..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 27 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE SRIGALA PERAK (TDS)

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

WIRO SABLENG EPISODE SRIGALA PERAK

KARYA : BASTIAN TITO



SATU


KI TAWANG ALU


MELIHAT siapa yang berdiri di depannya, Pen-

dekar 212 Wiro Sableng merasa tidak enak. Dia lang-

sung membentak. "Kau datang menyelinap dalam ke-

gelapan malam! Membokong secara pengecut! Apa tu-

juanmu Ki Tawang Alu?!"

Si kakek tertawa bergumam. Sambil pegangi 

lengan kanannya yang sakit akibat bentrokan dengan 

tangan Wiro tadi, dia menjawab.

"Malam boleh gelap! Kau boleh saja menuduh-

ku sebagai pembokong pengecut! Tapi satu hal jelas 

bagiku, seperti terangnya matahari di siang bolong!"

"Tua bangka sialan! Aku tidak begitu suka me-

lihat tampangmu yang putih seperti poncong hidup! 

Jadi jangan berpantun mengumbar syair di depanku! 

Katakan terus terang apa maksudmu muncul di tem-

pat ini?!"

"Kalung kepala srigala perak! Aku tahu patung 

itu ada padamu!"

"Sebelumnya kau sudah memeriksa menggele-

dah sendiri! Kau tidak menemukan kalung itu pada di-

riku! Kau ini gila atau tolol?!"

"Aku tidak gila, tidak juga tolol! Aku terlalu cer-

dik untuk kau tipu, anak muda bau kencur! Mana ka-

lung perak kepala srigala itu! Lekas serahkan padaku!"


Wiro tatap kakek bermuka putih. Sambil me-

nyeringai dia membatin. "Aku ingat pembicaraan den-

gan empat gadis anggota Kelompok Bumi Hitam itu. 

Antara mereka dengan kakek jelek ini seperti ada keti-

dak cocokan...."

"Jangan cengangas-cengenges di hadapanku! 

Kalau kau tidak segera menyerahkan kalung kepala 

srigala itu, kau bakal menyesal sampai ke Hang ku-

bur!"

"Busetttt! Matipun aku belum! Bagaimana kau 

bisa bilang aku bakal menyesal sampai ke liang ku-

bur!"

"Kalau begitu biar sekarang kubunuh saja kau!" 

Kakek bernama Ki Tawang Alu lalu angkat tangan ka-

nannya. Dalam gelap murid Sinto Gendeng melihat 

tangan si kakek bergetar pertanda ada hawa sakti atau 

tenaga dalam yang dialirkan ke tangan itu.

Wiro tetap saja menyeringai. "Kau bunuhpun 

aku sampai tujuh kali kalung kepala srigala itu tak 

bakal kau dapatkan!"

Ki Tawang Alu turunkan tangan kanannya. 

"Apa maksudmu! Jangan berdusta kalung itu tidak 

ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung 

itu kau sembunyikan di mulutmu!"

"Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak 

memaksa mengambil! Malah pada orang-orangmu kau 

katakan kalung itu tidak ada padaku! Kau menipu me-

reka! Berarti ada keculasan dalam hatimu!"

Tampang si kakek sesaat berubah. Rahangnya 

menggembung. "Urusanku dengan orang-orangku apa 

perduli mu! Hatiku culas atau tidak juga apa perduli 

mu! Sekarang katakan saja! Kau mau menyerahkan 

kalung kepala srigala itu atau tidak?!"

"Kalung itu tidak ada padaku!" jawab Wiro. 

"Kakek muka putih, terus-terang aku muak melihat


mu!" Wiro putar tubuh hendak berlalu. Tapi si kakek 

cepat menghadang.

"Tunggu! Kalau kalung itu sekarang tidak ada 

padamu, dimana beradanya? Kau serahkan pada sia-

pa?!"

"Empat gadis berkerudung hitam itu mencegat 

ku di satu tempat. Mereka bilang kalung itu sangat 

mereka perlukan. Karena aku merasa kalung itu me-

mang milik mereka, lalu kuserahkan pada salah seo-

rang dari empat gadis itu...."

"Empat gadis! Bagaimana kau tahu mereka 

adalah empat orang gadis!" Ki Tawang Alu bertanya he-

ran.

"Aku melihat sendiri wajah-wajah mereka. Can-

tik semua! Mereka yang memperlihatkan wajah pada-

ku!"

Ki Tawang Alu kelihatan terkejut mendengar 

keterangan Wiro itu, alisnya yang putih sampai ber-

jingkrak ke atas. Rahangnya menggembung.

"Anak muda tolol! Kau sudah kena tipu! Empat 

gadis itu tidak berhak memiliki kalung itu! Kau ingat 

kepada siapa kalung itu kau serahkan?!"

"Gadis bernama Mentari Pagi!" jawab Wiro.

Kembali rahang Ki Tawang Alu menggembung.

"Kalau kau berdusta, kalau ternyata kalung itu 

tidak ada pada gadis bernama Mentari Pagi itu, kau 

bakal tahu rasa. Gurumu si nenek bau pesing itu akan 

kubuat menemui ajal secara mengenaskan!"

Terkejutlah Pendekar 212 mendengar ucapan si 

kakek. "Jahanam keparat! Apa yang telah kau lakukan 

terhadap guruku?!" teriak Wiro. Sekali lompat saja dia 

ada di hadapan si kakek. Tangan kanannya menyam-

bar. Lidah Ki Tawang Alu mencelat terjulur keluar be-

gitu Wiro mencekik lehernya!

Megap-megap si kakek berkata. "Bunuh! Pa


tahkan batang leherku! Kau tak bakal melihat gurumu 

seumur-umur!"

"Jahanam!" Wiro kembali merutuk. Tangannya 

bergerak.

"Braaakkkk!"

Ki Tawang Alu dibantingnya hingga jatuh pung-

gung di tanah. Tapi sambil menyeringai kakek ini be-

rusaha bangkit berdiri. "Gurumu berada di tangan ku! 

Ku sembunyikan di satu tempat. Saat ini masih dalam 

keadaan aman. Tapi jika keteranganmu dusta dan aku 

tidak menemukan kalung itu, kematian guru mu se-

mudah aku membalikkan telapak tangan!"

"Kurang ajar! Telapak tanganmu yang mana? 

Yang kiri atau yang kanan?!" Wiro membentak.

Ki Tawang Alu tertawa mengekeh. "Kau lihat sa-

ja nanti...."

"Aku mau lihat sekarang!" kata Pendekar 212. 

Secepat kilat tangan kanannya menyambar ke depan.

"Kraaakkk!"

Sekali remas saja patahlah tulang telapak tan-

gan kanan Ki Tawang Alu. Kakek ini menjerit kesakitan 

setinggi langit. Walau Wiro berhasil mematahkan tela-

pak tangan kanan si kakek tapi dia harus membayar 

cukup mahal. Karena tak kalah cepatnya tangan kiri 

Ki Tawang Alu menghantam ke depan. Murid Sinto 

Gendeng berusaha mengelak dengan jurus Kilat Me-

nyambar Puncak Gunung, yakni ilmu silat yang dida-

patnya dari Tua Gila, namun jotosan si kakek masih 

mampu mendarat telak di dada kirinya.

Murid Sinto Gendeng laksana digebuk dengan 

palu godam raksasa. Tubuhnya mencelat lalu jatuh 

terjengkang di tanah. Dadanya serasa hancur dan 

mendenyut sakit. Sesaat dia sulit bernafas dan pe-

mandangannya menggelap. Ketika dia berusaha me 

narik nafas dalam dari mulutnya keluar darah. Wiro


berteriak marah. Kerahkan tenaga dalam lalu melom-

pat bangkit. Gerakannya terhuyung-huyung. Meman-

dang ke depan Ki Tawang Alu tak kelihatan lagi.

"Jahanam bermuka putih itu menculik Eyang 

Sinto Gendeng! Kalau sampai guruku cidera aku ber-

sumpah akan menguliti tubuhnya!" Sambil pegangi 

dadanya yang sakit Wiro melangkah ke jurusan timur 

di mana dia menduga kaburnya kakek bernama Ki Ta-

wang Alu itu.

*

* *


DUA


PELANGI INDAH


MALAM gelap gulita. Udara dingin luar biasa 

seolah tubuh dibungkus es. Semakin tinggi ke puncak 

Gunung Merapi, semakin sengsara keadaan Pendekar 

212. Kakinya terasa sakit dan berat, sukar diajak me-

langkah. Dadanya seperti di ganduli batu berat. Setiap 

dia menarik nafas tenggorokannya terasa panas dan 

lehernya seperti di cekik. Hanya semangat baja dan 

niat untuk menyelamatkan Eyang Sinto Gendeng yang 

tidak di ketahuinya dimana beradanya membuat Wiro 

akhirnya mampu sampai ke puncak timur Gunung 

Merapi. Inipun ditempuhnya satu hari perjalanan. Jika 

dia tidak cidera dalam waktu setengah hari saja pasti 

dia sudah sampai di tempat itu.

Di satu pendakian berbatu-batu Pendekar 212 

jatuhkan tubuhnya, duduk menjelepok di tanah.

"Lereng timur gunung ini luas sekali. Malam gelap begini. Di mana aku harus mencari! Kalau sampai 

tidak bertemu markasnya orang-orang Ke lompok Bu-

mi Hitam itu, bukan saja aku yang celaka, tapi Eyang 

Sinto Gendeng juga bakal sengsara sebelum menemui 

ajal! Bangsat Ki Tawang Alu! Apa yang telah kau laku-

kan terhadap guruku!" Wiro kepalkan tinju kiri kanan 

lalu sandarkan punggungnya ke sebuah batu di bela-

kangnya. Menurut jalan pikiran Wiro, setelah tahu di-

mana beradanya kalung kepala srigala perak itu, Ki 

Tawang Alu pasti akan menuju ke markasnya di pun-

cak timur Gunung Merapi. Itu sebabnya walau harus 

menyabung nyawa dan mungkin saja menemui ajal di 

tengah jalan, dia tetap bertekad naik puncak gunung 

itu untuk mencari si kakek. Kalau dia tidak sampai 

dapat mengorek keterangan dimana gurunya berada 

dan apa yang terjadi dengan nenek sakti itu, tekadnya 

sudah bulat untuk menyabung nyawa, memilih sama-

sama mati dengan Ki Tawang Alu!

Dalam keadaan menderita sakit dan letih se-

tengah mati serta lapar dan haus sepasang mata Wiro 

terasa berat. Sekejapan lagi matanya hendak terpejam 

tiba-tiba dia melihat nyala api, kecil dan jauh sekali.

"Nyala api itu..." desis Pendekar 212 sambil se-

ka darah yang masih menetes di sela bibirnya. "Aku 

harus menyelidik. Mungkin itu tempat kediamannya 

orang-orang Bumi Hitam...." Wiro bangkit berdiri. So-

soknya terhuyung-huyung. Dia memandang berkelil-

ing. Matanya membentur satu pohon kecil. Di patah-

kannya salah satu cabang kecil pohon ini. Lalu diper-

gunakannya sebagai tongkat untuk membantunya ber-

jalan.

"Aneh, pukulan apa yang dihantamkan kakek 

muka putih itu hingga aku sengsara setengah mati be-

gini rupa. Kapak Naga Geni 212 tidak mampu me-

nyembuhkan. Mungkin pukulan itu beracun dan kekuatannya sanggup menghancurkan gunung! Apalagi 

dadaku yang hanya terdiri dari tulang dan daging! Ku-

rang ajar! Ki Tawang Alu kau tunggu pembalasanku!"

Tertatih-tatih Pendekar 212 melangkah dalam 

gelapnya malam dan dinginnya udara menuju nyala 

api di kejauhan.

*

* *

EMPAT bayangan hitam berkelebat menuju le-

reng timur Gunung Merapi. Walau udara gelap dingin 

serta pohon dan semak belukar menghadang di mana-

mana, namun ke empat orang itu mampu berlari sece-

pat angin, pertanda mereka mengenal betul kawasan

tersebut. Mereka bukan lain adalah Mentari Pagi dan 

Rembulan serta dua orang kawannya dari Kelompok 

Bumi Hitam.

Tak selang berapa lama ke empat gadis yang 

mengenakan jubah serta kerudung hitam itu sampai di 

sebuah bangunan besar terbuat dari kayu dan memili-

ki kolong di sebelah bawahnya. Bangunan-bangunan 

serupa dalam bentuk lebih kecil kelihatan di sekeliling 

bangunan besar. Karena seluruh bangunan mulai dari 

tiang sampai dinding dan atap dilapisi cat hitam maka 

dalam gelapnya malam bangunan itu tampak angker 

sekali dan tidak ada satu penerangan pun kelihatan.

"Lekas naik ke atas dan salah satu dari kalian

nyalakan pelita!" Mentari Pagi berkata pada teman-

temannya. Dua orang segera melompati tangga rumah 

panggung. Mentari Pagi dan Rembulan menunggu di 

bawah tangga. Ketika di atas sana mereka melihat ada 

nyala pelita, keduanya segera melompat ke tangga. 

Namun gerakan mereka tertahan. Dari samping mele-

sat satu bayangan hitam bermuka putih.


"Ki Tawang Alu!" seru Mentari Pagi ketika men-

genali siapa yang datang.

"Syukur kalian sudah sampai di sini. Tadinya 

aku merasa khawatir..." kata kakek muka putih seraya 

usap dagunya. Dua matanya sesaat jelalatan. Mem-

buat Mentari Pagi dan Rembulan merasa tidak enak. 

Sebenarnya sudah sejak lama para gadis dalam Ke-

lompok Bumi Hitam tidak menyenangi kakek ini. Na-

mun karena kedudukannya sebagai Wakil Pimpinan 

membuat mereka merasa sungkan dan tetap menaruh 

hormat.

Ketika Rembulan melihat tangan kanan si ka-

kek dibalut gadis ini langsung bertanya. "Ki Tawang 

Alu, mengapa tanganmu?"

Si kakek tarik nafas dalam. "Inilah yang harus 

aku beritahu padamu. Dalam perjalanan ke sini, aku 

di hadang oleh pemuda asing berambut gondrong...."

Mentari Pagi dan Rembulan saling berpandan-

gan. "Maksudmu pemuda bernama Wiro Sableng ber-

juluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu...?"

Si kakek mengangguk.

"Pasal lantaran apa dia menghadang? Padah-

al...."

"Bukan cuma menghadang. Tapi malah menye-

rangku tanpa sebab musabab! Dia membuat tangan 

kananku cidera. Tapi aku sendiri sempat menghajar-

nya hingga jatuh terjengkang. Mungkin saat ini dalam 

keadaan sekarat atau mungkin juga sudah menemui 

ajal!"

Mentari Pagi dan Rembulan sama-sama kelua-

rkan seruan tertahan. Sementara itu di atas tangga 

bangunan besar, beberapa orang gadis berkerudung 

hitam yang telah membuka kerudung masing-masing 

memberi isyarat pada Mentari Pagi dan Rembulan. Dua 

gadis di bawah bangunan balas memberi isyarat.


"Ki Tawang Alu, pembicaraan kita lanjutkan 

nanti! Kami akan naik ke atas untuk mengobati Pimpi-

nan..." berkata Mentari Pagi.

"Hai, rupanya kalian sudah mendapatkan ka-

lung kepala srigala itu?" tanya si kakek.

Ketika Mentari Pagi mengangguk, Ki Tawang 

Alu berkata gembira. "Jasa kalian besar sekali! Pimpi-

nan dan aku pasti tidak melupakan!"

"Jasa kami tidak apa-apa. Kami hanya menja-

lankan tugas. Yang berjasa sebenarnya adalah pemuda 

bernama Wiro Sableng," kata Rembulan pula. "Dia 

yang menyerahkan secara suka rela kalung kepala sri-

gala itu pada kami."

"Aneh, waktu kuperiksa benda itu tidak ada 

padanya. Tahu-tahu ada dan malah diberikan pada ka-

lian. Kalau begitu, hemmm.... Perlihatkan dulu benda 

itu padaku. Biar kuperiksa...."

Mentari Pagi sebenarnya ingin cepat-cepat naik 

ke atas rumah. Tapi si kakek sengaja tegak di depan 

tangga seperti menghalangi dan ulurkan tangannya. 

Karena Ki Tawang Alu memang adalah pimpinan me-

reka juga maka Mentari Pagi mau tak mau keluarkan 

kalung kepala srigala yang terbuat dari perak dan me-

nyerahkannya pada si kakek.

Ki Tawang Alu menerima benda itu dengan wa-

jah gembira dan mata berkilat-kilat. Diperhatikannya 

sesaat kalung kepala srigala itu. Lalu dia berbalik 

membelakangi dua gadis dan memegang kalung itu ke 

arah cahaya pelita yang memancar dari bangunan se-

belah atas. Sambil anggukkan kepala kakek ini lalu 

balikkan tubuhnya kembali dan serahkan kalung ke 

pala srigala yang terbuat dari perak itu kepada Mentari 

Pagi.

"Lekas kau naik ke atas dan lakukan penyem-

buhan terhadap pimpinan kita!"


"Kau sendiri tidak turut menyaksikan Ki Ta-

wang Alu?" tanya Mentari Pagi seraya mengambil ka-

lung yang diserahkan si kakek muka putih.

"Aku biar tetap berada di sini. Berjaga-jaga! 

Aku khawatir pemuda jahat itu bisa saja muncul me-

lakukan sesuatu yang tidak kita ingini!"

Rembulan hendak mengatakan sesuatu mem-

bantah ucapan si kakek. Namun Mentari Pagi cepat 

memberi isyarat. Dua gadis ini membuka kerudung 

yang menutupi kepala serta wajah masing-masing. La-

lu melompati tangga naik ke atas bangunan kayu.

Di atas bangunan kayu ada satu ruangan luas 

diterangi sebuah pelita besar. Di salah satu sudut 

ruangan ada sebuah perasapan besar, mengepulkan 

asap menebar harumnya bau setanggi. Suasana di 

ruangan itu terasa mencekam dan sakral karena setiap 

dinding dihias dengan bunga-bunga aneh terbuat dari 

kain berwarna hitam.

Tujuh orang gadis berjubah hitam tanpa keru-

dung tegak mengelilingi sebuah pembaringan. Ada se-

sosok tubuh terbujur di atas pembaringan ini, tertutup 

dengan sehelai kain sutera tipis berwarna hitam. Salah 

seorang dari tujuh gadis itu memegang sebuah bokor 

terbuat dari kuningan. Bokor ini berisi air sangat jer-

nih dan dingin karena berasal dari embun yang di-

kumpulkan. Tujuh bunga melati mengapung di per-

mukaan air dalam bokor.

Ketika Mentari Pagi dan Rembulan masuk ke 

dalam ruangan, tujuh gadis segera menyibak memberi 

tempat. Mentari Pagi dan Rembulan mengambil tempat 

berdiri di dekat kepala sosok yang terbujur di atas 

pembaringan. Sesaat setelah menatap sosok yang ada 

di atas pembaringan itu, Mentari Pagi keluarkan ka-

lung kepala srigala dari balik jubah hitamnya lalu di-

masukkan ke dalam bokor kuningan.


Seorang gadis memberikan sebatang tongkat 

kecil terbuat dari bambu. Dengan tongkat ini Mentari 

lalu mengaduk cairan dalam bokor Terdengar suara 

berkelentingan ketika kalung kepala srigala yang ber-

putar-putar bersentuhan dengan dinding bokor. Sete-

lah itu seorang gadis lain memberikan sebuah benda 

berbentuk koas terbuat dari benang sangat halus. 

Mentari celupkan koas ini ke dalam bokor lalu membe-

ri isyarat pada Rembulan.

Dengan tangan gemetar Rembulan pegang 

ujung kain sutera hitam di bagian kepala orang yang 

terbujur di atas pembaringan. Semua mata yang ada di 

ruangan itu memandang tak berkesip. Mereka me-

nunggu dengan dada berdebar.

Perlahan-lahan dan sangat berhati-hati Rembu-

lan menarik kain sutera hitam itu dari kepala ke arah 

kaki. Beberapa mata tampak seperti mau dipicingkan 

begitu mereka melihat wajah yang tersingkap, di susul 

bagian dada dan perut terus ke paha dan sampai di 

ujung kaki. Rata-rata para gadis yang ada di situ me-

rasakan tengkuk mereka menjadi dingin.

Sosok di atas pembaringan ternyata adalah sa-

tu sosok seorang nenek berambut putih. Kulit di wajah 

maupun di sekujur tubuh sampai ke kaki hanya me-

rupakan kulit keriput sangat hitam dan tak lebih seba-

gai pembalut tulang. Sosok itu tidak bergerak bahkan 

bernafas pun seperti tidak. Dua matanya terpejam.

Mentari Pagi memutar pandangan matanya 

berkeliling. Kecuali gadis yang memegang bokor dan 

dirinya sendiri, maka semua yang ada di tempat itu 

mengangkat tangan, menampungkan telapak tangan 

ke atas, sejajar dengan kepala. Mulut mereka berko-

mat-kamit. Lalu terdengar suara menggema perlahan 

seperti orang berdoa. Mentari memegang gagang koas 

di dalam bokor. Lalu perlahan-lahan koas itu diang


katnya. Bagian koas yang basah dengan hati-hati di

sapukannya ke wajah orang yang terbujur. Begitu air 

di permukaan koas mengering, koas di celupkannya ke 

dalam bokor lalu diangkat lagi dan kembali disapukan 

di seluruh permukaan wajah. Selesai membasahi wa-

jah, koas berpindah disapukan ke bagian dada, perut, 

terus pada dua kaki. Tidak ada satu bagian tubuhpun, 

depan dan belakang yang tidak diusap dibasahi den-

gan air dari dalam bokor itu.

Setelah selesai melakukan hal itu Mentari Pagi 

usap-usap dua tangannya lalu seperti teman-

temannya dia menampungkan dua tangan ke atas. Da-

ri mulutnya perlahan-lahan keluar ucapan. Bersamaan 

dengan itu semua mata dipejamkan.

"Gusti Allah, Penguasa Yang Maha Kuasa. Kau 

Yang Maha Pengasih. Dengan KasihMu Kau menjadi 

Yang Maha Penyembuh. Dengan Kasih dan KuasaMu 

kami memohon, sembuhkanlah Pelangi Indah Pimpi-

nan kami. Ya Tuhan kembalikanlah pimpinan kami ke 

ujudnya semula. Ya Tuhan kiranya kau mau menga-

bulkan permintaan kami. Karena hanya kepada Eng-

kaulah tempat kami meminta."

Setelah beberapa saat, diikuti oleh gadis-gadis 

lainnya Mentari Pagi buka ke dua matanya. Mereka 

memandang ke sosok tubuh di atas pembaringan. Lalu 

saling pandang satu dengan lainnya. Paras mereka je-

las tampak berubah, pucat dan sangat khawatir.

"Tuhan tidak mendengarkan permintaan kita! 

Sosok pimpinan kita tidak berubah..." kata Mentari 

Pagi dengan suara gemetar.

Beberapa mata mulai tampak berkaca-kaca. Di 

antara para gadis ada yang tidak dapat membendung 

tetesan air mata mereka. Rembulan tundukkan kepala 

menahan sesenggukan. Ketika dia hendak menu-

tupkan kain sutera hitam itu kembali, Mentari Pagi


mencegah. Gadis ini memberi isyarat pada temannya 

yang memegang bokor kuningan. Yang diberi isyarat 

datang mendekat. Dengan agak gemetar Mentari Pagi 

lalu celupkan tangannya ke dalam bokor, mengambil 

kalung kepala srigala yang terbuat dari perak murni. 

Lalu dia melangkah mendekati pelita besar di sudut 

ruangan.

Di bawah penerangan pelita Mentari Pagi dan 

Rembulan serta beberapa gadis perhatikan dengan 

seksama kalung perak itu.

"Palsu!" kata Mentari Pagi dengan suara keras 

tapi bergetar. "Kalung ini palsu!"

*

* *

TIGA


MUSUH DALAM SELIMUT


RUANGAN dl atas rumah panggung itu menjadi 

geger. "Kita tertipu!" ujar Rembulan dengan muka pu-

cat. "Pemuda bernama Wiro Sableng itu menipu kita! 

Memberikan kalung palsu mencuri yang asli!" kata 

Mentari Pagi penuh geram sambil kepalkan tangan.

"Rembulan! Pimpin enam orang kawanmu! Cari 

pemuda itu sampai dapat! Seret ke sini! Jika dia mela-

wan bunuh di tempat!"

"Akan kulakukan!" jawab Rembulan. "Namun 

ada satu hal perlu aku tanyakan. Jika pemuda itu 

memang memalsukan kalung kepala srigala itu, kapan 

dan bagaimana dia bisa melakukannya? Membuat ka-

lung tiruan tidak mudah. Perlu waktu dan perlu seorang juru tempa yang ahli! Sedang pemuda itu satu 

malam lalu kita temui. Mungkinkah kalung itu dida-

patnya sudah dalam keadaan palsu?"

"Maksudmu Lima Laknat Malam Kliwon yang 

memalsukan?"

"Aku menduga begitu,". jawab Rembulan.

"Aku tidak sependapat denganmu. Lagi pula 

aku sangsikan kebenaran ucapanmu. Karena suara 

hati mu dipengaruhi oleh suara batin. Karena kau me-

nyukai pemuda itu. Aku tetap yakin dia yang memal-

sukan kalung itu. Bukankah sejak dulu aku sudah 

mengatakan dia bukan saja memiliki kepandaian silat 

dan kesaktian tinggi tapi juga kecerdikan luar biasa 

seperti ular! Dengar, aku tahu hatimu meragu! Biar 

aku sendiri yang akan memimpin pencarian atas di-

rinya!"

"Aku tetap ikut bersamamu!" kata Rembulan. 

Begitu Mentari Pagi dan enam kawannya keluar dari 

kamar Rembulan segera mengikuti. Semua gadis ini 

kembali mengenakan kerudung masing-masing.

Di bawah tangga Ki Tawang Alu menunggu 

dengan muka menunjukkan kekhawatiran.

"Aku mendengar suara ribut-ribut di atas sana. 

Ada apa?" si kakek bertanya.

Mentari Pagi acungkan kalung kepala srigala 

sambil berkata. "Kalung yang diberikan pemuda ber-

nama Wiro Sableng itu ternyata kalung palsu! Sama 

sekali tidak mempunyai kekuatan dan berkah kesak-

tian untuk menyembuhkan pimpinan kita Pelangi In-

dah!"

Muka putih Ki Tawang Alu menjadi merah sak-

ing marahnya. "Sedari semula aku sudah tahu kalau 

pemuda itu licik! Saat ini dia pasti sudah meregang

nyawa akibat hantaman ku!"

"Kita harus memastikan! Aku dan kawan


kawan akan mencarinya! Menggebuknya sampai se-

tengah mati sebelum dia mengaku dimana beradanya 

kalung yang asli!"

"Mentari Pagi, sebaiknya kau tetap-berada di 

sini menjaga pimpinan kita. Biar aku yang mencari 

pemuda laknat itu!" kata kakek muka putih pula.

"Kalian tak usah bersusah payah! Aku sudah 

ada di sini!" Tiba-tiba satu suara menyeruak dari kege-

lapan. Sesaat kemudian seorang berpakaian putih 

muncul dengan langkah terhuyung-huyung. Tak bera-

pa jauh dari tangga, orang ini tergelimpang jatuh me-

nelungkup.

"Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia yang menipu 

kita!" teriak Ki Tawang Alu lalu melompat dan injakkan 

kaki kanannya ke tengkuk orang yang bergelimpang di 

tanah.

"Ki Tawang Alu, kau pasti telah menganiaya gu-

ruku! Kalau kau tidak memberitahu dimana kau sem-

bunyikan guruku, kubunuh kau saat ini juga!"

"Pemuda ular! Orang bicara lain kau bicara 

lain!" bentak Mentari Pagi. "Mana kalung kepala srigala 

yang asli!"

Wiro melirik ke atas. "Kau tentu Mentari Pagi. 

Bukankah aku sudah menyerahkan benda itu pada 

mu malam kemarin?!"

"Betul! Tapi yang kau berikan padanya adalah 

kalung kepala srigala palsu!" kata Ki Tawang Alu sam-

bil pindahkan injakannya dari tengkuk ke kepala Pen-

dekar 212. "Kau binatang cerdik! Penipu keparat!"

"Kakek muka putih! Jaga mulutmu! Bukan aku 

binatang cerdik tapi kau yang jahanam busuk! Malam 

lalu kau sengaja menghadangku menanyakan kalung 

kepala srigala itu, Karena kau tahu aku menyembu-

nyikan kalung itu dalam mulutku! Kau kecewa begitu 

mengetahui kalung itu telah kuserahkan pada Mentari


Pagi. Tapi dasar kau manusia jahat busuk! Sebelum-

nya kau telah menganiaya dan menculik guruku!"

Kakek muka putih tertawa mengekeh. "Kau 

pandai bersilat lidah menutupi kekejianmu sendiri! 

Buat apa bicara panjang lebar denganmu! Mampus le-

bih baik bagimu!"

"Tunggu! Jangan bunuh dia sebelum dia mem-

beritahu dimana kalung asli itu berada!" Berseru Men-

tari Pagi.

"Mentari Pagi, kau pernah bersumpah atas na-

ma Gusti Allah bahwa kalung itu adalah milik pimpi-

nan mu! Saat ini aku juga bersumpah demi Gusti Al-

lah, kalung yang kuserahkan padamu adalah satu-

satunya kalung yang ada padaku...."

Mentari Pagi dan Rembulan serta semua gadis 

berkerudung di tempat itu menjadi terkesima menden-

gar ucapan Wiro itu. Namun Ki Tawang Alu cepat me-

motong dengan hardikan.

"Siapa percaya sumpah manusia bejat seperti 

mu!"

Wiro tidak perdulikan hardikan si kakek. Dia 

tetap menatap ke arah Mentari Pagi dan lanjutkan 

ucapannya. "Kalau sekarang kalian cerita segala ma-

cam kalung palsu pasti salah satu di antara kalian di 

sini yang telah melakukan keculasan!"

Mendengar kata-kata Wiro itu Rembulan berge-

rak mendekati Mentari Pagi dan membisiki sesuatu.

"Mulutmu berbisa! Otakmu kotor! Kau memang 

layak mampus saat ini juga!" teriak Ki Tawang Alu ma-

rah. Kaki kanannya di injakkannya keras-keras ke ke-

pala Wiro. Bila hal itu sampai terjadi niscaya kepala 

murid Sinto Gendeng ini akan pecah berantakan. Ka-

rena Ki Tawang Alu pergunakan kesaktian yang dis-

ebut Injakan Seribu Kati. Jangankan batok kepala ma-

nusia, batu besarpun akan hancur lebur!


Sesaat sebelum kaki Ki Tawang Alu bergerak 

menginjak, Wiro selinapkan tangan kirinya ke ping-

gang. Lalu tahu-tahu berkiblat sinar putih dalam ge-

lapnya malam. Udara menjadi panas dan suara seolah 

ada seribu tawon menyerbu mengaungi tempat itu.

Semua orang berseru kaget sambil bersurut 

mundur. Ki Tawang Alu melompat sampai satu tom-

bak. Sedikit saja dia terlambat kaki kanannya yang ta-

di dipakai menginjak kepala Wiro akan terbabat putus.

Pendekar 212 tegak agak terhuyung. Di tangan

kanannya tergenggam Kapak Maut Naga Geni 212.

Pengerahan tenaga dalam waktu membabatkan 

senjata mustikanya tadi membuat darah kembali men-

gucur di sela bibirnya.

"Berani mencari mati! Makan tanganku!" teriak 

Ki Tawang Alu. Tangannya melesat ke depan. Tangan 

itu telah berubah menjadi kaki srigala. Kuku-kuku 

runcing mencuat ke depan, membeset ke arah batang 

leher Wiro. Wiro kembali kiblatkan kapak saktinya. 

Lawan bertindak cepat dan cerdik. Sambil tundukkan 

kepala dan mengelak ke samping si kakek kembali 

menyerang. Kali ini dengan tangan kirinya. "Breeettt!"

Pakaian Wiro robek besar di bahu sebelah kiri. 

Murid Sinto Gendeng cepat bertindak mundur. Merasa 

di atas angin Ki Tawang Alu kembali menggempur. Dia 

pergunakan dua tangannya yang berbentuk kaki-kaki 

srigala itu. Yang kiri menyambar ke muka sedang yang 

kanan membeset ke perut Pendekar 212. Kali ini si ka-

kek terlalu menganggap enteng senjata di tangan la-

wan.

Wiro tekuk salah satu lututnya seraya mun-

durkan kaki yang lain. Kapak Naga Geni 212 yang su-

dah dipindah ke tangan kanan. melesat ke depan. Si-

nar putih menyambung di kegelapan malam disertai 

suara mengaung dan hamparan hawa panas. Lalu


craasss!

Ki Tawang Alu menjerit setinggi langit. Darah 

muncrat dari tangan kirinya yang buntung karena ti-

dak sempat ditarik selamatkan diri. Mukanya yang pu-

tih berubah merah mengelam. Terhuyung-huyung dia 

mundur menjauhi lawan. Susah payah dengan tangan 

kanannya dia menotok urat besar di pangkal leher ser-

ta lipatan siku. Darah serta merta berhenti tapi rasa 

sakit dan hawa panas menjalari sekujur tubuhnya. 

Tangan kirinya terkulai tak bisa digerakkan lagi. Kalau 

saja tadi dia tidak menotok lengannya niscaya racun 

Kapak Maut Naga Geni 212 akan menjalar sampai ke 

dalam jantungnya dan nyawanya tidak tertolong lagi. 

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu si ka-

kek segera berteriak pada gadis-gadis berkerudung hi-

tam.

"Orang telah mencelakai diriku! Jangan diam 

saja! Lekas bunuh pemuda jahanam itu!"

Beberapa orang gadis siap bergerak. Namun 

mereka menunggu isyarat dari Mentari Pagi yang saat 

itu tampak ragu. Apalagi gadis bernama Rembulan. Se-

jak tadi dia tidak percaya pada semua ucapan kakek 

muka putih. Selain itu semua gadis merasa ngeri meli-

hat kedahsyatan kapak bermata dua di tangan Wiro.

"Kalian boleh membunuhku!" kata Wiro seraya 

sisipkan senjata mustikanya ke pinggang. Lututnya 

tertekuk. Luka dalam akibat pukulan Ki Tawang Alu 

malam lalu cukup parah. Dalam keadaan jatuh berlu-

tut dia teruskan ucapannya. "Tapi sebelum menghabisi 

ku, geledah dulu tua bangka muka putih itu. Bagai-

mana caranya aku tidak tahu! Tapi aku merasa yakin 

kalung srigala yang asli itu ada padanya!"

"Aku pimpinan di sini! Aku yang memberi pe-

rintah pada kalian! Jangan dengarkan ucapannya yang 

beracun! Lekas bunuh pemuda itu!" teriak Ki Tawang


Alu. Tubuhnya terasa semakin panas dan jalan darah-

nya tidak karuan.

Rembulan berbisik pada Mentari Pagi. "Apa 

yang dikatakan pemuda itu mungkin betul. Aku ingat 

sewaktu Ki Tawang Alu memegang kalung kepala sri-

gala yang kau serahkan padamu. Saat itu dia memba-

likkan. badan, mengarahkan kalung ke cahaya pelita 

di atas rumah. Kita semua tahu dia memiliki kepan-

daian Secepat Kilat Membalik Tangan. Bukan mustahil 

dia menukar kalung itu dengan yang palsu...."

"Beri isyarat pada teman-teman untuk mengu-

rung..." balas berbisik Mentari Pagi. Lalu dia maju 

mendekati si kakek.

"Ki Tawang Alu, kau terluka. parah. Perlu men-

dapat rawatan. Sebaiknya kau lekas naik ke atas ru-

mah. Tapi sebelumnya aku ingin mengatakan sesuatu 

dulu. Jika sekiranya kecurigaan kami keliru harap di 

maafkan. Menurut pemuda itu kau kembali mene-

muinya untuk meminta kalung kepala srigala itu. Pa-

dahal sebelumnya di depan kami kau telah menggele-

dah dan menyatakan kalung itu tidak ada padanya. 

Mana yang benar. Kalung yang diberikan pemuda itu 

padaku aku yakin itu adalah kalung yang asli. Bagai-

mana tiba-tiba berubah menjadi kalung palsu yang ti-

dak ada khasiatnya, apakah kau bisa menerangkan?"

"Mentari Pagi!" kata Ki Tawang Alu dengan sua-

ra bergetar dan rahang menggembung. "Kau tidak 

layak menanyai diriku. Jika kau memaksa kau akan 

ku pecat sebagai anggota Kelompok Bumi Hitam dan 

kuusir dari tempat ini! Kau dengar?!"

"Aku mendengar dan mohon maafmu. Tapi jika 

kau tidak mau menjawab pertanyaanku tadi, terpaksa 

kami menggeledah dirimu!"

"Gadis kurang ajar! Berani kau berkata begitu! 

Kau dan kawan-kawanmu telah termakan ucapan pemuda sinting itu!" Ki Tawang Alu bicara setengah ber-

teriak. Selain itu diam-diam dia memperhatikan kea-

daan sekelilingnya. Ternyata para gadis yang berjum-

lah lebih setengah lusin itu telah mengurungnya. "Ka-

lian semua lekas naik ke atas rumah! Biar aku meng-

habisi pemuda itu!"

Mentari Pagi dan Rembulan cepat menghadang 

gerakan si kakek ketika Ki Tawang Alu hendak mende-

kati Pendekar 212 Wiro Sableng. Habislah kesabaran 

Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam ini. Didahului 

teriakan garang dia menyerang Mentari

Pagi dengan tangan kanannya yang cidera dan 

saat itu telah berubah menjadi kaki srigala. Mentari 

Pagi dan kawan-kawannya tak tinggal diam. Perkela-

hian delapan lawan satu segera berkecamuk sementa-

ra Pendekar 212 yang terduduk di tanah hanya bisa 

memperhatikan.

Sebagai Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam 

tentu saja Ki Tawang Alu memiliki kepandaian tinggi. 

Namun dikeroyok lawan begitu banyak yang rata-rata 

memiliki kepandaian hanya satu atau dua tingkat saja 

di bawahnya, apalagi dia dalam keadaan luka dan cu-

ma punya satu tangan, setelah bertempur empat jurus 

si kakek muka putih segera terdesak hebat.

Mentari Pagi dan kawan-kawannya sebenarnya 

tidak bermaksud menurunkan tangan jahat terhadap 

Ki Tawang Alu yang bagaimanapun tetap mereka hor-

mati sebagai pimpinan mereka. Karenanya mereka 

hanya berusaha merobek pakaian si kakek di beberapa 

bagian tertentu. Mengira dirinya hendak ditelanjangi 

orang Ki Tawang Alu jadi naik pitam dan mengamuk. 

Tapi gerakannya yang sembrawutan membuat kea-

daannya malah tambah terdesak.

"Breettt!"

Tangan kanan Mentari Pagi yang berubah bentuk seperti kaki srigala berhasil merobek pakaian Ki 

Tawang Alu di pinggang kiri. Sebuah kantong kain 

yang tergantung di balik pakaiannya ikut robek dan 

terpental ke udara. Dari robekan kantong melesat ke 

luar sebuah benda putih perak. Ki Tawang Alu cepat 

melompat, berusaha menjangkau benda itu. Namun 

satu sambaran angin dengan keras melabrak tubuh-

nya hingga dia terpental dan jatuh terbanting di tanah. 

Ternyata dalam keadaan luka di dalam yang cukup pa-

rah Pendekar 212 Wiro Sableng masih mampu lancar-

kan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Untuk sesaat si 

kakek terhenyak tak berkutik di tanah. Dari mulutnya 

meleleh darah kental!

Benda yang melesat ke udara jatuh ke bawah. 

Sebelum menyentuh tanah Wiro cepat ulurkan tangan 

kanannya menyambuti benda itu, yang ternyata ada-

lah kalung kepala srigala terbuat dari perak putih. Be-

gitu kalung berada dalam genggamannya satu hawa 

aneh mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Rasa sakit 

di dadanya agak berkurang walau sekujur badannya 

masih terasa lemas.

Mentari Pagi, Rembulan dan semua gadis yang 

ada di tempat itu cepat mendatangi Wiro. Mereka 

memperhatikan tangan kanan si pemuda yang meng-

genggam. Perlahan-lahan murid Sinto Gendeng buka 

genggaman tangannya. Terlihatlah kalung kepala sri-

gala putih bermata merah. Wiro angkat tangannya ke 

arah Mentari Pagi.

"Ambillah! Aku yakin ini kalung yang asli. Aku 

merasakan ada hawa aneh masuk ke tubuhku begitu 

benda ini berada dalam genggamanku..." kata Pende-

kar 212 pula.

Mentari Pagi segera ambil kalung kepala srigala 

itu. "Benar, ini memang kalung yang asli. Aku juga me-

rasakan ada hawa aneh masuk ke dalam tangan ku!"


Si gadis berpaling pada Rembulan. "Aku akan segera 

menuju kamar pimpinan kita bersama beberapa orang 

teman. Kau dan dua atau tiga orang harap memapah 

Pendekar212, bawa masuk ke salah satu kamar rumah 

besar. Periksa keadaannya...."

"Mentari!" tiba-tiba seorang anggota kelompok 

berseru. "Ki Tawang Alu lenyap!"

Semua orang menjadi terkejut. Memandang 

berkeliling ternyata kakek muka putih itu tak ada lagi 

di situ.

"Aku harus mengejarnya. Dia menculik guru 

ku..." kata Wiro seraya bangkit berdiri.

"Itu memang menjadi kewajibanmu Pendekar 

212," kata Mentari Pagi. "Tapi keselamatan dirimu ha-

rus diutamakan. Menurut penglihatanku kau terkena 

Pukulan Seribu Kati. Jika tidak diobati kau bisa me-

nemui ajal sebelum matahari terbenam besok hari...."

Terkejutlah Pendekar 212 mendengar ucapan 

itu. Tubuhnya kembali terasa lemas. Dibantu tiga 

orang temannya Rembulan segera memapah si pemuda 

naik ke atas rumah besar.

*

* *

Empat


SANTET SERATUS TAHUN


REMBULAN dan tiga orang gadis anggota ke-

lompok yang menamakan diri Kelompok Bumi Hitam 

membawa murid Sinto Gendeng ke dalam sebuah ka-

mar. Kamar ini bersebelahan dengan kamar besar dimana Pelangi Indah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam 

berada. Wiro dibaringkan di atas sebuah ranjang kayu. 

Seseorang masuk membawa sebuah pelita kecil. Empat 

gadis membuka kerudung hitam masing-masing hing-

ga Wiro dapat melihat wajah mereka yang cantik-

cantik.

"Kalian hendak melakukan apa?" tanya Pende-

kar 212. Matanya menatap ke arah Rembulan.

"Kau dalam keadaan terluka parah. Kakek mu-

ka putih itu telah memukul dadamu di arah jantung 

dengan Pukulan Seribu Kati Jika tidak diobati nyawa-

mu mungkin tidak tertolong. Tapi saat ini ada hal lain 

yang harus kami dahulukan. Yaitu menolong Pelangi 

Indah pimpinan kami. Kami akan kembali ke sini. Ka-

lau kami kembali harap kau sudah membuka bajumu! 

Harap kau berbaring dan jangan banyak bergerak. 

Jangan sekali-kali turun dari atas ranjang. Apapun 

yang kelak kau dengar tidak usah menjadi perhatian-

mu apalagi kau pikirkan."

"Membuka baju? Aku.... Hai tunggu!" Wiro ber-

seru.

Rembulan berpaling. "Tetaplah tenang di atas 

ranjang. Jangan banyak bertanya, jangan bergerak. 

Kami harus menolong pimpinan kami. Jika dia bisa 

diselamatkan maka kau juga akan dapat disela-

matkan. Tapi jika dia tidak bisa diselamatkan berarti 

nyawamu-pun tidak mungkin ditolong!"

Paras Pendekar 212 jadi berubah. "Rembulan, 

tunggu dulu. Ada yang hendak aku tanyakan..." kata 

Wiro.

Tapi gadis-gadis itu sudah meninggalkan kamar 

dan menutup pintu. Pendekar 212 memandang sepu-

tar kamar. Dia mencium bau wangi setanggi. Tapi di 

kamar itu tak ada perasaan pertanda bau itu datang 

dari ruangan lain. "Aneh, bangunan dan juga kamar


ini berwarna hitam pekat. Di dinding ada bunga-bunga 

hiasan terbuat dari kain. Juga berwarna hitam. Tem-

pat apa ini? Siapa gadis-gadis itu sebenarnya? Hal apa 

yang menimpa diri pimpinan mereka? Lalu kalau mau 

mengobati mengapa aku harus berbaring begini rupa. 

Aku disuruh membuka baju! Aneh! Jangan-jangan me-

reka bukan mau mengobati diriku. Tapi hendak mene-

pati janji yang mereka ucapkan malam itu! Mau me-

nyerahkan diri padaku...."

Selagi Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba 

dari ruangan sebelah dia mendengar suara orang ba-

nyak seperti tengah membaca doa. "Gadis-gadis itu..." 

desis Wiro. "Mereka menyebut-nyebut nama Gusti Al-

lah, menyebut Tuhan. Berarti mereka memang bukan 

orang-orang persilatan golongan sesat. Biar ku intip 

apa yang terjadi di ruang sebelah. Mendadak sang 

pendekar menjadi tercekat. Telinganya menangkap su-

ara sesuatu. "Suara menggereng. Walau halus tapi aku 

yakin itu suara binatang...."

Perlahan-lahan Wiro turun dari atas ranjang. 

Tanpa suara dia melangkah mendekati dinding kamar 

dari balik mana dia mendengar suara orang berdoa. 

Mula-mula dia hanya menempelkan telinganya ke 

dinding. Lalu memperhatikan dinding itu dengan teliti 

Sambil meraba-raba. "Ini satu keanehan lagi. Dinding 

ini jelas terbuat dari kayu. Dari papan yang disambung 

satu dengan lain. Tapi mengapa tidak ada sedikit ce-

lahpun? Aku tak bisa. mengintip...." Wiro memandang 

ke arah pintu di sebelah kanan. Dia dekati pintu ini 

dart pergunakan tangannya untuk membuka. Tidak 

bisa. Pintu tak dapat terbuka. Dicobanya mencongkel 

juga tak berhasil. Akhirnya dikeluarkannya Kapak Na-

ga Geni 212. Namun baru tangannya meraba senjata 

mustika itu, di ruang sebelah terdengar suara riuh, 

diseling suara seperti isak tangis. Lalu ada suara kaki


kaki melangkah. Wiro batalkan niatnya membuka pin-

tu dengan kapak lalu kembali naik ke atas tempat ti-

dur.

*

* *

Di kamar sebelah tempat pimpinan Kelompok 

Batu Hitam terbaring dalam keadaan tubuh tak berge-

rak, mata terpejam dan sekujur kulit berwarna hitam 

keriput. Mentari Pagi masukkan kalung kepala srigala 

yang asli ke dalam bokor kuningan. Saat itu juga air di 

dalam bokor mengepulkan asap putih. Hawa sejuk 

membungkus seluruh ruangan. Pelita besar menyala 

lebih terang dan bau setanggi di sudut ruangan mene-

bar lebih wangi.

Seperti yang dilakukan sebelumnya, para gadis 

lalu memanjatkan doa meminta kesembuhan atas diri 

pimpinan mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Lalu dengan kaos halus Mentari Pagi sapukan air di 

dalam bokor ke seluruh permukaan kulit wajah dan 

tubuh orang yang terbaring di atas ranjang dalam ujud 

nenek-nenek. Juga seperti sebelumnya semua gadis itu 

menunggu dengan perasaan cemas khawatir. Namun 

perasaan itu serta merta lenyap. Di balik harapan yang 

muncul menyeruak rasa ngeri melihat apa yang kemu-

dian terjadi, walau mereka telah pernah menyaksikan 

hal itu sebelumnya sampai dua kali.

Wajah dan sosok tubuh yang dipoles dengan air 

kembang dari dalam bokor kuningan mengeluarkan 

hawa seperti kabut tipis yang memancarkan tujuh 

warna pelangi. Kabut ini kemudian bergulung menjadi 

satu lalu perlahan-lahan bergerak ke arah bokor ku-

ningan. Bokor yang dipegang salah seorang gadis itu 

tiba-tiba bergerak keras dan memancarkan cahaya te


rang.

Laki terjadilah satu hal luar biasa. Dari dalam 

bokor melayang keluar kalung perak berbentuk kepala 

srigala bermata merah. Sedikit demi sedikit kalung itu 

membesar. Sepasang matanya yang merah menyo-

rotkan cahaya merah muda, lalu berubah menjadi me-

rah pekat. Perubahan ukuran kepala srigala itu sema-

kin besar hingga kini mencapai dua kali kepala srigala 

sungguhan. Sorotan dua sinar merah yang keluar dari 

mata semakin terang dan angker seperti sambaran 

nyala api. Tapi sebaliknya sinar itu tidak mengelua-

rkan hawa panas melainkan sejuk luar biasa.

Kepala srigala julurkan lidahnya beberapa kali 

lalu bergerak melayang ke tengah ruangan. Setelah 

berputar-putar sebanyak tujuh kali di atas pembarin-

gan, kepala ini bergerak menukik. Dua sinar merah 

yang keluar dari matanya menyapu wajah, dada, perut 

terus ke paha dan sampai ke ujung kaki orang yang 

terbujur di atas ranjang. Hal ini terjadi sampai tujuh 

kali berturut-turut.

Hal luar biasa kembali terjadi. Sosok wajah dan 

tubuh yang tadi keriput hitam itu perlahan-lahan be-

rubah membentuk daging yang dilapisi kulit segar 

berwarna putih. Rambut panjang tergerai yang tadinya 

berwarna putih kini telah berubah menjadi subur hi-

tam berkilat. Sepasang mata yang sejak tadi terpejam 

perlahan-lahan terbuka. Dan seulas senyum merekah 

di bibir yang sebelumnya selalu terkatup. Kini keliha-

tanlah satu sosok tubuh seorang gadis berambut hi-

tam, berwajah luar biasa cantiknya. Inilah Pelangi In-

dah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam. Wajah dan so-

sok tubuhnya yang bagus mulus sesuai dengan na-

manya.

Semua gadis yang ada di sekeliling pembarin-

gan menyerukan rasa syukur, berulang kali menyebut


nama Tuhan bahkan ada yang setengah berlutut dan 

keluarkan isak tangis.

Di udara dalam ruangan, kepala srigala raksasa 

perlahan-lahan menyusut menjadi kecil kembali hing-

ga akhirnya kembali ke bentuknya semula berupa ka-

lung perak. Kalung kepala srigala ini kemudian me-

layang tujuh kali lalu masuk kembali ke dalam bokor 

berisi air kembang melati.

Mentari Pagi cepat ambil kalung di dalam bokor 

sementara di atas pembaringan sosok Pelangi Indah 

bergerak bangkit dan duduk. Rembulan cepat menu-

tupi tubuh yang tidak terlindung itu dengan sehelai 

jubah tipis berwarna hitam: Mentari Pagi mengikatkan 

sehelai ikat kepala ke kening sang pemimpin. Ikat ke-

pala ini terbuat dari kain sutera hitam yang di bagian 

tengahnya melekat satu batu permata berwarna hitam 

tapi memancarkan cahaya seperti pelangi. Dengan su-

tera berbatu permata itu terikat di keningnya, Pelangi 

Indah bukan saja tambah cantik jelita tapi juga gagah 

sekali, penuh wibawa. Mentari Pagi ulurkan tangannya 

menyerahkan kalung kepala srigala yang terbuat dari 

perak kepada sang pemimpin. Pelangi Indah ambil 

benda itu lalu menciumnya penuh takzim, kemudian 

memasukkannya ke dalam satu kantong di sebelah da-

lam pakaian * sutera hitamnya. Setelah itu dia me-

mandang pada gadis-gadis yang mengelilinginya di se-

putar ranjang.

"Untuk ke tiga kalinya kalian telah berbuat jasa 

besar. Menyembuhkan aku dari penyakit yang selama 

ini ku derita dan tak pernah bisa disembuhkan kalau 

tidak dengan kalung sakti kepala srigala yang terbuat 

dari perak murni itu. Beberapa waktu lalu kalung yang 

juga merupakan lambang kepemimpinan Kelompok 

Batu Hitam itu telah lenyap dicuri orang. Kalian ber-

hasil mendapatkannya kembali dan menyembuhkan


aku dari santet seratus tahun yang membuat aku be-

rubah menjadi seorang nenek-nenek buruk mengeri-

kan. Tidak tahu aku bagaimana harus membalas budi 

dan jasa kalian...."

Semua gadis yang ada di seputar ranjang ja-

tuhkan diri berlutut. Mentari Pagi mewakili mereka bi-

cara.

"Kami adalah anggota Kelompok Bumi Hitam. 

Kami adalah anak buahmu dan kau adalah pimpinan 

kami! Semua apa yang kami lakukan merupakan satu 

kewajiban. Lebih dari itu kami menganggapnya sebagai 

tugas suci. Jadi kami mohon pimpinan jangan bicara 

segala budi dan jasa."

Pelangi Indah tersenyum dan. pegang pundak 

Mentari Pagi. "Ada dua hal yang tidak biasanya ku li-

hat dan ku rasakan saat ini. Pertama, aku tidak meli-

hat Ki Tawang Alu, kakek yang menjadi Wakil ku. Ke-

dua aku merasa ada tarikan nafas berat seseorang di-

balik ruangan sebelah kiri. Dapatkah kalian mene-

rangkan?"

"Pimpinan kami Pelangi Indah," berkata Mentari 

Pagi. "Sebenarnya kesembuhan mu itu sangat berkait 

dengan pertolongan seorang pemuda. Berminggu-

minggu kami mencari kalung yang hilang. Ternyata ka-

lung mustika itu ditemukan oleh si pemuda. Dengan 

sukarela dia menyerahkan patung itu pada kami. Men-

genai Ki Tawang Alu, kakek muka putih itu ternyata 

memang ular kepala dua, musuh dalam selimut. Rem-

bulan, harap kau menuturkan apa yang telah terja-

di...."

Rembulan lalu menceritakan riwayat pengkhia-

natan Ki Tawang Alu. Pelangi Indah gelengkan kepa-

lanya. Wajahnya tampak merah pertanda marah. "Aku 

memang sudah lama menaruh curiga pada manusia 

satu itu. Kalau saja tidak mengingat pesan Eyang Palopo, sejak dulu dia sudah kuusir dari sini. Tapi su-

dahlah, buat apa memikirkan si pengkhianat itu. Dia 

sudah menerima balasan. Menjadi cacat seumur hi-

dup. Tapi kita harus berwaspada. Dia pasti akan men-

dekam dendam kesumat dan sewaktu-waktu muncul 

lagi membalaskan sakit hati."

"Kami siap siaga dan selalu waspada menjaga 

segala kemungkinan," kata Mentari Pagi.

Lalu Pelangi Indah bertanya. "Mengenai pemu-

da yang telah menolong dan menyerahkan kalung 

mustika sakti, bahkan sampai mempertaruhkan ji-

wanya itu, siapakah namanya dan dimana beradanya 

sekarang?"

"Namanya Wiro Sableng. Konon dia yang berju-

luk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212..." jawab 

Mentari Pagi.

Terkejutlah Pelangi Indah sampai gadis ini ber-

gerak turun dari atas ranjang dan menatap lekat-lekat 

pada Mentari Pagi, lalu memandang berkeliling pada 

anak buahnya.

"Tidak salahkah telingaku mendengar?!"

"Tidak, yang aku ucapkan memang nama itu. 

Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

dari Gunung Gede," mengulang Mentari Pagi.

Lalu Rembulan menambahkan. "Pemuda itu se

karang ada di kamar sebelah. Dia berada dalam 

keadaan...."

Belum selesai ucapan Rembulan, Pelangi Indah 

telah keluar dari pintu ruangan.

*

* *


LIMA


KECUPAN DALAM GELAP


BEGITU mendengar pintu terbuka, murid 

Eyang Sinto Gendeng segera pejamkan mata, berpura-

pura tidak sadarkan diri. Tubuhnya tidak bergerak se-

dikitpun. Diam-diam dia alirkan hawa sakti dingin 

hingga sekujur permukaan kulitnya menjadi dingin.

Berdiri di depan tempat tidur, didampingi oleh 

para anak buahnya, Pelangi Indah pandangi wajah dan 

sosok Pendekar 212. Dari mulutnya meluncur perla-

han kata-kata. "Sepuluh tahun lebih aku menunggu, 

akhirnya dapat juga aku bertemu muka dengan pen-

dekar ini...."

Dua tangan Pelangi Indah bergerak ke depan 

lalu breettt! Dia robek dada pakaian Wiro. Seorang 

anak buahnya disuruh mengambil pelita dalam ruan-

gan lalu didekatkan ke tepi tempat tidur.

"Pukulan Seribu Kati!" kata Pelangi Indah agak 

tercekat ketika melihat tanda biru pada bagian dada 

kiri Wiro yang menggembung bengkak. "Ki Tawang Alu 

benar-benar berniat jahat hendak membunuhnya den-

gan pukulan beracun itu...."

"Setahu kami senjata berbentuk kapak yang 

terselip di pinggang Pendekar 212 adalah senjata yang 

sangat ampuh melindungi diri dari racun. Juga bisa 

dipakai untuk menyedot racun. Bagaimana mungkin 

sekarang dia tidak mampu melakukan sesuatu...?"

Pelangi Indah menjawab. "Setiap senjata musti-

ka sakti bukanlah segala-galanya. Apa kau tidak per-

nah mendengar ujar-ujar bahwa di atas langit masih 

ada langit lagi? Keadaannya cukup parah. Kalau tidak


lekas ditangani nyawanya tak bakal tertolong...."

Mentari Pagi ulurkan tangan memegang lengan 

Wiro. "Dingin.... Aliran darahnya mungkin sudah mulai 

menyendat...."

Pelangi Indah cabut Kapak Naga Geni 212 dari 

pinggang Wiro lalu menyerahkannya pada Rembulan. 

Ketika dia memeriksa lagi bagian lain dari pinggang 

murid Sinto Gendeng itu dan menemukan batu hitam 

pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 terkejutlah pim-

pinan Kelompok Bumi Hitam ini. Tubuhnya bergetar 

dan perlahan-lahan dia jatuhkan diri, membungkuk 

dengan satu lutut bersitekan ke lantai kayu. Tentu sa-

ja hal ini membuat heran semua gadis yang ada di si-

tu. Dia adalah pimpinan tertinggi dalam Kelompok 

Bumi Hitam. Sementara Wiro walaupun punya nama 

besar di rimba persilatan tetapi adalah orang luar. 

Mengapa kini pimpinan mereka jatuhkan diri berlutut 

sambil pegang batu hitam dan menekapkannya ke da-

da?

"Eyang Palopo..." suara Pelangi Indah bergetar 

perlahan. "Batu mustika sakti yang kau katakan itu te-

lah kutemukan. Hanya sayang sudah menjadi milik 

orang lain. Aku tidak dapat mengikuti pesanmu. Aku 

tidak mau mengambil benda yang bukan milikku wa-

lau menurutmu asal usul batu ini adalah milik nenek 

moyang kita...."

Pelangi Indah cium batu hitam itu dengan 

khidmat lalu diserahkannya pada Mentari Pagi. "Rem-

bulan dan Mentari Pagi, jaga baik-baik dua senjata 

sakti milik pemuda ini: Kembalikan padanya jika dia 

sudah sembuh kelak. Sekarang kalian semua keluar-

lah dari kamar ini. Aku akan mengobatinya. Semoga 

Tuhan menolong diriku dan dirinya...."

"Pimpinan kami Pelangi Indah, jika kau tidak 

berkeberatan, aku sanggup membebaskannya dari racun Pukulan Seribu Kati," berkata Mentari Pagi.

"Dia telah menyelamatkan diriku dengan me-

nyerahkan kalung kepala srigala. Kini giliranku untuk 

selamatkan jiwanya," jawab Pelangi Indah pula.

Mendengar ucapan sang pemimpin walaupun 

diam-diam merasa kecewa Mentari Pagi, Rembulan dan 

yang lain-lain sama membungkuk lalu tinggal kan ka-

mar itu. Setelah hanya tinggal berdua, Pelangi indah 

sentuh kening Wiro dengan telapak tangan kirinya. Te-

rasa dingin. Dia tersenyum lalu berkata.

"Pendekar dari Gunung Gede, aku kagum den-

gan kekuatanmu, mampu bertahan terhadap pukulan 

beracun Seribu Kati. Orang lain mungkin sudah me-

nemui ajal. Tapi bagaimanapun juga racun dalam tu-

buhmu harus dikeluarkan. Hanya satu hal yang aku 

heran. Mengapa kau berpura-pura pingsan dan alirkan 

hawa dingin ke permukaan kulitmu? Aku mendengar 

selain berkepandaian tinggi kau adalah seorang pemu-

da konyol yang suka menggoda orang. Mungkin hal itu 

benar adanya...."

Menyadari orang sudah mengetahui perbua-

tannya berpura-pura, sambil menahan tawa murid 

Sinto Gendeng segera buka matanya. Begitu dia meli-

hat wajah di atasnya langsung saja dia jadi terkesima. 

Dia telah menyaksikan kecantikan wajah Mentari Pagi 

yang anggun penuh wibawa. Dia juga telah melihat ke-

jelitaan paras Rembulan yang sulit dicari bandingnya. 

Namun ternyata wajah gadis bernama Pelangi Indah 

yang jadi pimpinan Kelompok Bumi Hitam itu melebihi 

ke dua gadis itu. Selain cantik dan berkulit putih mu-

lus, dengan ikatan kain sutera hitam di kepalanya Pe-

langi Indah benar-benar tampak gagah. Selain itu dia 

juga memiliki sepasang mata yang tajam tapi bisa be-

rubah lembut dan jika memandang seolah menyentuh 

sampai ke lubuk hati.


"Pimpinan Kelompok Bumi Hitam...."

"Kau boleh memanggil namaku...."

"Hemmm.... Pelangi Indah, jangan menduga sa-

lah. Aku tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang-

orangmu terhadapku. Ternyata kini aku mendapat ke-

hormatan besar. Kau sendiri yang hendak menolong-

ku. Sejak satu hari ini dadaku sakit bukan kepalang 

dan darah masih mengalir dari mulutku. Belum per-

nah aku mengalami cidera seperti ini. Apa benar kea-

daanku gawat...?"

"Memang gawat. Aku berusaha mengobati. Kau 

harap berdoa memohon pertolongan Tuhan..." kata Pe-

langi Indah lalu keluarkan kalung kepala srigala perak 

dari balik pakaiannya. Saat itulah Wiro menyadari be-

tapa tipisnya jubah hitam yang dikenakan si gadis 

hingga walau cahaya pelita dalam kamar tidak terlalu 

terang namun dia dapat melihat jelas lekuk-lekuk tu-

buh Pelangi Indah mulai dari dada sampai ke ping-

gang.

"Aku mau kencing..." kata Pendekar 212 tiba-

tiba.

"Jangan berbuat macam-macam. Terlalu ba-

nyak kau bergerak racun dalam tubuhmu akan me-

nyebar kemana-mana...."

"Aku tidak bergurau. Tapi biar sekali ini aku 

mengikuti ucapanmu. Akan ku coba menahan kenc-

ing!" kata Wiro sambil menyeringai dan hendak meng-

garuk kepala. Tapi lengannya cepat ditahan oleh Pe-

langi Indah. Kalung kepala srigala yang di keluarkan-

nya dari balik pakaian diletakkannya di dada kiri Pen-

dekar 212, tepat pada bagian yang bengkak membiru 

akibat jotosan Seribu Kati. Satu hawa sejuk masuk 

menembus permukaan kulit Wiro.

"Kau sudah siap...?" Pelangi Indah bertanya.

"Aku... ya aku siap," jawab Wiro walau dia tidak


tahu apa yang akan dilakukan si gadis.

Pelangi Indah menatap ke arah pelita di sudut 

ruangan. Perlahan-lahan nyala api pelita menjadi kecil 

meredup tapi tidak sampai padam. Ruangan yang ti-

dak seberapa besar itu menjadi temaram. Si gadis de-

kap pipi Pendekar 212 dengan ke dua tangannya. Ke-

palanya lalu diturunkan mendekati wajah sang pende-

kar. Lalu tiba-tiba saja bibirnya sudah menyentuh bi-

bir Wiro. Wiro merasakan satu kecupan sangat keras 

hingga bukan saja lidahnya tertarik keluar tapi isi pe-

rutnya juga seolah tersedot. Dari dadanya yang cedera 

dan dari perut keluar suara seperti air menggelegak. 

Suara aneh ini berpindah ke tenggorokannya lalu dia 

merasa ada cairan banyak sekali memenuhi mulutnya. 

Pelangi Indah menyedot. Cairan di dalam mulut Wiro 

berpindah ke mulutnya. Lalu dia menyemburkan cai-

ran dalam mulutnya itu ke dinding. Dinding yang ta-

dinya hitam berubah menjadi biru pekat. Pelangi Indah 

seka mulutnya yang basah. Bengkak membiru di dada 

kiri Wiro serta merta lenyap. Rasa sakit hilang dan ke-

kuatannya pulih kembali.

"Racun jahat..." ujar Wiro seraya memperhati-

kan cairan biru yang menutupi dinding.

"Kau selamat..." bisik Pelangi Indah.

Wiro berpaling. Dilihatnya gadis cantik itu te-

gak berpegangan ke tepi ranjang. Tubuhnya mandi ke-

ringat. Wajahnya kemerahan. Dia tertegak limbung. 

Wiro cepat memegang pinggang gadis itu agar tidak ja-

tuh. Untuk menyedot racun pukulan yang ada dalam 

tubuh Wiro, si gadis telah mengerahkan tenaga luar 

dan dalam habis-habisan. Itu sebabnya tubuhnya 

mandi keringat dan menjadi lemah. Dalam keadaan 

terkulai letih tubuh si gadis jatuh di atas dada Pende-

kar 212. Kening mereka saling bertindihan.

"Pendekar 212, sepuluh tahun aku menunggu


kedatanganmu. Kau muncul membawa keselamatan 

bagi diriku! Kau datang membawa batu hitam mustika 

sakti pelambang kepada siapa aku harus tunduk dan 

menyerahkan diri. Wiro, kau tidak boleh meninggalkan 

tempat ini untuk selama-lamanya...."

Tentu saja Wiro merasa terkejut mendengar 

ucapan si gadis. "Aku berhutang nyawa padanya. Ka-

lau dia sampai memaksa urusan bisa jadi tidak ka-

ruan..." ujar Wiro dalam hati. Lalu dia berkata.

"Pelangi Indah, kau telah menyelamatkan jiwa 

ku. Aku mengucapkan terima kasih. Tapi aku tidak 

mengerti arti...."

Wiro tidak dapat melanjutkan ucapannya. Ka-

rena bibir si gadis telah menempel di bibirnya. Kembali 

dia merasakan satu kecupan keras.

"Astaga, apakah ini masih merupakan kecupan 

untuk mengobati diriku atau kecupan lain..." kata Wiro 

dalam hati. Tangan kanannya menggaruk ke kepala. 

Namun kemudian perlahan-lahan tangan itu bergerak 

merangkul tubuh lembut Pelangi Indah. Dalam kea-

daan seperti itu Pendekar 212 ingat akan niatnya un-

tuk mendapatkan ilmu kesaktian yang bernama Sepa-

sang Sinar Inti Roh. Dia harus menunggu 49 tahun 

karena Sinto Gendeng menganggap dirinya belum 

mampu menerima ilmu kesaktian itu mengingat dia 

merupakan seorang pemuda yang masih suka pada 

wajah cantik dan tubuh mulus. Dalam hati Wiro mem-

batin. "Nenek itu benar. Dalam keadaan seperti ini ba-

gaimana mungkin aku mau menolak. Siapa mau me-

nyia-nyiakan kesempatan! Walah! Biar tidak aku pikir-

kan dulu ilmu itu! Kalau memang aku harus menung-

gu sekian lama apa boleh buat! Benar juga kata orang. 

Sehabis sengsara biasanya datang bahagia tak terdu-

ga."

"Wiro, apakah kau masih kepingin kencing?" tiba-tiba Pelangi Indah berbisik.

"Hemm.... Apa? Tadi aku cuma bergurau. Jan-

gan khawatir, aku tidak bakalan ngompol di celana!" 

Wiro menyeringai lalu tertawa tertahan-tahan.

Pelangi Indah sendiri tidak kuasa menahan ta-

wanya. Untung saja Wiro cepat merangkul tubuhnya 

hingga suara tawanya tenggelam di atas dada bidang 

sang pendekar.


                            TAMAT


Segera terbit:


TELUK AKHIRAT



-------------------------------------------------


ARIO BLEDEG

EPISODE PETIR DI MAHAMERU 



DUA BELAS


TASBIH KI AGENG BELA BUMI


DALAM kagetnya melihat kecepatan lawan 

membuat gerakan mengelak Warok Wesi Gludug berbi-

sik pada nenek di sebelahnya. "Setahuku kakek butut 

itu hanyalah orang tolol tukang pembuat keris. Ternya-

ta dia memiliki ilmu silat tinggi dan sanggup menghin-

darkan diri dari serangan kita berdua!"

"Kau bicara seolah nyalimu sudah leleh! Sung-

guh memalukan Warok yang telah menggegerkan bela-

han tengah tanah Jawa berucap seperti itu!"

Kata-kata nenek berjuluk Si Lidah Bangkai itu 

membuat tampang garang Warok Wesi Gludug menjadi 

kelam membesi. Rahangnya menggembung. Dua len-

gannya digesekkan hingga mengeluarkan suara seperti 

dua batangan besi saling digosok!. Memandang ke de-

pan dilihatnya Empu Bondan Ciptaning telah berada 

beberapa tombak di kejauhan, melangkah cepat me-

ninggalkan telaga. "Empu keparat! Kau mau lari ke-

mana!

Kau kira bisa lolos dari tanganku!" Habis berte-

riak Warok Wesi Gludug gebuk pinggul tunggangan-

nya. Kuda hitam itu meringkik keras lalu melesat ke 

depan.

Si Lidah Bangkai tertawa panjang. Dia merasa


gembira dapat membakar semangat sobatnya itu. Tan-

pa tunggu lebih lama nenek ini segera pula mengge-

brak kuda hitamnya, Sesaat kemudian Empu Bondan 

Ciptaning telah dijepit oleh dua kuda besar itu hingga 

dia terpaksa menghentikan langkahnya.

"Empu tolol! Apa kau mau mati sia-sia hanya 

karena mempertahankan barang yang bukan milik-

mu?!" membentak Si Lidah Bangkai.

Empu Bondan Ciptaning mengangkat kepa-

lanya. Dengan suara dan sikap tenang dia menjawab. 

"Kalau barang-barang yang kalian minta memang mi-

likku, sudah dari tadi aku serahkan secara ikhlas. Tapi 

seperti ku jelaskan. Kitab dan tasbih ini adalah barang 

titipan yang harus aku jaga baik-baik..."

"Pandainya kau berdalih memutar lidah!" har-

dik Warok Wesi Gludug. Tangan kanannya yang seke-

ras besi dipukulkannya ke batok kepala Empu Bondan 

Ciptaning. Di saat bersamaan Si Lidah Bangkai me-

nyembur. Lidahnya yang merah bercabang melesat, 

bergulung menyambar ke arah leher sang Empu, me-

muncratkan cairan merah.

"Kalian berdua, mengapa masih berkeras hati 

berusaha memiliki barang yang bukan hak kalian. 

Apakah hati dan benak kalian telah berubah menjadi 

batu hingga tidak mau berlaku sadar?!"

Sambil berucap begitu Empu Bondan Ciptaning 

rundukkan kepalanya, lalu untuk selamatkan diri dari 

dua serangan lawan dia cepat melompat ke bawah pe-

rut kuda tunggangan Si Lidah Bangkai. Nenek ini ber-

teriak marah. Dia sentakkan tali kekang kudanya 

hingga binatang ini menghambur ke depan. Jika Empu 

Bondan Ciptaning masih mendekam di bawah tubuh 

kuda, niscaya dirinya akan diterjang dua kaki bela-

kang binatang itu. Tapi orang tua ini sudah tahu apa 

yang bakal terjadi. Begitu Si Lidah Bangkai menyentakkan tali kekang dia sudah melompat ke kiri, ber-

pindah berlindung di bawah sosok kuda tunggangan 

Warok Wesi Gludug.

"Jahanam benar! Dia berani mempermainkan 

kita!" teriak Sang Warok. Sambil bergelantungan di 

leher kuda dia jatuhkan diri ke samping kanan. Ber-

samaan dengan itu kaki kanannya menendang ke ba-

wah. Inilah tendangan mengandung tenaga dalam 

tinggi yang bisa memecahkan batu. Dan yang jadi sa-

sarannya saat itu adalah kepala Empu Bondan Ciptan-

ing yang tengah merunduk di bawah tubuh kuda!

Tendangan kaki kanan itu tidak terduga dan 

datangnya cepat sekali. Walau masih mampu melihat 

datangnya serangan namun Sang Empu tidak mung-

kin mengelak dengan cara melompat atau merunduk-

kan kepala. Satu-satunya yang bisa dilakukannya ia-

lah menangkis dengan tangan kirinya.

"Bukkk!"

Tangan dan kaki beradu keras. Empu Bondan 

Ciptaning merasa lengannya seperti dihantam palang 

besi. Dia menggigit bibir menahan teriak kesakitan. 

Tubuhnya terpental beberapa langkah, terbanting ja-

tuh punggung di tanah. Sebelum dia sempat bangkit Si 

Lidah Bangkai telah menggebrak kuda tunggangannya 

ke arah sosok Sang Empu yang masih tergeletak di ta-

nah.

Di atas kuda si nenek tertawa mengekeh. Dia 

sudah mengira kaki-kaki kuda tunggangannya akan 

menghunjam menghancurkan tulang dada dan tulang-

tulang iga Sang Empu. Tapi alangkah kagetnya si ne-

nek dan suara tawanya serta merta lenyap ketika 

mendadak kuda tunggangannya meringkik keras lalu 

terangkat ke atas, berputar laksana titiran dan selan-

jutnya terlempar sejauh dua tombak lalu tergelimpang 

di tanah!


Apakah yang telah terjadi?

Ketika Si Lidah Bangkai menghamburkan ku-

danya ke arah dirinya yang masih tergeletak di tanah, 

Empu Bondan Ciptaning sudah maklum bahaya apa 

yang akan melandanya. Dia tak berani melompat 

bangkit karena gerakan-nya pasti akan kalah cepat 

dengan kedatangan hantaman kaki-kaki kuda. Orang 

tua ini menunggu sesaat. Matanya mengawasi. Begitu 

dua kaki terdepan kuda tunggangan Si Lidah Bangkai 

menghunjam ke arahnya, Empu Bondan Ciptaning 

dengan cepat gulingkan diri ke depan. Dua kaki kuda 

lewat di kepalanya, membongkar tanah menerbangkan 

debu. Saat itu juga Empu Bondan Ciptaning lesatkan 

pinggangnya ke atas. Sementara punggungnya masih 

bertumpu di tanah, kaki kanannya melesat ke atas, 

menyodok perut kuda. Sebelum lawannya tahu apa 

yang terjadi, dengan satu kekuatan yang sulit diper-

caya Empu Bondan Ciptaning angkat tubuh kuda. itu 

berikut penunggangnya lalu diputar dan dilemparkan!

Si Lidah Bangkai berteriak marah. Kalau dia ti-

dak lekas melompat jungkir balik niscaya mukanya 

akan berkelukuran dimakan tanah walau terlapis sisik 

aneh hitam kebiruan. Sementara kudanya bangkit ter-

huyung-huyung si nenek telah berdiri tegak, meman-

dang ke arah Empu Bondan Ciptaning yang saat itu 

juga telah berdiri tegak, memandang dengan raut wa-

jah kasihan kepada kuda hitam yang tadi dilempar-

kannya.

"Kuda hitam, kau tak berdosa. Tapi terpaksa 

menerima derita. Maafkan perbuatanku itu..." Sang 

Empu mengeluarkan suara batinnya.

"Empu jahanam! Kau memang benar-benar 

minta mati!" Mulut si nenek membentak keras sedang 

matanya memandang berapi-api. Dua tangannya dis-

ilangkan ke depan lalu didorongkan. Di saat bersamaan Warok Wesi Gludug telah melesat turun dari ku-

danya dan secara licik dia melompat ke belakang Em-

pu Bondan Ciptaning. Dua tangannya yang penuh bu-

lu dipentang ke atas. Bersamaan dengan gerakan me-

nyerang Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug meng-

gebrak pula dengan menghantamkan tangan kanannya 

ke bagian belakang kepala lawan.

Empu Bondan Ciptaning bukannya tidak tahu 

kalau salah satu lawan telah menyerangnya dari bela-

kang secara pengecut. Tetapi saat itu dia lebih mem-

perhatikan gerakan sepasang tangan Si Lidah Bangkai 

yang ada di depannya.

"Pukulan Gunting Iblis!" kata Sang Empu da-

lam hati. Rupanya dia telah mengetahui dengan ilmu 

kesaktian apa si nenek hendak menghantamnya. Pu-

kulan Gunting Iblis yang dimiliki nenek berjuluk Si Li-

dah Bangkai memang telah menggegerkan dan mena-

kutkan delapan penjuru angin rimba persilatan tanah 

Jawa, terutama menjelang berdirinya Kerajaan Demak 

dengan Rajanya yang pertama yakni Raden Patah. "Dia 

hendak menyerangku dengan pukulan maut itu!"

Dua tangan Si Lidah Bangkai bergerak bersi-

langan.

"Clakk! Claakk!"

Terdengar suara mengerikan. Lebih menggidik-

kan lagi ketika dari dua telapak tangan si nenek ber-

tampang angker itu tiba-tiba melesat dua larik sinar 

hitam, bergerak meluncur bersilangan, mengeluarkan 

suara seperti sebuah gunting raksasa!

Seperti diketahui sebagai seorang Empu, Bon-

dan Ciptaning sepanjang usianya memusatkan kepan-

daian dan kesaktiannya pada ilmu membuat berbagai 

senjata sakti. Walau dia memiliki ilmu silat yang bu-

kan sembarangan dan juga menguasai beberapa puku-

lan sakti namun dibanding dengan ilmu kesaktian


yang dimiliki sahabatnya Ki Suro Gusti Bendoro, Sang 

Empu jauh tertinggal.

Dan saat itu ketika dia menghadapi serangan 

maut dari depan dan dari belakang, walau masih me-

nunjukkan sikap tenang namun hati kecilnya menge-

luh. Dia tahu jarang ada orang yang sanggup atau bisa 

menyelamatkan diri dari serangan Pukulan Gunting Ib-

lis. Mungkin juga dia adalah salah satu di antaranya!

"Aku tidak takut menemui kematian di tangan 

dua manusia sesat ini. Tapi kematianku akan memba-

wa penyesalan sampai ke alam baka karena aku tidak 

bisa menyelamatkan dua barang titipan yang ada pa-

daku...."

Di saat hatinya bersuara, di saat kematian su-

dah di depan mata tiba-tiba Empu Bondan Ciptaning 

ingat pada salah satu barang yang diserahkan saha-

batnya Ki Suro Gusti Bendoro kepadanya beberapa 

waktu sebelumnya. Yaitu yang kini terkalung di leher-

nya!

"Tasbih sakti! Tasbih Ki Ageng Beta Bumi!" 

Tangan Sang Empu serta merta bergerak ke leher. 

"Sahabatku Ki Suro.... Harap maafkan kelancanganku. 

Aku terpaksa mempergunakan tasbih pusaka, barang 

sakti mandraguna milikmu ini untuk menyelamatkan 

diri.... Semoga Yang Maha Tunggal mengampuni kesa-

lahanku! Semoga dua musuhku tidak akan mendapat 

celaka oleh tasbih sakti ini...."

Ketika tangan sekeras besi Warok Wesi Gludug 

hanya tinggal sejengkal lagi untuk menghancurkan ba-

tok kepala sebelah belakang Empu Bondan Ciptaning 

dan dua sinar hitam menggidikkan dalam kejapan 

hampir bersamaan siap membantai putus pinggang-

nya, tiba-tiba menggelegar suara menggaung. Bersa-

maan dengan itu selarik sinar hijau berbentuk lingka-

ran bergulung di udara, membungkus sosok Empu Bondan Ciptaning mulai dari kepala sampai ke ping-

gul. Dua suara berdentrangan menggema membuat 

denyutan keras pada jantung. Dua jeritan setinggi lan-

git menggelegar serasa membobol gendang-gendang te-

linga!

Di tengah kalangan pertempuran Empu Bondan 

Ciptaning kelihatan tegak dengan tubuh bergetar dan 

dada terbungkuk menahan gejolak. Di tangan kanan-

nya dia masih memegang Tasbih Ki Ageng Bela Bumi 

yang terbuat dari batu Giok hijau. Untuk beberapa la-

manya tasbih sakti itu kelihatan mengepulkan asap 

kehijau-hijauan.

Empu Bondan Ciptaning berpaling ketika telin-

ganya menangkap suara orang mengerang di bela-

kangnya. Delapan langkah di sebelah sana sosok tinggi 

besar Warok Wesi Gludug terkapar di tanah dalam 

keadaan benar-benar mengenaskan. Rambutnya yang 

sebelumnya dikuncir kini kelihatan hangus awut-

awutan. Begitu juga cambang bawuk.

janggut serta kumis tebal dan bulu-bulu yang 

memenuhi dadanya. Kulit mukanya dari kening sam-

pai ke dagu, lalu di bagian badan mulai dari leher 

sampai ke perut yang telanjang tampak merah bahkan 

ada yang terkelupas. Yang paling mengerikan adalah 

tangan kanannya yang tadi dipergunakan memukul 

batok kepala lawannya. Tangan yang sekokoh besi itu 

kini tidak lagi memiliki jari barang sepotong-pun kare-

na seluruh telapak tangannya telah hancur. Bagian 

ujung lengannya yang putus remuk, menggembung 

merah. Cidera inilah yang merupakan sumber sakit 

yang bukan alang kepalang hingga Warok Wesi Gludug 

melejang-lejang menggeliat-geliat sambil tiada hentinya 

mengerang.

Empu Bondan Ciptaning memandang berkelil-

ing. Matanya mencari-cari. Tapi dia sama sekali tidak


melihat Si Lidah Bangkai. Kemana lenyapnya nenek 

itu? Mungkin telah kabur melarikan diri. Kemudian 

pandangan sepasang mata Sang Empu membentur se-

buah benda yang tergeletak di tanah, di dekat rerum-

putan dan semak belukar rendah. Tengkuknya lang-

sung terasa dingin. Bagaimanakah tidak. Benda yang 

tergeletak di tanah itu adalah potongan tangan kanan 

manusia mulai dari ujung-ujung jari sampai sebatas 

siku yang telah mengelupas seluruh dagingnya dan 

hanya tinggal tulangnya saja yang kelihatan memutih! 

Mungkinkah itu potongan tangan kanan Si Lidah 

Bangkai? Berarti nenek itu juga mengalami cidera be-

rat akibat adu kekuatan dengan tasbih sakti tadi.

Empu Bondan Ciptaning langsung pejamkan 

mata dan pegang keningnya dengan tangan kiri. "Tu-

han Agung, Maha Kuasa, Maha Penolong! Ampuni dosa 

kesalahanku! Aku telah berani berlaku lancang melu-

kai menciderai sesama umat. Penyesalan ku lebih 

mendalam lagi Ya Tuhan karena untuk berbuat dosa 

itu aku dengan lancang mempergunakan senjata milik 

orang lain. Tuhan, aku tahu dua musuhku tadi adalah 

orang-orang sesat dan jahat! Tapi dengan melakukan 

kekejaman ini terhadap mereka berarti aku tidak lebih 

baik dari keduanya. Ampuni dosa dan kesalahanku 

wahai Yang Maha Kuasa...."

Suara erang kesakitan yang keluar dari mulut 

Warok Wesi Gludug menyadarkan Empu Bondan Cip-

taning. Dia kalungkan Tasbih Ki Ageng Bela Bumi ke 

lehernya lalu melangkah cepat mendekati kepala pe-

rampok hutan Roban itu.

Meski sakit mendera dirinya- mulai dari ubun-

ubun sampai ke ujung kaki namun Warok Wesi Glu-

dug masih bisa melihat siapa yang datang dan kemu-

dian berlutut di sampingnya.

"Aku mohon...." Suara Sang Warok sesaat terputus oleh erang kesakitan. "Aku mohon kau bunuh 

aku saat ini juga! Aku... tidak sanggup lagi menahan 

rasa sakit ini! Bunuh! Habisi aku saat ini juga!"

Empu Bondan Ciptaning benar-benar tidak tega 

melihat keadaan Warok Wesi Gludug. Ke dua tangan-

nya bergerak. Bukan untuk memenuhi permintaan 

penjahat itu, tetapi malah sebaliknya. Dengan cepat 

Empu Bondan Ciptaning menotok tubuh Sang Warok 

di beberapa bagian. Lalu dari saku jubah birunya dike-

luarkannya sebuah kantong kecil terbuat dari kain. Di 

dalam kantong ini ada sejenis bubuk berwarna putih. 

Sebagian dari bubuk itu dimasukkannya ke dalam mu-

lut Warok Wesi Gludug, sisanya ditaburkannya di tan-

gan kanan yang hancur. Tak selang berapa lama suara 

erang kesakitan dari mulut kepala rampok itu mulai 

perlahan lalu berhenti sama sekali. Matanya meman-

dang sayu pada Sang Empu, mulutnya bergerak seper-

ti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara 

yang keluar karena sekujur tubuhnya saat itu berada 

dalam keadaan sangat lemah.

"Kau tak perlu mengucapkan apa-apa..." kata 

Sang Empu pula sambil memegang kening Warok Wesi 

Gludug. "Dengar, aku tak mungkin membawamu ke 

hutan Roban. Yang bisa kulakukan adalah menaikkan

mu ke atas kudamu. Binatang itu akan membawamu 

ke tempat kediamanmu...."

Mulut Warok Wesi Gludug kembali bergerak. 

Namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Cukup 

susah bagi Empu Bondan Ciptaning menggotong tu-

buh tinggi besar Sang Warok lalu membaringkannya 

menelungkup membelintang di atas pelana di pung-

gung binatang itu.

"Warok Wesi Gludug, aku mengaku telah bersa-

lah besar mencelakaimu. Maafkan diriku. Aku berdoa 

agar kau bisa sampai di tempat kediamanmu dengan


cepat dan selamat..." Empu Bondan Ciptaning mengu-

sap punggung Sang Warok, lalu menepuk pinggul ku-

da hitam. Binatang ini seperti segan hendak mening-

galkan tempat itu. Empu Bondan Ciptaning membelai 

tengkuknya beberapa kali lalu menepuk pinggulnya 

sekali lagi. Setelah menggaruk-garuk tanah dengan 

dua kaki depannya, akhirnya kuda hitam itu mulai 

melangkah pergi. Empu Bondan Ciptaning menghela 

nafas dalam lalu tinggalkan pula tempat itu.

***

TIGA BELAS


SEBELUM mengikuti kelanjutan apa yang dila-

kukan Empu Bondan Ciptaning, kemana perginya 

Sang Empu itu dan apa yang terjadi dengan Tasbih Ki 

Ageng Bela Bumi serta Kitab Hikayat Keraton Kuno ki-

ta kembali dulu pada masa belasan tahun silam ketika 

Kesultanan Demak mulai dirundung kemelut dan tak 

habis-habisnya mengalami musibah berdarah.

Pada masa itu yang memerintah di Demak ada-

lah Sultan Trenggono. Dalam usahanya memperluas 

daerah kekuasaan Demak dan sekaligus mengem-

bangkan ajaran agama Islam, Sultan Trenggono me-

nyerbu Pasuruan yang terletak di ujung timur Pulau 

Jawa. Malang bagi Sultan, dalam satu kecamuk perang 

yang dahsyat dia bersama sekelompok pasukannya 

terjebak. Usaha untuk meloloskan diri sia-sia saja ka-

rena seluruh tempat sudah dikurung. Sultan akhirnya 

tewas di tangan musuh.

Gugurnya Sultan Trenggono bukan saja meng-

gemparkan Demak tapi sekaligus menimbulkan keka-

cauan besar. Beberapa orang yang merasa dirinya berhak menggantikan Trenggono saling berebut kekua-

saan. Terjadi kekacauan besar karena mereka saling 

mempergunakan kekuatan senjata. Pertempuran terja-

di dimana-mana. Kotaraja hancur. Mereka yang saling 

memperebutkan tahta kerajaan itu adalah Pangeran 

Tua Sekar Seda Lepen yang adalah adik mendiang Ra-

den Patah, Raja pertama Kesultanan Demak. Sebagai 

adik kandung Raden Patah, Pangeran ini merasa kini 

dialah yang paling punya hak untuk memegang tam-

puk kekuasaan tertinggi di Kesultanan Demak. Lalu 

yang menjadi lawan Pangeran Sekar Seda Lepen ada-

lah Pangeran Prawoto yang bukan lain adalah putera 

Sultan Trenggono sendiri, jadi sebenarnya masih me-

rupakan cucu Pangeran Sekar Seda Lepen sendiri.

Suatu ketika Pangeran Sekar bersama para 

pengikutnya memasuki Kotaraja dari arah timur. Saat 

itu malam hari. Udara mencucuk dingin karena siang-

nya telah turun hujan cukup lebat. Dia sengaja men-

gambil jalan berputar menyeberangi sebuah sungai un-

tuk menghindari pasukan kerajaan yang setia pada 

Pangeran Prawoto yang berada di dalam kota dan pasti 

bersiap siaga di berbagai penjuru Kotaraja.

Rencana Pangeran Tua Sekar adalah akan ber-

gabung dengan induk pasukannya di satu tempat ra-

hasia sebelum menyerbu Keraton Demak. Karena hu-

jan di siang hari, pada malam itu arus sungai cukup 

deras. Pangeran Sekar dan rombongannya dengan me-

nunggangi kuda menyeberangi sungai dengan sangat 

hati-hati. Yang mereka awasi bukan cuma arus yang 

deras dan bisa menghanyutkan mereka, tetapi juga 

pinggiran sungai di seberang sana karena tidak mus-

tahil bahaya bisa datang dari musuh yang bersem-

bunyi di tebing sungai. Kekhawatiran Pangeran Sekar 

ternyata terbukti sesaat kemudian. Di malam yang 

dingin dan sunyi dimana hanya suara deru arus sungai yang terdengar tiba-tiba ada suara suitan dua kali 

berturut-turut. Lalu dari dalam rimba belantara gelap 

di seberang sungai kelihatan berkelebatan puluhan 

bayangan hitam.

Mata tajam Pangeran Sekar Seda Lepen segera 

melihat dan menyadari datangnya bahaya. Saat itu dia 

bersama tiga puluh orang anggota pasukannya telah 

berada di tengah-tengah sungai. Cepat Sang Pangeran 

berteriak.

"Musuh di depan kita! Semua lekas balik ke te-

pi barat!"

Tiga puluh satu ekor kuda segera diputar ber-

balik ke arah tepi sungai dari mana mereka datang se-

belumnya. Ini bukan pekerjaan mudah. Selain bina-

tang tunggangan mereka masuk ke dalam air hampir 

setinggi punggung, saat itu arus air deras sekali. Keti-

ka dengan susah payah akhirnya mereka bisa memu-

tar kuda masing-masing dan bergerak menuju tepian 

yang berlawanan tiba-tiba salah seorang anggota pa-

sukan yang kini berada paling depan berseru tegang 

sambil menunjuk.

"Celaka Pangeran! Kita terjebak! Lihat di sebe-

rang sana!"

Pangeran Tua Sekar Seda Lepen, diikuti semua 

anggota pasukan lainnya memandang ke arah yang di-

tunjuk. Semua mereka sama terkejut. Wajah berubah 

tegang. Tangan langsung meraba ke pinggang dimana 

mereka menyisipkan senjata masing-masing.

Di seberang tepian sungai sebelah sana, pulu-

han sosok hitam muncul laksana setan gentayangan. 

Rombongan Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang be-

rada di tengah kini terkurung antara dua tepian sun-

gai. Tak ada jalan untuk menyelamatkan diri. Jika ber-

gerak ke arah kanan berarti akan dihantam arus sun-

gai yang dahsyat. Jika membelok ke kiri bisa-bisa mereka akan diseret arus. Selagi pasukan di tengah sun-

gai itu berada dalam kebingungan tiba-tiba kembali 

terdengar dua kali suara suitan. Lalu menyusul suara 

menderu aneh. Di gelapnya malam puluhan benda me-

lesat dari dua tepian sungai. Ketika Pangeran Sekar 

mendongak ke depan dan berpaling ke belakang terke-

jutlah dia!

"Awas serangan panah!"

Pangeran Sekar segera cabut golok besar yang 

tersisip di pinggangnya lalu dibabatkan seputar kepala 

dan tubuhnya.

"Traangg... tranggg... trangg...!"

Beberapa anak panah yang melesat ke arah ke-

pala dan badan Sang Pangeran terpental berpatahan. 

Belasan anggota pasukan melakukan hal yang sama. 

Coba membentengi diri masing-masing dengan putaran 

pedang atau golok. Tapi tingkat kepandaian mereka ti-

dak setara Pangeran Sekar. Banyak dari mereka kelua-

rkan suara menjerit lalu jatuh ke dalam sungai dengan 

tubuh ditancapi panah. Celakanya ternyata mata anak 

panah itu oleh musuh diberi racun. Jadi walaupun 

seandainya anggota pasukan yang terjebak di tengah 

sungai itu masih bisa menyelamatkan diri dalam kea-

daan luka, racun panah tetap akan merenggut nya-

wanya!

Makin lama anak panah beracun yang datang 

menyambar semakin banyak dan ganas. Jeritan ter-

dengar di mana-mana. Yang masih bisa menyela-

matkan diri dalam bingungnya mencoba menceburkan 

diri masuk ke dalam sungai. Tapi sosoknya segera dis-

eret arus! Sungai itu kini berubah menjadi neraka di 

malam buta! Kalau saja kejadian itu berlangsung pada 

siang hari. akan terlihat bagaimana air sungai yang ta-

dinya bening kebiruan telah berubah menjadi merah 

oleh tumpahan darah!


***

KEESOKAN paginya, baru saja fajar menyings-

ing, dalam keadaan terang-terang tanah, di arah hilir 

sungai, tak berapa jauh dari tempat terjadinya peristi-

wa pembantaian atas Pangeran Sekar Seda Lepen dan 

tiga puluh anggota pasukannya, kelihatan puluhan 

pasukan Kerajaan menarik sebuah jaring besar yang 

rupanya sengaja dipasang di tempat itu sejak satu hari 

sebelumnya. Begitu jaring diseret ke darat, yang berge-

limpangan di dalam jaring besar itu bukan ikan atau 

makhluk penghuni sungai lainnya, tetapi sosok tubuh 

manusia yang sudah kaku, sembab membiru, penuh 

luka-luka dan ada yang masih ditancapi anak-anak 

panah beracun. Selain menghitung jumlah mayat yang 

mereka temukan, para prajurit kerajaan itu juga mene-

liti satu persatu wajah para korban. Tak lama kemu-

dian, salah seorang diantara mereka yang agaknya ber-

tindak sebagai pimpinan meninggalkan tepian sungai 

di sebelah timur. Dia melangkah cepat masuk ke da-

lam rimba belantara sejauh dua puluh tombak, baru 

berhenti ketika mencapai sebatang pohon besar di de-

pan mana berdiri seorang berpakaian perwira muda 

bertampang keren tetapi memiliki pandangan mata se-

dingin es. Perwira ini bernama

Tubagus Lor Putih. Di kalangan prajurit Demak 

perwira muda ini tidak disenangi karena sifatnya yang 

kasar suka memaki dan enteng tangan suka menempe-

lengi bawahan.

"Apa yang akan kau laporkan! Aku lihat mu-

kamu redup seperti pantat kuali! Agaknya ada yang ti-

dak beres!" Sang Perwira menegur prajurit kepala yang 

mendatanginya.

Prajurit yang datang melapor itu kebetulan 

memang berkulit hitam pekat. Dengan gerak-gerik


yang menunjukkan rasa takut dia memberi hormat la-

lu berucap. "Mo-hon maafmu Perwira. Jaring telah di-

angkat. Jumlah korban telah dihitung. Semua ada tiga 

puluh orang..."

"Tiga puluh?!" Tubagus Lor Putih mengulang. 

Pandangan matanya yang dibesarkan membuat tam-

pangnya menjadi angker. "Hanya tiga puluh?!"

"Benar Perwira."

"Mata-mata memberitahu rombongan itu ber-

jumlah tiga puluh satu orang. Termasuk Pangeran Se-

kar Seda!"

"Mata-mata melaporkan hal yang betul. Tetapi 

diantara para mayat justru mayat Pangeran itu yang 

tidak ditemukan!"

Berubahlah air muka perwira muda Tubagus 

Lor Putih. "Prajurit Jangan kau berani bergurau!" Sang 

Perwira membentak.

"Saya tidak bergurau, Perwira! Mayat yang di-

temukan hanya tiga puluh. Dan mayat Pangeran Sekar 

Seda Lepen tidak ada di antara mereka."

"Berarti Pangeran itu berhasil meloloskan diri! 

Luar biasa! Tidak mungkin!" Sepasang mata Perwira 

Tubagus Lor Putih memandang dingin menyeramkan 

pada prajurit kepala yang berdiri di hadapannya yang 

kelihatan mulai gemetar ketakutan. "Pangeran Sekar" 

memang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Tapi itu bu-

kan jaminan dia bisa menyelamatkan diri dari kepun-

gan malam tadi! Lagi pula dia tidak kebal racun. Ma-

sakan tidak ada satupun anak panah yang sanggup 

menyerempet tubuhnya! Aku juga sudah memerintah-

kan memasang jaring untuk menghambat setiap mayat 

agar tidak hanyut ke hilir! Tapi Pangeran itu tetap lo-

los! Kau dan orang-orangmu bekerja tolol sembrono! 

Kau tahu apa artinya bagimu jika Pangeran itu benar-

benar berhasil melarikan diri?!"


Wajah prajurit kepala menjadi pucat. Dengan 

suara gemetar dia menjawab. "Saya tahu kesalahan 

saya Perwira. Saya siap dipancung...."

"Mauku memang menebas batang lehermu saat

ini juga!" kata Tubagus Lor Putih. Lalu plaakk! Tampa-

rannya mendarat di pipi prajurit kepala. Walau sakit-

nya tamparan itu bukan alang kepalang dan bibirnya 

sampai pecah berdarah namun prajurit kepala ini ma-

sih mampu bertahan, tegak berdiri dengan kepala 

menghuyung. "Dengar! Aku masih memberi kesempa-

tan padamu dan anak buahmu! Lakukan pemeriksaan 

sekali lagi. Pergunakan kepandaian kalian menyelam. 

Selidiki sampai ke dasar sungai. Mungkin mayat Pan-

geran itu terperangkap di dasar sungai atau tersangkut 

pada akar-akar pepohonan di salah satu sisi sungai!"

"Siap melakukan perintah," jawab si prajurit 

kepala walau diam-diam dia merasa yakin tidak akan 

menemukan mayat Sang Pangeran. Sebelumnya dia 

pernah mengabdi di tempat kediaman Pangeran Sekar. 

Dia tahu betul bahwa adik mendiang Sultan Demak itu 

memiliki kepandaian tinggi. Bukan mustahil dia telah 

berhasil menyelamatkan diri dan saat ini tentu sudah 

berada jauh dari tempat itu.

Sampai menjelang tengah hari dua sisi sungai 

telah diselidiki, rimba belantara di kiri kanan sungai 

diperiksa, selusin prajurit yang punya keahlian menye-

lam telah memeriksa dasar sungai sepanjang puluhan 

kaki. Namun mayat, apa lagi sosok hidup Pangeran 

Sekar Seda tidak berhasil ditemukan.

Untuk kedua kalinya si prajurit kepala datang 

menghadap Tubagus Lor Putih.

"Mohon ampunmu, Perwira. Semua tempat su-

dah diperiksa, sungai sudah diselami sampai jauh ke 

arah hilir. Tapi mayat Pangeran Sekar tetap tidak ditemukan...."


"Hemmm.... Kalau begitu kau tunggu apa lagi?!" 

ujar Tubagus Lor Putih.

Mendengar kata-kata atasannya itu si prajurit 

kepala kelihatan menggigil sekujur tubuhnya. Dia ja-

tuhkan diri, berlutut di tanah. Suaranya seperti terce-

kik ketika berkata. "Perwira, saya tahu kesalahan. 

Saya siap dihukum mati. Namun jika kau mau berbe-

las kasihan, aku mohon pengampunan darimu..."

Tubagus Lor Putih menyeringai. "Setiap prajurit 

yang tahu kesalahan, harus siap menerima hukuman! 

Bukannya mengemis minta pengampunan!" Perwira 

muda ini hunus golok panjang yang tergantung di 

pinggangnya.

"Perwira, aku mohon kau mau mempertim-

bangkan. Istriku baru saja melahirkan anak kami yang 

pertama seminggu lalu...."

"Hemmmm... begitu? Lalu apa hubungan istri-

mu atau anakmu dengan hukuman yang harus kau te-

rima?! Sebagai prajurit kepala kau tidak berhasil me-

mimpin anak buahmu menangkap Pangeran Sekar. Ini 

merupakan satu malapetaka besar bagi Demak. Diri-

mu telah menjadi biang racun jatuhnya malapetaka 

itu. Lalu apakah artinya nyawa yang ada di dalam tu-

buhmu?!"

Mendengar ucapan atasannya itu si prajurit 

kepala sadar bagaimanapun juga dia tidak bakal men-

dapat pengampunan. Maka tanpa daya prajurit yang 

malang ini bungkukkan dadanya, angsurkan kepala ke 

arah sang perwira.

Tubagus Lor Putih sesaat pandangi sosok ba-

wahannya itu dengan sikap dingin tanpa ada rasa be-

las kasihan sama sekali. Dia berpaling ke kiri, ke arah 

seorang prajurit tua berwajah cekung. Perwira ini lem-

parkan goloknya pada prajurit tua itu seraya berkata. 

"Kau kuberi kehormatan untuk memancung leher ata


sanmu itu!"

Walau si prajurit tua menyambuti golok yang 

dilemparkan, tapi apa yang didengarnya membuat tu-

buhnya jadi menggigil. Dia jatuhkan diri di tanah dan 

berkata. "Perwira, ampuni diriku. Aku mohon jangan 

aku yang...."

"Tua bangkai tidak berguna! Kau harusnya 

bangga mendapat kepercayaan melaksanakan tugas 

itu! Seorang prajurit Demak tidak pantas menghindar 

diri dari tanggung jawab! Apalagi membangkang men-

jalankan perintah atasan! Kurasa prajurit rongsokan 

sepertimu memang sudah saatnya harus disingkirkan 

lebih dulu!"

Selesai berucap kaki kanan perwira muda itu

melesat ke depan. Sosok prajurit tua mencelat ke uda-

ra lalu terbanting roboh di tanah begitu tendangan Tu-

bagus Lor Putih melabrak dadanya. Prajurit tua ini tak 

berkutik lagi. Tulang dadanya remuk, jantungnya pe-

cah. Darah mengucur dari mulutnya yang terbuka. 

Nyawanya putus!

Ketika tubuh prajurit tua itu mencelat ke uda-

ra; golok yang dipegangnya ikut terpental. Dengan satu 

gerakan cepat dan ringan Tubagus Lor Putih melompat 

ke udara, menyambar gagang golok. Begitu dia me-

layang turun, senjata itu dibabatkannya ke bawah. De-

ras sekali golok panjang itu menyambar ke arah teng-

kuk si prajurit kepala.

Pada saat itulah sekonyong-konyong dari arah 

hilir sungai terdengar satu teriakan lantang. "Hentikan 

hukuman! Orang yang kalian cari ada bersamaku!"

***


EMPAT BELAS


KI DALEM SLEMAN


SEMUA orang di tempat itu termasuk perwira 

muda Tubagus Lor Putih palingkan kepala ke arah 

sungai. Mereka jadi terkesima melihat satu pemandan-

gan luar biasa. Sebuah rakit kecil terbuat hanya dari 

beberapa potongan bambu hijau meluncur di permu-

kaan sungai, datang dari arah hilir, melawan arus air 

yang siang itu masih cukup deras.

Di atas rakit itu tegak seorang kakek berjubah 

kuning. Walau sudah tua dan seluruh rambutnya telah 

putih sikapnya tampak gagah. Seringainya mem-

bayangkan kekerasan hati. Di dadanya melintang se-

batang tombak yang pada ujungnya terikat sehelai 

bendera berbentuk segi tiga warna kuning. Di bahu ki-

ri si kakek membelintang satu sosok tak bergerak, en-

tah masih hidup entah sudah jadi mayat. Yang jelas 

pada bahu kanan orang ini menancap sebatang anak 

panah yang telah patah bagian bawahnya. Sesekali 

kakek ini celupkan kaki kanannya ke dalam air sun-

gai. Gerakannya ini membuat rakit bambu melesat ke 

depan!

Tegak di atas rakit kecil dengan beban manusia 

di bahunya, meluncur melawan arus sungai yang de-

ras dan pergunakan kaki sebagai pendayung! Sungguh 

luar biasa! Siapa gerangan adanya kakek hebat ini?!

Di Keraton Demak orang tua itu dikenal dengan 

nama Ki Dalem Sleman. Selama masa pemerintahan 

Sultan pertama Kerajaan Demak yakni Raden Patah 

dia dikenal sebagai pengabdi yang setia. Ketinggian il-

munya membuat dirinya bisa menduduki jabatan tinggi serta kepercayaan dari Sultan. Namun dari beberapa 

kalangan tertentu diketahui bahwa walau Ki Dalem 

Sleman sebenarnya adalah seorang berilmu tinggi teta-

pi tidak mempunyai pendirian. Hari ini dia bisa menja-

di abdi atau sahabat setia, tetapi besok bila keadaan 

lebih menguntungkan baginya maka dia bisa saja ber-

sikap culas menjadi pengkhianat tersembunyi. Ibarat 

tanaman Ki Dalem Sleman adalah sebangsa ilalang liar 

yang akarnya tumbuh merusak tanaman lain, dan bila 

angin bertiup ke satu jurusan, ke arah itulah dia con-

dong meliuk dan memagut.

Ki Dalem Sleman rupanya tahu juga kalau ba-

nyak orang baik di dalam maupun di luar

Keraton yang tidak menyukainya. Merasa ter-

ganggu dengan orang-orang yang mengetahui sifat pri-

badinya itu maka secara diam-diam satu persatu Ki 

Dalem Sleman dengan berbagai cara mulai menying-

kirkan mereka. Banyak diantara orang-orang itu yang 

kemudian menemui kematian secara aneh. Atau le-

nyap tak tahu rimbanya. Diantara mereka yang teran-

cam kedudukan bahkan jiwanya namun tidak mau 

menantang Ki Dalem Sleman karena kekuasaan dan 

kepercayaan Sultan terhadapnya sangat besar, secara 

diam-diam menjauhkan diri dan meninggalkan kehi-

dupan Keraton. Salah seorang diantara mereka adalah 

Ki Suro Gusti Bendoro, tokoh yang sudah pembaca 

ikuti riwayatnya di awal cerita (Petir Di Mahameru Ba-

gian 1) Secara halus orang tua tokoh utama Keraton 

Demak ini menjauhkan diri lebih suka menghabiskan 

waktu di satu tempat terpencil dan dalam kehidupan-

nya sehari-hari selalu menjalankan ibadah, mende-

katkan diri kepada Ilahi.

Lambat laun Sultan Demak mengetahui juga 

perubahan sikap orang-orang kepercayaannya. Ki Suro 

Gusti Bendoro diminta menghadap lalu ditanyai apa


sebabnya dia akhir-akhir ini lebih banyak berada di 

luar Keraton.

Sebagai orang berhati lurus dan selalu taat pa-

da ajaran agama Ki Suro Gusti Bendoro tentu saja ti-

dak mau menceritakan keburukan perilaku Ki Dalem 

Sleman. Orang tua ini ingat akan satu fatwa Junjun-

gannya Nabi Muhammad Rasullullah yang kira-kira 

mengatakan: Belum sempurna iman seorang Muslim, 

jika dia membuka aib sesama Muslim lainnya. Ki Suro 

ingin agar kelak Sultan sendiri nanti yang akan menge-

tahui sebab musababnya, atau ada orang lain yang 

memberitahu.

Sejak Ki Suro Gusti Bendoro tidak lagi berada 

di Keraton Demak, Ki Dalem Sleman boleh dikatakan 

telah menjadi bayang-bayang kekuasaan di belakang 

Sultan. Banyak sekali perkara atau keputusan yang 

berada di bawah pengaruhnya. Tak lama setelah per-

temuan terakhir dengan Ki Suro Gusti Bendoro Sultan 

Demak mangkat. Tahta Kerajaan dipegang oleh putera 

mahkota Pati Unus yang dikenal dengan sebutan Pan-

geran Sabrang Lor. Entah mengapa dan tidak diketa-

hui Pati Unus hanya memerintah selama tiga tahun, 

Pada tahun 1548 saudaranya yang bernama Pangeran 

Trenggono menggantikannya sebagai Sultan Demak.

Semasa Ki Suro Gusti Bendoro berada Keraton 

Demak Pangeran Trenggono sangat dekat dengan 

orang tua itu. Karenanya begitu dia menduduki tahta 

Kerajaan, Sultan Trenggono segera memerintahkan un-

tuk mencari dan meminta Ki Suro Gusti Bendoro da-

tang menemuinya. Dalam pertemuan yang kemudian 

terjadi Sultan Trenggono meminta agar Ki Suro kemba-

li berada di lingkungan Keraton. Menghormati Raja 

muda ini dan juga mengingat semua kebaikan men-

diang ayahnya yakni Raden Patah, Sultan terdahulu Ki 

Suro bersedia kembali tapi dengan perjanjian dia


hanya akan tinggal di lingkungan Keraton selama satu 

tahun. Sultan tak mau menampik karena merasa ke-

lak nanti dia akan mampu membujuk Ki Suro agar 

mau tinggal lebih lama di lingkungan Keraton. Selama 

berada dalam Keraton Ki Suro pada Setiap pertemuan 

dengan Sultan Ki Suro lebih banyak membicarakan 

hal-hal yang menyangkut keagamaan. Dia sengaja 

menghindari pembicaraan yang berkaitan dengan Ke-

rajaan karena saat itu dilihatnya pengaruh Ki Dalem 

Sleman sudah mulai merasuk masuk ke dalam hati 

dan pikiran Sultan. Apalagi Ki Dalem Sleman berhasil 

pula merangkul seorang perwira tinggi yang sedang 

naik daun yakni Brajanala hingga kekuatannya di da-

lam Keraton bertambah besar. Bilamana Sultan pada 

akhirnya membawa pembicaraan pada hal-hal yang 

menyangkut Kerajaan, Ki Suro selalu bicara hati-hati. 

Dia tidak pernah menyalahkan orang lain, apa lagi 

menyebut nama. Namun dalam hati sebenarnya Ki Su-

ro merasa sedih sekali. Dengan berbagai cara halus dia 

selalu mengingatkan Sultan, namun agaknya penga-

ruh Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala su-

dah terlalu dalam dan besar.

Pada hari terakhir dia berada di Keraton, sebe-

lum pergi Ki Suro menghadap Sultan Trenggono. Un-

tuk pertama kalinya dia menyampaikan suara hatinya. 

Dimintanya secara halus agar Sultan berlalu hati-hati, 

selalu waspada. Dalam setiap perkara jangan hanya 

membaca apa yang tersurat tapi coba menyelami arti

yang tersirat, jangan melihat apa yang terlihat dengan 

mata kasar tetapi ada baiknya merenungi dengan mata 

hati. Ki Suro tahu sekali Sultan Trenggono adalah seo-

rang Raja yang alim taat beribadat dan adil bijaksana 

dalam segala tindakannya. Namun Ki Suro meminta 

agar semua tindakan itu disertai dengan satu pemiki-

ran akan hal-hal yang mungkin bisa terjadi seandainya


dirinya kelak mangkat meninggalkan dunia fana ini. 

Dalam hal ini Ki Suro sebenarnya menginginkan agar 

sebelum wafat Sultan Demak itu membuat semacam 

surat wasiat, siapa kelak akan menjadi penggantinya 

menduduki tahta Kesultanan Demak.

"Ki Suro, mengapa Ki Suro meminta aku me-

nyiapkan semacam surat wasiat?" bertanya Sultan 

Trenggono saat itu.

"Maafkan saya Sultan. Saya kira itu seyogianya 

merupakan satu tradisi baru Kerajaan. Agar kelak se-

mua berjalan lancar di kemudian hari...."

"Agaknya kau menginginkan aku ini lekas 

mangkat!"

Ki Suro Gusti Bendoro membungkuk dalam-

dalam. "Maaf dan ampuni diri saya ini Sultan. Tiada 

pernah terpikir oleh saya apalagi sampai menginginkan 

agar Sultan lekas mangkat. Seumpama kita berada di 

tepi pantai. Laut yang kita lihat. Hari ini mungkin saja 

keadaannya tenang, diselimuti segala keindahan. Teta-

pi bisa saja, setelah kita pergi tiba-tiba cuaca berubah, 

badai datang, laut bergelombang. Kalau kita berlaku 

waspada dan jauh-jauh hari meminta penduduk untuk 

tidak membangun rumah terlalu dekat ke pantai, ma-

ka niscaya mereka akan terhindar dari malapetaka 

yang tak satu manusiapun sanggup menghadapinya. 

Berwaspada biasanya dilakukan sebelum bencana da-

tang melanda. Karena kalau bencana sudah di depan 

mata, sulit bagi kita untuk menghindari...."

"Agaknya ada satu bencana yang kau lihat 

akan menimpa Kerajaan Demak ini? Apakah ada 

pengkhianat busuk di dalam Keraton ini Ki Suro?" 

Tanya Sultan Trenggono pula yang membuat Ki Suro 

Gusti Bendoro jadi tambah terpojok. Sebenarnya su-

dah sejak beberapa waktu lalu Ki Suro mendengar ka-

bar bahwa di dalam Keraton tengah terjadi satu persekongkolan keji untuk menumbangkan tahta Sultan 

Trenggono. Walau diam-diam dia sudah bisa menduga 

siapa adanya orang-orang berhati culas itu, namun 

untuk mengungkap atau mengadukannya kepada Sul-

tan, Ki Suro tak mau melakukan. Bisa saja keadaan 

berbalik dan dirinya dituduh sebagai tukang fitnah, 

culas.

"Sultan, segala apa yang bakal datang sulit bagi 

manusia untuk memastikan. Tetapi berjaga-jaga dan 

berwaspada sambil tiada lupa memohon petunjuk Ilahi

adalah penting. Saya mohon agar Sultan tetap mem-

percayai semua orang di dalam lingkungan Keraton, te-

tapi sekaligus saya harap agar Sultan juga tidak begitu 

saja mempercayai semua orang itu. Saya harap Sultan 

mengerti maksud saya..."

Sultan Trenggono kerenyitkan kening lalu ge-

leng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti mak-

sud ucapan Ki Suro meminta aku mempercayai semua 

orang tapi sekaligus juga meminta tidak mempercayai

semua orang. Bagaimana ini...?"

Sebelum Ki Suro sempat menjawab, sebelum 

pembicaraan selesai, saat itu ke dalam ruangan ma-

suklah Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala. 

Mereka datang menghadap untuk melaporkan sesuatu 

yang penting. Ki Suro segera bangkit berdiri. Sultan 

memintanya agar tetap berada di ruangan itu tetapi 

dengan berat hati Ki Suro minta diri. Dia juga me-

nyampaikan salam perpisahan pada Ki Dalem Sleman 

dan Brajanala.

Setelah menyampaikan laporannya kepada Sul-

tan; Ki Dalem Sleman membungkuk lalu berucap. 

"Maafkan saya Sultan. Bukan maksud saya bersikap 

lancang ingin tahu urusan orang. Tapi sehubungan 

dengan salam perpisahan yang tadi disampaikan Ki 

Suro Gusti Bendoro, apakah Sultan memang telah melepas kepergiannya begitu saja?"

"Apa maksud pertanyaan Ki Dalem?" balik ber-

tanya Sultan Trenggono.

"Selama ini saya dan Perwira Ki Brajanala me-

mang tidak pernah ingin mengusik orang, termasuk di-

ri Ki Suro Gusti Bendoro yang kami hormati itu. Na-

mun sejak setahun dia berada sini, berbagai kabar 

menyangkut dirinya dibicarakan orang di luaran. Saya 

terus terang menaruh khawatir. Tanpa menyelidik saya 

tidak akan berani menjatuhkan tuduhan karena nanti 

bisa dianggap menyebar fitnah. Kabarnya beberapa 

waktu belakangan ini Ki Suro sering menemui Adipati-

Adipati tertentu. Setiap dia selesai menemui Adipati 

anu, maka di. Kadipaten selalu terjadi latihan perang-

perangan...."

Sultan Trenggono jadi terkejut mendengar kete-

rangan Ki Dalem Sleman itu. "Mengapa sebelumnya Ki 

Dalem tidak memberitahu padaku?"

Perwira Brajanala mendehem beberapa kali lalu 

dia yang menjawab pertanyaan Sultan tadi. "Kami ti-

dak berani melapor kalau belum menyelidik sampai ke 

akar-akarnya. Bisa saja latihan perang-perangan itu 

untuk lebih menggalang kekuatan dan kewaspadaan 

para prajurit Kadipaten." Ucapan sang perwira seperti 

membela tapi sesaat kemudian dia menyambung den-

gan kata-kata yang membuat Sultan Trenggono jadi 

tercenung. "Namun bukan mustahil pula semua itu 

merupakan satu persiapan dari maksud atau tujuan 

jahat terhadap Kerajaan..."

"Apalagi yang kalian ketahui tentang Ki Suro 

Gusti Bendoro?" Sultan bertanya. Rahangnya nampak 

menggembung dan pelipisnya bergerak-gerak pertanda 

hawa kecurigaan yang menyatu dengan amarah mulai 

merasuk dirinya.

"Mohon maaf Sultan, beri waktu kami barang


satu minggu lagi. Kami berjanji akan mengungkap sisi 

hitam dari Ki Suro Gusti Bendoro lalu melaporkannya 

pada Sultan. Hanya saja saat ini ada satu hal penting 

yang harus kami beritahu..."

Sultan menatap wajah Ki Dalem Sleman yang 

barusan bicara. Sultan anggukkan kepala. Menunggu 

agak tegang apa yang bakal diterangkan pembantu ke-

percayaan, tokoh silat Keraton yang duduk di hada-

pannya itu.

"Kemarin siang kami baru mengetahui kalau 

salah satu barang pusaka dan keramat Kesultanan 

Demak telah lenyap dicuri orang."

Sultan Trenggono sampai berdiri dari kursi ke-

besarannya karena terkejutnya mendengar ucapan Ki 

Dalem Sleman itu. Dia memandang lekat-lekat ke wa-

jah si orang tua, lalu berpaling pada Brajanala. Setelah 

duduk kembali ke kursinya diapun bertanya.

"Katakan, barang pusaka keramat yang mana 

yang lenyap dicuri orang?!"

Ki Dalem Sleman tak segera menjawab. Dia pe-

jamkan matanya seolah apa yang hendak diucapkan-

nya itu sangat menyakiti hati dan perasaannya.

"Katakan saja Ki Dalem, jangan biarkan Sultan 

menunggu," berbisik Perwira Brajanala.

"Kanjeng Kiai Pujoanom," ucap Ki Dalem Sle-

man akhirnya dengan suara gemetar. "Bendera pusaka 

keramat itu yang lenyap dicuri orang."

Sultan Trenggono merasa seperti disambar pe-

tir. Dia terhenyak di kursi kebesarannya. Mukanya se-

saat pucat. Dua tangannya menggenggam ukiran tan-

gan kursi yang berbentuk kepala naga.

"Kraakkk!"

Tidak sadar Sultan telah kerahkan kekuatan 

tenaga dalamnya hingga dua ukiran kepala naga tan-

gan kursi yang terbuat dari kayu jati keras hancur!


"Kalau bendera pusaka Kiai lenyap dicuri 

orang, pertanda cepat atau lambat Kerajaan akan di-

landa malapetaka besar!" Sultan Trenggono untuk be-

berapa saat lamanya duduk tak bergerak, hanya sepa-

sang matanya saja yang memandang mendelik tak 

berkedip pada Ki Dalem Sleman dan Brajanala. Tiba-

tiba dia membentak keras. "Kalian berdua! Apakah 

menurut kalian lenyapnya bendera keramat itu bu-

kannya pekerjaan Ki Suro Gusti Bendoro?"

"Kami berdua tidak berani menuduh tanpa 

bukti..." kata Perwira Brajanala.

"Tapi," menyambung Ki Dalem Sleman. "Bukan 

mustahil memang dia pencurinya. Tadi ketika kami 

berdua masuk, bukankah Sultan sendiri menyaksikan 

bagaimana dia begitu tergesa-gesa ingin meninggalkan 

ruangan ini? Sebagai tokoh yang dituakan di Keraton, 

apalagi menjadi kepercayaan Sultan sungguh perbua-

tannya itu tidak pada tempatnya."

"Aku perintahkan pada kalian berdua! Lekas 

kejar Ki Suro Gusti Bendoro. Hadapkan dia padaku!"

"Kami siap menjalankan perintah," kata Ki Da-

lem Sleman dan Perwira Brajanala, lalu bangkit berdi-

ri. Setelah membungkuk dan bersurut mundur ke dua 

orang ini segera tinggalkan ruangan itu.

Sesampainya di kandang kuda Brajanala dan Ki 

Dalem Sleman saling tersenyum-senyum. Setengah 

berbisik Ki Dalem Sleman berkata. "Apa yang kita ren-

canakan segera berhasil! Ha... ha! Rasakan kau Ki Su-

ro Gusti Bendoro!"

"Ki Suro pasti belum jauh. Kalaupun dia sudah 

meninggalkan Demak, kita bisa membentuk pasukan 

khusus. Paling lambat sebelum senja datang dia sudah 

bisa kita tangkap!"

Tapi ternyata tidak semudah itu mencari Ki Su-

ro Gusti Bendoro. Orang tua berilmu tinggi itu seolah


lenyap ditelan bumi. Sementara itu di Kesultanan De-

mak acap kali terjadi kerusuhan atau pemberontakan. 

Ditambah pula dengan adanya kebijaksanaan memper-

luas daerah kekuasaan dan menyebar agama Islam. 

Maka usaha untuk mencari Ki Suro Gusti Bendoro ser-

ing kali tertunda atau terpaksa dihentikan. Baru seki-

tar sepuluh tahun kemudian Ki Suro berhasil mereka 

temui di puncak Gunung Mahameru sebagaimana 

yang dituturkan dalam Bagian Pertama.

***

LIMA BELAS


TAHTA DAN DARAH


KEMBALI pada peristiwa di sungai. Dalam ke-

terkejutan hampir semua orang yang ada di tepi sungai 

mengenali siapa adanya orang tua di atas rakit bambu.

"Ki Dalem Sleman!" berseru perwira muda Tu-

bagus Lor Putih. "Kedatanganmu sungguh tidak terdu-

ga! Benarkah sosok di atas bahu Ki Dalem adalah pan-

geran Sekar?!"

Ki Dalem Sleman tersenyum. "Silahkan kau me-

lihat sendiri Perwira Muda!" katanya. Dengan tangan 

kirinya orang tua ini mengambil tombak yang bernama 

Kiai Sepuh Plered yang tergantung melintang di da-

danya. Tombak ini ditancapkannya ke bambu rakit. 

Ketika dia membuat gerakan melompat ke udara, rakit 

bambu itu ikut terangkat ke atas, melayang sesaat lalu 

turun perlahan di tepi sungai di depan barisan pasu-

kan kerajaan. Banyak mulut berdecak kagum, banyak 

mata membeliak besar melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipertunjukkan Ki Dalem Sleman itu. Tu-

bagus Lor Putih sendiri sebenarnya merasa sangat ka-

gum namun dia tidak mau memperlihatkan hal itu. 

Perwira muda ini memang punya sifat sombong walau 

terhadap orang lain yang jelas-jelas memiliki kepan-

daian atau kesaktian jauh lebih tinggi darinya.

Ki Dalem Sleman sesaat memandang berkelil-

ing. Lalu perlahan-lahan dia turunkan tubuh yang ada 

di pundaknya, dibaringkan menelentang di tanah be-

cek. Semua orang memperhatikan. Yang tergeletak di-

tanah itu memang Pangeran Sekar adanya. Wajahnya 

yang tua agak kebiruan. Bukan saja karena lama teng-

gelam di dalam air tetapi juga akibat racun panah yang 

menancap di bahu kanannya dan berada dalam kea-

daan patah. Mungkin sang pangeran berusaha menca-

but panah itu tetapi patah.

Tubagus Lor Putih melangkah mendekati lalu 

memeriksa. Wajahnya berubah.

"Dia masih hidup!" ujar sang perwira muda. 

"Aneh, racun panah tidak membunuhnya. Tenggelam 

di dalam air tidak mematikannya. Kalau tidak ada 

yang menolong tak mungkin hal ini terjadi!" Perlahan-

lahan perwira itu angkat kepalanya dan memandang 

pada Ki Dalem Sleman. Si orang tua mengerti maksud 

pandangan itu. Tapi selama orang tidak bertanya dia 

tidak akan mengatakan apa-apa.

Tiba-tiba Tubagus Lor Putih angkat golok pan-

jang yang masih tergenggam di tangannya. Dengan ce-

pat senjata itu hendak ditusukkannya ke leher Pange-

ran Sekar. Tapi dua jari berkelebat menjepit badan go-

lok hingga gerakan senjata ini tertahan. Itulah dua jari 

Ki Dalem Sleman. Tubagus Lor Putih memandang den-

gan mata dibesarkan pada tokoh silat Keraton Demak 

itu. Dia segera kerahkan tenaga luarnya untuk mene-

ruskan tusukan. Tapi golok itu tidak bergeming dalam


jepitan dua jari Ki Dalem Sleman. Sang perwira ganti 

mengerahkan tenaga dalam. Golok sesaat memancar-

kan cahaya terang namun cahaya itu meredup dan le-

nyap begitu Ki Dalem Sleman alirkan pula tenaga da-

lamnya.

Merasa malu dan agar orang lain tidak tahu ka-

lau dia telah pecundang dalam pertarungan tenaga 

luar dan tenaga dalam singkat itu, sang perwira muda 

segera berucap lantang.

"Ki Dalem! Saya gembira berhasil menangkap 

Pangeran yang lolos ini. Tapi mengapa kini kau mence-

gah saya membunuhnya?!"

Ki Dalem Sleman tersenyum.

"Perwira sombong, rasakan olehmu sekarang!" 

kata Ki Dalem Sleman dalam hati sementara wajah 

perwira muda di hadapannya tampak memercikkan 

keringat.

"Perwira Tubagus Lor Putih," Ki Dalem Sleman 

berucap. "Kau dan semua yang ada di sini tahu kalau 

aku adalah orang dalam pengabdi Keraton Demak. 

Adalah kewajibanku untuk menolong dan menyela-

matkan Pangeran Sekar. Karena dia adalah orang Ke-

raton. Lebih dari itu dia adalah adinda dari Sultan 

Demak pertama!"

"Semua yang Ki Dalem katakan memang benar. 

Tapi Ki Dalem lupa satu hal. Pangeran Sekar kini tak 

lebih dari seorang penghujat, seorang pemberontak tua 

renta yang hendak merebut tahta Kesultanan Demak 

dari tangan Pangeran Prawoto, pewaris syah tahta! 

Apakah Ki Dalem tidak merasa perbuatan Ki Dalem ini 

satu hal yang keliru?!

"Perwira Muda, kau dengar dulu jawabanku," 

kata Ki Dalem Sleman dengan sikap tenang sementara 

Tubagus Lor Putih tampak bergejolak dadanya tanda 

amarah mulai menguasai dirinya. "Siapa adanya Pangeran Sekar dan juga siapa adanya Pangeran Prawoto 

kita semua sudah tahu. Tapi siapa sebenarnya yang 

berhak mewarisi tahta Kesultanan Demak, itu tergan-

tung dari sudut mana kita melihatnya. Pangeran Sekar 

bisa menjadi Sultan karena dia adalah adik kandung 

mendiang Raden Patah. Di lain pihak Pangeran Prawo-

to juga punya hak menduduki tahta Keraton Demak 

karena dia adalah putera mendiang Sultan Trenggono. 

Jadi dua-duanya sama-sama punya hak. Lalu siapa 

yang harus menjadi Sultan? Siapa yang akan menjadi 

Raja?!"

"Ki Dalem, dari ucapanmu jelas saya tangkap 

bahwa kau membela Pangeran Sekar. Kau ingin agar 

Pangeran Sekar yang mewarisi tahta Keraton Demak. 

Tetapi kau tidak mau melihat kenyataan. Pangeran tua 

ini terjebak di tengah sungai ketika dia bersama pasu-

kannya bersiap-siap menyusun rencana menyerang 

Kotaraja! Dia adalah seorang jahat! Seorang jahat tidak 

pantas dijadikan Raja..."

"Itu menurutmu Perwira Muda. Tapi menurut 

orang lain, atau menurut Pangeran Sekar sendiri tin-

dakannya itu adalah untuk menegakkan kebenaran 

dan keadilan. Menegakkan yang hak dan menghan-

curkan yang batil..."

"Ki Dalem, kita bisa berdebat sampai sehari 

semalam di tempat ini. Saya akan membawa pangeran 

Sekar ke Kotaraja. Kerajaan nanti yang akan memu-

tuskan apakah dia ini seorang jahat atau seorang 

pembela kebenaran dan keadilan!"

"Perwira Muda Tubagus Lor Putih, menyesal 

sekali. Aku tidak akan menyerahkan Pangeran Sekar 

padamu..."

"Kalau begitu harap maafkan. Saya terpaksa 

memerintahkan pasukan untuk meminta Ki Dalem se-

gera meninggalkan tempat ini...."


"Tubagus... Tubagus...." kata Ki Dalem Sleman 

sambil geleng-gelengkan kepala. Kali ini dia menyebut 

langsung nama si perwira muda tanpa menyebut 

pangkatnya. "Kau terlalu pongah.... Kau ingin meng-

habisi Pangeran ini? Lalu membawa jenazahnya ke ha-

dapan Pangeran Prawoto sekaligus memperlihatkan 

bahwa kau adalah seorang. perwira yang telah sangat 

berjasa pada Kerajaan? Tubagus, kau menganggap di-

rimu sebagai prajurit pembela Keraton Demak. Di mata 

Pangeran Prawoto kau adalah pahlawan. Tapi di lain 

pihak, di mata Pangeran Sekar kau adalah pengkhia-

nat jahat!"

"Ki Dalem, mulutmu sungguh berbisa, uca-

panmu mengandung racun!"

"Kau benar benar ingin menghabisi Pangeran 

ini, Tubagus?!" Ki Dalem mengulang pertanyaannya.

Tubagus Lor Putih tak menjawab pertanyaan 

orang. Dia kembali kerahkan tenaga dalam untuk me-

lepaskan jepitan dua jari Ki Dalem Sleman yang masih 

mengancing goloknya. Kali ini tidak tanggung-

tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang 

ada.

Apa yang dilakukan sang perwira sudah dimak-

lumi oleh tokoh tua Keraton Demak yang jadi lawannya 

itu.

"Kau benar-benar mau menghabisinya, kau 

mau membunuhnya silahkan!" Ki Dalem Sleman reng-

gangkan jepitan dua jari tangannya lalu mundur satu 

langkah,

Perwira muda Tubagus Lor Putih yang berada 

dalam pengaruh hawa amarah tidak berpikir lagi, 

mengapa mendadak orang berubah pikiran. Dia lang-

sung saja tusukkan ujung golok ke leher Pangeran Se-

kar. Tak banyak darah yang muncrat dari tubuh yang 

setengah kaku dan sudah lama pingsan itu.


"Ku harap sekarang kau sudah puas, Tubagus! 

Tapi jangan harap kau akan mendapat bintang jasa 

atau kenaikan pangkat!" kata Ki

Dalem sambil menyeringai. Lalu dengan satu 

gerakan cepat orang tua ini menyambar jenazah Pan-

geran Sekar, memanggulnya di bahunya dan melang-

kah naik ke atas rakit bambu yang masih ditancapi 

tombak Kiai Sepuh Plered.

"Tunggu!" Perwira muda Tubagus Lor Putih 

berseru. Dia memberi isyarat pada pasukan. Belasan 

prajurit segera mengurung Ki Dalem Sleman yang te-

nang saja melangkah ke arah rakit bambu.

Ki Dalem Sleman injakkan dua kakinya di atas 

rakit. Tangan kirinya memegang batangan tombak. Dia 

berpaling ke arah sang perwira muda.

"Hendak kau bawa kemana jenazah Pangeran 

Sekar?!" bentak Tubagus Lor Putih.

"Kemana aku mau membawa adalah urusanku. 

Kau sudah membunuhnya. Apakah menginginkan 

mayatnya pula?!"

"Benar! Kau tidak boleh membawa mayat itu. 

Tinggalkan di sini! Mayat itu milik Kerajaan!" jawab 

Tubagus Lor Putih.

Ki Dalem Sleman menyeringai.

"Kau terlalu mengada-ada Tubagus Lor Putih. 

Adat mu sungguh buruk. Harap kau mencoba mawas 

diri. Kalau tidak perjalanan hidup masa depanmu 

akan seburuk adat yang kau miliki!"

Air muka Tubagus Lor Putih merah mengelam.

"Ki Dalem! Jika kau bersikeras hendak mem-

bawa mayat Pangeran Sekar, aku terpaksa memerin-

tahkan pasukan untuk merampas mayat itu!"

"Hemmm.... Kalau begitu silahkan kau coba!"

Mendengar kata-kata Ki Dalem Sleman, Tuba-

gus Lor Putih segera berteriak pada anggota pasukan


nya. "Kalian semua! Rampas mayat Pangeran Sekar!"

Belasan prajurit yang memang sudah mengu-

rung segera menyerbu. Tanpa mempergunakan senjata 

mereka berusaha merebut jenazah Pangeran Sekar 

yang tergeletak di pundak kiri Ki Dalem Sleman.

"Prajurit-prajurit malang! Aku tahu kalian 

hanya menjalankan perintah! Aku tak mau menurun-

kan tangan jahat pada kalian! Jangan berani mende-

kat!" Ki Dalem Sleman berucap. Dia berkata tanpa 

memandang pada prajurit-prajurit yang mendatan-

ginya tapi menatap ke jurusan Tubagus Lor Putih.

Sesaat anggota pasukan yang hendak menyer-

bu jadi bimbang. Gerakan mereka tertahan. Tubagus 

Lor Putih jadi marah. Dia membentak keras. "Lakukan 

perintahku atau kalian semua akan menerima huku-

man berat!"

Tak ada pilihan lain. Lebih dari selusin prajurit 

serta merta menyerbu.

Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam. Tan-

gan kiri dan salah satu kakinya bergerak. Lalu terden-

garlah jeritan-jeritan kesakitan. Empat prajurit mence-

lat mental, jatuh bergedebukan di tanah. Mereka men-

gerang kesakitan sambil pegangi kepala yang benjut, 

hidung yang berdarah, dada yang patah tulang iganya 

atau perut yang mau jebol. Di atas rakit Ki Dalem ma-

sih tampak tegak seolah tak bergerak dan matanya se-

perti tadi masih terus saja menatap ke arah Tubagus 

Lor Putih.

"Cabut senjata! Habisi orang tua itu!" teriak 

sang perwira muda.

Golok dan pedang dicabut keluar dari sarang-

nya. Belasan prajurit menghunus senjata. Lalu serem-

pak mereka kembali menyerbu Ki Dalem Sleman. 

Orang tua di atas rakit ini gerakkan tangan kirinya,

mencabut Tombak Kiai Sepuh Plered yang sejak tadi


ditancapkannya di bambu rakit. Lalu di udara tiba-tiba 

berkiblat sinar hitam berbentuk setengah lingkaran, 

menyapu pulang balik tiga kali berturut-turut.

Suara beradunya senjata berdentrangan. Em-

pat patahan pedang dan dua patahan golok mental ke 

udara. Lima prajurit berteriak kesakitan dan melompat 

mundur. Muka mereka seputih kain kafan ketika meli-

hat tangan, dada dan perut mereka mengucurkan da-

rah. Di sebelah kiri dua prajurit tergeletak di tanah 

dengan luka besar menguak di leher. Keduanya men-

gerang panjang lalu tak berkutik lagi.

"Tubagus Lor Putih, jika kau masih hendak 

memberi perintah yang bukan-bukan, aku tak segan-

segan membunuh semua anggota pasukanmu!"

"Ki Dalem Sleman! Apa yang kau lakukan ini 

menyatakan bahwa kau sudah menjadi pemberontak 

besar terhadap Kesultanan Demak! Aku akan mela-

porkan hal ini pada Sultan!"

"Aku ingin tertawa bergelak mendengar. kata-

katamu itu! Seharusnya aku yang akan melapor pada 

Sultan tentang kebodohan dan kegagalanmu membe-

kuk Pangeran Sekar! Kalau aku tidak membantu me-

nangkapnya apa kau kira kau bisa membunuh Pange-

ran ini? Kau tidak lebih dari anak kecil yang hari ini 

menerima berkah dariku untuk aku suapi sesendok 

bubur enak! Ha... ha... ha!"

Merah padam muka Tubagus Lor Putih men-

dengar ejekan Ki Dalem Sleman itu. Amarah membuat 

dia ingin menyerang sendiri si orang tua. Tangannya 

yang masih menggenggam hulu golok sampai bergetar 

menahan geram. Tapi dia maklum Ki Dalem Sleman 

bukan lawannya. Kalau dia nekad menyerang kakek 

sakti itu bisa merubuhkannya dalam satu gebrakan 

saja.

"Pemberontak tua! Lekas kau tinggalkan tempat


ini! Mulai hari ini kau akan menjadi orang buronan!"

Ki Dalem Sleman tersenyum. Dia memandang 

pada prajurit kepala yang tadi hendak dipancung oleh 

Tubagus Lor Putih.

"Prajurit kepala, bangkitlah! Mendekat kemari!" 

Ki Dalem Sleman berkata pada prajurit itu seraya 

memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Si prajurit 

sendiri sampai saat itu masih berlutut di tanah karena 

tadi sebenarnya dia sudah siap menerima hukuman. 

Inilah kehebatan sifat seorang prajurit Demak. Walau 

berbagai hal telah terjadi di sekitarnya di depan ma-

tanya namun sebagai orang yang hendak dihukum dia 

tidak mempergunakan kesempatan untuk menyela-

matkan diri. Bahkan sedikitpun dia tidak bergerak dari 

tempatnya semula. Namun kali ini suara ucapan Ki 

Dalem Sleman terdengar begitu berwibawa. Hingga 

prajurit kepala berkulit hitam ini bangkit berdiri dari 

berlututnya lalu melangkah mendekati Ki Dalem Sle-

man.

Si kakek pandangi prajurit itu dari kepala sam-

pai ke kaki. "Siapa namamu prajurit?"

"Saya bernama Gedeng Kemitir, Ki Dalem..."

"Gedeng Kemitir, apakah kau merasa masih ada 

gunanya bergabung dengan atasan yang hendak 

menghabisi nyawamu di kala istrimu baru satu minggu 

melahirkan? Padahal kesalahan itu semuanya adalah 

menjadi tanggung jawab atasanmu Perwira Muda ber-

nama Tubagus Lor Putih itu?"

"Ki Dalem, apa maksud ucapanmu? Jangan 

kau berani menghasut! Jaga mulutmu! Aku sudah 

memberi kebebasan padamu untuk meninggalkan 

tempat ini! Mengapa masih mau berbuat macam-

macam?!" Tubagus Lor Putih tak dapat menahan ama-

rahnya. Lupa sudah dia kalau orang tua itu bukan 

tandingannya. Golok panjang di tangan kanannya di


babatkannya ke batok kepala Ki Dalem Sleman.

Selagi senjata tajam itu terayun dari atas ke 

bawah, tangan kanan Ki Dalem Sleman bergerak lebih 

dulu, menyodok kebagian tubuh antara tulang dada 

dan deretan tulang iga di rusuk kanan sang perwira 

muda.

"Bukkk!"

Tubagus Lor Putih terlempar empat langkah, ja-

tuh duduk di tanah. Goloknya terlepas, jatuh menan-

cap di sebelahnya. Dia berusaha bangkit tapi tidak 

mampu. Tubuhnya sebelah kanan terasa sakit dan ka-

ku.

Seolah tidak terjadi apa-apa di tempat itu, Ki 

Dalem Sleman kembali bertanya pada prajurit kepala 

yang berdiri di depannya.

"Gedeng Kemitir, aku bertanya sekali lagi. Apa-

kah kau masih ingin bergabung dengan pasukan yang 

dipimpin oleh seorang atasan berpikiran sesat berjiwa 

pongah?!"

"Saya... saya tidak tahu Ki Dalem," menyahuti 

si prajurit kepala.

"Dengar ucapanku Gedeng Kemitir. Kau tak 

punya tempat lagi dalam barisan prajurit Kerajaan. Ji-

ka kau tetap bertahan nasib buruk menunggu masa 

depanmu. Sama saja kau diam di sarang harimau. 

Naik ke atas rakit ini. Ikut bersamaku. Aku akan 

memberikan beberapa ilmu kepandaian padamu. Lain 

waktu jika kau kembali ke Kotaraja, kau boleh menye-

lesaikan urusan dengan atasan yang hendak meman-

cung kepalamu itu!"

"Saya seorang prajurit Demak. Saya harus pa-

tuh pada atasan dan Kerajaan!" jawab Gedeng Kemitir.

Ki Dalem Sleman tersenyum. "Seorang prajurit 

harus patuh pada atasan. Tapi atasan yang mana? 

Bukan pada atasan yang zolim, yang hendak menghabisi mu dan bersembunyi dibalik tanggung jawabnya. 

Kesetiaanmu pada Kerajaan akan diputar balik oleh 

Perwira Muda itu. Kau hanya akan dijadikan tumbal 

kesalahannya untuk melindungi dirinya sendiri di ha-

dapan Sultan!"

"Ki Dalem! Kau benar-benar penghasut jahat! 

Busuk!" teriak Tubagus Lor Putih. Lalu dia berteriak 

pada prajurit kepala. "Lekas kembali ke tempatmu dan 

berlutut!"

Gedeng Kemitir memandang pada Ki Dalem 

Sleman lalu berpaling menatap atasannya sang perwi-

ra, muda. Akhirnya prajurit kepala ini gerakkan ka-

kinya melangkah. Bukan ke arah Tubagus Lor Putih, 

tapi naik ke atas rakit, tegak di belakang Ki Dalem 

Sleman.

Si orang tua tertawa mengekeh. "Tubagus Lor 

Putih, kau dan semua yang ada di sini melihat sendiri 

apa yang terjadi. Prajurit Kepala bawahan mu telah 

menjatuhkan pilihan. Dia ikut denganku! Kelak di ke-

mudian hari apa yang telah kau perbuat terhadapnya 

akan kau terima balasannya langsung dari dirinya 

sendiri!"

"Tua bangka jahanam! Sultan akan menghu-

kum mu!" Tubagus Lor Putih berusaha bangkit tapi dia 

mengerang kesakitan dan jatuh terduduk kembali di 

tanah. Di atas rakit Ki Dalem Sleman pegang Tombak 

Kiai Sepuh Plered dengan tangan kirinya. Kaki kanan-

nya dijejakkan ke tanah. Debu mengepul. Rakit bambu 

itu melesat ke atas, melayang berputar lalu menukik 

ke arah tengah sungai. Tak lama kemudian rakit dan 

penumpang di atasnya meluncur ke hilir mengikuti ali-

ran arus yang masih deras.

***

BERSAMBUNG KE BAGIAN - 4


--------------------------------------------------


KUNGFU SABLENG

EPISODE OH-SE GONG WADAM

(WADAM SINTING 

PENGACAU DUNIA)

***

SATU


DI DALAM gelap, orang bertubuh pendek hitam 

itu hampir tidak terlihat. Apalagi dia mengenakan pa-

kaian serba hitam dan berdiri di bawah bayang-bayang 

satu pohon besar. Sambil mengusap dagunya yang di-

tumbuhi bisul-bisul besar karena alergi akibat terlalu 

banyak makan udang rebus, dia menatap ke depan, ke 

arah sebuah gedung besar dan mewah.

"Jadi ini gedung kediaman Cong Wangwe (Har-

tawan Cong) yang kesohor itu. Menurut keterangan 

yang aku dapat. Go Bang An, salah seorang murid Oh-

se Gong Wadam alias Wa-dam Sinting Pengacau Dunia 

bekerja di sini. Jika aku bisa memancing si Gobangan 

itu keluar dari sarangnya, mungkin sekali aku bisa 

mengetahui dimana beradanya Oh-se Gong Wadam."

Selagi dia berpikir-pikir mencari akal mendadak 

orang di bawah pohon itu merasakan perutnya mulas. 

"Celaka! Mungkin ini gara-gara terlalu banyak makan 

bakpau basi!" Saking tidak tahannya, orang ini dodor-

kan celananya lalu mendekam di dekat tembok gedung 

yang gelap. Baru sempat mengedan satu kali tiba-tiba 

ada suara gonggongan anjing. Sesaat kemudian seorang bertubuh tinggi besar, berewokan dan kumis me-

lintang muncul. Sambil menghunus pedang orang ini 

membentak. Sebagai pengawal cabang atas dia sudah 

terlatih dalam hal penciuman (bukan berciuman) Segi-

tu bau sedap menembus liang hidungnya dia segera 

mengetahui sedang apa si pendek hitam di dekat tem-

bok itu.

"Aku Go Bang An! Pengawal Kepala gedung ke-

diaman Cong Wangwe! Monyet dari gunung mana be-

rani mati buang air besar di depan gedung Cong 

Wangwe!"

Orang yang jongkok dalam gelap cepat rapikan 

celananya dan berdiri terbungkuk-bungkuk. Bukan 

menghormat sang Kepala Pengawal gedung tapi mak-

lum masih ngepet alias belum cebok.

"Pengawal, Ose jangan salah sangka. Torang 

bukannya buang air besar tapi cuma berak sadikit. 

Kebelet mules!"

"Jangkrik! Berak itu masih keponakannya 

buang air besar tau?!"

"Kalau begitu maafkan torang. Torang trada ta-

hu kalau ini Cong Wangwe pe rumah."

"Eh?!" Go Bang An kerenyitkan kening dan de-

likkan mata. Dia baru sadar. "Manusia hitam pendek 

dan jelek! Tampang dan bentuk tubuhmu jelas bukan 

orang sini! Logat bicaramu apalagi! Siapa kau sebenar-

nya?! Mungkin makhluk jejadian yang kesasar malam 

hari, mau berbuat jahat di gedung Cong Wangwe!"

"Ah, ose pe mata dan talinga tajam sekali! To-

rang memang bukan orang sini. Tapi torang bukan 

makhluk jejadian bangsa jin atawa dedemit! Torang da-

tang dari jau. Naek prau. Kerdampar di Tionggoan ini. 

Torang pe nama Pati Raja Lo Ngok!" (Tionggoan = Dara-

tan Tiongkok).

"Pati Raja Lo Ngok! Mama aneh! Tapi cocok


dengan kulitmu yang hitam seperti pantat kuali! Ha... 

ha... ha!" Go Bang An hentikan tawanya. Lalu berkacak 

pinggang. Sambil melintangkan golok di depan dada 

dia berkata.

"Tikus gosong! Untuk kekurang ajaran mu be-

rani buang air di depan gedung Cong Wangwe kau ha-

rus didenda setengah tail perak! Atau kau tinggalkan 

salah satu daun telingamu di sini! Boleh pilih! Ha... 

ha!"

Mendengar ancaman sadis itu orang mengaku 

bernama Pati Raja Lo Ngok jadi mengkeret nyalinya. 

Lengkap dengan dua daun telinga saja tampangnya 

sudah begitu jelek. Apa lagi kalau sempat dia harus 

menyerahkan salah satu daun telinganya! Dari dalam 

saku bajunya dia segera keluarkan satu tail perak. "To-

rang tra sangka ose bisa ba pungli jua!" kata Pati Raja

Lo Ngok. "Ini satu tail Kembalikan setengah tail!"

Go Bang An meraba-raba saku pakaiannya. Dia 

tidak punya kembalian setengah tail. Sesaat dia agak 

bingung. Tapi otaknya segera jalan dan mulutnya enak 

saja berucap. "Aku tak ada kembalian setengah tail. 

Sudah, begini saja. Situ buang air saja sekali lagi. Jadi 

pas! Tidak perlu kembalian setengah tail!"

"Pemeras kecil brengsek!" maki Pati Raja Lo 

Ngok.

"Kurang ajar! Kau berani menghina. Siapa bi-

lang barang sex-ku kecil! Apa situ pernah lihat?!" Go 

Bang An marah besar akibat salah mengerti.

"Majikannya Cong Ngek. Pengawalnya To Rek!" 

Pati Raja Lo Ngok mendumal lalu tinggalkan tempat itu 

dalam keadaan ngepet alias belum cebok!

Keesokan paginya peristiwa malam itu dicerita-

kan Go Bang An pada kawan-kawan nya sesama pen-

gawal. Salah seorang diantara mereka yang bernama 

Tong Bo Khek lantas membisikkan sesuatu pada GoBang An. Go Bang An menyeringai. "Kau betul. Kalau 

begitu mari kita cari dia. Tidak sulit menemukan orang 

asing di kota ini. Apa lagi orang pendek hitam! Ha... 

ha... ha!"

Sebenarnya bukan rahasia lagi. Go Bang An 

dan Tong Bo Khek serta dua kawannya yang bekerja 

sebagai pengawal di gedung kediaman Cong Wangwe 

adalah Juga orang-orang yang menyalah gunakan ke-

kuasaan. Mereka diketahui adalah sebagai kelompok 

empat tukang peras.

***

DUA


HOTEL Hill Tong yang ada di pusat kota meru-

pakan hotel paling besar dan mewah di daratan Tiong-

goan pada masa itu. Pati Raja Lo Ngok menginap di se-

buah kamar di tingkat dua. Saat itu dia tengah asyik 

bersenang-senang dengan seorang gadis panggilan ke-

las atas yang dikenal dengan nama Nio Ling Lung.

Sedang asyik-asyiknya dua makhluk di dalam 

kamar, tiba-tiba pintu didobrak dan empat orang me-

lompat masuk ke dalam. Mereka bukan lain adalah Go 

Bang An, Tong Bo Khek dan dua kawannya.

Nio Ling Lung terpekik kaget. Cepat-cepat dia 

menyusup sembunyi di balik seperai. Sedang Pati Raja 

Lo Ngok yang marah besar lupa diri, langsung saja me-

lompat dari ranjang dalam keadaan berbugil ria.

"Pemeras sialan! Ose lagi rupanya! Ose berani 

masuk kamar orang! Ose mau bikin apa?! Lekas ke-

luar! Atau torang panggil keamanan hotel!"

"Aha! Loya! Tenang! Tenang...." kata Go Bang 

An menyeringai, (Loya = Tuan besar) Dia dan kawan


kawannya merasa lucu melihat sosok Pati Raja Lo 

Ngok yang berdiri marah tanpa pakaian seperti itu. Pa-

ti Raja Lo Ngok rupanya sadar juga dan cepat-cepat 

menyambar selimut untuk ditutupi ke badannya. "Ka-

mi mau bicara sikitlah sama loya!" kata Go Bang An 

sambil kedipkan matanya pada sobatnya yang berna-

ma Tong Bo Khek.

"Setan! Torang seng ada waktu bicara dengan 

kalian!" (seng = tidak)

"Tenang loya. Seng ada atau seng atap harap 

suka dengar dulu!" kata Go Bang An. "Kami mendapat 

perintah melakukan pengusutan. Sebagai orang asing 

loya dituduh mengedarkan uang perak palsu. Satu tail 

perak yang Soya ada kasih tadi malam ternyata palsu. 

Luarnya memang perak tapi dalamnya timah! Loya ter-

paksa kami bawa ke kantor pos. Maaf, maksudku ke 

kantor polisi!"

Pati Raja Lo Ngok kelihatan kaget. Sesaat ke-

mudian mukanya jadi pucat. "Mana torang tahu kalau 

uang satu tail itu palsu!"

Tong Bo Khek melangkah mendekati Pati Raja 

Lo Ngok lalu menepuk-nepuk bahu si pendek hitam. 

"Loya kulit hitam. Kami tahu loya orang baik. Kami ti-

dak mau bikin loya jadi susah. Bagaimana kalau kita 

atur damai saja. Semua bisa diatur di Tionggoan ini. 

Loya senang kami gembira. Pembeli dan penjual sama-

sama untung! Hay yaaa!"

Go Bang An ikut menimbrungi ucapan teman-

nya. "Jangan khawatir loya Pati Raja Lo Ngok. Kami ti-

dak akan melakukan pengusutan. Apalagi membawa 

loya ke kantor polisi. Asal loya tau sama tau semua 

pasti beres!"

"Bilang saja, ose semua maunya apa?!" tanya 

Pati Raja Lo Ngok.

Go Bang An menyeringai. "Kami cuma butuh


lima puluh tail perak! Begitu menerima, kami segera 

tinggalkan kamar ini. Loya bisa senang-senang lagi 

dengan nona cantik di balik seperai itu! Ha... ha... ha!"

Pati Raja Lo Ngok agaknya tidak mau mencari 

kesulitan. Dari dalam lemari hotel diambilnya sebuah 

kantong kain lalu diserahkan pada Go Bang An. "Ini 

ambil for ose! Di dalamnya ada lebih dari lima puluh 

tail perak!"

Go Bang An segera sambar kantong kain itu. 

Tapi Tong Bo Khek cepat pegang tangan temannya itu 

seraya berkata. "Tunggu dulu. Kita periksa dulu isi 

kantong ini!" Lalu Tong Bo Khek membuka tali ikatan 

kantong. Begitu kantong terbuka isinya ternyata bu-

kan uang perak melainkan gundu alias kelereng! Tong 

Bo Khek langsung lemparkan kelereng itu ke lantai. Go 

Bang An dan dua kawannya meradang marah.

"Loya keparat! Berani menipu!" Serentak Go 

Bang An melompat menyergap Pati Raja Lo Ngok. Tong 

Bo Khek ikut hantamkan serangan. Dua orang lainnya 

juga tak tinggal diam. Perkelahian satu lawan empat 

segera berkecamuk di dalam kamar sementara Nio Ling 

Lung terpekik-pekik ketakutan.

Go Bang An dan kawan-kawannya tidak pernah 

mengetahui siapa sebenarnya si pendek hitam yang 

mereka keroyok ini. Setelah dua jurus menggempur 

dengan tangan kosong tanpa hasil, Go Bang An mem-

beri isyarat. Kelompok empat pemeras segera cabut go-

lok masing-masing kembali Nio Ling Lung menjerit-jerit 

ketakutan.

Sebaliknya Pati Raja Lo Ngok kelihatan tenang 

saja. Dengan satu gerakan enteng dia melompat ke 

atas ranjang. Begitu empat golok menderu ke arahnya, 

si pendek hitam ini berkelebat laksana angin. Terden-

gar suara bak-buk-bak-buk berulang kali dibarengi 

suara jeritan Go Bang An dan kawan-kawannya.


Sesaat kemudian empat penyerang sudah ber-

geletak di lantai. Go Bang An bocor keningnya. Tong 

Bo Khek kucurkan darah dari mata kirinya yang me-

lembung bengkak. Dua orang lagi melingkar sambil 

mengerang karena tulang hidung patah dan bibirnya 

pecah!

Go Bang An dan dua kawannya merangkak ke 

pintu. Tong Bo Khek rupanya masih penasaran. Sam-

bil tekap matanya yang bocor dia bangkit berdiri, me-

nyambar golok di lantai lalu kembali menyerang Pati 

Raja Lo Ngok. Dia menyerang dengan jurus bernama 

"Kuda hamil merangkul pejantan." Yang diserang ber-

kelit ke kiri lalu kaki kanannya bergerak.

"Bukkk!"

Tong Bo Khek meraung setinggi langit. Golok-

nya mental. Tubuhnya terlempar ke luar pintu kamar. 

Megap-megap dia berusaha bangun tapi rubuh lagi. 

Kawan-kawannya segera menolong.

"Apamu yang kena?!" tanya Go Bang An.

"Torpedo ku.... Monyet hitam itu menendang 

torpedo ku!" jawab Tong Bo Khek lalu lidahnya terjulur 

dan matanya mencelet. Pingsan!

***

TIGA 


SORE itu Pati Raja Lo Ngok baru saja selesai 

mandi. Sambil bersiul-siul menyanyikan lagu O U La 

The dia berganti pakaian. Baru selesai mengenakan 

pakaian yakni sehelai baju hitam dan sehelai kain sa-

rung, tiba-tiba ada orang mengetuk pintu. Yang datang 

ternyata adalah seorang pelayan. Mukanya pucat dan 

nafasnya memburu.


"Celaka tayjin! Celaka!" (Tayjin = tuan be-

sar/orang kaya)

"Tahi jin?! Ose bilang torang tahi jin?!" Pati Raja 

Lo Ngok pelototkan mata dan membentak marah.

Si pelayan gelengkan kepala. "Celaka, celaka 

tuan besar..."

"Eh, ose ini gila atau bagaimana? Apa yang ce-

laka?!"

"Mereka datang! Go Bang An dan tiga kawan-

nya. Tapi mereka bukan cuma berempat. Go Bang An 

membawa serta gurunya yang bernama Oh-se Gong 

Wa-dam alias Wadam

Sinting Pengacau Dunia. Dan Wadam ini mem-

bawa pula empat orang anak muridnya!"

Si pelayan terheran-heran ketika melihat Pati 

Raja Lo Ngok bukannya terkejut mendengar keteran-

gannya tapi malah tersenyum.

"Pelayan, bagus ose sudah memberitahu. To-

rang sebenarnya memang sudah lama mencari Oh-se 

Gong Wa-dam. Ternyata torang pe pancingan berhasil. 

Oh-se Gong Wa-dam akhirnya keluar juga dari sarang-

nya!"

Pati Raja Lo Ngok lalu melangkah ke jendela. Di 

halaman bawah sana dia melihat Go Bang An dan 

Tong Bo Khek serta dua kawannya. Keempatnya berte-

riak-teriak sambil acungkan golok dan memandang ke 

arah jendela kamar Pati Raja Lo Ngok. Di dekat mereka 

berdiri empat pemuda berpakaian serba kuning. Ram-

but dikuncir dan lucunya muka mereka dipoles bedak 

dan gincu tebal!

Agak ke depan dari barisan delapan orang itu 

berdiri seorang tinggi besar berpakaian dan berdandan 

aneh. Di sebelah atas orang ini mengenakan baju 

kembang-kembang. Rambut dipotong pendek alias 

yongen. Muka di pupur bedak tebal seperti dempul.


Bibir dicat merah mencorong dan alis tebal sehitam 

arang. Pada daun telinganya mencantel anting-anting 

bundar besar. Di sebelah bawah orang ini mengenakan 

rok model pendek sekali, berkaos kaki merah dan me-

makai sepatu lars! Inilah dia Oh-se Gong Wadam alias 

Wadam Sinting Pengacau Dunia.

"Pati Raja Lo Ngok! Jangan sembunyi di dalam. 

kamar! Lekas keluar menerima hukuman!" Go Bang An 

berteriak sambil acung-acungkan goloknya. Sementara 

Oh-se Gong Wa-dam tegak rangkapkan tangan di atas 

dada. Saat itu orang banyak mulai berkerumun di ha-

laman hotel Hill Tong.

Pati Raja Lo Ngok kencangkan sarungnya, ke-

nakan kain hitam pengikat kepala lalu keluar dari ka-

mar. Begitu turun ke halaman dia segera melangkah 

ke tempat Go Bang An dan Kawan-kawannya dan ber-

diri empat langkah di hadapan Oh-se Gong Wa-dam. 

Sesaat dua orang itu saling beradu pandang. Lalu Wa-

dam Sinting Pengacau Dunia sunggingkan senyum si-

nis dan membuka mulut.

"Pati Raja Lo Ngok! Lama tak bertemu ternyata 

kau masih jelek-jelek saja seperti dulu. Hik... hik! Aku 

sudah tahu apa tujuanmu muncul di kota ini. Ru-

panya kau kurang menyadari tingginya gunung Thay-

san. Jauh-jauh kau datang ke Tionggoan hanya untuk 

mencari mati! Sungguh satu kesia-siaan tolol!"

Pati Raja Lo Ngok balas menyeringai. "Ose kira 

dengan kabur ke Tionggoan ini bisa menyelamatkan 

dirimu dari pembalasan hukuman? Ose membunuh 

sahabatku Madame Du Lepet, Ketua Persatuan Wadam 

Taman Lawang. Torang datang untuk menjemput mu. 

Ose akan diadili di negeri asalmu. Tapi jika ose berani 

membangkang, maka terpaksa ose pe nyawa dihabisi 

di tempat ini juga!"

Wadam Sinting Pengacau Dunia tertawa gelak


gelak. "Pati Raja Lo Ngok, ternyata kesombonganmu ti-

dak berubah sejak dulu! Seharusnya kepalamu ku pi-

sahkan dengan badan saat ini juga! Tapi lama-lama 

kulihat kau kelihatan antik juga. Akhir-akhir ini aku 

suka barang antik. Dengar Raja Lo Ngok, aku akan 

ampuni selembar nyawamu. Tapi syaratnya kau suka 

ikut aku ke tempat kediamanku dan melayani diriku 

sebagai seorang istri!"

Tampang hitam Pati Raja Lo Ngok jadi menghi-

tam legam. "Wadam Sinting buronan dari Taman La-

wang! Kau juga tidak berubah. Seumur-umur hidup 

kacau balau tak karuan. Ajakanmu menarik juga! Tapi 

ose lupa! Tuan besarmu ini tidak suka main wadam. 

Perawan dan janda saja bertaburan di delapan penjuru 

angin. Masakan torang mau bersuka-suka dengan wa-

dam rongsokan macam ose begini!?! Ha... ha... ha!"

Marahlah Oh-se Gong Wa-dam mendengar 

penghinaan itu. Apa lagi di hadapan sekian banyak 

mata, termasuk murid-muridnya sendiri. Dia maju sa-

tu langkah tapi Tong Bo Khek dan Go Bang An serta 

empat muridnya yang berpakaian kuning segera men-

cegah,

"Suhu, biar kami yang membereskan monyet 

hitam ini!"

Oh-se Gong Wa-dam gelengkan kepala. Ma-

tanya tak berkesip. "Urusan ini aku yang harus menye-

lesaikan. Monyet hitam ini sejak aku masih di Taman 

Lawang sudah bikin susah diriku!"

Tangan kanan Wadam Sinting Pengacau Dunia 

bergerak ke balik dada pakaiannya. Semula semua 

orang mengira dia akan mengeluarkan senjata berupa 

golok atau pedang. Tapi yang kemudian tergenggam di 

tangannya ternyata adalah sebuah BH alias kutang 

ukuran 42 B-Cup. Wadam Sinting Pengacau Dunia 

maju lagi satu langkah. Kali ini sambil putar-putar BH


di tangannya. Begitu hebatnya hingga mengeluarkan 

suara menderu bersiuran. Debu dan kerikil beterban-

gan. Daun-daun pepohonan berguguran. Ranting-

ranting ada yang berpatahan. Dan BH itu terus mende-

ru menebar bau aneh seperti bau minyak rem yang 

sudah apak!

"Pati Raja Lo Ngok! Diberi susu kau minta ra-

cun! Biar kepalamu kuhancurkan dengan penutup su-

su ini!"

"Wuuttt!"

BH di tangan Wadam Sinting Pengacau Dunia 

menghantam ke arah batok kepala Pati Raja Lo Ngok. 

Yang diserang cepat merunduk. Tapi secara aneh 

ujung BH membalik dan breett! Dada pakaian Pati Ra-

ja Lo Ngok robek besar. Orang ini cepat melompat den-

gan wajah berubah. Wadam Sinting Pengacau Dunia 

tertawa bergelak.

"Kini baru kau sadar kalau kau tak bakal bisa 

kembali ke kampung halamanmu! Hik... hik... hik!"

"Wadam sinting! Jangan bicara takabur! Lihat 

serangan!" teriak Pati Raja Lo Ngok. Lalu tubuhnya 

melesat ke atas. Sambil melompat tangannya menyeli-

nap ke balik sarung. Sesaat kemudian ketika tangan 

itu keluar dari sarung kelihatan dia memegang celana 

kolornya yang dekil butut. Begitu celana itu dike-

butkan di udara, angin laksana badai menggebu dan 

bau tidak sedap menyesakkan pernafasan. Go Bang An 

dan Tong Bo Khek serta dua kawannya, juga empat 

murid Oh-se Gong Wa-dam terhuyung-huyung lalu ja-

tuh bergedebukan di tanah. Hanya Oh-se Gong Wa-

dam sendiri yang masih tegak di tempatnya pertanda 

dia memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.

Di halaman Hotel Hill Tong segera berkecamuk 

pertempuran seru jadi tontonan yang mengasyikkan 

dan aneh karena masing-masing yang berkelahi memegang senjata aneh. Satu selembar BH ukuran 42, 

satunya lagi sehelai kolor dekil.

Bagaimanapun tingginya ilmu silat Oh-se Gong 

Wa-dam ternyata masih berada di bawah tingkat ke-

pandaian Pati Raja Lo Ngok. Setelah saling baku han-

tam selama dua puluh jurus, pada jurus ke dua puluh 

satu Pati Raja Lo Ngok berhasil menyekap dan mema-

sukkan kolornya ke kepala lawan. Oh-se Gong Wadam 

kelabakan, tak bisa bernafas dan tubuhnya menjadi 

lemas mencium bau kolor yang aneh itu. Sebelum wa-

dam bersepatu lars itu rubuh ke tanah, Pati Raja Lo 

Ngok cepat menotok tubuhnya hingga sang wadam be-

nar-benar dibuat tidak berdaya. Melihat kejadian ini 

Go Bang An dan kawan-kawan serta empat murid Oh-

se Gong Wa-dam segera jatuhkan diri berlutut tanda 

menyerah.

Pati Raja Lo Ngok angkat kolornya dari kepala 

Oh-se Gong Wadam. Lalu tenang saja di hadapan begi-

tu banyak orang dia kenakan kolor dekil itu kembali.



                              TAMAT




































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive