RAHASIA PULAU BIRU
Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Joko Sableng
Dalam Episode 003 :
Rahasia Pulau Biru
SATU
LOLONGAN anjing menggema di kawasan
sebuah lembah. Melengking tinggi seakan
hendak mendaki angkasa raya, di mana sang
rembulan terlihat menyembunyikan diri di
balik arakan awan hitam yang bergerak
perlahan. Namun mendadak arakan awan
bergerak cepat. Kejap kemudian petir
menyambar. Guntur menggelegar seolah
hendak membongkar lintasan bumi yang
mulai didera hujan dan kegelapan yang
menakutkan.
Sebuah kereta tua tampak bergerak
cepat menuju lembah. Anehnya, meski
cuaca tiba-tiba memburuk dan kepekatan
membungkus jalanan yang dilewati, namun
kereta itu seakan tak mengalami
keuletan, malah sang kuda penarik kereta
itu tampak berlari makin kencang laksana
dikejar setan!
Kusir kereta itu adalah seorang
laki-laki berusia lanjut. Mukanya pucat
dan tirus. Sepasang matanya besar masuk
ke dalam lipatan rongga yang dalam.
Rambutnya putih panjang disanggul ke
atas. Kakek ini mengenakan jubah besar
warna hitam. Sebelah tangannya
tersembunyi di balik saku jubahnya
sementara tangan satunya sesekali
menyentak tali kekang kuda.
Di belakang tempat duduk si kakek
terlihat sebuah peti persegi panjang
dari kayu berwarna putih mengkilat yang
panjangnya kira-kira satu setengah
tombak dan lebarnya satu tombak.
Pada satu tempat, si kakek tiba-tiba
berdiri. Air terlihat mengucur dari
jubah dan tubuhnya yang telah basah
kuyup. Sepasang matanya yang besar
dijerengkan menembusi kegelapan lembah.
Mulutnya komat-kamit. Tangannya yang
memegang tall kekang ditarik ke
belakang. Bersamaan dengan itu terdengar
empat kaki kuda menghentak tanah disusul
dengan ringkihan keras.
"Dewi...!" si kakek berseru. "Kita
telah sampai!" Terdengar suara berderit.
Lalu perlahan-lahan tutup peti bergeser
membuka. Di lain kejap, dua buah tangan
terlihat menjulur keluar dari peti
lalu....
Wuttt!
Dari dalam peti melesat sesosok
tubuh dan lenyap dalam kegelapan.
Si kakek berpaling ke belakang
sejenak. Tiba-tiba dia membuat gerakan
melesat ke udara, Jungkir baiik dua kali
sebelum akhirnya menjejak tanah dengan
sepasang mata liar memandang ke seantero
lembah.
"Buyut...! Apa yang kau tunggu?!"
satu teguran keras membuat si kakek
seakan tersadar. Buru-buru dia
berkelebat ke arah datangnya suara
teguran.
"Dewi...," kata si kakek begitu
telah sampai di belakang sesosok tubuh
yang kini tegak tiga langkah di depannya.
Namun kakek yang dipanggil Buyut tak
meneruskan ucapannya demi dilihatnya
sosok di depannya angkat sebeiah
tangannya memberi isyarat agar si kakek
diam.
"Hem.... Ternyata mereka murid-
murid yang tangguh. Tak lekang oleh panas
tak lapuk oleh hujan." Sosok di depan si
kakek perdengarkan gumaman perlahan
dengan sepasang mata menatap tak
berkedip ke depan.
Lima belas langkah dari tempat
mereka berdua, tampak duduk bersila tiga
orang gadis berparas jelita. Seluruh
pakaian dan tubuh mereka bertiga basah
kuyup. Sepasang mata masing-masing gadis
ini terpejam rapat. Mulut mereka juga
terkancing. Namun sesekali tubuh mereka
terlihat bergoyang-goyong keras.
Melihat pada keadaannya jelas jika
ketiga gadis ini sedang melakukan
semadi.
Gadis paling kanan mengenakan jubah
besar warna merah. Rambutnya lebat dan
dikuncir agak tinggi. Pada sebelah atas
bibirnya tampak sebuah lahi lalat.
Sementara gadis yang tengah mengenakan
jubah warna kuning. Rambutnya panjang
dibiarkan bergerai. Hidungnya mancung
dengan kulit putih. Sepasang bulu
matanya lentik. Sedang gadis paling kiri
mengenakan jubah besar warna biru.
Rambutnya sebatas bahu. Bibirnya
membentuk bagus dan merah tanpa polesan.
Tiba-tiba gadis berjubah kuning
yang duduk paling tengah terlihat
membuat gerakan. Kepalanya dipalingkan
ke kiri ke arah gadis berjubah merah.
Perlahan sepasang matanya membuka dan
untuk beberapa saat memandang ke arah
gadis di sebelahnya. Mulutnya bergerak
sedikit sepertinya hendak keluarkan
ucapan. Namun ketika dilihatnya gadis
berjubah merah dan biru di sebelahnya
diam tak membuat gerakan apa-apa, gadis
berjubah kuning ini urungkan niatnya.
Tapi kebimbangan jelas membayang di
wajahnya. Ini terlihat tatkala meski dia
kembali pejamkan sepasang matanya, namun
sebentar kemudian matanya dibuka kembali
bahkan seraya menarik napas panjang dan
dalam.
Untuk kedua kalinya gadis berjubah
kuning palingkan kepalanya ke samping
kiri. Demi dilihatnya kedua gadis di
sebelahnya tetap diam, gadis berjubah
kuning gelengkan kepalanya perlahan.
Diam-diam dalam hati dia berkata.
"Heran.... Apa mereka begitu
tenggelam dalam kekhusyukan hingga tak
merasa adanya orang lain di tempat ini?!
Atau hanya telingaku saja yang menipu?!"
Gadis berjubah kuning tiba-tiba
sentakkan kepalanya ke samping kanan,
kedua tangannya yang merangkap di dada
diturunkan. Sepasang matanya
dibeliakkan dan memandang liar ke sana
kemari.
"Aku tak dapat ditipu! Aku baru saja
mendengar suara roda kereta. Lalu suara
ringkihan kuda. Lebih-lebih baru saja
kudengar suara orang! Tapi mana bangsat
jahanamnya?!"
Gadis berjubah kuning putar
kepalanya. Lalu terhenti pada sosok
gadis di sebelahnya yang tetap terpejam
dengan tangan masing-masing merangkul di
depan dada.
"Mereka hams diberitahu sebelum ada
sesuatu yang terjadi. Aku menangkap
gelagat tidak baik...," batinnya lalu
membuka mulut.
"Sitoresmi! Ayu Laksmi! Apa kalian
mendengar sesuatu?!"
"Aku dengar apa yang kau dengar,
Wulandari!" Yang menjawab adalah gadis
berjubah merah yang dlpanggil Sitoresmi
seraya buka sepasang matanya. Kepalanya
tengadah hingga wajahnya tercurah air
hujan.
"Orang yang berani datang kemari,
siapa pun dia adanya pasti minta mampus!
Kita segera berpencar! Jangan sampai
orang itu lolos!"
"Tahan!" Mendadak gadis berjubah
biru menahan seraya buka kelopak
matanya. "Tempat dan pertemuan ini telah
diatur tujuh purnama yang lalu. Hanya
satu orang yang tahu tempat dan pertemuan
ini. Aku khawatir, jangan-jangan orang
tak diundang ini adalah...."
Belum selesai gadis berjubah biru
yang dipanggil dengan Ayu Laksmi
selesaikan ucapannya, Wulandari telah
memotong.
"Rimba persiiatan sedang dilanda
kemelut tak menentu. Dalam situasi
demikian, apa pun dapat terjadi! Dan
bukan tak mungkin tempat ini telah
diendus orang lain! Munculnya manusia
lain akan merusak suasana. Kita harus
segera berbuat sesuatu!"
Meski ucapan Wulandari bernada
perintah, namun baik Sitoresmi maupun
Ayu Laksmi tak ada yang membuat gerakan,
membuat Wulandari sedikitg. Tanpa
pedulikan pada kedua gadis di sebelahnya
gadis berjubah kuning yang terlihat
sedikit tua dibanding dua gadis di
sebeiahnya dan sepertinya menjadi
pimpinan serentak bangkit berdiri.
Sambil mendongak dia berucap lantang.
"Siapa pun kau adanya, kami tahu kau
berada di sekitar tempat ini. Sebelum
kesabaran kami pupus, keluarlah dari
persembunyianmu."
Tak ada sahutan atau gerakan
pertanda akan muncuinya seseorang.
Wulandari makin geram. Pelipis kiri
kanan gadis ini bergerak-gerak. Dagunya
sedikit mengembang sementara dari
hidungnya terdengar dengusan keras.
"Hai!" untuk kedua kalinya
Wulandari berteriak keras. "Waktu kami
tidak banyak! Lekas tampakkan tampangmu
atau kami akan mencari dan memutus
selembar nyawamu!"
Belum juga ada tanda-tanda akan
munculnya seseorang, membuat Wulandari
yang sepertinya tak sabaran segera
kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Sementara Sitoresmi dan Ayu
Laksmi cepat pula ikut-ikutan berdiri.
"Kita harus hati-hati! Dengan tidak
berani tampakkan wajah di hadapan kita,
berarti jahanam itu punya maksud tidak
baik! Dan dengan tidak bisa diketahui di
mana beradanya bangsat itu, Jelas jika
dia punya ilmu tinggi!" berkata Ayu
Laksmi seraya putar kepalanya.
"Aneh. Bagaimana mungkin tempat ini
bisa diketahui orang lain?! Apakah ada
yang membocorkan pertemuan ini?!"
Sitoresmi diam-diam membatin dalam hati.
"Hem.... Cuaca yang buruk membuat
keparat Jahanam itu sulit diduga di mana
beradanya...." Gadis berjubah kuning
bergumam, lalu palingkan kepala ke arah
si jubah merah Sitoresmi.
"Kau bergerak ke arah timur, aku ke
barat. Sementara Ayu Laksmi ke arah
selatan!" ucapnya seraya memberi isyarat
dengan anggukkan kepala.
Sitoresmi dan Ayu Laksmi saling
pandang sejenak. Lalu sama-sama
anggukkan kepala. Ketiga gadis berparas
jelita ini segera berkelebat ke arah yang
telah ditentukan. Namun belum sampai
tubuh mereka bergerak berkelebat, dari
arah kegelapan terdengar satu deruan
luar biasa dahsyat. Di lain kejap tiga
rangkum angin keluarkan suara bergemuruh
laksana topan melabrak ke arah mereka!
Masing-masing gadis keluarkan suara
seruan tegang tertahan. Di saat lain
ketiganya segera sama berkelebat ke arah
samping, lalu hantamkan kedua tangan
masing-masing!
Brakkk! Brakkk! Brakkk!
Terdengar tiga kali suara gebrakan
berturut-turut laksana derakan pohon
tumbang. Angin bertenaga dalam tinggi
yang mengarah pada ketiga gadis itu
serta-merta ambyar berkeping. Sejenak
lembah Itu disinari cahaya benderang
akibat bentroknya tiga pukulan.
Namun belum sirap cahaya benderang
dan gema gebrakan masih mengiang, dari
arah depan ketiga gadis ini melesat tiga
kabut putih keluarkan hawa panas
menyengat menindih lenyap hawa dingin
cuaca.
"Kabut Neraka!" seru Sitoresmi
mengenali pukulan yang kini mengarah
pada diri dan kedua gadis di sampingnya.
Namun bersamaan dengan datangnya
serangan itu, ketegangan yang tadi
terlihat pada raut muka ketiga gadis ini
serta-merta lenyap.
"Dugaanku benar. Untung dia yang
datang...," gumam Ayu Laksmi seraya
takupkan kedua tangannya di depan dada.
Sementara Wulandari dan Sitoresmi
undurkan langkah masing-masing satu
tindak ke belakang. Kedua tangannya
segera puia ditakupkan di depan dada.
Kejap kemudian, ketiganya sama hantamkan
tangan masing-masing ke depan.
Wuuutt! Wuutt! Wuuttt!
Dari masing-masing kedua tangan
ketiga gadis itu melesat tiga kabut putih
yang selain perdengarkan suara luar
biasa dahsyat juga tebarkan hawa panas!
Blaarr! Blaarr! Blaarrr!
Lembah sunyi dan geiap itu iaksana
didera gempa. Tanah berlumpur muncrat ke
udara. Semak belukar dan pohon
tercerabut lalu membumbung ke angkasa
membuat cuaca yang sebentar tadi terang
mendadak gelap kembali!
Bersamaan dengan terdengarnya suara
ledakan, tiga sosok tampak mencelat
sampai dua tombak ke belakang dengan
wajah pucat dan tubuh bergetar. Pada saat
yang sama, dari arah kegelapan terdengar
makian panjang pendek yang kemudian
disusul dengan terdengarnya suara tawa
mengekeh panjang. Namun tiba-tiba suara
tawa itu terputus laksana dirobek iblis.
Kejap lain dua sosok bayangan hitam
berkelebat dari satu pohon besar dan
tahu-tahu telah berdiri tegak empat
belas Iangkah di hadapan ketiga gadis.
Laksana terbang, Wulandari,
Sitoresmi dan Ayu Laksmi melompat ke
depan lalu sama jatuhkan diri tiga
langkah di hadapan dua sosok yang baru
datang.
"Guru! Ki Buyut!" seru ketiga gadis
berbarengan dengan suara sedikit
bergetar. Kepaia masing-masing orang ini
menunduk.
Terdengar suara tawa pelan. Disusul
dengan ucapan.
"Aku gembira melihat perkembangan
kalian yang maju pesat! Dan aku kagum
pada ketabahan kalian. Bangkitlah,
murid-muridku!"
Ketiga gadis itu menuruti ucapan
orang di hadapannya. Sepasang mata
masing-masing gadis menatap ke depan, ke
arah dua orang yang tegak mengawasi
dengan sorot mata tak berkesiap.
Sebelah kanan adalah seorang kakek
berjubah hitam besar dan panjang.
Mukanya amat pucat dengan rambut putih
disanggul ke atas. Sepasang matanya
melotot besar, sementara kedua tangannya
masuk ke dalam saku jubah hitamnya. Di
samping kakek yang dipanggil Ki Buyut
ini, tegak seorang perempuan mengenakan
jubah yang juga berwarna hitam panjang
sebatas lutut. Rambut pirang dan panjang
dibiarkan bergerai menutupi sebagian
bahu dan punggungnya. Pada kedua
tangannya terlihat sarung tangan dari
kulit berwarna hitam hingga tangan
perempuan ini tak kelihatan kulitnya.
Perempuan ini juga sukar ditebak
umurnya, karena pada wajahnya tampak
sebuah cadar hitam, hingga yang terlihat
dari wajahnya hanyalah sepasang matanya
yang tajam dari kedua lobang cadar.
"Guru...," kata Wulandari. "Maaf
atas kelancangan muridmu yang telah
berani bertindak kurang ajar terhadap-
mu!"
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam yang dipanggil guru kembail
perdengarkan suara tawa perlahan.
"Lupakan semua itu! Delapan tahun kalian
kuberi kesempatan untuk melalang buana
di arena rimba persilatan. Lalu tujuh
purnama kalian bersemadi di tempat ini.
Meski kurun waktu itu belum bisa dibuat
jaminan kalian matang betul, namun
setidaknya kalian telah mendapatkan
pengalaman berharga. Lebih dari itu
pasti kalian telah tahu apa yang kini
sedang terjadi dalam kancah dunia
persilatan...." Sejenak perempuan
berjubah dan bercadar hitam hentikan
ucapannya. Setelah menarik napas panjang
dan merapikan rambutnya dia melanjutkan.
"Aku tanya pada kalian. Apa kalian
dengar tentang munculnya beberapa tokoh
yang menurut sebagian orang telah
mengundurkan diri bahkan sebagian orang
mengabarkan telah tewas?!"
"Benar, Guru. Pada beberapa tahun
terakhir ini memang kami dengar banyak
tokoh yang muncul Kembali. Malah kami
sempat hertemu dengan sebagian dari
mereka...." Yang angkat bicara
Wulandari.
"Hem.... Begitu? Mendung memang tak
selamanya pertanda akan turunnya hujan.
Namun kemunculan beberapa tokoh rimba
persilatan pasti ada sesuatu yang
menyebabkannya. Kalian tahu, untuk npa
mereka muncui kembali?!"
"Itu tidak jelas. Namun akhir-akhir
ini rimba persilatan diselimuti
kegegeran tentang sebuah kitab. Bukan
tidak mustahii, kemunculan mereka
mungkin ada kaitannya dengan kitab itu!"
Kembali Wulandari yang bicara.
"Tapi kami telah menyeiidik dan
beberapa kali kami mendapat petunjuk
tentang kitab itu. Namun pada akhirnya
kami harus menelan rasa kecewa. Karena
petunjuk yang kami dapatkan tidak sesuai
dengan kenyataan. Padahal untuk
mendapatkan petunjuk itu, kami harus
tumpahkan darah siapa saja! Dari
kenyataan itulah, kami akhirnya
mengambil kesimpulan jika berita tentang
kitab itu hanya kabar bohong!"
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam tert-wa pendek. Lalu berpaling
pada si kakek di sampingnya.
"Sudan saatnya Dewi memberitahukan
pada mereka. Kita sekarang dituntut
untuk bergerak cepat. Terlambat sedikit,
bukan hanya penyesalan yang akan kita
peroleh, namun cita cita Dewi juga akan
kandas di tengah jalan!" kata si kakek
seraya mengarahkan sepasang matanya pada
ketiga gadis di depannya.
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam manggut-manggut. Kepalanya
dipalingkan ke jurusan lain.
"Aku maklum jika kalian
berkesimpulan bahwa adanya kitab itu
hanya kabar bohong, karena kalian
mendapatkan petunjuk bukan dari orang
yang benar-benar tahu akan kitab itu!"
"Maksud Guru...?!" tanya Sitoresmi.
"Dengar balk-baik. Kitab yang
disebut orang dengan nama Kitab Serat
Biru itu benar adanya dan bukan cerita
kosong!"
Ketiga gadis di hadapan perempuan
berjubah dan bercadar hitam terkejut dan
saling pandang satu sama lain. Jelas
wajah mereka membayangkan rasa tidak
percaya pada ucapan gurunya, membuat
sang guru tertawa panjang.
"Guru...," kata Ayu Laksmi. Namun
ucapan gadis berjubah biru itu segera
dipotong oleh sang guru.
"Tak ada guna kalian berdalih.
Karena kalian mendapat keterangan dari
orang yang tidak tahu, mana mungkin
kalian tidak akan tersesat? Dengar
baik-baik! Hari ini aku akan membuka
sesuatu yang sejak dua puluh tahun silam
selalu mengganjal pikiranku. Tapi kalian
harus ingat. Jika salah seorang di antara
kaiian ada yang membocorkan hal ini,
berarti kalian menggali lobang kubur
sendiri! Kalian dengar itu?!"
Ketiga gadis itu sama anggukkan
kepala. Lalu sama menatap pada perempuan
berjubah dan bercadar hitam.
"Kitab Serat Biru tersimpan pada
sebuah pulau yang disebut Pulau Biru."
"Guru. Harap katakan di mana Pulau
Biru. Kami akan segera berangkat ke
sana!" kata Wulandari seraya maju satu
tindak.
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam gelengkan kepala. Kembali ketiga
gadis berparas cantik di hadapannya
saling pandang. Kini raut mereka
membayangkan rasa heran.
"Seandainya aku tahu di mana pulau
itu, tak mungkin hai itu mengganjal dalam
benakku selama dua puluh tahun! Lagi pula
tiada gunanya aku menggembleng kaiian
agar kelak dapat membantuku!"
"Lantas apa yang sekarang harus kami
perbuat" tanya Wulandari.
"Ada waktu menanam benih, ada pula
saat mengambil buah. Segala ilmu telah
kuturunkan pada kalian. Kini kuminta
kalian membantuku!"
"Budi jasa Guru tak impas ditukar
dengan seisi dunia. Jangankan hanya
membantu, kepala kami pun akan kami
serahkan jika Guru minta!" ujar Ayu
Laksmi.
"Bagus! Kuharap ucapan itu tidak
hanya di mulut, karena tanpa ucapan itu
pun aku tak segan memutus kepala kalian
jika berbuat di luar perintahku!"
"Harap Guru segera beritahukan apa
yang harus kami lakukan!" kata Sitoresmi
dengan suara sedikit serak.
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam selinapkan tangan kanannya ke
balik jubah. Ketika tangan itu keluar
kembali, terlihat lembaran kulit
sepanjang satu setengah jengkal. Kulit
itu berwarna coklat kusam dan telah lapuk
di sana sini. Pada sisi samping tampak
berkelok pertanda kulit itu dirobek
secara paksa.
Untuk beberapa saat baik perempuan
berjubah dan bercadar hitam serta si
kakek yang tegak di sampingnya pandangi
kulit coklat itu dengan tak kesiap.
Sementara ketiga gadis di hadapan mereka
berdua sama arahkan pandangannya pada
kulit coklat dengan hati masing-masing
orang disarati beberapa pertanyaan dan
dugaan.
"Kitab Serat Biru adalah sebuah
kitab yang tiada tandingnya. Karena
itulah untuk mendapatkannya bukan urusan
yang gampang. Kalian lihat! Di kulit ini
tertera peta yang nantinya berakhir pada
Pulau Biru di mana tersimpan Kitab Serat
Biru...."
Selesai berucap demikian, perempuan
berambut pirang dan berjubah serta
bercadar hitam gerakkan tangannya yang
memegang kulit. Kulit warna coklat itu
melesat ke depan.
Di depan sana, si jubah kuning
Wulandari segera angkat tangan kanannya.
Dan....
Settt!
Kulit coklat itu telah tersambar ke
tangannya.
Sitoresmi dan Ayu Laksmi segera
bergerak mendekat. Ketiganya kini
menatap kulit coklat yang ada di tangan
Wulandari. Wulandari kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya. Tiba-tiba
dari kedua tangannya sampai siku
memancar sinar terang keputihan. Hingga
mesti suasana di sekitar lembah masih
dicekam kepekatan, tapi mereka bertiga
dapat dengan jelas melihat apa yang
tertera di atas kuiit coklat lusuh itu.
Namun tiba-tiba secara serentak
kepala masing-masing gadis ini
disentakkan menghadap gurunya. Setelah
saling pandang sejenak, Wulandari hendak
buka mulut. Tapi sebelum suaranya terde-
ngar, perempuan berjubah dan bercadar
hitam telah angkat bicara.
"Tugas kalian mencari penggalan
kulit itu! Dan Itu dapat kalian mulai
dari menelusuri peta yang ada di tangan
kalian!"
"Dan ingat!" kali ini yang keluarkan
ucapan adalah si kakek. "Kalian harus
waspada. Mengingat kitab itu bukan
sembarangan, maka tidak tertutup
kemungkinan adanya orang-orang yang
memalsu penggalan kulit itu. Kalian
harus teliti benar! Sekali kulit palsu
yang kalian dapat, kesesatan yang akan
kalian peroleh!"
"Lebih dari itu, kalian harus
hati-hati. Pemegang penggalan kulit itu
pasti bukan orang yang bisa dipandang
sebelah mata. Dan melihat kulit itu, aku
mempunyai firasat pemegang penggalan
kulit itu bukan hanya satu orang!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Ayu
Laksmi.
"Seperti ucapan Ki Buyut Pagar Alam,
kitab itu bukan kitab sembarangan. Tidak
mustahil peta menuju Pulau Biru itu
sengaja dipenggal menjadi beberapa
bagian untuk menyesatkan dan membuat
orang bingung!"
"Guru.... Mendengar keteranganmu,
apakah Guru telah yakin bahwa penggalan
ini asli?" tanya Sitoresmi.
"Lima tahun aku melatih diri untuk
dapat mengalahkan dan merebut penggalan
kulit itu dari tangan pemegangnya! Dia
adalah seorang tokoh tua yang hanya
beberapa orang saja yang mengenalnya.
Mendiang guruku yang memberi petunjuk
padaku. Dan ucapan guruku tak mungkin
dusta! Jadi penggalan kulit itu asli
adanya!"
"Apakah dari tokoh itu kulit ini
telah demikian adanya?!" Yang ajukan
tanya Wulandari.
"Benar. Dari itulah aku mempunyai
firasat jika penggalan kulit itu bukan
hanya pada satu orang!"
"Hem.... Bagaimana mungkin petunjuk
sebuah kitab sakti bisa dipenggal
menjadi beberapa bagian? Apakah
orang-orang itu tidak menginginkan kitab
itu?!"
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam tertawa panjang mendengar ucapan
Wulandari yang bernada seolah tak
percaya.
"Kalian hanya perlu dengar dan
berpikir tanpa harus mengerti bagaimana
dan mengapa kulit peta itu sampai dibagi
menjadi beberapa penggalan! Kalian tak
akan menemukan jawaban pasti! Masih ada
yang hendak kalian tanyakan?!"
"Guru. Setiap kali Guru ucapkan
perintah pada kami pasti dengan waktu
yang Guru tentukan. Apakah tugas memburu
Kitab Serat Biru itu juga Guru beri
batasan waktu?" tanya si jubah biru Ayu
Laksmi.
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam menghela napas panjang. Seraya
menatap satu persatu pada ketiga
muridnya dia berujar.
"Tugas kalian kaii ini adalah sangat
berat. Kalian pasti akan menghadapi
beberapa tokoh yang selain belum kalian
kenal juga berlimu sangat tinggi. Untuk
kali ini kalian tak kuberi batasan waktu.
Hanya jika kalian berhasil mendapatkan
peta itu dengan sempurna, kalian
kutunggu di istana Setan!"
Setelah berkata demikian, perempuan
berjubah dan bercadar hitam dongakkan
kepala. Air hujan terns mendera, namun
anehnya baik rambut maupun pakaian yang
dikenakan perempuan ini tidak basah sama
sekali.
"Cuaca tampaknya makin menggila.
Kalau memang semuanya sudah jelas aku
akan segera tinggalkan tempat ini...."
Ketiga gadis berparas cantik
dihadapan perempuan berambut pirang
saiing pandang lalu anggukkan kepala.
"Keterangan Guru kami kira sudah
cukup. Dan kami pun akan segera
berangkat!" kata Wulandari.
Belum habis ucapan Wulandari,
perempuan berjubah bercadar hitam
palingkan kepala ke arah Ki Buyut Pagar
Alam. Kejap kemudian tubuhnya bergerak
dan tahu-tahu ketiga gadis di hadapan
perempuan berjubah hitam tidak lagi
menangkap sosok orang di hadapan mereka!
Mereka hanya mendengar suara ringkihan
kuda ditingkah dengan gemeletak roda
kereta yang sayup-sayup makin perlahan
sebelum akhirnya lenyap!
Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu
Laksmi sama keluarkan gumaman tak jelas.
Di lain saat, Wulandari berpaling pada
kedua gadis di sampingnya seraya
anggukkan kepala. Kejap kemudian, ketiga
gadis ini berkelebat tinggalkan lembah
tanpa keluarkan sepatah kata!
* * *
DUA
DI satu kawasan hutan kecil terlihat
seorang pemuda keluar dari gerumbulan
jajaran pohon tua dan melangkah perlahan
menuju sebuah dataran berbatu yang
menghampar luas di hadapannya. Seraya
melangkah, terdengar gumaman senandung
nyanyian dari mulutnya. Sesekali
kepalanya dipalingkan ke sana kemari
dengan sepasang matanya yang tajam
memperhatikan kawasan yang dilewati.
Namun meski pemuda ini melangkah
sendirian, tak jarang dia tampak
senyum-senyum sendiri seraya
berjingkat-jingkat. Ternyata si pemuda
memainkan jari kelingkingnya ke dalam
lobang telinganya.
Pada satu tempat, si pemuda yang
mengenakan pakaian putih-putih,
berambut panjang sedikit acak-acakan
yang dibalut dengan ikat kepala warna
putih Ini hentikan langkahnya. Tangan
kanannya diangkat dan ditadangkan di
depan kening untuk menangkis silaunya
matahari. Sepasang matanya menyapu
seantero dataran berbatu.
"Kitab Serat Biru.... Hem.... aku
sama sekali masih buta dengan
seluk-beluk kitab itu. Ke mana aku harus
mencari? Manusia Dewa maupun Eyang guru
tidak berikan petunjuk secuil pun
tentang keberadaan kitab itu. Ke mana aku
harus bertanya? Pulau Biru.... Hanya itu
satu-satunya keterangan! Ah, mungkin aku
harus menjalankan tugas ini dengan
meraba-raba. Menilik dari namanya, jelas
jika tempat Itu berada pada kawasan laut.
Tapi laut mana? Laut Utara atau kawasan
Laut Selatan?" Si pemuda menarik napas
dalam-dalam. "Peduli setan. Yang penting
aku harus menuju kawasan laut...,"
akhirnya si pemuda memutuskan. Lalu
meneruskan Iangkah.
Namun gerak kakinya tertahan
tatkala tiba-tiba saja terdengar suara
tawa mengekeh panjang. Paras muka si
pemuda tampak berubah tegang. Suara tawa
yang terdengar bukan suara tawa biasa.
Karena si pemuda merasakan kedua kakinya
yang menginjak tanah bergetar hebat
pertanda siapa pun adanya orang yang
perdengarkan tawa memilikl ilmu
kepandaian tinggi serta tenaga dalam
yang luar biasa dahsyat!
Menangkap gelagat akan adanya
bahaya, si pemuda segera kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya, kejap
kemudian kepalanya berpaling ke arah
datangnya suara tawa.
Namun si pemuda jadi terkesiap
sendiri. Bersamaan dengan berpalingnya
kepala, suara tawa itu tiba-tiba
terputus laksana direnggut setan. Lebih
dari Itu, si pemuda tak menangkap seorang
pun meski sepasang matanya dijerengkan
mengawasi berkeliling!
"Apakah telingaku yang salah
dengar?!" gumam si pemuda. Untuk
beberapa saat dia menunggu. "Heran.
Suara tawa itu demikian keras, tanpa
manusianya tak berada jauh dari sekitar
tempat ini. Tapi...." Si pemuda tak
teruskan kata hatinya karena saat itu
juga kembali terdengar suara tawa menge-
keh panjang keras membahana!
Si pemuda cepat putar tubuh.
Sepasang matanya mendelik besar tak
kesiap memandang ke depan. Di atas satu
gundukan batu tujuh tombak dari
tempatnya berdiri si pemuda melihat
seorang nenek duduk mencangklong dengan
kedua tangan merangkap di depan sepasang
kakinya.
Perempuan tua Ini mengenakan jubah
besar warna merah menyala. Parasnya
pucat. Kelopak sepasang matanya besar,
tapi sepasang bola mata di dalamnya amat
sipit. Rambutnya putih sebatas tengkuk.
Mulutnya terus menerus bergerak-gerak
memainkan gumpalan tembakau berwarna
hitam. Anehnya, meski suara tawa masih
terus membahana, si nenek justru
enak-enakan memainkan gumpalan tembakau
di mulutnya!
Mungkin karena baru kali ini menemui
keanehan pada orang, si pemuda sempat
berulangkali kerjapkan sepasang matanya
untuk meyakinkan bahwa apa yang di
hadapannya benar-benar bukan tipuan
matanya.
"Edan! Manusia tua ini betul-betul
luar biasa.... Siapa nenek ini?"
Belum sampai si pemuda mendapat
jawab dari pertanyaannya sendiri, nenek
di depan sana goyangkan bahunya.
Tiba-tiba sosoknya meiesat. Kejap lain
tahu-tahu telah berdiri tegak lima
langkah di hadapan si pemuda dengan kedua
tangan berkacak pinggang!
"Lekas katakan siapa nama dan apa
gelarmu!" Mendadak si nenek keluarkan
bentakan garang, membuat si pemuda
tersentak kaget. Bukan karena kerasnya
suara bentakan, tapi karena bentakan itu
demikian keras padahal si nenek hanya
sedikit buka mulutnya dan masih mainkan
gumpalan tembakau di mulutnya!
"Nek...."
"Setan! Aku bukan nenekmu!" potong
si nenek sebelum habis ucapan si pemuda.
"Jawab cepat tanyaku atau kupuntir
tanggal lehermu!"
"Gila! Orang tua Ini bukan hanya
aneh, tapi juga galak.... Hemm.... Aku
tahu bagaimana menghadapi orang tua
macam ini!" Si pemuda membatin, lalu
arahkan pandangannya pada jurusan lain.
Mulutnya sunggingkan senyum. Lalu
berujar.
"Kau telah tahu namaku, harap kau
tidak lagi bercanda!"
Si nenek komat-kamitkan mulut
hingga gumpalan tembakau hitam di
dalamnya terlihat keluar masuk. Sepasang
matanya yang sipit membeliak.
"Kulngatkan, Anak Muda! Sebutkan
apa yang kutanya atau...."
Kali ini ganti si pemuda yang
memotong ucapan si nenek sebelum
kata-katanya selesai.
"Nek. Kau tadi telah menyebutku
Setan. Memang itulah namaku! Kau sendiri
siapa, Nek?!"
"Hem.... Namamu Setan. Siapa
gelarmu?!" si nenek baiik ajukan tanya.
"Ah, sebenarnya aku malu mengatakan
padamu.
Tapi untukmu tak apalah. Asal Nenek
jangan mengejeknya... karena...."
"Setan! Jangan bertele-tele!" putus
si nenek seraya hembuskan napas panjang.
Si pemuda terkesiap dan buru-buru
geser tubuhnya sedikit ke samping karena
bersamaan dengan itu satu gelombang
angin keras melesat ke urahnya dengan
keluarkan hawa busuk luar biasa!
Anehnya, kejap kemudian bersamaan dengan
lewatnya hawa busuk, menebar aroma
harum!
"Orang-orang menggelariku Setan
Jelek! Sekarang harap Nenek sudi
sebutkan diri...," kata si pemuda dengan
mata tak berkedip memperhatikan dari
bawah sampai atas.
Si nenek dongakkan kepala. Sepasang
matanya dipejamkan rapat,
"Kasihan kau Setan Jelek! Karena
nasibmu sama dengan gelar yang kau
sandang!"
"Apa maksudmu, Nek?!"
"Nasibmu jelek. Karena harus tewas
di tanah tak bertuan! Hik... hik...
hik...! Kau harus terima takdirmu!"
Habis berkata begitu, si nenek
goyang-goyangkan kepalanya. Tiba-tiba
sepasang tangannya bergerak mendorong ke
depan. Gerakan itu pelan saja. Namun pada
saat bersamaan si pemuda yang tegak di
hadapannya merasakan hantaman angin yang
luar biasa dahsyat! Hingga jika saja si
pemuda tak segera menghindar selamatkan
diri dengan berkelebat ke samping,
niscaya tubuhnya akan terpelanting dan
terbanting jatuh. Karena hembusan angin
itu secara mendadak berputar-putar
membentuk pusaran! Hebatnya, pusaran
angin itu kini bergerak ke arah mana si
pemuda menghindar!
"Nek! Kenapa kau menyerangku?!"
teriak si pemuda. Namun jawaban yang
terdengar adalah kekehan tawa membahana,
membuat pemuda itu mulai agak geram.
Si pemuda palingkan kepala.
Mulutnya membuka hendak bicara, namun
suaranya terhenti di tenggorokan tatkala
saat itu juga pusaran angin telah
menggebrak ke arahnya!
"Busyet!" maki si pemuda seraya
hantamkan kedua tangannya ke depan.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dua rangkum angin keluarkan suara
keras memekak telinga keluar dari
telapak tangan si pemuda.
Busss!
Pusaran angin ambyar lalu
membumbung ke udara dan lenyap.
"Hem.... Orang tua macam Ini tak
perlu diladeni. Bukan saja membuang
waktu dan tenaga tapi juga tak ada
gunanya!" Berpikir sampai di situ, si
pemuda putar tubuh lalu melangkah
meninggalkan tempat itu.
Namun Iangkah si pemuda terhenti,
ketika dia merasakan sebuah kekuatan
dahsyat membetot tubuhnya dari beiakang.
"Gila! Nenek ini tidak bercanda
dengan ancamannya! Dia benar-benar
inginkan nyawaku! Meski aku tak tahu
pasti apa maksud sebenarnya, namun hal
Ini tak boleh dibiarkan..." Si pemuda
segera kerahkan tenaga dalam. Secepat
kilat kedua tangannya dihantamkan seraya
balikkan tubuh. Tapi baru saja kedua
tangannya bergerak, dia merasakan
tubuhnya terangkat ke udara. Si pemuda
teruskan hantamannya ke bawah.
Wuuttt! Wuuuttt!
SI pemuda terbelalak. Ternyata dia
hanya menghantam udara kosong. Belum
habis rasa kejutnya, satu kekuatan
balikkan kembali tubuhnya hingga
membelakangi si nenek. Pada saat
bersamaan tiba-tiba tubuhnya seakan
dibetot dari bawah. Dan....
Bukkk!
Sosok si pemuda jatuh terbanting di
atas tanah berbatu. Megap-megap, si
pemuda segera bangkit. Raut wajahnya
berubah merah padam. Pelipisnya bergerak
dengan dagu mengembung pertanda hawa
amarah telah melanda dadanya.
"Orang tua! Kau memaksaku bertindak
kasar. Jangan menyesal dengan apa yang
akan terjadi!" teriak si pemuda lalu
kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Mendadak saja kedua tangan si
pemuda berubah warna menjadi kekuningan.
"Lembur Kuning!" seru si nenek tahu
pukulan apa yang hendak dilancarkan si
pemuda, membuat sang pemuda terkesiap
kaget mendengar orang tua di hadapannya
telah tahu pukulan yang hendak di-
lancarkan, padahal pukulan itu sendiri
belum dilepaskan.
"Jangkrik! Siapa sebenarnya nenek
ini? Dia tahu pukulan 'Lembur Kuning'
yang hendak kulepaskan...," batin si
pemuda seraya pandangi kedua tangannya
yang telah berubah warna kekuningan.
Inilah pertanda bahwa si pemuda memang
benar hendak lepaskan pukulan sakti
'Lembur Kuning'. Pukulan milik seorang
tokoh aneh yang dikenal dengan Pendeta
Sinting yang kemudian diwariskan pada
muridnya yakni Joko Sableng alis
Pendekar Pedang Tumpul 131.
"Setan jelek! Pasti kau masih
kambratnya orang tua sinting itu! Hik...
hik... hik...! Kebetulan sekali. Aku
ingin lihat apakah pukulan 'Lembur
Kuning' tidak ketinggalan zaman dan
masih cocok di alam gila sekarang ini!"
"Sombong betul Orang tua ini. Aku
pun ingin tahu, apakah ucapannya tidak
laksana tong kosong!"
Si pemuda yang bukan lain Joko
Sableng segera hantamkan kedua tangannya
lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Hingga
saat itu juga suasana berubah jadi
semburat warna kuning. Pada saat yang
sama sinar kuning mencorong meiesat
membawa hawa panas dan suara laksana
gelombang dahsyat.
DI depan sana, si nenek kancingkan
mulutnya rapat-rapat. Namun di lain
kejap terdengar suara tawanya yang
membahana panjang. Bersamaan dengan itu,
si nenek terlihat angkat kedua tangannya
lalu disentakkan ke bawah.
Tiada suara yang terdengar. Namun
pukulan 'Lembur Kuning' tiba-tiba
tertahan sejenak di udara.
Lalu laksana dlhantam kekuatan luar
biasa garang, pukulan itu menukik deras
ke bawah!
Bummm!
Tanah berbatu tampak muncrat
setinggi lima tombak ke udara. Tanah dan
pasir pecahan batu menutupi pemandangan
untuk beberapa saat. Samar-samar di
sebelah depan, sosok Pendekar 131 tampak
bergetar hebat. Kejap lain tubuhnya
mencelat sampai dua tombak ke belakang.
Murid Pendeta Sinting ini berusaha
kuasai tubuhnya yang terhuyung hendak
terjerembab. Namun kedua kakinya goyah
hingga tak lama kemudian dia jatuh
terduduk dengan tubuh bergetar dan dada
naik turun megap-megap!
Di pihak lain, si nenek tampak
mundur tiga Iangkah ke belakang.
Sosoknya terlihat bergoyang-goyang.
Namun sebentar kemudian telah diam malah
dengan kacak pinggang dia perdengarkan
tawa mengekeh panjang!
Begitu tanah dan pasir sirap dari
udara, empat tombak di depan Joko Sableng
tampak lobang menganga besar sedalam
satu tombak!
Pendekar Pedang Tumpul 131 bergerak
bangkit. Wajahnya makin merah padam.
Sepasang matanya membeliak besar. Murid
Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak
ini sadar jika orang tua di h-dapannya
benar-benar bukan orang yang bisa
dinnggap remeh. Pukulan 'Lembur Kuning'
begitu mudah ditahan meski biasnya masih
tetap membuat si nenek tersurut langkah.
"Aku penasaran. Kalau kulipat
gandakan tenaga dalamku, masakan tidak
roboh!" gumam Joko sambil kerahkan
tenaga dalam. Kali ini dia lipat gandakan
tenaga dalamnya hingga pancaran sinar
kuning dari kedua tangannya makin
bersinar.
Melihat hal demikian, si nenek
kerjapkan sepasang matanya. Kepalanya
digoyang-goyang. Tiba-tiba....
Wuttt!
Tubuhnya melesat ke depan. Joko
Sableng tak tinggal diam. Kedua
tangannya dipukulkan ke depan. Tapi
darah murid Pendeta Sinting laksana
sirap. Pukulan kedua tangannya hanya
menggebrak udara kosong. Lebih dari itu
dia merasakan angin bersiur di atas
kepalanya lalu....
Bukkk!
Sebuah tendangan keras mendarat di
punggung Pendekar Pedang Tumpul 131.
Pemuda itu berseru tertahan. Sosoknya
terhuyung ke depan. Begitu tubuhnya
setengah membungkuk hendak tersuruk ke
atas tanah berbatu, dua pasang kaki
menjepit lehernya. Hingga sosok Joko
tertahan.
Sambil berteriak keras, Joko
Sableng hantamkan tangan kiri kanan ke
arah sepasang kaki di atas pundaknya.
Namun gerakannya terlambat. Sepasang
kaki yang ternyata milik si nenek itu
telah bergerak menyentak ke belakang.
Bukkk!
Untuk kedua ksiinya murid Pendeta
Sinting jatuh punggung di atas tanah.
Untuk beberapa saat dia hanya diam
terkapar dengan punggung serasa Jebol.
Pada saat itulah satu sambaran angin
menggebrak dari arah samping kanan
mengarah pada kepalanya.
Meski seluruh tubuhnya terasa sakit
bukan main, namun Pendekar Pedang Tumpul
131 segera palingkan wajahnya untuk
selamatkan diri. Namun dia tertipu,
karena bersamaan dengan itu dari arah
samping kiri satu sambaran angin
meiesat. Tak ada kesempatan lagi baginya
untuk menghindar.
Plaaakkk!
Satu tamparan keras mendarat di pipi
Pendekar 131. Meski hanya satu tamparan,
namun karena dialiri tenaga dalam
tinggi, membuat kepala murid Pendeta
Sinting laksana pecah. Sepasang mata pe-
muda ini berkunang-kunang. Kejap
kemudian segala sesuatunya menjadi
gelap. Lalu kepala Joko terkulai dengan
tubuh tergolek pingsan.
Satu langkah di sebelah samping
kanan Joko, nenek berjubah merah menyala
usap-usap kedua tangannya. Kepalanya
mendadak disentakkan ke samping kiri.
Bersamaan dengan itu, satu bayangan
berkelebat keluar dari balik pohon!
* * *
TIGA
ADA satu keanehan dengan sosok yang
berkelebat muncul dari balik pohon ini.
Seraya berkelebat melayang, sosok ini
terlihat duduk bersila dengan kedua
tangan menakup di bawah dagu.
Tiga langkah di hadapan si nenek,
sosok yang melayang dengan duduk bersila
turun mendarat di atas tanah. Sepasang
matanya yang terpejam bergerak membuka.
Memandang sejenak pada si nenek lalu
memperhatikan pada sosok Joko yang masih
terkapar pingsan.
Dia adalah seorang laki-laki
berusia lanjut. Mengenakan jubah warna
kuning tanpa leher. Rambutnya putih
panjang dikelabang dan dikalungkan pada
lehernya. Kedua alis matanya saling
bertautan. Bibir selalu berkemik
perdengarkan gumaman tak jelas.
"Manusia Dewa! Betul dia
orangnya?!" Si nenek ajukan tanya seraya
arahkan pandangannya pada sosok Joko
Sableng.
Laki-laki berusia lanjut yang duduk
bersila dan bukan lain memang Manusia
Dewa adanya, seorang tokoh tua dari
golongan Budha yang terjun dalam kancah
rimba persilatan dan pernah menggegerkan
rimba persilatan karena perannya ikut
serta membasmi kejahatan, anggukkan
kepala.
Meski si nenek telah mendapat
jawaban dengan anggukkan kepala, namun
wajahnya tetap membayangkan kebim-
bangan. Ini jelas terlihat dari cara
memandangnya pada sosok Joko yang tak
berkesip sama sekali.
"Ratu Malam...," kata Manusia Dewa
seakan bisa menangkap arti pandangan si
nenek yang dipanggil dengan Ratu Malam.
"Tak ada guna menyimpan segala tanya
dalam hati. Keraguan tak akan
menyelesaikan segalanya. Urusan ini
sudah sangat mendesak. Silakan buktlkan
agar semua keraguan dan tanya di hatimu
bisa terjawab...."
Ratu Malam jongkok di sebelah Joko.
Tangan kanannya cepat bergerak ke arah
pinggang Joko di mana tersimpan Pedang
Tumpul 131. Begitu tangannya dapat
merasakan sembulan senjata, tangan itu
segera berputar ke depan dan menyelinap
ke balik pakaian Joko. Sekali sentak,
tangan Ratu Malam telah keluar lagi. Di
tangannya kini tampak sebuah pedang yang
terbungkus dalam sarungnya yang berwarna
kuning.
Untuk beberapa saat lamanya
sepasang mata Ratu Malam memperhatikan
pedang di tangannya dengan mata tak
berkedip. Mulutnya komat-kamit perma-
inkan gumpalan tembakau hitam. Kepalanya
bergerak manggut-manggut.
Setelah puas pandangi pedang,
kembali Ratu Malam selinapkan pedang itu
ke balik pakaian Joko. Lalu bangkit dan
melangkah ke arah Manusia Dewa.
"Bagaimana sekarang? Apa kita
tunggu sampai dia siuman?!" tanya Ratu
Malam.
Manusia Dewa gelengkan kepala.
"Waktu kita terbatas. Masih ada yang
harus kita kerjakan. Tinggalkan pesan
padanya! Hal ini untuk melatih dia
menghadapi perjalanan berat yang bakal
dihadapinya!"
Ratu Malam keluarkan selembar kain
putih dari saku jubahnya. Jari telunjuk
tangan kanannya diangkat. Gumpalan
tembakau hitam dlkeluarkan dari dalam
mulutnya. Jari telunjuk disentuhkan pada
gumpalan tembakau, lalu ditulis pada
kaln putih.
Tak berselang lama, Ratu Malam
lemparkan kain putih ke arah sosok Joko.
"Kita tinggalkan tempat Ini...,"
katanya seraya mengangguk ke arah
Manusia Dewa. Tanpa menunggu jawaban,
nenek berjubah merah menyala ini
gerakkan tubuh. Dan sekali bergerak
tubuhnya melesat lenyap ke arah kawasan
hutan.
Manusia Dewa sejenak memperhatikan
pada Joko, lalu putar tubuh. Dengan tetap
bersila dan kedua tangan menakup ke bawah
dagu, orang tua ini pun berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Matahari telah hamplr turun ke kaki
langit barat saat Pendekar 131 sadar dari
pingsannya. Untuk beberapa saat lamanya
murid Pendeta Sinting ini diam tak
bergerak. Dia coba mengingat apa yang
baru dialaminya. Dan ketika menyadari
apa yang baru saja terjadi, mungkin
karena khawatir bahaya masih mengancam
dirinya, secepat kilat dia bangkit.
Sepasang matanya menebar berkeliling
dengan kepala diputar.
"Nenek galak berilmu tinggi itu,
minggat ke mana dia? Hem, Nyatanya dia
tak menginginkan nyawaku. Tapi apa
maksud sebenarnya hingga dia membuatku
jatuh bangun demikian rupa? Orang tua
berilmu sangat tinggi, siapa dia
sebenarnya? Ah....
Lebih baik aku segera tinggalkan
tempat ini. Aku harus segera mencapal
kawasan laut...."
Joko segera melangkah hendak
tinggalkan tempat itu. Saat itulah
sepasang matanya melihat selembar kain
putih tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan sekali sambar, kain putih telah
berada di tangannya.
"Tak ada orang lain di sini tadi
selain aku dan nenek itu. Pasti kain
putih ini milik orang tua itu...."
Joko segera meneliti carikan kain
putih. Ternyata di kain putih itu ada
tulisan.
Pergi ke arah selatan. Beberapa
burung merpati kepakkan sayap, Kunci
akan segera diberikan. Tugas sudah di
depan mata.
Beberapa lama Joko berpikir. "Apa
maksud tulisan ini? Pasti orang tua Itu
yang menulis. Hem.... Kalau dia tak
membunuhku, lalu tinggalkan pesan,
berarti orang tua itu punya tujuan
tertentu padaku. Tulisan ini mengarah ke
sana. Tak ada salahnya kuturuti pesan
tulisan ini. Lagl pula aku masih
penasaran. Dia mengenali pukulanku,
berarti dia kenal dengan Eyang guru.
Urusan ini bisa baik dan tak mustahil
akan membawa petaka. Tapi aku perlu orang
tempat bertanya...."
Berpikir sampai di situ, dengan
kerahkan peringan tubuh, Joko segera
berkelebat ke arah selatan.
* * *
Hingga matahari kembaii muncul dari
timur, murid Pendeta Sinting terus
berkelebat. Namun mendadak dia hentikan
larinya. Dari mulutnya terdengar gumaman
gerutu berkepanjangan.
"Sial! Di mana dapat kutemukan
beberapa burung merpati seperti pesan
tulisan itu? Apakah tulisan itu hanya
canda si nenek? Hem.... Bodohnya aku.
Kenapa kuturuti pesan orang yang belum
kukenal, padahal aku punya tugas...,"
kata Joko seraya usap keringat yang
membasahi leher dan wajahnya.
"Sebelum aku jauh tersesat, aku
harus cepat tinggalkan..." Belum habis
gumaman Joko, semak belukar delapan
tombak dari tempatnya berdiri
bergerak-gerak. Murid Pendeta Sinting
tersentak kaget. Sepasang matanya
dibelalakkan. Takut sesuatu terjadi, dia
cepat pula kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya.
Namun Joko segera menarik napas
panjang tatkala dari gerumbulan semak
belukar Itu menyeruak beberapa burung
merpati. Mungkin terkejut dengan
kedatangan orang, serentak beberapa
burung merpati itu melesat terbang ke
udara.
"Hem.... Berarti tempat ini yang
dlmaksud tulisan pesan itu. Tapi mana
batang hidung nenek itu?!" tanya Joko
seraya memandang berkeliling.
Saat itulah tiba-tiba terdengar
derap langkah ladam kaki-kaki kuda
menuju ke arahnya. Disusul dengan suara
bentakan-bentakan keras agar kuda
tunggangan itu berlari leblh kencang.
"Jelas jika penunggang kuda ini ada
beberapa orang. Siapa pula mereka?
Apakah ini telah diatur oleh orang tua
itu? Atau...," Joko putuskan kata
hatinya, karena langkah-langkah kuda
makin dekat.
"Aku harus tahu dahulu siapa
mereka...," Joko segera berkelebat ke
samping dan menyelinap ke balik sebatang
pohon. Sepasang matanya dlpentangkan.
Tapi murid Pendeta Sinting Ini jadi
tersirap. Hentakan kaki ladam kuda
tiba-tiba lenyap!
Pendekar 131 sejenak menunggu
dengan telinga dan mata ditajamkan. Tapi
setelah lama ditunggu tak ada juga
muncuinya seseorang, akhirnya dia
memutuskan keluar dari tempat
persembunyiannya.
Namun langkahnya tertahan tatkala
tiba-tiba dari arah samping terdengar
deru keras. Di lain kejap tiga rangkum
angin dahsyat melabrak ke arahnya!
Sambil. berseru tertahan, Joko
berkelebat selamatkan diri. Bersamaan
dengan itu terdengar suara berderak
keras. Kejap kemudian batang pohon di
mana tadi Joko bersembunyi tumbang
dengan batang berkeping-keping! Lalu
terlihat tiga bayangan berkelebat dan
tahu-tahu telah tegak berjajar tujuh
langkah di hadapan Joko Sableng!
Orang sebelah tengah adalah seorang
gadis muda berparas cantik jelita
mengenakan jubah warna kuning. Rambutnya
ikal panjang bergerai. Kulitnya putih
dengan hidung mancung serta buiu mata
lentik. Orang sebelah kanan juga adalah
seorang gadis muda berwajah jelita.
Mengenakan jubah warna merah. Rambutnya
yang panjang dikuncir agak tinggi. Gadis
ini mempunyai tahi lalat pada sebelah
atas bibirnya. Sedangkan orang yang
tegak paling kiri ternyata juga seorang
gadis muda cantik mengenakan jubah warna
biru. Rambutnya sebatas bahu.
Bibirnya merah tanpa polesan dan
membentuk bagus.
"Hem.... Gadis-gadis cantik....
Siapa pula mereka?" sepasang mata Joko
mengawasi satu persatu ketiga gadis dl
hadapannya dengan bibir sunggingkan
senyum. Sementara tiga gadis di
hadapannya yang bukan lain adalah
Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi
saling berpandangan sejenak.
"Jelas peta itu mengarah menuju
tempat Ini. Tapi aku ragu, apakah manusia
itu yang memegang penggalan peta itu?"
bisik Wulandari.
Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi tak
ada yang menyahut ucapan Wulandari.
Namun wajah keduanya jelas membayangkan
perasaan sepertl yang diucapkan
Wulandari.
"Mendengar keterangan Guru, dapat
dipastikan bukan dia orangnya yang
memegang penggalan peta itu. Tapi
mengapa dia berada di sini? Apakah dia
juga memiliki tujuan yang sama? Atau dia
hanya manusia yang tersesat?!" Diam-diam
Sitoresmi membatin sendiri dalam hatl.
"Hem.... Pemuda ini membekal llmu yang
tidak boleh dipandang sepele. Siapa dia
sebenarnya?"
Seperti halnya Sitoresmi, diam-diam
pula Ayu Laksmi berkata dalam hati.
"Pemuda tampan. Apakah satu kebetulan
dia berada dl tempat Ini? Ataukah dia
memang sengaja datang ke tempat ini?
Melihat usianya, dapat kupastikan jika
bukan dia yang memegang penggalan peta
itu. Namun...." Belum sampai Ayu Laksmi
teruskan kata hatinya, tiba-tiba ter-
dengar bentakan dari arah sampingnya.
"Pemuda tak dikenal! Cepat katakan
siapa kau! Ada urusan apa berada di
tempat Ini?!" Ternyata yang keluarkan
bentakan adakan Wulandari.
Orang yang dibentak bukannya cepat
menjawab. Sebaliknya celingukan dengan
memandang satu persatu pada ketiga gadis
di depannya. Kejap kemudian la
cengengesan sendiri seraya mainkan Jari
kelingkingnya pada lobang telinganya.
SI jubah kuning Wulandari yang tak
sabaran kembali keluarkan bentakan
garang. Namun lagi-lagi Joko tidak
menjawab, membuat kesabaran gadis cantik
berjubah kuning itu putus. Seraya
keluarkan seruan keras, Wulandari
melompat ke depan. Kaki kanannya
diangkat tinggi-tinggi siap untuk
lepaskan satu tendangan. Tapi gerakan
kaki si gadis tertahan dl tengah jalan
tatkala tiba-tiba Joko Sableng angkat
kedua tangannya dan didorong perlahan ke
depan, membuat Wulandari bukan saja
gagal kirimkan tendangan, namun kakinya
tersentak pulang ke belakang!
Kertakkan rahang, Wulandari
pentangkan sepasang matanya ke arah
Pendekar Pedang Tumpul 131. Rahangnya
mengembung dengan pelipis kiri kanan
bergerak-gerak.
"Jahanam! Siapa sebenarnya pemuda
ini? Dia benar-benar menganggap enteng
padaku!" umpat Wulandari. Dia llpat
gandakan tenaga dalamnya.
"Gadis cantik! Harap bersabar
barang sedikit. Kita tak ada silang
sengketa...," ujar Joko. "Persoalan tak
akan tuntas dengan jalan kekerasan!"
"Hem.... Begitu? Jika kau tak ingin
kekerasan, Jawab tanyaku tadi!"
"Jika itu pintamu, baik. Aku Joko
Sableng, Boleh tahu siapa kalian
adanya?"
"Dengar! Kami bertiga adalah
Pemburu Dari Neraka! Aku tanya padamu.
Kau kemari tidak secara kebetulan
bukan?!"
"Pemburu Dari Neraka? Hem.... Gelar
angker. Melihat nada bicaranya mereka
bukan derl kalangan orang baik-baik. Dan
jelas tujuannya pasti kemari. Ada
sangkut paut apa antara mereka dengan
nenek tua itu?"
"Hai!" teriak Wulandari ketika
dilihatnya Joko tidak segera menjawab.
"Kau tidak tuli. Harap jawab
pertanyaanku!"
"Ah. Kau salah. Justru aku kebetulan
sampai berada dl tempat ini. Kalau ini
memang daerah kawasan kalian, aku mohon
maaf...." Selesai berkata, Joko
bungkukkan tubuh tiga kali
berturut-turut seraya menghadap pada
satu persatu gadis di hadapannya yang
kini menggelari diri mereka dengan
Pemburu Dari Neraka.
Wulandari menyeringai. Sementara si
jubah merah Sitoresmi senyum tertahan.
Di sampingnya si jubah biru Ayu Laksmi
terlihat arahkan pandangan pada jurusan
lain dengan ekor mata melirik tajam.
"Dengar baik-baik. Jika masih
sayang pada selembar nyawamu, lekas
angkat kaki dari hadapan kami!" kata
Wulandari dengan suara masih garang.
"Aku jelas masih sayang pada
satu-satunya nyawaku. Tapi aku tidak
bisa tinggalkan tempat ini. Aku penat
sekali. Aku Ingin istirahat...." Enak
saja Joko segera putar tubuh lalu
melangkah ke arah sebuah pohon. Dengan
tanpa memandang pada ketiga gadis di
depan sana, Joko sandarkan punggung lalu
pejamkan sepasang matanya.
"Aku curiga manusia satu itu punya
tujuan sama dengan kita!" bisik
Wulandari. "Dia harus kita singkirkan"
Tak ada gunanya kita buang tenaga
meladeni manusia yang belum jelas
tujuannya. Lebih baik kita segera
mencari orang yang ada sangkut pautnya
dengan penggalan peta itu!" kata
Sitoresmi seraya arahkan pandangannya
pada Joko.
Wulandari perdengarkan dengusan
pelan. Kepalanya disentakkan berpaling
pada Sitoresmi. "Adanya manusia tak
diundang di tempat ini akan membuat
urusan tidak seperti yang kita
rencanakan. Malah tidak tertutup dia
akan merusak suasana!"
"Tapi dia sudah bilang jika hanya
kebetulan berada di tempat ini. Untuk apa
kita bersusah-susah pedulikannya?
Lihat! Dia pun tak pedulikan kita dan su-
dah tertidur pulas!" kata Sitoresmi
dengan arahkan telunjuk tangannya pada
Joko.
Tinggi langit bisa dilihat.
Dalamnya lautan dapat diselami. Tapi
hati manusia siapa yang tahu. Kebetulan
atau tidak, kita tak boleh ambil resiko.
Urusan dan tugas kita amat rahasia dan
sangat penting. Selain kita bertiga, tak
seorang pun boleh tahu! Kalau manusia itu
tetap tak mau tinggalkan tempat ini,
berarti takdirnya buruk!"
Habis berkata begitu, Wulandari
melangkah ke arah Joko.
"Tahan!" seru Ayu Laksmi seraya
melompat menjajari Wulandari.
"Kita tak perlu berdebat soal
manusia Itu. Kita telah sampai di tempat
yang tertera dalam peta. Namun apa yang
kita temukan? Aku mulai curiga
jangan-jangan penggalan peta di tangan
kita itu palsu!"
Wulandari hentikan langkah. Ucapan
Ayu Laksmi seolah menyadarkan gadis
berjubah kuning ini. Sepasang matanya
menebar berkeliling.
"Hem.... Di sini memang tak tampak
adanya tempat bermukimnya seseorang.
Padahal penggalan peta itu berada di
tangan seseorang. Jangan-jangan peta itu
memang palsu...." Diam-diam Wulandari
mulai khawatir. Namun ketika sepasang
matanya menumbuk pada murid Pendeta
Sinting, pikirannya berubah.
"Astaga! Jangan-jangan pemuda itu
berkata dusta. Satu-satunya manusia di
tempat ini adalah dia. Pasti dia tahu
banyak tentang tempat ini!" Berpikir
begitu, Wulandari teruskan langkah ke
arah Joko. Ayu Laksmi coba menahan dengan
berteriak, tapi Wulandari tak ambil
peduli. Namun yang paling tampak cemas
dengan tindakan Wulandari adalah
Sitoresmi. Malah dengan diam-diam gadis
berjubah merah ini berkata sendiri.
"Wulandari boleh bertindak
semena-mena pada tiap orang, tapi tidak
pada pemuda itu! Aku menangkap wajah
kejujuran di mukanya! Dan.... Ah, apa se-
benarnya yang terjadi dengan diriku...."
Di depan sana, dua langkah dari
tempat Joko bersandar, Wulandari
hentikan langkah. Sepasang matanya
mengawasi tak berkedip. Bibir gadis ini
terlihat bergetar. Ada perasaan aneh
menjalari dadanya, membuatnya untuk
beberapa saat hanya diam termangu.
"Hem.... Seandainya ini bukan tugas
dari Guru...," batin Wulandari seraya
pejamkan sepasang matanya. Dia coba
menahan guncangan pada dadanya. Setelah
menarik napas panjang dan dalam,
akhirnya mulutnya membuka. Kali ini
suaranya terdengar agak bergetar dan
serak.
"Hai! Aku tahu kau berpura-pura
pulas! Jangan coba-coba menipu kami.
Kami perlu beberapa keterangan!"
Joko Sableng buka kelopak matanya.
Setelah mengerjap, dia
tersenyum-senyum.
"Tak ada untungnya menipu gadis
cantik macam kau. Malah kalau bisa aku
ingin memberi keterangan yang kau
butuhkan...."
"Bagus! Aku ingin tahu, apakah
tempat ini dihuni seseorang?!"
"Hem.... Karena aku kebetulan lewat
tempat ini, maka aku tak bisa memastikan
apakah tempat ini berpenghuni atau
tidak!"
Paras muka Wulandari sedikit
berubah. Namun dia masih coba menahan
hawa amarah yang mulai menyeiimuti
dadanya.
"Kuingatkan! Kesabaran kami ada
batasnya, waktu kami juga tidak banyak.
Jawab dengan jujur atau kutanggalkan
kepalamu!"
"Aku telah menjawab apa yang
kuketahui. Jika kau ingin jawaban pasti,
kenapa tidak buktikan sendiri dengan
menyelidik?"
Wulandari katupkan rahangnya
rapat-rapat. "Jauh-Jauh datang kemari
percuma kalau tidak ada manusia yang bisa
memberi keterangan" Wulandari maju satu
tindak. "Kau telah berada di tempat ini
waktu kami tiba, pasti kau tahu banyak
tentang tempat ini!"
"Hem.... Kalau boleh tahu, apa
sebenarnya yang kalian cari di tempat
ini? Adakah kalian mencari seseorang?
Atau...."
"Tepat!" potong Wulandari. "Kami
memang mencari seseorang!"
"Bisa katakan, siapa yang kalian
cari?"
Sejenak Wulandari tampak kebi-
ngungan karena dia sendiri tak tahu siapa
yang dicari. Yang mereka ketahui adalah
peta itu berakhir di tempat mana kini
mereka berada. Dan mereka berpikiran, di
tempat itu pasti akan menemukan
seseorang yang diduga menyimpan
penggalan peta. Mereka tidak tahu siapa
nama orang itu.
Mungkin karena tak bisa katakan
siapa orang yang dicari, akhirnya
Wulandari berujar dengan suara agak
keras.
"Siapa adanya orang yang kami cari
bukan urusanmu! Yang penting tunjukkan
di mana tempat sembunyinya!"
"Hem.... Kalau pesan itu memang dari
nenek galak itu, aku bisa pastikan jika
gadis-gadis cantik ini mencari si nenek!
Melihat gelagat, di antara mereka dan si
nenek ada urusan...," Joko membatin.
Lalu berujar.
"Jika aku menjawab, kau pasti akan
menuduhku berkata dusta. Jika kalian
mencari seseorang, kusarankan kau
menyelidik saja! Jawaban itu pasti akan
kau temukan!"
"Keparat! Rupanya kau sengaja
sembunyikan sesuatu pada kami!"
"Apa kubilang. Belum apa-apa kau
telah lemparkan tuduhan lagi padaku.
Sialnya diriku ini. Tak tahu apa-apa
namun kena getah melulu"
"Banyak mulut" teriak Wulandari.
Gadis Ini angkat kedua tangannya sejajar
dada. Siap lepaskan satu pukulan. Namun
baru saja tangannya hendak bergerak
kirimkan pukulan, sebuah tangan menarik
dari beiakang, membuat Wulandari
tertahan gerakannya.
"Apa yang dikatakannya benar.
Sebaiknya kita menyelidik tempat ini!
Kita belum tahu siapa adanya orang yang
kita cari. Jangan sampai kita salah
turunkan tangan!"
Dengan mendengus keras, Wulandari
palingkan kepala ke belakang. Sepasang
matanya melotot angker.
"Sitoresmi! Sejak kapan kau berubah
jadi manusia tahu peradatan dengan
kata-kata lembut begitu rupa? Aneh di
telingaku jika mendadak saja kau kini
berpikir hanya untuk selembar nyawa
seseorang!"
Meski sedikit geram, namun
Sitoresmi yang menahan gerakan tangan
Wulandari sunggingkan senyum. "Urusan
kita sekarang adalah urusan pelik.
Dibutuhkan pikiran panjang meski harus
dibarengi dengan kekuatan!"
Wulandari tertawa pendek.
"Jangan-jangan ucapanmu hanya
topeng saja. Sedang sebenarnya kau
tertarik pada manusia itu! Betul?!"
Wajah Sitoresmi berubah merah
padam. "Kau tak layak ucapkan kata-kata
itu, Wulandari! Aku tak peduli siapa dia
adanya, tapi kalau ucapannya benar, apa
salahnya kita turuti?! Lebih baik kita
segera menyelidik daripada bertele-tele
tanpa guna!"
"Rupanya kau sudah pandai pula
menggurui. Tapi akan kubuktikan dahulu
bahwa dugaanku tidak keliru. Manusia itu
menyembunyikan sesuatu pada kita!" Habis
berkata begitu, si jubah kuning Wulan-
dari sentakkan tangan Sitoresmi yang
masih memegang tangannya. Kejap kemudian
kedua tangannya kirimkan satu pukulan ke
arah Joko!
* * *
EMPAT
TERDENGAR deruan luar biasa keras.
Kejap itu juga melesat segelombang angin
laksana deburan ombak. Karena telah
menduga jika lawan yang dihadapi punya
simpanan ilmu, kali ini Wulandari
sengaja langsung kirimkan pukulan dengan
tenaga dalam tinggi.
Di sebelah depan, melihat ganasnya
serangan, murid Pendeta Sinting segera
angkat kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dua rangkum angin berkelebat angker
keluarkan suara menderu keras.
Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi
yang melihat dahsyatnya pukulan segera
berkelebat ke depan. Meski mereka berdua
tak sependapat dengan tindakan
Wulandari, namun tampaknya mereka berdua
tak ingin saudara seperguruannya itu
mendapat celaka.
Blaammm!
Terdengar ledakan hebat saat dua
serangan itu bentrok di udara. Wulandari
terlihat tersurut dua langkah dengan
wajah berubah pucat pasi dan dada
bergetar. Di depan sana, Joko Sableng
tersandar pada batang pohon dengan
keadaan tetap berdiri tegak.
Wulandari kertakkan rahang. Dari
mulutnya terdengar seruan keras. Tanpa
pedulikan pada Sitoresmi dan Ayu Laksmi
yang berteriak menahan, gadis berjubah
kuning ini lipat gandakan tenaga dalam.
Serta-merta kedua tangannya dihantamkan
ke depan.
Suasana tiba-tiba berubah jadi
terang. Pada saat yang sama, sebongkah
kabut putih melesat dengan keluarkan
hawa panas luar biasa.
"Glia! Mengapa Wulandari begitu
bernafsu menghabisi pemuda itu? Mampukah
pemuda itu menahan pukulan 'Kabut
Neraka'?" diam-diam Sitoresmi dilanda
kecemasan. Dan tanpa diketahui oleh
Wulandari dan Ayu Laksmi, gadis berjubah
merah ini kerahkan tenaga dalam.
"Aku harus selamatkan jiwanya. Apa
pun kata mereka, aku tak peduli!" ujar
Sitoresmi sambil angkat kedua tangannya
hendak menghantam. Tapi gerakan tangan
gadis ini tertahan ketika dari arah depan
sana melesat sinar mencorong berwarna
kekuningan yang juga membawa hawa panas.
Blaarrr!
Untuk kedua kalinya tempat itu
dibuncah ledakan dahsyat. Tanahnya
bergetar keras laksana diguncang gempa.
Kejap kemudian tampak muncratan tanah
menghaiangi pemandangan.
Sosok Wulandari tampak mencelat
sampai dua tombak ke belakang. Kalau saja
Ayu Laksmi tidak segera berkelebat dan
menahan tubuhnya, niscaya sosok
Wulandari akan jatuh terbanting di atas
tanah.
"Tak kusangka jika manusia jahanam
itu mampu menahan pukulan Kabut Neraka!
Aku makin curiga padanya!" gumam
Wulandari kerahkan tenaga untuk
mengatasi rasa sakit pada dadanya.
Tiba-tiba gadis ini memekik tertahan.
Ayu Laksmi cepat berpaling. Gadis
berjubah biru ini pun jadi tercekat.
"Wulandari! Kau terluka dalam.
Bibirmu keluarkan darah...."
"Hem.... Kita harus segera
selesaikan manusia satu itu.
Keberadaannya di tempat ini jelas bukan
satu kebetulan! Jika tidak, bukan saja
dia akan merusak urusan kita, tapi Juga
membahayakan jiwa kita!"
Sitoresmi sejenak tidak percaya
dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi
diam-diam dia merasa lega, karena di
depan sana Joko terlihat tetap tegak
meski sosoknya tersurut ke belakang satu
langkah dan tersenyum-senyum seraya
usap-usap dadanya.
"Siapkan pukulan gabungan 'Kabut
Neraka'!" Tiba-tiba dari arah belakang
terdengar teriakan, membuat Sitoresmi
cepat berpaling.
"Edan! Untuk apa hal itu harus
dllakukan? Apa maksud sebenarnya
Wulandari?! Apakah dia menduga pemuda
itu yang memegang penggalan peta itu?"
gumamnya seraya berkelebat ke arah
Wulandari.
"Sitoresmi! Aku tahu kau tak ingin
manusia itu mampus!" Wulandari telah
mendahului bicara sebelum Sitoresmi buka
mulut. "Tapi tugas adalah di atas
segalanya!"
"Wulandari! Kau jangan salah
sangka. Aku tak ada sangkut paut apa-apa
dengan pemuda Itu. Hanya sangat
disayangkan jika harus mencabut nyawa
orang tanpa hasil yang didapat!"
Wulandari melotot sambil mendengus.
"Perasaan kadangkala membawa
perhitungan semula jadi kacau. Perasaan
seringkali menghanyutkan keyakinan
menjadi keraguan. Sebelum semuanya
membutakan mata dan hatimu, buka matamu
lebar-lebar! Ingat siapa dirimu. Ingat
akan ikrar yang kita ucapkan di hadapan
Guru!"
Ucapan Wulandari membuat Sitoresmi
jadi serba salah. Di satu pihak dia tak
menginginkan si pemuda mengalami nasib
buruk, karena dia yakin, meski ia tahu si
pemuda dapat menahan pukulan 'Kabut
Neraka' Wulandari namun dia belum pasti
bisa menahan gabungan 'Kabut Neraka'.
Sementara di pihak lain, dia harus
singkirkan siapa saja yang coba
menghalangi demi untuk laksanakan tugas
yang dlembankan oieh sang guru.
"Wulandari...," kata Sitoresmi pada
akhirnya. "Apakah kau menduga jika
pemuda itu pemegang penggalan peta yang
kita buru itu?!"
"Melihat usia dan keterangan Guru,
aku memang tidak yakin benar, namun
keberadaannya di tempat ini pasti ada
hubungannya dengan peta itu! Hem....
Kita singkirkan dahulu dia, baru kita
menyelidik seantero tempat ini! Siapkan
gabungan 'Kabut Neraka'!"
Habis berkata, Wulandari kerahkan
tenaga dalam. Di sampingnya Ayu Laksmi
segera pula berbuat sama. Meski agak
enggan, akhirnya Sitoresmi kerahkan pula
tenaga dalamnya.
"Tahan!" di depan sana murid Pendeta
Sinting berteriak. "Aku sungguh tidak
mengerti dengan maksud kalian. Di antara
kita tak ada silang urusan. Adalah aneh
jika kalian benar-benar inginkan
nyawaku. Apakah begitu berharga selembar
nyawaku buat kalian?!"
"Kau tak layak mengerti!" hardik
Wulandari.
"Katakan saja, apakah kau tahu
seluk-beluk sebuah penggalan peta!" kata
Sitoresmi terus terang.
Joko pandangi ketiga gadis di
hadapannya silih berganti.
"Penggalan peta? Peta apa?!"
"Jahanam! Jangan berlagak pilon!
Kami jauh-jauh datang kemari perlu
mengambil penggalan peta itu! Lekas
serahkan pada kami, dan kau boleh angkat
kaki dengan nyawa utuh!" akhirnya si
jubah kuning Wulandari buka maksud
sebenarnya.
"Ah. Aku makin tak mengerti dengan
ucapan kalian. Mula-mula kalian bilang
mencari seseorang. Lalu kini bicara soal
penggalan peta. Sekarang aku bukan saja
tak mengerti tapi jadi bingung...,"
ucapan Joko Sesaat membuat Sitoresmi dan
Ayu Laksmi jadi bimbang. Namun Wulandari
segera menghardlk.
"Jangan jadi ragu karena ucapan
orang! Mana mungkin orang berterus
terang, apalagi dalam urusan besar
begini! Habisi dia!"
Wulandari cepat hantamkan kedua
tangannya ke depan lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'. Di sampingnya, Ayu
Laksmi meski masih tampak ragu-ragu
namun segera pula kirimkan pukulan.
Mungkin tak mau menyakiti hati kedua
saudara seperguruannya, akhirnya
Sitoresmi ikut pula lepaskan pukulan
'Kabut Neraka' meski dengan tenaga tidak
sampai setengahnya.
Begitu masing-masing gadis telah
lepaskan pukulan, terdengar suara deru
keras luar biasa. Enam kabut putih tampak
melesat lalu menyatu di udara. Suasana
berubah terang panas menyengat! Di lain
kejap, kabut putih itu menggebrak ganas
ke arah Pendekar Pedang Tumpul 131!
Melihat ganasnya pukulan, mau tak
mau murid Pendeta Sinting ini terbelalak
besar. Darahnya laksana strap. Namun
ingat akan keselamatan dirinya Joko
cepat siapkan pukulan 'Lembur Kuning'.
Didahului teriakan keras, murid Pendeta
Sinting melesat dua tombak ke udara. Dan
seraya melayang di atas udara, dia
dorongkan kedua tangannya ke arah depan.
Sinar kuning mencorong dengan
keluarkan suara dahsyat dan hawa panas
menderu menyapu ke arah kabut putih.
Sesaat kemudian terdengar dentuman keras
menggelegar di tempat itu.
Sosok Joko terlempar sampai satu
tombak ke belakang. Lalu terduduk di atas
tanah dengan sekujur tubuh tertutup oleh
hamburan tanah yang membumbung ke
angkasa waktu terjadi bentrok pukulan.
Wajah murid Pendeta Sinting ini pucat
laksana kehabisan darah. Beberapa saat
lamanya tubuhnya bergetar hebat. Napas
dan peredaran darahnya seolah tersumbat
hingga untuk sesaat dia megap-megap.
Darah berwarna kehitaman pun terlihat
mengalir keluar dari sela mulutnya
pertanda dia telah terluka dalam.
Di seberang, Wulandari, Sitoresmi,
dan Ayu Laksmi terlihat terhuyung-
huyung. Raut wajah ketiganya tampak
pias. Jubah yang mereka kenakan
berkibar-kibar. Sitoresmi dan Ayu Laksmi
segera dapat menguasai diri meski mereka
berdua merasakan dadanya nyeri. Kedua
tangannya laksana hilang kekuatannya.
Ketika mereka berdua meneliti, kedua
gadis ini jadi melengak kaget. Sepasang
tangan mereka tampak berubah agak merah
kehitaman.
Kalau kedua gadis itu masih bisa
bertahan, tidak demikian halnya dengan
Wulandari. Sosok gadis ini langsung
terbanting begitu terjadi bentrok
pukulan. Hal ini terjadi karena
sebelumnya dia telah terluka dalam.
Hingga waktu terjadi bentrok kedua kali,
dia tak dapat iagi menguasai tubuh. Darah
hitam mengucur kembali dari mulutnya
pertanda lukanya makin parah.
Melihat keadaan saudara
seperguruannya, Sitoresmi dan Ayu Laksmi
yang semula enggan dengan tindakan
Wulandari menjadi berubah.
"Keparat! Kau harus bayar mahal
semua Ini!" teriak si jubah biru Ayu
Laksmi seraya bantingkan sepasang
kakinya. Matanya bernyala-nyala laksana
dikobari api.
Di sebelahnya, meski Sitoresmi tak
rela melihat keadaan Wulandari yang
terluka dalam, tapi dia masih coba
menahan hawa amarahnya. Dia hanya ke-
luarkan gumaman tak jelas dan arahkan
pandangannya pada jurusan lain.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Ayu
Laksmi keluarkan teriakan keras.
Tubuhnya melesat ke depan. Kedua
tangannya bergerak menghantam ke arah
Joko yang mulai bergerak bangkit.
Murid Pendeta Sinting melengak
dengan mata melotot tatkala dari arah
depan menggebrak kabut putih ke arahnya.
Begitu cepatnya lesatan kabut putih
pukulan 'Kabut Neraka' itu, hingga tak
ada kesempatan lag! bagi Joko untuk
selamatkan diri, apalagi kini dia
terluka membuat gerakannya sedikit
lamban.
"Busyet!" keluh Joko dengan mata
meredup. Dia kerahkan tenaga dalam,
laillu geser tubuhnya seraya angkat
kedua tangannya untuk menahan pukulan.
Saat itulah, tiba-tiba terdengar
satu suara tawa mengekeh panjang. Di lain
saat terdengar deruan pelan. Namun
bersamaan dengan itu pukulan 'Kabut
Neraka' yang mengarah mengancam pada
Pendekar 131 tertahan di udara. Bukan itu
saja, kabut putih itu serta-merta
laksana dihantam kekuatan dari atas
hingga kabut itu menukik deras ke bawah.
Bummm!
Tanah muncrat berhambur ke udara
menutupi tempat itu. Saat tanah sirap Ayu
Laksmi dan Sitoresmi sama pelototkan
mata masing-masing. Ternyata Joko telah
lenyap dari tempat itu! Dan di hadapan
mereka terlihat lobang menganga akibat
pukulan 'Kabut Neraka' yang menghantam
tanah.
"Ada seseorang yang menolongnya!
Pasti dia orang yang kita cari!" seru Ayu
Laksmi. "Cepat keJar!"
Tanpa menunggu sahutan, si jubah
biru Ayu Laksmi segera berkelebat ke
jurusan barat, sementara si jubah merah
Sitoresmi melesat ke arah timur.
Wulandari sebenarnya ingin pula
berkelebat, namun karena sekujur
tubuhnya masih terasa sakit, akhirnya
dia memutuskan untuk menunggu di tempat
itu.
* * *
LIMA
ADALAH suatu hal yang luar biasa
jika murid Pendeta Sinting tak dapat
gerakkan tubuh padahal dia merasa tak
satu pun bagian tubuhnya ditotok orang.
Tapi meski dia sudah coba dengan kerahkan
tenaga dalam, tetap saja sia-sia, hingga
pada akhirnya dia hanya diam seraya mem-
perhatikan pada punggung orang yang kini
memanggul tubuhnya seraya melangkah
perlahan. Anehnya, walau terlihat
melangkah pelan, Joko dapat merasakan
siuran angin keras, pertanda orang yang
memanggulnya berkelebat kencang!
Mungkin karena penasaran ingin
tahu, Joko perhatikan sekali lagi lebih
seksama. Mula-mula dia melihat jubah
besar berwarna merah menyala di
bawahnya. Ketika dia melirik ke atas,
tampak oleh matanya bahwa orang yang
sedang membawa dirinya sudah berambut
putih dan hanya sebatas tengkuk.
Joko coba mengingat-ingat. Tiba-
tiba dia terperangah. "Busyet Bukankah
orang ini si nenek itu?"
Yakin akan adanya siapa orang yang
kini melarikannya, Joko segera berkata.
"Nek. Ke mana aku hendak kau bawa pergi?"
Orang yang ditanya tidak menjawab.
Bahkan berhenti pun tidak. Pendekar
Pedang Tumpul 131 ulangi lagi ucapannya
dengan suara agak dikeraskan.
"Nek. Harap jawab kata-kataku...."
Orang yang membawa lari Joko hentikan
langkah. Kepalanya didongakkan.
Tiba-tiba terdengar suara kekehan
tawanya. Namun tiba-tiba tawanya
diputus. Dan sekali gerak, Joko
merasakan tubuhnya melayang setinggi
satu tombak ke atas. Joko coba gerakkan
tubuh untuk menahan tubuhnya yang kini
menukik ke bawah. Tapi murid Pendeta
Sinting Ini terkejut. Tubuhnya masih
belum bisa digerakkan, hingga tanpa
ampun lagi tubuhnya terjerembab di atas
tanah.
"Astaga! Apa maksud sebenarnya
orang tua ini?" kata Joko dalam hati
seraya bergerak hendak bangkit. Namun
lagi-lagi dia tercekat. Tubuhnya kejang
tak bisa digerakkan.
Mendadak di depannya, orang yang
melarikannya yang ternyata seorang
perempuan tua berambut putih sebatas
tengkuk mengenakan jubah merah menyala
dengan mulut memainkan gumpalan tembakau
dan bukan lain adalah Ratu Malam gerakkan
tangan kanannya membuat gerakan seperti
orang mengetuk. Anehnya, bersamaan
dengan itu, Joko dapat kembali gerakkan
anggota tubuhnya.
"Luar biasa nenek ini...," gumam
Joko seraya bangkit berdiri lalu menjura
hormat dan berkata.
"Nek, terima kasih atas
pertolonganmu...."
"Setan jelek! Siapa yang
menolongmu? Hah...?!" Ratu Malam
membentak galak, membuat Joko terkesiap
kaget. Hingga untuk beberapa saat murid
Pendeta Sinting ini diam. Namun ketika
dilihatnya si nenek hendak buka mulut
kembali, Joko buru-buru berkata.
"Nek, bukankah kau yang menulis
pesan itu?! Tapi kenapa yang kutemui
adalah gadis-gadis cantik?! Siapa
mereka, Nek?! Anak-anakmu?! Wah....
Mereka cantik-cantik, tentu kau dulu
cantik seperti mereka!''
Ratu Malam pentangkan sepasang
matanya. Gumpalan tembakau hitam di
mulutnya terlihat keluar masuk.
"Setan ini sama sintingnya dengan
gurunya.... Kalau diladeni ucapannya
akan terus ngelantur!" Mendadak Ratu
Malam katupkan rapat-rapat mulutnya.
Ketika mulut itu bergerak membuka
terdengar bentakannya.
"Aku tanya padamu. Apa gurumu yang
menyuruhmu hingga kau sampai di tempat
tadi bertemu denganku?!"
"Bagaimana ini? Apa harus kukatakan
terus terang tentang tugas ini?!"
"Hai, Setan Jelek! Lekas jawab
tanyaku!"
"Apa hendak dikata. Aku butuh orang
tempat bertanya. Siapa tahu dia nanti
bisa memberi petunjuk...," pikir Joko
dalam hati. Lalu berujar.
"Eyang Guru menugaskan aku untuk
menyelidik ke Pulau Biru. Hanya sayang
dia tak mengatakan padaku di mana pulau
itu berada. Kalau Nenek tahu, harap sudi
tunjukkan padaku ke mana aku harus
menuju"
Mendadak Ratu Malam goyang-
goyangkan kepala. Lalu tertawa
bergelak-gelak. "Urusan gila itu
nyatanya sudah diendus banyak orang.
Hem.... Setan jelek. Ternyata kau anak
manusia yang beruntung!"
"Beruntung?" ulang Joko Sableng
seraya gelengkan kepala. "Justru aku
ketiban sial. Menuruti pesan yang kau
tinggalkan, yang kutemui ternyata
tuduhan yang tak kumengerti. Untung kau
segera datang. Jika tidak, mungkin aku
sudah berkalang tanah. Apakah itu
dikatakan beruntung?!"
"Sudah. Jangan banyak berkeluh.
Sekarang aku tanya padamu. Apakah kau
masih hendak teruskan perjalanan ke
Pulau Biru?"
"Karena itu tugas, lebih dari itu
karena tugas ini demi untuk
menyelamatkan rimba persilatan, apa pun
yang akan terjadi, aku tetap akan
teruskan perjalanan!"
"Bagus! Semangatmu besar, nyalimu
masih berkobar. Urusan Pulau Biru memang
harus segera dituntaskan. Kitab Serat
Biru harus diselamatkan dari
tangan-tangan yang tak bertanggung
jawab!" ujar Ratu Maiam. Perempuan tua
berjubah merah menyala ini selinapkan
tangan ke balik jubahnya. Ketika ta-
ngannya ditarik keluar iagi, tampaklah
selembar kulit berwarna coklat lusuh.
"Setan Jelek. Dengar baik-baik!
Sampai hari ini belum ada manusia yang
tahu di mana sebenarnya Pulau Biru itu
berada. Orang-orang rimba persilatan
selama ini hanya dengar namanya namun tak
tahu di mana" Sejenak Ratu Malam hentikan
ucapannya sebelum akhirnya melanjutkan.
"Kulit jelek ini dua puluh tahun
tersimpan padaku. Dan kau adalah orang
yang kutunggu selama kurun masa itu untuk
menerimanya!"
"Eh. Jadi kaulah orang yang dicari
para gadis-gadis itu. Mereka sebut-sebut
penggalan peta. Apakah kulit itu memang
penggalan peta?!"
"Tak salah. Ikuti apa yang tertera
dalam peta ini. Dan ingat. Jaga kulit ini
sebagaimana kau jaga dirimu sendiri.
Karena sekali kulit ini jatuh ke tangan
orang lain, berarti tugasmu lebih berat
Iagi!"
"Nek. Kalau boleh tahu, apakah kulit
Itu ada hubungannya dengan Kitab Serat
Biru?"
"Aku tak bisa jawab dengan pasti.
Jika kau nanti telah mendapatkan
penggalan peta ini dengan sempurna, di
sanalah jawaban itu akan kau peroleh!"
"Jadi...?"
"Seperti yang kau lihat. Kulit ini
hanyalah penggalan. Kau dituntut untuk
mencari penggalannya!"
"Tapi Nek? Aku ditugaskan untuk
menyelidik ke Pulau Biru. Bukan mencari
penggalan peta!"
Si nenek pelototkan sepasang
matanya yang sipit. "Sudah kukatakan.
Tak seorang pun sampai sekarang ini yang
tahu di mana beradanya Pulau Biru. Dan
hanya dengan sempurnanya penggalan peta
ini, kau baru dapat sampai ke Pulau Biru.
Tapi ingat. Aku tak bisa menjamin apakah
Pulau Biru itu masih ada hubungannya
dengan Kitab Serat Biru atau tidak!"
Habis berkata begitu, Ratu Malam
ulurkan kulit warna coklat pada Pendekar
131. Joko segera menyambuti kulit itu.
Untuk beberapa lama murid Pendeta
Sinting perhatikan apa yang tertera
dalam kulit coklat di tangannya.
"Melihat bentuknya, sebelum kulit
ini ada kulit lain yang telah dipenggal.
Kulit ini sudah penggalan. Bukan yang
pertama...," kata Joko dalam hati lalu
katakan apa yang ada dalam benaknya pada
si nenek.
"Dugaanmu benar. Sebelum kulit ini
ada penggalan sebelumnya. Tapi kau tak
perlu cemaskan hal itu. Kau mulai saja
perjalanan dari yang tertera dalam kulit
itu...."
"Hem.... Aku tahu sekarang.
Jangan-jangan penggalan pertama kulit
ini ada pada gadis-gadis cantik yang
mencarimu itu!"
"Itu bisa saja. Hanya yang
kuherankan, kalau memang gadis-gadis itu
memegang penggalan yang pertama, dari
mana mereka dapatkan? Apakah mungkin
Jalu Paksi salah berikan pada orang?
Padahal kurasa dia sudah tahu, kepada
siapa sebenarnya kulit itu harus
diberikan...," Ratu Malam bergumam
seolah berkata pada dirinya sendiri.
"Nek. Siapa Jalu Paksi...?" "Dialah
pemegang penggalan kuiit yang pertama.
Kau harus hati-hati. Dengan berhasilnya
para gadis itu sampai di tempat mana kau
tadi berada, berarti mereka memang telah
mendapatkan penggalan kulit yang pertama
dan tentu yang asli...," Ratu Malam
menghela napas panjang. "Aku mendapat
firasat sesuatu telah terjadi pada Jalu
Paksi jika sampai kulit itu jatuh pada
orang yang tidak ditentukan.."
"Jadi kulit-kulit itu memang harus
diberikan pada orang yang telah
ditentukan?" Joko ajukan tanya.
Ratu Malam mengangguk perlahan.
"Dengarlah. Aku mempunyai empat
saudara seperguruan. Menjelang
meninggalnya, guru kami memberikan
penggalan kulit pada satu persatu
muridnya dengan pesan kelak penggalan
kulit itu harus diberikan pada seseorang
yang mempunyai ciri tertentu...."
"Apakah ciri itu, Nek...?" "Orang
itu berhasil mendapatkan pedang pusaka
yang disebut Pedang Tumpul 131!"
Joko jadi terkejut. Tanpa sengaja
tangan kanannya meraba ke pinggang, di
mana tersimpan Pedang Tumpul 131. Dia
bernapas lega karena pedang itu masih ada
di sana.
"Kami tak tahu, kenapa kulit itu
dipenggal-penggal demikian rupa. Kami
juga tak pernah tanya, apa yang terpendam
dalam Pulau Biru. Yang kami ketahui
adalah, jika penggalan-penggalan kulit
itu digabung, maka di situ akan tertera
peta yang berakhir pada Pulau Biru...."
"Tapi Nek. Orang-orang rimba
persilatan kini tampaknya sedang dibikin
gila dengan urusan Kitab Serat Biru yang
menurut kabar tersimpan di dalam Pulau
Biru!"
"Kau tak usah kaget. Urusan ini
bukan sekarang saja diributkan orang.
Jauh sebelumnya, urusan Kitab Serat Biru
telah menjadi buah bibir. Bahkan telah
menelan banyak korban. Kalau sekarang
kitab itu kembali diributkan, mungkin
ada seseorang yang mengail di air keruh.
Mau mengambil keuntungan dengan tanpa
bersusah payah. Mungkin juga untuk
memancing keluarnya beberapa orang tokoh
yang diduga banyak mengetahui tentang
seluk-beluk kitab itu. Karena kudengar
saat ini telah muncul beberapa orang yang
justru dikabarkan jika orang itu telah
tewas! Hem.... Hari ini tugasku
menyampaikan penggalan kuiit itu telah
kulaksanakan. Apa yang sekarang hendak
kau lakukan terserah padamu. Hanya kalau
mau kusarankan, carilah penggalan kulit
selanjutnya!"
Habis berkata, Ratu Malam putar
diri. Tunggu!" tahan Joko. "Ke mana aku
harus mencari pemegang penggalan kulit
lainnya?"
"Ikuti yang tertera dalam peta. Di
sana kau akan menemukan orang yang kau
cari! Karena Guru kami telah menentukan
di mana kami harus menunggu orang yang
telah ditentukan itu. Selamat jalan...."
Sebenarnya Joko masih hendak
menahan kepergian si nenek. Namun belum
sampai ucapannya keluar, si nenek telah
berkelebat lenyap.
"Busyet! Aku sampai lupa menanyakan
siapa namanya...."
Joko memperhatikan sejenak pada
peta yang tertera dalam kulit coklat di
tangannya. "Hem.... Aku harus mulai dari
tempat gadis-gadis tadi berada....
Mudah-mudahan mereka telah pergi."
* * *
ENAM
PENDEKAR 131 terkesiap dan segera
hantamkan kedua tangannya memapak
pukulan yang mengarah padanya. Terdengar
dentuman menggelegar menyentak tempat
itu.
Di depan sana, dari mana tadi
pukulan gelap bersumber terdengar seruan
tertahan. Lalu sesosok tubuh membuat
gerakan berjumpalitan di udara sebelum
akhirnya menjejak tanah dengan kaki
terkembang sepuluh langkah di hadapan
Joko Sableng.
Dia adalah seorang gadis berparas
cantik mengenakan jubah warna biru.
Tubuhnya sesaat bergetar, tapi kejap
kemudian terdengar suaranya. "Mana
dia?!"
Joko memandang tajam pada gadis
cantik di hadapannya. Belum sampai murid
Pendeta Sinting buka mulut, si gadis yang
bukan lain adalah Ayu Laksmi telah
membentak kembali.
"Cepat katakan. Atau kurobek
mulutmu!"
"Aneh. Siapa yang kau maksud? Aku di
sini sendirian!"
Ayu Laksmi menatap sejenak pada
Joko. Lalu berpaling dengan mata menyapu
berkeliling tak berkesiap. Dalam hati si
gadis berkata. "Bayangan kelebatannya
masih dapat kutangkap. Sayang,
gerakannya terlalu cepat hingga kalau
kukejar pun hanya sia-sia! Tapi pasti
pemuda ini tahu siapa dan di mana orang
tadi berada. Aku hampir yakin. orang
tadilah yang selama ini kucari!"
"Kuberi waktu untuk berpikir.
Katakan di mana orang tadi atau
kutamatkan riwayatmu!" sentak Ayu
Laksmi.
Joko geleng-geleng kepala seraya
tersenyum.
"Sudah kukatakan, aku sedari tadi
berada sendirian di tempat ini! Kalau
tidak percaya...."
"Diam!" hardik Ayu Laksmi habis
kesabaran. "Jangan kira kau bisa
menipuku. Dan aku tahu kau masih terluka
dalam. Jangan sampai aku gelap mata
karena kau keras kepala!"
Karena Joko tak segera menjawab,
kemarahan Ayu Laksmi tak dapat ditahan
Iagi. "Baik. Rupanya kau memilih tamat
riwayat daripada buka mulut!"
Wuutt! Wuuutt!
Ayu Laksmi sentakkan kedua
tangannya ke depan, lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'. Hingga saat itu juga dari
kedua tangannya melesat kabut putih
hamparkan hawa panas dan suara
menggidikkan!
Meski murid Pendeta Sinting masih
merasakan sakit pada dadanya, namun dia
tak tinggal diam. Serta-merta kedua
tangannya diangkat laiu didorong ke
depan kirimkan pukulan sakti Lembur
Kuning.
Tempat itu serentak terang-
benderang dan panas luar biasa. Sinar
kuning meiesat keluarkan deru dahsyat.
Di kejap lain terdengar ledakan keras.
Disusul terdengar suara pekikan dan
seruan tertahan.
Dua sosok tubuh tampak saling mental
masing-masing ke belakang.
Buk! Buk!
Joko terlihat terhuyung-huyung ke
belakang. Sosoknya bergoyang-goyang
dengan tangan gemetar. Sepasang matanya
bolak-balik mengerjap meredup setengah
membuka dengan bibir bergetar. Sementara
di depan sana, Ayu Laksmi
terhuyung-huyung sebelum akhirnya roboh
terjengkang di atas tanah. Tapi gadis
cantik ini cepat bergerak bangkit.
"Aku yakin pemuda itu telah cidera
waktu bentrok dengan pukulan gabungan
'Kabut Neraka'. Tapi aneh jika dia masih
bisa bertahan dan dapat menahan pukulan
'Kabut Neraka'ku! Kalau tidak segera
kuhabisi, bukan saja aku yang akan
mendapat celaka, tapi kelak dia bisa jadi
penghalang!" Berpikir sampai di situ,
Ayu Laksmi lipatkan tenaga dalam.
Sepasang matanya dipejamkan. Kedua
tangannya ditakupkan di depan dada.
Tiba-tiba dari sekujur tubuh gadis
berjubah biru ini keluarkan asap tipis.
Dan saat kedua kakinya dibantingkan ke
atas tanah, dari sepasang matanya yang
tiba-tiba dipentangkan melesat dua larik
sinar biru. Tak ada suara yang terdengar
bersamaan dengan melesatnya sinar biru
dari sepasang mata si gadis. Tapi pada
saat yang sama, tanah di depan si gadis
membentuk jalur memanjang dan rengkah
selebar setengah tombak! Rengkahan itu
terus memanjang dengan cepat ke arah
Pendekar 131!
"Celaka! ilmu apa yang dimiliki
gadis ini? Aku telah terluka, tak mungkin
aku kerahkan tenaga dalam. Hem....
Terpaksa aku pergunakan Pedang Tumpul
131...."
Joko segera selinapkan tangan ke
balik pakaiannya untuk mencabut Pedang
Tumpul 131. Tapi belum sampai senjata
mustika itu keluar, dari semak belukar
terdengar gumaman. Karena sumber suara
gumaman jauh dari tempatnya Ayu Laksmi,
gadis ini sama sekali tak mendengar.
Namun tidak demikian halnya dengan
Pendekar 131. Dia dapat dengan jelas
mendengar gumaman itu.
"Sinar Setan. Lekas menyingkir.
Pukulan itu amat berbahaya!"
Meski tak tahu siapa adanya orang
yang bergumam, namun isyarat ucapannya
menandakan bahwa orang itu tahu betul
akan pukulan yang kini melabrak ke arah
Joko.
Joko urungkan niat cabut senjata.
Dan secepat kilat dia menyingkir ke
samping dengan gulingkan tubuh. Saat
itulah dari semak belukar melesat keluar
dua larik sinar merah.
Bummmm!
Rengkahan tanah yang terus bergerak
terhenti lalu terdengar dentuman keras.
Hamburan tanah membubung ke udara.
Tempat itu bergetar hebat seolah ditimpa
gelombang besar. Tubuh murid Pendeta
Sinting terlihat mental dan untuk kedua
kalinya jatuh bergulingan di atas tanah.
"Cepat menyingkir ke arah timur!"
lagi-lagi terdengar gumaman.
Joko pentangkan sepasang matanya.
Karena saat itu hamburan tanah masih
menutupi pemandangan, dia belum
memastikan siapa adanya orang yang
bergumam. Namun jelas dia dapat
memastikan bahwa suara itu adalah suara
seorang perempuan.
"Bukan. Suara itu bukan suara si
nenek. Tapi siapa?"
Selagi Joko bertanya-tanya, kembali
terdengar teguran.
"Waktumu cuma sedikit. Selagi masih
gelap, lekas menyingkir!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Joko
kerahkan sisa tenaganya. Lalu berkelebat
ke arah yang dikatakan orang dari
kegelapan.
Begitu hamburan tanah sirap, di
depan sana Ayu Laksmi tampak
bergerak-gerak bangkit. Wajah gadis ini
pucat pasi. Dari mulutnya terlihat darah
mengalir pertanda dia terluka cukup
dalam.
"Jahanam! Lagi-lagi ada orang yang
menolongnya! Keparat siapa gerangan yang
berani ikut campur Ini? Adakah orang
pemegang penggalan peta itu?!"
Ayu Laksmi bergerak duduk.
Tiba-tiba sepasang matanya mendelik
besar memperhatikan ke depan. Dadanya
berdebar keras. Mulutnya yang berdarah
komat-kamit.
Di depan sana, di mana pukulannya
terhenti, tampak lobang besar menganga.
Di belakangnya tampak dua jalur
memanjang sampai gerumbulan semak
belukar.
"Aku sepertinya mengenali pukulan
yang menahan pukulan 'Sinar Setan'ku.
Mungkinkah dia...? Tapi apa mungkin?"
Selagi Ayu Laksmi didera berbagai
pertanyaan, dari arah belakangnya
berkelebat sesosok bayangan.
“Apa yang terjadi? Kau terlihat
terluka....' Ayu Laksmi berpaling. Di
hadapannya tegak seorang gadis berjubah
merah yang kini menatapnya dengan
pandangan cemas. Untuk sesaat, Ayu Laks-
mi memperhatikan sosok di hadapannya
seolah baru saja dikenalnya.
'Ayu Laksmi, kenapa kau memandangku
begitu rupa? Apa sebenarnya yang telah
terjadi?" Gadis berjubah merah yang
bukan lain adalah Sitoresmi ajukan
teguran karena jengah dipandangi
demikian rupa.
"Ah, tidak mungkin. Mungkin orang
lain yang melakukannya...," kata Ayu
Laksmi dalam hati. Lalu palingkan
kepalanya pada jurusan lain dan berkata.
"Aku berhasil menemukan pemuda yang
kita kejar. Tapi lagi-lagi ada orang yang
menolong. Kini dia lenyap lagi!
Tapi...."
"Tapi apa...?!" sahut Sitoresmi.
"Aku sepertinya dapat mengenali pukulan
jahanam yang menolong itu!"
Sitoresmi palingkan kepala
memandang pada jurusan timur. Sesaat
kepalanya didongakkan, lalu terdengar
ucapannya.
"Itukah sebabnya kau memandangku
seolah menaruh curiga?!"
"Aku tahu pasti pukulan apa yang
menahan pukulan 'Sinar Setan'-ku!
Dan...."
"Ayu Laksmi!" potong Sitoresmi.
"Rimba persilatan bukan dunia sempit.
Pukulan sakti 'Sinar Setan' bukan hanya
kita saja yang memiliki. Jadi aneh
kedengaran di telingaku jika nada
kata-katamu menaruh curiga padaku!"
"Aku tidak curiga padamu. Hanya aku
heran...." Sitoresmi tertawa perlahan.
"Aku tahu. Kau menaruh curiga padaku.
Hem.... Terserah padamu. Hanya
kuingatkan. Jangan bikin jurang
perpecahan antara kita hanya gara-gara
kecurigaan!"
Mendengar ucapan Sitoresmi, Ayu
Laksmi terdiam untuk beberapa lama. Saat
itulah sesosok bayangan berkelebat dan
tahu-tahu berdiri di sebeiah Sitoresmi.
Dia bukan lain adalah Wuiandari.
Setelah ditinggal sendirian oleh
Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang berkelebat
mengejar Joko, Wulandari kerahkan tenaga
untuk kembalikan keadaan tubuhnya.
Setelah dirasa tubuhnya membaik, gadis
ini merasa kebingungan. Akankah ikut
berkelebat mengejar atau diam menunggu.
Dia mondar-mandir sendirian dengan
berpikir mencari jalan terbaik yang
harus ditempuh. Saat itulah dia dengar
satu dentuman keras dari arah barat, arah
mana tadi Ayu Laksmi menuju. Tapi
Wulandari masih juga belum beranjak dari
tempatnya. Dia seolah masih ingin
meyakinkan. Dan tatkala tak lama
kemudian mendengar lagi ledakan keras,
dia cepat berkelebat ke arah barat.
"Orang yang kita kejar berhasil
lolos!" ujar Sitoresmi sebelum Wulandari
buka mulut untuk bertanya.
Sepasang mata Wulandari memandang
silih berganti pada Sitoresmi dan Ayu
Laksmi. Sekali pandang tampaknya gadis
berjubah kuning ini telah menangkap ada
sesuatu antara kedua gadis di sebelanya.
'Ada apa di antara kalian?! Ingat.
Jangan sampai ada sesuatu yang
tersembunyi di antara kita bertiga...!"
Sitoresmi dan Ayu Laksmi sama
bentrok pandangan. Namun sesaat kemudian
Ayu Laksmi berpaling pada jurusan lain
sambil berkata.
"Aku hampir saja berhasil menangkap
jahanam itu. Tapi tiba-tiba seseorang
menahan pukulan 'Sinar Setan' yang
kulepaskan! Dan aku tahu pasti, aku
mengenali pukulan yang menahan
seranganku...."
"Dia menuduh akulah yang menahan
pukulannya, padahal kami berdua
berkelebat bersilangan jalan. Dia ke
arah barat, aku ke arah timur!"
"Sudah. Tak perlu diteruskan
persoalan ini!" damprat Wuiandari dengan
suara keras. "Sekarang kita berpencar.
Besok pagi kita bertemu di tempat ini
kembali! Aku kini yakin. Pemuda itu ada
hubungannya dengan penggalan peta itu!
Ingat. Jangan sampai ada yang bertindak
menyimpang dari rencana semula, Apalagi
coba-coba berkhianat!"
Habis berkata demikian, Wulandari
bergerak menuju ke arah utara. Ayu Laksmi
melirik pada Sitoresmi.
"Mudah-mudahan dugaanku keliru. Dan
memang orang lain yang melakukannya...,"
gumam Ayu Laksmi lalu berkata.
"Sitoresmi. Kuharap kau melupakan apa
yang baru saja terjadi...."
Sitoresmi tak menyahut. Mulutnya
terkancing rapat dengan pandangan mata
jauh ke depan. Dan ketika dia menunggu
agak lama tak ada suara lagi yang
terdengar, gadis berjubah merah ini
berpaling. Ternyata Ayu Laksmi sudah
tidak ada di tempat itu.
Sitoresmi menarlk napas
dalam-dalam. Setelah berpikir sejenak
akhirnya dia berkelebat ke arah timur.
***
TUJUH
MURID Pendeta Sinting kerahkan sisa
tenaga untuk dapat berlari sekencang
yang bisa diperbuatnya. Nyeri pada dada
dan sekujur tubuh ngilu tak
dipedulikannya. Dia bukan saja merasa
jika dikejar oleh orang, lebih dari itu,
dia khawatir jika penggalan kulit yang
kini di tangannya sampai jatuh pada orang
lain. Karena dia sadar, dia kini terluka
dalam. Dan yakin bahwa para gadis yang
baru saja bentrok dengannya menginginkan
sekaligus mencari penggalan kulit di
tangannya.
Namun karena lukanya cukup parah,
tak lama kemudian dia merasakan dadanya
sesak dan sepasang kakinya terasa panas
laksana dipanggang bara. Kejap kemudian
sepasang matanya berkunang-kunang.
Hingga meski dengan perasaan cemas
akhirnya Joko hentikan larinya.
"Celaka! Kalau sampai gadis tadi
benar-benar mengejarku maka bukan saja
jiwaku terancam tapi kulit ini bisa jatuh
ke tangannya!" gumam Joko lalu memandang
berkeliling seraya pelototkan sepasang
matanya.
Ternyata dia berada pada satu tempat
terbuka yang jarang ditumbuhi pohon dan
semak belukar. Sedangkan gugusan bukit
tampak masih jauh dari tempatnya berada.
Tapi karena gugusan bukit itu
satu-satunya tempat yang diyakini bisa
untuk sembunyi selamatkan diri dari
kejaran orang, maka meski dadanya masih
sulit untuk dibuat bernapas dan sepasang
kakinya semakin terasa panas dia kuatkan
hati untuk melangkah ke arah gugusan
bukit.
Begitu kakinya menapak gugusan
bukit, sepasang kakinya goyah, tak
berselang iama tubuhnya limbung dan
roboh di kerapatan semak gugusan bukit.
Murid Pendeta Sinting ini pejamkan
sepasang matanya dan kerahkan hawa murni
untuk mengatasi hawa panas yang kini
mulai menjalar ke segenap tubuhnya.
Namun Joko jadi tercekat sendiri
tatkala hawa murni yang dikerahkan
seakan tertahan oieh sebuah kekuatan
hingga mental, dan ini berakibat fatal
bagi dirinya karena darah lebih banyak
keluar dari mulutnya.
"Edan! Mengapa bisa begini?" tanya
Joko seraya melirik pada bagian kakinya
yang terasa makin panas. Tiba-tiba dia
berseru tertahan. Ternyata kakinya
berubah warna agak kehitaman! Dan di
sana-sini terlihat menggembung!
Sebenarnya waktu terjadi bentrok
antara Joko dengan Ayu Laksmi, tanpa
disadari oleh Joko, saat Ayu Laksmi
lancarkan pukulan sakti 'Sinar Setan'
meski Joko sempat gulingkan tubuh
selamatkan diri, namun tak urung
sepasang kakinya tersambar pukulan si
gadis. Joko memang tidak pedulikan,
karena saat itu dia tidak merasakan
apa-apa. Inilah kehebatan pukulan 'Sinar
Setan' yang dilepaskan Ayu Laksmi.
Pukulan itu akan menghantam sasaran
dengan tanpa mencederai dan lawan tidak
akan merasakan apa-apa. Namun dalam
jarak beberapa saat kemudian, orang yang
terkena pukulan 'Sinar Setan’ akan
merasakan tubuhnya panas luar biasa.
Lalu tubuhnya akan menggembung laksana
orang dipanggang dalam api. Kejap
kemudian, gelembung itu akan pecah
berkeping-keping semburkan darah hitam!
"Celaka!" desis Pendekar 131 dengan
perasaan khawatir. Dia tak berani Iagi
kerahkan tenaga untuk mengatasi rasa
panas di tubuhnya. Namun dia tak mau
begitu saja rasa sakit yang menjalari
tubuhnya semakin menyiksa. Maka dia
putar tubuh membalik dengan sepasang
mata ditebar ke seantero gugusan bukit.
Saat itulah telinganya mendengar
gemeretak ranting diinjak orang.
Serta-merta murid Pendeta Sinting
beringsut dengan sejajarkan tubuh ke
tanah. Sepasang matanya dipentangkan
lebar-lebar memandang tak berkedip ke
arah datangnya suara ranting. Namun dia
melengak karena dia tak menangkap adanya
orang!
Menangkap adanya bahaya, lupa akan
keadaan dirinya yang terluka dalam,
murid Pendeta Sinting kerahkan tenaga
dalam. Serta-merta dia merasakan
tubuhnya laksana disengat, meski dia
takupkan telapak tangannya, suara
erangannya masih terdengar. Tubuhnya
bergetar hebat. Dan tak lama kemudian
kepalanya jatuh lunglai di atas tanah.
Lalu segalanya menjadi gelap!
Bersamaan dengan itu, satu bayangan
berkelebat dan tahu-tahu berdiri di
samping murid Pendeta Sinting dengan
sepasang mata memandang tajam perhatikan
sekujur tubuhnya yang mulai kehitaman
dan menggembung.
"Astaga! Terlambat sedikit nyawanya
tidak akan tertolong...," gumam orang
yang baru datang. Ternyata dia adalah
seorang perempuan. Wajahnya tidak bisa
dikenali karena ditutup dengan cadar
berlobang kecil-kecil berwarna biru.
Pada punggung orang ini terlihat punuk
besar. Pada bagian tubuhnya yang
terlihat tampak diberi pewarna hitam.
Perempuan berpunuk besar jongkok di
samping tubuh Joko. "Untung tubuhnya
tahan. Tapi jika dibiarkan saja paling
bisa bertahan sampai matahari terbenam."
Si perempuan berpunuk mengeluarkan
kantong dari balik pakaiannya. Dari
dalam kantong dia keluarkan butiran
kecil berwarna hitam. Kepala Joko yang
lunglai di atas tanah diangkat dan
dibalikkan. Dengan sedikit menekan kedua
pipinya, mulut Joko terbuka. Butiran
hitam segera dimasukkan. Tak selang
lama, si perempuan berpunuk keluarkan
bungkusan dari dalam kantong.
Bungkusan segera dibuka. Ternyata
berisi serbuk berwarna putih. Serbuk
putih segera ditebar ke seluruh tubuh
Joko dengan tangan satunya membuka
sebagian pakaiannya. Perubahan segera
terlihat. Gelembung-gelembung pada
tubuh Joko perlahan-lahan mengempis. Dan
perlahan-lahan pula warna kulitnya yang
agak kehitaman berubah kemerahan
kembali.
Si perempuan berpunuk menarik napas
lega. Dia lalu pejamkan sepasang
matanya. Telapak tangannya segera
ditempelkan ke punggung Joko salurkan
hawa murni.
Beberapa saat berlalu. Si perempuan
berpunuk tarik kedua tangannya dari
punggung Joko. Seraya menghela napas,
dia usap keringat yang membasahi
lehernya. Sepasang mata dari balik cadar
menatap memperhatikan sekujur tubuh di
depannya dengan perdengarkan gumaman tak
jelas.
Mendadak tangan kanan si perempuan
berpunuk bergerak ke arah punggung Joko.
Dari punggung di mana tersimpan Pedang
Tumpul 131, si perempuan keluarkan
senjata mustika itu.
Untuk sesaat sepasang mata di balik
cadar si perempuan menatap tak berkedip
pada pedang yang kini telah dikeluarkan
dari sarungnya. Saat terlihat guratan
angka 131 dan bersitan kuning mencorong,
si perempuan tersentak kaget.
"Astaga! Aku memang belum pernah
melihat senjata ini. Tapi aku yakin, ini
adalah pedang yang beberapa tahun silam
sempat membuat rimba persilatan geger.
Pedang Tumpul 131. Hem.... Jadi pemuda
ini adalah manusia yang bergelar
Pendekar Pedang Tumpul 131...."
Setelah memasukkan pedang kembali
pada balik pakaian Joko, si perempuan
berpunuk bergerak bangkit, kepalanya
berputar sejenak perhatikan keadaan
sekeliling.
"Hem.... Tempat ini kurasa masih
aman dari jangkauan tangan orang.... Dan
aku harus segera meninggalkan tempat
ini...."
Si perempuan berpunuk bangkit
berdiri. Kepalanya dipaiingkan dan
menatap sekali lagi pada tubuh serta muka
Pendekar 131. Lagi-iagi terdengar
gumaman dari mulutnya sambil kepalanya
bergerak menggeleng perlahan. Sesaat
kemudian perempuan ini balikkan tubuh
dan melangkah pergi.
"Tunggu!"
Mendadak satu suara menahan dari
arah belakang, membuat perempuan
berpunuk putar diri. Di depan sana
dilihatnya tubuh Joko bergerak-gerak
hendak bangkit, sementara kepala dan
sepasang matanya menghadap ke arah si
perempuan dengan mulut membuka hendak
ucapkan kata-kata lagi.
"Harap jangan bergerak dulu...,"
ujar si perempuan dengan masih tegak di
tempatnya.
"Terima kasih.... Kau telah
menolongku. Boleh aku tahu, siapa kau?"
Si perempuan berpunuk tertawa
perlahan seraya gelengkan kepaia.
"Siapa aku tak begitu penting
bagimu. Aku merasa lega jika kau telah
baik kembali. Aku masih punya urusan.
Kelak semoga kita bisa bertemu lagi...."
"Ah. Aku merasa kecewa. Selain tak
dapat mengetahui siapa namamu, aku juga
tak bisa mengenali wajahmu. Hem....
Kalau kau keberatan sebutkan nama,
bagaimana kalau kuminta kau singkapkan
barang sejenak cadar penutup wajahmu
agar aku dapat mengenal meski tak tahu
namamu?"
Seraya berkata, perlahan-lahan Joko
bergerak duduk. Dia masih merasakan
sedikit nyeri pada dadanya, tapi sudah
jauh berkurang dari sebelumnya.
Di seberang, mendengar ucapan Joko,
si perempuan berpunuk kembali gelengkan
kepala.
"Untuk sementara ini, biarlah kau
mengenal dan mengetahui diriku
sebagaimana adanya yang kau lihat saat
ini. Hanya kupesan. Kau harus lebih
berhati-hati. Beberapa orang kini sedang
mengejarmu. Dan kusarankan jika
lanjutkan perjalanan, hindari arah utara
dan barat. Nah, Pendekar Pedang Tumpul
131, selamat tinggal...."
Joko Sableng terkesiap melihat
orang tahu siapa dirinya. Dia coba
mengenali siapa adanya si perempuan
dengan memandang dari atas sampai bawah.
Tapi untuk beberapa saat dia tak dapat
menemukan jawaban. Sementara perempuan
berpunuk telah putar diri dan kembali
hendak melangkah tinggalkan tempat itu.
Namun lagi-lagi langkah si perempuan
tertahan tatkala dia dengar sebuah
seruan dari belakangnya.
"Perempuan bercadar! Kau seolah
tahu apa yang kualami. Apakah kau masih
ada hubungannya dengan nenek berjubah
merah yang tadi juga sempat menolongku?"
Tanpa berpaling Iagi, perempuan
berpunuk gelengkan kepala. Lalu berujar
pelan. "Aku tak tahu dan tak mengenal
orang yang kau sebut...."
"Aneh. Dua kali aku bertemu orang
yang menolong tapi gagal kuketahui
namanya...," gumam Joko seraya
geleng-geleng kepala. Dia hendak buka
mulut untuk berucap lagi. Namun suaranya
terputus tatkala di depan sana si
perempuan berpunuk ternyata telah tidak
ada lagi!
Hanya sesaat setelah perempuan
berpunuk berlalu, mendadak semak belukar
tujuh langkah di samping Joko bergerak
menguak. Satu bayangan berkelebat dan
tahu-tahu di hadapan Pendekar 131 tegak
sesosok tubuh!
* * *
DELAPAN
SOSOK ini adalah seorang perempuan.
Mengenakan pakaian warna biru tipis dan
ketat yang bagian dadanya dibuat sangat
rendah hingga sebagian kulit payudaranya
yang kencang putih terlihat dengan
jelas. Rambutnya panjang bergerai dengan
bulu mata lentik dan sepasang mata bulat
tajam. Bibirnya merah ditingkah dengan
hidung sedikit mancung. Walau perempuan
ini tidak muda Iagi, namun paras wajahnya
sangat cantik, bahkan kelihatan lebih
muda dari usia sebenarnya.
"Ratu Pemikat...!" seru Pendekar
131 dalam hati dengan tengkuk merinding.
Sepasang matanya perhatikan perempuan
berparas cantik di hadapannya dengan tak
berkesiap.
"Tenagaku belum pulih betul. Dan
perempuan ini pasti ingin meneruskan
urusan lama...."
Perempuan berpakaian biru tipis dan
memang Ratu Pemikat adanya perdengarkan
tawa panjang. Tiba-tiba suara tawanya
diputus. Kepalanya disentakkan
berpaling ke arah jurusan lain.
"Pendekar 131! Bentangan dunia
terlalu sempit untuk tempatmu
berlindung. Kematian tak akan berada
jauh dari sepasang kakimu! Tapi,
kematian itu akan menjauh malah kau bisa
merasakan kenikmatan yang kau inginkan
jika kau serahkan Pedang Tumpul 131
padaku! Kau mendengar ucapanku, kau
tidak tuli! Apa jawabmu?!"
Ucapan Ratu Pemikat alias Dewi
Asmara untuk beberapa saat membuat murid
Pendeta Sinting menjadi tegang. Dia
menyadari bahwa dirinya masih terluka
dalam meski sudah berkurang rasa
sakitnya. Namun karena telah mengetahui
siapa adanya perempuan di hadapannya,
mau tak mau Pendekar 131 harus berpikir
dua kali untuk terlibat bentrok dengan si
perempuan.
Karena yang ditanya tidak memberi
jawaban, Ratu Pemikat berpaling. Dari
hidungnya keluar suara dengusan keras.
Lalu dia membentak.
"Pendekar 131! Aku telah buang waktu
banyak. Aku tak mau perjalanan ini
sia-sia. Kalau kau tak suka buka mulut,
lekas serahkan apa yang kuminta! Dan kau
bisa tinggalkan tempat ini!"
Seraya berkata, Ratu Pemikat
ulurkan tangan kanannya membuat gerakan
seperti orang meminta.
Setelah dapat menguasai diri, Joko
sunggingkan senyum di mulut. Setelah
meraba pada pinggang di mana tersimpan
pedangnya, murid Pendeta Sinting ini
berujar.
"Aku heran. Jauh-jauh kau melakukan
perjalanan hanya untuk meminta barang
yang bukan milikmu. Apakah tidak ada
barang lain yang menarik hatimu selain
benda yang kau minta itu?!"
"Sekarang bukan saatnya untuk
tawar-menawar. Serahkan saja apa yang
kuminta dengan baik-baik. Aku tahu kau
dalam keadaan terluka!"
Terkesiap juga Joko mengetahui Ratu
Pemikat tahu keadaan dirinya. Namun Joko
tak hendak unjukkan perubahan wajah.
Bahkan dia kembali tersenyum sambll
usap-usap dadanya. Lalu tangannya
bergerak ke arah pinggang dan membuat
gerakan seolah hendak keluarkan pedang
dari balik pakaiannya.
Melihat hal ini, Ratu Pemikat
sunggingkan senyum seraya
goyang-goyangkan pinggul. Dadanya
dibusungkan dengan mulut sedikit dibuka
dan perdengarkan desahan. Kejap kemudian
perempuan ini berucap.
"Bagus! Begitu pedang itu kau
serahkan, kuanggap habis urusan di
antara kita! Dan kau kuberi kesempatan
luas untuk bersenang-senang denganku!"
"Hem.... Ternyata kau selalu salah
duga! Dengar. Pedang ini keluar bukan
untuk kau miliki, tapi akan mengantarmu
ke bawah tanah!"
Ratu Pemikat bukannya terkejut
mendengar kata-kata Joko. Sebaliknya ia
tertawa panjang. "Ternyata kau
benar-benar manusia yang tak mau
diuntung. Kau tak mau lihat tingginya
langit. Buta akan dalamnya laut! Itu
kesalahan besar bagimu!" Sesaat Ratu
Pemikat hentikan ucapannya, lalu
meneruskan. "Kau masih punya waktu untuk
berdamai...."
Joko Sableng dongakkan kepala.
Mengingat siapa adanya perempuan di
hadapannya yang dulu pernah membuatnya
celaka, sebenarnya murid Pendeta Sinting
ini sedari tadi sudah coba menahan hawa
amarahnya dan menindih keinginannya
untuk membuat perhitungan atas tindakan
si perempuan pada beberapa tahun silam.
Namun ucapan Ratu Pemikat mau tak mau
membangkitkan kembali hawa amarah Joko.
Hlngga dengan suara keras dia membentak.
"Ratu Pemikat! Kesalahanmu sudah
menjulang. Kuperingatkan sekali ini!
Tinggalkan tempat ini atau...."
"Kali ini aku tak akan berhampa
tangan jika tinggalkan tempat ini!"
potong Ratu Pemikat. Kedua tangannya
diangkat tinggi-tinggi.
"Tahan! Nyawa pemuda itu milikku.
Tak seorang pun boleh menyentuhnya meski
setan akhirat!"
Belum habis suara teguran, satu
bayangan muncul dari rimbun semak
belukar. Melangkah perlahan ke arah
Pendekar 131. Ada keanehan dengan sosok
yang baru muncul ini. Meski dia tampak
melangkah pelan, namun dalam sekejap
mata sudah tegak di hadapan Joko sejarak
tiga langkah. Dan dia melangkah dengan
mundur membelakangi!
Ratu Pemikat terlihat tegang
sesaat. Tapi sesaat kemudian dia dapat
kuasai diri dan perlihatkan senyum
seringai. Meski demikian perempuan
cantik ini tak dapat sembunyikan
perubahan raut wajahnya.
"Iblis Ompong... Jahanam sialan!
Urusan ini rupanya akan jadi panjang! Apa
dia juga punya urusan sama denganku?
Kudengar manusia aneh satu ini telah
undur diri dari rimba persilatan. Adalah
aneh jika tahu-tahu muncul dan inginkan
nyawa Pendekar 131! Hem.,.."
"Iblis Ompong!" seru Ratu Pemikat
setelah terdiam beberapa saat. "Kalau
kau punya urusan dengan pemuda itu, harap
kau suka menunggu setelah urusanku
dengannya selesai!"
Orang yang baru muncul dan dipanggil
dengan Iblis Ompong balikkan tubuh.
Ternyata dia adalah seorang laki-laki
berusia kira-kira tujuh puluh tahunan.
Rambutnya putih panjang. Raut wajahnya
tirus memanjang dengan dilapis kulit
amat tipis. Sepasang matanya besar
melotot. Ketika kepalanya bergerak,
kedua bahunya terlihat ikut bergerak ke
mana kepala mengarah, karena ternyata
kakek ini tak mempunyai leher! Hingga
kepala itu seperti nongol di antara
pundaknya. Dan kakek Ini terus-terusan
buka mulut perlihatkan giginya yang
ompong!
Kakek ini bukan lain memang seorang
tokoh rimba persilatan yang digelari
orang dengan Iblis Ompong. Seorang tokoh
aneh yang sulit ditebak tindak-
tanduknya. Meski demikian banyak
kalangan rimba persilatan yang enggan
membuat urusan dengannya, karena selain
memiliki ilmu tinggi, dia juga dikenal
sebagai tokoh yang tak pandang bulu jika
apa yang dilakukannya diyakini benar.
Pada beberapa tahun belakangan, tokoh
ini dikabarkan mengundurkan diri tak mau
turut campur dalam urusan dunia
persilatan. Hal ini terbukti dengan
ketidak munculannya untuk jangka waktu
yang panjang, meski rimba persilatan
mengalami beberapa kemelut dan kegegeran
yang mengundang muncuinya tokoh-tokoh
tua. Bahkan tatkala dunia persilatan
disentak dengan riuhnya perebutan Pedang
Tumpul 131, Iblis Ompong juga tak tampak
batang hidungnya. Hal ini menguatkan
dugaan orang jika orang tua itu memang
telah benar-benar undur diri. Hal ini
pulalah yang mengherankan Ratu Pemikat
jika tiba-tiba dia muncul, lebih-lebih
mengatakan punya urusan nyawa dengan
Pendekar 131.
Iblis Ompong dongakkan kepala.
Karena dia tak punya leher, saat
mendongak tampak tubuhnya sedikit
melengkung ke depan. Kejap kemudian dia
perdengarkan tawa mengekeh panjang.
Namun setelah tawanya terhenti, kakek
ini terus buka mulutnya lebar-lebar!
"Iblis Ompong.... Hem.... Nama
gelar dan orangnya baru pertama kali ini
kudengar dan kutemui. Orang aneh. Lebih
aneh Iagi, kenapa dia bilang nyawaku Ini
miliknya? Padahal aku tak pernah
berurusan dengannya!" gumam Joko seraya
perhatikan lebih seksama pada si kakek.
Melihat Iblis Ompong tak keluarkan
sepatah kata pun, Ratu Pemikat
sunggingkan senyum. Lalu berkata.
"Terima kasih kau mau mengerti,
sobatku iblis Ompong! Jangan khawatir,
kalau kau inginkan nyawanya, itu akan
kuberikan padamu. Aku ada urusan lain
dengannya!"
Tiba-tiba Iblis Ompong perdengarkan
tawa kembali. Puas dengan gelakan
tawanya dia berujar.
"Sudah kubilang. Nyawanya untukku.
Dan tak seorang pun boleh menyentuhnya.
Kau boleh urusan dengannya, tapi jangan
sekali-kali menyentuh apa lagi mengambil
sesuatu darinya!"
Paras Ratu Pemikat kembali berubah.
Malah kini rahangnya mengembang.
Sepasang matanya membelalak dengan mulut
komat-kamit.
"Iblis Ompong! Harap kau
memandangku sebagai sahabat. Dan jangan
sampai terjadi silang urusan antara
kita!"
"Bersahabat tidak menjamin tidak
adanya silang urusan! Dan jika kau
benar-benar punya urusan dengan pemuda
itu, tunggulah setelah aku selesai!
Setelah itu kau bebas mengambil apa saja
darinya. Percayalah, aku tidak akan
sentuh-sentuh barang yang kau sukai dan
kau inginkan darinya! Aku punya seperti
yang dia mlliki. Bentuk dan warnanya
sama, meski ketangguhannya sudah jauh
menurun...."
Paras muka Ratu Pemikat makin
mengelam. Sementara murid Pendeta
Sinting geleng-geleng kepala.
"Tua bangka! Jaga mulutmu!"
Seolah tersentak kaget. Iblis
Ompong tekapkan telapak tangannya di
depan mulutnya. Tapi ketika tangan itu
diturunkan lagi, mulut itu masih terbuka
lebar-lebar.
"Iblis Ompong! Waktuku tidak
banyak. Dan aku tidak mau tawar-menawar
denganmu! Aku yang menemukannya terlebih
dahulu. Akulah yang berhak menyelesaikan
urusan lebih dulu!"
"Siapa pun tak berhak menentukan
waktu. Besarnya urusan adalah nomor
satu. Urusanmu adalah meminta barang
sesuatu. Urusanku mencabut nyawanya yang
satu. Kau harus panjang akal. Masalahmu
hanya sepanjang jengkal. Sedang
masalahku tak bisa selesai hingga salah
satu terjungkal!"
Ratu Pemikat pasang telinga
baik-baik dengarkan ucapan orang. Selama
kiprahnya malang-melintang dalam rimba
persilatan, perempuan berwajah cantik
ini telah beberapa kali sempat jumpa
dengan Iblis Ompong. Juga telah
mengetahui sampai di mana ketinggian
ilmu yang dimiliki si kakek. Dalam hati
Ratu Pemikat membatin. "Rupanya jahanam
sialan ini tidak dapat diajak berdamai.
Apa boleh buat. Kaki telah kuangkat,
tekad telah bulat! Aku tak akan pergi
dari sini tanpa sesuatu yang kudapat!"
Memikir sampai di situ, Ratu Pemikat
segera angkat bicara.
"Nyatanya silang sengketa tak bisa
dihindari. Aku tanya padamu. Kita
dahulukan urusan kita atau kau bersabar
ingin aku tuntaskan urusanku dengan
dia!"
"Urusanmu hanya bagaikan satu pasir
di pantai. Urusanku adalah barang yang
tak bisa dinilai. Masihkah wajar kau
ajukan harga? Kuingatkan. Parasmu masih
menggoda dada dan mata. Pinggulmu masih
menggetarkan panca indera. Nikmat
mungkin belum seluruhnya kau rasakan.
Akankah waktu kau sia-siakan?"
Meski Ratu Pemikat sadar bahwa
ilmunya masih berada di bawah Iblis
Ompong, namun ucapan si kakek membuat
perempuan ini geram. Ini terlihat dari
apa yang dikatakannya. "Urusan tubuhku
tak perlu usil kau bawa-bawa. Dan jangan
mencoba mengguruiku!" Ratu Pemikat
tertawa perlahan. "Atau jangan-jangan
kau ingin merasakan nikmatnya diriku?"
Iblis Ompong buka lebar-lebar
mulutnya. "Ingin memang Ingin. Tapi
terus terang saja aku khawatir...."
Karena Iblis Ompong tak teruskan
ucapannya, serta-merta Ratu Pemikat
menyahut. "Khawatir apa? Hah...?!"
Iblis Ompong tertawa bergelak
dahulu sebelum berkata.
"Wajahmu memang memikat hingga tak
salah jika kau bergelar Ratu Pemikat.
Menurut yang kudengar, kau memang suka
bagi-bagi nikmat. Dan menurut yang
kulihat, kue seenak apa pun akan hilang
rasa nikmatnya bila dijamah banyak
tangan...."
"Setan jahanam!" potong Ratu
Pemikat sebelum selesai Iblis Ompong
lanjutkan kata-katanya. Bersamaan
dengan itu kedua tangan Ratu Pemikat ber-
gerak menghantam ke arah Iblis Ompong.
Wuutt! Wuuutt!
Dari kedua tangan perempuan ini
meiesat sinar terang biru yang selain
keluarkan suara luar biasa juga
hamparkan hawa panas! Inilah pukulan
sakti Ratu Pemikat yang dikenal dengan
'Hamparan Langit’.
Melihat pukulan pembuka Ratu
Pemikat telah lancarkan pukulan
saktinya, jelas jika perempuan ini ingin
segera selesaikan urusan dengan iblis
Ompong.
Di depan sana, Iblis Ompong sama
sekali tidak membuat gerakan, membuat
Ratu Pemikat dan Joko pentangkan mata
masing-masing. Ratu Pemikat tampak
tersenyum. Tapi senyumnya tiba-tiba
terputus tatkala tiba-tiba Iblis Ompong
balikkan tubuh. Kedua tangannya
serta-merta disentakkan ke beiakang.
Wusss! Wuuusss!
Tampak dua bola asap sebesar roda
kereta melesat bergulir keluarkan suara
berderak-derak laksana roda kereta
melaju di atas pasir.
Begitu sinar terang biru pukulan
sakti 'Hamparan Langit' yang dilepas
Ratu Pemikat berjarak setengah depa Iagi
dari dua bola asap yang melesat dari
kedua tangan Iblis Ompong, mendadak dua
bola asap itu mengembang besar. Kejap
kemudian laksana memlliki daya tarik
luar biasa dahsyat, sinar biru terang
masuk lenyap ke dalam dua bola asap! Di
lain kejap tempat itu laksana dilanda
gempa hebat meski tiada suara ledakan
yang terdengar! Dua bola asap terlihat
ambyar berkeping-keping semburatan
warna putih dan biru.
Bersamaan dengan ambyarnya dua bola
asap, sosok Ratu Pemikat terjajar lima
langkah ke belakang. Raul wajahnya pias.
Beberapa saat tubuhnya bergetar dengan
dada bergerak turun naik dengan keras.
Tahu situasi, Ratu Pemikat cepat
kerahkan tenaga dalam. Namun perempuan
ini jadi terkesiap. Sebelum dia sempat
kerahkan tenaga, dia merasakan sambaran
angin kencang. Tubuhnya kembali tersurut
tiga langkah. Tapi kinl sepasang kakinya
goyah, hingga tak berselang lama
kemudian sosoknya meliuk dan jatuh
terduduk di atas tanah.
Di depan sana, Iblis Ompong terlihat
menungging dengan kedua kaki terkembang
lebar. Dari sela sepasang kakinya tampak
kedua tangan si kakek diayun-ayun pulang
balik ke depan ke belakang. Anehnya,
bersamaan dengan ayunan itu beberapa
rangkuman angin keras mencelat. Sambaran
angin dari ayunan tangan inilah yang
membuat Ratu Pemikat jatuh terduduk!
Ratu Pemikat kertakkan rahang.
Setelah meneliti dan yakin tidak
mengalami cidera, dia cepat bergerak
bangkit. Didahului bentakan nyaring, dia
melesat ke depan. Tangan kiri-kanan
bergerak siap lepaskan jotosan ke arah
Iblis Ompong. Namun lagi-lagi Iblis
Ompong tak membuat gerakan, kakek ini
tetap menungging, malah berkata. "Bocah!
Awas!"
Pendekar 131 yang berada tak jauh
dari tempat Iblis Ompong tersentak kaget
dan bingung dengan teriakan Iblis
Ompong. Dia baru sadar tatkala tiba-tiba
satu tendangan keras telah menghantam
bahu kirinya.
Bukkk!
Ternyata kedua tangan Ratu Pemikat
yang seakan hendak bergerak lepaskan
jotosan hanyalah tipuan. Karena
bersamaan Itu kakinya bergerak kirim kan
tendangan keras ke arah Pendekar 131 yang
tegak di samping Iblis Ompong.
Joko terhuyung-huyung ke belakang.
Ratu Pemikat tak buang kesempatan. Dia
teruskan lesatan tubuhnya. Klni tangan
kirinya bergerak menghantam ke arah
kepala murid Pendeta Sinting sedang
tangan kanannya menyambar ke arah
pinggang.
Breeett!
Baju bagian pinggang milik Joko
robek hingga pedang yang terimpan di
baliknya terlihat, membuat Ratu Pemikat
semakin bernafsu. Begitu tangan kirinya
gagal menghantam sasaran, dia cepat
jejakkan sepasang kakinya ke tanah,
seraya melayang di udara, kedua
tangannya lepaskan pukulan 'Hamparan
Langit'!
Murid Pendeta Sinting tak tinggal
dlam. Meski tenaganya belum sepenuhnya
bisa dikerahkan, dia tetap lepaskan
pukulan 'Lembur Kuning' meski hanya
dengan tenaga seadanya.
Karena Ratu Pemikat lepaskan
pukulan dari jarak dekat, sementara Joko
lepaskan pukulan dengan tenaga seadanya
karena keadaannya belum pulih benar,
maka bisa dibayangkan apa yang akan
dialami oleh murid Pendeta Sinting ini.
Rupanya hal ini tak lepas dari
penglihatan Iblis Ompong. Kakek ini
cepat geser pantatnya hingga menghadap
ke arah Ratu Pamikat yang lepaskan
pukulan dari udara.
Masih tetap menungging, Iblis
Ompong nongolkan kepala dari sela
bentangan kedua kakinya. Mulutnya
dikatupkan dan digelembungkan hingga
membentuk bundaran di pipi. Kejap
kemudian bersamaan dengan bergeraknya
kedua tangan Ratu Pemikat, Iblis Ompong
semburkan udara dari mulutnya.
Busss!
Ratu Pemikat berseru tegang.
Tubuhnya terseret di udara. Namun
perempuan ini teruskan hantamannya.
Hingga saat itu juga dua sinar biru
terang melesat ke arah Joko Sableng. Di
lain pihak, dari arah bawah sinar
kekuningan mengudara keluar dari kedua
tangan Joko.
Saat pukulan Ratu Pemikat dan
Pendekar 131 serta semburan mulut Iblis
Ompong masih mengapung di udara,
tiba-tiba satu deru dahsyat mengguncang
tempat itu. Di lain saat, satu gelombang
angin keras melabrak ke arah Iblis
Ompong!
Iblis Ompong menggerendeng panjang
pendek. Dia cepat hendak putar pantat,
namun terlambat. Angin keras itu telah
menyapu tubuhnya hingga sosoknya
terdorong cepat ke depan.
Tapi si kakek ini cepat julurkan
kedua tangannya ke depan. Dan
serta-merta tubuhnya terhenti dengan
posisi tetap menungging dan kedua
telapak tangan bertumpu di atas tanah.
Saat itulah terdengar satu dentuman
keras saat pukulan 'Hamparan Langit'
bentrok dengan pukulan 'Lembur Kuning'.
Sosok Ratu Pemikat terlihat mencelat di
udara. Bukan saja karena tersapu
semburan angin yang keluar dari mulut
iblis Ompong tapi juga karena bias
bentrok pukulannya.
Perempuan cantik bertubuh bahenol
Ini perdengarkan jeritan tinggi. Setelah
tubuhnya terbanting di udara, tubuh itu
menukik deras dan terjerembab di atas
tanah!
Di seberang, sosok murid Pendeta
Sinting terlempar tinggi ke udara.
Selagi tubuh itu mulai melayang ke bawah
mendadak satu bayangan berkelebat. Dan
sekali sambar tubuh Pendekar Pedang
Tumpul 131 telah berada di pundak si
bayangan.
Dari semak belukar terdengar satu
seruan, lalu melesat satu gelombang
angin keras ke arah bayangan yang
menyambar tubuh Pendekar 131. Iblis
Ompong pun tak tinggal diam. Kakek ini
cepat membuat gerakan jungkir baiik di
atas tanah. Lalu sentakkan kedua
tangannya ke udara.
Namun baik pukulan yang dilancarkan
orang dari balik semak belukar maupun
pukulan iblis Ompong hanya menghantam
tempat kosong. Karena si bayangan luar
biasa sekali cepat gerakannya. Hingga
sebelum dua pukulan sempat melabrak,
sosoknya telah berkelebat lenyap!
Bersamaan lenyapnya bayangan yang
membawa tubuh Pendekar 131, dari semak
belukar sesosok tubuh berkelebat keluar.
Dari mulutnya terdengar makian panjang
pendek tak karuan. Sejenak sepasang
matanya tak berkedip memandang ke arah
lenyapnya bayangan yang membawa tubuh
Joko. Lalu serentak berpaling ke arah
Iblis Ompong. Lalu membentak keras.
"Keparat Ompong! Gara-gara kau
urusan jadi berantakan begini rupa!"
Iblis Ompong berpaling sambil buka
mulut lebar-lebar. Untuk beberapa saat
kakek ini perhatikan orang yang kini
memandang ke arahnya.
"Hem.... Sudah membokong masih juga
timpakan kesalahan pada orang lain,"
gumamnya seraya alihkan pandangan ke
jurusan lain. Lalu berucap.
"Iblis Ompong boleh dilecehkan.
Tapi pantang baginya dipersalahkan! Aku
beri kesempatan padamu untuk mencabut
ucapan. Lalu minggat dari sini jika ingin
nyawa tetap dikandung badan!"
Orang di hadapan Iblis Ompong
mendongak ke langit. Dari mulutnya
terdengar menggembor suara tawanya keras
membahana. Tiba-tiba dia sentakkan kedua
tangannya lepaskan satu pukulan!
* * *
SEMBILAN
DUA cahaya putih dan hitam melabrak
angker ke arah Ibiis Ompong, membuat
kakek ini tegak terbelalak dengan mulut
terbuka lebar. Tapi tiba-tiba dia
baiikkan tubuh dan serta-merta sentakkan
kedua tangannya ke belakang.
Wuutt! Wuuttt!
Dua bola asap menggelinding
perdengarkan suara berderak-derak
memekakkan telinga. Sesaat kemudian
terdengar ledakan dahsyat tatkala bola
asap memapak cahaya putih hitam. Cahaya
putih hitam seketika melesat bertabur ke
udara menggebrak daun pepohonan di
sekitar tempat itu serta semak belukar
dipenuhi hamburan daun-daun kering.
Iblis Ompong bergumam tak jelas
dengan tubuh terhuyung-huyung ke
belakang. Sedangkan orang di depannya
terseret tiga iangkah dengan kedua ta-
ngan menekap dadanya. Sepuluh langkah di
samping Iblis Ompong terlihat Ratu
Pemikat bergulingan dan baru terhenti
ketika sosoknya membentur sebatang
pohon.
Ratu Pemikat beringsut bangkit lalu
bersandar dengan sepasang mata memandang
ke depan.
"Merak Kawung! Kenapa kau sampai
terlambat? Jahanam betul!" maki Ratu
Pemikat dengan dada bergerak turun naik.
Orang di hadapan Iblis Ompong
berpaling pada Ratu Pemikat. Orang ini
adalah seorang laki-laki setengah baya
bertubuh tinggi besar. Mengenakan jubah
toga warna putih hitam. Kepalanya
gundul. Sepasang matanya besar dengan
alis menjulai panjang ke bawah hampir
menutupi kedua bola matanya. Hidungnya
besar dengan kumls melintang tebal. Pada
bagian dada jubah toganya terlihat tiga
bulu burung merak. Inilah seorang
dedengkot tokoh dunia persilatan yang
tak asing lagi dan dikenal dengan julukan
Merak Kawung. Tokoh ini sebenarnya
jarang sekali muncul, namun sekali dia
muncul, pasti terjadi kegegeran.
Seperti diketahui, Ratu Pemikat
amat bernafsu untuk memilikli Pedang
Tumpul 131. Karena merasa dia tak sanggup
untuk merebut dengan tangannya sendiri,
maka dia berusaha merangkul beberapa to-
koh. Dengan modal kecantikan dan
kemolekan tubuh, beberapa tokoh memang
berhasil digaetnya. Dan salah satu dari
tokoh itu adalah Merak Kawung.
Sewaktu menemukan Pendekar 131,
sengaja Merak Kawung bersembunyi di
balik semak belukar. ini untuk menjaga
jika ada sesuatu yang tak terduga. Dan
kali ini sesuatu yang tak terduga itu
memang terjadi. Namun kali ini Merak
Kawung terlambat untuk bertindak, hingga
bukan saja membuat Ratu Pemikat tersapu
pukulan Iblis Ompong namun juga ter
lambat lakukan pukulan pada bayangan
yang membawa Pendekar 131!
Merak Kawung sesaat menatap pada
Ratu Pemikat. Laki-laki itu melangkah
hendak mendekat. Tapi di depan sana Ratu
Pemikat beri isyarat dengan gelengkan
kepala, membuat Merak Kawung hentikan
Iangkah dan putar diri menghadap Ibiis
Ompong.
"Hem.... Jadi manusia gundul ini
telah berada di bawah ketiak perempuan
itu. Ah, kenapa aku ikut mengurusi
mereka? Sialan betul! Aku harus cepat
mengetahui siapa orang yang membawa lari
pemuda itu! Jika tidak, penantianku tak
akan ada ujung pangkalnya! Aku sudah tua,
kalau kedahuluan mati, dan pesan belum
kusampaikan maka dunia persilatan akan
mengutukiku!" pikir Iblis Ompong.
"Apalagi kini orang-orang rimba
persilatan sedang dibikin edan
membicarakan dan berusaha memburu...."
Iblis Ompong lalu putar diri. Tapi
baru saja hendak berkelebat, Merak
Kawung membentak.
"Kau kira bisa begitu saja pergi
dari sini, Jahanam Ompong?!"
Iblis Ompong tak pedulikan bentakan
orang. Dia tetap teruskan niat untuk
berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun
gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba
Merak Kawung berteriak keras. Bersamaan
itu, tangan kirinya mencabut satu bulu
merak di dada jubah toganya. Sementara
tangan kanan diangkat tinggi-tinggi.
Ketika tangan kiri-kanan laki-laki
gundul Ini bergerak menghantam, maka
tampak cahaya hitam putih berkiblat
disusul dengan menderunya bulu merak
keluarkan suara laksana deruan pedang!
"Sial dangkalan! Merak Kawung. Mata
dan hatimu benar-benar telah dibikin
buta. Hingga tak tahu mana kawan dan
lawan!" teriak Iblis Ompong. Kedua
tangannya dihantamkan ke belakang.
Cahaya putih hitam serta lesatan
bulu merak mendadak tertahan di udara dan
untuk beberapa lama mengapung.
Merak Kawung sesaat jadi terkesiap
melihat pukulan dan senjata andalannya
terapung-apung di udara. Selain itu
diam-diam dia merasa terkejut dan
peian-pelan rasa kecut mendera dadanya.
Karena selama malang melintang dalam
rimba persilatan, baru kail ini pukulan
dan senjata andalannya bisa dibikin
sedemikian rupa oleh lawan.
Selagi Merak Kawung termangu, Iblis
Ompong kembali sentakkan kedua
tangannya.
Wuuutt! Wuuutt!
Tak ada seruan deru yang terdengar,
namun di depan sana tiba-tiba cahaya
putih hitam serta bulu merak yang
terapung terdorong keras dan kini
berbalik melabrak ke arah Merak Kawung.
Merak Kawung melengak. Belum sempat
membuat gerakan apa-apa cahaya puku
lannya sendiri yang membalik telah
berada di hadapannya. Masih untung
laki-laki ini segera pukulkan tangan
kiri kanannya ke depan, hingga cahayanya
berhasil menghalau pukulannya sendiri,
bulu merak melabrak ganas ke arah
dadanya!
Seraya memaki, Merak Kawung angkat
kedua tangannya lagi. Tapi lesatan bulu
merak datang lebih cepat. Hingga meski
Merak Kawung masih sempat menghindar
dengan bergeser ke samping tapi tak urung
bahu kirinya tersambar bulu merak.
Jubah toga Merak Kawung di bagian
bahu robek menganga. Laki-laki berkepala
gundul ini terpekik kesakitan. Raul
wajahnya kontan berubah pucat pasi. Pada
saat yang sama darah berwarna kehitaman
mulai membasahi jubah bagian bahunya.
Merak Kawung merasakan aliran darahnya
bergolak panas dan segera menjalar ke
seluruh tubuhnya. Kejap kemudian, Merak
Kawung terlihat surut beberapa langkah
ke belakang.
Tahu bahaya apa yang kini dihadapi,
Merak Kawung cepat ambil dua butir obat
dari saku jubahnya. Begitu butiran obat
tertelan, perlahan-lahan golakan hawa
panas di tubuhnya mereda. Dan ketika dia
memandang ke depan, Iblis Ompong sudah
tidak tampak lagi.
"Keparat jahanam...!" umpat Merak
Kawung seraya bantingkan sepasang
kakinya ke atas tanah. Tanah di tempat
itu bergetar keras, hingga Ratu Pemikat
yang sedang duduk bersila bersandar pada
pohon dengan mata terpejam pulihkan
tenaga buka kelopak matanya.
"Ratu.... Kita tinggalkan tempat
celaka ini!"
Ratu Pemikat bergerak bangkit.
Melangkah mendekati Merak Kawung.
Perempuan cantik ini tersenyum. Begitu
dekat, tangan kanannya segera melingkar
ke pinggang Merak Kawung. Sekali
membalik, tubuh Ratu Pemikat telah
berhadapan dengan Merak Kawung.
"Merak.... Kita memang sudah lama di
tempat ini. Kita harus segera pergi.
Lupakan apa yang baru saja terjadi. Kita
cari tempat yang aman untuk
bersenang-senang...." Seraya berkata,
tangan kiri Ratu Pemikat menelusup masuk
ke balik jubah dan pakaian dalam Merak
Kawung.
Entah siapa yang memulai, kejap
kemudian kedua orang ini telah tenggelam
dalam peluk cium. Sepasang kaki Ratu
Pemikat terlihat berjingkat sementara
Merak Kawung rundukkan sedikit
kepalanya.
"Ratu...," bisik Merak Kawung
dengan kedua tangan membelai punggung
dan dada Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat perdengarkan gumaman
perlahan. Lalu mendesah perlahan dengan
sepasang mata dipejamkan.
"Sebaiknya kita lupakan saja urusan
Pedang Tumpul 131.... Orang rimba
persilatan kini sudah melupakan pedang
itu, karena mereka tahu bahwa seseorang
yang berjodoh telah menemukannya. Lebih
baik kita sekarang menyelidik tentang
Kitab Serat Biru...."
"Akhir-akhir ini orang-orang memang
meributkan kitab itu. Tapi kurasa
menyelidik tanpa bekal yang cukup
terpercaya hanya akan membawa sia-sia.
Aku diam-diam selama ini berusaha
menyirap tentang kabar kitab itu. Namun
apa yang berhasil kusirap ternyata
simpang siur. Hingga aku punya firasat
jika kitab itu tidak ada...."
Seraya masih membelai, Merak Kawung
tertawa perlahan. Lalu rundukkan lebih
dalam kepalanya hingga hidungnya menyapu
sembulan payudara sang ratu. Ratu
Pemikat angkat kedua tangannya dan
meraih kepala Merak Kawung lalu
ditekannya rapat-rapat.
"Ratu...!" suara Merak Kawung
terdengar serak tersendat. "Kita temui
seorang sahabat. Kurasa dia banyak tahu
seluk-beluk kitab itu...."
Tiba-tiba Ratu Pemikat angkat
kepala Merak Kawung. "Siapa dia?!"
Merak Kawung tersenyum. Wajahnya
memerah, pertanda nafsu telah menguasai
dirinya.
"Nanti kau akan tahu siapa
orangnya...."
Tapi...."
Tapi apa...?!" tanya Merak Kawung
seraya kembali selusupkan kepalanya ke
arah dada Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat sejenak terdiam tidak
segera menjawab pertanyaan Merak Kawung.
Rupanya Merak Kawung dapat
menangkap keraguan pada Ratu Pemikat.
Hingga dia buru-buru berkata.
"Kau khawatir aku bernafsu memiliki
kitab itu?"
Lagi-lagi Ratu Pemikat tidak segera
buka mulut untuk memberi jawaban. Hingga
Merak Kawung akhirnya lanjutkan
ucapannya.
Tak usah khawatir, Ratu.... Dirimu
lebih berharga bagiku dibanding dengan
kitab itu! Kalau aku menyelidik kitab
itu, semata-mata kelak kuperuntukkan
untukmu...."
"Ucapanmu betul, Merak...?" bisik
Ratu Pemikat dengan busungkan dadanya.
"Kau bisa buktlkan ucapanku nanti,
Ratu...," suara Merak Kawung serak di
antara deru napasnya yang memburu.
Laki-laki gundul ini angkat sedikit
kepalanya mendongak memandang ke arah
dagu Ratu Pemikat. Diam-diam dalam hati
Merak Kawung berkata.
"Hem.... Aku tidak setolol yang kau
duga. Kitab Serat Blru adalah kitab sakti
tiada tanding. Begitu kitab berada di
tanganku, saat itulah saatnya dirimu
menjadi budakku! Saat sekarang kau masih
menganggap dirlku budakmu, tapi
tunggulah saatnya nanti...."
Kalau Merak Kawung berpikir
demikian, ternyata diam-diam Ratu
Pemikat juga berkata sendiri dalam hati.
"Aku tahu siapa dirimu, Merak Kawung. Aku
tahu ucapanmu hanya di mulut. Dan jangan
harap kau bisa bodohi diriku. Begitu
Kitab Serat Biru betul-betul kumiliki,
itulah saatnya riwayatmu habis!"
"Ratu...," bisik Merak Kawung.
"Kurasa tempat ini kurang aman...."
Ratu Pemikat mendesah pelan. "Jika
begitu, kau tunggu apalagi? Bawalah aku
pergi ke tempat aman. Dan...."
Belum habis ucapan Ratu Pemikat,
Merak Kawung telah mengangkat tubuh sang
ratu dalam rengkuhannya. Sekali
bergerak, Merak Kawung melesat dengan
memanggul tubuh Ratu Pemikat.
* * *
SEPULUH
SOSOK bayangan hitam itu terus
berkelebat ke arah timur. Sesekali dia
berpaling pada orang yang dipanggulnya
dengan perdengarkan gumaman tak jelas.
Pada satu tempat, dia hentikan larinya.
Berpaling sekali lagi pada orang di
pundaknya, lalu mendongak ke langit.
"Ada hubungan apa pemuda ini dengan
jahanam Iblis Ompong? Hem.... Iblis
Ompong. Tampaknya dia tak betah juga
terus-terusan sembunyikan diri. Apakah
kemunculannya ini ada kaitannya dengan
urusan Kitab Serat Biru?" Orang ini
menghela napas panjang.
Ternyata dia adalah seorang
perempuan berambut pirang. Mengenakan
jubah besar warna hitam, Pada kedua
tangannya terlihat satu kaos tangan dari
kulit juga berwarna hitam. Perempuan ini
tak bisa dikenali wajahnya karena dia
mengenakan cadar berwarna hitam. Dari
wajahnya yang terlihat hanyalah sepasang
matanya yang tajam dari kedua lobang ca-
dar.
Mendadak perempuan berjubah dan
bercadar hitam palingkan kepala.
"Hemm.... Di sini rupanya tidak
aman...," gumamnya. Lalu menatap sejenak
pada orang yang dipanggul. Sepasang
matanya sorotkan pandangan aneh.
Seteilah memastikan orang yang dipanggul
masih dalam keadaan tertotok, perempuan
berjubah dan bercadar hitam teruskan
larinya. Namun baru saja bergerak, satu
bayangan berkelebat, membuat langkah si
perempuan tertahan. Dia segera berpaling
dengan sepasang mata dipentangkan.
"Bangsat siapa dia...?!" desis si
perempuan bercadar hitam dengan tubuh
sedikit berguncang, tanda dia menahan
marah. Sepasang matanya dari dua lobang
cadar membelalak besar memandang tak
berkesiap ke arah depan, di mana kini
telah tegak seorang perempuan yang
dilihat dari sikapnya jelas sengaja
menghadang! Dan bukan Itu saja yang
membuat perempuan berjubah dan bercadar
hitam pentangkan sepasang matanya makin
besar, karena ternyata orang yang kini
tegak menghadang di hadapannya juga
mengenakan cadar berlobang kecil-kecil
menutup seluruh raut wajahnya. Pada
punggung orang ini terlihat punuk besar.
Kalau perempuan berambut pirang
berjubah dan bercadar hitam tampak
geram, tidak demikian halnya dengan
perempuan bercadar dan berpunuk yang
menghadang. Begitu tegak menghadang dan
memandang pada perempuan bercadar dan
berjubah hitam, perempuan berpunuk
serentak tersurut kaget. Sepasang mata
dari baiik cadar berlobang-lobang
terlihat membesar. Wajahnya pun seketika
berubah.
"Dewi Siluman...," desis perempuan
berpunuk dengan suara tercekat di
tenggorokan. Untuk beberapa lama orang
ini arahkan pandangannya dari baiik
cadar berlobang kecil-kecil pada
perempuan berjubah dan bercadar hitam.
Lalu beralih pada sosok yang ada di
pundak si perempuan.
"Pendekar 131.... Tampaknya dia
tertotok. Hem.... Seharusnya aku tidak
membiarkan dirinya sendirian di tempat
itu. Apalagi keadaannya masih
terluka.... Sekarang harus bagaimana?
Aku tahu siapa Dewi Siluman. Nyawa
Pendekar 131 tidak terjamin keselamatan-
nya di tangan sang dewi. Tapi bisakah aku
merebutnya...? Bagaimana kalau dia ta-
hu...? Ah. Tak kusangka jika Dewi Siiuman
berada di tempat itu juga...."
"Orang tak dikenal!" Tiba-tiba
perempuan berjubah dan bercadar hitam
membentak garang. "Katakan maksudmu
menghadang langkahku!"
Meski dari perubahan wajah dan sikap
serta kata hatinya jelas jika perempuan
berpunuk merasa kecut, tapi saat melihat
keadaan orang di pundak perempuan
berjubah dan bercadar hitam yang bukan
lain Pendekar 131 Joko Sableng, satu
keberanian luar biasa tiba-tiba
menyeruak di dadanya. Bahkan diam-diam
dalam diri perempuan berpunuk muncul
tekad untuk merebut sekaligus
menyelamatkan sang pemuda walau apa yang
terjadi.
"Dewi Siluman...!" kata perempuan
berpunuk. "Harap turunkan pemuda itu dan
serahkan padaku!"
Perempuan bercadar dan berjubah
hitam terkesiap demi mengetahui
perempuan di hadapannya tahu siapa
dirinya. Untuk sesaat sepasang matanya
memperhatikan lebih seksama ke bagian
cadar berlobang-lobang kecil seolah
berusaha menembus cadar orang itu dan
mengetahui wajah di baliknya.
"Jahanam siapa perempuan ini?
Berpuluh tahun kucoba menyembunyikan
diri, hanya beberapa orang yang tahu
diriku. Adalah aneh jika orang yang baru
kaii ini kutemui telah mengenal siapa
diriku...."
"Perempuan berpunuk!" kata
perempuan bercadar dan berjubah hitam
setelah beberapa lama terdiam. "Syukur
kau telah mengenaliku hingga aku tak
perlu memberi keterangan! Aku tanya
padamu. Siapa kau adanya?! Kalau kawan
kenapa tegak menghadang cari urusan,
kalau lawan katakan apa hubunganmu
dengan pemuda ini!"
"Aku tak bisa beri keterangan di
sini! Yang pasti, aku memerlukan pemuda
itu, dan harap kau segera turunkan
dirinya!"
"Hem.... Perempuan ini sengaja
mengerahkan tenaga dalam untuk menekan
suaranya agar suara aslinya tak mudah
dikenali orang. Jangan-jangan aku
mengenalnya. Hem...."
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam yang dipanggil dengan Dewi Siluman
tengadahkan kepala. Kejap kemudian
terdengar suara tawanya.
"Melihat bentuk tubuh dan suaramu,
pasti kau bukan perempuan muda lagi. Aku
khawatir jangan-jangan kau golongan
tua-tua bangka yang senang permainkan
pemuda-pemuda. Hik.... Hik.... Hik...!
Kusarankan nenek! Carilah pemuda lain
saja. Aku tak bisa penuh permintaanmu!"
"Dewi Siluman! Kita bukan kawan
bukan lawan. Harap urusan pemuda itu tak
menjadikan awal sengketa antara kita!"
Ucapan perempuan berpunuk membuat
Dewi Siluman kembali tertawa panjang.
"Ucapannya nadanya memaksa. Dan
sepertinya kau menghkawatirkan pemuda
ini. Hem.... Berat dugaan kau adalah
seorang nenek yang tergila-gila pada
seorang pemuda. Kau menyukai pemuda
ini?!"
Wajah di balik cadar
berlobang-lobang kecil milik perempuan
berpunuk sesaat berubah.
"Dewi Siluman! Harap jangan bicara
terlalu jauh. Dan buang juga dugaan
gilamu itu!'
"Hem.... Begitu? Jika itu maumu,
lekas menyingkir dari hadapanku atau kau
akan rasakan kecewa seumur-umur! Bukan
hanya tak akan mendapatkan pemuda ini
tapi nyawamu juga akan putus!"
"Dewi...."
Tutup mulutmu!" hardik Dewi Siluman
memotong. "Menyingkir atau mampus!"
Sambil menghardik Dewi Siluman angkat
tangan kirinya.
Perempuan berpunuk tampak bimbang.
Sesekali dia memandang ke arah Dewi
Siluman lalu beralih pada Pendekar 131.
Diam-diam perempuan ini membatin.
"Apa hendak dikata. Meski aku belum
bisa memastikan maksudnya, tapi pemuda
itu harus kuselamatkan dari
tangannya...."
Berpikir sampai ke sana, perempuan
berpunuk pentangkan sepasang kakinya.
Kedua tangannya bergerak menakup di
depan dada. Sikap dan gerakannya
menandakan dia siap menghadapi Dewi
Siluman.
Tiba-tiba di depan sana Dewi Siluman
turunkan tangan kirinya, membuat
perempuan berpunuk bertanya-tanya.
Sementara Dewi Siluman segera palingkan
kepala ke jurusan lain. Sepasang matanya
memandang jauh.
"Aku ingin tahu sampai di mana rasa
khawatir perempuan berpunuk itu. Dari
sana mungkin aku bisa menebak siapa
adanya bangsat itu...," desis Dewi
Siluman, lalu didahului bentakan keras
perempuan bercadar dan berjubah hitam
ini melesat satu tombak ke udara. Di
udara dia membuat gerakan berputar satu
kali. Begitu berbalik dan melayang
turun, kedua tangannya mendorong ke
bawah ke arah perempuan berpunuk.
Saat itu juga kabut hitam keluarkan
deruan dahsyat menyapu ke arah perempuan
berpunuk.
"Kabut Neraka!" seru perempuan
berpunuk mengenali pukulan yang dilepas
Dewi Siluman. Dan seolah tahu kehebatan
pukulan orang itu, begitu kabut hitam
melesat menyapu, perempuan berpunuk
segera berkelebat menyingkir ke samping.
Hingga kabut hitam menderu sejarak empat
jengkal di sampingnya.
Sesaat kemudian, dua batang pohon di
depan sana berderak dan langsung tumbang
dengan daun-daun hangus. Ranting-
rantingnya bertabur ke udara menjadi
serpihan kecil-kecil.
Dari tempatnya sekarang berdiri,
perempuan berpunuk cepat angkat kedua
tangannya. Lalu didorong ke depan saat
Dewi Siluman mendarat di atas tanah. Tapi
gerakan mendorong si perempuan berpunuk
tertahan karena di depan sana mendadak
Dewi Siluman tertawa panjang seraya
melintangkan tubuh Pendekar 131 di depan
tubuhnya, membuat perempuan berpunuk
urungkah niat dan berteriak keras.
"Ternyata Dewi Siluman adalah tokoh
pengecut! Membuat manusia untuk
pelindung diri!"
Dewi Siluman perkeras suara
tawanya. Namun dalam hati dia makin
penasaran saat mengetahui perempuan
berpunuk tahu pukulan yang baru
dilepasnya.
"Keparat betul! Siapa sebenarnya
perempuan ini? Dia rupanya tahu banyak
tentang diriku.... Hem.... Tapi dia
benar-benar mengkhawatirkan pemuda ini.
Sepertinya pemuda ini begitu berharga
baginya!" Dewi Siluman memandang sejenak
pada paras dan tubuh Pendekar 131.
"Heran. Pemuda ini dibuat rebutan banyak
orang. Siapa sebenarnya dia?"
Seperti diketahui, saat terjadi
bentrok antara Ratu Pemikat dengan
Pendekar 131, dan ketika Iblis Ompong
coba menghadang dengan semburan mulutnya
lalu melesatnya pukulan dari arah rimbun
semak belukar, tanpa berpikir panjang
Dewi Siluman yang diam-diam berada di
tempat terjadinya bentrokan segera
berkelebat menyambar tubuh murid Pendeta
Sinting yang saat itu melayang di udara.
Dia tak banyak perhatikan ucapan orang,
karena waktu itu perhatiannya tertuju
pada Joko. Dia tak tahu, kenapa dia
tiba-tiba begitu memperhatikan si
pemuda. Namun yang jelas ada perasaan
aneh di dadanya ketika pertama kali
memandang.
Karena saat itu Dewi Siluman
melintangkan tubuh Pendekar 131 di depan
tubuhnya, saat itulah tiba-tiba sepasang
matanya dari lobang cadar melihat
sesuatu tersembul dari balik pakaian di
bagian pinggang murid Pendeta Sinting.
Dewi Siluman cepat geser tangan kanannya
ke pinggang. Dan Sekali sentak sedikit,
pakaian Pendekar 131 di bagian pinggang
tersibak. Sepasang mata Dewi Siiuman
terbeliak besar saat dia melihat sebilah
pedang pancarkan sinar kekuningan.
"Ternyata... Tampaknya bukan sen-
jata sembarangan. Apakah karena senjata
ini hingga beberapa orang menginginkan
pemuda ini?!"
Dewi Siluman lorotkan sepasang
kakinya. Kedua tangannya bergerak ke
samping lalu disentakkan. Tubuh Pendekar
131 meluncur ke bawah dan perlahan sekali
secara aneh sosok murid Pendeta Sinting
duduk di atas tanah! Tapi masih tak bisa
gerakan tubuh, malah sepasang matanya
terpejam rapat.
Begitu tubuh Pendekar 131 terduduk
di tanah, Dewi Siluman pentangkan
sepasang tangannya yang ternyata telah
memegang pedang. Dan tanpa pedulikan
pandangan perempuan berpunuk yang
berkilat-kilat, Dewi Siluman tarik
pedang dari sarungnya.
Cahaya kekuningan silaukan mata
segera menebar hamparkan hawa panas.
"Pedang Tumpul 131!" desis Dewi
Siluman sesaat setelah mengawasi bentuk
pedang. "Hem.... Jadi orang yang
akhir-akhir ini disebut-sebut sebagai
Pendekar Pedang Tumpul 131 pemuda ini
adanya!" Dewi Siluman tersenyum di balik
cadar. "Takdirku baik! Apa yang tak
kuduga sekarang ada di tanganku. Dengan
pedang ini perjalanan memburu penggalan
peta itu akan lebih mudah...."
"Dewi Siluman! Jangan berniat buruk
menguasai milik orang lain!" Mendadak
perempuan berpunuk membentak lantang.
Dewi Siluman masukkan kepala pedang
ke dalam sarungnya. Lalu simpan ke balik
jubahnya. Sesaat kemudian dia tertawa
mengekeh panjang. "Serahkan pedang itu
padaku!" Dewi Siiuman putuskan tawanya.
Berpaling pada perempuan berpunuk dengan
mendengus keras.
"Jahanam berpunuk! Jika kau
inginkan pedang ini, kenapa banyak
berkoar-koar? Selain ingin pemuda ini,
rupanya kau juga inginkan pedang ini!
Hem.... Nyatanya kau juga menyimpan
keinginan kotor! Hik... hik... hik...!"
"Tak usah banyak mulut mengumbar
fitnah! Berikan pedang itu atau...."
"Sekali pedang di tanganku tak akan
kuberikan biar malaikat yang meminta!"
tukas Dewi Siiuman.
"Itu bukti bahwa kau nyata-nyata
mencuri barang orang!" Perempuan
berpunuk tertawa perlahan penuh ejekan.
Dewi Siluman terkesiap marah
mendengar ejekan si perempuan berpunuk.
Tiba-tiba dia gerakkan kepalanya
menyentak ke samping.
Wuuttt!
Beeettt!
Rambut pirang milik Dewi Siluman
berkelebat angker hamparkan gelombang
angin kencang ke arah perempuan
berpunuk.
Perempuan berpunuk tak mau
bertindak ayal. Dia cepat berkelebat ke
arah samping hindarkan diri lalu melesat
ke depan dan lancarkan satu pukulan ke
arah kepala Dewi Siluman.
Dewi Siluman rundukkan kepala. Kaki
kanannya bergerak.
Bukkk!
Perempuan berpunuk tersurut dua
langkah ke belakang saat tendangan kaki
Dewi Siluman menghantam tangannya. Namun
perempuan itu tak pedulikan rasa ngilu
pada tangannya yang baru bentrok dengan
kaki Dewi Siluman. Sebaliknya dia cepat
kerahkan tenaga dalam, lalu
sekonyong-konyong dia menghantam ke
depan. Bukan hanya sampai di situ, kejap
lain perempuan berpunuk bantingkan sepa-
sang kakinya ke atas tanah. Kejap itu
juga dari sepasang mata di balik cadar
berlobang kecil-kecil melesat dua cahaya
merah.
Dewi Siluman terlihat melengak.
Bukan karena ganasnya pukulan yang kini
melabrak ke arahnya melainkan karena dia
sepertinya mengenali pukulan itu.
"Jahanam! Jangan-jangan.... Ah,
tapi aku belum bisa memastikan. Mungkin
dia, tapi tak mustahi! orang lain. Aku
harus tahu jahanam ini! Kalau
benar-benar dia...," Dewi Siluman tak
bisa berpikir lebih panjang lagi karena
harus segera selamatkan diri dari
pukulan lawan. Perempuan berjubah dan
bercadar hitam ini cepat melesat ke
samping kanan, membuat gerakan jungkir
balik dua kali lalu serta-merta
hantamkan kedua tangannya sekaligus!
Bummm! Bummm!
Tempat itu bergetar hebat. Tanahnya
bertabur ke udara. Perempuan berpunuk
rasakan tubuhnya laksana dilanggar
gelombang besar hingga saat itu juga
tubuhnya mencelat mental sampai dua
tombak ke belakang. Dari balik cadarnya
tampak meleleh darah kehitaman pertanda
dia terluka dalam. Tubuh perempuan ini
terlihat bergetar keras. Napasnya
megap-megap. Dan setelah sesaat
terhuyung-huyung beberapa kali,
perempuan berpunuk ini meliuk roboh
terkapar di atas tanah.
Di seberang, Dewi Siluman saling
usapkan sepasang tangannya. Memandang
tajam pada perempuan berpunuk lalu
melangkah mendekat.
"Ilmu masih sejengkal sudah berani
bermulut besar! Hem.... Akan
kutelanjangi jahanam itu...."
"Celaka!" keluh perempuan berpunuk
lalu cepat-cepat kerahkan tenaga dalam
dan bergerak bangkit. Namun belum sampai
tubuhnya benar-benar tegak, Dewi Siluman
telah melesat. Tangan kiri-kanannya
bergerak kirimkan hantaman ke arah dada
dan perut.
Bukkk! Bukkk!
Perempuan berpunuk berseru keras.
Untuk kedua kalinya tubuhnya terlempar
dan jatuh berkaparan di atas tanah. Darah
lebih banyak keluar dari balik cadarnya.
Namun perempuan berpunuk sepertinya
punya tenaga luar biasa. Setelah
mengerjap dan tahu Dewi Siiuman teruskan
langkah ke arahnya, dia coba kerahkan
sisa-sisa tenaganya. Perlahan-lahan
pula dia bergerak bangkit. Seraya
terhuyung-huyung dia sentakan kedua
kakinya ke tanah.
Dua cahaya merah kembali melesat
keluar dari sepasang mata di balik
cadarnya. Namun karena tenaga yang
dikerahkan tidak utuh lagi, daya lesat
cahaya itu sangat lamban. Hingga dengan
sekali sentakan tangan, Dewi Siluman
bisa membuat cahaya merah bertabur
ambyar ke udara. Dan bersamaan dengan
itu, tubuh perempuan berpunuk
terjengkang roboh.
Kali ini Dewi Siluman tak mau buang
waktu. Bersamaan dengan robohnya sosok
perempuan berpunuk dia berkelebat ke
depan. Kedua tangan kiri-kanannya cepat
bergerak menjulur ke bawah.
Brettt! Breettt!
Pakaian perempuan berpunuk besar
robek di bagian dada dan pinggang hingga
tampaklah kulit putih mulus dan dada
kencang membusung dl baliknya. Dewi
Siluman menyeringai. Lalu ayunkan tangan
kanan ke arah muka hendak menanggalkan
cadar penutup si perempuan berpunuk.
Tapi sejengkal lagi cadar penutup itu
tersibak, mendadak ada suara mengekeh
panjang membahana di seantero tempat
itu. "Sudah demikian gilakah dunia ini?
Perempuan bukannya tertarik pada pemuda
tapi tergila-gila pada sesama?
Mungkinkah mata ini yang salah lihat atau
mereka yang salah tempat?"
Dewi Siluman tersentak. Tangannya
cepat ditarik pulang. Lalu berpaling ke
arah datangnya suara.
* * *
SEBELAS
SEBAGAI seorang yang memiliki ilmu
tinggi, meski saat itu sepasang mata Dewi
Siluman tidak menangkap adanya seorang
yang perdengarkan tawa namun seraya
mendengus keras perempuan berjubah dan
bercadar hitam ini putar diri, lalu
mendadak tangan kirinya bergerak meng-
hantam ke udara.
Wuuuttt!
Satu gelombang angin keras melabrak
ganas ke arah sebatang pohon. Pohon Itu
langsung berderak, kejap lain tumbang
keluarkan suara berdebam. Belum sampai
derakan batang pohon menghantam tanah,
satu bayangan melesat dari kerapatan
daun pohon yang hendak tumbang itu dengan
perdengarkan gumaman tak karuan.
Selagi bayangan itu melayang di
udara, Dewi Siluman angkat kedua
tangannya. Serta-merta perempuan ini
membuat gerakan jungkir balik dua kali.
Pada putaran yang ketiga
sekonyong-konyong tangan kiri-kanannya
dihantamkan ke depan, ke arah sosok yang
kini teiah tiga Iangkah di hadapannya!
Bukkk! Bukkk!
Terdengar seruan tertahan. Lalu
terlihat satu sosok mencelat sampai tiga
tombak dari tempat di mana sekarang Dewi
Siluman berada. Namun Dewi Siluman
terlihat pentangkan sepasang matanya
lalu perdengarkan suara menggerendeng
panjang pendek.
"Setan alas! Manusia satu itu memang
luar biasa!" desisnya sambil memandang
ke depan. Tiga tombak di depan sana
tampak satu sosok membelakangi dengan
posisi menungging dan perdengarkan tawa
mengekeh panjang!
Mendadak orang yang menungging ini
putuskan tawanya. Lalu balikkan tubuh
dengan kepala mendongak. Ternyata dia
adalah seorang kakek berambut putih
panjang. Wajahnya pucat dengan sepasang
mata melotot besar. Kakek ini tidak punya
leher, dan seraya mendongak dia buka
mulutnya lebar-lebar seolah ingin
perlihatkan mulutnya yang tak bergigi!
"Iblis Ompong!" teriak Dewi
Siluman. "Aku tak suka bicara dua kali.
Lekas tinggalkan tempat ini!"
Si kakek di depan sana dan memang
Iblis Ompong adanya maju satu langkah.
"Eh. Kau mengenaliku. Tapi karena
kau mengenakan cadar, berat dugaan aku
sulit menerka siapa adanya dirimu. Boleh
sejenak kubuka penutup wajahmu?"
"Iblis Ompong! Enyah dari
hadapanku!"
"Baik. Kalau kau tak izinkan aku
membuka cadar melihat wajahmu, aku akan
turuti ucapanmu tinggalkan tempat ini.
Tapi izinkan aku bawa serta kedua orang
itu!"
Seraya berkata Iblis Ompong arahkan
jari telunjuknya ke arah Pendekar 131
yang masih duduk di atas tanah dengan
mata terpejam dan pada perempuan
berpunuk yang diam terkapar di tanah
dengan bagian dada dan pinggang
pakaiannya robek besar.
"Hem.... Begitu? Boleh kau bawa
serta kedua orang ini. Tapi sebagai
gantinya tinggalkan nyawamu untukku!"
"Mana bisa begitu? Tawaranmu
terlalu mahal. Aku akan membawa keduanya
tanpa tinggalkan apa-apa untukmu.
Tapi.... Kalau kau suka, bagaimana kalau
nyawaku kuganti saja dengan celanaku
ini, hitung-hitung sebagai kenangan
kecil untukmu...."
Belum habis bicara, Iblis Ompong
membuat gerakan hendak membuka
celananya, membuat Dewi Siluman
bantingkan kakinya ke tanah.
"Jahanam tua jorok! Siapa ingin
lihat tubuh keriputan milikmu, hah?!"
"Jangan salah sangka! Aku tak akan
bertindak yang bukan-bukan. Aku hanya
ingin serahkan celanaku untukmu....
Ha.... Ha.... Ha...! Tapi kalau matamu
tak suka melihat, kau tahu apa yang harus
kau lakukan...." Iblis Ompong teruskan
gerakannya yang hendak lorotkan
celananya. Namun gerakan Iblis Ompong
tertahan tatkala saat itu juga dari arah
depan terdengar satu deruan keras, di
lain saat kabut berwarna hitam
menggebrak ke arah Iblis Ompong.
Iblis Ompong buka mulutnya semakin
lebar. Lalu balikkan tubuh dan
serta-merta hantamkan kedua tangannya ke
belakang.
Wuuut! Wuuutt!
Dari kedua tangan si kakek melesat
dua asap putih bergulung-gulung. Begitu
asap putih melesat,
Iblis Ompong tekuk tubuhnya ke
depan. Sepasang kakinya direntangkan.
Tiba-tiba raut wajahnya nongol di antara
kedua rentangan kakinya yang kini dalam
posisi menungging. Mulutnya
digembungkan sejenak, lalu disemburkan
ke belakang, ke arah dua asap putih.
Busss!
Dua asap putih serta-merta
mengembang besar. Lalu terdengar letupan
keras saat kabut hitam pukulan Dewi
Siluman melabrak. Asap putih bertabur
pecah di udara. Hebatnya, kejap kemudian
taburan asap putih bersatu kembali dan
secepat kilat melesat deras ke arah Dewi
Siluman!
Dewi Siiuman tersentak. Didahului
bentakan nyaring, tubuhnya melenting ke
udara setinggi dua tombak. Serta-merta
kedua tangannya bergerak kirimkan
pukulan, lalu perempuan ini sentakan
kepalanya. Tiba-tiba saja dari sepasang
matanya melesat dua cahaya hitam terang
silaukan mata!
"Sinar Setan!" desis Iblis Ompong
mengenali pukulan yang melesat keluar
dari sepasang mata Dewi Siluman.
"Dalam rentang rimba persilatan,
hanya satu orang yang memiliki pukulan
'Sinar Setan'. Jadi apakah perempuan ini
adanya...?!"
Iblis Ompong geleng-gelengkan
kepalanya di antara rentangan kaki, lalu
mulutnya dikatupkan rapat-rapat. Sesaat
kemudian dia melompat ke depan. Masih
dengan tetap membelakangi, kakek ini
hantamkan kedua tangannya ke belakang.
Wuutt! Wuuutt!
Dua bola mata tampak menggelinding
perdengarkan suara berderak-derak.
Bummm!
Terdengar ledakan dahsyat ketika
cahaya hitam silaukan mata bentrok
dengan dua bola asap. Tanah di tempat itu
bergetar. Di atas tanah tampak ular pan-
jang. Lalu di atas sana terlihat gumpalan
benda hitam yang bersamaan dengan
terdengarnya ledakan benda hitam itu
pecah berantakan. Kini di udara tampak
taburan tanah menghalangi pemandangan!
Sesaat setelah terdengarnya
ledakan, terlihat dl antara kepekatan
suasana sosok Dewi Siluman terseret
deras ke belakang. Di seberang depan,
tubuh Iblis Ompong terhuyung-huyung.
Tapi kakek Ini segera putar tubuh dan
seraya buka mulutnya lebar-lebar, kedua
tangannya dihantamkan ke tanah di depan
sana, hingga saat itu juga pemandangan
makin bertambah pekat karena tanah
semakin banyak bertabur di udara.
Ketika taburan tanah sirna, Dewi
Siluman terkesiap. Sosok Iblis Ompong
tak tampak lagi di depan sana. Perempuan
ini segera putar kepala dengan sepasang
mata menyapu berkeliling. Tiba-tiba ter-
dengar suaranya tertahan keras. Ternyata
sosok perempuan berpunuk dan Pendekar
131 juga lenyap dari tempatnya
masing-masing!
"Keparat jahanam!" maki Dewi
Siiuman seraya angkat kedua tangannya.
Seraya putar tubuh dia hantam apa saja
yang terlihat oleh matanya. Hingga
sejenak kemudian untuk kesekian kallnya
tempat itu ditaburi tanah dan daun-daun
yang telah hangus kering.
Selagi taburan tanah belum sirap,
tiba-tiba dua bayangan berkelebat.
Menduga si bayangan adalah Iblis Ompong,
Dewi Siluman melesat memapak. Kedua
tangannya berkelebat lancarkan satu
pukulan.
"Tahan pukulan!" satu seruan
membuat Dewi Siluman tank pulang kedua
tangannya. Sepasang matanya dari lobang
cadar memperhatikan dengan dada bergerak
turun naik ke depan, dimana kini terlihat
dua sosok tubuh tegak sepuluh langkah
dari tempatnya berdiri.
Mereka berdua ternyata dua gadis
muda berparas cantik jelita. Sebelah
kanan mengenakan jubah besar warna
kuning, sedang satunya mengenakan jubah
besar warna biru.
"Guru...!"
Tiba-tiba kedua gadis itu berseru
bersamaan begitu mengenali siapa adanya
perempuan berjubah dan bercadar hitam.
Kedua gadis ini segera menjura
dalam-dalam.
Untuk beberapa saat Dewi Siluman
perhatikan kedua gadis dl hadapannya
dengan mata tak berkedip. Lalu buka mulut
perdengarkan suara keras. "Wulandari.
Ayu Laksmi! Mana Sitoresmi...?!" Gadis
berjubah kuning dan biru yang bukan lain
Wulandari dan Ayu Laksmi adanya angkat
kepala masing-masing. Lalu saling
berpandangan dengan mulut sama
terkancing!
"Kalian tidak tuli. Aku tanya, mana
Sitoresmi?!"
"Maaf, Guru. Kami berpencar. Aku
menuju arah utara. Ayu Laksmi ke arah
barat. Sedang Sitoresmi menuju ke
timur...."
"Mana dengan tugas kalian...?!"
Untuk kedua kalinya Wulandari dan
Ayu Laksmi saling pandang. Karena agak
lama tak ada juga yang buka mulut untuk
menjawab, Dewi Siluman membentak garang.
"Apakah perlu mulut kalian
kupecahkan?!"
"Maaf, Guru...," Wulandari buka
suara. "Kami belum berhasil mendapatkan
apa yang kami buru. Sebenarnya kami
hampir saja...."
"Diam! Aku tak butuh alasan!" potong
Dewi Siiuman.
"Tapi, Guru...."
Lagi-lagi sebelum ucapan Wulandari
habis, Dewi Siluman telah menukas.
"Tutup mulutmu! Sekali lagi buka
mulut, aku tak ada beban untuk tanggalkan
nyawa kalian! Dengar?!"
Wulandari dan Ayu Laksmi tak ada
yang berani buka suara. Mereka berdua
hanya merunduk dengan sesekali melirik.
"Dengar! Cari Sitoresmi. Kuberi
waktu sampai matahari terbenam!"
Karena untuk beberapa saat
Wulandari dan Ayu Laksmi masih diam di
tempatnya masing-masing, Dewi Siluman
bantingkan kaki seraya menghardik
"Sialan! Apalagi yang kalian
tunggu, hah?!"
Wulandari dan Ayu Laksmi tersentak
kaget. Buru-buru keduanya menjura dalam.
"Kami berangkat, Guru...," ucap
Wulandari lalu berkelebat tinggalkan
tempat itu seraya menarik tangan Ayu
Laksmi.
Begitu kedua muridnya berlalu, Dewi
Siiuman menarik napas panjang dan dalam.
"Kalau dugaanku benar. Tak ada yang
setimpal untuknya kecuali siksa seumur
hidup di Istana Setan!"
Dewi Siluman mendongak ke langit.
Tiba-tiba dia perdengarkan suitan
panjang. Meski suitan biasa, karena
dikerahkan dengan tenaga dalam, suaranya
sempat memantul dan mengiang lama di
seantero tempat itu.
Tak berselang lama, terdengar
gemeretak roda kereta melaju cepat ke
arah Dewi Siluman. Sesaat Dewi Siluman
luruskan kepala dan putar diri, di depan
sana terlihat sebuah kereta yang dikusir
oleh seorang kakek berambut putih yang
disanggul tinggi ke atas mengenakan
jubah warna hitam.
Si kakek yang bukan lain adalah KI
Buyut Pagar Alam jerengkan sepasang
matanya sejenak, lalu berpaling ke
belakang, di mana terdapat sebuah peti di
bagian belakang keretanya. Mendadak si
kakek sentakkan kedua tangannya.
Bersamaan dengan itu terdengar suara
berderit. Ternyata, tutup peti itu telah
bergerak membuka.
Dewi Siluman gerakan bahunya,
sekali kelebat, sosok perempuan berjubah
dan bercadar hitam ini melesat dan lenyap
masuk ke dalam peti.
Kejap kemudian, kereta pembawa peti
itu telah melaju cepat meninggalkan
suara gemeretak yang menggema di
seantero tempat itu.
SELESAI
Ikuti lanjutan serial ini dalam
episode :
"MALAIKAT PENGGALI
KUBUR"
0 comments:
Posting Komentar