"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 29 November 2024

MAHESA KELUD EPISODE PULAU MAYAT

MAHESA KELUD EPISODE PULAU MAYAT

 SATU


MAHESA Kelud menatap wajah cantik dan tubuh bagus 

yang berada di balik dinding kaca itu. Serangkum ke-

bimbangan mendadak saja menyeruak dalam hati murid 

Embah Jagatnata dari Gunung Kelud ini. 

"Kalau dia bukan orang yang kucari berarti sia-sialah 

semua jerih payahku sampai menyambung nyawa untuk 

bisa berada di tempat ini. Wajahnya begitu cantik, tubuh-

nya bagus dan kulitnya mulus sekali. Mungkinkah makhluk 

sebagus ini memiliki hati sejahat iblis?" 

Selagi Mahesa Kelud berada dalam kebimbangan begitu 

rupa, si cantik di belakang dinding kaca membuka mulut. 

"Orang muda, bukankah kau manusianya yang bernama 

Mahesa Kelud?" 

Mahesa sembunyikan rasa terkejutnya. Sesaat ke-

mudian malah dia balik bertanya. "Kau sendiri bukankah 

yang disebut orang sebagai Dewi Maut, penguasa Pulau 

Mayat?!" 

Yang ditanya tertawa merdu. Kedua pipinya kelihatan 

menjadi merah. "Mahesa Kelud, pertanyaan yang kau 

ucapkan barusan tanpa kau sadari telah membuka kedok 

sandiwara siapa dirimu!" 

Mahesa Kelud terkesiap. Apa yang diucapkan Dewi Maut 

memang benar. Dia memaki kebodohannya sendiri. 

Dewi Maut kembali tertawa lalu berkata, "Kalau kurang 

jelas bagimu biar kupaparkan ketololanmu. Pertama tiang 

layar perahu yang patah. Tak ada hujan tak ada badai, 

bagaimana mungkin tiang perahu bisa patah. Kedua 

samaran pakaianmu yang rombeng bertambal-tambal lebih 

cocok untuk jadi seorang pengemis daripada nelayan. 

Ketiga, mana ada nelayan berkulit sekuning yang kau 

mlliki? Hi... hik... hik! Kalau kau hendak menipu dan ber-

sandiwara lebih baik belajar dulu pada anak buahk


Mahesa Kelud hanya bisa memandang dengan mulut 

terkatup. Di seberang sana si cantik berpakaian hijau itu 

kembali berkata. 

"Kini kau tahu di mana kau berada, dengan siapa kau 

berhadapan! Kau sudah menyelidik tentang kami berarti 

kau sudah tahu adanya peraturan barang siapa yang 

injakkan kakinya di pulau ini akan menemui ajalnya! 

Sebelum kepalamu dipisahkan dengan badan aku ingin 

tanya, apa maksud kedatanganmu ke sini?!" 

"Dewi Maut aku selalu mengambil sikap persahabatan 

terhadap siapa saja juga terhadap kau...." 

"Jangan bicara semanis trengguli orang muda! Ingat 

bahwa kau telah membunuh salah seorang mata-mataku?" 

potong Dewi Maut 

"Aku tidak tahu kalau dia adalah mata-matamu. Yang 

aku tahu ialah bahwa dia telah membunuh nelayan tua 

yang tidak berdosa itu!" 

"Nelayan tua itu tidak berdosa katamu? Dia telah me-

langgar aturan, memberitahu tentang Pulau Mayat dan 

juga tentangku!" 

"Dan karena itu dia harus mati?" 

"Harus mati! Sebentar lagi kau juga akan menyusul!" 

jawab Dewi Maut. "Kau belum jawab apa maksud ke-

datanganmu yang sebenarnya ke sini!" 

Mahesa Kelud melangkah ke hadapan dinding kaca. 

Antara dia dan Dewi Maut hanya dipisahkan oleh dinding 

kaca itu saja dan dalam jarak sedekat itu Mahesa Kelud 

dapat melihat lebih jelas kecantikan yang dimiliki 

perempuan tersebut. Dewi Maut sendiri merasa berdebar 

hatinya disoroti pandangan demikian rupa. Seumur 

hidupnya baru hari itu dia berhadapan dengan seorang 

laki-laki berparas gagah dan bernyali besar macam Mahesa 

Kelud. Dia merasa bimbang apakah dia benar-benar tega 

untuk memisahkan kepala laki-laki itu dengan badannya? 

"Dewi Maut, kau pernah kenal dengan seorang tua sakti 

bernama Karang Sewu?" 

Terkejut Dewi Maut mendengar pertanyaan itu.


"Kenapa?" balas menanya dia. 

"Orang tua itu pernah menolongku ketika aku didekam 

dalam penjara batu oleh seorang musuh sakti. Ketika aku 

dilepaskannya, aku diberinya tugas untuk mencari dan 

membunuhmu! Aku tidak perduli permusuhan apa yang 

ada di antara kalian, namun hutang nyawaku kepadanya 

membuat dan memaksaku untuk melaksanakan tugas 

yang dibebankannya ke pundakku." 

"Jadi kau sengaja datang untuk membunuhku?!" 

"Aku tidak membunuh siapa-siapa, aku hanya akan men-

jalankan tugas, lain tidak! Di samping itu aku juga men-

dapat keterangan bahwa pedang sakti bernama Samber 

Nyawa berada di tanganmu. Apakah pedang yang ter-

gantung di pinggangmu saat itu senjata sakti tersebut?" 

"Orang muda, nyalimu untuk datang ke sini dan bicara 

demikian rupa terhadapku sungguh besar. Aku mau lihat 

sampai di mana tingginya ilmu yang kau andalkan!" 

Habis berkata demikian Dewi Maut bertepuk tiga kali. 

Terdengar suara halus seperti mendesir dan langit-langit 

ruangan tersebut membuka. Lima ekor macan tutul me-

lompat masuk. Kelimanya mengaum dan tanpa menunggu 

lebih lama menyerang Mahesa Kelud dari lima jurusan! 

Meski terkejutnya bukan main karena mendapat lawan 

tak terduga dan diserang demikian tiba-tibanya namun 

pendekar yang sudah banyak pengalaman ini tidak menjadi 

gugup. Dengan keluarkan bentakan keras yang meng-

getarkan dinding serta langit-langit ruangan itu, Mahesa 

Kelud gerakkan tangan dan kakinya. Auman keras me-

mecah di ruangan itu. Tiga ekor macan tutul yang 

menyerang mencelat mental dengan kepala hancur. Dua 

lainnya terguling ke dinding, segera menyerang Mahesa 

dengan lebih garang. Tapi kalau tadi berlima binatang 

tersebut tidak sanggup menggoreskan sebars luka pun di 

tubuh mangsa mereka maka apalagi tinggal berdua! 

Macan tutul yang datang dari sebelah kanan di-

sudahinya dengan satu tendangan berisi aji "batu karang". 

Dengan rundukkan tubuh sedikit Mahesa berhasil mengelakkan cengkeraman macan kelima. Begitu tubuh 

binatang tersebut lewat di atasnya Mahesa Kelud ulurkan 

tangan kanan dan menangkap ekor binatang tersebut. 

Macan tutul coba membalik untuk menyerang namun 

dengan sigap Mahesa memutar tubuh binatang itu seperti 

sebuah titiran di udara untuk kemudian dilemparkannya ke 

arah dinding kaca di belakang mana Dewi Maut berdiri! 

Kepala macan tutul menghantam dinding kaca dengan 

keras dan pecah. Binatang itu melosoh ke lantai ruangan. 

Anehnya dinding kaca sama sekali tidak apa-apa! Di 

belakang dinding itu kelihatan Dewi Maut berdiri tolak 

pinggang pelototkan mata. Apa yang dilihatnya di depan 

matanya tadi sungguh membuat hatinya diam-diam 

mengagumi laki-laki itu. Lima ekor macan tutul peliharaan-

nya dapat dihadapi dengan digdaya hanya dengan mem-

pergunakan tinju dan tendangan! Dengan tangan kosong! 

"Mahesa Kelud, ilmumu memang tidak dangkal! Tak 

salah kalau kau begitu bernyali untuk datang ke sini...." 

"Dewi Maut," memotong Mahesa. Seperti tadi dia berdiri 

dekat-dekat di muka kaca. "Keluarkan aku dari ruangan ini, 

kalau tidak aku akan cari jalan sendiri dan obrak-abrik 

tempatmu!" 

Dewi Maut keluarkan suara tertawa bergelak. "Itulah 

buruknya sifat manusia! Bila dipuji merasa bahwa dirinya 

sudah bisa berbuat apa saja seenak perutnya! Berani 

menantang! Aku ingin lihat apakah kau bisa menghadapi 

pisau-pisau terbangku!" 

Dewi Maut bertepuk lagi tiga kali. Lantai yang dipijak 

Mahesa Kelud amblas ke bawah dan tubuhnya jatuh ke 

satu ruangan baru. Ruangan ini bercat merah dan pada 

setiap dinding serta langit-langit terdapat dua puluh buah 

lobang. Ketika dia memandang ke bawah maka ternyata 

lantai yang diinjaknya terbuat dari kaca dan di bawah sana 

dilihatnya Dewi Maut dikelilingi oleh dua belas orang gadis 

cantik yang semuanya berpakaian biru! 

"Dewi Maut, pertunjukkan apa yang kau bakal per-

lihatkan padaku?!" tanya Mahesa Kelud.


"Orang muda, bukan kami yang bakal perlihatkan 

pertunjukkan, tapi kau! Kau lihat seratus lobang pada 

dinding dan langit-langit ruangan di mana kau berada?!" 

Mahesa berpikir-pikir apakah arti lobang-lobang ter-

sebut. 

Kemudian terdengar suara Dewi Maut kembali. "Di 

dalam setiap lobang terdapat sebuah pisau terbang 

beracun! Jangankan tertusuk, tergores sedikit saja sudah 

dapat membuat seseorang mati dalam beberapa kejap 

mata. Dekat kakiku saat ini ada sebuah tombol yang jika 

kutekan maka seratus pisau terbang beracun akan 

menyerangmu dengan sebat! Bila kau sanggup hadapi 

seratus pisau itu nyawamu akan selamat dan kau akan 

dapat satu ujian lagi. Bila kau tidak sanggup, tubuhmu 

akan lumat oleh pisau-pisau tersebut! Silahkan cari tempat 

berdiri yang baik dan jika kau punya senjata, silahkan 

memakainya!" 

Berdiri bulu tengkuk Mahesa mendengar kata-kata Dewi 

Maut itu. Racun dari pisau baginya bukan apa-apa karena 

saat itu dia masih memiliki dua senjata ampuh sakti yang 

sanggup menolak racun jahat yaitu Pedang Dewa dan Keris 

Ular Emas. Tapi untuk menghadapi diri dari sambaran 

seratus pisau yang datang menyerang sekaligus, sanggup-

kah dia?! 

Dewi Maut mendekatkan ibu jari kaki kanannya ke 

tombol di atas lantai. Di bibirnya yang mungil segar itu 

membayang sekuntum senyum, senyum maut! Sudah 

belasan tokoh-tokoh persilatan yang terkenal dan lebih 

berumur serta berpengalaman dari Mahesa Kelud me-

nemui ajalnya dalam ruangan pembantaian kedua ini 

setelah sebelumnya mereka rata-rata dibikin babak belur 

dalam ruang pembantaian pertama. Dua belas orang 

pembantu-pembantu Dewi Maut sudah dapat memastikan 

bahwa Mahesa Kelud akan menemui ajalnya dalam ruang 

kedua ini meski tadi sebelumnya dia telah unjuk gigi mem-

binasakan kelima ekor macan tutul di ruang pertama! 

"Kau sudah siap, Mahesa Kelud?" tanya Dewi Maut yang sejak tadi bicara dengan mengerahkan tanaga dalamnya. 

Mahesa tak menjawab. Tenaga dalamnya dipusatkan 

pada kedua kakinya. Aliran aji batu karang serta api salju 

disalurkannya pula pada kedua kaki itu. Dia melompat ke 

atas beberapa tombak dan turun kembali dengan 

menendangkan kedua kakinya ke lantai kaca. Seperti 

diamuk gempa, ruangan tersebut ber-goncang keras. 

Namun demikian lantai kaca itu tidak rusak sedikit pun! 

Mahesa Kelud keluarkan keringat dingin. Dari bahan 

apakah kiranya lantai serta dinding-dinding ruangan itu 

dibuat sehingga atos demikian rupa? 

Di bawah didengarnya suara Dewi Maut tertawa. Waktu 

ruangan di mana Mahesa berada bergoncang keras maka 

ruangan tempat Dewi Maut dan pembantu-pembantunya 

juga turut bergoncang sehingga gadis-gadis berhati jahat 

itu berpelantingan kian kemari. 

"Keluarkan segala aji kesaktian yang kau miliki, Mahesa. 

Lapatkan mantera-mantera yang kau punya! Sampai 

kiamat dinding ataupun langit-langit ataupun lantai 

ruangan itu tidak akan dapat kau bikin bobol!" 

Mahesa Kelud menggigit bibir. 

"Kau sudah siap Mahesa?!" terdengar lagi suara Dewi 

Maut bertanya. Untuk beberapa detik lamanya Mahesa 

Kelud tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Bukan dia 

ingin membanggakan diri, tapi segala ilmu yang dimilikinya 

bukanlah rendah, dipelajarinya dengan susah payah 

bahkan dengan menyambung nyawa. Tapi hari ini, meng-

hadapi dinding-dinding dan langit-langit serta lantai 

ruangan bisu itu dia tidak punya daya! Benar sekali bahwa 

di luar langit akan ada langit lagi! Akhirnya laki-laki muda 

ini berkata dalam hatinya... jika aku harus mati di tangan 

Dewi Maut aku tak akan mati percuma... nyawaku demi 

tugas guru-guruku tercinta.... 

Mahesa berdiam diri sambil tangannya meraba 

sesuatu.... 

***


DUA


MAHESA KELUD melangkah ke tengah ruangan. Dari balik 

punggung dikeluarkannya pedang sakti. Sinar merah 

memantul di setiap segi ruangan. Kedua kakinya me-

renggang yang satu agak ke depan. Tubuhnya mem-

bungkuk sedikit dan kepalanya agak ditundukkan. Di 

bawahnya terlihat Dewi Maut mengangsurkan kaki kanan 

ke muka. Pada detik yang sama Mahesa Kelud membuat 

satu lompatan penuh sedang pedang merah di tangannya 

menderu sederas topan! Gulungan sinar merah mem-

bungkus tubuh laki-laki itu dari kepala sampai ke kaki. 

Mahesa Kelud melindungi diri dengan mengeluarkan jurus 

pertahanan terhebat dari ilmu Pedang Dewa Delapan 

Penjuru Angin yakni jurus yang dinamakan "bendungan 

baja lawan seribu angin seribu gelombang". Jurus ini 

sebenarnya dilakukan tanpa melompat. Namun Mahesa 

khawatir kalau-kalau beberapa pisau terbang yang 

menyerang kaki tak sanggup dielakkannya. Karena jurus 

tersebut digabungkannya dengan jurus yang dinamai 

"menembus ombak membelah gelombang"! 

"Trang... trang... trang... trang..." terdengar suara riuh 

berisik dalam ruangan itu. Puluhan pisau-pisau terbang 

beracun mental kena sambaran samping atau belakang 

pedang, tidak sedikit pula yang patah dua atau sumpung 

dibabat bagian tajam pedang merah di tangan Mahesa 

Kelud. Kira-kira selusin senjata maut itu berhasil dielakkan 

oleh pendekar tersebut. Namun betapa pun lihainya 

Mahesa Kelud, tidak keseluruhan pisau-pisau beracun itu 

dapat dihindarkan atau ditangkisnya! 

Tiga buah pisau menyambar merobek pakaiannya. Satu 

menggores betis kanan sedang satu lagi menggores 

pinggulnya! 

Sementara itu di ruang bawah, tiga belas pasang mata,


termasuk mata Dewi Maut melotot besar dan saling be-

rpandangan. Beberapa di antara anak buah Dewi Maut 

leletkan lidah di ujung bibir, yang lainnya geleng-gelengkan 

kepala. 

"Dewi," kata Tujuh Biru. "Laki-laki muda itu pasti bukan 

manusia biasa! Sekurang-kurangnya dia pasti turunan 

Dewa-dewa juga adanya!" 

"Betul Dewi," menyambung Sebelas Biru. "Sebelum dia, 

sudah belasan tokoh-tokoh silat tingkat utama menemui 

ajalnya!" 

Dewi Maut tengadahkan mukanya ke atas. Meski hati 

kecilnya tambah mengagumi kehebatan Mahesa namun di 

mulutnya dia berkata dengan membentak, "Jangan men-

celoteh yang tidak-tidak! Aku lihat beberapa buah pisau 

merobek pakaiannya dan dua lainnya melukai dia punya 

tubuh! Dalam waktu singkat racun pisau pasti akan 

mengalir dalam darahnya dan menghancurkan jantungnya! 

Lihat saja, berdirinya pun sudah tidak benar!" 

Anak-anak buah Dewi Maut memandang ke atas. Saat 

itu Mahesa berdiri tersandar ke dinding sebelah kanan. 

Tubuhnya dirangsang hawa panas akibat goresan luka-luka 

pada betis dan pinggul. Tonggorokan seperti tercekik 

sedang tubuh mandi keringat. Dikerahkannya tenaga 

dalamnya untuk memusnahkan aliran racun yang merayapi 

tubuh. Pedang merah di tangan kanannya turut membantu 

menghancurkan racun jahat tersebut. Namun racun yang 

mengalir di darah Mahesa Kelud saat itu luar biasa 

hebatnya, padahal di dalam tubuh pendekar itu sudah ber-

padu hawa sakti "Api-Salju". Mahesa menotok urat-urat 

peredaran darah di beberapa tempat. Ini menolongnya 

sedikit. Racun Jahat terhenti tak dapat terus mengalir ke 

jantung. Tapi pada bagian di mana racun tersebut ter-

bendung Mahesa Kelud merasakan sakit yang amat 

sangat! 

Mahesa sadar bahwa jika hanya mengandalkan tenaga 

dalam dan aliran sakti "Api-Salju" serta bantuan pedang 

merah sakti dia tak akan dapat mempertahankan diri.


Kelak urat-urat aliran darahnya akan pecah, jaringan 

tubuhnya akan musnah! Karenanya dengan tangan kiri 

pendekar ini segera cabut Keris Ular Emas yang tersisip di 

pinggangnya. Sinar kuning menerangi ruangan tersebut 

bahkan merembes ke ruangan bawah, menyilaukan mata 

Dewi Maut dan para pembantunya! Dan juga mengejutkan 

mereka! 

"Dewi," seru Delapan Biru. "Kalau aku tak salah, keris itu 

adalah Keris Ular Emas! Senjata ampuh milik Dewi Ular di 

barat!" 

"Betul sekali," sahut Sembilan Biru. "Dulu Dewi pernah 

menyuruh kita untuk mencari senjata itu. Selama berbulan-

bulan kita pergi kembali dengan berhampa tangan!" 

Dewi Maut katupkan bibirnya rapat-rapat. 

"Dewi," kata Empat Biru. "Keris itu sanggup meretas 

lantai kaca. Sebaiknya kita bunuh manusia itu sebelum dia 

bikin kita susah!" 

Dewi Maut masih katupkan mulut. Dia tak habis pikir 

bagaimana dan dari mana pendekar muda itu dapatkan 

Keris Ular Emas. Sejak tadi sebenarnya dia sudah kagumi 

pedang merah di tangan Mahesa dan kini ditambah lagi 

dengan keris tersebut! 

"Dewi, sebaiknya...." 

"Diamlah kalian!" bentak Dewi Maut dengan gusar 

karena saat itu dia tengah meneliti keadaan korbannya 

dan diganggu terus menerus oleh ucapan-ucapan anak-

anak buahnya. 

Mahesa Kelud membungkuk. Badan dari Keris Ular 

Emas ditempelkannya pada luka kena pisau di betisnya. 

Dari senjata sakti itu terasa satu hawa sedotan yang keras. 

Darah hitam bercampur racun pisau terbang meleleh dan 

pada detik itu juga rasa sakitnya lenyap! Mahesa 

menempelkan pula Keris Ular Emas tersebut di luka pada 

daging pinggul dan hal yang sama terjadi. Malahan kini 

tubuhnya terasa lebih segar dari sebelumnya! 

"Celaka Dewi," seru Empat Biru. "Laki-laki itu berhasil 

selamatkan nyawanya dengan senjata sakti tersebut. Kalau


saja senjata itu...." 

"Tutup mulutmu, Empat Biru!" hardik Dewi Maut. Empat 

Biru diam, tak berani teruskan ucapannya. "Mahesa Kelud! 

Masih satu ruang ujian harus kau lewati! Kali ini jangan 

harap nyawamu akan selamat! Kalaupun selamat jangan 

sangka bahwa kau akan dapat tinggalkan Pulauku hidup-

hidup!" 

Habis berkata demikian Dewi Maut menarik seutas tali 

yang tergantung di dekat kepalanya. Ruangan di mana 

Mahesa Kelud berada menjadi gelap gulita. Dan seperti 

sebuah kotak yang dimainkan oleh anak-anak, demikianlah 

ruangan itu membalik. Tubuh Mahesa terpelanting kian 

kemari. Kemudian satu hembusan angin keras dan dingin 

bertiup dari samping kanan. Bagaimanapun Mahesa Kelud 

mempertahankan diri namun tubuhnya tetap terseret 

bergelindingan. Dikeluarkannya kembali Keris Ular Emas. 

Sinar kuning terang yang keluar dari senjata mustika itu 

membuat Mahesa tahu apa yang terjadi atas dirinya. Dia 

bergulingan di dalam sebuah terowongan yang menurun 

sedang di belakangnya menghembus angin dingin tajam. 

"Buk!" Akhirnya tubuh laki-laki itu terhempas ke atas 

lantai keras. Kepalanya terasa pening. Dia berdiri cepat-

cepat dan atur jalan nafas serta peredaran darahnya. Sinar 

lembayung tiba-tiba merembas dari sudut atas ruangan 

sebelah kiri, sedikit demi sedikit ruangan itu menjadi 

terang dan Mahesa terkejut ketika dia menyadari bahwa 

ternyata dia tidak sendirian dalam ruangan tersebut! Di 

setiap sudut ruangan terdapat satu makhluk mengerikan. 

Makhluk ini tubuhnya seperti manusia tapi tanpa kepala! 

Setiap makhluk hanya mengenakan cawat, tubuh masing-

masing rata-rata kekar dan berbulu mulai dari pergelangan 

kaki sampai ke dada! Apa yang mengerikan ialah dari leher 

makhluk-makhluk ini senantiasa membuih dan mengucur 

darah kental merah berbau amis! Lantai ruangan ter-

genang oleh darah yang mengucur dari keempat leher itu! 

Masing-masing makhluk tanpa kepala menggenggam 

sebilah pedang hitam.


Mahesa tabahkan hatinya. Pedang pemberian gurunya 

Suara Tanpa Rupa dikeluarkan kembali dan ketika dia 

memandang ke atas ruangan ternyata Dewi Maut sudah 

berada di atasnya bersama dengan selusin anak buahnya! 

"Empat leher buntung! Laksanakan tugas kalian!" ber-

seru Dewi Maut. 

Empat bilah pedang hitam terangkat ke atas dan empat 

pasang kaki dilangkahkan ke satu jurusan di tengah 

ruangan, di mana Mahesa Kelud berada. Pendekar itu 

tidak tahu sampai di mana kehebatan makhluk-makhluk 

tanpa kepala yang bakal menyerangnya itu dan sampai di 

mana keampuhan pedang-pedang hitam di tangan mereka! 

Sementara keempat makhluk ini melangkah mendekatinya 

Mahesa Kelud memutuskan untuk menyerang lebih dahulu 

sebelum dirinya dikeroyok! 

Pedang merah di tangan kanan segera diputar hebat. 

Mahesa Kelud menerjang menyerang makhluk kepala 

buntung. Dan seperti manusia biasa yang berkepala serta 

bermata, anehnya makhluk tersebut segera bergerak ke 

samping, putar pedang hitam dan mengelak untuk 

kemudian kirimkan satu tusukan mematikan ke dada 

Mahesa Kelud. Pendekar kita terpaksa jungkir balik guna 

mengelakkan serangan tersebut. Kaki kirinya bergeser, 

tendangan mengandung aji "batu karang" melesat ke 

bawah selangkangan makhluk tersebut! Tapi lagi-lagi 

Mahesa Kelud dibikin terkesiap karena bukan saja 

serangannya itu dapat dielakkan bahkan makhluk yang 

diserangnya balas lancarkan serangan dan jika saja dia 

tidak cepat tarik pulang kakinya pastilah kaki kiri itu 

terpapas buntung oleh sambaran pedang hitam si makhluk 

tanpa kepala! 

Satu makhluk saja sudah demikian hebatnya. Apalagi 

bila keempat makhluk-makhluk itu menyerang sekaligus! 

Mahesa pegang pedang merahnya erat-erat. Tubuhnya 

dingin oleh basahan keringat. Makhluk pertama yang tadi 

diserangnya sudah balikkan tubuh dan bersama tiga 

kawan-kawannya segera melangkah dekati Mahesa. Darah


masih terus juga mengucur dari leher-leher mereka yang 

buntung, membasahi lantai ruangan dan tingginya sudah 

sampai setapak kaki! Bila saja Mahesa Kelud tidak 

memiliki ilmu mengentengi tubuh yang tinggi, pastilah 

setiap gerakan yang dibuatnya akan menyebabkan dirinya 

terpelanting karena licin. Di samping itu bau amisnya darah 

semakin menjadi-jadi merasuk jalan pernapasan! 

"Empat leher buntung! Ayo serang!" terdengar suara 

Dewi Maut dari ruangan atas. 

Mendengar itu maka makhluk yang di depan sekali tiba-

tiba jatuhkan diri ke lantai. Darah memercik ke atas 

tertimpa tubuhnya. 

Makhluk ini berguling cepat sekali ke arah Mahesa dan 

memapaskan pedang hitamnya ke kaki pendekar itu! 

Di saat yang sama makhluk kedua bungkukkan tubuh 

dan tusukkan pedangnya ke perut Mahesa. Makhluk ketiga 

menyambar dari samping kiri dan yang terakhir dari 

samping kanan! Empat pedang maut memapas, menusuk 

dan menyambar pada satu sasaran yaitu tubuh Mahesa 

Kelud! 

Mahesa Kelud keluarkan bentakan keras disertai aliran 

tenaga dalam! Ruangan itu bergetar, genangan darah di 

lantai menggelombang! Bentakan yang keras ini mem-

pengaruhi sedikit serangan ke empat makhluk buntung itu. 

Mahesa melompat ke atas. Serangan lawan yang berguling 

lewat di bawah kakinya dan serentak dengan itu untuk 

kedua kalinya Mahesa Kelud keluarkan jurus pertahanan 

yang hebat dari ilmu Dewa Pedang Delapan Penjuru Angin. 

"Trang... trang... trang!" Tiga kali senjata sakti di tangan 

Mahesa Kelud beradu di udara dan tiga kali pula bunga api 

memijar. 

Ketika Mahesa Kelud mencari posisi baru setelah ber-

hasil menghadapi empat serangan maut tadi maka di-

ketahuinyalah bahwa salah satu dari senjata lawan telah 

dibikin mental oleh pedang merah. Ini menambah 

semangat pendekar itu. Dibukanya serangan dengan 

mengeluarkan jurus "seribu dewa mengamuk". Gelombang


angin dahsyat bersiuran keluar dari pedang merah. Dengan 

putar pedang di muka dada masing-masing makhluk coba 

lindungi diri sementara yang tidak bersenjata berdiri 

mematung di sudut kanan ruangan. 

Begitu sambaran pedang melesat ke arah mereka, 

makhluk kepala buntung memencar berpindah tempat 

sangat jauh sekali, didahului dengan lambaian tangan kiri 

yang mengeluarkan angin berbau amis ketiganya 

kemudian menyerang dengan serempak. Lambaian angin 

keras ditangkis oleh Mahesa dengan gerakan tangan kiri 

yang mengandung tenaga dalam tinggi. Seperti seekor 

burung rajawali pendekar itu kemudian melompat dua 

tombak ke atas untuk seterusnya menukik dan mem-

babatkan pedangnya ke arah dada tiga makhluk ber-

senjata. Tapi dengan sebat tiga makhluk ini mengelak! 

Dengan penasaran Mahesa Kelud arahkan pedangnya 

pada makhluk ke empat yang bertangan kosong! Diserang 

tiba-tiba, yang satu ini jadi gugup. Meski dia coba mengelak 

namun dadanya tak urung masih tersambar ujung pedang 

merah sakti. Makhluk itu mengeluarkan pekik yang 

mengerikan, yang tak pernah didengar Mahesa Kelud 

sebelumnya! Tubuhnya terhampar ke sudut, darah kental 

dan bau amis mengucur dari dadanya yang terluka. 

Kucuran darah ini tiada kunjung henti sehingga Mahesa 

Kelud tak dapat memastikan apakah makhluk tersebut 

sudah mati atau tidak! 

Tak disadari lagi saat itu mereka sudah bertempur lebih 

dari dua puluh jurus! Dan tak disadari pula genangan darah 

di lantai ruangan sudah melewati betis! Pakaian putih-putih 

yang dipakai Mahesa hampir keseluruhannya sudah 

menjadi merah oleh percikan darah. Di tingkat atas, Dewi 

Maut memperhatikan apa yang terjadi di bawahnya dengan 

mengunci mulut. 

Sembilan Biru diam-diam mendekati kawannya Sepuluh 

Biru. 

"Ssst..." bisiknya perlahan sekali agar tak kedengaran 

oleh yang lain-lain.


Sepuluh Biru berpaling. 

"Menurutmu, sanggupkah laki-laki itu merobohkan Tiga 

Leher Buntung?" 

"Aku tak bisa memastikan. Tapi dia memang hebat 

sekali!" jawab Sepuluh Biru. Kemudian katanya, "Kalaupun 

dia sanggup merobohkan Tiga Leher Buntung, dia tetap tak 

dapat selamatkan diri dari ruangan tersebut! Dia akan mati 

tenggelam di genangan darah!" 

"Tapi dia bisa pergunakan Keris Ular Emasnya untuk 

membobolkan lantai kaca yang kita pijak ini!" 

"Itu kalau dia tahu mempergunakan senjata tersebut. 

Kau saksikan sendiri, dalam dua ruangan tadi sama sekali 

hal itu tidak dilakukannya!" 

"Bagaimana kalau nanti dia melakukan hal tersebut dan 

berhasil keluar..." tanya Sembilan Biru. 

"Kurasa tidak sukar bagi Dewi untuk memisahkan 

badannya dengan kepala!" Sembilan Biru terdiam. 

Kawannya melirik. "Kenapa kau diam kini heh?!" 

"Oh tak apa-apa," jawab Sembilan Biru dan matanya 

ditujukan ke bawah namun dia tak dapat menyembunyikan 

perubahan parasnya. 

"Kau seperti orang yang sedih. Ada apa, Sembilan Biru?" 

"Aku sudah bilang tak apa-apa." 

"Hem... aku tahu," ujar Sepuluh Biru pula. 

"Tahu apa?" 

"Kau kasihan kalau pemuda itu sampai menemui 

ajalnya!" 

"Perlu apa aku kasihan sama dia?" tukas Sembilan Biru 

dengan berusaha menyembunyikan getaran batinnya 

karena apa yang dikatakan Sepuluh Biru memang benar 

adanya! 

"Kau kasihan karena dia berilmu tinggi dan juga punya 

paras gagah!" 

Air muka Sembilan Biru menjadi merah. 

"Kau tertarik padanya, ya?" 

Sembilan Biru diam. 

"Kau naksir?!"


"Sudahlah!" 

Sepuluh Biru tertawa geli dan menutup mulutnya. "Tapi 

kau tak akan berhasil memiliki dia, Sembilan Biru," 

memancing Sepuluh Biru. 

"Siapa bilang aku inginkan dia?" 

"Kau memang tidak bilang, tapi aku tahu," jawab 

Sepuluh Biru. 

"Kau hanya mengada-ada. Mungkin sebenarnya kau 

sendiri yang tertarik padanya." 

"Ah, kalau kau memang suka padanya, aku tak akan 

khianati kawan. Tapi percayalah, kau tak bakal dapatkan 

pemuda itu." 

Sembilan Biru diam kembali. Lalu akhirnya dia ajukan 

juga pertanyaan. "Kau begitu yakin akan kata-katamu, 

Sepuluh Biru!" 

"Tentu saja. Jika dia bisa keluar dari ruangan maut itu, 

mungkin Dewi yang langsung turun tangan membunuhnya 

atau kalau tidak Dewi menyuruh kita mencincangnya! Dan 

kalau dia punya nasib baik, Dewi akan ambil dia sebagai 

hamba sahayanya! Sebagai pengawal pribadinya! Kau 

dengar itu? Pengawal pribadi dan mungkin lebih dari itu! 

Kau tahu, aku perhatikan pemimpin kita waktu pertama 

kali dia melihat pemuda itu. Ada sesuatu yang tak biasanya 

kulihat pada sepasang mata Dewi. Mata itu memancarkan 

sinar aneh setiap kali ditujukan pada si pemuda. Dan kau 

tahu sinar aneh macam apa? Sinar gairah... sinar cinta... 

sinar rindu asmara...." 

"Sudahlah, aku tak ingin bicara tentang dia lebih lanjut," 

potong Sembilan Biru. 

"Kau cemburu, ya?" 

Sembilan Biru pelototkan matanya. Sepuluh Biru 

senyum-senyum dan buru-buru menjauhi kawannya itu 

sebelum cubitan Sembilan Biru menggelumit di pahanya 

yang mulus! 

***


TIGA


GENANGAN darah amis sudah mencapai pangkal paha! 

Makhluk kepala buntung yang tersandar di sudut sudah tak 

kelihatan lagi, tertutup oleh cairan tersebut. Meski 

demikian dari leher serta bekas luka di dadanya masih 

terus mengucur darah kental! 

Bertempur dengan cairan kental lengket sebatas 

pinggang merupakan pengalaman baru bagi Mahesa 

Kelud. Karenanya setiap gerakan ataupun langkah yang 

dibuatnya diperhitungkan masak-masak. Pedang merahnya 

sambar-menyambar kian kemari dengan mengeluarkan 

suara berdengung! Kepala buntung tampaknya mulai repot. 

Saat itu pertempuran sudah lebih dari lima puluh jurus! 

Pada jurus lima puluh lima ujung pedang sakti di tangan 

Mahesa berhasil membabat pinggang salah satu makhluk 

tanpa kepala. Seperti kawannya yang tadi makhluk ini 

memekik setinggi langit menggidikkan. Darah menyembur 

dari pinggang dan perutnya yang robek. Tubuhnya 

perlahan-lahan tenggelam dalam cairan merah amis! 

Menghadapi dua lawan kini terasa lebih entengan bagi 

Mahesa. Ketika di dalam cairan darah kakinya menyusup 

tak kelihatan mengirimkan tendangan ke selangkangan 

salah satu lawannya, maka meskipun Mahesa berhasil 

membuat makhluk tersebut konyol menyusul kawan-

kawannya namun makhluk yang keempat berhasil pula 

menusukkan ujung pedang hitamnya di bahu kanan 

Mahesa. Pemuda ini hampir saja lepaskan pedang merah 

dari tangannya karena sakit yang bukan alang kepalang! 

Dia harus tangkis satu bacokan dahsyat ketika me-

ndadak kepalanya terasa pusing, pemandangannya ber-

kunang-kunang sedang tubuhnya panas dingin! Ini adalah 

akibat racun pedang hitam lawannya! Cepat-cepat murid 

Embah Jagatnata itu keluarkan Keris Ular Emas lalu 

tempelkan bagian badan dari senjata sakti ini ke bahu


kanannya yang terluka. Keris mustika segera sedot racun 

pedang dari tubuh Mahesa. Darah hitam mengucur keluar 

dan sesaat kemudian keadaan tubuh pemuda itu kembali 

seperti sedia kala. 

Genangan darah mencapai dada kini. Dalam cairan yang 

kental dan liat itu tidak mudah untuk membuat gerakan-

gerakan, apalagi gerakan-gerakan pertempuran. Mahesa 

sendiri tidak bisa bergerak leluasa. Sebenarnya bukan 

tidak bisa tapi khawatir. Dia tak berani bergerak ke jurusan 

mana tiga makhluk lainnya tadi tenggelam karena dia 

khawatir bilamana makhluk-makhluk itu masih hldup dan 

menarik kaki atau pinggangnya selagi dia hadapi makhluk 

terakhir. 

Makhluk tanpa kepala yang satu ini agaknya paling 

tinggi kepandaiannya dari kawan-kawannya yang sudah 

konyol. Empat jurus di muka baru Mahesa berhasil 

merobohkan lawannya dan saat itu genangan darah sudah 

sampai ke lehernya! 

Mahesa memandang ke atas. Jarak antara kepalanya 

dengan langit-langit kaca ruangan terpisah lima tombak. 

Meski cukup jauh namun lambat laun dan pasti genangan 

darah akan naik terus sampai ke atas! Dia akan mati 

tenggelam dalam genangan darah itu! 

"Dewi Maut! Keluarkan aku dari sini!" teriak Mahesa. 

"Ha... ha... jangan merengek macam anak kecil!" 

"Kau perempuan Iblis!" maki Mahesa. 

Dimarahi demikian Dewi Maut hanya tertawa merdu. 

Mahesa semakin geram. Dia melompat ke atas dan 

tusukkan pedang merahnya ke langit-langit kaca! Langit itu 

bergetar tapi jangankan bobol, sumbing sedikit pun tidak! 

Mahesa tusukkan pula pedangnya ke dinding, namun tetap 

sia-sia. Dicobanya membobolkan langit-langit kaca dengan 

pukulan Batu Karang serta Api Salju. Ruangan itu ber-

goncang keras namun langit-langit kaca tetap utuh! 

Genangan darah mencapai dagu, terus naik ke mulut. 

Mahesa kini pergunakan ilmu mengentengi tubuh untuk 

apungkan diri di atas genangan darah. Tapi sampai berapa


lama dia bisa bertahan dengan ilmu tersebut? Bila cairan 

darah amis sudah mencapai langit-langit kaca... pastilah 

dia akan kehabisan napas, tenggelam dan mati! 

"Mahesa Kelud, ajalmu audah di depan mata!" kata 

Dewi Maut dengan keluarkan suara tertawa mengejek. 

"Perempuan Iblis, keluarkan aku dari sini!" 

"Heh, jika aku keluarkan kau, kau mau buat apa?" 

"Memuntir batang lehermu!" 

"Oh, kalau begitu biarlah kau tetap di dalam ruang 

kematian itu!" 

"Keparat kau!" maki Mahesa. 

Tiba-tiba Mahesa ingat. Dia berenang dalam cairan 

darah dan menggapai-gapai dengan kedua kakinya. Kaki 

kiri menyentuh makhluk pertama yang tadi dirobohkannya. 

Ditariknya makhluk ini ke atas dan ditotoknya pada lima 

bagian tubuhnya. Dia berhasil. Darah yang mengucur dari 

leher dan dada dengan serta merta berhenti! Dengan 

susah payah Mahesa Kelud kemudian berhasil pula 

menotok tubuh tiga makhluk tanpa kepala lainnya satu 

demi satu! Kini tak ada lagi darah yang mengucur dan 

berarti genangan darah dalam ruangan maut itu akan 

tetapi dalam tinggi yang sama. Mahesa merasa lega 

sedikit. Dengan andalkan llmu mengentengi tubuhnya yang 

tinggi dia bisa mengapungkan diri dalam genangan darah. 

Namun kemudian diingatnya pula, sampai berapa lama dia 

bisa bertahan dalam ruangan maut tersebut? Bau amisnya 

darah sangat menusuk rongga hidung dan jalan per-

napasan. Hal ini lambat laun akan merusak paru-parunya 

sehingga akhirnya paru-paru itu tak sanggup lagi me-

mompa dan menghisap udara segar! Dengan andalkan 

tenaga dalamnya yang tinggi mungkin Mahesa masih 

sanggup selamatkan paru-parunya dari kerusakan. 

Tapi meski demikian tetap saja dia tak akan bisa tinggal 

selama-lamanya mendekam dalam ruangan tersebut. 

Suatu ketika, bila sudah tiba saatnya, pasti teng-

gorokannya akan haus mengering dan dia tentu saja tak 

bisa meminum cairan darah amis di sekitarnya untuk


pelepas haus! Suatu saat perutnya akan perih merintih 

minta diisi dan mungkinkah baginya untuk menyumpal 

perut tersebut dengan memamah tubuh-tubuh makhluk 

tanpa kepala?! 

Mahesa Kelud memandang ke atas dan berseru, "Dewi 

Maut, kau betul-betul tak mau keluarkan aku dari ruangan 

ini?!" 

Sang Dewi tertawa meninggi. "Kenapa berteriak-teriak 

macam anak kecil?!" ejeknya. "Kau orang sakti, punya ilmu 

tinggi dan punya otak cerdik! Gunakan semua itu untuk 

selamatkan diri keluar dari ruangan maut! Kalau tak bisa, 

mungkin sudah takdirmu harus mampus!" 

"Jika aku berhasil keluar nanti maka rasakan pem-

balasanku!" 

"Ah, cakapmu macam anak kecil kalah bertinju!" meng-

ejek lagi Dewi Maut, membuat Mahesa Kelud jadi semakin 

panas hatinya. 

Ruangan berisi udara yang sangat sedikit di sekitar 

kepala Mahesa Kelud, di atas permukaan cairan darah, 

lambat laun membuat napas laki-laki itu menjadi megap 

dan dia mulai batuk-batuk! Kening dan seluruh mukanya 

sudah basah oleh butiran-butiran keringat. Di atasnya Dewi 

Maut beserta pembantu-pembantunya memperhatikan 

setiap gerak-geriknya dengan seksama. Meskipun Sang 

Dewi senantiasa menyunggingkan senyum mengejek 

namun di hati kecilnya dia tetap cemas kalau-kalau 

Mahesa keluarkan Keris Ular Emasnya dan mem-

pergunakan senjata tersebut untuk membobolkan lantai 

kaca yang dipijaknya! 

Dan Dewi Maut benar-benar jadi kaget sekali ketika 

dilihatnya Mahesa mencabut Keris Ular Emas dari sarung-

nya. Sinar kuning merembas ke pelbagai penjuru dan 

memantul di tubuhnya serta tubuh anak-anak buahnya. 

Masing-masing mereka merasakan hawa yang sejuk tapi 

menggidikkan dari sinar senjata tersebut. 

"Celaka Dewi," bisik Empat Biru. "Sekali saja senjata itu 

dipakai untuk menusuk lantai kaca ini, pasti akan hancur


berantakan...." 

Dewi Maut mengangguk. Dia memberi isyarat pada 

anak-anak buahnya. "Tinggalkan tempat ini dan tunggu aku 

di Pedataran Pemancungan! Semuanya siap dengan 

pedang di tangan!" 

***


EMPAT


DUA belas gadis-gadis baju biru itu mengangguk. Mereka 

menjura lebih dahulu lalu meninggalkan tempat tersebut 

dengan cepat. Dewi Maut berlalu paling akhir sekali. 

Mahesa Kelud mencabut Keris Ular Emas bukanlah 

bermaksud untuk menusukkan senjata itu ke langit-langit 

kaca di atasnya. Dia berpikiran bila Keris mustika itu 

sanggup menyedot racun yang mengalir dalam darah, 

mungkin pula senjata ini dapat menyedot habis genangan 

darah di ruangan tersebut. Kemudian mungkin Mahesa 

Kelud bisa mencari lobang-lobang atau pintu-pintu rahasia 

yang akan membawa dia keluar dari ruangan maut itu. Dia 

jadi terheran ketika melihat Dewi Maut serta anak-anak 

buahnya tampak gelisah dan saling bisik ketika Keris Ular 

Emas berada dalam tangannya. Ini membuat pendekar itu 

jadi berpikir lama dan akhirnya, ketika Dewi Maut 

dilihatnya meninggalkan tempat itu bersama anak-anak 

buahnya, tanpa ragu-ragu Mahesa lompatkan diri ke atas. 

Keris Ular Emas di tangan kanannya ditusukkan ke langit-

langit kaca! 

"Brang!" 

Langit-langit kaca yang selama ini atos terhadap 

pukulan-pukulan sakti Mahesa Kelud bahkan tiada 

sanggup ditembus oleh Pedang Dewa pemberian Suara 

Tanpa Rupa kini hancur berantakan berkeping-keping. 

Untuk membuat mental pecahan-pecahan kaca yang 

jatuh dari atas ruangan itu Mahesa Kelud lambaikan 

tangannya, menghantam dengan satu pukulan me-

ngandung angin deras. Bersamaan dengan itu dia 

kerahkan ilmu meringankan tubuh untuk dapat melesat 

keluar menerobos melalui pecahan kaca. Begitu keluar dari 

perangkap ruang berdarah itu Mahesa dapatkan dirinya 

berada di satu ruangan yang keseluruhannya berwarna 

hijau


Dia memandang berkeliling. Dewi Maut tidak kelihatan, 

juga para anak buahnya. Di ujung kiri terdapat sebuah 

pintu kayu dalam keadaan terkunci. Mahesa segera lari 

menuju pintu ini. Darah busuk amis yang membasahi 

tubuh dan pakaiannya bertetesan dimana-mana. Dengan 

sekali terjang saja pintu di hadapannya bobol. Ruang di 

belakang pintu yang jebol ternyata adalah sebuah tangga 

berlapiskan permadani merah muda, berkembang-

kembang hijau dan biru. Dengan Keris Ular Emas tetap di 

tangan murid Embah Jagatnata itu lompati sekaligus 

sepuluh anak tangga sampai akhirnya dia tiba di satu 

ruangan terbuka penuh perabotan bagus dan mewah. 

Seluruh lantai ruangan tertutup permadani. Di dinding 

terdapat rak kayu dipenuhi berbagai benda pajangan 

berbentuk aneh. Salah satu ujung ruangan lantainya naik 

meninggi. Di sini terlihat sebuah kursi besar beralas kain 

hijau berbunga-bunga ditaburi perhiasan terbuat dari emas 

dan batu-batu berharga. 

Mahesa memandang berkeliling. Ruangan itu kosong. 

Tak satu orang pun berada di tempat itu. Dia mem-

perhatikan dua pintu yang terletak di dinding pada bagian 

belakang kursi besar. Dengan gerakan cepat tapi penuh 

hati-hati Mahesa berkelebat ke arah pintu sebelah kanan. 

Ternyata pintu tidak dikunci. Begitu didorong pintu terbuka. 

Mahesa langsung masuk sampai dia menemui sebuah 

tangga menurun berhubungan dengan sebuah lorong dan 

akhirnya membawa dia sampai di hadapan satu ruangan 

yang dindingnya terbuat dari jeruji-jeruji besi. Di dalam 

ruangan ini berkeliaran dua puluh ekor macan tutul. 

"Binatang-binatang langka itu..." membatin Mahesa. 

"Rupanya sengaja dikumpul dan dikurung untuk diadu 

dengan orang-orang yang menyusup ke pulau ini..." 

Binatang-binatang yang sengaja tidak diberi makan 

banyak itu mengaum dahsyat begitu melihat sosok Mahesa 

Kelud di depan kerangkeng dimana mereka dikurung. 

Apalagi saat itu tubuh dan pakaian Mahesa penuh ber-

gelimang darah membuat binatang-binatang buas ini


seperti gila berusaha menerobos jeruji-jeruji. 

Bagian terujung selelah ruangan macan tutul itu 

merupakan sebuah dinding yang berlobang bulat 

sepemasukan tubuh manusia. Mahesa Kelud melangkah 

dan menjenguk. Ruang di belakang lobang bundar gelap 

gulita dan ada angin keras yang menampar-nampar muka 

Mahesa Kelud. Laki-laki ini merasa bimbang untuk 

memasuki ruangan tersebut. Dia memandang berkeliling. 

Darahnya hampir tersirap ketika secara tak sengaja 

sepasang matanya membentur sebuah patung makhluk 

mengerikan dua kali tinggi manusia yang membungkuk 

menggapaikan tangannya ke muka. Waktu memasuki 

ruang tersebut Mahesa membelakang sehingga ketika dia 

membalikkan tubuh baru dia melihat patung raksasa ter-

sebut! 

Mahesa Kelud kembali ke ruangan terbuka yang 

mewah. Kini dimasukinya pintu sebelah kiri. Pintu ini juga 

membawanya melewati sebuah tangga menurun. Sinar 

lampu minyak menerangi lorong yang berbelok-belok. 

Selewatnya lorong ini Mahesa Kelud sampai ke sebuah 

ruangan bulat. Dia tak berani memasuki ruangan ini karena 

bentuknya yang aneh. 

Lantai, dinding dan langit-langit ruangan keseluruhannya 

terbuat dari batu pualam putih licin berkilat. Tepat di 

pertengahan lantai terdapat sebuah lingkaran merah. Di 

dalam lingkaran merah ini terdapat lagi dua garis silang 

menyilang tegak lurus. Mahesa tak tahu apa arti lingkaran 

dan garis-garis tersebut. Persis di seberang ambang pintu 

di mana Mahesa Kelud berdiri terdapat sebuah pintu besar 

yang membuka. Di belakang pintu ini kelihatan samar-

samar dalam kegelapan pohon-pohon bunga serta 

rerumputan hijau. Adanya angin silir-silir yang bertiup lewat 

pintu menambah keyakinan laki-laki itu bahwa di luar pintu 

adalah tempat terbuka yang berhubungan dengan dunia 

luar. Ini menarik Mahesa Kelud untuk lekas-lekas melewati 

ruangan itu. Namun demikian dia harus berlaku hati-hati. 

Ruangan bundar di hadapannya yang begitu bagus bersih


bukan mustahil satu ruangan yang akan membawa maut. 

Dan di samping itu apa pula arti lingkaran dengan garis-

garis di tengah lantai dan langit-langit ruangan? 

Bila dia melewati ruangan tersebut menuju ke pintu di 

seberang sana, apakah dia harus melangkah biasa, atau 

membuat lompatan menginjak lingkaran ataukah harus 

menghindarkan sama sekali lingkaran merah tersebut?! 

Warna merah adalah warna bahaya, demikian pendapat 

Mahesa. Ini berarti dia sekali-sekali tidak boleh injakkan 

kaki di atas lingkaran tersebut! 

Mahesa Kelud masukkan Keris Ular Emasnya ke dalam 

sarung. Sebagai ganti dia cabut pedang merah. Kemudian 

pendekar ini angsurkan langkah pertama dengan hati-hati. 

Tak ada terjadi apa-apa. Dia angsurkan langkah kedua, 

ketiga dan seterusnya. Ketika Mahesa Kelud mendekati 

lingkaran merah yang sengaja dihindarkannya ke samping 

kanan mendadak sepasang telapak kakinya merasakan 

lantai yang dipijaknya bergetar lalu bergoyang! 

Menyusul terdengar suara menderu seperti ruangan itu 

dipenuhi oleh ribuan tawon. Goyangan pada lantai semakin 

keras. Suara menderu tiba-tiba berhenti, digantikan sedetik 

kemudian oleh suara dari langit-langit atas. Mahesa Kelud 

dongakkan kapala! Semangatnya serasa terbang ketika dia 

saksikan bagaimana langit-langit di atasnya turun ke 

bawah dengan kecepatan yang luar biasa! 

***


LIMA


MAHESA KELUD kerahkan tenaga dalam. Teriakan se-

dahsyat geledek keluar dari mulutnya. Ini mempengaruhi 

sedikit kekuatan turunnya langit-langit batu di atasnya. 

Peluang yang sedikit ini dipergunakan oleh Mahesa Kelud 

untuk melompat ke muka menuju ke pintu. Mahesa Kelud 

mencapai ambang pintu ketika langit-langit batu dengan 

segala kedahsyatannya jatuh ke atas lantai, menimbulkan 

suara bergemuruh. Meskipun selamat namun tak urung 

bagian belakang dari baju Mahesa Kelud masih kena 

terjepit langit-langit dan lantai. Punggung pendekar ini 

tertarik dan terbanting ke batu keras. Nyawanya serasa 

terbang, mukanya pucat pasi. Dia mengucap syukur pada 

Tuhan menyadari dirinya selamat. 

Di saat itu terdengarlah suara tertawa mengejek 

cekikikan! "Kasihan! Baru terjepit baju saja sudah demikian 

pucat pasinya! Hik... hik... hik...!" 

Dengan geram Mahesa Kelud palingkan kepala. Di 

sebelah sana, di satu pedataran berumput yang luas dan 

ditepinya dipagari dengan pohon bunga-bungaan berdiri 

Dewi Maut ditengah-tengah dua belas orang anak buahnya. 

Dewi Maut bertangan kosong sedang anak-anak buahnya 

sama memegang sebilah pedang hitam! Di langit kelihatan 

bulan sabit dan bintang-bintang. Ternyata saat itu malam 

hari. 

Dengan gemas Mahesa babatkan pedangnya ke 

pakaiannya yang terjepit lalu berdiri sepuluh tombak di 

hadapan Dewi Maut dan anak buahnya. Di tengah-tengah 

pedataran itu terdapat beberapa buah tiang dan pada 

setiap tiang terpancang mayat manusia! Ada yang masih 

baru, ada yang sudah agak lama dan membusuk serta ada 

pula yang sudah menjadi jerangkong! Hanya ada satu tiang 

yang masih kosong!


Dewi Maut hentikan tertawanya dan bertolak pinggang. 

"Mahesa Kelud, manusia muda bernyali besar, katahuilah 

pedataran berumput ini bernama Pedataran Peman-

cungan!" 

"Aku tidak tanya nama pedataran ini!" membentak 

Mahaea Kelud. 

"Oh, begitu?!' ujar Dewi Maut dengan sikap tetap seperti 

tadi tanpa unjukkan rasa gusar karena dibentak demikian 

rupa di hadapan anak-anak buahnya. "Namun kurasa ada 

gunanya juga memberitahukan nama pedataran ini 

kepadamu, orang gagah! Pedataran Pemancungan adalah 

tempat manusia-manusia bernyali besar dan sombong 

besar mulut macam kau menemui ajalnya dengan di-

pancung! Kau lihat tiang-tiang yang penuh dengan mayat-

mayat atau jerangkong-jerangkong di belakangku?! Se-

bentar lagi kau akan menemui nasib yang sama dengan 

mayat-mayat atau jerangkong-jerangkong itu bahkan 

mungkin lebih buruk lagi!" 

"Perempuan iblis, tak usah pidato! Cabut pedangmu dan 

mari kita bertempur seribu jurus!" 

Dewi Maut tertawa lagi. "Ah, mengapa pula aku harus 

kotorkan tangan malayani manusia buruk macammu? 

Anak-anak buahku sudah terlalu pantas untuk beri 

pelajaran padamu bagaimana cara mencari jalan ke 

neraka!" Habis berkata demikian Dewi Maut bertepuk satu 

kali. 

Di bawah penerangan rembulan, maka dua belas gadis 

baju biru segera berpencar dan hanya dalam sekejapan 

mata saja Mahesa Kelud sudah terkurung di tengah-

tengah! 

"Orang gagah! Anak-anak buahku telah mambentuk 

lingkar pengurungan yang dinamakan Lingkaran Maut!" 

kata sang Dewi pula. "Selama tiga tahun tak ada satu 

orang pun dari kalangan persilatan yang bisa keluar dari 

Lingkaran Maut ini. Kalau pun mereka sanggup maka 

mungkin hanya roh busuk mereka yang terbang meng-

gebubu ke neraka!"


Mahesa Kelud memandang berkeliling. Dua belas gadis 

berparas cantik, berpakaian biru tipis dan bersenjata 

pedang-pedang hitam yang ampuh mengurungnya! Tak ada 

yang bisa diperbuat Mahesa selain mempertahankan diri 

dan balas menyerang seandainya gadis-gadis itu nanti 

menyerangnya, tak perduli meski hati kecilnya merasa 

sayang sekali kalau nanti pedang saktinya harus menusuk 

atau membabat ataupun memapas bagian tubuh gadis-

gadis jelita itu! Jika dia berlaku tidak tega maka sebaliknya 

tubuhnya sendiri mungkin yang akan tercincang! Soalnya 

ialah membunuh atau dibunuh! 

"Mulai!" teriak Dewi Maut. 

Dua belas pedang hitam yang tadi terhunus mengarah 

tanah kini sedikit demi sedikit diangkat dan diputar di 

muka tubuh. Gadis-gadis baju biru menyertai gerakan ini 

dengan langkahkan kaki ke muka. Dari cara memegang 

pedang-pedang hitam tersebut Mahesa Kelud dapat 

mengetahui bahwa masing-masing gadis menyalurkan 

tenaga dalamnya ke pedang serempak dahsyatnya tak 

dapat dilukiskan! Mahesa alirkan pula tenaga dalam 

bahkan juga aliran "Api-Salju" lewat tangan kanannya terus 

ke pedang merah. 

Senjata sakti itu kelihatan bergetar dan sinar merahnya 

memancar lebih menyala! 

"Dewi Maut!" berseru Mahesa Kelud dalam detik-detik 

yang tegang mendebarkan itu. "Aku tidak mau turun tangan 

terhadap anak-anak buahmu! Sebaiknya kau saja yang 

maju!" 

"Jangan bicara pongah orang muda!" sahut Dewi Maut. 

"Nyawamu aku yang tentukan!" 

"Serang!" teriak Dewi Maut kemudian! 

Dua belas lengkingan dahsyat yang keluar dari mulut 

anak-anak buah Dewi Maut merobek udara malam! Dua 

belas pedang hitam kemudian dalam gerakan yang sama 

dan sangat teratur menderu ke satu sasaran di tengah 

lingkaran! 

Mahesa Kelud tak tinggal diam. Lebih keras dari pekik


anak-anak buah Dewi Maut maka dia keluarkan bentakan 

mengguntur! Tubuhnya mencelat ke udara, tangan kiri dan 

kedua kaki melajang sedang pedang di tangan kanan 

berubah seperti puluhan banyaknya saking cepatnya 

diputar. Pada saat semua serangan gadis-gadis baju biru 

itu mengenai tempat kosong maka di udara Mahesa Kelud 

membuat gerakan cepat, tubuhnya lenyap dan sesaat 

kemudian tardengar suara beradunya senjata, suara 

teriakan kematian dan suara pekik kesakitan! 

Empat orang anak buah Dewi Maut mental ke belakang! 

Tiga di antaranya yaitu Satu Biru, Lima Biru dan Sebelas 

Biru lepaskan pedang dan rebah ke rumput dengan tubuh 

mandi darah. Yang satu lagi yakni Dua Belas Biru 

terhampar tak bergerak kena sambaran kaki kanan 

Mahesa Kelud. Dadanya di bagian dalam terluka parah, 

kelak beberapa saat kemudian dia terpaksa lepaskan 

nyawa! 

Dewi Maut kepalkan tinju melihat kematian empat anak 

buahnya itu. Inilah satu hal yang tidak pernah diduganya! 

Delapan orang anak buahnya yang masih hidup di samping 

terkejut, nyali mereka rata-rata menjadi ciut! 

"Serang!" teriak Dewi Maut marah sekali. 

Delapan pedang berputar dahsyat. Tubuh Mahesa 

lenyap kembali dan untuk kedua kalinya jatuh pula korban 

di pihak gadis-gadis baju biru dan kini malah berjumlah 

lima orang yaitu Dua Biru, Tiga Biru, Enam Biru, Delapan 

Biru dan Sepuluh Biru! Semuanya mati dalam sekejapan 

mata! 

Menggigil tubuh Dewi Maut saksikan hal ini. "Tahan!" 

serunya. 

"Sesudah korbankan anak-anak buahmu klni baru kau 

hentikan pertempuran, huh!" ujar Mahesa Kelud. "Kau 

majulah! Jika kau mati maka kau sekaligus tanggung dosa-

dosa mereka!" 

"Orang muda! Jangan terus-terus bicara menantang! 

Ingat, aku memiliki pedang Samber Nyawa! Sepuluh 

manusia macam kau bukan apa-apa bagiku sekali aku


pergunakan senjata sakti tersebut! Kau pantas untuk 

kuajak berunding! Sembilan Biru, antarkan dia ke 

tempatku!" Dewi Maut berkelebat dan lenyap dari 

pemandangan! 

Mahesa Kelud hendak mengejar namun dihalangi 

dengan ujung pedang ketiga gadis baju biru yang masih 

hidup. 

"Kalian juga inginkan mampus?!' bentak Mahesa Kelud 

penasaran. 

"Orang muda, jangan berlaku tolol!" balas membentak 

Empat Biru. "Jika Dewi sudah berkata demikian pada kau 

berarti dia inginkan perdamaian dan nasibmu akan 

beruntung!" 

"Perdamaian palsu!" semprot Mahesa. "Sesudah merasa 

terdesak minta berunding!" Sepasang bola matanya 

menyapu paras ketiga gadis itu. Hanya salah seorang dari 

mereka yang tundukan muka ketika dipandang demikian 

rupa yakni Sembilan Biru dan Mahesa ingat gadis inilah 

yang menemukannya di tepi pasir pulau bersama kawan di 

sebelahnya yaitu Empat Biru. Di antara kawan-kawannya, 

Sembilan Biru adalah yang tercantik bahkan kecantikannya 

hampir menyaingi Dewi Maut sendiri! 

Empat Biru, yang memang merupakan gadis paling 

galak tapi paling patuh dan setia pada Dewinya maju ke 

muka kertakkan geraham. "Dewi kami sama sekali tidak 

terdesak, orang muda! Kau ingat apa yang tadi dikatakan-

nya? Dengan pedang Samber Nyawa di tangannya, sepuluh 

manusia macam kau dapat ditumpasnya dalam satu 

gebrakan saja! Kau sebaiknya jangan banyak mulut, ikut 

kami dan kami akan antarkan kau ke tempat Dewi. Pasti 

ada yang akan dibicarakannya dengan kau dan pasti itu 

akan menguntungkan kau!" 

"Aku datang ke sini bukan untuk cari untung!" tukas 

Mahesa Kelud. 

Empat Biru pencongkan sudut bibirnya. "Semua 

manusia selalu hidup untuk dapatkan keuntungan dan kau 

tak usah menutup diri karena kau pun tak terkecuali!


Mari...." 

Empat Biru menggamit kedua kawannya. Mahesa Kelud 

memperhatikan saja, sama sekali tidak bergerak dari 

tempatnya. Empat Biru hentikan langkah. "Tunggu apa-

lagi?!" 

"Mungkin... mungkin, hik... hik... hik," Tujuh Biru tak bisa 

teruskan kalimatnya karena keburu tertawa mengikik. 

Empat Biru terheran. "Mungkin apa?!" tanyanya. 

Tujuh Biru adalah gadis paling lucu di antara kawan-

kawannya. Didekapnya mulutnya seketika lalu katanya: 

"Mungkin... hik... hi... mungkin dia kepingin digendong! 

Hik... hik... hik!" 

"Oh, ya? Eh, betul, orang muda?!" tanya Empat Biru 

sementara Sembilan Biru tak dapat pula menahan gelinya! 

Air muka Mahesa Kelud menjadi merah padam. 

"Perempuan iblis macam kalian rupanya masih bisa bicara 

ngelantur huh! Suruh keluar Dewimu untuk hadapi aku!" 

"Eeh... sudah diundang orang untuk datang, malah 

mengundang," kata Tujuh Biru dan gadis ini tertawa lagi 

cekikikan. 

"Dewi kami sudah sangat bermurah hati terhadapmu, 

orang muda. Turut permintaannya sebelum dia merobah 

niat!" memperhatikan Empat Biru. 

Ketika gadis-gadis itu melangkah kembali Mahesa men-

jadi bimbang. "Tunggu!" serunya. "Bila kalian menipuku, 

nasib kalian lebih buruk dari kawan-kawanmu yang 

sembilan orang itu!" Kemudian dengan tetap meng-

genggam pedang di tangan Mahesa mengikuti ketiga gadis 

tersebut. 

***


ENAM


MAHESA KELUD dibawa ke satu ruangan mandi di mana 

terdapat sebuah pancuran berair sejuk dan harum. 

"Bersihkan tubuhmu dahulu," kata Empat Biru. "Jika sudah 

buka pintu di sebelah kanan pancuran. Di situ kau akan 

menemukan kamar dengan beberapa lemari terdapat di 

dalamnya. Di setiap lemari terdapat banyak pakaian laki-

laki, kau bisa mengambil dan memakai salah satu 

daripadanya pengganti pakaianmu yang kotor!" 

Mahesa Kelud merasa dirinya diperlakukan seperti 

seorang tamu dan bukan seperti musuh sebagaimana yang 

sudah-sudah. Ini menimbulkan kecurigaannya kembali. 

Ruangan mandi tersebut bukan mustahil merupakan 

ruangan kematian pula! Dia tak mau tertipu. 

"Kalian bertiga coba masuk dahulu!" kata Mahesa 

kepada gadis-gadis itu. 

Ketiganya jadi terheran. "Apa maksudmu, orang muda? 

Jangan coba-coba berlaku tidak senonoh terhadap kami!" 

hardik Empat Biru. 

"Dengar, meski bagaimana pun kini baiknya kalian dan 

Dewi kalian, namun manusia-manusia macam kalian 

bagiku tidak mudah untuk dipercaya. Masuklah!" 

"Manusia macam apa kau?! Sudah diperlakukan dengan 

baik malah...." 

Mahesa Kelud bergerak dengan cepat. Ketiga gadis itu 

berpekikan dan tahu-tahu mereka sudah terlempar ke 

dalam ruangan mandi. Mereka pelototkan mata dan 

bersihkan noda-noda darah yang melekat di pakaian 

mereka. Meski langit-langit di sebelah atas tidak jatuh 

namun Mahesa Kelud tetap masih curiga. 

"Salah satu dari kalian coba basahkan tubuh di bawah 

pancuran!" perintah Mahesa. Tak ada satu pun dari ketiga 

gadis-gadis itu yang bergera


"Ayo!" teriak Mahesa lagi. 

Empat Biru maju ke muka. "Jika saja Dewi tidak 

meminta kami lebih suka untuk membeset mulutmu yang 

terlalu kasar itu, orang muda! Apa maksudmu menyuruh 

salah seorang dari kami membasahkan badan di bawah 

pancuran?!" 

Mahesa tak menjawab. Dia pernah dengar tentang 

semacam air jahat yang bila sampai membasahi makhluk 

hidup maka makhluk itu akan menjadi kaku membatu 

seperti patung! Dan inilah yang tak mau diambil risiko oleh 

Mahesa Kelud. 

Mahesa Kelud melompat ke muka untuk menangkap 

tubuh Empat Biru. Tapi gadis ini dengan gesit berkelit ke 

samping. Mahesa terus bergerak ke samping Tujuh Biru 

namun yang satu ini pun dengan terpekik sempat pula 

selamatkan diri. Nasib malang bagi Sembilan Biru, yang 

sejak tadi berdiri agak lengah sehingga ketika tubuhnya 

kena diraih, dia tak sempat lagi loloskan diri! 

Mahesa menyeret gadis ini ke bawah pancuran. 

Sembilan Biru sangat ketakutan sekali tampaknya namun 

anehnya sama sekali dia tidak meronta untuk lepaskan 

diri. Air pancuran yang harum jatuh di kepalanya terus 

membasahi tubuh. Pakaiannya yang kuyup oleh air 

membuat tubuhnya yang montok bagus kelihatan jelas! 

Gadis itu menggigil, ketika Mahesa ulurkan tangannya 

menampung air pancuran ternyata air itu disamping harum 

juga sejuknya bukan main. Dia jadi kasihan pada Sembilan 

Biru. Dan gadis itu masih saja berdiri di bawah air yang 

memancur, memandang dengan bola matanya yang 

bening. 

"Sudah, minggirlah!" seru Mahesa. Sembilan Biru masih 

memandang kepadanya seperti tadi. Mahesa Kelud jadi 

salah tingkah. Pandangan mata itu tidak membayangkan 

rasa benci dan juga sama sekali tidak menyatakan rasa 

marah atau dendam. Pandangan itu demikian tajam 

membuat hatinya berdebar tidak enak. Namun akhirnya 

gadis itu menghindar juga dari bawah pancuran. Ketika


ketiganya keluar, Mahesa Kelud segera menutup pintu 

ruangan mandi dan membuka pakaiannya. 

Air yang sejuk menyegarkan tubuh Mahesa Kelud. Di 

dalam lemari-lemari di kamar yang ditunjukkan Empat Biru 

ditemuinya banyak pakaian laki-laki semuanya berwarna 

biru dan hijau dan terbuat dari bahan yang bagus. Mahesa 

mengenakan salah satu pakaian berwarna hijau lalu cepat-

cepat meninggalkan kamar itu. Di luar pintu ruangan mandi 

ketiga gadis baju biru sudah menunggunya. Mereka sama-

sama menyembunyikan kekaguman mereka ketika melihat 

kemunculan Mahesa dengan baju hijau bagus rapi dan 

gagah sekali! Mahesa melirik pada Sembilan Biru. Ternyata 

gadis ini sudah menukar pakaiannya yang tadi basah. 

"Ikuti kami!" kata Empat Biru. Ketika gadis itu berjalan di 

sebelah muka dan Mahesa Kelud mengikuti dari belakang. 

Dia berpikir-plkir bagaimana jika saat itu ditotoknya saja 

ketiga gadis di hadapannya, kemudian mencari sendiri di 

mana Dewi Maut berada sehingga dia tak perlu khawatir 

akan dikeroyok bila antara dia dengan Dewi Maut terjadi 

pertempuran! Namun karena beberapa alasan pendekar 

kita batalkan niatnya. 

Dia dibawa melewati sebuah taman. Di ujung kanan 

membelok ke kiri, melewati sebuah jembatan di atas kolam 

besar yang dihuni oleh dua belas pasang angsa hitam dan 

dua belas angsa putih. Selewatnya jembatan terdapat 

tangga menurun. 

Sesudah melewati beberapa lorong yang diterangi 

lampu-lampu minyak maka sampailah Mahesa Kelud di 

hadapan sebuah pintu besi. Empat Biru menekan tombol 

rahasia dan sesaat kemudian pintu itu terbuka. Mahesa 

diberi isyarat untuk masuk lebih dahulu. Pintu kemudian 

tertutup lagi dengan sendirinya. Di dalam ruangan yang 

terang benderang itu mereka melangkah di sepanjang jalur 

permadani. Empat Biru di muka sekali, menyusul Mahesa 

lalu Tujuh Biru dan terakhir Sembllan Biru. 

Empat Biru menyingkapkan tirai hitam lalu tirai coklat. 

Kemudian berturut-turut tirai merah darah dan tirai kuning.


Ketika tirai kelima—tirai terakhir—disingkapkan maka di 

belakang tirai itu, di atas satu pembaringan yang indah 

tampak berbaring miring Dewi Maut. Pakaian hijaunya tipis 

sekali sehingga sepintas lalu kulit tubuhnya kelihatan jelas 

kehijauan. Parasnya segar tanda dia baru saja habis 

berhias. Empat Biru dan dua kawannya segera berlutut. 

Ketika dilihatnya Mahesa tetap berdiri, Empat Biru segera 

membentak, "Berlutut di hadapan Dewi Maut!" 

Mahesa tersenyum sinis. "Siapa sudi berlutut di 

hadapan dia!" katanya. Tangan kanan dan kirinya senan-

tiasa siap sedia untuk cabut pedang merah ataupun Keris 

Ular Emas bila hal-hal yang mencurigakan dan tak diingini 

terjadi. 

Empat Biru hendak membentak kembali namun Dewi 

Maut lambaikan tangan. "Empat Biru, kau tunggu di luar 

tirai hitam. Dan kau Sembilan Biru bersama Tujuh Biru urus 

mayat kawan-kawanmu!" 

Ketiga gadis baju biru itu menjura. Sebelum berlalu ke 

tempat masing-masing diperintahkan, Mahesa Kelud 

masih dapat melihat bagaimana Sembilan Biru layangkan 

satu lirikan tajam kepadanya. 

***


TUJUH


KINI di ruangan itu hanya Mahesa Kelud dan Dewi Maut 

saja yang tinggal. Mahesa berdiri enam langkah di muka 

pembaringan. Dekat ujung kaki pembaringan ada sebuah 

kursi bundar rendah yang beralaskan kain hijau berenda. 

"Silahkan duduk di sana, Mahesa," kata Dewi Maut 

seraya menunjuk ke kursi tersebut. 

"Aku lebih suka berdiri," jawab Mahesa Kelud. 

Dewi Maut lontarkan senyum mendebarkan. Tubuhnya 

digerakkan. Kini dia berbaring menelentang. Baju hijaunya 

yang memang sama sekali tidak mempunyai kancing, 

hanya diikat dengan seuntai mutiara di bagian pinggang 

tersingkap lebar di bagian dada dan di bagian perut. 

Mahesa Kelud memandang ke jurusan lain dan berkata, 

"Jika kau ingin bicara, bukan di sini tempatnya Dewi!" 

"Dimana yang bagus menurutmu, Mahesa?" tanya Dewi 

Maut dengan matanya memandang ke langit-langit 

ruangan. 

"Di tempat terbuka seperti di Pedataran Pemancungan 

itu. Di sana pembicaraan yang tidak selesai bisa diteruskan 

dengan senjata!" 

Dewi Maut tertawa merdu. "Aku senang pada orang-

orang muda yang berjiwa gagah bernyali besar...." 

"Kuharap kau jangan bicara bertele-tele Dewi Maut. 

Katakan apa maksudmu mengundang aku ke sini. Kau 

bicara tentang perundingan. Ketahuilah, dengan manusia 

macam kau, yang pernah berniat membunuhku, tak ada 

perundingan. Mari keluar untuk selesaikan urusan atau 

mungkin kau lebih senang berkubur di tempatmu yang 

bagus ini?!" Nada suara Mahesa Kelud mengandung 

kesungguhan dan keras. 

Dewi Maut menatap lama sekali pada Mahesa dengan 

pandangan yang menggairahkan. Saat itu Mahesa baru


menyadari bahwa Dewi Maut tidak bersenjata. Di 

pinggangnya tak kelihatan pedang hitam. Namun demikian 

Mahesa tetap waspada karena manusia macam gadis yang 

ada di hadapannya saat itu punya seribu satu akal licik. 

Bukan mustahil senjatanya disembunyikan di satu tempat 

yang mudah dijangkau! 

"Dengar Mahesa..." kata Dewi Maut pula. Suaranya 

halus mengharu. "Antara aku dan kau sebelumnya tidak 

ada permusuhan bukan?" 

"Itu betul...." 

"Mengapa kau punya tekad untuk membunuhku saat ini! 

Hanya karena tugas yang dibebankan kepadamu oleh 

Karang Sewu...? Sungguh bodoh kau...." 

Mahesa Kelud kertakan geraham. Tangan kanannya 

meraba hulu pedang merah dan dia maju ke muka. Namun 

ketika dilihatnya gadis itu tetap diam di tempatnya tanpa 

membuat gerakan, Mahesa jadi batalkan niatnya. Dan 

Dewi Maut tertawa lagi. 

"Semua orang pasti marah bila dikatakan dirinya bodoh. 

Tapi aku tetap akan katakan kau bodoh! Kau diberi sedikit 

ilmu oleh seseorang... kemudian dengan alasan itu kau 

disuruhnya mencari orang lain untuk membunuhnya! 

Bukankah itu bodoh namanya?!" 

"Itu suatu hal yang lumrah dalam dunia persilatan!" 

tukas Mahesa. 

"Lumrah tapil lumrah gila! Tidak berpikiran! Dunia 

persilatan sekarang sudah gila, Mahesa! Justru itulah 

maksudku sejak bertahun-tahun ini ingin merubah segala 

kegilaan itu!" 

"Dengan membunuh manusia-manusia tak berdosa...?" 

"Lantas apa dosaku sampai kau mempunyai niat meng-

habisi aku punya nyawa?" tanya Dewi Maut pula. 

Kini Mahesa Kelud yang keluarkan suara tertawa. 

Tertawa mengejek. "Kau tanya apa dosamu, Dewi Maut?! 

Mungkin aku yang kau katakan bodoh ini tidak tahu apa 

dosamu. Tapi aku cuma ingin tanya, sejak kau muncul di 

dunia persilatan dengan memakai nama Dewi Maut, sudah


berapa belas manusia yang kau bunuh di ruang-ruang 

maut itu? Sudah berapa belas manusia yang kau tamatkan 

riwayatnya di Pedataran Pemancungan? Dan apakah dosa 

mereka?!" 

"Mereka melanggar aturanku, Mahesa!" 

"Aturan macam apa?!" 

"Mahesa, dengar...." 

"Sudah! Aku tak berniat lagi untuk teruskan pem-

bicaraan ini! Dimana kau simpan pedang Samber Nyawa?!" 

hardik murid Suara Tanpa Rupa. 

Kedua mata Dewi Maut yang indah bersinar itu menyipit 

sedikit. Bibirnya terkatup rapat-rapat memungil. "Mengapa 

kau inginkan senjata mustika itu, Mahesa?" 

"Tak usah banyak tanya. Aku harus dapatkan senjata itu, 

tak perduli dengan cara bagaimana pun dan kalau perlu 

aku tak segan-segan melewati mayatmu...." 

"Jadi bila kuberikan pedang tersebut kepadamu, kau tak 

akan membunuhku?" 

"Aku tidak katakan demikian!" 

"Mahesa..." Dewi Maut berdiri. Dia turun dari 

pembaringan dan melangkah ke hadapan Mahesa Kelud 

dengan langkah bergoyang yang menggiurkan, meruntuh-

kan iman laki-laki sedang di sudut bibirnya senantiasa 

terkulum senyum gairah, penuh mengundang! 

"Berhenti! Jangan dekati aku!" bentak Mahesa Kelud. 

Dewi Maut tetap mendekat bahkan ulurkan kedua 

tangannya merangkul leher Mahesa sedang kedua 

matanya menatap dalam-dalam pada mata laki-laki itu. 

Mula-mula Mahesa seperti seseorang yang tersirap 

tenungan oleh sinaran mata gadis tersebut. Dewi Maut 

memeluknya dan menempelkan tubuhnya rapat-rapat. 

Mahesa merasakan betapa hangat dan lembutnya tubuh 

itu. Namun kemudian dia ingat lalu cepat-cepat melepas-

kan diri dan menjauh. 

"Mahesa..." kata Dewi Maut lirih. Dia melangkah lagi 

hendak mendekat. 

"Aku akan bunuh kau bila berani datang lebih dekat!"


ancaman Mahesa Kelud dan acungkan pedang saktinya. 

Ini memaksa gadis itu hentikan langkah. Dadanya meng-

gemuruh turun naik. Dia duduk kembali di tepi tempat 

tidur. 

"Mahesa... kita berdua, kau dan aku bisa hidup sama-

sama di sini. Ini tawaran sungguh-sungguh dan bukan 

main-main. Aku...." 

"Jangan bicara gila! Mana pedang Samber Nyawa?!" 

"Kita berdua akan merajai dunia persilatan. Bukankah 

itu cita-cita setiap pendekar gagah macam kau...?" 

"Aku tanya pedang Samber Nyawa, bukan lain hal!" 

bentak Mahesa. 

"Pedang itu memang ada padaku," berkata Dewi Maut. 

"Dan aku bersedia memberikannya padamu...." 

"Kalau begitu lekas berikan padaku dan aku berjanji 

untuk melepaskan kau dengan aman!" 

"Itu satu janji yang bagus! Tapi ucapanmu tadi mem-

punyai arti bahwa aku adalah tawananmu...." Dewi Maut 

tertawa. "Padahal sebenarnya kaulah yang menjadi 

tawanan di pulau ini!" 

Mahesa Kelud menjadi geram karena setiap pem-

bicaraan selalu diputar ke hal-hal lain oleh Dewi Maut. 

Dewi Maut berdiri lagi. "Bagaimana Mahesa?" tanyanya. 

"Kau bersedia tinggal di sini bersamaku?" 

"Jangan ngelantur!" 

"Aku tidak ngelantur!" sahut Dewi Maut. Dan sepasang 

matanya kembali bersinar seperti tadi. Dia melangkah ke 

hadapan Mahesa. 

"Kalau begitu kau ngaco!" 

"Aku tidak ngaco!" Dewi Maut makin dekat. 

"Kau gila... keblinger!" 

"Aku tidak gila dan ti...." Dewi Maut tiba-tiba melompat 

ke muka dan memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat. 

Sebelum Mahesa bisa lepaskan diri Dewi Maut sudah 

ciumi parasnya. Nafasnya memburu mendengus! Mahesa 

mendorong tubuh gadis itu hingga terlempar ke atas 

pembaringan dan sesaat kemudian ujung pedangnya


sudah menempel di kulit leher Dewi Maut. 

"Aku sudah berjanji untuk tidak membunuh kau! Tapi 

agaknya janji itu terpaksa kubatalkan...." 

"Teruskan Mahesa... teruskan. Bunuh aku," kata Dewi 

Maut dengan suara serak parau. Kedua matanya dipejam-

kan dan Mahesa melihat bagaimana dari sudut-sudut mata 

yang bening itu mengalir menetes butiran air mata 

kemudian terdengar sedu sedan Dewi Maut. Tangan 

Mahesa yang memegang pedang jadi bergetar. 

"Mengapa tidak kau teruskan Mahesa? Kau ingin mem-

bunuh aku bukan?! Teruskan niatmu!" 

Mahesa bungkam. 

"Mahesa... hanya kepadamu kututurkan hal ini karena... 

karena kaulah orang pertama yang telah menarik dan 

mengikat hatiku...." 

Mahesa Kelud hendak membentak gadis itu. Namun 

lidahnya kelu dan mulutnya tak mau membuka. 

"Selama empat puluh tahun aku hidup di sini...." 

Mahesa terkejut. "Empat puluh tahun katamu?!' 

"Kau tidak tahu Mahesa dan mungkin kau tak percaya. 

Kenyataan yang kau lihat saat ini adalah bahwa parasku 

cantik dan umurku menurut taksiranmu pasti tak akan 

lebih dari dua puluhan! Tapi Mahesa... aku sudah tua... 

terlalu tua. Terlalu tua untuk hidup di dunia yang penuh 

kekejaman ini tanpa mengenal apa artinya kebahagiaan, 

tanpa mengenal apa artinya cinta mesra... kasih sayang. 

Bila kau lihat parasku yang asli dan tubuhku yang 

sebenarnya kau akan terkejut dan akan lari langkah seribu! 

Karena sesungguhnya aku adalah seorang nenek-nenek 

tua renta... nenek keriput yang bungkuk seperti sabut... 

yang berumur enam puluh tahun lebih!" 

"Tapi parasmu dan keadaan tubuhmu yang sekarang 

ini? Bagaimana mungkin...?" 

"Ini karena guruku Dewi Cabut Nyawa sebelum 

meninggal masih sempat berikan semacam ilmu awet 

muda kepadaku...." 

Mahesa terdiam. Dia tak pernah dengar tentang


manusia bergelar Dewi Cabut Nyawa dan dia tak percaya 

akan penuturan Dewi Maut. 

"Aku tahu kau tak percaya," kata Dewi Maut pula. "Apa 

kau bersedia untuk melihat paras dan tubuhku yang asli?!" 

"Aku bersedia," jawab Mahesa. 

Dewi Maut kini terdiam. 

"Ayo!" 

"Kau akan menyesal Mahesa...." 

"Itu aku tak perduli!" 

"Baik, kau perhatikanlah," kata Dewi Maut. "Lihat baik-

baik, " katanya lagi diusapnya paras yang jelita itu. 

***


DELAPAN


MAHESA KELUD jadi sipitkan mata dan kerenyitkan kulit 

kening karena begitu Dewi Maut mengusap mukanya, 

maka paras yang jelita itu dengan serta merta berubah 

menjadi paras seorang nenek-nenek keriputan, berpipi 

kempot, bermata cekung merah mengerikan! Tubuh yang 

terbaring di atas pembaringan indah itu kalau tadi 

demikian mulus menggiurkan penuh rangsangan kini 

kelihatan sama rata dengan pembaringan, kurus lecak 

lunglai dan bungkuk! Bulu kuduk Mahesa merinding. 

Tangan kanannya yang menekankan ujung pedang ke leher 

Dewi Maut ditariknya dengan perlahan. 

"Kau sudah lihat Mahesa?" kata Dewi Maut. Dan suara 

perempuan itu pun berubah tidak seperti tadi lagi. Kalau 

tadi demikian merdu maka kini mendesau parau seperti 

suara nenek-nenek! Mahesa tak menjawab. Dewi Maut 

tersenyum kepadanya. Senyum yang mengerikan, bukan 

senyum seperti tadi lagi yang penuh mengundang! 

Dewi Maut menggerakkan tangan kanannya yang kecil 

halus berkulit keriput nyenyer dan mengusap mukanya. 

Parasnya kembali menjadi jelita dan tubuhnya kembali 

beralih montok menggiurkan. Perlahan-lahan dia bangun 

dari pembaringan itu. Dia masih saja menangis tersedu. 

"Enam puluh tahun lebih aku hidup di dunia dengan 

percuma. Tanpa kenal apa artinya cinta, kasih sayang dan 

kemesraan. Tanpa pernah merasakan belaian tangan laki-

laki, pelukan mesra apalagi ciuman rindu dendam. 

Salahkah aku, berdosakah aku kalau kini aku inginkan 

semua itu...? Mahesa, kau mau tinggal bersamaku bukan? 

Kita akan hidup bahagia...." 

"Bagaimana dengan gadis-gadis baju biru yang menjadi 

pembantumu itu?" tanya Mahesa putar bicara. 

"Kalau mereka memang gadis-gadis asli!" jawab Dewi


Maut. Suara dan parasnya menyatakan rasa cemburu. 

"Kepada mereka juga kelak akan kuberikan ilmu awet 

muda itu bila mereka sudah tua.... Mahesa, kau mau 

bukan, mau tinggal di sini? Kita akan berbahagia, kita akan 

menjadi raja dunia persilatan...." 

"Mana pedang Samber Nyawa itu, Dewi?" 

"Ah, kau selalu saja putar pembicaraan. Pedang itu ada 

padaku aku berjanji akan memberikannya padamu asal 

kau mau berjanji pula untuk hidup bersamaku." 

"Ambil pedang itu, Dewi!" 

"Aku akan ambil Mahesa. Tapi aku mau tanya dulu, kau 

mau hidup bersamaku?" 

"Itu kita bicarakan nanti," jawab Mahesa. "Sekarang 

mana pedang itu?!" 

"Mahesa kau demikian mendesaknya! Agaknya ada 

seseorang musuh yang tak sanggup kau kalahkan? Yang 

tak sanggup dihadapi oleh pedang merah serta Keris Ular 

Emasmu?" 

Mahesa Kelud diam-diam terkejut juga ketika Dewi Maut 

mengetahul nama dua senjata yang dimilikinya. "Siapa 

gerangan musuh yang demikian tangguh itu, Mahesa?" 

terdengar lagi Sang Dewi bertanya. Mahesa tak menjawab 

dan gadis itu berkata lagi. "Setahuku, dalam dunia per-

silatan hanya ada satu tokoh utama yang tak sanggup 

dibunuh dengan senjata apapun, kecuali dengan pedang 

Samber Nyawa. Tokoh itu bernama Simo Gembong, tapi 

Simo Gembong sudah menghilang tak tentu rimbanya 

sejak hampir sepuluh tahun yang silam. Apakah manusia 

itu yang menjadi lawanmu, Mahesa?" 

"Kau kenal padanya?" tanya pendekar kita. 

Dewi Maut mengangguk. Mahesa Kelud jadi berdebar. 

"Aku banyak tahu tentang dia. Sakti luar biasa tapi kejam, 

lebih kejam dari setan, lebih jahat dari iblis. Semasa 

mudanya bahkan sampai lanjut usianya pun dia manusia 

bejat tukang main perempuan, perusak rumah tangga 

orang!" 

Di dalam hatinya Mahesa berkata, "Kekejaman yang


dilakukan oleh Simo Gembong tiada beda dengan yang kau 

lakukan sendiri Dewi Maut!" 

"Dari seorang tokoh persilatan aku mendapat 

keterangan ciri-ciri diri manusia itu. Simo Gembong 

bertampang buruk, berambut gondrong. Hidungnya pesek, 

dia memelihara janggut sampai ke dada sedang mata 

kirinya picak. Apakah itu betul?" 

"Betul," sahut Dewi Maut. "Namun ada yang kau 

lupakan...." 

"Apa?" 

Telinga kanannya sumplung dan akulah yang 

membabatnya dulu dengan pedang Samber Nyawa!" 

Terkejut sekali Mahesa mendengar keterangan Dewi 

Maut ini. Jika dengan mengandalkan ilmu kesaktian belaka 

pasti Dewi Maut tak akan sanggup hadapi Simo Gembong 

tapi dengan pedang Samber Nyawa di tangan Simo 

Gembong benar-benar tak berdaya. 

"Jadi kau pernah bentrokan dengan Simo Gembong?" 

tanya Mahesa. 

"Ya. Kami bertempur sampai tiga ratus jurus. Ketika 

kucabut pedang Samber Nyawa, Simo Gembong terkesiap, 

dia segera ambil langkah seribu namun aku masih sempat 

membabat telinga kanannya dengan ujung pedang. Dia lari 

menjerit-jerit setinggi langit dan sejak itu dia lenyapkan diri 

dari dunia persilatan...." 

"Lenyapkan diri atau sudah mati?!" tanya Mahesa ingin 

kepastian. 

"Lenyapkan diri," Jawab Dewi Maut. "Aku tak tahu apa 

sebabnya dia melenyapkan diri. Mungkin tengah men-

ciptakan satu ilmu silat baru tapi mungkin pula ber-

sembunyi karena takut pada musuh-musuhnya yang terlalu 

banyak di seluruh antero tanah Jawa." 

"Kau tak tahu di mana manusia itu kira-kira berada?" 

tanya Mahesa. 

"Aku sudah sebar mata-mata dan pembantu-

pembantuku. Sebegitu jauh di mana Simo Gembong 

berada belum kami ketahul. Tapi belakangan ini kuterima


keterangan yang agak kurang pasti dan belum kuselidiki 

kebenarannya. Kabarnya manusia ituu berada di puncak 

Gunung Kelud...." 

"Apa? Puncak Gunung Kelud?!" tanya Mahesa setengah 

berteriak. 

"Eh, kau terkejut orang muda? Apa karena nama gunung 

itu kebetulan sama dengan namamu?" tanya Dewi Maut. 

"Ya... ya..." jawab Mahesa gugup. Tubuhnya tergetar 

hebat dan perasaannya tak bisa ditekannya. Betapakah 

tidak! Sejak dia mendapat keterangan mengenai ciri-ciri 

Simo Gembong dari Lor Munding Saksana, si orang tua 

sakti gila, maka perasaannya sudah mulai tidak enak 

karena ciri-ciri yang diterangkan oleh orang tua itu adalah 

sama dengan ciri-ciri yang dimiliki gurunya sendiri yaitu 

Embah Jagatnata! Hari ini Dewi Maut berikan keterangan 

ciri-ciri yang sama kepadanya dan malahan mengatakan 

pula bahwa ada kabar Simo Gembong diam di puncak 

Gunung Kelud, puncak gunung dimana dia dulu 

digembleng oleh Embah Jagatnata, tempat gurunya itu 

tinggal! Apakah Simo Gembong adalah gurunya sendiri? 

Apakah Simo Gembong sama dengan Embah Jagatnata! Ini 

satu teka-teki yang tak bisa dipecahkannya saat itu juga. 

Satu pemikiran yang sangat sulit! Namun hatinya tak bisa 

menerima, akalnya tak dapat memastikan. Kalau Simo 

Gembong adalah juga Embah Jagatnata lantas mengapa 

Embah Jagatnata menyuruh dia mencari Simo Gembong 

bahkan harus membunuhnya jika sudah bertemu! 

Mahesa menatap paras Dewi Maut sejurus. "Keterangan 

bahwa Simo Gembong diam di puncak Gunung Kelud itu 

kurasa keterangan kosong tidak betul. Setahuku di sana 

diam seorang kakek-kakek bernama Embah Jagatnata...." 

"Seorang tokoh persilatan?" tanya Dewi Maut. 

Mahesa anggukkan kepala. 

"Tak pernah kudengar nama itu," kata Dewi Maut pula. 

"Ini memberikan kenyataan padaku bahwa mungkin sekali 

Embah Jagatnata itu adalah sebenarnya Simo Gembong 

sendiri!"



Getaran di tubuh Mahesa semakin hebat. Perasaannya 

semakin meluap. Air mukanya kelihatan mengelam. "Tidak 

mungkin!" katanya keras. 

"Di jagat ini bisa saja terjadi seribu satu macam hal yang 

tidak mungkin, Mahesa." 

Mahesa Kelud termenung. Diingat-ingatnya keadaan diri 

gurunya itu baik-baik. Ciri-ciri sama namun sifat banyak 

berbeda. Dia mengingat-ingat lagi. "Dewi Maut... apakah 

pada tangan kanan sekitar siku manusia bernama Simo 

Gembong itu... terdapat tanda hitam? Tanda hitam besar 

sejak lahir?" 

Kini Dewi Maut jadi terkejut. "Kau tahu dari mana hal 

itu? Jadi kau sudah jumpa sendiri dengan Simo 

Gembong?!" 

Untuk selang beberapa lamanya Mahesa Kelud tak 

dapat berkata-kata. Otaknya kacau balau! Hatinya benar-

benar campur aduk! "Dewi, aku tak bisa menunggu lebih 

lama. Mana pedang Samber Nyawa itu?!" 

"Eh, tampaknya kau semakin kesusu Mahesa. Kenapa?" 

"Pedang Samber Nyawa!" teriak Mahesa Kelud tak 

sabaran. 

Dewi Maut tersentak karena terkejut oleh teriakan yang 

menggeledek itu. Dia melangkah ke hadapan Mahesa. "Aku 

akan ambil," katanya. Tapi dia masih berdiri di situ dan 

sinar matanya berubah mesra seperti beberapa saat yang 

lalu "Aku akan ambil untukmu Mahesa, percayalah. Tapi...." 

Dia maju satu langkah lagi. 

"Tapi apa?!" 

"Kau... kau tak ingin memeluk aku lebih dahulu, 

Mahesa?' 

"Jangan bicara ngelantur!" 

"Peluk aku Mahesa... peluk. Aku rindu akan pelukan 

seorang laki-laki. Enam puluh tahun Mahesa... enam puluh 

tahun aku hidup tanpa merasakan kemesraan itu...." 

"Ambil pedang itu atau aku akan obrak-abrik tempatmu!' 

mengancam Mahesa. 

"Peluk aku dulu Mahesa," kata Dewi Maut dengan suara


minta dikasihani. 

"Tidak!" 

"Sekejap pun jadi, Mahesa." 

"Gila kau!" 

"Mahesa.... " 

"Pedang itu!" 

"Kalau kau tak mau peluk, cium saja...." 

"Gadis Jalang! Kalau kau tak bergerak dari hadapanku 

kutebas batang lehermu!" dan Mahesa cabut kembali 

pedang merahnya. 

"Kau kejam sekali," desis Dewi Maut. "Kau tak mau 

memeluk aku... tak mau mencium aku... tak mau meraba 

tubuhku? Aku akan berikan pedang sakti itu, sungguh! Tapi 

kabulkan permintaanku!" Dada Dewi Maut kelihatan turun 

naik sedang hidungnya kembang kempis, nafasnya 

meniup-niup di muka Mahesa dan bibirnya bergetar. "Aku 

relakan semua itu untukmu Mahesa, hanya untukmu saja!" 

Mahesa angkat tangan kanannya yang memegang 

pedang. Dewi Maut gelengkan kepalanya. "Kau kejam 

Mahesa... kejam sekali. Kalau kuberikan pedang itu pada-

mu nanti, mau kau kabulkan permintaanku...?" mengajuk 

Dewi Maut. 

"Ambil senjata itu!" 

"Kau tak mau karena kau tahu paras dan keadaan 

tubuhku yang asli?" 

"Ambil pedang itu dulu, Dewi!" 

"Baik Mahesa, kau tunggu di sini...." 

"Awas, jangan coba untuk menipuku!" memperingatkan 

Mahesa Kelud. 

Dewi Maut tersenyum kepadanya dan menghilang di 

balik tirai hijau di ujung kanan ruangan. 

Mahesa Kelud menunggu mundar-mandir tak sabaran. 

Beberapa saat berlalu. Tirai hijau tersingkap dan Dewi 

Maut muncul! Mahesa Kelud terkejut benar dan mundur 

beberapa langkah. "Benar-benar perempuan bejat!" maki-

nya dalam hati. 

Dewi Maut melangkah ke hadapannya dan tubuhnya


tiada tertutup sehelai benang pun alias telanjang bulat 

seperti dulu dia dilahirkan oleh ibunya ke dunia! Pada 

pinggang kanannya tergantung sebuah pedang hitam 

sedang digenggaman tangan kirinya Mahesa melihat satu 

benda tergulung, seperti sebuah ikat pinggang besar. 

Mahesa Kelud memandang ke jurusan lain. "Lemparkan 

pedang itu kepadaku, cepat!" katanya. 

"Ah, kau terlalu terburu-buru Mahesa." Dewi Maut 

berkata. Lalu direbahkannya tubuhnya yang tanpa pakaian 

itu di atas pembarlngan. Mahesa merasakan dirinya panas 

dingin! 

"Pedang itu!" 

"Ambillah sendiri, Mahesa. Bukankah kau punya 

tangan?!" ujar Dewi Maut. 

Mahesa Kelud kertakkan rahang. Dengan kepala diputar 

ke jurusan lain dia melompat ke muka untuk menyambar 

pedang. Pedang hitam itu berhasil direnggutkannya sampai 

lepas namun di saat yang sama Dewi Maut sempat pula 

mencekal tangan kanan dan meraih pinggangnya. Mahesa 

ditariknya ke atas pembaringan dan dihimpitnya dengan 

tubuhnya yang telanjang. Tangannya kemudian meng-

gerayang dan ciumannya bertubi-tubi di muka serta di dada 

laki-laki itu. "Mahesa.... Mahesa..." bisiknya berulang kali 

penuh nafsu iblis. 

"Gadis bejat!" kertak Mahesa. Dibantingkannya tubuh 

gadis itu ke samping. Keduanya bergulingan di pem-

baringan yang lebar itu seketika lalu terguling ke lantai. 

Mahesa berhasil lepaskan dirinya dari pelukan Dewi Maut 

meski pakaian hijaunya robek tersambar renggutan kuku 

gadis itu! 

"Mahesa... kau penipu! Kau berjanji akan melakukan itu, 

akan mengabulkan permintaanku bila pedang Samber 

Nyawa kuberikan padamu!" 

"Aku bukan manusia rendah macam kau!" 

"Mahesa, kemarilah...." 

Mahesa tak acuhkan undangan iblis betina itu. Dia putar 

tubuhnya tapi Dewi Maut sudah melompat ke hadapannya.


"Kau mau ke mana Mahesa. Kau mau ka mana kekasih...?" 

katanya. Dan seperti orang gila... oleh rangsangan nafsu, 

dijatuhkannya dirinya ke hadapan Mahesa namun dengan 

berkelit laki-laki itu berhasil menghindar ke samping. 

"Selamat tinggal Dewi Maut," Mahesa berkelebat namun 

kalah cepat. Dewi Maut menarik seutas tali dan tiba-tiba 

tirai-tirai hijau yang lebar terbal dan berat jatuh meng-

gulung tubuh Mahesa. Kedua manusia itu tersungkup dan 

Dewi Maut kembali rangkulkan kedua tangannya di tubuh 

Mahesa. 

Dengan tangan kirinya Mahesa memukul tirai hijau 

sehingga bobol. Begitu dia dapat lepaskan diri dari pelukan 

Dewi Maut dia segera lolos lewat bobolan tersebut namun 

lagi-lagi Dewi Maut berhasil mendahuluinya. 

"Mahesa, kau mau pergi setelah dapatkan senjata sakti 

itu?!" 

Mahesa tak menjawab namun segera putar tubuh. 

"Kau tertlpu Mahesa," seru Dewi Maut dan terdengar 

suara tertawanya yang meringkik macam kuda, mengeri-

kan! 

Kalimat ini membuat Mahesa hentikan gerakannya. Dan 

Dewi Maut di antara tertawanya yang meninggi itu berkata: 

"Kau tertipu. Jangan kira bahwa kau sudah berhasil 

memiliki pedang Samber Nyawa!" 

Mahesa terkesiap. Ditelitinya pedang hitam di tangan 

kanannya lalu dicabutnya. Pedang itu ternyata hanya 

pedang biasa cuma buatannya yang bagus. Tak ada 

seberkas sinar pun memantul dari senjata tersebut yang 

menandakan bahwa pedang hitam itu bukanlah senjata 

sakti atau senjata mustika adanya! 

Ringkik tawa Dewi Maut semakin keras meninggi. "Kalau 

kau mau lihat inilah pedang Samber Nyawa!" Habis berkata 

demikian Dewi Maut buka genggaman tangan kirinya dan 

gulungan benda hitam yang sejak tadi berada dalam 

genggaman itu terbuka. Ternyata benda ini adalah sebuah 

pedang! Mahesa seperti tak percaya pada pandangannya. 

Adakah sebuah pedang bisa digulung demikian rupa?!


Belum habis rasa herannya, dilihatnya Dewi Maut 

mencabut pedang itu maka memancarlah sinar hitam 

pekat yang mengerikan. Sinar hitam itu mengandung hawa 

yang menusuk-nusuk pori-pori tubuh! Ketika Dewi Maut 

maju ke hadapannya maka cepat Mahesa Kelud cabut 

pedang merahnya. Sinar merah pedang sakti itu yang 

biasanya terang kini kelihatan meredup kalah! 

Dewi Maut tertawa lagi mengerikan. "Aku Dewi Maut 

sudah demikian merendah diri terhadapmu, sudah demiki-

an menghiba-hiba seperti seorang pengemis lapar yang 

minta dikasihani! Kau manusia rendah budi yang tak tahu 

diri mampuslah!" 

Pedang Samber Nyawa membabat ke muka 

mengeluarkan suara berdengung seperti tawon. Mahesa 

menghindar ke samping dengan cepat. Hawa sambaran 

pedang di tangan Dewi Maut demikian tajamnya sehingga 

pemuda itu rasakan sekujur tubuhnya menjadi perih. 

Dengan sebat Mahesa kirimkan satu tusukan ke 

pangkal leher lawannya. Dewi Maut tak mengelak tapi 

pergunakan pedang mustika di tangannya untuk 

menangkis. Mahesa yang ingin tahu sampai dimana 

kehebatan senjata lawan dan sekaligus ingin menguji 

apakah pedang itu benar-benar pedang sakti Samber 

Nyawa adanya sengaja tidak menarik pulang pedang 

merahnya sehingga terjadilah bentrokan yang hebat di 

antara kedua senjata itu! 

Mahesa Kelud mengeluarkan seruan tertahan. Bunga 

api memercik menyilaukan mata. Pedang di tangan 

Mahesa mental ke udara, tangannya tergetar hebat serta 

linu! Mahesa bergerak ke samping lalu meloncat ke atas 

menyambar pedang merahnya kembali. Di saat itu pedang 

Samber Nyawa membabat di pinggangnya. 

"Bret!" 

Mahesa Kelud jungkir balik di udara. Masih untung 

baginya hanya pakaian hijaunya saja yang robek. Namun 

demikian hawa pedang yang jahat membuat pinggangnya 

sangat sakit dan terasa kaku! Dan ketika diperhatikannya


pedang merah di tangannya ternyata bagian yang tajam 

dari senjata itu gompal sedikit! Laki-laki itu yakin kini 

bahwa senjata di tangan Dewi Maut adalah benar-benar 

pedang sakti Samber Nyawa. 

Mengetahui bahwa dalam senjata dia kalah jauh maka 

satu-satunya jalan untuk hadapi lawan ialah harus 

merampas pedang itu dari tangan lawan. Mahesa putar 

pedang merahnya seperti kitiran, mengeluarkan tiupan-

tiupan mematikan sampai akhirnya di satu jurus yang 

hebat dia berhasil merampas pedang Samber Nyawa dari 

tangan Dewi Maut! Dewi Maut terpekik dan melompat 

mundur. Parasnya pucat pasi! 

Ketika Mahesa datang mendekat dia segera berteriak. 

Suara teriakannya aneh sekali dan sesat kemudian ketiga 

orang pembantunya yaitu Empat Biru, Tujuh Biru dan 

Sembilan Biru sudah muncul di sana dengan pedang di 

tangan dan langsung menyerbu Mahesa Kelud. 

"Kalian pergilah semua!" teriak Mahesa. Sekali pedang 

Samber Nyawa di tangannya bergerak maka puntunglah 

ketiga pedang hitam di tangan gadis-gadis itu. Anak buah 

Dewi Maut berpekikan. 

"Celaka Dewi!" seru Empat Biru. "Bagaimana pedang 

sakti itu bisa berada di tangannya?!" 

"Matilah kita semua!" seru Tujuh Biru. 

Dalam gugupnya Dewi Maut berteriak. "Tinggalkan 

tempat ini dengan cepat! Kalian tunggu aku di Pintu 

Rahasia!" 

Sebelum Mahesa Kelud menyerang kembali maka Dewi 

Maut tarik tiga utas ujung tali yang ada di belakang 

kepalanya. Terdengar suara mendesir dan tiga tirai berat 

jatuh menyungkup Mahesa. Meski bagaimana pun laki-laki 

ini coba hindarkan diri namun tetap saja tubuhnya 

tertimbun oleh tirai-tirai raksasa itu. Ketika sesaat 

kemudian dia keluar dari timbunan tirai maka Dewi Maut 

dan anak-anak buahnya sudah lenyap! 

Mahesa memeriksa seluruh ruangan itu bahkan 

kemudian seluruh pulau namun Dewi Maut dan pembantu


pembantunya hilang lenyap tidak berbekas. Mahesa akhir-

nya hentikan pencahariannya karena percuma membuang 

waktu saja, lagi pula pedang Samber Nyawa sudah berada 

di tangannya. 

Diperhatikannya senjata mustika itu beberapa lamanya. 

Pedang itu ringan dan tipis sekali. Bentuknya sederhana 

bahkan hulunya biasa saja tiada berukir. Keanehan dari 

senjata ini disamping kesaktiannya yang luar biasa ialah 

bahwa pedang Samber Nyawa bisa ditekuk bahkan dilipat! 

Tak dapat diduga oleh Mahesa siapa yang membuat 

senjata tersebut atau dari bahan apa terbuatnya. Ketika 

pedang ini digulungnya, sinar hitam pekat lenyap dan 

gulungan pedang itu hampir tersembunyi di dalam 

genggaman tangan kanannya yang besar! 

***


SEMBILAN


PUNCAK Gunung Kelud.... Rambutnya yang panjang seperti 

perempuan itu awut-awutan dan kotor. Telinga kanannya 

sumplung. Mukanya yang buruk lebih menyeramkan 

karena dihias oleh sebuah hidung besar pesek dan mata 

kiri yang picak senantiasa membuka sedang mata 

kanannya terpejam. Janggutnya yang dulu sampai ke dada 

kini sudah menjela perut. Dia duduk bersila di atas batu 

hitam dalam pondok kayu itu. Kedua tangannya dilipat di 

muka dada dan dari ubun-ubun di batok kepalanya 

mengepul asap putih kehijauan. Satu jam kemudian baru-

lah orang tua ini membuka mata kanannya yang sejak tadi 

dipejamkan. Mata itu berwarna sangat merah dan 

pandangannya menyorot. 

"Syukur kau sudah kembali Mahesa," kata Embah 

Jagatnata. "Aku gembira sekali!' suaranya besar serak 

sedang mata kanannya yang merah itu meneliti Mahesa 

Kelud yang duduk bersila penuh khidmat di hadapannya. 

Dia tersenyum, tapi justru senyumnya ini membuat 

tampangnya jadi tambah buruk dan lebih mengerikan. 

"Muridku, kau berhasil dapatkan pedang Samber Nyawa?" 

"Berhasil Embah," jawab Mahesa Kelud. Kedua matanya 

pun meneliti paras orang tua di hadapannya itu. 

"Bagus sekali!" terdengar Embah Jagatnata berkata. 

"Apakah kau juga sudah berhasil menemukan itu manusia 

bernama Simo Gembong maka kau datang ke sini?!" 

Mahesa tak menjawab. Diperhatikannya tanda hitam di 

siku tangan kanan Embah Jagatnata dan hatinya berdebar. 

"Apakah kau sudah berhasil menemui Simo Gembong?" 

tanya Embah Jagatnata sekali lagi. 

"Embah... petunjuk yang saya dapat tidak begitu


memastikan. Saya datang untuk meminta tambahan 

petunjuk dari Embah...." 

Air muka Embah Jagatnata jadi berubah. "Kalau begitu, 

percuma kau datang kemari Mahesa! Bukankah dulu aku 

sudah beri ingat padamu bahwa kau sekali-kali tidak boleh 

kembali ke sini sebelum kau berhasil menemui dan 

membunuh manusia bernama Simo Gembong itu! Apa kau 

lupa?!" 

"Tidak lupa Embah... cuma... hasil pencaharian yang 

saya lakukan membuat saya jadi bingung sendiri...." 

"Bingung bagaimana?!" 

"Ciri-ciri tentang Simo Gembong semuanya tepat sama 

dengan ciri-ciri Embah...." 

"Kalau begitu kau sudah berpendapat bahwa aku 

gurumu, Embah Jagatnata, adalah si Simo Gembong itu?!" 

"Kenyataan membawa petunjuk yang demikian bagi 

saya. Namun sesungguhnya saya sama sekali tidak bisa 

mempercayainya, Embah..." jawab Mahesa Kelud. 

"Aku tanya, kau mau berpegang pada kenyataan atau 

pada rasa percaya pada diri sendiri?!" 

"Pada dua-duanya, Embah," sahut Mahesa. 

"Kalau kau sudah berpegang pada kedua hal itu, 

mengapa kau belum sanggup mencari manusia tersebut?!" 

"Justru itulah yang saya inginkan petunjuk dari Embah," 

jawab Mahesa Kelud pula. 

Embah Jagatnata memandang pada Mahesa dengan 

matanya yang cuma satu sementara asap putih kehijauan 

terus juga mengepul dari ubun-ubun kepalanya. "Bodoh!" 

bentak orang tua itu tiba-tiba. "Tolol! Goblok! Dungu! Kau 

sudah lihat kenyataan! Kau sudah dapati kesamaan antara 

aku dengan Simo Gembong! Apakah kau masih juga tidak 

tahu siapa aku sebenarnya?!" 

Terkejutlah Mahesa Kelud mendengar kata-kata Embah 

Jagatnata itu. "Jadi betulkah itu Embah...?" 

"Apa yang betul?!" 

"Bahwa Embah adalah Simo Gembong yang harus saya 

cari dan saya bunuh?!'


"Sudah tahu akan kenyataan masih bertanya! Benar-

benar bodoh! Mahesa Kelud, kakek-kakek tua renta 

bermata satu di hadapanmu ini adalah Simo Gembong! 

Simo Gembong! Apakah kau masih belum sadar?!" 

Kedua mata Mahesa Kelud membuka lebar-lebar. 

"Lantas... mengapa Embah menyuruh saya mencari Simo 

Gembong dan membunuhnya kalau kenyataannya bahwa 

Simo Gembong itu adalah Embah sendiri?!" tanya Mahesa 

tak mengerti. 

"Ini satu hal yang perlu aku terangkan kepadamu, murld-

ku," jawab Embah Jagatnata yang telah mengakui dirinya 

sebagai Simo Gembong. "Selama puluhan tahun hidup, aku 

telah melewatinya dengan percuma, bahkan dengan me-

nanam dosa di sepanjang hari kehidupanku itu! Aku 

berilmu tinggi dan ilmuku itu aku pergunakan untuk ber-

buat segala macam kejahatan, merampok, membunuh, 

memeras, merusak kehormatan gadis-gadis, melarikan istri 

orang, menghancurkan rumah tangga orang bahkan mem-

bunuh anak-anak yang tiada berdosa! Ilmuku terlalu tinggi 

sehingga tak satu manusia lain pun yang sanggup turun 

tangan terhadapku. Diriku terlalu sakti sehingga tak satu 

senjata pun mempan menembus kulitku! Aku semakin tua 

dan dosaku semakin karatan! Aku kepingin mati, tapi ajal 

masih belum sampai! Satu-satunya senjata yang sanggup 

memisahkan tubuhku dengan jiwa adalah pedang Samber 

Nyawa. Aku tak tahu dimana senjata itu berada karenanya 

kusuruh kau untuk mencarinya! Dan katamu kau berhasil! 

Dimana kau temukan pedang itu, Mahesa?" 

"Di Pulau Mayat, tempat kediaman Dewi Maut...." 

"Dewi Maut..." desis Embah Jagatnata. "Memang terakhir 

kali kuketahui senjata itu memang ada padanya dan 

senjata itulah yang dipakainya untuk membabat putus 

telinga kananku. Masa itu kesaktian kami berada ditingkat 

yang sama cuma Dewi Maut mempunyai pedang sakti 

tersebut sehingga aku terpaksa lari tak sanggup me-

layaninya." 

Embah Jagatnata alias Simo Gembong berhenti seketika


lalu meneruskan. "Di hari-hari tuaku... di masa hampir 

masuk ke liang kubur maka terbitlah di hatiku rasa 

penyesalan atas apa yang pernah kulakukan selama 

puluhan tahun. Penyesalan atas dosa-dosa tak berampun 

yang lambat laun semakin tak sanggup aku pertahankan. 

Dan inilah yang harus aku pertanggung jawabkan di akhirat 

kelak! Sedang aku yang kepingin mati belum juga sampai 

ajal! Akhirnya kucari jalan! Kau tahu Mahesa, kau adalah 

salah seorang anak manusia yang menjadi korban ke-

bejatanku! Ibumu seorang perempuan cantik. Sesudah dia 

melangsungkan perkawinan dengan ayahmu, sesudah dia 

baru saja melahirkan kau yang saat itu berumur dua bulan, 

ibumu kularikan! Ayahmu kubunuh, bahkan paman serta 

kakekmu dan mertua ayahmu kubunuh semua! Ibumu ku-

larikan ke sebuah pondok di tengah rimba belantara, ku-

rusak kehormatannya selama berminggu-minggu dan 

ketika aku sudah bosan, perempuan itu kubunuh! Aku 

bejat, terlalu bejat! Dan dosa semacam itu, dosa tak 

berampun, bukan sekali itu saja kulakukan, tapi puluhan 

kali!" 

Mahesa Kelud merasakan tubuhnya bergetar dan bulu 

tengkuknya menggerinding. Kemudian terdengar lagi suara 

Simo Gembong. "Penyesalan datang selalu terlambat. 

Ketika aku tahu bahwa kau adalah anak dari perempuan 

yang dulu aku bunuh maka aku berniat agar kelak kaulah 

yang dapat membunuhku sebagai pembalasan atas dosa-

dosaku yang bejat tiada berampun itu! Waktu itu kau 

sudah menjadi seorang pemuda dan kau diambil anak 

angkat oleh keluarga petani miskin di kampung Sariwangi 

dan kau diberi nama Panji Ireng oleh mereka! Suatu malam 

ketika kau habis menonton wayang, di bawah hujan lebat 

kuhadang kau di Kali Brantas. Kau kubawa ke sini, kuambil 

sebagai murid, kudidik berbagai ilmu silat dan kesaktian, 

sekedar bekal bagimu dalam kelak mencari pedang 

Samber Nyawa yakni senjata satu-satunya yang dapat 

menamatkan riwayatku! Kau pergi dan kini kau kembali 

dengan berhasil! Hari ini adalah hari kematianku, Mahesa!


Niatku untuk mati di tanganmu rupanya kesampaian juga! 

Hari pembalasanku telah tiba! Aku tahu kematianku di 

tanganmu belum tentu dapat sebagai penebus dosa-dosa-

ku! Mahesa, keluarkan pedang itu, letakkan di kepalaku! 

Balaskan sakit hati orang tuamu, kakekmu dan juga sakit 

hati puluhan manusia yang aku telah bunuh dan rusak 

kehidupan mereka! Lakukan Mahesa!" 

Meskipun hatinya menggeram mendengar penuturan 

Embah Jagatnata, namun Mahesa Kelud tetap duduk tak 

bergerak di tempatnya. 

"Kau tunggu apalagi, Mahesa?" 

"Mana mungkin Embah... mana mungkin saya lakukan 

itu. Semua manusia tak ada yang suci...." 

"Aku membunuh ayah ibumu, Mahesa. Kau tak akan 

berdosa jika kau membunuh aku karena aku yang 

tanggung segala dosa itu!" 

Antara guru dan murid terjadi perdebatan. Simo 

Gembong kehabisan sabar. Dia berdiri dari duduknya. 

Dicabutnya sebuah tongkat kecil dari pinggangnya. "Mari 

kita keluar," katanya. "Aku tahu hatimu! Kau memang 

seorang kesatria murni! Keluarkan pedang Samber 

Nyawamu dan mari kita selesaikan hidupku yang bejat ini, 

kalau memang cara satria ini yang kau minta Mahesa." 

Sesudah lama gurunya menunggu di luar, barulah 

Mahesa berdiri. Tapi yang dicabutnya adalah pedang 

merah. Melihat senjata itu maka berkatalah Simo 

Gembong. "Ah Pedang Dewa yang bagus. Tentu kau telah 

berguru pula pada Suara Tanpa Rupa. Masukkan saja 

senjata itu Mahesa, percuma nyawaku tak akan minggat 

dari tubuhku dengan seribu tusukan pedang sakti ini!" 

Mahesa berdiri bimbang. 

"Kalau kau tak percaya, mari kita buktikan!" kata Embah 

Jagatnata pula. Tubuhnya meloncat enteng ke muka. 

Tongkat di tangannya meskipun kecil tapi menderu laksana 

badai dan menyambar dahsyat ke leher Mahesa pemuda 

ini berkelit, dia tak mau balas menyerang. Ketika tongkat 

membalik dengan bagian ujungnya menotok ke arah


peredaran darah besar Mahesa mengelak lagi dan tahu-

tahu pedangnya terpukul lepas oleh tongkat gurunya! 

Mahesa berdiri termangu. 

"Pedang Samber Nyawa, Mahesa. Lekaslah! Supaya 

cepat aku minggat ke neraka mempertanggung jawabkan 

dosa-dosaku!" kata Simo Gembong. 

Sebaliknya yang dikeluarkan Mahesa adalah Keris Ular 

Emas. "Oh Keris Ular Emas... syukur kau berhasil dapatkan 

senjata mustika itu! Senjata sakti pembunuh segala 

macam racun. Namun untukku tetap tak ada manfaatnya, 

Mahesa. Lihat...!' 

Simo Gembong seperti seekor burung elang melayang 

ke udara. Kakinya menyerang muridnya lebih dahulu. 

Mahesa meskipun pegang senjata di tangan tapi tak berani 

membalas menyerang bahkan selalu mengelak. Dia me-

lompat ke samping. Tongkat kecil di tangan gurunya me-

mukul ke kepala. Mahesa menunduk tapi tertipu karena 

sesungguhnya tongkat yang dilihatnya memukul ke kepala 

hanyalah bayangan saja dari tongkat yang asli sedang 

tongkat asli sudah menyambar ke atas dari bawah. 

"Plak!" 

Tangan Mahesa tergetar hebat dan Keris Ular Emas ter-

lepas dari tangannya! 

"Masih juga kau tak mau keluarkan Samber Nyawa? 

Lekaslah muridku..." kata Simo Gembong. 

Mahesa menjadi penasaran juga. Dari balik pinggangnya 

dikeluarkannya gulungan pedang sakti itu. Ketika gulungan 

pedang hitam terbuka maka kelihatan air muka Simo 

Gembong berubah kecut melihat sinar pekat yang 

memancar dari senjata tersebut. Diangsurkannya kepala-

nya ke muka dan berkata: "Bacokkan cepat, Mahesa!' 

Pemuda itu hanya diam saja. 

"Ayo Mahesa!" 

Mahesa tetap tak bergerak. 

Maka menyeranglah si orang tua dengan hebat. Tongkat 

kecil di tangannya menderu, menyerang ke pelbagai bagian 

tubuh Mahesa. Serangan ini benar-benar dahsyat sehingga


di samping mengelak Mahesa terpaksa pergunakan 

pedang Samber Nyawa untuk menangkis. Dan setiap ter-

jadi bentrokan senjata maka kelihatanlah bagaimana 

tongkat di tangan Simo Gembong menjadi buntung, makin 

lama makin pendek! 

"Ayo Mahesa! Serang aku, mengapa cuma menangkis 

dan mengelak? Serang dan bunuh! Tusukkan pedangmu di 

dadaku!" 

Mahesa tetap tak mau balas menyerang. Dapatkah 

seorang murid menyerang gurunya dengan bersungguh-

sungguh? Bisa dan sanggupkah seorang murid membunuh 

guru sendiri... meski si guru mempunyai dosa besar yang 

harus dipertanggung jawabkannya? Puluhan jurus sudah 

berlalu namun Mahesa masih juga mengelak dan me-

nangkis. Mahesa sendiri tahu jika Simo Gembong ber-

hasrat membunuhnya mungkin sudah sejak tadi dilakukan 

oleh orang tua itu. 

"Ayo Mahesa, serang aku! Tusukkan pedangmu!" 

Namun laki-laki muda itu tetap mengelak dan me-

nangkis saja. Simo Gembong habis kesabarannya. Di-

buangnya tongkatnya yang tinggal pendek. Sekali dia 

melompat ke muka maka kedua tangannya sudah men-

cekal lengan Mahesa yang memegang pedang. Sebelum 

Mahesa tahu apa yang akan diperbuat gurunya, Simo 

Gembong dengan sangat cepat menarik lengan itu ke 

muka dan "cras!" ujung pedang terhunjam di dadanya! 

"Mahesa muridku... selamat tinggal...." 

Mahesa melepaskan pegangannya pada hulu pedang 

dan cepat-cepat memeluk tubuh gurunya. Namun tubuh itu 

sudah tidak bernyawa lagi. Mahesa membopong jenazah 

gurunya ke dalam pondok dan membaringkannya di atas 

balai-balai kayu. Dipandanginya jenazah itu seketika 

dengan mata berkaca-kaca lalu dia ke luar lagi untuk 

mengambil pedang merah serta Keris Ulas Emasnya. Dia 

memandang ke langit. Udara kelihatan mendung namun 

dalam waktu dekat hujan belum akan turun. Dan laki-laki 

itu mulai membuat kubur untuk gurunya. Guru yang telah


membunuh orang tuanya, kakek serta neneknya. Guru 

yang telah menghancurkan kehidupannya, tapi kepada 

siapa dia tiada menaruh secuil pun dendam kesumat. 



                          TAMAT 



Segera menyusul!!! 


MAHESA KELUD 

PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS 


Dengan judul : 


SIMO GEMBONG MENCARI MATI




Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar