercadar hitam ini siap iepaskan pukulan
'Kabbt Neraka' sekaligus dengan pukulan
'Sinar Setan!
Namun sebelum sempat lepaskan
pukulan, Ki Buyut telah berkelebat dan
mencekal kedua tangan Dewi Siluman.
"Dewi....Tahan pukulan. Kita memer
lukan pemuda itu!" bisik Ki Buyut Pagar
Alam.
Dewi Siluman berpaling dengan
mendengus. "Apa maksudmu Ki Buyut?!"
"Biarkan dia pergi dulu!" ujar Ki
Buyut Pagar Alam seraya terus pegangi
kedua tangan Dewi Siluman. Meski menahan
rasa geram, tapi akhirnya Dewi Siluman
turuti ucapan si kakek.
Sementara di depan sana, begitu tak
ada pukulan atau ucapan lagi, Malaikat
Penggali Kubur teruskan berkelebat
tinggalkan tempat itu.
"Dewi...," kata Ki Buyut Pagar Alam
setelah Malaikat Penggali Kubur berlalu.
"Aku yakin pemuda itu masih ada hubungan
dengan Bayu Bajra. Sedangkan Bayu Bajra
adalah adik kandung Dewa Sukma, orang yang
memegang penggalan peta yang berhasil Dewi
rebut. Kalau dia sampai di daerah sini,
tidak tertutup kemungkinan dia memegang
peta menuju arah Pulau Biru!"
"Hemm.... Lalu?!" tanya Dewi Siluman
dengan sepasang mata memandang ke arah
mana Malaikat Penggali Kubur berkelebat.
"Kita ikuti pemuda itu! Kereta kita
serahkan pada Wulandari dan Ayu Laksmi!"
Tanpa menunggu ucapan Dewi Siluman,
Ki Buyut Pagar Alam melesat ke arah
Wulandari yang masih terduduk.
"Ki Buyut...," kata Wulandari dengan
suara pelan. Ki Buyut Pagar Alam tidak
buka mulut. Kakek ini hanya ulurkan
kantong kecil ke arah Wulandari yang
segera disambut oleh gadis berjubah kuning
ini.
"Telan obat di dalam kantong ini dua
butir. Ayu Laksmi juga beri dua butir.
Setelah itu kalian bawa kereta menuju
tempat yang telah ditentukan!"
Habis memberikan kantong, Ki Buyut
Pagar Alam kembali berkelebat mendekat
Dewi Siluman. Dewi. Kita harus bergerak
cepat!"
"Hemm.... Aku heran. Dua kali ini
Sitoresmi tak kutemui bersama dua saudara
seperguruannya! Jangan-jangan anak itu
berlaku bodoh!" kata Dewi Siluman sambil
melirik ke arah Wulandari.
"Dewi.... Itu bisa kita urus
belakangan! Ini kesempatan baik. Kalau
dugaanku tidak meleset, tanpa harus
mencari penggalan sisa, kita bisa sampai
ke Pulau Biru!"
"Tapi...."
"Dewi!" tukas Ki Buyut Pagar Alam.
"Urusan yang kita hadapi membutuhkan gerak
cepat. Siapa yang pandai manfaatkan
situasi dan waktu dialah yang akan
berhasil! Sekali kesempatan lolos, kita
akan kecewa!"
Tanpa pedulikan Dewi Siluman yang
masih tegak berpikir, Ki Buyut Pagar Alam
telah berkelebat mendahului ke arah mana
Malaikat Penggali Kubur pergi.
Meski masih diliputi tanda tanya
dengan dugaan Ki Buyut Pagar Alam, namun
sesaat kemudian Dewi Siluman juga
berkelebat menyusul.
Tak berapa lama setelah Dewi Siluman
dan Ki Buyut Pagar Alam pergi, Wulandari
tampak bergerak bangkit, lalu melangkah ke
arah Ayu Laksmi. Gadis berjubah kuning ini
segera berikan dua butir obat pada Ayu
Laksmi. Lantas menolong gadis berjubah
biru itu untuk bergerak bangkit dan
menuntunnya ke arah kereta.
Tak berselang lama, di tempat itu
terdengar gemeretak roda kereta ditingkah
suara derap ladam kaki kuda. Kereta yang
tadi dikusiri oleh Ki Buyut Pagar Alam itu
kini bergerak ke arah selatan dengan
dikusiri oleh Wulandari, sementara Ayu
Laksmi tampak duduk di sebelahnya dengan
sesekali mengusap dadanya.
SEMBILAN
MATAHARI telah tenggelam di ujung
laut sebelah barat ketika Joko jejakkan
kaki di pesisir Laut Selatan. Namun karena
saat itu rembulan bersinar terang, murid
Pendeta Sinting ini masih dengan jelas
bisa melihat kawasan pesisir laut.
"Peta terakhir yang kuperoleh dari
Dewi Es menunjuk tempat ini. Lalu di situ
tertera perahu. Hem.... Berarti aku harus
menyeberangi laut....11 Joko Sableng
arahkan pandangannya ke tengah laut.
Dari tempatnya berdiri, murid Pendeta
Sinting ini melihat gundukan hitam nun
jauh di tengah laut. Lalu terlihat pula
kelap-kelip perahu nelayan di seberang.
"Pulau Biru.... Dalam situasi begini,
sulit menentukan di mana pulau itu berada.
Terpaksa aku harus menunggu sampai suasana
terang. Sementara menunggu waktu, aku akan
membuat rakit...."
Ketika ujung laut di sebelah timur
terlihat mulai agak terang berwarna
kekuningan pertanda sang matahari tak lama
lagi akan muncul menerangi hamparan bumi,
tampak sebuah rakit meluncur deras
membelah ombak Laut Selatan.
Tegak di atas rakit adalah seorang
pemuda .berpakaian putih rambut panjang
diikat dengan ikat kepala warna putih. Di
tangannya tampak sebatang kayu yang
sesekali diayunkan ke dalam air laut.
"Meski belum dapat kupastikan mana
Pulau Biru, tapi aku akan menuju salah
satu pulau itu!" kata sang pemuda yang
bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul
131 seraya arahkan pandangannya jauh ke
tengah laut, di mana tampak dua gugusan
pulau yang dari tempatnya murid Pendeta
Sinting berdiri terlihat hitam.
"Mudah-mudahan aku tidak salah
alamat...," gumam Joko Sableng lalu
ayunkan kayu di tangan kanannya ke dalam
air laut. Rakit yang ditumpangi makin
kencang melaju membelah gelombang menuju
salah satu gugusan pulau di depan sana.
Sang mentari hampir tepat di titik
tengahnya tatkala rakit yang ditumpangi
murid Pendeta Sinting sampai pada bagian
pinggiran pulau. Sebelum rakit merapat,
Joko Sableng telah berkelebat dan tegak di
pinggiran pulau dengan mata memandang
berkeliling ke seantero pulau.
Ternyata pulau itu tidak begitu
besar. Tidak tampak adanya pohon atau
tumbuhan. Yang terlihat hanyalah gugusan
batu-batu padas dan tanah berpasir.
Anehnya, gugusan batu-batu padas dan pasir
yang bertebaran di tempat itu berwarna
biru!
"Melihat keadaannya, aku tidak datang
ke tempat yang salah! Semua yang ada di
tempat ini berwarna biru!" kata Joko dalam
hati seraya sekali lagi putar kepala
dengan sepasang mata memperhatikan.
Tiba-tiba kening murid Pendeta
Sinting ini berkerut. Sepasang matanya
menebar sementara telinganya dipasang
baik-baik. "Aneh...," gumamnya. "Mataku
tak melihat adanya orang. Telingaku tidak
menangkap suara gerakan. Namun kenapa
tanah yang kupijak terasa bergetar! Ini
bukan karena gelombang ombak.... Ada
sesuatu yang lain!"
"Astaga!" murid Pendeta Sinting ini
tepuk jidatnya sendiri. "Bukankah Manusia
Dewa pernah mengatakan Kitab Serat Biru
ada di tangan seorang sakti bernama Ki
Ageng Mangir Jayalaya? Jangan-jangan ini
adaiah...." Tanpa pikir panjang lagi,
Pendekar 131 segera berkelebat menuju
tengah pulau. Namun sesaat Joko jadi
bingung sendiri. Karena hingga matanya
lelah mencari, ia tak menemukan siapa-
siapa. Sementara getaran-getaran itu makin
lama makin keras.
"Pulau ini tampaknya kosong tak
berpenghunil Lalu ke mana aku harus
mencari kitab itu? Peta itu hanya
menunjukkan jalan menuju Pulau. Tidak ada
petunjuk lebih lanjut ke mana aku harus
menuju setelah sampai di pulau! Hem....
Tapi kenapa getaran-getaran ini makin
keras?!”
Joko tengadahkan kepala. "Aku akan
menelusur dari pinggiran pulau!"
Murid Pendeta Sinting segera
berkelebat dan kini dengan mata nyalang ia
melangkah menyusur pinggiran pulau
berpasir biru itu. Namun hingga tidak ada
celah yang tertinggal, dia tetap tak
menemukan siapa-siapa!
"Ah. Mungkin benar apa yang dikatakan
sebagian orang. Cerita Kitab Serat Biru
hanyalah isapan jempol belaka! Atau....
Mungkin ada orang yang mendahuluiku sampai
di tempat ini. Bertemu dengan orang sakti
itu, lalu orang sakti yang dikatakan Ma-
nusia Dewa itu pergi tinggalkan pulau!
Tapi kenapa orang-orang aneh seperti Ratu
Malam, Gendeng Panuntun mengisyaratkan
bahwa...." Murid dari jurang Tlatah Perak
ini tidak teruskan kata hatinya karena
saat itu terdengar orang lantunkan
nyanyian.
Suratan telah ditulis, takdir sudah
digurat
Tidak satu kekuatan pun yang bisa
merobah dan menggugat
Bahkan hingga air mata kering dan
tubuh melipat
Kecuali dengan izin Tuhan Sang
Penguasa Jagat.
Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah
didapat
Akankah semuanya jadi sia-sia karena
kebimbangan yang menjerat
Padahal penantian ini telah lama
berkarat
Hanya pada Tuhan tempat manusia
memanjat
Suara nyanyian itu terdengar amat
aneh di telinga murid Pendeta Sinting,
memantul jauh namun menggema laksana
diperdengarkan orang dari dasar jurang
yang sangat dalam.
Joko memandang jauh ke tengah laut
dengan coba mengulang nyanyian yang baru
didengar lalu coba menyimak arti nyanyian.
"Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah
didapat.... Eh. Jangan-jangan ini ada
hubungannya dengan peta yang kudapat dari
beberapa tokoh Ku! Padahal penantian ini
telah berkarat.... Hem.... Jangan-jangan
orang ini tokoh yang dikatakan Manusia
Dewa! Tapi di mana aku harus mencarinya?
Seluruh pulau telah kutelusuri, tapi tidak
ada seorang pun! Dan suara itu sepertinya
datang dari jauh tapi menggema laksana di
dalam jurang.... Mungkinkah di bawah pulau
ini?!" Sekali lagi sepasang mata Joko
memperhatikan berkeliling.
Saat itulah matanya menangkap gugusan
batu padas yang bergetar keras dan tak
lama kemudian pecah berantakan! Anehnya,
bersamaan dengan pecahnya gugusan batu
padas itu, getaran-getaran di pulau itu
berhenti!
Murid Pendeta Sinting segera
berkelebat ke arah gugusan batu padas yang
pecah. Sampai di situ, sepasang matanya
jadi membelalak besar. Pada bagian pecahan
batu padas tampak sebuah lobang menganga!
Baru saja Pendekar 131 gerakkan
kepala melongok, satu kekuatan dahsyat
menyedot dari dalam lobang, hingga meski
Joko coba menahan dengan kerahkan tenaga
dalam namun sia-sia. Tubuhnya melipat ke
depan lalu melayang masuk ke dalam lobang!
Bukkk!
Joko rasakan tubuhnya menghantam
tanah keras. Ketika dia buka kelopak
matanya dia berada pada satu ruangan agak
besar yang seluruh bagian dinding dan
langit-langitnya dari batu berwarna ke-
biru-biruan.
Dengan dada dipenuhi berbagai tanya,
murid Pendeta Sinting ini cepat bergerak
bangkit. Lalu edarkan pandangannya ke
seluruh ruangan. Tapi di sini dia tak juga
melihat seseorang.
Di saat Joko masih mencari-cari
dengan rasa heran, tiba-tiba terdengar
lagi nyanyian seperti yang tadi
didengarnya di atas pulau! Tapi lagi-lagi
suara itu laksana datang dari tempat yang
jauh di dalam jurang. Namun kali ini Joko
dapat menentukan dari mana sumber arah
suara itu.
Perlahan-lahan Joko melangkah ke
bagian samping kanan dinding ruangan arah
mana suara nyanyian tadi terdengar.
Sejenak murid Pendeta Sinting ini
perhatikan dinding ruangan bagian kanan
itu. Lalu merabanya.
"Tak ada pintu.... Tapi jelas suara
tacM bersumber dari sini!" gumam Joko
Sableng seraya gelengkan kepala. Entah
karena tak tahu apa yang harus dilakukan,
akhirnya dia berteriak.
"Siapa pun adanya orang, katakan di
mana kau berada!
Joko menunggu. Tapi tidak ada suara
jawaban atau terdengarnya nyanyian. Murid
Pendeta Sinting kembali ulangi
teriakannya. Namun tidak juga ada suara
jawaban.
"Eh. Jangan-jangan telingaku yang
menipu karena aku terpengaruh dengan
nyanyian di luar tadi...."
Joko lalu melangkah dan duduk
bersandar pada dinding ruangan. Baru saja
punggungnya bersandar, dari bagian kanan
dinding terdengar suara.
"Aku di sini, Anak muda...!"
Joko terkesiap, serentak dia bangkit
lalu melompat ke dinding ruangan sebelah
kanan. Tapi kembali dia dilanda
kebingungan. Dinding itu tak berpintu dan
tak ada satu celah pun!
"Aku ingin menemuimu! Bagaimana aku
harus ke tempatmu?!" seru Joko pada
akhirnya.
"Hantam dinding sebelah kanan!"
terdengar jawaban dari dalam.
"Jika dinding ini kuhantam, jangan-
jangan orang di dalam sana itu akan
terkena juga.... Padahal kemungkinan besar
dialah orang sakti yang dikatakan Manusia
Dewa!"
Sesaat murid Pendeta Sinting dilanda
kebimbangan. Antara menuruti ucapan orang
atau mencari jalan lain yang lebih aman.
Karena bukan tidak mungkin jika turuti
ucapan orang maka orang yang ada di dalam
sana akan turut cedera. Padahal dari
nyanyian yang didengarnya, Pendekar 131
sudah hampir merasa yakin bahwa orang
itulah yang ada sangkut-pautnya dengan
Kitab Serat Biru.
"Anak muda. Apalagi yang kau
tunggu?!" terdengar ucapan dari balik
dinding.
"Baiklah. Aku akan menghantam dinding
ini. Tapi harap kau menyingkir!" kata
Joko.
Terdengar orang tertawa. Sesaat
kemudian terdengar ucapan.
"Jika kau melihat sendiri, tak
mungkin kau mengatakan begitu, Anak Muda!"
"Apa maksudmu?!" tanya Joko.
"Jangankan menyingkir, menggerakkan
tangan pun aku tak bisa!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Joko
pula.
"Sekarang bukan saat yang baik untuk
tanya jawab, Anak muda! Turuti saja kata-
kataku!"
Murid Pendeta Sinting masih tampak
ragu-ragu. Sepasang matanya perhatikan
dinding ruangan dengan seksama.
"Sekali kuhantam aku yakin akan
ambrol. Hemmm.... Orang di dalam sana itu
tidak bisa bergerak. Aku harus tahu,
apakah jaraknya jauh dengan dinding
ini...!" Joko lalu kembali berteriak.
"Apakah tempatmu cukup jauh dengan
dinding ini?!"
Sejenak tidak ada jawaban. Tapi tak
lama kemudian terdengar suara.
"Anak muda! Tempatku berada tak lebih
cuma dua langkah dari dinding!"
"Gila! Bagaimana ini? Tak mungkin
orang itu selamat jika dinding ini
ambrol!" kata Joko dalam hati lalu
melangkah mondar-mandir.
"Ah, bagaimana kalau yang kuhantam
sebelah sini?!" ujar Joko pelan seraya
melihat dinding sebelah kanan yang agak ke
tepi.
"Anak muda. Kau masih di situ?!"
terdengar ucapan dari dalam dinding.
"Hemm.... Betul. Aku akan hantam
dinding ini, tani agak ke tepi! Dengan
begitu kau tidak akan terkena jebolan
dinding!"
Dari dalam terdengar orang tertawa.
"Percuma Anak muda. Kalau yang kau hantam
tidak yang paling tengah, kau hanya akan
buang-buang waktu dan tenaga!"
"Walah! Bagaimana ini!" Kembali Joko
dilanda kebingungan. Karena tidak tahu
harus berbuat apa, akhirnya Joko bertanya
lagi.
"Apakah tidak ada jalan lain selain
menghantam jebol dinding ini?!"
"Anak muda! Jangan banyak tanya!
Hantam dinding atau keluarlah dari ruangan
ini!" Kali ini suara dari balik dinding
agak keras.
"Baiklah. Aku hanya turuti ucapanmu!
Harap kau nanti tidak menyesal!"
"Tak ada penyesalan, Anak muda!
Penantian ini sudah terlalu lama...."
"Siapa yang menanti?" ujar Joko
Sableng dengan melangkah mundur.
"Aku tidak bisa jawab tanyamu
sekarang! Karena kau bukan satu-satunya
anak manusia yang datang ke tempat ini!"
"Jadi?!”
"Kau terlalu banyak tanya, Anak
muda!" potong suara dari balik dinding.
"Berarti telah banyak orang yang
sebelumnya datang ke tempat ini. Dan
mereka tak sanggup menjebol dinding itu!"
pikir Pendekar 131 pada akhirnya.
Setelah menarik napas dalam, murid
Pendeta Sinting ini angkat kedua tangannya
dan sekaligus dihantamkan pada dinding
tepat bagian paling tengah.
Beekkk! Beekkk!
Terdengar dua kali benda terhantam.
Tapi murid Pendeta Sinting jadi terkesiap
sendiri. Jangankan hancur, satu pecahan
kecil pun tidak! Malah kejap itu juga Joko
berseru tertahan sambil kibas-kibas-kan
kedua tangannya. Bahkan dia membelalak
saat meneliti ternyata kedua tangannya
lecet dan mengembung bengkak!"
"Anak muda! Kau sudah lakukan apa
yang kuucapkan?!" Dari dalam dinding
terdengar tanya.
Joko tidak menjawab ucapan orang.
Sebaliknya perhatikan dinding dengan mata
mendelik tak ber-kesip.
"Anak muda! Kerahkan segenap tenaga
dalammu dan lepaskan pukulan andalan yang
kau miliki!"
"Edan! Aku tak percaya jika menjebol
dinding begini sampai harus kerahkan
tenaga dalam penuh dan lepaskan pukulan
'Lembur Kuning'.... Akan kucoba sekali
lagi!"
Murid Pendeta Sinting mundur satu
langkah. Dengan kerahkan separo tenaga
dalamnya dia hantam dinding itu dengan
kedua tangannya.
Untuk kedua kalinya Pendekar 131
berseru tertahan. Kedua tangannya mental
balik! Bahkan tubuhnya ikut terseret
mundur sampai tiga langkah! Kedua
tangannya tambah lecet dan makin bengkak
besar!
"Aku hampir tak percaya!" gumam Joko
seraya pentangkan matanya. Dinding itu
bergeming pun tidak! "Terpaksa aku turuti
ucapan orang itu! Akan kuhantam dengan
pukulan 'Lembur Kuning'!"
Murid Pendeta Sinting segera kerahkan
tenaga dalam pada kedua tangannya. Kejap
kemudian kedua tangannya berubah menjadi
kekuningan pertanda dia siap lepaskan
pukulan andalan 'Lembur Kuning'.
Didahului bentakan keras, Joko
melompat ke depan dan serta-merta kedua
tangannya dihantamkan ke arah dinding.
Dua sinar kuning mencorong terlihat
menggebrak ke depan, lalu terdengar
dentuman keras. Ruangan terbuat dari batu
berwarna biru itu bergetar hebat laksana
dilanggar gempa. Hingga sosok murid
Pendeta Sinting tampak terpental dan jatuh
terduduk di tengah ruangan.
Meski merasa kesakitan, Joko cepat
bergerak bangkit dan serta-merta
menghambur ke depan, ke arah dinding yang
baru saja dihantam. Sepasang mata Joko
terpentang besar dan dari mulutnya ter-
dengar gumaman tak jelas. Ternyata dinding
itu tetap seperti sedia kala!
"Heran. Bagaimana mungkin pukulan
'Lembur Kuning' tidak mampu menjebol!
Jangan-jangan ini satu isyarat bahwa kitab
itu...."
Kata hati Joko belum selesai, dari
balik dinding terdengar orang berucap.
"Aku mendengar ledakan. Berarti kau telah
menghantam dinding itu. Aku tanya padamu,
Anak muda. Bagaimana hasilnya?!"
"Seperti yang kau dengar, aku memang
telah menghantam dinding itu, tapi
jangankan jebol, rengkah pun tidak! Apa
yang harus kulakukan sekarang?!"
Terdengar keluhan dari balik dinding.
Lalu terdengar suara.
"Kau telah berusaha, Anak muda! Dan
ternyata kau sama seperti beberapa orang
yang datang sebelumnya! Itu telah menjadi
jawaban apa yang harus kau ^kukan
sekarang!"
"Jadi aku harus meninggalkan tempat
ini?!" ujar Joko seraya gelengkan kepala.
"Bukan harus. Tapi apa gunanya kau
berada di situ?! Kukira masih banyak yang
bisa kau nikmati diluaran sana. Bukankah
begitu?!"
"Tapi aku tak akan keluar dari pulau
ini sebelum mendapatkan apa yang kucari!"
"Apa yang kau cari di sini, Anak
muda?!"
"Aku mengemban tugas dari Eyang
guruku Pendeta Sinting serta seorang tokoh
rimba persilatan bergelar Manusia Dewa
untuk menyelidik Kitab Serat Biru!"
"Hemm.... Begitu? Mau turuti
ucapanku, Anak muda?!"
"Harus kudengar dulu ucapanmu!"
"Tinggalkan ruangan itu! Kau tidak
akan mendapat apa-apa!"
"Maaf. Kalau ini aku tidak bisa
turuti ucapanmu. Aku akan tinggalkan
ruangan ini dengan kitab di tangan!"
Terdengar orang di balik dinding
tertawa panjang. "Tekadmu besar. Tapi
sayang.... Kau tidak akan mendapatkan yang
kau inginkan!"
"Apakah orang lain telah mendapatkan
kitab itu?!"
"Beberapa orang memang datang ke
tempat ini. Sama dengan dirimu, mereka
juga menginginkan kitab Itu. Tapi sama
juga dengan kau, mereka akhirnya harus
pulang dengan tangan hampa!"
"Apakah kitab itu benar-benar tidak
ada?!" tanya Joko.
"Aku tidak berhak menjawab! Jawaban
itu bisa kau dengar jika kau berhasil
membuka dinding ini! Tapi sekaligus tidak
membuatku tewas terkena bias pukulan!"
Hening sejenak. Murid Pendeta Sinting
tampak duduk bersandar dengan kepala
sesekali menggeleng. "Aku telah berusaha,
dan nyatanya aku gagal menjebol dinding
itu! Mungkinkah kitab itu tidak di-
takdirkan untuk kumiliki?!"
"Anak muda! Kau telah menghantam
dinding itu. Apakah kau tidak punya
pukulan lain?"
"Astaga!" Joko bergerak bangkit.
"Bukankah aku mendapatkan pukulan 'Sukma
Es' dari orang yang sebutkan diri Dewi
Es?! Hemm.... Akan kucoba!"
Tapi kembali Joko dilanda
kebimbangan. "Kalau berhasil, tapi tidak
mampu menyelamatkan orang itu...? Ah,
susah!"
Setelah berpikir agak lama, akhirnya
Joko berkata.
"Orang di balik dinding! Aku memang
punya satu pukulan. Tapi aku belum bisa
pastikan apakah pukulan itu mampu menjebol
dinding ini, juga aku tak bisa jamin
apakah kau nanti bisa selamat jika pukul-
anku berhasil!"
"Dengar, Anak muda! Orang yang bisa
menjebol dinding ini sekaligus dia pasti
bisa meredam pukulannya agar aku bisa
selamat! Jika hal itu tak bisa dilakukan,
jangan harap bisa jebol dinding ini!"
"Ah, tambah sulit!" gumam Joko lalu
kembali duduk bersandar. "Bisa menjebol
sekaligus bisa meredam! Hem.... Dewi Es
mengatakan sesuatu yang kupegang akan
membeku jika kukerahkan tenaga dalam ke
lengan...."
Mendadak Pendekar Pedang Tumpul 131
berdiri dengan mata tak berkedip
memperhatikan dinding di hadapannya.
"Jika ucapan Dewi Es benar, maka bila
dinding ini kuhantam dengan pukulan
'Lembur Kuning' dan berhasil jebol, maka
tidak akan berantakan karena dinding ini
akan membeku jika kukerahkan pukulan Sukma
Es kearah lengan!”
Berpikir sampai di situ, murid
Perdeta Sinting ini lantas melangkah ke
arah dinding. Sesaat dia meraba dinding
itu. Lalu mundur setengah langkah. Tenaga
dalamnya dia kerahkan pada lengan. Serta
merta dia merasakan hawa dingin luar biasa
pada kedua tangannya. Ruangan itu pun
perlahan-lahan dibungkus hawa dingin
hebat.
Tanpa menunggu lagi, Joko tempelkan
kedua tangannya pada dinding. Serta-merta
dinding itu laksana ditimbun es!
Aku merasakan hawa dingin, Apakah kau
yang melakukan, Anak muda?!" tanya suara
dari balik dinding.
"Aku akan mencoba! Harap kau siap-
siap!"
"Siap apa?" suara dan balik dinding
kembali bertanya.
"Walah, aku lupa kalau kau tak bisa
bergerak!”
"Sudah lakukan saja apa yang hendak
kau lakukan!" kata suara dari balik
dinding.
Setelah melihat dinding itu dilapisi
gumpalan es, tangan kanan Joko ditarik ke
belakang, sementara tangan kirinya tetap
menempel di dinding. Untuk kedua kalinya
murid Pendeta Sinting ini kerahkan tenaga
dalam diarahkan pada tangan kanannya. Ti-
ba-tiba tangan kanan itu berubah menjadi
kekuningan. Lalu dengan pejamkan mata,
tangan kanannya digerakkan menghantam
dinding!
Bukkk!
Byaarrr!
Terdengar ledakan keras. Joko rasakan
tubuhnya terhantam benda besar, hingga
sosoknya mencelat dan menghantam dinding
di seberang. Lalu jatuh dengan kepala
berdenyut sakit. Wajahnya berubah pucat
dengan kedua tangan bergetar. Tapi karena
ingin melihat apa yang terjadi, murid
Pendeta Sinting tidak rasakan denyutan di
kepala dan rasa ngilu di sekujur tubuhnya.
Dia cepat bergerak bangkit dengan sepasang
mata memandang tak berkesip ke depan.
"Berhasil...!" seru Joko ketika dia
melihat lobang menganga di dinding yang
baru saja dihantamnya. Tanpa berpikir lama
dia cepat berkelebat, lalu tegak di
samping dinding yang kini telah jebol.
Murid Pendeta Sinting ini seakan tak
percaya dengan pandangan matanya. Dinding
yang terkena hantamannya memang jebol dan
anehnya jebolan dinding itu tidak
berhamburan! Melainkan berserakan di
tempat itu dan tampak masih dilapisi
gumpalan-gumpalan es!
"Hem.... Jadi gumpalan-gumpalan es
ini yang bisa meredam muncratnya hamburan
batu dinding ini! Tidak kusangka sama
sekali...."
"Ah, ternyata kau berhasil, Anak
muda!" terdengar suara pelan.
Seakan tersadar, Joko segera
pentangkan matanya ke balik jebolan lobang
dinding. Saat itulah matanya membentur
sesuatu. Murid Pendeta Sinting ini
tercekat dan makin belalakkan matanya.
Dari tempatnya berdiri Pendekar 131
melihat seorang laki-laki berusia lanjut
mengenakan jubah putih. Rambutnya yang
telah memutih tampak awut-awutan menutupi
sebagian wajah dan bahunya. Sepasang
matanya yang samar-samar terlihat dari ce-
lah rambutnya tampak sayu. Saat Joko
melihat ke bawah, murid Pendeta Sinting
jadi terkesiap. Karena ternyata tubuh
bagian bawah kakek ini berada di dalam
lantai batu!
"Hem.... Betul ucapan Manusia Dewa!
Orang sakti yang dikatakannya sebagian
tubuhnya di atas sedang sebagian lagi di
dalam tanah! Berarti orang ini yang
dimaksud Manusia Dewa...."
Joko segera masuk ke balik dinding
yang telah jebol. Lalu jongkok di samping
kakek yang tubuh bagian atasnya terlihat,
namun tubuh bagian bawahnya masuk ke dalam
lantai batu.
"Kau tidak apa-apa, Kek?!"
Si orang tua angkat kepalanya.
"Dengan pergunakan pukulan 'Sukma Es' kau
berhasil meredam hamburan batu. Itu
membuatku selamat tidak mengalami suatu
apa!"
Diam-diam Joko jadi terkesiap
mendengar si kakek tahu pukulan yang baru
saja digunakan. Sebelum Joko buka mulut,
si kakek telah berucap lagi.
"Orang baru bisa menjebol dinding itu
jika dia memiliki dua kekuatan. Kekuatan
dingin untuk meredam, dan kekuatan panas
untuk menghantam! Dan kau berhasil
melakukannya dengan baik. Terima kasih,
Anak muda...."
"Kek! Tubuhmu sebagian masih
terpendam. Bagaimana aku harus menge-
luarkanmu?!"
Sepasang mata sayu milik si kakek
memandang dari sela rambutnya yang awut-
awutan. "Sekali lagi kuucapkan terima
kasih jika kau masih ingin menolongku,
Anak muda! Lakukanlah seperti kau menjebol
dinding tadi! Hanya dengan cara itu
tubuhku akan selamat...."
"Hemm.... Jika begitu, akan
kulakukan!" ujar Joko. Lalu cepat kerahkan
tenaga dalam pada lengannya siapkan
pukulan 'Sukma Es'. Tangan kirinya di-
tempelkan pada lantai batu sekitar tubuh
kakek yang terpendam, lalu tangan kanannya
diangkat siapkan pukulan 'Lembur Kuning'.
Lantai batu di mana kakek terpendam
mendadak ditaburi gumpalan-gumpalan es.
Serta-merta Pendekar 131 hantamkan tangan
kanannya dengan kerahkan pukulan 'Lembur
Kuning'.
Brakkk!
Tempat itu bergetar keras. Sosok
murid Pendeta Sinting terseret hingga tiga
langkah. Saat dia memandang ke depan,
tampak lantai batu di mana tubuh si kakek
terpendam rengkah-rengkah dan sebagian
berlobang. Namun hamburan lantai batu
tidak sampai bertabur ke atas!
Si kakek tampak tarik kedua tangannya
yang ikut terpendam ke atas. Dengan
bertumpu pada kedua telapak tangannya yang
menekan sebagian lantai batu si kakek
bergerak. Sosoknya melesat ke atas lalu
tegak dua langkah ke samping Joko.
"Anak muda. Jerih payahmu tidak akan
kulupakan. Mari kita bicara di ruangan
sana!" sambil berkata si kakek mendahului
melangkah menuju ruangan. Joko lalu
menyusul dari belakang.
SEPULUH
SELAMA hampir seratus tahun aku
menghuni pulau ini...," kata si kakek
mulai buka mulut setelah dia dan Pendekar
131 duduk berhadap-hadapan di lantai
ruangan yang dinding dan langit-langitnya
terdiri dari batu berwarna biru itu.
"Entah sudah menjadi nasibku, setelah
aku berguru pada seorang tokoh sakti, aku
diberi tugas untuk mendiami pulau ini. Aku
tak tahu apa maksudnya dia menyuruhku
untuk diam di pulau ini. Yang Jelas dia
memberikan sebuah kitab serta butiran
merah padaku dengan pesan, kelak akan
datang orang yang ditakdirkan memiliki
kitab serta butiran merah itu. Dia tidak
mengatakan siapa orangnya dan kapan dia
akan datang. Selain itu dia berpesan agar
aku tidak sekali-kali membuka kitab serta
menelan butiran merah itu. Sebagai murid
meski hal itu terasa berat, namun
kulakukan juga. Tapi hingga dua puluh
tahun berlalu, orang yang dikatakan guru
tidak ada tanda-tanda akan muncul di
tempat ini. Aku mulai gelisah dan
khawatir. Tapi aku tetap menjalankan pesan
guruku. Hingga pada suatu malam aku
bermimpi...." Si kakek sejenak hentikan
keterangannya, lalu melanjutkan.
“Seorang laki-laki berusia lanjut
datang dalam mimpiku dan dia memberi
pesan, persis seperti apa yang dikatakan
guruku. Tapi sepuluh tahun setelah mimpi
itu, orang yang dikatakan tidak juga
muncul. Aku mulai waswas. Terutama
mengingat usiaku yang mulai menginjak tua.
Dan entah karena apa suatu hari aku tanpa
sengaja melihat kitab yang diberikan guru.
Dan tiba-tiba di hatiku tergerak untuk
membukanya. Tapi sadar akan pesan guru dan
orang tua dalam mimpi, akhirnya
keinginanku kubatalkan. Hingga pada suatu
hari di hadapanku muncullah seorang kakek,
yang setelah kuamati dengan seksama
ternyata dia adalah kakek yang muncul da-
lam mimpiku. Kakek itu mengatakan bahwa
sudah menjadi suratanku untuk menunggu dan
memberikan kitab itu serta butiran merah.
Kakek itu juga mengatakan bahwa tidak lama
lagi orang yang ditakdirkan mewarisi kitab
serta butiran merah akan datang. Untuk
memastikan orang yang ditakdirkan itu, aku
diberi satu ilmu ‘Penembus Pagar’. Kelak
orang yang dapat melewati ilmu ‘Penembus
Pagar’ dialah orang yang berhak mewarisi
kitab serta butiran merah. Begitu si kakek
pergi, aku coba menjajal ilmu itu.
Ternyata aku bisa melewati dinding serta
dapat masuk ke lantai tanpa terlihat
jebolan pada dinding serta lantai.
Anehnya, begitu tubuhku masuk ke bawah
lantai aku diserang kantuk yang luar
biasa." Untuk kedua kalinya si kakek
hentikan keterangannya sebelum akhirnya
melanjutkan.
"Hingga aku tertidur. Aku baru bangun
tatkala kurasa ada getaran-getaran keras.
Saat itulah kuketahui ada orang datang di
ruangan ini. Seperti halnya dirimu tadi,
orang itu coba menjebol dinding, tapi tak
berhasil. Dan begitu orang itu pergi, aku
diserang kantuk lagi, lalu tertidur. Aku
baru terbangun ketika ada getaran-getaran
keras dan ada orang datang di ruangan ini.
Begitu selanjutnya. Aku baru bangun saat
terasa ada getaran-getaran yang menandakan
akan datangnya seseorang. Namun hingga
sejauh itu tidak satu pun yang berhasil
menjebol dinding sampai akhirnya kau
datang...."
"Jadi selama ini kau tak makan tak
minum?'" "Aku tertidur! Mana merasa lapar
dan haus? Aku hanya bangun sesekali. Itu
kalau ada getaran pertanda orang datang.
Tapi setelah itu aku sudah tertidur lagi!"
"Luar biasa!" gumam Joko seraya
pandangi kakek di hadapannya.
"Kek. Kudengar kau sempat sebutkan
pukulanku. Bagaimana kau bisa tahu?"
Si kakek tengadahkan sedikit
kepalanya sebelum berucap.
"Tiga hari sebelum kedatanganmu,
orang tua itu kembali muncul dalam
mimpiku. Dia mengatakan bahwa penantian
tidak akan lama lagi. Dia lalu mengajarkan
padaku bait nyanyian. Dan mengatakan bahwa
ilmu 'Penembus Pagar' bisa diatasi jika
orang pergunakan pukulan 'Sukma Es' yang
digabung dengan pukulan yang mengandung
hawa panas!"
"Anak muda! Siapa namamu?!" tanya si
kakek setelah terdiam agak lama.
"Joko Sableng, Kek.... Aku murid
seorang yang dalam rimba persilatan
dikenal dengan gelar Pendeta Sinting....
Kau sendiri siapa, Kek?"
"Aku Ageng Mangir Jayalaya...."
"Hm.... Tepat ucapan Manusia Dewa!"
kata Joko dalam hati.
"Joko. Menurut pesan, maka kaulah
orangnya yang berhak atas kitab dan
butiran merah yang sekarang ada
padaku...!" Ki Ageng Mangir Jayalaya se-
linapkan kedua tangannya ke balik
jubahnya. Saat kedua tangannya ditarik
kembali, tampaklah sebuah kitab bersampul
biru di tangan kanan, lalu butiran sebesar
ibu jari berwarna merah di tangan kiri.
"Ambillah...," ujar Ki Ageng Mangir
Jayalaya seraya ulurkan kedua tangannya
pada Joko.
Begitu benar-benar berhadapan dengan
kitab yang dicari, bukannya Pendekar 131
cepat ulurkan kedua tangannya untuk
mengambil. Dia seolah masih tidak percaya
bahwa kitab yang kini diulurkan si kakek
adalah kitab yang dicari!
"Kitab dan butiran merah ini sudah
ditakdirkan menjadi milikmu!" kata Ki
Ageng Mangir Jayalaya.
Pada akhirnya dengan kedua tangan
gemetar perlahan-lahan Joko menyambuti
kitab dan butiran merah yang masih ada di
tangan Ki Ageng Mangir Jayalaya. Dan
begitu tangannya menyentuh kitab bersampul
biru serta butiran merah, Joko rasakan
sekujur tubuhnya dirasuki hawa hangat.
Pada saat bersamaan sepasang matanya
terasa ditusuk-tusuk, hingga cepat Joko
pejamkan sepasang matanya sambil menarik
kitab dan butiran merah dari tangan Ki
Ageng Mangir Jayalaya.
Ketika kitab dan butiran merah berada
di tangannya, tusukan pada matanya lenyap.
Saat dia buka lagi kelopak matanya,
pandangannya terasa makin tajam!
"Ada apa, Anak muda?" tanya Ki Ageng
Mangir Jayalaya tak tahu apa yang sedang
dialami murid Pendeta Sinting ini.
"Hm.... Dia tak merasakan dan tak
tahu apa yang kualami!" membatin Joko lalu
gelengkan kepala dan berkata.
"Kepalaku sedikit sakit karena
menghantam dinding itu tadi!"
Ki Ageng Mangir Jayalaya perhatikan
Joko lebih seksama. "Aneh. Kurasa bukan
karena sakit kepala anak ini berbuat
begitu! Tapi kalau dia tak hendak
mengatakan padaku, untuk apa aku
memaksanya?" kata si kakek dalam hati,
lalu berkata.
"Telanlah butiran merah itu!"
Sejurus Joko pandangi orang tua di
hadapannya. Dia tampak bimbang. Ki Ageng
Mangir Jayalaya tersenyum.
"Itu yang dikatakan orang tua dalam
mimpiku! Telanlah!”
Dengan tangan gemetar. Joko pandangi
butiran merah yang ada pada tangan
kirinya. Lalu perlahan-lahan tangannya
diangkat. Mulutnya bergerak membuka. Dan
butiran merah itu segera ditelan.
Tiba-tiba murid Pendeta Sinting
rasanan sekujur tubuhnya laksana
dipanggang dan kejang tak bisa digerakkan
hingga tak lama kemudian kitab yang ada di
tangan kanannya jatuh. Sepasang matanya
terasa pedas sekali hingga keluarkan air
mata sementara tubuhnya basah oleh
keringat. Namun semua itu hanya sekejap.
Di kejap lain mendadak rasa panas itu
lenyap! Dan saat itu juga Pendekar 131
dapat gerakkan lagi tubuhnya.
Saat itulah, tiba-tiba ruangan di
mana Pendekar 131 dan Ki Ageng Mangir
Jayalaya berada terasa bergetar. Joko dan
Ki Ageng Mangir Jayaiaya sejurus saling
berpandangan.
"Ada orang datang di pulau ini...,"
gumam si kakek. "Ambil dan simpan baik-
baik kitab itu!"
Sejenak Joko perhatikan kitab yang
ada di sampingnya. Kitab bersampul biru
itu pada sampulnya bertuliskan Serat Biru.
"Orang yang datang pasti mempunyai
tujuan-yang sama denganmu! Jangan cari
urusan dengan memperlihatkan kitab itu!"
kata Ki Ageng Mangir Jayalaya.
Mendengar ucapan orang, Joko tersadar
dan cepat ambil kitab lalu dimasukkan ke
balik pakaiannya.
"Kek! Kau tetap di sini! Aku akan ke
atas!" kata Joko lalu menjura hormat. Ki
Ageng Mangir Jayalaya hanya anggukkan
kepala sambil tersenyum.
Joko bergerak bangkit lalu putar diri
dan melangkah ke arah lobang yang tadi
menyedot tubuhnya. Sejenak dia tengadah
lalu kedua kakinya menjejak lantai
ruangan.
Pendekar 131 jadi terkesiap sendiri,
karena gerak lesatan tubuhnya luar biasa
cepat! Hingga dalam kejap lain sosoknya
telah tegak di luar lobang di permukaan
pulau yang ditaburi pasir dan gugusan batu
berwarna biru.
Namun baru saja sepasang kakinya
menginjak tanah, satu bayangan berkelebat
dan langsung tegak menghadang tujuh
langkah di hadapannya!
SEBELAS
UNTUK beberapa saat Joko Sableng
perhatikan orang di hadapannya. Dia adalah
seorang pemuda mengenakan jubah putih.
Sepasang matanya tajam dengan dagu kokoh
dan rambut panjang lebat.
Orang yang dipandang tengadahkan
kepala. "Hm.... Ternyata ada anak manusia
yang mendahului langkahku! Jahanam betul!
Siapa dia?! Apakah telah berhasil
mendapatkan kitab sakti itu?!" gumamnya
lalu luruskan kepala.
Sesaat dua orang ini saling bentrok
pandang. Murid Pendeta Sinting buka mulut
hendak bicara. Namun sebelum ucapan keluar
dari mulutnya, pemuda berjubah putih yang
bukan lain adalah Gumara alias Malaikat
Penggali Kubur telah angkat tangan
kanannya dan berkata dengan suara keras.
"Kau tak berhak bertanya! Aku yang
berhak ajukan tanya!"
Murid Pendeta Sinting angkat alis
matanya, lalu garuk pantatnya seraya
membatin. "Sombong betul! Tapi siapa pun
dia adanya pasti membekal ilmu, apalagi
bisa sampai ke tempat ini!"
"Katakan siapa kau!" hardik Malaikat
Penggali Kubur seraya melangkah maju satu
tindak.
Pendekar 131 arahkan pandangannya
pada deburan ombak jauh di depan sana.
Lalu berujar. "Aku Pangeran Mendut-Mendut!
Penghuni pulau gersang ini! Boleh tahu
siapa kau adanya?!"
Malaikat Penggali Kubur kernyitkan
dahi. Matanya mendelik angker mengawasi
pemuda di hadapannya. Namun tak lama
kemudian tawanya meledak.
"Setan laut pun tidak akan percaya
jika tampang macammu adalah seorang
pangeran!" kata Malaikat Penggali Kubur di
sela suara tawanya. Namun mendadak suara
tawanya diputus. Seraya berpaling pada
Joko dia membentak.
"Jangan berani mengumbar bicara tak
karuan! Lekas katakan siapa dirimu!"
"Silakan setan laut atau hantu pulau
inj tidak percaya. Yang pasti aku adalah
.Pangeran Mendut-Mendut!" ujar Joko seraya
senyum-senyum. Lalu melanjutkan. "Kau
te.ah mengetahui siapa diriku. Sebagai
penghuni puiau ini, aku ingin tahu siapa
kau adanya!"
Malaikat Penggali Kubur keluarkan
dengusan keras sebelum menjawab.
"Aku Malaikat Penggali Kubur!"
"Ah.... Kalau seorang malaikat datang
jauh-jauh ke pulau yang gersang ini pasti
punya tujuan penting!"
"Penting atau tidak bukan urusanmu!"
sentak Malaikat Penggali Kubur. "Aku tanya
padamu, di mana disembunyikan Kitab Serat
Biru!"
"Apa...?!" tanya Joko sambil
telengkan kepalanya.
"Kau tidak tuli! Orang tanya di mana
disembunyikan Kitab Serat Biru!"
"Kitab Serat Biru?" tanya Joko seraya
kerutkan kening.
"Betul! Sebuah kitab yang akhir-akhir
ini banyak dibicarakan kalangan rimba
persilatan dan tidak sedikit pula orang
yang coba mencarinya. Kitab itu menurut
kabar yang kupercaya berada di pulau ini!"
kata Malaikat Penggali Kubur memberi
keterangan.
"Kau tidak kesasar ke tempat yang
salah?!" tanya Joko
“Malaikat Penggali Kubur tidak akan
datang ke tempat yang salah!"
"Dari mana kau tahu tempat ini?!"
"Jahanam! Kau terlalu banyak tanya!"
bentak Malaikat Penggali Kubur. Rahang
pemuda murid Bayu Bajra ini mulai
mengembung.
"Ah, maaf. Sejak kecil aku berada di
tempat ini. Tak pernah sekali pun melihat
keadaan di luaran sana. Jadi harap
dimengerti jika aku tak mengetahui bahwa
banyak c.ang rimba persilatan membicarakan
kitab yang dikabarkan berada di pulau
ini!"
"Hm.... Jadi kau tak mengerti?!"
tanya Malaikat Penggali Kubur dengan mata
berkilat.
"Bukan hanya tidak mengerti. Namun
baru pertama kali ini mendengar kau
sebutkan nama kitab itu!"
"Heran. Bagaimana mungkin? Apakah
peta itu palsu? Tapi melihat gugusan batu
padas serta pasir di pulau ini, aku yakin
inilah Pulau Biru! Hm.... Jangan-jangan
pemuda ini mendustaiku!"
Untuk pertama kalinv Malaikat
Penggali Kubur dilanda kebimbangan. Tapi
mana dia percaya begitu saja akan ucapan
orang. Apalagi ketika matanya m -numbuk
pada hamburan batu di dekat lobang.
"Jika mau kusarankan, lebih baik kau
menuju puSau itu!" kata Joko setelah agak
lama keduanya sama diam sambil menunjuk
pada pulau di sebe rang.
"Di sini kau tidak akan menemukan
kitab yang kau katakan! Sebagai penghuni,
aku hafal seluk-beluk pulau ini serta apa
saja yang ada d! dalamnya!
Malaikat Penggali Kubur tampak
menyeringai mendengar ucapan Joko. Diam-
diam ia membatin.
“Melihat pakaian yang dikenakan,
mengaku mengaku seorang Pangeran, seperti
nya tidak masuk akal jika dia penghuni dan
tidak pernah meninggalkan pulau ini!" Lalu
pemuda berjubah Putih berkata:
"Aku datang Jauh-jauh percuma jika
tidak membuktikan sendiri semua ucapanmu!
Dan sebelum menyelidik keseluruh
pulau,bagaimana aku bisa menerima jika aku
dating ke tempat yang salah!"
Tanpa memperdulikan pandangan
Pendekar 131, Malaikat Penggal Kubur
melangkah kea rah lobang dari mana murid
Pendeta Sinting, keluar.
“Tunggu!” seru Joko seraya tehgak
menghadang. “Ini tempatku. Aku....”
Malaikat Penggali Kubur hentikan
langkah. Lalu mamandang lekap pada Joko
dan menukas ucapannya. "Dengar! Sekali kau
bergerak dan tempatmu aku tak segan
penggal kepalamu!” Lalu Malaikat Penggali
Kubur teruskan langkah.
"Meski kitab telah berada di
tanganku, tapi bisa bahaya jika dia masuk
ke bawah ,kata Joko dalam hati, lalu
berkata.
"Jika kau teruskan langkah, berarti
kau tidak menghormati Pangeran Mendut-
Mendut!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa
bergelak. "Persetan dengan Pangeran!
Persetan dengan penghormatan!"
Pendekar 131 palangkan tangan kanan
kirinya ke samping membuat gerakan
penghadangan. "Persetan juga dengan
Malaikat Penggali Kuburi" Joko ikut-ikutan
berkata.
"Kau mencari mampusl" bentak Malaikat
Penggali Kubur seraya angkat tangan
kanannya. "Persetan dengan mampus!” Eh
salah .... Yang kumaksudkan...
Joko tak sempat lagi teruskan
ucapannya, karena saat itu juga Malaikat
Penggali Kubur telah gerakkan tangan
kanannya.
Namun gerakan tangan kanan Malaikat
Penggali Kubur tertahan ketika tiba-tiba
mereka berdua dikejutkan dengan suara tawa
bersahut-sahutan.
Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar
131 serentak sama palingkan kepala ke arah
datangnya suara tawa. Namun belum sampai
kepala masing-masing orang berpaling, dua
bayangan hitam telah berkelebat dan tahu-
tahu tegak terjajar beberapa langkah di
samping Malaikat Penggali Kubur.
"Mereka!" desis Malaikat Penggali
Kubur seraya pandangi satu persatu pada
dua orang yang baru datang. Paras wajah
pemuda ini tampak berubah. Tapi kejap
kemudian dia mendongak sambil keluarkan
dengusan keras.
Pendekar 131 kernyitkan kening lalu
memandang pada orang yang baru datang yang
tegak di sebelah kanan. Di situ tegak
seorang kakek mengenakan jubah hitam
dengan rambut disanggul ke atas. Sepasang
matanya besar masuk ke dalam lipatan
rongga yang besar dan dalam. Kakek ini
tegak seraya sedikit tengadah dengan kedua
tangan masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
Murid Pendeta Sinting arahkan
pandangannya pada orang di sebelah si
kakek. Mendadak air muka Joko berubah.
Seraya pentangkan mata besar-besar dia
perhatikan orang kedua ini baik-baik. Dia
adalah seorang perempuan berambut pirang
bergerai sepanjang punggung. Mengenakan
jubah panjang sebatas lutut juga berwarna
hitam. Perempuan ini tidak bisa dikenali
karena wajahnya ditutup dengan cadar
berwarna hitam yang berlobang di bagian
kedua mata. Kedua tangannya yang merangkap
di depan dada tampak dibungkus dengan
sarung tangan dari kulit yang juga
berwarna hitam.
"Melihat ciri-cirinya, jangan-jangan
perempuan ini yang mencuri Pedang Tumpul
131! Hm.... Kebetulan sekali! Tapi aku
harus berhati-hati...."
Kalau Malaikat Penggali Kubur tampak
terkejut dengan kemunculan dua orang kakek
dan perempuan bercadar yang bukan lain
adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi
Siluman, demikian pula halnya dengan Dewi
Siluman. Namun perempuan ini tidak
terkejut dengan adanya Malaikat Penggali
Kubur, hanya dia hampir tak percaya dengan
keberadaan Pendekar 131 di tempat itu!
Yang paling tampak tenang ialah Ki Buyut
Pagar Alam.
"Bagaimana anak manusia ini bisa
berada di tempat ini?!" gumam Dewi Siluman
dengan menatap tajam Pendekar 131.
Seperti diketahui, waktu terjadi
bentrok antara Pendekar 131 dengan Ratu
Pemikat serta Iblis Ompong, Dewi Siluman
tiba-tiba menyeruak lalu menyambar murid
Pendeta Sinting yang sedang melayang
hendak jatuh dan membawanya pergi. Dan pa-
da akhirnya Dewi Siluman berhasil
mengambil Pedang Tumpul 131 milik Joko.
Lalu bersama dengan paman guru sekaligus
pembantunya Ki Buyut Pagar Alam, Dewi
Siluman teruskan perjalanan menuju arah
selatan. Pada satu tempat mereka berdua
bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur
yang saat Ku juga sedang melakukan
perjalanan menuju Pulau Biru setelah
mendapatkan peta asli dari tangan Dewa
Sukma. Saat itu sebenarnya Dewi Siluman
hendak lancarkan satu pukulan pada
Malaikat Penggali Kubur yang hendak
berkelebat pergi, namun ditahan oleh Ki
Buyut Pagar Alam. Kakek ini merasa curiga
dengan Malaikat Penggali Kubur. Dia lalu
menyarankan pada Dewi Siluman untuk
membiarkan Malaikat Penggali Kubur
berkelbat pergi namun dengan diam-diam
mereka mengikuti dari belakang.
"Kalian berdua!” Mendadak Malaikat
Penggali Kubur berteriak seraya menunjuk
kepada Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi
Siluman. “Urusan kita belum usai! Jangan
berani coba-coba menambah urusan dengan
ikut campur urusanku dengan pemuda ini!”
sepasang mata Dewi Siluman terpentang
besar mengarah pada Malaikat Penggali
Kubur. ilmu .kepandaianmu masih sebatas
telapak kaki masih juga bermulut besar!
Dengar! Kau menyingkir dulu tunggu
giliran. Aku akan selesaikan urusan dengan
anak itu!
“Hmm... Rupanya kau telah mengenal
Pangeran keparat Ini!" desis Malaikat
Penggali Kubur, namun diam-diam dia juga
masih membatin. "Ucapan perempuan bercadar
ini membuktikan bahwa pemuda yang mengaku
bernama Pangeran Mendut-Mendut ini sudah
berkeliaran di luaran sana. Berarti dia
juga bukan penghuni pulau ini! Jahanam
betul! Dia telah menipuku'”
Mendengar Malaikat Penggali Kubur
sebutkan Pangeran pada Pendekar 131, Dewi
Siluman tertawa bergelak-gelak.
"Apa kau bilang? Pangeran? Pangeran
apa?! Dasar manusia sok tahu namun dungu!
Dengar baik-baik agar kau tak penasaran
jika masuk liang kubur! Pemuda yang kau
sebut Pangeran yang kini tegak di
hadapanmu adalah pemuda bergelar Pendekar
Pedang Tumpul 131!"
Persetan siapa dia! Pedang Tumpul 131
atau Pangeran Mendut-Mendut! Yang jelas
aku punya urusan dengan dia dan jangan
ikut campur!”
Di lain pihak, mendengar ucapan Dewi
Siluman yang sebutkan siapa dirinya
sebenarnya, murid Pendeta Sinting makin
yakin bahwa perempuan berjubah dan
bercadar hitam itulah orang yang membawa
lari pedangnya. Namun sejauh ini dia belum
mau mulai buka mulut untuk bertanya.
"Dasar manusia baru turun gunung!
Tidak tahu siapa yang dihadapi! Buta tidak
dapat menentukan mana Pendekar mana
Pangeran!" kata Dewi Siluman lalu
perdengarkan tawa mengejek.
Rahang Malaikat Penggali Kubur
mengatup rapat. Pelipis kiri kanannya
bergerak-gerak. Sepasang matanya mendelik
angker melotot pada Dewi Siluman. Kedua
tangannya terlihat bergerak mengepal
pertanda dia siap lepaskan pukulan.
"Tahan!" Tiba-tiba Ki Buyut Pagar
Alam berseru demi melihat apa yang hendak
dilakukan Malaikat Penggali Kubur.
"Aku bicara terus terang saja. Kau
dan kami datang ke tempat ini pasti dengan
tujuan memburu kitab sakti Serat Biru.
Betul?"
"Aku tak akan katakan tujuanku!”
sahut Malaikat Penggali Kubur.
Ki Buyut Pagar Alam tak hiraukan
ucapan Malaikat Penggali Kubur. Dia
melanjutkan kata-katanya. "Keinginan kita
ternyata telah didahului orang. Dan bukan
tidak mungkin orang yang mendahului kita
telah mendapatkan kitab itu! Sekaang
bagaimana kalau kita berbagi rezeki?!”
"Apa maksudmu?!" ujar Malaikat
Penggali Kubur sambil memandang tajam pada
Ki Buyut Pagar Alam.
"Kita buktikan bersama-sama apakah
orang itu telah mendapatkan kitab itu!
Lalu....'
"Bagaimana membuktikannya?!" potong
Malaikat Penggali Kubur.
"Kita tanya baik-baik. Kalau keras
kepala kita cabut nyawanya bersama-sama!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai
lalu tertawa pendek. "Malaikat Penggali
Kubur tidak butuh bantuan jika cabut nyawa
orang! Aku punya kekuatan untuk
melakukannya sendiri!"
Mendengar ucapan Malaikat Penggali
Kubur, Ki Buyut ganti perdengarkan tawa
panjang. "Anak muda! Kami telah buktikan,
kekuatanmu masih jauh di bawah kami!
Bagaimana mungkin kau akan hadapi seorang
pendekar?!"
Rahang Malaikat Penggali Kubur makin
mengembang dan terangkat. Pemuda ini
hendak keluarkan suara membentak, namun Ki
Buyut Pagar Alam telah mendahului.
"Anak muda. Jika nyawanya telah kita
cabut dan begitu kitab benar-benar ada.
Kita tentukan siapa yang berhak
memilikinya!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai
sambil gelengkan kepala. "Usulmu baik.
Tapi Malaikat Penggali Kubur masih punya
tangan untuk mencabut nyawanya!"
"Hm.... Baiklah. Kuberi kesempatan
padamu untuk buktikan ucapan! Kami akan
lihat!"
Habis berkata begitu, Ki Buyut Pagar
Alam mendekat ke arah Dewi Siluman dan
berbisik. "Aku memanas-manasi dia agar dia
segera melenyapkan pemuda berbaju putih
itu. Setelah itu pekerjaan kita akan lebih
ringan! Aku punya dugaan pemuda bergelar
Pendekar Pedang Tumpu! 131 itu bukan pemu-
da semharangan! Bahkan kalau perlu kita
cari kesempatan untuk mencabut kedua nyawa
pemuda itu secara bersama-sama!"
Dewi Siluman anggukkan kepala. Kedua
orang Ini lantas melangkah menjauh dan
berdiri berjajar perhatikan ke arah
Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar
Pedang tumpul 131 Joko Sableng.
DUA BELAS
KITA tinggalkan dulu keadaan di Pulau
Biru. Kita kembali sejenak pada Ratu
Pemikat dan laki-laki setengah baya
bertubuh tinggi besar berkepala gundul
yang mengenakan jubah toga warna putih
hitam yang dalam rimba persilatan dikenal
dengan Merak Kawung.
Seperti dituturkan dalam episode:
"Rahasia Pulau Biru", begitu Ratu Pemikat
dan Merak Kawung gagal membunuh Pendekar
131. Merak Kawung mengusulkan pada Ratu
Pemikat untuk menemui seseorang yang
diyakininya mengetahui seluk-beluk tentang
Pulau Biru. Ratu Pemikat akhirnya me-
nyetujui. Namun sebenarnya dalam benak
masing-masing orang ini punya ulat
tersembunyi.
Saat itu Ratu Pemikat dan Merak
Kawung tiba pada suatu tempat yang
gersang. Pohon-pohon yang tumbuh tidak
berdaun, sementara semak belukar tampak
kering. Tanahnya pun rengkah-rengkah.
"Kita sampai, Ratu...," gumam Merak
Kawung seraya memandang iurus ke depan, di
mana dari tempat mereka tampak sebuah
gubuk berdinding jerami kering. Sambil
bergumam tangan kanan Merak Kawung tampak
tak henti-hentinya menelusuri ke balik
pakaian Ratu Pemikat. Ratu Pemikat sendiri
tampak tengadah sambil mendesah dengan
mulut sedikit terbuka.
Melihat sikap Ratu Pemikat, Merak
Kawung segera melangkah maju setengah
tindak lalu berballk. Kedua tangannya
cepat menyusup ke balik pakaian Ratu
Pemikat. Lalu kepalanya menunduk dan men
cium bibir sang Ratu. Sejenak Ratu
Pemikat membalas ciuman-ciuman Merak
Kawung. Namun begitu Merak Kawung terlihat
terbuai dan nafsunya mengelegak, Ratu
Pemikat cepat tarik pulang kepalanya.
Kita selesaikan dulu urusan! Setelah
itu kita bersenang-senang. Bukankah waktu
kita masih banyak?" bisik Ratu Pemikat
dengan dada turun naik.*
Merak Kawung sepertinya tak pedulikan
ucapan Ratu Pemikat. Dia kembali rundukkan
kepalanya dan disusupkan di antara
payudara sang Ratu.
“Kekasih...Aku sebenarnya sudah tak
taha.n Namun harap kau mengerti. Urusan
kita belum berhasil! Atau katu ingin aku
tinggalkan tempat ini?”!" Seraya berkata,
Ratu pemikat keluarkan kedua tangan MerAk
Kawung dari balik pakaiannya.
Meski dengan dada bergetar keras dan
mulut perdengarkan gumaman tak jelas
akhirnya Marak Kawung putar tubuh. Lalu
melangkah mendahului Ratu Pemikat menuju
gubuk.
Tiga langkah di depan gubuk yang
pintunya tertutup itu Merak Kawung
berhenti. Sepasang matanya liar perhatikan
sekeliling gubuk Lalu dia buka mulut.
Ki Jala Sutera! Adakah kau di
dalam?!"
Merak Kawung menunggu. Sementara Ratu
Pemikat telah berdiri di sampingnya dengan
rapikan pakaiannya. Tidak ada jawaban dari
dalam gubuk, membuat Merak Kawung kembali
berteriak. Namun untuk kali ini belum juga
terdengar suara jawaban. Merak Kawung
mulai terlihat cemas. Dia kembali
berteriak.
Tiba-tiba dari dalam gubuk terdengar
suara orang tertawa mengekeh.
"He...he... he... Rupanya ada orang
memberi rezeki. Memang sudah lama tubuh
renta ini tidak merasakan hangatnya
rezeki. He... he... he.... Masuklah!"
Ratu Pemikat sejenak menatap pada
Merak Kawung dengan pandangan bertanya.
Namun Merak Kawung tidak hiraukan
pandangan Ratu Pemikat. Dia segera
melangkah dan tangannya mendorong pintu
gubuk. Lalu memberi isyarat pada Ratu
Pemikat untuk mengikuti.
Begitu kedua orang ini masuk, dari
tempat masing-masing mereka melihat
sesosok tubuh rebah di pembaringan
beralaskan jerami kering. Sosok itu kurus
dan menggeletak hampir terbenam dalam alas
jerami. Jika hanya dipandang sepintas
lalu, orang menyangka sosok di pembaringan
dipan adalah sosok manusia yang telah
meninggal. Yang menandakan kehidupan dari
sosok ini hanyalah dadanya yang bergerak
pelan turun naik. Sementara sepasang
matanya terpejam rapat. Mulutnya yang ham-
pir memutih mengatup. Wajahnya hampir
tidak tertutup daging sedikit pun. Dan
lebih-lebih dia hanya mengenakan celana
pendek dekil!
"Merak.... Apakah...."
"Ratu!" tukas Merak Kawung pelan
tanpa berpaling, "inilah orang yang kita
cari! Memang hanya beberapa orang saja
yang mengenalnya. Tapi bagi tokoh-tokoh
rimba persilatan generasi dahulu, dia
sudah tidak asing lagi! Beberapa puluh
tahun yang silam namanya pernah menjadi
hantu bagi siapa saja. Dia adalah sahabat
mendiang guruku! Jadi tidak usah takut
atau khawatir. Aku tahu siapa dia!"
Habis berkata begitu, Merak Kawung
melangkah ke arah pembaringan.
"Ki Jala Sutera! Aku Merak
Kawung...."
Terdengar deheman pelan. Lalu
perlahan-lahan sepasang mata sosok di atas
pembaringan yang dipanggil Ki Jala Sutera
bergerak membuka, memandang ke atas.
"Aku membaui harum seorang perempuan!
He... he... he...! Adakah kau bersama
bidadari?!"
"Aku datang bersama seorang sahabat!"
Kepala Ki Jala Sutera membuat gerakan
berpaling. Sejurus dia memandang pada
Merak Kawung. Lalu melebar pada Ratu
Pemikat yang berada dua langkah di
belakangnya. Serta-merta sepasang mata Ki
Jala Sutera membelalak besar. Lalu dari
mulutnya terdengar kekehan tawanya. Namun
sejauh ini anggota tubuh lainnya tampak
tidak bergerak.
"Mendatangi gubukku di tengah tanah
gersang, apalagi bersama seorang bidadari
cantik jelita, pasti kau punya urusan....
He...he...he.... Katakan terus terang,
Merak Kawung...!"
Mendengar si kakek memuji dirinya,
Ratu Pemikat menyumpah dalam hati. Tapi
dia coba tersenyum meski kejap kemudian
alihkan pandangannya ke jurusan lain.
Merak Kawung tidak segera buka mulut
lagi. Sebaliknya dia berpaling pada Ratu
Pemikat. Namun sebelum dia sempat berkata,
si kakek telah berucap.
"Merak Kawung! Katakanlah terus
terang!"
"Hm.... Rimba persilatan saat ini
sedang ribut membicarakan sebuah kitab
sakti...," Merak Kawung mulai bicara.
"Namun tampaknya orang-orang persilatan
itu kesulitan menentukan tempat di mana
kitab sakti itu tersimpan!"
"He... he... he.... Yang kau maksud
tentu Kitab Serat Biru!"
"Benar, Ki! Menurut mendiang guru,
kau adalah seorang yang tahu banyak
tentang seluk-beluk kitab sakti itu!”
"Bukan hanya tahu seluk-beluknya,
Tapi aku sudah pernah datang ke tempat di
mana kitab itu diduga tersimpan'"
Jadi kau tahu jalan menuju tempat
itu?!" tanya Merak Kawung dengan wajah
cerah dan bibir tersungging senyum.
“He... he... he.... Aku menulis jalan
menuju lembah itu!”
Merak Kawung makin gembira, sementara
Ratu Pemikat terlihat sunggingkan senyum
dan melangkah mendekati Merak Kawung.
"Ki...." kata Merak Kawung tapi
ucapannya tidak diteruskan. Dia tampak
bimbang dan melirik pada Ratu Pemikat.
"He... he.. he...! Kau menginginkan
tulisan yang menunjukkan tempat itu?!"
Merak Kawung anggukkan kepalanya.
Ratu Pemikat tanpa sadar ikut-ikutan
mengangguk. Lalu memandang lekat-lekat
pada Ki Jala Sutera yang masih diam di
atas dipan.
Tiba-tiba Ki Jala Sutera memberi
isyarat pada Merak Kawung agar mendekat.
Merak Kawung cepat mendekat lalu
condongkan kepalanya ke arah mulut Ki Jala
Sutera. Ki Jala Sutera mengekeh sebentar
lalu berbisik perlahan.
Tiba-tiba wajah Merak Kawung berubah.
Dan serentak berpaling ke arah Ratu
Pemikat, membuat perempuan bertubuh
bahenol dan berparas cantik ini merasa
tidak enak.
"He... he... he...! Merak Kawung!"
kata Ki Jala Sutera. "Aku tidak dapat
menunggu lama-lama!"
Merak Kawung bergerak mundur mendekat
kearah Ratu Pemikat. Sejurus dia pandangi
wajah perempuan itu lekat-lekat. Merasa
dirinya diperhatikan demikian rupa, Ratu
Pemikat segera berkata.
"Cara memandangmu kali ini lain,
Merak Kawung! Ada apa? Apa yang kalian
bicarakan tadi?!"
Sesaat Merak Kawung tidak menjawab.
Namun pada akhirnya laki-laki berkepala
gundul ini berkata.
"Ratu.... Ki Jala Sutera akan
memberikan tulisan menuju tempat di mana
tersimpan kitab sakti itu. Tapi dengan
syarat..."
Perasaan Ratu Pemikat makin tidak
enak. Dia cepat menyahut. "Apa syarat yang
diminta?!"
"Dia...." Merak Kawung masih
menggantung ucapannya, membuat Ratu
Pemikat tak sabar dan segera berseru
dengan suara agak keras.
"Dia kenapa?!"
"Dia menginginkan dirimu!"
Ratu Pemikat kernyitkan dahi.
"Maksudmu?!" katanya dengan dada berdebar.
"Kau diminta melayaninya bermesraan
semalam!"
Paras Ratu Pemikat kontan berubah
mengetam. Sepasang matanya mendelik besar
dengan mulut mengatup rapat. Tiba-tiba dia
berpaling pada Merak Kawung dan berkata.
“Gila! Tak mungkin aku turuti syarat
yang diminta!"
"Tapi.... Itulah satu-satunya jalan
jika kita ingin mendapatkan kitab sakti
itu!"
"Gila! Ini gila! Bagaimana mungkin
aku harus bergelut dengan tua bangka peot
begitu rupa, he?!"
"Itu terserah bagaimana kau saja
Ratu! Dan semua ini juga tergantung
padamu. Kau bersedia berarti kita
mendapatkan kitab itu, jika kau tidak
bersedia, untuk apa dituruti!"
"Tidak! Aku tidak mau menuruti
permintaan gila ini!" teriak Ratu Pemikat.
"Ratu...."
"Merak Kawung!" tukas Ratu Pemikat.
"Sekali aku bilang tidak, tidak! Atau kau
saja yang layani dia!"
Air muka Merak Kawung berubah.
Tubuhnya tampak bergetar tanda ia menindih
amarah.
Saat itulah dari arah dipan terdengar
suara kekehan tawa Ki Jala Sutera.
"He... he... he...! Syarat telah
kuajukan. Jika tidak setuju harap lekas
tinggalkan tempat ini!"
Merak Kawung berpaling pada Ratu
Pemikat. "Ratu, Ini kesempatan paling
berharga! Orang tua itu sering berubah
pikiran dalam sekejap!"
Ratu Pemikat tampak bimbang.
"Tapi.... Ah, bagaimana aku harus...."
Merak Kawung segera menyahut. “Kau
bukan orang bodoh, Ratu!" bisiknya seraya
kedipkan mata sebelah.
"Baiklah! Aku terima syarat itu..."
ucap Ratu Pemikat pada akhirnya.
“He... he.... he...! Bagus! Merak
Kawung! Untuk malam ini kau sementara
tidur di luar!"
Merak Kawung memandang sekali lagi
pada Ratu Pemikat. Ratu Pemikat anggukkan
kepalanya. Tanpa berkata lagi, Merak
Kawung balikkan tubuh lalu melangkah
keluar.
Bersamaan dengan keluarnya Merak
Kawung, tiba-tiba Ki Jala Sutera bergerak
bangkit dan duduk dengan kedua tangan
direntang-rentangkan.
He... he... he.... Apalagi yang kau
tunggu, Bidadari?!"
Meski dalam hati menyumpah habis
habisan, namun perlahan-lahan Ratu Pemikat
melangkah mendekati dipan. Sementara
sepasang mata Ki Jala Sutera memandang tak
berkesip dengan mulut komat-kamit.
Begitu Ratu Pemikat dekat, kedua
tangan Ki Jala Sutera segera merangkul
sosok Ratu Pemikat dan kepalanya cepat
pula bergerak menciumi wajah perempuan
cantik itu.
Ratu Pemikat sejenak tidak membuat
gerakan apa-apa, bahkan ketika kedua
tangan Ki Jala Sutera membuka kancing-
kancing pakaiannya. Malah sang ratu buka
sedikit mulutnya dan perdengarkan desahan
panjang.
Sepasang mata si kakek makin
terpentang besar tatkala pakaian Ratu
Pemikat telah terbuka bagian atasnya dan
di hadapannya tampak dua payudara besar,
putih, dan kencang.
Tak sabar, kedua tangan Ki Jala
Sutera segera bergerak hendak menyentuh
payudara sang Ratu, namun Ratu Pemikat
cepat menangkap dan sambil duduk di atas
dipan, sang Ratu berbisik.
"Aku tidak mau dibodohi. Tunjukkan
dahulu tulisan yang kau maksud!"
Si kakek tampak kuasai dadanya yang
bergerak cepat sebelum berkata.
"Aku adalah manusia yang memegang
janji!"
Ratu Pemikat tertawa pendek. "Janji
di mulut mana bisa dipercaya! Tunjukkan
tulisan itu atau kau tidak akan rasakan
semua kenikmatan ini!"
Ki Jala Sutera gerakkan tangan
kanannya menyingkap jerami kering yang
menjadi alas pembaringan. Di situ
tampaklah oleh Ratu Pemikat satu buku
tipis.
"Buka dulu buku itu!" kata Ratu
Pemikat.
“Kau percaya atau tinggalkan tempat
ini!” Kini ganti Ki Jala Sutera yang
keluarkan ancaman, lalu tertawa mengekeh.
Ratu Pemikat hanya bisa diam bahkan
ketika kedua tangan Ki Jala Sutera melepas
pakaiannya hingga perempuan bertubuh
bahenol itu polos tanpa penutup lagi.
Namun ketika kedua tangan si kakek hendak
bergerak mencekal tubuhnya yang polos,
Ratu Pemikat cepat berkelit. Dan kini
sambil tertawa renyah Ratu Pemikat dorong
tubuh si kakek hingga telentang di atas
dipan.
"Kek...," kata Ratu Pemikat dengan
suara setengah berbisik. "Aku akan
membuatmu tidak melupakan malam ini seumur
hidupmu!" sambil berkata kedua tangan Ratu
Pemikat meraba tubuh yang tinggal tulang
belulang itu.
Ki Jala Sutera tampak kesenangan.
Napasnya makin memburu kencang. Malah
ketika perlahan-lahan kedua tangan Ratu
Pemikat membalikkan tubuhnya hingga
menelungkup, kakek ini menurut saja.
"Kek.... Tentu sudah lama kau tidak
merasakan kenikmatan seperti ini!" ujar
Ratu Pemikat seraya terus gerakkan
tangannya menelusuri punggung si kakek
sementara tubuh polosnya duduk di paha
sang kakek.
Ki Jala Sutera menggumam pelan tak
jelas karena tertindih desah napasnya yang
memburu kencang. Malah kakek ini tidak
merasakan saat perempuan di atas tubuhnya
angkat kedua tangannya. Dia baru tersadar
tatkala merasakan desiran angin kencang
melabrak dari samping kiri kanan
kepalanya. Namun kesadarannya sudah
terlambat. Sebelum sempat kakek ini tahu
apa yang terjadi, kedua tangan Ratu
Pemikat menghantam batok kepalanya bagian
belakang.
“Plakkk!”
Ki Jala Sutera hanya melengkuh pelan.
Kepalanya rengkuh. Namun akibatnya begitu
kedua tangan Ratu Pemikat menghantam
rengkah kepalanya, kedua kaki si kakek
melipat ke atas.
Bukkk! Bukkk!
Ratu Pemikat merasakan punggungmu
dihantam batangan kayu besar, hingga
tubuhnya mencelat dari atas tubuh Ki Jala
Sutera dan jatuh terjengkang ke bawah.
Pada saat bersamaan sosok si kakek tampak
bergerak bangkit. Darah tampak mengucur
deras dari kepalanya membasahi punggung
punggung dan wajahnya.
Menangkap gelagat tidak baik, Ratu
Pemikat cepat bangkit dan serta-merta
kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan
sakti 'Hamparan Langit' hingga saat itu
juga melesat dua sinar biru terang kearah
si kakek.
Meski Ki Jala Sutera adalah tokoh
yang pernah ditakuti pada beberapa tahun
silam, namun karena kepalanya telah
rengkah membuat gerakannya lamban, hingga
ketika dua sinar biru pukulan Ratu Pemikat
menggebrak, dia tidak sempat lagi meng
hindar.
Brulll!
Dinding gubuk jebol terhantam sosok
Ki Jela Sutera yang mencelat mental
terkena pukulan Ratu Pemikat. Kakek ini
hanya sempat terpekik, tapi tiba-tiba
suara pekikannya terputus laksana
direnggut setan. Sosoknya menghantam
sebatang pohon di luar gubuk lalu jatuh di
atas tanah dengan nyawa melayang!
Ratu Pemikat cepat berkelebat
menyambar pakaiannya, dan secepat itu pula
dia menyingkap jerami di atas dipan. Buku
tipis di atas jerami disambarnya lalu
berkelebat keluar gubuk.
"Ratu...!" teriak Merak Kawung. Ratu
Pemikat berpaling sejenak. Dia memberi
isyarat pada laki-laki berkepala gundul
itu. "Kita tinggalkan tempat ini, cepat!"
Merak Kawung sesaat meragu. Dia
memandang lekat-lekat pada Ratu Pemikat.
Ketika dia berpaling ke belakang gubuk dan
melihat sosok Ki Jala Sutera tergeletak
berlumur darah, dia segera angkat alis
matanya lalu berkelebat tinggalkan tempat
itu menyusui Ratu Pemikat yang telah
berkelebat lebih dulu.
SELESAI
Ikuti lanjutannya dala judul:
NERAKA PULAU BIRU
0 comments:
Posting Komentar