RAHASIA PEDANG SILUMAN
oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1990
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Gambar Sampul oleh
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Rahasia Pedang Siluman
128 hal.; 12 x 18 cm
SATU
Pagi masih buta, ketika dari
sebuah rumah gubuk terdengar suara
seorang wanita tua memanggil anaknya.
"Jaka! Jaka...! Dasar Ndableg,
anak ini! Jaka! Sudah pagi, apa kau
tidak dengar kokok ayam?"
Pemuda yang masih tertidur di
atas dipan, sesaat menggeliat. namun
dengan segera, ditutupi telinganya
dengan bantal. Ditariknya sarung yang
dipakai, menutupi seluruh tubuhnya.
Karena tak ada jawaban dari sang
anak, sang ibu yang tengah memasak
nasi segera datang menghampir anaknya
yang masih mendengkur dengan tubuh
tertutup kain rapat.
Dengan kesal, disentakkan kain
sarungnya. Seketika itu pula Jaka pun
terjaga sembari memandang pada ibunya.
"Ada apa sih, Mak?"
"Jaka! Kamu ndableg benar, sih?
Lihat! Sebentar lagi matahari akan
muncul, bangunlah, nak!" berkata sang
ibu dengan nada penuh kasih sayang.
Dengan agak malas, Jaka segera
bangkit dari tidurnya. Duduk
terbengong, dengan kaki menjurai ke
bawah dipan. Hal itu makin membuat
sang ibu kembali geleng kepala, tak
mampu untuk mengucapkan sepatah
katapun.
Saat itu, sang ibu yang telah
melihat anaknya sudah bangun, segera
kembali ke dapur meneruskan memasak
nasi.
"Aoh! Kasihan, ibu. Semenjak
ditinggal ayah, segalanya menjadi
beban ibu. Aku jadi tak mengerti, ke
mana sebenarnya ayah, kata ibu
menghilang. Kalau ayah telah mati,
pasti ada kuburannya atau paling tidak
aku mendengar. Tapi sampai saat
sekarang aku tak mendengar apa-apa
tentang ayahku. Akan aku coba
menanyakannya pada ibu," dalam hati
Jaka, demi mengingat keadaan ibunya
juga keadaan ayahnya yang tak ada
kabar beritanya.
Setelah itu, Jaka pergi ke sumur
di belakang rumahnya untuk pergi
mandi. Sementara ibunya, tampak masih
sibuk memasak.
Pagi telah tiba, kala kedua anak
dan ibu tampak duduk di atas dipan
tengah menyantap sarapan pagi. Hal
seperti itu telah berjalan hampir
sembilan belas tahun, kala ayah Jaka
masih ada bersama mereka.
"Mak, bolehkah Jaka bertanya?"
Tersentak ibunya seketika
mendengar anaknya berkata. Tak biasa-
biasanya Jaka mengajukan pertanyaan
sebelum berkata. Biasanya, Jaka
langsung saja nyerocos bagai kuda.
Tapi pagi itu, kenapa Jaka berubah?
"Mau tanya apa, anakku?"
"Mak, Jaka sering bertanya dalam
hati. Ke manakah sebenarnya bapak?
Kalau memang telah mati, mana mungkin
tak ada kuburannya? Tapi kalau hidup,
di manakah adanya?" tanya Jaka,
setelah untuk beberapa saat terdiam
memandang ibunya.
Dihelanya nafas panjang-panjang,
kala mendengar pertanyaan dari sang
anak, Dipandanginya wajah Jaka,
sepertinya ada sesuatu di wajah anak-
nya. Tak terasa air matanya berlinang
dan menetes lembut di pipi.
"Mak, kenapa mak rnenangis?
Adakah Jaka telah berbicara salah?"
tanya Jaka, melihat ibunya rnenangis
penuh kesedihan.
Wanita itu segera mengusap air
matanya. Dipandangnya Jaka, sebelum
akhirnya berkata: "Emak menangis bukan
karena sedih, anakku! Emak terharu
mendengar pertanyaanmu."
Jaka hanya terdiam, menundukkan
mukanya dalam-dalam, untuk
menyembunyikan linangan air mata yang
terasa hendak menetes di pipinya.
Melihat anaknya hanya tertunduk,
makin iba dan penuh kasih wanita itu.
Ia pun berkata lagi:
"Anakku, kalau kau tanyakan
keberadaan bapakmu, emak sendiri
kurang mengerti. Emak tak tahu
keadaannya, mati atau hidup? Namun
jikalau kau memang ingin
mengetahuinya, baiklah akan emak
ceritakan padamu."
Dipandanginya wajah anaknya
lekat-lekat, seperti hendak mencari
sesuatu. Lalu setelah merasa puas,
sang ibu pun berkata dengan perlahan:
"Kisah ini terjadi sekitar tiga
puluh lima tahun yang silam, aku masih
remaja. Aku merupakan seorang anak
guru silat yang banyak mempunyai murid
termasuk ayahmu Eka Bilawa. Aku juga
ikut berguru pada ayah saat itu.
Ayahmu, merupakan murid terkasih
ayahku. Hal ini mengundang rasa iri
pada hampir setiap murid yang lain,
termasuk Prahista. Karena
kecantikanku, banyak dari murid-murid
ayahku berlomba mencari perhatianku.
Hanya ayahmulah yang tak
memikirkannya."
Sesaat wanita itu terdiam,
memandang kembali pada anaknya yang
hanya menundukkan muka. Lalu setelah
sesaat terdiam dan melihat sang anak
tak ada reaksi apa-apa, wanita itu pun
melanjutkan ucapannya:
"Hari demi hari terlalui, kami
semua tampak
+++++
+++++++
+++++++=+
++++++++
+++++
++++++++
+++++++
dong?" ceplos Jaka bertanya
seketika, membuat ibunya kembali
tersenyum mengeleng-gelengkan kepala.
"Kau bisa saja, anakku, emak
bukanlah seorang pendekar, hanya bisa
sedikit ilmu silat yang diajarkan oleh
kakekmu."
"Tapi kenapa emak mampu
mengalahkan orang-orang persilatan?
Padahal mereka tak kurang tinggi
ilmunya!" kembali Jaka bertanya,
nadanya seperti tak mau percaya
mendengar ucapan emaknya.
Untuk kesekian kalinya wanita itu
memandang pada Jaka sembari tersenyum
dan menggelengkan kepalanya.
"Mungkin musuh-musuh emak tidak
sehebat pendekar. Dengan kata lain,
mereka berada di bawah emak."
"Eh, tadi emak menyebut-nyebut
Prahista. Siapakah dia, mak?" Emaknya
tersentak dan kembali memandang pada
sang anak.
"Kenapa, mak?" kembali Jaka
bertanya, saat melihat emaknya terdiam
dengan pandangan kosong ke arahnya.
Lalu dengan suara perlahan Si emak pun
berkata:
"Ketahuilah, anakku! Ketika aku
mencari ayah mu, Prahista tanpa
sepengetahuan ayahku menyusul.
Akhirnya, Prahista pun menemukan aku,
dan mengajakku untuk kembali ke
perguruan. Aku menolak dengan alasan
aku ingin hidup dan mati bersama
ayahmu. Mendengar jawabanku, seketika
Prahista marah dan menempelengku.
Hingga aku terjatuh ke semak-semak,
yang dipergunakan tempat kami
bertengkar. Melihat aku terjatuh
dengan pakaian tersobek, seketika
nafsu setan Prahista kembali muncul.
Maka dengan bernafsu, ia bermaksud
memperkosaku. Beruntung, saat itu juga
datang orang menolongku dan segera
membawaku pada ayah. Maka dengan
bantuan orang yang telah menolongku,
aku menceritakan siapa sebenarnya
Prahista, Ayah pun percaya dan
menyesali tindakannya yang telah
mengusir ayahmu. Murka ayah, ketika
Prahista hendak membuat cerita dusta
lagi. Maka dengan penuh amarah, ayah
mengusir Prahista dari perguruan dan
menyuruh para murid-muridnya, untuk
mencari di mana keberadaan Eka Bilawa,
ayahmu."
"Apakah akhirnya ayah dapat
ditemukan?" tanya Jaka, memotong
ucapan ibunya. Tampak ibunya
mengangguk, mengiyakan ucapan Jaka dan
berkata:
"Benar. Dengan susah payah,
akhirnya murid-murid ayah dapat
menemukan ayahmu. Betapa suka citanya
aku saat itu, demi melihat ayahmu
lagi. Kerinduan yang selama ini
menggeluti hatiku seketika hilang
terobati, maka atas keputusan ayah,
akupun dijodohkan dengan ayahmu."
"Wah, asyik dong!" kata Jaka
berseloroh, membuat ibunya tersipu-
sipu sembari menggeleng-gelengkan
kepalanya. Setelah menarik nafas,
ibunya kembali berkata:
"Pernikahan emak dan bapakmu,
makin menambah ketentraman perguruan
ayahku. Karena di samping Eka Bilawa
tampan dan penurut, ia juga memiliki
ilmu yang tinggi. Namun kebahagiaan
kami hanya sesaat, ketika pada malam
keempat puluh, tiba-tiba Prahista
muncul dengan membawa api dendam.
Dendam pada ayahku, juga dendam padaku
karena cintanya ditolak."
"Ah, mungkin ibu pernah ada hati
padanya kali..." kata Jaka konyol,
membuat ibunya hanya dapat tersenyum-
senyum menggelengkan kepala.
"Dasar anak konyol! Kalau emak
ada hati padanya, kenapa emak mesti
mencari-cari ayahmu? Toh ada dia saat
itu," jawab emaknya agak sewot melihat
tingkah anaknya yang konyol dan
ndableg. Walaupun begitu, masih saja
sang ibu tersenyum penuh kasih sayang.
"Lalu, apa yang dia dilakukan
ketika itu?" tanya Jaka kembali,
membuat ibunya entah untuk yang
keberapa kali tersenyum sembari
menggelengkan kepalanya. Gemas
bercampur kesal, melihat tingkah
anaknya yang ndablegnya bukan main.
"Kau ingin mendengarkan
kelanjutannya?"
"Ya dong, mak!" jawab Jaka
seketika demi mendengar pertanyaan
emaknya.
"Nah, kalau kau ingin
mendengarnya, kau jangan terlalu
ceriwis. Diam yang tenang dan
dengarkan dulu cerita emak, jangan kau
potong dulu..." kata emaknya, yang
diangguki oleh Jaka dengan cengar-
cengir.
"Kalau kau ingin mendengarkan
cerita emak, maka bantu emak dulu
ngisi bak mandi, lalu pergi ke sawah
untuk memetik ketimun dan jagung yang
akan kita makan nanti siang dan sore,
maukan?" kata emaknya, seketika Jaka
terbelalak mendengarnya dan segera
berkata memprotes:
"Ah, kalau berceritanya setelah
Jaka memetik ketimun dan jagung, Jaka
engak mau. Jaka mengisi bak mandi saja
deh!"
Untuk kesekian kalinya, emanya
pun akhirnya mengalah menuruti kemauan
anaknya.
"Baiklah. Sekarang kau isi penuh
bak mandi. Nanti setelah selesai emak
ceritakan lagi tentang ayahmu."
Suka ria hati Jaka, mendengar
ucapan ibunya. Maka dengan berjingkat-
jingkat bagaikan anak kecil, Jaka pun
segera berlalu meninggalkan ibunya
untuk mengisi bak mandi.
* * *
Karena ingin mengetahui cerita
tentang ayahnya, hingga Jaka yang
biasanya agak bermalas-malasan kini
tampak penuh semangat. Pulang pergi
dari rumah ke sungai untuk mengambil
air, sepertinya tak dirasakan. Dengan
bernyanyi-nyanyi Jaka memikul air yang
telah diambil dari sungai menuju ke
rumahnya.
Tanpa terasa, pekerjaan mengisi
bakpun dapat dikerjakan dengan cepat,
hingga membuat sang ibu terbelalak
kaget, kala melihat Jaka telah
berhenti sambil bersiul dan goyang
kaki...
"Kau sudah selesai, nak?"
"Sudah, mak! Nah, sekarang Jaka
menagih janji, Ayo dong, mak...
ceritakan lagi!" rengek Jaka seperti
anak kecil yang membuat ibunya kembali
tersenyum dan geleng-gelengkan
kepalanya.
"Baiklah! Emak akan
menceritakannya, tapi sebelumnya kau
jangan memotong perkataan emak!"
"Ya, deh... Ayo dong, mulai!"
Dengan terlebih dahulu menarik
natas, wanita setengah baya itu pun
akhirnya bercerita lagi.
"Prahista datang dengan maksud
membalas dendam pada ayah dan diriku,
yang telah mengusir dan menolak
cintanya. Prahista malam itu membuat
keonaran, dengan membunuh beberapa
murid perguruan. Melihat hal itu, ayah
marah besar. Maka tak dapat
dibayangkan, ayahpun seketika melabrak
Prahista yang seketika itu dapat
dikalahkan. Sesaat kami kembali aman,
karena Prahista telah pergi menghilang
bagaikan ditelan bumi. Sebagai mana
layaknya seorang pendekar, maka aku
dan ayahmu pun berkelana untuk
menambah pengalaman."
Sesaat wanita setengah baya
itupun terdiam, menarik nafas panjang-
panjang sebelum berkata kembali.
"Saat kebahagian berjalan baru
beberapa waktu, kembali Prahista
datang dengan membawa kebencian dan
dendam di hatinya. Prahista dengan
congkaknya menantang ayahmu, yang
tadinya menolak. Karena didesak terus
dan diejek, akhirnya kemarahan ayahmu
pun timbul. Tak dapat dibayangkan,
bila ayahmu telah marah. Tantangan
Prahista pun ditanggapinya, hingga
terjadilah perkelahian keduanya.
Perkelahian yang sangat seru karena
keduanya sama-sama tangguh. Tapi
rupanya ilmu ayahmu masih di atas ilmu
Prahista, hingga ayahmupun akhirnya
dapat mengalahkannya."
"Apakah sejak kejadian itu,
Prahista mau menginsafi?" tanya Jaka,
memotong cerita yang tengah
diceritakan ibunya. Sang ibu sesaat
memandang pada anakiya, menarik nafas
sesaat sebelum akhirnya berkata
kembali:
"Benar, sejak saat itu Prahista
tak muncul-muncul lagi untuk membuat
keonaran dan teror. Sampai pada waktu
kamu lahir, Prahista kembali datang
menemui kami. Prahista bermaksud
mengambil dirimu, untuk dijadikan
muridnya. Namun dengan halus ayahmu
menolaknya. Rupanya penolakan ayahmu
yang halus, membuatnya tersinggung.
Maka dengan penuh amarah, Prahista
kembali menantang ayahmu untuk duel di
dekat kawah Chandra Bilawa yang
terkenal dengan sebutan Kawah Siluman
Darah."
"Apakah ayah menerima tantangan
itu, mak?" kembali Jaka bertanya ingin
tahu, sembari memandang wajah ibunya
lekat-lekat. Sepertinya tengah
menganalisa ekspresi wajah ibunya yang
tampak sedih.
Setelah kembali menarik nafas
panjang, wanita itu kembali meneruskan
ceritanya: "Sebagai seorang pendekar,
maka ayahmupun tak mau harga dirinya
diinjak-injak begitu saja sehingga
ayahmu mencrima tantangan itu. Pada
bulan purnama ketujuh, ayahmu pergi
memenuhi tantangannya. Dan hingga
sekarang belum ada kabar beritanya
termasuk Prahista sendiri." Dengan
berderai air mata wanita setengah baya
itu mengakhiri ceritanya.
Jaka terdiam, dengan hati trenyuh
memandang pada ibunya yang tengah
menangis. Hatinya seketika
menggelegar, mencambuknya untuk
mencari bukti keberadaan ayahnya. Maka
dengan penuh haru, Jaka pun berkata
pada ibunya:
"Sudahlah, mak. Tak perlu emak
bersedih. Bukankah masih ada Jaka yang
menemani emak?"
Mendengar kata-kata anaknya,
seketika sang ibu pun segera mengusap
air mata. Di bibirnya tergerai seulas
senyum, walau senyum yang dipaksakan
untuk menutupi kepedihannya.
"Emak, besok pagi Jaka hendak
mencari bapak!"
Tersentak wanita setengah baya
itu, demi mendengar ucapan anaknya,
hingga tanpa sadar wanita itupun
mendesah.
"Ah... Jangan anakku! Kau tak
mampu apa-apa. Aku takut kau akan
mengalami kesulitan, bila harus
menempuh perjalanan jauh. Lagipula,
keberadaan bapakmu tak diketahui
rimbanya."
"Jaka hendak ke Chandra Bilawa.
Siapa tahu di sana Jaka dapatkan
keterangan keberadaan ayah," kata Jaka
dengan suara yakin hingga membuat
ibunya tak mampu berkata lagi.
"Baiklah, nak! Kalau kau berkeras
hati untuk mencari ayahmu, maka emak
pesan kau harus hati-hati, merendahlah
dan jangan sombong dan congkak, sebab
kesombongan dan kecongkakkan, akan
mengundang permusuhan. Emak hanya
dapat berdoa semoga kau selalu
dilindungi oleh yang Kuasa," kata
emaknya, setelah terdiam sesaat demi
melihat keteguhan anaknya.
"Terima kasih, mak! Sekarang Jaka
hendak ke sawah, mengambil ketimun dan
jagung untuk makan siang nanti.
Cihui...!" Dengan bersorak gembira,
Jaka segera berlari ke dapur mengambil
keranjang untuk tempat mentimun dan
jagung. Emaknya hanya menggeleng
kepala, menyimpulkan senyum di bibir.
"Mak, aku pergi dulu ke sawah!"
kata Jaka, yang dianggukki oleh
ibunya. Maka dengan diiringi tatapan
mata ibunya, Jaka pun segera berlalu
meninggalkan rumah menuju ke sawah
untuk memetik mentimun dan jagung.
* * *
Esok paginya, Jaka dengan
diiringi tangis ibunya pergi untuk
mencari ayahnya yang tanpa kabar
berita menuju ke kawah Chandra Bilawa.
Langkahnya mantap, sepertinya
yakin kalau ia akan segera dapat
menemukan ayahnya. Dengan bernyanyi-
nyanyi kecil, Jaka terus melangkah
entah ke mana. Jaka baru tersadar
bahwa ia belum tahu letak kawah
Chandra Bilawa yang hendak ia tuju.
"Huh, bagaimana aku ini? Mana
mungkin aku akan dapat menuju ke
Chandra Birawa, kalau letaknya pun
belum kuketahui? Goblok benar aku,
kenapa aku tak menanyakan pada emak di
mana letak Chandra Bilawa. Ah,
pusing!"
Tengah Jaka kebingungan, tampak
olehnya seorang lelaki muda berjalan
menuju ke arahnya. Seketika hatinya
bergembira, mengharap pemuda itu dapat
memberikan gambaran jalan yang harus
ditempuhnya.
"Sampurasun...!" sapa Jaka pada
pemuda yang hendak berlalu melewatinya
yang dengan seketika berhenti sembari
menjawab salam yang diucapkan Jaka.
"Rampes...! Ada apakah gerangan,
hingga Ki Sanak menghentikan
langkahku?"
"Maaf, Ki Sanak! Kalau boleh, aku
hendak bertanya. Di manakah letak
kawah Chandara Bilawa?"
Terbengong-bengong pemuda itu,
mendengar pertanyaan yang dilontarkan
Jaka. Dipandanginya wajah Jaka yang
segera memandang pada tubuhnya dan
bertanya.
"Ada apakah dengan tubuhku?
Hingga Ki Sanak memandangku begitu?
Apakah ada keganjikan pada
tubuhku...?"
Pemuda yang ditanya tergagap,
menyadari bahwa sedari tadi tengah
memandang pada Jaka dengan pandangan
yang tajam. Maka dengan terbata-bata,
lelaki itupun berkata meminta maaf.
"Ma... maaf! Aku kaget demi
mendengar pertanyaan yang Ki Sanak
ajukan padaku. Karena saking kagetnya
hingga aku sampai berbuat begitu.
Kalau Ki Sanak ingin ke sana, aku tak
dapat menjawab pertanyaan Ki Sanak."
Tercengang Jaka mendengar jawaban
pemuda di hadapannya yang dirasa aneh
kedengarannya. Maka dengan mata
menyipit, Jaka pun bertanya kembali.
"Kenapa…?"
"Tidak apa-apa!" jawab pemuda
itu, yang segera hendak pergi
meninggalkan Jaka. Jaka mencekal
tangan pemuda yang hendak
meniggalkannya.
"Tunggu dulu!"
"Ada apa lagi?" tanya pemuda itu
tak mengerti, demi melihat Jaka
menarik tangannya.
"Tak dapatkah Ki Sanak memberikan
arah yang harus kutuju...? Biarlah aku
akan berusaha mencarinya sendiri,"
kata Jaka memohon.
Rupanya pemuda itu merasa iba
juga melihat Jaka merengek penuh iba.
Maka dengan berbisik, pemuda itupun
menerangkan jalan yang harus ditempuh
Jaka untuk dapat sampai di Chandra
Bilawa.
Dengan mengucapkan terima kasih
terlebih dulu pada pemuda itu,
bergegas Jaka melanjutkan
perjalanannya menuju ke kawah Chandra
Bilawa.
DUA
Kawah Chandra Birawa tampak sepi,
seperti tak ada penghuninya, Uap yang
mengepul dari dalam kawah, membubung
dan menutupi permukaan kawah.
Keheningan di sekitar kawah,
seketika terpecah oleh suara jeritan-
jeritan orang. Tampak dari kejauhan,
empat orang tua berlari saling kejar.
Tiga laki-laki, dan satu orang nenek-
nenek
"Berhenti! Mari kita lanjutkan di
sini!" kata lelaki tua yang berlari
paling depan, kepada tiga orang yang
berlari di belakangnya yang segera
menghentikan larinya.
Keempat orang tua itu sesaat
saling pandang dan sekilas dari bibir
mereka terurai senyum. Hening untuk
beberapa saat, sampai akhirnya orang
yang paling tua berkata kembali:
"Apakah kita akan melanjutkan adu
ilmu kesaktian kita?"
"Ya, sampai salah seorang di
antara kita dapat dikatakan melebihi
kesakitan kita semua. Kalau sudah
didapat siapa yang paling tinggi
ilmunya maka kita harus mengakui dan
menjadi pengikutnya. Bagaimana?" kata
si nenek memutuskan, yang diangguki
oleh ketiga kakek-kakek itu.
"Baik. Kalau itu yang kita
sepakati. Nah, siapa yang akan
memulainya?" kembali kakek yang paling
tua bertanya.
Sesaat ketiga orang tua lainnya
terdiam, saling pandang-memandang,
hingga kembali terdengar ucapan si
nenek berkata: "Apakah tidak lebih
baik kita berbareng?"
"Maksudmu?" tanya kakek yang agak
muda tak mengerti.
"Kita berbareng mengadu ilmu
kita, bagaimana?" Tanya si nenek
kembali, meminta kepastian dari ketiga
kakek itu, Ketiga kakek itu sesaat
terdiam, sepertinya tengah berpikir.
Kemudian kembali kakek yang paling tua
berkata: "Sebetulnya kita tak perlu
harus mengadu ilmu yang akan
mengakibatkan salah seorang di antara
kita akan celaka. Apakah tidak lebih
baik ilmu yang kita miliki kita
turunkan saja pada sesorang?"
"Benar!" kata Ki Bayong. "Memang
lebih baik kita tak usah berdebat
pantat untuk hal-hal yang tak perlu.
Lebih baik ilmu yang kita miliki, kita
wariskan pada seseorang yang kita
harapkan akan dapat meneruskan kita.
Di samping kita tidak sia-sia menguras
tenaga, maka kita juga secara tak
langsung akan terus mengikat
persaudaraan di antara kita.
Bagaimana, Ni Rukmini?" tanya kakek
yang seorang lagi yang usianya lebih
muda dari kedua kakek lainnya
"Baiklah, aku setuju dengan saran
kalian. Bagaimana dengan Ki Borwa?"
kata Ni Rukmini setelah terdiam untuk
beberapa saat, Ki Borwa kakek yang
paling muda di antara kedua kakek
lainnya, akhirnya berbicara setelah
terdiam.
"Aku pun setuju! Memang kalau
kita mengadu ilmu, aku rasa hal itu
akan sia-sia. Di samping kita akan
pecah, maka hal lainnya menjadikan
kita sombong. Hal itu akan mencemarkan
nama persatuan kita yang sudah kondang
dengan julukan Empat Pendekar Tua dari
goa Rangga."
"Lalu sekarang kita harus mencari
anak yang akan kita angkat sebagai
murid yang nantinya akan membawa
panji-panji perguruan! Nah lihat! Di
sana tampak seorang pemuda menuju ke
mari!" Kata Ki Bayong menunjuk ke arah
Timur.
Seketika, semuanya segera
memandang ke arah yang ditunjukkan Ki
Bayong. Memang tampak seorang pemuda
berjalan dengan menyeret kaki menuju
ke arah di mana keempat orang tua itu
berada.
"Sepertinya pemuda itu telah
berjalan jauh, hingga jalannya
kecapaian. Apakah kita tak segera
membantunya?" tanya Ki Darsa, iba
melihat keadaan pemuda itu.
"Tak perlu. Aku melihat ada
kelebihan pada pemuda itu. Lihatlah!
Tubuh pemuda itu, mengingatkan kita
pada seorang tokoh persilatan. Kalian
ingat?" tanya Ki Bayong yang
menjadikan ketiga orang tua lainnya
terdiam memperhatikan tubuh pemuda itu
dengan seksama hingga kemudian
terdengar Ni Rukmini memekik
"Ah! Benar! Aku ingat sekarang,
aku ingat!"
"Hai! Kenapa kau berteriak-
teriak, Ni?" tanya Ki Borwa yang tak
mengerti dengan ucapan Ni Rukmini.
"Kau ingat apa?" lanjut Ki Borwa
bertanya.
"Apakah kalian tak mengingat
seorang tokoh silat yang tiga puluh
tahun yang silam pernah menggegerkan
dunia persilatan yang kini hilang tak
tentu rimbanya?" Ni Rukmini berkata,
mencoba mengingatkan pada ketiga kakek
lainnya.
Ketiga kakek itu tersentak, kala
mendengar ucapan Ni Rukmini. Ketiganya
seketika mengingat-ingat, siapa
gerangan tokoh yang dikatakan Ni
Rukmini.
Dari kejauhan pemuda itu tampak
berjalan mendekati keempat orang tua
renta itu yang terus memperhatikan.
Pemuda itu terbelalak matanya, melihat
keempat orang tua telah ada di kawah
Chandra Bilawa.
"Siapakah mereka? Nampaknya
mereka tengah menungguku," kata hati
anak muda itu sembari terus melangkah
ma kin mendekati ke arah keempat orang
tua itu.
"Ya! Sekarang aku ingat!" seru Ki
Bayong setelah mengingat-ingat siapa
gerangan tokoh yang mempunyai wajah
seperti pemuda yang tengah berjalan ke
arah mereka.
"Siapa Ki Bayong?" tanya Ki Borwa
dan Ki Darsa hampir berbarengan,
sembari memandang pada Ki Bayong yang
menyipitkan mata, mengingat-ingat
tokoh silat yang wajahnya mirip dengan
pemuda itu.
"Ingatkah kalian pada dua tokoh
persilatan yang bertempur di kawah
Chandra Bilawa?"
"Ya. kami ingat! Yang satu
bernama Ki Bilawa yang sekarang
namanya dipakai nama kawah ini, dan
satunya adik seperguruannya yang
bernama Ki Prahista yang sekarang tak
ada kabar beritanya. Bukankah mereka
yang kau maksud, Ki Bayong?" jawab Ki
Borwa, kakek yang paling muda di
antara keempatnya.
Sebenamva keempat orang itu
adalah saudara seperguruan. Karena
keempatnya tak mau ada yang mengalah
dalam hal ilmu kedigjayaan, maka keem-
patnya sepakat untuk mengukur ilmu
masing-masing. Keempatnya merupakan
pendekar-pendekar yang selalu
mengembara untuk memburu ambisi.
Mereka tak memperdulikan diri mereka
sendiri yang telah tua renta hingga
mereka tak pernah mengambil murid
barang seorangpun, karena sibuk dengan
kepentingan dirinya untuk dapat diakui
sebagai orang yang paling sakti di
antara ketiga saudara seperguruannya.
Keempat orang tua itu, telah
bertahun-tahun mengembara dan
memperdalam ilmu masing-masing guna
memenuhi janji mereka untuk bertemu di
kawah Chandra Bilawa. Mereka telah
bersepakat, untuk mengadu kesaktian
masing-masing agar dapat diketahui
siapa yang paling sakti. Dan ketika
waktunya tiba, keempat orang itupun
datang ke tempat itu, hingga akhirnya
mereka menyadari dan bermaksud
mengangkat serta menurunkan ilmunya
pada orang lain.
Kini telah datang ke arah mereka,
seorang pemuda yang mengingatkan
mereka pada salah seorang tokoh kakak
beradik seperguruan yang dulu pernah
bertempur di kawah ini.
"Benar! Anak muda itu, wajahnya
mirip dengan tokoh yang namanya
dijadikan nama kawah ini."
Terangguk-angguk kepala ketiga
orang tua lainnya, mendengar penuturan
Ki Bayong. Kini mereka tahu siapa dua
tokoh silat yang pernah merajai dunia
persilatan yang kini hilang entah di
mana rimbanya.
Pemuda itu terus melangkah, makin
mendekati keempat orang tua yang
tengah berdiri memandang ke arahnya.
"Sampurasun...!" sapa si pemuda,
setelah dirinya dekat benar dengan
keempat orang tua itu.
"Rampes...! jawab keempatnya
hampir berbarengan.
"Maaf kakek-kakek, dan nenek.
Apakah boleh aku tahu, benarkah ini
kawah Chandra Bilawa?" kembali anak
muda itu bertanya yang dijawab dengan
anggukan kepala keempat orang tua di
hadapannya.
"Benar, anak muda! Ini kawah
Chandra Bilawa, ada gerangan apakah?"
Ki Bayong yang tertua di antara
keempatnya bertanya mewakili ketiga
adik seperguruannya.
"Aku ingin mencari bukti."
Terbelalak keempat orang tua itu
mendengar perkataan pemuda yang ada di
hadapan mereka, hingga saking
terkejutnya, mereka pun berseru kaget.
"Bukti! Bukti apakah?"
Sesaat pemuda itu terdiam
menundukkan mukanya. Ditariknya nafas
perlahan, akhirnya dia berkata
kembali.
"Kakek-kakek dan nenek, aku ingin
mencari bukti, keberadaan bapakku yang
hilang entah ke mana. Menurut emak,
bapak pernah datang ke mari."
"Siapa nama bapakmu, anak muda?"
tanya Ni Rukmini ingin tahu, sembari
memandang tajam pada pemuda itu
sepertinya tengah meyakinkan dirinya
sendiri.
"Aku anak Eka Bilawa," jawab
pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg
adanya. Seketika keempat orang tua itu
tersentak dan melompat mundur demi
mendengar ucapan Jaka.
"Weh, weh. Benar juga dugaanku."
kata Ni Rukmini, sepertinya berkata
pada diri sendiri. Dipandanginya Jaka
dengan penuh seksama, akhirnya berkata
kembali: "Anak muda, tak kusangka
kalau kau adalah anak Eka Bilawa.”
"Benar, Nini!"
"Hai anak muda, maukah kau kami
angkat menjadi murid kami?" tanya Ki
Darsa, setelah hilang keterkejutannya.
"Ya, anak muda. Kami akan
mewariskan semua ilmu kami padamu
hingga kelak kau seperti ayahmu. Kau
akan menjadi orang yang sakti,"
menambahkan Ki Borwa.
Namun dengan tersenyum-senyum,
Jaka Ndableg berkata tenang yang
menjadikan keempat orang tua sakti itu
terbelalak matanya, melotot tak
percaya pada apa yang diucapkan Jaka
"Maaf, kakek-kakek dan nenek. Aku
dengan terpaksa menolak permintaan
kalian, karena aku belum mau menjadi
orang gelandangan."
"Hai! Apa kau bilang?!" tanya Ki
Borwa, melotot kaget.
"Aku tak ingin jadi gelandang
dulu!" kata Jaka, mengulangi kata-kata
yang telah diucapkannya. Sementara
bibirnya tersenyum, sembari duduk
mengejoprak di tanah dengan tenang dan
acuh.
"Kau bilang gelandangan. Apakah
kami ini pantas jadi gelandangan?" Ki
Bayong kembali bertanya. Nadanya
pelan, sepertinya tak marah dengan
ucapan Jaka yang masih terduduk di
tanah.
"Gini, Ki. Maksudku, aku tak mau
jadi orang persilatan dulu. Bukankah
orang persilatan seperti orang
gelandangan yang tak pernah menetap
pada suatu tempat?"
Tertawa bergelak-gelak
keempatnya, demi mendengar ucapan yang
dilontarkan Jaka. Maka dengan masih
tertawa bergelak-gelak, keempatnya
seketika menyerang Jaka yang tersentak
kaget dan bertanya-tanya.
"Hai! Apa-apaan kalian ini?
Kenapa kalian tiba-tiba menyerangku?
Apa salahku?" Jaka segera bangkit,
berkelit dari samberan keempat orang
tua yang menyerangnya.
Melihat Jaka berkelit, makin
membuat keempatnya penasaran dan
meningkatkan serangannya. Kejar-
mengejar terjadi antara keempat orang
tua yang bermaksud menangkap Jaka,
yang terus berlari dan mengelak.
"Kau mau nurut kami, enggak?"
kata Ki Borwa, sembari menghalangi
langkah Jaka yang akhirnya dapat
dikurung oleh mereka.
"Baiklah, baiklah, aku menurut.
Tapi aku hendak mencari keterangan
ayahku dulu, baru berguru pada
kalian," jawab Jaka.
Terbelalak keempat orang tua itu
mendengar ucapan Jaka hingga dengan
serentak keempatnya bertanya: "Apa
yang hendak kau lakukan, anak muda?
Mencari keterangan ayahmu? Kami rasa
itu perbuatan sia-sia, sebab orang
yang tahu persis ayahmu adalah Ki
Prahista musuh ayahmu. Sedangkan untuk
mencari Ki Prahista, kau harus mampu
memiliki ilmu silat tinggi. Kalau
tidak! Sia-sialah dirimu."
"Tapi, aku tak takut dengan
Prahista," jawab Jaka dengan tenang,
sepertinya dia mampu mengalahkan
Prahista yang telah menjadi musuh
ayahnya.
"Apa yang menjadi andalanmu, anak
muda? Hingga kau begitu nekad?" tanya
Ki Bayong, demi mendengar ucapan Jaka.
"Benar, anak muda! Kalau kau
belum bisa apa-apa, percuma kau
mencari Prahista. Karena kau akan
mengalami kesukaran!" menambahkan Ni
Rukmini. "Maka dari itu, kami ingin
membantumu untuk dapat menandingi Ki
Prahista. Kami ingin mengajarkan dan
menurunkan ilmu kami padamu," lanjut
Ni Rukmini.
Sesaat Jaka terdiam, memikirkan
kata-kata Ni Rukmini.
"Benar juga kata mereka. Kalau
aku tak mampu apa-apa, mana mungkin
aku dapat mencari Prahista?" kata Jaka
dalam hati sepertinya membenarkan
kata-kata keempat orang tua di
depannya, lalu Jaka pun berkata:
"Baiklah! Tapi aku ingin melihat
sampai di mana ilmu kalian, hingga aku
dapat mengetahuinya. Kalau ternyata
ilmu kalian masih cetek sia-sialah aku
berguru pada kalian."
"Sombong! Sepertinya kau seperti
dewa saja, anak muda. Tapi baiklah,
kami akan memperiihatkan padamu ilmu
yang kami miliki. Nah, lihatlah!"
Dengan segera Ki Borwa mengangkat
tangannya dan dikiblatkan ke arah batu
yang berdiri di sampingnya.
"Duar...!" Terdengar ledakan
dahsyat ketika selarik sinar menerpa
batu itu.
Terbelalak mata Jaka, kala
melihat apa yang terjadi. Kepalanya
tergeleng-geleng, seakan tak percaya
pada apa yang dilihatnya.
"Bagaimana, anak muda? Apakah
kurang yakin?" tanya Ki Bayong yang
dijawab dengan geleng-an kepala oleh
Jaka sembari berkata:
"Tidak! Aku yakin. Kalau kalian
memang tinggi ilmunya. Baiklah, aku
akan menurut menjadi murid kalian."
Tersenyum keempatnya mendengar
ucapan Jaka. Maka dengan segera,
keempatnya mengangkat murid pada Jaka.
Saat itu juga, Jaka diajak mereka
pergi meninggalkan kawah Chandra
Bilawa, menuju ke tempat yang akan
mereka gunakan untuk menggemblengnya.
Tanpa dapat menolak lagi, Jaka
pun segera menuruti kehendak mereka.
Dengan digandeng oleh Ki Darsa dan Ki
Borwa, Jaka dan keempat orang tua itu
pergi menuju ke tempat yang akan
mereka gunakan untuk menggemblengnya.
* * *
Di sebuah lembah, tampak dua
orang lelaki tengah bertempur mengadu
kesaktian. Tampaknya keduanya telah
bertempur lama, dan mengumbar jurus-
jurus yang mereka miliki.
Debu di sekitar tempat keduanya
bertanding, tampak membumbung kala
kaki-kaki mereka berkelebat. Kedua
orang itu sepertinya tak ada yang
bakal menang, atau pun kalah. Keduanya
saling serang dan saling rangsek,
berusaha menjatuhkan lawannya.
"Menyerahlah Ki Waspati!"
terdengar suara salah seorang di
antara keduanya yang segera
meningkatkan serangannya berusaha
mendesak orang yang bernama Ki
Waspati.
"Jangan harap aku menyerah
padamu, Ki Prahista!"
"Anjing kurap! Rupanya kau memang
keras kepala, Ki Waspati! Baiklah
kalau itu maumu, maka jangan salahkan
aku bertindak telengas, bersiaplah."
"Aku telah siap dari semula,"
jawab Ki Waspati yung membuat Ki
Prahista marah yang segera berkelebat
menyerang Ki Waspati dengan gesitnya.
Kembali keduanya berkelebat
cepat, menyerang dan mengelak setiap
serarsgan yang dilancarkan musuh.
Jurus demi jurus mereka lalui, namun
kembali keduanya seperti tak akan
bakalan ada yang kalah atau yang
menang.
Tengah keduanya bertempur, tiba-
tiba terdengar seseorang berseru
mengagetkan keduanya hingga tersentak
mundur.
"Berhenti! Kenapa kalian saling
bentrok! Bukankah kalian satu
golongan?"
Mendengar orang yang baru datang
berkata, seketika Prahista mendengus
dan berkata penuh amarah: "Tikus
busuk! Apa hakmu mencegah kami!
Minggir! Atau kau juga ingin mampus di
tanganku!"
Tersentak orang yang baru datang,
demi mendengar ucapan Prahista yang
sepertinya mencari gara-gara. Maka
dengan balik membentak, orang yang
baru datang itupun berkata pada
Prahista:
"Iblis laknat! Dikasih tahu, eh
malah marah-marah. Kalau kau memang
tak mau mendengar saranku, aku tak
memaksamu."
"Bedebah! Rupanya kalian berdua
telah sekongkol untuk memusuhiku.
Baik! Majulah kalian berdua, aku tak
akan mundur setapakpun!"
"Sombong kau, Prahista! Jangan
kau anggap rendah kami. Hati-hatilah!
Ayo Ki Rengkut, kita ganyang orang
sombong ini!" Habis berkata begitu, Ki
Waspati segera kembali menyerang
Prahista dibantu oleh Ki Rengkut.
Maka kembali mereka pun terlibat
perkelahian yang kali ini satu melawan
dua orang. Karena dilandasi oleh
amarah dan nafsu ingin segera
menjatuhkan, maka Prahista pun tanpa
sungkan-sungkan segera mengeluarkan
semua ilmu tingkat tingginya.
Meskipun begitu, kedua orang
musuhnya bukanlah lawan yang baru
kemarin sore hingga sangat sukar bagi
Prahista untuk secepatnya mengakhiri
perkelahian itu.
Jurus demi jurus terus
terlampaui, bagaikan ketiganya tak
mengenal lelah menguras seluruh tenaga
dan kemampuan yang ada. Ketiga orang
itu, sepertinya bayang-bayang yang
berkelebat-kelebat dengan cepatnya.
Dari siang hari ketiganya
berkelahi, sampai menjelang senja.
Namun ketiganya tak tampak ada yang
terkalahkan.
Tiba-tiba! Ketika kedua orang
yang menyerangnya berkelebat hendak
berbareng menyerang, dengan segera
Prahista melompat ke belakang dan
bersuit nyaring.
Dari balik bukit seketika tampak
beratus-ratus orang nongol dan
berhamburan menuju ke arah ketiganya.
Tersentak Ki Waspati dan Ki Rengkut,
demi menyaksikan jumlah orang-orang
yang seketika menyerangnya.
"Pengecut! Kupanya kau seorang
pengecut, Prahista!" maki Ki Waspati
sembari mengelak dan menyerang balik
pada pengeroyoknya.
"Ha... ha... ha...! Ki Waspati,
silahkan bermain-main dulu dengan anak
buahku. Aku mau istirahat dulu," kata
Prahista mengejek dan segera
berkelebat pergi meninggalkan kedua
orang musuhnya dengan gelak tawa.
"Jangan lari, Prahista!" bentak
Ki Rengkut sambil berusaha mengejar.
Namun langkahnya terhalang oleh anak
buah Prahista.
"Jadah! Rupanya kalian mau
diperalat Prahista, hingga kalian
nekad membuang nyawa. Jangan kira kami
takut, hiat...!" maki Ki Rengkut
gusar, merasa langkahnya telah
dihalangi oleh mereka. Bagaikan
banteng kedaton, Ki Rengkut pun
mendengus dan menyerang mereka dengan
ganasnya. Setiap kelebatan tangannya,
menjadikan jerit kematian yang
terkena.
Satu persatu pengeroyok itu
roboh, dengan nyawa melayang dan tubuh
remuk. Ki Waspati dan Ki Rengkut makin
mempercepat serangannya, hingga makin
banyak pula korban yang berjatuhan,
terhantam atau tersepak tangan dan
kaki mereka.
Sembari mereka terdesak oleh
kedua lelaki tua itu, seketika
terdengar suara suitan nyaring. Mereka
pun berkelebat lari meninggalkan kedua
orang tua itu.
Marah kedua orang tua itu, demi
melihat musuh-musuhnya berserabutan
lari meninggalkannya. Maka dengan
mendengus, kedua orang tua itu
melancarkan serangan jarak jauhnya.
Tak ayal lagi, korban berjatuhan
terhantam tenaga dalam mereka.
"Jangan lari!" seru Ki Waspati
seraya mengejar mereka yang terus
berlari. Ketika Ki Waspati hendak
terus mengejar, Ki Rengkut pun segera
mencegahnya sembari berkata:
"Tak usah dikejar, Ki Waspati."
"Kenapa?" tanya Ki Waspati,
sembari mengernyitkan keningnya demi
mendengar saran temannya.
Sesaat Ki Rengkut menarik nafas
perlahan, akhirnya berkata: "Menurut
hematku, mereka tak perlu dikejar
sebab aku yakin, mereka akan jera
dengan kita. Lebih baik kita kembali
ke ketua untuk menceritakan hal ini.
Aku ada firasat, kalau di balik hai
ini tersembunyi sesuatu maksud."
"Sesuatu maksud. Maksud apa
menurutmu, Ki Rengkut?"
"Apakah Ki Waspati tidak melihat
ambisi yang ada di hati Ki Prahista?"
tercenung Ki Waspati mengerutkan alis
matanya, mendengar ucapan Ki Rengkut
yang menurutnya sangat teliti dan
seksama dalam menilai seseorang. Lalu
dengan terlebih dahulu mengangguk-
anggukkan kepala, Ki Waspati pun
berkata:
"Benar juga. Aku rasa juga
demikian, sebab tak biasa-biasanya
Prahista menentangku. Hem... tak
kusangka. Ayo, kita segera menghadap
ketua, agar ketua mengerti."
Dengan segera, kedua orang itu
berkelebat meninggalkan bukit itu
untuk mengadukan apa yang mereka
ketahui pada pimpinannya.
Kedua orang itu, juga Ki Prahista
adalah anggota perserikatan tokoh-
tokoh silat tua. Mereka diikat dalam
sebuah wadah yang bernama "Perserika-
tan Sakti" diketuai oleh seorang
pendekar berilmu tinggi bernama Danu
Reksa.
***
TIGA
Di kaki gunung Slamet, tampak
empat orang tua, tengah memperhatikan
seorang pemuda yang tengah berlatih
ilmu silat. Wajah keempat orang tua
itu nampak berseri-seri, kala
memperhatikan pemuda itu memainkan
jurus-jurusnya.
"Hebat-hebat! Tak sia-sia kita
mengajarinya," kata Ni Rukmini yang
tengah memperhatikan muridnya
berlatih.
"Tapi ndableg nya tidak
ketulungan," komentar Ki Bayong.
"Benar. Sungguh kita dibuat
pusing oleh tingkahnya. Bayangkan saja
kita yang tua-tua ini, disuruh
menuruti aturannya. Weh, weh. Kalau
dipikir-pikir, kita seperti kembali
pada masa kecil, sungguh lucu," Ki
Borwa terkekeh-kekeh, mengingat
tingkah laku anak muridnya.
"Biarlah kita mengalah. Memang
kita yang tua ini, harus mengalah pada
yang muda. Aku rasa, kendablegannya
karena kurangnya perhatian dan kasih
sayang ayahnya yang telah meninggal
sejak ia masih kecil." Ki Darsa pun
turut mengomentari, menengahi ucapan
saudaranya yang lain.
"Hiat...! Awas guru! Jangan
kalian meleng, kalau kalian tak mau
terkena pukulanku. Hiat...!"
Tersentak keempat gurunya, demi
melihat Jaka berkelebat dengan
cepatnya hendak menyerang mereka. Maka
dengan mengumpat-umpat, mereka pun
segera mengelakkannya.
"Dasar ndableg! Apa-apaan kamu
ini, Jaka?" bentak Ni Rukmini yang
terkejut sembari mengelakkan serangan
Jaka.
"Ha... ha... ha...! Aku tak
bermaksud apa-apa. Aku hanya mengetes
kewaspadaan guru semua."
"Edan!" bentak Ki Borwa,
merungut-rungut marah mendengar
jawaban muridnya. "Kau perlu diajar
adat, Jaka! Nah bersiaplah!" Habis
berkata begitu, Ki Borwa pun segera
berkelebat menyerang Jaka.
Mendapat serangan dari gurunya.
bukannya Jaka takut. Bahkan dengan
bergelak tawa, Jaka pun memapaki
serangan itu. Pertarungan guru dan
murid pun terjadi yang sekaligus
menambah praktek bagi Jaka.
"Ha... ha... ha...! Lucu, lucu.
Adik Borwa ternyata dipermainkan oleh
muridnya," kata Ni Rukmini, demi
melihat Ki Borwa yang tampak berusaha
merangsek Jaka. Namun bagaikan belut
yang licin, Jaka selalu dapat
mengelakkan serangan Ki Borwa.
"Wah, rupanya guru telah letoi
hingga serangannya tak setajam semula.
Ayo guru, keluarkan tenaga, serang
aku!"
Mendengar ucapan muridnya yang
dirasakan meledek, Ki Borwa pun makin
jengkel dan kesal. Maka dengan penuh
kekesalan, Ki Borwa segera
meningkatkan serangannya.
"Bagus, guru! Memang hal itu yang
Jaka mau, biar Jaka dapat serangan
yang tajam dan berbobot. Ayo Guru!
Serang aku!" seru Jaka, melihat
gurunya makin meningkatkan daya
serangannya.
Ki Borwa yang jengkel melihat
muridnya, tampak makin mengganas
serangannya. Angin seragan Ki Borwa,
bagaikan angin puting beliung. Menerpa
apa yang ada di sekitarnya, hingga
beterbangan terhempas.
Walaupun begitu, Jaka tampak
tenang-tenang saja, Bahkan dengan
lagak pilon, Jaka pun mengelit dan
sesekali menyerang balik
Pertarungan guru dan murid pun
terus berlanjut, menguras segala ilmu
yang mereka miliki. Walaupun Ki Borwa
telah berusaha mendesak, namun jaka
rampaknya tak mudah dijatuhkan. Bahkan
nafas Ki Borwa sendiri yang ngos-
ngosan, karena dipengaruhi oleh nafsu
ingin segera menjatuhkan muridnya yang
kurang ajar.
Terbelalak ketiga guru Jaka
lainnya demi melihat apa yang tengah
terjadi di hadapannya. Ki Darsa yang
merupakan salah seorang dari mereka,
sepertinya dibuat main-main oleh Jaka.
Mulut ketiga guru Jaka lainnya
terbuka lebar, tak percaya pada apa
yang dilihatnya. Baru setahun yang
lalu mereka mengangkatnya menjadi
murid, namun kemajuan Jaka begitu tak
masuk di akal.
"Weh, weh, weh, weh. Tak sia-sia
kita mengambilnya sebagai murid,"
komentar Ni Rukmini, menyaksikan
muridnya yang tengah berlatih tanding
dengan Ki Barwa.
Ki Barwa yang tengah berusaha
mendesak Jaka, malah berubah berbalik
didesak oleh Jaka. Maka makin
terbelalaklah mata ketiga gurunya yang
lain, demi melihat perkembangan itu.
Keyakinan mereka kini tumbuh
menjadikan suatu harapan kalau kelak
muridnya akan menjadi tokoh persilatan
yang disegani baik kawan maupun lawan.
Melihat Ki Barwa terdesak, dengan
segera Ni Rukmini berseru: "Barwa!
Menyingkirlah! Gantian aku yang
menjajal ilmunya." Maka dengan sekali
kelebat, Ni Rukmini telah menghadang
serangan yang dilancarkan muridnya.
Sementara Ki Barwa pun segera mundur
dari arena dengan wajah pucat pasi.
"Hebat! Benar-benar hebat, anak
itu!" komentar Ki Barwa, setelah
berdiri sembari mengatur nafasnya yang
ngos-ngosan.
Sementara Ni Rukmini yang
menggantikan Ki Barwa, dengan segera
langsung menyerang Jaka. Merasa
diserang, Jaka pun segera berkelit
menghindar.
"Wah, wah! Rupanya Nyi Guru pun
hendak mencobaku. Baik, ayolah!" kata
Jaka, setelah berhasil mengelakkan
serangan Ni Rukmini. Jaka pun balik
menyerang gurunya.
"Hati-hati, Jaka. Jangan kau
terlena!" Habis berkata begitu, Ni
Rukmini pun dengan segera memapaki
serangan muridnya. Tak ayal lagi, dua
kekuatan beradu di udara.
"Dum!" Terdengar ledakan keras,
kala kedua kekuatan itu saling
berpapasan.
Jaka terhuyung ke belakang tiga
tombak, sementara Ni Rukmini tampak
terpental ke belakang lima tombak, dan
jatuh bergedebug dengan terbanting di
atas tanah.
Makin terbelalak mata guru-
gurunya yang tak mengira kalau secepat
itu Jaka mampu mengimbangi tanaga
dalam Ni Rukmini. Hingga ketiga orang
yang menyaksikannya, seketika bergumam
hampir berbarengan: "Hem, kalau anak
ini dapat dikuasai orang yang
beraliran sesat maka tak dapat
dibayangkan apa jadinya dunia
persilatan, untung kita yang
mendidiknya."
"Jaka, aku mengaku kalah," kata
Ni Rukmini yang membuat Jaka
tersenyum, lalu dengan ndablegnya Jaka
berkata mengejek.
"Guru, masak baru segitu guru
menyerah? Ayo bangkitlah!"
"Tidak, Jaka. Aku rasa cukup.
Biarlah yang lain yang akan mencobamu.
Aku puas dengan apa yang kau peroleh,"
kata Ni Rukmini yang berusaha bangkit
dari duduknya karena terjatuh.
"Dia benar-benar hebat, kakang!"
kata Ni Rukmini pada Ki Bayong yang
masih terbengong-bengong menyaksikan
kemajuan muridnya.
"Jangan kaget, Ni Rukmini. Kalau
Jaka memperoleh kemajuan yang sangat
pesat. Hal itu dikarenakan ada yang
mendorongnya dan memberikan bantuan
gaib. Sekarang Ki Darsa, coba
seranglah murid kita," kata Ki Bayong
memerintahkan pada Ki Darsa untuk
menggantikan Ni Rukmini.
Sementara itu, Jaka yang telah
dapat mengimbangi gurunya bahkan dapat
menjatuhkan gurunya tampak tertawa
bergelak-gelak sembari berkata.
"Ayo, guru! Siapa lagi yang akan
mengujiku?"
Dengan segera, Ki Darsa
berkelebat menghadapi muridnya yang
masih tersenyum melihat kedatangannya.
"Jaka, sekarang aku ingin
mengujimu," kata Ki Darsa yang dijawab
dengan gelak tawa Jaka sepertinya
mengejek.
"Guru! Aku rasa kau tak akan
mampu, maka lebih baik semuanya saja
yang mengujiku."
"Dasar, ndableg!"
"Baiklah, guru. Kalau memang guru
bermaksud mengujiku, aku telah siap.
Nah, bersiaplah!"
Dengan segera, Jaka pun memasang
kuda-kuda siap menghadapi ujian yang
akan dilakukan oleh gurunya yang
ketiga. Dengan terlebih duhulu
memekik, Ki Darsa pun segera menyerang
Jaka.
Untuk ketiga kalinya, Jaka diuji
oleh sang guru yang ketiga. Dan untuk
ketiga kalinya pula, Jaka harus
menghadapi gurunya sendiri. Geli hati
Jaka, melihat tingkah gurunya yang
marah karena ucapannya. Sebenarnya
Jaka hanya bermaksud memancingnya,
agar dapat mengetahui tingkat-tingkat
ilmu gurunya. Dan benar saja, gurunya
marah, mengeluarkan ilmu-ilmunya
hingga secara tak langsung Jaka telah
mempelajarinya sendiri.
Ketika hendak melampaui jurus
yang ke lima puluh, Jaka segera
melompat mundur sembari berkata:
"Cukup! Aku rasa Ki Guru Darba tak
mampu menandingiku. Karena itu, aku
minta Ki Guru Bayong menggantikannya."
"Kurang asem! Dasar, ndableg! Aku
belum kalah olehmu, sableng! Ayo, kita
teruskan!" bentak Ki Darsa hendak
menyerang kembali, terdengar tawa Ki
Bayong berseru menghentikannya.
"Ki Darsa, biarlah aku yang akan
mengujinya sesuai apa yang diminta.
Kau sementara istirahatlah menonton."
Ki Bayongpun segera berkelebat
menghadang muridnya yang masih
tersenyum-senyum dengan tenang.
"Ki Guru sudah siap?" tanya Jaka,
sepertinya seorang pendekar saja,
hingga membuat gurunya mangkel
bercampur geli melihat tingkah
muridnya yang ndableg dan tak mengenal
hormat.
"Aku sudah siap dari tadi. Apakah
kau pun telah siap, Jaka?"
"Aku pun telah siap. Aku minta,
guru jangan sungkan-sungkan
mengeluarkan segaia ilmu yang guru
miliki. Nah, mari kita mulai." Habis
berkata begitu, Jaka segera membuka
serangan dengan didahului pekikan.
Karena sudah mengetahui kehebatan
muridnya, maka Ki Bayong pun tak
segan-segan untuk mengeluarkan jurus-
jurus intinya untuk menandingi jurus-
jurus yang dipakai muridnya. Jelas
jurus-jurus Jaka sangat berpariasi,
sebab dia digembleng oleh keempatnya
bersamaan. Ketika Jaka menghadapi Ki
Barwa, ia menggunakan jurus yang
diajarkan Ni Rukmini. Kala ia
menghadapi Ni Rukmini, maka Jaka pun
menggunakan jurus yang diajarkan Ki
Darsa. Sebaliknya kala ia menghadapi
Ki Darsa, maka Jaka pun tak
menggunakan apa yang diajarkan Ki
Darsa padanya. Tetapi Jaka menggunakan
jurus yang diajarkan oleh Ki Bayong.
Dengan cara seperti itulah, Jaka
dengan sendirinya dapat mengukur
kehebatan ilmu guru-gurunya.
Kini, kedua guru dan murid tengah
mengadakan pertarungan yang bersifat
ujian bagi sang murid. Karena kali ini
yang menguji Ki Bayong, maka Jaka pun
dengan segera menggunakan ilmu yang
diajarkan oleh Ki Barwa.
Ki Bayong yang terbakar oleh
omongan muridnya, terus mencoba
mendesak Jaka. Namun sebaliknya, Jaka
pun tak mau begitu saja mengalah,
sebelum gurunya mengeluarkan semua
ilmu-iimu simpanannya. Maka setelah
dirasa ilmu yang diajarkan oleh Ki
Barwa tak mampu menandingi, Jaka
dengan terlebih dahulu melentingkan
tubuh ke angkasa, segera mengubah
jurusnya.
"Aneh! Tak biasanya seorang tokoh
silat mengubah jurus dengan
melentingkan tubuhnya di angkasa,
sungguh aneh!'' seru ketiga gurunya
yang lain, yang tengah menyaksikan
pertarungan itu.
"Ayo guru, keluarkan semua ilmu
yang guru miliki. Aku mohon guru
jangan segan-segan menyerang!" seru
Jaka, setelah melentingkan tubuhnya ke
angkasa dan mengubah jurus-jurusnya.
Tak hanya ketiga orang yang
memperhatikannya, Ki Bayong pun yang
tengah mengujinya tersentak kaget demi
melihat hal yang menurutnya luar
biasa.
"Tak biasanya, tokoh persilatan
mengubah jurusnya di udara. Kenapa
anak ndableg ini mampu melakukannya?
Bahkan sepertinya enak saja membolak-
balikkan jurus," kata hati Ki Bayong,
kagum melihat apa yang muridnya
tunjukan.
"Kenapa bengong, Guru? Apa guru
jera menghadapiku?"
Tersentak Ki Bayong dari
termenungnya, demi mendengar suara
muridnya berseru mengejeknya. Makin
tersentak Ki Bayong kala Jaka kembali
berkata sembari langsung menyerang ke
arahnya.
"Hati-hati, Guru! Terimalah
seranganku. Hiat...!"
"Dasar, ndableg! Seenaknya saja
mengubah jurus dan menyerang. Ayo kita
teruskan dan hati- hatilah dirimu,
Jaka. Aku harap kau dapat menangkis
seranganku." Habis berkata begitu, Ki
Bayong pun segera memapaki serangan
Jaka.
Bagaikan terbang, Ki Bayong
meluruskan kedua tangannya ke depan.
Tersentak Jaka melihat jurus yang
dikeluarkan gurunya yang baru kali ini
dilihatnya. Namun dasar ndableg, Jaka
pun tak menghiraukannya hingga dengan
memekik Jaka pun menyambut serangan
gurunya itu. Dan!
"Hiat...!"
Kedua murid dan guru melompat ke
udara berbarengan dan bertemu di udara
mengadu dua kekuatan. Hingga seketika,
terdengar ledakan dahsyat kala
keduanya beradu.
"Dum!"
Terpelanting keduanya ke belakang
sama-sama jauhnya, sampai lima tombak.
Tampak keringat deras menetes di tubuh
Jaka, sebaliknya Ki Bayong pun
wajahnya tampak pucat pasi demi
menyaksikan apa yang terjadi.
"Hebat, hebat. Sungguh hebat!
Jaka, ke marilah!" kata Ki Bayong yang
segera dituruti Jaka yang segera
menuju ke tempat keempat gurunya
berdiri.
Tanpa, banyak omong seperti
ketika tengah diuji oleh gurunya, Jaka
segera menjura hormat yang diteruskan
dengan duduk bersimpuh di hadapan
keempat gurunya yang terbengong-
bengong demi melihat tingkahnya.
"Ampun, Ki guru semua dan Ni
guru. Bukannya Jaka bermaksud
merendahkan ilmu yang Ki dan Ni guru
miliki, namun Jaka semata-mata ingin
mempelajari dan mengetahui kegunaan
ilmu yang Jaka pelajari. Jadi kalau
guru sekalian ingin tahu, tadi Jaka
melawan guru sekalian dengan jurus-
jurus yang guru sekalian ajarkan."
Mendengar ucapan muridnya,
keempat gurunya terbelalak kaget.
Sebab mereka tak menyangka, kalau
muridnya itu akan mampu
mengkombinasikan semua pelajaran yang
diserapnya. Maka dengan tertawa
bergelak-gelak, keempat guru itu
segera mengusap kepala Jaka. Jaka tak
mengerti apa yang tengah dilakukan
guru-gurunya yang sebenarnya tengah
menambah tenaga dalam ke dalam
tubuhnya.
"Nah, Jaka. Ceritakan pada kami,
apa yang kau lakukan tadi! " kata Ki
Bayong, setelah selesai menyalurkan
tenaga dalamnya ke tubuh Jaka.
"Ampun, Guru. Tadi ketika aku
menghadapi Ki Guru Barwa, aku sengaja
menggunakan jurus-jurus yang diajarkan
Ni Guru Rukmini. Sebaliknya ketika aku
menghadapi Ni guru Rukmini, maka aku
pun segera menggunakan jurus yang
diajarkan oleh Ki Guru Darsa.
Begitulah seterusnya, hingga aku dapat
mengukur ilmu-ilmu yang aku pelajari
dari guru sekalian."
Mengangguk-angguk keempat gurunya
demi mendengar penuturan muridnya.
Mereka tak menyangka, kalau muridnya
akan mampu mengkombinasikan ilmu-ilmu
yang diajarkan mereka. Maka dengan
terkekeh-kekeh, Ni Rukmini pun
berkata:
"Weh, weh, weh. Pantas saja,
kalau kau dapat menandingiku. Sungguh
kami merasa bangga mempunyai murid
sepertimu. Bukan begitu, Ki Bayong, Ki
Darsa, dan Ki Barwa?"
Ketiga orang lelaki itu
menganggukkan kepala, membenarkan apa
yang telah diucapkan oleh Ni Rukmini.
Ketiganya tampak tersenyum,
mengangguk-anggukkan kepalanya,
senang.
"Sekarang kita beristirahat
dahulu sambil makan-makan singkong
rebus yang dimasak oleh Ni Rukmini,
ayo!" ajak Ki Bayong pada Jaka yang
segera menurut mengikuti gurunya.
Kelima orang guru dan murid
segera meninggalkan lapangan, di mana
tempat mereka berlatih menuju ke
sebuah gubug yang dijadikan mereka
berteduh.
Dengan bercanda ria penuh gelak
tawa, kelima guru dan murid itu
menyantap makan siangnya. Walau hanya
singkong rebus, namun selera makan
mereka begitu tinggi. Hingga dalam
sekejap saja, singkong yang tersedia
di atas daun itupun habis termakan
semua.
* * *
Siang hari, ketika guru-gurunya
tengah beristirahat, Jaka segera pergi
menangkap ikan di sungai. Ia ingin
sekaii membuat guru-gurunya senang.
Maka dengan secara diam-diam, Jaka pun
segera pergi menangkap ikan.
"Hai, sepertinya ada seseorang
yang menjerit," kata Jaka kala hendak
menangkap ikan demi mendengar jeritan
sayup-sayup dari seherang kali.
"Tolong...!"
Dengan segera, Jaka melompat
menyeberangi kali. Rencana mencari
ikan dibatalkannya dan segera memburu
ke asal suara itu. Bagaikan seekor
kijang jaritan, Jaka berlari menyibak
semak-semak ilalang yang menghalangi
langkah kakinya.
Terbelalak mata Jaka kala melihat
apa yang terjadi di hadapan matanya.
Seorang lelaki tengah mengangkangi
seorang wanita yang menjerit-jerit
ketakutan.
"Biadab! Hentikan perbuatanmu!"
bentak Jaka, menjadikan si lelaki itu
tersentak dan melepaskan wanita yang
sedari tadi dikangkanginya. Melihat
seorang telah mengganggunya, maka
dengan bengis lelaki itu melotot dan
membentak.
"Kampret! Mau apa kau berlagak
pahlawan! Apa kau belum tahu siapa
aku, hah?!"
"Oh, rupanya kau seorang baginda
hingga kau hendak sembarangan berlaku
sewenang-wenang. Ampun baginda, saya
menerima salah dan siap dihukum. Ha...
ha... ha...!" kata Jaka dengan nada
konyol hingga membuat lelaki itu
mendengus penuh amarah.
"Bedebah! Kau meremehkan aku!
Jangan salahkan kalau aku berbuat
telengas," bentak lelaki itu dan
langsung menyerang Jaka.
"Lho! Disanjung baginda kok malah
marah, lalu harus dipanggil apa? Oh...
rupanya engkau harus dipanggil
monyet... Monyet! Kalau kau benar-
benar monyet, maka janganlah
mengganggu manusia. Ganggulah
sesamamu. Ha..., ha..., ha...!"
Bergelak-gelak tawa Jaka sembari
menghindarkan serangan yang
dilancarkan oleh lelaki itu.
Tak ayal lagi, lelaki itu pun
mendengus dan membabi buta menyerang
Jaka yang tampaknya masih tenang-
tenang mengeiak sembari tertawa ber-
gelak-gelak.
"Ampun! Jangan tendang saya!"
pekik Jaka, kala lelaki itu hendak
menendangnya. Sambil memekik, Jaka pun
segera mengelakkan tendangan lelaki
itu sembari menunggingkan pantatnya.
Makin marahlah lelaki itu yang
merasa dipermainkan oleh Jaka. Maka
dengan rasa kesal dan marah, lelaki
itu makin bernafsu untuk segera
menghajar Jaka yang dianggapnya tak
bisa apa-apa.
Sedemikian jauh, Jaka masih terus
mengelak dan tak henti-hentinya
memekik.
"Tolong, mak... tolong...!"
Walaupun sepertinya Jaka
ketakutan, namun dengan masih
menunggingkan pantatnya Jaka terus
mengelakkan serangan-serangan orang
itu.
Makin penasaran lelaki itu merasa
dipermainkan oleh Jaka yang tampaknya
main-main. Geramnya makin menjadi-jadi
hingga makin membuarnya bertambah
nafsu untuk dapat menjatuhkan Jaka.
"Aduh, mak! Aku hendak
dijitaknya!" seru Jaka, kala lelaki
itu mengelebatkan tangannya hendak
menghantam kepalanya. Berbarengan
habisnya suara ayam, Jaka pun segera
melentingkan tubuhnya ke atas. Dan
dengan cepat tanpa dapat dielakkan
oleh lelaki itu, Jaka telah
menjitakkan tangannya pada kepala
lelaki yang menyerangnya.
Jitakan yang disertai tenaga
dalam, membuat lelaki rersebut
menjerit kesakitan sembari memegangi
kepalanya.
"Tobat...!"
Terkekeh-kekeh Jaka juga gadis
yang sedari tadi ketakutan, demi
melihat lelaki itu memutar-mutar
tubuhnya sembari memegangi kepalanya
yang terjitak.
"Ha... ha... ha...! Lucu, lucu.
Kalau begitu, kau persis monyet yang
tertimpuk buah durian, mau lagi?"
"Kampret! Jangan kau merasa
senang dulu! Akan kubalas penghinaan
ini." Habis berkata begitu, lelaki
itupun pergi berlalu meninggalkan Jaka
yang masih tertawa-tawa.
Gadis yang sedari tadi
bersembunyi ketakutan, segera datang
menghampiri Jaka yang masih tertawa-
tawa memandang kepergian lelaki itu
hingga Jaka tersentak kala gadis itu
menyapanya.
"Tuan pendekar, siapakah tuan
pendekar sebenarnya? Aku mengucapkan
terima kasih pada tuan yang telah
menolongku. Entah dengan apa nanti aku
dapat membalasnya."
"Aih, aih. Aku bukan pendekar,
nona. Aku hanya rakyat biasa sepertimu
yang kebetulan saja dapat menjitak
kepala lelaki yang hendak kurang ajar
padamu. Mengenai balas budi, aku rasa
itu urusan Yang Kuasa. Nah, karena
lelaki itu telah pergi, maka aku pun
hendak pergi juga untuk mencari ikan."
Jaka seketika hendak berlalu pergi,
kala gadis itu memanggilnya kembali.
"Tuan pendekar! Tunggu!"
"Ada apa lagi?" tanya Jaka tak
mengerti yang segera menghentikan
langkahnya dan berbalik menengok gadis
itu. Dipandanginya gadis itu yang
tertunduk malu.
Melihat tingkah gadis itu,
seketika menjadikan Jaka mengerutkan
alis matanya tak mengerti apa yang
sebenarnya dikehendaki oleh si gadis.
"Heh, kenapa kau sekarang diam,
nona? Bukankah kau tadi memanggilku?"
tanya Jaka dengan terheran-heran,
menjadikan si gadis makin menundukkan
kepalanya. Dengan suara lembut, si
gadis pun berkata:
"Tuan pendekar, bolehkan aku tahu
namamu?"
"Untuk apa?"
Kembali si gadis tertunduk dengan
mata berbinar-binar, lalu dengan penuh
haru si gadis kembali berkata: "Aku
ingin kenal denganmu yang telah
menolongku dari perbuatan biadab
Marsan."
"Oh...!" Terbengong Jaka demi
mendengar ucapan gadis itu yang polos.
"Kenapa kau hendak diperkosanya?"
"Aku... menolak dijadikan
istrinya," kata gadis itu sembari
memandang lekat ke wajah Jaka hingga
membuat Jaka tersentak, dipandang
begitu tajam dan dalam oleh si gadis.
Maka dengan segera, Jaka pun berkata:
"Nona, jangan lah nona begitu
tajam memandangku. Apakah ada yang
lain pada wajahku?"
Tersipu-sipu si gadis mendengar
ucapan Jaka, maka untuk kesekian
kalinya, si gadis pun segera
menundukkan muka sembari berkata
polos:
"Maaf, bukan aku hendak lancang
memandang tuan. Tapi, aku kagum pada
tuan. Walau tuan muda dan ga... tapi
tuan tidak sombong dan angkuh. Padahal
tuan memiliki kepandaian. Tidak
seperti si Marsan yang mengandalkan
kegantengan dan kepandaiannya untuk
merayu dan memperdayai gadis."
"Tadi nona hendak bicara ga, apa
itu? Sepertinya nona malu
mengatakannya," kata Jaka dengan hati
tergetar, demi mendengar pengakuan
gadis, itu tentang dirinya.
Kembali gadis itu tersipu-sipu
mendengar pertanyaan Jaka yang
menanyakan tentang ucapan yang
disendatnya. Maka dengan masih
menunduk, gadis itu malu-malu berkata
kembali.
"Tuan ga... ganteng dan gagah!"
Ah, bagaikan melayang saja hati
Jaka saat itu mendengar ucapan si
gadis. Tak terasa, Jaka membeliakkan
matanya memandang tajam ke arah gadis
itu yang tak kuasa membalasnya.
Kala keduanya tengah terdiam,
tba-tiba terdengar suara lima orang
berteriak ke arah Jaka yang tersentak
dan memandang ke arah mereka.
"Hai anak muda! Kaukah yang telah
berani lancang pada adikku?"
"Siapakah kalian! Kenapa kalian
kayak monyet nangkring di atas pohon?
Kalau kalian hendak bicara denganku,
mengapa kalian tidak segera turun?"
seru Jaka yang membuat kelima orang
yang tengah nangkring di atas pohon
tersentak dan marah.
"Bujur buset! Berani kau menyebut
kami monyet. Apakah kau tak tahu siapa
kami?" Kembali salah seorang dari
kelimanya berkata, nadanya seperti
marah. Namun Jaka malah tertawa demi
mendengar ucapan orang itu. Maka
dengan masih bergelak tawa, Jaka pun
kembali berkata:
"Monyet-monyet sekalian. Kalau
kalian ingin disamakan dengan manusia,
maka aku minta kalian turun dari
pohon. Mengenai siapa kalian, aku tak
mau tahu sebab itu urusan kalian
sendiri. Nah, turunlah!"
Dengan rasa dongkol, kelima orang
itu segera berloncatan turun dan
langsung mengepung Jaka yang seperti
kebingungan. Sementara si gadis,
nampak ketakutan dan segera
bersembunyi di balik tubuh Jaka seraya
berbisik memberitahukan siapa
sebenarnya mereka.
"Hati-hati, tuan! Mereka adalah
kakak-kakak seperguruan si Marsan yang
terkenal dengan julukan Lima Iblis
Haus Darah."
"Oh, kalau begitu mereka pantas
dihajar ya?" balik berkata Jaka yang
membuat si gadis mau tak mau akhirnya
tersenyum juga.
"Hai, anak muda! Siapa namamu?
Jangan sampai kau mati tanpa
meninggalkan nama," tanya lelaki yang
tertua di antara kelimanya yang
berwajah menyeramkan dengan kepala
botak.
Melotot kaget mata Jaka,
sepertinya terkejut mendengar ucapan
lelaki itu. Lalu dengan mata melotot,
Jaka pun berkata menggeretak:
"Hai, kalian semua! Kalau kalian
Iblis Haus Darah, maka ketahuilah
bahwa aku ini Malaikat Haus Darah.
Nah, adakah iblis yang berani dengan
malaikat? Jelas tak ada, bukan? Maka
itu, aku sarankan kalian segera
minggat dari sini. Jangan mengganggu
saya malaikat yang tengah berpacaran
dengan bidadari."
Tersentak kelima orang itu
bercampur marah, mendengar ucapan yang
dilontarkan Jaka. Maka dengan
mendengus kesal, kelima orang itupun
ber-gerak menyerang Jaka.
Diserang begitu rupa oleh kelima
orang itu. Jaka yang tengah melindungi
si gadis tampak tersentak-sentak
hingga dengan seketika dibopongnya
tubuh si gadis, Jaka pun segera
meladeni serangan kelima orang itu.
"Tobat, mak! Mereka hendak
rnengeroyokku!" seru Jaka seraya
berputar-putar, mengelakkan serangan-
serangan kelimanya yang membabi buta.
"Edan! Pendekar macam apa kau
ini! Berteriak-teriak kaya orang
gila!" maki salah seorang dari
kelimanya, kesal melihat tingkah Jaka.
Maka dengan segera, diayunkannya golok
yang ada di tangannya hendak mencercah
tubuh Jaka yang kembali memekik.
"Tobat! Mak! Aku hendak
direncah!"
Geli juga si gadis yang berada di
bopongan Jaka melihat tingkah Jaka
yang konyol. Walau dengan ketakutan,
si gadis tersenyum juga mendengar
kata-kata Jaka yang masih menghindari
serangan mereka.
Bukan menjadi halangan bagi Jaka
intuk mengelakkan serangan kelima
orang pengeroyoknya, walaupun dengan
memanggul tubuh si gadis.
"Ah, bahaya kalau begini terus-
menerus. Bisa-bisa gadis ini akan
menjadi korban. Lebih baik aku
menghindari saja," kata Jaka dalam
hati. Maka dengan segera, Jaka pun
berkelebat meninggalkan kelima
pengeroyoknya yang segera mengejarnya.
Saking cepatnya Jaka berlari
hingga sukar bagi mereka untuk
mengejarnya, mereka pun akhirnya hanya
dapat memaki-maki, setelah tak mampu
mengejar Jaka yang berlari bagaikan
kijang.
EMPAT
Dengan terus berlari meninggalkan
kelima orang yang jauh tertinggal di
belakang, Jaka pun segera kembali ke
gubugnya di mana keempat gurunya
tinggal.
Terbelalak mata keempat gurunya
demi melihat muridnya datang bersama
seorang gadis. Terbe-ngong-bengong
keempat gurunya yang segera bertanya
heran:
"Hai, dari mana kau anak ndableg.
Sedari tadi kami mencari kamu, eh
datang-datang dengan gadis. Kau culik
dari mana gadis itu, Jaka?" tanya Ki
Bayong sembari memandang tajam pada
gadis yang berdiri di samping
muridnya, yang tertunduk tak berani
memandang pada keempat guru Jaka.
"Wah, kenapa guru berpikir
begitu!" protes Jaka, karena dituduh
telah menculik si gadis. "Kalau guru
mau tahu, tanyakan saja pada gadis
ini. Aku atau dia yang diculik dan
yang menculik."
Mendengar ucapan Jaka, makin
membuat gadis di sampingnya tertunduk
dalam setelah terlebih dahulu
membelalakan matanya pada Jaka yang
tersenyum-senyum bagaikan tak
bersalah.
Seperti gadis itu, keempat
gurunya pun terbelalak kaget mendengar
ucapan muridnya yang memang ndableg.
Maka dengan menggeleng-gelengkan
kepalanya, sang guru pun berkata.
"Itulah sifatmu, Ni Rukmini. Jadi Jaka
pun menurunimu."
"Enak saja Kakang Bayong
menuduhku. Paling-paling, dia menuruni
sifat Ki Barwa." Ni Rukmini tak mau
menerima tuduhan yang dilontarkan Ki
Bayong, dan ia pun melemparkannya pada
Ki Darsa yang tersentak kaget dan
hendak berkata ketika dengan segera
Jaka telah mendahuluinya berkata:
"Sudahlah! Kenapa guru sekalian
mesti saling tuduh. Kalau aku berbuat
jahat, barulah guru boleh saling
tuduh. Kan aku berbuat baik. Aku
menolongnya kala gadis ini hendak
diperkosa."
"Bagus-bagus. Kalau begitu baru
namanya murid Ki Darsa."
Tidak bisa! Dia muridku," tak mau
kalah K Barwa mendengar pengakuan Ki
Darsa. "Dia muridku!"
"Enak saja kalian ngomong! Dia
muridku," Ni Rukmini pun tak mau
kalah, turut berdebat memperebutkan
pengakuan Jaka sebagai muridnya.
"Weh, weh, weh. Kalian kayak anak
kecil saja, berebut untuk mendapatkan
pengakuan sang murid. Kalau kalian mau
dianggap guru oleh Jaka, tanyakanlah
padanya siapa gurunya?" kata Ki
Bayong, menengahi ketiga adik
seperguruannya yang tengah berdebat
kusir.
"Sudah, sudah! Guru sekalian tak
perlu ribut memperebutkan pantat
kosong. Kalau guru sekalian merasa
mendidikku, ya aku pun mengakui guru.
Nah, dengarlah! Gadis ini hendak
diperkosa oleh seorang lelaki yang
ditolak lamarannya. Mungkin karena
nafsong banget pada gadis ini hingga
jalan kebaikan tak dapat, ya, jalan
kejelekan pun jadilah."
Tersenyum-senyum keempat gurunya
demi mendengar omongan sang murid yang
ceplas-ceplos. Gembira bercampur
gemes, menyelimuti keempat guru Jaka.
Maka dengan tersenyum-senyum, Ki
Bayong berkata kembali:
"Gadis manis, siapa namamu?
Apakah benar kau tidak diculik oleh si
Ndableg?"
Dengan malu-malu dan bibir
tersipu senyum, si gadis sesaat
memberanikan diri memandang pada
keempat guru Jaka. Setelah memandang
Jaka yang tersenyum, si gadis pun
berbicara.
"Benar, tuan guru sekalian. Nama
saya yang hina ini Sri Ratih. Tuan
pendekar ini tidak menculik saya,
bahkan menolong saya kala hendak
diperkosa oleh si Marsan. Bahkan tadi
kelima kakak seperguruan Marsan datang
mengeroyok tuan pendekar ini."
Terangguk-angguk kepala keempat
guru Jaka mendengar penuturan si
gadis. Belum juga keempat gurunya
berkata, tiba-tiba Jaka telah
mendahuluinya.
"Nah! Apa Jaka bilang! Bukan Jaka
yang menculiknya, tapi gadis inilah
yang telah menyuruh Jaka menculiknya.
Bukan begitu Ratih?"
"Dasar ndableg! Mana mungkin
seorang gadis meminta diculik, kalau
memang tidak kau culik?" kata Ni
Rukmini gemes mendengar kata-kata Jaka
yang sembarangan ngomong. Sementara si
gadis tampak membelalakan mata,
mendengar ucapan Jaka yang membuatnya
malu. Dasar Jaka Ndableg, diomong
gurunya begitu, malah tersenyum-senyum
dan menjawab tak mau kalah. "Lho, Ni
Guru tak percaya!"
"Weh, weh, weh. Ndablegmu
kelewatan, Jaka!"
"Sudahlah, Ni! Bukankah tadi kau
malah berebut mengakui dia sebagai
muridmu?" kata Ki Darsa menengahi.
Membuat Ni Rukmini tersenyum-senyum,
dan kembali berkata:
"Weh, weh, weh. Benar katamu Ki
Darsa."
"Nah, maka itu kau jangan terlalu
menekannya, aku takut dia malah
bertambah-tambah ndablegnya yang akan
membuat kita susah oleh tingkah
lakunya."
Mendengar ucapan Ki Darsa, Ni
Rukmini pun akhirnya terdiam
membiarkan Jaka bicara ceplas-ceplos
semaunya. Keempat gurunya hanya
menggeleng-gelengkan kepala
mendengarkan ucapan Jaka.
"Ni guru, apakah pantas muridmu
ini menculik?" tanya Jaka pada Ni
Rukmini yang hanya mampu menggeleng-
gelengkan kepalanya. "Nah, kalau Ni
Guru tak yakin maka Jaka minta Ni guru
mau mempercayai omongan Jaka."
"Terserah kamu saja, Anak
ndableg!" kata Ni Rukmini kesal dan
gemas yang membuat Jaka tersenyum-
senyum sembari garuk-garuk kepala.
"Nah, Nona Ratih. Agar kau aman,
maka lebih baik untuk sementara waktu
kau tinggalah dulu dengan kami di
sini."
Tersentak kembali keempat gurunya
mendengar ucapan Jaka yang tak mereka
sangka. Maka dengan memelototkan mata,
Ki Bayong segera berkata pada Jaka:
"Jaka! Kalau kau menyuruh Nona
Ratih tinggal di sini, aku takut kau
nanti malas berlatih. Kedua, nanti
orang tuanya akan mencarinya."
"Ah Ki guru. Mana mungkin Jaka
akan malas berlatih. Bukankah Jaka
ingin menjadi orang yang pintar?
Percayalah, kalau Jaka akan giat
berlatih. Apalagi kini ada yang
menemani," kata Jaka beralasan hingga
membuat ki Bayong makin melototkan
matanya terbelalak. Juga ketiga guru
lainnya ikut tersentak dengan ucapan
Jaka.
"Dasar ndableg! Baiklah, aku
mengalah dengan alasanmu yang pertama.
Sekarang bagaimana kalau ayahnya
mencari?" Ki Bayong akhirnya mengalah
dan menerima alasan Jaka yang pertama.
Mendengar pertanyaan gurunya,
Jaka hendak kembali membikin alasan
seketika Ratih telah lebih dahulu
menjawabnya.
"Orang tua saya tak akan mencari
saya, Tuan guru."
Terbelalak keempat guru Jaka demi
mendengar jawaban Ratih yang tak
dinyana-nyana. Keempatnya terbengong
tak mengerti dan di hati mereka
seketika muncul pertanyaan. "Orang tua
macam apa yang menjadi orang tua
Ratih? Hingga tak mengurusi anaknya?"
"Nona Ratih."
"Saya, Tuan guru," jawab Ratih
mendengar namanya dipanggil oleh Ki
Bayong.
"Nona bilang, orang tua nona tak
akan mencari nona. Kami jadi tak
percaya. Sebab setahu kami, orang tua
akan berusaha mencari anaknya yang tak
diketemukannya. Bagaimana mungkin
orang tua nona bertindak begitu?"
tanya Ki Bayong sembari mengernyitkan
alis matanya tak percaya pada jawaban
Ratih.
Ditanya begitu, seketika Ratih
meneteskan air mata hingga makin
membuat Ki Bayong dan ketiga guru Jaka
lainnya bingung bercampur iba
melihatnya.
"Hai, kenapa kau menangis, nona?"
tanya Ni Rukmini heran, demi melihat
Ratih rnenangis. "Adakah kami telah
membuatmu sedih?" lanjutnya bertanya.
"Tidak! Tuan-tuan guru tidak
bersalah dan tidak membuat saya
bersedih. Saya hanya sedih karena
mengingat nasib diri saya yang
menderita. Dari kecil saya tak bisa
melihat orang tua lagi hingga saya
diambil anak oleh kedua orang tua saya
yang sekarang. Mulanya saya merasa
senang, sebab dapat menerima kasih
sayang. Namun ternyata mereka telah
menjual diri saya pada si Marsan tanpa
persetujuan saya. Saya pun menolak
karena saya tak mencintainya. Hingga
dengan marah kedua orang tua angkat
saya membiarkan Marsan berbuat seke-
hendak hatinya pada saya. Karena
dipaksa terus-menerus untuk
melayaninya, maka saya pun minggat.
Marsan yang merasa dikhianati,
bermaksud memperkosa saya. Sampai
kalau tak ada tuan pendekar, tentu
sudah dirusak kehormatan saya oleh
Marsan. Itulah, tuan guru, mengapa
saya katakan bahwa orang tua saya tak
akan mencari saya dan kenapa saya
menangis," kata Ratih sembari mengusap
air matanya.
Keempat guru Jaka dan Jaka tampak
bersedih, turut terhanyut oleh cerita
yang dibeberkan Ratih. Maka dengan
menghela nafas panjang, Ni Rukmini
berkata:
"Sudahlah! Tak perlu kau
pikirkan. Kalau kau memang ingin
bersama kami, maka kami pun akan
menerimamu."
"Benar, nona. Kalau nona di sini,
aku akan dapat teman yang dapat diajak
ngobrol dan bercanda. Bukan begitu,
guru?" Menimpali Jaka, membuat gurunya
mendelik.
"Dasar ndableg! Enak saja kau
ngomong! Ayo Jaka, telah waktunya kau
kembali berlatih," kata Ki Darsa
menyuruh Jaka untuk berlatih kembali.
"Huh, tak boleh orang enak
sedikit," omel Jaka, walau akhirnya
menurut pergi menuju ke tempat
latihan hingga membuat keempat
gurunya hanya geleng kepala tak dapat
berkata apa-apa lagi dan mengikuti
Jaka menuju ke tempat latihan.
* * *
Geram hati ketua perserikatan
Pendekar Sakti mendengar laporan kedua
sekutunya Ki Waspati dan Ki Rengkut
yang menceritakan tentang perkelahian
mereka melawah Ki Prahista. Mereka
juga menceritakan tentang adanya
tanda-tanda pemberontakan yang akan
didalangi oleh Ki prahista.
"Bedebah! Rupanya Prahista musuh
dalam selimut!" maki ketua Pendekar
Sakti setelah mendengar penuturan
kedua sekutunya.
"Benar, Tetua. Saya melihat
gejala-gejala itu. Coba Tetua ingat-
ingat kembali pada kejadian-kejadian
yang telah dilakukan oleh Prahista.
Bukankah tindakannya bertentangan
dengan apa yang telah digariskan oleh
persekutuan?" Kata Ki Rengkut yang
menjadikan Tetua Perserikatan Pendekar
Sakti makin menggeram marah, hingga
tampak lehernya menggembung menahan
amarah yang meledak-ledak di hatinya.
Setelah sesaat terdiam, ketua
Perserikatan Pendekar Sakti berkata:
"Benar! Aku ingat apa yang telah
Prahista lakukan, yang semuanya
bertentangan dengan garis yang telah
disepakati oleh seluruh anggota
perserikatan. Tindakan Prahista yang
telengas, menjadikan nama kita
tercemar di muka tokoh-tokoh
persilatan yang memang membenci kita.
Khususnya golongan sesat yang
menganggap kita merupakan penghalang
besar. Maka untuk segera mengakhiri
sepak terjang Prahista, aku
perintahkan pada kalian berdua untuk
segera menghubungi anggota kita, Ki
Waspati."
"Saya Tetua," jawab Ki Waspati..
"Aku perintahkan padamu, untuk
menghubungi Ki Danur Wendo dan Ki
Marta Pura serta Nyi Longkat Sakti.
Dan Ki Rengkut."
"Saya, Tetua," jawab Ki Rengkut.
"Saya tugaskan untuk menghubungi
Ki Bulukumba, Ki Bulu Sari, dan Nyi
Keluwut. Laksanakan segera! Aku minta,
dalam tujuh hari kalian harus telah
sampai ke sini lagi!" kata Tetua
Perserikatan Pendekar Sakti yang
segera dilaksanakan oleh kedua tangan
kanannya.
Maka saat itu juga, kedua tokoh
persilatan yang menjadi anggota
perserikatan Pendekar Sakti segera
berangkat menuju tujuan masing-masing.
Ketua perserikatan Pendekar Sakti
tampak terduduk diam. Dalam pikirannya
penuh kemarahan yang melanda hatinya,
demi mengingat segala tindakan yang
telah dilakukan oleh salah seorang
anggotanya.
"Sungguh-sungguh telah mencoreng
muka perserikatan Pendekar Sakti
tindakan Prahista. Kalau dibiarkan
begitu saja, maka makin buruklah nama
perserikatan. Bukan saja golongan
sesat yang memang membenci
perserikatan ini, juga mungkin
golongan lurus akan bereaksi pula.
Kalau sampai perserikatan jatuh ke
tangan Prahista, tidak mungkin tidak
perserikatan akan berubah haluan. Dari
aliran lurus menjadi aliran sesat.
Apapun yang terjadi, aku harus menang-
kap Parahista."
Tengah ketua perserikatan terdiam
meiarnun, tiba-tiba ia tersentak kaget
kala sebatang tombak hampir saja
merenggut nyawanya.
"Bedebah! Siapa yang berbuat
lancang!" Dengan segera ketua
perserikatan pun berkelebat mengejar.
Namun sesampainya di luar tak
didapatinya seorang pun. Maka dengan
geram, iapun kembali masuk ke
tempatnya.
Diambilnya batangan tombak yang
menancap tepat di sisi kiri atas kursi
yang tadi didudukinya. Lalu dengan
segera, diambil dan dibacanya kertas
yang melekat di batangan tombak itu.
"Tetua Perserikatan Pendekar
sakti. Kalau kau ingin selamat dari
kematian, maka aku sarankan agar kau
mau menyerahkan kekuasaanmu padaku.
Aku tunggu jawabanmu dalam dua pekan
ini. Bila kau menolaknya, maka akupun
tak akan segan-segan untuk membunuhmu
dan menghancurkan perserikatan yang
kau pimpin. Camkan itu!"
Geram hati ketua perserikatan
Pendekar Sakti. Maka dengan penuh
kemarahan, diremasnya surat itu hingga
luluh. Hal itu membuat seorang gadis
yang memperhatikannya segera bertanya
ingin tahu.
"Ada apakah, ayah?"
Sesaat ketua Perserikatan
Pendekar Sakti terdiam, tak menjawab
pertanyaan anaknya.
Wajah ketua Perserikatan Pendekar
Sakti membara merah penuh amarah
hingga makin membuat sang anak sangat
ingin tahu saja dan bertanya lagi.
"Ayah, apakah ayah marah pada
Priyanti?"
"Tidak, anakku! Ayah tak marah
pada Priyanti. Ayah baru saja menerima
surat ini," kata ketua Perserikatan
Pendekar Sakti sambil menyerahkan
surat yang lusuh itu pada anaknya yang
segera membacanya.
Terbelalak mata Priyanti setelah
membaca isi surat itu. Lalu dengan
segera Priyanti pun bertanya lagi pada
ayahnya.
"Apakah ayah takut?"
"Tidak!" jawab ketua Perserikatan
Pendekar Sakti pendek
"Kalau tidak, kenapa ayah mesti
bimbang? Apakah ayah tahu siapa yang
telah mengirim surat ini?" tanya
kembali Priyanti setelah mendengar
jawaban dari ayahnya.
Sesaat ketua Perserikatan
Pendekar Sakti menarik nafas panjang,
sebelum ia kembali berkata menjawab
pertanyaan anaknya.
"Ayah tidak bimbang, ataupun
takut. Ayah hanya sedang memikirkan
bagaimana cara yang terbaik untuk
mengatasi semua ini. Sedangkan orang
yang mengirim surat itu tak lain dari
anggota perserikatan sendiri."
"Siapakah itu, ayah?" kembali
Priyanti bertanya sepertinya ingin
membantu beban ayahnya. Hal itu
membuat ketua Perserikatan kembali
menghela nafas dan memandang sesaat
pada anaknya, sebelum akhirnya
menjawab pertanyaan anaknya.
"Orang itu adalah Ki Prahista,
yang berambisi menggantikan kedudukan
ayah dan sekaligus mengubah tata cara
serta garis yang telah ditentukan."
"Ah, kalau begitu tak boleh
dibiarkan. Salah-salah, tujuan
perserikatan akan berubah dari aliran
lurus menjadi aliran sesat. Kita harus
dapat mencegahnya, ayah! Walaupun kita
harus mengorbankan nyawa kita," kata
Priyanti mengomentari jawaban ayahnya.
Untuk sesaat lamanya, kedua anak
bapak itu terdiam tanpa kata. Keduanya
tampak seperti tengah berpikir sesuatu
hingga mereka sepertinya terlelap
hening.
Setelah lama terdiam, akhirnya
ketua Perserikatan Pendekar Sakti pun
berkata kembali: "Sudahlah, jangan
kita pikirkan. Yang penting kita
menunggu kedatangan anggota lainnya.
Seperti ki Danur Wendo, Ki Marta Pura,
Nyi Longkat Sakti, Ki Bulukumba, Ki
Bulu Sari, dan Nyi Keluwut. Sebab
mereka merupakan pelindung dan tokoh
yang disegani oleh anggota lainnya.
Apabila keenam tokoh itu telah datang,
maka baru kita bicarakan lagi.
Sekarang kau pergilah ke tempat ibumu
yang mungkin telah menyiapkan makan
siang. Bantulah ibumu."
"Baik, ayah. Priyanti akan segera
membantu ibu," kata Priyanti yang
segera pergi meninggalkan ayahnya dan
memandang kepergiannya dengan
pandangan bangga. Lalu dengan segera,
ketua Perserikatan Pendekar Sakti pun
segera berlalu meninggalkan ruang
pertemuan menuju ke dalam rumahnya.
* * *
Di tempat lain, tampak seorang
lelaki tengah duduk di hadapan anak
buahnya. Lelaki itu yang tak lain Ki
Prahista adanya tersenyum senang, demi
mendengar laporan dari anak buahnya.
"Bagus! Kau telah menjalankan
tugasnya dengan baik hingga ketua
Perserikatan tak akan menyangka kalau
aku yang mengirim surat itu. Nanti
kalau aku berhasil mejadi ketua
Perserikatan Pendekar Sakti, maka
kalian akan menjadi orang-orang kaya
seketika, Ha.. ha... ha...!" kata Ki
Prahista sembari tertawa-tawa,
mengkhayalkan apa yang bakal terjadi.
"Benar, Tetua! Tetualah yang
pantas menduduki jabatan itu. Di
samping Tetua sakti, juga cerdas dan
berwibawa. Tidak seperti Tetua
Perserikatan Pendekar Sakti sekarang
yang bodoh dan pengecut. Bukan begitu,
Tetua?"
Makin bertambah tinggi hati saja
Prahista mendengar sanjungan yang
diucapakan oleh anak buahnya. Maka
dengan bergelak tawa, ia pun kembali
berkata:
"Benar katamu, Dursan! Memang
akulah yang pantas menduduki tampuk
kekuasaan sebagai ketua Perserikatan
Pendekar Sakti. Tidak seperti Danu
Reksa yang pengecut dan bodoh! Ha...
ha...!"
Mendengar ketuanya tertawa,
seketika semua anak buah Prahista pun
turut bergelak tawa, hingga dalam
sekejap ruangan balai itu pun gegap-
gempita oleh gelak tawa mereka.
LIMA
Perjalanan dari wilayah Kidul ke
wilayah Lor cukup jauh. Hingga
memerlukan beberapa hari untuk
menempuhnya bila memakai kuda dan
memerlukan waktu satu setengah bulan
untuk menempuhnya bila berjalan kaki.
Dari kejauhan, tampak dua orang
tua memacu kudanya dengan cepat
sepertinya mereka tengah memburu
waktu. Hingga saking cepatnya langkah
lari sang kuda menjadikan bagai angin
saja.
Kedua orang itu yang ternyata Ki
Rengkut dan Ki Waspati terus menyais
kuda-kudanya menuruni lereng gunung
dan menyeberangi sungai-sungai.
Sudah tiga hari keduanya menempuh
perjalanan dalam usahanya menemui enam
tokoh persilatan sesepuh Perserikatan
Pendekar Sakti.
Tiga hari mereka menempuh
perjalanan dari lereng gunung Slamet
hingga sampai di Kadipaten Brebes.
Bagaikan tak mengenal lelah, keduanya
terus memacu kudanya.
Ketika hari menjelang sore, kedua
orang itu sampai ke tujuannya masing-
masing. Satu menuju ke arah Selatan,
satunya lagi terus berjalan lurus.
Ki Rengkut segera menuju ke
kediaman Ki Bulukumba yang tak jauh
dari tempatnya. Dengan menuntun
kudanya, Ki Rengkut pun berjalan ke
Utara. Kira-kira lima ratus tombak, Ki
Rengkut segera menemukan rumah Ki
Bulukumba.
"Sampurasun...!" sapa Ki Rengkut
setelah menambatkan tali kudanya pada
sebatang pohon jambu yang tumbuh di
halaman rumah Ki Bulukumba.
"Rampes...!" terdengar jawaban
dari dalam rumah, suara seorang lelaki
tua. Tak lama Ki Rengkut menunggu,
seorang lelaki tua nampak keluar dari
gubuknya memandang lekat pada Ki
Rengkut dengan mata menyipit.
"Siapakah engkau, Ki Sanak?" tanya
lelaki tua itu sepertinya lupa-lupa
ingat pada orang yang berdiri menjura
di hadapannya.
"Hamba Rengkut, Ki Ageng!" jawab
Ki Rengkut seraya menjura hormat.
Terkekeh orang tua renta itu,
demi mendengar nama orang di
hadapannya. Maka dengan segera, orang
tua renta itupun mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Rengkut? Ya, ya, aku ingat!
Bukankah kau salah seorang anggota
Perserikatan Pendekar Sakti yang
diketuai oleh si Danu Reksa?" tanya
orang tua renta itu setelah mengetahui
siapa yang kini berdiri di hadapannya.
"Benar, Ki Ageng. Memang hamba
Rengkut anggota Perserikatan Pendekar
Sakti," Jawab Ki Rengkut hormat.
"Ada apakah hingga jauh-jauh kau
datang ke mari?"
Ki Rengkut sesaat terdiam,
mengatur napasnya yang memburu karena
capai telah menempuh perjalanan jauh.
Lalu dengan perlahan Ki Rengkutpun
menceritakan apa yang tengah terjadi
di Perserikatan Pendekar Sakti.
Ki Bulukumba manggut-manggut
mendengarkannya sepertinya mengerti
akan apa yang dialami oleh
Perserikatan Pendekar Sakti. Maka
dengar masih manggut-manggut, Ki
Bulukumbapun berkata:
"Jadi Perserikatan Pendekar
Sakti, kini tengah mengalami kesulitan
oleh tingkah seorang anggotanya?"
"Benar, Ki Ageng!"
"Siapa nama orang itu, Rengkut?"
tanya kembali Ki Bulukumba, setelah
mendengar jawaban Rengkut. Mata lelaki
tua renta itu nampak berapi-api,
sepertinya turut kesal pada orang yang
telah membuat masalah di Perserikatan
Pendekar Sakti.
"Orang itu, Ki Prahista adanya."
"Prahista! Kalau tidak salah
ingat, apakah dia yang pernah membuat
kerusuhan di Perguruan Sangga Langit?"
"Benar, Ki Ageng. Memang dialah
yang dimaksud," jawab Ki Rengkut yang
menjadikan Ki Bulukumba kembali
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lalu apa yang menjadi pesan
pemimpinmu?"
"Hamba disuruh memberikan kabar
sekaligus mengundang Ki Ageng untuk
datang ke sana. Begitu pula dengan Ki
Bulu Sari dan Nyi Keluwut yang akan
segera hamba kabari." Ki Rengkut
menjelaskan apa yang telah diperintah
ketuanya pada Ki Bulukumba yang untuk
kesekian kalinya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Baiklah, Rengkut. Aku akan
segera ke sana," kata Ki Bulukumba
yang menjadikan Ki Rengkut hatinya
senang. Maka dengan menjura hormat,
akhirnya Ki Rengkutpun mengucapkan
terima kasih sebelum pergi
meninggalkan Ki Bulukumba untuk
menemui Ki Bulu Sari dan Nyi Keluwut.
Dengan diiringi padangan Ki
Bulukumba yang mengantarnya ke jalan
setapak, Ki Rengkut pun segera menyais
kudanya yang melaju dengan cepatnya
meninggalkan Ki Bulukumba untuk
menemui Ki Bulusari dan Nyi Keluwut.
* * *
"Hiat...!" terdengar suara orang
berteriak-teriak, memecahkan kesunyian
pagi buta itu. Seorang pemuda yang
dikelilingi oleh empat orang tua,
tengah berjumpalitan di atas batu
kali. Tubuh pemuda itu melenting
tinggi dan hinggap kembali tepat di
atas batu kali yang runcing dan licin.
"Sekarang kau harus mampu
menghantam pohon asam di seberang kali
ini dengan tubuh terbalik setelah
bersalto. Lakukan!" kata salah seorang
gurunya memerintahkan pada pemuda itu
yang ternyata Jaka adanya.
Demi mendengar perintah gurunya,
Ki Darsa, maka dengan segera Jakapun
kembali melentingkan tubuhnya ke
angkasa. Dan ketika tubuhnya hendak
turun kembali, secepat itu pula Jaka
menghantamkan pukulan jarak jauhnya
pada pohon asam besar yang berada di
seberang sungai.
"Bledek Sewu! Hiat...!"
Bersamaan dengan habisnya suara
Jaka, seketika terdengar ledakan yang
disertai dengan hancurnya pohon asam.
"Duar! Dum!"
"Bagus, bagus!" berseru girang
keempat gurunya kala melihat hasil
yang telah dicapai oleh muridnya.
Sementara itu, Jaka tampak berdiri
tegak di atas batu itu kembali.
"Bagaimana, Guru? Apakah masih
kurang cukup?" tanya Jaka pada keempat
gurunya yang menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Sudah cukup, Jaka. Tak sia-sia
kami tiap hari menggemblengmu. Kini
hasilnya telah dapat diketahui," kata
Ki Bayong dengan senyum kegembiraan
yang terurai di bibirnya.
"Benar, Jaka. Kami merasa
bergembira, karena kalau tak ada kamu
yang kami temukan di kawah Chandra
Bilawa, sudah pasti kami akan saling
mengadu kesaktian untuk mengetahui
siapa di antara kami yang paling
sakti. Namun rupanya Yang Maha Kuasa
berkenan menyelamatkan kami yang saat
itu juga sepakat mengangkatmu sebagai
murid. Waktu itu, kami melihat
kelainan di tubuhmu," kata Ni Rukmini
menambahkan membuat Jaka seketika ber-
tanya.
"Kelainan apakah yang dimaksud Ni
guru?"
"Kau bisa mengetahuinya sendiri."
Jawaban Ni Rukmini yang tidak
terbuka menjadikan Jaka segera
mengerutkan keningnya tak mengerti dan
kembali bertanya.
"Wah, sejak kapan Ni guru
mengajarkan padaku merahasiakan
sesuatu?"
Terkekeh ketiga guru Jaka lainnya
demi mendengar ucapan Jaka, sementara
Ni Rukmini seketika tersentak dan
melototkan matanya, kesal melihat
tingkah muridnya yang ndableg. Maka
dengan mendengus yang membuat Jaka
tersenyum, Ni Rukmini pun berkata:
"Dasar, Ndableg! Berani kau
menggurui gurumu?"
"Wah, siapa yang berani
menggurui. Aku kan cuma bilang, sejak
kapan Ni Guru mengajari aku rahasia?
Apakah itu salah, Ki Guru Barwa?"
"Benar ucapanmu, Jaka. Memang
sepantasnyalah, kalau murid akan
menanyakan pelajaran yang belum ia
ketahui. Contohnya Jaka, ia pun berhak
menanyakan pada gurunya, akan apa yang
sekiranya belum pernah diajarkan
padanya."
Merasa dibela, maka Jakapun makin
konyol saja, hingga membuat Ni
Rukimini mau tak mau harus mengalah
dan menerangkan apa yang tadi ia raha-
siakan.
"Baiklah! Percuma saja aku
meladeni kendableganmu yang hanya
membuat aku marah. Dengar baik-baik!
Keanehan pada dirimu terletak pada
tingkahmu yang ndableg dan kurang asem
itu!"
Tertawalah Jaka seenaknya, demi
mendengar penuturan Ni gurunya. Hingga
karena kencangnya tertawa menjadikan
daun-duan pepohonanan di sekitarnya
seketika runtuh berguguran.
Terperanjat kaget keempat gurunya yang
tak menyangka ilmu tenaga dalam
muridnya telah mencapai puncak yang
sempurna, bahkan mungkin melebihi
mereka.
"Weh, weh, weh. Dasar, Ndableg!
Apakah kau tak berpikir, kalau tawamu
yang jelek itu merusak lingkungan,
sekaligus dapat menghancurkan gendang
telinga orang yang mendengarnya?" kata
Ki Darsa setelah hilang
keterkejutannya demi melihat kemajuan
yang dicapai muridnya.
Dengan segera, Jakapun
menghentikan gelak tawanya.
"Dasar, Ndableg! Ayo kita pulang!
Kalau di sini terus, jangan-jangan
makin kerasukan setan hingga bakal
bertambah ndablegnya," Ki Bayong
segera mengajak Jaka pulang yang
segera dituruti Jaka dan ketiga
gurunya yang lain.
"Wah, aku kan belum mandi, Ki?"
kata Jaka beralasan agar supaya dapat
meneruskan latihannya di sungai itu.
Namun tanpa kenal ampun Ki Bayong tak
mau tahu. Maka dengan menggerutu yang
menjadikan keempat gurunya geleng
kepala, Jakapun akhirnya menuruti
mereka pulang.
* * *
Di kediaman Danu Reksa, tampak
enam orang tua renta tengah duduk di
hadapan Danu Reksa sendiri. Saat itu
keenam orang tua yang tak lain Ki
Bulukumba, Ki Bulu Sari, Nyi Keluwut,
dan tiga orang lainnya tengah diundang
Danu Reksa guna diminta sarannya
sehubungan dengan tingkah salah
seorang anggota perserikatan yang
bernama Ki Prahista.
"Bagaimana, menurut pendapat Ki
Ageng dan Nyi Ageng?" tanya Danu Reksa
meminta saran pada para sesepuh itu.
Sesaat keenam orang tua itu
terdiam hingga akhirnya Ki Bulukumba
berkata mewakili kelima temannya:
"Menurut hematku, lebih baik orang
yang bersangkutan dipanggil!"
"Benar, apa yang dikatakan Ki
Bulukumba," menambahkan Nyi Keluwut,
menjadikan Danu Reksa mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Baiklah kalau menurut Ki Ageng
dan Nyi Ageng begitu, maka kami akan
segera memanggilnya. Ki Sampar Angin,
panggil segera Ki Prahista untuk
datang ke mari!"
Mendengar perintah pemimpinnya
maka dengan terlebih dahulu menjura,
Ki Sampar Angin segera pergi untuk
memanggil Ki Prahista.
Sepeninggalnya Ki Sampar Angin,
kembali merekapun terlibat pembicaraan
yang tampaknya sangat serius hingga
tak ada gelak tawa. Yang ada hanya
muka-muka kelam mengukir wajah mereka.
Tak berapa lama antaranya, tampak
Ki Sampar Angin telah kembali diikuti
oleh Ki Prahista yang tampak agak
terkejut melihat kehadiran keenam
tokoh utama persilatan. Maka dengan
menjura hormat pada Ki Danu Reksa, Ki
Prahistapun memberi salam pada keenam
tokoh persilatan yang sangat kondang
dan disegani itu.
"Duduklah, Prahista. Kami ingin
bicara denganmu," kata Ki Bulukumba,
selaku orang yang paling tertua di
antara kelima tokoh lainnya yang ada
di situ.
Dengan tanpa banyak kata, Ki
Prahista pun segera mengambil duduk di
antara merexa. Lalu dengan nada
menghormat, Ki Prahista bertanya
sepertinya ia tak mengetahui
sesungguhnya pada kedatangan keenam
tokoh Perserikatan Pendekar Sakti.
"Ki Ageng, ada apakah gerangan
hingga Ki Ageng memanggilku?"
Ki Bulukumba tampak mengangguk-
anggukkan kepala sembari memandang
pada Prahista, sebelum akhirnya
menjawab pertanyaan yang dilontarkan
Prahista.
"Prahista, aku mendengar desas
desus bahwa kau berupaya memisahkan
diri dari perserikatan. Apakah desas
desus itu benar?"
Mendengar pertanyaan yang
dilontarkan Ki Bulukumba, seketika
Prahista terlonjak kaget. Hampir saja
ia berdiri dari duduknya kalau ia tak
segera ingat dengan siapa ia kini
berhadapan.
"Kenapa, Prahista? Sepertinya kau
terkejut," tanya Ki Bulukumba kembali
melihat keterkejutan Ki Prahista.
"Maaf, Ki Ageng. Keterkejutan
saya karena saya sungguh tak menyangka
kalau akan diberi pertanyaan seperti
itu. Kalau benar saya hendak keluar
dari perserikatan, untuk apa setiap
bulan saya selalu menyokong dana
perserikatan?" jawab Ki Prahista
mengelak membuat Ki Bulukumba
mengangguk-anggukkan kepala. Lalu
setelah terdiam sesaat, Ki Bulukumba
pun kembali berkata:
"Lalu, mengapa tindakanmu
sepertinya menyimpang dari garis yang
telah ditetapkan oleh perserikatan?"
Untuk yang kedua kalinya Ki
Prahista tersentak, demi mendengar
ucapan Ki Bulukumba yang sepertinya
telah mengetahui segala-galanya.
Walaupun di bibirnya terurai senyum,
namun di hati Ki Prahista membatin
sengit
"Hem, aku rasa Ki Waspati telah
menceritakan semuanya pada orang tua
ini. Awas Ki Waspati! Kalau nanti
sampai masanya, tak akan kubiarkan kau
hidup!"
"Kenapa, Ki Prahista?" ulang Ki
Bulukumba bertanya demi tak ada
jawaban dari Ki Prahista. Tersentak Ki
Prahista, lalu dengan tergagap iapun
berkata:
"Maaf, Ki Ageng. Aku rasa
tindakanku selama ini tidak
bertentangan dengan perserikatan,
karena menyangkut hak perseorangan.
Kalau menurut penglihatan tindakan
saya salah, maka orang yang melihat
itulah yang tak mengerti hak pribadi."
"Baiklah, kalau itu yang kau
inginkan. Namun kami tak menghendaki
adanya kerusuhan di perserikatan hanya
karena masalah ini. Kau tentunya
mengerti, Ki Prahista!"
"Saya mengerti, Ki Ageng."
"Bagus! Untuk kali ini aku rasa
aku dapat mengerti tindakanmu.
Sekarang, siapakah yang telah
mengirimkan tombak dengan surat ini?"
Diambilnya tombak dan surat yang ada
di samping dirinya yang segera
ditunjukkan pada Ki Prahista yang
tersentak kaget.
"Apakah kau mau mengelak lagi, Ki
Prahista?" tanya Ki Bulukumba kembali
yang menjadikan merah padam muka Ki
Prahista. Maka dengan segera, Ki
Prahista tanpa dapat dicegah
berkelebat pergi meninggalkan
pertemuan itu. Hal itu menjadikan
dugaan mereka makin kuat. Maka dengan
segera, semua yang hadir di situ
mengejar Ki Prahista.
"Kejar sampai dapat! Tangkap
hidup atau mati!" sera tetua
Perserikatan Pendekar Sakti yang
segera dilaksanakan oleh anggota yang
lainnya.
Kini terbuka sudah siapa yang
telah bermaksud memberontak pada
Perserikatan Pendekar Sakti dan ingin
mengadakan kudeta untuk menggulingkan
pemimpin perserikatan.
Prahista terus berlari, dikejar
oleh kedua orang anggota perserikatan.
Kejar mengejar itupun terus
berlangsung hingga sampai Ki Prahista
menghilang di balik semak-semak.
"Sungguh sangat berbahaya orang
itu kalau sampai tak tertangkap!
Apalah jadinya perserikatan. Ayo, kita
kejar!" kata Ki Sapu Angin pada Ki
Waspati yang hanya mengangguk
membenarkan. Maka dengan segera kedua
orang itupun terus berlari mem-buru Ki
Prahista yang telah lenyap entah ke
mana.
Di lereng gunung Slamet, tepatnya
di sebuah dataran yang agak rata,
tampak lima orang guru dan murid
tengah bercakap-cakap. Kelima guru dan
murid itu, tak lain Jaka dan keempat
gurunya.
Hari itu, keempat gurunya
bermaksud menurunkan ilmu pamungkas
mereka pada Jaka. Kelimanya tengah
duduk bersila dan Jaka duduk di
tengah-tengah.
"Jaka, sudah setahun lebih kau
bersama kami. Segala ilmu kanuragan
dan ilmu kedigjayaan yang telah kami
turunkan padamu hingga semuanya telah
kau kuasai. Hari ini, adalah hari
terakhir kau bersama kami. Untuk itu,
kami bermaksud menurunkan ajian-ajian
pamungkas yang ada pada diri kami.
Ajian pamungkas ini sangatlah
berbahaya jikalau dipergunakan untuk
hal-hal yang jahat. Maka dari itu,
kami mohon kau melakukannya di jalan
kebaikan. Kau sanggup?" tanya Ki
Bayong mewakili ketiga adik
seperguruannya yang mengangguk-
anggukkan kepalanya membenarkan.
"Akan saya ingat dan kerjakan apa
yang menjadi petuah guru," jawab Jaka
membuat keempat gurunya itu tersenyum
senang.
"Kalau begitu, bersiaplah kau
untuk menerima ajian pamungkas yang
akan segera kami berikan!" Setelah
berkata begitu, Ki Bayong segera
memimpin ketiga adik seperguruannya
mengheningkan cipta untuk menenangkan
seluruh pikirannya.
"Kau sudah siap, Jaka?" tanya Ki
Bayong kembali setelah sesaat terdiam
mengheningkan cipta.
"Sudah, Ki Guru!" jawab Jaka
sembari mengatur jalan pernapasannya
agar mudah dalam penyaluran tenaga
yang akan dilakukan guru-gurunya pada
tubuhnya.
"Pejamkan matamu, atur napasmu
dan pusatkan pikiranmu!"
jaka segera menuruti apa yang
dikatakan Ki Bayong. Ia segera
memejamkan matanya serta memusatkan
pikirannya.
Dengan bersama-sama, keempat
orang tua yang menjadi guru Jaka
segera menempelakkan telapak tangannya
dari empat penjuru angin. Dari telapak
tangan mereka, mengepul asap putih
yang disertai sinar yang berwarna-
warni masuk ke tubuh Jaka. Keringat
keempat orang tua itu tampak
berjatuhan membasahi seluruh tubuh
mereka.
Tak luput juga Jaka yang menerima
penyaluran tenaga dalam yang disertai
ajian pamungkas dari keempat guru,
nampak keringat membanjiri tubuhnya.
"Ajian Gatih Sakti!"
"Ajian Tapak Prahara!"
"Ajian Bledek Sewu!"
"Ajian Kalimu Sada!"
Berturut-turut keempat guru Jaka
dari yang paling muda hingga Ki
Bayong, mengalirkan ajian-ajian yang
dimiliki mereka pada tubuh Jaka.
Tak berapa lama antaranya,
keempat guru itu terpelanting ke
belakang, pingsan. Sesaat Jaka
mengatur jalan darahnya sebelum
akhirnya ia segera menghampiri tubuh-
tubuh gurunya yang pingsan.
"Kasihan mereka, karena sangat
sayang padaku, mereka sampai menderita
begini rupa. Ah, betapa besar
pengorbanan keempat guruku. Dengan apa
kelak akan kubayar?"
Dengan segera, Jala berlari
menuju ke gubug di mana mereka
tinggal. Ditemuinya Ratih yang tengah
memasak nasi, yang tersentak kaget
melihat kedatangan Jaka.
"Ada apa, Kakang Jaka?" tanyanya
seketika, demi melihat Jaka mencari-
cari sesuatu.
"Aku mencari air," jawab Jaka
singkat sembari mencari-cari kendi
tempat air. Mengerut kening Ratih
melihat Jaka yang tampaknya tak
sabaran, lalu dengan membantu mencari,
Ratihpun bertanya:
"Kakang, haus?"
"Tidak, Ratih. Aku mencari air
untuk guru, di manakah air?"
"Ini, Kakang!" seru Ratih sembari
menunjukkan tempat air yang segera
diambil Jaka. Dengan tanpa bicara
lagi, Jaka pun segera berlari menuju
ke tepi sungai di mana keempat gurunya
pingsan.
Terkejut Jaka saat itu kala
melihat keempat gurunya telah terduduk
bengong. Keempat guru itu bengong
karena mencari-cari Jaka yang
menghilang. Mereka menganggap ada
orang yang telah menculik Jaka kala
mereka pingsan.
"Dari mana kau, Jaka?" tanya K
Darsa sembari menggelengkan kepala,
demi melihat Jaka datang dengan
membawa kendi.
"Aku mengambil air untuk guru
sekalian," jawab Jaka tenang hingga
membuat keempat gurunya kembali
bengong. Mereka tak menyangka kalau
Jaka begitu tahan menerima empat ajian
sekaligus. Kalau orang lain niscaya
akan pingsan lama, tapi bocah ndableg
ini nampaknya tak mengalami apa-apa.
"Weh, weh, weh. Baru kali ini aku
melihat bocah ndableg yang mempunyai
daya tahan tubuh yang tinggi. Weh,
weh, weh. Sungguh luar biasa! Kalau
orang lain akan pingsan beberapa hari,
tapi si Ndableg tak apa-apa!" gumam Ni
Rukmini dengan hati bangga.
"Benar katamu, Nini. Bocah ini
memang luar biasa daya tahan tubuhnya.
Jaka! Untuk apa kendi itu?" tanya Ki
Barwa yang dijawab dengan senyum-
senyum oleh Jaka
"Kan guru sekalian pingsan. Jadi
saya bermaksud menyiram muka guru agar
guru sadar."
Tersentak kaget keempat gurunya
hingga mata mereka melotot demi
mendengar penuturan murid-nya. Dengan
geleng-geleng kepala, Ki Darsa kembali
berkata:
"Dasar, Ndableg! Bukan begitu
caranya menolong orang pingsan, Jaka.
Wah, wah, wah. Kalau benar-benar kau
lakukan, sungguh kurang ajar!"
Jaka tersenyum-senyum mendengar
ucapan gurunya, yang membuat sang guru
Ki Darsa hanya mampu geleng kepala.
Kemudian, Ki Darsa pun kembali
berkata: "Duduklah, Jaka. Kami ingin
bicara denganmu."
Dengan menurut, Jaka pun segera
duduk bersila di hadapan keempat
gurunya yang menghadap ke arahnya.
Sesaat kelima guru dan murid itu
terdiam, akhirnya Ki Bayong sebagai
orang yang tertua di antara mereka
berkata memecahkan keheningan.
"Jaka, semua ilmu yang kami
miliki telah seluruhnya kami turunkan
padamu. Hingga aku rasa, kau telah
pantas untuk mencari kabar ayahmu.
Kalau kau ingin menemukan musuh
ayahmu, maka kami menyarankan kau
pergilah ke arah Utara. Carilah olehmu
sebuah Perserikatan Pendekar Sakti,
tanyakanlah pada tetuanya di mana kau
dapat menemui Ki Prahista."
"Tapi, Guru?"
"Ada apa lagi, Jaka?" tanya Ki
Bayong, demi mendengar ucapan Jaka
yang memprotes. Dengan gaya orang
bloon dan bibir menyungging senyum
Jaka pun berkata nyeplos.
"Kalau Jaka pergi meninggalkan
guru sekalian, apakah guru sekalian
tidak sepi? Aku takut nantinya guru-
guru sekalian pada stress dan tegang
tanpa ada yang menghiburnya seperti
Jaka."
"Ndableg! Apa kau kira kau dapat
menyenangkan kami? Malah menjadikan
kami bingung dan tak mengerti akan
segala tingkahmu yang kadangkala
konyol dan aneh-aneh," kata Ki Bayong
sembari geleng kepala mendengar ucapan
muridnya.
"Ah, sudahlah. Yang penting kau
dapat mengamalkan semua ilmu yang kami
turunkan padamu, maka hal itu telah
membuat hati kami senang. Hari ini
juga, kau harus pergi meninggalkan
kami untuk mencari musuh ayahmu
sekaligus mencari keberadaan ayahmu,"
kata Ki Bayong melanjutkan.
Maka dengan terlebih dahulu
menjura hormat setelah kelimanya
kembali ke gubug, Jakapun segera
meminta pamit untuk melakukan
pengembaraannya guna mencari ayahnya.
"Hati-hati, dik Ratih. Guru-
guruku galak dan sadis!" kata Jaka
pada Ratih kata mengantarnya ke
halaman yang membuat keempat gurunya
melotot. Dengan tertawa bergelak-
gelak, Jakapun segera pergi
meninggalkan gubug yang telah setahun
lamanya dihuni.
"Hati-hati, kang Jaka! Jangan
sampai lupa dengan yang di sini,
Kakang!" seru Ratih kata Jaka telah
berlari sembari menjawab seruannya:
"Ya! Aku akan sering datang
menemui kalian, sebab aku senang
berkumpul dengan guru-guruku yang
aneh! Ha… ha... ha…!" Bergelak-gelak
tawa Jaka yang berlari meninggalkan
gubug itu membuat keempat gurunya
menggerutu sembari geteng-geleng
kepala.
"Dasar, Ndableg!"
Mata keempat guru itu berkaca-
kaca sepertinya berat untuk berpisah
dengan muridnya yang walaupun ndableg,
namun dapat menghibur hati mereka yang
telah tua.
Tak terasa, di pipi keempat orang
tua itu menetes air mata, seakan haru
bercampur sedih ditinggalkan muridnya.
Sementara Jaka tampak terus berlari
dan berlari dengan gelak tawa dan
nyanyi-nyanyi.
ENAM
Angin bertiup lembut ketika Jaka
berjalan menyusuri hutan sambil
bernyanyi-nyanyi menghibur diri
sendiri. Suaranya yang sengau
sepertinya membuat penghuni hutan itu
berterbangan ketakutan dan lari
tunggang langgang.
Kala ia tengah bernyanyi, tiba-
tiba ia dikejutkan oleh bentakan
seseosrang.
"Berhenti!"
Jaka segera menghentikan
langkahnya dan membalikkan tubuhnya
memandang pada orang-orang yang
berdiri di hadapannya. Mata Jaka
menyipit kala mengenali keenam orang
yang berdiri menghadap ke arahnya.
"Wah, wah, wah. Ada apakah
gerangan hingga kalian menghentikan
langkahku?" bertanya Jaka semberi
geleng-geleng kepala.
"Jangan berpura-pura tak tahu,
Anak edan! Di mana kau sembunyikan
calon istriku!" membentak Marsani
membuat Jaka tertawa bergelak-gelak.
Maka dengan kembali geleng-geleng
kepala, Jaka pun kembali berkata:
"Istrimu! Heh, sejak kapan kau
punya istri, Marsan?"
Menggeretuk gigi-gigi Marsan
mendengar ucapan Jaka yang nadanya
mengejek. Maka dengan penuh amarah
Marsan kembali membentak.
"Sompret! Di tanya malah balik
bertanya. Apakah kau kira kau dapat
selamat dari kami?!''
"Keselamatanku hanya Yang Kuasa
yang mengetahui, apa pedulimu?"
Geram keenam orang di hadapan
Jaka demi mendengar ucapan Jaka yang
meremehkannya. Maka dengan terlebih
dahulu mendengus, keenam orang itupun
segera berkelebat mengepung dan
menyerang Jaka.
"Tobat, Emak! Aku hendak
dikeroyok!" berseru Jaka, sepertinya
ketakutan dan berusaha menghindari
serangan keenam orang yang
mengeroyoknya. Gedeg juga keenamnya
melihat tingkah Jaka yang konyol dan
membuat kesal.
"Monyet! Walaupun kau berteriak-
berteriak sampai habis suaramu, tak
akan emakmu datang menolongmu!"
membentak salah saorang dari keenam
orang yang bergelar Lima Iblis Haus
Darah yang kesal melihat tingkah laku
Jaka.
"Waduh, Mak! Jaka mau dijitak!"
kembali Jaka berteriak-teriak, kala
seseorang pengeroyoknya hendak
membokongnya dari belakang. Lalu
dengan melentikkan tubuh ke angkasa,
seketika tangan Jaka telah menjitak
kepala orang yang bermaksud mem-
bokongnya.
Jitakan Jaka yang disertai tenaga
dalam menjadikan orang itu memekik
kesakitan sembari memegangi kepalanya.
Tertawa Jaka melihat orang itu yang
berputar-putar sembari menjerit-jerit.
"Ha... ha... ha...! Lucu, lucu.
Kau seperti monyek dikeroyok semut
rangrang, berputar-putar. Ha... ha...
ha...!"
Geram kelima orang lainnya
mendengar ucapan Jaka yang sepertinya
melihat kelucuan. Maka dengan segera
kelima orang yang lainnya berkelebat
menyerang Jaka.
"Ampun, Kek! Jaka hendak
digebug!" kembali Jaka berteriak kala
melihat kelima pengeroyoknya serentak
membabatkan golok mereka ke arahnya.
Dengan mengelak, Jaka pun
menghantamkan tangannya ke seorang
yang mengeroyoknya. Seketika orang
yang terkena gebukan tangan Jaka
berguling-guling dengan tubuh bagaikan
remuk tulang-tulangnya.
Terbelalak yang lainnya melihat
kedua temannya dapat dengan mudah
dipermainkan oleh Jaka. Namun karena
marah dan penasaran, keempat orang
lainnya pun segera menyerang kembali.
"Jangan berlagak kayak anak
kecil. Monyet!" membentak orang yang
paling tua di antara keenam orang itu
yang segera kembali menyerang Jaka.
"Tobat...! Jangak galak-galak,
Om!" berseru Jaka lagi, ketika orang
itu membentak dan menyerangnya dengan
membabi buta. Lalu dengan
berjumpalitan bagaikan main-main, Jaka
pun segera melancarkan serangan balik.
Dihantamkan tangannya ke arah muka
orang itu yang dengan seketika
tersentak dan bermaksud mengelaknya.
Namun tak urung, tangan Jaka lebih
cepat melaju menghantam telak muka
orang itu yang dengan seketika
menutupi mukanya dengan kedua
tangannya.
Orang itu berguling-guling
sembari menutupi mukanya yang terasa
sakit. Kembali Jaka tertawa bergelak-
gelak hingga tawanya seketika
memecahkan hutan itu.
Melihat ketiga orang saudaranya
terjatuh dengan tubuh mereka memar,
ketiga orang lainnya seketika
terbelalak. Maka tanpa malu-malu,
ketiga orang yang masih berdiri itupun
segera berlari meninggalkan Jaka yang
tak berkehendak mengejarnya.
"Wah, wah, wah. Macam-macam saja
ke hidupan. Ah, jadi tertunda juga
perjalananku gara-gara orang-orang
brengsek!" Maka dengan tak
memperdulikan ketiga orang yang
tergeletak Jaka segera pergi berlalu
untuk melanjutkan perjalanannya.
Kala Jaka tengah melangkah
menyusuri jalan menuju ke arah kawah
Chandra Bilawa. Tiba-tiba ia
dikejutkan oleh seorang yang
berkelebat melintasi dirinya.
Tersentak Jaka melihatnya, hingga
iapun hanya dapat terbengong-bengong.
Belum juga hilang kekagetannya,
kembali berkelebat dua orang lari di
sisinya searah dengan orang yang
pertama berlalu.
Ketiga orang itu menuju ke kawah
Chandra Bilawa.
Merasa penasaran, Jaka pun dengan
segera berlari mengejar ketiga orang
itu.
"Sepertinya, ketiga orang itu
tengah menuju ke kawah Chandra Bilawa.
Hem, mungkin ada sesuatu yang hendak
dikerjakan di sana," kata hati Jaka
dan dengan secepat angin berkelebat
mengejar ketiga orang itu.
Benar juga apa yang menjadi
dugaannya. Ketiga orang itu memang
menuju ke kawah Chandra Bilawa.
Terdengar dua orang yang di belakang
berseru.
"Ki Prahista, mau lari ke mana,
kau?"
Tersentak Jaka demi mendengar
orang itu menyebut nama orang yang
dikejarnya yang mengingatkan dirinya
pada orang yang tahu pasti keadaan
ayahnya. Maka dengan makin mempercepat
larinya, Jaka pun segera menyusul
ketiga orang di depannya.
Tersentak ketiga orang yang
tengah berlari kala ketika berkelebat
sesosok tubuh telah mendahuluinya dan
berdiri tegak membelakangi kawah
Chandra Bilawa.
"Siapa di antara Ki Sanak
sekaiian yang bernama Prahista?"
Tersenyum senang Prahista yang
mengira Jaka hendak membantunya. Maka
dengan segera Prahista pun berkata.
"Aku! Akulah Prahista!"
Mendengar pengakuan orang yang
berlari di depan kedua orang lainnya,
seketika Jaka tampak tersenyum. Lalu
dengan menjura terbalik yaitu kepala
menghadap ke kawah sedang pantat
menghadap ke Prahista, Jaka pun
berkata:
"Ki Prahista, terimalah salam
hormat saya yang tak ternilai
tingginya atas segala jasa yang Ki
Prahista berikan."
Terbelalak Ki Prahista demi
melihat tingkah laku pemuda di
hadapannya. Hatinya yang tadinya se-
nang, seketika geram demi melihat
perlakuan pemuda itu yang kurang ajar
memantatinya. Maka dengan menggeram,
Ki Prahista pun berkata membentak.
"Anak muda Sableng! Siapa namamu
hingga kau berani kurang ajar padaku?
Apa perlumu menghadangku?"
"Ladalah! Dihormati, eh, malah
marah-marah. Baiklah. Namaku Jaka
Ndableg, aku adalah anak Eka Bilawa.
Aku menghadangmu karena ingin
menanyakan perihal bapakku yang
menghilang tak tahu rimbanya sejak
bertempur melawanmu. Kau dengar?"
Terbelalak mata Ki Prahista
setelah tahu siapa gerangan pemuda di
hadapannya yang tak lain anak Eka
Bilawa. Hatinya seketika bergemuruh
beraduk antara rasa bersalah dan
kemarahan.
"Kenapa kau terdiam, Ki Prahista!
Di manakah ayahku?"
Tiba-tiba, Ki Prahista yang dari
tadi diam, tertawa bergelak-gelak dan
dengan sengaunya Ki Prahista pun
berkata:
"Anak Ndableg! Ketahuilah! Ayahmu
telah mati di kawah Chandra ini,
hingga kawah Chandra ini diberi nama
Chandra Bilawa. Kalau kau ingin tahu,
maka kusarankan kau terjun saja ke
kawah ini."
"Wah! Mana bisa aku terjun ke
kawah ini, kalau tidak diberi tahu
olehmu? Bagaimana, Ki Prahista? Apakah
kau mau membantuku mengantar ke dasar
kawah ini?" bertanya Jaka yang
mengakibatkan ketiga orang di
hadapannya terbelalak, terlebih-lebih
Ki Prahista yang merasa diejek. Maka
dengan terlebih dahulu membentak, Ki
Prahista pun segera menyerang Jaka.
"Bujur buset! Kau tak memandang
sebelah mata pun padaku. Maka
janganlah menyesal, bila aku nanti
telengas dan mengantarmu untuk
menyusul ayahmu!"
"Ampun, Om!" berteriak Jaka
ketika Ki Prahista menyerangnya. Hal
itu makin membuat dua orang yang
menonton tersenyum-senyum geli melihat
tingkahnya.
Kemarahan Ki Prahista tak dapat
dibendung lagi, hingga serangannya
begitu mengganas dan membabi buta.
Namun bagaikan tengah hermain-main,
Jaka menanggapinya sambil berteriak
kala Ki Prahista menyerangnya.
"Tolong, Emak!"
"Diam! Jangan kau panggil-panggil
emakmu," maki Ki Prahista penuh
amarah. Namun begitu, Jaka malah
bertambah konyol. Maka dengan segera,
Jaka pun berkata mengejek
"Ingat ya, pada emakku. Kalau
cintanya ditolak, kenapa kau membabi
buta hendak memperkosa emakku?"
Merah padam wajah Ki Prahista
mendengar ucapan Jaka yang telah
membuka kartunya di depan kedua orang
anggota Perserikatan Pendekar Sakti.
Maka untuk menghilangkan rasa malunya,
Ki Prahista pun segera membentak
sembari terus mencerca menyerang Jaka.
"Anak monyet! Siapa yang
mengatakannya padamu?!"
"Heh! Kau bilang aku anak monyet!
Kenapa dulu kau mengejar-ngejar
emakku, hingga kau hendak
memperkosanya karena ditolak cintamu?"
Ucapan Jaka terasa halilintar yang
menyengat telinga Ki Prahista, hingga
seketika tersentak melototkan mata.
"Nah, kau diam. Berarti kau
mengaku, bukan?"
Meledak amarah Ki Prahista
bagaikan bensin dibakar. Maka dengan
segala kemarahannya menjadikan Ki
Prahista menggeretak. Tersentak Jaka
dan kedua orang yang ada di situ, kala
melihat apa yang terjadi di
hadapannya.
Tubuh Ki Prahista yang tengah
dilanda kemarahan berubah menjadi
bersisik-sisik seperti ular. Namun
kenyataannya bukanlah sisik ular
melainkan sisik-sisik buaya. Mulutnya
yang tadinya pendek seketika berubah
perlahan-lahan menjadi moncong buaya.
"Ilmu Iblis! Rupanya Ki Prahista
telah bersekutu dengan siluman buaya.
Pantas! Kalau ayah yang kata emak
tokoh sakti dapat dikalahkannya. Hem,
akan aku lawan dengan ilmu-ilmu yang
diwariskan guru-guruku," membatin Jaka
melihat kejadian aneh yang ada di
hadapannya.
Tersentak Jaka sembari
menghindar, ketika tangan manusia
buaya itu berkelebat hendak
menghantamnya. Dengan terlebih dahulu
memekik, Jaka segera melancarkan
ajian-ajian yang diberikan guru-
gurunya.
Dari ajian Geledek Sewu sampai
ajian Jamus Kalima Sada dilancarkan
Jaka untuk menghantam buaya jejadian
itu. Namun semuanya bagaikan tak ada
artinya. Hingga karena tersentak, Jaka
tak dapat mengelakan hantaman ekor
buaya itu yang menghantam tubuhnya.
Maka tak ayal lagi, tubuh Jaka pun
terpental masuk ke kawah Chandra
Bilawa dengan suara lengkingannya yang
panjang.
Melihat pemuda yang mempunyai
ilmu tinggi saja kalah oleh Ki
Prahista, maka kedua orang itupun
dengan ketakutan segera berlari
meninggalkan buaya jejadian itu.
* * *
Tubuh Jaka terus melayang ke
dalam kawah yang mendidih yang siap
menjadikan tubuhnya menjadi bubur
blohok. Mata Jaka terpejam rapat-rapat
sepertinya pasrah pada apa yang akan
terjadi.
"Emak, aku sebentar lagi akan
menyusul bapak. Kasihan emak yang
sendirian." Tak dirasakannya air
matanya pun meleleh membasahi kedua
pipinya. Sempat pula Jaka berdo'a
memohon ampun pada Yang Maha Kuasa
sebelum tubuhnya dimakan lumpur panas
itu.
Tengah Jaka menyerah pasrah
dengan tubuh melayang, tiba-tiba
berkelebat sesosok tubuh dari dalam
kawah yang menjemputnya menangkap
tubuh Jaka dalam bopongannya.
Lama Jaka pingsan karena takut
dan ngeri. Ketika matanya terbuka
kembali, Jaka terbengong-bengong dan
bertanya pada diri sendiri.
"Di manakah aku? Apakah aku
tengah di surga? Ah, mana mungkin aku
yang ndableg ini masuk surga? Tapi,
menurut cerita emak, neraka bukanlah
seindah ini. Ah, mungkin emak
berbohong untuk menakut-nakuti aku
agar tidak ndableg."
Tengah Jaka terbengong-bengong,
tampak seorang lelaki yang wajahnya
mirip dengannya, datang menghampiri
hingga Jaka tersentak mundur sembari
bertanya:
"Siapakah kau? Kenapa wajahmu
sepertiku?"
Ditanya seperti itu oleh Jaka,
lelaki itu tersenyum dan terus
menghampiri Jaka yang terus menyurut
mundur ketakutan.
"Kenapa kau takut, Anakku?" tanya
lelaki yang berwajah seperti dia,
dengan menyebut anak membuat Jaka
mengerutkan keningnya tak mengerti dan
bertanya:
"Hai! Siapakah kau? Kenapa kau
menyebutku anak?"
Kembali lelaki itu bersenyum,
sebelum akhirnya berkata lagi:
"Aku dengar ketika kau berkelahi
dengan Prahista sebulan yang lalu, kau
menyebut-nyebut namaku sebagai
ayahmu."
"Ah, kau berdusta! Mana mungkin
ayahku masih hidup? Sedang ayahku
telah tercebur ke kawah Chandra Di
Muka. Kau mungkin siluman yang ingin
menggangguku atau mungkin kau
malaikat?"
Tertawa lelaki yang berdiri di
hadapan Jaka mendengar ucapannya yang
menganggap dirinya Siluman atau
Malaikat. Dengan menggelengkan ke-
palanya, lelaki yang wajahnya mirip
dengannya menghampiri sembari kembali
berbicara:
"Jaka, Anakku. Kalau kau tak
percaya padaku bahwa aku ini ayahmu,
baiklah, mari ikut aku! Akan aku
tunjukkan wajah ibumu di masa muda,
mari!"
Dengan penuh kasih, digandengnya
tangan Jaka yang menurut. Berdiri dan
mengikutinya walau dengan perasaan
takut. Keduanya segera menuju ke
sebuah ruangan yang terbuai dari batu
pualam yang memancarkan sinar
gemerlapan.
"Itu, ibumu!" Lelaki itu
menunjukkan lukisan yang terpahat di
batu marmer yang membuat Jaka
tersentak melihatnya. Lukisan itu
jelas wajah emaknya. Maka setelah
menatap sesaat pada wajah lelaki yang
berdiri di sisinya, Jaka dengan segera
bersimpun duduk sembari menyembah pada
lelaki itu.
"Ayah! Kenapa Ayah tak pernah
datang menjenguk? Tidakkah ayah
kasihan pada emak?"
Tak kuasa lelaki itu menahan air
matanya mendengar ratap tangis Jaka,
hingga air matanya pun seketika
meleleh membasahi kedua pipinya.
Dengan penuh kasih sayang, Eka Bilawa
segera membangunkan tubuh anaknya
berdiri.
"Bukan ayah tidak kasihan padamu,
Nak. Ayah juga sangat rindu pada
kalian. Tapi dunia ayah sangat lain
dengan duniamu dan emakmu. Kalau ayah
keluar dari kawah ini, maka ayah akan
mati dalam tiga jam."
"Kenapa begitu, Ayah?" bertanya
Jaka tak mengerti, mendengar ucapan
ayahnya yang dirasa aneh
kedengarannya. Mengapa ayahnya akan
mati bila menampakkan dirinya di dunia
bebas?
Dengan berurai air mata, Eka
Bilawa pun akhirnya menceritakan
mengapa dia tak dapat hidup di dunia
bebas.
"Kala aku bertempur dengan
Prahista, ayah telah meminta bantuan
pada siluman ular yang mau membantunya
dengan syarat ayah harus mau menjadi
suaminya. Karena didorong oleh
keinginan untuk dapat mengalahkan
Prahista, akhirnya ayahpun
menyanggupinya. Namun, ternyata
Prahista juga telah bersekongkol
mengabdi pada siluman buaya putih,
hingga ayah akhirnya terlempar ke
kawah ini oleh hantaman ekornya.
Beruntung Siluman Darah menolong ayah
hingga tubuh ayah tak hancur termakan
lumpur kawah ini. Sebagai balasannya,
maka ayah tak akan dapat hidup di
dunia luar karena darah ayah telah
diganti dengan darah siluman." Dengan
segera Eka Bilawa menggigit jari
tangannya hingga berdarah.
Tersentak Jaka seketika kala
melihat wama darah yang menetes dari
jari tangan ayahnya. Darah itu bukan
berwama merah seperti darah kebanyakan
orang, namun berwarnaa hitam legam
bagaikan tir.
"Itulah, Anakku. Kenapa ayah tak
dapat menemui kalian," berkata Eka
Bilawa setelah menunjukkan warna
darahnya pada Jaka.
"Kenapa ayah tidak membalas pada
Prahista?"
Mendengar pertanyaan anaknya yang
tiba-tiba, Eka Bilawa seketika
tertunduk dengan mata memandang ke
bawah kaklnya kosong. Laiu setelah
terdiam sesaat, Eka Bilawa pun segera
menerangkan pada anaknya.
"Sebenarnya ayah ingjn membalas.
Namun keadaan ayah tak akan dapat
melakukannya. Bukankah kau telah
mendengar tadi, kalau ayah tak akan
dapat hidup lama di dunia bebas?"
Tertunduk Jaka mendengar ucapan
ayahnya yang terasa menyimpan
kesedihan. Demi melihat anaknya
terdiam, maka Eka Bilawa pun kembali
berkata:
"Anakku, sebagai penggantiku maka
kaulah yang wajib menumpasnya Ayah
merasa takut kalau-kalau dunia akan
hancur bila siluman itu terus
dibiarkan hidup sebab ia tak lebihnya
iblis yang mempunyai ambisi besar
untuk merajai dunia persilatan."
"Tapi, ayah! Aku tak mampu
mengalahkannya. Telah kucurahkan dan
kukeluarkan semua ajian serta ilmu
yang aku miliki, hasilnya aku sendiri
yang kalah dan terjatuh ke kawah ini.
Sepertinya tubuh Ki Prahista tak
mempan dengan segala ajianku," berkata
Jaka yang diangguki oleh ayahnya.
"Jangan putus asa, anakku. Aku
akan memberimu sebuah pedang yang akan
datang ke tanganmu setelah kau
mengatakan "Dening Siluman Darah,
datanglah" Dan pedang itupun akan
hilang dengan sendirinya jika telah
kau pakai. Namun bila kau mengucapkan
kata-kata itu kembali, maka pedang
itupun akan datang kembali. Anakku,
ketahuilah, jika iblis itu mati maka
janganlah kau kaget bila ayah dan
ibumu akan mati pula."
"Mengapa begitu, ayah?" tanya
Jaka tak mengerti, demi mendengar
ucapan ayahnya.
Sesaat Eka Bilawa terdiam tak
segera menjawab pertanyaan anaknya.
Dipandanginya Jaka dengan penuh rasa
kasih sebelum ia kembali berkata: "Su-
dah menjadi suratan, anakku."
Mendengar itu, Jaka seketika
meneteskan air matanya kembali.
Sepertinya ada rasa berat untuk
melakukannya, demi rasa sayangnya pada
ayah dan emaknya. Maka dengan berurai
air mata, Jaka pun berkata:
"Lebih baik biarkan ia hidup
saja."
"Jaka! Jangan kau berkata itu.
Kalau kau memang seorang pendekar,
maka kau harus menumpasnya. Karena
bila tidak maka akan hancurlah dunia
ini."
"Tapi dari pada ayah dan emak
mati, apakah tidak lebih baik
dibiarkan saja ia hidup-hidup?" tanya
Jaka sembari masih berderai air mata.
"Tidak, anakku! Ayah dan emakmu
akan senang dan mati dengan tenang
bila kau mampu membinasakan iblis itu.
Ketahuilah, anakku. Walau ayah dan
ibumu hidup, namun kami selalu dalam
kekuasaannya hingga kami menderita.
Untuk itulah, anakku. Jika kau sayang
pada ayah dan emakmu, lakukanlah apa
yang Ayah pesankan. Hadapi iblis itu
dengan Pedang Siluman Darah," kata Eka
Bilawa menjadikan Jaka hanya
tertunduk.
"Nah, berangkatlah! Hadapilah
iblis itu dengan hati tenang dan
tabah. Sebutkan apa yang Ayah ajarkan
padamu, maka dalam seketika akan
tergenggam di tanganmu "Pedang Siluman
Darah."
"Baiklah, Ayah. Aku minta doa
restu Ayah," kata Jaka akhirnya hingga
membuat Eka Bilawa tersenyum senang.
Maka dengan diantar ayahnya, Jaka pun
dapat kembali ke dunia bebas dan
dengan segera, Jaka menuju ke
Perserikatan Pendekar Sakti.
TUJUH
Prahista yang mendendam pada
Perserikatan Pendekar Sakti segera
mengumpulkan teman-teman dan anak
buahnya untuk menggempur perserikatan
itu.
Di tempat yang telah ditentukan,
semuanya tampak telah berkumpul di
bawah pimpinan Ki Prahista yang tampak
berdiri dengan gagahnya di atas bukit.
"Teman-teman. Hari ini juga kita
akan menyerbu pusat Perserikatan
Pendekar Sakti. Kita akan menunjukkan
pada mereka bahwa kita bukan orang-
orang sembarangan. Apakah kalian telah
siap?"
"Siap...!" berseru yang hadir
semua berbareng membuat Ki Prahista
tersenyum senang, lalu katanya
kemudian:
"Kalau memang kalian telah siap.
Ayo sekarang kita berangkat. Kita
serbu perserikatan Pendekar!"
Bagaikan iring-iringan semut,
mereka berjalan menyusuri hutan menuju
lereng gunung Slamet sebelah Selatan
di mana Perserikatan Pendekar Sakti
bermarkas.
Bagaikan suara air bah, langkah-
langkah mereka menapak liar. Menginjak
rumput dan tumbuhan kecil yang
seketika itu mati.
* * *
Tersentak kaget anggota
Perserikatan Pendekar Sakti kala
melihat iring-iringan yang jumlahnya
ratusan itu. Maka dengan ketakutan
semua anggota perserikatan Pendekar
itupun segera melaporkan hal itu pada
ketuanya.
"Siapkan prajurit anggota! Kita
hadang mereka!” berseru ketua
perserikatan yang segera dijalankan
oleh anggotanya. Tak lama antaranya
terkumpullah pasukan tandingan yang
akan menghadang pasukan di bawah
pimpinan Ki Prahista.
"Prahista keparat! Jangan kira
akan semudah itu kau bermaksud
menggulingkan dan mengubah per-
serikatan. Ayo, kita hadang mereka
dengan semangat di hati kita masing-
masing demi kebenaran dan keadilan."
Mendengar ucapan ketua
perserikatan, seketika semangat
anggota yang jumlahnya hanya kira-kira
lima puluh orang itu bangkit. Maka
dengan segala keberanian, mereka pun
segera menghadang pasukan yang
dipimpin Ki Prahista.
Tanpa dapat dicegah, kedua
pasukan yang bertemu itupun seketika
terlibat dalam pertempuran. Masing-
masing berusaha menghalau dan
menjatuhkan lawan.
Korban demi korban berjatuhan di
pihak Ki Prahista. Namun demikian,
sepertinya tak ada rasa takut di hati
mereka. Dengan modal nekad anak buah
Ki Prahista yang banyak itu terus
merangsek menyerang pasukan
persekutuan.
"Danu Reksa, keluar kau!
Hadapilah aku!" berseru Ki Prahista
sembari tangan dan kakinya berkelebat
menghantam. Setiap hantaman tangan dan
kakinya menjadikan korban bagi pihak
persekutuan.
Kini semangat pihak persekutuan
agak menyusut, demi melihat Ki
Prahista telah turun ke arena. Hal itu
diketahui oleh anak buah Ki Prahista
yang dengan segera merangsek menye-
rang.
Danu Reksa yang melihat anak
buahnya terdesak segera berkelebat
menghadang sepak terjang Ki Prahista.
Maka kedua orang tokoh persilatan itu
kini berhadapan segelar sepapan.
"Rupanya memang kaulah orangnya,
Ki Prahista! Hem, tak kusangka! Kalau
dulu aku mengerti maksud burukmu maka
sudah dari dulu kau telah
kulenyapkan."
Tertawa tergelak-gelak Ki
Prahista mendengar ucapan Danu Reksa.
Maka dengan bertolak pinggang sembari
tertawa bergelak-gelak, Ki Prahista
pun berkata sombong:
"Danu Reksa, lebih baik kau
mengalah dan menyerahkan tampuk
kepemimpinan padaku. Percuma saja kau
hendak melawanku."
"Ciih! Sombong! Ayo kita
buktikan. Hiaat...!" Danu Reksa yang
sudah dibakar amarah dengan segera
berkelebat menyerang Ki Prahista yang
segera mengelaknya.
Tak ayal lagi, kedua tokoh
persilatan itu bertempur satu lawan
satu. Keduanya sama-sama gesit,
keduanya sama-sama sakti dan keduanya
sama-sama mendendam.
Di pihak lain, tampak pasukan
perserikatan yang terdiri dari orang-
orang persilatan dapat dengan mudah
mendesak pasukan Prahista. Korban
kembali berjatuhan di pihak Prahista
yang jumlahnya makin lama makin
menyusut.
Waiaupun demikian, semangat
mereka tampak tak runtuh walau jumlah
mereka semakin berkurang. Modal
kenekadan tak ada artinya bila tanpa
dilandasi oteh pemikiran dan
kepandaian silat.
Tengah kedua tokoh persilatan itu
bertarung, seorang pemuda tampak
berdiri di atas tembok menyaksikan
pertarungan itu. Ia tak berusaha untuk
membantu malah tampak tertawa-tawa
melihatnya.
Ketika melihat pemimpin
perserikatan terdesak, dengan segera
pemuda yang sedari tadi menonton
berkelebat menghantam tubuh Ki
Prahista yang terguling-guling terkena
tendangannya.
Belum juga Ki Prahista sadar, si
pemuda telah berdiri dan memandang ke
arahnya sembari menyapa hormat, "Apa
kabar Ki Prahista? Kita dipertemukan
lagi, bukan?"
Tersentak Ki Prahista dan ketua
perserikatan yang melihat kedatangan
pemuda itu. Ki Prahista yang telah
mengetahui siapa pemuda di depannya
bukan alang kepalang kagetnya. Betapa
tidak! Pemuda yang berdiri di
hadapannya telah terjatuh ke dalam
kawah Chandra Bilawa, mana mungkin dia
kini hidup lagi?
"Kau kaget melihat kedatanganku,
Ki Prahista?" tanya pemuda yang tak
lain Jaka adanya, demi melihat Ki
Prahista hanya terdiam bengong
memandangnya.
"Siapa kau, Anak Muda?"
"Ki Prahista, sebulan yang lalu
kita pernah bertemu di kawah Chandra
Bilawa. Dan dengan saat itu kau telah
mengalahkan aku, bukan? Lupakah kau
pada kejadian itu?" berkata Jaka yang
mengejutkan Prahista hingga tersurut
mundur dengan tergagap bicara.
"Kau... kau! Tentunya kau iblis!
Tak mungkin kau hidup lagi setelah
terjatuh ke dalam kawah Chandra
Bilawa."
"Ki Prahista, iblis atau manusia,
aku rasa sama saja. Yang penting aku
akan mengakhiri langkah iblismu yang
dapat menghancurkan dunia. Nah,
bersiaplah! Hiat…"
Prahista yang masih menganggap
enteng pemuda yang pernah
dikalahkannya segera memapaki serangan
Jaka. Tak ayal lagi, keduanyapun
segera terlibat perkelahian.
"Ki Prahista! Demi nyawa ayah dan
emakku juga demi nyawa keempat guruku
yang kau bunuh dengan keji kala aku di
kawah Chandra Bilawa maka bersiaplah
untuk mati!"
Amarah Jaka tak dapat dibendung
lagi hingga dengan membabi buta Jaka
terus menyerang Ki Prahista. Ajian-
ajian yang dimiliki diumbar untuk
menyerang Ki Prahista. Hingga orang
yang terkena ajian itu seketika
meregang nyawa.
Marah dan gusar Ki Prahista demi
menyaksikan anak buahnya menjadi
korban samberan ajian yang dilancarkan
Jaka. Maka dengan amarah yang meluap-
luap, Ki Prahista pun seketika berubah
ujud menjadi buaya
Tersentak ketua perserikatan
Pendekar Sakti melihat apa yang
terjadi di hadapan matanya. Karena
saking terkejutnya hingga tanpa sadar
ia pun memekik kaget. "Ilmu Iblis! Tak
kusangka kalau Prahista telah
bersekutu dengan Siluman Buaya Putih "
Jika yang telah tahu kehebatan
Siluman Buaya Putih di hadapannya,
dengan segera menyerangnya. Ajian
Bledek Sewu sampai ajian Kalimun Sada
dilancarkannya. Namun seperti yang
sudah-sudah, segala ajian itu tak
berarti apa-apa bagi Ki Prahista yang
telah berubah menjadi buaya putih.
"Edan! Kalau begini caranya aku
bisa mati kehabisan tenaga."
Ketika keputusasaan telah melanda
hatinya, seketika Jaka kembali
teringat pada ayahnya
"Akan aku coba dengan apa yang
dikatakan ayah. Semoga dengan pedang
Siluman Darah aku dapat
mengalahkannya. "Dening Dewi Ratu
Siluman Darah, datanglah!" Seketika di
tangan Jaka telah tergenggam sebuah
pedang yang bersinar memancarkan sinar
merah kekuning-kuningan.
Ki Prahista yang telah berubah
menjadi Buaya Putih, nampak tersentak
kaget demi melihat pedang di tangan
Jaka yang memancarkan sinar merah
kekuningan. Dari ujung pedang itu,
menetes darah merah membasahi batang
pedang.
Ketika Ki Prahista tengah
tersentak, dengan segera Jaka
berkelebat cepat. Ditebaskan pedang di
tangannya ke tubuh Ki Prahista yang
seketika itu menjerit. Tubuh Ki
Prahista seketika terbelah menjadi
dua, ambruk ke tanah.
* * *
Bersamaan dengan matinya Ki
Prahista, di kawah Chandra Bilawa
terjadi suatu keanehan. Kawah Chandra
Bilawa seketika meledak, menyemburkan
lahar panas ke angkasa.
Bebatuan yang ada di sekitar
kawah seketika runtuh dan menutupi
kawah Chandra Bilawa hingga rata
dengan tanah.
Seorang pemuda berlari-lari
dengan cepatnya menuju ke kawah
Chandra Bilawa yang meledak-ledak
bagaikan mengamuk. Pemuda itu yang tak
lain Jaka Ndableg. Menangis sembari
memandangi kawah Chandra Bilawa yang
telah rata dengan tanah.
"Ayah...! Kenapa ayah harus
begini? Betapa besar pengorbananmu,
ayah," Jaka menangis di depan bekas
kawah Chandra Bilawa. Kembali ia
teringat apa yang telah diucapkan oleh
ayahnya sebulan yang lalu.
Dari belakang para tokoh anggota
Perserikatan Pendekar Sakti datang
menghampiri. Mereka segera turut
bersimpuh, memanjatkan do'a untuk
penghuni kawah Chandra Bilawa
Pedang Siluman Darah lenyap dari
genggamannya. Pedang itu akan datang
sendiri bila Jaka menyebut "Dening
Ratu Siluman Darah, Datanglah!" Maka
tanpa dicari, Pedang Siluman Darah pun
akan datang sendiri dan telah berada
di genggamannya.
Matahari telah memerah, berarti
hari telah senja. Dengan langkah
gontai, Jaka meninggalkan kawah
Chandra Bilawa untuk meneruskan
pengembaraannya. Sepeninggal Jaka,
orang-orang perserikatan Pendekar
Sakti pun satu per satu pergi. Pergi
meninggalkan semua yang terjadi di
kawah Chandra Bilawa.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar