..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 30 November 2024

JOKO SABLENG EPISODE NERAKA PULAU BIRU

JOKO SABLENG EPISODE NERAKA PULAU BIRU

 Hak cipta dan copy right pada

penerbit dibawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa Izin tertulis dari penerbit



SATU


DI sela rimbun pohon bakau yang

banyak tumbuh di pesisir pantai Laut

Selatan tampak sesosok tubuh tegak

berlindung dengan kepala lurus ke

arah tengah laut yang sedang bergelombang

besar. Sesekali sosok ini terlihat menghela

napas dalam. Meski raut wajahnya tidak

membayangkan kecemasan, karena wajah

orang ini ditutup dengan kain cadar

berlobang-lobang kecil yang

menyembunyikan parasnya, dari gerak-gerik

serta sikapnya jelas jika orang ini sedang

dilanda kebimbangan.

"Apakah aku harus menyusul ke pulau itu?

Ataukah sebaiknya kutunggu saja di sini?

Melihat ke mana arah yang dituju, sekarang

jelaslah bahwa pemuda itu memang sedang

memburu Kitab Serat Biru! Tapi bagaimana

pemuda berjubah putih serta Dewi Siluman

dan Kl Buyut Pagar Alam tahu juga tempat

yang hendak dituju Pendekar 131?"

Sosok bercadar yang ternyata adalah

seorang perempuan yang di punggungnya

tampak punuk besar kembali menarik napas


panjang dengan kepala sedikit

ditengadahkan.

"Kalau aku menyusul ke pulau itu,

bagaimana nanti jika Dewi Siluman dan Ki

Buyut tahu semua Ini? Tapi... Pendekar 131

pasti akan menghadapi kesulitan besar! Ah....

Bagaimana pun aku harus menyusul! Apa

pun nanti yang akan terjadi, aku tak tega

melihat Pendekar 131 menghadapi kesulitan

sendiri!"

Memutuskan begitu, perempuan bercadar

dan berpunuk segera bergerak keluar dari

rimbun pohon bakau. Namun mendadak satu

bayangan berkelebat disertai memanlulnya

satu cahaya, membuat langkah perempuan

bercadar dan berpunuk tertahan. Tapi

perempuan ini jadi terkesiap. Karena tahu-

tahu seorang bertubuh besar mengenakan

pakaian gombrang warna hijau telah berdiri

tegak di hadapannya!

Seraya tengadahkan sedikit kepalanya,

sosok besar di hadapan perempuan bercadar

dan berpunuk mengusap-usap cermin bulat

pangkal ikat pinggangnya yang ada di depan

perutnya. Sepasang matanya bolak-balik

mengerjap. Namun sepasang bola mata itu

hanya tampak putihnya saja. pertanda orang

ini buta.


'Gendeng Panuntun!" ujar perempuan

bercadar dan berpunuk begitu mengenali

siapa orang yang kini berdiri di hadapannya.

Ketegangan wajah di balik cadar sedikit

mereda.

Namun karena khawatir akan keselamatan

Pendekar 131, perempuan bercadar dan

berpunuk segera hendak berkelebat

tinggalkan tempat itu. Tapi gerakan

perempuan ini kembali tertahan tatkala tiba-

tiba orang besar bermata buta yang di depan

perutnya tampak sebuah cermin bulat dan

bukan lain memang Gendeng Panuntun

adanya berkata.

"Hendak ke mana kau, Anak cantik?!"

Sepasang mata di balik cadar berlobang

membesar perhatikan lebih seksama pada

Gendeng Panuntun. "Dia ternyata tahu siapa

diriku! Adakah penyamaranku ini kurang

baik? Tap!.... Sepasang matanya buta! Ah.

Benar-benar orang aneh. Pertama kali jumpa

dia dapat mengetahui isi hatiku, sekarang

tahu pula siapa aku!" Diam-diam perempuan

bercadar dan berpunuk membatin.

Karena perempuan berpunuk belum juga

buka mulut menjawab, Gendeng Panuntun

arahkan kepalanya menghadap pada si

perempuan. Lalu terdengar dia berujar.


"Sikapmu gelisah. Adakah kau memikirkan

seseorang?!"

Seperti dituturkan sebelumnya, perempuan

bercadar dan berpunuk secara diam-diam

mengikuti ke mana Pendekar 131 membawa

Dewi Seribu Bunga. Dan begitu Pendekar

131 pergi ke puncak bukit di mana baru saja

terdengar orang lantunkan bait-bait syair, di

hadapan Dewi Seribu Bunga muncul Maut

Mata Satu yang bukan lain adalah guru Dewi

Seribu Bunga sendiri. Kedua guru serta murid

ini kemudian pergi. Dan tatkala Pendekar 131

turun dari puncak bukit, perempuan berpunuk

mengatakan pada Pendekar 131 apa yang

baru saja didengarnya dari percakapan

antara Maut Mata Satu dan Dewi Seribu

Bunga. Setelah itu perempuan berpunuk

berkelebat pergi. Namun secara diam-diam

dia menyelinap lalu mengikuti Pendekar 131

sampai akhirnya mencapai pesisir Laut

Selatan. Dia sebenarnya hendak mengikuti

murid Pendeta Sinting yang teruskan

perjalanan menyeberang laut, namun

langkahnya tertahan ketika tiba-tiba muncul

seorang pemuda berjubah putih yang bukan

lain adalah Malaikat Penggali Kubur yang

saat itu juga telah sampai di pesisir Laut

Selatan. Perasaan perempuan berpunuk

sudah tidak enak tatkala mengetahui Malaikat


Penggali Kubur ternyata juga menempuh

perjalanan menyeberang laut. Dia sudah

bertekad untuk mengikuti, tapi lagi-lagi

langkahnya tertahan, malah kali Ini dia jadi

terkesiap kaget tatkala begitu Malaikat

Penggali Kubur menyeberang, mendadak

muncul perempuan bercadar hitam serta

berjubah hitam besar sebatas lutut berambut

pirang dengan seorang kakek berjubah hitam

yang kedua tangannya masuk ke dalam saku

jubahnya. Kedua orang ini bukan lain adalah

Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.

Merasa orang di hadapannya telah tahu

apa yang kini dilakukan perempuan

berpunuk, perempuan Ini segera berkata.

“Kakek! Terus terang aku memang tengah

memikirkan seseorang. Malah aku

mengkhawatirkan keselamatannya!"

Gendeng Panuntun usap-usap cerminnya

yang pantulkan cahaya. "Hemm.... Kalau tak

salah, bukankah yang menjadi hatimu gerah

adalah seorang pemuda?!"

"Bagaimana orang ini bisa tahu?" tanya

perempuan berpunuk dalam hati. Lalu

berkata. "Aku tidak bisa mengatakan padamu

siapa orang yang sedang kukhawatlrkan!"

Gendeng Panuntun tertawa bergelak.

Seraya tengadah dia berkata lagi.


"Gelombang besar bukan penghalang.

Lautan api bukanlah perintang. Kalau hati

seorang gadis selalu berguncang, apalagi

yang menjadi sebab jika bukan belenggu

asmara? Ha... ha... ha...! Anak cantik! Tanpa

kau katakan siapa orang yang kau pikirkan,

air muka di balik penutup wajahmu

mengatakan hal Itu!"

"Kek! Kulihat matamu tidak bisa digunakan

lagi. Bagaimana kau tahu aku mengenakan

penutup wajah?!" tanya perempuan berpunuk

heran.

"Tidak ada gunanya memberi keterangan

yang tidak dapat dimengerti, Anak cantikl Dan

satu hal lagi, bukankah ucapanku benar?!"

Perempuan berpunuk akhirnya hanya

anggukkan kepala, seolah orang di depannya

bisa melihat. Setelah agak lama terdiam, dia

bertanya.

"Kek. Kau sendiri hendak ke mana?!"

Gendeng Panuntun arahkan kepalanya ke

bentangan laut di depan sana. Lalu berkata.

"Seandainya ada orang yang mau berbaik

hati padaku, aku ingin menyeberang laut...."

Ucapan Gendeng Panuntun membuat

perempuan berpunuk terkejut. Sepasang bola

mata di balik cadar membesar. "Jangan-

jangan orang tua ini punya tujuan yang sama

dengan orang-orang yang telah terlebih


dahulu menyeberangi Urusannya akan

bertambah rumit. Kuyakln orang tua ini bukan

orang sembarangan! Pendekar 131 akan

makin dihadang kesulitan!"

Selagi perempuan berpunuk dlbuncah

dengan perasaannya sendiri, Gendeng

Panuntun berkata. "Anak cantik. Maukah kau

berbaik hati menolongku?!"

"Maaf, Keki Aku tak bisa menolong!"

"Ah.... Sayang sekali kalau begitu!

Terpaksa aku cari orang lain yang dapat

membawaku menyeberang...."

Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun

beranjak hendak tinggalkan tempat itu.

“Tunggu!" Tiba-tiba perempuan berpunuk

berseru menahan langkah Gendeng

Panuntun. "Kalau kau bersusah payah

hendak menyeberang laut, pasti ada sesuatu

yang penting. Bisa katakan padaku, apa

tujuanmu hendak menyeberang, Kek?!"

"Kau tak perlu bertanya jika mau

menolongku!"

"Tapi setidaknya aku harus tahu terlebih

dahulu apa tujuanmu!"

"Aku tidak bisa mengatakan padamu!"

"Jika begitu, aku pun tidak bisa

membantumu!" jawab perempuan berpunuk.

Gendeng Panuntun pentangkan bola

matanya yang putih. Lalu usap-usap


cerminnya dan perlahan melangkah

meninggalkan perempuan berpunuk yang

memandang kepergiannya dengan dada

disesaki beberapa pertanyaan dan dugaan.

"Belum kuketahui pasti tujuan kakek itu.

Juga belum bisa kuraba dia punya niat jelek

apa baik! Heem.... Aku harus mendahului

menyeberangi” Perempuan berpunuk arahkan

pandangannya pada hamparan laut jauh di

depannya. "Aku harus menyewa perahu...."

Perempuan berpunuk palingkan lagi ke

arah mana si kakek bertubuh besar tadi

melangkah. Dia terlengak sendiri, malah

sepasang mata di balik cadarnya terpentang

besar. Gendeng Panuntun ternyata telah

lenyap!

"Baru saja masih terlihat. Tapi tiba-tiba

sudah lenyap. Kalau aku tidak segera

menyeberang, tidak mustahil aku akan

kedahuluan!"

Perempuan berpunuk sekali lagi putar

kepalanya. Kejap lain tubuhnya melesat dari

sela rimbun pohon bakau.

***

Perahu besar yang kain layarnya tampak

dibiarkan berserakan di bagian belakang itu

melaju perlahan menerjang gelombang besar

dan tiupan angin. Mungkin karena tiupan


angin sangat kencang, membuat laki-laki

yang berdiri di bagian depan perahu hanya

menggunakan dayung untuk kemudikan

perahunya, sementara kain layarnya

dibiarkan berserakan di bagian belakang

perahu. Agak sedikit ke belakang laki-laki

yang mendayung tampak duduk seorang

perempuan berpunuk yang wajahnya ditutup

kain cadar.

Sejauh Ini, laki-laki pemilik perahu yang

mendayung di bagian depan tidak begitu

banyak bicara, karena ketika dia berusaha

buka mulut berkata, perempuan bercadar dan

berpunuk yang menyewa perahunya seperti

enggan untuk bercakap-cakap. Bahkan

semua pertanyaan hanya dijawab pelan dan

pendek-pendek, malah sesekali terdengar

ketus, hingga akhirnya laki-laki pemilik perahu

tidak lagi berani bicara.

"Tidak bisakah kau percepat sedikit

perahumu ini?l" Mendadak perempuan

berpunuk berkata.

Laki-laki pemilik perahu tidak menjawab.

Perempuan berpunuk ulangi tegurannya

dengan suara agak keras, membuat laki-laki

pemilik perahu berpaling.

"Angin begini kencang. Tidak mungkin aku

mempercepat laju perahu. Kita bisa celaka!"


Perempuan berpunuk menarik napas

panjang dan dalam sambil perdengarkan

keluhan perlahan. Kepalanya lurus

menghadap satu gugusan pulau di tengah

laut.

"Sebenarnya ada urusan apa sepertinya

kau terburu-buru? Padahal selama aku

melaut di sini, baru kali ini ada orang yang

menyewa perahuku menuju pulau yang kau

tunjuk Itu. Dan menurut kabar, pulau Itu

adalah pulau kosong...."

"Jangan banyak bicara!" sahut perempuan

berpunuk dengan suara masih agak keras.

Entah karena apa, kali ini laki-laki pemilik

perahu tidak menghiraukan ucapan keras

perempuan berpunuk. Malah setelah

mendengar ucapan si perempuan, pemilik

perahu tertawa dan berkata.

"Agaknya kau punya urusan sangat

penting! Atau barangkali ada harta karun di

pulau itu?!"

Perempuan berpunuk tidak menyahut. Saat

itulah tiba-tiba terdengar suara orang.

"Bukan hanya harta karun, tapi juga

sepenggal hati!"

Lakl-lak! pemilik perahu kerutkan dahi.

"Heran. Melihat tampangnya sepertinya dia

seorang perempuan. Suaranya pun tadi

kudengar jelas suara perempuan. Tapi


mengapa barusan suara jawabannya seperti

suara laki-laki? Jangan-jangan dia hantu...."

Wajahnya ditutup, lalu.— Laki-laki pemilik

perahu kuduknya merinding. Perlahan-lahan

kepalanya bergerak hendak berpaling ke

belakang.

Kalau pemilik perahu merasa heran,

perempuan berpunuk terlihat tersentak kaget,

malah seketika bangkit dengan kepala

menoleh ke belakang, dari mana suara

jawaban tadi terdengar.

Sepasang mata di balik cadarnya

membelalak besar memperhatikan bagian

belakang perahu. Namun dia tidak melihat

siapa-siapa.

"Jelas telingaku menangkap suara! Dan

sepertinya aku mengenali suara itu! Jangan-

jangan dia! Tapi mana orangnya! Atau

jangan-jangan telingaku yang menipu...?l"

Laki-laki pemilik perahu makin heran tatkala

dia lihat perempuan berpunuk berdiri tegak

dengan memandang ke belakang. Belum

hiiang rasa herannya, tiba-tiba kain layar di

bagian belakang perahu bergerak-gerak!

Laki-laki pemilik perahu pentangkan

sepasang matanya dengan lutut goyah,

sementara perempuan berpunuk perhatikan

gerakan-gerakan pada kain layar yang

berserakan dengan sepasang mata di balik


cadar terpentang besar. Dan perlahan-lahan

dia segera kerahkan tenaga dalamnya pada

kedua tangan.

Begitu kain layar terbuka, pemilik perahu

tak bisa lagi menahan lututnya hingga meski

kedua tangannya tetap memegang dayung,

namun tubuhnya telah melorot jatuh.

Sedangkan perempuan berpunuk mendengus

keras namun tidak palingkan kepala.

DI hadapan perempuan berpunuk kini

terlihat seorang laki-laki berusia lanjut

bertubuh besar dengan sepasang mata putih

mengenakan pakaian gombrong berwarna

hijau dan bukan lain adalah Gendeng

Panuntun!

"Bagaimana Orang tua Ini tahu-tahu berada

di situ? Urusan benar-benar makin sukar!"

kata perempuan berpunuk dalam hati. Lalu

berkata dengan suara keras.

"Orang tua! Kenapa kau lancang berani

menumpang perahu sewaanku tanpa terlebih

dahulu permisi?!"

Gendeng Panuntun pasang tampang

terkejut. Namun tak lama kemudian tertawa

bergelak sebelum akhirnya berkata.

"Maaf. Aku tidak tahu kalau ini perahu

sewaanmu. Aku hanya tahu jika perahu ini

akan menyeberang. Lalu aku ikut...."


"Dusta jika orang ini tidak tahu! Hem.... Aku

harus tahu apa tujuan dia sebenarnya, kalau

punya niat jelek, aku tak segan

menurunkannya di tengah laut!" gumam

perempuan berpunuk lalu melangkah satu

tindak seraya berkata.

"Kek! Aku tanya sekali lagi, jika kau masih

tidak mau menjawab, terpaksa kau harus

turun!"

Gendeng Panuntun gerakkan kepalanya ke

samping kiri kanan. Lalu gelengkan kepala.

"Ah, bagaimana ini? Sekarang pasti kita

masih berada di tengah laut. Kalau sampai

kau menurunkan aku...."

Bibir di balik cadar perempuan berpunuk

menyeringai. "Itu urusanmu, Orang tua! Kau

tinggal pilih, jawab pertanyaanku atau turun di

sini!"

Mendengar percakapan antara perempuan

berpunuk dan Gendeng Panuntun, pemilik

perahu pulih kembali kesadarannya. "Untung.

Kukira hantu laut!" gumamnya laiu dengan

mata meilrlk, dia bergerak bangkit.

"Nada-nadanya mereka tidak bersahabat!

Kalau sampai terjadi perkelahian, bukan saja

perahuku yang akan rusak, namun nyawaku

tidak akan selamat! Aku harus cepat-cepat

sampai ke pulau yang ditunjuk perempuan

itu!"


Serentak laki-laki pemilik perahu

mendayung dengan sekuat tenaga, hingga

perahu Itu meluncur dengan cepat.

"Hei! Pelankan perahumu!" Mendadak

perempuan berpunuk berteriak.

"Bukankah kau tadi menginginkan cepat

sampai ke pulau itu?!" kata pemilik perahu

tanpa mengacuhkan teriakan perempuan

berpunuk. Malah dia makin kuatkan

dayungannya, hingga perahu itu lebih cepat

lagi menerjang gelombang ombak.

"Keparat!" maki perempuan berpunuk

hilang kesabaran. "Kalau kau tak

memperlambat perahumu, jangan menyesal

jika kau pulang tanpa perahu!"

Mendengar ancaman orang, pemilik perahu

tampak takut. Dan perlahan-lahan

memperlambat dayungannya. Namun

sesekali kepalanya tampak berpaling ke

belakang.

"Kek! Kau mau Jawab atau turun di sini!"

Perempuan berpunuk kembali ulangi

pertanyaan tatkala Gendeng Pantuntun

belum juga memberi jawaban.

"Eh. Yang kau tanyakan apa. Anak

cantik?!"

Meski tambah jengkel dengan perkataan

Gendeng Panuntun, akhirnya perempuan

berpunuk menyahut juga.


"Aku tanya, apa tujuanmu ke pulau itu!"

"Hemm.... Sebenarnya aku enggan

menjawab. Tapi daripada tenggelam di dalam

laut, apa boleh buat...," ujar Gendeng

Panuntun pelan. Namun dia masih juga

belum menjawab, sebaliknya arahkan

kepalanya menghadap perempuan berpunuk

dengan mata mengerjap.

"Orang tua! Jangan mengulur waktu!

Jangan pikir aku tak sanggup melempar

tubuhmu yang besar masuk ke dalam laut!"

"Baik. Baiklah.... Sebenarnya aku telah

katakan tujuanku. Namun tak apalah jika kau

minta untuk mengatakannya kembali. Seperti

kataku tadi, di sana ada harta karun juga

sepenggal hati. Nah, selain ingin

mendapatkan harta karun itu, aku juga ingin

selamatkan penggalan hati itu!"

Perempuan berpunuk tengadahkan kepala.

"Hm... jangan-jangan yang dikatakan harta

karun itu adalah kitab yang kini sedang

diributkan banyak tokoh yang menuju Pulau

Biru. Dan hm.... Yang dimaksud penggalan

hati mungkin Pendekar 131...." Duga

perempuan berpunuk, lalu luruskan

kepalanya.

"Orang tua! Kau menginginkan kitab ltu?!"

Gendeng Panuntun usap cerminnya. "Anak

cantik. Rezeki manusia telah ditetapkan. Dan


kurasa kitab Itu bukan rezekiku! Hanya

mungkin aku kebagian untuk ikut

menyelamatkannya...."

"Kalau kau hanya kebagian untuk

menyelamatkannya, siapa gerangan yang

kelak memiliki kitab itu?!"

Gendeng Panuntun tertawa bergelak. Lalu

gelengkan kepala sambil berujar.

"Tanda-tanda sang pewaris adalah seorang

yang memiliki pedang mustika yang dikenal

dengan Pedang Tumpul 131!"

"Pendekar Pedang Tumpul 131!" tanpa

sadar perempuan berpunuk bergumam.

Kembali Gendeng Panuntun tertawa. "Kau

telah mengenalnya?"

Perempuan berpunuk tersentak. Namun

untuk beberapa lama dia tak menjawab

pertanyaan Gendeng Panuntun. Orang tua

bermata buta ini mendongak, lalu berujar.

"Sudahlah, Anak cantik! Buanglah segala

duga dan prasangka. Kita harus cepat sampai

di pulau itu! Aku punya firasat akan terjadi

sesuatu! Jika kita terlambat sampai, aku

khawatir kau akan menyesal!"

"Aku?" tanya perempuan berpunuk.

"Ah, kau masih juga berpura-pura!

Bukankah tujuanmu ke pulau itu karena

mengkhawatirkan pemuda sedeng Itu?!"


Wajah di balik cadar perempuan berpunuk

tampak berubah, dan seolah tak mau orang

mengetahui, dia segera palingkan kepalanya

ke jurusan lain. Diam-diam dia berpikir.

"Orang tua ini tahu banyak tentang diriku! Dia

juga punya firasat akan terjadi sesuatu di

sana!"

Perempuan berpunuk arahkan kepalanya

pada laki-laki pemilik perahu. Lalu berseru.

"Hai! Percepat laju perahumu!"

Lakl-laki pemilik perahu berpaling. Meski

bibirnya tersenyum namun air mukanya jelas

membayangkan tidak senang. "Dasar

perempuan cerewet! Kalau perahu

diperlambat minta dipercepat. Kalau dituruti

dipercepat, dia minta diperlambat! Huh.... Dia

pasti seorang nenek-nenek! Hanya karena

buta saja orang yang menumpang tanpa

permisi itu memanggilnya Anak cantik! Dasar

orang buta.... Nenek-nenek pun dikiranya

gadis cantik! Kalau orang cantik betulan, apa

nanti dia bilang?"

Pemilik perahu menahan tawa sendiri. Lalu

gerakkan kedua tangannya lebih cepat,

hingga perahu berpenumpang tiga orang Itu

meluncur deras ke depan.

* * *


DUA



DI sebuah kanal tidak jauh dari pesisir

Laut Selatan, tampak sebuah kereta

yang di bagian belakangnya terdapat

peti berwarna putih mengkilat

terlindung rangasan semak belukar yang ada

di kanan kiri kanal. Duduk di atas bangku

kusir dua orang gadis berparas cantik.

Sebelah kanan yang memegang tali kekang

kuda adalah gadis berjubah kuning,

sedangkan di sebelahnya adalah gadis

berjubah biru.

Untuk beberapa lama kedua gadis yang

bukan lain adalah Wulandari dan Ayu Laksmi

murid-murid Dewi Siluman tidak ada yang

buka mulut bicara. Namun mata mereka tak

henti-hentinya memandang liar ke samping

kiri kanan.

"Wulandari...!" Mendadak gadis berjubah

biru buka mulut. "Apakah kita akan terus

menunggu?!"

SI jubah kuning Wulandarl berpaling. "Itu

perintah Guru! Kita tidak bisa berbuat apa!

Hanya yang kuherankan, ke mana gerangan


Sitoresmi? Kulihat banyak perubahan pada

anak itu!"

SI jubah biru Ayu Laksmi menghela napas

dalam. "Sejak semula aku telah menangkap

keanehan padanya! Kalau dia menurut apa

yang dikatakan Guru, pasti dia sudah muncul

saat kau memberi isyarat tempo hari! Aku

yakin dia menempuh perjalanan di luar

perintah Guru!"

“Tapi apa maksudnya?" tanya Wulandari.

"Kita memang sudah bertahun-tahun

bersatu, tapi itu tidak menjamin bahwa di

antara kita tahu apa yang tersimpan di dalam

hati! Hem.... Jangan-jangan Sitoresmi

mendapat halangan!"

Wulandari tertawa pelan mendengar

ucapan Ayu Laksmi. "Itu tidak mungkin. Dia

tentu tahu apa yang harus dilakukan jika

mendapat halangan! Sepertimu, aku juga

menduga Sitoresmi menempuh jalan di luar

perintah Guru! Anak tolol itu benar-benar cari

perkara!"

"Lalu apakah kita harus terus

menunggunya? Sementara kita yakin

Sitoresmi mencari jalan lain dan kecil

kemungkinan sampai sini?!"

"Kalau tidak menunggu, kita akan ke

mana? Guru dan Ki Buyut kulihat mengikuti


pemuda yang mengaku Malaikat Penggali

Kubur entah ke mana!"

"Tapi sampai kapan kita menunggu?!" ujar

Ayu Laksmi dengan kepala sedikit berpaling

ke kiri dan mata liar memperhatikan semak

belukar.

Wulandari tidak menjawab. Ayu Laksmi

teruskan ucapannya. "Meski aku tidak jelas

benar, namun aku masih dapat menentukan

arah yang diambil Guru dan Kl Buyut. Apa

tidak sebaiknya kita mengikuti jejak mereka

menuju arah selatan?"

"Itu hanya akan menambah urusan!

Bukankah perintah Guru kita hanya sampai di

sini?"

"Keadaan tampaknya telah berubah.

Banyak orang berkepandaian tinggi muncul.

Malah kalau Guru dan Kl Buyut tidak datang

tempo hari, mungkin nyawa kita sudah putus.

Kita harus mencari jejak Guru. Itu satu-

satunya jalan untuk selamatkan diri!"

"Kau takut?!" tanya Wulandari dengan

tertawa.

"Kita telah berikrar untuk menjalankan

tugas Guru meski harus berkorban nyawa,

jadi mati bukanlah hal yang kutakutkan. Tapi

kita tentu tidak ingin mati sia-sia bukan?!"


Wulandari terdiam mendengar kata-kata

Ayu Laksmi. Setelah berpikir sejenak dia

bergumam.

"Lalu apa yang harus kita perbuat?!"

"Kita Ikuti jejak Guru dan Kl Buyut ke arah

selatan! Guru pasti mau mengerti alasan kita!

Sitoresmi juga tidak mungkin lagi muncul di

sini!"

"Hem.... Baiklah. Kita menuju arah selatan!

Namun jika kita gagal menemukan Guru dan

Ki Buyut, kita kembali ke sinil"

Ayu Laksmi anggukkan kepala. Dan tak

menunggu lama, Wuiandari tarik tangannya

yang memegang tali kekang kuda kereta.

Namun gerakan tangan gadis berjubah

kuning ini tertahan. Dia cepat palingkan

kepala ke arah kanan, demikian pula Ayu

Laksmi. Karena kedua gadis Ini mendengar

suara orang tertawa cekikikan dltingkah

dengan suara gumaman orang tak jelas.

Pada saat bersamaan, semak belukar d!

sebelah kanan enam tombak dari tempat

kedua gadis ini tampak bergerak-gerak.

Namun begitu, kedua gadis murid Dewi

Siluman Ini tidak dapat memastikan siapa

adanya orang. Yang tampak hanyalah

bayangan kelebatan beberapa orang. Lalu

pada akhirnya mereka berdua merasakan

hawa dingin luar biasa!


Sampai bayangan beberapa orang, itu

lenyap dan hawa dingin sirna, Wulandari dan

Ayu Laksmi tetap tidak ada yang buka mulut

apalagi membuat gerakan. Dada masing-

masing gadis ini sama dibuncah perasaan

masing-masing. Namun tidak lama kemudian

Wulandari memecah keheningan dengan

perdengarkan ucapan.

"Siapa pun adanya mereka, pasti mereka

orang-orang yang berkepandaian tinggi!

Mereka juga menuju arah selatan. Apakah

kita akan teruskan rencana?!"

"Kalau mereka orang-orang berkepandaian

tinggi, dan arah mereka ke selatan, di sana

pasti ada sesuatu! Kita ikuti mereka!" kata

Ayu Laksmi, lalu tarik tangan Wulandari yang

memegang tali kekang, hingga kuda

penghela kereta itu melonjak kaget, namun

bersamaan dengan itu sang binatang angkat

kaki depannya sambil keluarkan ringkihan

keras. Lalu menghambur kencang menuju

arah selatan.

***

Rimbun pohon bakau di pesisir Laut

Selatan terlihat bergerak-gerak, namun bukan

karena deruan angin pantai, karena gerakan-

gerakan !tu hanya sebentar. Kejap lain telah

diam kembali. Dan bersamaan dengan Itu


tampak empat sosok tubuh berdiri tegak

dengan berjajar satu sama lain.

Orang paling kiri adalah seorang kakek

mengenakan jubah putih kusam. Rambutnya

panjang putih, demikian juga jenggot dan

kumisnya. Di sebelah kakek itu tegak seorang

nenek mengenakan jubah merah menyala.

Wajahnya keriput, sepasang kelopak

matanya besar namun bola mata di dalamnya

amat sipit. Rambutnya telah putih dan hanya

sebatas tengkuk. Seraya tegak memandang

ke hamparan laut di depan sana, nenek Ini

mulutnya komat-kamit mainkan gumpalan

tembakau hitam! Di sebelah nenek ini tegak

seorang kakek berusia kira-kira tujuh puluh

tahun. Rambut putih panjang. Raut wajahnya

tirus lonjong. Seraya tegak, kakek ini gerak-

gerakkan kepalanya, anehnya bersamaan

dengan itu kedua bahu kiri kanannya ikut

bergerak-gerak, karena ternyata kakek ini

tidak punya leher! Lebih dari Itu, kakek ini

terus membuka mulutnya lebar-lebar seakan

memperlihatkan mulutnya yang tidak bergigi!

Sedangksn orang paling kanan adalah

seorang perempuan mengenakan jubah putih

besar. Raut wajah perempuan ini hanya

tampak samar-samar, karena dari atas

kepalanya terlihat curahan air. Anehnya,

pakaian, rambut serta tubuhnya tidak basah!


Bahkan tempat di sekitar perempuan ini

mendadak berubah menjadi luar biasa dingin.

"Eh. Kenapa kita hanya diam? Bukankah

jika kita terlambat sampai, urusan jadi

berantakan tak karuan?!" Tiba-tiba nenek

berjubah merah menyala yang mulutnya

selalu mainkan gumpalan tembakau hitam

dan bukan lain adalah Ratu Malam angkat

bicara.

"Betul! Kita harus bergerak cepat agar

urusan tidak jadi tersendat. Bukankah tempat

Itu gugusan pulau di seberang laut itu?!" kata

kakek yang kepalanya selalu bergerak-gerak

dan mulutnya terus menerus terbuka dan

bukan lain adalah dedengkot rimba persilatan

Iblis Ompong seraya berpaling pada

perempuan paling kanan yang tubuhnya

selalu dicurahi air.

Perempuan paling kanan yang bukan lain

adalah Dewi Es anggukkan kepalanya.

"Meski aku belum pernah ke sana, namun

menurut penggalan peta yang ada di

tanganku, pulau itulah yang harus kita tuju!"

"Hem.... Jika demikian, kita segera

berangkat!" sahut kakek paling kiri dan bukan

lain adalah Dewa Sukma.

"Tapi bagaimana dengan kakek gembrot

Itu?!" tanya Ratu Malam.


"Untuk apa kita pikiri orang gendeng tak

punya juntrungan itu! Kita sudah dibikin capek

mencarinya. Jika kita perturutkan dia, urusan

Ini tidak akan selesai! Dan itu berarti rimba

persilatan akan kiamat!" kata iblis Ompong

lalu buka mulutnya lebar-lebar.

"Benar ucapan Lantika! Kalau kita

menunggu Gendeng Panuntun yang masih

tak tentu rimbanya, urusan akan tambah tak

tentu juntrungan!" sahut Dewa Sukma

dengan sebut nama asli iblis Ompong.

"Aku tahu siapa Gendeng Panuntun. Dia

pasti tidak akan tinggal diam dengan keadaan

begini. Aku punya firasat dia telah melakukan

sesuatu! Dan sebaiknya kita segera

berangkat!" ujar Dewi Es. Lalu tanpa berkata-

kata lagi, perempuan yang tubuhnya laksana

diguyur hujan rintik-rintik ini berkelebat ke

arah laut.

"Apa yang hendak dilakukan Anak es itu?l"

tanya Ratu Malam.

"Kita lihat saja! Karena tidak mungkin kita

berenang menyeberang lautl" jawab Dewa

Sukma seraya perhatikan Dewi Es.

Di depan sana, Dewi Es terus berkelebat

Saat sepasang kakinya mulai menginjak air

laut, tiba-tiba perempuan Ini membuat

gerakan melayang satu tombak di atas air

laut sambi! terus berkelebat. Kira-kira dua


tombak dia melayang turun ke dalam air. Lalu

balikkan tubuh dan berlari balik dengan kedua

tangan dimasukkan ke air seolah membentuk

jalur panjang.

Ketika kakinya kembal! menginjak pasir

pantai, dia melambai ke arah tiga orang

berpandangan. Namun di lain kejap ketiganya

telah berkelebat ke arah Dewi Es.

Saat mereka sampai d! samping Dewi Es,

iblis Ompong terlihat tengadah sambil buka

mulut lebar-lebar. Ratu Malam percepat

komat-kamitkan mulutnya sementara Dewa

Sukma hanya memandang ke arah mana tadi

Dew! Es mencebur.

"Untuk mencegah hal yang tidak kita

Inginkan, terpaksa kita menumpang itu!" kata

Dewi Es sambil menunjuk ke arah mana

diatadi mencebur. Ternyata di situ terlihat

batangan air beku sepanjang dua tombak

dengan tebal tiga jengkal! Anehnya batangan

air beku Itu tampak tidak hanyut Ikut

tergulung gelombang!

"Apa boleh buat. Apa yang ada dan bisa

digunakan itulah yang harus kita pakal!" ujar

Dewa Sukma lalu berkelebat dan tahu-tahu

sosoknya telah duduk dengan kaki menggapit

di ujung batangan air beku.

"Sebenarnya aku sayang jika jubahku

terkena air. Tapi apa hendak dikata, tak ada


perahu, batangan es pun jadilah!" gumam

Ratu Malam lalu berkelebat.

"Dasar perempuan! Sudah dibuatkan

tumpangan masih juga menggerutu tidak

karuanl" omel Iblis Ompong lalu Ikut

berkelebat. Dewi Es pun segera Ikut

meloncat.

Tak berselang lama, di tengah gelombang

laut tampak melaju deras batangan es yang

sesekali terayun-ayun dan sesekali lenyap

terhalang di baiik gelombang. Di atasnya

terlihat Dewa Sukma duduk paling depan

dengan menggapitkan kedua kakinya,

sementara kedua tangannya bersedekap di

depan dada. D! belakangnya tampak Ratu

Malam berdiri tegak dengan kedua tangan

kacak pinggang dan mulut mainkan gumpalan

tembakau. Di belakang Ratu Malam, tegak

memunggungi Iblis Ompong dengan kedua

tangan merangkap ke perut. Sementara

kepalanya mendongak dengan mulut terbuka

lebar. Di hadapan Iblis Ompong terlihat Dewi

Es duduk bersila dengan mata terpejam!

Seperti dituturkan sebelumnya, setelah

Ratu Malam bertemu dengan kakak

seperguruannya Dewa Sukma dan

mendengar bahwa penggalan peta serta peta

asli sempurna telah berhasil dibawa kabur

orang, kedua orang Ini bersepakat untuk


mengadakan perjalanan. Dewa Sukma

mencari tiga adik seperguruannya yang lain

yakni Gendeng Panuntun, Iblis Ompong, dan

Dewi Es, sementara Ratu Malam menyusur

jalan arah mana kira-kira yang diambil oleh

Pendekar Pedang Tumpul 131. Mereka

memutuskan setengah purnama depan

bertemu lagi. Namun sebelum hari yang

ditentukan, Dewa Sukma telah berhasil

menemui Iblis Ompong dan Dewi Es. Dan

karena setelah mencari Gendeng Panuntun

ke sana kemari tidak juga ketemu, akhirnya

ketiga orang ini menemui Ratu Malam.

Keempatnya lalu mengadakan perjalanan

menuju Pulau Biru. Karena Dewi Es adalah

pemegang penggalan peta yang terakhir,

maka dialah sebagai petunjuk jalan.

***

Baru saja keempat saudara seperguruan itu

bergerak menyeberang dengan

menggunakan batangan es yang dibuat Dewi

Es, di pesisir pantai terdengar gemeretak

roda kereta ditingkahi derap ladam kaki kuda.

Lalu muncullah sebuah kereta yang dikusiri

dua orang gadis dan bukan lain adalah

Wulandari dan Ayu Laksmi.

Di kerapatan pohon bakau, mereka

hentikan kereta, lalu laksana kilat, mereka


berkelebat dan mendekam di balik pohon

bakau dengan kepala yang masih tegak

menunggu. Dewa Sukma, Iblis Ompong dan

Ratu Malam sejenak saling berputar dan

mata mengedar tajam mengawasi sela-sela

pohon bakau.

"Aku tak menangkap adanya orang!" bisik

Wulandarl setelah agak lama di situ tidak juga

melihat siapa-siapa. Ayu Laksmi hanya

mengangguk tanpa keluarkan ucapan.

Saat itulah tiba-tiba Ayu Laksmi berseru

setengah berteriak seraya tunjukkan jarinya

lurus ke tengah laut.

"Lihat!"

Wulandarl memandang ke arah yang

ditunjuk Ayu Laksmi. "Jangan-jangan mereka

adalah orang yang kita ikuti! Hem....

Sepertinya mereka menuju pulau itu! Siapa

mereka...?!"

"Siapa mereka bukanlah hal penting yang

harus kita ketahui. Yang jelas, kalau Guru

dan Ki Buyut serta pemuda jahanam Malaikat

Penggali Kubur juga menuju arah selatan

pasti mereka juga ke pulau itu! Dan aku

menduga pulau itu mungkin Pulau Biru! Pulau

yang dikabarkan menyimpan Kitab Serat

Biru!" ujar Ayu Laksmi sambil tak berkesip

memandang ke arah tengah laut di mana


terlihat empat orang sedang melaju deras

membelah gelombang ombak.

"Sebaiknya kita juga menyeberang

mengikuti mereka!" kata Wulandarl.

"Tapi kita membutuhkan perahu! Karena

tidak mungkin kita berbuat seperti orang-

orang itu!"

"Kita sewa perahu! Dan kereta itu sekalian

kita bawa! Siapa tahu Guru dan Kl Buyut

memerlukannya!" kata Wulandarl sambil

berpaling ke kiri. Jauh di sana tampak

beberapa perahu nelayan sedang bersandar

ke tepi.

"Kita harus sewa perahu yang agak besar,

agar kereta itu bisa masuk!" Ayu Laksm!

berkata sambil ikut berpaling ke kiri. "Tapi

bagaimana kalau nelayan Itu tidak ada yang

mau mengantarkan kita?!"

Wulandari menyeringai sambil tertawa

pendek.

"Mereka cari mampus jika tidak mau

mengantar kita!”

Habis berkata begitu, Wulandari berkelebat.

Selang kemudian dia telah duduk di atas

bangku kusir dan melaju ke arah kiri di mana

tampak beberapa nelayan. Ayu Laksmi

segera berkelebat lalu duduk di samping

Wulandari.


****


TIGA


KITA tinggalkan dulu orang-orang yang

sedang menyeberang menuju Pulau

Biru. Kita kembali ke Pulau Biru.

Seperti dituturkan dalam episode:

"Kitab Serat Biru", begitu Pendekar 131

berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru serta

butiran merah dari Kl Ageng Mangir Jayalaya,

mendadak tempat ruangan di mana Joko dan

Ki Ageng Mangir berada bergetar, pertanda

ada orang yang muncul di pulau itu. Karena

khawatir terjadi sesuatu pada Kl Ageng

Mangir Jayalaya, murid Pendeta Sinting

segera berkelebat keluar ruangan melalui

lobang dari mana dia masuk. Namun baru

saja sepasang kakinya menginjak dataran

pulau di atasnya, telah tegak menghadang

Malaikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali

Kubur merasa curiga pada Pendekar 131

yang saat itu mengaku sebagai Pangeran

Mendut-Mendut. Tapi sebelum tangannya

sempat bergerak hendak memukul,

mendadak muncul Dewi Siluman dan Kl

Buyut Pagar Alam yang secara diam-diam

menguntit Malaikat Penggali Kubur. Ki Buyut


menawarkan pada Malaikat Penggali Kubur

untuk menggempur Pendekar 131 bersama-

sama, namun karena merasa punya ilmu,

Malaikat Penggal! Kubur menolak. Apalagi

setelah mengetahui bahwa pemuda di

hadapannya adalah Pendekar Pedang

Tumpul 131.

Mungkin karena baru saja terjun dalam

kancah rimba persilatan ditambah dengan

sifatnya yang tinggi hati, Malaikat Penggal!

Kubur hanya memandang sebelah mata pada

murid Pendeta Sinting. Malah ketika Malaikat

Penggali Kubur mula! lakukan serangan

dengan tangan kosong, dia hanya kerahkan

sedikit tenaga dalamnya dan langsung

menghantam ke arah batok kepala Pendekar

131! Murid Pendeta Sinting tidak mau

bertindak ayal. Begitu kedua tangan Malaikat

Penggali Kubur berkelebat menghantam

kepalanya, dia angkat pula kedua tangannya.

Desss! Desss!

Dua pasang tangan beradu keras. Malaikat

Penggali Kubur tersentak kaget dan surutkan

langkah dua tindak. Air mukanya tampak

berubah dengan sepasang mata terpentang

besar perhatikan pada pemuda di

hadapannya. Meski tangannya tidak

mengalami cedera, namun dari benturan

tangan barusan dia mulai sadar jika lawannya


memiliki tenaga dalam tinggi. Namun pemuda

murid Bayu Bajra ini tidak mau dipermalukan,

apalagi di situ tegak memperhatikan Dewi

Siluman dan Kl Buyut Pagar Alam. Dia

segera tersenyum menyeringai, lalu

melompat ke depan. Kaki kanannya mencuat

lepaskan tendangan bertenaga dalam tinggi.

Sementara tangan kirinya berkelebat

menghantam ke arah perut.

Dua deruan keras terdengar dan melesat

mendahului berkelebatnya tangan dan

mencuatnya kaki yang menendang, pertanda

serangan Malaikat Penggali Kubur tidak lagi

main-main.

Murid Pendeta Sinting jerengkan sepasang

matanya sejurus. Lalu melompat ke udara

menghindar. Setelah tendangan dan

hantaman tangan dapat dielakkan, dia

melayang turun. Namun Malaikat Penggali

Kubur yang mulai panas merasa

dipermainkan segera mengejar. Hingga

belum sempat sepasang kaki Pendekar 131

menjejak tanah berpasir biru, kedua tangan

Malaikat Penggali Kubur telah kembali

melesat lepaskan satu pukulan sekaligus!

Brakkk!

Batu padas berwarna biru yang ada di

samping Joko hancur berantakan terkena

hantaman tangan kiri Malaikat Penggali


Kubur. Joko memang berhasil mengelak dari

tangan kir! Malaikat Penggali Kubur, namun

tangan kanannya tidak bisa lagi dielakkan,

hingga mau tak mau dia harus menangkis

dengan angkat tangannya.

Melihat lawan angkat tangannya, Malaikat

Penggali Kubur cepat tarik pulang tangan

kanannya, lalu berballk sambil melompat tiga

langkah ke belakang. Sekonyong-konyong

tubuhnya berputar lalu serta-merta kedua

tangannya yang mengepal telah bergerak

memukul!

Wuuttt! Wuuutttt!

Terlihat cahaya terang sekejap dari kedua

tangan Malaikat Penggali Kubur. Di lain kejap

terdengar deruan hebat, lalu menggebrak

gelombang angin luar biasa dahsyat!

Pertanda jika Malaikat Penggali Kubur telah

lepaskan pukulan sakti 'Telaga Surya'! Bukan

hanya sampai di situ, begitu lepaskan

pukulan 'Telaga Surya', pemuda murid Bayu

Bajra Ini segera berkelebat ke depan dengan

kedua tangan diangkat tinggi-tinggi dan siap

lepaskan pukulan lagi dari jarak dekat!

Melihat ganasnya pukulan, murid Pendeta

Sinting tidak lagi main-main. Dia segera

kerahkan tenaga dalam pada lengannya. Lalu

kedua tangannya disentakkan ke depan.


Dari kedua tangan Joko tampak muncrat

butiran air. Pada saat bersamaan suasana di

tempat itu berubah menjadi luar biasa dingin.

Lalu menghampar gelombang angin keras

laksana gelombang badai, inilah pukulan

yang telah diwarisi dari Dewi Es, yakni

pukulan sakti 'Sukma Es'!

Namun pada saat itu murid Pendeta Sinting

merasa keget. Karena begitu dia kerahkan

tenaga dalam pada lengannya, terasa ada

satu kekuatan yang luar biasa besar menjalari

sekujur tubuhnya. Malah ketika kedua

tangannya lepaskan pukulan 'Sukma Es', satu

kekuatan menggebrak terlebih dahulu dan

menindih gelombang angin pukulan 'Telaga

Surya' milik Malaikat Penggali Kubur, hingga

pukulan sakti 'Sukma Es' melesat tanpa

halangan ke arah murid Bayu Bajra!

"Aneh.... Ada kekuatan lain dalam diriku!

Apakah memang ini pukulan 'Sukma Es'?

Atau jangan-jangan butiran merah yang baru

kutelan...," bisik Joko dalam hati.

Di depannya, Malaikat Penggali Kubur

tegak di atas tanah berpasir dengan

sepasang mata terpentang besar. Dia seakan

tidak percaya melihat pukulan yang baru

dilepas begitu mudah bertabur lenyap di

udara! Perlahan-lahan dadanya dirasuki

perasaan kecut. Diam-diam pula ia membatin.


"Jangan-jangan manusia ini yang dikatakan

orang tua yang mengaku sebagal Gendeng

Panuntun! Dia berhasil menindih lenyap

pukulanku, berarti dialah yang bakal mewarisi

Kitab Serat Biru! Sialan betul! Bagaimanapun

caranya aku harus dapat merobohkannya!

Peduli setan dengan ucapan orang! Tapi...."

Malaikat Penggal! Kubur tidak bisa lanjutkan

kata hatinya, karena saat itu gelombang

pukulan 'Sukma Es' yang menghamparkan

hawa luar biasa dingin telah menggebrak!

Seraya mendengus keras, Malaikat

Penggali Kubur kembali angkat kedua

tangannya. Lalu dipukulkan ke depan

lepaskan kembali pukulan 'Telaga Surya'.

Buummmm!

Pulau bergugusan batu padas dan pasir

berwarna biru itu bergetar. Batu padas

tampak pecah berantakan dan bertabur ke

udara disusul dengan menghamburnya pasir.

Malaikat Penggali Kubur tampak terhuyung-

huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk

dengan mulut keluarkan darah. Wajahnya

pucat pasi laksana tidak berdarah. Kedua

tangan dan sosoknya bergetar! Namun

mungkin karena tidak mau merasa malu,

pemuda murid Bayu Bajra ini cepat kerahkan

tenaga dalam lalu bergerak bangkit. Walau

masih terhuyung namun sejenak kemudian


telah tegak dengan sepasang kaki terpacak di

atas pasir!

Di seberang, murid Pendeta Sinting terlihat

surutkan langkah satu tindak. Dia meringis

sebentar namun sesaat kemudian tersenyum-

senyum. Jauh di samping kedua pemuda ini,

Dewi Siluman dan Kl Buyut Pagar Alam

tampak perhatikan dengan mata masing-

masing tak berkesip.

"Pemuda berjubah putih jelas lepaskan

pukulan 'Telaga Surya' milik Bayu Bajra.

Kuduga dia murid tokoh itu. Sedang pemuda

bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131

sepertinya lepaskan pukulan 'Sukma Es'.

Jangan-jangan dia masih ada hubungan

dengan perempuan bergelar Dewi Es!

Hemm.... Pantas dia bisa sampai di tempat

ini!" gumam Kl Buyut Pagar Alam tanpa

menoleh pada Dewi Siluman.

"Maksudmu karena Dewi Es masih saudara

seperguruan Dewa Sukma hingga dia

mengetahui pulau ini?!" sahut Dewi Siluman.

"Benar! Hanya yang kuherankan sepertinya

pemuda Itu memilik! tenaga luar biasa! Kau

lihat tadi, sebelum pukulan 'Sukma Es' lepas,

satu kekuatan aneh telah menghantam habis

pukulan 'Telaga Surya"! Selama malang

melintang, baru kali ini aku melihatnya!"


Dewi Siluman mendengus. "Tapi itu belum

berarti dia dapat menghantam habis 'Kabut

Neraka' dan 'Sinar Setan'-ku!"

Percakapan kedua orang ini terputus

tatkala tiba-tiba di depan sana Malaikat

Penggali Kubur telah angkat kedua

tangannya yang mengepal. Sosoknya terlihat

bergetar dan peluh membasah! tubuhnya,

pertanda dia kerahkan seluruh tenaga

dalamnya.

Sambil membentak keras, serentak

Malaikat Penggali Kubur melesat ke depan.

Setengah jalan di udara kedua tangannya

bergerak lepaskan pukulan!

Entah karena masih tak percaya dengan

adanya kekuatan lain dalam tubuhnya,

Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga dalam

pada kedua lengannya siap lepaskan pukulan

'Sukma Es'. Benar saja baru tenaga

dalamnya mengalir pada lengan, ada

kekuatan lain yang mendahului tenaga

dalamnya. Hingga tatkala kedua tangannya

bergerak lepaskan pukulan untuk menangkis

pukulan lawan, satu kekuatan telah

mendahului melesat!

Malaikat Penggali Kubur hampir putus

nyalinya tatkala melihat bagaimana pukulan

'Telaga Surya' yang dikerahkan dengan

kekuatan tenaga dalam penuh kini ambyar


bertabur di udara! Malah kini sosoknya

laksana disapu gelombang besar, hingga

langkahnya tersurut dua tindak. Saat itulah

pukulan 'Sukma Es' datang melanggar!

Meski hampir tidak percaya pukulannya

akan mampu membendung pukulan yang kini

menggebrak ke arahnya karena dilepas

dengan sisa tenaga dalam, Malaikat Penggali

Kubur angkat juga kedua tangannya untuk

menangkis. Namun belum sempat kedua

tangannya bergerak, tiba-tiba dari arah

samping satu bayangan berkelebat disusul

dengan menghamparnya kabut hitam. Bukan

saja mampu selamatkan Malaikat Penggali

Kubur namun juga menimbulkan satu ledakan

keras tatkala kabut hitam Itu menghantam

pukulan 'Sukma Es'.

Malaikat Penggali Kubur terpental satu

tombak ke belakang. Namun kali ini masih

dapat kuasai tubuh, hingga meski mental dia

tidak sampai jatuh. Memandang ke depan,

dia melihat seorang kakek berjubah hitam

yang tegak dengan tengadah dan kedua

tangan masuk ke dalam saku jubahnya dan

bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam!

"Orang tua! Terima kasih kau telah

menolongku!" seru Malaikat Penggali Kubur

dengan suara agak bergetar dan muka merah


padam, karena dia menyadari ucapan Ki

Buyut benar adanya.

Ki Buyut Pagar Alam palingkan kepala

dengan tersenyum dingin. Sepasang matanya

sejenak perhatikan sosok Malaikat Penggali

Kubur. Lalu dia berkata.

"Simpan dulu ucapan terima kasihmu, Anak

mudai Dan jangan berani bergerak dari

tempatmu kalau Ingin nyawamu masih tetap

bersemayam di tubuh!"

"Kek! Apa maksudmu?!" tanya Malaikat

Penggali Kubur dengan perasaan makin tidak

enak, karena ucapan si kakek nadanya

mengancam.

"Aku hanya menunda lepasnya nyawamu.

Satelah pemuda itu kuurus, kau dapat gillran!

Bukankah di antara kita masih ada urusan

yang belum selesa!?!"

Habis berucap bagitu, Kl Buyut Pagar Alam

arahkan pandangannya pada Joko Sableng.

"Pendekar 131! Aku akan mengampuni

nyawamu jika kau serahkan Kitab Serat Biru

padaku!"

Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata

membeliak dan wajah berubah. Dia heran

dari mana kakek itu tahu jika dirinya telah

mendapatkan Kitab Serat Biru. Dia segera

angkat kedua tangannya bersedekap di

depan dada. Dia seolah ingin memastikan


bahwa Kitab Serat Biru masih berada di balik

pakaiannya.

"Orang tua!" kata Joko. "Harap jangan

bicara ngaco tak karuan. Siapa punya Kitab

Serat Biru?!"

Ki Buyut Pagar Alam tertawa panjang.

"Tidak ada gunanya bersilat lidah, Anak

muda! Perubahan wajah telah

memberitahukan semuanya! Lekas serahkan

padaku atau kau ingin mati muda!"

Murid Pendeta Sinting tersenyum. "Kek! Ini

tawaran atau ancaman?!"

Ki Buyut tidak buka mulut menyahut.

Namun sepasang matanya berkilat

memandang tak berkesip. Pendekar 131

melangkah dua tindak lalu menyambung

ucapannya. "Sayang, aku tidak memilih satu

dari kedua hal yang kau katakan! Aku tidak

memilik! kitab yang kau pinta, juga aku tidak

ingin mati muda! Malah kalau boleh aku Ingin

berkenalan dengan gadismu Itu! Meski

wajahnya tak mau dikenali, eku yakin dia

tentu seorang gadis berwajah cantik!

Bagaimana?!"

Ki Buyut Pagar Alam masih juga tidak

menjawab. Sementara di seberang samping

sana wajah di balik cadar milik Dewi Siluman

terlihat berubah. Diam-diam Dewi Siluman

membatin. "Pemuda edan! Dalam keadaan


begini masih sempatnya bercanda! Hem....

Wajahnya mengingatkan aku pada

seseorang! Ah...!"

"Kek! Tampaknya kau meragukan aku!

Ha... ha... ha...! Jangan khawatir. Aku

pemuda baik-baik! Gadismu pasti akan...."

"Tutup bacotmu!" teriak Kl Buyut marah.

"Kau tidak mau serahkan kitab itu, mungkin

kau ingin aku mengambilnya sendiri!"

Habis berkata begitu, kedua tangan si kakek

dlkeluarkan dari saku jubahnya.

"Kuperlngatkan sekali lagi! Kau...."

Belum habis ucapan Ki Buyut, kali ini murid

Pendeta Sinting telah ganti menukas.

"Bolehkan aku berkenalan dengan

gadismu?!"

Kesabaran Ki Buyut Pagar Alam habis.

Seraya menggeram keras, kakek ini

berkelebat ke depan. Jubah hitamnya

dikibaskan ke depan sementara kedua

tangannya bergerak menghantam.

Beettt!

Terdengar suara jubah menderu angker

keluarkan gelombang angin keras. Pendekar

131 miringkan kepala untuk menghindar. Saat

itulah dengan kecepatan luar biasa, sosok Ki

Buyut telah menggebrak di depannya dengan

kedua tangan lepaskan jotosan.


Begitu cepatnya gerakan si kakek hingga

tak sempat lagi murid Pendeta Sinting ini

untuk angkat kedua tangannya. Terpaksa dia

selamatkan diri dengan gerakkan tubuhnya

ke samping kiri. Tangan kanan si kakek

memang berhasil dielakkan, namun tangan

kiri si kakek terus menyambar ke arah mana

Pendekar 131 bergerak.

Bukkk!

Joko berseru. Sosoknya mental ke samping

saat tangan kanan KI Buyut Pagar Alam

menghantam bahu kanannya. Namun

anehnya Pendekar 131 hanya sejenak

merasakan sakit, kejap kemudian d!a tidak

merasakan apa-apa lag!. Hal Ini terjadi

karena sebelumnya murid Pendeta Sinting Ini

telah kerahkan tenaga dalamnya ke arah

dada. Dia ingin buktikan ucapan Dewi Es

tentang pukulan 'Sukma Es' jika disalurkan ke

dada.

Di depan Joko, KI Buyut tampak terbelalak

dengan tak berkeslp. "Setan kecil ini benar-

benar tak bisa dibuat sembarangan. Pukulan

tangan kiriku yang mampu memporak

porandakan batu besar sepertinya tidak

dirasa!"

Bukan hanya Ki Buyut yang terkejut. Dewi

Siluman diam-diam juga merasa tersentak

dengan sepasang mata mendelik besar. "Ilmu


apa yang dimiliki pemuda itu? Pukulan Ki

Buyut bukan pukulan sembarangan, tapi tidak

mampu membuatnya roboh muntah darah!

Hem.... Seandainya saja.... Ah, kenapa aku

berpikir ke sana? Sialan benar!"

"Jika tidak segera dihabisi sekarang, kelak

dia akan muncul jadi perintang besar! Lebih

dari itu Kitab Serat Biru tidak akan berhasil

jatuh ke tanganku!' bisik Ki Buyut Pagar Alam

dalam hati. Serta-merta kakek ini sentakkan

kedua tangannya ke depan.

Wuutt! Wuutttt!

Kabut hitam tampak melesat dengan

keluarkan suara menggema dahsyat serta

gelombang angin dan hawa panas

menyengat! Ki Buyut tampaknya telah

lepaskan pukulan sakti 'Kabut Neraka'.

Karena saat ini yang melepaskan adalah

dedengkotnya sendiri, maka kedahsyatannya

sungguh luar biasa.

Melihat dahsyatnya pukulan lawan, murid

Pendeta Sinting tak tinggal diam. Dia cepat

kerahkan tenaga dalam pada dada untuk

melindungi diri lalu diteruskan pada kedua

tangannya.

Sekejap kemudian, kedua tangan Pendekar

131 tampak berubah jadi kekuningan.

Pertanda murid Pendeta Sinting ini siapkan

pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Dan begitu


kabut hitam menggebrak, dia cepat

mendorong kedua tangannya. Lagi-lagi

Pendekar 131 terkejut, karena gelombang

angin berhawa panas pukulan sakti 'Lembur

Kuning' baru melesat, satu kekuatan aneh

telah menggebrak mendahului!

Tempat itu bertabur sinar kuning disertai

hawa panas. Lalu terdengar ledakan hebat.

Batu padas dan pasir biru tampak bergetar.

Gelombang laut yang abadi menghantam

pinggiran pulau tertahan laksana ditahan

tembok besar!

Sosok Ki Buyut Pagar Alam tampak surut

ke belakang dengan terhuyung-huyung.

Sepasang kaki di balik jubahnya goyah.

Namun kakek Ini cepat membuat gerakan

berkelebat ke udara. Lalu kejap lain mendarat

dengan sosok tegak maski wajahnya berubah

dan dadanya bergerak turun naik dengan

keras! DI seberang depan, murid Pendeta

Sinting terseret sampai satu tombak. Walau

tubuhnya terlihat hampir melipat ke depan,

namun dia cepat sentakkan tubuhnya ke

belakang sambil melompat ke belakang. Lalu

tegak dengan meringis! Seperti halnya KI

Buyut, wajah murid Pendeta Sinting terlihat

pias dengan napas megap-megap.

Sadar lawan memiliki kepandaian tinggi, Ki

Buyut segera kerahkan tenaga dalam pada


kedua kaki dan sepasang matanya.

Mendadak tanah di sekitar si kakek bergetar

keras. Kejap kemudian kedua kaki Ki Buyut

bergerak menggebrak tanah pijakannya.

Pada saat bersamaan, dari sepasang

matanya yang dipentangkan besar tampak

melesat sinar hitam menyusur tanah berpasir

pulau.

Tanah berpasir terlihat rengkah besar dan

membentuk jalur lurus ke arah Pendekar 131!

Ki Buyut Pagar Alam telah lepaskan 'Sinar

Setan'. Karena dilepas dengan tenaga dalam

kuat, maka rengkahan tanah berpasir tampak

bergerak cepat!

Tahu akan akibat pukulan yang kini dllepas

Ki Buyut, murid Pendeta Sinting segera

melompat mundur. Lalu kedua tangannya

didorong ke depan.

Lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Namun

untuk kesekian kailnya, satu kekuatan aneh

mendahului.

Pulau itu bergetar hebat tatkala rengkahan

tanah berpasir terhenti dan meledak saat

bentrok dengan kekuatan yang mendahului

pukulan 'Lembur Kuning'. Di lain pihak

pukulan 'Lembur Kuning' terus melesat tidak

terbendung.

Saat itulah mendadak kabut hitam

menggebrak memangkas pukulan 'Lembur


Kuning' yang mengarah pada KI Buyut. Lagi-

lagi terdengar ledakan keras. Sinar

kekuningan ambyar bertabur bersama kabut

hitam. Kejap lain, satu sinar hitam melesat

menghantam tanah berpasir, disusul

kemudian dengan rengkahnya tanah yang

membentuk jalur ke arah Pendekar 131!

Murid Pendeta Sinting yang tegak

terhuyung-huyung akibat bentrok pukulan

dengan KI Buyut tampak membelalak besar.

Sedangkan rengkahan tanah berpasir terus

melaju deras ke arahnya!

Di seberang, sosok Ki Buyut tampak mental

dan jatuh terduduk. Namun satu pasang

tangan cepat menahan dari belakang.

"Dia harus cepat dihabisi, Dewi!" bisik KI

Buyut dengan suara serak dan tubuh

bergetar.

Di sampingnya, Dewi Siluman yang baru

saja lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' dan

'Sinar Setan' dan kini menahan tubuh Ki

Buyut anggukkan kepala seraya berujar. "Kau

lihat sendiri, Ki Buyut! Dia tak mungkin lagi

bisa menghindar!"

Ki Buyut Pagar Alam yang berusaha tegak

gelengkan kepala. "Dugaanmu keliru, Dewi!

Dia masih akan bisa lolos! Lekas susul

pukulan sebelum dia sempat berkelebat

menghindari"


Dewi Siluman tampak tidak percaya dengan

ucapan KI Buyut. Namun begitu melihat Joko

hendak membuat gerakan, perempuan

bercadar dan berjubah hitam ini segera turuti

ucapan Ki Buyut. Bahkan bersamaan dengan

itu, Ki Buyut tak tinggal diam. Saat Dewi

Siluman lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'

kembali, Ki Buyut juga lepaskan pukulan

'Kabut Neraka'! Hingga saat itu juga dua

kabut hitam melesat cepat ke arah murid

Pendeta Sinting yang hendak membuat

gerakan untuk menghentikan rengkahan

tanah berpasir yang mengarah padanya!

"Busyetl Tak mungkin aku menangkis dua

serangan ini! Tapi bagaimana...?"

Joko tidak sempat berpikir lama lagi, karena

rengkahan tanah berpasir akibat pukulan

'Sinar Setan' telah setengah tombak di

depannya. Tak ada jalan lain bagi murid

Pendeta Sinting selain menghentikan dengan

dorong kedua tangannya lepaskan pukulan

'Lembur Kuning'.

Bummmm!

Tanah berpasir yang rengkah terhenti

dengan perdengarkan suara menggelegar.

Saat itulah kabut hitam gabungan antara

pukulan Dewi Siluman dan Ki Buyut sampai!

Meski Pendekar 131 sempat angkat kedua


tangannya untuk lepaskan pukulan

menangkis, namun sudah sangat terlambat.

Saat keadaan murid Pendeta Sinting

terjepit dan nyawanya hampir tidak bisa

diselamatkan dari gabungan pukulan 'Kabut

Neraka', tiba-tiba terdengar orang tertawa,

lalu tampak pantulan cahaya berkiblat terang

memangkas kabut hitam di depan kepala

Pendekar 131!

Plaaap! Plaaap!

Bumm! Bummm!

Pantulan cahaya gemerlap lenyap lalu

terdengar ledakan, membuat Pulau Biru

bergetar hebat. Sosok Pendekar 131 mental

tiga tombak dan jatuh terjengkang. Namun

setelah meneliti tidak mengalami cedera, dia

cepat bangkit dan berpaling ke samping

kanan dari mana pantulan cahaya gemerlap

yang menghadang pukulan gabungan Dewi

Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam berasal.

Lima belas langkah di seberang, sosok

Dewi Siluman dan KI Buyut terlihat tegak

tergontai-gontai. Setelah dapat kuasai tubuh

masing-masing kedua orang ini pentangkan

mata dan berpaling ke kiri.

***



EMPAT



DARI tempat masing-masing, Pendekar

131, Dewi Siluman, dan Ki Buyut

Pagar Alam melihat seorang bertubuh

gemuk tegak dengan kepala sedikit

tengadah. Tangan kanannya mengusap

cermin bulat di depan perutnya, sedang

tangan kirinya kucek-kucek kedua matanya

yang ternyata berwarna putih. Agak jauh ke

belakang, tepatnya di dekat lobang di mana

Joko keluar, terlihat tegak seorang kakek

berjubah putlh dengan rambut panjang

berkibar-kibar ditiup angin. Sepasang

matanya yang sayu memandang tak berkesip

ke arah Joko.

"Gendeng Panuntun!" desis Ki Buyut begitu

mengenali siapa adanya sosok gemuk. Lalu

berpaling pada Dewi Siluman. "Benar

dugaanku. Pendekar 131 pasti masih ada

hubungan dengan Dewi Es. Karena Gendeng

Panuntun adalah saudara seperguruannya!

Hem.... Pekerjaan kita akan tambah berat!" Ki

Buyut lalu arahkan pandangannya ke arah

kakek berjubah putih. Sepasang matanya

sejenak menyipit Iaiu membelalak.


"Orang tua itu aku tidak mengenalnya. Tapi

kenapa tiba-tiba dia muncul di sini?! Siapa

dia?!" gumam KI Buyut Pagar Alam. Dewi

Siluman tidak menyahut.

Kalau Dewi Siluman dan KI Buyut terkejut

dengan munculnya Gendeng Panuntun, dan

kakek berjubah putih. Malaikat Penggali

Kubur diam-diam merasa agak gembira.

Karena dengan munculnya Gendeng

Panuntun apalagi dengan mudah Gendeng

Panuntun dapat memangkas gabungan

pukulan yang dilepas Dewi Siluman dan KI

Buyut Pagar Alam, dia akan bisa lolos dari

ancaman Ki Buyut.

"Dewi! Terpaksa kita harus hadapi satu

persatu. Kau habisi pemuda itu, Gendeng

Panuntun serahkan padaku!" bisik Ki Buyut

Pagar Alam.

Dewi Siluman masih belum menyahut,

membuat Ki Buyut pandangi perempuan

bercadar dan berjubah hitam Itu dengan

tatapan heran. Lalu berpaling lagi

memandang ke arah mana Dewi Siluman

memandang dengan tak berkesip.

"Hem.... Orang yang ini baru aku

melihatnya pertama kali!" kata Ki Buyut Pagar

Alam dalam hati begitu matanya menangkap

sesosok tubuh yang tegak agak jauh di

belakang Gendeng Panuntun. Dia adalah


seorang perempuan yang wajahnya ditutup

dengan cadar berlobang-lobang kecil dan di

punggungnya tampak punuk besar.

"Ki Ageng Mangir Jayalaya...," gumam

Pendekar 131 mengenali adanya kakek

berjubah putih. Dia segera melangkah ke

arah si kakek yang bukan lain memang Ki

Ageng Mangir Jaya Laya. (Tentang kakek ini

baca serial "Kitab Serat Biru").

KI Ageng Mangir Jayalaya angkat

tangannya lalu gelengkan kepala sambil

tersenyum. Seakan tahu isyarat yang

diberikan Ki Ageng Mangir, Joko hentikan

langkah lalu memandang ke arah Gendeng

Panuntun dan perempuan berpunuk.

"Apa hubungan Gendeng Panuntun dengan

perempuan berpunuk yang pernah

menolongku itu?!" kata Joko lalu melangkah

ke arah Gendeng Panuntun.

"Kek! Terima kasih kau telah

menyelamatkanku!" kata Joko seraya

bungkukkan tubuh menjura. Lalu memandang

ke arah perempuan berpunuk dengan

anggukkan kepala dan bibir tersenyum.

"Hem.... Jahanam perempuan berpunuk Itu

ternyata kaki tangan Gendeng Panuntun! Kali

ini dia tak akan kuampuni nyawanya!" desis

Dewi Siluman. "Siapa jahanam itu

sebenarnya? Kenapa bisa datang bersama


sama Gendeng Panuntun?!" Dewi Sliuman

bertanya pada Ki Buyut.

Ki Buyut gelengkan kepala. “Aku baru kali

ini melihatnya! Kita harus lebih berhati-hati.

Bukan tidak mungkin dia juga memiliki

kepandaian tinggi!"

Dewi Siluman tertawa pendek. "Ki Buyut

tidak usah khawatirkan jahanam perempuan

berpunuk Itu! Dia pernah hampir mampus di

tanganku kalau tidak diselamatkan Iblis

Ompong! Hanya yang kuherankan, dia

memiliki pukulan seperti kita!"

Malaikat Penggali Kubur kerutkan kening.

Sepasang matanya lebih dipentangkan

mengawasi pada perempuan berpunuk

seolah ingin mengetahui siapa wajah di balik

cadar berlobang.

"Selama malang melintang, tidak ada yang

punya pukulan seperti milik kita. Kalau

ucapanmu benar, jangan-jangan dia...." Ki

Buyut Pagar Alam tidak teruskan ucapannya.

Namun sejenak kemudian dia tampak

gelengkan kepala sambil menggumam. "Tapi

apa mungkin?"

"Tak ada jawaban yang pasti sebelum kita

robek kain penutup jahanam itu!" sahut Dewi

Siluman. "Ini gara-gara Iblis Ompong! Jika

tidak ditolong dia, mungkin aku telah

mengetahui siapa adanya perempuan itu!"


"Sekarang tak ada gunanya mengeluh! Kita

harus cepat habisi pemuda itu dan Gendeng

Panuntun! Aku punya firasat, kalau Gendeng

Panuntun sudah sampai di tempat ini, bukan

tak mungkin akan muncul pula saudara-

saudaranya!"

Habis berkata begitu, Ki Buyut telah

melompat ke hadapan Gendeng Panuntun.

Dewi Siluman tidak menunggu lama. Dia pun

segera berkelebat dan tahu-tahu telah tegak

tujuh langkah di depan Pendekar 131!

"Gendeng Panuntun!" ucap Ki Buyut. "Kau

hanya cari mampus ikut campur urusan ini!"

"Eh, kau tahu siapa aku! Bisa katakan siapa

dirimu, Orang tua?!" ujar Gendeng Panuntun

sambil usap-usap cerminnya.

Ki Buyut tertawa panjang. "Biarlah kau

mampus tanpa tahu siapa orang yang

membunuhmu!"

"Ah, malang benar nasib orang yang tidak

bisa melihat. Bukan saja tidak dapat

menikmati moleknya tubuh perempuan, tapi

juga tidak tahu siapa orang yang hendak

membuatku mampusl Hemm.... Bagaimana,

nanti kalau aku jadi arwah gentayangan dan

keliru cabut nyawa orang?!" Gendeng

Panuntun berpaling pada Joko, lalu berkata.

"Anak muda! Kalau kita nanti sama-sama

jadi arwah gentayangan, kau tidak keberatan


bukan tunjukkan padaku siapa adanya orang

yang membunuhku?!"

"Bukan hanya akan kutunjukkan orang

yang membunuhmu, tapi akan kukenalkan

juga pada gadisnya yang cantik jelita!

Bukankah arwah gentayangan bisa melihat

tanpa bisa dilihat?!"

"Eh, kau sebut-sebut orang di depanku ini

punya gadis! Bagaimana dia?! Lekas katakan

padaku!"

Karena tidak ada jawaban, Gendeng

Panuntun kembali bertanya.

"Hei! Kau belum jawab pertanyaanku!

Katakan bagaimana gadis itu?!"

"Aku tak bisa mengatakannya, Kek! Dia

menutupi wajahnya, namun besar

kemungkinan dia seorang gadis cantik!

Rambutnya pirang, potongannya bagus

dan....*

"Walah. Kau keliru, Anak muda!" potong

Gendeng Panuntun. "Meski rambutnya

pirang, potongannya bagus kalau wajahnya

disembunyikan jangan-jangan dia tidak punya

hidung! Payah.... Payah jika berhadapan

dengan perempuan tak berhidung. Dalam

gelap dia tidak dapat membedakan mana tahi

dan mana roti! Tidak bisa memilah mana bau

keringat suami dan mana bau keringat

kambing!"


Dewi Siluman tampak membelalak dengan

tubuh bergetar menahan marah. Joko cepat-

cepat menyahut tatkala didengarnya Dewi

Siluman mendengus hendak berkata.

"Meski kau tidak bisa melihat, namun

kadang-kala ucapanmu benar. Kek! Dan

jangan-jangan perempuan di hadapanku ini

memang tidak berhidung!"

"Keparat!" maki Dewi Siluman. Serentak

perempuan bercadar dan berjubah hitam ini

lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'!

Melihat Dewi Siluman telah lepaskan

pukulan, Ki Buyut segera pula maju dan

serentak lepaskan juga pukulan 'Kabut

Neraka' ke arah Gendeng Panuntun.

Joko kerahkan tenaga dalam pada kedua

lengannya. Lalu kedua tangannya didorong

ke depan, lepaskan pukulan 'Sukma Es'.

Meski ada kekuatan yang melesat

mendahului pukulan 'Sukma Es', namun

karena pukulan 'Kabut Neraka' dilepas oleh

Dewi Siluman yang punya tenaga dalam kuat,

maka walau sejenak tampak ambyar, namun

terus melesat ke arah Pendekar 131. Saat

Itulah pukulan 'Sukma Es' melabrak!

Kabut hitam pukulan Dewi Siluman tertahan

di udara. Lalu perlahan-lahan membeku

sebelum akhirnya cair dan muncrat ke udara!

Meski bentrok pukulan itu tidak perdengarkan


suara ledakan, namun mau tak mau tubuh

Dewi Siluman dan Joko sama-sama tersurut

masing-masing satu tombak ke belakang.

Sementara di sebelah samping, begitu

kabut hitam melesat dari kedua tangan Ki

Buyut, Gendeng Panuntun lorotkan sedikit

tubuhnya. Tiba-tiba sosoknya yang besar

membai ke udara. Di udara dia goyangkan

pantatnya ke kanan kiri. Bersamaan itu

tampak cahaya gemerlap memantul dari

cermin si kakek!

Blaappp! Blaappp!

Busss! Busss!

Kabul hitam pukulan KI Buyut terlihat

membumbung ke udara seolah mengikuti ke

mana arah pantulan cahaya cermin Gendeng

Panuntun.

Ki Buyut Pagar Alam menyeringai, lalu

didahului suara bentakan membahana,

tubuhnya melesat ke udara lalu melabrak ke

arah sosok Gendeng Panuntun yang masih di

atas udara dengan kedua tangan berkelebat

menghantam ke arah kepala!

"Kek! Awas kepalamu!" terdengar orang

berteriak, yang ternyata adalah perempuan

berpunuk.

Gendeng Panuntun rentangkan kedua

tangannya lalu serta-merta dipukulkan ke

depan. Terjadilah saling bentrok tangan di


udara. Kedua tangan masing-masing orang

tampak mental, namun serentak mereka

berdua cepat menghantamkannya kembali.

Demikian seterusnya, hingga saat itu juga

terdengar beberapa kali suara bentrokan

tangan. Dan suara benturan tangan baru

lenyap saat sosok keduanya sama-sama

mental ke belakang dan sama jatuh

terjengkang di atas tanah berpasir!

"Gara-gara kau tak mau sebutkan nama,

lihatl Apa sekarang yang terjadi? Kedua

tanganmu tak blsa digerakkan!" kata

Gendeng Panuntun sambil bergerak bangkit

dan kucek-kucek matanya yang buta.

Melihat Gendeng Panuntun telah bangkit,

Ki Buyut buru-buru hendak bangkit pula.

Namun kakek Ini jadi terkesiap. Kedua

tangannya tak bisa digerakkan seperti apa

yang baru saja diucapkan Gendeng

Panuntun! Hingga akhirnya Ki Buyut bangkit

dengan kedua tangan kejang kaku. Ternyata

waktu terjadi bentrokan tangan, secara cerdik

Gendeng Panuntun lakukan totokan!

Namun Ki Buyut bukanlah orang

sembarangan. Dia cepat kerahkan tenaga

dalam pada kedua tangannya hingga kejap

kemudian kedua tangannya telah kembali

bisa digerakkan. Meski demikian, KI Buyut

sempat tersentak tatkala mendapat! kedua


tangannya melepuh bengkak berwarna

merah!

-Kurang ajar! Dia t!dak bisa dihadapi

sendiri! Hem...." Ki Buyut Pagar Alam

menggumam lalu melirik ke arah Dewi

Siluman yang tegak melotot pada Pendekar

131.

Tiba-tiba KI Buyut putar tubuh setengah

lingkaran. Serta-merta tubuhnya melesat ke

arah murid Pendeta Sinting seraya kirimkan

satu pukulan. Seolah mengerti apa maksud Ki

Buyut, Dewi Siluman tak tinggal diam. Begitu

Ki Buyut kirimkan pukulan, Dewi Siluman ikut

berkelebat dan lepaskan pula pukulan 'Kabut

Neraka'!

Pendekar 131 melengak kaget. Dia cepat

sentakkah kedua tangannya menangkis

pukulan Ki Buyut. Namun karena saat itu

Dewi Siluman juga lepaskan pukulan, maka

pukulan perempuan bercadar dan berjubah

hitam ini tak dapat dibendung lagi

menghantam ke arah batok kepala Pendekar

131!

Setengah tombak lagi pukulan Dewi

Siluman menghantam, tiba-tiba satu

bayangan berkelebat dan bersamaan Itu

kabut merah menghampar memangkas

pukulan Dewi Siluman. Hingga meski pukulan

Dewi Siluman tidak bisa dibuat ambyar,


namun murid Pendeta Sinting bisa selamat

dari pukulan telak.

"Jahanam keparat! Dua kali ini kau

mencampuri urusankul" teriak Dewi Siluman

dengan mendelik memandang ke kiri. Sejarak

sepuluh langkah dari tempatnya berdiri, tegak

perempuan bercadar lobang-lobang kecil dan

berpunuk.

Ki Buyut sesaat tertegun dan diam tak

bergerak dengan sepasang mata ikut

menatap pada perempuan berpunuk. "Aku

baru pertama kali ini melihatnya.... Tapi rasa-

rasanya pukulan itu aku mengenalnya!" Ki

Buyut Pagar Alam membatin.

Kalau saja cadar perempuan berpunuk

terbuka, Dewi Siluman dan Ki Buyut pasti

akan tahu bahwa sebenarnya wajah di balik

cadar Ini tampak berubah.

"Kalau Dewi Siluman curiga pada

perempuan ini, dan aku pun sepertinya

mengenali pukulannya, jangan-jangan.... Apa

benar dia?" Ki Buyut terus menduga-duga.

Mungkin untuk meyaklnan kakek Ini segera

berteriak.

"Perempuan berpunuk! Katakan siapa kau!"

Wajah di balik cadar milik perempuan

berpunuk makin berubah. Namun sekejap

kemudian dia mendongak dan berujar.


"Belum saatnya kau tahu siapa aku! Tapi

aku tahu siapa kau dan dia!" Jari telunjuk

perempuan berpunuk menunjuk ke arah Ki

Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman.

"Bukankah kau Ki Buyut Pagar Alam dan

Dewi Siluman? Dan kau Dewi Siluman!

Bukankah kau yang mengambil Pedang

Tumpul 131 dari pemiliknya?!"

"Walah! Selain tidak punya hidung ternyata

dia juga pencuri!” Tiba-tiba Gendeng

Panuntun menyahut.

Berubahlah paras Ki Buyut. Dewi Siluman

tampak bergetar dengan mata makin

mendelik angker. Di sebelah, murid Pendeta

Sinting kertakkan rahang. Matanya

menyengat tajam menatap pada Dewi

Siluman.

"Perempuan bercadar hitam!" seru Joko,

"Kuampuni nyawamu dan orang tua itu. Tapi

serahkan pedangku dan segera tinggalkan

tempat ini!"

Dewi Siluman tertawa panjang. "Baik.

Pedangmu akan kukembalikan!" kata Dewi

Siluman lalu cabut pedang dari balik

jubahnya. Sejenak pedang di tangan kirinya

itu ditimang-timang. Lalu angkat kepalanya

dan berujar.

"Kau bisa ambil pedang ini, tapi serahkan

Kitab Serat Biru padaku!"


"Aku tidak memiliki kitab yang kau katakan!"

teriak Joko dengan memandang tajam pada

pedangnya yang ada di tangan Dewi Siluman.

"Hem…Begitu? Berarti kau tak mengingin

kan pedangmu lagi! Dan aku akan mengambil

kitab itu beserta nyawamu sekalian!"

Habis berkata begitu, Dewi Siluman

berpaling ke arah Ki Buyut dan memberi

isyarat dengan anggukan kepala. Lalu terus

berpaling pada Malaikat Penggali Kubur yang

sedari tadi diam memperhatikan seraya

berkata.

"Anak muda! Nyawamu ada di tangan kami.

Kalau kau ingin selamat, bergabunglah

dengan kami! Hantam tua bangka gembrot

itu!"

Malaikat Penggali Kubur arahkan

pandangannya pada jurusan lain. Dia

sebenarnya tidak mau mengikuti tawaran

Dewi Siluman. Namun merasa yakin Kitab

Serat Biru berada di tangan Pendekar 131

dan Gendeng Panuntun pasti tak akan tinggal

diam jika ada orang coba-coba merebutnya,

maka akhirnya dia memutuskan menerima

tawaran Dewi Siluman, namun dia juga tak

mau perjalanannya sia-sia tanpa hasil.

Sambit berpaling ke arah Dewi Siluman dia

berkata,

"Tawaranmu kuterima, tapi dengan syarat!"


"Keparat! Nyawamu di tangan kami!"

bentak Dewi Siluman.

Malaikat Penggali Kubur tertawa. "Aku

tahu, saat ini nyawamu pun di ujung tanduk!

Dan aku masih bisa pertahankan nyawaku

dari tanganmu! Silakan terima syaratku atau

aku akan menonton tubuhmu jadi mayat!"

Merasa ucapan Malaikat Penggali Kubur

ada benarnya. Dewi Siluman mendengus

sambil berseru keras.

"Katakan apa syaratmu!"

Malaikat Panggali Kubur tersenyum aneh.

"Jika ketiga orang itu tewas, setidaknya di

tanganmu ada dua benda pusaka! Aku… "

"Sialan!" tukas Dewi Siluman sebelum

Malaikat Penggali Kubur teruskan ucapannya.

"Kalau kau sebut-sebut benda pusaka,

syaratmu kutolak! Bahkan nyawamu akan

kucabut sekarang juga!"

Malaikat Penggali Kubur mendongak. "Kau

boleh bicara seenakmu, Tapi jangan lupa,

saat Ini kau butuh bantuan jika ingin

tinggalkan pulau ini dengan selamat!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek, lalu

teruskan ucapannya. "Aku nanti hanya minta

salah satu benda pusaka itu! Adil bukan?!"

Dewi Siluman menggerendeng panjang

pendek. Dia menoleh pada Ki Buyut. Kakek

ini tersenyum sambil anggukkan kepala,


membuat Malaikat Penggal! Kubur tersenyum

aneh.

"Baik. Syaratmu kuterima!" Akhirnya Dewi

Siluman bergumam.

"Pendekar 131!" ujar Gendeng panuntun.

"Mereka tampaknya hendak berbagi rezeki!

Untuk kita apa yang harus dibagi? Satunya

seorang kakek bangkotan. Satunya lagi anak

muda bau kencur! Dan satunya lagi

perempuan cantik, namun sayang tak bisa

bedakan suami dan sapi! Ha ha ha...! Kita

bernasib sial! Tak ada rezeki bagus yang

layak dibagi...!"

"Kau lupa, Kek! Bukankah kau pernah

mengatakan harus memandang sesuatu dari

sudut berbeda? Meski perempuan di depanku

ini tak punya hidung, aku akan

memandangnya berhidung mancung meski

untuk Itu aku harus pura-pura buta...!"

Dewi Siluman gerakkan tangannya yang

memegang pedang dan menunjuk tepat ke

arah Pendekar 131. "Kau! Akan jadi korban

senjata makan tuan!"

Habis berkata begitu, Dewi Siluman

berkelebat ke depan. Namun setengah jalan

tubuhnya berbelok dan kini lurus ke arah

perempuan berpunuk! Mengetahui hal

demikian, Ki Buyut segera melesat dan kini

menghadang Pendekar 131. Di sebelahnya,


melihat Dewi Siluman dan Ki Buyut telah

bergerak, Malaikat Penggali Kubur melompat

dan langsung lepaskan pukulan ke arah

Gendeng Panuntun!

Perempuan berpunuk melihat cahaya

kekuningan mencorong tatkala Pedang

Tumpul 131 ditarik keluar dari sarungnya dan

kini membabat ke arahnya dengan keluarkan

suara menderu keras serta hawa panas!

Perempuan berpunuk cepat melompat ke

samping lalu dari tempatnya dia lepaskan

satu pukulan. Gelombang angin kencang

menggebrak lurus ke arah Dewi Siluman.

Namun perempuan bercadar dan berjubah

hitam Ini secepat kilat menyingkir, tapi

mendadak dia putar tubuh dua kali sebelum

akhirnya berkelebat kembali ke arah

perempuan berpunuk dengan tangan diputar-

putar hingga pedang di tangannya berubah

jadi bayangan kuning yang menderu-deru

ganas!

Breettt! Breettt!

Perempuan berpunuk berseru tertahan

sambil melompat mundur dan kedua

tangannya cepat bergerak menutupi auratnya

yang kelihatan karena pakaian yang

dikenakan robek di bagian dada dan

pinggang!


Dewi Siluman tertawa mengekeh sambil

pandangi perempuan berpunuk yang

memegangi dadanya yang terbuka. "Dengan

terbukanya dada, dia tak akan bisa lepaskan

pukulan kalau tak ingin dadanya terlihat! Hik

hlk hik...l Sekarang saatnya kuketahui siapa

jahanam itu adanya!"

Dewi Siluman angkat tangan kanannya,

sementara pedang di tangan kiri diluruskan

ke depan.

Seolah tahu apa yang hendak dilakukan

Dewi Siluman, perempuan berpunuk tampak

bimbang. Kalau dia tetap diam, maka tak

pelak tubuhnya akan terhantam pukulan yang

hendak dilancarkan Dewi Siluman. Kalau

hendak menangkis dia harus gerakkan

tangan, dan berarti dadanya pasti akan

terlihat jelas!

"Apa boleh buat...," gumam perempuan

berpunuk lalu turunkan kedua tangannya dari

dada, hingga saat itu juga payudara

perempuan berpunuk terpentang jelas!

Dewi Siluman tegak dengan terkesiap dan

mata melotot. "Tidak mungkin.... Bagaimana

bisa orang yang berpunuk dan tampak seperti

nenek-nenek Ini punya payudara kencang

padat dan bagus! Jangan-jangan memang

dia!"


Entah karena merasa penasaran. Dewi

Siluman cepat merangsek ke depan dengan

melompat dan langsung lepaskan pukulan

'Kabut Neraka'! Di depannya perempuan

berpunuk cepat pula serrtakkam kedua

tangannya.

Bummm!

Terdengar ledakan keras. Sosok Dewi

Siluman tetap dalam keadaan tegak. Di

depan, sosok perempuan berpunuk

terjengkang jatuh di atas tanah berpasir. Dewi

Siluman tak memberi kesempatan. Saat

sosok perempuan berpunuk terjengkang, dia

cepat berkelebat ke depan lalu kembali

kirimkan pukulan!

Perempuan berpunuk angkat kedua

tangannya. Namun baru hendak bergerak

menangkis, pukulan Dewi Siluman terlebih

dahulu menggebrak! Hingga saat itu juga

sosok perempuan berpunuk mencelat mental

seraya keluarkan pekikan keras. Sosoknya

jatuh telentang setelah menghantam satu

gugusan batu padas. Dari kain cadarnya

tampak merembes darah kehitaman pertanda

bahwa dia terluka dalam cukup parah.

Sementara di sebelah kiri terdengar suara

bentrokan. Lalu tampak sosok Pendekar 131

terpental ke belakang dan jatuh terduduk

dengan tubuh bergetar. Di seberangnya,


tampak sosok Ki Buyut Pagar Alam

terhuyung-huyung keras sebelum akhirnya

roboh terjengkang!

Di sebelah kanan, terlihat Gendeng

Panuntun telentang dengan tangen usap-

usap cerminnya. Di bawah tubuhnya yang

besar tampak sosok Malaikat Penggali Kubur!

Karena tubuh Gendeng Panuntun besar,

sementara tindihannya bukan tindihan

sembararngan, melainkan dengan

pengerahan tenaga dalam, maka tampak

sosok Malaikat Penggali Kubur diam tak bisa

berkutik dengan napas megap-megap!

Dewi Siluman berpaling pada Ki Buyut.

Setelah mendapat isyarat dari kakek ini, dia

berpaling sejenak pada Malaikat Penggali

Kubur yang hampir kehabisan napas ditindih

sosok Gendeng Panuntun.

"Hei! Tolong singkirkan Tua bangka

gembrot ini dari alas tubuhku!" teriak Malaikat

Penggali Kubur.

Dewi Siluman tak buka mulut atau

membuat gerakan turuti permintaan Malaikat

Penggali Kubur.

"Sialan! Kau dengar ucapanku! Kenapa

hanya diam saja?!" Malaikat Penggali Kubur

kembali berteriak.

"Aku masih punya urusan! Mintalah tolong

pada hantu laut! Hik... hik... hik...!”


Malaikat Penggali Kubur memaki habis-

habisan, namun suaranya tersendat-sendat.

Sementara Dewi Siluman segera berkelebat

ke arah perempuan berpunuk.

Wajah di balik cadar perempuan berpunuk

makin pias. Dia terdengar bergumam tak jelas

tatkala tangan kanan Dewi Siluman

berkelebat menyingkap kain cadarnya.

Breettt!

Kain cadar berlobang-lobang kecil milik

perempuan berpunuk tersambar tangan

kanan Dewi Siluman. Kini tampak jelas wajah

perempuan ini.

Tiga langkah di depan perempuan

berpunuk, tubuh Dewi Siluman tampak

bergetar keras. Matanya mendelik angker

dengan pelipis kiri kanan bergerak-gerak.

"Murid murtad! Jahanam keparat! inikah

balasan yang kau berikan selama kudidlk,

bah?!”

Pendekar 131 yang berada tidak jauh

segera bergerak bangkit dan berpating pada

perempuan berpunuk yang masih telentang

dan kini coba bergerak duduk.

Untuk beberapa lama murid Pendeta

Sinting perhatikan wajah perempuan

berpunuk yang kini telah terbuka.


"Astaga! Bukankah dia salah seorang dari

tiga gadis yang pernah menghadangku

beberapa hari yang lalu?!"

Perempuan berpunuk yang kini telah duduk

ternyata adalah seorang gadis berparas

cantik. Rambutnya lebat hitam dengan

sepasang mata bulat. Pada bagian atas

bibirnya tampak sebuah tahi lalat.

"Sitoresmi!" bentak Dewi Siluman. "Kau

tahu apa yang akan kau peroleh dengan

perbuatanmu ini, heh?!"

Perempuan berpunuk yang ternyata bukan

lain adalah Sitoresmi, salah seorang murid

Dewi Siluman sendiri kancingkan mulut tak

memberi jawaban. Malah sebaliknya dia

berpaling pada Pendekar 131!

Dewi Siluman menyeringai dan

memandang silih berganti pada Joko Sableng

dan Sitoresml. "Rupanya cinta telah

membuatmu murtad dan lupa akan ikrar yang

pernah kau ucapkanl Baik, aku ingin tahu

apakah cinta bisa juga selamatkan tubuhmu!"

"Guru.... Maafkan aku. Aku...."

“Tutup mulutmu!" hardik Dewi Siluman.

"Aku bukan gurumu! Kau harus terima

hukuman!"

Meski biasanya gadis ini tidak berani

membantah ucapan gurunya, namun kali Ini

dia sepertinya punya keberanian luar biasa.


Sambil mengusap darah yang terus mengalir

dari sudut bibirnya, Sitoresmi balas

memandang pada Dewi Siluman dan berkata.

"Kalau kau bukan guruku, tak layak kau

jatuhkan hukuman padaku!"

Dewi Siluman tertawa, namun diputus

seketika. Lalu terdengar dia membentak.

"Bagus! Sekarang kau sudah pintar buka

mulut! Pemuda itulah yang membuatmu

demikian? Hik... hlk... hik....' Baik. Aku akan

membahagiakan kalian berdua dengan

kukubur satu lobang!"

Habis berkata begitu, Dewi Siluman

selinapkan pedang ke dalam sarungnya lalu

disimpan d! balik jubah hitamnya. Dia

berpaling pada murid Pendeta Sinting.

Namun tiba-tiba kedua tangannya bergerak

lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' ke arah

Sitoresmi!

Karena Sitoresmi dalam keadaan terluka

dalam, apalagi jaraknya terlaju dekat, hingga

yang bisa dilakukan gadis itu hanya berteriak

tertahan.

Pendekar 131 terbelalak. Dia cepat angkat

kedua tangannya. Sementara Gendeng

Panuntun yang masih menindih tubuh

Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan

gulingkan tubuhnya ke samping. Hingga saat


itu Juga tampak cahaya gemerlap

menyambar ke arah Dewi Siluman.

Sejengkal lagi pukulan yang dilepas Dewi

Siluman menggebrak ganas ke arah wajah

Sitoresmi, tiba-tiba terdengar suara orang

tertawa mengekeh. Disusul dengan

menderunya angin keras berhawa luar biasa

dingin!

Meski gelombang angin dingin yang

menyeruak sempat membuat kabut hitam

berbelok, tapi karena jaraknya amat dekat

dengan Sitoresml hingga tak urung juga gadis

ini terpental dan wajahnya sempat tersambar

kabut hitam yang dilepas Dewi Siluman.

Dewi Siluman sendiri tampak berteriak

keras tatkala bersamaan dengan itu dari

samping kiri kanan melabrak sinar kuning

hantaman tangan Joko dan gelombang angin

yang disertai cahaya gemerlap dari cermin

Gendeng Panuntun!

Perempuan bercadar dan berjubah hitam

itu segera putar tubuh lalu berkelebat

menghindar. Saat yang sama, tempat di

mana tadi Dewi Siluman berdiri tampak

bergetar keras dan pasirnya muncrat ke

udara akibat terkena gelombang angin yang

keluar dari cahaya cermin Gendeng Panunlun

dan pukulan murid Pendeta Sinting.


Begitu Dewi Siluman menginjak tanah dua

langkah di samping Ki Buyut Pagar Alam,

terdengar orang tertawa mengekeh kembali.

Semua orang di tempat Itu serentak

berpaling.

***


LIMA



SEJARAK lima tombak dari tempat

Gendeng Panuntun yang masih

melintang telentang di atas tubuh

Malaikat Penggali Kubur terlihat seorang

kakek berjubah putih tegak dengan

memandang tak berkesip pada Dewi Siluman.

Dia bukan lain adalah Dewa Sukma.

Pemegang penggalan peta pertama yang

seperti diceritakan pada Ratu Malam,

penggalan peta itu berhasil direbut oleh

seorang perempuan bercadar dan berjubah

hitam dan bukan lain adalah Dewi Siluman.

Lima langkah di samping Dewa Sukma, di

atas satu gugusan batu padas tampak

seorang nenek berwajah pucat mengenakan

jubah warna merah menyala duduk

mencangklong dengan mulut perdengarkan

tawa. Nenek Ini berambut putih sebatas

pundak. Sepasang kelopak matanya besar

dengan bola mata di dalamnya amat sipit.

Seraya tertawa, nenek Ini mainkan gumpalan

tembakau hitam di mulutnya! Dia bukan lain

adalah Ratu Malam. Empat langkah di

samping Ratu Malam tegak dengan kepala

sedikit tengadah seorang kakek berambut

putih panjang. Kakek Ini berdiri tegak dengan

memunggungi dan mulutnya tampak dibuka


lebar! Dia adalah Iblis Ompong. Di sebelah

Iblis Ompong duduk bersila seorang

perempuan berjubah putih yang sekujur

tubuhnya laksana diguyur hujan namun dia

tidak basah! Perempuan ini tidak lain adalah

Dewi Es adanya.

Dewi Siluman dan Ki Buyut sama-sama

terkesiap dan sejenak saling lempar pandang

tatkala mengetahui siapa adanya keempat

orang yang baru datang. Wajah kedua orang

ini seketika berubah. Sementara murid

Pendeta Sinting tampak gelengkan kepala,

apalagi tatkala pandangannya menumbuk

pada sosok Gendeng Panuntun yang hampir

menindih lenyap sosok Malaikat Penggali

Kubur yang terus-terusan coba bergerak

untuk bernapas. Namun murid Pendeta

Sinting ini segera teringat pada Sitoresmi

yang pernah menolongnya dan ternyata

adalah murid Dewi Siluman sendiri. Dia buru-

buru berpaling lalu menghambur ke arah

Sitoresmi yang telentang diam dengan mulut

keluarkan banyak darah serta pakaian yang

dikenakan robek tak karuan.

Gendeng Panuntun tiba-tiba usap-usap

cerminnya sambil berkata.

"Heran. Apa sebenarnya yang terjadi? Baru

saja kudengar orang membentak-bentak, lalu

ada orang berkelahi. Terus kudengar orang


terkekeh-kekeh. Tapi lalu sunyi laksana

kuburan! Sayang mataku tidak bisa meiihat.

Jangan-jangan ada kuntilanak, tapi sore

begini mana ada kuntilanak gentayangan?!"

Ratu Maiam yang duduk mencangklong di

atas gugusan batu padas palingkan kepala ke

arah Gendeng Panuntun.

'Nasibmu memang sial, Rawadan!" ujar

Ratu Malam dengan menyebut nama asli

Gendeng Panuntun. "Tidak dapat menikmati

indahnya dunia! Hingga ada perempuan

laksana bidadari hadir kau kira kuntilanak

gentayangan! Hlk hik hik.... Lalu kalau benar

kuntilanak gentayangan yang datang, kau

akan duga siapa?!"

"Eh, kau tahu siapa aku! Jangan-jangan

kau nenek kempot yang mulutnya tak bisa

diam! Sialan betul! Mana kakek tak bergigi

itu? Apa ada bersamamu?!"

"Lama tidak berjumpa. Tapi nyatanya kau

tidak iupa. Hanya kulihat kau sekarang tampil

beda. Apa yang membuatmu jadi lain

demikian rupa?!" Iblis Ompong berucap

dengan masih tegak memunggungi Dewi

Siluman dan Ki Buyut.

"Tua tak bergigil" kata Rawadan alias

Gendeng Panuntun. "Nada ucapanmu lain.

Apa maksudmu?!"


Ibils Ompong bergelak terlebih dahulu

sebelum akhirnya menyahut.

"Apa enaknya menindih seorang

pemuda...? Padahal di depan sana kulihat

ada perempuan cantik dan muda? Apa

karena kau salah lihat, atau kau pura-pura

tidak melihat? Atau barangkali ini memang

niat yang terpahat?"

"Sialan! Sejak dulu aku memang tidak bisa

melihat. Tapi jangan menuduh yang bukan-

bukan! Di depan sana memang tegak

perempuan jelita. Tapi..." Gendeng Panuntun

tidak teruskan ucapannya. Dia usap-usap

cerminnya lalu berujar.

"Tampaknya ada tamu lagi di pulau ini!"

Ucapan Gendeng Panuntun baru saja

selesai, semua orang di situ mendengar

suara gemeretak roda kereta. Kejap lain dari

pinggiran pulau muncul satu kereta yang

dikusiri dua orang gadla berjubah kuning dan

biru!

"Wulandari dan Ayu Laksmi!" desis Dewi

Siluman begitu mengenali siapa adanya dua

gadis kusir kereta. Mula-mula perempuan

bercadar dan berjubah hitam ini tampak tidak

suka dengan munculnya kereta yang

memang dikusiri oleh Wulandari dan Ayu

Laksmi. Namun setelah berpikir mungkin

kedua muridnya sedikit banyak bisa


membantu, Dewi Siluman cepat lambaikan

tangan. Kereta itu segera bergerak mendekat

ke arah Dewi Siluman. Belum sampai dekat,

Wulandari dan Ayu Laksmi telah melompat

turun Ialu tegak lima langkah ke samping

Dewi Siluman sambil menjura dan berkata

"Guru! Maafkan kami yang lancang menyusul

kemari tanpa izinmu!" kata Wulandari. "Hanya

kami tidak membawa serta Sitoresmi! Kami

tunggu dia...."

Dewi Siluman tertawa. "Kalian tak usah

cemaskan saudaramu itu. Dia telah

mampus!"

Wulandari dan Ayu Laksmi tersentak sama

angkat kepalanya memandang ke arah Dewi

Siluman. Belum sempat keduanya buka mulut

lagi, Dewi Siluman telah arahkan telunjuknya

pada sosok Sitoresmi yang kini ada di

pangkuan Pendekar 131.

"Itulah akibat murid murtad dan khianat!

Jadi kalian jangan coba-coba mengikuti

jejaknya Jika tidak ingin menerima nasib

sama! Kalian dengar?!"

Wulandari dan Ayu Laksmi pandangi sosok

Sitoresmi yang diam tak bergerak-gerak di

pangkuan murid Pendeta Sinting. Kedua

gadis ini lantas saling pandang namun tidak

ada yang berani berucap.


"Sekarang kalian bersiaplah! Kita harus

menyelesaikan pekerjaan berat! Kelima

jahanam di depan sana itu adalah manusia-

manusia yang harus dimusnahkan! Juga

termasuk pemuda yang digila-gilai Sitoresmi

itu!" ujar Dewi Sliuman laiu melangkah lebih

dekat ke arah Ki Buyut Pagar Alam.

Wulandari dan Ayu Laksmi segera edarkan

pandangannya ke depan. Keduanya serentak

jadi terlengak, apalagi tatkala mereka melihat

Gendeng Panuntun.

Seperti diketahui, Wulandari dan Ayu

Laksmi sempat bertemu dengan Gendeng

Panuntun dalam perjalanannya. Malah

mereka sempat bercakap-cakap banyak. Dan

diam-diam kedua gadis ini sama membatin.

"Ucapan orang tua besar bermata buta itu

akhirnya terbukti semua! Sitoresmi harus

berpisah! Hem...."

"Aku mencium bau harum! Lantika! Adakah

tamu kita yang baru datang adalah bidadari

cantik?!" Gendeng Panuntun berteriak

dengan panggil nama asli Iblis Ompong.

'Aku tak bisa menjawabl Tanyakan pada

Jalu Paksi yang tegak menghadap!" kata Iblis

Ompong. Yang dimaksud Jalu Paksi bukan

lain adalah Dewa Sukma.

"Aku juga tidak mau jawab! Biar Sekar

Mayang yang bicara!" kata Jalu Pakai alias


Dewa Sukma. Yang dimaksud Sekar Mayang

adalah Ratu Malam.

"Pasang telingamu, Rawadan!" Sekar

Mayang alias Ratu Malam telah menyahut.

"Penciumanmu tidak salah! Namun

dugaanmu yang keliru. Hik... hik... hik.... Yang

datang memang bidadari, tapi sudah nenek-

nenek! Gundul lagi, dan pakaiannya minim

seolah ingin menunjukkan pahanya yang

hitam kerempeng!"

"Walah, sialnya diri bermata buta ini! Tidak

dapat melihat bidadari nenek-nenek yang

berpaha hitam! Paati aneh dan lucu...!”

"Kau salah lagi, Rawadan!" ujar Dewa

Sukma. "Bukan aneh dan lucu, justru

menjijikkan!"

"Jangan bercanda! Bagaimana kau bisa

bilang begitu?!"

"Dari mulutnya terus menerus menetes air

liur! Sedangkan dari hidungnya ingusnya

molor panjang!"

Tempat Itu sejenak dibuncah dengan suara

tawa bersahutan panjang. Sementara murid

Pendeta Sinting yang kini membopong tubuh

Sitoresmi ke tempat yang agak jauh

terdengar menggumam. "Orang-orang aneh.

Dalam keadaan begini masih bisa-bisanya

bergurau!"


Namun yang paling bernasib sial adalah

Malaikat Penggaii Kubur. Karena begitu

Gendeng Panuntun yang ada di atas

tubuhnya tertawa, dirinya laksana dibebani

beban yang sangat berat dan seperti

diguncang-guncang! Hingga napasnya makin

sesak dan tubuhnya laksana lumat.

Entah karena tidak mengenal, atau karena

terburu berbincang dengan Gendeng

Panuntun, IbLis Ompong, Ratu Malam, Dewa

Sukma dan Dewi Siluman yang hanya melihat

sepintas pada orang tua berjubah putih yang

berdiri tegak agak jauh.

Sementara kakek berjubah yang sedari tadi

hanya diam dan tidak lain adalah Ki Ageng

MangIr Jayalaya menggumam sendiri.

"Hem.... Tampaknya keempat orang yang

baru datang Itu sudah akrab betul dengan

orang tua yang bernama Gendeng Panuntun.

KaLau Gendeng Panuntun berada di pihak

Joko SabLeng, keempatnya mungkin tidak

jauh berbeda. Kurasa mereka bisa mengatasi

keadaan...."

Habis bergumam begitu, Ki Ageng Mangir

Jayalaya yang sebenarnya tadi

mengkhawatirkan Joko bernapas lega. Kakek

ini sejurus memandang pada rombongan

yang baru datang. Kejap lain dia putar diri lalu


berkelebat masuk ke dalam lobang dari mana

dia tadi keluar.

Sementara itu mendengar ucapan-ucapan

orang, tampang Wulandari dan Ayu Laksmi

terlihat berubah merah padam. Namun

mungkin sadar siapa adanya orang, kedua

gadis murid Dewi Siluman ini belum ada yang

berani bergerak. Hanya sepasang mata

mereka menyengat tajam pandangi satu

persatu kelima orang di depan sana.

"Ada orang datang lagi!" Tiba-tiba Dewi Es

yang sedari tadi duduk bersila dengan mulut

terkancing bersuara dengan buka kelopak

matanya yang semenjak tadi terpejam.

Masing-masing orang putuskan tawanya.

Dan bersamaan dengan itu dua bayangan

tampak berkelebat dan langsung tegak di

samping kiri kanan satu gugusan batu padas.

Dua orang yang baru datang ini sejenak

tampak terkesiap kaget dengan mata masing-

masing memandang ke arah Dewi Es, Dewa

Sukma, Ibiis Ompong, Ratu Malam, dan

Gendeng Panuntun. Lalu sama berpaling dan

saling berpandangan.

"Tidak kusangka jika telah muncul manusia-

manusia itu di sinii" bisik orang sebelah

kanan yang ternyata adalah seorang

perempuan mengenakan pakaian tipis warna

biru ketat yang di bagian dadanya dibuat


rendah hingga sembulan payudaranya yang

putih kencang tampak jelas. Rambutnya

panjang bergerai dengan bulu mata lentik dan

hidung sedikit mancung. Bibirnya merah

membentuk bagus. Meski usia perempuan ini

tidak muda lagi, tapi tampak tetap cantik

jelita! Sedangkan orang di sebelah

perempuan cantik yang bukan lain adalah

Ratu Pemikat, tegak seorang laki-laki

setengah baya bertubuh tinggi besar.

Kepalanya gundul plontos. Sepasang

matanya besar dengan alis menjulai panjang

ke bawah hampir menghalangi bola matanya.

Hidungnya besar dengan kumis melintang

lebat. Laki-laki Ini mengenakan jubah toga

warna putih hitam yang di bagian dadanya

tampak tiga bulu burung merak. Laki-laki ini

tidak lain adalah Merak Kawung, teman

seperjalanan serta kekasih Ratu Pemikat.

Dewi Siluman sejurus menatap tajam pada

Ratu Pemikat dan Merak Kawung. Lalu

berbisik. "Yang perempuan jelas aku sudah

tahu. Tapi yang laki-laki aku belum kenal!

Siapa dia, Ki Buyut?!"

"Dialah orang yang bernama Merak

Kawung Hem.... Dari mana dua manusia itu

tahu tempat ini?!" jawab Ki Buyut Pagar Alam

seraya balik bertanya. Dewi Siluman tidak

menjawab, karena sebenarnya dia sendiri


merasa heran sampai Ratu Pemikat dan

Merak Kawung muncul di Pulau Biru.

Mereka tidak tahu, bahwa dengan buku dari

Ki Jala Sutera yang berhasil direbut Ratu

Pemikat, mereka berdua akhirnya sampai di

Pulau Biru. (Tentang pertemuannya dengan

Ki Jala Sutera baca episode: "Kitab Serat

Biru").

"Kalau mereka mau diajak bergabung

dengan kita, mungkin pekerjaan kita akan

makin ringan, Ki Buyutl" bisik Dewi Siluman.

"Benar! Aku akan coba bicara dengan

mereka!" ujar Ki Buyut.

Sementara Ratu Pemikat dan Merak

Kawung terus edarkan pandangannya ke

seantero dataran pulau. Baru saja kedua

orang ini berpaling, tiba-tiba satu bayangan

berkelebat dan di kejap lain sudah tegak di

hadapan mereka berdua. Merak Kawung

segera angkat tangan kanannya. Namun

demi melihat siapa adanya orang yang tegak,

Ratu Pemikat memberi isyarat agar Merak

Kawung turunkan tangannya.

"Kalau tidak salah lihat, bukankah orang

yang tegak di hadapanku kini adalah seorang

dedengkot rimba persilatan bernama Ki Buyut

Pagar Alam?l" Ratu Pemikat berucap sambil

sunggingkan senyum dan busungkan

dadanya. Namun diam-diam perempuan


cantik bertubuh bahenol ini alirkan tenaga

dalam pada kedua tangannya.

"Ratu Pemikat.... Bersyukur kau masih

mengenali tua bangka ini, hingga kita lebih

enak bicara!"

"Hem...." Ratu Pemikat mengerling.

"Ucapanmu sepertinya mengandung pesan.

Ada yang hendak kau katakan pada kami?!"

"Selain berparas cantik, ternyata kau juga

pandai menebak tujuan orang. Aku memang

ingin mengatakan sesuatu pada kalian, ini

demi kepentingan kita bersama!"

"Tunggu!" sahut Ratu Pemikat. "Kau tiba-

tiba menyebut kepentingan bersama. Katakan

apa kepentinganmu sebenarnya!"

"Tidak usah panjang lebar. Semua orang

yang ada di sini pasti menginginkan Kitab

Serat Biru...."

"Hemm.... Lantas?!"

"Kau lihat sendiri! Lima orang di depan

sana kukira kalian telah tahu siapa mereka!

Sialnya mereka adalah perintang jika kita

menginginkan kitab Itu!"

"Maksudmu, kau ingin kita bersama-sama

menggempur mereka?!" tanya Ratu Pemikat.

"Benar! Dan kukira dengan jalan ini, kita

akan lebih mudah mendapatkan apa yang

kita buru!"


Ratu Pemikat tersenyum seraya

menggeleng. "Kukira sulit! Bagaimana

mungkin nantinya membagi kitab yang hanya

satu?"

Ki Buyut ganti tersenyum, "itu bukan urusan

sukar, Ratu Pemikat! Sebagai orang satu

golongan, apa sulitnya membagi kitab? Kita

bisa mempelajarinya bergantian! Atau kalau

suka, kau boleh memiliki Pedang Tumpul 131

yang kini ada di tangan Dewi Siluman....

Mudah bukan?!"

"Jadi...?"

Belum selesai ucapan Ratu Pemikat, Ki

Buyut telah lanjutkan kata-katanya. "Urusan

pembagian adalah urusan sepele. Aku

sekarang menanti jawabanmu! Waktu kita

sangat terbatas!"

Ratu Pemikat berpaling pada Merak

Kawung. Kedua orang ini tampak ragu-ragu

untuk memutuskan. Namun setelah berpikir

bahwa tidak mudah memang menghadapi

kelima orang di depan sana, akhirnya Ratu

Pemikat menyetujui tawaran Ki Buyut Pagar

Alam.

“Tapi jika kau nanti berbelok dari

ucapanmu, kau akan merasa kecewa! Bukan

saja tidak mendapatkan kitab itu, tapi juga

pulang nama dan tubuh tertinggal di pulau

Ini!" ancam Ratu Pemikat.


Meski sangat marah mendengar ancaman

Ratu Pemikat, namun Ki Buyut Pagar Alam

masih menindih dengan coba tersenyum dan

berujar. "Aku memang bukan orang baik-baik.

Tapi aku orang yang teguh pegang janji!

Silakan kalian pilih lawan sendiri!"

Habis berkata begitu, Ki Buyut berkelebat

kembali ke arah Dewi Siluman. Namun baru

saja sepasang kakinya menjejak tanah, tiba-

tiba satu bayangan hitam berkelebat. Di lain

kejap tahu-tahu telah tegak mengambil

tempat sepuluh langkah di samping Ratu

Pemikat. Dan baru saja bayangan hitam ini

tegak, dari arah pinggir pulau tampak dua

orang berlari kencang, lalu tegak berdiri di

samping kereta.

***



ENAM



SEMUA kepala berpaling. Dari tempat

tegaknya masing-masing, mereka

melihat seorang laki-laki berusia lanjut

mengenakan pakaian gombrong panjang

sebatas mata kaki berwarna hitam. Sepasang

matanya besar melotot. Rambutnya kelimis

panjang diuraikan ke depan, hingga raut

wajahnya yang berwarna hitam angker

terlihat samar-samar.

"Dewi...," bisik Ki Buyut. "Tampaknya nasib

kita mujur. Orang-orang yang datang masih

sahabat-sahabat kita!"

Dewi Siluman menatap pada orang

berpakaian hitam panjang yang baru datang

dengan mata tak berkesip. "Datuk Hitam...,"

desisnya. Lalu alihkan tatapan matanya pada

sosok yang tegak di dekat kereta.

Sebelah kanan adalah seorang kakek

berparas bulat besar. Selain dilapis kulit tipis,

paras kakek ini amat pucat. Rambutnya putih

dikucir ke belakang. Jambang, kumis, dan

jenggotnya lebat hampir menutupi sebagian

wajahnya. Dia mengenakan rompi panjang

berwarna kuning. Mata sebelah kiri ditutup

dengan sepotong kulit bundar yang diikatkan

ke belakang membuat sosok kakek Ini

semakin tampak angker. Di sebelah kakek


berompi kuning yang tidak lain adalah

dedengkot dunia persilatan bergelar Maut

Mata Satu ini tegak seorang gadis

mengenakan pakaian warna merah.

Wajahnya jelita dengan rambut dikucir ekor

kuda. Gadis ini adalah murid tunggal Maut

Mata Satu dan bukan lain adalah Dewi Seribu

Bunga.

Seperti diketahui, setelah Dewi Seribu

Bunga diselamatkan Pendekar 131 dari

pukulan Wulandari dan Ayu Laksmi, gadis

berbaju merah ini ditinggal sendirian di lereng

bukit oleh murid Pendeta Sinting yang

berkelebat ke puncak bukit setelah

mendengar orang lantunkan bait-bait syair.

Namun begitu Pendekar 131 pergi, muncullah

Maut Mata Satu. Dengan caranya sendiri,

akhirnya Dewi Seribu Bunga berhasil

membohongi Maut Mata Satu hingga

akhirnya mereka berdua memutuskan untuk

melanjutkan perjalanan menuju arah selatan.

Tanpa sengaja, keduanya sampai pesisir Laut

Selatan. Dan begitu mereka tiba di pesisir

mereka berdua dikejutkan dengan suara

berderaknya roda kereta. Sambil menyelinap

ke balik rimbun pohon bakau, mereka dapat

melihat sebuah kereta yang dikusiri dua

orang gadis berjubah kuning dan biru. Dewi

Seribu Bunga yang tahu siapa adanya dua


orang gadis berjubah kuning dan biru. Dewi

Seribu Bunga yang tahu siapa adanya dua

gadis itu sudah bergerak hendak meloncat

keluar. Tapi Maut Mata Satu mencegahnya.

Lalu secara diam-diam mereka berdua

mengikuti gerak-gerik kedua gadis di atas

kereta. Dan begitu mereka mengetahui dua

orang gadis di atas kereta hendak menuju

pulau di seberang laut, Dewi Seribu Bunga

dan Maut Mata Satu merasa curiga. Dan

tanpa sepengetahuan Dewi Seribu Bunga

dan Maut Mata Satu, diam-diam sepasang

mata dari balik sela pohon bakau dari tadi

memperhatikan murid dan guru ini. Begitu

Dewi Seribu Bunga dan Maut Mata Satu ikut

menyusul menyeberang menuju pulau, dari

balik pohon bakau muncullah sesosok tubuh

mengenakan pakaian gombrang hitam dan

bukan lain adalah Datuk Hitam. Meski tidak

tahu ada apa sebenarnya mereka

menyeberang pulau, hati Datuk Hitam

bergerak untuk ikut-ikutan menyeberang

menuju pulau.

Ki Buyut Pagar Alam yang tahu siapa

adanya Maut Mata Satu tidak sia-siakan

kesempatan. Dia segera berseru.

"Sobatku, Maut Mata Satu.... Aku sangat

gembira kita dapat berjumpa di sini...."


Maut Mata Satu berpaling. Memandang

angker pada Ki Buyut laiu pada Dewi

Siluman. Namun cuma sekejap. DI lain saat,

matanya yang hanya sebelah beralih ke arah

lima orang yang ada di depan sana. Maut

Mata Satu sejurus terkesiap. Lalu menoleh

pada Dewi Seribu Bunga dan bergumam.

"Dewi.... Kau jangan bertindak! Lima orang

di depan sana adalah manusia-manusia yang

punya kepandaian tinggi! Kau tetaplah di

tempatmu meski apa nanti yang akan terjadi!

Dan jika keadaan tidak memungkinkan, kau

segeralah angkat kaki dari pulau ini!"

Yang diajak bicara kancingkan mulut tidak

menyahut. Bahkan gadis berbaju merah ini

tidak memandang pada lima orang yang baru

saja disebutkan gurunya. Sebaliknya

pandangan mata gadis ini tertuju pada

jurusan lain agak ke belakang dari lima orang

yang disebut Maut Mata Satu. Di sana terlihat

seorang pemuda yang bukan lain adalah

Pendekar 131 sedang mendudukkan

Sitoresmi bersandar pada satu batu padas.

Gadis murid Maut Mata Satu ini dadanya

bergemuruh dilanda rasa cemburu.

"Dewi!" kata Maut Mata Satu karena

muridnya tegak tak menyahut. "Kau dengar

ucapanku?!"


Meski tidak begitu perhatikan apa yang

baru saja diucapkan Maut Mata Satu, Dewi

Seribu Bunga berpaling sambil anggukkan

kepala.

Di iain pihak, mendapati ucapannya tidak

mendapat tanggapan, Ki Buyut merasa

geram. Namun sadar situasi, dia cepat

tersenyum dan berseru lagi.

"Sobatku, Maut Mata Satu! Bergabunglah

dengan kami orang-orang satu golongan.

Urusan Kitab Serat Biru nanti bisa kita

rundingkan jika urusan ini selesai!"

"Aku tidak sudi jika manusia mata satu Itu

ikut bergabung!" Tiba-tiba satu teriakan

terdengar. Yang berteriak ternyata adalah

Ratu Pemikat. Seperti diketahui, antara Ratu

Pemikat dan Maut Mata Satu pernah terjadi

bentrok saat memperebutkan Pedang Tumpul

131. (Untuk jelasnya silakan baca episode:

"Ratu Pemikat").

Teriakan Ratu Pemikat membuat Ki Buyut

dapat menangkap jika antara Ratu Pemikat

dengan Maut Mata Satu ada satu urusan.

Namun kakek yang kedua tangannya selalu

dimasukkan ke dalam saku jubah hitamnya ini

berlaku cerdik. Seraya melangkah ke arah

Maut Mata Satu dia berujar.

"Urusan sesama golongan harap bisa

ditunda. Kau mesti tahu, tidak ada yang lebih


menggegerkan dibanding dengan

tumbangnya orang-orang golongan putih.

Hari ini lupakan dulu silang sengketa. Kita

bersama-sama menghadapi manusia-

manusia yang selalu menjadi penghalang

setiap langkah kita! Dan kau juga harap

sadar, jika kita tidak bergabung, kau tentu

tahu apa yang akan menimpa kita!"

"Hem Ucapan orang ini ada juga

benarnya! Tapi aku tidak mudah begitu saja

turuti ucapan orang. Aku akan bergabung tapi

hanya untuk menghemat tenaga. Setelah

itu.... Ha ha ha.... Mereka juga akan

merasakan!" Maut Mata Satu membatin

daiam hati. Lalu berkata pada Ki Buyut.

"Meski aku sanggup menghadapi mereka,

tapi mengingat kita masih satu golongan,

tidak ada salahnya aku turuti permintaanmu.

Tapi setelah urusan ini selesai, jangan ikut

campur masalahku dengan perempuan laknat

sundal itu!"

"Aku tidak bicarakan urusan Ratu Pemikat

denganmu! itu bisa kau selesaikan sendiri

nanti! Aku akan cuci tangan...," ujar Ki Buyut

lalu berkelebat ke arah di mana Datuk Hitam

tegak.

"Sobatku, Datuk Hitam! Kau juga kuharap

mau bergabung dahulu. Urusan lain nanti kita

bicarakan lagi. Bagaimana?!"


Karena menyadari siapa lawan yang

dihadapi, tanpa pikir panjang Datuk Hitam

langsung setuju dengan tawaran Ki Buyut. Ki

Buyut Pagar Alam lantas berkata pada Ratu

Pemikat.

"Ratu Pemikat! Harap lupakan dulu urusan

dengan Maut Mata Satu!"

"Tidakl Kalau dia ikut bergabung, aku keluar

tidak ikut-ikutan!" teriak Ratu Pemikat sambil

memandang tajam pada Maut Mata Satu.

"Hem.... Kalau begitu baiklah! Silakan

hadapi mereka sendlrian! Aku mau lihat!"

Ucapan KI Buyut Pagar Alam membuat

Ratu Pemikat keluarkan gumaman tak jelas.

Dia tampaknya tahu, bahwa tidak mungkin

baginya berhadapan sendiri jika tidak Ingin

mati konyol.

Seakan dapat menangkap apa yang ada

dalam benak Ratu Pemikat, Ki Buyut tertawa

pelan sambil berujar.

"Ratu Pemikat! Urusanmu dengan Maut

Mata Satu bisa kau selesaikan setelah urusan

ini beres!"

Habis berkata begitu, Ki Buyut melangkah

ke arah Dewi Siluman. Bersamaan dengan itu

mata masing-masing orang kini menatap

lurus ke arah ilma orang di depan sana!

Pendekar 131 seakan tidak peduli dengan

munculnya beberapa orang di pulau itu. Dia


sangat mengkhawatirkan keadaan Sitoresmi

yang kini disandarkan pada satu batu padas.

Murid Pendeta Sinting ini lalu memeriksa

tubuh gadis salah satu murid Dewi Siluman

itu. Namun tangannya yang hendak salurkan

tenaga dalam tiba-tiba terhenti tatkala

matanya menumbuk menampakkan

payudaranya yang putih dan bagus. Darah

Pendekar 131 sesaat sirap. Namun buru-buru

dia alihkan pandangannya. Dia teringat waktu

mengangkat tubuh gadis itu, bagian

punggungnya yang tampak berupa punuk

besar tampak mengempis. Dia cepat meraba

punggung gadis yang matanya masih

terpejam dan wajahnya tampak berubah

kehitaman karena tersambar pukulan Dewi

Siluman.

Dari punggung Sitoresmi, Pendekar 131

menemukan satu jubah berwarna merah yang

dibungkus demikian rupa hingga membentuk

bundar mirip punuk. Dengan cepat murid

Pendeta Sinting kenakan jubah merah pada

Sitoresmi hingga dadanya sedikit tertutup.

"Tubuh gadis ini panas bukan main. Hem....

Akan kucoba salurkan tenaga 'inti Sukma

Es'." Perlahan-lahan Pendekar 131 putar

tubuh Sitoresmi berbalik. Lalu dia kerahkan

tenaga dalamnya pada kedua lengan. Kedua

tangannya ditempelkan pada punggung


Sitoresmi. Bersamaan itu hawa dingin

menyeruak dan perlahan-lahan masuk ke

dalam tubuh Sitoresmi yang panas akibat

pukulan 'Kabut Neraka' yang dilepas gurunya

sendiri.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba terdengar

erangan halus dari mulut Sitoresmi. Murid

Pendeta Sinting tarik pulang kedua

tangannya. Lalu perlahan-lahan pula tubuh

Sitoresmi diputar dan disandarkan kembali

pada batu padas.

Setelah mulutnya bergetar komat-kamit,

akhirnya Sitoresmi membuka kelopak

matanya. Sejurus sepasang mata gadis Ini

menyipit pandangi sosok pemuda di

depannya. Mulutnya terbuka, namun belum

ada suara yang terdengar.

"Jangan bicara dahulu. Aturlah napasmu...,"

bisik Joko sambil memandang tajam pada

gadis yang kini wajahnya berubah kehitaman.

"Terima kasih.... Terima kasih kau telah

menolongku!"

Joko letakkan telunjuk jarinya pada bibir

Sitoresmi memberi isyarat agar gadis itu tidak

teruskan bicara. Lalu jari-jari Joko menyeka

darah yang masih tampak di sekitar mulut

Sitoresmi. Gadis Ini serasa melayang dan

rasa sakit di sekujur tubuhnya laksana hilang.

Seolah mendapat keberanian dan kekuatan


baru, tangan Sitoresmi bergerak pelan

memegang tangan Joko dan meremasnya,

sementara tangan satunya diangkat dan

memegang tangan Joko yang masih

menyeka darah di mulutnya. Perlahan-lahan

kelopak mata Sitoresmi meredup.

"Meski aku tahu gadis berbaju merah itu

memikat hatimu, tapi aku sangat bahagia

sekali bisa mendapatkan hal seperti Ini.

Hanya kenapa saat bahagia Ini kurasakan

ketika keadaanku demikian? Yang Maha

Kuasa, tolong berikan aku waktu untuk dapat

mengecap rasa bahagia ini lebih lama.... Aku

berjanji, akan menyimpan kenangan ini di

lubuk hatiku, akan kuingat selalu...," Sitoresmi

berbisik dalam hati seraya terus meremas

tangan Joko.

Tanpa sadar, Joko balas meremas. Namun

diam-diam dia berkata daiam hati. "Dia

mungkin akan merasa kecewa setelah

melihat perubahan pada wajahnya. Hem....

Gadis malang. Tapi aku tidak akan

melupakannya. Dia telah berkorban untukku!"

Jari-jari tangan Joko kini mengelus wajah

Sitoresmi. Gadis ini gigit bibirnya. Dan

perlahan-iahan air mata tampak menetes dari

kelopak matanya. Bahunya penahan

berguncang.


tangannya dari tangan Sitoresmi. Lalu berdiri

tegak dengan mata tak berkesip memandang

angker pada Dewi Siluman.

"Kali ini tidak cukup jika pedangku saja

yang kau kembalikan! Kau juga harus

merasakan seperti yang dialami gadis itu!"

kata murid Pendeta Sinting.

Dewi Siluman tertawa panjang. "Jangan

banyak pentang mulut, Pendekar gombal!

Hidup dan matimu serta gadis cantikmu itu

ada di tanganku! Tapi aku masih punya

pertimbangan. Serahkan Kitab Serat Biru

padaku, niscaya kau kubebaskan membawa

bekas muridku itu ke mana kau suka!"

Pendekar 131 balik tertawa. "Tanpa

pertimbanganmu, aku bebas membawanya

ke mana kusuka. Atau barangkali kau mau

ikut serta?! Namun harap buka dahulu

penutup wajahmu, aku takut, jangan-jangan

ucapan orang tua tadi betul! Kau perempuan

yang...."

"Jahanam!" maki Dewi Siluman keras.

Sosoknya segera berkelebat ke depan

dengan kedua tangan bergerak lepaskan

pukuian 'Kabut Neraka'.

Joko yang sudah waspada tak menunggu

lagi. Begitu dari kedua tangan Dewi Siluman

melesat kabut hitam, dia kirimkan pukulan

'Lembur Kuning'!


Pukuian 'Lembur Kuning' belum

menggebrak, satu kekuatan aneh telah

melesat mendahului.

Bummm!

Ledakan dahsyat menggelegar membuncah

tempat itu. Sosok Dewi Siluman terpental

satu tombak ke belakang.

Akibat pukulan 'Kabut Neraka' bentrok

dengan kekuatan yang melesat mendahului

pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Sepasang

mata Dewi Siluman terbeliak, karena baru

saja kakinya menjejak tanah, gelombang

angin panas pukulan 'Lembur Kuning'

menggebrak!

Dewi Siluman tidak menunggu, kedua

kakinya segera dihentakkan ke atas tanah.

Dari sepasang matanya melesat sinar hitam

yang langsung diarahkan pada pukulan yang

kini mengarah padanya!

Byaaarrr!

Gelombang panas ambyar bertabur sinar

hitam. Sosok Dewi Siluman terjengkang

roboh. Di depannya murid Pendeta Sinting

terhuyung lalu jatuh terduduk. Namun karena

khawatir lawan hendak lepaskan pukulan lagi

dengan menahan rasa nyeri di dada masing-

masing, Dewi Siluman dan Pendekar 131

segera sama-sama bergerak bangkit.


Tiba-tiba Dewi Siluman cabut Pedang

Tumpul 131 dari balik jubahnya. Tangan

kanannya menarik pedang dari sarungnya

yang dipegang tangan kiri. Lalu tangan kirinya

mencampakkan sarung pedang itu ke tanah.

Sembari menyeringai ganas, Dewi Siluman

segera melompat ke depan. Pedang Tumpul

131 dibabatkan ke arah kepala murid

Pendeta Sinting! Sinar kekuningan yang

dikeluarkan hawa luar biasa panas segera

menghampar bersamaan dengan

membabatnya pedang.

Maklum akan kehebatan pedang miliknya

sendiri, murid Pendeta Sinting segera mundur

satu langkah. Lalu sambil melompat dari arah

samping kedua tangannya bergerak

menggebrak ke arah tangan Dewi Sliuman

yang membabatkan pedang.

Dewi Siluman hentikan babatan

pedangnya. Dan secepat kilat dia tarik pulang

kedua tangannya, sementara tubuhnya ditarik

sedikit, hingga gebrakan tangan Joko

menghantam tempat kosong. Saat kedua

tangan Joko lewat, Dewi Siiuman sentakkan

tangan kanannya yang memegang pedang.

Breettt!

Pakaian murid Pendeta Sinting robek besar

pada bagian samping lambung. Untung

Pendekar 131 cepat berkelit. Terlambat


sedikit, bukan tidak mungkin perutnya akan

ambrol terbabat Pedang Tumpul 131.

Dewi Siluman tertawa pendek. "Masih ada

waktu untuk berpikir! Lekas serahkan Kitab

Serat Biru atau kepala dan perutmu akan

kubuat jebol'"

Sitoresmi tampak cemas melihat kejadian

itu. Diam-diam dia bergumam.

"Perempuan ini penghalang kebahagiaan

ku! Kalau Pendekar 131 tak bisa bertahan,

rasanya aku tak bisa hidup sendirian! Lebih

baik mati bersama daripada hidup merasa

sendirian!" serentak Sitoresmi bergerak

bangkit. Meski masih terhuyung-huyung

namun gadis ini kuatkan diri.

"Bagus! Kuturuti kehendak kalian yang ingin

mampus bersama!" teriak Dewi Siiuman

geram.

Saat Itulah satu bayangan merah

berkelebat disusul dengan menderunya angin

keras. Dewi Siluman cepat berpaling. Dewi

Seribu Bunga kini tampak tegak lima jangkah

di depannya!

"Kau!" desis Dewi Siluman. "Katakan apa

maksudmu!"

Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Mata

gadis murid Maut Mata Satu Ini memandang

pada Sitoresmi lalu pada Pendekar 131.


Sitoresmi balas memandang. Hingga sejurus

kedua gadis Ini sama bentrok pandangan.

"Dewi Seribu Bunga!" kata Joko. "Harap

kau tidak ikut campur!"

"Dan harap jangan mengambil keuntungan

dari keadaan!" sahut Dewi Siiuman karena

masih menduga jika Dewi Seribu Bunga

menginginkan Pedang Tumpul 131 seperti

yang pernah didengarnya saat Dewi Seribu

Bunga bercakap-cakap dengan gurunya Maut

Mata Satu beberapa waktu lalu di lereng

bukit.

Mendengar ucapan orang, Dewi Seribu

Bunga yang telah dilanda rasa cemburu

membuang muka sambil berkata keras.

"Jangan sembarangan berucap menuduh

orang! Dan kau gadis berjubah merah! Sekali

lagi kudengar ucapanmu yang bukan-bukan,

aku tak segan menambah tamparan pada

mulutmu!"

Habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga

mundur agak menjauh. Tapi sepasang

matanya tak hendak beranjak dari tubuh

Sitoresmi. Sebaliknya Sitoresmi tak juga

palingkan wajahnya dari menatap ke arah

Dewi Seribu Bunga!

"Hem.... Tampaknya gadis-gadis ini iebih

mementingkan urusan cinta! Dasar gadis

bodoh! Mereka kira cinta dapat


membahagiakan hidup! Hik... hik... hik....

Mereka tidak tahu, justru cinta adalah pangkal

malapetaka dan sengsara!" kata Dewi

Siluman dalam hati. Lalu memanfaatkan

keadaan, perempuan bercadar dan berjubah

hitam ini cepat meloncat ke arah Pendekar

131. Tangan kanannya kembali babatkan

pedang, sementara tangan kirinya

melepaskan pukulan mengarah pada kepala!

Pendekar 131 yang diam-diam telah

kerahkan tenaga dalam pada kedua lengan

dan kedua tangannya segera menyambuti

dengan angkat kedua tangannya.

Bukkk! Buukkk!

Dewi Siluman memekik keras. Tangan

kirinya yang beradu dengan tangan kanan

Pendekar 131 mental balik ke belakang.

Sementara tangan kanannya yang

memegang pedang dan baru saja bentrok

dengan tangan kiri Joko tampak bergetar

keras serta kejang kaku dan dingin tidak bisa

digerakkan! Hingga tatkala Dewi Siluman

mundur, Pedang Tumpul 131 terlepas dari

tangannya.

Murid Pendeta Sinting yang baru saja

lepaskan tenaga Inti 'Sukma Ea' segera

merangsek ke depan.


Namun Dewi Siluman segera berkelebat

menghadang dengan kaki menginjak Pedang

Tumpul 131.

Karena sudah telanjur merangsek, kedua

tangan Joko segera pula berkelebat lepaskan

pukulan. Dewi Siluman tak berani berlaku

ayal. Kedua kakinya cepat menghentak

tanah. Saat itu juga dari sepasang matanya

melesat dua sinar hitam!

"Sinar Setan!" seru Sitoresmi. "Menyingkir!"

Tak ada kesempatan !agi bagi murid

Pendata Sinting untuk menghindar

selamatkan diri. Hingga pada saat genting itu

dia cepat alirkan tenaga dalamnya di telapak

tangannya. Lalu seraya terus merangsek dia

menghadang dengan lepaskan pukulan

'Lembur Kuning'.

Dess! Desss!

Baik Dewi Siiuman maupun Pendekar 131

tak dapat hindarkan diri dari pukulan lawan.

Hingga saat terjadi bentrok pukuLan, sosok

masing-masing sama-sama terpelanting.

Joko jatuh terkapar dengan pakaian hangus

dan sebagian robek. Wajahnya pucat pasi

dengan dada berdebar sakit. Meski pukulan

'Sinar Setan' yang dilepas Dewi Siluman

menghantam tubuhnya, namun karena Joko

telah melindungi diri dengan tenaga inti

'Sukma Es', maka tubuhnya tidak melepuh


hangus, walau tak urung darah segar nampak

keluar dari mulutnya pertanda dia terluka

bagian dalam.

Sebaliknya Dewi Siluman sendiri telentang

di atas tanah berpasir dengan tubuh

bergeletar dan mata memejam rapat. Dari

bagian bawah cadar penutup wajahnya

tampak darah menetes, pertanda dia juga

terluka bagian daiam. Bahkan untuk

beberapa lama perempuan bercadar dan

berjubah hitam ini diam tidak bergerak-gerak.

Saat itulah tiba-tiba bayangan merah

berkelebat dan menyambar Pedang Tumpul

131 beserta sarungnya yang tergeletak di

atas pasir.

***


TUJUH


KITA kembali sejenak ke tempat agak

jauh di sebelah kanan. Begitu Ratu

Pemikat melihat Dewi Siluman

berkelebat ke arah Pendekar 131 yang coba

salurkan hawa murni selamatkan Sitoresmi,

perempuan cantik bertubuh bahenol ini yang

urusannya pernah dihalangi oleh iblis

Ompong beberapa waktu yang lalu segera

berkelebat ke arah kakek tak punya leher dan

tak punya gigi ini yang tetap berdiri tegak

memunggungi. Melihat hal ini, Datuk Hitam

yang punya ganjalan dengan Ratu Malam

segera pula melompat ke arah si nenek yang

duduk mencangklong di atas gugusan batu

padas. Maut Mata Satu tak tinggal diam. Dia

cepat melesat ke depan dan tegak tiga

langkah di hadapan Dewi Es. Ki Buyut Pagar

Alam memandang sejenak pada Dewa

Sukma dan Gendeng Panuntun. Dia seolah

menimbang. Lalu sekejap kemudian dia telah

berkelebat ke arah Dewa Sukma. Merak

Kawung sejurus merasa kebingungan.

Karena tinggal Gendeng Panuntun yang

masih tampak belum ada yang menghadapi,

akhirnya laki-laki setengah baya berkepala

gundu! ini merangsek ke arah Gendeng


Panuntun yang masih telentang menindih

tubuh Malaikat Penggali Kubur.

Karena jarak yang paling dekat adalah

antara Merak Kawung dan Gendeng

Panuntun, maka laki-laki setengah baya ini

sekejap saja sudah tepat berada di hadapan

Gendeng Panuntun, Dan tanpa menunggu

lama dia segera lepaskan satu tendangan

dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Gelombang angin terdengar menderu keras

mendahului tendangan yang dilepas Merak

Kawung.

Gendeng Panuntun kucek-kucek matanya

yang putih, lalu berguling ke samping kanan.

Tendangan maut Merak Kawung sejengkal

lewat di samping tubuhnya, membuat Merak

Kawung menggeram. Dia putar tubuhnya

sekali. Lalu maju selangkah dan serta-merta

tangan kanannya berkelebat menghantam ke

arah sosok Gendeng Panuntun yang telah

kembali menindih sosok Malaikat Penggali

Kubur.

"Mampusl" teriak Merak Kawung saat

melihat Gendeng Panuntun tidak membuat

gerakan meski si laki-laki berkepala gundul itu

telah lepaskan satu pukulan ke arahnya.

Namun sejengkal lagi tangan kanan Merak

Kawung menghantam batok kepala Gendeng

Panuntun, kakek bertubuh besar bermata


buta ini gerakkan kaki kanannya sambil

berguling.

Settt!

Merak Kawung terkesiap. Kaki kanannya

terdorong deras ke belakang hingga tubuhnya

melipat ke depan. Namun Merak Kawung tak

hendak urungkan tangan kanannya yang

menghantam.

Buukkk!

Terdengar seruan tertahan keras. Bukan

dari mulut Gendeng Panuntun melainkan dari

mulut Malaikat Penggali Kubur yang terkena

hantaman tangan Merak Kawung. Bukan

hanya sampai di situ, saat tubuh Merak

Kawung melipat ke depan, Gendeng

Panuntun angkat kaki kanannya dan

ditusukkan pada pantat Merak Kawung.

Merak Kawung terjerembab menelungkup di

atas tubuh Malaikat Penggali Kubur dengan

deras, membuat Malaikat Penggali Kubur

kembali berseru seraya memaki tak karuan.

“Jahanam! Kau memukul dan menindihku!"

teriak Maiaikat Penggali Kubur lalu gerakkan

kedua tangannya memukul ke atas, di mana

saat itu sosok Merak Kawung berada di

atasnya.

Bukk! Bukkk!

Mendapati dirinya dihantam dari bawah,

Merak Kawung tak tinggal diam, kedua


tangannya yang tertindih tubuhnya segera

ditarik keluar lalu dihantamkan ke arah

punggung Malaikat Penggali Kubur.

Bukkk! Bukkk!

Malaikat Penggali Kubur menggembor

marah. Dia kembali hendak menghantam ke

atas, sementara Merak Kawung yang tahu

hendak dihantam kembali hantamkan kedua

tangannya. Ketika kedua pasang tangan itu

sama-sama hendak menggebuk, tiba-tiba

Gendeng Panuntun jejakkan tangan dan

kakinya ke tanah berpasir. Tubuhnya membai

ke udara lalu bergerak ke samping ke arah

Merak Kawung dan Malaikat Penggali Kubur.

Plukkk!

Terdengar dua seruan keras berbarengan.

Sosok besar Gendeng Panuntun kini

telentang menindih tubuh Merak Kawung dan

Malaikat Penggali Kubur. Merak Kawung dan

Malaikat Penggali Kubur sama-sama

tercekat. Karena tindihan Gendeng Panuntun

dengan pengerahan tenaga dalam, maka

kedua orang di bawah tubuh Gendeng

Panuntun hanya bisa gerak-gerakkan tangan

tanpa bisa gerakkan tubuh.

"Ha... ha... ha...! Rasanya enak juga

berkasur anak manusia!" kata Gendeng

Panuntun sambil tertawa bergelak-gelak

hingga tubuhnya berguncang-guncang,


membuat dua orang di bawahnya

menyumpah tak karuan.

"Setan alas!" teriak Merak Kawung lalu

hantamkan sikunya ke arah tubuh Gendeng

Panuntun.

Dukkk!

Sosok Gendeng Panuntun bergoyang-

goyang. Namun sekejap kemudian Gendeng

Panuntun bergerak bangkit. Usap-usapan

cerminnya sejurus lalu kaki kanannya

menjulur ke belakang dan bergerak

menendang kaki Merak Kawung.

Desss!

Karena tendangan Itu bukan tendangan

biasa, maka saat itu juga sosok Merak

Kawung tampak berputar-putar di atas tubuh

Maiaikat Penggali Kubur laksana baling-

baling.

Saat itulah Malaikat Penggali Kubur

sentakkan kedua tangannya ke atas tanah.

Tubuhnya melonjak ke atas, membuat tubuh

Merak Kawung ikut membumbung ke udara!

Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh

Malaikat Penggali Kubur. Dia segera balikkan

tubuh. Ketika sosok Merak Kawung yang

tetap berputar melayang turun, Malaikat

Penggali Kubur yang sudah merasa geram

cepat rentangkan kedua tangannya,

sementara kakinya ditekuk sedikit ke atas.


Saat setengah depa lagi tubuh Merak

Kawung menghempas tubuhnya, Malaikat

Penggali Kubur angkat kedua tangan dan

kakinya.

Prakkk! Desss!

Merak Kawung menjerit keras. Tubuhnya

kembali membumbung ke udara, lalu

melayang jatuh dengan kepala rengkah dan

nyawa putus!

Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu

cepat bergerak bangkit. Menatap sejurus

pada mayat Merak Kawung lalu berpaling

pada Gendeng Panuntun. Untuk beberapa

saat murid Bayu Bajra ini tampak ragu-ragu.

Dari beberapa kali bentrok, tampaknya

Malaikat Penggali Kubur sadar, bahwa ilmu

kepandaiannya masih berada di bawah

Gendeng Panuntun. Namun hawa amarah

tampaknya lebih menguasai dirinya. Hingga

didahului bentakan keras, pemuda ini melesat

ke depan seraya lepaskan pukuian 'Telaga

Surya'!

Namun baru saja dari kedua tangannya

yang mengepal keluarkan cahaya terang,

beberapa pantulan cahaya telah melesat

hingga kedua tangan Malaikat Penggali

Kubur terpental ke belakang. Malaikat

Penggali Kubur cepat melompat mundur, lalu

secepat Itu pula kedua tangannya diangkat.


Namun belum sampai kedua tangannya

bergerak lepaskan pukulan, kembali

beberapa pantulan cahaya menggebrak,

malah kali ini disertai menderunya angin

keras!

Karena saat itu Malaikat Penggali Kubur

sedang siapkan pukulan 'Telaga Surya',

hingga dia tidak kuasa membendung

gebrakan angin yang mengarah padanya.

Desss! Deesss!

Sosok Malaikat Penggali Kubur mencelat

dan terjengkang di atas tanah berpasir

dengan mulut keluarkan darah. Entah karena

merasa khawatir Gendeng Panuntun hendak

menyerang kembali, Malaikat Penggaii Kubur

cepat bergerak bangkit meski sekujur

tubuhnya merasa luluh lantak.

"Kau!" ujar Maiaikat Penggaii Kubur dengan

memandang tajam pada Gendeng Panuntun

yang tegak sepuluh langkah di hadapannya.

"Adalah manusia pertama yang kelak akan

kucari!"

Habis berkata begitu, Malaikat Penggali

Kubur terhuyung-huyung balikkan tubuh lalu

berkelebat ke arah pinggir pulau.

Gendeng Panuntun tertawa mengekeh, lalu

melangkah ke arah satu gugusan batu padas

dan duduk bersandar dengan mata

memejam!


Di sebeiah samping, tiba-tiba terdengar

letupan. Lalu tampak kepingan batu padas

bertabur ke udara. Disusul bentakan keras

yang ternyata keluar dari mulut Datuk Hitam

karena sosok Ratu Malam yang duduk

mencangklong di atas batu padas tiba-tiba

berkelebat lenyap hingga hantaman tangan

Datuk Hitam melabrak batu padas yang tadi

diduduki Ratu Malam.

Datuk Hitam kertakkan rahang. Lalu

berpaling ke samping kanan. Tangan

kanannya menyibak rambutnya yang terurai

ke wajahnya. Sepasang matanya mendelik

angker menatap pada Ratu Malam yang kini

tegak dengan kacak pinggang dan mulut

bergerak-gerak mainkan gumpalan tembakau

hitam.

"Terimalah kematianmu!" teriak Datuk

Hitam. Lalu laksana terbang kakek berwajah

hitam legam ini melesat ke arah Ratu Maiam.

Kedua tangannya mengembang lalu

menghentak ke depan lepaskan pukulan

'Puspa Jagat'.

Wuuttt! Wuuutttt!

Sesaat suasana berubah hitam. Lalu

terdengar deru keras disertai menggebraknya

hamparan angin deras berhawa panas.

Ratu Maiam dongakkan kepala. Gumpalan

tembakau hitam di mulutnya tampak keluar


mencuat, namun kejap kemudian tertarik dan

masuk lagi ke mulutnya. Bersamaan itu

kedua tangannya mendorong ke depan lalu

disentakkan ke bawah.

Gebrakan gelombang angin yang keluar

dari kedua tangan Datuk Hitam tertahan di

udara, lalu bersamaan dengan menyentaknya

tangan Ratu Maiam ke bawah, gebrakan

angin itu menukik deras menghantam tanah

berpasir!

Bummm!

Tanah berpasir berwarna biru berhambur

ke udara. Lalu tampak lobang besar

menganga karena akibat pukulan Datuk

Hitam yang berbelok menukik. Meski tidak

langsung bentrok pukulan, namun sosok

Datuk Hitam tampak tersurut lima langkah

dengan wajah makin mengetam. Dadanya

berdenyut nyeri sementara kedua tangannya

bergetar.

Sebenarnya nyali Datuk Hitam sudah pupus

tatkala mengetahui pukulan andalannya

begitu mudah dipangkas oleh Ratu Malam.

Namun berpikir Ratu Malam tidak akan

membiarkannya pergi, membuat Datuk Hitam

nekad.

Sepasang kaki Datuk Hitam segera

menjejak tanah. Tubuhnya membumbung ke

udara, di atas kakek berwajah hitam ini


membuat gerakan telentang dan berputar-

putar. Lalu melesat ke depan sambil kirimkan

pukulan 'Puspa Jagat' untuk kedua kalinya!

Ratu Maiam komat-kamltkan mulut. Tiba-

tiba nenek ini putar tubuh dan kejap lain

tubuhnya membai tinggi ke udara satu

tombak di atas tubuh Datuk Hitam, membuat

pukulan Datuk Hitam menghantam tempat

kosong.

Dan begitu melihat sosok Ratu Malam

melayang di atas tubuhnya, Datuk Hitam

tersentak kaget. Takut Ratu Maiam lepaskan

pukulan, Datuk Hitam segera bergerak

mendahului lepaskan pukulan dengan

sentakkah kedua tangannya ke atas.

Namun bersamaan dengan itu, kedua

tangan Ratu Malam menyentak ke bawah.

Hingga gelombang angin yang melesat dari

kedua tangan Datuk Hitam tertahan malah

kini berbalik menggebrak ke arah si kakek!

Tidak ada waktu lagi bagi Datuk Hitam

untuk menangkis atau menghindar dari

pukulannya sendiri yang membalik, hingga

saat itu juga Datuk Hitam memekik keras

terhantam pukulannya sendiri. Sosoknya

lebih keras berputar lalu melayang Jatuh

bergedebukan di atas tanah berpasir dengan

mulut dan hidung keluarkan darah. Untuk

sesaat kakek berwajah hitam ini mengerang,


namun kejap lain suara erangannya terputus

laksana direnggut setan. Tubuhnya melejang

sejenak sebelum akhirnya diam tak berkutik

lagi!

Ratu Malam meiayang turun sambi! usap-

usap jubah merahnya di bagian bahu yang

tampak hangus. Memandang sejenak pada

sosok Datuk Hitam yang sudah tidak

bernyawa, lalu melangkah ke arah batu

padas di mana Gendeng Panuntun duduk

bersandar. Kejap lain nenek berambut putih

sebatas tengkuk ini telah duduk

mencangklong di atas batu sandaran

Gendeng Panuntun!

***

Saat Datuk Hitam berkelebat menggebrak

ke arah Ratu Malam, di sebelah samping,

Ratu Pemikat telah pula melesat dan

langsung lepaskan jotosan tangan kiri kanan

ke arah belakang kepala Iblis Ompong.

Kakek tidak punya leher dan tidak bergigi

ini tengadah sedikit, mulutnya dibuka lebar-

lebar. Karena dia tegak memunggungi, begitu

sejengkal lagi kedua jotosan Ratu Pemikat

menggebrak kepalanya, Iblis Ompong lipat

tubuhnya ke depan, hingga jotosan sang Ratu

hanya menghantam angin di atas kepala Iblis


Ompong yang telah menghindar. Malah

karena Iblis Ompong melipat tubuhnya ke

depan, membuat pantatnya mencuat

menungging. Hingga karena Ratu Pemikat

tidak menduga, maka tak ampun lagi pantat

Iblis Ompong menumbuk deras perut Ratu

Pemikat.

Buukkk!

Sosok Ratu Pemikat mental ke belakang.

Namun sebelum tubuhnya menjejak tanah,

Ratu Pemikat telah kerahkan tenaga dalam,

lalu melesat kembali ke depan dengan

mengambil posisi agak ke samping. Setengah

tombak lagi sampai, Ratu Pemikat putar

tubuh, lalu disertai bentakan keras kaki

kanannya membuat gerakan menendang

sosok Iblis Ompong yang masih menunggingi

Tapi bersamaan dengan melesatnya kaki

Ratu Pemikat menendang, tiba-tiba Ibiis

Ompong tarik tubuhnya lalu cepat tubuhnya

bergerak rebah ke bawah rata dengan tanah.

Melihat hal ini, Ratu Pemikat cepat tarik

pulang kakinya, namun secepat itu pula

kakinya dihentakkan ke bawah menggebrak

ke arah sosok Iblis Ompong. Tapi perempuan

cantik bertubuh bahenol ini melengak kaget.

Karena bersamaan dengan itu kaki Iblis

Ompong bergerak menyapu ke arah sebelah


kaki Ratu Pemikat yang digunakan sebagai

tumpuan tubuhnya.

Desss!

Tubuh Ratu Pemikat terhuyung ke depan

sebelum akhirnya jatuh telengkup di atas

tubuh Ibils Ompong!

"Sial! Seandainya aku telentang, tentu

kenikmatannya akan bertambah!" ujar Iblis

Ompong.

Di seberang terdengar suara orang tertawa

mengekeh panjang.

"Hei…Kau tertawa sendirian. Ada apa?!

Katakan apa yang kau lihat!" Gendeng

Panuntun berucap saat mendengar Ratu

Maiam yang duduk mencangklong di atasnya

tertawa bergelak.

"Mau-maunya perempuan cantik itu

menindih tubuh bau Lantika! Hik... hik... hik...!

Apa dikira tubuh tua bangka itu masih

menjanjikan kehangatan?”

"Jadi...?!" ujar Gendeng Panuntun.

"Gadis bahenol berbaju biru itu saling tindih

dengan saudaramu Lantika! Malah sempat

menciumi punggungnya! Hik... hik... hik...!"

"Walah, mimpi apa dia tadi malam hingga

hari Ini mendapat rezeki besar! Sampai-

sampai punggungnya diciumi gadis cantik!

Sekarang katakan padaku apa lagi yang

dilakukan gadis cantik itu!"


"Dia mengelus-elus leher Lantika! Hik...

hik.. hik...! Apa dia tidak tahu jika tua bangka

itu tidak punya leher?!"

"Apa? Mengelus lehernya?!" ulang

Gendeng Panuntun sambil geleng-geleng

kepala. "Dunia ini yang sudah gila atau

orang-orang itu yang gila-gilaan? Beraninya

mereka bermesra-mesraan di hadapan

orang...."

Ratu Pemikat menggereng marah. Dia

cepat tarik kepalanya dari punggung Iblis

Ompong. Lalu tubuhnya ditarik ke depan dan

kini menduduki pantat iblis Ompong. Kejap

lain kedua tangannya bergerak menghantam

ke arah kepaia si kakek!'

Ratu Maiam tiba-tiba putuskan tawanya,

sepasang matanya yang sipit perhatikan ke

arah Ratu Pemikat tak berkesip. Sementara

Ratu Pemikat menyeringai seraya teruskan

hantamannya. Dia yakin kali ini Iblis Ompong

tidak akan bisa lolos dari hantaman

tangannya, karena tubuhnya tertindih tak bisa

bergerak.

Namun saat kedua tangan Ratu Pemikat

sejengkal lagi menghantam kepala si kakek,

tiba-tiba kedua kaki Iblis Ompong bergerak

terangkat ke belakang.

Buukkk! Buukkk!


Punggung Ratu Pemikat tertumbuk kedua

kaki iblis Ompong hingga bukan hanya

membuat hantaman tangannya melenceng

menghantam tangan di samping kepala si

kakek, lebih dari itu kembali tubuhnya jatuh

telungkup di atas tubuh Iblis Ompong!

Ratu Maiam angkat tangannya menutupi

mulutnya, namun tak urung suara tawa

cekikikannya masih terdengar keluar.

Ratu Pemikat sudah tidak dapat lagi

membendung marah. Tanpa menarik lagi

kepalanya dari punggung Ibiis Ompong,

kedua tangannya yang berada di sebelah

kepala si kakek segera bergerak

menghantam!

Saat itulah mendadak sepasang kaki Iblis

Ompong menekuk ke atas. Lalu....

Wuttt!

Pantat iblis Ompong bergerak mencuat ke

atas. Sosok Ratu Pemikat terpental ke depan.

Untung perempuan ini cepat dapat kuasai

tubuh, hingga walau sejenak tampak

terhuyung, namun kejap lain telah tegak.

Dengan wajah merah mengelam, Ratu

Pemikat putar tubuh. Di depannya, Iblis

Ompong bergerak bangkit, namun kejap

kemudian dia berbalik dan memunggungi

Ratu Pemikat dengan mulut dibuka lebar


lebar. Malah sesaat kemudian tangan

kanannya meraba punggungnya.

"Ah, hangatnya masih terasa...," gumamnya

lalu tertawa terbahak. Dia memandang

sejenak pada Gendeng Panuntun dan

berujar.

"Rawadan! Tidakkah kau ingin

menikmatinya juga? Dadanya hangat,

aromanya harum...."

"Sialan kau, Lantika! Ucapanmu

membuatku jadi berdebar-debar!"

"Jahanam!" maki Ratu Pemikat dengan

mata mendelik.

"Hai! Kalian ini sedang bermesraan atau

apa? Satunya mengatakan kenikmatan, tapi

satunya lagi memaki tak karuan! Heran...."

Gendeng Panuntun berujar sambil usap-usap

cerminnya.

"Ah, kau juga pura-pura tak tahu!

Perempuan biasanya kan begitu. Memaki-

maki tapi sebenarnya hatinya mau.... Hik...

hik... hik...i" Yang menyahut adalah Ratu

Malam.

"Kalian semua Tua-tua bangka busuk!"

teriak Ratu Pemikat. Lalu angkat kedua

tangannya dan lepaskan pukulan sakti

'Hamparan Langit'. Sinar terang biru melesat

mengembang lalu menyungkup tempat itu.

Gelombang angin deras berkiblat!


Iblis Ompong maju satu tindak ke depan.

Lalu kedua tangannya menyentak ke

belakang.

Wusss! Wuusss!

Dari kedua tangan Iblis Ompong melesat

dua bola asap sebesar roda kereta keluarkan

suara berderak-derak laksana roda kereta

melaju di atas pasir!

Saat sinar terang biru hampir bentrok

dengan dua bola asap, tiba-tiba bola asap Itu

mengembang besar. Kejap lain, laksana

punya kekuatan sedot luar biasa, sinar biru

terang pukulan andalan Ratu Pemikat masuk

lenyap ke dalam dua bola asap. Pada saat

bersamaan, terdengar ledakan hebat. Bola

asap ambyar bertabur ke udara pancarkan

warna putih dan biru.

Sosok Ratu Pemikat terpelanting ke

belakang dan jatuh berlutut dengan mata

terpejam dan mulut keluarkan darah.

Wajahnya berubah pucat pasi. Di sebelah

depan Iblis Ompong terdorong ke muka

sampai tiga langkah. Terhuyung sejenak

namun saat lain dia telah memandang Ratu

Pemikat dari sela kedua kakinya dengan

tubuh melipat ke depan dan pantat

menungging!

Ratu Pemikat terhuyung bangkit. Kerahkan

tenaga dalam, lalu kembali melesat ke arah


iblis Ompong. Namun baru saja kedua

tangannya hendak bergerak lepaskan

pukulan, tiba-tiba perempuan ini rasakan

tubuhnya terlanggar gelombang angin

dahsyat, hingga sosoknya mental balik dan

terjengkang roboh di atas tanah berpasir.

Belum sempat dia bangkit, tampak dua bola

asap menggelinding deras ke arahnya.

Meski sudah terluka, namun perempuan

cantik ini tidak mau pasrah. Dia segera

gulingkan tubuhnya ke samping kanan. Meski

tubuhnya selamat dari derakan bola asap

yang keluar dari tangan Iblis Ompong, namun

tak urung kaki kirinya sempat terlonggar,

hingga sambil terus bergulingan dia menjerit

dan tarik kaki kirinya menekuk di depan dada.

Begitu gulingan tubuhnya berhenti,

perempuan ini perlahan-lahan bangkit.

Wajahnya sudah pucat pasi. Pakaian yang

dikenakan berubah menghitam.

"Aku bisa celaka sendiri jika meneruskan

pertarungan ini!" desisnya sambil melirik

kanan kiri. Begitu dilihatnya Iblis Ompong tak

juga membuat gerakan lagi, Ratu Pemikat

cepat putar tubuh lalu berlari menuju pinggir

pulau.

iblis Ompong hanya memandang dari sela

kedua kakinya lalu tertawa terkekeh-kekeh


dan terus buka mulutnya meski suara

tawanya telah tidak terdengar lagi!

* * *


DELAPAN


MAUT Mata Satu yang tidak mengenal

siapa adanya Dewi Es tampaknya

hanya memandang sebelah mata.

Hingga tatkala dia lepaskan tendangan ke

arah Dewi Es yang duduk bersila di

hadapannya, dia hanya andalkan tenaga luar.

Namun demikian sebelum tendangan itu

sendiri menghantam sasaran kepala Dewi Es,

gelombang angin menderu keras hingga

curahan air yang tampak mengguyur dari atas

tubuh Dewi Es menyibak!

Tapi setengah jalan tendangan kaki Maut

Mata Satu yang mengarah pada kepala Dewi

Es, mendadak perempuan berjubah putih

yang tubuhnya selalu tampak diguyur air ini

angkat kepalanya dengan kelopak membuka.

Tangan kirinya diangkat sejajar bahu lalu

didorong pelan ke depan.

Udara tiba-tiba berubah dingin. Lalu Maut

Mata Satu rasakan kakinya kejang beku.

Sadar akan bahaya, cepat Maut Mata Satu

tarik pulang kakinya. Namun tak urung juga

kakek bermata satu ini terlengak kaget.

Karena saat itu juga gelombang angin dingin

menyambar hingga tubuhnya tersurut dua

langkah ke belakang! Hai ini menyadarkan


Maut Mata Satu jika lawan yang dihadapi

tidak bisa dipandang enteng.

Sambil mendelik besar, Maut Mata Satu

kembali melangkah maju. Kedua tangannya

diangkat tinggi-tinggi. Dengan kerahkan

separo tenaga dalamnya, guru Dewi Seribu

Bunga ini ayunkan kedua tangannya

lepaskan hantaman!

Untuk kedua kalinya Dewi Es hanya angkat

tangan kirinya sejajar bahu. lalu didorong

agak ke atas. Kedua tangan Maut Mata Satu

terpental balik ke belakang. Untung kakek

bermata satu ini cepat kerahkan tenaga murni

pada kedua tangannya, jika tidak niscaya

kedua tangannya akan kejang beku! Karena

ketika Maut Mata Satu meneliti, ternyata

kedua tangannya tampak dibungkus oleh

gumpalan-gumpalan es!

"Keparat jahanam!" maki Maut Mata Satu

marah karena merasa disepelekan. Kakek ini

kerahkan segenap tenaga yang dimiliki.

Didahului bentakan keras, ia melompat ke

depan dengan tangan kiri kanan mengayun

deras!

Sosok Dewi Es terlihat bergoyang akibat

bias tenaga dalam yang menyertai ayunan

kedua tangan Maut Mata Satu, membuat

Maut Mata Satu percaya diri, dan teruskan


ayunan kedua tangannya yang mengarah

pada kepala Dewi Es.

Sejengkal lagi kedua tangan Maut Mata

Satu menggebrak pecah kepala Dewi Es,

perempuan ini angkat kedua tangannya

sekaligus.

Desss! Desss!

Maut Mata Satu berseru keras. Kali ini

bukan hanya kedua tangannya yang baru

saja bentrok dengan kedua tangan Dewi Es

yang mencelat mental namun tubuhnya ikut

tersapu mundur dan kalau saja dia tidak

cepat bisa kuasai diri, niscaya tubuhnya akan

terjengkang roboh di atas tanah berpasir!

Maut Mata Satu sudah kehabisan akal,

hingga jalan satu-satunya adalah langsung

lepaskan pukulan andalan. Kakek ini

sejenak pandangi Dewi Es. Lantas maju tiga

tindak. Tubuhnya tiba-tiba bergetar. Kejap

lain kedua tangannya bergerak

menghantam.

Wuuttt! Wuuttt!

Dari tangan kiri Maut Mata Satu membersit

sinar hitam, sedang dari tangan kanannya

melesat sinar berwarna-warni. Maut Mata

Satu sekaligus telah lepaskan dua pukulan

andalan. Tangan kiri kirimkan pukulan

'Gelombang Kematian' sedang tangan kanan

lepaskan pukulan sakti 'Api Seribu Bunga'!


Hingga seketika itu pula, terdengar deru

gelombang angin dahsyat yang ditingkahi

dengan muncratnya bunga-bunga api

hamparkan hawa luar biasa panas! Dewi Es

pejamkan kembali kelopak matanya. Lalu

kedua tangannya disentakkan keras ke

depan. Dari tangan perempuan ini tampak

muncratan air disusul dengan melanggarnya

gelombang angin dingin.

Terdengar letupan beberapa kali tatkala

bunga-bunga api pecah dan meredup. Sesaat

kemudian terdengar ledakan keras ketika dua

gelombang angin beradu di udara.

Sosok Maut Mata Satu tersapu dan

mencelat lalu jatuh terkapar dengan napas

megap-megap dan tubuh bergetar.

Sementara dari mulutnya mengalir darah

segar akibat bentrokan tadi, kakek bermata

satu ini telah mengalami luka cukup parah di

bagian dalam.

Sementara Dewi Es sendiri tampak terseret

ke belakang dan baru terhenti tatkala

punggungnya menumbuk satu gugusan batu

padas. Namun perempuan ini tidak

mengalami cedera sama sekali, malah

perlahan-lahan dia bergerak bangkit.

Maut Mata Satu bergerak bangkit sambil

mengusap mulutnya yang keluarkan darah.

Diam-diam nyali kakek ini telah menciut,


apalagi ketika matanya menangkap sosok

Ratu Pemikat yang melarikan diri dan melihat

Merak Kawung yang telah jadi mayat. Dia

berpaling ke belakang. Dia jadi terkesiap

tatkala melihat Dewi Seribu Bunga tidak ada

lagi di tempatnya.

Sebenarnya Maut Mata Satu sudah punya

niat untuk meninggalkan pulau melarikan diri,

namun karena Dewi Seribu Bunga tampak

berada jauh ke depan, membuat kakek ini

tampak kebingungan bercampur jengkel,

karena muridnya tidak turuti apa yang

dikatakannya.

Selagi Maut Mata Satu dilanda

kebimbangan, tiba-tiba terdengar satu suara.

"Boleh leluasa tinggalkan pulau, tapi

tinggalkan dulu pakaian yang melekat! Hik...

hik... hik...!"

"Benar! Celananya tampak bagus, aku

menginginkannya!" sahut suara lain. Ternyata

yang keluarkan suara adalah Ratu Malam

dan Iblis Ompong.

"Ah, karena pakaiannya mungkin tak cukup

untukku, aku menginginkan matanya saja!

Meski cuma satu, tapi lumayan! Bisa untuk

melihat tubuh bahenol!" ujar Gendeng

Panuntun. Lalu tertawa bergelak.

"Jahanam! Mereka pasti tak akan

membiarkan orang lolos! Apa boleh buat,


daripada menanggung malu leblh baik

mampus bersama!" putus Maut Mata Satu.

Untuk kedua kalinya, kakek bermata satu

ini melompat ke depan. Dari jarak tujuh

langkah, dia lepaskan pukulan sakti 'Api

Seribu Bunga'.

Dewi Es angkat kedua tangannya ke atas

kepala. Bunga-bunga api yang melesat

tertahan di udara, membuat Maut Mata Satu

tercekat. Dia buru-buru hendak menyingkir,

namun sebelum tubuhnya berkelebat selamat

diri, Dewi Es telah dorong kedua tangannya

ke depan.

Bunga-bunga api berbalik dan kini makin

kencang melesat ke arah Maut Mata Satul

Karena tenaganya telah terkuras, dan lebih-

lebih lagi dirinya telah terluka, meski Maut

Mata Satu masih sempat angkat tangannya

namun bunga-bunga api telah menggebrak

lebih dulu!

Maut Mata Satu perdengarkan pekikan

tinggi. Tubuhnya terhuyung dengan jubah dan

sebagian anggota tubuh berlobang-lobang

terkena hamburan bunga-bunga api. Dari tiap

lobang anggota tubuhnya keluar darah

kehitaman. Sementara dari mulut makin

banyak lagi darah yang mengalir.

'Kalian.... Kalian semua...." Hanya itu

ucapan yang terdengar dari mulut Maut Mata


Satu. Bersamaan itu sosoknya tumbang di

atas tanah dengan nyawa lepas!

***

Ki Buyut Pagar Alam tampak tercekat

tatkala mengetahui Merak Kawung, Datuk

Hitam serta Maut Mata Satu menggeletak

tewas. Apalagi tatkala memandang ke

jurusan agak jauh terlihat Dewi Siluman

terkapar di atas tanah berpasir. Gemuruh

kemarahannya naik ke ubun-ubun. Namun

diam-diam hatinya mulai dirasuki rasa gentar,

apalagi saat dia sudah tidak lagi menangkap

sosok Ratu Pemikat hingga meski sepasang

matanya memandang tajam ke arah Dewa

Sukma yang tegak di depannya, tapi dia juga

mencuri kesempatan untuk edarkan

pandangannya berkeliling. Hai ini membuat

kakek berjubah hitam ini mulai melupakan

tujuannya yang hendak memburu Kitab Serat

Biru. Yang terpikir dalam benaknya sekarang

adalah bagaimana selamatkan diri setidak-

tidaknya bisa lolos dari pulau dengan nyawa

masih utuh.

Rupanya apa yang di dalam otak Ki Buyut

dapat ditangkap oleh Iblis Ompong. Hingga

sambil melangkah mondar-mandir dia berujar.


"Hidup dan mati memang sudah ditentukan.

Tapi mumpung masih ada kesempatan, harap

gunakan otak biar tidak salah jalan. Karena

sekali kaki salah bergerak, nyawa akan

berpindah letak!"

"Jahanam! Apa dikira mereka bisa

seenaknya memindah nyawa orang!" desis Ki

Buyut. Lalu tanpa pedulikan lagi keadaan

sekitar, kakek ini rnelompat ke arah Dewa

Sukma. Kedua tangannya serentak keluar

dari saku jubahnya dan sekonyong-konyong

berkelebat menghantam ke arah dada Dewa

Sukma.

Dewa Sukma lintangkan kedua tangannya

di depan dada. Lalu diangkat ke atas.

Desss! Desss!

Dua pasang tangan bertenaga dalam tinggi

bentrok. Sosok Ki Buyut tetap tegak, namun

wajahnya tampak berubah sementara kedua

tangannya yang baru saja beradu dengan

tangan Dewa Sukma tampak berubah

memerah dan bergetar. Dewa Sukma sendiri

tubuhnya bergoyang lalu kibas-kibaskan

tangannya dengan raut meringis menahan

sakit.

"Aku tak bisa lama-lama! Kulihat Dewi

Siluman pun butuh pertolongan!" gumam Ki

Buyut dalam hati. Lalu melangkah mundur

dua langkah. Kejap lain tangannya telah


kembali bergerak dan kini langsung lepaskan

pukulan 'Kabut Neraka'!

Dewa Sukma tidak berani bertindak

sembrono, karena kali ini 'Kabut Neraka'

dilepaskan sendiri oleh dedengkotnya.

Hingga tatkala kabut hitam telah melabrak,

dia lorotkan sedikit tubuhnya. Kedua

tangannya disentakkan ke depan.

Wuttt! Wuuttt!

Gelombang angin dahsyat melanggar tanpa

terlebih dahulu perdengarkan deruan.

Meski kabut hitam dan gelombang angin

sempat beradu di udara, anehnya tidak

terdengar ledakan, malah seolah tanpa

penghalang sama sekail, baik kabut hitam

pukulan Ki Buyut maupun gelombang angin

pukulan Dewa Sukma terus melesat ke arah

lawan masing-masing!

Dua orang ini sama-sama tersentak kaget.

Namun mereka berdua sudah demikian

terlambat untuk menghindar, hingga tanpa

ampun lagi keduanya sama-sama tersapu

pukulan lawan! Sosok Ki Buyut melenting

deras ke belakang lalu jatuh terkapar dengan

mulut keluarkan darah. Di pihak lain, sosok

Dewa Sukma tampak terhumbalang ke

belakang dan bergedebukan menghantam

batu padas hingga pecah berkeping-keping.

Dari mulutnya juga terlihat darah mengalir!


Melihat hal ini Ki Buyut tampaknya mulai

berpikir lagi tentang keselamatannya. Karena

seandainya dia mampu mengatasi Dewa

Sukma, maka tidak mungkin lagi baginya

menghadapi Ratu Malam atau Iblis Ompong.

Apalagi Ki Buyut telah tahu sampai di mana

katingglan ilmu dua orang tadi. Belum lagi

Jika ditambah dengan Gendeng Panuntun

dan Dewi Es.

Memikir sampai di situ, Ki Buyut segera

bangkit, lalu lemparkan sesuatu ke udara.

Kejap lain di atas udara tampak kepulan asap

hitam!

***

SEMBILAN


GADIS berbaju merah itu tegak dengan

tangan kanan menggenggam Pedang

Tumpul 131 sementara tangan kiri

memegang sarung pedang. Namun belum

sempat tubuhnya bergerak lagi, satu

bayangan merah juga berkelebat dan tahu-

tahu telah tegak dengan sikap menghadang.

"Jangan berani bergerak dari tempatmu!

Dan serahkan pedang itu padaku!" bentak

orang yang tegak menghadang yang bukan

lain adalah Sitoresmi dengan mata nyalang

tak berkesip. Sosoknya masih tampak sedikit

limbung, namun gadis berjubah merah Ini

seolah tidak menghiraukan keadaan dirinya.

Sebaliknya gadis berbaju merah yang

memegang pedang dan bukan lain adalah

Dewi Seribu Bunga menyeringai sambil

berkata keras.

"Sekali lagi kuperingatkan. Jangan berani

buka mulut menuduh yang bukan-bukan! Aku

tidak punya niat untuk memiliki benda ini!"

"Mulut bisa bicara, tapi kenyataannya kau

mengambilnya!" Sitoresmi tak mau kalah. Dia

berkata pula dengan suara keras.

Mungkin karena geram, Dewi Seribu Bunga

melangkah maju satu tindak sambil


membentak. "Kalau aku mengambilnya, kau

mau apa?!"

Sitoresmi tidak segera menjawab ucapan

Dewi Seribu Bunga yang bernada

menantang. Dia tampaknya maklum, dalam

keadaan masih terluka begitu rupa, adalah

tolol jika melayani ucapan orang meski

hatinya panas. Tapi saat itu rupanya

Sitoresmi sudah tidak pikirkan lagi dirinya

yang terluka. Hingga meski dengan menahan

sakit pada dadanya, dia coba kerahkan

tenaga dalam. Namun baru saja salurkan

tenaga dalam, gadis bekas murid Dewi

Siluman ini rasakan peredaran darahnya

menyentak-nyentak. Dadanya berdenyut

nyeri. Dan tak lama kemudian sosoknya

limbung dan jatuh terduduk.

Dewi Seribu Bunga menatap sejenak, lalu

alihkan pandangannya pada Dewi Siluman

dan Pendekar 131 yang bergerak-gerak

hendak bangkit.

"Aku harus selamatkan pedang ini!" gumam

Dewi Seribu Bunga, lalu secepat kilat dia

putar tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat

itu. Namun gerakan murid Maut Mata Satu ini

tertahan, tatkala tiba-tiba dua bayangan telah

berkelebat dan kejap lain teiah tegak di

hadapan Dewi Seribu Bunga.


"Serahkan padaku pedang itu atau kuputus

selembar nyawamu!"

Dewi Seribu Bunga tersentak. Dia cepat

belalakkan sepasang matanya dan

memandang ke depan. Terlihat seorang gadis

cantik berjubah kuning dengan tangan kiri

diangkat seolah siap lepaskan pukulan,

sementara tangan kanan membuat gerakan

seperti orang meminta. Di sebelah gadis

berjubah kuning yang bukan lain adalah

Wulandari, tegak seorang gadis berjubah biru

dan tidak lain Ayu Laksmi adanya.

"Hem.... Kita memang punya urusan yang

belum selesai! Tapi urusan itu akan

kulupakan. Jika kalian angkat kaki enyah dari

hadapanku!" kata Dewi Seribu Bunga sambil

memandang silih berganti.

Wulandari menyeringai. "Jika kau tak mau

turuti ucapanku, berarti urusan lama kita

teruskan! Dan kali ini harus tuntas! Kau

dengar?!”

Di lain pihak, melihat munculnya Wulandari

dan Ayu Laksmi, Sitoresmi makin khawatir.

Namun gadis berjubah merah ini tidak bisa

berbuat banyak, karena saat dia coba lagi

kerahkan tenaga dalam, tubuhnya bergetar

hebat dan peredaran darahnya laksana

tersumbat dan menyentak-nyentak.


"Kalian telah kuberi tawaran, tapi

tampaknya kalian pilih yang lain. Baik.

Pedang ini akan kuserahkan padamu, tapi

kalian harus serahkan nyawa kalian sebagai

gantinya!"

"Keparat!" teriak Wulandari. Lalu gadis

berjubah kuning ini telah melompat dan

segera lepaskan pukulan sakti 'Kabut

Neraka'.

Gadis berjubah kuning ini tidak mau

bertindak ayal, karena lawan yang dihadapi

memegang senjata sakti, hingga dia tidak

berani bentrok jarak dekat, karena bukan

tidak mungkin lawan akan pergunakan

senjata di tangannya, itulah pertimbangan

Wuilandari hingga begitu menyerang dia

langsung lepaskan pukuian 'Kabut Neraka'.

Di pihak lain, begitu kabut berwarna kuning

menggebrak, Dewi Seribu Bunga cepat pula

sentakkan tangannya lepaskan pukuian 'Api

Seribu Bunga'.

Bummm!

Untuk kesekian kalinya, Pulau Biru

diguncang ledakan keras. Sosok Wulandari

dan Dewi Seribu Bunga sama-sama

terpental. Keduanya sama terhuyung-huyung

dengan wajah pucat. Hal ini tak dilewatkan

oleh Ayu Laksmi. Begitu Dewi Seribu Bunga

belum bisa kuasai tubuh, gadis berjubah biru


telah melesat ke depan dengan tangan kanan

memukul ke arah kepala sedangkan tangan

kiri menyambar pedang.

"Pengecut busuk!" maki Dewi Seribu Bunga

dengan raut terkejut besar. Karena

mengkhawatirkan pedang jatuh ke tangan

orang, gadis berbaju merah ini tidak lagi

hiraukan tangan kanan Ayu Laksmi yang

berkelebat ke arah kepalanya. Dia hanya

pusatkan perhatiannya pada tangan kiri Ayu

Laksmi yang menyambar akan mengambil

pedang, hingga tanpa ampun lagi tangan

kanan Ayu Laksmi menghantam kepalanya.

Namun bersamaan dengan itu, Dewi Seribu

Bunga tarik tangannya yang memegang

pedang. Begitu tangan Ayu Laksmi yang

menyambar pedang lolos, dia segera

membabatkan pedang ke tangan lawan.

Bukkk!

Craasss!

Sosok Dewi Seribu Bunga terhuyung deras

ke belakang lalu jatuh telentang dengan

kepala berdenyut sakit. Dari mulutnya tampak

meleleh darah segar, akibat kepalanya

terhantam tangan Ayu Laksmi. Sementara

Ayu Laksmi perdengarkan jeritan tinggi.

Tubuhnya tersentak mundur dengan tangan

kanan pegangi tangan kirinya yang ternyata

telah putus sebatas pergelangan tangan


tangan. Darah tampak mengucur deras dari

pergelangan tangan itu. Dan tak lama

kemudian, tubuh Ayu Laksmi tampak melorot

lalu jatuh terduduk dengan mulut mengerang.

"Setan alas! Aku mengadu jiwa denganmu!"

seru Wulandari tinggi melihat Ayu Laksmi

cedera parah. Lalu tanpa menunggu lama,

dia melesat ke depan dengan tangan kiri

kanan lepaskan pukulan ke arah tangan Dewi

Seribu Bunga yang memegang pedang.

Dewi Seribu Bunga cepat berguling. Namun

Wuiandari tak memberi kesempatan. Ke

mana gulingan tubuh Dewi Seribu Bunga, ke

sana kedua tangan Wuiandari mengarah.

Bahkan kini kaki kanan gadis berjubah kuning

ini mulai ikut bergerak lepaskan tendangan.

Entah karena telah terluka atau percuma

terus menghindar, pada satu kesempatan

Dewi Seribu Bunga hentikan gulingan

tubuhnya lalu serta-merta tangan kirinya

memapak pukulan tangan kanan Wulandari

sementara tangan kanannya membabat

pedang.

Karena tidak menyangka, Wulandari tidak

bisa berkelit lagi. Hingga jika dia tidak

menangkis dengan tangan atau kakinya ke

arah pedang yang kini membabat, niscaya

perutnya akan ambrol.


Dalam keadaan terjepit demikian rupa,

akhirnya Wulandari menangkis dengan

menggunakan kaki kanannya, sementara

kedua tangannya tetap teruskan memukul.

Bukkk! Bukkk! Craaasss!

Terdengar dua jeritan tinggi. Dewi Seribu

Bunga mental dengan pedang lepas dari

genggamannya. Sementara Wulandari

terhuyung lalu roboh dengan kaki kanan

putus sebatas betis!

Karena terpaku dengan Pedang Tumpul

131 yang tergeletak di tanah, baik Ayu

Laksmi maupun Wulandari tidak pedulikan

tangan dan kakinya yang telah putus dan

banyak kucurkan darah. Sebaliknya kedua

gadis ini sama-sama bergerak. Ayu Laksmi

melangkah cepat ke arah pedang, sedang

Wulandari bergulingan mendekat.

Sejengkal lagi tangan kanan Ayu Laksmi

dan tangan Wuiandari menyambar pedang,

tampak bunga-bunga api bertaburan

mengarah pada kedua gadis murid Dewi

Siluman itu.

Dess! Desss! Desss! Desss!

Wulandari dan Ayu Laksmi sama menjerit.

Tubuh keduanya terjengkang roboh dengan

jubah berlobang-lobang demikian juga

sebagian tubuhnya!


Untuk beberapa saat, kedua gadis ini

menggeliat-geliat laksana orang direbus. Tapi

kejap lain tubuh keduanya diam tak bergerak-

gerak lagi!

Di seberang, sosok Dewi Seribu Bunga

yang baru saja lepaskan pukulan Api Seribu

Bunga' tampak pucat pasi lalu kepalanya

terkulai. Gadis ini kehabisan tenaga lalu

telentang pingsan

***

Ketika Dewi Siluman bergerak bangkit dan

melihat asap hitam di udara, perempuan

bercadar dan berjubah hitam ini cepat

berpaling ke arah di mana Ki Buyut Pagar

Alam berada. Sejenak sepasang matanya

dari lobang cadar terlihat mendelik.

"Celaka! Ki Buyut tampaknya perlu

bantuan! Padahal urusanku sendiri belum

selesai!"

Dewi Siiuman palingkan kepalanya pada

Pendekar 131 yang juga telah tegak. Lalu

layangkan pandangannya pada Pedang

Tumpui 131 yang masih tergeletak dengan

sebagian tubuh pedang ternoda darah.

Sepasang matanya hanya menyipit sejurus

tatkala menyaksikan Wulandari dan Ayu

Laksmi telah tidak bergerak-gerak lagi.


"Terpaksa urusan ini harus kutunda...,"

desis Dewi Siiuman, lalu berkelebat ke depan

hendak menyambar pedang yang tergeletak.

Pendekar 131 rupanya sudah waspada. Dia

pun segera berkelebat hendak menyambar

pedangnya. Namun gerakan Dewi Siiuman

dan Pendekar 131 sudah terlambat, karena

bersamaan dengan itu satu bayangan merah

rnendahului melompat dan....

Bukkk!

Sosok merah yang bukan lain adalah

Sitoresmi telungkupkan tubuhnya di atas

Pedang Tumpul 131!

"Bangsat jahanam!" teriak Dewi Siluman

marah. Dla teruskan kelebatan tubuhnya

dengan tangan diangkat ke atas sedang

tangan kiri membuat gerakan mengayun.

Melihat Sitoresmi terancam nyawanya,

Pendekar 131 teruskan juga kelebatannya.

Kedua tangannya segera pula didorong.

Wuuusss!

Dewi Siluman berseru keras. Dia

merasakan dirinya dihantam sapuan

gelombang angin dahsyat yang sangat dingin,

hingga tubuhnya sejenak laksana ditahan dan

tak bisa bergerak maju. Tapi perempuan ini

teruskan pukulannya pada Sitoresmi yang

telungkup di atas Pedang Tumpul 131.

Wuuttt!


Kabut hitam melabrak ganas ke arah

Sitoresmi, membuat murid Pendeta Sinting

terkesiap karena tak mungkin lagi

memangkas pukulan Dewi Siluman yang

sudah begitu dekat dengan Sitoresmi.

Saat setengah depa lagi kabut hitam

menghantam telak sosok Sitoresmi, tiba-tiba

tampak dua cahaya memantul.

Blaappp! Blappp! Bummm!

Kabut hitam bertabur buyar di udara. Sosok

Dewi Siluman terdorong deras ke belakang

sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan

mulut makin banyak keluarkan darah yang

merembes lewat penutup wajahnya.

Di seberang sana, Gendeng Panuntun yang

baru saja selamatkan Sitoresmi tampak usap-

usap cerminnya. Batu yang dibuat sandaran

berguncang keras. Namun Ratu Malam yang

duduk di atas batu tadi sepertinya tidak

merasakan guncangan! Dia enak saja tetap

duduk mencangklong dengan muiut mainkan

gumpalan tembakau hitam.

Sedangkan Sitoresmi yang berada dekat

dengan bentroknya pukulan tampak mental

sejauh dua tombak. Karena keadaannya

sudah terluka, apalagi baru saja terkena

getaran bentroknya pukulan Dewi Siluman

dengan cermin Gendeng Panuntun membuat


Sitoresmi tak bisa berbuat banyak saat

tubuhnya melayang turun.

Ketika setengah tombak lagi tubuh

Sitoresmi menghantam tanah, satu bayangan

berkelebat, lalu telentang menyusur tanah.

Dan....

Blukkk!

Sosok Sitoresmi mendarat di atas tubuh

yang telentang itu.

Sitoresmi yang sesaat tadi tampak pasrah

karena tidak bisa berbuat apa-apa pejamkan

sepasang matanya. Namun ketika menyadari

tubuhnya tidak menghantam tanah, dia

segera buka kelopak matanya. Mungkin

karena senang ada orang selamatkan dirinya

dari menghantam tanah, gadis yang sudah

terluka ini tanpa pikir panjang lagi segera

memeluk orang di bawahnya.

Orang yang berada di bawah tubuh

Sitoresmi sejenak tampak diam saja, namun

tak lama kemudian tubuhnya menggeliat, hal

ini membuat Sitoresmi maiah mempererat

pelukannya karena khawatir dirinya akan

terjatuh terguling.

Saat itulah terdengar suara orang tertawa

cekikikan ditingkah dengan suara berat.

“Kau cekikikan lagi, Sekar Mayang! Ada

apa?!"


Sekar Mayang alias Ratu Maiam putuskan

tawanya. "Setan itu besar sekali rezekinya

hari ini! Tadi punggungnya diciumi

perempuan cantik. Sekarang tubuhnya saling

tindih dan dipeluk erat-erat gadis cantik....

Hik... hlk... hik...l"

Gendeng Panuntun mengeluh. "Dasar

curang! Dia memang sengaja memilih gadis-

gadis agar bisa begitu! Jika tidak, mana

mungkin ada perempuan atau gadis mau

memeluknya! Jangankan memeluk,

berdekatan pun mungkin tak sudi! Mulutnya

yang selalu terbuka itu membuat perut mual!"

"Hai.... Lepaskan pelukanmu...," gumam

orang di bawah Sitoresmi. Seakan baru

tersadar, Sitoresmi cepat longgarkan

pelukannya. Sepasang matanya dibuka. Lalu

kepalanya ditarik ke belakang. Yang terlihat

pertama kali oleh Sitoresmi adalah satu wajah

pucat dengan rambut putih. Lalu sepasang

mata besar. Dan gadis berjubah merah ini

tersentak tatkala melihat mulut orang di

bawahnya terbuka tebar tanpa gigi satu pun!

"Maaf...." Hanya itu suara yang terdengar

parau dari mulut Sitoresmi sambil bergerak

bangkit dengan tubuh limbung dan kejap lain

jatuh terduduk.

Orang yang tadi di bawah tubuh Sitoresmi

dan bukan lain adalah ibiis Ompong usap


usap pakaiannya. Lalu bangkit dan berpaling

pada Pendekar 131.

"Cepat sandarkan dia pada batu dekat

orang buta itu!"

Murid Pendeta Sinting cepat turuti ucapan

Iblis Ompong. Dia melangkah ke arah

Sitoresmi. Gadis ini telah pejamkan sepasang

matanya. Sementara tangan kanannya

tampak gemetar. Di tangan kanan gadis ini

tampak Pedang Tumpul 131.

Dengan periahan-lahan Pedang Tumpul

131 diambil oleh Pendekar 131 lalu diselipkan

di balik pakaiannya. Kedua tangannya lantas

menjulur dan membopong tubuh Sitoresmi

kea rah Gendeng Panuntun.

Di seberang, Dewi Siluman menggeliat

bangkit. Dia memaki panjang pendek tatkala

mengetahui Pedang Tumpul 131 sudah tidak

ada lagi di tempat tadi menggeletak. Dan saat

berpaling dia lihat Ki Buyut memberi isyarat.

Tanpa pedulikan lagi pada kedua muridnya

yang telah tewas, Dewi Siiuman berkelebat

ke arah Ki Buyut Pagar Alam.

***


SEPULUH


KITA harus meloloskan diri! Tidak

mungkin lagi kita menghadapi mereka!"

bisik Ki Buyut begitu Dewi Siiuman

telah tegak di sampingnya.

"Tapi...."

"Dewi! Jangan mencari urusan! Jiwa kita

ada di ujung tanduk!" ujar Ki Buyut

memperingatkan tatkala dilihatnya Dewi

Siluman sepertinya masih enggan

meninggalkan pulau.

"Kau cepat ke arah kereta! Aku menunggu

di pinggir pulau!" sambung Ki Buyut, lalu

hendak berkelebat. Dewi Siluman sendiri

tampak hendak putar tubuh dan berkelebat ke

arah kereta.

Namun belum ada yang sempat berkelebat,

Ratu Malam yang masih duduk di atas

gugusan balu padas berteriak.

"Meski datang tidak diundang, seharusnya

pulang dengan pamit! Lebih dari itu, tak enak

rasanya punya tamu yang masih belum

dikenal wajahnya...."

Dewi Siluman tersentak. Ucapan Ratu

Maiam jelas menghendaki dirinya buka cadar

yang selalu menutupi wajahnya. Dewi

Siluman tampak bergetar, sepasang matanya

membelalak.


"Aku tak akan turuti kata-katanya!" desis

Dewi Siluman. Ki Buyut Pagar Alam sendiri

terlihat tertegun dengan mulut terkancing.

"Betul! Meski mataku tidak bisa melihat,

setidaknya aku bisa mendengar cerita

tentang wajah yang katanya selaju ditutup

cadar hitam! Siapa tahu dugaanku salah!"

sahut Gendeng Panuntun timpal ucapan Ratu

Malam sambil bergerak bangkit karena

Pendekar 131 telah berada d! dekatnya dan

hendak sandarkan tubuh Sitoresmi pada batu

padas yang tadi disandari Gendeng

Panuntun.

"Aku tidak sudi turuti ucapan kalian!" teriak

Dewi Siluman.

"Jika begitu, aku akan minta lebih dari yang

diminta tadi! Bukan hanya minta kau buka

penutup cadarmu, tapi juga minta kau

buka...." Iblis Ompong yang menyahut tidak

lanjutkan ucapannya. Sebaliknya tertawa

bergelak-gelak.

"Walah. Kau selalu membuat dadaku jadi

berdebar-debar dan jakun turun naik! Tapi

cerita-cerita begitu memang lebih sedap

didengar! Ha... ha... ha...!" Gendeng

Panuntun ikut-ikutan tertawa.

"Dewi...," gumam Ki Buyut. "Untuk

sementara ini kita mengalah saja. Turuti apa

yang mereka minta, ini demi keselamatan


kita! Kita masih punya waktu untuk

memperhitungkan pembalasan!"

"Aku tidak mau! Kalau kau takut mati,

silakan pergi dahulu!" sahut Dewi Siluman

dengan menatap tajam pada Ki Buyut.

Ki Buyut gelengkan kepala. "Percuma kau

berkeras kepala! Kau telah terluka.

Membunuhmu, bagi mereka semudah

membalik telapak tangan!"

Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan

Ki Buyut. "Kau tak perlu khawatir. Aku duga,

mereka sebenarnya telah mengetahui siapa

kau sebenarnya. Kalau mereka ingin kau

membuka cadarmu, mungkin hanya untuk

meyakinkan! Jadi tak ada gunanya lagi

bersikap keras kepala!"

Di depan sana, Ratu Malam tiba-tiba

mendongak. "Hari sudah hampir malam. Jika

keadaan gelap, dan aku tak dapat mengenali

wajah di balik cadar, mungkin aku juga minta

tambahan!"

"Dewi.... Cepat buka cadarmu! Ucapan

orang-orang seperti mereka setiap saat bisa

berubah!" ujar Ki Buyut Pagar Alam.

Dewi Siiuman berpaling pada Ratu Malam.

"Baik. Kalian lihat yang jelas!"

Habis berkata begitu, Dewi Siluman angkat

tangan kanannya.

Breettt!


Kain hitam penutup wajah Dewi Siluman

terenggut lepas. Kini tampaklah seraut wajah

cantik jelita dengan mata bulat dan bulu mata

panjang lentik. Bibirnya bagus dan merah.

Hidungnya mancung dengan kulit putih agak

kekuningan.

"Durga Ratih...!" gumam Ratu Malam

hampir berbarengan dengan Iblis Ompong.

Sementara Dewa Sukma hanya terdiam

dengan sepasang mata memandang tak

berkesip. Di sampingnya Dewi Es buka

kelopak matanya sejenak, namun kejap lain

telah memejam kembali.

Untuk beberapa lama suasana hening.

Hanya tampak beberapa pasang mata saling

pandang lalu bersama-sama terarah pada

Dewi Siluman.

Dewi Siluman menyeringai. Lalu tangan

kanannya terangkat kembali hendak

memasang kain cadarnya Namun gerakan

tangan sang Dewi tertahan tatkala tiba-tiba

Dewa Sukma meloncat ke depan dan seolah

hendak menghadang kelebatan KI Buyut dan

Dewi Siluman. Sepasang matanya

mengawasi Dawi Siluman tajam.

Dewi Siluman dan Ki Buyut terkesiap kaget.

"Apa maumu?! Aku telah turuti yang kalian

minta. Jangan tarik ucapan sendirii" teriak


Dewi Siluman sambil balas menatap pada

Dewa Sukma.

"Yang berkata tadi Iblis Ompong dan Ratu

Malam! Aku belum mengatakan apa yang

kuminta!" jawab Dewa Sukma.

"Hem.... Nyatanya kaiian orang-orang yang

tidak bisa pegang janji!"

"Durga Ratih! Aku beium ucapkan janji!"

ujar Dewa Sukma, membuat Durga Ratih

alias Dewi Siiuman menyeringai meski air

mukanya tampak membayangkan rasa takut.

Perempuan cantik ini berpaling pada Ki Buyut

Pagar Alam. Ki Buyut tampak kernyitkan dahi

namun belum juga buka mulut.

Saat itulah tiba-tiba terdengar suara

tergelak berat. Bukan hanya membuat Puiau

Biru bergetar, namun sebagian pasir di pulau

itu tersapu dan membumbung ke udara.

Kejap lain di sela-sela taburan pasir tampak

sebuah benda melayang lalu jatuh menancap

di tengah-tengah pulau!

Ki Buyut dan Dewi Siluman serentak

palingkan kepala masing-masing. Dewa

Sukma menoleh dan terbelalak. Di seberang,

Ratu Malam pentangkan sepasang matanya

yang sipit dengan mulut komat-kamit, Iblis

Ompong tengadah dengan mulut dibuka

lebar-lebar. Dewi Es buka kelopak matanya

lalu memandang tak berkesip. Pendekar 131


yang kini telah tegak di samping Gendeng

Panuntun kerutkan dahi dan ikut-ikutan

belalakkan sepasang matanya.

Bersamaan dengan tertancapnya benda di

tengah pulau, tiba-tiba laksana disentakkan

setan, suara tawa berat yang sempat

membuat pulau bergetar dan pasir bertaburan

lenyap! Gendeng Panuntun mendongak.

"Ada benda menancap, aku mencium

amisnya darah! Heran.... Kenapa orang-orang

mendadak seperti patung tak ada yang

mengoceh?"

"Kek...," sahut murid Pendeta Sinting yang

berada di sampingnya. "Di tengah pulau

memang menancap sebuah tombak terbalik.

Ujung di atas pangkai masuk ke dalam pasir.

Di ujung tombak terlihat tiga buah tengkorak

tersusun berlumuran darah segar!"

Gendeng Panuntun tersurut satu tindak

saking terkejutnya. Kepalanya diluruskan.

Sesaat kemudian dia bergumam.

"Hampir mustahil! Dunia persilatan

tampaknya belum bisa tenang. Bencana lebih

besar akan datang lagi...."

"Kek. Apa sebenarnya ini?!" tanya Joko

dengan mata pandangi ke arah tengah pulau.

"Pintu istana Hantu telah terbuka!

Malapetaka akan terjadi!"

"Kek. Aku tak mengerti maksud ucapanmu!"


"Kelak kau akan mengerti sendiri.... Dan

aku punya dugaan, kaulah kelak yang harus

menghadapinya!"

Di sebelah depan, Dewi Siluman dan Ki

Buyut mundur dua tindak. Tanpa bicara lagi,

Ki Buyut Pagar Alam segera menarik tangan

Dewi Siluman. Keduanya lalu berkelebat

menuju kereta. Kejap lain kereta itu telah

bergerak ke arah pinggir pulau. Hebatnya

meski roda kereta dan kaki ladam kuda

menghentak tanah berpasir serta gugusan

batu padas, tapi tidak ada suara yang

terdengar!

Melihat Dewi Siiuman dan Ki Buyut hendak

meloloskan diri, sementara beberapa orang di

situ sepertinya sepertinya terpaku pada

tombak yang menancap di tengah pulau,

murid Pendeta Sinting berkelebat mengejar.

Namun gerakannya tertahan tatkala tangan

kanan Gendeng Panuntun mencekalnya.

"Biarkan mereka pergi...."

"Tapi, Kek. Orang seperti mereka akan

menjadi duri di kemudian hari!"

"Kau tidak tahu siapa perempuan itu!"

"Peduli apa dengan dia?!"

Gendeng Panuntun gelengkan kepala.

"Dengar, Anak muda! Mendiang guruku

pernah mempunyai seorang murid

perempuan. Karena dia ugal-ugalan dan


selalu melanggar perintah, pada akhirnya dia

diketahui hamii. Dia lantas diusir. Di

kemudian hari dia melahirkan seorang anak

perempuan yang diberi nama Durga Ratih.

Jadi bagaimanapun juga, Durga Ratih masih

saudaraku...."

Murid Pendeta Sinting tercenung dan

akhirnya hanya bisa memandang pada kereta

yang terus bergerak. Sampai ke pinggir

pulau, dengan hanya sentakkan kedua

tangannya, tali pengikat pada leher kuda

terputus. Dan sekali tendangkan kaki, kuda

itu meringkih lalu menghambur bebas. Kini

kereta itu meluncur tanpa kuda dan begitu

mulai menginjak air, Ki Buyut membungkuk.

Trakkk! Trakk!

Dua kayu penyangga kereta bagian depan

patah. Dengan menggunakan patahan

penyangga kereta, Ki Buyut tusukkan ke

dalam air laut. Gerobak kereta itu akhirnya

meluncur deras di atas permukaan air laut.

Dewi Siluman tampak tegak di atas peti putih

di bagian belakang gerobak kereta dengan

kedua tangan bersedekap di depan dada dan

menghadap ke belakang!

"Jangan terpaku pada apa yang terlihat!

Masih ada yang harus dikerjakan!" Tiba-tiba

Gendeng Panuntun berseru. Lalu melangkah


pada batu padas di mana Sitoresmi

bersandar.

Dewa Sukma balikkan tubuh, lalu

melangkah ke arah Gendeng Panuntun. Iblis

Ompong segera pula mendekat. Dewi Es

bergerak bangkit dan melangkah ke arah

tubuh Dewi Seribu Bunga yang tergeletak

pingsan.

Gendeng Panuntun jongkok di samping

tubuh Sitoresmi. Kedua tangannya sejenak

meraba tangan si gadis. Lalu kepalanya

manggut-manggut. Kejap kemudian dia

keluarkan dua butiran hitam dari balik pakaian

hijaunya yang gombrong. Butiran Itu

diserahkan pada Iblis Ompong. Iblis Ompong

menyambuti lalu sambil jongkok, kedua

butiran itu dimasukkan ke dalam mulut

Sitoresmi.

"Kukira urusan di sini telah selesai! Kita

pulang...," kata Dewa Sukma sambil

berpaling pada Dewi Es yang kini telah tegak

sambil membopong tubuh Dewi Seribu

Bunga.

"Biar gadis ini kuurus...," ujar Dewi Es lalu

melangkah mendahului ke pinggir pulau.

Joko bungkukkan tubuh hendak

membopong Sitoresmi yang kini matanya

terpejam dan tampak lemas. Namun buru-

buru Gendeng Panuntun lantangkan tangan


kirinya, membuat gerakan murid Pendeta

Sinting tertahan.

"Gadis ini urusankui" ucap Gendeng

Panuntun lalu sekali sambar tubuh Sitoresmi

telah berada di pundaknya. "Tuntun aku ke

pinggir pulau!"

Akhirnya rombongan itu melangkah ke

pinggir pulau. Tapi sesampainya di pinggir

pulau, mereka tampak kebingungan. Karena

tidak ada satu pun perahu terlihat.

"Tidak mungkin sekarang naik es lagi! Kita

harus cari tumpangan yang layak!" ujar

Gendeng Panuntun setelah mengetahui di

situ tidak ada perahu dan Dewa Sukma

mengusulkan agar Dewi Es membuat

tumpangan es seperti tatkala mereka menuju

Pulau Biru.

Ketika orang-orang sama bingung, tiba-tiba

Joko berteriak.

"Lihat! Ada perahu menuju kemari!"

***



SEBELAS



PERAHU itu meluncur deras menuju

pulau laksana anak panah. Namun

begitu perahu merapat, semua orang

jadi tercengang. Sepasang mata Ratu

Malam tampak bolak-balik memejam

membuka dengan mulut makin keras komat-

kamit. Sementara Iblis Ompong mendongak

dengan mulut dibuka lebar-lebar. Di

sampingnya Dewa Sukma mendelik dengan

mulut terkancing rapat. Dewi Es kernyitkan

kening dengan mata sedikit menyipit. Murid

Pendeta Sinting sendiri mendelik dengan

kepala berpaling ke sana kemari seolah ingin

minta penjelasan. Hanya Gendeng Panuntun

yang tampak tenang-tenang saja. Karena

ternyata perahu itu tidak berpenumpang!

Belum hilang rasa kejut orang, dan belum

sempat ada yang buka suara, tiba-tiba dari

belakang perahu meluncur sebuah papan

kayu yang melaju kencang menerjang

ganasnya gelombang laut. Di atas papan

kayu terlihat seorang kakek berjubah kuning

tanpa leher. Sepasang matanya terpejam

rapat, sementara mulutnya berkemik. Kakek

ini rambutnya putih panjang dikelabang dan

dikalungkan di lehernya. Dia duduk bersila

dengan kedua tangan saling menakup di


bawah dagu. Di belakang kakek berjubah

kuning Ini tegak berdiri seorang laki-laki

berusia lanjut. Wajahnya amat pucat dan

berkeriput. Tapi keriputan wajah kakek ini

hanya merupakan garis samar-samar karena

kulit wajah itu demikian tipis. Rambutnya

yang putih panjang dibiarkan tergerai

melambai-lambai ditiup angin laut. Kumis dan

jenggotnya juga lebat menutupi sebagian

wajahnya. Dia mengenakan jubah besar

kusam yang bertambal-tambal dari beberapa

kain yang berwarna-warni.

Belum sampai papan kayu yang ditumpangi

kedua kakek merapat, dua kakek tersebut

membuat gerakan. Kejap lain tujuh langkah di

samping rombongan orang di Pulau Biru telah

duduk bersila kakek berjubah kuning tanpa

leher, sementara di sampingnya tegak kakek

berjubah kusam bertambal-tambal.

Belum ada yang membuat gerakan,

Pendekar 131 mendahului berkelebat lalu

menjura di depan dua kakek yang baru

datang.

"Eyang.... Manusia Dewa...," kata Joko

begitu mengenali siapa adanya orang.

Kakek berjubah kuning tanpa leher yang

rambutnya dikelabang dan bukan lain

memang Manusia Dewa adanya buka

kelopak matanya, lalu anggukkan kepala


tanpa berucap sepatah kata. Di sebelahnya,

kakek berjubah kusam bertambal-tambai dan

bukan lain Pendeta Sinting adanya tertawa

panjang sambil manggut-manggut. Sepasang

mata kakek Ini lantas mengedar memandang

satu persatu pada semua orang yang ada di

situ. Mulutnya membuka hendak bicara,

namun sebelum ucapannya terdengar, Ratu

Malam telah mendahului.

"Dasar orang sinting! Datangnya jika

urusan sudah selesai! Apa saja yang

dikerjakan?! Padahal kudengar anak belum

punya...!"

"Bagaimana punya anak. Perempuan saja

tidak ada yang mau didekati!" sahut iblis

Ompong, lalu mendekat pada Manusia Dewa

dan berujar.

"Sudah beberapa puluh tahun tidak jumpa,

nyatanya kau masih awet muda, kalau tak

keberatan mau berikan Ilmunya padaku?!

Terimalah hormatku, Manusia Dewa "

"Ah. Ternyata ada sahabat. Kalau benar

yang datang adalah Manusia Dewa dan

sobatku Pendeta Sinting, sungguh ini sebuah

pertemuan yang membahagiakan! Di atas

semua itu, pasti ada hal yang perlu

dibicarakan!" Gendeng Panuntun menyahut

sambil tangan kirinya usap-usap cerminnya.


"Senang sekali Pendeta Sinting dan

Manusia Dewa bisa datang ke sini meski

hidangannya telah habis!" Yang angkat bicara

kali ini adalah Dewa Sukma.

Sedangkan Dewi Es yang membopong

tubuh Dewi Seribu Bunga hanya mengangguk

pada Pendeta Sinting dan Manusia Dewa.

"Maaf sahabat-sahabat...," kata' Manusia

Dewa. "Kami datang terlambat. Namun itu

masih tidak apa daripada tidak datang.

Bukankah begitu Pendeta Sinting...?"

Pendeta Sinting jerengkan sepasang

matanya. “Betul! Meski hidangan telah habis

sesungguhnya masih ada hidangan baru

yang lebih lezat dan memerlukan tenaga lebih

banyak!"

"Eh, sepertinya kedatangan kalian

membawa kabar baru!" ujar Gendeng

Panuntun setelah menyimak kata-kata

Pendeta Sinting.

"Bukan kabar, tapi kenyataan! Tapi untuk

itu biarlah sahabatku Manusia Dewa yang

mengatakannya!"

Suasana sejenak hening. Pendekar 131

melangkah mendekat ke arah Eyang

gurunya. Lalu berbisik.

"Eyang. Ada kabar apa sebenarnya?!"


"Itu nanti akan dikatakan Manusia Dewa.

Sekarang aku tanya padamu. Bagaimana

dengan tugasmu?!"

"Berkat doa restu Eyang, aku berhasil

mendapatkan Kitab Serat Biru...." Joko

hendak keluarkan kitab dari balik pakaiannya,

tapi Pendeta Sinting memberi isyarat agar

muridnya urungkan niat. Kakek ini lantas

berkata.

"Jaga baik-baik kitab itu! Sekarang

dengarkan apa yang diucapkan Manusia

Dewa." Kedua orang murid guru ini sama

berpaling pada Manusia Dewa.

"Sahabat-sahabatku...," Manusia Dewa

muial angkat bicara. "Dua hari yang lalu

rimba persilatan digemparkan dengan

terbunuhnya beberapa tokoh dunia persilatan.

Aku memberitahukan hal ini karena kukira

kalian semua saat itu pasti terpaku pada

urusan Kitab Serat Biru, hingga kemungkinan

besar para sahabat sekalian tidak

mendengarnya. Sebenarnya yang membuat

gempar bukanlah pembunuhan itu sendiri.

Sebaliknya si pembunuhlah yang membuat

orang laksana tersentak. Karena hal seperti

ini pernah terjadi beberapa puluh tahun silam.

Si pembunuh meninggalkan satu tanda begitu

meninggalkan korbannya!" Sejenak Manusia

Dewa hentikan keterangannya. Semua orang


masih diam tak ada yang buka suara.

Manusia Dewa lanjutkan ucapannya.

"Tanda itu adalah sebuah tengkorak yang

masih berlumuran darah!"

Terdengar gumaman tak jelas. Mulut Ratu

Malam makin keras berkomat-kamit. Iblis

Ompong makin lebarkan ngangaan mulutnya.

Dewa Sukma berpaling pada Gendeng

Panuntun. Sementara Dewi Es pejamkan

sepasang matanya.

"Tengkorak Berdarahl" ujar Gendeng

Panuntun.

"Benar! itulah tanda jika yang melakukan

adalah seorang tokoh misterius yang sampai

saat ini belum ada yang tahu siapa

sebenarnya tokoh itu. Hanya karena setiap

kali melakukan pembunuhan meninggalkan

tanda tengkorak berlumur darah, orang-orang

rimba persilatan menjuluki tokoh misterius itu

Tengkorak Berdarah!"

"Berarti Istana Hantu telah terbuka

kembali!" Gendeng Panuntun kembali

berkata.

"Benar! Dengan telah keluarnya Tengkorak

Berdarah, berarti pintu istana Hantu telah

terbuka lagi..."

"Kek. Aku belum mengerti kaitan semua

ini!" kata Pendekar 131.


"Anak muda...," ujar Manusia Dewa.

"Beberapa puluh tahun silam rimba persilatan

pernah digemparkan dengan beberapa

pembunuhan terhadap tokoh-tokoh yang

dilakukan oleh seorang misterius yang

kemudian digelari orang Tengkorak Berdarah.

Tengkorak Berdarah bertempat pada sebuah

istana dekat belantara sunyi. Jika pintu istana

itu terbuka, maka bisa dipastikan ada

beberapa orang terbunuh. Dan begitu

beberapa pembunuhan terhenti, pintu Istana

itu tertutup. Hingga saat ini belum ada

seorang pun yang berhasil menerobos masuk

pintu istana itu, hingga orang menjuluki

tempat itu Istana Hantu!"

"Eyang...," kata Joko pada Pendeta Sinting.

"Kalau tak salah, tengkorak berlumur darah

yang menancap di tengah pulau itu tentu

pekerjaan tokoh yang baru saja dikatakan

Manusia Dewa!"

Pendeta Sinting tampak terkejut. Kepalanya

berpaling ke arah tengah pulau di mana di

situ tertancap sebuah tombak yang dihiasi

tiga tengkorak berlumur darah.

"Astaga! Jadi dia sudah merambah sampai

pulau ini!"

"Aku sejak tadi memang mencium amisnya

darah. Namun tak kusangka jika itu berasal

dari lumuran darah tengkorak...." Manusia


Dewa menggumam lalu ikut berpaling ke

tengah pulau.

"Anak muda! Kudengar kau tadi

mengatakan Kitab Serat Biru. Aku ikut

merasa gembira. Namun lebih dari itu, kau

harus segera mempelajari isinya, karena di

depan sana sudah ada lagi hal yang harus

kau selesaikan!" kata Manusia Dewa seraya

memandang pada Pendekar 131.

Joko masukkan jari kelingkingnya pada

lobang telinganya. "Luar biasa sekali

pendengaran orang tua ini. Namun

ucapannya tadi sepertinya telah

membebankan tugas baru lagi padaku...."

Diam-diam murid Pendeta Sinting membatin.

Joko lantas berbisik pada Eyang gurunya

mengatakan apa yang ada dalam hatinya.

Pendeta Sinting tertawa pendek lalu berujar.

"Sontoloyo! Tanpa bertanya seharusnya

kau sudah mengerti! Dan aku tidak bisa

menjamin apakah aku bisa membantu atau

tidak!"

"Aku juga!" sahut Iblis Ompong. "Urusan

selanjutnya harap kau sendiri yang

selesaikan!"

"Ah. Aku juga tak mau ikut campur!"

Gendeng Panuntun angkat bicara.

"Aku pun tak akan cari urusan baru!" ucap

Ratu Malam menimpali.


"Sahabat-sahabat sekalian. Sebenarnya

urusan ini adalah urusan kita semua sebagai

orang rimba persilatan. Namun kalau sahabat

sekalian punya halangan, apa hendak dikata.

Sekarang semuanya tergantung pada

Pendekar 131!"

"Jika itu demi keselamatan dan ketenangan

dunia persilatan, tanpa bantuan pun aku akan

laksanakan tugas ini!" kata Pendekar 131

sambil memandang satu persatu pada orang

yang ada di tempat itu.

"Hem.... Bagus! Memang itulah watak yang

harus dimiliki seorang pendekar. Gelombang

lautan api, gemuruh ombak bukanlah satu

halangan jika demi keselamatan dunia

persilatan!"

Habis berkata begitu, Manusia Dewa

dongakkan kepala. "Kukira sahabat sekalian

tidak berniat menginap di sini bukan? Nah,

malam tampaknya sudah menjelang, berarti

sudah waktunya untuk tinggalkan tempat ini!"

Tanpa menunggu jawaban. Manusia Dewa

gerakkan bahunya dua kali. Tubuhnya tiba-

tiba melesat dan kejap lain telah duduk

bersila di atas perahu.

"Memang apa enaknya menginap di sini.

Hanya beralas pasir dan berselimut langit.

Hik... hlk... hlk...!" ujar Ratu Malam lalu

berkelebat ke arah perahu.


"Tubuh reot begini memang sudah tidak

seharusnya tidur sembarangan. Apalagi di

tengah gelombang ombak lautan!" timpal Iblis

Ompong lalu ikut melesat ke arah perahu dan

tegak memunggungi Ratu Malam.

Pendekar 131 melangkah cepat ke arah

Dewi Es yang membopong tubuh Dewi Seribu

Bunga. Namun baru saja dekat dan belum

sempat buka mulut bicara, Dewi Es telah

mendahului berkata.

"Untuk sementara kau tak usah tanyakan

urusan gadis ini. Biarlah dia jadi urusanku...."

Murid Pendeta Sinting hanya bisa

mengangguk. Lalu memandang pada

Gendeng Panuntun yang memanggul tubuh

Sitoresmi. Buru-buru Joko mendekat. Namun

lagi-lagi Gendeng Panuntun telah berkata

mendahului.

"Anak muda. Urusanmu di depan masih

besar. Jangan ditambah dengan

mencemaskan gadis ini. Kelak mungkin

kalian akan bertemu lagi.... Sekarang ayo

tunjukkan arah perahu!"

Selesai berkata Gendeng Panuntun

rentangkan tangan kirinya. Namun Joko tidak

segera tuntun Gendeng Panuntun.

Sebaliknya dia palingkan kepala ke belakang.

Karena tiba-tiba murid Pendeta ting Ini

teringat pada Ki Ageng Mangir Jayalaya


namun kakek berjubah putih penjaga Kitab

Serat itu telah tidak ada lagi di tempatnya.

"He.... Kau dengar ucapanku, bukan?!"

Gendeng Panuntun. Pendekar 131 menyengir

lalu menggandeng tangan Gendeng

Panuntun dan melangkah ke arah perahu. Di

belakang mereka menyusul Dewa Sukma dan

Dewi Es.

"Meski tidak ada perempuan yang mau

kudekati, tapi bukan berarti aku senang tidur

di tempat seperti ini!" gumam Pendeta Sinting

lalu berkelebat ke arah perahu.

Tak berselang lama, perahu berpenumpang

sepuluh orang itu meluncur membelah

ombak. Anehnya meski tidak ada satu pun

yang kemudikan perahu dengan mendayung,

namun perahu itu meluncur deras. Yang

tampak hanyalah gerakan-gerakan tangan

yang mengayun ke bawah seoah orang

menari. Tapi begitu gerakan-gerakan tangan

Itu makin keras, perahu melaju makin deras!



                                SELESAI


PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131

JOKO SABLENG


Segera terbit :

seriai Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpu l 131

dalam ep isode :

GERBANG ISTANA HANTU


Share:

0 comments:

Posting Komentar