SATU
PAGI ITU Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata
baru saja selesai sarapan. Dia akan segera
berangkat menuju Keraton untuk menemui Sri
Baginda. Banyak hal penting yang akan dibicarakan. Salah
satu diantaranya menyangkut gerakan orang-orang yang
menamakan diri dan mengaku berasal dari Keraton
Kaliningrat. Saat keluar dari ruang makan seorang
pengawal datang memberi tahu bahwa Danang Kaliwarda,
kepala pengawal Gedung Bendahara ingin menghadap.
“Danang Kaliwarda.....” Patih Kerajaan menyebut
nama itu. “Aku pernah melihatnya beberapa kali. Tapi tak
pernah bertegur sapa. Pengawal, apa kau tanyakan
maksud kedatangannya?”
“Memang ada saya tanyakan. Katanya ada hal sangat
penting ingin disampaikan. Namun dia hanya mau bicara
langsung dengan Kanjeng Patih,” menerangkan pengawal
Gedung Kepatihan.
Setelah berpikir sebentar Patih Kerajaan akhirnya
berkata pada pengawal. “Aneh juga. Kalau ada sesuatu
urusan penting seharusnya Bendahara Wira Bumi yang
datang menghadap. Kepala Pengawal itu datang seorang
diri atau ada yang menemani?”
“Dia datang seorang diri, Kanjeng Patih.”
“Baiklah, suruh dia menunggu di pendopo sebelah
timur. Suguhkan kopi jika dia belum sarapan. Aku akan
segera menemuinya.”
Gedung Kepatihan memiliki dua buah pendopo.
Pendopo besar di sebelah barat, pendopo ke dua di
sebelah timur, lebih kecil dan memiliki dua dinding
penutup terbuat dari papan jati berukir pemandangan
gunung Merapi. Di tempat ini Patih Kerajaan biasanya
menemui tamu-tamu tertentu.
Danang Kaliwarda yang duduk bersila di lantai batu
pualam bersih dan licin berkilat cepat-cepat berdiri begitu
Patih Sawung Giring Bradjanata muncul, melangkah
menaiki anak tangga pendopo timur.
“Hormat untuk Patih Kerajaan. Saya Danang
Kaliwarda, Kepala Pengawal Gedung Bendahara.” Danana
Kaliwarda berucap lalu membungkuk dalam-dalam.
Patih Kerajaan menyilahkan tamunya duduk kembali.
Keduanya kemudian bersila berhadap-hadapan. Seorang
pelayan datang menating secangkir kopi hangat,
diletakkan di depan Danang Kaliwarda.
“Danang Kaliwarda, waktuku tidak banyak karena
harus segera menghadap Sri Baginda. Ceritakan apa
maksud kedatanganmu. Apakah Bendahara Wira Bumi
yang mengutusmu datang menghadapku? Sebelum kau
menjawab silahkan meneguk kopi lebih dulu.”
“Terima kasih Kanjeng Patih. Saya minum.” Selesai
meneguk kopi hangat Kepala Pengawal Gedung Bendahara
itu meluruskan duduknya lalu berkata. “Kanjeng Patih,
saya mohon maaf kalau kedatangan saya begini
mendadak, apa lagi sampai mengganggu dan menyita
waktu Kanjeng Patih. Saya datang dengan kemauan
sendiri. Tidak diutus oleh Raden Mas Wira Bumi.”
Sawung Giring Brajanata mengangguk. “Langsung
saja pada maksud kedatanganmu.”
“Saya datang untuk menyampaikan satu hal yang
sangat rahasia, Kanjeng Patih.”
Patih Kerajaan angkat kepala sedikit, dua mata
menatap lekat-lekat ke wajah tamunya. “Satu hal yang
sangat rahasia katamu. Bagiku ini agak mengejutkan. Hal
sangat rahasia macam apa? Menyangkut pribadi atau ada
hubungannya dengan Kerajaan?”
“Dua-duanya, Kanjeng Patih,” jawab Danang
Kaliwarda. “Terlebih dulu saya mohon maaf. Kejadiannya
berlangsung kemarin malam. Terjadi di halaman belakang
gedung kediaman Kanjeng Bendahara. Semula saya
merasa bimbang apakah akan memberitahu hal ini pada
Kanjeng Patih atau tidak. Kalau saya memberi tahu berarti
saya melangkahi atasan saya Raden Mas Wira Bumi. Kalau
saya tidak memberi tahu sebagai seorang prajurit saya
merasa berdosa pada Kanjeng Patih dan Kerajaan ....”
Patih Kerajaan berusia enam puluh tahun tapi masih
berwajah segar dan klimis usap dagunya yang ditumbuhi
janggut halus dan rapi.
“Teruskan ceritamu, Danang Kaliwarda.”
“Malam itu gedung kediaman Bendahara kedatangan
tamu seorang lelaki tinggi kurus dengan penampilan serba
merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Walau dia tidak
menyebut nama namun Saya tahu siapa dia karena
sebelumnya sudah pernah datang menemui Raden Mas
Wira Bumi. Orang itu saya kenal dengan nama Eyang Tuba
Sejagat. Pada kedatangannya yang kedua kali ini saya
lihat ada sesuatu yang terjadi dengan tubuhnya sebelah
luar dan sebelah dalam. Agaknya dia menderita luka
dalam parah. Seperti mengalami keracunan yang sangat
hebat. Mungkin saya menyalahi adat, namun entah
mengapa saya begitu ingin mengetahui apa yang
dibicarakan sang tamu dengan Raden Mas Wira Bumi.
Ternyata kecurigaan saya ada hikmahnya. Rupanya,
sebelumnya Raden Mas Wira Bumi telah memberi tugas
pada Eyang Tuba Sejagat untuk membunuh dengan cara
meracuni seorang Kiai yang diam di puncak Gunung Gede
bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas .....”
Sikap dan air muka Patih Kerajaan langsung berubah
mendengar ucapan Danang Kaliwarda itu.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah seorang suci
berilmu tinggi yang dianggap setengah Dewa. Dia banyak
membantu Kerajaan. Kalau ada orang jahat ingin
membunuhnya pasti ada satu masalah besar dibalik
perbuatan keji itu. Danang, teruskan keteranganmu.”
“Ternyata Eyang Tuba Sejagat gagal melaksanakan
tugas. Dua pembantunya tewas. Dia malah dicekoki Racun
Akar Bumi miliknya sendiri oleh Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Untuk mengobati dirinya yang keracunan dia
harus membeli obat dari seorang tabib. Obat itu mahal
sekali. Eyang Tuba Sejagat minta agar Raden Mas Wira
Bumi mau memberikan sejumlah uang. Dia berjanji kalau
sudah sembuh akan segera melaksanakan tugas
berikutnya.” Sampai di situ Danang Kaliwarda tidak
meneruskan ucapan, dia menatap sang patih dengan
bayangan rasa takut pada wajahnya.
“Kepala Pengawal, kau kelihatan seperti bimbang
atau takut meneruskan ucapan ....”
“Maafkan saya Kanjeng Patih. Terus terang saya
memang merasa takut karena apa yang hendak saya
katakan menyangkut langsung diri Kanjeng Patih.”
“Katakan saja. Mengapa harus takut?”
“Tugas berikut yang dikatakan oleh Eyang Tuba
Sejagat itu adalah membunuh Kanjeng Patih.” Walau
suaranya agak bergetar meluncur juga ucapan itu dari
mulut Danang Kaliwarda.
Sosok Patih Kerajaan seolah berubah menjadi patung,
diam tak bergerak. Air mukanya berubah. Namun sesaat
kemudian seringai muncul di wajahnya.
“Apakah ucapanmu bisa aku percaya Danang
Kaliwarda?”
“Demi Gusti Allah saya bersumpah saya tidak
berdusta.”
“Kalau begitu lanjutkan ceritamu. Apa yang terjadi
kemudian?”
“Raden Mas Wira Bumi tidak memberi uang yang
diminta. Malah Eyang Tuba Sejagat dibunuh. Kepalanya
dipukul hingga rengkah!”
“Dengan tangan kosong?”
“Betul Kanjeng Patih. Raden Mas Wira Bumi
menghabisi Eyang Tuba Sejagat dengan pukulan tangan
kosong. Tangan kanan.” Jawab Danang Kaliwarda sambil
mengepal dan mengangkat tangan kanannya sendiri.
“Ceritamu hebat! Luar biasa! Tapi tunggu dulu.
Setahuku Bendahara Wira Bumi tidak memiliki ilmu
pukulan tangan kosong yang sanggup membuat rengkah
kepala orang. Kau berdusta padaku, Danang Kaliwarda!”
Patih Kerajaan berkata dengan mata menatap tak berkesip
ke mata orang di hadapannya.
Danang Kaliwarda susun sepuluh jari di atas kepala.
“Saya mana berani berdusta Kanjeng Patih. Saya sudah
mengucapkan sumpah. Mungkin Kanjeng Patih tidak tahu
kalau beberapa waktu belakangan ini Raden Mas Wira
Bumi telah menuntut ilmu kesaktian pada seorang sakti di
pantai selatan.”
“Yang aku tahu Wira Bumi pernah minta waktu
istirahat cukup lama. Katanya untuk mengobati penyakit
yang diidapnya. Rupanya dia berguru pada seseorang. Kau
tahu siapa orang sakti yang jadi gurunya itu?”
“Saya tidak tahu. Ada seorang pembantu yang dulu
pernah bekerja pada Raden Mas Wira Bumi sewaktu dia
masih menjadi Tumenggung. Pembantu itu bernama Djaka
Tua. Kabarnya dia yang tahu siapa adanya guru Raden
Mas Wira Bumi. Hanya sayang dia telah lenyap melarikan
diri ....”
“lstri ke tiga Wira Bumi bernama Nyi Retno Mantili
juga lenyap dan sampai saat ini tidak pernah ditemukan.”
“Kanjeng Patih, saya yakin lenyapnya pembantu serta
istri Raden Mas Wira Bumi saling punya kaitan. Maaf,
ijinkan saya melanjutkan keterangan. Setelah Eyang Tuba
Sejagat tewas, saya diperintahkan membuang mayatnya.
Mayat saya buang malam itu juga ke dalam sebuah jurang
di pinggir selatan Kotaraja.”
“Aku tidak percaya dan merasa sangat aneh. Wira
Bumi ingin membunuhku lewat tangan Eyang Tuba
Sejagat. Aku tidak ada permusuhan dengan dirinya. Ketika
istrinya lenyap aku memerintahkan pasukan besar untuk
mencari. Jabatannya yang baru sebagai Bendahara
Kerajaan juga aku yang mengusulkan kepada Sri Baginda.
Lalu dia ingln membunuhku. Apa dia sudah gila. Wira Bumi
bukan saja membalas air susu kebaikanku dengan air
tuba, tapi malah dengan darah!” Patih Kerajaan gelengkan
kepala berulang kali.
“Ada dua kejadian lagi malam itu yang perlu saya beri
tahu pada Kanjeng Patih.” Kata Danang Kaliwarda pula.
“Apa?” Tanya sang Patih. Dia seolah melupakan
waktunya yang sangat terbatas serta rencana menemui Sri
Baginda pagi itu.
“Selesai saya membuang mayat Eyang Tuba Sejagat
saya kembali ke Gedung Bendahara. Tak sengaja saya
lihat jendela kamar tidur Raden Mas Wira Bumi dalam
keadaan sedikit terbuka dan lampu di dalam kamar
menyala terang benderang. Mungkin Raden Mas Wira Bumi
sudah tertidur dan lupa menutup jendela. Saya bermaksud
hendak menutup jendela itu namun di dalam kamar saya
lihat Raden Mas Wira Bumi tengah menggeluti seorang
perempuan cantik di atas ranjang. Keduanya dalam
keadaan bugil .....”
“Semua orang tahu Raden Mas Wira Bumi punya tiga
orang istri termasuk Nyi Retno Mantili. Apakah perempuan
yang bersamanya saat itu bukan salah satu dari dua
istrinya yang lain?”
Danang Kaliwarda gelengkan kepala.
“Tidak Kanjeng Patih. Perempuan yang digauli Raden
Mas Wira Bumi itu bukan salah satu dari dua istrinya. Saya
tidak pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Ada
keanehan dengan auratnya. Salah satu buah dadanya,
yang sebelah kiri sangat besar.”
“Apa perempuan itu terus berada di Gedung
Bendahara sampai pagi? Menginap?”
“Tidak Kanjeng Patih. Saya bersembunyi di satu
tempat setelah lebih dulu memberi perintah pada anak
buah yang bertugas malam itu agar jangan sekali-kali
melewati atau berada di dekat jendela. Menjelang pagi
jendela terbuka. Saya lihat perempuan itu melesat keluar
kamar, masih dalam keadaan bugil, menenteng pakaian
lalu lenyap di arah timur. Gerakannya luar biasa cepat
pertanda dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak selang
berapa lama saya lihat Raden Mas Wira Bumi keluar pula
dari gedung, berjalan cepat menuju bagian luar tembok
sebelah selatan. Saya mengikuti. Raden Mas Wira Bumi
berjalan menuju satu rumpunan pohon bambu. Ternyata
di situ ada sosok seorang lelaki, terjepit tak berdaya di
antara empat batang bambu. Ketika saya perhatikan
ternyata orang itu adalah Djaka Tua, bekas pembantu di
Gedung Tumenggung dulu. Saya dengar Raden Mas Wira
Bumi menanyakan bayinya dan sebilah golok. Dia
menuduh Djaka Tua telah menculik bayi itu dan mencuri
golok. Menurut pengakuan Djaka Tua bayi dan golok
diambil oleh seorang kakek tinggi putih. Dia tidak tahu
siapa adanya kakek itu dan berada dimana. Raden Mas
Wira Bumi kemudian mencekik leher Djaka Tua. Hampir
pembantu itu menemui ajal tiba-tiba ada suara perempuan
tertawa. Dia mengatakan sesuatu tapi tak jelas saya
dengar. Kemudian ada dua larik sinar putih menderu
disertai dua letusan dahsyat dan menebarnya kabut aneh.
Raden Mas Wia Bumi selamat dari serangan dua larik sinar
putih. Namun saat itu Djaka Tua tak ada lagi di tempat itu.
Saya segera mendekati Raden Mas Wira Bumi dan
menanyakan apa yang terjadi. Dia menjawab tidak terjadi
apa-apa di tempat itu dan mengatakan saya bermimpi lalu
.....”
Entah apa yang terjadi mendadak udara di pendopo
sebelah timur Gedung Kepatihan itu berubah redup seolah
siang telah berganti malam. Satu bayangan merah
berkelebat disertai membahananya bentakan perempuan.
“Danang Kaliwarda, manusia busuk pengkhianat
atasan! Kau memang tidak dalam alam mimpi tapi tengah
menuju alam kematian!”
Dua orang yang duduk di lantai pendopo sama
terkejut.
Patih Kerajaan merasa sambaran angin menerpa di
samping kanan. Di lain kejap seorang nenek kurus
bungkuk tahu-tahu telah berdiri di depannya. Muka
keriput, rambut riap-riapan serta pakaiannya yang berupa
selempang kain, semua berwarna merah. Patih Kerajaan
bahkan melihat bagaimana sepasang mata termasuk alis,
lidah dan gigi nenek ini juga berwarna merah
menggidikkan.
Danang Kaliwarda tidak tahu siapa adanya nenek
serba merah ini. Namun dari ucapannya tadi dia bisa
menduga jangan-jangan perempuan tua ini adalah orang
sakti guru Wira Bumi. Dadanya berdebar, muka pucat.
Sementara Patih Kerajaan maklum siapapun adanya nenek
serba merah ini dia adalah seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Sang Patih mencium adanya bahaya.
Serta merta dia berdiri dan menegur dengan suara datar.
“Nenek muka merah, antara kita tidak saling kenal.
Mengapa berani masuk ke Gedung Kepatihan tanpa ijinku”
Si nenek yang bukan lain adalah Nyai Tumbal Jiwo,
guru Raden Mas Wira Bumi hamburkan suara tawa
bergelak.
“Aku datang dan pergi kemana aku suka! Siapa
berani melarang!” .
Walau merasa dianggap enteng namun Patih Sawung
Giring Bradjanata masih bicara dengan suara rendah.
Malah dengan seringai tersungging di mulut.
“Rupanya aku berhadapan dengan seorang
perempuan tua kurang ajar. Nenek muka merah, dengar.
Aku masih memberi pengampunan padamu jika kau mau
angkat kaki dari tempat ini sekarang juga!”
“Kalau aku tak mau minggat?!” Nyai Tumbal Jiwo
menantang.
Habislah kesabaran sang patih. Dia berteriak
memanggil pengawal. Tiga pengawal segera muncul.
Sesaat mereka terheran-heran menyaksikan udara di
pendopo redup seperti itu.
“Ringkus perempuan tua muka merah itu. Bawa dia
keluar dari Gedung Kepatihan. Jika berani masuk lagi
tangkap!”
Tiga pengawal bertubuh kekar segera lakukan
perintah Patih Kerajaan. Namun apa yang terjadi
kemudian membuat Patih Sawung Giring Bradjanata
terkejut luar biasa, juga merinding. Ketika hendak
disergap, nenek muka merah berkelebat. Lalu tiga larik
sinar merah berkiblat. Tiga pengawal menjerit. Ketiganya
terpental sejauh dua tombak. Terguling di lantai pendopo
dalam keadaan sekujur tubuh melepuh serta kepulkan
asap! Selagi Patih Kerajaan terkesiap begitu rupa si nenek
kembali berkelebat dan tahu-tahu keris milik sang Patih
telah berada di tangan sl nenek sementara sarungnya
masih tersisip di pinggang Patih Sawung Giring.
Selaku Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata
tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Namun kalau
senjata di pinggangnya dapat dirampas orang, berarti si
perampas memiliki kehebatan melebihi dirinya.
“Tua bangka kurang ajar! Kembalikan kerisku!” teriak
Patih Kerajaan marah besar. Lalu tubuhnya melesat ke
depan. Tidak sungkan lagi dia langsung kirimkan pukulan
kilat ke arah kepala nenek muka merah. Nyai Tumbal Jiwo
merunduk. Tertawa cekikikan.
Perkelahian hebat segera terjadi. Seolah melecehkan,
si nenek hanya pergunakan tangan kanan untuk melayani
lawan sementara tangan kiri memegang keris tanpa
sarung. Setiap terjadi bentrokan lengan Nyai Tumbal Jiwo
terjajar dua langkah ke belakang sebaliknya Patih
Kerajaan merasa kesakitan amat sangat seolah tangannya
membentur pentungan besi.
Dalam jurus ke empat setelah menggempur habis-
habisan dengan mengeluarkan jurus bernama Menusuk
Bumi Menikam Langit Patih Sawung Giring Bradjanata
berhasil mendaratkan jotosan tangan kanannya ke dada
kiri lawan. Nyai Tumbal Jiwo meraung setinggi langit. Asap
merah mengepul dari ubun-ubunnya. Bagian yang barusan
kena dipukul adalah tepat payudara sebelah kiri yang
bengkak besar. Walau dasarnya adalah mahluk dari alam
roh, namun tetap saja dia mengalami luka dalam yang
hebat. Nyai Tumbal Jiwo semburkan ludah campur darah
dari mulutnya. Sepasang mata laksana memancarkan
kilatan api. Dari ubun-ubun mengepul asap merah tipis.
“Patih jahanam! Terbanglah ke akhirat!” Mulut
berucap lima jari tangan kanan menjentik!
“Wuutt… wuutt… wuutt… wuutt… wuuttt!”
Lima Jari Akhirat!
Lima larik sinar merah berkiblat. Patih Kerajaan
berusaha menghindar sambil dua tangan melepas pukulan
sakti mengandung tenaga dalam tinggi, namun tetap
jebol! Seperti diketahui terhadap serangan Lima Jari
Akhirat jarang lawan bisa lolos. Kalaupun sanggup
bertahan maka sekujur tubuhnya akan melepuh cacat dan
menderita kesakitan seumur hidup. Patih Sawung Giring
menjerit keras ketika empat dari lima sinar merah
menyapu dirinya. Tubuhnya terpental menghantam salah
satu tiang pendopo. Tiang patah, sosok Sawung Giring
Bradjanata terkapar di lantai dalam keadaan hangus
mengerikan!
“Anjing pengkhianat! Kau mau lari kemana?!” bentak
Nyai Tumbal Jiwo ketika Danang Kaliwarda dilihatnya
berusaha hendak kabur.
“Aku tidak punya dosa kesalahan apa-apa
terhadapmu ....”
“Manusia anjing kurap! Tutup mulutmu! Siapa bilang
kau tidak punya dosa kesalahan terhadapku! Aku Nyai
Tumbal Jiwo adalah guru dan kekasih Wira Bumi yang kau
khianati! Aku tahu malam itu kau mengintip dibalik jendela
sewaktu aku bercinta dengan Wira Bumi. Apa kau tergiur?
Apakah kau ingin melakukannya padaku? Hik ... hik..hik!
Kau belum pantas melayaniku! Kau lebih cocok kalau aku
kirim keakhirat seperti majikan besarmu itu! Hik ... hik ...
hik!”
Nyai Tumbal Jiwo menyergap.Keris di tangan kanan
menderu ke arah dada Danang Kaliwarda. Kepala
Pengawal Gedung Bendahara ini cepat melompat mundur
sambil menghunus golok besar.
“Kau punya nyali juga! Aku mau tahu sampai dimana
kehebatanmu!” Tangan kanan Nyai Tumbal Jiwo yang
memegang keris berkelebat laksana kilat. Serangan
ganasnya membuat Danang Kaliwarda kelabakan. Dalam
waktu beberapa kejapan saja dia telah menghunjamkan
empat tusukan dan tiga babatan keris ke tubuh Kepala
Pengawal Gedung Bendahara Kerajaan itu.
Danang Kaliwarda hanya sempat menangkis satu kali.
Lalu tubuhnya roboh. Darah bersimbah dari luka-luka di
sekujur tubuh dan tenggorokan.
Dengan tenang sambil menyeringai Nyai Tumbal Jiwo
melangkah mendekati mayat Sawung Giring Bradjanata.
Keris yang dipegangnya digenggamkan ke dalam jari-jari
tangan Patih Kerajaan itu. Sebelum meninggalkan
pendopo timur nenek muka merah ini hampiri sosok
Danang Kaliwarda yang tengah sakarat. Enak saja dan
kurang ajar sekali, tangan kanannya disusupkan, meraba-
raba ke balik celana Kepala Pengawal itu, kepala
mendongak, wajah menyeringai.
“Aaahh, rnenyesal aku membunuhnya terlalu cepat.
Seharusnya aku coba dulu yang satu ini. Hik ... hik ... hik.”
Sesaat setelah Nyai Tumbal Jiwo tinggalkan tempat
itu, udara di pendopo kembali cerah.
Hari itu juga Kotaraja dilanda geger besar. Tersiar
kabar bahwa telah terjadi perkelahian antara Patih
Kerajaan dengan Kepala Pengawal Gedung Bendahara.
Kedua-duanya tewas. Di duga kedua orang ini telah
mengadu jiwa akibat satu dendam atau perkara yang tidak
diketahui apa adanya. Hanya saja tidak ada yang bermata
jeli dan menyelidik lebih jauh akan keadaan mayat Patih
Sawung Giring. Danang Kaliwarda tidak memiliki ilmu
kesaktian yang mampu membuat dia membunuh lawannya
sampai sekujur tubuh sang Patih melepuh hangus!
Dua puluh hari setelah peristiwa berdarah itu, Raden
Mas Wira Bumi dipercayakan Sri Baginda untuk menduduki
jabatan Patih Kerajaan. Malam harinya Nyai Tumbal Jiwo
datang menemui Wira Bumi, minta dihibur sampai pagi.
Dan Wira Bumi melayani sepenuh hati karena dia
menyadari jabatan Patih Kerajaan itu didapatnya dari hasil
pekerjaan licik dan keji si nenek dari alam roh itu.
-- << >>
DUA
HUJAN luar biasa lebat mengguyur puncak Gunung
Merapi. Walau saat itu siang hari namun keadaan
tidak beda seperti malam. Setiap angin bertiup
kencang ranting-ranting serta daun pepohonan bergoyang
dan bergesek mengeluarkan suara bersiur panjang
menggidikkan.
Dalam cuaca buruk begitu rupa Pangeran Matahari
berlari ke arah utara puncak gunung. Seperti dikisahkan
dalam Episode sebelumnya (Nyi Bodong) setelah ditimpa
malapetaka berulang kali, Pangeran Matahari menemui
gurunya Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat melalui tapa
Aras Bumi Aras Langit. Sesuai petunjuk sang guru saat itu
dia tengah menuju sebuah goa yang puluhan tahun silam
pernah menjadi tempat kediaman Si Muka Bangkai.
Karena sudah sekian lama, ditambah keadaan cuaca yang
gelap, di bawah hujan lebat pula, meski pernah tinggal di
situ, cukup sulit bagi Pangeran Matahari untuk mencari
goa tersebut.
Sementara berlari dia ingat semua ucapan Si Muka
Bangkai.
“Kau pergilah ke puncak Gunung Merapi sebelah
utara, ke bekas goa tempat kediamanku. Di sana kau akan
menemukan seperangkat pakaian yang harus kau pakai
begitu turun gunung. Di dalam goa kau akan menemukan
pula sebuah lentera yang hanya bisa menyala jika kau isi
dengan minyak kasturi ini. Pada dinding goa kau akan
melihat guratan tulisan yang aku buat sebagai petunjuk
penggunaan dan kegunaan benda itu. Untuk sementara
sampai keadaan aman bagimu, kau hanya boleh
menampakkan diri pada malam hari. Demi keselamatanmu
kau harus membawa dan menyalakan lentera itu
kemanapun kau pergi. Kau harus sadar musuhmu kini
bukan hanya murid Sinto Gendeng keparat itu. Banyak
orang lain yang menginginkan nyawamu! Sebelum aku
lupa, ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Lentera
yang aku katakan tadi sekali-kali tidak boleh terkena atau
bersentuhan dengan cairan atau air yang keluar dari tubuh
manusia. Misal air mata, air keringat, air kencing bahkan
air mani! Ha.. .ha.. .ha! Pokoknya semua air yang berasal
dari tubuh manusia! Kalau larangan itu sampai dilanggar
kau akan ditimpa malapetaka besar! Pergilah ke goa di
puncak Merapi. Kau akan mengetahui apa yang harus kau
lakukan. Satu hal harus kau ingat. Selesai membaca dan
memahami guratan tulisanku di dinding goa, tulisan itu
harus kau kikis habis. Harus kau lenyapkan!”
Hujan bertambah lebat dan udara semakin gelap.
Sesekali kilat menyambar. Puncak gunung Merapi sesaat
jadi terang benderang. Walau sangat singkat namun cukup
memberi petunjuk pada Pangeran Matahari kemana
dimana dia berada saat itu dan kemana dia harus
meneruskan larinya.
Karena hujan tak kunjung berhenti dan udara
semakin gelap, kawatir akan kesasar, Pangeran Matahari
akhirnya memutuskan untuk mencari tempat berteduh.
Kalau cuaca sudah baik baru dia melanjutkan perjalanan.
Ketika kilat kembali menyambar dan keadaan terang
benderang sekilas, mata tajam sang Pangeran sempat
melihat satu lamping bukit ditumbuhi sederetan pohon-
pohon besar. Pada bagian bawah deretan pohon sebelah
tengah ada satu cekungan tanah cukup dalam. Tanpa pikir
panjang Pangeran Matahari segera berlari memasuki
cekungan tanah itu. Cukup lama dia duduk berteduh di
situ sampai akhirnya hujan mulai reda dan langit perlahan-
lahan bersih benderang.
Sekitar sepenanakan nasi akhirnya Pangeran Matahari
berhasil menemukan goa yang pernah menjadi kediaman
guru dan dirinya sendiri. Goa ini terletak di lamping
sebuah kali kecil yang saat itu airnya meluber banjir
kemana-mana. Begitu sampai di depan goa Pangeran
Matahari mencium bau tengik menyesakkan pernafasan.
Melangkah masuk ke dalam goa sejauh tujuh langkah bau
tengik itu semakin keras dan seolah mencekik jalan nafas.
Dadanya berdebar, dua lutut terasa goyah. Langkah
tertahan. Pangeran Matahari segera kerahkan tenaga
dalam, tutup saluran pernafasan untuk beberapa lama
sampai perasaannya tenang kembali dan getaran di kedua
lutut lenyap. Hati-hati, penuhwaspada dia melanjutkan
langkah.
“Aneh, seharusnya goa ini berada dalam keadaan
gelap gulita. Mengapa seperti ada cahaya datang dari
sebelah dalam? Mungkin lenteranya sudah menyala?”
membatin Pangeran Matahari lalu dia meraba bagian
pakaian di balik mana dia menyimpan tabung berisi
minyak kasturi yang diberikan Si Muka Bangkai. Dia ingat,
lentera yang ada di dalam goa hanya bisa dinyalakan
dengan minyak kasturi itu.
Setelah lewat tujuh langkah lagi memasuki goa bau
tengik yang menyesakkan dada mendadak lenyap, kini
berganti dengan bau wangi kulit pohon kayu manis, yang
menebar rasa segar. Di sisi kanan goa ada satu gundukan
batu. Di atas batu ini terletak seperangkat pakaian berupa
jubah hitam panjang selutut, serta celana hitam dan
gulungan kain ikat kepala berwarna merah. Ketika
Pangeran Matahari mengembangkan jubah hitam, pada
bagian dada terpampang gambar matahari bulat besar
berwarna merah lengkap dengan sinar yang juga berwarna
merah. Pangeran Matahari terdiam sejurus. Dia ingat, baju
dan celana hitam serta ikat kepala merah adalah
perangkat pakaian yang dikenakannya pertama kali
sewaktu turun gunung. Hanya kali ini baju ditukar menjadi
jubah dan bentuk gambar matahari berbeda dari yang
dulu. Dia juga ingat pesan gurunya bahwa pakaian itu
baru boleh dikenakan jika dia siap turun gunung. Apakah
pakaian dan ikat kepala itu merupakan tanda bahwa dia
akan turun gunung untuk kedua kalinya, membuka
lembaran baru dalam rimba persilatan?
Sang Pangeran lanjutkan langkah. Baru menindak
dua langkah mendadak telinganya mendengar suara orang
mengorok. Suara ini datang dari bagian dalam goa.
Membuat Pangeran Matahari menjadi penuh tanda tanya.
“Ada orang tidur di dalam sana. Siapa? Mungkin
guru? Tapi dia sudah meninggalkan pesan baru akan
kembali lagi tiga ratus hari yang akan datang.”
Pangeran Matahari usap-usap dagunya yang
ditumbuhi janggut liar lalu kembali teruskan langkah. Kali
ini lebih perlahan sambil tangan kanan siap sedia
membekal dan melepas pukulan sakti jika mendadak ada
bahaya tak terduga mengancam. Semakin jauh masuk ke
dalam goa semakin terang cahaya yang datang dari
sebelah dalam dan bertambah keras suara mendengkur.
Tiga langkah di depan sana goa membelok ke kiri. Tujuh
langkah dari kelokan, goa itu sampai pada ujungnya.
Pangeran Matahari masih belum melihat, lentera yang
dikatakan Si Muka Bangkai. Mungkin berada di bagian
ujung goa, dibalik kelokan. Mau tak mau berdebar juga
dada sang Pangeran ketika dia melangkah memasuki
kelokan. Suara tertahan keluar dan mulutnya begitu
melewati kelokan dan memandang ke depan. Tujuh
langkah di seberang sana, goa berakhir pada satu dinding
batu. Ujung goa terlihat rata, membentuk sebuah ruangan
batu berukuran dua kali tiga tombak. Ruangan ini bersih
sekali seperti ada yang barusan menyapunya. Di sinilah
dulu dia pernah tinggal bersama Si Muka Bangkai selama
bertahun-tahun. Kenangan akan masa lalu serta merta
buyar, berubah dengan rasa kaget luar biasa ketika
Pangeran Matahari melihat bagaimana di salah satu sudut
ruangan bergelung sosok besar seekor ular hitam berkilat,
kepala menjulai ke lantai goa, mata terpejam, mulut
sedikit terbuka. Dan dari mulut inilah keluar suara
mendengkur keras seperti dengkur manusia! Tubuh ular
yang berkilat itulah yang memancarkan cahaya menerangi
sepanjang goa. Untuk beberapa lama Pangeran Matahari
tegak setengah memicingkan mata karena kesilauan.
“Ular mendengkur seperti manusia…” Ucap Pangeran
Matahari dalam hati. Keanehan ini membuat dia berlaku
waspada dan pentang mata lebar-lebar. Dia masih belum
melihat lentera yang dikatakan sang guru. Dia juga tidak
melihat guratan-guratan tulisan seperti yang dikatakan Si
Muka Bangkai. Pangeran Matahari memandang berkeliling.
Matanya kembali memperhatikan sosok ular hitam di sudut
ruangan. Ah! Kali itulah dia baru melihat. Di dalam lingkar
sebelah dalam gelungan tubuh ular hitam besar terdapat
satu benda yang bukan lain adalah sebuah lentera. Bagian
atas lentera terbuat dari bahan tembus pandang semacam
kaca tebal berwarna merah, kuning dan hitam, diikat oleh
sejenis logam berwarna hilam, lengkap dengan pegangan
berbentuk kepala naga. Bagian bawah lentera tidak
terlihat karena tentutup gelungan tubuh ular hitam.
“Gila. bagaimana aku mau mengambil lentera? Ular
besar itu menggelung seperti menjaganya. Si Muka
Bangkai, dia hanya membuat diriku susah saja. Di dinding
goa aku sama sekali tidak melihat guratan tulisan seperti
yang dikatakannya! Guru tidak pernah menyebut perihal
binatang ini. Apakah ular ini datang begitu saja, kesasar di
dalam goa karena hujan lebat di luar sana? Atau apakah Si
Muka Bangkai menipuku. Sebenarnya dia sengaja
memasang perangkap, ingin membunuhku di tempat ini?!”
Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam hati
begitu rupa, tiba-tiba ular hitam besar di sudut ruangan
keluarkan suara mengorok lebih keras hingga lantai goa
terasa bergetar. Kepala binatang ini terangkat dan
sepasang mata terbuka sedikit, berputar melirik ke arah
Pangeran Matahari. Sang Pangeran tercekat sewaktu
menyaksikan bagaimana dari sepasang mata ular hitam
besar ada cahaya menyambar. Cahaya kematian!
Kemudian ular ini kembali lunjurkan kepala di lantal dan
lanjutkan tidur mendengkurnya!
“Aku harus dapatkan lentera itu. Bagaimana caranya?
Apakah aku harus membunuh ular hitam itu terlebih
dulu?”
Pangeran Matahari berdiri tak bergerak. Sepasang
mata menatap ke arah ular hitam sementara otak mulai
bekerja. Cukup lama dia bersikap seperti itu, perlahan-
lahan Pangeran Matahari turunkan badan, duduk bersila di
sudut yang berlawanan dengan ular besar hitam yang
menggelung lentera. Dua telapak tangan dikembangkan,
lalu diletak ditekankan ke lantai goa. Bersamaan dengan
itu murid Si Muka Bangkai ini kerahkan tenaga dalam dan
hawa sakti mengandung kekuatan dahsyat, disalurkan ke
lantai goa dan diarahkan ke sudut ruangan di
seberangnya.
Lantai goa yang dialiri tenaga dalam dan hawa sakti
yang keluar dari tubuh Pangeran Matahari tampak retak
mengepulkan asap kemerahan. Retakan dan kepulan asap
ini bergerak ke arah sudut ruangan dimana ular hitam
besar bergelung. Lentera di dalam gelungan bergoyang-
goyang. Sesaat kemudian tubuh ular ini kelihatan ikut
mengepulkan asap. Suara dengkuran serta merta lenyap.
Sepasang mata membuka. Kepala tersentak naik ke atas
dan mulut yang tertutup kini menganga. Lidah terjulur
memancarkan cahaya biru menyilaukan. Dari mulut
binatang ini kemudian mendadak keluar suara tawa
panjang. Suara tawa perempuan!
Jelas sudah binatang ini adalah mahluk jejadian!
Yang membuat Pangeran Matahari jadi melengak
kaget bukan hanya karena menyadari bahwa binatang itu
bukan ular sungguhan, atau mendengar tawanya yang
menggidikkan, tetapi juga karena merasakan bagaimana
tenaga dalam dan hawa sakti panas yang dikirimkannya ke
arah ular hitam itu kini membalik mengarah dirinya
dengan kekuatan berlipat ganda. Retakan di lantai batu
tampak merah membara saking panasnya. Kepulan asap
bukan lagi berwarna merah tapi berubah biru pertanda
panasnya sangat luar biasa! Yang sangat dikawatirkan
Pangeran Matahari adalah rusaknya lentera akibat hawa
panas luar biasa.
“Plaakk!”
Tiba-tiba ular hitam sentakkan ekor, menghantam
lantai goa. Saat itu juga hawa panas dan kepulan asap
biru menyambar dahsyat. Pangeran Matahari berteriak
keras. Dua tangan dipukulkan. Satu menghantam ke
depan ke arah ular hitam, satunya lagi untuk
membuyarkan serangan hawa panas dan kepulan asap
biru.
“Buumm!”
“Buumm!”
Dua letusan dahsyat menggelegar. Goa batu laksana
digoncang gempa. Pangeran Matahari terpental sampai ke
tikungan goa. Dia merasa tubuhnya seperti hancur lebur.
Rasa sakit menjalar dari ubun-ubun sampai ke jari kaki.
Namun ternyata dia masih hidup dan mampu berdiri.
Hanya saja ketika memperhatikan keadaan dirinya,
tengkuknya langsung dingin. Jubah kelabu yang
dikenakannya kini telah berubah hitam hangus dan
mengepulkan asap! Di dalam goa sana terdengar suara
tawa sang ular, suara tawa perempuan!
“Aneh, kalau pakaianku hangus seharusnya aku
mengalami cidera berat. Bahkan bisa mati! Ada satu
kekuatan melindungi diriku ...” Pangeran Matahari berucap
dan bertanya-tanya dalam hati. Rasa jerihnya perlahan-
lahan lenyap, berganti dengan rasa percaya diri.
“Pangeran Matahari, aku tahu kedatanganmu kemari
adalah untuk mengambil lentera. Aku akan memberikan
padamu asal kau mau menukar dengan sesuatu!”
Ada orang bicara di dalam goa! Suara perempuan!
Ular itukah yang mengeluarkan ucapan?!
Belum lenyap gema suara ucapan di dalam goa,
Pangeran Matahari telah melompat melewati tikungan dan
berdiri lima langkah di hadapan ular hitam.
“Mahluk jahanam! Jejadian siapa kau adanya?! Apa
maksudmu menukar lentera itu dengan sesuatu?!”
Pangeran Matahari membentak sambil tangan kiri
menyiapkan Pukulan Telapak Matahari yang diwarisinya
dari Si Muka Bangkai sementara tangan kanan siap
melepas Pukulan Menahan Bumi Memutar Matahari. Ini
adalah jurus pertahanan sekaligus menyerang yang
didapatnya dari seorang sakti bernama Singo Abang.
(Baca Episode berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”)
Ular hitam angkat kepala lebih tinggi. Dua mata
memandang berkilat. Lidah menjulur lalu mulutnya
berucap.
“Pangeran Matahari. Walau banyak lawan telah
menggebukmu, walau mukamu sudah menjadi cacat
buruk, sikap dan ucapanmu masih saja sombong pongah
seperti dulu! Pasang telingamu baik-baik.Yang aku minta
sebagai pengganti lentera adalah nyawamu!”
Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik berkilat.
Rahang menggembung dan pelipis bergerakgerak. Kepala
mendongak lalu dia tertawa bergelak.
“Mahluk jejadian! Ketololan akan membawa celaka
bagimu! Kau tidak berada di alammu, mengapa berani
bicara congkak?! Lekas menyingkir dari goa ini atau kau
akan menerima azab yang akan membuat rohmu
tergantung lumpuh antara langit dan bumi!”
Ular di sudut ruangan kembali tertawa panjang.
“Kau tidak tahu indahnya hidup di alam roh.
Sebaliknya apakah kau pernah merasakan hidup sengsara
dipendam dua puluh satu tombak di dalam tanah? Hik ...
hik ... hik! ltulah nasib yang bakal kau alami!”
Saat itu Pangeran Matahari sudah siap untuk
menyerang ular di sudut ruangan. Namun dia kawatir
serangannya akan merusak lentera. Dia harus mencari
akal. Paling tidak mengulur waktu.
“Ular betina jejadian! Apakah kekasihmu yang
menyuruh datang mencari celaka ke tempat ini?!”
Mendengar ucapan Pangeran Matahari sang ular
malah tertawa.
“Kau tidak tahu! Kekasihku adalah dirimu sendiri!”
Pangeran Matahari melengak kaget dan memaki
dalam hati.
“Siapa kau sebenarnya?!” Bentak murid Si Muka
Bangkai.
“Aku adalah titisan seseorang.”
“Seseorang siapa?!”
“Seorang gadis yang pernah kau permainkan, kau
jadikan budak nafsu sehingga hamil. Lalu kau bunuh!”
Kening Pangeran Matahari mengerenyit. Mulut
ternganga.
“Binatang keparat! Katakan kau ini titisan siapa?!”
“Aku adalah Pandan Arum. lngat peristiwa di
Pangandaran? Di sana kau membunuh aku!” (Baca Episode
berjudul “Kiamat di Pangandaran”)
Pangeran Matahari jadi tertegun. Apakah binatang
jejadian ini tidak menipunya? Benarkah dia titisan Pandan
Arum, adik Bidadari Angin Timur yang hendak menuntut
balas melampiaskan dendam kesumat?!
“Akal ... akal, cerdik ... cerdik! Aku harus punya
segala daya, akal dan kecerdikan .....” Pangeran Matahari
berkata dalam hati. Lalu dia mendengus dan berkata.
“Terlalu banyak manusia yang aku bunuh! Aku tidak ingat
satu persatu! Aku tidak tahu kau ini Pandam Arum yang
mana! Jika mampu harap perlihatkan ujud dirimu yang
sebenarnya!”
“Dajal busuk! Tumpukan dosa keji membuat matamu
buta dan hatimu menjadi batu! Buka mata lebar-lebar!
Apa kau masih bisa melihat!”
Ular di sudut ruangan membuka gelungan, tubuhnya
naik ke atas. Kepala dan tubuh digoyang tiga kali. Wusss!
Asap putih mengepul. Saat itu juga sosok ular berubah
menjadi ujud seorang gadis berpakaian hitam, rambut
hitam, wajah cantik tapi pucat. Sepasang mata berwarna
merah membara pertanda ada pancaran dendam kesumat,
menatap tak berkedip ke arah Pangeran Matahari.
“Pandan Arum, memang dia ....” Ucap Pangeran
Matahari dalam hati. Lalu tidak membuang waktu lagi
karena memang ini kesempatan yang ditunggu, Pangeran
Matahari hantamkan tangan kiri kanan. Tangan kanan
melepas Pukulan Tapak Merapi. Tangan kiri melepas
Pukulan Merapi Meletus.
Menghadapi dua serangan maut yang bisa
menghancurkan dirinya dan mampu meruntuh goa
perempuan di dalam ruangan rangkapkan dua tangan di
depan dada lalu sepasang mata dikedipkan.
“Wuss! wusss!”
Dua larik slnar merah menderu dahsyat. Dua pukulan
sakti yang dilepas Pangeran Matahari musnah berubah
menjadi asap tiga warna. Pangeran Matahari sendiri
terpental jauh, terkapar di lantai goa, mulut kucurkan
darah.
“Setan alas, kenapa tidak mampus?! Aku melihat ada
cahaya aneh keluar dari pinggang manusia jahanam itu!
Kekuatan pelindung apa yang dimilikinya?!”
Cahaya aneh berwarna kehijauan yang dilihat
perempuan itu juga sempat dilihat Pangeran Matahari. Dia
yakin cahaya itulah yang telah menyelamatkan dirinya
satu persatu! Aku tidak tahu kau ini Pandam Arum yang
mana! Jika mampu harap perlihatkan ujud dirimu yang
sebenarnya!”
“Dajal busuk! Tumpukan dosa keji membuat matamu
buta dan hatimu menjadi batu! Buka mata lebar-lebar!
Apa kau masih bisa melihat!”
Ular di sudut ruangan membuka gelungan, tubuhnya
naik ke atas. Kepala dan tubuh digoyang tiga kali. Wusss!
Asap putih mengepul. Saat itu juga sosok ular berubah
menjadi ujud seorang gadis berpakaian hitam, rambut
hitam, wajah cantik tapi pucat. Sepasang mata berwarna
merah membara pertanda ada pancaran dendam kesumat,
menatap tak berkedip ke arah Pangeran Matahari.
“Pandan Arum, memang dia ....” Ucap Pangeran
Matahari dalam hati. Lalu tidak membuang waktu lagi
karena memang ini kesempatan yang ditunggu, Pangeran
Matahari hantamkan tangan kiri kanan. Tangan kanan
melepas Pukulan Tapak Merapi. Tangan kiri melepas
Pukulan Merapi Meletus.
Menghadapi dua serangan maut yang bisa
menghancurkan dirinya dan mampu meruntuh goa
perempuan di dalam ruangan rangkapkan dua tangan di
depan dada lalu sepasang mata dikedipkan.
“Wuss! wusss!”
Dua larik slnar merah menderu dahsyat. Dua pukulan
sakti yang dilepas Pangeran Matahari musnah berubah
menjadi asap tiga warna. Pangeran Matahari sendiri
terpental jauh, terkapar di lantai goa, mulut kucurkan
darah.
“Setan alas, kenapa tidak mampus?! Aku melihat ada
cahaya aneh keluar dari pinggang manusia jahanam itu!
Kekuatan pelindung apa yang dimilikinya?!”
Cahaya aneh berwarna kehijauan yang dilihat
perempuan itu juga sempat dilihat Pangeran Matahari. Dia
yakin cahaya itulah yang telah menyelamatkan dirinya
walau mengalami luka dalam yang cukup parah. Pangeran
Matahari meraba pinggang kiri. Jari-jarinya menyentuh
sebuah benda. Dia ingat benda itu adalah tabung bambu
berisi minyak kasturi yang diberikan gurunya Si Muka
Bangkai. Berarti inilah benda yang memberikan kekuatan
pelindung maha dahsyat padanya. Tidak pikir panjang lagi
Pangeran Matahari segera keluarkan tabung bambu dari
balik jubahnya yang hangus.
Sepasang mata perempuan di depan sana
mengerenyit. Dua kaki rnelangkah mundur ketika melihat
benda yang ada di tangan Pangeran Matahari.
“Minyak larangan alam roh! Bagaimana bisa berada di
tangan manusia jahanam itu?!” Perempuan dalam ujud
gadis bernama Pandan Arum tiba-tiba berkelebat ke sudut
ruangan, berusaha menyambar lentera. Namun Pangeran
Matahari bertindak lebih cepat. Dia melompat
menghadang sambil membuka kayu penutup tabung
bambu. Tabung di dekatkan ke wajah Pandan Arum. Bau
harum minyak kasturi serta merta memenuhi ruangan.
Pandan Arum meraung panjang dan keras. Sosoknya
memudar lalu berubah jadi asap dan bergelung panjang
melayang ke arah mulut goa.
Pangeran Matahari terduduk di lantai. Muka pucat,
dada berdebar keras. Tabung bambu ditutupnya kembali
lalu dia beringsut mendekati lentera. Lentera diperhatikan
dengan seksama, dibolak balik beberapa kali. Pada bagian
samping bawah yang merupakan dudukan lentera terdapat
sebuah lobang kecil. Di samping lobang menempel
sebongkah benda lembut yang ketika diperhatikan lebih
teliti ternyata adalah lilin. Pangeran Matahari buka kayu
penutup tabung bambu. Minyak kasturi yang ada dalam
tabung itu dimasukkan ke dalam lentera lewat lobang
kecil. Lobang kecil kemudian ditutup dengan lilin yang
menempel di bagian bawah lentera. Begitu lobang tertutup
terjadilah satu keanehan.
Perlahan-lahan lentera menyala sendiri,
mengeluarkan cahaya terang tiga warna. Hitam, kuning
dan merah. Keadaan di dalam goa menjadi terang
benderang.
“Luar biasa, menyala sendiri tanpa disulut api ...”
ucap Pangeran Matahari penuh kagum. Namun dia masih
ingin tahu sampai dimana kehebatan lentera ini. Ketika dia
hendak menyentuh pegangan lentera mendadak lentera
mengiblatkan tiga sinar ke dinding ruangan. Sinar hitam,
kuning dan merah. Saat itu juga pada tiga dinding
ruangan terdapat serangkaian tulisan, tergurat dalam
warna hitam, kuning dan merah.
Pada dinding sebelah kanan, terpampang rangkaian
tulisan merah.
Jurus pertama Lentera Iblis.
Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian
masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang ke depan dan
ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera diputar ke
kanan. Cahaya merah akan berkiblat mencari korban.
!tulah jurus Api Neraka.
Pangeran Matahari baca sekali lagi tulisan yang
tergurat di dinding goa sebelah kanan itu. Lalu alihkan
padangan ke dindirig sebelah kiri. Di situ terpampang
rangkaian tulisan ke dua, berwarna hitam.
Jurus ke dua Lentera iblis.
Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian
masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang ke depan dan
ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera diputar ke
kiri. Cahaya hitam akan berkiblat mencari korban. Itulah
jurus Api Akhirat.
Pangeran Matahani menatap lurus ke arah dinding
ruangan sebelah depan. Di sini tergurat jurus ketiga
Lentera Iblis dalam warna kuning.
Jurus ke tiga Lentera Iblis.
Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian
masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang ke depan dan
ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera didorong ke
depan. Cahaya kuning akan berkiblat mencari korban.
Itulah jurus Liang Lahat Menunggu.
Pangeran Matahari usap wajahnya. Dia memandang
seputar ruangan batu. Ketika hendak melangkah
mengambil lentera baru dia menyadari bahwa di lantai
ruangan ternyata ada pula serangkaian tulisan, tergurat
dalam selang seling tiga warna.
Lentera hanya akan menyala dalam ruangan dan
malam hari serta ketika bahaya mengancam. Berjalan dan
mencari mangsa di malam hari. Istirahat di siang hari.
Lentera Iblis akan menjaga keselamatan diri. Ingat
pantangan niscaya kuasa rimba persilatan akan berada
dalam tangan.
Pangeran Matahari meneliti lagi seputar ruangan. Tak
ada tulisan atau petunjuk lain. Dia lalu melangkah
mengambil lentera. Ketika pegangan lentera berada dalam
genggamannya dia merasa ada hawa aneh menjalar
memasuki tubuhnya, mendekam di bagian perut lalu
mengalir ke arah kepala dan ke kaki.
Sebelum meninggalkan goa, Pangeran Matahari
membuka jubah kelabunya yang telah hangus lalu dirobek.
Sebagian robekan digulung dan dibalutkan pada pegangan
lentera. Ini untuk menjaga agar keringat dan tangannya
tidak menyentuh pegangan lentera. Selesai mengenakan
jubah dan celana hitam serta ikat kepala merah Pangeran
Matahari keluar dan dalam goa. Di luar goa nyala lentera
langsung meredup lalu padam. Tanpa disadari satu
kealpaan besar telah dilakukan manusia segala akal segala
cerdik ini. Dia lupa menghapus semua tulisan pada dinding
dan lantai goa! Padahal gurunya Si Muka Bangkai telah
sangat memesan dan mengingatkan hal itu
***
Selang setengah hari setelah Pangeran Matahari
meninggalkan goa di puncak utara Gunung Merapi,
menjelang matahari menggelincir memasuki ufuk
tenggelamnya, seorang perempuan tua berpakaian biru
gelap berambut panjang awut-awutan berkelebat di depan
mulut goa. Mukanya yang putih menjadi pertanda bahwa
dia adalah Nyi Bodong pendatang baru rimba persilatan
yang belakangan ini tengah mengejar manusia keji
berjuluk Hantu Pemerkosa yang diyakininya adalah
Pangeran Matahari.
Bagian dalam goa tampak gelap. Namun tanpa ragu
Nyi Bodong terus saja melangkah masuk. “Untung Kiai
memberiku ilmu melihat di dalam gelap.” Nyi Bodong
membatin.
Memasuki goa Nyi Bodong melihat jejak-jejak kaki
yang masih basah di lantai. Dada si nenek berdebar. Di
satu tempat dia menemukan sisa sobekan jubah kelabu
teronggok di lantai goa. “Aku terlambat lagi. Dia memang
ada di tempat ini sebelumnya.”
Nyi Bodong kecewa besar.
Begitu melewati tikungan dalam goa, walau
penglihatannya agak redup namun Nyi Bodong mampu
melihat empat rangkaian guratan tulisan pada tiga dinding
serta lantai goa. Sementara hidungnya mencium wangi
minyak kasturi.
“Lentera lblis.....” ucap Nyi Bodong perlahan. “Di
dinding ada petunjuk tiga jurus kematian mengandalkan
lentera. Aku punya dugaan ada bahaya baru dalam rimba
persilatan. Kemana aku harus mengejar?. “
Nyi Bodong jongkok di lantai goa. Telapak tangan
kanannya diletakkan di atas jejak kaki yang ada dilantai.
Ketika dia mengalirkan hawa sakti ke atas jejak kaki, di
lereng gunung sebelah selatan. Pangeran Matahari yang
tengah berlari cepat merasa sesuatu menyengat telapak
kaki kanannya hingga dia nyaris tersungkur di tanah.
Bersamaan dengan itu Lentera lblis yang ada dalam
buntalan jubah kelabu mendadak menyala terang. Di
dalam goa kini Nyi Bodong merasakan datangnya
serangan balik. Lantai yang masih ditempeli tangan
kanannya mengepulkan asap. Tangan terpental, tubuh
terdorong keras, tersandar ke dinding goa.
“Bahaya besar! Apakah aku perlu memberi tahu Kiai
sebelum melakukan pengejaran?” Nyi Bodong berdiri agak
terhuyung. Lalu nenek muka putih ini dengan cepat
tinggalkan tempat itu. Di satu tempat ketinggian dimana
dia dapat melihat jelas goa bekas kediaman Si Muka
Bangkai itu, Nyi Bodong berhenti. Dua kaki dikembang.
Tangan kiri di angkat sebatas kepala, telapak di arahkan
ke goa. Dari mulut melesat keluar suara raungan seperti
lolong srigala. Sunyi sesaat lalu terdengar suara tawa
cekikikan. Tangan kanan Nyi Bodong bergerak menyingkap
bagian perut pakaian birunya. Pusar bodong tersembul.
“Wuss! Wusss!”
Dua sinar biru berkiblat. Hanya dalam satu kejapan
mata, goa di bawah sana runtuh dan hancur. Longsoran
tanah-serta tumbangan pepohonan bergemuruh
menimbun. Goa yang punya peran penting dalam rimba
persilatan tanah Jawa itu kini lenyap untuk selama-
lamanya.
-- << >>
TIGA
SANG SURYA masih belum menyembul di ufuk timur
namun di hutan jati itu cuaca sudah terang-terang
tanah. Di bawah sebuah pohon besar Djaka Tua
sibuk membelah batangan-batangan bambu. Hujan besar
yang turun malam tadi membuat gubuk beratap rumbia
yang dihuninya bersama Nyi Retno Mantili dan Kemuning
mengalami bocor di beberapa tempat. Kawatir hujan akan
turun lagi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun, mencari
bambu dan dedaunan besar untuk memperbaiki atap yang
bocor.
Sementara bekerja kicau burung terdengar bersahut-
sahutan. Membelah bambu mengingatkan bekas pembantu
Tumenggung Wira Bumi itu pada kejadian ketika dirinya
ditangkap oleh Nyai Tumbal Jiwo. Ditotok lalu dijepit di
rerumpunan bambu di tembok selatan gedung kediaman
Wira Bumi yang waktu itu telah menjabat sebagai
Bendahara Kerajaan. Untung dirinya diselamatkan Nyi
Retno. Itu sebabnya pembantu ini mengangkat sumpah
dalam hati, kemanapun Nyi Retno pergi dia akan selalu
mengikuti. Apapun yang terjadi dia akan membela walau
harus menumpah darah menyerahkan nyawa.
Terdengar suara berkereketan. Pintu gubuk terbuka.
Nyi Retno Mantili keluar sambil menggendong Kemuning,
boneka kayu yang dianggapnya sebagai anaknya yang
hilang.
“Sepagi ini kau sudah sibuk. Apa yang kau kerjakan?”
bertanya Nyi Retno.
“Hujan malam tadi lebat sekali.Atap gubuk kita
banyak yang bocor. Harus cepat diperbaiki. Saya kawatir
hujan turun lagi. Kasihan si kecil Kemuning kalau sampai
terkena tirisan air hujan. Dia bisa sakit.”
Nyi Retno tersenyum. Walau sampai saat itu
pikirannya masih tidak waras namun ada kalanya ucapan
yang menyentuh hati membuatnya larut walaupun hanya
untuk beberapa saat.
Djaka Tua tahu, sudah beberapa hari Nyi Retno tidak
pergi mandi ke telaga kecil tak jauh dari situ. Maka diapun
bertanya. “Den Ayu, apa pagi ini Den Ayu akan mandi di
telaga bersama Kemuning?” Djaka Tua selalu memanggil
majikannya itu Den Ayu karena kalau dipanggil dengan
nama Nyi Retno Mantili, perempuan muda yang terganggu
jalan pikirannya itu selalu marah karena katanya namanya
bukan Nyi Retno Mantili.
“Uh, mandi di udara sedingin begini? Bisa sakit
anakku. Entah kalau siangan nanti.” Nyi Retno Mantili
menggeliat, mendekap boneka kayu lalu berkata.
“Sebetulnya atap itu tidak dibetulkanpun tidak jadi apa.
Bukankah kita selalu berpindah-pindah tempat tinggal?
Katamu untuk menjaga keamanan dan keselamatan.
Padahal aku tidak takut pada siapapun! Selama ini aku
hanya mengikuti kemauanmu. Sebenarnya mengapa kita
selalu berpindah-pindah? Aku sudah betah tinggal di
gubuk itu. Udara di sini bagus. Ada telaga. Dan selama ini
tidak ada mahluk yang mengusik kita.”
“Saya mengerti Den Ayu. Tapi belakangan ini di
luaran banyak orang jahat berkeliaran,” jawab Djaka Tua.
Dia menatap perempuan malang itu seketika lalu
menyambung ucapannya. “Den Ayu, terakhir kali saya ke
pasar tiga hari lalu, saya mendengar kabar. Tumenggung
Wira Bumi yang belum lama menjadi Bendahara Kerajaan
sekarang telah diangkat menjadi Patih Kerajaan ...”
“Ceritamu itu tidak ada artinya bagiku. Siapa Wira
Bumi? Apa itu Tumenggung? Apa itu Bendahara Kerajaan?
Apa pula itu Patih Kerajaan?”
Djaka Tua terdiam. Kembali hatinya merasa sedih
karena sampai saat itu jalan pikiran Nyi Retno masih
belum jernih. Gangguan jiwanya terlalu dalam dan parah.
lngin dia menerangkan bahwa Raden Mas Wira Bumi yang
sekarang menjadi Patih Kerajaan itu adalah suaminya.
Namun pembantu ini takut akan didamprat Nyi Retno.
Yang paling dikawatirkannya kalau-kalau keterangannya
nanti akan membuat perempuan malang itu bertambah
parah sakit jiwanya. Kalau saja Raden Mas Wira Bumi
tidak menuntut ilmu sesat pada Nyai Tumbal Jiwo, tidak
akan begini nasib perempuan muda yang masih belum
sampai berusia tujuh belas tahun itu.
Sedikit demi sedikit sang surya menyembul di ufuk
terbitnya. Cuaca perlahan-lahan menjadi terang.
“Den Ayu, selesai membetulkan atap saya bermaksud
pergi ke pasar.
Persediaan makanan kita hanya cukup untuk satu
hari.”
“Ya, pergilah. Jangan lupa membeli pisang untuk
Kemuning. Aku akan mengambil uang ...”
Setiap ke pasar Djaka Tua memang membeli pisang.
Pisang yang katanya untuk Kemuning tentu saja tidak
pernah dimakan boneka kayu itu hingga akhirnya selalu
tinggal membusuk.
“Tidak usah Den Ayu. Sisa uang belanja tempo hari
masih ada,” jawab Djaka Tua.
“Kalau begitu, sebelum kau pergi ke pasar ada
baiknya aku dan Kemuning mandi dulu di telaga.” Habis
berkata begitu sambil bernyanyi-nyanyi menggendong
boneka kayu Nyi Retno Mantili melangkah pergi. Tapi dia
bukannya menuju telaga. Ketika melewati satu pohon
besar yang salah satu cabangnya meliuk rendah,
perempuan ini enak saja melesat ke atas dan sesaat
kemudian dia sudah duduk berjuntai di atas cabang
pohon, boneka kayu digendong diayun-ayun. Lnilah
kehebatan yang dimiliki Nyi Retno berkat ilmu yang
diberikan Kiai Gede Tapa Pamungkas padanya. Walau
pikirannya tidak waras namun dengan kuasa Tuhan dia
memiliki kemampuan untuk menyerap beberapa ilmu
kepandaian yang dimasukkan sang Kiai ke dalam
tubuhnya.
Sambil duduk uncang-uncang kaki Nyi Retno Mantili
mulai menyanyi. Sebenarnva Djaka Tua selalu merasa
kawatir setiap kali Nyi Retno menyanyi. Dia takut ada
orang mendengar, mendatangi lalu menyelidiki atau
berbuat jahat. Bagaimanapun juga meski pikiran
terganggu, keadaan tidak terawat, namun kecantikan Nyi
Retno Mantili tidak pupus. Sekali melihat wajahnya orang
pasti akan tertarik. Apa lagi yang namanya mata lelaki!
***
WALAU cuaca buruk, hujan gerimis turun dan pasar
becek namun tetap saja Pasar lmogiri ramai dikunjungi
orang. Selesai membeli barang belanjaan, untuk melepas
haus dan mengurangi rasa lelah serta dingin Djaka Tua
menyempatkan diri minum air serbat di salah satu sudut
pasar. Minuman hangat itu membuat tubuhnya segar
keringatan. Caping bambu yang sejak tadi menempel di
kepala dibuka sebentar untuk mengusap rambut serta
keningnya yang basah oleh keringat.
Hanya terpisah beberapa belas langkah dari tempat
Djaka Tua minum serbat ada sebuah kedai makanan yang
selalu ramai pengunjung. Dua orang di antara para tamu
yang sarapan di tempat itu adalah perajurit Keraton yang
pernah bertugas di gedung kediaman Wira Bumi semasa
masih menjadi Tumenggung. Saat itu keduanya sedang
bebas tugas satu hari dan tidak mengenakan pakaian
keperajuritan. Salah seorang dari mereka sejak tadi
memperhatikan Djaka Tua yang asyik menikmati serbat
hangat. Saat itu Djaka Tua telah membuka caping
bambunya sehingga wajahnya terlihat lebih jelas. Perajurit
yang satu ini kemudian menyikut rusuk temannya dan
berkata.
“Gondo, coba kau perhatikan lelaki yang sedang
minum serbat itu. Aku sangat mengenali wajahnya.
Bukankah dia Djaka Tua pembantu di gedung
Tumenggung tempat kita pernah bertugas dulu?”
Perajurit bernama Gondo memandang ke arah yang
ditunjuk kawannya, memperhatikan lelaki berusia sekitar
setengah abad yang duduk di bangku panjang tengah
minum serbat. Sebuah caping terletak di pangkuan. Di
alas bangku di sebelahnya ada sebuah keranjang berisi
barang belanjaan.
“Supat, tampang dan potongan badannya memang
sama dengan Si Djaka Tua,” berkata Gondo. “Tapi orang
ini tidak memiliki punuk di punggungnya”
“Walau ini memang aneh.” kata perajurit bernama
Supat. “Tapi aku tetap yakin dia Djaka Tua pembantu di
Gedung Tumenggung dulu.
Bagaimana kalau kita menyelidiki. .Jika dia memang
Djaka Tua dan kita bisa menangkapnya, pasti akan
mendapat hadiah besar dari Raden Mas Wira Bumi. Apa
lagi beliau sudah menjadi Patih Kerajaan. Bagaimana kalau
kita tangkap dia sekarang juga?”
“Tunggu dulu, jangan kesusu. Menangkapnya soal
gampang. Dia dikabarkan telah mencuri bayi Nyi Retno
Mantili, istri Raden Mas Wira Bumi. Kalau diam-diam kita
mengikutinya, besar kemungkinan dia akan membawa kita
ke tempat dimana bayi itu disembunyikan. Kalau kita
mendapatkan bayi itu hadiah dari Raden Mas Wira Bumi
akan berlipat ganda. Malah tidak mustahil kita akan
mendapat kenaikan pangkat istimewa.”
“Aku setuju jalan pikiranmu,” kata Supat. “Lihat, dia
sudah membayar tukang serbat. Ayo kita ikuti.”
***
DJAKA TUA bukan tidak tahu kalau ada dua orang
berbadan tegap mengikutinya sejak dia meninggalkan
Pasar Imogiri. Dia tidak mau berpaling ke belakang untuk
memperhatikan wajah. Namun dari potongan tubuh dua
penguntit dia yakin mereka adalah perajurit Kerajaan. Jika
orang menguntit dirinya pasti ada yang diincar atau
hendak diselidiki. Pembantu ini cukup cerdik. Kalau hutan
jati tempat beradanya gubuk kediaman Nyi Retno Mantili
terletak di sebelah timur maka saat itu dia sengaja
berjalan ke arah barat.
Setelah sekian lama dan jauh mengikuti, orang yang
dikuntit tidak sampai-sampai ke tempat tujuan, Gondo dan
Supat mulai curiga. Dua perajurit Keraton ini langsung
saja mengejar dan menghadang jalan Djaka Tua.
Djaka Tua pura-pura terkejut.
“Kalian ini begal atau apa? Aku tidak punya barang
berharga untuk dirampok.” Ucap Djaka Tua.
“Setan alas! Kami bukan begal bukan perampok!”
bentak Gondo. “Kami ingin menyelidik siapa kau adanya!”
“Dulu kau punya punuk di punggungmu! Sekarang
tidak ada lagi. Apa yang terjadi dengan dirimu?!”
Menyambung Supat dengan bentakan pula.
“Ada-ada saja kalian. Aku tidak pernah punya punuk
di punggung.” Jawab Djaka Tua. “Kalau kalian mau
mencari orang berpunuk pergilah ke desa Getas di kaki
selatan Gunung Merbabu. Kabarnya di sana banyak lelaki
perempuan yang punya punuk di punggungnya.”
Supat dan Gondo menyeringai.
“Kau pandai bicara!” ucap Gondo lalu merampas
keranjang di tangan kiri Djaka Tua, memeriksa isinya.
“lni belanjaan dapur. Untuk siapa kau membeli?!”
Bentak Gondo.
“Aku yang belanja. Tentu saja untuk keperluanku
sendiri di rumah!
“Jadi kau punya rumah! Nanti tunjukkan pada kami
dimana rumahmu!” Berkata Supat sambil tepuk-tepuk
bahu Djaka Tua.
“Di dalam keranjang ada pisang. Untuk siapa?
Makanan bayi?” Gondo menanyai dengan pandangan mata
garang.
“Aku tidak punya bayi.”
“Tentu saja karena kami tahu kau adalah perjaka
tua!” hardik Gondo. “Jangan bersandiwara. Kau kira kami
tidak tahu siapa dirimu! Kau adalah Djaka Tua, dulu
pembantu di Gedung Tumenggung Wira Bumi. Kami
mengenalimu karena pernah bertugas beberapa hari di
sana.”
Walau dadanya berdebar karena orang sudah tahu
pasti siapa dirinya namun Djaka Tua pura-pura tersenyum
dan gelengkan kepala berulang kali. “Keliru. Keliru sekali.
Namaku Lor Arta bukan Djaka Tua. Aku tidak pernah
bekerja di Gedung Tumenggung.”
“Dusta! Kau kira bisa mempermainkan kami?! Kau
tengah menuju ke satu tempat. Tapi sengaja berputar-
putar untuk menipu kami! Sekarang juga bawa kami ke
tempat kediamanmu. Kau mencuri bayi Raden Mas Wira
Bumi! Pisang dalam keranjang itu pasti untuk makanan
bayi! Dimana bayi itu kau sembunyikan hah!”
“Makin bingung aku mendengar ucapan kalian
berdua. Bayi? Bayi apa? Siapa Raden Mas Wira Bumi aku
juga tidak tahu. Aku ingin melanjutkan perjalanan. Harap
jangan membuat susah orang desa seperti aku ini.”
Supat dan Gondo tertawa gelak-gelak.
“Pandainya kau bersandiwara, Djaka Tua. Apa aku
copot dulu salah satu tanganmu baru kau mau bicara
betul?!” Supat rnengancam sambil menghampiri Djaka Tua
lalu menyambar tangan kiri pembantu itu dan
memelintirnya ke punggung hingga Djaka Tua merintih
kesakitan
“Kau bakal tambah sengsara kalau terus menipu
kami. Sekarang juga tunjukkan di mana tempat
kediamanmu! Kalau kau berani menipu atau melarikan diri
akan kami tanggalkan anggota badanmu satu persatu!”
“Aku tidak punya salah apa-apa. Tuduhan kalian
dibuat-buat! Dari pada menganiaya diriku mengapa tidak
membunuhku sekarang juga?!”
Djaka Tua sudah nekad. Dia lebih baik mati dibunuh
orang dari pada memberi tahu dimana tempat
kediamannya yang berarti sama dengan membuka rahasia
dimana beradanya Nyi Retno Mantili.
“Hebat! Berani menantang! Rasakan dulu ini!”
Tangan kanan Gondo berkelebat. Satu jotosan keras
mendarat di ulu hati Djaka Tua. Caping di kepala Djaka
Tua terlempar. Tubuhnya yang kecil terlipat ke depan. Dari
mulutnya keluar suara jeritan keras lalu muntahkan darah
segar!
“Manusia-manusia jahat! Mengapa tidak
membunuhku saja ...” ucap Djaka Tua dengan suara
parau, muka pucat dan darah berselomotan di mulut dan
dagu.
Supat jambak rambut Djaka Tua lalu
menyentakkannya ke atas hingga lelaki berusia setengah
abad ini tertegak terhuyung.
“Gondo! Hajar mulut dustanya biar dia tahu rasa!”
Mendengar ucapan kawannya, Gondo segera
layangkan satu jotosan keras ke muka Djaka Tua, tepat di
arah mulut dan hidung.
“Praakk!”
Djaka Tuak menjerit keras. Tulang hidung patah, bibir
atas pecah. Darah mengucur. Supat lepaskan
jambakannya, Djaka Tua langsung roboh ke tanah,
mengerang tersengal-sengal, menahan rasa sakit luar
biasa.
Jeritan keras Djaka Tua tadi sempat terdengar oleh
dua orang yang kebetulan lewat di tempat itu.
Gondo jongkok di samping Djaka Tua.
“Bagaimana rasanya? Kau akan lebih sengsara kalau
tanganmu ini aku tanggalkan dari persendian. Mau
memberi tahu dimana tempat kediamanmu atau tidak?
Dimana kau sembunyikan bayi itu?!” Gondo cekal
pergelangan tangan kanan Djaka Tua erat-erat.
“Aku mau kau membunuhku saat ini juga ...” jawab
Djaka Tua. Suaranya parau karena ada ludah campur
darah di mulutnya. Pembantu ini memilih mati dari pada
membuka rahasia.
“Manusia tolol! Kau memilih sengsara!” Gondo pelintir
pergelangan tangan Djaka Tua. Ketika dia hendak
membetot tangan itu tiba-tiba sepotong patahan ranting
melesat di udara lalu menancap di punggung kanan
Gondo. Perajurit Keraton ini menjerit setinggi langit. Kaget
dan sakit. Tubuh terhuyung, cekalannya terlepas dari
pergelangan tangan Djaka Tua. Supat berteriak marah.
Berpaling ke belakang dia melihat dua orang melangkah
mendatangi sambil cengar cengir. Yang di sebelah kanan
seorang kakek berkepala setengah gundul, mata dan
kuping lebar, mengenakan celana gombrong basah kuyup
di sebelah bawah. Orang kedua seorang pemuda berambut
gondrong, berpakaian serba putih, berjalan cengar cengir
sambil garuk-garuk kepala!
“Kurang ajar! Siapa diantara kalian yang barusan
melempar ranting melukai temanku!” bentak Supat
sementara Gondo terduduk di tanah. Darah membasahi
bagian belakang bajunya setelah tadi dengan paksa dia
mencabut patahan ranting yang menancap di
punggungnya.
“Aku orangnya!” menjawab si kakek yang bukan lain
adalah Setan Ngompol sambi! angkat tangan kiri lalu
telapak diulap-ulapkan. “Memangnya kau mau juga? Aku
masih ada sepotong ranting lagi!” Setan Ngompol
goyangkan patahan ranting yang ada di tangan kanan lalu
tertawa mengekeh.
Dijawab dan disikapi begitu rupa Supat jadi berang.
Dia melompat menyerbu si kakek. Tinjunya menderu deras
ke muka Setan Ngompol.
“Bukkk!”
“Huuwee!” Setan Ngompol meledek sambil julurkan
lidah.
Tinju Supat tenggelam ke dalam telapak tangan kiri
yang dipakai menangkis oleh Setan Ngompol. Lima jari
tangan si kakek mencengkeram lalu berputar.
“Terbang!” Setan Ngompol berteriak keras. Kencing
terpancar.
Supat merasa tangan dan tubuhnya disentak keras.
Saat itu juga tubuh tinggi besar perajurit Keraton ini
benar-benar terbang melesat ke udara sampai setinggi
dua tombak. Walau memiliki dasar ilmu silat yana cukup
baik namun seumur hidup baru sekali itu Supat mengalami
dilempar lawan ke udara. Akibatnya dia jadi kelagapan
tunggang langgang dan tak mampu mencari selamat.
Supat terbanting bergedebuk, jatuh punggung di tanah!
Pemuda yang muncul bersama Setan Ngompol, si
rambut gondrong berpakaian serba putih yang tentunya
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak
sambil menunjuk-nunjuk ke arah Supat yang tergeletak di
tanah. Rupanya perajurit ini cukup kuat juga. Setelah
nanar terdiam beberapa lama dia mulai bergerak lalu
bangkit berdiri. Muka kelam membesi, tubuh bergetar
tanda hawa amarah yang menggelegak. Sementara itu
dalam keadaan hidung dan mulut cidera berat serta
menahan sakit Djaka Tua masih sempat memperhatikan
apa yang terjadi. Dalam hati dia bertanya-tanya siapa
adanya kakek dan pemuda yang telah menyelamatkan
dirinya itu.
“Tua bangka jahanam! Kau dan kawanmu mencari
mati! Kalian tidak tahu siapa kami! Kami adalah perajurit-
perajurit Keraton di Kotaraja!” Supat berteriak keras.
“Aha! Jadi kalian ini aparat Kerajaan rupanya. Lalu
mengapa enak saja menyiksa orang ?!“ tanya Setan
Ngompol sambil dua tangan berkacak pinggang.
“Apa yang kami lakukan adalah urusan kami! jangan
berani ikut campur! Kalian berdua lekas minggat dari
tempat ini!” Gondo membentak. Perajurit yang terluka
pada punggungnya ini sudah mampu berdiri walau
terhuyung-huyung dan muka pucat.
“Dua keparat tidak tahu juntrungan! Manusia yang
kami hajar itu adalah penculik bayi Patih Kerajaan! Kalian
hendak melindunginya? Kalian berdua akan kami buat
busuk dalam penjara!” teriak Supat.
“Seorang bertubuh kecil, bertampang tolol begini rupa
dituduh menculik bayi Patih Kerajaan. Dihajar habis-
habisan. Luar biasa! Bagaimana menurutmu, Wiro?” Setan
Ngompol delikkan mata pada Supat yang barusan bicara
lalu berpaling pada Pendekar 212.
Murid Sinto Gendeng pencongkan mulut, menggaruk
kepala lalu menjawab. “Luar biasa! Aku tidak percaya dia
penculik!”
“Manusia-manusia sinting! Kepala kalian pantas
dipisahkan dari badan!” teriak Supat. Lalu dari balik
pakaian gombrongnya dia menghunus sebilah golok
pendek. Senjata ini tampak angker karena warnanya tidak
berkilat tapi hitam penuh karatan. Menurut orang yang
tahu warna hitam serta karatan itu adalah bekas darah
orang yang pernah dibunuh Supat, tidak diseka dibiarkan
kering sendiri.
Selain memiliki ilmu silat tangan kosong, Supat juga
menguasai ilmu memainkan golok yang disebut “Tiga
Jurus Rajawali Terbang”. Selama ini telah banyak lawan
yang roboh dihajar goloknya. Namun dia tidak tahu tengah
berhadapan dengan siapa ketika dia menyerbu ke arah
Setan Ngompol. Seharusnya ketika tadi dirinya dibuat
terbang oleh si kakek dia sudah tahu diri. Namun amarah
membuat dia tidak mampu berpikir jernih, juga temannya
yang bernama Gondo.
“Tabas lehernya Supat! Cincang tubuhnya!” teriak
Gondo memberi semangat.
Golok di tangan kanan Supat berkelebat ganas.
Menderu deras mengarah kepala Setan Ngompol dalam
kecepatan luar biasa. Perajurit Keraton ini terperangah
ketika Tiga Jurus Rajawali Terbang yang diandalkannya
lewat begitu saja tanpa senjatanya mampu menyentuh
lawan, apa lagi menabas leher dan mencincang! Untuk
beberapa saat lamanya dia tegak tertegun, memandang ke
arah golok lalu ke arah Setan Ngompol. Akan halnya
Gondo, menyaksikan apa yang terjadi otaknya mulai
bekerja dan tengkuknya serta merta menjadi dingin.
“Kek, kita tidak punya waktu lama di tempat ini.
Bagaimana kalau perajurit yang barusan menyerangmu
dengan golok kita beri hadiah minuman kehormatan?”
Mendengar ucapan Wiro, Setan Ngompol tertawa
bergelak.
“Aku setuju saja. Memang sudah lama aku tidak
berbuat kebajikan memberikan hadiah. Silahkan kau yang
mengatur!” kata si kakek pula.
Ketika Wiro melangkah cepat ke arahnya Supat serta
merta menyambut dengan serangan golok. Orang yang
diserang bergerak kian kemari. Senjata Supat hanya
menyambar udara kosong. Ketika Supat nekad
melanjutkan serangan tiba-tiba satu totokan mendarat di
paha kirinya. Lutut kiri perajurit ini goyah. Sesaat
kemudian dia roboh ke tanah. Tubuhnya sebelah kiri mulai
dari bahu sampai ke kaki mendadak sontak lumpuh tak
mampu digerakkan. Wiro angkat kaki kiri lalu diinjakkan
ke leher Supat. Tidak keras tapi cukup membuat mulut
Supat terbuka lebar.
“Mana minumannya Kek?” tanya Wiro sambil senyum-
senyum.
“Jahanam! Kalian mau apakan diriku?!” teriak Supat.
“Tenang saja sobat! Kau bakal dapat minuman paling
sedap di dunia!” kata Wiro pula. “Kek?!”
“Siap! Tinggal dikucurkan!” jawab Setan Ngompol.
Lalu kakek ini melangkah mendekati Supat. Kaki kiri di
angkat di arah atas kepala, ujung celana yang basah lepek
tepat berada di atas mulut perajurit itu. Pantat digoyang
diogel-ogel. Mata dikedap-kedip. Mulut mengedan-edan.
Sesaat kemudian serrr ... serrr .... serrr! Air kencing si
kakek mengucur kebawah, melewati kaki celana kiri lalu
serr ...gluk-gluk-gluk masuk ke dalam mulut Supat.
Perajurit Keraton itu memaki habis-habisan. Namun
semakin keras dia berteriak semakin banyak air kencing
Setan Ngompol yang masuk ke dalam mulutnya hingga dia
tercekik-cekik! Sementara Supat tersiksa setengah mati
Wiro dan Setan Ngompol tertawa gelakgelak.
Gondo yang menyaksikan apa yang terjadi dengan
temannya karuan saja jadi ketakutan setengah mati.
Dirinya mungkin akan jadi korban ke dua. Lebih baik
digebuk babak belur dari pada dicekok diminumi air
kencing begitu rupa. Perutnya mendadak merasa mual,
seperti mau muntah. Tidak menunggu lebih lama dia
segera kabur meninggalkan tempat itu secepat yang bisa
dilakukannya. Sementara itu Djaka Tua yang menyaksikan
hal itu walau dirinya berada dalam keadaan cidera dan
sakit mau tak mau selain heran juga merasa geli.
“Cukup Kek?” “ tanya Wiro.
“Tunggu, masih ada yang kental,” jawab Setan
Ngompol.
Suara caci maki Supat tidak terdengar lagi. Berganti
dengan suara seperti orang mengorok. Lalu perajurit ini
semburkan muntah. lsi perutnya serasa mau terbongkar.
Wiro turunkan kaki dari atas leher Supat. Setan Ngompol
juga turunkan kaki kirinya ke tanah.
“Bagaimana? Enak?!” tanya Wiro.
“Mau lagi?!” tanya Setan Ngompol seraya melirik ke
arah Gondo. Melihat orang memperhatikan dirinya, Gondo
tidak menunggu lebih lama. Serta merta perajurit Keraton
satu ini putar tubuh dan lari lintang pukang dari tempat
itu.
“Hak .. huk ... hak ... huk .... Hueekkk!”
Supat kembali semburkan muntah. Kelumpuhan pada
tubuhnya sebelah kiri lenyap. Setelah menungging-
nungging dia berusaha berdiri walau terhuyung-huyung.
Melihat temannya kabur dia akhirnya melakukan hal yang
sama. Ambil langkah seribu meski larinya tersaruk-saruk.
Djaka Tua menyeka darah yang membasahi muka
sekitar hidung dan mulut lalu berdiri. Sambil memegangi
perutnya yang bekas dijotos pembantu yang malang ini
melangkah mendekati Wiro dan Setan Ngompol lalu
jatuhkan diri di hadapan ke dua orang itu.
-- << >>
EMPAT
"KAKEK dan Raden berdua, saya Djaka Tua,
sangat berterima kasih atas pertolongannya.
Kalau tidak diselamatkan niscaya saat ini saya
sudah menemui ajal ditangan dua orang perajurit Keraton
tadi.” Suara Diaka Tua tersengal bindeng akibat cidera di
hidungnya. Begitu terhenti bicara darah mengucur dari
hidung. Dia berusaha membungkuk. Tapi tubuhnya
menghuyung, hampir terjerambab ke tanah kalau tidak
bahunya cepat ditahan Setan Ngompol.
“Duduk saja di tanah. Tidak perlu berlutut di hadapan
kami,” kata Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu dia menotok
jalan darah di pelipis dan leher Djaka Tua. Darah yang tadi
mengucur di hidung serta merta berhenti. Rasa sakit
akibat cidera pada hidung serta mulut perlahan-lahan
terasa jauh berkurang.
“Terima kasih ... Saya benar-benar berhutang budi
besar pada Raden ....” Setelah ditotok suara Djaka Tua
tidak bindeng lagi.
“Namaku Wiro. Tidak usah memanggil dengan
sebutan Raden segala. Kakek ini biasa dipanggil Setan
Ngompol.”
“Saya sangat berterima kasih ...” Djaka Tua angguk-
anggukkan kepala. Dua matanya tampak berkaca-kaca.
“Mengapa dua orang perajurit Keraton itu hendak
membunuhmu?” bertanya Setan Ngompol. “Betul kau
menculik bayi Patih Kerajaan?”
Djaka Tua duduk bersila di tanah, tak segera
menjawab. Walau dua orang itu telah menyelamatkannya
namun dia masih belum tahu siapa mereka adanya. Rasa
kawatir membuat dia tidak mau membalas budi baik orang
dan hutang nyawa dengan menjawab secara jujur.
“Jika dia tidak mau bicara kita pergi saja dari sini.
lngat Kek, kita masih banyak urusan yang harus
dikerjakan.” Kata Wiro.
“Ra ... Wiro, tunggu. Jangan tinggalkan saya di
tempat ini. Mengingat budi pertolongan yang sudah saya
terima tentu saja saya akan akan menceritakan. Tapi saya
ingin tahu lebih dulu siapa adanya sahabat berdua. Apa
yang akan saya ceritakan merupakan taruhan nyawa.
Taruhan nyawa saya sendiri dan seorang lain yang harus
saya lindungi keselamatannya.”
“Kalau kau ingin tahu, kami berdua adalah orang.
orang gila rimba persilatan. Apakah keterangan itu cukup
membuat kau mau bicara?!” Ucap murid Sinto Gendeng
pula.
Djaka Tua terdiam. Dia sering mendengar bahwa
orang-orang rimba persilatan berkepandaian tinggi ada
kalanya menunjukkan sikap serta penampilan aneh.
Dengan suara perlahan Djaka Tua berkata. “Saya memang
menculik bayi Raden Mas Wira Bumi. Waktu itu beliau
masih menjabat sebagai Tumenggung. Sekarang kabarnya
sudah menjadi Patih Kerajaan. Semua masalah yang saya
hadapi bermula ketika saya datang ke Goa Girijati untuk
memberi tahu bahwa istri Raden Mas Wira Bumi sudah
melahirkan seorang bayi perempuan ...”
“Wong edan! Ternyata kau lebih gila dari kami!
Mengapa berani-beranian menculik bayi seorang pejabat
tinggi Kerajaan?” tanya Setan Ngompol pula sambil usap-
usap perut.
“Bapak tua ....”
“Panggil saya Djaka Tua,” kata Djaka Tua pada Wiro.
“Djaka Tua, ada orang yang menyuruhmu menculik
bayi itu?” tanya Wiro. “Kau mendapat bayaran besar?
Benar?”
Djaka Tua usap darah di dagunya lalu gelengkan
kepala
“Tidak ada yang menyuruh saya. Saya menculik
justru untuk menyelamatkannya. Seseorang
memerintahkan Saya untuk membunuh bayi itu dengan
sebilah golok besar milik Raden Mas Wira Bumi.”
“Siapa yang menyuruh?” Tanya Setan Ngompol.
“Satu mahluk dari alam roh. Perintah diberikan pada
Raden Mas Wira Bumi. Karena beliau telah menyalahi
sumpah perjanjian. Tapi Raden Mas lalu menyuruh saya
melaksanakan tugas itu ...” menerangkan Djaka Tua.
“Mahluk dari alam roh itu apakah dia sebangsa hantu,
setan, dedemit atau apa?!” tanya Setan Ngompol sambil
menahan kencing yang mau muncrat.
“Saya tidak tahu. Ujudnya seorang nenek angker
serba merah, mulai dari rambut sampai kaki. Pertama kali
saya melihat sewaktu malam hari dibawa paksa oleh
Raden Mas Wira Bumi ke pekuburan Kebonagung ....”
“ltu pekuburan besar di luar Kotaraja,” ujar Setan
Ngompol.
Djaka Tua mengangguk. “Dari dalam sebuah makam
yang dijaga oleh seorang kuncen saya lihat sendiri ada
semburan asap. Lalu muncul sosok seorang nenek sangat
mengerikan. Rambut, muka, pakaian, tubuh, semua serba
merah. Raden Mas Wira Bumi memanggil mahluk ini Nyai
Tumbal Jiwo…”
Setan Ngompol berpaling pada Wiro.
“Kek aku belum pernah mendengar nama itu. Apa lagi
kenal orangnya.” Kata Wiro yang mengerti maksud
pandangan Setan Ngompol.
“Aku juga tidak tahu siapa adanya mahluk itu,” ucap
Setan Ngompol pula.
“Mahluk itu adalah guru Raden Mas Wira Bumi dalam
mendapatkan ilmu kesaktian.” Menerangkan Djaka Tua.
“Begitu? Lalu bayi yang kau culik, kau kemanakan?
Berada dimana sekarang?” tanya Wiro.
“ltulah yang menjadi pikiran saya. Di tengah jalan,
waktu itu hujan turun lebat sekali. Saya masuk ke dalam
goa. Bayi yang saya bedung dalam sehelai kain menangis
terus-terusan. Tiba-tiba di mulut goa saya lihat ada kabut
tipis. Di dalam kabut muncul seorang kakek pakaian
selempang kain putih. Tubuhnya tinggi, kepala hampir
menyondak bagian atas goa. Di tangan kiri dia memegang
sebuah tongkat kayu putih. Orang tua itu memanggil saya
sahabat. Dia minta agar saya menyerahkan bayi karena
katanya saya tidak akan bisa merawat. Katanya lagi bayi
itu berjodoh dengan dirinya. Kalau sampai terlambat bayi
itu akan mati. Saya jadi bingung, juga takut. Akhirnya bayi
saya serahkan saja. Si orang tua lalu memberi nama bayi
itu Ken Permata. Orang tua ini juga tahu kalau saya
membekal golok besar milik Raden Mas Wira Bumi yang
sebenarnya akan dipakai untuk menggorok bayi malang
itu. Dia minta golok, saya serahkan. Sebelum pergi orang
tua itu melenyapkan punuk yang selama lima puluh tahun
ada di punggung saya ...”
“Sakti luar biasa, “ kata Wiro sambil garuk kepala.
“Djaka Tua kau tahu siapa adanya orang tua itu?” tanya
Wiro.
Djaka Tua menggeleng. “Saya juga tidak tahu dibawa
kemana bayi itu ...”
“Tololnya! Kau menyerahkan anak orang seperti
menyerahkan kucing!” kata Setan Ngompol.
“Saat itu saya bingung sekali. Saya percaya pada
kuasa dan jalan Tuhan. Kalau tindakan saya salah biarlah
saya menerima hukuman dunia akhirat. Orang tua itu
adalah seorang sakti berhati mulia. Dia pasti akan
menjaga bayi itu baik-baik. Saya berharap satu ketika,
kalau sudah besar dia akan datang menyerahkan bayi itu
pada ibunya. Cuma sayang .....”
“Cuma sayang apa?” tanya Wiro.
“Ibu bayi itu saat ini berada dalam keadaan tidak
waras. Pikirannya terganggu. Dia melarikan diri dari
Gedung Tumenggung.. .”
“Mendengar bicaramu agaknya kau tahu dimana ibu
bayi itu berada.”
Djaka Tua menatap wajah Pendekar 212 Wiro
Sableng lalu menoleh pada Setan Ngompol. “Waktu dua
perajurit itu menyiksa saya agar memberi tahu dimana
tempat kediaman saya, saya memilih lebih baik dibunuh
...”
“Kami tidak akan membunuhmu sekalipun kau tidak
mau memberi tahu,” kata Setan Ngompol pula.
“Saya percaya. Saya akan membawa para sahabat
kesana ...” kata Djaka Tua lalu berdiri dan melangkah.
Melihat langkah Djaka Tua yang tertatih dan terhuyung
Setan Ngompol hilang sabarnya.
“Kalau kami mengikutimu. sedang kau berjalan
seperti siput seperti itu, hampir kiamat rasanya baru
sampai ke tempat tujuan! Biar kugendong. Kau tinggal
menunjukkan jalan!” Habis berkata begitu Setan Ngompol
lalu dukung Djaka Tua di bahu kirinya. Celakanya tubuh
Djaka Tua digendong melintang dengan bagian kepala
menghadap ke depan sebelah bawah hingga mukanya
bersentuhan dengan celana gombrong Setan Ngompol
yang basah lepek oleh air kencing dan menebar bau
pesing!
***
KETIKA sampai di gubuk di hutan jati, ke tiga orang
itu dapatkan pintu terbuka dan gubuk dalam keadaan
kosong. Djaka Tua yang masuk ke dalam keluar kembali.
Wajahnya menunjukkan rasa kawatir.
“Den Ayu ..... ?!” Djaka Tua memanggil. Mula-mula
dengan suara perlahan lalu bertambah keras. Tidak ada
sahutan.
“Den Ayu! Kemuning!” Djaka Tua kembali berseru,
tetap tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara
semilir tiupan angin dan daun-daun pohon jati yang saling
bergesekan.
“Siapa Kemuning?” tanya Wiro pada Djaka Tua.
“Anak Nyi Retno Mantili ...”
“Kau bilang anak itu telah kau serahkan pada seorang
kakek sakti. Namanya Ken Permata, bukan Kemuning.”
Kata Setan Ngompol pula.
“Bayi asli memang saya serahkan pada kakek sakti
waktu di dalam goa. Yang bernama Kemuning ini adalah
sebuah boneka kayu yang oleh Den Ayu dianggap sebagai
bayinya yang hilang.”
Mendengar keterangan Djaka Tua Setan Ngompol dan
Wiro jadi saling pandang. Si kakek tersenyum. Si pemuda
garuk-garuk kepala tapi otaknya berpikir-pikir.
“Den Ayu! Kau berada dimana? Ini aku Djaka Tua
sudah kembali dari pasar. Aku membeli pisang untuk
Kemuning!” Untuk kesekian kalinya Djaka Tua berseru.
Tiba-tiba ada suara tawa perempuan melengking.
Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing. Pendekar
212 Wiro Sableng berpaling. Mencari siapa yang barusan
tertawa. Namun suara tawa itu seolah datang dari
berbagai arah.
Djaka tua tampak tugang. “Den Ayu ... ?!”
“Wiro awas!”
Setan Ngompol berteriak. Secepat kilat dia
mendorong tubuh Wiro ke belakang, merangkul
pinggangnya lalu bergulingan di tanah. Saat itu dari atas
sebatang pohon jati berkiblat dua larik sinar putih
menyilaukan. Di lain kejap buumm .... buuumm!
Dua letusan keras menggelegar. Tanah terbongkar.
Asap mengepul. Dua lobang terpentang lebar dan dalam di
bekas tempat Setan Ngompol dan Wiro tadi berdiri.
Kencing si kakek muncrat tak karuan. Wiro sendiri
terduduk setengah berlutut dengan wajah pucat.
“Gila! Setan dari mana mau membunuh kita?!” ucap
Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya.
“Saat itu dari atas salah satu pohon jati besar
melayang turun sosok seorang perempuan berpakaian
kumal, rambut tergerai kusut masai. Di tangan kirinya dia
memegang sebuah boneka perempuan terbuat dari kayu.
Boneka diarahkan pada Wiro dan Setan Ngompol. Jari-jari
tangan siap memencet pinggang boneka. Jika pinggang
boneka ditekan, dari sepasang mata boneka akan melesat
keluar dua larik sinar putih. Sinar-sinar itulah yang tadi
menyerang Wiro dan Setan Ngompol. Melihat serangannya
gagal kini si pemegang boneka yaitu Nyi Retno Mantili
kembali hendak melepas serangan kedua.
“Den Ayu! Jangan!”
Nyi Retno Mantili menjadi ragu meneruskan serangan
ketika didengarnya seruan Djaka Tua. Perempuan ini
membuat gerakan jungkir balikdi udara, begitu turun dia
sudah berdiri di hadapan Djaka Tua. Tangan kanan
berkacak pinggang, tangan kiri masih memegang boneka
dan tetap diarahkan pada Wiro serta Setan Ngompol.
“Dua orang itu telah menganiayamu! Mereka
memaksamu datang kesini. Ternyata kau telah
berkhianat!” Suara Nyi Retno Mantili keras sekali dan dua
matanya memandang mendelik. “Kalian bertiga akan aku
habisi saat ini juga!”
“Den Ayu, kau keliru. Justru kedua orang itu telah
menyelamatkan diriku,” kata Djaka Tua. Lalu dengan
cepat dia menerangkan apa yang telah terjadi.
Sementara Djaka Tua memberi keterangan. Wiro dan
Setan Ngompol saling bicara berbisik.
“Kek, aku ingat sekali. Bukankah perempuan
membawa boneka ini yang dulu kita temui di hutan
belantara? Yang hendak diperkosa oleh seorang lelaki
berperawakan dan punva ilmu pukulan seperti Pangeran
Matahari?!”
“Perempuan kecil halus. Wajah dekil rambut kusut
awut-awutan. Tapi cantik!” menyahuti Setan Ngompol
sambil matanya menatap ke arah Nyi Retno Mantili. Si
kakek rupanya hanya ingat cantiknya orang saja. “Kau
betul Wiro. Perempuan inilah yang menghajar Pangeran
Matahari dengan dua cahaya sakti yang keluar dari
sepasang mata boneka kayu. Lalu sosoknya lenyap dan
berganti muncul seorang nenek muka putih yang menuduh
Pangeran Matahari sebagai Hantu Pemerkosa. Nenek muka
putih itu kemudian membuntungi tangan kiri Pangeran
Matahari.”
“Jadi inilah Nyi Retno Mantili, istri Raden Mas Wira
Bumi. Sang suami jadi Patih Kerajaan. Dia sendiri dalam
keadaan begini rupa. Kasihan sekali ...”
“Kasihan satu langkah menuju naksir” ucap Setan
Ngompol lalu tertawa cengar cengir.
Di depan sana tiba-tiba perempuan muda yang
memegang boneka keluarkan ucapan. “Aku dengar kalian
menyebut-nyebut nama Nyi Retno Mantill. Siapa itu?
Perempuan mana dia?!”
Setan Ngompol bengong. Wiro garuk-garuk kepala.
“Betul keterangan Djaka Tua. Perempuan muda lni benar-
benar sudah rusak ingatannya.” Kata Wiro dalam hati.
“Begini .... Nyi Retno adalah seorang sahabat kami
yang sudah lama tidak pernah ketemu. Wajahnya
menyerupai Den Ayu. Tapi Den Ayu jauh lebih cantik ...”
Nyi Retno Mantili tertawa keras dan panjang.
“Laki-laki dimana-mana sama saja. Mulut mudah
mengumbar rayuan. Aku tidak cantik. Pakaianku kumuh,
tubuhku dekil. Hik..hik..hik.” Nyi Retno berpaling pada
Setan Ngompol. “Kakek yang kupingnya terbalik,
temanmu ini matanya pasti sudah terbalik!”
“Tidak Den Ayu, kau memang cantik,” jawab Setan
Ngompol.
Nyi Retno Mantili kembali tertawa. “Yang muda yang
tua sama saja belangnya!” .Setelah memperhatikan
Pendekar 212 sejenak, perempuan muda ini
berkata.”Menurut pengasuh anakku, kalian mengaku
sebagai orang-orang gila rimba persilatan! Apa betul?!”
“Betul sekali Den Ayu,” jawab Setan Ngompol.
“Walau gila tentunya punya julukan” kata Nyi Retno
Mantili pula.
“Ah kami cuma orang-orang gila pinggiran, orang-
orang rimba persilatan kelas teri. Mana punya julukan ...”
“Lalu apa kalian juga tidak punya nama?!”
Setan Ngompol batuk-batuk, usap-usap perut.
“Namaku jelek. Orang-orang menyebut aku Setan
Ngompol ...”
Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. “Pantas dari tadi
aku mencium bau pesing. Rupanya kau yang ngompol di
celana.” Nyi Retno berpaling pada Wiro. “Kau tidak punya
nama?”
Pendekar 212 garuk-garuk kepala.
“Sobat mudaku ini orangnya pemalu. Biar aku yang
memberi tahu. Namanya Wiro. Wiro Sableng.”
Wiro tersenyum.
“Nyatanya dia bisa tersenyum. Berarti tidak pemalu
tapi mata keranjang. Hik ...hik ...hik! Ada orang namanya
pakai sableng segala! Sableng benaran apa?!”
“Den Ayu, jangan mempermainkan orang yang telah
menolong kita.” Djaka Tua berkata.
Nyi Retno Mantili cuma tertawa panjang sambil
matanya melirik ke arah murid Sinto Gendeng. Melihat
sikap Nyi Retno Mantili ini Setan Ngompol membatin.
“Perempuan sinting ini sepertinya tertarik pada anak setan
itu. Urusan bisa jadi panjang. Harus cepat-cepat pergi dari
sini.”
“Den Ayu, apa saya boleh bertanya?”
“Nah, apa kataku. Dia mau bicara padaku. Silahkan
saja kalau mau bertanya. Aku siap memberi jawaban
terlebih dulu. Anakku ini namanya Kemuning. Aku bukan
Nyi Retno Mantili. Aku tidak punya suami. Aku tidak kenal
Raden Mas Wira Bumi ...”
“Maaf Den Ayu, saya tidak menanyakan semua itu.
Saya ingin tahu. Waktu kejadian di hutan, ketika Den Ayu
diserang lelaki tinggi besar berjubah kelabu dan Den Ayu
menghajarnya dengan satu pukulan sakti. Den Ayu tiba-
tiba lenyap. Lalu muncul seorang nenek muka putih.
Pertanyaan saya, apakah nenek muka putih itu perubahan
ujud dari Den Ayu ... ?”
Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. Djaka Tua
memperhatikan. Tidak pernah dilihatnya Nyi Retno banyak
tertawa seperti saat itu. Kehadiran dua orang yang
menolongnya itu rupanya mendatangkan kegembiraan
pada diri Nyi Retno. Djaka Tua ikut merasa senang.
“Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Dari
dulu aku seperti ini, tidak pernah berubah ujud. Apa kau
kira aku ini mahluk gaib atau setan jejadian? Hik ... hik ...
hik!”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Menurut Djaka Tua ......”
Nyi Retno memotong ucapan Setan Ngompol dengan
pertanyaan. “Djaka Tua, siapa itu Djaka Tua?!”
Si kakek menunjuk ke arah Djaka Tua. “Dia.
pengasuh anak Den Ayu.”
“Oh dia. Baru tahu aku kalau namanya Djaka Tua.”
Nyi Retno Mantili kembali tertawa cekikikan. Djaka Tua
sendiri hanya tegak berdiam diri.
“Menurut Djaka Tua, anakmu itu bernama Kemuning.
Nama bagus.” Setan Ngompol meneruskan ucapannya
yang tadi terpotong.
“Kau suka anakku? Mau menggendongnya?” Nyi
Retno melangkah mendekati Setan Ngompol hendak
menyerahkan boneka kayu pada si kakek. Tapi tiba-tiba
boneka yang sudah diulurkan ditarik kembali. “Tidak
mungkin aku bisa percaya pada orang yang punya nama
Setan sepertimu. Hik..hik! Nanti anakku dibawa kabur!
Apalagi kau bau pesing! lihhh!”
Nyi Retno Mantili lalu berpaling pada Wiro. “Kau mau
menggendong Kemuning? Mungkin dia suka padamu.”
Wiro tidak menjawab. Bergerak pun tidak. Nyi Retno
lalu mendatanginya dan mengulurkan boneka kayu. Mau
tak mau Wiro mengambil boneka itu. Dengan kikuk dia
menirukan cara orang menggendong bayi. Setan Ngompol
memperhatikan dengan tertawa-tawa. Djaka Tua
mengulum senyum.
“Nah, nah! Kemuning suka padamu. Anak itu tidak
menangis.” Ucap Nyi Retno Mantili pula.
Ketika Wiro hendak menyerahkan boneka kayu
kembali Nyi Retno berkata. “Gendong saja biar lama.
Kemuning anteng sekali dalam gendonganmu. Apa kau
takut dikencingi? Hik ... hik ... hik.?'
Wiro jadi serba salah. Terlebih ketika melihat Setan
Ngompol memberi isyarat agar mereka segera tinggalkan
tempat itu. “Den Ayu, kami senang mengenalmu. Kami
juga suka pada anakmu, Kemuning. Cuma, kami tidak bisa
lama-lama di sini. Kami terpaksa minta diri ...” Wiro
ulurkan boneka kayu.
“Tunggu dulu,” jawab Nyi Retno. Dia tidak mau
mengambil boneka yang diulurkan.
Wiro tidak kehabisan akal. Boneka diserahkan pada
Djaka Tua
“Maaf Den Ayu, saya ingin buang air kecil. Tadi
kebanyakan minum air tebu ...” Setelah menyerahkan
Kemuning pada Djaka Tua, Wiro segera putar tubuh
tinggalkan tempat itu.
“Aduh, perutku juga mendadak mulas. Den Ayu,
Djaka Tua aku pergi dulu.” Setan Ngompol ikut-ikutan
ngacir dari tempat itu.
Nyi Rento Mantili tampak gusar. Dia ambil boneka
kayu dari tangan Djaka Tua lalu diarahkan pada kedua
orang yang berada di depan sana. Jari-jari tangannya siap
menekan pinggang boneka.
“Jangan Den Ayu. Mereka orang-orang baik. Saya
yakin mereka terpaksa pergi karena ada kepentingan ain
yang tak bisa menunggu ...”
“Kalau begitu mari kita ikuti kemana mereka pergi!”
kata Nyi Retno pula. “Aku ingin tahu orang-orang gila
bagaimana mereka sebenarnya!”
Ketika Nyi Retno Mantili berkelebat ke arah dua orang
yang telah pergi itu mau tak mau Djaka Tua terpaksa
mengikuti. Lagi pula dia punya firasat bahwa
keberadaannya yang telah diketahui dua perajurit Keraton
cepat atau lambat akan mendatangkan bahaya bagi Nyi
Retno.
***
MASlH dalam keadaan cidera, Gondo dan Supat
sesampainya di Kotaraja langsung menghadap Patih
Kerajaan. Setelah menunggu cukup lama akhirnya ke dua
orang ini dipersilahkan menunggu di pendopo timur.
Begitu Patih Kerajaan datang dua perajurit segera
menceritakan pertemuan mereka dengan Djaka Tua. Tentu
saja tidak lupa mereka menerangkan munculnya dua
orang aneh, satu kakek bermata besar berkuping lebar
bau pesing dan seorang pemuda berikat kepala putih
berambut panjang sebahu.
“Dua perajurit, jika aku bisa menangkap Djaka Tua
dan menemukan bayi, kalian berdua akan aku beri hadiah
besar dan kenaikan pangkat satu tingkat.” Kata Raden Mas
Wira Bumi. Supat dan Gondo merasa girang dan
membungkuk dalam-dalam sambil mengucupkan terima
kasih. Patih Kerajaan kemudian menyambung ucapannya.
“Namun ingat baik-baik. Mulai saat ini kalian harus
melupakan apa yang telah terjadi di hutan jati itu. Kalian
tidak pernah bertemu Diaka Tua serta dua orang aneh itu.
Kalian juga tidak tahu menahu tentang bayi. Kalian
mengerti?”
“Kami mengerti Kanjeng Patih,” jawab Supat dan
Gondo sambil membungkuk.
Tak lama setelah kedua perajurit itu pergi, Raden Mas
Wira Bumi menemui seorang tokoh silat Keraton bernama
Cagak Lenting berjuluk Si Mata Elang. Orang ini
sebenarnya tidak memiliki ilmu silat atau kesaktian tinggi.
Namun dia disegani karena punya kemampuan luar biasa
dalam mencari jejak, mengejar dan menemukan
seseorang.
Siang itu juga secara diam-diam Raden Mas Wira
Bumi bersama Cagak Lenting meninggalkan Gedung
Kepatihan dengan menunggang kuda keduanya menuju
tempat dimana Supat dan Gondo menghadang dan
menghajar Djaka Tua.
Cukup lama Cagak Lenting memperhatikan keadaan
di tempat itu dengan sepasang mata elangnya. Terakhir
sekali dia jongkok, letakkan telapak tangan kiri kanan di
tanah. digeser-geser beberapa kali lalu tegak berdiri
dongakkan kepala. menghirup udara dalam-dalam.
“Bagaimana?” tanya Patih Wira Bumi tidak sabaran.
“Saya mendapat petunjuk ada dua orang pergi ke
arah selatan. Arah Kotaraja. Mereka pasti dua perajurit
yang datang melapor. Lalu ada tiga orang bergerak ke
arah barat. Djaka Tua dan dua orang aneh itu.”
Wira Bumi memandang ke langit. Matahari telah
menggelincir ke barat. “Kita ke barat. Kau di sebelah
depan.” Kata Wira Bumi.
Cukup lama memacu kuda ke arah barat akhirnya ke
dua orang itu sampai di pinggiran hutan jati. Si Mata Elang
hentikan kudanya sejenak.
Mata memandang tajam berkeliling lalu memberi
tanda pada Patih Kerajaan untuk mengikutinya. Tak selang
berapa lama Cagak Lenting hentikan kudanya di depan
sebuah gubuk. Bersama Wira Bumi dia masuk memeriksa.
“Kita terlambat ...” kata Patih Kerajaan sambil
memperhatikan isi gubuk. Dia mengambil sebuah
keranjang dan menemukan sesisir pisang. “Bayi itu ada di
sini! Lihat, ini pisang makanan bayi.”
Cagak Lenting alias Si Mata Elang menggeleng.
“Petunjuk yang saya dapat hanya ada dua orang pernah
berada di tempat ini. Tidak ada bayi . Dan kedua orang itu
agaknya telah pergi dari sini.”
“Aku harus tahu mereka menuju kemana.” Kata Wira
Bumi pula. Si Mata Elang keluar dari gubuk.
Memperhatikan jejak-jejak di tanah. Lalu memandang ke
jurusan sebelah kanan. Menghirup udara dalam-dalam.
“Kanjeng Patih, mereka pergi ke arah utara. Ada empat
orang ....”
“Aku sudah bisa menduga. Nyi Retno, Djaka Tua dan
dua orang aneh itu. Kita kejar mereka.”
“Jarak kita terlalu jauh Kanjeng Patih. Belum tentu
kita bisa mengejar mereka sebelum malam tiba. Selain itu
bukankah petang ini ada pertemuan penting dengan Sri
Baginda?”
“Cagak Lenting. kau teruskan mengejar ke arah
utara. Aku kembali ke Kotaraja. Mampir di Kaliurang. Cari
Kepala Desa. Jika kau menemui orang-orang itu jangan
mengambil tindakan dulu. Awasi saja jangan sampai lolos.
Kita berhadapan dengan tokoh-tokoh aneh rimba
persilatan. Usahakan mencari tahu siapa mereka.
Kemudian perintahkan Kepala Desa segera menemuiku di
Gedung Kepatihan.”
“Perintah Kanjeng Patih akan saya laksanakan. Saya
mohon diri.” Cagak Lenting naik ke atas kudanya lalu
memacu binatang itu menuju utara.
-- << >>
LIMA
PENDEKAR 212 Wiro Sableng perlambat lari. berpaling
pada Setan Ngompol di sampingnya. “Kek, kau tahu
kalau kita ada yang mengikuti?”
“Sudah tahu dari tadi. Juga sudah tahu siapa
orangnya. Justru aku tengah mencari akal bagaimana
caranya bisa menyelinap dari kejaran mereka.”
“Kita bisa menghilang dari kejaran Djaka Tua. Tapi
dari perempuan muda berotak tidak waras itu rasanya
sulit. Dia hanya sekitar dua puluh tombak di belakang kita.
Turut keterangan DjakaTua, Nyi Retno Mantili dulu tak
punya ilmu kepandaian apa-apa. Jika sekarang ia memiliki
ilmu silat, kesaktian serta ilmu lari yang begitu hebat,
sungguh luar biasa. Siapa gerangan gurunya?”
“Bagaimana kalau kita tunggu saja dua orang itu. Kita
tanyakan pada Nyi Retno apa maunya.”
“Urusan bisa berabe Kek. Jelas dia mau ikut kemana
kita pergi ....”
“Wiro, jika mereka masih mengejar seharusnya Nyi
Retno sudah sampai lebih dulu di sini,” kata Setan
Ngompol pula sambil putar-putar daun telinga sebelah kiri
dan memandang ke jurusan yang barusan mereka lalui.
“Aku mendengar suara derap kaki kuda ....” Baru saja
Wiro selesai berucap tiba-tiba ada suara kuda meringkik
disusul bentakan-bentakan keras.
“ltu teriakan Nyi Retno!” ujar Setan Ngompol sambil
menahan kencing.
Tidak menunggu lebih lama kedua orang itu segera
menghambur ke arah datangnya suara kuda meringkik
serta bentakan-bentakan. Di satu kelokan jalan mereka
temui seekor kuda tergeletak di tanah dalam keadaan tak
bernyawa lagi. Kepalanya hancur. Di samping binatang ini,
terduduk di tanah seorang lelaki berpakaian dan berikat
kepala hijau, rambut menjulai sebahu. Wajah sangat
pucat, mata memandang membeliak penuh takut pada Nyi
Retno Mantili yang saat itu berdiri hanya terpisah
beberapa langkah. Tangan kiri memegang boneka kayu,
dia arahkan pada orang yana terduduk di tanah yaitu
Cagak Lenting alias Si Mata Elang.
“Den Ayu! Jangan!” teriak Setan Ngompol.
Kencingnya terpancar. Selain ingin mencegah serangan
maut yang hendak dilancarkan Nyi Retno dengan
bonekanya, kakek ini juga mengenali siapa adanya orang
yang hendak jadi korban itu.
“Tua bangka bau pesing! Apa urusanmu!” Bentak Nyi
Retno dengan suara lantang wajah garang. Dia turunkan
tangan kirinya sedikit, kemudian diangkat lagi, kembali di
arahkan pada Cagak Lenting.
“Den Ayu, saya mohon jangan bunuh orang itu!” Kini
Wiro yang berucap. Beberapa waktu lalu bersama Setan
Ngompol dia telah melihat Nyi Retno menghantam
Pangeran Matahari dengan sinar sakti yang melesat keluar
dari sepasang mata boneka kayu. Akibatnya luar biasa.
Sang Pangeran yang memiliki kepandaian tinggi itu
terpental muntah darah!
Gerakan Nyi Retno langsung terhenti ketika
mendengar ucapan Wiro. Perempuan muda ini terdiam
sesaat. Perlahan-lahan dia palingkan kepala. Ada secercah
senyum di sudut bibirnya. “Wiro. jika kau yang melarang
aku menurut saja ...” Keluar ucapan itu dari mulut Nyi
Retno Mantili. Tangan kirinya yang memegang boneka
diturunkan lalu boneka didekap ke dada. “Tapi manusia
jahat ini telah membunuh pengasuh Kemuning ...”
“A ... aku tidak membunuhnya. Dia hanya pingsan.
...”
“Mana pengasuh anakku?!” bentak Nyi Retno.
“Dia tergeletak di ujung jalan sana.”
Wiro segera lari ke arah yang ditunjuk Cagak Lenting,
diikuti Nyi Retno sementara Setan Ngompol cepat
menghampiri Cagak Lenting, membantu orang ini bangkit
berdiri.
“Sobatku Cagak Lenting, apa kau masih ingat diriku?”
sapa Setan Ngompol.
“Ah. mana ada tokoh sakti lelaki bau pesing di dunia
ini selain dirimu? Setan Ngompol, lama tidak bertemu
tahu-tahu kau muncul menyelamatkan diriku. Aku
bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih padamu.”
“Apa yang terjadi? Mengapa perempuan itu hendak
membunuh sahabatku yang berjuluk Si Mata Elang ini?”
tanya Setan Ngompol.
“Sobatku, tugas seringkali mendatangkan kesulitan.
Aku diperintahkan oleh Patih Kerajaan untuk mengejar
Djaka Tua dan Nyi Retno. Juga dua orang seperti yang
dilaporkan dua perajurit Keraton. Siapa menyangka dua
orang itu salah satu diantaranya adalah engkau. Pemuda
berambut gondrong itu, siapakah dia?”
“Dia adalah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng,
murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede.”
“Ternyata rejekiku besar sekali hari ini. Selain
diselamatkan aku juga bisa bertemu dengan dua tokoh
silat tanah Jawa. Aku sudah lama mendengar nama hebat
sobat mudamu itu. Baru sekali ini bertemu muka.
Setahuku guru dan murid itu banyak sekali membantu
Kerajaan di masa yang sudah-sudah.” Lalu Cagak Lenting
ceritakan tugas yang diberikan Patih Kerajaan padanya.
“Ketika sampai di kawasan ini sebenarnya aku berdua
dengan Kepala Desa Kaliurang Ki Sentot Bayu. Setelah
melihat Djaka Tua, aku suruh dia kembali ke Kotaraja
untuk melapor pada Patih Kerajaan. Di tempat ini aku
temui Djaka Tua, bekas pembantu Patih Kerajaan sewaktu
masih jadi Tumenggung dulu. Dia berlari sendirian. Aku
cekal dia. Djaka Tua berteriak. Aku tidak menduga kalau
Nyi Retno Lestari juga ada di dekat situ. Tadinya mengira
mungkin dia sudah berada di satu tempat tersembunyi.
Dan aku sama sekali tidak menyangka perempuan muda
itu memiliki ilmu kesaktian. Dia muncul langsung
menyerangku. Aku selamat tapi kudaku menemui ajal.
Luar biasa. Boneka kayu miliknya itu benar-benar
merupakan senjata maut…”
Saat itu Wiro, Nyi Retno dan Djaka Tua muncul.
Cagak Lenting cepat membungkuk.”Pendekar Dua Satu
Dua, saya Cagak Lenting menghaturkan terima kasih kau
telah menyelamatkan selembar nyawaku.” Cagak Lenting
berpaling pada Nyi Retno. Dia membungkuk sekali lagi dan
berkata.
“Maafkan kalau saya telah berlaku lancang. Saya
sangat berterima kasih Den Ayu telah mengampuni
selembar nyawa saya. Saya yang tolol ini hanya
melakukan perintah atasan, perintah Patih Kerajaan.
Sekali lagi saya minta maaf.”
Nyi Retno Mantili tertawa sinis dan acuh. Dia
memandang pada boneka kayu dan berkata. “Kemuning,
kau dengar ucapan orang itu. Seringkali ketololan
mencelakakan diri sendiri. Hik ... hik!”
“Para sahabat, silahkan semua melanjutkan
perjalanan. Saya kawatir Patih Kerajaan akan muncul di
sini bersama orang-orangnya. Sebelumnya saya sudah
meminta seorang Kepala Desa untuk memberi tahu ....”
“Apa yang akan kau katakan pada Patih Kerajaan
karena tidak berhasil menangkap dua orang itu?” tanya
Setan Ngompol.
“Biar itu menjadi urusanku. Kalian pergilah ....”
Setan ngompol masih belum puas. Dia ajukan satu
pertanyaan lagi. “Cagak Lenting, kau tahu siapa adanya
perempuan muda itu?”
Lebih dari tahu, sobatku. Yang aku masih tidak
mengerti adalah cerita tentang seorang bayi
Justru perihal bayi itulah yang membuat Nyi Retno
jadi tidak waras. Di lain kesempatan, kalau kita bertemu
lagi aku akan ceritakan kisahnya padamu. Sobatku, kita
berpisah di sini ...”
Cagak Lenting membungkuk dalam-dalam. Sebelum
ke empat orang itu bergerak pergi, dia telah beranjak lebih
dulu.
Wiro dan Setan Ngompol saling pandang.
“Bagaimana sekarang?” tanya si kakek.
“Apanya yang bagaimana?” tanya Nyi Retno Mantili
sambil ayun-ayun boneka di tangan kiri. Tiba-tiba boneka
itu diserahkan pada Wiro. “Anakku senang padamu,
gendonglah.”
Wiro garuk-garuk kepala. Agaknya sekali ini sulit
untuk meninggalkan Nyi Retno begitu saja.
“Den Ayu. kau tidakmungkin ikutan dengan kami,”
kata Setan Ngompol.
“Siapa mau ikut kamu. Aku mau ikut dia ....” Nyi
Retno menunjuk ke arah Wiro.
“Celaka!” ucap Pendekar 212 dalam hati dan kembali
garuk-garuk kepala.
“Wiro, kalau Kemuning suka padamu, apakah aku
tidak boleh suka padamu? Apakah aku tidak boleh ikut
bersamamu?”
“Ooalaa. Perempuan sinting ini suka pada Wiro.
Kenapa bisa jadi begini?!” Ucap Setan Ngompol dalam
hati.
“Kemuning anak baik. Semua orang tentu suka
padanya. Cuma saat ini saya dan kakek itu ada beberapa
tugas yang harus dilakukan.Saya harap Den Ayu dan
Djaka Tua mau bersabar untuk tidak ikut dulu. Nanti
selesai urusan kami berdua pasti akan menemui Den Ayu
...”
“Omongan lelaki siapa percaya. Kalau kau sudah
pergi pasti tak ingat Kemuning, tak ingat diriku. Aku
mengerti, orang seperti diriku ini siapa yang mau diajak
jalan bersama? Dan Kemuning, hanya sebuah boneka
kayu buruk .....”
Djaka Tua tercengang mendengar ucapan Nyi Retno
itu. “Tuhan,” ucap lelaki ini dalam hati. “Dalam ketidak
warasannya apakah Engkau telah memberikan secercah
kejernihan hati dan pikiran?”
Sepasang mata Nyi Retno tampak berkaca-kaca.
Djaka Tua tundukkan kepala. Setan Ngompol pegangi
bagian bawah perut. Pendekar 212 Wiro Sableng tegak
terdiam. Nyi Retno melangkah mendekati Wiro. “Tolong
kembalikan anakku,” pintanya dengan suara lirih.
Wiro jadi sedih dan kasihan melihat Nyi Retno Mantili.
Hal ini membuat dia tidak segera menyerahkan boneka
perempuan yang terbuat dari kayu itu.
Dalam keadaan semua orang terdiam seperti itu dan
kesunyian menggantung tidak enak, tiba-tiba satu
bayangan hitam berkelebat disusul suara bentakan dan
menghamparnya bau pesing.
“Anak setan! Apa yang kau buat di tempat ini?!”
Wiro tergagau. Setan Ngompol tersentak kaget
langsung muncratkan air kencing. Djaka Tua terheran-
heran. Hanya Nyi Retno Mantili yang kelihatan tenang saja
walau wajahnya masih menunjukkan kemurungan.
Di tempat itu kini berdiri seorang nenek hitam, kurus
tinggi agak bungkuk. Pipi dan mata cekung, rambut putih
jarang. Tangan kiri membolang baling sebatang tongkat
kayu butut hingga mengeluarkan suara bersiuran. Mata
yang cekung itu menatap lekat-lekat ke wajah Pendekar
212, melirik pada boneka kayu yang dipegang Wiro,
melirik lagi ke arah Nyi Retno Mantili. Tongkat ditancap di
tanah.
“Anak setan! Jadi ini pekerjaanmu! Kuberi tugas
malah berleha-leha enak-enakan. Siapa perempuan muda
berpakaian dekil tak karuan rupa ini! Gendakmu yang
baru?! Pantas ...pantas!” Si nenek berpaling pada Setan
Ngompol. “Tua bangka jelek! Pasti kau yang jadi mak
comblangnya!”
“Sinto kau ini ....” Setan Ngompol pegangi perut.
“Diam!” teriak Sinto Gendeng memotong ucapan
Setan Ngompol lalu kembali memandang pada Wiro.
“Anak setan! Apa yang kau pegang itu?!”
“Bayi Nek ....” Karena gugup Wiro ketelepasan
menjawab.
Tampang Sinto Gendeng jadi kelam mengkeret.
Rahang menggembung, mulut perot komat kamit! Susur
dalam mulut dikunyah gemas. Dia meludah ke tanah.
“Bayi?!”
“Maksud saya, boneka Nek. Namanya Kemuning.. ..”
“Setan! Jelas itu boneka. Bukan bayj! Apa kau kira
aku buta, tak bisa melihat?! Aku juga tidak tanya
namanya! Belum lama bertemu kau masih waras.
Sekarang apa otakmu sudah berubah sinting? Eh, kau
sudah sableng beneran ya?! Kau kawin sama perempuan
hantu gembel ini sampai punya anak bayi berbentuk kayu?
Hik ... hik ... hik!”
Suara tawa Sinto Gendeng tiba-tiba dibarengi tawa
Nyi Retno Mantili tak kalah nyaringnya.
“Setan perempuan! Jangan kau berani melecehkan
tawaku! Jika saat ini aku tertawa, di lain kejap aku bisa
berteriak dan membunuhmu!” Sepasang mata Sinto
Gendeng yang cekung tampak berkilat-kilat.
“Nenek jelek! Sudah bau tanah mulutmu masih kotor!
Kalau aku mau ketawa siapa berani melarang?! Kalau kau
mau berteriak dan membunuhku mengapa tidak
melakukan sekarang?!”
“Perempuan kurang ajar! Kau tidak tahu berhadapan
dengan siapa! Kurobek mulutmu!” Sinto Gendeng cabut
tongkat yang menancap di tanah.
“Wuuttt!”
<< >>
ENAM
UJUNG tongkat di tangan kanan Sinto Gendeng
melesat ke arah muka Nyi Retno Mantili. “Eyang!
Jangan!” teriak Wiro.
Si nenek tidak bergeming, terus lancarkan serangan.
Sedang Nyi Retno Mantili tidak berusaha selamatkan diri.
Tetap saja tegak di tempatnya.
“Kemuning, ada nenek jahat bau mau mencelakai
ibumu, apa kita diam saja?!”
Nyi Retno tiba-tiba berseru. Tangan kiri yang
memegang boneka diangkat, diarahkan pada Sinto
Gendeng. Jari-jari menekan.
“Den Ayu, tahan!” teriak Wiro. Dia cepat melompat
dan berdiri menghalang di antara Sinto Gendeng dan Nyi
Retno Mantili.
“Wiro, jika kau yang melarang aku menurut saja ...”
Nyi Retno mundur dua langkah. Tangan yang memegang
boneka diturunkan.
“Breettt!”
Ujung tongkat Sinto Gendeng menyambar punggung
Wiro. Bukan saja merobek baju putihnya tapi juga
menggurat dalam daging di bagian punggung hingga
mengucurkan darah. Wiro menggigit bibir menahan sakit,
melompat ke samping. Nyi Retno Mantili menjerit keras
ketika melihat luka melintang panjang mengucurkan darah
di punggung Wiro.
“Nenek jahat! Kau apakan Wiro! Aku tidak rela!” Nyi
Retno menerjang ke arah Sinto Gendeng. Tangan kanan
diangkat. Wajah boneka dipentang ke arah si nenek. Kali
ini dia benar-benar ingin membunuh Sinto Gendeng. Wiro
cepat merangkul Nyi Retno seraya berkata. “Nyi Retno
Mantili! Jangan! Dia guru saya. Dia berhak menghukum
saya jika saya salah.”
“Tapi apa salahmu?!” teriak Nyi Retno.Matanya
berkaca-kaca. Tangan kiri memagut punggung Wiro,
mengusap darah yang mengucur. Perempuan tidak waras
ini menjerit keras ketika tangannya basah oleh lumuran
darah.
“Wiro .... Darahmu ....” Nyi Retno menjerit lalu
merangkul Pendekar 212 erat-erat.
Setan Ngompol terkencing habis-habisan. Tidak
percaya dia melihat apa yang terjadi. Djaka Tua ingin
mendekati Nyi Retno tapi tak berani.
“Kalian manusia-manusia konyol sinting semua!”
Sinto Gendeng memaki. “Anak setan! Kau dengar baik-
baik ucapanku! Saat ini juga kau harus berangkat ke
Gunung Gede. Temui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ada hal
sangat penting yang ingin dibicarakannya denganmu! Ini
adalah perintah Kiai dan perintahku yang tidak boleh kau
tolak! Soal Kitab Seribu Pengobatan kau tak perlu
mencarinya lagi!” Sinto Gendeng memandang garang ke
arah Nyi Retno Mantili. Yang dipandang membalas dengan
seringai mengejek. Membuat Sinto Gendeng tambah
terbakar dada dan darah amarahnya. “Anak Setan!
Sebelum aku minggat ada satu hal yang harus kau
pertanggung jawabkan! Kau sudah membuat bunting
seorang gadis bernama Wulan Srindi! Dia merampas satu
dari lima tusuk kondeku. Mengatakan bahwa tusuk konde
itu adalah sebagai Mas Kawin tanda perkawinan kalian!
Cari setan perempuan itu! Kau harus dapat mengambil
tusuk kondeku kembali! Soal nanti Wulan Srindi
melahirkan bayimu, apa lahir berupa boneka kayu atau
boneka batu aku tidak mau tahu!”
Wiro melengak kaget mendengar caci maki sang
guru. “Eyang, saya tidak pernah berbuat serong seperti
itu. Saya tidak pernah menggauli Wulan Srindi
“Lalu bagaimana dia bisa hamil?! Hantu yang
membuntinginya?!” bentak Sinto Gendeng.
“Eyang, memang ada satu kejadian buruk menimpa
diri Wulan Srindi. Malah seorang sahabat saya sampai
dituduh melakukan kekejian itu. Namanya Jatilandak ....”
“Anak Setan! Kau pandai bicara, pandai berkilah.
Pandainya kau mencari kambing hitam. Tapi jangan
mengira bisa mendustai tua bangka seperti aku ini! Aku
hidup jauh lebih lama darimu! Aku pernah memeliharamu!
Jadi tahu betul sifat serta sikapmu! Murid kurang ajar!
Manusia tidak berbudi! Kau membuat malu diriku. Kau
mencelemongi mukaku dengan kotoranmu! Jangan harap
aku akan memberikan Ilmu Sepasang Inti Roh yang
pernah kau minta!” (Baca serial Wiro Sableng berjudul
“Munculnya Sinto Gendeng”)
Dalam diamnya Wiro merasa sekujur tubuh bergetar.
Pelipis bergerak-gerak dan dada terasa sesak. Mulutnya
terbuka tapi tidak sepotong suarapun yang bisa keluar.
Luar biasa, guru yang dihormat dan dicintainya tega
mengeluarkan ucapan begitu keras di hadapan sekian
banyak orang. Soal ilmu kesaktian dia dulu memang
pernah meminta ilmu Sepasang Inti Roh itu. Namun
kemudian tidak pernah mengingat-ingatnya lagi. (Baca
serial Wiro Sableng berjudul “Munculnya Sinto Gendeng”)
Dalam keadaan seperti sekarang ini dia tambah tidak
berminat untuk memintanya. Apa lagi dia sudah memiliki
ilmu yang hampir sama keampuhannya yaitu “Sepasang
Pedang Dewa” yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang
Ameh. Hanya saja ilmu ini cuma bisa dikeluarkan dua kali
dalam waktu 360 hari.
Di tempatnya berdiri Wiro merasa punggungnya yang
cidera sakit dan panas bukan main. Dua lutut mulai goyah.
Getaran ditubuh semakin keras. Dia menggigil seperti
diserang demam panas. Perlahan-lahan Pendekar 212
jatuh berlutut. Nyi Retno Mantili menjerit, jatuhkan diri
dan terus merangkul Wiro. Luka panjang di punggung Wiro
mengepulkan asap. Nyi Retno kembali menjerit.
Setan Ngompol cepat mendekati Wiro. Sinto Gendeng
tak kelihatan lagi. Melihat keadaan luka di punggung Wiro
yang mengepulkan asap, si kakek tusukkan tiga totokan.
Darah serta merta berhenti mengucur dan kepulan asap
perlahan-lahan sirna.
Setan Ngompol sendiri habis menotok lalu kucurkan
air kencing habis-habisan.
“Terima kasih Kek,” ucap Pendekar 212. Matanya
menatap sayu pada Setan Ngompol. “Kek, mungkinkah
aku telah berbuat dosa kesalahan? Aku tidak mengerti
mengapa Eyang Sinto tega melukaiku. Aku yakin tadi dia
masih bisa menarik pulang serangan tongkatnya. Tapi dia
sengaja tidak melakukan. Soal Wulan Srindi itu, kau tahu
aku tidak pernah berbuat sekeji itu. Hatiku sedih sekali
Kek. Aku merasa sangat terpukul ...”
Setan Ngompol hanya bisa angguk-anggukan kepala
sambil pegangi bagian bawah perut.
“Kek, mungkin dimatanya aku ini merupakan seorang
murid murtad? Kalau aku salah memang pantas dihukum.
Dibunuhpun aku ikhlas. Aku menghormati Eyang Sinto,
juga menyayanginya. Tapi rasanya ... Ah, aku ini memang
murid kurang ajar!” Wiro akhirnya menyalahi diri sendiri.
Sepasang matanya berkaca-kaca.
“Wiro, siapa berani membunuhmu akan aku bunuh
juga!” tiba-tiba Nyi Retno berkata sambil tangan kanan
mendekapkan boneka kayu ke dadanya.
Wiro menatap wajah Nyi Retno. Perempuan itu
tersenyum padanya. Wiro hanya bisa balas tersenyum.
“Wiro, gurumu sedang kacau pikiran,” kata Setan
Ngompol. “Wulan Srindi muncul memberi tahu bahwa dia
sudah kawin denganmu dan hamil. Satu dari lima tusuk
kondenya dirampas ....”
“Aku kira nenek itu pikirannya lebih semrawut dari
diriku!” lagi-lagi Nyi Retno keluarkan ucapan. “Kalau ada
seribu gadis mengaku hamil, apa itu semua pekerjaan
Wiro? Seharusnya dia menyelidik dulu. Uh! Baru
kehilangan satu tusuk konde kelakuannya seperti setan
kebakaran pantat! Murid sendiri dilukai! Dicaci maki!
Bagaimana kalau tusuk kondenya hilang semua?! Mungkin
manusia sejagat ini dibunuhinya!”
Djaka Tua sampai tertegun mendengar kata-kata Nyi
Retno Mantili itu yang jelas-jelas membela Wiro. Dalam
keadaan tidak waras bagaimana dia bisa bicara begitu.
“Luar biasa sekali perubahannya setelah pertemuan
dengan pemuda ini.”
Wiro berdiri. “Kek, tadi kau dengar sendiri Eyang
Sinto mengatakan aku tidak perlu lagi mencari Kitab
Seribu Pengobatan. Aku senang saja terbebas dari satu
tugas berat. Tapi menurutmu apa yang telah terjadi?”
Setan Ngompol usap-usap perutnya. “Aku menduga,
jangan-jangan dia sudah menemukan kitab itu. Jadi tidak
memerlukan lagi bantuanmu.”
“Dugaanmu kurasa benar Kek. Tadi aku menyelidiki
dirinya dengan Ilmu Menembus Pandang. Sebenarnya hal
itu tidak boleh aku lakukan. Samar-samar aku melihat ada
sebuah benda berbentuk kitab di balik pakaiannya sebelah
kiri. Kalau kitab itu memang sudah ditemui dan berada di
tangan Eyang Sinto aku merasa bersyukur. Tapi
bagaimana kini caranya aku membantu dua murid Hantu
Malam Bergigi Perak? Mereka membutuhkan petunjuk
pengobatan yang ada dalam kitab itu. Kau tahu sendiri,
kita sudah kepalang berjanji mau menolong.”
“Wiro, terus terang aku jadi bingung. Semakin lanjut
usianya semakin aneh-aneh saja perilaku gurumu. Apa
gunanya kitab itu dimilikinya sendirian. Padahal kitab bisa
memberi pertolongan pada banyak orang. Apa dia ingin
mengangkanginya sampai mati?!”
“Mungkin dia kawatir kitab itu akan dicuri orang lagi.”
“Bisa jadi. Tapi aku tahu. Sinto Gendeng itu
perempuan culas!” kata Setan Ngompol pula.
“Mengenai perintahnya agar aku menemui Kiai Gede
Tapa Pamungkas, bagaimana menurutmu Kek?”
“Kau harus melaksanakan. Perintah itu bersumber
dari sang Kiai.”
“Selama ini aku tidak dekat dengan Kiai Gede Tapa
Pamungkas.” Ucap Wiro sambil memandang pada Nyi
Retno. Perempuan ini menatapnya dengan pandangan
mata sayu. Suaranya terdengar lirih ketika berkata. “Kalau
kau pergi ke Gunung Gede, aku ikut bersamamu. Aku
mohon kau jangan meninggalkan diriku dan Kemuning ....”
“Saya tak mungkin membawamu ke sana Nyi Retno
Mantili. Perjalanan jauh dan sulit ...”
Perempuan muda yang terganggu jalan pikirannya itu
tersenyum. “Sudah beberapa kali kau memanggilku Nyi
Retno Mantili. Biasanya aku marah dipanggil dengan nama
itu. Tapi karena kau yang menyebut, sekarang aku jadi
berpikir. Apakah itu memang namaku?”
Wiro memandang pada Djaka Tua. Pembantu ini
tersenyum. Wiro berpaling lagi pada Nyi Retno lalu
anggukkan kepala.
“Retno Mantili, itu memang namamu. Nama bagus ...”
kata murid Sinto Gendeng pula.
Nyi Retno tertawa panjang dan lepas. Wajahnya
tampak merah segar.
“Wiro,” katanya. “Menurut perhitunganmu berapa
lama waktu kau butuhkan untuk sampai ke puncak
Gunung Gede?”
“Mengapa kau bertanya begitu Nyi Retno?”
“Jika berkuda mungkin delapan sampai sepuluh hari.
Aku tahu jalan memintas. Aku hanya butuh waktu lima
hari.
“Sebaiknya kau tidak kesana. Tunggu saja di tempat
kediaman Ki Tambakpati seorang juru pengobatan sahabat
kami. Setan Ngompol akan mengantarkanmu kesana.”
Nyi Retno tertawa. “Wiro, aku dan Kemuning
menunggumu di tepi telaga.”
Pendekar 212 tercengang.
“Nyi Retno, bagaimana kau tahu kalau di puncak
Gunung Gede ada telaga? Kau pernah .....”
Nyi Retno tertawa panjang dan kedipkan sepasang
matanya. Mata yang selama ini selalu sayu kuyu oleh
penderitaan batin kali ini tampak begitu bagus bening
bercahaya. Djaka Tua sampai mengucap nama Tuhan
berulang kali melihat kejadian ini. Diam-diam dia merasa
bahagia.
“Nyi Retno .....” panggil Wiro.
Namun perempuan itu sudah berkelebat pergi.
Dikejauhan terdengar suara nyanyiannya.
Kemuning anakku sayang
Ada seorang sahabat baik hati
Membawa kita ke puncak Gunung Gede
Dia berlari cepat seperti angin
Tapi kita akan sampai lebih dahulu
Menunggunya di tepi telaga
Lagi-lagi Djaka Tua tertegun heran. Dalam hati dia
berkata. “Den Ayu jarang-jarang menyanyi di depan orang
lain. Juga aneh, bagaimana Nyi Retno tahu jalan ke
Gunung Gede. Bagaimana dia tahu di sana ada telaga?”
Pembantu setia ini lalu memandang pada Pendekar 212.
“Wiro, saya melihat banyak perubahan pada diri Nyi Retno
sejak dia mengenalmu. Jika saja kau bisa berada lebih
lama bersamanya mungkin keadaannya akan tambah baik.
Apakah kau sudi menolongnya?”
“Dia suka dan percaya padamu,” menambahkan
Setan Ngompol. “Dua hal itu bisa kau jadikan sebagai
dasar menolong dirinya ...”
“Kalian berdua ikut aku ke Gunung Gede?” bertanya
Wiro.
Setan Ngompol menggeleng. “Kami akan
menunggumu di pondok Ki Tambakpati.” Kata si kakek
pula.
Wiro garuk-garuk kepala.
Belum sempat dia tinggalkan ke dua orang itu
mendadak seorang nenek dengan dandanan tebal
mencolok tahu-tahu telah tegak berdiri berkacak pinggang
di hadapan tiga orang itu. Di atas kepalanya ada sebuah
tabung bambu kuning setinggi satu setengah jengkal,
mengepulkan asap tiga warna.
“Hantu Malam Bergigi Perak, kau rupanya ....” Setan
Ngompol yang pertama sekali membuka suara.
“Ah, kau tidak melupakan diriku. Tapi aku tidak
berurusan denganmu.
Aku mau bicara dengan pemuda ini.” Kata nenek
berpakaian serba hitam guru dua gadis cantik Liris Merah
dan Liris Biru. Dia memandang ke arah Wiro. “Jika aku
tanya tentang kitab itu pasti jawabanmu kau masih belum
tahu berada dimana. Betul begitu?”
“Nek, kalau kitab itu ada padaku, pasti akan kuminta
izin Eyang Sinto agar dipinjamkan padamu untuk
mengobati kelainan pada dua muridmu.”. Kata Wiro pula.
Si nenek kerenyitkan kening. “Aku tidak pernah
memberi tahu bahwa dua muridku punya kelainan. Dari
mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu?!” Dua mata si
nenek mendelik, memperhatikan penuh curiga.
Wiro sadar kalau sudah ketelepasan bicara. Dulu dua
kakak beradik Liris Merah dan Liris Biru sendiri yang
memberi tahu penyakit yang mereka idap.
“Aku cuma menduga Nek. Kalau tidak dirimu tentu
dua muridmu yang memerlukan pengobatan. Melihat kau
cantik dan sehat-sehat saja maka aku mengira dua
muridmulah yang membutuhkan pertolongan.”
“Hemmm, kau pandai bicara. Hidungku tidak besar
oleh pujianmu! Pemuda mata keranjang, awas kalau kau
ada hubungan yang tidak-tidak dengan dua muridku,
kupecahkan batok kepalamu! Sekarang katakan apa kau
sudah mendapatkan kitab itu?”
Wiro menggeleng.
“Tahu dimana beradanya?”
Wiro menggeleng kembali.
Hantu Malam Bergigi Perak tertawa bergelak. Deretan
giginya atas bawah tampak berkilauan.
“Anak muda, kau berdusta. Apa kau kira aku tidak
tahu gurumu yang bau pesing itu tadi ada di sini. Kau
dicuci maki habis-habisan seperti mencuci kesetan kaki!
Hik ... hik! Aku juga mendengar dia berkata agar kau tidak
perlu mencari kitab itu lagi. Berarti kitab itu sudah
ditemukan dan ada di tangannya. Aku tahu ke arah mana
dia pergi. Aku akan minta pinjam kitab itu secara baik-
baik. Kalau dia tidak memberikan akan kubunuh! Apa
katamu?!”
“Aku tidak akan berkata apa-apa Nek,” jawab Wiro.
Si nenek tertawa panjang. “Bagus, kau mau berpihak
padaku. Berarti dalam hatimu ada rasa dendam terhadap
gurumu yang telah melukai dirimu. Benar?! Kalau aku jadi
dirimu, perlu apa punya guru seperti itu. Sudah jelek, bau
pesing, bicara tak karuan, hatinya jahat pula.”
“Ucapanmu hanya menunjukkan bahwa hatimu juga
tidak seputih dan selembut kapas ...” tukas Wiro.
Bagaimanapun juga telinganya jadi panas mendengar
ucapan si nenek.
Sebaliknya Hantu Malam Bergigi Perak tertawa
panjang mendengar kata-kata Pendekar 212 itu.
“Wiro, diriku bisa saja lebih jahat dari Sinto Gendeng.
Tapi aku tidak pernah menganiaya murid sendiri seperti
yang dilakukannya padamu!”
Air muka Wiro tampak merah. Sebelum dia menjawab
ucapan Hantu Malam Bergigi Perak Setan Ngompol cepat
mendahului mengalihkan pembicaraan.
“Sobatku Hantu Malam Bergigi Perak, Wiro pasti akan
memberikan kitab itu padamu begitu dia mendapatkan.
Kalau kau tidak percaya padanya, kau boleh menyandera
diriku. Kau boleh membawaku kemana saja sampai dia
menyerahkan kitab ...”
“Tua bangka kuping terbalik. Kau kira aku tidak tahu
akal bulusmu?! Siapa sudi berada dekat-dekat dengan
orang bau pesing sepertimu. Sekalipun kau mandi di tujuh
telaga bau pesingmu tak akan hilang. Lebih baik kau ikut
membantu mencari kitab itu. Siapa tahu di dalamnya ada
petunjuk obat yang dapat menghilangkan penyakit
kencingmu!”
“Oaallaaa. Aku tak pernah memikirkan hal itu!” kata
Setan Ngompol pula sambil pegangi bagian bawah
perutnya. “Terima kasih kau mengingatkan. Sekarang
apakah aku boleh ikut bersamamu?!”
Si nenek mencibir lalu tinggalkan tempat itu.
Setan Ngompol berpaling pada Wiro. “Aku berubah
pikiran. Tak jadi ke gubuknya Ki Tambakpati. Tapi mau
mengejar nenek bergigi perak itu. Dia benar! Tidak
mustahil dalam Kitab Seribu Pengobatan ada petunjuk
obat serta cara menghilangkan penyakit kencing-
kencingku!”
“Kek. tunggu dulu!”
“Kau ini. apa lagi. Nanti nenek itu keburu lari
jauh!”Setan Ngompol mengomel.
“Eyang Sinto menyuruh aku mendapatkan tusuk
kondenya yang dirampas Wulan Srindi. Menurutmu
bagaimana?”
“Kalau aku jadi kau aku tidak akan melakukan. Itu
urusannya dengan Wulan Srindi. Mengapa kau yang jadi
repot? Sudah, aku mau mengejar nenek menor itu ...”
Setan Ngompol segera saja lari ke arah lenyapnya Hantu
Malam Bergigi Perak.
Pendekar 212 Wiro Sableng tak bisa berbuat apa. Dia
bertanya pada Djaka Tua. “Bagaimana denganmu. Aku
terpaksa rneninggalkan kau sendirian.”
“Tidak jadi apa. Saya pernah mendengar nama Ki
Tambakpati. Saya akan mencari pondok tempat
kediamannya. Kalau tidak keliru di sebuah bukit dekat
Plaosan. Saya hanya mohon agar kau bisa menolong Nyi
Retno Mantili. Yang penting dia bisa disembuhkan serta
diselamatkan dari tangan jahat Raden Mas Wira Bumi yang
bertekad hendak membunuhnya.”
Wiro pegang bahu Djaka Tua. “Kau orang baik.
Menurutku kesembuhan atas diri Nyi Retno hanya bisa
terjadi jika bayinya yang hilang ditemukan kembali. Coba
kau ingat-ingat mengenai orang tua serba putih kepada
siapa bayi itu kau serahkan. Aku ingin kau menceritakan
sekali lagi apa yang terjadi di goa. Jangan ada satu halpun
yang terlupa ...”
Djaka Tua lalu bercerita.
“Malam itu. lebih satu tahun lalu. Saya membawa lari
bayi Nyi Retno dari Gedung Tumenggung. Bayi saya
bungkus dengan sarung. Malam itu hujan turun lebat
sekali. Untung ada sebuah goa. Belum lama berteduh di
situ muncul kabut aneh. Lalu kelihatan sosok seorang tua.
Tubuhnya tinggi sekali. Kepala hampir menyentuh bagian
atas goa. Orang tua ini mengenakan pakian sebentuk
selempang kain putih. Rambutnya putih. Ada sebatang
tongkat putih di tangan kirinya .....”
“Apa kau memperhatikan sepasang mata orang tua
itu?'. tanya Wiro.
“Wajah orang tua itu berada di bagian yang agak
gelap. Tapi saya ingat ..... Bagian putih matanya hanya
sedikit. Selebihnya mungkin hitam, mungkin coklat. Sulit
saya mengetahui karena gelap. Orang tua itu memanggil
saya sahabat. Dia minta saya menyerahkan bayi ....”
“Orang tua itu, apakah dia membawa sebuah suling
emas disisipkan di pinggangnya?”
“Tidak dapat saya pastikan. Karena bagian pinggang
ke bawah tubuhnya tertutup kabut tipis. Ada satu hal yang
ingin saya beritahu. Dibalik kabut, di belakang orang tua
itu saya merasa ada satu mahluk. Entah orang entah
binatang. Nafasnya menghembus berat. Saya tidak bisa
melihat sosoknya tapi saya melihat ada dua buah titik
hijau. Titik ini sesekali tampak bergerak-gerak ...”
“Djaka Tua, kau bicara cukup lama dengan orang tua
itu. Kau ingat logat bicaranya? Logat Jawa, Pasundan,
Madura .... ?”
Djaka Tua berpikir. “Bukan logat Jawa. Bukan Sunda.
Juga bukan logat Madura. Bahasanya halus. Kata-katanya
lembut. Saya kira dia orang dari tanah seberang. Tapi
seberang daerah mana saya tidak tahu ...”
Wiro pegang bahu Djaka Tua. “Keteranganmu sangat
berharga. Mudah-mudahan aku bisa menduga siapa
adanya orang itu.”
“Kalau begitu kita cari sekarang juga.” kata Djaka Tua
bersemangat.
Wiro tertawa. “Biar aku yang melakukan tugas satu
itu. Kau pergilah ke tempat kediaman Ki Tambakpati.
Katakan aku dan Setan Ngompol yang menyuruh kau
kesana.”
“Saya akan berdoa siang malam semoga bayi itu bisa
ditemukan. Karena hanya pertemuan dengan bayi itulah
Nyi Retno bisa disembuhkan dari sakitnya. Saat ini paling
tidak bayi itu sudah berusia satu tahun lebih. Dibalik
ketidak warasannya kau dapat membayang kan derita
duka Nyi Retno. Kasihan sekali. Seharusnya dia tinggal di
satu gedung mewah. Dikelilingi para pelayan. Berpakaian
bagus berdandan apik. Dihormati orang dimana-mana .
“Djaka Tua, tidak banyak di dunia ini orang yang
begitu setia pada atasannya sepertimu. Aku merasa
bahagia bisa mengenalmu. Kau pergilah sekarang juga.
Jangan lewat dijalan biasa. Aku menduga Patih Kerajaan
akan mengirim orang-orangnya atau datang sendiri
menyelidik ke tempat ini.”
Djaka Tua mengangguk. Pembantu ini membungkuk
dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu sementara langit
mulai kelihatan redup di akhir rembang sore itu.
Wiro menunggu sampai Djaka Tua lenyap di
kejauhan. Lalu dia mencari tempat yang agak lapang dan
duduk bersila di tanah. Dua mata dipejam, hati dan pikiran
dipusatkan pada membayangkan sosok seekor harimau
putih bermata hijau.
“Sahabat Datuk Rao Bamato Hijau. Saya Wiro
Sableng. Saya perlu bantuanmu. Datanglah.”
Wiro hanya menunggu satu kejapan mata. Kabut
putih entah dari mana datangnya tahu-tahu menutupi
tempat itu seluas lima tombak persegi. Di dalam kabut
kelihatan dua titik hijau. Tanah bergetar. Ada suara
hembusan nafas berat. Perlahan-lahan masih di dalam
kabut, kelihatan sosok seekor harimau putih memiliki
sepasang mata hijau.
“Datuk. terima kasih kau mau datang ...”
Terdengar suara gerengan halus seolah menyahut
memberi salam. Harimau putih keluar dari dalam kabut,
melangkah ke hadapan Wiro, menjilati tangan kanan sang
pendekar. Wiro usap-usap kepala binatang itu dengan
tangan kirinya. Terasa ada hawa hangat yang menjalar
masuk ke dalam tubuhnya. Mernbuat rasa sakit luka di
punggung serta merta menjadi lenyap.
“Datuk, saya buluh pertolonganmu. Mohon
disampaikan pada Datuk Rao Basaluang Ameh. Saya ingin
petunjuk tentang seorang bayi perernpuan yang pernah
diserahkan kepadanya oleh seorang lelaki berpunuk di
sebuah goa sekitar satu tahun silam ....”
Harimau putih kedipkan dua mata lalu menggereng
halus. Ekornya menjentik ke atas tiga kali berturut-turut,
memancarkan bunya api berwarna hijau. Kabut masih
menggantung di udara. Perlahan-lahan sosok harimau
putih bermata hijau lenyap dari pemandangan. Kabutpun
ikut sirna.
Seperti dikisahkan dalam Episode berjudul “Delapan
Sabda Dewa” harimau putih bernama Datuk Rao Bamato
Hijau ini adalah peliharaan seorang sakti di Pulau Andalas
bernama Datuk Rao Basaluang Ameh. Dari Sang Datuk
Wiro telah menerima banyak ilmu kesaktian. Harimau
bermata hijau itu oleh Datuk Rao Basaluang Ameh
dijadikan sebagai pelindung Wiro.
Namun sebegitu jauh dalam menghadapi berbagai
kesulitan terutama menghadapi musuh berkepandaian
tinggi hampir tak pernah Wiro meminta bantuan si mata
hijau ini. Segala kesulitan yang ditemui jika masih bisa
dihadapi selalu ditangani sendiri.
Tidak lebih dari dua kejapan mata berlalu tiba-tiba
tanah kembali bergetar. Di kejauhan terdengar suara
saluang (semacam suling khas Minangkabau) disusul
munculnya kabut. Lalu di dalam kabut kelihatan kembali
harimau putih besar Datuk Rao Bamato Hijau. Ternyata
harimau ini tidak datang sendiri. Di atas punggungnya
duduk seorang anak perempuan bertubuh gemuk montok,
berkulit putih. Rambutnya yang hitam tebal di kuncir dua
di atas kepala. Wajah segar dengan dua pipi merah. Mulut
selalu mengulum senyum sementara sepasang matanya
tampak bening bagus dihias alis tebal dan bulu mata
lentik. Anak perempuan seusia satu tahun ini adalah bayi
Nyi Retno Mantili yana dulu diserahkan Djaka Tua pada
seorang kakek. Dan kakek itu kini berdiri di samping
harimau putih bermata hijau.
Sang kakek mengenakan selempang kain putih.
Sepasang matanyanya berwarna biru. Meski usia sangat
lanjut namun masih tampak gagah. Di tangan kiri dia
memegang sebatang tongkat putih sedang di pinggang
terselip sebuah seruling terbuat dari emas. lnilah Datuk
Rao Basaluang Ameh, orang sakti dari Pulau Andalas yanq
menjadi salah satu dari guru Pendekar 212 karena dia
pernah mewariskan ilmu silat dan kesaktian pada Wiro
melalui kitab “Delapan Sabda Dewa”. Perlahan-lahan kabut
menipis dan suara alunan saluang lenyap dari
pendengaran.
Wiro cepat berdiri, melangkah kehadapan Datuk Rao
Basaluang Ameh. membungkuk, menyalami dan mencium
tangannya.
“Datuk, salam hormat saya untuk Datuk. Maafkan
saya karena telah berani merepotkan dan menyita waktu
Datuk. Saya terpaksa melakukan karena ada seorang ibu
kehilangan bayi perempuannya. Saat ini dia berada dalam
keadaan tidak waras. Sakit dan derita sengsaranya ini
mungkin sekali bisa disembuhkan jika dia bertemu dengan
anaknya kembali.”
“Anak muda bernama Wiro, kau sendiri apakah tidak
mempunyai banyak kesulitan hingga mementingkan orang
lain dari pada diri sendiri?” Datuk Rao Basaluang Ameh
bertanya. Suaranya halus lembut.
Wiro tahu kalau sang guru tengah menjajal dirinya.
“Datuk Rao, sudah menjadi garis nasib saya bahwa
dalam hidup ini saya akan selalu menemui kesulitan serta
bebagai macam bahaya. Namun jika saya masih bisa
menolong orang lain, mengapa tidak saya lakukan. Lagi
pula dari keterangan orang yang menyerahkan bayi saya
coba menduga-duga bahwa yang membawa bayi itu
mungkin adalah Datuk Rao Basaluang Ameh. Maafkan
kalau salah keliru ...”
Datuk Rao tersenyum.
“Dugaanmu tidak keliru Wiro. Anak di atas punggung
Datuk Rao Bamato Hijau itulah bayi yang kau maksudkan.
Aku memberinya nama Ken Permata.”
“Saya merasa lega mengetahui bahwa bayi itu
memang ada di dalam perawatan Datuk. Saya sendiri
senang melihatnya, apa lagi ibunya ...” Wiro dekati anak
perempuan di atas punggung harimau putih, membelai
kepalanya. mengusap pipinya yang merah. Si anak
tertawa-tawa. mulutnya mengucapkan sesuatu dan kedua
tangannya diulurkan ke arah.Wiro.
“Anak itu suka padamu. Dukunglah barang sebentar.”
kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula sementara harimau
putih keluarkan suara gerengan halus.
Wiro segera menggendong anak perempuan itu. Ken
Permata tertawa tawa dan tepuk-tepuk wajah Pendekar
212.
“Wiro. Ketahuilah bahwa saat sekarang ini masih
belum waktunya Ken Perrnata ditemukan dengan ibu
kandungnya. Sang ibu masih menghadapi berbagai macam
kesulitan. Keselamatan mereka sama-sama terancam ....”
“Saya hanya menuruti apa pang baik kata Datuk.”
“Waktu yang tepat adalah sekitar tujuh bulan di
muka. Pada malam Satu Suro tahun depan kita bertemu
lagi. Saat itulah Ken Permata akan aku serahkan padamu.
Akan lebih baik kalau saat itu ibunya ada bersamamu.
Sementara itu dari sekarang sampai saat pertemuan nanti
kuharap kau mau menjaga keselamatan ibu anak ini.”
“Terima kasih atas petunjuk Datuk. Perintah Datuk
akan saya lakukan Saya tidak akan menganggu Datuk
lebih lama. Saya hanya mohon nasihat. Pesan wejangan
atau mungkin juga teguran. Agar saya bisa lebih lega
dalam menghadapi berbagai tantangan di masa yang skan
datang.”
Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum.
“Wiro. ketahuilah segala nasihat, pesan wejangan
maupun teguran sesungguhnya dimiliki dan berada dalam
diri manusia itu sendiri. Semua yang datang dari orang
lain tidak akan ada gunanya jika tidak dituruti. Suara hati
nurani sendiri, yang datang dari lubuk terdalam hati tulus
dan bersih adalah mata telinga bagi diri seseorang untuk
melangkah di jalan yang baik dan diredhohi Allah, Tuhan
Seru Sekalian Alam. Yang Maha Kuasa dan Maha
Mengetahui”
Wiro membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih
Datuk. Ucapan Datuk akan saya perhatikan sungguh-
sungguh.”
“Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum. Dia usap
kepala Pendekar 212. Wiro turunkan Ken Permata dari
gendongan. Ketika hendak didudukan kembali di atas
punggung harimau putih, anak ini menangis tak mau pisah
dengan Wiro. Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus
ketika Wiro mengusap tengkuknya dan mencium
keningnya. Wiro tak lupa mencium tangan kanan Datuk
Rao Basaluang Ameh sekali lagi.
“Wiro, sebelum pergi biar aku sembuhkan luka di
punggungmu.”
“Terima kasih Datuk memperhatikan saya. Saya ingin
biar luka di punggung saya akan menjadi cacat yang
mengingatkan diri saya betapa pahitnya hidup ini.
Membuat saya bisa berbuat lebih baik dan lebih bijaksana.
Karena betapapun buruknya diri saya ini. saya masih tetap
seorang anak manusia. Bukan anak setan ....”
Lama Datuk Rao Basaluang Ameh tegak terdiam
mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Akhirnya si kakek
mengulum senyum luruh, membelai kepala sang pendekar
dan berkata. “Kau anak baik. Namun sebagai manusia kita
tidak pernah lepas dari perasaan hati dan jalan pikiran.
Jaga dirimu baik-baik, Wiro .
Sosok si orang tua. harimau putih dan Ken Permata
berubah samar. Kabut menipis. Di kejauhan terdengar
suara seruling. Tak lama kemudian ketiga mahluk itupun
lenyap dari pandangan.
Pendekar 212 menghela nafas. Hatinya membatin.
“Turut akal sehat otak manusia, siapa bisa percaya akan
semua yang barusan terjadi di tempat ini. Di balik semua
keanehan, tangan dan kuasa Tuhan bergerak memberikan
segala rakhmatNya.”
Wiro usapkan dua telapak tangan ke wajah. Sang
surya masih menyisakan cahaya terakhirnya di ufuk barat.
Sebentar lagi petang akan memasuki malam. Terbayang
wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas “Apa yang ingin
dibicarakan orang sakti itu hingga dia menyuruhku datang
menemuinya?” Pertanyaan itu muncul dalam hati sang
pendekar.
-- << >>
TUJUH
PUNCAK Gunung Gede. Sang surya belum lama
tenggelam namun kepekatan malam telah muncul
memagut hingga segala sesuatunya kelihatan gelap
dan hitam. Sosok yang datang berkelebat dari arah timur
untuk beberapa lama tegak diam tertegun. Mata
memandang berkeliling, wajah putih membayangkan
perasaan heran sekaligus keterkejutan.
“Walau cuma satu kali datang ke sini, rasanya tak
mungkin aku datang di tempat yang salah. Pohon besar itu
masih berdiri di sebelah sana. Sumur tua di sebelah situ.
Tapi mana gubuknya? Semua tinggal tanah rata.”
Orang yang barusan datang, seorang nenek berwajah
putih memandang berkeliling lalu melangkah kian kemari
seputar tanah datar dimana sebelumnya berdiri gubuk
kediaman Sinto Gendeng.
“Sesuatu telah terjadi di sini. Aku melihat pecahan-
pecahan kayu. Kepingan tempayan tanah ...” Di satu
tempat si nenek berdiri agak lama. Kaki digeser beberapa
kali. Dada berdebar. “lni tempatnya. Apakah aku harus
......” Dalam membatin si muka putih ini merasa ragu. Dia
melangkah kembali.
Di pinggir sebuah sumur tua, si nenek berhenti.
Pandangan diarahkan ke berbagai penjuru, telinga
dipasang. “Tak ada tanda-tanda manusia terkutuk itu telah
muncul di tempat ini. Apakah aku datang lebih cepat, lebih
dahulu? Atau mungkin ditengah jalan dia merubah pikiran.
membatalkan niat datang ke tempat ini?” Suara hatinya
itu dibantah sendiri. “Tidak mungkin. Turut keterangan Ki
Tambakpati dia menanyakan Kitab Seribu Pengobatan. Dia
mesti ke sini. Aku akan menunggu. Sekali ini dia tidak
bakal lolos dari tanganku! Manusia keji jahanam! Kau akan
jadi bangkai di tempat ini!”
Baru saja si nenek berkata dalam hati seperti itu
mendadak ada kilasan satu cahaya di sebelah barat dan
telinganya menangkap suara orang berlari cepat sekali.
“Pasti jahanam terkutuk itu!”
Secepat kilat nenek muka putih yang bukan lain Nyi
Bodong adanya melesat ke atas sebatang pohon besar.
Mendekam di situ, mata memperhatikan tak berkesip ke
arah datangnya suara orang yang berkelebat datang.
Hanya satu kejapan mata saja, seorang mengenakan
jubah hitam dengan gambar matahari bulat merah di
bagian dada, bermuka cacat. tegak di pinggiran sumur,
tepat dimana si nenek tadi berdiri. Keningnya diikat
secarik kain warna merah. Di tangan kanan orang ini
menenteng satu benda aneh, yakni sebuah lentera yang
cahayanya menerangi tempat terbuka sampai seluas tiga
tombak persegi. Tidak seperti lentera biasa, lentera ini
memancarkan cahaya tiga warna yaitu merah di sebelah
atas, hitam di sebelah tengah dan kuning di sebelah
bawah.
Di atas pohon besar Nyi Bodong bergerak hati-hati,
masuk menyelinap ke balik kelebatan daun pepohonan,
melindungi diri dari cahaya terang lentera.
“Lentera lblis ....” ucap Nyi Bodong dalam hati. Dia
ingat pada guratan tulisan yang dilihat dan dibacanya
dalam goa kediaman Si Muka Bangkai. “Jahanam itu
mengenakan pakaian baru berlambang gambar matahari.
Dia berani unjuk tampang tanpa mengenakan topeng
setan. Berarti ada kekuatan yang diandalkannya. Lentera
itu .... ? Mahluk jahanam! Hantu Pemerkosa alias
Pangeran Matahari! Kau datang ke sini mencari kitab
keramat. Kalau kau mendapatkan kau akan
menyerahkannya padaku bersama nyawamu! Apapun
penyakitmu kau tidak akan pernah tersembuhkan!
Mungkin ada hikmahnya Kiai mengembalikan kitab itu.
Kalau tidak aku tidak akan memergokinya di tempat ini!”
Orang yang memegang lentera yang memang
Pangeran Matahari adanya memperhatikan keadaan
sekitar.
“Tak ada pondok! Tak ada gubuk! Tapi Si Muka
Bangkai menyuruhku datang kesini. Sekali ini mungkin dia
benar-benar hendak menipuku!”
Hati-hati Pangeran Matahari letakkan lentera di
tanah. Mata tak berkesip memperhatikan keadaan tanah.
yang diterangi lentera. Sesungging seringai menyeruak di
mulut, hidung yang pencong patah mendongak seperti
binatang mencium sesuatu. Perlahan-lahan dia berjalan ke
bagian kanan lentera, berhenti sejarak tiga langkah. Kaki
digeser. Seringai kembali muncul di wajahnya.
“Pasti di sini tempatnya.”
Tiba-tiba Pangeran Matahari membungkuk.
Bersamaan dengan itu tangan kanan dihantamkan ke
tanah.
“Bruukkk!” Tangan menembus tanah sedalam tiga
jengkal.
“Kraaak!” Ada satu benda berderak pecah dilanda
hantaman tangan kanan. Ketika Pangeran Matahari
mengangkat tangannya keluar dari tanah yang terbongkar,
di pergelangan tangan itu menggelantung sebuah peti
kayu warna hitam. Pangeran Matahari menggeprak peti
kayu dengan tangan kiri hingga pecah berantakan. Dari
dalam peti yang hancur jatuh ke bawah satu benda yang
bukan lain adalah sebuah kitab tebal terbuat dari daun
lontar. Sang Pangeran cepat sambuti kitab daun lontar itu
dengan tangan kiri. Di atas pohon besar Nyi Bodong
tegang sesaat. “Kau tidak akan dapatkan kitab itu
Pangeran jahanam! Aku akan membunuhmu!”
Saking girangnya Pangeran Matahari alias Hantu
Pemerkosa berteriak keras. Tangan kanan dipukulkan ke
dada.
“Kitab Seribu Pengobatan! Aku akan sembuh! Akan
sembuh! Aku akan menguasai rimba persilatan tanah
Jawa! Guru, terima kasih atas semua petunjukmu!”
Pangeran Matahari masukkan kitab daun lontar ke
dalam saku besar di kanan jubah hitam. Lalu dia
melangkah untuk mengambil Lentera Iblis. Namun
sebelum tangannya menyentuh gagang lentera, ada satu
perasaan yang membuat dia mengeluarkan kembali Kitab
Seribu Pengobatan dari saku jubah. Kitab didekatkan ke
lentera. Di bawah penerangan cahaya tiga warna lentera
Pangeran Matahari membuka halaman pertama. Halaman
itu kosong! Dibuka halaman kedua! Kosong polos! Begitu
seterusnya. Sampai halaman terakhir. Kitab daun lontar
itu tidak satu halamanpun ada tulisannya!
Pangeran Matahari berteriak keras! Marah sekali kitab
dibanting hingga menancap amblas dan lenyap di dalam
tanah.
Di atas pohon wajah putih Nyi Bodong unjukkan rasa
heran.
“Bagaimana mungkin,” katanya dalam hati. “Apakah
Kiai sengaja melakukan? Lalu dimana kitab yang asli?”
“Keparat kurang ajar! Siapa menipuku! Jahanam
mana yang punya pekerjaan begini rupa! Muka Bangkai!
Kau yang jadi biang kerok menipuku?!” Pangeran Matahari
menyalahi gurunya lalu memakipanjang pendek.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba menggelegar
suara tawa cekikikan dari salah satu pohon besar.
“Pangeran Matahari! Hantu Pemerkosa! Kasihan sekali
kau ditipu guru sendiri. Kalau kau diperlakukan seperti itu
berarti baginya kau tidak lebih baik dari cacing dalam
comberan! Hik ... hik. ..hik!”
“Jahanam keparat! Siapa berani bicara menghina
diriku!”
Pangeran Matahari hantamkan tangan kanannya ke
arah pohon. Udara mendadak bertambah kelam. Dari atas
pohon saat itu tiba-tiba menggelegar suara seperti
raungan srigala, disusul suara tawa bergelak dan di lain
kejap berkiblatlah selarik sinar biru pekat.
“Wusss! Buuummm!”
Tiga larik sinar pukulan sakti Gerhana Matahari yang
dilepaskan Pangeran Matahari berdentum keras, buyar
tercabik-cabik. Sang Pangeran terpental ke arah sumur
tua, mulut muntahkan darah segar. Dia cepat gulingkan
diri dan menyambar Lentera Iblis. Ketika dia berdiri di
hadapannya telah tegak sosok nenek muka putih
berpakaian biru gelap.
“Tua bangka jahanam Nyi Bodong! Kau berani
mengikutiku! Kau mencari mati mencari mampus!”, teriak
Pangeran Matahari. Lentera ditangan kanan diangkat ke
atas.
Nyi Bodong menyeringai.
“Kau kira Lentera lblis itu bisa menyelamatkan
dirimu? Benda butut itu hanya pantas dipakai ronda
pamong desa! Hik ... hik ... hik!”
Kejut Pangeran Matahari bukan olah-olah.
“Dari mana hantu perempuan ini tahu yang kupegang
adalah Lentera Iblis!” ucap Pangeran Matahari dalam hati.
Seperti dapat membaca apa yang ada dalam hati
lawan, Nyi Bodong berkata. “Goa di puncak Merapi! Tiga
jurus ilmu Lentera Iblis! Hanya sayang, goa itu sudah aku
hancurkan menjadi timbunan tanah tak berguna! Hik ...
hik ... hik ...”
Pangeran Matahari berteriak keras. Kaki kanan maju
ke depan. Tenaga dalam disalurkan ke tangan kanan.
Lentera lblis didorong ke arah Nyi Bodong.
Cahaya kuning memancar lebih terang dan angker
dibanding dua warna cahaya lainnya.
“Jurus ketiga Lentera Iblis! Jurus Liang Lahat
Menunggu! Hik..hik..hik!” Nyi Bodong sebut nama jurus
serangan maut yang hendak dilancarkan Pangeran
Matahari. Walau kaget bukan kepalang namun sang
Pangeran terus dorongkan Lentera Iblis. Cahaya kuning
berkiblat dari dalam lentera. Bersamaan dengan itu Nyi
Bodong singkapkan pakaian birunya di bagian perut. Kaki
kanan dihentakkan ke tanah, tangan kiri meremas. Selarik
sinar biru menggidikkan menderu memapaki cahaya
kuning serangan Lentera Iblis!
Nyi Bodong menjerit keras! Pohon besar
dibelakangnya tenggelam dalam kobaran api dan dalam
sekejapan telah berubah menjadi gosong kuning!
Puncak Gunung Gede sebelah utara bergoncang hebat
ketika dua cahaya sakti saling hantam di udara. Dentuman
dahsyat menggelegar. Tubuh Pangeran Matahari
bergoyang-goyang. Darah mengucur di sela bibir. Muka
pucat namun dia masih mampu berdiri di atas ke dua
kakinya.
Nyi Bodong sendiri mencelat mental. Terguling ke
bagian gunung yang terjal dan lenyap dari pemandangan.
Pangeran Matahari mengejar. Lentera diangkat tinggi-
tinggi hingga tempat di sekitarnya menjadi terang. Namun
dia tidak menemukan sosok Nyi Bodong.
“Mampus! Mungkin sudah lumat jadi tanah!”
Pangeran Matahari seka darah di sudut bibir. Tertatih-tatih
sambil pegangi dada dia melangkah tinggalkan puncak
Gunung Gede, menuruni lereng gunung ke arah tenggara.
Hatinya masih penasaran hendak mencari Nyi Bodong
untuk memastikan apakah nenek muka putih itu benar-
benar sudah menemui kematian. Namun rasa kesal karena
Kitab Seribu Pengobatan palsu itu, akhirnya dia
memutuskan untuk cepat-cepat tinggalkan Gunung Gede.
Kini dia memiliki senjata luar biasa. Lentera lblis yang
mampu menandingi kehebatan Nyi Bodong. Begitu turun
gunung tekadnya bulat untuk segera mencari dan
menghabisi Pendekar 212 Wiro Sableng. Setelah itu satu
persatu para tokoh persilatan tanah Jawa akan
dihabisinya.
***
TERPISAH hampir tiga hari dari kemunculan Pangeran
Matahari dipuncak utara Gunung Gede, pada satu siang
yang cerah Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tepi
telaga tiga warna di puncak gunung sebelah timur.
Keanehan pada telaga ini, airnya selalu membentuk riak
dan mengeluarkan suara halus seperti air mendidih.
Pertama sekali yang jadi perhatiannya ialah dia tidak
melihat sawung yang pernah ada di tepi telaga itu.
Kemudian dia tersentak kaget dan melongo ketika di balik
serumpunan pohon bunga di tepi telaga duduk seorang
perempuan muda bewajah cantik, rambut hitam tergerai,
pakaian kembang-kembang kuning dan biru. Sepasang
alisnya yang tebal hitam naik ke atas, bibir yang mungil
mengulum senyum. Dua kakinya yang mulus putih berada
dalam air telaga sampai sebatas ujung lutut. Di atas
pangkuannya ada sebuah boneka kayu perempuan.
“Den Ayu ... Nyi Retno Mantili, kaukah ini?” tanya
Pendekar 212.
“Hik ... hik. Apakah kau tidakmengenali diriku lagi?”
tanya perempuan muda yang memang Nyi Retno Mantili
adanya. Saat itu tubuh, wajah dan rambutnya dalam
keadaan bersih. Pakaian bagus, apik dan rapi. Alis hitam
kereng, pipi kemerahan dan bibir segar. Selain cantik
dirinya tampak anggun sekali.
“Ah, maafkan. Saya hampir tidak mengenali,” jawab
Wiro terkagum-kagum. Sebelumnya dia melihat Nyi Retno
dalam keadaan dekil kumal baik tubuh, rambut maupun
pakaian.
“Guru menyuruhku membersihkan diri, memberi
pakaian baru, berdandan. Kalau dulu aku tidak mau. Tapi
sekarang mau. Karena menyambut kedatanganmu. Boleh
'kan? Kau suka Wiro? Hik .. hik ... hik.”
Pendekar 212 jadi rikuh mau menjawab pertanyaan
Nyi Retno. Dia malah balik bertanya. “Guru? Maksud Nyi
Retno guru siapa?”
“Nanti kau tahu sendiri.”
“Aku lupa menanyakan perihal anakmu. Apakah
Kemuning baik-baik saja?” Wiro mengambil boneka kayu
dari pangkuan Nyi Retno dan menimang-nimangnya.
“Dia selalu rewel. Selalu menanyakan kapan kau
datang. Kapan kau datang. Sekarang lihat. Dia tersenyum-
senyum. Gembira kau sudah datang. Terbukti sekarang
....”
Wiro tertawa. “Terbukti apa Nyi Retno?.”
“Aku lebih dulu sampai darimu.”
“Ya. kau orang hebat. Aku kagum padamu. Aku
mengaku kalah.”
Nyi Retno tertawa panjang.
“Hai, apakah gurumu si nenek bawel itu tidak
mengikuti...?”
Wiro tertawa lebar.
“Dia guru baik. Semua nenek di dunia ini sama saja
bawelnya. Nyi Retno, yang masih jadi tanda tanya besar
bagi saya, bagaimana Nyi Retno tahu jalan ke puncak ini.
Lalu tahu telaga ini? '
“Tanyakan saja pada Kemuning,” jawab Nyi Retno lalu
terlawa
“Kemuning. katakan pada saya bagaimana Kau tahu
jalan ke sini. Juga tahu telaga ini?” Wiro bertanya pada
boneka lalu tertawa.
Nyi Retno ikut tertawa. Habis tertawa dia berkata.
“Tidak ada yang mengherankan. Rumahku di sini”
Wiro terkejut.
Tiba-tiba di bagian pertengahan telaga air
membentuk gelombang-gelombang kecil. Bersamaan
dengan itu kabut tipis turun menutupi permukaan air. Tak
selang berapa lama satu sosok putih melesat keluar. Air
telaga muncrat sampai beberapa tombak. Di pertengahan
telaga kemudian kelihatan seorang tua berselempang kain
putih, rambut. janggut dan kumis putih melambai-lambai
tertiup angin. Seperti berjalan di tanah datar begitulah dia
melangkah di atas air menuju tepi telaga dimana Wiro. Nyi
Retno dan Kemuning berada. Sekujur tubuh dan
pakaiannya sama sekali tidak basah sedikitpun!
“Kiai Gede Tapa Pamungkas, terima hormat saya.
Saya Wiro menghadap Kiai sesuai dengan pesan Eyang
Sinto Gendeng.” Wiro membungkuk dalam, menjabat
tangan si kakek lalu menciumnya.
Yang membuat Pendekar 212 terkejut ialah ketika Nyi
Retno Mantili melompat, tertawa panjang lalu
membungkuk di hadapan si kakek. Seraya berkata.
“Guru…”
Wiro perhatikan Nyi Retno dengan pandangan heran
yang dibalas pandang ditambah senyuman. Wiro menatap
pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah guru dari
Sinto Gendeng dan Tua Gila. (Kisahnya harap baca serial
Wiro Sableng berjudul “Pedang Naga Suci 212”. Juga
dapat dibaca kisah muda kedua orang tokoh silat itu dalam
CERMIN berjudul “Selingkuh Rimba Persilatan”)
Masih berdiri di atas air di tepi telaga. Kiai Gede Tapa
Pamungkas berkata. “Wiro, dia memang muridku.”
“Saya tidak mengira. Kalau saya boleh bertanya,
bagaimana kejadiannya Kiai?”
“Sewaktu lari dari Gedung Tumenggung di Kotaraja.
Nyi Retno Mantili hampir dihabisi seorang nenek dari alam
roh bernama Nyi Tumbal Jiwo. Mahluk jejadian ini adalah
guru dari Wira Bumi, suami Nyi Retno yang waktu itu
masih menjabat sebagai Tumenggung di Kotaraja. Aku
menyirap kabar sekarang dia sudah jadi Patih Kerajaan ...”
“Guru saya tidak mengenal siapa itu Wira Bumi. Saya
tidak pernah punya suami. Kalau saya mencari suami saya
ingin orangnya yang seperti dia!” Tiba-tiba Nyi Retno
berkata sambil menunjuk pada Pendekar 212 membuat
Wiro jadi merah mukanya dan garuk-garuk kepala!
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Dia
melanjutkan ceritanya.
“Nyi Retno aku bawa kesini. Aku beri beberapa ilmu
kesaktian dan sedikit pelajaran silat. Tujuanku adalah agar
dia mampu menjaga diri karena aku tahu tidak akan bisa
menahannya lama-lama di tempat ini. Kenyataannya satu
tahun di sini dia menghilang. Tahu-tahu beberapa hari lalu
muncul bersama Kemuning. Aku gembira melihat kalian
semua. Wiro, sesuai dengan pesanku pada gurumu,
pembicaraan kita lanjutkan di dalam telaga.”
“Kiai saya tak punya kemampuan masuk dan tinggal
lama di dalam telaga.” Ucap Wiro terus terang.
“Tak usah kawatir. Kau dan juga juga Nyi Retno serta
Kemuning tinggal mengikutiku saja.”
Wiro hanya bisa menggaruk kepala.
Tiba-tiba selintas pikiran muncul di benak Wiro.
“Jangan-jangan orang tua ini mempertemukan aku dengan
Nyi Retno di sini untuk maksud perjodohan. Tapi mana
mungkin. Nyi Retno masih istri Wira Bumi. Ah, aku
mungkin sudah gila berpikir sampai ke situ ...”
Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap wajah Pendekar
212 sesaat lalu bertanya. “Pendekar, apa yang ada dalam
hati dan benakmu?”
“Ah, agaknya Kiai tahu apa yang barusan aku
pikirkan,” membatin Wiro. Dia cepat-cepat membungkuk.
“Harap maafkan kalau saya berpikiran sangat dangkal dan
tolol.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
“Kiai, sebelum kesini saya singgah di puncak gunung
sebelah utara. Saya tidak melihat gubuk kediaman Eyang
Sinto. Sepertinya telah terjadi sesuatu ...”
“Ketika gurumu bertemu denganmu saat
menyampaikan pesan, apakah dia tidak menceritakan apa-
apa?”
“Banyak Kiai. tapi sama sekali tidak ada cerita
tentang keadaan di tempat kediaman Eyang.”
“Kalau kau bertemu lagi, tanyakan langsung
padanya,” kata sang Kiai pula. Dipegangnya tangan Wiro
dan Nyi Retno. Lalu seperti diajak terbang dia mengangkat
tubuh ke dua orang itu ke udara. Kemudian perlahan-
lahan diturunkan di pertengahan telaga dan plaaass!
Ketiga orang itu lenyap masuk ke dalam air!
-- << >>
DELAPAN
MSUK ke dalam telaga di puncak timur Gunung
Gede itu mengingatkan Wiro pada kejadian
sewaktu dia dibawa masuk oleh Ratu Duyung ke
dalam samudera pantai selatan (baca serial Wiro Sableng
berjudul “Kiamat Di Pangandaran”) Ternyata di dasar
telaga terdapat tiga buah bangunan batu pualam yang
indah sekali bentuknya. Dua bangunan berukuran kecil,
mengapit sebuah bangunan besar yang atapnya
menyerupai mesjid.
Nyi Retno. masuklah ke dalam bangunan di samping
kiri. Tunggu sampai kami berdua datang.”
“Guru. jangan suruh saya menunggu terlalu lama.
Nanti saya lari lagi seperti dulu...”
Kiai Gede Tapa Pamungkas membelai rambut hitam
Nyi Retno. mencubit pipi boneka kayu. Setelah perempuan
muda itu masuk ke dalam Bangunan batu di sebelah kiri
Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. “Aku tidak tahu apa
yang terjadi. Kulihat keadaan Nyi Retno banyak berubah.
Pikirannya masih belum jernih tapi untuk hal-hal tertentu
dia tampak secerdas orang biasa. Mudah-mudahan Tuhan
menolong dan memberkatinya.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah ke bangunan
batu di sebelah kanan. Sambil berjalan dia berkata “Kita
nanti bicara di bangunan besar. Itu tempat kediamanku.
Sebelum kesana aku membawamu terlebih dulu ke
bangunan ini karena ada yang perlu aku perlihatkan.
Penuh tanda tanya Wiro mengikuti langkah sang Kiai.
Bagian dalam bangunan walau segala sesuatunya terbuat
dar batu keadaannya tidak beda dengan bangunan-
bangunan kecil sekitar Istana di Kotaraja yang pernah
dilihatnya. Di hadapan sebuah pintu berwarna hijau muda
Kiai Gede Tapa Pamungkas berhenti. Pintu yang juga
terbuat dari batu secara aneh bergeser ke samping.
Setelah keduanya masuk, pintu bergeser menutup.
Ruangan dimana Wiro berada ternyata adalah sebuah
ruang ketiduran yang bagus sekali. Udara di sini nyaman
dan sejuk. Nanya ada beberapa perabotan. Sebuah
pembaringan batu beralas seperai tebal berwarna biru
muda lalu sebuah meja batu diapit dua buah kursi.
Begitu masuk pandangan Wiro langsung tertuju pada
satu sosok perempuan tua berwajah putih yang terbujur di
atas pembaringan. Rambutnya yang panjang hitam
menjulai sampai menyentuh lantai ruangan. Tubuh
sebatas pinggang ke bawah tentutup sehelai selimut tebal.
“Nyi Bodong…” Ucap Wiro begitu melihat orang yang
ada di atas pembaringan.
“Kau mengenal nenek ini?” tanya Kiai Gede Tapa
Pamungkas.
“Kiai. saya sempat bertemu nenek ini beberapa kali.
Ilmunya tinggi. Terakhir sekali saya ketahui dia memburu
seorang berjuluk Hantu Pemerkosa yang bukan lain adalah
Pangeran Matahari. musuh saya dan musuh para tokoh
rimba persilatan.” Wiro diam sebentar, memperhatikan.
Dia hampir tidak melihat gerakan nafas di tubuh si nenek.
“Kiai, bagaimana orang ini bisa berada di sini. Apakah dia
masih dalam keadaan hidup?”
“Nyi Bodong menderita luka dalam yang sangat
parah. Dua hari dia dalam keadaan sengsara dan nyaris
sakarat. Ketika dalam perjalanan ke sini, Nyi Retno yang
melewati jalan memintas di arah timur menemuinya di
satu lekukan lereng. Nyi Retno membawanya kemari. Kau
tahu sendiri Wiro. Nyi Retno bertubuh kecil tapi mampu
memanggul Nyi Bodong yang tinggi dan lebih besar. Lalu,
jika otaknya kita anggap tidak waras, dia tidak akan
memperdulikan nenek ini. Perlu apa menolong? Ternyata
Tuhan memberikan perasaan welas asih padanya hingga
dia mau membawa Nyi Bodong. Aku tidak tahu, berapa
lama lagi dia sadar dari pingsan. Mudah-mudahan Tuhan
memperpanjang umurnya. Selama dia disini, kau tahu
siapa yang merawatnva?”
“Saya bisa memperkirakan Kiai. Tentu Nyi Retno
Mantili.” Jawab Wiro pula.
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangguk. Lalu
berkata. “Selama di sini, Nyi Retno banyak bicara tentang
dirimu. Dia yang memberi tahu bahwa kau akan datang.”
“Nyi Retno orang baik. Punya niat baik untuk rimba
persilatan. Hanya saja nasibnya yang buruk ...” Wiro lalu
melangkah mendekati tempat tidur dan berdiri dekat
kepala Nyi Bodong.
“Kiai, apakah Kiai atau Nyi Retno tahu siapa yang
mencelakai Nyi Bodong?”
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Setahu saya Nyi Bodong memiliki ilmu kesaktian
langka. Dia bisa mengeluarkan sinar biru sangat
mematikan dari pusarnya.”
“Setiap ada ilmu yang tinggi dan hebat. pasti ada lagi
ilmu lain yang lebih tinggi dan lebih hebat. Jangan kau
pernah melupakan hal itu. Yang berarti seorang pendekar
tidak boleh sombong, tidak boleh takabur. Aku tidak tahu
siapa orang yang mencelakai Nyi Bodong. Keadaannya
agak aneh. Pertama kali ditemui sekujur tubuhnya
berwarna kuning. Beberapa urat besar serta syarafnya
mengalami pembengkakan. Seperti dipanggang. Kalau dia
siuman dan sembuh pasti akan aku tanyakan. Aku
menyempatkan diri pergi ke tempat dimana Nyi Retno
menemui Nyi Bodong. Kelihatannya ada pertempuran
hebat disana. Satu pohon besar berubah menjadi arang
tapu berwana kuning. Kalau tidak dilindungi kekuatan
hebat, rasanya nasib Nyi Bodong tidak beda dengan pohon
itu.”
“Syukur Tuhan masih menyelamatkannya,” kata Wiro.
“Rimba persilatan memerlukan orang seperti Nyi Bodong.”
“Wiro, saatnya pergi ke tempat kediamanku dan
bicara.”
“Baik Kiai.”
Sebelum meninggalkan ruangan Wiro pandangi
dekat-dekat wajah Nyi Bodong. Sebenarnya dia ingin
menyingkap selimut yang menutupi bagian kaki nenek
muka putih itu. Namun dia tidak berani melakukan. Takut
dianggap berlaku lancang dan ditegur Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Akhirnya Wiro hanya usapkan tangan kirinya
di kening si nenek. Mulutnya berkata perlahan.
“Nyi Bodong, kau orang baik. Tuhan akan menolong
menyembuhkanmu. Jika kau sembuh aku ingin bertemu
dan bicara banyak denganmu.”
Namun seperti disentak. Wiro cepat-cepat menarik
tangannya. Entah karena sentuhan tangan atau karena
memang sudah saatnya siuman. sepasang mata Nyi
Bodong yang sekian lama terpejam tiba-tiba membuka.
Mata itu mula-mula tampak sayu kuyu. Namun begitu
pandangannya membentur wajah Pendekar 212, sepasang
mata jadi membesar, bersinar dan air muka si nenek
berubah.
“Dia mengenalimu, Wiro…” kata Kiai Gede Tapa
Pamungkas pula.
“Saya ....'
“Kau mempunyai daya penyembuh pada tanganmu?”
“Tidak kiai. Saya tidak punya ilmu apa-apa…”
“Kalau begitu mari kita keluar dari sini.” kata sang
Kiai.
Wiro mundur selangkah. Dia merasa berdebar ketika
melihat sepasang mata Nyi Bodong masih memperhatikan.
Sebelum pintu batu bergeser menutup. Wiro sempat
melihat mata itu masih terus mernandang ke arahnya.
Bahkan mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan
sesuatu.
“Kiai. saya mohon pintu jangan ditutup dulu. Nyi
Bodong seperti hendak mengatakan sesuatu. Mungkin dia
hendak memberi tahu siapa orang yang telah
mencelakainya”
Mendengar ucapan Wiro Kiai Gede Tapa Pamungkas
berdiri di hadapan pintu batu. Pintu terbuka. Nyi Bodong
masih dalam keadaan seperti tadi. Mata memandang
mulut terbuka.
“Nyi Bodong. kau hendak rnengatakan sesuatu?”
tanya Wiro. Tangannya kembali hendak mengusap kening
si nenek.
Mulut si nenek terbuka. Suaranya serak parau tapi
jelas. “Jangan kau berani menyentuh diriku. Pergilah,”
Wiro tersurut mundur. Memandang pada Kiai Gede
Tapa Pamungkas yang tegak di sampingnya lalu cepat-
cepat keluar dari ruangan itu. Sambil berjalan mengikuti
sang Kiai. Wiro membatin.
“Dia dalarn keadaan cidera berat. Pingsan. Siuman
secara tiba-tiba. Bicara seperti itu padaku. Aneh. Rasanya
aku ini sebagai seorang penjahat.”
Di dalam bangunan batu yang atapnya berbentuk
mesjid Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Wiro duduk di satu
ruangan tak seberapa besar. beralaskan permadani tebal.
Untuk beberapa lama Wiro hanya berdiam diri. Seolah
menunggu apa yang akan dikatakan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Namun sebenernya pikirannya masih tertuju
pada kejadian di kamar tempat Nyi Bodong terbaring tadi.
“Dia tidak senang padaku. Mengapa? Karena pertengkaran
di pondok Ki Tambakpati dulu atau…”
“Wiro, sebelum kita memulai pembicaraan ada satu
hal yang ingin kutanyakan. Kau datang dengan baju putih
robek besar di sebelah belakang. Di punggungmu ada
guratan luka. panjang dan cukup dalam. Apa yang
terjadi?”
“Saya tersangkut di ranting pohon sewaktu melayang
turun.” jawab Wiro berdusta. tidak mau menceritakan hal
sebenarnya.
“ Begitu?”
Wiro tidak berani mengangguk, tidak berani
mengiyakan. Hanya berdiam diri saja.
“Hanya ada satu manusia yang bisa melakukan hal
seperti itu terhadapmu. Gurumu Sinto Gendeng. Betul?”
“Eyang Sinto bermaksud baik, Kiai. Sementara saya
murid kurang ajar yang sesekali memang perlu diberi
peringatan.”
Alis kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas
lalu orang sakti ini berkata.
“Membaliklah. Biar aku sembuhkan cacat luka di
punggungmu itu.”
“Terima kasih Kiai. Saya memilih memiliki cacat ini.
Agar saya selalu ingat untuk berlaku baik.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa lebar. “Mengingati
diri sendiri untuk berbuat baik bukan dari cacat luka yang
ada di tubuh. Tapi dari lubuk hati. Sudahlah. jika kau ingin
membawa cacat itu kemana-mana aku tidak bisa
melarang. Sekarang kita lanjutkan pembicaraan.”
“Ba..baik Kiai. Saya menunggu. Sebelumnya saya
menghaturkan terima kasih karena Kiai mau meminta saya
datang ke sini. Saya siap menerima nasihat maupun
teguran ...”
“Rimba persilatan ....” Kata sang Kiai memulai
ucapannya. “Sekarang ini telah jauh berbeda dengan saat
ketika dulu kau dilahirkan, ketika kau pertama kali turun
gunung. Perubahan bukan saja terjadi pada sifat manusia
dan para tokoh yang ada. Tapi juga pada berbagai ilmu
yang dimiliki orang-orang rimba persilatan sendiri.
Dendam kebencian, keserakahan, kejahatan membuat
banyak orang menciptakan berbagai ilmu baru yang luar
biasa dahsyatnya. Lebih mengerikan lagi kalau manusia
biasa berilmu tinggi berserikat dengan mahluk alam roh,
menciptakan ilmu yang bisa membuat rimba persilatan
mengalami kiamat! Contoh ketika Pangeran Matahari
hendak mendirikan Partai Bendera Darah yang bermarkas
di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Orang-orang rimba
persilatan golongan putih tidak mampu menghancurkan
komplotan manusia pocong itu secara seorang diri.
Termasuk kau. Berapa tokoh yang bergabung untuk
menghancurkannya? Itu telah terjadi. Yang bakal terjadi
mungkin jauh lebih dahsyat. Apa lagi Pangeran Matahari
masih hidup dan berkeliaran. Dendam kesumatnya
terhadap dirimu selangit tembus sedalam lautan. Satu hal
harus kau ingat Wiro, manusia-manusia jahat itu mudah
sekali berserikat dalam kejahatan. Sebaliknya manusia
yang katanya orang baik-baik kerap kali tidak saling akur.
Itu sebabnya kejahatan terlihat selangkah lebih cepat dari
kebaikan.
“Aku tahu kau memiliki banyak ilmu kesaktian untuk
menghadapi musuh-musuhmu. Tapi kau harus memahami
bahwa setiap manusia itu punya hari sial. Hari apes. Satu
kali kau akan mengalami hal itu dan dirimu akan
mendapat celaka besar bahkan mati di tangan musuh-
musuhmu. Itu garis nasib setiap orang. Kau tidak terlepas
dari garis itu. Seperti penyakit, mengapa kita tidak
berusah mencegahnya sebelum kena?
“Seorang pendekar tidak harus memperlihatkan jati
dirinya dengan tanda-tanda tertentu yang bisa
membahayakan jiwanya. Contoh nyata adalah dirimu. Ada
rajah angka Dua Satu Dua di dadamu. Melihat rajahan itu
setiap orang akan akan mengenali siapa dirimu. Hal ini
mengandung bahaya besar yang mungkin tidak kau
sadari. Juga tidakdisadari oleh Sinto Gendeng ketika
belasan tahun silam dia membuat rajah itu di tubuhmu
dengan jarum sakti. Sudah saatnya rajah itu dilenyapkan.
Kau memiliki senjata sakti mandraguna pemberian
gurumu berupa Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan batu
hitam pasangannya. Senjata sebesar itu apakah kau tidak
rikuh membawanya kemana-mana?”
Ucapan Kiai Gede Tapak Pamungkas itu
mengingatkan Wiro akan apa yang belum lama terjadi
antara dia dengan Eyang Sinto Gendeng. Jangan-jangan
ada pesan tertentu dari si nenek.
“Kiai, apakah Eyang Sinto berpesan minta saya
mengembalikan kapak dan batu sakti itu?”
Kiai Gede Tapa Pamungkas menggeleng.
“Aku ingin senjata dan batu sakti itu tetap ada
padamu. Tetapi tidak terlihat secara kasat mata.”
“Saya tidak mengerti maksud ucapan Kiai.” Kata
Wiro. “Kiai, terus terang saya merasa lega kalau kapak
dan batu sakti saya kembalikan pada Eyang Sinto. Kalau
diizinkan, saya juga ingin mengembalikan semua ilmu silat
dan kesaktian yang pernah saya dapatkan dari beliau.
Sehingga antara kami tidak ada lagi ganjalan.”
“Ucapanmu memberi kesan kau membenci gurumu.”
“Tidak Kiai, saya tidak membenci Eyang Sinto.”
“Kau menaruh dendam atas apa yang telah
dilakukannya padamu?”
“Saya tetep menghormati Eyang Sinto,” jawab Wiro
dengan tenang walau hatinya terasa perih.
“Mulutmu berucap begitu, tapi aku tidak tau apa yang
ada di lubuk hatimu. Sinar matamu terlihat lain…”
“Kiai, saya ingin melupakan apa yang telah terjadi.
Saya ingin melupakan masa lalu dengan segala perbuatan
buruk dan baik saya. Saat ini saya punya keinginan
meninggalkan rimba persilatan untuk selama-lamanya.
Saya rasa tanpa menjadi seorang pendekar sekalipun
seseorang bisa berbuat baik.”
Kalau saja sang Kiai tidak dapat menekan
keterkejutannya pastilah saat itu dia sudah terlonjak dari
duduknya.
“Anak muda, kau ini bicara apa? Selagi rimba
persilatan dilanda kekacauan seperti ini, selagi rimba
persilatan digentayangi manusia-manusia jahat kau
bermaksud meninggalkan rimba persilatan. Apakah kau
hanya mengikuti perasaan hati hingga mengorbankan akal
sehat?”
“Kiai, mungkin perasaan hati terkadang menyesatkan.
Namun bagaimanapun juga perasaan hati adalah satu
kejujuran yang tidak pernah berkata dusta. Murni dan
bersih separti tetesan-tetesan embun di pagi hari.”
Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng
keluarkan Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam sakti. Dua
senjata mustika ini diletakkan di atas permadani di
hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Dengan segala hormat dan mohon maap, kapak dan
batu sakti saya serahkan pada Kiai.”
“Wiro, jangan membuat aku bingung. Aku tidak bisa
menerima perbuatanmu ini!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas
cepat angkat tangan kanan, telapak dikembang diarahkan
ke dada Wiro.
“Kiai, kau mau berbuat apa? Membunuhku?!” seru
Wiro.
-- << >>
SEMBILAN
SANG KIAI tak menjawab. Mukanya berubah merah.
Tangan kanan mulai bergetar. Lalu muncul satu
cahaya putih melingkari tangan. Ketika Kiai Gede
Tapa Pamungkas mendorongkan tangan itu ke depan, satu
cahaya menyilaukan berkiblat ke arah dada Pendekar 212.
Wiro menjerit keras. Tubuhnya terpental kedinding.
Rasa panas seperti ada bara di dalam dada membuat
sekujur tubuhnya berkelojotan. Dada itu dipenuhi kilatan
ribuan bunga api. Sesaat kemudian perlahan-lahan bunga
api dan rasa panas lenyap, berubah menjadi hawa sangat
sejuk hingga kini Wiro jadi menggigil kedinginan dan
giginya bergemeletukan.
Wiro menatap ke depan. Kiai Gede Tapa Pamungkas
menatapnya tenang-tenang saja. Ketika Wiro
memperhatikan ke arah dirinya sendiri ternyata baju
putihnya dalam keadaan terbuka, dada tersingkap
telanjang. Dan rajah tiga angka 212 yang selama ini ada
di dada itu kini telah lenyap!
“Kiai .....” ucap Wiro. “Saya ....”
Belum sempat Wiro menyelesaikan kata-katanya,
tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat dua tangan
sekaligus. Mulutnya berseru. “Wiro! Kapak Naga Geni Dua
Satu Dua! Batu hitam sakti! Aku kembalikan padamu!”
Dua tangan ditepukkan satu sama lain.
“Blaar! Blaar!”
Dua cahaya sangat terang berkiblat. Kapak Naga Geni
212 dan batu hitam sakti berubah menjadi dua benda
sangat menyilaukan. Melesat ke udara lalu menukik turun
dan sett ... sett! Sulit dipercaya. Dua senjata mustika sakti
itu melesat masuk ke dalam tubuh Pendekar 212 sebelah
depan. Asap putih mengepul dari telinga, hidung, mata
serta ubun-ubun Wiro! Untuk beberapa lamanya tubuh
Wiro tampak kaku tak bergerak.
Keringat memercik dimana-mana. Tiba-tiba satu
jeritan keras menggeledek dari mulut sang pendekar.
Sepasang matanya berubah merah laksana bara menyala.
Tubuh bergoncang keras lalu terkulai lemas, tersandar ke
dinding.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri. Melangkah
mendekati Wiro. Telapak tangan kanan diletakkan di atas
kepala Pendekar 212, mulut komat kamit merapal
sesuatu.
“Dess! Dess!”
Asap mengepul dari kepala Wiro.
“Rampung sudah. Tugasku sudah selesai. Semoga
Tuhan melindungi dan mernberkatimu ...” .
“Kiai, apa yang terjadi? Apa yang telah Kiai lakukan?”
tanya Wiro seperti orang baru sadar dari siuman.
“Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan batuk hitam
sakti telah menyatu dalam tubuhmu. Kemana kau pergi
dua senjata mustika itu akan selalu bersamamu. Bilamana
kau memerlukan mereka kau hanya berseru menyebut
Kapak Naga Geni Dua Satu Dua atau Batu Sakti! Maka
secepat kilat kapak akan berada di tangan kanan dan batu
sakti di tangan kirimu.”
Wiro terdiam. Bukan terpana kagum akan kehebatan
yang telah diiakukan Kiai Gede Tapa Pamungkas tapi
justru terbalut oleh rasa penyesalan. Mengapa sang Kiai
tidak memberi tahu lebih dulu apa yang akan
dilakukannya. Padahal tadi dia jelas-jelas mengatakan
ingin mengembalikan dua senjata mustika sakti itu.
“Mengenai jarah tiga angka Dua Satu Dua di dadamu.
Angka-angka tersebut akan muncul di dada kirimu dengan
sendirinya jika kau sengaja menyibakkan baju di hadapan
lawan.
“Kiai, apakah saya boleh minta diri sekarang?”
Bertanya Wiro.
“Aku tahu kau tidak suka atas apa yang telah aku
lakukan. Namun dikemudian hari kau akan menyadari
bahwa yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikanmu.”
“Saya sangat berterima kasih. Kiai, saya mohon diri.
Sebelum pergi izinkan saya menemui Nyi Retno” Wiro
berdiri.
Melihat air muka dan sikap Pendekar 212 Wiro
Sableng, sang Kiai tak punya niat untuk mencegah walau
sebenarnya masih banyak yang ingin dibicarakannya
dengan pemuda itu.
Di bangunan batu sebelah kiri Nyi Retno Mantili telah
resah rnenunggu. Bersama Wiro dia ingin cepat-cepat
keluar dari dasar telaga. Ketika Wiro muncul dia
menyambut dengan tertawa lega. Sambil menimang
boneka kayu dan bertanya pada Kiai Gede Tapa
Pamungkas yang berada di samping Wiro.
“Guru, apakah kami boleh minta diri sekarang?”
Sang Kiai anggukkan kepala.
“Wiro, jaga Nyi Retno dan Kemuning baik-baik.” Lalu
orang sakti ini pegang lengan Wiro dan Nyi Retno.
“Selamat jalan. Harap kalian selalu berhati-hati.” Dua
lengan disentakkan. Wiro dan Nyi Retno melesat ke atas
permukaan air terlaga.
Beberapa lama setelah Wiro dan Nyi Retno Mantili
lenyap dari hadapannya Kiai Gede Tapa Pamungkas masih
tegak di depan bangunan besar yang atapnya berbentuk
mesjid. Orang tua ini menarik nafas panjang. Membalikkan
badan seraya mulutnya berucap perlahan. “Sinto, dari dulu
kau tak pernah berubah. Kau akan menerima azab akibat
perbuatan semena-menamu terhadap murid sendiri.
Sayang .... sayang sekali. Padahal rimba persilatan sangat
memerlukan orang-orang seperti kalian.”
Wiro dan Nyi Retno hampir tidak menyadari kapan
mereka melesat keluar dari dalam telaga. Tahu-tahu
keduanya sudah ada di tepi telaga tiga warna sebelah
timur.
“Aneh, tubuh dan pakaianku tidak basah!” kata Wiro
sambil menggaruk kepala.
“Aku juga. Kemuning juga tidak basah! Kesaktian
guruku pasti yang membuat kita tetap kering begini! Hik
... hik ... hik. Aku suka pada Kiai itu. Tapi aku tidak
senang akan semua ucapan dan apa yang dilakukannya
padamu waktu di gedung besar di dasar telaga tadi.”
Wiro berpaling heran.
“Bagaimana kau bisa tahu segala pembicaraan dan
apa yang terjadi di bangunan besar?” tanya murid Sinto
Gendeng pula.
“Aku ada di dalam ruangan.”
Wiro menggaruk kepala tak percaya.
“Kiai memberikan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri
padaku. Aku pergunakan ilmu itu. Tubuhku lenyap dari
pemandangan mata. Aku masuk ke dalam ruangan. Kau
tidak tahu, tidak melihat. Kiai juga tidak tahu tidak
melihat. Tapi aku kira dia tahu. Cuma sengaja berpura-
pura Hik ... hik ... hik. Aku kira dia menyesal memberikan
ilmu itu padaku.”
“Kiai Gede Tapa Pamungkas orang baik dan sangat
bijaksana. Dia tahu apa yang dilakukannya.”
“Kau juga orang baik. Kau baik padaku. Kau baik
pada Kemuning ...” kata Nyi Retno. Sambil melangkah
pelan di samping Wiro, dia sandarkan kepalanya ke bahu
kiri sang pendekar. “Wiro, kita akan pergi kemana
sekarang ? “ Nyi Retno bertanya.
“Nyi Retno, saya rasa saya harus mengantarkanmu
ke pondok Ki Tambakpati…”
“Terserah kau mau bawa kemana. Aku dan Kemuning
ikut ....”
Wiro menggaruk kepala.
“Kau tidak suka aku dan Kemuning ikut?”
“Tentu saja saya suka. Tapi ...”
“Tapi apa?”
Wiro memandang berkeliling. Dia melihat ada satu
pohon rindang. “Ada yang hendak saya ceritakan pada Nyi
Retno. Mari kita bicara di bawah pohon sana.”
Mendengar kata-kata Wiro itu Nyi Retno Mantili
langsung mendahului lari dan duduk di bawah pohon.
Begitu Wiro sampai dia berkata. “Senangnya hendak
diceritakan sesuatu. Kau mau cerita sekarang?” Nyi Retno
menarik tangan Wiro. Keduanya duduk di tanah berhadap-
hadapan.
“Nyi Retno, beberapa hari lalu dari keterangan Djaka
Tua saya berhasil mencari tahu dimana bayimu berada ...”
“Tunggu dulu, ceritamu tidak lucu Wiro. Bayiku ada di
sini. Lihat, ini Kemuning! Bayiku, anakku, puteriku.” Nyi
Retno mengangkat boneka kayu yang ada di pangkuannya
lalu tertawa panjang.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia tidak tahu musti bicara
bagaimana. Setelah berpikir-pikir, dia mendapat akal.
“Kau betul Nyi Retno. Kemuning ini memang puterimu
yang manis. Semua orang suka padanya.Tapi apa kau lupa
kalau Kemuning punya kakak?”
Kening Nyi Retno mengerenyit, mulut dipencongkan,
mata menatap lebar. “Kau mempermainkanku. Kau jahat
...”
“Tidak Nyi Retno. Kakak Kemuning juga seorang anak
perempuan. Sama cantiknya dengan Kemuning. Namanya
Ken Permata. Usianya satu tahun ...”
“Kemuning juga berusia satu tahun. Kalau Kemuning
punya kakak paling tidak usianya dua tahun!”
“Celaka, katanya otaknya tidak waras. tapi ternyata
tahu menghitung. Dia lebih dari waras!” Ucap Wiro dalam
hati. Wiro usap-usap kepala boneka. “Sudahlah, nanti saja
kita bicara lagi. Saya akan mengantarkan Nyi Retno ke
pondok Ki Tambakpati. Perjalanan kita jauh kali. Berhari-
hari. Saya tahu tempat dimana kita bisa mencari
tumpangan gerobak kuda.”
“Tadi malam saya bermimpi,” kata Nyi Retno sambil
berdiri. Untuk pertama kalinya Wiro mendengar dia
menyebut dirinya dengan kata saya, bukan aku.
“Mimpinya buruk. Dalam mimpi saya melihat Djaka Tua
digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Saya kawatir.”
“Tak ada yang perlu dikawatirkan Nyi Retno. Mimpi
adalah mimpi. Djaka Tua berada di tempat kediaman Ki
Tambakpati, tempat yang aman.”
Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara derap kaki
kuda. Perjalanan menuju puncak Gunung Gede cukup
sulit. Seseorang hanya bisa menunggangi kuda paling jauh
sampai dua pertiga ketinggian gunung. Jika sekarang ada
yang mampu naik sampai ke puncak, niscaya dia adalah
seorang berkepandaian tinggi dan memiliki kuda
tunggangan yang cekatan luar biasa.
Wiro cepat menarik Nyi Retno ke balik pohon besar
dan memberi tanda agar perempuan itu tidak
mengeluarkan suara. Tapi tetap saja Nyi Retno membuka
mulut. “Pasti yang lewat manusia setan dan kuda setan.
Hik ... hik..hik.”
Wiro cepat tekap mulut Nyi Retno. Celakanya walau
cuma main-main Nyi Retno gigit jari tangan Wiro hingga
hampir saja Wiro mengaduh kesakitan.
Derap kaki kuda semakin keras. Sesaat kemudian
seekor kuda putih muncul bersama penunggangnya
seorang mengenakan sorban dan jubah putih berkilat.
Yang membuat Wiro terkejut kuda putih itu terus saja lari
ke arah telaga, melompat tinggi dan jauh, lalu perlahan-
lahan seperti dikendalikan, didahului satu ringkikan keras
binatang dan penunggangnya masuk ke dalam telaga,
tanpa membuat air telaga bermuncratan, hanya
menimbulkan riak gelombang kecil.
“Luar biasa.. ..” Ucap Pendekar 212 sambil lepaskan
tekapannya dari mulut Nyi Retno Mantili.
“Apa yang saya bilang terbukti. Yang naik kuda itu
setan, kuda yang ditunggangi juga setan.”
“Kiai Gede Tapa Pamungkas kedatangan tamu hebat.
Nyi Retno, bisakah kita menunggu sampai orang berkuda
tadi keluar dari telaga. Saya ingin melihat lebih tegas,
siapa dia adanya. Rasanya saya pernah ....” Wiro
menggaruk kepala mengingat-ingat.
Nyi Retno gelengkan kepala berulang kali lalu tarik
lengan Wiro.
***
KITA kembali pada Hantu Malam Bergigi Perak yang
tengah berusaha mengejar Sinto Gendeng yang
dicurigainya telah mendapatkan kembali Kitab Seribu
Pengobatan. Si nenek merasa jengkel karena dia tahu, di
sebelah belakang kakek bermata belok berkuping lebar
bernama Setan Ngompol itu ternyata mengikuti. Namun
rasa kesal itu jadi hilang ketika otaknva berpikir mungkin
orang itu bisa dimanfaatkannya.
Setelah berlari cukup jauh sementara matahari mulai
memasuki ufuk tenggelamnya mendadak Hantu Malam
Bergigi Perak kehilangan jejak Sinto Gendeng.
“Kurang ajar! Tidak mungkin dia lenyap begitu saja.
Aku masih mencium bau pesingnya. Pasti dia sembunyi di
sekitar sini.” Nenek berusia 70 tahun ini memperhatikan
keadaan sekeliling. Tempat dimana dia berada adalah
kawasan hutan bambu. Pohon-pohon bambu itu tumbuh
berjejer rapat seolah membentuk dinding panjang dan
tinggi. Perlahan-lahan Hantu Malam Bergigi Perak
langkahkan kaki, bergerak ke tempat yang mulai
diselimuti kegelapan. Asap hitam. merah dan biru yang
keluar dari potongan bambu yang ada di atas kepalanya
kelihatan mengepul lebih tebal. “Tua bangka itu tidak
mungkin sembunyi karena takut,” membatin Hantu Malam
Bergigi Perak. “Dia tidak punya ilmu melenyapkan diri. Dia
bersiasat mau membokongku! Aku harus waspada.”
Benar saja. Baru si nenek selesai mengucap dalam
hati tiba-tiba didahului suara lengking jerit keras berkiblat
selarik sinar putih perak menyilaukan disertai
berhembusnya angin luar biasa panas!
“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Hantu Malam Bergigi
Perak kaget sekali. “Jahanam itu inginkan nyawaku!”
Sambil berguling selamatkan diri si nenek angkat dua
tangan di atas kepala. Ketika dua tangan didorong
terdengar suara bergemuruh. Dari potongan batang
bambu di atas kepala kepulan asap tiga warna keluarkan
suara mendesis lalu membuntal dan bergulung ke arah
cahaya putih perak yang menyerang dirinya, ltulah
tangkisan dalam jurus yang disebut Hantu Malam
Menyanggah Bumi.
“Buummm!”
Letusan dahsyat menggelegar. Tanah bergetar.
Pepohonan berderak-derak. Salah satu diantaranya amblas
dalam kobaran api. Walau selamat dari serangan
mematikan, Hantu Malam Bergigi Perak merasakan
dadanya berdenyut keras. Dia cepat berdiri ketika
terdengar suara tertawa panjang.
Di depan sana, terpisah dua belas langkah, berdiri
angker seorang nenek tinggi kurus, berkulit hitam dengan
mata dan pipi cekung serta kepala ditancapi empat tusuk
konde. Tangan kiri melintangkan tongkat kayu di depan
dada dan dari mulutnya mengumbar suara tertawa. Sinto
Gendeng!
Hantu Malam Bergigi Perak mendengus.
“Tua bangka edan! Kita sama-sama orang rimba
hijau! Apa kau tidak punya peradatan? Sengaja
membokong diriku! Nama besar Sinto Gendeng ternyata
hanya menampilkan seorang nenek jelek berjiwa
pengecut!”
Sinto Gendeng semburkan ludah susurnya ketanah.
Lalu menjawab. “Apa kau sendiri punya peradatan?
Mengejar orang padahal aku tidak punya urusan? Kau
bukan cuma tua bangka tidak tahu peradatan tapi pasti
juga punya niat jahat! Untung tubuhmu masih utuh! Kalau
kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku saat ini juga
kau akan aku buat lumat!”
“Tidak heran kau bicara sombong!” sahut Hantu
Malam sambil berkacak pinggang. “Sepertinya cuma kau
seorang yang punya ilmu kesaktian di dunia ini! Tidak
heran kau mau melumat diriku! Muridmu sendiri kau
aniaya sampai cacat! Hik..hik..hik! Aku mau lihat apa
benar kau mampu melumat diriku?!”
Tubuh bungkuk Sinto Gendeng tersentak ke atas.
Sepasang matanya memandang mencorong, penuh kilatan
hawa amarah.
“Kepentingan apa kau ikut campur aku punya urusan
dengan muridku!”
“Sinto Gendeng, sudahlah. Aku tidak mau bicara
panjang lebar, apa lagi yang aneh-aneh. Aku langsung
saja pada tujuanku. Aku butuh Kitab Seribu Pengobatan
yang ada padamu. Dalam waktu tiga puluh hari akan
kukembalikan. Jika kau mau meminjamkan kita akan
menjadi sahabat malah mungkin jadi saudara dunia
akhirat. Tapi kalau kau tidak berbaik hati untuk
meminjamkan, aku akan merampas kitab itu. Kalau kau
tetap keras kepala aku akan mengambil kitab berikut
nyawamu! Harap kau pikirkan ucapanku dengan otak
sehat pikiran jernih!”
Sinto Gendeng balas berkacak pinggang lalu tertawa
mengekeh.
“Ucapanmu seperti pemain sandiwara keliling.
Dengar, aku masih mau mengampuni selembar nyawa
rombengmu kalau kau lekas minggat dari hadapanku. Aku
tahu diriku buruk jelek. Tapi melihat tampangmu aku
seperti mau muntah! Hueek! Siapa sudi jadi saudaramu
dunia akhirat! Hik ... hik ... hik!”
“Sinto, setahuku kitab itu bukan milikmu. Tapi milik
Wiro muridmu! Mengapa kau serakah mengangkangi?!
Kalau kau pinjamkan pada orang yang membutuhkan
kesembuhan dari penyakit, kau bukan saja akan mendapat
nama harum tapi juga pahala besar.”
“Jangan bicara soal pahala di hadapanku! Dosaku
sudah setinggi gunung sedalam lautan. Apa masih perlu
aku mencari pahala?!”
“Kalau begitu kau akan mampus dalam kesesatan!
Kasihan sekali! Coba kau mendongak ke langit! Apa kau
tidak melihat pintu neraka sudah terbuka menantimu? Hik
.. hik ... hik!”
Sinto Gendeng berteriak marah.
Hantu Malam Bergigi Perak sendiri saat itu sudah
melompat ke hadapan Sinto Gendeng. Dari tabung bambu
di atas kepalanya menyembur asap hitam, kuning dan
merah membuat pemandangan Sinto Gendeng jadi
terhalang dan matanya terasa agak perih. Bersamaan
dengan itu Hantu Malam lepaskan satu pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam sangat tinggi.
Sinto Gendeng menyeringai. Dia melompat ke
samping untuk selamatkan diri dari pukulan sakti sambil
kepala dan tubuh dirundukkan untuk menghindari
halangan asap. Lalu secepat kilat tangan kirinya yang
memegang tongkat bergerak.
“Wuuut!”
“Breet
“Dukkk!”
Leher baju hitam berenda putih yang dikenakan
Hantu Malam Bergigi Perak robek besar disambar ujung
tongkat Sinto Gendeng. Mukanya yang tertutup dandanan
tebal seolah kehilangan darah, pucat pasi seperti kertas.
Sebaliknya saat itu Sinto Gendeng sendiri tampak
meringis dengan tubuh setengah terlipat. Walau tidak
telak satu tendangan lawan berhasil mendarat di perutnya.
Rupanya tadi pukulan tangan kosong yang dilancarkan
Hantu Malam Bergigi Perak hanya tipuan belaka karena
sebenarnya kaki kanannyalah yang benar-benar
melakukan serangan dalam jurus bernama Hantu Malam
Menusuk Rembulan Menikam Matahari.
“Manusia jahanam, kau akan mampus tak
berbentuk!” teriak Sinto Gendeng marah sekali. Dua
matanya memandang membeliak dan bagian putihnya
perlahan-lahan berubah membiru. Nenek ini jelas-jelas
hendak mengeluarkan ilmu dahsyat Sepasang Sinar Inti
Roh. Dari matanya akan melesat dua larik sinar biru
mematikan yang selama ini sulit lawan bisa menghindar
cari selamat. Ilmu inilah konon yang pernah diminta Wiro
tapi tidak diberikan oleh sang guru.
Hantu Malam Bergigi Perak cukup banyak
pengalaman dan segera maklum ilmu kesaktian apa yang
hendak dikeluarkan lawan. Secepat kilat dia melompat
mundur sambil dua tangan disilangkan di depan dada.
Mulut bergumam merapal mantera. Sekujur tubuh
bergetar. Asap tiga warna yang keluar dari tabung bambu
di atas kepala menderu keras lalu bergerak menyelubungi
sekujur tubuh, mulai dari kepala sampai ke kaki. Sosok si
nenek lenyap dari pemandangan, hanya sepasang
matanya yang masih terlihat seolah mengintip melalui dua
buah lobang. Ilmu yang dikeluarkan Hantu Malam Bergigi
Perak ini bernama Membungkus Jazad Melindung Jiwa.
Dari namanya sudah dapat diketahui ini merupakan ilmu
pelindung diri. Konon si nenek telah menghabiskan waktu
tiga puluh tahun untuk mendapatkan dan meyakini
kesaktian ini. Selain mempersiapkan diri dalam bertahan,
dua tangan Hantu Malam Bergigi Perak yang bersilang di
depan dada kelihatan berubah menjadi hitam. Lima kuku
jari mencuat panjang juga berubah warna hitam dan
pekat. Ilmu pertahanan yang telah disiapkannya rupanya
sekaligus mampu dibarengi dengan jurus menyerang yang
disebut Limbah Neraka Menghujat Bumi. Ini merupakan
ilmu yang jahat sekali. Dari lima kuku jari akan
menyembur keluar cairan hitam berbau sangat busuk.
mengepulkan asap hitam serta menebar hawa luar biasa
panas.
“Mampus!” teriak Sinto Gendeng. Sepasang mata
dikedipkan.
“Balas kematian dengan kematian!” Hantu Malam
Bergigi Perak balas berteriak tak kalah garang. Dua tangan
yang disilang di depan dada dikibas ke depan. Gerakan ini
sama sekali tidak terlihat oleh Sinto Gendeng karena
kecuali sepasang mata sampai saat itu tubuh lawannya
masih tertutup dan terlindung rapat oleh ilmu
Membungkus Jazad Melindung Jiwa. Dua nenek sakti itu
rupanya sudah sama-sama nekad mengadu jiwa.
Di saat yang luar biasa menegangkan itu Setan
Ngompol sampai di tempat itu. Kakek ini langsung
berteriak.
“Tahan serangan! Kalian berdua akan sama-sama
mati konyol!”
Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Tak
urung kencingya tetap memancur.
Dua nenek sama sekali tidak perdulikan peringatan
Setan Ngompol. Malah masing-masing melipat gandakan
hawa sakti dan kekuatan tenaga dalam.
“Celaka!” teriak Setan Ngompol. Dia segera melompat
menjauhi. Dia sudah dapat memastikan jika dua nenek
tetap meneruskan serangan, mereka akan sama-sama
menemui ajal. Selain itu bentrokan tenaga dalam dan
hawa sakti akan melanda tempat itu, bisa-bisa merenggut
nyawanya sendiri. Itu sebabnya si kakek buru-buru
melompat jauh mencari selamat. Tentu saja dalam
keadaan air kencing muncrat kemana-mana.
Dentuman dahsyat menggelegar di tempat itu. Langit
laksana runtuh, tanah seperti terbalik. Sinar biru, kuning,
hitam dan merah mencuat tinggi ke langit, membeset ke
seantero tempat. Hantu Malam Bergigi Perak terpekik.
Tubuhnya mental sampai tujuh tombak, bergulingan di
tanah. Walau tubuh masih terbungkus asap pelindung tiga
warna namun pada bahu kirinya kelihatan satu luka
menganga. Darah mengucur deras mengerikan.
Di bagian lain jeritan Sinto Gendeng seperti merobek
langit. Nenek ini tidak terpental, hanya jatuh duduk
dengan tubuh mengepulkan asap hitam menebar bau
busuk. Mara kirinya tampak lebam merah biru. Empat
tusuk konde di atas kepala bergoyang-goyang
memancarkan sinar redup. Saat itu entah dari mana
datangnya mendadak muncul cahaya gemerlap. Sinto
Gendeng yang hanya mampu melihat dengan satu mata,
terkesiap kaget ketika di hadapannya melayang mahluk
aneh berbentuk bayang-bayang berupa perempuan cantik
sekali dengan rambut tergerai lepas. Mahluk ini melayang
ke arahnya. Tangan kanan menyambar ke pinggang. Sinto
Gendeng merasa ada sesuatu yang lenyap dari tubuhnya.
Dia berteriak. Lalu nenek ini tersungkur roboh, tergeletak
di tanah dalam keadaan pingsan!
Setan Ngompol yang berada lebih dari sepuluh
tombak dari pusat dentuman dahsyat terlempar dan
menyangsrang di atas serumpunan semak belukar. Muka
pucat, mata setengah mendelik. Dada berdenyut sakit
sementara kencing kembali awur-awuran. Untuk berapa
lamanya kakek ini terpentang tak mampu bergerak.
Dirinya seolah lumpuh!
Mahluk bayangan berkelebat ke arah Hantu Malam
Bergigi Perak. Si nenek menatap dengan mata melotot,
tubuh terhuyung lemas dan pandangan sedikit demi sedikit
menjadi kabur.
“Nek. aku tahu kau inginkan Kitab Seribu Pengobatan.
Kitab itu ada padaku. Kalau sudah kupergunakan, aku
akan mencarimu dan menyerahkan padamu ...”
“Kau siapa .... ?” Tanya Hantu Malam Bergigi Perak
dengan suara parau dada sesak. Nafas tinggal satu-satu.
“Aku seorang sahabat ...”
Si nenek menggeleng. “Kita tidak mungkin bertemu
lagi. Luka dibahuku mengandung racun jahat. Selain itu
aku kehabisan darah. Umurku tidak lama. Jika aku mati
serahkan kitab itu pada Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng. Dia tahu masalah yang dihadapi dua muridku
yang sangat memerlukan pertolongan. Hanya petunjuk
dalam kitab yang bisa menyembuhkan. Jika Pendekar itu
inginkan salah satu dari dua muridku, dia tinggal memilih.
Aku tahu dia sebenarnya pemuda baik. Mudah-mudahan
mereka berjodoh nan bahagia.”
“Nek. kau tidak akan mati. Aku akan .. menolong.”
Mahluk bayangan siap menotok urat besar di leher
dan dada Hantu Malam Bergigi Perak. Namun kepala si
nenek terkulai. Nyawanya lepas. Dia menemui ajal dengan
sepasang mata nyalang terbuka. Mahluk bayangan usap
dua mata si nenek hingga tertutup lalu melesat ke udara
dan lenyap dari pemandangan.
Tak selang berapa lama Sinto Gendeng mulai
sadarkan diri. Dia ingat apa yang terjadi lalu bergerak
duduk di tanah. Meraba seputar pinggang. Kagetnya
seperti disambar petir.
“Jahanam kurang ajar! Siapa yang telah mencuri
kitab?!” Nenek ini melompat dari duduknya. Berdiri
terhuyung-huyung. Pandangannya membentur sosok
Hantu Malam Bergigi Perak. Dia dapatkan si nenek sudah
tak bernyawa lagi. Sinto Gendeng memeriksa seluruh
tubuh Hantu Malam dan tidak menemukan Kitab Seribu
Pengobatan. Saking kesalnya Sinto Gendeng tendang
tubuh orang hingga terpental sampai beberapa tombak.
Sinto Gendeng putar tubuh. Pandangannya kini
tertuju pada Setan Ngompol yang tergeletak
menyangsrang tak berdaya di atas rumpunan semak
belukar.
“Setan tua keparat! Semua terjadi gara-gara kau!
Mana kitab itu? Kau pasti yang mengambil!”
“Sinto, aku .....”
Plaakk!
Satu tamparan mendarat di pipi Setan Ngompol
membuat pecah bibir si kakek.
“Sinto! Kenapa kau jadi kalap begini! Kau
menghajarku teman sendiri! Apa sudah gila?!”
“Siapa bilang kita berternan?! Aku memang sudah
gila! Aku bukan cuma ingin menghajarmu tapi
membunuhmu! Kau dengar? Aku ingin membunuhmu!”
Habis berteriak begitu Sinto Gendeng lalu hunjamkan
satu jotosan ke dada Setan Ngompol.
“Kraaakk!”
Setan Ngompol menjerit. Tiga tulang iganya berderak
patah. Kakek ini megap-megap beberapa kali lalu tak
berkutik lagi.
-- << TAMAT >> --
Segera terbit Episode berikutnya berjudul :
AZAB SANG MURID
0 comments:
Posting Komentar