..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 28 November 2024

MAHESA KELUD EPISODE DELAPAN SURAT KEMATIAN

DELAPAN SURAT KEMATIAN

 SATU


REMBULAN di angkasa serta merta lenyap 

dari pemandangan begitu kelompok awan gelap 

tebal menutupinya. Malam menjadi semakin ge-

lap, udara tambah dingin, demikian dinginnya 

sehingga terasa sampai menyusup ke tulang-

tulang sum-sum. Awan gelap makin banyak, lan-

git makin menggelap sedang tiupan angin tambah 

keras. Panji Ireng hampir-hampir tak dapat meli-

hat jalan yang ditempuhnya. Beberapa kali ka-

kinya terserandung. Setiap kali terserandung se-

tiap kali pemuda tanggung ini memaki dalam ha-

tinya. Dia mempercepat langkah karena tahu 

bahwa kampungnya masih jauh dan masih harus 

menyeberangi Kali Brantas di samping itu hari 

hendak hujan pula.

Panji Ireng seorang pemuda tanggung be-

rumur enam belas tahun. Jika melihat kepada pe-

rawakan badannya agaknya tak seorang pun 

akan percaya bahwa dia baru berumur sekian. 

Bagaimana tidak, tubuhnya tinggi kekar. Otot-

ototnya kuat. Rambutnya hitam sedikit berombak 

dan tebal. Di bawah kedua alis matanya terdapat 

sepasang mata yang tajam. Hidungnya tinggi se-

dang bibirnya tipis panjang. Bibir yang tipis pan-

jang ini serta mata yang tajam cukup memberikan 

gambaran bahwa Panji Ireng seorang yang berhati 

keras. Panji seorang anak petani miskin di kam-

pung Sariwangi yang terletak di seberang timur


Kali Brantas. Malam itu dia habis melihat pertun-

jukan wayang kulit di desa tetangga. Panji Ireng 

memang seorang paling suka pada pertunjukan 

seperti itu. Walau di mana pun tempatnya, walau 

bagaimanapun jauhnya, tapi bila mendengar ada 

wayang maka dia pasti akan pergi ke sana. Apala-

gi kalau diketahuinya cerita wayang bagus serta 

Ki Dalang yang membawakannya Ki Dalang ke-

sayangannya, biar sakit biar udara buruk, dia 

pasti pergi juga.

Tapi yang sekali itu, entah mengapa sele-

watnya tengah malam Panji Ireng merasa ma-

tanya sangat mengantuk. Hatinya tidak enak dan 

ingatannya selalu kepada pulang. Ketika dia me-

mandang ke langit dilihatnya awan gelap berke-

lompok-kelompok tanda hari akan hujan. Panji 

Ireng menguap dan mulai berpikir-pikir untuk 

pulang. Tapi dia ingat akan pantangan bagi seo-

rang yang menonton pertunjukan wayang yaitu 

bila hendak pulang harus sebelum tepat tengah 

malam. Bila pulang sesudah tengah malam pasti 

orang yang pulang itu akan mengalami apa-apa 

yang tidak baik di tengah jalan. Hati pemuda itu 

menjadi bimbang. Pulang atau tidak? Kakinya te-

rasa pegal, mata memberat dan dia menguap lagi 

untuk kesekian kalinya. Akhirnya tarikan pulang 

tak bisa ditahannya. Panji Ireng menyeruak di an-

tara orang banyak dan meninggalkan tempat per-

tunjukan.

Pada saat dia mencapai kali, kilat yang per-

tama menyambar disusul oleh suara gelegar guruh seperti hendak memecahkan anak telinga. 

Angin kencangnya bukan main tak ubahnya se-

perti suara ratusan seruling yang ditiup secara 

bersamaan. Guruh menggelegar lagi tanpa dida-

hului oleh kilat, membuat Panji Ireng jadi terkejut 

sehingga bulu tengkuknya merinding. Di dalam 

kegelapannya malam, diantara gemuruh suara 

guruh dan kilat petir yang sambung-menyambung 

pemuda itu menyusuri tepi kali, mencari rakit pe-

nyeberang. Di Kali Brantas, dalam jarak-jarak ter-

tentu biasanya terdapat rakit-rakit untuk menye-

berang.

Panji Ireng sampai ke bagian kali di mana 

tertambat sebuah rakit kecil. Dia meluncur di teb-

ing kali dan naik ke atas rakit. Pada saat kakinya 

menginjak bambu-bambu rakit tersebut barulah 

diketahuinya betapa derasnya arus air kali saat 

itu. Kakinya bergetar. Dengan susah payah dile-

paskannya tali tambatan rakit. Rakit bergoyang 

keras dilanda arus sungai. Sementara itu seperti 

dicurahkan dari langit layaknya hujan pun mulai 

turun sangat lebatnya. Dalam beberapa detik saja 

seluruh pakaian dan tubuh Panji Ireng sudah ba-

sah kuyup.

Pemuda ini menggigil kedinginan. Dipe-

gangnya tali rakit penyeberang yang menghu-

bungkan tepi kali dengan tepi lainnya. Diantara 

gemuruh suara guntur dan kilapan kilat yang 

menyambar, di bawah hujan lebat, dalam kea-

daan arus sungai mengamuk gila maka Panji 

Ireng mulai menarik tali penghubung. Dalam


keadaan seperti itu sukar bagi rakitnya untuk bi-

sa bergerak ke seberang. Beberapa lamanya rakit 

tersebut berputar-putar dan dihempas-

hempaskan arus. Sebelum mencapai pertengahan 

kali tali pengikat rakit dengan tali penghubung 

putus!

"Celaka!" kata Panji Ireng dalam hatinya. 

Arus sungai melanda dengan deras membuat ra-

kit di mana dia berada berputar miring. Pemuda 

itu terpelanting dan jatuh terguling. Untung dia 

masih sempat memegang tepi rakit, kalau tidak 

pasti tubuhnya tenggelam ke dasar sungai di te-

lan arus yang mengamuk hebat. Panji Ireng ber-

pegang seerat-eratnya pada bambu itu sementara 

arus membanting-banting dan melemparkan rakit 

kian kemari. Panji merasakan urat-urat dan otot-

otot tubuhnya menjadi kaku mengejang. Tena-

ganya semakin berkurang. Pegangannya pada 

bambu rakit sudah tidak berarti lagi. Akhirnya 

ketika satu arus keras memukul rakit, Panji Ireng 

tak punya daya lagi. Pegangannya terlepas. Tu-

buhnya dipermainkan arus beberapa saat la-

manya. Panji menggapai-gapaikan kedua tangan-

nya ke atas dan berteriak minta tolong. Berbuat 

demikian membuat tubuhnya cepat tenggelam di-

telan air sungai dan lagi pula kepada siapa dia 

akan minta tolong dimalam buta begitu?

Ujung bambu rakit yang berputar-putar 

membentur kepala Panji Ireng. Tak ampun lagi 

pemuda ini segera tak sadarkan diri. Tubuhnya 

mulai tenggelam dan sedetik lagi niscaya segera


hilang dari permukaan air. Namun pada detik te-

gang yang menentukan ini pulalah dari seberang 

kali meloncat melesat sesosok tubuh yang tak da-

pat dikenal siapa adanya karena malam begitu ge-

lap dan hujan begitu lebat menghalangi peman-

dangan. Begitu kedua kakinya menjejak rakit 

orang ini segera mengulurkan tangan menjangkau 

dan mencekal tengkuk pakaian Panji Ireng. Den-

gan satu lompatan yang sangat enteng kemudian 

dia membawa tubuh Panji Ireng ke seberang sun-

gai!

Melihat bagaimana cara dan kecepatan me-

lompatnya manusia ini, melihat bagaimana dia 

kemudian membawa Panji Ireng ke tepi sungai 

dengan satu tangan dan tangan kiri pula, maka 

siapa pun adanya manusia itu sudah dapat kita 

ambil kepastian bahwa dia bukan manusia sem-

barangan, tapi manusia yang punya ilmu tinggi 

sekali!


DUA


PANJI Ireng mulai sadarkan diri. Perlahan-

lahan dibukanya kedua matanya. Ternyata saat 

itu tubuhnya terbaring menelungkup. Dengan 

memutarkan kedua bola matanya dia coba me-

mandang berkeliling. Tanah di mana dia terbujur 

dan tanah di sekelilingnya basah dan becek. Ba-

nyak semak belukar serta pepohonan. Kemudian 

disadarinya bahwa saat itu dia berada di tepi


sungai, di tepi Kali Brantas. Pemuda ini menjadi 

keheran-heranan sendiri memikirkan bagaimana 

dia bisa sampai berada di situ, dalam keadaan 

basah kuyup dan di malam yang dingin serta ge-

lap menggidikkan.

Dicobanya mengingat-ingat. Malam itu dia 

pulang menonton wayang golek di desa tetangga... 

lalu hari hujan... dia naik rakit menyeberangi 

sungai... tali rakit putus... dia terpelanting jatuh... 

kemudian mental ke dalam air... sesudah itu 

bambu rakit membentur kepalanya membuat dia 

tidak ingat apa-apa lagi. Lalu mengapa dia kini 

bisa berada terbaring dalam keadaan seperti itu di 

tepi sungai? Tak bisa dimengertinya. Mungkin 

arus sungai telah melemparkannya ke tebing itu? 

Tidak bisa jadi, pikir Panji Ireng. Atau mungkin 

ada seseorang yang telah menolongnya? Ini juga 

suatu hal yang mustahil karena siapa pula manu-

sianya yang malam-malam seperti itu akan bera-

da di sekitar sungai. Kalau pun ada juga mustahil 

dia bisa menolong. Barangkali... barangkali peng-

huni sungai yang telah menolongnya? Setan iblis 

jin dedemit?! Meskipun udara dingin dan tubuh-

nya basah kuyup tapi tak urung bulu tengkuk 

pemuda ini menjadi merinding!

Berpikir-pikir dan mengingat-ingat itu 

membuat kepalanya menjadi sakit berdenyut-

denyut, terutama di bagian yang luka kena bentu-

ran rakit. Sementara itu seperti orang mendengar 

suara petir di liang telinganya maka demikianlah 

terkejutnya pemuda ini ketika mendadak sontak


dia mendengar satu suara halus tapi nyaring di 

sampingnya.

"Bagus... bagus! Kau sudah siuman Panji? 

Bagus! Bangkitlah dan duduk!"

Demikian halusnya suara yang tak dikenal 

ini, Panji Ireng tak dapat memastikan apakah itu 

suara orang laki-laki atau suara perempuan. Di 

samping rasa takut yang semakin mencekam Pan-

ji Ireng juga kepingin tahu. Ia putar kepalanya 

dengan perlahan. Pandangannya membentur se-

pasang kaki yang memakai gelang akar bahar. 

Kaki ini penuh dengan bulu-bulu kasar. Pandan-

gannya naik ke atas dan mengetahui bahwa orang 

yang berdiri di sampingnya itu hanya memakai 

sehelai celana hitam sebatas dengkul. Dadanya 

terbuka jelas dapat dilihat tulang-tulang iganya 

bertonjolan tanda bahwa orang itu berperawakan 

kurus. Akhirnya pandangan Panji Ireng mencapai 

muka orang tersebut.

Tubuh pemuda belasan tahun itu jadi 

menggigil. Bukan karena dinginnya udara malam 

atau basah kuyupnya baju melainkan karena 

kengerian yang tak bisa dilukiskan ketika dia me-

lihat wajah itu. Manusia tak dikenal bertubuh ku-

rus ini bertampang luar biasa menyeramkan. Te-

linganya yang ada cuma sebelah kiri sedang yang 

kanan licin sumpung. Hidungnya sangat besar 

tapi pesek. Mulutnya kecil runcing, jadi tambah 

runcing karena kedua pipinya yang cekung. 

Orang ini tidak berkumis tapi memiliki janggut 

tebal hitam sampai ke dada. Mukanya penuh


dengan kerenyut-kerenyut. Namun apa yang pal-

ing menyeramkan dari tampang manusia ini ada-

lah kedua matanya.

Matanya cuma satu yaitu yang sebelah ka-

nan, besar melotot serta berwarna merah. Dalam 

gelapnya malam Panji Ireng dapat melihat bagai-

mana mata yang satu itu memandang menyorot 

kepadanya menyala laksana bara api. Berlainan 

dengan mata kanan ini maka mata kiri orang itu 

cuma merupakan satu rongga yang besar dan ge-

lap hitam menggidikkan. Rambutnya gondrong 

awut-awutan.

"Ya Tuhan... tolong hamba Mu ini..." kata 

Panji Ireng dalam hati. Kengeriannya tiada terpe-

rikan. Dia hendak bangkit dan lari tapi tubuhnya 

terasa lemah lunglai seakan-akan dia tidak punya 

tulang-tulang lagi saat itu.

"Celaka! Mati aku... pasti ini setan peng-

huni sungai! Pasti aku dicekiknya! Tuhan sela-

matkan aku...."

Panji Ireng merasakan tanah di mana dia 

terbujur menjadi bergetar ketika dia dengar suara 

manusia bermuka setan itu berkata dengan keras 

dan tinggi "Panji Ireng, bangun kataku!"

Diantara kengeriannya pemuda itu tak ha-

bis mengerti bagaimana manusia di hadapannya 

itu bisa tahu namanya.

"Panji Ireng!" bentak si muka setan ketika 

melihat pemuda tersebut masih saja berbaring 

menelungkup di tanah. Panji hendak berteriak 

minta tolong tapi tenggorokannya seperti tersumbat dan lidahnya terasa kelu membatu. Orang di 

hadapannya dilihatnya menggeserkan kaki ka-

nannya. Sedetik kemudian Panji Ireng merasa 

adanya sesuatu kekuatan masuk ke dalam tu-

buhnya. Mula-mula tubuhnya terasa panas. Lalu 

denyutan sakit di kepalanya yang luka hilang. Se-

sudah itu kekuatannya perlahan-lahan menjadi 

pulih seperti sedia kala. Dan anehnya pemuda ini 

kemudian menggerakkan tubuhnya bangkit.

"Bagus! Duduklah!" kata si muka setan.

Panji Ireng dudukkan dirinya di hadapan 

orang itu. Dia duduk bersila. Meskipun dia tak 

sanggup menahan kengeriannya tapi kedua ma-

tanya tidak berkesip memandang ke wajah yang 

menyeramkan itu.

"Berdiri, Panji!"

Si pemuda berdiri. Dia melakukan semua 

perintah di atas itu seperti orang yang kena sirap.

"Putar tubuhmu ke kiri!" datang lagi perin-

tah dari si muka setan.

Mula-mula Panji Ireng tetap tak bergerak 

tapi sorotan mata kanan yang melotot itu mem-

buat hatinya menjadi gentar dan ia putarkan tu-

buhnya sebagaimana yang diperintahkan. Kini dia 

menghadap ke rimba belantara di tepi Kali Bran-

tas sebelah barat. Karena tak biasa mula-mula 

dalam kegelapan itu kedua matanya hampir tidak 

melihat apa-apa. Tapi sesaat kemudian peman-

dangannya mulai terang dan samar-samar dili-

hatnya sesosok tubuh manusia bersandar ke se-

batang pohon beberapa langkah di hadapannya.


"Kau lihat sosok tubuh itu, Panji?" terden-

gar suara bertanya.

Panji Ireng menoleh pada si muka setan 

dan mengangguk. Kembali dia memutar kepala 

memandang ke arah sosok tubuh di hadapannya. 

Dan pada kali inilah untuk pertama kalinya dia 

menyadari bahwa tubuh manusia yang di hada-

pannya itu tidak punya kepala sama sekali!

Bukan main terkejutnya pemuda itu. Lu-

tutnya kembali goyah, bulu tengkuknya yang se-

jak tadi memang sudah merinding jadi tambah 

merinding. Dia sudah bulat tekad untuk melari-

kan diri tapi tidak dapat. Satu kekuatan aneh 

seakan-akan memaku kedua kakinya ke tanah 

saat itu.

"Buka pakaianmu, Panji!" terdengar lagi 

perintah si muka setan.

Kedua alis mata Panji Ireng menaik. Dia 

pura-pura tidak mendengar perintah itu.

"Buka pakaianmu, Panji!" datang lagi pe-

rintah yang sama untuk kedua kalinya. "Jangan 

pura-pura jadi tuli!"

Di luar kemauannya, di luar kesadarannya 

Panji Ireng kemudian membuka kemejanya yang 

basah kuyup.

"Sekarang buka celanamu!"

Panji Ireng memandang tak mengerti pada 

si muka setan.

"Celanamu!" bentak si muka setan seraya 

menunjuk ke celana Panji Ireng dengan tangan 

kirinya. Saat itu baru si pemuda mengetahui


bahwa makhluk yang mengerikan itu tangan ki-

rinya sengkok bengkok.

Juga di luar kemauan dan kesadarannya 

Panji Ireng kemudian membuka celananya. Di 

malam yang berudara dingin itu dia cuma men-

genakan cawat saja kini.

"Cawatmu!"

Nafas Panji Ireng menyesak mendengar pe-

rintah yang, selanjutnya ini. Hatinya berontak ti-

dak mau mengikuti perintah tersebut. Tapi keku-

atan gaib yang menguasai dirinya membuat dia 

tidak punya daya dan lagi-lagi di luar maunya 

tangannya mulai membuka cawat yang dikena-

kannya. Dengan demikian pemuda itu kini men-

jadi tidak memakai secarik kain pun untuk menu-

tupi tubuhnya alias telanjang bulat.

"Melangkah ke hadapan sosok tubuh yang 

tersandar di batang pohon itu!" Ini adalah perin-

tah selanjutnya dari manusia bermuka setan.

Panji Ireng menurut patuh. Saat itu dengan 

masih memegangi pakaiannya yang tadi dibuka 

dia langkahkan kakinya ke muka. Satu langkah 

di hadapan sosok tubuh tanpa kepala atau jelas-

nya mayat tanpa kepala Panji menghentikan 

langkah.

"Buka seluruh pakaian mayat itu, Panji!" 

Berdiri sedekat itu dengan mayat yang mengeri-

kan membuat Panji seperti mau gila. Seramnya 

bukan main tapi hendak lari tidak dapat. Jan-

gankan lari membuka mulutnya pun tidak bisa!

"Cepat Panji! Kerjakan perintahku! Nanti


hari keburu siang!" kata si muka setan sambil 

memandang ke langit jurusan timur.

Dengan tubuh menggigil si pemuda menja-

lankan perintah itu. Dia berlutut di hadapan 

mayat. Dapat dilihatnya dengan jelas leher yang 

putus penuh dengan gumpalan-gumpalan darah 

beku. Pada pakaian mayat juga terdapat banyak 

noda-noda darah. Panji mengulurkan tangannya 

yang gemetar mulai membuka pakaian si mayat. 

Dalam keadaan serupa itu sukar untuk membuka 

bajunya karena tubuhnya tersandar ke batang 

pohon. Tiba-tiba sosok tubuh itu jatuh tergelim-

pang ke tanah! Panji ikut pula jatuh duduk. Na-

fasnya memburu, tubuhnya mengejang karena 

terkejut.

"Ayo Panji! Cepat!"

Satu demi satu Panji Ireng membuka pa-

kaian mayat itu. Kini tubuh mereka sama-sama 

telanjang. Cuma bedanya yang satu sudah tidak 

punya kepala dan tak bernafas sedang yang satu 

masih punya kepala dan masih hidup!

"Selesai?!"

Tanpa menoleh pada si muka setan Panji 

Ireng menganggukkan kepalanya.

"Bagus! Sekarang pakai olehmu pakaian 

mayat itu!"

Perintah ini pun diturut oleh si pemuda 

tanpa bantahan. Pakaian mayat tak dikenal se-

suai dengan perawakan tubuhnya, cuma pakaian 

itu bau busuk dan amisnya darah. Panji berpaling 

pada si muka setan yang dari tadi tetap berdiri di


tempatnya dengan segala keangkerannya.

"Kenakan pakaianmu pada mayat itu."

Perintah ini pun dituruti oleh si pemuda. 

Begitu selesai terdengar pula perintah si muka se-

tan.

"Berdirilah dan melangkah ke hadapanku!"

Panji Ireng berdiri lalu melangkah ke hada-

pan manusia angker itu. Berdiri demikian dekat-

nya lebih jelas betapa mengerikan mukanya. Tak 

terlihat oleh Panji tiba-tiba si muka setan meng-

gerakkan tangan kirinya yang sengkok ke arah 

dada si pemuda. Panji Ireng mengeluh kesakitan. 

Tubuhnya pada detik yang sama menjadi kaku 

kejang dan tak sadarkan diri. Dia rebah ke muka 

dan si muka setan cepat rundukkan tubuhnya 

sehingga tubuh Panji Ireng jatuh tepat di bahu ki-

rinya. Dengan tubuh Panji Ireng berada di atas 

pundaknya, si muka setan membuat satu gerakan 

enteng. Tahu-tahu tubuhnya sudah melesat ke 

muka dan lenyap di telan kegelapan malam yang 

hampir mencapai pagi. Bersamaan dengan le-

nyapnya si muka setan bersama pemuda boyon-

gan maka di kejauhan, di dalam rimba belantara 

terdengar suara lolongan anjing hutan yang men-

gerikan.


TIGA


KAMPUNG SARIWANGI.... Pada pagi hari 

itu, belum lagi matahari naik, Pak Ireng sudah 

kelihatan berdiri di ambang pintu muka pondok-

nya. Laki-laki ini sudah enam puluh lebih umur-

nya. Rambut dan kumis bahkan alis matanya su-

dah memutih. Geraham-gerahamnya tak satu pun 

lagi yang tinggal. Keseluruhan giginya di barisan 

sebelah bawah sudah tanggal semua. Cuma di 

bagian atas masih ada dua buah gigi. Salah satu 

diantaranya sudah goyah pula.

Pak Ireng batuk-batuk beberapa kali, me-

ludah ke tanah lalu memandang ke tepi jalan. Di-

ambilnya sabuk tembakau dan daun kaung. Ma-

ka mulailah orang tua ini menggulung rokok. Ro-

kok yang pertama dipagi itu. Baru tiga kali dihi-

sapnya maka di pintu muncullah seorang perem-

puan. Rambutnya sudah memutih pula sedang 

mukanya penuh dengan kerut-kerut tanda bahwa 

dia tak berapa beda umurnya dengan Pak Ireng. 

Perempuan ini adalah isteri Pak Ireng.

"Pakne, masih belum kelihatan juga dia?"

"Belum," kata Pak Ireng menjawab perta-

nyaan isterinya. "Tak mengerti aku, ke mana anak

itu ngelanturnya." Pak Ireng menarik nafas pan-

jang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Semalam dia bilang mau pergi melihat 

wayang kulit di desa Waringin. Mungkin dia men-

ginap di rumah salah seorang kawannya di sana.


Bukankah hari hujan lebat semalam?"

"Tapi kalau dia nginap, pagi ini pasti sudah 

kembali."

"Mungkin dia kepulasan, maklumlah anak 

seumur dia itu biasanya tukang penidur. Ditam-

bah udara dingin pula," kata Bu Ireng menenang-

kan hati suaminya padahal hatinya sendiri saat 

itu sudah gelisah.

Pak Ireng masuk ke dalam mengambil topi 

pandan, pacul dan sabit. "Aku ke ladang dulu, 

Bu," katanya pamitan pada isterinya.

Sang isteri anggukkan kepala dan mem-

perhatikan kepergian suaminya sampai hilang di 

kelokan jalan. Dulu Pak Ireng punya sebidang la-

dang sayur mayur. Karena terdesak hidup ladang 

itu dijual pada seorang tetangga. Kini karena ti-

dak punya tanah lagi terpaksa mengambil peker-

jaan di ladang orang lain.

Sebelum tengah hari Pak Ireng sudah pu-

lang.

"Lho, kok cepat pulang sekali ini, Pak?" 

"Hatiku gelisah dan tak enak sejak pagi ta-

di. Sudah pulang si Panji...?" 

"Itulah Pakne...."

"Jadi belum juga kembali?" bertanya Pak 

Ireng memotong kata-kata isterinya. Dia sudah 

maklum bahwa anak mereka Panji Ireng belum 

pulang. Dan kemudian dilihatnya isterinya men-

ganggukkan kepala. Orang tua itu membuka to-

pinya. Meletakkan sabit dan paculnya lalu duduk 

di balai-balai reyot, termenung.


"Benar-benar si Panji ini! Ke mana dia? Dia 

musti sudah pulang saat ini. Terlalu! Tak tahu 

kecemasan orang tua.... Aku khawatir kalau ter-

jadi apa-apa dengan dia, Bu."

"Aku juga demikian Pakne. Tapi biar kita 

tunggu sampai sore nanti...."

"Dan kalau sore nanti dia tetap tidak pu-

lang juga, bagaimana?!"

Bu Ireng menyahut. "Makanlah dulu, 

Pakne. Kebetulan nasi sudah masak."

Memasuki rembang petang, Pak Ireng ber-

kata.

"Pasti ada apa-apa terjadi dengan dirinya." 

Dijangkaunya topi pandannya. Golok pendek yang 

tersisip di dinding diselipkannya di pinggang.

"Kau mau pergi, Pakne?" 

"Ya. Ke desa Waringin," kata Pak Ireng 

menjawab pertanyaan isterinya.

"Hati-hati di jalan."

Di bawah sorotan sinar matahari sore yang 

kuning kemerahan maka berjalanlah orang tua 

itu dengan terbungkuk-bungkuk. Dikelokan jalan 

yang hendak menuju ke sungai seseorang mene-

gurnya.

"Mau ke mana Pak Ireng? Ada suatu uru-

san penting agaknya sampai berjalan secepat 

itu?"

Si orang tua palingkan kepala. Yang mene-

gurnya ternyata seorang pemuda bernama Kebo 

Ninggul, kawan Panji Ireng.

Tanpa mengacuhkan pertanyaan anak mu


da itu Pak Ireng balik bertanya. "Ada kau lihat si 

Panji?"

"Tidak, Pak. Saya sendiri juga heran. Dia 

tak muncul-muncul sejak...."

"Malam tadi dia pergi ke desa Waringin. Ka-

tanya ada wayang kulit di sana. Tapi sampai be-

gini hari dia belum pulang."

"Mungkin dia mampir di tempat kawan-

nya."

"Mungkin, tapi tidak sampai selama itu. 

Aku khawatir ada terjadi sesuatu dengan dia. Aku 

akan pergi ke desa Waringin."

Kebo Ninggul berpikir sejurus lalu berkata: 

"Saya ikut bersama Bapak."

Kedua orang itu sampai di tepi Kali Bran-

tas. Baik Pak Ireng maupun Kebo Ninggul sama 

terheran-heran.

"Seharusnya di sini terdapat rakit penyebe-

rang," kata si orang tua.

"Betul. Ke mana perginya?" Kebo Ninggul 

memandang ke seberang sana. Tak ada rakit yang 

dicarinya. Dia memandang berkeliling dan melihat 

tali penghubung yang putus. "Rupanya hujan le-

bat semalam membuat arus jadi besar. Tali peng-

hubung putus dan rakit dihancurkan."

"Boleh jadi..." membenarkan Pak Ireng.

Sambil memandang berkeliling Kebo Ning-

gul berkata: "Kita ke hilir saja. Di sana ada ra-

kit...." 

Ini pemuda tak bisa teruskan kata-

katanya. Pandangan matanya membentur sesuatu di bawah pohon di tepi rimba.

"Ada apa?" tanya Pak Ireng menghentikan 

langkah.

"Itu. Seseorang di bawah pohon besar. 

Mungkin...."

Si orang tua memutar kepalanya ke arah 

yang ditunjuk Kebo Ninggul. Dia jadi terkejut dan 

berseru: "Anakku! Itu pasti si Panji. Dia memang 

mengenakan pakaian itu semalam!" Pak Ireng 

dengan tersaruk-saruk berlari ke bawah pohon di 

mana sesosok tubuh terbujur.

Kebo Ninggul menyusul.

Orang tua ini berlutut di samping tubuh 

itu. Digoyang-goyangnya tubuh tersebut. "Panji! 

Nak?! Apa yang terjadi...." Ucapan Pak Ireng jadi 

terhenti dengan serta merta ketika kedua ma-

tanya memandang ke bagian leher dari orang 

yang disangkanya anaknya itu. Air mukanya be-

rubah. Pucat pasi seperti orang yang melihat se-

tan mengerikan. "Gusti Allah! Panji...!!!" Sehabis 

mengeluarkan seruan yang keras setinggi langit 

itu, Pak Ireng roboh ke tanah tanpa sadarkan diri.

Kebo Ninggul yang sampai ke sana jadi ter-

kejut melihat si orang tua sudah melosoh. Dia 

berlutut hendak menolong. Tapi.... Kedua mata 

pemuda ini melotot besar. Tubuhnya menggigil. 

Seluruh bulu romanya merinding ngeri ketika me-

lihat sosok tubuh kawannya yang tidak berkepala 

lagi. Untung dia masih tahan sehingga tak sampai 

jatuh pingsan seperti si orang tua. Tanpa pikir 

panjang pemuda ini segera putar tubuh dan ambil


langkah seribu. Dia lari terus pontang panting se-

perti orang dikejar jin hutan. Lari kembali ke 

kampung Sariwangi sambil berteriak-teriak. Apa 

yang diteriakkannya itu tidak jelas. Dia sudah se-

perti orang gila.

Setiap orang yang bertemu dan melihatnya 

jadi terheran-heran. Sudah pasti pemuda itu gila, 

pikir mereka. Kalau tidak tentu dia kemasukan 

setan. Maka hebohlah seluruh Sariwangi.

Seorang yang berpakaian bagus bertubuh 

tinggi kurus bernama Sura Djali, kepala kampung 

Sariwangi berlari keluar dari dalam rumahnya ke-

tika mendengar kehebohan itu. Di mukanya dili-

hatnya seorang pemuda tengah lari dengan cepat.

"Hai Kebo Ninggul! Tahan! Ada apa dengan 

dirimu?!" tanya Sura Djali. Ketika Kebo Ninggul 

sampai di hadapannya segera dicekalnya lengan 

pemuda itu. Kebo Ninggul meronta hendak terus 

lari. Tapi cekalan Sura Djali bukan cekalan biasa 

melainkan sudah berisi tenaga dalam. Pemuda itu 

tidak dapat bergerak barang selangkah pun.

"Apa yang terjadi Kebo Ninggul?" tanya Su-

ra Djali.

Si pemuda tak segera memberikan jawa-

ban. Hidungnya kembang kempis. Nafasnya me-

gap-megap. Seluruh tubuhnya basah oleh kerin-

gat.

"Kebo Ninggul! Jawab pertanyaanku!" men-

gulangi Sura Djali sementara itu penduduk kam-

pung sudah ramai mengerumuni mereka karena 

juga sama ingin tahu apa yang membuat si pemuda sampai lari sedemikian rupa.

"Panji.... Panji Ireng..." kata Kebo Ninggul 

dengan terputus-putus.

"Mengapa, mengapa Panji Ireng?!"

"Kepalanya... kepalanya putus!"

Semua orang saling berpandangan.

"Bicaralah yang terang. Tak usah kesusu," 

kata Sura Djali. Dia masih mencekal lengan pe-

muda itu. Di samping supaya Kebo Ninggul tidak 

larikan diri dia juga berusaha menenangkan pe-

muda ini dengan tenaga dalamnya.

"Beberapa waktu yang lalu saya berpapa-

san dengan Pak Ireng..." mulai menerangkan Kebo 

Ninggul, "Ia menanyakan tentang anaknya, Panji 

Ireng. Saya sendiri tidak melihat pemuda itu sejak 

pagi. Pak Ireng bilang bahwa anaknya pergi ke 

desa Waringin malam tadi. Melihat pertunjukan 

wayang kulit."

"Memang di desa itu ada orang yang kawi-

nan. Lantas?" menyela Sura Djali.

"Sampai sore ini Panji tidak kembali. Pak 

Ireng khawatir. Dia pergi ke desa itu untuk men-

cari anaknya dan saya turut bersama dia. Di tepi 

sungai, ketika kami tengah mencari-cari rakit un-

tuk menyeberang tiba-tiba kelihatan sesosok tu-

buh tergelimpang di bawah satu pohon, di tepi 

rimba...."

"Panji Ireng?"

Kebo Ninggul manggut. "Pak Ireng lari 

mendapatkan tubuh anaknya. Mendadak sontak 

kemudian saya lihat orang tua itu jatuh pingsan


dan rebah ke tanah. Saya datang menyusul dan... 

dan...."

"Dan apa?!" tanya Sura Djali tak sabaran 

sedang orang banyak di sekeliling mereka mulai 

merasa bergidik.

"Tubuh Panji Ireng cuma tinggal badan sa-

ja! Kepalanya lenyap! Putus!"

Semua orang jadi terkejut. Semua mulut 

jadi menganga dan semua mata jadi melotot.

"Kepalanya lenyap?"

"Putus?!"

"Siapa yang memutus?!" tanya Sura Djali. 

"Saya tidak tahu. Begitu saya lihat tubuh 

yang mengerikan itu saya lantas lari pontang 

panting!" Tubuh Kebo Ninggul jelas kelihatan ge-

metaran ketika dia menerangkan semua itu tanda 

bahwa rasa ngeri masih saja menggerayangi di-

rinya.

Sura Djali melepaskan cekalannya dengan 

perlahan-lahan. Begitu terasa tangannya dile-

paskan, Kebo Ninggul segera lari meninggalkan 

tempat itu. Lari pulang ke rumahnya. Sura Djali 

sendiri dengan diikuti beberapa orang penduduk 

kampung yang ingin tahu dan punya nyali segera 

berlari cepat menuju ke sungai.

Bu Ireng, begitu dia mendengar nasib 

anaknya dari seorang tetangga, belum lagi dia me-

lihat dengan mata kepala sendiri, perempuan ini 

meraung tinggi dan rubuh tak sadarkan diri.

Tubuh Pak Ireng dibopong orang sedang 

mayat "Panji Ireng" dibawa di atas sebuah tandu,


ditutup dengan sehelai kain sarung.

Esok harinya, mayat "Panji Ireng" yang su-

dah biru kehijau-hijauan itu dikuburkan. Baik 

Pak Ireng dan isterinya, maupun seluruh pendu-

duk kampung Sariwangi, tak ada yang tahu kalau 

mayat yang mereka kuburkan hari itu bukanlah 

mayat Panji Ireng yang sebenarnya. Juga tidak 

satu orang pun yang tahu apa sesungguhnya 

yang telah terjadi dengan si pemuda. Ada yang 

mengatakan bahwa kepalanya dimakan buaya 

Kali Brantas. Ada yang menduga kepala Panji 

Ireng diterkam raja hutan dalam rimba belantara. 

Dan ada pula yang mengatakan bahwa pemuda 

itu telah dipuntir dan ditanggalkan kepalanya 

oleh setan atau dedemit penghuni sungai!


EMPAT


LIMA tahun lebih berlalu sudah. Kalau di 

kampung Sariwangi boleh dikatakan tak ada lagi 

orang yang membicarakan peristiwa kematian 

Panji Ireng maka sementara itu di puncak gunung 

Kelud....

Awan putih kelihatan menutupi puncak 

gunung yang tinggi ini. Meskipun matahari bersi-

nar terik namun udara terasa sejuk. Selama be-

lum ada satu manusia pun yang menginjakkan 

kaki di puncak gunung ini maka tidak ada yang 

tahu kalau di sana terdapat satu pondok kayu. 

Tak ada yang tahu kalau puncak gunung Kelud


itu mempunyai penghuni. Selama puluhan tahun 

Gunung Kelud dianggap sebagai gunung angker, 

karenanya tidak ada manusia yang berani berada 

di sekitar sana. Kalau pun ada maka cuma dekat 

kaki-kakinya saja. Di dalam pondok....

Dengan matanya yang cuma satu itu dia 

pandang muridnya yang duduk bersila khidmat di 

hadapannya. Sejak lima tahun yang lalu rambut-

nya tak pernah dicukur dan tak pernah disisir, 

sehingga rambut yang awut-awutan dan kotor itu 

panjangnya sampai ke bahu, seperti rambut pe-

rempuan. Keriput-keriput yang menghiasi mu-

kanya yang cekung itu juga tambah banyak. 

Rongga matanya sebelah kiri yang besar menye-

ramkan itu seperti tambah dalam. Inilah si muka 

setan yang lima tahun lewat telah melarikan Panji 

Ireng dari tepi Kali Brantas.

Embah Jagatnata alias si muka setan buka 

suara "Panji Ireng, di saat perpisahan ini aku ti-

dak akan bicara panjang lebar dengan kau. Kau 

turun gunung hari ini juga dengan kubekali dua 

buah tugas!"

"Apakah tugas itu Embah?" tanya Panji 

Ireng yang kini sudah berumur dua puluh satu 

tahun itu. Tubuhnya tegap kekar.

"Aku akan katakan sebentar lagi," sahut 

Embah Jagatnata pula. "Yang penting adalah ke-

sadaran bahwa selama berguru lima tahun kepa-

daku, ilmu kesaktian yang kau miliki masih be-

lum berarti apa-apa, masih kurang...."

"Bagi saya semua ilmu yang Embah ajar


kan sudah terlalu banyak dan sangat tinggi...."

"Jangan dulu potong kata-kataku!" tukas 

Embah Jagatnata. Orang tua aneh dan sakti itu 

sudah biasa suka membentak seperti itu. Panji 

Ireng mengunci mulutnya. "Karena belum berarti 

apa-apa, karena masih kurang maka aku nasi-

hatkan pada kau untuk mencari guru lain dan 

belajar kepadanya yaitu sesudah kau turun gu-

nung nanti. Ini adalah mengingat betapa beratnya 

tugas yang kubekalkan kepadamu itu!"

Embah Jagatnata komat-kamitkan mulut-

nya seketika lalu meneruskan: "Mulai detik kau 

turun gunung, kau harus ganti nama. Kepada 

siapa pun sekali-kali tak boleh kau beritahu bah-

wa namamu sebenarnya adalah Panji Ireng. Kau 

dengar?!"

"Dengar Embah. Nama apa yang harus 

saya pakai?"

"Mahesa Kelud."

"Mahesa Kelud...?"

Sang guru manggutkan kepala. "Juga pe-

sanku yang satu ini harus kau ingat benar-benar. 

Selama kau turun gunung, selama kau masih be-

lum menyelesaikan tugasmu, sekali-kali kau tidak 

boleh datang ke Kampung Sariwangi, apalagi me-

nyambangi kau punya orang tua. Kau harus men-

jauh dari kampung itu. Mengerti?"

"Mengerti Embah," jawab Panji Ireng.

"Kini tentang dua tugas yang harus kau ja-

lankan. Dengar baik-baik, aku tak sudi bicara di-

ulang-ulang. Pertama kau harus cari dan dapatkan sebuah pedang bernama - Samber Nyawa. 

Yang kedua kau harus cari dan bunuh seorang 

manusia bernama Simo Gembong."

"Pedang Samber Nyawa dan manusia Simo 

Gembong," mengulang Panji Ireng dalam hati.

"Kau harus berhasil dengan tugas yang 

pertama. Tanpa mendapatkan pedang Samber 

Nyawa itu niscaya kau tidak mampu melaksana-

kan tugas yang kedua karena manusia Simo 

Gembong hanya bisa dibunuh dengan pedang ter-

sebut!"

"Kalau murid boleh tanya," kata Panji Ireng 

pula, "Siapa adanya manusia bernama Simo 

Gemblong itu, Embah."

"Justru itulah sebabnya aku suruh kau 

untuk mencarinya. Bila kau berhasil menemuinya 

dan memang kau harus berhasil... maka kau 

akan tahu siapa adanya itu manusia! Dan sesu-

dah kau tahu siapa dia kau harus ambil nya-

wanya!"

"Saya akan laksanakan kedua tugas itu, 

Embah," kata Panji Ireng. "Mohon doa restu dari 

Embah."

Jagatnata mengangguk. "Kau boleh pergi 

sekarang, kecuali kalau ada yang kau ingin kata-

kan." 

"Selama lima tahun saya telah dididik dan 

diberi berbagai ilmu kesaktian luar biasa oleh 

Embah. Sebagai orang yang sudah diambil jadi 

murid maka sudah sepantasnya saja...."

Si orang tua yang sudah tahu apa yang


hendak diucapkan oleh muridnya itu segera me-

motong: "Kalau kau mau menghaturkan terima 

kasih, tak usah katakan. Aku tak ingin kau minta 

terima kasih padaku."

Sang murid memandangi wajah gurunya 

yang buruk dan seram itu dengan rasa tidak 

mengerti. Dia tak berani teruskan kata-katanya. 

Karena merasa tak ada lagi yang harus dikata-

kannya maka berdirilah dia.

"Saya pergi, Embah."

Sang guru mengangguk.

"Mohon doa restu agar saya bisa laksana-

kan tugas yang Embah bekalkan."

"Kau pasti berhasil," ujar Jagatnata.

Di hadapan gurunya Panji Ireng menjura 

tiga kali berturut-turut lalu memutar tubuh dan 

melangkah ke pintu.


LIMA


KETIKA sore berganti senja dan malam 

yang gelap muncul maka Mahesa Kelud alias Pan-

ji Ireng sudah berada sangat jauh dari kaki gu-

nung Kelud. Ini disebabkan tak lain karena dia 

pergunakan ilmu lari ajaran gurunya yang ber-

nama "Kaki Angin". Larinya cepat luar biasa se-

perti angin, gerakannya enteng.

Pemuda yang baru turun gunung ini baru 

memikirkan arah tujuannya ketika perutnya mu

lai keroncongan minta diisi. Saat itu dia tengah 

berlari cepat di lereng sebuah bukit. Jauh di kaki 

bukit sebelah selatan dilihatnya suatu nyala api 

yang sangat kecil. Demikian kecilnya sehingga ka-

lau bukan dengan mata yang tajam seperti pemu-

da itu tak mungkin akan sanggup untuk dilihat. 

Tanpa pikir panjang Mahesa Kelud segera putar 

arah larinya kejurusan nyala api tersebut.

Ternyata nyala api yang dilihatnya ini ada-

lah api pelita yang terletak di atas sebuah meja 

kecil dalam satu pondok kajang beratap rumbia. 

Daun pintu terbuka sedikit dan dari celah daun 

pintu inilah api pelita memancar keluar. Suasana 

sekitar pondok sunyi sepi seperti di pekuburan. 

Mahesa Kelud melangkah ke muka pintu. Dike-

tuknya daun pintu. Tak ada jawaban.

Dia mengetuk lagi. Lalu sekali lagi tetap 

masih tak ada jawaban. Pemuda ini menjadi he-

ran. Apakah tak ada penghuni dalam pondok ini, 

pikirnya. Mustahil, karena di dalam ada pelita 

yang menyala.

Mahesa hendak mengetuk sekali lagi. Saat 

ini didengarnya ada suara yang ditimbulkan oleh 

sesuatu benda yang bergerak-gerak di dalam 

pondok. Pemuda ini beranikan diri. Daun pintu 

didorongnya, suaranya berkereketan. Cepat-cepat 

Mahesa masuk ke dalam. Langkahnya dengan 

serta merta terhenti begitu dia melewati ambang 

pintu beberapa langkah. Di hadapannya, di lantai 

pondok terbujur sesosok tubuh laki-laki yang pa-

kaiannya penuh dengan darah. Di tangan kanan


nya tergenggam sebilah pedang yang juga ada lu-

muran darahnya. Ketika diperhatikannya jari-jari 

tangan yang berkuku panjang dari orang itu ma-

ka Mahesa Kelud bisa menduga siapa adanya dia. 

Dari gurunya dia pernah mendapat keterangan 

bahwa di sebelah barat gunung Kelud, tak jauh 

dari kaki gunung Wilis terdapat seorang pendekar 

tua ternama yang memiliki kuku-kuku panjang 

beracun dan digelari "Si Cakar Setan" oleh orang-

orang dunia persilatan.

"Ini pasti si Cakar Setan," kata Mahesa Ke-

lud dalam hatinya. "Kalau begitu aku berada di 

daerah sekitar gunung Wilis...."

Tubuh si Cakar Setan bergerak-gerak. Ke-

dua kakinya melejang-lejang walaupun tidak me-

lejang keras sedang tangan kirinya menggapai-

gapai lantai. Pendekar tua yang tengah meregang 

nyawa ini terbujur menelungkup. Dari mulutnya 

terdengar suara erangan. Mahesa Kelud melang-

kah lebih dekat lalu berlutut. Hidungnya mem-

baui amisnya darah di seluruh tubuh si Cakar Se-

tan.

"Jaliteng.... Jaliteng...." Terdengar si Cakar 

Setan menyebutkan nama seseorang diantara su-

ara erangannya.

"Siapa Jaliteng ini..." pikir Mahesa Kelud. 

"Mungkin orang yang telah membuat urusan den-

gan dia?"

"Jaliteng... muridku..." terdengar lagi suara 

si Cakar Setan. "Jaliteng, mendekatlah...."

Mahesa Kelud kini mengerti. "Kasihan, dia


menyangka aku muridnya," kata Mahesa dalam 

hati. Dia mendekat.

Dengan susah payah, dalam keadaan yang 

boleh dikatakan sudah tidak punya daya karena 

tengah meregang nyawa, si Cakar Setan masih 

sanggup membalikkan tubuhnya dengan perto-

longan tangan kirinya. Kini dia terbaring menelen-

tang. Sungguh dahsyat manusia ini. Pada muka 

si Cakar Setan kelihatan satu luka hebat meman-

jang mulai dari kening, lewat antara kedua alis 

matanya terus ke pipi. Dari luka itu bisa dipasti-

kan bahwa si Cakar Setan kena bacokan golok 

atau pedang lawan yang tangguh. Darah dari luka 

besar ini membanjir dan menggenang membasahi 

kedua matanya sehingga si Cakar Setan tidak 

sanggup melihat apa-apa lagi.

"Jaliteng...?"

"Ya... guru," sahut Mahesa Kelud dengan 

perlahan agar si Cakar Setan tidak mengenali su-

aranya.

"Surat itu... surat itu ada dalam... dalam 

pedang. Kau ambil dan cari manusia yang mence-

lakaiku. Namanya...." Si Cakar Setan hanya sang-

gup bicara sampai di situ. Keterangannya terpu-

tus karena nyawanya keburu melayang lebih da-

hulu.... Kedua matanya yang digenangi darah 

membeliak sedang mulutnya menganga.

"Surat..." desis Mahesa Kelud. "Surat apa 

agaknya?" Pemuda ini beringsut ke muka. Diper-

hatikannya pedang yang tergenggam di tangan 

mayat. Menurut keterangan si Cakar Setan surat


itu ada di dalam pedang. Apakah pedang yang 

tergenggam di tangannya saat itu atau pedang 

yang lain? Kalau dalam pedang yang dipegangnya 

berarti pada senjata ini terdapat satu rongga tem-

pat menyembunyikannya.

Agak susah juga bagi Mahesa Kelud untuk 

melepaskan pedang itu dari genggaman si Cakar 

Setan karena pegangan pendekar tua itu sangat 

erat meskipun nyawanya sudah pisah dengan tu-

buh kasar.

Diperhatikannya senjata itu dengan teliti. 

Mulai dari ujungnya yang runcing dan bertanda 

sampai ke hulunya. Pedang milik si Cakar Setan 

meskipun besar serta panjang tetapi enteng. Ini 

tandanya bahwa pedang itu bukan senjata sem-

barangan. Warnanya kuning sedang hulunya pu-

tih, terbuat dari perak yang berukirkan kepala 

naga. Mahesa ingat pada tugas yang dibekalkan 

gurunya yaitu mencari satu pedang yang bernama 

Samber Nyawa. Mungkinkah ini pedangnya? Si 

pemuda tak bisa memastikan.

Lama sekali dia meneliti pedang itu. Di ba-

gian manakah dari senjata ini disembunyikan su-

rat yang diterangkan oleh si Cakar Setan tadi? 

Pada kali yang ketiga matanya memperhatikan 

hulu pedang, maka Mahesa Kelud akhirnya meli-

hat satu celah yang sangat halus pada bagian 

leher dari ukiran naga di hulu pedang. Kini pe-

muda itu tahu rahasia tempat persembunyian su-

rat yang dimaksudkan si Cakar Setan. Dia putar 

kepala naga ke kanan. Tapi kepala naga itu tidak


bergerak barang sedikit pun. Mahesa mengganti 

arah putaran. Kini ke kiri. Dan... memang kepala 

naga itu kini bergerak memutar sedikit demi sedi-

kit sampai akhirnya terlepas sama sekali dari le-

hernya. Kemudian pada bagian leher naga yang 

masih melekat ke hulu pedang kelihatanlah satu 

lobang sebesar lobang kunci. Di dalam lobang 

yang kecil ini terdapat secarik kertas yang digu-

lung rapi. Mahesa segera congkel itu kertas dan 

menariknya keluar. Ternyata isinya adalah sepu-

cuk surat yang agak aneh bagi Mahesa Kelud. Su-

rat ini berbunyi:

Kepada pendekar-pendekar utama 

dari delapan penjuru angin, 

Siapa-siapa dari kalian yang ingin merajai 

dunia persilatan datanglah membawa surat 

ini ke Gua Iblis untuk mendapatkan senjata 

ampuh Cambuk Iblis

Mahesa Kelud kerenyitkan keningnya se-

habis membaca surat tersebut. Tentang senjata 

ampuh yang bernama Cambuk Iblis itu tak per-

nah didengarnya, tapi mengenai Gua Iblis dia 

memang pernah dengar yaitu sebuah gua yang 

terletak di muara sungai Ngulonngidul di pantai 

Selatan.

Mahesa Kelud menggulung surat kecil itu 

kembali dan memasukkannya ke dalam sakunya. 

Kepala naga pada hulu pedang dipasangnya kem-

bali. Ditimang-timangnya pedang itu sejurus. Setelah noda darah dibersihkannya dia berpikir-

pikir lalu senjata tersebut diselipkannya di bela-

kang punggungnya. Mahesa memandang berkelil-

ing. Perabotan yang ada di dalam pondok itu ti-

dak banyak. Sebuah lemari kecil kelihatan terbu-

ka melompong. Isinya bertaburan acak-acakan 

tanda lemari itu habis digeledah orang. Pasti la-

wan yang telah mencelakai si Cakar Setan, pikir 

Mahesa. Tikar penutup balai-balai dan bantal ju-

ga bertaburan. Di sudut sana terdapat sebuah 

gentong air tanah liat yang sudah pecah beranta-

kan dan airnya menggenangi lantai pondok.

Kedua bola mata Mahesa Kelud tampak 

membesar ketika pandangannya membentur sua-

tu benda di lantai, tak berapa jauh dari tubuh si 

Cakar Setan. Benda ini tak lain adalah potongan 

tangan kiri manusia. Mula-mula Mahesa tidak bi-

sa mengerti namun kemudian jelas juga duduk 

persoalan baginya. Sebelumnya antara Cakar Se-

tan dan lawannya telah terjadi perkelahian seru. 

Lawan Cakar Setan berhasil merubuhkan pende-

kar tua itu tapi sebaliknya Cakar Setan sendiri 

berhasil membabat puntung tangan kiri lawan-

nya. Si lawan kemudian melarikan diri.

Mahesa Kelud melangkah ke pintu mak-

sudnya hendak segera pergi. Tapi tidak terduga, 

mendadak dari luar melompat masuk sesosok tu-

buh. Mahesa cepat hindarkan diri karena dari de-

rasnya siuran angin dia sudah maklum bahwa 

orang yang baru masuk itu punya ilmu yang tidak 

bisa dianggap enteng. Mahesa melompat ke belakang sejauh dua tombak. Dia menyangka yang 

datang ini adalah Jaliteng, murid si Cakar Setan. 

Tapi dugaannya meleset.

Orang yang berdiri di hadapannya bertu-

buh pendek kate. Kepalanya botak dan berkilat-

kilat ditimpa cahaya pelita. Berlawanan dengan 

kepalanya yang licin polos itu maka mukanya pe-

nuh dengan berewok kasar meliar sehingga tam-

pangnya penuh keseraman. Mahesa melihat ma-

nusia kate ini tidak punya tangan kiri alias bun-

tung. Ketika diperhatikannya lebih teliti ternyata 

buntungan tangan itu masih baru karena di seki-

tar buntungan terdapat bekas-bekas noda darah! 

Kini Mahesa Kelud tahu. Siapa pun adanya ini 

orang kate maka dia adalah orang yang telah ba-

ku hantam dan membunuh si Cakar Hitam. Di 

tangan kanan si kate tergenggam sebatang golok

panjang.

Si kate menyeringai buruk. "Kau muridnya 

si Cakar Setan?!" tanyanya dengan membentak.

"Kau sendiri siapa, manusia kate?!" balik 

menanya Mahesa Kelud.

"Sialan! Ditanya malah menanya! Jawab, 

kau muridnya Cakar Setan?!"

"Kalau ya mengapa?"

"Kau harus serahkan surat itu!"

"Surat? Surat apa...?" tanya Mahesa pura-

pura tidak mengerti.

"Sompret! Jangan berlagak pilon! Aku min-

ta surat rahasia itu sekarang juga! Cepat!"



ENAM


MAHESA silangkan tangan di muka dada 

dan merenggangkan kedua kakinya. "Dengar ma-

nusia kate! Jangan bicara segala macam surat 

yang aku tidak mengerti. Berlalulah dari sini. Aku 

tak suka cari urusan denganmu."

Si kate terheran-heran mendengar kalimat 

yang terakhir dari Mahesa Kelud ini. Mengapa dia 

mengatakan tidak mau cari urusan? Kalau ini 

pemuda benar-benar murid si Cakar Setan pasti 

dia sudah sejak tadi menyerangnya. Atau mung-

kin dia tidak tahu bahwa aku telah membereskan 

nyawa gurunya? Si kate memancing, "Anak muda 

bernyali besar, terhadapku jangan bicara seenak 

bacotmu! Kau mau terima nasib seperti kau 

punya guru?!"

Mahesa Kelud balas ancaman itu dengan 

ejekan. "Guruku telah buntungkan lengan kirimu. 

Rupanya kau inginkan muridnya buntungkan 

lengan kananmu!"

Si kate tertawa bekakakan. "Pemuda ingu-

san hendak menipuku! Ha... ha! Hendak menipu 

Warok Kate! Mengaku murid si Cakar Setan. Pa-

dahal cuma maling kesiangan!"

Mahesa Kelud terkejut ketika mendengar 

nama Warok Kate yang disebutkan oleh orang di 

hadapannya itu. Warok Kate adalah seorang yang 

memimpin gerombolan perampok yang bersarang 

di bukit Jatiluwak, yang punya ilmu tinggi. Dulunya dia seorang murid pertapa sakti tapi kemu-

diannya berhati serong melakukan pekerjaan-

pekerjaan salah menjadi kepala rampok. Mahesa 

tak menyangka kalau kini dia berhadap-hadapan 

dengan Warok Kate sendiri!

"Ha... ha! Hilang kau punya nyali ketika 

mengetahui dan mendengar namaku?!" kata Wa-

rok Kate pula. "Karena itu cepat-cepat keluarkan 

surat tersebut dari dalam sakumu dan berikan 

kepadaku. Tapi kalau kau mencari mampus, si-

lahkan kita mulai bikin urusan!" Si kate melin-

tangkan golok panjangnya di muka dada.

"Dengar Warok," sahut Mahesa Kelud. "Su-

rat itu tidak ada padaku! Aku cuma kebetulan le-

wat di sini dan tidak tahu apa-apa!"

"Kalau begitu kau benar-benar mencari 

mampus! Aku intip sendiri kau mengeluarkan su-

rat itu dari gagang pedang yang kini ada di pung-

gungmu! Kau mencari mampus!"

Bersamaan dengan itu tubuh Warok Kate 

melesat ke muka. Goloknya menyambar ke kepala 

Mahesa Kelud laksana seekor alap-alap menyam-

bar mangsanya. Melihat ini murid Emban Jagat-

nata segera rundukkan kepala. Golok lewat di 

atas kepalanya mengeluarkan angin dingin bersi-

uran. Tapi tak terduga senjata yang telah lewat 

itu mendadak berbalik dengan sangat cepat dan 

kini menyambar ke perutnya. Mahesa terkejut 

bukan main melihat serangan yang hebat dan ce-

pat ini. Buru-buru dia melompat mundur ke be-

lakang sambil kirimkan satu jotosan tangan kanan ke muka lawan.

Kini Warok Kate yang terkejut. Jotosan la-

wannya tidak diduga memiliki tenaga yang tinggi 

ampuh. Kepala rampok dari bukit Jatiluwak ini 

tidak mau ambil risiko. Dia miringkan kepalanya 

seraya menggeser kakinya ke belakang. Jotosan 

Mahesa lewat di samping kirinya tapi tak urung 

angin pukulan lawan yang terasa dingin meme-

rihkan matanya membuat dia terkesiap dan mun-

dur lebih jauh.

"Pemuda ingusan! Kau punya sedikit ilmu 

juga huh?!" bentak Warok Kate. "Beritahu kau 

punya nama dan siapa gurumu sebelum nyawa-

mu kukirim ke neraka!"

Warok Kate kembali mengeluarkan suara 

bekakakan. Dia sabetkan goloknya ke arah lam-

bung Mahesa Kelud. Ketika serangan ini dapat di-

elakkan oleh pemuda itu dia segera kirimkan lagi 

tiga serangan berantai dengan cepat. Meskipun 

terdesak ke sudut pondok namun Mahesa masih 

sanggup mengelakkan ketiga serangan yang dah-

syat itu. Ini membuat lawannya jadi penasaran. 

Warok Kate hantamkan golok panjangnya kian 

kemari. Beberapa jurus lamanya dia kuasai. Ma-

hesa dibuat sibuk dan melompat kian kemari. Ji-

ka saja dia tidak memiliki ilmu mengentengi tu-

buh yang tinggi serta tidak gesit maka pasti saat 

itu Mahesa sudah kena sambaran senjata lawan-

nya.

Diam-diam Warok Kate jadi terkejut dan 

mengagumi kehebatan pemuda lawannya itu.


Saat itu mereka sudah bertempur sebanyak dela-

pan jurus. Sebelumnya, dengan golok di tangan 

tak pernah Warok Kate memberi kesempatan ber-

tahan pada lawannya sampai lima atau enam ju-

rus tanpa berhasil melukainya. Tapi kini dengan 

pemuda yang tadi diremehkannya itu dia masih 

tidak sanggup membuat segores luka pun pada 

tubuh lawannya. Jangankan segores luka, bah-

kan goloknya tak sanggup menyentuh pakaian si 

pemuda! Dan lebih membuat si kate ini menjadi 

lebih geram serta penasaran ialah karena sampai 

saat itu Mahesa Kelud masih saja melayaninya 

dengan tangan kosong!

Mahesa Kelud miringkan bahunya ke kiri 

ketika ujung golok Warok Kate datang menusuk 

dari muka. Begitu serangannya gagal lagi, maka 

si kate hantamkan mata goloknya ke pinggul Ma-

hesa. Tapi sang lawan tidak bodoh. Sebelumnya 

dia sudah duga lanjutan serangan kepala rampok 

itu. Mahesa menggeser tubuhnya ke samping kiri 

dengan cepat. Tangan kirinya bekerja, melayang 

ke arah sambungan siku tangan kanan lawannya. 

Warok mengerti apa yang bakal dialaminya. Sam-

bungan sikunya akan putus bahkan tulang si-

kunya mungkin akan ambruk bila dia teruskan 

serangan goloknya.

Cepat-cepat kepala rampok ini putar go-

loknya sedemikian rupa dan melompat ke samp-

ing kanan untuk menyelamatkan sikunya.

Kedua orang itu berhadap-hadapan satu 

sama lain kembali. "Anak muda! Keluarkanlah


senjatamu! Untuk jurus selanjutnya aku tidak 

sungkan-sungkan lagi!" kata Warok Kate. Ru-

panya manusia ini hendak mengeluarkan ilmu 

simpanannya karena Mahesa Kelud melihat Wa-

rok Kate merubah cara pegangan pedangnya.

"Memang tak usah sungkan-sungkan, Wa-

rok. Biar, aku tetap layani kau dengan tangan ko-

song," jawab Mahesa pula.

Merasa dihina direndahkan Warok Kate se-

perti orang kalap segera menyerang pemuda itu. 

Permainan goloknya memang sangat berubah kini 

dari yang tadi. Sambaran-sambaran, sabetan-

sabetan dan tusukan-tusukannya cepat dan de-

ras serta hampir tak terduga arahnya. Mahesa 

Kelud berkelebatan kian kemari namun tak urung 

akhirnya ujung golok lawannya menyambar seca-

ra tak terduga ke arah dadanya ketika dia berada 

dalam posisi yang sulit di pojok pondok. Dengan 

mengandalkan cuma satu kaki yaitu kaki kiri 

yang menjejak lantai, Mahesa coba membuang di-

ri ke samping. Ini dilakukannya dengan untung-

untungan. Meskipun dia memiliki ilmu kebal tapi 

Mahesa tak mau andalkan ilmu itu jika masih bi-

sa mencari jalan mengelak yang lain. Dan gerakan 

yang dibuatnya itu memang berhasil. Tapi tak 

urung pakaiannya di bagian dada kena tersambar 

ujung golok dan robek besar.

"Ha... ha! Pemuda sombong! Masih juga be-

rani meremehkanku dengan ilmu silat tangan ko-

songmu?!" ejek Warok Kate.

"Jangan buru-buru merasa menang, Wa


rok!" tukas Mahesa Kelud.

Kali ini Mahesa yang memulai serangan. 

Serangan yang dilancarkannya memang hebat 

bertubi-tubi namun Warok melindungi tubuhnya 

dengan putaran golok yang bergulung-gulung. 

Murid Embah Jagatnata itu kehabisan kesaba-

rannya. Akhirnya pemuda ini keluarkan pedang 

yang tersisip di belakang punggungnya.

"Nah... nah! Itu namanya manusia yang ta-

hu peradatan dunia persilatan. Majulah dengan 

pedang itu, meskipun cuma sebuah pedang cu-

rian!" ejek Warok Kate.

Jawaban dari Mahesa Kelud ialah samba-

ran pedang yang tak terduga. Mulanya Warok 

Kate hendak menangkis serangan ini dengan go-

loknya. Tapi mengetahui bahwa tenaga dalam la-

wannya tidak berada di bawahnya dia urungkan 

niat itu. Apalagi dia maklum bahwa pedang ber-

hulu naga milik si Cakar Setan yang di tangan 

Mahesa Kelud saat itu bukan pedang sembaran-

gan.

Kalau selama jurus-jurus yang lewat Ma-

hesa Kelud cuma bersikap sebagai pihak yang 

bertahan maka sesudah dia bersenjatakan pe-

dang milik Cakar Setan itu keadaan berubah se-

perti siang dengan malam. Pedang Cakar Setan 

bukan pedang sembarangan, sedang yang meme-

gangnya bukan pula manusia sembarangan tapi 

murid Embah Jagatnata yang punya ilmu tinggi 

luar biasa. Keadaan jadi berubah seperti siang 

malam. Warok Kate dibikin kelabakan. Gulungan


sinar kuning dari pedang di tangan Mahesa Kelud 

kelihatan dengan jelas mengurung setiap gerakan 

golok. Setiap serangan yang coba dilancarkan 

oleh kepala rampok itu senantiasa menemui jalan 

buntu di tengah jalan karena siang-siang sudah 

dipapasi atau dipatahkan oleh serangan yang ber-

tubi-tubi dari Mahesa Kelud.

Warok Kate terdesak hebat ke pojok pon-

dok. Tubuhnya sudah basah oleh keringat. Gera-

kannya sudah mulai kacau. Mahesa tidak mem-

beri kesempatan. Serangannya seperti hujan lebat 

menggempur dan membobolkan setiap pertaha-

nan lawan. 

"Celaka!" kutuk Warok Kate dalam hati. 

"Tak disangka bangsat rendah ini punya ilmu 

tinggi!"

Diputarnya goloknya sedemikian rupa coba 

mengimbangi permainan lawan. Tapi jangankan 

untuk mengimbangi, bahkan sebaliknya Warok 

semakin terdesak. Satu kali pedang di tangan 

Mahesa Kelud membabat deras ke dada Warok 

Kate. Kepala rampok dari bukit Jatiluwak ini me-

lompat mundur ke belakang. Tapi ujung pedang 

lawan memburu terus. Dia tak berani mematah-

kan serangan itu dengan memapasi pakai golok 

karena sebelumnya senjata mereka sudah bebe-

rapa kali beradu dan Warok tahu kalau tenaga 

dalam lawannya berada di atasnya. Dia khawatir

kalau goloknya buntung atau terlepas mental 

yang mana tentu akan mencelakakan jiwanya.

Warok Kate melompat lagi ke belakang. Tapi saat itu dia sudah memepet ke dinding sehing-

ga tubuhnya tertahan setengah lompatan. Semen-

tara itu pedang di tangan lawan menyambar deras 

ke kepalanya. Warok Kate terkesiap. Untung dia 

tidak menjadi gugup atau kehilangan akal. Dia 

babatkan golok panjangnya ke perut lawan ber-

samaan dengan itu kaki kanannya mengirimkan 

tendangan ke bawah perut Mahesa Kelud. Murid 

Embah Jagatnata segera bantingkan diri ke 

samping. Pedangnya menghantam dinding kajang 

sampai bobol sedang kedua serangan Warok Kate 

masih sempat dielakkannya dengan sekaligus.

Meskipun serangan pedang Mahesa Kelud 

tidak mengenai sasaran namun goloknya masih 

tertahan oleh dinding kajang sehingga tubuhnya 

tidak sampai terdorong ke muka. Berlainan hal-

nya dengan Warok Kate serangan golok dan ten-

dangan kaki kepala rampok ini dilancarkan den-

gan sekuat tenaga, dan kedua-duanya mengenai 

tempat kosong. Akibatnya tubuh Warok Kate ter-

dorong ke muka. Kesempatan ini dipergunakan 

sebaik-baiknya oleh Mahesa Kelud. Dia geserkan 

kedua kakinya dengan cepat. Bersamaan dengan 

itu jotosan tangan kirinya yang berisi aji "Kela-

bang Merah" dihantamkannya ke pangkal teng-

kuk Warok Kate.

Tak ampun lagi kepala rampok ini menjerit 

tinggi. Tubuhnya mental dan jatuh menelungkup 

di lantai pondok sedang goloknya terlepas. Warok 

gulingkan dirinya menjauhi musuh. Dia berdiri 

dengan sempoyongan. Pangkal tengkuknya yang


kena pukul lawan sakitnya bukan main dan keli-

hatan sangat merah. Dia sadar bahwa bila saja 

tenaga dalamnya masih dalam tingkat tanggung 

tanggungan pasti pukulan "Kelabang Merah" me-

namatkan riwayatnya. Kini Warok maklum bahwa 

meskipun masih muda belia, tapi Mahesa Kelud 

bukan tandingannya. Hatinya sangat dongkol dan 

geram. Darahnya mendidih. Tapi apa daya, il-

munya jauh berada di bawah lawan.

"Ayo Warok! Ambil goloknya, tak usah ma-

lu-malu!" kata Mahesa Kelud.

Muka kepala rampok itu kelihatan sangat 

merah oleh ejekan tersebut. Dia melompat ke 

samping, membungkuk dan mengambil goloknya 

yang di lantai. Kedua matanya memandang penuh 

kegeraman pada Mahesa Kelud. Mulutnya komat-

kamit.

"Bangsat rendah!" maki Warok Kate. "Lain 

kali aku pasti temui kau lagi! Dan kali itu ber-

siap-siaplah untuk mampus!" Warok kirimkan sa-

tu serangan ke dada Mahesa lalu terus melesat 

menuju ke pintu pondok.

"Mengapa lari, Warok?!"

"Anjing ingusan! Satu hari aku akan da-

tang untuk bikin kau mampus!" jawab Warok 

Kate yang sudah berada di luar pondok. Dia tahu 

walau bagaimana pun dia tak akan sanggup me-

layani pemuda ini. Karenanya meskipun darah-

nya mendidih namun dia terpaksa mengundur-

kan diri. Dia sudah bulat tekad bahwa di lain ke-

sempatan dia pasti membuat penyelesaian hitun


gan dengan pemuda itu.

Mahesa Kelud sendiri yang tidak ingin me-

neruskan cari urusan dengan si kepala rampok 

tidak punya tekat untuk mengejarnya


TUJUH


DISETIAP muara sungai biasanya selalu 

terdapat rumah penduduk yang kebanyakan 

mencari hidup dengan menjadi nelayan. Tapi ti-

dak demikian dengan muara sungai Ngulonngi-

dul. Tak ada satu rumah penduduk pun terlihat 

di sana. Tak ada satu gubuk atau teratak nelayan 

pun terdapat di situ. Ini disebabkan karena se-

mua orang yang berdiam agak jauh dari muara 

sungai tersebut sama mengetahui bahwa muara 

sungai Ngulonngidul sangat angker dan ditakuti 

sehingga kalau bukan manusia-manusia yang be-

rilmu tinggi dan sakti serta tidak mempunyai 

urusan sangat penting, pasti tidak akan punya 

nyali untuk berada dekat-dekat ke sana. Bahkan 

para nelayan di pesisir selatan bila pergi ke laut 

senantiasa menjauhi muara sungai itu.

Pernah terdengar kabar ada beberapa 

orang yang tersesat ke sana, tapi kemudian hilang 

lenyap tanpa tentu rimbanya. Kabarnya pula mu-

ara sungai itu mempunyai penghuni yaitu sejenis 

setan tinggi yang pasti akan merampas nyawa 

siapa saja yang berani datang ke sana. Sampai di 

mana kebenaran hal ini tidak satu orang pun dapat memastikan. Tapi baik benar entah tidaknya 

tetap saja tak ada orang yang berani dekat-dekat 

ke sana.

Malam itu gelap gulita. Udara mendung se-

dang di langit tak ada bulan atau pun bintang 

yang memancarkan sinarnya menerangi bumi. 

Dari laut bertiup angin dingin mengandung ga-

ram. Daun-daun pohon kelapa berlambaian dan 

mengeluarkan suara mendesir menambah kese-

raman suasana sekitar muara sungai Ngulonngi-

dul. Diselingi pula dengan suara deburan ombak 

yang bergulung-gulung lalu memecah di pasir, ra-

sa seram itu menjadi lebih kentara.

Tapi anehnya, di malam yang sedemikian 

itu, samar-samar dalam kegelapan kelihatan se-

sosok bayangan berkelebat cepat, berlari kencang 

menuju muara sungai. Tak dapat dipastikan apa-

kah sesosok bayangan ini adalah manusia atau 

setan penghuni sungai Ngulonngidul sendiri! Dia 

berhenti dan berdiri di atas satu unggukan pasir 

laut. Diusapnya mukanya beberapa kali lalu dia 

mulai memandang berkeliling. Dengan kedua ma-

tanya yang tajam dia coba menembus kegelapan 

malam. Ternyata dia seorang manusia juga dan 

tak lain daripada Mahesa Kelud atau Panji Ireng 

adanya.

Pemuda berilmu tinggi ini berada di sekitar 

muara sungai yang angker itu sehubungan den-

gan surat aneh yang ditemukannya dalam pedang 

milik si Cakar Setan. Dia tidak punya maksud 

sama sekali untuk menjadi raja dunia persilatan


dengan jalan berusaha mendapatkan Cambuk Ib-

lis itu. Yang dipentingkan oleh Mahesa Ialah pen-

galaman dan disamping itu siapa tahu dia men-

dapat jalan guna menunaikan tugas gurunya 

yakni mencari pedang Samber Nyawa dan menca-

ri serta membunuh Simo Gembong.

Mahesa tidak tahu dengan pasti dimana 

Gua Iblis itu terletaknya. Tengah dia berdiri se-

perti itu dengan memandang berkeliling menda-

dak dari rerumpunan pohon-pohon dan semak 

belukar yang lebat dan gelap melesat satu benda 

hitam sebesar butiran jagung. Mahesa Kelud 

hampir tidak melihat benda itu. Tapi dia bisa 

mendengar suara desirannya yang mengeluarkan 

angin bersiuran. Tahu bahwa bahaya besar hen-

dak mencelakainya pemuda itu segera melompat 

mundur. Benda hitam lewat. Namun belum lagi 

Mahesa Kelud sempat memalingkan kepala men-

cari sumber dari mana datangnya benda atau 

senjata rahasia itu maka dua butir benda yang 

sama menyusul melesat lagi ke arahnya. Yang 

pertama menyerang ke jurusan lehernya sedang 

yang kedua mengarah bawah perutnya.

Mahesa Kelud terkejut melihat serangan 

yang bisa mematikan ini. Hatinya juga menjadi 

geram karena dia tahu dari serangan tersebut 

musuh gelap yang menyerangnya bermaksud un-

tuk merampas nyawanya. Dengan cepat pemuda 

ini melompat ke atas. Tubuhnya melesat tinggi. 

Senjata rahasia yang tadi mengarah ke bawah pe-

rutnya lewat di selangkangannya sedang yang


mengarah leher dibikin mental dengan lambaian 

tangan kiri berisi kekuatan tenaga dalam ampuh.

Namun penyerang gelap yang bersembunyi 

di balik semak-semak rupanya tidak mau membe-

ri kesempatan pada Mahesa Kelud. Begitu dili-

hatnya pemuda itu berhasil memusnahkan se-

rangannya dia segera lemparkan lagi empat butir 

senjata rahasianya. Secepat kilat murid Embah 

Jagatnata menjatuhkan diri ke tanah. Gerakan-

nya ini sekaligus berhasil mengelakkan dua butir 

senjata rahasia yang menyerangnya. Butiran keti-

ga yang mengarah dadanya dielakkan dengan ja-

lan bergulingan di tanah sedang butiran senjata 

rahasia keempat ditangkapnya dengan tangan ki-

ri. Meskipun telapak tangannya agak pedih ketika 

terbentur senjata musuh tersebut namun tanpa 

menunggu lebih lama Mahesa Kelud segera me-

lemparkan senjata itu ke jurusan semak-semak.

Penyerang gelap yang bersembunyi di balik 

semak-semak mau tak mau jadi terkejut melihat 

senjata rahasianya ditangkap sedemikian rupa 

dan dilemparkan kembali kepadanya. Dengan 

mengeluarkan suara cekikikan melengking di ma-

lam sunyi itu, dia melompat keluar dari tempat 

persembunyiannya.

Sejurus kemudian penyerang ini sudah be-

rada di hadapan Mahesa Kelud. Ternyata dia ada-

lah seorang nenek-nenek, bertubuh kurus tapi 

tinggi, lebih tinggi dari Mahesa. Mukanya cekung 

dan keriputan. Kedua matanya sipit. Rambutnya 

berwarna putih dan jarang sehingga batok kepalanya bisa terlihat dengan jelas. Di setiap telin-

ganya terdapat sepasang anting-anting hitam. Dia 

hanya mengenakan sehelai kain panjang hitam 

yang dipakai lewat dengkul sehingga kakinya 

yang kecil kurus dan bengkok tersingkap sama 

sekali. Di hadapan Mahesa Kelud dia masih terus 

tertawa cekikikan memperlihatkan barisan gigi-

giginya yang sudah banyak ompongnya.

Mau tak mau Mahesa Kelud jadi bergidik 

juga melihat perempuan tua aneh ini. Meskipun 

hatinya masih geram terhadap manusia ini kare-

na tadi dia telah diserang secara pengecut dan 

membabi buta, namun memaklumi bahwa dia 

berhadapan bukan dengan orang sembarangan, 

Mahesa Kelud tidak mau bertindak gegabah. 

Hembusan nafas perempuan tua ini sangat tajam 

dan memerihkan mata. Mahesa kerahkan tenaga 

dalamnya dan bertanya.

"Nenek, kau siapa?"

Yang ditanya cekikikan setinggi langit. Ma-

hesa menggeram dalam hatinya. Tapi dia me-

nunggu dan waspada. "Pemuda, kau rupanya 

punya ilmu yang diandalkan heh?! Kau tahu 

bahwa berada di sekitar sini berarti mencari 

mampus?!"

"Harap dimaafkan kalau kedatanganku 

mengganggu ketentraman Nenek..." kata Mahesa 

Kelud tetap tenang dan menghormat. "Tapi aku 

tidak punya maksud demikian." 

"Ho... ho! Lalu kau punya maksud apa?!"

"Aku tengah mencari di mana letaknya Gua


iblis." menerangkan Mahesa Kelud.

Si nenek tertawa melengking. "Aku sudah 

duga," katanya, ia tudingkan ibu jari tangan ka-

nannya ke dadanya yang rata dan kulitnya keri-

putan. "Aku adalah Nenek Iblis. Aku pemilik Gua 

Iblis itu. Ikut aku...!"

Si nenek berkelebat. Tubuhnya lenyap dari 

hadapan Mahesa Kelud. Pemuda ini segera gera-

kan kaki menyusul si nenek. Meskipun si Nenek 

Iblis tidak dapat dilihatnya dengan jelas ke mana 

larinya, namun dari tertawa cekikikannya yang 

terus menerus terdengar. Mahesa Kelud masih 

sanggup mengetahui ke mana perginya si nenek.

Mahesa lari dengan kencang di antara pe-

pohonan rapat dan sekali-sekali terpaksa melom-

pati semak belukar tinggi. Mendadak tawa ceki-

kian si Nenek Iblis lenyap. Mahesa Kelud meng-

hentikan larinya. Dia memandang berkeliling 

mencari-cari di mana si nenek adanya.

"Anak muda! Kemari!"

Mahesa memutar tubuhnya ke kiri ke arah 

dari mana datangnya suara memanggil itu. Di 

muka sana, di ambang pintu gua besar yang ter-

tutup batu karang tebal berdiri si Nenek Iblis ber-

tolak pinggang. Kepalanya yang berambut putih 

jarang menyondak bagian atas gua. Mahesa Kelud 

melangkah ke hadapan si Nenek Iblis.

Begitu dia sampai di hadapan si Nenek Ib-

lis pertanyaan pertama segera diajukan kepa-

danya. "Kau punya nama siapa?!"

"Jaliteng," jawab Mahesa Kelud berdusta.


"Kau murid siapa?" tanya lagi si Nenek Ib-

lis.

"Si Cakar Setan di kaki gunung Wilis."

Kini tampak perubahan di wajah keriput 

nenek-nenek itu ketika dia dengar nama Cakar 

Setan. Satu seringai kemudian muncul di wajah-

nya. "Pantas kau punya nyali datang ke sini heh! 

Bagus... bagus... bagus Jaliteng! Kau inginkan 

Cambuk Iblis itu, bukan?!"

Jaliteng alis Mahesa Kelud alias Panji Ireng 

mengangguk.

"Tidak mudah untuk mendapatkan senjata 

digjaya itu anak muda...."

"Aku tahu. Tapi aku akan coba Nek."

"Bagus... bagus. Mana itu surat rahasia se-

bagai bukti?!"

Dari dalam sakunya Mahesa Kelud menge-

luarkan surat rahasia yang ditemuinya dalam pe-

dang si Cakar Setan satu minggu yang lewat. 

Waktu diperlihatkan surat tersebut, diam-diam si 

nenek memperhatikan jari-jari tangan Mahesa Ke-

lud. Surat itu diambilnya kemudian dirobek-

robeknya. Tiba-tiba, dengan sangat cepat dan ti-

dak terduga kedua tangan yang tengah merobek-

robek itu melesat ke muka.

"Bukk!"

Dua pukulan yang sangat keras menghan-

tam tubuh Mahesa Kelud dalam waktu yang ber-

samaan. Yang pertama mendarat di ulu hatinya 

sedang yang kedua menghantam pangkal tenggo-

rokannya, tepat pada urat aliran darah. Karena


tak menduga akan dipukul mendadak sedemikian 

rupa dan lagi dua pukulan si Nenek Iblis bukan 

pukulan biasa melainkan berisi tenaga dalam 

yang tinggi, maka tak ampun lagi Mahesa Kelud 

roboh dan jatuh pingsan, melingkar di tanah di 

muka kaki si Nenek Iblis.

Perempuan tua bermuka buruk itu tertawa 

cekikikan beberapa lamanya. Tubuhnya diputar. 

Dengan tangan kanannya digedornya pintu batu 

karang yang menutupi mulut gua. Digedor sede-

mikian rupa anehnya batu karang yang kukuh 

dan tebal segera menggeser membuka.

Dengan tangan kirinya si nenek menyeret 

tubuh Mahesa Kelud ke dalam gua.

Di antara cekikikannya dia berkata: "Pe-

muda hijau hendak menipu aku si Nenek Iblis! 

Mengaku bernama Jaliteng murid si Cakar Setan! 

Hi... hi! Tak apa... tak apa! Pemuda macam kau 

pun sudah cukup bagiku! Hi... hi... hi!!"

Dengan mempergunakan tumit kaki kirinya 

si nenek kemudian menendang batu karang di be-

lakangnya. Batu itu bergeser lagi dan mulut gua 

pun tertutup. Di dalam gua gelapnya bukan main. 

Bila jari-jari tangan diletakkan di muka mata pun 

tidak akan kelihatan. Tapi si nenek yang sudah 

tahu seluk beluk gua itu dan juga memakai pera-

saan serta pendengarannya yang tinggi, berjalan 

dengan seenaknya sambil menyeret tubuh Mahe-

sa Kelud.

Di satu bagian gua terdapat banyak lorong-

lorong kecil. Si Nenek Iblis membelok ke salah satu lorong tersebut kemudian berhenti di hadapan 

dinding yang berbentuk empat segi. Ini adalah se-

buah pintu. Kembali dia pergunakan tangan ka-

nannya untuk menggedor salah satu bagian raha-

sia dari pintu tersebut, dan seperti pintu di mulut 

gua, batu karang berat dan tebal menggeser seca-

ra aneh ke samping.

"Masuk!" bentak si nenek. Tubuh Mahesa 

Kelud ditendangnya sampai mental masuk ke da-

lam ruangan batu karang yang sempit dan gelap. 

Di hadapan pintu itu si nenek tertawa sepuas ha-

tinya.

"Satu korban lagi! Satu korban lagi...!" ka-

tanya. Kemudian pintu digedornya. Batu karang 

penutup pintu tertutup pula dengan rapat.


DELAPAN


ENTAH berapa lama waktu berlalu.... Ma-

hesa Kelud siuman sadarkan diri. Tubuhnya le-

mah lunglai. Tulang-tulangnya terasa sakit. Per-

lahan-lahan dibukakannya kedua matanya. Dia 

jadi terkejut karena sama sekali tidak melihat 

apa-apa selain kegelapan yang amat sangat. Digo-

sok-gosoknya kedua matanya. Masih gelap. Digo-

soknya lagi, tetap saja tidak berubah. Pemuda ini 

menyangka bahwa kedua matanya sudah menjadi 

buta! Kepalanya seperti mau pecah! Dia berteriak 

keras! Tak jelas apa yang diteriakkannya itu. Sua-

ra teriakannya menggema dan menyakitkan anak


telinganya. Dengan penuh keputusasaan pemuda 

ini berdiri sempoyongan. Dia meraba-raba. Tapak 

tangannya menyentuh dinding karang yang san-

gat tebal. Diputarinya ruangan itu. Setiap dia me-

raba selalu saja dinding karang tebal yang dipe-

gangnya. Dinding karang ini dingin dan berlumut.

Mahesa Kelud kini menyadari bahwa di-

rinya dikurung di satu ruang kecil dan gelap tan-

pa jendela atau pun pintu.

"Tapi mustahil tidak ada pintu. Kalau tidak 

ada bagaimana aku dijebloskan ke sini?" pikir si 

pemuda. Dia berkeliling sekali lagi dalam ruangan 

gelap itu. Akhirnya dirasakannya satu legukan 

pada dinding. "Ini mungkin pintunya," pikir Ma-

hesa. Dikerahkannya segala kekuatan dan tenaga 

dalamnya. Dengan bahunya dia dorong bagian 

dinding yang leguk itu berkali-kali. Tapi hasilnya 

nihil. Dicobanya memukul dan menendang. Puku-

lan dan tendangannya berisi aji kesaktian yang 

diajarkan Embah Jagatnata, tapi hasilnya tetap 

kesia-siaan belaka. Tubuh pemuda ini basah oleh 

keringat. Tangan dan kakinya sakit-sakit. Dia ja-

tuhkan diri ke lantai dan duduk bersandar di 

dinding. "Celaka! Bila aku dikurung terus-terusan 

di sini aku bisa mati konyol! Terkutuk perempuan 

tua itu!" kata Mahesa memaki.

Mendadak terdengar ketukan pada dinding 

di mana dia bersandar. Mahesa terkejut. Dipa-

sangnya telinganya. Terdengar lagi suara ketukan 

yang serupa. Lebih jelas. "Orang yang memaki, 

kau siapa?" Suara ketukan disusul oleh suara


pertanyaan halus. Agaknya yang bertanya ini seo-

rang tua renta.

Mahesa Kelud jadi terkejut. Terdengar sua-

ra halus bertanya: "Orang di kamar sebelah, kau 

siapa? Apakah kau tawanan baru?"

"Betul," sahut Mahesa Kelud. "Kau sendiri 

siapa, orang tua...?" balik menanya Mahesa.

"Orang-orang menjuluki aku si Karang Se-

wu. Tapi kini cepat atau lambat akan tamatlah 

riwayat si Karang Sewu!"

Mahesa Kelud terkejut bukan main. Dalam 

dunia persilatan siapa manusianya yang tidak 

kenal dengan si Karang Sewu? Karang Sewu, seo-

rang tokoh kelas satu yang pernah menggetarkan 

dunia persilatan bahkan boleh dikatakan merajai 

dunia persilatan secara tidak resmi, kini tahu-

tahu berada di dalam Gua Iblis itu.

"Aku kena ditipu dan dipenjarakan di sini 

oleh si Nenek Iblis."

Ingat kepada nasibnya sendiri, Mahesa ber-

tanya pula. "Bagaimana kau orang yang lihay bisa 

kena ditipu?"

"Sepuluh tahun yang lalu...."

"Sepuluh tahu yang lalu?" memotong Ma-

hesa. "Jadi selama itu kau sudah dipenjara di si-

ni?"

"Betul. Aku hanya tunggu detik kematian 

saja lagi."

"Ampun..." kata Mahesa dalam hati. "Bila 

aku dipenjarakan sampai sekian lama bisa cela-

ka!" Mahesa memandang ke dinding yang tak kelihatan di hadapannya. "Karang Sewu, selama se-

puluh tahun itu apa kau tidak berhasil mencari 

usaha untuk lari...?"

Si orang tua terdengar menarik nafas da-

lam. "Sebaiknya aku akan tuturkan padamu ri-

wayatku agar menjadi jelas."

"Aku akan dengarkan dengan senang hati, 

Karang Sewu," kata Mahesa sambil rapatkan te-

linga ke dinding.

Karang Sewu mulai tuturkan riwayat.

"Sepuluh tahun yang lewat, ketika aku ma-

sih mengembara di sebelah barat, dari seorang 

pengemis aneh aku mendapatkan sepucuk surat 

rahasia. Surat rahasia ini diberikannya padaku 

karena aku telah selamatkan nyawanya dari satu 

malapetaka. Surat itu pendek dan isinya kalau 

aku tidak salah ditujukan kepada pendekar-

pendekar utama dari delapan penjuru angin. Sia-

pa-siapa di antara mereka yang ingin merajai du-

nia persilatan diajurkan untuk datang ke Gua Ib-

lis di mana terdapat satu senjata ampuh bernama 

Cambuk Iblis."

Sampai di sini sebenarnya Mahesa Kelud 

hendak menyela penuturan itu, hendak mene-

rangkan bahwa dia pun sampai ke gua tersebut 

adalah karena sepucuk surat yang sama. Namun 

Mahesa membatalkan niatnya. Dia biarkan Ka-

rang Sewu merenungkan riwayatnya.

"Menurut si pengemis, surat seperti itu ada 

delapan helai. Lima di antaranya sudah jatuh ke 

tangan pendekar-pendekar silat kelas satu yang


kemudian segera pergi mencari di mana letak Gua 

Iblis tersebut. Sebegitu jauh kelima pendekar itu 

tidak pernah lagi didengar kabarnya. Mereka se-

perti hilang tak tahu rimbanya. Setelah dapatkan 

surat itu diam-diam aku memutuskan untuk 

mencari Gua Iblis. Maksudku bukan untuk men-

jadi raja dunia silat, sama sekali tidak. Aku hanya 

ingin cari pengalaman. Ingin tahu senjata macam 

mana dan bagaimana keampuhannya Cambuk Ib-

lis itu serta ingin menyelidik apa yang telah terja-

di dengan kelima pendekar kelas satu tadi. Ada 

kira-kira dua purnama aku berkeliling baru men-

dapatkan keterangan di mana letaknya gua itu. 

Aku sampai ke sini pada suatu pagi yang men-

dung. Ketika aku berdiri di mulut gua yang tertu-

tup batu karang dengan bingung karena pintu itu 

sukar dibuka, maka aku putuskan untuk meng-

hancurkan batu karang menyumpal mulut gua 

dengan pukulanku yang berisi aji Karang Sewu, 

bukan aku sombong tapi sebegitu jauh tak ada 

satu benda apa pun yang tahan terhadap puku-

lanku...."

"Jika memang demikian mengapa kau ti-

dak hancurkan saja dinding kamar di mana kau 

dipenjarakan saat ini dan melarikan diri?" tanya 

Mahesa Kelud memotong.

"Itulah..." sahut Karang Sewu dan untuk 

kesekian kalinya jago tua ini tarik nafas dalam.

"Nanti dalam kelanjutan penuturanku kau 

akan tahu juga. Ketika baru saja aku ayunkan 

tinju kanan untuk menghancurkan batu karang


yang menutup pintu gua, tiba-tiba melayang satu 

butir benda hitam ke arah tanganku. Melihat ke-

pada bentuknya benda itu serta kecepatan mele-

satnya yang luar biasa, aku segera tahu bahwa 

itu adalah jenis senjata rahasia yang berbahaya. 

Aku tidak mau celaka dan cepat-cepat menarik 

pulang tanganku. Beberapa butir senjata rahasia 

semacam itu menyerangku lagi dari tempat yang 

tersembunyi. Semuanya berhasil kuelakkan. Aku 

mencari perlindungan di balik sebatang pohon 

besar dan berteriak agar musuh gelap yang ber-

sembunyi segera keluar memperlihatkan tam-

pangnya.

Dari atas pohon di belakang gua kemudian 

melayang turun sesosok tubuh perempuan me-

makai kain hitam. Tanpa menimbulkan suara ke-

dua kakinya mencapai tanah di muka pintu gua. 

Perempuan tua ini kemudian kuketahui adalah si 

Nenek Iblis yang memiliki gua. Dia membentakku 

agar datang ke hadapannya. Aku melompat ke 

muka gua. Dia tanya apakah aku mau mencari 

mampus berani-beranian datang ke daerahnya. 

Kuterangkan bahwa aku mencari Cambuk Iblis. 

Dia meminta surat rahasia. Surat itu kuberikan. 

Setelah diperhatikannya lalu dirobek-robeknya. 

Aku berbuat salah. Aku lengah waktu itu. Tanpa 

terduga sama sekali tangan yang tengah merobek-

robek itu tahu-tahu melayang menghantam aliran 

darah dan perutku! Aku tak ingat apa-apa lagi. 

Ketika aku siuman ternyata diriku sudah dibikin 

cacat oleh Nenek berhati iblis itu. Kedua tangan


dan kakiku telah dibacok putus! Si perempuan ib-

lis itu tahu selama kedua tangan dan kakiku ma-

sih tetap utuh, penjara manapun tak sanggup 

mengurungku. Dalam waktu yang singkat aku

akan segera bisa lolos. Karena itu siang-siang, se-

lagi aku pingsan tak berdaya dia pergunakan ke-

sempatan untuk melakukan perbuatan durjana 

itu. Nah, kini kau tahu anak muda. Meskipun 

aku masih tetap memiliki aji kesaktian Karang 

Sewu tak ada gunanya karena aku tidak bisa per-

gunakan tangan ataupun kakiku yang sudah 

buntung!"

"Mengapa dia tidak bunuh kau saja dengan 

seketika?" bertanya Mahesa Kelud.

"Tentu ada sebabnya," sahut Karang Sewu. 

"Si Nenek Iblis tidak ingin melihat tawanannya 

mati dengan cepat. Dia ingin menyiksa sedikit 

demi sedikit dulu sampai akhirnya sang tawanan 

meregang nyawa dengan sendirinya...."

"Maksudmu?" tanya Mahesa Kelud tak 

mengerti.

"Setiap tawanan di sini tak pernah diberi 

makan. Dengan sendirinya mereka akan mati ke-

laparan!"

"Tapi mengapa kau sampai saat ini masih 

hidup? Kau bilang sudah sepuluh tahun dikurung 

di sini padahal tak pernah diberi makan."

"Si Nenek keparat itu memang tidak mem-

beri makan. Tapi dia tidak tahu bahwa di dalam 

sini aku bisa mendapatkan makanan!"

"Makanan? Makanan dari siapa?" tanya


Mahesa Kelud pula.

"Bukan dari siapa-siapa. Anak muda, coba 

kau pegang dinding karang di dekatmu...."

Mahesa ulurkan tangannya dan meraba 

dinding karang di hadapannya.

"Sudah?"

"Sudah."

"Nah, apa yang kau rasakan di dinding 

itu?"

"Dinding ini lembab, licin dan berlumut," 

jawab Mahesa Kelud.

"Betul... betul! Kau tadi menyebutkan lu-

mut! Ya... lumut itulah yang telah menyambung 

nyawaku selama sepuluh tahun di sini. Selama 

aku terpenjara lumut itu yang aku makan...."

Mahesa Kelud menggigit bibir. Dia maklum, 

kalau sampai tahunan pula dia dikurung di ruang 

batu karang itu untuk hidup satu-satunya hanya-

lah dengan makanan lumut. Kemudian terdengar 

lagi suara si Karang Sewu. "Mula-mula sangat ti-

dak enak dan pahit rasanya lumut itu. Pertama 

kali aku makan, aku muntah-muntah. Tapi se-

minggu kemudian aku sudah mulai bisa...."

"Selama sepuluh tahun itu apakah lumut 

di dinding dalam ruanganmu tidak habis-habis?" 

tanya Mahesa.

"Tidak. Kau tahu penjara ini terletak di tepi 

sebuah anak sungai. Udara selalu lembab. Dalam 

waktu satu hari saja lumut-lumut yang baru ber-

tumbuhan dengan cepat."

Mahesa saat itu memang merasakan pe


rutnya sangat lapar. Dikoreknya sedikit lumut da-

ri dinding lalu coba dicicipinya. Sesaat kemudian 

lumut itu diludahkannya ke lantai.

"Hai, ada apa kau meludah-ludah?" terden-

gar suara Karang Sewu dari kamar sebelah.

"Pahit!"

"Apa yang pahit?"

"Lumut ini. Kucoba mencicipinya!"

Si Karang Sewu tertawa perlahan. "Mula-

mula memang terasa demikian, namun lama-

lama kau akan biasa dan lidahmu akan mera-

sanya manis," kata jago tua itu pula. "Anak muda, 

omong-omong kau belum perkenalkan diri dan 

beritahu siapa nama gurumu."

Mahesa berpikir-pikir. Apakah dia akan be-

ri keterangan palsu atau mengatakan dengan ju-

jur siapa dia dan siapa gurunya. "Karang Sewu, 

apa kau sudi dengar riwayatku?"

"Oh tentu sudi. Ceritalah anak muda....


SEMBILAN


"NASIB yang membawaku sampai ke sini 

tiada beda dengan nasibmu. Aku baru saja turun 

gunung dilepas guruku yang bernama Embah Ja-

gatnata. Mungkin kau pernah dengar nama be-

liau...."

"Jagatnata...? Embah Jagatnata?" Karang 

Sewu berpikir-pikir. "Tidak," katanya. "Tak pernah 

kudengar nama itu. Di mana gurumu berdiam?"


"Puncak gunung Kelud." 

"Puncak gunung Kelud? Aneh... selama pu-

luhan tahun gunung itu dianggap angker. Semua 

orang dalam kalangan persilatan sama mengeta-

hui bahwa tak ada orang sakti yang bermukim di 

sana. Ini adalah satu kabar aneh yang aku baru 

dengar. Tapi aku maklum, selama sepuluh tahun 

terkurung di sini, dunia luaran tentu telah ba-

nyak mengalami perubahan. Jago-jago baru ba-

nyak bermunculan. Gurumu pasti seorang sakti 

luar biasa. Kalau tidak mana mungkin dia menca-

ri tempat kediaman di puncak gunung Kelud."

"Guruku biasa saja, Karang Sewu. Kurasa 

ilmunya tak beda dengan yang dimiliki orang-

orang sakti lainnya termasuk kau," kata Mahesa 

Kelud pula.

"Ah... kau pandai merendah diri. Aku suka 

padamu. Tapi kau masih belum beritahu nama-

mu."

"Maaf, aku sampai kelupaan. Aku Mahesa 

Kelud."

Teruskan kisahmu, Mahesa."

"Aku turun gunung. Ketika malam tiba ku-

lihat ada nyala api di kejauhan. Ketika kudatangi 

ternyata nyala api ini adalah sebuah pelita yang 

terletak di atas meja di dalam sebuah pondok. 

Aku masuk. Dan terkejut ketika menemui ada 

orang terkapar di lantai. Tubuhnya mandi darah. 

Mukanya kena bacok.. Orang yang tengah mere-

gang nyawa itu ternyata adalah si Cakar Setan...."

"Cakar Setan!" kata Karang Sewu setengah


berseru karena terkejut. "Apa yang terjadi dengan 

jago silat itu?!"

"Rupanya surat rahasia dari Gua iblis ini 

salah satu di antaranya jatuh ke tangan si Cakar 

Setan. Di lain pihak seorang jago silat yaitu Wa-

rok Kate kurasa mengetahui pula perihal surat itu 

lalu mendalangi tempat kediaman si Cakar Se-

tan...."

"Warok Kate memang seorang kepala ram-

pok tamak dan jahat.!" tukas Karang Sewu.

"Tentunya telah terjadi perang tanding an-

tara kedua pendekar itu. Dan si Cakar Setan ber-

hasil dikalahkan oleh Warok Kate. Kepala rampok 

itu kemudian menggeledah isi pondok kediaman 

Cakar Setan, mencari surat rahasia tersebut. Tapi 

tak berhasil. Dalam keadaan tangannya sendiri 

buntung Warok Kate kemudian tinggalkan si Ca-

kar Setan. Saat itulah aku muncul. Kasihan si 

Cakar Setan. Kedua matanya tidak bisa melihat 

karena tergenang oleh darah yang keluar mem-

banjir dari luka bekas bacokan Warok Kate pada 

mukanya. Dia sangka aku adalah muridnya, Jali-

teng. Lantas saja dia terangkan padaku di mana 

surat rahasia tersebut berada yaitu di dalam pe-

dang...."

"Si Cakar Setan memang seorang cerdik 

dalam hal menyembunyikan apa-apa. Lalu kau 

temui surat itu?" tanya Karang Sewu dari kamar 

sebelah.

"Betul. Ternyata disembunyikan dalam leh-

er ukiran naga pada gagang pedang. Pedang kuning milik si Cakar Setan kuambil, sekarang ada 

padaku...."

"Kau mencurinya?!"

"Aku tidak bermaksud demikian. Tapi ka-

rena aku tahu bahwa senjata itu bukan senjata 

sembarangan dan khawatir sepeninggalku akan 

dicuri orang lain untuk dipergunakan dalam 

maksud-maksud jahat maka aku putuskan untuk 

membawanya. Di satu waktu aku akan berikan 

pedang ini kepada siapa yang berhak mewari-

sinya. Mungkin Jaliteng, murid si Cakar Setan 

sendiri...."

"Tapi di samping Jaliteng, si Cakar Setan 

masih memiliki beberapa orang murid lagi. Satu 

di antaranya seorang gadis! Kau bisa kena celaka, 

Mahesa! Murid-murid si Cakar Setan pasti akan 

menjatuhkan tuduhan kepadamu! Tuduhan berat 

yaitu membunuh guru mereka mencuri pedang 

dan surat rahasia! Mereka pasti mengadu nyawa 

dengan kau sampai seribu jurus!"

"Hal itu bisa dimaklumi!" sahut Mahesa Ke-

lud sambil meluruskan kedua kakinya yang tera-

sa pegal di lantai. "Namun bila aku berhadapan 

dengan salah seorang dari mereka nanti aku akan 

terangkan kejadian yang sebenarnya."

"Memang harus demikian supaya mereka 

tidak salah sangka," ujar Karang Sewu pula. "Te-

ruskanlah kisahmu."

"Ketika aku berniat untuk pergi mendadak 

seseorang menerobos masuk lewat pintu pondok. 

Manusia ini ternyata adalah Warok Kate! Rupanya


diam-diam dia telah mengintip kedatanganku ke 

pondok itu dan mengetahui bahwa surat rahasia 

yang dicari-carinya kini berada di tanganku. Den-

gan membentak dan mengancam dia meminta su-

rat tersebut. Karena aku sudah bertekad untuk 

mempertahankan surat itu maka terjadilah perke-

lahian seru antara kami. Warok Kate, memang 

seorang yang lihay dan gesit. Untung sekali pe-

dang si Cakar Setan ada padaku sehingga setelah 

bertempur belasan jurus Warok Kate yang mulai 

merasakan dirinya terdesak segera ambil keputu-

san untuk kabur. Sebelum berlalu dia masih 

sampaikan ancaman padaku bahwa satu ketika 

dia akan datang kembali untuk merampas nya-

waku!"

"Aku tahu sifat Warok Kate," kata Karang 

Sewu pula. "Ancamannya itu bukan ancaman ko-

song. Dia pasti mencari guru yang lihay. Setelah 

mendapatkan ilmu tambahan baru dia akan 

menghadapi kau mungkin pula dia membawa ser-

ta benggolan-benggolan rampok kawakan lain-

nya...."

Menurut Mahesa Kelud apa yang dikatakan 

orang tua itu memang benar. Dia kembali terme-

nung memikirkan nasibnya yang baru saja turun 

gunung, belum apa-apa tahu-tahu sudah kejeblos 

ke dalam penjara tanpa ada harapan untuk bisa 

kabur melarikan diri. Sampai puluhan tahun dia 

akan mendekam di ruang batu karang yang sem-

pit gelap dan lembab itu sampai akhirnya dia 

menghembuskan nafas penghabisan tanpa sang


gup menunaikan tugas-tugas yang diberikan gu-

runya Embah Jagatnata.

"Bagaimana dengan kelima jago-jago silat 

yang kau terangkan tadi? Apa berhasil mencari 

atau mengetahui jejak mereka?" tanya Mahesa.

"Tidak. Namun kuduga mereka juga sudah 

menjadi korban si Nenek Iblis, dipenjarakan di 

gua ini. Kau tahu di sini terdapat banyak lorong-

lorong dan setiap lorong ada kamar-kamar penja-

ra seperti tempat di mana kita di kurung saat ini. 

Kalau saja kelima orang itu tahu bahwa lumut di 

dinding karang ini bisa dimakan, mungkin mere-

ka masih hidup sampai saat ini...." 

"Kasihan mereka...."

"Ah... mengapa harus kasihan sama mere-

ka? Mengapa harus pikirkan nasib mereka? Kita 

sendiri harus kasihan pada diri kita yang sudah 

ditimpa nasib celaka ini. Kita harus pikirkan na-

sib kita sendiri..." ujar si Karang Sewu pula.

"Karang Sewu," kata Mahesa Kelud. Dia 

putar pembicaraan. "Kau jauh lebih tua dariku. 

Tentu lebih banyak pengetahuan. Aku tidak men-

gerti mengapa pemilik gua ini berhati jahat dan 

menyebarkan surat-surat celaka itu. Siapa si Ne-

nek Iblis ini sebenarnya?"

"Mengapa dia sampai berhati sejahat Iblis, 

ada riwayatnya," jawab Karang Sewu.

"Kalau kau tak keberatan menuturkan-

nya..." mohon Mahesa.

"Aku akan tuturkan. Dulunya si Nenek Ib-

lis ini seorang perempuan baik-baik. Nama aslinya aku tak ingat lagi. Ketika masih belasan ta-

hun dia sudah diambil murid oleh seorang perta-

pa sakti disatu pulau kecil di pantai utara. Me-

nanjak dewasa nyatalah bahwa dia bakal menjadi 

seorang gadis berparas jelita. Banyak pendekar-

pendekar muda yang jatuh cinta tergila-gila pa-

danya. Dia sendiri jinak-jinak merpati. Namun 

demikian akhirnya dia terpikat juga pada seorang 

pemuda berilmu tinggi dan dijuluki Simo Gem-

bong...."

"Simo Gembong?" seru Mahesa Kelud.

"Hai, kau terkejut sekali mendengar nama 

itu. Kau kenal Simo Gembong?" tanya Karang Se-

wu dari kamar sebelah.

"Tidak. Tapi...."

"Tapi apa?"

"Simo Gembong adalah manusia yang aku 

harus cari," menerangkan Mahesa Kelud.

"Hemm... kau punya urusan dengan orang 

itu agaknya?"

Mahesa ragu-ragu seketika lalu membuka 

mulut. "Karang Sewu, ketahuilah bahwa waktu 

aku dilepas turun gunung oleh guruku, beliau 

memberikan dua buah tugas penting padaku. Sa-

lah satu di antaranya ialah harus mencari sampai 

dapat seorang yang bernama Simo Gembong dan 

membunuhnya!"

Di kamar sebelah si Karang Sewu mengge-

leng-gelengkan kepalanya. "Mahesa Kelud," ka-

tanya, "Bukan aku memandang rendah kepada 

ilmumu atau meremehkanmu. Tapi jika Simo


Gembong masih hidup saat ini, kurasa sukar di-

cari orang yang sanggup menandinginya. Aku 

sendiri tidak sungkan-sungkan mengaku bahwa 

ilmuku masih berada di bawahnya. Berbahaya, 

terlalu berbahaya mencari urusan dengan dia 

Mahesa!"

"Tapi Karang Sewu," berkata Mahesa Ke-

lud. "Guruku agaknya juga memaklumi keheba-

tan Simo Gembong tersebut. Karenanya sebelum 

aku mencari dia, Embah Jagatnata menugaskan 

aku agar terlebih dahulu mencari sebuah pedang 

bernama Samber Nyawa. Menurut beliau hanya 

dengan pedang itulah si Simo Gembong bisa di-

habisi riwayatnya."

"Kalau kau sebut-sebut pedang Samber 

Nyawa, itu lain perkara, Mahesa."

"Jadi kau tahu mengenai senjata ini?"

"Semua jago silat dalam dunia persilatan 

pernah mendengar tentang pedang sakti itu. Se-

mua mereka ingin memilikinya. Namun sebegitu 

jauh tidak satu orangpun yang tahu di mana pe-

dang itu berada, termasuk aku. Lambat laun di-

ragukan tentang adanya senjata tersebut. Mahe-

sa... tugas yang diletakkan gurumu di atas pun-

dakmu adalah tugas sangat berat. Nyawa hadan-

gannya."

"Aku maklum Karang Sewu. Tapi sebagai 

murid aku harus laksanakan. Kapan lagi aku 

berbakti kepadanya...."

"Betul, betul.... Tandanya kau seorang mu-

rid yang tahu balas jasa. Mari kuteruskan mengenai riwayat si Nenek Iblis tadi. Jadi semasa ga-

disnya dia adalah seorang gadis yang jelita. Ba-

nyak pemuda tergila padanya sampai suatu hari 

dia terpikat pada Simo Gembong yang juga masa 

itu merupakan seorang pemuda gagah dan beril-

mu. Simo Gembong sebenarnya adalah pemuda 

hidung belang doyan perempuan. Kesempatan ini 

tidak disia-siakannya. Dia segera tempel si gadis. 

Sebagaimana setiap pemuda hidung belang maka 

begitulah, Simo Gembong cuma permainkan itu 

gadis. Ketika dia puas mencicipi tubuh yang in-

dah dan mulai bosan maka dia segera tinggalkan 

si gadis. Padahal saat itu gadis tersebut sudah 

berbadan dua! Si gadis mencari Simo Gembong. 

Celakanya waktu itu dipergokinya Simo Gembong 

sedang meniduri anak gadis orang di satu pondok 

di tengah ladang yang sepi. Si Nenek Iblis tidak 

mau ambil perduli dengan urusan Simo Gem-

bong. Yang penting baginya ialah mendapatkan 

pemuda itu dan meminta pertanggung jawabnya. 

Si Nenek Iblis yang cinta akan Simo Gembong 

mengharap agar mereka bisa buru-buru kawin 

demi menutupi malu karena kandungannya su-

dah membesar. Tapi Simo Gembong mengelak diri 

dan tidak mengacuhkan dia sama sekali. Si Nenek 

Iblis jadi kalap dan mengamuk hebat. Dia serang 

Simo Gembong. Maka terjadilah perkelahian yang 

sangat hebat. Tadinya mereka saling suka sama 

suka dan kini sebaliknya bertekad bulat untuk 

mencabut nyawa satu sama lain. Sekali lagi Simo 

Gembong menunjukkan kepengecutan di mana


dia tidak bertanggung jawab. Tahu bahwa bekas 

kekasihnya itu memiliki ilmu yang lebih tinggi, 

maka ketika dia mulai kepepet dia segera ambil 

langkah seribu dan kabur. Si Nenek Iblis menge-

jar dan memburunya terus. Tapi Simo Gembong 

hilang lenyap seperti di telan bumi. Sampai saat 

ini tidak satu orangpun tahu di mana dia berada. 

Cuma satu hal yang dapat dipastikan ialah bahwa 

tentunya, kalau dia masih hidup maka ilmu silat 

dan kesaktiannya tentu sudah mencapai tingkat 

yang tinggi, yang bukan sembarang orang bisa 

mencapainya...."

"Bagaimana dengan si Nenek Iblis sesudah 

dia tak berhasil menemui Simo Gembong?" tanya 

Mahesa Kelud.

"Beberapa bulan sesudah Simo Gembong 

lenyap maka diapun melahirkan. Ternyata anak 

haram jadah yang ia brojotkan ke dunia ini ada-

lah seorang laki-laki dan celakanya tampangnya 

sangat sama dengan Simo Gembong. Sudah ba-

rang tentu dendam si Nenek Iblis terhadap Simo 

Gembong menggejolak kembali, ditambah pula 

bahwa itu adalah anak haram jadah maka tanpa 

hati kemanusiaan sedikit pun si Nenek Iblis lan-

tas saja bunuh itu bayi! Sejak dia membunuh 

anak sendiri, sejak itu sifatnya yang kejam dan 

terkutuk menjadi-jadi. Dia membenci kepada se-

mua orang, terutama terhadap laki-laki yang ber-

tampang gagah dan punya ilmu tinggi. Di mana-

mana dia mencari lantaran, menganiaya dan 

membunuh. Sementara itu dia tak henti-hentinya


mengelana mencari Simo Gembong. Sambil men-

gelana dia menyebar maut. Dan ketika puluhan 

tahun kemudian dia sudah menjadi seorang ne-

nek-nenek maka orang-orang menggelarinya si 

Nenek Iblis. Kurasa gelar itu sangat cocok."

"Lantas apa perlunya si Nenek Iblis menye-

barkan delapan surat rahasia itu?" tanya Mahesa 

Kelud.

"Dengan dua maksud," jawab Karang Se-

wu. "Pertama untuk mengundang pendekar-

pendekar kawakan di delapan penjuru angin. Dan 

jika mereka datang ke sini lantas dipenjarakan 

hidup-hidup tanpa diberi makan sampai akhirnya 

mereka menemui ajal mati kelaparan. Ini adalah 

disebabkan karena lekatnya sifat membenci da-

lam diri si Nenek Iblis terhadap setiap laki-laki 

karena seorang laki-lakilah yaitu Simo Gembong 

yang telah merusakkan kehidupannya. Maksud 

yang kedua tak lain adalah untuk memancing da-

tangnya Simo Gembong sendiri ke Gua Iblis ini. 

Dan bila ini benar-benar kejadian maka mungkin 

akan kesampaian maksud si Nenek iblis untuk 

membalas dendam. Namun sebegitu jauh, sampai 

saat ini Simo Gembong tak pernah kelihatan mata 

hidungnya. Hilang lenyap seperti gaib. Entah ma-

sih hidup entah sudah berkubur...."

"Bagaimana dengan Cambuk Iblis yang ter-

tera dalam surat rahasia itu?" tanya Mahesa. 

"Sudah aku katakan kita semua yang da-

tang ke sini tertipu. Cambuk Iblis itu sama sekali 

tidak pernah ada!" sahut Karang Sewu.


Mahesa Kelud tak habisnya menyumpah 

dan memaki dalam hati. Tapi apa mau dikata.

Dirinya sendiri sudah kena dikeram dalam 

Gua Iblis itu!



SEPULUH


MENDADAK di luar terdengar lapat-lapat 

suara menderu yang halus. Mahesa Kelud pasang 

telinganya, coba menduga suara apa itu adanya, 

tapi tak berhasil. Diketuknya dinding karang di 

sampingnya.

"Karang Sewu..." dia memanggil.

"Ya, ada apa Mahesa?" terdengar suara si 

orang tua dari kamar sebelah.

"Kau dengar suara menderu di luar sana?" 

"Oh itu? Tak usah khawatir. Itu cuma sua-

ra hujan dan derasnya arus sungai di belakang 

dinding karang ini," menerangkan Karang Sewu.

Sunyi seketika. Lalu terdengar suara si 

orang tua bertanya. "Mahesa, kau tahu bahwa 

kau tak akan bisa keluar lagi hidup-hidup dari 

penjara iblis ini?"

Mahesa Kelud tak menjawab. "Tak ada seo-

rang pun di dunia luar yang sanggup menolong 

kita."

"Sebaiknya kita tak usah bicarakan hal 

itu," kata Mahesa Kelud jadi tidak enak. "Bukan-

kah lebih bagus bila kita berpikir berusaha men-

cari akal agar bisa keluar dari sini


"Sudah sejak sepuluh tahun lalu aku men-

cari akal anak muda," ujar si orang tua pula. 

"Dan buktinya sampai saat ini aku masih tetap 

mengeram di sini, menunggu mampus!"

"Namun tidak ada yang tidak mungkin di 

atas jagat ini. Siapa tahu ada yang akan meno-

long kita."

"Betul, Mahesa. Betul sekali katamu. Kau 

mungkin bisa ditolong tapi aku tidak. Kau mung-

kin bisa lolos tapi aku tidak. Dan aku ingin agar 

kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!"

"Kau punya akal?" tanya Mahesa Kelud pe-

nuh harapan seraya ingsutkan diri lebih rapat ke 

dinding.

"Akal dan cara," jawab si Karang Sewu. 

"Katakanlah!" ujar Mahesa tak sabaran. 

"Tapi sebelumnya kau mau berjanji? Yaitu bila 

aku tolong kau maka apa kau mau tolong aku?"

"Sudah barang tentu! Bila saja aku berhasil 

keluar dari penjara batu karang ini maka aku 

akan adu jiwa untuk selamatkan kau!"

"Oh, bukan... bukan itu maksudku," kata 

Karang Sewu pula.

"Lantas?"

"Dengar Mahesa, aku tolong kau keluar da-

ri sini dan sebagai ganti budi aku minta agar kau 

melaksanakan beberapa tugas. Tugas-tugas yang 

berat, Mahesa."

"Melaksanakan tugas-tugas berat bagiku 

adalah lebih baik daripada terkurung di sini menunggu ajal!"

"Bagus aku gembira kau bicara demikian. 

Aku akan beritahu tugas-tugas itu lebih dahulu, 

baru cara bagaimana aku menolongmu lolos dari 

sini. Pertama, bila kau sudah berada di luar nanti 

maka pergilah ke barat, ke daerah kesultanan 

Banten, hambakan dirimu di sana karena aku 

mendapat firasat bahwa Banten kini tengah bera-

da dalam kekalutan. Bila kekalutan itu berakhir 

sudah maka berarti selesainya tugasmu. Sanggup 

kau laksanakan tugas yang pertama ini?"

"Dengan doa restumu, Karang Sewu."

"Bagus. Sekarang tugas yang kedua atau 

yang terakhir. Pergilah ke Lembah Maut yang ter-

letak di tanah utara di mana bersarang seorang 

gadis berhati jahat digelari si Dewi Maut. Dia te-

lah membunuh dua orang anak laki-lakiku. Ku-

harapkan kepadamu agar kau bisa menuntut ba-

las untukku. Sanggup?"

"Sanggup Karang Sewu," kata Mahesa Ke-

lud tanpa ragu-ragu. Meskipun dua tugas yang 

dipikulkan gurunya sendiri di pundaknya belum 

terlaksana dan kini mendapat dua tugas tamba-

han yang tak kalah beratnya namun bagi Mahesa 

itu adalah lebih baik daripada harus mengeram 

menunggu mati di dalam penjara Gua Iblis.

"Nah, sekarang aku akan terangkan pada-

mu cara bagaimana aku bisa menolongmu lolos 

dari sini," kata Karang Sewu.

Mahesa Kelud merasakan dadanya berde-

bar. Kemudian didengarnya suara si orang sakti 

dari balik dinding. "Dengar baik-baik, Mahesa.


Mulai saat ini aku akan ajarkan kepadamu aji ke-

saktian pukulan Karang Sewu. Dengan memper-

gunakan ilmu pukulan itu nanti kau akan sang-

gup menghancurkan dinding karang dan melari-

kan diri!"

"Kalau begitu aku akan panggil kau guru, 

Karang Sewu!" seru Mahesa Kelud penuh gembi-

ra.

"Ah, tak usah pakai peradatan segala Ma-

hesa."

"Bila nanti kau sudah keluar, aku akan se-

gera tolong kau menyelamatkan diri dari sini," 

berjanji pemuda itu.

"Tentang diriku tak usah dipikirkan. Dalam 

keadaan tubuh yang cacat seperti ini hidup di 

dunia bebas tak ada artinya bagiku. Biar aku te-

tap mengeram di sini menunggu ajal, tak usah di-

pikirkan. Yang penting jalankan tugas yang aku 

pikulkan atasmu. Dengan demikian aku bisa 

menjadi puas."

"Baiklah kalau itu maumu," ujar Mahesa 

Kelud namun dalam hatinya dia tetap berniat un-

tuk bebaskan si orang tua.

"Nah, Mahesa. Bersiap-siaplah untuk me-

nerima pelajaran permulaan.

"Baik guru."

Dua bulan berlalu seperti tak terasa... 

"Mahesa, syukur kau sudah mempunyai 

dasar ilmu dalam yang sangat tinggi sehingga kini 

kurasa kau sudah memiliki ilmu pukulan Karang 

Sewu, sama dengan yang kumiliki. Kau tinggal


memilih waktu saja lagi kapan kau akan melari-

kan diri dari sini. Lebih cepat lebih baik."

"Kalau aku memiliki ilmu pukulan yang 

ampuh, maka itu adalah berkat keikhlasanmu, 

Karang Sewu. Aku mengucapkan terima kasih 

dan tak akan lupakan budimu. Kalau kau tak ke-

beratan aku akan pergi sekarang juga."

"Ya, pergilah Mahesa. Hati-hati dan jangan 

lupa tugas yang kupikulkan padamu."

"Menghindarlah ke sudut ruangan, Karang 

Sewu. Aku akan bobolkan dinding yang memba-

tasi tempat kita agar kita berdua bisa keluar sa-

ma-sama."

"Mahesa, kau tidak ingat kata-kataku tem-

po hari. Jangan pikirkan aku, tak usah tolong di-

riku. Kau pergilah sendirian. Aku...."

Karang Sewu hentikan kalimatnya dengan 

serta merta ketika di luar sana mendadak terden-

gar suara tertawa cekikikan. Mahesa sendiri juga 

terkejut.

"Mahesa, larilah! Cepat sebelum si Nenek 

Iblis itu mengetahuinya!" kata Karang Sewu. 

"Hi... hi... hi! Tidak ada satu manusia pun 

yang bisa lari dari sini! Tidak satu manusia pun! 

Karang Sewu, rupanya kau sudah bosan hidup... 

sudah mau cepat-cepat pergi ke neraka. Aku den-

gar semua apa yang kau bicarakan dengan itu 

pemuda. Karenanya kau harus mampus saat ini 

juga."

Dari tempat di mana dia berada Mahesa 

Kelud mendengar dinding karang digedor lalu suara benda berat bergeser yang disusul dengan su-

ara tertawa cekikikan menegakkan bulu roma. 

Mahesa segera tahu bahwa si Nenek iblis tengah 

membuka pintu karang di tempat di mana Karang 

Sewu dipenjarakan. Tanpa menunggu lebih lama 

pemuda ini kerahkan aji kesaktian yang diteri-

manya dari si orang tua. Tangan kanannya terasa 

panas dan bergetar. Tangan kanan yang memben-

tuk tinju itu kemudian dihantamkannya ke muka.

"Braak!!!"

Sungguh luar biasa! Dinding karang di ha-

dapannya ambruk bobol. Karena pintu di kamar 

sebelah terbuka maka di antara sinar tipis yang 

masuk, samar-samar Mahesa Kelud dapat melihat 

si Nenek Iblis. Dia segera menerobos masuk ke 

kamar sebelah itu. Tapi Mahesa Kelud terlambat. 

Dengan satu gerakan cepat luar biasa si Nenek 

Iblis yang menggenggam pedang pada tangan ka-

nannya melompat ke muka dan menghunjamkan 

senjata itu dalam-dalam ke dada Karang Sewu 

yang terbaring tanpa daya di lantai. Orang tua ini 

mengeluh tinggi. Nyawanya melayang seketika itu 

juga.

"Perempuan laknat!" maki Mahesa Kelud 

seraya mencabut pedangnya dari balik punggung.

"Pemuda sedeng!" semprot si Nenek Iblis. 

"Berani memaki aku! Apa tidak tahu nyawamu 

hanya tinggal sekejapan mata saja?! Kau akan se-

gera susul anjing tua itu!"

Si Nenek Iblis cabut pedangnya dari dada 

Karang Sewu yang sudah menjadi mayat dan menangkis sambaran pedang Mahesa Kelud yang 

menderas ke arah kepalanya.

Trang!

Dua senjata beradu keras mengeluarkan 

suara nyaring. Bunga api memercik. Kedua mu-

suh itu sama-sama mundur ke belakang. Mahesa 

merasakan tangannya bergetar, sebaliknya si Ne-

nek Iblis merasa tangan kanannya panas dan pe-

das! Mau tak mau ini membuat dia terkejut. Tidak 

menunggu lebih lama dia segera putarkan pe-

dangnya sampai mengeluarkan suara menderu. 

Namun Mahesa tidak kalah sigap. Gerakan pe-

dangnya yang tidak terduga-duga memaksa si 

Nenek Iblis mengambil sikap bertahan. Demikian-

lah di dalam ruangan yang samar-samar itu ke-

dua manusia tersebut bertempur dahsyat. Yang 

satu perempuan yang lain laki-laki. Yang satu su-

dah tua renta sedang yang lain masih muda belia! 

Mereka lebih banyak mempergunakan perasaan 

dari pada penglihatan.

Si Nenek Iblis memaki dalam hatinya keti-

ka dia kena didesak keluar kamar. Tanpa perdu-

likan tata cara persilatan tangan kirinya menyeli-

nap cepat ke balik kain yang dipakainya. Ketika 

tangan itu keluar maka melayanglah tiga butir 

senjata rahasia ke jurusan Mahesa Kelud.

"Licik!" teriak si pemuda seraya miringkan 

kepalanya dengan cepat. Dua buah senjata raha-

sia yang menyerang ke arah sepasang matanya 

lewat. Yang ketiga dibuat mental dengan lambaian 

tangan kiri!


Si Nenek menggerakkan tangannya kembali 

tapi kali ini Mahesa Kelud tidak mau memberi ke-

sempatan. Tubuhnya melesat ke muka. Pedang 

membabat bersiuran sedang kaki kanan menen-

dang ke tangan kiri lawannya. Si Nenek miring-

kan tubuh. Tendangan kaki kanan Mahesa lewat. 

Serangan pedang ditangkis dengan pedang. Untuk 

kesekian kalinya sepasang senjata itu beradu lagi. 

Tapi kali ini si Nenek Iblis sudah kepayahan dan 

kehabisan tenaga. Pedangnya terlepas dan men-

tal.

"Celaka!" kata si Nenek Iblis dalam hati. 

Dia melompat mundur menjauh lalu putarkan 

tubuh hendak lari.

"Perempuan iblis! Mau lari ke mana?!" te-

riak Mahesa seraya lari mengejar. Tapi si Nenek 

Iblis sudah lenyap di dalam salah satu lorong gua 

yang sangat gelap!



SEBELAS



MAHESA Kelud geram bukan main. Tapi 

apa mau dikata. Musuh besarnya itu sudah le-

nyap. Dia tidak mau mengejar karena dalam lo-

rong gua yang gelap itu akan mudah bagi si Ne-

nek Iblis untuk membokong mencelakainya. Pe-

muda itu putar tubuh dan masuk ke dalam ruan-

gan batu karang di mana sebelumnya Karang Se-

wu dipenjarakan. Dia berlutut di hadapan mayat 

Karang Sewu. Hatinya terharu. Bukan saja terharu melihat tubuh cacat dari si orang tua tapi juga 

terharu karena Karang Sewulah yang menyela-

matkan nyawanya keluar dari penjara maut itu 

dan kini manusia sakti yang telah menolongnya 

itu harus mati dalam keadaan seperti itu.

"Karang Sewu," kata Mahesa Kelud. "Aku 

bersumpah di hadapan mayatmu untuk membu-

nuh si Nenek Iblis!" Diangkatnya mayat si orang 

tua dan diletakkannya di bahu kirinya. Mahesa 

meninggalkan tempat itu, mencari jalan keluar. 

Setiap dia menemui dinding karang yang meng-

hadang, dia pergunakan pukulan Karang Se-

wunya untuk membobolkan dinding tersebut. Ak-

hirnya ketika dia membobolkan untuk kesekian 

kalinya dinding karang di hadapannya maka ma-

suklah sinar terang yang menyilaukan mata. Ter-

nyata sinar matahari. Mahesa menarik nafas lega. 

Kini dia sudah sampai di luar gua maut itu. Un-

tung sekali saat itu hari siang sehingga tidak su-

kar bagi si pemuda untuk mencari tanah yang 

baik guna menguburkan mayat Karang Sewu.

Mahesa Kelud kemudian teringat akan lima 

orang pendekar silat yang diceritakan oleh Karang 

Sewu tempo hari. Jika mereka benar-benar men-

jadi tawanan si Nenek Iblis... dan masih hidup 

saat itu... Mahesa bulatkan tekat bahwa dia ha-

rus menolong kelima pendekar yang malang itu. 

Dibuatnya sebuah obor. Lalu dia melangkah ma-

suk ke dalam gua melalui bagian yang bobol dari 

mana dia keluar tadi. Tapi baru saja dia sampai di 

hadapan bagian gua yang bobol itu mendadak


sontak terdengar suara tertawa cekikikan di bela-

kangnya.

Pemuda ini terkejut dan cepat putar tu-

buhnya. Di hadapannya berdiri si Nenek Iblis. Di 

tangan kanannya tergenggam sebatang tombak 

aneh bermata tiga sedang pada tangan kirinya 

ada sebuah senjata lain dari yang lain yaitu se-

buah kendi! Sekilas pandang kendi itu tak ubah-

nya seperti kendi-kendi lain yang terbuat dari ta-

nah liat. Tapi Mahesa tahu bahwa kendi yang ada 

di tangan Nenek Iblis saat itu adalah terbuat dari 

besi dan merupakan senjata yang berbahaya! 

Namun dari semuanya itu, apa yang sangat men-

gejutkan Mahesa Kelud ialah bahwa si Nenek Iblis 

yang berdiri di hadapannya saat itu sama sekali 

tidak berpakaian alias telanjang bulat!

"Perempuan edan!" maki Mahesa dalam ha-

tinya. Diperhatikannya tubuh Nenek Iblis yang 

kurus tinggi, seluruh kulitnya hitam keriputan. 

Buah dadanya yang hampir sama rata dengan tu-

buhnya kelihatan bergoyak-goyak melepet karena 

tertawanya yang cekikikan.

"Ha...! Ha...! Kau terkejut Mahesa Kelud?! 

Pandangi tubuhku yang bagus ini baik-baik! Kau 

tidak punya kesempatan lama untuk menikma-

tinya karena sebentar lagi nyawamu akan ming-

gat ke neraka!"

"Perempuan terkutuk!" maki Mahesa. Ber-

samaan dengan itu dilemparkannya obor yang di 

tangannya ke muka si nenek. Nenek Iblis me-

nangkis obor itu dengan tombak di tangan kanannya. Lalu sambil mengeluarkan suara jeritan 

melengking mengerikan tubuhnya melesat ke ha-

dapan Mahesa Kelud.

Si pemuda tidak tunggu lebih lama. Dia se-

gera cabut pedang milik Cakar Setan yang tersisip 

di punggungnya. Senjata ini diputarkannya sede-

mikian rupa untuk menangkis dan melindungi di-

rinya dari serangan ganas Nenek Iblis. Pedang 

dan tombak beradu. Suaranya berdencing dan 

meskipun hari siang tapi samar-samar masih ke-

lihatan bunga api. Tubuh si Nenek Iblis sem-

poyongan sedang tubuh Mahesa Kelud tidak ber-

gerak sedikit pun! Ini tak lain berkat keampuhan 

ilmu Karang Sewu yang dimilikinya. Meskipun ta-

hu bahwa tenaga dalam lawannya lebih tinggi 

namun Nenek Iblis yang sudah seperti kalap terus 

saja mengirimkan serangan kedua.

Dia tusukkan tombak bermata tiganya ke 

arah dada Mahesa Kelud. Si pemuda menggeser 

tubuhnya ke samping tapi ujung tombak itu den-

gan cepat mengikuti arah elakannya. Mahesa per-

gunakan pedangnya untuk memapas tombak. Ta-

pi tak terduga Nenek Iblis enjot tubuh dan mele-

sat tinggi ke atas. Saat itu dengan berbarengan 

dia lancarkan dua serangan sekaligus!

Yang pertama yaitu serangan tombak ber-

mata tiga menusuk lurus dengan deras dari atas 

ke arah batok kepala Mahesa Kelud yang tertutup 

dengan sapu tangan putih. Sedang yang kedua 

adalah hantaman senjata berbentuk kendi men-

garah lambung Si pemuda. Jika Mahesa membungkuk mengelakkan tusukan tombak maka 

senjata yang berbentuk kendi pasti akan meng-

hantam dagunya. Sebaliknya jika dia melompat 

maka tusukan tombak niscaya menembus kepa-

lanya!

Dalam posisi yang menegangkan itu tiba-

tiba Mahesa keluarkan suara membentak meng-

geledek! Lutut kiri dilipat, kepala dimiringkan. Dia 

enjot kaki kanannya dan sedetik kemudian tu-

buhnya rebah jungkir balik ke belakang! Seran-

gan tombak dan kendi besi lewat sekaligus. Den-

gan gusar si nenek memburu ke muka untuk ki-

rimkan serangan berantai. Tapi ketika jungkir ba-

lik ke belakang tadi Mahesa Kelud tidak bodoh. 

Dia babatkan pedang kuning di tangannya ke 

arah perut Nenek Iblis, membuat perempuan ber-

hati setan ini terpaksa menarik pulang serangan-

nya. Untuk menangkis senjata Mahesa dia tidak

punya nyali karena dia maklum akan kalah tena-

ga dalam.

Jurus selanjutnya Mahesa Kelud yang 

membuka serangan. Pedangnya berputar tak me-

nentu, menyerang ke bagian-bagian mematikan 

dari tubuh si Nenek Iblis yang telanjang bulat. Pe-

rempuan itu tidak mau kalah. Tubuhnya berkele-

bat cepat seperti bayang-bayang. Ilmu mengen-

tengi tubuhnya memang patut dikagumi. Tapi wa-

lau bagaimanapun pemuda yang menjadi tandin-

gannya tetap berada di atas angin. Memasuki ju-

rus ke sembilan terlihatlah Mahesa mulai mende-

sak si Nenek Iblis ke arah semak-semak. Dengan


lebih mempercepat gerakannya si Nenek Iblis co-

ba untuk bertahan bahkan sekali dua ganti me-

lancarkan serangan. Tapi tidak ada guna. Mahesa 

tidak memberikan kesempatan padanya. Gulun-

gan pedang kuning seakan-akan mengurung tu-

buh si Nenek Iblis dan dia terdesak hebat!

"Keparat!" gertak Nenek Iblis penuh geram. 

Dia pasang kuda-kuda baru dan ketika dia lan-

carkan serangan maka gerakan ilmu silatnya be-

rubah sama sekali. Sangat gesit dan serangan-

serangan yang dilancarkannya tidak terduga. Ma-

hesa dibikin sibuk kini! Tapi pemuda ini tetap te-

nang. Gerakannya diperhitungkannya benar-

benar.

"Nah... nah Jaliteng palsu! Nyawamu sudah 

tinggal sekejapan mata lagi! Sebutkan nama gu-

rumu!"

"Perempuan bejat pembunuh anak kan-

dung sendiri!" balas memaki Mahesa Kelud. "Tak 

usah banyak bacot!" Pemuda ini kirimkan satu 

tusukan ke dada lawannya tapi dengan mudah 

dielakkan oleh si Nenek Iblis. Namun demikian 

perempuan ini salah duga, tak tahu kalau seran-

gan empuk itu adalah tipuan belaka. Dengan ke-

susu dan sembrono begitu mengelak dia segera 

hantamkan kendi besinya ke arah sambungan si-

ku lawan. Mahesa sengaja tidak menghindarkan 

tangannya cepat-cepat dan si Nenek sudah dapat 

membayangkan bagaimana sesaat lagi siku la-

wannya itu akan menjadi hancur luluh!

Si Nenek Iblis menjadi terkejut ketika kendi


besinya sudah sangat dekat dengan siku lawan 

tiba-tiba Mahesa Kelud melesat ke udara. Nenek 

Iblis hantamkan mata tombaknya ke perut pemu-

da itu. Tapi dia terlambat. Siku kanan Mahesa 

yang dahsyat lebih dahulu menghantam rahang-

nya.

Si Nenek menjerit keras. Tubuhnya mental 

dan terguling beberapa tombak. Mahesa tetap 

berdiri di tempatnya dengan pedang di tangan, 

memperhatikan tak berkesiap. Perempuan bejat 

ini berdiri terhuyung-huyung. Mukanya menge-

lam sedang rahangnya kelihatan merah dan 

bengkak besar. Kepalanya yang berambut putih 

jarang itu miring. Mulutnya kini menjadi men-

cong! Kedua matanya memandang garang tak 

berkedip pada Mahesa Kelud. Dia maju selangkah 

demi selangkah mendekati si pemuda.

"Setan alas! Mampuslah!" Bersamaan den-

gan makian itu Nenek Iblis menyerbu ke muka. 

Dia ayunkan kendi besinya ke pinggang Mahesa. 

Tombak di tangan kanan menusuk ke arah teng-

gorokan. Mahesa miringkan kepalanya. Ketika 

tombak lewat dengan tangan kiri dia coba memu-

kul pangkal ketiak si nenek. Tapi dengan gesit, 

meskipun sudah kena cedera perempuan tua itu 

masih sanggup mengelak sambil kirimkan ten-

dangan kaki kanan sementara kendi besinya 

mencari sasaran di pinggang Mahesa.


DUA BELAS


MURID Embah Jagatnata babatkan pe-

dangnya dari atas ke bawah. Maksudnya sekali-

gus hendak memapas dan memusnahkan ten-

dangan serta serangan kendi besi lawan yang 

sangat berbahaya.

Tapi dengan cerdik segera Nenek Iblis hun-

jamkan tombaknya ke bahu Mahesa membuat 

pemuda ini terpaksa pergunakan pedangnya un-

tuk menangkis. Tombak si Nenek Iblis putus kena 

dibabat oleh pedang kuning. Bersamaan dengan 

itu Mahesa membuang diri ke samping. Meskipun 

dia bisa luput dari hantaman kendi besi tapi tak 

urung tendangan kaki Nenek Iblis bersarang juga 

di pinggulnya. Mahesa terhuyung-huyung bebe-

rapa langkah. Jangankan mengeluh sakit, menge-

renyit pun pemuda ini tidak! Melihat tendangan 

dahsyatnya tidak berhasil merobohkan lawan Ne-

nek Iblis jadi beringas. Dilemparkannya patahan 

tombaknya ke arah Mahesa. Si pemuda menghan-

tam patahan tombak tersebut dengan pedangnya 

sehingga terpotong dua lagi dan bermentalan.

Dengan dua senjata di tangan Nenek Iblis 

belum tentu bisa melayani Mahesa apalagi kini 

cuma dengan kendi besi itu saja. Menyadari hal 

itu si Nenek Iblis segera gerakkan tangannya ke 

arah konde kecil di belakang kepala. Konde itu 

terlepas dan di tangan kirinya kini kelihatan satu 

tusuk konde berwarna hijau. Mahesa Kelud tidak


mau meremehkan tusuk konde kecil itu. Dia tahu 

bahwa benda semacam itu besar juga bahayanya 

bila tidak waspada. Dan bukan mustahil kalau 

tusuk konde tersebut diberi racun berbisa!

"Seranglah, anak muda!" kata si Nenek Ib-

lis. Kedua tangannya dikembangkannya ke samp-

ing sehingga susunya yang sudah rata jadi tam-

bah rata dan memuakkan untuk dipandang. "Se-

ranglah!" teriaknya sekali lagi ketika Mahesa ma-

sih tetap berdiri di tempatnya.

"Kalau kau tidak punya nyali, ini rasakan!" 

Si Nenek melompat ke muka. Gerakannya seperti 

seekor alap-alap hendak menyambar anak ayam. 

Setengah lompatan tiba-tiba kedua tangannya 

bergerak ke muka. Maksudnya hendak mengge-

rus kepala Mahesa Kelud. Si pemuda mendon-

gakkan kepalanya ke belakang seraya kirimkan 

tusukan pedang ke perut lawan yang telanjang. 

Menyadari bahwa ujung pedang yang lebih pan-

jang akan mengenai tubuhnya lebih dahulu Ne-

nek iblis cepat ayunkan kendi besinya ke arah 

lengan Mahesa sambil miringkan tubuh. Mau tak 

mau Mahesa tarik pulang tangannya. Arah seran-

gan pedangnya dirubah ke tangan kiri lawan yang 

memegang tusuk konde. Si Nenek pagi-pagi su-

dah merubah kedudukannya sehingga tusuk 

konde yang di tangan kirinya kalau tadi menye-

rang kepala kini menusuk ke arah leher.

Mahesa Kelud terkejut ketika merasakan 

angin dingin menyambar keluar dari tusuk konde 

di tangan kiri Nenek Iblis. Pasti sudah bahwa senjata itu mengandung racun sangat berbisa dan 

jahat. Dengan cepat dia menggerakkan tubuhnya 

ke samping kanan. Si Nenek Iblis memburu. Tapi 

dia kena tertipu! Meskipun tubuh lawannya dili-

hatnya miring ke samping kanan namun dengan 

menggeserkan kedua kakinya cepat sekali maka 

Mahesa tahu-tahu sudah melesatkan diri ke 

samping kiri. Dengan sendirinya kedua senjata si 

Nenek Iblis lewat. Akibat menyerang sasaran ko-

song tubuh perempuan jahat itu menjadi ter-

huyung-huyung. Dalam keadaan itu dia tidak da-

pat lagi mengelakkan kaki kanan Mahesa yang 

menyerang ke arah perutnya yang telanjang!

Untuk mengelak si Nenek Iblis sudah tidak 

punya kesempatan. Satu-satunya jalan menyela-

matkan diri hanyalah dengan mempergunakan 

kendi besi di tangan kanannya untuk dipakai 

memukul kaki Mahesa Kelud. Si Nenek Iblis men-

gadu untung! Sedetik kemudian kaki kanan Ma-

hesa Kelud saling beradu dengan kendi besi. Ter-

dengar suara seperti letusan. Kendi besi Nenek Ib-

lis mental ke belakang sedang Mahesa merasakan 

kaki kanannya kesemutan. 

Si Nenek Iblis mulai jeri. Mahesa maklum 

kalau lawannya mulai bimbang untuk menghada-

pinya terus. Tanpa menunggu lebih lama pemuda 

sakti ini segera menyerang. Pedang milik si Cakar 

Setan yang di tangan kanannya menderu bergu-

lung-gulung. Dengan hanya mengandalkan tusuk 

konde dan kegesitannya si Nenek tak bisa mem-

pertahankan diri. Dia terdesak hebat. Kedua matanya yang sipit berputar liar mencari kesempa-

tan untuk larikan diri.

"Mau coba lari perempuan terkutuk?!" 

tanya Mahesa Kelud mengejek yang siang-siang 

sudah tahu maksud lawannya itu.

"Setan alas!" maki Nenek Iblis. "Aku bukan 

manusia pengecut!" Dia kirimkan pukulan tangan 

kiri yang dahsyat. Ketika Mahesa melompat untuk 

mengelak maka si Nenek segera putar tubuh dan 

merat!

"Jangan lari manusia rendah!" teriak Ma-

hesa Kelud. Pemuda ini menjejakkan kedua ka-

kinya di tanah. Tubuhnya membungkuk dan se-

perti anak panah lepas dari busurnya Mahesa Ke-

lud kemudian melesat cepat ke udara. Inilah ilmu 

warisan Embah Jagatnata yang bernama "gende-

wa emas melepas anak".

Si Nenek Iblis yang lari cepat tidak tahu

sama sekali kalau saat itu musuhnya seperti ter-

bang sudah berada di atasnya! Dia baru menya-

dari dan terkejut setengah mati ketika satu tan-

gan menjambak rambutnya yang putih jarang!

"Anjing busuk! Mampuslah!" rutuk Nenek 

Iblis sambil menusukkan tusuk kondenya ke se-

langkangan Mahesa Kelud yang ada di atasnya. 

Serangannya ini meskipun mematikan namun ti-

dak pakai perhitungan. Akibatnya dia harus tang-

gung sendiri. Tak ayal lagi Mahesa Kelud ba-

batkan pedangnya!

"Trass!"

Suara tertebasnya lengan kiri Nenek iblis


dibarengi dengan jeritan yang melolong tinggi. Da-

rah menyembur dari urat nadinya, membasahi 

pakaian Mahesa. Si Nenek mengamuk seperti 

orang gila. Dia meronta-ronta. Rambutnya yang 

dijambak Mahesa bertanggalan. Tubuh telanjang-

nya bergelimang darah yang keluar dari tangan 

kirinya yang buntung. Dari mulutnya keluar jerit 

bercampur kutuk serapah.

"Manusia iblis! Jangan terlalu banyak me-

rutuk di tempat ini! Sisakan nanti di liang nera-

ka!" teriak Mahesa Kelud. Lalu dia hantamkan 

kaki kirinya ke kepala perempuan tua itu.

"Praaak!"

Jerit dan kutuk serapah Nenek Iblis lenyap. 

Kaki kiri Mahesa Kelud yang mengandung aji Ka-

rang Sewu telah membuat kepala itu rengkah 

mengerikan!

Mahesa Kelud pandangi tubuh telanjang 

tanpa nyawa itu. Beberapa kali dia meludah ka-

rena jijik. Selama puluhan tahun si Nenek iblis te-

lah menjadi penghuni dan penguasa Gua Iblis 

yang menjadi tempat kematian bagi siapa saja 

yang berani datang. Delapan surat kematian telah 

disebarnya selama hidupnya.

"Menurut Karang Sewu lima surat telah ja-

tuh ke tangan lima tokoh silat. Lima tokoh silat 

itu kemudian diketahui lenyap secara aneh. 

Mungkinkah mereka sudah terkubur di dalam 

Gua iblis ini? Delapan surat kematian telah dis-

ebar oleh manusia celaka itu. Yang keenam jatuh 

ke tangan Karang Sewu. Yang ketujuh sampai di


tanganku. Berarti masih ada satu surat lagi.... 

Aku harus menyelidik. Si nenek jelas punya dosa 

besar selangit tembus. Menjadi pembunuh para 

tokoh yang kena ditipunya. Tapi kalau dipikir le-

bih dalam manusia bernama Simo Gembong itu 

yang jadi biang racun pangkal bahala! Justru 

guru menugaskan diriku untuk mencari dan 

membunuhnya!"

Mahesa Kelud ambil beberapa lembar daun 

pepohonan. Dengan daun itu dibersihkannya no-

da-noda darah yang melekat di tangan serta pa-

kaiannya. "Aku harus menyelidik masuk ke dalam 

Gua Iblis itu..." membathin Mahesa "Siapa tahu, 

bukan hanya lima orang yang dipendam si nenek 

di dalam sana. Siapa tahu pula masih ada yang 

hidup.... Di samping itu aku harus mengurus dan 

mengebumikan jenazah Karang Sewu. Orang tua 

sakti itu.... Kalau tak ada dia pasti aku akan ter-

pendam sampai mati di gua celaka itu!"


                               TAMAT


Segera menyusul!!!


FITNAH BERDARAH




















































Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar