SATU
TIGA DEDENGKOT KEJAHATAN MENYUSUN RENCANA
BEBERAPA jam menjelang tengah malam, di satu rumah
papan kotor berdebu di pinggir daerah pesawahan tak jauh
dari Desa Ngaran. Tiga orang tokoh rimba persilatan dari
masa lampau yang oleh kekuatan gaib mampu masuk ke alam
sekarang, berada di dalam rumah itu. Duduk di lantai beralaskan
daun pisang, mengelilingi sebuah lampu minyak. Nyala api lampu
minyak tampak bergoyang-goyang oleh hembusan angin yang
masuk lewat celah-celah lapuk papan dinding, membuat bayang-
bayang seram di dalam rumah.
Tiga orang itu adalah kakek berwajah pucat seolah tak berdarah,
dikenal dengan panggilan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.
Orang kedua ialah musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng,
yaitu Pangeran Matahari yang selama ini dijuluki sebagai Pangeran
segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak.
Di antara ke dua orang itu duduk seorang nenek berambut kusut
awut-awutan, mengenakan mantel biru. Mukanya tertutup
dandanan tebal tak karuan, membuat tampangnya yang buruk
kelihatan angker seperti setan. Sepuluh kuku jari tangannya yang
panjang-panjang memiliki dua warna. Kadang-kadang kelihatan
merah, sesekali berubah hitam. Dialah yang dikenal dengan nama
Kunti Api, guru Si Muka, Bangkai.
"Eyang Guru, apakah kau berhasil mendapatkan dan
mengamankan telur pembuka Stupa?" Bertanya Pangeran Matahari
pada Kunti Api. Dia merasa perlu menanyakan hal ini karena dialah
yang telah menjebloskan dan menyekap Dwita Tifani, pelajar kelas
dua SMU Nusantara III, ke dalam Stupa Arca Amoghasidi di Candi
Borobudur. Dia tidak ingin kalau gadis cantik itu berhasil keluar dari
dalam Stupa.
Kunti Api luruskan tubuhnya. Sambil menyeringai, dengan nada
congkak dia berkata. "Kalian bisa lihat sendiri apa yang aku
dapatkan."
Dari balik mantel biru, dari dalam lipatan sehelai sapu tangan
dia mengeluarkan sebuah benda berwarna lonjong putih. Benda ini
digelindingkannya di atas daun pisang. Ternyata sebutir telur ayam.
Si Muka Bangkai ambil telur itu, memperhatikan sejenak,
menimang-nimangnya beberapa kali, kemudian berpaling pada Si
Muka Bangkai dan berkata.
"Muka Bangkai, walau muridmu belum berhasil membunuh
Boma, tapi kita akan berhasil membunuh anak perempuan yang
disayanginya itu. Anak itu akan menemui ajal pada dua pertiga
malam. Malam ini. Sekitar jam tiga menjelang pagi nanti. Seumur
hidup Boma akan dihantui kematian anak perempuan itu. Jika
memang umur anak lelak ini panjang. Tapi kalau dia keburu mati di
tangan kita, sepasang remaja itu akan jadi roh penasaran,
gentayangan berdua kemana-mana. Hik...hik...hik!"
"Eyang," ucap Si Muka Bangkai sambil hcrhatikan kembali telur
dalam pegangan tangan kanannya. "Mudah-mudahan aku tidak
keliru. Aku merasa ada kelainan pada telur ini. Waktu Eyang
mendapatkan dan membawanya ke sini, apakah Eyang tidak
meneliti lebih dahulu?"
Sepasang alis mata Kunti Api yang dipoles hitam kereng
mencuat ke atas.
"Muka Bangkai, apa maksudmu?" Nenek bermantel biru
bertampang angker bertanya.
"Telur ini enteng sekali, Guru. Aku merasa seperti memegang
telur penyu kering yang sudah kosong. Agaknya isi telur ayam ini
telah berpindah ke tempat lain. Berarti telur ini tidak ada artinya
sama sekali."
Kunti Api unjukkan tampang sewot.
"Jangan kau bicara seperti itu, Muka Bangkai! Aku sendiri yang
mengambil telur ini dari orang yang pertama kali mendapatkannya.
Bahkan waktu barusan aku keluarkan dari dalam sapu tangan
masih terasa berat! Tanda ada isinya!"
"Maaf Eyang, kalau Eyang tidak percaya silahkan memegang
sendiri."
Si Muka Bangkai lalu serahkan telur ayam yang dipegangnya
pada sang guru.
Kunti Api tersentak kaget, tampangnya langsung berubah ketika
dia memegang telur dan merasakan betapa telur ayam itu enteng
sekali.
"Gila! Apa yang terjadi?! Waktu aku mengambil telur dari orang
itu, keadaannya tidak seperti ini. Tidak enteng! Tadipun sudah aku
katakan. Waktu barusan aku keluarkan dari dalam sapu tangan
masih terasa berat, tanda ada isinya!"
"Berarti kekuatan yang ada di dalam telur lenyap barusan saja,"
Pangeran Matahari keluarkar ucapan.
"Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin!" Kata Kunti Api pula.
Matanya berkilat marah. "Jahanam Pasti ada orang mengerjaiku!"
Saking marahnya Kunti Api remas telur ayam, itu hingga
berderak hancur semudah menghancurkan kerupuk. Dari pecahan
telur tidak ada cairan putih dan cairan kuning yang keluar. Telur itu
ternyata memang kosong!
Kunti Api pandangi dengan mata mendelik tangan kanannya
yang dipenuhi hancuran kulit telur. Masih tidak bisa percaya dia.
"Nenek Guru, dari siapa kau mendapatkan telur ini?" Bertanya
Pangeran Matahari.
Kunti Api menatap mata Pangeran Matahari sesaat, baru
menjawab. "Dari seseorang yang aku kuntit sejak beberapa hari
lalu. Aku tidak tahu nama bangsat itu!"
"Nenek Guru merampas telur ini lalu membunuh orangnya?"
tanya Pangeran Matahari lagi.
"Tidak, aku tidak membunuhnya. Aku mengancam saja dia
sudah ketakutan setengah mati. Telur diberikannya dengan suka
rela."
"Maaf Nenek Guru, kalau telur ini merupaka satu benda
keramat, dia tidak mungkin memberikan begitu saja. Orang itu telah
menipu Nenek Guru!
Merah padam tampang angker Kunti Api rnendengar kata-kata
Pangeran Matahari itu. Marah setengah mati karena bisa tertipu
oleh ketololannya sendiri.
Sebaliknya Pangeran Matahari tampak tersenyum. Selama ini Si
Muka Bangkai sering memakinya sebagai manusia tolol. Saatnya
dia punya kesempatan untuk menyindir. Sambil mengerling ke arah
Si Muka Bangkai, pemuda ini berkata.
"Nenek Guru, hidup kita sebagai manusia biasa memang begitu
adanya. Seribu kali kita merasa pandai, terkadang satu kali bisa
saja kita berbuat yatu ketololan, sadar atau tidak sadar. Jadi harap
Nenek Guru tidak berkecil hati." Habis berkata begitu Pangeran
Matahari melirik ke samping. Tampang Si Muka Bangkai tampak
mengkeret. Kakek muka pucat ini maklum kalau Pangeran
Matahari barusan telah menyindirnya.
"Nenek Guru, kalau aku boleh bertanya, orang itu, apakah
Nenek Guru tahu siapa dia adanya?" Pangeran Matahari alihkan
arah bicara, ajukan pertanyaan.
"Aku tidak tahu namanya. Tapi sejak beberapa waktu
belakangan ini dia sering kelihatan di sekitar Candi Mendut.
Mengamen."
"Mengamen? Di Candi Mendut?" ulang Si Muka bangkai.
Wajahnya yang pucat tampak tambah putih. Lalu dia berpaling pada
muridnya. "Pangeran, aku menaruh curiga...."
"Orang yang mengamen itu," kata Pangeran Matahari sambil
memandang pada Kunti Api. "Apakah Nenek Guru masih ingat
bagaimana ciri-cirinya?"
"Seorang kakek tua. Berambut kaku berdiri, dicat warna pirang.
Dia mengenakan jaket dan celana bulujins. Pakai anting di telinga
dan pusarnya yang bodong..."
"Nenek Guru pernah mendengar dia bernyanyi?"
"Dua kali."
"Apa nyanyian yang dibawakannya?"
"Mana aku tahu nama nyanyian itu. Tapi dua-duanya disukai
orang banyak. Kalau si pengamen membawakan dua lagu itu,
banyak orang pada berjoget. Menerangkan Kunti Api.
"Nenek Guru mungkin ingat satu atau dua kata dalam nyanyian
itu?" Tanya Pangeran Matahari
Kunti Api urut-urut keningnya.
"Lagu pertama kalau aku tidak salah sepertinya mengajak orang
minum. Tapi..."
"Minum? Minum apa Nek?"
"Bukan minum. Tapi... Lagu tentang orang bercinta.
Aahh...lagunya aneh. Bercinta tapi menyebut minum. Minum...."
"Minum kopi?" sambung Pangeran Matahari. "Betul! Minum
kopi!"
"Lagunya Kopi Dangdut!"
"Betul sekali!" Kata Kunti Api sambil tepukkan dua tangannya.
"Lagu kedua, apa Nenek Guru ingat?" Kembali Pangeran
Matahari bertanya.
"Kalau aku tidak salah pakai biru-biru. Hemmm...Tenda Biru.
Betul! Tenda Biru!" Kata Kunti Api pula.
"Pengamen itu, apakah lidahnya cadel? Tidak bisa menyebut
er?"
Kunti Api gelengkan kepala. "Seingatku tidak cadel, tidak pelo.
Dia menyebut er lempang-lempang saja."
"Pangeran Matahari," tiba-tiba Si Muka Bangkai membuka
mulut. "Jangan kau berkhayal tentang kakek pengamen bernama
Pelawak Sinting. Kita telah membunuhnya beberapa waktu lalu di
jembatan penyeberangan di depan gedung Sarinah. Di Jakarta!"
"Betul sekali Guru," jawab Pangeran Matahari pada Si Muka
Bangkai. "Tapi jangan lupa. Ada berita mengabarkan bahwa mayat
Si Pelawak Sinting lenyap dicuri orang dari dalam ambulans. Siapa
tahu waktu itu dia tidak mati. Hidup dan muncul lagi."
"Si Pelawak Sinting tidak berambut pirang. Tidak pernah pakai
bulujins..."
"Tunggu," kata Pangeran Matahari sambil tersenyum karena
Kunti Api selalu menyebut blujins dengan bulujins. "Nenek Guru,
pengamen itu, apa Nenek Guru ingat peralatan apa saja yang
dipakainya waktu mengamen?"
"Dia membawa gendang dan rebana yang ada kerincingannya.
Sambil menyanyi dia berjoget. Lalu di kepalanya ada sebuah
payung kecil, terbuat dari kertas. Payung dikembangkan, dia
bernyanyi dan berjoget. Payung tidak jatuh. Sesekali dia me-
mainkan sebuah benda aneh sepanjang satu jengkal. Aku tidak
tahu apa namanya. Kalau ditiup benda itu mengeluarkan suara
lebih merdu dari suara seruling. Lalu....lalu dia pakai anting di
kuping dan pusarnya." Kunti Api terdiam sesaat lalu bertanya.
"Pangeran Matahari, apakah kau mengenal pengamen tua itu?"
"Aku masih menduga-duga Nek. Ada sedikit keraguan. Nenek
Guru ingat pada Si Pelawak Sinting yang membuat keonaran di
Pasar Baru dulu?
"Aku ingat ceritamu. Tapi betul kata gurumu Muka Bangkai. Si
Pelawak Sinting tidak berambut pirang dicat. Lidahnya cadel. Dia
tidak punya alat yang bisa mengeluarkan suara seperti seruling itu.
Telinganya tidak pakai anting. Apa lagi dipusarnya. Lalu aku ingat, si
pengamen di Candi Mendut itu menempeli giginya dengan kertas
timah bungkus rokok."
"Betul sekali Nenek Guru. Banyak perbedaan. Tapi ada
persamaan. Si Pelawak Sinting membawa payung kertas.
Pengamen di Candi Mendut juga punya payung kertas. Pelawak
Sinting pakai rebana dan gendang. Pengamen di Candi juga punya
rebana dan gendang. Dalam menyanyi keduanya berjoget sambil
meletakkan payung terkembang di atas kepala. Lalu salah satu lagu
yang dinyanyikan pengamen di Candi Mendut sama dengan lagu ya
suka dibawakan Si Pelawak Sinting. Kopi Dangdut.”
Tiga orang di dalam rumah papan sama terdiam beberapa saat
dalam kesunyian.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang.” Si Muka Bangkai
memecah kesunyian.
"Aku tahu apa yang harus kita lakukan!" Kata Kunti Api seraya
bangkit berdiri. "Saat ini juga aku akan ke Candi Mendut. Pangeran
Matahari, kau ikut bersamaku. Mungkin pengamen keparat itu
masih menyimpan telur keramat yang asli. Muka Bangkai, kau lekas
ke Candi Borobudur. Apapun yang terjadi kau harus bisa mencegah
anak perempuan bernama Dwita itu dikeluarkan dari dalam Stupa.
Tapi ingat! Yang paling aku harapkan ialah agar kau bisa
membunuh anak lelaki bernama Boma itu!"
Tak lama kemudian, dalam kegelapan malam Kunti Api dan
Pangeran Matahari berkelebat ke arah timur menuju Candi Mendut.
Si Muka Bangkai sambil mengomel dalam hati bergerak ke arah
barat.
Hatinya mengkal mendapat tugas harus pergi ke Borobudur
karena sebenarnya malam itu dia telah ada rencana menemui
seorang janda pedagang lesehan di Malioboro. Bahkan dia telah
siap-siap untuk menenggak Majun Arab, obat kuat dalam
menghadapi sang janda. Uring-uringan kakek muka pucat ini berlari
menuju ke barat. Di satu tempat dia berhenti, memandang ke
langit. Hatinya berkata. "Masih ada waktu....Masih ada waktu untuk
bercanda dengan janda itu." Tanpa berpikir dua kali, si kakek
segera memutar arah larinya. Sambil lari tangannya meraba ke
balik pakaian, mengeluarkan Majun Arab, membuka kertas
pembungkus lalu mengunyah dan menelannya. Hek! Si Muka
Bangkai keluarkan suara tercekik. Majun Arab tersekat di
tenggorokan. Mulutnya terpencong-pencong, mata mendelik-delik.
Obat kuat itu ternyata tidak mudah ditelan tanpa dibantu air.
***
DUA
SUMI PRIMBON
SEPERTI biasa, setiap malam setelah toko-toko di sepanjang
Jalan Malioboro tutup, kawasan itu berubah hidup menjadi
pusat santap lesehan. Dari sekian banyak pedagang lesehan
terdapat seorang janda bernama Sumi, lebih dikenal dengan
panggilan Sumi Primbon. Ada juga yang memanggilnya dengan
sebutan Jeng Primbon. Predikat ini didapatnya karena sang janda
memiliki kepandaian meramal berdasarkan ilmu primbon. Jika ada
tamu yang ingin diramal nasibnya sambil makan, Sumi Primbon
akan melakukan dengan senang hati tanpa dipungut bayaran. Tapi
tentunya Sumi Primbon tidak mau rugi. Lalu ongkos ramal
dimasukkannya ke dalam makanan yang disantap sang tamu.
Sumi Primbon berwajah bulat, selalu berdandan apik. Rambut
hitam tebal disanggul besar ke belakang. Dalam usianya yang telah
mencapai lima puluhan, tubuhnya yang gemuk dibungkus kulit
putih bersih, masih bagus dan kencang untuk ukuran perempuan
seusianya.
Saat itu Sumi Primbon tengah sibuk melayani tamu yang duduk
di atas tikar mengelilingnya. Seperti biasa janda gemuk ini selalu
mengenakan kebaya lurik biru pekat yang bagian atasnya di potong
rendah hingga setengah dadanya yang gembul kelihatan jelas
menonjol, terkadang bergoyang-goyang membuat para tetamu,
terutama lelaki tak perduli usia jadi geregetan. Konon memandang
dada Sumi Primbon merupakan salah satu "bumbu" penyedap yang
tidak dimiliki pedagang lesehan lainnya. Tidak mengherankan kalau
tempat Sumi Primbon banyak langganan dan banyak pula
makannya. Karena disini para tetamu mendapatkan ungkapan yang
diplesetkan yaitu empat sehat mata sempurna.
Di balik sebuah tiang beton tak jauh dari tempat Sumi Primbon
menggelar dagangan, seorang kakek berwajah pucat yang bukan
lain Si Muka Bangkai adanya, sibuk merapikan diri. Saat itu dia
mengenakan sehelai celana hitam, kemeja gombrong biru belang-
belang tangan panjang. Kemeja ini tidak dimasukkan ke dalam
celana tapi dibiarkan lepas di sebelah luar dan dua ujungnya di ikat
satu sama lain. Rambut putih panjangnya yang biasa awut-awutan
kini tersisir licin ke belakang, diikat membentuk kuncir. Rambut itu
kelihatan berkilat karena dipoles dengan minyak. Rambut yang
sudah licin itu berulang kali dirapikannya dengan sebuah sisir kecil.
Sambil mematut diri sepasang mata kakek ini tak putus-putus
mengerling ke arah sosok Sumi Primbon. Dari kantong celana
dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi minyak wangi. Minyak ini
dicipratkannya sampai habis ke pakaian dan tubuh, termasuk
ketiak kiri kanan, lalu dipoleskan di kuping. Botol kosong kemudian
seenaknya dicampakkan ke jalanan.
Setelah merapikan pakaian dan menyisir rambut sekali lagi,
sambil bersiul-siul kecil Si Muka Bangkai melangkah gagah ke
tempat Sumi Primbon menggelar lesehannya. Langsung duduk di
tikar. Kehadiran orang satu ini tentu saja menarik perhatian semua
tamu yang telah lebih dulu berada di tempat itu. Di tambah dengan
aroma minyak wangi yang santar membuat semua orang jadi
berpaling dan memandang ke arah si kakek. Ada yang terkesima
melihat wajah tua yang begitu pucat. Ada pula yang terheran-heran
melihat dandanannya.
Seorang perempuan separuh baya yang tengah asyik menyantap
makanan, menelan nasi dalam mulutnya lalu berbisik pada suami
yang duduk di sebelahnya.
"Wanginya nggak kira-kira Mas. Aku kira bidadari turun dari
kayangan. Tahu-tahu yang aku lihat mayat hidup."
Sang suami yang dibisiki tidak berani memandang pada Si Muka
Bangkai tapi balas berbisik. "Jangan bicara saenak utilmu dewe.
Orang tua itu mungkin bukan orang sembarangan."
Ketika Sumi Primbon memandang ke arahnya Si Muka Bangkai
lemparkan senyum dan kedipkan mata. Seorang anak muda yang
duduk di depannya dan sejak tadi memperhatikan, tak tahan hati
lalu menegur.
"Pak tua, minyak wanginya mencorong banget. Merk apa sih?"
Si Muka Bangkai tersenyum.
"Tidak ada mereknya. Tapi kalau dipakai siang pasti wangi.
Kalau dipakai malam pasti harum. Siapa saja yang menciumnya
bisa kecantol. Ha ...ha...ha!"
"Mending kalau kecantol. Kalau bikin pusing kepala?!" celetuk
pemuda lain teman pemuda pertama tadi.
"Eh, pusing kepala justru tanda pertama dari seorang yang mulai
kecantol!" Jawab Si Muka Bangkai lalu tertawa dan ulurkan tangan
mengambil segelas teh panas di depannya. Seorang tamu di
samping kiri si kakek cepat berkata.
"Pak, itu teh saya."
"Ah, maaf....maaf." Si Muka Bangkai tertawa.
"Wah! Ternyata Pak tua sudah pusing duluan." Kata tamu di
sebelah si kakek. Beberapa orang tertawa mendengar ucapan itu
sementara Si Muka Bangkai hanya menyeringai kaku.
"Bapak ini gaya dan dandanannya seperti ABG saja," pemuda di
depan Si Muka Bangkai sambil ternyum-senyum kembali keluarkan
ucapan.
Kakek muka pucat ikutan senyum. "Aku tahu maksud sampean.
ABG-nya pasti bukan Anak Baru Gede, tapi Aki-Aki Baru Gede. Gitu
'kan?" Semua orang yang ada di tempat itu tertawa riuh. Si kakek
sendiri senyum-senyum dan usap dagunya dengan tangan kiri.
"Tau juga dia," berucap seorang tamu.
"Saya tau, Pak Tua ini pasti termasuk orang TOP." Kembali
pemuda yang duduk di depan Si Muka Bangkai keluarkan ucapan.
Sepertinya dia tengah memuji.
"Ah, jangan gitu ah." Ucap Si Muka Bangkai sambil mematik
rambutnya yang dikuncir.
Si pemuda tertawa lebar, berkata dalam hati "Kena kau
sekarang!" Teman di sebelahnya membuka mulut. "Pak, tau nggak
apa yang dimaksud TOP?" `
"Ah, saya bukan orang beken..." Si Muka Bangkai merendah.
"TOP itu singkatan Tua, Ompong, Peot!"
Suara tawa bergelak memenuhi pelataran tempat Sumi Primbon
menggelar dagangan lesehannya.
Si Muka Bangkai ikut-ikutan tertawa. Walau tertawa tapi hatinya
sebenarnya mulai merasa jengkel pada pemuda satu ini. Kalau saja
olok-olok itu terjadi di tempat dan dalam keadaan lain, tamparan
keras pasti sudah didaratkannya ke muka si pemuda.
Seorang anak perempuan pembantu Sumi Primbon meletakkan
segelas teh manis panas di atas tikar di depan Si Muka Bangkai.
Kakek ini segera meneguk minuman itu sampai habis, membuat
anak perempuan tadi dan orang-orang lain yang menyaksikan jadi
terperangah, terheranheran. Teh manis yang disuguhkan itu masih
sangat panas, bahkan masih mengepulkan asap. Para tetamu yang
sudah lebih dulu dihidangkan teh manis seperti itu masih belum
mau minum, masih menunggu sampai tehnya agak dingin baru di
minum.
Tanpa perduli pandangan orang terhadapnya Si Muka Bangkai
beringsut mendekati Sumi Primbon. Janda gemuk ini memberikan
sebuah piring kosong tapi Si Muka Bangkai gelengkan kepala.
Setengah herbisik dia berkata.
"Aku tidak kepingin makan. Tapi kepingin yang lain. Yang kita
janjikan dua malam lalu."
Wajah bulat Sumi Primbon sesaat tampak bersemu merah. Dia
tambah kikuk sewaktu ada seorang tamu sengaja keluarkan suara
berdehem. Mungkin saja tamu ini tak sengaja mendengar apa yang
dibisikkan kakek berpenampilan aneh dan memakai minyak wangi
yang menyengat hidung itu, lalu iseng menggoda. Sebaliknya Si
Muka Bangkai palingkan kepala, menatap pada orang yang
berdehem, membuat orang ini cepat-cepat melengos tak berani
balas memandang wajah tua dan pucat itu.
"Mas Broto, malem ini aku tidak bisa. Lagi banyak tamu. Besok
saja, gimana?" Ucap Sumi Primbon. Rupanya pada sang janda Si
Muka Bangkai memperkenalkan diri sebagai Broto. Hebat juga.
"Jangan gitu, Sum. Aku sudah membuat persiapan. Aku sudah
minum obat kuat. Majun Arab. Sekarang aku sudah mulai on." Kata
Si Muka Bangkai. Entah dari mana dia tahu bahasa keren anak
muda masa kini. Mata si kakek mengerling ke dada sang janda.
Sumi Primbon diam saja, tidak memberi reaksi.
Mas Broto alias Si Muka Bangkai kembali berbisik.
"Gelang emas yang kamu minta tempo hari saat ini sudah sudah
kubawa. Ada dua."
Ucapan kakek muka pucat itu membuat sepasang mata Sumi
Primbon kelihatan membesar dan bersinar. Dia cepat-cepat
melayani beberapa orang tamu. Setelah itu kembali mendekati Pak
Broto alias Si Muka Bangkai.
"Kita mau kemana?"
Si Muka Bangkai tersenyum. Jelas sekali perubahan sikap sang
janda setelah dia memberitahu perihal dua gelang emas.
"Katamu ada kios kosong di Beringharjo."
"Betul ada. Tapi kurang aman..."
"Lalu?" .
"Begini, ke rumahku saja."
"Weh, apa di situ aman? Gimana kalau digerebek
Hantu...Maksudku itu. Han...Han..."
"Hansip?" ujar Sumi Primbon. "Ya, itu. Hantu. Eh Hansip."
"Nggak usah khawatir. Hansip di sana koncoku semua." Jawab
Sumi Primbon. "Tapi saat ini aku masih ngelayani tamu dulu.
Tunggu sampai nanti sepi."
"Aku nunggu di depan Hotel Mutiara. Jangan lama-lama. Aku
bisa mati berdiri. Kalau bisa sebelum tengah malam kita sudah
berada di rumahmu."
Si janda gemuk mengangguk. Dadanya yang besar menantang
bergoyang. Si Muka Bangkai menelan ludahnya lalu berdiri. Walau
dia sudah lama pergi tapi bau minyak wanginya masih tertinggal di
tempat itu.
"Siapa tadi itu Jeng Primbon?" seorang tamu yang kepingin tahu
bertanya. Dia adalah lelaki yang tadi mengeluarkan suara
berdehem.
"Mbah saya, dari Sleman. Dia minta diantar ke rumah seorang
teman yang lagi sakit. Mana mungkin, wong saya lagi sibuk begini."
Jawab Sumi Primbon berdusta.
"Aneh ya orangnya."
"Memang begitu. Dia itu dukun lho."
"Oh, dukun toh? Pantes."
"Bisa melet nggak?" Tanya pemuda yang tadi minumannya
hendak diserobot Si Muka Bangkai.
"Memangnya sampean mau melet sopo, dek?" tanya Sumi
Primbon sambil menyeka peluh di dadanya yang busung besar.
"Ya, maunya sih kepingin melet Jeng Primbon," jawab si pemuda.
"Husss!" Hardik Sumi Primbon. "Kok mau melet orang dikasih
tau segala!"
"Sekarang coba Jeng Primbon ramalin saya. Siapa tahu beneran
saya berjodoh sama Jeng Primbon."
"Hussss!" Sumi Primbon kembali menghardik. Kali ini sambil
tangan kanannya yang besar menonjok bahu si pemuda. Cukup
keras hingga yang ditonjok roboh ke samping. Seperti robohnya
susunan kotak korek api, orang di sebelah yang kejatuhan tubuh si
pemuda ikut roboh. Demikian pula berturut-turut dua orang lain di
sampingnya.
PAGI itu, Pariyem, anak perempuan empat belas tahun yang
membantu Sumi Primbon jualan makanan setiap malam di lesehan
Malioboro duduk di kursi rotan di teras rumah. Anak perempuan
yang hanya mengecap pendidikan sampai kelas tiga SD itu sedang
membaca surat kabar, pinjaman dari anak tetangga sebelah rumah.
Walau tersendat-sendat setengah mengeja saat itu dia tengah asyik
membaca sebuah berita. Sesekali dia menurunkan surat kabar
yang dibacanya, memandang ke arah lengan kanan Sumi Primbon
dimana melingkar dua gelas emas masing-masing dua puluh gram.
Sumi Primbon duduk di tembok rendah teras rumah,
mengenakan daster, sibuk menyiangi sayur untuk dagangan nanti
malam. Duduknya sembarangan saja. Tidak sadar kalau dasternya
tersingkap lebar di sebelah bawah.
Karena beberapa kali Pariyem memperhatikan ke arah
tangannya. Lama-lama Sumi Primbon jadi merasa tidak enak.
"Ada apa Pariyem? Kamu dari tadi memperhatikan tanganku.
Membaca lagi lalu memperhatikan lagi."
"Nggak ada apa-apa kok Bu'de." Jawab Pariyem.
Lalu meneruskan membaca. Tapi satu kali kembali Sumi
Primbon memergoki anak itu tengah memandang ke arah tangan
kanannya.
"Situ pasti naksir sama gelang baruku."
"Moso' sih naksir Bu'de. Saya 'kan belum pantes pakai gelang."
"Sudah, kamu mandi sana. Nanti bantu aku nyiapin bumbu."
Pariyem letakkan koran yang tadi dibacanya di atas kursi rotan,
lalu berdiri. Begitu anak perempuan itu masuk ke dalam rumah
Sumi Primbon segera mengambil koran di atas kursi. Dia meneliti
halaman surat kabar yang tadi dibaca Pariyem. Dia menganggap
berita di halaman itu biasa-biasa saja dan merasa heran kalau
Pariyem begitu asyik membaca sambil sesekali memperhatikan
tangan kanannya. Ketika koran itu hendak dilipatnya tiba-tiba
matanya membentur satu judul berita di kolom paling kanan
sebelah bawah.
YOGYA SEKILAS
Dua gelang emas raib secara misterius
Satu kejadian aneh menimpa Sukardi, pemilik Toko Mas Sinar
Terang di Beringharjo. Menurut keterangan Sukardi, seperti biasa
setiap tutup toko semua emas perhiasan dagangannya dimasukkan
ke dalam sebuah brankas untuk dibawa pulang.
Malam itu lelaki yang belum dikarunia anak ini hanya sendirian
di rumah karena istri bersama pembantunya pergi ke Solo untuk
melihat ibunya yang sedang sakit.
Pagi kemarin sebelum berangkat ke toko, Sukardi terlebih dulu
memeriksa emas perhiasan yang ada dalam brankas. Pemilik Toko
Mas Sinar Terang ini jadi terkejut karena dua buah gelang masing-
masing seberat 20 gram tidak ada lagi dalam brankas. Atas dugaan
wartawan yang kebetulan tetangga pedagang mas itu, adanya
unsur kelupaan disangkal keras oleh Sukardi. Dia pasti sekali dua
gelang emas tersebut telah dimasukkannya ke dalam brankas
bersama perhiasan lain. Lalu bagaimana mungkin dua gelang bisa
lenyap? Kalau dijarah pencuri mengapa tidak brankasnya dibawa
kabur sekalian, ujar Sukardi.
Sukardi yang tidak percaya pada hal-hal bersifat gaib sama
sekali tidak bisa percaya dan tidak yakin kalau raibnya dua gelang
emas itu adalah pekerjaan makhluk sebangsa tuyul.
Pedagang mas itu saat ini masih bingung. Namun dia tidak
berniat sama sekali untuk melaporkan kejadian itu kepada Polisi.
Perlahan-lahan Sumi Primbon terduduk di kursi rotan. Koran
yang barusan dibacanya merosot dari pangkuan, jatuh ke lantai.
Jari-jari tangan kirinya mengusap-usap dua gelang yang melingkar
di pergelangan lengan kanan. Ketika dia memandangi dua buah
gelang itu, entah mengapa hatinya mendadak berdetak tidak enak.
Dari mulut janda gemuk itu meluncur ucapan perlahan.
"Mas Broto..."
***
TIGA.
ARWAH PENASARAN
MENJELANG tengah malam. Di atas selembar tikar butut, di
dalam sebuah warung kosong tak jauh dari Candi Mendut,
pengamen tua Si Pelawak Sinting terbaring tidur. Suara
dengkurnya terdengar jelas dalam sunyinya malam sampai jauh di
luar warung. Dari arah selatan Candi Mendut satu sosok laksana
bayangan setan kelayapan melesat dalam gelapnya malam.
Sebentar saja bayangan itu telah sampai di hadapan warung Yang
bagian depannya ditutup dengan terpal biru. Sejak beberapa waktu
belakangan ini warung berterpal biru itu dikenal sebagai "Tenda
Biru" tempat kediaman pengamen aneh, yang bukan saja pintar
menyanyi tapi juga pandai melawak dan main akrobat.
Sesaat sosok yang berkelebat berhenti lalu melangkah maju dan
astaga! Sosok itu lewat begitu saja. Laksana hembusan angin
menembus terpal. Dan lebih tidak bisa dipercaya lagi, sosok aneh
ini terus bergerak, melangkah menembus pintu. Di lain saat dia
sudah berada di dalam warung yang hanya diterangi lampu 10 wat,
redup berdebu. Berdiri di samping tubuh si pengamen aneh yang
bukan lain adalah Si Pelawak Sinting Labodong yang terbujur tidur
di lantai.
Perlahan-lahan makhluk ini berlutut dan ulurkan tangan
kanannya. Tangan itu bergerak ke arah leher Pelawak Sinting.
Begitu tangan menyentuh leher, suara dengkur mendadak berhenti
berganti dengan suara seperti orang tercekik.
Sepasang mata orang tua yang lehernya barusan diraba terbuka
sedikit. Samar-samar dia melihat satu wajah. Salah satu tangannya
bergerak meraba leher yang terasa sangat dingin seolah telah
berubah es.
Mata kakek pengamen ini tiba-tiba mendelik besar. Dia
mengeluarkan ucapan, tetapi lidahnya kelu, suaranya tidak jelas.
Makluk yang berlutut di sebelahnya menyeringai.
"Kau mengenali diliku, Labodong?" Makhluk di samping si
pengamen tua keluarkan ucapan. Suaranya cadel, bergema aneh
seolah keluar dari dalam sebuah sumur.
Pelawak Sinting bernama Labodong yang masih terbujur di lantai
bergerak sedikit. Mulutnya terbuka. "Kau...!"
"Hemm, bagus, kau mengenali diliku. Saatnya kita bicala.
Waktuku singkat sekali!" Begitu selesai berucap makhluk ini bangkit
berdiri lalu melompat menjauh ke salah satu sudut ruangan.
Pelawak Sinting Labodong yang beberapa waktu belakangan ini
terkenal sebagai pengamen aneh dan lucu di kawasan Candi
Mendut, cepat berdiri, mengucak ke dua matanya dan memandang
ke sudut warung. Di situ berdiri samar makhluk aneh yang
tampangnya sangat sama dengan dirinya. Saat itu dia baru
menyadari bahwa tempat itu terasa luar biasa dinginnya. Dia
memperhatikan ke sudut warung. Sosok samar yang berdiri di sana
kelihatan seperti mengeluarkan kabut tipis. Mungkin inilah sumber
hawa dingin itu.
"Labudung.... adik..." Suara Pelawak Sinting Labodong agak
tersendat karena masih tidak percaya dengan apa yang terjadi,
dengan apa yang dilihatnya.
"Labodong, ini memang aku Labudung adikmu." Seperti tadi
suara makhluk samar berkabut di sudut warung terdengar
menggema seperti datang dari dalam lobang.
"Suaramu aneh, sosokmu kulihat samar. Bagaimana mungkin?
Tubuhmu samar bergoyang-goyang. Jelas kau bukan lagi joget atau
ngedangdut. Aku lihat ada kabut menutupi dirimu. Kau. Hembusan
nafasmu dingin, tanganmu seperti es..."
"Keadaanmu jauh lebih aneh lagi Labodong. Lambutmu kau
celup dengan apa sampai belwalna sepelti bulu jagung. Hik..hik!
Gigimu entah kau tempeli apa sampai belkilat sepelti kaca.
Telingamu pakai anting. Pusalmu kau ganduli giwang. Kau
mengenakan lompi dan celana tebal. Kelen amat. Tapi kemana-
mana pantatmu masih selalu nongol dioblal kalena celanamu
gomblong kedodolan. Hik...hik...hik! Eh, benda apa yang telgantung
di lehelmu itu?"
Labodong raba harmonika yang tergantung di lehernya.
Harmonika ini ditempelkannya ke mulut lalu ditiup. Di sudut
ruangan sang saudara kembar tertawa mengekeh mendengar
suara harmonika itu.
"Benda aneh bersuala meldu. Hik..hik. Aku gembila kau masih
telus mengikuti jejakku jadi pengamen. Kakak, apakah kau sudah
hapal betul lagu Kopi Dangdut dan Tenda Bilu?"
Labodong ingin tersenyum. Dia ingat. Semasa adiknya itu masih
hidup dan semasa mereka masih berada di Negeri Latanahsilam,
antara dia dan Labudung tak pernah akur. Labudung selalu
memarahinya karena dia suka meniru apa yang dilakukan sang
adik dan memperkenalkan diri sebagai Pelawak Sinting. Padahal
Labudunglah Pelawak Sinting yang asli.
"Labudung, aku tidak mengerti. Bukankah....bukankah kau
sudah berada di alam sana?"
Wajah pucat samar berselimut kabut dingin tersenyum.
"Aku memang tidak belada di alammu lagi. Bukankah kau sendili
yang mengantal kepelgianku malam itu? Tubuhku leleh menjadi
cailan putih. Cailan belubah menjadi asap dan asap kemudian
silna, telbang pupus menuju alam kematian." (Mengenai kisah
kematian Labudung alias Pelawak Sinting asli saudara kembar
Labodong, bisa dibaca dalam Episode pertama berjudul "Topan Di
Borobudur")
Labodong pegangi lehernya sendiri. Hawa dingin membuat
kakek ini mulai menggigil.
"Labodong, ketahuilah, aku hidup di alam maha dingin. Tanpa
membawa hawa dingin ke dalam alammu, aku tak akan mampu
mempelihatkan dili dan bicala denganmu."
"Kehidupan kita di Negeri Latanahsilam di masa lalu banyak
keanehan, tapi kemunculan dirimu dan keberadaanmu saat ini
tidak bisa kubayangkan. Selain itu aku merasa cemas..."
"Ada satu kekuatan gaib yang menalik aku ke alammu.
Labodong saat ini kita beldua memang pantas belbagi kecemasan.
Kalena kecemasan itulah yang mendolongku datang ke sini."
"Labudung, apa maksudmu?" tanya Labodong.
"Di alamku, aku melihat dua titik mendatangimu. Dua titik itu
belwalna melah. Pertanda ada dua olang belniat jahat telhadapmu.
Mungkin juga mau membunuhmu."
"Ada orang mau membunuhku? Siapa?" Labodong terkejut
besar.
"Tak bisa kuketahui pasti. Tapi meleka akan segela muncul.
Malam ini. Ada dua dugaan. Mungkin meleka musuh kita di alam
lalu semasa di Latanahsilam. Mungkin juga musuh alam tempat
kita ada sekalang."
“Aku..."
"Labodong, kemasi balang-balangmu. Kau halus segela
tinggalkan tempat ini. Sekalang juga!" kata Labudung dari sudut
warung.
"Labudung, siapapun mereka, aku akan coba menghadapi."
"Menulut penglihatanku dua olang itu belkepandaian sangat
tinggi. Saat ini kau tidak akan mampu menghadapi meleka. Cukup
aku saja yang menelima beban kematian. Salah satu dali kita halus
tetap hidup untuk menuntaskan semua dendam kesumat. Lagi pula
ada bebelapa pesanku tempo hali yang belum kau laksanakan.
Diantalanya mencari nenek belnama Sinto Gendeng dan
mengawininya."
"Aku sudah berusaha mencari. Tanya sana tanya sini. Tapi nenek
itu belum ketemu. Aku ketemu nenek lain, salah duga, malah aku
ditampar sampai mukaku bengap begini rupa."
"Sudah, tak pellu kita bicalakan hal itu panjang lebal. Saat ini
aku minta agal kau segela pelgi dali sini."
"Kau sendiri mau melakukan apa?" tanya Labodong kembaran
Labudung Si Pelawak Sinting.
Belum sempat Labudung menjawab tiba-tiba braakk!
Pintu warung jebol terpentang lebar. Dua sosok berkelebat
masuk. Yang satu seorang nenek bermantel biru berambut merah
riap-riapan bertampang seangker setan. Satunya seorang pemuda
berpakaian serba hitam berbadan kekar. Perhatian dua orang ini
serta merta tertuju pada Labodong. Mereka mungkin belum melihat
sosok samar Labudung yang tegak samar di sudut warung.
Labodong segera kenali siapa adanya sosok bermantel biru di
samping pemuda berpakaian dan bermantel hitam. Dia adalah
nenek pengemudi becak di dekat Keraton yang malam tadi
mengikutinya lalu memaksa dia menyerahkan telur ayam kampung
yang dibawanya. Nenek ini bukan Lain adalah Kunti Api. Sedang si
pemuda adalah Pangeran Matahari.
"Pengamen Sinting! Akhirnya aku temui juga dirimu!" Kata Kunti
Api sambil berkacak pinggang. Sesaat dia dongakkan kepala,
menghirup udara di ruangan itu dalam-dalam. Setelah melepas
nafas panjang dia menyeringai.
"Hawa dingin. Cocok untuk mengantar kematianmu!" Ucap si
nenek. Dia maju satu langkah mendekati Labodong. Si Pelawak
Sinting Labodong ikut meniru tindakan si nenek, maju pula satu
langkah.
"Nenek Guru, tunggu!" tiba-tiba pemuda bermantel hitam di
samping Kunti Api membuka mulut dan sejak tadi memperhatikan
Pelawak Sinting Labodong keluarkan ucapan. "Tua bangka sinting
ini walau tidak cadel dan rambutnya pirang bulukan tapi
tampangnya sangat mirip dengan pengamen yang dulu bersama
Guru aku bunuh di Jakarta. Aneh kalau dia masih hidup! Diakah
bangsatnya yang telah menipu Nenek Guru, memberikan telur
palsu?"
"Memang dia!" jawab Kunti Api dengan mulut dipencongkan.
"Tua bangka sialan. Berani menipuku! Jangan harap nyawanya aku
ampunkan. Lain hal kalau dia mau menyerahkan telur ayam yang
asli."
"Pengamen Sinting! Kau sudah dengar ucapan Nenek Guruku.
Urusan Batu Penyusup Batin masih belum selesai. Kau kini malah
berani menipu Nenek Guruku! Lekas serahkan telur asli yang
diminta. Atau kau kubikin jadi bangkai saat ini juga!"
Labodong tidak tahu menahu perihal Batu Penyusup Batin
karena memang adiknya si Pelawak Sinting asli yang punya urusan.
Saat itu Labodong sadar. Kalau pemuda itu sanggup membunuh
adiknya berarti dia memang memiliki kesaktian tinggi. Pangeran
Matahari! Labodong ingat. Sebelum hembuskan nafas terakhir
saudara kembarnya Labudung menyebut nama itu sebagai
pembunuhnya. Kini dia berhadapan sendiri dengan sang pembunuh
yang memang tengah dicarinya untuk membalaskan dendam
kesumat sakit hati kematian adiknya. Kini walau tahu bahaya mau
mengancam nyawanya Labodong tenang-tenang saja. Malah sambil
senyum-senyum dia menatap Kunti Api Ialu konyolnya kakek ini
kedipkan mata pada si nenek muka setan berdandan menor.
"Nenek cantik, kau muncul lagi. Rupanya ada kenangan manis
pada pertemuan kita pertama kali malam ini di dekat Keraton."
"Tua bangka jelek!" bentak Kunti Api lalu meludah ke lantai
warung. "Jangan bicara ngacok di hadapanku!" Si nenek berucap
sambil melirik pada Pangeran Matahari. Kawatir pemuda ini
percaya pada ucapan si kakek.
"Ha ...ha!" Pelawak Sinting Labodong tertawa lebar. "Kau tak
mau rahasia percintaan kita diketahui cucu muridmu ini. Padahal
aku tahu kedatanganmu sebenarnya adalah untuk menjemputku,
lalu membawaku ke kios kosong itu. Kalau betul bagusnya kita
pergi sekarang saja. Cuma sayang, mengapa kau membawa bocah
ini? Tapi tak apalah, dia bisa disuruh berjaga-jaga di depan kios dan
jangan berani mengintip apa yang kita lakukan! Ha...ha...ha!"
Disebut bocah apa lagi mendengar ucapan terakhir pengamen
sinting Pangeran Matahari jadi marah. Kunti Api sendiri seperti saga
merah mukanya. Memaki tak karuan panjang pendek. Namun dia
masih bisa mengendalikan amarah. Membunuh si kakek sesuatu
yang mudah baginya, tapi yang diperlukannya saat itu adalah
mendapatkan telur keramat yang mampu mengeluarkan Dwita
Tifani dari dalam Stupa di Candi Borobudur.
"Tua bangka keparat! Kami datang untuk menjemput nyawamu!
Kau boleh bersenang-senang dengan setan neraka!" begitu
membentak sang Pangeran langsung melompat ke hadapan Labo-
dong dan hantamkan tangan kanannya. Tapi gerakannya cepat
ditahan Kunti Api.
"Biarkan dia bernafas sesaat lagi sampai dia menyerahkan telur
yang kita minta!" Ucap si nenek.
"Rupanya tua bangka edan ini belum tahu kita ini siapa!" kata
Pangeran Matahari.
"Ah, kalau memakai peradatan memang musti begitu. Aku belum
kenal nenek cantik yang naksir diriku ini. Sedangkan kau bukankah
kau bocah yang punya nama hebat, Pangeran Matasapi?"
Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik. Mulutnya
keluarkan suara menggembor.
"Aku Kunti Api!" Ucap si nenek setengah berteriak. Dia maju satu
langkah. "Jangan kau berani menghina cucu muridku Pangeran
Matahari!"
Meski dua orang di depannya sudah marah besar Si Pelawak
Sinting Labodong masih saja bersikap konyol dan keluarkan
ucapan.
"Bocah, kalau aku kawin dengan Nenek Gurumu, maka kau
adalah cucuku juga. Jadi kau harus hormat padaku. Ayo salami aku.
Cium tanganku! Kau harus bangga punya Kakek Guru pengamen
beken seperti aku ini! Ha ...ha...ha!" Sambil tertawa bergelak
Pelawak Sinting Labodong maju dua langkah dan ulurkan tangan
kanannya. Kalau Pangeran Matahari menyambuti salamnya maka
secara mendadak dia akan menghantam kepala pemuda itu
dengan satu pukulan mengandung tenaga dalam tinggi. Sekali
pukul kepala pemuda pembunuh adiknya itu pasti pecah!
Namun maksud S.i Pelawak Sinting tidak kesampaian karena
Pangeran Matahari tidak layani ucapannya malah saat itu
tangannya sebelah kanan diangkat setinggi kepala. Tangan itu
kelihatan bergetar dan memancarkan cahaya tiga warna.
"Pangeran! Tahan serangan!" Lagi-lagi Kunti Api berteriak
kawatir. "Bangsat tua ini tak bakal lolos dari kematian! Kita perlu
telur itu! Jahanam tua bangka! Mana telur asli itu! Serahkan padaku
sekarang juga!"
Pelawak Sinting Labodong tersenyum lebar. Barisan gigi-giginya
yang dilapisi kertas timah bungkusan rokok kelihatan berkilat.
Melihat ini Pangeran Matahari menjadi was-was. Apa lagi
sebelumnya dia telah melihat keadaan rambut si kakek yang dicat
pirang. Dalam hati murid Si Muka Bangkai ini membantin. "Warna
rambut dan giginya yang dilapisi kertas berkilat, agaknya dia
memang bukan kakek pengamen yang aku bunuh di Jakarta dulu.
Lalu bagaimana tampang dan sebagian besar ciri-cirinya sama
dengan kakek itu?"
"Kutil Api..." Ucap Pelawak Sinting Labodong. Kali ini dia ganti
mempermainkan si nenek, sengaja inenyebut nama Kunti Api
dengan Kutil Api. "Kau sungguhan inginkan telur yang asli?"
"Tua bangka edan! Jahanam betul! Jangan kau berani
mempermainkan namaku! Mana telur itu! Lekas serahkan!"
"Kekasihku, dengar...!"
"Jahanam! Siapa bilang aku kekasihmu!" Teriak Kunti Api
dengan mata mendelik. Dia meludah ke lantai warung lalu dua
tangan diacungkan ke depan. Sepuluh kuku jarinya yang berwarna
hitam berubah menjadi merah.
Labodong maklum kalau si nenek tengah mengerahkan tenaga
dalam, siap menghantamnya dengan pukulan sakti. Cepat kakek ini
berkata. Suaranya sengaja dilembut-lembutkan, membujuk.
"Tenang...tenang. Kau meminta, aku akan berikan. Dengar, aku
punya dua telur asli. Kau mau minta satu saja atau kedua-duanya?"
"Aku cuma minta satu! Yang asli! Buat apa dua!" Kunti Api tidak
sadar kalau orang tengah mempermainkannya.
"Ah, ternyata kau nenek cantik yang tidak serakah. Padahal
tadinya aku rela memberikan dua telurku yang asli. Kau cuma
minta satu, apa sulitnya memberikan. Tapi harap bersabar. Telur
yang satu ini agak sulit dikeluarkan. Karena tempatnya terjepit di
sebelah bawah sini! Hik..hik...hik!"
Kunti Api yang masih juga belum sadar kalau dirinya tengah
dipermainkan berdiri menunggu dengan dua tangan terpentang,
mulut pencong dan mata mendelik.
Sebaliknya Pangeran Matahari sudah merasa dan maklum apa
maksud semua ucapan Labodong. Kemarahannya semakin
berkobar.
"Nenek Guru," ucap Pangeran Matahari. "Bangsat tua ini berlaku
kurang ajar! Apa Nenek Guru tidak sadar kalau dia tengah
mempermainkan kita? Lihat apa yang tengah dilakukannya!"
Saat itu dengan tangan kanannya Pelawak Sinting Labodong
tengah merorotkan celana blujinsnya ke bawah sementara tangan
kiri disusupkan ke dalam celana. Melihat apa yang di lakukan
kakek pengamen ini Kunti Api baru sadar kalau orang tengah
mengerjainya.
"Wah, Nek. Susah diambilnya!" Pelawak Sinting Labodong
memandang kearah Kunti Api, lalu tersenyum cengengesan dan
kedipkan mata. "Mungkin kau sendiri yang harus mengambilnya."
Lalu Labodong tarik celananya lebar-lebar ke depan.
Darah di kepala Kunti Api mendidih sudah. Tak perduli lagi dia
akan telur yang tadi dimintanya.
"Jahanam kurang ajar! Kau sudah kelewatan! Kau layak
mampus saat ini juga!" Dua tangan Kunti Api bergerak. Sepuluh
kuku jarinya memancarkan cahaya merah.
"Nenek Guru, biar aku yang menghabisi tua bangka keparat ini!"
Pangeran Matahari mendahului gerakan Kunti Api. Tangan kanan
siap melepaskan pukulan Gerhana Matahari. Dengan pukulan
inilah dia dulu menghabisi Pelawak Sinting Labudung.
Senyum di wajah Pelawak Sinting Labodong hilang. Sikap
konyolnya ikut lenyap. Dua kaki merenggang. Tangan kiri
menyambar payung kertas. Tangan kanan dikembangkan lalu
diiacungkan ke arah Pangeran Matahari. Srett! Payung kertas
terkembang lalu berputar deras. Deru angin yang keluar dari
putaran payung membuat pakaian dan sosok Pangeran Matahan
dan Kunti Api sesaat bergoyang-goyang.
"Bocah jahanam! Kau membunuh adikku! Sekarang kau harus
serahkan nyawa anjingmu padaku!"
Pangeran Matahari sempat terkesiap mendengar ucapan
Pelawak Sinting Labodong. Di lain kejap, setelah mengumbar tawa
bergelak dia berkata.
"Kalau kau memang kakak pengamen yang mati kubunuh dulu
itu, kau harus bersyukur karena saat ini aku memberi kesempatan
padamu untuk menyusulnya di neraka! Ha ...ha..ha! Setan tua!
Terima kematianmu!"
Baru saja Pangeran Matahari keluarkan ucapan, mendadak dari
sudut warung ada suara keras, bergema seperti keluar dari dalam
liang sumur.
"Labodong! Kemasi balang-balangmu! Lekas pelgi dali sini. Bial
aku yang membawa Pangelan kepalat itu ke liang dajal! Aku
memang sudah lama menunggunya di alam kematian!"
Sesiur angin menderu. Satu bayangan samar berkelebat.
EMPAT
PUKULAN ARWAH MENCARI ARWAH
PANGERAN Matahari merasakan tangan kanannya yang siap
memukul bergetar keras. Dia cepat mundur seraya berpaling.
Dan jadi terkejut besar ketika melihat sosok makhluk yang
berdiri di hadapannya. Di sampingnya Kunti Api memperhatikan
dengan mata tak berkesip. Hatinya membatin. "Makhluk ini,
berbentuk samar. Gerakannya secepat menebar angin dahsyat."
"Makhluk jahanam! Bukankah kau sudah kubunuh mati...." ujar
Pangeran Matahari.
Sosok samar Pelawak Sinting Labudung tampak menyeringai
lalu keluarkan suara tawa mengekeh.
"Kau bisa membunuh tubuh kassalku. Tapi kau tidak pelnah
bisa membunuh alwahku! Alwahku datang untuk minta alwahmu!"
Pangeran Matahari mendengus.
"Pangeran, tunggu apa lagi!" Di sebelahnya Kunti Api berbisik.
"Kita hantam berbarangan!"
Dua tangan Kunti Api bergerak.
Tangan kanan Pangeran Matahari menghantam.
Sepuluh larik cahaya merah membersit keluar dari ujung
sepuluh kuku jari Kunti Api. Inilah Ilmu Kuku Api yang luar biasa
ganasnya. Sementara itu dari tangan kanan Pangeran Matahari
melesat cahaya kuning, merah dan hitam.
Kalau Kunti Api mengarahkan serangan pada sosok samar
Pelawak Sinting Labudung, maka Pangeran Matahari menghantam
ke arah Pelawak Sinting Labodong.
Begitu larikan cahaya-cahaya kematian menderu , ganas, sosok
samar Labudung mengepul, menebar kabut putih dingin. Dengan
kecepatan laksana kilat dia melompat ke kiri menyambar tubuh
kakaknya lalu dibawa melesat ke atas. Berbarangan dengan itu
tangan kanannya bergerak dua kali.
"Wuttt!"
"Wutt!"
Di dalam warung Kunti Api dan Pangeran Matahari berteriak
kaget. Laksana dilabrak topan kedua orang ini terpental
menghantam dinding, jatuh bergulingan di luar warung. Dada
mendenyut sakit, mulut terasa asin karena ada lelehan darah yang
hendak membersit keluar.
Di sebelah bawah api yang timbul dari dua pukulan sakti Kunti
Api dan Pangeran Matahari membakar bangunan.
"Braaakkkk!"
Di sebelah atas, atap warung jebol. Labodong pegangi
kepalanya. Genteng hancur beterbangan. Sosok dua saudara
kembar itu melesat keluar warung lewat atap yang amblas.
"Jahanam kurang ajar!" Di luar warung Pangeran Matahari
memaki, cepat berdiri.
"Dua bangsat itu pasti mencoba kabur! Jangan sarnpai mereka
lolos!" Teriak Kunti Api. Keduanya melompat ke atas atap bangunan
di sebelah warung Tenda Biru. Memandang berkeliling dua orang
yang dikejar tak kelihatan lagi. Kunti Api lari ke kanan sepanjang
wuwungan deretan warung. Pangeran Matahari ke jurusan kanan.
Tetap saja mereka tidak menemukan apa-apa sementara dibawah
orang mulai ramai hiruk pikuk berteriak-teriak dan coba
memadamkan api yang membakar warung.
"Sialan!" Maki Pangeran Matahari.
"Kurang ajar!" Rutuk Kunti Api. Jari-jari tangannya kiri kanan
bergerak-gerak mengeluarkan suara berderak. "Aku punya firasat
buruk. Jangan-jangan telur itu sudah diberikannya pada orang lain.
Berarti ada yang punya niat hendak membebaskan anak
perempuan yang kau sekap dalam Stupa itu."
"Nenek Guru, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Bertanya
Pangeran Matahari. Dalam hati dia sudah tahu apa jawaban si
nenek.
"Kita ke Borobudur sekarang juga!"
"Nenek Guru tahu siapa orangnya yang punya niat menolong
gadis bernama Dwita Tifani itu?"
"Aku tidak bisa menduga. Tapi dibalik semua ini aku merasa ada
satu kekuatan besar ikut campur. Pangeran, kita tidak boleh
membuang waktu!" Si nenek mendongak ke langit. Rembulan
hampir penuh tertutup awan tebal. Angin bertiup dingin. Si nenek
berkelebat. Pangeran Matahari mengikuti. Sementara itu api yang
membakar bangunan warung semakin merembet luas.
"Kakek pengamen! Kakek pengamen! Dia ada di dalam!
Terkurung api!"
Seseorang berteriak. Tak ada yang berani masuk ke dalam
warung yang tenggelam dalam kobaran api itu. Apa lagi api semakin
berkobar luas. Di kejauhan terdengar suara sirine mobil pemadam
kebakaran mendatangi. Hampir satu jam kemudian api baru
berhasil dipadamkan. Orang banyak memperkirakan si kakek
pengamen telah menemui ajal di dalam warung Tenda Biru. Namun
ketika petugas pemadam kebakaran memeriksa, tidak ditemui
kerangka tulang belulang manusia di dalam warung yang telah
musnah itu.
LABODONG pegangi keningnya yang luka dan benjut. Lalu sambil
merapikan rambut pirangnva yang acak-acakan dia berkata. "Sial
kau Labudung! Kau membawa aku menembus genteng. Liat,
keningku luka, benjut. Rambutku acak-acakan!"
Labudung diam saja. Saat itu mereka berada di pinggiran
sebuah kali kecil.
Labodong bicara lagi. "Pemuda bernama Pangeran Matahari
menyebut-nyebut Batu Penyusup Batin. Binatang apa itu?"
"Batu Penyusup Batin satu batu sakti Mandlaguna. Siapa saja
yang memilikinya akan mampu menghilang. Waktu ngamen di Pasal
Balu Jakalta aku belhasil menculi batu itu dali Pangelan Matahali.
Aku belikan pada Sinto Gendeng. Kalena katanya kalau aku bisa
mendapatkan batu dan menyelahkan padanya, dia mau kawin
denganku. Telnyata batu yang aku dapatkan palsu. Tapi asli atau
bukan tidak jadi ulusan. Yang jelas aku dapatkan batu dan Sinto
Gendeng halus menepati janjinya. Tapi si nenek culas dia mengelak
dan menolak kawin. Itu sebabnya aku suluh kau mencali nenek itu
dan mengawininya. Di alam alwah aku mendengal kabal nenek itu
berhasil dapatkan batu yang asli. Soal kawin, kau tetap halus
mencali nenek itu..." (Mengenai kisah Batu Penyusup Batin dapat
dibaca dalam serial Boma Episode "Tripping")
Labodong basahi jari-jari tangan kanannya dengan ludah, lalu
jari yang basah itu diusapkannya ke benjut di kening dan
kepalanya.
"Jolok!" kata Labudung.
Labodong menyengir. Sekali usap luka dan benjut langsung
hilang. Labudung goleng-golengkan kepalanya yang samar berulang
kali.
"Labudung, mengapa kita tidak menghabisi saja dua manusia
jahat tadi? Kita punya kesempatan membalaskan dendam."
"Dendam kematian diliku memang halus dibalaskan. Tapi
saatnya bukan kita yang menetapkan. Ada satu kekuatan yang
menentukan di lual kemampuan kita. Dua olang tadi memiliki ilmu
kesaktian lual biasa tinggi. Kalau kita memaksa, bisa
membahayakan dili sendili..."
"Tapi adikku, tadi kulihat tubuhmu mengeluarkan kepulan asap.
Asap itu membentengi tubuh kita. Lalu kau melepas pukulan hebat.
Membuat mental kedua orang itu. Aku rasa mereka pasti terluka.
Aku tidak pernah tahu kau memiliki pukulan hebat itu. Aku yakin
dengan pukulan itu kau bisa membunuh mereka."
"Aku telah melakukan," sahut Labudung. "Tapi keduanya tidak
menemui ajal. Peltanda meleka memang belum saatnya mati."
"Pukulan apa itu, dari mana kau mendapatkan?" Labodong
bertanya ingin tahu.
"Pukulan Alwah Mencali Alwah." Jawab Labudung tapi tidak mau
memberitahu dari mana dia mendapatkan pukulan sakti tersebut.
"Labodong, waktuku hampil habis. Aku halus kembali ke alamku.
Aku menghalap kau belusaha telus membalaskan sakit hati
dendam kesumat kematianku."
Labodong menggaruk kepalanya yang dicat pirang dengan Pylox.
Lalu berkata. "Kalau kau saja yang berilmu tinggi tidak mampu
membunuh orang-orang jahat itu, bagaimana aku yang cetek
kepandaian. Kecuali...."
"Kecuali apa?" tanya Labudung si makhluk bersosok samar.
Labodong menyeringai. "Kalau mudah caranya mendapatkan
ilmu itu, apakah kau bisa memberikan ilmu Pukulan Arwah Mencari
Arwah itu padaku?"
"Tidak mungkin, olang semacammu tidak mungkin bisa
dibelikan ilmu itu."
"Kenapa? Apa yang tidak mungkin?" Labodong penasaran. Kini
dia tidak lagi mengusap keningnya tapi ganti mengusap pusarnya
yang bodong melembung.
"Dulu, untuk dapatkan ilmu itu aku halus menempuh ujian
belat."
"Ujian belat macam apa?" Labodong tirukan ucapan cadel
adiknya.
"Empat puluh hali empat puluh malam aku halus belada dalam
keadaan bugil..."
"Ah, kalau cuma berbugil ria empat puluh hari empat puluh
malam apa sulitnya? Paling-paling masuk angin, perut kembung
dan kentut-kentut sedikit. Ha ...ha..ha.."
Labudung gelengkan kepala. Lalu berucap. "Aku dalam keadaan
bugil bukan cuma sendilian. Tapi ditemani pelempuan muda sangat
cantik yang juga dalam keadaan bugil. Nah apa kau tahan?
Jangankan empat puluh hali. Setengah halian saja pasti kau sudah
tidak tahan. Pasti sudah kau gelayangi pelempuan itu."
Labodong garuk-garuk kepala.
"Bagaimana, kau masih inginkan ilmu Pukulan Alwah Mencali
Alwah itu?" tanya sang adik.
Labodong tidak bisa menjawab. Mulutnya komat kamit.
"Tadi melihat nenek muka setan yang dandanannya celemongan
belnama Kunti Api itu saja kau sudah panas dingin. Bagaimana
beldekatan dengan pelempuan bugil empat puluh hali empat puluh
malam!"
"Aku....Ah, sudahlah!" Labodong seperti putus asa.
Sang adik tersenyum.
"Kau sungguhan maukan ilmu pukulan Alwah Mencali Alwah
itu?" Dia bertanya.
"Maksudmu, kau memang bisa memberikan?" Labudung
merenung sejenak. "Aku tahu calanya memindahkan ilmu itu. Tapi
aku tidak pasti apakah bisa dilaksanakan."
"Mengapa tidak kita coba saja?" Labodong mendesak.
Labudung memandang ke arah kali kecil dibawah mereka.
"Tempatnya memang cocok. Ada kali di bawah sana. Kita masuk ke
dalam kali itu. Tapi sebelumnya halus menanggalkan seluluh
pakaian. Lalu kita...." Labudung tidak meneruskan ucapannya. Dia
menatap kakaknya sambil senyum-senyum.
"Kenapa kau berhenti bicara. Kenapa tertawa?" tanya Labodong
heran.
"Kita masuk ke dalam kali. Telus...." Labudung diam lagi.
"Terus?" sang kakak kembar jadi tidak sabaran. "Heran kau
bicara sepotong-sepotong."
"Di dalam kali, di dalam ail, kau memegang anuku, aku
memegang anumu..."
"Sintingmu kambuh! Jangan ngacok! Kau mempermainkan aku
atau bagaimana?!" teriak Labodong dengan mata melotot.
"Aku memang sinting. Tapi aku tidak bicala ngacok. Memang
begitu calanya mengalilkan tenaga dalam, hawa sakti dan ilmu
Pukulan Alwah Mencali Alwah itu. Sekalang telselah kamu. Belsedia
atau tidak."
"Sial ilmu macam apa itu, Begitu caranya!" kata Labodong pula.
"Eh, jangan-jangan kau ini sudah jadi hombre."
"Homble? Apa itu?"
"Aku pernah dengar orang sering nyebut kata itu. Kata mereka
hombre sama dengan homo. Homo artinya lelaki yang cuma suka
sama lelaki."
"Labudung, walau aku mungkin sudah kau anggap jadi setan
jejadian, tapi aku bukan lelaki macam begitu. Dengal, waktuku
hampil habis. Aku halus pelgi. Bagaimana...?"
"Sial! Demi membalaskan sakit hati dan rnembasmi orang-orang
jahat itu aku terpaksa ikutan cara gilamu itu!" Sambil membuka pa-
kaiannya satu demi satu dan tertawa cekikikan Labodong
melangkah turun ke arah kali. Dia menoleh ke belakang. Labudung
tak ada lagi di tempatnya semula.
"Kurang ajar! Kemana lenyapnya makhluk sinting itu! Jangan-
jangan dia mempermainkan diriku." Ucap Labodong. "Labudung!
Dimana kau?!"
"Hai aku disini! Siap menunggumu!" Ada suara menggema
menyahut dari kali.
Labodong memutar kepala ke arah kali. Di dalam kali dilihatnya
saudara kembarnya itu melambaikan tangan. Entah kapan dia
melompat kesana, entah kapan pula dia menanggalkan pakaian,
yang jelas saat itu Labodong melihat Labudung sudah tidak
berpakaian lagi. Sambil melangkah ke kali Labodong membuka
bajunya. Sebelum masuk ke dalam kali dia berkata.
"Labudung, awas kalau kau macam-macam."
"Jangan kawatil saudalaku kembal. Punyaku hanya semacam!
Ha...ha-ha ...ha!" Sahut Labudung lalu tertawa gelak-gelak. Puas
tertawa dia berkata. "Labodong, kau tunggu apa lagi? Ayo lakukan
syalat yang halus kau keljakan untuk dapatkan ilmu Pukulan Alwah
Mencali Alwah!"
Labodong diam saja. Rupanya bimbang juga kakek satu ini.
Mungkin juga ngeri atau jijik.
"Ayo! Ululkan tanganmu! Pegang..." kata Labudung.
Labodong akhirnya melangkah dekati tubuh adiknya. Perlahan-
lahan, di dalam air dia ulurkan tangan. Mendadak Labodong
tersentak kaget. Wajah dan sosok Labudung berubah menjadi
seorang perempuan muda cantik jelita. Tubuhnya yang tersembul di
permukaan air kali tidak tertutup secarik kainpun, polos putih dan
sangat menantang.
Saking kagetnya Labodong sampai keluarkan seruan. Dia
mundur ke belakang. Tapi di bawah air ada bagian tubuhnya yang
maju ke depan!
Labudung tertawa mengekeh.
"Apa kataku! Balu godaan begini saja kau sudah tidak sanggup
menahan dili. Ha ...ha...ha!" Kakek ini usap wajahnya. Saat itu juga
wajah dan tubuhnya berubah ke bentuk semula. Sosok samar Si
Pelawak Sinting yang asli.
"Kurang ajar kau Labudung! Beraninya mempermainkan aku!
Kuremas anumu sampai remuk!"
Labudung ganda tertawa.
"Kalau kau lakukan itu, seumul hidup kau tidak bakal
mendapatkan ilmu Pukulan Alwah Mencali Alwah! Bagaimana aku
menyalulkan tenaga dalam dan hawa sakti kalau anuku kau bikin
bonyok! Ha ...ha...ha!"
"Kau memang sialan!" maki Labodong kembali.
Labudung tertawa mengekeh. Dia angkat dua tangannya ke
atas, disilangkan di belakang kepala. Mata dikedip-kedipkan,
pinggul diogel-ogel. Sikapnya seperti perempuan merayu sekaligus
menantang!
***
LIMA
DWITA DIBERITAKAN DIBUNUH
DI DALAM taksi Serda Sujiwo duduk di samping pengemudi.
Tubuhnya terasa letih. Kepala disandarkan ke bagian atas
kursi, mata dipejamkan. Seumur hidup baru sekali ini dia
mengurusi perkara aneh seperti yang tengah dihadapinya saat itu.
Mulutnya terasa asam. Ingin sekali dia merokok tapi rokoknya
sudah habis. Boma duduk di belakang, diapit Ibu Renata dan Trini.
Tangan kirinya yang sejak tadi tergenggam diletakkan diatas paha
kiri. Tangan itu terasa pegal karena sejak tadi terus-terusan
digenggam. Kalau saja tak ada Trini di samping kanan Boma, ingin
sekali Ibu Renata memegang lengan anak lelaki itu. Boma sendiri
duduk tak bergerak, kepala disandarkan dan mata dipejamkan.
Sepanjang perjalanan menuju Candi Borobudur tidak ada satu
orangpun yang bicara. Sejak tadi baik Trini maupun Ibu Renata
berulang kali memperhatikan tangan kiri Boma. Trini yang ingin
sekali bertanya akhirnya tak tahan membuka mulut, bicara
setengah berbisik pada Boma.
"Bom, pengamen aneh yang tadi memberimu telur. Siapa dia
sebenarnya?"
Boma membuka kedua matanya. Menggerak-gerakkan lehernya
yang juga terasa pegal.
"Mana aku tau. Tapi aku yakin dia memang orang yang
dimaksud orang tua kate Ki Tunggul Sekati itu." Jawab Boma.
"Telur itu, mau diapakan?" Ibu Renata kini yang bertanya.
"Menurut orang tua cebol bernama Ki Tunggul Sekati itu, telur ini
harus dimasukkan ke dalam salah satu lobang Stupa paling bawah
tempat Dwita disekap."
"Lalu?"
"Saya nggak tau Bu. Tapi...." Boma berpikir. "Saya ingat. Ki
Tunggul Sekati berkata. Nanti tepat jam dua belas malam akan
terjadi sesuatu. Katanya Tuhan akan menolong Dwita."
"Kayaknya nggak masuk akal Bom. Sebutir telur ayam bisa
mengeluarkan Dwita dari dalam Stupa. Kamu percaya?" Tanya Trini.
Memang siapa yang mau percaya, kata Boma dalam hati. Ingin
dia menceritakan bagaimana pertemuannya dengan Ki Tunggul
Sekati. Orang tua bertubuh cebol yang hafal ayat-ayat Al Qur'an,
yang tangannya bisa panjang dan mengeluarkan hawa sakti.
Namun Boma memilih diam saja. Telur di dalam genggaman tangan
kirinya terasa hangat.
"Boma, boleh saya lihat telur itu?"
"Ya, aku juga mau liat," kata Trini.
Boma merasa ragu. Takut telur itu jatuh atau bisa saja melesat
karena dia mungkin melanggar pantangan.
"Masa liat aja nggak boleh sih?" kata Trini pula.
Perlahan-lahan Boma buka juga genggaman jari-jari tangan
kirinya. Ibu Renata memperhatikan. Trini merunduk agar bisa
melihat lebih dekat.
"Kayaknya nggak ada apa-apanya. Cuma telur biasa." Kata Trini
pula.
"Boleh Ibu pegang?" tanya Ibu Renata, Guru Bahasa Inggris SMU
Nusantara III itu.
"Jangan Bu," jawab Boma. Lalu cepat jari-jarinya digenggamkan
kembali.
"Kok kamu sepertinya takut amat sih Bom?" ucap Trini.
"Aku bukan cuma takut Rin. Dari tadi nahanin kencing," jawab
Boma, tidak tertawa juga tidak senyum. Tapi kebiasaannya
menowel hidung terus saja jalan. Sejak naik taksi Trini
memperhatikan. Anak itu sudah lebih dari lima kali menowel
hidungnya dengan tangan kanan.
"Kalau nggak bisa tahan kencingnya, saya bisa minggirkan taksi.
Berhenti sebentar," kata supir taksi.
"Nggak usah, Mas. Jalan aja terus," jawab Boma. Kalaupun dia
punya kesempatan untuk buang air di pinggir jalan, hal itu tidak
mungkin dilakukan. Soalnya dia tidak boleh melepaskan telur yang
ada dalam genggaman tangan kirinya. Mana mungkin dia buang air
kecil hanya mempergunakan satu tangan.
Supir taksi rupanya mendengarkan semua pembicaraan tiga
orang penumpangnya yang duduk di jok belakang. Supir ini melirik
ke kiri, memperhatikan Serda Sujiwo sesaat lalu bertanya.
"Pak, malam-malam begini sebetulnya ada keperluan apa ke
Candi?"
"Pelajar dari Jakarta, mereka punya acara. Berkemah dan
bergadang sampai pagi." Jawab Serda Sujiwo berdusta.
"Memangnya boleh Pak?"
"Ada izin dari Gubernur melalui Pengelola Candi. Saya
ditugaskan untuk mengawasi." Kembali Serda Sujiwo terpaksa
berdusta.
Supir taksi diam. Hanya sebentar. Sesaat kemudian dia
membuka mulut kembali.
"Ada cerita aneh Pak. Saya dapat dari teman-teman lewat radio
panggil."
"Cerita aneh bagaimana?" tanya Serda Sujiwo. Di jok belakang
Boma, Trini dan Ibu Renata memasang telinga, mendengarkan
pembicaraan.
"Katanya ada anak perempuan dibunuh, mayatnya dimasukkan
ke dalam Stupa."
Boma menggigit bibir. Tangan kirinya yang memegang telur
terasa bergetar. Ibu Renata letakkan tangan kanannya di atas
kening, menutupi matanya yang dipejamkan. Ucapan supir taksi itu
menimbulkan rasa tidak enak dalam hati Serda Sujiwo, Boma, Ibu
Renata dan juga Trini. Anak perempuan ini merasa tengkuknya
dingin. Dia membatin. "Kabar yang diterima supir taksi ini bisa
keliru. Namun bisa juga saat ini Dwita telah meninggal dan berita ini
yang kemudian berkembang. Mata Trini berkaca-kaca. Selama ini
dia menganggap Dwita sebagai pusat kebencian dalam hidupnya.
Kini semua kebencian itu leleh, sirna. Dalam hatinya kini selalu
muncul doa agar Dwita tidak mati dan bisa dikeluarkan dari dalam
Stupa dengan selamat.
Serda Sujiwo sendiri setelah berdiam cukup lama baru
menyahuti ucapan supir taksi tadi.
"Saya Polisi. Kalau ada kejahatan seperti itu pasti saya tahu,"
kata Serda Sujiwo pula.
Boma merasa telur di tangan kirinya semakin hangat. Dadanya
berdebar. Keterangan supir taksi itu bisa saja benar. Siapa tahu
selagi mereka pergi ke Keraton orang bermantel bernama Pangeran
Matahari itu muncul kembali dan membunuh Dwita.
"Pak, kapan, jam berapa kabar pembunuhan itu Bapak ketahui
dari teman-teman?" tanya Boma pada supir taksi.
"Bom, kok kamu nanya' begitu sih!" ujar Trini sambil menyeka air
matanya.
"Hati gue jadi nggak enak, Rin...."
"Kalau nggak salah ingat sekitar jam dua tadi siang Mas," jawab
supir taksi.
Boma diam. Tapi hatinya lega kini. Jam dua siang dia dan yang
lain-lain masih berada di kawasan Candi Borobudur. Dwita masih
ada dalam Stupa dalam keadaan pingsan. Tidak mati, tidak ada
yang membunuh.
Sambil mengemudi supir taksi kembali bicara.
"Sore tadi ada dua rombongan orang televisi dari Jakarta naik ke
Candi Borobudur."
"Dari mana taunya?" tanya Serda Sujiwo.
"Satu rombongan diantar pengemudi taksi teman saya."
"Gila, beritanya udah kesebar kemana-mana Bom," bisik Trini.
"Saya merasa bersalah. Seharusnya kejadian ini sudah
diberitahukan pada orang tua Dwita..." ucap Ibu Renata perlahan.
Lalu matanya dipejamkan. Jauh di lubuk hatinya Guru Bahasa
Inggris ini mulai berdoa. Entah sadar entah tidak bahunya
disandarkan ke bahu anak lelaki di sebelahnya. Begitu dekatnya
hingga Boma masih bisa mencium harumnya sisa-sisa parfum di
leher dan kerah baju Ibu Renata.
SETELAH menerima pembayaran dari Ibu Renata, supir taksi
keluar dari mobil. Memandang berkeliling dia melihat banyak
kendaraan di halaman parkir. Dua diantaranya mobil van
berlambang televisi swasta dan sebuah ambulans. Ketika dia
memperhatikan ke arah candi, di salah satu sisi Candi Borobudur
sebelah atas dia melihat ada cahaya terang. Lalu tampak bayangan
banyak orang di sekitar cahaya itu.
"Ada sesuatu, pasti ada sesuatu. Teman-teman tidak dusta.
Polisi tadi yang bohong. Teman-teman mungkin sudah di sana
semua. Soalnya banyak taksi kosong di halaman parkir. Pada
kemana semua supirnya kalau bukan ke candi?"
Supir taksi itu mengunci mobilnya. Baru saja dia hendak
melangkah tiba-tiba satu tangan besar, dingin dan berbulu
memegang lengannya, membuat dia tergagap kaget dan berpaling.
Orang yang memegang bahunya itu bertubuh gemuk, memakai
topi pet terbalik dan mengenakan jaket kulit. Menyeringai lalu
bertanya.
"Mas mau ke Candi?"
Supir taksi anggukkan kepala.
"Ayo barengan."
"Bapak dari mana?"
"Jakarta."
***
ENAM
AYAH DWITA MARAH BERAT
BANYAKNYA orang yang ingin naik ke Candi membuat Polisi
yang bertugas melakukan penjagaan secara ketat. Tidak
semua orang diperkenankan naik ke tempat kejadian yaitu
bagian Candi dimana dwita tersekap dalam Stupa.
Di halaman Candi seorang anggota Polisi berpangkat Prajurit
Satu menemui Serda Sujiwo. Serda ini langsung menegur.
"Diluaran tersiar kabar anak perempuan di dalam Stupa
dikatakan mati. Benar?"
"Tidak Pak. Anak itu masih pingsan. Cuma keadaannya memang
tambah mengawatirkan. Masih tidak bergerak, tidak bersuara."
Boma, Ibu Renata dan Trini menjadi lega mendengar keterangan
itu.
"Siapa saja yang ada di atas?" Tanya Serda Sujiwo.
"Petugas sudah ditambah. Seluruhnya berkekuatan sekitar dua
puluh orang. Tim medis dari Rumah Sakit Sarjito sudah datang.
Juga orang-orang dari dua stasiun televisi. Beberapa wartawan...."
"Hubungi Kopral Pirngadi. Saya butuh HT. Kamu punya rokok?"
"Maaf Pak, saya sudah lama berhenti merokok."
Serda Sujiwo basahi bibirnya yang kering dan terasa asam
dengan ujung lidah.
"Pak, ada satu hal lagi perlu saya lapor." Ucap Prajurit Satu
Polisi.
“Apa?”
Anggota Polisi itu melangkah lebih mendekati Serda Sujiwo, lalu
bicara agak berbisik. Serda Sujiwo sesaat berpaling pada Trini.
Pandangan ini membuat anak perempuan itu merasa tidak enak.
Hal ini juga dirasakan Boma dan Ibu Renata. Pasti ada sesuatu.
Mengapa seperti dirahasiakan.
"Kau dengar apa yang dibisikin Polisi itu?" Tanya Trini pada
Boma. Boma gelengkan kepala.
Serda Sujiwo tampak mengangguk beberapa kali.
Anggota Polisi di hadapannya memberi hormat lalu tinggalkan
tempat itu, mendahului naik ke atas Candi Borobudur.
DI HALAMAN Candi Borobudur Boma melihat banyak sekali
orang. Mereka berusaha naik tapi empat orang Polisi menjaga di
kaki tangga. Ketika melihat Serda Sujiwo muncul bersama Boma,
Ibu Renata dart Trini, para petugas segera memberi jalan. Serda
Sujiwo menaiki tangga di sebelah depan, menyusul Trini, lalu Ibu
Renata, Boma dan paling belakang salah seorang dari empat Polisi
tadi.
"Jam berapa sekarang Bu?" tanya Boma pada Ibu Renata.
Dibawah cahaya suram bulan yang tertutup awan tipis Ibu
Renata masih bisa melihat jarum-jarum kecil arloji di lengan kirinya.
"Jam sebelas lewat seperempat," kata Guru Bahasa Inggris itu
memberitahu. Dia memperhatikan Boma menaiki tangga dengan
tangan kiri masih terus menggenggam telur dan tangan kanan
berpegangan pada besi di sisi kanan tangga candi.
"Hati-hati telurnya," bisik Ibu Renata.
"Ya Bu," jawab Boma. "Ibu capek?"
Ibu Renata tersenyum. Tidak menjawab dan meneruskan
melangkah menaiki tangga mengikuti Trini. Di lubuk hatinya ada
rasa bahagia. Dalam keadaan seperti itu Boma masih
memperhatikan dirinya.
TIGA buah lampu patromak menerangi kawasan Candi pada
jajaran Stupa yang di dalamnya ada Arca Amoghasidi duduk dalam
sikap Abayamudra. Walau terang namun keadaan di tempat ini
terasa sangat mencekam. Sepuluh orang anggota Polisi berdiri
dengan sikap siaga, mengelilingi para pelajar SMU Nusantara III
yang duduk di lantai candi seputar Stupa di dalam mana Dwita
Tifani berada. Keadaan anak perempuan itu masih seperti
sebelumnya. Sebagian tubuhnya terbaring tak bergerak di atas
pangkuan Arca Amoghasidi, sebagian lain menyentuh lantai stupa.
Lewat cahaya lampu patromak yang masuk melalui celah-celah
lobang stupa kelihatan wajah Dwita yang semakin pucat. Para
pelajar SMU Nusantara III termasuk Pak Sanyoto Guru Olahraga,
sengaja duduk seputar stupa untuk menghalangi agar Dwita tidak
tersentuh hembusan angin yang semakin malam semakin kencang
dan bertambah dingin.
Selain para pelajar SMU Nusantara III dan petugas Kepolisian, di
tempat itu juga siaga seorang dokter dan petugas medis Rumah
Sakit Dr. Sarjito. Lalu ada beberapa kelompok kru dua stasiun
televisi swasta, petugas dan karyawan Kantor Pengelola Pusat
Wisata Candi Borobudur. Sore tadi petugas Kepolisian telah
memaksa turun puluhan orang yang ingin menyaksikan kejadian
aneh itu. Kini mereka bergerombol di kaki candi, di dekat tangga
sekitar dua arca Singa. Mencari kesempatan untuk bisa naik ke
atas candi.
Ketika Serda Sujiwo, Boma dan Ibu Renata serta Trini muncul,
anak-anak SMU Nusantara III segera menghambur mendatangi
mereka. Wartawan dan reporter dua stasiun televisi swasta ikut
bergerak. Camera televisi dan lampu sorot diarahkan pada Boma,
Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini. Beberapa wartawan mulai sibuk
menanyai Boma termasuk seorang kru televisi yang menyorongkan
mikropon.
Serda Sujiwo dibantu oleh beberapa orang anak buahnya cepat
mengambil antisipasi.
"Saudara-saudara wartawan. Mohon maaf. Harap tidak
mewawancarai dulu." Serda Sujiwo mengucapkan kata-kata itu
berulang kali. Masih saja ada wartawan yang coba menerobos.
"Saudara Boma, apa benar Saudara ke Keraton Yogya menemui
seorang Abdi Dalem bernama Ki Tunggul Sekati?"
"Saudara Boma, siapa Pangeran Matahari?"
"Maaf, saya...." Boma agak gugup. Selain itu dia harus
mengamankan telur yang ada dalam genggaman tangan kirinya dari
wartawan yang berdesakan coba mendekati dan menanyainya. Kilat
lampu tustel menyambar beberapa kali menyilaukan mata.
"Rekan-rekan wartawan. Saya mohon sekali lagi. Nanti pasti
akan diberikan kesempatan tanya jawab. Mohon jangan sekarang."
Kembali Serda Sujiwo keluarkan ucapan. Lalu dia memberi isyarat
pada anak buahnya agar melindungi Boma. Empat orang Polisi
segera mengelilingi anak lelaki itu.
Tidak berhasil menanyai Boma, para wartawan kini mendekati
Ibu Renata.
"Ibu...Anda Guru Bahasa Inggris SMU Nusantara III?"
"Benar...."
"Ibu bisa menerangkan bagaimana..."
"Saya...maaf..."
Tiga orang Polisi segera pula mengamankan Ibu Renata dan
Trini. Namun para petugas itu tidak bisa menahan gelombang para
pelajar SMU Nusantara III yang mendatangi secara nekad. "Bom! Lu
jadi ke Keraton, bener?!" Tanya Ronny Celepuk.
"Ketemu orang tua itu Bom?" Gita Parwati mendesakkan
tubuhnya yang gemuk diantara kawan-kawannya. "Gimana, Dwita
bisa ditolong?"
Vino muncul tepat di depan Boma. Dia hendak bertanya tapi tak
jadi. Anak ini perhatikan tangan kiri Boma. "Kamu megang apaan
Born?" Firman, Andi dan Rio ikut memperhatikan.
"Teman-teman. Nanti aja kita bicara. Gua musti ngelakuin
sesuatu..." Ucap Boma. "Tolong, kasi jalan."
"Bom, tampang lu pucet amat," kata Allan.
"Anak-anak, tolong jangan tanya dulu. Jangan mendesak. Beri
jalan buat Boma." Serda Sujiwo berseru.
Tak dapat mendekati Boma, Sulastri mendatangi Trini, memeluk
temannya ini. Selama ini antara mereka selalu tidak akur dan
sering bertengkar malah pernah hampir jambak-jambakan. Tapi
saat itu segala perseteruan di masa lalu kini cair dan terlupakan.
"Gimana Rin?" tanya Sulastri.
"Boma ketemu sama orang di Keraton itu. Dia dititipin telor.
Sekarang kita semua berdoa saja pada Tuhan. Mudah-mudahan
Dwita bisa ditolong."
Sulastri yang dijuluki Si Centil itu ingin bertanya lagi. Mengenai
telur yang dikatakan Trini. Tapi saat itu ada sesuatu yang lebih
penting harus disampaikannya pada Trini.
"Rin, bokap lu sama bokapnya Dwita ada di sini," bisik Sulastri
lagi.
Trini terkejut setengah mati.
"Lu jangan becanda." Trini berucap tidak percaya.
"Liat aja sendiri," sahut Sulastri.
"Mereka dimana?"
"Dekat stupa."
Sementara itu Boma yang dikerubungi teman-temannya
berusaha mencari jalan.
"Teman-teman, tolong. Kasi jalan. Aku mau liat Dwita." Boma
berusaha melangkah ke arah Stupa.
Empat orang anggota Polisi mendampingi Boma. Seorang
diantara mereka memberikan sebuah Handy Talky pada Serda
Sujiwo. Boma kini melangkah di antara para petugas Polisi yang
melindunginya hingga akhirnya sampai di depan stupa. Namun
langkahnya mendekati stupa lebih dekat terhenti.
Dua orang lelaki berdiri di depan Boma. Yang satu, yang
mengenakan jaket hitam segera dikenali Boma. Dia pernah melihat
orang ini. Waktu terjadi musibah di Gunung Gede. Dia adalah
Letnan Kolonel Polisi ayah Trini Damayanti. Boma tidak mengenal
lelaki berswiter wol yang berdiri di sebelah ayah Trini. Namun dari
cara memandang orang ini ke arahnya, dengan mata menyorot
menyala serta raut wajah seolah seekor singa lapar yang hendak
menerkam dirinya, Boma bisa menduga siapa adanya orang ini.
"Bapaknya Dwita, pasti Bapaknya Dwita."
Selagi Boma berkata dalam hati seperti itu, tiba-tiba lelaki
berswiter wol mendekati, langsung membentak.
"Kamu Boma?!"
Boma kaget. Tidak menyangka bakal dibentak begitu rupa. Telur
di tangan kirinya hampir terlepas jatuh. Empat orang Polisi yang
mendampingi Boma tegak terdiam. Teman-teman Boma yang ada di
sekitar situ juga terdiam tapi hampir semua unjukkan wajah tidak
senang.
"Ya, Pak. Saya Boma." Jawab Boma sambil menatap pada orang
yang barusan membentaknya.
Dengan suara lebih keras menggeledek, sambil tangan kirinya
menunjuk ke arah stupa di dalam mana Dwita tersekap, orang itu
kembali membentak.
"Kamu bikin apa sama anak saya Dwita? Kamu bikin apa?!"
"Saya...saya..." Boma tak bisa menjawab. Wajahnya kelihatan
pucat. Tangan kanannya ingin mengusap hidungnya tapi kali ini tak
mampu. Boma shock berat.
Saat itu Letkol Kusumo Atmojo ayah Trini membisikkan sesuatu
berusaha menenangkan ayah Dwita. Serda Sujiwo datang
menghampiri, memegang lengan lelaki itu. Tapi ayah Dwita masih
unjukkan sikap marahnya yang tidak terkendalikan. Sambil
menuding Boma dia berteriak. "Kamu mencelakai anak saya!
Dimana-mana kamu membuat celaka orang..."
"Pak, saya tidak mencelakai...."
"Diam kamu!" teriak ayah Dwita. "Pak Sanyoto juga bilang begitu.
Kalau ada pelajar SMU Nusantara III yang celaka, pasti kamu
biangnya! Kalau anak saya mati, saya tuntut kamu!"
Boma diam tertunduk.
"Kok aku yang disalain. Masa' sih Pak Sanyoto bilang begitu...?"
Boma berucap dalam hati. Sesaat dia melirik ke tangan kirinya.
Telur yang ada dalam genggamannya saat itu terasa semakin
hangat. Boma memandang pada teman-temannya. Mereka semua
juga tengah memandang teman mereka yang barusan dibentak itu.
Boma usap hidungnya dua kali. Dia kemudian melihat semua
teman-temannya menoleh ke arah kiri. Ke arah Pak Sanyoto yang
berdiri setengah bersandar ke sebuah stupa. Dua tangan
dimasukkan dalam saku celana. Kepala ditundukkan dan beberapa
kali kelihatan dia mengusap wajahnya.
"Die lagi yang jadi biang kerok,” bisik Vino pada Gita.
"Nggak ngerti aku sama orang satu itu," Sulastri menyambung.
"Kok bencinya sama Boma nggak habis-habisnya."
"Lu tau dong," menyahuti si gendut Gita Parwati. "Semua gara-
gara Ibu Renata nggak mau ngeladenin dia. Cemburu buta sama
Boma. Dasar si Umar. Nggak sadar kepalanya udah tambah botak."
Umar adalah julukan yang diberikan anak-anak SMA Nusantara Tiga
pada Pak Sanyoto yang merupakan singkatan Untung Masih Ada
Rambut.
"Bokapnya Dwita, mau nuntut segala! Ajie Busyet!" sungut Vino.
"Bukannya nyari jalan gimana supaya Dwita bisa ditolong, eh malah
maki-maki si Boma nggak karuan!"
"Lu liat nggak tampang bokapnya Dwita?" Allan nimbrung bicara.
"Kayak Bi Moli. Bibir Monyong Lima Senti."
Sulastri dan Gita Parwati menekap mulut menahan tawa.
"Nggak nyangka kamu Lan. Bisa juga ngatain orang," kata Trini.
"Berdoa juga gue liat lagak bokapnya si Dwita," kata Rio.
"Untung gendengnya si Boma nggak keluar," menimpali Andi.
"Gue sumpain biar dicekek setan Candi!" kata Firman.
"Gila lu!" kata Sulastri sambil nonjok punggung Firman hingga
anak lelaki kecil ceking ini sempoyongan. "Di tempat begini jangan
bicara sembarangan. Nanti mulut lu bisa mencong, tau. Apa lagi
kalau kedengeran bokapnya Dwita kamu yang gantian dimaki.
Dituntut tau!"
"Tau!" jawab Firman sambil nyengir. Dia meledek dengan
tutupkan tangan kirinya ke mulut dan tangan kanan memencet
hidung.
"Brengsek lu kalau dikasi tau. Kalau sudah kesambet baru
nyahok!" kata Sulastri pula.
Tiba-tiba ada seseorang naik ke atas lantai candi tempat ayah
Dwita berdiri. Ronny Celepuk!
***
TUJUH
BOMA MEMASUKKAN TELUR KE DALAM LOBANG
STUPA
ERLAN Sujatmiko ayah Dwita memandang melotot pada anak
lelaki berambut gondrong berhidung tinggi bengkok bermata
belok dan beralis tebal seperti burung hantu itu.
"Pak, jangan marah-marah dulu dong. Bukan Boma yang
mencelakai Dwita. Ada orang lain punya pekerjaan jahat. Harap
sabar Pak. Kami semua tengah berusaha menolong Dwita."
"Kamu siapa?!" semprot ayah Dwita dengan mata makin melotot
hingga tak kalah beloknya dengan mata Ronny Celepuk.
"Saya Ronny, teman Boma. Juga teman Dwita," jawab Ronny
Celepuk masih kalem.
"Saya tidak ada urusan sama kamu! Pergi sana!"
Tunggu dulu, Pak," ujar Ronny Celepuk mulai jengkel. "Bapak
baru datang marah-marah. Boma satu harian pergi ke Jogja untuk
mencari pertolongan..."
"Ke Jogya? Anak saya ada di sini! Ngapain dia ke Jogya?!"
"Ini bukan urusan sembarangan Pak. Ada kekuatan gaib di balik
semua kejadian ini."
"Kekuatan gaib?" Erlan Sujatmiko menyeringai. Buruk sekali
seringainya. "Kekuatan gaib apa?! Jangan mencari-cari dalih! Saya
tidak percaya segala tahayul!"
"Ini bukan tahayul Pak." Ronny masih menyahuti. "Bapak liat
sendiri! Menurut logika bagaimana mungkin anak Bapak bisa
masuk dalam stupa? Atau mungkin Bapak punya kemampuan
mengeluarkan anak Bapak? Silahkan!"
Rahang Erlan Sujatmiko menggembung. Mukanya yang
keringatan kelihatan kelam memerah.
"Pergi kamu dari hadapan saya. Atau saya, pukul!" Ancam
diplomat senior itu.
"Kalau Bapak mukul saya, saya juga bisa mukul Bapak! Coba
aja!" Ronny Celepuk membalas ancaman orang dengan sikap
menantang.
Ayah Dwita jadi kalap. Dengan tinju terkepal dia melompat
hendak menerkam lalu meninju Ronny. Tapi ayah Trini cepat
merangkulnya.
"Ron, kesini Ron," Boma memanggil.
Ronny Celepuk masih tidak beranjak dari tempatnya. Kusumo
Atmojo ayah Trini member isyarat dengan goyangan kepala agar
Ronny tinggalkan tempat itu.
Melihat isyarat ini Ronny akhirnya memutar tubuh, melangkah
ke arah Boma. Sampai di dekat Boma dan teman-temannya dia
keluarkan ucapan. "Katanya diplomat senior. Kok galak begitu,
nggak ada sopan santunnya. Kita-kita mau nolongin anaknya malah
dicaci maki!"
"Belon tau si Ronny dia!" ucap Vino. "Celepuk dijabanin melotot.
Kalah belok die!"
"Teman-teman, biarin aja. Bokapnya Dwita lagi bingung." kata
Boma coba membujuk kawan-kawannya.
"Bingung sih boleh sejuta bingung!" menyahuti Si Centil Sulastri.
Diplomat kok brengsek begitu. Enak aja dia nuduh kamu nyelakain
Dwita. Justru kamu yang kalang kabut setengah mati mau nolongin
Dwita! Ngeliat nggak? Kalau diplomat kita semua seperti dia, weh!
Pantesan aja bangsa kita kalah suara melulu dimana-mana. Ngaku
diplomat, mental kucing burik." Yang bicara si Centil Sulastri.
Ayah Trini akhirnya berhasil membujuk dan menenangkan Erlan
Sujatmiko. Lelaki ini akhirnya melangkah ke arah stupa di dalam
mana anak perempuannya berada, berlutut sambil dua tangannya
memegangi stupa. Dia kelihatan letih sekali.
"Dwita.... Dwita...." Berkali-kali lelaki itu mengeluarkan ucapan,
memanggil anaknya. Suaranya tersendat dalam isakan tangis yang
ditahan.
Serda Sujiwo mendekati ayah Trini. Sebelumnya waktu tugas ke
Jakarta dia pernah menemui Pamen ini. Dia memberi hormat
terlebih dulu pada Letnan Kolonel Kusumo Atmojo lalu menyalami.
Keduanya bicara beberapa lama. Ayah Trini memperhatikan
arlojinya lalu menganggukkan kepala. Serda Sujiwo kemudian
mendekati Boma. Diusapnya punggung anak lelaki ini lalu berkata.
"Tenang saja Dik Boma. Jangan terpengaruh ucapan orang tadi.
Waktu kita tidak banyak. Ingat ucapan Ki Tunggul Sekati. Sekarang
sudah jam setengah dua belas lewat sepuluh. Saya rasa sudah
saatnya Dik Boma memasukkan telur itu ke dalam lobang stupa.
Jangan lupa baca Bismillah, mohon pada Allah."
Boma mengangguk. Tengkuknya terasa dingin dan lututnya
mendadak goyah. Dadanya berdebar. Dia mengangguk sekali lagi
tapi belum beranjak dari tempatnya berdiri.
Ibu Renata mendekat. Dipegangnya bahu kiri Boma seraya
berbisik.
"Tabah Bom. Kuatkan hatimu. Jangan ragu melakukan apa yang
harus kau lakukan. Kita tahu Tuhan Maha Kuasa. Segala sesuatu
akan terjadi atas kehendakNya. Tapi tetap kamu harus melakukan
sesuatu. Sesuai pesan orang tua di Keraton , itu."
Boma palingkan kepala. Wajah Ibu Renata dekat sekali di
sampingnya. Dipandanginya wajah itu beberapa lama. Dan wajah
Ibu Renata dilihatnya cantik sekali saat itu. Anak lelaki ini
tersenyum. Ibu Renata balas tersenyum. Gita Parwati melirik ke
arah Trini. Boma menggerakkan kaki kanan, mulai melangkah
mendekati stupa.
Di bagian lain dari stupa ayah Dwita memperhatikan gerak-gerik
Boma dengan pandangan mata masih menyorot sementara Letkol
Kusumo Atmojo dengan sepasang matanya berusaha mencari-cari
anak perempuannya di antara orang banyak. Namun seperti semua
orang yang ada di tempat itu perhatiannya kemudian lebih
ditujukan pada Boma. Tadi secara singkat Serda Sujiwo telah mene-
rangkan tentang kepergiannya ke Keraton dan kembali ke candi
membawa sebutir telur ayam putih yang menurut orang tua yang
ditemui dengan kuasa Allah mudah-mudahan bisa menolong
menyelamatkan Dwita.
"Rin, kayaknya tadi bokap lu nyariin kamu. Samperin sana." Ucap
Rio pada Trini.
"Nanti aja, aku mau liat apa yang dilakukan Boma." Jawab Trini
acuh.
Saat itu Boma sudah sampai di depan stupa tempat Dwita
disekap. Dia berlutut, mengintip lewat lubang batu stupa. Hatinya
terenyuh dan anak ini seperti mau menangis melihat keadaan
Dwita. Dia ingat pada ucapan supir taksi tadi. Dwita dibunuh. Dia
ingat pada bentakan-bentakan ayah Dwita. Dia yang mencelakai
anak perempuan itu.
"Dwita, jangan mati dulu. Aku dan teman-teman masih berusaha
menolongmu. Tuhan juga akan menolongmu Dwita. Kamu harus
hidup Dwita. Harus hidup. Untuk membuktikan aku dan teman-
teman tidak salah. Tidak mencelakaimu. Kamu anak baik. Tidak
ada orang yang mau berbuat jahat padamu. Tuhan tolong saya,
tolong Dwita."
Ucapan Boma lirih perlahan tapi masih sempat terdengar oleh
beberapa teman yang jongkok di sekitarnya termasuk Ibu Renata.
Gita, Trini dan Sulastri tidak bisa menahan diri. Perasaan mereka
jadi terenyuh. Air mata berlelehan di pipi ketiga anak perempuan
itu. Ibu Renata sendiri kelihatan berkaca-kaca sepasang matanya.
Serda Sujiwo kembali memegang punggung Boma dan berbisik.
"Dik Boma, lakukan sekarang."
Tangan kiri Boma mendadak bergetar. Anak ini tidak berani
ulurkan tangan, memasukkan telur ke dalam lobang stupa. Takut
telur itu terjatuh. Boma pejamkan mata. Ucapan Ibu Renata
terngiang di telinganya. "Tabah Bom. Kuatkan hatimu. Jangan ragu
melakukan apa yang harus kau lakukan. Kita tahu Tuhan Maha
Kuasa. Segala sesuatu akan terjadi atas kehendakNya. Tapi tetap
kamu harus melakukan sesuatu. Sesuai pesan orang tua di
Keraton itu."
Boma pejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam.
Suasana di tempat itu sunyi mencekam. Di langit tak kelihatan
bintang. Bulan purnama yang belum penuh sedikit demi sedikit
mulai tertutup saputan awan hitam. Lampu-lampu sorot mendadak
menyala. Dua kamera televisi diarahkan ke Boma. Beberapa kali
lampu kilat kamera wartawan berkilauan. Serda Sujiwo dan anak
buahnya tampak bingung. Apakah mereka harus mencegah semua
itu atau terpaksa diam membiarkan. Sementara semua mata
memperhatikan Boma tidak mengedip.Banyak yang mengusap
tengkuk masing-masing karena ada rasa dingin yang aneh kalau
tidak mau dikatakan takut.
"Tuhan tolong saya, tolong Dwita." Dalam keadaan masih
berlutut untuk kesekian kalinya Boma berdoa memohon dalam hati.
Lalu buka kedua matanya kembali. Getaran di tangan kirinya
lenyap. Tangan itu perlahan-lahan diulurkan ke arah lobang stupa
paling bawah. "Bismillah," Boma mengucap lalu dengan sangat hati-
hati Boma meletakkan telur ayam putih yang sekian lama
digenggamnya ke dalam lobang stupa. Tepat di arah kepala Dwita
Tifani yang terbaring di pangkuan Arca Amoghasidi.
Boma mendadak merasa ada satu kekuatan hawa sejuk
menuntun gerakan tangannya meletakkan telur ke dalam lobang
stupa. Dia juga seperti rnendengar ada suara "klek" ketika telur
ayam putih bersentuhan dengan batu lobang stupa. Di dalam
lobang, telur ayam putih itu tidak bergeming, seolah menempel
lengket ke batu stupa.
Gita Parwati memegang lengan Trini. "Telor ayam, itu yang dari
tadi dipegangin Boma. Dapet dari mana dia?"
"Dari orang tua di Keraton," jawab Sulastri vang sebelumnya
telah diberitahu Trini.
"Kok ditaroh dalam lobang stupa?" ucap Rio.
"Aku takut..." bisik si Centil Sulastri.
"Pelukin aja Vino situ," celetuk Trini.
Untuk beberapa lamanya Boma masih berlutut di depan stupa.
Memperhatikan telur ayam putih di dalam lobang, melirik ke dalam
stupa untuk melihat Dwita. Hatinya lega karena kini amanat untuk
meletakkan telur ayam putih di dalam lobang stupa telah
dilaksanakannya. Namun hanya sesaat karena kemudian anak
lelaki ini diselimuti rasa gelisah.
"Apa yang akan terjadi...." Membatin Boma. Lalu dia ingat
sesuatu. "Belum tengah malam. Belum tepat jam dua belas malam.
Menurut Ki Tunggul Sekati...."
"Pak Kusumo," ayah Dwita Tifani yang sejak tadi berlutut
memperhatikan Boma dari samping stupa bangkit berdiri.
Didekatinya ayah Trini. Walau dia berusaha menekan nada
suaranya namun beberapa orang masih sempat mendengar apa
yang diucapkan ayah Dwita ini.
"Pak Kusumo, perbuatan sirik apa yang dilakukan anak itu? Mau
diapakan anak saya?!"
Letkol Kusumo Atmojo, ayah Trini, cepat mendekati Erlan
Sujatmiko, merangkul bahu lelaki ini. Sambil berusaha
membawanya agak menjauhi stupa Kusumo Atmojo berkata.
"Pak Erlan, tidak usah kawatir. Nanti saya terangkan..."
"Saya tidak mengerti. Saya benar-benar tidak mengerti.
"Nanti saya terangkan. Pak Erlan harap tenang. Berdoa saja agar
anak Bapak bisa diselamatkan."
"Siapa yang menyelamatkan? Telur itu?! Anak itu?!"
"Erlan Sujatmiko gelengkan kepala berulang kali.
"Sudahlah, ayo kita duduk di sebelah sana. Bapak letih, saya
juga capek."
Sementara itu Boma masih berlutut sambil memegangi batu
stupa. Lewat lobang-lobang stupa matanya tak putus-putus
menatap wajah Dwita.
"Dwita," ucap Boma perlahan. "Kalau semua ini nggak bisa
nyelamatin kamu, aku bakalan nekad. Aku mau mati demi kamu..."
Serda Sujiwo yang berdiri di samping Boma, sesaat tertegun
mendengar kata-kata anak lelaki itu. Dipegangnya bahu Boma lalu
berkata.
"Dik Boma, bangun...."
"Jam berapa sekarang Pak?" tanya Boma tanpa mengalihkan
matanya dari memandang Dwita.
Serda Sujiwo melirik ke pergelangan tangan kanannya.
"Dua belas kurang sepuluh. Seperti kata Ki Tunggul Sekati,
sesuatu akan terjadi tepat jam dua belas. Ayo...." Serda Sujiwo
memberitahu lalu menolong Boma bangkit berdiri. Anak ini
kemudian dibawanya menjauhi stupa. Kepada empat orang anak
buahnya yang ada di dekat stupa Serda Sujiwo memberi isyarat
agar mundur. Kepada para pelajar SMU Nusantara III dan semua
orang yang berdiri di sekitar stupa dengan isyarat tangan juga
dimintanya agar mundur lalu duduk di lantai candi, tidak ada yang
berdiri.
Untuk beberapa lama lampu-lampu sorot masih menyala. Juru
kamera dua stasiun televisi masih membidikkan kamera mereka ke
arah telur ayam putih di dalam lobang stupa, lalu ke arah Boma
yang kini duduk di lantai stupa di kelilingi teman-temannya. Lampu
kilat tustel berkilauan berulang kali.
"Bom, telor yang kamu masukin ke dalam lobang stupa itu buat
apaan?" tanya Ronny Celepuk.
"Aku nggak bisa ngasi tau apa-apa. Kita nunggu sampai jam dua
belas tepat..."
"Memangnya ada apa jam dua belas?" tanya Sulastri.
"Katanya saat itu Dwita akan diselamatkan dari dalam stupa."
"Siapa yang nyelamatin?" tanya Vino.
Boma menowel hidungnya. "Liat aja nanti. Aku juga nggak ngerti.
Kalau dipikir semua nggak masuk akal. Aku cuma minta tolong
sama Tuhan. Teman-teman juga bantu aku. Ikut berdoa agar Dwita
bisa keluar dari dalam stupa..."
"Git, rasanya serem amat. Aku kok jadi tambah takut..." bisik
Sulastri pada Gita Parwati.
Si gendut Gita Parwati mengusap wajahnya yang basah oleh
keringat padahal udara dan angin bertiup dingin. "Gua juga ada
perasaan ngeri..." kata anak perempuan ini sambil memegang
tangan Sulastri yang terasa dingin.
"Gua nggak bisa ngebayangin, apa yang bakal kejadian jam dua
belas nanti," kata Rio.
Vino melirik ke arloji di tangan kirinya. Jam 11.48.
"Ron," panggil Boma. "Kamu sudah dapat dongkrak mobil yang
aku minta?"
"Ada tiga Bom. Nyewa sama supir-supir," menerangkan Ronny.
"Kalau usaha aneh ini nggak bisa ngeluarin Dwita dari dalam
stupa, aku nekad ngedobrak stupa dengan dongkrak itu. Masa sih
nggak jebol."
Tiba-tiba satu sosok besar bergerak di antara para pelajar SMU
Nusantara III. Beberapa orang anak mengomel karena tersenggol.
"Maaf, minta jalan. Dikit aja.... Maaf." Sosok besar keluarkan
ucapan, melangkah terbungkuk-bungkuk sambil luruskan tangan
kanan ke bawah.
Sosok ini kemudian duduk dekat Trini yang berada di sebelah
kanan Ronny.
"Mbak Trini masih ingat saya?"
Suara besar dan parau menegur Trini Damayanti.
Anak perempuan itu palingkan kepala. Satu wajah bulat besar,
memakai topi pet terbalik, tersenyum padanya.
"Eh, sampean toh! Mimpi kali"' ucap Trini. "Kok bisa ada di sini?
Tau dari mana?"
"Tuyul Bengkak. Wartaaaawwwwwaaan, tau. Yang namanya
wartawan musti tahu sumber berita hebat dan musti bergerak
cepat. Nggak usah heran dong.
***
DELAPAN
CEWEK CAKEP TAK DIKENAL TELUR AYAM
PANCARKAN CAHAYA BIRU
PRA pelajar yang mengelilingi Boma sesaat memperhatikan
lelaki gendut berjaket kulit yang duduk di samping Trini
membuka topi petnya. Dia mengusap kepalanya yang botak
basah oleh keringat lalu memakai topi itu kembali. Tustel
yang tergantung di leher diletakkan di pangkuan. Boma dan teman-
teman memandang ke arahnya. Mengetahui dirinya diperhatikan
lelaki ini tersenyum dan lambaikan tangan kanan.
"Siapa Bom?" tanya Ronny. "Rasanya gue pernah ngeliat si
gendut botak itu."
"Wartawan. Dia dulu yang bikin heboh. Bikin berita di tabloid aku
pacarnya Trini," jawab Boma setengah berbisik karena tidak mau
ucapannya kedengaran Trini yang duduk di sebelah kanan Ronny.
Wartawan dengan sosok gendut dan mengaku bernama Tuyul
Bengkak ini adalah wartawan sebuah tabloid di Ibukota. Sewaktu
terjadi musibah yang menimpa Boma dan kawan-kawan di Gunung
Gede, dia pernah mewawancarai Trini. Di dalam artikel yang
kemudian ditulisnya di dalam tabloid dia menyebutkan Trini sebagai
pacar Boma. Karuan saja seluruh pelajar dan guru SMU Nusantara
III menjadi heboh. Trini yang memang naksir berat sama Boma
senang-senang saja menanggapi berita dalam tabloid. Apa lagi saat
itu dia tengah bersaing keras dengan Dwita untuk mendapatkan
perhatian Boma (Baca serial Boma Gendenk Episode "Suka Suka
Cinta")
Dengan tustelnya yang diisi film ASA tinggi hingga tidak
memerlukan lampu kilat wartawan tabloid itu jepret sana jepret sini.
Yang dipotretnya adalah stupa tempat Dwita tersekap, lalu zoom in
ke arah telur dalam lobang stupa. Selanjutnya tustel diarahkan
pada Boma, Trini, Ibu Renata dan beberapa pelajar SMU Nusantara
III.
"Wah, tampang ogut masuk koran deh!" kata Firman.
"Mending," menukas Vino. "Paling cuman kuping lu doang."
Selesai mengambil foto dengan suara perlahan wartawan
bertubuh gemuk gendut bicara pada Trini.
"Saya lihat lintasan berita jam lima sore di tivi. Apa yang terjadi
di sini ditayangkan..."
"Bener Mas?" Trini tidak percaya.
Si gemuk mengangguk. "Disebut-sebut pelajar SMU Nusantara.
Juga nama Dwita. Saya ngecek ke tivi. Lalu nilpon rumahnya Mbak.
Katanya Mbak lagi ke Jogya. Saya cek ke rumah Dwita. Dapat
keterangan ayah Dwita sudah berangkat ke sini sama ayahnya
Mbak. Saya lapor Pimpinan Redaksi. Langsung diperintahkan ke
sini. Sampai di Bandara Sukarno Hatta sekitar jam tujuh. Untung
masih kebagian tempat di pesawat. Saya ngecek dulu ke wisma.
dapat keterangan semua pelajar SMU Nusantara dan guru-guru
berada di Candi Borobudur. Saya langsung aja ke sini." Tuyul
Bengkak buka lagi topi petnya, usap kepala botaknya yang
keringatan. "Mbak Trini, sebetulnya bagaimana kejadiannya? Tadi
saya lihat Mas Boma meletakkan telor di lobang stupa..."
Walau wartawan tabloid itu bicara perlahan, tapi karena tempat
itu dicekam kesunyian maka tetap saja suaranya terdengar
kemana-mana. Beberapa orang melihat ke arahnya. Tuyul Bengkak
tersenyum walau kini jadi risih sendiri.
"Mas Tuyul, nanti aja ngomongnya disambung.."
"Sorry Mbak, saya ngerti." Ucap Tuyul Bengkak lalu wartawan ini
mengokang tustel di pangkuannya.
Suasana di sekitar stupa benar-benar sunyi kini. Tiupan angin
menerpa keras dan dingin. Boma menowel hidungnya. Sepasang
matanya terus-terusan menatap ke arah stupa. Perasaannya luar
biasa tegang namun dalam hati anak ini tidak putus-putus berdoa
memintakan keselamatan bagi Dwita. Satu saat sepasang mata
Boma bergerak ke kanan, ke arah deretan pelajar SMU Nusantara
III yang duduk di seberangnya, di samping kiri stupa.
"Ron," Boma berbisik. Lalu menowel hidungnya.
"Apa?"
"Lu ngenalin nggak cewek pakai kaos merah di depan sono.
Yang ngeliatin ke arah kita."
Ronny Celepuk mengikuti arah pandangan Boma. Lalu balik
bertanya. Matanya mencari-cari.
"Yang mana Bom?"
"Kaos merah, rambut item panjang sepinggang. Dia masih
ngeliatin ke sini."
"Nggak Born. Aku nggak ngeliat tuh."
"Mata lu kotok kali"' Boma menowel hidung kembali.
Jengkel dibilang matanya kotok, Ronny Celepuk kedap-kedipkan
matanya beberapa kali, digosok-gosok lalu kembali memperhatikan
ke jurusan yang dipandang Boma.
"Udah, lu ngeliat?"
Ronny menggeleng.
"Itu anaknya, sekarang dia senyum."
"Nggak ada cewek yang senyum. Nggak ada cewek pakai kaos
merah, rambut item sepinggang. Gua kenal semua anak-anak yang
duduk di sebelah sono. Hampir semua teman kita sekelas. Ada satu
dua anak kelas lain."
Boma palingkan kepala, pandangi temannya beberapa saat.
"Gue juga kenal Ron. Semua anak-anak SMU Nusantara. Tapi yang
pakai kaos merah itu, aku nggak pernah ngeliat. Dia bukan anak
SMA Nusantara. Kalau anak luar kok duduknya gabung sama
teman-teman?"
"Ah, masa sih mata gua lamur," ucap Ronn penasaran. "Anaknya
cakep?"
Boma tertawa, menowel hidungnya. "Ala Ron, jangan becanda
deh. Lu ngeliat bilangnya nggak ngeliat."
"Sumpah disamber janda Bom. Aku memang nggak liat cewek
yang kamu bilang itu. Cakep nggak sih anaknya?" Ronny masih
bercanda.
Boma menowel hidungnya dua kali lalu kembali memandang ke
depan, ke arah samping kiri stupa.
"Eh! Kok...?" Suara Boma menyatakan rasa keterkejutan.
Wajahnya berubah. "Hilang Ron."
Karena Boma bicara sambil menekapkan tangan kirinya ke
bawah perut Ronny Celepuk bertanya. "Apaan yang hilang? Bijilu?"
"Brengsek lu! Yang aku maksud cewek pakai kaos rnerah tadi.
Nggak ada lagi di depan sono!" '
"Nah, kamu yang sebenarnya becanda Bom."
"Gua nggak ngerti Ron. Nggak ngerti. Kok..."
"Kamu kayak bokapnya si Dwita aja. Bulak balik bilang nggak
ngerti..."
Boma diam. Matanya masih memandang ke arah kelompok
anak SMU Nusantara III yang duduk di samping kiri stupa. Dia
memang tidak bercanda. Anak perempuan berkaos merah, rambut
hitam sepinggang yang tidak dikenalnya itu tadi jelas-jelas
dilihatnya, duduk diantara teman-temannya. Tapi kini lenyap begitu
saja.
"Kalau dia berdiri lalu pergi, mustahil aku nggak ngeliat," kata
Boma dalam hati. "Hati gue nggak enak Ron." Akhirnya Boma
keluarkan ucapan. Ronny tidak menyahuti. Masih heran dengan
sikap serta ucapan temannya itu.
Ibu Renata yang duduk di sebelah kiri Boma dan mendengar
pembicaraan bisik-bisik Boma dengan Ronny beberapa kali coba
memperhatikan ke jurusan depan. Seperti Ronny, Guru Bahasa
Inggris ini juga tidak melihat anak perempuan yang dikatakan Boma
itu.
"Kamu berdua ngomongin apa sih tadi? Kayaknya serius
banget?" Trini bertanya pada Ronny.
"Tau tu si Boma. Katanya di depan sono ada..."
Boma menyikut rusuk Ronny hinga anak lelaki ini tidak
meneruskan ucapannya.
Seorang anggota Polisi memompa tiga lampu patromak yang
cahayanya mulai redup. Malam tarnbah kelam. Bukan saja tidak
ada bintang, bulan purnama hari ke tiga belas juga tersembunyi
dibalik awan tebal. Udara terasa tambah dingin.
Di kejauhan suara lolongan anjing tiba-tiba terdengar, seperti
suara setan meratap membuat semua orang yang mengelilingi
stupa Archa Amoghasidi jadi dingin dan mengkirik kuduk masing
masing.
Tiba-tiba tiga lampu patromak yang baru dipompa dan
cahayanya terang benderang padam seperti ditiup hantu. Suasana
jadi gelap gulita. Beberapa anak perempuan berpekikan.
Rata-rata semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekat
dalam gelisah kalau tidak ma dikatakan takut. Firman ceking komat
kamit mungkin membaca sesuatu minta perlindungan. Gita Parwati
berpaling ke arah Allan. Saat itu dia ingin anak lelaki itu berada
dekat dengan dirinya. Sulastri beringsut ke depan mendekati Gita
lalu memegang pinggul si gendut ini. Karuan saja Gita jadi tergagau
kaget, hampir menjerit.
"Lastri! Apa-apaan sih! Bikin kaget gua aja. Untung gua nggak
teriak."
"Aku takut, aku mau dekat kamu..." bisik Sulastri.
Untuk menghindari suasana kacau Serda Sujiwo berdiri di depan
deretan anak-anak yang duduk di lantai.
"Semua tenang! Jangan ada yang bergerak! Tetap ditempat!"
teriak Serda Sujiwo. Lalu bersama beberapa orang anak buahnya
Serda ini memeriksa dan coba menghidupkan tiga patromak
kembali. Namun walau dicoba berulang kali tiga lampu patromak
itu tetap saja tidak bisa dinyalakan.
"Aneh," kata Serda Sujiwo. Dia mulai merasa kalau padamnya
tiga patromak itu adalah sesuatu diluar kewajaran.
"Aneh," ucap Ibu Renata pada dirinya sendiri tapi sempat
terdengar oleh Boma yang duduk di sampingnya.
"Ibu takut...?" tanya Boma sambil tangan kirinya memegang
lengan Guru Bahasa Inggris itu.
"Saya heran. Mengapa banyak keanehan di tempat ini," jawab
Ibu Renata perlahan. Entah sadar entah tidak tangan kirinya
digenggamkan ke jari-jari Boma yang memegang lengan kanannya.
Tempat itu begitu gelap. Tidak ada yang melihat guru dan murid
yang saling bergenggaman tangan itu. Lewat jari-jari yang saling
bertautan mereka merasakan satu kehangatan, paling tidak dalam
hati dan perasaan masing-masing.
Di kejauhan lapat-lapat kembali terdengar suara lolongan anjing,
panjang menyayat berhiba-hiba. Tiba-tiba semua orang yang
mengelilingi stupa keluarkan seruan tertahan. Bukan suara
lolongan anjing itu yang membuat mereka terikat, tapi ada satu
kejadian lain luar biasa.
Ibu Renata menarik tangannya dari dalam genggaman Boma,
memandang ke arah stupa. Boma juga ikutan memandang ke arah
stupa.
Astaga!
Telur ayam putih yang ada dalam lobang stupa kelihatan
memancarkan cahaya biru. Beberapa pelajar berdiri. Termasuk
Boma. Anak ini bergerak, melangkah hendak mendekati stupa.
Serda Sujiwo segera mencegah sambil berseru.
"Anak-anak, tetap tenang. Harap duduk kembali. Tidak perlu
gelisah." Tapi saat itu Serda Sujiwo sendiri sebenarnya gelisah.
Matanya berkali-kali melirik memperhatikan telur ayam yang
memancarkan cahaya biru dalam lobang stupa. Boma mengusap
hidungnya. Dia harus ke stupa. Dia harus tahu apa yang terjadi. Dia
tidak perduli seruan Serda Sujiwo tadi. Kalau perlu dia akan
mengambil, mengeluarkan telur ayam dalam loban stupa lalu
membuangnya jauh-jauh. Anak ini melangkah.
"Boma, jangan..." kata Ibu Renata.
Di sebelah belakang Sulastri yang tenggelam dalam rasa takut
ikut berucap. "Bom, jangan kesitu. Kalau telurnya dadakan
meledak, kamu bisa celaka.
Tapi Boma nekad. Dia meneruskan langkah. Gita Parwati dan
Ronny sama-sama pegangi kaki anak ini.
Sambil memegangi kaki Boma, Gita tak henti-hentinya berkata.
"Bom jangan gendeng Bom. Jangan bikin yang nggak-nggak. Jangan
gendeng..."
"Aku nggak gendeng," jawab Boma. Hidungnya ditowel berulang
kali. Memandang ke arah telur, berpaling pada Gita dan Ronny yang
memegangi kakinya. Akhirnya, perlahan-lahan anak ini duduk
kembali ke lantai candi. Begitu duduk dia berkata.
"Kalau telor itu meledak, lalu Dwita celaka, aku..."
"Tenang aja Bom. Jangan ngarepin yang nggak-nggak," bisik
Ronny. "Kalau telor itu memang meledak, kita mau berbuat apa.
Kamu jangan nyari penyakit."
"Percaya Tuhan Bom," kata Trini yang mendekati Boma dan
mernegang bahu anak lelaki ini. "Tuhan nggak bakal nyelakain
Dwita. Nggak bakal nyelakain kita-kita."
Wartawan tabloid Tuyul Bengkak ikutan membujuk Boma agar
berlaku tenang.
Boma menatap wajah lelaki gendut ini sesaat, berpaling pada
Trini lalu berucap.
"Kalau keadaan begini terus aku bisa nekad Ron. Bener-bener
nekad. Soalnya aku yang narok telor itu dalam lobang stupa. Kalau
meledak dan Dwita celaka, aku yang salah," jawab Boma. Dia
kembangkan telapak tangan kirinya. Tangan yang pernah diisi hawa
sakti oleh nenek aneh Sinto Gendeng di Gunung Gede. Saat itu
ingin sekali dia melompat ke arah stupa. Menghantam jebol stupa
itu dengan tangan kirinya.
"Berdoa saja, berdoa. Minta supaya jangan terjadi apa-apa,"
bisik Ibu Renata pada Boma. Guru Bahasa Inggris ini pejamkan
mata, tak berani memandang terlalu lama ke arah telur dalam
lobang stupa.
"Ya, Bu." Jawab Boma perlahan. Rasa nekad dalam dirinya
perlahan-lahan mengendur.
Beberapa saat berlalu. Boma mendadak merasa ada hawa aneh
keluar dari batu candi yang didudukinya. Anak ini tampak gelisah.
Keringat dingin keluar dari pori-pori di permukaan kulit wajah dan
tubuhnya.
***
SEMBILAN
SINTO GENDENG MUNCUL DI CANDI
RASA gelisah mencekam semua orang yang ada di sekitar
stupa. Ayah Trini selalu berada di dekat Erlan Sujatmiko,
ayah Dwita. Beberapa kali dia melihat gelagat lelaki ini
hendak melangkah ke arah stupa. Lebih-lebih ketika dia
menyaksikan telur putih yang mendadak berubah dan
memancarkan cahaya biru.
Dalam kesunyian dan udara dingin begitu rupa, tiba-tiba Boma
merasakan satu keanehan. Telapak tangan kanannya diletakkan di
atas lantai candi. Digeser-geser beberapa kali. Digerakkan seperti
meraba sesuatu.
"Ngapain lu Bom?" tanya Gita Parwati. Ronny dan beberapa anak
lainnya ikut memperhatikan.
"Ron, lu ngerasain sesuatu nggak?" Bisik Boma.
"Sesuatu apa?" balik bertanya Ronny. "Lu mau ngerjain gua lagi?
Jangan macem-macem Bom. Mulut gue udeh asem ini. Rokok abis."
"Batu candi yang gua dudukin. Kok mendadak terasa panas."
Boma memberitahu.
"Mungkin lu pengen beol kali'. Atau lagi nahanin kentut!" Kata
Ronny Celepuk sambil senyum-senyum acuh.
"Gue nggak becanda Ron. Demi. Badan gue ampe ngeluarin
keringet...." Belum sempat Boma meyakinkan temannya itu tiba-tiba
dia menangkap suara sesuatu. Suara seperti ada burung besar
melesat di udara. "Ron, ada suara aneh. Lu denger nggak?"
"Nggak, soalnya lu belon kentut sih!" jawab Ronny masih
bercanda.
Boma mendongak ke atas. Langit kelam gelap. Udara dingin dan
tiupan angin terdengar keras. Dalam gelap tiba-tiba Boma melihat
dua benda besar melesat di udara. Yang satu kemudian hinggap
dan duduk di puncak stupa sebelah kanan dimana Dwita tersekap.
Satunya lagi duduk di atas stupa sebelah kiri belakang.
Sepasang mata Boma terpentang lebar. Walau agak jauh tapi
sosok bermantel yang duduk di atas stupa sebelah kanan segera
dikenalinya. Itulah pemuda tinggi besar yang mengaku bernama
Pangeran Matahari. Yang siang tadi berkelahi dengan dia dan
pemuda gondrong yang dipanggilnya dengan sebutan Abang. Boma
memandang ke stupa satu lagi. Dia melihat sosok berjubah gelap,
berwajah seorang nenek, angker seram diselomoti dandanan tebal.
"Lu ngeliatin apa, kok dari tadi nongak terus?" Gita Parwati
bertanya. Dia coba menandang ke jurusan yang diperhatikan Boma.
Dia tidak melihat apa-apa selain kegelapan malam dan deretan
stupa.
Boma pegang lengan Ronny Celepuk.
"Pangeran Matahari...." suara Boma tersendat. "Orang jahat yang
menyekap Dwita dalam stupa. Yang tadi siang mau ngebunuh aku.
Dia duduk di atas stupa sana. Dia muncul bersama nenek-nenek
bertampang seram. Nenek-nenek itu duduk di stupa sebelah situ."
Sambil berkata Boma arahkan jari telunjuk tangan kirinya ke arah
dua stupa di seberang sana.
Ronny, Ibu Renata, Gita dan semua anak yang mendengar
ucapan Boma serta merta memandang ke arah yang ditunjuk
Boma.
"Aku nggak ngeliat apa-apa!" Kata Ronny Celepuk. Lalu dia
berpaling pada Allan. "Lu ngeliat yang dibilang Boma?"
"Nggak," jawab Allan.
"Masa sih ada orang duduk di atas stupa. Stupa yang mana?"
tanya Trini.
"Betul Bom, aku juga nggak liat apa-apa. Nggak gampang orang
mau duduk di atas stupa..."
Boma berpaling pada Ibu Renata, mungkin Guru Bahasa Inggris
ini melihat apa yang dilihatnya. Tapi Ibu Renata membalas
pandangan Boma dengan gelengan kepala.
Sulastri mendekatkan mulutnya ke telinga Gita. Lalu berbisik.
"Boma semakin aneh. Jangan-jangan dia sudah kesambet setan
candi. Ngeliat ini ngeliat itu, dengar ini dengar itu. Kok kita semua
nggak ngeliat apa-apa. Nggak denger apa-apa."
"Bom, lu sadar Bom?" Gita Parwati bertanya.
"Sialan, emangnya gue kenapa?" ucap Boma. "Kalian diam
semua. Jangan pada ngomong. Sesuatu pasti akan terjadi." Boma
berpaling pada Vino.
"Jam berapa sekarang?" tanya Boma.
Vino melihat ke arlojinya. Wartawan tabloid Tuyul Bengkak
singsingkan lengan kiri jaket kulitnya, untuk melihat jam tangan
yang ada di situ. Agak susah melihat dalam gelap. Untung jarum
dan angka-angka arloji Vino dilapisi rodium hingga dia masih bisa
melihat cukup jelas.
"Jam dua belas kurang dua menit," kata Vino.
Boma melirik ke arah telur di dalam lobang stupa. Lalu
memperhatikan dua sosok yang duduk di atas stupa. Tiba-tiba anak
ini mendengar suara tawa cekikikan.
"Ron, ada yang ketawa!" ucap Boma memberitahu.
Sepasang alis mata tebal Ronny Celepuk naik ke atas. Matanya
membesar lalu anak ini tertawa.
"Aku nggak dengar suara orang ketawa. Teman-teman, kalian
ada yang dengar?" tanya Ronny. Semua anak yang ada di tempat
itu sama-sama gelengkan kepala.
"Boma bener-bener udah kemasukan setan candi. Ucapan dan
tingkahnya semakin aneh!" bisik Sulastri ke telinga Gita.
"Bom, sebenarnya kamu ini kenapa sih?!" Trini bertanya.
Boma tidak menjawab. Dia palingkan kepala ke arah datangnya
suara tertawa cekikikan tadi. Hidungnya ditowel berkali-kali.
Matanya membesar. Di sana, di atas sebuah stupa, agak jauh dari
dua stupa yang diduduki Pangeran Matahari dan nenek berwajah
setan tampak duduk sambil uncang-uncang kaki seorang nenek
tinggi kurus berkulit hitam. Di atas kepalanya menancap lima buah
tusuk konde perak yang berkilauan di dalam gelapnya malam.
Ketika melihat Boma memandang ke jurusannya, si nenek
lambaikan tangan.
"Nek...!" ucap Boma, memanggil tak sadar.
Semua anak yang ada di sekitar Boma semakin heran melihat
sikap teman mereka satu ini.
"Siapa yang lu panggil Nenek barusan Bom?" tanya Vino.
"Itu, di atas stupa sana..." Boma menunjuk. "Ada nenek-nenek.
Yang dulu nolongin kita di Gunung Gede. Yang ngasi...." Boma tidak
teruskan ucapannya. Karena saat itu tiba-tiba dia melihat sosok lain
berdiri tak jauh dari stupa tempat Dwita disekap. Di tempat lain
Serda Sujiwo meneliti arlojinya. Begitu juga Letkol Kusumo Atmojo.
Erlan Sujatmiko ikut-ikutan memperhatikan arloji yang tersingkap di
ujung lengan switer wol. Semua arloji mereka menunjukkan jam
11.59. Tinggal satu menit sebelum tepat jam 12.00 tengah malam.
"Ron, cewek berkaos merah tadi Ron. Muncul lagi. Dia ngeliatin
ke sini." Boma berucap. Membuat Ronny dan anak-anak lainnya
semakin heran.
Ibu Renata membuka tas di pangkuannya. "Boma, saya punya
Aqua. Masih utuh, belum saya minum. Sebaiknya kamu minum
dulu."
"Terima kasih Bu, saya nggak haus." Jawab Boma tanpa
berpaling karena masih terus menatap anak perempuan berkaos
merah yang berdiri dekat stupa. Di sebelah bawah anak ini
mengenakan sehelai rok hitam pendek. Tiupan angin yang kencang
membuat rok itu sesekali menyingkapkan sepasang pahanya yang
sangat putih dan bagus.
Detik demi detik berlalu. Di kejauhan lagi-lagi ada suara lolongan
anjing.
Sosok Pangeran Matahari yang duduk di atas stupa tiba-tiba
kelihatan melesat ke bawah stupa dimana nenek bermantel gelap
duduk.
"Nenek Guru, aku tidak melihat Guru Si Muka Bangkai. Padahal
seharusnya dia lebih dulu berada di sini atas perintahmu."
"Gurumu jahanam satu itu! Dia pasti melantur ke tempat lain.
Aku menemui bekas bungkusan Majun Arab waktu kita
meninggalkan rumah kosong di Desa Ngaran. Pasti gurumu itu main
perempuan! Setan betul! Untung aku punya firasat dan buru-buru
mengajakmu ke sana."
Pangeran Matahari mengusap dadanya. Di atas stupa nenek
bermuka angker berdandan tebal yang bukan lain adalah Kunti Api
batuk-batuk beberapa kali. Lalu meludah. Ludahnya masih
bercampur darah.
"Kurang ajar pengamen sinting itu! Ilmu pukulan apa yang
dimilikinya hingga kita berdua mengalami cidera begini rupa!"
"Nenek Guru, pengamen sinting yang menghantam kita, dia
bukan makhluk alam nyata ini. Sosoknya yang samar pertanda dia
datang dari alam gaib. Berarti waktu dulu aku dan Guru Si Muka
Bangkai memang benar telah membunuhnya. Lalu dia muncul
sebagai roh gentayangan menolong kakaknya."
"Kita harus waspada. Lekas kau selidiki tempat ini. Kalau
pengamen alam roh itu muncul di sini, urusan kita bisa jadi tidak
karuan. Kau lihat benda bercahaya biru di lubang stupa tempat
anak perempuan bernama Dwita disekap?"
"Aku lihat..."
"Aku yakin itulah telur ayam sakti yang asli. Kita terlambat. Sulit
sekarang untuk mencegah..."
"Nenek Guru," potong Pangeran Matahari. "Bagaimana kalau
telur itu kita ambil atau kita hantam sampai hancur sekarang juga?
Sekalian dengan membunuh saja anak perempuan dalam stupa."
"Tidak ada gunanya. Akan sia-sia belaka. Sebelum
memancarkan cahaya biru mungkin kita masih bisa melakukan
sesuatu. Tapi kini telur itu telah berubah. Kasip! Terlambat! Cahaya
biru itu adalah satu kekuatan magis yang tidak bisa kita tembus.
Kita hanya bisa, baru bisa bertindak pada tepat tengah malam
ketika sesuatu terjadi dengan telur itu."
Sambil bicara si nenek layangkan matanya kemana-mana. Tiba-
tiba Kunti Api melihat sesuatu. "Pangeran, ada seorang anak
perempuan berdiri di dekat stupa. Berbaju merah, rambut hitam
sepinggang. Kau tahu siapa dia? Aku punya dugaan dia bukan dari
rombongan pelajar dari Jakarta."
Sang Pangeran palingkan pandangannya ke arah stupa dan jadi
terkejut. Tadi-tadi dia telah memperhatikan keadaan sekitar tempat
itu. Bagaimana mungkin dia tidak melihat anak perempuan
mengenakan kaos merah dan rok hitam pendek yang kini tegak di
dekat stupa? Tidak bisa tidak ada satu kekuatan melindungi anak
itu, pikir sang Pangeran.
Kunti Api menatap tajam ke arah anak perempuan di dekat
stupa. Lalu menghirup nafas dalam-dalam.
"Hemm....Aku mencium hawa aneh keluar dari tubuh anak itu.
Satu hawa mengandung kekuatan dahsyat. Bahaya besar!" kata
Kunti Api pula. "Pangeran, dengar baik-baik. Jika terjadi sesuatu
pada tepat tengah malam dan gurumu celaka Si Muka Bangkai itu
belum juga muncul maka yang harus kau lakukan adalah
membunuh anak perempuan dalam stupa. Hantam dengan salah
satu pukulan saktimu. Aku akan membunuh bocah bernama Boma
sambil mengawasi anak perempuan berkaos merah berambut
hitam sepinggang...."
"Tapi Nenek Guru, saat ini di stupa di belakangmu seorang
musuh besar kita baru saja muncul."
Saat itu Kunti Api mendengar suara tawa cekikikan. Dia cepat
berpaling dan serta merta jadi terkejut ketika mengenali siapa
adanya nenek hitam yang duduk di atas stupa di belakangnya.
"Sinto Gendeng...." desis Kunti Api. Sepuluh jari tangannya
langsung mengepal. "Pangeran, kita terpaksa merubah siasat. Aku
mengawasi nenek keparat bau pesing itu. Kau awasi anak
perempuan berbaju merah dan membunuh anak perempuan dalam
stupa."
"Bagaimana dengan anak lelaki bernama Boma?" tanya
Pangeran Matahari pula.
"Serahkan padaku. Biar aku yang membantai bocah yang
katanya bakal dijadikan Pendekar Tahun 2000 itu. Namun masih
ada satu lagi kekawatiranku. Kalau musuh bebuyutanmu, murid
nenek keparat si Wiro Sableng itu muncul, kita bisa-bisa kalah
kekuatan."
***
SEPULUH
TELUR DALAM LOBANG STUPA MELEDAK
DETIK demi detik terasa merayap lambat sekali. Suasana
gelap dan sunyi yang disertai cekaman rasa gelisah di
kawasan Candi Borobudur sekitar stupa tempat Dwita
disekap berubah menjadi geger total ketika tepat jam 12.00
tengah malam telur ayam di dalam lobang stupa tiba-tiba meledak.
Lantai candi bergetar. Larikanlarikan cahaya biru laksana kembang
api melesat ke udara. Untuk beberapa lamanya siraman cahaya
biru membuat keadaan terang benderang. Hampir semua orang
berada dalam kesilauan. Anak-anak perempuan berpekikan.
Belasan anggota Polisi yang menjaga sekeliling tempat itu tidak
tahu apa yang mau diperbuat.
Semua orang kemudian berseru lalu tertegun ketika
menyaksikan tiba-tiba stupa dimana Dwita disekap secara aneh,
dalam taburan cahaya biru perlahan-lahan naik ke atas. Arca
Amoghasidi bergoyang-goyang. Sosok Dwita yang terbaring di
pangkuannya jatuh ke lantai.
Kru dua stasiun televisi berteriak-teriak bingung. Lampu-lampu
sorot tidak menyala. Kamera mereka tidak bisa bekerja. Beberapa
wartawan foto termasuk Tuyul Bengkak memeriksa heran tustel
masing-masing. Tombol tustel mereka tak bisa ditekan, seperti
terkancing. Tidak satupun dari mereka bisa mengabadikan
peristiwa luar biasa itu.
Semua orang yang ada di tempat itu hanya mendengar suara
letusan telur, hanya melihat kilatan cahaya biru serta hanya melihat
batu stupa naik ke atas secara aneh. Mereka tidak mendengar
suara dan tidak melihat kejadian-kejadian aneh lainnya kecuali
Boma.
Sebelum telur meletus sosok anak perempuan berkaos merah
tiba-tiba raib menghilang. Boma mencium bau harum semerbak
yang tidak tercium oleh siapapun. Lalu samar-samar Boma melihat
sosok seorang perempuan muda luar biasa cantik. Di kepalanya
ada sebuah mahkota terbuat dari emas dan taburan batu permata.
Di sebelah belakang di bawah mahkota tergerai rambut hitam
panjang. Perempuan ini mengenakan kain panjang hijau
berkembang-kembang emas menyerupai kemben. Bagian atas
tubuhnya yang terbuka ditutupi dengan sehelai selendang tipis
berwarna ungu. Pada saat sosok perempuan cantik ini bergerak ke
udara, pada saat itu pulalah stupa dimana Dwita Tifani tersekap
bergerak naik ke atas. Boma melihat jelas, perempuan cantik
bermahkota inilah yang mengangkat ujung atas batu stupa dengan
tangan kirinya lalu melayang ke atas.
"Boma! Lekas ke sini! Ambil Dwita!"
Satu teriakan keras-keras perempuan yang hanya didengar
Boma menggema di tempat itu. Boma tidak tahu siapa yang
berteriak, tidak mengenali suara.
Takut ada, bingung dan heran sesaat Boma hanya berdiri
tertegun.
"Anak Gendeng! Kau dengar orang berteriak! Tunggu apa lagi?
Apa kau tidak mau menyelamatkan anak perempuan cewekmu
itu?!" Tiba-tiba ada suara lain yang berteriak. Boma mengenali
suara itu. Suara itu. Suara si nenek yang dulu menolong dan
memberinya ilmu. Tapi dia tidak melihat orangnya.
Semua orang yang ada di tempat itu kemudian melihat nyata
bagaimana Boma melompat naik ke lantai candi di depannya, lari
ke arah arca yang bergoyang-goyang. Anehnya Arca Amoghasidi ini
kelihatan seperti tersenyum. Boma cepat rnengangkat tubuh Dwita
Tifani, menggendong anak perempuan itu, membawanya menjauhi
Arca. Hanya beberapa detik setelah Boma mengangkat tubuh
Dwita, stupa yang seolah menggantung di udara turun ke bawah.
Dibarangi suara letusan yang disertai berkiblatnya larikan-larikan
sinar biru, stupa itu kembali ke tempatnya semula. Dari dalam
puluhan lobang stupa mengepul keluar asap putih kebiru-biruan
disertai menebarnya bau sangat harum. Semua orang merasa
ngeri, berdiri bulu tengkuknya.
Delapan orang anggota Polisi termasuk Serda Sujiwo segera
melindungi Boma. Empat orang petugas medis Rumah Sakit Sarjito
dibawah pimpinan seorang dokter cepat mendatangi. Mereka
mengambil Dwita dari dukungan Boma, diletakkan di atas sebuah
tandu. Para pelajar SMU Nusantara III berdesakan mengerubungi
tandu. Ada yang coba menyentuh tangan atau wajah Dwita. Tapi
mereka segera mundur begitu dilarang oleh Serda Sujiwo dan
dokter. Pemeriksaan cepat dilakukan. Yang pertama sekali dokter
ingin memastikan bahwa Dwita Tifani masih hidup. Detak nadi di
pergelangan tangan dan bagian leher diteliti. Semua orang
menunggu dengan dada berdebar. Lama baru dokter ini
mengangkat kepalanya.
"Bagaimana Dok?" Erlan Sujatmiko yang menerobos diantara
orang banyak dan kini berjongkok di samping tandu menanyakan
keadaan anaknya. Mukanya seputih kertas. Sepasang matanya
balut.
Dokter yang ditanya hanya memegang bahu ayah Dwita. Dia
memberi perintah pada petugas medis.
"Cepat pasangkan infus. Segera bawa ke rumah sakit," kata
dokter lalu berpaling ke arah anak-anak yang mengelilinginya.
Sambil senyum dia anggukkan kepala. Senyum dan anggukan ini
sudah cukup jelas sebagai pertanda Dwita Tifani masih hidup. Pekik
haru menggema di kawasan Candi Borobudur. Ada yang berteriak
sambil mengangkat tangannya berulang kali ke atas. Ada yang
berseru menyebut nama Tuhan. Banyak yang mengusap air mata.
Selagi mengacungkan-acungkan tangan ikut gembira Ronny
Celepuk tiba-tiba saja melihat seorang anak perempuan berambut
sepinggang, berbaju kaos merah. Anak ini berada di antara
kerumunan teman-temannya, di ujung kiri dekat tangga turun.
Ronny ingat cerita Boma.
"Ini pasti cewek yang dikatakan Boma. Ah, cakep banget."
Membatin Ronny sambil berusaha menyeruak diantara orang yang
berdesakan. Namun ketika dia sampai di tangga menuju turun,
anak perempuan berkaos merah itu tidak ada lagi. Dicari-cari
sampai dia hanya tinggal sendirian di tempat itu, anak perempuan
tadi tetap tidak berhasil ditemukan. Ronny segera menuruni tangga
candi, berharap bisa menemukan anak perempuan itu di halaman
bawah. Tapi di halaman bawahpun Ronny tidak menemui anak itu.
"Cewek aneh. Bisa ngilang." Kata Ronny dalam hati.
Seolah terlupakan, di belakang orang yang mengerumuni dokter
dan tandu dimana Dwita dibaringkan lalu diusung menuruni Candi,
Boma Tri Sumitro jatuhkan diri, berlutut di tanah. Tubuhnya
bergetar. Suaranya parau ketika berulang kali mengucapkan kata-
kata. "Terima kasih Tuhan. Terima kasih Tuhan..." Lalu anak ini
bersujud di lantai Candi. Kembali dia memuji syukur dan berterima
kasih pada Tuhan.
Mungkin Boma akan terus bersujud seperti itu kalau tidak ada
seseorang yang berlutut di sampingnya lalu memegang bahunya.
Satu suara menyeruak di telinga Boma.
"Boma, Tuhan telah mengabulkan permintaan kita. Tuhan telah
menyelamatkan Dwita. Sekarang kita harus melihatnya di rumah
sakit."
Perlahan-lahan Boma bangkit dari sujudnya. Dia tidak perlu
berpaling untuk mencari tahu siapa yang barusan bicara. Dia
mengenali suara itu.
Trini Damayanti, sesaat masih tertegun ketika melihat Boma
saling berangkulan dengan Ibu Renata. Sulastri menarik lengan
Trini.
"Rin, biarin aja mereka. Ayo, kita ikutan ke rumah sakit. Dwita
musti ditemani..."
"Ya...ya," jawab Trini. "Tapi aku mau ketemu bokapku dulu."
"Dia sudah duluan. Ikut bersama petugas rumah sakit."
Trini berpaling sekali lagi lalu tinggalkan tempat itu bersama
Sulastri.
Namun Boma dan Ibu Renata tidak sempat melangkah jauh.
Serombongan wartawan televisi dan surat kabar mendatangi
mereka. Menghujani keduanya dengan pertanyaan. Kali ini agaknya
Boma dan Guru Bahasa lnggris itu tak bisa lolos lagi. Keduanya
menjawab semua pertanyaan sebisa yang mereka lakukan. Lampu
kilat tustel berkilauan, lampu sorot kamera televisi menerangi
wajah mereka.
"Aneh!" seorang juru kamera televisi keluarkan ucapan. "Tadi
semua peralatan macet. Sekarang kok bisa jalan?"
Tuyul Bengkak wartawan tabloid dari Jakarta yang ikut
berkerubung di tempat itu memegang lengan Boma dan berbisik.
"Ikuti saya. Kalau dilayani sampai pagi mereka masih terus mau
nanyain situ. Ayo..."
Di tangga turun Candi Borobudur, ketika hendak melewati arca
Singa, tiba-tiba Boma melihat anak perempuan berbaju kaos merah
itu. Anak perempuan ini berdiri dekat tumpukan batu-batu candi
bekas restorasi.
"Hai!" Boma berseru memanggil. Namun anak perempuan yang
dipanggil hanya melambaikan tangan, lalu menyelinap ke balik
tumpukan batu dan lenyap dalam kegelapan.
"Siapa? Kamu manggil siapa?" tanya Ibu Renata heran. Tuyul
Bengkak memandang berkeliling. Ikutan heran.
"Nggak Bu. Saya nggak manggil siapa-siapa," jawab Boma.
***
SEBELAS
KUNTI API DAN PANGERAN MATAHARI KENA BATUNYA
KETIKA telur di dalam lobang stupa meledak, dari puncak
stupa yang didudukinya Kunti Api langsung melesat ke arah
stupa di mana Dwita masih tersekap. Semuanya berlangsung
serba cepat. Ketika dia memandang ke bawah sana
dilihatnya Boma tengah melompat ke lantai candi untuk menolong
Dwita. Tidak tunggu lebih lama Kunti Api segera hantamkan tangan
kanannya. Lima larik sinar merah menggebu ke arah Boma. Namun
setengah jalan tiba-tiba ada satu bayangan hitam berkelebat dan
wutt...wuuut! Dua gelombang angin luar biasa dahsyatnya menyapu
sepuluh larik sinar maut yang hendak membantai memanggang
Boma. Hantaman angin itu bukan saja membuat musnahnya
serangan ilmu Kuku Api yang dilancarkan Kunti Api, tapi si nenek
bermuka setan ini sempat terpental di udara, dan terpaksa
berjumpalitan sampai dua kali untuk bisa jatuh dengan dua kaki
menginjak lantai candi. Kunti Api keluarkan suara menggembor
ketika mengetahui siapa orang yang barusan menggagalkan
serangan mautnya. Bukan lain nenek tinggi kurus berkulit hitam
yang kepalanya ditancapi lima tusuk konde. Sinto Gendeng!
"Nenek sundal, aku tak perlu banyak bicara denganmu! Terima
kematianmu!"
Kunti Api gerakkan dua tangan sekaligus. Seluruh tenaga dalam
dikerahkan. Sepuluh larik sinar merah mencuat ke arah sosok Sinto
Gendeng.
Yang diserang ganda tertawa. Malah balas mengejek. "Pelacur
tua bengek yang mukanya penuh dempulan! Bagaimana kalau kita
mati berbarangan?! Hik...hikk...hik!
Kunti Api mengira Sinto Gendeng akan mengeluarkan pukulan
Sinar Matahari untuk menghadapi sepuluh jalur serangan ilmu
Kuku Apinya. Ternyata lawan sama sekali tidak menggerakkan
tangan. Hanya kepalanya yang digoyangkan. Lalu slash...slash! Dua
larik sinar biru melesat keluar dari sepasang mata cekung garang
Sinto Gendeng. Laksana sepasang pedang yang bisa mulur dua
larik sinar biru ini menyambar bersilangan ke arah Kunti Api.
Kunti Api berteriak kaget.
"Sepasang Sinar Inti Roh!" Kunti Api berteriak menyebut nama
serangan yang dilancarkan Sinto Gendeng. Dengan cepat guru Si
Muka Bangkai ini melompat selamatkan diri. Namun kecepatan
serangan Sepasang Sinar Inti Roh yang laksana kilat itu sulit dikelit.
Seperti diketahui Pendekar 212 Wiro Sableng sangat
menginginkan ilmu kesaktian Sepasang Sinar Inti Roh itu. Dia
pernah memohon pada Sinto Gendeng untuk dapat mewarisi ilmu
tersebut. Namun Sinto Gendeng belum mau memberikan. (Harap
baca serial Wiro Sableng Tiga Dalam Satu/ TDS mulai Episode
pertama berjudul "Lima Laknat Malam Kliwon")
Kunti Api menjerit setinggi langit ketika salah satu sambaran
sinar biru yang keluar dari mata Sinto Gendeng menyambar putus
tiga jari tangan kanannya yaitu jari kelingking, telunjuk dan jari
tengah! Selain itu sambaran sinar biru tadi membakar lengan
mantelnya hingga hangus sampai ke siku.
Lelehlah nyali Kunti Api. Selama ini dia hanya mendengar kalau
Sinto Gendeng memiliki ilmu kesaktian yang sulit dicari
tandingannya yakni dua larik sinar biru yang keluar dari sepasang
mata dan konon bernama Sepasang Sinar Inti Roh. Ternyata Sinto
Gendeng memang memiliki ilmu itu. Dan kenyataannya di malam
buta itu dia menyaksikan serta menerima kehebatan ilmu tersebut!
Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Pelacur jelek! Seharusnya lehermu yang aku tabas. Tapi malam
ini hatiku sedang senang. Aku memberi pengampun padamu! Pergi
dan jangan berani unjukkan tampang di hadapanku untuk selama-
lamanya!"
Kunti Api hanya bisa keluarkan suara mendengus, meludah ke
lantai candi lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Akan halnya Pangeran Matahari saat itu baru saja dibikin
bingung oleh lenyapnya anak perempuan berbaju kaos merah yang
harus diawasinya atas perintah Kunti Api. Karena tidak mau
menunggu lebih lama maka Pangeran Matahari segera arahkan
perhatian pada Dwita Tifani yang saat itu masih berada di dalam
stupa. Sambil melompat ke arah stupa sang Pangeran lepaskan
pukulan Telapak Matahari. Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning
menderu. Tidak ada perlindungan yang bisa menyelamatkan Dwita
dari serangan maut itu. Stupa batu akan hancur lebur. Setelah itu
tubuh anak perempuan ini akan terpanggang mengerikan, hanya
tinggal tulang belulang dalam keadaan hitam gosong!
Ketika tiga larik sinar maut itu menderu ke arah stupa, justru
saat itulah stupa bergerak naik dan Pangeran Matahari terkesiap
melihat naiknya stupa batu yang berat ratusan kilo itu adalah akibat
perbuatan seorang perempuan cantik luar biasa, berambut panjang
dan ada mahkota emas di kepalanya.
Selagi terkesiap hcran melihal apa yang terjadi di depan
matanya tiba-tiba perempuan cantik bermahkota gerakkan tangan
kirinya sementara tangan kanan terus mengangkat stupa ke atas.
Pangeran Matahari tidak melihat cahaya, tidak mendengar deru
angin serangan. Tahu-tahu satu kekuatan dahsyat mendorong tiga
larik sinar pukulan sakti Telapak Matahari yang barusan
dihantamkannya ke arah stupa untuk membunuh Dwita. Tiga larik
sinar itu seolah amblas, masuk kembali ke dalam tangan kanan
sang Pangeran. Detik itu juga Pangeran Matahari keluarkan jeritan
setinggi langit. Tubuhnya terpental, jatuh menggelinding ke lantai
bawah candi. Lengan kanan baju hitamnya kepulkan asap. Ketika
lengan baju yang hangus itu ditariknya langsung rontok dan terlihat
tangannya mulai dari ujung-ujung jari sampai ke siku merah
bengkak, sebagian kulit mengelupas!
Seperti nenek gurunya, nyali Pangeran Matahari juga leleh.
Terlebih ketika dia melihat Kunti Api dalam keadaan luka parah
dihantam serangan Sinto Gendeng kabur melarikan diri. Tidak
tunggu lebih lama sang Pangeran ambil pula langkah seribu
menyusul Kunti Api.
BELUM berapa jauh meninggalkan Candi Borobudur, Kunti Api
dan Pangeran Matahari yang berkelebat ke arah timur tiba-tiba
disongsong oleh seorang berkemeja gombrong lengan panjang,
celana hitam dan rambut dikuncir ke belakang. Bau minyak wangi
serta merta memenuhi seantero tempat itu.
Pangeran Matahari dan Kunti Api hentikan lari mereka. Sama
memandang melotot ke arah orang yang kini berdiri dihadapan
mereka.
“Sungguh aku tidak percaya pada pandangan mataku. Mataku
yang terbalik atau bumi ini sudah terjungkir?!” ucap Kunti Api.
“Guru, benar engkau yang berdiri di hadapan kami?” Pangeran
Matahari ikut membuka mulut.
“Aku memang Si Muka Bangkai,” orang yang ditanya menjawab.
Kunti Api mendelik, berpaling pada Pangeran Matahari. Kedua
orang ini lalu tertawa gelak-gelak.
“pakaian dan dandananmu sungguh luar biasa! Rupanya kau
sudah jadi penduduk alam ini. kau kemanakan pakaian bututmu!
Minyak wangi apa yang kau guyur ke tubuhmu? Baunya sampai
menyekat jalan pernafasanku! Ha…ha….ha!”
“Eyang, harap maafkan. Aku terlambat. Aku barusan….”
“Kau tak perlu menerangkan. Kau pasti habis main perempuan!
Bahkan mungkin belum sempat cebok!”
“Eyang…..”
“Diam!” sentak Kunti Api. Dia acungkan tangan kanannya yang
tiga jarinya buntung. “Lihat apa yang terjadi dengan diriku! Ini
akibat salah besarmu tidak mematuhi perintah. Aku suruh kau ke
Borobudur, kau melantur main perempuan. Lihat apa yang dialami
muridmu! Tangan kanannya cidera berat!
Si Muka Bangkai perhatikan tangan kanan gurunya,
memandang ke tangan kanan Pangeran Matahari lalu
membungkuk dalam-dalam.
"Eyang, Pangeran, maafkan diriku..."
"Kami akan memaafkan. Tapi mendekat dulu ke hadapanku!"
Bentak Kunti Api memerintah.
Si Muka Bangkai melangkah ke hadapan Kunti Api.
"Berlutut!" lanjut perintah si nenek muka setan.
Si Muka Bangkai jatuhkan diri berlutut.
Tiba-tiba kaki kanan Kunti Api bergerak menendang.
"Bukkk!!!"
Jeritan menggeledek keluar dari mulut Si Muka Bangkai. Kakek
ini mencelat sampai dua tombak, terguling di tanah, terkapar
tertelentang tak bergerak beberapa lamanya. Matanya mendelik
menatap ke langit hitam. Tapi begitu Kunti Api melangkah
mendekatinya diikuti Pangeran Matahari, dia segera pejamkan
mata pura-pura pingsan.
"Masih untung aku tidak menghabisi nyawa anjingmu saat ini!
Tua bangka tidak berguna!" Habis memaki Kunti Api ludahi muka Si
Muka Bangkai lalu berpaling pada Pangeran Matahari.
"Pembalasan harus segera dilakukan! Kita harus bisa membunuh
bocah itu. Sebelum bulan mati! Sesegera mungkin! Tapi aku juga
ingin melakukan sesuatu. Ingat rencana yang kita bicarakan tadi.
Bawa perempuan itu ke Candi Sewu. Kita bisa menjebak bocah itu
di sana."
"Saya hanya mengikuti perintah Nenek Guru saja," jawab
Pangeran Matahari lalu berkelebat mengikuti si nenek yang telah
pergi begitu habis bicara.
Tak selang berapa lama setelah Kunti Api dan Pangeran
Matahari berlalu, perlahan-lahan Si Muka Bangkai bangkit dan
duduk menjelepok di tanah. Dadanya terasa sesak dan sakit. Dia
merasa ingin batuk. Tapi yang keluar dari mulutnya adalah
semburan darah segar.
"Uh...uh...uuhhhh." Si Muka Bangkai keluarkan suara mengerang
panjang pendek. Tangan kanannya bergerak ke arah saku baju.
Meraba-raba merasai sesuatu. Wajahnya berubah. Tangannya kini
dimasukkan ke dalam saku. Apa yang dicarinya tidak ada.
"Celaka! Majun Arabku hilang. Dimana jatuhnya...." Si Muka
Bangkai memandang berkeliling dalam gelap. Mencari-cari.
Beringsut ke kiri, menoleh ke kanan. Yang dicari tidak ditemukan.
Akhirnya kakek ini jatuhkan diri di tanah. Berbaring menelentang.
Seperti orang mengigau mulutnya berucap. "Sum .... Sumi Primbon
kekasihku. Maafkan aku. Aku janji mau datang lagi menemuimu
besok. Maaf berat....Aku mungkin tidak bisa menemuimu besok.
Maafkan aku Sum.... Summm." Tangannya meraba lagi ke saku
baju. "Ah, Majun Arabku....Sum, Majunku Arabku hilang Sum. Tanpa
majun kau pasti kecewa melayaniku. Suummmm...Maafkan Mas
Brotomu ini...."
***
DUA BELAS
IBU RENATA DICULIK BOMA NEKAD
LORONG di luar kamar VIP di Rumah Sakit Dr. Sarjito dimana
Dwita Tifani dirawat sejak malam tadi dipenuhi oleh guru dan
pelajar SMU Nusantara III.
Jam sembilan pagi keesokannya didapat kabar bahwa
Dwita sudah mau makan, dan keadaannya cukup baik. Bahkan
infusnya sudah dicabut. Cuma saat itu menurut pengakuannya
tubuhnya masih terasa lemas. Atas nasihat dokter tidak semua
orang diizinkan masuk menemui Dwita. Selain itu ayah Dwita, Erlan
Sujatmiko selalu berdiri di dekat pintu, seolah dia penentu terakhir
yang mengizinkan siapa saja yang boleh masuk.
Ibu Renata bersama Pak Sanyoto, lalu ayah Trini dan Trini serta
beberapa anak perempuan merupakan orang-orang yang
diperbolehkan masuk. Boma dan kawan-kawan sebenarnya ingin
sekali melihat Dwita. Namun dari pada nanti tidak diizinkan, ribut
cari perkara akhirnya Boma, Vino, Ronny Celepuk, Firman, Andi dan
Rio hanya berdiri saja di luar kamar.
Menjelang siang Erlan Sujatmiko menemui perawat. Menurutnya
Dwita sudah cukup sehat dan dia bermaksud membawa anaknya
itu pulang ke Jakarta. Perawat meminta izin dokter terlebih dulu.
Dokter sebenarnya meminta agar Dwita tetap istirahat dulu di
rumah sakit sampai besok. Tapi Erlan Sujatmiko bersikeras akan
membawa anaknya siang itu juga.
Siang sekitar jam 12.30 Dwita keluar dari kamar. Wajahnya
masih pucat. Tapi dia sudah bisa tersenyum, tampak gembira
ketika teman-teman perempuan menciuminya.
"Bom ayo deketin aja," kata Vino pada Boma sambil memberi
isyarat pada teman-temannya yang lain. Lalu Vino berjalan
mendahului ke arah Dwita. Walau agak ragu Rio, Firman, Andi lalu
Boma dan Ronny disebelah belakang bergerak juga mendekati
Dwita.
"Dwita, sampai ketemu di Jakarta ya," ucap Vino waktu
menyalami Dwita. Lalu menyusul Rio, Firman, dan Andi. Ketika tiba
giliran Boma dan Ronny Celepuk hendak mendekati Dwita, tiba-tiba
Erlan Sujatmiko menyelak ke depan. Mukanya sangat masam dan
suaranya keras menyakitkan.
“Kamu berdua tidak usah menyalami anak saya!"
Boma dan Ronny sama-sama tertegun.
"Kok gitu sih Pak? Dwita 'kan teman kami juga." Boma akhirnya
keluarkan ucapan. Suaranya begitu lembut. Membuat Dwita yang
berdiri disamping ayahnya kelihatan terisak.
"Pa, Papa..." Dwita memegang lengan ayahnya.
"Jangan begitu Pa."
Erlan Sujatmiko kibaskan tangannya hingga terlepas dari
pegangan Dwita. Dia kembali berpaling pada Boma dan bicara
keras hingga sernua orang mendengar.
"Kamu bilang teman. Justru kamu yang mencelakai anak saya.
Membuat anak saya hampir mati dalam stupa. Seumur hidup saya
tidak akan melupakan hal itu! Seumur hidup saya akan tetap
membenci kamu! Dan kawan kamu ini, saya tidak suka sama anak
kurang ajar!"
"Memangnya saya kurang ajar apa Pak!" Ronny menjawab
sengit.
Boma berbalik. Memegang bahu Ronny dan berkata. "Udah Ron,
biarin aja. Nggak usah dilayanin."
"Orang tua nggak tau diri. Apa dia nggak ngeliat kalau kamu
yang nyelamatin anaknya dari dalam stupa." Ronny masih ngotot.
Dia sengaja bicara keras agar ayah Dwita mendengar.
"Ala udah deh Ron. Ayo..." Boma mendorong Ronny.
Ayah Trini memegang bahu Erlan Sujatmiko. "Mas Erlan, kita
harus cepat ke Bandara. Nanti ketinggalan pesawat yang jam
dua..."
Dwita masih belum mau beranjak ketika ayahnya memberi
isyarat dengan goyangan kepala agar dia segera meninggalkan
tempat itu. Anak perempuan ini menatap ke arah Boma. Seperti
ada sesuatu yang hendak disampaikannya. Tapi sang ayah menarik
tangannya. Terlihat ada air mata meluncur jatuh di pipinya yang
pucat.
Sebelum keluar dari pintu gerbang Rumah Sakit Dr. Sarjito Trini
mendatangi Boma. "Bom, kamu pasti kecewa."
"Soal dengan ayah Dwita tadi?"
"Bukan cuma itu. Bokapku nyuruh aku pulang sekarang juga.
Bareng sama Dwita. Aku nggak mau. Tapi dia maksa. Aku sudah
minta tolong Gita ngebawain barang-barangku sama barangnya
Dwita..."
Boma hanya bisa diam. Trini bicara lagi.
"Menurut Pak Sanyoto, seharusnya rombongan pulang besok.
Tapi hari ini semua anak perlu istirahat. Mungkin baru lusa balik ke
Jakarta. Kan kamu semua belum ke Prambanan."
"Nggak ke Prambanan juga nggak apa-apa." Kata Ronny yang
berdiri di samping Boma. "Kalau mau pulang semua ya pulang aja.
Rencana jalan-jalan kok jadi rusak begini..."
"Aku pergi Bom, Ron."
Boma menowel hidung. Ronny cuma mengangguk.
DI WISMA di dalam kamarnya malam itu Boma tidak bisa
memusatkan perhatian pada majalah yang dibacanya sambil
tiduran. Sebentar-sebentar majalah itu diletakkan di atas perutnya.
Lalu mata dipejamkan.
Pintu kamar terbuka. Ronny, Vino dan Rio muncul.
"Kamu kok ngerem terus di kamar!" Ronny menegur.
"Capek Ron. Badan gue rasanya pegel. Kurang sehat," jawab
Boma.
"Alasan," ujar Vino. "Ini sernua pasti gara-gara si doi yang kini
udah nggak ada lagi di sini."
"Ah, gua sih udah nggak mikirin dia." Sahut Boma.
"Memang berat. Dua-duanya pulang ke Jakarta. Ajie gile!" Rio
ikut nimbrung sambil cengar cengir.
"Aku nggak abis pikir sikap bokapnya si Dwita. Mulutnya kayak
perempuan," kata Ronny keluarkan unek-unek. "Kalau nggak inget-
inget bokapnya temen sendiri, waktu di rumah sakit tadi pagi udah
gue beri bacotnya."
Boma cuma menyeringai dan lambaikan tangan lalu duduk di
tepi tempat tidur.
"Bom, kamu mau ikut nggak?"
"Ikut kemana?"
"Gita, Allan, Firman dan Andi sama beberapa anak ke Malioboro.
Katanya mau bergadang disana sambil nungguin warung lesehan
dibuka."
"Nggak pada capek mereka itu?"
"Soalnya kapan lagi. Lusa udah pulang, takut nggak ada waktu."
Jawab Rio. "Aku sama Ronny dan Vino rencana mau nyusul ke sana.
Cari oleh-oleh."
"Si Umar kemana?" Tanya Boma. Maksudnya Pak Sanyoto Guru
Olah Raga.
"Tadi siang naik taksi. Sendirian, katanya mau nengok
saudaranya." menerangkan Ronny.
"Di Kebon Binatang Gembira Loka," menyambung Vino menyebut
nama Kebon Binatang di Yogya lalu tertawa geli sendiri.
"Lastri bilang, dia dengar Pak Sanyoto mau ngajak Ibu Renata,
tapi Ibu Rena nolak." Rio yang bicara.
"Masih nyoba-nyoba aja dia," kata Ronny.
"Kamu tadi mau ngajak gue kemana?" tanya Boma.
"Makan mi sambit." Jawab Ronny.
"Mi sambit? Ada-ada aja. Baru denger."
"Tadi sore si Gita sama Allan udah nyobain. Kata Gita bikin mi-
nya lucu. Tapi rasanya yahud. Mi dibuntel bulet. Ditarok dalam
tanggok kawat, dicemplungin dalem air mendidih, diangkat lalu
dilempar ke udara, disambut sama mangkok. Dikasi bumbu-bumbu,
dikasi pangsit goreng. Asyik nggak."
"Tempatnya dimana?" Boma mulai tertarik.
"Cuma deket. Di ujung jalan Kolonel Sugiyono sini. Jalan kaki
juga nyampe," jawab Rio. "Ibu Renata sama Sulastri dan anak-anak
lain barusan aja pergi. Naik beca. Ayo, lu mau ikut nggak?"
"Oke deh. Tapi gua sembahyang Magrib dulu.Udeh mau habis
waktunya," kata Boma seraya berdiri.
"Enak juga punya temen santri kayak gini!" ucap Vino lalu
mengambil majalah yang diletakkan Boma di atas tempat tidur.
"Di luar masih ada wartawan yang dateng?" tanya Boma.
"Nggak, semua udah kebagian berita kali."
Boma baru berjalan dua langkah menuju kamar mandi ketika
tiba-tiba pintu kamar di gedor-gedor lalu terpentang.
Sulastri dan dua anak perempuan temannya menghambur
masuk ke dalam kamar. Nafas mereka sengal memburu dan wajah
mereka tampak pucat.
"Setan mana yang nguber kalian?" tanya Ronny.
"Lastri, ada apa?" Boma bertanya.
Sulastri menarik nafas dalam-dalam lebih dulu. Baru menjawab.
"Dengerin....Ibu Renata...Ibu Renata."
"Kenapa Ibu Renata?"
"Diculik."
"Diculik?! Gila lu!" tukas Vino karena tidak percaya.
"Centil, kamu ini becanda apa gimana?" tanya Ronny.
"Tanya aja temen-temen," jawab Sulastri sambil menunjuk pada
dua anak perempuan di sampingnya. Wike dan Laila.
"Gimana kejadiannya? Dimana?" tanya Boma.
"Aku satu beca sama Ibu Rena. Mereka naik beca lain. Di
jalanan mendadak ada mobil sedan gede nyalip lalu berhenti di
depan becak. Dua orang berpakaian aneh turun dari mobil,
langsung menarik Ibu Renata. Lalu dibawa masuk ke dalam mobil.
Terus kabur nggak tau dibawa kemana."
"Nggak ada yang ngeliat, nggak ada yang nolongin?"
"Tukang beca mau nolongin tapi dijotos sampai telentang di
aspal," menerangkan Sulastri.
"Kamu nggak nyatat nomor sedan orang yang nyulik?" tanya
Boma.
"Siapa yang inget mau nyatat segala? Semuanya berlangsung
cepet banget."
"Wah kacau Bom! Kacau lagi!" kata Vino.
Boma terdiam sesaat. Lalu berkata. "Heran, kok Jogya banyak
orang jahatnya ya? Kita musti lapor Polisi Ron. Tapi tunggu," Boma
berpaling pada Sulastri, Wike dan Laila. "Kalian ada yang ngenalin
si penculik?"
Sulastri manggut-manggut. "Yang satu Bom, aku ngenalin.
Tampangnya, pakaiannya sama dengan pemuda tinggi besar pakai
mantel item yang nyekap Dwita dalam stupa di Candi Borobudur.
Bener, aku ingat. Pasti, nggak salah!"
Boma, Ronny dan Vino terkejut besar.
"Kita musti lapor Polisi Ron." Kata Boma.
"Ya, tapi harus hubungi pengurus Wisma dulu," kata Ronny.
Sesaat kemudian anak-anak itu menghambur ke lantai bawah
Wisma, langsung menuju kantor. Di Kantor seorang karyawan
Wisma tengah bicara dengan seorang kakek berpenampilan aneh.
Pakaiannya agak kumal tapi menebar harum minyak wangi yang
menyengat.
Ketika melihat Boma dan kawan-kawan masuk dalam Kantor,
karyawan Wisma langsung berkata pada si kakek.
"Kebetulan, ini anak yang Bapak cari." Karyawan Wisma
berpaling pada Boma. "Dik Boma 'kan?"
Boma mengangguk.
"Bapak ini, Pak Broto mau ketemu sama Dik Boma. Katanya ada
hal sangat penting mau dibicarakan."
Vino mendekati Boma dan berbisik. "Gue baru tau kalau kamu
punya kakek di Jogya ini Bom."
Boma pandangi kakek berkemeja belang-belang tangan panjang
itu. Rambutnya yang putih berkilat pakai minyak rambut, dikuncir ke
belakang. Bau minyak wangi yang dipakainya luar biasa keras.
"Bapak mau ketemu saya?" tanya Boma.
Si kakek mengangguk. Dia ulurkan tangan. "Saya Pak Broto..."
Habis bicara dia batuk-batuk. Lalu menyeka mulut dengan sehelai
sapu tangan. Sapu tangan itu kelihatan merah.
Boma tidak segera menyambut salam si kakek tapi berkata.
"Pak Broto, sebentar Pak. Saya mau bicara dulu sama Mas ini. Ada
urusan penting...."
"Urusan saya lebih penting lagi." Kata Pak Broto. Kembali dia
menyeka mulutnya dengan sapu tangan.
"Songong juga orang tua ini," bisik Ronny pada Vino.
"Ron, lu liat nggak sapu tangan yang die pegang. Merah,
kayaknya dia nyeka ludah campur darah. Jangan-jangan kakek ini
tebese. Bisikin si Boma, kalau bicara jangan deket-deket. Nanti
ketularan 'tu anak."
"Maaf, sebentar Pak." kata Boma. "Saya mau ngomong dulu
sama Mas ini. Minta tolong mau ngubungin Polisi. Ibu Renata, Guru
Bahasa Inggris kami diculik."
"Ah, urusan kita ternyata sama," kata kakek mengaku bernama
Pak Broto yang bukan lain adalah Si Muka Bangkai. "Saya menemui
situ juga mau memberitahu urusan penculikan itu."
"Pak Broto melihat kejadiannya?" tanya Boma.
"Begini saja. Biar temanmu bicara dengan karyawan Wisma. Kita
berdua bicara di teras sana. Gimana?"
Boma berpikir. Berpaling pada Ronny dan Vino.
Berpikir lagi. Akhirnya dia anggukkan kepala dan melangkah ke
teras Wisma, duduk di kursi yang dibentuk dari batu sepanjang
pinggiran teras. Pak Broto kembali batuk-batuk. Ludah bercampur
darah yang meleleh di sudut bibirnya diseka dengan sapu tangan
dekil basah dan merah.
"Pak Broto, Bapak tau peristiwa penculikan Ibu Renata?" Boma
langsung bertanya begitu duduk di sebelah Pak Broto.
"Saya tau tapi tidak melihat sendiri."
"Tau tapi nggak ngeliat. Gimana sih?"
"Peristiwa penculikannya memang saya tidak melihat. Tapi
perencanaan, dan kemana perempuan itu dibawa, siapa
penculiknya saya tau banyak." Sambil bicara Pak Broto sesekali
melirik ke tangan kiri Boma.
"Kalau gitu coba Bapak kasi tau siapa penculik Ibu Renata.
Kemana Ibu Renata dibawa. Nanti kita sama-sama lapor Polisi."
"Kalau urusan dengan saya tidak perlu pakai Polisi. Pasti beres.
Pasti Ibu Guru itu bisa kembali dengan selamat."
Boma terdiam. Dalam hati dia berkata. "Jangan-jangan orang tua
ini kaki tangan penculik Ibu Renata. Mau minta tebusan..."
Pak Broto tertawa lebar. Sebagian giginya sudah banyak yang
ompong. "Situ tidak usah curiga sama saya. Saya bukan anggota
komplotan penculik Ibu Renata. Saya tidak minta tebusan apa-apa."
"Gila! Kok dia bisa ngebaca apa yang ada dalam pikiran gua!"
ucap Boma dalam hati.
"Saya nggak curiga sama Bapak. Juga nggak nuduh Bapak mau
minta tebusan. Tapi kalau Pak Broto memang mau nolong, bilang
saya dimana saat Ibu Renata berada. Siapa yang menculik."
Pak Broto batuk lagi. Menyeka lagi mulutnya dengan sapu
tangan dekil merah.
"Saya punya satu persyaratan. Saya beri tahu dimana Ibu itu
berada, siapa penculiknya. Tapi saya minta situ memberikan
sesuatu pada saya."
"Memberikan apa?" tanya Boma.
"Batu Penyusup Batin."
"Batu Penyusup Batin?" ulang Boma. "Batu apa itu? Saya nggak
punya batu yang Pak Broto sebutkan itu."
Si kakek tertawa.
"Keselamatan nyawa dan kehormatan Ibu Guru itu sangat
penting. Terserah, kalau situ mau memberikan benda yang saya
minta, saya akan beri tahu dimana Ibu Renata berada. Siapa
penculiknya."
Boma ingat keterangan Sulastri. "Saya tau siapa penculik Ibu
Renata. Hal itu tidak perlu Pak Broto sembunyikan. Yang menculik
orang aneh bernama Pangeran Matahari itu! Yang menyekap Dwita
dalam stupa di Candi Borobudur."
Pak Broto manggut-manggut.
"Syukur situ sudah tau. Tapi dimana beradanya Ibu Guru itu
hanya saya yang tau. Mau memberikan Batu Penyusup Batin pada
saya?"
"Saya tidak punya batu itu," jawab Boma. Saat itu hampir saja
dia meraba bahu kanan sebelah depan, di mana Batu Penyusup
Batin memang ada disitu. Disisipkan oleh Sinto Gendeng beberapa
waktu lalu.
"Terserah situ. Kalau mau perempuan itu selamat, serahkan
batu. Kalau tidak saya pergi sekarang juga. Jangan menyesal jika
terjadi apa-apa dengan Ibu Guru itu. Nasibnya bakal lebih sengsara
dari yang dialami anak perempuan yang disekap di dalam stupa."
Habis berkata begitu Pak Broto batuk-batuk lalu berdiri.
Boma sesaat jadi bingung. Mendadak ada bau pesing santar
sekali menebar di tempat itu. Tiba-tiba ada sesuatu bergerak
masuk ke dalam saku kanan belakang celana blujinsnya.
Bersamaan dengan itu di telinga kirinya ada suara berbisik
mengiang.
"Berikan barang ini pada tua bangka itu."
"Bau pesing, pasti ada yang kencing sembarangan sekitar sini,"
Pak Broto berkata sambil menggosok hidungnya.
Boma berdiri, meraba kantong blujins sebelah belakang kanan.
Ada sebuah benda lembut, seperti kain di dalam kantong jins itu.
Segera dikeluarkannya. Ternyata sebuah kantong kecil terbuat dari
kain kuning.
Pak Broto menyeringai.
"Saya tau kamu bukan anak yang suka dusta. Serahkan benda
itu pada saya..."
Boma ulurkan tangannya. Tapi ditarik kembali. Pak Broto
kerenyitkan kening. Bertanya. "Kenapa?" '
"Beri tau dulu kemana Ibu Renata dibawa."
Pak Broto menyeringai lalu gelengkan kepala. "Saya harus liat
dulu isi kantong kuning itu. Kalau isinya memang benda yang saya
minta baru saya beri tahu."
Boma longgarkan benang tebal pengikat mulut kantong kuning
lalu mengeluarkan benda yang ada di dalamnya. Benda itu
diperlihatkan pada Pak Broto. Sepasang mata si kakek tampak
berkilat-kilat. Ternyata benda yang diperlihatkan Boma adalah
sebuah batu biru sebesar telur burung merpati, memancarkan
cahaya berkemilau.
"Ah, itu dia. Masukkan batu itu ke dalam kantongnya kembali.
Lalu serahkan pada saya..." Berucap Pak Broto.
Boma masukkan batu biru berkilat ke dalam kantong kain
kuning. Lalu diulurkan ke arah Pak Broto. Si kakek memegang
kantong kuning tapi Boma tidak melepaskan. Kalau si kakek
berlaku culas dan merampas kantong dia akan menghantam
dengan tangan kirinya yang saat itu sudah siap membentuk tinju.
"Pak Broto, saya baru melepas kantong kalau Bapak memberi
tau di mana Ibu Renata berada."
"Candi Sewu," jawab Pak Broto. "Ibu Guru itu disembunyikan di
Candi Sewu."
Boma lepas pegangannya pada kantong kuning.
Pak Broto cepat mengambil benda itu, memasukkannya ke
dalam saku kemeja lalu tanpa bicara apa-apa lagi dia segera
tinggalkan teras Wisma.
Saat itu Ronny dan kawan-kawan muncul di teras.
"Mana kakek aneh tadi?" tanya Vino. "Sudah pergi."
"Mau ngapain dia? Kamu bicara apa?"
"Dia memberitahu di mana Ibu Renata berada."
"Hah? Apa Bom?"
"Katanya Ibu Renata disembunyikan di Candi Sewu."
"Kamu percaya?" tanya Vino.
Boma mengangguk. "Aku mau kesana sekarang juga. Tapi nggak
tau jalan. Cari taksi, sewa kendaraan. Apa saja pokoknya sampai
disana."
"Gendenk lu Bom. Malem-malem begini."
"Keselamatan Ibu Rena lebih dari segala-galanya. Kamu udah
ngubungin Polisi?" tanya Boma.
"Udah. Polisi minta kita segera datang ke Kantor Polisi. Laporan
langsung. Mereka mau tanya ini itu. Karyawan Wisma mau
nganterin pakai mobil Wisma."
"Teman-teman, aku berangkat duluan ke Candi Sewu. Kalian ke
Kantor Polisi dulu. Nanti nyusul aku." Habis berkata Boma turun
dari teras Wisma, melangkah ke jalan raya.
Ronny, Vino, Sulastri dan dua anak perempuan lainnya mengejar
Boma.
"Bom, lu jangan nekad nggak karuan. Jangan pergi sendirian.
Kita barengan ke Kantor Polisi, nanti sama-sama ke Candi Sewu."
Kata Ronny setengah berteriak.
"Gua memang mendadak jadi nekad Ron. Gua mau jadi Bonek.
Heran, kenapa orang-orang yang aku sayang semua ketiban
celaka? Mungkin benar omongan ayahnya Dwita. Setiap ada yang
celaka pasti aku biang penyebabnya."
"Jangan ngomong gitu kamu Bom." Kata Sulastri. "Kalau kamu
nekad mau pergi ke Candi Sewu, aku ikut."
"Jangan, kamu musti ikut ke Kantor Polisi. Kamu saksi utama
kejadian penculikan Ibu Renata."
Sebuah kendaraan umum lewat. Kebetulan berhenti
menurunkan penumpang di depan Wisma. Tidak pikir panjang
Boma langsung saja melompat naik ke dalam kendaraan itu.
"Gila! Bener-bener nekad 'tu anak!" kata Vino. Dia masih
berusaha mengejar sambil berteriak. "Bom, jangan gendenk Bom.
Turun! Kita sama-sama ke Kantor Polisi dulu. Baru ke Candi Sewu!"
Di dalam kendaraan umum Boma Tri Sumitro lambaikan tangan
pada teman-temannya. Kendaraan yang ditumpangnya mulai
bergerak.
"Punya ongkos nggak 'tu anak?" tanya Sulastri.
"Setau gue duitnya sih cuman pas-pasan," jawab Vino.
"Gila! Gendenk! Bener-bener Bonek 'tu anak." Kata Ronny.
"Bonek Candi Sewu," sambung Vino.
Mobil Wisma, sebuah minibus berhenti di halaman Wisma.
Ronny, Vino, Sulastri, Wike dan Laila segera naik. Di dalam
kendaraan yang meluncur menuju Kantor Polisi semua anak itu
hanya bisa berdiam diri dalam memikirkan nekadnya Boma.
TAMAT
SEGERA TERBIT EPISODE BERIKUTNYA :
BARA DENDAM CANDI KALASAN
Benarkah Ibu Renata disembunyikan di Candi Sewu?
Mungkin hanya dusta Pak Broto (Si Muka Bangkai) Belaka yang
diperalat oleh Pangeran Matahari?
Mampukah Boma seorang diri menemukan serta membebaskan
Guru Bahasa Inggris yang menyayanginya itu?
0 comments:
Posting Komentar