SATU
MENYEKAP DWITA MEMBUNUH BOMA
ANGIN kencang yang mengeluarkan deru menggidikkan
menyapu kawasan Candi Borobudur. Dalam keadaan seperti
itu satu kejadian luar biasa berlangsung di bagian selatan
bangunan raksasa yang didirikan tahun 800 Masehi itu. Sejak candi
ini dibangun, agaknya baru kali inilah terjadi peristiwa seperti itu. Di
bawah pandangan mata ratusan pengunjung, antara lain
rombongan guru dan para pelajar SMU Nusantara III, tiga orang
terlibat dalam pertarungan maut. Mereka adalah Pangeran
Matahari, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Boma Tri Sumitro pelajar
Kelas II-9 SMU Nusantara III. Secara aneh dan entah bagaimana
kejadiannya Pangeran Matahari menyekap Dwita Tifani dalam
sebuah Stupa. Wiro dan Boma berusaha membebaskan anak
perempuan ini .
Di bawah deru angin kencang yang menyapu permukaan candi,
Pangeran Matahari lepaskan pukulan Telapak Matahari ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng musuh bebuyutannya. Dari telapak
tangan pemuda itu menderu satu gelombang angin panas disertai
suara mendesis menggidikkan. Jangankan manusia, seekor gajah
sekalipun akan leleh dihantam pukulan ini. Pohon atau batu akan
hancur hangus berkeping-keping. Serangan ganas ini dilepas
Pangeran Matahari dari tempatnya berdiri di samping Arca
Amoghasidi di puncak selatan Candi Borobudur.
Dari, kuda-kuda sepasang kaki serta gerakan tangan waktu
melancarkan pukulan, jelas Pangeran Matahari hendak
menghantam Pendekar 212 Wiro Sableng yang berada beberapa
langkah di hadapannya. Tetapi setengah jalan dengan kecepatan
luar biasa dan tidak terduga Pangeran Matahari merubah gerakan.
Pukulan maut Telapak Matahari kini diarahkan pada Boma Tri
Sumitro! Berarti memang anak lelaki inilah sebenarnya yang
menjadi sasaran pukulan maut sang Pangeran!
Dalam kagetnya Wiro berteriak.
"Boma! Awas!"
Boma juga kaget. Tapi anak ini masih bisa menguasai diri. Malah
membuat satu gerakan mengelak dengan memiringkan tubuh lalu
kaki kirinya melesat ke udara, menyambar ke arah dada Pangeran
Matahari.
Boma tidak sadar bahaya apa yang tengah dihadapinya. Dia
tidak tahu pukulan sakti apa yang menghantam ke arahnya.
Sebelumnya, sewaktu Pangeran Matahari mendatanginya di
SMU Nusantara III, Boma memang pernah menghajar pemuda itu
dengan pukulan tangan kiri hingga telinga kanan lawan
mengucurkan darah dan salah satu tulang iganya patah. Saat itu
dia mampu melakukan karena sosoknya tidak kelihatan. Karena dia
mengandalkan kesaktian Batu Penyusup Batin yang dimasukkan
Sinto Gendeng ke dalam tubuh di bawah tulang belikat bahu
kanannya. Tapi kali ini keadaan berbeda. Sosok Boma terlihat jelas.
Ilmu apapun yang telah diterimanya dari Sinto Gendeng tidak
mungkin menyelamatkannya dari pukulan maut Telapak Matahari.
Kakinya yang menendang, bahkan sekujur tubuhnya akan hancur
hangus, leleh, dihantam pukulan Pangeran Matahari.
Boma berteriak keras ketika angin pukulan yang menyambar
masih tiga langkah dari hadapannya membuat sekujur tubuhnya
terasa seperti dipanggang.
"Celaka!" ucap Wiro. Secepat kilat dia melompat mendorong
bahu kiri Boma hingga anak ini terpental ke bawah Stupa,
terhenyak di batu keras. Orang banyak dan teman-teman Boma
berpekikan. Beberapa diantara mereka mendekati anak ini
berusaha menolong tapi Wiro berteriak keras.
"Menyingkir semua! Lari! Menjauh!"
Sambil melompat ke atas menghindari sambaran angin pukulan
Pangeran Matahari, Wiro dorongkan dua tangannya ke arah orang
orang yang ada pada jalur hantaman serangan. Belasan orang yang
ada di depan sana, diantaranya beberapa pelajar SMU Nusantara III
mental bergulingan dilanda dua rangkum gelombang angin yang
keluar dari telapak tangan Wiro kiri kanan. Hanya dengan
mengeluarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera itulah
Wiro berhasil menyelamatkan orang-orang itu. Waktu memukul dia
sengaja mengerahkan sedikit tenaga dalam saja agar tidak ada
yang cidera.
Wiro memang berhasil menyelamatkan Boma dan belasan orang
dari hantaman pukulan Telapak Matahari, namun pukulan sakti
yang lolos itu sesaat lagi pasti akan menghantam Stupa di bawah
sana, terus melabrak dinding candi yang penuh dengan rilief.
"Ya Tuhan!" seru Pendekar 212. Dia tidak mampu berbuat suatu
apapun untuk menyelamatkan Stupa dan dinding candi. Kerusakan
dan kehancuran yang akan terjadi pasti luar biasa hebatnya.
"Pangeran Jahanam! Aku memang tidak bisa mencegahmu
merusak warisan leluhur! Tapi untuk itu aku bersumpah
membunuhmu saat ini juga!"
Wiro tiup telapak tangan kanannya. Detik itu juga di telapak
tangan itu muncul gambar seekor harimau putih dengan sepasang
mata berwarna hijau. Sang pendekar mengeluarkan Pukulan
Harimau Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Dengan pukulan ini Wiro sanggup menghancurkan apa saja. Untuk
melancarkan serangan itu Wiro pergunakan jurus Kilat Menyambar
Puncak Gunung. Gebukan tangan kanannya yang mengandung aji
kesaktian Harimau Dewa laksana kilat berkelebat ke arah kepala
Pangeran Matahari.
Angin pukulan menyambar. Pangeran Matahari merasa seperti
ada ratusan jarum menusuk permukaan kulitnya. Dia segera
maklum kalau lawan tengah mengeluarkan satu pukulan dahsyat
mematikan. Apa lagi pukulan itu diarahkan ke kepala. Satu tangan
memegang kening, satu tangan memegang perut. Lalu Pangeran
Matahari tekan perutnya. Hal ini akan melipatgandakan kekuatan
arus tenaga dalam yang bersumber di perut. Begitu tenaga dalam
yang dahsyat meluncur ke tangan kanannya yang ada di kening,
Pangeran Matahari gerakkan tangan itu dalam jurus Menahan Bumi
Memutar Matahari. Tangan kanan itu membabat ke depan,
menangkis serangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Buukkk!"
Dua tangan pendekar sakti yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi beradu keras. Lalu dua lengan saling
menempel di udara. Masing-masing kerahkan tenaga dalam penuh.
Lantai batu Candi Borobudur yang mereka injak bergetar dan
kepulkan asap. Dari celah dua lengan yang masih terus menempel
dan saling dorong juga kelihatan kepulan asap.
Tiba-tiba Pangeran Matahari angkat kaki kanannya lalu
dihentakkan ke lantai batu. Ini satu gerakan untuk menjebol
pertahanan lawan dengan kekuatan tenaga dalam yang dibantu
dengan kekuatan bumi yang barusan dihunjamnya dengan kaki
kanan.
Ketika merasakan lantai batu bergetar dan ada hawa panas
dahsyat laksana banjir lahar mengalir, ke pergelangan tangannya
Wiro maklum apa yang terjadi. Murid Sinto Gendeng ini berteriak
menggeledek. Dari perutnya menggelegak mengalir hawa dingin
luar biasa, menghantam hawa panas yang dikeluarkan Pangeran
Matahari.
"Desss!"
"Desss"
Dua letupan keras menggema di udara. Kepulan asap kembali
keluar dari celah dua lengan yang masih saling mendorong
bertempelan.
"Celaka!" keluh Pangeran Matahari ketika dia merasa hawa
dingin luar biasa laksana pisau tajam menyayat tangannya,
menusuk ke arah jantung! Sekujur tubuhnya mulai menggigil.
Ketika Wiro sekali lagi keluarkan teriakan menggelegar dan
Pangeran Matahari sambut dengan pekik menggeledek, sosok dua
pendekar itu sama-sama terpental.
Murid Sinto Gendeng terduduk terhenyak di lantai batu, di depan
sebuah Stupa. Untuk beberapa detik lamanya tangan kanannya
sakit bukan kepalang, lumpuh tak bisa digerakkan. Pada bekas
bentrokan lengan kelihatan kemerahan dan mulai menggembung
bengkak. Sepuluh langkah di depan Wiro, Pangeran Matahari jatuh
berlutut. Dari keadaan jatuhnya agaknya dia lebih mampu bertahan
dari pada Wiro. Tapi sebenarnya saat itu murid Si Muka Bangkai ini
menderita cidera yang lebih parah dari yang dialami Wiro. Di
sebelah luar lengannya tampak bengkak dan berwarna putih,
pertanda hawa dingin masih menyelimuti tangan itu. Di sebelah
dalam tulang lengannya ada yang retak. Lalu dadanya mendenyut
sakit, membuatnya susah bernafas. Tulang iganya yang sempat
patah dan saat itu masih dalam penyembuhan kini terasa seperti
putus kembali! Tenaga dalam Wiro yang mengandung hawa dingin
karena tadi dia keluarkan inti kekuatan pukulan sakti Angin Es,
bukan saja berhasil memukul tenaga dalamnya yang bersumber
pada kekuatan panas, tapi juga membuat hawa panas itu berbalik
menciderai tubuhnya bagian dalam. Dan begitu hawa panas ini
ditumpas hawa dingin, sang Pangeran langsung menggigil sampai
gerahamnya keluarkan suara bergemeletakan! Ketika Pangeran
Matahari berusaha menarik nafas dalam-dalam sambil pegangi
dadanya, mulutnya batuk. Diantara ludah yang menyembur terlihat
ada cairan merah. Darah!
***
DUA
PENYELAMAT CANDI TERSEMBUNYI
DINGINLAH tengkuk Pangeran Matahari. Hampir tak bisa dia
mempercayai. Sejak beberapa waktu belakangan ini dia
telah berlatih keras mendalami ilmu silat dan menambah
kekuatan tenaga dalamnya. Ternyata tingkat tenaga dalamnya
masih belum bisa menandingi kehebatan musuh bebuyutannya itu.
"Kurang ajar! Bagaimana mungkin tingkat tenaga dalamku
masih berada di bawah jahanam ini!" Pangeran Matahari merutuki
diri sendiri.
Pangeran Matahari kumpulkan tenaga, lalu bergerak bangkit.
Mukanya kelihatan pucat. Rahang terkatup dan pelipis bergerak-
gerak. Sepasang matanya menyorot tajam dan galak ke arah lawan.
Namun hatinya agak tergetar. Bukan hanya dari akibat bentrokan
kekuatan tadi, tapi juga dikarenakan ada satu kejadian aneh
berlangsung di depan sana. Semua ini membuat otaknya yang
penuh akal cerdik licik saat itu juga serta merta bekerja mencari
jalan keluar dari bahaya.
Ketika Wiro mendorong Boma dan berhasil menyelamatkan
anak ini dari serangan Pangeran Matahari lalu menyelamatkan
banyak orang dari sambaran pukulan Telapak Matahari, pukulan
sakti itu terus menggebu ke arah Stupa. Sesaat lagi pukulan sakti
akan menghancurkan Stupa dan selanjutnya memusnahkan
dinding candi bersejarah itu, tiba-tiba terdengar suara
bergemerincing. Lalu entah dari mana datangnya mendadak
sebuah benda kecoklatan melesat di udara. Begitu cepat daya lesat
dan putarannya hingga sulit dilihat dan dipastikan benda apa itu
adanya. Benda ini menderu menyongsong dan menghadang
pukulan Pangeran Matahari yang siap menghancurkan Stupa dan
dinding relief. Benturan hebat antara benda coklat berputar dan
pukulan sakti tidak terhindarkan lagi.
"Wusss!"
"Wuuut!"
"Braaakkk!"
Benda coklat hancur berkeping-keping. Di udara kelihatan
pancaran cahaya api disusul kepulan asap kelabu. Semua kaki
pengunjung yang menginjak lantai candi sama merasakan
bagaimana lantai batu yang mereka pijak jadi bergetar. Semua
orang, termasuk Pendekar 212 dan Pangeran Matahari tersentak
kaget melihat apa yang terjadi.
"Kurang ajar, ada orang pandai berpihak pada pemuda sableng
ini!" rutuk Pangeran Matahari dalam hati. Sepasang matanya
bergerak berputar. Tapi dia tidak menemukan atau melihat siapa
adanya orang pandai itu diantara orang banyak. "Bangsat itu
agaknya sengaja sembunyikan diri! Sialan. Untuk sementara aku
terpaksa harus menyingkir."
Dari mimik di wajah Pangeran Matahari, Pendekar 212 sudah
maklum apa yang terpikir di benak musuh besarnya itu. Dia cepat
berkelebat sambil berteriak.
"Seorang Pangeran putus nyali! Punya pikiran melarikan diri!
Manusia pengecut! Kau akan mampus hari ini! Di tempat ini!"
Rahang Pangeran Matahari menggembung. Mulutnya dipencong-
kan sebelum membuka suara.
"Hebat! Tidak dinyana kau pandai bicara seperti penyair! Aku
mau lihat, apakah kau juga pandai menyambuti seranganku ini?!"
Pangeran Matahari balas berteriak. Tangan kanannya
dihantamkan ke arah Wiro. Menyangka lawan hendak melancarkan
satu serangan pukulan sakti, murid Sinto Gendeng tidak mau
kepalang tanggung. Dia siapkan Pukulan Sinar Matahari. Tangan
kanannya sebatas siku sampai ke ujung jari serta merta berubah
menjadi seperti perak, putih berkilat menyilaukan!
Tapi untuk kedua kalinya murid Sinto Gendeng ini tertipu.
Pangeran Matahari bukan melancarkan serangan berupa pukulan
sakti, melainkan melemparkan sebuah benda bulat berwarna hijau.
Sebelum Wiro sempat melepas Pukulan Sinar Matahari benda yang
melayang di udara itu meletus.
Kepulan asap kehijauan serta merta membungkus seantero
tempat.
Khawatir asap hijau itu mengandung racun Wiro berteriak agar
semua orang menyingkir jauh-jauh. Orang banyak kembali
berpekikan ketakutan dan menjauh berlarian. Yang tak sempat
menutup jalan nafas, batuk-batuk bahkan ada yang muntah.
Kecuali Wiro, semua orang merasa mata mereka perih. Wiro
merutuk habis-habisan.
"Pangeran licik! Pengecut! Aku tahu nyalimu leleh! Kau mau
kabur!"
Dari balik kepulan asap terdengar tawa bergelak Pangeran
Matahari.
"Pendekar 212! Boma! Aku masih berbaik hati memperpanjang
umur kalian satu dua hari! Aku masih berbaik hati memberi
kesempatan pada kalian untuk meratap menangisi kematian anak
perempuan bernama Dwita yang akan membusuk di dalam Stupa!
Aku akan kembali untuk menghabisi kalian! Ingat hal itu baik-baik!"
"Pangeran jahat! Bebaskan Dwita!" Teriak Boma. Dia hendak
mengejar ke arah terdengarnya suara Pangeran Matahari tapi
lengannya cepat dipegang Wiro. Murid Sinto Gendeng ini tadinya
juga ingin mengejar sambil lepaskan pukulan. Namun tidak tahu
mau mengejar ke arah mana, mau memukul ke jurusan mana
karena kepulan asap hijau masih menutup pemandangan. Salah
bergerak bisa-bisa dibokong Pangeran licik itu. Kalau hal itu terjadi
mungkin dia bisa menghadapi, tapi bagaimana kalau Boma yang
dihantam secara licik? Anak itu pasti menemui ajal secara
mengenaskan!
Ketika asap hijau sirna dan keadaan di tempat itu terang
kembali, seluruh pelajar SMU Nusantara III termasuk Pak Sanyoto
dan Ibu Renata mendatangi Boma yang saat itu masih dipegangi
oleh Wiro.
"Bom, kau tidak apa-apa?" tanya Ronny.
Boma menowel hidungnya, membuat semua temannya tertawa
lalu mengelengkan kepala. Padahal akibat jatuh terhenyak tadi
punggungnya sakit bukan main dan sampai saat itu rasa sakit
masih belum hilang.
"Bom, minum dulu. Mukamu keliatan pucet," kata Vino sambil
mengulurkan sebotol Aqua.
Boma menggeleng. "Jangan pikirin aku. Ingat Dwita! Kita harus
menolong Dwita!"
Wiro pertama sekali berkelebat ke arah Stupa di mana Dwita
tersekap dan masih terbujur pingsan. Boma menyusul lari ke sana
diikuti oleh semua anak-anak SMU Nusantara III. Sulastri, Gita dan
juga Trini serta Ibu Renata bcrteriak-teriak memanggil Dwita.
Namun di dalam Stupa Dwita tidak bergerak tidak bersuara. Anak-
anak perempuan itu terus memanggil-manggil. Suara mereka
kemudian berubah menjadi isak tangis. Mereka tidak pasti apakah
Dwila hanya pingsan atau sudah menjadi mayat!
Boma diikuti Ronny dan Vino, mengelilingi Stupa tapi tidak tahu
bagaimana harus menolong Dwita. Sampai di hadapan Wiro anak
ini berkata.
"Bang, Dwita harus ditolong. Harus dikeluarkan..."
Wiro tidak menjawab. Hanya berdiri menggaruk kepala sambil
memandang ke dalam Stupa. Sikap dan tampangnya seperti orang
bloon tapi sebenarnya saat itu otaknya tengah bekerja.
"Eh, kok Boma manggil Abang sama si gondrong itu?
Memangnya dia siapa?" Sulastri bertanya sambil memegang lengan
Ronny.
"Gue juga nggak kenal," jawab Ronny.
"Dandanannya aneh..." ucap Trini. "Liat, ada tatto di dadanya..."
"Baunya kecut," Si Centil Sulastri kembali menyeletuk.
Yang dirasani rupanya mendengar. Si gondrong murid Sinto
Gendeng itu palingkan kepala ke arah Sulastri. Memandang tak
berkesip.
Sulastri Si Centil jadi grogi.
"Rasain lu! Ngomong seenaknya!" kata Rio.
Tapi Wiro tidak marah malah tersenyum dan kedipkan matanya.
Sulastri jadi lega.
"Bang!" panggil Boma lagi. "Dwita harus dikeluarin dari dalam
Stupa! Tolong Bang!" Boma lalu pegangi salah satu batu Stupa
dengan kedua tangannya. Anak ini kerahkan tenaga. Jangankan
bergeser, bergeming seujung rambutpun batu itu tidak!
"Boma, susunan batu Stupa ini berat sekali. Kau tak bakal bisa
menggesernya..."
"Bang, Stupa ini terbuat dari susunan batu-batu. Kalau salah
satu dijebol pasti yang lainnya ikut terbongkar." Kata Boma tidak
percaya pada ucapan Wiro. Lalu dia berpaling pada Ronny dan Vino.
"Ron, Vin, bantu gua narik batu yang satu ini. Masa sih nggak bisa
dijebol!"
Dibantu Ronny dan Vino Boma kembali berusaha menarik salah
satu batu Stupa. Tetap saja batu itu tidak bergerak. Wiro pegang
bahu Boma. "Jangankan kalian bertiga, semua orang yang ada di
sini tidak bakal bisa menggeser batu itu. Daya tekan batu-batu di
sebelah atas beratnya ratusan kilo. Lalu ada daya tarik bumi di
sebelah bawah..."
"Kalau 'gitu, kita geser batu paling atas di bawah tutup Stupa.
Pasti tekanannya lebih enteng," kata Boma pula sambil
memandang ke bagian atas Stupa lalu siap hendak memanjat.
Wiro cepat pegang pinggang Boma.
"Ada satu hal lagi yang harus kau ketahui..."
"Apaan?" tanya Boma. Kakinya masih setengah menggantung.
"Selain tekanan batu-batu di sebelah atas dan daya tarik bumi di
sebelah bawah, masih ada satu kekuatan lain yang sulit ditembus.
Kekuatan gaib. Kekuatan keramat."
Boma turunkan kedua kakinya ke lantai candi. "Saya tidak
perduli kekuatan apa, Bang. Yang penting Dwita musti ditolong.
Musti dikeluarin!" jawab Boma. Mukanya yang merah disengat
matahari basah oleh keringat. Begitu juga badan dan seluruh
pakaiannya. Tiba-tiba anak ini ingat pada hawa murni yang pernah
diberikan nenek sakti di Gunung Gede lewat tangan kirinya.
Menurut si nenek tangan kirinya itu sanggup memukul mati
seseorang. Kalau dipergunakan untuk memukul batu masakan
tidak jebol?! Rahang Boma menggembung, tenaganya dikumpul,
tangan kirinya diangkat lalu dipukulkan.
Satu jengkal lagi tangan itu akan menghantam batu Stupa,
dengan gerakan kilat Wiro pegang lengan kiri Boma.
"Jangan berlaku tolol! Merusak Stupa bisa berbahaya..."
"Demi keselamatan Dwita, kita harus melakukan apa saja! Kalau
perlu Stupa ini kita hancurkan!"
"Ini bangunan keramat warisan leluhur. Jangan sekali-kali
dirusak."
"Lalu bagaimana kita harus menyelamatkan Dwita?" Ronny yang
berkata. "Kalau Pangeran jahat itu bisa memasukkan Dwita ke
dalam Stupa, pasti ada cara mengeluarkan Dwita...."
"Betul, Bang..." ujar Boma sambil mengusap-usap tinju kirinya
dengan tangan kanan.
"Pangeran Matahari punya ilmu kepandaian yang mungkin orang
lain tidak memilikinya. Kita harus menyelidiki..."
"Menyelidik bagaimana? Berapa lama? Orangnya aja udah kabur
entah kemana!" kata Boma penasaran.
"Sebaiknya kita melapor pada petugas keamanan Candi. Biar
saya yang melakukan. Kalian semua tunggu di sini. Jangan ada
yang berpencar." Pak Sanyoto Guru Olah Raga keluarkan ucapan
untuk pertama kali.
Wiro menggaruk kepala. Saat itulah dia melihat banyak orang
berpakaian seragam bergerak naik ke atas candi. Wiro pegang
bahu Boma dan berbisik. :
"Aku terpaksa pergi dulu. Nanti aku menemuimu lagi."
"Abang mau kemana?" tanya Boma. "Bagaimana Dwita?"
Wiro menjawab dengan membelintangkan jari telunjuknya di
atas mulut lalu kedipkan mata.
"Bang..."
"Ssshhh... Ada Isilop datang. Aku lebih baik pergi. Kalau sampai
kena diusut, ditanyain KTP, bisa berabe. Aku mana gablek KTP!
Selain itu tadi ada orang pandai menolong kita menahan hantaman
pukulan Pangeran Matahari. Aku mau menyelidik dan mencari
siapa dia adanya. Mungkin dia bisa membantu mengeluarkan Dwita
dari dalam Stupa."
Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat. Sebelum lenyap dari
tempat itu dia menyambar tiga buah benda yang bertaburan di
lantai candi sebelah bawah.
"Ajie Gile" kata Andi. "Bisa lenyap kaya setan aja! Bom, lu kenal
dimana Si Abang itu?"
"Isilop? Apaan Isilop?" tanya Vino.
Bagian Candi di sekitar Stupa dimana Dwita tersekap kini
dipenuhi petugas berseragam Candi Borobudur. Lalu dua belas
anggota Polisi juga telah berada di tempat itu.
"Isilop... Isilop," ucap Firman berulang kali. "Eh, pasti yang
dimaksud si gondrong Abang ‘lu itu Polisi. Polisi kalau dibalik 'kan
jadi Isilop. Ngacok aja' tu orang!"
Boma memandang ke bagian bawah candi.
"Ah, Polisi lagi. Urusan lagi..." Ucap Boma dalam hati. Dia
memandang sedih ke dalam Stupa. "Dwita..." suara Boma parau
setengah berbisik. "Kalau bisa biar aku saja yang ada di dalam
sana. Jangan kamu...."
Gita Parwati mendekat, memegang lengan Boma.
"Bom, ini kejadian di luar akal manusia! Mana mungkin ada
orang bisa masuk ke dalam Stupa."
"Buktinya, kamu liat sendiri Git," sahut Boma.
"Ada kekuatan gaib yang menjebloskan Dwita ke dalam Stupa.
Kita hanya bisa minta pada Tuhan agar Dwita bisa diselamatkan..."
Tidak terasa air mata meluncur di pipi si gemuk Gita. Trini yang
selama ini selalu bermusuhan dengan Dwita kelihatan berkaca-
kaca matanya. Sulastri tundukkan kepala, mulutnya komat-kamit
entah apa yang dilafatkan.
"Gimana kalau orang tua Dwita dikasih tau?" kata Sulastri pula.
"Baiknya jangan dulu. Nanti saja," jawab Gita Parwati. Dia
ulurkan tangan, dimasukkan ke dalam Stupa. Aneh, Gita tidak bisa
menyentuh tubuh Dwita, padahal kelihatannya dekat saja. Gita
memberitahu hal itu pada Boma. Berdua dengan Ronny, Boma
memasukkan tangan lewat lobang Stupa. Seperti yang dialami Gita,
kedua anak ini tidak berhasil menyentuh tubuh, kaki atau tangan
Dwita.
"Aneh Ron," bisik Boma.
"Tengkuk gue jadi merinding," sahut Ronny.
"Heran, kok bisa sih kejadian kayak gini," kata Vino pula.
"Jangan-jangan Dwita bikin kesalahan. Jangan-jangan dia kencing
sembarangan. Yang punya tempat marah. Dwita lalu dibekep dalam
Stupa."
"Enak aja lu ngomong!" Ada yang menyeletuk ketus. Ternyata si
gendut Gita Parwati. "Anak cewek nggak pernah kencing
sembarangan 'tau! Kalian 'tuh anak cowok yang suka beser
seenaknya. Kencing berdiri, nggak cebok!"
"Huss, udah! Jangan pada betengkar," kata Ronny Celepuk.
Petugas Kepolisian yang kemudian datang ke tempat itu
bersama petugas kawasan wisata Candi Borobudur meminta para
pengunjung untuk menjauh. Kecuali rombongan anak-anak SMU
Nusantara III dan para guru, semua mereka dimintai keterangan
apa yang telah terjadi. Pengusutan yang dilakukan pihak berwajib
tidak selesai di tempat itu saja. Pak Sanyoto, Ibu Renata, beberapa
pelajar SMU Nusantara III dan beberapa orang pengunjung yang
diperlukan sebagai saksi diminta datang ke sebuah kantor untuk
dimintai keterangan lebih lanjut.
Menurut Polisi walau tidak terjadi kerusakan pada Candi
Borobudur, tapi kejadian itu perlu diusut lebih jauh. Apa lagi disitu
telah terjadi perkelahian antara dua pemuda aneh yang rnelibatkan
seorang pelajar SMU Nusantara III yaitu Boma. Lalu, ini yang luar
biasa, seorang pelajar perempuan yakni Dwita secara diluar akal
berada di dalam Stupa. Ini merupakan satu kejadian besar kedua
yang pasti akan menggegerkan. Peristiwa besar pertama adalah
kejadian peledakan salah satu kawasan Candi beberapa tahun
yang lalu.
"Pak, maaf," kata Boma. "Saya nggak bisa ninggalin teman saya
sendirian di dalam Stupa. Saya mau terus di sini aja, Pak. Nungguin
Dwita."
"Saya juga," kata Gita.
"Saya juga..." kata beberapa anak lainnya lermasuk Trini hampir
berbarangan.
Para Petugas Kepolisian bicara sebentar dengan Pak Sanyoto
dan Ibu Renata. Akhirnya diputuskan hanya kedua guru SMU
Nusantara III itu bersama Boma, Sulastri, Trini, Vino dan Ronny
serta tiga orang pengunjung yang diminta datang ke Kantor. Yang
lain-lain tetap di tempat itu menunggui Dwita yang masih terbaring
pingsan di dalam Stupa, dikawal oleh enam orang petugas
Kepolisian.
TIGA
BOMA DIPERIKSA POLISI
KPADA Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi yang meminta
keterangan, Pak Sanyoto dan Ibu Renata menjelaskan
bahwa mereka baru tahu kejadian Dwita Tifani berada di
dalam Stupa setelah banyak pengunjung berlarian ke tempat itu.
Bagaimana kejadian anak perempuan itu bisa berada di dalam
Stupa mereka tidak bisa menjelaskan.
"Saat orang banyak berlarian, saya tanya sama yang kebetulan
lewat di depan saya. Ada apa Pak? Orang itu bilang ada kejadian
aneh. Ada orang dalam Stupa." Pak Sanyoto memberi keterangan.
Lalu meneruskan. "Saya tanya lagi sama seorang yang lewat di
depan saya. Katanya ada orang gila menculik gadis. Gadisnya
dikurung dalam Stupa. Saya tidak tahu kalau yang ada dalam Stupa
adalah murid SMU Nusantara III. Baru tahu setelah melihat sendiri.
Ternyata Dwita."
Ibu Renata memberi keterangan yang sama dan dikuatkan oleh
tiga pengunjung yang dijadikan saksi. "Waktu saya dan anak-anak
sampai di tempat itu, di dekat Stupa di mana Dwita terkurung,
berdiri seorang lelaki tinggi besar, berambut gondrong. Orang ini
mengaku bernama Pangeran Matahari. Dia mengancam akan
membunuh siapa saja yang berani mendekati Stupa. Waktu dia
berteriak, bangunan Candi serasa bergetar, kami semua berlari
menjauh."
"Orang laki-laki berambut gondrong ini, apa Pak Sanyoto dan Ibu
Rena pernah melihat sebelumnya?"
Dua guru SMU Nusantara III itu sama menggelengkan kepala.
Boma, Ronny dan Vino saling berlirikan. Dari tempatnya duduk Pak
Sanyoto kemudian memandang pada ketiga anak itu. Dia seperti
hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi karena saat itu Serda
Sujiwo bicara, meminta Ibu Renata memberitahu ciri-ciri orang
bernama Pangeran Matahari itu lebih rinci sementara Kopral
Pirngadi mengetik semua keterangan yang diberikan.
"Orangnya tinggi besar Pak. Rambut panjang segini..." Ibu
Renata meletakkan tangan kanannya di belakang punggung.
"Pakaiannya baju dan celana hitam. Pakai mantel hitam. Di dada
bajunya ada gambar gunung dan matahari. Lalu keningnya diikat
kain merah."
"Ada keterangan bahwa orang bernama Pangeran Matahari itu
berteriak mencari seorang anak bernama Boma."
"Boma, ini anaknpa Pak," kata Pak Sanyoto sambil menunjuk
dengan ibu jari tangan kanannya pada Boma yang berdiri di
belakangnya. Tampaknya Guru Olah Raga ini bersemangat sekali
membantu Polisi.
Serda Sujiwo perhatikan Boma sejenak lalu berkata. "Nanti
giliran Dik Boma saya tanyai. Ibu Rena, teruskan keterangan Ibu."
"Waktu Boma tidak muncul, orang bernama Pangeran Matahari
itu lalu memukul ke arah Stupa tempat Dwita terkurung. Saya
melihat ada cahaya angker melesat keluar dari tangannya. Lalu
saat itu tiba-tiba Boma muncul. Tapi disaat yang sama juga muncul
seorang lain. Berpakaian serba putih. Rambutnya gondrong sebahu,
di kepalanya ada sebentuk destar putih. Orang ini agaknya kenal
dengan Pangeran Matahari. Dia berteriak lalu memukulkan tangan.
Saya lihat ada cahaya putih menyembur dari tangannya yang
memukul. Lalu ada letusan keras. Ada hawa panas sekali. Saya dan
semua anak-anak, saya rasa juga semua pengunjung berlarian
menjauh. Gagal mencelakai Dwita di dalam Stupa, orang bernama
Pangeran Matahari itu lalu menyerang Boma. Tapi lagi-lagi lelaki
gondrong berpakaian putih menolong hingga Boma selamat."
Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi memandang ke arah Boma
sesaat.
"Ibu Rena, terima kasih atas keterangan Ibu. Mungkin ada hal
lain yang ingin Ibu sampaikan?"
"Begini Pak, saya minta supaya murid saya Dwita bisa
dikeluarkan dari dalam Stupa secepat mungkin. Saya kawatir..."
"Hal itu sudah kami pikirkan. Beberapa petugas tengah
berunding dengan pihak berwenang yang mengelola kawasan
wisata Candi Borobudur ini," jawab Serda Sujiwo.
"Saya boleh memberi keterangan tambahan sedikit Pak," kata
Pak Sanyoto tiba-tiba.
"Silahkan."
"Kalau saya tidak keliru, orang berpakaian hitam dengan ikat
kepala merah, mengaku bernama Pangeran Matahari itu ciri-cirinya
sama dengan orang gila yang pernah menyerang Boma dan kawan-
kawan di sekolah beberapa minggu lalu. Orang dengan ciri-ciri yang
sama ini juga yang pernah diberitakan dalam koran membunuh
seorang pengamen tua di jembatan penyeberang depan gedung
Sarinah di Jakarta..."
"Brengsek Si Umar," bisik Ronny pada Boma. "Perlu apa dia
ngomong begitu. Nggak ditanya kok nyelonong ngasih keterangan.
Songong! Urusan bisa jadi panjang. Bisa sampai malam kita
nongkrong disini."
Serda Sujiwo berpaling pada Kopral Pirngadi. "Untuk
pengembangan, kontak Jakarta. Pakai jalur komunikasi Pos I"
"Siap Pak," jawab Kopral Pirngadi lalu tinggalkan tempat itu.
Serda Sujiwo memindahkan mesin ketik ke hadapannya lalu
berpaling pada Boma. Setelah menyuruh Boma maju sedikit
anggota Polisi ini mulai menanyai anak ini.
"Orang bernama Pangeran Matahari itu berteriak mencari Dik
Boma. Dik Boma tahu apa sebabnya?"
"Saya... Mungkin dia mau membunuh saya Pak."
Jawaban Boma ini membuat ruangan kantor vang tidak
seberapa besar itu menjadi berisik untuk beberapa lamanya.
"Dari mana tahunya orang itu mau membunuh Dik Boma?"
"Dia jelas mengancam Pak. Kalau saya nggak muncul, dia mau
membunuh Dwita. Lalu waktu saya kemudian muncul, dia
menyerang saya."
"Urusan bunuh membunuh adalah urusan sangat serius.
Merupakan tindak pidana berat. Apa lagi kalau sampai
direncanakan sebelumnya. Nah, Dik Boma tahu mengapa orang
bernama Pangeran Matahari itu berniat jahat mau membunuh Dik
Boma?"
"Saya tidak tau Pak," jawab Boma.
"Menurut Pak Sanyoto tadi, sebelumnya orang itu pernah
menyerang Dik Boma dan kawan-kawan di sekolah."
"Betul, waktu itu saya anggap dia cuma orang gila."
"Dik Boma tidak kenal dengan orang itu? Punya hubungan
sebelumnya?"
"Tidak Pak. Tidak kenal, nggak punya hubungan apa-apa."
"Kalau dia cuma orang gila, bagaimana mungkin bisa mengikuti
Dik Boma sampai di Jogja ini?"
"Saya juga nggak ngarti Pak."
"Setelah gagal membunuh Dik Boma, orang itu melarikan diri.
Tahu larinya kemana?"
"Nggak tau Pak."
Serda Sujiwo membaca apa yang telah diketiknya lalu kembali
mengajukan pertanyaan. "Di tempat kejadian, diketahui muncul
seorang lelaki berpakaian serba putih, rambut gondrong. Kenal
dengan orang ini?"
Boma menowel hidungnya. Dia tidak segera menjawab.
"Bom, lu ditanya kenal nggak? Jawab..." bisik Ronny.
"Nggak kenal Pak," jawab Boma.
"Banyak orang melihat, juga mendengar Dik Boma bicara
dengan orang itu. Malah memanggilnya dengan sebutan Abang.
Kalau tidak kenal bagaimana bisa bicara banyak dan memanggil
Abang?"
"Sebetulnya begini Pak, dibilang kenal nggak. Dibilang tidak
kenal juga sulit. Habis, saya kenal orang itu dalam mimpi."
"Dalam mimpi?" Serda Sujiwo tertawa lebar. Yang lain-lain juga
ikut tertawa kecuali kawan-kawan Boma. Ibu Renata menatap
Boma dari samping dalam herannya.
"Betul Pak, saya nggak bohong," kata Boma. "Saya pertama
sekali melihat orang itu dalam mimpi. Lalu yang beneran tadi di
Candi..."
Serda Sujiwo masih tertawa bahkan kini mengetik sambil
geleng-geleng kepala.
"Tahu siapa nama orang yang Dik Boma panggil Abang itu?"
"Tidak tau Pak."
"Tidak tahu?"
"Betul Pak." Jawab Boma.
"Dik Boma tidak tahu nama orang itu. Tapi orang itu
menyelamatkan Dik Boma dari serangan Pangeran Matahari..."
"Pak, mungkin Bapak nggak percaya."
"Nggak percaya bagaimana? Apa yang saya tidak percaya?"
"Agaknya antara Pangeran Matahari dengan orang yang
menolong saya itu sudah ada perselisihan. Lalu, mereka berdua
bukan makhluk alam kita Pak."
Kembali ruangan kantor itu dipenuhi suara orang. Serda Sujiwo
mengambil rokok dari dalam kantong bajunya. Hendak dinyalakan
tapi tidak jadi. "Dik Boma, saya ada dua pertanyaan. Pertama
bagaimana Dik Boma tahu dua orang itu bukan makhluk alam kita.
Kedua kalau mereka bukan makhluk alam kita lalu makhluk alam
mana?"
"Begini Pak, semua orang tadi melihat, kedua orang itu lenyap
secara aneh. Manusia biasa mana mungkin bisa berbuat begitu.
Pangeran Matahari menyekap Dwita di dalam Stupa..."
"Tidak ada yang melihat dia memasukkan anak perempuan itu
ke dalam Stupa."
"Benar nggak ada yang liat Pak. Tapi dari ucapan-ucapan serta
ancaman-ancamannya jelas dia yang punya pekerjaan..."
"Sulit dibuktikan."
"Bapak sebagai petugas Kepolisian yang harus menyelidik dan
membuktikan." Kata-kata Boma itu membuat Serda Sujiwo agak
terperangah. "Pak,” ucap Boma. "Maaf yang penting saat ini kita
harus berbuat sesuatu. Menolong teman saya keluar dari dalam
Stupa."
Serda Sujiwo mendorong mesin tik di atas meja ke depan,
duduk bersandar ke kursinya, menatap Boma sesaat. Ketika dia
hendak mengatakan sesuatu, Kopral Pirngadi masuk ke ruangan.
"Sudah ada kontak dengan Jakarta Pak. Kapten Heru dari Serse
Polda Jaya ingin bicara dengan Bapak melalui tilpon. Silahkan di
Pos I Pak."
"Sambungkan saja ke sini," kata Serda Sujiwo sambil memegang
tilpon di atas meja, di samping mesin tik.
"Maaf Pak, Kapten Heru yang minta agar Bapak bicara di Pos I
saja..."
Serda Sujiwo mengusap dadanya. "Saya mengerti," katanya
kemudian. Lalu berdiri dari kursi. Sebelum meninggalkan ruangan
dia minta pada semua orang agar mau menunggu sebentar.
Ternyata Sersan Dua itu tidak hanya sebentar. Lebih dari setengah
jam kemudian baru dia kembali. Wajahnya tampak serius. Begitu
duduk di kursi dia segera saja bicara.
"Pak Sanyoto, Ibu Rena dan semua pelajar dari Jakarta. Ternyata
peristiwa yang tengah kita hadapi tidak sesederhana yang saya
sangka. Sebelumnya saya memang mengira bahwa selesai saya
mendapat keterangan, urusannya sementara cukup sampai di sini.
Tapi setelah saya bicara dengan atasan di Jakarta ternyata kita
tengah menghadapi satu perkara besar. Bukan saja menyangkut
perkelahian di Candi tadi yang syukur-syukur tidak menimbulkan
kerusakan ataupun korban jiwa, tapi kejadian ini ada sangkut
pautnya dengan pembunuhan atas diri seorang pengamen di
Jakarta. Saya diberi tahu, pengamen itu sendiri jenazahnya
kemudian dilarikan orang dalam perjalanan ke Rumah Sakit.
Mengingat keterbatasan waktu, tempat serta sarana komunikasi,
saya terpaksa harus membawa Dik Boma sebagai saksi utama ke
Jogja. Di sana akan dilakukan pengusutan lebih lanjut."
"Loh, kok saya ditangkap Pak?" tanya Boma.
***
EMPAT
PERTOLONGAN SANG BOKAP
JANGAN salah sangka. Adik tidak ditangkap. Cuma dibawa ke
Jogja untuk diminta keterangan lebih rinci. Selain itu, ini juga
satu tindakan untuk melindungi, agar tidak terjadi apa-apa
dengan diri Dik Boma."
"Waduh! Berantakan deh acara wisata kita!" kata Ronny.
"Kalau Boma di bawa ke Jogja, kami semua yang ada di sini juga
minta dibawa!" Tiba-tiba Si Centil Sulastri berkata.
"Betul Pak. Kami juga minta dibawa," ikut bersuara semua anak
SMU Nusantara III yang ada dalam ruangan itu.
"Pak, saya mau diapakan saya nggak perduli," kata Boma seraya
melangkah maju mendekati meja Serda Sujiwo. "Tapi yang penting,
saya ingin kawan saya Dwita segera ditolong. Kita sudah
menghabiskan waktu berjam-jam di tempat ini. Sementara teman
saya masih terkurung di dalam Stupa."
"Sebentar lagi aparat dari kawasan wisata akan datang."
"Kalau datang cuma buat nanya ini nanya itu nggak ada gunanya
Pak," Ronny keluarkan ucapan.
"Kami mengerti kekhawatiran kalian. Kami juga tengah
berusaha mencari cara untuk mengeluarkan teman kalian yang ada
di dalam Stupa."
"Dari tadi dia berdua 'kan ada di sini, kapan berusahanya," bisik
Sulastri.
"Pak Sanyoto, mungkin bisa menemani Dik Boma ke Jogja. Yang
lain-lain kembali ke Candi..."
"Hemm, tambah ribet tambah ernpet deh Si Boma kalau sampai
Si Umar ikutan ke Jogja." Bisik Vino.
"Maaf, Pak. Kami tidak kembali ke Candi. Kami semua ikut
kemana Boma dibawa," kata Sulastri pula dengan beraninya sambil
menatap sorotan mata dua petugas Polisi di depannya.
"Kami tidak bisa melakukan permintaan itu. Kami hanya ingin
menanyai Boma..."
"Boma sudah ditanyai. Boma tidak ada sangkut pautnya dengan
kematian pengamen di Jakarta. Saya mohon kami anak-anak
sekolah yang sedang wisata ini jangan dipersusah Pak. Wong
niatnya ingin jalan-jalan kok jadi ngalamin kayak gini."
"Nama Adik siapa?" tanya Serda Sujiwo pada anak perempuan
yang barusan bicara.
"Trini Pak."
"Begini Dik Trini. Kami ini cuma bertugas menjalani perintah
atasan. Atasan bilang Dik Boma harus dibawa ke Jogja, kami hanya
bisa mematuhi. Dik Boma dibawa ke Jogja bukan ditangkap, bukan
mau diapa-apakan, tapi untuk ditanyai. Ini satu tindakan proaktif
untuk menjaga segala kemungkinan agar jangan terjadi apa-apa
dengan diri Dik Boma sendiri dan paling utama tidak terjadi apa-apa
dengan Candi Borobudur."
"Maaf Pak," jawab Trini. "Kalau mau nanyai Boma, mengapa
nggak dilakukan di sini saja? Kami bersedia menunggui sampai
pagi..."
"Sudah Rin, aku nggak keberatan dibawa ke Jogja. Asal Dwita
bisa ditolong..." kata Boma pula.
"Nggak bisa!" jawab Trini. "Kita bukan mau melawan hukum,
bukan mau melawan Bapak Polisi. Tapi apa perlunya kamu dibawa
ke Jogja sementara Dwita sengsara terkurung dalam Stupa. Bahkan
nggak ada petugas medis yang dikirim ke lokasi!"
"Dik Trini, tenang. Saya senang melihat rasa setia kawan Dik
Trini. Begini ya, kalau saya boleh ngomong..."
Ucapan Serda Sujiwo itu segera dipotong oleh Trini.
"Maaf Pak, kalau Bapak bersikeras mau bawa Boma ke Jogja,
boleh nggak kami memberikan jaminan..." `
"Maksud Dik Trini?" tanya Serda Sujiwo.
"Maksud saya soal usut mengusut ini tidak usah diteruskan.
Kalau memang atasan Bapak di Jakarta ingin melanjutkan
penyelidikan, nanti Boma juga akan pulang ke Jakarta. Nanti dia
juga bisa ditanyai di sana."
"Saya bisa mengerti maksud baik Dik Trini. Maunya saya juga
gitu. Tapi saya bekerja atas perintah atasan..."
"Pak, saya boleh minjam tilpon Bapak?"
"Mau nilpon kemana?" yang bertanya Kopral Pirngadi.
"Ke Jakarta."
"Nilpon siapa?"
"Bapak saya," jawab Trini.
"Bisa nanti saja?"
"Maaf Pak, kalau bisa maunya sekarang."
Kopral Pirngadi memandang pada atasannya. Serda Sujiwo
anggukkan kepala.
"Tolong sebutkan nomornya, nanti saya yang nyambungin," kata
Kopral Pirngadi. Trini menyebutkan nomor tilpon yang ditujunya.
Kopral Pirngadi lalu menekan tombol-tombol angka di pesawat
tilpon. Pada nomor terakhir yang ditekannya dia baru sadar dan
memandang pada Trini lalu berpaling pada Serda Sujiwo.
"Lho, ini nomor tilpon Kadit Serse Polda Jaya."
"Memang betul Pak. Bapak saya tugas di sana," Kata Trini pula.
Dia melirik dan sempat melihat perubahan wajah Serda Sujiwo.
"Nama Bapaknya Dik Trini siapa?" tanya Kopral Pirngadi dengan
suara dipelankan sementara menunggu sambungan.
"Kusumo Atmojo."
"Boleh tahu pangkatnya?"
"Letkol."
Serda Sujiwo mengusap rambutnya.
Kopral Pirngadi mengangkat tangan kiri memberi tanda pada
Trini bahwa kontak sudah didapat.
"Selamat siang. Saya Kopral Pirngadi dari, Borobudur. Minta
disambung dengan Letkol Kusumo Atmojo.... Yang mau bicara
puteri beliau. Oh, sebentar..."
Kopral Pirngadi menyerahkan pesawat tilpon pada Trini.
Mendadak saja ada rasa tegang di hati, semua pelajar SMU
Nusantara III yang ada di ruangan itu. Mereka memasang telinga.
Apa yang hendak dibicarakan Trini dengan ayahnya yang Letkol di
Polda Java itu.
"Bapak? Trini Pak.... Di Borobudur...." Trini lalu menceritakan apa
yang telah dan tengah terjadi dengan dirinya dan kawan-kawan
termasuk perihal Boma yang akan dibawa ke Jogja. Setelah bicara
cukup lama sebelum menyerahkan pesawat tilpon pada Serda
Sujiwo Trini berkata pada bapaknya. "Pak, jangan dulu diberi tau
orang tuanya Dwita. Nanti mereka geger. Nanti Trini tilpon lagi dari
wisma." Trini lalu menyerahkan pesawat pada Serda Sujiwo sambil
berkata. "Bapak mau bicara."
Serda Sujiwo cepat mengambil pesawat tilpon. Mula-mula dia
mengucapkan selamat siang setelah itu yang keluar dari mulutnya
berulang kali hanya kata-kata "Siap Pak."
"Siap Pak. Harap bantuannya menghubungi Kapten Heru di
Polda Jaya. Monggo...Maturnuwun.”
Serda Sujiwo meletakkan pesawat tilpon ke tempatnya. Dia
memandang ke arah Pak Sanyoto dan Ibu Renata, lalu pada para
pelajar SMU Nusantara III. Pandangannya terhenti agak lama pada
Boma dan Trini. Semua orang semakin tegang. Serda Polisi itu
hanya memandang dan memandang, tidak mengatakan apa-apa.
Sulit diduga perasaan apa yang ada dibalik air mukanya. Tiba-tiba
wajah itu tersenyum.
"Kalian semua boleh kembali ke Candi. Boma tidak perlu dibawa
ke Jogja. Tapi begitu kembali ke Jakarta harus segera menghubungi
Letkol Kusumo Atmojo."
Kantor yang tak seberapa besar itu riuh oleh pekik sorak
gembira para pelajar SMU Nusantara III. Ibu Renata tersenyum lega.
Pak Sanyoto menarik nafas panjang berulang kali. Semua anak
menyalami Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi. Mereka
mengucapkan terima kasih. Malah Vino mengucapkan terima kasih
pada Serda Sujiwo sambil mencium tangan Polisi itu sampai tiga
kali dengan gaya lucu, membuat Serda Sujiwo tertawa gelak-gelak.
Sambil mengusap kepala Vino Serda Sujiwo berkata.
"Sayang, anak saya lelaki semua. Kalau ada yang perempuan si
ganteng ini pasti saya ambil mantu."
"Nggak usah anak perempuan Pak. Kalau di rumah Bapak ada
kucing atau kambing perempuan juga boleh!" Celetuk Si Centil
Sulastri. Kembali kantor itu ramai oleh gelak tawa. Waktu keluar
dari kantor, Firman mendatangi Trini.
"Wah, Rin. Untung bokap lu yang Letkol nulungin. Kalau nggak
terpaksa babe gue yang Jenderal turun tangan."
"Uhh! Lagak lu!" kata Gita sambil mendorong kepala Firman.
"Kapan 'lu punya bokap Jenderal? Anaknya aja ceking kayak gini,
apa lagi bapaknya. Pasti kayak cicek kering!"
Sembarangan bilang bokap gue ceking. Emangnya lu udeh
pernah ngeliat?" kata Firman sambil monyongkan mulut. "Bapak
gue gendut, lebih gendut dari kamu, tau!"
Gita tak mau kalah. "Kalau bapak lu gendut, kok kamunya
ceking? Berarti kurang gizi kali"'
Beberapa anak termasuk Boma yang mendengar pertengkaran
konyol Firman dan Gita itu mau tak mau jadi pada tertawa. Mereka
sesaat lupa pada Dwita yang berada dalam Stupa.
TAK LAMA setelah rombongan anak-anak itu meninggalkan
Kantor pengelola kawasan wisata Candi Borobudur, dua orang
petugas beseragam menemui Serda Sujiwo. Mereka memberitahu
bahwa seorang ahli yang pernah membantu pemugaran Candi
Borobudur tahun 1973 sampai 1983 tengah dijemput di Muntilan.
Sementara itu pihak Rumah Sakit juga telah dihubungi. Sebuah
ambulans dan tenaga medis akan segera dikirim ke lokasi.
KETIKA berjalan kembali menuju Candi Boma mrndekati Trini
dan memegang tangan anak perempuan itu. Trini berpaling.
Pandangan mata mereka bertemu. Boma agak kikuk. Trini tenang-
tenang saja.
"Rin, aku nggak tau mau bilang gimana...."
"Memangnya kamu mau bilang apa?" tanya Trini sambil senyum.
Jari-jari tangan Boma terasa hangat. Anak perempuan ini merasa
sejuta bahagia. Ini kali pertama Boma memegang tangannya
seperti itu.
"Pokoknya aku terima kasih banget. Kalau kamu sama bokap
kamu nggak nulungin, aku pasti udah dibawa ke Jogja. Dideportasi."
"Deportasi. Keren betul istilahnya," Trini Damayanti tertawa
lebar.
Boma menyengir, lalu menowel hidungnya.
"Rin, aku..."
"Ssshh... Udah, nanti kita ngomong lagi," kata Frini sambil
menarik tangan kirinya dari genggaman Boma. Tangan kiri ini
kemudian digelungkannya sesaat di pinggang anak lelaki itu.
"Dwita, aku kasihan sama dia. Heran. Nggak habis pikir gimana bisa
kejadian seperti itu. Kita musti nolong dia."
Boma melirik. Selama ini hubungan antara Trini dan Dwita tidak
terlalu baik. Mereka bahkan hampir tidak pernah bertegur sapa.
Semua gara-gara ingin mendapat perhatian lebih banyak dari
Boma, terutama Trini yang kalau ngomong ceplas ceplos dan gaya
atau sikapnya bisa membuat orang jengkel. Namun saat itu Boma
melihat kata-kata tadi itu diucapkan Trini dengan wajah polos dan
jujur.
Di sebelah belakang Vino menyentuh lengan Ronny sambil
menunjuk ke arah Boma dan Trini.
"Kenapa, lu ngiri?" tanya Ronny. "Pegang aja tangan Sulastri
kalau pengen..."
"Brengsek lu," gerutu Vino.
"Eh, ada apa nih? Gue denger nama ogut disebut-sebut." Si
Centil Sulastri tahu-tahu sudah menyeruak di antara Vino dan
Ronny.
DI DEPAN rombongan anak-anak yang kembali ke Candi
Borobudur itu berjalan Pak Sanyoto berdampingan dengan Ibu
Renata. Dengan suara seperlahan mungkin, setelah terlebih dulu
menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada pelajar SMU
Nusantara III di belakang mereka, Guru Olah Raga itu berkata.
"Boma, lagi-lagi Boma. Lagi-lagi anak itu. Saya menyesal dia ikut.
Kita semua jadi susah dibuatnya."
Pak Sanyoto memperhatikan wajah Ibu Renata. Setelah
ditunggu Guru Bahasa Inggris ini masih saja diam, Pak Sanyoto
berkata lagi. "Ibu mungkin tidak jengkel, tidak kesal terhadap anak
itu?"
"Yang saya rasakan saat ini Pak, saya capek sekali."
Ibu Renata akhirnya bersuara memberikan jawaban.
"Kalau begitu Ibu tak usah naik ke Candi. Saya temani mencari
tempat yang baik untuk duduk dan istirahat."
"Tidak, saya harus kembali ke Candi. Melihat Dwita. Anak itu
butuh pertolongan kita semua."
Pak Sanyoto terdiam.
Ibu Renata tidak perduli apakah ucapannya itu menyinggung
Pak Sanyoto. Sejak tadi dia ingin menjauhi Guru Olah Raga itu. Tapi
Pak Sanyoto selalu mendatangi mendekatinya.
"Anak itu masih sering ke rumah Ibu Renata?" Meluncur
pertanyaan Pak Sanyoto yang terasa aneh itu di telinga Ibu Renata.
Dalam keadaan seperti itu, adakah pantas mengajukan pertanyaan
semacam itu?
Ibu Renata tidak menjawab. Saat itu mereka sudah sampai di
depan tangga menuju tingkat pertama Candi. Para pengunjung yang
naik dan turun cukup padat.
***
LIMA
DWITA GAGAL DIKELUARKAN DARI DALAM STUPA
KEDATANGAN ahli percandian Drs. Projosastrokusumo Msc
berusia sekitar lima puluh tahun disambut laksana "malaikat
penyelamat" oleh semua orang yang ada di sekitar Stupa
terutama para pelajar SMU Nusantara III. Saat itu hampir jam
empat sore. Sengatan sang surya sudah jauh berkurang. Ahli
percandian bertubuh tinggi kurus dan berkulit pucat ini membawa
sebuah tas besar yang kelihatan cukup berat. Dia datang ditemani
oleh Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi.
Setelah meletakkan tasnya di lantai candi, untuk beberapa lama
Projosastrokusumo memperhatikan sosok Dwita Tifani yang
terbujur di dalam Stupa. Lelaki ini berjalan mengelilingi Stupa satu
kali lalu mendekati Serda Sujiwo yang tegak berdekatan dengan
Pak Sanyoto dan Ibu Renata.
"Bagaimana Mas Projo?" tanya Serda Sujiwo yang sudah kenal
baik dan cukup lama dengan ahli percandian itu.
"Sa...sa...sayya du ...dua pul..puluh tahun leb..lebih
me..mengenal Candi Bor...Borobudur. Bar ...baru kali in ...ini
meng...mengalami kej...kejadi..dian begini. Lu... luar biasa.
Sul...sulit dipercay...cayya."
Ternyata ahli percandian itu seorang gagap.
"Bom, kok 'ni orang ngomongnya kayak gitu?" bisik Vino.
Boma menowel hidungnya dan berpaling. Untuk sesaat dia diam
saja. Tidak menanggapi ucapan Vino. Disamping Vino berdiri Ronny
bersama Firman lalu Sulastri, Gita dan Allan. Mereka semua
kelihatan senyum-senyum.
Boma menowel hidungnya sekali lagi lalu bicara dengan suara
perlahan. "Gua rasa dia kelewat lama main di Candi. Mungkin
dipencet setan Candi jadi begini."
Sulastri dan Gita menekap mulut menahan tawa. Allan
menyengir. Firman memencet hidungnya menahan semburan tawa.
"Pada brengsek lu. Orang mau nulungi temen kita malah dibilang
yang bukan-bukan." Ronny menggerendeng.
"Ngeliat tampangnya gue sangsi dia mampu nolong. Tapi ya kita
doain aja biar dia berhasil," kata Firman.
Dari dalam tas besarnya Proosastrokusumo mengeluarkan
sebuah buku tebal yang sudah lecak. Dia membalik-balik halaman
buku sambil sesekali memperhatikan Stupa di depannya. Buku
dimasukkan kembali ke dalam tas lalu dari dalam tas dikeluarkan
tiga buah dongkrak kecil terbuat dari baja putih.
"Dar ...dari buku cat ...catatan saya, Stupa in..ini sal...sallah satu
yang tet..tetap utuh. Tid..tidak ikut dipug...pugar."
"Mendingan die jangan ngomong deh. Kerja, kerja aja. Peg
...pegel..gu...gue nge.. ngedenger.. ngerin..." Bisik Vino meniru-niru
gagapnya si ahli percandian lalu menyelinap ke belakang si gemuk
Gita begitu Ronny dilihatnya melotot ke arahnya.
Dengan hati-hati Projosastrokusumo memasukkan tiga dongkrak
baja ke dalam tiga buah lobang di bagian paling bawah Stupa. Lalu
tuas pengungkit untuk menaikkan dongkrak pada dongkrak baja di
ujung kanan perlahan-lahan ditekannya ke bawah. Tapi tuas itu
tidak bergerak. Dicobanya sekali lagi. Tuas tetap tidak bergerak.
Dongkrak tidak mau naik. Projo mengeluarkan dongkrak itu dari
dalam lobang lalu memeriksanya. Tuas ditekan kebawah. Tuas bisa
bergerak. Dongkrak dimasukkan kembali ke dalam lobang Stupa.
Ketika ditekan tuas itu tidak mau bergerak.
"An..aneh..." ucap ahli percandian itu. Dipandanginya dongkrak
baja itu sesaat lalu dia beralih pada dongkrak di sebelah tengah.
Hal yang sama terjadi. Tuas dongkrak di sebelah tengah juga tak
bisa ditekan ke bawah. Akibatnya dongkrak tidak naik ke atas.
Seperti tadi Projosastro mengeluarkan dongkrak baja dari dalam
lobang. Diperiksa tak ada yang rusak. Tuas ditekan bergerak ke
bawah. Namun begitu dimasukkan ke dalarn lobang kembali, tuas
tak mau ditekan. Apa vang terjadi dengan dongkrak pertama dan
kedua, terjadi pula dengan dongkrak ke tiga di ujung kiri.
Projosastro kucurkan keringat. Bibirnya digigit. Matanya
menatap tidak percaya pada tiga dongkrak di dalam lobang Stupa.
"Mungkin daya angkat dongkrak ini tidak mampu mengangkat
bagian atas Stupa..." Pak Sanyoto berkata seraya jongkok
disamping Projosastro.
Ahli percandian itu gelengkan kepala. "In ...inni bu..bukan
dong..dongkrak sem...sebar..barangan. Mob..mobbil saj..sajja
bis..bissa diangkat. Say ...sayya mau cob ...cobba lag...lagi."
Heran tapi juga penasaran Projosastrokusumo menekan tuas
dongkrak baja di lobang paling kiri. Tuas tetap tidak berjalan. Berat,
seperti ada yang mengganjal. Projo kerahkan tenaga. Menekan tuas
lebih kuat.
"Kling...."
Tuas baja patah!
Projosastrokusumo tampak kaget. Mukanya pucat. Keringat
tambah banyak membasahi wajah, tengkuk dan tubuhnya.
"Baj...bajja kok ya bisa patah. Say..sayya tid..tiddak
meng...mengerti," kata Projosastro sambil menyeka peluh di
keningnya.
"Ba..bagaimana..manna mung...mungkin baja bis..bissa
pat..pattah."
"Sayy...saayya jug ...jugga tid..tiddakmeng...mengerti.." Ucap Vino
menirukan. Tapi dengan Suara perlahan agar tidak terdengar ahli
percandian itu. Beberapa anak yang berdiri di dekat Vino walau
agak tegang tapi geli juga. Gita yang berdiri di belakang Vino sambil
sembunyikan senyum menggerakkan tangan ke belakang hendak
mencubit. Vino buru-buru menghindar.
Projosastrokusumo memasukkan kembali tiga buah dongkrak
baja ke dalam tas besarnya lalu melangkah mendekati Serda
Sujiwo.
"Pak Jiwo, say..sayya tid..tidak mung...mungkin
men..menerusken. Per..percuma saj..sajja. In..ini dilu..luar
kem..kemampuan say..sayya. Ada...ada sat..sattu ke..kekuatan
ma..magis menghal...hallangi say..sayya."
Semua orang terdiam mendengar ucapan ahli percandian itu.
Pak Sanyoto dan Ibu Renata saling pandang. Serda Sujiwo
memandang pada Kopral Pirngadi lalu membuka topi, mengusap
rambutnya yang basah oleh keringat berulang kali. Semua anak
merasa merinding. Tapi dasar konyol, Vino yang berada di belakang
Gita berbisik.
"Git, gua kira orangnii bohong aja. Sebenernya dia memang
kagak bisa ngeluarin Dwita, lalu bilang ada kekuatan magis segala.
Masa sih jaman sekarang masih ada hal-hal seperti itu. Jangan--
jangan dia bukan ahli pemugaran candi tapi cuman montir delman!"
Dalam keadaan lain Gita mungkin akan tertawa cekikikan
mendengar ucapan Vino itu. Tapi saat itu dia palingkan kepala.
Matanya melotot tapi mulutnya tersenyum. "Lu, jangan ngomong
sembarangan Vin. Kalau tu orang ampe denger..."
Di langit sang surya semakin jauh condong ke barat.
Boma menowel hidungnya. Dia memandang pada teman-
temannya. Pada Pak Sanyoto dan Ibu Renata. Semua mereka
kelihatan terpukul mendengar ucapan ahli percandian itu. Berarti
Dwita tidak bisa ditolong. Tidak bisa dikeluarkan dari dalam Stupa.
Pak Sanyoto kemudian mendekati Projosastro. "Jadi bagaimana
Mas Projo? Apa yang harus kita lakukan. Sebentar lagi malam."
"Ma ...maafken say ...sayya."
Projosastro menutup tas besarnya lalu mendekati Serda Sujiwo.
"Say..sayya sar..saranken menghub...hub...hubungi Ki Tunggul
Sekati. Mung..mungkin beliau bis..bissa meno...nollong."
"Saya pernah mendengar nama orang itu. Tapi tidak tahu
mencari dimana." Kata Serda Sujiwo.
"Set..settahu say ...sayya beliau tid..tiddak lagi bertug...tugas
sebag..baggai Abdi Dalem Punokawan Bagusan. Bel..belliau
ser..serring berada di...di Masjid Besar dekat Alun-alun Lor."
Begitu Drs. Projosastrokusumo meninggalkan tempat itu diantar
Kopral Pirngadi, Firman berkata pada teman-temannya.
"Gua bilang apa, nggak bisa 'kan dia. Dari tampangnya aja udah
ketauan."
"Ga....ga....gatel eh ga...gal," ucap Vino sambil menudingkan ibu
jari ke arah ahli percandian yang menuruni tangga candi di depan
sana diantar Kopral Pirngadi. Semua orang termasuk Ibu Renata,
Pak Sanyoto bahkan Serda Sujiwo tersenyurn mendengar dan
melihat gaya Vino itu.
"Lu dari tadi ngomong kayak gitu, lama-lama lu gagap beneran
Vin," kata Gita Parwati. "Kalau lu sampai gagap, apa Si Centil masih
mau sama kamu." Gita melirik pada Sulastri. Anak perempuan ini
mengepalkan tinjunya.
"Wah..wah. Dikebet boleh aja, Git. Tapi jangan dibacain dong!"
sahut Vino sambil nyengir.
Ibu Renata diikuti Pak Sanyoto mendekati Serda Sujiwo.
"Pak Sujiwo," kata Ibu Renata, "Tadi saya dengar Pak Projo
bilang agar menemui Ki Tunggul Sekati. Siapa orang itu Pak?"
"Mengapa kita disarankan menemui dia?" ' Bertanya Pak
Sanyoto.
"Ki Tunggul Sekati dulunya seorang Punggawa Keraton dari
kelompok Polowijo Bagusan. Setelah uzur dia mengundurkan diri.
Usianya sekarang bisa-bisa delapan puluh tahun lebih. Kabarnya
dia memiliki kemampuan sebagai paranormal tingkat atas.
Kepandaiannya sering dipergunakan untuk mengantisipasi
keadaan. Mas Projo agaknya mengetahui sesuatu dibalik kejadian
ini. Itu sebabnya dia minta kita menemui Ki Tunggul Sekati."
"Pak Sujiwo, kalau memang kita harus menemui orang itu, kita
harus berangkat sekarang juga. Saya minta diijinkan ikut." Berkata
Boma.
"Kalau boleh saya ikut menemani," kata Ibu Renata.
"Saya ikut," kata Trim.
"Saya juga," ujar Pak Sanyoto.
"Sebaiknya jangan terlalu banyak yang pergi. Yang lain-lain biar
disini saja menunggui Dwita. Enarn orang anak buah saya akan
mengawal tempat ini. Saat ini saya rasa ambulans dari Rumah Sakit
sudah ada di bawah. Saya akan minta para petugas medis naik ke
sini."
Sebelum meninggalkan tempat itu Boma menarik tangan Ronny
hingga mereka terpisah agak jauh dari para pelajar lainnya.
"Ada apa Bom?"
"Gini Ron. Gua nggak tau apa orang bernama Ki Tunggul Sekati
itu bisa nolong Dwita keluar dari dalam Stupa. Tapi buat jaga-jaga
gua minta bantuan kamu sama teman-teman."
"Siap Bom, bantuan apa?"
"Kamu liat sendiri dongkrak baja yang dipakai Pak Projo tadi.
Kecil banget. Mungkin benar apa yang Pak Sanyoto bilang. Dongrak
sekecil itu tidak mampu menekan ke atas batu Stupa yang beratnya
ratusan kilo. Begini Ron, kamu sama teman-teman tolong cari
dongkrak mobil. Jangan yang model lipet. Paling sedikit tiga biji.
Nanti kalau ternyata orang tua di Masjid Besar itu tidak bisa
menolong, biar kita sendiri yang ngerjain, ngedongkrak batu Stupa."
"Gila lu Bom! Kamu liat sendiri, dongkrak baja itu sampai patah.
Lagian...Kalau kita sampai merusak Stupa..."
"Aku nggak perduli Ron. Mau rusak kek, mau roboh kek! Yang
penting Dwita bisa dikeluarkan. Urusan belakangan."
"Jangan nekad Bom! Disini banyak Polisi. Pasti..."
"Ahh! Udah!" Boma menowel hidungnya. "Nanti gua sirep
semua..."
"Apa Bom?!" tanya Ronny. Tapi Boma sudah pergi menyusul
Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini.
Setelah Serda Sujiwo, Ibu Renata, Boma dan Trini meninggalkan
tempat itu, Vino berbisik pada Ronny.
"Ron, lu pratiin tampangnya Si Umar. Dia gondok banget nggak
bisa ikut."
"Gue syukurin Vin." Jawab Ronny Celepuk. "Niatnya pasti nggak
bener. Bukan seratus persen mau nolong, tapi cuman mau deketan
terus sama Ibu Renata."
"Gimana kalau sampai malam Dwita masih, belum bisa
dikeluarin?" Gita yang ada di dekat Vino dan Ronny menyatakan
kekawatirannya.
Vino dan Ronny tak bisa menjawab.
Gita berkata lagi. "Gue nggak habis pikir ngeliat keadaannya
Dwita. Anak itu apa pingsan apa gimana? Dari tadi siang nggak
bergerak barang sedikit. Nggak bersuara..."
"Malam hari di tempat ini pasti dingin. Kasihan Dwita. Kita musti
bejejer ngelilingi Stupa agar Dwita tidak kena sapuan angin."
Berkata Vino.
"Kalau nggak ada Polisi rasanya ngeri juga," bisik Gita.
"Nggak ada lampu. Selain dingin pasti gelap. Matek aku. Aku
takut gelap..." menyambung Si Centil Sulastri.
"Gampang, nanti gua suruh Vino ngekepin kamu biar nggak
takut," kata Ronny pada Sulastri.
"Ah, jangan gitu, Ron." Menyahuti Vino. "Yang begitu aku sih
nggak tapi ogah."
Sulastri mengacungkan tinjunya pada Ronny lalu pada Vino.
"Hemm...Di depan kita sih ngasih tinju, di belakang kita ngasih
pipi..." kata Andi yang sejak tadi diam saja. Beberapa anak tertawa
gelak-gelak.
Pak Sanyoto mendekati anak-anak yang asyik bicara.
"Kalian ini ngobrol apa? Ketawa apa? Apa tidak sadar kawan
kalian mengalami musibah? Enaknya malah ngobrol sendiri-sendiri!
Tertawa seperti melihat dagelan saja!"
Semua anak jadi terdiam. Beberapa diantaranya bergerak
menjauh.
"Rasain lu!" kata Gita Parwati sambil mencibir.
KABAR adanya anak perempuan dari Jakarta yang terkurung
secara aneh di dalam Stupa di Candi Borobudur cepat sekali
menebar. Pada sore hari , dimana pengunjung seharusnya telah
berkurang yang naik ke Candi kini sebaliknya orang yang datang
bertambah membludak. Diantara mereka terdapat beberapa orang
wartawan dan juru kamera surat kabar. Ada yang memberitahu
bahwa dua rombongan reporter serta juru kamera Stasiun Televisi
Swasta tengah menuju ke tempat itu.
"Wah, kalau sampai berita Dwita terkurung dalam Stupa ini
masuk tivi, anak-anak SMU Nusantara III di Jakarta pasti geger!"
kata Sulastri pula.
"Seharusnya waktu bicara di tilpon tadi, Trini nggak usah
melarang bokapnya ngasih tau kejadian ini pada orang tua Dwita.
Kalau mereka tau dari orang lain atau dari tivi, bisa-bisa marah
bokap sama nyokapnya Dwita. Kita semua, terutama Si Umar sama
Ibu Renata dianggap nggak punya rasa tanggung jawab."
"Udah, jangan mikirin orang yang jauh-jauh. Pikiran aja Dwita
yang ada di sini," kata Gita Parwati. "Gue mau turun dulu. Nggak
tahan..."
"Nggak tahan apa?" tanya Ronny.
Gita mengecilkan mulutnya lalu berucap perlahan. "Kenciiiing..."
"Ajie Busyet... Mau kencing aja diwarta beritain," kata Firman.
Ronny berpaling pada Allan.
"Lan, temenin tuan puteri yang langsing mau kencing. Cepet
balik, jangan ngacir kemana-mana. Jangan ngerjain yang nggak-
nggak," kata Vino.
"Sok lu. Emangnya gue mau ngerjain apa?"
"Bukan ngerjain, tapi dikerjain," jawab Vino sambil mengedipkan
matanya pada Allan.
"Brengsek lu!" sungut Gita.
"Lan, jangan lupa beli ini. Mulut gue ude asem!" kata Ronny
pada Allan sambil meletakkan dua jari tangannya yang diluruskan di
atas bibir.
"Jagan dibeliin Lan. Biar mulutnya jadi cuka!" kata Gita Parwati
lalu mencibir ke arah Ronny.
***
ENAM
KI TUNGGUL SEKATI
MEMASUKI Kawasan Keraton Kesultanan Yogyakarta pada
malam hari tidak semudah siang hari seperti
berkunjungnya wisatawan. Untung ada Serda Sujiwo yang
cukup dikenal oleh sebagian pengawal dan kerabat Keraton.
Masjid Besar terletak di sebelah barat Alun-alun Lor.
Bangunannya berbentuk pendopo besar dengan serambi cukup
luas di sebelah depan. Seorang lelaki tua berkacamata,
mengenakan jas putih dan blangkon hitam di kepalanya, yang oleh
Serda Sujiwo dipanggil dengan nama Pak Gondo mengantarkan ke
empat orang itu sampai di depan Masjid Besar. Sebelum masuk ke
dalam bangunan dia melepaskan sandal lalu meminta Serda Sujiwo
dan Boma membuka sepatu masing-masing. Ibu Renata dan Trini
disuruh menunggu dekat sebuah bangunan bernama Pagongan.
Konon biasanya dibangunan ini sebuah gamelan besar dibunyikan
selama satu minggu menjelang Perayaan Maulud Nabi Muhammad
SAW.
Boma melangkah di samping Serda Sujiwo, mengikuti Pak
Gondo. Di dalam bangunan mesjid tidak seorangpun kelihatan.
Boma tengah menghitung-hitung jumlah tiang kayu jati bulat
penyanggah atap yang ada dalam bangunan Masjid Besar ketika
lapat-lapat dia mendengar suara orang mengaji. Suara itu perlahan
saja, tapi menimbulkan gema sejuk di seantero bangunan.
Di dekat sebuah tiang bulat kayu jati lelaki berjas putih duduk
bersimpuh di lantai. Dia memberi isyarat pada kedua orang yang
ada di belakangnya agar ikut duduk. Rupanya orang yang mengaji
berada di balik tiang besar. Dari tempatnya duduk baik Boma
maupun Serda Sujiwo tidak dapat melihat orang itu. Dan lelaki
berjas putih, Pak Gondo, agaknya hanya bersikap menunggu, tidak
berani menganggu. Boma merasa pinggangnya seperti mau patah
dan pantatnya sudah pedas karena setelah menunggu sekian lama
orang dibalik tiang besar baru mengakhiri kajiannya. Orang berjas
putih, dengan beringsut-ingsut bergerak mendekati tiang besar.
Lalu dia membungkuk memberi salam sambil mengulurkan tangan
bersalaman dan mencium tangan orang di balik tiang. Kemudian
kedua orang itu bercakap perlahan sekali dalarn bahasa Jawa.
Tak selang berapa lama Pak Gondo memberi isyarat pada Serda
Sujiwo dan Boma untuk datang mendekat. Ketika Boma bersama
Serda Sujiwo sampai di sebelah Pak Gondo, dekat tiang kayu jati
besar bulat, untuk pertama kalinya anak ini melihat orang yang tadi
hanya didengarnya suaranya. Seorang tua berusia lebih dari
delapan puluh tahun dengan kumis, janggut dan alis putih, namun
berwajah merah segar seperti bayi. Sepasang matanya hitam
berkilat dan tajam tapi sejuk menatap ke arah Serda Sujiwo dan
Boma.
Di pangkuan orang tua itu atau di lantai mesjid tidak ada Kitab
Al Qur'an. Berarti orang ini hafal dan mengaji ayat-ayat suci Al
Qur'an di luar kepala.
Yang membuat Boma maupun Serda Sujiwo agak tertegun ialah
karena tidak menyangka orang tua itu bertubuh cebol. Dia
mengenakan baju lengan panjang hitam, sehelai kain panjang batik
dan sebuah blangkon.
Pak Gondo mengatakan sesuatu pada Serda Sujiwo. Serda
Sujiwo kemudian memberitahu Boma bahwa orang tua yang duduk
di depan tiang besar kayu jati itu adalah Ki Tunggul Sekati, orang
yang mereka cari. Sebelumnya anggota Polisi ini sudah sering
keluar masuk Keraton untuk berbagai keperluan. Beberapa
keluarga dekatnya ada yang jadi Abdi Dalem. Namun baru sekali itu
dia bertemu dengan orang tua bernama Ki Tunggul Sekati. Sebelum
mengundurkan diri orang tua ini dulunya adalah salah seorang Abdi
Dalem Punokawan golongan Polowijo - Cebolan yang biasa juga
disebut golongan Bagusan.
Dalam bahasa Jawa yang tidak dimengerti Boma Serda Sujiwo
menerangkan bahwa mereka tahu tentang orang tua itu dari
Projosastrokusumo, ahli percandian itu. Serda Sujiwo kemudian
merunduk menyalami Ki Tunggul Sekati. Boma maju mendekat,
merunduk bersalaman dan mencium tangan orang tua itu. Ketika
Boma mencium punggung tangan Ki Tunggul Sekati, dia mencium
bau wangi sekali dan merasa hawa wangi itu merasuk masuk ke
jalan pernafasannya hingga dadanya terasa sejuk dan lega. Boma
ingat kejadian ketika nenek sakti di Gunung Gede memasukkan
hawa murni ke dalam tangan kirinya. Keadaannya saat itu hampir
sama dengan yang dialaminya sekarang hanya saja hawa yang
keluar dari tangan orang tua cebol itu menebar bau harum.
Serda Sujiwo kemudian memberitahu maksud kedatangannya.
Namun Ki Tunggul Sekati mengangkat tangan kanannya dan
bertanya.
"Magrib hampir berlalu. Saat sembahyang lsya akan segera
datang. Apakah kalian berdua sudah melakukan sembahyang
Magrib?"
"Maaf, Kek, kami memang belum sembahyang Magrib." Boma
mendahului menjawab polos.
Dipanggil Kakek, Ki Tunggul Sekati tersenyum.
"Ambil air wudhu, laksanakan sembahyang Magrib lebih dulu.
Nanti baru kita bicara."
Setelah sembahyang Magrib kedua orang itu kembali menemui
Ki Tunggul Sekati. Serda Sujiwo memberitahu apa yang terjadi. Si
orang tua mendengarkan dengan dua mata dipejamkan. Tubuhnya
tidak bergerak bahkan tidak kelihatan dia seperti bernafas.
Punggung dan kepalanya disandarkan ke tiang besar kayu jati.
Boma berpikir-pikir apakah Ki Tunggul Sekati mendengar atau
sedang tidur. Dan anak ini jadi melengak ketika dari mulut orang
tua itu terdengar suara mengorok.
Serda Sujiwo hentikan ceritanya. Dia ingin Ki Tunggul
mendengar semua apa yang diterangkan. Tapi kalau orang yang
dihadapinya tidur, buat apa dia terus bercerita. Boma sendiri
merasa heran melihat perilaku orang tua bertubuh cebol ini.
Hidungnya ditowel beberapa kali.
Pak Gondo tepuk bahu Serda Sujiwo lalu berbisik. "Terus saja
Dik Jiwo, teruskan ceritanya."
Serda Sujiwo, juga Boma, memandang pada Pak Gondo,
memperhatikan Ki Tunggul Sekati lalu kembali berpaling pada Pak
Gondo. Orang tua berkacamata ini anggukkan kepala, kembali
berkata agar Serda Sujiwo meneruskan ceritanya. Dengan berbisik
Pak Gondo berucap. "Beliau tidak tidur, beliau mendengar semua
yang Dik Gondo ucapkan."
Setelah memperhatikan wajah Ki Tunggul Sekati sesaat, Serda
Sujiwo kembali meneruskan ceritanya. Pada akhir cerita dia minta
agar Ki Tunggul Sekati bersedia menolong membebaskan anak
perempuan yang terkurung di dalam Stupa. Paling tidak memberi
petunjuk apa yang harus mereka lakukan.
Begitu Serda Sujiwo selesai bercerita, sepasang mata Ki Tunggul
Sekati perlahan-lahan terbuka. Orang tua ini mengusap wajahnya
yang kelihatan lebih jernih dan lebih segar. Blangkon di atas
kepalanya dirapikan.
"Siapa nama anak perempuan yang ada dalam Stupa?" Tiba-tiba
Ki Tunggul Sekati ajukan pertanyaan.
"Dwita. Dwita Tifani." Boma yang menjawab.
Dua mata si kakek menatap ke arah Boma. Ketika Boma balas
menatap, sepasang matanya terasa bergetar.
"Anak sendiri namanya siapa?"
"Saya Boma. Boma Tri Sumitro."
Ki Tunggul Sekati mengangguk-angguk sambil menyebut nama
Boma beberapa kali.
"Stupa, tempat anak perempuan itu dikurung, Stupa apa? Arca
apa yang ada di dalamnya?" Ki Tunggul Sekati bertanya lagi.
Serda Sujiwo tidak ingat, tidak begitu jelas Stupa atau Arca yang
ada dalam Stupa di mana Dwita disekap Pangeran Matahari. Dia
memandang pada Boma.
"Dik Boma tahu? Ingat?" tanya Serda Sujiwo.
"Kalau saya tidak salah, arca dalam Stupa itu adalah Arca
Amoghasidi."
"Pasti?" tanya Ki Tunggul Sekati.
Boma menowel hidungnya.
"Pasti."
"Kalau memang anak itu berada dalam Stupa Amoghasidi,
berarti tidak ada yang dikawatirkan. Dia pasti bisa diselamatkan."
"Bagaimana caranya Kek? Kakek sendiri yang nolong?" tanya
Boma.
"Setiap Arca Amoghasidi mengambil sikap duduk dengan tangan
kiri diletakkan di atas pangkuan, tangan kanan dikembangkan,
telapak terbuka menghadap ke depan. Ini adalah sikap
Abhayamudra yang berarti jangan takut, jangan gentar."
Boma diam-diam merasa kesal. Pertanyaannya tidak dijawab.
Anak ini lantas keluarkan ucapan.
"Berarti Arca itu yang akan menolong membebaskan kawan
saya?"
Ki Tunggul Sekati tertawa. Tangan kirinya diulurkan. Boma
kaget. Jarak antara dia duduk dan si kakek cukup jauh, yang jelas
lebih dari satu jangkauan tangan. Apa lagi dengan keadaan
tubuhnya yang cebol begitu, jarak antara dirinya dengan si kakek
jadi tambah jauh. Namun anehnya tangan kiri Ki Tunggul Sekati
mampu memegang kepala Boma dan mengusapnya beberapa kali.
Seperti tadi ketika mencium tangan orang tua itu, saat itu Boma
merasa ada hawa aneh keluar dari tangan Ki Tunggul Sekati
mengalir masuk ke dalam kepalanya. Boma melihat bagian dalam
Masjid Besar yang tadinya agak redup karena memang kurang
penerangan kini seperti terang benderang.
"Anak, Arca itu hanya benda mati. Terbuat dari batu. Tidak
bernafas, tidak bisa bergerak. Berarti tidak bisa menolong. Namun
jika Yang Maha Kuasa mau berbuat sesuatu, apa saja bisa
dilakukanNya."
“Lalu bagaimana dengan teman saya Kek?" Boma masih belum
jelas bagaimana caranya orang tua itu menolong Dwita keluar dari
dalam Stupa.
"Benar, Ki Tunggul," ikut berucap Serda Sujiwo. "Mungkin Ki
Tunggul tahu bagaimana caranya."
"Saya tidak tahu caranya. Saya tidak punya kepandaian apa-
apa."
Boma seperti dihenyakkan ke lantai mesjid mendengar kata
kata orang tua itti. Serda Sujiwo terdiam. Pak Gondo juga diarn tapi
tampak tenang.
"Sialan," Boma memaki dalam hati. "Ahli percandian itu jangan-
jangan asal sebut saja. Menyuruh menemui kakek cebol ini.
Padahal dia tidak bisa berbuat apa-apa! Ngabisin waktu aja! Buat
apa lama-lama di sini?!" Boma berpaling pada Serda Sujiwo,
maksudnya mau memberi tanda agar mereka segera saja
meninggalkan tempat itu. Namun saat itu terdengar Ki Tunggul
Sekati berkata.
"Anak Boma, ulurkan tangan kirimu."
Boma melakukan apa yang dikatakan Ki Tunggul Sekati. Orang
tua ini perhatikan telapak tangan Boma. Matanya sesaat membesar
lalu kepala diangkat menatap anak lelaki di hadapannya itu. Ki
Tunggul Sekati mendongak, pejamkan mata. Mulutnya berucap.
"Ganti, ulurkan tangan kanan."
Boma ulurkan tangan kanannya. Si orang tua masih terus
mendongak, tidak melihat atau memperhatikan telapak tangan
Boma. Tapi ujung jari-jari tangannya diusapkan pulang balik di atas
permukaan telapak tangan hingga anak ini tersentak-sentak dan
hendak menarik tangannya.
"Kenapa?" tanya Ki Tunggul Sekati.
"Geli Kek," jawab Boma.
Orang tua itu tertawa.
"Kalau anak perempuan cantik yang mengusap telapak
tanganmu, apa kau juga merasa geli? Ha ...ha...ha." Orang tua ini
pandai juga bergurau rupanya. Kepalanya yang sejak tadi
mendongak diturunkan. Telapak tangan kanannya ditempelkan ke
telapak tangan kanan Boma lalu berkata." Den Bagus, ada yang
ingin kenal denganmu."
"Ingin kenal dengan saya? Siapa Kek?" tanya Boma.
"Saya tidak mau mendahului aturan. Nanti kau tahu sendiri..."
"Kek, kami datang kesini mau minta tolong. Menyelamatkan
teman saya...."
"Saya tahu....Saya tahu." Jawab Ki Tunggul Sekati. "Di luar sana,
ada dua orang perempuan. Masih muda-muda. Seperti kakak adik
dan cantik-cantik. Mereka datang bersamamu. Siapa mereka?"'
Boma terkejut mendengar pertanyaan Ki Tunggul Sekati. Orang
tua ini sejak mereka datangi berada dalam bangunan Masjid Besar.
Bagaimana dia bisa tahu kalau di luar sana ada Ibu Renata dan
Trini.
"Yang di luar itu Ibu Renata, Guru Bahasa lnggris. Sama kawan
saya satu sekolah, Trini."
Ki Tunggul Sekati tersenyum, kedipkan matanya. "Anak Boma
ulurkan tangan kananmu."
"Mau diapain lagi?" pikir Boma. Tapi dia menurut juga. Tangan
kanannya diulurkan.
Begitu Boma mengulurkan tangan kanan, Ki Tunggul Sekati
ulurkan pula tangan kanannya. Sebuah benda bulat dan hangat
diletakkannya di atas telapak tangan Boma.
"Pegang baik-baik, jangan sampai jatuh. Jangan sampai pecah."
Kata si orang tua bertubuh cebol itu lalu menarik tangannya
kembali.
Boma perhatikan benda di atas telapak tangannya. Ternyata
sebutir telur ayam. Dengan tangan kirinya Boma menowel
hidungnya. Anak ini heran, bingung. Mungkin juga tidak percaya.
Telur didekatkan ke depan matanya untuk memastikan itu memang
telur betulan.
Tadi waktu Ki Tunggul Sekati menggerakkan tangan kanannya,
jelas Boma melihat tangan itu kosong. Lalu bagaimana tahu-tahu Ki
Tunggul Sekati bisa menaruhkan sebutir telur ayam di telapak
tangannya? Dari mana telur itu datangnya? Untuk apa? Mau
digoreng, atau direbus? Boma menowel hidungnya sekali lagi.
Mendadak dia ingat. Ada ilmu aneh. Seseorang bisa membuat
lenyap atau memindahkan "telur" orang lain dari tempat semula ke
mana saja dia suka. Termasuk menempelkannya di jidat. Boma
susupkan tangan kirinya ke bawah perut. Meraba-raba.
Ki Tunggul Sekati tertawa mengekeh.
"Masih lengkap dua-duanya?" tanya orang tua ini.
Wajah Boma bersemu merah. Ki Tunggul Seka kembali
terkekeh.
***
TUJUH
NENEK BUNGKUK DI BAWAH POHON BERINGIN
ANAK Boma, dengar baik-baik. Telur ayam itu harus selalu kau
pegang di tangan kanan. Jangan dimasukkan dalam saku,
jangan dipindah ke tangan kiri. Kau dan Dimas Sujiwo masuk
ke dalam Keraton, harus keluar menempuh jalan yang sama.
Keluar dari pintu gerbang, membelok ke kanan. Ikuti tembok
Keraton. Pada belokan pertama ke kanan, kalian akan berpapasan
dengan seseorang. Boma, kau harus memberikan telur ayam itu
pada orang yang kau temui itu. Jika dia memberikan sesuatu
padamu, ambil dengan tangan kiri. Benda itu harus kau bawa ke
Candi Borobudur. Letakkan di dalam salah satu lobang sebelah
bawah Stupa dimana anak perempuan temanmu terkurung. Pada
pertengahan malam, tepatnya jam dua belas sesuatu akan terjadi.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih Maha Penyayang
akan menolong sahabatmu itu."
Boma sesaat terdiam.
"Ada yang hendak kau tanyakan?"
"Orang di tikungan tembok Keraton itu, Kek. Bagaimana ciri-
cirinya? Lelaki atau perempuan. Masih muda atau sudah tua?"
Ki Tunggul Sekati tersenyum.
"Kau akan menemuinya. Kau tak bakal kesalahan."
Boma perhatikan telur ayam di tangan kanannya
"Pergilah sekarang. Cepat kembali ke Candi. Orang-orang disana
menunggumu penuh cemas. Dik Gondo, antarkan mereka sampai
di pintu keluar."
Pak Gondo lelaki tua berkaca mata dan mengenakan jas putih
membungkuk. Serda Sujiwo juga membungkuk dan mengucapkan
terima kasih lalu bangkit berdiri. Boma juga mengucapkan, terima
kasih. Anak ini bermaksud menyalami Ki Tunggul Sekati tapi karena
tangan kanannya memegang telur maka dia ulurkan tangan kiri
menarik tangan kanan si kakek lalu menciumnya.
"Terima kasih Kek."
"Anak baik, pergilah."
Boma mengucapkan terima kasih sekali lagi. Baru beberapa
langkah berjalan, masih di dalam Masjid Besar itu, di belakang
sana terdengar kembali suara Ki Tunggul Sekati mengaji
melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an.
Tak selang berapa lama satu suara halus mengiang di telinga
kiri Ki Tunggul Sekati.
"Aki Cebol sahabatku, kau tahu aku tidak mungkin masuk ke
dalam Masjid Besar. Kalau sudah selesai dengan ibadahmu, aku
tunggu kau di bawah pohon beringin di seberang Bangsal
Kemagangan...."
Ki Tunggul Sekati angguk-anggukkan kepala tapi terus saja
mengaji. Tak lama kemudian baru orang tua ini hentikan kajiannya.
Dia merapikan pakaian dan blangkonnya lalu bangkit berdiri,
melangkah perlahan sampai di langkan mesjid. Di sini keadaan
agak gelap. Ki Tunggul Sekati turun dari langkan. Tapi dua kakinya
seperti tidak menginjak tanah. Sekali tubuhnya berkelebat maka
diapun lenyap di dalam bayang-bayang gelap bangunan di
sekitarnya.
KI TUNGGUL Sekati sampai di depan pohon beringin besar. Di
bawah pohon keadaannya gelap sekali. Tapi sepasang mata hitam
berkilat dan tajam orang tua bertubuh cebol itu dapat melihat satu
sosok bungkuk berdiri di bawah pohon raksasa itu bertopang pada
sebuah tongkat.
"Sinto.... Ternyata kau masih tidak berubah,” Ki Tunggul Sekati
menyapa orang di bawah pohon.
Yang disapa keluarkan tawa cekikikan. Lalu menjawab. Dari
suaranya ternyata dia seorang perempuan tua. Mungkin tak kalah
tua dari Ki Tunggul Sekati. .
"Aku tahu maksudmu. Dalam gelap kau pasti tidak bisa melihat
wajahku. Tapi dari jauh kauu bisa mencium bau pesing pakaianku.
Bukan begitu? Hik..hik...hik!"
Ki Tunggul Sekati ikutan tertawa. Dia berhenti lima langkah dari
hadapan orang bungkuk bertongkat.
"Ki Tunggul sahabatku, aku tahu kau orang yang lebih banyak
mempergunakan waktu untuk ibadah pada Gusti Allah. Karenanya
aku tak mau berlama-lama mengganggumu. Aku hanya ingin tahu.
Apakah anak gendeng itu sudah menemuimu?
"Maksudmu anak lelaki jangkung bernama Boma Tri Sumitro?"
"Betul."
"Yang telapak tangan kirinya ada garis bersilang membentuk
kali?"
"Benar."
"Ketika aku memperhatikan telapak kiri anak itu, aku melihat
ada kilasan cahaya putih kebiruan. Apakah kau telah memberikan
hawa sakti kepadanya, Sinto?"
"Ya, dugaanmu tidak salah."
"Hawa sakti itu bukan hawa sembarangan. Kalau dipergunakan
keliru bisa membunuh orang lain. Apa lagi kalau dipakai untuk hal-
hal yang tidak benar. Bisa menimbulkan malapetaka."
"Aku mengerti maksud ucapanmu, Ki Tunggul. Aku tidak
bertindak sembarangan. Sebelumnya aku telah lebih dulu
menyelidik dan mengawasi anak itu selama lima tahun sebelum
menyalurkan hawa murni itu ke dalam tubuhnya."
"Aku percaya padamu. Aku sudah bertemu anak itu. Walau
hanya sebentar tapi memang kelihatannya dia anak baik. Tapi
kenapa kau memberikan hawa murni itu padanya?"
"Sahabatku, harap maafkan. Saat ini aku tidak bisa
memberitahu padamu. Bukan aku tidak percaya, tapi aku tidak
ingin menambahkan beban pikiran padamu. Lagi pula kita hidup di
dalam alam yang berbeda. Apa yang kau pikir, kau lihat dan kau
kerjakan berbeda dengan apa yang aku pikir, aku lihat dan aku
kerjakan. Tapi aku ingin meyakinkan satu hal padamu. Apa yang
aku dan teman-teman kerjakan adalah untuk kebaikan bagi banyak
orang."
"Teman-teman? Jadi kau tidak bekerja sendirian Sinto?" tanya Ki
Tunggul Sekati.
Si nenek sakti dari puncak Gunung Gede tertawa perlahan.
"Sinto Gendeng itu bisanya apa? Mana bisa aku berbuat banyak
tanpa bantuan para sahabat orang-orang pandai termasuk muridku
Anak Setan bernama Wiro Sableng itu. Lagi pula, yang namanya
kejahatan itu punya seribu muka, punya seribu kaki tangan. Kalau
dihadapi seorang diri siapa yang mampu? Kejahatan harus
ditumpas secara bersama-sama, harus tegas dan tuntas. Kalau
tidak kejahatan itu sendiri yang akan menggusur kita."
Ki Tunggul Sekati manggut-manggut. "Kau bilang aku ini orang
yang banyak menghabiskan waktu untuk ibadah. Tapi satu kali aku
pernah menonton cerita di televisi..."
"Binatang apa itu? Aku orak ngerti."
Ki Tunggul Sekati tersenyum. "Televisi bukan binatang, Sinto.
Tapi kotak yang ada layar kacanya. Di layar itu bisa keluar segala
macam gambar..."
"Ooo... aku kira itu semacam pertunjukan panggung wayang
wong Hik...hik...hik. Sahabatku, cerita apa yang kau tonton di
televisi itu."
"Cerita tentang orang-orang dari alam yang berlainan. Mereka
masuk ke bumi untuk menumpas arang-orang jahat. Kata orang
ceritanya berseri. Namanya X Files."
"Wah, keren sekali. Bahasa apa itu?" tanya Sinto Gendeng
sambil senyum-senyum.
Ki Tunggul Sekati juga tersenyum.
"Sinto, kembali pada anak bernama Boma itu. Mengapa kau
menyebut anak itu anak gendeng?"
Si nenek menyengir.
"Sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Aku cuma senang saja
dengan bahasa-bahasa seperti itu. Gendeng, sableng..."
"Hemm, apa kabar muridmu yang kau panggil Wiro Sableng itu?"
"Dia baik-baik saja. Dia kuminta berada di sekitar sini, tolong
memperhatikan anak-anak itu."
"Dia mau melakukan? Meninggalkan alamnya masuk ke alam
sini?"
"Kenapa tidak? Anak-anak perempuan teman si Boma Gendeng
itu banyak yang cantik-cantik. Anak Setan itu pasti ngiler.
Hik..hik...hik!" Setelah tertawa panjang orang di bawah gelapnya
bayangan pohon beringin raksasa yang bukan lain Sinto Gendeng
adanya meneruskan ucapannya.
"Ki Tunggul, pertemuanmu dengan Boma, apakah membawa
kemungkinan untuk menolong anak perempuan yang dikurung
dalam Stupa itu?"
"Aku menolong sebisaku. Semua keputusan berada di tangan
Yang Maha Kuasa. Aku telah memberikan bekal pada anak itu.
Tetapi sesuatu tak akan terjadi kalau kau tidak ikut turun tangan
membantu. Sebelum tengah malam kau harus sudah berada di
Candi. Mudah-mudahan tepat tengah malam nanti segala
malapetaka akan musnah. Anak perempuan itu akan tertolong..."
"Aku sangat berterima kasih padamu sahabatku."
"Sinto, aku menaruh firasat. Mungkin akan ada kejadian susulan
yang membuat diriku dan dirimu tidak bisa tenteram. Jadi selama
anak-anak itu berada di sini, harap kau mau berjaga-jaga..."
"Sekali lagi aku berterima kasih atas petunjukmu. Aku mohon
diri sekarang. Selamat tinggal Ki Tunggul Sekati."
"Tunggu. Aku punya satu permintaan."
"Apa?"
"Kalau apa yang kita lakukan tidak bisa menolong anak itu
keluar dari dalam Stupa, jangan kau mengambil keputusan gila.
Menghancurkan Stupa itu."
Sinto Gendeng menyeringai.
"Aku tidak bisa berjanji apa-apa Ki Tunggul. Tapi aku sangat
memperhatikan ucapanmu itu."
"Satu lagi. Perhatikan baik-baik anak bernama Boma itu."
"Aahhhh...." Sinto Gendeng tersenyum. "Berarti apa yang aku
pikir dan aku lihat, sekali ini sama dengan apa yang kau pikir dan
kau lihat. Jangan kawatir sahabatku. Anak itu akan aku perhatikan
baik-baik." Nenek ini lalu melintangkan tongkat kayunya di atas
dada lalu membungkuk memberi penghormatan.
"Sinto, kau tidak usah menghormat membungkuk padaku. Dari
tadi kau sudah berdiri membungkuk terbungkuk-bungkuk. Ha
...ha...ha!"
Gema tawa Ki Tunggul masih terdengar di sekitar pohon beringin
raksasa tapi orangnya sendiri sudah lenyap dari tempat itu.
***
DELAPAN
TELUR DITUKAR TELUR
KELUAR dari pintu gerbang Keraton, berjalan menyusuri
trotoar di sepanjang tembok Keraton, Ibu Renata dan Trini
yang sejak tadi diam saja tidak dapat menahan diri untuk
bertanya. Angin bertiup kencang. Udara terasa dingin dan keadaan
di jalan agak sepi. Sebuah andong kosong, lewat. Serda Sujiwo
menggelengkan kepala ketika kusir andong menawarkan untuk
naik.
“Bom, kamu ketemu sama orang bernama Ki Tunggul Sekati
itu?" tanya Trini.
Boma mengangguk. "Orangnya udah tua. Kate, cebol."
"Dia bisa menolong mengeluarkan Dwita dari dalam Stupa?"
tanya Ibu Renata. "Belum tau, Bu."
"Lho, kok belum tau?" ujar Trini. Dia melirik ke arah tangan
kanan Boma yang sejak tadi dilihatnya selalu dalam keadaan
tergenggam.
Boma diam saja.
"Kita harus mencari taksi. Kita harus segera kembali ke Candi.
Kasihan Dwita ditinggal lama-lama." Kata Ibu Renata. Guru Bahasa
Inggris ini juga tidak mengerti mengapa Boma berkata seperti itu.
Jika kejadiannya seperti ini mengapa harus pergi jauh-jauh,
menghabiskan waktu tanpa hasil yang jelas.
"Sebentar Bu, kita harus menernui seseorang," jawab Boma.
"Siapa?" tanya Guru Bahasa Inggris itu.
"Belum tau, Bu."
"Lagi-lagi belum tau! Kamu kok ngomongnya jadi aneh sih Bom?
Siapa yang mau kita temuin? Orang macam Ki Tunggul Sekati lagi?
Lalu nemuinnya dimana?"
"Tenang aja Rin. Sebentar lagi bakal ketauan," kata Boma pula.
Memandang ke depan, hanya beberapa meter lagi mereka akan
sampai di tikungan pertama tembok Keraton. Tempat itu agak
redup karena kurang penerangan. Boma merasa tegang. Soalnya
dia juga tidak tahu mau bertemu dengan siapa. Orang tua cebol di
dalam mesjid itu tidak memberi tahu. Serda Sujiwo melangkah
dengan perasaan tercekat. Seumur hidup jadi Polisi baru sekali ini
dia menghadapi urusan begini rupa. Lebih menegangkan dari
mengejar seorang buronan perampok atau pembumuh.
Seperti Trini, Ibu Renata juga memperhatikan tangan kanan
Boma. Dia ingin tahu apa yang sejak tadi digenggam anak ini.
Tikungan tembok Keraton hanya tinggal beberapa langkah.
Keempat orang yang melangkah ke arah tikungan jalan itu
mendengar suara sesuatu. Suara berkerincing. Lalu seperti ada
orang bernyanyi menggumam. Dari balik tikungan tembok tiba-tiba
muncul seorang lelaki memakai jas lurik dan kain panjang,
bersepatu sandal dan sebuah blangkon yang agak kebesaran.
Orang ini memiliki tompel besar di pipi kanannya. Demikian
cepatnya dia berjalan hingga hampir menabrak Boma dan Serda
Sujiwo. Tampangnya seperti meringis. Matanya dipelototkan pada
Boma. Dari mulutnya terdengar suara menggerutu. Orang ini melirik
pada Ibu Renata dan Trini lalu melangkah pergi lebih cepat.
"Dik Boma, mungkin dia orangnya yang dikatakan Ki Tunggul
Sekati." Bisik Serda Sujiwo.
Boma berpendapat sama. Lalu berbalik mengejar orang itu.
Merasa dikejar, lelaki berblangkon kebesaran ini mempercepat
jalannya, malah kini setengah berlari.
"Pak, Pak! Tunggu!" seru Boma lalu lari rnengejar.
Orang tadi tidak berhenti. Sambil terus berjalan cepat dia
bertanya pada Boma.
"Situ mau apa?"
Boma buka tangannya yang menggenggam. Memperlihatkan
telur ayam. Orang itu melangkah terus tapi delikkan matanya besar
besar.
"Situ maunya apa, toh?!"
"Saya dipesan harus memberikan telor ini pada Bapak."
“Wong aneh! Sopo yang nyuruh situ. Lha, telurnya buat apa
sama aku? Ada-ada saja! Saya ini sedang sakit perut! Mules! Mau
buru-buru pulang buang air besar! Situ malah mengganggu!" Habis
berkata begitu setengah berlari, sambil menyingsingkan kainnya
dengan cepat lelaki itu tinggalkan Boma.
Boma hentikan langkahnya.
"Sial!" Anak ini memaki dalam hati, lalu menowel hidungnya
dengan tangan kiri.
Saat itu Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini telah berada di dekat
Boma.
"Bagaimana?" tanya Serda Sujiwo.
"Sial Pak!" sahut Boma.
"Sial gimana? Kok dia seperti ketakutan waktu Dik Boma
memperlihatkan telur ayam."
"Bukan ketakutan. Tapi buru-buru mau pulang. Katanya perutnya
mules. Mau berak! Ayo Pak, kita balik. Bukan dia orangnya!"
Dalam keadaan tidak mengerti dan tidak bisa berkata apa-apa,
Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini melangkah mengikuti Boma ke
arah semula, menuju tikungan tembok Keraton.
Saat itulah dari balik tikungan muncul seorang berpenampilan
serba aneh. Sosoknya adalah seorang kakek berambut tegak
berdiri berwarna pirang, mengenakan jaket jins pendek, tangan
buntung. Karena jaket jins ini tidak dikancing maka dada dan
sebagian barisan tulang-tulang iga si kakek terlihat jelas. Di
lehernya tergantung sebuah harmonika.
Di sebelah bawah kakek ini mengenakan celan jins yang dua
lututnya sengaja dirobek berlobang, gaya kawula muda masa kini.
Celana ini agak kebesaran pinggangnya hingga merosot hampir ke
pinggul, memperlihatkan pusar si kakek yang ternyata dicanteli
sebuah giwang!
Pada sabuk besar yang melingkar di pinggang blujins tergantung
sebuah rebana dan gendang kecil kerincingan rebana ini
mengeluarkan suara pada setiap langkah yang dibuatnya. Di balik
punggungnya tersembul gagang sebuah payung kertas. Gaya kakek
ini membawa payung itu seperti seorang samurai membawa
pedang katana. Pada daun telinga kirinya tersemat sebuah subang
bermata zirkon.
Sambil berjalan santai mulut kakek ini menggumamkan satu
nyanyian. Walau cuma bergumam Boma tahu dan pernah
mendengar nyanyian itu. Kopi Dangdut. Serda Sujiwo berbisik.
"Dik Boma, jangan-jangan ini orangnya."
"Masa 'iyya Pak? Kok begini banget? Pengamen atau orgil." Ucap
Boma. Anak ini hentikan langkah. Tangan kanannya yang
menggenggam telur ayam kampung mendadak terasa bergetar dan
tengkuknya menjadi dingin.
Kakek tua berpenampilan aneh melangkah terus, celangak
celinguk, seolah tidak melihat kehadiran ke empat orang yang ada
di depannya.
"Kek!" Tiba-tiba Boma menegur.
"Eh copot bijiku! Eh copot nyawaku!" Dalam kejutnya kakek yang
rambutnya pirang berjingkrak ini ambil rebana, dipukul satu kali lalu
digoyang tiga kali. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Beberapa giginya
yang masih utuh ditempeli kertas timah rokok hingga tampangnya
kelihatan seram-seram aneh tapi juga lucu.
"Bom," kata Trini sambil menarik lengan kiri Boma. "Orang gila
kamu ladeni. Ayo!"
"Dia bukan orang gila Rin."
"Apaan! Kamu nggak liat dandanannya? Rambut coklat pirang
disemprot Pylox. Puser dicantel anting-anting. Gigi ditempelin kertas
rokok. Pantat ngelayap kemana-mana..."
"Tenang Rin, sabar..." kata Boma.
"Ahoi!" Kakek aneh berseru. "Ada cowok dan cewek kece. Eh,
kalian berdua dengar. Kalau aku nyanyi Kopi Dangdut kalian berdua
mau joget?"
"Bom!" Trini kembali menarik tangan Boma.
Dalam keraguannya Boma memandang pada Serda Sujiwo.
Polisi ini berbisik. "Coba saja. Kita lihat reaksinya."
Boma lalu ulurkan tangan kanan, membuka genggaman jari-
jarinya, memperlihatkan telur ayam kampung pada kakek aneh.
Sepasang mata si kakek membesar lalu mulutnya menyeringai.
"Telur ayam kampung! Kalau pagi hari dibuang putihnya ditelan
kuningnya, pasti tubuh akan segar sehat! Telur itu buat aku?" Si
kakek bertanya sambil dekatkan mukanya ke tangan Boma.
Boma mengangguk.
"Ambil Kek, memang buat Kakek."
"Ma aci, ma aci..." Kakek itu lalu ulurkan tangan kanan
mengambil telur di atas telapak tangan kanan Boma. Telur ayam itu
ditimang-timangnya beberapa kali sambil mulutnya berucap. "Budi
dibalas budi. Telur dibalas telur!"
Si kakek hentikan menimang-nimang telur ayam. Tangan kirinya
disusupkan ke balik celana jins yang gombrong. Ketika tangan kiri
itu dikeluarkan kembali, di tangan itu ada sebuah telur ayam.
Sambil tertawa terkekeh telur ini digosok-gosokkannya pada telur
yang diterimanya dari Boma.
"Kau memberi telur, aku membalas dengan telur!" Sambil
berkata begitu si kakek ulurkan tangan kirinya. Boma ingat ucapan
kakek cebol di Masjid Besar. "Boma, kau hnrns memberikan telur
ayam itu pada orang yang kau temui itu. Jika dia memberikan
sesuatu padamu, ambil dengan tangan kiri. Benda itu harus kau
bawa ke Candi Borobudur. Letakkan di dalam salah satu lobang
sebelah bawah Stupa...."
Boma tidak segera mengambil telur itu tapi memperhatikan
beberapa ketika.
"Ayo, ambil. Kenapa? Mungkin kau mengira ini bukan telur
sungguhan. Tapi perabotanku yang dipoles mengkilap seperti telur.
Ha ...ha...ha! Atau mungkin kau jijik karena melihat telur ini aku
ambil dari bilik celanaku! Ha ...ha...ha!"
Boma akhirnya ulurkan tangan kirinya, menerima telur yang
diberikan si kakek.
"Telurnya masih hangat 'kan?" kata si kakek pula.
Boma hanya bisa tersenyum.
"Cah bagus, kita berpisah di sini. Kalau nanti kau punya telur lagi
jangan lupa berikan padaku."
Boma mengangguk.
"Tapi kami mencari Kakek dimana?" Tiba-tiba Trini ajukan
pertanyaan.
"Ah, ada gadis cantik bertanya. Masakan aku tidak menjawab.
Aku kakek pengamen. Cari aku di Tenda Biru Candi Mendut."
"Tenda Biru?"
Si kakek angguk-anggukkan kepalanya. Mata dikedip-kedipkan.
Tangan kirinya mengambil harmonika. Lalu sambil tertawa-tawa dia
melangkah pergi. Tak lama kemudian di kejauhan terdengar alunan
suara harmonika. Lagunya Tenda Biru. Si kakek meniup harmonika
itu sambil berjalan. Pinggul digoyang-goyang, pantat diogel-ogel.
Jauh dari Keraton si kakek masih terus meniup harmonikanya.
Orang yang dilewati memperhatikannya tersenyum-senyum. Di satu
jalan yang gelap dan agak sepi suara tiupan harmonika kakek ini
berubah perlahan. Sudut matanya beberapa kali mengerling ke
belakang. Ada sebuah beca mengikutinya sejak tadi. Beca itu
kosong tidak berpenumpang. Di depan sebuah toko yang lampunya
cukup terang si kakek menoleh. Suara harmonikanya mendadak
sontak berhenti. Dia tidak pernah tahu atau pernah mendengar
kalau di Jogja ada pengemudi beca seorang perempuan. Apa lagi
seorang nenek!
Beca yang mengikuti terus meluncur. Tapi nenek pengemudinya
sudah melesat ke udara. Waktu beca itu membentur sebuah pilar
besi di pinggir jalan, nenek pengemudi telah berkelebat dan tegak
berkacak pinggang di depan si kakek. Kepala didongakkan mulut
mengumbar tawa bergelak.
"Tua bangka edan! Minum di tempat lain maboknya di
hadapanku!" Maki Kakek berambut pirang coklat disemprot Pylox.
***
SEMBILAN
KUNTI API MENCARI TELUR
NENEK berwajah setan, bermantel biru dengan rambut merah
riap-riapan tertawa bergelak. Kakek berambut pirang coklat
mencibir. "Kau mabok, aku juga bisa mabok! Kau edan, aku
juga bisa edan! Apa sulitnya tertawa barengan! Ha ...ha...ha!" Kakek
itu lalu ikutan tertawa gelak-gelak. Malah karena dia menggunakan
tenaga dalam suara tawanya lebih santar dan menindih suara tawa
si nenek bertampang angker.
Tiba-tiba selintas ingatan muncul di benak si kakek. Saat itu juga
dia hentikan tawanya. Sepasang matanya memandang si nenek
bermantel biru. Otak diputar, hati membatin.
"Ciri-ciri nenek satu ini lain dengan yang dikatakan adikku
Labudung. Di kepalanya tidak ada tusuk konde perak. Tubuh dan
pakaiannya tidak bau pesing. Berarti bukan dia. Tapi siapa tahu
sekarang dandanannya sudah berubah. Di Jakarta lain di Jogja lain.
Kukunya saja aku lihat dicat merah. Agar tidak kesalahan, lebih
baik aku tanyakan."
"Nenek berambut merah! Berhenti dulu tertawa. Aku mau tanya."
Kakek berambut pirang berteriak. Lalu dia ambil rebana di pinggang
dan digoyang tiga kali.
"Hek!" Nenek berambut merah keluarkan suara tercekik lalu
batuk-batuk. Matanya membeliak. Si kakek baru menyadari kalau
sepasang mata nenek ini juga berwarna merah laksana bara api.
"Makhluk jelek yang rambutnya dicat! Kowe mau tanya apa?!"
"Apa kau nenek beken yang dikenal dengan nama Sinto
Gendeng?!"
Sepasang mata merah si nenek keluarkan cahaya berkilat.
Rambutnya yang merah awut-awutan seperti mumbul ke atas.
"Katakan dulu apa hubunganmu dengan nenek bau itu!"
"Aku tidak punya hubungan apa-apa!"
"Lalu mengapa kau mencari dirinya?!"
"Ada pesan yang harus aku sampaikan padanya."
"Pesan apa?"
"Ah, kau mau tahu saja. Pokoknya tak ada sangkut pautnya
dengan dirimu jika kau memang bukan Sinto Gendeng."
"Makhluk aneh yang kupingnya dipasangi giwang! Aku bukan
Sinto Gendeng! Nenek butut itu mana mampu punya mantel bagus
seperti aku! Hik...hik...hik."
"Lalu, kau ini siapa?"
"Aku Kunti Api! Nenek moyang semua orang pandai yang
mengandalkan kesaktiannya pada kekuatan api!"
"Hebat sekali! Aku kagum. Eh, apakah kau tidak hendak
menanyakan diriku ini siapa?"
Kunti Api yang adalah guru Si Muka Bangkai tertawa terbahak-
bahak. "Perlu apa aku mau tahu siapa dirimu. Yang jelas aku sudah
melihat tampang dan dandananmu. Kau makhluk tidak berguna!
Tapi dengar, aku ada satu kepentingan denganmu..."
"Aahhhh, ini baru berita gembira. Nenek berambut merah,
katakan apa kepentinganmu. Mudah-mudahan aku bisa
membantu!"
"Tentu, pasti kau bisa membantu. Karena kau memiliki apa yang
aku akan minta."
"Apakah itu? Apakah kau meminta diriku untuk....Ha...ha...ha." Si
kakek tidak teruskan ucapannya karena keburu tertawa terpingkal-
pingkal. Lalu dia menunjuk pada sebuah kios kosong dan gelap di
seberang jalan. "Tempat itu cukup bagus untuk kita duduk berdua
bercumbu rayu."
"Setan alas! Cuaahhh!" Kunti Api meludah ke tanah. "Siapa sudi
bercumbu dengan makhluk calon bangkai sepertimu!"
"Ah, perempuan memang seharusnya begitu. Walau ingin tapi
tidak pernah bilang mau secara terus-terang."
Kunti Api meludah sekali lagi.
"Pasang telingamu! Dengar! Aku menemuimu untuk minta kau
punya nyawa!"
Si kakek terkejut sampai mulutnya ternganga dan matanya
membeliak, memandang si nenek tak berkedip. Rebana
ditangannya digoyang-goyang.
"Kau... kau bicara sungguhan?"
"Siapa berdusta! Tapi kalau kau mau memberikan sebuah benda
padaku, mungkin aku akan membatalkan niat meminta nyawamu."
"Aahhh....Kau seorang nenek bijaksana. Aku suka padamu!"
"Makhluk jelek! Jangan kau berani mengulang kata-kata itu!
Akan kujembreng keluar lidahmu!"
"Kalau aku tidak boleh suka padamu tidak apa-apa. Sekarang
katakan saja benda apa yang ingin kau minta dariku."
"Malam Jum'at beberapa hari lalu kau kedatangan seorang tamu
misterius. Tamu itu memberikan sebuah telur ayam padamu. Nah,
telur ayam inilah yang harus kau serahkan padaku!"
Kejut si kakek bukan alang kepalang. Tapi dia bisa menutupi
rasa terkejutnya itu dengan tertawa lebar.
"Perempuan suka bicara malu-malu. Pandai berucap yang
tersirat untuk menutupi yang tersurat. Meminta surat padahal
sebenarnya maunya urat! Ha ...ha...ha! Nek, bilang terus terang.
Kau sungguhan minta telur ayam itu atau telurku yang lain?! Ha
...ha...ha!"
Wajah angker si nenek merah membesi. Matanya pancarkan
kilatan kemarahan. Dia gerakkan tangan kanannya.
Suara tawa bergelak si kakek serta merta lenyap ketika dia
melihat dari ujung jari si nenek mencuat lima larik cahaya merah.
"Wussss!"
Si kakek berseru keras, goyangkan rebananya lalu melesat ke
atas.
"Desss!"
Satu lobang besar mengepulkan asap merah menganga di
trotoar jalan.
"Makhluk jelek! Kau sudah menyaksikan! Batu bisa kubuat
ludas. Apa lagi tubuhmu yang hanya terbuat dari tulang dan
daging..."
"Tambah sedikit kentut!" jawab si kakek yang walau mukanya
pucat tapi masih bisa bergurau.
"Kau memang minta mampus!"
Kunti Api angkat lagi tangan kanannya.
"Tunggu! Kalau kau memang inginkan telur, aku akan berikan.
Asal kau jangan apa-apakan diriku!"
"Lekas serahkan!"
Si kakek buru-buru memasukkan tangannya ke dalam celana
blujins yang gombrong. Tangan ini mengorek-ngorek kian kemari.
"Jahanam! Jangan berani mempermainkan! Kau mau
memberikan telur apa?!"
"Walah! Tadi kau minta agar aku menyerahkan telur. Telur yang
kau minta memang aku simpan di bawah sini. Di tempat yang
hangat, terlindung dan bebas polusi..."
"Setan alas! Jangan bergurau! Mana telur itu!"
"Ada...ada. Tunggu. Nah, ini dia!"
Tangan di dalam celana keluar memegang sebuah telur.
"Ini telur yang kau minta. Ambillah. Kau mungkin lebih
membutuhkan dari pada aku."
Dari balik mantel birunya Kunti Api keluarkan sehelai sapu
tangan. Lalu dengan sapu tangan itu dia mengambil lelur yang
disodorkan si kakek.
"Tua bangka jelek. Untung otakmu cerdik. Kau bisa selamat dari
kematian. Tapi jika kau memperdayai diriku maka kematianmu
sedekat bayang-bayang tubuhmu sendiri! Ingat itu baik-baik..."
"Ah, aku kakek jelek ini mana berani memperdayai nenek cantik
sepertimu. Sayang pertemuan kita cuma singkat. Kalau saja kita
berdua bisa berlama-lama. Apa lagi kalau bisa duduk di kios itu.
Kau pasti tidak kecewa. Kau pasti akan mengingat-ingat diriku...."
"Plaakkk!"
Satu tamparan keras melanda pipi si kakek hingga sudut
bibirnya luka dan mengucurkan darah.
Si kakek terperangah menahan sakit. Memandang ke depan
Kunti Api tak ada lagi.
"Sial, galak sekali nenek satu itu. Sayang dia tidak mau diajak ke
kios. Kalau dia bisa mengemudikan becak bisa kubayangkan
tubuhnya pinggang ke bawah pasti keras kencang.
Sayang...sayang..." kata si kakek sambil usap-usap pipinya yang
bengap dan seka darah yang membasahi mulut serta dagunya. "Si
Nenek Guru sudah muncul. Berarti tidak lama lagi guru dan murid
akan segera unjukkan tampang. Saudaraku Labudung, walau
tingkat kepandaianku masih dibawah Pangeran jahanam itu, tapi
doakan agar aku bisa membalas dendam sakit hati kematianmu!
Bagaimanapun aku akan mencari akal agar bisa membunuh
dirinya. Kita berdua tidak akan tenteram sebelum Pangeran
Matahari itu kita jadikan bangkai dan rohnya terpasang antara
langit dan bumi!"
***
SEPULUH
MELACAK PENGAMEN TUA PAKAI ANTING DI PUSAR
RUMAH papan beratap seng itu terletak di pinggir daerah
pesawahan tak jauh dari Desa Ngaran. Pemilik rumah sejak
dua tahun belakangan tidak pernah lagi datang ke tempat
itu. Keadaan rumah kotor dan debu menyelimut dimana-mana.
Malam itu, rumah tersebut ternyata tidak dalam keadaan kosong.
Dua orang duduk berhadap-hadapan di atas tebaran daun pisang.
Sebuah lampu minyak menyala bergoyang-goyang akibat tiupan
angin melalui celah menganga serta lobang pada dinding papan
yang telah jebol.
Pemuda berpakaian serba hitam dengan kepala diikat kain
merah menarik nafas dalam beberapa kali sambil memegang
bagian bawah dada sebelah kanan. Dia adalah Pangeran Matahari,
musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Bagaimana keadaanmu?" Orang tua bungkuk bermuka pucat
yang duduk di hadapan pemuda berpakaian hitam yang dikenal
dengan nama Si Muka Bangkai atau Si Muka Mayat bertanya.
"Setelah aku mengatur jalan darah, jalan pernafasan serta aliran
hawa sakti hampir setengah harian, rasa sakitnya jauh berkurang..."
"Pangeran Matahari, Tulang Igamu yang pernah patah belum
seutuhnya bertaut. Aku bisa menolong hingga cideramu sembuh
lebih cepat. Tapi aneh, mengapa kau menolak aku tolong?"
Pangeran Matahari, pemuda berpakaian serba hitam
menyeringai. Rahangnya menggembung, mulutnya terkancing. Dia
tidak menjawab. Namun dalam hatinya ada suara berkata.
"Manusia licik pandai bermanis muka. Aku tahu hatimu
sebenarnya culas terhadapku. Akalmu ada dalam kantongku. Apa
kau kira aku bisa melupakan semua ucapanmu waktu di Lapo Tuak
Tao Toba dulu?"
Seperti diungkapkan dalam Episode sebelumnya (Topan Di
Borobudur) dalam usaha mereka membunuh Boma, Kunti Api, Si
Muka Bangkai dan Pangeran Matahari pernah mengadakan
pertemuan di sebuah Kedai Tuak. Sebelum Kunti Api datang antara
Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari terjadi pertengkaran
mulut cukup hebat. Sang guru mendamprat Pangeran Matahari
habis-habisan karena sampai saat itu masih belum bisa membunuh
Boma. Sang Pangeran sendiri kemudian menolak perintah gurunya
membunuh Sinto Gendeng karena dia menganggap itu adalah
tugas Si Muka Bangkai sendiri untuk melakukan hal tersebut.
Saking marahnya ditentang sang murid, Si Muka Bangkai sampai
memukul meja hingga empat kaki meja amblas setengah jengkal ke
ubin lantai. Menghadapi kemarahan gurunya Pangeran Matahari
tenang saja. Namun darahnya bergejolak, perasaannya seperti
terbakar ketika dia mendengar apa yang kemudian diucapkan Si
Muka Bangkai pada Eyang Kunti Api. Waktu itu Pangeran Matahari
telah keluar dari Lapo Tuak. Tapi dia tidak terus pergi melainkan
mencuri dengar percakapan gurunya dengan Kunti Api.
"Suro Ageng Kalamenggolo," Kunti Api memanggil Si Muka
Bangkai dengan nama aslinya. "Mungkin karena Pangeran Matahari
tahu kalau kau bukan gurunya sebenarnya, hanya saudara kembar
Si Muka Bangkai yang asli. Maka dia kelihatan begitu keras kepala
terhadapmu ''
Si Muka Bangkai Menyeringai.
"Walaupun aku bukan gurunya yang asli tetapi aku sejuta layak
dihormatinya sebagai guru. Aku tahu banyak tentang dirinya seperti
aku mengenal dua telapak tanganku sendiri. Kalau dia berani
macam-macam aku akan membuat hidupnya sengsara selama-
lamanya..."
Si Muka Bangkai keluarkan ucapan seperti itu tanpa
rnengetahui kalau saat itu sebenarnya, Pangeran Matahari sengaja
menyelinap di balik kedai minuman. Sepasang mata sang
Pangeran, keluarkan kilatan menggidikkan. Serangai setan bermain
di mulutnya. "Kau tahu diriku, tapi kau tidak tahu hatiku. Aku juga
bisa rnembuat dirimu sengsara seurnur-umur. Kau bisa jadi ular
sanca. Tapi aku juga bisa jadi seekor kobra."
Baru saja Pangeran Matahari mengingat peristiwa yang
membuatnya menanam dendam terhadap sang guru sendiri, di
hadapannya Si Muka Bangkai membuka mulut berkata.
"Aku tidak habis pikir, mengapa waktu di Candi kau tidak
mampu membunuh bocah ingusan itu!"
"Anak bernama Boma itu bukan bocah ingusan lagi. Aku yakin
Sinto Gendeng telah mengajarkan sejurus dua jurus ilmu silat
padanya. Kemungkinan juga dia diberikan tenaga dalam atau hawa
sakti. Yang jelas, aku curiga Batu Penyusup Batin ada pada anak
itu."
"Kalau kau yakin batu itu ada padanya, mengapa kau tidak
mengambilnya?" tanya Si Muka Bangkai dengan pandangan mata
menyorot tajam.
"Guru, kau bisa menimpakan seribu kesalahan padaku. Karena
kau tidak berhadapan sendiri dengan orang-orang itu. Kau tidak
ada di tempat kejadian. Pendekar 212 muncul. Ini sama sekali
tidak diharapkan. Ketika aku bentrokan pukulan sakti ternyata
tingkat tenaga dalamnya sulit aku tandingi. Ini satu hal yang sama
sekali tidak bisa kuduga. Selama beberapa waktu belakangan ini
aku berusaha meningkatkan tenaga dalamku, tapi hasilnya
mengecewakan."
(Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng berjudul "Meraga
Sukma" ketika dalam perjalanan ke tempat kediaman Nyi Roro
Manggut, di pintu gerbang pantai selatan Wiro bertemu dengan
Naga Biru. Makhluk sakti yang selama puluhan tahun mendekam
dalam bentuk batu ini mendadak berubah hidup dan menjilati Wiro.
Ternyata ini bukan jilatan biasa. Karena setelah dijilat murid Sinto
Gendeng itu merasa tubuhnya tambah enteng, pemandangannya
lebih terang, telinganya lebih tajam dan hawa sakti atau tenaga
dalam yang ada dalam tubuhnya lebih meningkat.)
"Kau bilang selama beberapa waktu belakangan ini telah
berusaha meningkatkan tenaga dalam. Lalu apa kau kira pendekar
sableng itu cuma berdiam diri? Tidak berusaha pula meningkatkan
ilmu kepandaiannya? Pangeran Matahari, jangan kau mencari
seribu satu dalih untuk menutupi kegagalanmu."
"Terserah guru mau bilang apa. Tapi aku perlu memberitahu
satu hal. Ketika aku melepas pukulan Telapak Matahari, ada orang
pandai tersembunyi memapaki seranganku hingga buyar
berantakan."
"Nasibmu benar-benar sedang sial saat itu, rupanya!" kata Si
Muka Bangkai lalu tertawa mengekeh, membuat Pangeran
Matahari jadi panas, hatinya. Dia meneruskan ucapannya.
"Sebelum orang memapaki seranganku, aku mendengar suara
benda bergemerincing. Tidak mudah melacak siapa adanya orang
pandai itu dari suara tersebut."
"Sudahlah, aku tidak mau mendengar segala macam cerita
sialmu. Tapi satu hal harus kau ingat. Kesialanmu akan berlipat
ganda menjadi kesialan kita sernua jika guruku Kunti Api tidak bisa
mendapatkan telur sakti yang mampu rnenyelamatkan anak
perempuan bernama Dwita itu keluar dari dalam Stupa. Jika telur
itu sampai jatuh ke tangan orang lain dan tahu cara
menggunakannya, kita tidak bisa mencegah anak perempuan itu
keluar dari dalam Stupa! Pangeran, siap-siap saja guruku akan
melabrakmu!"
"Aku siap menerima dampratan Nenek Kunti Api." rahang
Pangeran Matahari mengembang. Matanya memandang tak
berkedip pada nyala api lampu minyak.
Si Muka Bangkai tiba-tiba dongakkan kepala. Mata setengah
dipejamkan.
"Aku mendengar suara angin bersiur. Agaknya Eyang Guru sudah
datang."
Baru saja Si Muka Bangkai selesai berucap, tiba-tiba pintu
tersibak lebar lalu wuut! Satu bayangan biru berkelebat masuk ke
dalam rumah. Si Muka Bangkai dan muridnya cepat berdiri,
membungkuk hormat. Yang datang memang Kunti Api, guru Si
Muka Bangkai.
"Kalian berdua enak-enak di tempat ini. Aku bekerja setengah
mati!" Kunti Api begitu muncul langsung menggerendeng.
"Maafkan kami Eyang Guru," kata Si Muka Bangkai sambil
membungkuk. "Setelah muridku gagal membunuh anak bernama
Boma itu karena tiba-tiba muncul Pendekar 212 Wiro Sableng serta
ada orang pandai tersembunyi ikut menolong, kami tidak berani
melakukan tindakan baru. Kami terpaksa menunggu kedatangan
Eyang Guru. Sekarang setelah Eyang Guru ada dihadapan kami
kami siap menunggu perintah."
"Percuma aku memberi perintah. Kalian berdua tidak pernah
berhasil melakukan!" Jawab Kunti Api sambil pelototkan mata pada
Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari.
Dipelototi begitu Si Muka Bangkai berpaling pada muridnya.
"Pangeran Matahari, ini semua gara-gara ketololanmu!"
Sang murid hanya menyeringai, memandang ke arah pintu yang
terbuka, tidak menjawabi ucapan gurunya. Sikap Pangeran
Matahari ini membuat Si Muka Bangkai merasa dianggap sepi dan
membuat dia jadi tambah jengkel. Dari mulutnya terdengar suara
bergumam. Tapi tidak jelas apa yang diucapkannya. Setelah
menarik nafas panjang dia membungkuk ke arah Kunti Api lalu
bertanya.
"Eyang, apakah kau berhasil mendapatkan dan mengamankan
telur pembuka Stupa?"
"Kalian lihat sendiri apa yang aku dapatkan." Kunti Api
mengeluarkan sebuah benda dari dalam lipatan sehelai sapu
tangan. Benda ini kemudian digelindingkannya di atas daun pisang.
Ternyata sebutir telur ayarn.
Si Muka Bangkai mengambil telur itu, memperhatikannva
sejenak lalu menimang-nimangnya beberapa kali.
"Walau muridmu belum mampu membunuh Boma, tapi kita
akan berhasil membunuh anak perempuan yang disayanginya itu.
Anak itu akan menemui ajal pada dua pertiga malam. Sekitar jam
tiga pagi menjelang pagi nanti. Seumur hidup Boma akan dihantui
kematian anak perempuan itu. Jika memang umurnya panjang. Tapi
kalau dia keburu mati di tangan kita, dua anak itu akan jadi roh
penasaran, gentayangan kemana-mana. Hik...hik...hik!"
"Eyang," kata Si Muka Bangkai sambil memperhatikan kembali
telur ayam yang dipegangnya dengan tangan kanan. "Aku merasa
ada kelainan pada telur ini. Waktu mendapatkannya dan
membawanya ke sini, apakah Eyang tidak meneliti?"
Sepasang alis Kunti Api mencuat ke atas.
"Apa maksudmu, Muka Bangkai?"
"Telur ini enteng sekali. Aku merasa seperti memegang telur
penyu kering yang sudah kosong. Agaknya isi telur ayam ini telah
berpindah ke tempat lain. Berarti telur ini tidak ada artinya sama
sekali."
"Jangan kau bicara seperti itu, Muka Bangkai. Aku sendiri yang
mengambil telur itu dari orang yang pertama kali mendapatkannya.
Bahkan waktu barusan aku keluarkan dari sapu tangan masih
terasa berat!"
"Maaf Eyang, kalau Eyang tidak percaya silahkan memegang
sendiri." Si Muka Bangkai lalu serahkan telur ayam itu pada
gurunya.
Kunti Api tersentak kaget ketika dia memegang telur dan
merasakan telur ayam itu memang enteng sekali.
"Gila! Apa yang terjadi? Waktu aku mengambil telur ini dari orang
itu, keadaannya tidak seperti ini. Tidak enteng!"
"Berarti kekuatan yang ada di dalam telur lenyap barusan saja."
"Aku tidak bisa percaya! Bagaimana mungkin?!" Kata Kunti Api
pula. "Jahanam! Ada orang yang mengerjaiku!" Saking marahnya
Kunti Api remas telur ayam itu hingga berderak hancur semudah
menghancurkan kerupuk. Dari pecahan telur tidak ada cairan putih
dan cairan kuning yang keluar. Telur itu ternyata kosong! Kunti Api
pandangi tangannya yang dipenuhi hancuran kulit telur. Masih tidak
bisa percaya dia.
"Nenek Guru, dari siapa kau mendapatkan telur ini?" tanya
Pangeran Matahari.
"Dari orang yang aku kuntit sejak beberapa hari ini. Aku tidak
tahu namanya."
"Eyang merampas telur ini setelah membunuh orangnya?" tanya
Pangeran Matahari lagi.
"Tidak, aku tidak membunuhnya. Aku mengancam, dia sudah
ketakutan. Telur diberikannya dengan suka rela."
"Maaf Eyang, kalau telur itu merupakan satu benda keramat, dia
tidak mungkin memberikan begitu saja. Orang itu telah menipu
Eyang!"
Merah padam tampang angker Kunti Api. Marah setengah mati
karena ketololan sendiri.
"Pangeran, apa yang kau katakan betul adanya. Kurang ajar!
Hidup puluhan tahun, bagaimana mungkin aku masih bisa berbuat
tolol!"
Pangeran Matahari tersenyum. Sambil mengerling ke arah Si
Muka Bangkai dia berkata. "Nenek Guru, hidup kita sebagai
manusia memang begitu adnya. Seribu kali kita merasa pandai,
terkadang satu ketika kita berbuat satu ketololan, sadar atau tidak
sadar. Jadi harap Nenek Guru tidak berkecil hati. Kalau aku boleh
bertanya, orang itu, apakah Eyang tahu siapa dia adanya?"
"Aku tidak tahu namanya. Tapi sejak beberapa waktu
belakangan ini dia sering berada di sekitar Candi Mendut.
Mengamen."
"Mengamen? Di Candi Mendut?" ulang Si Muka Bangkai.
Wajahnya yang pucat tampak tambah putih. Lalu dia berpaling pada
muridnya. "Pangeran, aku menaruh curiga..."
"Orang yang mengamen itu," kata Pangeran Matahari sambil
memandang pada Kunti Api. "Apakah Nenek Guru masih ingat
bagaimana ciri-cirinya?"
"Seorang kakek tua, berambut kaku berdiri, dicat warna pirang.
Dia mengenakan jaket dan celana blujins. Pakai anting di telinga
dan pusarnya..."
"Nenek Guru pernah mendengar dia menyanyi?"
"Dua kali."
"Apa nyanyian yang dibawakannya."
"Aku tidak tahu nama nyanyian itu. Tapi dua-duanya disukai
orang banyak. Kalau pengamen itu membawakan dua lagu itu,
banyak yang pada joget." Menerangkan Kunti Api.
"Nenek Guru mungkin ingat kata-kata dalam nyanyian itu?"
Kunti Api mengurut-urut keningnya. "Lagu yang pertama kalau
aku tidak salah sepertinya mengajak orang minum. Tapi..."
"Minum apa, Nek?" tanya Pangeran Matahar "Bukan minum
tapi...Lagu tentang orang bercinta. Aah..lagunya aneh. Bercinta tapi
menyebut minum. Minum...."
"Minum kopi?" ujar Pangeran Matahari.
"Betul! Minum kopi!" "Lagunya Kopi Dangdut."
"Betul sekali!" kata Kunti Api sambil tepukan dua tangannya.
"Lagu kedua Nenek Guru ingat?" Kembali Pangeran Matahari
bertanya.
"Kalau aku tidak salah pakai biru-biru. Hemm...Tenda Biru.
Betul, Tenda Biru!" kata Kunti Api pula.
"Pengamen itu, apakah lidahnya cadel? Tidak bisa menyebut
er?"
"Seingatku dia tidak cadel, tidak pelo. Dia menyebut er lempang-
lempang saja."
"Pangeran Matahari, jangan kau mengkhayal tentang kakek
pengamen bernama Pelawak Sinting itu. Bukankah kita telah
membunuhnya beberapa waktu lalu di jembatan penyeberangan di
depan gedung Sarinah. Di Jakarta?"
"Betul sekali Guru," jawab Pangeran Matahari pada Si Muka
Bangkai. "Tapi jangan lupa. Ada berita yang mengabarkan bahwa
mayat Si Pelawak Sinting lenyap dicuri orang dari dalam ambulans.
Siapa tahu waktu itu dia tidak mati..."
"Si pelawak sinting tidak berambut pirang. Tidak pernah pakai
blujins..."
"Tunggu," kata Pangeran Matahari. "Nenek Guru, pengamen itu
apa Nenek Guru ingat peralatan apa saja yang dipakainya waktu
mengamen?"
"Dia membawa gendang dan rebana yang ada kerincingannya.
Sambil menyanyi dia berjoget. Lalu di kepalanya dia meletakkan
sebuah payung kecil, terbuat dari kertas. Payung dikembangkan,
dia bernyanyi dan berjoget. Payung tidak jatuh. Sesekali dia
memainkan sebuah benda aneh sepanjang satu jengkal. Aku tidak
tahu apa namanya. Kalau ditiup benda itu mengeluarkan suara
lebih merdu dari suara seruling. Lalu... lalu dia pakai anting di
kuping dan pusarnya." Kunti Api diam sebentar lalu bertanya
"Pangeran Matahari, apakah kau mengenal pengarnen tua itu?'
"Aku menduga-duga Nek, ada sedikit keraguan. Nenek Guru
ingat pada Si Pelawak Sinting yang membuat keonaran di Pasar
Baru dulu?"
"Aku ingat ceritamu. Tapi betul kata gurumu. Si Pelawak Sinting
tidak berambut pirang. Lidahnya cadel. Dia tidak punya alat yang
bisa mengeluarkan suara seperti seruling itu. Telinganya tidak pakai
anting. Apalagi pusarnya. Lalu aku ingat, si pengamen di Candi
Mendut itu menempeli giginya dengan kertas timah bungkusan
rokok."
"Betul sekali Nenek Guru. Banyak perbedaan. Tapi ada
persamaan. Si Pelawak Sinting membawa payung kertas.
Pengamen di Candi juga punya payung kertas. Pelawak Sinting
pakai rebana dan gendang Pengamen di Candi juga punya rebana
dan gendang. Dalam menyanyi dia berjoget sambil meletakkan
payung di atas kepala. Lalu salah satu lagu yang dinyanyikan
pengamen di Candi Mendut sama dengan lagu yang suka
dibawakan Pelawak Sinting. Kopi Dangdut."
Tiga orang itu terdiam sesaat.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Si Muka Bangkai memecah
kesunyian di tempat itu.
"Aku tahu apa yang harus aku lakukan!" kata Kunti Api seraya
bangkit berdiri. "Saat ini juga aku akan ke Candi Mendut. Pangeran
Matahari, kau ikut bersamaku. Mungkin pengarnen keparat itu
masih menyimpan telur keramat yang asli. Muka Bangkai, kau lekas
pergi ke Candi Borobudur. Apapun yang terjadi kau harus bisa
mencegah anak perempuan itu dikeluarkan dari dalam Stupa. Tapi
yang paling aku harapkan ialah agar kau bisa membunuh anak
bernama Borna itu."
"Apa yang Eyang Guru perintahkan akan kami lakukan," kata
Muka Bangkai lalu ikut berdiri pula.
Setelah guru dan muridnya pergi, Si Muka Bangkai mengomel
sendirian. "Pangeran sialan! Karena ketololanmu aku kini kebagian
kerjaan yang tidak enak. Padahal malam ini aku ada janji dengan
seorang janda tua pedagang lesehan di Malioboro." Dari balik
pakaian putihnya kakek bungkuk ini keluarkan sebuah kantong
kecil dari kertas. Pada kantong itu ada tulisan "Majun Asli dari Arab.
Obat Kuat. Membuat pria lemah jadi sehebat kuda jantan. Sekali
minum bisa tiga kali genjot."
"Majun Arab .... Majun Arab. Malam ini aku belum butuh kau!
Sabar, harap kau bersabar!" Si Muka Bangkai masukkan kembali
kantong kertas itu ke balik pakaiannya. Lain dia tepuk-tepuk bagian
bawah perutnya sambil berkata.
"Burungku Anu, kau juga harus sabar. Jangan ngambek. Malam
ini aku ada sedikit urusan. Seperti kata orang jaman sekarang,
anggap saja ini sebagai kesalahan teknis. Boleh juga kau bilang
sebagai kesalahan prosedur. Tapi percayalah, keadaan masih tetap
terkendali. Malam ini kau tidak jadi aku beri makan. Tapi nanti aku
beri kau makan tiga piring sekaligus! Pakai sambal terasi. Sampai
mulutmu lecet kepedasan! Ha ...ha...ha!"
***
SEBELAS
RAMPOK MOTOR DI SIANG BOLONG
KITA kembali dulu pada kejadian setelah terjadi perkelahian di
Candi antara Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro
Sableng dan Boma.
Di puncak sebuah bukit kecil murid Sinto Gendeng akhirnya
hentikan larinya. Dia tidak berhasil melacak jejak Pangeran
Matahari yang melarikan diri setelah melempar sebuah benda yang
bisa meletus dan mengeluarkan asap tebal kehijauan.
"Kalau sempat anak itu dibunuh Pangeran keparat itu, celaka
aku seumur-umur. Si nenek bau pesing pasti akan mendamprat
diriku habis-habisan. Tapi heran juga, kenapa Eyang Sinto berpesan
agar aku menjaga anak itu? Cucunya bukan, anak apa lagi. Sayang,
Eyang tidak pernah berterus-terang menceritakan sebab musabab
latar belakang. Dia kelihatan begitu sayang pada anak itu. Kalau
tidak masakan sampai diberikan hawa sakti segala. Atau barangkali
Eyang telah mengambil anak itu sebagai muridnya? Hemm....
Sekarang apa yang harus aku lakukan? Kembali ke Candi?"
Wiro garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba Wiro ingat pada tiga buah benda yang, dipungutnya di
lantai candi sebelum berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Buru-buru tiga benda itu dikeluarkannya dari dalam saku baju putih.
Benda pertama adalah sobekan kertas berwarna coklat.
"Robekan kertas. Benda yang berputar sebati menahan pukulan
Pangeran Matahari jugal berwarna coklat. Apa kertas ini yang
memapaki pukulan pangeran keparat itu? Kalau benar sungguh
luar biasa."
Wiro perhatikan benda kedua. Sepotong kecil serpihan bambu.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Tidak bisa mengira-ngira
apa hubungani kertas coklat dengan potongan bambu kecil. Lalu
diambilnya benda ke tiga. Diperhatikan.
"Ini jelas patahan kayu gagang sesuatu. Gagang golok terlalu
kecil. Gagang sebilah keris terlalu buruk dan rapuh. Kertas coklat,
potongan bambu, patahan kayu...." Kembali murid Sinto Gendeng
garuk-garuk kepala. "Mungkin aku harus kembali ke Candi. Tapi
Isopol itu. Mereka pasti ada disana."
Selagi berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya tiba-tiba Wiro
mendengar di kejauhan suara sesuatu.
"Bebunyian aneh. Merdu sekali. Seperti seruling, tapi jelas itu
bukan suara seruling."
Wiro memasang telinganya baik-baik. Suara bebunyian itu
datang dari kaki bukit sebelah timur. Wiro segera lari menuruni
bukit kecil, menuju ke arah timur sampai akhirnva dia menemui
sebuah jalan aspal cukup ramai lalu lintasnya. Kira-kira dua puluh
meter di depan sana, di pinggir jalan kelihatan seorang berambut
aneh warna pirang coklat berjalan melenggak-lenggok seperti
tengah menari. Di atas kepalanya ada sebuah payung kecil terbuat
dari kertas dalam keadaan terkembang. Orang ini mengenakan
celana blujins yang agak gombrong hingga sebagian pantatnya yang
hitam tersingkap jelas. Sambil berjalan menari, orang ini
memainkan rebana di tangan kiri, memegang sesuatu di tangan
kanan dan meniupnya. Karena membelakang Wiro tidak dapat
melihat benda apa yang ditiup orang itu, yang mengeluarkan suara
lebih merdu dari seruling.
Di belakang orang itu berjalan mengikuti belasan anak-anak
sambil tertawa-tawa dan bertepuk tangan. Lalu lintas di jalan agak
sedikit macet karena para pengemudi memperlambat kendaraan
mereka untuk melihat apa yang terjadi.
"Kopi Dangdut!" ucap Wiro. "Lagu yang dimainkan orang itu Kopi
Dangdut! Aku ingat pada Si Pelawak Sinting yang mati dibunuh di
jembatan penyeberangan Sarinah. Nyanyinya sama, gayanya sama.
Pantatnya juga sama hitam. Tapi yang ini keren amat, pakai jaket
dan celana jins. Aku harus melihat tampangnya! Jangan-jangan
dia...."
Ucapan Wiro terputus. Mendadak dia ingat pada tiga buah
benda yang ada di saku bajunya. Tiga benda itu dikeluarkannya.
Diperhatikan sambil sesekali mengangkat kepala memandang ke
arah orang yang berjalan menari-nari sambil meniup bebunyian di
depan sana.
"Potongan bambu, robekan kertas coklat, patahan kayu! Gila! Ini
adalah hancuran payung kertas yang dihantam pukulan sakti
Pangeran Matahari! Di kepala orang itu bertengger paying kertas
warna coklat! Berarti dia...."
Tidak tunggu lebih lama Wiro segera lari mengejar. .
Orang berpayung hentikan jalannya. Payung di turunkan dari
kepala lalu dilipat. Dia memegangi kepala anak-anak yang
mengikutinya, memberikan sejumlah uang pada anak-anak itu lalu
menyetop sebuah kendaraan umum.
"Pelawak Sinting! Hai! Pelawak Sinting!" teriak Wiro. Dia segera
lari mengejar. Tapi orang itu sudah masuk ke dalam kendaraan
umum. Anak-anak yang mengikuti bubar. Jalan yang macet kembali
lancar. Ketika Wiro sampai di dekat anak-anak itu, kendaraan yang
membawa orang tadi telah meluncur jauh.
"Sial!" maki Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Di depannya saat itu ada seorang tua bermata sipit, mengemudi
motor tanpa helm.
"Apa boleh buat!" kata Wiro dalam hati. Langsung saja dia
melompat dan duduk di belakang pengemudi motor.
Si pengemudi yang ternyata seorang Cina gaek yang masih totok
tentu saja jadi kaget.
"Weehhh, apa-apaan ini. Situ mau ngelampok ngai ya?!"
"Ssshh...Jangan salah sangka. Saya cuma mau minta tolong!"
"Minta tulung, minta tulung. Ngai tidak kenal sama situ. Ayo
tulun! Nanti ngai teliak galong balu tahu!"
"Pak tua, saya tidak punya maksud jahat. Tolong ikuti mobil
merah di depan sana. Mobil merah yang ada tulisan Kutunggu
Jandamu itu."
"Ngai tidak bisa tulung. Cali olang lain. Ngai mau jemput ngai
punya cucu. Ayo tulun!" Walau bicara keras tapi wajah pengemudi
motor itu jelas menunjukkan rasa takut karena mengira Wiro
hendak berbuat jahat terhadapnya.
"Wah, brengsek, nggak mau nolong," Wiro menggerendeng
dalam hati. "Kalau nggak mau nolong ya sudah!" Wiro turun dari
motor. Lelaki tua itu saking terburu-buru menyentakkan gas motor,
kendaraan itu bukannya bergerak tapi mesinnya malah mati.
Setelah dicoba berulang kali akhirnya mesin motor hidup juga. Tapi
saat itu entah karena takut, atau sebelumnya memang sudah ingin
buang air, si pengemudi motor mendadak merasa kebelet ingin
kencing. Karena tidak tahan, baru dua puluh meter meluncur, dia
hentikan kendaraannya di pinggir jalan. Mesin motor tidak
dimatikan, mungkin karena terburu-buru, mungkin juga takut kalau
nanti sulit lagi dihidupkan. Orang ini menyelinap ke balik sebuah
pohon besar, turun di tebing selokan dan tarik ke bawah resluiting
celananya.
Wiro perhatikan orang yang sedang kencing itu lalu memandang
ke arah motor berulang kali.
"Sial! Kalau saja aku bisa menunggang kuda tidak berkaki ini....
Bagaimana caranya?" Wiro garuk-garuk kepala. Ketika dia
mendekati kendaraan itu didepannya lewat seorang anak muda
berambut gondrong yang telinga kirinya dicanteli anting. "Sobat
ganteng" Wiro menegur.
"Mau uang lima ribu perak?" Tanya Wiro sambil pura-pura
memasukkan tangan kiri ke balik pakaian.
Anak muda beranting perhatikan wajah dan dandanan Wiro
sesaat lalu tersenyum. "Tentu saja mau. Memang lagi bokek. Mana
uangnya?"
"Ada dalam kantong. Situ bisa naik itu?" Wiro menunjuk ke arah
motor. Tentu saja didalam kantongnya sama sekali tak ada uang
lima ribuan.
"Kecil!" jawab pemuda gondrong beranting.
"Uang lima ribu aku berikan sama situ. Tapi antar aku lebih
dulu."
"Itu motor siapa?"
"Temanku. Lihat sana, dia lagi buang hajat. Dia bilang aku pergi
saja duluan." Wiro menunjuk pada pemilik motor yang tengah
kencing.
Anak muda itu melangkah mendekati motor. Wiro menyuruhnya
naik cepat-cepat. Lalu dia melompat duduk disebelah belakang.
"Tujuannya kemana?" Si anak muda bertanya.
"Cepat jalan! Terus.... Nanti aku beritahu kemana!" jawab Wiro
sambil matanya memandang ke depan memperhatikan mobil
merah angkutan umum yang tadi ditumpangi Pelawak Sinting.
Orang tua di tebing selokan masih belum lampias kencingnya,
melengak kaget ketika melihat Wiro menghambur bersama
motornya. Dia berteriak. Air kencing yang masih bersisa mengucur
membasahi celananya.
"Lampok! Lampok Motol!"
Cepat-cepat dia tarik resluiting celananya ke atas. Tapi karena
bingung dan juga terburu-buru resluiting celana itu menggigit salah
satu bagian di bawah perut hingga dia terpekik kesakitan.
Terbungkuk-bungkuk orang tua ini naik ke atas jalan raya.
Kebetulan saat itu sebuah mobil pikup terbuka patroli Polisi
meluncur di jalan. Langsung saja dia kembangkan dua tangan dan
berteriak-teriak.
Dua orang petugas segera melompat turun, menanyakan ada
kejadian apa. Orang tua itu memberitahu bahwa motor miliknya
dibawa kabur seorang pemuda gondrong. Dia menunjuk-nunjuk ke
arah kaburnya Wiro. Salah seorang anggota Polisi menyuruhnya
naik ke atas mobil, duduk di samping Polisi pengemudi, diapit
anggota Polisi lainnya.
Sirine dibunyikan. Pengejaran segera dilakukan. Di atas mobil
orang tua itu tidak henti-hentinya berteriak. "Itu...itu...!" sambil
menunjuk ke arah Wiro yang membeset motor meliuk-liuk melewati
kendaraan-kendaraan di depannya dengan kecepatan hampir 80
Km per jam.
"Wah, kok mobilku jadi bau pesing?" Polisi yang mengemudi
pikup patroli berkata sambil hidungnya kembang kempis. Dia tak
berani melirik ke samping karena mobil dikemudikan dalam
kecepatan tinggi dan lalu lintas di jalan cukup ramai.
Polisi yang duduk dekat pintu melirik ke bawah, memperhatikan
celana orang tua yang duduk di sebelahnya. Celana itu selain basah
kuyup oleh air kencing, restluitingnya juga tidak tertutup utuh.
Karena celana dalamnya merosot turun tidak karuan, maka pak
Polisi bisa melihat jelas benda di bawah perut si orang tua. Sambil
senyum Polisi ini berkata.
"Pak tua, wong habis kencing celananya dirapikan dulu. Kalau
melongo kayak gitu nanti burung perkututnya bisa nyelonong
terbang."
Si orang tua terkejut mendengar ucapan Polisi itu. Dia
menunduk dan melihat celananya yang tersingkap lebar.
"Haayyyaa! Ngai punya bulung pelkutut tidak bisa telbang.
Belum numbuh sayap!"
Dua anggota Polisi tertawa terbahak-bahak.
Tak lama kemudian motor milik orang tua itu ditemukan di tepi
jalan, tepat dipersimpangan yang menuju ke Candi Mendut.
Pemuda pakai anting yang tadi mengemudikan kendaraan berdiri di
tepi jalan.
Ketika turun di tempat itu Wiro memberitahu bahwa dia akan
menemui seseorang.
"Tidak lama. Nanti aku balik. Uang lima ribu itu aku kasih sama
kamu."
Ternyata Wiro yang ditunggu tidak muncul kembali. Pemuda
beranting itu terpaksa berurusan dengan Polisi.
***
DUA BELAS
PELAWAK SINTING INGIN KAWIN
SINAR matahari sore yang kekuning-kuningan menyapu Candi
Mendut hingga candi ini kelihatan lebih indah dan megah.
Candi yang konon lebih tua usianya dari Candi Borobudur ini
pada perayaan dan upacara Waisak ramai dikunjungi umat Buddha
dari seluruh penjuru tanah air, bahkan juga dari mancanegara.
Di sore yang sejuk itu kelihatan beberapa rombongan wisatawan
melihat-lihat keindahan Candi. Di dalam Candi, mereka mengagumi
tiga buah patung besar yakni patung Buddha Cakyamurti yang
duduk bersila, patung Avaloki teswara dan patung Maitreya.
Di seberang halaman depan Candi mendut terdapat sederetan
warung penjual makanan dan minuman serta kios penjual berbagai
cindera mata. Di salah satu sudut halaman kelihatan banyak orang
berkumpul. Beberapa orang anak muda tampak berjoget-joget
mengiringi nyanyian seorang lelaki tua yang sekaligus menabuh
gendang kecil serta memainkan sebuah rebana. Sesekali dia
meniup sebuah harmonika yang tergantung di lehernya. Suasana
lebih meriah karena sambil menyanyi kakek yang berpenampilan
aneh ini meletakkan payung terkembang di atas kepala. Payung itu
tidak jatuh walaupun dia menari berjingkrak-jingkrak atau
menggoyang-goyangkan pantat dan pinggul.
Lagu yang dibawakan kakek itu adalah Kopi Dangdut. Begitu
Kopi Dangdut habis, anak-anak yang ada disitu berteriak meminta
agar si kakek membawakan lagu Tenda Biru.
Setelah menerima sejumlah uang dari orang-orang yang ada di
situ maka si kakek pasang suara menyanyikan Tenda Biru. Lagu
Tenda Biru ini dibawakan si kakek dalam irama dangdut dengan
gaya yang kocak membuat semua orang sesekali tertawa riuh. Apa
lagi kalau si kakek menggoyang pantat dan pinggulnya demikian
rupa hingga celana blujinsnya merosot ke bawah pinggul, membuat
orang-orang perempuan berpekikan.
Tak sengaja lewat depan rumnhmu
Ku melihaat ada tenda biru
Dihiasi indahnya janur kuning
Hati bertnnya pernikahan siapa
Tak percaya tapi ini terjadi
Kau bersanding duduk di pelaminan
Air mata jatuh tak tertahankan
Kau khianati cinta suci ini
Tanpa undangan diriku kau lupakan
Tanpa putusan diriku kaut tinggalkan
Tanpa bicara kau buat ku kecewa
Tanpa berdosa kau buat ku merana
Ku tak percaya dirimu tega
Nodai cinta khianati cinta
Ketika terdengar si kakek hendak mengakhiri nyanyiannya,
orang banyak terutama yang asyik berjoget langsung berteriak
"Terus Bos! Terus Bos!"
Pengamen tua yang dipanggil Bos itu sambil tersenyum dengan
senang hati mengulang kembali nyanyiannya sampai empat kali
berturut-turut. Selesai menyanyi dia tadangkan payung kertasnya
dan melangkah mendekati orang-orang yang berkeliling. Sejumlah
uang diletakkan orang di atas payung itu. Si kakek pengamen
membungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang kali.
"Bos! Mau kemana?"
"Nyanyinya udahan nih?!"
Beberapa orang berteriak ketika melihat si kakek lambaikan
tangan.
"Ngaso dulu! Capek!" jawab pengamen tua. "Jangan kemana-
mana dulu, tetap di tempat anda. Kami akan kembali setelah
istirahat. Ha...ha..ha!"
"Bos! Situ kaya iklan di tivi aja!" kata seorang anak muda.
Kakek pengamen sekali lagi lambaikan tangan lalu melangkah
ke salah satu sudut lapangan. Di seberang sebuah jalan kecil ada
sederetan bangunan. Kebanyakan merupakan warung. Salah satu
diantaranya ditutupi terpal berwarna biru mulai dari atap sampai
bagian depannya. Inilah "Tenda Biru" yang jadi tempat kediaman
sementara kakek pengamen.
Masuk ke dalam warung kosong yang agak gelap itu karena
bagian depannya ditutup terpal biru, kakek pengamen duduk
menjelepok di atas sehelai tikar, di salah satu sudut warung.
Beberapa kali dia batuk-batuk sambil pegangi dadanya. Lalu
diambilnya payung kertas yang diletakkan di sampingnya. Payung
dibuka. Si kakek mulai mengambil uang yang ada di situ.
"Yang namanya duit, walau gelap kelihatan saja ya Kek. Banyak
dapat duitnya hari ini Kek?" Tiba-tiba satu suara menegur
mengejutkan si kakek hingga dia terlonjak dan cepat berdiri.
Sepasang matanya dibuka lebar-lebar. Pandangannya membentur
satu sosok tinggi besar, berpakaian serba putih, berambut
gondrong, tegak sambil rangkapkan tangan di depan dada di sudut
kanan warung. Orang ini lemparkan senyum pada si kakek.
"Anak muda berambut gondrong! Apakah aku mengenalmu?!"
Pengamen tua bertanya. Tapi sepasang mata serta caranya berdiri
menyatakan dia penuh waspada dan siap melakukan sesuatu jika
orang berbuat jahat terhadapnya.
"Labodong, Pelawak Sinting dari Tanah Silam. Kau lupa padaku?
Mungkin terlalu sering dan banyak melihat uang. Matamu jadi
lamur!"
"Astaga naga! Kau tahu nama dan julukanku! Siapa kau?!
Tunggu.... Aku ingat! Kau! Bukankah kau pemuda gondrong yang
hampir aku celakakan ke dalam lobang maut di Latanah Silam?"
"Ah, ternyata otakmu masih encer!"
"Namamu Wiro Sableng! Kau sahabat adikku Si Labudung!"
"Syukur kau masih ingat diriku Kek." Kata Wiro lalu melangkah
mendekati si pengamen dan memeluknya.
"Wiro, waktu di Latanahasilam kita berseteru. Apakah
kemunculanmu untuk membalaskan sakit hati di masa lalu? Aku
terpesat ke tanah Jawa ini secara aneh. Waktu Istana Kebahagiaan
meledak..." (Mengenai kisah kakak beradik sepasang Pelawak
Sinting dapat pembaca ikuti dalam kisah petualangan Wiro Sableng
di Negeri Latanahsilam)
"Aku tahu, Kek. Itu cerita lama. Aku tak pernah mengingat-ingat
lagi. Aku juga tahu semua cerita dan kejadian hancurnya Istana
Kebahagiaan milik Hantu Muka Dua. Kek, sebenarnya aku telah
melihatmu di tengah jalan. Aku mengejarmu sampai ke sini. Aku
mencarimu bukan karena segala urusan di masa lalu. Justru karena
ada urusan di masa sekarang. Aku berterima kasih. Kau telah
menolong menyelamatkan diriku, anak bernama Boma itu dan
banyak orang lainnya di Candi Borobudur sewaktu Pangeran
Matahari melepas pukulan sakti membabi buta.
Labodong alias Si Pelawak Sinting, kakak dari Labudung yang
menemui ajal di tangan Pangeran Matahari tersenyum. Namun Wiro
melihat, dibalik senyum dan semua keceriaan kakek ini ada
bayangan rasa kesedihan.
"Jadi kau tahu kalau aku ada di Candi. Bagaimana kau bisa
tahu, anak muda?"
Wiro keluarkan robekan kertas, potongan bambu kecil serta
patahan kayu. Benda itu diperlihatkannya pada si kakek lalu
dijatuhkan ke lantai.
"Semua itu adalah bagian dari payungmu yang hancur oleh
pukulan Pangeran Matahari."
"Pangeran jahanam itu. Payungku dimusnahkan. Untung aku
membekal beberapa payung!"
"Kek, aku akan ceritakan bagaimana diriku sampai berada di
tempat ini. Tapi aku ingin kau dulu yang menuturkan kisah hingga
kau muncul dan jadi pengamen di Candi Mendut ini."
"Panjang ceritanya. Tapi biar aku singkat-singkat saja. Kau
sudah tahu kalau adikku Si Pelawak Sinting yang asli menemui ajal
dibunuh Pangeran Matahari?"
"Sudah, aku sudah tahu Kek. Mayatnya dikabarkan lenyap dicuri
orang sewaktu dibawa dengan ambulans ke rumah sakit."
"Aku yang mencuri mayat itu. Ku bawa ke satu tempat dan
kulepas kembali ke alam asalnya."
"Kau lepas kembali ke alam asalnya? Jadi adikmu itu tidak
dikubur?"
Si Pelawak Sinting Labodong tertawa.
"Aku mana tahu segala urusan kubur mengubur.
Kakakku bisa diselamatkan jenazahnya saja, rasanya sudah
bersyukur. Wiro, aku sudah beberapa hari berada di tempat ini. Aku
tengah mengejar Pangeran Matahari, pembunuh adikku. Sewaktu
di Candi Borobudur aku menjajagi kekuatannya dengan
melemparkan payung ketika dia melepas pukulan sakti yang nyaris
menghancurkan Stupa dan dinding Candi. Payungku musnah tak
jadi apa. Tapi aku merasakan bahwa kekuatan tenaga dalamnya
berada di atas tenaga dalam yang aku miliki. Sampai saat ini
dadaku terasa sakit. Untuk sementara aku menghindar ke tempat
ini. Aku punya dugaan, dia akan segera muncul di tempat ini."
Dari tadi. Wiro memperhatikan keadaan bahu dan tangan kiri si
kakek seperti senjang. Seolah ada yang mengganjal di bawah
ketiaknya. Tadi orang tua ini berkata dadanya sakit akibat
bentrokan tenaga dalam dengan Pangeran Matahari di Candi. Kalau
dada yang sakit mengapa bahu kiri yang kelihatan seperti naik ke
atas? Diam-diam Wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang. Di
bawah ketiak kiri si kakek dia melihat ada sebuah benda putih
berbentuk antara bulat dan lonjong. Sulit menduga benda apa itu
adanya. Maka Wiro lantas bertanya. "Kek, apa kau sedang bisulan
di ketiak? Kulihat bahumu naik sebelah."
Pelawak Sinting terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia
membatin. "Agaknya anak ini tahu ada sesuatu aku sembunyikan di
bawah ketiakku. " Mungkin dia ikutan mencari benda ini."
"Aku tidak bisulan. Di ketiakku ada sebuah batu. Kusekap akan
kujadikan benda bertuah."
Wiro tersenyum mendengar ucapan kakek itu.
"Kek, kau sudah tahu ada seorang anak perempuan disekap di
dalam Stupa di Candi Borobudur. Dengan ilmu kepandaianmu,
apakah kau bisa menolong membebaskannya. Atau paling tidak
kau tahu cara untuk menyelamatkannya keluar dari dalam Stupa?"
"Aku kakek jelek dan tolol bisanya apa? Paling-paling cuma
mengamen. Tapi soal anak perempuan itu mengapa harus dipikir
dan dikawatirkan?"
"Aku benar-benar terkejut mendengar ucapanmu Kek. Nyawa
seorang anak perempuan tak berdosa kau bilang tidak usah
dipikirkan. Tak perlu dikawatirkan! Kek, anak perempuan itu adalah
sahabat seorang anak laki-laki bernama Boma. Guruku menyuruh
aku menjaga anak itu Kalau sahabatnya celaka berarti Boma juga
akan sengsara."
"Jelas. Karena memang itu cara-cara licik Pangeran Matahari."
Kata Pelawak Sinting pula. "Kuharap kau kembali saja ke Candi.
Malam nanti anak perempuan itu akan diselamatkan."
"Oleh siapa?" tanya Wiro.
Pelawak Sinting menunjuk ke atas.
"Siapa yang kau tunjuk di atas?" tanya Wiro lagi.
"Tuhan! Tuhan Yang Maha Kuasa."
"Di Negeri Latanahsilam kau tidak mengenal Tuhan. Aneh..."
"Di Tanah Jawa ini aku mulai belajar mengenal Tuhan. Ada satu
kebahagiaan di lubuk hatiku kareria aku sudah mengenal Tuhan."
Wiro mengangguk-angguk lalu tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu ucapanmu memang ada baiknya aku
kembali ke Candi."
"Tunggu, ada sesuatu yang perlu aku tanyakan padamu.
Sewaktu adikku Labudung Si Pelawak Sinting yang asli hendak
menghembuskan nafas terakhir, dia meninggalkan beberapa pesan
padaku. Satu diantaranya adalah mewakili dirinya untuk mengawini
seseorang. Rupanya semasa hidupnya saudaraku itu telah
mengikat janji untuk kawin dengan orang lain."
"Walau kau belum pernah melihat orang itu, jika berternu buruk
atau jelek apakah kau akan bersedia mengawininya?"
"Aku hanya menjalankan pesan saudaraku."
"Siapa orang yang hendak dikawini saudaramu itu yang kini
akan kau wakili mengawininya. Apakah saudaramu menyebut
namanya?"
"Ya, memang ada. Menurut Labudung orang itu nenek bernama
Sinto Gendeng...."
"Apa? Siapa?!" Kagetnya Wiro bukan kepalang. "Sinto Gendeng.
Perempuan itu, seorang nenek bernama Sinto Gendeng. Menurut
Labudung ada lima tusuk konde di atas kepalanya, lalu kalau tak
salah nenek itu bau pesing..."
"Kek, kau tidak keliru nenek itu bernama Sinto Gendeng?" tanya
Wiro.
Pelawak Sinting gelengkan kepala. "Itu nama yang aku dengar.
Itu yang aku katakan padamu. Eh, apa kau kenal dengan nenek
bernama Sinto Gendeng itu?"
Wiro menggaruk kepala. Memandang ke atap warung. Dua bola
matanya berputar. Mulutnya bergumam.
"Hemmm.... Aku belum pernah mendengar nama itu," kata Wiro
kemudian.
"Anak muda, kita sekarang bersahabat. Tolong kau cari
keterangan dimana adanya nenek itu. Tapi jangan kabarnya disebar
luas sembarangan. Kalau tidak disuruh mewakili kawin, aku yang
sudah tua bangka ini mana mau..."
"Kau belum tua Kek. Penampilanmu saja kulihat keren sekali.
Rambut dicat pirang. Gigi ditempel kertas timah. Kuping dan pusar
dicanteli anting. Pakai jaket dan celana blujins. Luar biasa!
Jangankan nenek, janda muda saja pasti naksir padamu!"
Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. Wiro juga tertawa
terpingkal-pingkal. Tapi tawanya adalah tawa karena mengetahui si
kakek ingin kawin dengan gurunya. Dan si kakek bertanya pada dia,
murid si nenek sendiri!
"Kek, benda apa yang kau gantung di leher itu?" Wiro bertanya.
"Namanya harmonika. Kalau ditiup walah! Suaranya merdu
sekali. Lagu apa saja bisa dinyanyikan dengan harmonika ini."
Wiro manggut-manggut lalu sambil senyum dia bertanya lagi.
"Kek, selain di kuping dan di pusar, dimana lagi yang kau
pasangi anting?"
"Aahhh! Aku tahu maksud pertanyaanmu! Ha..ha...ha! Kalau kau
mau, biar kau duluan kupasangi anting di barang antikmu. Mau?" Si
kakek kembali tertawa bergelak.
Wiro menyingkapkan terpal biru penutup bagian depan warung.
Mendadak langkahnya tersurut kembali. Dia melihat ada beberapa
petugas Polisi bersama orang tua yang motornya dibawa lari.
"Ada apa?" tanya Pelawak Sinting.
"Isopol."
"Isopol?" Si kakek mengintip keluar. "Polisi! Bukan Isopol."
"Kalau dibalik'kan Polisi juga. Sama saja Kek!"
"Geblek! Kenapa takut sama polisi?"
"Soalnya waktu mengejarmu ke sini aku minjam motor orang."
"Minjam atau ngerampas?"
"Ya, kira-kira gitu. Motornya tadi aku tinggalin di tengah jalan
bersama anak muda yang menolong aku mengemudikan
kendaraan itu. Aku berhutang lima ribu perak padanya. Sekarang
kalau aku keluar dari tempat ini bisa-bisa ketahuan."
"Sudah, jangan takut. Aku keluar ngamen, menarik perhatian
mereka. Begitu mereka lengkah kau molos ya?"
“Oke."
"Oke? Bahasa apa itu?"
Wiro tersenyum. "Nggak ngerti Kek. Aku dengar orang-orang
suka berkata begitu. Aku cuma niru saja."
Si kakek tertawa lebar lalu keluar dari dalam warung. Tak lama
kemudian terdengar suaranya menyanyikan lagu Kopi Dangdut.
Orang banyak mulai berkumpul. Anak-anak kecil pada berjoget.
Para petugas Kepolisian untuk beberapa saat lamanya ikut
menyaksikan tingkah si kakek. Diam-diam Wiro menyusup
meninggalkan warung.
Tak lama setelah Wiro pergi dan semua anggota Polisi
meninggalkan halaman Candi Mendut, Si Pelawak Sinting kembali
ke warung, berkemas-kemas. Malam ini sesuai pesan dia harus
menemui seseorang di Jogja. Benda yang telah dua hari dikepitnya
di ketiak harus diserahkan pada orang itu. Seorang anak lelaki
jangkung, berambut cepak bernama Boma. Kawan satu sekolah
dari anak perempuan yang saat itu disekap di dalam Stupa. Seperti
diceritakan sebelumnya benda di ketiak si kakek adalah sebuah
telur ayam yang menurut Ki Tunggul Sekati mampu menolong Dwita
keluar dari dalam Stupa.
TAMAT
IKUTI EPISODE BERIKUTNYA : BONEK CANDI SEWU
Apakah Dwita Tifani dapat dikeluarkan dari dalam Stupa? Atau
Boma dengan nekad mendongkrak jebol batu Stupa di dalam mana
anak perempuan itu disekap?
Bagaimana mungkin sebuah telur ayam kampung mampu
membebaskan Dwita Tifani?
0 comments:
Posting Komentar