..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 25 November 2024

BOMA GENDENK EPISODE TENDA BIRU CANDI MENDUT

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

SATU


MENYEKAP DWITA MEMBUNUH BOMA



ANGIN kencang yang mengeluarkan deru menggidikkan 

menyapu kawasan Candi Borobudur. Dalam keadaan seperti 

itu satu kejadian luar biasa berlangsung di bagian selatan 

bangunan raksasa yang didirikan tahun 800 Masehi itu. Sejak candi 

ini dibangun, agaknya baru kali inilah terjadi peristiwa seperti itu. Di 

bawah pandangan mata ratusan pengunjung, antara lain 

rombongan guru dan para pelajar SMU Nusantara III, tiga orang 

terlibat dalam pertarungan maut. Mereka adalah Pangeran 

Matahari, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Boma Tri Sumitro pelajar 

Kelas II-9 SMU Nusantara III. Secara aneh dan entah bagaimana 

kejadiannya Pangeran Matahari menyekap Dwita Tifani dalam 

sebuah Stupa. Wiro dan Boma berusaha membebaskan anak 

perempuan ini . 

Di bawah deru angin kencang yang menyapu permukaan candi, 

Pangeran Matahari lepaskan pukulan Telapak Matahari ke arah 

Pendekar 212 Wiro Sableng musuh bebuyutannya. Dari telapak 

tangan pemuda itu menderu satu gelombang angin panas disertai 

suara mendesis menggidikkan. Jangankan manusia, seekor gajah 

sekalipun akan leleh dihantam pukulan ini. Pohon atau batu akan 

hancur hangus berkeping-keping. Serangan ganas ini dilepas 

Pangeran Matahari dari tempatnya berdiri di samping Arca 

Amoghasidi di puncak selatan Candi Borobudur. 

Dari, kuda-kuda sepasang kaki serta gerakan tangan waktu 

melancarkan pukulan, jelas Pangeran Matahari hendak 

menghantam Pendekar 212 Wiro Sableng yang berada beberapa


langkah di hadapannya. Tetapi setengah jalan dengan kecepatan 

luar biasa dan tidak terduga Pangeran Matahari merubah gerakan. 

Pukulan maut Telapak Matahari kini diarahkan pada Boma Tri 

Sumitro! Berarti memang anak lelaki inilah sebenarnya yang 

menjadi sasaran pukulan maut sang Pangeran! 

Dalam kagetnya Wiro berteriak. 

"Boma! Awas!" 

Boma juga kaget. Tapi anak ini masih bisa menguasai diri. Malah 

membuat satu gerakan mengelak dengan memiringkan tubuh lalu 

kaki kirinya melesat ke udara, menyambar ke arah dada Pangeran 

Matahari. 

Boma tidak sadar bahaya apa yang tengah dihadapinya. Dia 

tidak tahu pukulan sakti apa yang menghantam ke arahnya. 

Sebelumnya, sewaktu Pangeran Matahari mendatanginya di 

SMU Nusantara III, Boma memang pernah menghajar pemuda itu 

dengan pukulan tangan kiri hingga telinga kanan lawan 

mengucurkan darah dan salah satu tulang iganya patah. Saat itu 

dia mampu melakukan karena sosoknya tidak kelihatan. Karena dia 

mengandalkan kesaktian Batu Penyusup Batin yang dimasukkan 

Sinto Gendeng ke dalam tubuh di bawah tulang belikat bahu 

kanannya. Tapi kali ini keadaan berbeda. Sosok Boma terlihat jelas. 

Ilmu apapun yang telah diterimanya dari Sinto Gendeng tidak 

mungkin menyelamatkannya dari pukulan maut Telapak Matahari. 

Kakinya yang menendang, bahkan sekujur tubuhnya akan hancur 

hangus, leleh, dihantam pukulan Pangeran Matahari. 

Boma berteriak keras ketika angin pukulan yang menyambar 

masih tiga langkah dari hadapannya membuat sekujur tubuhnya 

terasa seperti dipanggang. 

"Celaka!" ucap Wiro. Secepat kilat dia melompat mendorong 

bahu kiri Boma hingga anak ini terpental ke bawah Stupa, 

terhenyak di batu keras. Orang banyak dan teman-teman Boma 

berpekikan. Beberapa diantara mereka mendekati anak ini 

berusaha menolong tapi Wiro berteriak keras. 

"Menyingkir semua! Lari! Menjauh!" 

Sambil melompat ke atas menghindari sambaran angin pukulan 

Pangeran Matahari, Wiro dorongkan dua tangannya ke arah orang


orang yang ada pada jalur hantaman serangan. Belasan orang yang 

ada di depan sana, diantaranya beberapa pelajar SMU Nusantara III 

mental bergulingan dilanda dua rangkum gelombang angin yang 

keluar dari telapak tangan Wiro kiri kanan. Hanya dengan 

mengeluarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera itulah 

Wiro berhasil menyelamatkan orang-orang itu. Waktu memukul dia 

sengaja mengerahkan sedikit tenaga dalam saja agar tidak ada 

yang cidera. 

Wiro memang berhasil menyelamatkan Boma dan belasan orang 

dari hantaman pukulan Telapak Matahari, namun pukulan sakti 

yang lolos itu sesaat lagi pasti akan menghantam Stupa di bawah 

sana, terus melabrak dinding candi yang penuh dengan rilief. 

"Ya Tuhan!" seru Pendekar 212. Dia tidak mampu berbuat suatu 

apapun untuk menyelamatkan Stupa dan dinding candi. Kerusakan 

dan kehancuran yang akan terjadi pasti luar biasa hebatnya. 

"Pangeran Jahanam! Aku memang tidak bisa mencegahmu 

merusak warisan leluhur! Tapi untuk itu aku bersumpah 

membunuhmu saat ini juga!" 

Wiro tiup telapak tangan kanannya. Detik itu juga di telapak 

tangan itu muncul gambar seekor harimau putih dengan sepasang 

mata berwarna hijau. Sang pendekar mengeluarkan Pukulan 

Harimau Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh. 

Dengan pukulan ini Wiro sanggup menghancurkan apa saja. Untuk 

melancarkan serangan itu Wiro pergunakan jurus Kilat Menyambar 

Puncak Gunung. Gebukan tangan kanannya yang mengandung aji 

kesaktian Harimau Dewa laksana kilat berkelebat ke arah kepala 

Pangeran Matahari. 

Angin pukulan menyambar. Pangeran Matahari merasa seperti 

ada ratusan jarum menusuk permukaan kulitnya. Dia segera 

maklum kalau lawan tengah mengeluarkan satu pukulan dahsyat 

mematikan. Apa lagi pukulan itu diarahkan ke kepala. Satu tangan 

memegang kening, satu tangan memegang perut. Lalu Pangeran 

Matahari tekan perutnya. Hal ini akan melipatgandakan kekuatan 

arus tenaga dalam yang bersumber di perut. Begitu tenaga dalam 

yang dahsyat meluncur ke tangan kanannya yang ada di kening, 

Pangeran Matahari gerakkan tangan itu dalam jurus Menahan Bumi


Memutar Matahari. Tangan kanan itu membabat ke depan, 

menangkis serangan Pendekar 212 Wiro Sableng. 

"Buukkk!" 

Dua tangan pendekar sakti yang sama-sama mengandung 

tenaga dalam tinggi beradu keras. Lalu dua lengan saling 

menempel di udara. Masing-masing kerahkan tenaga dalam penuh. 

Lantai batu Candi Borobudur yang mereka injak bergetar dan 

kepulkan asap. Dari celah dua lengan yang masih terus menempel 

dan saling dorong juga kelihatan kepulan asap. 

Tiba-tiba Pangeran Matahari angkat kaki kanannya lalu 

dihentakkan ke lantai batu. Ini satu gerakan untuk menjebol 

pertahanan lawan dengan kekuatan tenaga dalam yang dibantu 

dengan kekuatan bumi yang barusan dihunjamnya dengan kaki 

kanan. 

Ketika merasakan lantai batu bergetar dan ada hawa panas 

dahsyat laksana banjir lahar mengalir, ke pergelangan tangannya 

Wiro maklum apa yang terjadi. Murid Sinto Gendeng ini berteriak 

menggeledek. Dari perutnya menggelegak mengalir hawa dingin 

luar biasa, menghantam hawa panas yang dikeluarkan Pangeran 

Matahari. 

"Desss!" 

"Desss" 

Dua letupan keras menggema di udara. Kepulan asap kembali 

keluar dari celah dua lengan yang masih saling mendorong 

bertempelan. 

"Celaka!" keluh Pangeran Matahari ketika dia merasa hawa 

dingin luar biasa laksana pisau tajam menyayat tangannya, 

menusuk ke arah jantung! Sekujur tubuhnya mulai menggigil. 

Ketika Wiro sekali lagi keluarkan teriakan menggelegar dan 

Pangeran Matahari sambut dengan pekik menggeledek, sosok dua 

pendekar itu sama-sama terpental. 

Murid Sinto Gendeng terduduk terhenyak di lantai batu, di depan 

sebuah Stupa. Untuk beberapa detik lamanya tangan kanannya 

sakit bukan kepalang, lumpuh tak bisa digerakkan. Pada bekas 

bentrokan lengan kelihatan kemerahan dan mulai menggembung 

bengkak. Sepuluh langkah di depan Wiro, Pangeran Matahari jatuh


berlutut. Dari keadaan jatuhnya agaknya dia lebih mampu bertahan 

dari pada Wiro. Tapi sebenarnya saat itu murid Si Muka Bangkai ini 

menderita cidera yang lebih parah dari yang dialami Wiro. Di 

sebelah luar lengannya tampak bengkak dan berwarna putih, 

pertanda hawa dingin masih menyelimuti tangan itu. Di sebelah 

dalam tulang lengannya ada yang retak. Lalu dadanya mendenyut 

sakit, membuatnya susah bernafas. Tulang iganya yang sempat 

patah dan saat itu masih dalam penyembuhan kini terasa seperti 

putus kembali! Tenaga dalam Wiro yang mengandung hawa dingin 

karena tadi dia keluarkan inti kekuatan pukulan sakti Angin Es, 

bukan saja berhasil memukul tenaga dalamnya yang bersumber 

pada kekuatan panas, tapi juga membuat hawa panas itu berbalik 

menciderai tubuhnya bagian dalam. Dan begitu hawa panas ini 

ditumpas hawa dingin, sang Pangeran langsung menggigil sampai 

gerahamnya keluarkan suara bergemeletakan! Ketika Pangeran 

Matahari berusaha menarik nafas dalam-dalam sambil pegangi 

dadanya, mulutnya batuk. Diantara ludah yang menyembur terlihat 

ada cairan merah. Darah! 

***


DUA 



PENYELAMAT CANDI TERSEMBUNYI


DINGINLAH tengkuk Pangeran Matahari. Hampir tak bisa dia 

mempercayai. Sejak beberapa waktu belakangan ini dia 

telah berlatih keras mendalami ilmu silat dan menambah 

kekuatan tenaga dalamnya. Ternyata tingkat tenaga dalamnya 

masih belum bisa menandingi kehebatan musuh bebuyutannya itu. 

"Kurang ajar! Bagaimana mungkin tingkat tenaga dalamku 

masih berada di bawah jahanam ini!" Pangeran Matahari merutuki 

diri sendiri. 

Pangeran Matahari kumpulkan tenaga, lalu bergerak bangkit. 

Mukanya kelihatan pucat. Rahang terkatup dan pelipis bergerak-

gerak. Sepasang matanya menyorot tajam dan galak ke arah lawan. 

Namun hatinya agak tergetar. Bukan hanya dari akibat bentrokan 

kekuatan tadi, tapi juga dikarenakan ada satu kejadian aneh 

berlangsung di depan sana. Semua ini membuat otaknya yang 

penuh akal cerdik licik saat itu juga serta merta bekerja mencari 

jalan keluar dari bahaya. 

Ketika Wiro mendorong Boma dan berhasil menyelamatkan 

anak ini dari serangan Pangeran Matahari lalu menyelamatkan 

banyak orang dari sambaran pukulan Telapak Matahari, pukulan 

sakti itu terus menggebu ke arah Stupa. Sesaat lagi pukulan sakti 

akan menghancurkan Stupa dan selanjutnya memusnahkan 

dinding candi bersejarah itu, tiba-tiba terdengar suara 

bergemerincing. Lalu entah dari mana datangnya mendadak 

sebuah benda kecoklatan melesat di udara. Begitu cepat daya lesat 

dan putarannya hingga sulit dilihat dan dipastikan benda apa itu 

adanya. Benda ini menderu menyongsong dan menghadang 

pukulan Pangeran Matahari yang siap menghancurkan Stupa dan


dinding relief. Benturan hebat antara benda coklat berputar dan 

pukulan sakti tidak terhindarkan lagi. 

"Wusss!" 

"Wuuut!" 

"Braaakkk!" 

Benda coklat hancur berkeping-keping. Di udara kelihatan 

pancaran cahaya api disusul kepulan asap kelabu. Semua kaki 

pengunjung yang menginjak lantai candi sama merasakan 

bagaimana lantai batu yang mereka pijak jadi bergetar. Semua 

orang, termasuk Pendekar 212 dan Pangeran Matahari tersentak 

kaget melihat apa yang terjadi. 

"Kurang ajar, ada orang pandai berpihak pada pemuda sableng 

ini!" rutuk Pangeran Matahari dalam hati. Sepasang matanya 

bergerak berputar. Tapi dia tidak menemukan atau melihat siapa 

adanya orang pandai itu diantara orang banyak. "Bangsat itu 

agaknya sengaja sembunyikan diri! Sialan. Untuk sementara aku 

terpaksa harus menyingkir." 

Dari mimik di wajah Pangeran Matahari, Pendekar 212 sudah 

maklum apa yang terpikir di benak musuh besarnya itu. Dia cepat 

berkelebat sambil berteriak. 

"Seorang Pangeran putus nyali! Punya pikiran melarikan diri! 

Manusia pengecut! Kau akan mampus hari ini! Di tempat ini!" 

Rahang Pangeran Matahari menggembung. Mulutnya dipencong-

kan sebelum membuka suara. 

"Hebat! Tidak dinyana kau pandai bicara seperti penyair! Aku 

mau lihat, apakah kau juga pandai menyambuti seranganku ini?!" 

Pangeran Matahari balas berteriak. Tangan kanannya 

dihantamkan ke arah Wiro. Menyangka lawan hendak melancarkan 

satu serangan pukulan sakti, murid Sinto Gendeng tidak mau 

kepalang tanggung. Dia siapkan Pukulan Sinar Matahari. Tangan 

kanannya sebatas siku sampai ke ujung jari serta merta berubah 

menjadi seperti perak, putih berkilat menyilaukan! 

Tapi untuk kedua kalinya murid Sinto Gendeng ini tertipu. 

Pangeran Matahari bukan melancarkan serangan berupa pukulan 

sakti, melainkan melemparkan sebuah benda bulat berwarna hijau. 

Sebelum Wiro sempat melepas Pukulan Sinar Matahari benda yang


melayang di udara itu meletus. 

Kepulan asap kehijauan serta merta membungkus seantero 

tempat. 

Khawatir asap hijau itu mengandung racun Wiro berteriak agar 

semua orang menyingkir jauh-jauh. Orang banyak kembali 

berpekikan ketakutan dan menjauh berlarian. Yang tak sempat 

menutup jalan nafas, batuk-batuk bahkan ada yang muntah. 

Kecuali Wiro, semua orang merasa mata mereka perih. Wiro 

merutuk habis-habisan. 

"Pangeran licik! Pengecut! Aku tahu nyalimu leleh! Kau mau 

kabur!" 

Dari balik kepulan asap terdengar tawa bergelak Pangeran 

Matahari. 

"Pendekar 212! Boma! Aku masih berbaik hati memperpanjang 

umur kalian satu dua hari! Aku masih berbaik hati memberi 

kesempatan pada kalian untuk meratap menangisi kematian anak 

perempuan bernama Dwita yang akan membusuk di dalam Stupa! 

Aku akan kembali untuk menghabisi kalian! Ingat hal itu baik-baik!" 

"Pangeran jahat! Bebaskan Dwita!" Teriak Boma. Dia hendak 

mengejar ke arah terdengarnya suara Pangeran Matahari tapi 

lengannya cepat dipegang Wiro. Murid Sinto Gendeng ini tadinya 

juga ingin mengejar sambil lepaskan pukulan. Namun tidak tahu 

mau mengejar ke arah mana, mau memukul ke jurusan mana 

karena kepulan asap hijau masih menutup pemandangan. Salah 

bergerak bisa-bisa dibokong Pangeran licik itu. Kalau hal itu terjadi 

mungkin dia bisa menghadapi, tapi bagaimana kalau Boma yang 

dihantam secara licik? Anak itu pasti menemui ajal secara 

mengenaskan! 

Ketika asap hijau sirna dan keadaan di tempat itu terang 

kembali, seluruh pelajar SMU Nusantara III termasuk Pak Sanyoto 

dan Ibu Renata mendatangi Boma yang saat itu masih dipegangi 

oleh Wiro. 

"Bom, kau tidak apa-apa?" tanya Ronny. 

Boma menowel hidungnya, membuat semua temannya tertawa 

lalu mengelengkan kepala. Padahal akibat jatuh terhenyak tadi 

punggungnya sakit bukan main dan sampai saat itu rasa sakit


masih belum hilang. 

"Bom, minum dulu. Mukamu keliatan pucet," kata Vino sambil 

mengulurkan sebotol Aqua. 

Boma menggeleng. "Jangan pikirin aku. Ingat Dwita! Kita harus 

menolong Dwita!" 

Wiro pertama sekali berkelebat ke arah Stupa di mana Dwita 

tersekap dan masih terbujur pingsan. Boma menyusul lari ke sana 

diikuti oleh semua anak-anak SMU Nusantara III. Sulastri, Gita dan 

juga Trini serta Ibu Renata bcrteriak-teriak memanggil Dwita. 

Namun di dalam Stupa Dwita tidak bergerak tidak bersuara. Anak-

anak perempuan itu terus memanggil-manggil. Suara mereka 

kemudian berubah menjadi isak tangis. Mereka tidak pasti apakah 

Dwila hanya pingsan atau sudah menjadi mayat! 

Boma diikuti Ronny dan Vino, mengelilingi Stupa tapi tidak tahu 

bagaimana harus menolong Dwita. Sampai di hadapan Wiro anak 

ini berkata. 

"Bang, Dwita harus ditolong. Harus dikeluarkan..." 

Wiro tidak menjawab. Hanya berdiri menggaruk kepala sambil 

memandang ke dalam Stupa. Sikap dan tampangnya seperti orang 

bloon tapi sebenarnya saat itu otaknya tengah bekerja. 

"Eh, kok Boma manggil Abang sama si gondrong itu? 

Memangnya dia siapa?" Sulastri bertanya sambil memegang lengan 

Ronny. 

"Gue juga nggak kenal," jawab Ronny. 

"Dandanannya aneh..." ucap Trini. "Liat, ada tatto di dadanya..." 

"Baunya kecut," Si Centil Sulastri kembali menyeletuk. 

Yang dirasani rupanya mendengar. Si gondrong murid Sinto 

Gendeng itu palingkan kepala ke arah Sulastri. Memandang tak 

berkesip. 

Sulastri Si Centil jadi grogi. 

"Rasain lu! Ngomong seenaknya!" kata Rio. 

Tapi Wiro tidak marah malah tersenyum dan kedipkan matanya. 

Sulastri jadi lega. 

"Bang!" panggil Boma lagi. "Dwita harus dikeluarin dari dalam 

Stupa! Tolong Bang!" Boma lalu pegangi salah satu batu Stupa 

dengan kedua tangannya. Anak ini kerahkan tenaga. Jangankan


bergeser, bergeming seujung rambutpun batu itu tidak! 

"Boma, susunan batu Stupa ini berat sekali. Kau tak bakal bisa 

menggesernya..." 

"Bang, Stupa ini terbuat dari susunan batu-batu. Kalau salah 

satu dijebol pasti yang lainnya ikut terbongkar." Kata Boma tidak 

percaya pada ucapan Wiro. Lalu dia berpaling pada Ronny dan Vino. 

"Ron, Vin, bantu gua narik batu yang satu ini. Masa sih nggak bisa 

dijebol!" 

Dibantu Ronny dan Vino Boma kembali berusaha menarik salah 

satu batu Stupa. Tetap saja batu itu tidak bergerak. Wiro pegang 

bahu Boma. "Jangankan kalian bertiga, semua orang yang ada di 

sini tidak bakal bisa menggeser batu itu. Daya tekan batu-batu di 

sebelah atas beratnya ratusan kilo. Lalu ada daya tarik bumi di 

sebelah bawah..." 

"Kalau 'gitu, kita geser batu paling atas di bawah tutup Stupa. 

Pasti tekanannya lebih enteng," kata Boma pula sambil 

memandang ke bagian atas Stupa lalu siap hendak memanjat. 

Wiro cepat pegang pinggang Boma. 

"Ada satu hal lagi yang harus kau ketahui..." 

"Apaan?" tanya Boma. Kakinya masih setengah menggantung. 

"Selain tekanan batu-batu di sebelah atas dan daya tarik bumi di 

sebelah bawah, masih ada satu kekuatan lain yang sulit ditembus. 

Kekuatan gaib. Kekuatan keramat." 

Boma turunkan kedua kakinya ke lantai candi. "Saya tidak 

perduli kekuatan apa, Bang. Yang penting Dwita musti ditolong. 

Musti dikeluarin!" jawab Boma. Mukanya yang merah disengat 

matahari basah oleh keringat. Begitu juga badan dan seluruh 

pakaiannya. Tiba-tiba anak ini ingat pada hawa murni yang pernah 

diberikan nenek sakti di Gunung Gede lewat tangan kirinya. 

Menurut si nenek tangan kirinya itu sanggup memukul mati 

seseorang. Kalau dipergunakan untuk memukul batu masakan 

tidak jebol?! Rahang Boma menggembung, tenaganya dikumpul, 

tangan kirinya diangkat lalu dipukulkan. 

Satu jengkal lagi tangan itu akan menghantam batu Stupa, 

dengan gerakan kilat Wiro pegang lengan kiri Boma. 

"Jangan berlaku tolol! Merusak Stupa bisa berbahaya..."


"Demi keselamatan Dwita, kita harus melakukan apa saja! Kalau 

perlu Stupa ini kita hancurkan!" 

"Ini bangunan keramat warisan leluhur. Jangan sekali-kali 

dirusak." 

"Lalu bagaimana kita harus menyelamatkan Dwita?" Ronny yang 

berkata. "Kalau Pangeran jahat itu bisa memasukkan Dwita ke 

dalam Stupa, pasti ada cara mengeluarkan Dwita...." 

"Betul, Bang..." ujar Boma sambil mengusap-usap tinju kirinya 

dengan tangan kanan. 

"Pangeran Matahari punya ilmu kepandaian yang mungkin orang 

lain tidak memilikinya. Kita harus menyelidiki..." 

"Menyelidik bagaimana? Berapa lama? Orangnya aja udah kabur 

entah kemana!" kata Boma penasaran. 

"Sebaiknya kita melapor pada petugas keamanan Candi. Biar 

saya yang melakukan. Kalian semua tunggu di sini. Jangan ada 

yang berpencar." Pak Sanyoto Guru Olah Raga keluarkan ucapan 

untuk pertama kali. 

Wiro menggaruk kepala. Saat itulah dia melihat banyak orang 

berpakaian seragam bergerak naik ke atas candi. Wiro pegang 

bahu Boma dan berbisik. : 

"Aku terpaksa pergi dulu. Nanti aku menemuimu lagi." 

"Abang mau kemana?" tanya Boma. "Bagaimana Dwita?" 

Wiro menjawab dengan membelintangkan jari telunjuknya di 

atas mulut lalu kedipkan mata. 

"Bang..." 

"Ssshhh... Ada Isilop datang. Aku lebih baik pergi. Kalau sampai 

kena diusut, ditanyain KTP, bisa berabe. Aku mana gablek KTP! 

Selain itu tadi ada orang pandai menolong kita menahan hantaman 

pukulan Pangeran Matahari. Aku mau menyelidik dan mencari 

siapa dia adanya. Mungkin dia bisa membantu mengeluarkan Dwita 

dari dalam Stupa." 

Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat. Sebelum lenyap dari 

tempat itu dia menyambar tiga buah benda yang bertaburan di 

lantai candi sebelah bawah. 

"Ajie Gile" kata Andi. "Bisa lenyap kaya setan aja! Bom, lu kenal 

dimana Si Abang itu?"


"Isilop? Apaan Isilop?" tanya Vino. 

Bagian Candi di sekitar Stupa dimana Dwita tersekap kini 

dipenuhi petugas berseragam Candi Borobudur. Lalu dua belas 

anggota Polisi juga telah berada di tempat itu. 

"Isilop... Isilop," ucap Firman berulang kali. "Eh, pasti yang 

dimaksud si gondrong Abang ‘lu itu Polisi. Polisi kalau dibalik 'kan 

jadi Isilop. Ngacok aja' tu orang!" 

Boma memandang ke bagian bawah candi. 

"Ah, Polisi lagi. Urusan lagi..." Ucap Boma dalam hati. Dia 

memandang sedih ke dalam Stupa. "Dwita..." suara Boma parau 

setengah berbisik. "Kalau bisa biar aku saja yang ada di dalam 

sana. Jangan kamu...." 

Gita Parwati mendekat, memegang lengan Boma. 

"Bom, ini kejadian di luar akal manusia! Mana mungkin ada 

orang bisa masuk ke dalam Stupa." 

"Buktinya, kamu liat sendiri Git," sahut Boma. 

"Ada kekuatan gaib yang menjebloskan Dwita ke dalam Stupa. 

Kita hanya bisa minta pada Tuhan agar Dwita bisa diselamatkan..." 

Tidak terasa air mata meluncur di pipi si gemuk Gita. Trini yang 

selama ini selalu bermusuhan dengan Dwita kelihatan berkaca-

kaca matanya. Sulastri tundukkan kepala, mulutnya komat-kamit 

entah apa yang dilafatkan. 

"Gimana kalau orang tua Dwita dikasih tau?" kata Sulastri pula. 

"Baiknya jangan dulu. Nanti saja," jawab Gita Parwati. Dia 

ulurkan tangan, dimasukkan ke dalam Stupa. Aneh, Gita tidak bisa 

menyentuh tubuh Dwita, padahal kelihatannya dekat saja. Gita 

memberitahu hal itu pada Boma. Berdua dengan Ronny, Boma 

memasukkan tangan lewat lobang Stupa. Seperti yang dialami Gita, 

kedua anak ini tidak berhasil menyentuh tubuh, kaki atau tangan 

Dwita. 

"Aneh Ron," bisik Boma. 

"Tengkuk gue jadi merinding," sahut Ronny. 

"Heran, kok bisa sih kejadian kayak gini," kata Vino pula. 

"Jangan-jangan Dwita bikin kesalahan. Jangan-jangan dia kencing 

sembarangan. Yang punya tempat marah. Dwita lalu dibekep dalam 

Stupa."


"Enak aja lu ngomong!" Ada yang menyeletuk ketus. Ternyata si 

gendut Gita Parwati. "Anak cewek nggak pernah kencing 

sembarangan 'tau! Kalian 'tuh anak cowok yang suka beser

seenaknya. Kencing berdiri, nggak cebok!" 

"Huss, udah! Jangan pada betengkar," kata Ronny Celepuk. 

Petugas Kepolisian yang kemudian datang ke tempat itu 

bersama petugas kawasan wisata Candi Borobudur meminta para 

pengunjung untuk menjauh. Kecuali rombongan anak-anak SMU 

Nusantara III dan para guru, semua mereka dimintai keterangan 

apa yang telah terjadi. Pengusutan yang dilakukan pihak berwajib 

tidak selesai di tempat itu saja. Pak Sanyoto, Ibu Renata, beberapa 

pelajar SMU Nusantara III dan beberapa orang pengunjung yang 

diperlukan sebagai saksi diminta datang ke sebuah kantor untuk 

dimintai keterangan lebih lanjut. 

Menurut Polisi walau tidak terjadi kerusakan pada Candi 

Borobudur, tapi kejadian itu perlu diusut lebih jauh. Apa lagi disitu 

telah terjadi perkelahian antara dua pemuda aneh yang rnelibatkan 

seorang pelajar SMU Nusantara III yaitu Boma. Lalu, ini yang luar 

biasa, seorang pelajar perempuan yakni Dwita secara diluar akal 

berada di dalam Stupa. Ini merupakan satu kejadian besar kedua 

yang pasti akan menggegerkan. Peristiwa besar pertama adalah 

kejadian peledakan salah satu kawasan Candi beberapa tahun 

yang lalu. 

"Pak, maaf," kata Boma. "Saya nggak bisa ninggalin teman saya 

sendirian di dalam Stupa. Saya mau terus di sini aja, Pak. Nungguin 

Dwita." 

"Saya juga," kata Gita. 

"Saya juga..." kata beberapa anak lainnya lermasuk Trini hampir 

berbarangan. 

Para Petugas Kepolisian bicara sebentar dengan Pak Sanyoto 

dan Ibu Renata. Akhirnya diputuskan hanya kedua guru SMU 

Nusantara III itu bersama Boma, Sulastri, Trini, Vino dan Ronny 

serta tiga orang pengunjung yang diminta datang ke Kantor. Yang 

lain-lain tetap di tempat itu menunggui Dwita yang masih terbaring 

pingsan di dalam Stupa, dikawal oleh enam orang petugas 

Kepolisian.



TIGA


BOMA DIPERIKSA POLISI


KPADA Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi yang meminta 

keterangan, Pak Sanyoto dan Ibu Renata menjelaskan 

bahwa mereka baru tahu kejadian Dwita Tifani berada di 

dalam Stupa setelah banyak pengunjung berlarian ke tempat itu. 

Bagaimana kejadian anak perempuan itu bisa berada di dalam 

Stupa mereka tidak bisa menjelaskan. 

"Saat orang banyak berlarian, saya tanya sama yang kebetulan 

lewat di depan saya. Ada apa Pak? Orang itu bilang ada kejadian 

aneh. Ada orang dalam Stupa." Pak Sanyoto memberi keterangan. 

Lalu meneruskan. "Saya tanya lagi sama seorang yang lewat di 

depan saya. Katanya ada orang gila menculik gadis. Gadisnya 

dikurung dalam Stupa. Saya tidak tahu kalau yang ada dalam Stupa 

adalah murid SMU Nusantara III. Baru tahu setelah melihat sendiri. 

Ternyata Dwita." 

Ibu Renata memberi keterangan yang sama dan dikuatkan oleh 

tiga pengunjung yang dijadikan saksi. "Waktu saya dan anak-anak 

sampai di tempat itu, di dekat Stupa di mana Dwita terkurung, 

berdiri seorang lelaki tinggi besar, berambut gondrong. Orang ini 

mengaku bernama Pangeran Matahari. Dia mengancam akan 

membunuh siapa saja yang berani mendekati Stupa. Waktu dia 

berteriak, bangunan Candi serasa bergetar, kami semua berlari 

menjauh." 

"Orang laki-laki berambut gondrong ini, apa Pak Sanyoto dan Ibu 

Rena pernah melihat sebelumnya?" 

Dua guru SMU Nusantara III itu sama menggelengkan kepala.


Boma, Ronny dan Vino saling berlirikan. Dari tempatnya duduk Pak 

Sanyoto kemudian memandang pada ketiga anak itu. Dia seperti 

hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi karena saat itu Serda 

Sujiwo bicara, meminta Ibu Renata memberitahu ciri-ciri orang 

bernama Pangeran Matahari itu lebih rinci sementara Kopral 

Pirngadi mengetik semua keterangan yang diberikan. 

"Orangnya tinggi besar Pak. Rambut panjang segini..." Ibu 

Renata meletakkan tangan kanannya di belakang punggung. 

"Pakaiannya baju dan celana hitam. Pakai mantel hitam. Di dada 

bajunya ada gambar gunung dan matahari. Lalu keningnya diikat 

kain merah." 

"Ada keterangan bahwa orang bernama Pangeran Matahari itu 

berteriak mencari seorang anak bernama Boma." 

"Boma, ini anaknpa Pak," kata Pak Sanyoto sambil menunjuk 

dengan ibu jari tangan kanannya pada Boma yang berdiri di 

belakangnya. Tampaknya Guru Olah Raga ini bersemangat sekali 

membantu Polisi. 

Serda Sujiwo perhatikan Boma sejenak lalu berkata. "Nanti 

giliran Dik Boma saya tanyai. Ibu Rena, teruskan keterangan Ibu." 

"Waktu Boma tidak muncul, orang bernama Pangeran Matahari 

itu lalu memukul ke arah Stupa tempat Dwita terkurung. Saya 

melihat ada cahaya angker melesat keluar dari tangannya. Lalu 

saat itu tiba-tiba Boma muncul. Tapi disaat yang sama juga muncul 

seorang lain. Berpakaian serba putih. Rambutnya gondrong sebahu, 

di kepalanya ada sebentuk destar putih. Orang ini agaknya kenal 

dengan Pangeran Matahari. Dia berteriak lalu memukulkan tangan. 

Saya lihat ada cahaya putih menyembur dari tangannya yang 

memukul. Lalu ada letusan keras. Ada hawa panas sekali. Saya dan 

semua anak-anak, saya rasa juga semua pengunjung berlarian 

menjauh. Gagal mencelakai Dwita di dalam Stupa, orang bernama 

Pangeran Matahari itu lalu menyerang Boma. Tapi lagi-lagi lelaki 

gondrong berpakaian putih menolong hingga Boma selamat." 

Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi memandang ke arah Boma 

sesaat. 

"Ibu Rena, terima kasih atas keterangan Ibu. Mungkin ada hal 

lain yang ingin Ibu sampaikan?"


"Begini Pak, saya minta supaya murid saya Dwita bisa 

dikeluarkan dari dalam Stupa secepat mungkin. Saya kawatir..." 

"Hal itu sudah kami pikirkan. Beberapa petugas tengah 

berunding dengan pihak berwenang yang mengelola kawasan 

wisata Candi Borobudur ini," jawab Serda Sujiwo. 

"Saya boleh memberi keterangan tambahan sedikit Pak," kata 

Pak Sanyoto tiba-tiba. 

"Silahkan." 

"Kalau saya tidak keliru, orang berpakaian hitam dengan ikat 

kepala merah, mengaku bernama Pangeran Matahari itu ciri-cirinya 

sama dengan orang gila yang pernah menyerang Boma dan kawan-

kawan di sekolah beberapa minggu lalu. Orang dengan ciri-ciri yang 

sama ini juga yang pernah diberitakan dalam koran membunuh 

seorang pengamen tua di jembatan penyeberang depan gedung 

Sarinah di Jakarta..." 

"Brengsek Si Umar," bisik Ronny pada Boma. "Perlu apa dia 

ngomong begitu. Nggak ditanya kok nyelonong ngasih keterangan. 

Songong! Urusan bisa jadi panjang. Bisa sampai malam kita 

nongkrong disini." 

Serda Sujiwo berpaling pada Kopral Pirngadi. "Untuk 

pengembangan, kontak Jakarta. Pakai jalur komunikasi Pos I" 

"Siap Pak," jawab Kopral Pirngadi lalu tinggalkan tempat itu. 

Serda Sujiwo memindahkan mesin ketik ke hadapannya lalu 

berpaling pada Boma. Setelah menyuruh Boma maju sedikit 

anggota Polisi ini mulai menanyai anak ini. 

"Orang bernama Pangeran Matahari itu berteriak mencari Dik 

Boma. Dik Boma tahu apa sebabnya?" 

"Saya... Mungkin dia mau membunuh saya Pak." 

Jawaban Boma ini membuat ruangan kantor vang tidak 

seberapa besar itu menjadi berisik untuk beberapa lamanya. 

"Dari mana tahunya orang itu mau membunuh Dik Boma?" 

"Dia jelas mengancam Pak. Kalau saya nggak muncul, dia mau 

membunuh Dwita. Lalu waktu saya kemudian muncul, dia 

menyerang saya." 

"Urusan bunuh membunuh adalah urusan sangat serius. 

Merupakan tindak pidana berat. Apa lagi kalau sampai


direncanakan sebelumnya. Nah, Dik Boma tahu mengapa orang 

bernama Pangeran Matahari itu berniat jahat mau membunuh Dik 

Boma?" 

"Saya tidak tau Pak," jawab Boma. 

"Menurut Pak Sanyoto tadi, sebelumnya orang itu pernah 

menyerang Dik Boma dan kawan-kawan di sekolah." 

"Betul, waktu itu saya anggap dia cuma orang gila." 

"Dik Boma tidak kenal dengan orang itu? Punya hubungan 

sebelumnya?" 

"Tidak Pak. Tidak kenal, nggak punya hubungan apa-apa." 

"Kalau dia cuma orang gila, bagaimana mungkin bisa mengikuti 

Dik Boma sampai di Jogja ini?" 

"Saya juga nggak ngarti Pak." 

"Setelah gagal membunuh Dik Boma, orang itu melarikan diri. 

Tahu larinya kemana?" 

"Nggak tau Pak." 

Serda Sujiwo membaca apa yang telah diketiknya lalu kembali 

mengajukan pertanyaan. "Di tempat kejadian, diketahui muncul 

seorang lelaki berpakaian serba putih, rambut gondrong. Kenal 

dengan orang ini?" 

Boma menowel hidungnya. Dia tidak segera menjawab. 

"Bom, lu ditanya kenal nggak? Jawab..." bisik Ronny. 

"Nggak kenal Pak," jawab Boma. 

"Banyak orang melihat, juga mendengar Dik Boma bicara 

dengan orang itu. Malah memanggilnya dengan sebutan Abang. 

Kalau tidak kenal bagaimana bisa bicara banyak dan memanggil 

Abang?" 

"Sebetulnya begini Pak, dibilang kenal nggak. Dibilang tidak 

kenal juga sulit. Habis, saya kenal orang itu dalam mimpi." 

"Dalam mimpi?" Serda Sujiwo tertawa lebar. Yang lain-lain juga 

ikut tertawa kecuali kawan-kawan Boma. Ibu Renata menatap 

Boma dari samping dalam herannya. 

"Betul Pak, saya nggak bohong," kata Boma. "Saya pertama 

sekali melihat orang itu dalam mimpi. Lalu yang beneran tadi di 

Candi..." 

Serda Sujiwo masih tertawa bahkan kini mengetik sambil


geleng-geleng kepala. 

"Tahu siapa nama orang yang Dik Boma panggil Abang itu?" 

"Tidak tau Pak." 

"Tidak tahu?" 

"Betul Pak." Jawab Boma. 

"Dik Boma tidak tahu nama orang itu. Tapi orang itu 

menyelamatkan Dik Boma dari serangan Pangeran Matahari..." 

"Pak, mungkin Bapak nggak percaya." 

"Nggak percaya bagaimana? Apa yang saya tidak percaya?" 

"Agaknya antara Pangeran Matahari dengan orang yang 

menolong saya itu sudah ada perselisihan. Lalu, mereka berdua 

bukan makhluk alam kita Pak." 

Kembali ruangan kantor itu dipenuhi suara orang. Serda Sujiwo 

mengambil rokok dari dalam kantong bajunya. Hendak dinyalakan 

tapi tidak jadi. "Dik Boma, saya ada dua pertanyaan. Pertama 

bagaimana Dik Boma tahu dua orang itu bukan makhluk alam kita. 

Kedua kalau mereka bukan makhluk alam kita lalu makhluk alam 

mana?" 

"Begini Pak, semua orang tadi melihat, kedua orang itu lenyap 

secara aneh. Manusia biasa mana mungkin bisa berbuat begitu. 

Pangeran Matahari menyekap Dwita di dalam Stupa..." 

"Tidak ada yang melihat dia memasukkan anak perempuan itu 

ke dalam Stupa." 

"Benar nggak ada yang liat Pak. Tapi dari ucapan-ucapan serta 

ancaman-ancamannya jelas dia yang punya pekerjaan..." 

"Sulit dibuktikan." 

"Bapak sebagai petugas Kepolisian yang harus menyelidik dan 

membuktikan." Kata-kata Boma itu membuat Serda Sujiwo agak 

terperangah. "Pak,” ucap Boma. "Maaf yang penting saat ini kita 

harus berbuat sesuatu. Menolong teman saya keluar dari dalam 

Stupa." 

Serda Sujiwo mendorong mesin tik di atas meja ke depan, 

duduk bersandar ke kursinya, menatap Boma sesaat. Ketika dia 

hendak mengatakan sesuatu, Kopral Pirngadi masuk ke ruangan. 

"Sudah ada kontak dengan Jakarta Pak. Kapten Heru dari Serse 

Polda Jaya ingin bicara dengan Bapak melalui tilpon. Silahkan di


Pos I Pak." 

"Sambungkan saja ke sini," kata Serda Sujiwo sambil memegang 

tilpon di atas meja, di samping mesin tik. 

"Maaf Pak, Kapten Heru yang minta agar Bapak bicara di Pos I 

saja..." 

Serda Sujiwo mengusap dadanya. "Saya mengerti," katanya 

kemudian. Lalu berdiri dari kursi. Sebelum meninggalkan ruangan 

dia minta pada semua orang agar mau menunggu sebentar. 

Ternyata Sersan Dua itu tidak hanya sebentar. Lebih dari setengah 

jam kemudian baru dia kembali. Wajahnya tampak serius. Begitu 

duduk di kursi dia segera saja bicara. 

"Pak Sanyoto, Ibu Rena dan semua pelajar dari Jakarta. Ternyata 

peristiwa yang tengah kita hadapi tidak sesederhana yang saya 

sangka. Sebelumnya saya memang mengira bahwa selesai saya 

mendapat keterangan, urusannya sementara cukup sampai di sini. 

Tapi setelah saya bicara dengan atasan di Jakarta ternyata kita 

tengah menghadapi satu perkara besar. Bukan saja menyangkut 

perkelahian di Candi tadi yang syukur-syukur tidak menimbulkan 

kerusakan ataupun korban jiwa, tapi kejadian ini ada sangkut 

pautnya dengan pembunuhan atas diri seorang pengamen di 

Jakarta. Saya diberi tahu, pengamen itu sendiri jenazahnya 

kemudian dilarikan orang dalam perjalanan ke Rumah Sakit. 

Mengingat keterbatasan waktu, tempat serta sarana komunikasi, 

saya terpaksa harus membawa Dik Boma sebagai saksi utama ke 

Jogja. Di sana akan dilakukan pengusutan lebih lanjut." 

"Loh, kok saya ditangkap Pak?" tanya Boma. 

***


EMPAT


PERTOLONGAN SANG BOKAP


JANGAN salah sangka. Adik tidak ditangkap. Cuma dibawa ke 

Jogja untuk diminta keterangan lebih rinci. Selain itu, ini juga 

satu tindakan untuk melindungi, agar tidak terjadi apa-apa 

dengan diri Dik Boma." 

"Waduh! Berantakan deh acara wisata kita!" kata Ronny. 

"Kalau Boma di bawa ke Jogja, kami semua yang ada di sini juga 

minta dibawa!" Tiba-tiba Si Centil Sulastri berkata. 

"Betul Pak. Kami juga minta dibawa," ikut bersuara semua anak 

SMU Nusantara III yang ada dalam ruangan itu. 

"Pak, saya mau diapakan saya nggak perduli," kata Boma seraya 

melangkah maju mendekati meja Serda Sujiwo. "Tapi yang penting, 

saya ingin kawan saya Dwita segera ditolong. Kita sudah 

menghabiskan waktu berjam-jam di tempat ini. Sementara teman 

saya masih terkurung di dalam Stupa." 

"Sebentar lagi aparat dari kawasan wisata akan datang." 

"Kalau datang cuma buat nanya ini nanya itu nggak ada gunanya 

Pak," Ronny keluarkan ucapan. 

"Kami mengerti kekhawatiran kalian. Kami juga tengah 

berusaha mencari cara untuk mengeluarkan teman kalian yang ada 

di dalam Stupa." 

"Dari tadi dia berdua 'kan ada di sini, kapan berusahanya," bisik 

Sulastri. 

"Pak Sanyoto, mungkin bisa menemani Dik Boma ke Jogja. Yang 

lain-lain kembali ke Candi..." 

"Hemm, tambah ribet tambah ernpet deh Si Boma kalau sampai


Si Umar ikutan ke Jogja." Bisik Vino. 

"Maaf, Pak. Kami tidak kembali ke Candi. Kami semua ikut 

kemana Boma dibawa," kata Sulastri pula dengan beraninya sambil 

menatap sorotan mata dua petugas Polisi di depannya. 

"Kami tidak bisa melakukan permintaan itu. Kami hanya ingin 

menanyai Boma..." 

"Boma sudah ditanyai. Boma tidak ada sangkut pautnya dengan 

kematian pengamen di Jakarta. Saya mohon kami anak-anak 

sekolah yang sedang wisata ini jangan dipersusah Pak. Wong

niatnya ingin jalan-jalan kok jadi ngalamin kayak gini." 

"Nama Adik siapa?" tanya Serda Sujiwo pada anak perempuan 

yang barusan bicara. 

"Trini Pak." 

"Begini Dik Trini. Kami ini cuma bertugas menjalani perintah 

atasan. Atasan bilang Dik Boma harus dibawa ke Jogja, kami hanya 

bisa mematuhi. Dik Boma dibawa ke Jogja bukan ditangkap, bukan 

mau diapa-apakan, tapi untuk ditanyai. Ini satu tindakan proaktif 

untuk menjaga segala kemungkinan agar jangan terjadi apa-apa 

dengan diri Dik Boma sendiri dan paling utama tidak terjadi apa-apa 

dengan Candi Borobudur." 

"Maaf Pak," jawab Trini. "Kalau mau nanyai Boma, mengapa 

nggak dilakukan di sini saja? Kami bersedia menunggui sampai 

pagi..." 

"Sudah Rin, aku nggak keberatan dibawa ke Jogja. Asal Dwita 

bisa ditolong..." kata Boma pula. 

"Nggak bisa!" jawab Trini. "Kita bukan mau melawan hukum, 

bukan mau melawan Bapak Polisi. Tapi apa perlunya kamu dibawa 

ke Jogja sementara Dwita sengsara terkurung dalam Stupa. Bahkan 

nggak ada petugas medis yang dikirim ke lokasi!" 

"Dik Trini, tenang. Saya senang melihat rasa setia kawan Dik 

Trini. Begini ya, kalau saya boleh ngomong..." 

Ucapan Serda Sujiwo itu segera dipotong oleh Trini. 

"Maaf Pak, kalau Bapak bersikeras mau bawa Boma ke Jogja, 

boleh nggak kami memberikan jaminan..." ` 

"Maksud Dik Trini?" tanya Serda Sujiwo. 

"Maksud saya soal usut mengusut ini tidak usah diteruskan.


Kalau memang atasan Bapak di Jakarta ingin melanjutkan 

penyelidikan, nanti Boma juga akan pulang ke Jakarta. Nanti dia 

juga bisa ditanyai di sana." 

"Saya bisa mengerti maksud baik Dik Trini. Maunya saya juga 

gitu. Tapi saya bekerja atas perintah atasan..." 

"Pak, saya boleh minjam tilpon Bapak?" 

"Mau nilpon kemana?" yang bertanya Kopral Pirngadi. 

"Ke Jakarta." 

"Nilpon siapa?" 

"Bapak saya," jawab Trini. 

"Bisa nanti saja?" 

"Maaf Pak, kalau bisa maunya sekarang." 

Kopral Pirngadi memandang pada atasannya. Serda Sujiwo 

anggukkan kepala. 

"Tolong sebutkan nomornya, nanti saya yang nyambungin," kata 

Kopral Pirngadi. Trini menyebutkan nomor tilpon yang ditujunya. 

Kopral Pirngadi lalu menekan tombol-tombol angka di pesawat 

tilpon. Pada nomor terakhir yang ditekannya dia baru sadar dan 

memandang pada Trini lalu berpaling pada Serda Sujiwo. 

"Lho, ini nomor tilpon Kadit Serse Polda Jaya." 

"Memang betul Pak. Bapak saya tugas di sana," Kata Trini pula. 

Dia melirik dan sempat melihat perubahan wajah Serda Sujiwo. 

"Nama Bapaknya Dik Trini siapa?" tanya Kopral Pirngadi dengan 

suara dipelankan sementara menunggu sambungan. 

"Kusumo Atmojo." 

"Boleh tahu pangkatnya?" 

"Letkol." 

Serda Sujiwo mengusap rambutnya. 

Kopral Pirngadi mengangkat tangan kiri memberi tanda pada 

Trini bahwa kontak sudah didapat. 

"Selamat siang. Saya Kopral Pirngadi dari, Borobudur. Minta 

disambung dengan Letkol Kusumo Atmojo.... Yang mau bicara 

puteri beliau. Oh, sebentar..." 

Kopral Pirngadi menyerahkan pesawat tilpon pada Trini. 

Mendadak saja ada rasa tegang di hati, semua pelajar SMU 

Nusantara III yang ada di ruangan itu. Mereka memasang telinga.


Apa yang hendak dibicarakan Trini dengan ayahnya yang Letkol di 

Polda Java itu. 

"Bapak? Trini Pak.... Di Borobudur...." Trini lalu menceritakan apa 

yang telah dan tengah terjadi dengan dirinya dan kawan-kawan 

termasuk perihal Boma yang akan dibawa ke Jogja. Setelah bicara 

cukup lama sebelum menyerahkan pesawat tilpon pada Serda 

Sujiwo Trini berkata pada bapaknya. "Pak, jangan dulu diberi tau 

orang tuanya Dwita. Nanti mereka geger. Nanti Trini tilpon lagi dari 

wisma." Trini lalu menyerahkan pesawat pada Serda Sujiwo sambil 

berkata. "Bapak mau bicara." 

Serda Sujiwo cepat mengambil pesawat tilpon. Mula-mula dia 

mengucapkan selamat siang setelah itu yang keluar dari mulutnya 

berulang kali hanya kata-kata "Siap Pak." 

"Siap Pak. Harap bantuannya menghubungi Kapten Heru di 

Polda Jaya. Monggo...Maturnuwun.” 

Serda Sujiwo meletakkan pesawat tilpon ke tempatnya. Dia 

memandang ke arah Pak Sanyoto dan Ibu Renata, lalu pada para 

pelajar SMU Nusantara III. Pandangannya terhenti agak lama pada 

Boma dan Trini. Semua orang semakin tegang. Serda Polisi itu 

hanya memandang dan memandang, tidak mengatakan apa-apa. 

Sulit diduga perasaan apa yang ada dibalik air mukanya. Tiba-tiba 

wajah itu tersenyum. 

"Kalian semua boleh kembali ke Candi. Boma tidak perlu dibawa 

ke Jogja. Tapi begitu kembali ke Jakarta harus segera menghubungi 

Letkol Kusumo Atmojo." 

Kantor yang tak seberapa besar itu riuh oleh pekik sorak 

gembira para pelajar SMU Nusantara III. Ibu Renata tersenyum lega. 

Pak Sanyoto menarik nafas panjang berulang kali. Semua anak 

menyalami Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi. Mereka 

mengucapkan terima kasih. Malah Vino mengucapkan terima kasih 

pada Serda Sujiwo sambil mencium tangan Polisi itu sampai tiga 

kali dengan gaya lucu, membuat Serda Sujiwo tertawa gelak-gelak. 

Sambil mengusap kepala Vino Serda Sujiwo berkata. 

"Sayang, anak saya lelaki semua. Kalau ada yang perempuan si 

ganteng ini pasti saya ambil mantu." 

"Nggak usah anak perempuan Pak. Kalau di rumah Bapak ada


kucing atau kambing perempuan juga boleh!" Celetuk Si Centil 

Sulastri. Kembali kantor itu ramai oleh gelak tawa. Waktu keluar 

dari kantor, Firman mendatangi Trini. 

"Wah, Rin. Untung bokap lu yang Letkol nulungin. Kalau nggak 

terpaksa babe gue yang Jenderal turun tangan." 

"Uhh! Lagak lu!" kata Gita sambil mendorong kepala Firman. 

"Kapan 'lu punya bokap Jenderal? Anaknya aja ceking kayak gini, 

apa lagi bapaknya. Pasti kayak cicek kering!" 

Sembarangan bilang bokap gue ceking. Emangnya lu udeh 

pernah ngeliat?" kata Firman sambil monyongkan mulut. "Bapak 

gue gendut, lebih gendut dari kamu, tau!" 

Gita tak mau kalah. "Kalau bapak lu gendut, kok kamunya 

ceking? Berarti kurang gizi kali"' 

Beberapa anak termasuk Boma yang mendengar pertengkaran 

konyol Firman dan Gita itu mau tak mau jadi pada tertawa. Mereka 

sesaat lupa pada Dwita yang berada dalam Stupa. 

TAK LAMA setelah rombongan anak-anak itu meninggalkan 

Kantor pengelola kawasan wisata Candi Borobudur, dua orang 

petugas beseragam menemui Serda Sujiwo. Mereka memberitahu 

bahwa seorang ahli yang pernah membantu pemugaran Candi 

Borobudur tahun 1973 sampai 1983 tengah dijemput di Muntilan. 

Sementara itu pihak Rumah Sakit juga telah dihubungi. Sebuah 

ambulans dan tenaga medis akan segera dikirim ke lokasi. 

KETIKA berjalan kembali menuju Candi Boma mrndekati Trini 

dan memegang tangan anak perempuan itu. Trini berpaling. 

Pandangan mata mereka bertemu. Boma agak kikuk. Trini tenang-

tenang saja. 

"Rin, aku nggak tau mau bilang gimana...." 

"Memangnya kamu mau bilang apa?" tanya Trini sambil senyum. 

Jari-jari tangan Boma terasa hangat. Anak perempuan ini merasa 

sejuta bahagia. Ini kali pertama Boma memegang tangannya 

seperti itu. 

"Pokoknya aku terima kasih banget. Kalau kamu sama bokap

kamu nggak nulungin, aku pasti udah dibawa ke Jogja. Dideportasi." 

"Deportasi. Keren betul istilahnya," Trini Damayanti tertawa 

lebar.


Boma menyengir, lalu menowel hidungnya. 

"Rin, aku..." 

"Ssshh... Udah, nanti kita ngomong lagi," kata Frini sambil 

menarik tangan kirinya dari genggaman Boma. Tangan kiri ini 

kemudian digelungkannya sesaat di pinggang anak lelaki itu. 

"Dwita, aku kasihan sama dia. Heran. Nggak habis pikir gimana bisa 

kejadian seperti itu. Kita musti nolong dia." 

Boma melirik. Selama ini hubungan antara Trini dan Dwita tidak 

terlalu baik. Mereka bahkan hampir tidak pernah bertegur sapa. 

Semua gara-gara ingin mendapat perhatian lebih banyak dari 

Boma, terutama Trini yang kalau ngomong ceplas ceplos dan gaya 

atau sikapnya bisa membuat orang jengkel. Namun saat itu Boma 

melihat kata-kata tadi itu diucapkan Trini dengan wajah polos dan 

jujur. 

Di sebelah belakang Vino menyentuh lengan Ronny sambil 

menunjuk ke arah Boma dan Trini. 

"Kenapa, lu ngiri?" tanya Ronny. "Pegang aja tangan Sulastri 

kalau pengen..." 

"Brengsek lu," gerutu Vino. 

"Eh, ada apa nih? Gue denger nama ogut disebut-sebut." Si 

Centil Sulastri tahu-tahu sudah menyeruak di antara Vino dan 

Ronny. 

DI DEPAN rombongan anak-anak yang kembali ke Candi 

Borobudur itu berjalan Pak Sanyoto berdampingan dengan Ibu 

Renata. Dengan suara seperlahan mungkin, setelah terlebih dulu 

menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada pelajar SMU 

Nusantara III di belakang mereka, Guru Olah Raga itu berkata. 

"Boma, lagi-lagi Boma. Lagi-lagi anak itu. Saya menyesal dia ikut. 

Kita semua jadi susah dibuatnya." 

Pak Sanyoto memperhatikan wajah Ibu Renata. Setelah 

ditunggu Guru Bahasa Inggris ini masih saja diam, Pak Sanyoto 

berkata lagi. "Ibu mungkin tidak jengkel, tidak kesal terhadap anak 

itu?" 

"Yang saya rasakan saat ini Pak, saya capek sekali." 

Ibu Renata akhirnya bersuara memberikan jawaban. 

"Kalau begitu Ibu tak usah naik ke Candi. Saya temani mencari


tempat yang baik untuk duduk dan istirahat." 

"Tidak, saya harus kembali ke Candi. Melihat Dwita. Anak itu 

butuh pertolongan kita semua." 

Pak Sanyoto terdiam. 

Ibu Renata tidak perduli apakah ucapannya itu menyinggung 

Pak Sanyoto. Sejak tadi dia ingin menjauhi Guru Olah Raga itu. Tapi 

Pak Sanyoto selalu mendatangi mendekatinya. 

"Anak itu masih sering ke rumah Ibu Renata?" Meluncur 

pertanyaan Pak Sanyoto yang terasa aneh itu di telinga Ibu Renata. 

Dalam keadaan seperti itu, adakah pantas mengajukan pertanyaan 

semacam itu? 

Ibu Renata tidak menjawab. Saat itu mereka sudah sampai di 

depan tangga menuju tingkat pertama Candi. Para pengunjung yang 

naik dan turun cukup padat. 

***


LIMA


DWITA GAGAL DIKELUARKAN DARI DALAM STUPA


KEDATANGAN ahli percandian Drs. Projosastrokusumo Msc 

berusia sekitar lima puluh tahun disambut laksana "malaikat 

penyelamat" oleh semua orang yang ada di sekitar Stupa 

terutama para pelajar SMU Nusantara III. Saat itu hampir jam 

empat sore. Sengatan sang surya sudah jauh berkurang. Ahli 

percandian bertubuh tinggi kurus dan berkulit pucat ini membawa 

sebuah tas besar yang kelihatan cukup berat. Dia datang ditemani 

oleh Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi. 

Setelah meletakkan tasnya di lantai candi, untuk beberapa lama 

Projosastrokusumo memperhatikan sosok Dwita Tifani yang 

terbujur di dalam Stupa. Lelaki ini berjalan mengelilingi Stupa satu 

kali lalu mendekati Serda Sujiwo yang tegak berdekatan dengan 

Pak Sanyoto dan Ibu Renata. 

"Bagaimana Mas Projo?" tanya Serda Sujiwo yang sudah kenal 

baik dan cukup lama dengan ahli percandian itu. 

"Sa...sa...sayya du ...dua pul..puluh tahun leb..lebih 

me..mengenal Candi Bor...Borobudur. Bar ...baru kali in ...ini 

meng...mengalami kej...kejadi..dian begini. Lu... luar biasa. 

Sul...sulit dipercay...cayya." 

Ternyata ahli percandian itu seorang gagap. 

"Bom, kok 'ni orang ngomongnya kayak gitu?" bisik Vino. 

Boma menowel hidungnya dan berpaling. Untuk sesaat dia diam 

saja. Tidak menanggapi ucapan Vino. Disamping Vino berdiri Ronny 

bersama Firman lalu Sulastri, Gita dan Allan. Mereka semua 

kelihatan senyum-senyum.


Boma menowel hidungnya sekali lagi lalu bicara dengan suara 

perlahan. "Gua rasa dia kelewat lama main di Candi. Mungkin 

dipencet setan Candi jadi begini." 

Sulastri dan Gita menekap mulut menahan tawa. Allan 

menyengir. Firman memencet hidungnya menahan semburan tawa. 

"Pada brengsek lu. Orang mau nulungi temen kita malah dibilang 

yang bukan-bukan." Ronny menggerendeng. 

"Ngeliat tampangnya gue sangsi dia mampu nolong. Tapi ya kita 

doain aja biar dia berhasil," kata Firman. 

Dari dalam tas besarnya Proosastrokusumo mengeluarkan 

sebuah buku tebal yang sudah lecak. Dia membalik-balik halaman 

buku sambil sesekali memperhatikan Stupa di depannya. Buku 

dimasukkan kembali ke dalam tas lalu dari dalam tas dikeluarkan 

tiga buah dongkrak kecil terbuat dari baja putih. 

"Dar ...dari buku cat ...catatan saya, Stupa in..ini sal...sallah satu 

yang tet..tetap utuh. Tid..tidak ikut dipug...pugar." 

"Mendingan die jangan ngomong deh. Kerja, kerja aja. Peg 

...pegel..gu...gue nge.. ngedenger.. ngerin..." Bisik Vino meniru-niru 

gagapnya si ahli percandian lalu menyelinap ke belakang si gemuk 

Gita begitu Ronny dilihatnya melotot ke arahnya. 

Dengan hati-hati Projosastrokusumo memasukkan tiga dongkrak 

baja ke dalam tiga buah lobang di bagian paling bawah Stupa. Lalu 

tuas pengungkit untuk menaikkan dongkrak pada dongkrak baja di 

ujung kanan perlahan-lahan ditekannya ke bawah. Tapi tuas itu 

tidak bergerak. Dicobanya sekali lagi. Tuas tetap tidak bergerak. 

Dongkrak tidak mau naik. Projo mengeluarkan dongkrak itu dari 

dalam lobang lalu memeriksanya. Tuas ditekan kebawah. Tuas bisa 

bergerak. Dongkrak dimasukkan kembali ke dalam lobang Stupa. 

Ketika ditekan tuas itu tidak mau bergerak. 

"An..aneh..." ucap ahli percandian itu. Dipandanginya dongkrak 

baja itu sesaat lalu dia beralih pada dongkrak di sebelah tengah. 

Hal yang sama terjadi. Tuas dongkrak di sebelah tengah juga tak 

bisa ditekan ke bawah. Akibatnya dongkrak tidak naik ke atas. 

Seperti tadi Projosastro mengeluarkan dongkrak baja dari dalam 

lobang. Diperiksa tak ada yang rusak. Tuas ditekan bergerak ke 

bawah. Namun begitu dimasukkan ke dalarn lobang kembali, tuas


tak mau ditekan. Apa vang terjadi dengan dongkrak pertama dan 

kedua, terjadi pula dengan dongkrak ke tiga di ujung kiri. 

Projosastro kucurkan keringat. Bibirnya digigit. Matanya 

menatap tidak percaya pada tiga dongkrak di dalam lobang Stupa. 

"Mungkin daya angkat dongkrak ini tidak mampu mengangkat 

bagian atas Stupa..." Pak Sanyoto berkata seraya jongkok 

disamping Projosastro. 

Ahli percandian itu gelengkan kepala. "In ...inni bu..bukan 

dong..dongkrak sem...sebar..barangan. Mob..mobbil saj..sajja 

bis..bissa diangkat. Say ...sayya mau cob ...cobba lag...lagi." 

Heran tapi juga penasaran Projosastrokusumo menekan tuas 

dongkrak baja di lobang paling kiri. Tuas tetap tidak berjalan. Berat, 

seperti ada yang mengganjal. Projo kerahkan tenaga. Menekan tuas 

lebih kuat. 

"Kling...." 

Tuas baja patah! 

Projosastrokusumo tampak kaget. Mukanya pucat. Keringat 

tambah banyak membasahi wajah, tengkuk dan tubuhnya. 

"Baj...bajja kok ya bisa patah. Say..sayya tid..tiddak 

meng...mengerti," kata Projosastro sambil menyeka peluh di 

keningnya. 

"Ba..bagaimana..manna mung...mungkin baja bis..bissa 

pat..pattah." 

"Sayy...saayya jug ...jugga tid..tiddakmeng...mengerti.." Ucap Vino 

menirukan. Tapi dengan Suara perlahan agar tidak terdengar ahli 

percandian itu. Beberapa anak yang berdiri di dekat Vino walau 

agak tegang tapi geli juga. Gita yang berdiri di belakang Vino sambil 

sembunyikan senyum menggerakkan tangan ke belakang hendak 

mencubit. Vino buru-buru menghindar. 

Projosastrokusumo memasukkan kembali tiga buah dongkrak 

baja ke dalam tas besarnya lalu melangkah mendekati Serda 

Sujiwo. 

"Pak Jiwo, say..sayya tid..tidak mung...mungkin 

men..menerusken. Per..percuma saj..sajja. In..ini dilu..luar 

kem..kemampuan say..sayya. Ada...ada sat..sattu ke..kekuatan 

ma..magis menghal...hallangi say..sayya."


Semua orang terdiam mendengar ucapan ahli percandian itu. 

Pak Sanyoto dan Ibu Renata saling pandang. Serda Sujiwo 

memandang pada Kopral Pirngadi lalu membuka topi, mengusap 

rambutnya yang basah oleh keringat berulang kali. Semua anak 

merasa merinding. Tapi dasar konyol, Vino yang berada di belakang 

Gita berbisik. 

"Git, gua kira orangnii bohong aja. Sebenernya dia memang 

kagak bisa ngeluarin Dwita, lalu bilang ada kekuatan magis segala. 

Masa sih jaman sekarang masih ada hal-hal seperti itu. Jangan--

jangan dia bukan ahli pemugaran candi tapi cuman montir delman!" 

Dalam keadaan lain Gita mungkin akan tertawa cekikikan 

mendengar ucapan Vino itu. Tapi saat itu dia palingkan kepala. 

Matanya melotot tapi mulutnya tersenyum. "Lu, jangan ngomong 

sembarangan Vin. Kalau tu orang ampe denger..." 

Di langit sang surya semakin jauh condong ke barat. 

Boma menowel hidungnya. Dia memandang pada teman-

temannya. Pada Pak Sanyoto dan Ibu Renata. Semua mereka 

kelihatan terpukul mendengar ucapan ahli percandian itu. Berarti 

Dwita tidak bisa ditolong. Tidak bisa dikeluarkan dari dalam Stupa. 

Pak Sanyoto kemudian mendekati Projosastro. "Jadi bagaimana 

Mas Projo? Apa yang harus kita lakukan. Sebentar lagi malam." 

"Ma ...maafken say ...sayya." 

Projosastro menutup tas besarnya lalu mendekati Serda Sujiwo. 

"Say..sayya sar..saranken menghub...hub...hubungi Ki Tunggul 

Sekati. Mung..mungkin beliau bis..bissa meno...nollong." 

"Saya pernah mendengar nama orang itu. Tapi tidak tahu 

mencari dimana." Kata Serda Sujiwo. 

"Set..settahu say ...sayya beliau tid..tiddak lagi bertug...tugas 

sebag..baggai Abdi Dalem Punokawan Bagusan. Bel..belliau 

ser..serring berada di...di Masjid Besar dekat Alun-alun Lor." 

Begitu Drs. Projosastrokusumo meninggalkan tempat itu diantar 

Kopral Pirngadi, Firman berkata pada teman-temannya. 

"Gua bilang apa, nggak bisa 'kan dia. Dari tampangnya aja udah 

ketauan." 

"Ga....ga....gatel eh ga...gal," ucap Vino sambil menudingkan ibu 

jari ke arah ahli percandian yang menuruni tangga candi di depan


sana diantar Kopral Pirngadi. Semua orang termasuk Ibu Renata, 

Pak Sanyoto bahkan Serda Sujiwo tersenyurn mendengar dan 

melihat gaya Vino itu. 

"Lu dari tadi ngomong kayak gitu, lama-lama lu gagap beneran 

Vin," kata Gita Parwati. "Kalau lu sampai gagap, apa Si Centil masih 

mau sama kamu." Gita melirik pada Sulastri. Anak perempuan ini 

mengepalkan tinjunya. 

"Wah..wah. Dikebet boleh aja, Git. Tapi jangan dibacain dong!" 

sahut Vino sambil nyengir. 

Ibu Renata diikuti Pak Sanyoto mendekati Serda Sujiwo. 

"Pak Sujiwo," kata Ibu Renata, "Tadi saya dengar Pak Projo 

bilang agar menemui Ki Tunggul Sekati. Siapa orang itu Pak?" 

"Mengapa kita disarankan menemui dia?" ' Bertanya Pak 

Sanyoto. 

"Ki Tunggul Sekati dulunya seorang Punggawa Keraton dari 

kelompok Polowijo Bagusan. Setelah uzur dia mengundurkan diri. 

Usianya sekarang bisa-bisa delapan puluh tahun lebih. Kabarnya 

dia memiliki kemampuan sebagai paranormal tingkat atas. 

Kepandaiannya sering dipergunakan untuk mengantisipasi 

keadaan. Mas Projo agaknya mengetahui sesuatu dibalik kejadian 

ini. Itu sebabnya dia minta kita menemui Ki Tunggul Sekati." 

"Pak Sujiwo, kalau memang kita harus menemui orang itu, kita 

harus berangkat sekarang juga. Saya minta diijinkan ikut." Berkata 

Boma. 

"Kalau boleh saya ikut menemani," kata Ibu Renata. 

"Saya ikut," kata Trim. 

"Saya juga," ujar Pak Sanyoto. 

"Sebaiknya jangan terlalu banyak yang pergi. Yang lain-lain biar 

disini saja menunggui Dwita. Enarn orang anak buah saya akan 

mengawal tempat ini. Saat ini saya rasa ambulans dari Rumah Sakit 

sudah ada di bawah. Saya akan minta para petugas medis naik ke 

sini." 

Sebelum meninggalkan tempat itu Boma menarik tangan Ronny 

hingga mereka terpisah agak jauh dari para pelajar lainnya. 

"Ada apa Bom?" 

"Gini Ron. Gua nggak tau apa orang bernama Ki Tunggul Sekati


itu bisa nolong Dwita keluar dari dalam Stupa. Tapi buat jaga-jaga 

gua minta bantuan kamu sama teman-teman." 

"Siap Bom, bantuan apa?" 

"Kamu liat sendiri dongkrak baja yang dipakai Pak Projo tadi. 

Kecil banget. Mungkin benar apa yang Pak Sanyoto bilang. Dongrak 

sekecil itu tidak mampu menekan ke atas batu Stupa yang beratnya 

ratusan kilo. Begini Ron, kamu sama teman-teman tolong cari 

dongkrak mobil. Jangan yang model lipet. Paling sedikit tiga biji. 

Nanti kalau ternyata orang tua di Masjid Besar itu tidak bisa 

menolong, biar kita sendiri yang ngerjain, ngedongkrak batu Stupa." 

"Gila lu Bom! Kamu liat sendiri, dongkrak baja itu sampai patah. 

Lagian...Kalau kita sampai merusak Stupa..." 

"Aku nggak perduli Ron. Mau rusak kek, mau roboh kek! Yang 

penting Dwita bisa dikeluarkan. Urusan belakangan." 

"Jangan nekad Bom! Disini banyak Polisi. Pasti..." 

"Ahh! Udah!" Boma menowel hidungnya. "Nanti gua sirep 

semua..." 

"Apa Bom?!" tanya Ronny. Tapi Boma sudah pergi menyusul 

Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini. 

Setelah Serda Sujiwo, Ibu Renata, Boma dan Trini meninggalkan 

tempat itu, Vino berbisik pada Ronny. 

"Ron, lu pratiin tampangnya Si Umar. Dia gondok banget nggak 

bisa ikut." 

"Gue syukurin Vin." Jawab Ronny Celepuk. "Niatnya pasti nggak 

bener. Bukan seratus persen mau nolong, tapi cuman mau deketan 

terus sama Ibu Renata." 

"Gimana kalau sampai malam Dwita masih, belum bisa 

dikeluarin?" Gita yang ada di dekat Vino dan Ronny menyatakan 

kekawatirannya. 

Vino dan Ronny tak bisa menjawab. 

Gita berkata lagi. "Gue nggak habis pikir ngeliat keadaannya 

Dwita. Anak itu apa pingsan apa gimana? Dari tadi siang nggak 

bergerak barang sedikit. Nggak bersuara..." 

"Malam hari di tempat ini pasti dingin. Kasihan Dwita. Kita musti 

bejejer ngelilingi Stupa agar Dwita tidak kena sapuan angin." 

Berkata Vino.


"Kalau nggak ada Polisi rasanya ngeri juga," bisik Gita. 

"Nggak ada lampu. Selain dingin pasti gelap. Matek aku. Aku 

takut gelap..." menyambung Si Centil Sulastri. 

"Gampang, nanti gua suruh Vino ngekepin kamu biar nggak 

takut," kata Ronny pada Sulastri. 

"Ah, jangan gitu, Ron." Menyahuti Vino. "Yang begitu aku sih

nggak tapi ogah." 

Sulastri mengacungkan tinjunya pada Ronny lalu pada Vino. 

"Hemm...Di depan kita sih ngasih tinju, di belakang kita ngasih 

pipi..." kata Andi yang sejak tadi diam saja. Beberapa anak tertawa 

gelak-gelak. 

Pak Sanyoto mendekati anak-anak yang asyik bicara. 

"Kalian ini ngobrol apa? Ketawa apa? Apa tidak sadar kawan 

kalian mengalami musibah? Enaknya malah ngobrol sendiri-sendiri! 

Tertawa seperti melihat dagelan saja!" 

Semua anak jadi terdiam. Beberapa diantaranya bergerak 

menjauh. 

"Rasain lu!" kata Gita Parwati sambil mencibir. 

KABAR adanya anak perempuan dari Jakarta yang terkurung 

secara aneh di dalam Stupa di Candi Borobudur cepat sekali 

menebar. Pada sore hari , dimana pengunjung seharusnya telah 

berkurang yang naik ke Candi kini sebaliknya orang yang datang 

bertambah membludak. Diantara mereka terdapat beberapa orang 

wartawan dan juru kamera surat kabar. Ada yang memberitahu 

bahwa dua rombongan reporter serta juru kamera Stasiun Televisi 

Swasta tengah menuju ke tempat itu. 

"Wah, kalau sampai berita Dwita terkurung dalam Stupa ini 

masuk tivi, anak-anak SMU Nusantara III di Jakarta pasti geger!" 

kata Sulastri pula. 

"Seharusnya waktu bicara di tilpon tadi, Trini nggak usah 

melarang bokapnya ngasih tau kejadian ini pada orang tua Dwita. 

Kalau mereka tau dari orang lain atau dari tivi, bisa-bisa marah 

bokap sama nyokapnya Dwita. Kita semua, terutama Si Umar sama 

Ibu Renata dianggap nggak punya rasa tanggung jawab." 

"Udah, jangan mikirin orang yang jauh-jauh. Pikiran aja Dwita 

yang ada di sini," kata Gita Parwati. "Gue mau turun dulu. Nggak


tahan..." 

"Nggak tahan apa?" tanya Ronny. 

Gita mengecilkan mulutnya lalu berucap perlahan. "Kenciiiing..." 

"Ajie Busyet... Mau kencing aja diwarta beritain," kata Firman. 

Ronny berpaling pada Allan. 

"Lan, temenin tuan puteri yang langsing mau kencing. Cepet 

balik, jangan ngacir kemana-mana. Jangan ngerjain yang nggak-

nggak," kata Vino. 

"Sok lu. Emangnya gue mau ngerjain apa?" 

"Bukan ngerjain, tapi dikerjain," jawab Vino sambil mengedipkan 

matanya pada Allan. 

"Brengsek lu!" sungut Gita. 

"Lan, jangan lupa beli ini. Mulut gue ude asem!" kata Ronny 

pada Allan sambil meletakkan dua jari tangannya yang diluruskan di 

atas bibir. 

"Jagan dibeliin Lan. Biar mulutnya jadi cuka!" kata Gita Parwati 

lalu mencibir ke arah Ronny. 

***


ENAM


KI TUNGGUL SEKATI


MEMASUKI Kawasan Keraton Kesultanan Yogyakarta pada 

malam hari tidak semudah siang hari seperti 

berkunjungnya wisatawan. Untung ada Serda Sujiwo yang 

cukup dikenal oleh sebagian pengawal dan kerabat Keraton. 

Masjid Besar terletak di sebelah barat Alun-alun Lor. 

Bangunannya berbentuk pendopo besar dengan serambi cukup 

luas di sebelah depan. Seorang lelaki tua berkacamata, 

mengenakan jas putih dan blangkon hitam di kepalanya, yang oleh 

Serda Sujiwo dipanggil dengan nama Pak Gondo mengantarkan ke 

empat orang itu sampai di depan Masjid Besar. Sebelum masuk ke 

dalam bangunan dia melepaskan sandal lalu meminta Serda Sujiwo 

dan Boma membuka sepatu masing-masing. Ibu Renata dan Trini 

disuruh menunggu dekat sebuah bangunan bernama Pagongan. 

Konon biasanya dibangunan ini sebuah gamelan besar dibunyikan 

selama satu minggu menjelang Perayaan Maulud Nabi Muhammad 

SAW. 

Boma melangkah di samping Serda Sujiwo, mengikuti Pak 

Gondo. Di dalam bangunan mesjid tidak seorangpun kelihatan. 

Boma tengah menghitung-hitung jumlah tiang kayu jati bulat 

penyanggah atap yang ada dalam bangunan Masjid Besar ketika 

lapat-lapat dia mendengar suara orang mengaji. Suara itu perlahan 

saja, tapi menimbulkan gema sejuk di seantero bangunan. 

Di dekat sebuah tiang bulat kayu jati lelaki berjas putih duduk 

bersimpuh di lantai. Dia memberi isyarat pada kedua orang yang 

ada di belakangnya agar ikut duduk. Rupanya orang yang mengaji


berada di balik tiang besar. Dari tempatnya duduk baik Boma 

maupun Serda Sujiwo tidak dapat melihat orang itu. Dan lelaki 

berjas putih, Pak Gondo, agaknya hanya bersikap menunggu, tidak 

berani menganggu. Boma merasa pinggangnya seperti mau patah 

dan pantatnya sudah pedas karena setelah menunggu sekian lama 

orang dibalik tiang besar baru mengakhiri kajiannya. Orang berjas 

putih, dengan beringsut-ingsut bergerak mendekati tiang besar. 

Lalu dia membungkuk memberi salam sambil mengulurkan tangan 

bersalaman dan mencium tangan orang di balik tiang. Kemudian 

kedua orang itu bercakap perlahan sekali dalarn bahasa Jawa. 

Tak selang berapa lama Pak Gondo memberi isyarat pada Serda 

Sujiwo dan Boma untuk datang mendekat. Ketika Boma bersama 

Serda Sujiwo sampai di sebelah Pak Gondo, dekat tiang kayu jati 

besar bulat, untuk pertama kalinya anak ini melihat orang yang tadi 

hanya didengarnya suaranya. Seorang tua berusia lebih dari 

delapan puluh tahun dengan kumis, janggut dan alis putih, namun 

berwajah merah segar seperti bayi. Sepasang matanya hitam 

berkilat dan tajam tapi sejuk menatap ke arah Serda Sujiwo dan 

Boma. 

Di pangkuan orang tua itu atau di lantai mesjid tidak ada Kitab 

Al Qur'an. Berarti orang ini hafal dan mengaji ayat-ayat suci Al 

Qur'an di luar kepala. 

Yang membuat Boma maupun Serda Sujiwo agak tertegun ialah 

karena tidak menyangka orang tua itu bertubuh cebol. Dia 

mengenakan baju lengan panjang hitam, sehelai kain panjang batik 

dan sebuah blangkon. 

Pak Gondo mengatakan sesuatu pada Serda Sujiwo. Serda 

Sujiwo kemudian memberitahu Boma bahwa orang tua yang duduk 

di depan tiang besar kayu jati itu adalah Ki Tunggul Sekati, orang 

yang mereka cari. Sebelumnya anggota Polisi ini sudah sering 

keluar masuk Keraton untuk berbagai keperluan. Beberapa 

keluarga dekatnya ada yang jadi Abdi Dalem. Namun baru sekali itu 

dia bertemu dengan orang tua bernama Ki Tunggul Sekati. Sebelum 

mengundurkan diri orang tua ini dulunya adalah salah seorang Abdi 

Dalem Punokawan golongan Polowijo - Cebolan yang biasa juga 

disebut golongan Bagusan.


Dalam bahasa Jawa yang tidak dimengerti Boma Serda Sujiwo 

menerangkan bahwa mereka tahu tentang orang tua itu dari 

Projosastrokusumo, ahli percandian itu. Serda Sujiwo kemudian 

merunduk menyalami Ki Tunggul Sekati. Boma maju mendekat, 

merunduk bersalaman dan mencium tangan orang tua itu. Ketika 

Boma mencium punggung tangan Ki Tunggul Sekati, dia mencium 

bau wangi sekali dan merasa hawa wangi itu merasuk masuk ke 

jalan pernafasannya hingga dadanya terasa sejuk dan lega. Boma 

ingat kejadian ketika nenek sakti di Gunung Gede memasukkan 

hawa murni ke dalam tangan kirinya. Keadaannya saat itu hampir 

sama dengan yang dialaminya sekarang hanya saja hawa yang 

keluar dari tangan orang tua cebol itu menebar bau harum. 

Serda Sujiwo kemudian memberitahu maksud kedatangannya. 

Namun Ki Tunggul Sekati mengangkat tangan kanannya dan 

bertanya. 

"Magrib hampir berlalu. Saat sembahyang lsya akan segera 

datang. Apakah kalian berdua sudah melakukan sembahyang 

Magrib?" 

"Maaf, Kek, kami memang belum sembahyang Magrib." Boma 

mendahului menjawab polos. 

Dipanggil Kakek, Ki Tunggul Sekati tersenyum. 

"Ambil air wudhu, laksanakan sembahyang Magrib lebih dulu. 

Nanti baru kita bicara." 

Setelah sembahyang Magrib kedua orang itu kembali menemui 

Ki Tunggul Sekati. Serda Sujiwo memberitahu apa yang terjadi. Si 

orang tua mendengarkan dengan dua mata dipejamkan. Tubuhnya 

tidak bergerak bahkan tidak kelihatan dia seperti bernafas. 

Punggung dan kepalanya disandarkan ke tiang besar kayu jati. 

Boma berpikir-pikir apakah Ki Tunggul Sekati mendengar atau 

sedang tidur. Dan anak ini jadi melengak ketika dari mulut orang 

tua itu terdengar suara mengorok. 

Serda Sujiwo hentikan ceritanya. Dia ingin Ki Tunggul 

mendengar semua apa yang diterangkan. Tapi kalau orang yang 

dihadapinya tidur, buat apa dia terus bercerita. Boma sendiri 

merasa heran melihat perilaku orang tua bertubuh cebol ini. 

Hidungnya ditowel beberapa kali.


Pak Gondo tepuk bahu Serda Sujiwo lalu berbisik. "Terus saja 

Dik Jiwo, teruskan ceritanya." 

Serda Sujiwo, juga Boma, memandang pada Pak Gondo, 

memperhatikan Ki Tunggul Sekati lalu kembali berpaling pada Pak 

Gondo. Orang tua berkacamata ini anggukkan kepala, kembali 

berkata agar Serda Sujiwo meneruskan ceritanya. Dengan berbisik 

Pak Gondo berucap. "Beliau tidak tidur, beliau mendengar semua 

yang Dik Gondo ucapkan." 

Setelah memperhatikan wajah Ki Tunggul Sekati sesaat, Serda 

Sujiwo kembali meneruskan ceritanya. Pada akhir cerita dia minta 

agar Ki Tunggul Sekati bersedia menolong membebaskan anak 

perempuan yang terkurung di dalam Stupa. Paling tidak memberi 

petunjuk apa yang harus mereka lakukan. 

Begitu Serda Sujiwo selesai bercerita, sepasang mata Ki Tunggul 

Sekati perlahan-lahan terbuka. Orang tua ini mengusap wajahnya 

yang kelihatan lebih jernih dan lebih segar. Blangkon di atas 

kepalanya dirapikan. 

"Siapa nama anak perempuan yang ada dalam Stupa?" Tiba-tiba 

Ki Tunggul Sekati ajukan pertanyaan. 

"Dwita. Dwita Tifani." Boma yang menjawab. 

Dua mata si kakek menatap ke arah Boma. Ketika Boma balas 

menatap, sepasang matanya terasa bergetar. 

"Anak sendiri namanya siapa?" 

"Saya Boma. Boma Tri Sumitro." 

Ki Tunggul Sekati mengangguk-angguk sambil menyebut nama 

Boma beberapa kali. 

"Stupa, tempat anak perempuan itu dikurung, Stupa apa? Arca 

apa yang ada di dalamnya?" Ki Tunggul Sekati bertanya lagi. 

Serda Sujiwo tidak ingat, tidak begitu jelas Stupa atau Arca yang 

ada dalam Stupa di mana Dwita disekap Pangeran Matahari. Dia 

memandang pada Boma. 

"Dik Boma tahu? Ingat?" tanya Serda Sujiwo. 

"Kalau saya tidak salah, arca dalam Stupa itu adalah Arca 

Amoghasidi." 

"Pasti?" tanya Ki Tunggul Sekati. 

Boma menowel hidungnya.


"Pasti." 

"Kalau memang anak itu berada dalam Stupa Amoghasidi, 

berarti tidak ada yang dikawatirkan. Dia pasti bisa diselamatkan." 

"Bagaimana caranya Kek? Kakek sendiri yang nolong?" tanya 

Boma. 

"Setiap Arca Amoghasidi mengambil sikap duduk dengan tangan 

kiri diletakkan di atas pangkuan, tangan kanan dikembangkan, 

telapak terbuka menghadap ke depan. Ini adalah sikap 

Abhayamudra yang berarti jangan takut, jangan gentar." 

Boma diam-diam merasa kesal. Pertanyaannya tidak dijawab. 

Anak ini lantas keluarkan ucapan. 

"Berarti Arca itu yang akan menolong membebaskan kawan 

saya?" 

Ki Tunggul Sekati tertawa. Tangan kirinya diulurkan. Boma 

kaget. Jarak antara dia duduk dan si kakek cukup jauh, yang jelas 

lebih dari satu jangkauan tangan. Apa lagi dengan keadaan 

tubuhnya yang cebol begitu, jarak antara dirinya dengan si kakek 

jadi tambah jauh. Namun anehnya tangan kiri Ki Tunggul Sekati 

mampu memegang kepala Boma dan mengusapnya beberapa kali. 

Seperti tadi ketika mencium tangan orang tua itu, saat itu Boma 

merasa ada hawa aneh keluar dari tangan Ki Tunggul Sekati 

mengalir masuk ke dalam kepalanya. Boma melihat bagian dalam 

Masjid Besar yang tadinya agak redup karena memang kurang 

penerangan kini seperti terang benderang. 

"Anak, Arca itu hanya benda mati. Terbuat dari batu. Tidak 

bernafas, tidak bisa bergerak. Berarti tidak bisa menolong. Namun 

jika Yang Maha Kuasa mau berbuat sesuatu, apa saja bisa 

dilakukanNya." 

“Lalu bagaimana dengan teman saya Kek?" Boma masih belum 

jelas bagaimana caranya orang tua itu menolong Dwita keluar dari 

dalam Stupa. 

"Benar, Ki Tunggul," ikut berucap Serda Sujiwo. "Mungkin Ki 

Tunggul tahu bagaimana caranya." 

"Saya tidak tahu caranya. Saya tidak punya kepandaian apa-

apa." 

Boma seperti dihenyakkan ke lantai mesjid mendengar kata


kata orang tua itti. Serda Sujiwo terdiam. Pak Gondo juga diarn tapi 

tampak tenang. 

"Sialan," Boma memaki dalam hati. "Ahli percandian itu jangan-

jangan asal sebut saja. Menyuruh menemui kakek cebol ini. 

Padahal dia tidak bisa berbuat apa-apa! Ngabisin waktu aja! Buat 

apa lama-lama di sini?!" Boma berpaling pada Serda Sujiwo, 

maksudnya mau memberi tanda agar mereka segera saja 

meninggalkan tempat itu. Namun saat itu terdengar Ki Tunggul 

Sekati berkata. 

"Anak Boma, ulurkan tangan kirimu." 

Boma melakukan apa yang dikatakan Ki Tunggul Sekati. Orang 

tua ini perhatikan telapak tangan Boma. Matanya sesaat membesar 

lalu kepala diangkat menatap anak lelaki di hadapannya itu. Ki 

Tunggul Sekati mendongak, pejamkan mata. Mulutnya berucap. 

"Ganti, ulurkan tangan kanan." 

Boma ulurkan tangan kanannya. Si orang tua masih terus 

mendongak, tidak melihat atau memperhatikan telapak tangan 

Boma. Tapi ujung jari-jari tangannya diusapkan pulang balik di atas 

permukaan telapak tangan hingga anak ini tersentak-sentak dan 

hendak menarik tangannya. 

"Kenapa?" tanya Ki Tunggul Sekati. 

"Geli Kek," jawab Boma. 

Orang tua itu tertawa. 

"Kalau anak perempuan cantik yang mengusap telapak 

tanganmu, apa kau juga merasa geli? Ha ...ha...ha." Orang tua ini 

pandai juga bergurau rupanya. Kepalanya yang sejak tadi 

mendongak diturunkan. Telapak tangan kanannya ditempelkan ke 

telapak tangan kanan Boma lalu berkata." Den Bagus, ada yang 

ingin kenal denganmu." 

"Ingin kenal dengan saya? Siapa Kek?" tanya Boma. 

"Saya tidak mau mendahului aturan. Nanti kau tahu sendiri..." 

"Kek, kami datang kesini mau minta tolong. Menyelamatkan 

teman saya...." 

"Saya tahu....Saya tahu." Jawab Ki Tunggul Sekati. "Di luar sana, 

ada dua orang perempuan. Masih muda-muda. Seperti kakak adik 

dan cantik-cantik. Mereka datang bersamamu. Siapa mereka?"'


Boma terkejut mendengar pertanyaan Ki Tunggul Sekati. Orang 

tua ini sejak mereka datangi berada dalam bangunan Masjid Besar. 

Bagaimana dia bisa tahu kalau di luar sana ada Ibu Renata dan 

Trini. 

"Yang di luar itu Ibu Renata, Guru Bahasa lnggris. Sama kawan 

saya satu sekolah, Trini." 

Ki Tunggul Sekati tersenyum, kedipkan matanya. "Anak Boma 

ulurkan tangan kananmu." 

"Mau diapain lagi?" pikir Boma. Tapi dia menurut juga. Tangan 

kanannya diulurkan. 

Begitu Boma mengulurkan tangan kanan, Ki Tunggul Sekati 

ulurkan pula tangan kanannya. Sebuah benda bulat dan hangat 

diletakkannya di atas telapak tangan Boma. 

"Pegang baik-baik, jangan sampai jatuh. Jangan sampai pecah." 

Kata si orang tua bertubuh cebol itu lalu menarik tangannya 

kembali. 

Boma perhatikan benda di atas telapak tangannya. Ternyata 

sebutir telur ayam. Dengan tangan kirinya Boma menowel 

hidungnya. Anak ini heran, bingung. Mungkin juga tidak percaya. 

Telur didekatkan ke depan matanya untuk memastikan itu memang 

telur betulan. 

Tadi waktu Ki Tunggul Sekati menggerakkan tangan kanannya, 

jelas Boma melihat tangan itu kosong. Lalu bagaimana tahu-tahu Ki 

Tunggul Sekati bisa menaruhkan sebutir telur ayam di telapak 

tangannya? Dari mana telur itu datangnya? Untuk apa? Mau 

digoreng, atau direbus? Boma menowel hidungnya sekali lagi. 

Mendadak dia ingat. Ada ilmu aneh. Seseorang bisa membuat 

lenyap atau memindahkan "telur" orang lain dari tempat semula ke 

mana saja dia suka. Termasuk menempelkannya di jidat. Boma 

susupkan tangan kirinya ke bawah perut. Meraba-raba. 

Ki Tunggul Sekati tertawa mengekeh. 

"Masih lengkap dua-duanya?" tanya orang tua ini. 

Wajah Boma bersemu merah. Ki Tunggul Seka kembali 

terkekeh. 

***


TUJUH


NENEK BUNGKUK DI BAWAH POHON BERINGIN


ANAK Boma, dengar baik-baik. Telur ayam itu harus selalu kau 

pegang di tangan kanan. Jangan dimasukkan dalam saku, 

jangan dipindah ke tangan kiri. Kau dan Dimas Sujiwo masuk 

ke dalam Keraton, harus keluar menempuh jalan yang sama. 

Keluar dari pintu gerbang, membelok ke kanan. Ikuti tembok 

Keraton. Pada belokan pertama ke kanan, kalian akan berpapasan 

dengan seseorang. Boma, kau harus memberikan telur ayam itu 

pada orang yang kau temui itu. Jika dia memberikan sesuatu 

padamu, ambil dengan tangan kiri. Benda itu harus kau bawa ke 

Candi Borobudur. Letakkan di dalam salah satu lobang sebelah 

bawah Stupa dimana anak perempuan temanmu terkurung. Pada 

pertengahan malam, tepatnya jam dua belas sesuatu akan terjadi. 

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih Maha Penyayang 

akan menolong sahabatmu itu." 

Boma sesaat terdiam. 

"Ada yang hendak kau tanyakan?" 

"Orang di tikungan tembok Keraton itu, Kek. Bagaimana ciri-

cirinya? Lelaki atau perempuan. Masih muda atau sudah tua?" 

Ki Tunggul Sekati tersenyum. 

"Kau akan menemuinya. Kau tak bakal kesalahan." 

Boma perhatikan telur ayam di tangan kanannya 

"Pergilah sekarang. Cepat kembali ke Candi. Orang-orang disana 

menunggumu penuh cemas. Dik Gondo, antarkan mereka sampai 

di pintu keluar." 

Pak Gondo lelaki tua berkaca mata dan mengenakan jas putih


membungkuk. Serda Sujiwo juga membungkuk dan mengucapkan 

terima kasih lalu bangkit berdiri. Boma juga mengucapkan, terima 

kasih. Anak ini bermaksud menyalami Ki Tunggul Sekati tapi karena 

tangan kanannya memegang telur maka dia ulurkan tangan kiri 

menarik tangan kanan si kakek lalu menciumnya. 

"Terima kasih Kek." 

"Anak baik, pergilah." 

Boma mengucapkan terima kasih sekali lagi. Baru beberapa 

langkah berjalan, masih di dalam Masjid Besar itu, di belakang 

sana terdengar kembali suara Ki Tunggul Sekati mengaji 

melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. 

Tak selang berapa lama satu suara halus mengiang di telinga 

kiri Ki Tunggul Sekati. 

"Aki Cebol sahabatku, kau tahu aku tidak mungkin masuk ke 

dalam Masjid Besar. Kalau sudah selesai dengan ibadahmu, aku 

tunggu kau di bawah pohon beringin di seberang Bangsal 

Kemagangan...." 

Ki Tunggul Sekati angguk-anggukkan kepala tapi terus saja 

mengaji. Tak lama kemudian baru orang tua ini hentikan kajiannya. 

Dia merapikan pakaian dan blangkonnya lalu bangkit berdiri, 

melangkah perlahan sampai di langkan mesjid. Di sini keadaan 

agak gelap. Ki Tunggul Sekati turun dari langkan. Tapi dua kakinya 

seperti tidak menginjak tanah. Sekali tubuhnya berkelebat maka 

diapun lenyap di dalam bayang-bayang gelap bangunan di 

sekitarnya. 

KI TUNGGUL Sekati sampai di depan pohon beringin besar. Di 

bawah pohon keadaannya gelap sekali. Tapi sepasang mata hitam 

berkilat dan tajam orang tua bertubuh cebol itu dapat melihat satu 

sosok bungkuk berdiri di bawah pohon raksasa itu bertopang pada 

sebuah tongkat. 

"Sinto.... Ternyata kau masih tidak berubah,” Ki Tunggul Sekati 

menyapa orang di bawah pohon. 

Yang disapa keluarkan tawa cekikikan. Lalu menjawab. Dari 

suaranya ternyata dia seorang perempuan tua. Mungkin tak kalah 

tua dari Ki Tunggul Sekati. .


"Aku tahu maksudmu. Dalam gelap kau pasti tidak bisa melihat 

wajahku. Tapi dari jauh kauu bisa mencium bau pesing pakaianku. 

Bukan begitu? Hik..hik...hik!" 

Ki Tunggul Sekati ikutan tertawa. Dia berhenti lima langkah dari 

hadapan orang bungkuk bertongkat. 

"Ki Tunggul sahabatku, aku tahu kau orang yang lebih banyak 

mempergunakan waktu untuk ibadah pada Gusti Allah. Karenanya 

aku tak mau berlama-lama mengganggumu. Aku hanya ingin tahu. 

Apakah anak gendeng itu sudah menemuimu? 

"Maksudmu anak lelaki jangkung bernama Boma Tri Sumitro?" 

"Betul." 

"Yang telapak tangan kirinya ada garis bersilang membentuk 

kali?" 

"Benar." 

"Ketika aku memperhatikan telapak kiri anak itu, aku melihat 

ada kilasan cahaya putih kebiruan. Apakah kau telah memberikan 

hawa sakti kepadanya, Sinto?" 

"Ya, dugaanmu tidak salah." 

"Hawa sakti itu bukan hawa sembarangan. Kalau dipergunakan 

keliru bisa membunuh orang lain. Apa lagi kalau dipakai untuk hal-

hal yang tidak benar. Bisa menimbulkan malapetaka." 

"Aku mengerti maksud ucapanmu, Ki Tunggul. Aku tidak 

bertindak sembarangan. Sebelumnya aku telah lebih dulu 

menyelidik dan mengawasi anak itu selama lima tahun sebelum 

menyalurkan hawa murni itu ke dalam tubuhnya." 

"Aku percaya padamu. Aku sudah bertemu anak itu. Walau 

hanya sebentar tapi memang kelihatannya dia anak baik. Tapi 

kenapa kau memberikan hawa murni itu padanya?" 

"Sahabatku, harap maafkan. Saat ini aku tidak bisa 

memberitahu padamu. Bukan aku tidak percaya, tapi aku tidak 

ingin menambahkan beban pikiran padamu. Lagi pula kita hidup di 

dalam alam yang berbeda. Apa yang kau pikir, kau lihat dan kau 

kerjakan berbeda dengan apa yang aku pikir, aku lihat dan aku 

kerjakan. Tapi aku ingin meyakinkan satu hal padamu. Apa yang 

aku dan teman-teman kerjakan adalah untuk kebaikan bagi banyak 

orang."


"Teman-teman? Jadi kau tidak bekerja sendirian Sinto?" tanya Ki 

Tunggul Sekati. 

Si nenek sakti dari puncak Gunung Gede tertawa perlahan. 

"Sinto Gendeng itu bisanya apa? Mana bisa aku berbuat banyak 

tanpa bantuan para sahabat orang-orang pandai termasuk muridku 

Anak Setan bernama Wiro Sableng itu. Lagi pula, yang namanya 

kejahatan itu punya seribu muka, punya seribu kaki tangan. Kalau 

dihadapi seorang diri siapa yang mampu? Kejahatan harus 

ditumpas secara bersama-sama, harus tegas dan tuntas. Kalau 

tidak kejahatan itu sendiri yang akan menggusur kita." 

Ki Tunggul Sekati manggut-manggut. "Kau bilang aku ini orang 

yang banyak menghabiskan waktu untuk ibadah. Tapi satu kali aku 

pernah menonton cerita di televisi..." 

"Binatang apa itu? Aku orak ngerti." 

Ki Tunggul Sekati tersenyum. "Televisi bukan binatang, Sinto. 

Tapi kotak yang ada layar kacanya. Di layar itu bisa keluar segala 

macam gambar..." 

"Ooo... aku kira itu semacam pertunjukan panggung wayang 

wong Hik...hik...hik. Sahabatku, cerita apa yang kau tonton di 

televisi itu." 

"Cerita tentang orang-orang dari alam yang berlainan. Mereka 

masuk ke bumi untuk menumpas arang-orang jahat. Kata orang 

ceritanya berseri. Namanya X Files." 

"Wah, keren sekali. Bahasa apa itu?" tanya Sinto Gendeng 

sambil senyum-senyum. 

Ki Tunggul Sekati juga tersenyum. 

"Sinto, kembali pada anak bernama Boma itu. Mengapa kau 

menyebut anak itu anak gendeng?" 

Si nenek menyengir. 

"Sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Aku cuma senang saja 

dengan bahasa-bahasa seperti itu. Gendeng, sableng..." 

"Hemm, apa kabar muridmu yang kau panggil Wiro Sableng itu?" 

"Dia baik-baik saja. Dia kuminta berada di sekitar sini, tolong 

memperhatikan anak-anak itu." 

"Dia mau melakukan? Meninggalkan alamnya masuk ke alam 

sini?"


"Kenapa tidak? Anak-anak perempuan teman si Boma Gendeng 

itu banyak yang cantik-cantik. Anak Setan itu pasti ngiler. 

Hik..hik...hik!" Setelah tertawa panjang orang di bawah gelapnya 

bayangan pohon beringin raksasa yang bukan lain Sinto Gendeng 

adanya meneruskan ucapannya. 

"Ki Tunggul, pertemuanmu dengan Boma, apakah membawa 

kemungkinan untuk menolong anak perempuan yang dikurung 

dalam Stupa itu?" 

"Aku menolong sebisaku. Semua keputusan berada di tangan 

Yang Maha Kuasa. Aku telah memberikan bekal pada anak itu. 

Tetapi sesuatu tak akan terjadi kalau kau tidak ikut turun tangan 

membantu. Sebelum tengah malam kau harus sudah berada di 

Candi. Mudah-mudahan tepat tengah malam nanti segala 

malapetaka akan musnah. Anak perempuan itu akan tertolong..." 

"Aku sangat berterima kasih padamu sahabatku." 

"Sinto, aku menaruh firasat. Mungkin akan ada kejadian susulan 

yang membuat diriku dan dirimu tidak bisa tenteram. Jadi selama 

anak-anak itu berada di sini, harap kau mau berjaga-jaga..." 

"Sekali lagi aku berterima kasih atas petunjukmu. Aku mohon 

diri sekarang. Selamat tinggal Ki Tunggul Sekati." 

"Tunggu. Aku punya satu permintaan." 

"Apa?" 

"Kalau apa yang kita lakukan tidak bisa menolong anak itu 

keluar dari dalam Stupa, jangan kau mengambil keputusan gila. 

Menghancurkan Stupa itu." 

Sinto Gendeng menyeringai. 

"Aku tidak bisa berjanji apa-apa Ki Tunggul. Tapi aku sangat 

memperhatikan ucapanmu itu." 

"Satu lagi. Perhatikan baik-baik anak bernama Boma itu." 

"Aahhhh...." Sinto Gendeng tersenyum. "Berarti apa yang aku 

pikir dan aku lihat, sekali ini sama dengan apa yang kau pikir dan 

kau lihat. Jangan kawatir sahabatku. Anak itu akan aku perhatikan 

baik-baik." Nenek ini lalu melintangkan tongkat kayunya di atas 

dada lalu membungkuk memberi penghormatan. 

"Sinto, kau tidak usah menghormat membungkuk padaku. Dari 

tadi kau sudah berdiri membungkuk terbungkuk-bungkuk. Ha


...ha...ha!" 

Gema tawa Ki Tunggul masih terdengar di sekitar pohon beringin 

raksasa tapi orangnya sendiri sudah lenyap dari tempat itu. 

***


DELAPAN


TELUR DITUKAR TELUR



KELUAR dari pintu gerbang Keraton, berjalan menyusuri 

trotoar di sepanjang tembok Keraton, Ibu Renata dan Trini 

yang sejak tadi diam saja tidak dapat menahan diri untuk 

bertanya. Angin bertiup kencang. Udara terasa dingin dan keadaan 

di jalan agak sepi. Sebuah andong kosong, lewat. Serda Sujiwo 

menggelengkan kepala ketika kusir andong menawarkan untuk 

naik. 

“Bom, kamu ketemu sama orang bernama Ki Tunggul Sekati 

itu?" tanya Trini. 

Boma mengangguk. "Orangnya udah tua. Kate, cebol." 

"Dia bisa menolong mengeluarkan Dwita dari dalam Stupa?" 

tanya Ibu Renata. "Belum tau, Bu." 

"Lho, kok belum tau?" ujar Trini. Dia melirik ke arah tangan 

kanan Boma yang sejak tadi dilihatnya selalu dalam keadaan 

tergenggam. 

Boma diam saja. 

"Kita harus mencari taksi. Kita harus segera kembali ke Candi. 

Kasihan Dwita ditinggal lama-lama." Kata Ibu Renata. Guru Bahasa 

Inggris ini juga tidak mengerti mengapa Boma berkata seperti itu. 

Jika kejadiannya seperti ini mengapa harus pergi jauh-jauh, 

menghabiskan waktu tanpa hasil yang jelas. 

"Sebentar Bu, kita harus menernui seseorang," jawab Boma. 

"Siapa?" tanya Guru Bahasa Inggris itu. 

"Belum tau, Bu."


"Lagi-lagi belum tau! Kamu kok ngomongnya jadi aneh sih Bom? 

Siapa yang mau kita temuin? Orang macam Ki Tunggul Sekati lagi? 

Lalu nemuinnya dimana?" 

"Tenang aja Rin. Sebentar lagi bakal ketauan," kata Boma pula. 

Memandang ke depan, hanya beberapa meter lagi mereka akan 

sampai di tikungan pertama tembok Keraton. Tempat itu agak 

redup karena kurang penerangan. Boma merasa tegang. Soalnya 

dia juga tidak tahu mau bertemu dengan siapa. Orang tua cebol di 

dalam mesjid itu tidak memberi tahu. Serda Sujiwo melangkah 

dengan perasaan tercekat. Seumur hidup jadi Polisi baru sekali ini 

dia menghadapi urusan begini rupa. Lebih menegangkan dari 

mengejar seorang buronan perampok atau pembumuh. 

Seperti Trini, Ibu Renata juga memperhatikan tangan kanan 

Boma. Dia ingin tahu apa yang sejak tadi digenggam anak ini. 

Tikungan tembok Keraton hanya tinggal beberapa langkah. 

Keempat orang yang melangkah ke arah tikungan jalan itu 

mendengar suara sesuatu. Suara berkerincing. Lalu seperti ada 

orang bernyanyi menggumam. Dari balik tikungan tembok tiba-tiba 

muncul seorang lelaki memakai jas lurik dan kain panjang, 

bersepatu sandal dan sebuah blangkon yang agak kebesaran. 

Orang ini memiliki tompel besar di pipi kanannya. Demikian 

cepatnya dia berjalan hingga hampir menabrak Boma dan Serda 

Sujiwo. Tampangnya seperti meringis. Matanya dipelototkan pada 

Boma. Dari mulutnya terdengar suara menggerutu. Orang ini melirik 

pada Ibu Renata dan Trini lalu melangkah pergi lebih cepat. 

"Dik Boma, mungkin dia orangnya yang dikatakan Ki Tunggul 

Sekati." Bisik Serda Sujiwo. 

Boma berpendapat sama. Lalu berbalik mengejar orang itu. 

Merasa dikejar, lelaki berblangkon kebesaran ini mempercepat 

jalannya, malah kini setengah berlari. 

"Pak, Pak! Tunggu!" seru Boma lalu lari rnengejar. 

Orang tadi tidak berhenti. Sambil terus berjalan cepat dia 

bertanya pada Boma. 

"Situ mau apa?" 

Boma buka tangannya yang menggenggam. Memperlihatkan 

telur ayam. Orang itu melangkah terus tapi delikkan matanya besar


besar. 

"Situ maunya apa, toh?!" 

"Saya dipesan harus memberikan telor ini pada Bapak." 

“Wong aneh! Sopo yang nyuruh situ. Lha, telurnya buat apa 

sama aku? Ada-ada saja! Saya ini sedang sakit perut! Mules! Mau 

buru-buru pulang buang air besar! Situ malah mengganggu!" Habis 

berkata begitu setengah berlari, sambil menyingsingkan kainnya 

dengan cepat lelaki itu tinggalkan Boma. 

Boma hentikan langkahnya. 

"Sial!" Anak ini memaki dalam hati, lalu menowel hidungnya 

dengan tangan kiri. 

Saat itu Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini telah berada di dekat 

Boma. 

"Bagaimana?" tanya Serda Sujiwo. 

"Sial Pak!" sahut Boma. 

"Sial gimana? Kok dia seperti ketakutan waktu Dik Boma 

memperlihatkan telur ayam." 

"Bukan ketakutan. Tapi buru-buru mau pulang. Katanya perutnya 

mules. Mau berak! Ayo Pak, kita balik. Bukan dia orangnya!" 

Dalam keadaan tidak mengerti dan tidak bisa berkata apa-apa, 

Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini melangkah mengikuti Boma ke 

arah semula, menuju tikungan tembok Keraton. 

Saat itulah dari balik tikungan muncul seorang berpenampilan 

serba aneh. Sosoknya adalah seorang kakek berambut tegak 

berdiri berwarna pirang, mengenakan jaket jins pendek, tangan 

buntung. Karena jaket jins ini tidak dikancing maka dada dan 

sebagian barisan tulang-tulang iga si kakek terlihat jelas. Di 

lehernya tergantung sebuah harmonika. 

Di sebelah bawah kakek ini mengenakan celan jins yang dua 

lututnya sengaja dirobek berlobang, gaya kawula muda masa kini. 

Celana ini agak kebesaran pinggangnya hingga merosot hampir ke 

pinggul, memperlihatkan pusar si kakek yang ternyata dicanteli 

sebuah giwang! 

Pada sabuk besar yang melingkar di pinggang blujins tergantung 

sebuah rebana dan gendang kecil kerincingan rebana ini 

mengeluarkan suara pada setiap langkah yang dibuatnya. Di balik


punggungnya tersembul gagang sebuah payung kertas. Gaya kakek 

ini membawa payung itu seperti seorang samurai membawa 

pedang katana. Pada daun telinga kirinya tersemat sebuah subang 

bermata zirkon. 

Sambil berjalan santai mulut kakek ini menggumamkan satu 

nyanyian. Walau cuma bergumam Boma tahu dan pernah 

mendengar nyanyian itu. Kopi Dangdut. Serda Sujiwo berbisik. 

"Dik Boma, jangan-jangan ini orangnya." 

"Masa 'iyya Pak? Kok begini banget? Pengamen atau orgil." Ucap 

Boma. Anak ini hentikan langkah. Tangan kanannya yang 

menggenggam telur ayam kampung mendadak terasa bergetar dan 

tengkuknya menjadi dingin. 

Kakek tua berpenampilan aneh melangkah terus, celangak 

celinguk, seolah tidak melihat kehadiran ke empat orang yang ada 

di depannya. 

"Kek!" Tiba-tiba Boma menegur. 

"Eh copot bijiku! Eh copot nyawaku!" Dalam kejutnya kakek yang 

rambutnya pirang berjingkrak ini ambil rebana, dipukul satu kali lalu 

digoyang tiga kali. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Beberapa giginya 

yang masih utuh ditempeli kertas timah rokok hingga tampangnya 

kelihatan seram-seram aneh tapi juga lucu. 

"Bom," kata Trini sambil menarik lengan kiri Boma. "Orang gila 

kamu ladeni. Ayo!" 

"Dia bukan orang gila Rin." 

"Apaan! Kamu nggak liat dandanannya? Rambut coklat pirang 

disemprot Pylox. Puser dicantel anting-anting. Gigi ditempelin kertas 

rokok. Pantat ngelayap kemana-mana..." 

"Tenang Rin, sabar..." kata Boma. 

"Ahoi!" Kakek aneh berseru. "Ada cowok dan cewek kece. Eh, 

kalian berdua dengar. Kalau aku nyanyi Kopi Dangdut kalian berdua 

mau joget?" 

"Bom!" Trini kembali menarik tangan Boma. 

Dalam keraguannya Boma memandang pada Serda Sujiwo. 

Polisi ini berbisik. "Coba saja. Kita lihat reaksinya." 

Boma lalu ulurkan tangan kanan, membuka genggaman jari-

jarinya, memperlihatkan telur ayam kampung pada kakek aneh.


Sepasang mata si kakek membesar lalu mulutnya menyeringai. 

"Telur ayam kampung! Kalau pagi hari dibuang putihnya ditelan 

kuningnya, pasti tubuh akan segar sehat! Telur itu buat aku?" Si 

kakek bertanya sambil dekatkan mukanya ke tangan Boma. 

Boma mengangguk. 

"Ambil Kek, memang buat Kakek." 

"Ma aci, ma aci..." Kakek itu lalu ulurkan tangan kanan 

mengambil telur di atas telapak tangan kanan Boma. Telur ayam itu 

ditimang-timangnya beberapa kali sambil mulutnya berucap. "Budi 

dibalas budi. Telur dibalas telur!" 

Si kakek hentikan menimang-nimang telur ayam. Tangan kirinya 

disusupkan ke balik celana jins yang gombrong. Ketika tangan kiri 

itu dikeluarkan kembali, di tangan itu ada sebuah telur ayam. 

Sambil tertawa terkekeh telur ini digosok-gosokkannya pada telur 

yang diterimanya dari Boma. 

"Kau memberi telur, aku membalas dengan telur!" Sambil 

berkata begitu si kakek ulurkan tangan kirinya. Boma ingat ucapan 

kakek cebol di Masjid Besar. "Boma, kau hnrns memberikan telur 

ayam itu pada orang yang kau temui itu. Jika dia memberikan 

sesuatu padamu, ambil dengan tangan kiri. Benda itu harus kau 

bawa ke Candi Borobudur. Letakkan di dalam salah satu lobang 

sebelah bawah Stupa...."

Boma tidak segera mengambil telur itu tapi memperhatikan 

beberapa ketika. 

"Ayo, ambil. Kenapa? Mungkin kau mengira ini bukan telur 

sungguhan. Tapi perabotanku yang dipoles mengkilap seperti telur. 

Ha ...ha...ha! Atau mungkin kau jijik karena melihat telur ini aku 

ambil dari bilik celanaku! Ha ...ha...ha!" 

Boma akhirnya ulurkan tangan kirinya, menerima telur yang 

diberikan si kakek. 

"Telurnya masih hangat 'kan?" kata si kakek pula. 

Boma hanya bisa tersenyum. 

"Cah bagus, kita berpisah di sini. Kalau nanti kau punya telur lagi 

jangan lupa berikan padaku." 

Boma mengangguk. 

"Tapi kami mencari Kakek dimana?" Tiba-tiba Trini ajukan


pertanyaan. 

"Ah, ada gadis cantik bertanya. Masakan aku tidak menjawab. 

Aku kakek pengamen. Cari aku di Tenda Biru Candi Mendut." 

"Tenda Biru?" 

Si kakek angguk-anggukkan kepalanya. Mata dikedip-kedipkan. 

Tangan kirinya mengambil harmonika. Lalu sambil tertawa-tawa dia 

melangkah pergi. Tak lama kemudian di kejauhan terdengar alunan 

suara harmonika. Lagunya Tenda Biru. Si kakek meniup harmonika 

itu sambil berjalan. Pinggul digoyang-goyang, pantat diogel-ogel. 

Jauh dari Keraton si kakek masih terus meniup harmonikanya. 

Orang yang dilewati memperhatikannya tersenyum-senyum. Di satu 

jalan yang gelap dan agak sepi suara tiupan harmonika kakek ini 

berubah perlahan. Sudut matanya beberapa kali mengerling ke 

belakang. Ada sebuah beca mengikutinya sejak tadi. Beca itu 

kosong tidak berpenumpang. Di depan sebuah toko yang lampunya 

cukup terang si kakek menoleh. Suara harmonikanya mendadak 

sontak berhenti. Dia tidak pernah tahu atau pernah mendengar 

kalau di Jogja ada pengemudi beca seorang perempuan. Apa lagi 

seorang nenek! 

Beca yang mengikuti terus meluncur. Tapi nenek pengemudinya 

sudah melesat ke udara. Waktu beca itu membentur sebuah pilar 

besi di pinggir jalan, nenek pengemudi telah berkelebat dan tegak 

berkacak pinggang di depan si kakek. Kepala didongakkan mulut 

mengumbar tawa bergelak. 

"Tua bangka edan! Minum di tempat lain maboknya di 

hadapanku!" Maki Kakek berambut pirang coklat disemprot Pylox. 

***


SEMBILAN


KUNTI API MENCARI TELUR


NENEK berwajah setan, bermantel biru dengan rambut merah 

riap-riapan tertawa bergelak. Kakek berambut pirang coklat 

mencibir. "Kau mabok, aku juga bisa mabok! Kau edan, aku 

juga bisa edan! Apa sulitnya tertawa barengan! Ha ...ha...ha!" Kakek 

itu lalu ikutan tertawa gelak-gelak. Malah karena dia menggunakan 

tenaga dalam suara tawanya lebih santar dan menindih suara tawa 

si nenek bertampang angker. 

Tiba-tiba selintas ingatan muncul di benak si kakek. Saat itu juga 

dia hentikan tawanya. Sepasang matanya memandang si nenek 

bermantel biru. Otak diputar, hati membatin. 

"Ciri-ciri nenek satu ini lain dengan yang dikatakan adikku 

Labudung. Di kepalanya tidak ada tusuk konde perak. Tubuh dan 

pakaiannya tidak bau pesing. Berarti bukan dia. Tapi siapa tahu 

sekarang dandanannya sudah berubah. Di Jakarta lain di Jogja lain. 

Kukunya saja aku lihat dicat merah. Agar tidak kesalahan, lebih 

baik aku tanyakan." 

"Nenek berambut merah! Berhenti dulu tertawa. Aku mau tanya." 

Kakek berambut pirang berteriak. Lalu dia ambil rebana di pinggang 

dan digoyang tiga kali. 

"Hek!" Nenek berambut merah keluarkan suara tercekik lalu 

batuk-batuk. Matanya membeliak. Si kakek baru menyadari kalau 

sepasang mata nenek ini juga berwarna merah laksana bara api. 

"Makhluk jelek yang rambutnya dicat! Kowe mau tanya apa?!" 

"Apa kau nenek beken yang dikenal dengan nama Sinto


Gendeng?!" 

Sepasang mata merah si nenek keluarkan cahaya berkilat. 

Rambutnya yang merah awut-awutan seperti mumbul ke atas. 

"Katakan dulu apa hubunganmu dengan nenek bau itu!" 

"Aku tidak punya hubungan apa-apa!" 

"Lalu mengapa kau mencari dirinya?!" 

"Ada pesan yang harus aku sampaikan padanya." 

"Pesan apa?" 

"Ah, kau mau tahu saja. Pokoknya tak ada sangkut pautnya 

dengan dirimu jika kau memang bukan Sinto Gendeng." 

"Makhluk aneh yang kupingnya dipasangi giwang! Aku bukan 

Sinto Gendeng! Nenek butut itu mana mampu punya mantel bagus 

seperti aku! Hik...hik...hik." 

"Lalu, kau ini siapa?" 

"Aku Kunti Api! Nenek moyang semua orang pandai yang 

mengandalkan kesaktiannya pada kekuatan api!" 

"Hebat sekali! Aku kagum. Eh, apakah kau tidak hendak 

menanyakan diriku ini siapa?" 

Kunti Api yang adalah guru Si Muka Bangkai tertawa terbahak-

bahak. "Perlu apa aku mau tahu siapa dirimu. Yang jelas aku sudah 

melihat tampang dan dandananmu. Kau makhluk tidak berguna! 

Tapi dengar, aku ada satu kepentingan denganmu..." 

"Aahhhh, ini baru berita gembira. Nenek berambut merah, 

katakan apa kepentinganmu. Mudah-mudahan aku bisa 

membantu!" 

"Tentu, pasti kau bisa membantu. Karena kau memiliki apa yang 

aku akan minta." 

"Apakah itu? Apakah kau meminta diriku untuk....Ha...ha...ha." Si 

kakek tidak teruskan ucapannya karena keburu tertawa terpingkal-

pingkal. Lalu dia menunjuk pada sebuah kios kosong dan gelap di 

seberang jalan. "Tempat itu cukup bagus untuk kita duduk berdua 

bercumbu rayu." 

"Setan alas! Cuaahhh!" Kunti Api meludah ke tanah. "Siapa sudi 

bercumbu dengan makhluk calon bangkai sepertimu!" 

"Ah, perempuan memang seharusnya begitu. Walau ingin tapi 

tidak pernah bilang mau secara terus-terang."


Kunti Api meludah sekali lagi. 

"Pasang telingamu! Dengar! Aku menemuimu untuk minta kau 

punya nyawa!" 

Si kakek terkejut sampai mulutnya ternganga dan matanya 

membeliak, memandang si nenek tak berkedip. Rebana 

ditangannya digoyang-goyang. 

"Kau... kau bicara sungguhan?" 

"Siapa berdusta! Tapi kalau kau mau memberikan sebuah benda 

padaku, mungkin aku akan membatalkan niat meminta nyawamu." 

"Aahhh....Kau seorang nenek bijaksana. Aku suka padamu!" 

"Makhluk jelek! Jangan kau berani mengulang kata-kata itu! 

Akan kujembreng keluar lidahmu!" 

"Kalau aku tidak boleh suka padamu tidak apa-apa. Sekarang 

katakan saja benda apa yang ingin kau minta dariku." 

"Malam Jum'at beberapa hari lalu kau kedatangan seorang tamu 

misterius. Tamu itu memberikan sebuah telur ayam padamu. Nah, 

telur ayam inilah yang harus kau serahkan padaku!" 

Kejut si kakek bukan alang kepalang. Tapi dia bisa menutupi 

rasa terkejutnya itu dengan tertawa lebar. 

"Perempuan suka bicara malu-malu. Pandai berucap yang 

tersirat untuk menutupi yang tersurat. Meminta surat padahal 

sebenarnya maunya urat! Ha ...ha...ha! Nek, bilang terus terang. 

Kau sungguhan minta telur ayam itu atau telurku yang lain?! Ha 

...ha...ha!" 

Wajah angker si nenek merah membesi. Matanya pancarkan 

kilatan kemarahan. Dia gerakkan tangan kanannya. 

Suara tawa bergelak si kakek serta merta lenyap ketika dia 

melihat dari ujung jari si nenek mencuat lima larik cahaya merah. 

"Wussss!" 

Si kakek berseru keras, goyangkan rebananya lalu melesat ke 

atas. 

"Desss!" 

Satu lobang besar mengepulkan asap merah menganga di 

trotoar jalan. 

"Makhluk jelek! Kau sudah menyaksikan! Batu bisa kubuat 

ludas. Apa lagi tubuhmu yang hanya terbuat dari tulang dan


daging..." 

"Tambah sedikit kentut!" jawab si kakek yang walau mukanya 

pucat tapi masih bisa bergurau. 

"Kau memang minta mampus!" 

Kunti Api angkat lagi tangan kanannya. 

"Tunggu! Kalau kau memang inginkan telur, aku akan berikan. 

Asal kau jangan apa-apakan diriku!" 

"Lekas serahkan!" 

Si kakek buru-buru memasukkan tangannya ke dalam celana 

blujins yang gombrong. Tangan ini mengorek-ngorek kian kemari. 

"Jahanam! Jangan berani mempermainkan! Kau mau 

memberikan telur apa?!" 

"Walah! Tadi kau minta agar aku menyerahkan telur. Telur yang 

kau minta memang aku simpan di bawah sini. Di tempat yang 

hangat, terlindung dan bebas polusi..." 

"Setan alas! Jangan bergurau! Mana telur itu!" 

"Ada...ada. Tunggu. Nah, ini dia!" 

Tangan di dalam celana keluar memegang sebuah telur. 

"Ini telur yang kau minta. Ambillah. Kau mungkin lebih 

membutuhkan dari pada aku." 

Dari balik mantel birunya Kunti Api keluarkan sehelai sapu 

tangan. Lalu dengan sapu tangan itu dia mengambil lelur yang 

disodorkan si kakek. 

"Tua bangka jelek. Untung otakmu cerdik. Kau bisa selamat dari 

kematian. Tapi jika kau memperdayai diriku maka kematianmu 

sedekat bayang-bayang tubuhmu sendiri! Ingat itu baik-baik..." 

"Ah, aku kakek jelek ini mana berani memperdayai nenek cantik 

sepertimu. Sayang pertemuan kita cuma singkat. Kalau saja kita 

berdua bisa berlama-lama. Apa lagi kalau bisa duduk di kios itu. 

Kau pasti tidak kecewa. Kau pasti akan mengingat-ingat diriku...." 

"Plaakkk!" 

Satu tamparan keras melanda pipi si kakek hingga sudut 

bibirnya luka dan mengucurkan darah. 

Si kakek terperangah menahan sakit. Memandang ke depan 

Kunti Api tak ada lagi. 

"Sial, galak sekali nenek satu itu. Sayang dia tidak mau diajak ke


kios. Kalau dia bisa mengemudikan becak bisa kubayangkan 

tubuhnya pinggang ke bawah pasti keras kencang. 

Sayang...sayang..." kata si kakek sambil usap-usap pipinya yang 

bengap dan seka darah yang membasahi mulut serta dagunya. "Si 

Nenek Guru sudah muncul. Berarti tidak lama lagi guru dan murid 

akan segera unjukkan tampang. Saudaraku Labudung, walau 

tingkat kepandaianku masih dibawah Pangeran jahanam itu, tapi 

doakan agar aku bisa membalas dendam sakit hati kematianmu! 

Bagaimanapun aku akan mencari akal agar bisa membunuh 

dirinya. Kita berdua tidak akan tenteram sebelum Pangeran 

Matahari itu kita jadikan bangkai dan rohnya terpasang antara 

langit dan bumi!" 

***


SEPULUH


MELACAK PENGAMEN TUA PAKAI ANTING DI PUSAR


RUMAH papan beratap seng itu terletak di pinggir daerah 

pesawahan tak jauh dari Desa Ngaran. Pemilik rumah sejak 

dua tahun belakangan tidak pernah lagi datang ke tempat 

itu. Keadaan rumah kotor dan debu menyelimut dimana-mana. 

Malam itu, rumah tersebut ternyata tidak dalam keadaan kosong. 

Dua orang duduk berhadap-hadapan di atas tebaran daun pisang. 

Sebuah lampu minyak menyala bergoyang-goyang akibat tiupan 

angin melalui celah menganga serta lobang pada dinding papan 

yang telah jebol. 

Pemuda berpakaian serba hitam dengan kepala diikat kain 

merah menarik nafas dalam beberapa kali sambil memegang 

bagian bawah dada sebelah kanan. Dia adalah Pangeran Matahari, 

musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng. 

"Bagaimana keadaanmu?" Orang tua bungkuk bermuka pucat 

yang duduk di hadapan pemuda berpakaian hitam yang dikenal 

dengan nama Si Muka Bangkai atau Si Muka Mayat bertanya. 

"Setelah aku mengatur jalan darah, jalan pernafasan serta aliran 

hawa sakti hampir setengah harian, rasa sakitnya jauh berkurang..." 

"Pangeran Matahari, Tulang Igamu yang pernah patah belum 

seutuhnya bertaut. Aku bisa menolong hingga cideramu sembuh 

lebih cepat. Tapi aneh, mengapa kau menolak aku tolong?" 

Pangeran Matahari, pemuda berpakaian serba hitam 

menyeringai. Rahangnya menggembung, mulutnya terkancing. Dia


tidak menjawab. Namun dalam hatinya ada suara berkata. 

"Manusia licik pandai bermanis muka. Aku tahu hatimu 

sebenarnya culas terhadapku. Akalmu ada dalam kantongku. Apa 

kau kira aku bisa melupakan semua ucapanmu waktu di Lapo Tuak 

Tao Toba dulu?" 

Seperti diungkapkan dalam Episode sebelumnya (Topan Di 

Borobudur) dalam usaha mereka membunuh Boma, Kunti Api, Si 

Muka Bangkai dan Pangeran Matahari pernah mengadakan 

pertemuan di sebuah Kedai Tuak. Sebelum Kunti Api datang antara 

Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari terjadi pertengkaran 

mulut cukup hebat. Sang guru mendamprat Pangeran Matahari 

habis-habisan karena sampai saat itu masih belum bisa membunuh 

Boma. Sang Pangeran sendiri kemudian menolak perintah gurunya 

membunuh Sinto Gendeng karena dia menganggap itu adalah 

tugas Si Muka Bangkai sendiri untuk melakukan hal tersebut. 

Saking marahnya ditentang sang murid, Si Muka Bangkai sampai 

memukul meja hingga empat kaki meja amblas setengah jengkal ke 

ubin lantai. Menghadapi kemarahan gurunya Pangeran Matahari 

tenang saja. Namun darahnya bergejolak, perasaannya seperti 

terbakar ketika dia mendengar apa yang kemudian diucapkan Si 

Muka Bangkai pada Eyang Kunti Api. Waktu itu Pangeran Matahari 

telah keluar dari Lapo Tuak. Tapi dia tidak terus pergi melainkan 

mencuri dengar percakapan gurunya dengan Kunti Api. 

"Suro Ageng Kalamenggolo," Kunti Api memanggil Si Muka 

Bangkai dengan nama aslinya. "Mungkin karena Pangeran Matahari 

tahu kalau kau bukan gurunya sebenarnya, hanya saudara kembar 

Si Muka Bangkai yang asli. Maka dia kelihatan begitu keras kepala 

terhadapmu '' 

Si Muka Bangkai Menyeringai. 

"Walaupun aku bukan gurunya yang asli tetapi aku sejuta layak 

dihormatinya sebagai guru. Aku tahu banyak tentang dirinya seperti 

aku mengenal dua telapak tanganku sendiri. Kalau dia berani 

macam-macam aku akan membuat hidupnya sengsara selama-

lamanya..." 

Si Muka Bangkai keluarkan ucapan seperti itu tanpa 

rnengetahui kalau saat itu sebenarnya, Pangeran Matahari sengaja


menyelinap di balik kedai minuman. Sepasang mata sang 

Pangeran, keluarkan kilatan menggidikkan. Serangai setan bermain 

di mulutnya. "Kau tahu diriku, tapi kau tidak tahu hatiku. Aku juga 

bisa rnembuat dirimu sengsara seurnur-umur. Kau bisa jadi ular 

sanca. Tapi aku juga bisa jadi seekor kobra." 

Baru saja Pangeran Matahari mengingat peristiwa yang 

membuatnya menanam dendam terhadap sang guru sendiri, di 

hadapannya Si Muka Bangkai membuka mulut berkata. 

"Aku tidak habis pikir, mengapa waktu di Candi kau tidak 

mampu membunuh bocah ingusan itu!" 

"Anak bernama Boma itu bukan bocah ingusan lagi. Aku yakin 

Sinto Gendeng telah mengajarkan sejurus dua jurus ilmu silat 

padanya. Kemungkinan juga dia diberikan tenaga dalam atau hawa 

sakti. Yang jelas, aku curiga Batu Penyusup Batin ada pada anak 

itu." 

"Kalau kau yakin batu itu ada padanya, mengapa kau tidak 

mengambilnya?" tanya Si Muka Bangkai dengan pandangan mata 

menyorot tajam. 

"Guru, kau bisa menimpakan seribu kesalahan padaku. Karena 

kau tidak berhadapan sendiri dengan orang-orang itu. Kau tidak 

ada di tempat kejadian. Pendekar 212 muncul. Ini sama sekali 

tidak diharapkan. Ketika aku bentrokan pukulan sakti ternyata 

tingkat tenaga dalamnya sulit aku tandingi. Ini satu hal yang sama 

sekali tidak bisa kuduga. Selama beberapa waktu belakangan ini 

aku berusaha meningkatkan tenaga dalamku, tapi hasilnya 

mengecewakan." 

(Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng berjudul "Meraga 

Sukma" ketika dalam perjalanan ke tempat kediaman Nyi Roro 

Manggut, di pintu gerbang pantai selatan Wiro bertemu dengan 

Naga Biru. Makhluk sakti yang selama puluhan tahun mendekam 

dalam bentuk batu ini mendadak berubah hidup dan menjilati Wiro. 

Ternyata ini bukan jilatan biasa. Karena setelah dijilat murid Sinto 

Gendeng itu merasa tubuhnya tambah enteng, pemandangannya 

lebih terang, telinganya lebih tajam dan hawa sakti atau tenaga 

dalam yang ada dalam tubuhnya lebih meningkat.) 

"Kau bilang selama beberapa waktu belakangan ini telah


berusaha meningkatkan tenaga dalam. Lalu apa kau kira pendekar 

sableng itu cuma berdiam diri? Tidak berusaha pula meningkatkan 

ilmu kepandaiannya? Pangeran Matahari, jangan kau mencari 

seribu satu dalih untuk menutupi kegagalanmu." 

"Terserah guru mau bilang apa. Tapi aku perlu memberitahu 

satu hal. Ketika aku melepas pukulan Telapak Matahari, ada orang 

pandai tersembunyi memapaki seranganku hingga buyar 

berantakan." 

"Nasibmu benar-benar sedang sial saat itu, rupanya!" kata Si 

Muka Bangkai lalu tertawa mengekeh, membuat Pangeran 

Matahari jadi panas, hatinya. Dia meneruskan ucapannya. 

"Sebelum orang memapaki seranganku, aku mendengar suara 

benda bergemerincing. Tidak mudah melacak siapa adanya orang 

pandai itu dari suara tersebut." 

"Sudahlah, aku tidak mau mendengar segala macam cerita 

sialmu. Tapi satu hal harus kau ingat. Kesialanmu akan berlipat 

ganda menjadi kesialan kita sernua jika guruku Kunti Api tidak bisa 

mendapatkan telur sakti yang mampu rnenyelamatkan anak 

perempuan bernama Dwita itu keluar dari dalam Stupa. Jika telur 

itu sampai jatuh ke tangan orang lain dan tahu cara 

menggunakannya, kita tidak bisa mencegah anak perempuan itu 

keluar dari dalam Stupa! Pangeran, siap-siap saja guruku akan 

melabrakmu!" 

"Aku siap menerima dampratan Nenek Kunti Api." rahang 

Pangeran Matahari mengembang. Matanya memandang tak 

berkedip pada nyala api lampu minyak. 

Si Muka Bangkai tiba-tiba dongakkan kepala. Mata setengah 

dipejamkan. 

"Aku mendengar suara angin bersiur. Agaknya Eyang Guru sudah 

datang." 

Baru saja Si Muka Bangkai selesai berucap, tiba-tiba pintu 

tersibak lebar lalu wuut! Satu bayangan biru berkelebat masuk ke 

dalam rumah. Si Muka Bangkai dan muridnya cepat berdiri, 

membungkuk hormat. Yang datang memang Kunti Api, guru Si 

Muka Bangkai. 

"Kalian berdua enak-enak di tempat ini. Aku bekerja setengah


mati!" Kunti Api begitu muncul langsung menggerendeng. 

"Maafkan kami Eyang Guru," kata Si Muka Bangkai sambil 

membungkuk. "Setelah muridku gagal membunuh anak bernama 

Boma itu karena tiba-tiba muncul Pendekar 212 Wiro Sableng serta 

ada orang pandai tersembunyi ikut menolong, kami tidak berani 

melakukan tindakan baru. Kami terpaksa menunggu kedatangan 

Eyang Guru. Sekarang setelah Eyang Guru ada dihadapan kami 

kami siap menunggu perintah." 

"Percuma aku memberi perintah. Kalian berdua tidak pernah 

berhasil melakukan!" Jawab Kunti Api sambil pelototkan mata pada 

Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari. 

Dipelototi begitu Si Muka Bangkai berpaling pada muridnya. 

"Pangeran Matahari, ini semua gara-gara ketololanmu!" 

Sang murid hanya menyeringai, memandang ke arah pintu yang 

terbuka, tidak menjawabi ucapan gurunya. Sikap Pangeran 

Matahari ini membuat Si Muka Bangkai merasa dianggap sepi dan 

membuat dia jadi tambah jengkel. Dari mulutnya terdengar suara 

bergumam. Tapi tidak jelas apa yang diucapkannya. Setelah 

menarik nafas panjang dia membungkuk ke arah Kunti Api lalu 

bertanya. 

"Eyang, apakah kau berhasil mendapatkan dan mengamankan 

telur pembuka Stupa?" 

"Kalian lihat sendiri apa yang aku dapatkan." Kunti Api 

mengeluarkan sebuah benda dari dalam lipatan sehelai sapu 

tangan. Benda ini kemudian digelindingkannya di atas daun pisang. 

Ternyata sebutir telur ayarn. 

Si Muka Bangkai mengambil telur itu, memperhatikannva 

sejenak lalu menimang-nimangnya beberapa kali. 

"Walau muridmu belum mampu membunuh Boma, tapi kita 

akan berhasil membunuh anak perempuan yang disayanginya itu. 

Anak itu akan menemui ajal pada dua pertiga malam. Sekitar jam 

tiga pagi menjelang pagi nanti. Seumur hidup Boma akan dihantui 

kematian anak perempuan itu. Jika memang umurnya panjang. Tapi 

kalau dia keburu mati di tangan kita, dua anak itu akan jadi roh 

penasaran, gentayangan kemana-mana. Hik...hik...hik!" 

"Eyang," kata Si Muka Bangkai sambil memperhatikan kembali


telur ayam yang dipegangnya dengan tangan kanan. "Aku merasa 

ada kelainan pada telur ini. Waktu mendapatkannya dan 

membawanya ke sini, apakah Eyang tidak meneliti?" 

Sepasang alis Kunti Api mencuat ke atas. 

"Apa maksudmu, Muka Bangkai?" 

"Telur ini enteng sekali. Aku merasa seperti memegang telur 

penyu kering yang sudah kosong. Agaknya isi telur ayam ini telah 

berpindah ke tempat lain. Berarti telur ini tidak ada artinya sama 

sekali." 

"Jangan kau bicara seperti itu, Muka Bangkai. Aku sendiri yang 

mengambil telur itu dari orang yang pertama kali mendapatkannya. 

Bahkan waktu barusan aku keluarkan dari sapu tangan masih 

terasa berat!" 

"Maaf Eyang, kalau Eyang tidak percaya silahkan memegang 

sendiri." Si Muka Bangkai lalu serahkan telur ayam itu pada 

gurunya. 

Kunti Api tersentak kaget ketika dia memegang telur dan 

merasakan telur ayam itu memang enteng sekali. 

"Gila! Apa yang terjadi? Waktu aku mengambil telur ini dari orang 

itu, keadaannya tidak seperti ini. Tidak enteng!" 

"Berarti kekuatan yang ada di dalam telur lenyap barusan saja." 

"Aku tidak bisa percaya! Bagaimana mungkin?!" Kata Kunti Api 

pula. "Jahanam! Ada orang yang mengerjaiku!" Saking marahnya 

Kunti Api remas telur ayam itu hingga berderak hancur semudah 

menghancurkan kerupuk. Dari pecahan telur tidak ada cairan putih 

dan cairan kuning yang keluar. Telur itu ternyata kosong! Kunti Api 

pandangi tangannya yang dipenuhi hancuran kulit telur. Masih tidak 

bisa percaya dia. 

"Nenek Guru, dari siapa kau mendapatkan telur ini?" tanya 

Pangeran Matahari. 

"Dari orang yang aku kuntit sejak beberapa hari ini. Aku tidak 

tahu namanya." 

"Eyang merampas telur ini setelah membunuh orangnya?" tanya 

Pangeran Matahari lagi. 

"Tidak, aku tidak membunuhnya. Aku mengancam, dia sudah 

ketakutan. Telur diberikannya dengan suka rela."


"Maaf Eyang, kalau telur itu merupakan satu benda keramat, dia 

tidak mungkin memberikan begitu saja. Orang itu telah menipu 

Eyang!" 

Merah padam tampang angker Kunti Api. Marah setengah mati 

karena ketololan sendiri. 

"Pangeran, apa yang kau katakan betul adanya. Kurang ajar! 

Hidup puluhan tahun, bagaimana mungkin aku masih bisa berbuat 

tolol!" 

Pangeran Matahari tersenyum. Sambil mengerling ke arah Si 

Muka Bangkai dia berkata. "Nenek Guru, hidup kita sebagai 

manusia memang begitu adnya. Seribu kali kita merasa pandai, 

terkadang satu ketika kita berbuat satu ketololan, sadar atau tidak 

sadar. Jadi harap Nenek Guru tidak berkecil hati. Kalau aku boleh 

bertanya, orang itu, apakah Eyang tahu siapa dia adanya?" 

"Aku tidak tahu namanya. Tapi sejak beberapa waktu 

belakangan ini dia sering berada di sekitar Candi Mendut. 

Mengamen." 

"Mengamen? Di Candi Mendut?" ulang Si Muka Bangkai. 

Wajahnya yang pucat tampak tambah putih. Lalu dia berpaling pada 

muridnya. "Pangeran, aku menaruh curiga..." 

"Orang yang mengamen itu," kata Pangeran Matahari sambil 

memandang pada Kunti Api. "Apakah Nenek Guru masih ingat 

bagaimana ciri-cirinya?" 

"Seorang kakek tua, berambut kaku berdiri, dicat warna pirang. 

Dia mengenakan jaket dan celana blujins. Pakai anting di telinga 

dan pusarnya..." 

"Nenek Guru pernah mendengar dia menyanyi?" 

"Dua kali." 

"Apa nyanyian yang dibawakannya." 

"Aku tidak tahu nama nyanyian itu. Tapi dua-duanya disukai 

orang banyak. Kalau pengamen itu membawakan dua lagu itu, 

banyak yang pada joget." Menerangkan Kunti Api. 

"Nenek Guru mungkin ingat kata-kata dalam nyanyian itu?" 

Kunti Api mengurut-urut keningnya. "Lagu yang pertama kalau 

aku tidak salah sepertinya mengajak orang minum. Tapi..." 

"Minum apa, Nek?" tanya Pangeran Matahar "Bukan minum


tapi...Lagu tentang orang bercinta. Aah..lagunya aneh. Bercinta tapi 

menyebut minum. Minum...." 

"Minum kopi?" ujar Pangeran Matahari. 

"Betul! Minum kopi!" "Lagunya Kopi Dangdut." 

"Betul sekali!" kata Kunti Api sambil tepukan dua tangannya. 

"Lagu kedua Nenek Guru ingat?" Kembali Pangeran Matahari 

bertanya. 

"Kalau aku tidak salah pakai biru-biru. Hemm...Tenda Biru. 

Betul, Tenda Biru!" kata Kunti Api pula. 

"Pengamen itu, apakah lidahnya cadel? Tidak bisa menyebut 

er?" 

"Seingatku dia tidak cadel, tidak pelo. Dia menyebut er lempang-

lempang saja." 

"Pangeran Matahari, jangan kau mengkhayal tentang kakek 

pengamen bernama Pelawak Sinting itu. Bukankah kita telah 

membunuhnya beberapa waktu lalu di jembatan penyeberangan di 

depan gedung Sarinah. Di Jakarta?" 

"Betul sekali Guru," jawab Pangeran Matahari pada Si Muka 

Bangkai. "Tapi jangan lupa. Ada berita yang mengabarkan bahwa 

mayat Si Pelawak Sinting lenyap dicuri orang dari dalam ambulans. 

Siapa tahu waktu itu dia tidak mati..." 

"Si pelawak sinting tidak berambut pirang. Tidak pernah pakai 

blujins..." 

"Tunggu," kata Pangeran Matahari. "Nenek Guru, pengamen itu 

apa Nenek Guru ingat peralatan apa saja yang dipakainya waktu 

mengamen?" 

"Dia membawa gendang dan rebana yang ada kerincingannya. 

Sambil menyanyi dia berjoget. Lalu di kepalanya dia meletakkan 

sebuah payung kecil, terbuat dari kertas. Payung dikembangkan, 

dia bernyanyi dan berjoget. Payung tidak jatuh. Sesekali dia 

memainkan sebuah benda aneh sepanjang satu jengkal. Aku tidak 

tahu apa namanya. Kalau ditiup benda itu mengeluarkan suara 

lebih merdu dari suara seruling. Lalu... lalu dia pakai anting di 

kuping dan pusarnya." Kunti Api diam sebentar lalu bertanya 

"Pangeran Matahari, apakah kau mengenal pengarnen tua itu?' 

"Aku menduga-duga Nek, ada sedikit keraguan. Nenek Guru


ingat pada Si Pelawak Sinting yang membuat keonaran di Pasar 

Baru dulu?" 

"Aku ingat ceritamu. Tapi betul kata gurumu. Si Pelawak Sinting 

tidak berambut pirang. Lidahnya cadel. Dia tidak punya alat yang 

bisa mengeluarkan suara seperti seruling itu. Telinganya tidak pakai 

anting. Apalagi pusarnya. Lalu aku ingat, si pengamen di Candi 

Mendut itu menempeli giginya dengan kertas timah bungkusan 

rokok." 

"Betul sekali Nenek Guru. Banyak perbedaan. Tapi ada 

persamaan. Si Pelawak Sinting membawa payung kertas. 

Pengamen di Candi juga punya payung kertas. Pelawak Sinting 

pakai rebana dan gendang Pengamen di Candi juga punya rebana 

dan gendang. Dalam menyanyi dia berjoget sambil meletakkan 

payung di atas kepala. Lalu salah satu lagu yang dinyanyikan 

pengamen di Candi Mendut sama dengan lagu yang suka 

dibawakan Pelawak Sinting. Kopi Dangdut." 

Tiga orang itu terdiam sesaat. 

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Si Muka Bangkai memecah 

kesunyian di tempat itu. 

"Aku tahu apa yang harus aku lakukan!" kata Kunti Api seraya 

bangkit berdiri. "Saat ini juga aku akan ke Candi Mendut. Pangeran 

Matahari, kau ikut bersamaku. Mungkin pengarnen keparat itu 

masih menyimpan telur keramat yang asli. Muka Bangkai, kau lekas 

pergi ke Candi Borobudur. Apapun yang terjadi kau harus bisa 

mencegah anak perempuan itu dikeluarkan dari dalam Stupa. Tapi 

yang paling aku harapkan ialah agar kau bisa membunuh anak 

bernama Borna itu." 

"Apa yang Eyang Guru perintahkan akan kami lakukan," kata 

Muka Bangkai lalu ikut berdiri pula. 

Setelah guru dan muridnya pergi, Si Muka Bangkai mengomel 

sendirian. "Pangeran sialan! Karena ketololanmu aku kini kebagian 

kerjaan yang tidak enak. Padahal malam ini aku ada janji dengan 

seorang janda tua pedagang lesehan di Malioboro." Dari balik 

pakaian putihnya kakek bungkuk ini keluarkan sebuah kantong 

kecil dari kertas. Pada kantong itu ada tulisan "Majun Asli dari Arab. 

Obat Kuat. Membuat pria lemah jadi sehebat kuda jantan. Sekali


minum bisa tiga kali genjot." 

"Majun Arab .... Majun Arab. Malam ini aku belum butuh kau! 

Sabar, harap kau bersabar!" Si Muka Bangkai masukkan kembali 

kantong kertas itu ke balik pakaiannya. Lain dia tepuk-tepuk bagian 

bawah perutnya sambil berkata. 

"Burungku Anu, kau juga harus sabar. Jangan ngambek. Malam 

ini aku ada sedikit urusan. Seperti kata orang jaman sekarang, 

anggap saja ini sebagai kesalahan teknis. Boleh juga kau bilang 

sebagai kesalahan prosedur. Tapi percayalah, keadaan masih tetap 

terkendali. Malam ini kau tidak jadi aku beri makan. Tapi nanti aku 

beri kau makan tiga piring sekaligus! Pakai sambal terasi. Sampai 

mulutmu lecet kepedasan! Ha ...ha...ha!" 

***


SEBELAS


RAMPOK MOTOR DI SIANG BOLONG



KITA kembali dulu pada kejadian setelah terjadi perkelahian di 

Candi antara Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro 

Sableng dan Boma. 

Di puncak sebuah bukit kecil murid Sinto Gendeng akhirnya 

hentikan larinya. Dia tidak berhasil melacak jejak Pangeran 

Matahari yang melarikan diri setelah melempar sebuah benda yang 

bisa meletus dan mengeluarkan asap tebal kehijauan. 

"Kalau sempat anak itu dibunuh Pangeran keparat itu, celaka 

aku seumur-umur. Si nenek bau pesing pasti akan mendamprat 

diriku habis-habisan. Tapi heran juga, kenapa Eyang Sinto berpesan 

agar aku menjaga anak itu? Cucunya bukan, anak apa lagi. Sayang, 

Eyang tidak pernah berterus-terang menceritakan sebab musabab 

latar belakang. Dia kelihatan begitu sayang pada anak itu. Kalau 

tidak masakan sampai diberikan hawa sakti segala. Atau barangkali 

Eyang telah mengambil anak itu sebagai muridnya? Hemm.... 

Sekarang apa yang harus aku lakukan? Kembali ke Candi?" 

Wiro garuk-garuk kepala. 

Tiba-tiba Wiro ingat pada tiga buah benda yang, dipungutnya di 

lantai candi sebelum berkelebat pergi meninggalkan tempat itu. 

Buru-buru tiga benda itu dikeluarkannya dari dalam saku baju putih. 

Benda pertama adalah sobekan kertas berwarna coklat. 

"Robekan kertas. Benda yang berputar sebati menahan pukulan 

Pangeran Matahari jugal berwarna coklat. Apa kertas ini yang 

memapaki pukulan pangeran keparat itu? Kalau benar sungguh


luar biasa." 

Wiro perhatikan benda kedua. Sepotong kecil serpihan bambu. 

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Tidak bisa mengira-ngira 

apa hubungani kertas coklat dengan potongan bambu kecil. Lalu 

diambilnya benda ke tiga. Diperhatikan. 

"Ini jelas patahan kayu gagang sesuatu. Gagang golok terlalu 

kecil. Gagang sebilah keris terlalu buruk dan rapuh. Kertas coklat, 

potongan bambu, patahan kayu...." Kembali murid Sinto Gendeng 

garuk-garuk kepala. "Mungkin aku harus kembali ke Candi. Tapi 

Isopol itu. Mereka pasti ada disana." 

Selagi berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya tiba-tiba Wiro 

mendengar di kejauhan suara sesuatu. 

"Bebunyian aneh. Merdu sekali. Seperti seruling, tapi jelas itu 

bukan suara seruling." 

Wiro memasang telinganya baik-baik. Suara bebunyian itu 

datang dari kaki bukit sebelah timur. Wiro segera lari menuruni 

bukit kecil, menuju ke arah timur sampai akhirnva dia menemui 

sebuah jalan aspal cukup ramai lalu lintasnya. Kira-kira dua puluh 

meter di depan sana, di pinggir jalan kelihatan seorang berambut 

aneh warna pirang coklat berjalan melenggak-lenggok seperti 

tengah menari. Di atas kepalanya ada sebuah payung kecil terbuat 

dari kertas dalam keadaan terkembang. Orang ini mengenakan 

celana blujins yang agak gombrong hingga sebagian pantatnya yang 

hitam tersingkap jelas. Sambil berjalan menari, orang ini 

memainkan rebana di tangan kiri, memegang sesuatu di tangan 

kanan dan meniupnya. Karena membelakang Wiro tidak dapat 

melihat benda apa yang ditiup orang itu, yang mengeluarkan suara 

lebih merdu dari seruling. 

Di belakang orang itu berjalan mengikuti belasan anak-anak 

sambil tertawa-tawa dan bertepuk tangan. Lalu lintas di jalan agak 

sedikit macet karena para pengemudi memperlambat kendaraan 

mereka untuk melihat apa yang terjadi. 

"Kopi Dangdut!" ucap Wiro. "Lagu yang dimainkan orang itu Kopi 

Dangdut! Aku ingat pada Si Pelawak Sinting yang mati dibunuh di 

jembatan penyeberangan Sarinah. Nyanyinya sama, gayanya sama. 

Pantatnya juga sama hitam. Tapi yang ini keren amat, pakai jaket


dan celana jins. Aku harus melihat tampangnya! Jangan-jangan 

dia...." 

Ucapan Wiro terputus. Mendadak dia ingat pada tiga buah 

benda yang ada di saku bajunya. Tiga benda itu dikeluarkannya. 

Diperhatikan sambil sesekali mengangkat kepala memandang ke 

arah orang yang berjalan menari-nari sambil meniup bebunyian di 

depan sana. 

"Potongan bambu, robekan kertas coklat, patahan kayu! Gila! Ini 

adalah hancuran payung kertas yang dihantam pukulan sakti 

Pangeran Matahari! Di kepala orang itu bertengger paying kertas 

warna coklat! Berarti dia...." 

Tidak tunggu lebih lama Wiro segera lari mengejar. . 

Orang berpayung hentikan jalannya. Payung di turunkan dari 

kepala lalu dilipat. Dia memegangi kepala anak-anak yang 

mengikutinya, memberikan sejumlah uang pada anak-anak itu lalu 

menyetop sebuah kendaraan umum. 

"Pelawak Sinting! Hai! Pelawak Sinting!" teriak Wiro. Dia segera 

lari mengejar. Tapi orang itu sudah masuk ke dalam kendaraan 

umum. Anak-anak yang mengikuti bubar. Jalan yang macet kembali 

lancar. Ketika Wiro sampai di dekat anak-anak itu, kendaraan yang 

membawa orang tadi telah meluncur jauh. 

"Sial!" maki Wiro sambil garuk-garuk kepala. 

Di depannya saat itu ada seorang tua bermata sipit, mengemudi 

motor tanpa helm. 

"Apa boleh buat!" kata Wiro dalam hati. Langsung saja dia 

melompat dan duduk di belakang pengemudi motor. 

Si pengemudi yang ternyata seorang Cina gaek yang masih totok

tentu saja jadi kaget. 

"Weehhh, apa-apaan ini. Situ mau ngelampok ngai ya?!" 

"Ssshh...Jangan salah sangka. Saya cuma mau minta tolong!" 

"Minta tulung, minta tulung. Ngai tidak kenal sama situ. Ayo 

tulun! Nanti ngai teliak galong balu tahu!" 

"Pak tua, saya tidak punya maksud jahat. Tolong ikuti mobil 

merah di depan sana. Mobil merah yang ada tulisan Kutunggu 

Jandamu itu." 

"Ngai tidak bisa tulung. Cali olang lain. Ngai mau jemput ngai


punya cucu. Ayo tulun!" Walau bicara keras tapi wajah pengemudi 

motor itu jelas menunjukkan rasa takut karena mengira Wiro 

hendak berbuat jahat terhadapnya. 

"Wah, brengsek, nggak mau nolong," Wiro menggerendeng 

dalam hati. "Kalau nggak mau nolong ya sudah!" Wiro turun dari 

motor. Lelaki tua itu saking terburu-buru menyentakkan gas motor, 

kendaraan itu bukannya bergerak tapi mesinnya malah mati. 

Setelah dicoba berulang kali akhirnya mesin motor hidup juga. Tapi 

saat itu entah karena takut, atau sebelumnya memang sudah ingin 

buang air, si pengemudi motor mendadak merasa kebelet ingin 

kencing. Karena tidak tahan, baru dua puluh meter meluncur, dia 

hentikan kendaraannya di pinggir jalan. Mesin motor tidak 

dimatikan, mungkin karena terburu-buru, mungkin juga takut kalau 

nanti sulit lagi dihidupkan. Orang ini menyelinap ke balik sebuah 

pohon besar, turun di tebing selokan dan tarik ke bawah resluiting 

celananya. 

Wiro perhatikan orang yang sedang kencing itu lalu memandang 

ke arah motor berulang kali. 

"Sial! Kalau saja aku bisa menunggang kuda tidak berkaki ini.... 

Bagaimana caranya?" Wiro garuk-garuk kepala. Ketika dia 

mendekati kendaraan itu didepannya lewat seorang anak muda 

berambut gondrong yang telinga kirinya dicanteli anting. "Sobat 

ganteng" Wiro menegur. 

"Mau uang lima ribu perak?" Tanya Wiro sambil pura-pura 

memasukkan tangan kiri ke balik pakaian. 

Anak muda beranting perhatikan wajah dan dandanan Wiro 

sesaat lalu tersenyum. "Tentu saja mau. Memang lagi bokek. Mana 

uangnya?" 

"Ada dalam kantong. Situ bisa naik itu?" Wiro menunjuk ke arah 

motor. Tentu saja didalam kantongnya sama sekali tak ada uang 

lima ribuan. 

"Kecil!" jawab pemuda gondrong beranting. 

"Uang lima ribu aku berikan sama situ. Tapi antar aku lebih 

dulu." 

"Itu motor siapa?" 

"Temanku. Lihat sana, dia lagi buang hajat. Dia bilang aku pergi


saja duluan." Wiro menunjuk pada pemilik motor yang tengah 

kencing. 

Anak muda itu melangkah mendekati motor. Wiro menyuruhnya 

naik cepat-cepat. Lalu dia melompat duduk disebelah belakang. 

"Tujuannya kemana?" Si anak muda bertanya. 

"Cepat jalan! Terus.... Nanti aku beritahu kemana!" jawab Wiro 

sambil matanya memandang ke depan memperhatikan mobil 

merah angkutan umum yang tadi ditumpangi Pelawak Sinting. 

Orang tua di tebing selokan masih belum lampias kencingnya, 

melengak kaget ketika melihat Wiro menghambur bersama 

motornya. Dia berteriak. Air kencing yang masih bersisa mengucur 

membasahi celananya. 

"Lampok! Lampok Motol!" 

Cepat-cepat dia tarik resluiting celananya ke atas. Tapi karena 

bingung dan juga terburu-buru resluiting celana itu menggigit salah 

satu bagian di bawah perut hingga dia terpekik kesakitan. 

Terbungkuk-bungkuk orang tua ini naik ke atas jalan raya. 

Kebetulan saat itu sebuah mobil pikup terbuka patroli Polisi 

meluncur di jalan. Langsung saja dia kembangkan dua tangan dan 

berteriak-teriak. 

Dua orang petugas segera melompat turun, menanyakan ada 

kejadian apa. Orang tua itu memberitahu bahwa motor miliknya 

dibawa kabur seorang pemuda gondrong. Dia menunjuk-nunjuk ke 

arah kaburnya Wiro. Salah seorang anggota Polisi menyuruhnya 

naik ke atas mobil, duduk di samping Polisi pengemudi, diapit 

anggota Polisi lainnya. 

Sirine dibunyikan. Pengejaran segera dilakukan. Di atas mobil 

orang tua itu tidak henti-hentinya berteriak. "Itu...itu...!" sambil 

menunjuk ke arah Wiro yang membeset motor meliuk-liuk melewati 

kendaraan-kendaraan di depannya dengan kecepatan hampir 80 

Km per jam. 

"Wah, kok mobilku jadi bau pesing?" Polisi yang mengemudi 

pikup patroli berkata sambil hidungnya kembang kempis. Dia tak 

berani melirik ke samping karena mobil dikemudikan dalam 

kecepatan tinggi dan lalu lintas di jalan cukup ramai. 

Polisi yang duduk dekat pintu melirik ke bawah, memperhatikan


celana orang tua yang duduk di sebelahnya. Celana itu selain basah 

kuyup oleh air kencing, restluitingnya juga tidak tertutup utuh. 

Karena celana dalamnya merosot turun tidak karuan, maka pak 

Polisi bisa melihat jelas benda di bawah perut si orang tua. Sambil 

senyum Polisi ini berkata. 

"Pak tua, wong habis kencing celananya dirapikan dulu. Kalau 

melongo kayak gitu nanti burung perkututnya bisa nyelonong 

terbang." 

Si orang tua terkejut mendengar ucapan Polisi itu. Dia 

menunduk dan melihat celananya yang tersingkap lebar. 

"Haayyyaa! Ngai punya bulung pelkutut tidak bisa telbang. 

Belum numbuh sayap!" 

Dua anggota Polisi tertawa terbahak-bahak. 

Tak lama kemudian motor milik orang tua itu ditemukan di tepi 

jalan, tepat dipersimpangan yang menuju ke Candi Mendut. 

Pemuda pakai anting yang tadi mengemudikan kendaraan berdiri di 

tepi jalan. 

Ketika turun di tempat itu Wiro memberitahu bahwa dia akan 

menemui seseorang. 

"Tidak lama. Nanti aku balik. Uang lima ribu itu aku kasih sama 

kamu." 

Ternyata Wiro yang ditunggu tidak muncul kembali. Pemuda 

beranting itu terpaksa berurusan dengan Polisi. 

***


DUA BELAS



PELAWAK SINTING INGIN KAWIN


SINAR matahari sore yang kekuning-kuningan menyapu Candi 

Mendut hingga candi ini kelihatan lebih indah dan megah. 

Candi yang konon lebih tua usianya dari Candi Borobudur ini 

pada perayaan dan upacara Waisak ramai dikunjungi umat Buddha 

dari seluruh penjuru tanah air, bahkan juga dari mancanegara. 

Di sore yang sejuk itu kelihatan beberapa rombongan wisatawan 

melihat-lihat keindahan Candi. Di dalam Candi, mereka mengagumi 

tiga buah patung besar yakni patung Buddha Cakyamurti yang 

duduk bersila, patung Avaloki teswara dan patung Maitreya. 

Di seberang halaman depan Candi mendut terdapat sederetan 

warung penjual makanan dan minuman serta kios penjual berbagai 

cindera mata. Di salah satu sudut halaman kelihatan banyak orang 

berkumpul. Beberapa orang anak muda tampak berjoget-joget 

mengiringi nyanyian seorang lelaki tua yang sekaligus menabuh 

gendang kecil serta memainkan sebuah rebana. Sesekali dia 

meniup sebuah harmonika yang tergantung di lehernya. Suasana 

lebih meriah karena sambil menyanyi kakek yang berpenampilan 

aneh ini meletakkan payung terkembang di atas kepala. Payung itu 

tidak jatuh walaupun dia menari berjingkrak-jingkrak atau 

menggoyang-goyangkan pantat dan pinggul. 

Lagu yang dibawakan kakek itu adalah Kopi Dangdut. Begitu 

Kopi Dangdut habis, anak-anak yang ada disitu berteriak meminta 

agar si kakek membawakan lagu Tenda Biru. 

Setelah menerima sejumlah uang dari orang-orang yang ada di 

situ maka si kakek pasang suara menyanyikan Tenda Biru. Lagu 

Tenda Biru ini dibawakan si kakek dalam irama dangdut dengan


gaya yang kocak membuat semua orang sesekali tertawa riuh. Apa 

lagi kalau si kakek menggoyang pantat dan pinggulnya demikian 

rupa hingga celana blujinsnya merosot ke bawah pinggul, membuat 

orang-orang perempuan berpekikan. 

Tak sengaja lewat depan rumnhmu 

Ku melihaat ada tenda biru 

Dihiasi indahnya janur kuning 

Hati bertnnya pernikahan siapa 

Tak percaya tapi ini terjadi 

Kau bersanding duduk di pelaminan 

Air mata jatuh tak tertahankan 

Kau khianati cinta suci ini

Tanpa undangan diriku kau lupakan 

Tanpa putusan diriku kaut tinggalkan 

Tanpa bicara kau buat ku kecewa 

Tanpa berdosa kau buat ku merana 

Ku tak percaya dirimu tega 

Nodai cinta khianati cinta 

Ketika terdengar si kakek hendak mengakhiri nyanyiannya, 

orang banyak terutama yang asyik berjoget langsung berteriak 

"Terus Bos! Terus Bos!" 

Pengamen tua yang dipanggil Bos itu sambil tersenyum dengan 

senang hati mengulang kembali nyanyiannya sampai empat kali 

berturut-turut. Selesai menyanyi dia tadangkan payung kertasnya 

dan melangkah mendekati orang-orang yang berkeliling. Sejumlah 

uang diletakkan orang di atas payung itu. Si kakek pengamen 

membungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang kali. 

"Bos! Mau kemana?" 

"Nyanyinya udahan nih?!" 

Beberapa orang berteriak ketika melihat si kakek lambaikan 

tangan. 

"Ngaso dulu! Capek!" jawab pengamen tua. "Jangan kemana-

mana dulu, tetap di tempat anda. Kami akan kembali setelah 

istirahat. Ha...ha..ha!" 

"Bos! Situ kaya iklan di tivi aja!" kata seorang anak muda.


Kakek pengamen sekali lagi lambaikan tangan lalu melangkah 

ke salah satu sudut lapangan. Di seberang sebuah jalan kecil ada 

sederetan bangunan. Kebanyakan merupakan warung. Salah satu 

diantaranya ditutupi terpal berwarna biru mulai dari atap sampai 

bagian depannya. Inilah "Tenda Biru" yang jadi tempat kediaman 

sementara kakek pengamen. 

Masuk ke dalam warung kosong yang agak gelap itu karena 

bagian depannya ditutup terpal biru, kakek pengamen duduk 

menjelepok di atas sehelai tikar, di salah satu sudut warung. 

Beberapa kali dia batuk-batuk sambil pegangi dadanya. Lalu 

diambilnya payung kertas yang diletakkan di sampingnya. Payung 

dibuka. Si kakek mulai mengambil uang yang ada di situ. 

"Yang namanya duit, walau gelap kelihatan saja ya Kek. Banyak 

dapat duitnya hari ini Kek?" Tiba-tiba satu suara menegur 

mengejutkan si kakek hingga dia terlonjak dan cepat berdiri. 

Sepasang matanya dibuka lebar-lebar. Pandangannya membentur 

satu sosok tinggi besar, berpakaian serba putih, berambut 

gondrong, tegak sambil rangkapkan tangan di depan dada di sudut 

kanan warung. Orang ini lemparkan senyum pada si kakek. 

"Anak muda berambut gondrong! Apakah aku mengenalmu?!" 

Pengamen tua bertanya. Tapi sepasang mata serta caranya berdiri 

menyatakan dia penuh waspada dan siap melakukan sesuatu jika 

orang berbuat jahat terhadapnya. 

"Labodong, Pelawak Sinting dari Tanah Silam. Kau lupa padaku? 

Mungkin terlalu sering dan banyak melihat uang. Matamu jadi 

lamur!" 

"Astaga naga! Kau tahu nama dan julukanku! Siapa kau?! 

Tunggu.... Aku ingat! Kau! Bukankah kau pemuda gondrong yang 

hampir aku celakakan ke dalam lobang maut di Latanah Silam?" 

"Ah, ternyata otakmu masih encer!" 

"Namamu Wiro Sableng! Kau sahabat adikku Si Labudung!" 

"Syukur kau masih ingat diriku Kek." Kata Wiro lalu melangkah 

mendekati si pengamen dan memeluknya. 

"Wiro, waktu di Latanahasilam kita berseteru. Apakah 

kemunculanmu untuk membalaskan sakit hati di masa lalu? Aku 

terpesat ke tanah Jawa ini secara aneh. Waktu Istana Kebahagiaan


meledak..." (Mengenai kisah kakak beradik sepasang Pelawak 

Sinting dapat pembaca ikuti dalam kisah petualangan Wiro Sableng 

di Negeri Latanahsilam) 

"Aku tahu, Kek. Itu cerita lama. Aku tak pernah mengingat-ingat 

lagi. Aku juga tahu semua cerita dan kejadian hancurnya Istana 

Kebahagiaan milik Hantu Muka Dua. Kek, sebenarnya aku telah 

melihatmu di tengah jalan. Aku mengejarmu sampai ke sini. Aku 

mencarimu bukan karena segala urusan di masa lalu. Justru karena 

ada urusan di masa sekarang. Aku berterima kasih. Kau telah 

menolong menyelamatkan diriku, anak bernama Boma itu dan 

banyak orang lainnya di Candi Borobudur sewaktu Pangeran 

Matahari melepas pukulan sakti membabi buta. 

Labodong alias Si Pelawak Sinting, kakak dari Labudung yang 

menemui ajal di tangan Pangeran Matahari tersenyum. Namun Wiro 

melihat, dibalik senyum dan semua keceriaan kakek ini ada 

bayangan rasa kesedihan. 

"Jadi kau tahu kalau aku ada di Candi. Bagaimana kau bisa 

tahu, anak muda?" 

Wiro keluarkan robekan kertas, potongan bambu kecil serta 

patahan kayu. Benda itu diperlihatkannya pada si kakek lalu 

dijatuhkan ke lantai. 

"Semua itu adalah bagian dari payungmu yang hancur oleh 

pukulan Pangeran Matahari." 

"Pangeran jahanam itu. Payungku dimusnahkan. Untung aku 

membekal beberapa payung!" 

"Kek, aku akan ceritakan bagaimana diriku sampai berada di 

tempat ini. Tapi aku ingin kau dulu yang menuturkan kisah hingga 

kau muncul dan jadi pengamen di Candi Mendut ini." 

"Panjang ceritanya. Tapi biar aku singkat-singkat saja. Kau 

sudah tahu kalau adikku Si Pelawak Sinting yang asli menemui ajal 

dibunuh Pangeran Matahari?" 

"Sudah, aku sudah tahu Kek. Mayatnya dikabarkan lenyap dicuri 

orang sewaktu dibawa dengan ambulans ke rumah sakit." 

"Aku yang mencuri mayat itu. Ku bawa ke satu tempat dan 

kulepas kembali ke alam asalnya." 

"Kau lepas kembali ke alam asalnya? Jadi adikmu itu tidak


dikubur?" 

Si Pelawak Sinting Labodong tertawa. 

"Aku mana tahu segala urusan kubur mengubur. 

Kakakku bisa diselamatkan jenazahnya saja, rasanya sudah 

bersyukur. Wiro, aku sudah beberapa hari berada di tempat ini. Aku 

tengah mengejar Pangeran Matahari, pembunuh adikku. Sewaktu 

di Candi Borobudur aku menjajagi kekuatannya dengan 

melemparkan payung ketika dia melepas pukulan sakti yang nyaris 

menghancurkan Stupa dan dinding Candi. Payungku musnah tak 

jadi apa. Tapi aku merasakan bahwa kekuatan tenaga dalamnya 

berada di atas tenaga dalam yang aku miliki. Sampai saat ini 

dadaku terasa sakit. Untuk sementara aku menghindar ke tempat 

ini. Aku punya dugaan, dia akan segera muncul di tempat ini." 

Dari tadi. Wiro memperhatikan keadaan bahu dan tangan kiri si 

kakek seperti senjang. Seolah ada yang mengganjal di bawah 

ketiaknya. Tadi orang tua ini berkata dadanya sakit akibat 

bentrokan tenaga dalam dengan Pangeran Matahari di Candi. Kalau 

dada yang sakit mengapa bahu kiri yang kelihatan seperti naik ke 

atas? Diam-diam Wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang. Di 

bawah ketiak kiri si kakek dia melihat ada sebuah benda putih 

berbentuk antara bulat dan lonjong. Sulit menduga benda apa itu 

adanya. Maka Wiro lantas bertanya. "Kek, apa kau sedang bisulan 

di ketiak? Kulihat bahumu naik sebelah." 

Pelawak Sinting terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia 

membatin. "Agaknya anak ini tahu ada sesuatu aku sembunyikan di 

bawah ketiakku. " Mungkin dia ikutan mencari benda ini." 

"Aku tidak bisulan. Di ketiakku ada sebuah batu. Kusekap akan 

kujadikan benda bertuah." 

Wiro tersenyum mendengar ucapan kakek itu. 

"Kek, kau sudah tahu ada seorang anak perempuan disekap di 

dalam Stupa di Candi Borobudur. Dengan ilmu kepandaianmu, 

apakah kau bisa menolong membebaskannya. Atau paling tidak 

kau tahu cara untuk menyelamatkannya keluar dari dalam Stupa?" 

"Aku kakek jelek dan tolol bisanya apa? Paling-paling cuma 

mengamen. Tapi soal anak perempuan itu mengapa harus dipikir 

dan dikawatirkan?"


"Aku benar-benar terkejut mendengar ucapanmu Kek. Nyawa 

seorang anak perempuan tak berdosa kau bilang tidak usah 

dipikirkan. Tak perlu dikawatirkan! Kek, anak perempuan itu adalah 

sahabat seorang anak laki-laki bernama Boma. Guruku menyuruh 

aku menjaga anak itu Kalau sahabatnya celaka berarti Boma juga 

akan sengsara." 

"Jelas. Karena memang itu cara-cara licik Pangeran Matahari." 

Kata Pelawak Sinting pula. "Kuharap kau kembali saja ke Candi. 

Malam nanti anak perempuan itu akan diselamatkan." 

"Oleh siapa?" tanya Wiro. 

Pelawak Sinting menunjuk ke atas. 

"Siapa yang kau tunjuk di atas?" tanya Wiro lagi. 

"Tuhan! Tuhan Yang Maha Kuasa." 

"Di Negeri Latanahsilam kau tidak mengenal Tuhan. Aneh..." 

"Di Tanah Jawa ini aku mulai belajar mengenal Tuhan. Ada satu 

kebahagiaan di lubuk hatiku kareria aku sudah mengenal Tuhan." 

Wiro mengangguk-angguk lalu tersenyum. 

"Baiklah, kalau begitu ucapanmu memang ada baiknya aku 

kembali ke Candi." 

"Tunggu, ada sesuatu yang perlu aku tanyakan padamu. 

Sewaktu adikku Labudung Si Pelawak Sinting yang asli hendak 

menghembuskan nafas terakhir, dia meninggalkan beberapa pesan 

padaku. Satu diantaranya adalah mewakili dirinya untuk mengawini 

seseorang. Rupanya semasa hidupnya saudaraku itu telah 

mengikat janji untuk kawin dengan orang lain." 

"Walau kau belum pernah melihat orang itu, jika berternu buruk 

atau jelek apakah kau akan bersedia mengawininya?" 

"Aku hanya menjalankan pesan saudaraku." 

"Siapa orang yang hendak dikawini saudaramu itu yang kini 

akan kau wakili mengawininya. Apakah saudaramu menyebut 

namanya?" 

"Ya, memang ada. Menurut Labudung orang itu nenek bernama 

Sinto Gendeng...." 

"Apa? Siapa?!" Kagetnya Wiro bukan kepalang. "Sinto Gendeng. 

Perempuan itu, seorang nenek bernama Sinto Gendeng. Menurut 

Labudung ada lima tusuk konde di atas kepalanya, lalu kalau tak


salah nenek itu bau pesing..." 

"Kek, kau tidak keliru nenek itu bernama Sinto Gendeng?" tanya 

Wiro. 

Pelawak Sinting gelengkan kepala. "Itu nama yang aku dengar. 

Itu yang aku katakan padamu. Eh, apa kau kenal dengan nenek 

bernama Sinto Gendeng itu?" 

Wiro menggaruk kepala. Memandang ke atap warung. Dua bola 

matanya berputar. Mulutnya bergumam. 

"Hemmm.... Aku belum pernah mendengar nama itu," kata Wiro 

kemudian. 

"Anak muda, kita sekarang bersahabat. Tolong kau cari 

keterangan dimana adanya nenek itu. Tapi jangan kabarnya disebar 

luas sembarangan. Kalau tidak disuruh mewakili kawin, aku yang 

sudah tua bangka ini mana mau..." 

"Kau belum tua Kek. Penampilanmu saja kulihat keren sekali. 

Rambut dicat pirang. Gigi ditempel kertas timah. Kuping dan pusar 

dicanteli anting. Pakai jaket dan celana blujins. Luar biasa! 

Jangankan nenek, janda muda saja pasti naksir padamu!" 

Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. Wiro juga tertawa 

terpingkal-pingkal. Tapi tawanya adalah tawa karena mengetahui si 

kakek ingin kawin dengan gurunya. Dan si kakek bertanya pada dia, 

murid si nenek sendiri! 

"Kek, benda apa yang kau gantung di leher itu?" Wiro bertanya. 

"Namanya harmonika. Kalau ditiup walah! Suaranya merdu 

sekali. Lagu apa saja bisa dinyanyikan dengan harmonika ini." 

Wiro manggut-manggut lalu sambil senyum dia bertanya lagi. 

"Kek, selain di kuping dan di pusar, dimana lagi yang kau 

pasangi anting?" 

"Aahhh! Aku tahu maksud pertanyaanmu! Ha..ha...ha! Kalau kau 

mau, biar kau duluan kupasangi anting di barang antikmu. Mau?" Si 

kakek kembali tertawa bergelak. 

Wiro menyingkapkan terpal biru penutup bagian depan warung. 

Mendadak langkahnya tersurut kembali. Dia melihat ada beberapa 

petugas Polisi bersama orang tua yang motornya dibawa lari. 

"Ada apa?" tanya Pelawak Sinting. 

"Isopol."


"Isopol?" Si kakek mengintip keluar. "Polisi! Bukan Isopol." 

"Kalau dibalik'kan Polisi juga. Sama saja Kek!" 

"Geblek! Kenapa takut sama polisi?" 

"Soalnya waktu mengejarmu ke sini aku minjam motor orang." 

"Minjam atau ngerampas?" 

"Ya, kira-kira gitu. Motornya tadi aku tinggalin di tengah jalan 

bersama anak muda yang menolong aku mengemudikan 

kendaraan itu. Aku berhutang lima ribu perak padanya. Sekarang 

kalau aku keluar dari tempat ini bisa-bisa ketahuan." 

"Sudah, jangan takut. Aku keluar ngamen, menarik perhatian 

mereka. Begitu mereka lengkah kau molos ya?" 

“Oke." 

"Oke? Bahasa apa itu?" 

Wiro tersenyum. "Nggak ngerti Kek. Aku dengar orang-orang 

suka berkata begitu. Aku cuma niru saja." 

Si kakek tertawa lebar lalu keluar dari dalam warung. Tak lama 

kemudian terdengar suaranya menyanyikan lagu Kopi Dangdut. 

Orang banyak mulai berkumpul. Anak-anak kecil pada berjoget. 

Para petugas Kepolisian untuk beberapa saat lamanya ikut 

menyaksikan tingkah si kakek. Diam-diam Wiro menyusup 

meninggalkan warung. 

Tak lama setelah Wiro pergi dan semua anggota Polisi 

meninggalkan halaman Candi Mendut, Si Pelawak Sinting kembali 

ke warung, berkemas-kemas. Malam ini sesuai pesan dia harus 

menemui seseorang di Jogja. Benda yang telah dua hari dikepitnya 

di ketiak harus diserahkan pada orang itu. Seorang anak lelaki 

jangkung, berambut cepak bernama Boma. Kawan satu sekolah 

dari anak perempuan yang saat itu disekap di dalam Stupa. Seperti 

diceritakan sebelumnya benda di ketiak si kakek adalah sebuah 

telur ayam yang menurut Ki Tunggul Sekati mampu menolong Dwita 

keluar dari dalam Stupa. 


                          TAMAT


IKUTI EPISODE BERIKUTNYA : BONEK CANDI SEWU


Apakah Dwita Tifani dapat dikeluarkan dari dalam Stupa? Atau 

Boma dengan nekad mendongkrak jebol batu Stupa di dalam mana 

anak perempuan itu disekap? 

Bagaimana mungkin sebuah telur ayam kampung mampu 

membebaskan Dwita Tifani?





Share:

0 comments:

Posting Komentar