..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 26 November 2024

BOMA GENDENK EPISODE BONEK CANDI SEWU

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

SATU



TIGA DEDENGKOT KEJAHATAN MENYUSUN RENCANA


BEBERAPA jam menjelang tengah malam, di satu rumah 

papan kotor berdebu di pinggir daerah pesawahan tak jauh 

dari Desa Ngaran. Tiga orang tokoh rimba persilatan dari 

masa lampau yang oleh kekuatan gaib mampu masuk ke alam 

sekarang, berada di dalam rumah itu. Duduk di lantai beralaskan 

daun pisang, mengelilingi sebuah lampu minyak. Nyala api lampu 

minyak tampak bergoyang-goyang oleh hembusan angin yang 

masuk lewat celah-celah lapuk papan dinding, membuat bayang-

bayang seram di dalam rumah. 

Tiga orang itu adalah kakek berwajah pucat seolah tak berdarah, 

dikenal dengan panggilan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. 

Orang kedua ialah musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng, 

yaitu Pangeran Matahari yang selama ini dijuluki sebagai Pangeran 

segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak. 

Di antara ke dua orang itu duduk seorang nenek berambut kusut 

awut-awutan, mengenakan mantel biru. Mukanya tertutup 

dandanan tebal tak karuan, membuat tampangnya yang buruk 

kelihatan angker seperti setan. Sepuluh kuku jari tangannya yang 

panjang-panjang memiliki dua warna. Kadang-kadang kelihatan 

merah, sesekali berubah hitam. Dialah yang dikenal dengan nama 

Kunti Api, guru Si Muka, Bangkai. 

"Eyang Guru, apakah kau berhasil mendapatkan dan 

mengamankan telur pembuka Stupa?" Bertanya Pangeran Matahari 

pada Kunti Api. Dia merasa perlu menanyakan hal ini karena dialah


yang telah menjebloskan dan menyekap Dwita Tifani, pelajar kelas 

dua SMU Nusantara III, ke dalam Stupa Arca Amoghasidi di Candi 

Borobudur. Dia tidak ingin kalau gadis cantik itu berhasil keluar dari 

dalam Stupa. 

Kunti Api luruskan tubuhnya. Sambil menyeringai, dengan nada 

congkak dia berkata. "Kalian bisa lihat sendiri apa yang aku 

dapatkan." 

Dari balik mantel biru, dari dalam lipatan sehelai sapu tangan 

dia mengeluarkan sebuah benda berwarna lonjong putih. Benda ini 

digelindingkannya di atas daun pisang. Ternyata sebutir telur ayam. 

Si Muka Bangkai ambil telur itu, memperhatikan sejenak, 

menimang-nimangnya beberapa kali, kemudian berpaling pada Si 

Muka Bangkai dan berkata. 

"Muka Bangkai, walau muridmu belum berhasil membunuh 

Boma, tapi kita akan berhasil membunuh anak perempuan yang 

disayanginya itu. Anak itu akan menemui ajal pada dua pertiga 

malam. Malam ini. Sekitar jam tiga menjelang pagi nanti. Seumur 

hidup Boma akan dihantui kematian anak perempuan itu. Jika 

memang umur anak lelak ini panjang. Tapi kalau dia keburu mati di 

tangan kita, sepasang remaja itu akan jadi roh penasaran, 

gentayangan berdua kemana-mana. Hik...hik...hik!" 

"Eyang," ucap Si Muka Bangkai sambil hcrhatikan kembali telur 

dalam pegangan tangan kanannya. "Mudah-mudahan aku tidak 

keliru. Aku merasa ada kelainan pada telur ini. Waktu Eyang 

mendapatkan dan membawanya ke sini, apakah Eyang tidak 

meneliti lebih dahulu?" 

Sepasang alis mata Kunti Api yang dipoles hitam kereng 

mencuat ke atas. 

"Muka Bangkai, apa maksudmu?" Nenek bermantel biru 

bertampang angker bertanya. 

"Telur ini enteng sekali, Guru. Aku merasa seperti memegang 

telur penyu kering yang sudah kosong. Agaknya isi telur ayam ini 

telah berpindah ke tempat lain. Berarti telur ini tidak ada artinya 

sama sekali." 

Kunti Api unjukkan tampang sewot. 

"Jangan kau bicara seperti itu, Muka Bangkai! Aku sendiri yang


mengambil telur ini dari orang yang pertama kali mendapatkannya. 

Bahkan waktu barusan aku keluarkan dari dalam sapu tangan 

masih terasa berat! Tanda ada isinya!" 

"Maaf Eyang, kalau Eyang tidak percaya silahkan memegang 

sendiri." 

Si Muka Bangkai lalu serahkan telur ayam yang dipegangnya 

pada sang guru. 

Kunti Api tersentak kaget, tampangnya langsung berubah ketika 

dia memegang telur dan merasakan betapa telur ayam itu enteng 

sekali. 

"Gila! Apa yang terjadi?! Waktu aku mengambil telur dari orang 

itu, keadaannya tidak seperti ini. Tidak enteng! Tadipun sudah aku 

katakan. Waktu barusan aku keluarkan dari dalam sapu tangan 

masih terasa berat, tanda ada isinya!" 

"Berarti kekuatan yang ada di dalam telur lenyap barusan saja," 

Pangeran Matahari keluarkar ucapan. 

"Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin!" Kata Kunti Api pula. 

Matanya berkilat marah. "Jahanam Pasti ada orang mengerjaiku!" 

Saking marahnya Kunti Api remas telur ayam, itu hingga 

berderak hancur semudah menghancurkan kerupuk. Dari pecahan 

telur tidak ada cairan putih dan cairan kuning yang keluar. Telur itu 

ternyata memang kosong! 

Kunti Api pandangi dengan mata mendelik tangan kanannya 

yang dipenuhi hancuran kulit telur. Masih tidak bisa percaya dia. 

"Nenek Guru, dari siapa kau mendapatkan telur ini?" Bertanya 

Pangeran Matahari. 

Kunti Api menatap mata Pangeran Matahari sesaat, baru 

menjawab. "Dari seseorang yang aku kuntit sejak beberapa hari 

lalu. Aku tidak tahu nama bangsat itu!" 

"Nenek Guru merampas telur ini lalu membunuh orangnya?" 

tanya Pangeran Matahari lagi. 

"Tidak, aku tidak membunuhnya. Aku mengancam saja dia 

sudah ketakutan setengah mati. Telur diberikannya dengan suka 

rela." 

"Maaf Nenek Guru, kalau telur ini merupaka satu benda 

keramat, dia tidak mungkin memberikan begitu saja. Orang itu telah


menipu Nenek Guru! 

Merah padam tampang angker Kunti Api rnendengar kata-kata 

Pangeran Matahari itu. Marah setengah mati karena bisa tertipu 

oleh ketololannya sendiri. 

Sebaliknya Pangeran Matahari tampak tersenyum. Selama ini Si 

Muka Bangkai sering memakinya sebagai manusia tolol. Saatnya 

dia punya kesempatan untuk menyindir. Sambil mengerling ke arah 

Si Muka Bangkai, pemuda ini berkata. 

"Nenek Guru, hidup kita sebagai manusia biasa memang begitu 

adanya. Seribu kali kita merasa pandai, terkadang satu kali bisa 

saja kita berbuat yatu ketololan, sadar atau tidak sadar. Jadi harap 

Nenek Guru tidak berkecil hati." Habis berkata begitu Pangeran 

Matahari melirik ke samping. Tampang Si Muka Bangkai tampak 

mengkeret. Kakek muka pucat ini maklum kalau Pangeran 

Matahari barusan telah menyindirnya. 

"Nenek Guru, kalau aku boleh bertanya, orang itu, apakah 

Nenek Guru tahu siapa dia adanya?" Pangeran Matahari alihkan 

arah bicara, ajukan pertanyaan. 

"Aku tidak tahu namanya. Tapi sejak beberapa waktu 

belakangan ini dia sering kelihatan di sekitar Candi Mendut. 

Mengamen." 

"Mengamen? Di Candi Mendut?" ulang Si Muka bangkai. 

Wajahnya yang pucat tampak tambah putih. Lalu dia berpaling pada 

muridnya. "Pangeran, aku menaruh curiga...." 

"Orang yang mengamen itu," kata Pangeran Matahari sambil 

memandang pada Kunti Api. "Apakah Nenek Guru masih ingat 

bagaimana ciri-cirinya?" 

"Seorang kakek tua. Berambut kaku berdiri, dicat warna pirang. 

Dia mengenakan jaket dan celana bulujins. Pakai anting di telinga 

dan pusarnya yang bodong..." 

"Nenek Guru pernah mendengar dia bernyanyi?" 

"Dua kali." 

"Apa nyanyian yang dibawakannya?" 

"Mana aku tahu nama nyanyian itu. Tapi dua-duanya disukai 

orang banyak. Kalau si pengamen membawakan dua lagu itu, 

banyak orang pada berjoget. Menerangkan Kunti Api.


"Nenek Guru mungkin ingat satu atau dua kata dalam nyanyian 

itu?" Tanya Pangeran Matahari 

Kunti Api urut-urut keningnya. 

"Lagu pertama kalau aku tidak salah sepertinya mengajak orang 

minum. Tapi..." 

"Minum? Minum apa Nek?" 

"Bukan minum. Tapi... Lagu tentang orang bercinta. 

Aahh...lagunya aneh. Bercinta tapi menyebut minum. Minum...." 

"Minum kopi?" sambung Pangeran Matahari. "Betul! Minum 

kopi!" 

"Lagunya Kopi Dangdut!" 

"Betul sekali!" Kata Kunti Api sambil tepukkan dua tangannya. 

"Lagu kedua, apa Nenek Guru ingat?" Kembali Pangeran 

Matahari bertanya. 

"Kalau aku tidak salah pakai biru-biru. Hemmm...Tenda Biru. 

Betul! Tenda Biru!" Kata Kunti Api pula. 

"Pengamen itu, apakah lidahnya cadel? Tidak bisa menyebut 

er?" 

Kunti Api gelengkan kepala. "Seingatku tidak cadel, tidak pelo. 

Dia menyebut er lempang-lempang saja." 

"Pangeran Matahari," tiba-tiba Si Muka Bangkai membuka 

mulut. "Jangan kau berkhayal tentang kakek pengamen bernama 

Pelawak Sinting. Kita telah membunuhnya beberapa waktu lalu di 

jembatan penyeberangan di depan gedung Sarinah. Di Jakarta!" 

"Betul sekali Guru," jawab Pangeran Matahari pada Si Muka 

Bangkai. "Tapi jangan lupa. Ada berita mengabarkan bahwa mayat 

Si Pelawak Sinting lenyap dicuri orang dari dalam ambulans. Siapa 

tahu waktu itu dia tidak mati. Hidup dan muncul lagi." 

"Si Pelawak Sinting tidak berambut pirang. Tidak pernah pakai 

bulujins..." 

"Tunggu," kata Pangeran Matahari sambil tersenyum karena 

Kunti Api selalu menyebut blujins dengan bulujins. "Nenek Guru, 

pengamen itu, apa Nenek Guru ingat peralatan apa saja yang 

dipakainya waktu mengamen?" 

"Dia membawa gendang dan rebana yang ada kerincingannya. 

Sambil menyanyi dia berjoget. Lalu di kepalanya ada sebuah


payung kecil, terbuat dari kertas. Payung dikembangkan, dia 

bernyanyi dan berjoget. Payung tidak jatuh. Sesekali dia me-

mainkan sebuah benda aneh sepanjang satu jengkal. Aku tidak 

tahu apa namanya. Kalau ditiup benda itu mengeluarkan suara 

lebih merdu dari suara seruling. Lalu....lalu dia pakai anting di 

kuping dan pusarnya." Kunti Api terdiam sesaat lalu bertanya. 

"Pangeran Matahari, apakah kau mengenal pengamen tua itu?" 

"Aku masih menduga-duga Nek. Ada sedikit keraguan. Nenek 

Guru ingat pada Si Pelawak Sinting yang membuat keonaran di 

Pasar Baru dulu? 

"Aku ingat ceritamu. Tapi betul kata gurumu Muka Bangkai. Si 

Pelawak Sinting tidak berambut pirang dicat. Lidahnya cadel. Dia 

tidak punya alat yang bisa mengeluarkan suara seperti seruling itu. 

Telinganya tidak pakai anting. Apa lagi dipusarnya. Lalu aku ingat, si 

pengamen di Candi Mendut itu menempeli giginya dengan kertas 

timah bungkus rokok." 

"Betul sekali Nenek Guru. Banyak perbedaan. Tapi ada 

persamaan. Si Pelawak Sinting membawa payung kertas. 

Pengamen di Candi Mendut juga punya payung kertas. Pelawak 

Sinting pakai rebana dan gendang. Pengamen di Candi juga punya 

rebana dan gendang. Dalam menyanyi keduanya berjoget sambil 

meletakkan payung terkembang di atas kepala. Lalu salah satu lagu 

yang dinyanyikan pengamen di Candi Mendut sama dengan lagu ya 

suka dibawakan Si Pelawak Sinting. Kopi Dangdut.” 

Tiga orang di dalam rumah papan sama terdiam beberapa saat 

dalam kesunyian. 

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang.” Si Muka Bangkai 

memecah kesunyian. 

"Aku tahu apa yang harus kita lakukan!" Kata Kunti Api seraya 

bangkit berdiri. "Saat ini juga aku akan ke Candi Mendut. Pangeran 

Matahari, kau ikut bersamaku. Mungkin pengamen keparat itu 

masih menyimpan telur keramat yang asli. Muka Bangkai, kau lekas 

ke Candi Borobudur. Apapun yang terjadi kau harus bisa mencegah 

anak perempuan bernama Dwita itu dikeluarkan dari dalam Stupa. 

Tapi ingat! Yang paling aku harapkan ialah agar kau bisa 

membunuh anak lelaki bernama Boma itu!"


Tak lama kemudian, dalam kegelapan malam Kunti Api dan 

Pangeran Matahari berkelebat ke arah timur menuju Candi Mendut. 

Si Muka Bangkai sambil mengomel dalam hati bergerak ke arah 

barat. 

Hatinya mengkal mendapat tugas harus pergi ke Borobudur 

karena sebenarnya malam itu dia telah ada rencana menemui 

seorang janda pedagang lesehan di Malioboro. Bahkan dia telah 

siap-siap untuk menenggak Majun Arab, obat kuat dalam 

menghadapi sang janda. Uring-uringan kakek muka pucat ini berlari 

menuju ke barat. Di satu tempat dia berhenti, memandang ke 

langit. Hatinya berkata. "Masih ada waktu....Masih ada waktu untuk 

bercanda dengan janda itu." Tanpa berpikir dua kali, si kakek 

segera memutar arah larinya. Sambil lari tangannya meraba ke 

balik pakaian, mengeluarkan Majun Arab, membuka kertas 

pembungkus lalu mengunyah dan menelannya. Hek! Si Muka 

Bangkai keluarkan suara tercekik. Majun Arab tersekat di 

tenggorokan. Mulutnya terpencong-pencong, mata mendelik-delik. 

Obat kuat itu ternyata tidak mudah ditelan tanpa dibantu air. 

***


DUA


SUMI PRIMBON


SEPERTI biasa, setiap malam setelah toko-toko di sepanjang 

Jalan Malioboro tutup, kawasan itu berubah hidup menjadi 

pusat santap lesehan. Dari sekian banyak pedagang lesehan 

terdapat seorang janda bernama Sumi, lebih dikenal dengan 

panggilan Sumi Primbon. Ada juga yang memanggilnya dengan 

sebutan Jeng Primbon. Predikat ini didapatnya karena sang janda 

memiliki kepandaian meramal berdasarkan ilmu primbon. Jika ada 

tamu yang ingin diramal nasibnya sambil makan, Sumi Primbon 

akan melakukan dengan senang hati tanpa dipungut bayaran. Tapi 

tentunya Sumi Primbon tidak mau rugi. Lalu ongkos ramal 

dimasukkannya ke dalam makanan yang disantap sang tamu. 

Sumi Primbon berwajah bulat, selalu berdandan apik. Rambut 

hitam tebal disanggul besar ke belakang. Dalam usianya yang telah 

mencapai lima puluhan, tubuhnya yang gemuk dibungkus kulit 

putih bersih, masih bagus dan kencang untuk ukuran perempuan 

seusianya. 

Saat itu Sumi Primbon tengah sibuk melayani tamu yang duduk 

di atas tikar mengelilingnya. Seperti biasa janda gemuk ini selalu 

mengenakan kebaya lurik biru pekat yang bagian atasnya di potong 

rendah hingga setengah dadanya yang gembul kelihatan jelas 

menonjol, terkadang bergoyang-goyang membuat para tetamu, 

terutama lelaki tak perduli usia jadi geregetan. Konon memandang 

dada Sumi Primbon merupakan salah satu "bumbu" penyedap yang 

tidak dimiliki pedagang lesehan lainnya. Tidak mengherankan kalau


tempat Sumi Primbon banyak langganan dan banyak pula 

makannya. Karena disini para tetamu mendapatkan ungkapan yang 

diplesetkan yaitu empat sehat mata sempurna. 

Di balik sebuah tiang beton tak jauh dari tempat Sumi Primbon 

menggelar dagangan, seorang kakek berwajah pucat yang bukan 

lain Si Muka Bangkai adanya, sibuk merapikan diri. Saat itu dia 

mengenakan sehelai celana hitam, kemeja gombrong biru belang-

belang tangan panjang. Kemeja ini tidak dimasukkan ke dalam 

celana tapi dibiarkan lepas di sebelah luar dan dua ujungnya di ikat 

satu sama lain. Rambut putih panjangnya yang biasa awut-awutan 

kini tersisir licin ke belakang, diikat membentuk kuncir. Rambut itu 

kelihatan berkilat karena dipoles dengan minyak. Rambut yang 

sudah licin itu berulang kali dirapikannya dengan sebuah sisir kecil. 

Sambil mematut diri sepasang mata kakek ini tak putus-putus 

mengerling ke arah sosok Sumi Primbon. Dari kantong celana 

dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi minyak wangi. Minyak ini 

dicipratkannya sampai habis ke pakaian dan tubuh, termasuk 

ketiak kiri kanan, lalu dipoleskan di kuping. Botol kosong kemudian 

seenaknya dicampakkan ke jalanan. 

Setelah merapikan pakaian dan menyisir rambut sekali lagi, 

sambil bersiul-siul kecil Si Muka Bangkai melangkah gagah ke 

tempat Sumi Primbon menggelar lesehannya. Langsung duduk di 

tikar. Kehadiran orang satu ini tentu saja menarik perhatian semua 

tamu yang telah lebih dulu berada di tempat itu. Di tambah dengan 

aroma minyak wangi yang santar membuat semua orang jadi 

berpaling dan memandang ke arah si kakek. Ada yang terkesima 

melihat wajah tua yang begitu pucat. Ada pula yang terheran-heran 

melihat dandanannya. 

Seorang perempuan separuh baya yang tengah asyik menyantap 

makanan, menelan nasi dalam mulutnya lalu berbisik pada suami 

yang duduk di sebelahnya. 

"Wanginya nggak kira-kira Mas. Aku kira bidadari turun dari 

kayangan. Tahu-tahu yang aku lihat mayat hidup." 

Sang suami yang dibisiki tidak berani memandang pada Si Muka 

Bangkai tapi balas berbisik. "Jangan bicara saenak utilmu dewe. 

Orang tua itu mungkin bukan orang sembarangan."


Ketika Sumi Primbon memandang ke arahnya Si Muka Bangkai 

lemparkan senyum dan kedipkan mata. Seorang anak muda yang 

duduk di depannya dan sejak tadi memperhatikan, tak tahan hati 

lalu menegur. 

"Pak tua, minyak wanginya mencorong banget. Merk apa sih?" 

Si Muka Bangkai tersenyum. 

"Tidak ada mereknya. Tapi kalau dipakai siang pasti wangi. 

Kalau dipakai malam pasti harum. Siapa saja yang menciumnya 

bisa kecantol. Ha ...ha...ha!" 

"Mending kalau kecantol. Kalau bikin pusing kepala?!" celetuk 

pemuda lain teman pemuda pertama tadi. 

"Eh, pusing kepala justru tanda pertama dari seorang yang mulai 

kecantol!" Jawab Si Muka Bangkai lalu tertawa dan ulurkan tangan 

mengambil segelas teh panas di depannya. Seorang tamu di 

samping kiri si kakek cepat berkata. 

"Pak, itu teh saya." 

"Ah, maaf....maaf." Si Muka Bangkai tertawa. 

"Wah! Ternyata Pak tua sudah pusing duluan." Kata tamu di 

sebelah si kakek. Beberapa orang tertawa mendengar ucapan itu 

sementara Si Muka Bangkai hanya menyeringai kaku. 

"Bapak ini gaya dan dandanannya seperti ABG saja," pemuda di 

depan Si Muka Bangkai sambil ternyum-senyum kembali keluarkan 

ucapan. 

Kakek muka pucat ikutan senyum. "Aku tahu maksud sampean. 

ABG-nya pasti bukan Anak Baru Gede, tapi Aki-Aki Baru Gede. Gitu 

'kan?" Semua orang yang ada di tempat itu tertawa riuh. Si kakek 

sendiri senyum-senyum dan usap dagunya dengan tangan kiri. 

"Tau juga dia," berucap seorang tamu. 

"Saya tau, Pak Tua ini pasti termasuk orang TOP." Kembali 

pemuda yang duduk di depan Si Muka Bangkai keluarkan ucapan. 

Sepertinya dia tengah memuji. 

"Ah, jangan gitu ah." Ucap Si Muka Bangkai sambil mematik 

rambutnya yang dikuncir. 

Si pemuda tertawa lebar, berkata dalam hati "Kena kau 

sekarang!" Teman di sebelahnya membuka mulut. "Pak, tau nggak 

apa yang dimaksud TOP?" `


"Ah, saya bukan orang beken..." Si Muka Bangkai merendah. 

"TOP itu singkatan Tua, Ompong, Peot!" 

Suara tawa bergelak memenuhi pelataran tempat Sumi Primbon 

menggelar dagangan lesehannya. 

Si Muka Bangkai ikut-ikutan tertawa. Walau tertawa tapi hatinya 

sebenarnya mulai merasa jengkel pada pemuda satu ini. Kalau saja 

olok-olok itu terjadi di tempat dan dalam keadaan lain, tamparan 

keras pasti sudah didaratkannya ke muka si pemuda. 

Seorang anak perempuan pembantu Sumi Primbon meletakkan 

segelas teh manis panas di atas tikar di depan Si Muka Bangkai. 

Kakek ini segera meneguk minuman itu sampai habis, membuat 

anak perempuan tadi dan orang-orang lain yang menyaksikan jadi 

terperangah, terheranheran. Teh manis yang disuguhkan itu masih 

sangat panas, bahkan masih mengepulkan asap. Para tetamu yang 

sudah lebih dulu dihidangkan teh manis seperti itu masih belum 

mau minum, masih menunggu sampai tehnya agak dingin baru di 

minum. 

Tanpa perduli pandangan orang terhadapnya Si Muka Bangkai 

beringsut mendekati Sumi Primbon. Janda gemuk ini memberikan 

sebuah piring kosong tapi Si Muka Bangkai gelengkan kepala. 

Setengah herbisik dia berkata. 

"Aku tidak kepingin makan. Tapi kepingin yang lain. Yang kita 

janjikan dua malam lalu." 

Wajah bulat Sumi Primbon sesaat tampak bersemu merah. Dia 

tambah kikuk sewaktu ada seorang tamu sengaja keluarkan suara 

berdehem. Mungkin saja tamu ini tak sengaja mendengar apa yang 

dibisikkan kakek berpenampilan aneh dan memakai minyak wangi 

yang menyengat hidung itu, lalu iseng menggoda. Sebaliknya Si 

Muka Bangkai palingkan kepala, menatap pada orang yang 

berdehem, membuat orang ini cepat-cepat melengos tak berani 

balas memandang wajah tua dan pucat itu. 

"Mas Broto, malem ini aku tidak bisa. Lagi banyak tamu. Besok 

saja, gimana?" Ucap Sumi Primbon. Rupanya pada sang janda Si 

Muka Bangkai memperkenalkan diri sebagai Broto. Hebat juga. 

"Jangan gitu, Sum. Aku sudah membuat persiapan. Aku sudah 

minum obat kuat. Majun Arab. Sekarang aku sudah mulai on." Kata


Si Muka Bangkai. Entah dari mana dia tahu bahasa keren anak 

muda masa kini. Mata si kakek mengerling ke dada sang janda. 

Sumi Primbon diam saja, tidak memberi reaksi. 

Mas Broto alias Si Muka Bangkai kembali berbisik. 

"Gelang emas yang kamu minta tempo hari saat ini sudah sudah 

kubawa. Ada dua." 

Ucapan kakek muka pucat itu membuat sepasang mata Sumi 

Primbon kelihatan membesar dan bersinar. Dia cepat-cepat 

melayani beberapa orang tamu. Setelah itu kembali mendekati Pak 

Broto alias Si Muka Bangkai. 

"Kita mau kemana?" 

Si Muka Bangkai tersenyum. Jelas sekali perubahan sikap sang 

janda setelah dia memberitahu perihal dua gelang emas. 

"Katamu ada kios kosong di Beringharjo." 

"Betul ada. Tapi kurang aman..." 

"Lalu?" . 

"Begini, ke rumahku saja." 

"Weh, apa di situ aman? Gimana kalau digerebek 

Hantu...Maksudku itu. Han...Han..." 

"Hansip?" ujar Sumi Primbon. "Ya, itu. Hantu. Eh Hansip." 

"Nggak usah khawatir. Hansip di sana koncoku semua." Jawab 

Sumi Primbon. "Tapi saat ini aku masih ngelayani tamu dulu. 

Tunggu sampai nanti sepi." 

"Aku nunggu di depan Hotel Mutiara. Jangan lama-lama. Aku 

bisa mati berdiri. Kalau bisa sebelum tengah malam kita sudah 

berada di rumahmu." 

Si janda gemuk mengangguk. Dadanya yang besar menantang 

bergoyang. Si Muka Bangkai menelan ludahnya lalu berdiri. Walau 

dia sudah lama pergi tapi bau minyak wanginya masih tertinggal di 

tempat itu. 

"Siapa tadi itu Jeng Primbon?" seorang tamu yang kepingin tahu 

bertanya. Dia adalah lelaki yang tadi mengeluarkan suara 

berdehem. 

"Mbah saya, dari Sleman. Dia minta diantar ke rumah seorang 

teman yang lagi sakit. Mana mungkin, wong saya lagi sibuk begini." 

Jawab Sumi Primbon berdusta.


"Aneh ya orangnya." 

"Memang begitu. Dia itu dukun lho." 

"Oh, dukun toh? Pantes." 

"Bisa melet nggak?" Tanya pemuda yang tadi minumannya 

hendak diserobot Si Muka Bangkai. 

"Memangnya sampean mau melet sopo, dek?" tanya Sumi 

Primbon sambil menyeka peluh di dadanya yang busung besar. 

"Ya, maunya sih kepingin melet Jeng Primbon," jawab si pemuda. 

"Husss!" Hardik Sumi Primbon. "Kok mau melet orang dikasih 

tau segala!" 

"Sekarang coba Jeng Primbon ramalin saya. Siapa tahu beneran 

saya berjodoh sama Jeng Primbon." 

"Hussss!" Sumi Primbon kembali menghardik. Kali ini sambil 

tangan kanannya yang besar menonjok bahu si pemuda. Cukup 

keras hingga yang ditonjok roboh ke samping. Seperti robohnya 

susunan kotak korek api, orang di sebelah yang kejatuhan tubuh si 

pemuda ikut roboh. Demikian pula berturut-turut dua orang lain di 

sampingnya. 

PAGI itu, Pariyem, anak perempuan empat belas tahun yang 

membantu Sumi Primbon jualan makanan setiap malam di lesehan 

Malioboro duduk di kursi rotan di teras rumah. Anak perempuan 

yang hanya mengecap pendidikan sampai kelas tiga SD itu sedang 

membaca surat kabar, pinjaman dari anak tetangga sebelah rumah. 

Walau tersendat-sendat setengah mengeja saat itu dia tengah asyik 

membaca sebuah berita. Sesekali dia menurunkan surat kabar 

yang dibacanya, memandang ke arah lengan kanan Sumi Primbon 

dimana melingkar dua gelas emas masing-masing dua puluh gram. 

Sumi Primbon duduk di tembok rendah teras rumah, 

mengenakan daster, sibuk menyiangi sayur untuk dagangan nanti 

malam. Duduknya sembarangan saja. Tidak sadar kalau dasternya 

tersingkap lebar di sebelah bawah. 

Karena beberapa kali Pariyem memperhatikan ke arah 

tangannya. Lama-lama Sumi Primbon jadi merasa tidak enak. 

"Ada apa Pariyem? Kamu dari tadi memperhatikan tanganku. 

Membaca lagi lalu memperhatikan lagi."


"Nggak ada apa-apa kok Bu'de." Jawab Pariyem. 

Lalu meneruskan membaca. Tapi satu kali kembali Sumi 

Primbon memergoki anak itu tengah memandang ke arah tangan 

kanannya. 

"Situ pasti naksir sama gelang baruku." 

"Moso' sih naksir Bu'de. Saya 'kan belum pantes pakai gelang." 

"Sudah, kamu mandi sana. Nanti bantu aku nyiapin bumbu." 

Pariyem letakkan koran yang tadi dibacanya di atas kursi rotan, 

lalu berdiri. Begitu anak perempuan itu masuk ke dalam rumah 

Sumi Primbon segera mengambil koran di atas kursi. Dia meneliti 

halaman surat kabar yang tadi dibaca Pariyem. Dia menganggap 

berita di halaman itu biasa-biasa saja dan merasa heran kalau 

Pariyem begitu asyik membaca sambil sesekali memperhatikan 

tangan kanannya. Ketika koran itu hendak dilipatnya tiba-tiba 

matanya membentur satu judul berita di kolom paling kanan 

sebelah bawah. 

YOGYA SEKILAS 

Dua gelang emas raib secara misterius 

Satu kejadian aneh menimpa Sukardi, pemilik Toko Mas Sinar 

Terang di Beringharjo. Menurut keterangan Sukardi, seperti biasa 

setiap tutup toko semua emas perhiasan dagangannya dimasukkan 

ke dalam sebuah brankas untuk dibawa pulang. 

Malam itu lelaki yang belum dikarunia anak ini hanya sendirian 

di rumah karena istri bersama pembantunya pergi ke Solo untuk 

melihat ibunya yang sedang sakit. 

Pagi kemarin sebelum berangkat ke toko, Sukardi terlebih dulu 

memeriksa emas perhiasan yang ada dalam brankas. Pemilik Toko 

Mas Sinar Terang ini jadi terkejut karena dua buah gelang masing-

masing seberat 20 gram tidak ada lagi dalam brankas. Atas dugaan 

wartawan yang kebetulan tetangga pedagang mas itu, adanya 

unsur kelupaan disangkal keras oleh Sukardi. Dia pasti sekali dua 

gelang emas tersebut telah dimasukkannya ke dalam brankas 

bersama perhiasan lain. Lalu bagaimana mungkin dua gelang bisa 

lenyap? Kalau dijarah pencuri mengapa tidak brankasnya dibawa 

kabur sekalian, ujar Sukardi.


Sukardi yang tidak percaya pada hal-hal bersifat gaib sama 

sekali tidak bisa percaya dan tidak yakin kalau raibnya dua gelang 

emas itu adalah pekerjaan makhluk sebangsa tuyul. 

Pedagang mas itu saat ini masih bingung. Namun dia tidak 

berniat sama sekali untuk melaporkan kejadian itu kepada Polisi. 

Perlahan-lahan Sumi Primbon terduduk di kursi rotan. Koran 

yang barusan dibacanya merosot dari pangkuan, jatuh ke lantai. 

Jari-jari tangan kirinya mengusap-usap dua gelang yang melingkar 

di pergelangan lengan kanan. Ketika dia memandangi dua buah 

gelang itu, entah mengapa hatinya mendadak berdetak tidak enak. 

Dari mulut janda gemuk itu meluncur ucapan perlahan. 

"Mas Broto..." 

***


TIGA.


ARWAH PENASARAN


MENJELANG tengah malam. Di atas selembar tikar butut, di 

dalam sebuah warung kosong tak jauh dari Candi Mendut, 

pengamen tua Si Pelawak Sinting terbaring tidur. Suara 

dengkurnya terdengar jelas dalam sunyinya malam sampai jauh di 

luar warung. Dari arah selatan Candi Mendut satu sosok laksana 

bayangan setan kelayapan melesat dalam gelapnya malam. 

Sebentar saja bayangan itu telah sampai di hadapan warung Yang 

bagian depannya ditutup dengan terpal biru. Sejak beberapa waktu 

belakangan ini warung berterpal biru itu dikenal sebagai "Tenda 

Biru" tempat kediaman pengamen aneh, yang bukan saja pintar 

menyanyi tapi juga pandai melawak dan main akrobat. 

Sesaat sosok yang berkelebat berhenti lalu melangkah maju dan 

astaga! Sosok itu lewat begitu saja. Laksana hembusan angin 

menembus terpal. Dan lebih tidak bisa dipercaya lagi, sosok aneh 

ini terus bergerak, melangkah menembus pintu. Di lain saat dia 

sudah berada di dalam warung yang hanya diterangi lampu 10 wat, 

redup berdebu. Berdiri di samping tubuh si pengamen aneh yang 

bukan lain adalah Si Pelawak Sinting Labodong yang terbujur tidur 

di lantai. 

Perlahan-lahan makhluk ini berlutut dan ulurkan tangan 

kanannya. Tangan itu bergerak ke arah leher Pelawak Sinting. 

Begitu tangan menyentuh leher, suara dengkur mendadak berhenti 

berganti dengan suara seperti orang tercekik. 

Sepasang mata orang tua yang lehernya barusan diraba terbuka 

sedikit. Samar-samar dia melihat satu wajah. Salah satu tangannya 

bergerak meraba leher yang terasa sangat dingin seolah telah 

berubah es.


Mata kakek pengamen ini tiba-tiba mendelik besar. Dia 

mengeluarkan ucapan, tetapi lidahnya kelu, suaranya tidak jelas. 

Makluk yang berlutut di sebelahnya menyeringai. 

"Kau mengenali diliku, Labodong?" Makhluk di samping si 

pengamen tua keluarkan ucapan. Suaranya cadel, bergema aneh 

seolah keluar dari dalam sebuah sumur. 

Pelawak Sinting bernama Labodong yang masih terbujur di lantai 

bergerak sedikit. Mulutnya terbuka. "Kau...!" 

"Hemm, bagus, kau mengenali diliku. Saatnya kita bicala. 

Waktuku singkat sekali!" Begitu selesai berucap makhluk ini bangkit 

berdiri lalu melompat menjauh ke salah satu sudut ruangan. 

Pelawak Sinting Labodong yang beberapa waktu belakangan ini 

terkenal sebagai pengamen aneh dan lucu di kawasan Candi 

Mendut, cepat berdiri, mengucak ke dua matanya dan memandang 

ke sudut warung. Di situ berdiri samar makhluk aneh yang 

tampangnya sangat sama dengan dirinya. Saat itu dia baru 

menyadari bahwa tempat itu terasa luar biasa dinginnya. Dia 

memperhatikan ke sudut warung. Sosok samar yang berdiri di sana 

kelihatan seperti mengeluarkan kabut tipis. Mungkin inilah sumber 

hawa dingin itu. 

"Labudung.... adik..." Suara Pelawak Sinting Labodong agak 

tersendat karena masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, 

dengan apa yang dilihatnya. 

"Labodong, ini memang aku Labudung adikmu." Seperti tadi 

suara makhluk samar berkabut di sudut warung terdengar 

menggema seperti datang dari dalam lobang. 

"Suaramu aneh, sosokmu kulihat samar. Bagaimana mungkin? 

Tubuhmu samar bergoyang-goyang. Jelas kau bukan lagi joget atau 

ngedangdut. Aku lihat ada kabut menutupi dirimu. Kau. Hembusan 

nafasmu dingin, tanganmu seperti es..." 

"Keadaanmu jauh lebih aneh lagi Labodong. Lambutmu kau 

celup dengan apa sampai belwalna sepelti bulu jagung. Hik..hik! 

Gigimu entah kau tempeli apa sampai belkilat sepelti kaca. 

Telingamu pakai anting. Pusalmu kau ganduli giwang. Kau 

mengenakan lompi dan celana tebal. Kelen amat. Tapi kemana-

mana pantatmu masih selalu nongol dioblal kalena celanamu


gomblong kedodolan. Hik...hik...hik! Eh, benda apa yang telgantung

di lehelmu itu?" 

Labodong raba harmonika yang tergantung di lehernya. 

Harmonika ini ditempelkannya ke mulut lalu ditiup. Di sudut 

ruangan sang saudara kembar tertawa mengekeh mendengar 

suara harmonika itu. 

"Benda aneh bersuala meldu. Hik..hik. Aku gembila kau masih 

telus mengikuti jejakku jadi pengamen. Kakak, apakah kau sudah 

hapal betul lagu Kopi Dangdut dan Tenda Bilu?" 

Labodong ingin tersenyum. Dia ingat. Semasa adiknya itu masih 

hidup dan semasa mereka masih berada di Negeri Latanahsilam, 

antara dia dan Labudung tak pernah akur. Labudung selalu 

memarahinya karena dia suka meniru apa yang dilakukan sang 

adik dan memperkenalkan diri sebagai Pelawak Sinting. Padahal 

Labudunglah Pelawak Sinting yang asli. 

"Labudung, aku tidak mengerti. Bukankah....bukankah kau 

sudah berada di alam sana?" 

Wajah pucat samar berselimut kabut dingin tersenyum. 

"Aku memang tidak belada di alammu lagi. Bukankah kau sendili 

yang mengantal kepelgianku malam itu? Tubuhku leleh menjadi 

cailan putih. Cailan belubah menjadi asap dan asap kemudian 

silna, telbang pupus menuju alam kematian." (Mengenai kisah 

kematian Labudung alias Pelawak Sinting asli saudara kembar 

Labodong, bisa dibaca dalam Episode pertama berjudul "Topan Di 

Borobudur") 

Labodong pegangi lehernya sendiri. Hawa dingin membuat 

kakek ini mulai menggigil. 

"Labodong, ketahuilah, aku hidup di alam maha dingin. Tanpa 

membawa hawa dingin ke dalam alammu, aku tak akan mampu 

mempelihatkan dili dan bicala denganmu." 

"Kehidupan kita di Negeri Latanahsilam di masa lalu banyak 

keanehan, tapi kemunculan dirimu dan keberadaanmu saat ini 

tidak bisa kubayangkan. Selain itu aku merasa cemas..." 

"Ada satu kekuatan gaib yang menalik aku ke alammu. 

Labodong saat ini kita beldua memang pantas belbagi kecemasan. 

Kalena kecemasan itulah yang mendolongku datang ke sini."


"Labudung, apa maksudmu?" tanya Labodong. 

"Di alamku, aku melihat dua titik mendatangimu. Dua titik itu 

belwalna melah. Pertanda ada dua olang belniat jahat telhadapmu. 

Mungkin juga mau membunuhmu." 

"Ada orang mau membunuhku? Siapa?" Labodong terkejut 

besar. 

"Tak bisa kuketahui pasti. Tapi meleka akan segela muncul. 

Malam ini. Ada dua dugaan. Mungkin meleka musuh kita di alam 

lalu semasa di Latanahsilam. Mungkin juga musuh alam tempat 

kita ada sekalang." 

“Aku..." 

"Labodong, kemasi balang-balangmu. Kau halus segela

tinggalkan tempat ini. Sekalang juga!" kata Labudung dari sudut 

warung. 

"Labudung, siapapun mereka, aku akan coba menghadapi." 

"Menulut penglihatanku dua olang itu belkepandaian sangat 

tinggi. Saat ini kau tidak akan mampu menghadapi meleka. Cukup 

aku saja yang menelima beban kematian. Salah satu dali kita halus

tetap hidup untuk menuntaskan semua dendam kesumat. Lagi pula 

ada bebelapa pesanku tempo hali yang belum kau laksanakan. 

Diantalanya mencari nenek belnama Sinto Gendeng dan 

mengawininya." 

"Aku sudah berusaha mencari. Tanya sana tanya sini. Tapi nenek 

itu belum ketemu. Aku ketemu nenek lain, salah duga, malah aku 

ditampar sampai mukaku bengap begini rupa." 

"Sudah, tak pellu kita bicalakan hal itu panjang lebal. Saat ini 

aku minta agal kau segela pelgi dali sini." 

"Kau sendiri mau melakukan apa?" tanya Labodong kembaran 

Labudung Si Pelawak Sinting. 

Belum sempat Labudung menjawab tiba-tiba braakk! 

Pintu warung jebol terpentang lebar. Dua sosok berkelebat 

masuk. Yang satu seorang nenek bermantel biru berambut merah 

riap-riapan bertampang seangker setan. Satunya seorang pemuda 

berpakaian serba hitam berbadan kekar. Perhatian dua orang ini 

serta merta tertuju pada Labodong. Mereka mungkin belum melihat 

sosok samar Labudung yang tegak samar di sudut warung.


Labodong segera kenali siapa adanya sosok bermantel biru di 

samping pemuda berpakaian dan bermantel hitam. Dia adalah 

nenek pengemudi becak di dekat Keraton yang malam tadi 

mengikutinya lalu memaksa dia menyerahkan telur ayam kampung 

yang dibawanya. Nenek ini bukan Lain adalah Kunti Api. Sedang si 

pemuda adalah Pangeran Matahari. 

"Pengamen Sinting! Akhirnya aku temui juga dirimu!" Kata Kunti 

Api sambil berkacak pinggang. Sesaat dia dongakkan kepala, 

menghirup udara di ruangan itu dalam-dalam. Setelah melepas 

nafas panjang dia menyeringai. 

"Hawa dingin. Cocok untuk mengantar kematianmu!" Ucap si 

nenek. Dia maju satu langkah mendekati Labodong. Si Pelawak 

Sinting Labodong ikut meniru tindakan si nenek, maju pula satu 

langkah. 

"Nenek Guru, tunggu!" tiba-tiba pemuda bermantel hitam di 

samping Kunti Api membuka mulut dan sejak tadi memperhatikan 

Pelawak Sinting Labodong keluarkan ucapan. "Tua bangka sinting 

ini walau tidak cadel dan rambutnya pirang bulukan tapi 

tampangnya sangat mirip dengan pengamen yang dulu bersama 

Guru aku bunuh di Jakarta. Aneh kalau dia masih hidup! Diakah 

bangsatnya yang telah menipu Nenek Guru, memberikan telur 

palsu?" 

"Memang dia!" jawab Kunti Api dengan mulut dipencongkan. 

"Tua bangka sialan. Berani menipuku! Jangan harap nyawanya aku 

ampunkan. Lain hal kalau dia mau menyerahkan telur ayam yang 

asli." 

"Pengamen Sinting! Kau sudah dengar ucapan Nenek Guruku. 

Urusan Batu Penyusup Batin masih belum selesai. Kau kini malah 

berani menipu Nenek Guruku! Lekas serahkan telur asli yang 

diminta. Atau kau kubikin jadi bangkai saat ini juga!" 

Labodong tidak tahu menahu perihal Batu Penyusup Batin 

karena memang adiknya si Pelawak Sinting asli yang punya urusan. 

Saat itu Labodong sadar. Kalau pemuda itu sanggup membunuh 

adiknya berarti dia memang memiliki kesaktian tinggi. Pangeran 

Matahari! Labodong ingat. Sebelum hembuskan nafas terakhir 

saudara kembarnya Labudung menyebut nama itu sebagai


pembunuhnya. Kini dia berhadapan sendiri dengan sang pembunuh 

yang memang tengah dicarinya untuk membalaskan dendam 

kesumat sakit hati kematian adiknya. Kini walau tahu bahaya mau 

mengancam nyawanya Labodong tenang-tenang saja. Malah sambil 

senyum-senyum dia menatap Kunti Api Ialu konyolnya kakek ini 

kedipkan mata pada si nenek muka setan berdandan menor. 

"Nenek cantik, kau muncul lagi. Rupanya ada kenangan manis 

pada pertemuan kita pertama kali malam ini di dekat Keraton." 

"Tua bangka jelek!" bentak Kunti Api lalu meludah ke lantai 

warung. "Jangan bicara ngacok di hadapanku!" Si nenek berucap 

sambil melirik pada Pangeran Matahari. Kawatir pemuda ini 

percaya pada ucapan si kakek. 

"Ha ...ha!" Pelawak Sinting Labodong tertawa lebar. "Kau tak 

mau rahasia percintaan kita diketahui cucu muridmu ini. Padahal 

aku tahu kedatanganmu sebenarnya adalah untuk menjemputku, 

lalu membawaku ke kios kosong itu. Kalau betul bagusnya kita 

pergi sekarang saja. Cuma sayang, mengapa kau membawa bocah 

ini? Tapi tak apalah, dia bisa disuruh berjaga-jaga di depan kios dan 

jangan berani mengintip apa yang kita lakukan! Ha...ha...ha!" 

Disebut bocah apa lagi mendengar ucapan terakhir pengamen 

sinting Pangeran Matahari jadi marah. Kunti Api sendiri seperti saga 

merah mukanya. Memaki tak karuan panjang pendek. Namun dia 

masih bisa mengendalikan amarah. Membunuh si kakek sesuatu 

yang mudah baginya, tapi yang diperlukannya saat itu adalah 

mendapatkan telur keramat yang mampu mengeluarkan Dwita 

Tifani dari dalam Stupa di Candi Borobudur. 

"Tua bangka keparat! Kami datang untuk menjemput nyawamu! 

Kau boleh bersenang-senang dengan setan neraka!" begitu 

membentak sang Pangeran langsung melompat ke hadapan Labo-

dong dan hantamkan tangan kanannya. Tapi gerakannya cepat 

ditahan Kunti Api. 

"Biarkan dia bernafas sesaat lagi sampai dia menyerahkan telur 

yang kita minta!" Ucap si nenek. 

"Rupanya tua bangka edan ini belum tahu kita ini siapa!" kata 

Pangeran Matahari. 

"Ah, kalau memakai peradatan memang musti begitu. Aku belum


kenal nenek cantik yang naksir diriku ini. Sedangkan kau bukankah 

kau bocah yang punya nama hebat, Pangeran Matasapi?" 

Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik. Mulutnya 

keluarkan suara menggembor. 

"Aku Kunti Api!" Ucap si nenek setengah berteriak. Dia maju satu 

langkah. "Jangan kau berani menghina cucu muridku Pangeran 

Matahari!" 

Meski dua orang di depannya sudah marah besar Si Pelawak 

Sinting Labodong masih saja bersikap konyol dan keluarkan 

ucapan. 

"Bocah, kalau aku kawin dengan Nenek Gurumu, maka kau 

adalah cucuku juga. Jadi kau harus hormat padaku. Ayo salami aku. 

Cium tanganku! Kau harus bangga punya Kakek Guru pengamen 

beken seperti aku ini! Ha ...ha...ha!" Sambil tertawa bergelak 

Pelawak Sinting Labodong maju dua langkah dan ulurkan tangan 

kanannya. Kalau Pangeran Matahari menyambuti salamnya maka 

secara mendadak dia akan menghantam kepala pemuda itu 

dengan satu pukulan mengandung tenaga dalam tinggi. Sekali 

pukul kepala pemuda pembunuh adiknya itu pasti pecah! 

Namun maksud S.i Pelawak Sinting tidak kesampaian karena 

Pangeran Matahari tidak layani ucapannya malah saat itu 

tangannya sebelah kanan diangkat setinggi kepala. Tangan itu 

kelihatan bergetar dan memancarkan cahaya tiga warna. 

"Pangeran! Tahan serangan!" Lagi-lagi Kunti Api berteriak 

kawatir. "Bangsat tua ini tak bakal lolos dari kematian! Kita perlu 

telur itu! Jahanam tua bangka! Mana telur asli itu! Serahkan padaku 

sekarang juga!" 

Pelawak Sinting Labodong tersenyum lebar. Barisan gigi-giginya 

yang dilapisi kertas timah bungkusan rokok kelihatan berkilat. 

Melihat ini Pangeran Matahari menjadi was-was. Apa lagi 

sebelumnya dia telah melihat keadaan rambut si kakek yang dicat 

pirang. Dalam hati murid Si Muka Bangkai ini membantin. "Warna 

rambut dan giginya yang dilapisi kertas berkilat, agaknya dia 

memang bukan kakek pengamen yang aku bunuh di Jakarta dulu. 

Lalu bagaimana tampang dan sebagian besar ciri-cirinya sama 

dengan kakek itu?"


"Kutil Api..." Ucap Pelawak Sinting Labodong. Kali ini dia ganti 

mempermainkan si nenek, sengaja inenyebut nama Kunti Api 

dengan Kutil Api. "Kau sungguhan inginkan telur yang asli?" 

"Tua bangka edan! Jahanam betul! Jangan kau berani 

mempermainkan namaku! Mana telur itu! Lekas serahkan!" 

"Kekasihku, dengar...!" 

"Jahanam! Siapa bilang aku kekasihmu!" Teriak Kunti Api 

dengan mata mendelik. Dia meludah ke lantai warung lalu dua 

tangan diacungkan ke depan. Sepuluh kuku jarinya yang berwarna 

hitam berubah menjadi merah. 

Labodong maklum kalau si nenek tengah mengerahkan tenaga 

dalam, siap menghantamnya dengan pukulan sakti. Cepat kakek ini 

berkata. Suaranya sengaja dilembut-lembutkan, membujuk. 

"Tenang...tenang. Kau meminta, aku akan berikan. Dengar, aku 

punya dua telur asli. Kau mau minta satu saja atau kedua-duanya?" 

"Aku cuma minta satu! Yang asli! Buat apa dua!" Kunti Api tidak 

sadar kalau orang tengah mempermainkannya. 

"Ah, ternyata kau nenek cantik yang tidak serakah. Padahal 

tadinya aku rela memberikan dua telurku yang asli. Kau cuma 

minta satu, apa sulitnya memberikan. Tapi harap bersabar. Telur 

yang satu ini agak sulit dikeluarkan. Karena tempatnya terjepit di 

sebelah bawah sini! Hik..hik...hik!" 

Kunti Api yang masih juga belum sadar kalau dirinya tengah 

dipermainkan berdiri menunggu dengan dua tangan terpentang, 

mulut pencong dan mata mendelik. 

Sebaliknya Pangeran Matahari sudah merasa dan maklum apa 

maksud semua ucapan Labodong. Kemarahannya semakin 

berkobar. 

"Nenek Guru," ucap Pangeran Matahari. "Bangsat tua ini berlaku 

kurang ajar! Apa Nenek Guru tidak sadar kalau dia tengah 

mempermainkan kita? Lihat apa yang tengah dilakukannya!" 

Saat itu dengan tangan kanannya Pelawak Sinting Labodong 

tengah merorotkan celana blujinsnya ke bawah sementara tangan 

kiri disusupkan ke dalam celana. Melihat apa yang di lakukan 

kakek pengamen ini Kunti Api baru sadar kalau orang tengah 

mengerjainya.


"Wah, Nek. Susah diambilnya!" Pelawak Sinting Labodong 

memandang kearah Kunti Api, lalu tersenyum cengengesan dan 

kedipkan mata. "Mungkin kau sendiri yang harus mengambilnya." 

Lalu Labodong tarik celananya lebar-lebar ke depan. 

Darah di kepala Kunti Api mendidih sudah. Tak perduli lagi dia 

akan telur yang tadi dimintanya. 

"Jahanam kurang ajar! Kau sudah kelewatan! Kau layak 

mampus saat ini juga!" Dua tangan Kunti Api bergerak. Sepuluh 

kuku jarinya memancarkan cahaya merah. 

"Nenek Guru, biar aku yang menghabisi tua bangka keparat ini!" 

Pangeran Matahari mendahului gerakan Kunti Api. Tangan kanan 

siap melepaskan pukulan Gerhana Matahari. Dengan pukulan 

inilah dia dulu menghabisi Pelawak Sinting Labudung. 

Senyum di wajah Pelawak Sinting Labodong hilang. Sikap 

konyolnya ikut lenyap. Dua kaki merenggang. Tangan kiri 

menyambar payung kertas. Tangan kanan dikembangkan lalu 

diiacungkan ke arah Pangeran Matahari. Srett! Payung kertas 

terkembang lalu berputar deras. Deru angin yang keluar dari 

putaran payung membuat pakaian dan sosok Pangeran Matahan 

dan Kunti Api sesaat bergoyang-goyang. 

"Bocah jahanam! Kau membunuh adikku! Sekarang kau harus 

serahkan nyawa anjingmu padaku!" 

Pangeran Matahari sempat terkesiap mendengar ucapan 

Pelawak Sinting Labodong. Di lain kejap, setelah mengumbar tawa 

bergelak dia berkata. 

"Kalau kau memang kakak pengamen yang mati kubunuh dulu 

itu, kau harus bersyukur karena saat ini aku memberi kesempatan 

padamu untuk menyusulnya di neraka! Ha ...ha..ha! Setan tua! 

Terima kematianmu!" 

Baru saja Pangeran Matahari keluarkan ucapan, mendadak dari 

sudut warung ada suara keras, bergema seperti keluar dari dalam 

liang sumur. 

"Labodong! Kemasi balang-balangmu! Lekas pelgi dali sini. Bial

aku yang membawa Pangelan kepalat itu ke liang dajal! Aku 

memang sudah lama menunggunya di alam kematian!" 

Sesiur angin menderu. Satu bayangan samar berkelebat.



EMPAT


PUKULAN ARWAH MENCARI ARWAH



PANGERAN Matahari merasakan tangan kanannya yang siap 

memukul bergetar keras. Dia cepat mundur seraya berpaling. 

Dan jadi terkejut besar ketika melihat sosok makhluk yang 

berdiri di hadapannya. Di sampingnya Kunti Api memperhatikan 

dengan mata tak berkesip. Hatinya membatin. "Makhluk ini, 

berbentuk samar. Gerakannya secepat menebar angin dahsyat." 

"Makhluk jahanam! Bukankah kau sudah kubunuh mati...." ujar 

Pangeran Matahari. 

Sosok samar Pelawak Sinting Labudung tampak menyeringai 

lalu keluarkan suara tawa mengekeh. 

"Kau bisa membunuh tubuh kassalku. Tapi kau tidak pelnah

bisa membunuh alwahku! Alwahku datang untuk minta alwahmu!" 

Pangeran Matahari mendengus. 

"Pangeran, tunggu apa lagi!" Di sebelahnya Kunti Api berbisik. 

"Kita hantam berbarangan!" 

Dua tangan Kunti Api bergerak. 

Tangan kanan Pangeran Matahari menghantam. 

Sepuluh larik cahaya merah membersit keluar dari ujung 

sepuluh kuku jari Kunti Api. Inilah Ilmu Kuku Api yang luar biasa 

ganasnya. Sementara itu dari tangan kanan Pangeran Matahari 

melesat cahaya kuning, merah dan hitam. 

Kalau Kunti Api mengarahkan serangan pada sosok samar 

Pelawak Sinting Labudung, maka Pangeran Matahari menghantam 

ke arah Pelawak Sinting Labodong. 

Begitu larikan cahaya-cahaya kematian menderu , ganas, sosok 

samar Labudung mengepul, menebar kabut putih dingin. Dengan


kecepatan laksana kilat dia melompat ke kiri menyambar tubuh 

kakaknya lalu dibawa melesat ke atas. Berbarangan dengan itu 

tangan kanannya bergerak dua kali. 

"Wuttt!" 

"Wutt!" 

Di dalam warung Kunti Api dan Pangeran Matahari berteriak 

kaget. Laksana dilabrak topan kedua orang ini terpental 

menghantam dinding, jatuh bergulingan di luar warung. Dada 

mendenyut sakit, mulut terasa asin karena ada lelehan darah yang 

hendak membersit keluar. 

Di sebelah bawah api yang timbul dari dua pukulan sakti Kunti 

Api dan Pangeran Matahari membakar bangunan. 

"Braaakkkk!" 

Di sebelah atas, atap warung jebol. Labodong pegangi 

kepalanya. Genteng hancur beterbangan. Sosok dua saudara 

kembar itu melesat keluar warung lewat atap yang amblas. 

"Jahanam kurang ajar!" Di luar warung Pangeran Matahari 

memaki, cepat berdiri. 

"Dua bangsat itu pasti mencoba kabur! Jangan sarnpai mereka 

lolos!" Teriak Kunti Api. Keduanya melompat ke atas atap bangunan 

di sebelah warung Tenda Biru. Memandang berkeliling dua orang 

yang dikejar tak kelihatan lagi. Kunti Api lari ke kanan sepanjang 

wuwungan deretan warung. Pangeran Matahari ke jurusan kanan. 

Tetap saja mereka tidak menemukan apa-apa sementara dibawah 

orang mulai ramai hiruk pikuk berteriak-teriak dan coba 

memadamkan api yang membakar warung. 

"Sialan!" Maki Pangeran Matahari. 

"Kurang ajar!" Rutuk Kunti Api. Jari-jari tangannya kiri kanan 

bergerak-gerak mengeluarkan suara berderak. "Aku punya firasat 

buruk. Jangan-jangan telur itu sudah diberikannya pada orang lain. 

Berarti ada yang punya niat hendak membebaskan anak 

perempuan yang kau sekap dalam Stupa itu." 

"Nenek Guru, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Bertanya 

Pangeran Matahari. Dalam hati dia sudah tahu apa jawaban si 

nenek. 

"Kita ke Borobudur sekarang juga!"


"Nenek Guru tahu siapa orangnya yang punya niat menolong 

gadis bernama Dwita Tifani itu?" 

"Aku tidak bisa menduga. Tapi dibalik semua ini aku merasa ada 

satu kekuatan besar ikut campur. Pangeran, kita tidak boleh 

membuang waktu!" Si nenek mendongak ke langit. Rembulan 

hampir penuh tertutup awan tebal. Angin bertiup dingin. Si nenek 

berkelebat. Pangeran Matahari mengikuti. Sementara itu api yang 

membakar bangunan warung semakin merembet luas. 

"Kakek pengamen! Kakek pengamen! Dia ada di dalam! 

Terkurung api!" 

Seseorang berteriak. Tak ada yang berani masuk ke dalam 

warung yang tenggelam dalam kobaran api itu. Apa lagi api semakin 

berkobar luas. Di kejauhan terdengar suara sirine mobil pemadam 

kebakaran mendatangi. Hampir satu jam kemudian api baru 

berhasil dipadamkan. Orang banyak memperkirakan si kakek 

pengamen telah menemui ajal di dalam warung Tenda Biru. Namun 

ketika petugas pemadam kebakaran memeriksa, tidak ditemui 

kerangka tulang belulang manusia di dalam warung yang telah 

musnah itu. 

LABODONG pegangi keningnya yang luka dan benjut. Lalu sambil 

merapikan rambut pirangnva yang acak-acakan dia berkata. "Sial 

kau Labudung! Kau membawa aku menembus genteng. Liat, 

keningku luka, benjut. Rambutku acak-acakan!" 

Labudung diam saja. Saat itu mereka berada di pinggiran 

sebuah kali kecil. 

Labodong bicara lagi. "Pemuda bernama Pangeran Matahari 

menyebut-nyebut Batu Penyusup Batin. Binatang apa itu?" 

"Batu Penyusup Batin satu batu sakti Mandlaguna. Siapa saja 

yang memilikinya akan mampu menghilang. Waktu ngamen di Pasal 

Balu Jakalta aku belhasil menculi batu itu dali Pangelan Matahali. 

Aku belikan pada Sinto Gendeng. Kalena katanya kalau aku bisa 

mendapatkan batu dan menyelahkan padanya, dia mau kawin 

denganku. Telnyata batu yang aku dapatkan palsu. Tapi asli atau 

bukan tidak jadi ulusan. Yang jelas aku dapatkan batu dan Sinto 

Gendeng halus menepati janjinya. Tapi si nenek culas dia mengelak


dan menolak kawin. Itu sebabnya aku suluh kau mencali nenek itu 

dan mengawininya. Di alam alwah aku mendengal kabal nenek itu 

berhasil dapatkan batu yang asli. Soal kawin, kau tetap halus 

mencali nenek itu..." (Mengenai kisah Batu Penyusup Batin dapat 

dibaca dalam serial Boma Episode "Tripping") 

Labodong basahi jari-jari tangan kanannya dengan ludah, lalu 

jari yang basah itu diusapkannya ke benjut di kening dan 

kepalanya. 

"Jolok!" kata Labudung. 

Labodong menyengir. Sekali usap luka dan benjut langsung 

hilang. Labudung goleng-golengkan kepalanya yang samar berulang 

kali. 

"Labudung, mengapa kita tidak menghabisi saja dua manusia 

jahat tadi? Kita punya kesempatan membalaskan dendam." 

"Dendam kematian diliku memang halus dibalaskan. Tapi 

saatnya bukan kita yang menetapkan. Ada satu kekuatan yang 

menentukan di lual kemampuan kita. Dua olang tadi memiliki ilmu 

kesaktian lual biasa tinggi. Kalau kita memaksa, bisa 

membahayakan dili sendili..." 

"Tapi adikku, tadi kulihat tubuhmu mengeluarkan kepulan asap. 

Asap itu membentengi tubuh kita. Lalu kau melepas pukulan hebat. 

Membuat mental kedua orang itu. Aku rasa mereka pasti terluka. 

Aku tidak pernah tahu kau memiliki pukulan hebat itu. Aku yakin 

dengan pukulan itu kau bisa membunuh mereka." 

"Aku telah melakukan," sahut Labudung. "Tapi keduanya tidak 

menemui ajal. Peltanda meleka memang belum saatnya mati." 

"Pukulan apa itu, dari mana kau mendapatkan?" Labodong 

bertanya ingin tahu. 

"Pukulan Alwah Mencali Alwah." Jawab Labudung tapi tidak mau 

memberitahu dari mana dia mendapatkan pukulan sakti tersebut. 

"Labodong, waktuku hampil habis. Aku halus kembali ke alamku. 

Aku menghalap kau belusaha telus membalaskan sakit hati 

dendam kesumat kematianku." 

Labodong menggaruk kepalanya yang dicat pirang dengan Pylox. 

Lalu berkata. "Kalau kau saja yang berilmu tinggi tidak mampu 

membunuh orang-orang jahat itu, bagaimana aku yang cetek


kepandaian. Kecuali...." 

"Kecuali apa?" tanya Labudung si makhluk bersosok samar. 

Labodong menyeringai. "Kalau mudah caranya mendapatkan 

ilmu itu, apakah kau bisa memberikan ilmu Pukulan Arwah Mencari 

Arwah itu padaku?" 

"Tidak mungkin, olang semacammu tidak mungkin bisa 

dibelikan ilmu itu." 

"Kenapa? Apa yang tidak mungkin?" Labodong penasaran. Kini 

dia tidak lagi mengusap keningnya tapi ganti mengusap pusarnya 

yang bodong melembung. 

"Dulu, untuk dapatkan ilmu itu aku halus menempuh ujian 

belat." 

"Ujian belat macam apa?" Labodong tirukan ucapan cadel 

adiknya. 

"Empat puluh hali empat puluh malam aku halus belada dalam 

keadaan bugil..." 

"Ah, kalau cuma berbugil ria empat puluh hari empat puluh 

malam apa sulitnya? Paling-paling masuk angin, perut kembung 

dan kentut-kentut sedikit. Ha ...ha..ha.." 

Labudung gelengkan kepala. Lalu berucap. "Aku dalam keadaan 

bugil bukan cuma sendilian. Tapi ditemani pelempuan muda sangat 

cantik yang juga dalam keadaan bugil. Nah apa kau tahan? 

Jangankan empat puluh hali. Setengah halian saja pasti kau sudah 

tidak tahan. Pasti sudah kau gelayangi pelempuan itu." 

Labodong garuk-garuk kepala. 

"Bagaimana, kau masih inginkan ilmu Pukulan Alwah Mencali 

Alwah itu?" tanya sang adik. 

Labodong tidak bisa menjawab. Mulutnya komat kamit. 

"Tadi melihat nenek muka setan yang dandanannya celemongan 

belnama Kunti Api itu saja kau sudah panas dingin. Bagaimana 

beldekatan dengan pelempuan bugil empat puluh hali empat puluh 

malam!" 

"Aku....Ah, sudahlah!" Labodong seperti putus asa. 

Sang adik tersenyum. 

"Kau sungguhan maukan ilmu pukulan Alwah Mencali Alwah

itu?" Dia bertanya.


"Maksudmu, kau memang bisa memberikan?" Labudung 

merenung sejenak. "Aku tahu calanya memindahkan ilmu itu. Tapi 

aku tidak pasti apakah bisa dilaksanakan." 

"Mengapa tidak kita coba saja?" Labodong mendesak. 

Labudung memandang ke arah kali kecil dibawah mereka. 

"Tempatnya memang cocok. Ada kali di bawah sana. Kita masuk ke 

dalam kali itu. Tapi sebelumnya halus menanggalkan seluluh

pakaian. Lalu kita...." Labudung tidak meneruskan ucapannya. Dia 

menatap kakaknya sambil senyum-senyum. 

"Kenapa kau berhenti bicara. Kenapa tertawa?" tanya Labodong 

heran. 

"Kita masuk ke dalam kali. Telus...." Labudung diam lagi. 

"Terus?" sang kakak kembar jadi tidak sabaran. "Heran kau 

bicara sepotong-sepotong." 

"Di dalam kali, di dalam ail, kau memegang anuku, aku 

memegang anumu..." 

"Sintingmu kambuh! Jangan ngacok! Kau mempermainkan aku 

atau bagaimana?!" teriak Labodong dengan mata melotot. 

"Aku memang sinting. Tapi aku tidak bicala ngacok. Memang 

begitu calanya mengalilkan tenaga dalam, hawa sakti dan ilmu 

Pukulan Alwah Mencali Alwah itu. Sekalang telselah kamu. Belsedia

atau tidak." 

"Sial ilmu macam apa itu, Begitu caranya!" kata Labodong pula. 

"Eh, jangan-jangan kau ini sudah jadi hombre." 

"Homble? Apa itu?" 

"Aku pernah dengar orang sering nyebut kata itu. Kata mereka 

hombre sama dengan homo. Homo artinya lelaki yang cuma suka 

sama lelaki." 

"Labudung, walau aku mungkin sudah kau anggap jadi setan 

jejadian, tapi aku bukan lelaki macam begitu. Dengal, waktuku 

hampil habis. Aku halus pelgi. Bagaimana...?" 

"Sial! Demi membalaskan sakit hati dan rnembasmi orang-orang 

jahat itu aku terpaksa ikutan cara gilamu itu!" Sambil membuka pa-

kaiannya satu demi satu dan tertawa cekikikan Labodong 

melangkah turun ke arah kali. Dia menoleh ke belakang. Labudung 

tak ada lagi di tempatnya semula.


"Kurang ajar! Kemana lenyapnya makhluk sinting itu! Jangan-

jangan dia mempermainkan diriku." Ucap Labodong. "Labudung! 

Dimana kau?!" 

"Hai aku disini! Siap menunggumu!" Ada suara menggema 

menyahut dari kali. 

Labodong memutar kepala ke arah kali. Di dalam kali dilihatnya 

saudara kembarnya itu melambaikan tangan. Entah kapan dia 

melompat kesana, entah kapan pula dia menanggalkan pakaian, 

yang jelas saat itu Labodong melihat Labudung sudah tidak 

berpakaian lagi. Sambil melangkah ke kali Labodong membuka 

bajunya. Sebelum masuk ke dalam kali dia berkata. 

"Labudung, awas kalau kau macam-macam." 

"Jangan kawatil saudalaku kembal. Punyaku hanya semacam! 

Ha...ha-ha ...ha!" Sahut Labudung lalu tertawa gelak-gelak. Puas 

tertawa dia berkata. "Labodong, kau tunggu apa lagi? Ayo lakukan 

syalat yang halus kau keljakan untuk dapatkan ilmu Pukulan Alwah 

Mencali Alwah!" 

Labodong diam saja. Rupanya bimbang juga kakek satu ini. 

Mungkin juga ngeri atau jijik. 

"Ayo! Ululkan tanganmu! Pegang..." kata Labudung. 

Labodong akhirnya melangkah dekati tubuh adiknya. Perlahan-

lahan, di dalam air dia ulurkan tangan. Mendadak Labodong 

tersentak kaget. Wajah dan sosok Labudung berubah menjadi 

seorang perempuan muda cantik jelita. Tubuhnya yang tersembul di 

permukaan air kali tidak tertutup secarik kainpun, polos putih dan 

sangat menantang. 

Saking kagetnya Labodong sampai keluarkan seruan. Dia 

mundur ke belakang. Tapi di bawah air ada bagian tubuhnya yang 

maju ke depan! 

Labudung tertawa mengekeh. 

"Apa kataku! Balu godaan begini saja kau sudah tidak sanggup 

menahan dili. Ha ...ha...ha!" Kakek ini usap wajahnya. Saat itu juga 

wajah dan tubuhnya berubah ke bentuk semula. Sosok samar Si 

Pelawak Sinting yang asli. 

"Kurang ajar kau Labudung! Beraninya mempermainkan aku! 

Kuremas anumu sampai remuk!"


Labudung ganda tertawa. 

"Kalau kau lakukan itu, seumul hidup kau tidak bakal 

mendapatkan ilmu Pukulan Alwah Mencali Alwah! Bagaimana aku 

menyalulkan tenaga dalam dan hawa sakti kalau anuku kau bikin 

bonyok! Ha ...ha...ha!" 

"Kau memang sialan!" maki Labodong kembali. 

Labudung tertawa mengekeh. Dia angkat dua tangannya ke 

atas, disilangkan di belakang kepala. Mata dikedip-kedipkan, 

pinggul diogel-ogel. Sikapnya seperti perempuan merayu sekaligus 

menantang! 

***


LIMA


DWITA DIBERITAKAN DIBUNUH

DI DALAM taksi Serda Sujiwo duduk di samping pengemudi. 

Tubuhnya terasa letih. Kepala disandarkan ke bagian atas 

kursi, mata dipejamkan. Seumur hidup baru sekali ini dia 

mengurusi perkara aneh seperti yang tengah dihadapinya saat itu. 

Mulutnya terasa asam. Ingin sekali dia merokok tapi rokoknya 

sudah habis. Boma duduk di belakang, diapit Ibu Renata dan Trini. 

Tangan kirinya yang sejak tadi tergenggam diletakkan diatas paha 

kiri. Tangan itu terasa pegal karena sejak tadi terus-terusan 

digenggam. Kalau saja tak ada Trini di samping kanan Boma, ingin 

sekali Ibu Renata memegang lengan anak lelaki itu. Boma sendiri 

duduk tak bergerak, kepala disandarkan dan mata dipejamkan. 

Sepanjang perjalanan menuju Candi Borobudur tidak ada satu 

orangpun yang bicara. Sejak tadi baik Trini maupun Ibu Renata 

berulang kali memperhatikan tangan kiri Boma. Trini yang ingin 

sekali bertanya akhirnya tak tahan membuka mulut, bicara 

setengah berbisik pada Boma. 

"Bom, pengamen aneh yang tadi memberimu telur. Siapa dia 

sebenarnya?" 

Boma membuka kedua matanya. Menggerak-gerakkan lehernya 

yang juga terasa pegal. 

"Mana aku tau. Tapi aku yakin dia memang orang yang 

dimaksud orang tua kate Ki Tunggul Sekati itu." Jawab Boma. 

"Telur itu, mau diapakan?" Ibu Renata kini yang bertanya. 

"Menurut orang tua cebol bernama Ki Tunggul Sekati itu, telur ini 

harus dimasukkan ke dalam salah satu lobang Stupa paling bawah 

tempat Dwita disekap."


"Lalu?" 

"Saya nggak tau Bu. Tapi...." Boma berpikir. "Saya ingat. Ki 

Tunggul Sekati berkata. Nanti tepat jam dua belas malam akan 

terjadi sesuatu. Katanya Tuhan akan menolong Dwita." 

"Kayaknya nggak masuk akal Bom. Sebutir telur ayam bisa 

mengeluarkan Dwita dari dalam Stupa. Kamu percaya?" Tanya Trini. 

Memang siapa yang mau percaya, kata Boma dalam hati. Ingin 

dia menceritakan bagaimana pertemuannya dengan Ki Tunggul 

Sekati. Orang tua bertubuh cebol yang hafal ayat-ayat Al Qur'an, 

yang tangannya bisa panjang dan mengeluarkan hawa sakti. 

Namun Boma memilih diam saja. Telur di dalam genggaman tangan 

kirinya terasa hangat. 

"Boma, boleh saya lihat telur itu?" 

"Ya, aku juga mau liat," kata Trini. 

Boma merasa ragu. Takut telur itu jatuh atau bisa saja melesat 

karena dia mungkin melanggar pantangan. 

"Masa liat aja nggak boleh sih?" kata Trini pula. 

Perlahan-lahan Boma buka juga genggaman jari-jari tangan 

kirinya. Ibu Renata memperhatikan. Trini merunduk agar bisa 

melihat lebih dekat. 

"Kayaknya nggak ada apa-apanya. Cuma telur biasa." Kata Trini 

pula. 

"Boleh Ibu pegang?" tanya Ibu Renata, Guru Bahasa Inggris SMU 

Nusantara III itu. 

"Jangan Bu," jawab Boma. Lalu cepat jari-jarinya digenggamkan 

kembali. 

"Kok kamu sepertinya takut amat sih Bom?" ucap Trini. 

"Aku bukan cuma takut Rin. Dari tadi nahanin kencing," jawab 

Boma, tidak tertawa juga tidak senyum. Tapi kebiasaannya 

menowel hidung terus saja jalan. Sejak naik taksi Trini 

memperhatikan. Anak itu sudah lebih dari lima kali menowel 

hidungnya dengan tangan kanan. 

"Kalau nggak bisa tahan kencingnya, saya bisa minggirkan taksi. 

Berhenti sebentar," kata supir taksi. 

"Nggak usah, Mas. Jalan aja terus," jawab Boma. Kalaupun dia 

punya kesempatan untuk buang air di pinggir jalan, hal itu tidak


mungkin dilakukan. Soalnya dia tidak boleh melepaskan telur yang 

ada dalam genggaman tangan kirinya. Mana mungkin dia buang air 

kecil hanya mempergunakan satu tangan. 

Supir taksi rupanya mendengarkan semua pembicaraan tiga 

orang penumpangnya yang duduk di jok belakang. Supir ini melirik 

ke kiri, memperhatikan Serda Sujiwo sesaat lalu bertanya. 

"Pak, malam-malam begini sebetulnya ada keperluan apa ke 

Candi?" 

"Pelajar dari Jakarta, mereka punya acara. Berkemah dan 

bergadang sampai pagi." Jawab Serda Sujiwo berdusta. 

"Memangnya boleh Pak?" 

"Ada izin dari Gubernur melalui Pengelola Candi. Saya 

ditugaskan untuk mengawasi." Kembali Serda Sujiwo terpaksa 

berdusta. 

Supir taksi diam. Hanya sebentar. Sesaat kemudian dia 

membuka mulut kembali. 

"Ada cerita aneh Pak. Saya dapat dari teman-teman lewat radio 

panggil." 

"Cerita aneh bagaimana?" tanya Serda Sujiwo. Di jok belakang 

Boma, Trini dan Ibu Renata memasang telinga, mendengarkan 

pembicaraan. 

"Katanya ada anak perempuan dibunuh, mayatnya dimasukkan 

ke dalam Stupa." 

Boma menggigit bibir. Tangan kirinya yang memegang telur 

terasa bergetar. Ibu Renata letakkan tangan kanannya di atas 

kening, menutupi matanya yang dipejamkan. Ucapan supir taksi itu 

menimbulkan rasa tidak enak dalam hati Serda Sujiwo, Boma, Ibu 

Renata dan juga Trini. Anak perempuan ini merasa tengkuknya 

dingin. Dia membatin. "Kabar yang diterima supir taksi ini bisa 

keliru. Namun bisa juga saat ini Dwita telah meninggal dan berita ini 

yang kemudian berkembang. Mata Trini berkaca-kaca. Selama ini 

dia menganggap Dwita sebagai pusat kebencian dalam hidupnya. 

Kini semua kebencian itu leleh, sirna. Dalam hatinya kini selalu 

muncul doa agar Dwita tidak mati dan bisa dikeluarkan dari dalam 

Stupa dengan selamat. 

Serda Sujiwo sendiri setelah berdiam cukup lama baru


menyahuti ucapan supir taksi tadi. 

"Saya Polisi. Kalau ada kejahatan seperti itu pasti saya tahu," 

kata Serda Sujiwo pula. 

Boma merasa telur di tangan kirinya semakin hangat. Dadanya 

berdebar. Keterangan supir taksi itu bisa saja benar. Siapa tahu 

selagi mereka pergi ke Keraton orang bermantel bernama Pangeran 

Matahari itu muncul kembali dan membunuh Dwita. 

"Pak, kapan, jam berapa kabar pembunuhan itu Bapak ketahui 

dari teman-teman?" tanya Boma pada supir taksi. 

"Bom, kok kamu nanya' begitu sih!" ujar Trini sambil menyeka air 

matanya. 

"Hati gue jadi nggak enak, Rin...." 

"Kalau nggak salah ingat sekitar jam dua tadi siang Mas," jawab 

supir taksi. 

Boma diam. Tapi hatinya lega kini. Jam dua siang dia dan yang 

lain-lain masih berada di kawasan Candi Borobudur. Dwita masih 

ada dalam Stupa dalam keadaan pingsan. Tidak mati, tidak ada 

yang membunuh. 

Sambil mengemudi supir taksi kembali bicara. 

"Sore tadi ada dua rombongan orang televisi dari Jakarta naik ke 

Candi Borobudur." 

"Dari mana taunya?" tanya Serda Sujiwo. 

"Satu rombongan diantar pengemudi taksi teman saya." 

"Gila, beritanya udah kesebar kemana-mana Bom," bisik Trini. 

"Saya merasa bersalah. Seharusnya kejadian ini sudah 

diberitahukan pada orang tua Dwita..." ucap Ibu Renata perlahan. 

Lalu matanya dipejamkan. Jauh di lubuk hatinya Guru Bahasa 

Inggris ini mulai berdoa. Entah sadar entah tidak bahunya 

disandarkan ke bahu anak lelaki di sebelahnya. Begitu dekatnya 

hingga Boma masih bisa mencium harumnya sisa-sisa parfum di 

leher dan kerah baju Ibu Renata. 

SETELAH menerima pembayaran dari Ibu Renata, supir taksi 

keluar dari mobil. Memandang berkeliling dia melihat banyak 

kendaraan di halaman parkir. Dua diantaranya mobil van


berlambang televisi swasta dan sebuah ambulans. Ketika dia 

memperhatikan ke arah candi, di salah satu sisi Candi Borobudur 

sebelah atas dia melihat ada cahaya terang. Lalu tampak bayangan 

banyak orang di sekitar cahaya itu. 

"Ada sesuatu, pasti ada sesuatu. Teman-teman tidak dusta. 

Polisi tadi yang bohong. Teman-teman mungkin sudah di sana 

semua. Soalnya banyak taksi kosong di halaman parkir. Pada 

kemana semua supirnya kalau bukan ke candi?" 

Supir taksi itu mengunci mobilnya. Baru saja dia hendak 

melangkah tiba-tiba satu tangan besar, dingin dan berbulu 

memegang lengannya, membuat dia tergagap kaget dan berpaling. 

Orang yang memegang bahunya itu bertubuh gemuk, memakai 

topi pet terbalik dan mengenakan jaket kulit. Menyeringai lalu 

bertanya. 

"Mas mau ke Candi?" 

Supir taksi anggukkan kepala. 

"Ayo barengan." 

"Bapak dari mana?" 

"Jakarta." 

***


ENAM


AYAH DWITA MARAH BERAT


BANYAKNYA orang yang ingin naik ke Candi membuat Polisi 

yang bertugas melakukan penjagaan secara ketat. Tidak 

semua orang diperkenankan naik ke tempat kejadian yaitu 

bagian Candi dimana dwita tersekap dalam Stupa. 

Di halaman Candi seorang anggota Polisi berpangkat Prajurit 

Satu menemui Serda Sujiwo. Serda ini langsung menegur. 

"Diluaran tersiar kabar anak perempuan di dalam Stupa 

dikatakan mati. Benar?" 

"Tidak Pak. Anak itu masih pingsan. Cuma keadaannya memang 

tambah mengawatirkan. Masih tidak bergerak, tidak bersuara." 

Boma, Ibu Renata dan Trini menjadi lega mendengar keterangan 

itu. 

"Siapa saja yang ada di atas?" Tanya Serda Sujiwo. 

"Petugas sudah ditambah. Seluruhnya berkekuatan sekitar dua 

puluh orang. Tim medis dari Rumah Sakit Sarjito sudah datang. 

Juga orang-orang dari dua stasiun televisi. Beberapa wartawan...." 

"Hubungi Kopral Pirngadi. Saya butuh HT. Kamu punya rokok?" 

"Maaf Pak, saya sudah lama berhenti merokok." 

Serda Sujiwo basahi bibirnya yang kering dan terasa asam 

dengan ujung lidah. 

"Pak, ada satu hal lagi perlu saya lapor." Ucap Prajurit Satu 

Polisi. 

“Apa?” 

Anggota Polisi itu melangkah lebih mendekati Serda Sujiwo, lalu 

bicara agak berbisik. Serda Sujiwo sesaat berpaling pada Trini. 

Pandangan ini membuat anak perempuan itu merasa tidak enak.


Hal ini juga dirasakan Boma dan Ibu Renata. Pasti ada sesuatu. 

Mengapa seperti dirahasiakan. 

"Kau dengar apa yang dibisikin Polisi itu?" Tanya Trini pada 

Boma. Boma gelengkan kepala. 

Serda Sujiwo tampak mengangguk beberapa kali. 

Anggota Polisi di hadapannya memberi hormat lalu tinggalkan 

tempat itu, mendahului naik ke atas Candi Borobudur. 

DI HALAMAN Candi Borobudur Boma melihat banyak sekali 

orang. Mereka berusaha naik tapi empat orang Polisi menjaga di 

kaki tangga. Ketika melihat Serda Sujiwo muncul bersama Boma, 

Ibu Renata dart Trini, para petugas segera memberi jalan. Serda 

Sujiwo menaiki tangga di sebelah depan, menyusul Trini, lalu Ibu 

Renata, Boma dan paling belakang salah seorang dari empat Polisi 

tadi. 

"Jam berapa sekarang Bu?" tanya Boma pada Ibu Renata. 

Dibawah cahaya suram bulan yang tertutup awan tipis Ibu 

Renata masih bisa melihat jarum-jarum kecil arloji di lengan kirinya. 

"Jam sebelas lewat seperempat," kata Guru Bahasa Inggris itu 

memberitahu. Dia memperhatikan Boma menaiki tangga dengan 

tangan kiri masih terus menggenggam telur dan tangan kanan 

berpegangan pada besi di sisi kanan tangga candi. 

"Hati-hati telurnya," bisik Ibu Renata. 

"Ya Bu," jawab Boma. "Ibu capek?" 

Ibu Renata tersenyum. Tidak menjawab dan meneruskan 

melangkah menaiki tangga mengikuti Trini. Di lubuk hatinya ada 

rasa bahagia. Dalam keadaan seperti itu Boma masih 

memperhatikan dirinya. 

TIGA buah lampu patromak menerangi kawasan Candi pada 

jajaran Stupa yang di dalamnya ada Arca Amoghasidi duduk dalam 

sikap Abayamudra. Walau terang namun keadaan di tempat ini 

terasa sangat mencekam. Sepuluh orang anggota Polisi berdiri 

dengan sikap siaga, mengelilingi para pelajar SMU Nusantara III


yang duduk di lantai candi seputar Stupa di dalam mana Dwita 

Tifani berada. Keadaan anak perempuan itu masih seperti 

sebelumnya. Sebagian tubuhnya terbaring tak bergerak di atas 

pangkuan Arca Amoghasidi, sebagian lain menyentuh lantai stupa. 

Lewat cahaya lampu patromak yang masuk melalui celah-celah 

lobang stupa kelihatan wajah Dwita yang semakin pucat. Para 

pelajar SMU Nusantara III termasuk Pak Sanyoto Guru Olahraga, 

sengaja duduk seputar stupa untuk menghalangi agar Dwita tidak 

tersentuh hembusan angin yang semakin malam semakin kencang 

dan bertambah dingin. 

Selain para pelajar SMU Nusantara III dan petugas Kepolisian, di 

tempat itu juga siaga seorang dokter dan petugas medis Rumah 

Sakit Dr. Sarjito. Lalu ada beberapa kelompok kru dua stasiun 

televisi swasta, petugas dan karyawan Kantor Pengelola Pusat 

Wisata Candi Borobudur. Sore tadi petugas Kepolisian telah 

memaksa turun puluhan orang yang ingin menyaksikan kejadian 

aneh itu. Kini mereka bergerombol di kaki candi, di dekat tangga 

sekitar dua arca Singa. Mencari kesempatan untuk bisa naik ke 

atas candi. 

Ketika Serda Sujiwo, Boma dan Ibu Renata serta Trini muncul, 

anak-anak SMU Nusantara III segera menghambur mendatangi 

mereka. Wartawan dan reporter dua stasiun televisi swasta ikut 

bergerak. Camera televisi dan lampu sorot diarahkan pada Boma, 

Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini. Beberapa wartawan mulai sibuk 

menanyai Boma termasuk seorang kru televisi yang menyorongkan 

mikropon. 

Serda Sujiwo dibantu oleh beberapa orang anak buahnya cepat 

mengambil antisipasi. 

"Saudara-saudara wartawan. Mohon maaf. Harap tidak 

mewawancarai dulu." Serda Sujiwo mengucapkan kata-kata itu 

berulang kali. Masih saja ada wartawan yang coba menerobos. 

"Saudara Boma, apa benar Saudara ke Keraton Yogya menemui 

seorang Abdi Dalem bernama Ki Tunggul Sekati?" 

"Saudara Boma, siapa Pangeran Matahari?" 

"Maaf, saya...." Boma agak gugup. Selain itu dia harus 

mengamankan telur yang ada dalam genggaman tangan kirinya dari


wartawan yang berdesakan coba mendekati dan menanyainya. Kilat 

lampu tustel menyambar beberapa kali menyilaukan mata. 

"Rekan-rekan wartawan. Saya mohon sekali lagi. Nanti pasti 

akan diberikan kesempatan tanya jawab. Mohon jangan sekarang." 

Kembali Serda Sujiwo keluarkan ucapan. Lalu dia memberi isyarat 

pada anak buahnya agar melindungi Boma. Empat orang Polisi 

segera mengelilingi anak lelaki itu. 

Tidak berhasil menanyai Boma, para wartawan kini mendekati 

Ibu Renata. 

"Ibu...Anda Guru Bahasa Inggris SMU Nusantara III?" 

"Benar...." 

"Ibu bisa menerangkan bagaimana..." 

"Saya...maaf..." 

Tiga orang Polisi segera pula mengamankan Ibu Renata dan 

Trini. Namun para petugas itu tidak bisa menahan gelombang para 

pelajar SMU Nusantara III yang mendatangi secara nekad. "Bom! Lu 

jadi ke Keraton, bener?!" Tanya Ronny Celepuk. 

"Ketemu orang tua itu Bom?" Gita Parwati mendesakkan 

tubuhnya yang gemuk diantara kawan-kawannya. "Gimana, Dwita 

bisa ditolong?" 

Vino muncul tepat di depan Boma. Dia hendak bertanya tapi tak 

jadi. Anak ini perhatikan tangan kiri Boma. "Kamu megang apaan 

Born?" Firman, Andi dan Rio ikut memperhatikan. 

"Teman-teman. Nanti aja kita bicara. Gua musti ngelakuin 

sesuatu..." Ucap Boma. "Tolong, kasi jalan." 

"Bom, tampang lu pucet amat," kata Allan. 

"Anak-anak, tolong jangan tanya dulu. Jangan mendesak. Beri 

jalan buat Boma." Serda Sujiwo berseru. 

Tak dapat mendekati Boma, Sulastri mendatangi Trini, memeluk 

temannya ini. Selama ini antara mereka selalu tidak akur dan 

sering bertengkar malah pernah hampir jambak-jambakan. Tapi 

saat itu segala perseteruan di masa lalu kini cair dan terlupakan. 

"Gimana Rin?" tanya Sulastri. 

"Boma ketemu sama orang di Keraton itu. Dia dititipin telor. 

Sekarang kita semua berdoa saja pada Tuhan. Mudah-mudahan 

Dwita bisa ditolong."


Sulastri yang dijuluki Si Centil itu ingin bertanya lagi. Mengenai 

telur yang dikatakan Trini. Tapi saat itu ada sesuatu yang lebih 

penting harus disampaikannya pada Trini. 

"Rin, bokap lu sama bokapnya Dwita ada di sini," bisik Sulastri 

lagi. 

Trini terkejut setengah mati. 

"Lu jangan becanda." Trini berucap tidak percaya. 

"Liat aja sendiri," sahut Sulastri. 

"Mereka dimana?" 

"Dekat stupa." 

Sementara itu Boma yang dikerubungi teman-temannya 

berusaha mencari jalan. 

"Teman-teman, tolong. Kasi jalan. Aku mau liat Dwita." Boma 

berusaha melangkah ke arah Stupa. 

Empat orang anggota Polisi mendampingi Boma. Seorang 

diantara mereka memberikan sebuah Handy Talky pada Serda 

Sujiwo. Boma kini melangkah di antara para petugas Polisi yang 

melindunginya hingga akhirnya sampai di depan stupa. Namun 

langkahnya mendekati stupa lebih dekat terhenti. 

Dua orang lelaki berdiri di depan Boma. Yang satu, yang 

mengenakan jaket hitam segera dikenali Boma. Dia pernah melihat 

orang ini. Waktu terjadi musibah di Gunung Gede. Dia adalah 

Letnan Kolonel Polisi ayah Trini Damayanti. Boma tidak mengenal 

lelaki berswiter wol yang berdiri di sebelah ayah Trini. Namun dari 

cara memandang orang ini ke arahnya, dengan mata menyorot 

menyala serta raut wajah seolah seekor singa lapar yang hendak 

menerkam dirinya, Boma bisa menduga siapa adanya orang ini. 

"Bapaknya Dwita, pasti Bapaknya Dwita." 

Selagi Boma berkata dalam hati seperti itu, tiba-tiba lelaki 

berswiter wol mendekati, langsung membentak. 

"Kamu Boma?!" 

Boma kaget. Tidak menyangka bakal dibentak begitu rupa. Telur 

di tangan kirinya hampir terlepas jatuh. Empat orang Polisi yang 

mendampingi Boma tegak terdiam. Teman-teman Boma yang ada di 

sekitar situ juga terdiam tapi hampir semua unjukkan wajah tidak 

senang.


"Ya, Pak. Saya Boma." Jawab Boma sambil menatap pada orang 

yang barusan membentaknya. 

Dengan suara lebih keras menggeledek, sambil tangan kirinya 

menunjuk ke arah stupa di dalam mana Dwita tersekap, orang itu 

kembali membentak. 

"Kamu bikin apa sama anak saya Dwita? Kamu bikin apa?!" 

"Saya...saya..." Boma tak bisa menjawab. Wajahnya kelihatan 

pucat. Tangan kanannya ingin mengusap hidungnya tapi kali ini tak 

mampu. Boma shock berat. 

Saat itu Letkol Kusumo Atmojo ayah Trini membisikkan sesuatu 

berusaha menenangkan ayah Dwita. Serda Sujiwo datang 

menghampiri, memegang lengan lelaki itu. Tapi ayah Dwita masih 

unjukkan sikap marahnya yang tidak terkendalikan. Sambil 

menuding Boma dia berteriak. "Kamu mencelakai anak saya! 

Dimana-mana kamu membuat celaka orang..." 

"Pak, saya tidak mencelakai...." 

"Diam kamu!" teriak ayah Dwita. "Pak Sanyoto juga bilang begitu. 

Kalau ada pelajar SMU Nusantara III yang celaka, pasti kamu 

biangnya! Kalau anak saya mati, saya tuntut kamu!" 

Boma diam tertunduk. 

"Kok aku yang disalain. Masa' sih Pak Sanyoto bilang begitu...?" 

Boma berucap dalam hati. Sesaat dia melirik ke tangan kirinya. 

Telur yang ada dalam genggamannya saat itu terasa semakin 

hangat. Boma memandang pada teman-temannya. Mereka semua 

juga tengah memandang teman mereka yang barusan dibentak itu. 

Boma usap hidungnya dua kali. Dia kemudian melihat semua 

teman-temannya menoleh ke arah kiri. Ke arah Pak Sanyoto yang 

berdiri setengah bersandar ke sebuah stupa. Dua tangan 

dimasukkan dalam saku celana. Kepala ditundukkan dan beberapa 

kali kelihatan dia mengusap wajahnya. 

"Die lagi yang jadi biang kerok,” bisik Vino pada Gita. 

"Nggak ngerti aku sama orang satu itu," Sulastri menyambung. 

"Kok bencinya sama Boma nggak habis-habisnya." 

"Lu tau dong," menyahuti si gendut Gita Parwati. "Semua gara-

gara Ibu Renata nggak mau ngeladenin dia. Cemburu buta sama 

Boma. Dasar si Umar. Nggak sadar kepalanya udah tambah botak."


Umar adalah julukan yang diberikan anak-anak SMA Nusantara Tiga 

pada Pak Sanyoto yang merupakan singkatan Untung Masih Ada 

Rambut.

"Bokapnya Dwita, mau nuntut segala! Ajie Busyet!" sungut Vino. 

"Bukannya nyari jalan gimana supaya Dwita bisa ditolong, eh malah 

maki-maki si Boma nggak karuan!" 

"Lu liat nggak tampang bokapnya Dwita?" Allan nimbrung bicara. 

"Kayak Bi Moli. Bibir Monyong Lima Senti." 

Sulastri dan Gita Parwati menekap mulut menahan tawa. 

"Nggak nyangka kamu Lan. Bisa juga ngatain orang," kata Trini. 

"Berdoa juga gue liat lagak bokapnya si Dwita," kata Rio. 

"Untung gendengnya si Boma nggak keluar," menimpali Andi. 

"Gue sumpain biar dicekek setan Candi!" kata Firman. 

"Gila lu!" kata Sulastri sambil nonjok punggung Firman hingga 

anak lelaki kecil ceking ini sempoyongan. "Di tempat begini jangan 

bicara sembarangan. Nanti mulut lu bisa mencong, tau. Apa lagi 

kalau kedengeran bokapnya Dwita kamu yang gantian dimaki. 

Dituntut tau!" 

"Tau!" jawab Firman sambil nyengir. Dia meledek dengan 

tutupkan tangan kirinya ke mulut dan tangan kanan memencet 

hidung. 

"Brengsek lu kalau dikasi tau. Kalau sudah kesambet baru 

nyahok!" kata Sulastri pula. 

Tiba-tiba ada seseorang naik ke atas lantai candi tempat ayah 

Dwita berdiri. Ronny Celepuk! 

***


TUJUH


BOMA MEMASUKKAN TELUR KE DALAM LOBANG 

STUPA


ERLAN Sujatmiko ayah Dwita memandang melotot pada anak 

lelaki berambut gondrong berhidung tinggi bengkok bermata 

belok dan beralis tebal seperti burung hantu itu. 

"Pak, jangan marah-marah dulu dong. Bukan Boma yang 

mencelakai Dwita. Ada orang lain punya pekerjaan jahat. Harap 

sabar Pak. Kami semua tengah berusaha menolong Dwita." 

"Kamu siapa?!" semprot ayah Dwita dengan mata makin melotot 

hingga tak kalah beloknya dengan mata Ronny Celepuk. 

"Saya Ronny, teman Boma. Juga teman Dwita," jawab Ronny 

Celepuk masih kalem. 

"Saya tidak ada urusan sama kamu! Pergi sana!" 

Tunggu dulu, Pak," ujar Ronny Celepuk mulai jengkel. "Bapak 

baru datang marah-marah. Boma satu harian pergi ke Jogja untuk 

mencari pertolongan..." 

"Ke Jogya? Anak saya ada di sini! Ngapain dia ke Jogya?!" 

"Ini bukan urusan sembarangan Pak. Ada kekuatan gaib di balik 

semua kejadian ini." 

"Kekuatan gaib?" Erlan Sujatmiko menyeringai. Buruk sekali 

seringainya. "Kekuatan gaib apa?! Jangan mencari-cari dalih! Saya 

tidak percaya segala tahayul!" 

"Ini bukan tahayul Pak." Ronny masih menyahuti. "Bapak liat 

sendiri! Menurut logika bagaimana mungkin anak Bapak bisa 

masuk dalam stupa? Atau mungkin Bapak punya kemampuan 

mengeluarkan anak Bapak? Silahkan!" 

Rahang Erlan Sujatmiko menggembung. Mukanya yang 

keringatan kelihatan kelam memerah.


"Pergi kamu dari hadapan saya. Atau saya, pukul!" Ancam 

diplomat senior itu. 

"Kalau Bapak mukul saya, saya juga bisa mukul Bapak! Coba 

aja!" Ronny Celepuk membalas ancaman orang dengan sikap 

menantang. 

Ayah Dwita jadi kalap. Dengan tinju terkepal dia melompat 

hendak menerkam lalu meninju Ronny. Tapi ayah Trini cepat 

merangkulnya. 

"Ron, kesini Ron," Boma memanggil. 

Ronny Celepuk masih tidak beranjak dari tempatnya. Kusumo 

Atmojo ayah Trini member isyarat dengan goyangan kepala agar 

Ronny tinggalkan tempat itu. 

Melihat isyarat ini Ronny akhirnya memutar tubuh, melangkah 

ke arah Boma. Sampai di dekat Boma dan teman-temannya dia 

keluarkan ucapan. "Katanya diplomat senior. Kok galak begitu, 

nggak ada sopan santunnya. Kita-kita mau nolongin anaknya malah 

dicaci maki!" 

"Belon tau si Ronny dia!" ucap Vino. "Celepuk dijabanin melotot. 

Kalah belok die!" 

"Teman-teman, biarin aja. Bokapnya Dwita lagi bingung." kata 

Boma coba membujuk kawan-kawannya. 

"Bingung sih boleh sejuta bingung!" menyahuti Si Centil Sulastri. 

Diplomat kok brengsek begitu. Enak aja dia nuduh kamu nyelakain 

Dwita. Justru kamu yang kalang kabut setengah mati mau nolongin 

Dwita! Ngeliat nggak? Kalau diplomat kita semua seperti dia, weh! 

Pantesan aja bangsa kita kalah suara melulu dimana-mana. Ngaku 

diplomat, mental kucing burik." Yang bicara si Centil Sulastri. 

Ayah Trini akhirnya berhasil membujuk dan menenangkan Erlan 

Sujatmiko. Lelaki ini akhirnya melangkah ke arah stupa di dalam 

mana anak perempuannya berada, berlutut sambil dua tangannya 

memegangi stupa. Dia kelihatan letih sekali. 

"Dwita.... Dwita...." Berkali-kali lelaki itu mengeluarkan ucapan, 

memanggil anaknya. Suaranya tersendat dalam isakan tangis yang 

ditahan. 

Serda Sujiwo mendekati ayah Trini. Sebelumnya waktu tugas ke 

Jakarta dia pernah menemui Pamen ini. Dia memberi hormat


terlebih dulu pada Letnan Kolonel Kusumo Atmojo lalu menyalami. 

Keduanya bicara beberapa lama. Ayah Trini memperhatikan 

arlojinya lalu menganggukkan kepala. Serda Sujiwo kemudian 

mendekati Boma. Diusapnya punggung anak lelaki ini lalu berkata. 

"Tenang saja Dik Boma. Jangan terpengaruh ucapan orang tadi. 

Waktu kita tidak banyak. Ingat ucapan Ki Tunggul Sekati. Sekarang 

sudah jam setengah dua belas lewat sepuluh. Saya rasa sudah 

saatnya Dik Boma memasukkan telur itu ke dalam lobang stupa. 

Jangan lupa baca Bismillah, mohon pada Allah." 

Boma mengangguk. Tengkuknya terasa dingin dan lututnya 

mendadak goyah. Dadanya berdebar. Dia mengangguk sekali lagi 

tapi belum beranjak dari tempatnya berdiri. 

Ibu Renata mendekat. Dipegangnya bahu kiri Boma seraya 

berbisik. 

"Tabah Bom. Kuatkan hatimu. Jangan ragu melakukan apa yang 

harus kau lakukan. Kita tahu Tuhan Maha Kuasa. Segala sesuatu 

akan terjadi atas kehendakNya. Tapi tetap kamu harus melakukan 

sesuatu. Sesuai pesan orang tua di Keraton , itu." 

Boma palingkan kepala. Wajah Ibu Renata dekat sekali di 

sampingnya. Dipandanginya wajah itu beberapa lama. Dan wajah 

Ibu Renata dilihatnya cantik sekali saat itu. Anak lelaki ini 

tersenyum. Ibu Renata balas tersenyum. Gita Parwati melirik ke 

arah Trini. Boma menggerakkan kaki kanan, mulai melangkah 

mendekati stupa. 

Di bagian lain dari stupa ayah Dwita memperhatikan gerak-gerik 

Boma dengan pandangan mata masih menyorot sementara Letkol 

Kusumo Atmojo dengan sepasang matanya berusaha mencari-cari 

anak perempuannya di antara orang banyak. Namun seperti semua 

orang yang ada di tempat itu perhatiannya kemudian lebih 

ditujukan pada Boma. Tadi secara singkat Serda Sujiwo telah mene-

rangkan tentang kepergiannya ke Keraton dan kembali ke candi 

membawa sebutir telur ayam putih yang menurut orang tua yang 

ditemui dengan kuasa Allah mudah-mudahan bisa menolong 

menyelamatkan Dwita. 

"Rin, kayaknya tadi bokap lu nyariin kamu. Samperin sana." Ucap 

Rio pada Trini.


"Nanti aja, aku mau liat apa yang dilakukan Boma." Jawab Trini 

acuh. 

Saat itu Boma sudah sampai di depan stupa tempat Dwita 

disekap. Dia berlutut, mengintip lewat lubang batu stupa. Hatinya 

terenyuh dan anak ini seperti mau menangis melihat keadaan 

Dwita. Dia ingat pada ucapan supir taksi tadi. Dwita dibunuh. Dia 

ingat pada bentakan-bentakan ayah Dwita. Dia yang mencelakai 

anak perempuan itu. 

"Dwita, jangan mati dulu. Aku dan teman-teman masih berusaha 

menolongmu. Tuhan juga akan menolongmu Dwita. Kamu harus 

hidup Dwita. Harus hidup. Untuk membuktikan aku dan teman-

teman tidak salah. Tidak mencelakaimu. Kamu anak baik. Tidak 

ada orang yang mau berbuat jahat padamu. Tuhan tolong saya, 

tolong Dwita." 

Ucapan Boma lirih perlahan tapi masih sempat terdengar oleh 

beberapa teman yang jongkok di sekitarnya termasuk Ibu Renata. 

Gita, Trini dan Sulastri tidak bisa menahan diri. Perasaan mereka 

jadi terenyuh. Air mata berlelehan di pipi ketiga anak perempuan 

itu. Ibu Renata sendiri kelihatan berkaca-kaca sepasang matanya. 

Serda Sujiwo kembali memegang punggung Boma dan berbisik. 

"Dik Boma, lakukan sekarang." 

Tangan kiri Boma mendadak bergetar. Anak ini tidak berani 

ulurkan tangan, memasukkan telur ke dalam lobang stupa. Takut 

telur itu terjatuh. Boma pejamkan mata. Ucapan Ibu Renata 

terngiang di telinganya. "Tabah Bom. Kuatkan hatimu. Jangan ragu 

melakukan apa yang harus kau lakukan. Kita tahu Tuhan Maha 

Kuasa. Segala sesuatu akan terjadi atas kehendakNya. Tapi tetap 

kamu harus melakukan sesuatu. Sesuai pesan orang tua di 

Keraton itu." 

Boma pejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam. 

Suasana di tempat itu sunyi mencekam. Di langit tak kelihatan 

bintang. Bulan purnama yang belum penuh sedikit demi sedikit 

mulai tertutup saputan awan hitam. Lampu-lampu sorot mendadak 

menyala. Dua kamera televisi diarahkan ke Boma. Beberapa kali 

lampu kilat kamera wartawan berkilauan. Serda Sujiwo dan anak 

buahnya tampak bingung. Apakah mereka harus mencegah semua


itu atau terpaksa diam membiarkan. Sementara semua mata 

memperhatikan Boma tidak mengedip.Banyak yang mengusap 

tengkuk masing-masing karena ada rasa dingin yang aneh kalau 

tidak mau dikatakan takut. 

"Tuhan tolong saya, tolong Dwita." Dalam keadaan masih 

berlutut untuk kesekian kalinya Boma berdoa memohon dalam hati. 

Lalu buka kedua matanya kembali. Getaran di tangan kirinya 

lenyap. Tangan itu perlahan-lahan diulurkan ke arah lobang stupa 

paling bawah. "Bismillah," Boma mengucap lalu dengan sangat hati-

hati Boma meletakkan telur ayam putih yang sekian lama 

digenggamnya ke dalam lobang stupa. Tepat di arah kepala Dwita 

Tifani yang terbaring di pangkuan Arca Amoghasidi. 

Boma mendadak merasa ada satu kekuatan hawa sejuk 

menuntun gerakan tangannya meletakkan telur ke dalam lobang 

stupa. Dia juga seperti rnendengar ada suara "klek" ketika telur 

ayam putih bersentuhan dengan batu lobang stupa. Di dalam 

lobang, telur ayam putih itu tidak bergeming, seolah menempel 

lengket ke batu stupa. 

Gita Parwati memegang lengan Trini. "Telor ayam, itu yang dari 

tadi dipegangin Boma. Dapet dari mana dia?" 

"Dari orang tua di Keraton," jawab Sulastri vang sebelumnya 

telah diberitahu Trini. 

"Kok ditaroh dalam lobang stupa?" ucap Rio. 

"Aku takut..." bisik si Centil Sulastri. 

"Pelukin aja Vino situ," celetuk Trini. 

Untuk beberapa lamanya Boma masih berlutut di depan stupa. 

Memperhatikan telur ayam putih di dalam lobang, melirik ke dalam 

stupa untuk melihat Dwita. Hatinya lega karena kini amanat untuk 

meletakkan telur ayam putih di dalam lobang stupa telah 

dilaksanakannya. Namun hanya sesaat karena kemudian anak 

lelaki ini diselimuti rasa gelisah. 

"Apa yang akan terjadi...." Membatin Boma. Lalu dia ingat 

sesuatu. "Belum tengah malam. Belum tepat jam dua belas malam. 

Menurut Ki Tunggul Sekati...." 

"Pak Kusumo," ayah Dwita Tifani yang sejak tadi berlutut 

memperhatikan Boma dari samping stupa bangkit berdiri.


Didekatinya ayah Trini. Walau dia berusaha menekan nada 

suaranya namun beberapa orang masih sempat mendengar apa 

yang diucapkan ayah Dwita ini. 

"Pak Kusumo, perbuatan sirik apa yang dilakukan anak itu? Mau 

diapakan anak saya?!" 

Letkol Kusumo Atmojo, ayah Trini, cepat mendekati Erlan 

Sujatmiko, merangkul bahu lelaki ini. Sambil berusaha 

membawanya agak menjauhi stupa Kusumo Atmojo berkata. 

"Pak Erlan, tidak usah kawatir. Nanti saya terangkan..." 

"Saya tidak mengerti. Saya benar-benar tidak mengerti. 

"Nanti saya terangkan. Pak Erlan harap tenang. Berdoa saja agar 

anak Bapak bisa diselamatkan." 

"Siapa yang menyelamatkan? Telur itu?! Anak itu?!" 

"Erlan Sujatmiko gelengkan kepala berulang kali. 

"Sudahlah, ayo kita duduk di sebelah sana. Bapak letih, saya 

juga capek." 

Sementara itu Boma masih berlutut sambil memegangi batu 

stupa. Lewat lobang-lobang stupa matanya tak putus-putus 

menatap wajah Dwita. 

"Dwita," ucap Boma perlahan. "Kalau semua ini nggak bisa 

nyelamatin kamu, aku bakalan nekad. Aku mau mati demi kamu..." 

Serda Sujiwo yang berdiri di samping Boma, sesaat tertegun 

mendengar kata-kata anak lelaki itu. Dipegangnya bahu Boma lalu 

berkata. 

"Dik Boma, bangun...." 

"Jam berapa sekarang Pak?" tanya Boma tanpa mengalihkan 

matanya dari memandang Dwita. 

Serda Sujiwo melirik ke pergelangan tangan kanannya. 

"Dua belas kurang sepuluh. Seperti kata Ki Tunggul Sekati, 

sesuatu akan terjadi tepat jam dua belas. Ayo...." Serda Sujiwo 

memberitahu lalu menolong Boma bangkit berdiri. Anak ini 

kemudian dibawanya menjauhi stupa. Kepada empat orang anak 

buahnya yang ada di dekat stupa Serda Sujiwo memberi isyarat 

agar mundur. Kepada para pelajar SMU Nusantara III dan semua 

orang yang berdiri di sekitar stupa dengan isyarat tangan juga 

dimintanya agar mundur lalu duduk di lantai candi, tidak ada yang


berdiri. 

Untuk beberapa lama lampu-lampu sorot masih menyala. Juru 

kamera dua stasiun televisi masih membidikkan kamera mereka ke 

arah telur ayam putih di dalam lobang stupa, lalu ke arah Boma 

yang kini duduk di lantai stupa di kelilingi teman-temannya. Lampu 

kilat tustel berkilauan berulang kali. 

"Bom, telor yang kamu masukin ke dalam lobang stupa itu buat 

apaan?" tanya Ronny Celepuk. 

"Aku nggak bisa ngasi tau apa-apa. Kita nunggu sampai jam dua 

belas tepat..." 

"Memangnya ada apa jam dua belas?" tanya Sulastri. 

"Katanya saat itu Dwita akan diselamatkan dari dalam stupa." 

"Siapa yang nyelamatin?" tanya Vino. 

Boma menowel hidungnya. "Liat aja nanti. Aku juga nggak ngerti. 

Kalau dipikir semua nggak masuk akal. Aku cuma minta tolong 

sama Tuhan. Teman-teman juga bantu aku. Ikut berdoa agar Dwita 

bisa keluar dari dalam stupa..." 

"Git, rasanya serem amat. Aku kok jadi tambah takut..." bisik 

Sulastri pada Gita Parwati. 

Si gendut Gita Parwati mengusap wajahnya yang basah oleh 

keringat padahal udara dan angin bertiup dingin. "Gua juga ada 

perasaan ngeri..." kata anak perempuan ini sambil memegang 

tangan Sulastri yang terasa dingin. 

"Gua nggak bisa ngebayangin, apa yang bakal kejadian jam dua 

belas nanti," kata Rio. 

Vino melirik ke arloji di tangan kirinya. Jam 11.48. 

"Ron," panggil Boma. "Kamu sudah dapat dongkrak mobil yang 

aku minta?" 

"Ada tiga Bom. Nyewa sama supir-supir," menerangkan Ronny. 

"Kalau usaha aneh ini nggak bisa ngeluarin Dwita dari dalam 

stupa, aku nekad ngedobrak stupa dengan dongkrak itu. Masa sih 

nggak jebol." 

Tiba-tiba satu sosok besar bergerak di antara para pelajar SMU 

Nusantara III. Beberapa orang anak mengomel karena tersenggol. 

"Maaf, minta jalan. Dikit aja.... Maaf." Sosok besar keluarkan 

ucapan, melangkah terbungkuk-bungkuk sambil luruskan tangan


kanan ke bawah. 

Sosok ini kemudian duduk dekat Trini yang berada di sebelah 

kanan Ronny. 

"Mbak Trini masih ingat saya?" 

Suara besar dan parau menegur Trini Damayanti. 

Anak perempuan itu palingkan kepala. Satu wajah bulat besar, 

memakai topi pet terbalik, tersenyum padanya. 

"Eh, sampean toh! Mimpi kali"' ucap Trini. "Kok bisa ada di sini? 

Tau dari mana?" 

"Tuyul Bengkak. Wartaaaawwwwwaaan, tau. Yang namanya 

wartawan musti tahu sumber berita hebat dan musti bergerak 

cepat. Nggak usah heran dong. 

***


DELAPAN


CEWEK CAKEP TAK DIKENAL TELUR AYAM 

PANCARKAN CAHAYA BIRU


PRA pelajar yang mengelilingi Boma sesaat memperhatikan 

lelaki gendut berjaket kulit yang duduk di samping Trini 

membuka topi petnya. Dia mengusap kepalanya yang botak 

basah oleh keringat lalu memakai topi itu kembali. Tustel 

yang tergantung di leher diletakkan di pangkuan. Boma dan teman-

teman memandang ke arahnya. Mengetahui dirinya diperhatikan 

lelaki ini tersenyum dan lambaikan tangan kanan. 

"Siapa Bom?" tanya Ronny. "Rasanya gue pernah ngeliat si 

gendut botak itu." 

"Wartawan. Dia dulu yang bikin heboh. Bikin berita di tabloid aku 

pacarnya Trini," jawab Boma setengah berbisik karena tidak mau 

ucapannya kedengaran Trini yang duduk di sebelah kanan Ronny. 

Wartawan dengan sosok gendut dan mengaku bernama Tuyul 

Bengkak ini adalah wartawan sebuah tabloid di Ibukota. Sewaktu 

terjadi musibah yang menimpa Boma dan kawan-kawan di Gunung 

Gede, dia pernah mewawancarai Trini. Di dalam artikel yang 

kemudian ditulisnya di dalam tabloid dia menyebutkan Trini sebagai 

pacar Boma. Karuan saja seluruh pelajar dan guru SMU Nusantara 

III menjadi heboh. Trini yang memang naksir berat sama Boma 

senang-senang saja menanggapi berita dalam tabloid. Apa lagi saat 

itu dia tengah bersaing keras dengan Dwita untuk mendapatkan 

perhatian Boma (Baca serial Boma Gendenk Episode "Suka Suka 

Cinta") 

Dengan tustelnya yang diisi film ASA tinggi hingga tidak 

memerlukan lampu kilat wartawan tabloid itu jepret sana jepret sini. 

Yang dipotretnya adalah stupa tempat Dwita tersekap, lalu zoom in


ke arah telur dalam lobang stupa. Selanjutnya tustel diarahkan 

pada Boma, Trini, Ibu Renata dan beberapa pelajar SMU Nusantara 

III. 

"Wah, tampang ogut masuk koran deh!" kata Firman. 

"Mending," menukas Vino. "Paling cuman kuping lu doang." 

Selesai mengambil foto dengan suara perlahan wartawan 

bertubuh gemuk gendut bicara pada Trini. 

"Saya lihat lintasan berita jam lima sore di tivi. Apa yang terjadi 

di sini ditayangkan..." 

"Bener Mas?" Trini tidak percaya. 

Si gemuk mengangguk. "Disebut-sebut pelajar SMU Nusantara. 

Juga nama Dwita. Saya ngecek ke tivi. Lalu nilpon rumahnya Mbak. 

Katanya Mbak lagi ke Jogya. Saya cek ke rumah Dwita. Dapat 

keterangan ayah Dwita sudah berangkat ke sini sama ayahnya 

Mbak. Saya lapor Pimpinan Redaksi. Langsung diperintahkan ke 

sini. Sampai di Bandara Sukarno Hatta sekitar jam tujuh. Untung 

masih kebagian tempat di pesawat. Saya ngecek dulu ke wisma. 

dapat keterangan semua pelajar SMU Nusantara dan guru-guru 

berada di Candi Borobudur. Saya langsung aja ke sini." Tuyul 

Bengkak buka lagi topi petnya, usap kepala botaknya yang 

keringatan. "Mbak Trini, sebetulnya bagaimana kejadiannya? Tadi 

saya lihat Mas Boma meletakkan telor di lobang stupa..." 

Walau wartawan tabloid itu bicara perlahan, tapi karena tempat 

itu dicekam kesunyian maka tetap saja suaranya terdengar 

kemana-mana. Beberapa orang melihat ke arahnya. Tuyul Bengkak 

tersenyum walau kini jadi risih sendiri. 

"Mas Tuyul, nanti aja ngomongnya disambung.." 

"Sorry Mbak, saya ngerti." Ucap Tuyul Bengkak lalu wartawan ini 

mengokang tustel di pangkuannya. 

Suasana di sekitar stupa benar-benar sunyi kini. Tiupan angin 

menerpa keras dan dingin. Boma menowel hidungnya. Sepasang 

matanya terus-terusan menatap ke arah stupa. Perasaannya luar 

biasa tegang namun dalam hati anak ini tidak putus-putus berdoa 

memintakan keselamatan bagi Dwita. Satu saat sepasang mata 

Boma bergerak ke kanan, ke arah deretan pelajar SMU Nusantara 

III yang duduk di seberangnya, di samping kiri stupa.


"Ron," Boma berbisik. Lalu menowel hidungnya. 

"Apa?" 

"Lu ngenalin nggak cewek pakai kaos merah di depan sono. 

Yang ngeliatin ke arah kita." 

Ronny Celepuk mengikuti arah pandangan Boma. Lalu balik 

bertanya. Matanya mencari-cari. 

"Yang mana Bom?" 

"Kaos merah, rambut item panjang sepinggang. Dia masih 

ngeliatin ke sini." 

"Nggak Born. Aku nggak ngeliat tuh." 

"Mata lu kotok kali"' Boma menowel hidung kembali. 

Jengkel dibilang matanya kotok, Ronny Celepuk kedap-kedipkan 

matanya beberapa kali, digosok-gosok lalu kembali memperhatikan 

ke jurusan yang dipandang Boma. 

"Udah, lu ngeliat?" 

Ronny menggeleng. 

"Itu anaknya, sekarang dia senyum." 

"Nggak ada cewek yang senyum. Nggak ada cewek pakai kaos 

merah, rambut item sepinggang. Gua kenal semua anak-anak yang 

duduk di sebelah sono. Hampir semua teman kita sekelas. Ada satu 

dua anak kelas lain." 

Boma palingkan kepala, pandangi temannya beberapa saat. 

"Gue juga kenal Ron. Semua anak-anak SMU Nusantara. Tapi yang 

pakai kaos merah itu, aku nggak pernah ngeliat. Dia bukan anak 

SMA Nusantara. Kalau anak luar kok duduknya gabung sama 

teman-teman?" 

"Ah, masa sih mata gua lamur," ucap Ronn penasaran. "Anaknya 

cakep?" 

Boma tertawa, menowel hidungnya. "Ala Ron, jangan becanda 

deh. Lu ngeliat bilangnya nggak ngeliat." 

"Sumpah disamber janda Bom. Aku memang nggak liat cewek 

yang kamu bilang itu. Cakep nggak sih anaknya?" Ronny masih 

bercanda. 

Boma menowel hidungnya dua kali lalu kembali memandang ke 

depan, ke arah samping kiri stupa. 

"Eh! Kok...?" Suara Boma menyatakan rasa keterkejutan.


Wajahnya berubah. "Hilang Ron." 

Karena Boma bicara sambil menekapkan tangan kirinya ke 

bawah perut Ronny Celepuk bertanya. "Apaan yang hilang? Bijilu?" 

"Brengsek lu! Yang aku maksud cewek pakai kaos rnerah tadi. 

Nggak ada lagi di depan sono!" ' 

"Nah, kamu yang sebenarnya becanda Bom." 

"Gua nggak ngerti Ron. Nggak ngerti. Kok..." 

"Kamu kayak bokapnya si Dwita aja. Bulak balik bilang nggak 

ngerti..." 

Boma diam. Matanya masih memandang ke arah kelompok 

anak SMU Nusantara III yang duduk di samping kiri stupa. Dia 

memang tidak bercanda. Anak perempuan berkaos merah, rambut 

hitam sepinggang yang tidak dikenalnya itu tadi jelas-jelas 

dilihatnya, duduk diantara teman-temannya. Tapi kini lenyap begitu 

saja. 

"Kalau dia berdiri lalu pergi, mustahil aku nggak ngeliat," kata 

Boma dalam hati. "Hati gue nggak enak Ron." Akhirnya Boma 

keluarkan ucapan. Ronny tidak menyahuti. Masih heran dengan 

sikap serta ucapan temannya itu. 

Ibu Renata yang duduk di sebelah kiri Boma dan mendengar 

pembicaraan bisik-bisik Boma dengan Ronny beberapa kali coba 

memperhatikan ke jurusan depan. Seperti Ronny, Guru Bahasa 

Inggris ini juga tidak melihat anak perempuan yang dikatakan Boma 

itu. 

"Kamu berdua ngomongin apa sih tadi? Kayaknya serius 

banget?" Trini bertanya pada Ronny. 

"Tau tu si Boma. Katanya di depan sono ada..." 

Boma menyikut rusuk Ronny hinga anak lelaki ini tidak 

meneruskan ucapannya. 

Seorang anggota Polisi memompa tiga lampu patromak yang 

cahayanya mulai redup. Malam tarnbah kelam. Bukan saja tidak 

ada bintang, bulan purnama hari ke tiga belas juga tersembunyi 

dibalik awan tebal. Udara terasa tambah dingin. 

Di kejauhan suara lolongan anjing tiba-tiba terdengar, seperti 

suara setan meratap membuat semua orang yang mengelilingi 

stupa Archa Amoghasidi jadi dingin dan mengkirik kuduk masing


masing. 

Tiba-tiba tiga lampu patromak yang baru dipompa dan 

cahayanya terang benderang padam seperti ditiup hantu. Suasana 

jadi gelap gulita. Beberapa anak perempuan berpekikan. 

Rata-rata semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekat 

dalam gelisah kalau tidak ma dikatakan takut. Firman ceking komat 

kamit mungkin membaca sesuatu minta perlindungan. Gita Parwati 

berpaling ke arah Allan. Saat itu dia ingin anak lelaki itu berada 

dekat dengan dirinya. Sulastri beringsut ke depan mendekati Gita 

lalu memegang pinggul si gendut ini. Karuan saja Gita jadi tergagau 

kaget, hampir menjerit. 

"Lastri! Apa-apaan sih! Bikin kaget gua aja. Untung gua nggak 

teriak." 

"Aku takut, aku mau dekat kamu..." bisik Sulastri. 

Untuk menghindari suasana kacau Serda Sujiwo berdiri di depan 

deretan anak-anak yang duduk di lantai. 

"Semua tenang! Jangan ada yang bergerak! Tetap ditempat!" 

teriak Serda Sujiwo. Lalu bersama beberapa orang anak buahnya 

Serda ini memeriksa dan coba menghidupkan tiga patromak 

kembali. Namun walau dicoba berulang kali tiga lampu patromak 

itu tetap saja tidak bisa dinyalakan. 

"Aneh," kata Serda Sujiwo. Dia mulai merasa kalau padamnya 

tiga patromak itu adalah sesuatu diluar kewajaran. 

"Aneh," ucap Ibu Renata pada dirinya sendiri tapi sempat 

terdengar oleh Boma yang duduk di sampingnya. 

"Ibu takut...?" tanya Boma sambil tangan kirinya memegang 

lengan Guru Bahasa Inggris itu. 

"Saya heran. Mengapa banyak keanehan di tempat ini," jawab 

Ibu Renata perlahan. Entah sadar entah tidak tangan kirinya 

digenggamkan ke jari-jari Boma yang memegang lengan kanannya. 

Tempat itu begitu gelap. Tidak ada yang melihat guru dan murid 

yang saling bergenggaman tangan itu. Lewat jari-jari yang saling 

bertautan mereka merasakan satu kehangatan, paling tidak dalam 

hati dan perasaan masing-masing. 

Di kejauhan lapat-lapat kembali terdengar suara lolongan anjing, 

panjang menyayat berhiba-hiba. Tiba-tiba semua orang yang


mengelilingi stupa keluarkan seruan tertahan. Bukan suara 

lolongan anjing itu yang membuat mereka terikat, tapi ada satu 

kejadian lain luar biasa. 

Ibu Renata menarik tangannya dari dalam genggaman Boma, 

memandang ke arah stupa. Boma juga ikutan memandang ke arah 

stupa. 

Astaga! 

Telur ayam putih yang ada dalam lobang stupa kelihatan 

memancarkan cahaya biru. Beberapa pelajar berdiri. Termasuk 

Boma. Anak ini bergerak, melangkah hendak mendekati stupa. 

Serda Sujiwo segera mencegah sambil berseru. 

"Anak-anak, tetap tenang. Harap duduk kembali. Tidak perlu 

gelisah." Tapi saat itu Serda Sujiwo sendiri sebenarnya gelisah. 

Matanya berkali-kali melirik memperhatikan telur ayam yang 

memancarkan cahaya biru dalam lobang stupa. Boma mengusap 

hidungnya. Dia harus ke stupa. Dia harus tahu apa yang terjadi. Dia 

tidak perduli seruan Serda Sujiwo tadi. Kalau perlu dia akan 

mengambil, mengeluarkan telur ayam dalam loban stupa lalu 

membuangnya jauh-jauh. Anak ini melangkah. 

"Boma, jangan..." kata Ibu Renata. 

Di sebelah belakang Sulastri yang tenggelam dalam rasa takut 

ikut berucap. "Bom, jangan kesitu. Kalau telurnya dadakan 

meledak, kamu bisa celaka. 

Tapi Boma nekad. Dia meneruskan langkah. Gita Parwati dan 

Ronny sama-sama pegangi kaki anak ini. 

Sambil memegangi kaki Boma, Gita tak henti-hentinya berkata. 

"Bom jangan gendeng Bom. Jangan bikin yang nggak-nggak. Jangan 

gendeng..." 

"Aku nggak gendeng," jawab Boma. Hidungnya ditowel berulang 

kali. Memandang ke arah telur, berpaling pada Gita dan Ronny yang 

memegangi kakinya. Akhirnya, perlahan-lahan anak ini duduk 

kembali ke lantai candi. Begitu duduk dia berkata. 

"Kalau telor itu meledak, lalu Dwita celaka, aku..." 

"Tenang aja Bom. Jangan ngarepin yang nggak-nggak," bisik 

Ronny. "Kalau telor itu memang meledak, kita mau berbuat apa. 

Kamu jangan nyari penyakit."


"Percaya Tuhan Bom," kata Trini yang mendekati Boma dan 

mernegang bahu anak lelaki ini. "Tuhan nggak bakal nyelakain 

Dwita. Nggak bakal nyelakain kita-kita." 

Wartawan tabloid Tuyul Bengkak ikutan membujuk Boma agar 

berlaku tenang. 

Boma menatap wajah lelaki gendut ini sesaat, berpaling pada 

Trini lalu berucap. 

"Kalau keadaan begini terus aku bisa nekad Ron. Bener-bener 

nekad. Soalnya aku yang narok telor itu dalam lobang stupa. Kalau 

meledak dan Dwita celaka, aku yang salah," jawab Boma. Dia 

kembangkan telapak tangan kirinya. Tangan yang pernah diisi hawa 

sakti oleh nenek aneh Sinto Gendeng di Gunung Gede. Saat itu 

ingin sekali dia melompat ke arah stupa. Menghantam jebol stupa 

itu dengan tangan kirinya. 

"Berdoa saja, berdoa. Minta supaya jangan terjadi apa-apa," 

bisik Ibu Renata pada Boma. Guru Bahasa Inggris ini pejamkan 

mata, tak berani memandang terlalu lama ke arah telur dalam 

lobang stupa. 

"Ya, Bu." Jawab Boma perlahan. Rasa nekad dalam dirinya 

perlahan-lahan mengendur. 

Beberapa saat berlalu. Boma mendadak merasa ada hawa aneh 

keluar dari batu candi yang didudukinya. Anak ini tampak gelisah. 

Keringat dingin keluar dari pori-pori di permukaan kulit wajah dan 

tubuhnya. 

***



SEMBILAN


SINTO GENDENG MUNCUL DI CANDI


RASA gelisah mencekam semua orang yang ada di sekitar 

stupa. Ayah Trini selalu berada di dekat Erlan Sujatmiko, 

ayah Dwita. Beberapa kali dia melihat gelagat lelaki ini 

hendak melangkah ke arah stupa. Lebih-lebih ketika dia 

menyaksikan telur putih yang mendadak berubah dan 

memancarkan cahaya biru. 

Dalam kesunyian dan udara dingin begitu rupa, tiba-tiba Boma 

merasakan satu keanehan. Telapak tangan kanannya diletakkan di 

atas lantai candi. Digeser-geser beberapa kali. Digerakkan seperti 

meraba sesuatu. 

"Ngapain lu Bom?" tanya Gita Parwati. Ronny dan beberapa anak 

lainnya ikut memperhatikan. 

"Ron, lu ngerasain sesuatu nggak?" Bisik Boma. 

"Sesuatu apa?" balik bertanya Ronny. "Lu mau ngerjain gua lagi? 

Jangan macem-macem Bom. Mulut gue udeh asem ini. Rokok abis." 

"Batu candi yang gua dudukin. Kok mendadak terasa panas." 

Boma memberitahu. 

"Mungkin lu pengen beol kali'. Atau lagi nahanin kentut!" Kata 

Ronny Celepuk sambil senyum-senyum acuh. 

"Gue nggak becanda Ron. Demi. Badan gue ampe ngeluarin 

keringet...." Belum sempat Boma meyakinkan temannya itu tiba-tiba 

dia menangkap suara sesuatu. Suara seperti ada burung besar 

melesat di udara. "Ron, ada suara aneh. Lu denger nggak?" 

"Nggak, soalnya lu belon kentut sih!" jawab Ronny masih 

bercanda. 

Boma mendongak ke atas. Langit kelam gelap. Udara dingin dan


tiupan angin terdengar keras. Dalam gelap tiba-tiba Boma melihat 

dua benda besar melesat di udara. Yang satu kemudian hinggap 

dan duduk di puncak stupa sebelah kanan dimana Dwita tersekap. 

Satunya lagi duduk di atas stupa sebelah kiri belakang. 

Sepasang mata Boma terpentang lebar. Walau agak jauh tapi 

sosok bermantel yang duduk di atas stupa sebelah kanan segera 

dikenalinya. Itulah pemuda tinggi besar yang mengaku bernama 

Pangeran Matahari. Yang siang tadi berkelahi dengan dia dan 

pemuda gondrong yang dipanggilnya dengan sebutan Abang. Boma 

memandang ke stupa satu lagi. Dia melihat sosok berjubah gelap, 

berwajah seorang nenek, angker seram diselomoti dandanan tebal. 

"Lu ngeliatin apa, kok dari tadi nongak terus?" Gita Parwati 

bertanya. Dia coba menandang ke jurusan yang diperhatikan Boma. 

Dia tidak melihat apa-apa selain kegelapan malam dan deretan 

stupa. 

Boma pegang lengan Ronny Celepuk. 

"Pangeran Matahari...." suara Boma tersendat. "Orang jahat yang 

menyekap Dwita dalam stupa. Yang tadi siang mau ngebunuh aku. 

Dia duduk di atas stupa sana. Dia muncul bersama nenek-nenek 

bertampang seram. Nenek-nenek itu duduk di stupa sebelah situ." 

Sambil berkata Boma arahkan jari telunjuk tangan kirinya ke arah 

dua stupa di seberang sana. 

Ronny, Ibu Renata, Gita dan semua anak yang mendengar 

ucapan Boma serta merta memandang ke arah yang ditunjuk 

Boma. 

"Aku nggak ngeliat apa-apa!" Kata Ronny Celepuk. Lalu dia 

berpaling pada Allan. "Lu ngeliat yang dibilang Boma?" 

"Nggak," jawab Allan. 

"Masa sih ada orang duduk di atas stupa. Stupa yang mana?" 

tanya Trini. 

"Betul Bom, aku juga nggak liat apa-apa. Nggak gampang orang 

mau duduk di atas stupa..." 

Boma berpaling pada Ibu Renata, mungkin Guru Bahasa Inggris 

ini melihat apa yang dilihatnya. Tapi Ibu Renata membalas 

pandangan Boma dengan gelengan kepala. 

Sulastri mendekatkan mulutnya ke telinga Gita. Lalu berbisik.


"Boma semakin aneh. Jangan-jangan dia sudah kesambet setan 

candi. Ngeliat ini ngeliat itu, dengar ini dengar itu. Kok kita semua 

nggak ngeliat apa-apa. Nggak denger apa-apa." 

"Bom, lu sadar Bom?" Gita Parwati bertanya. 

"Sialan, emangnya gue kenapa?" ucap Boma. "Kalian diam 

semua. Jangan pada ngomong. Sesuatu pasti akan terjadi." Boma 

berpaling pada Vino. 

"Jam berapa sekarang?" tanya Boma. 

Vino melihat ke arlojinya. Wartawan tabloid Tuyul Bengkak 

singsingkan lengan kiri jaket kulitnya, untuk melihat jam tangan 

yang ada di situ. Agak susah melihat dalam gelap. Untung jarum 

dan angka-angka arloji Vino dilapisi rodium hingga dia masih bisa 

melihat cukup jelas. 

"Jam dua belas kurang dua menit," kata Vino. 

Boma melirik ke arah telur di dalam lobang stupa. Lalu 

memperhatikan dua sosok yang duduk di atas stupa. Tiba-tiba anak 

ini mendengar suara tawa cekikikan. 

"Ron, ada yang ketawa!" ucap Boma memberitahu. 

Sepasang alis mata tebal Ronny Celepuk naik ke atas. Matanya 

membesar lalu anak ini tertawa. 

"Aku nggak dengar suara orang ketawa. Teman-teman, kalian 

ada yang dengar?" tanya Ronny. Semua anak yang ada di tempat 

itu sama-sama gelengkan kepala. 

"Boma bener-bener udah kemasukan setan candi. Ucapan dan 

tingkahnya semakin aneh!" bisik Sulastri ke telinga Gita. 

"Bom, sebenarnya kamu ini kenapa sih?!" Trini bertanya. 

Boma tidak menjawab. Dia palingkan kepala ke arah datangnya 

suara tertawa cekikikan tadi. Hidungnya ditowel berkali-kali. 

Matanya membesar. Di sana, di atas sebuah stupa, agak jauh dari 

dua stupa yang diduduki Pangeran Matahari dan nenek berwajah 

setan tampak duduk sambil uncang-uncang kaki seorang nenek 

tinggi kurus berkulit hitam. Di atas kepalanya menancap lima buah 

tusuk konde perak yang berkilauan di dalam gelapnya malam. 

Ketika melihat Boma memandang ke jurusannya, si nenek 

lambaikan tangan. 

"Nek...!" ucap Boma, memanggil tak sadar.


Semua anak yang ada di sekitar Boma semakin heran melihat 

sikap teman mereka satu ini. 

"Siapa yang lu panggil Nenek barusan Bom?" tanya Vino. 

"Itu, di atas stupa sana..." Boma menunjuk. "Ada nenek-nenek. 

Yang dulu nolongin kita di Gunung Gede. Yang ngasi...." Boma tidak 

teruskan ucapannya. Karena saat itu tiba-tiba dia melihat sosok lain 

berdiri tak jauh dari stupa tempat Dwita disekap. Di tempat lain 

Serda Sujiwo meneliti arlojinya. Begitu juga Letkol Kusumo Atmojo. 

Erlan Sujatmiko ikut-ikutan memperhatikan arloji yang tersingkap di 

ujung lengan switer wol. Semua arloji mereka menunjukkan jam 

11.59. Tinggal satu menit sebelum tepat jam 12.00 tengah malam. 

"Ron, cewek berkaos merah tadi Ron. Muncul lagi. Dia ngeliatin 

ke sini." Boma berucap. Membuat Ronny dan anak-anak lainnya 

semakin heran. 

Ibu Renata membuka tas di pangkuannya. "Boma, saya punya 

Aqua. Masih utuh, belum saya minum. Sebaiknya kamu minum 

dulu." 

"Terima kasih Bu, saya nggak haus." Jawab Boma tanpa 

berpaling karena masih terus menatap anak perempuan berkaos 

merah yang berdiri dekat stupa. Di sebelah bawah anak ini 

mengenakan sehelai rok hitam pendek. Tiupan angin yang kencang 

membuat rok itu sesekali menyingkapkan sepasang pahanya yang 

sangat putih dan bagus. 

Detik demi detik berlalu. Di kejauhan lagi-lagi ada suara lolongan 

anjing. 

Sosok Pangeran Matahari yang duduk di atas stupa tiba-tiba 

kelihatan melesat ke bawah stupa dimana nenek bermantel gelap 

duduk. 

"Nenek Guru, aku tidak melihat Guru Si Muka Bangkai. Padahal 

seharusnya dia lebih dulu berada di sini atas perintahmu." 

"Gurumu jahanam satu itu! Dia pasti melantur ke tempat lain. 

Aku menemui bekas bungkusan Majun Arab waktu kita 

meninggalkan rumah kosong di Desa Ngaran. Pasti gurumu itu main 

perempuan! Setan betul! Untung aku punya firasat dan buru-buru 

mengajakmu ke sana." 

Pangeran Matahari mengusap dadanya. Di atas stupa nenek


bermuka angker berdandan tebal yang bukan lain adalah Kunti Api 

batuk-batuk beberapa kali. Lalu meludah. Ludahnya masih 

bercampur darah. 

"Kurang ajar pengamen sinting itu! Ilmu pukulan apa yang 

dimilikinya hingga kita berdua mengalami cidera begini rupa!" 

"Nenek Guru, pengamen sinting yang menghantam kita, dia 

bukan makhluk alam nyata ini. Sosoknya yang samar pertanda dia 

datang dari alam gaib. Berarti waktu dulu aku dan Guru Si Muka 

Bangkai memang benar telah membunuhnya. Lalu dia muncul 

sebagai roh gentayangan menolong kakaknya." 

"Kita harus waspada. Lekas kau selidiki tempat ini. Kalau 

pengamen alam roh itu muncul di sini, urusan kita bisa jadi tidak 

karuan. Kau lihat benda bercahaya biru di lubang stupa tempat 

anak perempuan bernama Dwita disekap?" 

"Aku lihat..." 

"Aku yakin itulah telur ayam sakti yang asli. Kita terlambat. Sulit 

sekarang untuk mencegah..." 

"Nenek Guru," potong Pangeran Matahari. "Bagaimana kalau 

telur itu kita ambil atau kita hantam sampai hancur sekarang juga? 

Sekalian dengan membunuh saja anak perempuan dalam stupa." 

"Tidak ada gunanya. Akan sia-sia belaka. Sebelum 

memancarkan cahaya biru mungkin kita masih bisa melakukan 

sesuatu. Tapi kini telur itu telah berubah. Kasip! Terlambat! Cahaya 

biru itu adalah satu kekuatan magis yang tidak bisa kita tembus. 

Kita hanya bisa, baru bisa bertindak pada tepat tengah malam 

ketika sesuatu terjadi dengan telur itu." 

Sambil bicara si nenek layangkan matanya kemana-mana. Tiba-

tiba Kunti Api melihat sesuatu. "Pangeran, ada seorang anak 

perempuan berdiri di dekat stupa. Berbaju merah, rambut hitam 

sepinggang. Kau tahu siapa dia? Aku punya dugaan dia bukan dari 

rombongan pelajar dari Jakarta." 

Sang Pangeran palingkan pandangannya ke arah stupa dan jadi 

terkejut. Tadi-tadi dia telah memperhatikan keadaan sekitar tempat 

itu. Bagaimana mungkin dia tidak melihat anak perempuan 

mengenakan kaos merah dan rok hitam pendek yang kini tegak di 

dekat stupa? Tidak bisa tidak ada satu kekuatan melindungi anak


itu, pikir sang Pangeran. 

Kunti Api menatap tajam ke arah anak perempuan di dekat 

stupa. Lalu menghirup nafas dalam-dalam. 

"Hemm....Aku mencium hawa aneh keluar dari tubuh anak itu. 

Satu hawa mengandung kekuatan dahsyat. Bahaya besar!" kata 

Kunti Api pula. "Pangeran, dengar baik-baik. Jika terjadi sesuatu 

pada tepat tengah malam dan gurumu celaka Si Muka Bangkai itu 

belum juga muncul maka yang harus kau lakukan adalah 

membunuh anak perempuan dalam stupa. Hantam dengan salah 

satu pukulan saktimu. Aku akan membunuh bocah bernama Boma 

sambil mengawasi anak perempuan berkaos merah berambut 

hitam sepinggang...." 

"Tapi Nenek Guru, saat ini di stupa di belakangmu seorang 

musuh besar kita baru saja muncul." 

Saat itu Kunti Api mendengar suara tawa cekikikan. Dia cepat 

berpaling dan serta merta jadi terkejut ketika mengenali siapa 

adanya nenek hitam yang duduk di atas stupa di belakangnya. 

"Sinto Gendeng...." desis Kunti Api. Sepuluh jari tangannya 

langsung mengepal. "Pangeran, kita terpaksa merubah siasat. Aku 

mengawasi nenek keparat bau pesing itu. Kau awasi anak 

perempuan berbaju merah dan membunuh anak perempuan dalam 

stupa." 

"Bagaimana dengan anak lelaki bernama Boma?" tanya 

Pangeran Matahari pula. 

"Serahkan padaku. Biar aku yang membantai bocah yang 

katanya bakal dijadikan Pendekar Tahun 2000 itu. Namun masih 

ada satu lagi kekawatiranku. Kalau musuh bebuyutanmu, murid 

nenek keparat si Wiro Sableng itu muncul, kita bisa-bisa kalah 

kekuatan." 

***


SEPULUH


TELUR DALAM LOBANG STUPA MELEDAK


DETIK demi detik terasa merayap lambat sekali. Suasana 

gelap dan sunyi yang disertai cekaman rasa gelisah di 

kawasan Candi Borobudur sekitar stupa tempat Dwita 

disekap berubah menjadi geger total ketika tepat jam 12.00 

tengah malam telur ayam di dalam lobang stupa tiba-tiba meledak. 

Lantai candi bergetar. Larikanlarikan cahaya biru laksana kembang 

api melesat ke udara. Untuk beberapa lamanya siraman cahaya 

biru membuat keadaan terang benderang. Hampir semua orang 

berada dalam kesilauan. Anak-anak perempuan berpekikan. 

Belasan anggota Polisi yang menjaga sekeliling tempat itu tidak 

tahu apa yang mau diperbuat. 

Semua orang kemudian berseru lalu tertegun ketika 

menyaksikan tiba-tiba stupa dimana Dwita disekap secara aneh, 

dalam taburan cahaya biru perlahan-lahan naik ke atas. Arca 

Amoghasidi bergoyang-goyang. Sosok Dwita yang terbaring di 

pangkuannya jatuh ke lantai. 

Kru dua stasiun televisi berteriak-teriak bingung. Lampu-lampu 

sorot tidak menyala. Kamera mereka tidak bisa bekerja. Beberapa 

wartawan foto termasuk Tuyul Bengkak memeriksa heran tustel 

masing-masing. Tombol tustel mereka tak bisa ditekan, seperti 

terkancing. Tidak satupun dari mereka bisa mengabadikan 

peristiwa luar biasa itu. 

Semua orang yang ada di tempat itu hanya mendengar suara 

letusan telur, hanya melihat kilatan cahaya biru serta hanya melihat


batu stupa naik ke atas secara aneh. Mereka tidak mendengar 

suara dan tidak melihat kejadian-kejadian aneh lainnya kecuali 

Boma. 

Sebelum telur meletus sosok anak perempuan berkaos merah 

tiba-tiba raib menghilang. Boma mencium bau harum semerbak 

yang tidak tercium oleh siapapun. Lalu samar-samar Boma melihat 

sosok seorang perempuan muda luar biasa cantik. Di kepalanya 

ada sebuah mahkota terbuat dari emas dan taburan batu permata. 

Di sebelah belakang di bawah mahkota tergerai rambut hitam 

panjang. Perempuan ini mengenakan kain panjang hijau 

berkembang-kembang emas menyerupai kemben. Bagian atas 

tubuhnya yang terbuka ditutupi dengan sehelai selendang tipis 

berwarna ungu. Pada saat sosok perempuan cantik ini bergerak ke 

udara, pada saat itu pulalah stupa dimana Dwita Tifani tersekap 

bergerak naik ke atas. Boma melihat jelas, perempuan cantik 

bermahkota inilah yang mengangkat ujung atas batu stupa dengan 

tangan kirinya lalu melayang ke atas. 

"Boma! Lekas ke sini! Ambil Dwita!" 

Satu teriakan keras-keras perempuan yang hanya didengar 

Boma menggema di tempat itu. Boma tidak tahu siapa yang 

berteriak, tidak mengenali suara. 

Takut ada, bingung dan heran sesaat Boma hanya berdiri 

tertegun. 

"Anak Gendeng! Kau dengar orang berteriak! Tunggu apa lagi? 

Apa kau tidak mau menyelamatkan anak perempuan cewekmu 

itu?!" Tiba-tiba ada suara lain yang berteriak. Boma mengenali 

suara itu. Suara itu. Suara si nenek yang dulu menolong dan 

memberinya ilmu. Tapi dia tidak melihat orangnya. 

Semua orang yang ada di tempat itu kemudian melihat nyata 

bagaimana Boma melompat naik ke lantai candi di depannya, lari 

ke arah arca yang bergoyang-goyang. Anehnya Arca Amoghasidi ini 

kelihatan seperti tersenyum. Boma cepat rnengangkat tubuh Dwita 

Tifani, menggendong anak perempuan itu, membawanya menjauhi 

Arca. Hanya beberapa detik setelah Boma mengangkat tubuh 

Dwita, stupa yang seolah menggantung di udara turun ke bawah. 

Dibarangi suara letusan yang disertai berkiblatnya larikan-larikan


sinar biru, stupa itu kembali ke tempatnya semula. Dari dalam 

puluhan lobang stupa mengepul keluar asap putih kebiru-biruan 

disertai menebarnya bau sangat harum. Semua orang merasa 

ngeri, berdiri bulu tengkuknya. 

Delapan orang anggota Polisi termasuk Serda Sujiwo segera 

melindungi Boma. Empat orang petugas medis Rumah Sakit Sarjito 

dibawah pimpinan seorang dokter cepat mendatangi. Mereka 

mengambil Dwita dari dukungan Boma, diletakkan di atas sebuah 

tandu. Para pelajar SMU Nusantara III berdesakan mengerubungi 

tandu. Ada yang coba menyentuh tangan atau wajah Dwita. Tapi 

mereka segera mundur begitu dilarang oleh Serda Sujiwo dan 

dokter. Pemeriksaan cepat dilakukan. Yang pertama sekali dokter 

ingin memastikan bahwa Dwita Tifani masih hidup. Detak nadi di 

pergelangan tangan dan bagian leher diteliti. Semua orang 

menunggu dengan dada berdebar. Lama baru dokter ini 

mengangkat kepalanya. 

"Bagaimana Dok?" Erlan Sujatmiko yang menerobos diantara 

orang banyak dan kini berjongkok di samping tandu menanyakan 

keadaan anaknya. Mukanya seputih kertas. Sepasang matanya 

balut. 

Dokter yang ditanya hanya memegang bahu ayah Dwita. Dia 

memberi perintah pada petugas medis. 

"Cepat pasangkan infus. Segera bawa ke rumah sakit," kata 

dokter lalu berpaling ke arah anak-anak yang mengelilinginya. 

Sambil senyum dia anggukkan kepala. Senyum dan anggukan ini 

sudah cukup jelas sebagai pertanda Dwita Tifani masih hidup. Pekik 

haru menggema di kawasan Candi Borobudur. Ada yang berteriak 

sambil mengangkat tangannya berulang kali ke atas. Ada yang 

berseru menyebut nama Tuhan. Banyak yang mengusap air mata. 

Selagi mengacungkan-acungkan tangan ikut gembira Ronny 

Celepuk tiba-tiba saja melihat seorang anak perempuan berambut 

sepinggang, berbaju kaos merah. Anak ini berada di antara 

kerumunan teman-temannya, di ujung kiri dekat tangga turun. 

Ronny ingat cerita Boma. 

"Ini pasti cewek yang dikatakan Boma. Ah, cakep banget." 

Membatin Ronny sambil berusaha menyeruak diantara orang yang


berdesakan. Namun ketika dia sampai di tangga menuju turun, 

anak perempuan berkaos merah itu tidak ada lagi. Dicari-cari 

sampai dia hanya tinggal sendirian di tempat itu, anak perempuan 

tadi tetap tidak berhasil ditemukan. Ronny segera menuruni tangga 

candi, berharap bisa menemukan anak perempuan itu di halaman 

bawah. Tapi di halaman bawahpun Ronny tidak menemui anak itu. 

"Cewek aneh. Bisa ngilang." Kata Ronny dalam hati. 

Seolah terlupakan, di belakang orang yang mengerumuni dokter 

dan tandu dimana Dwita dibaringkan lalu diusung menuruni Candi, 

Boma Tri Sumitro jatuhkan diri, berlutut di tanah. Tubuhnya 

bergetar. Suaranya parau ketika berulang kali mengucapkan kata-

kata. "Terima kasih Tuhan. Terima kasih Tuhan..." Lalu anak ini 

bersujud di lantai Candi. Kembali dia memuji syukur dan berterima 

kasih pada Tuhan. 

Mungkin Boma akan terus bersujud seperti itu kalau tidak ada 

seseorang yang berlutut di sampingnya lalu memegang bahunya. 

Satu suara menyeruak di telinga Boma. 

"Boma, Tuhan telah mengabulkan permintaan kita. Tuhan telah 

menyelamatkan Dwita. Sekarang kita harus melihatnya di rumah 

sakit." 

Perlahan-lahan Boma bangkit dari sujudnya. Dia tidak perlu 

berpaling untuk mencari tahu siapa yang barusan bicara. Dia 

mengenali suara itu. 

Trini Damayanti, sesaat masih tertegun ketika melihat Boma 

saling berangkulan dengan Ibu Renata. Sulastri menarik lengan 

Trini. 

"Rin, biarin aja mereka. Ayo, kita ikutan ke rumah sakit. Dwita 

musti ditemani..." 

"Ya...ya," jawab Trini. "Tapi aku mau ketemu bokapku dulu." 

"Dia sudah duluan. Ikut bersama petugas rumah sakit." 

Trini berpaling sekali lagi lalu tinggalkan tempat itu bersama 

Sulastri. 

Namun Boma dan Ibu Renata tidak sempat melangkah jauh. 

Serombongan wartawan televisi dan surat kabar mendatangi 

mereka. Menghujani keduanya dengan pertanyaan. Kali ini agaknya 

Boma dan Guru Bahasa lnggris itu tak bisa lolos lagi. Keduanya


menjawab semua pertanyaan sebisa yang mereka lakukan. Lampu 

kilat tustel berkilauan, lampu sorot kamera televisi menerangi 

wajah mereka. 

"Aneh!" seorang juru kamera televisi keluarkan ucapan. "Tadi 

semua peralatan macet. Sekarang kok bisa jalan?" 

Tuyul Bengkak wartawan tabloid dari Jakarta yang ikut 

berkerubung di tempat itu memegang lengan Boma dan berbisik. 

"Ikuti saya. Kalau dilayani sampai pagi mereka masih terus mau 

nanyain situ. Ayo..." 

Di tangga turun Candi Borobudur, ketika hendak melewati arca 

Singa, tiba-tiba Boma melihat anak perempuan berbaju kaos merah 

itu. Anak perempuan ini berdiri dekat tumpukan batu-batu candi 

bekas restorasi. 

"Hai!" Boma berseru memanggil. Namun anak perempuan yang 

dipanggil hanya melambaikan tangan, lalu menyelinap ke balik 

tumpukan batu dan lenyap dalam kegelapan. 

"Siapa? Kamu manggil siapa?" tanya Ibu Renata heran. Tuyul 

Bengkak memandang berkeliling. Ikutan heran. 

"Nggak Bu. Saya nggak manggil siapa-siapa," jawab Boma. 

***


SEBELAS


KUNTI API DAN PANGERAN MATAHARI KENA BATUNYA



KETIKA telur di dalam lobang stupa meledak, dari puncak 

stupa yang didudukinya Kunti Api langsung melesat ke arah 

stupa di mana Dwita masih tersekap. Semuanya berlangsung 

serba cepat. Ketika dia memandang ke bawah sana 

dilihatnya Boma tengah melompat ke lantai candi untuk menolong 

Dwita. Tidak tunggu lebih lama Kunti Api segera hantamkan tangan 

kanannya. Lima larik sinar merah menggebu ke arah Boma. Namun 

setengah jalan tiba-tiba ada satu bayangan hitam berkelebat dan 

wutt...wuuut! Dua gelombang angin luar biasa dahsyatnya menyapu 

sepuluh larik sinar maut yang hendak membantai memanggang 

Boma. Hantaman angin itu bukan saja membuat musnahnya 

serangan ilmu Kuku Api yang dilancarkan Kunti Api, tapi si nenek 

bermuka setan ini sempat terpental di udara, dan terpaksa 

berjumpalitan sampai dua kali untuk bisa jatuh dengan dua kaki 

menginjak lantai candi. Kunti Api keluarkan suara menggembor 

ketika mengetahui siapa orang yang barusan menggagalkan 

serangan mautnya. Bukan lain nenek tinggi kurus berkulit hitam 

yang kepalanya ditancapi lima tusuk konde. Sinto Gendeng! 

"Nenek sundal, aku tak perlu banyak bicara denganmu! Terima 

kematianmu!" 

Kunti Api gerakkan dua tangan sekaligus. Seluruh tenaga dalam 

dikerahkan. Sepuluh larik sinar merah mencuat ke arah sosok Sinto 

Gendeng. 

Yang diserang ganda tertawa. Malah balas mengejek. "Pelacur 

tua bengek yang mukanya penuh dempulan! Bagaimana kalau kita 

mati berbarangan?! Hik...hikk...hik!


Kunti Api mengira Sinto Gendeng akan mengeluarkan pukulan 

Sinar Matahari untuk menghadapi sepuluh jalur serangan ilmu 

Kuku Apinya. Ternyata lawan sama sekali tidak menggerakkan 

tangan. Hanya kepalanya yang digoyangkan. Lalu slash...slash! Dua 

larik sinar biru melesat keluar dari sepasang mata cekung garang 

Sinto Gendeng. Laksana sepasang pedang yang bisa mulur dua 

larik sinar biru ini menyambar bersilangan ke arah Kunti Api. 

Kunti Api berteriak kaget. 

"Sepasang Sinar Inti Roh!" Kunti Api berteriak menyebut nama 

serangan yang dilancarkan Sinto Gendeng. Dengan cepat guru Si 

Muka Bangkai ini melompat selamatkan diri. Namun kecepatan 

serangan Sepasang Sinar Inti Roh yang laksana kilat itu sulit dikelit. 

Seperti diketahui Pendekar 212 Wiro Sableng sangat 

menginginkan ilmu kesaktian Sepasang Sinar Inti Roh itu. Dia 

pernah memohon pada Sinto Gendeng untuk dapat mewarisi ilmu 

tersebut. Namun Sinto Gendeng belum mau memberikan. (Harap 

baca serial Wiro Sableng Tiga Dalam Satu/ TDS mulai Episode 

pertama berjudul "Lima Laknat Malam Kliwon") 

Kunti Api menjerit setinggi langit ketika salah satu sambaran 

sinar biru yang keluar dari mata Sinto Gendeng menyambar putus 

tiga jari tangan kanannya yaitu jari kelingking, telunjuk dan jari 

tengah! Selain itu sambaran sinar biru tadi membakar lengan 

mantelnya hingga hangus sampai ke siku. 

Lelehlah nyali Kunti Api. Selama ini dia hanya mendengar kalau 

Sinto Gendeng memiliki ilmu kesaktian yang sulit dicari 

tandingannya yakni dua larik sinar biru yang keluar dari sepasang 

mata dan konon bernama Sepasang Sinar Inti Roh. Ternyata Sinto 

Gendeng memang memiliki ilmu itu. Dan kenyataannya di malam 

buta itu dia menyaksikan serta menerima kehebatan ilmu tersebut! 

Sinto Gendeng tertawa cekikikan. 

"Pelacur jelek! Seharusnya lehermu yang aku tabas. Tapi malam 

ini hatiku sedang senang. Aku memberi pengampun padamu! Pergi 

dan jangan berani unjukkan tampang di hadapanku untuk selama-

lamanya!" 

Kunti Api hanya bisa keluarkan suara mendengus, meludah ke 

lantai candi lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.


Akan halnya Pangeran Matahari saat itu baru saja dibikin 

bingung oleh lenyapnya anak perempuan berbaju kaos merah yang 

harus diawasinya atas perintah Kunti Api. Karena tidak mau 

menunggu lebih lama maka Pangeran Matahari segera arahkan 

perhatian pada Dwita Tifani yang saat itu masih berada di dalam 

stupa. Sambil melompat ke arah stupa sang Pangeran lepaskan 

pukulan Telapak Matahari. Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning 

menderu. Tidak ada perlindungan yang bisa menyelamatkan Dwita 

dari serangan maut itu. Stupa batu akan hancur lebur. Setelah itu 

tubuh anak perempuan ini akan terpanggang mengerikan, hanya 

tinggal tulang belulang dalam keadaan hitam gosong! 

Ketika tiga larik sinar maut itu menderu ke arah stupa, justru 

saat itulah stupa bergerak naik dan Pangeran Matahari terkesiap 

melihat naiknya stupa batu yang berat ratusan kilo itu adalah akibat 

perbuatan seorang perempuan cantik luar biasa, berambut panjang 

dan ada mahkota emas di kepalanya. 

Selagi terkesiap hcran melihal apa yang terjadi di depan 

matanya tiba-tiba perempuan cantik bermahkota gerakkan tangan 

kirinya sementara tangan kanan terus mengangkat stupa ke atas. 

Pangeran Matahari tidak melihat cahaya, tidak mendengar deru 

angin serangan. Tahu-tahu satu kekuatan dahsyat mendorong tiga 

larik sinar pukulan sakti Telapak Matahari yang barusan 

dihantamkannya ke arah stupa untuk membunuh Dwita. Tiga larik 

sinar itu seolah amblas, masuk kembali ke dalam tangan kanan 

sang Pangeran. Detik itu juga Pangeran Matahari keluarkan jeritan 

setinggi langit. Tubuhnya terpental, jatuh menggelinding ke lantai 

bawah candi. Lengan kanan baju hitamnya kepulkan asap. Ketika 

lengan baju yang hangus itu ditariknya langsung rontok dan terlihat 

tangannya mulai dari ujung-ujung jari sampai ke siku merah 

bengkak, sebagian kulit mengelupas! 

Seperti nenek gurunya, nyali Pangeran Matahari juga leleh. 

Terlebih ketika dia melihat Kunti Api dalam keadaan luka parah 

dihantam serangan Sinto Gendeng kabur melarikan diri. Tidak 

tunggu lebih lama sang Pangeran ambil pula langkah seribu 

menyusul Kunti Api.


BELUM berapa jauh meninggalkan Candi Borobudur, Kunti Api 

dan Pangeran Matahari yang berkelebat ke arah timur tiba-tiba 

disongsong oleh seorang berkemeja gombrong lengan panjang, 

celana hitam dan rambut dikuncir ke belakang. Bau minyak wangi 

serta merta memenuhi seantero tempat itu. 

Pangeran Matahari dan Kunti Api hentikan lari mereka. Sama 

memandang melotot ke arah orang yang kini berdiri dihadapan 

mereka. 

“Sungguh aku tidak percaya pada pandangan mataku. Mataku 

yang terbalik atau bumi ini sudah terjungkir?!” ucap Kunti Api. 

“Guru, benar engkau yang berdiri di hadapan kami?” Pangeran 

Matahari ikut membuka mulut. 

“Aku memang Si Muka Bangkai,” orang yang ditanya menjawab. 

Kunti Api mendelik, berpaling pada Pangeran Matahari. Kedua 

orang ini lalu tertawa gelak-gelak. 

“pakaian dan dandananmu sungguh luar biasa! Rupanya kau 

sudah jadi penduduk alam ini. kau kemanakan pakaian bututmu! 

Minyak wangi apa yang kau guyur ke tubuhmu? Baunya sampai 

menyekat jalan pernafasanku! Ha…ha….ha!” 

“Eyang, harap maafkan. Aku terlambat. Aku barusan….” 

“Kau tak perlu menerangkan. Kau pasti habis main perempuan! 

Bahkan mungkin belum sempat cebok!” 

“Eyang…..” 

“Diam!” sentak Kunti Api. Dia acungkan tangan kanannya yang 

tiga jarinya buntung. “Lihat apa yang terjadi dengan diriku! Ini 

akibat salah besarmu tidak mematuhi perintah. Aku suruh kau ke 

Borobudur, kau melantur main perempuan. Lihat apa yang dialami 

muridmu! Tangan kanannya cidera berat! 

Si Muka Bangkai perhatikan tangan kanan gurunya, 

memandang ke tangan kanan Pangeran Matahari lalu 

membungkuk dalam-dalam. 

"Eyang, Pangeran, maafkan diriku..." 

"Kami akan memaafkan. Tapi mendekat dulu ke hadapanku!" 

Bentak Kunti Api memerintah. 

Si Muka Bangkai melangkah ke hadapan Kunti Api. 

"Berlutut!" lanjut perintah si nenek muka setan.


Si Muka Bangkai jatuhkan diri berlutut. 

Tiba-tiba kaki kanan Kunti Api bergerak menendang. 

"Bukkk!!!" 

Jeritan menggeledek keluar dari mulut Si Muka Bangkai. Kakek 

ini mencelat sampai dua tombak, terguling di tanah, terkapar 

tertelentang tak bergerak beberapa lamanya. Matanya mendelik 

menatap ke langit hitam. Tapi begitu Kunti Api melangkah 

mendekatinya diikuti Pangeran Matahari, dia segera pejamkan 

mata pura-pura pingsan. 

"Masih untung aku tidak menghabisi nyawa anjingmu saat ini! 

Tua bangka tidak berguna!" Habis memaki Kunti Api ludahi muka Si 

Muka Bangkai lalu berpaling pada Pangeran Matahari. 

"Pembalasan harus segera dilakukan! Kita harus bisa membunuh 

bocah itu. Sebelum bulan mati! Sesegera mungkin! Tapi aku juga 

ingin melakukan sesuatu. Ingat rencana yang kita bicarakan tadi. 

Bawa perempuan itu ke Candi Sewu. Kita bisa menjebak bocah itu 

di sana." 

"Saya hanya mengikuti perintah Nenek Guru saja," jawab 

Pangeran Matahari lalu berkelebat mengikuti si nenek yang telah 

pergi begitu habis bicara. 

Tak selang berapa lama setelah Kunti Api dan Pangeran 

Matahari berlalu, perlahan-lahan Si Muka Bangkai bangkit dan 

duduk menjelepok di tanah. Dadanya terasa sesak dan sakit. Dia 

merasa ingin batuk. Tapi yang keluar dari mulutnya adalah 

semburan darah segar. 

"Uh...uh...uuhhhh." Si Muka Bangkai keluarkan suara mengerang 

panjang pendek. Tangan kanannya bergerak ke arah saku baju. 

Meraba-raba merasai sesuatu. Wajahnya berubah. Tangannya kini 

dimasukkan ke dalam saku. Apa yang dicarinya tidak ada. 

"Celaka! Majun Arabku hilang. Dimana jatuhnya...." Si Muka 

Bangkai memandang berkeliling dalam gelap. Mencari-cari. 

Beringsut ke kiri, menoleh ke kanan. Yang dicari tidak ditemukan. 

Akhirnya kakek ini jatuhkan diri di tanah. Berbaring menelentang. 

Seperti orang mengigau mulutnya berucap. "Sum .... Sumi Primbon 

kekasihku. Maafkan aku. Aku janji mau datang lagi menemuimu 

besok. Maaf berat....Aku mungkin tidak bisa menemuimu besok.


Maafkan aku Sum.... Summm." Tangannya meraba lagi ke saku 

baju. "Ah, Majun Arabku....Sum, Majunku Arabku hilang Sum. Tanpa 

majun kau pasti kecewa melayaniku. Suummmm...Maafkan Mas 

Brotomu ini...." 

***


DUA BELAS


IBU RENATA DICULIK BOMA NEKAD


LORONG di luar kamar VIP di Rumah Sakit Dr. Sarjito dimana 

Dwita Tifani dirawat sejak malam tadi dipenuhi oleh guru dan 

pelajar SMU Nusantara III. 

Jam sembilan pagi keesokannya didapat kabar bahwa 

Dwita sudah mau makan, dan keadaannya cukup baik. Bahkan 

infusnya sudah dicabut. Cuma saat itu menurut pengakuannya 

tubuhnya masih terasa lemas. Atas nasihat dokter tidak semua 

orang diizinkan masuk menemui Dwita. Selain itu ayah Dwita, Erlan 

Sujatmiko selalu berdiri di dekat pintu, seolah dia penentu terakhir 

yang mengizinkan siapa saja yang boleh masuk. 

Ibu Renata bersama Pak Sanyoto, lalu ayah Trini dan Trini serta 

beberapa anak perempuan merupakan orang-orang yang 

diperbolehkan masuk. Boma dan kawan-kawan sebenarnya ingin 

sekali melihat Dwita. Namun dari pada nanti tidak diizinkan, ribut 

cari perkara akhirnya Boma, Vino, Ronny Celepuk, Firman, Andi dan 

Rio hanya berdiri saja di luar kamar. 

Menjelang siang Erlan Sujatmiko menemui perawat. Menurutnya 

Dwita sudah cukup sehat dan dia bermaksud membawa anaknya 

itu pulang ke Jakarta. Perawat meminta izin dokter terlebih dulu. 

Dokter sebenarnya meminta agar Dwita tetap istirahat dulu di 

rumah sakit sampai besok. Tapi Erlan Sujatmiko bersikeras akan 

membawa anaknya siang itu juga. 

Siang sekitar jam 12.30 Dwita keluar dari kamar. Wajahnya 

masih pucat. Tapi dia sudah bisa tersenyum, tampak gembira 

ketika teman-teman perempuan menciuminya. 

"Bom ayo deketin aja," kata Vino pada Boma sambil memberi 

isyarat pada teman-temannya yang lain. Lalu Vino berjalan 

mendahului ke arah Dwita. Walau agak ragu Rio, Firman, Andi lalu 

Boma dan Ronny disebelah belakang bergerak juga mendekati


Dwita. 

"Dwita, sampai ketemu di Jakarta ya," ucap Vino waktu 

menyalami Dwita. Lalu menyusul Rio, Firman, dan Andi. Ketika tiba 

giliran Boma dan Ronny Celepuk hendak mendekati Dwita, tiba-tiba 

Erlan Sujatmiko menyelak ke depan. Mukanya sangat masam dan 

suaranya keras menyakitkan. 

“Kamu berdua tidak usah menyalami anak saya!" 

Boma dan Ronny sama-sama tertegun. 

"Kok gitu sih Pak? Dwita 'kan teman kami juga." Boma akhirnya 

keluarkan ucapan. Suaranya begitu lembut. Membuat Dwita yang 

berdiri disamping ayahnya kelihatan terisak. 

"Pa, Papa..." Dwita memegang lengan ayahnya. 

"Jangan begitu Pa." 

Erlan Sujatmiko kibaskan tangannya hingga terlepas dari 

pegangan Dwita. Dia kembali berpaling pada Boma dan bicara 

keras hingga sernua orang mendengar. 

"Kamu bilang teman. Justru kamu yang mencelakai anak saya. 

Membuat anak saya hampir mati dalam stupa. Seumur hidup saya 

tidak akan melupakan hal itu! Seumur hidup saya akan tetap 

membenci kamu! Dan kawan kamu ini, saya tidak suka sama anak 

kurang ajar!" 

"Memangnya saya kurang ajar apa Pak!" Ronny menjawab 

sengit. 

Boma berbalik. Memegang bahu Ronny dan berkata. "Udah Ron, 

biarin aja. Nggak usah dilayanin." 

"Orang tua nggak tau diri. Apa dia nggak ngeliat kalau kamu 

yang nyelamatin anaknya dari dalam stupa." Ronny masih ngotot. 

Dia sengaja bicara keras agar ayah Dwita mendengar. 

"Ala udah deh Ron. Ayo..." Boma mendorong Ronny. 

Ayah Trini memegang bahu Erlan Sujatmiko. "Mas Erlan, kita 

harus cepat ke Bandara. Nanti ketinggalan pesawat yang jam 

dua..." 

Dwita masih belum mau beranjak ketika ayahnya memberi 

isyarat dengan goyangan kepala agar dia segera meninggalkan 

tempat itu. Anak perempuan ini menatap ke arah Boma. Seperti 

ada sesuatu yang hendak disampaikannya. Tapi sang ayah menarik 

tangannya. Terlihat ada air mata meluncur jatuh di pipinya yang 

pucat.


Sebelum keluar dari pintu gerbang Rumah Sakit Dr. Sarjito Trini 

mendatangi Boma. "Bom, kamu pasti kecewa." 

"Soal dengan ayah Dwita tadi?" 

"Bukan cuma itu. Bokapku nyuruh aku pulang sekarang juga. 

Bareng sama Dwita. Aku nggak mau. Tapi dia maksa. Aku sudah 

minta tolong Gita ngebawain barang-barangku sama barangnya 

Dwita..." 

Boma hanya bisa diam. Trini bicara lagi. 

"Menurut Pak Sanyoto, seharusnya rombongan pulang besok. 

Tapi hari ini semua anak perlu istirahat. Mungkin baru lusa balik ke 

Jakarta. Kan kamu semua belum ke Prambanan." 

"Nggak ke Prambanan juga nggak apa-apa." Kata Ronny yang 

berdiri di samping Boma. "Kalau mau pulang semua ya pulang aja. 

Rencana jalan-jalan kok jadi rusak begini..." 

"Aku pergi Bom, Ron." 

Boma menowel hidung. Ronny cuma mengangguk. 

DI WISMA di dalam kamarnya malam itu Boma tidak bisa 

memusatkan perhatian pada majalah yang dibacanya sambil 

tiduran. Sebentar-sebentar majalah itu diletakkan di atas perutnya. 

Lalu mata dipejamkan. 

Pintu kamar terbuka. Ronny, Vino dan Rio muncul. 

"Kamu kok ngerem terus di kamar!" Ronny menegur. 

"Capek Ron. Badan gue rasanya pegel. Kurang sehat," jawab 

Boma. 

"Alasan," ujar Vino. "Ini sernua pasti gara-gara si doi yang kini 

udah nggak ada lagi di sini." 

"Ah, gua sih udah nggak mikirin dia." Sahut Boma. 

"Memang berat. Dua-duanya pulang ke Jakarta. Ajie gile!" Rio 

ikut nimbrung sambil cengar cengir. 

"Aku nggak abis pikir sikap bokapnya si Dwita. Mulutnya kayak 

perempuan," kata Ronny keluarkan unek-unek. "Kalau nggak inget-

inget bokapnya temen sendiri, waktu di rumah sakit tadi pagi udah 

gue beri bacotnya." 

Boma cuma menyeringai dan lambaikan tangan lalu duduk di 

tepi tempat tidur. 

"Bom, kamu mau ikut nggak?" 

"Ikut kemana?" 

"Gita, Allan, Firman dan Andi sama beberapa anak ke Malioboro.


Katanya mau bergadang disana sambil nungguin warung lesehan 

dibuka." 

"Nggak pada capek mereka itu?" 

"Soalnya kapan lagi. Lusa udah pulang, takut nggak ada waktu." 

Jawab Rio. "Aku sama Ronny dan Vino rencana mau nyusul ke sana. 

Cari oleh-oleh." 

"Si Umar kemana?" Tanya Boma. Maksudnya Pak Sanyoto Guru 

Olah Raga. 

"Tadi siang naik taksi. Sendirian, katanya mau nengok 

saudaranya." menerangkan Ronny. 

"Di Kebon Binatang Gembira Loka," menyambung Vino menyebut 

nama Kebon Binatang di Yogya lalu tertawa geli sendiri. 

"Lastri bilang, dia dengar Pak Sanyoto mau ngajak Ibu Renata, 

tapi Ibu Rena nolak." Rio yang bicara. 

"Masih nyoba-nyoba aja dia," kata Ronny. 

"Kamu tadi mau ngajak gue kemana?" tanya Boma. 

"Makan mi sambit." Jawab Ronny. 

"Mi sambit? Ada-ada aja. Baru denger." 

"Tadi sore si Gita sama Allan udah nyobain. Kata Gita bikin mi-

nya lucu. Tapi rasanya yahud. Mi dibuntel bulet. Ditarok dalam 

tanggok kawat, dicemplungin dalem air mendidih, diangkat lalu 

dilempar ke udara, disambut sama mangkok. Dikasi bumbu-bumbu, 

dikasi pangsit goreng. Asyik nggak." 

"Tempatnya dimana?" Boma mulai tertarik. 

"Cuma deket. Di ujung jalan Kolonel Sugiyono sini. Jalan kaki 

juga nyampe," jawab Rio. "Ibu Renata sama Sulastri dan anak-anak 

lain barusan aja pergi. Naik beca. Ayo, lu mau ikut nggak?" 

"Oke deh. Tapi gua sembahyang Magrib dulu.Udeh mau habis 

waktunya," kata Boma seraya berdiri. 

"Enak juga punya temen santri kayak gini!" ucap Vino lalu 

mengambil majalah yang diletakkan Boma di atas tempat tidur. 

"Di luar masih ada wartawan yang dateng?" tanya Boma. 

"Nggak, semua udah kebagian berita kali." 

Boma baru berjalan dua langkah menuju kamar mandi ketika 

tiba-tiba pintu kamar di gedor-gedor lalu terpentang. 

Sulastri dan dua anak perempuan temannya menghambur 

masuk ke dalam kamar. Nafas mereka sengal memburu dan wajah 

mereka tampak pucat.


"Setan mana yang nguber kalian?" tanya Ronny. 

"Lastri, ada apa?" Boma bertanya. 

Sulastri menarik nafas dalam-dalam lebih dulu. Baru menjawab. 

"Dengerin....Ibu Renata...Ibu Renata." 

"Kenapa Ibu Renata?" 

"Diculik." 

"Diculik?! Gila lu!" tukas Vino karena tidak percaya. 

"Centil, kamu ini becanda apa gimana?" tanya Ronny. 

"Tanya aja temen-temen," jawab Sulastri sambil menunjuk pada 

dua anak perempuan di sampingnya. Wike dan Laila. 

"Gimana kejadiannya? Dimana?" tanya Boma. 

"Aku satu beca sama Ibu Rena. Mereka naik beca lain. Di 

jalanan mendadak ada mobil sedan gede nyalip lalu berhenti di 

depan becak. Dua orang berpakaian aneh turun dari mobil, 

langsung menarik Ibu Renata. Lalu dibawa masuk ke dalam mobil. 

Terus kabur nggak tau dibawa kemana." 

"Nggak ada yang ngeliat, nggak ada yang nolongin?" 

"Tukang beca mau nolongin tapi dijotos sampai telentang di 

aspal," menerangkan Sulastri. 

"Kamu nggak nyatat nomor sedan orang yang nyulik?" tanya 

Boma. 

"Siapa yang inget mau nyatat segala? Semuanya berlangsung 

cepet banget." 

"Wah kacau Bom! Kacau lagi!" kata Vino. 

Boma terdiam sesaat. Lalu berkata. "Heran, kok Jogya banyak 

orang jahatnya ya? Kita musti lapor Polisi Ron. Tapi tunggu," Boma 

berpaling pada Sulastri, Wike dan Laila. "Kalian ada yang ngenalin 

si penculik?" 

Sulastri manggut-manggut. "Yang satu Bom, aku ngenalin. 

Tampangnya, pakaiannya sama dengan pemuda tinggi besar pakai 

mantel item yang nyekap Dwita dalam stupa di Candi Borobudur. 

Bener, aku ingat. Pasti, nggak salah!" 

Boma, Ronny dan Vino terkejut besar. 

"Kita musti lapor Polisi Ron." Kata Boma. 

"Ya, tapi harus hubungi pengurus Wisma dulu," kata Ronny. 

Sesaat kemudian anak-anak itu menghambur ke lantai bawah 

Wisma, langsung menuju kantor. Di Kantor seorang karyawan 

Wisma tengah bicara dengan seorang kakek berpenampilan aneh.


Pakaiannya agak kumal tapi menebar harum minyak wangi yang 

menyengat. 

Ketika melihat Boma dan kawan-kawan masuk dalam Kantor, 

karyawan Wisma langsung berkata pada si kakek. 

"Kebetulan, ini anak yang Bapak cari." Karyawan Wisma 

berpaling pada Boma. "Dik Boma 'kan?" 

Boma mengangguk. 

"Bapak ini, Pak Broto mau ketemu sama Dik Boma. Katanya ada 

hal sangat penting mau dibicarakan." 

Vino mendekati Boma dan berbisik. "Gue baru tau kalau kamu 

punya kakek di Jogya ini Bom." 

Boma pandangi kakek berkemeja belang-belang tangan panjang 

itu. Rambutnya yang putih berkilat pakai minyak rambut, dikuncir ke 

belakang. Bau minyak wangi yang dipakainya luar biasa keras. 

"Bapak mau ketemu saya?" tanya Boma. 

Si kakek mengangguk. Dia ulurkan tangan. "Saya Pak Broto..." 

Habis bicara dia batuk-batuk. Lalu menyeka mulut dengan sehelai 

sapu tangan. Sapu tangan itu kelihatan merah. 

Boma tidak segera menyambut salam si kakek tapi berkata. 

"Pak Broto, sebentar Pak. Saya mau bicara dulu sama Mas ini. Ada 

urusan penting...." 

"Urusan saya lebih penting lagi." Kata Pak Broto. Kembali dia 

menyeka mulutnya dengan sapu tangan. 

"Songong juga orang tua ini," bisik Ronny pada Vino. 

"Ron, lu liat nggak sapu tangan yang die pegang. Merah, 

kayaknya dia nyeka ludah campur darah. Jangan-jangan kakek ini 

tebese. Bisikin si Boma, kalau bicara jangan deket-deket. Nanti 

ketularan 'tu anak." 

"Maaf, sebentar Pak." kata Boma. "Saya mau ngomong dulu 

sama Mas ini. Minta tolong mau ngubungin Polisi. Ibu Renata, Guru 

Bahasa Inggris kami diculik." 

"Ah, urusan kita ternyata sama," kata kakek mengaku bernama 

Pak Broto yang bukan lain adalah Si Muka Bangkai. "Saya menemui 

situ juga mau memberitahu urusan penculikan itu." 

"Pak Broto melihat kejadiannya?" tanya Boma. 

"Begini saja. Biar temanmu bicara dengan karyawan Wisma. Kita 

berdua bicara di teras sana. Gimana?" 

Boma berpikir. Berpaling pada Ronny dan Vino.


Berpikir lagi. Akhirnya dia anggukkan kepala dan melangkah ke 

teras Wisma, duduk di kursi yang dibentuk dari batu sepanjang 

pinggiran teras. Pak Broto kembali batuk-batuk. Ludah bercampur 

darah yang meleleh di sudut bibirnya diseka dengan sapu tangan 

dekil basah dan merah. 

"Pak Broto, Bapak tau peristiwa penculikan Ibu Renata?" Boma 

langsung bertanya begitu duduk di sebelah Pak Broto. 

"Saya tau tapi tidak melihat sendiri." 

"Tau tapi nggak ngeliat. Gimana sih?" 

"Peristiwa penculikannya memang saya tidak melihat. Tapi 

perencanaan, dan kemana perempuan itu dibawa, siapa 

penculiknya saya tau banyak." Sambil bicara Pak Broto sesekali 

melirik ke tangan kiri Boma. 

"Kalau gitu coba Bapak kasi tau siapa penculik Ibu Renata. 

Kemana Ibu Renata dibawa. Nanti kita sama-sama lapor Polisi." 

"Kalau urusan dengan saya tidak perlu pakai Polisi. Pasti beres. 

Pasti Ibu Guru itu bisa kembali dengan selamat." 

Boma terdiam. Dalam hati dia berkata. "Jangan-jangan orang tua 

ini kaki tangan penculik Ibu Renata. Mau minta tebusan..." 

Pak Broto tertawa lebar. Sebagian giginya sudah banyak yang 

ompong. "Situ tidak usah curiga sama saya. Saya bukan anggota 

komplotan penculik Ibu Renata. Saya tidak minta tebusan apa-apa." 

"Gila! Kok dia bisa ngebaca apa yang ada dalam pikiran gua!" 

ucap Boma dalam hati. 

"Saya nggak curiga sama Bapak. Juga nggak nuduh Bapak mau 

minta tebusan. Tapi kalau Pak Broto memang mau nolong, bilang 

saya dimana saat Ibu Renata berada. Siapa yang menculik." 

Pak Broto batuk lagi. Menyeka lagi mulutnya dengan sapu 

tangan dekil merah. 

"Saya punya satu persyaratan. Saya beri tahu dimana Ibu itu 

berada, siapa penculiknya. Tapi saya minta situ memberikan 

sesuatu pada saya." 

"Memberikan apa?" tanya Boma. 

"Batu Penyusup Batin." 

"Batu Penyusup Batin?" ulang Boma. "Batu apa itu? Saya nggak 

punya batu yang Pak Broto sebutkan itu." 

Si kakek tertawa. 

"Keselamatan nyawa dan kehormatan Ibu Guru itu sangat


penting. Terserah, kalau situ mau memberikan benda yang saya 

minta, saya akan beri tahu dimana Ibu Renata berada. Siapa 

penculiknya." 

Boma ingat keterangan Sulastri. "Saya tau siapa penculik Ibu 

Renata. Hal itu tidak perlu Pak Broto sembunyikan. Yang menculik 

orang aneh bernama Pangeran Matahari itu! Yang menyekap Dwita 

dalam stupa di Candi Borobudur." 

Pak Broto manggut-manggut. 

"Syukur situ sudah tau. Tapi dimana beradanya Ibu Guru itu 

hanya saya yang tau. Mau memberikan Batu Penyusup Batin pada 

saya?" 

"Saya tidak punya batu itu," jawab Boma. Saat itu hampir saja 

dia meraba bahu kanan sebelah depan, di mana Batu Penyusup 

Batin memang ada disitu. Disisipkan oleh Sinto Gendeng beberapa 

waktu lalu. 

"Terserah situ. Kalau mau perempuan itu selamat, serahkan 

batu. Kalau tidak saya pergi sekarang juga. Jangan menyesal jika 

terjadi apa-apa dengan Ibu Guru itu. Nasibnya bakal lebih sengsara 

dari yang dialami anak perempuan yang disekap di dalam stupa." 

Habis berkata begitu Pak Broto batuk-batuk lalu berdiri. 

Boma sesaat jadi bingung. Mendadak ada bau pesing santar 

sekali menebar di tempat itu. Tiba-tiba ada sesuatu bergerak 

masuk ke dalam saku kanan belakang celana blujinsnya. 

Bersamaan dengan itu di telinga kirinya ada suara berbisik 

mengiang. 

"Berikan barang ini pada tua bangka itu." 

"Bau pesing, pasti ada yang kencing sembarangan sekitar sini," 

Pak Broto berkata sambil menggosok hidungnya. 

Boma berdiri, meraba kantong blujins sebelah belakang kanan. 

Ada sebuah benda lembut, seperti kain di dalam kantong jins itu. 

Segera dikeluarkannya. Ternyata sebuah kantong kecil terbuat dari 

kain kuning. 

Pak Broto menyeringai. 

"Saya tau kamu bukan anak yang suka dusta. Serahkan benda 

itu pada saya..." 

Boma ulurkan tangannya. Tapi ditarik kembali. Pak Broto 

kerenyitkan kening. Bertanya. "Kenapa?" ' 

"Beri tau dulu kemana Ibu Renata dibawa."


Pak Broto menyeringai lalu gelengkan kepala. "Saya harus liat 

dulu isi kantong kuning itu. Kalau isinya memang benda yang saya 

minta baru saya beri tahu." 

Boma longgarkan benang tebal pengikat mulut kantong kuning 

lalu mengeluarkan benda yang ada di dalamnya. Benda itu 

diperlihatkan pada Pak Broto. Sepasang mata si kakek tampak 

berkilat-kilat. Ternyata benda yang diperlihatkan Boma adalah 

sebuah batu biru sebesar telur burung merpati, memancarkan 

cahaya berkemilau. 

"Ah, itu dia. Masukkan batu itu ke dalam kantongnya kembali. 

Lalu serahkan pada saya..." Berucap Pak Broto. 

Boma masukkan batu biru berkilat ke dalam kantong kain 

kuning. Lalu diulurkan ke arah Pak Broto. Si kakek memegang 

kantong kuning tapi Boma tidak melepaskan. Kalau si kakek 

berlaku culas dan merampas kantong dia akan menghantam 

dengan tangan kirinya yang saat itu sudah siap membentuk tinju. 

"Pak Broto, saya baru melepas kantong kalau Bapak memberi 

tau di mana Ibu Renata berada." 

"Candi Sewu," jawab Pak Broto. "Ibu Guru itu disembunyikan di 

Candi Sewu." 

Boma lepas pegangannya pada kantong kuning. 

Pak Broto cepat mengambil benda itu, memasukkannya ke 

dalam saku kemeja lalu tanpa bicara apa-apa lagi dia segera 

tinggalkan teras Wisma. 

Saat itu Ronny dan kawan-kawan muncul di teras. 

"Mana kakek aneh tadi?" tanya Vino. "Sudah pergi." 

"Mau ngapain dia? Kamu bicara apa?" 

"Dia memberitahu di mana Ibu Renata berada." 

"Hah? Apa Bom?" 

"Katanya Ibu Renata disembunyikan di Candi Sewu." 

"Kamu percaya?" tanya Vino. 

Boma mengangguk. "Aku mau kesana sekarang juga. Tapi nggak 

tau jalan. Cari taksi, sewa kendaraan. Apa saja pokoknya sampai 

disana." 

"Gendenk lu Bom. Malem-malem begini." 

"Keselamatan Ibu Rena lebih dari segala-galanya. Kamu udah 

ngubungin Polisi?" tanya Boma. 

"Udah. Polisi minta kita segera datang ke Kantor Polisi. Laporan


langsung. Mereka mau tanya ini itu. Karyawan Wisma mau 

nganterin pakai mobil Wisma." 

"Teman-teman, aku berangkat duluan ke Candi Sewu. Kalian ke 

Kantor Polisi dulu. Nanti nyusul aku." Habis berkata Boma turun 

dari teras Wisma, melangkah ke jalan raya. 

Ronny, Vino, Sulastri dan dua anak perempuan lainnya mengejar 

Boma. 

"Bom, lu jangan nekad nggak karuan. Jangan pergi sendirian. 

Kita barengan ke Kantor Polisi, nanti sama-sama ke Candi Sewu." 

Kata Ronny setengah berteriak. 

"Gua memang mendadak jadi nekad Ron. Gua mau jadi Bonek. 

Heran, kenapa orang-orang yang aku sayang semua ketiban 

celaka? Mungkin benar omongan ayahnya Dwita. Setiap ada yang 

celaka pasti aku biang penyebabnya." 

"Jangan ngomong gitu kamu Bom." Kata Sulastri. "Kalau kamu 

nekad mau pergi ke Candi Sewu, aku ikut." 

"Jangan, kamu musti ikut ke Kantor Polisi. Kamu saksi utama 

kejadian penculikan Ibu Renata." 

Sebuah kendaraan umum lewat. Kebetulan berhenti 

menurunkan penumpang di depan Wisma. Tidak pikir panjang 

Boma langsung saja melompat naik ke dalam kendaraan itu. 

"Gila! Bener-bener nekad 'tu anak!" kata Vino. Dia masih 

berusaha mengejar sambil berteriak. "Bom, jangan gendenk Bom. 

Turun! Kita sama-sama ke Kantor Polisi dulu. Baru ke Candi Sewu!" 

Di dalam kendaraan umum Boma Tri Sumitro lambaikan tangan 

pada teman-temannya. Kendaraan yang ditumpangnya mulai 

bergerak. 

"Punya ongkos nggak 'tu anak?" tanya Sulastri. 

"Setau gue duitnya sih cuman pas-pasan," jawab Vino. 

"Gila! Gendenk! Bener-bener Bonek 'tu anak." Kata Ronny. 

"Bonek Candi Sewu," sambung Vino. 

Mobil Wisma, sebuah minibus berhenti di halaman Wisma. 

Ronny, Vino, Sulastri, Wike dan Laila segera naik. Di dalam 

kendaraan yang meluncur menuju Kantor Polisi semua anak itu 

hanya bisa berdiam diri dalam memikirkan nekadnya Boma. 



                             TAMAT



SEGERA TERBIT EPISODE BERIKUTNYA : 


BARA DENDAM CANDI KALASAN


Benarkah Ibu Renata disembunyikan di Candi Sewu? 

Mungkin hanya dusta Pak Broto (Si Muka Bangkai) Belaka yang 

diperalat oleh Pangeran Matahari? 

Mampukah Boma seorang diri menemukan serta membebaskan 

Guru Bahasa Inggris yang menyayanginya itu?













Share:

0 comments:

Posting Komentar