..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 24 November 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE RAHASIA PEDANG SILUMAN DARAH

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 RAHASIA PEDANG SILUMAN

oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1990

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Gambar Sampul oleh

Setting oleh: Trias Typesetting

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah

dalam episode:

Rahasia Pedang Siluman

128 hal.; 12 x 18 cm


SATU


Pagi masih buta, ketika dari 

sebuah rumah gubuk terdengar suara 

seorang wanita tua memanggil anaknya.

"Jaka! Jaka...! Dasar Ndableg, 

anak ini! Jaka! Sudah pagi, apa kau 

tidak dengar kokok ayam?"

Pemuda yang masih tertidur di 

atas dipan, sesaat menggeliat. namun 

dengan segera, ditutupi telinganya 

dengan bantal. Ditariknya sarung yang 

dipakai, menutupi seluruh tubuhnya.

Karena tak ada jawaban dari sang 

anak, sang ibu yang tengah memasak 

nasi segera datang menghampir anaknya 

yang masih mendengkur dengan tubuh 

tertutup kain rapat.

Dengan kesal, disentakkan kain 

sarungnya. Seketika itu pula Jaka pun 

terjaga sembari memandang pada ibunya.

"Ada apa sih, Mak?"

"Jaka! Kamu ndableg benar, sih? 

Lihat! Sebentar lagi matahari akan 

muncul, bangunlah, nak!" berkata sang 

ibu dengan nada penuh kasih sayang.

Dengan agak malas, Jaka segera 

bangkit dari tidurnya. Duduk 

terbengong, dengan kaki menjurai ke 

bawah dipan. Hal itu makin membuat 

sang ibu kembali geleng kepala, tak 

mampu untuk mengucapkan sepatah 

katapun.


Saat itu, sang ibu yang telah 

melihat anaknya sudah bangun, segera 

kembali ke dapur meneruskan memasak 

nasi.

"Aoh! Kasihan, ibu. Semenjak 

ditinggal ayah, segalanya menjadi 

beban ibu. Aku jadi tak mengerti, ke 

mana sebenarnya ayah, kata ibu 

menghilang. Kalau ayah telah mati, 

pasti ada kuburannya atau paling tidak 

aku mendengar. Tapi sampai saat 

sekarang aku tak mendengar apa-apa 

tentang ayahku. Akan aku coba 

menanyakannya pada ibu," dalam hati 

Jaka, demi mengingat keadaan ibunya 

juga keadaan ayahnya yang tak ada 

kabar beritanya.

Setelah itu, Jaka pergi ke sumur 

di belakang rumahnya untuk pergi 

mandi. Sementara ibunya, tampak masih 

sibuk memasak.

Pagi telah tiba, kala kedua anak 

dan ibu tampak duduk di atas dipan 

tengah menyantap sarapan pagi. Hal 

seperti itu telah berjalan hampir 

sembilan belas tahun, kala ayah Jaka 

masih ada bersama mereka.

"Mak, bolehkah Jaka bertanya?"

Tersentak ibunya seketika 

mendengar anaknya berkata. Tak biasa-

biasanya Jaka mengajukan pertanyaan 

sebelum berkata. Biasanya, Jaka 

langsung saja nyerocos bagai kuda. 

Tapi pagi itu, kenapa Jaka berubah?


"Mau tanya apa, anakku?"

"Mak, Jaka sering bertanya dalam 

hati. Ke manakah sebenarnya bapak? 

Kalau memang telah mati, mana mungkin 

tak ada kuburannya? Tapi kalau hidup, 

di manakah adanya?" tanya Jaka, 

setelah untuk beberapa saat terdiam 

memandang ibunya.

Dihelanya nafas panjang-panjang, 

kala mendengar pertanyaan dari sang 

anak, Dipandanginya wajah Jaka, 

sepertinya ada sesuatu di wajah anak-

nya. Tak terasa air matanya berlinang 

dan menetes lembut di pipi.

"Mak, kenapa mak rnenangis? 

Adakah Jaka telah berbicara salah?" 

tanya Jaka, melihat ibunya rnenangis 

penuh kesedihan.

Wanita itu segera mengusap air 

matanya. Dipandangnya Jaka, sebelum 

akhirnya berkata: "Emak menangis bukan 

karena sedih, anakku! Emak terharu 

mendengar pertanyaanmu."

Jaka hanya terdiam, menundukkan 

mukanya dalam-dalam, untuk 

menyembunyikan linangan air mata yang 

terasa hendak menetes di pipinya.

Melihat anaknya hanya tertunduk, 

makin iba dan penuh kasih wanita itu. 

Ia pun berkata lagi:

"Anakku, kalau kau tanyakan 

keberadaan bapakmu, emak sendiri 

kurang mengerti. Emak tak tahu 

keadaannya, mati atau hidup? Namun


jikalau kau memang ingin 

mengetahuinya, baiklah akan emak 

ceritakan padamu."

Dipandanginya wajah anaknya 

lekat-lekat, seperti hendak mencari 

sesuatu. Lalu setelah merasa puas, 

sang ibu pun berkata dengan perlahan:

"Kisah ini terjadi sekitar tiga 

puluh lima tahun yang silam, aku masih 

remaja. Aku merupakan seorang anak 

guru silat yang banyak mempunyai murid 

termasuk ayahmu Eka Bilawa. Aku juga 

ikut berguru pada ayah saat itu. 

Ayahmu, merupakan murid terkasih 

ayahku. Hal ini mengundang rasa iri 

pada hampir setiap murid yang lain, 

termasuk Prahista. Karena 

kecantikanku, banyak dari murid-murid 

ayahku berlomba mencari perhatianku. 

Hanya ayahmulah yang tak 

memikirkannya."

Sesaat wanita itu terdiam, 

memandang kembali pada anaknya yang 

hanya menundukkan muka. Lalu setelah 

sesaat terdiam dan melihat sang anak 

tak ada reaksi apa-apa, wanita itu pun 

melanjutkan ucapannya:

"Hari demi hari terlalui, kami 

semua tampak 

+++++

+++++++

+++++++=+

++++++++

+++++


++++++++

+++++++

dong?" ceplos Jaka bertanya 

seketika, membuat ibunya kembali 

tersenyum mengeleng-gelengkan kepala.

"Kau bisa saja, anakku, emak 

bukanlah seorang pendekar, hanya bisa 

sedikit ilmu silat yang diajarkan oleh 

kakekmu."

"Tapi kenapa emak mampu 

mengalahkan orang-orang persilatan? 

Padahal mereka tak kurang tinggi 

ilmunya!" kembali Jaka bertanya, 

nadanya seperti tak mau percaya 

mendengar ucapan emaknya.

Untuk kesekian kalinya wanita itu 

memandang pada Jaka sembari tersenyum 

dan menggelengkan kepalanya.

"Mungkin musuh-musuh emak tidak 

sehebat pendekar. Dengan kata lain, 

mereka berada di bawah emak."

"Eh, tadi emak menyebut-nyebut 

Prahista. Siapakah dia, mak?" Emaknya 

tersentak dan kembali memandang pada 

sang anak.

"Kenapa, mak?" kembali Jaka 

bertanya, saat melihat emaknya terdiam 

dengan pandangan kosong ke arahnya. 

Lalu dengan suara perlahan Si emak pun 

berkata:

"Ketahuilah, anakku! Ketika aku 

mencari ayah mu, Prahista tanpa


sepengetahuan ayahku menyusul. 

Akhirnya, Prahista pun menemukan aku, 

dan mengajakku untuk kembali ke 

perguruan. Aku menolak dengan alasan 

aku ingin hidup dan mati bersama 

ayahmu. Mendengar jawabanku, seketika 

Prahista marah dan menempelengku. 

Hingga aku terjatuh ke semak-semak, 

yang dipergunakan tempat kami 

bertengkar. Melihat aku terjatuh 

dengan pakaian tersobek, seketika 

nafsu setan Prahista kembali muncul. 

Maka dengan bernafsu, ia bermaksud 

memperkosaku. Beruntung, saat itu juga 

datang orang menolongku dan segera 

membawaku pada ayah. Maka dengan 

bantuan orang yang telah menolongku, 

aku menceritakan siapa sebenarnya 

Prahista, Ayah pun percaya dan 

menyesali tindakannya yang telah 

mengusir ayahmu. Murka ayah, ketika 

Prahista hendak membuat cerita dusta 

lagi. Maka dengan penuh amarah, ayah 

mengusir Prahista dari perguruan dan 

menyuruh para murid-muridnya, untuk 

mencari di mana keberadaan Eka Bilawa, 

ayahmu."

"Apakah akhirnya ayah dapat 

ditemukan?" tanya Jaka, memotong 

ucapan ibunya. Tampak ibunya 

mengangguk, mengiyakan ucapan Jaka dan 

berkata:

"Benar. Dengan susah payah, 

akhirnya murid-murid ayah dapat


menemukan ayahmu. Betapa suka citanya 

aku saat itu, demi melihat ayahmu 

lagi. Kerinduan yang selama ini 

menggeluti hatiku seketika hilang 

terobati, maka atas keputusan ayah, 

akupun dijodohkan dengan ayahmu."

"Wah, asyik dong!" kata Jaka 

berseloroh, membuat ibunya tersipu-

sipu sembari menggeleng-gelengkan 

kepalanya. Setelah menarik nafas, 

ibunya kembali berkata:

"Pernikahan emak dan bapakmu, 

makin menambah ketentraman perguruan 

ayahku. Karena di samping Eka Bilawa 

tampan dan penurut, ia juga memiliki 

ilmu yang tinggi. Namun kebahagiaan 

kami hanya sesaat, ketika pada malam 

keempat puluh, tiba-tiba Prahista 

muncul dengan membawa api dendam. 

Dendam pada ayahku, juga dendam padaku 

karena cintanya ditolak."

"Ah, mungkin ibu pernah ada hati 

padanya kali..." kata Jaka konyol, 

membuat ibunya hanya dapat tersenyum-

senyum menggelengkan kepala.

"Dasar anak konyol! Kalau emak 

ada hati padanya, kenapa emak mesti 

mencari-cari ayahmu? Toh ada dia saat 

itu," jawab emaknya agak sewot melihat 

tingkah anaknya yang konyol dan 

ndableg. Walaupun begitu, masih saja 

sang ibu tersenyum penuh kasih sayang.

"Lalu, apa yang dia dilakukan 

ketika itu?" tanya Jaka kembali,


membuat ibunya entah untuk yang 

keberapa kali tersenyum sembari 

menggelengkan kepalanya. Gemas 

bercampur kesal, melihat tingkah 

anaknya yang ndablegnya bukan main.

"Kau ingin mendengarkan 

kelanjutannya?"

"Ya dong, mak!" jawab Jaka 

seketika demi mendengar pertanyaan 

emaknya.

"Nah, kalau kau ingin 

mendengarnya, kau jangan terlalu 

ceriwis. Diam yang tenang dan 

dengarkan dulu cerita emak, jangan kau 

potong dulu..." kata emaknya, yang 

diangguki oleh Jaka dengan cengar-

cengir.

"Kalau kau ingin mendengarkan 

cerita emak, maka bantu emak dulu 

ngisi bak mandi, lalu pergi ke sawah 

untuk memetik ketimun dan jagung yang 

akan kita makan nanti siang dan sore, 

maukan?" kata emaknya, seketika Jaka 

terbelalak mendengarnya dan segera 

berkata memprotes:

"Ah, kalau berceritanya setelah 

Jaka memetik ketimun dan jagung, Jaka 

engak mau. Jaka mengisi bak mandi saja 

deh!"

Untuk kesekian kalinya, emanya 

pun akhirnya mengalah menuruti kemauan 

anaknya.


"Baiklah. Sekarang kau isi penuh 

bak mandi. Nanti setelah selesai emak 

ceritakan lagi tentang ayahmu."

Suka ria hati Jaka, mendengar 

ucapan ibunya. Maka dengan berjingkat-

jingkat bagaikan anak kecil, Jaka pun 

segera berlalu meninggalkan ibunya 

untuk mengisi bak mandi.

* * *

Karena ingin mengetahui cerita 

tentang ayahnya, hingga Jaka yang 

biasanya agak bermalas-malasan kini 

tampak penuh semangat. Pulang pergi 

dari rumah ke sungai untuk mengambil 

air, sepertinya tak dirasakan. Dengan 

bernyanyi-nyanyi Jaka memikul air yang 

telah diambil dari sungai menuju ke 

rumahnya.

Tanpa terasa, pekerjaan mengisi 

bakpun dapat dikerjakan dengan cepat, 

hingga membuat sang ibu terbelalak 

kaget, kala melihat Jaka telah 

berhenti sambil bersiul dan goyang 

kaki...

"Kau sudah selesai, nak?"

"Sudah, mak! Nah, sekarang Jaka 

menagih janji, Ayo dong, mak... 

ceritakan lagi!" rengek Jaka seperti 

anak kecil yang membuat ibunya kembali 

tersenyum dan geleng-gelengkan 

kepalanya.


"Baiklah! Emak akan 

menceritakannya, tapi sebelumnya kau 

jangan memotong perkataan emak!"

"Ya, deh... Ayo dong, mulai!" 

Dengan terlebih dahulu menarik 

natas, wanita setengah baya itu pun 

akhirnya bercerita lagi.

"Prahista datang dengan maksud 

membalas dendam pada ayah dan diriku, 

yang telah mengusir dan menolak 

cintanya. Prahista malam itu membuat 

keonaran, dengan membunuh beberapa 

murid perguruan. Melihat hal itu, ayah 

marah besar. Maka tak dapat 

dibayangkan, ayahpun seketika melabrak 

Prahista yang seketika itu dapat 

dikalahkan. Sesaat kami kembali aman, 

karena Prahista telah pergi menghilang 

bagaikan ditelan bumi. Sebagai mana 

layaknya seorang pendekar, maka aku 

dan ayahmu pun berkelana untuk 

menambah pengalaman."

Sesaat wanita setengah baya 

itupun terdiam, menarik nafas panjang-

panjang sebelum berkata kembali.

"Saat kebahagian berjalan baru 

beberapa waktu, kembali Prahista 

datang dengan membawa kebencian dan 

dendam di hatinya. Prahista dengan 

congkaknya menantang ayahmu, yang 

tadinya menolak. Karena didesak terus 

dan diejek, akhirnya kemarahan ayahmu 

pun timbul. Tak dapat dibayangkan, 

bila ayahmu telah marah. Tantangan


Prahista pun ditanggapinya, hingga 

terjadilah perkelahian keduanya. 

Perkelahian yang sangat seru karena 

keduanya sama-sama tangguh. Tapi 

rupanya ilmu ayahmu masih di atas ilmu 

Prahista, hingga ayahmupun akhirnya 

dapat mengalahkannya."

"Apakah sejak kejadian itu, 

Prahista mau menginsafi?" tanya Jaka, 

memotong cerita yang tengah 

diceritakan ibunya. Sang ibu sesaat 

memandang pada anakiya, menarik nafas 

sesaat sebelum akhirnya berkata 

kembali:

"Benar, sejak saat itu Prahista 

tak muncul-muncul lagi untuk membuat 

keonaran dan teror. Sampai pada waktu 

kamu lahir, Prahista kembali datang 

menemui kami. Prahista bermaksud 

mengambil dirimu, untuk dijadikan 

muridnya. Namun dengan halus ayahmu 

menolaknya. Rupanya penolakan ayahmu 

yang halus, membuatnya tersinggung. 

Maka dengan penuh amarah, Prahista 

kembali menantang ayahmu untuk duel di 

dekat kawah Chandra Bilawa yang 

terkenal dengan sebutan Kawah Siluman 

Darah."

"Apakah ayah menerima tantangan 

itu, mak?" kembali Jaka bertanya ingin 

tahu, sembari memandang wajah ibunya 

lekat-lekat. Sepertinya tengah 

menganalisa ekspresi wajah ibunya yang 

tampak sedih.


Setelah kembali menarik nafas 

panjang, wanita itu kembali meneruskan 

ceritanya: "Sebagai seorang pendekar, 

maka ayahmupun tak mau harga dirinya 

diinjak-injak begitu saja sehingga 

ayahmu mencrima tantangan itu. Pada 

bulan purnama ketujuh, ayahmu pergi 

memenuhi tantangannya. Dan hingga 

sekarang belum ada kabar beritanya 

termasuk Prahista sendiri." Dengan 

berderai air mata wanita setengah baya 

itu mengakhiri ceritanya.

Jaka terdiam, dengan hati trenyuh 

memandang pada ibunya yang tengah 

menangis. Hatinya seketika 

menggelegar, mencambuknya untuk 

mencari bukti keberadaan ayahnya. Maka 

dengan penuh haru, Jaka pun berkata 

pada ibunya:

"Sudahlah, mak. Tak perlu emak 

bersedih. Bukankah masih ada Jaka yang 

menemani emak?"

Mendengar kata-kata anaknya, 

seketika sang ibu pun segera mengusap 

air mata. Di bibirnya tergerai seulas 

senyum, walau senyum yang dipaksakan 

untuk menutupi kepedihannya.

"Emak, besok pagi Jaka hendak 

mencari bapak!"

Tersentak wanita setengah baya 

itu, demi mendengar ucapan anaknya, 

hingga tanpa sadar wanita itupun 

mendesah.


"Ah... Jangan anakku! Kau tak 

mampu apa-apa. Aku takut kau akan 

mengalami kesulitan, bila harus 

menempuh perjalanan jauh. Lagipula, 

keberadaan bapakmu tak diketahui 

rimbanya."

"Jaka hendak ke Chandra Bilawa. 

Siapa tahu di sana Jaka dapatkan 

keterangan keberadaan ayah," kata Jaka 

dengan suara yakin hingga membuat 

ibunya tak mampu berkata lagi.

"Baiklah, nak! Kalau kau berkeras 

hati untuk mencari ayahmu, maka emak 

pesan kau harus hati-hati, merendahlah 

dan jangan sombong dan congkak, sebab 

kesombongan dan kecongkakkan, akan 

mengundang permusuhan. Emak hanya 

dapat berdoa semoga kau selalu 

dilindungi oleh yang Kuasa," kata 

emaknya, setelah terdiam sesaat demi 

melihat keteguhan anaknya.

"Terima kasih, mak! Sekarang Jaka 

hendak ke sawah, mengambil ketimun dan 

jagung untuk makan siang nanti. 

Cihui...!" Dengan bersorak gembira, 

Jaka segera berlari ke dapur mengambil 

keranjang untuk tempat mentimun dan 

jagung. Emaknya hanya menggeleng 

kepala, menyimpulkan senyum di bibir.

"Mak, aku pergi dulu ke sawah!" 

kata Jaka, yang dianggukki oleh 

ibunya. Maka dengan diiringi tatapan 

mata ibunya, Jaka pun segera berlalu


meninggalkan rumah menuju ke sawah 

untuk memetik mentimun dan jagung.

* * *

Esok paginya, Jaka dengan 

diiringi tangis ibunya pergi untuk 

mencari ayahnya yang tanpa kabar 

berita menuju ke kawah Chandra Bilawa.

Langkahnya mantap, sepertinya 

yakin kalau ia akan segera dapat 

menemukan ayahnya. Dengan bernyanyi-

nyanyi kecil, Jaka terus melangkah 

entah ke mana. Jaka baru tersadar 

bahwa ia belum tahu letak kawah 

Chandra Bilawa yang hendak ia tuju.

"Huh, bagaimana aku ini? Mana 

mungkin aku akan dapat menuju ke 

Chandra Birawa, kalau letaknya pun 

belum kuketahui? Goblok benar aku, 

kenapa aku tak menanyakan pada emak di 

mana letak Chandra Bilawa. Ah, 

pusing!"

Tengah Jaka kebingungan, tampak 

olehnya seorang lelaki muda berjalan 

menuju ke arahnya. Seketika hatinya 

bergembira, mengharap pemuda itu dapat 

memberikan gambaran jalan yang harus 

ditempuhnya.

"Sampurasun...!" sapa Jaka pada 

pemuda yang hendak berlalu melewatinya 

yang dengan seketika berhenti sembari 

menjawab salam yang diucapkan Jaka.


"Rampes...! Ada apakah gerangan, 

hingga Ki Sanak menghentikan 

langkahku?"

"Maaf, Ki Sanak! Kalau boleh, aku 

hendak bertanya. Di manakah letak 

kawah Chandara Bilawa?"

Terbengong-bengong pemuda itu, 

mendengar pertanyaan yang dilontarkan 

Jaka. Dipandanginya wajah Jaka yang 

segera memandang pada tubuhnya dan 

bertanya.

"Ada apakah dengan tubuhku? 

Hingga Ki Sanak memandangku begitu? 

Apakah ada keganjikan pada 

tubuhku...?"

Pemuda yang ditanya tergagap, 

menyadari bahwa sedari tadi tengah 

memandang pada Jaka dengan pandangan 

yang tajam. Maka dengan terbata-bata, 

lelaki itupun berkata meminta maaf.

"Ma... maaf! Aku kaget demi 

mendengar pertanyaan yang Ki Sanak 

ajukan padaku. Karena saking kagetnya 

hingga aku sampai berbuat begitu. 

Kalau Ki Sanak ingin ke sana, aku tak 

dapat menjawab pertanyaan Ki Sanak."

Tercengang Jaka mendengar jawaban 

pemuda di hadapannya yang dirasa aneh 

kedengarannya. Maka dengan mata 

menyipit, Jaka pun bertanya kembali.

"Kenapa…?"

"Tidak apa-apa!" jawab pemuda 

itu, yang segera hendak pergi 

meninggalkan Jaka. Jaka mencekal


tangan pemuda yang hendak 

meniggalkannya.

"Tunggu dulu!" 

"Ada apa lagi?" tanya pemuda itu 

tak mengerti, demi melihat Jaka 

menarik tangannya.

"Tak dapatkah Ki Sanak memberikan 

arah yang harus kutuju...? Biarlah aku 

akan berusaha mencarinya sendiri," 

kata Jaka memohon.

Rupanya pemuda itu merasa iba 

juga melihat Jaka merengek penuh iba. 

Maka dengan berbisik, pemuda itupun 

menerangkan jalan yang harus ditempuh 

Jaka untuk dapat sampai di Chandra 

Bilawa.

Dengan mengucapkan terima kasih 

terlebih dulu pada pemuda itu, 

bergegas Jaka melanjutkan 

perjalanannya menuju ke kawah Chandra 

Bilawa.



DUA



Kawah Chandra Birawa tampak sepi, 

seperti tak ada penghuninya, Uap yang 

mengepul dari dalam kawah, membubung 

dan menutupi permukaan kawah.

Keheningan di sekitar kawah, 

seketika terpecah oleh suara jeritan-

jeritan orang. Tampak dari kejauhan, 

empat orang tua berlari saling kejar. 

Tiga laki-laki, dan satu orang nenek-

nenek


"Berhenti! Mari kita lanjutkan di 

sini!" kata lelaki tua yang berlari 

paling depan, kepada tiga orang yang 

berlari di belakangnya yang segera 

menghentikan larinya.

Keempat orang tua itu sesaat 

saling pandang dan sekilas dari bibir 

mereka terurai senyum. Hening untuk 

beberapa saat, sampai akhirnya orang 

yang paling tua berkata kembali:

"Apakah kita akan melanjutkan adu 

ilmu kesaktian kita?"

"Ya, sampai salah seorang di 

antara kita dapat dikatakan melebihi 

kesakitan kita semua. Kalau sudah 

didapat siapa yang paling tinggi 

ilmunya maka kita harus mengakui dan 

menjadi pengikutnya. Bagaimana?" kata 

si nenek memutuskan, yang diangguki 

oleh ketiga kakek-kakek itu.

"Baik. Kalau itu yang kita 

sepakati. Nah, siapa yang akan 

memulainya?" kembali kakek yang paling 

tua bertanya.

Sesaat ketiga orang tua lainnya 

terdiam, saling pandang-memandang, 

hingga kembali terdengar ucapan si 

nenek berkata: "Apakah tidak lebih 

baik kita berbareng?"

"Maksudmu?" tanya kakek yang agak 

muda tak mengerti.

"Kita berbareng mengadu ilmu 

kita, bagaimana?" Tanya si nenek 

kembali, meminta kepastian dari ketiga


kakek itu, Ketiga kakek itu sesaat 

terdiam, sepertinya tengah berpikir. 

Kemudian kembali kakek yang paling tua 

berkata: "Sebetulnya kita tak perlu 

harus mengadu ilmu yang akan 

mengakibatkan salah seorang di antara 

kita akan celaka. Apakah tidak lebih 

baik ilmu yang kita miliki kita 

turunkan saja pada sesorang?"

"Benar!" kata Ki Bayong. "Memang 

lebih baik kita tak usah berdebat 

pantat untuk hal-hal yang tak perlu. 

Lebih baik ilmu yang kita miliki, kita 

wariskan pada seseorang yang kita 

harapkan akan dapat meneruskan kita. 

Di samping kita tidak sia-sia menguras 

tenaga, maka kita juga secara tak

langsung akan terus mengikat 

persaudaraan di antara kita. 

Bagaimana, Ni Rukmini?" tanya kakek 

yang seorang lagi yang usianya lebih 

muda dari kedua kakek lainnya

"Baiklah, aku setuju dengan saran 

kalian. Bagaimana dengan Ki Borwa?" 

kata Ni Rukmini setelah terdiam untuk 

beberapa saat, Ki Borwa kakek yang 

paling muda di antara kedua kakek 

lainnya, akhirnya berbicara setelah 

terdiam.

"Aku pun setuju! Memang kalau 

kita mengadu ilmu, aku rasa hal itu 

akan sia-sia. Di samping kita akan 

pecah, maka hal lainnya menjadikan 

kita sombong. Hal itu akan mencemarkan


nama persatuan kita yang sudah kondang 

dengan julukan Empat Pendekar Tua dari 

goa Rangga."

"Lalu sekarang kita harus mencari 

anak yang akan kita angkat sebagai 

murid yang nantinya akan membawa 

panji-panji perguruan! Nah lihat! Di 

sana tampak seorang pemuda menuju ke 

mari!" Kata Ki Bayong menunjuk ke arah 

Timur.

Seketika, semuanya segera 

memandang ke arah yang ditunjukkan Ki 

Bayong. Memang tampak seorang pemuda 

berjalan dengan menyeret kaki menuju 

ke arah di mana keempat orang tua itu 

berada.

"Sepertinya pemuda itu telah 

berjalan jauh, hingga jalannya 

kecapaian. Apakah kita tak segera 

membantunya?" tanya Ki Darsa, iba 

melihat keadaan pemuda itu.

"Tak perlu. Aku melihat ada 

kelebihan pada pemuda itu. Lihatlah! 

Tubuh pemuda itu, mengingatkan kita 

pada seorang tokoh persilatan. Kalian 

ingat?" tanya Ki Bayong yang 

menjadikan ketiga orang tua lainnya 

terdiam memperhatikan tubuh pemuda itu 

dengan seksama hingga kemudian 

terdengar Ni Rukmini memekik

"Ah! Benar! Aku ingat sekarang, 

aku ingat!"

"Hai! Kenapa kau berteriak-

teriak, Ni?" tanya Ki Borwa yang tak


mengerti dengan ucapan Ni Rukmini. 

"Kau ingat apa?" lanjut Ki Borwa 

bertanya.

"Apakah kalian tak mengingat 

seorang tokoh silat yang tiga puluh 

tahun yang silam pernah menggegerkan 

dunia persilatan yang kini hilang tak 

tentu rimbanya?" Ni Rukmini berkata, 

mencoba mengingatkan pada ketiga kakek 

lainnya.

Ketiga kakek itu tersentak, kala 

mendengar ucapan Ni Rukmini. Ketiganya 

seketika mengingat-ingat, siapa 

gerangan tokoh yang dikatakan Ni 

Rukmini.

Dari kejauhan pemuda itu tampak 

berjalan mendekati keempat orang tua 

renta itu yang terus memperhatikan. 

Pemuda itu terbelalak matanya, melihat 

keempat orang tua telah ada di kawah 

Chandra Bilawa.

"Siapakah mereka? Nampaknya 

mereka tengah menungguku," kata hati 

anak muda itu sembari terus melangkah 

ma kin mendekati ke arah keempat orang 

tua itu.

"Ya! Sekarang aku ingat!" seru Ki 

Bayong setelah mengingat-ingat siapa 

gerangan tokoh yang mempunyai wajah 

seperti pemuda yang tengah berjalan ke 

arah mereka.

"Siapa Ki Bayong?" tanya Ki Borwa 

dan Ki Darsa hampir berbarengan, 

sembari memandang pada Ki Bayong yang


menyipitkan mata, mengingat-ingat 

tokoh silat yang wajahnya mirip dengan 

pemuda itu.

"Ingatkah kalian pada dua tokoh 

persilatan yang bertempur di kawah 

Chandra Bilawa?"

"Ya. kami ingat! Yang satu 

bernama Ki Bilawa yang sekarang 

namanya dipakai nama kawah ini, dan 

satunya adik seperguruannya yang 

bernama Ki Prahista yang sekarang tak 

ada kabar beritanya. Bukankah mereka 

yang kau maksud, Ki Bayong?" jawab Ki 

Borwa, kakek yang paling muda di 

antara keempatnya.

Sebenamva keempat orang itu 

adalah saudara seperguruan. Karena 

keempatnya tak mau ada yang mengalah 

dalam hal ilmu kedigjayaan, maka keem-

patnya sepakat untuk mengukur ilmu 

masing-masing. Keempatnya merupakan 

pendekar-pendekar yang selalu 

mengembara untuk memburu ambisi. 

Mereka tak memperdulikan diri mereka 

sendiri yang telah tua renta hingga 

mereka tak pernah mengambil murid 

barang seorangpun, karena sibuk dengan 

kepentingan dirinya untuk dapat diakui 

sebagai orang yang paling sakti di 

antara ketiga saudara seperguruannya.

Keempat orang tua itu, telah 

bertahun-tahun mengembara dan 

memperdalam ilmu masing-masing guna 

memenuhi janji mereka untuk bertemu di


kawah Chandra Bilawa. Mereka telah 

bersepakat, untuk mengadu kesaktian 

masing-masing agar dapat diketahui 

siapa yang paling sakti. Dan ketika 

waktunya tiba, keempat orang itupun 

datang ke tempat itu, hingga akhirnya 

mereka menyadari dan bermaksud 

mengangkat serta menurunkan ilmunya

pada orang lain.

Kini telah datang ke arah mereka, 

seorang pemuda yang mengingatkan 

mereka pada salah seorang tokoh kakak 

beradik seperguruan yang dulu pernah 

bertempur di kawah ini.

"Benar! Anak muda itu, wajahnya 

mirip dengan tokoh yang namanya 

dijadikan nama kawah ini."

Terangguk-angguk kepala ketiga 

orang tua lainnya, mendengar penuturan 

Ki Bayong. Kini mereka tahu siapa dua 

tokoh silat yang pernah merajai dunia 

persilatan yang kini hilang entah di 

mana rimbanya.

Pemuda itu terus melangkah, makin 

mendekati keempat orang tua yang 

tengah berdiri memandang ke arahnya. 

"Sampurasun...!" sapa si pemuda, 

setelah dirinya dekat benar dengan 

keempat orang tua itu.

"Rampes...! jawab keempatnya 

hampir berbarengan.

"Maaf kakek-kakek, dan nenek. 

Apakah boleh aku tahu, benarkah ini 

kawah Chandra Bilawa?" kembali anak


muda itu bertanya yang dijawab dengan 

anggukan kepala keempat orang tua di 

hadapannya.

"Benar, anak muda! Ini kawah 

Chandra Bilawa, ada gerangan apakah?" 

Ki Bayong yang tertua di antara 

keempatnya bertanya mewakili ketiga 

adik seperguruannya.

"Aku ingin mencari bukti."

Terbelalak keempat orang tua itu 

mendengar perkataan pemuda yang ada di 

hadapan mereka, hingga saking 

terkejutnya, mereka pun berseru kaget. 

"Bukti! Bukti apakah?"

Sesaat pemuda itu terdiam 

menundukkan mukanya. Ditariknya nafas 

perlahan, akhirnya dia berkata 

kembali.

"Kakek-kakek dan nenek, aku ingin 

mencari bukti, keberadaan bapakku yang 

hilang entah ke mana. Menurut emak, 

bapak pernah datang ke mari."

"Siapa nama bapakmu, anak muda?" 

tanya Ni Rukmini ingin tahu, sembari 

memandang tajam pada pemuda itu 

sepertinya tengah meyakinkan dirinya 

sendiri.

"Aku anak Eka Bilawa," jawab 

pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg 

adanya. Seketika keempat orang tua itu 

tersentak dan melompat mundur demi 

mendengar ucapan Jaka.

"Weh, weh. Benar juga dugaanku." 

kata Ni Rukmini, sepertinya berkata


pada diri sendiri. Dipandanginya Jaka 

dengan penuh seksama, akhirnya berkata 

kembali: "Anak muda, tak kusangka 

kalau kau adalah anak Eka Bilawa.”

"Benar, Nini!"

"Hai anak muda, maukah kau kami 

angkat menjadi murid kami?" tanya Ki 

Darsa, setelah hilang keterkejutannya.

"Ya, anak muda. Kami akan 

mewariskan semua ilmu kami padamu 

hingga kelak kau seperti ayahmu. Kau 

akan menjadi orang yang sakti," 

menambahkan Ki Borwa.

Namun dengan tersenyum-senyum, 

Jaka Ndableg berkata tenang yang 

menjadikan keempat orang tua sakti itu 

terbelalak matanya, melotot tak 

percaya pada apa yang diucapkan Jaka

"Maaf, kakek-kakek dan nenek. Aku 

dengan terpaksa menolak permintaan 

kalian, karena aku belum mau menjadi 

orang gelandangan."

"Hai! Apa kau bilang?!" tanya Ki 

Borwa, melotot kaget.

"Aku tak ingin jadi gelandang 

dulu!" kata Jaka, mengulangi kata-kata 

yang telah diucapkannya. Sementara 

bibirnya tersenyum, sembari duduk 

mengejoprak di tanah dengan tenang dan 

acuh.

"Kau bilang gelandangan. Apakah 

kami ini pantas jadi gelandangan?" Ki 

Bayong kembali bertanya. Nadanya 

pelan, sepertinya tak marah dengan


ucapan Jaka yang masih terduduk di 

tanah.

"Gini, Ki. Maksudku, aku tak mau 

jadi orang persilatan dulu. Bukankah 

orang persilatan seperti orang 

gelandangan yang tak pernah menetap 

pada suatu tempat?"

Tertawa bergelak-gelak 

keempatnya, demi mendengar ucapan yang 

dilontarkan Jaka. Maka dengan masih 

tertawa bergelak-gelak, keempatnya 

seketika menyerang Jaka yang tersentak 

kaget dan bertanya-tanya.

"Hai! Apa-apaan kalian ini? 

Kenapa kalian tiba-tiba menyerangku? 

Apa salahku?" Jaka segera bangkit, 

berkelit dari samberan keempat orang 

tua yang menyerangnya.

Melihat Jaka berkelit, makin 

membuat keempatnya penasaran dan 

meningkatkan serangannya. Kejar-

mengejar terjadi antara keempat orang 

tua yang bermaksud menangkap Jaka, 

yang terus berlari dan mengelak.

"Kau mau nurut kami, enggak?" 

kata Ki Borwa, sembari menghalangi 

langkah Jaka yang akhirnya dapat 

dikurung oleh mereka.

"Baiklah, baiklah, aku menurut. 

Tapi aku hendak mencari keterangan 

ayahku dulu, baru berguru pada 

kalian," jawab Jaka.

Terbelalak keempat orang tua itu 

mendengar ucapan Jaka hingga dengan


serentak keempatnya bertanya: "Apa 

yang hendak kau lakukan, anak muda? 

Mencari keterangan ayahmu? Kami rasa 

itu perbuatan sia-sia, sebab orang 

yang tahu persis ayahmu adalah Ki 

Prahista musuh ayahmu. Sedangkan untuk 

mencari Ki Prahista, kau harus mampu 

memiliki ilmu silat tinggi. Kalau 

tidak! Sia-sialah dirimu."

"Tapi, aku tak takut dengan 

Prahista," jawab Jaka dengan tenang, 

sepertinya dia mampu mengalahkan 

Prahista yang telah menjadi musuh 

ayahnya.

"Apa yang menjadi andalanmu, anak 

muda? Hingga kau begitu nekad?" tanya 

Ki Bayong, demi mendengar ucapan Jaka.

"Benar, anak muda! Kalau kau 

belum bisa apa-apa, percuma kau 

mencari Prahista. Karena kau akan 

mengalami kesukaran!" menambahkan Ni 

Rukmini. "Maka dari itu, kami ingin 

membantumu untuk dapat menandingi Ki 

Prahista. Kami ingin mengajarkan dan 

menurunkan ilmu kami padamu," lanjut 

Ni Rukmini.

Sesaat Jaka terdiam, memikirkan 

kata-kata Ni Rukmini.

"Benar juga kata mereka. Kalau 

aku tak mampu apa-apa, mana mungkin 

aku dapat mencari Prahista?" kata Jaka 

dalam hati sepertinya membenarkan 

kata-kata keempat orang tua di 

depannya, lalu Jaka pun berkata:


"Baiklah! Tapi aku ingin melihat 

sampai di mana ilmu kalian, hingga aku 

dapat mengetahuinya. Kalau ternyata 

ilmu kalian masih cetek sia-sialah aku 

berguru pada kalian."

"Sombong! Sepertinya kau seperti 

dewa saja, anak muda. Tapi baiklah, 

kami akan memperiihatkan padamu ilmu 

yang kami miliki. Nah, lihatlah!" 

Dengan segera Ki Borwa mengangkat 

tangannya dan dikiblatkan ke arah batu 

yang berdiri di sampingnya. 

"Duar...!" Terdengar ledakan 

dahsyat ketika selarik sinar menerpa 

batu itu.

Terbelalak mata Jaka, kala 

melihat apa yang terjadi. Kepalanya 

tergeleng-geleng, seakan tak percaya 

pada apa yang dilihatnya.

"Bagaimana, anak muda? Apakah 

kurang yakin?" tanya Ki Bayong yang 

dijawab dengan geleng-an kepala oleh 

Jaka sembari berkata:

"Tidak! Aku yakin. Kalau kalian 

memang tinggi ilmunya. Baiklah, aku 

akan menurut menjadi murid kalian."

Tersenyum keempatnya mendengar 

ucapan Jaka. Maka dengan segera, 

keempatnya mengangkat murid pada Jaka. 

Saat itu juga, Jaka diajak mereka 

pergi meninggalkan kawah Chandra 

Bilawa, menuju ke tempat yang akan 

mereka gunakan untuk menggemblengnya.


Tanpa dapat menolak lagi, Jaka 

pun segera menuruti kehendak mereka. 

Dengan digandeng oleh Ki Darsa dan Ki 

Borwa, Jaka dan keempat orang tua itu 

pergi menuju ke tempat yang akan 

mereka gunakan untuk menggemblengnya.

* * *

Di sebuah lembah, tampak dua 

orang lelaki tengah bertempur mengadu 

kesaktian. Tampaknya keduanya telah 

bertempur lama, dan mengumbar jurus-

jurus yang mereka miliki.

Debu di sekitar tempat keduanya 

bertanding, tampak membumbung kala 

kaki-kaki mereka berkelebat. Kedua 

orang itu sepertinya tak ada yang 

bakal menang, atau pun kalah. Keduanya 

saling serang dan saling rangsek, 

berusaha menjatuhkan lawannya.

"Menyerahlah Ki Waspati!" 

terdengar suara salah seorang di 

antara keduanya yang segera 

meningkatkan serangannya berusaha 

mendesak orang yang bernama Ki 

Waspati.

"Jangan harap aku menyerah 

padamu, Ki Prahista!"

"Anjing kurap! Rupanya kau memang 

keras kepala, Ki Waspati! Baiklah 

kalau itu maumu, maka jangan salahkan 

aku bertindak telengas, bersiaplah."


"Aku telah siap dari semula," 

jawab Ki Waspati yung membuat Ki 

Prahista marah yang segera berkelebat 

menyerang Ki Waspati dengan gesitnya.

Kembali keduanya berkelebat 

cepat, menyerang dan mengelak setiap 

serarsgan yang dilancarkan musuh. 

Jurus demi jurus mereka lalui, namun 

kembali keduanya seperti tak akan 

bakalan ada yang kalah atau yang

menang.

Tengah keduanya bertempur, tiba-

tiba terdengar seseorang berseru 

mengagetkan keduanya hingga tersentak 

mundur.

"Berhenti! Kenapa kalian saling 

bentrok! Bukankah kalian satu 

golongan?"

Mendengar orang yang baru datang 

berkata, seketika Prahista mendengus 

dan berkata penuh amarah: "Tikus 

busuk! Apa hakmu mencegah kami! 

Minggir! Atau kau juga ingin mampus di 

tanganku!"

Tersentak orang yang baru datang, 

demi mendengar ucapan Prahista yang 

sepertinya mencari gara-gara. Maka 

dengan balik membentak, orang yang 

baru datang itupun berkata pada 

Prahista:

"Iblis laknat! Dikasih tahu, eh 

malah marah-marah. Kalau kau memang 

tak mau mendengar saranku, aku tak 

memaksamu."


"Bedebah! Rupanya kalian berdua 

telah sekongkol untuk memusuhiku. 

Baik! Majulah kalian berdua, aku tak 

akan mundur setapakpun!"

"Sombong kau, Prahista! Jangan 

kau anggap rendah kami. Hati-hatilah! 

Ayo Ki Rengkut, kita ganyang orang 

sombong ini!" Habis berkata begitu, Ki 

Waspati segera kembali menyerang 

Prahista dibantu oleh Ki Rengkut.

Maka kembali mereka pun terlibat 

perkelahian yang kali ini satu melawan 

dua orang. Karena dilandasi oleh 

amarah dan nafsu ingin segera 

menjatuhkan, maka Prahista pun tanpa 

sungkan-sungkan segera mengeluarkan 

semua ilmu tingkat tingginya.

Meskipun begitu, kedua orang 

musuhnya bukanlah lawan yang baru 

kemarin sore hingga sangat sukar bagi 

Prahista untuk secepatnya mengakhiri 

perkelahian itu.

Jurus demi jurus terus 

terlampaui, bagaikan ketiganya tak 

mengenal lelah menguras seluruh tenaga 

dan kemampuan yang ada. Ketiga orang 

itu, sepertinya bayang-bayang yang 

berkelebat-kelebat dengan cepatnya.

Dari siang hari ketiganya 

berkelahi, sampai menjelang senja. 

Namun ketiganya tak tampak ada yang 

terkalahkan.

Tiba-tiba! Ketika kedua orang 

yang menyerangnya berkelebat hendak


berbareng menyerang, dengan segera 

Prahista melompat ke belakang dan 

bersuit nyaring.

Dari balik bukit seketika tampak 

beratus-ratus orang nongol dan 

berhamburan menuju ke arah ketiganya. 

Tersentak Ki Waspati dan Ki Rengkut, 

demi menyaksikan jumlah orang-orang 

yang seketika menyerangnya.

"Pengecut! Kupanya kau seorang 

pengecut, Prahista!" maki Ki Waspati 

sembari mengelak dan menyerang balik 

pada pengeroyoknya. 

"Ha... ha... ha...! Ki Waspati, 

silahkan bermain-main dulu dengan anak 

buahku. Aku mau istirahat dulu," kata 

Prahista mengejek dan segera 

berkelebat pergi meninggalkan kedua 

orang musuhnya dengan gelak tawa.

"Jangan lari, Prahista!" bentak 

Ki Rengkut sambil berusaha mengejar. 

Namun langkahnya terhalang oleh anak 

buah Prahista.

"Jadah! Rupanya kalian mau 

diperalat Prahista, hingga kalian 

nekad membuang nyawa. Jangan kira kami 

takut, hiat...!" maki Ki Rengkut 

gusar, merasa langkahnya telah 

dihalangi oleh mereka. Bagaikan 

banteng kedaton, Ki Rengkut pun 

mendengus dan menyerang mereka dengan 

ganasnya. Setiap kelebatan tangannya, 

menjadikan jerit kematian yang 

terkena.


Satu persatu pengeroyok itu 

roboh, dengan nyawa melayang dan tubuh 

remuk. Ki Waspati dan Ki Rengkut makin 

mempercepat serangannya, hingga makin 

banyak pula korban yang berjatuhan, 

terhantam atau tersepak tangan dan 

kaki mereka.

Sembari mereka terdesak oleh 

kedua lelaki tua itu, seketika 

terdengar suara suitan nyaring. Mereka 

pun berkelebat lari meninggalkan kedua 

orang tua itu.

Marah kedua orang tua itu, demi 

melihat musuh-musuhnya berserabutan 

lari meninggalkannya. Maka dengan 

mendengus, kedua orang tua itu 

melancarkan serangan jarak jauhnya. 

Tak ayal lagi, korban berjatuhan 

terhantam tenaga dalam mereka.

"Jangan lari!" seru Ki Waspati 

seraya mengejar mereka yang terus 

berlari. Ketika Ki Waspati hendak 

terus mengejar, Ki Rengkut pun segera 

mencegahnya sembari berkata:

"Tak usah dikejar, Ki Waspati."

"Kenapa?" tanya Ki Waspati, 

sembari mengernyitkan keningnya demi 

mendengar saran temannya.

Sesaat Ki Rengkut menarik nafas 

perlahan, akhirnya berkata: "Menurut 

hematku, mereka tak perlu dikejar 

sebab aku yakin, mereka akan jera 

dengan kita. Lebih baik kita kembali 

ke ketua untuk menceritakan hal ini.


Aku ada firasat, kalau di balik hai 

ini tersembunyi sesuatu maksud."

"Sesuatu maksud. Maksud apa 

menurutmu, Ki Rengkut?"

"Apakah Ki Waspati tidak melihat 

ambisi yang ada di hati Ki Prahista?" 

tercenung Ki Waspati mengerutkan alis 

matanya, mendengar ucapan Ki Rengkut

yang menurutnya sangat teliti dan 

seksama dalam menilai seseorang. Lalu 

dengan terlebih dahulu mengangguk-

anggukkan kepala, Ki Waspati pun 

berkata:

"Benar juga. Aku rasa juga 

demikian, sebab tak biasa-biasanya 

Prahista menentangku. Hem... tak 

kusangka. Ayo, kita segera menghadap 

ketua, agar ketua mengerti."

Dengan segera, kedua orang itu 

berkelebat meninggalkan bukit itu 

untuk mengadukan apa yang mereka 

ketahui pada pimpinannya.

Kedua orang itu, juga Ki Prahista 

adalah anggota perserikatan tokoh-

tokoh silat tua. Mereka diikat dalam 

sebuah wadah yang bernama "Perserika-

tan Sakti" diketuai oleh seorang 

pendekar berilmu tinggi bernama Danu 

Reksa.

***


TIGA


Di kaki gunung Slamet, tampak 

empat orang tua, tengah memperhatikan 

seorang pemuda yang tengah berlatih 

ilmu silat. Wajah keempat orang tua 

itu nampak berseri-seri, kala 

memperhatikan pemuda itu memainkan 

jurus-jurusnya.

"Hebat-hebat! Tak sia-sia kita 

mengajarinya," kata Ni Rukmini yang 

tengah memperhatikan muridnya 

berlatih.

"Tapi ndableg nya tidak 

ketulungan," komentar Ki Bayong.

"Benar. Sungguh kita dibuat 

pusing oleh tingkahnya. Bayangkan saja 

kita yang tua-tua ini, disuruh 

menuruti aturannya. Weh, weh. Kalau 

dipikir-pikir, kita seperti kembali 

pada masa kecil, sungguh lucu," Ki 

Borwa terkekeh-kekeh, mengingat 

tingkah laku anak muridnya.

"Biarlah kita mengalah. Memang 

kita yang tua ini, harus mengalah pada 

yang muda. Aku rasa, kendablegannya 

karena kurangnya perhatian dan kasih 

sayang ayahnya yang telah meninggal 

sejak ia masih kecil." Ki Darsa pun 

turut mengomentari, menengahi ucapan 

saudaranya yang lain.

"Hiat...! Awas guru! Jangan 

kalian meleng, kalau kalian tak mau 

terkena pukulanku. Hiat...!"



Tersentak keempat gurunya, demi 

melihat Jaka berkelebat dengan 

cepatnya hendak menyerang mereka. Maka 

dengan mengumpat-umpat, mereka pun 

segera mengelakkannya.

"Dasar ndableg! Apa-apaan kamu 

ini, Jaka?" bentak Ni Rukmini yang 

terkejut sembari mengelakkan serangan 

Jaka.

"Ha... ha... ha...! Aku tak 

bermaksud apa-apa. Aku hanya mengetes 

kewaspadaan guru semua."

"Edan!" bentak Ki Borwa, 

merungut-rungut marah mendengar 

jawaban muridnya. "Kau perlu diajar 

adat, Jaka! Nah bersiaplah!" Habis 

berkata begitu, Ki Borwa pun segera 

berkelebat menyerang Jaka.

Mendapat serangan dari gurunya. 

bukannya Jaka takut. Bahkan dengan 

bergelak tawa, Jaka pun memapaki 

serangan itu. Pertarungan guru dan 

murid pun terjadi yang sekaligus 

menambah praktek bagi Jaka.

"Ha... ha... ha...! Lucu, lucu. 

Adik Borwa ternyata dipermainkan oleh 

muridnya," kata Ni Rukmini, demi 

melihat Ki Borwa yang tampak berusaha 

merangsek Jaka. Namun bagaikan belut 

yang licin, Jaka selalu dapat 

mengelakkan serangan Ki Borwa.

"Wah, rupanya guru telah letoi 

hingga serangannya tak setajam semula.


Ayo guru, keluarkan tenaga, serang 

aku!"

Mendengar ucapan muridnya yang 

dirasakan meledek, Ki Borwa pun makin 

jengkel dan kesal. Maka dengan penuh 

kekesalan, Ki Borwa segera 

meningkatkan serangannya.

"Bagus, guru! Memang hal itu yang 

Jaka mau, biar Jaka dapat serangan 

yang tajam dan berbobot. Ayo Guru! 

Serang aku!" seru Jaka, melihat 

gurunya makin meningkatkan daya 

serangannya.

Ki Borwa yang jengkel melihat 

muridnya, tampak makin mengganas 

serangannya. Angin seragan Ki Borwa, 

bagaikan angin puting beliung. Menerpa 

apa yang ada di sekitarnya, hingga 

beterbangan terhempas.

Walaupun begitu, Jaka tampak 

tenang-tenang saja, Bahkan dengan 

lagak pilon, Jaka pun mengelit dan 

sesekali menyerang balik

Pertarungan guru dan murid pun 

terus berlanjut, menguras segala ilmu 

yang mereka miliki. Walaupun Ki Borwa 

telah berusaha mendesak, namun jaka 

rampaknya tak mudah dijatuhkan. Bahkan 

nafas Ki Borwa sendiri yang ngos-

ngosan, karena dipengaruhi oleh nafsu 

ingin segera menjatuhkan muridnya yang 

kurang ajar.

Terbelalak ketiga guru Jaka 

lainnya demi melihat apa yang tengah


terjadi di hadapannya. Ki Darsa yang 

merupakan salah seorang dari mereka, 

sepertinya dibuat main-main oleh Jaka.

Mulut ketiga guru Jaka lainnya 

terbuka lebar, tak percaya pada apa 

yang dilihatnya. Baru setahun yang 

lalu mereka mengangkatnya menjadi 

murid, namun kemajuan Jaka begitu tak 

masuk di akal.

"Weh, weh, weh, weh. Tak sia-sia 

kita mengambilnya sebagai murid," 

komentar Ni Rukmini, menyaksikan 

muridnya yang tengah berlatih tanding 

dengan Ki Barwa.

Ki Barwa yang tengah berusaha 

mendesak Jaka, malah berubah berbalik 

didesak oleh Jaka. Maka makin 

terbelalaklah mata ketiga gurunya yang 

lain, demi melihat perkembangan itu.

Keyakinan mereka kini tumbuh 

menjadikan suatu harapan kalau kelak 

muridnya akan menjadi tokoh persilatan 

yang disegani baik kawan maupun lawan.

Melihat Ki Barwa terdesak, dengan 

segera Ni Rukmini berseru: "Barwa! 

Menyingkirlah! Gantian aku yang 

menjajal ilmunya." Maka dengan sekali 

kelebat, Ni Rukmini telah menghadang 

serangan yang dilancarkan muridnya. 

Sementara Ki Barwa pun segera mundur 

dari arena dengan wajah pucat pasi.

"Hebat! Benar-benar hebat, anak 

itu!" komentar Ki Barwa, setelah


berdiri sembari mengatur nafasnya yang 

ngos-ngosan.

Sementara Ni Rukmini yang 

menggantikan Ki Barwa, dengan segera 

langsung menyerang Jaka. Merasa 

diserang, Jaka pun segera berkelit 

menghindar.

"Wah, wah! Rupanya Nyi Guru pun 

hendak mencobaku. Baik, ayolah!" kata 

Jaka, setelah berhasil mengelakkan 

serangan Ni Rukmini. Jaka pun balik 

menyerang gurunya.

"Hati-hati, Jaka. Jangan kau 

terlena!" Habis berkata begitu, Ni 

Rukmini pun dengan segera memapaki 

serangan muridnya. Tak ayal lagi, dua 

kekuatan beradu di udara. 

"Dum!" Terdengar ledakan keras, 

kala kedua kekuatan itu saling 

berpapasan.

Jaka terhuyung ke belakang tiga 

tombak, sementara Ni Rukmini tampak 

terpental ke belakang lima tombak, dan 

jatuh bergedebug dengan terbanting di 

atas tanah.

Makin terbelalak mata guru-

gurunya yang tak mengira kalau secepat 

itu Jaka mampu mengimbangi tanaga 

dalam Ni Rukmini. Hingga ketiga orang 

yang menyaksikannya, seketika bergumam 

hampir berbarengan: "Hem, kalau anak 

ini dapat dikuasai orang yang 

beraliran sesat maka tak dapat 

dibayangkan apa jadinya dunia


persilatan, untung kita yang 

mendidiknya."

"Jaka, aku mengaku kalah," kata 

Ni Rukmini yang membuat Jaka 

tersenyum, lalu dengan ndablegnya Jaka 

berkata mengejek.

"Guru, masak baru segitu guru 

menyerah? Ayo bangkitlah!"

"Tidak, Jaka. Aku rasa cukup. 

Biarlah yang lain yang akan mencobamu. 

Aku puas dengan apa yang kau peroleh," 

kata Ni Rukmini yang berusaha bangkit 

dari duduknya karena terjatuh.

"Dia benar-benar hebat, kakang!" 

kata Ni Rukmini pada Ki Bayong yang 

masih terbengong-bengong menyaksikan 

kemajuan muridnya.

"Jangan kaget, Ni Rukmini. Kalau 

Jaka memperoleh kemajuan yang sangat 

pesat. Hal itu dikarenakan ada yang 

mendorongnya dan memberikan bantuan 

gaib. Sekarang Ki Darsa, coba 

seranglah murid kita," kata Ki Bayong 

memerintahkan pada Ki Darsa untuk 

menggantikan Ni Rukmini.

Sementara itu, Jaka yang telah 

dapat mengimbangi gurunya bahkan dapat 

menjatuhkan gurunya tampak tertawa 

bergelak-gelak sembari berkata.

"Ayo, guru! Siapa lagi yang akan 

mengujiku?"

Dengan segera, Ki Darsa 

berkelebat menghadapi muridnya yang 

masih tersenyum melihat kedatangannya.


"Jaka, sekarang aku ingin 

mengujimu," kata Ki Darsa yang dijawab 

dengan gelak tawa Jaka sepertinya 

mengejek.

"Guru! Aku rasa kau tak akan 

mampu, maka lebih baik semuanya saja 

yang mengujiku."

"Dasar, ndableg!"

"Baiklah, guru. Kalau memang guru 

bermaksud mengujiku, aku telah siap. 

Nah, bersiaplah!"

Dengan segera, Jaka pun memasang 

kuda-kuda siap menghadapi ujian yang 

akan dilakukan oleh gurunya yang 

ketiga. Dengan terlebih duhulu 

memekik, Ki Darsa pun segera menyerang 

Jaka.

Untuk ketiga kalinya, Jaka diuji 

oleh sang guru yang ketiga. Dan untuk 

ketiga kalinya pula, Jaka harus 

menghadapi gurunya sendiri. Geli hati 

Jaka, melihat tingkah gurunya yang 

marah karena ucapannya. Sebenarnya 

Jaka hanya bermaksud memancingnya, 

agar dapat mengetahui tingkat-tingkat 

ilmu gurunya. Dan benar saja, gurunya 

marah, mengeluarkan ilmu-ilmunya 

hingga secara tak langsung Jaka telah 

mempelajarinya sendiri.

Ketika hendak melampaui jurus 

yang ke lima puluh, Jaka segera 

melompat mundur sembari berkata: 

"Cukup! Aku rasa Ki Guru Darba tak


mampu menandingiku. Karena itu, aku 

minta Ki Guru Bayong menggantikannya."

"Kurang asem! Dasar, ndableg! Aku 

belum kalah olehmu, sableng! Ayo, kita 

teruskan!" bentak Ki Darsa hendak 

menyerang kembali, terdengar tawa Ki 

Bayong berseru menghentikannya.

"Ki Darsa, biarlah aku yang akan 

mengujinya sesuai apa yang diminta. 

Kau sementara istirahatlah menonton." 

Ki Bayongpun segera berkelebat 

menghadang muridnya yang masih 

tersenyum-senyum dengan tenang.

"Ki Guru sudah siap?" tanya Jaka, 

sepertinya seorang pendekar saja, 

hingga membuat gurunya mangkel 

bercampur geli melihat tingkah 

muridnya yang ndableg dan tak mengenal 

hormat.

"Aku sudah siap dari tadi. Apakah 

kau pun telah siap, Jaka?"

"Aku pun telah siap. Aku minta, 

guru jangan sungkan-sungkan 

mengeluarkan segaia ilmu yang guru 

miliki. Nah, mari kita mulai." Habis 

berkata begitu, Jaka segera membuka 

serangan dengan didahului pekikan.

Karena sudah mengetahui kehebatan 

muridnya, maka Ki Bayong pun tak 

segan-segan untuk mengeluarkan jurus-

jurus intinya untuk menandingi jurus-

jurus yang dipakai muridnya. Jelas 

jurus-jurus Jaka sangat berpariasi, 

sebab dia digembleng oleh keempatnya


bersamaan. Ketika Jaka menghadapi Ki 

Barwa, ia menggunakan jurus yang 

diajarkan Ni Rukmini. Kala ia 

menghadapi Ni Rukmini, maka Jaka pun 

menggunakan jurus yang diajarkan Ki 

Darsa. Sebaliknya kala ia menghadapi 

Ki Darsa, maka Jaka pun tak 

menggunakan apa yang diajarkan Ki 

Darsa padanya. Tetapi Jaka menggunakan 

jurus yang diajarkan oleh Ki Bayong. 

Dengan cara seperti itulah, Jaka 

dengan sendirinya dapat mengukur 

kehebatan ilmu guru-gurunya.

Kini, kedua guru dan murid tengah 

mengadakan pertarungan yang bersifat 

ujian bagi sang murid. Karena kali ini 

yang menguji Ki Bayong, maka Jaka pun 

dengan segera menggunakan ilmu yang 

diajarkan oleh Ki Barwa.

Ki Bayong yang terbakar oleh 

omongan muridnya, terus mencoba 

mendesak Jaka. Namun sebaliknya, Jaka 

pun tak mau begitu saja mengalah, 

sebelum gurunya mengeluarkan semua 

ilmu-iimu simpanannya. Maka setelah 

dirasa ilmu yang diajarkan oleh Ki 

Barwa tak mampu menandingi, Jaka 

dengan terlebih dahulu melentingkan 

tubuh ke angkasa, segera mengubah 

jurusnya.

"Aneh! Tak biasanya seorang tokoh 

silat mengubah jurus dengan 

melentingkan tubuhnya di angkasa, 

sungguh aneh!'' seru ketiga gurunya


yang lain, yang tengah menyaksikan 

pertarungan itu.

"Ayo guru, keluarkan semua ilmu 

yang guru miliki. Aku mohon guru 

jangan segan-segan menyerang!" seru 

Jaka, setelah melentingkan tubuhnya ke 

angkasa dan mengubah jurus-jurusnya.

Tak hanya ketiga orang yang 

memperhatikannya, Ki Bayong pun yang 

tengah mengujinya tersentak kaget demi 

melihat hal yang menurutnya luar 

biasa. 

"Tak biasanya, tokoh persilatan 

mengubah jurusnya di udara. Kenapa 

anak ndableg ini mampu melakukannya? 

Bahkan sepertinya enak saja membolak-

balikkan jurus," kata hati Ki Bayong, 

kagum melihat apa yang muridnya 

tunjukan.

"Kenapa bengong, Guru? Apa guru 

jera menghadapiku?"

Tersentak Ki Bayong dari 

termenungnya, demi mendengar suara 

muridnya berseru mengejeknya. Makin 

tersentak Ki Bayong kala Jaka kembali 

berkata sembari langsung menyerang ke 

arahnya.

"Hati-hati, Guru! Terimalah 

seranganku. Hiat...!"

"Dasar, ndableg! Seenaknya saja 

mengubah jurus dan menyerang. Ayo kita 

teruskan dan hati- hatilah dirimu, 

Jaka. Aku harap kau dapat menangkis 

seranganku." Habis berkata begitu, Ki


Bayong pun segera memapaki serangan 

Jaka.

Bagaikan terbang, Ki Bayong 

meluruskan kedua tangannya ke depan. 

Tersentak Jaka melihat jurus yang 

dikeluarkan gurunya yang baru kali ini 

dilihatnya. Namun dasar ndableg, Jaka 

pun tak menghiraukannya hingga dengan 

memekik Jaka pun menyambut serangan 

gurunya itu. Dan! 

"Hiat...!"

Kedua murid dan guru melompat ke 

udara berbarengan dan bertemu di udara 

mengadu dua kekuatan. Hingga seketika, 

terdengar ledakan dahsyat kala 

keduanya beradu. 

"Dum!"

Terpelanting keduanya ke belakang 

sama-sama jauhnya, sampai lima tombak. 

Tampak keringat deras menetes di tubuh 

Jaka, sebaliknya Ki Bayong pun 

wajahnya tampak pucat pasi demi 

menyaksikan apa yang terjadi.

"Hebat, hebat. Sungguh hebat! 

Jaka, ke marilah!" kata Ki Bayong yang 

segera dituruti Jaka yang segera 

menuju ke tempat keempat gurunya 

berdiri.

Tanpa, banyak omong seperti 

ketika tengah diuji oleh gurunya, Jaka 

segera menjura hormat yang diteruskan 

dengan duduk bersimpuh di hadapan 

keempat gurunya yang terbengong-

bengong demi melihat tingkahnya.


"Ampun, Ki guru semua dan Ni 

guru. Bukannya Jaka bermaksud 

merendahkan ilmu yang Ki dan Ni guru 

miliki, namun Jaka semata-mata ingin 

mempelajari dan mengetahui kegunaan 

ilmu yang Jaka pelajari. Jadi kalau 

guru sekalian ingin tahu, tadi Jaka 

melawan guru sekalian dengan jurus-

jurus yang guru sekalian ajarkan."

Mendengar ucapan muridnya, 

keempat gurunya terbelalak kaget. 

Sebab mereka tak menyangka, kalau 

muridnya itu akan mampu 

mengkombinasikan semua pelajaran yang 

diserapnya. Maka dengan tertawa 

bergelak-gelak, keempat guru itu 

segera mengusap kepala Jaka. Jaka tak 

mengerti apa yang tengah dilakukan 

guru-gurunya yang sebenarnya tengah 

menambah tenaga dalam ke dalam 

tubuhnya.

"Nah, Jaka. Ceritakan pada kami, 

apa yang kau lakukan tadi! " kata Ki 

Bayong, setelah selesai menyalurkan 

tenaga dalamnya ke tubuh Jaka.

"Ampun, Guru. Tadi ketika aku 

menghadapi Ki Guru Barwa, aku sengaja 

menggunakan jurus-jurus yang diajarkan 

Ni Guru Rukmini. Sebaliknya ketika aku 

menghadapi Ni guru Rukmini, maka aku 

pun segera menggunakan jurus yang 

diajarkan oleh Ki Guru Darsa. 

Begitulah seterusnya, hingga aku dapat


mengukur ilmu-ilmu yang aku pelajari 

dari guru sekalian."

Mengangguk-angguk keempat gurunya 

demi mendengar penuturan muridnya. 

Mereka tak menyangka, kalau muridnya 

akan mampu mengkombinasikan ilmu-ilmu 

yang diajarkan mereka. Maka dengan 

terkekeh-kekeh, Ni Rukmini pun 

berkata:

"Weh, weh, weh. Pantas saja, 

kalau kau dapat menandingiku. Sungguh 

kami merasa bangga mempunyai murid 

sepertimu. Bukan begitu, Ki Bayong, Ki 

Darsa, dan Ki Barwa?"

Ketiga orang lelaki itu 

menganggukkan kepala, membenarkan apa 

yang telah diucapkan oleh Ni Rukmini. 

Ketiganya tampak tersenyum, 

mengangguk-anggukkan kepalanya, 

senang.

"Sekarang kita beristirahat 

dahulu sambil makan-makan singkong 

rebus yang dimasak oleh Ni Rukmini, 

ayo!" ajak Ki Bayong pada Jaka yang 

segera menurut mengikuti gurunya.

Kelima orang guru dan murid 

segera meninggalkan lapangan, di mana 

tempat mereka berlatih menuju ke 

sebuah gubug yang dijadikan mereka 

berteduh.

Dengan bercanda ria penuh gelak 

tawa, kelima guru dan murid itu 

menyantap makan siangnya. Walau hanya 

singkong rebus, namun selera makan


mereka begitu tinggi. Hingga dalam 

sekejap saja, singkong yang tersedia 

di atas daun itupun habis termakan 

semua.

* * *

Siang hari, ketika guru-gurunya 

tengah beristirahat, Jaka segera pergi 

menangkap ikan di sungai. Ia ingin 

sekaii membuat guru-gurunya senang. 

Maka dengan secara diam-diam, Jaka pun 

segera pergi menangkap ikan.

"Hai, sepertinya ada seseorang 

yang menjerit," kata Jaka kala hendak 

menangkap ikan demi mendengar jeritan 

sayup-sayup dari seherang kali.

"Tolong...!"

Dengan segera, Jaka melompat 

menyeberangi kali. Rencana mencari 

ikan dibatalkannya dan segera memburu 

ke asal suara itu. Bagaikan seekor 

kijang jaritan, Jaka berlari menyibak 

semak-semak ilalang yang menghalangi 

langkah kakinya.

Terbelalak mata Jaka kala melihat 

apa yang terjadi di hadapan matanya. 

Seorang lelaki tengah mengangkangi 

seorang wanita yang menjerit-jerit 

ketakutan.

"Biadab! Hentikan perbuatanmu!" 

bentak Jaka, menjadikan si lelaki itu 

tersentak dan melepaskan wanita yang 

sedari tadi dikangkanginya. Melihat


seorang telah mengganggunya, maka 

dengan bengis lelaki itu melotot dan 

membentak.

"Kampret! Mau apa kau berlagak 

pahlawan! Apa kau belum tahu siapa 

aku, hah?!"

"Oh, rupanya kau seorang baginda 

hingga kau hendak sembarangan berlaku 

sewenang-wenang. Ampun baginda, saya 

menerima salah dan siap dihukum. Ha... 

ha... ha...!" kata Jaka dengan nada 

konyol hingga membuat lelaki itu 

mendengus penuh amarah.

"Bedebah! Kau meremehkan aku! 

Jangan salahkan kalau aku berbuat 

telengas," bentak lelaki itu dan 

langsung menyerang Jaka.

"Lho! Disanjung baginda kok malah 

marah, lalu harus dipanggil apa? Oh... 

rupanya engkau harus dipanggil 

monyet... Monyet! Kalau kau benar-

benar monyet, maka janganlah 

mengganggu manusia. Ganggulah 

sesamamu. Ha..., ha..., ha...!" 

Bergelak-gelak tawa Jaka sembari 

menghindarkan serangan yang 

dilancarkan oleh lelaki itu.

Tak ayal lagi, lelaki itu pun 

mendengus dan membabi buta menyerang 

Jaka yang tampaknya masih tenang-

tenang mengeiak sembari tertawa ber-

gelak-gelak.

"Ampun! Jangan tendang saya!" 

pekik Jaka, kala lelaki itu hendak


menendangnya. Sambil memekik, Jaka pun 

segera mengelakkan tendangan lelaki 

itu sembari menunggingkan pantatnya.

Makin marahlah lelaki itu yang 

merasa dipermainkan oleh Jaka. Maka 

dengan rasa kesal dan marah, lelaki 

itu makin bernafsu untuk segera 

menghajar Jaka yang dianggapnya tak 

bisa apa-apa.

Sedemikian jauh, Jaka masih terus 

mengelak dan tak henti-hentinya

memekik. 

"Tolong, mak... tolong...!"

Walaupun sepertinya Jaka 

ketakutan, namun dengan masih 

menunggingkan pantatnya Jaka terus 

mengelakkan serangan-serangan orang 

itu.

Makin penasaran lelaki itu merasa 

dipermainkan oleh Jaka yang tampaknya 

main-main. Geramnya makin menjadi-jadi 

hingga makin membuarnya bertambah 

nafsu untuk dapat menjatuhkan Jaka.

"Aduh, mak! Aku hendak 

dijitaknya!" seru Jaka, kala lelaki 

itu mengelebatkan tangannya hendak 

menghantam kepalanya. Berbarengan 

habisnya suara ayam, Jaka pun segera 

melentingkan tubuhnya ke atas. Dan 

dengan cepat tanpa dapat dielakkan 

oleh lelaki itu, Jaka telah 

menjitakkan tangannya pada kepala 

lelaki yang menyerangnya.


Jitakan yang disertai tenaga 

dalam, membuat lelaki rersebut 

menjerit kesakitan sembari memegangi 

kepalanya. 

"Tobat...!"

Terkekeh-kekeh Jaka juga gadis 

yang sedari tadi ketakutan, demi 

melihat lelaki itu memutar-mutar 

tubuhnya sembari memegangi kepalanya 

yang terjitak.

"Ha... ha... ha...! Lucu, lucu. 

Kalau begitu, kau persis monyet yang 

tertimpuk buah durian, mau lagi?"

"Kampret! Jangan kau merasa 

senang dulu! Akan kubalas penghinaan 

ini." Habis berkata begitu, lelaki 

itupun pergi berlalu meninggalkan Jaka 

yang masih tertawa-tawa.

Gadis yang sedari tadi 

bersembunyi ketakutan, segera datang 

menghampiri Jaka yang masih tertawa-

tawa memandang kepergian lelaki itu 

hingga Jaka tersentak kala gadis itu 

menyapanya.

"Tuan pendekar, siapakah tuan 

pendekar sebenarnya? Aku mengucapkan 

terima kasih pada tuan yang telah 

menolongku. Entah dengan apa nanti aku 

dapat membalasnya."

"Aih, aih. Aku bukan pendekar, 

nona. Aku hanya rakyat biasa sepertimu 

yang kebetulan saja dapat menjitak 

kepala lelaki yang hendak kurang ajar 

padamu. Mengenai balas budi, aku rasa


itu urusan Yang Kuasa. Nah, karena 

lelaki itu telah pergi, maka aku pun 

hendak pergi juga untuk mencari ikan." 

Jaka seketika hendak berlalu pergi, 

kala gadis itu memanggilnya kembali.

"Tuan pendekar! Tunggu!" 

"Ada apa lagi?" tanya Jaka tak 

mengerti yang segera menghentikan 

langkahnya dan berbalik menengok gadis 

itu. Dipandanginya gadis itu yang 

tertunduk malu.

Melihat tingkah gadis itu, 

seketika menjadikan Jaka mengerutkan 

alis matanya tak mengerti apa yang 

sebenarnya dikehendaki oleh si gadis.

"Heh, kenapa kau sekarang diam, 

nona? Bukankah kau tadi memanggilku?" 

tanya Jaka dengan terheran-heran, 

menjadikan si gadis makin menundukkan 

kepalanya. Dengan suara lembut, si 

gadis pun berkata:

"Tuan pendekar, bolehkan aku tahu 

namamu?" 

"Untuk apa?"

Kembali si gadis tertunduk dengan 

mata berbinar-binar, lalu dengan penuh 

haru si gadis kembali berkata: "Aku 

ingin kenal denganmu yang telah 

menolongku dari perbuatan biadab 

Marsan."

"Oh...!" Terbengong Jaka demi 

mendengar ucapan gadis itu yang polos. 

"Kenapa kau hendak diperkosanya?"


"Aku... menolak dijadikan 

istrinya," kata gadis itu sembari 

memandang lekat ke wajah Jaka hingga 

membuat Jaka tersentak, dipandang 

begitu tajam dan dalam oleh si gadis. 

Maka dengan segera, Jaka pun berkata:

"Nona, jangan lah nona begitu 

tajam memandangku. Apakah ada yang 

lain pada wajahku?"

Tersipu-sipu si gadis mendengar 

ucapan Jaka, maka untuk kesekian 

kalinya, si gadis pun segera 

menundukkan muka sembari berkata 

polos:

"Maaf, bukan aku hendak lancang 

memandang tuan. Tapi, aku kagum pada 

tuan. Walau tuan muda dan ga... tapi 

tuan tidak sombong dan angkuh. Padahal 

tuan memiliki kepandaian. Tidak 

seperti si Marsan yang mengandalkan 

kegantengan dan kepandaiannya untuk 

merayu dan memperdayai gadis."

"Tadi nona hendak bicara ga, apa 

itu? Sepertinya nona malu 

mengatakannya," kata Jaka dengan hati 

tergetar, demi mendengar pengakuan 

gadis, itu tentang dirinya.

Kembali gadis itu tersipu-sipu 

mendengar pertanyaan Jaka yang 

menanyakan tentang ucapan yang 

disendatnya. Maka dengan masih 

menunduk, gadis itu malu-malu berkata 

kembali.

"Tuan ga... ganteng dan gagah!"


Ah, bagaikan melayang saja hati 

Jaka saat itu mendengar ucapan si 

gadis. Tak terasa, Jaka membeliakkan 

matanya memandang tajam ke arah gadis 

itu yang tak kuasa membalasnya.

Kala keduanya tengah terdiam, 

tba-tiba terdengar suara lima orang 

berteriak ke arah Jaka yang tersentak 

dan memandang ke arah mereka.

"Hai anak muda! Kaukah yang telah 

berani lancang pada adikku?"

"Siapakah kalian! Kenapa kalian 

kayak monyet nangkring di atas pohon? 

Kalau kalian hendak bicara denganku, 

mengapa kalian tidak segera turun?" 

seru Jaka yang membuat kelima orang 

yang tengah nangkring di atas pohon 

tersentak dan marah.

"Bujur buset! Berani kau menyebut 

kami monyet. Apakah kau tak tahu siapa 

kami?" Kembali salah seorang dari 

kelimanya berkata, nadanya seperti 

marah. Namun Jaka malah tertawa demi 

mendengar ucapan orang itu. Maka 

dengan masih bergelak tawa, Jaka pun 

kembali berkata:

"Monyet-monyet sekalian. Kalau 

kalian ingin disamakan dengan manusia, 

maka aku minta kalian turun dari 

pohon. Mengenai siapa kalian, aku tak 

mau tahu sebab itu urusan kalian 

sendiri. Nah, turunlah!"

Dengan rasa dongkol, kelima orang 

itu segera berloncatan turun dan


langsung mengepung Jaka yang seperti 

kebingungan. Sementara si gadis, 

nampak ketakutan dan segera 

bersembunyi di balik tubuh Jaka seraya 

berbisik memberitahukan siapa 

sebenarnya mereka.

"Hati-hati, tuan! Mereka adalah 

kakak-kakak seperguruan si Marsan yang 

terkenal dengan julukan Lima Iblis 

Haus Darah."

"Oh, kalau begitu mereka pantas 

dihajar ya?" balik berkata Jaka yang 

membuat si gadis mau tak mau akhirnya 

tersenyum juga.

"Hai, anak muda! Siapa namamu? 

Jangan sampai kau mati tanpa 

meninggalkan nama," tanya lelaki yang 

tertua di antara kelimanya yang 

berwajah menyeramkan dengan kepala 

botak.

Melotot kaget mata Jaka, 

sepertinya terkejut mendengar ucapan 

lelaki itu. Lalu dengan mata melotot, 

Jaka pun berkata menggeretak:

"Hai, kalian semua! Kalau kalian 

Iblis Haus Darah, maka ketahuilah 

bahwa aku ini Malaikat Haus Darah. 

Nah, adakah iblis yang berani dengan 

malaikat? Jelas tak ada, bukan? Maka 

itu, aku sarankan kalian segera 

minggat dari sini. Jangan mengganggu 

saya malaikat yang tengah berpacaran 

dengan bidadari."


Tersentak kelima orang itu 

bercampur marah, mendengar ucapan yang 

dilontarkan Jaka. Maka dengan 

mendengus kesal, kelima orang itupun 

ber-gerak menyerang Jaka.

Diserang begitu rupa oleh kelima 

orang itu. Jaka yang tengah melindungi 

si gadis tampak tersentak-sentak 

hingga dengan seketika dibopongnya 

tubuh si gadis, Jaka pun segera 

meladeni serangan kelima orang itu.

"Tobat, mak! Mereka hendak 

rnengeroyokku!" seru Jaka seraya 

berputar-putar, mengelakkan serangan-

serangan kelimanya yang membabi buta.

"Edan! Pendekar macam apa kau 

ini! Berteriak-teriak kaya orang 

gila!" maki salah seorang dari 

kelimanya, kesal melihat tingkah Jaka. 

Maka dengan segera, diayunkannya golok 

yang ada di tangannya hendak mencercah 

tubuh Jaka yang kembali memekik.

"Tobat! Mak! Aku hendak 

direncah!"

Geli juga si gadis yang berada di 

bopongan Jaka melihat tingkah Jaka 

yang konyol. Walau dengan ketakutan, 

si gadis tersenyum juga mendengar 

kata-kata Jaka yang masih menghindari 

serangan mereka.

Bukan menjadi halangan bagi Jaka 

intuk mengelakkan serangan kelima 

orang pengeroyoknya, walaupun dengan 

memanggul tubuh si gadis.


"Ah, bahaya kalau begini terus-

menerus. Bisa-bisa gadis ini akan 

menjadi korban. Lebih baik aku 

menghindari saja," kata Jaka dalam 

hati. Maka dengan segera, Jaka pun 

berkelebat meninggalkan kelima 

pengeroyoknya yang segera mengejarnya.

Saking cepatnya Jaka berlari 

hingga sukar bagi mereka untuk 

mengejarnya, mereka pun akhirnya hanya 

dapat memaki-maki, setelah tak mampu 

mengejar Jaka yang berlari bagaikan 

kijang.



EMPAT



Dengan terus berlari meninggalkan 

kelima orang yang jauh tertinggal di 

belakang, Jaka pun segera kembali ke 

gubugnya di mana keempat gurunya 

tinggal.

Terbelalak mata keempat gurunya 

demi melihat muridnya datang bersama 

seorang gadis. Terbe-ngong-bengong 

keempat gurunya yang segera bertanya 

heran:

"Hai, dari mana kau anak ndableg. 

Sedari tadi kami mencari kamu, eh 

datang-datang dengan gadis. Kau culik 

dari mana gadis itu, Jaka?" tanya Ki 

Bayong sembari memandang tajam pada 

gadis yang berdiri di samping 

muridnya, yang tertunduk tak berani 

memandang pada keempat guru Jaka.

"Wah, kenapa guru berpikir 

begitu!" protes Jaka, karena dituduh 

telah menculik si gadis. "Kalau guru 

mau tahu, tanyakan saja pada gadis 

ini. Aku atau dia yang diculik dan 

yang menculik."

Mendengar ucapan Jaka, makin 

membuat gadis di sampingnya tertunduk 

dalam setelah terlebih dahulu 

membelalakan matanya pada Jaka yang 

tersenyum-senyum bagaikan tak 

bersalah.

Seperti gadis itu, keempat 

gurunya pun terbelalak kaget mendengar 

ucapan muridnya yang memang ndableg. 

Maka dengan menggeleng-gelengkan 

kepalanya, sang guru pun berkata. 

"Itulah sifatmu, Ni Rukmini. Jadi Jaka 

pun menurunimu."

"Enak saja Kakang Bayong 

menuduhku. Paling-paling, dia menuruni 

sifat Ki Barwa." Ni Rukmini tak mau 

menerima tuduhan yang dilontarkan Ki 

Bayong, dan ia pun melemparkannya pada 

Ki Darsa yang tersentak kaget dan 

hendak berkata ketika dengan segera 

Jaka telah mendahuluinya berkata:

"Sudahlah! Kenapa guru sekalian 

mesti saling tuduh. Kalau aku berbuat 

jahat, barulah guru boleh saling 

tuduh. Kan aku berbuat baik. Aku 

menolongnya kala gadis ini hendak 

diperkosa."


"Bagus-bagus. Kalau begitu baru 

namanya murid Ki Darsa."

Tidak bisa! Dia muridku," tak mau 

kalah K Barwa mendengar pengakuan Ki 

Darsa. "Dia muridku!"

"Enak saja kalian ngomong! Dia 

muridku," Ni Rukmini pun tak mau 

kalah, turut berdebat memperebutkan 

pengakuan Jaka sebagai muridnya.

"Weh, weh, weh. Kalian kayak anak 

kecil saja, berebut untuk mendapatkan 

pengakuan sang murid. Kalau kalian mau 

dianggap guru oleh Jaka, tanyakanlah 

padanya siapa gurunya?" kata Ki 

Bayong, menengahi ketiga adik 

seperguruannya yang tengah berdebat 

kusir.

"Sudah, sudah! Guru sekalian tak 

perlu ribut memperebutkan pantat 

kosong. Kalau guru sekalian merasa 

mendidikku, ya aku pun mengakui guru. 

Nah, dengarlah! Gadis ini hendak 

diperkosa oleh seorang lelaki yang

ditolak lamarannya. Mungkin karena 

nafsong banget pada gadis ini hingga 

jalan kebaikan tak dapat, ya, jalan 

kejelekan pun jadilah."

Tersenyum-senyum keempat gurunya 

demi mendengar omongan sang murid yang 

ceplas-ceplos. Gembira bercampur 

gemes, menyelimuti keempat guru Jaka. 

Maka dengan tersenyum-senyum, Ki 

Bayong berkata kembali:


"Gadis manis, siapa namamu? 

Apakah benar kau tidak diculik oleh si 

Ndableg?"

Dengan malu-malu dan bibir 

tersipu senyum, si gadis sesaat 

memberanikan diri memandang pada 

keempat guru Jaka. Setelah memandang 

Jaka yang tersenyum, si gadis pun 

berbicara.

"Benar, tuan guru sekalian. Nama 

saya yang hina ini Sri Ratih. Tuan 

pendekar ini tidak menculik saya, 

bahkan menolong saya kala hendak 

diperkosa oleh si Marsan. Bahkan tadi 

kelima kakak seperguruan Marsan datang 

mengeroyok tuan pendekar ini."

Terangguk-angguk kepala keempat 

guru Jaka mendengar penuturan si 

gadis. Belum juga keempat gurunya 

berkata, tiba-tiba Jaka telah 

mendahuluinya.

"Nah! Apa Jaka bilang! Bukan Jaka 

yang menculiknya, tapi gadis inilah 

yang telah menyuruh Jaka menculiknya. 

Bukan begitu Ratih?"

"Dasar ndableg! Mana mungkin 

seorang gadis meminta diculik, kalau 

memang tidak kau culik?" kata Ni 

Rukmini gemes mendengar kata-kata Jaka 

yang sembarangan ngomong. Sementara si 

gadis tampak membelalakan mata, 

mendengar ucapan Jaka yang membuatnya 

malu. Dasar Jaka Ndableg, diomong 

gurunya begitu, malah tersenyum-senyum


dan menjawab tak mau kalah. "Lho, Ni 

Guru tak percaya!"

"Weh, weh, weh. Ndablegmu 

kelewatan, Jaka!" 

"Sudahlah, Ni! Bukankah tadi kau 

malah berebut mengakui dia sebagai 

muridmu?" kata Ki Darsa menengahi. 

Membuat Ni Rukmini tersenyum-senyum, 

dan kembali berkata:

"Weh, weh, weh. Benar katamu Ki 

Darsa."

"Nah, maka itu kau jangan terlalu 

menekannya, aku takut dia malah 

bertambah-tambah ndablegnya yang akan 

membuat kita susah oleh tingkah 

lakunya."

Mendengar ucapan Ki Darsa, Ni 

Rukmini pun akhirnya terdiam 

membiarkan Jaka bicara ceplas-ceplos 

semaunya. Keempat gurunya hanya 

menggeleng-gelengkan kepala 

mendengarkan ucapan Jaka.

"Ni guru, apakah pantas muridmu 

ini menculik?" tanya Jaka pada Ni 

Rukmini yang hanya mampu menggeleng-

gelengkan kepalanya. "Nah, kalau Ni 

Guru tak yakin maka Jaka minta Ni guru 

mau mempercayai omongan Jaka."

"Terserah kamu saja, Anak 

ndableg!" kata Ni Rukmini kesal dan 

gemas yang membuat Jaka tersenyum-

senyum sembari garuk-garuk kepala.

"Nah, Nona Ratih. Agar kau aman, 

maka lebih baik untuk sementara waktu


kau tinggalah dulu dengan kami di 

sini."

Tersentak kembali keempat gurunya 

mendengar ucapan Jaka yang tak mereka 

sangka. Maka dengan memelototkan mata, 

Ki Bayong segera berkata pada Jaka:

"Jaka! Kalau kau menyuruh Nona 

Ratih tinggal di sini, aku takut kau 

nanti malas berlatih. Kedua, nanti 

orang tuanya akan mencarinya."

"Ah Ki guru. Mana mungkin Jaka 

akan malas berlatih. Bukankah Jaka 

ingin menjadi orang yang pintar? 

Percayalah, kalau Jaka akan giat 

berlatih. Apalagi kini ada yang 

menemani," kata Jaka beralasan hingga 

membuat ki Bayong makin melototkan 

matanya terbelalak. Juga ketiga guru 

lainnya ikut tersentak dengan ucapan 

Jaka.

"Dasar ndableg! Baiklah, aku 

mengalah dengan alasanmu yang pertama. 

Sekarang bagaimana kalau ayahnya 

mencari?" Ki Bayong akhirnya mengalah 

dan menerima alasan Jaka yang pertama.

Mendengar pertanyaan gurunya, 

Jaka hendak kembali membikin alasan 

seketika Ratih telah lebih dahulu 

menjawabnya.

"Orang tua saya tak akan mencari 

saya, Tuan guru."

Terbelalak keempat guru Jaka demi 

mendengar jawaban Ratih yang tak 

dinyana-nyana. Keempatnya terbengong


tak mengerti dan di hati mereka 

seketika muncul pertanyaan. "Orang tua 

macam apa yang menjadi orang tua 

Ratih? Hingga tak mengurusi anaknya?"

"Nona Ratih."

"Saya, Tuan guru," jawab Ratih 

mendengar namanya dipanggil oleh Ki 

Bayong.

"Nona bilang, orang tua nona tak 

akan mencari nona. Kami jadi tak 

percaya. Sebab setahu kami, orang tua 

akan berusaha mencari anaknya yang tak 

diketemukannya. Bagaimana mungkin 

orang tua nona bertindak begitu?" 

tanya Ki Bayong sembari mengernyitkan 

alis matanya tak percaya pada jawaban

Ratih.

Ditanya begitu, seketika Ratih 

meneteskan air mata hingga makin 

membuat Ki Bayong dan ketiga guru Jaka 

lainnya bingung bercampur iba 

melihatnya.

"Hai, kenapa kau menangis, nona?" 

tanya Ni Rukmini heran, demi melihat 

Ratih rnenangis. "Adakah kami telah 

membuatmu sedih?" lanjutnya bertanya.

"Tidak! Tuan-tuan guru tidak 

bersalah dan tidak membuat saya 

bersedih. Saya hanya sedih karena 

mengingat nasib diri saya yang 

menderita. Dari kecil saya tak bisa 

melihat orang tua lagi hingga saya 

diambil anak oleh kedua orang tua saya 

yang sekarang. Mulanya saya merasa


senang, sebab dapat menerima kasih 

sayang. Namun ternyata mereka telah 

menjual diri saya pada si Marsan tanpa 

persetujuan saya. Saya pun menolak 

karena saya tak mencintainya. Hingga 

dengan marah kedua orang tua angkat 

saya membiarkan Marsan berbuat seke-

hendak hatinya pada saya. Karena 

dipaksa terus-menerus untuk 

melayaninya, maka saya pun minggat. 

Marsan yang merasa dikhianati, 

bermaksud memperkosa saya. Sampai 

kalau tak ada tuan pendekar, tentu 

sudah dirusak kehormatan saya oleh 

Marsan. Itulah, tuan guru, mengapa 

saya katakan bahwa orang tua saya tak 

akan mencari saya dan kenapa saya 

menangis," kata Ratih sembari mengusap 

air matanya.

Keempat guru Jaka dan Jaka tampak 

bersedih, turut terhanyut oleh cerita 

yang dibeberkan Ratih. Maka dengan 

menghela nafas panjang, Ni Rukmini 

berkata:

"Sudahlah! Tak perlu kau 

pikirkan. Kalau kau memang ingin 

bersama kami, maka kami pun akan 

menerimamu."

"Benar, nona. Kalau nona di sini, 

aku akan dapat teman yang dapat diajak 

ngobrol dan bercanda. Bukan begitu, 

guru?" Menimpali Jaka, membuat gurunya 

mendelik.


"Dasar ndableg! Enak saja kau 

ngomong! Ayo Jaka, telah waktunya kau 

kembali berlatih," kata Ki Darsa 

menyuruh Jaka untuk berlatih kembali.

"Huh, tak boleh orang enak 

sedikit," omel Jaka, walau akhirnya 

menurut pergi menuju ke tempat

latihan hingga membuat keempat 

gurunya hanya geleng kepala tak dapat 

berkata apa-apa lagi dan mengikuti 

Jaka menuju ke tempat latihan.

* * *

Geram hati ketua perserikatan 

Pendekar Sakti mendengar laporan kedua 

sekutunya Ki Waspati dan Ki Rengkut 

yang menceritakan tentang perkelahian 

mereka melawah Ki Prahista. Mereka 

juga menceritakan tentang adanya 

tanda-tanda pemberontakan yang akan 

didalangi oleh Ki prahista.

"Bedebah! Rupanya Prahista musuh 

dalam selimut!" maki ketua Pendekar 

Sakti setelah mendengar penuturan 

kedua sekutunya.

"Benar, Tetua. Saya melihat 

gejala-gejala itu. Coba Tetua ingat-

ingat kembali pada kejadian-kejadian 

yang telah dilakukan oleh Prahista. 

Bukankah tindakannya bertentangan 

dengan apa yang telah digariskan oleh 

persekutuan?" Kata Ki Rengkut yang 

menjadikan Tetua Perserikatan Pendekar


Sakti makin menggeram marah, hingga 

tampak lehernya menggembung menahan 

amarah yang meledak-ledak di hatinya.

Setelah sesaat terdiam, ketua 

Perserikatan Pendekar Sakti berkata: 

"Benar! Aku ingat apa yang telah 

Prahista lakukan, yang semuanya 

bertentangan dengan garis yang telah 

disepakati oleh seluruh anggota 

perserikatan. Tindakan Prahista yang 

telengas, menjadikan nama kita 

tercemar di muka tokoh-tokoh 

persilatan yang memang membenci kita. 

Khususnya golongan sesat yang 

menganggap kita merupakan penghalang 

besar. Maka untuk segera mengakhiri 

sepak terjang Prahista, aku 

perintahkan pada kalian berdua untuk 

segera menghubungi anggota kita, Ki 

Waspati."

"Saya Tetua," jawab Ki Waspati..

"Aku perintahkan padamu, untuk 

menghubungi Ki Danur Wendo dan Ki 

Marta Pura serta Nyi Longkat Sakti. 

Dan Ki Rengkut."

"Saya, Tetua," jawab Ki Rengkut.

"Saya tugaskan untuk menghubungi 

Ki Bulukumba, Ki Bulu Sari, dan Nyi 

Keluwut. Laksanakan segera! Aku minta, 

dalam tujuh hari kalian harus telah 

sampai ke sini lagi!" kata Tetua 

Perserikatan Pendekar Sakti yang 

segera dilaksanakan oleh kedua tangan 

kanannya.


Maka saat itu juga, kedua tokoh 

persilatan yang menjadi anggota 

perserikatan Pendekar Sakti segera 

berangkat menuju tujuan masing-masing.

Ketua perserikatan Pendekar Sakti 

tampak terduduk diam. Dalam pikirannya 

penuh kemarahan yang melanda hatinya, 

demi mengingat segala tindakan yang 

telah dilakukan oleh salah seorang 

anggotanya.

"Sungguh-sungguh telah mencoreng 

muka perserikatan Pendekar Sakti 

tindakan Prahista. Kalau dibiarkan 

begitu saja, maka makin buruklah nama 

perserikatan. Bukan saja golongan 

sesat yang memang membenci 

perserikatan ini, juga mungkin 

golongan lurus akan bereaksi pula. 

Kalau sampai perserikatan jatuh ke 

tangan Prahista, tidak mungkin tidak 

perserikatan akan berubah haluan. Dari 

aliran lurus menjadi aliran sesat. 

Apapun yang terjadi, aku harus menang-

kap Parahista."

Tengah ketua perserikatan terdiam 

meiarnun, tiba-tiba ia tersentak kaget 

kala sebatang tombak hampir saja 

merenggut nyawanya.

"Bedebah! Siapa yang berbuat 

lancang!" Dengan segera ketua 

perserikatan pun berkelebat mengejar.

Namun sesampainya di luar tak 

didapatinya seorang pun. Maka dengan


geram, iapun kembali masuk ke 

tempatnya.

Diambilnya batangan tombak yang 

menancap tepat di sisi kiri atas kursi 

yang tadi didudukinya. Lalu dengan 

segera, diambil dan dibacanya kertas 

yang melekat di batangan tombak itu.

"Tetua Perserikatan Pendekar 

sakti. Kalau kau ingin selamat dari 

kematian, maka aku sarankan agar kau 

mau menyerahkan kekuasaanmu padaku. 

Aku tunggu jawabanmu dalam dua pekan 

ini. Bila kau menolaknya, maka akupun 

tak akan segan-segan untuk membunuhmu 

dan menghancurkan perserikatan yang 

kau pimpin. Camkan itu!"

Geram hati ketua perserikatan 

Pendekar Sakti. Maka dengan penuh 

kemarahan, diremasnya surat itu hingga 

luluh. Hal itu membuat seorang gadis 

yang memperhatikannya segera bertanya 

ingin tahu.

"Ada apakah, ayah?"

Sesaat ketua Perserikatan 

Pendekar Sakti terdiam, tak menjawab 

pertanyaan anaknya.

Wajah ketua Perserikatan Pendekar 

Sakti membara merah penuh amarah 

hingga makin membuat sang anak sangat 

ingin tahu saja dan bertanya lagi.

"Ayah, apakah ayah marah pada 

Priyanti?"


"Tidak, anakku! Ayah tak marah 

pada Priyanti. Ayah baru saja menerima 

surat ini," kata ketua Perserikatan 

Pendekar Sakti sambil menyerahkan 

surat yang lusuh itu pada anaknya yang 

segera membacanya.

Terbelalak mata Priyanti setelah 

membaca isi surat itu. Lalu dengan 

segera Priyanti pun bertanya lagi pada 

ayahnya. 

"Apakah ayah takut?"

"Tidak!" jawab ketua Perserikatan 

Pendekar Sakti pendek

"Kalau tidak, kenapa ayah mesti 

bimbang? Apakah ayah tahu siapa yang 

telah mengirim surat ini?" tanya 

kembali Priyanti setelah mendengar 

jawaban dari ayahnya.

Sesaat ketua Perserikatan 

Pendekar Sakti menarik nafas panjang, 

sebelum ia kembali berkata menjawab 

pertanyaan anaknya.

"Ayah tidak bimbang, ataupun 

takut. Ayah hanya sedang memikirkan 

bagaimana cara yang terbaik untuk 

mengatasi semua ini. Sedangkan orang 

yang mengirim surat itu tak lain dari 

anggota perserikatan sendiri."

"Siapakah itu, ayah?" kembali 

Priyanti bertanya sepertinya ingin 

membantu beban ayahnya. Hal itu 

membuat ketua Perserikatan kembali 

menghela nafas dan memandang sesaat


pada anaknya, sebelum akhirnya 

menjawab pertanyaan anaknya.

"Orang itu adalah Ki Prahista, 

yang berambisi menggantikan kedudukan 

ayah dan sekaligus mengubah tata cara 

serta garis yang telah ditentukan."

"Ah, kalau begitu tak boleh 

dibiarkan. Salah-salah, tujuan 

perserikatan akan berubah dari aliran 

lurus menjadi aliran sesat. Kita harus 

dapat mencegahnya, ayah! Walaupun kita 

harus mengorbankan nyawa kita," kata 

Priyanti mengomentari jawaban ayahnya.

Untuk sesaat lamanya, kedua anak 

bapak itu terdiam tanpa kata. Keduanya 

tampak seperti tengah berpikir sesuatu 

hingga mereka sepertinya terlelap 

hening.

Setelah lama terdiam, akhirnya 

ketua Perserikatan Pendekar Sakti pun 

berkata kembali: "Sudahlah, jangan 

kita pikirkan. Yang penting kita 

menunggu kedatangan anggota lainnya. 

Seperti ki Danur Wendo, Ki Marta Pura, 

Nyi Longkat Sakti, Ki Bulukumba, Ki 

Bulu Sari, dan Nyi Keluwut. Sebab 

mereka merupakan pelindung dan tokoh 

yang disegani oleh anggota lainnya. 

Apabila keenam tokoh itu telah datang, 

maka baru kita bicarakan lagi. 

Sekarang kau pergilah ke tempat ibumu 

yang mungkin telah menyiapkan makan 

siang. Bantulah ibumu."


"Baik, ayah. Priyanti akan segera 

membantu ibu," kata Priyanti yang 

segera pergi meninggalkan ayahnya dan 

memandang kepergiannya dengan 

pandangan bangga. Lalu dengan segera, 

ketua Perserikatan Pendekar Sakti pun 

segera berlalu meninggalkan ruang 

pertemuan menuju ke dalam rumahnya.

* * *

Di tempat lain, tampak seorang 

lelaki tengah duduk di hadapan anak 

buahnya. Lelaki itu yang tak lain Ki 

Prahista adanya tersenyum senang, demi 

mendengar laporan dari anak buahnya.

"Bagus! Kau telah menjalankan 

tugasnya dengan baik hingga ketua 

Perserikatan tak akan menyangka kalau 

aku yang mengirim surat itu. Nanti 

kalau aku berhasil mejadi ketua 

Perserikatan Pendekar Sakti, maka 

kalian akan menjadi orang-orang kaya

seketika, Ha.. ha... ha...!" kata Ki 

Prahista sembari tertawa-tawa, 

mengkhayalkan apa yang bakal terjadi.

"Benar, Tetua! Tetualah yang 

pantas menduduki jabatan itu. Di 

samping Tetua sakti, juga cerdas dan 

berwibawa. Tidak seperti Tetua 

Perserikatan Pendekar Sakti sekarang 

yang bodoh dan pengecut. Bukan begitu, 

Tetua?"


Makin bertambah tinggi hati saja 

Prahista mendengar sanjungan yang 

diucapakan oleh anak buahnya. Maka 

dengan bergelak tawa, ia pun kembali 

berkata:

"Benar katamu, Dursan! Memang 

akulah yang pantas menduduki tampuk 

kekuasaan sebagai ketua Perserikatan 

Pendekar Sakti. Tidak seperti Danu 

Reksa yang pengecut dan bodoh! Ha... 

ha...!"

Mendengar ketuanya tertawa, 

seketika semua anak buah Prahista pun 

turut bergelak tawa, hingga dalam 

sekejap ruangan balai itu pun gegap-

gempita oleh gelak tawa mereka.


LIMA


Perjalanan dari wilayah Kidul ke 

wilayah Lor cukup jauh. Hingga 

memerlukan beberapa hari untuk 

menempuhnya bila memakai kuda dan 

memerlukan waktu satu setengah bulan 

untuk menempuhnya bila berjalan kaki.

Dari kejauhan, tampak dua orang 

tua memacu kudanya dengan cepat 

sepertinya mereka tengah memburu

waktu. Hingga saking cepatnya langkah 

lari sang kuda menjadikan bagai angin 

saja.

Kedua orang itu yang ternyata Ki 

Rengkut dan Ki Waspati terus menyais

kuda-kudanya menuruni lereng gunung 

dan menyeberangi sungai-sungai.

Sudah tiga hari keduanya menempuh 

perjalanan dalam usahanya menemui enam 

tokoh persilatan sesepuh Perserikatan 

Pendekar Sakti.

Tiga hari mereka menempuh 

perjalanan dari lereng gunung Slamet 

hingga sampai di Kadipaten Brebes. 

Bagaikan tak mengenal lelah, keduanya 

terus memacu kudanya.

Ketika hari menjelang sore, kedua 

orang itu sampai ke tujuannya masing-

masing. Satu menuju ke arah Selatan, 

satunya lagi terus berjalan lurus.

Ki Rengkut segera menuju ke 

kediaman Ki Bulukumba yang tak jauh 

dari tempatnya. Dengan menuntun 

kudanya, Ki Rengkut pun berjalan ke 

Utara. Kira-kira lima ratus tombak, Ki 

Rengkut segera menemukan rumah Ki 

Bulukumba.

"Sampurasun...!" sapa Ki Rengkut 

setelah menambatkan tali kudanya pada 

sebatang pohon jambu yang tumbuh di 

halaman rumah Ki Bulukumba.

"Rampes...!" terdengar jawaban 

dari dalam rumah, suara seorang lelaki 

tua. Tak lama Ki Rengkut menunggu, 

seorang lelaki tua nampak keluar dari 

gubuknya memandang lekat pada Ki 

Rengkut dengan mata menyipit. 

"Siapakah engkau, Ki Sanak?" tanya 

lelaki tua itu sepertinya lupa-lupa


ingat pada orang yang berdiri menjura 

di hadapannya.

"Hamba Rengkut, Ki Ageng!" jawab 

Ki Rengkut seraya menjura hormat.

Terkekeh orang tua renta itu, 

demi mendengar nama orang di 

hadapannya. Maka dengan segera, orang 

tua renta itupun mengangguk-anggukkan 

kepalanya.

"Rengkut? Ya, ya, aku ingat! 

Bukankah kau salah seorang anggota 

Perserikatan Pendekar Sakti yang 

diketuai oleh si Danu Reksa?" tanya 

orang tua renta itu setelah mengetahui 

siapa yang kini berdiri di hadapannya.

"Benar, Ki Ageng. Memang hamba 

Rengkut anggota Perserikatan Pendekar 

Sakti," Jawab Ki Rengkut hormat.

"Ada apakah hingga jauh-jauh kau 

datang ke mari?"

Ki Rengkut sesaat terdiam, 

mengatur napasnya yang memburu karena 

capai telah menempuh perjalanan jauh. 

Lalu dengan perlahan Ki Rengkutpun 

menceritakan apa yang tengah terjadi 

di Perserikatan Pendekar Sakti.

Ki Bulukumba manggut-manggut 

mendengarkannya sepertinya mengerti 

akan apa yang dialami oleh 

Perserikatan Pendekar Sakti. Maka 

dengar masih manggut-manggut, Ki 

Bulukumbapun berkata:


"Jadi Perserikatan Pendekar 

Sakti, kini tengah mengalami kesulitan 

oleh tingkah seorang anggotanya?"

"Benar, Ki Ageng!"

"Siapa nama orang itu, Rengkut?" 

tanya kembali Ki Bulukumba, setelah 

mendengar jawaban Rengkut. Mata lelaki 

tua renta itu nampak berapi-api, 

sepertinya turut kesal pada orang yang 

telah membuat masalah di Perserikatan 

Pendekar Sakti. 

"Orang itu, Ki Prahista adanya." 

"Prahista! Kalau tidak salah 

ingat, apakah dia yang pernah membuat 

kerusuhan di Perguruan Sangga Langit?"

"Benar, Ki Ageng. Memang dialah 

yang dimaksud," jawab Ki Rengkut yang 

menjadikan Ki Bulukumba kembali 

mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Lalu apa yang menjadi pesan 

pemimpinmu?" 

"Hamba disuruh memberikan kabar 

sekaligus mengundang Ki Ageng untuk 

datang ke sana. Begitu pula dengan Ki 

Bulu Sari dan Nyi Keluwut yang akan 

segera hamba kabari." Ki Rengkut 

menjelaskan apa yang telah diperintah 

ketuanya pada Ki Bulukumba yang untuk 

kesekian kalinya mengangguk-anggukkan 

kepalanya.

"Baiklah, Rengkut. Aku akan 

segera ke sana," kata Ki Bulukumba 

yang menjadikan Ki Rengkut hatinya 

senang. Maka dengan menjura hormat,


akhirnya Ki Rengkutpun mengucapkan 

terima kasih sebelum pergi 

meninggalkan Ki Bulukumba untuk 

menemui Ki Bulu Sari dan Nyi Keluwut.

Dengan diiringi padangan Ki 

Bulukumba yang mengantarnya ke jalan 

setapak, Ki Rengkut pun segera menyais 

kudanya yang melaju dengan cepatnya 

meninggalkan Ki Bulukumba untuk 

menemui Ki Bulusari dan Nyi Keluwut.

* * *

"Hiat...!" terdengar suara orang 

berteriak-teriak, memecahkan kesunyian 

pagi buta itu. Seorang pemuda yang 

dikelilingi oleh empat orang tua, 

tengah berjumpalitan di atas batu 

kali. Tubuh pemuda itu melenting 

tinggi dan hinggap kembali tepat di 

atas batu kali yang runcing dan licin.

"Sekarang kau harus mampu 

menghantam pohon asam di seberang kali 

ini dengan tubuh terbalik setelah 

bersalto. Lakukan!" kata salah seorang 

gurunya memerintahkan pada pemuda itu 

yang ternyata Jaka adanya.

Demi mendengar perintah gurunya, 

Ki Darsa, maka dengan segera Jakapun 

kembali melentingkan tubuhnya ke 

angkasa. Dan ketika tubuhnya hendak 

turun kembali, secepat itu pula Jaka 

menghantamkan pukulan jarak jauhnya


pada pohon asam besar yang berada di 

seberang sungai. 

"Bledek Sewu! Hiat...!"

Bersamaan dengan habisnya suara 

Jaka, seketika terdengar ledakan yang 

disertai dengan hancurnya pohon asam. 

"Duar! Dum!"

"Bagus, bagus!" berseru girang 

keempat gurunya kala melihat hasil 

yang telah dicapai oleh muridnya. 

Sementara itu, Jaka tampak berdiri 

tegak di atas batu itu kembali.

"Bagaimana, Guru? Apakah masih 

kurang cukup?" tanya Jaka pada keempat 

gurunya yang menggeleng-gelengkan 

kepalanya.

"Sudah cukup, Jaka. Tak sia-sia 

kami tiap hari menggemblengmu. Kini 

hasilnya telah dapat diketahui," kata 

Ki Bayong dengan senyum kegembiraan 

yang terurai di bibirnya.

"Benar, Jaka. Kami merasa 

bergembira, karena kalau tak ada kamu 

yang kami temukan di kawah Chandra 

Bilawa, sudah pasti kami akan saling 

mengadu kesaktian untuk mengetahui 

siapa di antara kami yang paling 

sakti. Namun rupanya Yang Maha Kuasa 

berkenan menyelamatkan kami yang saat 

itu juga sepakat mengangkatmu sebagai 

murid. Waktu itu, kami melihat 

kelainan di tubuhmu," kata Ni Rukmini 

menambahkan membuat Jaka seketika ber-

tanya.


"Kelainan apakah yang dimaksud Ni 

guru?"

"Kau bisa mengetahuinya sendiri."

Jawaban Ni Rukmini yang tidak 

terbuka menjadikan Jaka segera 

mengerutkan keningnya tak mengerti dan 

kembali bertanya.

"Wah, sejak kapan Ni guru 

mengajarkan padaku merahasiakan 

sesuatu?"

Terkekeh ketiga guru Jaka lainnya 

demi mendengar ucapan Jaka, sementara 

Ni Rukmini seketika tersentak dan 

melototkan matanya, kesal melihat 

tingkah muridnya yang ndableg. Maka 

dengan mendengus yang membuat Jaka 

tersenyum, Ni Rukmini pun berkata:

"Dasar, Ndableg! Berani kau 

menggurui gurumu?"

"Wah, siapa yang berani 

menggurui. Aku kan cuma bilang, sejak 

kapan Ni Guru mengajari aku rahasia? 

Apakah itu salah, Ki Guru Barwa?"

"Benar ucapanmu, Jaka. Memang 

sepantasnyalah, kalau murid akan 

menanyakan pelajaran yang belum ia 

ketahui. Contohnya Jaka, ia pun berhak 

menanyakan pada gurunya, akan apa yang 

sekiranya belum pernah diajarkan 

padanya."

Merasa dibela, maka Jakapun makin 

konyol saja, hingga membuat Ni 

Rukimini mau tak mau harus mengalah


dan menerangkan apa yang tadi ia raha-

siakan.

"Baiklah! Percuma saja aku 

meladeni kendableganmu yang hanya 

membuat aku marah. Dengar baik-baik! 

Keanehan pada dirimu terletak pada 

tingkahmu yang ndableg dan kurang asem 

itu!"

Tertawalah Jaka seenaknya, demi 

mendengar penuturan Ni gurunya. Hingga 

karena kencangnya tertawa menjadikan 

daun-duan pepohonanan di sekitarnya 

seketika runtuh berguguran. 

Terperanjat kaget keempat gurunya yang 

tak menyangka ilmu tenaga dalam 

muridnya telah mencapai puncak yang 

sempurna, bahkan mungkin melebihi 

mereka.

"Weh, weh, weh. Dasar, Ndableg! 

Apakah kau tak berpikir, kalau tawamu 

yang jelek itu merusak lingkungan, 

sekaligus dapat menghancurkan gendang 

telinga orang yang mendengarnya?" kata 

Ki Darsa setelah hilang 

keterkejutannya demi melihat kemajuan 

yang dicapai muridnya.

Dengan segera, Jakapun 

menghentikan gelak tawanya.

"Dasar, Ndableg! Ayo kita pulang! 

Kalau di sini terus, jangan-jangan 

makin kerasukan setan hingga bakal 

bertambah ndablegnya," Ki Bayong 

segera mengajak Jaka pulang yang


segera dituruti Jaka dan ketiga 

gurunya yang lain.

"Wah, aku kan belum mandi, Ki?" 

kata Jaka beralasan agar supaya dapat 

meneruskan latihannya di sungai itu. 

Namun tanpa kenal ampun Ki Bayong tak 

mau tahu. Maka dengan menggerutu yang 

menjadikan keempat gurunya geleng 

kepala, Jakapun akhirnya menuruti 

mereka pulang.

* * *

Di kediaman Danu Reksa, tampak 

enam orang tua renta tengah duduk di 

hadapan Danu Reksa sendiri. Saat itu 

keenam orang tua yang tak lain Ki 

Bulukumba, Ki Bulu Sari, Nyi Keluwut, 

dan tiga orang lainnya tengah diundang 

Danu Reksa guna diminta sarannya 

sehubungan dengan tingkah salah 

seorang anggota perserikatan yang 

bernama Ki Prahista.

"Bagaimana, menurut pendapat Ki 

Ageng dan Nyi Ageng?" tanya Danu Reksa 

meminta saran pada para sesepuh itu.

Sesaat keenam orang tua itu 

terdiam hingga akhirnya Ki Bulukumba 

berkata mewakili kelima temannya: 

"Menurut hematku, lebih baik orang 

yang bersangkutan dipanggil!"

"Benar, apa yang dikatakan Ki 

Bulukumba," menambahkan Nyi Keluwut,


menjadikan Danu Reksa mengangguk-

anggukkan kepalanya.

"Baiklah kalau menurut Ki Ageng 

dan Nyi Ageng begitu, maka kami akan 

segera memanggilnya. Ki Sampar Angin, 

panggil segera Ki Prahista untuk 

datang ke mari!"

Mendengar perintah pemimpinnya 

maka dengan terlebih dahulu menjura, 

Ki Sampar Angin segera pergi untuk 

memanggil Ki Prahista.

Sepeninggalnya Ki Sampar Angin, 

kembali merekapun terlibat pembicaraan 

yang tampaknya sangat serius hingga 

tak ada gelak tawa. Yang ada hanya 

muka-muka kelam mengukir wajah mereka.

Tak berapa lama antaranya, tampak 

Ki Sampar Angin telah kembali diikuti 

oleh Ki Prahista yang tampak agak 

terkejut melihat kehadiran keenam 

tokoh utama persilatan. Maka dengan 

menjura hormat pada Ki Danu Reksa, Ki 

Prahistapun memberi salam pada keenam 

tokoh persilatan yang sangat kondang 

dan disegani itu.

"Duduklah, Prahista. Kami ingin 

bicara denganmu," kata Ki Bulukumba, 

selaku orang yang paling tertua di 

antara kelima tokoh lainnya yang ada 

di situ.

Dengan tanpa banyak kata, Ki 

Prahista pun segera mengambil duduk di 

antara merexa. Lalu dengan nada 

menghormat, Ki Prahista bertanya


sepertinya ia tak mengetahui 

sesungguhnya pada kedatangan keenam 

tokoh Perserikatan Pendekar Sakti.

"Ki Ageng, ada apakah gerangan 

hingga Ki Ageng memanggilku?"

Ki Bulukumba tampak mengangguk-

anggukkan kepala sembari memandang 

pada Prahista, sebelum akhirnya 

menjawab pertanyaan yang dilontarkan 

Prahista.

"Prahista, aku mendengar desas 

desus bahwa kau berupaya memisahkan 

diri dari perserikatan. Apakah desas 

desus itu benar?"

Mendengar pertanyaan yang 

dilontarkan Ki Bulukumba, seketika 

Prahista terlonjak kaget. Hampir saja 

ia berdiri dari duduknya kalau ia tak 

segera ingat dengan siapa ia kini 

berhadapan.

"Kenapa, Prahista? Sepertinya kau 

terkejut," tanya Ki Bulukumba kembali 

melihat keterkejutan Ki Prahista.

"Maaf, Ki Ageng. Keterkejutan 

saya karena saya sungguh tak menyangka 

kalau akan diberi pertanyaan seperti 

itu. Kalau benar saya hendak keluar 

dari perserikatan, untuk apa setiap 

bulan saya selalu menyokong dana 

perserikatan?" jawab Ki Prahista

mengelak membuat Ki Bulukumba 

mengangguk-anggukkan kepala. Lalu 

setelah terdiam sesaat, Ki Bulukumba 

pun kembali berkata:


"Lalu, mengapa tindakanmu 

sepertinya menyimpang dari garis yang 

telah ditetapkan oleh perserikatan?"

Untuk yang kedua kalinya Ki 

Prahista tersentak, demi mendengar 

ucapan Ki Bulukumba yang sepertinya 

telah mengetahui segala-galanya. 

Walaupun di bibirnya terurai senyum, 

namun di hati Ki Prahista membatin 

sengit 

"Hem, aku rasa Ki Waspati telah 

menceritakan semuanya pada orang tua 

ini. Awas Ki Waspati! Kalau nanti 

sampai masanya, tak akan kubiarkan kau 

hidup!"

"Kenapa, Ki Prahista?" ulang Ki 

Bulukumba bertanya demi tak ada 

jawaban dari Ki Prahista. Tersentak Ki 

Prahista, lalu dengan tergagap iapun 

berkata:

"Maaf, Ki Ageng. Aku rasa 

tindakanku selama ini tidak 

bertentangan dengan perserikatan, 

karena menyangkut hak perseorangan. 

Kalau menurut penglihatan tindakan 

saya salah, maka orang yang melihat 

itulah yang tak mengerti hak pribadi."

"Baiklah, kalau itu yang kau 

inginkan. Namun kami tak menghendaki 

adanya kerusuhan di perserikatan hanya 

karena masalah ini. Kau tentunya

mengerti, Ki Prahista!"

"Saya mengerti, Ki Ageng."


"Bagus! Untuk kali ini aku rasa 

aku dapat mengerti tindakanmu. 

Sekarang, siapakah yang telah 

mengirimkan tombak dengan surat ini?" 

Diambilnya tombak dan surat yang ada 

di samping dirinya yang segera 

ditunjukkan pada Ki Prahista yang 

tersentak kaget.

"Apakah kau mau mengelak lagi, Ki 

Prahista?" tanya Ki Bulukumba kembali 

yang menjadikan merah padam muka Ki 

Prahista. Maka dengan segera, Ki 

Prahista tanpa dapat dicegah 

berkelebat pergi meninggalkan 

pertemuan itu. Hal itu menjadikan 

dugaan mereka makin kuat. Maka dengan 

segera, semua yang hadir di situ 

mengejar Ki Prahista.

"Kejar sampai dapat! Tangkap 

hidup atau mati!" sera tetua 

Perserikatan Pendekar Sakti yang 

segera dilaksanakan oleh anggota yang 

lainnya.

Kini terbuka sudah siapa yang 

telah bermaksud memberontak pada 

Perserikatan Pendekar Sakti dan ingin 

mengadakan kudeta untuk menggulingkan 

pemimpin perserikatan.

Prahista terus berlari, dikejar 

oleh kedua orang anggota perserikatan. 

Kejar mengejar itupun terus 

berlangsung hingga sampai Ki Prahista 

menghilang di balik semak-semak.


"Sungguh sangat berbahaya orang 

itu kalau sampai tak tertangkap! 

Apalah jadinya perserikatan. Ayo, kita 

kejar!" kata Ki Sapu Angin pada Ki 

Waspati yang hanya mengangguk 

membenarkan. Maka dengan segera kedua 

orang itupun terus berlari mem-buru Ki 

Prahista yang telah lenyap entah ke 

mana.

Di lereng gunung Slamet, tepatnya 

di sebuah dataran yang agak rata, 

tampak lima orang guru dan murid 

tengah bercakap-cakap. Kelima guru dan 

murid itu, tak lain Jaka dan keempat 

gurunya.

Hari itu, keempat gurunya 

bermaksud menurunkan ilmu pamungkas 

mereka pada Jaka. Kelimanya tengah 

duduk bersila dan Jaka duduk di 

tengah-tengah.

"Jaka, sudah setahun lebih kau 

bersama kami. Segala ilmu kanuragan 

dan ilmu kedigjayaan yang telah kami 

turunkan padamu hingga semuanya telah 

kau kuasai. Hari ini, adalah hari 

terakhir kau bersama kami. Untuk itu, 

kami bermaksud menurunkan ajian-ajian 

pamungkas yang ada pada diri kami. 

Ajian pamungkas ini sangatlah 

berbahaya jikalau dipergunakan untuk 

hal-hal yang jahat. Maka dari itu, 

kami mohon kau melakukannya di jalan 

kebaikan. Kau sanggup?" tanya Ki 

Bayong mewakili ketiga adik


seperguruannya yang mengangguk-

anggukkan kepalanya membenarkan.

"Akan saya ingat dan kerjakan apa 

yang menjadi petuah guru," jawab Jaka 

membuat keempat gurunya itu tersenyum 

senang.

"Kalau begitu, bersiaplah kau 

untuk menerima ajian pamungkas yang 

akan segera kami berikan!" Setelah 

berkata begitu, Ki Bayong segera 

memimpin ketiga adik seperguruannya 

mengheningkan cipta untuk menenangkan 

seluruh pikirannya.

"Kau sudah siap, Jaka?" tanya Ki 

Bayong kembali setelah sesaat terdiam 

mengheningkan cipta.

"Sudah, Ki Guru!" jawab Jaka 

sembari mengatur jalan pernapasannya 

agar mudah dalam penyaluran tenaga 

yang akan dilakukan guru-gurunya pada 

tubuhnya.

"Pejamkan matamu, atur napasmu 

dan pusatkan pikiranmu!"

jaka segera menuruti apa yang 

dikatakan Ki Bayong. Ia segera 

memejamkan matanya serta memusatkan 

pikirannya.

Dengan bersama-sama, keempat 

orang tua yang menjadi guru Jaka 

segera menempelakkan telapak tangannya 

dari empat penjuru angin. Dari telapak 

tangan mereka, mengepul asap putih 

yang disertai sinar yang berwarna-

warni masuk ke tubuh Jaka. Keringat


keempat orang tua itu tampak 

berjatuhan membasahi seluruh tubuh 

mereka.

Tak luput juga Jaka yang menerima 

penyaluran tenaga dalam yang disertai 

ajian pamungkas dari keempat guru, 

nampak keringat membanjiri tubuhnya.

"Ajian Gatih Sakti!"

"Ajian Tapak Prahara!" 

"Ajian Bledek Sewu!" 

"Ajian Kalimu Sada!"

Berturut-turut keempat guru Jaka 

dari yang paling muda hingga Ki 

Bayong, mengalirkan ajian-ajian yang 

dimiliki mereka pada tubuh Jaka.

Tak berapa lama antaranya, 

keempat guru itu terpelanting ke 

belakang, pingsan. Sesaat Jaka 

mengatur jalan darahnya sebelum 

akhirnya ia segera menghampiri tubuh-

tubuh gurunya yang pingsan.

"Kasihan mereka, karena sangat

sayang padaku, mereka sampai menderita 

begini rupa. Ah, betapa besar 

pengorbanan keempat guruku. Dengan apa 

kelak akan kubayar?"

Dengan segera, Jala berlari 

menuju ke gubug di mana mereka 

tinggal. Ditemuinya Ratih yang tengah 

memasak nasi, yang tersentak kaget 

melihat kedatangan Jaka.

"Ada apa, Kakang Jaka?" tanyanya 

seketika, demi melihat Jaka mencari-

cari sesuatu.


"Aku mencari air," jawab Jaka

singkat sembari mencari-cari kendi 

tempat air. Mengerut kening Ratih 

melihat Jaka yang tampaknya tak 

sabaran, lalu dengan membantu mencari, 

Ratihpun bertanya:

"Kakang, haus?"

"Tidak, Ratih. Aku mencari air 

untuk guru, di manakah air?"

"Ini, Kakang!" seru Ratih sembari 

menunjukkan tempat air yang segera 

diambil Jaka. Dengan tanpa bicara 

lagi, Jaka pun segera berlari menuju 

ke tepi sungai di mana keempat gurunya

pingsan.

Terkejut Jaka saat itu kala 

melihat keempat gurunya telah terduduk 

bengong. Keempat guru itu bengong 

karena mencari-cari Jaka yang 

menghilang. Mereka menganggap ada 

orang yang telah menculik Jaka kala 

mereka pingsan.

"Dari mana kau, Jaka?" tanya K 

Darsa sembari menggelengkan kepala, 

demi melihat Jaka datang dengan 

membawa kendi.

"Aku mengambil air untuk guru 

sekalian," jawab Jaka tenang hingga 

membuat keempat gurunya kembali 

bengong. Mereka tak menyangka kalau 

Jaka begitu tahan menerima empat ajian 

sekaligus. Kalau orang lain niscaya 

akan pingsan lama, tapi bocah ndableg 

ini nampaknya tak mengalami apa-apa.


"Weh, weh, weh. Baru kali ini aku 

melihat bocah ndableg yang mempunyai 

daya tahan tubuh yang tinggi. Weh, 

weh, weh. Sungguh luar biasa! Kalau 

orang lain akan pingsan beberapa hari, 

tapi si Ndableg tak apa-apa!" gumam Ni 

Rukmini dengan hati bangga.

"Benar katamu, Nini. Bocah ini 

memang luar biasa daya tahan tubuhnya. 

Jaka! Untuk apa kendi itu?" tanya Ki 

Barwa yang dijawab dengan senyum-

senyum oleh Jaka

"Kan guru sekalian pingsan. Jadi 

saya bermaksud menyiram muka guru agar

guru sadar."

Tersentak kaget keempat gurunya 

hingga mata mereka melotot demi 

mendengar penuturan murid-nya. Dengan 

geleng-geleng kepala, Ki Darsa kembali 

berkata:

"Dasar, Ndableg! Bukan begitu 

caranya menolong orang pingsan, Jaka. 

Wah, wah, wah. Kalau benar-benar kau 

lakukan, sungguh kurang ajar!"

Jaka tersenyum-senyum mendengar 

ucapan gurunya, yang membuat sang guru 

Ki Darsa hanya mampu geleng kepala. 

Kemudian, Ki Darsa pun kembali 

berkata: "Duduklah, Jaka. Kami ingin 

bicara denganmu."

Dengan menurut, Jaka pun segera 

duduk bersila di hadapan keempat 

gurunya yang menghadap ke arahnya. 

Sesaat kelima guru dan murid itu


terdiam, akhirnya Ki Bayong sebagai 

orang yang tertua di antara mereka 

berkata memecahkan keheningan.

"Jaka, semua ilmu yang kami 

miliki telah seluruhnya kami turunkan 

padamu. Hingga aku rasa, kau telah 

pantas untuk mencari kabar ayahmu. 

Kalau kau ingin menemukan musuh 

ayahmu, maka kami menyarankan kau 

pergilah ke arah Utara. Carilah olehmu 

sebuah Perserikatan Pendekar Sakti, 

tanyakanlah pada tetuanya di mana kau 

dapat menemui Ki Prahista."

"Tapi, Guru?"

"Ada apa lagi, Jaka?" tanya Ki 

Bayong, demi mendengar ucapan Jaka 

yang memprotes. Dengan gaya orang 

bloon dan bibir menyungging senyum 

Jaka pun berkata nyeplos.

"Kalau Jaka pergi meninggalkan 

guru sekalian, apakah guru sekalian 

tidak sepi? Aku takut nantinya guru-

guru sekalian pada stress dan tegang 

tanpa ada yang menghiburnya seperti 

Jaka."

"Ndableg! Apa kau kira kau dapat 

menyenangkan kami? Malah menjadikan 

kami bingung dan tak mengerti akan 

segala tingkahmu yang kadangkala 

konyol dan aneh-aneh," kata Ki Bayong 

sembari geleng kepala mendengar ucapan 

muridnya.

"Ah, sudahlah. Yang penting kau 

dapat mengamalkan semua ilmu yang kami


turunkan padamu, maka hal itu telah 

membuat hati kami senang. Hari ini 

juga, kau harus pergi meninggalkan 

kami untuk mencari musuh ayahmu 

sekaligus mencari keberadaan ayahmu," 

kata Ki Bayong melanjutkan.

Maka dengan terlebih dahulu 

menjura hormat setelah kelimanya 

kembali ke gubug, Jakapun segera 

meminta pamit untuk melakukan 

pengembaraannya guna mencari ayahnya.

"Hati-hati, dik Ratih. Guru-

guruku galak dan sadis!" kata Jaka 

pada Ratih kata mengantarnya ke 

halaman yang membuat keempat gurunya 

melotot. Dengan tertawa bergelak-

gelak, Jakapun segera pergi 

meninggalkan gubug yang telah setahun 

lamanya dihuni.

"Hati-hati, kang Jaka! Jangan 

sampai lupa dengan yang di sini, 

Kakang!" seru Ratih kata Jaka telah 

berlari sembari menjawab seruannya:

"Ya! Aku akan sering datang 

menemui kalian, sebab aku senang 

berkumpul dengan guru-guruku yang 

aneh! Ha… ha... ha…!" Bergelak-gelak 

tawa Jaka yang berlari meninggalkan 

gubug itu membuat keempat gurunya 

menggerutu sembari geteng-geleng 

kepala.

"Dasar, Ndableg!"

Mata keempat guru itu berkaca-

kaca sepertinya berat untuk berpisah


dengan muridnya yang walaupun ndableg, 

namun dapat menghibur hati mereka yang 

telah tua.

Tak terasa, di pipi keempat orang 

tua itu menetes air mata, seakan haru 

bercampur sedih ditinggalkan muridnya. 

Sementara Jaka tampak terus berlari 

dan berlari dengan gelak tawa dan 

nyanyi-nyanyi.



ENAM



Angin bertiup lembut ketika Jaka 

berjalan menyusuri hutan sambil 

bernyanyi-nyanyi menghibur diri 

sendiri. Suaranya yang sengau 

sepertinya membuat penghuni hutan itu 

berterbangan ketakutan dan lari 

tunggang langgang.

Kala ia tengah bernyanyi, tiba-

tiba ia dikejutkan oleh bentakan 

seseosrang. 

"Berhenti!"

Jaka segera menghentikan 

langkahnya dan membalikkan tubuhnya 

memandang pada orang-orang yang 

berdiri di hadapannya. Mata Jaka 

menyipit kala mengenali keenam orang 

yang berdiri menghadap ke arahnya. 

"Wah, wah, wah. Ada apakah 

gerangan hingga kalian menghentikan 

langkahku?" bertanya Jaka semberi 

geleng-geleng kepala.


"Jangan berpura-pura tak tahu, 

Anak edan! Di mana kau sembunyikan 

calon istriku!" membentak Marsani 

membuat Jaka tertawa bergelak-gelak. 

Maka dengan kembali geleng-geleng 

kepala, Jaka pun kembali berkata:

"Istrimu! Heh, sejak kapan kau 

punya istri, Marsan?"

Menggeretuk gigi-gigi Marsan 

mendengar ucapan Jaka yang nadanya 

mengejek. Maka dengan penuh amarah 

Marsan kembali membentak.

"Sompret! Di tanya malah balik 

bertanya. Apakah kau kira kau dapat 

selamat dari kami?!''

"Keselamatanku hanya Yang Kuasa 

yang mengetahui, apa pedulimu?"

Geram keenam orang di hadapan 

Jaka demi mendengar ucapan Jaka yang 

meremehkannya. Maka dengan terlebih 

dahulu mendengus, keenam orang itupun 

segera berkelebat mengepung dan 

menyerang Jaka.

"Tobat, Emak! Aku hendak 

dikeroyok!" berseru Jaka, sepertinya 

ketakutan dan berusaha menghindari 

serangan keenam orang yang 

mengeroyoknya. Gedeg juga keenamnya 

melihat tingkah Jaka yang konyol dan 

membuat kesal.

"Monyet! Walaupun kau berteriak-

berteriak sampai habis suaramu, tak 

akan emakmu datang menolongmu!" 

membentak salah saorang dari keenam


orang yang bergelar Lima Iblis Haus 

Darah yang kesal melihat tingkah laku 

Jaka.

"Waduh, Mak! Jaka mau dijitak!" 

kembali Jaka berteriak-teriak, kala 

seseorang pengeroyoknya hendak 

membokongnya dari belakang. Lalu 

dengan melentikkan tubuh ke angkasa, 

seketika tangan Jaka telah menjitak 

kepala orang yang bermaksud mem-

bokongnya.

Jitakan Jaka yang disertai tenaga 

dalam menjadikan orang itu memekik 

kesakitan sembari memegangi kepalanya. 

Tertawa Jaka melihat orang itu yang 

berputar-putar sembari menjerit-jerit.

"Ha... ha... ha...! Lucu, lucu. 

Kau seperti monyek dikeroyok semut 

rangrang, berputar-putar. Ha... ha... 

ha...!"

Geram kelima orang lainnya 

mendengar ucapan Jaka yang sepertinya 

melihat kelucuan. Maka dengan segera 

kelima orang yang lainnya berkelebat 

menyerang Jaka.

"Ampun, Kek! Jaka hendak 

digebug!" kembali Jaka berteriak kala 

melihat kelima pengeroyoknya serentak 

membabatkan golok mereka ke arahnya. 

Dengan mengelak, Jaka pun 

menghantamkan tangannya ke seorang 

yang mengeroyoknya. Seketika orang 

yang terkena gebukan tangan Jaka


berguling-guling dengan tubuh bagaikan 

remuk tulang-tulangnya.

Terbelalak yang lainnya melihat 

kedua temannya dapat dengan mudah 

dipermainkan oleh Jaka. Namun karena 

marah dan penasaran, keempat orang 

lainnya pun segera menyerang kembali.

"Jangan berlagak kayak anak 

kecil. Monyet!" membentak orang yang 

paling tua di antara keenam orang itu 

yang segera kembali menyerang Jaka.

"Tobat...! Jangak galak-galak, 

Om!" berseru Jaka lagi, ketika orang 

itu membentak dan menyerangnya dengan 

membabi buta. Lalu dengan 

berjumpalitan bagaikan main-main, Jaka 

pun segera melancarkan serangan balik. 

Dihantamkan tangannya ke arah muka 

orang itu yang dengan seketika 

tersentak dan bermaksud mengelaknya. 

Namun tak urung, tangan Jaka lebih 

cepat melaju menghantam telak muka 

orang itu yang dengan seketika 

menutupi mukanya dengan kedua 

tangannya.

Orang itu berguling-guling 

sembari menutupi mukanya yang terasa 

sakit. Kembali Jaka tertawa bergelak-

gelak hingga tawanya seketika 

memecahkan hutan itu.

Melihat ketiga orang saudaranya 

terjatuh dengan tubuh mereka memar, 

ketiga orang lainnya seketika 

terbelalak. Maka tanpa malu-malu,


ketiga orang yang masih berdiri itupun 

segera berlari meninggalkan Jaka yang 

tak berkehendak mengejarnya.

"Wah, wah, wah. Macam-macam saja 

ke hidupan. Ah, jadi tertunda juga 

perjalananku gara-gara orang-orang 

brengsek!" Maka dengan tak 

memperdulikan ketiga orang yang 

tergeletak Jaka segera pergi berlalu 

untuk melanjutkan perjalanannya.

Kala Jaka tengah melangkah 

menyusuri jalan menuju ke arah kawah 

Chandra Bilawa. Tiba-tiba ia 

dikejutkan oleh seorang yang 

berkelebat melintasi dirinya.

Tersentak Jaka melihatnya, hingga 

iapun hanya dapat terbengong-bengong. 

Belum juga hilang kekagetannya, 

kembali berkelebat dua orang lari di 

sisinya searah dengan orang yang 

pertama berlalu.

Ketiga orang itu menuju ke kawah 

Chandra Bilawa.

Merasa penasaran, Jaka pun dengan 

segera berlari mengejar ketiga orang 

itu.

"Sepertinya, ketiga orang itu 

tengah menuju ke kawah Chandra Bilawa. 

Hem, mungkin ada sesuatu yang hendak 

dikerjakan di sana," kata hati Jaka 

dan dengan secepat angin berkelebat 

mengejar ketiga orang itu.

Benar juga apa yang menjadi 

dugaannya. Ketiga orang itu memang


menuju ke kawah Chandra Bilawa. 

Terdengar dua orang yang di belakang 

berseru. 

"Ki Prahista, mau lari ke mana, 

kau?"

Tersentak Jaka demi mendengar 

orang itu menyebut nama orang yang 

dikejarnya yang mengingatkan dirinya 

pada orang yang tahu pasti keadaan 

ayahnya. Maka dengan makin mempercepat 

larinya, Jaka pun segera menyusul 

ketiga orang di depannya.

Tersentak ketiga orang yang 

tengah berlari kala ketika berkelebat 

sesosok tubuh telah mendahuluinya dan 

berdiri tegak membelakangi kawah 

Chandra Bilawa.

"Siapa di antara Ki Sanak 

sekaiian yang bernama Prahista?"

Tersenyum senang Prahista yang 

mengira Jaka hendak membantunya. Maka 

dengan segera Prahista pun berkata. 

"Aku! Akulah Prahista!"

Mendengar pengakuan orang yang 

berlari di depan kedua orang lainnya, 

seketika Jaka tampak tersenyum. Lalu 

dengan menjura terbalik yaitu kepala 

menghadap ke kawah sedang pantat 

menghadap ke Prahista, Jaka pun 

berkata:

"Ki Prahista, terimalah salam 

hormat saya yang tak ternilai 

tingginya atas segala jasa yang Ki 

Prahista berikan."


Terbelalak Ki Prahista demi 

melihat tingkah laku pemuda di 

hadapannya. Hatinya yang tadinya se-

nang, seketika geram demi melihat 

perlakuan pemuda itu yang kurang ajar 

memantatinya. Maka dengan menggeram, 

Ki Prahista pun berkata membentak.

"Anak muda Sableng! Siapa namamu 

hingga kau berani kurang ajar padaku? 

Apa perlumu menghadangku?"

"Ladalah! Dihormati, eh, malah 

marah-marah. Baiklah. Namaku Jaka 

Ndableg, aku adalah anak Eka Bilawa. 

Aku menghadangmu karena ingin 

menanyakan perihal bapakku yang 

menghilang tak tahu rimbanya sejak 

bertempur melawanmu. Kau dengar?"

Terbelalak mata Ki Prahista 

setelah tahu siapa gerangan pemuda di 

hadapannya yang tak lain anak Eka 

Bilawa. Hatinya seketika bergemuruh 

beraduk antara rasa bersalah dan 

kemarahan.

"Kenapa kau terdiam, Ki Prahista! 

Di manakah ayahku?"

Tiba-tiba, Ki Prahista yang dari 

tadi diam, tertawa bergelak-gelak dan 

dengan sengaunya Ki Prahista pun 

berkata:

"Anak Ndableg! Ketahuilah! Ayahmu 

telah mati di kawah Chandra ini, 

hingga kawah Chandra ini diberi nama 

Chandra Bilawa. Kalau kau ingin tahu,


maka kusarankan kau terjun saja ke 

kawah ini."

"Wah! Mana bisa aku terjun ke 

kawah ini, kalau tidak diberi tahu 

olehmu? Bagaimana, Ki Prahista? Apakah 

kau mau membantuku mengantar ke dasar 

kawah ini?" bertanya Jaka yang 

mengakibatkan ketiga orang di 

hadapannya terbelalak, terlebih-lebih 

Ki Prahista yang merasa diejek. Maka 

dengan terlebih dahulu membentak, Ki 

Prahista pun segera menyerang Jaka.

"Bujur buset! Kau tak memandang 

sebelah mata pun padaku. Maka 

janganlah menyesal, bila aku nanti 

telengas dan mengantarmu untuk 

menyusul ayahmu!"

"Ampun, Om!" berteriak Jaka 

ketika Ki Prahista menyerangnya. Hal 

itu makin membuat dua orang yang 

menonton tersenyum-senyum geli melihat 

tingkahnya.

Kemarahan Ki Prahista tak dapat 

dibendung lagi, hingga serangannya 

begitu mengganas dan membabi buta. 

Namun bagaikan tengah hermain-main, 

Jaka menanggapinya sambil berteriak 

kala Ki Prahista menyerangnya.

"Tolong, Emak!"

"Diam! Jangan kau panggil-panggil 

emakmu," maki Ki Prahista penuh 

amarah. Namun begitu, Jaka malah 

bertambah konyol. Maka dengan segera, 

Jaka pun berkata mengejek


"Ingat ya, pada emakku. Kalau 

cintanya ditolak, kenapa kau membabi 

buta hendak memperkosa emakku?"

Merah padam wajah Ki Prahista 

mendengar ucapan Jaka yang telah 

membuka kartunya di depan kedua orang 

anggota Perserikatan Pendekar Sakti. 

Maka untuk menghilangkan rasa malunya, 

Ki Prahista pun segera membentak 

sembari terus mencerca menyerang Jaka.

"Anak monyet! Siapa yang 

mengatakannya padamu?!"

"Heh! Kau bilang aku anak monyet! 

Kenapa dulu kau mengejar-ngejar 

emakku, hingga kau hendak 

memperkosanya karena ditolak cintamu?" 

Ucapan Jaka terasa halilintar yang 

menyengat telinga Ki Prahista, hingga 

seketika tersentak melototkan mata.

"Nah, kau diam. Berarti kau 

mengaku, bukan?"

Meledak amarah Ki Prahista 

bagaikan bensin dibakar. Maka dengan 

segala kemarahannya menjadikan Ki 

Prahista menggeretak. Tersentak Jaka 

dan kedua orang yang ada di situ, kala 

melihat apa yang terjadi di 

hadapannya.

Tubuh Ki Prahista yang tengah 

dilanda kemarahan berubah menjadi 

bersisik-sisik seperti ular. Namun 

kenyataannya bukanlah sisik ular

melainkan sisik-sisik buaya. Mulutnya


yang tadinya pendek seketika berubah 

perlahan-lahan menjadi moncong buaya.

"Ilmu Iblis! Rupanya Ki Prahista 

telah bersekutu dengan siluman buaya. 

Pantas! Kalau ayah yang kata emak 

tokoh sakti dapat dikalahkannya. Hem,

akan aku lawan dengan ilmu-ilmu yang 

diwariskan guru-guruku," membatin Jaka 

melihat kejadian aneh yang ada di 

hadapannya.

Tersentak Jaka sembari 

menghindar, ketika tangan manusia 

buaya itu berkelebat hendak 

menghantamnya. Dengan terlebih dahulu 

memekik, Jaka segera melancarkan 

ajian-ajian yang diberikan guru-

gurunya.

Dari ajian Geledek Sewu sampai 

ajian Jamus Kalima Sada dilancarkan 

Jaka untuk menghantam buaya jejadian 

itu. Namun semuanya bagaikan tak ada 

artinya. Hingga karena tersentak, Jaka 

tak dapat mengelakan hantaman ekor 

buaya itu yang menghantam tubuhnya. 

Maka tak ayal lagi, tubuh Jaka pun 

terpental masuk ke kawah Chandra 

Bilawa dengan suara lengkingannya yang 

panjang.

Melihat pemuda yang mempunyai 

ilmu tinggi saja kalah oleh Ki 

Prahista, maka kedua orang itupun 

dengan ketakutan segera berlari 

meninggalkan buaya jejadian itu.


* * *

Tubuh Jaka terus melayang ke 

dalam kawah yang mendidih yang siap 

menjadikan tubuhnya menjadi bubur 

blohok. Mata Jaka terpejam rapat-rapat 

sepertinya pasrah pada apa yang akan 

terjadi.

"Emak, aku sebentar lagi akan 

menyusul bapak. Kasihan emak yang 

sendirian." Tak dirasakannya air 

matanya pun meleleh membasahi kedua 

pipinya. Sempat pula Jaka berdo'a 

memohon ampun pada Yang Maha Kuasa 

sebelum tubuhnya dimakan lumpur panas

itu.

Tengah Jaka menyerah pasrah 

dengan tubuh melayang, tiba-tiba 

berkelebat sesosok tubuh dari dalam 

kawah yang menjemputnya menangkap 

tubuh Jaka dalam bopongannya.

Lama Jaka pingsan karena takut 

dan ngeri. Ketika matanya terbuka 

kembali, Jaka terbengong-bengong dan 

bertanya pada diri sendiri.

"Di manakah aku? Apakah aku 

tengah di surga? Ah, mana mungkin aku 

yang ndableg ini masuk surga? Tapi, 

menurut cerita emak, neraka bukanlah 

seindah ini. Ah, mungkin emak 

berbohong untuk menakut-nakuti aku 

agar tidak ndableg."

Tengah Jaka terbengong-bengong, 

tampak seorang lelaki yang wajahnya


mirip dengannya, datang menghampiri 

hingga Jaka tersentak mundur sembari 

bertanya:

"Siapakah kau? Kenapa wajahmu 

sepertiku?"

Ditanya seperti itu oleh Jaka, 

lelaki itu tersenyum dan terus 

menghampiri Jaka yang terus menyurut 

mundur ketakutan.

"Kenapa kau takut, Anakku?" tanya 

lelaki yang berwajah seperti dia, 

dengan menyebut anak membuat Jaka 

mengerutkan keningnya tak mengerti dan 

bertanya:

"Hai! Siapakah kau? Kenapa kau 

menyebutku anak?"

Kembali lelaki itu bersenyum, 

sebelum akhirnya berkata lagi:

"Aku dengar ketika kau berkelahi 

dengan Prahista sebulan yang lalu, kau 

menyebut-nyebut namaku sebagai 

ayahmu."

"Ah, kau berdusta! Mana mungkin 

ayahku masih hidup? Sedang ayahku 

telah tercebur ke kawah Chandra Di 

Muka. Kau mungkin siluman yang ingin 

menggangguku atau mungkin kau 

malaikat?"

Tertawa lelaki yang berdiri di 

hadapan Jaka mendengar ucapannya yang 

menganggap dirinya Siluman atau 

Malaikat. Dengan menggelengkan ke-

palanya, lelaki yang wajahnya mirip


dengannya menghampiri sembari kembali 

berbicara:

"Jaka, Anakku. Kalau kau tak 

percaya padaku bahwa aku ini ayahmu, 

baiklah, mari ikut aku! Akan aku 

tunjukkan wajah ibumu di masa muda, 

mari!"

Dengan penuh kasih, digandengnya 

tangan Jaka yang menurut. Berdiri dan 

mengikutinya walau dengan perasaan 

takut. Keduanya segera menuju ke 

sebuah ruangan yang terbuai dari batu 

pualam yang memancarkan sinar 

gemerlapan.

"Itu, ibumu!" Lelaki itu 

menunjukkan lukisan yang terpahat di 

batu marmer yang membuat Jaka 

tersentak melihatnya. Lukisan itu 

jelas wajah emaknya. Maka setelah 

menatap sesaat pada wajah lelaki yang 

berdiri di sisinya, Jaka dengan segera 

bersimpun duduk sembari menyembah pada 

lelaki itu.

"Ayah! Kenapa Ayah tak pernah 

datang menjenguk? Tidakkah ayah 

kasihan pada emak?"

Tak kuasa lelaki itu menahan air 

matanya mendengar ratap tangis Jaka, 

hingga air matanya pun seketika 

meleleh membasahi kedua pipinya. 

Dengan penuh kasih sayang, Eka Bilawa 

segera membangunkan tubuh anaknya 

berdiri.

"Bukan ayah tidak kasihan padamu, 

Nak. Ayah juga sangat rindu pada 

kalian. Tapi dunia ayah sangat lain 

dengan duniamu dan emakmu. Kalau ayah 

keluar dari kawah ini, maka ayah akan 

mati dalam tiga jam."

"Kenapa begitu, Ayah?" bertanya 

Jaka tak mengerti, mendengar ucapan 

ayahnya yang dirasa aneh 

kedengarannya. Mengapa ayahnya akan 

mati bila menampakkan dirinya di dunia 

bebas?

Dengan berurai air mata, Eka 

Bilawa pun akhirnya menceritakan 

mengapa dia tak dapat hidup di dunia 

bebas.

"Kala aku bertempur dengan 

Prahista, ayah telah meminta bantuan 

pada siluman ular yang mau membantunya

dengan syarat ayah harus mau menjadi 

suaminya. Karena didorong oleh 

keinginan untuk dapat mengalahkan 

Prahista, akhirnya ayahpun 

menyanggupinya. Namun, ternyata 

Prahista juga telah bersekongkol 

mengabdi pada siluman buaya putih, 

hingga ayah akhirnya terlempar ke 

kawah ini oleh hantaman ekornya. 

Beruntung Siluman Darah menolong ayah 

hingga tubuh ayah tak hancur termakan 

lumpur kawah ini. Sebagai balasannya, 

maka ayah tak akan dapat hidup di 

dunia luar karena darah ayah telah 

diganti dengan darah siluman." Dengan


segera Eka Bilawa menggigit jari 

tangannya hingga berdarah.

Tersentak Jaka seketika kala 

melihat wama darah yang menetes dari 

jari tangan ayahnya. Darah itu bukan 

berwama merah seperti darah kebanyakan 

orang, namun berwarnaa hitam legam 

bagaikan tir.

"Itulah, Anakku. Kenapa ayah tak 

dapat menemui kalian," berkata Eka 

Bilawa setelah menunjukkan warna 

darahnya pada Jaka.

"Kenapa ayah tidak membalas pada 

Prahista?"

Mendengar pertanyaan anaknya yang 

tiba-tiba, Eka Bilawa seketika 

tertunduk dengan mata memandang ke 

bawah kaklnya kosong. Laiu setelah 

terdiam sesaat, Eka Bilawa pun segera 

menerangkan pada anaknya.

"Sebenarnya ayah ingjn membalas. 

Namun keadaan ayah tak akan dapat 

melakukannya. Bukankah kau telah 

mendengar tadi, kalau ayah tak akan 

dapat hidup lama di dunia bebas?" 

Tertunduk Jaka mendengar ucapan 

ayahnya yang terasa menyimpan 

kesedihan. Demi melihat anaknya 

terdiam, maka Eka Bilawa pun kembali 

berkata:

"Anakku, sebagai penggantiku maka 

kaulah yang wajib menumpasnya Ayah 

merasa takut kalau-kalau dunia akan 

hancur bila siluman itu terus


dibiarkan hidup sebab ia tak lebihnya 

iblis yang mempunyai ambisi besar 

untuk merajai dunia persilatan."

"Tapi, ayah! Aku tak mampu 

mengalahkannya. Telah kucurahkan dan 

kukeluarkan semua ajian serta ilmu 

yang aku miliki, hasilnya aku sendiri 

yang kalah dan terjatuh ke kawah ini. 

Sepertinya tubuh Ki Prahista tak 

mempan dengan segala ajianku," berkata 

Jaka yang diangguki oleh ayahnya.

"Jangan putus asa, anakku. Aku 

akan memberimu sebuah pedang yang akan 

datang ke tanganmu setelah kau 

mengatakan "Dening Siluman Darah, 

datanglah" Dan pedang itupun akan 

hilang dengan sendirinya jika telah 

kau pakai. Namun bila kau mengucapkan 

kata-kata itu kembali, maka pedang 

itupun akan datang kembali. Anakku, 

ketahuilah, jika iblis itu mati maka 

janganlah kau kaget bila ayah dan 

ibumu akan mati pula."

"Mengapa begitu, ayah?" tanya 

Jaka tak mengerti, demi mendengar 

ucapan ayahnya.

Sesaat Eka Bilawa terdiam tak 

segera menjawab pertanyaan anaknya. 

Dipandanginya Jaka dengan penuh rasa 

kasih sebelum ia kembali berkata: "Su-

dah menjadi suratan, anakku."

Mendengar itu, Jaka seketika 

meneteskan air matanya kembali. 

Sepertinya ada rasa berat untuk


melakukannya, demi rasa sayangnya pada 

ayah dan emaknya. Maka dengan berurai 

air mata, Jaka pun berkata:

"Lebih baik biarkan ia hidup 

saja."

"Jaka! Jangan kau berkata itu. 

Kalau kau memang seorang pendekar, 

maka kau harus menumpasnya. Karena 

bila tidak maka akan hancurlah dunia 

ini."

"Tapi dari pada ayah dan emak 

mati, apakah tidak lebih baik 

dibiarkan saja ia hidup-hidup?" tanya 

Jaka sembari masih berderai air mata.

"Tidak, anakku! Ayah dan emakmu 

akan senang dan mati dengan tenang 

bila kau mampu membinasakan iblis itu. 

Ketahuilah, anakku. Walau ayah dan 

ibumu hidup, namun kami selalu dalam 

kekuasaannya hingga kami menderita. 

Untuk itulah, anakku. Jika kau sayang 

pada ayah dan emakmu, lakukanlah apa 

yang Ayah pesankan. Hadapi iblis itu 

dengan Pedang Siluman Darah," kata Eka 

Bilawa menjadikan Jaka hanya 

tertunduk.

"Nah, berangkatlah! Hadapilah 

iblis itu dengan hati tenang dan 

tabah. Sebutkan apa yang Ayah ajarkan 

padamu, maka dalam seketika akan 

tergenggam di tanganmu "Pedang Siluman 

Darah."

"Baiklah, Ayah. Aku minta doa 

restu Ayah," kata Jaka akhirnya hingga


membuat Eka Bilawa tersenyum senang. 

Maka dengan diantar ayahnya, Jaka pun 

dapat kembali ke dunia bebas dan 

dengan segera, Jaka menuju ke 

Perserikatan Pendekar Sakti.



TUJUH



Prahista yang mendendam pada 

Perserikatan Pendekar Sakti segera 

mengumpulkan teman-teman dan anak 

buahnya untuk menggempur perserikatan 

itu.

Di tempat yang telah ditentukan, 

semuanya tampak telah berkumpul di 

bawah pimpinan Ki Prahista yang tampak 

berdiri dengan gagahnya di atas bukit.

"Teman-teman. Hari ini juga kita 

akan menyerbu pusat Perserikatan 

Pendekar Sakti. Kita akan menunjukkan 

pada mereka bahwa kita bukan orang-

orang sembarangan. Apakah kalian telah 

siap?"

"Siap...!" berseru yang hadir 

semua berbareng membuat Ki Prahista 

tersenyum senang, lalu katanya 

kemudian:

"Kalau memang kalian telah siap. 

Ayo sekarang kita berangkat. Kita 

serbu perserikatan Pendekar!"

Bagaikan iring-iringan semut, 

mereka berjalan menyusuri hutan menuju 

lereng gunung Slamet sebelah Selatan


di mana Perserikatan Pendekar Sakti 

bermarkas.

Bagaikan suara air bah, langkah-

langkah mereka menapak liar. Menginjak 

rumput dan tumbuhan kecil yang 

seketika itu mati.

* * *

Tersentak kaget anggota 

Perserikatan Pendekar Sakti kala 

melihat iring-iringan yang jumlahnya 

ratusan itu. Maka dengan ketakutan 

semua anggota perserikatan Pendekar 

itupun segera melaporkan hal itu pada 

ketuanya.

"Siapkan prajurit anggota! Kita 

hadang mereka!” berseru ketua 

perserikatan yang segera dijalankan 

oleh anggotanya. Tak lama antaranya 

terkumpullah pasukan tandingan yang 

akan menghadang pasukan di bawah 

pimpinan Ki Prahista.

"Prahista keparat! Jangan kira 

akan semudah itu kau bermaksud 

menggulingkan dan mengubah per-

serikatan. Ayo, kita hadang mereka 

dengan semangat di hati kita masing-

masing demi kebenaran dan keadilan."

Mendengar ucapan ketua 

perserikatan, seketika semangat 

anggota yang jumlahnya hanya kira-kira 

lima puluh orang itu bangkit. Maka 

dengan segala keberanian, mereka pun


segera menghadang pasukan yang 

dipimpin Ki Prahista.

Tanpa dapat dicegah, kedua 

pasukan yang bertemu itupun seketika 

terlibat dalam pertempuran. Masing-

masing berusaha menghalau dan 

menjatuhkan lawan.

Korban demi korban berjatuhan di 

pihak Ki Prahista. Namun demikian, 

sepertinya tak ada rasa takut di hati 

mereka. Dengan modal nekad anak buah 

Ki Prahista yang banyak itu terus 

merangsek menyerang pasukan 

persekutuan.

"Danu Reksa, keluar kau! 

Hadapilah aku!" berseru Ki Prahista 

sembari tangan dan kakinya berkelebat 

menghantam. Setiap hantaman tangan dan 

kakinya menjadikan korban bagi pihak

persekutuan.

Kini semangat pihak persekutuan 

agak menyusut, demi melihat Ki 

Prahista telah turun ke arena. Hal itu 

diketahui oleh anak buah Ki Prahista 

yang dengan segera merangsek menye-

rang.

Danu Reksa yang melihat anak 

buahnya terdesak segera berkelebat 

menghadang sepak terjang Ki Prahista. 

Maka kedua orang tokoh persilatan itu 

kini berhadapan segelar sepapan.

"Rupanya memang kaulah orangnya, 

Ki Prahista! Hem, tak kusangka! Kalau 

dulu aku mengerti maksud burukmu maka


sudah dari dulu kau telah 

kulenyapkan."

Tertawa tergelak-gelak Ki 

Prahista mendengar ucapan Danu Reksa. 

Maka dengan bertolak pinggang sembari 

tertawa bergelak-gelak, Ki Prahista 

pun berkata sombong:

"Danu Reksa, lebih baik kau 

mengalah dan menyerahkan tampuk 

kepemimpinan padaku. Percuma saja kau 

hendak melawanku."

"Ciih! Sombong! Ayo kita 

buktikan. Hiaat...!" Danu Reksa yang

sudah dibakar amarah dengan segera 

berkelebat menyerang Ki Prahista yang 

segera mengelaknya.

Tak ayal lagi, kedua tokoh 

persilatan itu bertempur satu lawan 

satu. Keduanya sama-sama gesit, 

keduanya sama-sama sakti dan keduanya 

sama-sama mendendam.

Di pihak lain, tampak pasukan 

perserikatan yang terdiri dari orang-

orang persilatan dapat dengan mudah 

mendesak pasukan Prahista. Korban 

kembali berjatuhan di pihak Prahista 

yang jumlahnya makin lama makin 

menyusut.

Waiaupun demikian, semangat 

mereka tampak tak runtuh walau jumlah 

mereka semakin berkurang. Modal 

kenekadan tak ada artinya bila tanpa 

dilandasi oteh pemikiran dan 

kepandaian silat.


Tengah kedua tokoh persilatan itu 

bertarung, seorang pemuda tampak 

berdiri di atas tembok menyaksikan 

pertarungan itu. Ia tak berusaha untuk 

membantu malah tampak tertawa-tawa 

melihatnya.

Ketika melihat pemimpin 

perserikatan terdesak, dengan segera 

pemuda yang sedari tadi menonton 

berkelebat menghantam tubuh Ki 

Prahista yang terguling-guling terkena 

tendangannya.

Belum juga Ki Prahista sadar, si 

pemuda telah berdiri dan memandang ke 

arahnya sembari menyapa hormat, "Apa 

kabar Ki Prahista? Kita dipertemukan 

lagi, bukan?"

Tersentak Ki Prahista dan ketua 

perserikatan yang melihat kedatangan 

pemuda itu. Ki Prahista yang telah 

mengetahui siapa pemuda di depannya 

bukan alang kepalang kagetnya. Betapa 

tidak! Pemuda yang berdiri di 

hadapannya telah terjatuh ke dalam 

kawah Chandra Bilawa, mana mungkin dia 

kini hidup lagi?

"Kau kaget melihat kedatanganku, 

Ki Prahista?" tanya pemuda yang tak 

lain Jaka adanya, demi melihat Ki 

Prahista hanya terdiam bengong 

memandangnya.

"Siapa kau, Anak Muda?"

"Ki Prahista, sebulan yang lalu 

kita pernah bertemu di kawah Chandra


Bilawa. Dan dengan saat itu kau telah 

mengalahkan aku, bukan? Lupakah kau 

pada kejadian itu?" berkata Jaka yang 

mengejutkan Prahista hingga tersurut 

mundur dengan tergagap bicara.

"Kau... kau! Tentunya kau iblis! 

Tak mungkin kau hidup lagi setelah 

terjatuh ke dalam kawah Chandra 

Bilawa."

"Ki Prahista, iblis atau manusia, 

aku rasa sama saja. Yang penting aku 

akan mengakhiri langkah iblismu yang 

dapat menghancurkan dunia. Nah, 

bersiaplah! Hiat…"

Prahista yang masih menganggap 

enteng pemuda yang pernah 

dikalahkannya segera memapaki serangan 

Jaka. Tak ayal lagi, keduanyapun 

segera terlibat perkelahian.

"Ki Prahista! Demi nyawa ayah dan 

emakku juga demi nyawa keempat guruku 

yang kau bunuh dengan keji kala aku di 

kawah Chandra Bilawa maka bersiaplah 

untuk mati!"

Amarah Jaka tak dapat dibendung 

lagi hingga dengan membabi buta Jaka 

terus menyerang Ki Prahista. Ajian-

ajian yang dimiliki diumbar untuk 

menyerang Ki Prahista. Hingga orang 

yang terkena ajian itu seketika 

meregang nyawa.

Marah dan gusar Ki Prahista demi 

menyaksikan anak buahnya menjadi 

korban samberan ajian yang dilancarkan


Jaka. Maka dengan amarah yang meluap-

luap, Ki Prahista pun seketika berubah 

ujud menjadi buaya

Tersentak ketua perserikatan 

Pendekar Sakti melihat apa yang 

terjadi di hadapan matanya. Karena 

saking terkejutnya hingga tanpa sadar 

ia pun memekik kaget. "Ilmu Iblis! Tak 

kusangka kalau Prahista telah 

bersekutu dengan Siluman Buaya Putih "

Jika yang telah tahu kehebatan 

Siluman Buaya Putih di hadapannya, 

dengan segera menyerangnya. Ajian 

Bledek Sewu sampai ajian Kalimun Sada 

dilancarkannya. Namun seperti yang 

sudah-sudah, segala ajian itu tak 

berarti apa-apa bagi Ki Prahista yang 

telah berubah menjadi buaya putih.

"Edan! Kalau begini caranya aku 

bisa mati kehabisan tenaga." 

Ketika keputusasaan telah melanda 

hatinya, seketika Jaka kembali 

teringat pada ayahnya

"Akan aku coba dengan apa yang 

dikatakan ayah. Semoga dengan pedang 

Siluman Darah aku dapat 

mengalahkannya. "Dening Dewi Ratu 

Siluman Darah, datanglah!" Seketika di 

tangan Jaka telah tergenggam sebuah 

pedang yang bersinar memancarkan sinar 

merah kekuning-kuningan.

Ki Prahista yang telah berubah 

menjadi Buaya Putih, nampak tersentak 

kaget demi melihat pedang di tangan


Jaka yang memancarkan sinar merah 

kekuningan. Dari ujung pedang itu, 

menetes darah merah membasahi batang 

pedang.

Ketika Ki Prahista tengah 

tersentak, dengan segera Jaka 

berkelebat cepat. Ditebaskan pedang di 

tangannya ke tubuh Ki Prahista yang 

seketika itu menjerit. Tubuh Ki

Prahista seketika terbelah menjadi 

dua, ambruk ke tanah.

* * *

Bersamaan dengan matinya Ki 

Prahista, di kawah Chandra Bilawa 

terjadi suatu keanehan. Kawah Chandra 

Bilawa seketika meledak, menyemburkan 

lahar panas ke angkasa.

Bebatuan yang ada di sekitar 

kawah seketika runtuh dan menutupi 

kawah Chandra Bilawa hingga rata 

dengan tanah.

Seorang pemuda berlari-lari 

dengan cepatnya menuju ke kawah 

Chandra Bilawa yang meledak-ledak 

bagaikan mengamuk. Pemuda itu yang tak 

lain Jaka Ndableg. Menangis sembari 

memandangi kawah Chandra Bilawa yang 

telah rata dengan tanah.

"Ayah...! Kenapa ayah harus 

begini? Betapa besar pengorbananmu, 

ayah," Jaka menangis di depan bekas 

kawah Chandra Bilawa. Kembali ia


teringat apa yang telah diucapkan oleh 

ayahnya sebulan yang lalu.

Dari belakang para tokoh anggota 

Perserikatan Pendekar Sakti datang 

menghampiri. Mereka segera turut 

bersimpuh, memanjatkan do'a untuk 

penghuni kawah Chandra Bilawa

Pedang Siluman Darah lenyap dari 

genggamannya. Pedang itu akan datang 

sendiri bila Jaka menyebut "Dening 

Ratu Siluman Darah, Datanglah!" Maka 

tanpa dicari, Pedang Siluman Darah pun 

akan datang sendiri dan telah berada 

di genggamannya.

Matahari telah memerah, berarti 

hari telah senja. Dengan langkah 

gontai, Jaka meninggalkan kawah 

Chandra Bilawa untuk meneruskan 

pengembaraannya. Sepeninggal Jaka, 

orang-orang perserikatan Pendekar 

Sakti pun satu per satu pergi. Pergi 

meninggalkan semua yang terjadi di 

kawah Chandra Bilawa.



                           SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar