..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 30 November 2024

JOKO SABLENG EPISODE RAHASIA PULAU BIRU

JOKO SABLENG EPISODE RAHASIA PULAU BIRU

 RAHASIA PULAU BIRU

Hak cipta dan Copy Right

Pada Penerbit

Dibawah Lindungan Undang-Undang

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Serial Joko Sableng

Dalam Episode 003 :

Rahasia Pulau Biru



SATU


LOLONGAN anjing menggema di kawasan 

sebuah lembah. Melengking tinggi seakan 

hendak mendaki angkasa raya, di mana sang 

rembulan terlihat menyembunyikan diri di 

balik arakan awan hitam yang bergerak 

perlahan. Namun mendadak arakan awan 

bergerak cepat. Kejap kemudian petir 

menyambar. Guntur menggelegar seolah 

hendak membongkar lintasan bumi yang 

mulai didera hujan dan kegelapan yang 

menakutkan.

Sebuah kereta tua tampak bergerak 

cepat menuju lembah. Anehnya, meski 

cuaca tiba-tiba memburuk dan kepekatan 

membungkus jalanan yang dilewati, namun 

kereta itu seakan tak mengalami 

keuletan, malah sang kuda penarik kereta 

itu tampak berlari makin kencang laksana 

dikejar setan!

Kusir kereta itu adalah seorang 

laki-laki berusia lanjut. Mukanya pucat 

dan tirus. Sepasang matanya besar masuk 

ke dalam lipatan rongga yang dalam. 

Rambutnya putih panjang disanggul ke 

atas. Kakek ini mengenakan jubah besar 

warna hitam. Sebelah tangannya 

tersembunyi di balik saku jubahnya 

sementara tangan satunya sesekali 

menyentak tali kekang kuda.

Di belakang tempat duduk si kakek 

terlihat sebuah peti persegi panjang 

dari kayu berwarna putih mengkilat yang


panjangnya kira-kira satu setengah 

tombak dan lebarnya satu tombak.

Pada satu tempat, si kakek tiba-tiba 

berdiri. Air terlihat mengucur dari 

jubah dan tubuhnya yang telah basah 

kuyup. Sepasang matanya yang besar 

dijerengkan menembusi kegelapan lembah. 

Mulutnya komat-kamit. Tangannya yang 

memegang tall kekang ditarik ke 

belakang. Bersamaan dengan itu terdengar 

empat kaki kuda menghentak tanah disusul 

dengan ringkihan keras.

"Dewi...!" si kakek berseru. "Kita 

telah sampai!" Terdengar suara berderit. 

Lalu perlahan-lahan tutup peti bergeser

membuka. Di lain kejap, dua buah tangan 

terlihat menjulur keluar dari peti 

lalu.... 

Wuttt!

Dari dalam peti melesat sesosok 

tubuh dan lenyap dalam kegelapan.

Si kakek berpaling ke belakang 

sejenak. Tiba-tiba dia membuat gerakan 

melesat ke udara, Jungkir baiik dua kali 

sebelum akhirnya menjejak tanah dengan 

sepasang mata liar memandang ke seantero 

lembah.

"Buyut...! Apa yang kau tunggu?!" 

satu teguran keras membuat si kakek 

seakan tersadar. Buru-buru dia 

berkelebat ke arah datangnya suara 

teguran.

"Dewi...," kata si kakek begitu 

telah sampai di belakang sesosok tubuh


yang kini tegak tiga langkah di depannya. 

Namun kakek yang dipanggil Buyut tak 

meneruskan ucapannya demi dilihatnya 

sosok di depannya angkat sebeiah 

tangannya memberi isyarat agar si kakek 

diam.

"Hem.... Ternyata mereka murid-

murid yang tangguh. Tak lekang oleh panas 

tak lapuk oleh hujan." Sosok di depan si 

kakek perdengarkan gumaman perlahan 

dengan sepasang mata menatap tak 

berkedip ke depan.

Lima belas langkah dari tempat 

mereka berdua, tampak duduk bersila tiga 

orang gadis berparas jelita. Seluruh 

pakaian dan tubuh mereka bertiga basah 

kuyup. Sepasang mata masing-masing gadis 

ini terpejam rapat. Mulut mereka juga 

terkancing. Namun sesekali tubuh mereka 

terlihat bergoyang-goyong keras. 

Melihat pada keadaannya jelas jika 

ketiga gadis ini sedang melakukan 

semadi.

Gadis paling kanan mengenakan jubah 

besar warna merah. Rambutnya lebat dan 

dikuncir agak tinggi. Pada sebelah atas 

bibirnya tampak sebuah lahi lalat. 

Sementara gadis yang tengah mengenakan 

jubah warna kuning. Rambutnya panjang 

dibiarkan bergerai. Hidungnya mancung 

dengan kulit putih. Sepasang bulu 

matanya lentik. Sedang gadis paling kiri 

mengenakan jubah besar warna biru.


Rambutnya sebatas bahu. Bibirnya 

membentuk bagus dan merah tanpa polesan.

Tiba-tiba gadis berjubah kuning 

yang duduk paling tengah terlihat 

membuat gerakan. Kepalanya dipalingkan 

ke kiri ke arah gadis berjubah merah. 

Perlahan sepasang matanya membuka dan 

untuk beberapa saat memandang ke arah 

gadis di sebelahnya. Mulutnya bergerak

sedikit sepertinya hendak keluarkan 

ucapan. Namun ketika dilihatnya gadis 

berjubah merah dan biru di sebelahnya 

diam tak membuat gerakan apa-apa, gadis 

berjubah kuning ini urungkan niatnya. 

Tapi kebimbangan jelas membayang di 

wajahnya. Ini terlihat tatkala meski dia 

kembali pejamkan sepasang matanya, namun 

sebentar kemudian matanya dibuka kembali 

bahkan seraya menarik napas panjang dan 

dalam.

Untuk kedua kalinya gadis berjubah 

kuning palingkan kepalanya ke samping 

kiri. Demi dilihatnya kedua gadis di 

sebelahnya tetap diam, gadis berjubah 

kuning gelengkan kepalanya perlahan. 

Diam-diam dalam hati dia berkata.

"Heran.... Apa mereka begitu 

tenggelam dalam kekhusyukan hingga tak 

merasa adanya orang lain di tempat ini?! 

Atau hanya telingaku saja yang menipu?!"

Gadis berjubah kuning tiba-tiba 

sentakkan kepalanya ke samping kanan, 

kedua tangannya yang merangkap di dada 

diturunkan. Sepasang matanya


dibeliakkan dan memandang liar ke sana 

kemari.

"Aku tak dapat ditipu! Aku baru saja 

mendengar suara roda kereta. Lalu suara 

ringkihan kuda. Lebih-lebih baru saja 

kudengar suara orang! Tapi mana bangsat 

jahanamnya?!"

Gadis berjubah kuning putar 

kepalanya. Lalu terhenti pada sosok 

gadis di sebelahnya yang tetap terpejam 

dengan tangan masing-masing merangkul di 

depan dada.

"Mereka hams diberitahu sebelum ada 

sesuatu yang terjadi. Aku menangkap 

gelagat tidak baik...," batinnya lalu 

membuka mulut.

"Sitoresmi! Ayu Laksmi! Apa kalian

mendengar sesuatu?!"

"Aku dengar apa yang kau dengar, 

Wulandari!" Yang menjawab adalah gadis 

berjubah merah yang dlpanggil Sitoresmi 

seraya buka sepasang matanya. Kepalanya 

tengadah hingga wajahnya tercurah air 

hujan.

"Orang yang berani datang kemari, 

siapa pun dia adanya pasti minta mampus! 

Kita segera berpencar! Jangan sampai 

orang itu lolos!"

"Tahan!" Mendadak gadis berjubah 

biru menahan seraya buka kelopak 

matanya. "Tempat dan pertemuan ini telah 

diatur tujuh purnama yang lalu. Hanya 

satu orang yang tahu tempat dan pertemuan


ini. Aku khawatir, jangan-jangan orang 

tak diundang ini adalah...."

Belum selesai gadis berjubah biru 

yang dipanggil dengan Ayu Laksmi 

selesaikan ucapannya, Wulandari telah 

memotong.

"Rimba persiiatan sedang dilanda 

kemelut tak menentu. Dalam situasi 

demikian, apa pun dapat terjadi! Dan 

bukan tak mungkin tempat ini telah 

diendus orang lain! Munculnya manusia 

lain akan merusak suasana. Kita harus 

segera berbuat sesuatu!"

Meski ucapan Wulandari bernada 

perintah, namun baik Sitoresmi maupun 

Ayu Laksmi tak ada yang membuat gerakan, 

membuat Wulandari sedikitg. Tanpa 

pedulikan pada kedua gadis di sebelahnya 

gadis berjubah kuning yang terlihat 

sedikit tua dibanding dua gadis di 

sebeiahnya dan sepertinya menjadi 

pimpinan serentak bangkit berdiri. 

Sambil mendongak dia berucap lantang.

"Siapa pun kau adanya, kami tahu kau 

berada di sekitar tempat ini. Sebelum 

kesabaran kami pupus, keluarlah dari 

persembunyianmu."

Tak ada sahutan atau gerakan 

pertanda akan muncuinya seseorang. 

Wulandari makin geram. Pelipis kiri 

kanan gadis ini bergerak-gerak. Dagunya 

sedikit mengembang sementara dari 

hidungnya terdengar dengusan keras.


"Hai!" untuk kedua kalinya 

Wulandari berteriak keras. "Waktu kami 

tidak banyak! Lekas tampakkan tampangmu 

atau kami akan mencari dan memutus 

selembar nyawamu!"

Belum juga ada tanda-tanda akan 

munculnya seseorang, membuat Wulandari 

yang sepertinya tak sabaran segera 

kerahkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya. Sementara Sitoresmi dan Ayu 

Laksmi cepat pula ikut-ikutan berdiri.

"Kita harus hati-hati! Dengan tidak 

berani tampakkan wajah di hadapan kita, 

berarti jahanam itu punya maksud tidak

baik! Dan dengan tidak bisa diketahui di 

mana beradanya bangsat itu, Jelas jika 

dia punya ilmu tinggi!" berkata Ayu 

Laksmi seraya putar kepalanya.

"Aneh. Bagaimana mungkin tempat ini 

bisa diketahui orang lain?! Apakah ada 

yang membocorkan pertemuan ini?!" 

Sitoresmi diam-diam membatin dalam hati.

"Hem.... Cuaca yang buruk membuat 

keparat Jahanam itu sulit diduga di mana 

beradanya...." Gadis berjubah kuning 

bergumam, lalu palingkan kepala ke arah 

si jubah merah Sitoresmi.

"Kau bergerak ke arah timur, aku ke 

barat. Sementara Ayu Laksmi ke arah 

selatan!" ucapnya seraya memberi isyarat 

dengan anggukkan kepala.

Sitoresmi dan Ayu Laksmi saling 

pandang sejenak. Lalu sama-sama 

anggukkan kepala. Ketiga gadis berparas


jelita ini segera berkelebat ke arah yang 

telah ditentukan. Namun belum sampai 

tubuh mereka bergerak berkelebat, dari 

arah kegelapan terdengar satu deruan 

luar biasa dahsyat. Di lain kejap tiga 

rangkum angin keluarkan suara bergemuruh 

laksana topan melabrak ke arah mereka!

Masing-masing gadis keluarkan suara 

seruan tegang tertahan. Di saat lain 

ketiganya segera sama berkelebat ke arah 

samping, lalu hantamkan kedua tangan 

masing-masing!

Brakkk! Brakkk! Brakkk! 

Terdengar tiga kali suara gebrakan 

berturut-turut laksana derakan pohon 

tumbang. Angin bertenaga dalam tinggi

yang mengarah pada ketiga gadis itu 

serta-merta ambyar berkeping. Sejenak 

lembah Itu disinari cahaya benderang 

akibat bentroknya tiga pukulan.

Namun belum sirap cahaya benderang 

dan gema gebrakan masih mengiang, dari 

arah depan ketiga gadis ini melesat tiga 

kabut putih keluarkan hawa panas 

menyengat menindih lenyap hawa dingin 

cuaca.

"Kabut Neraka!" seru Sitoresmi 

mengenali pukulan yang kini mengarah 

pada diri dan kedua gadis di sampingnya.

Namun bersamaan dengan datangnya 

serangan itu, ketegangan yang tadi 

terlihat pada raut muka ketiga gadis ini 

serta-merta lenyap.


"Dugaanku benar. Untung dia yang 

datang...," gumam Ayu Laksmi seraya 

takupkan kedua tangannya di depan dada. 

Sementara Wulandari dan Sitoresmi 

undurkan langkah masing-masing satu 

tindak ke belakang. Kedua tangannya 

segera puia ditakupkan di depan dada. 

Kejap kemudian, ketiganya sama hantamkan 

tangan masing-masing ke depan.

Wuuutt! Wuutt! Wuuttt!

Dari masing-masing kedua tangan 

ketiga gadis itu melesat tiga kabut putih 

yang selain perdengarkan suara luar 

biasa dahsyat juga tebarkan hawa panas!

Blaarr! Blaarr! Blaarrr!

Lembah sunyi dan geiap itu iaksana 

didera gempa. Tanah berlumpur muncrat ke 

udara. Semak belukar dan pohon 

tercerabut lalu membumbung ke angkasa 

membuat cuaca yang sebentar tadi terang 

mendadak gelap kembali!

Bersamaan dengan terdengarnya suara 

ledakan, tiga sosok tampak mencelat 

sampai dua tombak ke belakang dengan 

wajah pucat dan tubuh bergetar. Pada saat 

yang sama, dari arah kegelapan terdengar 

makian panjang pendek yang kemudian 

disusul dengan terdengarnya suara tawa 

mengekeh panjang. Namun tiba-tiba suara 

tawa itu terputus laksana dirobek iblis. 

Kejap lain dua sosok bayangan hitam 

berkelebat dari satu pohon besar dan 

tahu-tahu telah berdiri tegak empat 

belas Iangkah di hadapan ketiga gadis.


Laksana terbang, Wulandari, 

Sitoresmi dan Ayu Laksmi melompat ke 

depan lalu sama jatuhkan diri tiga 

langkah di hadapan dua sosok yang baru 

datang.

"Guru! Ki Buyut!" seru ketiga gadis 

berbarengan dengan suara sedikit 

bergetar. Kepaia masing-masing orang ini 

menunduk.

Terdengar suara tawa pelan. Disusul

dengan ucapan.

"Aku gembira melihat perkembangan 

kalian yang maju pesat! Dan aku kagum

pada ketabahan kalian. Bangkitlah, 

murid-muridku!"

Ketiga gadis itu menuruti ucapan 

orang di hadapannya. Sepasang mata 

masing-masing gadis menatap ke depan, ke 

arah dua orang yang tegak mengawasi 

dengan sorot mata tak berkesiap.

Sebelah kanan adalah seorang kakek 

berjubah hitam besar dan panjang. 

Mukanya amat pucat dengan rambut putih 

disanggul ke atas. Sepasang matanya 

melotot besar, sementara kedua tangannya 

masuk ke dalam saku jubah hitamnya. Di

samping kakek yang dipanggil Ki Buyut 

ini, tegak seorang perempuan mengenakan 

jubah yang juga berwarna hitam panjang 

sebatas lutut. Rambut pirang dan panjang 

dibiarkan bergerai menutupi sebagian 

bahu dan punggungnya. Pada kedua 

tangannya terlihat sarung tangan dari 

kulit berwarna hitam hingga tangan


perempuan ini tak kelihatan kulitnya. 

Perempuan ini juga sukar ditebak 

umurnya, karena pada wajahnya tampak 

sebuah cadar hitam, hingga yang terlihat 

dari wajahnya hanyalah sepasang matanya

yang tajam dari kedua lobang cadar.

"Guru...," kata Wulandari. "Maaf 

atas kelancangan muridmu yang telah 

berani bertindak kurang ajar terhadap-

mu!"

Perempuan berjubah dan bercadar 

hitam yang dipanggil guru kembail 

perdengarkan suara tawa perlahan. 

"Lupakan semua itu! Delapan tahun kalian 

kuberi kesempatan untuk melalang buana 

di arena rimba persilatan. Lalu tujuh 

purnama kalian bersemadi di tempat ini. 

Meski kurun waktu itu belum bisa dibuat 

jaminan kalian matang betul, namun 

setidaknya kalian telah mendapatkan 

pengalaman berharga. Lebih dari itu 

pasti kalian telah tahu apa yang kini 

sedang terjadi dalam kancah dunia 

persilatan...." Sejenak perempuan 

berjubah dan bercadar hitam hentikan 

ucapannya. Setelah menarik napas panjang 

dan merapikan rambutnya dia melanjutkan.

"Aku tanya pada kalian. Apa kalian 

dengar tentang munculnya beberapa tokoh 

yang menurut sebagian orang telah 

mengundurkan diri bahkan sebagian orang 

mengabarkan telah tewas?!"

"Benar, Guru. Pada beberapa tahun 

terakhir ini memang kami dengar banyak


tokoh yang muncul Kembali. Malah kami 

sempat hertemu dengan sebagian dari 

mereka...." Yang angkat bicara 

Wulandari.

"Hem.... Begitu? Mendung memang tak 

selamanya pertanda akan turunnya hujan. 

Namun kemunculan beberapa tokoh rimba 

persilatan pasti ada sesuatu yang 

menyebabkannya. Kalian tahu, untuk npa 

mereka muncui kembali?!"

"Itu tidak jelas. Namun akhir-akhir 

ini rimba persilatan diselimuti 

kegegeran tentang sebuah kitab. Bukan 

tidak mustahii, kemunculan mereka 

mungkin ada kaitannya dengan kitab itu!" 

Kembali Wulandari yang bicara.

"Tapi kami telah menyeiidik dan 

beberapa kali kami mendapat petunjuk 

tentang kitab itu. Namun pada akhirnya 

kami harus menelan rasa kecewa. Karena 

petunjuk yang kami dapatkan tidak sesuai 

dengan kenyataan. Padahal untuk 

mendapatkan petunjuk itu, kami harus 

tumpahkan darah siapa saja! Dari 

kenyataan itulah, kami akhirnya 

mengambil kesimpulan jika berita tentang 

kitab itu hanya kabar bohong!"

Perempuan berjubah dan bercadar 

hitam tert-wa pendek. Lalu berpaling 

pada si kakek di sampingnya.

"Sudan saatnya Dewi memberitahukan 

pada mereka. Kita sekarang dituntut 

untuk bergerak cepat. Terlambat sedikit, 

bukan hanya penyesalan yang akan kita


peroleh, namun cita cita Dewi juga akan 

kandas di tengah jalan!" kata si kakek 

seraya mengarahkan sepasang matanya pada 

ketiga gadis di depannya.

Perempuan berjubah dan bercadar 

hitam manggut-manggut. Kepalanya 

dipalingkan ke jurusan lain.

"Aku maklum jika kalian 

berkesimpulan bahwa adanya kitab itu 

hanya kabar bohong, karena kalian 

mendapatkan petunjuk bukan dari orang 

yang benar-benar tahu akan kitab itu!"

"Maksud Guru...?!" tanya Sitoresmi.

"Dengar balk-baik. Kitab yang 

disebut orang dengan nama Kitab Serat 

Biru itu benar adanya dan bukan cerita 

kosong!"

Ketiga gadis di hadapan perempuan 

berjubah dan bercadar hitam terkejut dan 

saling pandang satu sama lain. Jelas 

wajah mereka membayangkan rasa tidak 

percaya pada ucapan gurunya, membuat 

sang guru tertawa panjang.

"Guru...," kata Ayu Laksmi. Namun 

ucapan gadis berjubah biru itu segera 

dipotong oleh sang guru.

"Tak ada guna kalian berdalih. 

Karena kalian mendapat keterangan dari 

orang yang tidak tahu, mana mungkin 

kalian tidak akan tersesat? Dengar 

baik-baik! Hari ini aku akan membuka 

sesuatu yang sejak dua puluh tahun silam 

selalu mengganjal pikiranku. Tapi kalian 

harus ingat. Jika salah seorang di antara


kaiian ada yang membocorkan hal ini, 

berarti kalian menggali lobang kubur 

sendiri! Kalian dengar itu?!"

Ketiga gadis itu sama anggukkan 

kepala. Lalu sama menatap pada perempuan 

berjubah dan bercadar hitam.

"Kitab Serat Biru tersimpan pada 

sebuah pulau yang disebut Pulau Biru."

"Guru. Harap katakan di mana Pulau 

Biru. Kami akan segera berangkat ke 

sana!" kata Wulandari seraya maju satu 

tindak.

Perempuan berjubah dan bercadar 

hitam gelengkan kepala. Kembali ketiga 

gadis berparas cantik di hadapannya 

saling pandang. Kini raut mereka 

membayangkan rasa heran.

"Seandainya aku tahu di mana pulau 

itu, tak mungkin hai itu mengganjal dalam 

benakku selama dua puluh tahun! Lagi pula

tiada gunanya aku menggembleng kaiian 

agar kelak dapat membantuku!"

"Lantas apa yang sekarang harus kami 

perbuat" tanya Wulandari.

"Ada waktu menanam benih, ada pula 

saat mengambil buah. Segala ilmu telah 

kuturunkan pada kalian. Kini kuminta 

kalian membantuku!"

"Budi jasa Guru tak impas ditukar 

dengan seisi dunia. Jangankan hanya 

membantu, kepala kami pun akan kami 

serahkan jika Guru minta!" ujar Ayu 

Laksmi.


"Bagus! Kuharap ucapan itu tidak 

hanya di mulut, karena tanpa ucapan itu 

pun aku tak segan memutus kepala kalian 

jika berbuat di luar perintahku!"

"Harap Guru segera beritahukan apa 

yang harus kami lakukan!" kata Sitoresmi 

dengan suara sedikit serak.

Perempuan berjubah dan bercadar 

hitam selinapkan tangan kanannya ke 

balik jubah. Ketika tangan itu keluar 

kembali, terlihat lembaran kulit 

sepanjang satu setengah jengkal. Kulit 

itu berwarna coklat kusam dan telah lapuk 

di sana sini. Pada sisi samping tampak 

berkelok pertanda kulit itu dirobek 

secara paksa.

Untuk beberapa saat baik perempuan 

berjubah dan bercadar hitam serta si 

kakek yang tegak di sampingnya pandangi 

kulit coklat itu dengan tak kesiap. 

Sementara ketiga gadis di hadapan mereka 

berdua sama arahkan pandangannya pada 

kulit coklat dengan hati masing-masing 

orang disarati beberapa pertanyaan dan 

dugaan.

"Kitab Serat Biru adalah sebuah 

kitab yang tiada tandingnya. Karena 

itulah untuk mendapatkannya bukan urusan 

yang gampang. Kalian lihat! Di kulit ini 

tertera peta yang nantinya berakhir pada 

Pulau Biru di mana tersimpan Kitab Serat 

Biru...."

Selesai berucap demikian, perempuan 

berambut pirang dan berjubah serta


bercadar hitam gerakkan tangannya yang 

memegang kulit. Kulit warna coklat itu 

melesat ke depan.

Di depan sana, si jubah kuning 

Wulandari segera angkat tangan kanannya. 

Dan....

Settt!

Kulit coklat itu telah tersambar ke 

tangannya.

Sitoresmi dan Ayu Laksmi segera 

bergerak mendekat. Ketiganya kini 

menatap kulit coklat yang ada di tangan 

Wulandari. Wulandari kerahkan tenaga 

dalam pada kedua tangannya. Tiba-tiba 

dari kedua tangannya sampai siku 

memancar sinar terang keputihan. Hingga 

mesti suasana di sekitar lembah masih 

dicekam kepekatan, tapi mereka bertiga 

dapat dengan jelas melihat apa yang 

tertera di atas kuiit coklat lusuh itu.

Namun tiba-tiba secara serentak 

kepala masing-masing gadis ini 

disentakkan menghadap gurunya. Setelah 

saling pandang sejenak, Wulandari hendak 

buka mulut. Tapi sebelum suaranya terde-

ngar, perempuan berjubah dan bercadar 

hitam telah angkat bicara.

"Tugas kalian mencari penggalan 

kulit itu! Dan Itu dapat kalian mulai 

dari menelusuri peta yang ada di tangan 

kalian!"

"Dan ingat!" kali ini yang keluarkan 

ucapan adalah si kakek. "Kalian harus 

waspada. Mengingat kitab itu bukan


sembarangan, maka tidak tertutup 

kemungkinan adanya orang-orang yang 

memalsu penggalan kulit itu. Kalian 

harus teliti benar! Sekali kulit palsu 

yang kalian dapat, kesesatan yang akan 

kalian peroleh!"

"Lebih dari itu, kalian harus 

hati-hati. Pemegang penggalan kulit itu 

pasti bukan orang yang bisa dipandang 

sebelah mata. Dan melihat kulit itu, aku 

mempunyai firasat pemegang penggalan 

kulit itu bukan hanya satu orang!"

"Kenapa bisa begitu?" tanya Ayu 

Laksmi.

"Seperti ucapan Ki Buyut Pagar Alam, 

kitab itu bukan kitab sembarangan. Tidak 

mustahil peta menuju Pulau Biru itu 

sengaja dipenggal menjadi beberapa 

bagian untuk menyesatkan dan membuat 

orang bingung!"

"Guru.... Mendengar keteranganmu, 

apakah Guru telah yakin bahwa penggalan 

ini asli?" tanya Sitoresmi.

"Lima tahun aku melatih diri untuk 

dapat mengalahkan dan merebut penggalan 

kulit itu dari tangan pemegangnya! Dia 

adalah seorang tokoh tua yang hanya 

beberapa orang saja yang mengenalnya. 

Mendiang guruku yang memberi petunjuk 

padaku. Dan ucapan guruku tak mungkin 

dusta! Jadi penggalan kulit itu asli 

adanya!"


"Apakah dari tokoh itu kulit ini 

telah demikian adanya?!" Yang ajukan 

tanya Wulandari.

"Benar. Dari itulah aku mempunyai 

firasat jika penggalan kulit itu bukan 

hanya pada satu orang!"

"Hem.... Bagaimana mungkin petunjuk 

sebuah kitab sakti bisa dipenggal 

menjadi beberapa bagian? Apakah 

orang-orang itu tidak menginginkan kitab 

itu?!"

Perempuan berjubah dan bercadar 

hitam tertawa panjang mendengar ucapan 

Wulandari yang bernada seolah tak 

percaya.

"Kalian hanya perlu dengar dan 

berpikir tanpa harus mengerti bagaimana 

dan mengapa kulit peta itu sampai dibagi 

menjadi beberapa penggalan! Kalian tak 

akan menemukan jawaban pasti! Masih ada 

yang hendak kalian tanyakan?!"

"Guru. Setiap kali Guru ucapkan 

perintah pada kami pasti dengan waktu 

yang Guru tentukan. Apakah tugas memburu 

Kitab Serat Biru itu juga Guru beri 

batasan waktu?" tanya si jubah biru Ayu 

Laksmi.

Perempuan berjubah dan bercadar 

hitam menghela napas panjang. Seraya 

menatap satu persatu pada ketiga 

muridnya dia berujar.

"Tugas kalian kaii ini adalah sangat 

berat. Kalian pasti akan menghadapi 

beberapa tokoh yang selain belum kalian


kenal juga berlimu sangat tinggi. Untuk 

kali ini kalian tak kuberi batasan waktu. 

Hanya jika kalian berhasil mendapatkan 

peta itu dengan sempurna, kalian 

kutunggu di istana Setan!"

Setelah berkata demikian, perempuan 

berjubah dan bercadar hitam dongakkan 

kepala. Air hujan terns mendera, namun 

anehnya baik rambut maupun pakaian yang 

dikenakan perempuan ini tidak basah sama 

sekali.

"Cuaca tampaknya makin menggila. 

Kalau memang semuanya sudah jelas aku 

akan segera tinggalkan tempat ini...."

Ketiga gadis berparas cantik 

dihadapan perempuan berambut pirang 

saiing pandang lalu anggukkan kepala.

"Keterangan Guru kami kira sudah 

cukup. Dan kami pun akan segera 

berangkat!" kata Wulandari.

Belum habis ucapan Wulandari, 

perempuan berjubah bercadar hitam 

palingkan kepala ke arah Ki Buyut Pagar 

Alam. Kejap kemudian tubuhnya bergerak 

dan tahu-tahu ketiga gadis di hadapan 

perempuan berjubah hitam tidak lagi

menangkap sosok orang di hadapan mereka! 

Mereka hanya mendengar suara ringkihan 

kuda ditingkah dengan gemeletak roda 

kereta yang sayup-sayup makin perlahan 

sebelum akhirnya lenyap!

Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu 

Laksmi sama keluarkan gumaman tak jelas. 

Di lain saat, Wulandari berpaling pada


kedua gadis di sampingnya seraya 

anggukkan kepala. Kejap kemudian, ketiga 

gadis ini berkelebat tinggalkan lembah 

tanpa keluarkan sepatah kata!

* * *


DUA



DI satu kawasan hutan kecil terlihat 

seorang pemuda keluar dari gerumbulan 

jajaran pohon tua dan melangkah perlahan 

menuju sebuah dataran berbatu yang 

menghampar luas di hadapannya. Seraya 

melangkah, terdengar gumaman senandung 

nyanyian dari mulutnya. Sesekali 

kepalanya dipalingkan ke sana kemari 

dengan sepasang matanya yang tajam 

memperhatikan kawasan yang dilewati. 

Namun meski pemuda ini melangkah 

sendirian, tak jarang dia tampak 

senyum-senyum sendiri seraya 

berjingkat-jingkat. Ternyata si pemuda 

memainkan jari kelingkingnya ke dalam 

lobang telinganya.

Pada satu tempat, si pemuda yang 

mengenakan pakaian putih-putih, 

berambut panjang sedikit acak-acakan 

yang dibalut dengan ikat kepala warna 

putih Ini hentikan langkahnya. Tangan 

kanannya diangkat dan ditadangkan di 

depan kening untuk menangkis silaunya 

matahari. Sepasang matanya menyapu 

seantero dataran berbatu.


"Kitab Serat Biru.... Hem.... aku 

sama sekali masih buta dengan 

seluk-beluk kitab itu. Ke mana aku harus 

mencari? Manusia Dewa maupun Eyang guru 

tidak berikan petunjuk secuil pun 

tentang keberadaan kitab itu. Ke mana aku 

harus bertanya? Pulau Biru.... Hanya itu 

satu-satunya keterangan! Ah, mungkin aku 

harus menjalankan tugas ini dengan 

meraba-raba. Menilik dari namanya, jelas 

jika tempat Itu berada pada kawasan laut. 

Tapi laut mana? Laut Utara atau kawasan 

Laut Selatan?" Si pemuda menarik napas 

dalam-dalam. "Peduli setan. Yang penting 

aku harus menuju kawasan laut...," 

akhirnya si pemuda memutuskan. Lalu 

meneruskan Iangkah.

Namun gerak kakinya tertahan 

tatkala tiba-tiba saja terdengar suara 

tawa mengekeh panjang. Paras muka si 

pemuda tampak berubah tegang. Suara tawa 

yang terdengar bukan suara tawa biasa. 

Karena si pemuda merasakan kedua kakinya 

yang menginjak tanah bergetar hebat 

pertanda siapa pun adanya orang yang 

perdengarkan tawa memilikl ilmu 

kepandaian tinggi serta tenaga dalam 

yang luar biasa dahsyat!

Menangkap gelagat akan adanya 

bahaya, si pemuda segera kerahkan tenaga 

dalam pada kedua tangannya, kejap 

kemudian kepalanya berpaling ke arah 

datangnya suara tawa.


Namun si pemuda jadi terkesiap 

sendiri. Bersamaan dengan berpalingnya 

kepala, suara tawa itu tiba-tiba 

terputus laksana direnggut setan. Lebih 

dari Itu, si pemuda tak menangkap seorang 

pun meski sepasang matanya dijerengkan 

mengawasi berkeliling!

"Apakah telingaku yang salah 

dengar?!" gumam si pemuda. Untuk 

beberapa saat dia menunggu. "Heran. 

Suara tawa itu demikian keras, tanpa 

manusianya tak berada jauh dari sekitar 

tempat ini. Tapi...." Si pemuda tak 

teruskan kata hatinya karena saat itu 

juga kembali terdengar suara tawa menge-

keh panjang keras membahana!

Si pemuda cepat putar tubuh. 

Sepasang matanya mendelik besar tak 

kesiap memandang ke depan. Di atas satu 

gundukan batu tujuh tombak dari 

tempatnya berdiri si pemuda melihat 

seorang nenek duduk mencangklong dengan 

kedua tangan merangkap di depan sepasang 

kakinya.

Perempuan tua Ini mengenakan jubah 

besar warna merah menyala. Parasnya 

pucat. Kelopak sepasang matanya besar, 

tapi sepasang bola mata di dalamnya amat

sipit. Rambutnya putih sebatas tengkuk. 

Mulutnya terus menerus bergerak-gerak 

memainkan gumpalan tembakau berwarna 

hitam. Anehnya, meski suara tawa masih 

terus membahana, si nenek justru


enak-enakan memainkan gumpalan tembakau 

di mulutnya!

Mungkin karena baru kali ini menemui 

keanehan pada orang, si pemuda sempat 

berulangkali kerjapkan sepasang matanya 

untuk meyakinkan bahwa apa yang di 

hadapannya benar-benar bukan tipuan 

matanya.

"Edan! Manusia tua ini betul-betul 

luar biasa.... Siapa nenek ini?"

Belum sampai si pemuda mendapat 

jawab dari pertanyaannya sendiri, nenek 

di depan sana goyangkan bahunya. 

Tiba-tiba sosoknya meiesat. Kejap lain 

tahu-tahu telah berdiri tegak lima 

langkah di hadapan si pemuda dengan kedua 

tangan berkacak pinggang!

"Lekas katakan siapa nama dan apa 

gelarmu!" Mendadak si nenek keluarkan 

bentakan garang, membuat si pemuda 

tersentak kaget. Bukan karena kerasnya 

suara bentakan, tapi karena bentakan itu 

demikian keras padahal si nenek hanya 

sedikit buka mulutnya dan masih mainkan 

gumpalan tembakau di mulutnya!

"Nek...."

"Setan! Aku bukan nenekmu!" potong 

si nenek sebelum habis ucapan si pemuda. 

"Jawab cepat tanyaku atau kupuntir 

tanggal lehermu!"

"Gila! Orang tua Ini bukan hanya 

aneh, tapi juga galak.... Hemm.... Aku 

tahu bagaimana menghadapi orang tua 

macam ini!" Si pemuda membatin, lalu


arahkan pandangannya pada jurusan lain. 

Mulutnya sunggingkan senyum. Lalu 

berujar.

"Kau telah tahu namaku, harap kau 

tidak lagi bercanda!"

Si nenek komat-kamitkan mulut 

hingga gumpalan tembakau hitam di 

dalamnya terlihat keluar masuk. Sepasang 

matanya yang sipit membeliak.

"Kulngatkan, Anak Muda! Sebutkan 

apa yang kutanya atau...."

Kali ini ganti si pemuda yang 

memotong ucapan si nenek sebelum 

kata-katanya selesai.

"Nek. Kau tadi telah menyebutku 

Setan. Memang itulah namaku! Kau sendiri 

siapa, Nek?!"

"Hem.... Namamu Setan. Siapa 

gelarmu?!" si nenek baiik ajukan tanya.

"Ah, sebenarnya aku malu mengatakan 

padamu.

Tapi untukmu tak apalah. Asal Nenek 

jangan mengejeknya... karena...."

"Setan! Jangan bertele-tele!" putus 

si nenek seraya hembuskan napas panjang.

Si pemuda terkesiap dan buru-buru 

geser tubuhnya sedikit ke samping karena 

bersamaan dengan itu satu gelombang 

angin keras melesat ke urahnya dengan 

keluarkan hawa busuk luar biasa! 

Anehnya, kejap kemudian bersamaan dengan 

lewatnya hawa busuk, menebar aroma 

harum!


"Orang-orang menggelariku Setan 

Jelek! Sekarang harap Nenek sudi 

sebutkan diri...," kata si pemuda dengan 

mata tak berkedip memperhatikan dari 

bawah sampai atas.

Si nenek dongakkan kepala. Sepasang 

matanya dipejamkan rapat,

"Kasihan kau Setan Jelek! Karena 

nasibmu sama dengan gelar yang kau 

sandang!"

"Apa maksudmu, Nek?!"

"Nasibmu jelek. Karena harus tewas 

di tanah tak bertuan! Hik... hik... 

hik...! Kau harus terima takdirmu!"

Habis berkata begitu, si nenek 

goyang-goyangkan kepalanya. Tiba-tiba 

sepasang tangannya bergerak mendorong ke 

depan. Gerakan itu pelan saja. Namun pada 

saat bersamaan si pemuda yang tegak di 

hadapannya merasakan hantaman angin yang 

luar biasa dahsyat! Hingga jika saja si 

pemuda tak segera menghindar selamatkan 

diri dengan berkelebat ke samping, 

niscaya tubuhnya akan terpelanting dan 

terbanting jatuh. Karena hembusan angin 

itu secara mendadak berputar-putar 

membentuk pusaran! Hebatnya, pusaran 

angin itu kini bergerak ke arah mana si 

pemuda menghindar!

"Nek! Kenapa kau menyerangku?!" 

teriak si pemuda. Namun jawaban yang 

terdengar adalah kekehan tawa membahana, 

membuat pemuda itu mulai agak geram.


Si pemuda palingkan kepala. 

Mulutnya membuka hendak bicara, namun 

suaranya terhenti di tenggorokan tatkala 

saat itu juga pusaran angin telah 

menggebrak ke arahnya!

"Busyet!" maki si pemuda seraya 

hantamkan kedua tangannya ke depan.

Wuuttt! Wuuuttt!

Dua rangkum angin keluarkan suara 

keras memekak telinga keluar dari 

telapak tangan si pemuda. 

Busss!

Pusaran angin ambyar lalu 

membumbung ke udara dan lenyap.

"Hem.... Orang tua macam Ini tak 

perlu diladeni. Bukan saja membuang 

waktu dan tenaga tapi juga tak ada 

gunanya!" Berpikir sampai di situ, si 

pemuda putar tubuh lalu melangkah 

meninggalkan tempat itu.

Namun Iangkah si pemuda terhenti, 

ketika dia merasakan sebuah kekuatan 

dahsyat membetot tubuhnya dari beiakang.

"Gila! Nenek ini tidak bercanda 

dengan ancamannya! Dia benar-benar 

inginkan nyawaku! Meski aku tak tahu 

pasti apa maksud sebenarnya, namun hal 

Ini tak boleh dibiarkan..." Si pemuda 

segera kerahkan tenaga dalam. Secepat 

kilat kedua tangannya dihantamkan seraya 

balikkan tubuh. Tapi baru saja kedua 

tangannya bergerak, dia merasakan 

tubuhnya terangkat ke udara. Si pemuda 

teruskan hantamannya ke bawah.


Wuuttt! Wuuuttt!

SI pemuda terbelalak. Ternyata dia 

hanya menghantam udara kosong. Belum 

habis rasa kejutnya, satu kekuatan 

balikkan kembali tubuhnya hingga 

membelakangi si nenek. Pada saat 

bersamaan tiba-tiba tubuhnya seakan 

dibetot dari bawah. Dan....

Bukkk!

Sosok si pemuda jatuh terbanting di 

atas tanah berbatu. Megap-megap, si 

pemuda segera bangkit. Raut wajahnya 

berubah merah padam. Pelipisnya bergerak 

dengan dagu mengembung pertanda hawa 

amarah telah melanda dadanya.

"Orang tua! Kau memaksaku bertindak 

kasar. Jangan menyesal dengan apa yang 

akan terjadi!" teriak si pemuda lalu 

kerahkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya. Mendadak saja kedua tangan si 

pemuda berubah warna menjadi kekuningan.

"Lembur Kuning!" seru si nenek tahu 

pukulan apa yang hendak dilancarkan si 

pemuda, membuat sang pemuda terkesiap 

kaget mendengar orang tua di hadapannya 

telah tahu pukulan yang hendak di-

lancarkan, padahal pukulan itu sendiri 

belum dilepaskan.

"Jangkrik! Siapa sebenarnya nenek 

ini? Dia tahu pukulan 'Lembur Kuning' 

yang hendak kulepaskan...," batin si 

pemuda seraya pandangi kedua tangannya 

yang telah berubah warna kekuningan.

Inilah pertanda bahwa si pemuda memang


benar hendak lepaskan pukulan sakti 

'Lembur Kuning'. Pukulan milik seorang 

tokoh aneh yang dikenal dengan Pendeta 

Sinting yang kemudian diwariskan pada 

muridnya yakni Joko Sableng alis 

Pendekar Pedang Tumpul 131.

"Setan jelek! Pasti kau masih 

kambratnya orang tua sinting itu! Hik... 

hik... hik...! Kebetulan sekali. Aku 

ingin lihat apakah pukulan 'Lembur 

Kuning' tidak ketinggalan zaman dan 

masih cocok di alam gila sekarang ini!"

"Sombong betul Orang tua ini. Aku 

pun ingin tahu, apakah ucapannya tidak 

laksana tong kosong!"

Si pemuda yang bukan lain Joko 

Sableng segera hantamkan kedua tangannya 

lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Hingga 

saat itu juga suasana berubah jadi

semburat warna kuning. Pada saat yang 

sama sinar kuning mencorong meiesat 

membawa hawa panas dan suara laksana 

gelombang dahsyat.

DI depan sana, si nenek kancingkan 

mulutnya rapat-rapat. Namun di lain 

kejap terdengar suara tawanya yang 

membahana panjang. Bersamaan dengan itu, 

si nenek terlihat angkat kedua tangannya 

lalu disentakkan ke bawah.

Tiada suara yang terdengar. Namun 

pukulan 'Lembur Kuning' tiba-tiba 

tertahan sejenak di udara.


Lalu laksana dlhantam kekuatan luar 

biasa garang, pukulan itu menukik deras 

ke bawah! 

Bummm! 

Tanah berbatu tampak muncrat 

setinggi lima tombak ke udara. Tanah dan 

pasir pecahan batu menutupi pemandangan 

untuk beberapa saat. Samar-samar di 

sebelah depan, sosok Pendekar 131 tampak 

bergetar hebat. Kejap lain tubuhnya 

mencelat sampai dua tombak ke belakang. 

Murid Pendeta Sinting ini berusaha 

kuasai tubuhnya yang terhuyung hendak 

terjerembab. Namun kedua kakinya goyah 

hingga tak lama kemudian dia jatuh 

terduduk dengan tubuh bergetar dan dada 

naik turun megap-megap!

Di pihak lain, si nenek tampak 

mundur tiga Iangkah ke belakang.

Sosoknya terlihat bergoyang-goyang. 

Namun sebentar kemudian telah diam malah 

dengan kacak pinggang dia perdengarkan 

tawa mengekeh panjang!

Begitu tanah dan pasir sirap dari 

udara, empat tombak di depan Joko Sableng 

tampak lobang menganga besar sedalam 

satu tombak!

Pendekar Pedang Tumpul 131 bergerak 

bangkit. Wajahnya makin merah padam. 

Sepasang matanya membeliak besar. Murid 

Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak 

ini sadar jika orang tua di h-dapannya 

benar-benar bukan orang yang bisa 

dinnggap remeh. Pukulan 'Lembur Kuning'


begitu mudah ditahan meski biasnya masih 

tetap membuat si nenek tersurut langkah.

"Aku penasaran. Kalau kulipat 

gandakan tenaga dalamku, masakan tidak 

roboh!" gumam Joko sambil kerahkan 

tenaga dalam. Kali ini dia lipat gandakan 

tenaga dalamnya hingga pancaran sinar 

kuning dari kedua tangannya makin 

bersinar.

Melihat hal demikian, si nenek 

kerjapkan sepasang matanya. Kepalanya 

digoyang-goyang. Tiba-tiba....

Wuttt!

Tubuhnya melesat ke depan. Joko 

Sableng tak tinggal diam. Kedua 

tangannya dipukulkan ke depan. Tapi 

darah murid Pendeta Sinting laksana 

sirap. Pukulan kedua tangannya hanya 

menggebrak udara kosong. Lebih dari itu 

dia merasakan angin bersiur di atas 

kepalanya lalu....

Bukkk!

Sebuah tendangan keras mendarat di 

punggung Pendekar Pedang Tumpul 131. 

Pemuda itu berseru tertahan. Sosoknya 

terhuyung ke depan. Begitu tubuhnya 

setengah membungkuk hendak tersuruk ke 

atas tanah berbatu, dua pasang kaki 

menjepit lehernya. Hingga sosok Joko 

tertahan.

Sambil berteriak keras, Joko 

Sableng hantamkan tangan kiri kanan ke 

arah sepasang kaki di atas pundaknya. 

Namun gerakannya terlambat. Sepasang


kaki yang ternyata milik si nenek itu 

telah bergerak menyentak ke belakang.

Bukkk!

Untuk kedua ksiinya murid Pendeta 

Sinting jatuh punggung di atas tanah. 

Untuk beberapa saat dia hanya diam 

terkapar dengan punggung serasa Jebol. 

Pada saat itulah satu sambaran angin 

menggebrak dari arah samping kanan 

mengarah pada kepalanya.

Meski seluruh tubuhnya terasa sakit 

bukan main, namun Pendekar Pedang Tumpul 

131 segera palingkan wajahnya untuk 

selamatkan diri. Namun dia tertipu, 

karena bersamaan dengan itu dari arah 

samping kiri satu sambaran angin 

meiesat. Tak ada kesempatan lagi baginya 

untuk menghindar.

Plaaakkk!

Satu tamparan keras mendarat di pipi 

Pendekar 131. Meski hanya satu tamparan, 

namun karena dialiri tenaga dalam 

tinggi, membuat kepala murid Pendeta 

Sinting laksana pecah. Sepasang mata pe-

muda ini berkunang-kunang. Kejap 

kemudian segala sesuatunya menjadi 

gelap. Lalu kepala Joko terkulai dengan 

tubuh tergolek pingsan.

Satu langkah di sebelah samping 

kanan Joko, nenek berjubah merah menyala 

usap-usap kedua tangannya. Kepalanya 

mendadak disentakkan ke samping kiri. 

Bersamaan dengan itu, satu bayangan 

berkelebat keluar dari balik pohon!


* * *

TIGA



ADA satu keanehan dengan sosok yang 

berkelebat muncul dari balik pohon ini. 

Seraya berkelebat melayang, sosok ini 

terlihat duduk bersila dengan kedua 

tangan menakup di bawah dagu.

Tiga langkah di hadapan si nenek, 

sosok yang melayang dengan duduk bersila 

turun mendarat di atas tanah. Sepasang 

matanya yang terpejam bergerak membuka. 

Memandang sejenak pada si nenek lalu 

memperhatikan pada sosok Joko yang masih 

terkapar pingsan.

Dia adalah seorang laki-laki 

berusia lanjut. Mengenakan jubah warna 

kuning tanpa leher. Rambutnya putih 

panjang dikelabang dan dikalungkan pada 

lehernya. Kedua alis matanya saling 

bertautan. Bibir selalu berkemik 

perdengarkan gumaman tak jelas.

"Manusia Dewa! Betul dia 

orangnya?!" Si nenek ajukan tanya seraya 

arahkan pandangannya pada sosok Joko 

Sableng.

Laki-laki berusia lanjut yang duduk 

bersila dan bukan lain memang Manusia 

Dewa adanya, seorang tokoh tua dari 

golongan Budha yang terjun dalam kancah 

rimba persilatan dan pernah menggegerkan 

rimba persilatan karena perannya ikut


serta membasmi kejahatan, anggukkan 

kepala.

Meski si nenek telah mendapat 

jawaban dengan anggukkan kepala, namun 

wajahnya tetap membayangkan kebim-

bangan. Ini jelas terlihat dari cara 

memandangnya pada sosok Joko yang tak 

berkesip sama sekali.

"Ratu Malam...," kata Manusia Dewa 

seakan bisa menangkap arti pandangan si 

nenek yang dipanggil dengan Ratu Malam. 

"Tak ada guna menyimpan segala tanya 

dalam hati. Keraguan tak akan 

menyelesaikan segalanya. Urusan ini 

sudah sangat mendesak. Silakan buktlkan 

agar semua keraguan dan tanya di hatimu 

bisa terjawab...."

Ratu Malam jongkok di sebelah Joko. 

Tangan kanannya cepat bergerak ke arah 

pinggang Joko di mana tersimpan Pedang 

Tumpul 131. Begitu tangannya dapat 

merasakan sembulan senjata, tangan itu 

segera berputar ke depan dan menyelinap 

ke balik pakaian Joko. Sekali sentak, 

tangan Ratu Malam telah keluar lagi. Di

tangannya kini tampak sebuah pedang yang 

terbungkus dalam sarungnya yang berwarna 

kuning.

Untuk beberapa saat lamanya 

sepasang mata Ratu Malam memperhatikan 

pedang di tangannya dengan mata tak 

berkedip. Mulutnya komat-kamit perma-

inkan gumpalan tembakau hitam. Kepalanya 

bergerak manggut-manggut.


Setelah puas pandangi pedang, 

kembali Ratu Malam selinapkan pedang itu 

ke balik pakaian Joko. Lalu bangkit dan 

melangkah ke arah Manusia Dewa.

"Bagaimana sekarang? Apa kita 

tunggu sampai dia siuman?!" tanya Ratu 

Malam.

Manusia Dewa gelengkan kepala. 

"Waktu kita terbatas. Masih ada yang 

harus kita kerjakan. Tinggalkan pesan 

padanya! Hal ini untuk melatih dia 

menghadapi perjalanan berat yang bakal 

dihadapinya!"

Ratu Malam keluarkan selembar kain 

putih dari saku jubahnya. Jari telunjuk 

tangan kanannya diangkat. Gumpalan 

tembakau hitam dlkeluarkan dari dalam 

mulutnya. Jari telunjuk disentuhkan pada 

gumpalan tembakau, lalu ditulis pada 

kaln putih.

Tak berselang lama, Ratu Malam 

lemparkan kain putih ke arah sosok Joko.

"Kita tinggalkan tempat Ini...," 

katanya seraya mengangguk ke arah 

Manusia Dewa. Tanpa menunggu jawaban, 

nenek berjubah merah menyala ini 

gerakkan tubuh. Dan sekali bergerak 

tubuhnya melesat lenyap ke arah kawasan 

hutan.

Manusia Dewa sejenak memperhatikan 

pada Joko, lalu putar tubuh. Dengan tetap 

bersila dan kedua tangan menakup ke bawah 

dagu, orang tua ini pun berkelebat 

tinggalkan tempat itu.


Matahari telah hamplr turun ke kaki 

langit barat saat Pendekar 131 sadar dari 

pingsannya. Untuk beberapa saat lamanya 

murid Pendeta Sinting ini diam tak 

bergerak. Dia coba mengingat apa yang 

baru dialaminya. Dan ketika menyadari 

apa yang baru saja terjadi, mungkin 

karena khawatir bahaya masih mengancam 

dirinya, secepat kilat dia bangkit. 

Sepasang matanya menebar berkeliling 

dengan kepala diputar.

"Nenek galak berilmu tinggi itu, 

minggat ke mana dia? Hem, Nyatanya dia 

tak menginginkan nyawaku. Tapi apa 

maksud sebenarnya hingga dia membuatku 

jatuh bangun demikian rupa? Orang tua 

berilmu sangat tinggi, siapa dia 

sebenarnya? Ah....

Lebih baik aku segera tinggalkan

tempat ini. Aku harus segera mencapal 

kawasan laut...."

Joko segera melangkah hendak 

tinggalkan tempat itu. Saat itulah 

sepasang matanya melihat selembar kain 

putih tak jauh dari tempatnya berdiri. 

Dengan sekali sambar, kain putih telah 

berada di tangannya.

"Tak ada orang lain di sini tadi 

selain aku dan nenek itu. Pasti kain 

putih ini milik orang tua itu...."

Joko segera meneliti carikan kain 

putih. Ternyata di kain putih itu ada 

tulisan.


Pergi ke arah selatan. Beberapa 

burung merpati kepakkan sayap, Kunci 

akan segera diberikan. Tugas sudah di 

depan mata. 

Beberapa lama Joko berpikir. "Apa 

maksud tulisan ini? Pasti orang tua Itu 

yang menulis. Hem.... Kalau dia tak 

membunuhku, lalu tinggalkan pesan, 

berarti orang tua itu punya tujuan 

tertentu padaku. Tulisan ini mengarah ke 

sana. Tak ada salahnya kuturuti pesan 

tulisan ini. Lagl pula aku masih 

penasaran. Dia mengenali pukulanku, 

berarti dia kenal dengan Eyang guru. 

Urusan ini bisa baik dan tak mustahil 

akan membawa petaka. Tapi aku perlu orang 

tempat bertanya...."

Berpikir sampai di situ, dengan 

kerahkan peringan tubuh, Joko segera 

berkelebat ke arah selatan.

* * *

Hingga matahari kembaii muncul dari 

timur, murid Pendeta Sinting terus 

berkelebat. Namun mendadak dia hentikan 

larinya. Dari mulutnya terdengar gumaman 

gerutu berkepanjangan.

"Sial! Di mana dapat kutemukan 

beberapa burung merpati seperti pesan 

tulisan itu? Apakah tulisan itu hanya 

canda si nenek? Hem.... Bodohnya aku. 

Kenapa kuturuti pesan orang yang belum


kukenal, padahal aku punya tugas...," 

kata Joko seraya usap keringat yang 

membasahi leher dan wajahnya.

"Sebelum aku jauh tersesat, aku 

harus cepat tinggalkan..." Belum habis 

gumaman Joko, semak belukar delapan 

tombak dari tempatnya berdiri 

bergerak-gerak. Murid Pendeta Sinting 

tersentak kaget. Sepasang matanya 

dibelalakkan. Takut sesuatu terjadi, dia 

cepat pula kerahkan tenaga dalam pada 

kedua tangannya.

Namun Joko segera menarik napas 

panjang tatkala dari gerumbulan semak 

belukar Itu menyeruak beberapa burung 

merpati. Mungkin terkejut dengan 

kedatangan orang, serentak beberapa 

burung merpati itu melesat terbang ke 

udara.

"Hem.... Berarti tempat ini yang 

dlmaksud tulisan pesan itu. Tapi mana 

batang hidung nenek itu?!" tanya Joko 

seraya memandang berkeliling.

Saat itulah tiba-tiba terdengar 

derap langkah ladam kaki-kaki kuda 

menuju ke arahnya. Disusul dengan suara 

bentakan-bentakan keras agar kuda 

tunggangan itu berlari leblh kencang.

"Jelas jika penunggang kuda ini ada 

beberapa orang. Siapa pula mereka? 

Apakah ini telah diatur oleh orang tua 

itu? Atau...," Joko putuskan kata 

hatinya, karena langkah-langkah kuda 

makin dekat.


"Aku harus tahu dahulu siapa 

mereka...," Joko segera berkelebat ke 

samping dan menyelinap ke balik sebatang 

pohon. Sepasang matanya dlpentangkan. 

Tapi murid Pendeta Sinting Ini jadi

tersirap. Hentakan kaki ladam kuda 

tiba-tiba lenyap!

Pendekar 131 sejenak menunggu 

dengan telinga dan mata ditajamkan. Tapi 

setelah lama ditunggu tak ada juga 

muncuinya seseorang, akhirnya dia 

memutuskan keluar dari tempat 

persembunyiannya.

Namun langkahnya tertahan tatkala 

tiba-tiba dari arah samping terdengar 

deru keras. Di lain kejap tiga rangkum 

angin dahsyat melabrak ke arahnya!

Sambil. berseru tertahan, Joko 

berkelebat selamatkan diri. Bersamaan 

dengan itu terdengar suara berderak 

keras. Kejap kemudian batang pohon di 

mana tadi Joko bersembunyi tumbang 

dengan batang berkeping-keping! Lalu 

terlihat tiga bayangan berkelebat dan 

tahu-tahu telah tegak berjajar tujuh 

langkah di hadapan Joko Sableng!

Orang sebelah tengah adalah seorang 

gadis muda berparas cantik jelita 

mengenakan jubah warna kuning. Rambutnya 

ikal panjang bergerai. Kulitnya putih 

dengan hidung mancung serta buiu mata 

lentik. Orang sebelah kanan juga adalah 

seorang gadis muda berwajah jelita. 

Mengenakan jubah warna merah. Rambutnya


yang panjang dikuncir agak tinggi. Gadis 

ini mempunyai tahi lalat pada sebelah 

atas bibirnya. Sedangkan orang yang 

tegak paling kiri ternyata juga seorang 

gadis muda cantik mengenakan jubah warna 

biru. Rambutnya sebatas bahu.

Bibirnya merah tanpa polesan dan 

membentuk bagus.

"Hem.... Gadis-gadis cantik.... 

Siapa pula mereka?" sepasang mata Joko 

mengawasi satu persatu ketiga gadis dl 

hadapannya dengan bibir sunggingkan 

senyum. Sementara tiga gadis di 

hadapannya yang bukan lain adalah 

Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi 

saling berpandangan sejenak.

"Jelas peta itu mengarah menuju 

tempat Ini. Tapi aku ragu, apakah manusia 

itu yang memegang penggalan peta itu?" 

bisik Wulandari.

Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi tak 

ada yang menyahut ucapan Wulandari. 

Namun wajah keduanya jelas membayangkan 

perasaan sepertl yang diucapkan 

Wulandari.

"Mendengar keterangan Guru, dapat 

dipastikan bukan dia orangnya yang 

memegang penggalan peta itu. Tapi 

mengapa dia berada di sini? Apakah dia 

juga memiliki tujuan yang sama? Atau dia 

hanya manusia yang tersesat?!" Diam-diam 

Sitoresmi membatin sendiri dalam hatl. 

"Hem.... Pemuda ini membekal llmu yang


tidak boleh dipandang sepele. Siapa dia 

sebenarnya?"

Seperti halnya Sitoresmi, diam-diam 

pula Ayu Laksmi berkata dalam hati. 

"Pemuda tampan. Apakah satu kebetulan 

dia berada dl tempat Ini? Ataukah dia 

memang sengaja datang ke tempat ini? 

Melihat usianya, dapat kupastikan jika 

bukan dia yang memegang penggalan peta 

itu. Namun...." Belum sampai Ayu Laksmi 

teruskan kata hatinya, tiba-tiba ter-

dengar bentakan dari arah sampingnya.

"Pemuda tak dikenal! Cepat katakan 

siapa kau! Ada urusan apa berada di 

tempat Ini?!" Ternyata yang keluarkan 

bentakan adakan Wulandari.

Orang yang dibentak bukannya cepat 

menjawab. Sebaliknya celingukan dengan 

memandang satu persatu pada ketiga gadis 

di depannya. Kejap kemudian la 

cengengesan sendiri seraya mainkan Jari

kelingkingnya pada lobang telinganya.

SI jubah kuning Wulandari yang tak 

sabaran kembali keluarkan bentakan 

garang. Namun lagi-lagi Joko tidak 

menjawab, membuat kesabaran gadis cantik 

berjubah kuning itu putus. Seraya 

keluarkan seruan keras, Wulandari 

melompat ke depan. Kaki kanannya 

diangkat tinggi-tinggi siap untuk 

lepaskan satu tendangan. Tapi gerakan 

kaki si gadis tertahan dl tengah jalan 

tatkala tiba-tiba Joko Sableng angkat 

kedua tangannya dan didorong perlahan ke


depan, membuat Wulandari bukan saja 

gagal kirimkan tendangan, namun kakinya 

tersentak pulang ke belakang!

Kertakkan rahang, Wulandari 

pentangkan sepasang matanya ke arah 

Pendekar Pedang Tumpul 131. Rahangnya 

mengembung dengan pelipis kiri kanan 

bergerak-gerak.

"Jahanam! Siapa sebenarnya pemuda 

ini? Dia benar-benar menganggap enteng 

padaku!" umpat Wulandari. Dia llpat 

gandakan tenaga dalamnya.

"Gadis cantik! Harap bersabar 

barang sedikit. Kita tak ada silang 

sengketa...," ujar Joko. "Persoalan tak 

akan tuntas dengan jalan kekerasan!"

"Hem.... Begitu? Jika kau tak ingin 

kekerasan, Jawab tanyaku tadi!"

"Jika itu pintamu, baik. Aku Joko 

Sableng, Boleh tahu siapa kalian 

adanya?"

"Dengar! Kami bertiga adalah 

Pemburu Dari Neraka! Aku tanya padamu. 

Kau kemari tidak secara kebetulan 

bukan?!"

"Pemburu Dari Neraka? Hem.... Gelar 

angker. Melihat nada bicaranya mereka 

bukan derl kalangan orang baik-baik. Dan 

jelas tujuannya pasti kemari. Ada 

sangkut paut apa antara mereka dengan 

nenek tua itu?"

"Hai!" teriak Wulandari ketika 

dilihatnya Joko tidak segera menjawab.


"Kau tidak tuli. Harap jawab 

pertanyaanku!"

"Ah. Kau salah. Justru aku kebetulan 

sampai berada dl tempat ini. Kalau ini 

memang daerah kawasan kalian, aku mohon 

maaf...." Selesai berkata, Joko 

bungkukkan tubuh tiga kali 

berturut-turut seraya menghadap pada 

satu persatu gadis di hadapannya yang 

kini menggelari diri mereka dengan 

Pemburu Dari Neraka.

Wulandari menyeringai. Sementara si 

jubah merah Sitoresmi senyum tertahan. 

Di sampingnya si jubah biru Ayu Laksmi 

terlihat arahkan pandangan pada jurusan 

lain dengan ekor mata melirik tajam.

"Dengar baik-baik. Jika masih 

sayang pada selembar nyawamu, lekas 

angkat kaki dari hadapan kami!" kata 

Wulandari dengan suara masih garang.

"Aku jelas masih sayang pada 

satu-satunya nyawaku. Tapi aku tidak 

bisa tinggalkan tempat ini. Aku penat 

sekali. Aku Ingin istirahat...." Enak 

saja Joko segera putar tubuh lalu 

melangkah ke arah sebuah pohon. Dengan

tanpa memandang pada ketiga gadis di 

depan sana, Joko sandarkan punggung lalu 

pejamkan sepasang matanya.

"Aku curiga manusia satu itu punya 

tujuan sama dengan kita!" bisik 

Wulandari. "Dia harus kita singkirkan"

Tak ada gunanya kita buang tenaga 

meladeni manusia yang belum jelas


tujuannya. Lebih baik kita segera 

mencari orang yang ada sangkut pautnya 

dengan penggalan peta itu!" kata 

Sitoresmi seraya arahkan pandangannya 

pada Joko.

Wulandari perdengarkan dengusan 

pelan. Kepalanya disentakkan berpaling 

pada Sitoresmi. "Adanya manusia tak 

diundang di tempat ini akan membuat 

urusan tidak seperti yang kita 

rencanakan. Malah tidak tertutup dia 

akan merusak suasana!"

"Tapi dia sudah bilang jika hanya 

kebetulan berada di tempat ini. Untuk apa 

kita bersusah-susah pedulikannya? 

Lihat! Dia pun tak pedulikan kita dan su-

dah tertidur pulas!" kata Sitoresmi 

dengan arahkan telunjuk tangannya pada 

Joko.

Tinggi langit bisa dilihat. 

Dalamnya lautan dapat diselami. Tapi 

hati manusia siapa yang tahu. Kebetulan 

atau tidak, kita tak boleh ambil resiko. 

Urusan dan tugas kita amat rahasia dan 

sangat penting. Selain kita bertiga, tak 

seorang pun boleh tahu! Kalau manusia itu 

tetap tak mau tinggalkan tempat ini, 

berarti takdirnya buruk!"

Habis berkata begitu, Wulandari 

melangkah ke arah Joko.

"Tahan!" seru Ayu Laksmi seraya 

melompat menjajari Wulandari.

"Kita tak perlu berdebat soal

manusia Itu. Kita telah sampai di tempat


yang tertera dalam peta. Namun apa yang 

kita temukan? Aku mulai curiga 

jangan-jangan penggalan peta di tangan 

kita itu palsu!"

Wulandari hentikan langkah. Ucapan 

Ayu Laksmi seolah menyadarkan gadis 

berjubah kuning ini. Sepasang matanya 

menebar berkeliling.

"Hem.... Di sini memang tak tampak 

adanya tempat bermukimnya seseorang. 

Padahal penggalan peta itu berada di 

tangan seseorang. Jangan-jangan peta itu 

memang palsu...." Diam-diam Wulandari 

mulai khawatir. Namun ketika sepasang 

matanya menumbuk pada murid Pendeta 

Sinting, pikirannya berubah.

"Astaga! Jangan-jangan pemuda itu 

berkata dusta. Satu-satunya manusia di

tempat ini adalah dia. Pasti dia tahu 

banyak tentang tempat ini!" Berpikir 

begitu, Wulandari teruskan langkah ke 

arah Joko. Ayu Laksmi coba menahan dengan 

berteriak, tapi Wulandari tak ambil

peduli. Namun yang paling tampak cemas 

dengan tindakan Wulandari adalah 

Sitoresmi. Malah dengan diam-diam gadis 

berjubah merah ini berkata sendiri.

"Wulandari boleh bertindak 

semena-mena pada tiap orang, tapi tidak 

pada pemuda itu! Aku menangkap wajah 

kejujuran di mukanya! Dan.... Ah, apa se-

benarnya yang terjadi dengan diriku...."

Di depan sana, dua langkah dari 

tempat Joko bersandar, Wulandari


hentikan langkah. Sepasang matanya 

mengawasi tak berkedip. Bibir gadis ini 

terlihat bergetar. Ada perasaan aneh 

menjalari dadanya, membuatnya untuk 

beberapa saat hanya diam termangu.

"Hem.... Seandainya ini bukan tugas 

dari Guru...," batin Wulandari seraya 

pejamkan sepasang matanya. Dia coba 

menahan guncangan pada dadanya. Setelah

menarik napas panjang dan dalam, 

akhirnya mulutnya membuka. Kali ini 

suaranya terdengar agak bergetar dan 

serak.

"Hai! Aku tahu kau berpura-pura 

pulas! Jangan coba-coba menipu kami. 

Kami perlu beberapa keterangan!"

Joko Sableng buka kelopak matanya. 

Setelah mengerjap, dia 

tersenyum-senyum.

"Tak ada untungnya menipu gadis 

cantik macam kau. Malah kalau bisa aku 

ingin memberi keterangan yang kau 

butuhkan...."

"Bagus! Aku ingin tahu, apakah 

tempat ini dihuni seseorang?!"

"Hem.... Karena aku kebetulan lewat 

tempat ini, maka aku tak bisa memastikan 

apakah tempat ini berpenghuni atau 

tidak!"

Paras muka Wulandari sedikit 

berubah. Namun dia masih coba menahan 

hawa amarah yang mulai menyeiimuti 

dadanya.


"Kuingatkan! Kesabaran kami ada 

batasnya, waktu kami juga tidak banyak. 

Jawab dengan jujur atau kutanggalkan 

kepalamu!"

"Aku telah menjawab apa yang 

kuketahui. Jika kau ingin jawaban pasti, 

kenapa tidak buktikan sendiri dengan 

menyelidik?"

Wulandari katupkan rahangnya 

rapat-rapat. "Jauh-Jauh datang kemari 

percuma kalau tidak ada manusia yang bisa 

memberi keterangan" Wulandari maju satu 

tindak. "Kau telah berada di tempat ini 

waktu kami tiba, pasti kau tahu banyak 

tentang tempat ini!"

"Hem.... Kalau boleh tahu, apa 

sebenarnya yang kalian cari di tempat 

ini? Adakah kalian mencari seseorang? 

Atau...."

"Tepat!" potong Wulandari. "Kami 

memang mencari seseorang!"

"Bisa katakan, siapa yang kalian 

cari?"

Sejenak Wulandari tampak kebi-

ngungan karena dia sendiri tak tahu siapa 

yang dicari. Yang mereka ketahui adalah 

peta itu berakhir di tempat mana kini

mereka berada. Dan mereka berpikiran, di 

tempat itu pasti akan menemukan 

seseorang yang diduga menyimpan 

penggalan peta. Mereka tidak tahu siapa 

nama orang itu.

Mungkin karena tak bisa katakan 

siapa orang yang dicari, akhirnya


Wulandari berujar dengan suara agak 

keras.

"Siapa adanya orang yang kami cari 

bukan urusanmu! Yang penting tunjukkan 

di mana tempat sembunyinya!"

"Hem.... Kalau pesan itu memang dari 

nenek galak itu, aku bisa pastikan jika 

gadis-gadis cantik ini mencari si nenek! 

Melihat gelagat, di antara mereka dan si 

nenek ada urusan...," Joko membatin. 

Lalu berujar.

"Jika aku menjawab, kau pasti akan 

menuduhku berkata dusta. Jika kalian

mencari seseorang, kusarankan kau 

menyelidik saja! Jawaban itu pasti akan 

kau temukan!"

"Keparat! Rupanya kau sengaja 

sembunyikan sesuatu pada kami!"

"Apa kubilang. Belum apa-apa kau 

telah lemparkan tuduhan lagi padaku. 

Sialnya diriku ini. Tak tahu apa-apa 

namun kena getah melulu"

"Banyak mulut" teriak Wulandari. 

Gadis Ini angkat kedua tangannya sejajar 

dada. Siap lepaskan satu pukulan. Namun 

baru saja tangannya hendak bergerak 

kirimkan pukulan, sebuah tangan menarik 

dari beiakang, membuat Wulandari 

tertahan gerakannya.

"Apa yang dikatakannya benar. 

Sebaiknya kita menyelidik tempat ini! 

Kita belum tahu siapa adanya orang yang 

kita cari. Jangan sampai kita salah 

turunkan tangan!"


Dengan mendengus keras, Wulandari 

palingkan kepala ke belakang. Sepasang 

matanya melotot angker.

"Sitoresmi! Sejak kapan kau berubah 

jadi manusia tahu peradatan dengan 

kata-kata lembut begitu rupa? Aneh di 

telingaku jika mendadak saja kau kini 

berpikir hanya untuk selembar nyawa 

seseorang!"

Meski sedikit geram, namun 

Sitoresmi yang menahan gerakan tangan 

Wulandari sunggingkan senyum. "Urusan 

kita sekarang adalah urusan pelik. 

Dibutuhkan pikiran panjang meski harus 

dibarengi dengan kekuatan!"

Wulandari tertawa pendek. 

"Jangan-jangan ucapanmu hanya 

topeng saja. Sedang sebenarnya kau 

tertarik pada manusia itu! Betul?!"

Wajah Sitoresmi berubah merah 

padam. "Kau tak layak ucapkan kata-kata 

itu, Wulandari! Aku tak peduli siapa dia 

adanya, tapi kalau ucapannya benar, apa 

salahnya kita turuti?! Lebih baik kita 

segera menyelidik daripada bertele-tele 

tanpa guna!"

"Rupanya kau sudah pandai pula 

menggurui. Tapi akan kubuktikan dahulu 

bahwa dugaanku tidak keliru. Manusia itu 

menyembunyikan sesuatu pada kita!" Habis 

berkata begitu, si jubah kuning Wulan-

dari sentakkan tangan Sitoresmi yang 

masih memegang tangannya. Kejap kemudian



kedua tangannya kirimkan satu pukulan ke 

arah Joko!

* * *

EMPAT



TERDENGAR deruan luar biasa keras. 

Kejap itu juga melesat segelombang angin 

laksana deburan ombak. Karena telah 

menduga jika lawan yang dihadapi punya 

simpanan ilmu, kali ini Wulandari 

sengaja langsung kirimkan pukulan dengan 

tenaga dalam tinggi.

Di sebelah depan, melihat ganasnya 

serangan, murid Pendeta Sinting segera 

angkat kedua tangannya.

Wuuttt! Wuuuttt!

Dua rangkum angin berkelebat angker 

keluarkan suara menderu keras.

Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi 

yang melihat dahsyatnya pukulan segera 

berkelebat ke depan. Meski mereka berdua 

tak sependapat dengan tindakan 

Wulandari, namun tampaknya mereka berdua 

tak ingin saudara seperguruannya itu 

mendapat celaka.

Blaammm!

Terdengar ledakan hebat saat dua 

serangan itu bentrok di udara. Wulandari 

terlihat tersurut dua langkah dengan 

wajah berubah pucat pasi dan dada 

bergetar. Di depan sana, Joko Sableng


tersandar pada batang pohon dengan 

keadaan tetap berdiri tegak.

Wulandari kertakkan rahang. Dari 

mulutnya terdengar seruan keras. Tanpa 

pedulikan pada Sitoresmi dan Ayu Laksmi 

yang berteriak menahan, gadis berjubah 

kuning ini lipat gandakan tenaga dalam. 

Serta-merta kedua tangannya dihantamkan 

ke depan.

Suasana tiba-tiba berubah jadi 

terang. Pada saat yang sama, sebongkah 

kabut putih melesat dengan keluarkan 

hawa panas luar biasa.

"Glia! Mengapa Wulandari begitu 

bernafsu menghabisi pemuda itu? Mampukah 

pemuda itu menahan pukulan 'Kabut 

Neraka'?" diam-diam Sitoresmi dilanda 

kecemasan. Dan tanpa diketahui oleh 

Wulandari dan Ayu Laksmi, gadis berjubah 

merah ini kerahkan tenaga dalam.

"Aku harus selamatkan jiwanya. Apa 

pun kata mereka, aku tak peduli!" ujar 

Sitoresmi sambil angkat kedua tangannya 

hendak menghantam. Tapi gerakan tangan 

gadis ini tertahan ketika dari arah depan 

sana melesat sinar mencorong berwarna 

kekuningan yang juga membawa hawa panas.

Blaarrr!

Untuk kedua kalinya tempat itu 

dibuncah ledakan dahsyat. Tanahnya 

bergetar keras laksana diguncang gempa. 

Kejap kemudian tampak muncratan tanah 

menghaiangi pemandangan.


Sosok Wulandari tampak mencelat 

sampai dua tombak ke belakang. Kalau saja 

Ayu Laksmi tidak segera berkelebat dan 

menahan tubuhnya, niscaya sosok 

Wulandari akan jatuh terbanting di atas 

tanah.

"Tak kusangka jika manusia jahanam 

itu mampu menahan pukulan Kabut Neraka! 

Aku makin curiga padanya!" gumam 

Wulandari kerahkan tenaga untuk 

mengatasi rasa sakit pada dadanya. 

Tiba-tiba gadis ini memekik tertahan. 

Ayu Laksmi cepat berpaling. Gadis 

berjubah biru ini pun jadi tercekat.

"Wulandari! Kau terluka dalam. 

Bibirmu keluarkan darah...."

"Hem.... Kita harus segera 

selesaikan manusia satu itu. 

Keberadaannya di tempat ini jelas bukan 

satu kebetulan! Jika tidak, bukan saja 

dia akan merusak urusan kita, tapi Juga 

membahayakan jiwa kita!"

Sitoresmi sejenak tidak percaya 

dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi 

diam-diam dia merasa lega, karena di 

depan sana Joko terlihat tetap tegak 

meski sosoknya tersurut ke belakang satu 

langkah dan tersenyum-senyum seraya 

usap-usap dadanya.

"Siapkan pukulan gabungan 'Kabut 

Neraka'!" Tiba-tiba dari arah belakang 

terdengar teriakan, membuat Sitoresmi 

cepat berpaling.


"Edan! Untuk apa hal itu harus 

dllakukan? Apa maksud sebenarnya 

Wulandari?! Apakah dia menduga pemuda 

itu yang memegang penggalan peta itu?" 

gumamnya seraya berkelebat ke arah 

Wulandari.

"Sitoresmi! Aku tahu kau tak ingin 

manusia itu mampus!" Wulandari telah 

mendahului bicara sebelum Sitoresmi buka 

mulut. "Tapi tugas adalah di atas 

segalanya!"

"Wulandari! Kau jangan salah 

sangka. Aku tak ada sangkut paut apa-apa 

dengan pemuda Itu. Hanya sangat 

disayangkan jika harus mencabut nyawa 

orang tanpa hasil yang didapat!"

Wulandari melotot sambil mendengus. 

"Perasaan kadangkala membawa 

perhitungan semula jadi kacau. Perasaan 

seringkali menghanyutkan keyakinan 

menjadi keraguan. Sebelum semuanya 

membutakan mata dan hatimu, buka matamu 

lebar-lebar! Ingat siapa dirimu. Ingat 

akan ikrar yang kita ucapkan di hadapan 

Guru!"

Ucapan Wulandari membuat Sitoresmi 

jadi serba salah. Di satu pihak dia tak 

menginginkan si pemuda mengalami nasib 

buruk, karena dia yakin, meski ia tahu si 

pemuda dapat menahan pukulan 'Kabut

Neraka' Wulandari namun dia belum pasti

bisa menahan gabungan 'Kabut Neraka'. 

Sementara di pihak lain, dia harus 

singkirkan siapa saja yang coba


menghalangi demi untuk laksanakan tugas 

yang dlembankan oieh sang guru.

"Wulandari...," kata Sitoresmi pada 

akhirnya. "Apakah kau menduga jika 

pemuda itu pemegang penggalan peta yang 

kita buru itu?!"

"Melihat usia dan keterangan Guru, 

aku memang tidak yakin benar, namun 

keberadaannya di tempat ini pasti ada 

hubungannya dengan peta itu! Hem.... 

Kita singkirkan dahulu dia, baru kita 

menyelidik seantero tempat ini! Siapkan 

gabungan 'Kabut Neraka'!"

Habis berkata, Wulandari kerahkan 

tenaga dalam. Di sampingnya Ayu Laksmi 

segera pula berbuat sama. Meski agak 

enggan, akhirnya Sitoresmi kerahkan pula 

tenaga dalamnya.

"Tahan!" di depan sana murid Pendeta 

Sinting berteriak. "Aku sungguh tidak 

mengerti dengan maksud kalian. Di antara 

kita tak ada silang urusan. Adalah aneh 

jika kalian benar-benar inginkan 

nyawaku. Apakah begitu berharga selembar 

nyawaku buat kalian?!"

"Kau tak layak mengerti!" hardik 

Wulandari.

"Katakan saja, apakah kau tahu 

seluk-beluk sebuah penggalan peta!" kata 

Sitoresmi terus terang.

Joko pandangi ketiga gadis di 

hadapannya silih berganti.

"Penggalan peta? Peta apa?!"


"Jahanam! Jangan berlagak pilon! 

Kami jauh-jauh datang kemari perlu 

mengambil penggalan peta itu! Lekas 

serahkan pada kami, dan kau boleh angkat 

kaki dengan nyawa utuh!" akhirnya si 

jubah kuning Wulandari buka maksud 

sebenarnya.

"Ah. Aku makin tak mengerti dengan 

ucapan kalian. Mula-mula kalian bilang 

mencari seseorang. Lalu kini bicara soal

penggalan peta. Sekarang aku bukan saja 

tak mengerti tapi jadi bingung...," 

ucapan Joko Sesaat membuat Sitoresmi dan 

Ayu Laksmi jadi bimbang. Namun Wulandari 

segera menghardlk.

"Jangan jadi ragu karena ucapan 

orang! Mana mungkin orang berterus 

terang, apalagi dalam urusan besar 

begini! Habisi dia!"

Wulandari cepat hantamkan kedua 

tangannya ke depan lepaskan pukulan 

'Kabut Neraka'. Di sampingnya, Ayu 

Laksmi meski masih tampak ragu-ragu 

namun segera pula kirimkan pukulan. 

Mungkin tak mau menyakiti hati kedua 

saudara seperguruannya, akhirnya 

Sitoresmi ikut pula lepaskan pukulan 

'Kabut Neraka' meski dengan tenaga tidak 

sampai setengahnya.

Begitu masing-masing gadis telah 

lepaskan pukulan, terdengar suara deru 

keras luar biasa. Enam kabut putih tampak 

melesat lalu menyatu di udara. Suasana 

berubah terang panas menyengat! Di lain


kejap, kabut putih itu menggebrak ganas 

ke arah Pendekar Pedang Tumpul 131!

Melihat ganasnya pukulan, mau tak 

mau murid Pendeta Sinting ini terbelalak 

besar. Darahnya laksana strap. Namun 

ingat akan keselamatan dirinya Joko 

cepat siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. 

Didahului teriakan keras, murid Pendeta 

Sinting melesat dua tombak ke udara. Dan 

seraya melayang di atas udara, dia 

dorongkan kedua tangannya ke arah depan.

Sinar kuning mencorong dengan 

keluarkan suara dahsyat dan hawa panas 

menderu menyapu ke arah kabut putih. 

Sesaat kemudian terdengar dentuman keras 

menggelegar di tempat itu.

Sosok Joko terlempar sampai satu 

tombak ke belakang. Lalu terduduk di atas 

tanah dengan sekujur tubuh tertutup oleh 

hamburan tanah yang membumbung ke 

angkasa waktu terjadi bentrok pukulan. 

Wajah murid Pendeta Sinting ini pucat 

laksana kehabisan darah. Beberapa saat 

lamanya tubuhnya bergetar hebat. Napas 

dan peredaran darahnya seolah tersumbat 

hingga untuk sesaat dia megap-megap. 

Darah berwarna kehitaman pun terlihat 

mengalir keluar dari sela mulutnya 

pertanda dia telah terluka dalam.

Di seberang, Wulandari, Sitoresmi, 

dan Ayu Laksmi terlihat terhuyung-

huyung. Raut wajah ketiganya tampak 

pias. Jubah yang mereka kenakan 

berkibar-kibar. Sitoresmi dan Ayu Laksmi


segera dapat menguasai diri meski mereka 

berdua merasakan dadanya nyeri. Kedua 

tangannya laksana hilang kekuatannya. 

Ketika mereka berdua meneliti, kedua 

gadis ini jadi melengak kaget. Sepasang 

tangan mereka tampak berubah agak merah 

kehitaman.

Kalau kedua gadis itu masih bisa 

bertahan, tidak demikian halnya dengan 

Wulandari. Sosok gadis ini langsung 

terbanting begitu terjadi bentrok 

pukulan. Hal ini terjadi karena 

sebelumnya dia telah terluka dalam. 

Hingga waktu terjadi bentrok kedua kali, 

dia tak dapat iagi menguasai tubuh. Darah 

hitam mengucur kembali dari mulutnya 

pertanda lukanya makin parah.

Melihat keadaan saudara 

seperguruannya, Sitoresmi dan Ayu Laksmi 

yang semula enggan dengan tindakan 

Wulandari menjadi berubah.

"Keparat! Kau harus bayar mahal 

semua Ini!" teriak si jubah biru Ayu 

Laksmi seraya bantingkan sepasang 

kakinya. Matanya bernyala-nyala laksana 

dikobari api.

Di sebelahnya, meski Sitoresmi tak 

rela melihat keadaan Wulandari yang 

terluka dalam, tapi dia masih coba 

menahan hawa amarahnya. Dia hanya ke-

luarkan gumaman tak jelas dan arahkan 

pandangannya pada jurusan lain.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Ayu 

Laksmi keluarkan teriakan keras.


Tubuhnya melesat ke depan. Kedua 

tangannya bergerak menghantam ke arah 

Joko yang mulai bergerak bangkit.

Murid Pendeta Sinting melengak 

dengan mata melotot tatkala dari arah 

depan menggebrak kabut putih ke arahnya. 

Begitu cepatnya lesatan kabut putih 

pukulan 'Kabut Neraka' itu, hingga tak 

ada kesempatan lag! bagi Joko untuk 

selamatkan diri, apalagi kini dia 

terluka membuat gerakannya sedikit 

lamban.

"Busyet!" keluh Joko dengan mata 

meredup. Dia kerahkan tenaga dalam, 

laillu geser tubuhnya seraya angkat 

kedua tangannya untuk menahan pukulan.

Saat itulah, tiba-tiba terdengar 

satu suara tawa mengekeh panjang. Di lain 

saat terdengar deruan pelan. Namun 

bersamaan dengan itu pukulan 'Kabut 

Neraka' yang mengarah mengancam pada 

Pendekar 131 tertahan di udara. Bukan itu 

saja, kabut putih itu serta-merta 

laksana dihantam kekuatan dari atas 

hingga kabut itu menukik deras ke bawah.

Bummm!

Tanah muncrat berhambur ke udara 

menutupi tempat itu. Saat tanah sirap Ayu 

Laksmi dan Sitoresmi sama pelototkan 

mata masing-masing. Ternyata Joko telah 

lenyap dari tempat itu! Dan di hadapan 

mereka terlihat lobang menganga akibat 

pukulan 'Kabut Neraka' yang menghantam 

tanah.


"Ada seseorang yang menolongnya! 

Pasti dia orang yang kita cari!" seru Ayu 

Laksmi. "Cepat keJar!"

Tanpa menunggu sahutan, si jubah 

biru Ayu Laksmi segera berkelebat ke 

jurusan barat, sementara si jubah merah 

Sitoresmi melesat ke arah timur. 

Wulandari sebenarnya ingin pula 

berkelebat, namun karena sekujur 

tubuhnya masih terasa sakit, akhirnya 

dia memutuskan untuk menunggu di tempat 

itu.

* * *


LIMA



ADALAH suatu hal yang luar biasa 

jika murid Pendeta Sinting tak dapat 

gerakkan tubuh padahal dia merasa tak 

satu pun bagian tubuhnya ditotok orang. 

Tapi meski dia sudah coba dengan kerahkan 

tenaga dalam, tetap saja sia-sia, hingga 

pada akhirnya dia hanya diam seraya mem-

perhatikan pada punggung orang yang kini 

memanggul tubuhnya seraya melangkah 

perlahan. Anehnya, walau terlihat 

melangkah pelan, Joko dapat merasakan

siuran angin keras, pertanda orang yang 

memanggulnya berkelebat kencang!

Mungkin karena penasaran ingin 

tahu, Joko perhatikan sekali lagi lebih

seksama. Mula-mula dia melihat jubah 

besar berwarna merah menyala di


bawahnya. Ketika dia melirik ke atas, 

tampak oleh matanya bahwa orang yang 

sedang membawa dirinya sudah berambut 

putih dan hanya sebatas tengkuk.

Joko coba mengingat-ingat. Tiba-

tiba dia terperangah. "Busyet Bukankah 

orang ini si nenek itu?"

Yakin akan adanya siapa orang yang 

kini melarikannya, Joko segera berkata. 

"Nek. Ke mana aku hendak kau bawa pergi?"

Orang yang ditanya tidak menjawab. 

Bahkan berhenti pun tidak. Pendekar 

Pedang Tumpul 131 ulangi lagi ucapannya 

dengan suara agak dikeraskan.

"Nek. Harap jawab kata-kataku...." 

Orang yang membawa lari Joko hentikan 

langkah. Kepalanya didongakkan. 

Tiba-tiba terdengar suara kekehan 

tawanya. Namun tiba-tiba tawanya 

diputus. Dan sekali gerak, Joko 

merasakan tubuhnya melayang setinggi 

satu tombak ke atas. Joko coba gerakkan 

tubuh untuk menahan tubuhnya yang kini 

menukik ke bawah. Tapi murid Pendeta 

Sinting Ini terkejut. Tubuhnya masih 

belum bisa digerakkan, hingga tanpa 

ampun lagi tubuhnya terjerembab di atas 

tanah.

"Astaga! Apa maksud sebenarnya 

orang tua ini?" kata Joko dalam hati 

seraya bergerak hendak bangkit. Namun 

lagi-lagi dia tercekat. Tubuhnya kejang 

tak bisa digerakkan.


Mendadak di depannya, orang yang 

melarikannya yang ternyata seorang 

perempuan tua berambut putih sebatas 

tengkuk mengenakan jubah merah menyala 

dengan mulut memainkan gumpalan tembakau 

dan bukan lain adalah Ratu Malam gerakkan 

tangan kanannya membuat gerakan seperti 

orang mengetuk. Anehnya, bersamaan 

dengan itu, Joko dapat kembali gerakkan 

anggota tubuhnya.

"Luar biasa nenek ini...," gumam 

Joko seraya bangkit berdiri lalu menjura 

hormat dan berkata.

"Nek, terima kasih atas 

pertolonganmu...."

"Setan jelek! Siapa yang 

menolongmu? Hah...?!" Ratu Malam 

membentak galak, membuat Joko terkesiap 

kaget. Hingga untuk beberapa saat murid 

Pendeta Sinting ini diam. Namun ketika 

dilihatnya si nenek hendak buka mulut 

kembali, Joko buru-buru berkata.

"Nek, bukankah kau yang menulis 

pesan itu?! Tapi kenapa yang kutemui 

adalah gadis-gadis cantik?! Siapa 

mereka, Nek?! Anak-anakmu?! Wah.... 

Mereka cantik-cantik, tentu kau dulu 

cantik seperti mereka!''

Ratu Malam pentangkan sepasang 

matanya. Gumpalan tembakau hitam di 

mulutnya terlihat keluar masuk.

"Setan ini sama sintingnya dengan 

gurunya.... Kalau diladeni ucapannya 

akan terus ngelantur!" Mendadak Ratu


Malam katupkan rapat-rapat mulutnya. 

Ketika mulut itu bergerak membuka 

terdengar bentakannya.

"Aku tanya padamu. Apa gurumu yang 

menyuruhmu hingga kau sampai di tempat 

tadi bertemu denganku?!"

"Bagaimana ini? Apa harus kukatakan 

terus terang tentang tugas ini?!"

"Hai, Setan Jelek! Lekas jawab 

tanyaku!"

"Apa hendak dikata. Aku butuh orang 

tempat bertanya. Siapa tahu dia nanti 

bisa memberi petunjuk...," pikir Joko 

dalam hati. Lalu berujar.

"Eyang Guru menugaskan aku untuk 

menyelidik ke Pulau Biru. Hanya sayang 

dia tak mengatakan padaku di mana pulau 

itu berada. Kalau Nenek tahu, harap sudi

tunjukkan padaku ke mana aku harus 

menuju"

Mendadak Ratu Malam goyang-

goyangkan kepala. Lalu tertawa 

bergelak-gelak. "Urusan gila itu 

nyatanya sudah diendus banyak orang. 

Hem.... Setan jelek. Ternyata kau anak 

manusia yang beruntung!"

"Beruntung?" ulang Joko Sableng 

seraya gelengkan kepala. "Justru aku 

ketiban sial. Menuruti pesan yang kau 

tinggalkan, yang kutemui ternyata 

tuduhan yang tak kumengerti. Untung kau 

segera datang. Jika tidak, mungkin aku 

sudah berkalang tanah. Apakah itu 

dikatakan beruntung?!"


"Sudah. Jangan banyak berkeluh. 

Sekarang aku tanya padamu. Apakah kau 

masih hendak teruskan perjalanan ke 

Pulau Biru?"

"Karena itu tugas, lebih dari itu 

karena tugas ini demi untuk 

menyelamatkan rimba persilatan, apa pun 

yang akan terjadi, aku tetap akan 

teruskan perjalanan!"

"Bagus! Semangatmu besar, nyalimu 

masih berkobar. Urusan Pulau Biru memang 

harus segera dituntaskan. Kitab Serat 

Biru harus diselamatkan dari 

tangan-tangan yang tak bertanggung 

jawab!" ujar Ratu Maiam. Perempuan tua 

berjubah merah menyala ini selinapkan 

tangan ke balik jubahnya. Ketika ta-

ngannya ditarik keluar iagi, tampaklah 

selembar kulit berwarna coklat lusuh.

"Setan Jelek. Dengar baik-baik! 

Sampai hari ini belum ada manusia yang 

tahu di mana sebenarnya Pulau Biru itu 

berada. Orang-orang rimba persilatan 

selama ini hanya dengar namanya namun tak 

tahu di mana" Sejenak Ratu Malam hentikan 

ucapannya sebelum akhirnya melanjutkan.

"Kulit jelek ini dua puluh tahun 

tersimpan padaku. Dan kau adalah orang 

yang kutunggu selama kurun masa itu untuk 

menerimanya!"

"Eh. Jadi kaulah orang yang dicari 

para gadis-gadis itu. Mereka sebut-sebut 

penggalan peta. Apakah kulit itu memang 

penggalan peta?!"


"Tak salah. Ikuti apa yang tertera 

dalam peta ini. Dan ingat. Jaga kulit ini 

sebagaimana kau jaga dirimu sendiri. 

Karena sekali kulit ini jatuh ke tangan 

orang lain, berarti tugasmu lebih berat 

Iagi!"

"Nek. Kalau boleh tahu, apakah kulit 

Itu ada hubungannya dengan Kitab Serat 

Biru?"

"Aku tak bisa jawab dengan pasti. 

Jika kau nanti telah mendapatkan 

penggalan peta ini dengan sempurna, di 

sanalah jawaban itu akan kau peroleh!"

"Jadi...?"

"Seperti yang kau lihat. Kulit ini 

hanyalah penggalan. Kau dituntut untuk 

mencari penggalannya!"

"Tapi Nek? Aku ditugaskan untuk 

menyelidik ke Pulau Biru. Bukan mencari 

penggalan peta!"

Si nenek pelototkan sepasang 

matanya yang sipit. "Sudah kukatakan. 

Tak seorang pun sampai sekarang ini yang 

tahu di mana beradanya Pulau Biru. Dan 

hanya dengan sempurnanya penggalan peta 

ini, kau baru dapat sampai ke Pulau Biru. 

Tapi ingat. Aku tak bisa menjamin apakah 

Pulau Biru itu masih ada hubungannya 

dengan Kitab Serat Biru atau tidak!"

Habis berkata begitu, Ratu Malam 

ulurkan kulit warna coklat pada Pendekar 

131. Joko segera menyambuti kulit itu. 

Untuk beberapa lama murid Pendeta


Sinting perhatikan apa yang tertera 

dalam kulit coklat di tangannya.

"Melihat bentuknya, sebelum kulit 

ini ada kulit lain yang telah dipenggal. 

Kulit ini sudah penggalan. Bukan yang 

pertama...," kata Joko dalam hati lalu 

katakan apa yang ada dalam benaknya pada 

si nenek.

"Dugaanmu benar. Sebelum kulit ini 

ada penggalan sebelumnya. Tapi kau tak 

perlu cemaskan hal itu. Kau mulai saja 

perjalanan dari yang tertera dalam kulit 

itu...."

"Hem.... Aku tahu sekarang. 

Jangan-jangan penggalan pertama kulit 

ini ada pada gadis-gadis cantik yang 

mencarimu itu!"

"Itu bisa saja. Hanya yang 

kuherankan, kalau memang gadis-gadis itu 

memegang penggalan yang pertama, dari 

mana mereka dapatkan? Apakah mungkin 

Jalu Paksi salah berikan pada orang? 

Padahal kurasa dia sudah tahu, kepada 

siapa sebenarnya kulit itu harus 

diberikan...," Ratu Malam bergumam 

seolah berkata pada dirinya sendiri. 

"Nek. Siapa Jalu Paksi...?" "Dialah 

pemegang penggalan kuiit yang pertama. 

Kau harus hati-hati. Dengan berhasilnya 

para gadis itu sampai di tempat mana kau 

tadi berada, berarti mereka memang telah 

mendapatkan penggalan kulit yang pertama 

dan tentu yang asli...," Ratu Malam 

menghela napas panjang. "Aku mendapat


firasat sesuatu telah terjadi pada Jalu 

Paksi jika sampai kulit itu jatuh pada 

orang yang tidak ditentukan.."

"Jadi kulit-kulit itu memang harus 

diberikan pada orang yang telah 

ditentukan?" Joko ajukan tanya.

Ratu Malam mengangguk perlahan.

"Dengarlah. Aku mempunyai empat 

saudara seperguruan. Menjelang 

meninggalnya, guru kami memberikan 

penggalan kulit pada satu persatu 

muridnya dengan pesan kelak penggalan 

kulit itu harus diberikan pada seseorang 

yang mempunyai ciri tertentu...."

"Apakah ciri itu, Nek...?" "Orang 

itu berhasil mendapatkan pedang pusaka 

yang disebut Pedang Tumpul 131!"

Joko jadi terkejut. Tanpa sengaja 

tangan kanannya meraba ke pinggang, di 

mana tersimpan Pedang Tumpul 131. Dia 

bernapas lega karena pedang itu masih ada 

di sana.

"Kami tak tahu, kenapa kulit itu 

dipenggal-penggal demikian rupa. Kami 

juga tak pernah tanya, apa yang terpendam 

dalam Pulau Biru. Yang kami ketahui 

adalah, jika penggalan-penggalan kulit 

itu digabung, maka di situ akan tertera 

peta yang berakhir pada Pulau Biru...."

"Tapi Nek. Orang-orang rimba 

persilatan kini tampaknya sedang dibikin 

gila dengan urusan Kitab Serat Biru yang 

menurut kabar tersimpan di dalam Pulau 

Biru!"


"Kau tak usah kaget. Urusan ini 

bukan sekarang saja diributkan orang. 

Jauh sebelumnya, urusan Kitab Serat Biru 

telah menjadi buah bibir. Bahkan telah 

menelan banyak korban. Kalau sekarang 

kitab itu kembali diributkan, mungkin 

ada seseorang yang mengail di air keruh. 

Mau mengambil keuntungan dengan tanpa 

bersusah payah. Mungkin juga untuk 

memancing keluarnya beberapa orang tokoh 

yang diduga banyak mengetahui tentang 

seluk-beluk kitab itu. Karena kudengar 

saat ini telah muncul beberapa orang yang 

justru dikabarkan jika orang itu telah 

tewas! Hem.... Hari ini tugasku 

menyampaikan penggalan kuiit itu telah 

kulaksanakan. Apa yang sekarang hendak 

kau lakukan terserah padamu. Hanya kalau 

mau kusarankan, carilah penggalan kulit

selanjutnya!"

Habis berkata, Ratu Malam putar 

diri. Tunggu!" tahan Joko. "Ke mana aku 

harus mencari pemegang penggalan kulit 

lainnya?"

"Ikuti yang tertera dalam peta. Di 

sana kau akan menemukan orang yang kau 

cari! Karena Guru kami telah menentukan 

di mana kami harus menunggu orang yang 

telah ditentukan itu. Selamat jalan...."

Sebenarnya Joko masih hendak 

menahan kepergian si nenek. Namun belum 

sampai ucapannya keluar, si nenek telah 

berkelebat lenyap.


"Busyet! Aku sampai lupa menanyakan 

siapa namanya...."

Joko memperhatikan sejenak pada 

peta yang tertera dalam kulit coklat di 

tangannya. "Hem.... Aku harus mulai dari 

tempat gadis-gadis tadi berada.... 

Mudah-mudahan mereka telah pergi."

* * *


ENAM



PENDEKAR 131 terkesiap dan segera 

hantamkan kedua tangannya memapak 

pukulan yang mengarah padanya. Terdengar 

dentuman menggelegar menyentak tempat 

itu.

Di depan sana, dari mana tadi 

pukulan gelap bersumber terdengar seruan 

tertahan. Lalu sesosok tubuh membuat 

gerakan berjumpalitan di udara sebelum 

akhirnya menjejak tanah dengan kaki 

terkembang sepuluh langkah di hadapan 

Joko Sableng.

Dia adalah seorang gadis berparas 

cantik mengenakan jubah warna biru. 

Tubuhnya sesaat bergetar, tapi kejap 

kemudian terdengar suaranya. "Mana 

dia?!"

Joko memandang tajam pada gadis 

cantik di hadapannya. Belum sampai murid 

Pendeta Sinting buka mulut, si gadis yang 

bukan lain adalah Ayu Laksmi telah 

membentak kembali.

"Cepat katakan. Atau kurobek 

mulutmu!"

"Aneh. Siapa yang kau maksud? Aku di 

sini sendirian!"

Ayu Laksmi menatap sejenak pada 

Joko. Lalu berpaling dengan mata menyapu 

berkeliling tak berkesiap. Dalam hati si 

gadis berkata. "Bayangan kelebatannya 

masih dapat kutangkap. Sayang, 

gerakannya terlalu cepat hingga kalau 

kukejar pun hanya sia-sia! Tapi pasti 

pemuda ini tahu siapa dan di mana orang 

tadi berada. Aku hampir yakin. orang 

tadilah yang selama ini kucari!"

"Kuberi waktu untuk berpikir. 

Katakan di mana orang tadi atau 

kutamatkan riwayatmu!" sentak Ayu

Laksmi.

Joko geleng-geleng kepala seraya 

tersenyum.

"Sudah kukatakan, aku sedari tadi 

berada sendirian di tempat ini! Kalau 

tidak percaya...."

"Diam!" hardik Ayu Laksmi habis 

kesabaran. "Jangan kira kau bisa 

menipuku. Dan aku tahu kau masih terluka 

dalam. Jangan sampai aku gelap mata 

karena kau keras kepala!"

Karena Joko tak segera menjawab, 

kemarahan Ayu Laksmi tak dapat ditahan 

Iagi. "Baik. Rupanya kau memilih tamat 

riwayat daripada buka mulut!" 

Wuutt! Wuuutt!


Ayu Laksmi sentakkan kedua 

tangannya ke depan, lepaskan pukulan 

'Kabut Neraka'. Hingga saat itu juga dari 

kedua tangannya melesat kabut putih 

hamparkan hawa panas dan suara 

menggidikkan!

Meski murid Pendeta Sinting masih 

merasakan sakit pada dadanya, namun dia 

tak tinggal diam. Serta-merta kedua 

tangannya diangkat laiu didorong ke 

depan kirimkan pukulan sakti Lembur 

Kuning.

Tempat itu serentak terang-

benderang dan panas luar biasa. Sinar 

kuning meiesat keluarkan deru dahsyat. 

Di kejap lain terdengar ledakan keras. 

Disusul terdengar suara pekikan dan 

seruan tertahan.

Dua sosok tubuh tampak saling mental 

masing-masing ke belakang. 

Buk! Buk!

Joko terlihat terhuyung-huyung ke 

belakang. Sosoknya bergoyang-goyang 

dengan tangan gemetar. Sepasang matanya 

bolak-balik mengerjap meredup setengah 

membuka dengan bibir bergetar. Sementara 

di depan sana, Ayu Laksmi 

terhuyung-huyung sebelum akhirnya roboh 

terjengkang di atas tanah. Tapi gadis 

cantik ini cepat bergerak bangkit.

"Aku yakin pemuda itu telah cidera 

waktu bentrok dengan pukulan gabungan 

'Kabut Neraka'. Tapi aneh jika dia masih 

bisa bertahan dan dapat menahan pukulan


'Kabut Neraka'ku! Kalau tidak segera 

kuhabisi, bukan saja aku yang akan

mendapat celaka, tapi kelak dia bisa jadi

penghalang!" Berpikir sampai di situ, 

Ayu Laksmi lipatkan tenaga dalam. 

Sepasang matanya dipejamkan. Kedua 

tangannya ditakupkan di depan dada.

Tiba-tiba dari sekujur tubuh gadis 

berjubah biru ini keluarkan asap tipis. 

Dan saat kedua kakinya dibantingkan ke 

atas tanah, dari sepasang matanya yang 

tiba-tiba dipentangkan melesat dua larik 

sinar biru. Tak ada suara yang terdengar 

bersamaan dengan melesatnya sinar biru 

dari sepasang mata si gadis. Tapi pada 

saat yang sama, tanah di depan si gadis 

membentuk jalur memanjang dan rengkah 

selebar setengah tombak! Rengkahan itu 

terus memanjang dengan cepat ke arah 

Pendekar 131!

"Celaka! ilmu apa yang dimiliki 

gadis ini? Aku telah terluka, tak mungkin 

aku kerahkan tenaga dalam. Hem.... 

Terpaksa aku pergunakan Pedang Tumpul 

131...."

Joko segera selinapkan tangan ke 

balik pakaiannya untuk mencabut Pedang 

Tumpul 131. Tapi belum sampai senjata 

mustika itu keluar, dari semak belukar 

terdengar gumaman. Karena sumber suara 

gumaman jauh dari tempatnya Ayu Laksmi, 

gadis ini sama sekali tak mendengar. 

Namun tidak demikian halnya dengan


Pendekar 131. Dia dapat dengan jelas 

mendengar gumaman itu.

"Sinar Setan. Lekas menyingkir. 

Pukulan itu amat berbahaya!"

Meski tak tahu siapa adanya orang 

yang bergumam, namun isyarat ucapannya 

menandakan bahwa orang itu tahu betul 

akan pukulan yang kini melabrak ke arah 

Joko.

Joko urungkan niat cabut senjata. 

Dan secepat kilat dia menyingkir ke 

samping dengan gulingkan tubuh. Saat 

itulah dari semak belukar melesat keluar 

dua larik sinar merah.

Bummmm!

Rengkahan tanah yang terus bergerak 

terhenti lalu terdengar dentuman keras. 

Hamburan tanah membubung ke udara. 

Tempat itu bergetar hebat seolah ditimpa 

gelombang besar. Tubuh murid Pendeta 

Sinting terlihat mental dan untuk kedua 

kalinya jatuh bergulingan di atas tanah.

"Cepat menyingkir ke arah timur!" 

lagi-lagi terdengar gumaman.

Joko pentangkan sepasang matanya. 

Karena saat itu hamburan tanah masih 

menutupi pemandangan, dia belum 

memastikan siapa adanya orang yang 

bergumam. Namun jelas dia dapat 

memastikan bahwa suara itu adalah suara 

seorang perempuan.

"Bukan. Suara itu bukan suara si 

nenek. Tapi siapa?"


Selagi Joko bertanya-tanya, kembali 

terdengar teguran.

"Waktumu cuma sedikit. Selagi masih 

gelap, lekas menyingkir!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Joko 

kerahkan sisa tenaganya. Lalu berkelebat 

ke arah yang dikatakan orang dari 

kegelapan.

Begitu hamburan tanah sirap, di 

depan sana Ayu Laksmi tampak 

bergerak-gerak bangkit. Wajah gadis ini 

pucat pasi. Dari mulutnya terlihat darah 

mengalir pertanda dia terluka cukup 

dalam.

"Jahanam! Lagi-lagi ada orang yang 

menolongnya! Keparat siapa gerangan yang 

berani ikut campur Ini? Adakah orang 

pemegang penggalan peta itu?!"

Ayu Laksmi bergerak duduk. 

Tiba-tiba sepasang matanya mendelik 

besar memperhatikan ke depan. Dadanya 

berdebar keras. Mulutnya yang berdarah 

komat-kamit.

Di depan sana, di mana pukulannya 

terhenti, tampak lobang besar menganga. 

Di belakangnya tampak dua jalur 

memanjang sampai gerumbulan semak 

belukar.

"Aku sepertinya mengenali pukulan 

yang menahan pukulan 'Sinar Setan'ku. 

Mungkinkah dia...? Tapi apa mungkin?"

Selagi Ayu Laksmi didera berbagai 

pertanyaan, dari arah belakangnya 

berkelebat sesosok bayangan.


“Apa yang terjadi? Kau terlihat 

terluka....' Ayu Laksmi berpaling. Di 

hadapannya tegak seorang gadis berjubah 

merah yang kini menatapnya dengan 

pandangan cemas. Untuk sesaat, Ayu Laks-

mi memperhatikan sosok di hadapannya 

seolah baru saja dikenalnya.

'Ayu Laksmi, kenapa kau memandangku 

begitu rupa? Apa sebenarnya yang telah 

terjadi?" Gadis berjubah merah yang 

bukan lain adalah Sitoresmi ajukan 

teguran karena jengah dipandangi 

demikian rupa.

"Ah, tidak mungkin. Mungkin orang 

lain yang melakukannya...," kata Ayu 

Laksmi dalam hati. Lalu palingkan 

kepalanya pada jurusan lain dan berkata.

"Aku berhasil menemukan pemuda yang 

kita kejar. Tapi lagi-lagi ada orang yang 

menolong. Kini dia lenyap lagi! 

Tapi...."

"Tapi apa...?!" sahut Sitoresmi. 

"Aku sepertinya dapat mengenali pukulan 

jahanam yang menolong itu!"

Sitoresmi palingkan kepala 

memandang pada jurusan timur. Sesaat 

kepalanya didongakkan, lalu terdengar 

ucapannya.

"Itukah sebabnya kau memandangku 

seolah menaruh curiga?!"

"Aku tahu pasti pukulan apa yang 

menahan pukulan 'Sinar Setan'-ku! 

Dan...."


"Ayu Laksmi!" potong Sitoresmi. 

"Rimba persilatan bukan dunia sempit. 

Pukulan sakti 'Sinar Setan' bukan hanya 

kita saja yang memiliki. Jadi aneh 

kedengaran di telingaku jika nada 

kata-katamu menaruh curiga padaku!"

"Aku tidak curiga padamu. Hanya aku 

heran...." Sitoresmi tertawa perlahan. 

"Aku tahu. Kau menaruh curiga padaku. 

Hem.... Terserah padamu. Hanya 

kuingatkan. Jangan bikin jurang 

perpecahan antara kita hanya gara-gara 

kecurigaan!"

Mendengar ucapan Sitoresmi, Ayu 

Laksmi terdiam untuk beberapa lama. Saat 

itulah sesosok bayangan berkelebat dan 

tahu-tahu berdiri di sebeiah Sitoresmi. 

Dia bukan lain adalah Wuiandari.

Setelah ditinggal sendirian oleh 

Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang berkelebat 

mengejar Joko, Wulandari kerahkan tenaga 

untuk kembalikan keadaan tubuhnya. 

Setelah dirasa tubuhnya membaik, gadis 

ini merasa kebingungan. Akankah ikut 

berkelebat mengejar atau diam menunggu. 

Dia mondar-mandir sendirian dengan 

berpikir mencari jalan terbaik yang 

harus ditempuh. Saat itulah dia dengar 

satu dentuman keras dari arah barat, arah 

mana tadi Ayu Laksmi menuju. Tapi 

Wulandari masih juga belum beranjak dari

tempatnya. Dia seolah masih ingin 

meyakinkan. Dan tatkala tak lama


kemudian mendengar lagi ledakan keras, 

dia cepat berkelebat ke arah barat.

"Orang yang kita kejar berhasil 

lolos!" ujar Sitoresmi sebelum Wulandari 

buka mulut untuk bertanya.

Sepasang mata Wulandari memandang 

silih berganti pada Sitoresmi dan Ayu 

Laksmi. Sekali pandang tampaknya gadis 

berjubah kuning ini telah menangkap ada 

sesuatu antara kedua gadis di sebelanya.

'Ada apa di antara kalian?! Ingat. 

Jangan sampai ada sesuatu yang 

tersembunyi di antara kita bertiga...!"

Sitoresmi dan Ayu Laksmi sama 

bentrok pandangan. Namun sesaat kemudian 

Ayu Laksmi berpaling pada jurusan lain 

sambil berkata.

"Aku hampir saja berhasil menangkap 

jahanam itu. Tapi tiba-tiba seseorang 

menahan pukulan 'Sinar Setan' yang 

kulepaskan! Dan aku tahu pasti, aku 

mengenali pukulan yang menahan 

seranganku...."

"Dia menuduh akulah yang menahan 

pukulannya, padahal kami berdua 

berkelebat bersilangan jalan. Dia ke 

arah barat, aku ke arah timur!"

"Sudah. Tak perlu diteruskan 

persoalan ini!" damprat Wuiandari dengan 

suara keras. "Sekarang kita berpencar. 

Besok pagi kita bertemu di tempat ini 

kembali! Aku kini yakin. Pemuda itu ada 

hubungannya dengan penggalan peta itu! 

Ingat. Jangan sampai ada yang bertindak


menyimpang dari rencana semula, Apalagi 

coba-coba berkhianat!"

Habis berkata demikian, Wulandari 

bergerak menuju ke arah utara. Ayu Laksmi 

melirik pada Sitoresmi.

"Mudah-mudahan dugaanku keliru. Dan 

memang orang lain yang melakukannya...," 

gumam Ayu Laksmi lalu berkata.

"Sitoresmi. Kuharap kau melupakan apa 

yang baru saja terjadi...."

Sitoresmi tak menyahut. Mulutnya 

terkancing rapat dengan pandangan mata 

jauh ke depan. Dan ketika dia menunggu 

agak lama tak ada suara lagi yang 

terdengar, gadis berjubah merah ini 

berpaling. Ternyata Ayu Laksmi sudah 

tidak ada di tempat itu.

Sitoresmi menarlk napas 

dalam-dalam. Setelah berpikir sejenak 

akhirnya dia berkelebat ke arah timur.

***


TUJUH



MURID Pendeta Sinting kerahkan sisa 

tenaga untuk dapat berlari sekencang 

yang bisa diperbuatnya. Nyeri pada dada 

dan sekujur tubuh ngilu tak 

dipedulikannya. Dia bukan saja merasa 

jika dikejar oleh orang, lebih dari itu, 

dia khawatir jika penggalan kulit yang 

kini di tangannya sampai jatuh pada orang 

lain. Karena dia sadar, dia kini terluka


dalam. Dan yakin bahwa para gadis yang 

baru saja bentrok dengannya menginginkan 

sekaligus mencari penggalan kulit di 

tangannya.

Namun karena lukanya cukup parah, 

tak lama kemudian dia merasakan dadanya 

sesak dan sepasang kakinya terasa panas 

laksana dipanggang bara. Kejap kemudian 

sepasang matanya berkunang-kunang. 

Hingga meski dengan perasaan cemas 

akhirnya Joko hentikan larinya.

"Celaka! Kalau sampai gadis tadi 

benar-benar mengejarku maka bukan saja 

jiwaku terancam tapi kulit ini bisa jatuh 

ke tangannya!" gumam Joko lalu memandang 

berkeliling seraya pelototkan sepasang 

matanya.

Ternyata dia berada pada satu tempat 

terbuka yang jarang ditumbuhi pohon dan 

semak belukar. Sedangkan gugusan bukit 

tampak masih jauh dari tempatnya berada. 

Tapi karena gugusan bukit itu 

satu-satunya tempat yang diyakini bisa 

untuk sembunyi selamatkan diri dari 

kejaran orang, maka meski dadanya masih 

sulit untuk dibuat bernapas dan sepasang 

kakinya semakin terasa panas dia kuatkan 

hati untuk melangkah ke arah gugusan 

bukit.

Begitu kakinya menapak gugusan 

bukit, sepasang kakinya goyah, tak 

berselang iama tubuhnya limbung dan 

roboh di kerapatan semak gugusan bukit. 

Murid Pendeta Sinting ini pejamkan


sepasang matanya dan kerahkan hawa murni 

untuk mengatasi hawa panas yang kini 

mulai menjalar ke segenap tubuhnya.

Namun Joko jadi tercekat sendiri 

tatkala hawa murni yang dikerahkan 

seakan tertahan oieh sebuah kekuatan 

hingga mental, dan ini berakibat fatal 

bagi dirinya karena darah lebih banyak 

keluar dari mulutnya.

"Edan! Mengapa bisa begini?" tanya 

Joko seraya melirik pada bagian kakinya 

yang terasa makin panas. Tiba-tiba dia 

berseru tertahan. Ternyata kakinya 

berubah warna agak kehitaman! Dan di 

sana-sini terlihat menggembung!

Sebenarnya waktu terjadi bentrok 

antara Joko dengan Ayu Laksmi, tanpa 

disadari oleh Joko, saat Ayu Laksmi 

lancarkan pukulan sakti 'Sinar Setan' 

meski Joko sempat gulingkan tubuh 

selamatkan diri, namun tak urung 

sepasang kakinya tersambar pukulan si 

gadis. Joko memang tidak pedulikan, 

karena saat itu dia tidak merasakan 

apa-apa. Inilah kehebatan pukulan 'Sinar 

Setan' yang dilepaskan Ayu Laksmi. 

Pukulan itu akan menghantam sasaran 

dengan tanpa mencederai dan lawan tidak 

akan merasakan apa-apa. Namun dalam 

jarak beberapa saat kemudian, orang yang 

terkena pukulan 'Sinar Setan’ akan 

merasakan tubuhnya panas luar biasa. 

Lalu tubuhnya akan menggembung laksana 

orang dipanggang dalam api. Kejap


kemudian, gelembung itu akan pecah

berkeping-keping semburkan darah hitam!

"Celaka!" desis Pendekar 131 dengan 

perasaan khawatir. Dia tak berani Iagi 

kerahkan tenaga untuk mengatasi rasa 

panas di tubuhnya. Namun dia tak mau 

begitu saja rasa sakit yang menjalari 

tubuhnya semakin menyiksa. Maka dia 

putar tubuh membalik dengan sepasang 

mata ditebar ke seantero gugusan bukit. 

Saat itulah telinganya mendengar 

gemeretak ranting diinjak orang. 

Serta-merta murid Pendeta Sinting 

beringsut dengan sejajarkan tubuh ke 

tanah. Sepasang matanya dipentangkan 

lebar-lebar memandang tak berkedip ke 

arah datangnya suara ranting. Namun dia 

melengak karena dia tak menangkap adanya 

orang!

Menangkap adanya bahaya, lupa akan 

keadaan dirinya yang terluka dalam, 

murid Pendeta Sinting kerahkan tenaga 

dalam. Serta-merta dia merasakan 

tubuhnya laksana disengat, meski dia 

takupkan telapak tangannya, suara 

erangannya masih terdengar. Tubuhnya 

bergetar hebat. Dan tak lama kemudian 

kepalanya jatuh lunglai di atas tanah. 

Lalu segalanya menjadi gelap!

Bersamaan dengan itu, satu bayangan 

berkelebat dan tahu-tahu berdiri di 

samping murid Pendeta Sinting dengan 

sepasang mata memandang tajam perhatikan


sekujur tubuhnya yang mulai kehitaman 

dan menggembung.

"Astaga! Terlambat sedikit nyawanya 

tidak akan tertolong...," gumam orang 

yang baru datang. Ternyata dia adalah 

seorang perempuan. Wajahnya tidak bisa 

dikenali karena ditutup dengan cadar 

berlobang kecil-kecil berwarna biru. 

Pada punggung orang ini terlihat punuk 

besar. Pada bagian tubuhnya yang 

terlihat tampak diberi pewarna hitam.

Perempuan berpunuk besar jongkok di 

samping tubuh Joko. "Untung tubuhnya 

tahan. Tapi jika dibiarkan saja paling 

bisa bertahan sampai matahari terbenam."

Si perempuan berpunuk mengeluarkan 

kantong dari balik pakaiannya. Dari 

dalam kantong dia keluarkan butiran 

kecil berwarna hitam. Kepala Joko yang 

lunglai di atas tanah diangkat dan 

dibalikkan. Dengan sedikit menekan kedua 

pipinya, mulut Joko terbuka. Butiran 

hitam segera dimasukkan. Tak selang 

lama, si perempuan berpunuk keluarkan 

bungkusan dari dalam kantong.

Bungkusan segera dibuka. Ternyata 

berisi serbuk berwarna putih. Serbuk 

putih segera ditebar ke seluruh tubuh 

Joko dengan tangan satunya membuka 

sebagian pakaiannya. Perubahan segera 

terlihat. Gelembung-gelembung pada 

tubuh Joko perlahan-lahan mengempis. Dan 

perlahan-lahan pula warna kulitnya yang


agak kehitaman berubah kemerahan 

kembali.

Si perempuan berpunuk menarik napas 

lega. Dia lalu pejamkan sepasang 

matanya. Telapak tangannya segera 

ditempelkan ke punggung Joko salurkan 

hawa murni.

Beberapa saat berlalu. Si perempuan 

berpunuk tarik kedua tangannya dari 

punggung Joko. Seraya menghela napas, 

dia usap keringat yang membasahi 

lehernya. Sepasang mata dari balik cadar 

menatap memperhatikan sekujur tubuh di 

depannya dengan perdengarkan gumaman tak 

jelas.

Mendadak tangan kanan si perempuan 

berpunuk bergerak ke arah punggung Joko. 

Dari punggung di mana tersimpan Pedang 

Tumpul 131, si perempuan keluarkan 

senjata mustika itu.

Untuk sesaat sepasang mata di balik 

cadar si perempuan menatap tak berkedip 

pada pedang yang kini telah dikeluarkan 

dari sarungnya. Saat terlihat guratan 

angka 131 dan bersitan kuning mencorong, 

si perempuan tersentak kaget.

"Astaga! Aku memang belum pernah 

melihat senjata ini. Tapi aku yakin, ini 

adalah pedang yang beberapa tahun silam 

sempat membuat rimba persilatan geger. 

Pedang Tumpul 131. Hem.... Jadi pemuda 

ini adalah manusia yang bergelar 

Pendekar Pedang Tumpul 131...."


Setelah memasukkan pedang kembali 

pada balik pakaian Joko, si perempuan 

berpunuk bergerak bangkit, kepalanya

berputar sejenak perhatikan keadaan 

sekeliling.

"Hem.... Tempat ini kurasa masih 

aman dari jangkauan tangan orang.... Dan 

aku harus segera meninggalkan tempat 

ini...."

Si perempuan berpunuk bangkit 

berdiri. Kepalanya dipaiingkan dan 

menatap sekali lagi pada tubuh serta muka 

Pendekar 131. Lagi-iagi terdengar 

gumaman dari mulutnya sambil kepalanya 

bergerak menggeleng perlahan. Sesaat 

kemudian perempuan ini balikkan tubuh 

dan melangkah pergi.

"Tunggu!"

Mendadak satu suara menahan dari 

arah belakang, membuat perempuan 

berpunuk putar diri. Di depan sana 

dilihatnya tubuh Joko bergerak-gerak 

hendak bangkit, sementara kepala dan 

sepasang matanya menghadap ke arah si 

perempuan dengan mulut membuka hendak 

ucapkan kata-kata lagi.

"Harap jangan bergerak dulu...," 

ujar si perempuan dengan masih tegak di 

tempatnya.

"Terima kasih.... Kau telah 

menolongku. Boleh aku tahu, siapa kau?"

Si perempuan berpunuk tertawa 

perlahan seraya gelengkan kepaia.


"Siapa aku tak begitu penting 

bagimu. Aku merasa lega jika kau telah 

baik kembali. Aku masih punya urusan. 

Kelak semoga kita bisa bertemu lagi...."

"Ah. Aku merasa kecewa. Selain tak 

dapat mengetahui siapa namamu, aku juga 

tak bisa mengenali wajahmu. Hem.... 

Kalau kau keberatan sebutkan nama, 

bagaimana kalau kuminta kau singkapkan 

barang sejenak cadar penutup wajahmu 

agar aku dapat mengenal meski tak tahu 

namamu?"

Seraya berkata, perlahan-lahan Joko 

bergerak duduk. Dia masih merasakan 

sedikit nyeri pada dadanya, tapi sudah 

jauh berkurang dari sebelumnya.

Di seberang, mendengar ucapan Joko, 

si perempuan berpunuk kembali gelengkan 

kepala.

"Untuk sementara ini, biarlah kau 

mengenal dan mengetahui diriku 

sebagaimana adanya yang kau lihat saat 

ini. Hanya kupesan. Kau harus lebih 

berhati-hati. Beberapa orang kini sedang 

mengejarmu. Dan kusarankan jika 

lanjutkan perjalanan, hindari arah utara 

dan barat. Nah, Pendekar Pedang Tumpul 

131, selamat tinggal...."

Joko Sableng terkesiap melihat 

orang tahu siapa dirinya. Dia coba 

mengenali siapa adanya si perempuan 

dengan memandang dari atas sampai bawah. 

Tapi untuk beberapa saat dia tak dapat 

menemukan jawaban. Sementara perempuan


berpunuk telah putar diri dan kembali 

hendak melangkah tinggalkan tempat itu. 

Namun lagi-lagi langkah si perempuan 

tertahan tatkala dia dengar sebuah 

seruan dari belakangnya.

"Perempuan bercadar! Kau seolah 

tahu apa yang kualami. Apakah kau masih 

ada hubungannya dengan nenek berjubah 

merah yang tadi juga sempat menolongku?"

Tanpa berpaling Iagi, perempuan 

berpunuk gelengkan kepala. Lalu berujar 

pelan. "Aku tak tahu dan tak mengenal 

orang yang kau sebut...."

"Aneh. Dua kali aku bertemu orang

yang menolong tapi gagal kuketahui 

namanya...," gumam Joko seraya 

geleng-geleng kepala. Dia hendak buka 

mulut untuk berucap lagi. Namun suaranya 

terputus tatkala di depan sana si 

perempuan berpunuk ternyata telah tidak 

ada lagi!

Hanya sesaat setelah perempuan 

berpunuk berlalu, mendadak semak belukar 

tujuh langkah di samping Joko bergerak 

menguak. Satu bayangan berkelebat dan 

tahu-tahu di hadapan Pendekar 131 tegak 

sesosok tubuh!

* * *

DELAPAN



SOSOK ini adalah seorang perempuan. 

Mengenakan pakaian warna biru tipis dan 

ketat yang bagian dadanya dibuat sangat 

rendah hingga sebagian kulit payudaranya 

yang kencang putih terlihat dengan 

jelas. Rambutnya panjang bergerai dengan 

bulu mata lentik dan sepasang mata bulat 

tajam. Bibirnya merah ditingkah dengan 

hidung sedikit mancung. Walau perempuan 

ini tidak muda Iagi, namun paras wajahnya 

sangat cantik, bahkan kelihatan lebih 

muda dari usia sebenarnya.

"Ratu Pemikat...!" seru Pendekar 

131 dalam hati dengan tengkuk merinding. 

Sepasang matanya perhatikan perempuan 

berparas cantik di hadapannya dengan tak 

berkesiap.

"Tenagaku belum pulih betul. Dan 

perempuan ini pasti ingin meneruskan 

urusan lama...."

Perempuan berpakaian biru tipis dan 

memang Ratu Pemikat adanya perdengarkan 

tawa panjang. Tiba-tiba suara tawanya 

diputus. Kepalanya disentakkan 

berpaling ke arah jurusan lain.

"Pendekar 131! Bentangan dunia 

terlalu sempit untuk tempatmu 

berlindung. Kematian tak akan berada 

jauh dari sepasang kakimu! Tapi, 

kematian itu akan menjauh malah kau bisa 

merasakan kenikmatan yang kau inginkan 

jika kau serahkan Pedang Tumpul 131


padaku! Kau mendengar ucapanku, kau 

tidak tuli! Apa jawabmu?!"

Ucapan Ratu Pemikat alias Dewi 

Asmara untuk beberapa saat membuat murid 

Pendeta Sinting menjadi tegang. Dia 

menyadari bahwa dirinya masih terluka 

dalam meski sudah berkurang rasa 

sakitnya. Namun karena telah mengetahui 

siapa adanya perempuan di hadapannya, 

mau tak mau Pendekar 131 harus berpikir 

dua kali untuk terlibat bentrok dengan si 

perempuan.

Karena yang ditanya tidak memberi 

jawaban, Ratu Pemikat berpaling. Dari 

hidungnya keluar suara dengusan keras. 

Lalu dia membentak. 

"Pendekar 131! Aku telah buang waktu 

banyak. Aku tak mau perjalanan ini 

sia-sia. Kalau kau tak suka buka mulut, 

lekas serahkan apa yang kuminta! Dan kau 

bisa tinggalkan tempat ini!"

Seraya berkata, Ratu Pemikat 

ulurkan tangan kanannya membuat gerakan 

seperti orang meminta.

Setelah dapat menguasai diri, Joko 

sunggingkan senyum di mulut. Setelah 

meraba pada pinggang di mana tersimpan 

pedangnya, murid Pendeta Sinting ini 

berujar.

"Aku heran. Jauh-jauh kau melakukan 

perjalanan hanya untuk meminta barang 

yang bukan milikmu. Apakah tidak ada 

barang lain yang menarik hatimu selain 

benda yang kau minta itu?!"


"Sekarang bukan saatnya untuk 

tawar-menawar. Serahkan saja apa yang 

kuminta dengan baik-baik. Aku tahu kau 

dalam keadaan terluka!"

Terkesiap juga Joko mengetahui Ratu 

Pemikat tahu keadaan dirinya. Namun Joko 

tak hendak unjukkan perubahan wajah. 

Bahkan dia kembali tersenyum sambll 

usap-usap dadanya. Lalu tangannya 

bergerak ke arah pinggang dan membuat 

gerakan seolah hendak keluarkan pedang 

dari balik pakaiannya.

Melihat hal ini, Ratu Pemikat 

sunggingkan senyum seraya 

goyang-goyangkan pinggul. Dadanya 

dibusungkan dengan mulut sedikit dibuka 

dan perdengarkan desahan. Kejap kemudian 

perempuan ini berucap.

"Bagus! Begitu pedang itu kau 

serahkan, kuanggap habis urusan di 

antara kita! Dan kau kuberi kesempatan 

luas untuk bersenang-senang denganku!"

"Hem.... Ternyata kau selalu salah 

duga! Dengar. Pedang ini keluar bukan 

untuk kau miliki, tapi akan mengantarmu 

ke bawah tanah!"

Ratu Pemikat bukannya terkejut 

mendengar kata-kata Joko. Sebaliknya ia 

tertawa panjang. "Ternyata kau 

benar-benar manusia yang tak mau 

diuntung. Kau tak mau lihat tingginya 

langit. Buta akan dalamnya laut! Itu 

kesalahan besar bagimu!" Sesaat Ratu 

Pemikat hentikan ucapannya, lalu


meneruskan. "Kau masih punya waktu untuk 

berdamai...."

Joko Sableng dongakkan kepala. 

Mengingat siapa adanya perempuan di 

hadapannya yang dulu pernah membuatnya

celaka, sebenarnya murid Pendeta Sinting 

ini sedari tadi sudah coba menahan hawa 

amarahnya dan menindih keinginannya 

untuk membuat perhitungan atas tindakan 

si perempuan pada beberapa tahun silam. 

Namun ucapan Ratu Pemikat mau tak mau 

membangkitkan kembali hawa amarah Joko. 

Hlngga dengan suara keras dia membentak.

"Ratu Pemikat! Kesalahanmu sudah 

menjulang. Kuperingatkan sekali ini! 

Tinggalkan tempat ini atau...."

"Kali ini aku tak akan berhampa 

tangan jika tinggalkan tempat ini!" 

potong Ratu Pemikat. Kedua tangannya 

diangkat tinggi-tinggi.

"Tahan! Nyawa pemuda itu milikku. 

Tak seorang pun boleh menyentuhnya meski 

setan akhirat!"

Belum habis suara teguran, satu 

bayangan muncul dari rimbun semak 

belukar. Melangkah perlahan ke arah 

Pendekar 131. Ada keanehan dengan sosok 

yang baru muncul ini. Meski dia tampak 

melangkah pelan, namun dalam sekejap 

mata sudah tegak di hadapan Joko sejarak 

tiga langkah. Dan dia melangkah dengan 

mundur membelakangi!

Ratu Pemikat terlihat tegang 

sesaat. Tapi sesaat kemudian dia dapat


kuasai diri dan perlihatkan senyum 

seringai. Meski demikian perempuan 

cantik ini tak dapat sembunyikan 

perubahan raut wajahnya.

"Iblis Ompong... Jahanam sialan! 

Urusan ini rupanya akan jadi panjang! Apa 

dia juga punya urusan sama denganku? 

Kudengar manusia aneh satu ini telah 

undur diri dari rimba persilatan. Adalah 

aneh jika tahu-tahu muncul dan inginkan 

nyawa Pendekar 131! Hem.,.."

"Iblis Ompong!" seru Ratu Pemikat 

setelah terdiam beberapa saat. "Kalau 

kau punya urusan dengan pemuda itu, harap

kau suka menunggu setelah urusanku 

dengannya selesai!"

Orang yang baru muncul dan dipanggil 

dengan Iblis Ompong balikkan tubuh. 

Ternyata dia adalah seorang laki-laki 

berusia kira-kira tujuh puluh tahunan. 

Rambutnya putih panjang. Raut wajahnya 

tirus memanjang dengan dilapis kulit 

amat tipis. Sepasang matanya besar 

melotot. Ketika kepalanya bergerak, 

kedua bahunya terlihat ikut bergerak ke 

mana kepala mengarah, karena ternyata 

kakek ini tak mempunyai leher! Hingga 

kepala itu seperti nongol di antara 

pundaknya. Dan kakek Ini terus-terusan 

buka mulut perlihatkan giginya yang 

ompong!

Kakek ini bukan lain memang seorang 

tokoh rimba persilatan yang digelari 

orang dengan Iblis Ompong. Seorang tokoh


aneh yang sulit ditebak tindak-

tanduknya. Meski demikian banyak 

kalangan rimba persilatan yang enggan 

membuat urusan dengannya, karena selain 

memiliki ilmu tinggi, dia juga dikenal 

sebagai tokoh yang tak pandang bulu jika 

apa yang dilakukannya diyakini benar. 

Pada beberapa tahun belakangan, tokoh 

ini dikabarkan mengundurkan diri tak mau 

turut campur dalam urusan dunia 

persilatan. Hal ini terbukti dengan 

ketidak munculannya untuk jangka waktu 

yang panjang, meski rimba persilatan 

mengalami beberapa kemelut dan kegegeran 

yang mengundang muncuinya tokoh-tokoh 

tua. Bahkan tatkala dunia persilatan 

disentak dengan riuhnya perebutan Pedang 

Tumpul 131, Iblis Ompong juga tak tampak 

batang hidungnya. Hal ini menguatkan 

dugaan orang jika orang tua itu memang 

telah benar-benar undur diri. Hal ini 

pulalah yang mengherankan Ratu Pemikat 

jika tiba-tiba dia muncul, lebih-lebih 

mengatakan punya urusan nyawa dengan 

Pendekar 131.

Iblis Ompong dongakkan kepala. 

Karena dia tak punya leher, saat 

mendongak tampak tubuhnya sedikit 

melengkung ke depan. Kejap kemudian dia 

perdengarkan tawa mengekeh panjang. 

Namun setelah tawanya terhenti, kakek 

ini terus buka mulutnya lebar-lebar!

"Iblis Ompong.... Hem.... Nama 

gelar dan orangnya baru pertama kali ini


kudengar dan kutemui. Orang aneh. Lebih 

aneh Iagi, kenapa dia bilang nyawaku Ini 

miliknya? Padahal aku tak pernah 

berurusan dengannya!" gumam Joko seraya 

perhatikan lebih seksama pada si kakek.

Melihat Iblis Ompong tak keluarkan 

sepatah kata pun, Ratu Pemikat 

sunggingkan senyum. Lalu berkata.

"Terima kasih kau mau mengerti, 

sobatku iblis Ompong! Jangan khawatir, 

kalau kau inginkan nyawanya, itu akan 

kuberikan padamu. Aku ada urusan lain 

dengannya!"

Tiba-tiba Iblis Ompong perdengarkan 

tawa kembali. Puas dengan gelakan 

tawanya dia berujar.

"Sudah kubilang. Nyawanya untukku. 

Dan tak seorang pun boleh menyentuhnya.

Kau boleh urusan dengannya, tapi jangan 

sekali-kali menyentuh apa lagi mengambil 

sesuatu darinya!"

Paras Ratu Pemikat kembali berubah. 

Malah kini rahangnya mengembang. 

Sepasang matanya membelalak dengan mulut 

komat-kamit.

"Iblis Ompong! Harap kau 

memandangku sebagai sahabat. Dan jangan 

sampai terjadi silang urusan antara 

kita!"

"Bersahabat tidak menjamin tidak 

adanya silang urusan! Dan jika kau 

benar-benar punya urusan dengan pemuda 

itu, tunggulah setelah aku selesai! 

Setelah itu kau bebas mengambil apa saja


darinya. Percayalah, aku tidak akan 

sentuh-sentuh barang yang kau sukai dan 

kau inginkan darinya! Aku punya seperti 

yang dia mlliki. Bentuk dan warnanya 

sama, meski ketangguhannya sudah jauh 

menurun...."

Paras muka Ratu Pemikat makin 

mengelam. Sementara murid Pendeta 

Sinting geleng-geleng kepala.

"Tua bangka! Jaga mulutmu!"

Seolah tersentak kaget. Iblis 

Ompong tekapkan telapak tangannya di 

depan mulutnya. Tapi ketika tangan itu 

diturunkan lagi, mulut itu masih terbuka 

lebar-lebar.

"Iblis Ompong! Waktuku tidak 

banyak. Dan aku tidak mau tawar-menawar 

denganmu! Aku yang menemukannya terlebih 

dahulu. Akulah yang berhak menyelesaikan 

urusan lebih dulu!"

"Siapa pun tak berhak menentukan 

waktu. Besarnya urusan adalah nomor 

satu. Urusanmu adalah meminta barang 

sesuatu. Urusanku mencabut nyawanya yang 

satu. Kau harus panjang akal. Masalahmu 

hanya sepanjang jengkal. Sedang 

masalahku tak bisa selesai hingga salah 

satu terjungkal!"

Ratu Pemikat pasang telinga 

baik-baik dengarkan ucapan orang. Selama 

kiprahnya malang-melintang dalam rimba 

persilatan, perempuan berwajah cantik 

ini telah beberapa kali sempat jumpa 

dengan Iblis Ompong. Juga telah


mengetahui sampai di mana ketinggian 

ilmu yang dimiliki si kakek. Dalam hati 

Ratu Pemikat membatin. "Rupanya jahanam 

sialan ini tidak dapat diajak berdamai. 

Apa boleh buat. Kaki telah kuangkat, 

tekad telah bulat! Aku tak akan pergi 

dari sini tanpa sesuatu yang kudapat!"

Memikir sampai di situ, Ratu Pemikat 

segera angkat bicara.

"Nyatanya silang sengketa tak bisa 

dihindari. Aku tanya padamu. Kita 

dahulukan urusan kita atau kau bersabar 

ingin aku tuntaskan urusanku dengan 

dia!"

"Urusanmu hanya bagaikan satu pasir 

di pantai. Urusanku adalah barang yang 

tak bisa dinilai. Masihkah wajar kau 

ajukan harga? Kuingatkan. Parasmu masih 

menggoda dada dan mata. Pinggulmu masih 

menggetarkan panca indera. Nikmat 

mungkin belum seluruhnya kau rasakan. 

Akankah waktu kau sia-siakan?"

Meski Ratu Pemikat sadar bahwa 

ilmunya masih berada di bawah Iblis 

Ompong, namun ucapan si kakek membuat 

perempuan ini geram. Ini terlihat dari 

apa yang dikatakannya. "Urusan tubuhku 

tak perlu usil kau bawa-bawa. Dan jangan 

mencoba mengguruiku!" Ratu Pemikat 

tertawa perlahan. "Atau jangan-jangan 

kau ingin merasakan nikmatnya diriku?"

Iblis Ompong buka lebar-lebar 

mulutnya. "Ingin memang Ingin. Tapi 

terus terang saja aku khawatir...."


Karena Iblis Ompong tak teruskan 

ucapannya, serta-merta Ratu Pemikat 

menyahut. "Khawatir apa? Hah...?!"

Iblis Ompong tertawa bergelak 

dahulu sebelum berkata.

"Wajahmu memang memikat hingga tak 

salah jika kau bergelar Ratu Pemikat. 

Menurut yang kudengar, kau memang suka 

bagi-bagi nikmat. Dan menurut yang 

kulihat, kue seenak apa pun akan hilang 

rasa nikmatnya bila dijamah banyak 

tangan...."

"Setan jahanam!" potong Ratu 

Pemikat sebelum selesai Iblis Ompong 

lanjutkan kata-katanya. Bersamaan 

dengan itu kedua tangan Ratu Pemikat ber-

gerak menghantam ke arah Iblis Ompong.

Wuutt! Wuuutt!

Dari kedua tangan perempuan ini 

meiesat sinar terang biru yang selain 

keluarkan suara luar biasa juga 

hamparkan hawa panas! Inilah pukulan 

sakti Ratu Pemikat yang dikenal dengan 

'Hamparan Langit’.

Melihat pukulan pembuka Ratu 

Pemikat telah lancarkan pukulan 

saktinya, jelas jika perempuan ini ingin 

segera selesaikan urusan dengan iblis 

Ompong.

Di depan sana, Iblis Ompong sama 

sekali tidak membuat gerakan, membuat 

Ratu Pemikat dan Joko pentangkan mata 

masing-masing. Ratu Pemikat tampak 

tersenyum. Tapi senyumnya tiba-tiba


terputus tatkala tiba-tiba Iblis Ompong 

balikkan tubuh. Kedua tangannya 

serta-merta disentakkan ke beiakang.

Wusss! Wuuusss!

Tampak dua bola asap sebesar roda 

kereta melesat bergulir keluarkan suara 

berderak-derak laksana roda kereta

melaju di atas pasir.

Begitu sinar terang biru pukulan 

sakti 'Hamparan Langit' yang dilepas 

Ratu Pemikat berjarak setengah depa Iagi 

dari dua bola asap yang melesat dari 

kedua tangan Iblis Ompong, mendadak dua 

bola asap itu mengembang besar. Kejap 

kemudian laksana memlliki daya tarik 

luar biasa dahsyat, sinar biru terang 

masuk lenyap ke dalam dua bola asap! Di 

lain kejap tempat itu laksana dilanda 

gempa hebat meski tiada suara ledakan 

yang terdengar! Dua bola asap terlihat 

ambyar berkeping-keping semburatan 

warna putih dan biru.

Bersamaan dengan ambyarnya dua bola 

asap, sosok Ratu Pemikat terjajar lima 

langkah ke belakang. Raul wajahnya pias. 

Beberapa saat tubuhnya bergetar dengan 

dada bergerak turun naik dengan keras.

Tahu situasi, Ratu Pemikat cepat 

kerahkan tenaga dalam. Namun perempuan 

ini jadi terkesiap. Sebelum dia sempat 

kerahkan tenaga, dia merasakan sambaran 

angin kencang. Tubuhnya kembali tersurut 

tiga langkah. Tapi kinl sepasang kakinya 

goyah, hingga tak berselang lama


kemudian sosoknya meliuk dan jatuh 

terduduk di atas tanah.

Di depan sana, Iblis Ompong terlihat 

menungging dengan kedua kaki terkembang 

lebar. Dari sela sepasang kakinya tampak 

kedua tangan si kakek diayun-ayun pulang 

balik ke depan ke belakang. Anehnya, 

bersamaan dengan ayunan itu beberapa 

rangkuman angin keras mencelat. Sambaran 

angin dari ayunan tangan inilah yang 

membuat Ratu Pemikat jatuh terduduk!

Ratu Pemikat kertakkan rahang. 

Setelah meneliti dan yakin tidak 

mengalami cidera, dia cepat bergerak 

bangkit. Didahului bentakan nyaring, dia 

melesat ke depan. Tangan kiri-kanan 

bergerak siap lepaskan jotosan ke arah 

Iblis Ompong. Namun lagi-lagi Iblis 

Ompong tak membuat gerakan, kakek ini 

tetap menungging, malah berkata. "Bocah! 

Awas!"

Pendekar 131 yang berada tak jauh 

dari tempat Iblis Ompong tersentak kaget 

dan bingung dengan teriakan Iblis 

Ompong. Dia baru sadar tatkala tiba-tiba 

satu tendangan keras telah menghantam 

bahu kirinya.

Bukkk!

Ternyata kedua tangan Ratu Pemikat 

yang seakan hendak bergerak lepaskan 

jotosan hanyalah tipuan. Karena 

bersamaan Itu kakinya bergerak kirim kan 

tendangan keras ke arah Pendekar 131 yang 

tegak di samping Iblis Ompong.


Joko terhuyung-huyung ke belakang. 

Ratu Pemikat tak buang kesempatan. Dia 

teruskan lesatan tubuhnya. Klni tangan 

kirinya bergerak menghantam ke arah 

kepala murid Pendeta Sinting sedang 

tangan kanannya menyambar ke arah 

pinggang. 

Breeett!

Baju bagian pinggang milik Joko 

robek hingga pedang yang terimpan di 

baliknya terlihat, membuat Ratu Pemikat 

semakin bernafsu. Begitu tangan kirinya 

gagal menghantam sasaran, dia cepat 

jejakkan sepasang kakinya ke tanah, 

seraya melayang di udara, kedua 

tangannya lepaskan pukulan 'Hamparan 

Langit'!

Murid Pendeta Sinting tak tinggal 

dlam. Meski tenaganya belum sepenuhnya 

bisa dikerahkan, dia tetap lepaskan 

pukulan 'Lembur Kuning' meski hanya 

dengan tenaga seadanya.

Karena Ratu Pemikat lepaskan 

pukulan dari jarak dekat, sementara Joko 

lepaskan pukulan dengan tenaga seadanya 

karena keadaannya belum pulih benar, 

maka bisa dibayangkan apa yang akan 

dialami oleh murid Pendeta Sinting ini. 

Rupanya hal ini tak lepas dari 

penglihatan Iblis Ompong. Kakek ini 

cepat geser pantatnya hingga menghadap 

ke arah Ratu Pamikat yang lepaskan 

pukulan dari udara.


Masih tetap menungging, Iblis 

Ompong nongolkan kepala dari sela 

bentangan kedua kakinya. Mulutnya 

dikatupkan dan digelembungkan hingga 

membentuk bundaran di pipi. Kejap 

kemudian bersamaan dengan bergeraknya 

kedua tangan Ratu Pemikat, Iblis Ompong 

semburkan udara dari mulutnya.

Busss!

Ratu Pemikat berseru tegang. 

Tubuhnya terseret di udara. Namun 

perempuan ini teruskan hantamannya. 

Hingga saat itu juga dua sinar biru 

terang melesat ke arah Joko Sableng. Di 

lain pihak, dari arah bawah sinar 

kekuningan mengudara keluar dari kedua 

tangan Joko.

Saat pukulan Ratu Pemikat dan 

Pendekar 131 serta semburan mulut Iblis 

Ompong masih mengapung di udara, 

tiba-tiba satu deru dahsyat mengguncang 

tempat itu. Di lain saat, satu gelombang 

angin keras melabrak ke arah Iblis 

Ompong!

Iblis Ompong menggerendeng panjang 

pendek. Dia cepat hendak putar pantat, 

namun terlambat. Angin keras itu telah 

menyapu tubuhnya hingga sosoknya 

terdorong cepat ke depan.

Tapi si kakek ini cepat julurkan 

kedua tangannya ke depan. Dan 

serta-merta tubuhnya terhenti dengan 

posisi tetap menungging dan kedua 

telapak tangan bertumpu di atas tanah.


Saat itulah terdengar satu dentuman 

keras saat pukulan 'Hamparan Langit' 

bentrok dengan pukulan 'Lembur Kuning'. 

Sosok Ratu Pemikat terlihat mencelat di 

udara. Bukan saja karena tersapu 

semburan angin yang keluar dari mulut 

iblis Ompong tapi juga karena bias 

bentrok pukulannya.

Perempuan cantik bertubuh bahenol 

Ini perdengarkan jeritan tinggi. Setelah 

tubuhnya terbanting di udara, tubuh itu 

menukik deras dan terjerembab di atas 

tanah!

Di seberang, sosok murid Pendeta 

Sinting terlempar tinggi ke udara. 

Selagi tubuh itu mulai melayang ke bawah 

mendadak satu bayangan berkelebat. Dan 

sekali sambar tubuh Pendekar Pedang 

Tumpul 131 telah berada di pundak si 

bayangan.

Dari semak belukar terdengar satu 

seruan, lalu melesat satu gelombang 

angin keras ke arah bayangan yang 

menyambar tubuh Pendekar 131. Iblis 

Ompong pun tak tinggal diam. Kakek ini 

cepat membuat gerakan jungkir baiik di 

atas tanah. Lalu sentakkan kedua 

tangannya ke udara.

Namun baik pukulan yang dilancarkan 

orang dari balik semak belukar maupun 

pukulan iblis Ompong hanya menghantam 

tempat kosong. Karena si bayangan luar 

biasa sekali cepat gerakannya. Hingga


sebelum dua pukulan sempat melabrak, 

sosoknya telah berkelebat lenyap!

Bersamaan lenyapnya bayangan yang 

membawa tubuh Pendekar 131, dari semak 

belukar sesosok tubuh berkelebat keluar. 

Dari mulutnya terdengar makian panjang 

pendek tak karuan. Sejenak sepasang 

matanya tak berkedip memandang ke arah 

lenyapnya bayangan yang membawa tubuh 

Joko. Lalu serentak berpaling ke arah 

Iblis Ompong. Lalu membentak keras.

"Keparat Ompong! Gara-gara kau 

urusan jadi berantakan begini rupa!"

Iblis Ompong berpaling sambil buka 

mulut lebar-lebar. Untuk beberapa saat 

kakek ini perhatikan orang yang kini

memandang ke arahnya.

"Hem.... Sudah membokong masih juga 

timpakan kesalahan pada orang lain," 

gumamnya seraya alihkan pandangan ke 

jurusan lain. Lalu berucap.

"Iblis Ompong boleh dilecehkan. 

Tapi pantang baginya dipersalahkan! Aku 

beri kesempatan padamu untuk mencabut 

ucapan. Lalu minggat dari sini jika ingin 

nyawa tetap dikandung badan!"

Orang di hadapan Iblis Ompong 

mendongak ke langit. Dari mulutnya 

terdengar menggembor suara tawanya keras 

membahana. Tiba-tiba dia sentakkan kedua 

tangannya lepaskan satu pukulan!

* * *




SEMBILAN



DUA cahaya putih dan hitam melabrak 

angker ke arah Ibiis Ompong, membuat 

kakek ini tegak terbelalak dengan mulut 

terbuka lebar. Tapi tiba-tiba dia 

baiikkan tubuh dan serta-merta sentakkan 

kedua tangannya ke belakang. 

Wuutt! Wuuttt!

Dua bola asap menggelinding 

perdengarkan suara berderak-derak 

memekakkan telinga. Sesaat kemudian 

terdengar ledakan dahsyat tatkala bola 

asap memapak cahaya putih hitam. Cahaya 

putih hitam seketika melesat bertabur ke 

udara menggebrak daun pepohonan di 

sekitar tempat itu serta semak belukar 

dipenuhi hamburan daun-daun kering.

Iblis Ompong bergumam tak jelas 

dengan tubuh terhuyung-huyung ke 

belakang. Sedangkan orang di depannya 

terseret tiga iangkah dengan kedua ta-

ngan menekap dadanya. Sepuluh langkah di 

samping Iblis Ompong terlihat Ratu 

Pemikat bergulingan dan baru terhenti 

ketika sosoknya membentur sebatang 

pohon.

Ratu Pemikat beringsut bangkit lalu 

bersandar dengan sepasang mata memandang 

ke depan.

"Merak Kawung! Kenapa kau sampai 

terlambat? Jahanam betul!" maki Ratu 

Pemikat dengan dada bergerak turun naik.


Orang di hadapan Iblis Ompong 

berpaling pada Ratu Pemikat. Orang ini 

adalah seorang laki-laki setengah baya 

bertubuh tinggi besar. Mengenakan jubah 

toga warna putih hitam. Kepalanya

gundul. Sepasang matanya besar dengan 

alis menjulai panjang ke bawah hampir 

menutupi kedua bola matanya. Hidungnya 

besar dengan kumls melintang tebal. Pada 

bagian dada jubah toganya terlihat tiga 

bulu burung merak. Inilah seorang 

dedengkot tokoh dunia persilatan yang 

tak asing lagi dan dikenal dengan julukan 

Merak Kawung. Tokoh ini sebenarnya 

jarang sekali muncul, namun sekali dia 

muncul, pasti terjadi kegegeran.

Seperti diketahui, Ratu Pemikat 

amat bernafsu untuk memilikli Pedang 

Tumpul 131. Karena merasa dia tak sanggup 

untuk merebut dengan tangannya sendiri, 

maka dia berusaha merangkul beberapa to-

koh. Dengan modal kecantikan dan 

kemolekan tubuh, beberapa tokoh memang 

berhasil digaetnya. Dan salah satu dari 

tokoh itu adalah Merak Kawung.

Sewaktu menemukan Pendekar 131, 

sengaja Merak Kawung bersembunyi di 

balik semak belukar. ini untuk menjaga 

jika ada sesuatu yang tak terduga. Dan 

kali ini sesuatu yang tak terduga itu 

memang terjadi. Namun kali ini Merak 

Kawung terlambat untuk bertindak, hingga 

bukan saja membuat Ratu Pemikat tersapu 

pukulan Iblis Ompong namun juga ter


lambat lakukan pukulan pada bayangan 

yang membawa Pendekar 131!

Merak Kawung sesaat menatap pada 

Ratu Pemikat. Laki-laki itu melangkah 

hendak mendekat. Tapi di depan sana Ratu 

Pemikat beri isyarat dengan gelengkan 

kepala, membuat Merak Kawung hentikan 

Iangkah dan putar diri menghadap Ibiis 

Ompong.

"Hem.... Jadi manusia gundul ini 

telah berada di bawah ketiak perempuan 

itu. Ah, kenapa aku ikut mengurusi 

mereka? Sialan betul! Aku harus cepat 

mengetahui siapa orang yang membawa lari 

pemuda itu! Jika tidak, penantianku tak 

akan ada ujung pangkalnya! Aku sudah tua, 

kalau kedahuluan mati, dan pesan belum 

kusampaikan maka dunia persilatan akan 

mengutukiku!" pikir Iblis Ompong. 

"Apalagi kini orang-orang rimba 

persilatan sedang dibikin edan 

membicarakan dan berusaha memburu...."

Iblis Ompong lalu putar diri. Tapi 

baru saja hendak berkelebat, Merak 

Kawung membentak.

"Kau kira bisa begitu saja pergi 

dari sini, Jahanam Ompong?!"

Iblis Ompong tak pedulikan bentakan 

orang. Dia tetap teruskan niat untuk 

berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun 

gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba 

Merak Kawung berteriak keras. Bersamaan 

itu, tangan kirinya mencabut satu bulu 

merak di dada jubah toganya. Sementara


tangan kanan diangkat tinggi-tinggi. 

Ketika tangan kiri-kanan laki-laki 

gundul Ini bergerak menghantam, maka 

tampak cahaya hitam putih berkiblat 

disusul dengan menderunya bulu merak 

keluarkan suara laksana deruan pedang!

"Sial dangkalan! Merak Kawung. Mata 

dan hatimu benar-benar telah dibikin 

buta. Hingga tak tahu mana kawan dan 

lawan!" teriak Iblis Ompong. Kedua 

tangannya dihantamkan ke belakang.

Cahaya putih hitam serta lesatan 

bulu merak mendadak tertahan di udara dan 

untuk beberapa lama mengapung.

Merak Kawung sesaat jadi terkesiap 

melihat pukulan dan senjata andalannya 

terapung-apung di udara. Selain itu 

diam-diam dia merasa terkejut dan 

peian-pelan rasa kecut mendera dadanya. 

Karena selama malang melintang dalam 

rimba persilatan, baru kail ini pukulan

dan senjata andalannya bisa dibikin 

sedemikian rupa oleh lawan.

Selagi Merak Kawung termangu, Iblis 

Ompong kembali sentakkan kedua 

tangannya.

Wuuutt! Wuuutt!

Tak ada seruan deru yang terdengar, 

namun di depan sana tiba-tiba cahaya 

putih hitam serta bulu merak yang 

terapung terdorong keras dan kini 

berbalik melabrak ke arah Merak Kawung.

Merak Kawung melengak. Belum sempat 

membuat gerakan apa-apa cahaya puku


lannya sendiri yang membalik telah 

berada di hadapannya. Masih untung 

laki-laki ini segera pukulkan tangan 

kiri kanannya ke depan, hingga cahayanya 

berhasil menghalau pukulannya sendiri, 

bulu merak melabrak ganas ke arah 

dadanya!

Seraya memaki, Merak Kawung angkat 

kedua tangannya lagi. Tapi lesatan bulu 

merak datang lebih cepat. Hingga meski 

Merak Kawung masih sempat menghindar 

dengan bergeser ke samping tapi tak urung 

bahu kirinya tersambar bulu merak.

Jubah toga Merak Kawung di bagian 

bahu robek menganga. Laki-laki berkepala 

gundul ini terpekik kesakitan. Raul 

wajahnya kontan berubah pucat pasi. Pada 

saat yang sama darah berwarna kehitaman 

mulai membasahi jubah bagian bahunya. 

Merak Kawung merasakan aliran darahnya 

bergolak panas dan segera menjalar ke 

seluruh tubuhnya. Kejap kemudian, Merak 

Kawung terlihat surut beberapa langkah 

ke belakang.

Tahu bahaya apa yang kini dihadapi, 

Merak Kawung cepat ambil dua butir obat 

dari saku jubahnya. Begitu butiran obat 

tertelan, perlahan-lahan golakan hawa 

panas di tubuhnya mereda. Dan ketika dia 

memandang ke depan, Iblis Ompong sudah 

tidak tampak lagi.

"Keparat jahanam...!" umpat Merak 

Kawung seraya bantingkan sepasang 

kakinya ke atas tanah. Tanah di tempat


itu bergetar keras, hingga Ratu Pemikat 

yang sedang duduk bersila bersandar pada 

pohon dengan mata terpejam pulihkan 

tenaga buka kelopak matanya.

"Ratu.... Kita tinggalkan tempat 

celaka ini!"

Ratu Pemikat bergerak bangkit. 

Melangkah mendekati Merak Kawung. 

Perempuan cantik ini tersenyum. Begitu 

dekat, tangan kanannya segera melingkar 

ke pinggang Merak Kawung. Sekali 

membalik, tubuh Ratu Pemikat telah 

berhadapan dengan Merak Kawung.

"Merak.... Kita memang sudah lama di 

tempat ini. Kita harus segera pergi. 

Lupakan apa yang baru saja terjadi. Kita 

cari tempat yang aman untuk 

bersenang-senang...." Seraya berkata, 

tangan kiri Ratu Pemikat menelusup masuk 

ke balik jubah dan pakaian dalam Merak 

Kawung.

Entah siapa yang memulai, kejap 

kemudian kedua orang ini telah tenggelam 

dalam peluk cium. Sepasang kaki Ratu 

Pemikat terlihat berjingkat sementara 

Merak Kawung rundukkan sedikit 

kepalanya.

"Ratu...," bisik Merak Kawung 

dengan kedua tangan membelai punggung 

dan dada Ratu Pemikat.

Ratu Pemikat perdengarkan gumaman 

perlahan. Lalu mendesah perlahan dengan 

sepasang mata dipejamkan.


"Sebaiknya kita lupakan saja urusan 

Pedang Tumpul 131.... Orang rimba 

persilatan kini sudah melupakan pedang 

itu, karena mereka tahu bahwa seseorang 

yang berjodoh telah menemukannya. Lebih 

baik kita sekarang menyelidik tentang 

Kitab Serat Biru...."

"Akhir-akhir ini orang-orang memang 

meributkan kitab itu. Tapi kurasa 

menyelidik tanpa bekal yang cukup 

terpercaya hanya akan membawa sia-sia. 

Aku diam-diam selama ini berusaha 

menyirap tentang kabar kitab itu. Namun 

apa yang berhasil kusirap ternyata 

simpang siur. Hingga aku punya firasat 

jika kitab itu tidak ada...."

Seraya masih membelai, Merak Kawung 

tertawa perlahan. Lalu rundukkan lebih 

dalam kepalanya hingga hidungnya menyapu 

sembulan payudara sang ratu. Ratu 

Pemikat angkat kedua tangannya dan 

meraih kepala Merak Kawung lalu 

ditekannya rapat-rapat.

"Ratu...!" suara Merak Kawung 

terdengar serak tersendat. "Kita temui 

seorang sahabat. Kurasa dia banyak tahu 

seluk-beluk kitab itu...."

Tiba-tiba Ratu Pemikat angkat 

kepala Merak Kawung. "Siapa dia?!"

Merak Kawung tersenyum. Wajahnya 

memerah, pertanda nafsu telah menguasai 

dirinya.

"Nanti kau akan tahu siapa 

orangnya...."


Tapi...."

Tapi apa...?!" tanya Merak Kawung 

seraya kembali selusupkan kepalanya ke 

arah dada Ratu Pemikat.

Ratu Pemikat sejenak terdiam tidak

segera menjawab pertanyaan Merak Kawung.

Rupanya Merak Kawung dapat 

menangkap keraguan pada Ratu Pemikat. 

Hingga dia buru-buru berkata.

"Kau khawatir aku bernafsu memiliki 

kitab itu?"

Lagi-lagi Ratu Pemikat tidak segera 

buka mulut untuk memberi jawaban. Hingga 

Merak Kawung akhirnya lanjutkan 

ucapannya.

Tak usah khawatir, Ratu.... Dirimu 

lebih berharga bagiku dibanding dengan 

kitab itu! Kalau aku menyelidik kitab 

itu, semata-mata kelak kuperuntukkan 

untukmu...."

"Ucapanmu betul, Merak...?" bisik 

Ratu Pemikat dengan busungkan dadanya.

"Kau bisa buktlkan ucapanku nanti, 

Ratu...," suara Merak Kawung serak di 

antara deru napasnya yang memburu. 

Laki-laki gundul ini angkat sedikit 

kepalanya mendongak memandang ke arah 

dagu Ratu Pemikat. Diam-diam dalam hati

Merak Kawung berkata.

"Hem.... Aku tidak setolol yang kau 

duga. Kitab Serat Blru adalah kitab sakti 

tiada tanding. Begitu kitab berada di 

tanganku, saat itulah saatnya dirimu 

menjadi budakku! Saat sekarang kau masih


menganggap dirlku budakmu, tapi

tunggulah saatnya nanti...."

Kalau Merak Kawung berpikir 

demikian, ternyata diam-diam Ratu 

Pemikat juga berkata sendiri dalam hati. 

"Aku tahu siapa dirimu, Merak Kawung. Aku 

tahu ucapanmu hanya di mulut. Dan jangan 

harap kau bisa bodohi diriku. Begitu 

Kitab Serat Biru betul-betul kumiliki, 

itulah saatnya riwayatmu habis!"

"Ratu...," bisik Merak Kawung. 

"Kurasa tempat ini kurang aman...."

Ratu Pemikat mendesah pelan. "Jika 

begitu, kau tunggu apalagi? Bawalah aku 

pergi ke tempat aman. Dan...."

Belum habis ucapan Ratu Pemikat, 

Merak Kawung telah mengangkat tubuh sang 

ratu dalam rengkuhannya. Sekali 

bergerak, Merak Kawung melesat dengan 

memanggul tubuh Ratu Pemikat.

* * *

SEPULUH



SOSOK bayangan hitam itu terus 

berkelebat ke arah timur. Sesekali dia 

berpaling pada orang yang dipanggulnya 

dengan perdengarkan gumaman tak jelas. 

Pada satu tempat, dia hentikan larinya. 

Berpaling sekali lagi pada orang di 

pundaknya, lalu mendongak ke langit.

"Ada hubungan apa pemuda ini dengan 

jahanam Iblis Ompong? Hem.... Iblis


Ompong. Tampaknya dia tak betah juga 

terus-terusan sembunyikan diri. Apakah 

kemunculannya ini ada kaitannya dengan 

urusan Kitab Serat Biru?" Orang ini 

menghela napas panjang.

Ternyata dia adalah seorang 

perempuan berambut pirang. Mengenakan 

jubah besar warna hitam, Pada kedua 

tangannya terlihat satu kaos tangan dari 

kulit juga berwarna hitam. Perempuan ini 

tak bisa dikenali wajahnya karena dia 

mengenakan cadar berwarna hitam. Dari 

wajahnya yang terlihat hanyalah sepasang 

matanya yang tajam dari kedua lobang ca-

dar.

Mendadak perempuan berjubah dan 

bercadar hitam palingkan kepala.

"Hemm.... Di sini rupanya tidak 

aman...," gumamnya. Lalu menatap sejenak 

pada orang yang dipanggul. Sepasang 

matanya sorotkan pandangan aneh. 

Seteilah memastikan orang yang dipanggul 

masih dalam keadaan tertotok, perempuan 

berjubah dan bercadar hitam teruskan 

larinya. Namun baru saja bergerak, satu 

bayangan berkelebat, membuat langkah si 

perempuan tertahan. Dia segera berpaling 

dengan sepasang mata dipentangkan.

"Bangsat siapa dia...?!" desis si 

perempuan bercadar hitam dengan tubuh 

sedikit berguncang, tanda dia menahan 

marah. Sepasang matanya dari dua lobang 

cadar membelalak besar memandang tak 

berkesiap ke arah depan, di mana kini


telah tegak seorang perempuan yang 

dilihat dari sikapnya jelas sengaja 

menghadang! Dan bukan Itu saja yang 

membuat perempuan berjubah dan bercadar 

hitam pentangkan sepasang matanya makin 

besar, karena ternyata orang yang kini 

tegak menghadang di hadapannya juga 

mengenakan cadar berlobang kecil-kecil 

menutup seluruh raut wajahnya. Pada 

punggung orang ini terlihat punuk besar.

Kalau perempuan berambut pirang 

berjubah dan bercadar hitam tampak 

geram, tidak demikian halnya dengan 

perempuan bercadar dan berpunuk yang 

menghadang. Begitu tegak menghadang dan 

memandang pada perempuan bercadar dan 

berjubah hitam, perempuan berpunuk 

serentak tersurut kaget. Sepasang mata 

dari baiik cadar berlobang-lobang 

terlihat membesar. Wajahnya pun seketika 

berubah.

"Dewi Siluman...," desis perempuan 

berpunuk dengan suara tercekat di 

tenggorokan. Untuk beberapa lama orang 

ini arahkan pandangannya dari baiik 

cadar berlobang kecil-kecil pada 

perempuan berjubah dan bercadar hitam. 

Lalu beralih pada sosok yang ada di 

pundak si perempuan.

"Pendekar 131.... Tampaknya dia 

tertotok. Hem.... Seharusnya aku tidak 

membiarkan dirinya sendirian di tempat 

itu. Apalagi keadaannya masih 

terluka.... Sekarang harus bagaimana?


Aku tahu siapa Dewi Siluman. Nyawa 

Pendekar 131 tidak terjamin keselamatan-

nya di tangan sang dewi. Tapi bisakah aku 

merebutnya...? Bagaimana kalau dia ta-

hu...? Ah. Tak kusangka jika Dewi Siiuman 

berada di tempat itu juga...."

"Orang tak dikenal!" Tiba-tiba 

perempuan berjubah dan bercadar hitam 

membentak garang. "Katakan maksudmu 

menghadang langkahku!"

Meski dari perubahan wajah dan sikap 

serta kata hatinya jelas jika perempuan 

berpunuk merasa kecut, tapi saat melihat 

keadaan orang di pundak perempuan 

berjubah dan bercadar hitam yang bukan 

lain Pendekar 131 Joko Sableng, satu 

keberanian luar biasa tiba-tiba 

menyeruak di dadanya. Bahkan diam-diam 

dalam diri perempuan berpunuk muncul 

tekad untuk merebut sekaligus 

menyelamatkan sang pemuda walau apa yang 

terjadi.

"Dewi Siluman...!" kata perempuan 

berpunuk. "Harap turunkan pemuda itu dan 

serahkan padaku!"

Perempuan bercadar dan berjubah 

hitam terkesiap demi mengetahui 

perempuan di hadapannya tahu siapa 

dirinya. Untuk sesaat sepasang matanya 

memperhatikan lebih seksama ke bagian 

cadar berlobang-lobang kecil seolah 

berusaha menembus cadar orang itu dan 

mengetahui wajah di baliknya.


"Jahanam siapa perempuan ini? 

Berpuluh tahun kucoba menyembunyikan 

diri, hanya beberapa orang yang tahu 

diriku. Adalah aneh jika orang yang baru 

kaii ini kutemui telah mengenal siapa 

diriku...."

"Perempuan berpunuk!" kata 

perempuan bercadar dan berjubah hitam 

setelah beberapa lama terdiam. "Syukur 

kau telah mengenaliku hingga aku tak 

perlu memberi keterangan! Aku tanya 

padamu. Siapa kau adanya?! Kalau kawan 

kenapa tegak menghadang cari urusan, 

kalau lawan katakan apa hubunganmu 

dengan pemuda ini!"

"Aku tak bisa beri keterangan di 

sini! Yang pasti, aku memerlukan pemuda 

itu, dan harap kau segera turunkan 

dirinya!"

"Hem.... Perempuan ini sengaja 

mengerahkan tenaga dalam untuk menekan 

suaranya agar suara aslinya tak mudah 

dikenali orang. Jangan-jangan aku 

mengenalnya. Hem...."

Perempuan berjubah dan bercadar 

hitam yang dipanggil dengan Dewi Siluman 

tengadahkan kepala. Kejap kemudian 

terdengar suara tawanya.

"Melihat bentuk tubuh dan suaramu, 

pasti kau bukan perempuan muda lagi. Aku 

khawatir jangan-jangan kau golongan 

tua-tua bangka yang senang permainkan 

pemuda-pemuda. Hik.... Hik.... Hik...!


Kusarankan nenek! Carilah pemuda lain 

saja. Aku tak bisa penuh permintaanmu!"

"Dewi Siluman! Kita bukan kawan 

bukan lawan. Harap urusan pemuda itu tak 

menjadikan awal sengketa antara kita!"

Ucapan perempuan berpunuk membuat 

Dewi Siluman kembali tertawa panjang.

"Ucapannya nadanya memaksa. Dan 

sepertinya kau menghkawatirkan pemuda 

ini. Hem.... Berat dugaan kau adalah 

seorang nenek yang tergila-gila pada 

seorang pemuda. Kau menyukai pemuda 

ini?!"

Wajah di balik cadar 

berlobang-lobang kecil milik perempuan 

berpunuk sesaat berubah.

"Dewi Siluman! Harap jangan bicara

terlalu jauh. Dan buang juga dugaan 

gilamu itu!'

"Hem.... Begitu? Jika itu maumu, 

lekas menyingkir dari hadapanku atau kau 

akan rasakan kecewa seumur-umur! Bukan 

hanya tak akan mendapatkan pemuda ini 

tapi nyawamu juga akan putus!"

"Dewi...."

Tutup mulutmu!" hardik Dewi Siluman 

memotong. "Menyingkir atau mampus!" 

Sambil menghardik Dewi Siluman angkat 

tangan kirinya.

Perempuan berpunuk tampak bimbang. 

Sesekali dia memandang ke arah Dewi 

Siluman lalu beralih pada Pendekar 131. 

Diam-diam perempuan ini membatin.


"Apa hendak dikata. Meski aku belum 

bisa memastikan maksudnya, tapi pemuda 

itu harus kuselamatkan dari 

tangannya...."

Berpikir sampai ke sana, perempuan 

berpunuk pentangkan sepasang kakinya. 

Kedua tangannya bergerak menakup di 

depan dada. Sikap dan gerakannya 

menandakan dia siap menghadapi Dewi 

Siluman.

Tiba-tiba di depan sana Dewi Siluman 

turunkan tangan kirinya, membuat 

perempuan berpunuk bertanya-tanya. 

Sementara Dewi Siluman segera palingkan 

kepala ke jurusan lain. Sepasang matanya 

memandang jauh.

"Aku ingin tahu sampai di mana rasa 

khawatir perempuan berpunuk itu. Dari 

sana mungkin aku bisa menebak siapa 

adanya bangsat itu...," desis Dewi 

Siluman, lalu didahului bentakan keras 

perempuan bercadar dan berjubah hitam 

ini melesat satu tombak ke udara. Di 

udara dia membuat gerakan berputar satu 

kali. Begitu berbalik dan melayang 

turun, kedua tangannya mendorong ke 

bawah ke arah perempuan berpunuk.

Saat itu juga kabut hitam keluarkan 

deruan dahsyat menyapu ke arah perempuan 

berpunuk.

"Kabut Neraka!" seru perempuan 

berpunuk mengenali pukulan yang dilepas 

Dewi Siluman. Dan seolah tahu kehebatan 

pukulan orang itu, begitu kabut hitam


melesat menyapu, perempuan berpunuk 

segera berkelebat menyingkir ke samping. 

Hingga kabut hitam menderu sejarak empat 

jengkal di sampingnya.

Sesaat kemudian, dua batang pohon di 

depan sana berderak dan langsung tumbang 

dengan daun-daun hangus. Ranting-

rantingnya bertabur ke udara menjadi 

serpihan kecil-kecil.

Dari tempatnya sekarang berdiri, 

perempuan berpunuk cepat angkat kedua 

tangannya. Lalu didorong ke depan saat 

Dewi Siluman mendarat di atas tanah. Tapi 

gerakan mendorong si perempuan berpunuk 

tertahan karena di depan sana mendadak 

Dewi Siluman tertawa panjang seraya 

melintangkan tubuh Pendekar 131 di depan 

tubuhnya, membuat perempuan berpunuk 

urungkah niat dan berteriak keras.

"Ternyata Dewi Siluman adalah tokoh 

pengecut! Membuat manusia untuk 

pelindung diri!"

Dewi Siluman perkeras suara 

tawanya. Namun dalam hati dia makin 

penasaran saat mengetahui perempuan 

berpunuk tahu pukulan yang baru 

dilepasnya.

"Keparat betul! Siapa sebenarnya 

perempuan ini? Dia rupanya tahu banyak 

tentang diriku.... Hem.... Tapi dia 

benar-benar mengkhawatirkan pemuda ini. 

Sepertinya pemuda ini begitu berharga 

baginya!" Dewi Siluman memandang sejenak 

pada paras dan tubuh Pendekar 131.


"Heran. Pemuda ini dibuat rebutan banyak 

orang. Siapa sebenarnya dia?"

Seperti diketahui, saat terjadi 

bentrok antara Ratu Pemikat dengan 

Pendekar 131, dan ketika Iblis Ompong 

coba menghadang dengan semburan mulutnya 

lalu melesatnya pukulan dari arah rimbun 

semak belukar, tanpa berpikir panjang 

Dewi Siluman yang diam-diam berada di 

tempat terjadinya bentrokan segera 

berkelebat menyambar tubuh murid Pendeta 

Sinting yang saat itu melayang di udara. 

Dia tak banyak perhatikan ucapan orang, 

karena waktu itu perhatiannya tertuju 

pada Joko. Dia tak tahu, kenapa dia 

tiba-tiba begitu memperhatikan si 

pemuda. Namun yang jelas ada perasaan 

aneh di dadanya ketika pertama kali 

memandang.

Karena saat itu Dewi Siluman 

melintangkan tubuh Pendekar 131 di depan 

tubuhnya, saat itulah tiba-tiba sepasang 

matanya dari lobang cadar melihat 

sesuatu tersembul dari balik pakaian di 

bagian pinggang murid Pendeta Sinting. 

Dewi Siluman cepat geser tangan kanannya 

ke pinggang. Dan Sekali sentak sedikit, 

pakaian Pendekar 131 di bagian pinggang 

tersibak. Sepasang mata Dewi Siiuman 

terbeliak besar saat dia melihat sebilah 

pedang pancarkan sinar kekuningan.

"Ternyata... Tampaknya bukan sen-

jata sembarangan. Apakah karena senjata


ini hingga beberapa orang menginginkan 

pemuda ini?!"

Dewi Siluman lorotkan sepasang 

kakinya. Kedua tangannya bergerak ke 

samping lalu disentakkan. Tubuh Pendekar 

131 meluncur ke bawah dan perlahan sekali 

secara aneh sosok murid Pendeta Sinting 

duduk di atas tanah! Tapi masih tak bisa 

gerakan tubuh, malah sepasang matanya 

terpejam rapat.

Begitu tubuh Pendekar 131 terduduk 

di tanah, Dewi Siluman pentangkan 

sepasang tangannya yang ternyata telah 

memegang pedang. Dan tanpa pedulikan 

pandangan perempuan berpunuk yang 

berkilat-kilat, Dewi Siluman tarik 

pedang dari sarungnya.

Cahaya kekuningan silaukan mata 

segera menebar hamparkan hawa panas.

"Pedang Tumpul 131!" desis Dewi 

Siluman sesaat setelah mengawasi bentuk 

pedang. "Hem.... Jadi orang yang 

akhir-akhir ini disebut-sebut sebagai 

Pendekar Pedang Tumpul 131 pemuda ini 

adanya!" Dewi Siluman tersenyum di balik 

cadar. "Takdirku baik! Apa yang tak 

kuduga sekarang ada di tanganku. Dengan 

pedang ini perjalanan memburu penggalan 

peta itu akan lebih mudah...."

"Dewi Siluman! Jangan berniat buruk 

menguasai milik orang lain!" Mendadak 

perempuan berpunuk membentak lantang.

Dewi Siluman masukkan kepala pedang 

ke dalam sarungnya. Lalu simpan ke balik


jubahnya. Sesaat kemudian dia tertawa 

mengekeh panjang. "Serahkan pedang itu 

padaku!" Dewi Siiuman putuskan tawanya. 

Berpaling pada perempuan berpunuk dengan 

mendengus keras.

"Jahanam berpunuk! Jika kau 

inginkan pedang ini, kenapa banyak 

berkoar-koar? Selain ingin pemuda ini, 

rupanya kau juga inginkan pedang ini! 

Hem.... Nyatanya kau juga menyimpan 

keinginan kotor! Hik... hik... hik...!"

"Tak usah banyak mulut mengumbar 

fitnah! Berikan pedang itu atau...."

"Sekali pedang di tanganku tak akan 

kuberikan biar malaikat yang meminta!" 

tukas Dewi Siiuman.

"Itu bukti bahwa kau nyata-nyata 

mencuri barang orang!" Perempuan 

berpunuk tertawa perlahan penuh ejekan.

Dewi Siluman terkesiap marah 

mendengar ejekan si perempuan berpunuk. 

Tiba-tiba dia gerakkan kepalanya 

menyentak ke samping. 

Wuuttt! 

Beeettt!

Rambut pirang milik Dewi Siluman 

berkelebat angker hamparkan gelombang 

angin kencang ke arah perempuan 

berpunuk.

Perempuan berpunuk tak mau 

bertindak ayal. Dia cepat berkelebat ke 

arah samping hindarkan diri lalu melesat 

ke depan dan lancarkan satu pukulan ke 

arah kepala Dewi Siluman.


Dewi Siluman rundukkan kepala. Kaki 

kanannya bergerak.

Bukkk!

Perempuan berpunuk tersurut dua 

langkah ke belakang saat tendangan kaki 

Dewi Siluman menghantam tangannya. Namun 

perempuan itu tak pedulikan rasa ngilu 

pada tangannya yang baru bentrok dengan 

kaki Dewi Siluman. Sebaliknya dia cepat 

kerahkan tenaga dalam, lalu 

sekonyong-konyong dia menghantam ke 

depan. Bukan hanya sampai di situ, kejap 

lain perempuan berpunuk bantingkan sepa-

sang kakinya ke atas tanah. Kejap itu 

juga dari sepasang mata di balik cadar 

berlobang kecil-kecil melesat dua cahaya 

merah.

Dewi Siluman terlihat melengak. 

Bukan karena ganasnya pukulan yang kini 

melabrak ke arahnya melainkan karena dia 

sepertinya mengenali pukulan itu.

"Jahanam! Jangan-jangan.... Ah, 

tapi aku belum bisa memastikan. Mungkin 

dia, tapi tak mustahi! orang lain. Aku 

harus tahu jahanam ini! Kalau 

benar-benar dia...," Dewi Siluman tak 

bisa berpikir lebih panjang lagi karena 

harus segera selamatkan diri dari 

pukulan lawan. Perempuan berjubah dan 

bercadar hitam ini cepat melesat ke 

samping kanan, membuat gerakan jungkir 

balik dua kali lalu serta-merta 

hantamkan kedua tangannya sekaligus! 

Bummm! Bummm!


Tempat itu bergetar hebat. Tanahnya 

bertabur ke udara. Perempuan berpunuk 

rasakan tubuhnya laksana dilanggar 

gelombang besar hingga saat itu juga 

tubuhnya mencelat mental sampai dua 

tombak ke belakang. Dari balik cadarnya 

tampak meleleh darah kehitaman pertanda 

dia terluka dalam. Tubuh perempuan ini 

terlihat bergetar keras. Napasnya 

megap-megap. Dan setelah sesaat 

terhuyung-huyung beberapa kali, 

perempuan berpunuk ini meliuk roboh 

terkapar di atas tanah.

Di seberang, Dewi Siluman saling 

usapkan sepasang tangannya. Memandang 

tajam pada perempuan berpunuk lalu 

melangkah mendekat.

"Ilmu masih sejengkal sudah berani 

bermulut besar! Hem.... Akan 

kutelanjangi jahanam itu...."

"Celaka!" keluh perempuan berpunuk 

lalu cepat-cepat kerahkan tenaga dalam 

dan bergerak bangkit. Namun belum sampai 

tubuhnya benar-benar tegak, Dewi Siluman 

telah melesat. Tangan kiri-kanannya 

bergerak kirimkan hantaman ke arah dada 

dan perut.

Bukkk! Bukkk!

Perempuan berpunuk berseru keras. 

Untuk kedua kalinya tubuhnya terlempar 

dan jatuh berkaparan di atas tanah. Darah 

lebih banyak keluar dari balik cadarnya.

Namun perempuan berpunuk sepertinya 

punya tenaga luar biasa. Setelah


mengerjap dan tahu Dewi Siiuman teruskan 

langkah ke arahnya, dia coba kerahkan 

sisa-sisa tenaganya. Perlahan-lahan 

pula dia bergerak bangkit. Seraya 

terhuyung-huyung dia sentakan kedua 

kakinya ke tanah.

Dua cahaya merah kembali melesat 

keluar dari sepasang mata di balik 

cadarnya. Namun karena tenaga yang 

dikerahkan tidak utuh lagi, daya lesat 

cahaya itu sangat lamban. Hingga dengan 

sekali sentakan tangan, Dewi Siluman 

bisa membuat cahaya merah bertabur 

ambyar ke udara. Dan bersamaan dengan 

itu, tubuh perempuan berpunuk 

terjengkang roboh.

Kali ini Dewi Siluman tak mau buang 

waktu. Bersamaan dengan robohnya sosok 

perempuan berpunuk dia berkelebat ke 

depan. Kedua tangan kiri-kanannya cepat 

bergerak menjulur ke bawah.

Brettt! Breettt!

Pakaian perempuan berpunuk besar 

robek di bagian dada dan pinggang hingga 

tampaklah kulit putih mulus dan dada 

kencang membusung dl baliknya. Dewi 

Siluman menyeringai. Lalu ayunkan tangan 

kanan ke arah muka hendak menanggalkan 

cadar penutup si perempuan berpunuk. 

Tapi sejengkal lagi cadar penutup itu 

tersibak, mendadak ada suara mengekeh 

panjang membahana di seantero tempat 

itu. "Sudah demikian gilakah dunia ini? 

Perempuan bukannya tertarik pada pemuda


tapi tergila-gila pada sesama? 

Mungkinkah mata ini yang salah lihat atau 

mereka yang salah tempat?"

Dewi Siluman tersentak. Tangannya 

cepat ditarik pulang. Lalu berpaling ke 

arah datangnya suara.

* * *

SEBELAS



SEBAGAI seorang yang memiliki ilmu 

tinggi, meski saat itu sepasang mata Dewi 

Siluman tidak menangkap adanya seorang 

yang perdengarkan tawa namun seraya 

mendengus keras perempuan berjubah dan 

bercadar hitam ini putar diri, lalu 

mendadak tangan kirinya bergerak meng-

hantam ke udara. 

Wuuuttt!

Satu gelombang angin keras melabrak 

ganas ke arah sebatang pohon. Pohon Itu 

langsung berderak, kejap lain tumbang 

keluarkan suara berdebam. Belum sampai 

derakan batang pohon menghantam tanah, 

satu bayangan melesat dari kerapatan 

daun pohon yang hendak tumbang itu dengan 

perdengarkan gumaman tak karuan.

Selagi bayangan itu melayang di 

udara, Dewi Siluman angkat kedua 

tangannya. Serta-merta perempuan ini 

membuat gerakan jungkir balik dua kali. 

Pada putaran yang ketiga 

sekonyong-konyong tangan kiri-kanannya


dihantamkan ke depan, ke arah sosok yang 

kini teiah tiga Iangkah di hadapannya!

Bukkk! Bukkk!

Terdengar seruan tertahan. Lalu 

terlihat satu sosok mencelat sampai tiga 

tombak dari tempat di mana sekarang Dewi 

Siluman berada. Namun Dewi Siluman 

terlihat pentangkan sepasang matanya 

lalu perdengarkan suara menggerendeng 

panjang pendek.

"Setan alas! Manusia satu itu memang 

luar biasa!" desisnya sambil memandang 

ke depan. Tiga tombak di depan sana 

tampak satu sosok membelakangi dengan 

posisi menungging dan perdengarkan tawa 

mengekeh panjang!

Mendadak orang yang menungging ini 

putuskan tawanya. Lalu balikkan tubuh 

dengan kepala mendongak. Ternyata dia 

adalah seorang kakek berambut putih 

panjang. Wajahnya pucat dengan sepasang 

mata melotot besar. Kakek ini tidak punya 

leher, dan seraya mendongak dia buka 

mulutnya lebar-lebar seolah ingin 

perlihatkan mulutnya yang tak bergigi!

"Iblis Ompong!" teriak Dewi 

Siluman. "Aku tak suka bicara dua kali. 

Lekas tinggalkan tempat ini!"

Si kakek di depan sana dan memang 

Iblis Ompong adanya maju satu langkah.

"Eh. Kau mengenaliku. Tapi karena 

kau mengenakan cadar, berat dugaan aku 

sulit menerka siapa adanya dirimu. Boleh 

sejenak kubuka penutup wajahmu?"


"Iblis Ompong! Enyah dari 

hadapanku!"

"Baik. Kalau kau tak izinkan aku 

membuka cadar melihat wajahmu, aku akan

turuti ucapanmu tinggalkan tempat ini. 

Tapi izinkan aku bawa serta kedua orang 

itu!"

Seraya berkata Iblis Ompong arahkan 

jari telunjuknya ke arah Pendekar 131 

yang masih duduk di atas tanah dengan 

mata terpejam dan pada perempuan 

berpunuk yang diam terkapar di tanah 

dengan bagian dada dan pinggang 

pakaiannya robek besar.

"Hem.... Begitu? Boleh kau bawa 

serta kedua orang ini. Tapi sebagai 

gantinya tinggalkan nyawamu untukku!"

"Mana bisa begitu? Tawaranmu 

terlalu mahal. Aku akan membawa keduanya 

tanpa tinggalkan apa-apa untukmu. 

Tapi.... Kalau kau suka, bagaimana kalau 

nyawaku kuganti saja dengan celanaku 

ini, hitung-hitung sebagai kenangan 

kecil untukmu...."

Belum habis bicara, Iblis Ompong 

membuat gerakan hendak membuka 

celananya, membuat Dewi Siluman 

bantingkan kakinya ke tanah.

"Jahanam tua jorok! Siapa ingin 

lihat tubuh keriputan milikmu, hah?!"

"Jangan salah sangka! Aku tak akan 

bertindak yang bukan-bukan. Aku hanya 

ingin serahkan celanaku untukmu.... 

Ha.... Ha.... Ha...! Tapi kalau matamu


tak suka melihat, kau tahu apa yang harus 

kau lakukan...." Iblis Ompong teruskan 

gerakannya yang hendak lorotkan 

celananya. Namun gerakan Iblis Ompong 

tertahan tatkala saat itu juga dari arah 

depan terdengar satu deruan keras, di 

lain saat kabut berwarna hitam 

menggebrak ke arah Iblis Ompong.

Iblis Ompong buka mulutnya semakin 

lebar. Lalu balikkan tubuh dan 

serta-merta hantamkan kedua tangannya ke 

belakang.

Wuuut! Wuuutt!

Dari kedua tangan si kakek melesat 

dua asap putih bergulung-gulung. Begitu 

asap putih melesat,

Iblis Ompong tekuk tubuhnya ke 

depan. Sepasang kakinya direntangkan. 

Tiba-tiba raut wajahnya nongol di antara 

kedua rentangan kakinya yang kini dalam 

posisi menungging. Mulutnya 

digembungkan sejenak, lalu disemburkan 

ke belakang, ke arah dua asap putih. 

Busss!

Dua asap putih serta-merta 

mengembang besar. Lalu terdengar letupan 

keras saat kabut hitam pukulan Dewi 

Siluman melabrak. Asap putih bertabur 

pecah di udara. Hebatnya, kejap kemudian 

taburan asap putih bersatu kembali dan 

secepat kilat melesat deras ke arah Dewi 

Siluman!

Dewi Siiuman tersentak. Didahului 

bentakan nyaring, tubuhnya melenting ke


udara setinggi dua tombak. Serta-merta 

kedua tangannya bergerak kirimkan 

pukulan, lalu perempuan ini sentakan 

kepalanya. Tiba-tiba saja dari sepasang 

matanya melesat dua cahaya hitam terang 

silaukan mata!

"Sinar Setan!" desis Iblis Ompong 

mengenali pukulan yang melesat keluar 

dari sepasang mata Dewi Siluman.

"Dalam rentang rimba persilatan, 

hanya satu orang yang memiliki pukulan 

'Sinar Setan'. Jadi apakah perempuan ini 

adanya...?!"

Iblis Ompong geleng-gelengkan 

kepalanya di antara rentangan kaki, lalu 

mulutnya dikatupkan rapat-rapat. Sesaat 

kemudian dia melompat ke depan. Masih 

dengan tetap membelakangi, kakek ini 

hantamkan kedua tangannya ke belakang.

Wuutt! Wuuutt!

Dua bola mata tampak menggelinding 

perdengarkan suara berderak-derak. 

Bummm!

Terdengar ledakan dahsyat ketika 

cahaya hitam silaukan mata bentrok 

dengan dua bola asap. Tanah di tempat itu 

bergetar. Di atas tanah tampak ular pan-

jang. Lalu di atas sana terlihat gumpalan 

benda hitam yang bersamaan dengan 

terdengarnya ledakan benda hitam itu 

pecah berantakan. Kini di udara tampak 

taburan tanah menghalangi pemandangan!

Sesaat setelah terdengarnya 

ledakan, terlihat dl antara kepekatan


suasana sosok Dewi Siluman terseret 

deras ke belakang. Di seberang depan, 

tubuh Iblis Ompong terhuyung-huyung. 

Tapi kakek Ini segera putar tubuh dan 

seraya buka mulutnya lebar-lebar, kedua 

tangannya dihantamkan ke tanah di depan 

sana, hingga saat itu juga pemandangan 

makin bertambah pekat karena tanah 

semakin banyak bertabur di udara.

Ketika taburan tanah sirna, Dewi 

Siluman terkesiap. Sosok Iblis Ompong 

tak tampak lagi di depan sana. Perempuan 

ini segera putar kepala dengan sepasang 

mata menyapu berkeliling. Tiba-tiba ter-

dengar suaranya tertahan keras. Ternyata 

sosok perempuan berpunuk dan Pendekar 

131 juga lenyap dari tempatnya 

masing-masing!

"Keparat jahanam!" maki Dewi 

Siiuman seraya angkat kedua tangannya. 

Seraya putar tubuh dia hantam apa saja 

yang terlihat oleh matanya. Hingga 

sejenak kemudian untuk kesekian kallnya 

tempat itu ditaburi tanah dan daun-daun 

yang telah hangus kering.

Selagi taburan tanah belum sirap, 

tiba-tiba dua bayangan berkelebat. 

Menduga si bayangan adalah Iblis Ompong, 

Dewi Siluman melesat memapak. Kedua 

tangannya berkelebat lancarkan satu 

pukulan.

"Tahan pukulan!" satu seruan 

membuat Dewi Siluman tank pulang kedua 

tangannya. Sepasang matanya dari lobang


cadar memperhatikan dengan dada bergerak 

turun naik ke depan, dimana kini terlihat 

dua sosok tubuh tegak sepuluh langkah 

dari tempatnya berdiri.

Mereka berdua ternyata dua gadis 

muda berparas cantik jelita. Sebelah 

kanan mengenakan jubah besar warna 

kuning, sedang satunya mengenakan jubah 

besar warna biru. 

"Guru...!"

Tiba-tiba kedua gadis itu berseru 

bersamaan begitu mengenali siapa adanya 

perempuan berjubah dan bercadar hitam. 

Kedua gadis ini segera menjura 

dalam-dalam.

Untuk beberapa saat Dewi Siluman 

perhatikan kedua gadis dl hadapannya 

dengan mata tak berkedip. Lalu buka mulut 

perdengarkan suara keras. "Wulandari. 

Ayu Laksmi! Mana Sitoresmi...?!" Gadis 

berjubah kuning dan biru yang bukan lain 

Wulandari dan Ayu Laksmi adanya angkat 

kepala masing-masing. Lalu saling 

berpandangan dengan mulut sama 

terkancing!

"Kalian tidak tuli. Aku tanya, mana 

Sitoresmi?!"

"Maaf, Guru. Kami berpencar. Aku 

menuju arah utara. Ayu Laksmi ke arah 

barat. Sedang Sitoresmi menuju ke 

timur...."

"Mana dengan tugas kalian...?!"

Untuk kedua kalinya Wulandari dan 

Ayu Laksmi saling pandang. Karena agak


lama tak ada juga yang buka mulut untuk 

menjawab, Dewi Siluman membentak garang.

"Apakah perlu mulut kalian 

kupecahkan?!"

"Maaf, Guru...," Wulandari buka 

suara. "Kami belum berhasil mendapatkan 

apa yang kami buru. Sebenarnya kami 

hampir saja...."

"Diam! Aku tak butuh alasan!" potong 

Dewi Siiuman.

"Tapi, Guru...."

Lagi-lagi sebelum ucapan Wulandari 

habis, Dewi Siluman telah menukas.

"Tutup mulutmu! Sekali lagi buka 

mulut, aku tak ada beban untuk tanggalkan 

nyawa kalian! Dengar?!"

Wulandari dan Ayu Laksmi tak ada 

yang berani buka suara. Mereka berdua 

hanya merunduk dengan sesekali melirik.

"Dengar! Cari Sitoresmi. Kuberi

waktu sampai matahari terbenam!"

Karena untuk beberapa saat 

Wulandari dan Ayu Laksmi masih diam di 

tempatnya masing-masing, Dewi Siluman 

bantingkan kaki seraya menghardik

"Sialan! Apalagi yang kalian 

tunggu, hah?!"

Wulandari dan Ayu Laksmi tersentak 

kaget. Buru-buru keduanya menjura dalam. 

"Kami berangkat, Guru...," ucap 

Wulandari lalu berkelebat tinggalkan 

tempat itu seraya menarik tangan Ayu 

Laksmi.


Begitu kedua muridnya berlalu, Dewi 

Siiuman menarik napas panjang dan dalam. 

"Kalau dugaanku benar. Tak ada yang 

setimpal untuknya kecuali siksa seumur 

hidup di Istana Setan!"

Dewi Siluman mendongak ke langit. 

Tiba-tiba dia perdengarkan suitan 

panjang. Meski suitan biasa, karena 

dikerahkan dengan tenaga dalam, suaranya 

sempat memantul dan mengiang lama di 

seantero tempat itu.

Tak berselang lama, terdengar 

gemeretak roda kereta melaju cepat ke 

arah Dewi Siluman. Sesaat Dewi Siluman 

luruskan kepala dan putar diri, di depan 

sana terlihat sebuah kereta yang dikusir 

oleh seorang kakek berambut putih yang 

disanggul tinggi ke atas mengenakan 

jubah warna hitam.

Si kakek yang bukan lain adalah KI 

Buyut Pagar Alam jerengkan sepasang 

matanya sejenak, lalu berpaling ke 

belakang, di mana terdapat sebuah peti di 

bagian belakang keretanya. Mendadak si 

kakek sentakkan kedua tangannya. 

Bersamaan dengan itu terdengar suara 

berderit. Ternyata, tutup peti itu telah 

bergerak membuka.

Dewi Siluman gerakan bahunya, 

sekali kelebat, sosok perempuan berjubah 

dan bercadar hitam ini melesat dan lenyap 

masuk ke dalam peti.

Kejap kemudian, kereta pembawa peti 

itu telah melaju cepat meninggalkan


suara gemeretak yang menggema di 

seantero tempat itu.


                             SELESAI


Ikuti lanjutan serial ini dalam 

episode :


"MALAIKAT PENGGALI 

KUBUR"

Share:

0 comments:

Posting Komentar