WIRO SABLENG EPISODE SRIGALA PERAK
KARYA : BASTIAN TITO
SATU
KI TAWANG ALU
MELIHAT siapa yang berdiri di depannya, Pen-
dekar 212 Wiro Sableng merasa tidak enak. Dia lang-
sung membentak. "Kau datang menyelinap dalam ke-
gelapan malam! Membokong secara pengecut! Apa tu-
juanmu Ki Tawang Alu?!"
Si kakek tertawa bergumam. Sambil pegangi
lengan kanannya yang sakit akibat bentrokan dengan
tangan Wiro tadi, dia menjawab.
"Malam boleh gelap! Kau boleh saja menuduh-
ku sebagai pembokong pengecut! Tapi satu hal jelas
bagiku, seperti terangnya matahari di siang bolong!"
"Tua bangka sialan! Aku tidak begitu suka me-
lihat tampangmu yang putih seperti poncong hidup!
Jadi jangan berpantun mengumbar syair di depanku!
Katakan terus terang apa maksudmu muncul di tem-
pat ini?!"
"Kalung kepala srigala perak! Aku tahu patung
itu ada padamu!"
"Sebelumnya kau sudah memeriksa menggele-
dah sendiri! Kau tidak menemukan kalung itu pada di-
riku! Kau ini gila atau tolol?!"
"Aku tidak gila, tidak juga tolol! Aku terlalu cer-
dik untuk kau tipu, anak muda bau kencur! Mana ka-
lung perak kepala srigala itu! Lekas serahkan padaku!"
Wiro tatap kakek bermuka putih. Sambil me-
nyeringai dia membatin. "Aku ingat pembicaraan den-
gan empat gadis anggota Kelompok Bumi Hitam itu.
Antara mereka dengan kakek jelek ini seperti ada keti-
dak cocokan...."
"Jangan cengangas-cengenges di hadapanku!
Kalau kau tidak segera menyerahkan kalung kepala
srigala itu, kau bakal menyesal sampai ke Hang ku-
bur!"
"Busetttt! Matipun aku belum! Bagaimana kau
bisa bilang aku bakal menyesal sampai ke liang ku-
bur!"
"Kalau begitu biar sekarang kubunuh saja kau!"
Kakek bernama Ki Tawang Alu lalu angkat tangan ka-
nannya. Dalam gelap murid Sinto Gendeng melihat
tangan si kakek bergetar pertanda ada hawa sakti atau
tenaga dalam yang dialirkan ke tangan itu.
Wiro tetap saja menyeringai. "Kau bunuhpun
aku sampai tujuh kali kalung kepala srigala itu tak
bakal kau dapatkan!"
Ki Tawang Alu turunkan tangan kanannya.
"Apa maksudmu! Jangan berdusta kalung itu tidak
ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung
itu kau sembunyikan di mulutmu!"
"Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak
memaksa mengambil! Malah pada orang-orangmu kau
katakan kalung itu tidak ada padaku! Kau menipu me-
reka! Berarti ada keculasan dalam hatimu!"
Tampang si kakek sesaat berubah. Rahangnya
menggembung. "Urusanku dengan orang-orangku apa
perduli mu! Hatiku culas atau tidak juga apa perduli
mu! Sekarang katakan saja! Kau mau menyerahkan
kalung kepala srigala itu atau tidak?!"
"Kalung itu tidak ada padaku!" jawab Wiro.
"Kakek muka putih, terus-terang aku muak melihat
mu!" Wiro putar tubuh hendak berlalu. Tapi si kakek
cepat menghadang.
"Tunggu! Kalau kalung itu sekarang tidak ada
padamu, dimana beradanya? Kau serahkan pada sia-
pa?!"
"Empat gadis berkerudung hitam itu mencegat
ku di satu tempat. Mereka bilang kalung itu sangat
mereka perlukan. Karena aku merasa kalung itu me-
mang milik mereka, lalu kuserahkan pada salah seo-
rang dari empat gadis itu...."
"Empat gadis! Bagaimana kau tahu mereka
adalah empat orang gadis!" Ki Tawang Alu bertanya he-
ran.
"Aku melihat sendiri wajah-wajah mereka. Can-
tik semua! Mereka yang memperlihatkan wajah pada-
ku!"
Ki Tawang Alu kelihatan terkejut mendengar
keterangan Wiro itu, alisnya yang putih sampai ber-
jingkrak ke atas. Rahangnya menggembung.
"Anak muda tolol! Kau sudah kena tipu! Empat
gadis itu tidak berhak memiliki kalung itu! Kau ingat
kepada siapa kalung itu kau serahkan?!"
"Gadis bernama Mentari Pagi!" jawab Wiro.
Kembali rahang Ki Tawang Alu menggembung.
"Kalau kau berdusta, kalau ternyata kalung itu
tidak ada pada gadis bernama Mentari Pagi itu, kau
bakal tahu rasa. Gurumu si nenek bau pesing itu akan
kubuat menemui ajal secara mengenaskan!"
Terkejutlah Pendekar 212 mendengar ucapan si
kakek. "Jahanam keparat! Apa yang telah kau lakukan
terhadap guruku?!" teriak Wiro. Sekali lompat saja dia
ada di hadapan si kakek. Tangan kanannya menyam-
bar. Lidah Ki Tawang Alu mencelat terjulur keluar be-
gitu Wiro mencekik lehernya!
Megap-megap si kakek berkata. "Bunuh! Pa
tahkan batang leherku! Kau tak bakal melihat gurumu
seumur-umur!"
"Jahanam!" Wiro kembali merutuk. Tangannya
bergerak.
"Braaakkkk!"
Ki Tawang Alu dibantingnya hingga jatuh pung-
gung di tanah. Tapi sambil menyeringai kakek ini be-
rusaha bangkit berdiri. "Gurumu berada di tangan ku!
Ku sembunyikan di satu tempat. Saat ini masih dalam
keadaan aman. Tapi jika keteranganmu dusta dan aku
tidak menemukan kalung itu, kematian guru mu se-
mudah aku membalikkan telapak tangan!"
"Kurang ajar! Telapak tanganmu yang mana?
Yang kiri atau yang kanan?!" Wiro membentak.
Ki Tawang Alu tertawa mengekeh. "Kau lihat sa-
ja nanti...."
"Aku mau lihat sekarang!" kata Pendekar 212.
Secepat kilat tangan kanannya menyambar ke depan.
"Kraaakkk!"
Sekali remas saja patahlah tulang telapak tan-
gan kanan Ki Tawang Alu. Kakek ini menjerit kesakitan
setinggi langit. Walau Wiro berhasil mematahkan tela-
pak tangan kanan si kakek tapi dia harus membayar
cukup mahal. Karena tak kalah cepatnya tangan kiri
Ki Tawang Alu menghantam ke depan. Murid Sinto
Gendeng berusaha mengelak dengan jurus Kilat Me-
nyambar Puncak Gunung, yakni ilmu silat yang dida-
patnya dari Tua Gila, namun jotosan si kakek masih
mampu mendarat telak di dada kirinya.
Murid Sinto Gendeng laksana digebuk dengan
palu godam raksasa. Tubuhnya mencelat lalu jatuh
terjengkang di tanah. Dadanya serasa hancur dan
mendenyut sakit. Sesaat dia sulit bernafas dan pe-
mandangannya menggelap. Ketika dia berusaha me
narik nafas dalam dari mulutnya keluar darah. Wiro
berteriak marah. Kerahkan tenaga dalam lalu melom-
pat bangkit. Gerakannya terhuyung-huyung. Meman-
dang ke depan Ki Tawang Alu tak kelihatan lagi.
"Jahanam bermuka putih itu menculik Eyang
Sinto Gendeng! Kalau sampai guruku cidera aku ber-
sumpah akan menguliti tubuhnya!" Sambil pegangi
dadanya yang sakit Wiro melangkah ke jurusan timur
di mana dia menduga kaburnya kakek bernama Ki Ta-
wang Alu itu.
*
* *
DUA
PELANGI INDAH
MALAM gelap gulita. Udara dingin luar biasa
seolah tubuh dibungkus es. Semakin tinggi ke puncak
Gunung Merapi, semakin sengsara keadaan Pendekar
212. Kakinya terasa sakit dan berat, sukar diajak me-
langkah. Dadanya seperti di ganduli batu berat. Setiap
dia menarik nafas tenggorokannya terasa panas dan
lehernya seperti di cekik. Hanya semangat baja dan
niat untuk menyelamatkan Eyang Sinto Gendeng yang
tidak di ketahuinya dimana beradanya membuat Wiro
akhirnya mampu sampai ke puncak timur Gunung
Merapi. Inipun ditempuhnya satu hari perjalanan. Jika
dia tidak cidera dalam waktu setengah hari saja pasti
dia sudah sampai di tempat itu.
Di satu pendakian berbatu-batu Pendekar 212
jatuhkan tubuhnya, duduk menjelepok di tanah.
"Lereng timur gunung ini luas sekali. Malam gelap begini. Di mana aku harus mencari! Kalau sampai
tidak bertemu markasnya orang-orang Ke lompok Bu-
mi Hitam itu, bukan saja aku yang celaka, tapi Eyang
Sinto Gendeng juga bakal sengsara sebelum menemui
ajal! Bangsat Ki Tawang Alu! Apa yang telah kau laku-
kan terhadap guruku!" Wiro kepalkan tinju kiri kanan
lalu sandarkan punggungnya ke sebuah batu di bela-
kangnya. Menurut jalan pikiran Wiro, setelah tahu di-
mana beradanya kalung kepala srigala perak itu, Ki
Tawang Alu pasti akan menuju ke markasnya di pun-
cak timur Gunung Merapi. Itu sebabnya walau harus
menyabung nyawa dan mungkin saja menemui ajal di
tengah jalan, dia tetap bertekad naik puncak gunung
itu untuk mencari si kakek. Kalau dia tidak sampai
dapat mengorek keterangan dimana gurunya berada
dan apa yang terjadi dengan nenek sakti itu, tekadnya
sudah bulat untuk menyabung nyawa, memilih sama-
sama mati dengan Ki Tawang Alu!
Dalam keadaan menderita sakit dan letih se-
tengah mati serta lapar dan haus sepasang mata Wiro
terasa berat. Sekejapan lagi matanya hendak terpejam
tiba-tiba dia melihat nyala api, kecil dan jauh sekali.
"Nyala api itu..." desis Pendekar 212 sambil se-
ka darah yang masih menetes di sela bibirnya. "Aku
harus menyelidik. Mungkin itu tempat kediamannya
orang-orang Bumi Hitam...." Wiro bangkit berdiri. So-
soknya terhuyung-huyung. Dia memandang berkelil-
ing. Matanya membentur satu pohon kecil. Di patah-
kannya salah satu cabang kecil pohon ini. Lalu diper-
gunakannya sebagai tongkat untuk membantunya ber-
jalan.
"Aneh, pukulan apa yang dihantamkan kakek
muka putih itu hingga aku sengsara setengah mati be-
gini rupa. Kapak Naga Geni 212 tidak mampu me-
nyembuhkan. Mungkin pukulan itu beracun dan kekuatannya sanggup menghancurkan gunung! Apalagi
dadaku yang hanya terdiri dari tulang dan daging! Ku-
rang ajar! Ki Tawang Alu kau tunggu pembalasanku!"
Tertatih-tatih Pendekar 212 melangkah dalam
gelapnya malam dan dinginnya udara menuju nyala
api di kejauhan.
*
* *
EMPAT bayangan hitam berkelebat menuju le-
reng timur Gunung Merapi. Walau udara gelap dingin
serta pohon dan semak belukar menghadang di mana-
mana, namun ke empat orang itu mampu berlari sece-
pat angin, pertanda mereka mengenal betul kawasan
tersebut. Mereka bukan lain adalah Mentari Pagi dan
Rembulan serta dua orang kawannya dari Kelompok
Bumi Hitam.
Tak selang berapa lama ke empat gadis yang
mengenakan jubah serta kerudung hitam itu sampai di
sebuah bangunan besar terbuat dari kayu dan memili-
ki kolong di sebelah bawahnya. Bangunan-bangunan
serupa dalam bentuk lebih kecil kelihatan di sekeliling
bangunan besar. Karena seluruh bangunan mulai dari
tiang sampai dinding dan atap dilapisi cat hitam maka
dalam gelapnya malam bangunan itu tampak angker
sekali dan tidak ada satu penerangan pun kelihatan.
"Lekas naik ke atas dan salah satu dari kalian
nyalakan pelita!" Mentari Pagi berkata pada teman-
temannya. Dua orang segera melompati tangga rumah
panggung. Mentari Pagi dan Rembulan menunggu di
bawah tangga. Ketika di atas sana mereka melihat ada
nyala pelita, keduanya segera melompat ke tangga.
Namun gerakan mereka tertahan. Dari samping mele-
sat satu bayangan hitam bermuka putih.
"Ki Tawang Alu!" seru Mentari Pagi ketika men-
genali siapa yang datang.
"Syukur kalian sudah sampai di sini. Tadinya
aku merasa khawatir..." kata kakek muka putih seraya
usap dagunya. Dua matanya sesaat jelalatan. Mem-
buat Mentari Pagi dan Rembulan merasa tidak enak.
Sebenarnya sudah sejak lama para gadis dalam Ke-
lompok Bumi Hitam tidak menyenangi kakek ini. Na-
mun karena kedudukannya sebagai Wakil Pimpinan
membuat mereka merasa sungkan dan tetap menaruh
hormat.
Ketika Rembulan melihat tangan kanan si ka-
kek dibalut gadis ini langsung bertanya. "Ki Tawang
Alu, mengapa tanganmu?"
Si kakek tarik nafas dalam. "Inilah yang harus
aku beritahu padamu. Dalam perjalanan ke sini, aku
di hadang oleh pemuda asing berambut gondrong...."
Mentari Pagi dan Rembulan saling berpandan-
gan. "Maksudmu pemuda bernama Wiro Sableng ber-
juluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu...?"
Si kakek mengangguk.
"Pasal lantaran apa dia menghadang? Padah-
al...."
"Bukan cuma menghadang. Tapi malah menye-
rangku tanpa sebab musabab! Dia membuat tangan
kananku cidera. Tapi aku sendiri sempat menghajar-
nya hingga jatuh terjengkang. Mungkin saat ini dalam
keadaan sekarat atau mungkin juga sudah menemui
ajal!"
Mentari Pagi dan Rembulan sama-sama kelua-
rkan seruan tertahan. Sementara itu di atas tangga
bangunan besar, beberapa orang gadis berkerudung
hitam yang telah membuka kerudung masing-masing
memberi isyarat pada Mentari Pagi dan Rembulan. Dua
gadis di bawah bangunan balas memberi isyarat.
"Ki Tawang Alu, pembicaraan kita lanjutkan
nanti! Kami akan naik ke atas untuk mengobati Pimpi-
nan..." berkata Mentari Pagi.
"Hai, rupanya kalian sudah mendapatkan ka-
lung kepala srigala itu?" tanya si kakek.
Ketika Mentari Pagi mengangguk, Ki Tawang
Alu berkata gembira. "Jasa kalian besar sekali! Pimpi-
nan dan aku pasti tidak melupakan!"
"Jasa kami tidak apa-apa. Kami hanya menja-
lankan tugas. Yang berjasa sebenarnya adalah pemuda
bernama Wiro Sableng," kata Rembulan pula. "Dia
yang menyerahkan secara suka rela kalung kepala sri-
gala itu pada kami."
"Aneh, waktu kuperiksa benda itu tidak ada
padanya. Tahu-tahu ada dan malah diberikan pada ka-
lian. Kalau begitu, hemmm.... Perlihatkan dulu benda
itu padaku. Biar kuperiksa...."
Mentari Pagi sebenarnya ingin cepat-cepat naik
ke atas rumah. Tapi si kakek sengaja tegak di depan
tangga seperti menghalangi dan ulurkan tangannya.
Karena Ki Tawang Alu memang adalah pimpinan me-
reka juga maka Mentari Pagi mau tak mau keluarkan
kalung kepala srigala yang terbuat dari perak dan me-
nyerahkannya pada si kakek.
Ki Tawang Alu menerima benda itu dengan wa-
jah gembira dan mata berkilat-kilat. Diperhatikannya
sesaat kalung kepala srigala itu. Lalu dia berbalik
membelakangi dua gadis dan memegang kalung itu ke
arah cahaya pelita yang memancar dari bangunan se-
belah atas. Sambil anggukkan kepala kakek ini lalu
balikkan tubuhnya kembali dan serahkan kalung ke
pala srigala yang terbuat dari perak itu kepada Mentari
Pagi.
"Lekas kau naik ke atas dan lakukan penyem-
buhan terhadap pimpinan kita!"
"Kau sendiri tidak turut menyaksikan Ki Ta-
wang Alu?" tanya Mentari Pagi seraya mengambil ka-
lung yang diserahkan si kakek muka putih.
"Aku biar tetap berada di sini. Berjaga-jaga!
Aku khawatir pemuda jahat itu bisa saja muncul me-
lakukan sesuatu yang tidak kita ingini!"
Rembulan hendak mengatakan sesuatu mem-
bantah ucapan si kakek. Namun Mentari Pagi cepat
memberi isyarat. Dua gadis ini membuka kerudung
yang menutupi kepala serta wajah masing-masing. La-
lu melompati tangga naik ke atas bangunan kayu.
Di atas bangunan kayu ada satu ruangan luas
diterangi sebuah pelita besar. Di salah satu sudut
ruangan ada sebuah perasapan besar, mengepulkan
asap menebar harumnya bau setanggi. Suasana di
ruangan itu terasa mencekam dan sakral karena setiap
dinding dihias dengan bunga-bunga aneh terbuat dari
kain berwarna hitam.
Tujuh orang gadis berjubah hitam tanpa keru-
dung tegak mengelilingi sebuah pembaringan. Ada se-
sosok tubuh terbujur di atas pembaringan ini, tertutup
dengan sehelai kain sutera tipis berwarna hitam. Salah
seorang dari tujuh gadis itu memegang sebuah bokor
terbuat dari kuningan. Bokor ini berisi air sangat jer-
nih dan dingin karena berasal dari embun yang di-
kumpulkan. Tujuh bunga melati mengapung di per-
mukaan air dalam bokor.
Ketika Mentari Pagi dan Rembulan masuk ke
dalam ruangan, tujuh gadis segera menyibak memberi
tempat. Mentari Pagi dan Rembulan mengambil tempat
berdiri di dekat kepala sosok yang terbujur di atas
pembaringan. Sesaat setelah menatap sosok yang ada
di atas pembaringan itu, Mentari Pagi keluarkan ka-
lung kepala srigala dari balik jubah hitamnya lalu di-
masukkan ke dalam bokor kuningan.
Seorang gadis memberikan sebatang tongkat
kecil terbuat dari bambu. Dengan tongkat ini Mentari
lalu mengaduk cairan dalam bokor Terdengar suara
berkelentingan ketika kalung kepala srigala yang ber-
putar-putar bersentuhan dengan dinding bokor. Sete-
lah itu seorang gadis lain memberikan sebuah benda
berbentuk koas terbuat dari benang sangat halus.
Mentari celupkan koas ini ke dalam bokor lalu membe-
ri isyarat pada Rembulan.
Dengan tangan gemetar Rembulan pegang
ujung kain sutera hitam di bagian kepala orang yang
terbujur di atas pembaringan. Semua mata yang ada di
ruangan itu memandang tak berkesip. Mereka me-
nunggu dengan dada berdebar.
Perlahan-lahan dan sangat berhati-hati Rembu-
lan menarik kain sutera hitam itu dari kepala ke arah
kaki. Beberapa mata tampak seperti mau dipicingkan
begitu mereka melihat wajah yang tersingkap, di susul
bagian dada dan perut terus ke paha dan sampai di
ujung kaki. Rata-rata para gadis yang ada di situ me-
rasakan tengkuk mereka menjadi dingin.
Sosok di atas pembaringan ternyata adalah sa-
tu sosok seorang nenek berambut putih. Kulit di wajah
maupun di sekujur tubuh sampai ke kaki hanya me-
rupakan kulit keriput sangat hitam dan tak lebih seba-
gai pembalut tulang. Sosok itu tidak bergerak bahkan
bernafas pun seperti tidak. Dua matanya terpejam.
Mentari Pagi memutar pandangan matanya
berkeliling. Kecuali gadis yang memegang bokor dan
dirinya sendiri, maka semua yang ada di tempat itu
mengangkat tangan, menampungkan telapak tangan
ke atas, sejajar dengan kepala. Mulut mereka berko-
mat-kamit. Lalu terdengar suara menggema perlahan
seperti orang berdoa. Mentari memegang gagang koas
di dalam bokor. Lalu perlahan-lahan koas itu diang
katnya. Bagian koas yang basah dengan hati-hati di
sapukannya ke wajah orang yang terbujur. Begitu air
di permukaan koas mengering, koas di celupkannya ke
dalam bokor lalu diangkat lagi dan kembali disapukan
di seluruh permukaan wajah. Selesai membasahi wa-
jah, koas berpindah disapukan ke bagian dada, perut,
terus pada dua kaki. Tidak ada satu bagian tubuhpun,
depan dan belakang yang tidak diusap dibasahi den-
gan air dari dalam bokor itu.
Setelah selesai melakukan hal itu Mentari Pagi
usap-usap dua tangannya lalu seperti teman-
temannya dia menampungkan dua tangan ke atas. Da-
ri mulutnya perlahan-lahan keluar ucapan. Bersamaan
dengan itu semua mata dipejamkan.
"Gusti Allah, Penguasa Yang Maha Kuasa. Kau
Yang Maha Pengasih. Dengan KasihMu Kau menjadi
Yang Maha Penyembuh. Dengan Kasih dan KuasaMu
kami memohon, sembuhkanlah Pelangi Indah Pimpi-
nan kami. Ya Tuhan kembalikanlah pimpinan kami ke
ujudnya semula. Ya Tuhan kiranya kau mau menga-
bulkan permintaan kami. Karena hanya kepada Eng-
kaulah tempat kami meminta."
Setelah beberapa saat, diikuti oleh gadis-gadis
lainnya Mentari Pagi buka ke dua matanya. Mereka
memandang ke sosok tubuh di atas pembaringan. Lalu
saling pandang satu dengan lainnya. Paras mereka je-
las tampak berubah, pucat dan sangat khawatir.
"Tuhan tidak mendengarkan permintaan kita!
Sosok pimpinan kita tidak berubah..." kata Mentari
Pagi dengan suara gemetar.
Beberapa mata mulai tampak berkaca-kaca. Di
antara para gadis ada yang tidak dapat membendung
tetesan air mata mereka. Rembulan tundukkan kepala
menahan sesenggukan. Ketika dia hendak menu-
tupkan kain sutera hitam itu kembali, Mentari Pagi
mencegah. Gadis ini memberi isyarat pada temannya
yang memegang bokor kuningan. Yang diberi isyarat
datang mendekat. Dengan agak gemetar Mentari Pagi
lalu celupkan tangannya ke dalam bokor, mengambil
kalung kepala srigala yang terbuat dari perak murni.
Lalu dia melangkah mendekati pelita besar di sudut
ruangan.
Di bawah penerangan pelita Mentari Pagi dan
Rembulan serta beberapa gadis perhatikan dengan
seksama kalung perak itu.
"Palsu!" kata Mentari Pagi dengan suara keras
tapi bergetar. "Kalung ini palsu!"
*
* *
TIGA
MUSUH DALAM SELIMUT
RUANGAN dl atas rumah panggung itu menjadi
geger. "Kita tertipu!" ujar Rembulan dengan muka pu-
cat. "Pemuda bernama Wiro Sableng itu menipu kita!
Memberikan kalung palsu mencuri yang asli!" kata
Mentari Pagi penuh geram sambil kepalkan tangan.
"Rembulan! Pimpin enam orang kawanmu! Cari
pemuda itu sampai dapat! Seret ke sini! Jika dia mela-
wan bunuh di tempat!"
"Akan kulakukan!" jawab Rembulan. "Namun
ada satu hal perlu aku tanyakan. Jika pemuda itu
memang memalsukan kalung kepala srigala itu, kapan
dan bagaimana dia bisa melakukannya? Membuat ka-
lung tiruan tidak mudah. Perlu waktu dan perlu seorang juru tempa yang ahli! Sedang pemuda itu satu
malam lalu kita temui. Mungkinkah kalung itu dida-
patnya sudah dalam keadaan palsu?"
"Maksudmu Lima Laknat Malam Kliwon yang
memalsukan?"
"Aku menduga begitu,". jawab Rembulan.
"Aku tidak sependapat denganmu. Lagi pula
aku sangsikan kebenaran ucapanmu. Karena suara
hati mu dipengaruhi oleh suara batin. Karena kau me-
nyukai pemuda itu. Aku tetap yakin dia yang memal-
sukan kalung itu. Bukankah sejak dulu aku sudah
mengatakan dia bukan saja memiliki kepandaian silat
dan kesaktian tinggi tapi juga kecerdikan luar biasa
seperti ular! Dengar, aku tahu hatimu meragu! Biar
aku sendiri yang akan memimpin pencarian atas di-
rinya!"
"Aku tetap ikut bersamamu!" kata Rembulan.
Begitu Mentari Pagi dan enam kawannya keluar dari
kamar Rembulan segera mengikuti. Semua gadis ini
kembali mengenakan kerudung masing-masing.
Di bawah tangga Ki Tawang Alu menunggu
dengan muka menunjukkan kekhawatiran.
"Aku mendengar suara ribut-ribut di atas sana.
Ada apa?" si kakek bertanya.
Mentari Pagi acungkan kalung kepala srigala
sambil berkata. "Kalung yang diberikan pemuda ber-
nama Wiro Sableng itu ternyata kalung palsu! Sama
sekali tidak mempunyai kekuatan dan berkah kesak-
tian untuk menyembuhkan pimpinan kita Pelangi In-
dah!"
Muka putih Ki Tawang Alu menjadi merah sak-
ing marahnya. "Sedari semula aku sudah tahu kalau
pemuda itu licik! Saat ini dia pasti sudah meregang
nyawa akibat hantaman ku!"
"Kita harus memastikan! Aku dan kawan
kawan akan mencarinya! Menggebuknya sampai se-
tengah mati sebelum dia mengaku dimana beradanya
kalung yang asli!"
"Mentari Pagi, sebaiknya kau tetap-berada di
sini menjaga pimpinan kita. Biar aku yang mencari
pemuda laknat itu!" kata kakek muka putih pula.
"Kalian tak usah bersusah payah! Aku sudah
ada di sini!" Tiba-tiba satu suara menyeruak dari kege-
lapan. Sesaat kemudian seorang berpakaian putih
muncul dengan langkah terhuyung-huyung. Tak bera-
pa jauh dari tangga, orang ini tergelimpang jatuh me-
nelungkup.
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia yang menipu
kita!" teriak Ki Tawang Alu lalu melompat dan injakkan
kaki kanannya ke tengkuk orang yang bergelimpang di
tanah.
"Ki Tawang Alu, kau pasti telah menganiaya gu-
ruku! Kalau kau tidak memberitahu dimana kau sem-
bunyikan guruku, kubunuh kau saat ini juga!"
"Pemuda ular! Orang bicara lain kau bicara
lain!" bentak Mentari Pagi. "Mana kalung kepala srigala
yang asli!"
Wiro melirik ke atas. "Kau tentu Mentari Pagi.
Bukankah aku sudah menyerahkan benda itu pada
mu malam kemarin?!"
"Betul! Tapi yang kau berikan padanya adalah
kalung kepala srigala palsu!" kata Ki Tawang Alu sam-
bil pindahkan injakannya dari tengkuk ke kepala Pen-
dekar 212. "Kau binatang cerdik! Penipu keparat!"
"Kakek muka putih! Jaga mulutmu! Bukan aku
binatang cerdik tapi kau yang jahanam busuk! Malam
lalu kau sengaja menghadangku menanyakan kalung
kepala srigala itu, Karena kau tahu aku menyembu-
nyikan kalung itu dalam mulutku! Kau kecewa begitu
mengetahui kalung itu telah kuserahkan pada Mentari
Pagi. Tapi dasar kau manusia jahat busuk! Sebelum-
nya kau telah menganiaya dan menculik guruku!"
Kakek muka putih tertawa mengekeh. "Kau
pandai bersilat lidah menutupi kekejianmu sendiri!
Buat apa bicara panjang lebar denganmu! Mampus le-
bih baik bagimu!"
"Tunggu! Jangan bunuh dia sebelum dia mem-
beritahu dimana kalung asli itu berada!" Berseru Men-
tari Pagi.
"Mentari Pagi, kau pernah bersumpah atas na-
ma Gusti Allah bahwa kalung itu adalah milik pimpi-
nan mu! Saat ini aku juga bersumpah demi Gusti Al-
lah, kalung yang kuserahkan padamu adalah satu-
satunya kalung yang ada padaku...."
Mentari Pagi dan Rembulan serta semua gadis
berkerudung di tempat itu menjadi terkesima menden-
gar ucapan Wiro itu. Namun Ki Tawang Alu cepat me-
motong dengan hardikan.
"Siapa percaya sumpah manusia bejat seperti
mu!"
Wiro tidak perdulikan hardikan si kakek. Dia
tetap menatap ke arah Mentari Pagi dan lanjutkan
ucapannya. "Kalau sekarang kalian cerita segala ma-
cam kalung palsu pasti salah satu di antara kalian di
sini yang telah melakukan keculasan!"
Mendengar kata-kata Wiro itu Rembulan berge-
rak mendekati Mentari Pagi dan membisiki sesuatu.
"Mulutmu berbisa! Otakmu kotor! Kau memang
layak mampus saat ini juga!" teriak Ki Tawang Alu ma-
rah. Kaki kanannya di injakkannya keras-keras ke ke-
pala Wiro. Bila hal itu sampai terjadi niscaya kepala
murid Sinto Gendeng ini akan pecah berantakan. Ka-
rena Ki Tawang Alu pergunakan kesaktian yang dis-
ebut Injakan Seribu Kati. Jangankan batok kepala ma-
nusia, batu besarpun akan hancur lebur!
Sesaat sebelum kaki Ki Tawang Alu bergerak
menginjak, Wiro selinapkan tangan kirinya ke ping-
gang. Lalu tahu-tahu berkiblat sinar putih dalam ge-
lapnya malam. Udara menjadi panas dan suara seolah
ada seribu tawon menyerbu mengaungi tempat itu.
Semua orang berseru kaget sambil bersurut
mundur. Ki Tawang Alu melompat sampai satu tom-
bak. Sedikit saja dia terlambat kaki kanannya yang ta-
di dipakai menginjak kepala Wiro akan terbabat putus.
Pendekar 212 tegak agak terhuyung. Di tangan
kanannya tergenggam Kapak Maut Naga Geni 212.
Pengerahan tenaga dalam waktu membabatkan
senjata mustikanya tadi membuat darah kembali men-
gucur di sela bibirnya.
"Berani mencari mati! Makan tanganku!" teriak
Ki Tawang Alu. Tangannya melesat ke depan. Tangan
itu telah berubah menjadi kaki srigala. Kuku-kuku
runcing mencuat ke depan, membeset ke arah batang
leher Wiro. Wiro kembali kiblatkan kapak saktinya.
Lawan bertindak cepat dan cerdik. Sambil tundukkan
kepala dan mengelak ke samping si kakek kembali
menyerang. Kali ini dengan tangan kirinya. "Breeettt!"
Pakaian Wiro robek besar di bahu sebelah kiri.
Murid Sinto Gendeng cepat bertindak mundur. Merasa
di atas angin Ki Tawang Alu kembali menggempur. Dia
pergunakan dua tangannya yang berbentuk kaki-kaki
srigala itu. Yang kiri menyambar ke muka sedang yang
kanan membeset ke perut Pendekar 212. Kali ini si ka-
kek terlalu menganggap enteng senjata di tangan la-
wan.
Wiro tekuk salah satu lututnya seraya mun-
durkan kaki yang lain. Kapak Naga Geni 212 yang su-
dah dipindah ke tangan kanan. melesat ke depan. Si-
nar putih menyambung di kegelapan malam disertai
suara mengaung dan hamparan hawa panas. Lalu
craasss!
Ki Tawang Alu menjerit setinggi langit. Darah
muncrat dari tangan kirinya yang buntung karena ti-
dak sempat ditarik selamatkan diri. Mukanya yang pu-
tih berubah merah mengelam. Terhuyung-huyung dia
mundur menjauhi lawan. Susah payah dengan tangan
kanannya dia menotok urat besar di pangkal leher ser-
ta lipatan siku. Darah serta merta berhenti tapi rasa
sakit dan hawa panas menjalari sekujur tubuhnya.
Tangan kirinya terkulai tak bisa digerakkan lagi. Kalau
saja tadi dia tidak menotok lengannya niscaya racun
Kapak Maut Naga Geni 212 akan menjalar sampai ke
dalam jantungnya dan nyawanya tidak tertolong lagi.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu si ka-
kek segera berteriak pada gadis-gadis berkerudung hi-
tam.
"Orang telah mencelakai diriku! Jangan diam
saja! Lekas bunuh pemuda jahanam itu!"
Beberapa orang gadis siap bergerak. Namun
mereka menunggu isyarat dari Mentari Pagi yang saat
itu tampak ragu. Apalagi gadis bernama Rembulan. Se-
jak tadi dia tidak percaya pada semua ucapan kakek
muka putih. Selain itu semua gadis merasa ngeri meli-
hat kedahsyatan kapak bermata dua di tangan Wiro.
"Kalian boleh membunuhku!" kata Wiro seraya
sisipkan senjata mustikanya ke pinggang. Lututnya
tertekuk. Luka dalam akibat pukulan Ki Tawang Alu
malam lalu cukup parah. Dalam keadaan jatuh berlu-
tut dia teruskan ucapannya. "Tapi sebelum menghabisi
ku, geledah dulu tua bangka muka putih itu. Bagai-
mana caranya aku tidak tahu! Tapi aku merasa yakin
kalung srigala yang asli itu ada padanya!"
"Aku pimpinan di sini! Aku yang memberi pe-
rintah pada kalian! Jangan dengarkan ucapannya yang
beracun! Lekas bunuh pemuda itu!" teriak Ki Tawang
Alu. Tubuhnya terasa semakin panas dan jalan darah-
nya tidak karuan.
Rembulan berbisik pada Mentari Pagi. "Apa
yang dikatakan pemuda itu mungkin betul. Aku ingat
sewaktu Ki Tawang Alu memegang kalung kepala sri-
gala yang kau serahkan padamu. Saat itu dia memba-
likkan. badan, mengarahkan kalung ke cahaya pelita
di atas rumah. Kita semua tahu dia memiliki kepan-
daian Secepat Kilat Membalik Tangan. Bukan mustahil
dia menukar kalung itu dengan yang palsu...."
"Beri isyarat pada teman-teman untuk mengu-
rung..." balas berbisik Mentari Pagi. Lalu dia maju
mendekati si kakek.
"Ki Tawang Alu, kau terluka. parah. Perlu men-
dapat rawatan. Sebaiknya kau lekas naik ke atas ru-
mah. Tapi sebelumnya aku ingin mengatakan sesuatu
dulu. Jika sekiranya kecurigaan kami keliru harap di
maafkan. Menurut pemuda itu kau kembali mene-
muinya untuk meminta kalung kepala srigala itu. Pa-
dahal sebelumnya di depan kami kau telah menggele-
dah dan menyatakan kalung itu tidak ada padanya.
Mana yang benar. Kalung yang diberikan pemuda itu
padaku aku yakin itu adalah kalung yang asli. Bagai-
mana tiba-tiba berubah menjadi kalung palsu yang ti-
dak ada khasiatnya, apakah kau bisa menerangkan?"
"Mentari Pagi!" kata Ki Tawang Alu dengan sua-
ra bergetar dan rahang menggembung. "Kau tidak
layak menanyai diriku. Jika kau memaksa kau akan
ku pecat sebagai anggota Kelompok Bumi Hitam dan
kuusir dari tempat ini! Kau dengar?!"
"Aku mendengar dan mohon maafmu. Tapi jika
kau tidak mau menjawab pertanyaanku tadi, terpaksa
kami menggeledah dirimu!"
"Gadis kurang ajar! Berani kau berkata begitu!
Kau dan kawan-kawanmu telah termakan ucapan pemuda sinting itu!" Ki Tawang Alu bicara setengah ber-
teriak. Selain itu diam-diam dia memperhatikan kea-
daan sekelilingnya. Ternyata para gadis yang berjum-
lah lebih setengah lusin itu telah mengurungnya. "Ka-
lian semua lekas naik ke atas rumah! Biar aku meng-
habisi pemuda itu!"
Mentari Pagi dan Rembulan cepat menghadang
gerakan si kakek ketika Ki Tawang Alu hendak mende-
kati Pendekar 212 Wiro Sableng. Habislah kesabaran
Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam ini. Didahului
teriakan garang dia menyerang Mentari
Pagi dengan tangan kanannya yang cidera dan
saat itu telah berubah menjadi kaki srigala. Mentari
Pagi dan kawan-kawannya tak tinggal diam. Perkela-
hian delapan lawan satu segera berkecamuk sementa-
ra Pendekar 212 yang terduduk di tanah hanya bisa
memperhatikan.
Sebagai Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam
tentu saja Ki Tawang Alu memiliki kepandaian tinggi.
Namun dikeroyok lawan begitu banyak yang rata-rata
memiliki kepandaian hanya satu atau dua tingkat saja
di bawahnya, apalagi dia dalam keadaan luka dan cu-
ma punya satu tangan, setelah bertempur empat jurus
si kakek muka putih segera terdesak hebat.
Mentari Pagi dan kawan-kawannya sebenarnya
tidak bermaksud menurunkan tangan jahat terhadap
Ki Tawang Alu yang bagaimanapun tetap mereka hor-
mati sebagai pimpinan mereka. Karenanya mereka
hanya berusaha merobek pakaian si kakek di beberapa
bagian tertentu. Mengira dirinya hendak ditelanjangi
orang Ki Tawang Alu jadi naik pitam dan mengamuk.
Tapi gerakannya yang sembrawutan membuat kea-
daannya malah tambah terdesak.
"Breettt!"
Tangan kanan Mentari Pagi yang berubah bentuk seperti kaki srigala berhasil merobek pakaian Ki
Tawang Alu di pinggang kiri. Sebuah kantong kain
yang tergantung di balik pakaiannya ikut robek dan
terpental ke udara. Dari robekan kantong melesat ke
luar sebuah benda putih perak. Ki Tawang Alu cepat
melompat, berusaha menjangkau benda itu. Namun
satu sambaran angin dengan keras melabrak tubuh-
nya hingga dia terpental dan jatuh terbanting di tanah.
Ternyata dalam keadaan luka di dalam yang cukup pa-
rah Pendekar 212 Wiro Sableng masih mampu lancar-
kan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Untuk sesaat si
kakek terhenyak tak berkutik di tanah. Dari mulutnya
meleleh darah kental!
Benda yang melesat ke udara jatuh ke bawah.
Sebelum menyentuh tanah Wiro cepat ulurkan tangan
kanannya menyambuti benda itu, yang ternyata ada-
lah kalung kepala srigala terbuat dari perak putih. Be-
gitu kalung berada dalam genggamannya satu hawa
aneh mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Rasa sakit
di dadanya agak berkurang walau sekujur badannya
masih terasa lemas.
Mentari Pagi, Rembulan dan semua gadis yang
ada di tempat itu cepat mendatangi Wiro. Mereka
memperhatikan tangan kanan si pemuda yang meng-
genggam. Perlahan-lahan murid Sinto Gendeng buka
genggaman tangannya. Terlihatlah kalung kepala sri-
gala putih bermata merah. Wiro angkat tangannya ke
arah Mentari Pagi.
"Ambillah! Aku yakin ini kalung yang asli. Aku
merasakan ada hawa aneh masuk ke tubuhku begitu
benda ini berada dalam genggamanku..." kata Pende-
kar 212 pula.
Mentari Pagi segera ambil kalung kepala srigala
itu. "Benar, ini memang kalung yang asli. Aku juga me-
rasakan ada hawa aneh masuk ke dalam tangan ku!"
Si gadis berpaling pada Rembulan. "Aku akan segera
menuju kamar pimpinan kita bersama beberapa orang
teman. Kau dan dua atau tiga orang harap memapah
Pendekar212, bawa masuk ke salah satu kamar rumah
besar. Periksa keadaannya...."
"Mentari!" tiba-tiba seorang anggota kelompok
berseru. "Ki Tawang Alu lenyap!"
Semua orang menjadi terkejut. Memandang
berkeliling ternyata kakek muka putih itu tak ada lagi
di situ.
"Aku harus mengejarnya. Dia menculik guru
ku..." kata Wiro seraya bangkit berdiri.
"Itu memang menjadi kewajibanmu Pendekar
212," kata Mentari Pagi. "Tapi keselamatan dirimu ha-
rus diutamakan. Menurut penglihatanku kau terkena
Pukulan Seribu Kati. Jika tidak diobati kau bisa me-
nemui ajal sebelum matahari terbenam besok hari...."
Terkejutlah Pendekar 212 mendengar ucapan
itu. Tubuhnya kembali terasa lemas. Dibantu tiga
orang temannya Rembulan segera memapah si pemuda
naik ke atas rumah besar.
*
* *
Empat
SANTET SERATUS TAHUN
REMBULAN dan tiga orang gadis anggota ke-
lompok yang menamakan diri Kelompok Bumi Hitam
membawa murid Sinto Gendeng ke dalam sebuah ka-
mar. Kamar ini bersebelahan dengan kamar besar dimana Pelangi Indah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam
berada. Wiro dibaringkan di atas sebuah ranjang kayu.
Seseorang masuk membawa sebuah pelita kecil. Empat
gadis membuka kerudung hitam masing-masing hing-
ga Wiro dapat melihat wajah mereka yang cantik-
cantik.
"Kalian hendak melakukan apa?" tanya Pende-
kar 212. Matanya menatap ke arah Rembulan.
"Kau dalam keadaan terluka parah. Kakek mu-
ka putih itu telah memukul dadamu di arah jantung
dengan Pukulan Seribu Kati Jika tidak diobati nyawa-
mu mungkin tidak tertolong. Tapi saat ini ada hal lain
yang harus kami dahulukan. Yaitu menolong Pelangi
Indah pimpinan kami. Kami akan kembali ke sini. Ka-
lau kami kembali harap kau sudah membuka bajumu!
Harap kau berbaring dan jangan banyak bergerak.
Jangan sekali-kali turun dari atas ranjang. Apapun
yang kelak kau dengar tidak usah menjadi perhatian-
mu apalagi kau pikirkan."
"Membuka baju? Aku.... Hai tunggu!" Wiro ber-
seru.
Rembulan berpaling. "Tetaplah tenang di atas
ranjang. Jangan banyak bertanya, jangan bergerak.
Kami harus menolong pimpinan kami. Jika dia bisa
diselamatkan maka kau juga akan dapat disela-
matkan. Tapi jika dia tidak bisa diselamatkan berarti
nyawamu-pun tidak mungkin ditolong!"
Paras Pendekar 212 jadi berubah. "Rembulan,
tunggu dulu. Ada yang hendak aku tanyakan..." kata
Wiro.
Tapi gadis-gadis itu sudah meninggalkan kamar
dan menutup pintu. Pendekar 212 memandang sepu-
tar kamar. Dia mencium bau wangi setanggi. Tapi di
kamar itu tak ada perasaan pertanda bau itu datang
dari ruangan lain. "Aneh, bangunan dan juga kamar
ini berwarna hitam pekat. Di dinding ada bunga-bunga
hiasan terbuat dari kain. Juga berwarna hitam. Tem-
pat apa ini? Siapa gadis-gadis itu sebenarnya? Hal apa
yang menimpa diri pimpinan mereka? Lalu kalau mau
mengobati mengapa aku harus berbaring begini rupa.
Aku disuruh membuka baju! Aneh! Jangan-jangan me-
reka bukan mau mengobati diriku. Tapi hendak mene-
pati janji yang mereka ucapkan malam itu! Mau me-
nyerahkan diri padaku...."
Selagi Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba
dari ruangan sebelah dia mendengar suara orang ba-
nyak seperti tengah membaca doa. "Gadis-gadis itu..."
desis Wiro. "Mereka menyebut-nyebut nama Gusti Al-
lah, menyebut Tuhan. Berarti mereka memang bukan
orang-orang persilatan golongan sesat. Biar ku intip
apa yang terjadi di ruang sebelah. Mendadak sang
pendekar menjadi tercekat. Telinganya menangkap su-
ara sesuatu. "Suara menggereng. Walau halus tapi aku
yakin itu suara binatang...."
Perlahan-lahan Wiro turun dari atas ranjang.
Tanpa suara dia melangkah mendekati dinding kamar
dari balik mana dia mendengar suara orang berdoa.
Mula-mula dia hanya menempelkan telinganya ke
dinding. Lalu memperhatikan dinding itu dengan teliti
Sambil meraba-raba. "Ini satu keanehan lagi. Dinding
ini jelas terbuat dari kayu. Dari papan yang disambung
satu dengan lain. Tapi mengapa tidak ada sedikit ce-
lahpun? Aku tak bisa. mengintip...." Wiro memandang
ke arah pintu di sebelah kanan. Dia dekati pintu ini
dart pergunakan tangannya untuk membuka. Tidak
bisa. Pintu tak dapat terbuka. Dicobanya mencongkel
juga tak berhasil. Akhirnya dikeluarkannya Kapak Na-
ga Geni 212. Namun baru tangannya meraba senjata
mustika itu, di ruang sebelah terdengar suara riuh,
diseling suara seperti isak tangis. Lalu ada suara kaki
kaki melangkah. Wiro batalkan niatnya membuka pin-
tu dengan kapak lalu kembali naik ke atas tempat ti-
dur.
*
* *
Di kamar sebelah tempat pimpinan Kelompok
Batu Hitam terbaring dalam keadaan tubuh tak berge-
rak, mata terpejam dan sekujur kulit berwarna hitam
keriput. Mentari Pagi masukkan kalung kepala srigala
yang asli ke dalam bokor kuningan. Saat itu juga air di
dalam bokor mengepulkan asap putih. Hawa sejuk
membungkus seluruh ruangan. Pelita besar menyala
lebih terang dan bau setanggi di sudut ruangan mene-
bar lebih wangi.
Seperti yang dilakukan sebelumnya, para gadis
lalu memanjatkan doa meminta kesembuhan atas diri
pimpinan mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Lalu dengan kaos halus Mentari Pagi sapukan air di
dalam bokor ke seluruh permukaan kulit wajah dan
tubuh orang yang terbaring di atas ranjang dalam ujud
nenek-nenek. Juga seperti sebelumnya semua gadis itu
menunggu dengan perasaan cemas khawatir. Namun
perasaan itu serta merta lenyap. Di balik harapan yang
muncul menyeruak rasa ngeri melihat apa yang kemu-
dian terjadi, walau mereka telah pernah menyaksikan
hal itu sebelumnya sampai dua kali.
Wajah dan sosok tubuh yang dipoles dengan air
kembang dari dalam bokor kuningan mengeluarkan
hawa seperti kabut tipis yang memancarkan tujuh
warna pelangi. Kabut ini kemudian bergulung menjadi
satu lalu perlahan-lahan bergerak ke arah bokor ku-
ningan. Bokor yang dipegang salah seorang gadis itu
tiba-tiba bergerak keras dan memancarkan cahaya te
rang.
Laki terjadilah satu hal luar biasa. Dari dalam
bokor melayang keluar kalung perak berbentuk kepala
srigala bermata merah. Sedikit demi sedikit kalung itu
membesar. Sepasang matanya yang merah menyo-
rotkan cahaya merah muda, lalu berubah menjadi me-
rah pekat. Perubahan ukuran kepala srigala itu sema-
kin besar hingga kini mencapai dua kali kepala srigala
sungguhan. Sorotan dua sinar merah yang keluar dari
mata semakin terang dan angker seperti sambaran
nyala api. Tapi sebaliknya sinar itu tidak mengelua-
rkan hawa panas melainkan sejuk luar biasa.
Kepala srigala julurkan lidahnya beberapa kali
lalu bergerak melayang ke tengah ruangan. Setelah
berputar-putar sebanyak tujuh kali di atas pembarin-
gan, kepala ini bergerak menukik. Dua sinar merah
yang keluar dari matanya menyapu wajah, dada, perut
terus ke paha dan sampai ke ujung kaki orang yang
terbujur di atas ranjang. Hal ini terjadi sampai tujuh
kali berturut-turut.
Hal luar biasa kembali terjadi. Sosok wajah dan
tubuh yang tadi keriput hitam itu perlahan-lahan be-
rubah membentuk daging yang dilapisi kulit segar
berwarna putih. Rambut panjang tergerai yang tadinya
berwarna putih kini telah berubah menjadi subur hi-
tam berkilat. Sepasang mata yang sejak tadi terpejam
perlahan-lahan terbuka. Dan seulas senyum merekah
di bibir yang sebelumnya selalu terkatup. Kini keliha-
tanlah satu sosok tubuh seorang gadis berambut hi-
tam, berwajah luar biasa cantiknya. Inilah Pelangi In-
dah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam. Wajah dan so-
sok tubuhnya yang bagus mulus sesuai dengan na-
manya.
Semua gadis yang ada di sekeliling pembarin-
gan menyerukan rasa syukur, berulang kali menyebut
nama Tuhan bahkan ada yang setengah berlutut dan
keluarkan isak tangis.
Di udara dalam ruangan, kepala srigala raksasa
perlahan-lahan menyusut menjadi kecil kembali hing-
ga akhirnya kembali ke bentuknya semula berupa ka-
lung perak. Kalung kepala srigala ini kemudian me-
layang tujuh kali lalu masuk kembali ke dalam bokor
berisi air kembang melati.
Mentari Pagi cepat ambil kalung di dalam bokor
sementara di atas pembaringan sosok Pelangi Indah
bergerak bangkit dan duduk. Rembulan cepat menu-
tupi tubuh yang tidak terlindung itu dengan sehelai
jubah tipis berwarna hitam: Mentari Pagi mengikatkan
sehelai ikat kepala ke kening sang pemimpin. Ikat ke-
pala ini terbuat dari kain sutera hitam yang di bagian
tengahnya melekat satu batu permata berwarna hitam
tapi memancarkan cahaya seperti pelangi. Dengan su-
tera berbatu permata itu terikat di keningnya, Pelangi
Indah bukan saja tambah cantik jelita tapi juga gagah
sekali, penuh wibawa. Mentari Pagi ulurkan tangannya
menyerahkan kalung kepala srigala yang terbuat dari
perak kepada sang pemimpin. Pelangi Indah ambil
benda itu lalu menciumnya penuh takzim, kemudian
memasukkannya ke dalam satu kantong di sebelah da-
lam pakaian * sutera hitamnya. Setelah itu dia me-
mandang pada gadis-gadis yang mengelilinginya di se-
putar ranjang.
"Untuk ke tiga kalinya kalian telah berbuat jasa
besar. Menyembuhkan aku dari penyakit yang selama
ini ku derita dan tak pernah bisa disembuhkan kalau
tidak dengan kalung sakti kepala srigala yang terbuat
dari perak murni itu. Beberapa waktu lalu kalung yang
juga merupakan lambang kepemimpinan Kelompok
Batu Hitam itu telah lenyap dicuri orang. Kalian ber-
hasil mendapatkannya kembali dan menyembuhkan
aku dari santet seratus tahun yang membuat aku be-
rubah menjadi seorang nenek-nenek buruk mengeri-
kan. Tidak tahu aku bagaimana harus membalas budi
dan jasa kalian...."
Semua gadis yang ada di seputar ranjang ja-
tuhkan diri berlutut. Mentari Pagi mewakili mereka bi-
cara.
"Kami adalah anggota Kelompok Bumi Hitam.
Kami adalah anak buahmu dan kau adalah pimpinan
kami! Semua apa yang kami lakukan merupakan satu
kewajiban. Lebih dari itu kami menganggapnya sebagai
tugas suci. Jadi kami mohon pimpinan jangan bicara
segala budi dan jasa."
Pelangi Indah tersenyum dan. pegang pundak
Mentari Pagi. "Ada dua hal yang tidak biasanya ku li-
hat dan ku rasakan saat ini. Pertama, aku tidak meli-
hat Ki Tawang Alu, kakek yang menjadi Wakil ku. Ke-
dua aku merasa ada tarikan nafas berat seseorang di-
balik ruangan sebelah kiri. Dapatkah kalian mene-
rangkan?"
"Pimpinan kami Pelangi Indah," berkata Mentari
Pagi. "Sebenarnya kesembuhan mu itu sangat berkait
dengan pertolongan seorang pemuda. Berminggu-
minggu kami mencari kalung yang hilang. Ternyata ka-
lung mustika itu ditemukan oleh si pemuda. Dengan
sukarela dia menyerahkan patung itu pada kami. Men-
genai Ki Tawang Alu, kakek muka putih itu ternyata
memang ular kepala dua, musuh dalam selimut. Rem-
bulan, harap kau menuturkan apa yang telah terja-
di...."
Rembulan lalu menceritakan riwayat pengkhia-
natan Ki Tawang Alu. Pelangi Indah gelengkan kepa-
lanya. Wajahnya tampak merah pertanda marah. "Aku
memang sudah lama menaruh curiga pada manusia
satu itu. Kalau saja tidak mengingat pesan Eyang Palopo, sejak dulu dia sudah kuusir dari sini. Tapi su-
dahlah, buat apa memikirkan si pengkhianat itu. Dia
sudah menerima balasan. Menjadi cacat seumur hi-
dup. Tapi kita harus berwaspada. Dia pasti akan men-
dekam dendam kesumat dan sewaktu-waktu muncul
lagi membalaskan sakit hati."
"Kami siap siaga dan selalu waspada menjaga
segala kemungkinan," kata Mentari Pagi.
Lalu Pelangi Indah bertanya. "Mengenai pemu-
da yang telah menolong dan menyerahkan kalung
mustika sakti, bahkan sampai mempertaruhkan ji-
wanya itu, siapakah namanya dan dimana beradanya
sekarang?"
"Namanya Wiro Sableng. Konon dia yang berju-
luk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212..." jawab
Mentari Pagi.
Terkejutlah Pelangi Indah sampai gadis ini ber-
gerak turun dari atas ranjang dan menatap lekat-lekat
pada Mentari Pagi, lalu memandang berkeliling pada
anak buahnya.
"Tidak salahkah telingaku mendengar?!"
"Tidak, yang aku ucapkan memang nama itu.
Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
dari Gunung Gede," mengulang Mentari Pagi.
Lalu Rembulan menambahkan. "Pemuda itu se
karang ada di kamar sebelah. Dia berada dalam
keadaan...."
Belum selesai ucapan Rembulan, Pelangi Indah
telah keluar dari pintu ruangan.
*
* *
LIMA
KECUPAN DALAM GELAP
BEGITU mendengar pintu terbuka, murid
Eyang Sinto Gendeng segera pejamkan mata, berpura-
pura tidak sadarkan diri. Tubuhnya tidak bergerak se-
dikitpun. Diam-diam dia alirkan hawa sakti dingin
hingga sekujur permukaan kulitnya menjadi dingin.
Berdiri di depan tempat tidur, didampingi oleh
para anak buahnya, Pelangi Indah pandangi wajah dan
sosok Pendekar 212. Dari mulutnya meluncur perla-
han kata-kata. "Sepuluh tahun lebih aku menunggu,
akhirnya dapat juga aku bertemu muka dengan pen-
dekar ini...."
Dua tangan Pelangi Indah bergerak ke depan
lalu breettt! Dia robek dada pakaian Wiro. Seorang
anak buahnya disuruh mengambil pelita dalam ruan-
gan lalu didekatkan ke tepi tempat tidur.
"Pukulan Seribu Kati!" kata Pelangi Indah agak
tercekat ketika melihat tanda biru pada bagian dada
kiri Wiro yang menggembung bengkak. "Ki Tawang Alu
benar-benar berniat jahat hendak membunuhnya den-
gan pukulan beracun itu...."
"Setahu kami senjata berbentuk kapak yang
terselip di pinggang Pendekar 212 adalah senjata yang
sangat ampuh melindungi diri dari racun. Juga bisa
dipakai untuk menyedot racun. Bagaimana mungkin
sekarang dia tidak mampu melakukan sesuatu...?"
Pelangi Indah menjawab. "Setiap senjata musti-
ka sakti bukanlah segala-galanya. Apa kau tidak per-
nah mendengar ujar-ujar bahwa di atas langit masih
ada langit lagi? Keadaannya cukup parah. Kalau tidak
lekas ditangani nyawanya tak bakal tertolong...."
Mentari Pagi ulurkan tangan memegang lengan
Wiro. "Dingin.... Aliran darahnya mungkin sudah mulai
menyendat...."
Pelangi Indah cabut Kapak Naga Geni 212 dari
pinggang Wiro lalu menyerahkannya pada Rembulan.
Ketika dia memeriksa lagi bagian lain dari pinggang
murid Sinto Gendeng itu dan menemukan batu hitam
pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 terkejutlah pim-
pinan Kelompok Bumi Hitam ini. Tubuhnya bergetar
dan perlahan-lahan dia jatuhkan diri, membungkuk
dengan satu lutut bersitekan ke lantai kayu. Tentu sa-
ja hal ini membuat heran semua gadis yang ada di si-
tu. Dia adalah pimpinan tertinggi dalam Kelompok
Bumi Hitam. Sementara Wiro walaupun punya nama
besar di rimba persilatan tetapi adalah orang luar.
Mengapa kini pimpinan mereka jatuhkan diri berlutut
sambil pegang batu hitam dan menekapkannya ke da-
da?
"Eyang Palopo..." suara Pelangi Indah bergetar
perlahan. "Batu mustika sakti yang kau katakan itu te-
lah kutemukan. Hanya sayang sudah menjadi milik
orang lain. Aku tidak dapat mengikuti pesanmu. Aku
tidak mau mengambil benda yang bukan milikku wa-
lau menurutmu asal usul batu ini adalah milik nenek
moyang kita...."
Pelangi Indah cium batu hitam itu dengan
khidmat lalu diserahkannya pada Mentari Pagi. "Rem-
bulan dan Mentari Pagi, jaga baik-baik dua senjata
sakti milik pemuda ini: Kembalikan padanya jika dia
sudah sembuh kelak. Sekarang kalian semua keluar-
lah dari kamar ini. Aku akan mengobatinya. Semoga
Tuhan menolong diriku dan dirinya...."
"Pimpinan kami Pelangi Indah, jika kau tidak
berkeberatan, aku sanggup membebaskannya dari racun Pukulan Seribu Kati," berkata Mentari Pagi.
"Dia telah menyelamatkan diriku dengan me-
nyerahkan kalung kepala srigala. Kini giliranku untuk
selamatkan jiwanya," jawab Pelangi Indah pula.
Mendengar ucapan sang pemimpin walaupun
diam-diam merasa kecewa Mentari Pagi, Rembulan dan
yang lain-lain sama membungkuk lalu tinggal kan ka-
mar itu. Setelah hanya tinggal berdua, Pelangi indah
sentuh kening Wiro dengan telapak tangan kirinya. Te-
rasa dingin. Dia tersenyum lalu berkata.
"Pendekar dari Gunung Gede, aku kagum den-
gan kekuatanmu, mampu bertahan terhadap pukulan
beracun Seribu Kati. Orang lain mungkin sudah me-
nemui ajal. Tapi bagaimanapun juga racun dalam tu-
buhmu harus dikeluarkan. Hanya satu hal yang aku
heran. Mengapa kau berpura-pura pingsan dan alirkan
hawa dingin ke permukaan kulitmu? Aku mendengar
selain berkepandaian tinggi kau adalah seorang pemu-
da konyol yang suka menggoda orang. Mungkin hal itu
benar adanya...."
Menyadari orang sudah mengetahui perbua-
tannya berpura-pura, sambil menahan tawa murid
Sinto Gendeng segera buka matanya. Begitu dia meli-
hat wajah di atasnya langsung saja dia jadi terkesima.
Dia telah menyaksikan kecantikan wajah Mentari Pagi
yang anggun penuh wibawa. Dia juga telah melihat ke-
jelitaan paras Rembulan yang sulit dicari bandingnya.
Namun ternyata wajah gadis bernama Pelangi Indah
yang jadi pimpinan Kelompok Bumi Hitam itu melebihi
ke dua gadis itu. Selain cantik dan berkulit putih mu-
lus, dengan ikatan kain sutera hitam di kepalanya Pe-
langi Indah benar-benar tampak gagah. Selain itu dia
juga memiliki sepasang mata yang tajam tapi bisa be-
rubah lembut dan jika memandang seolah menyentuh
sampai ke lubuk hati.
"Pimpinan Kelompok Bumi Hitam...."
"Kau boleh memanggil namaku...."
"Hemmm.... Pelangi Indah, jangan menduga sa-
lah. Aku tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang-
orangmu terhadapku. Ternyata kini aku mendapat ke-
hormatan besar. Kau sendiri yang hendak menolong-
ku. Sejak satu hari ini dadaku sakit bukan kepalang
dan darah masih mengalir dari mulutku. Belum per-
nah aku mengalami cidera seperti ini. Apa benar kea-
daanku gawat...?"
"Memang gawat. Aku berusaha mengobati. Kau
harap berdoa memohon pertolongan Tuhan..." kata Pe-
langi Indah lalu keluarkan kalung kepala srigala perak
dari balik pakaiannya. Saat itulah Wiro menyadari be-
tapa tipisnya jubah hitam yang dikenakan si gadis
hingga walau cahaya pelita dalam kamar tidak terlalu
terang namun dia dapat melihat jelas lekuk-lekuk tu-
buh Pelangi Indah mulai dari dada sampai ke ping-
gang.
"Aku mau kencing..." kata Pendekar 212 tiba-
tiba.
"Jangan berbuat macam-macam. Terlalu ba-
nyak kau bergerak racun dalam tubuhmu akan me-
nyebar kemana-mana...."
"Aku tidak bergurau. Tapi biar sekali ini aku
mengikuti ucapanmu. Akan ku coba menahan kenc-
ing!" kata Wiro sambil menyeringai dan hendak meng-
garuk kepala. Tapi lengannya cepat ditahan oleh Pe-
langi Indah. Kalung kepala srigala yang di keluarkan-
nya dari balik pakaian diletakkannya di dada kiri Pen-
dekar 212, tepat pada bagian yang bengkak membiru
akibat jotosan Seribu Kati. Satu hawa sejuk masuk
menembus permukaan kulit Wiro.
"Kau sudah siap...?" Pelangi Indah bertanya.
"Aku... ya aku siap," jawab Wiro walau dia tidak
tahu apa yang akan dilakukan si gadis.
Pelangi Indah menatap ke arah pelita di sudut
ruangan. Perlahan-lahan nyala api pelita menjadi kecil
meredup tapi tidak sampai padam. Ruangan yang ti-
dak seberapa besar itu menjadi temaram. Si gadis de-
kap pipi Pendekar 212 dengan ke dua tangannya. Ke-
palanya lalu diturunkan mendekati wajah sang pende-
kar. Lalu tiba-tiba saja bibirnya sudah menyentuh bi-
bir Wiro. Wiro merasakan satu kecupan sangat keras
hingga bukan saja lidahnya tertarik keluar tapi isi pe-
rutnya juga seolah tersedot. Dari dadanya yang cedera
dan dari perut keluar suara seperti air menggelegak.
Suara aneh ini berpindah ke tenggorokannya lalu dia
merasa ada cairan banyak sekali memenuhi mulutnya.
Pelangi Indah menyedot. Cairan di dalam mulut Wiro
berpindah ke mulutnya. Lalu dia menyemburkan cai-
ran dalam mulutnya itu ke dinding. Dinding yang ta-
dinya hitam berubah menjadi biru pekat. Pelangi Indah
seka mulutnya yang basah. Bengkak membiru di dada
kiri Wiro serta merta lenyap. Rasa sakit hilang dan ke-
kuatannya pulih kembali.
"Racun jahat..." ujar Wiro seraya memperhati-
kan cairan biru yang menutupi dinding.
"Kau selamat..." bisik Pelangi Indah.
Wiro berpaling. Dilihatnya gadis cantik itu te-
gak berpegangan ke tepi ranjang. Tubuhnya mandi ke-
ringat. Wajahnya kemerahan. Dia tertegak limbung.
Wiro cepat memegang pinggang gadis itu agar tidak ja-
tuh. Untuk menyedot racun pukulan yang ada dalam
tubuh Wiro, si gadis telah mengerahkan tenaga luar
dan dalam habis-habisan. Itu sebabnya tubuhnya
mandi keringat dan menjadi lemah. Dalam keadaan
terkulai letih tubuh si gadis jatuh di atas dada Pende-
kar 212. Kening mereka saling bertindihan.
"Pendekar 212, sepuluh tahun aku menunggu
kedatanganmu. Kau muncul membawa keselamatan
bagi diriku! Kau datang membawa batu hitam mustika
sakti pelambang kepada siapa aku harus tunduk dan
menyerahkan diri. Wiro, kau tidak boleh meninggalkan
tempat ini untuk selama-lamanya...."
Tentu saja Wiro merasa terkejut mendengar
ucapan si gadis. "Aku berhutang nyawa padanya. Ka-
lau dia sampai memaksa urusan bisa jadi tidak ka-
ruan..." ujar Wiro dalam hati. Lalu dia berkata.
"Pelangi Indah, kau telah menyelamatkan jiwa
ku. Aku mengucapkan terima kasih. Tapi aku tidak
mengerti arti...."
Wiro tidak dapat melanjutkan ucapannya. Ka-
rena bibir si gadis telah menempel di bibirnya. Kembali
dia merasakan satu kecupan keras.
"Astaga, apakah ini masih merupakan kecupan
untuk mengobati diriku atau kecupan lain..." kata Wiro
dalam hati. Tangan kanannya menggaruk ke kepala.
Namun kemudian perlahan-lahan tangan itu bergerak
merangkul tubuh lembut Pelangi Indah. Dalam kea-
daan seperti itu Pendekar 212 ingat akan niatnya un-
tuk mendapatkan ilmu kesaktian yang bernama Sepa-
sang Sinar Inti Roh. Dia harus menunggu 49 tahun
karena Sinto Gendeng menganggap dirinya belum
mampu menerima ilmu kesaktian itu mengingat dia
merupakan seorang pemuda yang masih suka pada
wajah cantik dan tubuh mulus. Dalam hati Wiro mem-
batin. "Nenek itu benar. Dalam keadaan seperti ini ba-
gaimana mungkin aku mau menolak. Siapa mau me-
nyia-nyiakan kesempatan! Walah! Biar tidak aku pikir-
kan dulu ilmu itu! Kalau memang aku harus menung-
gu sekian lama apa boleh buat! Benar juga kata orang.
Sehabis sengsara biasanya datang bahagia tak terdu-
ga."
"Wiro, apakah kau masih kepingin kencing?" tiba-tiba Pelangi Indah berbisik.
"Hemm.... Apa? Tadi aku cuma bergurau. Jan-
gan khawatir, aku tidak bakalan ngompol di celana!"
Wiro menyeringai lalu tertawa tertahan-tahan.
Pelangi Indah sendiri tidak kuasa menahan ta-
wanya. Untung saja Wiro cepat merangkul tubuhnya
hingga suara tawanya tenggelam di atas dada bidang
sang pendekar.
TAMAT
Segera terbit:
TELUK AKHIRAT
-------------------------------------------------
ARIO BLEDEG
EPISODE PETIR DI MAHAMERU
DUA BELAS
TASBIH KI AGENG BELA BUMI
DALAM kagetnya melihat kecepatan lawan
membuat gerakan mengelak Warok Wesi Gludug berbi-
sik pada nenek di sebelahnya. "Setahuku kakek butut
itu hanyalah orang tolol tukang pembuat keris. Ternya-
ta dia memiliki ilmu silat tinggi dan sanggup menghin-
darkan diri dari serangan kita berdua!"
"Kau bicara seolah nyalimu sudah leleh! Sung-
guh memalukan Warok yang telah menggegerkan bela-
han tengah tanah Jawa berucap seperti itu!"
Kata-kata nenek berjuluk Si Lidah Bangkai itu
membuat tampang garang Warok Wesi Gludug menjadi
kelam membesi. Rahangnya menggembung. Dua len-
gannya digesekkan hingga mengeluarkan suara seperti
dua batangan besi saling digosok!. Memandang ke de-
pan dilihatnya Empu Bondan Ciptaning telah berada
beberapa tombak di kejauhan, melangkah cepat me-
ninggalkan telaga. "Empu keparat! Kau mau lari ke-
mana!
Kau kira bisa lolos dari tanganku!" Habis berte-
riak Warok Wesi Gludug gebuk pinggul tunggangan-
nya. Kuda hitam itu meringkik keras lalu melesat ke
depan.
Si Lidah Bangkai tertawa panjang. Dia merasa
gembira dapat membakar semangat sobatnya itu. Tan-
pa tunggu lebih lama nenek ini segera pula mengge-
brak kuda hitamnya, Sesaat kemudian Empu Bondan
Ciptaning telah dijepit oleh dua kuda besar itu hingga
dia terpaksa menghentikan langkahnya.
"Empu tolol! Apa kau mau mati sia-sia hanya
karena mempertahankan barang yang bukan milik-
mu?!" membentak Si Lidah Bangkai.
Empu Bondan Ciptaning mengangkat kepa-
lanya. Dengan suara dan sikap tenang dia menjawab.
"Kalau barang-barang yang kalian minta memang mi-
likku, sudah dari tadi aku serahkan secara ikhlas. Tapi
seperti ku jelaskan. Kitab dan tasbih ini adalah barang
titipan yang harus aku jaga baik-baik..."
"Pandainya kau berdalih memutar lidah!" har-
dik Warok Wesi Gludug. Tangan kanannya yang seke-
ras besi dipukulkannya ke batok kepala Empu Bondan
Ciptaning. Di saat bersamaan Si Lidah Bangkai me-
nyembur. Lidahnya yang merah bercabang melesat,
bergulung menyambar ke arah leher sang Empu, me-
muncratkan cairan merah.
"Kalian berdua, mengapa masih berkeras hati
berusaha memiliki barang yang bukan hak kalian.
Apakah hati dan benak kalian telah berubah menjadi
batu hingga tidak mau berlaku sadar?!"
Sambil berucap begitu Empu Bondan Ciptaning
rundukkan kepalanya, lalu untuk selamatkan diri dari
dua serangan lawan dia cepat melompat ke bawah pe-
rut kuda tunggangan Si Lidah Bangkai. Nenek ini ber-
teriak marah. Dia sentakkan tali kekang kudanya
hingga binatang ini menghambur ke depan. Jika Empu
Bondan Ciptaning masih mendekam di bawah tubuh
kuda, niscaya dirinya akan diterjang dua kaki bela-
kang binatang itu. Tapi orang tua ini sudah tahu apa
yang bakal terjadi. Begitu Si Lidah Bangkai menyentakkan tali kekang dia sudah melompat ke kiri, ber-
pindah berlindung di bawah sosok kuda tunggangan
Warok Wesi Gludug.
"Jahanam benar! Dia berani mempermainkan
kita!" teriak Sang Warok. Sambil bergelantungan di
leher kuda dia jatuhkan diri ke samping kanan. Ber-
samaan dengan itu kaki kanannya menendang ke ba-
wah. Inilah tendangan mengandung tenaga dalam
tinggi yang bisa memecahkan batu. Dan yang jadi sa-
sarannya saat itu adalah kepala Empu Bondan Ciptan-
ing yang tengah merunduk di bawah tubuh kuda!
Tendangan kaki kanan itu tidak terduga dan
datangnya cepat sekali. Walau masih mampu melihat
datangnya serangan namun Sang Empu tidak mung-
kin mengelak dengan cara melompat atau merunduk-
kan kepala. Satu-satunya yang bisa dilakukannya ia-
lah menangkis dengan tangan kirinya.
"Bukkk!"
Tangan dan kaki beradu keras. Empu Bondan
Ciptaning merasa lengannya seperti dihantam palang
besi. Dia menggigit bibir menahan teriak kesakitan.
Tubuhnya terpental beberapa langkah, terbanting ja-
tuh punggung di tanah. Sebelum dia sempat bangkit Si
Lidah Bangkai telah menggebrak kuda tunggangannya
ke arah sosok Sang Empu yang masih tergeletak di ta-
nah.
Di atas kuda si nenek tertawa mengekeh. Dia
sudah mengira kaki-kaki kuda tunggangannya akan
menghunjam menghancurkan tulang dada dan tulang-
tulang iga Sang Empu. Tapi alangkah kagetnya si ne-
nek dan suara tawanya serta merta lenyap ketika
mendadak kuda tunggangannya meringkik keras lalu
terangkat ke atas, berputar laksana titiran dan selan-
jutnya terlempar sejauh dua tombak lalu tergelimpang
di tanah!
Apakah yang telah terjadi?
Ketika Si Lidah Bangkai menghamburkan ku-
danya ke arah dirinya yang masih tergeletak di tanah,
Empu Bondan Ciptaning sudah maklum bahaya apa
yang akan melandanya. Dia tak berani melompat
bangkit karena gerakan-nya pasti akan kalah cepat
dengan kedatangan hantaman kaki-kaki kuda. Orang
tua ini menunggu sesaat. Matanya mengawasi. Begitu
dua kaki terdepan kuda tunggangan Si Lidah Bangkai
menghunjam ke arahnya, Empu Bondan Ciptaning
dengan cepat gulingkan diri ke depan. Dua kaki kuda
lewat di kepalanya, membongkar tanah menerbangkan
debu. Saat itu juga Empu Bondan Ciptaning lesatkan
pinggangnya ke atas. Sementara punggungnya masih
bertumpu di tanah, kaki kanannya melesat ke atas,
menyodok perut kuda. Sebelum lawannya tahu apa
yang terjadi, dengan satu kekuatan yang sulit diper-
caya Empu Bondan Ciptaning angkat tubuh kuda. itu
berikut penunggangnya lalu diputar dan dilemparkan!
Si Lidah Bangkai berteriak marah. Kalau dia ti-
dak lekas melompat jungkir balik niscaya mukanya
akan berkelukuran dimakan tanah walau terlapis sisik
aneh hitam kebiruan. Sementara kudanya bangkit ter-
huyung-huyung si nenek telah berdiri tegak, meman-
dang ke arah Empu Bondan Ciptaning yang saat itu
juga telah berdiri tegak, memandang dengan raut wa-
jah kasihan kepada kuda hitam yang tadi dilempar-
kannya.
"Kuda hitam, kau tak berdosa. Tapi terpaksa
menerima derita. Maafkan perbuatanku itu..." Sang
Empu mengeluarkan suara batinnya.
"Empu jahanam! Kau memang benar-benar
minta mati!" Mulut si nenek membentak keras sedang
matanya memandang berapi-api. Dua tangannya dis-
ilangkan ke depan lalu didorongkan. Di saat bersamaan Warok Wesi Gludug telah melesat turun dari ku-
danya dan secara licik dia melompat ke belakang Em-
pu Bondan Ciptaning. Dua tangannya yang penuh bu-
lu dipentang ke atas. Bersamaan dengan gerakan me-
nyerang Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug meng-
gebrak pula dengan menghantamkan tangan kanannya
ke bagian belakang kepala lawan.
Empu Bondan Ciptaning bukannya tidak tahu
kalau salah satu lawan telah menyerangnya dari bela-
kang secara pengecut. Tetapi saat itu dia lebih mem-
perhatikan gerakan sepasang tangan Si Lidah Bangkai
yang ada di depannya.
"Pukulan Gunting Iblis!" kata Sang Empu da-
lam hati. Rupanya dia telah mengetahui dengan ilmu
kesaktian apa si nenek hendak menghantamnya. Pu-
kulan Gunting Iblis yang dimiliki nenek berjuluk Si Li-
dah Bangkai memang telah menggegerkan dan mena-
kutkan delapan penjuru angin rimba persilatan tanah
Jawa, terutama menjelang berdirinya Kerajaan Demak
dengan Rajanya yang pertama yakni Raden Patah. "Dia
hendak menyerangku dengan pukulan maut itu!"
Dua tangan Si Lidah Bangkai bergerak bersi-
langan.
"Clakk! Claakk!"
Terdengar suara mengerikan. Lebih menggidik-
kan lagi ketika dari dua telapak tangan si nenek ber-
tampang angker itu tiba-tiba melesat dua larik sinar
hitam, bergerak meluncur bersilangan, mengeluarkan
suara seperti sebuah gunting raksasa!
Seperti diketahui sebagai seorang Empu, Bon-
dan Ciptaning sepanjang usianya memusatkan kepan-
daian dan kesaktiannya pada ilmu membuat berbagai
senjata sakti. Walau dia memiliki ilmu silat yang bu-
kan sembarangan dan juga menguasai beberapa puku-
lan sakti namun dibanding dengan ilmu kesaktian
yang dimiliki sahabatnya Ki Suro Gusti Bendoro, Sang
Empu jauh tertinggal.
Dan saat itu ketika dia menghadapi serangan
maut dari depan dan dari belakang, walau masih me-
nunjukkan sikap tenang namun hati kecilnya menge-
luh. Dia tahu jarang ada orang yang sanggup atau bisa
menyelamatkan diri dari serangan Pukulan Gunting Ib-
lis. Mungkin juga dia adalah salah satu di antaranya!
"Aku tidak takut menemui kematian di tangan
dua manusia sesat ini. Tapi kematianku akan memba-
wa penyesalan sampai ke alam baka karena aku tidak
bisa menyelamatkan dua barang titipan yang ada pa-
daku...."
Di saat hatinya bersuara, di saat kematian su-
dah di depan mata tiba-tiba Empu Bondan Ciptaning
ingat pada salah satu barang yang diserahkan saha-
batnya Ki Suro Gusti Bendoro kepadanya beberapa
waktu sebelumnya. Yaitu yang kini terkalung di leher-
nya!
"Tasbih sakti! Tasbih Ki Ageng Beta Bumi!"
Tangan Sang Empu serta merta bergerak ke leher.
"Sahabatku Ki Suro.... Harap maafkan kelancanganku.
Aku terpaksa mempergunakan tasbih pusaka, barang
sakti mandraguna milikmu ini untuk menyelamatkan
diri.... Semoga Yang Maha Tunggal mengampuni kesa-
lahanku! Semoga dua musuhku tidak akan mendapat
celaka oleh tasbih sakti ini...."
Ketika tangan sekeras besi Warok Wesi Gludug
hanya tinggal sejengkal lagi untuk menghancurkan ba-
tok kepala sebelah belakang Empu Bondan Ciptaning
dan dua sinar hitam menggidikkan dalam kejapan
hampir bersamaan siap membantai putus pinggang-
nya, tiba-tiba menggelegar suara menggaung. Bersa-
maan dengan itu selarik sinar hijau berbentuk lingka-
ran bergulung di udara, membungkus sosok Empu Bondan Ciptaning mulai dari kepala sampai ke ping-
gul. Dua suara berdentrangan menggema membuat
denyutan keras pada jantung. Dua jeritan setinggi lan-
git menggelegar serasa membobol gendang-gendang te-
linga!
Di tengah kalangan pertempuran Empu Bondan
Ciptaning kelihatan tegak dengan tubuh bergetar dan
dada terbungkuk menahan gejolak. Di tangan kanan-
nya dia masih memegang Tasbih Ki Ageng Bela Bumi
yang terbuat dari batu Giok hijau. Untuk beberapa la-
manya tasbih sakti itu kelihatan mengepulkan asap
kehijau-hijauan.
Empu Bondan Ciptaning berpaling ketika telin-
ganya menangkap suara orang mengerang di bela-
kangnya. Delapan langkah di sebelah sana sosok tinggi
besar Warok Wesi Gludug terkapar di tanah dalam
keadaan benar-benar mengenaskan. Rambutnya yang
sebelumnya dikuncir kini kelihatan hangus awut-
awutan. Begitu juga cambang bawuk.
janggut serta kumis tebal dan bulu-bulu yang
memenuhi dadanya. Kulit mukanya dari kening sam-
pai ke dagu, lalu di bagian badan mulai dari leher
sampai ke perut yang telanjang tampak merah bahkan
ada yang terkelupas. Yang paling mengerikan adalah
tangan kanannya yang tadi dipergunakan memukul
batok kepala lawannya. Tangan yang sekokoh besi itu
kini tidak lagi memiliki jari barang sepotong-pun kare-
na seluruh telapak tangannya telah hancur. Bagian
ujung lengannya yang putus remuk, menggembung
merah. Cidera inilah yang merupakan sumber sakit
yang bukan alang kepalang hingga Warok Wesi Gludug
melejang-lejang menggeliat-geliat sambil tiada hentinya
mengerang.
Empu Bondan Ciptaning memandang berkelil-
ing. Matanya mencari-cari. Tapi dia sama sekali tidak
melihat Si Lidah Bangkai. Kemana lenyapnya nenek
itu? Mungkin telah kabur melarikan diri. Kemudian
pandangan sepasang mata Sang Empu membentur se-
buah benda yang tergeletak di tanah, di dekat rerum-
putan dan semak belukar rendah. Tengkuknya lang-
sung terasa dingin. Bagaimanakah tidak. Benda yang
tergeletak di tanah itu adalah potongan tangan kanan
manusia mulai dari ujung-ujung jari sampai sebatas
siku yang telah mengelupas seluruh dagingnya dan
hanya tinggal tulangnya saja yang kelihatan memutih!
Mungkinkah itu potongan tangan kanan Si Lidah
Bangkai? Berarti nenek itu juga mengalami cidera be-
rat akibat adu kekuatan dengan tasbih sakti tadi.
Empu Bondan Ciptaning langsung pejamkan
mata dan pegang keningnya dengan tangan kiri. "Tu-
han Agung, Maha Kuasa, Maha Penolong! Ampuni dosa
kesalahanku! Aku telah berani berlaku lancang melu-
kai menciderai sesama umat. Penyesalan ku lebih
mendalam lagi Ya Tuhan karena untuk berbuat dosa
itu aku dengan lancang mempergunakan senjata milik
orang lain. Tuhan, aku tahu dua musuhku tadi adalah
orang-orang sesat dan jahat! Tapi dengan melakukan
kekejaman ini terhadap mereka berarti aku tidak lebih
baik dari keduanya. Ampuni dosa dan kesalahanku
wahai Yang Maha Kuasa...."
Suara erang kesakitan yang keluar dari mulut
Warok Wesi Gludug menyadarkan Empu Bondan Cip-
taning. Dia kalungkan Tasbih Ki Ageng Bela Bumi ke
lehernya lalu melangkah cepat mendekati kepala pe-
rampok hutan Roban itu.
Meski sakit mendera dirinya- mulai dari ubun-
ubun sampai ke ujung kaki namun Warok Wesi Glu-
dug masih bisa melihat siapa yang datang dan kemu-
dian berlutut di sampingnya.
"Aku mohon...." Suara Sang Warok sesaat terputus oleh erang kesakitan. "Aku mohon kau bunuh
aku saat ini juga! Aku... tidak sanggup lagi menahan
rasa sakit ini! Bunuh! Habisi aku saat ini juga!"
Empu Bondan Ciptaning benar-benar tidak tega
melihat keadaan Warok Wesi Gludug. Ke dua tangan-
nya bergerak. Bukan untuk memenuhi permintaan
penjahat itu, tetapi malah sebaliknya. Dengan cepat
Empu Bondan Ciptaning menotok tubuh Sang Warok
di beberapa bagian. Lalu dari saku jubah birunya dike-
luarkannya sebuah kantong kecil terbuat dari kain. Di
dalam kantong ini ada sejenis bubuk berwarna putih.
Sebagian dari bubuk itu dimasukkannya ke dalam mu-
lut Warok Wesi Gludug, sisanya ditaburkannya di tan-
gan kanan yang hancur. Tak selang berapa lama suara
erang kesakitan dari mulut kepala rampok itu mulai
perlahan lalu berhenti sama sekali. Matanya meman-
dang sayu pada Sang Empu, mulutnya bergerak seper-
ti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara
yang keluar karena sekujur tubuhnya saat itu berada
dalam keadaan sangat lemah.
"Kau tak perlu mengucapkan apa-apa..." kata
Sang Empu pula sambil memegang kening Warok Wesi
Gludug. "Dengar, aku tak mungkin membawamu ke
hutan Roban. Yang bisa kulakukan adalah menaikkan
mu ke atas kudamu. Binatang itu akan membawamu
ke tempat kediamanmu...."
Mulut Warok Wesi Gludug kembali bergerak.
Namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Cukup
susah bagi Empu Bondan Ciptaning menggotong tu-
buh tinggi besar Sang Warok lalu membaringkannya
menelungkup membelintang di atas pelana di pung-
gung binatang itu.
"Warok Wesi Gludug, aku mengaku telah bersa-
lah besar mencelakaimu. Maafkan diriku. Aku berdoa
agar kau bisa sampai di tempat kediamanmu dengan
cepat dan selamat..." Empu Bondan Ciptaning mengu-
sap punggung Sang Warok, lalu menepuk pinggul ku-
da hitam. Binatang ini seperti segan hendak mening-
galkan tempat itu. Empu Bondan Ciptaning membelai
tengkuknya beberapa kali lalu menepuk pinggulnya
sekali lagi. Setelah menggaruk-garuk tanah dengan
dua kaki depannya, akhirnya kuda hitam itu mulai
melangkah pergi. Empu Bondan Ciptaning menghela
nafas dalam lalu tinggalkan pula tempat itu.
***
TIGA BELAS
SEBELUM mengikuti kelanjutan apa yang dila-
kukan Empu Bondan Ciptaning, kemana perginya
Sang Empu itu dan apa yang terjadi dengan Tasbih Ki
Ageng Bela Bumi serta Kitab Hikayat Keraton Kuno ki-
ta kembali dulu pada masa belasan tahun silam ketika
Kesultanan Demak mulai dirundung kemelut dan tak
habis-habisnya mengalami musibah berdarah.
Pada masa itu yang memerintah di Demak ada-
lah Sultan Trenggono. Dalam usahanya memperluas
daerah kekuasaan Demak dan sekaligus mengem-
bangkan ajaran agama Islam, Sultan Trenggono me-
nyerbu Pasuruan yang terletak di ujung timur Pulau
Jawa. Malang bagi Sultan, dalam satu kecamuk perang
yang dahsyat dia bersama sekelompok pasukannya
terjebak. Usaha untuk meloloskan diri sia-sia saja ka-
rena seluruh tempat sudah dikurung. Sultan akhirnya
tewas di tangan musuh.
Gugurnya Sultan Trenggono bukan saja meng-
gemparkan Demak tapi sekaligus menimbulkan keka-
cauan besar. Beberapa orang yang merasa dirinya berhak menggantikan Trenggono saling berebut kekua-
saan. Terjadi kekacauan besar karena mereka saling
mempergunakan kekuatan senjata. Pertempuran terja-
di dimana-mana. Kotaraja hancur. Mereka yang saling
memperebutkan tahta kerajaan itu adalah Pangeran
Tua Sekar Seda Lepen yang adalah adik mendiang Ra-
den Patah, Raja pertama Kesultanan Demak. Sebagai
adik kandung Raden Patah, Pangeran ini merasa kini
dialah yang paling punya hak untuk memegang tam-
puk kekuasaan tertinggi di Kesultanan Demak. Lalu
yang menjadi lawan Pangeran Sekar Seda Lepen ada-
lah Pangeran Prawoto yang bukan lain adalah putera
Sultan Trenggono sendiri, jadi sebenarnya masih me-
rupakan cucu Pangeran Sekar Seda Lepen sendiri.
Suatu ketika Pangeran Sekar bersama para
pengikutnya memasuki Kotaraja dari arah timur. Saat
itu malam hari. Udara mencucuk dingin karena siang-
nya telah turun hujan cukup lebat. Dia sengaja men-
gambil jalan berputar menyeberangi sebuah sungai un-
tuk menghindari pasukan kerajaan yang setia pada
Pangeran Prawoto yang berada di dalam kota dan pasti
bersiap siaga di berbagai penjuru Kotaraja.
Rencana Pangeran Tua Sekar adalah akan ber-
gabung dengan induk pasukannya di satu tempat ra-
hasia sebelum menyerbu Keraton Demak. Karena hu-
jan di siang hari, pada malam itu arus sungai cukup
deras. Pangeran Sekar dan rombongannya dengan me-
nunggangi kuda menyeberangi sungai dengan sangat
hati-hati. Yang mereka awasi bukan cuma arus yang
deras dan bisa menghanyutkan mereka, tetapi juga
pinggiran sungai di seberang sana karena tidak mus-
tahil bahaya bisa datang dari musuh yang bersem-
bunyi di tebing sungai. Kekhawatiran Pangeran Sekar
ternyata terbukti sesaat kemudian. Di malam yang
dingin dan sunyi dimana hanya suara deru arus sungai yang terdengar tiba-tiba ada suara suitan dua kali
berturut-turut. Lalu dari dalam rimba belantara gelap
di seberang sungai kelihatan berkelebatan puluhan
bayangan hitam.
Mata tajam Pangeran Sekar Seda Lepen segera
melihat dan menyadari datangnya bahaya. Saat itu dia
bersama tiga puluh orang anggota pasukannya telah
berada di tengah-tengah sungai. Cepat Sang Pangeran
berteriak.
"Musuh di depan kita! Semua lekas balik ke te-
pi barat!"
Tiga puluh satu ekor kuda segera diputar ber-
balik ke arah tepi sungai dari mana mereka datang se-
belumnya. Ini bukan pekerjaan mudah. Selain bina-
tang tunggangan mereka masuk ke dalam air hampir
setinggi punggung, saat itu arus air deras sekali. Keti-
ka dengan susah payah akhirnya mereka bisa memu-
tar kuda masing-masing dan bergerak menuju tepian
yang berlawanan tiba-tiba salah seorang anggota pa-
sukan yang kini berada paling depan berseru tegang
sambil menunjuk.
"Celaka Pangeran! Kita terjebak! Lihat di sebe-
rang sana!"
Pangeran Tua Sekar Seda Lepen, diikuti semua
anggota pasukan lainnya memandang ke arah yang di-
tunjuk. Semua mereka sama terkejut. Wajah berubah
tegang. Tangan langsung meraba ke pinggang dimana
mereka menyisipkan senjata masing-masing.
Di seberang tepian sungai sebelah sana, pulu-
han sosok hitam muncul laksana setan gentayangan.
Rombongan Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang be-
rada di tengah kini terkurung antara dua tepian sun-
gai. Tak ada jalan untuk menyelamatkan diri. Jika ber-
gerak ke arah kanan berarti akan dihantam arus sun-
gai yang dahsyat. Jika membelok ke kiri bisa-bisa mereka akan diseret arus. Selagi pasukan di tengah sun-
gai itu berada dalam kebingungan tiba-tiba kembali
terdengar dua kali suara suitan. Lalu menyusul suara
menderu aneh. Di gelapnya malam puluhan benda me-
lesat dari dua tepian sungai. Ketika Pangeran Sekar
mendongak ke depan dan berpaling ke belakang terke-
jutlah dia!
"Awas serangan panah!"
Pangeran Sekar segera cabut golok besar yang
tersisip di pinggangnya lalu dibabatkan seputar kepala
dan tubuhnya.
"Traangg... tranggg... trangg...!"
Beberapa anak panah yang melesat ke arah ke-
pala dan badan Sang Pangeran terpental berpatahan.
Belasan anggota pasukan melakukan hal yang sama.
Coba membentengi diri masing-masing dengan putaran
pedang atau golok. Tapi tingkat kepandaian mereka ti-
dak setara Pangeran Sekar. Banyak dari mereka kelua-
rkan suara menjerit lalu jatuh ke dalam sungai dengan
tubuh ditancapi panah. Celakanya ternyata mata anak
panah itu oleh musuh diberi racun. Jadi walaupun
seandainya anggota pasukan yang terjebak di tengah
sungai itu masih bisa menyelamatkan diri dalam kea-
daan luka, racun panah tetap akan merenggut nya-
wanya!
Makin lama anak panah beracun yang datang
menyambar semakin banyak dan ganas. Jeritan ter-
dengar di mana-mana. Yang masih bisa menyela-
matkan diri dalam bingungnya mencoba menceburkan
diri masuk ke dalam sungai. Tapi sosoknya segera dis-
eret arus! Sungai itu kini berubah menjadi neraka di
malam buta! Kalau saja kejadian itu berlangsung pada
siang hari. akan terlihat bagaimana air sungai yang ta-
dinya bening kebiruan telah berubah menjadi merah
oleh tumpahan darah!
***
KEESOKAN paginya, baru saja fajar menyings-
ing, dalam keadaan terang-terang tanah, di arah hilir
sungai, tak berapa jauh dari tempat terjadinya peristi-
wa pembantaian atas Pangeran Sekar Seda Lepen dan
tiga puluh anggota pasukannya, kelihatan puluhan
pasukan Kerajaan menarik sebuah jaring besar yang
rupanya sengaja dipasang di tempat itu sejak satu hari
sebelumnya. Begitu jaring diseret ke darat, yang berge-
limpangan di dalam jaring besar itu bukan ikan atau
makhluk penghuni sungai lainnya, tetapi sosok tubuh
manusia yang sudah kaku, sembab membiru, penuh
luka-luka dan ada yang masih ditancapi anak-anak
panah beracun. Selain menghitung jumlah mayat yang
mereka temukan, para prajurit kerajaan itu juga mene-
liti satu persatu wajah para korban. Tak lama kemu-
dian, salah seorang diantara mereka yang agaknya ber-
tindak sebagai pimpinan meninggalkan tepian sungai
di sebelah timur. Dia melangkah cepat masuk ke da-
lam rimba belantara sejauh dua puluh tombak, baru
berhenti ketika mencapai sebatang pohon besar di de-
pan mana berdiri seorang berpakaian perwira muda
bertampang keren tetapi memiliki pandangan mata se-
dingin es. Perwira ini bernama
Tubagus Lor Putih. Di kalangan prajurit Demak
perwira muda ini tidak disenangi karena sifatnya yang
kasar suka memaki dan enteng tangan suka menempe-
lengi bawahan.
"Apa yang akan kau laporkan! Aku lihat mu-
kamu redup seperti pantat kuali! Agaknya ada yang ti-
dak beres!" Sang Perwira menegur prajurit kepala yang
mendatanginya.
Prajurit yang datang melapor itu kebetulan
memang berkulit hitam pekat. Dengan gerak-gerik
yang menunjukkan rasa takut dia memberi hormat la-
lu berucap. "Mo-hon maafmu Perwira. Jaring telah di-
angkat. Jumlah korban telah dihitung. Semua ada tiga
puluh orang..."
"Tiga puluh?!" Tubagus Lor Putih mengulang.
Pandangan matanya yang dibesarkan membuat tam-
pangnya menjadi angker. "Hanya tiga puluh?!"
"Benar Perwira."
"Mata-mata memberitahu rombongan itu ber-
jumlah tiga puluh satu orang. Termasuk Pangeran Se-
kar Seda!"
"Mata-mata melaporkan hal yang betul. Tetapi
diantara para mayat justru mayat Pangeran itu yang
tidak ditemukan!"
Berubahlah air muka perwira muda Tubagus
Lor Putih. "Prajurit Jangan kau berani bergurau!" Sang
Perwira membentak.
"Saya tidak bergurau, Perwira! Mayat yang di-
temukan hanya tiga puluh. Dan mayat Pangeran Sekar
Seda Lepen tidak ada di antara mereka."
"Berarti Pangeran itu berhasil meloloskan diri!
Luar biasa! Tidak mungkin!" Sepasang mata Perwira
Tubagus Lor Putih memandang dingin menyeramkan
pada prajurit kepala yang berdiri di hadapannya yang
kelihatan mulai gemetar ketakutan. "Pangeran Sekar"
memang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Tapi itu bu-
kan jaminan dia bisa menyelamatkan diri dari kepun-
gan malam tadi! Lagi pula dia tidak kebal racun. Ma-
sakan tidak ada satupun anak panah yang sanggup
menyerempet tubuhnya! Aku juga sudah memerintah-
kan memasang jaring untuk menghambat setiap mayat
agar tidak hanyut ke hilir! Tapi Pangeran itu tetap lo-
los! Kau dan orang-orangmu bekerja tolol sembrono!
Kau tahu apa artinya bagimu jika Pangeran itu benar-
benar berhasil melarikan diri?!"
Wajah prajurit kepala menjadi pucat. Dengan
suara gemetar dia menjawab. "Saya tahu kesalahan
saya Perwira. Saya siap dipancung...."
"Mauku memang menebas batang lehermu saat
ini juga!" kata Tubagus Lor Putih. Lalu plaakk! Tampa-
rannya mendarat di pipi prajurit kepala. Walau sakit-
nya tamparan itu bukan alang kepalang dan bibirnya
sampai pecah berdarah namun prajurit kepala ini ma-
sih mampu bertahan, tegak berdiri dengan kepala
menghuyung. "Dengar! Aku masih memberi kesempa-
tan padamu dan anak buahmu! Lakukan pemeriksaan
sekali lagi. Pergunakan kepandaian kalian menyelam.
Selidiki sampai ke dasar sungai. Mungkin mayat Pan-
geran itu terperangkap di dasar sungai atau tersangkut
pada akar-akar pepohonan di salah satu sisi sungai!"
"Siap melakukan perintah," jawab si prajurit
kepala walau diam-diam dia merasa yakin tidak akan
menemukan mayat Sang Pangeran. Sebelumnya dia
pernah mengabdi di tempat kediaman Pangeran Sekar.
Dia tahu betul bahwa adik mendiang Sultan Demak itu
memiliki kepandaian tinggi. Bukan mustahil dia telah
berhasil menyelamatkan diri dan saat ini tentu sudah
berada jauh dari tempat itu.
Sampai menjelang tengah hari dua sisi sungai
telah diselidiki, rimba belantara di kiri kanan sungai
diperiksa, selusin prajurit yang punya keahlian menye-
lam telah memeriksa dasar sungai sepanjang puluhan
kaki. Namun mayat, apa lagi sosok hidup Pangeran
Sekar Seda tidak berhasil ditemukan.
Untuk kedua kalinya si prajurit kepala datang
menghadap Tubagus Lor Putih.
"Mohon ampunmu, Perwira. Semua tempat su-
dah diperiksa, sungai sudah diselami sampai jauh ke
arah hilir. Tapi mayat Pangeran Sekar tetap tidak ditemukan...."
"Hemmm.... Kalau begitu kau tunggu apa lagi?!"
ujar Tubagus Lor Putih.
Mendengar kata-kata atasannya itu si prajurit
kepala kelihatan menggigil sekujur tubuhnya. Dia ja-
tuhkan diri, berlutut di tanah. Suaranya seperti terce-
kik ketika berkata. "Perwira, saya tahu kesalahan.
Saya siap dihukum mati. Namun jika kau mau berbe-
las kasihan, aku mohon pengampunan darimu..."
Tubagus Lor Putih menyeringai. "Setiap prajurit
yang tahu kesalahan, harus siap menerima hukuman!
Bukannya mengemis minta pengampunan!" Perwira
muda ini hunus golok panjang yang tergantung di
pinggangnya.
"Perwira, aku mohon kau mau mempertim-
bangkan. Istriku baru saja melahirkan anak kami yang
pertama seminggu lalu...."
"Hemmmm... begitu? Lalu apa hubungan istri-
mu atau anakmu dengan hukuman yang harus kau te-
rima?! Sebagai prajurit kepala kau tidak berhasil me-
mimpin anak buahmu menangkap Pangeran Sekar. Ini
merupakan satu malapetaka besar bagi Demak. Diri-
mu telah menjadi biang racun jatuhnya malapetaka
itu. Lalu apakah artinya nyawa yang ada di dalam tu-
buhmu?!"
Mendengar ucapan atasannya itu si prajurit
kepala sadar bagaimanapun juga dia tidak bakal men-
dapat pengampunan. Maka tanpa daya prajurit yang
malang ini bungkukkan dadanya, angsurkan kepala ke
arah sang perwira.
Tubagus Lor Putih sesaat pandangi sosok ba-
wahannya itu dengan sikap dingin tanpa ada rasa be-
las kasihan sama sekali. Dia berpaling ke kiri, ke arah
seorang prajurit tua berwajah cekung. Perwira ini lem-
parkan goloknya pada prajurit tua itu seraya berkata.
"Kau kuberi kehormatan untuk memancung leher ata
sanmu itu!"
Walau si prajurit tua menyambuti golok yang
dilemparkan, tapi apa yang didengarnya membuat tu-
buhnya jadi menggigil. Dia jatuhkan diri di tanah dan
berkata. "Perwira, ampuni diriku. Aku mohon jangan
aku yang...."
"Tua bangkai tidak berguna! Kau harusnya
bangga mendapat kepercayaan melaksanakan tugas
itu! Seorang prajurit Demak tidak pantas menghindar
diri dari tanggung jawab! Apalagi membangkang men-
jalankan perintah atasan! Kurasa prajurit rongsokan
sepertimu memang sudah saatnya harus disingkirkan
lebih dulu!"
Selesai berucap kaki kanan perwira muda itu
melesat ke depan. Sosok prajurit tua mencelat ke uda-
ra lalu terbanting roboh di tanah begitu tendangan Tu-
bagus Lor Putih melabrak dadanya. Prajurit tua ini tak
berkutik lagi. Tulang dadanya remuk, jantungnya pe-
cah. Darah mengucur dari mulutnya yang terbuka.
Nyawanya putus!
Ketika tubuh prajurit tua itu mencelat ke uda-
ra; golok yang dipegangnya ikut terpental. Dengan satu
gerakan cepat dan ringan Tubagus Lor Putih melompat
ke udara, menyambar gagang golok. Begitu dia me-
layang turun, senjata itu dibabatkannya ke bawah. De-
ras sekali golok panjang itu menyambar ke arah teng-
kuk si prajurit kepala.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari arah
hilir sungai terdengar satu teriakan lantang. "Hentikan
hukuman! Orang yang kalian cari ada bersamaku!"
***
EMPAT BELAS
KI DALEM SLEMAN
SEMUA orang di tempat itu termasuk perwira
muda Tubagus Lor Putih palingkan kepala ke arah
sungai. Mereka jadi terkesima melihat satu pemandan-
gan luar biasa. Sebuah rakit kecil terbuat hanya dari
beberapa potongan bambu hijau meluncur di permu-
kaan sungai, datang dari arah hilir, melawan arus air
yang siang itu masih cukup deras.
Di atas rakit itu tegak seorang kakek berjubah
kuning. Walau sudah tua dan seluruh rambutnya telah
putih sikapnya tampak gagah. Seringainya mem-
bayangkan kekerasan hati. Di dadanya melintang se-
batang tombak yang pada ujungnya terikat sehelai
bendera berbentuk segi tiga warna kuning. Di bahu ki-
ri si kakek membelintang satu sosok tak bergerak, en-
tah masih hidup entah sudah jadi mayat. Yang jelas
pada bahu kanan orang ini menancap sebatang anak
panah yang telah patah bagian bawahnya. Sesekali
kakek ini celupkan kaki kanannya ke dalam air sun-
gai. Gerakannya ini membuat rakit bambu melesat ke
depan!
Tegak di atas rakit kecil dengan beban manusia
di bahunya, meluncur melawan arus sungai yang de-
ras dan pergunakan kaki sebagai pendayung! Sungguh
luar biasa! Siapa gerangan adanya kakek hebat ini?!
Di Keraton Demak orang tua itu dikenal dengan
nama Ki Dalem Sleman. Selama masa pemerintahan
Sultan pertama Kerajaan Demak yakni Raden Patah
dia dikenal sebagai pengabdi yang setia. Ketinggian il-
munya membuat dirinya bisa menduduki jabatan tinggi serta kepercayaan dari Sultan. Namun dari beberapa
kalangan tertentu diketahui bahwa walau Ki Dalem
Sleman sebenarnya adalah seorang berilmu tinggi teta-
pi tidak mempunyai pendirian. Hari ini dia bisa menja-
di abdi atau sahabat setia, tetapi besok bila keadaan
lebih menguntungkan baginya maka dia bisa saja ber-
sikap culas menjadi pengkhianat tersembunyi. Ibarat
tanaman Ki Dalem Sleman adalah sebangsa ilalang liar
yang akarnya tumbuh merusak tanaman lain, dan bila
angin bertiup ke satu jurusan, ke arah itulah dia con-
dong meliuk dan memagut.
Ki Dalem Sleman rupanya tahu juga kalau ba-
nyak orang baik di dalam maupun di luar
Keraton yang tidak menyukainya. Merasa ter-
ganggu dengan orang-orang yang mengetahui sifat pri-
badinya itu maka secara diam-diam satu persatu Ki
Dalem Sleman dengan berbagai cara mulai menying-
kirkan mereka. Banyak diantara orang-orang itu yang
kemudian menemui kematian secara aneh. Atau le-
nyap tak tahu rimbanya. Diantara mereka yang teran-
cam kedudukan bahkan jiwanya namun tidak mau
menantang Ki Dalem Sleman karena kekuasaan dan
kepercayaan Sultan terhadapnya sangat besar, secara
diam-diam menjauhkan diri dan meninggalkan kehi-
dupan Keraton. Salah seorang diantara mereka adalah
Ki Suro Gusti Bendoro, tokoh yang sudah pembaca
ikuti riwayatnya di awal cerita (Petir Di Mahameru Ba-
gian 1) Secara halus orang tua tokoh utama Keraton
Demak ini menjauhkan diri lebih suka menghabiskan
waktu di satu tempat terpencil dan dalam kehidupan-
nya sehari-hari selalu menjalankan ibadah, mende-
katkan diri kepada Ilahi.
Lambat laun Sultan Demak mengetahui juga
perubahan sikap orang-orang kepercayaannya. Ki Suro
Gusti Bendoro diminta menghadap lalu ditanyai apa
sebabnya dia akhir-akhir ini lebih banyak berada di
luar Keraton.
Sebagai orang berhati lurus dan selalu taat pa-
da ajaran agama Ki Suro Gusti Bendoro tentu saja ti-
dak mau menceritakan keburukan perilaku Ki Dalem
Sleman. Orang tua ini ingat akan satu fatwa Junjun-
gannya Nabi Muhammad Rasullullah yang kira-kira
mengatakan: Belum sempurna iman seorang Muslim,
jika dia membuka aib sesama Muslim lainnya. Ki Suro
ingin agar kelak Sultan sendiri nanti yang akan menge-
tahui sebab musababnya, atau ada orang lain yang
memberitahu.
Sejak Ki Suro Gusti Bendoro tidak lagi berada
di Keraton Demak, Ki Dalem Sleman boleh dikatakan
telah menjadi bayang-bayang kekuasaan di belakang
Sultan. Banyak sekali perkara atau keputusan yang
berada di bawah pengaruhnya. Tak lama setelah per-
temuan terakhir dengan Ki Suro Gusti Bendoro Sultan
Demak mangkat. Tahta Kerajaan dipegang oleh putera
mahkota Pati Unus yang dikenal dengan sebutan Pan-
geran Sabrang Lor. Entah mengapa dan tidak diketa-
hui Pati Unus hanya memerintah selama tiga tahun,
Pada tahun 1548 saudaranya yang bernama Pangeran
Trenggono menggantikannya sebagai Sultan Demak.
Semasa Ki Suro Gusti Bendoro berada Keraton
Demak Pangeran Trenggono sangat dekat dengan
orang tua itu. Karenanya begitu dia menduduki tahta
Kerajaan, Sultan Trenggono segera memerintahkan un-
tuk mencari dan meminta Ki Suro Gusti Bendoro da-
tang menemuinya. Dalam pertemuan yang kemudian
terjadi Sultan Trenggono meminta agar Ki Suro kemba-
li berada di lingkungan Keraton. Menghormati Raja
muda ini dan juga mengingat semua kebaikan men-
diang ayahnya yakni Raden Patah, Sultan terdahulu Ki
Suro bersedia kembali tapi dengan perjanjian dia
hanya akan tinggal di lingkungan Keraton selama satu
tahun. Sultan tak mau menampik karena merasa ke-
lak nanti dia akan mampu membujuk Ki Suro agar
mau tinggal lebih lama di lingkungan Keraton. Selama
berada dalam Keraton Ki Suro pada Setiap pertemuan
dengan Sultan Ki Suro lebih banyak membicarakan
hal-hal yang menyangkut keagamaan. Dia sengaja
menghindari pembicaraan yang berkaitan dengan Ke-
rajaan karena saat itu dilihatnya pengaruh Ki Dalem
Sleman sudah mulai merasuk masuk ke dalam hati
dan pikiran Sultan. Apalagi Ki Dalem Sleman berhasil
pula merangkul seorang perwira tinggi yang sedang
naik daun yakni Brajanala hingga kekuatannya di da-
lam Keraton bertambah besar. Bilamana Sultan pada
akhirnya membawa pembicaraan pada hal-hal yang
menyangkut Kerajaan, Ki Suro selalu bicara hati-hati.
Dia tidak pernah menyalahkan orang lain, apa lagi
menyebut nama. Namun dalam hati sebenarnya Ki Su-
ro merasa sedih sekali. Dengan berbagai cara halus dia
selalu mengingatkan Sultan, namun agaknya penga-
ruh Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala su-
dah terlalu dalam dan besar.
Pada hari terakhir dia berada di Keraton, sebe-
lum pergi Ki Suro menghadap Sultan Trenggono. Un-
tuk pertama kalinya dia menyampaikan suara hatinya.
Dimintanya secara halus agar Sultan berlalu hati-hati,
selalu waspada. Dalam setiap perkara jangan hanya
membaca apa yang tersurat tapi coba menyelami arti
yang tersirat, jangan melihat apa yang terlihat dengan
mata kasar tetapi ada baiknya merenungi dengan mata
hati. Ki Suro tahu sekali Sultan Trenggono adalah seo-
rang Raja yang alim taat beribadat dan adil bijaksana
dalam segala tindakannya. Namun Ki Suro meminta
agar semua tindakan itu disertai dengan satu pemiki-
ran akan hal-hal yang mungkin bisa terjadi seandainya
dirinya kelak mangkat meninggalkan dunia fana ini.
Dalam hal ini Ki Suro sebenarnya menginginkan agar
sebelum wafat Sultan Demak itu membuat semacam
surat wasiat, siapa kelak akan menjadi penggantinya
menduduki tahta Kesultanan Demak.
"Ki Suro, mengapa Ki Suro meminta aku me-
nyiapkan semacam surat wasiat?" bertanya Sultan
Trenggono saat itu.
"Maafkan saya Sultan. Saya kira itu seyogianya
merupakan satu tradisi baru Kerajaan. Agar kelak se-
mua berjalan lancar di kemudian hari...."
"Agaknya kau menginginkan aku ini lekas
mangkat!"
Ki Suro Gusti Bendoro membungkuk dalam-
dalam. "Maaf dan ampuni diri saya ini Sultan. Tiada
pernah terpikir oleh saya apalagi sampai menginginkan
agar Sultan lekas mangkat. Seumpama kita berada di
tepi pantai. Laut yang kita lihat. Hari ini mungkin saja
keadaannya tenang, diselimuti segala keindahan. Teta-
pi bisa saja, setelah kita pergi tiba-tiba cuaca berubah,
badai datang, laut bergelombang. Kalau kita berlaku
waspada dan jauh-jauh hari meminta penduduk untuk
tidak membangun rumah terlalu dekat ke pantai, ma-
ka niscaya mereka akan terhindar dari malapetaka
yang tak satu manusiapun sanggup menghadapinya.
Berwaspada biasanya dilakukan sebelum bencana da-
tang melanda. Karena kalau bencana sudah di depan
mata, sulit bagi kita untuk menghindari...."
"Agaknya ada satu bencana yang kau lihat
akan menimpa Kerajaan Demak ini? Apakah ada
pengkhianat busuk di dalam Keraton ini Ki Suro?"
Tanya Sultan Trenggono pula yang membuat Ki Suro
Gusti Bendoro jadi tambah terpojok. Sebenarnya su-
dah sejak beberapa waktu lalu Ki Suro mendengar ka-
bar bahwa di dalam Keraton tengah terjadi satu persekongkolan keji untuk menumbangkan tahta Sultan
Trenggono. Walau diam-diam dia sudah bisa menduga
siapa adanya orang-orang berhati culas itu, namun
untuk mengungkap atau mengadukannya kepada Sul-
tan, Ki Suro tak mau melakukan. Bisa saja keadaan
berbalik dan dirinya dituduh sebagai tukang fitnah,
culas.
"Sultan, segala apa yang bakal datang sulit bagi
manusia untuk memastikan. Tetapi berjaga-jaga dan
berwaspada sambil tiada lupa memohon petunjuk Ilahi
adalah penting. Saya mohon agar Sultan tetap mem-
percayai semua orang di dalam lingkungan Keraton, te-
tapi sekaligus saya harap agar Sultan juga tidak begitu
saja mempercayai semua orang itu. Saya harap Sultan
mengerti maksud saya..."
Sultan Trenggono kerenyitkan kening lalu ge-
leng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti mak-
sud ucapan Ki Suro meminta aku mempercayai semua
orang tapi sekaligus juga meminta tidak mempercayai
semua orang. Bagaimana ini...?"
Sebelum Ki Suro sempat menjawab, sebelum
pembicaraan selesai, saat itu ke dalam ruangan ma-
suklah Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala.
Mereka datang menghadap untuk melaporkan sesuatu
yang penting. Ki Suro segera bangkit berdiri. Sultan
memintanya agar tetap berada di ruangan itu tetapi
dengan berat hati Ki Suro minta diri. Dia juga me-
nyampaikan salam perpisahan pada Ki Dalem Sleman
dan Brajanala.
Setelah menyampaikan laporannya kepada Sul-
tan; Ki Dalem Sleman membungkuk lalu berucap.
"Maafkan saya Sultan. Bukan maksud saya bersikap
lancang ingin tahu urusan orang. Tapi sehubungan
dengan salam perpisahan yang tadi disampaikan Ki
Suro Gusti Bendoro, apakah Sultan memang telah melepas kepergiannya begitu saja?"
"Apa maksud pertanyaan Ki Dalem?" balik ber-
tanya Sultan Trenggono.
"Selama ini saya dan Perwira Ki Brajanala me-
mang tidak pernah ingin mengusik orang, termasuk di-
ri Ki Suro Gusti Bendoro yang kami hormati itu. Na-
mun sejak setahun dia berada sini, berbagai kabar
menyangkut dirinya dibicarakan orang di luaran. Saya
terus terang menaruh khawatir. Tanpa menyelidik saya
tidak akan berani menjatuhkan tuduhan karena nanti
bisa dianggap menyebar fitnah. Kabarnya beberapa
waktu belakangan ini Ki Suro sering menemui Adipati-
Adipati tertentu. Setiap dia selesai menemui Adipati
anu, maka di. Kadipaten selalu terjadi latihan perang-
perangan...."
Sultan Trenggono jadi terkejut mendengar kete-
rangan Ki Dalem Sleman itu. "Mengapa sebelumnya Ki
Dalem tidak memberitahu padaku?"
Perwira Brajanala mendehem beberapa kali lalu
dia yang menjawab pertanyaan Sultan tadi. "Kami ti-
dak berani melapor kalau belum menyelidik sampai ke
akar-akarnya. Bisa saja latihan perang-perangan itu
untuk lebih menggalang kekuatan dan kewaspadaan
para prajurit Kadipaten." Ucapan sang perwira seperti
membela tapi sesaat kemudian dia menyambung den-
gan kata-kata yang membuat Sultan Trenggono jadi
tercenung. "Namun bukan mustahil pula semua itu
merupakan satu persiapan dari maksud atau tujuan
jahat terhadap Kerajaan..."
"Apalagi yang kalian ketahui tentang Ki Suro
Gusti Bendoro?" Sultan bertanya. Rahangnya nampak
menggembung dan pelipisnya bergerak-gerak pertanda
hawa kecurigaan yang menyatu dengan amarah mulai
merasuk dirinya.
"Mohon maaf Sultan, beri waktu kami barang
satu minggu lagi. Kami berjanji akan mengungkap sisi
hitam dari Ki Suro Gusti Bendoro lalu melaporkannya
pada Sultan. Hanya saja saat ini ada satu hal penting
yang harus kami beritahu..."
Sultan menatap wajah Ki Dalem Sleman yang
barusan bicara. Sultan anggukkan kepala. Menunggu
agak tegang apa yang bakal diterangkan pembantu ke-
percayaan, tokoh silat Keraton yang duduk di hada-
pannya itu.
"Kemarin siang kami baru mengetahui kalau
salah satu barang pusaka dan keramat Kesultanan
Demak telah lenyap dicuri orang."
Sultan Trenggono sampai berdiri dari kursi ke-
besarannya karena terkejutnya mendengar ucapan Ki
Dalem Sleman itu. Dia memandang lekat-lekat ke wa-
jah si orang tua, lalu berpaling pada Brajanala. Setelah
duduk kembali ke kursinya diapun bertanya.
"Katakan, barang pusaka keramat yang mana
yang lenyap dicuri orang?!"
Ki Dalem Sleman tak segera menjawab. Dia pe-
jamkan matanya seolah apa yang hendak diucapkan-
nya itu sangat menyakiti hati dan perasaannya.
"Katakan saja Ki Dalem, jangan biarkan Sultan
menunggu," berbisik Perwira Brajanala.
"Kanjeng Kiai Pujoanom," ucap Ki Dalem Sle-
man akhirnya dengan suara gemetar. "Bendera pusaka
keramat itu yang lenyap dicuri orang."
Sultan Trenggono merasa seperti disambar pe-
tir. Dia terhenyak di kursi kebesarannya. Mukanya se-
saat pucat. Dua tangannya menggenggam ukiran tan-
gan kursi yang berbentuk kepala naga.
"Kraakkk!"
Tidak sadar Sultan telah kerahkan kekuatan
tenaga dalamnya hingga dua ukiran kepala naga tan-
gan kursi yang terbuat dari kayu jati keras hancur!
"Kalau bendera pusaka Kiai lenyap dicuri
orang, pertanda cepat atau lambat Kerajaan akan di-
landa malapetaka besar!" Sultan Trenggono untuk be-
berapa saat lamanya duduk tak bergerak, hanya sepa-
sang matanya saja yang memandang mendelik tak
berkedip pada Ki Dalem Sleman dan Brajanala. Tiba-
tiba dia membentak keras. "Kalian berdua! Apakah
menurut kalian lenyapnya bendera keramat itu bu-
kannya pekerjaan Ki Suro Gusti Bendoro?"
"Kami berdua tidak berani menuduh tanpa
bukti..." kata Perwira Brajanala.
"Tapi," menyambung Ki Dalem Sleman. "Bukan
mustahil memang dia pencurinya. Tadi ketika kami
berdua masuk, bukankah Sultan sendiri menyaksikan
bagaimana dia begitu tergesa-gesa ingin meninggalkan
ruangan ini? Sebagai tokoh yang dituakan di Keraton,
apalagi menjadi kepercayaan Sultan sungguh perbua-
tannya itu tidak pada tempatnya."
"Aku perintahkan pada kalian berdua! Lekas
kejar Ki Suro Gusti Bendoro. Hadapkan dia padaku!"
"Kami siap menjalankan perintah," kata Ki Da-
lem Sleman dan Perwira Brajanala, lalu bangkit berdi-
ri. Setelah membungkuk dan bersurut mundur ke dua
orang ini segera tinggalkan ruangan itu.
Sesampainya di kandang kuda Brajanala dan Ki
Dalem Sleman saling tersenyum-senyum. Setengah
berbisik Ki Dalem Sleman berkata. "Apa yang kita ren-
canakan segera berhasil! Ha... ha! Rasakan kau Ki Su-
ro Gusti Bendoro!"
"Ki Suro pasti belum jauh. Kalaupun dia sudah
meninggalkan Demak, kita bisa membentuk pasukan
khusus. Paling lambat sebelum senja datang dia sudah
bisa kita tangkap!"
Tapi ternyata tidak semudah itu mencari Ki Su-
ro Gusti Bendoro. Orang tua berilmu tinggi itu seolah
lenyap ditelan bumi. Sementara itu di Kesultanan De-
mak acap kali terjadi kerusuhan atau pemberontakan.
Ditambah pula dengan adanya kebijaksanaan memper-
luas daerah kekuasaan dan menyebar agama Islam.
Maka usaha untuk mencari Ki Suro Gusti Bendoro ser-
ing kali tertunda atau terpaksa dihentikan. Baru seki-
tar sepuluh tahun kemudian Ki Suro berhasil mereka
temui di puncak Gunung Mahameru sebagaimana
yang dituturkan dalam Bagian Pertama.
***
LIMA BELAS
TAHTA DAN DARAH
KEMBALI pada peristiwa di sungai. Dalam ke-
terkejutan hampir semua orang yang ada di tepi sungai
mengenali siapa adanya orang tua di atas rakit bambu.
"Ki Dalem Sleman!" berseru perwira muda Tu-
bagus Lor Putih. "Kedatanganmu sungguh tidak terdu-
ga! Benarkah sosok di atas bahu Ki Dalem adalah pan-
geran Sekar?!"
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Silahkan kau me-
lihat sendiri Perwira Muda!" katanya. Dengan tangan
kirinya orang tua ini mengambil tombak yang bernama
Kiai Sepuh Plered yang tergantung melintang di da-
danya. Tombak ini ditancapkannya ke bambu rakit.
Ketika dia membuat gerakan melompat ke udara, rakit
bambu itu ikut terangkat ke atas, melayang sesaat lalu
turun perlahan di tepi sungai di depan barisan pasu-
kan kerajaan. Banyak mulut berdecak kagum, banyak
mata membeliak besar melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipertunjukkan Ki Dalem Sleman itu. Tu-
bagus Lor Putih sendiri sebenarnya merasa sangat ka-
gum namun dia tidak mau memperlihatkan hal itu.
Perwira muda ini memang punya sifat sombong walau
terhadap orang lain yang jelas-jelas memiliki kepan-
daian atau kesaktian jauh lebih tinggi darinya.
Ki Dalem Sleman sesaat memandang berkelil-
ing. Lalu perlahan-lahan dia turunkan tubuh yang ada
di pundaknya, dibaringkan menelentang di tanah be-
cek. Semua orang memperhatikan. Yang tergeletak di-
tanah itu memang Pangeran Sekar adanya. Wajahnya
yang tua agak kebiruan. Bukan saja karena lama teng-
gelam di dalam air tetapi juga akibat racun panah yang
menancap di bahu kanannya dan berada dalam kea-
daan patah. Mungkin sang pangeran berusaha menca-
but panah itu tetapi patah.
Tubagus Lor Putih melangkah mendekati lalu
memeriksa. Wajahnya berubah.
"Dia masih hidup!" ujar sang perwira muda.
"Aneh, racun panah tidak membunuhnya. Tenggelam
di dalam air tidak mematikannya. Kalau tidak ada
yang menolong tak mungkin hal ini terjadi!" Perlahan-
lahan perwira itu angkat kepalanya dan memandang
pada Ki Dalem Sleman. Si orang tua mengerti maksud
pandangan itu. Tapi selama orang tidak bertanya dia
tidak akan mengatakan apa-apa.
Tiba-tiba Tubagus Lor Putih angkat golok pan-
jang yang masih tergenggam di tangannya. Dengan ce-
pat senjata itu hendak ditusukkannya ke leher Pange-
ran Sekar. Tapi dua jari berkelebat menjepit badan go-
lok hingga gerakan senjata ini tertahan. Itulah dua jari
Ki Dalem Sleman. Tubagus Lor Putih memandang den-
gan mata dibesarkan pada tokoh silat Keraton Demak
itu. Dia segera kerahkan tenaga luarnya untuk mene-
ruskan tusukan. Tapi golok itu tidak bergeming dalam
jepitan dua jari Ki Dalem Sleman. Sang perwira ganti
mengerahkan tenaga dalam. Golok sesaat memancar-
kan cahaya terang namun cahaya itu meredup dan le-
nyap begitu Ki Dalem Sleman alirkan pula tenaga da-
lamnya.
Merasa malu dan agar orang lain tidak tahu ka-
lau dia telah pecundang dalam pertarungan tenaga
luar dan tenaga dalam singkat itu, sang perwira muda
segera berucap lantang.
"Ki Dalem! Saya gembira berhasil menangkap
Pangeran yang lolos ini. Tapi mengapa kini kau mence-
gah saya membunuhnya?!"
Ki Dalem Sleman tersenyum.
"Perwira sombong, rasakan olehmu sekarang!"
kata Ki Dalem Sleman dalam hati sementara wajah
perwira muda di hadapannya tampak memercikkan
keringat.
"Perwira Tubagus Lor Putih," Ki Dalem Sleman
berucap. "Kau dan semua yang ada di sini tahu kalau
aku adalah orang dalam pengabdi Keraton Demak.
Adalah kewajibanku untuk menolong dan menyela-
matkan Pangeran Sekar. Karena dia adalah orang Ke-
raton. Lebih dari itu dia adalah adinda dari Sultan
Demak pertama!"
"Semua yang Ki Dalem katakan memang benar.
Tapi Ki Dalem lupa satu hal. Pangeran Sekar kini tak
lebih dari seorang penghujat, seorang pemberontak tua
renta yang hendak merebut tahta Kesultanan Demak
dari tangan Pangeran Prawoto, pewaris syah tahta!
Apakah Ki Dalem tidak merasa perbuatan Ki Dalem ini
satu hal yang keliru?!
"Perwira Muda, kau dengar dulu jawabanku,"
kata Ki Dalem Sleman dengan sikap tenang sementara
Tubagus Lor Putih tampak bergejolak dadanya tanda
amarah mulai menguasai dirinya. "Siapa adanya Pangeran Sekar dan juga siapa adanya Pangeran Prawoto
kita semua sudah tahu. Tapi siapa sebenarnya yang
berhak mewarisi tahta Kesultanan Demak, itu tergan-
tung dari sudut mana kita melihatnya. Pangeran Sekar
bisa menjadi Sultan karena dia adalah adik kandung
mendiang Raden Patah. Di lain pihak Pangeran Prawo-
to juga punya hak menduduki tahta Keraton Demak
karena dia adalah putera mendiang Sultan Trenggono.
Jadi dua-duanya sama-sama punya hak. Lalu siapa
yang harus menjadi Sultan? Siapa yang akan menjadi
Raja?!"
"Ki Dalem, dari ucapanmu jelas saya tangkap
bahwa kau membela Pangeran Sekar. Kau ingin agar
Pangeran Sekar yang mewarisi tahta Keraton Demak.
Tetapi kau tidak mau melihat kenyataan. Pangeran tua
ini terjebak di tengah sungai ketika dia bersama pasu-
kannya bersiap-siap menyusun rencana menyerang
Kotaraja! Dia adalah seorang jahat! Seorang jahat tidak
pantas dijadikan Raja..."
"Itu menurutmu Perwira Muda. Tapi menurut
orang lain, atau menurut Pangeran Sekar sendiri tin-
dakannya itu adalah untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan. Menegakkan yang hak dan menghan-
curkan yang batil..."
"Ki Dalem, kita bisa berdebat sampai sehari
semalam di tempat ini. Saya akan membawa pangeran
Sekar ke Kotaraja. Kerajaan nanti yang akan memu-
tuskan apakah dia ini seorang jahat atau seorang
pembela kebenaran dan keadilan!"
"Perwira Muda Tubagus Lor Putih, menyesal
sekali. Aku tidak akan menyerahkan Pangeran Sekar
padamu..."
"Kalau begitu harap maafkan. Saya terpaksa
memerintahkan pasukan untuk meminta Ki Dalem se-
gera meninggalkan tempat ini...."
"Tubagus... Tubagus...." kata Ki Dalem Sleman
sambil geleng-gelengkan kepala. Kali ini dia menyebut
langsung nama si perwira muda tanpa menyebut
pangkatnya. "Kau terlalu pongah.... Kau ingin meng-
habisi Pangeran ini? Lalu membawa jenazahnya ke ha-
dapan Pangeran Prawoto sekaligus memperlihatkan
bahwa kau adalah seorang. perwira yang telah sangat
berjasa pada Kerajaan? Tubagus, kau menganggap di-
rimu sebagai prajurit pembela Keraton Demak. Di mata
Pangeran Prawoto kau adalah pahlawan. Tapi di lain
pihak, di mata Pangeran Sekar kau adalah pengkhia-
nat jahat!"
"Ki Dalem, mulutmu sungguh berbisa, uca-
panmu mengandung racun!"
"Kau benar benar ingin menghabisi Pangeran
ini, Tubagus?!" Ki Dalem mengulang pertanyaannya.
Tubagus Lor Putih tak menjawab pertanyaan
orang. Dia kembali kerahkan tenaga dalam untuk me-
lepaskan jepitan dua jari Ki Dalem Sleman yang masih
mengancing goloknya. Kali ini tidak tanggung-
tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang
ada.
Apa yang dilakukan sang perwira sudah dimak-
lumi oleh tokoh tua Keraton Demak yang jadi lawannya
itu.
"Kau benar-benar mau menghabisinya, kau
mau membunuhnya silahkan!" Ki Dalem Sleman reng-
gangkan jepitan dua jari tangannya lalu mundur satu
langkah,
Perwira muda Tubagus Lor Putih yang berada
dalam pengaruh hawa amarah tidak berpikir lagi,
mengapa mendadak orang berubah pikiran. Dia lang-
sung saja tusukkan ujung golok ke leher Pangeran Se-
kar. Tak banyak darah yang muncrat dari tubuh yang
setengah kaku dan sudah lama pingsan itu.
"Ku harap sekarang kau sudah puas, Tubagus!
Tapi jangan harap kau akan mendapat bintang jasa
atau kenaikan pangkat!" kata Ki
Dalem sambil menyeringai. Lalu dengan satu
gerakan cepat orang tua ini menyambar jenazah Pan-
geran Sekar, memanggulnya di bahunya dan melang-
kah naik ke atas rakit bambu yang masih ditancapi
tombak Kiai Sepuh Plered.
"Tunggu!" Perwira muda Tubagus Lor Putih
berseru. Dia memberi isyarat pada pasukan. Belasan
prajurit segera mengurung Ki Dalem Sleman yang te-
nang saja melangkah ke arah rakit bambu.
Ki Dalem Sleman injakkan dua kakinya di atas
rakit. Tangan kirinya memegang batangan tombak. Dia
berpaling ke arah sang perwira muda.
"Hendak kau bawa kemana jenazah Pangeran
Sekar?!" bentak Tubagus Lor Putih.
"Kemana aku mau membawa adalah urusanku.
Kau sudah membunuhnya. Apakah menginginkan
mayatnya pula?!"
"Benar! Kau tidak boleh membawa mayat itu.
Tinggalkan di sini! Mayat itu milik Kerajaan!" jawab
Tubagus Lor Putih.
Ki Dalem Sleman menyeringai.
"Kau terlalu mengada-ada Tubagus Lor Putih.
Adat mu sungguh buruk. Harap kau mencoba mawas
diri. Kalau tidak perjalanan hidup masa depanmu
akan seburuk adat yang kau miliki!"
Air muka Tubagus Lor Putih merah mengelam.
"Ki Dalem! Jika kau bersikeras hendak mem-
bawa mayat Pangeran Sekar, aku terpaksa memerin-
tahkan pasukan untuk merampas mayat itu!"
"Hemmm.... Kalau begitu silahkan kau coba!"
Mendengar kata-kata Ki Dalem Sleman, Tuba-
gus Lor Putih segera berteriak pada anggota pasukan
nya. "Kalian semua! Rampas mayat Pangeran Sekar!"
Belasan prajurit yang memang sudah mengu-
rung segera menyerbu. Tanpa mempergunakan senjata
mereka berusaha merebut jenazah Pangeran Sekar
yang tergeletak di pundak kiri Ki Dalem Sleman.
"Prajurit-prajurit malang! Aku tahu kalian
hanya menjalankan perintah! Aku tak mau menurun-
kan tangan jahat pada kalian! Jangan berani mende-
kat!" Ki Dalem Sleman berucap. Dia berkata tanpa
memandang pada prajurit-prajurit yang mendatan-
ginya tapi menatap ke jurusan Tubagus Lor Putih.
Sesaat anggota pasukan yang hendak menyer-
bu jadi bimbang. Gerakan mereka tertahan. Tubagus
Lor Putih jadi marah. Dia membentak keras. "Lakukan
perintahku atau kalian semua akan menerima huku-
man berat!"
Tak ada pilihan lain. Lebih dari selusin prajurit
serta merta menyerbu.
Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam. Tan-
gan kiri dan salah satu kakinya bergerak. Lalu terden-
garlah jeritan-jeritan kesakitan. Empat prajurit mence-
lat mental, jatuh bergedebukan di tanah. Mereka men-
gerang kesakitan sambil pegangi kepala yang benjut,
hidung yang berdarah, dada yang patah tulang iganya
atau perut yang mau jebol. Di atas rakit Ki Dalem ma-
sih tampak tegak seolah tak bergerak dan matanya se-
perti tadi masih terus saja menatap ke arah Tubagus
Lor Putih.
"Cabut senjata! Habisi orang tua itu!" teriak
sang perwira muda.
Golok dan pedang dicabut keluar dari sarang-
nya. Belasan prajurit menghunus senjata. Lalu serem-
pak mereka kembali menyerbu Ki Dalem Sleman.
Orang tua di atas rakit ini gerakkan tangan kirinya,
mencabut Tombak Kiai Sepuh Plered yang sejak tadi
ditancapkannya di bambu rakit. Lalu di udara tiba-tiba
berkiblat sinar hitam berbentuk setengah lingkaran,
menyapu pulang balik tiga kali berturut-turut.
Suara beradunya senjata berdentrangan. Em-
pat patahan pedang dan dua patahan golok mental ke
udara. Lima prajurit berteriak kesakitan dan melompat
mundur. Muka mereka seputih kain kafan ketika meli-
hat tangan, dada dan perut mereka mengucurkan da-
rah. Di sebelah kiri dua prajurit tergeletak di tanah
dengan luka besar menguak di leher. Keduanya men-
gerang panjang lalu tak berkutik lagi.
"Tubagus Lor Putih, jika kau masih hendak
memberi perintah yang bukan-bukan, aku tak segan-
segan membunuh semua anggota pasukanmu!"
"Ki Dalem Sleman! Apa yang kau lakukan ini
menyatakan bahwa kau sudah menjadi pemberontak
besar terhadap Kesultanan Demak! Aku akan mela-
porkan hal ini pada Sultan!"
"Aku ingin tertawa bergelak mendengar. kata-
katamu itu! Seharusnya aku yang akan melapor pada
Sultan tentang kebodohan dan kegagalanmu membe-
kuk Pangeran Sekar! Kalau aku tidak membantu me-
nangkapnya apa kau kira kau bisa membunuh Pange-
ran ini? Kau tidak lebih dari anak kecil yang hari ini
menerima berkah dariku untuk aku suapi sesendok
bubur enak! Ha... ha... ha!"
Merah padam muka Tubagus Lor Putih men-
dengar ejekan Ki Dalem Sleman itu. Amarah membuat
dia ingin menyerang sendiri si orang tua. Tangannya
yang masih menggenggam hulu golok sampai bergetar
menahan geram. Tapi dia maklum Ki Dalem Sleman
bukan lawannya. Kalau dia nekad menyerang kakek
sakti itu bisa merubuhkannya dalam satu gebrakan
saja.
"Pemberontak tua! Lekas kau tinggalkan tempat
ini! Mulai hari ini kau akan menjadi orang buronan!"
Ki Dalem Sleman tersenyum. Dia memandang
pada prajurit kepala yang tadi hendak dipancung oleh
Tubagus Lor Putih.
"Prajurit kepala, bangkitlah! Mendekat kemari!"
Ki Dalem Sleman berkata pada prajurit itu seraya
memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Si prajurit
sendiri sampai saat itu masih berlutut di tanah karena
tadi sebenarnya dia sudah siap menerima hukuman.
Inilah kehebatan sifat seorang prajurit Demak. Walau
berbagai hal telah terjadi di sekitarnya di depan ma-
tanya namun sebagai orang yang hendak dihukum dia
tidak mempergunakan kesempatan untuk menyela-
matkan diri. Bahkan sedikitpun dia tidak bergerak dari
tempatnya semula. Namun kali ini suara ucapan Ki
Dalem Sleman terdengar begitu berwibawa. Hingga
prajurit kepala berkulit hitam ini bangkit berdiri dari
berlututnya lalu melangkah mendekati Ki Dalem Sle-
man.
Si kakek pandangi prajurit itu dari kepala sam-
pai ke kaki. "Siapa namamu prajurit?"
"Saya bernama Gedeng Kemitir, Ki Dalem..."
"Gedeng Kemitir, apakah kau merasa masih ada
gunanya bergabung dengan atasan yang hendak
menghabisi nyawamu di kala istrimu baru satu minggu
melahirkan? Padahal kesalahan itu semuanya adalah
menjadi tanggung jawab atasanmu Perwira Muda ber-
nama Tubagus Lor Putih itu?"
"Ki Dalem, apa maksud ucapanmu? Jangan
kau berani menghasut! Jaga mulutmu! Aku sudah
memberi kebebasan padamu untuk meninggalkan
tempat ini! Mengapa masih mau berbuat macam-
macam?!" Tubagus Lor Putih tak dapat menahan ama-
rahnya. Lupa sudah dia kalau orang tua itu bukan
tandingannya. Golok panjang di tangan kanannya di
babatkannya ke batok kepala Ki Dalem Sleman.
Selagi senjata tajam itu terayun dari atas ke
bawah, tangan kanan Ki Dalem Sleman bergerak lebih
dulu, menyodok kebagian tubuh antara tulang dada
dan deretan tulang iga di rusuk kanan sang perwira
muda.
"Bukkk!"
Tubagus Lor Putih terlempar empat langkah, ja-
tuh duduk di tanah. Goloknya terlepas, jatuh menan-
cap di sebelahnya. Dia berusaha bangkit tapi tidak
mampu. Tubuhnya sebelah kanan terasa sakit dan ka-
ku.
Seolah tidak terjadi apa-apa di tempat itu, Ki
Dalem Sleman kembali bertanya pada prajurit kepala
yang berdiri di depannya.
"Gedeng Kemitir, aku bertanya sekali lagi. Apa-
kah kau masih ingin bergabung dengan pasukan yang
dipimpin oleh seorang atasan berpikiran sesat berjiwa
pongah?!"
"Saya... saya tidak tahu Ki Dalem," menyahuti
si prajurit kepala.
"Dengar ucapanku Gedeng Kemitir. Kau tak
punya tempat lagi dalam barisan prajurit Kerajaan. Ji-
ka kau tetap bertahan nasib buruk menunggu masa
depanmu. Sama saja kau diam di sarang harimau.
Naik ke atas rakit ini. Ikut bersamaku. Aku akan
memberikan beberapa ilmu kepandaian padamu. Lain
waktu jika kau kembali ke Kotaraja, kau boleh menye-
lesaikan urusan dengan atasan yang hendak meman-
cung kepalamu itu!"
"Saya seorang prajurit Demak. Saya harus pa-
tuh pada atasan dan Kerajaan!" jawab Gedeng Kemitir.
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Seorang prajurit
harus patuh pada atasan. Tapi atasan yang mana?
Bukan pada atasan yang zolim, yang hendak menghabisi mu dan bersembunyi dibalik tanggung jawabnya.
Kesetiaanmu pada Kerajaan akan diputar balik oleh
Perwira Muda itu. Kau hanya akan dijadikan tumbal
kesalahannya untuk melindungi dirinya sendiri di ha-
dapan Sultan!"
"Ki Dalem! Kau benar-benar penghasut jahat!
Busuk!" teriak Tubagus Lor Putih. Lalu dia berteriak
pada prajurit kepala. "Lekas kembali ke tempatmu dan
berlutut!"
Gedeng Kemitir memandang pada Ki Dalem
Sleman lalu berpaling menatap atasannya sang perwi-
ra, muda. Akhirnya prajurit kepala ini gerakkan ka-
kinya melangkah. Bukan ke arah Tubagus Lor Putih,
tapi naik ke atas rakit, tegak di belakang Ki Dalem
Sleman.
Si orang tua tertawa mengekeh. "Tubagus Lor
Putih, kau dan semua yang ada di sini melihat sendiri
apa yang terjadi. Prajurit Kepala bawahan mu telah
menjatuhkan pilihan. Dia ikut denganku! Kelak di ke-
mudian hari apa yang telah kau perbuat terhadapnya
akan kau terima balasannya langsung dari dirinya
sendiri!"
"Tua bangka jahanam! Sultan akan menghu-
kum mu!" Tubagus Lor Putih berusaha bangkit tapi dia
mengerang kesakitan dan jatuh terduduk kembali di
tanah. Di atas rakit Ki Dalem Sleman pegang Tombak
Kiai Sepuh Plered dengan tangan kirinya. Kaki kanan-
nya dijejakkan ke tanah. Debu mengepul. Rakit bambu
itu melesat ke atas, melayang berputar lalu menukik
ke arah tengah sungai. Tak lama kemudian rakit dan
penumpang di atasnya meluncur ke hilir mengikuti ali-
ran arus yang masih deras.
***
BERSAMBUNG KE BAGIAN - 4
--------------------------------------------------
KUNGFU SABLENG
EPISODE OH-SE GONG WADAM
(WADAM SINTING
PENGACAU DUNIA)
***
SATU
DI DALAM gelap, orang bertubuh pendek hitam
itu hampir tidak terlihat. Apalagi dia mengenakan pa-
kaian serba hitam dan berdiri di bawah bayang-bayang
satu pohon besar. Sambil mengusap dagunya yang di-
tumbuhi bisul-bisul besar karena alergi akibat terlalu
banyak makan udang rebus, dia menatap ke depan, ke
arah sebuah gedung besar dan mewah.
"Jadi ini gedung kediaman Cong Wangwe (Har-
tawan Cong) yang kesohor itu. Menurut keterangan
yang aku dapat. Go Bang An, salah seorang murid Oh-
se Gong Wadam alias Wa-dam Sinting Pengacau Dunia
bekerja di sini. Jika aku bisa memancing si Gobangan
itu keluar dari sarangnya, mungkin sekali aku bisa
mengetahui dimana beradanya Oh-se Gong Wadam."
Selagi dia berpikir-pikir mencari akal mendadak
orang di bawah pohon itu merasakan perutnya mulas.
"Celaka! Mungkin ini gara-gara terlalu banyak makan
bakpau basi!" Saking tidak tahannya, orang ini dodor-
kan celananya lalu mendekam di dekat tembok gedung
yang gelap. Baru sempat mengedan satu kali tiba-tiba
ada suara gonggongan anjing. Sesaat kemudian seorang bertubuh tinggi besar, berewokan dan kumis me-
lintang muncul. Sambil menghunus pedang orang ini
membentak. Sebagai pengawal cabang atas dia sudah
terlatih dalam hal penciuman (bukan berciuman) Segi-
tu bau sedap menembus liang hidungnya dia segera
mengetahui sedang apa si pendek hitam di dekat tem-
bok itu.
"Aku Go Bang An! Pengawal Kepala gedung ke-
diaman Cong Wangwe! Monyet dari gunung mana be-
rani mati buang air besar di depan gedung Cong
Wangwe!"
Orang yang jongkok dalam gelap cepat rapikan
celananya dan berdiri terbungkuk-bungkuk. Bukan
menghormat sang Kepala Pengawal gedung tapi mak-
lum masih ngepet alias belum cebok.
"Pengawal, Ose jangan salah sangka. Torang
bukannya buang air besar tapi cuma berak sadikit.
Kebelet mules!"
"Jangkrik! Berak itu masih keponakannya
buang air besar tau?!"
"Kalau begitu maafkan torang. Torang trada ta-
hu kalau ini Cong Wangwe pe rumah."
"Eh?!" Go Bang An kerenyitkan kening dan de-
likkan mata. Dia baru sadar. "Manusia hitam pendek
dan jelek! Tampang dan bentuk tubuhmu jelas bukan
orang sini! Logat bicaramu apalagi! Siapa kau sebenar-
nya?! Mungkin makhluk jejadian yang kesasar malam
hari, mau berbuat jahat di gedung Cong Wangwe!"
"Ah, ose pe mata dan talinga tajam sekali! To-
rang memang bukan orang sini. Tapi torang bukan
makhluk jejadian bangsa jin atawa dedemit! Torang da-
tang dari jau. Naek prau. Kerdampar di Tionggoan ini.
Torang pe nama Pati Raja Lo Ngok!" (Tionggoan = Dara-
tan Tiongkok).
"Pati Raja Lo Ngok! Mama aneh! Tapi cocok
dengan kulitmu yang hitam seperti pantat kuali! Ha...
ha... ha!" Go Bang An hentikan tawanya. Lalu berkacak
pinggang. Sambil melintangkan golok di depan dada
dia berkata.
"Tikus gosong! Untuk kekurang ajaran mu be-
rani buang air di depan gedung Cong Wangwe kau ha-
rus didenda setengah tail perak! Atau kau tinggalkan
salah satu daun telingamu di sini! Boleh pilih! Ha...
ha!"
Mendengar ancaman sadis itu orang mengaku
bernama Pati Raja Lo Ngok jadi mengkeret nyalinya.
Lengkap dengan dua daun telinga saja tampangnya
sudah begitu jelek. Apa lagi kalau sempat dia harus
menyerahkan salah satu daun telinganya! Dari dalam
saku bajunya dia segera keluarkan satu tail perak. "To-
rang tra sangka ose bisa ba pungli jua!" kata Pati Raja
Lo Ngok. "Ini satu tail Kembalikan setengah tail!"
Go Bang An meraba-raba saku pakaiannya. Dia
tidak punya kembalian setengah tail. Sesaat dia agak
bingung. Tapi otaknya segera jalan dan mulutnya enak
saja berucap. "Aku tak ada kembalian setengah tail.
Sudah, begini saja. Situ buang air saja sekali lagi. Jadi
pas! Tidak perlu kembalian setengah tail!"
"Pemeras kecil brengsek!" maki Pati Raja Lo
Ngok.
"Kurang ajar! Kau berani menghina. Siapa bi-
lang barang sex-ku kecil! Apa situ pernah lihat?!" Go
Bang An marah besar akibat salah mengerti.
"Majikannya Cong Ngek. Pengawalnya To Rek!"
Pati Raja Lo Ngok mendumal lalu tinggalkan tempat itu
dalam keadaan ngepet alias belum cebok!
Keesokan paginya peristiwa malam itu dicerita-
kan Go Bang An pada kawan-kawan nya sesama pen-
gawal. Salah seorang diantara mereka yang bernama
Tong Bo Khek lantas membisikkan sesuatu pada GoBang An. Go Bang An menyeringai. "Kau betul. Kalau
begitu mari kita cari dia. Tidak sulit menemukan orang
asing di kota ini. Apa lagi orang pendek hitam! Ha...
ha... ha!"
Sebenarnya bukan rahasia lagi. Go Bang An
dan Tong Bo Khek serta dua kawannya yang bekerja
sebagai pengawal di gedung kediaman Cong Wangwe
adalah Juga orang-orang yang menyalah gunakan ke-
kuasaan. Mereka diketahui adalah sebagai kelompok
empat tukang peras.
***
DUA
HOTEL Hill Tong yang ada di pusat kota meru-
pakan hotel paling besar dan mewah di daratan Tiong-
goan pada masa itu. Pati Raja Lo Ngok menginap di se-
buah kamar di tingkat dua. Saat itu dia tengah asyik
bersenang-senang dengan seorang gadis panggilan ke-
las atas yang dikenal dengan nama Nio Ling Lung.
Sedang asyik-asyiknya dua makhluk di dalam
kamar, tiba-tiba pintu didobrak dan empat orang me-
lompat masuk ke dalam. Mereka bukan lain adalah Go
Bang An, Tong Bo Khek dan dua kawannya.
Nio Ling Lung terpekik kaget. Cepat-cepat dia
menyusup sembunyi di balik seperai. Sedang Pati Raja
Lo Ngok yang marah besar lupa diri, langsung saja me-
lompat dari ranjang dalam keadaan berbugil ria.
"Pemeras sialan! Ose lagi rupanya! Ose berani
masuk kamar orang! Ose mau bikin apa?! Lekas ke-
luar! Atau torang panggil keamanan hotel!"
"Aha! Loya! Tenang! Tenang...." kata Go Bang
An menyeringai, (Loya = Tuan besar) Dia dan kawan
kawannya merasa lucu melihat sosok Pati Raja Lo
Ngok yang berdiri marah tanpa pakaian seperti itu. Pa-
ti Raja Lo Ngok rupanya sadar juga dan cepat-cepat
menyambar selimut untuk ditutupi ke badannya. "Ka-
mi mau bicara sikitlah sama loya!" kata Go Bang An
sambil kedipkan matanya pada sobatnya yang berna-
ma Tong Bo Khek.
"Setan! Torang seng ada waktu bicara dengan
kalian!" (seng = tidak)
"Tenang loya. Seng ada atau seng atap harap
suka dengar dulu!" kata Go Bang An. "Kami mendapat
perintah melakukan pengusutan. Sebagai orang asing
loya dituduh mengedarkan uang perak palsu. Satu tail
perak yang Soya ada kasih tadi malam ternyata palsu.
Luarnya memang perak tapi dalamnya timah! Loya ter-
paksa kami bawa ke kantor pos. Maaf, maksudku ke
kantor polisi!"
Pati Raja Lo Ngok kelihatan kaget. Sesaat ke-
mudian mukanya jadi pucat. "Mana torang tahu kalau
uang satu tail itu palsu!"
Tong Bo Khek melangkah mendekati Pati Raja
Lo Ngok lalu menepuk-nepuk bahu si pendek hitam.
"Loya kulit hitam. Kami tahu loya orang baik. Kami ti-
dak mau bikin loya jadi susah. Bagaimana kalau kita
atur damai saja. Semua bisa diatur di Tionggoan ini.
Loya senang kami gembira. Pembeli dan penjual sama-
sama untung! Hay yaaa!"
Go Bang An ikut menimbrungi ucapan teman-
nya. "Jangan khawatir loya Pati Raja Lo Ngok. Kami ti-
dak akan melakukan pengusutan. Apalagi membawa
loya ke kantor polisi. Asal loya tau sama tau semua
pasti beres!"
"Bilang saja, ose semua maunya apa?!" tanya
Pati Raja Lo Ngok.
Go Bang An menyeringai. "Kami cuma butuh
lima puluh tail perak! Begitu menerima, kami segera
tinggalkan kamar ini. Loya bisa senang-senang lagi
dengan nona cantik di balik seperai itu! Ha... ha... ha!"
Pati Raja Lo Ngok agaknya tidak mau mencari
kesulitan. Dari dalam lemari hotel diambilnya sebuah
kantong kain lalu diserahkan pada Go Bang An. "Ini
ambil for ose! Di dalamnya ada lebih dari lima puluh
tail perak!"
Go Bang An segera sambar kantong kain itu.
Tapi Tong Bo Khek cepat pegang tangan temannya itu
seraya berkata. "Tunggu dulu. Kita periksa dulu isi
kantong ini!" Lalu Tong Bo Khek membuka tali ikatan
kantong. Begitu kantong terbuka isinya ternyata bu-
kan uang perak melainkan gundu alias kelereng! Tong
Bo Khek langsung lemparkan kelereng itu ke lantai. Go
Bang An dan dua kawannya meradang marah.
"Loya keparat! Berani menipu!" Serentak Go
Bang An melompat menyergap Pati Raja Lo Ngok. Tong
Bo Khek ikut hantamkan serangan. Dua orang lainnya
juga tak tinggal diam. Perkelahian satu lawan empat
segera berkecamuk di dalam kamar sementara Nio Ling
Lung terpekik-pekik ketakutan.
Go Bang An dan kawan-kawannya tidak pernah
mengetahui siapa sebenarnya si pendek hitam yang
mereka keroyok ini. Setelah dua jurus menggempur
dengan tangan kosong tanpa hasil, Go Bang An mem-
beri isyarat. Kelompok empat pemeras segera cabut go-
lok masing-masing kembali Nio Ling Lung menjerit-jerit
ketakutan.
Sebaliknya Pati Raja Lo Ngok kelihatan tenang
saja. Dengan satu gerakan enteng dia melompat ke
atas ranjang. Begitu empat golok menderu ke arahnya,
si pendek hitam ini berkelebat laksana angin. Terden-
gar suara bak-buk-bak-buk berulang kali dibarengi
suara jeritan Go Bang An dan kawan-kawannya.
Sesaat kemudian empat penyerang sudah ber-
geletak di lantai. Go Bang An bocor keningnya. Tong
Bo Khek kucurkan darah dari mata kirinya yang me-
lembung bengkak. Dua orang lagi melingkar sambil
mengerang karena tulang hidung patah dan bibirnya
pecah!
Go Bang An dan dua kawannya merangkak ke
pintu. Tong Bo Khek rupanya masih penasaran. Sam-
bil tekap matanya yang bocor dia bangkit berdiri, me-
nyambar golok di lantai lalu kembali menyerang Pati
Raja Lo Ngok. Dia menyerang dengan jurus bernama
"Kuda hamil merangkul pejantan." Yang diserang ber-
kelit ke kiri lalu kaki kanannya bergerak.
"Bukkk!"
Tong Bo Khek meraung setinggi langit. Golok-
nya mental. Tubuhnya terlempar ke luar pintu kamar.
Megap-megap dia berusaha bangun tapi rubuh lagi.
Kawan-kawannya segera menolong.
"Apamu yang kena?!" tanya Go Bang An.
"Torpedo ku.... Monyet hitam itu menendang
torpedo ku!" jawab Tong Bo Khek lalu lidahnya terjulur
dan matanya mencelet. Pingsan!
***
TIGA
SORE itu Pati Raja Lo Ngok baru saja selesai
mandi. Sambil bersiul-siul menyanyikan lagu O U La
The dia berganti pakaian. Baru selesai mengenakan
pakaian yakni sehelai baju hitam dan sehelai kain sa-
rung, tiba-tiba ada orang mengetuk pintu. Yang datang
ternyata adalah seorang pelayan. Mukanya pucat dan
nafasnya memburu.
"Celaka tayjin! Celaka!" (Tayjin = tuan be-
sar/orang kaya)
"Tahi jin?! Ose bilang torang tahi jin?!" Pati Raja
Lo Ngok pelototkan mata dan membentak marah.
Si pelayan gelengkan kepala. "Celaka, celaka
tuan besar..."
"Eh, ose ini gila atau bagaimana? Apa yang ce-
laka?!"
"Mereka datang! Go Bang An dan tiga kawan-
nya. Tapi mereka bukan cuma berempat. Go Bang An
membawa serta gurunya yang bernama Oh-se Gong
Wa-dam alias Wadam
Sinting Pengacau Dunia. Dan Wadam ini mem-
bawa pula empat orang anak muridnya!"
Si pelayan terheran-heran ketika melihat Pati
Raja Lo Ngok bukannya terkejut mendengar keteran-
gannya tapi malah tersenyum.
"Pelayan, bagus ose sudah memberitahu. To-
rang sebenarnya memang sudah lama mencari Oh-se
Gong Wa-dam. Ternyata torang pe pancingan berhasil.
Oh-se Gong Wa-dam akhirnya keluar juga dari sarang-
nya!"
Pati Raja Lo Ngok lalu melangkah ke jendela. Di
halaman bawah sana dia melihat Go Bang An dan
Tong Bo Khek serta dua kawannya. Keempatnya berte-
riak-teriak sambil acungkan golok dan memandang ke
arah jendela kamar Pati Raja Lo Ngok. Di dekat mereka
berdiri empat pemuda berpakaian serba kuning. Ram-
but dikuncir dan lucunya muka mereka dipoles bedak
dan gincu tebal!
Agak ke depan dari barisan delapan orang itu
berdiri seorang tinggi besar berpakaian dan berdandan
aneh. Di sebelah atas orang ini mengenakan baju
kembang-kembang. Rambut dipotong pendek alias
yongen. Muka di pupur bedak tebal seperti dempul.
Bibir dicat merah mencorong dan alis tebal sehitam
arang. Pada daun telinganya mencantel anting-anting
bundar besar. Di sebelah bawah orang ini mengenakan
rok model pendek sekali, berkaos kaki merah dan me-
makai sepatu lars! Inilah dia Oh-se Gong Wadam alias
Wadam Sinting Pengacau Dunia.
"Pati Raja Lo Ngok! Jangan sembunyi di dalam.
kamar! Lekas keluar menerima hukuman!" Go Bang An
berteriak sambil acung-acungkan goloknya. Sementara
Oh-se Gong Wa-dam tegak rangkapkan tangan di atas
dada. Saat itu orang banyak mulai berkerumun di ha-
laman hotel Hill Tong.
Pati Raja Lo Ngok kencangkan sarungnya, ke-
nakan kain hitam pengikat kepala lalu keluar dari ka-
mar. Begitu turun ke halaman dia segera melangkah
ke tempat Go Bang An dan Kawan-kawannya dan ber-
diri empat langkah di hadapan Oh-se Gong Wa-dam.
Sesaat dua orang itu saling beradu pandang. Lalu Wa-
dam Sinting Pengacau Dunia sunggingkan senyum si-
nis dan membuka mulut.
"Pati Raja Lo Ngok! Lama tak bertemu ternyata
kau masih jelek-jelek saja seperti dulu. Hik... hik! Aku
sudah tahu apa tujuanmu muncul di kota ini. Ru-
panya kau kurang menyadari tingginya gunung Thay-
san. Jauh-jauh kau datang ke Tionggoan hanya untuk
mencari mati! Sungguh satu kesia-siaan tolol!"
Pati Raja Lo Ngok balas menyeringai. "Ose kira
dengan kabur ke Tionggoan ini bisa menyelamatkan
dirimu dari pembalasan hukuman? Ose membunuh
sahabatku Madame Du Lepet, Ketua Persatuan Wadam
Taman Lawang. Torang datang untuk menjemput mu.
Ose akan diadili di negeri asalmu. Tapi jika ose berani
membangkang, maka terpaksa ose pe nyawa dihabisi
di tempat ini juga!"
Wadam Sinting Pengacau Dunia tertawa gelak
gelak. "Pati Raja Lo Ngok, ternyata kesombonganmu ti-
dak berubah sejak dulu! Seharusnya kepalamu ku pi-
sahkan dengan badan saat ini juga! Tapi lama-lama
kulihat kau kelihatan antik juga. Akhir-akhir ini aku
suka barang antik. Dengar Raja Lo Ngok, aku akan
ampuni selembar nyawamu. Tapi syaratnya kau suka
ikut aku ke tempat kediamanku dan melayani diriku
sebagai seorang istri!"
Tampang hitam Pati Raja Lo Ngok jadi menghi-
tam legam. "Wadam Sinting buronan dari Taman La-
wang! Kau juga tidak berubah. Seumur-umur hidup
kacau balau tak karuan. Ajakanmu menarik juga! Tapi
ose lupa! Tuan besarmu ini tidak suka main wadam.
Perawan dan janda saja bertaburan di delapan penjuru
angin. Masakan torang mau bersuka-suka dengan wa-
dam rongsokan macam ose begini!?! Ha... ha... ha!"
Marahlah Oh-se Gong Wa-dam mendengar
penghinaan itu. Apa lagi di hadapan sekian banyak
mata, termasuk murid-muridnya sendiri. Dia maju sa-
tu langkah tapi Tong Bo Khek dan Go Bang An serta
empat muridnya yang berpakaian kuning segera men-
cegah,
"Suhu, biar kami yang membereskan monyet
hitam ini!"
Oh-se Gong Wa-dam gelengkan kepala. Ma-
tanya tak berkesip. "Urusan ini aku yang harus menye-
lesaikan. Monyet hitam ini sejak aku masih di Taman
Lawang sudah bikin susah diriku!"
Tangan kanan Wadam Sinting Pengacau Dunia
bergerak ke balik dada pakaiannya. Semula semua
orang mengira dia akan mengeluarkan senjata berupa
golok atau pedang. Tapi yang kemudian tergenggam di
tangannya ternyata adalah sebuah BH alias kutang
ukuran 42 B-Cup. Wadam Sinting Pengacau Dunia
maju lagi satu langkah. Kali ini sambil putar-putar BH
di tangannya. Begitu hebatnya hingga mengeluarkan
suara menderu bersiuran. Debu dan kerikil beterban-
gan. Daun-daun pepohonan berguguran. Ranting-
ranting ada yang berpatahan. Dan BH itu terus mende-
ru menebar bau aneh seperti bau minyak rem yang
sudah apak!
"Pati Raja Lo Ngok! Diberi susu kau minta ra-
cun! Biar kepalamu kuhancurkan dengan penutup su-
su ini!"
"Wuuttt!"
BH di tangan Wadam Sinting Pengacau Dunia
menghantam ke arah batok kepala Pati Raja Lo Ngok.
Yang diserang cepat merunduk. Tapi secara aneh
ujung BH membalik dan breett! Dada pakaian Pati Ra-
ja Lo Ngok robek besar. Orang ini cepat melompat den-
gan wajah berubah. Wadam Sinting Pengacau Dunia
tertawa bergelak.
"Kini baru kau sadar kalau kau tak bakal bisa
kembali ke kampung halamanmu! Hik... hik... hik!"
"Wadam sinting! Jangan bicara takabur! Lihat
serangan!" teriak Pati Raja Lo Ngok. Lalu tubuhnya
melesat ke atas. Sambil melompat tangannya menyeli-
nap ke balik sarung. Sesaat kemudian ketika tangan
itu keluar dari sarung kelihatan dia memegang celana
kolornya yang dekil butut. Begitu celana itu dike-
butkan di udara, angin laksana badai menggebu dan
bau tidak sedap menyesakkan pernafasan. Go Bang An
dan Tong Bo Khek serta dua kawannya, juga empat
murid Oh-se Gong Wa-dam terhuyung-huyung lalu ja-
tuh bergedebukan di tanah. Hanya Oh-se Gong Wa-
dam sendiri yang masih tegak di tempatnya pertanda
dia memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.
Di halaman Hotel Hill Tong segera berkecamuk
pertempuran seru jadi tontonan yang mengasyikkan
dan aneh karena masing-masing yang berkelahi memegang senjata aneh. Satu selembar BH ukuran 42,
satunya lagi sehelai kolor dekil.
Bagaimanapun tingginya ilmu silat Oh-se Gong
Wa-dam ternyata masih berada di bawah tingkat ke-
pandaian Pati Raja Lo Ngok. Setelah saling baku han-
tam selama dua puluh jurus, pada jurus ke dua puluh
satu Pati Raja Lo Ngok berhasil menyekap dan mema-
sukkan kolornya ke kepala lawan. Oh-se Gong Wadam
kelabakan, tak bisa bernafas dan tubuhnya menjadi
lemas mencium bau kolor yang aneh itu. Sebelum wa-
dam bersepatu lars itu rubuh ke tanah, Pati Raja Lo
Ngok cepat menotok tubuhnya hingga sang wadam be-
nar-benar dibuat tidak berdaya. Melihat kejadian ini
Go Bang An dan kawan-kawan serta empat murid Oh-
se Gong Wa-dam segera jatuhkan diri berlutut tanda
menyerah.
Pati Raja Lo Ngok angkat kolornya dari kepala
Oh-se Gong Wadam. Lalu tenang saja di hadapan begi-
tu banyak orang dia kenakan kolor dekil itu kembali.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar