..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 12 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE LENTERA IBLIS

 

Lentera Iblis


SATU



PAGI ITU Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata 

baru saja selesai sarapan. Dia akan segera 

berangkat menuju Keraton untuk menemui Sri 

Baginda. Banyak hal penting yang akan dibicarakan. Salah 

satu diantaranya menyangkut gerakan orang-orang yang 

menamakan diri dan mengaku berasal dari Keraton 

Kaliningrat. Saat keluar dari ruang makan seorang 

pengawal datang memberi tahu bahwa Danang Kaliwarda, 

kepala pengawal Gedung Bendahara ingin menghadap. 

“Danang Kaliwarda.....” Patih Kerajaan menyebut 

nama itu. “Aku pernah melihatnya beberapa kali. Tapi tak 

pernah bertegur sapa. Pengawal, apa kau tanyakan 

maksud kedatangannya?” 

“Memang ada saya tanyakan. Katanya ada hal sangat 

penting ingin disampaikan. Namun dia hanya mau bicara 

langsung dengan Kanjeng Patih,” menerangkan pengawal 

Gedung Kepatihan. 

Setelah berpikir sebentar Patih Kerajaan akhirnya 

berkata pada pengawal. “Aneh juga. Kalau ada sesuatu 

urusan penting seharusnya Bendahara Wira Bumi yang 

datang menghadap. Kepala Pengawal itu datang seorang 

diri atau ada yang menemani?” 

“Dia datang seorang diri, Kanjeng Patih.” 

“Baiklah, suruh dia menunggu di pendopo sebelah 

timur. Suguhkan kopi jika dia belum sarapan. Aku akan 

segera menemuinya.” 

Gedung Kepatihan memiliki dua buah pendopo. 

Pendopo besar di sebelah barat, pendopo ke dua di 

sebelah timur, lebih kecil dan memiliki dua dinding 

penutup terbuat dari papan jati berukir pemandangan


gunung Merapi. Di tempat ini Patih Kerajaan biasanya 

menemui tamu-tamu tertentu. 

Danang Kaliwarda yang duduk bersila di lantai batu 

pualam bersih dan licin berkilat cepat-cepat berdiri begitu 

Patih Sawung Giring Bradjanata muncul, melangkah 

menaiki anak tangga pendopo timur. 

“Hormat untuk Patih Kerajaan. Saya Danang 

Kaliwarda, Kepala Pengawal Gedung Bendahara.” Danana 

Kaliwarda berucap lalu membungkuk dalam-dalam. 

Patih Kerajaan menyilahkan tamunya duduk kembali. 

Keduanya kemudian bersila berhadap-hadapan. Seorang 

pelayan datang menating secangkir kopi hangat, 

diletakkan di depan Danang Kaliwarda. 

“Danang Kaliwarda, waktuku tidak banyak karena 

harus segera menghadap Sri Baginda. Ceritakan apa 

maksud kedatanganmu. Apakah Bendahara Wira Bumi 

yang mengutusmu datang menghadapku? Sebelum kau 

menjawab silahkan meneguk kopi lebih dulu.” 

“Terima kasih Kanjeng Patih. Saya minum.” Selesai 

meneguk kopi hangat Kepala Pengawal Gedung Bendahara 

itu meluruskan duduknya lalu berkata. “Kanjeng Patih, 

saya mohon maaf kalau kedatangan saya begini 

mendadak, apa lagi sampai mengganggu dan menyita 

waktu Kanjeng Patih. Saya datang dengan kemauan 

sendiri. Tidak diutus oleh Raden Mas Wira Bumi.” 

Sawung Giring Brajanata mengangguk. “Langsung 

saja pada maksud kedatanganmu.” 

“Saya datang untuk menyampaikan satu hal yang 

sangat rahasia, Kanjeng Patih.” 

Patih Kerajaan angkat kepala sedikit, dua mata 

menatap lekat-lekat ke wajah tamunya. “Satu hal yang 

sangat rahasia katamu. Bagiku ini agak mengejutkan. Hal 

sangat rahasia macam apa? Menyangkut pribadi atau ada 

hubungannya dengan Kerajaan?”


“Dua-duanya, Kanjeng Patih,” jawab Danang 

Kaliwarda. “Terlebih dulu saya mohon maaf. Kejadiannya 

berlangsung kemarin malam. Terjadi di halaman belakang 

gedung kediaman Kanjeng Bendahara. Semula saya 

merasa bimbang apakah akan memberitahu hal ini pada 

Kanjeng Patih atau tidak. Kalau saya memberi tahu berarti 

saya melangkahi atasan saya Raden Mas Wira Bumi. Kalau 

saya tidak memberi tahu sebagai seorang prajurit saya 

merasa berdosa pada Kanjeng Patih dan Kerajaan ....” 

Patih Kerajaan berusia enam puluh tahun tapi masih 

berwajah segar dan klimis usap dagunya yang ditumbuhi 

janggut halus dan rapi. 

“Teruskan ceritamu, Danang Kaliwarda.” 

“Malam itu gedung kediaman Bendahara kedatangan 

tamu seorang lelaki tinggi kurus dengan penampilan serba 

merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Walau dia tidak 

menyebut nama namun Saya tahu siapa dia karena 

sebelumnya sudah pernah datang menemui Raden Mas 

Wira Bumi. Orang itu saya kenal dengan nama Eyang Tuba 

Sejagat. Pada kedatangannya yang kedua kali ini saya 

lihat ada sesuatu yang terjadi dengan tubuhnya sebelah 

luar dan sebelah dalam. Agaknya dia menderita luka 

dalam parah. Seperti mengalami keracunan yang sangat 

hebat. Mungkin saya menyalahi adat, namun entah 

mengapa saya begitu ingin mengetahui apa yang 

dibicarakan sang tamu dengan Raden Mas Wira Bumi. 

Ternyata kecurigaan saya ada hikmahnya. Rupanya, 

sebelumnya Raden Mas Wira Bumi telah memberi tugas 

pada Eyang Tuba Sejagat untuk membunuh dengan cara 

meracuni seorang Kiai yang diam di puncak Gunung Gede 

bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas .....” 

Sikap dan air muka Patih Kerajaan langsung berubah 

mendengar ucapan Danang Kaliwarda itu. 

“Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah seorang suci 

berilmu tinggi yang dianggap setengah Dewa. Dia banyak


membantu Kerajaan. Kalau ada orang jahat ingin 

membunuhnya pasti ada satu masalah besar dibalik 

perbuatan keji itu. Danang, teruskan keteranganmu.” 

“Ternyata Eyang Tuba Sejagat gagal melaksanakan 

tugas. Dua pembantunya tewas. Dia malah dicekoki Racun 

Akar Bumi miliknya sendiri oleh Kiai Gede Tapa 

Pamungkas. Untuk mengobati dirinya yang keracunan dia 

harus membeli obat dari seorang tabib. Obat itu mahal 

sekali. Eyang Tuba Sejagat minta agar Raden Mas Wira 

Bumi mau memberikan sejumlah uang. Dia berjanji kalau 

sudah sembuh akan segera melaksanakan tugas 

berikutnya.” Sampai di situ Danang Kaliwarda tidak 

meneruskan ucapan, dia menatap sang patih dengan 

bayangan rasa takut pada wajahnya. 

“Kepala Pengawal, kau kelihatan seperti bimbang 

atau takut meneruskan ucapan ....” 

“Maafkan saya Kanjeng Patih. Terus terang saya 

memang merasa takut karena apa yang hendak saya 

katakan menyangkut langsung diri Kanjeng Patih.” 

“Katakan saja. Mengapa harus takut?” 

“Tugas berikut yang dikatakan oleh Eyang Tuba 

Sejagat itu adalah membunuh Kanjeng Patih.” Walau 

suaranya agak bergetar meluncur juga ucapan itu dari 

mulut Danang Kaliwarda. 

Sosok Patih Kerajaan seolah berubah menjadi patung, 

diam tak bergerak. Air mukanya berubah. Namun sesaat 

kemudian seringai muncul di wajahnya. 

“Apakah ucapanmu bisa aku percaya Danang 

Kaliwarda?” 

“Demi Gusti Allah saya bersumpah saya tidak 

berdusta.” 

“Kalau begitu lanjutkan ceritamu. Apa yang terjadi 

kemudian?”


“Raden Mas Wira Bumi tidak memberi uang yang 

diminta. Malah Eyang Tuba Sejagat dibunuh. Kepalanya 

dipukul hingga rengkah!” 

“Dengan tangan kosong?” 

“Betul Kanjeng Patih. Raden Mas Wira Bumi 

menghabisi Eyang Tuba Sejagat dengan pukulan tangan 

kosong. Tangan kanan.” Jawab Danang Kaliwarda sambil 

mengepal dan mengangkat tangan kanannya sendiri. 

“Ceritamu hebat! Luar biasa! Tapi tunggu dulu. 

Setahuku Bendahara Wira Bumi tidak memiliki ilmu 

pukulan tangan kosong yang sanggup membuat rengkah 

kepala orang. Kau berdusta padaku, Danang Kaliwarda!” 

Patih Kerajaan berkata dengan mata menatap tak berkesip 

ke mata orang di hadapannya. 

Danang Kaliwarda susun sepuluh jari di atas kepala. 

“Saya mana berani berdusta Kanjeng Patih. Saya sudah 

mengucapkan sumpah. Mungkin Kanjeng Patih tidak tahu 

kalau beberapa waktu belakangan ini Raden Mas Wira 

Bumi telah menuntut ilmu kesaktian pada seorang sakti di 

pantai selatan.” 

“Yang aku tahu Wira Bumi pernah minta waktu 

istirahat cukup lama. Katanya untuk mengobati penyakit 

yang diidapnya. Rupanya dia berguru pada seseorang. Kau 

tahu siapa orang sakti yang jadi gurunya itu?” 

“Saya tidak tahu. Ada seorang pembantu yang dulu 

pernah bekerja pada Raden Mas Wira Bumi sewaktu dia 

masih menjadi Tumenggung. Pembantu itu bernama Djaka 

Tua. Kabarnya dia yang tahu siapa adanya guru Raden 

Mas Wira Bumi. Hanya sayang dia telah lenyap melarikan 

diri ....” 

“lstri ke tiga Wira Bumi bernama Nyi Retno Mantili 

juga lenyap dan sampai saat ini tidak pernah ditemukan.” 

“Kanjeng Patih, saya yakin lenyapnya pembantu serta 

istri Raden Mas Wira Bumi saling punya kaitan. Maaf, 

ijinkan saya melanjutkan keterangan. Setelah Eyang Tuba


Sejagat tewas, saya diperintahkan membuang mayatnya. 

Mayat saya buang malam itu juga ke dalam sebuah jurang 

di pinggir selatan Kotaraja.” 

“Aku tidak percaya dan merasa sangat aneh. Wira 

Bumi ingin membunuhku lewat tangan Eyang Tuba 

Sejagat. Aku tidak ada permusuhan dengan dirinya. Ketika 

istrinya lenyap aku memerintahkan pasukan besar untuk 

mencari. Jabatannya yang baru sebagai Bendahara 

Kerajaan juga aku yang mengusulkan kepada Sri Baginda. 

Lalu dia ingln membunuhku. Apa dia sudah gila. Wira Bumi 

bukan saja membalas air susu kebaikanku dengan air 

tuba, tapi malah dengan darah!” Patih Kerajaan gelengkan 

kepala berulang kali. 

“Ada dua kejadian lagi malam itu yang perlu saya beri 

tahu pada Kanjeng Patih.” Kata Danang Kaliwarda pula. 

“Apa?” Tanya sang Patih. Dia seolah melupakan 

waktunya yang sangat terbatas serta rencana menemui Sri 

Baginda pagi itu. 

“Selesai saya membuang mayat Eyang Tuba Sejagat 

saya kembali ke Gedung Bendahara. Tak sengaja saya 

lihat jendela kamar tidur Raden Mas Wira Bumi dalam 

keadaan sedikit terbuka dan lampu di dalam kamar 

menyala terang benderang. Mungkin Raden Mas Wira Bumi 

sudah tertidur dan lupa menutup jendela. Saya bermaksud 

hendak menutup jendela itu namun di dalam kamar saya 

lihat Raden Mas Wira Bumi tengah menggeluti seorang 

perempuan cantik di atas ranjang. Keduanya dalam 

keadaan bugil .....” 

“Semua orang tahu Raden Mas Wira Bumi punya tiga 

orang istri termasuk Nyi Retno Mantili. Apakah perempuan 

yang bersamanya saat itu bukan salah satu dari dua 

istrinya yang lain?” 

Danang Kaliwarda gelengkan kepala. 

“Tidak Kanjeng Patih. Perempuan yang digauli Raden 

Mas Wira Bumi itu bukan salah satu dari dua istrinya. Saya


tidak pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Ada 

keanehan dengan auratnya. Salah satu buah dadanya, 

yang sebelah kiri sangat besar.” 

“Apa perempuan itu terus berada di Gedung 

Bendahara sampai pagi? Menginap?” 

“Tidak Kanjeng Patih. Saya bersembunyi di satu 

tempat setelah lebih dulu memberi perintah pada anak 

buah yang bertugas malam itu agar jangan sekali-kali 

melewati atau berada di dekat jendela. Menjelang pagi 

jendela terbuka. Saya lihat perempuan itu melesat keluar 

kamar, masih dalam keadaan bugil, menenteng pakaian 

lalu lenyap di arah timur. Gerakannya luar biasa cepat 

pertanda dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak selang 

berapa lama saya lihat Raden Mas Wira Bumi keluar pula 

dari gedung, berjalan cepat menuju bagian luar tembok 

sebelah selatan. Saya mengikuti. Raden Mas Wira Bumi 

berjalan menuju satu rumpunan pohon bambu. Ternyata 

di situ ada sosok seorang lelaki, terjepit tak berdaya di 

antara empat batang bambu. Ketika saya perhatikan 

ternyata orang itu adalah Djaka Tua, bekas pembantu di 

Gedung Tumenggung dulu. Saya dengar Raden Mas Wira 

Bumi menanyakan bayinya dan sebilah golok. Dia 

menuduh Djaka Tua telah menculik bayi itu dan mencuri 

golok. Menurut pengakuan Djaka Tua bayi dan golok 

diambil oleh seorang kakek tinggi putih. Dia tidak tahu 

siapa adanya kakek itu dan berada dimana. Raden Mas 

Wira Bumi kemudian mencekik leher Djaka Tua. Hampir 

pembantu itu menemui ajal tiba-tiba ada suara perempuan 

tertawa. Dia mengatakan sesuatu tapi tak jelas saya 

dengar. Kemudian ada dua larik sinar putih menderu 

disertai dua letusan dahsyat dan menebarnya kabut aneh. 

Raden Mas Wia Bumi selamat dari serangan dua larik sinar 

putih. Namun saat itu Djaka Tua tak ada lagi di tempat itu. 

Saya segera mendekati Raden Mas Wira Bumi dan 

menanyakan apa yang terjadi. Dia menjawab tidak terjadi


apa-apa di tempat itu dan mengatakan saya bermimpi lalu 

.....” 

Entah apa yang terjadi mendadak udara di pendopo 

sebelah timur Gedung Kepatihan itu berubah redup seolah 

siang telah berganti malam. Satu bayangan merah 

berkelebat disertai membahananya bentakan perempuan. 

“Danang Kaliwarda, manusia busuk pengkhianat 

atasan! Kau memang tidak dalam alam mimpi tapi tengah 

menuju alam kematian!” 

Dua orang yang duduk di lantai pendopo sama 

terkejut. 

Patih Kerajaan merasa sambaran angin menerpa di 

samping kanan. Di lain kejap seorang nenek kurus 

bungkuk tahu-tahu telah berdiri di depannya. Muka 

keriput, rambut riap-riapan serta pakaiannya yang berupa 

selempang kain, semua berwarna merah. Patih Kerajaan 

bahkan melihat bagaimana sepasang mata termasuk alis, 

lidah dan gigi nenek ini juga berwarna merah 

menggidikkan. 

Danang Kaliwarda tidak tahu siapa adanya nenek 

serba merah ini. Namun dari ucapannya tadi dia bisa 

menduga jangan-jangan perempuan tua ini adalah orang 

sakti guru Wira Bumi. Dadanya berdebar, muka pucat. 

Sementara Patih Kerajaan maklum siapapun adanya nenek 

serba merah ini dia adalah seorang yang memiliki ilmu 

kepandaian tinggi. Sang Patih mencium adanya bahaya. 

Serta merta dia berdiri dan menegur dengan suara datar. 

“Nenek muka merah, antara kita tidak saling kenal. 

Mengapa berani masuk ke Gedung Kepatihan tanpa ijinku” 

Si nenek yang bukan lain adalah Nyai Tumbal Jiwo, 

guru Raden Mas Wira Bumi hamburkan suara tawa 

bergelak. 

“Aku datang dan pergi kemana aku suka! Siapa 

berani melarang!” .


Walau merasa dianggap enteng namun Patih Sawung 

Giring Bradjanata masih bicara dengan suara rendah. 

Malah dengan seringai tersungging di mulut. 

“Rupanya aku berhadapan dengan seorang 

perempuan tua kurang ajar. Nenek muka merah, dengar. 

Aku masih memberi pengampunan padamu jika kau mau 

angkat kaki dari tempat ini sekarang juga!” 

“Kalau aku tak mau minggat?!” Nyai Tumbal Jiwo 

menantang. 

Habislah kesabaran sang patih. Dia berteriak 

memanggil pengawal. Tiga pengawal segera muncul. 

Sesaat mereka terheran-heran menyaksikan udara di 

pendopo redup seperti itu. 

“Ringkus perempuan tua muka merah itu. Bawa dia 

keluar dari Gedung Kepatihan. Jika berani masuk lagi 

tangkap!” 

Tiga pengawal bertubuh kekar segera lakukan 

perintah Patih Kerajaan. Namun apa yang terjadi 

kemudian membuat Patih Sawung Giring Bradjanata 

terkejut luar biasa, juga merinding. Ketika hendak 

disergap, nenek muka merah berkelebat. Lalu tiga larik 

sinar merah berkiblat. Tiga pengawal menjerit. Ketiganya 

terpental sejauh dua tombak. Terguling di lantai pendopo 

dalam keadaan sekujur tubuh melepuh serta kepulkan 

asap! Selagi Patih Kerajaan terkesiap begitu rupa si nenek 

kembali berkelebat dan tahu-tahu keris milik sang Patih 

telah berada di tangan sl nenek sementara sarungnya 

masih tersisip di pinggang Patih Sawung Giring. 

Selaku Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata 

tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Namun kalau 

senjata di pinggangnya dapat dirampas orang, berarti si 

perampas memiliki kehebatan melebihi dirinya. 

“Tua bangka kurang ajar! Kembalikan kerisku!” teriak 

Patih Kerajaan marah besar. Lalu tubuhnya melesat ke 

depan. Tidak sungkan lagi dia langsung kirimkan pukulan


kilat ke arah kepala nenek muka merah. Nyai Tumbal Jiwo 

merunduk. Tertawa cekikikan. 

Perkelahian hebat segera terjadi. Seolah melecehkan, 

si nenek hanya pergunakan tangan kanan untuk melayani 

lawan sementara tangan kiri memegang keris tanpa 

sarung. Setiap terjadi bentrokan lengan Nyai Tumbal Jiwo 

terjajar dua langkah ke belakang sebaliknya Patih 

Kerajaan merasa kesakitan amat sangat seolah tangannya 

membentur pentungan besi. 

Dalam jurus ke empat setelah menggempur habis-

habisan dengan mengeluarkan jurus bernama Menusuk 

Bumi Menikam Langit Patih Sawung Giring Bradjanata 

berhasil mendaratkan jotosan tangan kanannya ke dada 

kiri lawan. Nyai Tumbal Jiwo meraung setinggi langit. Asap 

merah mengepul dari ubun-ubunnya. Bagian yang barusan 

kena dipukul adalah tepat payudara sebelah kiri yang 

bengkak besar. Walau dasarnya adalah mahluk dari alam 

roh, namun tetap saja dia mengalami luka dalam yang 

hebat. Nyai Tumbal Jiwo semburkan ludah campur darah 

dari mulutnya. Sepasang mata laksana memancarkan 

kilatan api. Dari ubun-ubun mengepul asap merah tipis. 

“Patih jahanam! Terbanglah ke akhirat!” Mulut 

berucap lima jari tangan kanan menjentik! 

“Wuutt… wuutt… wuutt… wuutt… wuuttt!” 

Lima Jari Akhirat! 

Lima larik sinar merah berkiblat. Patih Kerajaan 

berusaha menghindar sambil dua tangan melepas pukulan 

sakti mengandung tenaga dalam tinggi, namun tetap 

jebol! Seperti diketahui terhadap serangan Lima Jari 

Akhirat jarang lawan bisa lolos. Kalaupun sanggup 

bertahan maka sekujur tubuhnya akan melepuh cacat dan 

menderita kesakitan seumur hidup. Patih Sawung Giring 

menjerit keras ketika empat dari lima sinar merah 

menyapu dirinya. Tubuhnya terpental menghantam salah 

satu tiang pendopo. Tiang patah, sosok Sawung Giring


Bradjanata terkapar di lantai dalam keadaan hangus 

mengerikan! 

“Anjing pengkhianat! Kau mau lari kemana?!” bentak 

Nyai Tumbal Jiwo ketika Danang Kaliwarda dilihatnya 

berusaha hendak kabur. 

“Aku tidak punya dosa kesalahan apa-apa 

terhadapmu ....” 

“Manusia anjing kurap! Tutup mulutmu! Siapa bilang 

kau tidak punya dosa kesalahan terhadapku! Aku Nyai 

Tumbal Jiwo adalah guru dan kekasih Wira Bumi yang kau 

khianati! Aku tahu malam itu kau mengintip dibalik jendela 

sewaktu aku bercinta dengan Wira Bumi. Apa kau tergiur? 

Apakah kau ingin melakukannya padaku? Hik ... hik..hik! 

Kau belum pantas melayaniku! Kau lebih cocok kalau aku 

kirim keakhirat seperti majikan besarmu itu! Hik ... hik ... 

hik!” 

Nyai Tumbal Jiwo menyergap.Keris di tangan kanan 

menderu ke arah dada Danang Kaliwarda. Kepala 

Pengawal Gedung Bendahara ini cepat melompat mundur 

sambil menghunus golok besar. 

 “Kau punya nyali juga! Aku mau tahu sampai dimana 

kehebatanmu!” Tangan kanan Nyai Tumbal Jiwo yang 

memegang keris berkelebat laksana kilat. Serangan 

ganasnya membuat Danang Kaliwarda kelabakan. Dalam 

waktu beberapa kejapan saja dia telah menghunjamkan 

empat tusukan dan tiga babatan keris ke tubuh Kepala 

Pengawal Gedung Bendahara Kerajaan itu. 

Danang Kaliwarda hanya sempat menangkis satu kali. 

Lalu tubuhnya roboh. Darah bersimbah dari luka-luka di 

sekujur tubuh dan tenggorokan. 

Dengan tenang sambil menyeringai Nyai Tumbal Jiwo 

melangkah mendekati mayat Sawung Giring Bradjanata. 

Keris yang dipegangnya digenggamkan ke dalam jari-jari 

tangan Patih Kerajaan itu. Sebelum meninggalkan 

pendopo timur nenek muka merah ini hampiri sosok


Danang Kaliwarda yang tengah sakarat. Enak saja dan 

kurang ajar sekali, tangan kanannya disusupkan, meraba-

raba ke balik celana Kepala Pengawal itu, kepala 

mendongak, wajah menyeringai. 

“Aaahh, rnenyesal aku membunuhnya terlalu cepat. 

Seharusnya aku coba dulu yang satu ini. Hik ... hik ... hik.” 

Sesaat setelah Nyai Tumbal Jiwo tinggalkan tempat 

itu, udara di pendopo kembali cerah. 

Hari itu juga Kotaraja dilanda geger besar. Tersiar 

kabar bahwa telah terjadi perkelahian antara Patih 

Kerajaan dengan Kepala Pengawal Gedung Bendahara. 

Kedua-duanya tewas. Di duga kedua orang ini telah 

mengadu jiwa akibat satu dendam atau perkara yang tidak 

diketahui apa adanya. Hanya saja tidak ada yang bermata 

jeli dan menyelidik lebih jauh akan keadaan mayat Patih 

Sawung Giring. Danang Kaliwarda tidak memiliki ilmu 

kesaktian yang mampu membuat dia membunuh lawannya 

sampai sekujur tubuh sang Patih melepuh hangus! 

Dua puluh hari setelah peristiwa berdarah itu, Raden 

Mas Wira Bumi dipercayakan Sri Baginda untuk menduduki 

jabatan Patih Kerajaan. Malam harinya Nyai Tumbal Jiwo 

datang menemui Wira Bumi, minta dihibur sampai pagi. 

Dan Wira Bumi melayani sepenuh hati karena dia 

menyadari jabatan Patih Kerajaan itu didapatnya dari hasil 

pekerjaan licik dan keji si nenek dari alam roh itu. 

-- << >>


DUA



HUJAN luar biasa lebat mengguyur puncak Gunung 

Merapi. Walau saat itu siang hari namun keadaan 

tidak beda seperti malam. Setiap angin bertiup 

kencang ranting-ranting serta daun pepohonan bergoyang 

dan bergesek mengeluarkan suara bersiur panjang 

menggidikkan. 

Dalam cuaca buruk begitu rupa Pangeran Matahari 

berlari ke arah utara puncak gunung. Seperti dikisahkan 

dalam Episode sebelumnya (Nyi Bodong) setelah ditimpa 

malapetaka berulang kali, Pangeran Matahari menemui 

gurunya Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat melalui tapa 

Aras Bumi Aras Langit. Sesuai petunjuk sang guru saat itu 

dia tengah menuju sebuah goa yang puluhan tahun silam 

pernah menjadi tempat kediaman Si Muka Bangkai. 

Karena sudah sekian lama, ditambah keadaan cuaca yang 

gelap, di bawah hujan lebat pula, meski pernah tinggal di 

situ, cukup sulit bagi Pangeran Matahari untuk mencari 

goa tersebut. 

Sementara berlari dia ingat semua ucapan Si Muka 

Bangkai. 

“Kau pergilah ke puncak Gunung Merapi sebelah 

utara, ke bekas goa tempat kediamanku. Di sana kau akan 

menemukan seperangkat pakaian yang harus kau pakai 

begitu turun gunung. Di dalam goa kau akan menemukan 

pula sebuah lentera yang hanya bisa menyala jika kau isi 

dengan minyak kasturi ini. Pada dinding goa kau akan 

melihat guratan tulisan yang aku buat sebagai petunjuk 

penggunaan dan kegunaan benda itu. Untuk sementara 

sampai keadaan aman bagimu, kau hanya boleh 

menampakkan diri pada malam hari. Demi keselamatanmu 

kau harus membawa dan menyalakan lentera itu


kemanapun kau pergi. Kau harus sadar musuhmu kini 

bukan hanya murid Sinto Gendeng keparat itu. Banyak 

orang lain yang menginginkan nyawamu! Sebelum aku 

lupa, ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Lentera 

yang aku katakan tadi sekali-kali tidak boleh terkena atau 

bersentuhan dengan cairan atau air yang keluar dari tubuh 

manusia. Misal air mata, air keringat, air kencing bahkan 

air mani! Ha.. .ha.. .ha! Pokoknya semua air yang berasal 

dari tubuh manusia! Kalau larangan itu sampai dilanggar 

kau akan ditimpa malapetaka besar! Pergilah ke goa di 

puncak Merapi. Kau akan mengetahui apa yang harus kau 

lakukan. Satu hal harus kau ingat. Selesai membaca dan 

memahami guratan tulisanku di dinding goa, tulisan itu 

harus kau kikis habis. Harus kau lenyapkan!” 

Hujan bertambah lebat dan udara semakin gelap. 

Sesekali kilat menyambar. Puncak gunung Merapi sesaat 

jadi terang benderang. Walau sangat singkat namun cukup 

memberi petunjuk pada Pangeran Matahari kemana 

dimana dia berada saat itu dan kemana dia harus 

meneruskan larinya. 

Karena hujan tak kunjung berhenti dan udara 

semakin gelap, kawatir akan kesasar, Pangeran Matahari 

akhirnya memutuskan untuk mencari tempat berteduh. 

Kalau cuaca sudah baik baru dia melanjutkan perjalanan. 

Ketika kilat kembali menyambar dan keadaan terang 

benderang sekilas, mata tajam sang Pangeran sempat 

melihat satu lamping bukit ditumbuhi sederetan pohon-

pohon besar. Pada bagian bawah deretan pohon sebelah 

tengah ada satu cekungan tanah cukup dalam. Tanpa pikir 

panjang Pangeran Matahari segera berlari memasuki 

cekungan tanah itu. Cukup lama dia duduk berteduh di 

situ sampai akhirnya hujan mulai reda dan langit perlahan-

lahan bersih benderang. 

Sekitar sepenanakan nasi akhirnya Pangeran Matahari 

berhasil menemukan goa yang pernah menjadi kediaman


guru dan dirinya sendiri. Goa ini terletak di lamping 

sebuah kali kecil yang saat itu airnya meluber banjir 

kemana-mana. Begitu sampai di depan goa Pangeran 

Matahari mencium bau tengik menyesakkan pernafasan. 

Melangkah masuk ke dalam goa sejauh tujuh langkah bau 

tengik itu semakin keras dan seolah mencekik jalan nafas. 

Dadanya berdebar, dua lutut terasa goyah. Langkah 

tertahan. Pangeran Matahari segera kerahkan tenaga 

dalam, tutup saluran pernafasan untuk beberapa lama 

sampai perasaannya tenang kembali dan getaran di kedua 

lutut lenyap. Hati-hati, penuhwaspada dia melanjutkan 

langkah. 

“Aneh, seharusnya goa ini berada dalam keadaan 

gelap gulita. Mengapa seperti ada cahaya datang dari 

sebelah dalam? Mungkin lenteranya sudah menyala?” 

membatin Pangeran Matahari lalu dia meraba bagian 

pakaian di balik mana dia menyimpan tabung berisi 

minyak kasturi yang diberikan Si Muka Bangkai. Dia ingat, 

lentera yang ada di dalam goa hanya bisa dinyalakan 

dengan minyak kasturi itu. 

Setelah lewat tujuh langkah lagi memasuki goa bau 

tengik yang menyesakkan dada mendadak lenyap, kini 

berganti dengan bau wangi kulit pohon kayu manis, yang 

menebar rasa segar. Di sisi kanan goa ada satu gundukan 

batu. Di atas batu ini terletak seperangkat pakaian berupa 

jubah hitam panjang selutut, serta celana hitam dan 

gulungan kain ikat kepala berwarna merah. Ketika 

Pangeran Matahari mengembangkan jubah hitam, pada 

bagian dada terpampang gambar matahari bulat besar 

berwarna merah lengkap dengan sinar yang juga berwarna 

merah. Pangeran Matahari terdiam sejurus. Dia ingat, baju 

dan celana hitam serta ikat kepala merah adalah 

perangkat pakaian yang dikenakannya pertama kali 

sewaktu turun gunung. Hanya kali ini baju ditukar menjadi 

jubah dan bentuk gambar matahari berbeda dari yang


dulu. Dia juga ingat pesan gurunya bahwa pakaian itu 

baru boleh dikenakan jika dia siap turun gunung. Apakah 

pakaian dan ikat kepala itu merupakan tanda bahwa dia 

akan turun gunung untuk kedua kalinya, membuka 

lembaran baru dalam rimba persilatan? 

Sang Pangeran lanjutkan langkah. Baru menindak 

dua langkah mendadak telinganya mendengar suara orang 

mengorok. Suara ini datang dari bagian dalam goa. 

Membuat Pangeran Matahari menjadi penuh tanda tanya. 

“Ada orang tidur di dalam sana. Siapa? Mungkin 

guru? Tapi dia sudah meninggalkan pesan baru akan 

kembali lagi tiga ratus hari yang akan datang.” 

Pangeran Matahari usap-usap dagunya yang 

ditumbuhi janggut liar lalu kembali teruskan langkah. Kali 

ini lebih perlahan sambil tangan kanan siap sedia 

membekal dan melepas pukulan sakti jika mendadak ada 

bahaya tak terduga mengancam. Semakin jauh masuk ke 

dalam goa semakin terang cahaya yang datang dari 

sebelah dalam dan bertambah keras suara mendengkur. 

Tiga langkah di depan sana goa membelok ke kiri. Tujuh 

langkah dari kelokan, goa itu sampai pada ujungnya. 

Pangeran Matahari masih belum melihat, lentera yang 

dikatakan Si Muka Bangkai. Mungkin berada di bagian 

ujung goa, dibalik kelokan. Mau tak mau berdebar juga 

dada sang Pangeran ketika dia melangkah memasuki 

kelokan. Suara tertahan keluar dan mulutnya begitu 

melewati kelokan dan memandang ke depan. Tujuh 

langkah di seberang sana, goa berakhir pada satu dinding 

batu. Ujung goa terlihat rata, membentuk sebuah ruangan 

batu berukuran dua kali tiga tombak. Ruangan ini bersih 

sekali seperti ada yang barusan menyapunya. Di sinilah 

dulu dia pernah tinggal bersama Si Muka Bangkai selama 

bertahun-tahun. Kenangan akan masa lalu serta merta 

buyar, berubah dengan rasa kaget luar biasa ketika 

Pangeran Matahari melihat bagaimana di salah satu sudut


ruangan bergelung sosok besar seekor ular hitam berkilat, 

kepala menjulai ke lantai goa, mata terpejam, mulut 

sedikit terbuka. Dan dari mulut inilah keluar suara 

mendengkur keras seperti dengkur manusia! Tubuh ular 

yang berkilat itulah yang memancarkan cahaya menerangi 

sepanjang goa. Untuk beberapa lama Pangeran Matahari 

tegak setengah memicingkan mata karena kesilauan. 

“Ular mendengkur seperti manusia…” Ucap Pangeran 

Matahari dalam hati. Keanehan ini membuat dia berlaku 

waspada dan pentang mata lebar-lebar. Dia masih belum 

melihat lentera yang dikatakan sang guru. Dia juga tidak 

melihat guratan-guratan tulisan seperti yang dikatakan Si 

Muka Bangkai. Pangeran Matahari memandang berkeliling. 

Matanya kembali memperhatikan sosok ular hitam di sudut 

ruangan. Ah! Kali itulah dia baru melihat. Di dalam lingkar 

sebelah dalam gelungan tubuh ular hitam besar terdapat 

satu benda yang bukan lain adalah sebuah lentera. Bagian 

atas lentera terbuat dari bahan tembus pandang semacam 

kaca tebal berwarna merah, kuning dan hitam, diikat oleh 

sejenis logam berwarna hilam, lengkap dengan pegangan 

berbentuk kepala naga. Bagian bawah lentera tidak 

terlihat karena tentutup gelungan tubuh ular hitam. 

“Gila. bagaimana aku mau mengambil lentera? Ular 

besar itu menggelung seperti menjaganya. Si Muka 

Bangkai, dia hanya membuat diriku susah saja. Di dinding 

goa aku sama sekali tidak melihat guratan tulisan seperti 

yang dikatakannya! Guru tidak pernah menyebut perihal 

binatang ini. Apakah ular ini datang begitu saja, kesasar di 

dalam goa karena hujan lebat di luar sana? Atau apakah Si 

Muka Bangkai menipuku. Sebenarnya dia sengaja 

memasang perangkap, ingin membunuhku di tempat ini?!” 

Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam hati 

begitu rupa, tiba-tiba ular hitam besar di sudut ruangan 

keluarkan suara mengorok lebih keras hingga lantai goa 

terasa bergetar. Kepala binatang ini terangkat dan


sepasang mata terbuka sedikit, berputar melirik ke arah 

Pangeran Matahari. Sang Pangeran tercekat sewaktu 

menyaksikan bagaimana dari sepasang mata ular hitam 

besar ada cahaya menyambar. Cahaya kematian! 

Kemudian ular ini kembali lunjurkan kepala di lantal dan 

lanjutkan tidur mendengkurnya! 

“Aku harus dapatkan lentera itu. Bagaimana caranya? 

Apakah aku harus membunuh ular hitam itu terlebih 

dulu?” 

Pangeran Matahari berdiri tak bergerak. Sepasang 

mata menatap ke arah ular hitam sementara otak mulai 

bekerja. Cukup lama dia bersikap seperti itu, perlahan-

lahan Pangeran Matahari turunkan badan, duduk bersila di 

sudut yang berlawanan dengan ular besar hitam yang 

menggelung lentera. Dua telapak tangan dikembangkan, 

lalu diletak ditekankan ke lantai goa. Bersamaan dengan 

itu murid Si Muka Bangkai ini kerahkan tenaga dalam dan 

hawa sakti mengandung kekuatan dahsyat, disalurkan ke 

lantai goa dan diarahkan ke sudut ruangan di 

seberangnya. 

Lantai goa yang dialiri tenaga dalam dan hawa sakti 

yang keluar dari tubuh Pangeran Matahari tampak retak 

mengepulkan asap kemerahan. Retakan dan kepulan asap 

ini bergerak ke arah sudut ruangan dimana ular hitam 

besar bergelung. Lentera di dalam gelungan bergoyang-

goyang. Sesaat kemudian tubuh ular ini kelihatan ikut 

mengepulkan asap. Suara dengkuran serta merta lenyap. 

Sepasang mata membuka. Kepala tersentak naik ke atas 

dan mulut yang tertutup kini menganga. Lidah terjulur 

memancarkan cahaya biru menyilaukan. Dari mulut 

binatang ini kemudian mendadak keluar suara tawa 

panjang. Suara tawa perempuan! 

Jelas sudah binatang ini adalah mahluk jejadian! 

Yang membuat Pangeran Matahari jadi melengak 

kaget bukan hanya karena menyadari bahwa binatang itu


bukan ular sungguhan, atau mendengar tawanya yang 

menggidikkan, tetapi juga karena merasakan bagaimana 

tenaga dalam dan hawa sakti panas yang dikirimkannya ke 

arah ular hitam itu kini membalik mengarah dirinya 

dengan kekuatan berlipat ganda. Retakan di lantai batu 

tampak merah membara saking panasnya. Kepulan asap 

bukan lagi berwarna merah tapi berubah biru pertanda 

panasnya sangat luar biasa! Yang sangat dikawatirkan 

Pangeran Matahari adalah rusaknya lentera akibat hawa 

panas luar biasa. 

“Plaakk!” 

Tiba-tiba ular hitam sentakkan ekor, menghantam 

lantai goa. Saat itu juga hawa panas dan kepulan asap 

biru menyambar dahsyat. Pangeran Matahari berteriak 

keras. Dua tangan dipukulkan. Satu menghantam ke 

depan ke arah ular hitam, satunya lagi untuk 

membuyarkan serangan hawa panas dan kepulan asap 

biru. 

“Buumm!” 

“Buumm!” 

Dua letusan dahsyat menggelegar. Goa batu laksana 

digoncang gempa. Pangeran Matahari terpental sampai ke 

tikungan goa. Dia merasa tubuhnya seperti hancur lebur. 

Rasa sakit menjalar dari ubun-ubun sampai ke jari kaki. 

Namun ternyata dia masih hidup dan mampu berdiri. 

Hanya saja ketika memperhatikan keadaan dirinya, 

tengkuknya langsung dingin. Jubah kelabu yang 

dikenakannya kini telah berubah hitam hangus dan 

mengepulkan asap! Di dalam goa sana terdengar suara 

tawa sang ular, suara tawa perempuan! 

“Aneh, kalau pakaianku hangus seharusnya aku 

mengalami cidera berat. Bahkan bisa mati! Ada satu 

kekuatan melindungi diriku ...” Pangeran Matahari berucap 

dan bertanya-tanya dalam hati. Rasa jerihnya perlahan-

lahan lenyap, berganti dengan rasa percaya diri.


“Pangeran Matahari, aku tahu kedatanganmu kemari 

adalah untuk mengambil lentera. Aku akan memberikan 

padamu asal kau mau menukar dengan sesuatu!” 

Ada orang bicara di dalam goa! Suara perempuan! 

Ular itukah yang mengeluarkan ucapan?! 

Belum lenyap gema suara ucapan di dalam goa, 

Pangeran Matahari telah melompat melewati tikungan dan 

berdiri lima langkah di hadapan ular hitam. 

“Mahluk jahanam! Jejadian siapa kau adanya?! Apa 

maksudmu menukar lentera itu dengan sesuatu?!” 

Pangeran Matahari membentak sambil tangan kiri 

menyiapkan Pukulan Telapak Matahari yang diwarisinya 

dari Si Muka Bangkai sementara tangan kanan siap 

melepas Pukulan Menahan Bumi Memutar Matahari. Ini 

adalah jurus pertahanan sekaligus menyerang yang 

didapatnya dari seorang sakti bernama Singo Abang. 

(Baca Episode berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”) 

Ular hitam angkat kepala lebih tinggi. Dua mata 

memandang berkilat. Lidah menjulur lalu mulutnya 

berucap. 

“Pangeran Matahari. Walau banyak lawan telah 

menggebukmu, walau mukamu sudah menjadi cacat 

buruk, sikap dan ucapanmu masih saja sombong pongah 

seperti dulu! Pasang telingamu baik-baik.Yang aku minta 

sebagai pengganti lentera adalah nyawamu!” 

Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik berkilat. 

Rahang menggembung dan pelipis bergerakgerak. Kepala 

mendongak lalu dia tertawa bergelak. 

“Mahluk jejadian! Ketololan akan membawa celaka 

bagimu! Kau tidak berada di alammu, mengapa berani 

bicara congkak?! Lekas menyingkir dari goa ini atau kau 

akan menerima azab yang akan membuat rohmu 

tergantung lumpuh antara langit dan bumi!” 

Ular di sudut ruangan kembali tertawa panjang.


“Kau tidak tahu indahnya hidup di alam roh. 

Sebaliknya apakah kau pernah merasakan hidup sengsara 

dipendam dua puluh satu tombak di dalam tanah? Hik ... 

hik ... hik! ltulah nasib yang bakal kau alami!” 

Saat itu Pangeran Matahari sudah siap untuk 

menyerang ular di sudut ruangan. Namun dia kawatir 

serangannya akan merusak lentera. Dia harus mencari 

akal. Paling tidak mengulur waktu. 

“Ular betina jejadian! Apakah kekasihmu yang 

menyuruh datang mencari celaka ke tempat ini?!” 

Mendengar ucapan Pangeran Matahari sang ular 

malah tertawa. 

“Kau tidak tahu! Kekasihku adalah dirimu sendiri!” 

Pangeran Matahari melengak kaget dan memaki 

dalam hati. 

“Siapa kau sebenarnya?!” Bentak murid Si Muka 

Bangkai. 

“Aku adalah titisan seseorang.” 

“Seseorang siapa?!” 

“Seorang gadis yang pernah kau permainkan, kau 

jadikan budak nafsu sehingga hamil. Lalu kau bunuh!” 

Kening Pangeran Matahari mengerenyit. Mulut 

ternganga. 

“Binatang keparat! Katakan kau ini titisan siapa?!” 

“Aku adalah Pandan Arum. lngat peristiwa di 

Pangandaran? Di sana kau membunuh aku!” (Baca Episode 

berjudul “Kiamat di Pangandaran”) 

Pangeran Matahari jadi tertegun. Apakah binatang 

jejadian ini tidak menipunya? Benarkah dia titisan Pandan 

Arum, adik Bidadari Angin Timur yang hendak menuntut 

balas melampiaskan dendam kesumat?! 

“Akal ... akal, cerdik ... cerdik! Aku harus punya 

segala daya, akal dan kecerdikan .....” Pangeran Matahari 

berkata dalam hati. Lalu dia mendengus dan berkata. 

“Terlalu banyak manusia yang aku bunuh! Aku tidak ingat


satu persatu! Aku tidak tahu kau ini Pandam Arum yang 

mana! Jika mampu harap perlihatkan ujud dirimu yang 

sebenarnya!” 

“Dajal busuk! Tumpukan dosa keji membuat matamu 

buta dan hatimu menjadi batu! Buka mata lebar-lebar! 

Apa kau masih bisa melihat!” 

Ular di sudut ruangan membuka gelungan, tubuhnya 

naik ke atas. Kepala dan tubuh digoyang tiga kali. Wusss! 

Asap putih mengepul. Saat itu juga sosok ular berubah 

menjadi ujud seorang gadis berpakaian hitam, rambut 

hitam, wajah cantik tapi pucat. Sepasang mata berwarna 

merah membara pertanda ada pancaran dendam kesumat, 

menatap tak berkedip ke arah Pangeran Matahari. 

“Pandan Arum, memang dia ....” Ucap Pangeran 

Matahari dalam hati. Lalu tidak membuang waktu lagi 

karena memang ini kesempatan yang ditunggu, Pangeran 

Matahari hantamkan tangan kiri kanan. Tangan kanan 

melepas Pukulan Tapak Merapi. Tangan kiri melepas 

Pukulan Merapi Meletus. 

Menghadapi dua serangan maut yang bisa 

menghancurkan dirinya dan mampu meruntuh goa 

perempuan di dalam ruangan rangkapkan dua tangan di 

depan dada lalu sepasang mata dikedipkan. 

“Wuss! wusss!” 

Dua larik slnar merah menderu dahsyat. Dua pukulan 

sakti yang dilepas Pangeran Matahari musnah berubah 

menjadi asap tiga warna. Pangeran Matahari sendiri 

terpental jauh, terkapar di lantai goa, mulut kucurkan 

darah. 

“Setan alas, kenapa tidak mampus?! Aku melihat ada 

cahaya aneh keluar dari pinggang manusia jahanam itu! 

Kekuatan pelindung apa yang dimilikinya?!” 

Cahaya aneh berwarna kehijauan yang dilihat 

perempuan itu juga sempat dilihat Pangeran Matahari. Dia 

yakin cahaya itulah yang telah menyelamatkan dirinya


satu persatu! Aku tidak tahu kau ini Pandam Arum yang 

mana! Jika mampu harap perlihatkan ujud dirimu yang 

sebenarnya!” 

“Dajal busuk! Tumpukan dosa keji membuat matamu 

buta dan hatimu menjadi batu! Buka mata lebar-lebar! 

Apa kau masih bisa melihat!” 

Ular di sudut ruangan membuka gelungan, tubuhnya 

naik ke atas. Kepala dan tubuh digoyang tiga kali. Wusss! 

Asap putih mengepul. Saat itu juga sosok ular berubah 

menjadi ujud seorang gadis berpakaian hitam, rambut 

hitam, wajah cantik tapi pucat. Sepasang mata berwarna 

merah membara pertanda ada pancaran dendam kesumat, 

menatap tak berkedip ke arah Pangeran Matahari. 

“Pandan Arum, memang dia ....” Ucap Pangeran 

Matahari dalam hati. Lalu tidak membuang waktu lagi 

karena memang ini kesempatan yang ditunggu, Pangeran 

Matahari hantamkan tangan kiri kanan. Tangan kanan 

melepas Pukulan Tapak Merapi. Tangan kiri melepas 

Pukulan Merapi Meletus. 

Menghadapi dua serangan maut yang bisa 

menghancurkan dirinya dan mampu meruntuh goa 

perempuan di dalam ruangan rangkapkan dua tangan di 

depan dada lalu sepasang mata dikedipkan. 

“Wuss! wusss!” 

Dua larik slnar merah menderu dahsyat. Dua pukulan 

sakti yang dilepas Pangeran Matahari musnah berubah 

menjadi asap tiga warna. Pangeran Matahari sendiri 

terpental jauh, terkapar di lantai goa, mulut kucurkan 

darah. 

“Setan alas, kenapa tidak mampus?! Aku melihat ada 

cahaya aneh keluar dari pinggang manusia jahanam itu! 

Kekuatan pelindung apa yang dimilikinya?!” 

Cahaya aneh berwarna kehijauan yang dilihat 

perempuan itu juga sempat dilihat Pangeran Matahari. Dia 

yakin cahaya itulah yang telah menyelamatkan dirinya


walau mengalami luka dalam yang cukup parah. Pangeran 

Matahari meraba pinggang kiri. Jari-jarinya menyentuh 

sebuah benda. Dia ingat benda itu adalah tabung bambu 

berisi minyak kasturi yang diberikan gurunya Si Muka 

Bangkai. Berarti inilah benda yang memberikan kekuatan 

pelindung maha dahsyat padanya. Tidak pikir panjang lagi 

Pangeran Matahari segera keluarkan tabung bambu dari 

balik jubahnya yang hangus. 

Sepasang mata perempuan di depan sana 

mengerenyit. Dua kaki rnelangkah mundur ketika melihat 

benda yang ada di tangan Pangeran Matahari. 

“Minyak larangan alam roh! Bagaimana bisa berada di 

tangan manusia jahanam itu?!” Perempuan dalam ujud 

gadis bernama Pandan Arum tiba-tiba berkelebat ke sudut 

ruangan, berusaha menyambar lentera. Namun Pangeran 

Matahari bertindak lebih cepat. Dia melompat 

menghadang sambil membuka kayu penutup tabung 

bambu. Tabung di dekatkan ke wajah Pandan Arum. Bau 

harum minyak kasturi serta merta memenuhi ruangan. 

Pandan Arum meraung panjang dan keras. Sosoknya 

memudar lalu berubah jadi asap dan bergelung panjang 

melayang ke arah mulut goa. 

Pangeran Matahari terduduk di lantai. Muka pucat, 

dada berdebar keras. Tabung bambu ditutupnya kembali 

lalu dia beringsut mendekati lentera. Lentera diperhatikan 

dengan seksama, dibolak balik beberapa kali. Pada bagian 

samping bawah yang merupakan dudukan lentera terdapat 

sebuah lobang kecil. Di samping lobang menempel 

sebongkah benda lembut yang ketika diperhatikan lebih 

teliti ternyata adalah lilin. Pangeran Matahari buka kayu 

penutup tabung bambu. Minyak kasturi yang ada dalam 

tabung itu dimasukkan ke dalam lentera lewat lobang 

kecil. Lobang kecil kemudian ditutup dengan lilin yang 

menempel di bagian bawah lentera. Begitu lobang tertutup 

terjadilah satu keanehan.


Perlahan-lahan lentera menyala sendiri, 

mengeluarkan cahaya terang tiga warna. Hitam, kuning 

dan merah. Keadaan di dalam goa menjadi terang 

benderang. 

“Luar biasa, menyala sendiri tanpa disulut api ...” 

ucap Pangeran Matahari penuh kagum. Namun dia masih 

ingin tahu sampai dimana kehebatan lentera ini. Ketika dia 

hendak menyentuh pegangan lentera mendadak lentera 

mengiblatkan tiga sinar ke dinding ruangan. Sinar hitam, 

kuning dan merah. Saat itu juga pada tiga dinding 

ruangan terdapat serangkaian tulisan, tergurat dalam 

warna hitam, kuning dan merah. 

Pada dinding sebelah kanan, terpampang rangkaian 

tulisan merah. 

Jurus pertama Lentera Iblis. 

Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian 

masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang ke depan dan 

ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera diputar ke 

kanan. Cahaya merah akan berkiblat mencari korban. 

!tulah jurus Api Neraka. 

Pangeran Matahari baca sekali lagi tulisan yang 

tergurat di dinding goa sebelah kanan itu. Lalu alihkan 

padangan ke dindirig sebelah kiri. Di situ terpampang 

rangkaian tulisan ke dua, berwarna hitam. 

Jurus ke dua Lentera iblis. 

Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian 

masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang ke depan dan 

ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera diputar ke 

kiri. Cahaya hitam akan berkiblat mencari korban. Itulah 

jurus Api Akhirat. 

Pangeran Matahani menatap lurus ke arah dinding 

ruangan sebelah depan. Di sini tergurat jurus ketiga 

Lentera Iblis dalam warna kuning. 

Jurus ke tiga Lentera Iblis.


Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian 

masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang ke depan dan 

ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera didorong ke 

depan. Cahaya kuning akan berkiblat mencari korban. 

Itulah jurus Liang Lahat Menunggu. 

Pangeran Matahari usap wajahnya. Dia memandang 

seputar ruangan batu. Ketika hendak melangkah 

mengambil lentera baru dia menyadari bahwa di lantai 

ruangan ternyata ada pula serangkaian tulisan, tergurat 

dalam selang seling tiga warna. 

Lentera hanya akan menyala dalam ruangan dan 

malam hari serta ketika bahaya mengancam. Berjalan dan 

mencari mangsa di malam hari. Istirahat di siang hari. 

Lentera Iblis akan menjaga keselamatan diri. Ingat 

pantangan niscaya kuasa rimba persilatan akan berada 

dalam tangan. 

Pangeran Matahari meneliti lagi seputar ruangan. Tak 

ada tulisan atau petunjuk lain. Dia lalu melangkah 

mengambil lentera. Ketika pegangan lentera berada dalam 

genggamannya dia merasa ada hawa aneh menjalar 

memasuki tubuhnya, mendekam di bagian perut lalu 

mengalir ke arah kepala dan ke kaki. 

Sebelum meninggalkan goa, Pangeran Matahari 

membuka jubah kelabunya yang telah hangus lalu dirobek. 

Sebagian robekan digulung dan dibalutkan pada pegangan 

lentera. Ini untuk menjaga agar keringat dan tangannya 

tidak menyentuh pegangan lentera. Selesai mengenakan 

jubah dan celana hitam serta ikat kepala merah Pangeran 

Matahari keluar dan dalam goa. Di luar goa nyala lentera 

langsung meredup lalu padam. Tanpa disadari satu 

kealpaan besar telah dilakukan manusia segala akal segala 

cerdik ini. Dia lupa menghapus semua tulisan pada dinding 

dan lantai goa! Padahal gurunya Si Muka Bangkai telah 

sangat memesan dan mengingatkan hal itu


*** 

Selang setengah hari setelah Pangeran Matahari 

meninggalkan goa di puncak utara Gunung Merapi, 

menjelang matahari menggelincir memasuki ufuk 

tenggelamnya, seorang perempuan tua berpakaian biru 

gelap berambut panjang awut-awutan berkelebat di depan 

mulut goa. Mukanya yang putih menjadi pertanda bahwa 

dia adalah Nyi Bodong pendatang baru rimba persilatan 

yang belakangan ini tengah mengejar manusia keji 

berjuluk Hantu Pemerkosa yang diyakininya adalah 

Pangeran Matahari. 

Bagian dalam goa tampak gelap. Namun tanpa ragu 

Nyi Bodong terus saja melangkah masuk. “Untung Kiai 

memberiku ilmu melihat di dalam gelap.” Nyi Bodong 

membatin. 

Memasuki goa Nyi Bodong melihat jejak-jejak kaki 

yang masih basah di lantai. Dada si nenek berdebar. Di 

satu tempat dia menemukan sisa sobekan jubah kelabu 

teronggok di lantai goa. “Aku terlambat lagi. Dia memang 

ada di tempat ini sebelumnya.” 

Nyi Bodong kecewa besar. 

Begitu melewati tikungan dalam goa, walau 

penglihatannya agak redup namun Nyi Bodong mampu 

melihat empat rangkaian guratan tulisan pada tiga dinding 

serta lantai goa. Sementara hidungnya mencium wangi 

minyak kasturi. 

“Lentera lblis.....” ucap Nyi Bodong perlahan. “Di 

dinding ada petunjuk tiga jurus kematian mengandalkan 

lentera. Aku punya dugaan ada bahaya baru dalam rimba 

persilatan. Kemana aku harus mengejar?. “ 

Nyi Bodong jongkok di lantai goa. Telapak tangan 

kanannya diletakkan di atas jejak kaki yang ada dilantai. 

Ketika dia mengalirkan hawa sakti ke atas jejak kaki, di 

lereng gunung sebelah selatan. Pangeran Matahari yang


tengah berlari cepat merasa sesuatu menyengat telapak 

kaki kanannya hingga dia nyaris tersungkur di tanah. 

Bersamaan dengan itu Lentera lblis yang ada dalam 

buntalan jubah kelabu mendadak menyala terang. Di 

dalam goa kini Nyi Bodong merasakan datangnya 

serangan balik. Lantai yang masih ditempeli tangan 

kanannya mengepulkan asap. Tangan terpental, tubuh 

terdorong keras, tersandar ke dinding goa. 

“Bahaya besar! Apakah aku perlu memberi tahu Kiai 

sebelum melakukan pengejaran?” Nyi Bodong berdiri agak 

terhuyung. Lalu nenek muka putih ini dengan cepat 

tinggalkan tempat itu. Di satu tempat ketinggian dimana 

dia dapat melihat jelas goa bekas kediaman Si Muka 

Bangkai itu, Nyi Bodong berhenti. Dua kaki dikembang. 

Tangan kiri di angkat sebatas kepala, telapak di arahkan 

ke goa. Dari mulut melesat keluar suara raungan seperti 

lolong srigala. Sunyi sesaat lalu terdengar suara tawa 

cekikikan. Tangan kanan Nyi Bodong bergerak menyingkap 

bagian perut pakaian birunya. Pusar bodong tersembul. 

“Wuss! Wusss!” 

Dua sinar biru berkiblat. Hanya dalam satu kejapan 

mata, goa di bawah sana runtuh dan hancur. Longsoran 

tanah-serta tumbangan pepohonan bergemuruh 

menimbun. Goa yang punya peran penting dalam rimba 

persilatan tanah Jawa itu kini lenyap untuk selama-

lamanya. 

-- << >>



TIGA


SANG SURYA masih belum menyembul di ufuk timur 

namun di hutan jati itu cuaca sudah terang-terang 

tanah. Di bawah sebuah pohon besar Djaka Tua 

sibuk membelah batangan-batangan bambu. Hujan besar 

yang turun malam tadi membuat gubuk beratap rumbia 

yang dihuninya bersama Nyi Retno Mantili dan Kemuning 

mengalami bocor di beberapa tempat. Kawatir hujan akan 

turun lagi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun, mencari 

bambu dan dedaunan besar untuk memperbaiki atap yang 

bocor. 

Sementara bekerja kicau burung terdengar bersahut-

sahutan. Membelah bambu mengingatkan bekas pembantu 

Tumenggung Wira Bumi itu pada kejadian ketika dirinya 

ditangkap oleh Nyai Tumbal Jiwo. Ditotok lalu dijepit di 

rerumpunan bambu di tembok selatan gedung kediaman 

Wira Bumi yang waktu itu telah menjabat sebagai 

Bendahara Kerajaan. Untung dirinya diselamatkan Nyi 

Retno. Itu sebabnya pembantu ini mengangkat sumpah 

dalam hati, kemanapun Nyi Retno pergi dia akan selalu 

mengikuti. Apapun yang terjadi dia akan membela walau 

harus menumpah darah menyerahkan nyawa. 

Terdengar suara berkereketan. Pintu gubuk terbuka. 

Nyi Retno Mantili keluar sambil menggendong Kemuning, 

boneka kayu yang dianggapnya sebagai anaknya yang 

hilang. 

“Sepagi ini kau sudah sibuk. Apa yang kau kerjakan?” 

bertanya Nyi Retno. 

“Hujan malam tadi lebat sekali.Atap gubuk kita 

banyak yang bocor. Harus cepat diperbaiki. Saya kawatir 

hujan turun lagi. Kasihan si kecil Kemuning kalau sampai 

terkena tirisan air hujan. Dia bisa sakit.”


Nyi Retno tersenyum. Walau sampai saat itu 

pikirannya masih tidak waras namun ada kalanya ucapan 

yang menyentuh hati membuatnya larut walaupun hanya 

untuk beberapa saat. 

Djaka Tua tahu, sudah beberapa hari Nyi Retno tidak 

pergi mandi ke telaga kecil tak jauh dari situ. Maka diapun 

bertanya. “Den Ayu, apa pagi ini Den Ayu akan mandi di 

telaga bersama Kemuning?” Djaka Tua selalu memanggil 

majikannya itu Den Ayu karena kalau dipanggil dengan 

nama Nyi Retno Mantili, perempuan muda yang terganggu 

jalan pikirannya itu selalu marah karena katanya namanya 

bukan Nyi Retno Mantili. 

“Uh, mandi di udara sedingin begini? Bisa sakit 

anakku. Entah kalau siangan nanti.” Nyi Retno Mantili 

menggeliat, mendekap boneka kayu lalu berkata. 

“Sebetulnya atap itu tidak dibetulkanpun tidak jadi apa. 

Bukankah kita selalu berpindah-pindah tempat tinggal? 

Katamu untuk menjaga keamanan dan keselamatan. 

Padahal aku tidak takut pada siapapun! Selama ini aku 

hanya mengikuti kemauanmu. Sebenarnya mengapa kita 

selalu berpindah-pindah? Aku sudah betah tinggal di 

gubuk itu. Udara di sini bagus. Ada telaga. Dan selama ini 

tidak ada mahluk yang mengusik kita.” 

“Saya mengerti Den Ayu. Tapi belakangan ini di 

luaran banyak orang jahat berkeliaran,” jawab Djaka Tua. 

Dia menatap perempuan malang itu seketika lalu 

menyambung ucapannya. “Den Ayu, terakhir kali saya ke 

pasar tiga hari lalu, saya mendengar kabar. Tumenggung 

Wira Bumi yang belum lama menjadi Bendahara Kerajaan 

sekarang telah diangkat menjadi Patih Kerajaan ...” 

“Ceritamu itu tidak ada artinya bagiku. Siapa Wira 

Bumi? Apa itu Tumenggung? Apa itu Bendahara Kerajaan? 

Apa pula itu Patih Kerajaan?” 

Djaka Tua terdiam. Kembali hatinya merasa sedih 

karena sampai saat itu jalan pikiran Nyi Retno masih


belum jernih. Gangguan jiwanya terlalu dalam dan parah. 

lngin dia menerangkan bahwa Raden Mas Wira Bumi yang 

sekarang menjadi Patih Kerajaan itu adalah suaminya. 

Namun pembantu ini takut akan didamprat Nyi Retno. 

Yang paling dikawatirkannya kalau-kalau keterangannya 

nanti akan membuat perempuan malang itu bertambah 

parah sakit jiwanya. Kalau saja Raden Mas Wira Bumi 

tidak menuntut ilmu sesat pada Nyai Tumbal Jiwo, tidak 

akan begini nasib perempuan muda yang masih belum 

sampai berusia tujuh belas tahun itu. 

Sedikit demi sedikit sang surya menyembul di ufuk 

terbitnya. Cuaca perlahan-lahan menjadi terang. 

“Den Ayu, selesai membetulkan atap saya bermaksud 

pergi ke pasar. 

Persediaan makanan kita hanya cukup untuk satu 

hari.” 

“Ya, pergilah. Jangan lupa membeli pisang untuk 

Kemuning. Aku akan mengambil uang ...” 

Setiap ke pasar Djaka Tua memang membeli pisang. 

Pisang yang katanya untuk Kemuning tentu saja tidak 

pernah dimakan boneka kayu itu hingga akhirnya selalu 

tinggal membusuk. 

“Tidak usah Den Ayu. Sisa uang belanja tempo hari 

masih ada,” jawab Djaka Tua. 

“Kalau begitu, sebelum kau pergi ke pasar ada 

baiknya aku dan Kemuning mandi dulu di telaga.” Habis 

berkata begitu sambil bernyanyi-nyanyi menggendong 

boneka kayu Nyi Retno Mantili melangkah pergi. Tapi dia 

bukannya menuju telaga. Ketika melewati satu pohon 

besar yang salah satu cabangnya meliuk rendah, 

perempuan ini enak saja melesat ke atas dan sesaat 

kemudian dia sudah duduk berjuntai di atas cabang 

pohon, boneka kayu digendong diayun-ayun. Lnilah 

kehebatan yang dimiliki Nyi Retno berkat ilmu yang 

diberikan Kiai Gede Tapa Pamungkas padanya. Walau


pikirannya tidak waras namun dengan kuasa Tuhan dia 

memiliki kemampuan untuk menyerap beberapa ilmu 

kepandaian yang dimasukkan sang Kiai ke dalam 

tubuhnya. 

Sambil duduk uncang-uncang kaki Nyi Retno Mantili 

mulai menyanyi. Sebenarnva Djaka Tua selalu merasa 

kawatir setiap kali Nyi Retno menyanyi. Dia takut ada 

orang mendengar, mendatangi lalu menyelidiki atau 

berbuat jahat. Bagaimanapun juga meski pikiran 

terganggu, keadaan tidak terawat, namun kecantikan Nyi 

Retno Mantili tidak pupus. Sekali melihat wajahnya orang 

pasti akan tertarik. Apa lagi yang namanya mata lelaki! 

*** 

WALAU cuaca buruk, hujan gerimis turun dan pasar 

becek namun tetap saja Pasar lmogiri ramai dikunjungi 

orang. Selesai membeli barang belanjaan, untuk melepas 

haus dan mengurangi rasa lelah serta dingin Djaka Tua 

menyempatkan diri minum air serbat di salah satu sudut 

pasar. Minuman hangat itu membuat tubuhnya segar 

keringatan. Caping bambu yang sejak tadi menempel di 

kepala dibuka sebentar untuk mengusap rambut serta 

keningnya yang basah oleh keringat. 

Hanya terpisah beberapa belas langkah dari tempat 

Djaka Tua minum serbat ada sebuah kedai makanan yang 

selalu ramai pengunjung. Dua orang di antara para tamu 

yang sarapan di tempat itu adalah perajurit Keraton yang 

pernah bertugas di gedung kediaman Wira Bumi semasa 

masih menjadi Tumenggung. Saat itu keduanya sedang 

bebas tugas satu hari dan tidak mengenakan pakaian 

keperajuritan. Salah seorang dari mereka sejak tadi 

memperhatikan Djaka Tua yang asyik menikmati serbat 

hangat. Saat itu Djaka Tua telah membuka caping 

bambunya sehingga wajahnya terlihat lebih jelas. Perajurit


yang satu ini kemudian menyikut rusuk temannya dan 

berkata. 

“Gondo, coba kau perhatikan lelaki yang sedang 

minum serbat itu. Aku sangat mengenali wajahnya. 

Bukankah dia Djaka Tua pembantu di gedung 

Tumenggung tempat kita pernah bertugas dulu?” 

Perajurit bernama Gondo memandang ke arah yang 

ditunjuk kawannya, memperhatikan lelaki berusia sekitar 

setengah abad yang duduk di bangku panjang tengah 

minum serbat. Sebuah caping terletak di pangkuan. Di 

alas bangku di sebelahnya ada sebuah keranjang berisi 

barang belanjaan. 

“Supat, tampang dan potongan badannya memang 

sama dengan Si Djaka Tua,” berkata Gondo. “Tapi orang 

ini tidak memiliki punuk di punggungnya” 

“Walau ini memang aneh.” kata perajurit bernama 

Supat. “Tapi aku tetap yakin dia Djaka Tua pembantu di 

Gedung Tumenggung dulu. 

Bagaimana kalau kita menyelidiki. .Jika dia memang 

Djaka Tua dan kita bisa menangkapnya, pasti akan 

mendapat hadiah besar dari Raden Mas Wira Bumi. Apa 

lagi beliau sudah menjadi Patih Kerajaan. Bagaimana kalau 

kita tangkap dia sekarang juga?” 

“Tunggu dulu, jangan kesusu. Menangkapnya soal 

gampang. Dia dikabarkan telah mencuri bayi Nyi Retno 

Mantili, istri Raden Mas Wira Bumi. Kalau diam-diam kita 

mengikutinya, besar kemungkinan dia akan membawa kita 

ke tempat dimana bayi itu disembunyikan. Kalau kita 

mendapatkan bayi itu hadiah dari Raden Mas Wira Bumi 

akan berlipat ganda. Malah tidak mustahil kita akan 

mendapat kenaikan pangkat istimewa.” 

“Aku setuju jalan pikiranmu,” kata Supat. “Lihat, dia 

sudah membayar tukang serbat. Ayo kita ikuti.” 

***


DJAKA TUA bukan tidak tahu kalau ada dua orang 

berbadan tegap mengikutinya sejak dia meninggalkan 

Pasar Imogiri. Dia tidak mau berpaling ke belakang untuk 

memperhatikan wajah. Namun dari potongan tubuh dua 

penguntit dia yakin mereka adalah perajurit Kerajaan. Jika 

orang menguntit dirinya pasti ada yang diincar atau 

hendak diselidiki. Pembantu ini cukup cerdik. Kalau hutan 

jati tempat beradanya gubuk kediaman Nyi Retno Mantili 

terletak di sebelah timur maka saat itu dia sengaja 

berjalan ke arah barat. 

Setelah sekian lama dan jauh mengikuti, orang yang 

dikuntit tidak sampai-sampai ke tempat tujuan, Gondo dan 

Supat mulai curiga. Dua perajurit Keraton ini langsung 

saja mengejar dan menghadang jalan Djaka Tua. 

Djaka Tua pura-pura terkejut. 

“Kalian ini begal atau apa? Aku tidak punya barang 

berharga untuk dirampok.” Ucap Djaka Tua. 

“Setan alas! Kami bukan begal bukan perampok!” 

bentak Gondo. “Kami ingin menyelidik siapa kau adanya!” 

“Dulu kau punya punuk di punggungmu! Sekarang 

tidak ada lagi. Apa yang terjadi dengan dirimu?!” 

Menyambung Supat dengan bentakan pula. 

“Ada-ada saja kalian. Aku tidak pernah punya punuk 

di punggung.” Jawab Djaka Tua. “Kalau kalian mau 

mencari orang berpunuk pergilah ke desa Getas di kaki 

selatan Gunung Merbabu. Kabarnya di sana banyak lelaki 

perempuan yang punya punuk di punggungnya.” 

Supat dan Gondo menyeringai. 

“Kau pandai bicara!” ucap Gondo lalu merampas 

keranjang di tangan kiri Djaka Tua, memeriksa isinya. 

“lni belanjaan dapur. Untuk siapa kau membeli?!” 

Bentak Gondo. 

“Aku yang belanja. Tentu saja untuk keperluanku 

sendiri di rumah!


“Jadi kau punya rumah! Nanti tunjukkan pada kami 

dimana rumahmu!” Berkata Supat sambil tepuk-tepuk 

bahu Djaka Tua. 

“Di dalam keranjang ada pisang. Untuk siapa? 

Makanan bayi?” Gondo menanyai dengan pandangan mata 

garang. 

“Aku tidak punya bayi.” 

“Tentu saja karena kami tahu kau adalah perjaka 

tua!” hardik Gondo. “Jangan bersandiwara. Kau kira kami 

tidak tahu siapa dirimu! Kau adalah Djaka Tua, dulu 

pembantu di Gedung Tumenggung Wira Bumi. Kami 

mengenalimu karena pernah bertugas beberapa hari di 

sana.” 

Walau dadanya berdebar karena orang sudah tahu 

pasti siapa dirinya namun Djaka Tua pura-pura tersenyum 

dan gelengkan kepala berulang kali. “Keliru. Keliru sekali. 

Namaku Lor Arta bukan Djaka Tua. Aku tidak pernah 

bekerja di Gedung Tumenggung.” 

“Dusta! Kau kira bisa mempermainkan kami?! Kau 

tengah menuju ke satu tempat. Tapi sengaja berputar-

putar untuk menipu kami! Sekarang juga bawa kami ke 

tempat kediamanmu. Kau mencuri bayi Raden Mas Wira 

Bumi! Pisang dalam keranjang itu pasti untuk makanan 

bayi! Dimana bayi itu kau sembunyikan hah!” 

“Makin bingung aku mendengar ucapan kalian 

berdua. Bayi? Bayi apa? Siapa Raden Mas Wira Bumi aku 

juga tidak tahu. Aku ingin melanjutkan perjalanan. Harap 

jangan membuat susah orang desa seperti aku ini.” 

Supat dan Gondo tertawa gelak-gelak. 

“Pandainya kau bersandiwara, Djaka Tua. Apa aku 

copot dulu salah satu tanganmu baru kau mau bicara 

betul?!” Supat rnengancam sambil menghampiri Djaka Tua 

lalu menyambar tangan kiri pembantu itu dan 

memelintirnya ke punggung hingga Djaka Tua merintih 

kesakitan

“Kau bakal tambah sengsara kalau terus menipu 

kami. Sekarang juga tunjukkan di mana tempat 

kediamanmu! Kalau kau berani menipu atau melarikan diri 

akan kami tanggalkan anggota badanmu satu persatu!” 

“Aku tidak punya salah apa-apa. Tuduhan kalian 

dibuat-buat! Dari pada menganiaya diriku mengapa tidak 

membunuhku sekarang juga?!” 

Djaka Tua sudah nekad. Dia lebih baik mati dibunuh 

orang dari pada memberi tahu dimana tempat 

kediamannya yang berarti sama dengan membuka rahasia 

dimana beradanya Nyi Retno Mantili. 

“Hebat! Berani menantang! Rasakan dulu ini!” 

Tangan kanan Gondo berkelebat. Satu jotosan keras 

mendarat di ulu hati Djaka Tua. Caping di kepala Djaka 

Tua terlempar. Tubuhnya yang kecil terlipat ke depan. Dari 

mulutnya keluar suara jeritan keras lalu muntahkan darah 

segar! 

“Manusia-manusia jahat! Mengapa tidak 

membunuhku saja ...” ucap Djaka Tua dengan suara 

parau, muka pucat dan darah berselomotan di mulut dan 

dagu. 

Supat jambak rambut Djaka Tua lalu 

menyentakkannya ke atas hingga lelaki berusia setengah 

abad ini tertegak terhuyung. 

“Gondo! Hajar mulut dustanya biar dia tahu rasa!” 

Mendengar ucapan kawannya, Gondo segera 

layangkan satu jotosan keras ke muka Djaka Tua, tepat di 

arah mulut dan hidung. 

“Praakk!” 

Djaka Tuak menjerit keras. Tulang hidung patah, bibir 

atas pecah. Darah mengucur. Supat lepaskan 

jambakannya, Djaka Tua langsung roboh ke tanah, 

mengerang tersengal-sengal, menahan rasa sakit luar 

biasa.


Jeritan keras Djaka Tua tadi sempat terdengar oleh 

dua orang yang kebetulan lewat di tempat itu. 

Gondo jongkok di samping Djaka Tua. 

“Bagaimana rasanya? Kau akan lebih sengsara kalau 

tanganmu ini aku tanggalkan dari persendian. Mau 

memberi tahu dimana tempat kediamanmu atau tidak? 

Dimana kau sembunyikan bayi itu?!” Gondo cekal 

pergelangan tangan kanan Djaka Tua erat-erat. 

“Aku mau kau membunuhku saat ini juga ...” jawab 

Djaka Tua. Suaranya parau karena ada ludah campur 

darah di mulutnya. Pembantu ini memilih mati dari pada 

membuka rahasia. 

“Manusia tolol! Kau memilih sengsara!” Gondo pelintir 

pergelangan tangan Djaka Tua. Ketika dia hendak 

membetot tangan itu tiba-tiba sepotong patahan ranting 

melesat di udara lalu menancap di punggung kanan 

Gondo. Perajurit Keraton ini menjerit setinggi langit. Kaget 

dan sakit. Tubuh terhuyung, cekalannya terlepas dari 

pergelangan tangan Djaka Tua. Supat berteriak marah. 

Berpaling ke belakang dia melihat dua orang melangkah 

mendatangi sambil cengar cengir. Yang di sebelah kanan 

seorang kakek berkepala setengah gundul, mata dan 

kuping lebar, mengenakan celana gombrong basah kuyup 

di sebelah bawah. Orang kedua seorang pemuda berambut 

gondrong, berpakaian serba putih, berjalan cengar cengir 

sambil garuk-garuk kepala! 

“Kurang ajar! Siapa diantara kalian yang barusan 

melempar ranting melukai temanku!” bentak Supat 

sementara Gondo terduduk di tanah. Darah membasahi 

bagian belakang bajunya setelah tadi dengan paksa dia 

mencabut patahan ranting yang menancap di 

punggungnya. 

“Aku orangnya!” menjawab si kakek yang bukan lain 

adalah Setan Ngompol sambi! angkat tangan kiri lalu 

telapak diulap-ulapkan. “Memangnya kau mau juga? Aku


masih ada sepotong ranting lagi!” Setan Ngompol 

goyangkan patahan ranting yang ada di tangan kanan lalu 

tertawa mengekeh. 

Dijawab dan disikapi begitu rupa Supat jadi berang. 

Dia melompat menyerbu si kakek. Tinjunya menderu deras 

ke muka Setan Ngompol. 

“Bukkk!” 

“Huuwee!” Setan Ngompol meledek sambil julurkan 

lidah. 

Tinju Supat tenggelam ke dalam telapak tangan kiri 

yang dipakai menangkis oleh Setan Ngompol. Lima jari 

tangan si kakek mencengkeram lalu berputar. 

“Terbang!” Setan Ngompol berteriak keras. Kencing 

terpancar. 

Supat merasa tangan dan tubuhnya disentak keras. 

Saat itu juga tubuh tinggi besar perajurit Keraton ini 

benar-benar terbang melesat ke udara sampai setinggi 

dua tombak. Walau memiliki dasar ilmu silat yana cukup 

baik namun seumur hidup baru sekali itu Supat mengalami 

dilempar lawan ke udara. Akibatnya dia jadi kelagapan 

tunggang langgang dan tak mampu mencari selamat. 

Supat terbanting bergedebuk, jatuh punggung di tanah! 

Pemuda yang muncul bersama Setan Ngompol, si 

rambut gondrong berpakaian serba putih yang tentunya 

adalah Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak 

sambil menunjuk-nunjuk ke arah Supat yang tergeletak di 

tanah. Rupanya perajurit ini cukup kuat juga. Setelah 

nanar terdiam beberapa lama dia mulai bergerak lalu 

bangkit berdiri. Muka kelam membesi, tubuh bergetar 

tanda hawa amarah yang menggelegak. Sementara itu 

dalam keadaan hidung dan mulut cidera berat serta 

menahan sakit Djaka Tua masih sempat memperhatikan 

apa yang terjadi. Dalam hati dia bertanya-tanya siapa 

adanya kakek dan pemuda yang telah menyelamatkan 

dirinya itu.


“Tua bangka jahanam! Kau dan kawanmu mencari 

mati! Kalian tidak tahu siapa kami! Kami adalah perajurit-

perajurit Keraton di Kotaraja!” Supat berteriak keras. 

“Aha! Jadi kalian ini aparat Kerajaan rupanya. Lalu 

mengapa enak saja menyiksa orang ?!“ tanya Setan 

Ngompol sambil dua tangan berkacak pinggang. 

“Apa yang kami lakukan adalah urusan kami! jangan 

berani ikut campur! Kalian berdua lekas minggat dari 

tempat ini!” Gondo membentak. Perajurit yang terluka 

pada punggungnya ini sudah mampu berdiri walau 

terhuyung-huyung dan muka pucat. 

“Dua keparat tidak tahu juntrungan! Manusia yang 

kami hajar itu adalah penculik bayi Patih Kerajaan! Kalian 

hendak melindunginya? Kalian berdua akan kami buat 

busuk dalam penjara!” teriak Supat. 

“Seorang bertubuh kecil, bertampang tolol begini rupa 

dituduh menculik bayi Patih Kerajaan. Dihajar habis-

habisan. Luar biasa! Bagaimana menurutmu, Wiro?” Setan 

Ngompol delikkan mata pada Supat yang barusan bicara 

lalu berpaling pada Pendekar 212. 

Murid Sinto Gendeng pencongkan mulut, menggaruk 

kepala lalu menjawab. “Luar biasa! Aku tidak percaya dia 

penculik!” 

“Manusia-manusia sinting! Kepala kalian pantas 

dipisahkan dari badan!” teriak Supat. Lalu dari balik 

pakaian gombrongnya dia menghunus sebilah golok 

pendek. Senjata ini tampak angker karena warnanya tidak 

berkilat tapi hitam penuh karatan. Menurut orang yang 

tahu warna hitam serta karatan itu adalah bekas darah 

orang yang pernah dibunuh Supat, tidak diseka dibiarkan 

kering sendiri. 

Selain memiliki ilmu silat tangan kosong, Supat juga 

menguasai ilmu memainkan golok yang disebut “Tiga 

Jurus Rajawali Terbang”. Selama ini telah banyak lawan 

yang roboh dihajar goloknya. Namun dia tidak tahu tengah


berhadapan dengan siapa ketika dia menyerbu ke arah 

Setan Ngompol. Seharusnya ketika tadi dirinya dibuat 

terbang oleh si kakek dia sudah tahu diri. Namun amarah 

membuat dia tidak mampu berpikir jernih, juga temannya 

yang bernama Gondo. 

“Tabas lehernya Supat! Cincang tubuhnya!” teriak 

Gondo memberi semangat. 

Golok di tangan kanan Supat berkelebat ganas. 

Menderu deras mengarah kepala Setan Ngompol dalam 

kecepatan luar biasa. Perajurit Keraton ini terperangah 

ketika Tiga Jurus Rajawali Terbang yang diandalkannya 

lewat begitu saja tanpa senjatanya mampu menyentuh 

lawan, apa lagi menabas leher dan mencincang! Untuk 

beberapa saat lamanya dia tegak tertegun, memandang ke 

arah golok lalu ke arah Setan Ngompol. Akan halnya 

Gondo, menyaksikan apa yang terjadi otaknya mulai 

bekerja dan tengkuknya serta merta menjadi dingin. 

“Kek, kita tidak punya waktu lama di tempat ini. 

Bagaimana kalau perajurit yang barusan menyerangmu 

dengan golok kita beri hadiah minuman kehormatan?” 

Mendengar ucapan Wiro, Setan Ngompol tertawa 

bergelak. 

“Aku setuju saja. Memang sudah lama aku tidak 

berbuat kebajikan memberikan hadiah. Silahkan kau yang 

mengatur!” kata si kakek pula. 

Ketika Wiro melangkah cepat ke arahnya Supat serta 

merta menyambut dengan serangan golok. Orang yang 

diserang bergerak kian kemari. Senjata Supat hanya 

menyambar udara kosong. Ketika Supat nekad 

melanjutkan serangan tiba-tiba satu totokan mendarat di 

paha kirinya. Lutut kiri perajurit ini goyah. Sesaat 

kemudian dia roboh ke tanah. Tubuhnya sebelah kiri mulai 

dari bahu sampai ke kaki mendadak sontak lumpuh tak 

mampu digerakkan. Wiro angkat kaki kiri lalu diinjakkan


ke leher Supat. Tidak keras tapi cukup membuat mulut 

Supat terbuka lebar. 

“Mana minumannya Kek?” tanya Wiro sambil senyum-

senyum. 

“Jahanam! Kalian mau apakan diriku?!” teriak Supat. 

“Tenang saja sobat! Kau bakal dapat minuman paling 

sedap di dunia!” kata Wiro pula. “Kek?!” 

“Siap! Tinggal dikucurkan!” jawab Setan Ngompol. 

Lalu kakek ini melangkah mendekati Supat. Kaki kiri di 

angkat di arah atas kepala, ujung celana yang basah lepek 

tepat berada di atas mulut perajurit itu. Pantat digoyang 

diogel-ogel. Mata dikedap-kedip. Mulut mengedan-edan. 

Sesaat kemudian serrr ... serrr .... serrr! Air kencing si 

kakek mengucur kebawah, melewati kaki celana kiri lalu 

serr ...gluk-gluk-gluk masuk ke dalam mulut Supat. 

Perajurit Keraton itu memaki habis-habisan. Namun 

semakin keras dia berteriak semakin banyak air kencing 

Setan Ngompol yang masuk ke dalam mulutnya hingga dia 

tercekik-cekik! Sementara Supat tersiksa setengah mati 

Wiro dan Setan Ngompol tertawa gelakgelak. 

Gondo yang menyaksikan apa yang terjadi dengan 

temannya karuan saja jadi ketakutan setengah mati. 

Dirinya mungkin akan jadi korban ke dua. Lebih baik 

digebuk babak belur dari pada dicekok diminumi air 

kencing begitu rupa. Perutnya mendadak merasa mual, 

seperti mau muntah. Tidak menunggu lebih lama dia 

segera kabur meninggalkan tempat itu secepat yang bisa 

dilakukannya. Sementara itu Djaka Tua yang menyaksikan 

hal itu walau dirinya berada dalam keadaan cidera dan 

sakit mau tak mau selain heran juga merasa geli. 

“Cukup Kek?” “ tanya Wiro. 

“Tunggu, masih ada yang kental,” jawab Setan 

Ngompol. 

Suara caci maki Supat tidak terdengar lagi. Berganti 

dengan suara seperti orang mengorok. Lalu perajurit ini


semburkan muntah. lsi perutnya serasa mau terbongkar. 

Wiro turunkan kaki dari atas leher Supat. Setan Ngompol 

juga turunkan kaki kirinya ke tanah. 

“Bagaimana? Enak?!” tanya Wiro. 

“Mau lagi?!” tanya Setan Ngompol seraya melirik ke 

arah Gondo. Melihat orang memperhatikan dirinya, Gondo 

tidak menunggu lebih lama. Serta merta perajurit Keraton 

satu ini putar tubuh dan lari lintang pukang dari tempat 

itu. 

“Hak .. huk ... hak ... huk .... Hueekkk!” 

Supat kembali semburkan muntah. Kelumpuhan pada 

tubuhnya sebelah kiri lenyap. Setelah menungging-

nungging dia berusaha berdiri walau terhuyung-huyung. 

Melihat temannya kabur dia akhirnya melakukan hal yang 

sama. Ambil langkah seribu meski larinya tersaruk-saruk. 

Djaka Tua menyeka darah yang membasahi muka 

sekitar hidung dan mulut lalu berdiri. Sambil memegangi 

perutnya yang bekas dijotos pembantu yang malang ini 

melangkah mendekati Wiro dan Setan Ngompol lalu 

jatuhkan diri di hadapan ke dua orang itu. 

-- << >>



EMPAT



"KAKEK dan Raden berdua, saya Djaka Tua, 

sangat berterima kasih atas pertolongannya. 

Kalau tidak diselamatkan niscaya saat ini saya 

sudah menemui ajal ditangan dua orang perajurit Keraton 

tadi.” Suara Diaka Tua tersengal bindeng akibat cidera di 

hidungnya. Begitu terhenti bicara darah mengucur dari 

hidung. Dia berusaha membungkuk. Tapi tubuhnya 

menghuyung, hampir terjerambab ke tanah kalau tidak 

bahunya cepat ditahan Setan Ngompol. 

“Duduk saja di tanah. Tidak perlu berlutut di hadapan 

kami,” kata Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu dia menotok 

jalan darah di pelipis dan leher Djaka Tua. Darah yang tadi 

mengucur di hidung serta merta berhenti. Rasa sakit 

akibat cidera pada hidung serta mulut perlahan-lahan 

terasa jauh berkurang. 

“Terima kasih ... Saya benar-benar berhutang budi 

besar pada Raden ....” Setelah ditotok suara Djaka Tua 

tidak bindeng lagi. 

“Namaku Wiro. Tidak usah memanggil dengan 

sebutan Raden segala. Kakek ini biasa dipanggil Setan 

Ngompol.” 

“Saya sangat berterima kasih ...” Djaka Tua angguk-

anggukkan kepala. Dua matanya tampak berkaca-kaca. 

“Mengapa dua orang perajurit Keraton itu hendak 

membunuhmu?” bertanya Setan Ngompol. “Betul kau 

menculik bayi Patih Kerajaan?” 

Djaka Tua duduk bersila di tanah, tak segera 

menjawab. Walau dua orang itu telah menyelamatkannya 

namun dia masih belum tahu siapa mereka adanya. Rasa 

kawatir membuat dia tidak mau membalas budi baik orang 

dan hutang nyawa dengan menjawab secara jujur.


“Jika dia tidak mau bicara kita pergi saja dari sini. 

lngat Kek, kita masih banyak urusan yang harus 

dikerjakan.” Kata Wiro. 

“Ra ... Wiro, tunggu. Jangan tinggalkan saya di 

tempat ini. Mengingat budi pertolongan yang sudah saya 

terima tentu saja saya akan akan menceritakan. Tapi saya 

ingin tahu lebih dulu siapa adanya sahabat berdua. Apa 

yang akan saya ceritakan merupakan taruhan nyawa. 

Taruhan nyawa saya sendiri dan seorang lain yang harus 

saya lindungi keselamatannya.” 

“Kalau kau ingin tahu, kami berdua adalah orang. 

orang gila rimba persilatan. Apakah keterangan itu cukup 

membuat kau mau bicara?!” Ucap murid Sinto Gendeng 

pula. 

Djaka Tua terdiam. Dia sering mendengar bahwa 

orang-orang rimba persilatan berkepandaian tinggi ada 

kalanya menunjukkan sikap serta penampilan aneh. 

Dengan suara perlahan Djaka Tua berkata. “Saya memang 

menculik bayi Raden Mas Wira Bumi. Waktu itu beliau 

masih menjabat sebagai Tumenggung. Sekarang kabarnya 

sudah menjadi Patih Kerajaan. Semua masalah yang saya 

hadapi bermula ketika saya datang ke Goa Girijati untuk 

memberi tahu bahwa istri Raden Mas Wira Bumi sudah 

melahirkan seorang bayi perempuan ...” 

“Wong edan! Ternyata kau lebih gila dari kami! 

Mengapa berani-beranian menculik bayi seorang pejabat 

tinggi Kerajaan?” tanya Setan Ngompol pula sambil usap-

usap perut. 

“Bapak tua ....” 

“Panggil saya Djaka Tua,” kata Djaka Tua pada Wiro. 

“Djaka Tua, ada orang yang menyuruhmu menculik 

bayi itu?” tanya Wiro. “Kau mendapat bayaran besar? 

Benar?” 

Djaka Tua usap darah di dagunya lalu gelengkan 

kepala


“Tidak ada yang menyuruh saya. Saya menculik 

justru untuk menyelamatkannya. Seseorang 

memerintahkan Saya untuk membunuh bayi itu dengan 

sebilah golok besar milik Raden Mas Wira Bumi.” 

“Siapa yang menyuruh?” Tanya Setan Ngompol. 

“Satu mahluk dari alam roh. Perintah diberikan pada 

Raden Mas Wira Bumi. Karena beliau telah menyalahi 

sumpah perjanjian. Tapi Raden Mas lalu menyuruh saya 

melaksanakan tugas itu ...” menerangkan Djaka Tua. 

“Mahluk dari alam roh itu apakah dia sebangsa hantu, 

setan, dedemit atau apa?!” tanya Setan Ngompol sambil 

menahan kencing yang mau muncrat. 

“Saya tidak tahu. Ujudnya seorang nenek angker 

serba merah, mulai dari rambut sampai kaki. Pertama kali 

saya melihat sewaktu malam hari dibawa paksa oleh 

Raden Mas Wira Bumi ke pekuburan Kebonagung ....” 

“ltu pekuburan besar di luar Kotaraja,” ujar Setan 

Ngompol. 

Djaka Tua mengangguk. “Dari dalam sebuah makam 

yang dijaga oleh seorang kuncen saya lihat sendiri ada 

semburan asap. Lalu muncul sosok seorang nenek sangat 

mengerikan. Rambut, muka, pakaian, tubuh, semua serba 

merah. Raden Mas Wira Bumi memanggil mahluk ini Nyai 

Tumbal Jiwo…” 

Setan Ngompol berpaling pada Wiro. 

“Kek aku belum pernah mendengar nama itu. Apa lagi 

kenal orangnya.” Kata Wiro yang mengerti maksud 

pandangan Setan Ngompol. 

“Aku juga tidak tahu siapa adanya mahluk itu,” ucap 

Setan Ngompol pula. 

“Mahluk itu adalah guru Raden Mas Wira Bumi dalam 

mendapatkan ilmu kesaktian.” Menerangkan Djaka Tua. 

“Begitu? Lalu bayi yang kau culik, kau kemanakan? 

Berada dimana sekarang?” tanya Wiro.


“ltulah yang menjadi pikiran saya. Di tengah jalan, 

waktu itu hujan turun lebat sekali. Saya masuk ke dalam 

goa. Bayi yang saya bedung dalam sehelai kain menangis 

terus-terusan. Tiba-tiba di mulut goa saya lihat ada kabut 

tipis. Di dalam kabut muncul seorang kakek pakaian 

selempang kain putih. Tubuhnya tinggi, kepala hampir 

menyondak bagian atas goa. Di tangan kiri dia memegang 

sebuah tongkat kayu putih. Orang tua itu memanggil saya 

sahabat. Dia minta agar saya menyerahkan bayi karena 

katanya saya tidak akan bisa merawat. Katanya lagi bayi 

itu berjodoh dengan dirinya. Kalau sampai terlambat bayi 

itu akan mati. Saya jadi bingung, juga takut. Akhirnya bayi 

saya serahkan saja. Si orang tua lalu memberi nama bayi 

itu Ken Permata. Orang tua ini juga tahu kalau saya 

membekal golok besar milik Raden Mas Wira Bumi yang 

sebenarnya akan dipakai untuk menggorok bayi malang 

itu. Dia minta golok, saya serahkan. Sebelum pergi orang 

tua itu melenyapkan punuk yang selama lima puluh tahun 

ada di punggung saya ...” 

“Sakti luar biasa, “ kata Wiro sambil garuk kepala. 

“Djaka Tua kau tahu siapa adanya orang tua itu?” tanya 

Wiro. 

Djaka Tua menggeleng. “Saya juga tidak tahu dibawa 

kemana bayi itu ...” 

“Tololnya! Kau menyerahkan anak orang seperti 

menyerahkan kucing!” kata Setan Ngompol. 

“Saat itu saya bingung sekali. Saya percaya pada 

kuasa dan jalan Tuhan. Kalau tindakan saya salah biarlah 

saya menerima hukuman dunia akhirat. Orang tua itu 

adalah seorang sakti berhati mulia. Dia pasti akan 

menjaga bayi itu baik-baik. Saya berharap satu ketika, 

kalau sudah besar dia akan datang menyerahkan bayi itu 

pada ibunya. Cuma sayang .....” 

“Cuma sayang apa?” tanya Wiro.


“Ibu bayi itu saat ini berada dalam keadaan tidak 

waras. Pikirannya terganggu. Dia melarikan diri dari 

Gedung Tumenggung.. .” 

“Mendengar bicaramu agaknya kau tahu dimana ibu 

bayi itu berada.” 

Djaka Tua menatap wajah Pendekar 212 Wiro 

Sableng lalu menoleh pada Setan Ngompol. “Waktu dua 

perajurit itu menyiksa saya agar memberi tahu dimana 

tempat kediaman saya, saya memilih lebih baik dibunuh 

...” 

“Kami tidak akan membunuhmu sekalipun kau tidak 

mau memberi tahu,” kata Setan Ngompol pula. 

“Saya percaya. Saya akan membawa para sahabat 

kesana ...” kata Djaka Tua lalu berdiri dan melangkah. 

Melihat langkah Djaka Tua yang tertatih dan terhuyung 

Setan Ngompol hilang sabarnya. 

“Kalau kami mengikutimu. sedang kau berjalan 

seperti siput seperti itu, hampir kiamat rasanya baru 

sampai ke tempat tujuan! Biar kugendong. Kau tinggal 

menunjukkan jalan!” Habis berkata begitu Setan Ngompol 

lalu dukung Djaka Tua di bahu kirinya. Celakanya tubuh 

Djaka Tua digendong melintang dengan bagian kepala 

menghadap ke depan sebelah bawah hingga mukanya 

bersentuhan dengan celana gombrong Setan Ngompol 

yang basah lepek oleh air kencing dan menebar bau 

pesing! 

*** 

KETIKA sampai di gubuk di hutan jati, ke tiga orang 

itu dapatkan pintu terbuka dan gubuk dalam keadaan 

kosong. Djaka Tua yang masuk ke dalam keluar kembali. 

Wajahnya menunjukkan rasa kawatir.


“Den Ayu ..... ?!” Djaka Tua memanggil. Mula-mula 

dengan suara perlahan lalu bertambah keras. Tidak ada 

sahutan. 

“Den Ayu! Kemuning!” Djaka Tua kembali berseru, 

tetap tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara 

semilir tiupan angin dan daun-daun pohon jati yang saling 

bergesekan. 

“Siapa Kemuning?” tanya Wiro pada Djaka Tua. 

“Anak Nyi Retno Mantili ...” 

“Kau bilang anak itu telah kau serahkan pada seorang 

kakek sakti. Namanya Ken Permata, bukan Kemuning.” 

Kata Setan Ngompol pula. 

“Bayi asli memang saya serahkan pada kakek sakti 

waktu di dalam goa. Yang bernama Kemuning ini adalah 

sebuah boneka kayu yang oleh Den Ayu dianggap sebagai 

bayinya yang hilang.” 

Mendengar keterangan Djaka Tua Setan Ngompol dan 

Wiro jadi saling pandang. Si kakek tersenyum. Si pemuda 

garuk-garuk kepala tapi otaknya berpikir-pikir. 

“Den Ayu! Kau berada dimana? Ini aku Djaka Tua 

sudah kembali dari pasar. Aku membeli pisang untuk 

Kemuning!” Untuk kesekian kalinya Djaka Tua berseru. 

Tiba-tiba ada suara tawa perempuan melengking. 

Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing. Pendekar 

212 Wiro Sableng berpaling. Mencari siapa yang barusan 

tertawa. Namun suara tawa itu seolah datang dari 

berbagai arah. 

Djaka tua tampak tugang. “Den Ayu ... ?!” 

“Wiro awas!” 

Setan Ngompol berteriak. Secepat kilat dia 

mendorong tubuh Wiro ke belakang, merangkul 

pinggangnya lalu bergulingan di tanah. Saat itu dari atas 

sebatang pohon jati berkiblat dua larik sinar putih 

menyilaukan. Di lain kejap buumm .... buuumm!


Dua letusan keras menggelegar. Tanah terbongkar. 

Asap mengepul. Dua lobang terpentang lebar dan dalam di 

bekas tempat Setan Ngompol dan Wiro tadi berdiri. 

Kencing si kakek muncrat tak karuan. Wiro sendiri 

terduduk setengah berlutut dengan wajah pucat. 

“Gila! Setan dari mana mau membunuh kita?!” ucap 

Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya. 

“Saat itu dari atas salah satu pohon jati besar 

melayang turun sosok seorang perempuan berpakaian 

kumal, rambut tergerai kusut masai. Di tangan kirinya dia 

memegang sebuah boneka perempuan terbuat dari kayu. 

Boneka diarahkan pada Wiro dan Setan Ngompol. Jari-jari 

tangan siap memencet pinggang boneka. Jika pinggang 

boneka ditekan, dari sepasang mata boneka akan melesat 

keluar dua larik sinar putih. Sinar-sinar itulah yang tadi 

menyerang Wiro dan Setan Ngompol. Melihat serangannya 

gagal kini si pemegang boneka yaitu Nyi Retno Mantili 

kembali hendak melepas serangan kedua. 

“Den Ayu! Jangan!” 

Nyi Retno Mantili menjadi ragu meneruskan serangan 

ketika didengarnya seruan Djaka Tua. Perempuan ini 

membuat gerakan jungkir balikdi udara, begitu turun dia 

sudah berdiri di hadapan Djaka Tua. Tangan kanan 

berkacak pinggang, tangan kiri masih memegang boneka 

dan tetap diarahkan pada Wiro serta Setan Ngompol. 

“Dua orang itu telah menganiayamu! Mereka 

memaksamu datang kesini. Ternyata kau telah 

berkhianat!” Suara Nyi Retno Mantili keras sekali dan dua 

matanya memandang mendelik. “Kalian bertiga akan aku 

habisi saat ini juga!” 

“Den Ayu, kau keliru. Justru kedua orang itu telah 

menyelamatkan diriku,” kata Djaka Tua. Lalu dengan 

cepat dia menerangkan apa yang telah terjadi. 

Sementara Djaka Tua memberi keterangan. Wiro dan 

Setan Ngompol saling bicara berbisik.


“Kek, aku ingat sekali. Bukankah perempuan 

membawa boneka ini yang dulu kita temui di hutan 

belantara? Yang hendak diperkosa oleh seorang lelaki 

berperawakan dan punva ilmu pukulan seperti Pangeran 

Matahari?!” 

“Perempuan kecil halus. Wajah dekil rambut kusut 

awut-awutan. Tapi cantik!” menyahuti Setan Ngompol 

sambil matanya menatap ke arah Nyi Retno Mantili. Si 

kakek rupanya hanya ingat cantiknya orang saja. “Kau 

betul Wiro. Perempuan inilah yang menghajar Pangeran 

Matahari dengan dua cahaya sakti yang keluar dari 

sepasang mata boneka kayu. Lalu sosoknya lenyap dan 

berganti muncul seorang nenek muka putih yang menuduh 

Pangeran Matahari sebagai Hantu Pemerkosa. Nenek muka 

putih itu kemudian membuntungi tangan kiri Pangeran 

Matahari.” 

“Jadi inilah Nyi Retno Mantili, istri Raden Mas Wira 

Bumi. Sang suami jadi Patih Kerajaan. Dia sendiri dalam 

keadaan begini rupa. Kasihan sekali ...” 

“Kasihan satu langkah menuju naksir” ucap Setan 

Ngompol lalu tertawa cengar cengir. 

Di depan sana tiba-tiba perempuan muda yang 

memegang boneka keluarkan ucapan. “Aku dengar kalian 

menyebut-nyebut nama Nyi Retno Mantill. Siapa itu? 

Perempuan mana dia?!” 

Setan Ngompol bengong. Wiro garuk-garuk kepala. 

“Betul keterangan Djaka Tua. Perempuan muda lni benar-

benar sudah rusak ingatannya.” Kata Wiro dalam hati. 

“Begini .... Nyi Retno adalah seorang sahabat kami 

yang sudah lama tidak pernah ketemu. Wajahnya 

menyerupai Den Ayu. Tapi Den Ayu jauh lebih cantik ...” 

Nyi Retno Mantili tertawa keras dan panjang. 

“Laki-laki dimana-mana sama saja. Mulut mudah 

mengumbar rayuan. Aku tidak cantik. Pakaianku kumuh, 

tubuhku dekil. Hik..hik..hik.” Nyi Retno berpaling pada


Setan Ngompol. “Kakek yang kupingnya terbalik, 

temanmu ini matanya pasti sudah terbalik!” 

“Tidak Den Ayu, kau memang cantik,” jawab Setan 

Ngompol. 

Nyi Retno Mantili kembali tertawa. “Yang muda yang 

tua sama saja belangnya!” .Setelah memperhatikan 

Pendekar 212 sejenak, perempuan muda ini 

berkata.”Menurut pengasuh anakku, kalian mengaku 

sebagai orang-orang gila rimba persilatan! Apa betul?!” 

“Betul sekali Den Ayu,” jawab Setan Ngompol. 

“Walau gila tentunya punya julukan” kata Nyi Retno 

Mantili pula. 

“Ah kami cuma orang-orang gila pinggiran, orang-

orang rimba persilatan kelas teri. Mana punya julukan ...” 

“Lalu apa kalian juga tidak punya nama?!” 

Setan Ngompol batuk-batuk, usap-usap perut. 

“Namaku jelek. Orang-orang menyebut aku Setan 

Ngompol ...” 

Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. “Pantas dari tadi 

aku mencium bau pesing. Rupanya kau yang ngompol di 

celana.” Nyi Retno berpaling pada Wiro. “Kau tidak punya 

nama?” 

Pendekar 212 garuk-garuk kepala. 

“Sobat mudaku ini orangnya pemalu. Biar aku yang 

memberi tahu. Namanya Wiro. Wiro Sableng.” 

Wiro tersenyum. 

“Nyatanya dia bisa tersenyum. Berarti tidak pemalu 

tapi mata keranjang. Hik ...hik ...hik! Ada orang namanya 

pakai sableng segala! Sableng benaran apa?!” 

“Den Ayu, jangan mempermainkan orang yang telah 

menolong kita.” Djaka Tua berkata. 

Nyi Retno Mantili cuma tertawa panjang sambil 

matanya melirik ke arah murid Sinto Gendeng. Melihat 

sikap Nyi Retno Mantili ini Setan Ngompol membatin. 

“Perempuan sinting ini sepertinya tertarik pada anak setan


itu. Urusan bisa jadi panjang. Harus cepat-cepat pergi dari 

sini.” 

“Den Ayu, apa saya boleh bertanya?” 

“Nah, apa kataku. Dia mau bicara padaku. Silahkan 

saja kalau mau bertanya. Aku siap memberi jawaban 

terlebih dulu. Anakku ini namanya Kemuning. Aku bukan 

Nyi Retno Mantili. Aku tidak punya suami. Aku tidak kenal 

Raden Mas Wira Bumi ...” 

“Maaf Den Ayu, saya tidak menanyakan semua itu. 

Saya ingin tahu. Waktu kejadian di hutan, ketika Den Ayu 

diserang lelaki tinggi besar berjubah kelabu dan Den Ayu 

menghajarnya dengan satu pukulan sakti. Den Ayu tiba-

tiba lenyap. Lalu muncul seorang nenek muka putih. 

Pertanyaan saya, apakah nenek muka putih itu perubahan 

ujud dari Den Ayu ... ?” 

Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. Djaka Tua 

memperhatikan. Tidak pernah dilihatnya Nyi Retno banyak 

tertawa seperti saat itu. Kehadiran dua orang yang 

menolongnya itu rupanya mendatangkan kegembiraan 

pada diri Nyi Retno. Djaka Tua ikut merasa senang. 

“Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Dari 

dulu aku seperti ini, tidak pernah berubah ujud. Apa kau 

kira aku ini mahluk gaib atau setan jejadian? Hik ... hik ... 

hik!” 

Wiro garuk-garuk kepala. 

“Menurut Djaka Tua ......” 

Nyi Retno memotong ucapan Setan Ngompol dengan 

pertanyaan. “Djaka Tua, siapa itu Djaka Tua?!” 

Si kakek menunjuk ke arah Djaka Tua. “Dia. 

pengasuh anak Den Ayu.” 

“Oh dia. Baru tahu aku kalau namanya Djaka Tua.” 

Nyi Retno Mantili kembali tertawa cekikikan. Djaka Tua 

sendiri hanya tegak berdiam diri.


“Menurut Djaka Tua, anakmu itu bernama Kemuning. 

Nama bagus.” Setan Ngompol meneruskan ucapannya 

yang tadi terpotong. 

“Kau suka anakku? Mau menggendongnya?” Nyi 

Retno melangkah mendekati Setan Ngompol hendak 

menyerahkan boneka kayu pada si kakek. Tapi tiba-tiba 

boneka yang sudah diulurkan ditarik kembali. “Tidak 

mungkin aku bisa percaya pada orang yang punya nama 

Setan sepertimu. Hik..hik! Nanti anakku dibawa kabur! 

Apalagi kau bau pesing! lihhh!” 

Nyi Retno Mantili lalu berpaling pada Wiro. “Kau mau 

menggendong Kemuning? Mungkin dia suka padamu.” 

Wiro tidak menjawab. Bergerak pun tidak. Nyi Retno 

lalu mendatanginya dan mengulurkan boneka kayu. Mau 

tak mau Wiro mengambil boneka itu. Dengan kikuk dia 

menirukan cara orang menggendong bayi. Setan Ngompol 

memperhatikan dengan tertawa-tawa. Djaka Tua 

mengulum senyum. 

“Nah, nah! Kemuning suka padamu. Anak itu tidak 

menangis.” Ucap Nyi Retno Mantili pula. 

Ketika Wiro hendak menyerahkan boneka kayu 

kembali Nyi Retno berkata. “Gendong saja biar lama. 

Kemuning anteng sekali dalam gendonganmu. Apa kau 

takut dikencingi? Hik ... hik ... hik.?' 

Wiro jadi serba salah. Terlebih ketika melihat Setan 

Ngompol memberi isyarat agar mereka segera tinggalkan 

tempat itu. “Den Ayu, kami senang mengenalmu. Kami 

juga suka pada anakmu, Kemuning. Cuma, kami tidak bisa 

lama-lama di sini. Kami terpaksa minta diri ...” Wiro 

ulurkan boneka kayu. 

“Tunggu dulu,” jawab Nyi Retno. Dia tidak mau 

mengambil boneka yang diulurkan. 

Wiro tidak kehabisan akal. Boneka diserahkan pada 

Djaka Tua


“Maaf Den Ayu, saya ingin buang air kecil. Tadi 

kebanyakan minum air tebu ...” Setelah menyerahkan 

Kemuning pada Djaka Tua, Wiro segera putar tubuh 

tinggalkan tempat itu. 

“Aduh, perutku juga mendadak mulas. Den Ayu, 

Djaka Tua aku pergi dulu.” Setan Ngompol ikut-ikutan 

ngacir dari tempat itu. 

Nyi Rento Mantili tampak gusar. Dia ambil boneka 

kayu dari tangan Djaka Tua lalu diarahkan pada kedua 

orang yang berada di depan sana. Jari-jari tangannya siap 

menekan pinggang boneka. 

“Jangan Den Ayu. Mereka orang-orang baik. Saya 

yakin mereka terpaksa pergi karena ada kepentingan ain 

yang tak bisa menunggu ...” 

“Kalau begitu mari kita ikuti kemana mereka pergi!” 

kata Nyi Retno pula. “Aku ingin tahu orang-orang gila 

bagaimana mereka sebenarnya!” 

Ketika Nyi Retno Mantili berkelebat ke arah dua orang 

yang telah pergi itu mau tak mau Djaka Tua terpaksa 

mengikuti. Lagi pula dia punya firasat bahwa 

keberadaannya yang telah diketahui dua perajurit Keraton 

cepat atau lambat akan mendatangkan bahaya bagi Nyi 

Retno. 

*** 

MASlH dalam keadaan cidera, Gondo dan Supat 

sesampainya di Kotaraja langsung menghadap Patih 

Kerajaan. Setelah menunggu cukup lama akhirnya ke dua 

orang ini dipersilahkan menunggu di pendopo timur. 

Begitu Patih Kerajaan datang dua perajurit segera 

menceritakan pertemuan mereka dengan Djaka Tua. Tentu 

saja tidak lupa mereka menerangkan munculnya dua 

orang aneh, satu kakek bermata besar berkuping lebar


bau pesing dan seorang pemuda berikat kepala putih 

berambut panjang sebahu. 

“Dua perajurit, jika aku bisa menangkap Djaka Tua 

dan menemukan bayi, kalian berdua akan aku beri hadiah 

besar dan kenaikan pangkat satu tingkat.” Kata Raden Mas 

Wira Bumi. Supat dan Gondo merasa girang dan 

membungkuk dalam-dalam sambil mengucupkan terima 

kasih. Patih Kerajaan kemudian menyambung ucapannya. 

“Namun ingat baik-baik. Mulai saat ini kalian harus 

melupakan apa yang telah terjadi di hutan jati itu. Kalian 

tidak pernah bertemu Diaka Tua serta dua orang aneh itu. 

Kalian juga tidak tahu menahu tentang bayi. Kalian 

mengerti?” 

“Kami mengerti Kanjeng Patih,” jawab Supat dan 

Gondo sambil membungkuk. 

Tak lama setelah kedua perajurit itu pergi, Raden Mas 

Wira Bumi menemui seorang tokoh silat Keraton bernama 

Cagak Lenting berjuluk Si Mata Elang. Orang ini 

sebenarnya tidak memiliki ilmu silat atau kesaktian tinggi. 

Namun dia disegani karena punya kemampuan luar biasa 

dalam mencari jejak, mengejar dan menemukan 

seseorang. 

Siang itu juga secara diam-diam Raden Mas Wira 

Bumi bersama Cagak Lenting meninggalkan Gedung 

Kepatihan dengan menunggang kuda keduanya menuju 

tempat dimana Supat dan Gondo menghadang dan 

menghajar Djaka Tua. 

Cukup lama Cagak Lenting memperhatikan keadaan 

di tempat itu dengan sepasang mata elangnya. Terakhir 

sekali dia jongkok, letakkan telapak tangan kiri kanan di 

tanah. digeser-geser beberapa kali lalu tegak berdiri 

dongakkan kepala. menghirup udara dalam-dalam. 

“Bagaimana?” tanya Patih Wira Bumi tidak sabaran. 

“Saya mendapat petunjuk ada dua orang pergi ke 

arah selatan. Arah Kotaraja. Mereka pasti dua perajurit


yang datang melapor. Lalu ada tiga orang bergerak ke 

arah barat. Djaka Tua dan dua orang aneh itu.” 

Wira Bumi memandang ke langit. Matahari telah 

menggelincir ke barat. “Kita ke barat. Kau di sebelah 

depan.” Kata Wira Bumi. 

Cukup lama memacu kuda ke arah barat akhirnya ke 

dua orang itu sampai di pinggiran hutan jati. Si Mata Elang 

hentikan kudanya sejenak. 

Mata memandang tajam berkeliling lalu memberi 

tanda pada Patih Kerajaan untuk mengikutinya. Tak selang 

berapa lama Cagak Lenting hentikan kudanya di depan 

sebuah gubuk. Bersama Wira Bumi dia masuk memeriksa. 

“Kita terlambat ...” kata Patih Kerajaan sambil 

memperhatikan isi gubuk. Dia mengambil sebuah 

keranjang dan menemukan sesisir pisang. “Bayi itu ada di 

sini! Lihat, ini pisang makanan bayi.” 

Cagak Lenting alias Si Mata Elang menggeleng. 

“Petunjuk yang saya dapat hanya ada dua orang pernah 

berada di tempat ini. Tidak ada bayi . Dan kedua orang itu 

agaknya telah pergi dari sini.” 

“Aku harus tahu mereka menuju kemana.” Kata Wira 

Bumi pula. Si Mata Elang keluar dari gubuk. 

Memperhatikan jejak-jejak di tanah. Lalu memandang ke 

jurusan sebelah kanan. Menghirup udara dalam-dalam. 

“Kanjeng Patih, mereka pergi ke arah utara. Ada empat 

orang ....” 

“Aku sudah bisa menduga. Nyi Retno, Djaka Tua dan 

dua orang aneh itu. Kita kejar mereka.” 

“Jarak kita terlalu jauh Kanjeng Patih. Belum tentu 

kita bisa mengejar mereka sebelum malam tiba. Selain itu 

bukankah petang ini ada pertemuan penting dengan Sri 

Baginda?” 

“Cagak Lenting. kau teruskan mengejar ke arah 

utara. Aku kembali ke Kotaraja. Mampir di Kaliurang. Cari 

Kepala Desa. Jika kau menemui orang-orang itu jangan


mengambil tindakan dulu. Awasi saja jangan sampai lolos. 

Kita berhadapan dengan tokoh-tokoh aneh rimba 

persilatan. Usahakan mencari tahu siapa mereka. 

Kemudian perintahkan Kepala Desa segera menemuiku di 

Gedung Kepatihan.” 

“Perintah Kanjeng Patih akan saya laksanakan. Saya 

mohon diri.” Cagak Lenting naik ke atas kudanya lalu 

memacu binatang itu menuju utara. 

-- << >>


LIMA



PENDEKAR 212 Wiro Sableng perlambat lari. berpaling 

pada Setan Ngompol di sampingnya. “Kek, kau tahu 

kalau kita ada yang mengikuti?” 

“Sudah tahu dari tadi. Juga sudah tahu siapa 

orangnya. Justru aku tengah mencari akal bagaimana 

caranya bisa menyelinap dari kejaran mereka.” 

“Kita bisa menghilang dari kejaran Djaka Tua. Tapi 

dari perempuan muda berotak tidak waras itu rasanya 

sulit. Dia hanya sekitar dua puluh tombak di belakang kita. 

Turut keterangan DjakaTua, Nyi Retno Mantili dulu tak 

punya ilmu kepandaian apa-apa. Jika sekarang ia memiliki 

ilmu silat, kesaktian serta ilmu lari yang begitu hebat, 

sungguh luar biasa. Siapa gerangan gurunya?” 

“Bagaimana kalau kita tunggu saja dua orang itu. Kita 

tanyakan pada Nyi Retno apa maunya.” 

“Urusan bisa berabe Kek. Jelas dia mau ikut kemana 

kita pergi ....” 

“Wiro, jika mereka masih mengejar seharusnya Nyi 

Retno sudah sampai lebih dulu di sini,” kata Setan 

Ngompol pula sambil putar-putar daun telinga sebelah kiri 

dan memandang ke jurusan yang barusan mereka lalui. 

“Aku mendengar suara derap kaki kuda ....” Baru saja 

Wiro selesai berucap tiba-tiba ada suara kuda meringkik 

disusul bentakan-bentakan keras. 

“ltu teriakan Nyi Retno!” ujar Setan Ngompol sambil 

menahan kencing. 

Tidak menunggu lebih lama kedua orang itu segera 

menghambur ke arah datangnya suara kuda meringkik 

serta bentakan-bentakan. Di satu kelokan jalan mereka 

temui seekor kuda tergeletak di tanah dalam keadaan tak 

bernyawa lagi. Kepalanya hancur. Di samping binatang ini,


terduduk di tanah seorang lelaki berpakaian dan berikat 

kepala hijau, rambut menjulai sebahu. Wajah sangat 

pucat, mata memandang membeliak penuh takut pada Nyi 

Retno Mantili yang saat itu berdiri hanya terpisah 

beberapa langkah. Tangan kiri memegang boneka kayu, 

dia arahkan pada orang yana terduduk di tanah yaitu 

Cagak Lenting alias Si Mata Elang. 

“Den Ayu! Jangan!” teriak Setan Ngompol. 

Kencingnya terpancar. Selain ingin mencegah serangan 

maut yang hendak dilancarkan Nyi Retno dengan 

bonekanya, kakek ini juga mengenali siapa adanya orang 

yang hendak jadi korban itu. 

“Tua bangka bau pesing! Apa urusanmu!” Bentak Nyi 

Retno dengan suara lantang wajah garang. Dia turunkan 

tangan kirinya sedikit, kemudian diangkat lagi, kembali di 

arahkan pada Cagak Lenting. 

“Den Ayu, saya mohon jangan bunuh orang itu!” Kini 

Wiro yang berucap. Beberapa waktu lalu bersama Setan 

Ngompol dia telah melihat Nyi Retno menghantam 

Pangeran Matahari dengan sinar sakti yang melesat keluar 

dari sepasang mata boneka kayu. Akibatnya luar biasa. 

Sang Pangeran yang memiliki kepandaian tinggi itu 

terpental muntah darah! 

Gerakan Nyi Retno langsung terhenti ketika 

mendengar ucapan Wiro. Perempuan muda ini terdiam 

sesaat. Perlahan-lahan dia palingkan kepala. Ada secercah 

senyum di sudut bibirnya. “Wiro. jika kau yang melarang 

aku menurut saja ...” Keluar ucapan itu dari mulut Nyi 

Retno Mantili. Tangan kirinya yang memegang boneka 

diturunkan lalu boneka didekap ke dada. “Tapi manusia 

jahat ini telah membunuh pengasuh Kemuning ...” 

“A ... aku tidak membunuhnya. Dia hanya pingsan. 

...” 

“Mana pengasuh anakku?!” bentak Nyi Retno. 

“Dia tergeletak di ujung jalan sana.”


Wiro segera lari ke arah yang ditunjuk Cagak Lenting, 

diikuti Nyi Retno sementara Setan Ngompol cepat 

menghampiri Cagak Lenting, membantu orang ini bangkit 

berdiri. 

“Sobatku Cagak Lenting, apa kau masih ingat diriku?” 

sapa Setan Ngompol. 

“Ah. mana ada tokoh sakti lelaki bau pesing di dunia 

ini selain dirimu? Setan Ngompol, lama tidak bertemu 

tahu-tahu kau muncul menyelamatkan diriku. Aku 

bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih padamu.” 

“Apa yang terjadi? Mengapa perempuan itu hendak 

membunuh sahabatku yang berjuluk Si Mata Elang ini?” 

tanya Setan Ngompol. 

“Sobatku, tugas seringkali mendatangkan kesulitan. 

Aku diperintahkan oleh Patih Kerajaan untuk mengejar 

Djaka Tua dan Nyi Retno. Juga dua orang seperti yang 

dilaporkan dua perajurit Keraton. Siapa menyangka dua 

orang itu salah satu diantaranya adalah engkau. Pemuda 

berambut gondrong itu, siapakah dia?” 

“Dia adalah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng, 

murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede.” 

“Ternyata rejekiku besar sekali hari ini. Selain 

diselamatkan aku juga bisa bertemu dengan dua tokoh 

silat tanah Jawa. Aku sudah lama mendengar nama hebat 

sobat mudamu itu. Baru sekali ini bertemu muka. 

Setahuku guru dan murid itu banyak sekali membantu 

Kerajaan di masa yang sudah-sudah.” Lalu Cagak Lenting 

ceritakan tugas yang diberikan Patih Kerajaan padanya. 

“Ketika sampai di kawasan ini sebenarnya aku berdua 

dengan Kepala Desa Kaliurang Ki Sentot Bayu. Setelah 

melihat Djaka Tua, aku suruh dia kembali ke Kotaraja 

untuk melapor pada Patih Kerajaan. Di tempat ini aku 

temui Djaka Tua, bekas pembantu Patih Kerajaan sewaktu 

masih jadi Tumenggung dulu. Dia berlari sendirian. Aku 

cekal dia. Djaka Tua berteriak. Aku tidak menduga kalau


Nyi Retno Lestari juga ada di dekat situ. Tadinya mengira 

mungkin dia sudah berada di satu tempat tersembunyi. 

Dan aku sama sekali tidak menyangka perempuan muda 

itu memiliki ilmu kesaktian. Dia muncul langsung 

menyerangku. Aku selamat tapi kudaku menemui ajal. 

Luar biasa. Boneka kayu miliknya itu benar-benar 

merupakan senjata maut…” 

Saat itu Wiro, Nyi Retno dan Djaka Tua muncul. 

Cagak Lenting cepat membungkuk.”Pendekar Dua Satu 

Dua, saya Cagak Lenting menghaturkan terima kasih kau 

telah menyelamatkan selembar nyawaku.” Cagak Lenting 

berpaling pada Nyi Retno. Dia membungkuk sekali lagi dan 

berkata. 

“Maafkan kalau saya telah berlaku lancang. Saya 

sangat berterima kasih Den Ayu telah mengampuni 

selembar nyawa saya. Saya yang tolol ini hanya 

melakukan perintah atasan, perintah Patih Kerajaan. 

Sekali lagi saya minta maaf.” 

Nyi Retno Mantili tertawa sinis dan acuh. Dia 

memandang pada boneka kayu dan berkata. “Kemuning, 

kau dengar ucapan orang itu. Seringkali ketololan 

mencelakakan diri sendiri. Hik ... hik!” 

“Para sahabat, silahkan semua melanjutkan 

perjalanan. Saya kawatir Patih Kerajaan akan muncul di 

sini bersama orang-orangnya. Sebelumnya saya sudah 

meminta seorang Kepala Desa untuk memberi tahu ....” 

“Apa yang akan kau katakan pada Patih Kerajaan 

karena tidak berhasil menangkap dua orang itu?” tanya 

Setan Ngompol. 

“Biar itu menjadi urusanku. Kalian pergilah ....” 

Setan ngompol masih belum puas. Dia ajukan satu 

pertanyaan lagi. “Cagak Lenting, kau tahu siapa adanya 

perempuan muda itu?” 

Lebih dari tahu, sobatku. Yang aku masih tidak 

mengerti adalah cerita tentang seorang bayi 


Justru perihal bayi itulah yang membuat Nyi Retno 

jadi tidak waras. Di lain kesempatan, kalau kita bertemu 

lagi aku akan ceritakan kisahnya padamu. Sobatku, kita 

berpisah di sini ...” 

Cagak Lenting membungkuk dalam-dalam. Sebelum 

ke empat orang itu bergerak pergi, dia telah beranjak lebih 

dulu. 

Wiro dan Setan Ngompol saling pandang. 

“Bagaimana sekarang?” tanya si kakek. 

“Apanya yang bagaimana?” tanya Nyi Retno Mantili 

sambil ayun-ayun boneka di tangan kiri. Tiba-tiba boneka 

itu diserahkan pada Wiro. “Anakku senang padamu, 

gendonglah.” 

Wiro garuk-garuk kepala. Agaknya sekali ini sulit 

untuk meninggalkan Nyi Retno begitu saja. 

“Den Ayu. kau tidakmungkin ikutan dengan kami,” 

kata Setan Ngompol. 

“Siapa mau ikut kamu. Aku mau ikut dia ....” Nyi 

Retno menunjuk ke arah Wiro. 

“Celaka!” ucap Pendekar 212 dalam hati dan kembali 

garuk-garuk kepala. 

“Wiro, kalau Kemuning suka padamu, apakah aku 

tidak boleh suka padamu? Apakah aku tidak boleh ikut 

bersamamu?” 

“Ooalaa. Perempuan sinting ini suka pada Wiro. 

Kenapa bisa jadi begini?!” Ucap Setan Ngompol dalam 

hati. 

“Kemuning anak baik. Semua orang tentu suka 

padanya. Cuma saat ini saya dan kakek itu ada beberapa 

tugas yang harus dilakukan.Saya harap Den Ayu dan 

Djaka Tua mau bersabar untuk tidak ikut dulu. Nanti 

selesai urusan kami berdua pasti akan menemui Den Ayu 

...” 

“Omongan lelaki siapa percaya. Kalau kau sudah 

pergi pasti tak ingat Kemuning, tak ingat diriku. Aku


mengerti, orang seperti diriku ini siapa yang mau diajak 

jalan bersama? Dan Kemuning, hanya sebuah boneka 

kayu buruk .....” 

Djaka Tua tercengang mendengar ucapan Nyi Retno 

itu. “Tuhan,” ucap lelaki ini dalam hati. “Dalam ketidak 

warasannya apakah Engkau telah memberikan secercah 

kejernihan hati dan pikiran?” 

Sepasang mata Nyi Retno tampak berkaca-kaca. 

Djaka Tua tundukkan kepala. Setan Ngompol pegangi 

bagian bawah perut. Pendekar 212 Wiro Sableng tegak 

terdiam. Nyi Retno melangkah mendekati Wiro. “Tolong 

kembalikan anakku,” pintanya dengan suara lirih. 

Wiro jadi sedih dan kasihan melihat Nyi Retno Mantili. 

Hal ini membuat dia tidak segera menyerahkan boneka 

perempuan yang terbuat dari kayu itu. 

Dalam keadaan semua orang terdiam seperti itu dan 

kesunyian menggantung tidak enak, tiba-tiba satu 

bayangan hitam berkelebat disusul suara bentakan dan 

menghamparnya bau pesing. 

“Anak setan! Apa yang kau buat di tempat ini?!” 

Wiro tergagau. Setan Ngompol tersentak kaget 

langsung muncratkan air kencing. Djaka Tua terheran-

heran. Hanya Nyi Retno Mantili yang kelihatan tenang saja 

walau wajahnya masih menunjukkan kemurungan. 

Di tempat itu kini berdiri seorang nenek hitam, kurus 

tinggi agak bungkuk. Pipi dan mata cekung, rambut putih 

jarang. Tangan kiri membolang baling sebatang tongkat 

kayu butut hingga mengeluarkan suara bersiuran. Mata 

yang cekung itu menatap lekat-lekat ke wajah Pendekar 

212, melirik pada boneka kayu yang dipegang Wiro, 

melirik lagi ke arah Nyi Retno Mantili. Tongkat ditancap di 

tanah. 

“Anak setan! Jadi ini pekerjaanmu! Kuberi tugas 

malah berleha-leha enak-enakan. Siapa perempuan muda 

berpakaian dekil tak karuan rupa ini! Gendakmu yang


baru?! Pantas ...pantas!” Si nenek berpaling pada Setan 

Ngompol. “Tua bangka jelek! Pasti kau yang jadi mak 

comblangnya!” 

“Sinto kau ini ....” Setan Ngompol pegangi perut. 

“Diam!” teriak Sinto Gendeng memotong ucapan 

Setan Ngompol lalu kembali memandang pada Wiro. 

“Anak setan! Apa yang kau pegang itu?!” 

“Bayi Nek ....” Karena gugup Wiro ketelepasan 

menjawab. 

Tampang Sinto Gendeng jadi kelam mengkeret. 

Rahang menggembung, mulut perot komat kamit! Susur 

dalam mulut dikunyah gemas. Dia meludah ke tanah. 

“Bayi?!” 

“Maksud saya, boneka Nek. Namanya Kemuning.. ..” 

“Setan! Jelas itu boneka. Bukan bayj! Apa kau kira 

aku buta, tak bisa melihat?! Aku juga tidak tanya 

namanya! Belum lama bertemu kau masih waras. 

Sekarang apa otakmu sudah berubah sinting? Eh, kau 

sudah sableng beneran ya?! Kau kawin sama perempuan 

hantu gembel ini sampai punya anak bayi berbentuk kayu? 

Hik ... hik ... hik!” 

Suara tawa Sinto Gendeng tiba-tiba dibarengi tawa 

Nyi Retno Mantili tak kalah nyaringnya. 

“Setan perempuan! Jangan kau berani melecehkan 

tawaku! Jika saat ini aku tertawa, di lain kejap aku bisa 

berteriak dan membunuhmu!” Sepasang mata Sinto 

Gendeng yang cekung tampak berkilat-kilat. 

“Nenek jelek! Sudah bau tanah mulutmu masih kotor! 

Kalau aku mau ketawa siapa berani melarang?! Kalau kau 

mau berteriak dan membunuhku mengapa tidak 

melakukan sekarang?!” 

“Perempuan kurang ajar! Kau tidak tahu berhadapan 

dengan siapa! Kurobek mulutmu!” Sinto Gendeng cabut 

tongkat yang menancap di tanah. 

“Wuuttt!”


<<  >>



ENAM


UJUNG tongkat di tangan kanan Sinto Gendeng 

melesat ke arah muka Nyi Retno Mantili. “Eyang! 

Jangan!” teriak Wiro. 

Si nenek tidak bergeming, terus lancarkan serangan. 

Sedang Nyi Retno Mantili tidak berusaha selamatkan diri. 

Tetap saja tegak di tempatnya. 

“Kemuning, ada nenek jahat bau mau mencelakai 

ibumu, apa kita diam saja?!” 

Nyi Retno tiba-tiba berseru. Tangan kiri yang 

memegang boneka diangkat, diarahkan pada Sinto 

Gendeng. Jari-jari menekan. 

“Den Ayu, tahan!” teriak Wiro. Dia cepat melompat 

dan berdiri menghalang di antara Sinto Gendeng dan Nyi 

Retno Mantili. 

“Wiro, jika kau yang melarang aku menurut saja ...” 

Nyi Retno mundur dua langkah. Tangan yang memegang 

boneka diturunkan. 

“Breettt!” 

Ujung tongkat Sinto Gendeng menyambar punggung 

Wiro. Bukan saja merobek baju putihnya tapi juga 

menggurat dalam daging di bagian punggung hingga 

mengucurkan darah. Wiro menggigit bibir menahan sakit, 

melompat ke samping. Nyi Retno Mantili menjerit keras 

ketika melihat luka melintang panjang mengucurkan darah 

di punggung Wiro. 

“Nenek jahat! Kau apakan Wiro! Aku tidak rela!” Nyi 

Retno menerjang ke arah Sinto Gendeng. Tangan kanan 

diangkat. Wajah boneka dipentang ke arah si nenek. Kali 

ini dia benar-benar ingin membunuh Sinto Gendeng. Wiro 

cepat merangkul Nyi Retno seraya berkata. “Nyi Retno


Mantili! Jangan! Dia guru saya. Dia berhak menghukum 

saya jika saya salah.” 

“Tapi apa salahmu?!” teriak Nyi Retno.Matanya 

berkaca-kaca. Tangan kiri memagut punggung Wiro, 

mengusap darah yang mengucur. Perempuan tidak waras 

ini menjerit keras ketika tangannya basah oleh lumuran 

darah. 

“Wiro .... Darahmu ....” Nyi Retno menjerit lalu 

merangkul Pendekar 212 erat-erat. 

Setan Ngompol terkencing habis-habisan. Tidak 

percaya dia melihat apa yang terjadi. Djaka Tua ingin 

mendekati Nyi Retno tapi tak berani. 

“Kalian manusia-manusia konyol sinting semua!” 

Sinto Gendeng memaki. “Anak setan! Kau dengar baik-

baik ucapanku! Saat ini juga kau harus berangkat ke 

Gunung Gede. Temui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ada hal 

sangat penting yang ingin dibicarakannya denganmu! Ini 

adalah perintah Kiai dan perintahku yang tidak boleh kau 

tolak! Soal Kitab Seribu Pengobatan kau tak perlu 

mencarinya lagi!” Sinto Gendeng memandang garang ke 

arah Nyi Retno Mantili. Yang dipandang membalas dengan 

seringai mengejek. Membuat Sinto Gendeng tambah 

terbakar dada dan darah amarahnya. “Anak Setan! 

Sebelum aku minggat ada satu hal yang harus kau 

pertanggung jawabkan! Kau sudah membuat bunting 

seorang gadis bernama Wulan Srindi! Dia merampas satu 

dari lima tusuk kondeku. Mengatakan bahwa tusuk konde 

itu adalah sebagai Mas Kawin tanda perkawinan kalian! 

Cari setan perempuan itu! Kau harus dapat mengambil 

tusuk kondeku kembali! Soal nanti Wulan Srindi 

melahirkan bayimu, apa lahir berupa boneka kayu atau 

boneka batu aku tidak mau tahu!” 

Wiro melengak kaget mendengar caci maki sang 

guru. “Eyang, saya tidak pernah berbuat serong seperti 

itu. Saya tidak pernah menggauli Wulan Srindi 


“Lalu bagaimana dia bisa hamil?! Hantu yang 

membuntinginya?!” bentak Sinto Gendeng. 

“Eyang, memang ada satu kejadian buruk menimpa 

diri Wulan Srindi. Malah seorang sahabat saya sampai 

dituduh melakukan kekejian itu. Namanya Jatilandak ....” 

“Anak Setan! Kau pandai bicara, pandai berkilah. 

Pandainya kau mencari kambing hitam. Tapi jangan 

mengira bisa mendustai tua bangka seperti aku ini! Aku 

hidup jauh lebih lama darimu! Aku pernah memeliharamu! 

Jadi tahu betul sifat serta sikapmu! Murid kurang ajar! 

Manusia tidak berbudi! Kau membuat malu diriku. Kau 

mencelemongi mukaku dengan kotoranmu! Jangan harap 

aku akan memberikan Ilmu Sepasang Inti Roh yang 

pernah kau minta!” (Baca serial Wiro Sableng berjudul 

“Munculnya Sinto Gendeng”) 

Dalam diamnya Wiro merasa sekujur tubuh bergetar. 

Pelipis bergerak-gerak dan dada terasa sesak. Mulutnya 

terbuka tapi tidak sepotong suarapun yang bisa keluar. 

Luar biasa, guru yang dihormat dan dicintainya tega 

mengeluarkan ucapan begitu keras di hadapan sekian 

banyak orang. Soal ilmu kesaktian dia dulu memang 

pernah meminta ilmu Sepasang Inti Roh itu. Namun 

kemudian tidak pernah mengingat-ingatnya lagi. (Baca 

serial Wiro Sableng berjudul “Munculnya Sinto Gendeng”) 

Dalam keadaan seperti sekarang ini dia tambah tidak 

berminat untuk memintanya. Apa lagi dia sudah memiliki 

ilmu yang hampir sama keampuhannya yaitu “Sepasang 

Pedang Dewa” yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang 

Ameh. Hanya saja ilmu ini cuma bisa dikeluarkan dua kali 

dalam waktu 360 hari. 

Di tempatnya berdiri Wiro merasa punggungnya yang 

cidera sakit dan panas bukan main. Dua lutut mulai goyah. 

Getaran ditubuh semakin keras. Dia menggigil seperti 

diserang demam panas. Perlahan-lahan Pendekar 212 

jatuh berlutut. Nyi Retno Mantili menjerit, jatuhkan diri


dan terus merangkul Wiro. Luka panjang di punggung Wiro 

mengepulkan asap. Nyi Retno kembali menjerit. 

Setan Ngompol cepat mendekati Wiro. Sinto Gendeng 

tak kelihatan lagi. Melihat keadaan luka di punggung Wiro 

yang mengepulkan asap, si kakek tusukkan tiga totokan. 

Darah serta merta berhenti mengucur dan kepulan asap 

perlahan-lahan sirna. 

Setan Ngompol sendiri habis menotok lalu kucurkan 

air kencing habis-habisan. 

“Terima kasih Kek,” ucap Pendekar 212. Matanya 

menatap sayu pada Setan Ngompol. “Kek, mungkinkah 

aku telah berbuat dosa kesalahan? Aku tidak mengerti 

mengapa Eyang Sinto tega melukaiku. Aku yakin tadi dia 

masih bisa menarik pulang serangan tongkatnya. Tapi dia 

sengaja tidak melakukan. Soal Wulan Srindi itu, kau tahu 

aku tidak pernah berbuat sekeji itu. Hatiku sedih sekali 

Kek. Aku merasa sangat terpukul ...” 

Setan Ngompol hanya bisa angguk-anggukan kepala 

sambil pegangi bagian bawah perut. 

“Kek, mungkin dimatanya aku ini merupakan seorang 

murid murtad? Kalau aku salah memang pantas dihukum. 

Dibunuhpun aku ikhlas. Aku menghormati Eyang Sinto, 

juga menyayanginya. Tapi rasanya ... Ah, aku ini memang 

murid kurang ajar!” Wiro akhirnya menyalahi diri sendiri. 

Sepasang matanya berkaca-kaca. 

“Wiro, siapa berani membunuhmu akan aku bunuh 

juga!” tiba-tiba Nyi Retno berkata sambil tangan kanan 

mendekapkan boneka kayu ke dadanya. 

Wiro menatap wajah Nyi Retno. Perempuan itu 

tersenyum padanya. Wiro hanya bisa balas tersenyum. 

“Wiro, gurumu sedang kacau pikiran,” kata Setan 

Ngompol. “Wulan Srindi muncul memberi tahu bahwa dia 

sudah kawin denganmu dan hamil. Satu dari lima tusuk 

kondenya dirampas ....”


“Aku kira nenek itu pikirannya lebih semrawut dari 

diriku!” lagi-lagi Nyi Retno keluarkan ucapan. “Kalau ada 

seribu gadis mengaku hamil, apa itu semua pekerjaan 

Wiro? Seharusnya dia menyelidik dulu. Uh! Baru 

kehilangan satu tusuk konde kelakuannya seperti setan 

kebakaran pantat! Murid sendiri dilukai! Dicaci maki! 

Bagaimana kalau tusuk kondenya hilang semua?! Mungkin 

manusia sejagat ini dibunuhinya!” 

Djaka Tua sampai tertegun mendengar kata-kata Nyi 

Retno Mantili itu yang jelas-jelas membela Wiro. Dalam 

keadaan tidak waras bagaimana dia bisa bicara begitu. 

“Luar biasa sekali perubahannya setelah pertemuan 

dengan pemuda ini.” 

Wiro berdiri. “Kek, tadi kau dengar sendiri Eyang 

Sinto mengatakan aku tidak perlu lagi mencari Kitab 

Seribu Pengobatan. Aku senang saja terbebas dari satu 

tugas berat. Tapi menurutmu apa yang telah terjadi?” 

Setan Ngompol usap-usap perutnya. “Aku menduga, 

jangan-jangan dia sudah menemukan kitab itu. Jadi tidak 

memerlukan lagi bantuanmu.” 

“Dugaanmu kurasa benar Kek. Tadi aku menyelidiki 

dirinya dengan Ilmu Menembus Pandang. Sebenarnya hal 

itu tidak boleh aku lakukan. Samar-samar aku melihat ada 

sebuah benda berbentuk kitab di balik pakaiannya sebelah 

kiri. Kalau kitab itu memang sudah ditemui dan berada di 

tangan Eyang Sinto aku merasa bersyukur. Tapi 

bagaimana kini caranya aku membantu dua murid Hantu 

Malam Bergigi Perak? Mereka membutuhkan petunjuk 

pengobatan yang ada dalam kitab itu. Kau tahu sendiri, 

kita sudah kepalang berjanji mau menolong.” 

“Wiro, terus terang aku jadi bingung. Semakin lanjut 

usianya semakin aneh-aneh saja perilaku gurumu. Apa 

gunanya kitab itu dimilikinya sendirian. Padahal kitab bisa 

memberi pertolongan pada banyak orang. Apa dia ingin 

mengangkanginya sampai mati?!”


“Mungkin dia kawatir kitab itu akan dicuri orang lagi.” 

“Bisa jadi. Tapi aku tahu. Sinto Gendeng itu 

perempuan culas!” kata Setan Ngompol pula. 

“Mengenai perintahnya agar aku menemui Kiai Gede 

Tapa Pamungkas, bagaimana menurutmu Kek?” 

“Kau harus melaksanakan. Perintah itu bersumber 

dari sang Kiai.” 

“Selama ini aku tidak dekat dengan Kiai Gede Tapa 

Pamungkas.” Ucap Wiro sambil memandang pada Nyi 

Retno. Perempuan ini menatapnya dengan pandangan 

mata sayu. Suaranya terdengar lirih ketika berkata. “Kalau 

kau pergi ke Gunung Gede, aku ikut bersamamu. Aku 

mohon kau jangan meninggalkan diriku dan Kemuning ....” 

“Saya tak mungkin membawamu ke sana Nyi Retno 

Mantili. Perjalanan jauh dan sulit ...” 

Perempuan muda yang terganggu jalan pikirannya itu 

tersenyum. “Sudah beberapa kali kau memanggilku Nyi 

Retno Mantili. Biasanya aku marah dipanggil dengan nama 

itu. Tapi karena kau yang menyebut, sekarang aku jadi 

berpikir. Apakah itu memang namaku?” 

Wiro memandang pada Djaka Tua. Pembantu ini 

tersenyum. Wiro berpaling lagi pada Nyi Retno lalu 

anggukkan kepala. 

“Retno Mantili, itu memang namamu. Nama bagus ...” 

kata murid Sinto Gendeng pula. 

Nyi Retno tertawa panjang dan lepas. Wajahnya 

tampak merah segar. 

“Wiro,” katanya. “Menurut perhitunganmu berapa 

lama waktu kau butuhkan untuk sampai ke puncak 

Gunung Gede?” 

“Mengapa kau bertanya begitu Nyi Retno?” 

“Jika berkuda mungkin delapan sampai sepuluh hari. 

Aku tahu jalan memintas. Aku hanya butuh waktu lima 

hari.


“Sebaiknya kau tidak kesana. Tunggu saja di tempat 

kediaman Ki Tambakpati seorang juru pengobatan sahabat 

kami. Setan Ngompol akan mengantarkanmu kesana.” 

Nyi Retno tertawa. “Wiro, aku dan Kemuning 

menunggumu di tepi telaga.” 

Pendekar 212 tercengang. 

“Nyi Retno, bagaimana kau tahu kalau di puncak 

Gunung Gede ada telaga? Kau pernah .....” 

Nyi Retno tertawa panjang dan kedipkan sepasang 

matanya. Mata yang selama ini selalu sayu kuyu oleh 

penderitaan batin kali ini tampak begitu bagus bening 

bercahaya. Djaka Tua sampai mengucap nama Tuhan 

berulang kali melihat kejadian ini. Diam-diam dia merasa 

bahagia. 

“Nyi Retno .....” panggil Wiro. 

Namun perempuan itu sudah berkelebat pergi. 

Dikejauhan terdengar suara nyanyiannya. 

Kemuning anakku sayang 

Ada seorang sahabat baik hati 

Membawa kita ke puncak Gunung Gede 

Dia berlari cepat seperti angin 

Tapi kita akan sampai lebih dahulu 

Menunggunya di tepi telaga 

Lagi-lagi Djaka Tua tertegun heran. Dalam hati dia 

berkata. “Den Ayu jarang-jarang menyanyi di depan orang 

lain. Juga aneh, bagaimana Nyi Retno tahu jalan ke 

Gunung Gede. Bagaimana dia tahu di sana ada telaga?” 

Pembantu setia ini lalu memandang pada Pendekar 212. 

“Wiro, saya melihat banyak perubahan pada diri Nyi Retno 

sejak dia mengenalmu. Jika saja kau bisa berada lebih 

lama bersamanya mungkin keadaannya akan tambah baik. 

Apakah kau sudi menolongnya?” 

“Dia suka dan percaya padamu,” menambahkan 

Setan Ngompol. “Dua hal itu bisa kau jadikan sebagai 

dasar menolong dirinya ...”


“Kalian berdua ikut aku ke Gunung Gede?” bertanya 

Wiro. 

Setan Ngompol menggeleng. “Kami akan 

menunggumu di pondok Ki Tambakpati.” Kata si kakek 

pula. 

Wiro garuk-garuk kepala. 

Belum sempat dia tinggalkan ke dua orang itu 

mendadak seorang nenek dengan dandanan tebal 

mencolok tahu-tahu telah tegak berdiri berkacak pinggang 

di hadapan tiga orang itu. Di atas kepalanya ada sebuah 

tabung bambu kuning setinggi satu setengah jengkal, 

mengepulkan asap tiga warna. 

“Hantu Malam Bergigi Perak, kau rupanya ....” Setan 

Ngompol yang pertama sekali membuka suara. 

“Ah, kau tidak melupakan diriku. Tapi aku tidak 

berurusan denganmu. 

Aku mau bicara dengan pemuda ini.” Kata nenek 

berpakaian serba hitam guru dua gadis cantik Liris Merah 

dan Liris Biru. Dia memandang ke arah Wiro. “Jika aku 

tanya tentang kitab itu pasti jawabanmu kau masih belum 

tahu berada dimana. Betul begitu?” 

“Nek, kalau kitab itu ada padaku, pasti akan kuminta 

izin Eyang Sinto agar dipinjamkan padamu untuk 

mengobati kelainan pada dua muridmu.”. Kata Wiro pula. 

Si nenek kerenyitkan kening. “Aku tidak pernah 

memberi tahu bahwa dua muridku punya kelainan. Dari 

mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu?!” Dua mata si 

nenek mendelik, memperhatikan penuh curiga. 

Wiro sadar kalau sudah ketelepasan bicara. Dulu dua 

kakak beradik Liris Merah dan Liris Biru sendiri yang 

memberi tahu penyakit yang mereka idap. 

“Aku cuma menduga Nek. Kalau tidak dirimu tentu 

dua muridmu yang memerlukan pengobatan. Melihat kau 

cantik dan sehat-sehat saja maka aku mengira dua 

muridmulah yang membutuhkan pertolongan.”


“Hemmm, kau pandai bicara. Hidungku tidak besar 

oleh pujianmu! Pemuda mata keranjang, awas kalau kau 

ada hubungan yang tidak-tidak dengan dua muridku, 

kupecahkan batok kepalamu! Sekarang katakan apa kau 

sudah mendapatkan kitab itu?” 

Wiro menggeleng. 

“Tahu dimana beradanya?” 

Wiro menggeleng kembali. 

Hantu Malam Bergigi Perak tertawa bergelak. Deretan 

giginya atas bawah tampak berkilauan. 

“Anak muda, kau berdusta. Apa kau kira aku tidak 

tahu gurumu yang bau pesing itu tadi ada di sini. Kau 

dicuci maki habis-habisan seperti mencuci kesetan kaki! 

Hik ... hik! Aku juga mendengar dia berkata agar kau tidak 

perlu mencari kitab itu lagi. Berarti kitab itu sudah 

ditemukan dan ada di tangannya. Aku tahu ke arah mana 

dia pergi. Aku akan minta pinjam kitab itu secara baik-

baik. Kalau dia tidak memberikan akan kubunuh! Apa 

katamu?!” 

“Aku tidak akan berkata apa-apa Nek,” jawab Wiro. 

Si nenek tertawa panjang. “Bagus, kau mau berpihak 

padaku. Berarti dalam hatimu ada rasa dendam terhadap 

gurumu yang telah melukai dirimu. Benar?! Kalau aku jadi 

dirimu, perlu apa punya guru seperti itu. Sudah jelek, bau 

pesing, bicara tak karuan, hatinya jahat pula.” 

“Ucapanmu hanya menunjukkan bahwa hatimu juga 

tidak seputih dan selembut kapas ...” tukas Wiro. 

Bagaimanapun juga telinganya jadi panas mendengar 

ucapan si nenek. 

Sebaliknya Hantu Malam Bergigi Perak tertawa 

panjang mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. 

“Wiro, diriku bisa saja lebih jahat dari Sinto Gendeng. 

Tapi aku tidak pernah menganiaya murid sendiri seperti 

yang dilakukannya padamu!”


Air muka Wiro tampak merah. Sebelum dia menjawab 

ucapan Hantu Malam Bergigi Perak Setan Ngompol cepat 

mendahului mengalihkan pembicaraan. 

“Sobatku Hantu Malam Bergigi Perak, Wiro pasti akan 

memberikan kitab itu padamu begitu dia mendapatkan. 

Kalau kau tidak percaya padanya, kau boleh menyandera 

diriku. Kau boleh membawaku kemana saja sampai dia 

menyerahkan kitab ...” 

“Tua bangka kuping terbalik. Kau kira aku tidak tahu 

akal bulusmu?! Siapa sudi berada dekat-dekat dengan 

orang bau pesing sepertimu. Sekalipun kau mandi di tujuh 

telaga bau pesingmu tak akan hilang. Lebih baik kau ikut 

membantu mencari kitab itu. Siapa tahu di dalamnya ada 

petunjuk obat yang dapat menghilangkan penyakit 

kencingmu!” 

“Oaallaaa. Aku tak pernah memikirkan hal itu!” kata 

Setan Ngompol pula sambil pegangi bagian bawah 

perutnya. “Terima kasih kau mengingatkan. Sekarang 

apakah aku boleh ikut bersamamu?!” 

Si nenek mencibir lalu tinggalkan tempat itu. 

Setan Ngompol berpaling pada Wiro. “Aku berubah 

pikiran. Tak jadi ke gubuknya Ki Tambakpati. Tapi mau 

mengejar nenek bergigi perak itu. Dia benar! Tidak 

mustahil dalam Kitab Seribu Pengobatan ada petunjuk 

obat serta cara menghilangkan penyakit kencing-

kencingku!” 

“Kek. tunggu dulu!” 

“Kau ini. apa lagi. Nanti nenek itu keburu lari 

jauh!”Setan Ngompol mengomel. 

“Eyang Sinto menyuruh aku mendapatkan tusuk 

kondenya yang dirampas Wulan Srindi. Menurutmu 

bagaimana?” 

“Kalau aku jadi kau aku tidak akan melakukan. Itu 

urusannya dengan Wulan Srindi. Mengapa kau yang jadi 

repot? Sudah, aku mau mengejar nenek menor itu ...”


Setan Ngompol segera saja lari ke arah lenyapnya Hantu 

Malam Bergigi Perak. 

Pendekar 212 Wiro Sableng tak bisa berbuat apa. Dia 

bertanya pada Djaka Tua. “Bagaimana denganmu. Aku 

terpaksa rneninggalkan kau sendirian.” 

“Tidak jadi apa. Saya pernah mendengar nama Ki 

Tambakpati. Saya akan mencari pondok tempat 

kediamannya. Kalau tidak keliru di sebuah bukit dekat 

Plaosan. Saya hanya mohon agar kau bisa menolong Nyi 

Retno Mantili. Yang penting dia bisa disembuhkan serta 

diselamatkan dari tangan jahat Raden Mas Wira Bumi yang 

bertekad hendak membunuhnya.” 

Wiro pegang bahu Djaka Tua. “Kau orang baik. 

Menurutku kesembuhan atas diri Nyi Retno hanya bisa 

terjadi jika bayinya yang hilang ditemukan kembali. Coba 

kau ingat-ingat mengenai orang tua serba putih kepada 

siapa bayi itu kau serahkan. Aku ingin kau menceritakan 

sekali lagi apa yang terjadi di goa. Jangan ada satu halpun 

yang terlupa ...” 

Djaka Tua lalu bercerita. 

“Malam itu. lebih satu tahun lalu. Saya membawa lari 

bayi Nyi Retno dari Gedung Tumenggung. Bayi saya 

bungkus dengan sarung. Malam itu hujan turun lebat 

sekali. Untung ada sebuah goa. Belum lama berteduh di 

situ muncul kabut aneh. Lalu kelihatan sosok seorang tua. 

Tubuhnya tinggi sekali. Kepala hampir menyentuh bagian 

atas goa. Orang tua ini mengenakan pakian sebentuk 

selempang kain putih. Rambutnya putih. Ada sebatang 

tongkat putih di tangan kirinya .....” 

“Apa kau memperhatikan sepasang mata orang tua 

itu?'. tanya Wiro. 

“Wajah orang tua itu berada di bagian yang agak 

gelap. Tapi saya ingat ..... Bagian putih matanya hanya 

sedikit. Selebihnya mungkin hitam, mungkin coklat. Sulit


saya mengetahui karena gelap. Orang tua itu memanggil 

saya sahabat. Dia minta saya menyerahkan bayi ....” 

“Orang tua itu, apakah dia membawa sebuah suling 

emas disisipkan di pinggangnya?” 

“Tidak dapat saya pastikan. Karena bagian pinggang 

ke bawah tubuhnya tertutup kabut tipis. Ada satu hal yang 

ingin saya beritahu. Dibalik kabut, di belakang orang tua 

itu saya merasa ada satu mahluk. Entah orang entah 

binatang. Nafasnya menghembus berat. Saya tidak bisa 

melihat sosoknya tapi saya melihat ada dua buah titik 

hijau. Titik ini sesekali tampak bergerak-gerak ...” 

“Djaka Tua, kau bicara cukup lama dengan orang tua 

itu. Kau ingat logat bicaranya? Logat Jawa, Pasundan, 

Madura .... ?” 

Djaka Tua berpikir. “Bukan logat Jawa. Bukan Sunda. 

Juga bukan logat Madura. Bahasanya halus. Kata-katanya 

lembut. Saya kira dia orang dari tanah seberang. Tapi 

seberang daerah mana saya tidak tahu ...” 

Wiro pegang bahu Djaka Tua. “Keteranganmu sangat 

berharga. Mudah-mudahan aku bisa menduga siapa 

adanya orang itu.” 

“Kalau begitu kita cari sekarang juga.” kata Djaka Tua 

bersemangat. 

Wiro tertawa. “Biar aku yang melakukan tugas satu 

itu. Kau pergilah ke tempat kediaman Ki Tambakpati. 

Katakan aku dan Setan Ngompol yang menyuruh kau 

kesana.” 

“Saya akan berdoa siang malam semoga bayi itu bisa 

ditemukan. Karena hanya pertemuan dengan bayi itulah 

Nyi Retno bisa disembuhkan dari sakitnya. Saat ini paling 

tidak bayi itu sudah berusia satu tahun lebih. Dibalik 

ketidak warasannya kau dapat membayang kan derita 

duka Nyi Retno. Kasihan sekali. Seharusnya dia tinggal di 

satu gedung mewah. Dikelilingi para pelayan. Berpakaian 

bagus berdandan apik. Dihormati orang dimana-mana .


“Djaka Tua, tidak banyak di dunia ini orang yang 

begitu setia pada atasannya sepertimu. Aku merasa 

bahagia bisa mengenalmu. Kau pergilah sekarang juga. 

Jangan lewat dijalan biasa. Aku menduga Patih Kerajaan 

akan mengirim orang-orangnya atau datang sendiri 

menyelidik ke tempat ini.” 

Djaka Tua mengangguk. Pembantu ini membungkuk 

dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu sementara langit 

mulai kelihatan redup di akhir rembang sore itu. 

Wiro menunggu sampai Djaka Tua lenyap di 

kejauhan. Lalu dia mencari tempat yang agak lapang dan 

duduk bersila di tanah. Dua mata dipejam, hati dan pikiran 

dipusatkan pada membayangkan sosok seekor harimau 

putih bermata hijau. 

“Sahabat Datuk Rao Bamato Hijau. Saya Wiro 

Sableng. Saya perlu bantuanmu. Datanglah.” 

Wiro hanya menunggu satu kejapan mata. Kabut 

putih entah dari mana datangnya tahu-tahu menutupi 

tempat itu seluas lima tombak persegi. Di dalam kabut 

kelihatan dua titik hijau. Tanah bergetar. Ada suara 

hembusan nafas berat. Perlahan-lahan masih di dalam 

kabut, kelihatan sosok seekor harimau putih memiliki 

sepasang mata hijau. 

“Datuk. terima kasih kau mau datang ...” 

Terdengar suara gerengan halus seolah menyahut 

memberi salam. Harimau putih keluar dari dalam kabut, 

melangkah ke hadapan Wiro, menjilati tangan kanan sang 

pendekar. Wiro usap-usap kepala binatang itu dengan 

tangan kirinya. Terasa ada hawa hangat yang menjalar 

masuk ke dalam tubuhnya. Mernbuat rasa sakit luka di 

punggung serta merta menjadi lenyap. 

“Datuk, saya buluh pertolonganmu. Mohon 

disampaikan pada Datuk Rao Basaluang Ameh. Saya ingin 

petunjuk tentang seorang bayi perernpuan yang pernah


diserahkan kepadanya oleh seorang lelaki berpunuk di 

sebuah goa sekitar satu tahun silam ....” 

Harimau putih kedipkan dua mata lalu menggereng 

halus. Ekornya menjentik ke atas tiga kali berturut-turut, 

memancarkan bunya api berwarna hijau. Kabut masih 

menggantung di udara. Perlahan-lahan sosok harimau 

putih bermata hijau lenyap dari pemandangan. Kabutpun 

ikut sirna. 

Seperti dikisahkan dalam Episode berjudul “Delapan 

Sabda Dewa” harimau putih bernama Datuk Rao Bamato 

Hijau ini adalah peliharaan seorang sakti di Pulau Andalas 

bernama Datuk Rao Basaluang Ameh. Dari Sang Datuk 

Wiro telah menerima banyak ilmu kesaktian. Harimau 

bermata hijau itu oleh Datuk Rao Basaluang Ameh 

dijadikan sebagai pelindung Wiro. 

Namun sebegitu jauh dalam menghadapi berbagai 

kesulitan terutama menghadapi musuh berkepandaian 

tinggi hampir tak pernah Wiro meminta bantuan si mata 

hijau ini. Segala kesulitan yang ditemui jika masih bisa 

dihadapi selalu ditangani sendiri. 

Tidak lebih dari dua kejapan mata berlalu tiba-tiba 

tanah kembali bergetar. Di kejauhan terdengar suara 

saluang (semacam suling khas Minangkabau) disusul 

munculnya kabut. Lalu di dalam kabut kelihatan kembali 

harimau putih besar Datuk Rao Bamato Hijau. Ternyata 

harimau ini tidak datang sendiri. Di atas punggungnya 

duduk seorang anak perempuan bertubuh gemuk montok, 

berkulit putih. Rambutnya yang hitam tebal di kuncir dua 

di atas kepala. Wajah segar dengan dua pipi merah. Mulut 

selalu mengulum senyum sementara sepasang matanya 

tampak bening bagus dihias alis tebal dan bulu mata 

lentik. Anak perempuan seusia satu tahun ini adalah bayi 

Nyi Retno Mantili yana dulu diserahkan Djaka Tua pada 

seorang kakek. Dan kakek itu kini berdiri di samping 

harimau putih bermata hijau.


Sang kakek mengenakan selempang kain putih. 

Sepasang matanyanya berwarna biru. Meski usia sangat 

lanjut namun masih tampak gagah. Di tangan kiri dia 

memegang sebatang tongkat putih sedang di pinggang 

terselip sebuah seruling terbuat dari emas. lnilah Datuk 

Rao Basaluang Ameh, orang sakti dari Pulau Andalas yanq 

menjadi salah satu dari guru Pendekar 212 karena dia 

pernah mewariskan ilmu silat dan kesaktian pada Wiro 

melalui kitab “Delapan Sabda Dewa”. Perlahan-lahan kabut 

menipis dan suara alunan saluang lenyap dari 

pendengaran. 

Wiro cepat berdiri, melangkah kehadapan Datuk Rao 

Basaluang Ameh. membungkuk, menyalami dan mencium 

tangannya. 

“Datuk, salam hormat saya untuk Datuk. Maafkan 

saya karena telah berani merepotkan dan menyita waktu 

Datuk. Saya terpaksa melakukan karena ada seorang ibu 

kehilangan bayi perempuannya. Saat ini dia berada dalam 

keadaan tidak waras. Sakit dan derita sengsaranya ini 

mungkin sekali bisa disembuhkan jika dia bertemu dengan 

anaknya kembali.” 

“Anak muda bernama Wiro, kau sendiri apakah tidak 

mempunyai banyak kesulitan hingga mementingkan orang 

lain dari pada diri sendiri?” Datuk Rao Basaluang Ameh 

bertanya. Suaranya halus lembut. 

Wiro tahu kalau sang guru tengah menjajal dirinya. 

“Datuk Rao, sudah menjadi garis nasib saya bahwa 

dalam hidup ini saya akan selalu menemui kesulitan serta 

bebagai macam bahaya. Namun jika saya masih bisa 

menolong orang lain, mengapa tidak saya lakukan. Lagi 

pula dari keterangan orang yang menyerahkan bayi saya 

coba menduga-duga bahwa yang membawa bayi itu 

mungkin adalah Datuk Rao Basaluang Ameh. Maafkan 

kalau salah keliru ...” 

Datuk Rao tersenyum.


“Dugaanmu tidak keliru Wiro. Anak di atas punggung 

Datuk Rao Bamato Hijau itulah bayi yang kau maksudkan. 

Aku memberinya nama Ken Permata.” 

“Saya merasa lega mengetahui bahwa bayi itu 

memang ada di dalam perawatan Datuk. Saya sendiri 

senang melihatnya, apa lagi ibunya ...” Wiro dekati anak 

perempuan di atas punggung harimau putih, membelai 

kepalanya. mengusap pipinya yang merah. Si anak 

tertawa-tawa. mulutnya mengucapkan sesuatu dan kedua 

tangannya diulurkan ke arah.Wiro. 

“Anak itu suka padamu. Dukunglah barang sebentar.” 

kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula sementara harimau 

putih keluarkan suara gerengan halus. 

Wiro segera menggendong anak perempuan itu. Ken 

Permata tertawa tawa dan tepuk-tepuk wajah Pendekar 

212. 

“Wiro. Ketahuilah bahwa saat sekarang ini masih 

belum waktunya Ken Perrnata ditemukan dengan ibu 

kandungnya. Sang ibu masih menghadapi berbagai macam 

kesulitan. Keselamatan mereka sama-sama terancam ....” 

“Saya hanya menuruti apa pang baik kata Datuk.” 

“Waktu yang tepat adalah sekitar tujuh bulan di 

muka. Pada malam Satu Suro tahun depan kita bertemu 

lagi. Saat itulah Ken Permata akan aku serahkan padamu. 

Akan lebih baik kalau saat itu ibunya ada bersamamu. 

Sementara itu dari sekarang sampai saat pertemuan nanti 

kuharap kau mau menjaga keselamatan ibu anak ini.” 

“Terima kasih atas petunjuk Datuk. Perintah Datuk 

akan saya lakukan Saya tidak akan menganggu Datuk 

lebih lama. Saya hanya mohon nasihat. Pesan wejangan 

atau mungkin juga teguran. Agar saya bisa lebih lega 

dalam menghadapi berbagai tantangan di masa yang skan 

datang.” 

Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum.


“Wiro. ketahuilah segala nasihat, pesan wejangan 

maupun teguran sesungguhnya dimiliki dan berada dalam 

diri manusia itu sendiri. Semua yang datang dari orang 

lain tidak akan ada gunanya jika tidak dituruti. Suara hati 

nurani sendiri, yang datang dari lubuk terdalam hati tulus 

dan bersih adalah mata telinga bagi diri seseorang untuk 

melangkah di jalan yang baik dan diredhohi Allah, Tuhan 

Seru Sekalian Alam. Yang Maha Kuasa dan Maha 

Mengetahui” 

Wiro membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih 

Datuk. Ucapan Datuk akan saya perhatikan sungguh-

sungguh.” 

“Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum. Dia usap 

kepala Pendekar 212. Wiro turunkan Ken Permata dari 

gendongan. Ketika hendak didudukan kembali di atas 

punggung harimau putih, anak ini menangis tak mau pisah 

dengan Wiro. Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus 

ketika Wiro mengusap tengkuknya dan mencium 

keningnya. Wiro tak lupa mencium tangan kanan Datuk 

Rao Basaluang Ameh sekali lagi. 

“Wiro, sebelum pergi biar aku sembuhkan luka di 

punggungmu.” 

“Terima kasih Datuk memperhatikan saya. Saya ingin 

biar luka di punggung saya akan menjadi cacat yang 

mengingatkan diri saya betapa pahitnya hidup ini. 

Membuat saya bisa berbuat lebih baik dan lebih bijaksana. 

Karena betapapun buruknya diri saya ini. saya masih tetap 

seorang anak manusia. Bukan anak setan ....” 

Lama Datuk Rao Basaluang Ameh tegak terdiam 

mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Akhirnya si kakek 

mengulum senyum luruh, membelai kepala sang pendekar 

dan berkata. “Kau anak baik. Namun sebagai manusia kita 

tidak pernah lepas dari perasaan hati dan jalan pikiran. 

Jaga dirimu baik-baik, Wiro .


Sosok si orang tua. harimau putih dan Ken Permata 

berubah samar. Kabut menipis. Di kejauhan terdengar 

suara seruling. Tak lama kemudian ketiga mahluk itupun 

lenyap dari pandangan. 

Pendekar 212 menghela nafas. Hatinya membatin. 

“Turut akal sehat otak manusia, siapa bisa percaya akan 

semua yang barusan terjadi di tempat ini. Di balik semua 

keanehan, tangan dan kuasa Tuhan bergerak memberikan 

segala rakhmatNya.” 

Wiro usapkan dua telapak tangan ke wajah. Sang 

surya masih menyisakan cahaya terakhirnya di ufuk barat. 

Sebentar lagi petang akan memasuki malam. Terbayang 

wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas “Apa yang ingin 

dibicarakan orang sakti itu hingga dia menyuruhku datang 

menemuinya?” Pertanyaan itu muncul dalam hati sang 

pendekar. 

-- <<  >>



TUJUH



PUNCAK Gunung Gede. Sang surya belum lama 

tenggelam namun kepekatan malam telah muncul 

memagut hingga segala sesuatunya kelihatan gelap 

dan hitam. Sosok yang datang berkelebat dari arah timur 

untuk beberapa lama tegak diam tertegun. Mata 

memandang berkeliling, wajah putih membayangkan 

perasaan heran sekaligus keterkejutan. 

“Walau cuma satu kali datang ke sini, rasanya tak 

mungkin aku datang di tempat yang salah. Pohon besar itu 

masih berdiri di sebelah sana. Sumur tua di sebelah situ. 

Tapi mana gubuknya? Semua tinggal tanah rata.” 

Orang yang barusan datang, seorang nenek berwajah 

putih memandang berkeliling lalu melangkah kian kemari 

seputar tanah datar dimana sebelumnya berdiri gubuk 

kediaman Sinto Gendeng. 

“Sesuatu telah terjadi di sini. Aku melihat pecahan-

pecahan kayu. Kepingan tempayan tanah ...” Di satu 

tempat si nenek berdiri agak lama. Kaki digeser beberapa 

kali. Dada berdebar. “lni tempatnya. Apakah aku harus 

......” Dalam membatin si muka putih ini merasa ragu. Dia 

melangkah kembali. 

Di pinggir sebuah sumur tua, si nenek berhenti. 

Pandangan diarahkan ke berbagai penjuru, telinga 

dipasang. “Tak ada tanda-tanda manusia terkutuk itu telah 

muncul di tempat ini. Apakah aku datang lebih cepat, lebih 

dahulu? Atau mungkin ditengah jalan dia merubah pikiran. 

membatalkan niat datang ke tempat ini?” Suara hatinya 

itu dibantah sendiri. “Tidak mungkin. Turut keterangan Ki 

Tambakpati dia menanyakan Kitab Seribu Pengobatan. Dia 

mesti ke sini. Aku akan menunggu. Sekali ini dia tidak


bakal lolos dari tanganku! Manusia keji jahanam! Kau akan 

jadi bangkai di tempat ini!” 

Baru saja si nenek berkata dalam hati seperti itu 

mendadak ada kilasan satu cahaya di sebelah barat dan 

telinganya menangkap suara orang berlari cepat sekali. 

“Pasti jahanam terkutuk itu!” 

Secepat kilat nenek muka putih yang bukan lain Nyi 

Bodong adanya melesat ke atas sebatang pohon besar. 

Mendekam di situ, mata memperhatikan tak berkesip ke 

arah datangnya suara orang yang berkelebat datang. 

Hanya satu kejapan mata saja, seorang mengenakan 

jubah hitam dengan gambar matahari bulat merah di 

bagian dada, bermuka cacat. tegak di pinggiran sumur, 

tepat dimana si nenek tadi berdiri. Keningnya diikat 

secarik kain warna merah. Di tangan kanan orang ini 

menenteng satu benda aneh, yakni sebuah lentera yang 

cahayanya menerangi tempat terbuka sampai seluas tiga 

tombak persegi. Tidak seperti lentera biasa, lentera ini 

memancarkan cahaya tiga warna yaitu merah di sebelah 

atas, hitam di sebelah tengah dan kuning di sebelah 

bawah. 

Di atas pohon besar Nyi Bodong bergerak hati-hati, 

masuk menyelinap ke balik kelebatan daun pepohonan, 

melindungi diri dari cahaya terang lentera. 

“Lentera lblis ....” ucap Nyi Bodong dalam hati. Dia 

ingat pada guratan tulisan yang dilihat dan dibacanya 

dalam goa kediaman Si Muka Bangkai. “Jahanam itu 

mengenakan pakaian baru berlambang gambar matahari. 

Dia berani unjuk tampang tanpa mengenakan topeng 

setan. Berarti ada kekuatan yang diandalkannya. Lentera 

itu .... ? Mahluk jahanam! Hantu Pemerkosa alias 

Pangeran Matahari! Kau datang ke sini mencari kitab 

keramat. Kalau kau mendapatkan kau akan 

menyerahkannya padaku bersama nyawamu! Apapun 

penyakitmu kau tidak akan pernah tersembuhkan!


Mungkin ada hikmahnya Kiai mengembalikan kitab itu. 

Kalau tidak aku tidak akan memergokinya di tempat ini!” 

Orang yang memegang lentera yang memang 

Pangeran Matahari adanya memperhatikan keadaan 

sekitar. 

“Tak ada pondok! Tak ada gubuk! Tapi Si Muka 

Bangkai menyuruhku datang kesini. Sekali ini mungkin dia 

benar-benar hendak menipuku!” 

Hati-hati Pangeran Matahari letakkan lentera di 

tanah. Mata tak berkesip memperhatikan keadaan tanah. 

yang diterangi lentera. Sesungging seringai menyeruak di 

mulut, hidung yang pencong patah mendongak seperti 

binatang mencium sesuatu. Perlahan-lahan dia berjalan ke 

bagian kanan lentera, berhenti sejarak tiga langkah. Kaki 

digeser. Seringai kembali muncul di wajahnya. 

“Pasti di sini tempatnya.” 

Tiba-tiba Pangeran Matahari membungkuk. 

Bersamaan dengan itu tangan kanan dihantamkan ke 

tanah. 

“Bruukkk!” Tangan menembus tanah sedalam tiga 

jengkal. 

“Kraaak!” Ada satu benda berderak pecah dilanda 

hantaman tangan kanan. Ketika Pangeran Matahari 

mengangkat tangannya keluar dari tanah yang terbongkar, 

di pergelangan tangan itu menggelantung sebuah peti 

kayu warna hitam. Pangeran Matahari menggeprak peti 

kayu dengan tangan kiri hingga pecah berantakan. Dari 

dalam peti yang hancur jatuh ke bawah satu benda yang 

bukan lain adalah sebuah kitab tebal terbuat dari daun 

lontar. Sang Pangeran cepat sambuti kitab daun lontar itu 

dengan tangan kiri. Di atas pohon besar Nyi Bodong 

tegang sesaat. “Kau tidak akan dapatkan kitab itu 

Pangeran jahanam! Aku akan membunuhmu!”


Saking girangnya Pangeran Matahari alias Hantu 

Pemerkosa berteriak keras. Tangan kanan dipukulkan ke 

dada. 

“Kitab Seribu Pengobatan! Aku akan sembuh! Akan 

sembuh! Aku akan menguasai rimba persilatan tanah 

Jawa! Guru, terima kasih atas semua petunjukmu!” 

Pangeran Matahari masukkan kitab daun lontar ke 

dalam saku besar di kanan jubah hitam. Lalu dia 

melangkah untuk mengambil Lentera Iblis. Namun 

sebelum tangannya menyentuh gagang lentera, ada satu 

perasaan yang membuat dia mengeluarkan kembali Kitab 

Seribu Pengobatan dari saku jubah. Kitab didekatkan ke 

lentera. Di bawah penerangan cahaya tiga warna lentera 

Pangeran Matahari membuka halaman pertama. Halaman 

itu kosong! Dibuka halaman kedua! Kosong polos! Begitu 

seterusnya. Sampai halaman terakhir. Kitab daun lontar 

itu tidak satu halamanpun ada tulisannya! 

Pangeran Matahari berteriak keras! Marah sekali kitab 

dibanting hingga menancap amblas dan lenyap di dalam 

tanah. 

Di atas pohon wajah putih Nyi Bodong unjukkan rasa 

heran. 

“Bagaimana mungkin,” katanya dalam hati. “Apakah 

Kiai sengaja melakukan? Lalu dimana kitab yang asli?” 

“Keparat kurang ajar! Siapa menipuku! Jahanam 

mana yang punya pekerjaan begini rupa! Muka Bangkai! 

Kau yang jadi biang kerok menipuku?!” Pangeran Matahari 

menyalahi gurunya lalu memakipanjang pendek. 

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba menggelegar 

suara tawa cekikikan dari salah satu pohon besar. 

“Pangeran Matahari! Hantu Pemerkosa! Kasihan sekali 

kau ditipu guru sendiri. Kalau kau diperlakukan seperti itu 

berarti baginya kau tidak lebih baik dari cacing dalam 

comberan! Hik ... hik. ..hik!”


“Jahanam keparat! Siapa berani bicara menghina 

diriku!” 

Pangeran Matahari hantamkan tangan kanannya ke 

arah pohon. Udara mendadak bertambah kelam. Dari atas 

pohon saat itu tiba-tiba menggelegar suara seperti 

raungan srigala, disusul suara tawa bergelak dan di lain 

kejap berkiblatlah selarik sinar biru pekat. 

“Wusss! Buuummm!” 

Tiga larik sinar pukulan sakti Gerhana Matahari yang 

dilepaskan Pangeran Matahari berdentum keras, buyar 

tercabik-cabik. Sang Pangeran terpental ke arah sumur 

tua, mulut muntahkan darah segar. Dia cepat gulingkan 

diri dan menyambar Lentera Iblis. Ketika dia berdiri di 

hadapannya telah tegak sosok nenek muka putih 

berpakaian biru gelap. 

“Tua bangka jahanam Nyi Bodong! Kau berani 

mengikutiku! Kau mencari mati mencari mampus!”, teriak 

Pangeran Matahari. Lentera ditangan kanan diangkat ke 

atas. 

Nyi Bodong menyeringai. 

“Kau kira Lentera lblis itu bisa menyelamatkan 

dirimu? Benda butut itu hanya pantas dipakai ronda 

pamong desa! Hik ... hik ... hik!” 

Kejut Pangeran Matahari bukan olah-olah. 

“Dari mana hantu perempuan ini tahu yang kupegang 

adalah Lentera Iblis!” ucap Pangeran Matahari dalam hati. 

Seperti dapat membaca apa yang ada dalam hati 

lawan, Nyi Bodong berkata. “Goa di puncak Merapi! Tiga 

jurus ilmu Lentera Iblis! Hanya sayang, goa itu sudah aku 

hancurkan menjadi timbunan tanah tak berguna! Hik ... 

hik ... hik ...” 

Pangeran Matahari berteriak keras. Kaki kanan maju 

ke depan. Tenaga dalam disalurkan ke tangan kanan. 

Lentera lblis didorong ke arah Nyi Bodong.


Cahaya kuning memancar lebih terang dan angker 

dibanding dua warna cahaya lainnya. 

“Jurus ketiga Lentera Iblis! Jurus Liang Lahat 

Menunggu! Hik..hik..hik!” Nyi Bodong sebut nama jurus 

serangan maut yang hendak dilancarkan Pangeran 

Matahari. Walau kaget bukan kepalang namun sang 

Pangeran terus dorongkan Lentera Iblis. Cahaya kuning 

berkiblat dari dalam lentera. Bersamaan dengan itu Nyi 

Bodong singkapkan pakaian birunya di bagian perut. Kaki 

kanan dihentakkan ke tanah, tangan kiri meremas. Selarik 

sinar biru menggidikkan menderu memapaki cahaya 

kuning serangan Lentera Iblis! 

Nyi Bodong menjerit keras! Pohon besar 

dibelakangnya tenggelam dalam kobaran api dan dalam 

sekejapan telah berubah menjadi gosong kuning! 

Puncak Gunung Gede sebelah utara bergoncang hebat 

ketika dua cahaya sakti saling hantam di udara. Dentuman 

dahsyat menggelegar. Tubuh Pangeran Matahari 

bergoyang-goyang. Darah mengucur di sela bibir. Muka 

pucat namun dia masih mampu berdiri di atas ke dua 

kakinya. 

Nyi Bodong sendiri mencelat mental. Terguling ke 

bagian gunung yang terjal dan lenyap dari pemandangan. 

Pangeran Matahari mengejar. Lentera diangkat tinggi-

tinggi hingga tempat di sekitarnya menjadi terang. Namun 

dia tidak menemukan sosok Nyi Bodong. 

“Mampus! Mungkin sudah lumat jadi tanah!” 

Pangeran Matahari seka darah di sudut bibir. Tertatih-tatih 

sambil pegangi dada dia melangkah tinggalkan puncak 

Gunung Gede, menuruni lereng gunung ke arah tenggara. 

Hatinya masih penasaran hendak mencari Nyi Bodong 

untuk memastikan apakah nenek muka putih itu benar-

benar sudah menemui kematian. Namun rasa kesal karena 

Kitab Seribu Pengobatan palsu itu, akhirnya dia 

memutuskan untuk cepat-cepat tinggalkan Gunung Gede.


Kini dia memiliki senjata luar biasa. Lentera lblis yang 

mampu menandingi kehebatan Nyi Bodong. Begitu turun 

gunung tekadnya bulat untuk segera mencari dan 

menghabisi Pendekar 212 Wiro Sableng. Setelah itu satu 

persatu para tokoh persilatan tanah Jawa akan 

dihabisinya. 

*** 

TERPISAH hampir tiga hari dari kemunculan Pangeran 

Matahari dipuncak utara Gunung Gede, pada satu siang 

yang cerah Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tepi 

telaga tiga warna di puncak gunung sebelah timur. 

Keanehan pada telaga ini, airnya selalu membentuk riak 

dan mengeluarkan suara halus seperti air mendidih. 

Pertama sekali yang jadi perhatiannya ialah dia tidak 

melihat sawung yang pernah ada di tepi telaga itu. 

Kemudian dia tersentak kaget dan melongo ketika di balik 

serumpunan pohon bunga di tepi telaga duduk seorang 

perempuan muda bewajah cantik, rambut hitam tergerai, 

pakaian kembang-kembang kuning dan biru. Sepasang 

alisnya yang tebal hitam naik ke atas, bibir yang mungil 

mengulum senyum. Dua kakinya yang mulus putih berada 

dalam air telaga sampai sebatas ujung lutut. Di atas 

pangkuannya ada sebuah boneka kayu perempuan. 

“Den Ayu ... Nyi Retno Mantili, kaukah ini?” tanya 

Pendekar 212. 

“Hik ... hik. Apakah kau tidakmengenali diriku lagi?” 

tanya perempuan muda yang memang Nyi Retno Mantili 

adanya. Saat itu tubuh, wajah dan rambutnya dalam 

keadaan bersih. Pakaian bagus, apik dan rapi. Alis hitam 

kereng, pipi kemerahan dan bibir segar. Selain cantik 

dirinya tampak anggun sekali. 

“Ah, maafkan. Saya hampir tidak mengenali,” jawab 

Wiro terkagum-kagum. Sebelumnya dia melihat Nyi Retno


dalam keadaan dekil kumal baik tubuh, rambut maupun 

pakaian. 

“Guru menyuruhku membersihkan diri, memberi 

pakaian baru, berdandan. Kalau dulu aku tidak mau. Tapi 

sekarang mau. Karena menyambut kedatanganmu. Boleh 

'kan? Kau suka Wiro? Hik .. hik ... hik.” 

Pendekar 212 jadi rikuh mau menjawab pertanyaan 

Nyi Retno. Dia malah balik bertanya. “Guru? Maksud Nyi 

Retno guru siapa?” 

“Nanti kau tahu sendiri.” 

“Aku lupa menanyakan perihal anakmu. Apakah 

Kemuning baik-baik saja?” Wiro mengambil boneka kayu 

dari pangkuan Nyi Retno dan menimang-nimangnya. 

“Dia selalu rewel. Selalu menanyakan kapan kau 

datang. Kapan kau datang. Sekarang lihat. Dia tersenyum-

senyum. Gembira kau sudah datang. Terbukti sekarang 

....” 

Wiro tertawa. “Terbukti apa Nyi Retno?.” 

“Aku lebih dulu sampai darimu.” 

“Ya. kau orang hebat. Aku kagum padamu. Aku 

mengaku kalah.” 

Nyi Retno tertawa panjang. 

“Hai, apakah gurumu si nenek bawel itu tidak 

mengikuti...?” 

Wiro tertawa lebar. 

“Dia guru baik. Semua nenek di dunia ini sama saja 

bawelnya. Nyi Retno, yang masih jadi tanda tanya besar 

bagi saya, bagaimana Nyi Retno tahu jalan ke puncak ini. 

Lalu tahu telaga ini? ' 

“Tanyakan saja pada Kemuning,” jawab Nyi Retno lalu 

terlawa 

“Kemuning. katakan pada saya bagaimana Kau tahu 

jalan ke sini. Juga tahu telaga ini?” Wiro bertanya pada 

boneka lalu tertawa.


Nyi Retno ikut tertawa. Habis tertawa dia berkata. 

“Tidak ada yang mengherankan. Rumahku di sini” 

Wiro terkejut. 

Tiba-tiba di bagian pertengahan telaga air 

membentuk gelombang-gelombang kecil. Bersamaan 

dengan itu kabut tipis turun menutupi permukaan air. Tak 

selang berapa lama satu sosok putih melesat keluar. Air 

telaga muncrat sampai beberapa tombak. Di pertengahan 

telaga kemudian kelihatan seorang tua berselempang kain 

putih, rambut. janggut dan kumis putih melambai-lambai 

tertiup angin. Seperti berjalan di tanah datar begitulah dia 

melangkah di atas air menuju tepi telaga dimana Wiro. Nyi 

Retno dan Kemuning berada. Sekujur tubuh dan 

pakaiannya sama sekali tidak basah sedikitpun! 

“Kiai Gede Tapa Pamungkas, terima hormat saya. 

Saya Wiro menghadap Kiai sesuai dengan pesan Eyang 

Sinto Gendeng.” Wiro membungkuk dalam, menjabat 

tangan si kakek lalu menciumnya. 

Yang membuat Pendekar 212 terkejut ialah ketika Nyi 

Retno Mantili melompat, tertawa panjang lalu 

membungkuk di hadapan si kakek. Seraya berkata. 

“Guru…” 

Wiro perhatikan Nyi Retno dengan pandangan heran 

yang dibalas pandang ditambah senyuman. Wiro menatap 

pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah guru dari 

Sinto Gendeng dan Tua Gila. (Kisahnya harap baca serial 

Wiro Sableng berjudul “Pedang Naga Suci 212”. Juga 

dapat dibaca kisah muda kedua orang tokoh silat itu dalam 

CERMIN berjudul “Selingkuh Rimba Persilatan”) 

Masih berdiri di atas air di tepi telaga. Kiai Gede Tapa 

Pamungkas berkata. “Wiro, dia memang muridku.” 

“Saya tidak mengira. Kalau saya boleh bertanya, 

bagaimana kejadiannya Kiai?” 

“Sewaktu lari dari Gedung Tumenggung di Kotaraja. 

Nyi Retno Mantili hampir dihabisi seorang nenek dari alam


roh bernama Nyi Tumbal Jiwo. Mahluk jejadian ini adalah 

guru dari Wira Bumi, suami Nyi Retno yang waktu itu 

masih menjabat sebagai Tumenggung di Kotaraja. Aku 

menyirap kabar sekarang dia sudah jadi Patih Kerajaan ...” 

“Guru saya tidak mengenal siapa itu Wira Bumi. Saya 

tidak pernah punya suami. Kalau saya mencari suami saya 

ingin orangnya yang seperti dia!” Tiba-tiba Nyi Retno 

berkata sambil menunjuk pada Pendekar 212 membuat 

Wiro jadi merah mukanya dan garuk-garuk kepala! 

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Dia 

melanjutkan ceritanya. 

“Nyi Retno aku bawa kesini. Aku beri beberapa ilmu 

kesaktian dan sedikit pelajaran silat. Tujuanku adalah agar 

dia mampu menjaga diri karena aku tahu tidak akan bisa 

menahannya lama-lama di tempat ini. Kenyataannya satu 

tahun di sini dia menghilang. Tahu-tahu beberapa hari lalu 

muncul bersama Kemuning. Aku gembira melihat kalian 

semua. Wiro, sesuai dengan pesanku pada gurumu, 

pembicaraan kita lanjutkan di dalam telaga.” 

“Kiai saya tak punya kemampuan masuk dan tinggal 

lama di dalam telaga.” Ucap Wiro terus terang. 

“Tak usah kawatir. Kau dan juga juga Nyi Retno serta 

Kemuning tinggal mengikutiku saja.” 

Wiro hanya bisa menggaruk kepala. 

Tiba-tiba selintas pikiran muncul di benak Wiro. 

“Jangan-jangan orang tua ini mempertemukan aku dengan 

Nyi Retno di sini untuk maksud perjodohan. Tapi mana 

mungkin. Nyi Retno masih istri Wira Bumi. Ah, aku 

mungkin sudah gila berpikir sampai ke situ ...” 

Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap wajah Pendekar 

212 sesaat lalu bertanya. “Pendekar, apa yang ada dalam 

hati dan benakmu?” 

“Ah, agaknya Kiai tahu apa yang barusan aku 

pikirkan,” membatin Wiro. Dia cepat-cepat membungkuk.


“Harap maafkan kalau saya berpikiran sangat dangkal dan 

tolol.” 

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. 

“Kiai, sebelum kesini saya singgah di puncak gunung 

sebelah utara. Saya tidak melihat gubuk kediaman Eyang 

Sinto. Sepertinya telah terjadi sesuatu ...” 

“Ketika gurumu bertemu denganmu saat 

menyampaikan pesan, apakah dia tidak menceritakan apa-

apa?” 

“Banyak Kiai. tapi sama sekali tidak ada cerita 

tentang keadaan di tempat kediaman Eyang.” 

“Kalau kau bertemu lagi, tanyakan langsung 

padanya,” kata sang Kiai pula. Dipegangnya tangan Wiro 

dan Nyi Retno. Lalu seperti diajak terbang dia mengangkat 

tubuh ke dua orang itu ke udara. Kemudian perlahan-

lahan diturunkan di pertengahan telaga dan plaaass! 

Ketiga orang itu lenyap masuk ke dalam air! 

-- <<  >>




DELAPAN



MSUK ke dalam telaga di puncak timur Gunung 

Gede itu mengingatkan Wiro pada kejadian 

sewaktu dia dibawa masuk oleh Ratu Duyung ke 

dalam samudera pantai selatan (baca serial Wiro Sableng 

berjudul “Kiamat Di Pangandaran”) Ternyata di dasar 

telaga terdapat tiga buah bangunan batu pualam yang 

indah sekali bentuknya. Dua bangunan berukuran kecil, 

mengapit sebuah bangunan besar yang atapnya 

menyerupai mesjid. 

Nyi Retno. masuklah ke dalam bangunan di samping 

kiri. Tunggu sampai kami berdua datang.” 

“Guru. jangan suruh saya menunggu terlalu lama. 

Nanti saya lari lagi seperti dulu...” 

Kiai Gede Tapa Pamungkas membelai rambut hitam 

Nyi Retno. mencubit pipi boneka kayu. Setelah perempuan 

muda itu masuk ke dalam Bangunan batu di sebelah kiri 

Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. “Aku tidak tahu apa 

yang terjadi. Kulihat keadaan Nyi Retno banyak berubah. 

Pikirannya masih belum jernih tapi untuk hal-hal tertentu 

dia tampak secerdas orang biasa. Mudah-mudahan Tuhan 

menolong dan memberkatinya.” 

Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah ke bangunan 

batu di sebelah kanan. Sambil berjalan dia berkata “Kita 

nanti bicara di bangunan besar. Itu tempat kediamanku. 

Sebelum kesana aku membawamu terlebih dulu ke 

bangunan ini karena ada yang perlu aku perlihatkan. 

Penuh tanda tanya Wiro mengikuti langkah sang Kiai. 

Bagian dalam bangunan walau segala sesuatunya terbuat 

dar batu keadaannya tidak beda dengan bangunan-

bangunan kecil sekitar Istana di Kotaraja yang pernah 

dilihatnya. Di hadapan sebuah pintu berwarna hijau muda


Kiai Gede Tapa Pamungkas berhenti. Pintu yang juga 

terbuat dari batu secara aneh bergeser ke samping. 

Setelah keduanya masuk, pintu bergeser menutup. 

Ruangan dimana Wiro berada ternyata adalah sebuah 

ruang ketiduran yang bagus sekali. Udara di sini nyaman 

dan sejuk. Nanya ada beberapa perabotan. Sebuah 

pembaringan batu beralas seperai tebal berwarna biru 

muda lalu sebuah meja batu diapit dua buah kursi. 

Begitu masuk pandangan Wiro langsung tertuju pada 

satu sosok perempuan tua berwajah putih yang terbujur di 

atas pembaringan. Rambutnya yang panjang hitam 

menjulai sampai menyentuh lantai ruangan. Tubuh 

sebatas pinggang ke bawah tentutup sehelai selimut tebal. 

“Nyi Bodong…” Ucap Wiro begitu melihat orang yang 

ada di atas pembaringan. 

“Kau mengenal nenek ini?” tanya Kiai Gede Tapa 

Pamungkas. 

“Kiai. saya sempat bertemu nenek ini beberapa kali. 

Ilmunya tinggi. Terakhir sekali saya ketahui dia memburu 

seorang berjuluk Hantu Pemerkosa yang bukan lain adalah 

Pangeran Matahari. musuh saya dan musuh para tokoh 

rimba persilatan.” Wiro diam sebentar, memperhatikan. 

Dia hampir tidak melihat gerakan nafas di tubuh si nenek. 

“Kiai, bagaimana orang ini bisa berada di sini. Apakah dia 

masih dalam keadaan hidup?” 

“Nyi Bodong menderita luka dalam yang sangat 

parah. Dua hari dia dalam keadaan sengsara dan nyaris 

sakarat. Ketika dalam perjalanan ke sini, Nyi Retno yang 

melewati jalan memintas di arah timur menemuinya di 

satu lekukan lereng. Nyi Retno membawanya kemari. Kau 

tahu sendiri Wiro. Nyi Retno bertubuh kecil tapi mampu 

memanggul Nyi Bodong yang tinggi dan lebih besar. Lalu, 

jika otaknya kita anggap tidak waras, dia tidak akan 

memperdulikan nenek ini. Perlu apa menolong? Ternyata 

Tuhan memberikan perasaan welas asih padanya hingga


dia mau membawa Nyi Bodong. Aku tidak tahu, berapa 

lama lagi dia sadar dari pingsan. Mudah-mudahan Tuhan 

memperpanjang umurnya. Selama dia disini, kau tahu 

siapa yang merawatnva?” 

“Saya bisa memperkirakan Kiai. Tentu Nyi Retno 

Mantili.” Jawab Wiro pula. 

Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangguk. Lalu 

berkata. “Selama di sini, Nyi Retno banyak bicara tentang 

dirimu. Dia yang memberi tahu bahwa kau akan datang.” 

“Nyi Retno orang baik. Punya niat baik untuk rimba 

persilatan. Hanya saja nasibnya yang buruk ...” Wiro lalu 

melangkah mendekati tempat tidur dan berdiri dekat 

kepala Nyi Bodong. 

“Kiai, apakah Kiai atau Nyi Retno tahu siapa yang 

mencelakai Nyi Bodong?” 

“Kenapa kau bertanya begitu?” 

“Setahu saya Nyi Bodong memiliki ilmu kesaktian 

langka. Dia bisa mengeluarkan sinar biru sangat 

mematikan dari pusarnya.” 

“Setiap ada ilmu yang tinggi dan hebat. pasti ada lagi 

ilmu lain yang lebih tinggi dan lebih hebat. Jangan kau 

pernah melupakan hal itu. Yang berarti seorang pendekar 

tidak boleh sombong, tidak boleh takabur. Aku tidak tahu 

siapa orang yang mencelakai Nyi Bodong. Keadaannya 

agak aneh. Pertama kali ditemui sekujur tubuhnya 

berwarna kuning. Beberapa urat besar serta syarafnya 

mengalami pembengkakan. Seperti dipanggang. Kalau dia 

siuman dan sembuh pasti akan aku tanyakan. Aku 

menyempatkan diri pergi ke tempat dimana Nyi Retno 

menemui Nyi Bodong. Kelihatannya ada pertempuran 

hebat disana. Satu pohon besar berubah menjadi arang 

tapu berwana kuning. Kalau tidak dilindungi kekuatan 

hebat, rasanya nasib Nyi Bodong tidak beda dengan pohon 

itu.”


“Syukur Tuhan masih menyelamatkannya,” kata Wiro. 

“Rimba persilatan memerlukan orang seperti Nyi Bodong.” 

“Wiro, saatnya pergi ke tempat kediamanku dan 

bicara.” 

“Baik Kiai.” 

Sebelum meninggalkan ruangan Wiro pandangi 

dekat-dekat wajah Nyi Bodong. Sebenarnya dia ingin 

menyingkap selimut yang menutupi bagian kaki nenek 

muka putih itu. Namun dia tidak berani melakukan. Takut 

dianggap berlaku lancang dan ditegur Kiai Gede Tapa 

Pamungkas. Akhirnya Wiro hanya usapkan tangan kirinya 

di kening si nenek. Mulutnya berkata perlahan. 

“Nyi Bodong, kau orang baik. Tuhan akan menolong 

menyembuhkanmu. Jika kau sembuh aku ingin bertemu 

dan bicara banyak denganmu.” 

Namun seperti disentak. Wiro cepat-cepat menarik 

tangannya. Entah karena sentuhan tangan atau karena 

memang sudah saatnya siuman. sepasang mata Nyi 

Bodong yang sekian lama terpejam tiba-tiba membuka. 

Mata itu mula-mula tampak sayu kuyu. Namun begitu 

pandangannya membentur wajah Pendekar 212, sepasang 

mata jadi membesar, bersinar dan air muka si nenek 

berubah. 

“Dia mengenalimu, Wiro…” kata Kiai Gede Tapa 

Pamungkas pula. 

“Saya ....' 

“Kau mempunyai daya penyembuh pada tanganmu?” 

“Tidak kiai. Saya tidak punya ilmu apa-apa…” 

“Kalau begitu mari kita keluar dari sini.” kata sang 

Kiai. 

Wiro mundur selangkah. Dia merasa berdebar ketika 

melihat sepasang mata Nyi Bodong masih memperhatikan. 

Sebelum pintu batu bergeser menutup. Wiro sempat 

melihat mata itu masih terus mernandang ke arahnya.


Bahkan mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan 

sesuatu. 

“Kiai. saya mohon pintu jangan ditutup dulu. Nyi 

Bodong seperti hendak mengatakan sesuatu. Mungkin dia 

hendak memberi tahu siapa orang yang telah 

mencelakainya” 

Mendengar ucapan Wiro Kiai Gede Tapa Pamungkas 

berdiri di hadapan pintu batu. Pintu terbuka. Nyi Bodong 

masih dalam keadaan seperti tadi. Mata memandang 

mulut terbuka. 

“Nyi Bodong. kau hendak rnengatakan sesuatu?” 

tanya Wiro. Tangannya kembali hendak mengusap kening 

si nenek. 

Mulut si nenek terbuka. Suaranya serak parau tapi 

jelas. “Jangan kau berani menyentuh diriku. Pergilah,” 

Wiro tersurut mundur. Memandang pada Kiai Gede 

Tapa Pamungkas yang tegak di sampingnya lalu cepat-

cepat keluar dari ruangan itu. Sambil berjalan mengikuti 

sang Kiai. Wiro membatin. 

“Dia dalarn keadaan cidera berat. Pingsan. Siuman 

secara tiba-tiba. Bicara seperti itu padaku. Aneh. Rasanya 

aku ini sebagai seorang penjahat.” 

Di dalam bangunan batu yang atapnya berbentuk 

mesjid Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Wiro duduk di satu 

ruangan tak seberapa besar. beralaskan permadani tebal. 

Untuk beberapa lama Wiro hanya berdiam diri. Seolah 

menunggu apa yang akan dikatakan Kiai Gede Tapa 

Pamungkas. Namun sebenernya pikirannya masih tertuju 

pada kejadian di kamar tempat Nyi Bodong terbaring tadi. 

“Dia tidak senang padaku. Mengapa? Karena pertengkaran 

di pondok Ki Tambakpati dulu atau…” 

“Wiro, sebelum kita memulai pembicaraan ada satu 

hal yang ingin kutanyakan. Kau datang dengan baju putih 

robek besar di sebelah belakang. Di punggungmu ada


guratan luka. panjang dan cukup dalam. Apa yang 

terjadi?” 

“Saya tersangkut di ranting pohon sewaktu melayang 

turun.” jawab Wiro berdusta. tidak mau menceritakan hal 

sebenarnya. 

“ Begitu?” 

Wiro tidak berani mengangguk, tidak berani 

mengiyakan. Hanya berdiam diri saja. 

“Hanya ada satu manusia yang bisa melakukan hal 

seperti itu terhadapmu. Gurumu Sinto Gendeng. Betul?” 

“Eyang Sinto bermaksud baik, Kiai. Sementara saya 

murid kurang ajar yang sesekali memang perlu diberi 

peringatan.” 

Alis kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas 

lalu orang sakti ini berkata. 

“Membaliklah. Biar aku sembuhkan cacat luka di 

punggungmu itu.” 

“Terima kasih Kiai. Saya memilih memiliki cacat ini. 

Agar saya selalu ingat untuk berlaku baik.” 

Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa lebar. “Mengingati 

diri sendiri untuk berbuat baik bukan dari cacat luka yang 

ada di tubuh. Tapi dari lubuk hati. Sudahlah. jika kau ingin 

membawa cacat itu kemana-mana aku tidak bisa 

melarang. Sekarang kita lanjutkan pembicaraan.” 

“Ba..baik Kiai. Saya menunggu. Sebelumnya saya 

menghaturkan terima kasih karena Kiai mau meminta saya 

datang ke sini. Saya siap menerima nasihat maupun 

teguran ...” 

“Rimba persilatan ....” Kata sang Kiai memulai 

ucapannya. “Sekarang ini telah jauh berbeda dengan saat 

ketika dulu kau dilahirkan, ketika kau pertama kali turun 

gunung. Perubahan bukan saja terjadi pada sifat manusia 

dan para tokoh yang ada. Tapi juga pada berbagai ilmu 

yang dimiliki orang-orang rimba persilatan sendiri. 

Dendam kebencian, keserakahan, kejahatan membuat


banyak orang menciptakan berbagai ilmu baru yang luar 

biasa dahsyatnya. Lebih mengerikan lagi kalau manusia 

biasa berilmu tinggi berserikat dengan mahluk alam roh, 

menciptakan ilmu yang bisa membuat rimba persilatan 

mengalami kiamat! Contoh ketika Pangeran Matahari 

hendak mendirikan Partai Bendera Darah yang bermarkas 

di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Orang-orang rimba 

persilatan golongan putih tidak mampu menghancurkan 

komplotan manusia pocong itu secara seorang diri. 

Termasuk kau. Berapa tokoh yang bergabung untuk 

menghancurkannya? Itu telah terjadi. Yang bakal terjadi 

mungkin jauh lebih dahsyat. Apa lagi Pangeran Matahari 

masih hidup dan berkeliaran. Dendam kesumatnya 

terhadap dirimu selangit tembus sedalam lautan. Satu hal 

harus kau ingat Wiro, manusia-manusia jahat itu mudah 

sekali berserikat dalam kejahatan. Sebaliknya manusia 

yang katanya orang baik-baik kerap kali tidak saling akur. 

Itu sebabnya kejahatan terlihat selangkah lebih cepat dari 

kebaikan. 

“Aku tahu kau memiliki banyak ilmu kesaktian untuk 

menghadapi musuh-musuhmu. Tapi kau harus memahami 

bahwa setiap manusia itu punya hari sial. Hari apes. Satu 

kali kau akan mengalami hal itu dan dirimu akan 

mendapat celaka besar bahkan mati di tangan musuh-

musuhmu. Itu garis nasib setiap orang. Kau tidak terlepas 

dari garis itu. Seperti penyakit, mengapa kita tidak 

berusah mencegahnya sebelum kena? 

“Seorang pendekar tidak harus memperlihatkan jati 

dirinya dengan tanda-tanda tertentu yang bisa 

membahayakan jiwanya. Contoh nyata adalah dirimu. Ada 

rajah angka Dua Satu Dua di dadamu. Melihat rajahan itu 

setiap orang akan akan mengenali siapa dirimu. Hal ini 

mengandung bahaya besar yang mungkin tidak kau 

sadari. Juga tidakdisadari oleh Sinto Gendeng ketika 

belasan tahun silam dia membuat rajah itu di tubuhmu


dengan jarum sakti. Sudah saatnya rajah itu dilenyapkan. 

Kau memiliki senjata sakti mandraguna pemberian 

gurumu berupa Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan batu 

hitam pasangannya. Senjata sebesar itu apakah kau tidak 

rikuh membawanya kemana-mana?” 

Ucapan Kiai Gede Tapak Pamungkas itu 

mengingatkan Wiro akan apa yang belum lama terjadi 

antara dia dengan Eyang Sinto Gendeng. Jangan-jangan 

ada pesan tertentu dari si nenek. 

“Kiai, apakah Eyang Sinto berpesan minta saya 

mengembalikan kapak dan batu sakti itu?” 

Kiai Gede Tapa Pamungkas menggeleng. 

“Aku ingin senjata dan batu sakti itu tetap ada 

padamu. Tetapi tidak terlihat secara kasat mata.” 

“Saya tidak mengerti maksud ucapan Kiai.” Kata 

Wiro. “Kiai, terus terang saya merasa lega kalau kapak 

dan batu sakti saya kembalikan pada Eyang Sinto. Kalau 

diizinkan, saya juga ingin mengembalikan semua ilmu silat 

dan kesaktian yang pernah saya dapatkan dari beliau. 

Sehingga antara kami tidak ada lagi ganjalan.” 

“Ucapanmu memberi kesan kau membenci gurumu.” 

“Tidak Kiai, saya tidak membenci Eyang Sinto.” 

“Kau menaruh dendam atas apa yang telah 

dilakukannya padamu?” 

“Saya tetep menghormati Eyang Sinto,” jawab Wiro 

dengan tenang walau hatinya terasa perih. 

“Mulutmu berucap begitu, tapi aku tidak tau apa yang 

ada di lubuk hatimu. Sinar matamu terlihat lain…” 

“Kiai, saya ingin melupakan apa yang telah terjadi. 

Saya ingin melupakan masa lalu dengan segala perbuatan 

buruk dan baik saya. Saat ini saya punya keinginan 

meninggalkan rimba persilatan untuk selama-lamanya. 

Saya rasa tanpa menjadi seorang pendekar sekalipun 

seseorang bisa berbuat baik.”


Kalau saja sang Kiai tidak dapat menekan 

keterkejutannya pastilah saat itu dia sudah terlonjak dari 

duduknya. 

“Anak muda, kau ini bicara apa? Selagi rimba 

persilatan dilanda kekacauan seperti ini, selagi rimba 

persilatan digentayangi manusia-manusia jahat kau 

bermaksud meninggalkan rimba persilatan. Apakah kau 

hanya mengikuti perasaan hati hingga mengorbankan akal 

sehat?” 

“Kiai, mungkin perasaan hati terkadang menyesatkan. 

Namun bagaimanapun juga perasaan hati adalah satu 

kejujuran yang tidak pernah berkata dusta. Murni dan 

bersih separti tetesan-tetesan embun di pagi hari.” 

Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng 

keluarkan Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam sakti. Dua 

senjata mustika ini diletakkan di atas permadani di 

hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas. 

“Dengan segala hormat dan mohon maap, kapak dan 

batu sakti saya serahkan pada Kiai.” 

“Wiro, jangan membuat aku bingung. Aku tidak bisa 

menerima perbuatanmu ini!” 

Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas 

cepat angkat tangan kanan, telapak dikembang diarahkan 

ke dada Wiro. 

“Kiai, kau mau berbuat apa? Membunuhku?!” seru 

Wiro. 

-- << >>



SEMBILAN


SANG KIAI tak menjawab. Mukanya berubah merah. 

Tangan kanan mulai bergetar. Lalu muncul satu 

cahaya putih melingkari tangan. Ketika Kiai Gede 

Tapa Pamungkas mendorongkan tangan itu ke depan, satu 

cahaya menyilaukan berkiblat ke arah dada Pendekar 212. 

Wiro menjerit keras. Tubuhnya terpental kedinding. 

Rasa panas seperti ada bara di dalam dada membuat 

sekujur tubuhnya berkelojotan. Dada itu dipenuhi kilatan 

ribuan bunga api. Sesaat kemudian perlahan-lahan bunga 

api dan rasa panas lenyap, berubah menjadi hawa sangat 

sejuk hingga kini Wiro jadi menggigil kedinginan dan 

giginya bergemeletukan. 

Wiro menatap ke depan. Kiai Gede Tapa Pamungkas 

menatapnya tenang-tenang saja. Ketika Wiro 

memperhatikan ke arah dirinya sendiri ternyata baju 

putihnya dalam keadaan terbuka, dada tersingkap 

telanjang. Dan rajah tiga angka 212 yang selama ini ada 

di dada itu kini telah lenyap! 

“Kiai .....” ucap Wiro. “Saya ....” 

Belum sempat Wiro menyelesaikan kata-katanya, 

tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat dua tangan 

sekaligus. Mulutnya berseru. “Wiro! Kapak Naga Geni Dua 

Satu Dua! Batu hitam sakti! Aku kembalikan padamu!” 

Dua tangan ditepukkan satu sama lain. 

“Blaar! Blaar!” 

Dua cahaya sangat terang berkiblat. Kapak Naga Geni 

212 dan batu hitam sakti berubah menjadi dua benda 

sangat menyilaukan. Melesat ke udara lalu menukik turun 

dan sett ... sett! Sulit dipercaya. Dua senjata mustika sakti 

itu melesat masuk ke dalam tubuh Pendekar 212 sebelah 

depan. Asap putih mengepul dari telinga, hidung, mata


serta ubun-ubun Wiro! Untuk beberapa lamanya tubuh 

Wiro tampak kaku tak bergerak. 

Keringat memercik dimana-mana. Tiba-tiba satu 

jeritan keras menggeledek dari mulut sang pendekar. 

Sepasang matanya berubah merah laksana bara menyala. 

Tubuh bergoncang keras lalu terkulai lemas, tersandar ke 

dinding. 

Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri. Melangkah 

mendekati Wiro. Telapak tangan kanan diletakkan di atas 

kepala Pendekar 212, mulut komat kamit merapal 

sesuatu. 

“Dess! Dess!” 

Asap mengepul dari kepala Wiro. 

“Rampung sudah. Tugasku sudah selesai. Semoga 

Tuhan melindungi dan mernberkatimu ...” . 

“Kiai, apa yang terjadi? Apa yang telah Kiai lakukan?” 

tanya Wiro seperti orang baru sadar dari siuman. 

“Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan batuk hitam 

sakti telah menyatu dalam tubuhmu. Kemana kau pergi 

dua senjata mustika itu akan selalu bersamamu. Bilamana 

kau memerlukan mereka kau hanya berseru menyebut 

Kapak Naga Geni Dua Satu Dua atau Batu Sakti! Maka 

secepat kilat kapak akan berada di tangan kanan dan batu 

sakti di tangan kirimu.” 

Wiro terdiam. Bukan terpana kagum akan kehebatan 

yang telah diiakukan Kiai Gede Tapa Pamungkas tapi 

justru terbalut oleh rasa penyesalan. Mengapa sang Kiai 

tidak memberi tahu lebih dulu apa yang akan 

dilakukannya. Padahal tadi dia jelas-jelas mengatakan 

ingin mengembalikan dua senjata mustika sakti itu. 

“Mengenai jarah tiga angka Dua Satu Dua di dadamu. 

Angka-angka tersebut akan muncul di dada kirimu dengan 

sendirinya jika kau sengaja menyibakkan baju di hadapan 

lawan.


“Kiai, apakah saya boleh minta diri sekarang?” 

Bertanya Wiro. 

“Aku tahu kau tidak suka atas apa yang telah aku 

lakukan. Namun dikemudian hari kau akan menyadari 

bahwa yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikanmu.” 

“Saya sangat berterima kasih. Kiai, saya mohon diri. 

Sebelum pergi izinkan saya menemui Nyi Retno” Wiro 

berdiri. 

Melihat air muka dan sikap Pendekar 212 Wiro 

Sableng, sang Kiai tak punya niat untuk mencegah walau 

sebenarnya masih banyak yang ingin dibicarakannya 

dengan pemuda itu. 

Di bangunan batu sebelah kiri Nyi Retno Mantili telah 

resah rnenunggu. Bersama Wiro dia ingin cepat-cepat 

keluar dari dasar telaga. Ketika Wiro muncul dia 

menyambut dengan tertawa lega. Sambil menimang 

boneka kayu dan bertanya pada Kiai Gede Tapa 

Pamungkas yang berada di samping Wiro. 

“Guru, apakah kami boleh minta diri sekarang?” 

Sang Kiai anggukkan kepala. 

“Wiro, jaga Nyi Retno dan Kemuning baik-baik.” Lalu 

orang sakti ini pegang lengan Wiro dan Nyi Retno. 

“Selamat jalan. Harap kalian selalu berhati-hati.” Dua 

lengan disentakkan. Wiro dan Nyi Retno melesat ke atas 

permukaan air terlaga. 

Beberapa lama setelah Wiro dan Nyi Retno Mantili 

lenyap dari hadapannya Kiai Gede Tapa Pamungkas masih 

tegak di depan bangunan besar yang atapnya berbentuk 

mesjid. Orang tua ini menarik nafas panjang. Membalikkan 

badan seraya mulutnya berucap perlahan. “Sinto, dari dulu 

kau tak pernah berubah. Kau akan menerima azab akibat 

perbuatan semena-menamu terhadap murid sendiri. 

Sayang .... sayang sekali. Padahal rimba persilatan sangat 

memerlukan orang-orang seperti kalian.”


Wiro dan Nyi Retno hampir tidak menyadari kapan 

mereka melesat keluar dari dalam telaga. Tahu-tahu 

keduanya sudah ada di tepi telaga tiga warna sebelah 

timur. 

“Aneh, tubuh dan pakaianku tidak basah!” kata Wiro 

sambil menggaruk kepala. 

“Aku juga. Kemuning juga tidak basah! Kesaktian 

guruku pasti yang membuat kita tetap kering begini! Hik 

... hik ... hik. Aku suka pada Kiai itu. Tapi aku tidak 

senang akan semua ucapan dan apa yang dilakukannya 

padamu waktu di gedung besar di dasar telaga tadi.” 

Wiro berpaling heran. 

“Bagaimana kau bisa tahu segala pembicaraan dan 

apa yang terjadi di bangunan besar?” tanya murid Sinto 

Gendeng pula. 

“Aku ada di dalam ruangan.” 

Wiro menggaruk kepala tak percaya. 

“Kiai memberikan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri 

padaku. Aku pergunakan ilmu itu. Tubuhku lenyap dari 

pemandangan mata. Aku masuk ke dalam ruangan. Kau 

tidak tahu, tidak melihat. Kiai juga tidak tahu tidak 

melihat. Tapi aku kira dia tahu. Cuma sengaja berpura-

pura Hik ... hik ... hik. Aku kira dia menyesal memberikan 

ilmu itu padaku.”

“Kiai Gede Tapa Pamungkas orang baik dan sangat 

bijaksana. Dia tahu apa yang dilakukannya.” 

“Kau juga orang baik. Kau baik padaku. Kau baik 

pada Kemuning ...” kata Nyi Retno. Sambil melangkah 

pelan di samping Wiro, dia sandarkan kepalanya ke bahu 

kiri sang pendekar. “Wiro, kita akan pergi kemana 

sekarang ? “ Nyi Retno bertanya. 

“Nyi Retno, saya rasa saya harus mengantarkanmu 

ke pondok Ki Tambakpati…” 

“Terserah kau mau bawa kemana. Aku dan Kemuning 

ikut ....”


Wiro menggaruk kepala. 

“Kau tidak suka aku dan Kemuning ikut?” 

“Tentu saja saya suka. Tapi ...” 

“Tapi apa?” 

Wiro memandang berkeliling. Dia melihat ada satu 

pohon rindang. “Ada yang hendak saya ceritakan pada Nyi 

Retno. Mari kita bicara di bawah pohon sana.” 

Mendengar kata-kata Wiro itu Nyi Retno Mantili 

langsung mendahului lari dan duduk di bawah pohon. 

Begitu Wiro sampai dia berkata. “Senangnya hendak 

diceritakan sesuatu. Kau mau cerita sekarang?” Nyi Retno 

menarik tangan Wiro. Keduanya duduk di tanah berhadap-

hadapan. 

“Nyi Retno, beberapa hari lalu dari keterangan Djaka 

Tua saya berhasil mencari tahu dimana bayimu berada ...” 

“Tunggu dulu, ceritamu tidak lucu Wiro. Bayiku ada di 

sini. Lihat, ini Kemuning! Bayiku, anakku, puteriku.” Nyi 

Retno mengangkat boneka kayu yang ada di pangkuannya 

lalu tertawa panjang. 

Wiro garuk-garuk kepala. Dia tidak tahu musti bicara 

bagaimana. Setelah berpikir-pikir, dia mendapat akal. 

“Kau betul Nyi Retno. Kemuning ini memang puterimu 

yang manis. Semua orang suka padanya.Tapi apa kau lupa 

kalau Kemuning punya kakak?” 

Kening Nyi Retno mengerenyit, mulut dipencongkan, 

mata menatap lebar. “Kau mempermainkanku. Kau jahat 

...” 

“Tidak Nyi Retno. Kakak Kemuning juga seorang anak 

perempuan. Sama cantiknya dengan Kemuning. Namanya 

Ken Permata. Usianya satu tahun ...” 

“Kemuning juga berusia satu tahun. Kalau Kemuning 

punya kakak paling tidak usianya dua tahun!” 

“Celaka, katanya otaknya tidak waras. tapi ternyata 

tahu menghitung. Dia lebih dari waras!” Ucap Wiro dalam 

hati. Wiro usap-usap kepala boneka. “Sudahlah, nanti saja


kita bicara lagi. Saya akan mengantarkan Nyi Retno ke 

pondok Ki Tambakpati. Perjalanan kita jauh kali. Berhari-

hari. Saya tahu tempat dimana kita bisa mencari 

tumpangan gerobak kuda.” 

“Tadi malam saya bermimpi,” kata Nyi Retno sambil 

berdiri. Untuk pertama kalinya Wiro mendengar dia 

menyebut dirinya dengan kata saya, bukan aku. 

“Mimpinya buruk. Dalam mimpi saya melihat Djaka Tua 

digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Saya kawatir.” 

“Tak ada yang perlu dikawatirkan Nyi Retno. Mimpi 

adalah mimpi. Djaka Tua berada di tempat kediaman Ki 

Tambakpati, tempat yang aman.” 

Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara derap kaki 

kuda. Perjalanan menuju puncak Gunung Gede cukup 

sulit. Seseorang hanya bisa menunggangi kuda paling jauh 

sampai dua pertiga ketinggian gunung. Jika sekarang ada 

yang mampu naik sampai ke puncak, niscaya dia adalah 

seorang berkepandaian tinggi dan memiliki kuda 

tunggangan yang cekatan luar biasa. 

Wiro cepat menarik Nyi Retno ke balik pohon besar 

dan memberi tanda agar perempuan itu tidak 

mengeluarkan suara. Tapi tetap saja Nyi Retno membuka 

mulut. “Pasti yang lewat manusia setan dan kuda setan. 

Hik ... hik..hik.” 

Wiro cepat tekap mulut Nyi Retno. Celakanya walau 

cuma main-main Nyi Retno gigit jari tangan Wiro hingga 

hampir saja Wiro mengaduh kesakitan. 

Derap kaki kuda semakin keras. Sesaat kemudian 

seekor kuda putih muncul bersama penunggangnya 

seorang mengenakan sorban dan jubah putih berkilat. 

Yang membuat Wiro terkejut kuda putih itu terus saja lari 

ke arah telaga, melompat tinggi dan jauh, lalu perlahan-

lahan seperti dikendalikan, didahului satu ringkikan keras 

binatang dan penunggangnya masuk ke dalam telaga,


tanpa membuat air telaga bermuncratan, hanya 

menimbulkan riak gelombang kecil. 

“Luar biasa.. ..” Ucap Pendekar 212 sambil lepaskan 

tekapannya dari mulut Nyi Retno Mantili. 

“Apa yang saya bilang terbukti. Yang naik kuda itu 

setan, kuda yang ditunggangi juga setan.” 

“Kiai Gede Tapa Pamungkas kedatangan tamu hebat. 

Nyi Retno, bisakah kita menunggu sampai orang berkuda 

tadi keluar dari telaga. Saya ingin melihat lebih tegas, 

siapa dia adanya. Rasanya saya pernah ....” Wiro 

menggaruk kepala mengingat-ingat. 

Nyi Retno gelengkan kepala berulang kali lalu tarik 

lengan Wiro. 

*** 

KITA kembali pada Hantu Malam Bergigi Perak yang 

tengah berusaha mengejar Sinto Gendeng yang 

dicurigainya telah mendapatkan kembali Kitab Seribu 

Pengobatan. Si nenek merasa jengkel karena dia tahu, di 

sebelah belakang kakek bermata belok berkuping lebar 

bernama Setan Ngompol itu ternyata mengikuti. Namun 

rasa kesal itu jadi hilang ketika otaknva berpikir mungkin 

orang itu bisa dimanfaatkannya. 

Setelah berlari cukup jauh sementara matahari mulai 

memasuki ufuk tenggelamnya mendadak Hantu Malam 

Bergigi Perak kehilangan jejak Sinto Gendeng. 

“Kurang ajar! Tidak mungkin dia lenyap begitu saja. 

Aku masih mencium bau pesingnya. Pasti dia sembunyi di 

sekitar sini.” Nenek berusia 70 tahun ini memperhatikan 

keadaan sekeliling. Tempat dimana dia berada adalah 

kawasan hutan bambu. Pohon-pohon bambu itu tumbuh 

berjejer rapat seolah membentuk dinding panjang dan 

tinggi. Perlahan-lahan Hantu Malam Bergigi Perak 

langkahkan kaki, bergerak ke tempat yang mulai


diselimuti kegelapan. Asap hitam. merah dan biru yang 

keluar dari potongan bambu yang ada di atas kepalanya 

kelihatan mengepul lebih tebal. “Tua bangka itu tidak 

mungkin sembunyi karena takut,” membatin Hantu Malam 

Bergigi Perak. “Dia tidak punya ilmu melenyapkan diri. Dia 

bersiasat mau membokongku! Aku harus waspada.” 

Benar saja. Baru si nenek selesai mengucap dalam 

hati tiba-tiba didahului suara lengking jerit keras berkiblat 

selarik sinar putih perak menyilaukan disertai 

berhembusnya angin luar biasa panas! 

“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Hantu Malam Bergigi 

Perak kaget sekali. “Jahanam itu inginkan nyawaku!” 

Sambil berguling selamatkan diri si nenek angkat dua 

tangan di atas kepala. Ketika dua tangan didorong 

terdengar suara bergemuruh. Dari potongan batang 

bambu di atas kepala kepulan asap tiga warna keluarkan 

suara mendesis lalu membuntal dan bergulung ke arah 

cahaya putih perak yang menyerang dirinya, ltulah 

tangkisan dalam jurus yang disebut Hantu Malam

Menyanggah Bumi. 

“Buummm!” 

Letusan dahsyat menggelegar. Tanah bergetar. 

Pepohonan berderak-derak. Salah satu diantaranya amblas 

dalam kobaran api. Walau selamat dari serangan 

mematikan, Hantu Malam Bergigi Perak merasakan 

dadanya berdenyut keras. Dia cepat berdiri ketika 

terdengar suara tertawa panjang. 

Di depan sana, terpisah dua belas langkah, berdiri 

angker seorang nenek tinggi kurus, berkulit hitam dengan 

mata dan pipi cekung serta kepala ditancapi empat tusuk 

konde. Tangan kiri melintangkan tongkat kayu di depan 

dada dan dari mulutnya mengumbar suara tertawa. Sinto 

Gendeng! 

Hantu Malam Bergigi Perak mendengus.


“Tua bangka edan! Kita sama-sama orang rimba 

hijau! Apa kau tidak punya peradatan? Sengaja 

membokong diriku! Nama besar Sinto Gendeng ternyata 

hanya menampilkan seorang nenek jelek berjiwa 

pengecut!” 

Sinto Gendeng semburkan ludah susurnya ketanah. 

Lalu menjawab. “Apa kau sendiri punya peradatan? 

Mengejar orang padahal aku tidak punya urusan? Kau 

bukan cuma tua bangka tidak tahu peradatan tapi pasti 

juga punya niat jahat! Untung tubuhmu masih utuh! Kalau 

kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku saat ini juga 

kau akan aku buat lumat!” 

“Tidak heran kau bicara sombong!” sahut Hantu 

Malam sambil berkacak pinggang. “Sepertinya cuma kau 

seorang yang punya ilmu kesaktian di dunia ini! Tidak 

heran kau mau melumat diriku! Muridmu sendiri kau 

aniaya sampai cacat! Hik..hik..hik! Aku mau lihat apa 

benar kau mampu melumat diriku?!” 

Tubuh bungkuk Sinto Gendeng tersentak ke atas. 

Sepasang matanya memandang mencorong, penuh kilatan 

hawa amarah. 

“Kepentingan apa kau ikut campur aku punya urusan 

dengan muridku!” 

“Sinto Gendeng, sudahlah. Aku tidak mau bicara 

panjang lebar, apa lagi yang aneh-aneh. Aku langsung 

saja pada tujuanku. Aku butuh Kitab Seribu Pengobatan 

yang ada padamu. Dalam waktu tiga puluh hari akan 

kukembalikan. Jika kau mau meminjamkan kita akan 

menjadi sahabat malah mungkin jadi saudara dunia 

akhirat. Tapi kalau kau tidak berbaik hati untuk 

meminjamkan, aku akan merampas kitab itu. Kalau kau 

tetap keras kepala aku akan mengambil kitab berikut 

nyawamu! Harap kau pikirkan ucapanku dengan otak 

sehat pikiran jernih!”


Sinto Gendeng balas berkacak pinggang lalu tertawa 

mengekeh. 

“Ucapanmu seperti pemain sandiwara keliling. 

Dengar, aku masih mau mengampuni selembar nyawa 

rombengmu kalau kau lekas minggat dari hadapanku. Aku 

tahu diriku buruk jelek. Tapi melihat tampangmu aku 

seperti mau muntah! Hueek! Siapa sudi jadi saudaramu 

dunia akhirat! Hik ... hik ... hik!” 

“Sinto, setahuku kitab itu bukan milikmu. Tapi milik 

Wiro muridmu! Mengapa kau serakah mengangkangi?! 

Kalau kau pinjamkan pada orang yang membutuhkan 

kesembuhan dari penyakit, kau bukan saja akan mendapat 

nama harum tapi juga pahala besar.” 

“Jangan bicara soal pahala di hadapanku! Dosaku 

sudah setinggi gunung sedalam lautan. Apa masih perlu 

aku mencari pahala?!” 

“Kalau begitu kau akan mampus dalam kesesatan! 

Kasihan sekali! Coba kau mendongak ke langit! Apa kau 

tidak melihat pintu neraka sudah terbuka menantimu? Hik 

.. hik ... hik!” 

Sinto Gendeng berteriak marah. 

Hantu Malam Bergigi Perak sendiri saat itu sudah 

melompat ke hadapan Sinto Gendeng. Dari tabung bambu 

di atas kepalanya menyembur asap hitam, kuning dan 

merah membuat pemandangan Sinto Gendeng jadi 

terhalang dan matanya terasa agak perih. Bersamaan 

dengan itu Hantu Malam lepaskan satu pukulan tangan 

kosong mengandung tenaga dalam sangat tinggi. 

Sinto Gendeng menyeringai. Dia melompat ke 

samping untuk selamatkan diri dari pukulan sakti sambil 

kepala dan tubuh dirundukkan untuk menghindari 

halangan asap. Lalu secepat kilat tangan kirinya yang 

memegang tongkat bergerak. 

“Wuuut!” 

“Breet


“Dukkk!” 

Leher baju hitam berenda putih yang dikenakan 

Hantu Malam Bergigi Perak robek besar disambar ujung 

tongkat Sinto Gendeng. Mukanya yang tertutup dandanan 

tebal seolah kehilangan darah, pucat pasi seperti kertas. 

Sebaliknya saat itu Sinto Gendeng sendiri tampak 

meringis dengan tubuh setengah terlipat. Walau tidak 

telak satu tendangan lawan berhasil mendarat di perutnya. 

Rupanya tadi pukulan tangan kosong yang dilancarkan 

Hantu Malam Bergigi Perak hanya tipuan belaka karena 

sebenarnya kaki kanannyalah yang benar-benar 

melakukan serangan dalam jurus bernama Hantu Malam 

Menusuk Rembulan Menikam Matahari. 

“Manusia jahanam, kau akan mampus tak 

berbentuk!” teriak Sinto Gendeng marah sekali. Dua 

matanya memandang membeliak dan bagian putihnya 

perlahan-lahan berubah membiru. Nenek ini jelas-jelas 

hendak mengeluarkan ilmu dahsyat Sepasang Sinar Inti 

Roh. Dari matanya akan melesat dua larik sinar biru 

mematikan yang selama ini sulit lawan bisa menghindar 

cari selamat. Ilmu inilah konon yang pernah diminta Wiro 

tapi tidak diberikan oleh sang guru. 

Hantu Malam Bergigi Perak cukup banyak 

pengalaman dan segera maklum ilmu kesaktian apa yang 

hendak dikeluarkan lawan. Secepat kilat dia melompat 

mundur sambil dua tangan disilangkan di depan dada. 

Mulut bergumam merapal mantera. Sekujur tubuh 

bergetar. Asap tiga warna yang keluar dari tabung bambu 

di atas kepala menderu keras lalu bergerak menyelubungi 

sekujur tubuh, mulai dari kepala sampai ke kaki. Sosok si 

nenek lenyap dari pemandangan, hanya sepasang 

matanya yang masih terlihat seolah mengintip melalui dua 

buah lobang. Ilmu yang dikeluarkan Hantu Malam Bergigi 

Perak ini bernama Membungkus Jazad Melindung Jiwa. 

Dari namanya sudah dapat diketahui ini merupakan ilmu


pelindung diri. Konon si nenek telah menghabiskan waktu 

tiga puluh tahun untuk mendapatkan dan meyakini 

kesaktian ini. Selain mempersiapkan diri dalam bertahan, 

dua tangan Hantu Malam Bergigi Perak yang bersilang di 

depan dada kelihatan berubah menjadi hitam. Lima kuku 

jari mencuat panjang juga berubah warna hitam dan 

pekat. Ilmu pertahanan yang telah disiapkannya rupanya 

sekaligus mampu dibarengi dengan jurus menyerang yang 

disebut Limbah Neraka Menghujat Bumi. Ini merupakan 

ilmu yang jahat sekali. Dari lima kuku jari akan 

menyembur keluar cairan hitam berbau sangat busuk. 

mengepulkan asap hitam serta menebar hawa luar biasa 

panas. 

“Mampus!” teriak Sinto Gendeng. Sepasang mata 

dikedipkan. 

“Balas kematian dengan kematian!” Hantu Malam 

Bergigi Perak balas berteriak tak kalah garang. Dua tangan 

yang disilang di depan dada dikibas ke depan. Gerakan ini 

sama sekali tidak terlihat oleh Sinto Gendeng karena 

kecuali sepasang mata sampai saat itu tubuh lawannya 

masih tertutup dan terlindung rapat oleh ilmu 

Membungkus Jazad Melindung Jiwa. Dua nenek sakti itu 

rupanya sudah sama-sama nekad mengadu jiwa. 

Di saat yang luar biasa menegangkan itu Setan 

Ngompol sampai di tempat itu. Kakek ini langsung 

berteriak. 

“Tahan serangan! Kalian berdua akan sama-sama 

mati konyol!” 

Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Tak 

urung kencingya tetap memancur. 

Dua nenek sama sekali tidak perdulikan peringatan 

Setan Ngompol. Malah masing-masing melipat gandakan 

hawa sakti dan kekuatan tenaga dalam. 

“Celaka!” teriak Setan Ngompol. Dia segera melompat 

menjauhi. Dia sudah dapat memastikan jika dua nenek


tetap meneruskan serangan, mereka akan sama-sama 

menemui ajal. Selain itu bentrokan tenaga dalam dan 

hawa sakti akan melanda tempat itu, bisa-bisa merenggut 

nyawanya sendiri. Itu sebabnya si kakek buru-buru 

melompat jauh mencari selamat. Tentu saja dalam 

keadaan air kencing muncrat kemana-mana. 

Dentuman dahsyat menggelegar di tempat itu. Langit 

laksana runtuh, tanah seperti terbalik. Sinar biru, kuning, 

hitam dan merah mencuat tinggi ke langit, membeset ke 

seantero tempat. Hantu Malam Bergigi Perak terpekik. 

Tubuhnya mental sampai tujuh tombak, bergulingan di 

tanah. Walau tubuh masih terbungkus asap pelindung tiga 

warna namun pada bahu kirinya kelihatan satu luka 

menganga. Darah mengucur deras mengerikan. 

Di bagian lain jeritan Sinto Gendeng seperti merobek 

langit. Nenek ini tidak terpental, hanya jatuh duduk 

dengan tubuh mengepulkan asap hitam menebar bau 

busuk. Mara kirinya tampak lebam merah biru. Empat 

tusuk konde di atas kepala bergoyang-goyang 

memancarkan sinar redup. Saat itu entah dari mana 

datangnya mendadak muncul cahaya gemerlap. Sinto 

Gendeng yang hanya mampu melihat dengan satu mata, 

terkesiap kaget ketika di hadapannya melayang mahluk 

aneh berbentuk bayang-bayang berupa perempuan cantik 

sekali dengan rambut tergerai lepas. Mahluk ini melayang 

ke arahnya. Tangan kanan menyambar ke pinggang. Sinto 

Gendeng merasa ada sesuatu yang lenyap dari tubuhnya. 

Dia berteriak. Lalu nenek ini tersungkur roboh, tergeletak 

di tanah dalam keadaan pingsan! 

Setan Ngompol yang berada lebih dari sepuluh 

tombak dari pusat dentuman dahsyat terlempar dan 

menyangsrang di atas serumpunan semak belukar. Muka 

pucat, mata setengah mendelik. Dada berdenyut sakit 

sementara kencing kembali awur-awuran. Untuk berapa


lamanya kakek ini terpentang tak mampu bergerak. 

Dirinya seolah lumpuh! 

Mahluk bayangan berkelebat ke arah Hantu Malam 

Bergigi Perak. Si nenek menatap dengan mata melotot, 

tubuh terhuyung lemas dan pandangan sedikit demi sedikit 

menjadi kabur. 

“Nek. aku tahu kau inginkan Kitab Seribu Pengobatan. 

Kitab itu ada padaku. Kalau sudah kupergunakan, aku 

akan mencarimu dan menyerahkan padamu ...” 

“Kau siapa .... ?” Tanya Hantu Malam Bergigi Perak 

dengan suara parau dada sesak. Nafas tinggal satu-satu. 

“Aku seorang sahabat ...” 

Si nenek menggeleng. “Kita tidak mungkin bertemu 

lagi. Luka dibahuku mengandung racun jahat. Selain itu 

aku kehabisan darah. Umurku tidak lama. Jika aku mati 

serahkan kitab itu pada Pendekar Dua Satu Dua Wiro 

Sableng. Dia tahu masalah yang dihadapi dua muridku 

yang sangat memerlukan pertolongan. Hanya petunjuk 

dalam kitab yang bisa menyembuhkan. Jika Pendekar itu 

inginkan salah satu dari dua muridku, dia tinggal memilih. 

Aku tahu dia sebenarnya pemuda baik. Mudah-mudahan 

mereka berjodoh nan bahagia.” 

“Nek. kau tidak akan mati. Aku akan .. menolong.” 

Mahluk bayangan siap menotok urat besar di leher 

dan dada Hantu Malam Bergigi Perak. Namun kepala si 

nenek terkulai. Nyawanya lepas. Dia menemui ajal dengan 

sepasang mata nyalang terbuka. Mahluk bayangan usap 

dua mata si nenek hingga tertutup lalu melesat ke udara 

dan lenyap dari pemandangan. 

Tak selang berapa lama Sinto Gendeng mulai 

sadarkan diri. Dia ingat apa yang terjadi lalu bergerak 

duduk di tanah. Meraba seputar pinggang. Kagetnya 

seperti disambar petir. 

“Jahanam kurang ajar! Siapa yang telah mencuri 

kitab?!” Nenek ini melompat dari duduknya. Berdiri



terhuyung-huyung. Pandangannya membentur sosok 

Hantu Malam Bergigi Perak. Dia dapatkan si nenek sudah 

tak bernyawa lagi. Sinto Gendeng memeriksa seluruh 

tubuh Hantu Malam dan tidak menemukan Kitab Seribu 

Pengobatan. Saking kesalnya Sinto Gendeng tendang 

tubuh orang hingga terpental sampai beberapa tombak. 

Sinto Gendeng putar tubuh. Pandangannya kini 

tertuju pada Setan Ngompol yang tergeletak 

menyangsrang tak berdaya di atas rumpunan semak 

belukar. 

“Setan tua keparat! Semua terjadi gara-gara kau! 

Mana kitab itu? Kau pasti yang mengambil!” 

“Sinto, aku .....” 

Plaakk! 

Satu tamparan mendarat di pipi Setan Ngompol 

membuat pecah bibir si kakek. 

“Sinto! Kenapa kau jadi kalap begini! Kau 

menghajarku teman sendiri! Apa sudah gila?!” 

“Siapa bilang kita berternan?! Aku memang sudah 

gila! Aku bukan cuma ingin menghajarmu tapi 

membunuhmu! Kau dengar? Aku ingin membunuhmu!” 

Habis berteriak begitu Sinto Gendeng lalu hunjamkan 

satu jotosan ke dada Setan Ngompol. 

“Kraaakk!” 

Setan Ngompol menjerit. Tiga tulang iganya berderak 

patah. Kakek ini megap-megap beberapa kali lalu tak 

berkutik lagi. 


                     -- << TAMAT >> -- 


Segera terbit Episode berikutnya berjudul : 

AZAB SANG MURID









Share:

0 comments:

Posting Komentar