Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
SATU
DI sela rimbun pohon bakau yang
banyak tumbuh di pesisir pantai Laut
Selatan tampak sesosok tubuh tegak
berlindung dengan kepala lurus ke
arah tengah laut yang sedang bergelombang
besar. Sesekali sosok ini terlihat menghela
napas dalam. Meski raut wajahnya tidak
membayangkan kecemasan, karena wajah
orang ini ditutup dengan kain cadar
berlobang-lobang kecil yang
menyembunyikan parasnya, dari gerak-gerik
serta sikapnya jelas jika orang ini sedang
dilanda kebimbangan.
"Apakah aku harus menyusul ke pulau itu?
Ataukah sebaiknya kutunggu saja di sini?
Melihat ke mana arah yang dituju, sekarang
jelaslah bahwa pemuda itu memang sedang
memburu Kitab Serat Biru! Tapi bagaimana
pemuda berjubah putih serta Dewi Siluman
dan Kl Buyut Pagar Alam tahu juga tempat
yang hendak dituju Pendekar 131?"
Sosok bercadar yang ternyata adalah
seorang perempuan yang di punggungnya
tampak punuk besar kembali menarik napas
panjang dengan kepala sedikit
ditengadahkan.
"Kalau aku menyusul ke pulau itu,
bagaimana nanti jika Dewi Siluman dan Ki
Buyut tahu semua Ini? Tapi... Pendekar 131
pasti akan menghadapi kesulitan besar! Ah....
Bagaimana pun aku harus menyusul! Apa
pun nanti yang akan terjadi, aku tak tega
melihat Pendekar 131 menghadapi kesulitan
sendiri!"
Memutuskan begitu, perempuan bercadar
dan berpunuk segera bergerak keluar dari
rimbun pohon bakau. Namun mendadak satu
bayangan berkelebat disertai memanlulnya
satu cahaya, membuat langkah perempuan
bercadar dan berpunuk tertahan. Tapi
perempuan ini jadi terkesiap. Karena tahu-
tahu seorang bertubuh besar mengenakan
pakaian gombrang warna hijau telah berdiri
tegak di hadapannya!
Seraya tengadahkan sedikit kepalanya,
sosok besar di hadapan perempuan bercadar
dan berpunuk mengusap-usap cermin bulat
pangkal ikat pinggangnya yang ada di depan
perutnya. Sepasang matanya bolak-balik
mengerjap. Namun sepasang bola mata itu
hanya tampak putihnya saja. pertanda orang
ini buta.
'Gendeng Panuntun!" ujar perempuan
bercadar dan berpunuk begitu mengenali
siapa orang yang kini berdiri di hadapannya.
Ketegangan wajah di balik cadar sedikit
mereda.
Namun karena khawatir akan keselamatan
Pendekar 131, perempuan bercadar dan
berpunuk segera hendak berkelebat
tinggalkan tempat itu. Tapi gerakan
perempuan ini kembali tertahan tatkala tiba-
tiba orang besar bermata buta yang di depan
perutnya tampak sebuah cermin bulat dan
bukan lain memang Gendeng Panuntun
adanya berkata.
"Hendak ke mana kau, Anak cantik?!"
Sepasang mata di balik cadar berlobang
membesar perhatikan lebih seksama pada
Gendeng Panuntun. "Dia ternyata tahu siapa
diriku! Adakah penyamaranku ini kurang
baik? Tap!.... Sepasang matanya buta! Ah.
Benar-benar orang aneh. Pertama kali jumpa
dia dapat mengetahui isi hatiku, sekarang
tahu pula siapa aku!" Diam-diam perempuan
bercadar dan berpunuk membatin.
Karena perempuan berpunuk belum juga
buka mulut menjawab, Gendeng Panuntun
arahkan kepalanya menghadap pada si
perempuan. Lalu terdengar dia berujar.
"Sikapmu gelisah. Adakah kau memikirkan
seseorang?!"
Seperti dituturkan sebelumnya, perempuan
bercadar dan berpunuk secara diam-diam
mengikuti ke mana Pendekar 131 membawa
Dewi Seribu Bunga. Dan begitu Pendekar
131 pergi ke puncak bukit di mana baru saja
terdengar orang lantunkan bait-bait syair, di
hadapan Dewi Seribu Bunga muncul Maut
Mata Satu yang bukan lain adalah guru Dewi
Seribu Bunga sendiri. Kedua guru serta murid
ini kemudian pergi. Dan tatkala Pendekar 131
turun dari puncak bukit, perempuan berpunuk
mengatakan pada Pendekar 131 apa yang
baru saja didengarnya dari percakapan
antara Maut Mata Satu dan Dewi Seribu
Bunga. Setelah itu perempuan berpunuk
berkelebat pergi. Namun secara diam-diam
dia menyelinap lalu mengikuti Pendekar 131
sampai akhirnya mencapai pesisir Laut
Selatan. Dia sebenarnya hendak mengikuti
murid Pendeta Sinting yang teruskan
perjalanan menyeberang laut, namun
langkahnya tertahan ketika tiba-tiba muncul
seorang pemuda berjubah putih yang bukan
lain adalah Malaikat Penggali Kubur yang
saat itu juga telah sampai di pesisir Laut
Selatan. Perasaan perempuan berpunuk
sudah tidak enak tatkala mengetahui Malaikat
Penggali Kubur ternyata juga menempuh
perjalanan menyeberang laut. Dia sudah
bertekad untuk mengikuti, tapi lagi-lagi
langkahnya tertahan, malah kali Ini dia jadi
terkesiap kaget tatkala begitu Malaikat
Penggali Kubur menyeberang, mendadak
muncul perempuan bercadar hitam serta
berjubah hitam besar sebatas lutut berambut
pirang dengan seorang kakek berjubah hitam
yang kedua tangannya masuk ke dalam saku
jubahnya. Kedua orang ini bukan lain adalah
Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
Merasa orang di hadapannya telah tahu
apa yang kini dilakukan perempuan
berpunuk, perempuan Ini segera berkata.
“Kakek! Terus terang aku memang tengah
memikirkan seseorang. Malah aku
mengkhawatirkan keselamatannya!"
Gendeng Panuntun usap-usap cerminnya
yang pantulkan cahaya. "Hemm.... Kalau tak
salah, bukankah yang menjadi hatimu gerah
adalah seorang pemuda?!"
"Bagaimana orang ini bisa tahu?" tanya
perempuan berpunuk dalam hati. Lalu
berkata. "Aku tidak bisa mengatakan padamu
siapa orang yang sedang kukhawatlrkan!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak.
Seraya tengadah dia berkata lagi.
"Gelombang besar bukan penghalang.
Lautan api bukanlah perintang. Kalau hati
seorang gadis selalu berguncang, apalagi
yang menjadi sebab jika bukan belenggu
asmara? Ha... ha... ha...! Anak cantik! Tanpa
kau katakan siapa orang yang kau pikirkan,
air muka di balik penutup wajahmu
mengatakan hal Itu!"
"Kek! Kulihat matamu tidak bisa digunakan
lagi. Bagaimana kau tahu aku mengenakan
penutup wajah?!" tanya perempuan berpunuk
heran.
"Tidak ada gunanya memberi keterangan
yang tidak dapat dimengerti, Anak cantikl Dan
satu hal lagi, bukankah ucapanku benar?!"
Perempuan berpunuk akhirnya hanya
anggukkan kepala, seolah orang di depannya
bisa melihat. Setelah agak lama terdiam, dia
bertanya.
"Kek. Kau sendiri hendak ke mana?!"
Gendeng Panuntun arahkan kepalanya ke
bentangan laut di depan sana. Lalu berkata.
"Seandainya ada orang yang mau berbaik
hati padaku, aku ingin menyeberang laut...."
Ucapan Gendeng Panuntun membuat
perempuan berpunuk terkejut. Sepasang bola
mata di balik cadar membesar. "Jangan-
jangan orang tua ini punya tujuan yang sama
dengan orang-orang yang telah terlebih
dahulu menyeberangi Urusannya akan
bertambah rumit. Kuyakln orang tua ini bukan
orang sembarangan! Pendekar 131 akan
makin dihadang kesulitan!"
Selagi perempuan berpunuk dlbuncah
dengan perasaannya sendiri, Gendeng
Panuntun berkata. "Anak cantik. Maukah kau
berbaik hati menolongku?!"
"Maaf, Keki Aku tak bisa menolong!"
"Ah.... Sayang sekali kalau begitu!
Terpaksa aku cari orang lain yang dapat
membawaku menyeberang...."
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun
beranjak hendak tinggalkan tempat itu.
“Tunggu!" Tiba-tiba perempuan berpunuk
berseru menahan langkah Gendeng
Panuntun. "Kalau kau bersusah payah
hendak menyeberang laut, pasti ada sesuatu
yang penting. Bisa katakan padaku, apa
tujuanmu hendak menyeberang, Kek?!"
"Kau tak perlu bertanya jika mau
menolongku!"
"Tapi setidaknya aku harus tahu terlebih
dahulu apa tujuanmu!"
"Aku tidak bisa mengatakan padamu!"
"Jika begitu, aku pun tidak bisa
membantumu!" jawab perempuan berpunuk.
Gendeng Panuntun pentangkan bola
matanya yang putih. Lalu usap-usap
cerminnya dan perlahan melangkah
meninggalkan perempuan berpunuk yang
memandang kepergiannya dengan dada
disesaki beberapa pertanyaan dan dugaan.
"Belum kuketahui pasti tujuan kakek itu.
Juga belum bisa kuraba dia punya niat jelek
apa baik! Heem.... Aku harus mendahului
menyeberangi” Perempuan berpunuk arahkan
pandangannya pada hamparan laut jauh di
depannya. "Aku harus menyewa perahu...."
Perempuan berpunuk palingkan lagi ke
arah mana si kakek bertubuh besar tadi
melangkah. Dia terlengak sendiri, malah
sepasang mata di balik cadarnya terpentang
besar. Gendeng Panuntun ternyata telah
lenyap!
"Baru saja masih terlihat. Tapi tiba-tiba
sudah lenyap. Kalau aku tidak segera
menyeberang, tidak mustahil aku akan
kedahuluan!"
Perempuan berpunuk sekali lagi putar
kepalanya. Kejap lain tubuhnya melesat dari
sela rimbun pohon bakau.
***
Perahu besar yang kain layarnya tampak
dibiarkan berserakan di bagian belakang itu
melaju perlahan menerjang gelombang besar
dan tiupan angin. Mungkin karena tiupan
angin sangat kencang, membuat laki-laki
yang berdiri di bagian depan perahu hanya
menggunakan dayung untuk kemudikan
perahunya, sementara kain layarnya
dibiarkan berserakan di bagian belakang
perahu. Agak sedikit ke belakang laki-laki
yang mendayung tampak duduk seorang
perempuan berpunuk yang wajahnya ditutup
kain cadar.
Sejauh Ini, laki-laki pemilik perahu yang
mendayung di bagian depan tidak begitu
banyak bicara, karena ketika dia berusaha
buka mulut berkata, perempuan bercadar dan
berpunuk yang menyewa perahunya seperti
enggan untuk bercakap-cakap. Bahkan
semua pertanyaan hanya dijawab pelan dan
pendek-pendek, malah sesekali terdengar
ketus, hingga akhirnya laki-laki pemilik perahu
tidak lagi berani bicara.
"Tidak bisakah kau percepat sedikit
perahumu ini?l" Mendadak perempuan
berpunuk berkata.
Laki-laki pemilik perahu tidak menjawab.
Perempuan berpunuk ulangi tegurannya
dengan suara agak keras, membuat laki-laki
pemilik perahu berpaling.
"Angin begini kencang. Tidak mungkin aku
mempercepat laju perahu. Kita bisa celaka!"
Perempuan berpunuk menarik napas
panjang dan dalam sambil perdengarkan
keluhan perlahan. Kepalanya lurus
menghadap satu gugusan pulau di tengah
laut.
"Sebenarnya ada urusan apa sepertinya
kau terburu-buru? Padahal selama aku
melaut di sini, baru kali ini ada orang yang
menyewa perahuku menuju pulau yang kau
tunjuk Itu. Dan menurut kabar, pulau Itu
adalah pulau kosong...."
"Jangan banyak bicara!" sahut perempuan
berpunuk dengan suara masih agak keras.
Entah karena apa, kali ini laki-laki pemilik
perahu tidak menghiraukan ucapan keras
perempuan berpunuk. Malah setelah
mendengar ucapan si perempuan, pemilik
perahu tertawa dan berkata.
"Agaknya kau punya urusan sangat
penting! Atau barangkali ada harta karun di
pulau itu?!"
Perempuan berpunuk tidak menyahut. Saat
itulah tiba-tiba terdengar suara orang.
"Bukan hanya harta karun, tapi juga
sepenggal hati!"
Lakl-lak! pemilik perahu kerutkan dahi.
"Heran. Melihat tampangnya sepertinya dia
seorang perempuan. Suaranya pun tadi
kudengar jelas suara perempuan. Tapi
mengapa barusan suara jawabannya seperti
suara laki-laki? Jangan-jangan dia hantu...."
Wajahnya ditutup, lalu.— Laki-laki pemilik
perahu kuduknya merinding. Perlahan-lahan
kepalanya bergerak hendak berpaling ke
belakang.
Kalau pemilik perahu merasa heran,
perempuan berpunuk terlihat tersentak kaget,
malah seketika bangkit dengan kepala
menoleh ke belakang, dari mana suara
jawaban tadi terdengar.
Sepasang mata di balik cadarnya
membelalak besar memperhatikan bagian
belakang perahu. Namun dia tidak melihat
siapa-siapa.
"Jelas telingaku menangkap suara! Dan
sepertinya aku mengenali suara itu! Jangan-
jangan dia! Tapi mana orangnya! Atau
jangan-jangan telingaku yang menipu...?l"
Laki-laki pemilik perahu makin heran tatkala
dia lihat perempuan berpunuk berdiri tegak
dengan memandang ke belakang. Belum
hiiang rasa herannya, tiba-tiba kain layar di
bagian belakang perahu bergerak-gerak!
Laki-laki pemilik perahu pentangkan
sepasang matanya dengan lutut goyah,
sementara perempuan berpunuk perhatikan
gerakan-gerakan pada kain layar yang
berserakan dengan sepasang mata di balik
cadar terpentang besar. Dan perlahan-lahan
dia segera kerahkan tenaga dalamnya pada
kedua tangan.
Begitu kain layar terbuka, pemilik perahu
tak bisa lagi menahan lututnya hingga meski
kedua tangannya tetap memegang dayung,
namun tubuhnya telah melorot jatuh.
Sedangkan perempuan berpunuk mendengus
keras namun tidak palingkan kepala.
DI hadapan perempuan berpunuk kini
terlihat seorang laki-laki berusia lanjut
bertubuh besar dengan sepasang mata putih
mengenakan pakaian gombrong berwarna
hijau dan bukan lain adalah Gendeng
Panuntun!
"Bagaimana Orang tua Ini tahu-tahu berada
di situ? Urusan benar-benar makin sukar!"
kata perempuan berpunuk dalam hati. Lalu
berkata dengan suara keras.
"Orang tua! Kenapa kau lancang berani
menumpang perahu sewaanku tanpa terlebih
dahulu permisi?!"
Gendeng Panuntun pasang tampang
terkejut. Namun tak lama kemudian tertawa
bergelak sebelum akhirnya berkata.
"Maaf. Aku tidak tahu kalau ini perahu
sewaanmu. Aku hanya tahu jika perahu ini
akan menyeberang. Lalu aku ikut...."
"Dusta jika orang ini tidak tahu! Hem.... Aku
harus tahu apa tujuan dia sebenarnya, kalau
punya niat jelek, aku tak segan
menurunkannya di tengah laut!" gumam
perempuan berpunuk lalu melangkah satu
tindak seraya berkata.
"Kek! Aku tanya sekali lagi, jika kau masih
tidak mau menjawab, terpaksa kau harus
turun!"
Gendeng Panuntun gerakkan kepalanya ke
samping kiri kanan. Lalu gelengkan kepala.
"Ah, bagaimana ini? Sekarang pasti kita
masih berada di tengah laut. Kalau sampai
kau menurunkan aku...."
Bibir di balik cadar perempuan berpunuk
menyeringai. "Itu urusanmu, Orang tua! Kau
tinggal pilih, jawab pertanyaanku atau turun di
sini!"
Mendengar percakapan antara perempuan
berpunuk dan Gendeng Panuntun, pemilik
perahu pulih kembali kesadarannya. "Untung.
Kukira hantu laut!" gumamnya laiu dengan
mata meilrlk, dia bergerak bangkit.
"Nada-nadanya mereka tidak bersahabat!
Kalau sampai terjadi perkelahian, bukan saja
perahuku yang akan rusak, namun nyawaku
tidak akan selamat! Aku harus cepat-cepat
sampai ke pulau yang ditunjuk perempuan
itu!"
Serentak laki-laki pemilik perahu
mendayung dengan sekuat tenaga, hingga
perahu Itu meluncur dengan cepat.
"Hei! Pelankan perahumu!" Mendadak
perempuan berpunuk berteriak.
"Bukankah kau tadi menginginkan cepat
sampai ke pulau itu?!" kata pemilik perahu
tanpa mengacuhkan teriakan perempuan
berpunuk. Malah dia makin kuatkan
dayungannya, hingga perahu itu lebih cepat
lagi menerjang gelombang ombak.
"Keparat!" maki perempuan berpunuk
hilang kesabaran. "Kalau kau tak
memperlambat perahumu, jangan menyesal
jika kau pulang tanpa perahu!"
Mendengar ancaman orang, pemilik perahu
tampak takut. Dan perlahan-lahan
memperlambat dayungannya. Namun
sesekali kepalanya tampak berpaling ke
belakang.
"Kek! Kau mau Jawab atau turun di sini!"
Perempuan berpunuk kembali ulangi
pertanyaan tatkala Gendeng Pantuntun
belum juga memberi jawaban.
"Eh. Yang kau tanyakan apa. Anak
cantik?!"
Meski tambah jengkel dengan perkataan
Gendeng Panuntun, akhirnya perempuan
berpunuk menyahut juga.
"Aku tanya, apa tujuanmu ke pulau itu!"
"Hemm.... Sebenarnya aku enggan
menjawab. Tapi daripada tenggelam di dalam
laut, apa boleh buat...," ujar Gendeng
Panuntun pelan. Namun dia masih juga
belum menjawab, sebaliknya arahkan
kepalanya menghadap perempuan berpunuk
dengan mata mengerjap.
"Orang tua! Jangan mengulur waktu!
Jangan pikir aku tak sanggup melempar
tubuhmu yang besar masuk ke dalam laut!"
"Baik. Baiklah.... Sebenarnya aku telah
katakan tujuanku. Namun tak apalah jika kau
minta untuk mengatakannya kembali. Seperti
kataku tadi, di sana ada harta karun juga
sepenggal hati. Nah, selain ingin
mendapatkan harta karun itu, aku juga ingin
selamatkan penggalan hati itu!"
Perempuan berpunuk tengadahkan kepala.
"Hm... jangan-jangan yang dikatakan harta
karun itu adalah kitab yang kini sedang
diributkan banyak tokoh yang menuju Pulau
Biru. Dan hm.... Yang dimaksud penggalan
hati mungkin Pendekar 131...." Duga
perempuan berpunuk, lalu luruskan
kepalanya.
"Orang tua! Kau menginginkan kitab ltu?!"
Gendeng Panuntun usap cerminnya. "Anak
cantik. Rezeki manusia telah ditetapkan. Dan
kurasa kitab Itu bukan rezekiku! Hanya
mungkin aku kebagian untuk ikut
menyelamatkannya...."
"Kalau kau hanya kebagian untuk
menyelamatkannya, siapa gerangan yang
kelak memiliki kitab itu?!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. Lalu
gelengkan kepala sambil berujar.
"Tanda-tanda sang pewaris adalah seorang
yang memiliki pedang mustika yang dikenal
dengan Pedang Tumpul 131!"
"Pendekar Pedang Tumpul 131!" tanpa
sadar perempuan berpunuk bergumam.
Kembali Gendeng Panuntun tertawa. "Kau
telah mengenalnya?"
Perempuan berpunuk tersentak. Namun
untuk beberapa lama dia tak menjawab
pertanyaan Gendeng Panuntun. Orang tua
bermata buta ini mendongak, lalu berujar.
"Sudahlah, Anak cantik! Buanglah segala
duga dan prasangka. Kita harus cepat sampai
di pulau itu! Aku punya firasat akan terjadi
sesuatu! Jika kita terlambat sampai, aku
khawatir kau akan menyesal!"
"Aku?" tanya perempuan berpunuk.
"Ah, kau masih juga berpura-pura!
Bukankah tujuanmu ke pulau itu karena
mengkhawatirkan pemuda sedeng Itu?!"
Wajah di balik cadar perempuan berpunuk
tampak berubah, dan seolah tak mau orang
mengetahui, dia segera palingkan kepalanya
ke jurusan lain. Diam-diam dia berpikir.
"Orang tua ini tahu banyak tentang diriku! Dia
juga punya firasat akan terjadi sesuatu di
sana!"
Perempuan berpunuk arahkan kepalanya
pada laki-laki pemilik perahu. Lalu berseru.
"Hai! Percepat laju perahumu!"
Lakl-laki pemilik perahu berpaling. Meski
bibirnya tersenyum namun air mukanya jelas
membayangkan tidak senang. "Dasar
perempuan cerewet! Kalau perahu
diperlambat minta dipercepat. Kalau dituruti
dipercepat, dia minta diperlambat! Huh.... Dia
pasti seorang nenek-nenek! Hanya karena
buta saja orang yang menumpang tanpa
permisi itu memanggilnya Anak cantik! Dasar
orang buta.... Nenek-nenek pun dikiranya
gadis cantik! Kalau orang cantik betulan, apa
nanti dia bilang?"
Pemilik perahu menahan tawa sendiri. Lalu
gerakkan kedua tangannya lebih cepat,
hingga perahu berpenumpang tiga orang Itu
meluncur deras ke depan.
* * *
DUA
DI sebuah kanal tidak jauh dari pesisir
Laut Selatan, tampak sebuah kereta
yang di bagian belakangnya terdapat
peti berwarna putih mengkilat
terlindung rangasan semak belukar yang ada
di kanan kiri kanal. Duduk di atas bangku
kusir dua orang gadis berparas cantik.
Sebelah kanan yang memegang tali kekang
kuda adalah gadis berjubah kuning,
sedangkan di sebelahnya adalah gadis
berjubah biru.
Untuk beberapa lama kedua gadis yang
bukan lain adalah Wulandari dan Ayu Laksmi
murid-murid Dewi Siluman tidak ada yang
buka mulut bicara. Namun mata mereka tak
henti-hentinya memandang liar ke samping
kiri kanan.
"Wulandari...!" Mendadak gadis berjubah
biru buka mulut. "Apakah kita akan terus
menunggu?!"
SI jubah kuning Wulandarl berpaling. "Itu
perintah Guru! Kita tidak bisa berbuat apa!
Hanya yang kuherankan, ke mana gerangan
Sitoresmi? Kulihat banyak perubahan pada
anak itu!"
SI jubah biru Ayu Laksmi menghela napas
dalam. "Sejak semula aku telah menangkap
keanehan padanya! Kalau dia menurut apa
yang dikatakan Guru, pasti dia sudah muncul
saat kau memberi isyarat tempo hari! Aku
yakin dia menempuh perjalanan di luar
perintah Guru!"
“Tapi apa maksudnya?" tanya Wulandari.
"Kita memang sudah bertahun-tahun
bersatu, tapi itu tidak menjamin bahwa di
antara kita tahu apa yang tersimpan di dalam
hati! Hem.... Jangan-jangan Sitoresmi
mendapat halangan!"
Wulandari tertawa pelan mendengar
ucapan Ayu Laksmi. "Itu tidak mungkin. Dia
tentu tahu apa yang harus dilakukan jika
mendapat halangan! Sepertimu, aku juga
menduga Sitoresmi menempuh jalan di luar
perintah Guru! Anak tolol itu benar-benar cari
perkara!"
"Lalu apakah kita harus terus
menunggunya? Sementara kita yakin
Sitoresmi mencari jalan lain dan kecil
kemungkinan sampai sini?!"
"Kalau tidak menunggu, kita akan ke
mana? Guru dan Ki Buyut kulihat mengikuti
pemuda yang mengaku Malaikat Penggali
Kubur entah ke mana!"
"Tapi sampai kapan kita menunggu?!" ujar
Ayu Laksmi dengan kepala sedikit berpaling
ke kiri dan mata liar memperhatikan semak
belukar.
Wulandari tidak menjawab. Ayu Laksmi
teruskan ucapannya. "Meski aku tidak jelas
benar, namun aku masih dapat menentukan
arah yang diambil Guru dan Kl Buyut. Apa
tidak sebaiknya kita mengikuti jejak mereka
menuju arah selatan?"
"Itu hanya akan menambah urusan!
Bukankah perintah Guru kita hanya sampai di
sini?"
"Keadaan tampaknya telah berubah.
Banyak orang berkepandaian tinggi muncul.
Malah kalau Guru dan Kl Buyut tidak datang
tempo hari, mungkin nyawa kita sudah putus.
Kita harus mencari jejak Guru. Itu satu-
satunya jalan untuk selamatkan diri!"
"Kau takut?!" tanya Wulandari dengan
tertawa.
"Kita telah berikrar untuk menjalankan
tugas Guru meski harus berkorban nyawa,
jadi mati bukanlah hal yang kutakutkan. Tapi
kita tentu tidak ingin mati sia-sia bukan?!"
Wulandari terdiam mendengar kata-kata
Ayu Laksmi. Setelah berpikir sejenak dia
bergumam.
"Lalu apa yang harus kita perbuat?!"
"Kita Ikuti jejak Guru dan Kl Buyut ke arah
selatan! Guru pasti mau mengerti alasan kita!
Sitoresmi juga tidak mungkin lagi muncul di
sini!"
"Hem.... Baiklah. Kita menuju arah selatan!
Namun jika kita gagal menemukan Guru dan
Ki Buyut, kita kembali ke sinil"
Ayu Laksmi anggukkan kepala. Dan tak
menunggu lama, Wuiandari tarik tangannya
yang memegang tali kekang kuda kereta.
Namun gerakan tangan gadis berjubah
kuning ini tertahan. Dia cepat palingkan
kepala ke arah kanan, demikian pula Ayu
Laksmi. Karena kedua gadis Ini mendengar
suara orang tertawa cekikikan dltingkah
dengan suara gumaman orang tak jelas.
Pada saat bersamaan, semak belukar d!
sebelah kanan enam tombak dari tempat
kedua gadis ini tampak bergerak-gerak.
Namun begitu, kedua gadis murid Dewi
Siluman Ini tidak dapat memastikan siapa
adanya orang. Yang tampak hanyalah
bayangan kelebatan beberapa orang. Lalu
pada akhirnya mereka berdua merasakan
hawa dingin luar biasa!
Sampai bayangan beberapa orang, itu
lenyap dan hawa dingin sirna, Wulandari dan
Ayu Laksmi tetap tidak ada yang buka mulut
apalagi membuat gerakan. Dada masing-
masing gadis ini sama dibuncah perasaan
masing-masing. Namun tidak lama kemudian
Wulandari memecah keheningan dengan
perdengarkan ucapan.
"Siapa pun adanya mereka, pasti mereka
orang-orang yang berkepandaian tinggi!
Mereka juga menuju arah selatan. Apakah
kita akan teruskan rencana?!"
"Kalau mereka orang-orang berkepandaian
tinggi, dan arah mereka ke selatan, di sana
pasti ada sesuatu! Kita ikuti mereka!" kata
Ayu Laksmi, lalu tarik tangan Wulandari yang
memegang tali kekang, hingga kuda
penghela kereta itu melonjak kaget, namun
bersamaan dengan itu sang binatang angkat
kaki depannya sambil keluarkan ringkihan
keras. Lalu menghambur kencang menuju
arah selatan.
***
Rimbun pohon bakau di pesisir Laut
Selatan terlihat bergerak-gerak, namun bukan
karena deruan angin pantai, karena gerakan-
gerakan !tu hanya sebentar. Kejap lain telah
diam kembali. Dan bersamaan dengan Itu
tampak empat sosok tubuh berdiri tegak
dengan berjajar satu sama lain.
Orang paling kiri adalah seorang kakek
mengenakan jubah putih kusam. Rambutnya
panjang putih, demikian juga jenggot dan
kumisnya. Di sebelah kakek itu tegak seorang
nenek mengenakan jubah merah menyala.
Wajahnya keriput, sepasang kelopak
matanya besar namun bola mata di dalamnya
amat sipit. Rambutnya telah putih dan hanya
sebatas tengkuk. Seraya tegak memandang
ke hamparan laut di depan sana, nenek Ini
mulutnya komat-kamit mainkan gumpalan
tembakau hitam! Di sebelah nenek ini tegak
seorang kakek berusia kira-kira tujuh puluh
tahun. Rambut putih panjang. Raut wajahnya
tirus lonjong. Seraya tegak, kakek ini gerak-
gerakkan kepalanya, anehnya bersamaan
dengan itu kedua bahu kiri kanannya ikut
bergerak-gerak, karena ternyata kakek ini
tidak punya leher! Lebih dari Itu, kakek ini
terus membuka mulutnya lebar-lebar seakan
memperlihatkan mulutnya yang tidak bergigi!
Sedangksn orang paling kanan adalah
seorang perempuan mengenakan jubah putih
besar. Raut wajah perempuan ini hanya
tampak samar-samar, karena dari atas
kepalanya terlihat curahan air. Anehnya,
pakaian, rambut serta tubuhnya tidak basah!
Bahkan tempat di sekitar perempuan ini
mendadak berubah menjadi luar biasa dingin.
"Eh. Kenapa kita hanya diam? Bukankah
jika kita terlambat sampai, urusan jadi
berantakan tak karuan?!" Tiba-tiba nenek
berjubah merah menyala yang mulutnya
selalu mainkan gumpalan tembakau hitam
dan bukan lain adalah Ratu Malam angkat
bicara.
"Betul! Kita harus bergerak cepat agar
urusan tidak jadi tersendat. Bukankah tempat
Itu gugusan pulau di seberang laut itu?!" kata
kakek yang kepalanya selalu bergerak-gerak
dan mulutnya terus menerus terbuka dan
bukan lain adalah dedengkot rimba persilatan
Iblis Ompong seraya berpaling pada
perempuan paling kanan yang tubuhnya
selalu dicurahi air.
Perempuan paling kanan yang bukan lain
adalah Dewi Es anggukkan kepalanya.
"Meski aku belum pernah ke sana, namun
menurut penggalan peta yang ada di
tanganku, pulau itulah yang harus kita tuju!"
"Hem.... Jika demikian, kita segera
berangkat!" sahut kakek paling kiri dan bukan
lain adalah Dewa Sukma.
"Tapi bagaimana dengan kakek gembrot
Itu?!" tanya Ratu Malam.
"Untuk apa kita pikiri orang gendeng tak
punya juntrungan itu! Kita sudah dibikin capek
mencarinya. Jika kita perturutkan dia, urusan
Ini tidak akan selesai! Dan itu berarti rimba
persilatan akan kiamat!" kata iblis Ompong
lalu buka mulutnya lebar-lebar.
"Benar ucapan Lantika! Kalau kita
menunggu Gendeng Panuntun yang masih
tak tentu rimbanya, urusan akan tambah tak
tentu juntrungan!" sahut Dewa Sukma
dengan sebut nama asli iblis Ompong.
"Aku tahu siapa Gendeng Panuntun. Dia
pasti tidak akan tinggal diam dengan keadaan
begini. Aku punya firasat dia telah melakukan
sesuatu! Dan sebaiknya kita segera
berangkat!" ujar Dewi Es. Lalu tanpa berkata-
kata lagi, perempuan yang tubuhnya laksana
diguyur hujan rintik-rintik ini berkelebat ke
arah laut.
"Apa yang hendak dilakukan Anak es itu?l"
tanya Ratu Malam.
"Kita lihat saja! Karena tidak mungkin kita
berenang menyeberang lautl" jawab Dewa
Sukma seraya perhatikan Dewi Es.
Di depan sana, Dewi Es terus berkelebat
Saat sepasang kakinya mulai menginjak air
laut, tiba-tiba perempuan Ini membuat
gerakan melayang satu tombak di atas air
laut sambi! terus berkelebat. Kira-kira dua
tombak dia melayang turun ke dalam air. Lalu
balikkan tubuh dan berlari balik dengan kedua
tangan dimasukkan ke air seolah membentuk
jalur panjang.
Ketika kakinya kembal! menginjak pasir
pantai, dia melambai ke arah tiga orang
berpandangan. Namun di lain kejap ketiganya
telah berkelebat ke arah Dewi Es.
Saat mereka sampai d! samping Dewi Es,
iblis Ompong terlihat tengadah sambil buka
mulut lebar-lebar. Ratu Malam percepat
komat-kamitkan mulutnya sementara Dewa
Sukma hanya memandang ke arah mana tadi
Dew! Es mencebur.
"Untuk mencegah hal yang tidak kita
Inginkan, terpaksa kita menumpang itu!" kata
Dewi Es sambil menunjuk ke arah mana
diatadi mencebur. Ternyata di situ terlihat
batangan air beku sepanjang dua tombak
dengan tebal tiga jengkal! Anehnya batangan
air beku Itu tampak tidak hanyut Ikut
tergulung gelombang!
"Apa boleh buat. Apa yang ada dan bisa
digunakan itulah yang harus kita pakal!" ujar
Dewa Sukma lalu berkelebat dan tahu-tahu
sosoknya telah duduk dengan kaki menggapit
di ujung batangan air beku.
"Sebenarnya aku sayang jika jubahku
terkena air. Tapi apa hendak dikata, tak ada
perahu, batangan es pun jadilah!" gumam
Ratu Malam lalu berkelebat.
"Dasar perempuan! Sudah dibuatkan
tumpangan masih juga menggerutu tidak
karuanl" omel Iblis Ompong lalu Ikut
berkelebat. Dewi Es pun segera Ikut
meloncat.
Tak berselang lama, di tengah gelombang
laut tampak melaju deras batangan es yang
sesekali terayun-ayun dan sesekali lenyap
terhalang di baiik gelombang. Di atasnya
terlihat Dewa Sukma duduk paling depan
dengan menggapitkan kedua kakinya,
sementara kedua tangannya bersedekap di
depan dada. D! belakangnya tampak Ratu
Malam berdiri tegak dengan kedua tangan
kacak pinggang dan mulut mainkan gumpalan
tembakau. Di belakang Ratu Malam, tegak
memunggungi Iblis Ompong dengan kedua
tangan merangkap ke perut. Sementara
kepalanya mendongak dengan mulut terbuka
lebar. Di hadapan Iblis Ompong terlihat Dewi
Es duduk bersila dengan mata terpejam!
Seperti dituturkan sebelumnya, setelah
Ratu Malam bertemu dengan kakak
seperguruannya Dewa Sukma dan
mendengar bahwa penggalan peta serta peta
asli sempurna telah berhasil dibawa kabur
orang, kedua orang Ini bersepakat untuk
mengadakan perjalanan. Dewa Sukma
mencari tiga adik seperguruannya yang lain
yakni Gendeng Panuntun, Iblis Ompong, dan
Dewi Es, sementara Ratu Malam menyusur
jalan arah mana kira-kira yang diambil oleh
Pendekar Pedang Tumpul 131. Mereka
memutuskan setengah purnama depan
bertemu lagi. Namun sebelum hari yang
ditentukan, Dewa Sukma telah berhasil
menemui Iblis Ompong dan Dewi Es. Dan
karena setelah mencari Gendeng Panuntun
ke sana kemari tidak juga ketemu, akhirnya
ketiga orang ini menemui Ratu Malam.
Keempatnya lalu mengadakan perjalanan
menuju Pulau Biru. Karena Dewi Es adalah
pemegang penggalan peta yang terakhir,
maka dialah sebagai petunjuk jalan.
***
Baru saja keempat saudara seperguruan itu
bergerak menyeberang dengan
menggunakan batangan es yang dibuat Dewi
Es, di pesisir pantai terdengar gemeretak
roda kereta ditingkahi derap ladam kaki kuda.
Lalu muncullah sebuah kereta yang dikusiri
dua orang gadis dan bukan lain adalah
Wulandari dan Ayu Laksmi.
Di kerapatan pohon bakau, mereka
hentikan kereta, lalu laksana kilat, mereka
berkelebat dan mendekam di balik pohon
bakau dengan kepala yang masih tegak
menunggu. Dewa Sukma, Iblis Ompong dan
Ratu Malam sejenak saling berputar dan
mata mengedar tajam mengawasi sela-sela
pohon bakau.
"Aku tak menangkap adanya orang!" bisik
Wulandarl setelah agak lama di situ tidak juga
melihat siapa-siapa. Ayu Laksmi hanya
mengangguk tanpa keluarkan ucapan.
Saat itulah tiba-tiba Ayu Laksmi berseru
setengah berteriak seraya tunjukkan jarinya
lurus ke tengah laut.
"Lihat!"
Wulandarl memandang ke arah yang
ditunjuk Ayu Laksmi. "Jangan-jangan mereka
adalah orang yang kita ikuti! Hem....
Sepertinya mereka menuju pulau itu! Siapa
mereka...?!"
"Siapa mereka bukanlah hal penting yang
harus kita ketahui. Yang jelas, kalau Guru
dan Ki Buyut serta pemuda jahanam Malaikat
Penggali Kubur juga menuju arah selatan
pasti mereka juga ke pulau itu! Dan aku
menduga pulau itu mungkin Pulau Biru! Pulau
yang dikabarkan menyimpan Kitab Serat
Biru!" ujar Ayu Laksmi sambil tak berkesip
memandang ke arah tengah laut di mana
terlihat empat orang sedang melaju deras
membelah gelombang ombak.
"Sebaiknya kita juga menyeberang
mengikuti mereka!" kata Wulandarl.
"Tapi kita membutuhkan perahu! Karena
tidak mungkin kita berbuat seperti orang-
orang itu!"
"Kita sewa perahu! Dan kereta itu sekalian
kita bawa! Siapa tahu Guru dan Kl Buyut
memerlukannya!" kata Wulandarl sambil
berpaling ke kiri. Jauh di sana tampak
beberapa perahu nelayan sedang bersandar
ke tepi.
"Kita harus sewa perahu yang agak besar,
agar kereta itu bisa masuk!" Ayu Laksm!
berkata sambil ikut berpaling ke kiri. "Tapi
bagaimana kalau nelayan Itu tidak ada yang
mau mengantarkan kita?!"
Wulandari menyeringai sambil tertawa
pendek.
"Mereka cari mampus jika tidak mau
mengantar kita!”
Habis berkata begitu, Wulandari berkelebat.
Selang kemudian dia telah duduk di atas
bangku kusir dan melaju ke arah kiri di mana
tampak beberapa nelayan. Ayu Laksmi
segera berkelebat lalu duduk di samping
Wulandari.
****
TIGA
KITA tinggalkan dulu orang-orang yang
sedang menyeberang menuju Pulau
Biru. Kita kembali ke Pulau Biru.
Seperti dituturkan dalam episode:
"Kitab Serat Biru", begitu Pendekar 131
berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru serta
butiran merah dari Kl Ageng Mangir Jayalaya,
mendadak tempat ruangan di mana Joko dan
Ki Ageng Mangir berada bergetar, pertanda
ada orang yang muncul di pulau itu. Karena
khawatir terjadi sesuatu pada Kl Ageng
Mangir Jayalaya, murid Pendeta Sinting
segera berkelebat keluar ruangan melalui
lobang dari mana dia masuk. Namun baru
saja sepasang kakinya menginjak dataran
pulau di atasnya, telah tegak menghadang
Malaikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali
Kubur merasa curiga pada Pendekar 131
yang saat itu mengaku sebagai Pangeran
Mendut-Mendut. Tapi sebelum tangannya
sempat bergerak hendak memukul,
mendadak muncul Dewi Siluman dan Kl
Buyut Pagar Alam yang secara diam-diam
menguntit Malaikat Penggali Kubur. Ki Buyut
menawarkan pada Malaikat Penggali Kubur
untuk menggempur Pendekar 131 bersama-
sama, namun karena merasa punya ilmu,
Malaikat Penggal! Kubur menolak. Apalagi
setelah mengetahui bahwa pemuda di
hadapannya adalah Pendekar Pedang
Tumpul 131.
Mungkin karena baru saja terjun dalam
kancah rimba persilatan ditambah dengan
sifatnya yang tinggi hati, Malaikat Penggal!
Kubur hanya memandang sebelah mata pada
murid Pendeta Sinting. Malah ketika Malaikat
Penggali Kubur mula! lakukan serangan
dengan tangan kosong, dia hanya kerahkan
sedikit tenaga dalamnya dan langsung
menghantam ke arah batok kepala Pendekar
131! Murid Pendeta Sinting tidak mau
bertindak ayal. Begitu kedua tangan Malaikat
Penggali Kubur berkelebat menghantam
kepalanya, dia angkat pula kedua tangannya.
Desss! Desss!
Dua pasang tangan beradu keras. Malaikat
Penggali Kubur tersentak kaget dan surutkan
langkah dua tindak. Air mukanya tampak
berubah dengan sepasang mata terpentang
besar perhatikan pada pemuda di
hadapannya. Meski tangannya tidak
mengalami cedera, namun dari benturan
tangan barusan dia mulai sadar jika lawannya
memiliki tenaga dalam tinggi. Namun pemuda
murid Bayu Bajra ini tidak mau dipermalukan,
apalagi di situ tegak memperhatikan Dewi
Siluman dan Kl Buyut Pagar Alam. Dia
segera tersenyum menyeringai, lalu
melompat ke depan. Kaki kanannya mencuat
lepaskan tendangan bertenaga dalam tinggi.
Sementara tangan kirinya berkelebat
menghantam ke arah perut.
Dua deruan keras terdengar dan melesat
mendahului berkelebatnya tangan dan
mencuatnya kaki yang menendang, pertanda
serangan Malaikat Penggali Kubur tidak lagi
main-main.
Murid Pendeta Sinting jerengkan sepasang
matanya sejurus. Lalu melompat ke udara
menghindar. Setelah tendangan dan
hantaman tangan dapat dielakkan, dia
melayang turun. Namun Malaikat Penggali
Kubur yang mulai panas merasa
dipermainkan segera mengejar. Hingga
belum sempat sepasang kaki Pendekar 131
menjejak tanah berpasir biru, kedua tangan
Malaikat Penggali Kubur telah kembali
melesat lepaskan satu pukulan sekaligus!
Brakkk!
Batu padas berwarna biru yang ada di
samping Joko hancur berantakan terkena
hantaman tangan kiri Malaikat Penggali
Kubur. Joko memang berhasil mengelak dari
tangan kir! Malaikat Penggali Kubur, namun
tangan kanannya tidak bisa lagi dielakkan,
hingga mau tak mau dia harus menangkis
dengan angkat tangannya.
Melihat lawan angkat tangannya, Malaikat
Penggali Kubur cepat tarik pulang tangan
kanannya, lalu berballk sambil melompat tiga
langkah ke belakang. Sekonyong-konyong
tubuhnya berputar lalu serta-merta kedua
tangannya yang mengepal telah bergerak
memukul!
Wuuttt! Wuuutttt!
Terlihat cahaya terang sekejap dari kedua
tangan Malaikat Penggali Kubur. Di lain kejap
terdengar deruan hebat, lalu menggebrak
gelombang angin luar biasa dahsyat!
Pertanda jika Malaikat Penggali Kubur telah
lepaskan pukulan sakti 'Telaga Surya'! Bukan
hanya sampai di situ, begitu lepaskan
pukulan 'Telaga Surya', pemuda murid Bayu
Bajra Ini segera berkelebat ke depan dengan
kedua tangan diangkat tinggi-tinggi dan siap
lepaskan pukulan lagi dari jarak dekat!
Melihat ganasnya pukulan, murid Pendeta
Sinting tidak lagi main-main. Dia segera
kerahkan tenaga dalam pada lengannya. Lalu
kedua tangannya disentakkan ke depan.
Dari kedua tangan Joko tampak muncrat
butiran air. Pada saat bersamaan suasana di
tempat itu berubah menjadi luar biasa dingin.
Lalu menghampar gelombang angin keras
laksana gelombang badai, inilah pukulan
yang telah diwarisi dari Dewi Es, yakni
pukulan sakti 'Sukma Es'!
Namun pada saat itu murid Pendeta Sinting
merasa keget. Karena begitu dia kerahkan
tenaga dalam pada lengannya, terasa ada
satu kekuatan yang luar biasa besar menjalari
sekujur tubuhnya. Malah ketika kedua
tangannya lepaskan pukulan 'Sukma Es', satu
kekuatan menggebrak terlebih dahulu dan
menindih gelombang angin pukulan 'Telaga
Surya' milik Malaikat Penggali Kubur, hingga
pukulan sakti 'Sukma Es' melesat tanpa
halangan ke arah murid Bayu Bajra!
"Aneh.... Ada kekuatan lain dalam diriku!
Apakah memang ini pukulan 'Sukma Es'?
Atau jangan-jangan butiran merah yang baru
kutelan...," bisik Joko dalam hati.
Di depannya, Malaikat Penggali Kubur
tegak di atas tanah berpasir dengan
sepasang mata terpentang besar. Dia seakan
tidak percaya melihat pukulan yang baru
dilepas begitu mudah bertabur lenyap di
udara! Perlahan-lahan dadanya dirasuki
perasaan kecut. Diam-diam pula ia membatin.
"Jangan-jangan manusia ini yang dikatakan
orang tua yang mengaku sebagal Gendeng
Panuntun! Dia berhasil menindih lenyap
pukulanku, berarti dialah yang bakal mewarisi
Kitab Serat Biru! Sialan betul! Bagaimanapun
caranya aku harus dapat merobohkannya!
Peduli setan dengan ucapan orang! Tapi...."
Malaikat Penggal! Kubur tidak bisa lanjutkan
kata hatinya, karena saat itu gelombang
pukulan 'Sukma Es' yang menghamparkan
hawa luar biasa dingin telah menggebrak!
Seraya mendengus keras, Malaikat
Penggali Kubur kembali angkat kedua
tangannya. Lalu dipukulkan ke depan
lepaskan kembali pukulan 'Telaga Surya'.
Buummmm!
Pulau bergugusan batu padas dan pasir
berwarna biru itu bergetar. Batu padas
tampak pecah berantakan dan bertabur ke
udara disusul dengan menghamburnya pasir.
Malaikat Penggali Kubur tampak terhuyung-
huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk
dengan mulut keluarkan darah. Wajahnya
pucat pasi laksana tidak berdarah. Kedua
tangan dan sosoknya bergetar! Namun
mungkin karena tidak mau merasa malu,
pemuda murid Bayu Bajra ini cepat kerahkan
tenaga dalam lalu bergerak bangkit. Walau
masih terhuyung namun sejenak kemudian
telah tegak dengan sepasang kaki terpacak di
atas pasir!
Di seberang, murid Pendeta Sinting terlihat
surutkan langkah satu tindak. Dia meringis
sebentar namun sesaat kemudian tersenyum-
senyum. Jauh di samping kedua pemuda ini,
Dewi Siluman dan Kl Buyut Pagar Alam
tampak perhatikan dengan mata masing-
masing tak berkesip.
"Pemuda berjubah putih jelas lepaskan
pukulan 'Telaga Surya' milik Bayu Bajra.
Kuduga dia murid tokoh itu. Sedang pemuda
bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131
sepertinya lepaskan pukulan 'Sukma Es'.
Jangan-jangan dia masih ada hubungan
dengan perempuan bergelar Dewi Es!
Hemm.... Pantas dia bisa sampai di tempat
ini!" gumam Kl Buyut Pagar Alam tanpa
menoleh pada Dewi Siluman.
"Maksudmu karena Dewi Es masih saudara
seperguruan Dewa Sukma hingga dia
mengetahui pulau ini?!" sahut Dewi Siluman.
"Benar! Hanya yang kuherankan sepertinya
pemuda Itu memilik! tenaga luar biasa! Kau
lihat tadi, sebelum pukulan 'Sukma Es' lepas,
satu kekuatan aneh telah menghantam habis
pukulan 'Telaga Surya"! Selama malang
melintang, baru kali ini aku melihatnya!"
Dewi Siluman mendengus. "Tapi itu belum
berarti dia dapat menghantam habis 'Kabut
Neraka' dan 'Sinar Setan'-ku!"
Percakapan kedua orang ini terputus
tatkala tiba-tiba di depan sana Malaikat
Penggali Kubur telah angkat kedua
tangannya yang mengepal. Sosoknya terlihat
bergetar dan peluh membasah! tubuhnya,
pertanda dia kerahkan seluruh tenaga
dalamnya.
Sambil membentak keras, serentak
Malaikat Penggali Kubur melesat ke depan.
Setengah jalan di udara kedua tangannya
bergerak lepaskan pukulan!
Entah karena masih tak percaya dengan
adanya kekuatan lain dalam tubuhnya,
Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga dalam
pada kedua lengannya siap lepaskan pukulan
'Sukma Es'. Benar saja baru tenaga
dalamnya mengalir pada lengan, ada
kekuatan lain yang mendahului tenaga
dalamnya. Hingga tatkala kedua tangannya
bergerak lepaskan pukulan untuk menangkis
pukulan lawan, satu kekuatan telah
mendahului melesat!
Malaikat Penggali Kubur hampir putus
nyalinya tatkala melihat bagaimana pukulan
'Telaga Surya' yang dikerahkan dengan
kekuatan tenaga dalam penuh kini ambyar
bertabur di udara! Malah kini sosoknya
laksana disapu gelombang besar, hingga
langkahnya tersurut dua tindak. Saat itulah
pukulan 'Sukma Es' datang melanggar!
Meski hampir tidak percaya pukulannya
akan mampu membendung pukulan yang kini
menggebrak ke arahnya karena dilepas
dengan sisa tenaga dalam, Malaikat Penggali
Kubur angkat juga kedua tangannya untuk
menangkis. Namun belum sempat kedua
tangannya bergerak, tiba-tiba dari arah
samping satu bayangan berkelebat disusul
dengan menghamparnya kabut hitam. Bukan
saja mampu selamatkan Malaikat Penggali
Kubur namun juga menimbulkan satu ledakan
keras tatkala kabut hitam Itu menghantam
pukulan 'Sukma Es'.
Malaikat Penggali Kubur terpental satu
tombak ke belakang. Namun kali ini masih
dapat kuasai tubuh, hingga meski mental dia
tidak sampai jatuh. Memandang ke depan,
dia melihat seorang kakek berjubah hitam
yang tegak dengan tengadah dan kedua
tangan masuk ke dalam saku jubahnya dan
bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam!
"Orang tua! Terima kasih kau telah
menolongku!" seru Malaikat Penggali Kubur
dengan suara agak bergetar dan muka merah
padam, karena dia menyadari ucapan Ki
Buyut benar adanya.
Ki Buyut Pagar Alam palingkan kepala
dengan tersenyum dingin. Sepasang matanya
sejenak perhatikan sosok Malaikat Penggali
Kubur. Lalu dia berkata.
"Simpan dulu ucapan terima kasihmu, Anak
mudai Dan jangan berani bergerak dari
tempatmu kalau Ingin nyawamu masih tetap
bersemayam di tubuh!"
"Kek! Apa maksudmu?!" tanya Malaikat
Penggali Kubur dengan perasaan makin tidak
enak, karena ucapan si kakek nadanya
mengancam.
"Aku hanya menunda lepasnya nyawamu.
Satelah pemuda itu kuurus, kau dapat gillran!
Bukankah di antara kita masih ada urusan
yang belum selesa!?!"
Habis berucap bagitu, Kl Buyut Pagar Alam
arahkan pandangannya pada Joko Sableng.
"Pendekar 131! Aku akan mengampuni
nyawamu jika kau serahkan Kitab Serat Biru
padaku!"
Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata
membeliak dan wajah berubah. Dia heran
dari mana kakek itu tahu jika dirinya telah
mendapatkan Kitab Serat Biru. Dia segera
angkat kedua tangannya bersedekap di
depan dada. Dia seolah ingin memastikan
bahwa Kitab Serat Biru masih berada di balik
pakaiannya.
"Orang tua!" kata Joko. "Harap jangan
bicara ngaco tak karuan. Siapa punya Kitab
Serat Biru?!"
Ki Buyut Pagar Alam tertawa panjang.
"Tidak ada gunanya bersilat lidah, Anak
muda! Perubahan wajah telah
memberitahukan semuanya! Lekas serahkan
padaku atau kau ingin mati muda!"
Murid Pendeta Sinting tersenyum. "Kek! Ini
tawaran atau ancaman?!"
Ki Buyut tidak buka mulut menyahut.
Namun sepasang matanya berkilat
memandang tak berkesip. Pendekar 131
melangkah dua tindak lalu menyambung
ucapannya. "Sayang, aku tidak memilih satu
dari kedua hal yang kau katakan! Aku tidak
memilik! kitab yang kau pinta, juga aku tidak
ingin mati muda! Malah kalau boleh aku Ingin
berkenalan dengan gadismu Itu! Meski
wajahnya tak mau dikenali, eku yakin dia
tentu seorang gadis berwajah cantik!
Bagaimana?!"
Ki Buyut Pagar Alam masih juga tidak
menjawab. Sementara di seberang samping
sana wajah di balik cadar milik Dewi Siluman
terlihat berubah. Diam-diam Dewi Siluman
membatin. "Pemuda edan! Dalam keadaan
begini masih sempatnya bercanda! Hem....
Wajahnya mengingatkan aku pada
seseorang! Ah...!"
"Kek! Tampaknya kau meragukan aku!
Ha... ha... ha...! Jangan khawatir. Aku
pemuda baik-baik! Gadismu pasti akan...."
"Tutup bacotmu!" teriak Kl Buyut marah.
"Kau tidak mau serahkan kitab itu, mungkin
kau ingin aku mengambilnya sendiri!"
Habis berkata begitu, kedua tangan si kakek
dlkeluarkan dari saku jubahnya.
"Kuperlngatkan sekali lagi! Kau...."
Belum habis ucapan Ki Buyut, kali ini murid
Pendeta Sinting telah ganti menukas.
"Bolehkan aku berkenalan dengan
gadismu?!"
Kesabaran Ki Buyut Pagar Alam habis.
Seraya menggeram keras, kakek ini
berkelebat ke depan. Jubah hitamnya
dikibaskan ke depan sementara kedua
tangannya bergerak menghantam.
Beettt!
Terdengar suara jubah menderu angker
keluarkan gelombang angin keras. Pendekar
131 miringkan kepala untuk menghindar. Saat
itulah dengan kecepatan luar biasa, sosok Ki
Buyut telah menggebrak di depannya dengan
kedua tangan lepaskan jotosan.
Begitu cepatnya gerakan si kakek hingga
tak sempat lagi murid Pendeta Sinting ini
untuk angkat kedua tangannya. Terpaksa dia
selamatkan diri dengan gerakkan tubuhnya
ke samping kiri. Tangan kanan si kakek
memang berhasil dielakkan, namun tangan
kiri si kakek terus menyambar ke arah mana
Pendekar 131 bergerak.
Bukkk!
Joko berseru. Sosoknya mental ke samping
saat tangan kanan KI Buyut Pagar Alam
menghantam bahu kanannya. Namun
anehnya Pendekar 131 hanya sejenak
merasakan sakit, kejap kemudian d!a tidak
merasakan apa-apa lag!. Hal Ini terjadi
karena sebelumnya murid Pendeta Sinting Ini
telah kerahkan tenaga dalamnya ke arah
dada. Dia ingin buktikan ucapan Dewi Es
tentang pukulan 'Sukma Es' jika disalurkan ke
dada.
Di depan Joko, KI Buyut tampak terbelalak
dengan tak berkeslp. "Setan kecil ini benar-
benar tak bisa dibuat sembarangan. Pukulan
tangan kiriku yang mampu memporak
porandakan batu besar sepertinya tidak
dirasa!"
Bukan hanya Ki Buyut yang terkejut. Dewi
Siluman diam-diam juga merasa tersentak
dengan sepasang mata mendelik besar. "Ilmu
apa yang dimiliki pemuda itu? Pukulan Ki
Buyut bukan pukulan sembarangan, tapi tidak
mampu membuatnya roboh muntah darah!
Hem.... Seandainya saja.... Ah, kenapa aku
berpikir ke sana? Sialan benar!"
"Jika tidak segera dihabisi sekarang, kelak
dia akan muncul jadi perintang besar! Lebih
dari itu Kitab Serat Biru tidak akan berhasil
jatuh ke tanganku!' bisik Ki Buyut Pagar Alam
dalam hati. Serta-merta kakek ini sentakkan
kedua tangannya ke depan.
Wuutt! Wuutttt!
Kabut hitam tampak melesat dengan
keluarkan suara menggema dahsyat serta
gelombang angin dan hawa panas
menyengat! Ki Buyut tampaknya telah
lepaskan pukulan sakti 'Kabut Neraka'.
Karena saat ini yang melepaskan adalah
dedengkotnya sendiri, maka kedahsyatannya
sungguh luar biasa.
Melihat dahsyatnya pukulan lawan, murid
Pendeta Sinting tak tinggal diam. Dia cepat
kerahkan tenaga dalam pada dada untuk
melindungi diri lalu diteruskan pada kedua
tangannya.
Sekejap kemudian, kedua tangan Pendekar
131 tampak berubah jadi kekuningan.
Pertanda murid Pendeta Sinting ini siapkan
pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Dan begitu
kabut hitam menggebrak, dia cepat
mendorong kedua tangannya. Lagi-lagi
Pendekar 131 terkejut, karena gelombang
angin berhawa panas pukulan sakti 'Lembur
Kuning' baru melesat, satu kekuatan aneh
telah menggebrak mendahului!
Tempat itu bertabur sinar kuning disertai
hawa panas. Lalu terdengar ledakan hebat.
Batu padas dan pasir biru tampak bergetar.
Gelombang laut yang abadi menghantam
pinggiran pulau tertahan laksana ditahan
tembok besar!
Sosok Ki Buyut Pagar Alam tampak surut
ke belakang dengan terhuyung-huyung.
Sepasang kaki di balik jubahnya goyah.
Namun kakek Ini cepat membuat gerakan
berkelebat ke udara. Lalu kejap lain mendarat
dengan sosok tegak maski wajahnya berubah
dan dadanya bergerak turun naik dengan
keras! DI seberang depan, murid Pendeta
Sinting terseret sampai satu tombak. Walau
tubuhnya terlihat hampir melipat ke depan,
namun dia cepat sentakkan tubuhnya ke
belakang sambil melompat ke belakang. Lalu
tegak dengan meringis! Seperti halnya KI
Buyut, wajah murid Pendeta Sinting terlihat
pias dengan napas megap-megap.
Sadar lawan memiliki kepandaian tinggi, Ki
Buyut segera kerahkan tenaga dalam pada
kedua kaki dan sepasang matanya.
Mendadak tanah di sekitar si kakek bergetar
keras. Kejap kemudian kedua kaki Ki Buyut
bergerak menggebrak tanah pijakannya.
Pada saat bersamaan, dari sepasang
matanya yang dipentangkan besar tampak
melesat sinar hitam menyusur tanah berpasir
pulau.
Tanah berpasir terlihat rengkah besar dan
membentuk jalur lurus ke arah Pendekar 131!
Ki Buyut Pagar Alam telah lepaskan 'Sinar
Setan'. Karena dilepas dengan tenaga dalam
kuat, maka rengkahan tanah berpasir tampak
bergerak cepat!
Tahu akan akibat pukulan yang kini dllepas
Ki Buyut, murid Pendeta Sinting segera
melompat mundur. Lalu kedua tangannya
didorong ke depan.
Lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Namun
untuk kesekian kailnya, satu kekuatan aneh
mendahului.
Pulau itu bergetar hebat tatkala rengkahan
tanah berpasir terhenti dan meledak saat
bentrok dengan kekuatan yang mendahului
pukulan 'Lembur Kuning'. Di lain pihak
pukulan 'Lembur Kuning' terus melesat tidak
terbendung.
Saat itulah mendadak kabut hitam
menggebrak memangkas pukulan 'Lembur
Kuning' yang mengarah pada KI Buyut. Lagi-
lagi terdengar ledakan keras. Sinar
kekuningan ambyar bertabur bersama kabut
hitam. Kejap lain, satu sinar hitam melesat
menghantam tanah berpasir, disusul
kemudian dengan rengkahnya tanah yang
membentuk jalur ke arah Pendekar 131!
Murid Pendeta Sinting yang tegak
terhuyung-huyung akibat bentrok pukulan
dengan KI Buyut tampak membelalak besar.
Sedangkan rengkahan tanah berpasir terus
melaju deras ke arahnya!
Di seberang, sosok Ki Buyut tampak mental
dan jatuh terduduk. Namun satu pasang
tangan cepat menahan dari belakang.
"Dia harus cepat dihabisi, Dewi!" bisik KI
Buyut dengan suara serak dan tubuh
bergetar.
Di sampingnya, Dewi Siluman yang baru
saja lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' dan
'Sinar Setan' dan kini menahan tubuh Ki
Buyut anggukkan kepala seraya berujar. "Kau
lihat sendiri, Ki Buyut! Dia tak mungkin lagi
bisa menghindar!"
Ki Buyut Pagar Alam yang berusaha tegak
gelengkan kepala. "Dugaanmu keliru, Dewi!
Dia masih akan bisa lolos! Lekas susul
pukulan sebelum dia sempat berkelebat
menghindari"
Dewi Siluman tampak tidak percaya dengan
ucapan KI Buyut. Namun begitu melihat Joko
hendak membuat gerakan, perempuan
bercadar dan berjubah hitam ini segera turuti
ucapan Ki Buyut. Bahkan bersamaan dengan
itu, Ki Buyut tak tinggal diam. Saat Dewi
Siluman lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'
kembali, Ki Buyut juga lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'! Hingga saat itu juga dua
kabut hitam melesat cepat ke arah murid
Pendeta Sinting yang hendak membuat
gerakan untuk menghentikan rengkahan
tanah berpasir yang mengarah padanya!
"Busyetl Tak mungkin aku menangkis dua
serangan ini! Tapi bagaimana...?"
Joko tidak sempat berpikir lama lagi, karena
rengkahan tanah berpasir akibat pukulan
'Sinar Setan' telah setengah tombak di
depannya. Tak ada jalan lain bagi murid
Pendeta Sinting selain menghentikan dengan
dorong kedua tangannya lepaskan pukulan
'Lembur Kuning'.
Bummmm!
Tanah berpasir yang rengkah terhenti
dengan perdengarkan suara menggelegar.
Saat itulah kabut hitam gabungan antara
pukulan Dewi Siluman dan Ki Buyut sampai!
Meski Pendekar 131 sempat angkat kedua
tangannya untuk lepaskan pukulan
menangkis, namun sudah sangat terlambat.
Saat keadaan murid Pendeta Sinting
terjepit dan nyawanya hampir tidak bisa
diselamatkan dari gabungan pukulan 'Kabut
Neraka', tiba-tiba terdengar orang tertawa,
lalu tampak pantulan cahaya berkiblat terang
memangkas kabut hitam di depan kepala
Pendekar 131!
Plaaap! Plaaap!
Bumm! Bummm!
Pantulan cahaya gemerlap lenyap lalu
terdengar ledakan, membuat Pulau Biru
bergetar hebat. Sosok Pendekar 131 mental
tiga tombak dan jatuh terjengkang. Namun
setelah meneliti tidak mengalami cedera, dia
cepat bangkit dan berpaling ke samping
kanan dari mana pantulan cahaya gemerlap
yang menghadang pukulan gabungan Dewi
Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam berasal.
Lima belas langkah di seberang, sosok
Dewi Siluman dan KI Buyut terlihat tegak
tergontai-gontai. Setelah dapat kuasai tubuh
masing-masing kedua orang ini pentangkan
mata dan berpaling ke kiri.
***
EMPAT
DARI tempat masing-masing, Pendekar
131, Dewi Siluman, dan Ki Buyut
Pagar Alam melihat seorang bertubuh
gemuk tegak dengan kepala sedikit
tengadah. Tangan kanannya mengusap
cermin bulat di depan perutnya, sedang
tangan kirinya kucek-kucek kedua matanya
yang ternyata berwarna putih. Agak jauh ke
belakang, tepatnya di dekat lobang di mana
Joko keluar, terlihat tegak seorang kakek
berjubah putlh dengan rambut panjang
berkibar-kibar ditiup angin. Sepasang
matanya yang sayu memandang tak berkesip
ke arah Joko.
"Gendeng Panuntun!" desis Ki Buyut begitu
mengenali siapa adanya sosok gemuk. Lalu
berpaling pada Dewi Siluman. "Benar
dugaanku. Pendekar 131 pasti masih ada
hubungan dengan Dewi Es. Karena Gendeng
Panuntun adalah saudara seperguruannya!
Hem.... Pekerjaan kita akan tambah berat!" Ki
Buyut lalu arahkan pandangannya ke arah
kakek berjubah putih. Sepasang matanya
sejenak menyipit Iaiu membelalak.
"Orang tua itu aku tidak mengenalnya. Tapi
kenapa tiba-tiba dia muncul di sini?! Siapa
dia?!" gumam KI Buyut Pagar Alam. Dewi
Siluman tidak menyahut.
Kalau Dewi Siluman dan KI Buyut terkejut
dengan munculnya Gendeng Panuntun, dan
kakek berjubah putih. Malaikat Penggali
Kubur diam-diam merasa agak gembira.
Karena dengan munculnya Gendeng
Panuntun apalagi dengan mudah Gendeng
Panuntun dapat memangkas gabungan
pukulan yang dilepas Dewi Siluman dan KI
Buyut Pagar Alam, dia akan bisa lolos dari
ancaman Ki Buyut.
"Dewi! Terpaksa kita harus hadapi satu
persatu. Kau habisi pemuda itu, Gendeng
Panuntun serahkan padaku!" bisik Ki Buyut
Pagar Alam.
Dewi Siluman masih belum menyahut,
membuat Ki Buyut pandangi perempuan
bercadar dan berjubah hitam Itu dengan
tatapan heran. Lalu berpaling lagi
memandang ke arah mana Dewi Siluman
memandang dengan tak berkesip.
"Hem.... Orang yang ini baru aku
melihatnya pertama kali!" kata Ki Buyut Pagar
Alam dalam hati begitu matanya menangkap
sesosok tubuh yang tegak agak jauh di
belakang Gendeng Panuntun. Dia adalah
seorang perempuan yang wajahnya ditutup
dengan cadar berlobang-lobang kecil dan di
punggungnya tampak punuk besar.
"Ki Ageng Mangir Jayalaya...," gumam
Pendekar 131 mengenali adanya kakek
berjubah putih. Dia segera melangkah ke
arah si kakek yang bukan lain memang Ki
Ageng Mangir Jaya Laya. (Tentang kakek ini
baca serial "Kitab Serat Biru").
KI Ageng Mangir Jayalaya angkat
tangannya lalu gelengkan kepala sambil
tersenyum. Seakan tahu isyarat yang
diberikan Ki Ageng Mangir, Joko hentikan
langkah lalu memandang ke arah Gendeng
Panuntun dan perempuan berpunuk.
"Apa hubungan Gendeng Panuntun dengan
perempuan berpunuk yang pernah
menolongku itu?!" kata Joko lalu melangkah
ke arah Gendeng Panuntun.
"Kek! Terima kasih kau telah
menyelamatkanku!" kata Joko seraya
bungkukkan tubuh menjura. Lalu memandang
ke arah perempuan berpunuk dengan
anggukkan kepala dan bibir tersenyum.
"Hem.... Jahanam perempuan berpunuk Itu
ternyata kaki tangan Gendeng Panuntun! Kali
ini dia tak akan kuampuni nyawanya!" desis
Dewi Siluman. "Siapa jahanam itu
sebenarnya? Kenapa bisa datang bersama
sama Gendeng Panuntun?!" Dewi Sliuman
bertanya pada Ki Buyut.
Ki Buyut gelengkan kepala. “Aku baru kali
ini melihatnya! Kita harus lebih berhati-hati.
Bukan tidak mungkin dia juga memiliki
kepandaian tinggi!"
Dewi Siluman tertawa pendek. "Ki Buyut
tidak usah khawatirkan jahanam perempuan
berpunuk Itu! Dia pernah hampir mampus di
tanganku kalau tidak diselamatkan Iblis
Ompong! Hanya yang kuherankan, dia
memiliki pukulan seperti kita!"
Malaikat Penggali Kubur kerutkan kening.
Sepasang matanya lebih dipentangkan
mengawasi pada perempuan berpunuk
seolah ingin mengetahui siapa wajah di balik
cadar berlobang.
"Selama malang melintang, tidak ada yang
punya pukulan seperti milik kita. Kalau
ucapanmu benar, jangan-jangan dia...." Ki
Buyut Pagar Alam tidak teruskan ucapannya.
Namun sejenak kemudian dia tampak
gelengkan kepala sambil menggumam. "Tapi
apa mungkin?"
"Tak ada jawaban yang pasti sebelum kita
robek kain penutup jahanam itu!" sahut Dewi
Siluman. "Ini gara-gara Iblis Ompong! Jika
tidak ditolong dia, mungkin aku telah
mengetahui siapa adanya perempuan itu!"
"Sekarang tak ada gunanya mengeluh! Kita
harus cepat habisi pemuda itu dan Gendeng
Panuntun! Aku punya firasat, kalau Gendeng
Panuntun sudah sampai di tempat ini, bukan
tak mungkin akan muncul pula saudara-
saudaranya!"
Habis berkata begitu, Ki Buyut telah
melompat ke hadapan Gendeng Panuntun.
Dewi Siluman tidak menunggu lama. Dia pun
segera berkelebat dan tahu-tahu telah tegak
tujuh langkah di depan Pendekar 131!
"Gendeng Panuntun!" ucap Ki Buyut. "Kau
hanya cari mampus ikut campur urusan ini!"
"Eh, kau tahu siapa aku! Bisa katakan siapa
dirimu, Orang tua?!" ujar Gendeng Panuntun
sambil usap-usap cerminnya.
Ki Buyut tertawa panjang. "Biarlah kau
mampus tanpa tahu siapa orang yang
membunuhmu!"
"Ah, malang benar nasib orang yang tidak
bisa melihat. Bukan saja tidak dapat
menikmati moleknya tubuh perempuan, tapi
juga tidak tahu siapa orang yang hendak
membuatku mampusl Hemm.... Bagaimana,
nanti kalau aku jadi arwah gentayangan dan
keliru cabut nyawa orang?!" Gendeng
Panuntun berpaling pada Joko, lalu berkata.
"Anak muda! Kalau kita nanti sama-sama
jadi arwah gentayangan, kau tidak keberatan
bukan tunjukkan padaku siapa adanya orang
yang membunuhku?!"
"Bukan hanya akan kutunjukkan orang
yang membunuhmu, tapi akan kukenalkan
juga pada gadisnya yang cantik jelita!
Bukankah arwah gentayangan bisa melihat
tanpa bisa dilihat?!"
"Eh, kau sebut-sebut orang di depanku ini
punya gadis! Bagaimana dia?! Lekas katakan
padaku!"
Karena tidak ada jawaban, Gendeng
Panuntun kembali bertanya.
"Hei! Kau belum jawab pertanyaanku!
Katakan bagaimana gadis itu?!"
"Aku tak bisa mengatakannya, Kek! Dia
menutupi wajahnya, namun besar
kemungkinan dia seorang gadis cantik!
Rambutnya pirang, potongannya bagus
dan....*
"Walah. Kau keliru, Anak muda!" potong
Gendeng Panuntun. "Meski rambutnya
pirang, potongannya bagus kalau wajahnya
disembunyikan jangan-jangan dia tidak punya
hidung! Payah.... Payah jika berhadapan
dengan perempuan tak berhidung. Dalam
gelap dia tidak dapat membedakan mana tahi
dan mana roti! Tidak bisa memilah mana bau
keringat suami dan mana bau keringat
kambing!"
Dewi Siluman tampak membelalak dengan
tubuh bergetar menahan marah. Joko cepat-
cepat menyahut tatkala didengarnya Dewi
Siluman mendengus hendak berkata.
"Meski kau tidak bisa melihat, namun
kadang-kala ucapanmu benar. Kek! Dan
jangan-jangan perempuan di hadapanku ini
memang tidak berhidung!"
"Keparat!" maki Dewi Siluman. Serentak
perempuan bercadar dan berjubah hitam ini
lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'!
Melihat Dewi Siluman telah lepaskan
pukulan, Ki Buyut segera pula maju dan
serentak lepaskan juga pukulan 'Kabut
Neraka' ke arah Gendeng Panuntun.
Joko kerahkan tenaga dalam pada kedua
lengannya. Lalu kedua tangannya didorong
ke depan, lepaskan pukulan 'Sukma Es'.
Meski ada kekuatan yang melesat
mendahului pukulan 'Sukma Es', namun
karena pukulan 'Kabut Neraka' dilepas oleh
Dewi Siluman yang punya tenaga dalam kuat,
maka walau sejenak tampak ambyar, namun
terus melesat ke arah Pendekar 131. Saat
Itulah pukulan 'Sukma Es' melabrak!
Kabut hitam pukulan Dewi Siluman tertahan
di udara. Lalu perlahan-lahan membeku
sebelum akhirnya cair dan muncrat ke udara!
Meski bentrok pukulan itu tidak perdengarkan
suara ledakan, namun mau tak mau tubuh
Dewi Siluman dan Joko sama-sama tersurut
masing-masing satu tombak ke belakang.
Sementara di sebelah samping, begitu
kabut hitam melesat dari kedua tangan Ki
Buyut, Gendeng Panuntun lorotkan sedikit
tubuhnya. Tiba-tiba sosoknya yang besar
membai ke udara. Di udara dia goyangkan
pantatnya ke kanan kiri. Bersamaan itu
tampak cahaya gemerlap memantul dari
cermin si kakek!
Blaappp! Blaappp!
Busss! Busss!
Kabul hitam pukulan KI Buyut terlihat
membumbung ke udara seolah mengikuti ke
mana arah pantulan cahaya cermin Gendeng
Panuntun.
Ki Buyut Pagar Alam menyeringai, lalu
didahului suara bentakan membahana,
tubuhnya melesat ke udara lalu melabrak ke
arah sosok Gendeng Panuntun yang masih di
atas udara dengan kedua tangan berkelebat
menghantam ke arah kepala!
"Kek! Awas kepalamu!" terdengar orang
berteriak, yang ternyata adalah perempuan
berpunuk.
Gendeng Panuntun rentangkan kedua
tangannya lalu serta-merta dipukulkan ke
depan. Terjadilah saling bentrok tangan di
udara. Kedua tangan masing-masing orang
tampak mental, namun serentak mereka
berdua cepat menghantamkannya kembali.
Demikian seterusnya, hingga saat itu juga
terdengar beberapa kali suara bentrokan
tangan. Dan suara benturan tangan baru
lenyap saat sosok keduanya sama-sama
mental ke belakang dan sama jatuh
terjengkang di atas tanah berpasir!
"Gara-gara kau tak mau sebutkan nama,
lihatl Apa sekarang yang terjadi? Kedua
tanganmu tak blsa digerakkan!" kata
Gendeng Panuntun sambil bergerak bangkit
dan kucek-kucek matanya yang buta.
Melihat Gendeng Panuntun telah bangkit,
Ki Buyut buru-buru hendak bangkit pula.
Namun kakek Ini jadi terkesiap. Kedua
tangannya tak bisa digerakkan seperti apa
yang baru saja diucapkan Gendeng
Panuntun! Hingga akhirnya Ki Buyut bangkit
dengan kedua tangan kejang kaku. Ternyata
waktu terjadi bentrokan tangan, secara cerdik
Gendeng Panuntun lakukan totokan!
Namun Ki Buyut bukanlah orang
sembarangan. Dia cepat kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya hingga kejap
kemudian kedua tangannya telah kembali
bisa digerakkan. Meski demikian, KI Buyut
sempat tersentak tatkala mendapat! kedua
tangannya melepuh bengkak berwarna
merah!
-Kurang ajar! Dia t!dak bisa dihadapi
sendiri! Hem...." Ki Buyut Pagar Alam
menggumam lalu melirik ke arah Dewi
Siluman yang tegak melotot pada Pendekar
131.
Tiba-tiba KI Buyut putar tubuh setengah
lingkaran. Serta-merta tubuhnya melesat ke
arah murid Pendeta Sinting seraya kirimkan
satu pukulan. Seolah mengerti apa maksud Ki
Buyut, Dewi Siluman tak tinggal diam. Begitu
Ki Buyut kirimkan pukulan, Dewi Siluman ikut
berkelebat dan lepaskan pula pukulan 'Kabut
Neraka'!
Pendekar 131 melengak kaget. Dia cepat
sentakkah kedua tangannya menangkis
pukulan Ki Buyut. Namun karena saat itu
Dewi Siluman juga lepaskan pukulan, maka
pukulan perempuan bercadar dan berjubah
hitam ini tak dapat dibendung lagi
menghantam ke arah batok kepala Pendekar
131!
Setengah tombak lagi pukulan Dewi
Siluman menghantam, tiba-tiba satu
bayangan berkelebat dan bersamaan Itu
kabut merah menghampar memangkas
pukulan Dewi Siluman. Hingga meski pukulan
Dewi Siluman tidak bisa dibuat ambyar,
namun murid Pendeta Sinting bisa selamat
dari pukulan telak.
"Jahanam keparat! Dua kali ini kau
mencampuri urusankul" teriak Dewi Siluman
dengan mendelik memandang ke kiri. Sejarak
sepuluh langkah dari tempatnya berdiri, tegak
perempuan bercadar lobang-lobang kecil dan
berpunuk.
Ki Buyut sesaat tertegun dan diam tak
bergerak dengan sepasang mata ikut
menatap pada perempuan berpunuk. "Aku
baru pertama kali ini melihatnya.... Tapi rasa-
rasanya pukulan itu aku mengenalnya!" Ki
Buyut Pagar Alam membatin.
Kalau saja cadar perempuan berpunuk
terbuka, Dewi Siluman dan Ki Buyut pasti
akan tahu bahwa sebenarnya wajah di balik
cadar Ini tampak berubah.
"Kalau Dewi Siluman curiga pada
perempuan ini, dan aku pun sepertinya
mengenali pukulannya, jangan-jangan.... Apa
benar dia?" Ki Buyut terus menduga-duga.
Mungkin untuk meyaklnan kakek Ini segera
berteriak.
"Perempuan berpunuk! Katakan siapa kau!"
Wajah di balik cadar milik perempuan
berpunuk makin berubah. Namun sekejap
kemudian dia mendongak dan berujar.
"Belum saatnya kau tahu siapa aku! Tapi
aku tahu siapa kau dan dia!" Jari telunjuk
perempuan berpunuk menunjuk ke arah Ki
Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman.
"Bukankah kau Ki Buyut Pagar Alam dan
Dewi Siluman? Dan kau Dewi Siluman!
Bukankah kau yang mengambil Pedang
Tumpul 131 dari pemiliknya?!"
"Walah! Selain tidak punya hidung ternyata
dia juga pencuri!” Tiba-tiba Gendeng
Panuntun menyahut.
Berubahlah paras Ki Buyut. Dewi Siluman
tampak bergetar dengan mata makin
mendelik angker. Di sebelah, murid Pendeta
Sinting kertakkan rahang. Matanya
menyengat tajam menatap pada Dewi
Siluman.
"Perempuan bercadar hitam!" seru Joko,
"Kuampuni nyawamu dan orang tua itu. Tapi
serahkan pedangku dan segera tinggalkan
tempat ini!"
Dewi Siluman tertawa panjang. "Baik.
Pedangmu akan kukembalikan!" kata Dewi
Siluman lalu cabut pedang dari balik
jubahnya. Sejenak pedang di tangan kirinya
itu ditimang-timang. Lalu angkat kepalanya
dan berujar.
"Kau bisa ambil pedang ini, tapi serahkan
Kitab Serat Biru padaku!"
"Aku tidak memiliki kitab yang kau katakan!"
teriak Joko dengan memandang tajam pada
pedangnya yang ada di tangan Dewi Siluman.
"Hem…Begitu? Berarti kau tak mengingin
kan pedangmu lagi! Dan aku akan mengambil
kitab itu beserta nyawamu sekalian!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman
berpaling ke arah Ki Buyut dan memberi
isyarat dengan anggukan kepala. Lalu terus
berpaling pada Malaikat Penggali Kubur yang
sedari tadi diam memperhatikan seraya
berkata.
"Anak muda! Nyawamu ada di tangan kami.
Kalau kau ingin selamat, bergabunglah
dengan kami! Hantam tua bangka gembrot
itu!"
Malaikat Penggali Kubur arahkan
pandangannya pada jurusan lain. Dia
sebenarnya tidak mau mengikuti tawaran
Dewi Siluman. Namun merasa yakin Kitab
Serat Biru berada di tangan Pendekar 131
dan Gendeng Panuntun pasti tak akan tinggal
diam jika ada orang coba-coba merebutnya,
maka akhirnya dia memutuskan menerima
tawaran Dewi Siluman, namun dia juga tak
mau perjalanannya sia-sia tanpa hasil.
Sambit berpaling ke arah Dewi Siluman dia
berkata,
"Tawaranmu kuterima, tapi dengan syarat!"
"Keparat! Nyawamu di tangan kami!"
bentak Dewi Siluman.
Malaikat Penggali Kubur tertawa. "Aku
tahu, saat ini nyawamu pun di ujung tanduk!
Dan aku masih bisa pertahankan nyawaku
dari tanganmu! Silakan terima syaratku atau
aku akan menonton tubuhmu jadi mayat!"
Merasa ucapan Malaikat Penggali Kubur
ada benarnya. Dewi Siluman mendengus
sambil berseru keras.
"Katakan apa syaratmu!"
Malaikat Panggali Kubur tersenyum aneh.
"Jika ketiga orang itu tewas, setidaknya di
tanganmu ada dua benda pusaka! Aku… "
"Sialan!" tukas Dewi Siluman sebelum
Malaikat Penggali Kubur teruskan ucapannya.
"Kalau kau sebut-sebut benda pusaka,
syaratmu kutolak! Bahkan nyawamu akan
kucabut sekarang juga!"
Malaikat Penggali Kubur mendongak. "Kau
boleh bicara seenakmu, Tapi jangan lupa,
saat Ini kau butuh bantuan jika ingin
tinggalkan pulau ini dengan selamat!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek, lalu
teruskan ucapannya. "Aku nanti hanya minta
salah satu benda pusaka itu! Adil bukan?!"
Dewi Siluman menggerendeng panjang
pendek. Dia menoleh pada Ki Buyut. Kakek
ini tersenyum sambil anggukkan kepala,
membuat Malaikat Penggal! Kubur tersenyum
aneh.
"Baik. Syaratmu kuterima!" Akhirnya Dewi
Siluman bergumam.
"Pendekar 131!" ujar Gendeng panuntun.
"Mereka tampaknya hendak berbagi rezeki!
Untuk kita apa yang harus dibagi? Satunya
seorang kakek bangkotan. Satunya lagi anak
muda bau kencur! Dan satunya lagi
perempuan cantik, namun sayang tak bisa
bedakan suami dan sapi! Ha ha ha...! Kita
bernasib sial! Tak ada rezeki bagus yang
layak dibagi...!"
"Kau lupa, Kek! Bukankah kau pernah
mengatakan harus memandang sesuatu dari
sudut berbeda? Meski perempuan di depanku
ini tak punya hidung, aku akan
memandangnya berhidung mancung meski
untuk Itu aku harus pura-pura buta...!"
Dewi Siluman gerakkan tangannya yang
memegang pedang dan menunjuk tepat ke
arah Pendekar 131. "Kau! Akan jadi korban
senjata makan tuan!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman
berkelebat ke depan. Namun setengah jalan
tubuhnya berbelok dan kini lurus ke arah
perempuan berpunuk! Mengetahui hal
demikian, Ki Buyut segera melesat dan kini
menghadang Pendekar 131. Di sebelahnya,
melihat Dewi Siluman dan Ki Buyut telah
bergerak, Malaikat Penggali Kubur melompat
dan langsung lepaskan pukulan ke arah
Gendeng Panuntun!
Perempuan berpunuk melihat cahaya
kekuningan mencorong tatkala Pedang
Tumpul 131 ditarik keluar dari sarungnya dan
kini membabat ke arahnya dengan keluarkan
suara menderu keras serta hawa panas!
Perempuan berpunuk cepat melompat ke
samping lalu dari tempatnya dia lepaskan
satu pukulan. Gelombang angin kencang
menggebrak lurus ke arah Dewi Siluman.
Namun perempuan bercadar dan berjubah
hitam Ini secepat kilat menyingkir, tapi
mendadak dia putar tubuh dua kali sebelum
akhirnya berkelebat kembali ke arah
perempuan berpunuk dengan tangan diputar-
putar hingga pedang di tangannya berubah
jadi bayangan kuning yang menderu-deru
ganas!
Breettt! Breettt!
Perempuan berpunuk berseru tertahan
sambil melompat mundur dan kedua
tangannya cepat bergerak menutupi auratnya
yang kelihatan karena pakaian yang
dikenakan robek di bagian dada dan
pinggang!
Dewi Siluman tertawa mengekeh sambil
pandangi perempuan berpunuk yang
memegangi dadanya yang terbuka. "Dengan
terbukanya dada, dia tak akan bisa lepaskan
pukulan kalau tak ingin dadanya terlihat! Hik
hlk hik...l Sekarang saatnya kuketahui siapa
jahanam itu adanya!"
Dewi Siluman angkat tangan kanannya,
sementara pedang di tangan kiri diluruskan
ke depan.
Seolah tahu apa yang hendak dilakukan
Dewi Siluman, perempuan berpunuk tampak
bimbang. Kalau dia tetap diam, maka tak
pelak tubuhnya akan terhantam pukulan yang
hendak dilancarkan Dewi Siluman. Kalau
hendak menangkis dia harus gerakkan
tangan, dan berarti dadanya pasti akan
terlihat jelas!
"Apa boleh buat...," gumam perempuan
berpunuk lalu turunkan kedua tangannya dari
dada, hingga saat itu juga payudara
perempuan berpunuk terpentang jelas!
Dewi Siluman tegak dengan terkesiap dan
mata melotot. "Tidak mungkin.... Bagaimana
bisa orang yang berpunuk dan tampak seperti
nenek-nenek Ini punya payudara kencang
padat dan bagus! Jangan-jangan memang
dia!"
Entah karena merasa penasaran. Dewi
Siluman cepat merangsek ke depan dengan
melompat dan langsung lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'! Di depannya perempuan
berpunuk cepat pula serrtakkam kedua
tangannya.
Bummm!
Terdengar ledakan keras. Sosok Dewi
Siluman tetap dalam keadaan tegak. Di
depan, sosok perempuan berpunuk
terjengkang jatuh di atas tanah berpasir. Dewi
Siluman tak memberi kesempatan. Saat
sosok perempuan berpunuk terjengkang, dia
cepat berkelebat ke depan lalu kembali
kirimkan pukulan!
Perempuan berpunuk angkat kedua
tangannya. Namun baru hendak bergerak
menangkis, pukulan Dewi Siluman terlebih
dahulu menggebrak! Hingga saat itu juga
sosok perempuan berpunuk mencelat mental
seraya keluarkan pekikan keras. Sosoknya
jatuh telentang setelah menghantam satu
gugusan batu padas. Dari kain cadarnya
tampak merembes darah kehitaman pertanda
bahwa dia terluka dalam cukup parah.
Sementara di sebelah kiri terdengar suara
bentrokan. Lalu tampak sosok Pendekar 131
terpental ke belakang dan jatuh terduduk
dengan tubuh bergetar. Di seberangnya,
tampak sosok Ki Buyut Pagar Alam
terhuyung-huyung keras sebelum akhirnya
roboh terjengkang!
Di sebelah kanan, terlihat Gendeng
Panuntun telentang dengan tangen usap-
usap cerminnya. Di bawah tubuhnya yang
besar tampak sosok Malaikat Penggali Kubur!
Karena tubuh Gendeng Panuntun besar,
sementara tindihannya bukan tindihan
sembararngan, melainkan dengan
pengerahan tenaga dalam, maka tampak
sosok Malaikat Penggali Kubur diam tak bisa
berkutik dengan napas megap-megap!
Dewi Siluman berpaling pada Ki Buyut.
Setelah mendapat isyarat dari kakek ini, dia
berpaling sejenak pada Malaikat Penggali
Kubur yang hampir kehabisan napas ditindih
sosok Gendeng Panuntun.
"Hei! Tolong singkirkan Tua bangka
gembrot ini dari alas tubuhku!" teriak Malaikat
Penggali Kubur.
Dewi Siluman tak buka mulut atau
membuat gerakan turuti permintaan Malaikat
Penggali Kubur.
"Sialan! Kau dengar ucapanku! Kenapa
hanya diam saja?!" Malaikat Penggali Kubur
kembali berteriak.
"Aku masih punya urusan! Mintalah tolong
pada hantu laut! Hik... hik... hik...!”
Malaikat Penggali Kubur memaki habis-
habisan, namun suaranya tersendat-sendat.
Sementara Dewi Siluman segera berkelebat
ke arah perempuan berpunuk.
Wajah di balik cadar perempuan berpunuk
makin pias. Dia terdengar bergumam tak jelas
tatkala tangan kanan Dewi Siluman
berkelebat menyingkap kain cadarnya.
Breettt!
Kain cadar berlobang-lobang kecil milik
perempuan berpunuk tersambar tangan
kanan Dewi Siluman. Kini tampak jelas wajah
perempuan ini.
Tiga langkah di depan perempuan
berpunuk, tubuh Dewi Siluman tampak
bergetar keras. Matanya mendelik angker
dengan pelipis kiri kanan bergerak-gerak.
"Murid murtad! Jahanam keparat! inikah
balasan yang kau berikan selama kudidlk,
bah?!”
Pendekar 131 yang berada tidak jauh
segera bergerak bangkit dan berpating pada
perempuan berpunuk yang masih telentang
dan kini coba bergerak duduk.
Untuk beberapa lama murid Pendeta
Sinting perhatikan wajah perempuan
berpunuk yang kini telah terbuka.
"Astaga! Bukankah dia salah seorang dari
tiga gadis yang pernah menghadangku
beberapa hari yang lalu?!"
Perempuan berpunuk yang kini telah duduk
ternyata adalah seorang gadis berparas
cantik. Rambutnya lebat hitam dengan
sepasang mata bulat. Pada bagian atas
bibirnya tampak sebuah tahi lalat.
"Sitoresmi!" bentak Dewi Siluman. "Kau
tahu apa yang akan kau peroleh dengan
perbuatanmu ini, heh?!"
Perempuan berpunuk yang ternyata bukan
lain adalah Sitoresmi, salah seorang murid
Dewi Siluman sendiri kancingkan mulut tak
memberi jawaban. Malah sebaliknya dia
berpaling pada Pendekar 131!
Dewi Siluman menyeringai dan
memandang silih berganti pada Joko Sableng
dan Sitoresml. "Rupanya cinta telah
membuatmu murtad dan lupa akan ikrar yang
pernah kau ucapkanl Baik, aku ingin tahu
apakah cinta bisa juga selamatkan tubuhmu!"
"Guru.... Maafkan aku. Aku...."
“Tutup mulutmu!" hardik Dewi Siluman.
"Aku bukan gurumu! Kau harus terima
hukuman!"
Meski biasanya gadis ini tidak berani
membantah ucapan gurunya, namun kali Ini
dia sepertinya punya keberanian luar biasa.
Sambil mengusap darah yang terus mengalir
dari sudut bibirnya, Sitoresmi balas
memandang pada Dewi Siluman dan berkata.
"Kalau kau bukan guruku, tak layak kau
jatuhkan hukuman padaku!"
Dewi Siluman tertawa, namun diputus
seketika. Lalu terdengar dia membentak.
"Bagus! Sekarang kau sudah pintar buka
mulut! Pemuda itulah yang membuatmu
demikian? Hik... hlk... hik....' Baik. Aku akan
membahagiakan kalian berdua dengan
kukubur satu lobang!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman
selinapkan pedang ke dalam sarungnya lalu
disimpan d! balik jubah hitamnya. Dia
berpaling pada murid Pendeta Sinting.
Namun tiba-tiba kedua tangannya bergerak
lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' ke arah
Sitoresmi!
Karena Sitoresmi dalam keadaan terluka
dalam, apalagi jaraknya terlaju dekat, hingga
yang bisa dilakukan gadis itu hanya berteriak
tertahan.
Pendekar 131 terbelalak. Dia cepat angkat
kedua tangannya. Sementara Gendeng
Panuntun yang masih menindih tubuh
Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan
gulingkan tubuhnya ke samping. Hingga saat
itu Juga tampak cahaya gemerlap
menyambar ke arah Dewi Siluman.
Sejengkal lagi pukulan yang dilepas Dewi
Siluman menggebrak ganas ke arah wajah
Sitoresmi, tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa mengekeh. Disusul dengan
menderunya angin keras berhawa luar biasa
dingin!
Meski gelombang angin dingin yang
menyeruak sempat membuat kabut hitam
berbelok, tapi karena jaraknya amat dekat
dengan Sitoresml hingga tak urung juga gadis
ini terpental dan wajahnya sempat tersambar
kabut hitam yang dilepas Dewi Siluman.
Dewi Siluman sendiri tampak berteriak
keras tatkala bersamaan dengan itu dari
samping kiri kanan melabrak sinar kuning
hantaman tangan Joko dan gelombang angin
yang disertai cahaya gemerlap dari cermin
Gendeng Panuntun!
Perempuan bercadar dan berjubah hitam
itu segera putar tubuh lalu berkelebat
menghindar. Saat yang sama, tempat di
mana tadi Dewi Siluman berdiri tampak
bergetar keras dan pasirnya muncrat ke
udara akibat terkena gelombang angin yang
keluar dari cahaya cermin Gendeng Panunlun
dan pukulan murid Pendeta Sinting.
Begitu Dewi Siluman menginjak tanah dua
langkah di samping Ki Buyut Pagar Alam,
terdengar orang tertawa mengekeh kembali.
Semua orang di tempat Itu serentak
berpaling.
***
LIMA
SEJARAK lima tombak dari tempat
Gendeng Panuntun yang masih
melintang telentang di atas tubuh
Malaikat Penggali Kubur terlihat seorang
kakek berjubah putih tegak dengan
memandang tak berkesip pada Dewi Siluman.
Dia bukan lain adalah Dewa Sukma.
Pemegang penggalan peta pertama yang
seperti diceritakan pada Ratu Malam,
penggalan peta itu berhasil direbut oleh
seorang perempuan bercadar dan berjubah
hitam dan bukan lain adalah Dewi Siluman.
Lima langkah di samping Dewa Sukma, di
atas satu gugusan batu padas tampak
seorang nenek berwajah pucat mengenakan
jubah warna merah menyala duduk
mencangklong dengan mulut perdengarkan
tawa. Nenek Ini berambut putih sebatas
pundak. Sepasang kelopak matanya besar
dengan bola mata di dalamnya amat sipit.
Seraya tertawa, nenek Ini mainkan gumpalan
tembakau hitam di mulutnya! Dia bukan lain
adalah Ratu Malam. Empat langkah di
samping Ratu Malam tegak dengan kepala
sedikit tengadah seorang kakek berambut
putih panjang. Kakek Ini berdiri tegak dengan
memunggungi dan mulutnya tampak dibuka
lebar! Dia adalah Iblis Ompong. Di sebelah
Iblis Ompong duduk bersila seorang
perempuan berjubah putih yang sekujur
tubuhnya laksana diguyur hujan namun dia
tidak basah! Perempuan ini tidak lain adalah
Dewi Es adanya.
Dewi Siluman dan Ki Buyut sama-sama
terkesiap dan sejenak saling lempar pandang
tatkala mengetahui siapa adanya keempat
orang yang baru datang. Wajah kedua orang
ini seketika berubah. Sementara murid
Pendeta Sinting tampak gelengkan kepala,
apalagi tatkala pandangannya menumbuk
pada sosok Gendeng Panuntun yang hampir
menindih lenyap sosok Malaikat Penggali
Kubur yang terus-terusan coba bergerak
untuk bernapas. Namun murid Pendeta
Sinting ini segera teringat pada Sitoresmi
yang pernah menolongnya dan ternyata
adalah murid Dewi Siluman sendiri. Dia buru-
buru berpaling lalu menghambur ke arah
Sitoresmi yang telentang diam dengan mulut
keluarkan banyak darah serta pakaian yang
dikenakan robek tak karuan.
Gendeng Panuntun tiba-tiba usap-usap
cerminnya sambil berkata.
"Heran. Apa sebenarnya yang terjadi? Baru
saja kudengar orang membentak-bentak, lalu
ada orang berkelahi. Terus kudengar orang
terkekeh-kekeh. Tapi lalu sunyi laksana
kuburan! Sayang mataku tidak bisa meiihat.
Jangan-jangan ada kuntilanak, tapi sore
begini mana ada kuntilanak gentayangan?!"
Ratu Maiam yang duduk mencangklong di
atas gugusan batu padas palingkan kepala ke
arah Gendeng Panuntun.
'Nasibmu memang sial, Rawadan!" ujar
Ratu Malam dengan menyebut nama asli
Gendeng Panuntun. "Tidak dapat menikmati
indahnya dunia! Hingga ada perempuan
laksana bidadari hadir kau kira kuntilanak
gentayangan! Hlk hik hik.... Lalu kalau benar
kuntilanak gentayangan yang datang, kau
akan duga siapa?!"
"Eh, kau tahu siapa aku! Jangan-jangan
kau nenek kempot yang mulutnya tak bisa
diam! Sialan betul! Mana kakek tak bergigi
itu? Apa ada bersamamu?!"
"Lama tidak berjumpa. Tapi nyatanya kau
tidak iupa. Hanya kulihat kau sekarang tampil
beda. Apa yang membuatmu jadi lain
demikian rupa?!" Iblis Ompong berucap
dengan masih tegak memunggungi Dewi
Siluman dan Ki Buyut.
"Tua tak bergigil" kata Rawadan alias
Gendeng Panuntun. "Nada ucapanmu lain.
Apa maksudmu?!"
Ibils Ompong bergelak terlebih dahulu
sebelum akhirnya menyahut.
"Apa enaknya menindih seorang
pemuda...? Padahal di depan sana kulihat
ada perempuan cantik dan muda? Apa
karena kau salah lihat, atau kau pura-pura
tidak melihat? Atau barangkali ini memang
niat yang terpahat?"
"Sialan! Sejak dulu aku memang tidak bisa
melihat. Tapi jangan menuduh yang bukan-
bukan! Di depan sana memang tegak
perempuan jelita. Tapi..." Gendeng Panuntun
tidak teruskan ucapannya. Dia usap-usap
cerminnya lalu berujar.
"Tampaknya ada tamu lagi di pulau ini!"
Ucapan Gendeng Panuntun baru saja
selesai, semua orang di situ mendengar
suara gemeretak roda kereta. Kejap lain dari
pinggiran pulau muncul satu kereta yang
dikusiri dua orang gadla berjubah kuning dan
biru!
"Wulandari dan Ayu Laksmi!" desis Dewi
Siluman begitu mengenali siapa adanya dua
gadis kusir kereta. Mula-mula perempuan
bercadar dan berjubah hitam ini tampak tidak
suka dengan munculnya kereta yang
memang dikusiri oleh Wulandari dan Ayu
Laksmi. Namun setelah berpikir mungkin
kedua muridnya sedikit banyak bisa
membantu, Dewi Siluman cepat lambaikan
tangan. Kereta itu segera bergerak mendekat
ke arah Dewi Siluman. Belum sampai dekat,
Wulandari dan Ayu Laksmi telah melompat
turun Ialu tegak lima langkah ke samping
Dewi Siluman sambil menjura dan berkata
"Guru! Maafkan kami yang lancang menyusul
kemari tanpa izinmu!" kata Wulandari. "Hanya
kami tidak membawa serta Sitoresmi! Kami
tunggu dia...."
Dewi Siluman tertawa. "Kalian tak usah
cemaskan saudaramu itu. Dia telah
mampus!"
Wulandari dan Ayu Laksmi tersentak sama
angkat kepalanya memandang ke arah Dewi
Siluman. Belum sempat keduanya buka mulut
lagi, Dewi Siluman telah arahkan telunjuknya
pada sosok Sitoresmi yang kini ada di
pangkuan Pendekar 131.
"Itulah akibat murid murtad dan khianat!
Jadi kalian jangan coba-coba mengikuti
jejaknya Jika tidak ingin menerima nasib
sama! Kalian dengar?!"
Wulandari dan Ayu Laksmi pandangi sosok
Sitoresmi yang diam tak bergerak-gerak di
pangkuan murid Pendeta Sinting. Kedua
gadis ini lantas saling pandang namun tidak
ada yang berani berucap.
"Sekarang kalian bersiaplah! Kita harus
menyelesaikan pekerjaan berat! Kelima
jahanam di depan sana itu adalah manusia-
manusia yang harus dimusnahkan! Juga
termasuk pemuda yang digila-gilai Sitoresmi
itu!" ujar Dewi Sliuman laiu melangkah lebih
dekat ke arah Ki Buyut Pagar Alam.
Wulandari dan Ayu Laksmi segera edarkan
pandangannya ke depan. Keduanya serentak
jadi terlengak, apalagi tatkala mereka melihat
Gendeng Panuntun.
Seperti diketahui, Wulandari dan Ayu
Laksmi sempat bertemu dengan Gendeng
Panuntun dalam perjalanannya. Malah
mereka sempat bercakap-cakap banyak. Dan
diam-diam kedua gadis ini sama membatin.
"Ucapan orang tua besar bermata buta itu
akhirnya terbukti semua! Sitoresmi harus
berpisah! Hem...."
"Aku mencium bau harum! Lantika! Adakah
tamu kita yang baru datang adalah bidadari
cantik?!" Gendeng Panuntun berteriak
dengan panggil nama asli Iblis Ompong.
'Aku tak bisa menjawabl Tanyakan pada
Jalu Paksi yang tegak menghadap!" kata Iblis
Ompong. Yang dimaksud Jalu Paksi bukan
lain adalah Dewa Sukma.
"Aku juga tidak mau jawab! Biar Sekar
Mayang yang bicara!" kata Jalu Pakai alias
Dewa Sukma. Yang dimaksud Sekar Mayang
adalah Ratu Malam.
"Pasang telingamu, Rawadan!" Sekar
Mayang alias Ratu Malam telah menyahut.
"Penciumanmu tidak salah! Namun
dugaanmu yang keliru. Hik... hik... hik.... Yang
datang memang bidadari, tapi sudah nenek-
nenek! Gundul lagi, dan pakaiannya minim
seolah ingin menunjukkan pahanya yang
hitam kerempeng!"
"Walah, sialnya diri bermata buta ini! Tidak
dapat melihat bidadari nenek-nenek yang
berpaha hitam! Paati aneh dan lucu...!”
"Kau salah lagi, Rawadan!" ujar Dewa
Sukma. "Bukan aneh dan lucu, justru
menjijikkan!"
"Jangan bercanda! Bagaimana kau bisa
bilang begitu?!"
"Dari mulutnya terus menerus menetes air
liur! Sedangkan dari hidungnya ingusnya
molor panjang!"
Tempat Itu sejenak dibuncah dengan suara
tawa bersahutan panjang. Sementara murid
Pendeta Sinting yang kini membopong tubuh
Sitoresmi ke tempat yang agak jauh
terdengar menggumam. "Orang-orang aneh.
Dalam keadaan begini masih bisa-bisanya
bergurau!"
Namun yang paling bernasib sial adalah
Malaikat Penggaii Kubur. Karena begitu
Gendeng Panuntun yang ada di atas
tubuhnya tertawa, dirinya laksana dibebani
beban yang sangat berat dan seperti
diguncang-guncang! Hingga napasnya makin
sesak dan tubuhnya laksana lumat.
Entah karena tidak mengenal, atau karena
terburu berbincang dengan Gendeng
Panuntun, IbLis Ompong, Ratu Malam, Dewa
Sukma dan Dewi Siluman yang hanya melihat
sepintas pada orang tua berjubah putih yang
berdiri tegak agak jauh.
Sementara kakek berjubah yang sedari tadi
hanya diam dan tidak lain adalah Ki Ageng
MangIr Jayalaya menggumam sendiri.
"Hem.... Tampaknya keempat orang yang
baru datang Itu sudah akrab betul dengan
orang tua yang bernama Gendeng Panuntun.
KaLau Gendeng Panuntun berada di pihak
Joko SabLeng, keempatnya mungkin tidak
jauh berbeda. Kurasa mereka bisa mengatasi
keadaan...."
Habis bergumam begitu, Ki Ageng Mangir
Jayalaya yang sebenarnya tadi
mengkhawatirkan Joko bernapas lega. Kakek
ini sejurus memandang pada rombongan
yang baru datang. Kejap lain dia putar diri lalu
berkelebat masuk ke dalam lobang dari mana
dia tadi keluar.
Sementara itu mendengar ucapan-ucapan
orang, tampang Wulandari dan Ayu Laksmi
terlihat berubah merah padam. Namun
mungkin sadar siapa adanya orang, kedua
gadis murid Dewi Siluman ini belum ada yang
berani bergerak. Hanya sepasang mata
mereka menyengat tajam pandangi satu
persatu kelima orang di depan sana.
"Ada orang datang lagi!" Tiba-tiba Dewi Es
yang sedari tadi duduk bersila dengan mulut
terkancing bersuara dengan buka kelopak
matanya yang semenjak tadi terpejam.
Masing-masing orang putuskan tawanya.
Dan bersamaan dengan itu dua bayangan
tampak berkelebat dan langsung tegak di
samping kiri kanan satu gugusan batu padas.
Dua orang yang baru datang ini sejenak
tampak terkesiap kaget dengan mata masing-
masing memandang ke arah Dewi Es, Dewa
Sukma, Ibiis Ompong, Ratu Malam, dan
Gendeng Panuntun. Lalu sama berpaling dan
saling berpandangan.
"Tidak kusangka jika telah muncul manusia-
manusia itu di sinii" bisik orang sebelah
kanan yang ternyata adalah seorang
perempuan mengenakan pakaian tipis warna
biru ketat yang di bagian dadanya dibuat
rendah hingga sembulan payudaranya yang
putih kencang tampak jelas. Rambutnya
panjang bergerai dengan bulu mata lentik dan
hidung sedikit mancung. Bibirnya merah
membentuk bagus. Meski usia perempuan ini
tidak muda lagi, tapi tampak tetap cantik
jelita! Sedangkan orang di sebelah
perempuan cantik yang bukan lain adalah
Ratu Pemikat, tegak seorang laki-laki
setengah baya bertubuh tinggi besar.
Kepalanya gundul plontos. Sepasang
matanya besar dengan alis menjulai panjang
ke bawah hampir menghalangi bola matanya.
Hidungnya besar dengan kumis melintang
lebat. Laki-laki Ini mengenakan jubah toga
warna putih hitam yang di bagian dadanya
tampak tiga bulu burung merak. Laki-laki ini
tidak lain adalah Merak Kawung, teman
seperjalanan serta kekasih Ratu Pemikat.
Dewi Siluman sejurus menatap tajam pada
Ratu Pemikat dan Merak Kawung. Lalu
berbisik. "Yang perempuan jelas aku sudah
tahu. Tapi yang laki-laki aku belum kenal!
Siapa dia, Ki Buyut?!"
"Dialah orang yang bernama Merak
Kawung Hem.... Dari mana dua manusia itu
tahu tempat ini?!" jawab Ki Buyut Pagar Alam
seraya balik bertanya. Dewi Siluman tidak
menjawab, karena sebenarnya dia sendiri
merasa heran sampai Ratu Pemikat dan
Merak Kawung muncul di Pulau Biru.
Mereka tidak tahu, bahwa dengan buku dari
Ki Jala Sutera yang berhasil direbut Ratu
Pemikat, mereka berdua akhirnya sampai di
Pulau Biru. (Tentang pertemuannya dengan
Ki Jala Sutera baca episode: "Kitab Serat
Biru").
"Kalau mereka mau diajak bergabung
dengan kita, mungkin pekerjaan kita akan
makin ringan, Ki Buyutl" bisik Dewi Siluman.
"Benar! Aku akan coba bicara dengan
mereka!" ujar Ki Buyut.
Sementara Ratu Pemikat dan Merak
Kawung terus edarkan pandangannya ke
seantero dataran pulau. Baru saja kedua
orang ini berpaling, tiba-tiba satu bayangan
berkelebat dan di kejap lain sudah tegak di
hadapan mereka berdua. Merak Kawung
segera angkat tangan kanannya. Namun
demi melihat siapa adanya orang yang tegak,
Ratu Pemikat memberi isyarat agar Merak
Kawung turunkan tangannya.
"Kalau tidak salah lihat, bukankah orang
yang tegak di hadapanku kini adalah seorang
dedengkot rimba persilatan bernama Ki Buyut
Pagar Alam?l" Ratu Pemikat berucap sambil
sunggingkan senyum dan busungkan
dadanya. Namun diam-diam perempuan
cantik bertubuh bahenol ini alirkan tenaga
dalam pada kedua tangannya.
"Ratu Pemikat.... Bersyukur kau masih
mengenali tua bangka ini, hingga kita lebih
enak bicara!"
"Hem...." Ratu Pemikat mengerling.
"Ucapanmu sepertinya mengandung pesan.
Ada yang hendak kau katakan pada kami?!"
"Selain berparas cantik, ternyata kau juga
pandai menebak tujuan orang. Aku memang
ingin mengatakan sesuatu pada kalian, ini
demi kepentingan kita bersama!"
"Tunggu!" sahut Ratu Pemikat. "Kau tiba-
tiba menyebut kepentingan bersama. Katakan
apa kepentinganmu sebenarnya!"
"Tidak usah panjang lebar. Semua orang
yang ada di sini pasti menginginkan Kitab
Serat Biru...."
"Hemm.... Lantas?!"
"Kau lihat sendiri! Lima orang di depan
sana kukira kalian telah tahu siapa mereka!
Sialnya mereka adalah perintang jika kita
menginginkan kitab Itu!"
"Maksudmu, kau ingin kita bersama-sama
menggempur mereka?!" tanya Ratu Pemikat.
"Benar! Dan kukira dengan jalan ini, kita
akan lebih mudah mendapatkan apa yang
kita buru!"
Ratu Pemikat tersenyum seraya
menggeleng. "Kukira sulit! Bagaimana
mungkin nantinya membagi kitab yang hanya
satu?"
Ki Buyut ganti tersenyum, "itu bukan urusan
sukar, Ratu Pemikat! Sebagai orang satu
golongan, apa sulitnya membagi kitab? Kita
bisa mempelajarinya bergantian! Atau kalau
suka, kau boleh memiliki Pedang Tumpul 131
yang kini ada di tangan Dewi Siluman....
Mudah bukan?!"
"Jadi...?"
Belum selesai ucapan Ratu Pemikat, Ki
Buyut telah lanjutkan kata-katanya. "Urusan
pembagian adalah urusan sepele. Aku
sekarang menanti jawabanmu! Waktu kita
sangat terbatas!"
Ratu Pemikat berpaling pada Merak
Kawung. Kedua orang ini tampak ragu-ragu
untuk memutuskan. Namun setelah berpikir
bahwa tidak mudah memang menghadapi
kelima orang di depan sana, akhirnya Ratu
Pemikat menyetujui tawaran Ki Buyut Pagar
Alam.
“Tapi jika kau nanti berbelok dari
ucapanmu, kau akan merasa kecewa! Bukan
saja tidak mendapatkan kitab itu, tapi juga
pulang nama dan tubuh tertinggal di pulau
Ini!" ancam Ratu Pemikat.
Meski sangat marah mendengar ancaman
Ratu Pemikat, namun Ki Buyut Pagar Alam
masih menindih dengan coba tersenyum dan
berujar. "Aku memang bukan orang baik-baik.
Tapi aku orang yang teguh pegang janji!
Silakan kalian pilih lawan sendiri!"
Habis berkata begitu, Ki Buyut berkelebat
kembali ke arah Dewi Siluman. Namun baru
saja sepasang kakinya menjejak tanah, tiba-
tiba satu bayangan hitam berkelebat. Di lain
kejap tahu-tahu telah tegak mengambil
tempat sepuluh langkah di samping Ratu
Pemikat. Dan baru saja bayangan hitam ini
tegak, dari arah pinggir pulau tampak dua
orang berlari kencang, lalu tegak berdiri di
samping kereta.
***
ENAM
SEMUA kepala berpaling. Dari tempat
tegaknya masing-masing, mereka
melihat seorang laki-laki berusia lanjut
mengenakan pakaian gombrong panjang
sebatas mata kaki berwarna hitam. Sepasang
matanya besar melotot. Rambutnya kelimis
panjang diuraikan ke depan, hingga raut
wajahnya yang berwarna hitam angker
terlihat samar-samar.
"Dewi...," bisik Ki Buyut. "Tampaknya nasib
kita mujur. Orang-orang yang datang masih
sahabat-sahabat kita!"
Dewi Siluman menatap pada orang
berpakaian hitam panjang yang baru datang
dengan mata tak berkesip. "Datuk Hitam...,"
desisnya. Lalu alihkan tatapan matanya pada
sosok yang tegak di dekat kereta.
Sebelah kanan adalah seorang kakek
berparas bulat besar. Selain dilapis kulit tipis,
paras kakek ini amat pucat. Rambutnya putih
dikucir ke belakang. Jambang, kumis, dan
jenggotnya lebat hampir menutupi sebagian
wajahnya. Dia mengenakan rompi panjang
berwarna kuning. Mata sebelah kiri ditutup
dengan sepotong kulit bundar yang diikatkan
ke belakang membuat sosok kakek Ini
semakin tampak angker. Di sebelah kakek
berompi kuning yang tidak lain adalah
dedengkot dunia persilatan bergelar Maut
Mata Satu ini tegak seorang gadis
mengenakan pakaian warna merah.
Wajahnya jelita dengan rambut dikucir ekor
kuda. Gadis ini adalah murid tunggal Maut
Mata Satu dan bukan lain adalah Dewi Seribu
Bunga.
Seperti diketahui, setelah Dewi Seribu
Bunga diselamatkan Pendekar 131 dari
pukulan Wulandari dan Ayu Laksmi, gadis
berbaju merah ini ditinggal sendirian di lereng
bukit oleh murid Pendeta Sinting yang
berkelebat ke puncak bukit setelah
mendengar orang lantunkan bait-bait syair.
Namun begitu Pendekar 131 pergi, muncullah
Maut Mata Satu. Dengan caranya sendiri,
akhirnya Dewi Seribu Bunga berhasil
membohongi Maut Mata Satu hingga
akhirnya mereka berdua memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan menuju arah selatan.
Tanpa sengaja, keduanya sampai pesisir Laut
Selatan. Dan begitu mereka tiba di pesisir
mereka berdua dikejutkan dengan suara
berderaknya roda kereta. Sambil menyelinap
ke balik rimbun pohon bakau, mereka dapat
melihat sebuah kereta yang dikusiri dua
orang gadis berjubah kuning dan biru. Dewi
Seribu Bunga yang tahu siapa adanya dua
orang gadis berjubah kuning dan biru. Dewi
Seribu Bunga yang tahu siapa adanya dua
gadis itu sudah bergerak hendak meloncat
keluar. Tapi Maut Mata Satu mencegahnya.
Lalu secara diam-diam mereka berdua
mengikuti gerak-gerik kedua gadis di atas
kereta. Dan begitu mereka mengetahui dua
orang gadis di atas kereta hendak menuju
pulau di seberang laut, Dewi Seribu Bunga
dan Maut Mata Satu merasa curiga. Dan
tanpa sepengetahuan Dewi Seribu Bunga
dan Maut Mata Satu, diam-diam sepasang
mata dari balik sela pohon bakau dari tadi
memperhatikan murid dan guru ini. Begitu
Dewi Seribu Bunga dan Maut Mata Satu ikut
menyusul menyeberang menuju pulau, dari
balik pohon bakau muncullah sesosok tubuh
mengenakan pakaian gombrang hitam dan
bukan lain adalah Datuk Hitam. Meski tidak
tahu ada apa sebenarnya mereka
menyeberang pulau, hati Datuk Hitam
bergerak untuk ikut-ikutan menyeberang
menuju pulau.
Ki Buyut Pagar Alam yang tahu siapa
adanya Maut Mata Satu tidak sia-siakan
kesempatan. Dia segera berseru.
"Sobatku, Maut Mata Satu.... Aku sangat
gembira kita dapat berjumpa di sini...."
Maut Mata Satu berpaling. Memandang
angker pada Ki Buyut laiu pada Dewi
Siluman. Namun cuma sekejap. DI lain saat,
matanya yang hanya sebelah beralih ke arah
lima orang yang ada di depan sana. Maut
Mata Satu sejurus terkesiap. Lalu menoleh
pada Dewi Seribu Bunga dan bergumam.
"Dewi.... Kau jangan bertindak! Lima orang
di depan sana adalah manusia-manusia yang
punya kepandaian tinggi! Kau tetaplah di
tempatmu meski apa nanti yang akan terjadi!
Dan jika keadaan tidak memungkinkan, kau
segeralah angkat kaki dari pulau ini!"
Yang diajak bicara kancingkan mulut tidak
menyahut. Bahkan gadis berbaju merah ini
tidak memandang pada lima orang yang baru
saja disebutkan gurunya. Sebaliknya
pandangan mata gadis ini tertuju pada
jurusan lain agak ke belakang dari lima orang
yang disebut Maut Mata Satu. Di sana terlihat
seorang pemuda yang bukan lain adalah
Pendekar 131 sedang mendudukkan
Sitoresmi bersandar pada satu batu padas.
Gadis murid Maut Mata Satu ini dadanya
bergemuruh dilanda rasa cemburu.
"Dewi!" kata Maut Mata Satu karena
muridnya tegak tak menyahut. "Kau dengar
ucapanku?!"
Meski tidak begitu perhatikan apa yang
baru saja diucapkan Maut Mata Satu, Dewi
Seribu Bunga berpaling sambil anggukkan
kepala.
Di iain pihak, mendapati ucapannya tidak
mendapat tanggapan, Ki Buyut merasa
geram. Namun sadar situasi, dia cepat
tersenyum dan berseru lagi.
"Sobatku, Maut Mata Satu! Bergabunglah
dengan kami orang-orang satu golongan.
Urusan Kitab Serat Biru nanti bisa kita
rundingkan jika urusan ini selesai!"
"Aku tidak sudi jika manusia mata satu Itu
ikut bergabung!" Tiba-tiba satu teriakan
terdengar. Yang berteriak ternyata adalah
Ratu Pemikat. Seperti diketahui, antara Ratu
Pemikat dan Maut Mata Satu pernah terjadi
bentrok saat memperebutkan Pedang Tumpul
131. (Untuk jelasnya silakan baca episode:
"Ratu Pemikat").
Teriakan Ratu Pemikat membuat Ki Buyut
dapat menangkap jika antara Ratu Pemikat
dengan Maut Mata Satu ada satu urusan.
Namun kakek yang kedua tangannya selalu
dimasukkan ke dalam saku jubah hitamnya ini
berlaku cerdik. Seraya melangkah ke arah
Maut Mata Satu dia berujar.
"Urusan sesama golongan harap bisa
ditunda. Kau mesti tahu, tidak ada yang lebih
menggegerkan dibanding dengan
tumbangnya orang-orang golongan putih.
Hari ini lupakan dulu silang sengketa. Kita
bersama-sama menghadapi manusia-
manusia yang selalu menjadi penghalang
setiap langkah kita! Dan kau juga harap
sadar, jika kita tidak bergabung, kau tentu
tahu apa yang akan menimpa kita!"
"Hem Ucapan orang ini ada juga
benarnya! Tapi aku tidak mudah begitu saja
turuti ucapan orang. Aku akan bergabung tapi
hanya untuk menghemat tenaga. Setelah
itu.... Ha ha ha.... Mereka juga akan
merasakan!" Maut Mata Satu membatin
daiam hati. Lalu berkata pada Ki Buyut.
"Meski aku sanggup menghadapi mereka,
tapi mengingat kita masih satu golongan,
tidak ada salahnya aku turuti permintaanmu.
Tapi setelah urusan ini selesai, jangan ikut
campur masalahku dengan perempuan laknat
sundal itu!"
"Aku tidak bicarakan urusan Ratu Pemikat
denganmu! itu bisa kau selesaikan sendiri
nanti! Aku akan cuci tangan...," ujar Ki Buyut
lalu berkelebat ke arah di mana Datuk Hitam
tegak.
"Sobatku, Datuk Hitam! Kau juga kuharap
mau bergabung dahulu. Urusan lain nanti kita
bicarakan lagi. Bagaimana?!"
Karena menyadari siapa lawan yang
dihadapi, tanpa pikir panjang Datuk Hitam
langsung setuju dengan tawaran Ki Buyut. Ki
Buyut Pagar Alam lantas berkata pada Ratu
Pemikat.
"Ratu Pemikat! Harap lupakan dulu urusan
dengan Maut Mata Satu!"
"Tidakl Kalau dia ikut bergabung, aku keluar
tidak ikut-ikutan!" teriak Ratu Pemikat sambil
memandang tajam pada Maut Mata Satu.
"Hem.... Kalau begitu baiklah! Silakan
hadapi mereka sendlrian! Aku mau lihat!"
Ucapan KI Buyut Pagar Alam membuat
Ratu Pemikat keluarkan gumaman tak jelas.
Dia tampaknya tahu, bahwa tidak mungkin
baginya berhadapan sendiri jika tidak Ingin
mati konyol.
Seakan dapat menangkap apa yang ada
dalam benak Ratu Pemikat, Ki Buyut tertawa
pelan sambil berujar.
"Ratu Pemikat! Urusanmu dengan Maut
Mata Satu bisa kau selesaikan setelah urusan
ini beres!"
Habis berkata begitu, Ki Buyut melangkah
ke arah Dewi Siluman. Bersamaan dengan itu
mata masing-masing orang kini menatap
lurus ke arah ilma orang di depan sana!
Pendekar 131 seakan tidak peduli dengan
munculnya beberapa orang di pulau itu. Dia
sangat mengkhawatirkan keadaan Sitoresmi
yang kini disandarkan pada satu batu padas.
Murid Pendeta Sinting ini lalu memeriksa
tubuh gadis salah satu murid Dewi Siluman
itu. Namun tangannya yang hendak salurkan
tenaga dalam tiba-tiba terhenti tatkala
matanya menumbuk menampakkan
payudaranya yang putih dan bagus. Darah
Pendekar 131 sesaat sirap. Namun buru-buru
dia alihkan pandangannya. Dia teringat waktu
mengangkat tubuh gadis itu, bagian
punggungnya yang tampak berupa punuk
besar tampak mengempis. Dia cepat meraba
punggung gadis yang matanya masih
terpejam dan wajahnya tampak berubah
kehitaman karena tersambar pukulan Dewi
Siluman.
Dari punggung Sitoresmi, Pendekar 131
menemukan satu jubah berwarna merah yang
dibungkus demikian rupa hingga membentuk
bundar mirip punuk. Dengan cepat murid
Pendeta Sinting kenakan jubah merah pada
Sitoresmi hingga dadanya sedikit tertutup.
"Tubuh gadis ini panas bukan main. Hem....
Akan kucoba salurkan tenaga 'inti Sukma
Es'." Perlahan-lahan Pendekar 131 putar
tubuh Sitoresmi berbalik. Lalu dia kerahkan
tenaga dalamnya pada kedua lengan. Kedua
tangannya ditempelkan pada punggung
Sitoresmi. Bersamaan itu hawa dingin
menyeruak dan perlahan-lahan masuk ke
dalam tubuh Sitoresmi yang panas akibat
pukulan 'Kabut Neraka' yang dilepas gurunya
sendiri.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba terdengar
erangan halus dari mulut Sitoresmi. Murid
Pendeta Sinting tarik pulang kedua
tangannya. Lalu perlahan-lahan pula tubuh
Sitoresmi diputar dan disandarkan kembali
pada batu padas.
Setelah mulutnya bergetar komat-kamit,
akhirnya Sitoresmi membuka kelopak
matanya. Sejurus sepasang mata gadis Ini
menyipit pandangi sosok pemuda di
depannya. Mulutnya terbuka, namun belum
ada suara yang terdengar.
"Jangan bicara dahulu. Aturlah napasmu...,"
bisik Joko sambil memandang tajam pada
gadis yang kini wajahnya berubah kehitaman.
"Terima kasih.... Terima kasih kau telah
menolongku!"
Joko letakkan telunjuk jarinya pada bibir
Sitoresmi memberi isyarat agar gadis itu tidak
teruskan bicara. Lalu jari-jari Joko menyeka
darah yang masih tampak di sekitar mulut
Sitoresmi. Gadis Ini serasa melayang dan
rasa sakit di sekujur tubuhnya laksana hilang.
Seolah mendapat keberanian dan kekuatan
baru, tangan Sitoresmi bergerak pelan
memegang tangan Joko dan meremasnya,
sementara tangan satunya diangkat dan
memegang tangan Joko yang masih
menyeka darah di mulutnya. Perlahan-lahan
kelopak mata Sitoresmi meredup.
"Meski aku tahu gadis berbaju merah itu
memikat hatimu, tapi aku sangat bahagia
sekali bisa mendapatkan hal seperti Ini.
Hanya kenapa saat bahagia Ini kurasakan
ketika keadaanku demikian? Yang Maha
Kuasa, tolong berikan aku waktu untuk dapat
mengecap rasa bahagia ini lebih lama.... Aku
berjanji, akan menyimpan kenangan ini di
lubuk hatiku, akan kuingat selalu...," Sitoresmi
berbisik dalam hati seraya terus meremas
tangan Joko.
Tanpa sadar, Joko balas meremas. Namun
diam-diam dia berkata daiam hati. "Dia
mungkin akan merasa kecewa setelah
melihat perubahan pada wajahnya. Hem....
Gadis malang. Tapi aku tidak akan
melupakannya. Dia telah berkorban untukku!"
Jari-jari tangan Joko kini mengelus wajah
Sitoresmi. Gadis ini gigit bibirnya. Dan
perlahan-iahan air mata tampak menetes dari
kelopak matanya. Bahunya penahan
berguncang.
tangannya dari tangan Sitoresmi. Lalu berdiri
tegak dengan mata tak berkesip memandang
angker pada Dewi Siluman.
"Kali ini tidak cukup jika pedangku saja
yang kau kembalikan! Kau juga harus
merasakan seperti yang dialami gadis itu!"
kata murid Pendeta Sinting.
Dewi Siluman tertawa panjang. "Jangan
banyak pentang mulut, Pendekar gombal!
Hidup dan matimu serta gadis cantikmu itu
ada di tanganku! Tapi aku masih punya
pertimbangan. Serahkan Kitab Serat Biru
padaku, niscaya kau kubebaskan membawa
bekas muridku itu ke mana kau suka!"
Pendekar 131 balik tertawa. "Tanpa
pertimbanganmu, aku bebas membawanya
ke mana kusuka. Atau barangkali kau mau
ikut serta?! Namun harap buka dahulu
penutup wajahmu, aku takut, jangan-jangan
ucapan orang tua tadi betul! Kau perempuan
yang...."
"Jahanam!" maki Dewi Siluman keras.
Sosoknya segera berkelebat ke depan
dengan kedua tangan bergerak lepaskan
pukuian 'Kabut Neraka'.
Joko yang sudah waspada tak menunggu
lagi. Begitu dari kedua tangan Dewi Siluman
melesat kabut hitam, dia kirimkan pukulan
'Lembur Kuning'!
Pukuian 'Lembur Kuning' belum
menggebrak, satu kekuatan aneh telah
melesat mendahului.
Bummm!
Ledakan dahsyat menggelegar membuncah
tempat itu. Sosok Dewi Siluman terpental
satu tombak ke belakang.
Akibat pukulan 'Kabut Neraka' bentrok
dengan kekuatan yang melesat mendahului
pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Sepasang
mata Dewi Siluman terbeliak, karena baru
saja kakinya menjejak tanah, gelombang
angin panas pukulan 'Lembur Kuning'
menggebrak!
Dewi Siluman tidak menunggu, kedua
kakinya segera dihentakkan ke atas tanah.
Dari sepasang matanya melesat sinar hitam
yang langsung diarahkan pada pukulan yang
kini mengarah padanya!
Byaaarrr!
Gelombang panas ambyar bertabur sinar
hitam. Sosok Dewi Siluman terjengkang
roboh. Di depannya murid Pendeta Sinting
terhuyung lalu jatuh terduduk. Namun karena
khawatir lawan hendak lepaskan pukulan lagi
dengan menahan rasa nyeri di dada masing-
masing, Dewi Siluman dan Pendekar 131
segera sama-sama bergerak bangkit.
Tiba-tiba Dewi Siluman cabut Pedang
Tumpul 131 dari balik jubahnya. Tangan
kanannya menarik pedang dari sarungnya
yang dipegang tangan kiri. Lalu tangan kirinya
mencampakkan sarung pedang itu ke tanah.
Sembari menyeringai ganas, Dewi Siluman
segera melompat ke depan. Pedang Tumpul
131 dibabatkan ke arah kepala murid
Pendeta Sinting! Sinar kekuningan yang
dikeluarkan hawa luar biasa panas segera
menghampar bersamaan dengan
membabatnya pedang.
Maklum akan kehebatan pedang miliknya
sendiri, murid Pendeta Sinting segera mundur
satu langkah. Lalu sambil melompat dari arah
samping kedua tangannya bergerak
menggebrak ke arah tangan Dewi Sliuman
yang membabatkan pedang.
Dewi Siluman hentikan babatan
pedangnya. Dan secepat kilat dia tarik pulang
kedua tangannya, sementara tubuhnya ditarik
sedikit, hingga gebrakan tangan Joko
menghantam tempat kosong. Saat kedua
tangan Joko lewat, Dewi Siiuman sentakkan
tangan kanannya yang memegang pedang.
Breettt!
Pakaian murid Pendeta Sinting robek besar
pada bagian samping lambung. Untung
Pendekar 131 cepat berkelit. Terlambat
sedikit, bukan tidak mungkin perutnya akan
ambrol terbabat Pedang Tumpul 131.
Dewi Siluman tertawa pendek. "Masih ada
waktu untuk berpikir! Lekas serahkan Kitab
Serat Biru atau kepala dan perutmu akan
kubuat jebol'"
Sitoresmi tampak cemas melihat kejadian
itu. Diam-diam dia bergumam.
"Perempuan ini penghalang kebahagiaan
ku! Kalau Pendekar 131 tak bisa bertahan,
rasanya aku tak bisa hidup sendirian! Lebih
baik mati bersama daripada hidup merasa
sendirian!" serentak Sitoresmi bergerak
bangkit. Meski masih terhuyung-huyung
namun gadis ini kuatkan diri.
"Bagus! Kuturuti kehendak kalian yang ingin
mampus bersama!" teriak Dewi Siiuman
geram.
Saat Itulah satu bayangan merah
berkelebat disusul dengan menderunya angin
keras. Dewi Siluman cepat berpaling. Dewi
Seribu Bunga kini tampak tegak lima jangkah
di depannya!
"Kau!" desis Dewi Siluman. "Katakan apa
maksudmu!"
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Mata
gadis murid Maut Mata Satu Ini memandang
pada Sitoresmi lalu pada Pendekar 131.
Sitoresmi balas memandang. Hingga sejurus
kedua gadis Ini sama bentrok pandangan.
"Dewi Seribu Bunga!" kata Joko. "Harap
kau tidak ikut campur!"
"Dan harap jangan mengambil keuntungan
dari keadaan!" sahut Dewi Siiuman karena
masih menduga jika Dewi Seribu Bunga
menginginkan Pedang Tumpul 131 seperti
yang pernah didengarnya saat Dewi Seribu
Bunga bercakap-cakap dengan gurunya Maut
Mata Satu beberapa waktu lalu di lereng
bukit.
Mendengar ucapan orang, Dewi Seribu
Bunga yang telah dilanda rasa cemburu
membuang muka sambil berkata keras.
"Jangan sembarangan berucap menuduh
orang! Dan kau gadis berjubah merah! Sekali
lagi kudengar ucapanmu yang bukan-bukan,
aku tak segan menambah tamparan pada
mulutmu!"
Habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga
mundur agak menjauh. Tapi sepasang
matanya tak hendak beranjak dari tubuh
Sitoresmi. Sebaliknya Sitoresmi tak juga
palingkan wajahnya dari menatap ke arah
Dewi Seribu Bunga!
"Hem.... Tampaknya gadis-gadis ini iebih
mementingkan urusan cinta! Dasar gadis
bodoh! Mereka kira cinta dapat
membahagiakan hidup! Hik... hik... hik....
Mereka tidak tahu, justru cinta adalah pangkal
malapetaka dan sengsara!" kata Dewi
Siluman dalam hati. Lalu memanfaatkan
keadaan, perempuan bercadar dan berjubah
hitam ini cepat meloncat ke arah Pendekar
131. Tangan kanannya kembali babatkan
pedang, sementara tangan kirinya
melepaskan pukulan mengarah pada kepala!
Pendekar 131 yang diam-diam telah
kerahkan tenaga dalam pada kedua lengan
dan kedua tangannya segera menyambuti
dengan angkat kedua tangannya.
Bukkk! Buukkk!
Dewi Siluman memekik keras. Tangan
kirinya yang beradu dengan tangan kanan
Pendekar 131 mental balik ke belakang.
Sementara tangan kanannya yang
memegang pedang dan baru saja bentrok
dengan tangan kiri Joko tampak bergetar
keras serta kejang kaku dan dingin tidak bisa
digerakkan! Hingga tatkala Dewi Siluman
mundur, Pedang Tumpul 131 terlepas dari
tangannya.
Murid Pendeta Sinting yang baru saja
lepaskan tenaga Inti 'Sukma Ea' segera
merangsek ke depan.
Namun Dewi Siluman segera berkelebat
menghadang dengan kaki menginjak Pedang
Tumpul 131.
Karena sudah telanjur merangsek, kedua
tangan Joko segera pula berkelebat lepaskan
pukulan. Dewi Siluman tak berani berlaku
ayal. Kedua kakinya cepat menghentak
tanah. Saat itu juga dari sepasang matanya
melesat dua sinar hitam!
"Sinar Setan!" seru Sitoresmi. "Menyingkir!"
Tak ada kesempatan !agi bagi murid
Pendata Sinting untuk menghindar
selamatkan diri. Hingga pada saat genting itu
dia cepat alirkan tenaga dalamnya di telapak
tangannya. Lalu seraya terus merangsek dia
menghadang dengan lepaskan pukulan
'Lembur Kuning'.
Dess! Desss!
Baik Dewi Siiuman maupun Pendekar 131
tak dapat hindarkan diri dari pukulan lawan.
Hingga saat terjadi bentrok pukuLan, sosok
masing-masing sama-sama terpelanting.
Joko jatuh terkapar dengan pakaian hangus
dan sebagian robek. Wajahnya pucat pasi
dengan dada berdebar sakit. Meski pukulan
'Sinar Setan' yang dilepas Dewi Siluman
menghantam tubuhnya, namun karena Joko
telah melindungi diri dengan tenaga inti
'Sukma Es', maka tubuhnya tidak melepuh
hangus, walau tak urung darah segar nampak
keluar dari mulutnya pertanda dia terluka
bagian dalam.
Sebaliknya Dewi Siluman sendiri telentang
di atas tanah berpasir dengan tubuh
bergeletar dan mata memejam rapat. Dari
bagian bawah cadar penutup wajahnya
tampak darah menetes, pertanda dia juga
terluka bagian daiam. Bahkan untuk
beberapa lama perempuan bercadar dan
berjubah hitam ini diam tidak bergerak-gerak.
Saat itulah tiba-tiba bayangan merah
berkelebat dan menyambar Pedang Tumpul
131 beserta sarungnya yang tergeletak di
atas pasir.
***
TUJUH
KITA kembali sejenak ke tempat agak
jauh di sebelah kanan. Begitu Ratu
Pemikat melihat Dewi Siluman
berkelebat ke arah Pendekar 131 yang coba
salurkan hawa murni selamatkan Sitoresmi,
perempuan cantik bertubuh bahenol ini yang
urusannya pernah dihalangi oleh iblis
Ompong beberapa waktu yang lalu segera
berkelebat ke arah kakek tak punya leher dan
tak punya gigi ini yang tetap berdiri tegak
memunggungi. Melihat hal ini, Datuk Hitam
yang punya ganjalan dengan Ratu Malam
segera pula melompat ke arah si nenek yang
duduk mencangklong di atas gugusan batu
padas. Maut Mata Satu tak tinggal diam. Dia
cepat melesat ke depan dan tegak tiga
langkah di hadapan Dewi Es. Ki Buyut Pagar
Alam memandang sejenak pada Dewa
Sukma dan Gendeng Panuntun. Dia seolah
menimbang. Lalu sekejap kemudian dia telah
berkelebat ke arah Dewa Sukma. Merak
Kawung sejurus merasa kebingungan.
Karena tinggal Gendeng Panuntun yang
masih tampak belum ada yang menghadapi,
akhirnya laki-laki setengah baya berkepala
gundu! ini merangsek ke arah Gendeng
Panuntun yang masih telentang menindih
tubuh Malaikat Penggali Kubur.
Karena jarak yang paling dekat adalah
antara Merak Kawung dan Gendeng
Panuntun, maka laki-laki setengah baya ini
sekejap saja sudah tepat berada di hadapan
Gendeng Panuntun, Dan tanpa menunggu
lama dia segera lepaskan satu tendangan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Gelombang angin terdengar menderu keras
mendahului tendangan yang dilepas Merak
Kawung.
Gendeng Panuntun kucek-kucek matanya
yang putih, lalu berguling ke samping kanan.
Tendangan maut Merak Kawung sejengkal
lewat di samping tubuhnya, membuat Merak
Kawung menggeram. Dia putar tubuhnya
sekali. Lalu maju selangkah dan serta-merta
tangan kanannya berkelebat menghantam ke
arah sosok Gendeng Panuntun yang telah
kembali menindih sosok Malaikat Penggali
Kubur.
"Mampusl" teriak Merak Kawung saat
melihat Gendeng Panuntun tidak membuat
gerakan meski si laki-laki berkepala gundul itu
telah lepaskan satu pukulan ke arahnya.
Namun sejengkal lagi tangan kanan Merak
Kawung menghantam batok kepala Gendeng
Panuntun, kakek bertubuh besar bermata
buta ini gerakkan kaki kanannya sambil
berguling.
Settt!
Merak Kawung terkesiap. Kaki kanannya
terdorong deras ke belakang hingga tubuhnya
melipat ke depan. Namun Merak Kawung tak
hendak urungkan tangan kanannya yang
menghantam.
Buukkk!
Terdengar seruan tertahan keras. Bukan
dari mulut Gendeng Panuntun melainkan dari
mulut Malaikat Penggali Kubur yang terkena
hantaman tangan Merak Kawung. Bukan
hanya sampai di situ, saat tubuh Merak
Kawung melipat ke depan, Gendeng
Panuntun angkat kaki kanannya dan
ditusukkan pada pantat Merak Kawung.
Merak Kawung terjerembab menelungkup di
atas tubuh Malaikat Penggali Kubur dengan
deras, membuat Malaikat Penggali Kubur
kembali berseru seraya memaki tak karuan.
“Jahanam! Kau memukul dan menindihku!"
teriak Maiaikat Penggali Kubur lalu gerakkan
kedua tangannya memukul ke atas, di mana
saat itu sosok Merak Kawung berada di
atasnya.
Bukk! Bukkk!
Mendapati dirinya dihantam dari bawah,
Merak Kawung tak tinggal diam, kedua
tangannya yang tertindih tubuhnya segera
ditarik keluar lalu dihantamkan ke arah
punggung Malaikat Penggali Kubur.
Bukkk! Bukkk!
Malaikat Penggali Kubur menggembor
marah. Dia kembali hendak menghantam ke
atas, sementara Merak Kawung yang tahu
hendak dihantam kembali hantamkan kedua
tangannya. Ketika kedua pasang tangan itu
sama-sama hendak menggebuk, tiba-tiba
Gendeng Panuntun jejakkan tangan dan
kakinya ke tanah berpasir. Tubuhnya membai
ke udara lalu bergerak ke samping ke arah
Merak Kawung dan Malaikat Penggali Kubur.
Plukkk!
Terdengar dua seruan keras berbarengan.
Sosok besar Gendeng Panuntun kini
telentang menindih tubuh Merak Kawung dan
Malaikat Penggali Kubur. Merak Kawung dan
Malaikat Penggali Kubur sama-sama
tercekat. Karena tindihan Gendeng Panuntun
dengan pengerahan tenaga dalam, maka
kedua orang di bawah tubuh Gendeng
Panuntun hanya bisa gerak-gerakkan tangan
tanpa bisa gerakkan tubuh.
"Ha... ha... ha...! Rasanya enak juga
berkasur anak manusia!" kata Gendeng
Panuntun sambil tertawa bergelak-gelak
hingga tubuhnya berguncang-guncang,
membuat dua orang di bawahnya
menyumpah tak karuan.
"Setan alas!" teriak Merak Kawung lalu
hantamkan sikunya ke arah tubuh Gendeng
Panuntun.
Dukkk!
Sosok Gendeng Panuntun bergoyang-
goyang. Namun sekejap kemudian Gendeng
Panuntun bergerak bangkit. Usap-usapan
cerminnya sejurus lalu kaki kanannya
menjulur ke belakang dan bergerak
menendang kaki Merak Kawung.
Desss!
Karena tendangan Itu bukan tendangan
biasa, maka saat itu juga sosok Merak
Kawung tampak berputar-putar di atas tubuh
Maiaikat Penggali Kubur laksana baling-
baling.
Saat itulah Malaikat Penggali Kubur
sentakkan kedua tangannya ke atas tanah.
Tubuhnya melonjak ke atas, membuat tubuh
Merak Kawung ikut membumbung ke udara!
Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh
Malaikat Penggali Kubur. Dia segera balikkan
tubuh. Ketika sosok Merak Kawung yang
tetap berputar melayang turun, Malaikat
Penggali Kubur yang sudah merasa geram
cepat rentangkan kedua tangannya,
sementara kakinya ditekuk sedikit ke atas.
Saat setengah depa lagi tubuh Merak
Kawung menghempas tubuhnya, Malaikat
Penggali Kubur angkat kedua tangan dan
kakinya.
Prakkk! Desss!
Merak Kawung menjerit keras. Tubuhnya
kembali membumbung ke udara, lalu
melayang jatuh dengan kepala rengkah dan
nyawa putus!
Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu
cepat bergerak bangkit. Menatap sejurus
pada mayat Merak Kawung lalu berpaling
pada Gendeng Panuntun. Untuk beberapa
saat murid Bayu Bajra ini tampak ragu-ragu.
Dari beberapa kali bentrok, tampaknya
Malaikat Penggali Kubur sadar, bahwa ilmu
kepandaiannya masih berada di bawah
Gendeng Panuntun. Namun hawa amarah
tampaknya lebih menguasai dirinya. Hingga
didahului bentakan keras, pemuda ini melesat
ke depan seraya lepaskan pukuian 'Telaga
Surya'!
Namun baru saja dari kedua tangannya
yang mengepal keluarkan cahaya terang,
beberapa pantulan cahaya telah melesat
hingga kedua tangan Malaikat Penggali
Kubur terpental ke belakang. Malaikat
Penggali Kubur cepat melompat mundur, lalu
secepat Itu pula kedua tangannya diangkat.
Namun belum sampai kedua tangannya
bergerak lepaskan pukulan, kembali
beberapa pantulan cahaya menggebrak,
malah kali ini disertai menderunya angin
keras!
Karena saat itu Malaikat Penggali Kubur
sedang siapkan pukulan 'Telaga Surya',
hingga dia tidak kuasa membendung
gebrakan angin yang mengarah padanya.
Desss! Deesss!
Sosok Malaikat Penggali Kubur mencelat
dan terjengkang di atas tanah berpasir
dengan mulut keluarkan darah. Entah karena
merasa khawatir Gendeng Panuntun hendak
menyerang kembali, Malaikat Penggaii Kubur
cepat bergerak bangkit meski sekujur
tubuhnya merasa luluh lantak.
"Kau!" ujar Maiaikat Penggaii Kubur dengan
memandang tajam pada Gendeng Panuntun
yang tegak sepuluh langkah di hadapannya.
"Adalah manusia pertama yang kelak akan
kucari!"
Habis berkata begitu, Malaikat Penggali
Kubur terhuyung-huyung balikkan tubuh lalu
berkelebat ke arah pinggir pulau.
Gendeng Panuntun tertawa mengekeh, lalu
melangkah ke arah satu gugusan batu padas
dan duduk bersandar dengan mata
memejam!
Di sebeiah samping, tiba-tiba terdengar
letupan. Lalu tampak kepingan batu padas
bertabur ke udara. Disusul bentakan keras
yang ternyata keluar dari mulut Datuk Hitam
karena sosok Ratu Malam yang duduk
mencangklong di atas batu padas tiba-tiba
berkelebat lenyap hingga hantaman tangan
Datuk Hitam melabrak batu padas yang tadi
diduduki Ratu Malam.
Datuk Hitam kertakkan rahang. Lalu
berpaling ke samping kanan. Tangan
kanannya menyibak rambutnya yang terurai
ke wajahnya. Sepasang matanya mendelik
angker menatap pada Ratu Malam yang kini
tegak dengan kacak pinggang dan mulut
bergerak-gerak mainkan gumpalan tembakau
hitam.
"Terimalah kematianmu!" teriak Datuk
Hitam. Lalu laksana terbang kakek berwajah
hitam legam ini melesat ke arah Ratu Maiam.
Kedua tangannya mengembang lalu
menghentak ke depan lepaskan pukulan
'Puspa Jagat'.
Wuuttt! Wuuutttt!
Sesaat suasana berubah hitam. Lalu
terdengar deru keras disertai menggebraknya
hamparan angin deras berhawa panas.
Ratu Maiam dongakkan kepala. Gumpalan
tembakau hitam di mulutnya tampak keluar
mencuat, namun kejap kemudian tertarik dan
masuk lagi ke mulutnya. Bersamaan itu
kedua tangannya mendorong ke depan lalu
disentakkan ke bawah.
Gebrakan gelombang angin yang keluar
dari kedua tangan Datuk Hitam tertahan di
udara, lalu bersamaan dengan menyentaknya
tangan Ratu Maiam ke bawah, gebrakan
angin itu menukik deras menghantam tanah
berpasir!
Bummm!
Tanah berpasir berwarna biru berhambur
ke udara. Lalu tampak lobang besar
menganga karena akibat pukulan Datuk
Hitam yang berbelok menukik. Meski tidak
langsung bentrok pukulan, namun sosok
Datuk Hitam tampak tersurut lima langkah
dengan wajah makin mengetam. Dadanya
berdenyut nyeri sementara kedua tangannya
bergetar.
Sebenarnya nyali Datuk Hitam sudah pupus
tatkala mengetahui pukulan andalannya
begitu mudah dipangkas oleh Ratu Malam.
Namun berpikir Ratu Malam tidak akan
membiarkannya pergi, membuat Datuk Hitam
nekad.
Sepasang kaki Datuk Hitam segera
menjejak tanah. Tubuhnya membumbung ke
udara, di atas kakek berwajah hitam ini
membuat gerakan telentang dan berputar-
putar. Lalu melesat ke depan sambil kirimkan
pukulan 'Puspa Jagat' untuk kedua kalinya!
Ratu Maiam komat-kamltkan mulut. Tiba-
tiba nenek ini putar tubuh dan kejap lain
tubuhnya membai tinggi ke udara satu
tombak di atas tubuh Datuk Hitam, membuat
pukulan Datuk Hitam menghantam tempat
kosong.
Dan begitu melihat sosok Ratu Malam
melayang di atas tubuhnya, Datuk Hitam
tersentak kaget. Takut Ratu Maiam lepaskan
pukulan, Datuk Hitam segera bergerak
mendahului lepaskan pukulan dengan
sentakkah kedua tangannya ke atas.
Namun bersamaan dengan itu, kedua
tangan Ratu Malam menyentak ke bawah.
Hingga gelombang angin yang melesat dari
kedua tangan Datuk Hitam tertahan malah
kini berbalik menggebrak ke arah si kakek!
Tidak ada waktu lagi bagi Datuk Hitam
untuk menangkis atau menghindar dari
pukulannya sendiri yang membalik, hingga
saat itu juga Datuk Hitam memekik keras
terhantam pukulannya sendiri. Sosoknya
lebih keras berputar lalu melayang Jatuh
bergedebukan di atas tanah berpasir dengan
mulut dan hidung keluarkan darah. Untuk
sesaat kakek berwajah hitam ini mengerang,
namun kejap lain suara erangannya terputus
laksana direnggut setan. Tubuhnya melejang
sejenak sebelum akhirnya diam tak berkutik
lagi!
Ratu Malam meiayang turun sambi! usap-
usap jubah merahnya di bagian bahu yang
tampak hangus. Memandang sejenak pada
sosok Datuk Hitam yang sudah tidak
bernyawa, lalu melangkah ke arah batu
padas di mana Gendeng Panuntun duduk
bersandar. Kejap lain nenek berambut putih
sebatas tengkuk ini telah duduk
mencangklong di atas batu sandaran
Gendeng Panuntun!
***
Saat Datuk Hitam berkelebat menggebrak
ke arah Ratu Malam, di sebelah samping,
Ratu Pemikat telah pula melesat dan
langsung lepaskan jotosan tangan kiri kanan
ke arah belakang kepala Iblis Ompong.
Kakek tidak punya leher dan tidak bergigi
ini tengadah sedikit, mulutnya dibuka lebar-
lebar. Karena dia tegak memunggungi, begitu
sejengkal lagi kedua jotosan Ratu Pemikat
menggebrak kepalanya, Iblis Ompong lipat
tubuhnya ke depan, hingga jotosan sang Ratu
hanya menghantam angin di atas kepala Iblis
Ompong yang telah menghindar. Malah
karena Iblis Ompong melipat tubuhnya ke
depan, membuat pantatnya mencuat
menungging. Hingga karena Ratu Pemikat
tidak menduga, maka tak ampun lagi pantat
Iblis Ompong menumbuk deras perut Ratu
Pemikat.
Buukkk!
Sosok Ratu Pemikat mental ke belakang.
Namun sebelum tubuhnya menjejak tanah,
Ratu Pemikat telah kerahkan tenaga dalam,
lalu melesat kembali ke depan dengan
mengambil posisi agak ke samping. Setengah
tombak lagi sampai, Ratu Pemikat putar
tubuh, lalu disertai bentakan keras kaki
kanannya membuat gerakan menendang
sosok Iblis Ompong yang masih menunggingi
Tapi bersamaan dengan melesatnya kaki
Ratu Pemikat menendang, tiba-tiba Ibiis
Ompong tarik tubuhnya lalu cepat tubuhnya
bergerak rebah ke bawah rata dengan tanah.
Melihat hal ini, Ratu Pemikat cepat tarik
pulang kakinya, namun secepat itu pula
kakinya dihentakkan ke bawah menggebrak
ke arah sosok Iblis Ompong. Tapi perempuan
cantik bertubuh bahenol ini melengak kaget.
Karena bersamaan dengan itu kaki Iblis
Ompong bergerak menyapu ke arah sebelah
kaki Ratu Pemikat yang digunakan sebagai
tumpuan tubuhnya.
Desss!
Tubuh Ratu Pemikat terhuyung ke depan
sebelum akhirnya jatuh telengkup di atas
tubuh Ibils Ompong!
"Sial! Seandainya aku telentang, tentu
kenikmatannya akan bertambah!" ujar Iblis
Ompong.
Di seberang terdengar suara orang tertawa
mengekeh panjang.
"Hei…Kau tertawa sendirian. Ada apa?!
Katakan apa yang kau lihat!" Gendeng
Panuntun berucap saat mendengar Ratu
Maiam yang duduk mencangklong di atasnya
tertawa bergelak.
"Mau-maunya perempuan cantik itu
menindih tubuh bau Lantika! Hik... hik... hik...!
Apa dikira tubuh tua bangka itu masih
menjanjikan kehangatan?”
"Jadi...?!" ujar Gendeng Panuntun.
"Gadis bahenol berbaju biru itu saling tindih
dengan saudaramu Lantika! Malah sempat
menciumi punggungnya! Hik... hik... hik...!"
"Walah, mimpi apa dia tadi malam hingga
hari Ini mendapat rezeki besar! Sampai-
sampai punggungnya diciumi gadis cantik!
Sekarang katakan padaku apa lagi yang
dilakukan gadis cantik itu!"
"Dia mengelus-elus leher Lantika! Hik...
hik.. hik...! Apa dia tidak tahu jika tua bangka
itu tidak punya leher?!"
"Apa? Mengelus lehernya?!" ulang
Gendeng Panuntun sambil geleng-geleng
kepala. "Dunia ini yang sudah gila atau
orang-orang itu yang gila-gilaan? Beraninya
mereka bermesra-mesraan di hadapan
orang...."
Ratu Pemikat menggereng marah. Dia
cepat tarik kepalanya dari punggung Iblis
Ompong. Lalu tubuhnya ditarik ke depan dan
kini menduduki pantat iblis Ompong. Kejap
lain kedua tangannya bergerak menghantam
ke arah kepaia si kakek!'
Ratu Maiam tiba-tiba putuskan tawanya,
sepasang matanya yang sipit perhatikan ke
arah Ratu Pemikat tak berkesip. Sementara
Ratu Pemikat menyeringai seraya teruskan
hantamannya. Dia yakin kali ini Iblis Ompong
tidak akan bisa lolos dari hantaman
tangannya, karena tubuhnya tertindih tak bisa
bergerak.
Namun saat kedua tangan Ratu Pemikat
sejengkal lagi menghantam kepala si kakek,
tiba-tiba kedua kaki Iblis Ompong bergerak
terangkat ke belakang.
Buukkk! Buukkk!
Punggung Ratu Pemikat tertumbuk kedua
kaki iblis Ompong hingga bukan hanya
membuat hantaman tangannya melenceng
menghantam tangan di samping kepala si
kakek, lebih dari itu kembali tubuhnya jatuh
telungkup di atas tubuh Iblis Ompong!
Ratu Maiam angkat tangannya menutupi
mulutnya, namun tak urung suara tawa
cekikikannya masih terdengar keluar.
Ratu Pemikat sudah tidak dapat lagi
membendung marah. Tanpa menarik lagi
kepalanya dari punggung Ibiis Ompong,
kedua tangannya yang berada di sebelah
kepala si kakek segera bergerak
menghantam!
Saat itulah mendadak sepasang kaki Iblis
Ompong menekuk ke atas. Lalu....
Wuttt!
Pantat iblis Ompong bergerak mencuat ke
atas. Sosok Ratu Pemikat terpental ke depan.
Untung perempuan ini cepat dapat kuasai
tubuh, hingga walau sejenak tampak
terhuyung, namun kejap lain telah tegak.
Dengan wajah merah mengelam, Ratu
Pemikat putar tubuh. Di depannya, Iblis
Ompong bergerak bangkit, namun kejap
kemudian dia berbalik dan memunggungi
Ratu Pemikat dengan mulut dibuka lebar
lebar. Malah sesaat kemudian tangan
kanannya meraba punggungnya.
"Ah, hangatnya masih terasa...," gumamnya
lalu tertawa terbahak. Dia memandang
sejenak pada Gendeng Panuntun dan
berujar.
"Rawadan! Tidakkah kau ingin
menikmatinya juga? Dadanya hangat,
aromanya harum...."
"Sialan kau, Lantika! Ucapanmu
membuatku jadi berdebar-debar!"
"Jahanam!" maki Ratu Pemikat dengan
mata mendelik.
"Hai! Kalian ini sedang bermesraan atau
apa? Satunya mengatakan kenikmatan, tapi
satunya lagi memaki tak karuan! Heran...."
Gendeng Panuntun berujar sambil usap-usap
cerminnya.
"Ah, kau juga pura-pura tak tahu!
Perempuan biasanya kan begitu. Memaki-
maki tapi sebenarnya hatinya mau.... Hik...
hik... hik...i" Yang menyahut adalah Ratu
Malam.
"Kalian semua Tua-tua bangka busuk!"
teriak Ratu Pemikat. Lalu angkat kedua
tangannya dan lepaskan pukulan sakti
'Hamparan Langit'. Sinar terang biru melesat
mengembang lalu menyungkup tempat itu.
Gelombang angin deras berkiblat!
Iblis Ompong maju satu tindak ke depan.
Lalu kedua tangannya menyentak ke
belakang.
Wusss! Wuusss!
Dari kedua tangan Iblis Ompong melesat
dua bola asap sebesar roda kereta keluarkan
suara berderak-derak laksana roda kereta
melaju di atas pasir!
Saat sinar terang biru hampir bentrok
dengan dua bola asap, tiba-tiba bola asap Itu
mengembang besar. Kejap lain, laksana
punya kekuatan sedot luar biasa, sinar biru
terang pukulan andalan Ratu Pemikat masuk
lenyap ke dalam dua bola asap. Pada saat
bersamaan, terdengar ledakan hebat. Bola
asap ambyar bertabur ke udara pancarkan
warna putih dan biru.
Sosok Ratu Pemikat terpelanting ke
belakang dan jatuh berlutut dengan mata
terpejam dan mulut keluarkan darah.
Wajahnya berubah pucat pasi. Di sebelah
depan Iblis Ompong terdorong ke muka
sampai tiga langkah. Terhuyung sejenak
namun saat lain dia telah memandang Ratu
Pemikat dari sela kedua kakinya dengan
tubuh melipat ke depan dan pantat
menungging!
Ratu Pemikat terhuyung bangkit. Kerahkan
tenaga dalam, lalu kembali melesat ke arah
iblis Ompong. Namun baru saja kedua
tangannya hendak bergerak lepaskan
pukulan, tiba-tiba perempuan ini rasakan
tubuhnya terlanggar gelombang angin
dahsyat, hingga sosoknya mental balik dan
terjengkang roboh di atas tanah berpasir.
Belum sempat dia bangkit, tampak dua bola
asap menggelinding deras ke arahnya.
Meski sudah terluka, namun perempuan
cantik ini tidak mau pasrah. Dia segera
gulingkan tubuhnya ke samping kanan. Meski
tubuhnya selamat dari derakan bola asap
yang keluar dari tangan Iblis Ompong, namun
tak urung kaki kirinya sempat terlonggar,
hingga sambil terus bergulingan dia menjerit
dan tarik kaki kirinya menekuk di depan dada.
Begitu gulingan tubuhnya berhenti,
perempuan ini perlahan-lahan bangkit.
Wajahnya sudah pucat pasi. Pakaian yang
dikenakan berubah menghitam.
"Aku bisa celaka sendiri jika meneruskan
pertarungan ini!" desisnya sambil melirik
kanan kiri. Begitu dilihatnya Iblis Ompong tak
juga membuat gerakan lagi, Ratu Pemikat
cepat putar tubuh lalu berlari menuju pinggir
pulau.
iblis Ompong hanya memandang dari sela
kedua kakinya lalu tertawa terkekeh-kekeh
dan terus buka mulutnya meski suara
tawanya telah tidak terdengar lagi!
* * *
DELAPAN
MAUT Mata Satu yang tidak mengenal
siapa adanya Dewi Es tampaknya
hanya memandang sebelah mata.
Hingga tatkala dia lepaskan tendangan ke
arah Dewi Es yang duduk bersila di
hadapannya, dia hanya andalkan tenaga luar.
Namun demikian sebelum tendangan itu
sendiri menghantam sasaran kepala Dewi Es,
gelombang angin menderu keras hingga
curahan air yang tampak mengguyur dari atas
tubuh Dewi Es menyibak!
Tapi setengah jalan tendangan kaki Maut
Mata Satu yang mengarah pada kepala Dewi
Es, mendadak perempuan berjubah putih
yang tubuhnya selalu tampak diguyur air ini
angkat kepalanya dengan kelopak membuka.
Tangan kirinya diangkat sejajar bahu lalu
didorong pelan ke depan.
Udara tiba-tiba berubah dingin. Lalu Maut
Mata Satu rasakan kakinya kejang beku.
Sadar akan bahaya, cepat Maut Mata Satu
tarik pulang kakinya. Namun tak urung juga
kakek bermata satu ini terlengak kaget.
Karena saat itu juga gelombang angin dingin
menyambar hingga tubuhnya tersurut dua
langkah ke belakang! Hai ini menyadarkan
Maut Mata Satu jika lawan yang dihadapi
tidak bisa dipandang enteng.
Sambil mendelik besar, Maut Mata Satu
kembali melangkah maju. Kedua tangannya
diangkat tinggi-tinggi. Dengan kerahkan
separo tenaga dalamnya, guru Dewi Seribu
Bunga ini ayunkan kedua tangannya
lepaskan hantaman!
Untuk kedua kalinya Dewi Es hanya angkat
tangan kirinya sejajar bahu. lalu didorong
agak ke atas. Kedua tangan Maut Mata Satu
terpental balik ke belakang. Untung kakek
bermata satu ini cepat kerahkan tenaga murni
pada kedua tangannya, jika tidak niscaya
kedua tangannya akan kejang beku! Karena
ketika Maut Mata Satu meneliti, ternyata
kedua tangannya tampak dibungkus oleh
gumpalan-gumpalan es!
"Keparat jahanam!" maki Maut Mata Satu
marah karena merasa disepelekan. Kakek ini
kerahkan segenap tenaga yang dimiliki.
Didahului bentakan keras, ia melompat ke
depan dengan tangan kiri kanan mengayun
deras!
Sosok Dewi Es terlihat bergoyang akibat
bias tenaga dalam yang menyertai ayunan
kedua tangan Maut Mata Satu, membuat
Maut Mata Satu percaya diri, dan teruskan
ayunan kedua tangannya yang mengarah
pada kepala Dewi Es.
Sejengkal lagi kedua tangan Maut Mata
Satu menggebrak pecah kepala Dewi Es,
perempuan ini angkat kedua tangannya
sekaligus.
Desss! Desss!
Maut Mata Satu berseru keras. Kali ini
bukan hanya kedua tangannya yang baru
saja bentrok dengan kedua tangan Dewi Es
yang mencelat mental namun tubuhnya ikut
tersapu mundur dan kalau saja dia tidak
cepat bisa kuasai diri, niscaya tubuhnya akan
terjengkang roboh di atas tanah berpasir!
Maut Mata Satu sudah kehabisan akal,
hingga jalan satu-satunya adalah langsung
lepaskan pukulan andalan. Kakek ini
sejenak pandangi Dewi Es. Lantas maju tiga
tindak. Tubuhnya tiba-tiba bergetar. Kejap
lain kedua tangannya bergerak
menghantam.
Wuuttt! Wuuttt!
Dari tangan kiri Maut Mata Satu membersit
sinar hitam, sedang dari tangan kanannya
melesat sinar berwarna-warni. Maut Mata
Satu sekaligus telah lepaskan dua pukulan
andalan. Tangan kiri kirimkan pukulan
'Gelombang Kematian' sedang tangan kanan
lepaskan pukulan sakti 'Api Seribu Bunga'!
Hingga seketika itu pula, terdengar deru
gelombang angin dahsyat yang ditingkahi
dengan muncratnya bunga-bunga api
hamparkan hawa luar biasa panas! Dewi Es
pejamkan kembali kelopak matanya. Lalu
kedua tangannya disentakkan keras ke
depan. Dari tangan perempuan ini tampak
muncratan air disusul dengan melanggarnya
gelombang angin dingin.
Terdengar letupan beberapa kali tatkala
bunga-bunga api pecah dan meredup. Sesaat
kemudian terdengar ledakan keras ketika dua
gelombang angin beradu di udara.
Sosok Maut Mata Satu tersapu dan
mencelat lalu jatuh terkapar dengan napas
megap-megap dan tubuh bergetar.
Sementara dari mulutnya mengalir darah
segar akibat bentrokan tadi, kakek bermata
satu ini telah mengalami luka cukup parah di
bagian dalam.
Sementara Dewi Es sendiri tampak terseret
ke belakang dan baru terhenti tatkala
punggungnya menumbuk satu gugusan batu
padas. Namun perempuan ini tidak
mengalami cedera sama sekali, malah
perlahan-lahan dia bergerak bangkit.
Maut Mata Satu bergerak bangkit sambil
mengusap mulutnya yang keluarkan darah.
Diam-diam nyali kakek ini telah menciut,
apalagi ketika matanya menangkap sosok
Ratu Pemikat yang melarikan diri dan melihat
Merak Kawung yang telah jadi mayat. Dia
berpaling ke belakang. Dia jadi terkesiap
tatkala melihat Dewi Seribu Bunga tidak ada
lagi di tempatnya.
Sebenarnya Maut Mata Satu sudah punya
niat untuk meninggalkan pulau melarikan diri,
namun karena Dewi Seribu Bunga tampak
berada jauh ke depan, membuat kakek ini
tampak kebingungan bercampur jengkel,
karena muridnya tidak turuti apa yang
dikatakannya.
Selagi Maut Mata Satu dilanda
kebimbangan, tiba-tiba terdengar satu suara.
"Boleh leluasa tinggalkan pulau, tapi
tinggalkan dulu pakaian yang melekat! Hik...
hik... hik...!"
"Benar! Celananya tampak bagus, aku
menginginkannya!" sahut suara lain. Ternyata
yang keluarkan suara adalah Ratu Malam
dan Iblis Ompong.
"Ah, karena pakaiannya mungkin tak cukup
untukku, aku menginginkan matanya saja!
Meski cuma satu, tapi lumayan! Bisa untuk
melihat tubuh bahenol!" ujar Gendeng
Panuntun. Lalu tertawa bergelak.
"Jahanam! Mereka pasti tak akan
membiarkan orang lolos! Apa boleh buat,
daripada menanggung malu leblh baik
mampus bersama!" putus Maut Mata Satu.
Untuk kedua kalinya, kakek bermata satu
ini melompat ke depan. Dari jarak tujuh
langkah, dia lepaskan pukulan sakti 'Api
Seribu Bunga'.
Dewi Es angkat kedua tangannya ke atas
kepala. Bunga-bunga api yang melesat
tertahan di udara, membuat Maut Mata Satu
tercekat. Dia buru-buru hendak menyingkir,
namun sebelum tubuhnya berkelebat selamat
diri, Dewi Es telah dorong kedua tangannya
ke depan.
Bunga-bunga api berbalik dan kini makin
kencang melesat ke arah Maut Mata Satul
Karena tenaganya telah terkuras, dan lebih-
lebih lagi dirinya telah terluka, meski Maut
Mata Satu masih sempat angkat tangannya
namun bunga-bunga api telah menggebrak
lebih dulu!
Maut Mata Satu perdengarkan pekikan
tinggi. Tubuhnya terhuyung dengan jubah dan
sebagian anggota tubuh berlobang-lobang
terkena hamburan bunga-bunga api. Dari tiap
lobang anggota tubuhnya keluar darah
kehitaman. Sementara dari mulut makin
banyak lagi darah yang mengalir.
'Kalian.... Kalian semua...." Hanya itu
ucapan yang terdengar dari mulut Maut Mata
Satu. Bersamaan itu sosoknya tumbang di
atas tanah dengan nyawa lepas!
***
Ki Buyut Pagar Alam tampak tercekat
tatkala mengetahui Merak Kawung, Datuk
Hitam serta Maut Mata Satu menggeletak
tewas. Apalagi tatkala memandang ke
jurusan agak jauh terlihat Dewi Siluman
terkapar di atas tanah berpasir. Gemuruh
kemarahannya naik ke ubun-ubun. Namun
diam-diam hatinya mulai dirasuki rasa gentar,
apalagi saat dia sudah tidak lagi menangkap
sosok Ratu Pemikat hingga meski sepasang
matanya memandang tajam ke arah Dewa
Sukma yang tegak di depannya, tapi dia juga
mencuri kesempatan untuk edarkan
pandangannya berkeliling. Hai ini membuat
kakek berjubah hitam ini mulai melupakan
tujuannya yang hendak memburu Kitab Serat
Biru. Yang terpikir dalam benaknya sekarang
adalah bagaimana selamatkan diri setidak-
tidaknya bisa lolos dari pulau dengan nyawa
masih utuh.
Rupanya apa yang di dalam otak Ki Buyut
dapat ditangkap oleh Iblis Ompong. Hingga
sambil melangkah mondar-mandir dia berujar.
"Hidup dan mati memang sudah ditentukan.
Tapi mumpung masih ada kesempatan, harap
gunakan otak biar tidak salah jalan. Karena
sekali kaki salah bergerak, nyawa akan
berpindah letak!"
"Jahanam! Apa dikira mereka bisa
seenaknya memindah nyawa orang!" desis Ki
Buyut. Lalu tanpa pedulikan lagi keadaan
sekitar, kakek ini rnelompat ke arah Dewa
Sukma. Kedua tangannya serentak keluar
dari saku jubahnya dan sekonyong-konyong
berkelebat menghantam ke arah dada Dewa
Sukma.
Dewa Sukma lintangkan kedua tangannya
di depan dada. Lalu diangkat ke atas.
Desss! Desss!
Dua pasang tangan bertenaga dalam tinggi
bentrok. Sosok Ki Buyut tetap tegak, namun
wajahnya tampak berubah sementara kedua
tangannya yang baru saja beradu dengan
tangan Dewa Sukma tampak berubah
memerah dan bergetar. Dewa Sukma sendiri
tubuhnya bergoyang lalu kibas-kibaskan
tangannya dengan raut meringis menahan
sakit.
"Aku tak bisa lama-lama! Kulihat Dewi
Siluman pun butuh pertolongan!" gumam Ki
Buyut dalam hati. Lalu melangkah mundur
dua langkah. Kejap lain tangannya telah
kembali bergerak dan kini langsung lepaskan
pukulan 'Kabut Neraka'!
Dewa Sukma tidak berani bertindak
sembrono, karena kali ini 'Kabut Neraka'
dilepaskan sendiri oleh dedengkotnya.
Hingga tatkala kabut hitam telah melabrak,
dia lorotkan sedikit tubuhnya. Kedua
tangannya disentakkan ke depan.
Wuttt! Wuuttt!
Gelombang angin dahsyat melanggar tanpa
terlebih dahulu perdengarkan deruan.
Meski kabut hitam dan gelombang angin
sempat beradu di udara, anehnya tidak
terdengar ledakan, malah seolah tanpa
penghalang sama sekail, baik kabut hitam
pukulan Ki Buyut maupun gelombang angin
pukulan Dewa Sukma terus melesat ke arah
lawan masing-masing!
Dua orang ini sama-sama tersentak kaget.
Namun mereka berdua sudah demikian
terlambat untuk menghindar, hingga tanpa
ampun lagi keduanya sama-sama tersapu
pukulan lawan! Sosok Ki Buyut melenting
deras ke belakang lalu jatuh terkapar dengan
mulut keluarkan darah. Di pihak lain, sosok
Dewa Sukma tampak terhumbalang ke
belakang dan bergedebukan menghantam
batu padas hingga pecah berkeping-keping.
Dari mulutnya juga terlihat darah mengalir!
Melihat hal ini Ki Buyut tampaknya mulai
berpikir lagi tentang keselamatannya. Karena
seandainya dia mampu mengatasi Dewa
Sukma, maka tidak mungkin lagi baginya
menghadapi Ratu Malam atau Iblis Ompong.
Apalagi Ki Buyut telah tahu sampai di mana
katingglan ilmu dua orang tadi. Belum lagi
Jika ditambah dengan Gendeng Panuntun
dan Dewi Es.
Memikir sampai di situ, Ki Buyut segera
bangkit, lalu lemparkan sesuatu ke udara.
Kejap lain di atas udara tampak kepulan asap
hitam!
***
SEMBILAN
GADIS berbaju merah itu tegak dengan
tangan kanan menggenggam Pedang
Tumpul 131 sementara tangan kiri
memegang sarung pedang. Namun belum
sempat tubuhnya bergerak lagi, satu
bayangan merah juga berkelebat dan tahu-
tahu telah tegak dengan sikap menghadang.
"Jangan berani bergerak dari tempatmu!
Dan serahkan pedang itu padaku!" bentak
orang yang tegak menghadang yang bukan
lain adalah Sitoresmi dengan mata nyalang
tak berkesip. Sosoknya masih tampak sedikit
limbung, namun gadis berjubah merah Ini
seolah tidak menghiraukan keadaan dirinya.
Sebaliknya gadis berbaju merah yang
memegang pedang dan bukan lain adalah
Dewi Seribu Bunga menyeringai sambil
berkata keras.
"Sekali lagi kuperingatkan. Jangan berani
buka mulut menuduh yang bukan-bukan! Aku
tidak punya niat untuk memiliki benda ini!"
"Mulut bisa bicara, tapi kenyataannya kau
mengambilnya!" Sitoresmi tak mau kalah. Dia
berkata pula dengan suara keras.
Mungkin karena geram, Dewi Seribu Bunga
melangkah maju satu tindak sambil
membentak. "Kalau aku mengambilnya, kau
mau apa?!"
Sitoresmi tidak segera menjawab ucapan
Dewi Seribu Bunga yang bernada
menantang. Dia tampaknya maklum, dalam
keadaan masih terluka begitu rupa, adalah
tolol jika melayani ucapan orang meski
hatinya panas. Tapi saat itu rupanya
Sitoresmi sudah tidak pikirkan lagi dirinya
yang terluka. Hingga meski dengan menahan
sakit pada dadanya, dia coba kerahkan
tenaga dalam. Namun baru saja salurkan
tenaga dalam, gadis bekas murid Dewi
Siluman ini rasakan peredaran darahnya
menyentak-nyentak. Dadanya berdenyut
nyeri. Dan tak lama kemudian sosoknya
limbung dan jatuh terduduk.
Dewi Seribu Bunga menatap sejenak, lalu
alihkan pandangannya pada Dewi Siluman
dan Pendekar 131 yang bergerak-gerak
hendak bangkit.
"Aku harus selamatkan pedang ini!" gumam
Dewi Seribu Bunga, lalu secepat kilat dia
putar tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat
itu. Namun gerakan murid Maut Mata Satu ini
tertahan, tatkala tiba-tiba dua bayangan telah
berkelebat dan kejap lain teiah tegak di
hadapan Dewi Seribu Bunga.
"Serahkan padaku pedang itu atau kuputus
selembar nyawamu!"
Dewi Seribu Bunga tersentak. Dia cepat
belalakkan sepasang matanya dan
memandang ke depan. Terlihat seorang gadis
cantik berjubah kuning dengan tangan kiri
diangkat seolah siap lepaskan pukulan,
sementara tangan kanan membuat gerakan
seperti orang meminta. Di sebelah gadis
berjubah kuning yang bukan lain adalah
Wulandari, tegak seorang gadis berjubah biru
dan tidak lain Ayu Laksmi adanya.
"Hem.... Kita memang punya urusan yang
belum selesai! Tapi urusan itu akan
kulupakan. Jika kalian angkat kaki enyah dari
hadapanku!" kata Dewi Seribu Bunga sambil
memandang silih berganti.
Wulandari menyeringai. "Jika kau tak mau
turuti ucapanku, berarti urusan lama kita
teruskan! Dan kali ini harus tuntas! Kau
dengar?!”
Di lain pihak, melihat munculnya Wulandari
dan Ayu Laksmi, Sitoresmi makin khawatir.
Namun gadis berjubah merah ini tidak bisa
berbuat banyak, karena saat dia coba lagi
kerahkan tenaga dalam, tubuhnya bergetar
hebat dan peredaran darahnya laksana
tersumbat dan menyentak-nyentak.
"Kalian telah kuberi tawaran, tapi
tampaknya kalian pilih yang lain. Baik.
Pedang ini akan kuserahkan padamu, tapi
kalian harus serahkan nyawa kalian sebagai
gantinya!"
"Keparat!" teriak Wulandari. Lalu gadis
berjubah kuning ini telah melompat dan
segera lepaskan pukulan sakti 'Kabut
Neraka'.
Gadis berjubah kuning ini tidak mau
bertindak ayal, karena lawan yang dihadapi
memegang senjata sakti, hingga dia tidak
berani bentrok jarak dekat, karena bukan
tidak mungkin lawan akan pergunakan
senjata di tangannya, itulah pertimbangan
Wuilandari hingga begitu menyerang dia
langsung lepaskan pukuian 'Kabut Neraka'.
Di pihak lain, begitu kabut berwarna kuning
menggebrak, Dewi Seribu Bunga cepat pula
sentakkan tangannya lepaskan pukuian 'Api
Seribu Bunga'.
Bummm!
Untuk kesekian kalinya, Pulau Biru
diguncang ledakan keras. Sosok Wulandari
dan Dewi Seribu Bunga sama-sama
terpental. Keduanya sama terhuyung-huyung
dengan wajah pucat. Hal ini tak dilewatkan
oleh Ayu Laksmi. Begitu Dewi Seribu Bunga
belum bisa kuasai tubuh, gadis berjubah biru
telah melesat ke depan dengan tangan kanan
memukul ke arah kepala sedangkan tangan
kiri menyambar pedang.
"Pengecut busuk!" maki Dewi Seribu Bunga
dengan raut terkejut besar. Karena
mengkhawatirkan pedang jatuh ke tangan
orang, gadis berbaju merah ini tidak lagi
hiraukan tangan kanan Ayu Laksmi yang
berkelebat ke arah kepalanya. Dia hanya
pusatkan perhatiannya pada tangan kiri Ayu
Laksmi yang menyambar akan mengambil
pedang, hingga tanpa ampun lagi tangan
kanan Ayu Laksmi menghantam kepalanya.
Namun bersamaan dengan itu, Dewi Seribu
Bunga tarik tangannya yang memegang
pedang. Begitu tangan Ayu Laksmi yang
menyambar pedang lolos, dia segera
membabatkan pedang ke tangan lawan.
Bukkk!
Craasss!
Sosok Dewi Seribu Bunga terhuyung deras
ke belakang lalu jatuh telentang dengan
kepala berdenyut sakit. Dari mulutnya tampak
meleleh darah segar, akibat kepalanya
terhantam tangan Ayu Laksmi. Sementara
Ayu Laksmi perdengarkan jeritan tinggi.
Tubuhnya tersentak mundur dengan tangan
kanan pegangi tangan kirinya yang ternyata
telah putus sebatas pergelangan tangan
tangan. Darah tampak mengucur deras dari
pergelangan tangan itu. Dan tak lama
kemudian, tubuh Ayu Laksmi tampak melorot
lalu jatuh terduduk dengan mulut mengerang.
"Setan alas! Aku mengadu jiwa denganmu!"
seru Wulandari tinggi melihat Ayu Laksmi
cedera parah. Lalu tanpa menunggu lama,
dia melesat ke depan dengan tangan kiri
kanan lepaskan pukulan ke arah tangan Dewi
Seribu Bunga yang memegang pedang.
Dewi Seribu Bunga cepat berguling. Namun
Wuiandari tak memberi kesempatan. Ke
mana gulingan tubuh Dewi Seribu Bunga, ke
sana kedua tangan Wuiandari mengarah.
Bahkan kini kaki kanan gadis berjubah kuning
ini mulai ikut bergerak lepaskan tendangan.
Entah karena telah terluka atau percuma
terus menghindar, pada satu kesempatan
Dewi Seribu Bunga hentikan gulingan
tubuhnya lalu serta-merta tangan kirinya
memapak pukulan tangan kanan Wulandari
sementara tangan kanannya membabat
pedang.
Karena tidak menyangka, Wulandari tidak
bisa berkelit lagi. Hingga jika dia tidak
menangkis dengan tangan atau kakinya ke
arah pedang yang kini membabat, niscaya
perutnya akan ambrol.
Dalam keadaan terjepit demikian rupa,
akhirnya Wulandari menangkis dengan
menggunakan kaki kanannya, sementara
kedua tangannya tetap teruskan memukul.
Bukkk! Bukkk! Craaasss!
Terdengar dua jeritan tinggi. Dewi Seribu
Bunga mental dengan pedang lepas dari
genggamannya. Sementara Wulandari
terhuyung lalu roboh dengan kaki kanan
putus sebatas betis!
Karena terpaku dengan Pedang Tumpul
131 yang tergeletak di tanah, baik Ayu
Laksmi maupun Wulandari tidak pedulikan
tangan dan kakinya yang telah putus dan
banyak kucurkan darah. Sebaliknya kedua
gadis ini sama-sama bergerak. Ayu Laksmi
melangkah cepat ke arah pedang, sedang
Wulandari bergulingan mendekat.
Sejengkal lagi tangan kanan Ayu Laksmi
dan tangan Wuiandari menyambar pedang,
tampak bunga-bunga api bertaburan
mengarah pada kedua gadis murid Dewi
Siluman itu.
Dess! Desss! Desss! Desss!
Wulandari dan Ayu Laksmi sama menjerit.
Tubuh keduanya terjengkang roboh dengan
jubah berlobang-lobang demikian juga
sebagian tubuhnya!
Untuk beberapa saat, kedua gadis ini
menggeliat-geliat laksana orang direbus. Tapi
kejap lain tubuh keduanya diam tak bergerak-
gerak lagi!
Di seberang, sosok Dewi Seribu Bunga
yang baru saja lepaskan pukulan Api Seribu
Bunga' tampak pucat pasi lalu kepalanya
terkulai. Gadis ini kehabisan tenaga lalu
telentang pingsan
***
Ketika Dewi Siluman bergerak bangkit dan
melihat asap hitam di udara, perempuan
bercadar dan berjubah hitam ini cepat
berpaling ke arah di mana Ki Buyut Pagar
Alam berada. Sejenak sepasang matanya
dari lobang cadar terlihat mendelik.
"Celaka! Ki Buyut tampaknya perlu
bantuan! Padahal urusanku sendiri belum
selesai!"
Dewi Siiuman palingkan kepalanya pada
Pendekar 131 yang juga telah tegak. Lalu
layangkan pandangannya pada Pedang
Tumpui 131 yang masih tergeletak dengan
sebagian tubuh pedang ternoda darah.
Sepasang matanya hanya menyipit sejurus
tatkala menyaksikan Wulandari dan Ayu
Laksmi telah tidak bergerak-gerak lagi.
"Terpaksa urusan ini harus kutunda...,"
desis Dewi Siiuman, lalu berkelebat ke depan
hendak menyambar pedang yang tergeletak.
Pendekar 131 rupanya sudah waspada. Dia
pun segera berkelebat hendak menyambar
pedangnya. Namun gerakan Dewi Siiuman
dan Pendekar 131 sudah terlambat, karena
bersamaan dengan itu satu bayangan merah
rnendahului melompat dan....
Bukkk!
Sosok merah yang bukan lain adalah
Sitoresmi telungkupkan tubuhnya di atas
Pedang Tumpul 131!
"Bangsat jahanam!" teriak Dewi Siluman
marah. Dla teruskan kelebatan tubuhnya
dengan tangan diangkat ke atas sedang
tangan kiri membuat gerakan mengayun.
Melihat Sitoresmi terancam nyawanya,
Pendekar 131 teruskan juga kelebatannya.
Kedua tangannya segera pula didorong.
Wuuusss!
Dewi Siluman berseru keras. Dia
merasakan dirinya dihantam sapuan
gelombang angin dahsyat yang sangat dingin,
hingga tubuhnya sejenak laksana ditahan dan
tak bisa bergerak maju. Tapi perempuan ini
teruskan pukulannya pada Sitoresmi yang
telungkup di atas Pedang Tumpul 131.
Wuuttt!
Kabut hitam melabrak ganas ke arah
Sitoresmi, membuat murid Pendeta Sinting
terkesiap karena tak mungkin lagi
memangkas pukulan Dewi Siluman yang
sudah begitu dekat dengan Sitoresmi.
Saat setengah depa lagi kabut hitam
menghantam telak sosok Sitoresmi, tiba-tiba
tampak dua cahaya memantul.
Blaappp! Blappp! Bummm!
Kabut hitam bertabur buyar di udara. Sosok
Dewi Siluman terdorong deras ke belakang
sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan
mulut makin banyak keluarkan darah yang
merembes lewat penutup wajahnya.
Di seberang sana, Gendeng Panuntun yang
baru saja selamatkan Sitoresmi tampak usap-
usap cerminnya. Batu yang dibuat sandaran
berguncang keras. Namun Ratu Malam yang
duduk di atas batu tadi sepertinya tidak
merasakan guncangan! Dia enak saja tetap
duduk mencangklong dengan muiut mainkan
gumpalan tembakau hitam.
Sedangkan Sitoresmi yang berada dekat
dengan bentroknya pukulan tampak mental
sejauh dua tombak. Karena keadaannya
sudah terluka, apalagi baru saja terkena
getaran bentroknya pukulan Dewi Siluman
dengan cermin Gendeng Panuntun membuat
Sitoresmi tak bisa berbuat banyak saat
tubuhnya melayang turun.
Ketika setengah tombak lagi tubuh
Sitoresmi menghantam tanah, satu bayangan
berkelebat, lalu telentang menyusur tanah.
Dan....
Blukkk!
Sosok Sitoresmi mendarat di atas tubuh
yang telentang itu.
Sitoresmi yang sesaat tadi tampak pasrah
karena tidak bisa berbuat apa-apa pejamkan
sepasang matanya. Namun ketika menyadari
tubuhnya tidak menghantam tanah, dia
segera buka kelopak matanya. Mungkin
karena senang ada orang selamatkan dirinya
dari menghantam tanah, gadis yang sudah
terluka ini tanpa pikir panjang lagi segera
memeluk orang di bawahnya.
Orang yang berada di bawah tubuh
Sitoresmi sejenak tampak diam saja, namun
tak lama kemudian tubuhnya menggeliat, hal
ini membuat Sitoresmi maiah mempererat
pelukannya karena khawatir dirinya akan
terjatuh terguling.
Saat itulah terdengar suara orang tertawa
cekikikan ditingkah dengan suara berat.
“Kau cekikikan lagi, Sekar Mayang! Ada
apa?!"
Sekar Mayang alias Ratu Maiam putuskan
tawanya. "Setan itu besar sekali rezekinya
hari ini! Tadi punggungnya diciumi
perempuan cantik. Sekarang tubuhnya saling
tindih dan dipeluk erat-erat gadis cantik....
Hik... hlk... hik...l"
Gendeng Panuntun mengeluh. "Dasar
curang! Dia memang sengaja memilih gadis-
gadis agar bisa begitu! Jika tidak, mana
mungkin ada perempuan atau gadis mau
memeluknya! Jangankan memeluk,
berdekatan pun mungkin tak sudi! Mulutnya
yang selalu terbuka itu membuat perut mual!"
"Hai.... Lepaskan pelukanmu...," gumam
orang di bawah Sitoresmi. Seakan baru
tersadar, Sitoresmi cepat longgarkan
pelukannya. Sepasang matanya dibuka. Lalu
kepalanya ditarik ke belakang. Yang terlihat
pertama kali oleh Sitoresmi adalah satu wajah
pucat dengan rambut putih. Lalu sepasang
mata besar. Dan gadis berjubah merah ini
tersentak tatkala melihat mulut orang di
bawahnya terbuka tebar tanpa gigi satu pun!
"Maaf...." Hanya itu suara yang terdengar
parau dari mulut Sitoresmi sambil bergerak
bangkit dengan tubuh limbung dan kejap lain
jatuh terduduk.
Orang yang tadi di bawah tubuh Sitoresmi
dan bukan lain adalah ibiis Ompong usap
usap pakaiannya. Lalu bangkit dan berpaling
pada Pendekar 131.
"Cepat sandarkan dia pada batu dekat
orang buta itu!"
Murid Pendeta Sinting cepat turuti ucapan
Iblis Ompong. Dia melangkah ke arah
Sitoresmi. Gadis ini telah pejamkan sepasang
matanya. Sementara tangan kanannya
tampak gemetar. Di tangan kanan gadis ini
tampak Pedang Tumpul 131.
Dengan periahan-lahan Pedang Tumpul
131 diambil oleh Pendekar 131 lalu diselipkan
di balik pakaiannya. Kedua tangannya lantas
menjulur dan membopong tubuh Sitoresmi
kea rah Gendeng Panuntun.
Di seberang, Dewi Siluman menggeliat
bangkit. Dia memaki panjang pendek tatkala
mengetahui Pedang Tumpul 131 sudah tidak
ada lagi di tempat tadi menggeletak. Dan saat
berpaling dia lihat Ki Buyut memberi isyarat.
Tanpa pedulikan lagi pada kedua muridnya
yang telah tewas, Dewi Siiuman berkelebat
ke arah Ki Buyut Pagar Alam.
***
SEPULUH
KITA harus meloloskan diri! Tidak
mungkin lagi kita menghadapi mereka!"
bisik Ki Buyut begitu Dewi Siiuman
telah tegak di sampingnya.
"Tapi...."
"Dewi! Jangan mencari urusan! Jiwa kita
ada di ujung tanduk!" ujar Ki Buyut
memperingatkan tatkala dilihatnya Dewi
Siluman sepertinya masih enggan
meninggalkan pulau.
"Kau cepat ke arah kereta! Aku menunggu
di pinggir pulau!" sambung Ki Buyut, lalu
hendak berkelebat. Dewi Siluman sendiri
tampak hendak putar tubuh dan berkelebat ke
arah kereta.
Namun belum ada yang sempat berkelebat,
Ratu Malam yang masih duduk di atas
gugusan balu padas berteriak.
"Meski datang tidak diundang, seharusnya
pulang dengan pamit! Lebih dari itu, tak enak
rasanya punya tamu yang masih belum
dikenal wajahnya...."
Dewi Siluman tersentak. Ucapan Ratu
Maiam jelas menghendaki dirinya buka cadar
yang selalu menutupi wajahnya. Dewi
Siluman tampak bergetar, sepasang matanya
membelalak.
"Aku tak akan turuti kata-katanya!" desis
Dewi Siluman. Ki Buyut Pagar Alam sendiri
terlihat tertegun dengan mulut terkancing.
"Betul! Meski mataku tidak bisa melihat,
setidaknya aku bisa mendengar cerita
tentang wajah yang katanya selaju ditutup
cadar hitam! Siapa tahu dugaanku salah!"
sahut Gendeng Panuntun timpal ucapan Ratu
Malam sambil bergerak bangkit karena
Pendekar 131 telah berada d! dekatnya dan
hendak sandarkan tubuh Sitoresmi pada batu
padas yang tadi disandari Gendeng
Panuntun.
"Aku tidak sudi turuti ucapan kalian!" teriak
Dewi Siluman.
"Jika begitu, aku akan minta lebih dari yang
diminta tadi! Bukan hanya minta kau buka
penutup cadarmu, tapi juga minta kau
buka...." Iblis Ompong yang menyahut tidak
lanjutkan ucapannya. Sebaliknya tertawa
bergelak-gelak.
"Walah. Kau selalu membuat dadaku jadi
berdebar-debar dan jakun turun naik! Tapi
cerita-cerita begitu memang lebih sedap
didengar! Ha... ha... ha...!" Gendeng
Panuntun ikut-ikutan tertawa.
"Dewi...," gumam Ki Buyut. "Untuk
sementara ini kita mengalah saja. Turuti apa
yang mereka minta, ini demi keselamatan
kita! Kita masih punya waktu untuk
memperhitungkan pembalasan!"
"Aku tidak mau! Kalau kau takut mati,
silakan pergi dahulu!" sahut Dewi Siluman
dengan menatap tajam pada Ki Buyut.
Ki Buyut gelengkan kepala. "Percuma kau
berkeras kepala! Kau telah terluka.
Membunuhmu, bagi mereka semudah
membalik telapak tangan!"
Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan
Ki Buyut. "Kau tak perlu khawatir. Aku duga,
mereka sebenarnya telah mengetahui siapa
kau sebenarnya. Kalau mereka ingin kau
membuka cadarmu, mungkin hanya untuk
meyakinkan! Jadi tak ada gunanya lagi
bersikap keras kepala!"
Di depan sana, Ratu Malam tiba-tiba
mendongak. "Hari sudah hampir malam. Jika
keadaan gelap, dan aku tak dapat mengenali
wajah di balik cadar, mungkin aku juga minta
tambahan!"
"Dewi.... Cepat buka cadarmu! Ucapan
orang-orang seperti mereka setiap saat bisa
berubah!" ujar Ki Buyut Pagar Alam.
Dewi Siiuman berpaling pada Ratu Malam.
"Baik. Kalian lihat yang jelas!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman angkat
tangan kanannya.
Breettt!
Kain hitam penutup wajah Dewi Siluman
terenggut lepas. Kini tampaklah seraut wajah
cantik jelita dengan mata bulat dan bulu mata
panjang lentik. Bibirnya bagus dan merah.
Hidungnya mancung dengan kulit putih agak
kekuningan.
"Durga Ratih...!" gumam Ratu Malam
hampir berbarengan dengan Iblis Ompong.
Sementara Dewa Sukma hanya terdiam
dengan sepasang mata memandang tak
berkesip. Di sampingnya Dewi Es buka
kelopak matanya sejenak, namun kejap lain
telah memejam kembali.
Untuk beberapa lama suasana hening.
Hanya tampak beberapa pasang mata saling
pandang lalu bersama-sama terarah pada
Dewi Siluman.
Dewi Siluman menyeringai. Lalu tangan
kanannya terangkat kembali hendak
memasang kain cadarnya Namun gerakan
tangan sang Dewi tertahan tatkala tiba-tiba
Dewa Sukma meloncat ke depan dan seolah
hendak menghadang kelebatan KI Buyut dan
Dewi Siluman. Sepasang matanya
mengawasi Dawi Siluman tajam.
Dewi Siluman dan Ki Buyut terkesiap kaget.
"Apa maumu?! Aku telah turuti yang kalian
minta. Jangan tarik ucapan sendirii" teriak
Dewi Siluman sambil balas menatap pada
Dewa Sukma.
"Yang berkata tadi Iblis Ompong dan Ratu
Malam! Aku belum mengatakan apa yang
kuminta!" jawab Dewa Sukma.
"Hem.... Nyatanya kaiian orang-orang yang
tidak bisa pegang janji!"
"Durga Ratih! Aku beium ucapkan janji!"
ujar Dewa Sukma, membuat Durga Ratih
alias Dewi Siiuman menyeringai meski air
mukanya tampak membayangkan rasa takut.
Perempuan cantik ini berpaling pada Ki Buyut
Pagar Alam. Ki Buyut tampak kernyitkan dahi
namun belum juga buka mulut.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara
tergelak berat. Bukan hanya membuat Puiau
Biru bergetar, namun sebagian pasir di pulau
itu tersapu dan membumbung ke udara.
Kejap lain di sela-sela taburan pasir tampak
sebuah benda melayang lalu jatuh menancap
di tengah-tengah pulau!
Ki Buyut dan Dewi Siluman serentak
palingkan kepala masing-masing. Dewa
Sukma menoleh dan terbelalak. Di seberang,
Ratu Malam pentangkan sepasang matanya
yang sipit dengan mulut komat-kamit, Iblis
Ompong tengadah dengan mulut dibuka
lebar-lebar. Dewi Es buka kelopak matanya
lalu memandang tak berkesip. Pendekar 131
yang kini telah tegak di samping Gendeng
Panuntun kerutkan dahi dan ikut-ikutan
belalakkan sepasang matanya.
Bersamaan dengan tertancapnya benda di
tengah pulau, tiba-tiba laksana disentakkan
setan, suara tawa berat yang sempat
membuat pulau bergetar dan pasir bertaburan
lenyap! Gendeng Panuntun mendongak.
"Ada benda menancap, aku mencium
amisnya darah! Heran.... Kenapa orang-orang
mendadak seperti patung tak ada yang
mengoceh?"
"Kek...," sahut murid Pendeta Sinting yang
berada di sampingnya. "Di tengah pulau
memang menancap sebuah tombak terbalik.
Ujung di atas pangkai masuk ke dalam pasir.
Di ujung tombak terlihat tiga buah tengkorak
tersusun berlumuran darah segar!"
Gendeng Panuntun tersurut satu tindak
saking terkejutnya. Kepalanya diluruskan.
Sesaat kemudian dia bergumam.
"Hampir mustahil! Dunia persilatan
tampaknya belum bisa tenang. Bencana lebih
besar akan datang lagi...."
"Kek. Apa sebenarnya ini?!" tanya Joko
dengan mata pandangi ke arah tengah pulau.
"Pintu istana Hantu telah terbuka!
Malapetaka akan terjadi!"
"Kek. Aku tak mengerti maksud ucapanmu!"
"Kelak kau akan mengerti sendiri.... Dan
aku punya dugaan, kaulah kelak yang harus
menghadapinya!"
Di sebelah depan, Dewi Siluman dan Ki
Buyut mundur dua tindak. Tanpa bicara lagi,
Ki Buyut Pagar Alam segera menarik tangan
Dewi Siluman. Keduanya lalu berkelebat
menuju kereta. Kejap lain kereta itu telah
bergerak ke arah pinggir pulau. Hebatnya
meski roda kereta dan kaki ladam kuda
menghentak tanah berpasir serta gugusan
batu padas, tapi tidak ada suara yang
terdengar!
Melihat Dewi Siiuman dan Ki Buyut hendak
meloloskan diri, sementara beberapa orang di
situ sepertinya sepertinya terpaku pada
tombak yang menancap di tengah pulau,
murid Pendeta Sinting berkelebat mengejar.
Namun gerakannya tertahan tatkala tangan
kanan Gendeng Panuntun mencekalnya.
"Biarkan mereka pergi...."
"Tapi, Kek. Orang seperti mereka akan
menjadi duri di kemudian hari!"
"Kau tidak tahu siapa perempuan itu!"
"Peduli apa dengan dia?!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala.
"Dengar, Anak muda! Mendiang guruku
pernah mempunyai seorang murid
perempuan. Karena dia ugal-ugalan dan
selalu melanggar perintah, pada akhirnya dia
diketahui hamii. Dia lantas diusir. Di
kemudian hari dia melahirkan seorang anak
perempuan yang diberi nama Durga Ratih.
Jadi bagaimanapun juga, Durga Ratih masih
saudaraku...."
Murid Pendeta Sinting tercenung dan
akhirnya hanya bisa memandang pada kereta
yang terus bergerak. Sampai ke pinggir
pulau, dengan hanya sentakkan kedua
tangannya, tali pengikat pada leher kuda
terputus. Dan sekali tendangkan kaki, kuda
itu meringkih lalu menghambur bebas. Kini
kereta itu meluncur tanpa kuda dan begitu
mulai menginjak air, Ki Buyut membungkuk.
Trakkk! Trakk!
Dua kayu penyangga kereta bagian depan
patah. Dengan menggunakan patahan
penyangga kereta, Ki Buyut tusukkan ke
dalam air laut. Gerobak kereta itu akhirnya
meluncur deras di atas permukaan air laut.
Dewi Siluman tampak tegak di atas peti putih
di bagian belakang gerobak kereta dengan
kedua tangan bersedekap di depan dada dan
menghadap ke belakang!
"Jangan terpaku pada apa yang terlihat!
Masih ada yang harus dikerjakan!" Tiba-tiba
Gendeng Panuntun berseru. Lalu melangkah
pada batu padas di mana Sitoresmi
bersandar.
Dewa Sukma balikkan tubuh, lalu
melangkah ke arah Gendeng Panuntun. Iblis
Ompong segera pula mendekat. Dewi Es
bergerak bangkit dan melangkah ke arah
tubuh Dewi Seribu Bunga yang tergeletak
pingsan.
Gendeng Panuntun jongkok di samping
tubuh Sitoresmi. Kedua tangannya sejenak
meraba tangan si gadis. Lalu kepalanya
manggut-manggut. Kejap kemudian dia
keluarkan dua butiran hitam dari balik pakaian
hijaunya yang gombrong. Butiran Itu
diserahkan pada Iblis Ompong. Iblis Ompong
menyambuti lalu sambil jongkok, kedua
butiran itu dimasukkan ke dalam mulut
Sitoresmi.
"Kukira urusan di sini telah selesai! Kita
pulang...," kata Dewa Sukma sambil
berpaling pada Dewi Es yang kini telah tegak
sambil membopong tubuh Dewi Seribu
Bunga.
"Biar gadis ini kuurus...," ujar Dewi Es lalu
melangkah mendahului ke pinggir pulau.
Joko bungkukkan tubuh hendak
membopong Sitoresmi yang kini matanya
terpejam dan tampak lemas. Namun buru-
buru Gendeng Panuntun lantangkan tangan
kirinya, membuat gerakan murid Pendeta
Sinting tertahan.
"Gadis ini urusankui" ucap Gendeng
Panuntun lalu sekali sambar tubuh Sitoresmi
telah berada di pundaknya. "Tuntun aku ke
pinggir pulau!"
Akhirnya rombongan itu melangkah ke
pinggir pulau. Tapi sesampainya di pinggir
pulau, mereka tampak kebingungan. Karena
tidak ada satu pun perahu terlihat.
"Tidak mungkin sekarang naik es lagi! Kita
harus cari tumpangan yang layak!" ujar
Gendeng Panuntun setelah mengetahui di
situ tidak ada perahu dan Dewa Sukma
mengusulkan agar Dewi Es membuat
tumpangan es seperti tatkala mereka menuju
Pulau Biru.
Ketika orang-orang sama bingung, tiba-tiba
Joko berteriak.
"Lihat! Ada perahu menuju kemari!"
***
SEBELAS
PERAHU itu meluncur deras menuju
pulau laksana anak panah. Namun
begitu perahu merapat, semua orang
jadi tercengang. Sepasang mata Ratu
Malam tampak bolak-balik memejam
membuka dengan mulut makin keras komat-
kamit. Sementara Iblis Ompong mendongak
dengan mulut dibuka lebar-lebar. Di
sampingnya Dewa Sukma mendelik dengan
mulut terkancing rapat. Dewi Es kernyitkan
kening dengan mata sedikit menyipit. Murid
Pendeta Sinting sendiri mendelik dengan
kepala berpaling ke sana kemari seolah ingin
minta penjelasan. Hanya Gendeng Panuntun
yang tampak tenang-tenang saja. Karena
ternyata perahu itu tidak berpenumpang!
Belum hilang rasa kejut orang, dan belum
sempat ada yang buka suara, tiba-tiba dari
belakang perahu meluncur sebuah papan
kayu yang melaju kencang menerjang
ganasnya gelombang laut. Di atas papan
kayu terlihat seorang kakek berjubah kuning
tanpa leher. Sepasang matanya terpejam
rapat, sementara mulutnya berkemik. Kakek
ini rambutnya putih panjang dikelabang dan
dikalungkan di lehernya. Dia duduk bersila
dengan kedua tangan saling menakup di
bawah dagu. Di belakang kakek berjubah
kuning Ini tegak berdiri seorang laki-laki
berusia lanjut. Wajahnya amat pucat dan
berkeriput. Tapi keriputan wajah kakek ini
hanya merupakan garis samar-samar karena
kulit wajah itu demikian tipis. Rambutnya
yang putih panjang dibiarkan tergerai
melambai-lambai ditiup angin laut. Kumis dan
jenggotnya juga lebat menutupi sebagian
wajahnya. Dia mengenakan jubah besar
kusam yang bertambal-tambal dari beberapa
kain yang berwarna-warni.
Belum sampai papan kayu yang ditumpangi
kedua kakek merapat, dua kakek tersebut
membuat gerakan. Kejap lain tujuh langkah di
samping rombongan orang di Pulau Biru telah
duduk bersila kakek berjubah kuning tanpa
leher, sementara di sampingnya tegak kakek
berjubah kusam bertambal-tambal.
Belum ada yang membuat gerakan,
Pendekar 131 mendahului berkelebat lalu
menjura di depan dua kakek yang baru
datang.
"Eyang.... Manusia Dewa...," kata Joko
begitu mengenali siapa adanya orang.
Kakek berjubah kuning tanpa leher yang
rambutnya dikelabang dan bukan lain
memang Manusia Dewa adanya buka
kelopak matanya, lalu anggukkan kepala
tanpa berucap sepatah kata. Di sebelahnya,
kakek berjubah kusam bertambal-tambai dan
bukan lain Pendeta Sinting adanya tertawa
panjang sambil manggut-manggut. Sepasang
mata kakek Ini lantas mengedar memandang
satu persatu pada semua orang yang ada di
situ. Mulutnya membuka hendak bicara,
namun sebelum ucapannya terdengar, Ratu
Malam telah mendahului.
"Dasar orang sinting! Datangnya jika
urusan sudah selesai! Apa saja yang
dikerjakan?! Padahal kudengar anak belum
punya...!"
"Bagaimana punya anak. Perempuan saja
tidak ada yang mau didekati!" sahut iblis
Ompong, lalu mendekat pada Manusia Dewa
dan berujar.
"Sudah beberapa puluh tahun tidak jumpa,
nyatanya kau masih awet muda, kalau tak
keberatan mau berikan Ilmunya padaku?!
Terimalah hormatku, Manusia Dewa "
"Ah. Ternyata ada sahabat. Kalau benar
yang datang adalah Manusia Dewa dan
sobatku Pendeta Sinting, sungguh ini sebuah
pertemuan yang membahagiakan! Di atas
semua itu, pasti ada hal yang perlu
dibicarakan!" Gendeng Panuntun menyahut
sambil tangan kirinya usap-usap cerminnya.
"Senang sekali Pendeta Sinting dan
Manusia Dewa bisa datang ke sini meski
hidangannya telah habis!" Yang angkat bicara
kali ini adalah Dewa Sukma.
Sedangkan Dewi Es yang membopong
tubuh Dewi Seribu Bunga hanya mengangguk
pada Pendeta Sinting dan Manusia Dewa.
"Maaf sahabat-sahabat...," kata' Manusia
Dewa. "Kami datang terlambat. Namun itu
masih tidak apa daripada tidak datang.
Bukankah begitu Pendeta Sinting...?"
Pendeta Sinting jerengkan sepasang
matanya. “Betul! Meski hidangan telah habis
sesungguhnya masih ada hidangan baru
yang lebih lezat dan memerlukan tenaga lebih
banyak!"
"Eh, sepertinya kedatangan kalian
membawa kabar baru!" ujar Gendeng
Panuntun setelah menyimak kata-kata
Pendeta Sinting.
"Bukan kabar, tapi kenyataan! Tapi untuk
itu biarlah sahabatku Manusia Dewa yang
mengatakannya!"
Suasana sejenak hening. Pendekar 131
melangkah mendekat ke arah Eyang
gurunya. Lalu berbisik.
"Eyang. Ada kabar apa sebenarnya?!"
"Itu nanti akan dikatakan Manusia Dewa.
Sekarang aku tanya padamu. Bagaimana
dengan tugasmu?!"
"Berkat doa restu Eyang, aku berhasil
mendapatkan Kitab Serat Biru...." Joko
hendak keluarkan kitab dari balik pakaiannya,
tapi Pendeta Sinting memberi isyarat agar
muridnya urungkan niat. Kakek ini lantas
berkata.
"Jaga baik-baik kitab itu! Sekarang
dengarkan apa yang diucapkan Manusia
Dewa." Kedua orang murid guru ini sama
berpaling pada Manusia Dewa.
"Sahabat-sahabatku...," Manusia Dewa
muial angkat bicara. "Dua hari yang lalu
rimba persilatan digemparkan dengan
terbunuhnya beberapa tokoh dunia persilatan.
Aku memberitahukan hal ini karena kukira
kalian semua saat itu pasti terpaku pada
urusan Kitab Serat Biru, hingga kemungkinan
besar para sahabat sekalian tidak
mendengarnya. Sebenarnya yang membuat
gempar bukanlah pembunuhan itu sendiri.
Sebaliknya si pembunuhlah yang membuat
orang laksana tersentak. Karena hal seperti
ini pernah terjadi beberapa puluh tahun silam.
Si pembunuh meninggalkan satu tanda begitu
meninggalkan korbannya!" Sejenak Manusia
Dewa hentikan keterangannya. Semua orang
masih diam tak ada yang buka suara.
Manusia Dewa lanjutkan ucapannya.
"Tanda itu adalah sebuah tengkorak yang
masih berlumuran darah!"
Terdengar gumaman tak jelas. Mulut Ratu
Malam makin keras berkomat-kamit. Iblis
Ompong makin lebarkan ngangaan mulutnya.
Dewa Sukma berpaling pada Gendeng
Panuntun. Sementara Dewi Es pejamkan
sepasang matanya.
"Tengkorak Berdarahl" ujar Gendeng
Panuntun.
"Benar! itulah tanda jika yang melakukan
adalah seorang tokoh misterius yang sampai
saat ini belum ada yang tahu siapa
sebenarnya tokoh itu. Hanya karena setiap
kali melakukan pembunuhan meninggalkan
tanda tengkorak berlumur darah, orang-orang
rimba persilatan menjuluki tokoh misterius itu
Tengkorak Berdarah!"
"Berarti Istana Hantu telah terbuka
kembali!" Gendeng Panuntun kembali
berkata.
"Benar! Dengan telah keluarnya Tengkorak
Berdarah, berarti pintu istana Hantu telah
terbuka lagi..."
"Kek. Aku belum mengerti kaitan semua
ini!" kata Pendekar 131.
"Anak muda...," ujar Manusia Dewa.
"Beberapa puluh tahun silam rimba persilatan
pernah digemparkan dengan beberapa
pembunuhan terhadap tokoh-tokoh yang
dilakukan oleh seorang misterius yang
kemudian digelari orang Tengkorak Berdarah.
Tengkorak Berdarah bertempat pada sebuah
istana dekat belantara sunyi. Jika pintu istana
itu terbuka, maka bisa dipastikan ada
beberapa orang terbunuh. Dan begitu
beberapa pembunuhan terhenti, pintu Istana
itu tertutup. Hingga saat ini belum ada
seorang pun yang berhasil menerobos masuk
pintu istana itu, hingga orang menjuluki
tempat itu Istana Hantu!"
"Eyang...," kata Joko pada Pendeta Sinting.
"Kalau tak salah, tengkorak berlumur darah
yang menancap di tengah pulau itu tentu
pekerjaan tokoh yang baru saja dikatakan
Manusia Dewa!"
Pendeta Sinting tampak terkejut. Kepalanya
berpaling ke arah tengah pulau di mana di
situ tertancap sebuah tombak yang dihiasi
tiga tengkorak berlumur darah.
"Astaga! Jadi dia sudah merambah sampai
pulau ini!"
"Aku sejak tadi memang mencium amisnya
darah. Namun tak kusangka jika itu berasal
dari lumuran darah tengkorak...." Manusia
Dewa menggumam lalu ikut berpaling ke
tengah pulau.
"Anak muda! Kudengar kau tadi
mengatakan Kitab Serat Biru. Aku ikut
merasa gembira. Namun lebih dari itu, kau
harus segera mempelajari isinya, karena di
depan sana sudah ada lagi hal yang harus
kau selesaikan!" kata Manusia Dewa seraya
memandang pada Pendekar 131.
Joko masukkan jari kelingkingnya pada
lobang telinganya. "Luar biasa sekali
pendengaran orang tua ini. Namun
ucapannya tadi sepertinya telah
membebankan tugas baru lagi padaku...."
Diam-diam murid Pendeta Sinting membatin.
Joko lantas berbisik pada Eyang gurunya
mengatakan apa yang ada dalam hatinya.
Pendeta Sinting tertawa pendek lalu berujar.
"Sontoloyo! Tanpa bertanya seharusnya
kau sudah mengerti! Dan aku tidak bisa
menjamin apakah aku bisa membantu atau
tidak!"
"Aku juga!" sahut Iblis Ompong. "Urusan
selanjutnya harap kau sendiri yang
selesaikan!"
"Ah. Aku juga tak mau ikut campur!"
Gendeng Panuntun angkat bicara.
"Aku pun tak akan cari urusan baru!" ucap
Ratu Malam menimpali.
"Sahabat-sahabat sekalian. Sebenarnya
urusan ini adalah urusan kita semua sebagai
orang rimba persilatan. Namun kalau sahabat
sekalian punya halangan, apa hendak dikata.
Sekarang semuanya tergantung pada
Pendekar 131!"
"Jika itu demi keselamatan dan ketenangan
dunia persilatan, tanpa bantuan pun aku akan
laksanakan tugas ini!" kata Pendekar 131
sambil memandang satu persatu pada orang
yang ada di tempat itu.
"Hem.... Bagus! Memang itulah watak yang
harus dimiliki seorang pendekar. Gelombang
lautan api, gemuruh ombak bukanlah satu
halangan jika demi keselamatan dunia
persilatan!"
Habis berkata begitu, Manusia Dewa
dongakkan kepala. "Kukira sahabat sekalian
tidak berniat menginap di sini bukan? Nah,
malam tampaknya sudah menjelang, berarti
sudah waktunya untuk tinggalkan tempat ini!"
Tanpa menunggu jawaban. Manusia Dewa
gerakkan bahunya dua kali. Tubuhnya tiba-
tiba melesat dan kejap lain telah duduk
bersila di atas perahu.
"Memang apa enaknya menginap di sini.
Hanya beralas pasir dan berselimut langit.
Hik... hlk... hlk...!" ujar Ratu Malam lalu
berkelebat ke arah perahu.
"Tubuh reot begini memang sudah tidak
seharusnya tidur sembarangan. Apalagi di
tengah gelombang ombak lautan!" timpal Iblis
Ompong lalu ikut melesat ke arah perahu dan
tegak memunggungi Ratu Malam.
Pendekar 131 melangkah cepat ke arah
Dewi Es yang membopong tubuh Dewi Seribu
Bunga. Namun baru saja dekat dan belum
sempat buka mulut bicara, Dewi Es telah
mendahului berkata.
"Untuk sementara kau tak usah tanyakan
urusan gadis ini. Biarlah dia jadi urusanku...."
Murid Pendeta Sinting hanya bisa
mengangguk. Lalu memandang pada
Gendeng Panuntun yang memanggul tubuh
Sitoresmi. Buru-buru Joko mendekat. Namun
lagi-lagi Gendeng Panuntun telah berkata
mendahului.
"Anak muda. Urusanmu di depan masih
besar. Jangan ditambah dengan
mencemaskan gadis ini. Kelak mungkin
kalian akan bertemu lagi.... Sekarang ayo
tunjukkan arah perahu!"
Selesai berkata Gendeng Panuntun
rentangkan tangan kirinya. Namun Joko tidak
segera tuntun Gendeng Panuntun.
Sebaliknya dia palingkan kepala ke belakang.
Karena tiba-tiba murid Pendeta ting Ini
teringat pada Ki Ageng Mangir Jayalaya
namun kakek berjubah putih penjaga Kitab
Serat itu telah tidak ada lagi di tempatnya.
"He.... Kau dengar ucapanku, bukan?!"
Gendeng Panuntun. Pendekar 131 menyengir
lalu menggandeng tangan Gendeng
Panuntun dan melangkah ke arah perahu. Di
belakang mereka menyusul Dewa Sukma dan
Dewi Es.
"Meski tidak ada perempuan yang mau
kudekati, tapi bukan berarti aku senang tidur
di tempat seperti ini!" gumam Pendeta Sinting
lalu berkelebat ke arah perahu.
Tak berselang lama, perahu berpenumpang
sepuluh orang itu meluncur membelah
ombak. Anehnya meski tidak ada satu pun
yang kemudikan perahu dengan mendayung,
namun perahu itu meluncur deras. Yang
tampak hanyalah gerakan-gerakan tangan
yang mengayun ke bawah seoah orang
menari. Tapi begitu gerakan-gerakan tangan
Itu makin keras, perahu melaju makin deras!
SELESAI
PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOKO SABLENG
Segera terbit :
seriai Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpu l 131
dalam ep isode :
GERBANG ISTANA HANTU
0 comments:
Posting Komentar