..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 24 November 2024

MANUSIA KERA

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 SATU


BRAMANDITA menyelesaikan ketikan

nya lalu mengoreksi sambil lalu. la tahu kalau 

itu adalah artikel terburuk yang dibuatnya satu 

minggu terakhir ini, tetapi tidak berbuat 

sesuatu untuk penerbitan esok pagi adalah 

lebih buruk lagi. Ia akan ditegur Pemimpin 

Redaksi dan bonus bulanannya besar 

kemungkinan dipotong. Dan, kalau terus-

terusan begini ada harapan Bramandita 

dilarang getting kemudian diserahi tugas 

mengedit berita-berita yang masuk dan 

merelai press-release. Retno mungkin 

bersukacita mendengarnya. Mereka dapat 

berbaikan kembali. Sialnya, semua rekan 

sekantor sudah tahu kalau Bramandita paling 

ogah ditempatkan sebagai redaktur. Sebabnya 

cuma satu; ia paling benci duduk seharian di 

belakang meja !

Tak banyak koreksian. Hanya satu dua 

huruf salah tik dan sebuah kalimat yang perlu 

direvisi. Bramandita beranjak dari mejanya. 

Enggan ia berjalan menuju meja Kepala 

Pelaksana Redaksi Malam dan menyerahkan


hasil pekerjaannya dengan wajah tak bersalah. 

Rujito yang usianya sepuluh tahun lebih tua 

dari Bramandita menerima naskah yang 

disodorkan anak buahnya itu, membaca sekilas 

lintas. Lalu apa yang ditunggu-tunggu 

Bramandita segera ia peroleh. Lipatan kulit 

dahi Rujito bertambah satu garis, kemudian 

dengan alis naik matanya menatap lurus ke 

mata anak buahnya yang lagi apes itu.

“Cuma ini hasilmu selama 24 jam, eh?!”

Rujito mulai mengomel.

Bramandita tertawa kaku. Dengan ibu 

jari dibengkokkan ke arah mesin tik di atas 

mejanya sendiri, ia menyeringai sambil 

berkata: “Tak lebih dari sepuluh menit…”

Rujito mengikuti arah ibu jari 

Bramandita. Memperhatikan kertas-kertas 

berserakan di atas meja, serta keranjang 

sampah yang sudah penuh sesak. Omelannya 

yang kedua muncul seketika: “… artikel dua 

setengah halaman… yang tak ada apa-apanya 

pula. Untuk itukah kau habiskan kertas 

sebanyak satu rim?”


“Alaaa... Cuma beberapa lembar kok. 

Perusahaan toh tidak akan rugi apabila...”

“Aku tidak membicarakan apakah 

kertas-kertas itu kau buang atau kau kunyah-

kunyah.” tukas Rujito sengit. “Aku membicara

kan hasil kerjamu...” naskah Bramandita 

dihempaskannya ke meja. “Artikel beginian 

bisa membuat surat-kabar kita bangkrut dalam 

tempo satu menit !”

“Secepat itu?” Bramandita pura-pura 

membelalak.

“Ngajak bercanda, ya?l” Rujito 

bergumam, tajam.

Dan Bramandita yang seharian sudah 

menekan perasaan karena Retno minggat lagi 

ke rumah orangtuanya dengan membawa si 

kecil Ratno, kini meledak, la tidak sudi lagi 

beramah tamah. la kini marah: “Lalu apa yang 

harus kuperbuat, bang Totok? Pergi menemui 

seorang pelacur? Memperkosanya, membeset 

isi perutnya, menjerumuskannya ke lubang 

kakus; dan bergegas kemari untuk membuat 

beritanya? Atau kau lebih suka aku mendatangi 

seorang Menteri yang korup, lalu karena kita


tidak bolah memberitakan tingkah lakunya, 

maka lebih baik kukencingi saja mukanya?!”

Rujito tersedak. Lalu, tiba-tiba mulutnya 

mengulas senyum. Seperti orang sakit gigi, ia

mendesah: “Eh. Kok jadi serius !” Bramandita 

terdiam. Mulai menyadari situasi, tetapi 

sebaliknya tidak sudi minta maaf. Karena itu ia 

biarkan Rujito yang mendinginkan voltase yang 

sudah terlanjur tinggi, sementara ia sendiri 

menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk 

mengisi rongga dada yang kering.

“Ucapan-ucapanmu tadi membuatku 

seram,” berkata Rujito, sambil melirik ke rekan-

rekan lain yang saat itu sama tertegun

menghentikan pekerjaan masing-masing 

karena tidak menduga mendadak terjadi 

perang besar tanpa pemberitahuan lebih dulu. 

Rujito melotot ke masing-masing mereka 

supaya meneruskan pekerjaan, lantas berkata 

lesu pada Bramandita: “Maafkan aku, Rama. 

Aku sendiri lagi sue. Tadi siang aku dipanggil 

pimpinan dan diberitahu oplah surat kabar kita 

belakangan ini jatuh merosot...” ia tersenyum, 

getir dan duduknya berubah gelisah. “Mereka 

sepertinya tak maklum, bahwa banyak bahan


yang dapat kita muat. Namun lebih banyak lagi 

off-de-record, himbauan tertulis atau per

telepon. Mereka memaksaku agar mengikuti 

arus koran-koran mingguan yang sedang 

menjamur itu. Buat lebih banyak berita sensasi. 

Skandal seks, cerita-cerita tentang hantu 

gentayangan, perdukunan dan semacamnya. 

Pendeknya, sensasilah. Dan kau kan tahu, 

membuat yang begituan aku bisa kencing di 

tempat tidur...!”

Dingin kepala Bramandita seketika. Sifat 

suka berselorohnya kembali muncul. Katanya: 

“Tak apa, kalau tempat kencingnya enak. 

Isterimu cantik...”

“Jorok !” memaki Rujito, sambil tertawa 

lebar. “Isterimu sendiri bagaimana? Melihat 

hasil kerjamu satu minggu ini, aku lantas 

curiga.”

“Ah! Persetan. Dia boleh enyah ke 

neraka!” umpat Bramandita, tanpa mem

beritahu persoalan sebenarnya, la berjalan 

kembali ke mejanya. Membuang semua berkas 

yang tak terpakai ke keranjang sampah,


memasukkan nota dan perlengkapan potret ke 

dalam tas dan bersiap-siap untuk pergi.

“Mau ke mana, Rama?” Rujito bertanya. 

Ingin tahu.

“Getting. Siapa tahu aku ketemu hantu 

yang bersedia kita muat potretnya untuk 

penerbitan besok,” Bramandita nyengir kuda 

lalu berjalan ke pintu ke luar, pas ketika telepon 

berdering nyaring. Rujito mengangkat telepon, 

bicara sepatah dua lantas berseru pada 

Bramandita: “Hei. Untukmu !”

Bramandita membalikkan tubuh. 

Bertanya malas: “Dari siapa?”

Corong telepon ditutup Rujito dengan 

telapak tangan, lantas bergumam acuh tak 

acuh: “Maumu dari siapa, kecoa?”

Kecoa! Hem, pas untuk Retno. Lari 

terbirit-birit, lalu mendadak terhenti karena 

menyesal. Mengendus-endus sejenak, 

kemudian kembali pada suaminya dengan 

alasan Ratno sakit, Ratno bertanya terus 

tentang ayahnya, Ratno tak betah di rumah 

neneknya. Atau segala, macamlah. Retno tahu 

Bramandita sangat menyayangi Ratno.


Membawa Ratno minggat, dapat merupakan 

pembalasan dendam. Sebaliknya, membawa 

Ratno pulang kembali, dapat dijadikan alasan 

oleh Retno untuk tidak meminta maaf pada 

Bramandita.

Anak itu dia jadikan alat saja, pikir 

Bramandita geram sambil menerima gagang 

telepon dari Rujito. la sudah bersiap-siap untuk 

menyumpah serapah isterinya, kalau tak 

keburu sadar bahwa bukan Retno yang 

menelepon, melainkan seorang laki-laki yang 

suaranya sudah tak asing di telinga 

Bramandita: “Rama? Selamat malam, bung. 

Mau menemaniku sebentar? Ada makanan 

enak di

“Terimakasih. pak. Aku sedang...”

“Kalau begitu, kuajak orang lain saja !”

“Astaga!” Bramandita tersadar. “Tunggu 

dulu. Ke mana aku harus datang? Ke kantor 

bapak?”

“Temui seja aku di...” terdengar suara 

keretek-keretek seperti seseorang di seberang 

sana sedang melembari buku notes. Kemudian 

terdengar suara orang itu menyebut sebuah


alamat di daerah Kebayoran Lama disertai 

sedikit petunjuk agar Bramandita tidak sukar 

mencarinya. “Aku akan ke sana lima menit lagi. 

Punya waktu?”

“Untuk bapak, selalu ada.”

“Syukurlah. Jadi kita ketemu di sana saja ya?”

“Oke.”

Bramandita meletakkan gagang telepon, lalu 

bertanya enthusias pada Rujito: “Masih ada 

tempat untuk satu berita lagi?”

“Kalau kau dapet datang ka sini sebelum 

jam dua, masih... Hem. Berita besar, kuharap.”

“Atau hantu ya? Supaya mereka di atas 

sana dengan senang hati menaikkan gaji kita?”

Bramandita tertawa lantas bergegas 

meninggalkan kantor Redaksi Malam yang 

berlokasi di salah satu sudut percetakan milik 

Negara itu, menuju sepeda motor yang la 

simpen di pinggir jalan besar, la lebih suka 

menyimpan kendaraannya di situ karena 

pelataran parkir percetakan sempit lagi kotor; 

untuk keluar masuk harus rela membuang 

tenaga menggeser kendaraan lain yang sudah


penuh sesak, entah berapa belas kali 

Bramandita menjatuhkan kendaraan orang lain 

karenanya, sebelum ini. Sebenarnya banyak 

percetakan di Jakarta yang lebih luas tempat 

parkirnya. Lebih bagus ruangan-ruangan 

kantornya. Lebih bagus hasil cetakannya. 

Tetapi percetakan Negara, berarti biaya murah. 

Selain itu dapat menunggak pembayaran 

sekian lama, dengan sedikit “omong-omong”

dengan Direktur Administrasi yang biarpun 

berpangkat Direktur toh tetap digaji sebagai 

Pegawai Negeri. Namun sebaliknya, berarti 

pula harus ikhlas menjalani kebudayaan 

telepon serta off-de-record yang memuakkan 

itu.

Makan hati, memang. Buat mereka yang 

di atas, maupun buat wartawan keliling macam 

Bramandita. Semoga saja ada berita bagus 

malam ini yang tidak terkena tilang sebelum 

dicetak, pikir Bramandita sambil memacu 

kendaraannya membelah udara malam yang 

dingin berembun. Baru beberapa ratus meter, 

sepeda motornya sudah batuk-batuk keras lalu 

mandek begitu saja. Bramandita menstarter 

sambil ngomel tak berkeputusan, menendang


dan memukul sampai ia tahu bahwa 

persediaan bensin kendaraannya sudah licin 

tandas. Udara dingin menggigit, namun toh ia 

banjir peluh setelah lima menit berikutnya tiba 

dengan mendorong sepeda motor sialan itu ke 

sebuah kios bensih dua tak, yang pemiliknya 

sedang sibuk merumus kode buntut dari 

selembar stensilan. 

Tahu isi kantongnya sendiri, begitu si 

keranjingan judi buntut mendekat dengan 

perlengkapannya, Bramandita buru-buru 

memberitahu: “Satu liter saja bang...” la 

terpaksa menulikan telinga, agar tidak 

mendengar suara bersungut-sungut pemilik 

kios yang merasa terganggu keasyikannya itu.

***

LAKI-LAKI yang tergeletak di mulut gang, 

mengenakan pakaian seragam lengkap 

bersepatu. Di depan saku kemeja seragamnya 

terkancing kartu pengenal. Menunjukkan 

bahwa laki-laki itu berasal dari Sumatera Utara 

menilik marga di belakang namanya, berusia 

sekitar 35 tahun, pekerjaan supir taksi resmi 

milik sebuah perusahaan terkemuka di Jakarta. 

Tak ada tanda-tanda penganiayaan. 

Pakaiannya tidak diganggu, demikian pula isi 

saku dan arloji yang melingkari lengan.

Sepintas lalu posisinya tampak seperti 

orang sedang tidur nyenyak. Hanya bedanya, ia 

memilih tempat untuk tidur yang salah serta 

wajah yang memperlihatkan tanda-tanda ia 

sebelumnya seolah telah bermimpi sangat 

buruk. Wajah itu kaku dan dingin seperti es 

balok, pucat seperti kertas yang baru keluar 

dari toko. Mulut ternganga memperlihatkan 

gigi kuning kehitam-hitaman sebagai pertanda 

ia seorang perokok yang kuat. Dan, matanya!

Hanya sel-sel tubuhnya yang kuat yang 

masih mampu menahan biji mata itu tidak 

sampai terloncat ke luar rongganya. Sepasang 

mata itu melotot lebar. Seolah ingin bertanya


pada orang-orang yang mengerubunginya, 

mengapa ia sampai terkapar di tempat yang 

sama sekali tidak nyaman itu. Bramandita 

menjepretkan kameranya beberapa kali. Nyala 

lampu blitz yang menyambar-nyambar wajah 

mayat itu membuatnya tampak semakin 

mengerikan. Bagai ada kutukan terlontar dari 

balik biji matanya, ditujukan pada orang yang

tengah memotretnya.

Bramandita sampai mundur selangkah, 

dengan bulu kuduk merinding.

“... apa penyebab kematiannya?” ia 

bertanya, tersendat.

“Jantung, kata pak Leman,” jawab orang 

setengah baya berpakaian preman yang tadi 

menyambut kedatangan Bramandita dan 

mendampinginya semenjak itu. Sulaeman, 

adalah dokter kepolisian khusus untuk perkara-

perkara pembunuhan. “Mari kita temui dia 

untuk mengetahui apa komentarnya tentang 

korban satunya lagi...”

“Ma… masih ada?”

“Oh, yang barusan kau potret belum 

seberapa !”


“Maksud bapak ...”

“Ayolah. Siapkan kameramu.”

Kamera sudah dalam keadaan siap 

tembak. Tinggal mengatur posisi dan angle; 

vertikal atau horisontal, sedikit ke atas atau 

dari bawah. Korban yang kedua layak 

menempati halaman satu surat-kabarnya. 

Berita tentangnya patut dijadikan head-line

utama. Rujito tidak lagi tertekan bathin, karena 

pimpinan mereka di atas dalam sekejap telah 

menyedot untung dalam jumlah besar karena 

oplah yang mendadak naik, bahkan mungkin 

perlu dicetak ulang dua tiga kali karena 

permintaan dari agen datang tak berkeputus

an; sama seperti apabila tak ada apa-apa dalam 

koran mereka, para agen itu tak berkeputusan 

meminta oplah, tetapi untuk dikurangi...

Rujito malang! la tetap harus makan hati. 

Karena Bramandita tidak sekalipun menekan 

shutter kamera. Alat potret itu lepas tanpa ia 

sadari, tergantung berayun-ayun dengan tali 

kulit pada pundaknya. Padahal, betapa 

sensasionilnya keadaan mayat itu. Berbaring di 

beranda sebuah rumah kecil mungil dengan


sepasang kaki mengangkang, la juga masih 

bersepatu. Tetapi celana yang dipakainya jelas 

bukan dibuka dengan sukarela. Tali pinggang 

maupun resluting celana laki-laki itu bagai 

direnggut tangan-tangan raksasa sehingga 

robek berkeping keping. Alat kejantanannya 

hilang lenyap, meninggalkan luka mengerikan 

berlumur darah.

Cairan anyir berwarna merah itu 

terdapat lebih banyak lagi di sekitar leher, leher 

yang boleh dikata hampir tanggal dari pundak. 

Sehingga tanpa sengaja Bramandita setengah 

berlari mundur sambil memegangi leher 

sendiri, kemudian jatuh terduduk di ujung lain 

beranda terbuka itu. Kerumunan manusia hilir 

mudik, suara bentak, teriak, perintah-perintah 

dan tanya jawab yang bergalau seperti keadaan 

darurat perang; tak sedikitpun menarik 

perhatiannya.

Bramandita terduduk diam, lesu dan 

bagai hilang ingatan.

Nafasnya sesak. Berapa kali ia terpaksa 

mengurut dada. Beberapa kali pula meludah 

kasar, tanpa memperdulikan ada orang


mendekatinya. Ternyata orang setengah baya 

tadi, yang kemudian duduk santai di sebelah 

Bramandita sambil membujuk:

“Kalau mau muntah, silahkan...”

Bramandita diam.

Menarik nafas panjang, lalu mengeluh 

setengah mengigau:

“Apa… yang… menggororok dia?”

“Clurit, golok, mungkin juga kampak. Itu

menurut aku. Tetapi pak Leman bilang, bukan. 

Ketika kubilang, mungkin juga garpu pengeduk 

sampah, lagi-lagi dia bilang bukan. Sampai aku 

mulai kuatir kalau-kalau dokter kita yang sudah 

hampir pensiun itu… he, kau masih mendengar

ku, nak?”

“He eh...”

“Seperti kubilang tadi. Aku kuatir, si tua 

itu sudah mulai pikun. Lantas nekad mengambil 

kesimpulan yang bukan-bukan.”

“Apa?”

“Cakar, katanya. Cakar besar dan runcing 

luar biasa !”


“Ha… hhari… mau?” mata Bramandita 

jelalatan kian kemari. Ke arah orang 

berkerumun dan hilir mudik. Ke pintu-pintu 

dan jendela-jendela rumah yang menganga 

terbuka. Ke langit kelam, hitam pekat dan 

masih tetap berembun.

“Seorang pembantuku sudah 

menelepon ke Kebon Binatang. Petugas yang 

menerima telepon di Ragunan bilang, tak ada 

harimau yang lepas. Demikian pula mahluk 

buas lain… mahluk bercakar! Uh, pak Leman 

sudah edan barangkali. Jangan-jangan ia mulai 

percaya tahayul dan...”

“Aku mau pergi!” potong Bramandita 

tiba-tiba. Beranjak bangkit dari duduknya. 

Sedikit sempoyongan, sehingga pendamping

nya terpaksa membantu agar Bramandita tidak 

sampai terpeleset jatuh.

“Kau tidak memotret mayat itu?”

“Tidak.”

“Ceritanya! Kisah tentangnya sangat 

menarik. Apakah kau juga...”

“Tidak. Terima kasih.”


“Hei. Kau sakit, nak?”

Bramandita manggut. “Sakit sekali,” katanya, 

setengah berbisik.

“Kau bukan Pengecut. Kau sudah 

seringkali kuajak melihat mayat-mayat lain 

yang lebih menakutkan. Mengakulah!”

“Bapak benar.”

“Jadi?”

“Bukan kekejaman yang menimpanya itu 

yang membuatku kehilangan gairah...”

“Jadi?”

“Ya Tuhan. Biarkan aku pergi, pak Drajat. 

Aku harus menemui seseorang. Aku harus 

menceritakan padanya, bahwa… bahwa...”

Bramandita semakin pucat. Semakin gemetar. 

“Bagaimana aku menceritakannya? Lalu, 

astaga! Apa akibatnya pada dia?'

“Berhentilah linglung. Dia siapa?”

“Miranda...”


“Aduh, nak. Sebutlah seribu atau sejuta 

nama. Tetapi katakan padaku, apa hubungan

nya dengan peristiwa malam ini.”

Bramandita tengadah, menghirup udara lebih 

banyak lagi. Lalu menjelaskan dengan suara 

terengah-engah: 

“Miranda isterinya mayat… maksudku 

orang yang sengsara itu,” ia setengah meng

gerakkan dagu, enggan, ke arah kerumunan 

petugas yang membantu dokter Sulaeman 

mengurus mayat dimaksud. “Namanya Tedi. 

Tedi Jukandi. la sudah seperti saudara kandung 

buatku.”

Sudrajat, Kapten Polisi yang berpakaian 

preman itu terpukau sejenak, la mengawasi 

Bramandita dengan hati-hati, dan melihat 

sudut-sudut mata laki-laki muda bertubuh 

kekar tampan itu pelan-pelan digenangi butir-

butir air bening. Akhirnya, Sudrajat berbisik 

lembut: “Kau yakin?”

“Dari sini pun, aku dapat mengenali 

wajah Tedi!”

Sudrajat tidak mengulurkan tangan, la 

hanya berucap: “Maafkan, nak. Aku tak dapat


berbuat atau mengatakan sesuatu, kecuali… 

yah. Terimalah ucapan belasungkawa dariku, 

dan… ”

“Bapak dapat berbuat sesuatu.”

“Katakanlah.”

“Angkat jenasah Tedi dari tempat 

terkutuk ini, sekarang! Bawalah ke kamar 

mayat, atau ke mana saja; pendeknya, jangan 

biarkan ia jadi tontonan yang menjijikkan 

seperti sekarang ini…”

“Tetapi, nak. Prosedur belum sepenuh 

nya kami…”

“Demi Tuhan. Kumohon.”

Kapten berusia setengah baya itu 

berpikir dua tiga detik, kemudian mendekati 

kerumunan orang orang di sekitar mayat yang 

kepala hampir tanggal dari tubuhnya itu. 

Tampak ia bicara sebentar. Beberapa anak 

buahnya bergerak dengan sigap, siap 

menjalankan perintah. Tetapi dokter Sulaeman 

kelihatan mencak-mencak dan mereka berdua 

bertengkar sebentar, sebelum dokter 

Sulaeman berpaling ke arah Bramandita


berdiri, kemudian mengangguk tanda 

menyerah. Dokter itu langsung mendekati 

Bramandita. Merangkul pundak orang muda 

itu, bertanya lunak: 

“Ada yang dapat kubantu. nak?”

Masih pucat, Bramandita menjawab kasar: 

“Bukankah sudah diberitahu oleh pak Drajat?”

“Betul,” jawab dokter Sulaeman, sabar. 

“Tetapi barangkali kau lupa, aku seorang 

dokter.”

“Terimakasih. Aku baik-baik saja.”

“Sebuah pendapat, barangkali?”

Bramandita mengawasi wajah dokter 

tua berkepala botak dan berkacamata itu, 

sambil berpikir. Lalu: 

“Misalkan kita tukar posisi, dokter. 

Dokter harus pergi menemui Miranda, isteri 

orang yang terbunuh itu. Apa yang akan dokter 

katakan padanya?”

“Kenyataan, nak. Kenyataan. Betapapun 

pahit dan menakutkan.”


“la akan terpukul,” keluh Bramandita, 

cemas.

“Lambat atau cepat, toh ia akan tahu 

juga. Aku mengerti kesulitanmu, nak Rama. 

Tetapi coba dengarkan ini. Anggaplah 

pendapat seorang tua renta yang sudah banyak 

makan asam garam. Mendustai seseorang,

meski sifatnya sementara dan meski dengan 

tujuan baik… dapat melukai hatinya, kelak bila 

ia tahu kau telah berdusta. Padahal, barangkali 

ia sudah siap menerima kebenaran. Itu satu. 

Yang kedua; kau berbelit-belit, sedikit putar 

sana putar sini. Maka akibatnya, ia akan gelisah 

dan bertambah takut. Itu sama artinya dengan 

membunuh dia perlahan-lahan...”

“Langsung saja !” gerutu Bramandita, tak

sabar.

“Ah. Itu dia. Satu-satunya jalan terbaik, 

langsung saja dia sekaligus. Lalu anggap 

persoalannya sudah selesai.”

“Begitu gampang?”

“Teorinya, memang. Prakteknya, dia 

mungkin mengalami shock yang hebat. 

Mungkin pula tidak, siapa tahu? Lagipula,


dengan cara itu kau akan banyak membantu 

sahabatmu, si Drajat yang kebingungan itu.”

“Membantu? Dalam hal apa?”

“Melihat apa reaksi Miranda...”

“Kau !” nafas Bramandita menjadi sesak

lagi. Tegaknya berubah tegang. Kaku. 

“Dokter… menuduh Miranda sebagai si 

pembunuh?!”

“Ungkapan yang kasar, Rama!” kata 

dokter Sulaeman, tak setuju. “Kita perhalus 

saja: dia pelaku kejahatan, atau dia terlibat 

dalam tindak kejahatan. Ini kita lihat dari 

kacamata Sudrajat. Untuk perkara-perkara 

tertentu, orang pertama yang dicurigai adalah 

orang yang paling dekat dengan korban 

kejahatan...”

“Itu dapat diartikan, saya termasuk salah 

seorang tersangka.”

“Persis.”

Bramandita menyeringai. Kecut. Tanpa 

berkata sepatah pun lagi ia tinggalkan dokter 

itu dan berjalan tersuruk-suruk menerobos


kerumunan orang menuju kendaraannya. 

Belum juga ia naik, sebuah mobil dinas 

kepolisian sudah meluncur dan berhenti di 

sebelahnya. Pintu mobil sebelah kiri dengan 

dibuka seseorang dari dalam disertai suara 

lembut tetapi berbau perintah: 

“Untuk menghemat waktu, naiklah. 

Seorang pembantuku akan mengantarkan 

motormu ke rumah...”

Bersamaan waktunya, seorang petugas 

berseragam datang mendekat. Tangannya 

terulur ke depan, tetapi dengan sikap tegak 

yang tetap sopan dan menaruh respek. 

Bramandita mau tak mau menyerahkan kunci 

motornya ke tangan yang terulur itu. 

menyelusup ke tempat duduk di sebelah 

Sudrajat, lalu menyandar dengan kelopak mata 

terpejam. Tak lupa ia menggerutu: “Bapak 

main cepat ya? Takut aku kabur ya?”

Sudrajat mengeluh: “Jangan seperti anak-anak. 

Diamlah. Biarkan aku berpikir...”

Bramandita tidak memberi kesempatan 

berpikir, la ngoceh: “Aku masuk kantor sekitar


pukul tujuh. Baru keluar setelah bapak telepon. 

Alibi tentang ini dapat bapak kejar. Kapan saja.”

“Hei, bung. Dengarkan.”

“Aku dan Tedi bersahabat. Sebagai dua 

orang bersahabat, kami akrab satu sama lain, 

namun ada kalanya kami bermusuhan. Aku 

pernah dibuatnya marah. Kecewa. Sakit hati. 

Tapi jangan coba membuat catatan tentang itu, 

karena...”

Mobil di rem dengan tiba-tiba.

Bramandita terlonjak ke depan. 

Kepalanya hampir membentur dashboard, 

karena tidak siap menghadapi kejutan itu. 

Mana tangan secara reflek mendekap tustel ke 

dada. Melihat itu, Sudrajat ingin tertawa. 

Orang ini lebih sayang kamera ketimbang 

kepalanya, pikir sang kapten. Lalu katanya: 

“Bung. Bersediakah kau mengendurkan 

otot sedikit? Aku belum ingin bertarung 

denganmu. Tetapi bila kau memaksa…, biar kau 

lebih muda, lebih berotot… percayalah. Kau 

dapat kujatuhkan, sebelum tubuhku kau 

sentuh !”


“Eh. Kok jadi galak,” Bramandita 

menyeringai. Sudrajat menyeringai juga. 

“Habis. Kau sih.” dan mobil meluncur lagi 

setelah Sudrajat menanyakan alamat rumah 

Miranda dan Bramandita memberitahunya.

“Rupanya dokter brengsek itu ngoceh 

yang bukan-bukan tadi ya?”

“He-eh. Aku salah seorang tersangka, 

katanya.”

“Secara dinas, ya. Tetapi secara pribadi, 

kaulah orang terakhir yang akan kuseret ke 

kantorku.”

“Dan... Miranda?”

“Maaf. Dia tetap yang pertama.”

Bramandita terbungkam, la sudah lama 

kenal Sudrajat. Demikian pula beberapa anak 

buah kapten ini. Jadi ia tahu benar cara-cara 

kerja mereka, tahu cara berpikir nereka. 

Acapkali mereka salah. Tetapi kesalahan itu 

tidak lantas membuat mereka menyesal dan

mundur. Kesalahan itu justru mereka 

manfaatkan jadi petunjuk menuju sasaran yang 

benar.


“Apa yang telah kalian peroleh, pak Drajat?”

“Kuakui saja, nol. Satwanya masih gelap. 

Lebih gelap dari malam yang terkutuk ini!”

“Informasinya?”

***


DUA


“KAMI telah menanyai sejumlah taksi,”

Sudrajat bercerita. Bermula dan laporan 

telepon ke kantor dari salah seorang warga di 

tempat peristiwa. Sudrajat segera memerintah

kan satu team anak buahnya bergerak ke 

sasaran, la menyusul beberapa menit berikut

nya, karena harus membereskan sesuatu, 

menelepon doktar Sulaeman dan teringat pula 

untuk menghubungi Bramandita. “Selalu, kau 

satu-satunya wartawan yang pertama ku

beritahu.” katanya tersenyum.

“Mengharapkan terima kasih?” ejek 

Bramandita.

“Katakan saja, harga sebuah kebaikan.

Karena namaku banyak kau sebut-sebut dalam 

skripsimu dulu.”

“Hah, Sampai aku lupa. Waktu itu bapak 

masih Sersan Dua, kalau tak salah. Berapa 

tahunkah itu? Cepat juga ya, bapak naik 

pangkat...


“Karena kerja keras. Juga, berkat 

promosimu. Berita beritamu yang gencar 

mengenai kegiatanku banyak membantu.”

“Ah. Bapak membuatku malu,”

Bramandita menyeringai. “Tahukah pula 

bapak, bahwa berkat bapak pula aku berhasil 

membuat sebuah skripsi yang berbobot. Aku 

lulus, orongtuaku senang. Tetapi kemudian 

mereka kecewa, karena bapak pula.”

“Aku?”

“He-eh. Orangtuaku bermimpi aku jadi 

Hakim, Jaksa, paling kurang seorang advokat. 

Tetapi karena kelewat sering mengikuti 

kegiatan bapak, aku menyimpang. Jadi 

keranjingan menulis berita Berhenti kuliah, 

lalu… inilah aku sekarang. Ngelayap tengah 

malam untuk memotret orang orang mati. 

Kadang-kadang aku sampai ngeri memikirkan, 

bahwa aku cari makan dari bencana yang 

menimpa diri orang lain. Orang-orang yang 

menangis karena habis dirampok; orang-orang 

yang menjerit malu karena anaknya ketahuan 

mencuri atau memperkosa; orang-orang yang 

suaminya terkapar mati dengan leher hampir


putus…,” Bramandita gemetar. “Mengapa Tedi 

harus mati dengan cara itu. Mahluk biadab apa 

yang telah merenggut nyawanya?”

“Untuk itulah kita tidak boleh tidur 

malam ini. Rama. Untuk mencari jawaban dari 

'mengapa' itu. Memecahkan apa motifnya, 

mencari tahu siapa orangnya. Jadi kau tak perlu 

terlalu berkecil hati tentang caramu mencari 

makan... ” Sudrajat menepuk-nepuk pundak 

Bramandita, menghibur. “Kuteruskan laporan

ku?”

“... aku siap mendengar, pak Drajat.”

“Mana notesmu?”

“Otakku dapat mencatatnya.”

“Oke...” Sudrajat menarik nafas. “Ketika 

tiba di tempat, para pembantuku telah 

menanyai beberapa orang saksi...”

Dan toh, Bramandita mengeluarkan juga 

notesnya ketika Sudrajat menyebut beberapa 

nama dan identitas mereka.

Saksi 1, Ronggur Hutagalung. Pekerjaan, 

pedagang.


Semua keluarganya sudah tidur. Ronggur 

masih bekerja. Sendirian, la seorang pemilik 

kios oli di Jl. Fatmawati, dan malam itu sedang 

menyusun daftar pemasukan dengan 

pengeluaran uang sepanjang siang sampai ia 

tutup pukul delapan malam dan pulang ke 

rumah. Sekitar pukul 10.15 ia sedang 

menelepon seorang relasi, ketika dari rumah 

sebelah terdengar suara-suara ribut yang aneh. 

Mulanya tidak ia perdulikan. Baru setelah ia 

dengar suara orang menjerit, Ronggur 

meletakkan telepon.

la membuka jendela depan tetapi tidak 

dapat meninjau ke rumah sebelah yang 

pekarangannya jauh masuk ke dalam. Oleh 

karena itu ia bergegas membuka pintu, namun 

kemudian berpikir mungkin tetangga sebelah 

tengah bertengkar dengan seseorang, la ragu-

ragu. Tidak ingin turut campur.

Lalu teriakan kedua terdengar. Teriak 

ngeri, yang membuat Ronggur segera 

menghambur ke luar. Pemilik kios oli itu lari ke 

halaman, melompati pagar pemisah memasuki 

pekarangan rumah sebelah.


Ronggur menemukan mayat Tedi. 

Terpekik ngeri kemudian lintang pukang 

kembali ke dalam rumahnya sendiri.

Saksi inilah yang menelepon ke kantor 

polisi. Isteri dan anak-anaknya pada terbangun. 

Kuatir mereka tergoncang, isteri dan anak-

anaknya tidak ia perbolehkan meninggalkan 

rumah, la sendiri kemudian menutup pintu. 

Mengunci rapat-rapat. Dan menunggu polisi 

datang.

“Saya ketakutan,” katanya memberi 

alasan pada polisi pemeriksa. “Saya kira terjadi 

perampokan di rumah sebelah. Bukan mustahil 

kalau perampok itu tahu-tahu muncul di rumah 

kami, dan membunuh keluarga kami pula...”

Ronggur tidak melihat ada mayat lain 

kecuali Tedi. la juga tidak melihat Rosmalina, 

gadis penghuni rumah sebelah, karena begitu 

melihat mayat Tedi ia langsung ambil langkah 

seribu. Dengan sendirinya, ia tidak melihat ada 

orang lain di sekitar tempat kejadian.

Saksi 2, Ijah. Janda. Pekerjaan, usaha 

warung kecil-kecilan.


Ketika warungnya masih buka, ia melihat 

Tedi memasuki rumah Rosmalina. Malah adik 

Rosmalina, seorang bocah laki-laki yang masih 

duduk di bangku kelas satu es-em-pe, sempat

membeli sebungkus rokok. Hamid, bocah itu, 

bukan perokok. Jadi Ijah beranggapan tentu 

rokok itu untuk keperluan tamu kakaknya. 

Mereka sempat ngobrol sebentar.

“Kudengar, kakakmu si Ros akan 

menikah,” kata Ijah.

“Memang.”

“Si Ros mau?”

“Itu urusannya, Bu,” kata si anak, rupa

nya tak senang.

“Kau menyukai calon suami kakakmu itu?”

“Tidak.”

“Karena ia sudah punya isteri?”

“Ya. Katanya ia akan menceraikan isteri

nya yang sekarang. Tetapi bila itu ia lakukan, 

suatu ketika kelak dapat pula kakakku ia 

ceraikan...”

“Kok kau membelikannya rokok.”


“Terpaksa. Takut kak Ros marah.”

Hamid kemudian kembali ke rumahnya. 

Ketika Ijah akan menutup warung ia lihat bocah 

itu keluar dan tampaknya akan pergi. Ijah 

bertanya heran: 

“Mau ke mana, nak?”

“Ke rumah teman.”

“Diusir ya?”

“Engga. Cuma aku emoh melihat kakak

ku dicium orang itu di depanku...”

“Mereka biarkan kau pergi?”

“Aku menyelinap lewat pintu dapur.”

“Tidur di sini sajalah, nak.”

Hamid menolak kemudian menghilang. 

Ijah geleng-geleng kepala. Ikut prihatin dengan 

nasib anak kecil itu. la tidak melihat sesuatu 

yang aneh terjadi di rumah seberang gang. 

“Pasti mereka lagi asyik di kamar tidur. 

Kudengar, si Ros sudah bunting...”

Sebelum tidur ia memeriksa dulu apakah 

keempat orang anak-anaknya sudah berangkat


ke alam mimpi. Di kamarnya, ia menangis. 

Teringat suaminya, yang kabur dengan 

perempuan lain. Katanya perempuan lain itu 

telah mengguna-gunai suaminya, sehingga tak 

pernah ingat pulang ke rumah. Tak pernah 

ingat anak-anaknya. Tak pernah mengirimkan 

uang belanja...

Ijah tidak tahu apakah ia sudah tidur atau 

masih bangun ketika tiba-tiba ia dikejutkan 

oleh bunyi berisik di luar rumah. “Rasanya ada 

suara menggeram-geram. Seperti geram 

binatang buas...”

Mengira ia bermimpi, Ijah makin 

merungkut di dipannya. Tak berapa lama 

kemudian, ia mendengar suara orang menjerit. 

“Wah. Binatang itu sudah menerkam 

mangsanya,” pikir Ijah, dan ia lari ke kamar 

tidur anak-anaknya. Tak seorang pun anaknya 

yang terbangun waktu itu. Ijah semakin takut, 

waktu terdengar jeritan kedua, terdengarnya 

dari arah mulut gang. Sebelum jeritan kedua itu 

bergema, sempat Ijah mendengar suara aneh 

tadi seperti lewat di depan rumahnya.


“Geram binatang buas. Pekik-pekik 

tertahan yang mengerikan. Seperti pekik 

mawas di Ragunan...”

Ijah baru ke luar setelah mendengar 

bunyi sirene polisi dan banyak suara langkah-

langkah orang berlari dan berteriak-teriak di 

sekitar rumahnya. Ketika ia dengar suara 

membentak: 

“Hayo minggir. Biarkan kami lewat!”

barulah Ijah berani mengintip lewat jendela 

depan, 

la lihat banyak tetangganya berkerumun 

di depan rumah Rosmalina, dan di sepanjang 

gang. Barulah Ijah berani ke luar, dan 

mengetahui dari cerita orang dan penglihatan

nya sendiri ada dua mayat tergeletak tak jauh 

dari rumahnya. 

“Mawas itu yang membunuh mereka. 

Pasti!” kata Ijah pada polisi yang menanyainya.

“Mawas? Ibu melihatnya?”

“Melihat sih tidak. Tetapi aku 

mendengar, suaranya. Mengerikan !”


Saksi 3, Yunan. Pekerjaan, kuli 

bangunan.

Yunan malam itu mendapat tugas ronda 

malam bersama tiga teman yang lain. Mereka 

terbagi dua kelompok. Dengan berbagai dalih

Yunan berusaha menutupi kenyataan bahwa 

udara dingin berembun dan malam begitu 

larut, mana daerah mereka termasuk aman 

dan tenteram selama ini; keempat penjaga 

malam itu lebih banyak ngobrol di pos jaga 

yang malangnya, justru terletak di ujung gang 

yang berlawanan dari tempat mayat supir taksi 

ditemukan.

“Kami juga sudah lama mendengar 

bahwa orang itu… siapa ya namanya. Oh ya. Ya. 

Tedi. Entah Tedi apa… Dia sudah punya isteri. 

Malah semua orang di sini boleh dikata sudah 

tahu, bahwa isterinya pernah mendatangi si 

Ros...” demikian antara lain kesaksian Yunan. 

“Mereka bertengkar. Tentu saja. Tapi tak 

sampai saling caci-maki. Apalagi jambak-

jambakan. Perempuan-perempuan hebat, 

mereka itu...”

“Berapa kali isteri korban datang ke sini?


“Setahu saya, cuma satu kali.”

Yunan malam itu tidak melihat Tedi 

datang menemui Rosmalina.

“Saya baru tahu, setelah melihat mayat

nya,” Yunan bergidik.

“Melihat sesuatu yang aneh di dalam 

atau sekitar rumah gadis itu?”

“Tidak.”

Saksi 4, Alex. Juga peronda malam itu.

Alex dan seorang temannya meronda 

sempat melihat sebuah taksi warna kuning 

berhenti tak jauh di mulut gang. Alex 

melihatnya dari kejauhan, tak dapat mengenali 

siapa yang turun karena ia saat itu juga 

meneruskan perondaan bersama temannya ke 

jurusan lain. 

“Kami sudah terbiasa melihat taksi 

mundar-mandir di sekitar ini…,” katanya, 

membela diri.

Kira-kira antara pukul 10.15 dan pukul 

10.20 malam itu ia dan teman yang sama 

berkeliling kembali di tempat yang tadi. Sayup


sayup ia mendengar suara orang berteriak, la 

dan temannya berlari mendatangi. 

“Kami lihat sebuah taksi melewati kami. 

Cepat sekali. Jalannya zig-zag. Mungkin taksi 

yang tadi. Mungkin taksi lain, yang pengemudi

nya sedang mabok. Kami berlari-lari memasuki 

gang dari arah itu, dan menemukan mayat laki-

laki. Mayat seorang supir taksi...”

“Tidak kalian uber taksi yang melarikan 

diri itu?”

“Dengan apa? Kaki?!”

Yunan dan teman satunya lagi buru buru 

pula datang. Mereka berempat menemukan 

korban lain. “Dari keadaan tubuhnya, luka-luka 

dan pakaiannya yang tercabik-cabik kami 

berpendapat, tentulah ada seekor binatang 

buas telah kesasar memasuki kampung 

kami…,” Alex mengusap wajahnya, cemas. 

“Apakah kalian telah menangkap 

binatang buas itu? Harimaukah? Orang Hutan? 

Atau serigala?”

Petugas yang memeriksa A!ex dan Yunan 

menjawab tenang: “Tak ada orang hutan,


harimau atau serigala yang dapat menyetir dan 

kabur dengan sebuah taksi !”

Saksi 5, Juanda. ketua RT.

Juanda sedang ada di tempat seorang 

keluarganya ketika peristiwa itu terjadi, la 

segera datang setelah dijemput oleh salah 

seorang anaknya. Tiba di tempat, ia terkejut 

melihat begitu banyak orang, begitu banyak 

polisi, dan begitu panik dan ributnya suasana. 

Tentulah telah terjadi peristiwa hebat, 

pikirnya.

Juanda tidak mengenal supir taksi itu. 

Tetapi ia mengenal Tedi sambil lalu. 

“Saya baru tahu kalau ia punya isteri,

setelah isterinya pernah datang ke rumah si 

Ros. Semenjak itu saya mendengar gunjingan 

yang tidak enak di kalangan kaum ibu. Jadi saya 

putuskan untuk mendatangi Rosmalina pada 

suatu hari untuk membuktikan kebenaran 

desas-desus itu. la mengakui bahwa ia telah 

hamil. Karena itu saya beri ia saran. Agar

kampung kami tidak tercemar, ia boleh 

memilih. Angkat kaki dari sini, atau menikah 

segera dengan laki-laki itu…”


Juanda mengatakan Ros anak baik, sebenar

nya, la bekerja sebagai juru tulis di kelurahan 

setempat. Waktu lowong ia manfaatkan 

dengan bekerja mengkreditkan pakaian, tas. 

dan sepatu wanita. Dengan demikian 

Rosmalina dapat menghidupi dirinya sendiri 

dan menyekolahkan adiknya, Hamid. Dua-dua 

pekerjaan itu ia tinggalkan, begitu Rosmalina 

bertemu Tedi Jukandi. “Mungkin laki-laki itu 

telah memberinya uang belanja yang cukup 

padanya,” kata Juanda menyimpulkan. Tedi 

sendiri bersikap baik dan sopan tiap kali datang 

ke kampung itu. Tak ada orang yang memusuhi 

dia, apalagi Rosmalina yang menurut Juanda: 

“Si kecil mungil yang lembut dan perasa.”

Saksi 6, mestinya Hamid.

Tetapi ia belum diketemukan malam ini. 

Sesekali ia memang suka tidur di rumah 

temannya. Belajar bersama. Tetapi temannya 

banyak. Beberapa orang warga setempat dan 

anggota polisi masih terus mencarinya. Untuk 

memberitahu peristiwa yang menimpa kakak 

perempuannya, dan menyelidiki apakah ia 

terlibat dalam peristiwa itu.


***

“Tetapi aku berani potong kuping, bila 

ternyata anak itulah pembunuh sahabatmu.”

kata Kapten Sudrajat, memastikan.

“Bagaimana dengan Rosmalina sendiri?”

tanya Bramandita.

“Kau tidak melihat dia?”

“Tak ingat. Aku begitu shock melihat 

mayat temanku.”

Keempat petugas ronda malam itu yang 

pertama kali melihat Rosmalina, Sudrajat 

menerangkan. Si kecil mungil yang lembut dan 

perasa itu, mereka temukan jatuh pingsan di 

ambang pintu. Yunan dan teman-temannya 

membopong perempuan itu ke kursi panjang 

dan berusaha menyadarkannya. Begitu mata

nya terbuka, Rosmalina langsung meronta-

ronta. Gadis itu menendang. Memukul. 

Mencakar. Sambil berteriak-teriak: 

“Jauhkan hantu itu dari akui Tolonglah,

enyahkan mahluk mengerikan itu...”


“Hantu?” BramBndita menyela.

“Tak usah ditanggapi. Rama. Itu cuma 

pekik orang yang histeri.”

“Tidak kalian sadarkan?”

“Oleh dokter Leman sudah diberi 

suntikan penenang. Mungkin baru besok ia 

bangun dan dapat bercerita lebih jelas, la saksi 

utama, tentu saja. Tetapi dokter kita yang 

sudah pikun itu mengkuatirkan bahwa kita 

tidak akan memperoleh apa-apa dari gadis 

itu...”

“Mengapa?”

“Dia bilang, ada kemungkinan Rosmalina

harus dikirimkan untuk dirawat beberapa lama 

di sanatorium.”

“Gila?”

“Gangguan mental, tepatnya.”

“Oh.”

“Kau tak ingin bertanya, apakah aku 

tidak mencurigai dia sebagai si pelaku?”

“Mestinya.”


“Kau benar. Mestinya dia juga kucurigai. 

Tetapi ia begitu kecil dan lemahnya, untuk 

dapat berbuat sedahsyat itu. Entah, kalau ia 

dalam keadaan tegang syaraf sebelum 

pembunuhan itu terjadi.”

“Dan... Miranda?”

“Maaf. Dia tetap yang pertama.”

“Miranda juga perempuan. Memang 

posturnya sehat dan kuat. Tetapi tetap saja dia 

perempuan, yang tak akan mampu berbuat...”

“Nanti akan kita lihat. Setelah kita 

bertemu dia.”

Bramandita ingin menangis. Bukan 

karena tuduhan Miranda terlibat dalam 

pembunuhan Tedi dan supir taksi itu. 

Melainkan, karena ia harus memberitahu 

bahwa semenjak malam ini, Miranda resmi jadi 

janda... 

“Gadisku yang malangi” ia mengeluh, 

tanpa sadar.

“Siapa?”

“Ah !”


Mobil terus melaju. Berkejar-kejaran 

dengan perasaan cemas yang berkecamuk 

dalam bathin Bramandita. Berpacu dengan 

otak seorang polisi dalam kepala Sudrajat. Di 

suatu tempat, hujan gerimis tampak turun 

sebentar. Menjelang tiba di rumah yang 

mereka tuju, gerimis itu berhenti.

“Nak...”

“Heh?”

“Boleh menanyakan sesuatu?”

“Aku masuk kantor di percetakan pukul 

tujuh dan baru ke luar setelah menerima 

telepon bapak. Alibi ini bisa bapak kejar dan 

tentang…”

”Bung! Bersediakah kau mengendurkan 

otot sedikit? Aku belum siap bertarung 

denganmu. Tetapi bila kau memaksa, biarpun 

kau lebih muda dan lebih berotot ketimbang 

aku, percayalah. Kau… dapat kujatuhkan, 

sebelum tubuhku kau sentuh !”

Mau tak mau, Bramandita akhirnya 

tersenyum juga. Katanya: 

“Apa yang ingin bapak ketahui?”


“Namamu.”

“Lho. Bukankah...”

“Begini, nak. Biasanya, seseorang 

dipanggil dengan memenggal bagian depan 

atau bagian belakang nama. Mengapa kau 

justru mengambil yang tengah. Rama?”

“Masa kecilku, aku dipanggil Bram, pak 

Drajat.”

“Sudah kuduga.”

“Waktu es-em-a, beberapa teman 

mengganti huruf M jadi P. Demikianlah, 

mereka penggal namaku agak panjang, dengan 

panggilan Pandita. Mulanya, karena aku 

pernah ikut sebuah sandiwara sekolahan, dan 

aku mendapat peran sebagai seorang pendeta 

yang memberontak terhadap gereja.”

“Dan. Rama?”

“Kuperoleh ketika memasuki universitas.”

“Tampaknya bukan nama panggilan 

sembarangan. Rama. Gagah didengar, mesra 

diucapkan,” Sudrajat melamun. “Lantas kau


balas memanggil seseorang dengan panggilan, 

Shinta.”

“Ya.. .”

“Oleh siapa, nak?”

“Seseorang...”

“Itu sudah pasti. Tetapi, boleh aku tahu 

siapa kiranya Shinta yang beruntung itu?”

“Mungkin ia beruntung. Mungkin juga, 

sebaliknya.”

“Oh-oh. Menarik. Sebabnya?”

“Sebabnya. Kita sekarang sedang 

menuju dia, untuk memberitahu bahwa 

Lesmana telah gugur !”

Sudrajat tercengang.

Kemudian manggut-manggut, meski 

dalam hati sebenarnya ia tetap bingung.

***


TIGA


MASA lampau yang manis itu sudah 

diatur; seperti sebuah skenario yang sudah siap 

dilayar-putihkan. Dibuat atas kehendak alam, 

dan sutradaranya ialah keadaan. Margono 

mendadak sakit perut. Si perut gembul yang 

pantang disodori makanan itu menceritakan, ia 

diundang menghadiri pesta ulang tahun di 

rumah tetangga sebelah tempatnya kost. 

Maklum yang ulang tahun anak perawan 

tanggung. Acaranya tentu saja disko sambil 

rujak party. Selagi yang lain asyik berjingkrak-

jingkrak, putar sana putar sini gonta-ganti 

pasangan di lantai dansa, Margono duduk 

sendirian menghabiskan lima porsi rujak.

“Ketimbang beli sendiri. Mana enak 

lagi!” kisahnya tanpa malu-malu. “Makin 

pedas, makin kusikat...” Lalu lima porsi rujak itu 

ia lengkapi dengan menghabiskan tiga botol 

bier. Tak heran, begitu bangun pagi Margono 

langsung mencret.

Si kembar Dina dan Dini juga 

berhalangan datang. Kakek mereka datang


menjemput karena nenek sudah lama tidak 

bertemu dan rindu setengah mati. Gadis 

kembar itu punya raut wajah, potongan tubuh, 

dandanan dan cara berpakaian yang sukar 

dibedakan satu sama lain. Tetapi suami-suami 

mereka di kelak kemudian hari tidak usah 

cemas. Dina berkulit kuning langsat, sedang 

Dini… konon tak pernah kecewa atau 

meributkannya, berkulit merah kehitaman 

seperti orang Negro. Perbedaan yang 

menyolok ini menyebabkan mereka dijuluki 

warga sekampus sebagai si Kembar hitam-

putih yang ajaib. Salah satu keajaiban mereka 

hari itu, adalah meninggalkan sepucuk surat 

yang ditujukan pada Bramandita: “Kami pergi 

ya. Biar kau lebih leluasa merayu dia.”

Ambarita paling menderita. Mahasiswa 

asal Nias itu terkenal necis dan apik menjaga 

setiap barang miliknya. Sore hari sebelumnya ia 

pergi nonton bioskop. Bubaran film ia tunggu 

hujan reda dulu baru pulang ke rumah, 

tempatnya inde-kos. Ambarita baru bisa 

memasuki rumah itu setelah dini hari, karena 

sepanjang sore dan malam, perkampungan di 

mana rumah kostnya terletak digenangi air


banjii sampai setinggi ventilasi jendela. Waktu 

Tedi Jukandi datang menyamper, kawan yang 

malang itu tengah sibuk mencuci empat potong 

pakaiannya yang tersisa, menjemuri buku 

buku, sepatu, dan kasur yang mungkin setahun 

baru bisa kering. “Haram jadah mereka, bah !”

katanya ngomel ngomel. “Mereka bilang 

daerah ini bebas banjir. Apa !” la kemudian 

sibuk mencari sisir di antara genangan lumpur 

lantai kamarnya. Melanjutkan marah: “Nanti 

aku pindah ke Depok saja. Biar tahun depan, 

mereka kukirimi banjir sebanyak-banyaknya. 

Sampai mereka semua kelelep!”

Tedi menceritakan nasib Ambarita yang 

menyedihkan itu ketika bertemu Bramandita 

menjelang rumah Miranda. Bramandita 

menyesalkan Tedi tidak membantu Ambarita 

bebersih rumahnya. Tetapi Tedi dengan 

dongkol berdalih, ia tidak sampai hati 

membiarkan Miranda menunggu kami semua 

tanpa kabar berita. Gadis cantik molek itu 

sedang asyik membaca buku komik waktu 

mereka berdua memasuki pavilyun yang ia 

sewa bersama seorang gadis lain. Nancy, gadis 

temannya sekamar, pagi itu harus mengikuti


tentamen sebanyak empat mata kuliah, 

sehingga baru dapat pulang sekitar pukul dua 

siang.

Karena grup studi mereka tidak lengkap, 

dengan sendirinya rencana belajar bersama 

dibatalkan. Miranda tidak memperkenankan 

mereka berdua itu pulang sebelum menyantap 

makan siang yang segera ia hidangkan. Sambil 

makan, ia memberitahu bahwa sambil 

menunggu tadi ia telah menghabiskan 17 jilid 

buku komik. “Klasik.” katanya. “Tentang jatuh 

bangunnya Rahwana setelah nekad menculik 

Shinta.”

Lalu Miranda berkata terus terang 

bahwa ia sangat interesan dengan tokoh 

Shinta, lalu tiba-tiba bertanya: “Apakah aku 

pantas jadi Shinta?”

Bramandita mengawasi Miranda dengan 

segan, lantas berucap jujur: “Setahuku, tokoh 

Shinta montok berisi. Kau terlalu ramping...”

Tedi langsung menimpali: “la salah. Kau 

pantas jadi Shinta. Tetapi apabila kau dan 

Shinta disandingkan, maka Shinta harus 

mundur. Kau lebih cantik, Miranda !”


Miranda bersemu merah kulit mukanya, 

la tersenyum pada Bramandita, lalu dengan 

sikap tersipu-sipu ganti memandang; Tedi. 

Bertanya: “Benarkah?”

“Aku menyatakan yang sebenarnya.”

“Alasanmu?”

“Karena,” suara Tedi memberat: “Aku 

mengagumi kau.”

“Oh.”

Yang mendesahkan “oh” itu dua orang. 

Miranda, karena bangga dan semakin malu. 

Dan Bramandita. karena hatinya panas, namun 

tak berani memandang baik Miranda maupun 

Tedi. ia pura-pura minum dengan nikmat, dan 

sempat melihat gelas di tangannya bergoyang.

“Lalu, siapa kau pikir yang pas jadi 

Rama?” yang bertanya itu, Tedi. Bernafsu.

“Hem,” Miranda berpikir seraya 

membereskan meja dari perabotan bekas 

makan. “Kalian berdua sama-sama gagah. 

Sama tampan. Selagi aku menekuni komik itu, 

aku teringat pada kamu berdua. Jadi aku


berumpama Bramandita, jelas namanya bisa 

kuganti jadi Rama...”

Bramandita bagai ingin melambung ke 

angkasa. Nyatanya, pantatnya justru terhenyak 

semakin dalam di jok kursi yang ia duduki. 

Ketiak, bahkan mungkin juga pantatnya, tahu-

tahu saja sudah basah berpeluh. Dan agar tidak 

terhempas jatuh berderai, gelas yang ia pegang 

buru-buru ia antarkan ke bak cuci. Langkah 

kakinya seolah tidak menginjak lantai. Ribuan 

mata seolah mengawasinya, dan membuatnya 

serba salah tingkah kemudian balik ke tempat 

duduknya ia pura-pura asyik menekuni salah 

satu buku komik Miranda. Gambar-gambarnya 

kuno. Kalimat-kalimat ceritanya maupun 

dialog, sudah lama ditelan jaman, la hampir 

lupa melembari komik itu sebagai pertanda ia 

memang asyik membaca. Karena pikirannya 

terpusat pada ucapan Miranda tadi. Telinganya 

ingin mendengarkan kalimat lain, yang lebih 

menegaskan maksud Miranda.

Yang angkat suara, ternyata Tedi:


“Eh, kok kau cemberut!” tegur Miranda,

lembut.

“Aku, apa?”

Terdengar suara kursi bergeser, dan 

waktu Bramandita mengintip lewat bagian atas 

tepi buku komik yang sengaja ia rendahkan 

sedikit, dilihatnya Miranda mendekati Tedi dan 

dengan gaya manja seorang gadis merangkul 

lengan pemuda yang sedang cemberut tak 

senang itu. Berkata si gadis: “Kau kan sudah 

bilang, ini cuma umpama. Jangan lantas marah, 

dong.”

Senang lengannya dirangkul, Tedi 

mendekatkan wajah dengan lagak tak sengaja 

ke dada Miranda… yang sungguh terkutuk, 

tidak pula menghindarinya.

“Umpama,” kata Tedi, yakin akan 

kemampuan dirinya. “Umpama saja ya. 

Umpama ini sungguhan, siapa yang akan kau 

pilih sebagai Rama?”

Mendengar pertanyaan itu, Miranda 

terkejut dan berpaling kaget. Persis saat itu 

matanya bertemu dengan mata Bramandita. 

Miranda bergegas melepaskan rangkulannya,


menjauhi Tedi dan pura-pura sibuk mencuci 

piring di bak dapur yang bersatu dengan ruang 

makan itu. Miranda kini membelakangi 

mereka. Tedi menoleh, tetapi Bramandita 

sudah menaikkan buku komik di tangannya 

lebih tinggi dari tadi. Itulah kesalahannya. Dina 

dan Dini sudah mengisyaratkan: “Rayu dia!”

Bramandita tidak punya keberanian 

melakukan itu. Lain halnya dengan Tedi. la 

nekad menyerbu Miranda, merangkul gadis itu 

dari belakang dan seolah hanya mereka berdua 

yang ada di rumah itu. Tedi langsung mengakui 

isi hatinya: 

“Marahkah, sayangku. Kalau kukatakan, 

aku mencintaimu?”

Piring yang dicuci Miranda terlepas dari 

tangannya. Jatuh di permukaan bak dan 

porselen itu. Pecah berentakan, dengan suara 

memekakkan.

“Lepaskan aku, Tedi.” kata Miranda, 

tersendat-sendat, lantas berlari-lari masuk ke 

kamar tidurnya. Tak keluar-keluar lagi sampai 

Tedi akhirnya mau diajak pulang oleh 

Bramandita.


“Aku tahu dia juga mencintaiku. Dan 

akan kau lihat, hal itu segera dapat kubukti 

kan.”

Bramandita diam saja.

Dengan hati yang terasa hancur luluh.

***

DAN Kini, kehancuran itu terulang kembali.

Miranda tampak jauh lebih kurus 

dibanding terakhir kalinya Bramandita mene-

muinya, dan itu belum sampai setengah tahun

ketika perempuan itu bersama suaminya 

datang mengunjungi Bramandita, yang ber-

untung waktu itu tidak ditinggal sendirian oleh 

Ratno. Beberapa bulan yang lalu Miranda 

masih tampak sehat dan penuh gairah hidup

sebagaimana keadaannya semasih gadis.

Kini Miranda tampak kurus, lemah dan 

sakit-sakitan. Namun begitu kemolekan wajah

nya tidak pernah hilang, la justru semakin 

cantik terbungkus gaun tidurnya yang


berwarna merah dan berpotongan anggun. 

Berlawanan dengan apa yang diharap Sudrajat 

dan apa yang dicemaskan Bramandita, Miranda 

mendengarkan semua yang diceritakan oleh 

bekas sahabatnya dan laki-laki lain yang 

memperkenalkan diri sebagai seorang polisi 

berpangkat Kapten itu. Tak sepatah kata pun 

perempuan itu memotong, la memang pucat, 

tetapi tidak gemetar apalagi melolong histeris.

Komentar pertama yang keluar dari 

mulutnya adalah: “Jadi, dia sudah meninggal.”

Tenang, dalam. Tanpa emosi.

Bramandita mengangguk mengiyakan. 

Sedang Sudrajat, tak berkedip matanya 

mengawasi tuan rumah mereka. Namun 

tampak jelas dari wajah kapten polisi itu bahwa 

ia telah keliru apabila ia beranggapan tugasnya 

malam itu berakhir di rumah ini.

Berkata dia: “Kami lega, nyonya cukup 

tabah menghadapi musibah ini.”

“Apakah seember air mata dapat 

menghidupkan kembali orang yang sudah 

mati?” balas Miranda.


Sudrajat terbatuk dibuatnya.

Tetapi tentu saja ia bukan orang yang 

mudah menyerah, la langsung menyerang: 

“Nyonya tidak keluar rumah sepanjang 

malam?”

“Justru aku tidur nyenyak,” jawab 

Miranda, datar. “Pelayan saya boleh Anda 

tanya.”

“Tak ada saksi lain?”

“Dengan suami saya, kami cuma bertiga 

di rumah ini.”

“Hem. Pelayan nyonya akan saya tanyai. 

Tetapi begitu ia membuka pintu waktu kami 

datang, saya sudah dapat menggambarkan, ia 

tentunya tidur lebih nyenyak lagi dari 

nyonya...”

Bramandita ingin protes, tetapi 

kedahuluan oleh Miranda yang berkata seraya 

tersenyum: ”Itulah kelemahan alibi saya, 

bukan? Andai pun saya tahu suami saya mati 

terbunuh malam ini, tentulah mencurigakan 

kalau saya tiba-tiba mengundang orang


sekampung untuk kujamu di rumah tanpa 

suatu alasan yang masuk di akal.”

“Saya mengerti.” gumam Sudrajat.

Dalam hati, Bramandita bersorak: “Puas. 

Kena kau. Satu nol!” Dan ia tidak lagi 

memprotes ketika sang petugas negara yang 

kukuh pendirian itu mengajukan pertanyaan 

berikut:

“Apakah suami nyonya punya musuh?”

“Musuh?” Miranda mengerutkan dahi 

sebentar, lalu menyimpulkan dengan pasti: 

“Saya dan suamiku sangat akrab satu 

sama lain. Kesulitanku selalu saya beritahukan 

padanya, demikian pula sebaliknya. Dengan 

demikian kami dapat menanggulanginya 

bersama-sama. Karena itulah rumahtangga 

kami dapat bertahan hampir tujuh tahun 

lamanya. Biar kami tidak beruntung 

memperoleh keturunan ...”

“Dia punya musuh?” ulang Sudrajat, 

menegaskan pertanyaan semula.

“Setahu saya, di luar rumah tidak.”


“Maksud nyonya?”

“Musuh suamiku yang sesungguhnya, 

ada di rumah ini !”

“Saya akan berterimakasih, kalau nyonya 

bersedia menerangkan maksud kata-kata 

nyonya...” Sudrajat sedikit menganggukkan 

kepala, hormat tetapi mendesak. Orang dekil, 

pikir Bramandita: kau akan kena batunya 

malam ini !

“... seperti saya terangkan tadi,” gumam 

Miranda, hambar. “Hampir tujuh tahun rumah

tangga kami berjalan harmonis dan lancar. 

Tetapi tidak, selama beberapa bulan terakhir. 

Mendadak ia ingin punya anak. Keinginan yang 

sudah lama, memang! Namun baru beberapa 

bulan yang lalu ia mendesak saya. Dan ketika 

saya katakan saya sudah berusaha tetapi sia-

sia, ia mulai bertingkah. Sampai beberapa 

minggu yang lalu kudengar kabar, ia bergaul 

intim dengan seorang perempuan lain.”

“Siapa?”

Miranda balas bertanya, heran: 

“Tidakkah perempuan itu mengatakannya?”


“Perempuan... Perempuan yang mana?”

“Penghuni rumah, di mana mayat suami 

saya kalian temukan.”

Bramandita tertegun. Baru sekarang ia 

sadari, bahwa ia telah menanggalkan profesi 

kewartawanannya ketika ia tinggalkan tempat 

yang mengerikan itu. Jiwa jurnalistiknya sirna 

begitu saja ketika mengenali mayat Tedi 

Jukandi. Sehingga ia sampai alpa memikirkan, 

mengapa sahabatnya nyasar dan mati di 

beranda rumah orang. Rujito yang malang! 

Kepala Pelaksana Redaksi Malam itu akan 

pingsan seketika apabila ia tahu sebuah berita 

besar telah lolos malam itu dari mejanya.

“Oh…,” keluh Sudrajat. “Perempuan itu 

begitu histeri. Kata dokter kami, kemungkinan 

shock luar biasa yang dapat membuatnya lupa 

ingatan. Gadis itu duduk di kursinya seperti 

patung tak bernyawa. Mata terbuka nyalang, 

namun jangankan menceritakan sesuatu. 

Mengerdip pun, ia hampir tak pernah. Entah 

setelah kami tinggalkan tadi...”

“Bagus!”

“Bagus apanya, nyonya?”


“Dia sudah dapat pelajaran, apa akibat

nya merebut suami orang!” jawab Miranda, 

dingin. 

“Nyonya...”

“Demikianlah ceritanya, bukan?” sela 

Miranda, acuh tak acuh. “Saya tidak suka 

desas-desus. Jadi saya datangi gadis itu, 

berbicara dengan dia, dan mengetahui 

kenyataan sebenarnya. Dia telah saya minta 

baik-baik agar melepaskan suami saya. Benar, 

dia tidak mengatakan setuju. Tidak pula, 

menolak. Dia saya tinggalkan. Tanpa ancaman 

apa-apa. Dan pulang ke rumah, esok harinya 

saya habis dipukuli suami saya...”

“Mira...” Bramandita memotong.

“Biarkan aku. Rama. Biarkan kubeberkan 

semua. Telah lama hal ini kusimpan sendirian. 

Aku terluka, parah. Tetapi kini aku sudah bebas 

dari luka menyakitkan itu. Jadi biarkan aku jelas

kan semua, sebagai aplaus untuk kebebasan

ku.” la tidak tersenyum pada Bramandita. 

Matanya ketika menatap, juga bukan mata 

yang selama ini dikenal dan pernah diimpikan 

olehnya. Bramandita gemetar.


Diam-diam, berduka cita. 

Untuk dirinya sendiri…!

“Teruskan, nyonya,” desak Sudrajat, 

karena tidak mau kisah menarik itu lolos dari 

tangannya. “Teruskan.”

“... begitulah. Cuma sekali ia memukuli 

saya. Tetapi yang sekali itu saja, sudah cukup. 

Saya tidak mau kehilangan dia. Jadi semenjak 

itu, tak pernah lagi mendatangi gadis pelihara

annya. Sampai tadi siang, suami saya berkata 

terang-terangan bahwa gadis itu telah hamil 

dan mereka akan segera menikah. Kemudian ia 

pergi...”

“Dan nyonya masih bisa tidur nyenyak?”

ucap Sudrajat, tak habis pikir.

“Mengapa tidak? Tiga butir pel tidur 

cukup untuk membuat seseorang lupa bahwa 

kakinya baru saja putus disambar mobil...”

Perumpamaan yang keterlaluan, pikir 

Bramandita. Dan Miranda tampak semakin 

asing di matanya.

“Ada yang melihat nyonya menelan pel 

tidur Itu?”


“Pelayan saya. la sendiri ikut 

meminumkan air ke mulut saya, karena saya 

tersedak. Lupa tidak menyediakan air minum 

ketika pel tidur itu saya telan...”

“Hem. Pantas tadi pelayan nyonya agak 

lama membangunkan nyonya.”

“Bukti yang dapat menguatkan alibi 

saya, benarkah?” Miranda tersenyum. Seolah-

olah ia bukan sedang berbicara tentang 

kematian suaminya, melainkan tentang 

kematian Rahwana dari negeri Alengka. Mana 

Miranda yang manja dan sembrono itu; yang 

lari terbirit-birit ke kamar tidur ketika Tedi 

Jukandi menyatakan cinta?

Seolah menyelami jalan pikiran 

Bramandita, perempuan itu tiba-tiba berpaling. 

Miranda menatap lurus ke mata pemuda yang 

pernah jadi sahabat, pernah dicintai dan 

mencintainya, pernah dia mohon agar untuk 

seterusnya mereka saling menganggap sebagai 

saudara kandung saja. Dan di balik sinar mata 

yang tajam menusuk itu, Bramandita pelan-

pelan menangkap suatu permintaan maaf:


ketahuilah. Rama, aku telah begitu banyak 

berkorban selama ini!

Bramandita menggapai tangan Miranda.

Mengelusnya. Lembut. Kemudian 

menariknya pelan-pelan setelah menangkap 

lirikan mata mencuri dari wajah si kapten polisi 

yang serba ingin tahu dan serba penuh selidik 

itu. Bramandita mengambil minumannya, 

meneguknya tetes demi tetes, membiarkan 

waktu terus berlalu. Miranda kembali berpaling 

pada tamunya yang lain, tampak lebih tenang 

dan tabah kini. Dan berujar lebih tenang lagi: 

“Itulah semuanya. Musuh suamiku, bila 

ada, terdapat di rumah ini. Yakni, isterinya 

sendiri. Saya!”

Mengekori perbuatan Bramandita, 

Kapten Sudrajat ikut-ikutan menjemput gelas 

minuman di meja dan meneguknya… sekaligus, 

sampai tak bersisa walau setetes. Tak perduli 

pada kerakusannya yang aneh itu, Sudrajat 

merogoh saku jaketnya yang tebal dan 

mengeluarkan dua pucuk amplop manila. 

bercap resmi kepolisian, namun belum disegel.


“Saya akan berterimakasih apabila 

nyonya dapat menolong saya mengenali

barang-barang bukti ini,” katanya, tenang dan 

terdengar seolah tidak berpengharapan.

Salah satu amplop itu ia letakkan di meja. 

Amplop Iainnya ia buka simpulnya dan diangkat 

miring sedemikian rupa sehingga isinya jatuh 

ke permukaan amplop pertama. Selembar 

cabikan kain yang kelihatannya disobek dari 

kain utama.

“Apa itu?” tanya Miranda dengan dahi 

mengernyit.

“Bagian dari sesuatu. Mungkin saja 

kemeja laki-laki. Tetapi jaman moderen, yah… 

dapat pula bagian dari blouse atau rok seorang 

perempuan. Pernah lihat?”

“Tidak.”

“Pasti?”

“Ya.”

“Hem,” Sudrajat tidak menyembunyikan 

perasaan kecewa di wajahnya selagi 

memasukkan cabikan kain itu ke amplop 

semula. Amplop itu ia letakkan pula di meja,


dan mengambil amplop lainnya. Dia berbuat 

sama, memiringkan amplop kedua sedemikian 

rupa sehingga dengan sedikit digoyangkan 

isinya jatuh ke permukaan amplop manila putih 

yang berisi cabikan kain itu. 

“Bagaimana dengan yang ini?”

Miranda sedikit membungkuk ke depan, 

demikian pula Bramandita Mereka berdua 

dengan heran mengawasi sejemput kecil. 

mungkin rambut, berwarna pirang, terikat 

selembar benang halus. 

“Rambut siapa ini?” bertanya Miranda.

“Ah. Jadi anda setuju dengn saya, bahwa 

itu rambut. Dokter kami menyebutnya dengan 

ucapan lain.”

“Apa?” Bramandita menyela, penasaran.

“Bulu.”

“Bulu? Bulu manusia?”

“Menurut dia, bulu binatang.”

“Binatang apa?”

“Kalau aku tahu, Nak, tak akan aku 

duduk bersantai-santai di rumah ini !” dan 

kepada Miranda ia mendesak: “Oke. Kita 

sependapat bahwa ini rambut. Pernah 

mengenali seseorang dengan rambut ini?”

“Asli? Atau wig?” Miranda balas 

bertanya.

“Terserah.”

Miranda meluruskan duduknya. Dan apa 

yang diharapkan baik oleh Bramandita maupun 

oleh Sudrajat sendiri, dengan segera 

dikeluarkan oleh Miranda. “Tidak!” jawabnya, 

tegas dan yakin.

Sudrajat mengantongi lagi kedua amplop 

itu. Bramandita yang tak kuat menahan 

penasaran, langsung menembak: “Dari mana 

semua itu Bapak peroleh?”

“Dari telapak tangan mayat sahabat 

karibmu itu, nak. Kami kira ia sempat 

merenggutnya sebelum ia mati. Kesimpulan

nya, ia tidak mau meninggal tanpa memberi 

jejak. Itu satu. Kesimpulan kedua, perbuatan 

itu dilakukannya tanpa sengaja selagi ia

memberi perlawanan habis-habisan untuk


mempertahankan nyawa yang cuma 

selembar.”

Perwira polisi itu masih akan mengata

kan sesuatu. Tetapi cepat ia batalkan, 

manakala ia melihat pipi Miranda dilelehi butir-

butir air mata. Ternyata perempuan tegar ini 

dapat juga menangis, pikirnya. Gundah. Pura-

pura tak tahu ia bangkit dan duduknya. 

Berkata: “Terimakasih untuk bantuanmu, 

nyonya. Katakanlah, bila ada hal-hal yang ingin 

kami bantu.”

Miranda diam saja.

Terpaksa Sudrajat menelan ludah. “Ikut 

denganku?” ia bertanya, seraya mengerling 

Bramandita yang terharu biru mengawasi 

Miranda.

“Aku akan tinggal sebentar, pak.”

Tolol untuk menyatakan: tabahkan 

hatimu, nyonya. Maka Sudrajat terus saja 

keluar, berjalan menuju mobilnya di 

pekarangan. Setelah meliuk sebentar pada 

Miranda. Bramandita mengikuti perwira itu. 

Membukakan pintu untuknya. Dan sebelum 

Sudrajat menyelinap masuk, Bramandita


mendesak: “Tidak meninggalkan sesuatu 

untukku, pak Drajat?”

Kapten polisi itu tertegun. Sejenak, in 

berpaling ke pintu rumah Miranda. Hanya 

tampak sebagian tubuh perempuan itu, masih 

tetap duduk di kursinya semula. Diam. Tak 

bergeming. “Kukira, sebentar lagi ia akan 

histeris...”

“Setuju. Tetapi bukan itu yang kuminta.”

“Kau benar-benar tak mau membuang 

ke sempatan ya?” Sudrajat bersungut-sungut. 

“Baiklah. Miranda, tidak lebih kuat dari 

Rosmalina. Lagi, Miranda begitu polos. Jujur. 

Dia tidak berusaha menutup-nutupi sesuatu 

yang dapat memberatkan dirinya. Sepintas 

lalu, 99% ia bebas dari sangkaan.”

“Dan,” Bramandita menarik wajah lega. 

“Persetan dengan yang satu persen sisanya. 

Apa yang harus kutulis?”

“Biarkan aku bernafas. Rama.”

“Dan, berikan sesuatu untuk kukunyah,”

Bramandita tak mau kalah.


“Jadah! Okelah. Untuk sementara, 

kesimpulanku pembunuh itu seorang laki-laki. 

Lelaki tinggi besar, kuat. Berdarah dingin, 

mampu berbuat hal-hal luar biasa. Mungkin 

maniac. Dan supaya koranmu laris seperti 

kacang goreng, kau tambahkan saja: mungkin

dia itu mahluk penghisap darah !”

Sudrajat masuk ke mobil, menghempas

kan pintu sampai tertutup dengan bunyi keras, 

lantas meluncur pergi.

***


EMPAT


“BENARKAH dia sudah mati, Rama?”

Bramandita menutupkan pintu di 

belakangnya. Menatap Miranda yang duduk 

kaku dengan pipinya yang pucat dibasahi air 

mata. “Mengapa kau masih...”

“Benarkah dia sudah mati?!”

“Mayatnya kulihat sendiri, Mira. Dan...”

Dan, betapapun kuat Miranda menggigit 

bibir; betapapun keras kedua tangannya 

mengepal…, akhirnya perempuan itu meledak 

juga dalam isak tangis. Sekujur tubuhnya yang 

ramping tergetar hebat. “Mengapa?” ia 

mengerang. “Mengapa dia harus mati? 

Mengapa… dia meninggalkan aku begitu 

cepat? Apa… apa yang telah kuperbuat?” Lalu 

dengan liar tangannya menjambaki rambut 

sendiri dengan kaki dihentak-hentakkan ke 

lantai. “Apa kesalahanku… apaa…?”

“Mira!”

Bramandita menyerbu perempuan itu, 

hanya dua tiga detik sebelum tubuh Miranda


jatuh ke lantai. Panik Bramandita memanggil-

manggil pelayan, membopong tubuh Miranda 

dalam pelukan lengan-lengannya yang kokoh 

kemudian membaringkannya di ranjang kamar 

tidur perempuan itu. Pelayan yang tak muncul-

muncul semenjak membukakan pintu untuk 

tamu tamu nyonyanya, datang berlari-larian 

dari belakang.

“Ada apa, Tuan? Apa yang… Astaga!”

“Punya minyak angin, bi Supi?”

Bramandita menepuk-nepuk pipi 

Miranda yang pingsan.

Pelayan berlari ke luar kamar, dan 

kembali dengan obat yang diminta Bramandita. 

Dengan minyak angin berbau keras itu 

Bramandita mengusap-usap tengkuk dan 

bawah hidung Miranda, sampai Miranda 

perlahan-lahan bergerak, tetapi belum juga 

membuka matanya. Sibuk lagi Bramandita 

mengusap, memijit, memanggil-manggil nama 

perempuan itu. “Bi Supi. Ambilkan segelas air.”

Lama Bramandita menunggu, Miranda 

tak juga sadarkan diri. Demikian pula air putih 

yang dimintanya tidak juga muncul.


Bramandita berpaling ke belakang, karena 

merasakan sesuatu yang ganjil pada 

tengkuknya. Dan ia terkejut setengah mati 

setelah menyadari bahwa bi Supi tegak 

mematung persis di belakangnya. Sepasang 

mata perempuan tua itu menyorot tajam tak 

berkedip. Mulutnya kumat-kamit, namun tak 

ada suara, perempuan yang rambutnya sudah 

memutih semua itu maju ke depan. 

Bramandita bergeser dengan sendirinya. 

Begitupun, ia masih kurang cepat.

Karena jalannya terhalang, bukannya bi 

Supi menghindari tubuh Bramandita. 

Melainkan, melabraknya! Bramandita sampai 

hampir terjatuh, terbelalak kaget karena 

kekuatan dorongan tubuh pelayan perempuan 

yang tampaknya kecil dan tak berdaya itu. Bi 

Supi terus membungkuk. Kedua tangannya 

memegang dan kemudian memijit masing-

masing ibu jari kaki Miranda.

“Bangunlah, nak,” bisiknya. Lembut.

Sepasang kelopak mata Miranda tahu-

tahu saja terpentang. Nyalang. Bola matanya 

berputar sebentar. Liar. Dan setelah bi Supi


melepaskan pijitannya pada ibu jari kaki 

Miranda, putaran mata yang liar itu berhenti. 

Miranda mengerjap-ngerjap sementara bi Supi 

mundur menjauh, la tersenyum pada 

Bramandita. Berbisik ramah: “Dengan cara 

itulah tadi dia saya bangunkan ketika Tuan 

Rama datang,” lalu perempuan itu 

mengundurkan diri dari kamar.

“... Rama?”

Bramandita yang masih ternganga bingung 

menatap kepergian pelayan perempuan itu, 

tersentak seketika, la berpaling dan mendekat 

ke tempat tidur. “Ya, Mira?”

“Maafkan ketololanku barusan.”

Miranda mencoba tersenyum, sambil tangan

nya melambai menyuruh Bramandita duduk di 

sampingnya, yang segera dipatuhi laki-laki itu 

dengan senang hati.

“Wajar, Mira.”

“Tidak. Sifat sentimentil paling kubenci. 

Waktu temanmu masih ada, aku dapat 

bertahan. Namun begitu yang tinggal cuma kita

berdua, aku lantas teringat ada sesuatu yang 

kurang. Sesuatu itu adalah orang ketiga.


Lesmana,” Miranda menggigit bibir, kemudian 

menarik nafas panjang. “Kematian yang 

mengerikan, bukan?”

“Mira. Cobalah lupakan...”

“Aku tak bisa.”

“Lesmana sudah pergi.”

Mendengar itu, sepasang mata Miranda 

berkilat selagi menatap lurus ke mata 

Bramandita. “Tahukah kau apa arti ucapanmu 

itu, Rama?”

“Ya?”

“Berarti, yang tinggal cuma Rama dan Shinta.”

“Mira…,” Bramandita tercekat.

“Mengapa kau tidak berhenti memanggil

ku Mira? Bukankah kau pernah memanggilku, 

Shinta? Walau hanya satu kali?”

Bramandita gemetar. Terkilas peristiwa 

masa silam di matanya, la demam, Miranda 

datang menjenguk. Dalam demamnya, ia 

diganggu pikiran akan hati yang patah. Waktu 

itu, Bramandita mengigau keras, setengah 

berteriak memelas: “Sinta! Menyapa kau justru


mencintai Lesmana?!” Waktu itu pula. sadar 

akan keadaan Bramandita, sadar pula akan jerit 

hatinya sendiri. Miranda langsung memeluk 

dan menciumi Bramandita. Naluri yang lama 

tertekan mendorong Bramandita bertindak 

ceroboh. la balas memeluk, balas mencium. 

Karena tidak ada perlawanan dari Miranda, ia 

akhirnya kesurupan. Tidak lagi sekedar 

mencium atau memeluk, la menggerayangi 

tubuh gadis itu, berusaha dengan paksa 

menanggalkan pakaiannya. Namun sebelum 

semuanya terlambat, sekonyong-konyong 

Miranda menampar pipi Bramandita dengan 

keras, meronta; menjatuhkan diri di lantai, 

kemudian menangis. Kata Miranda: 

“Dia telah mendahuluimu, Rama. 

Lesmana sudah mengambil apa yang seharus

nya kuberikan pada seorang suami. Jangan, 

Rama. Jangan paksa aku menerima dua benih 

sekaligus, meski dua-dua kalian sama kucintai!”

***


“Mengapa membisu, Rama?”

Bramandita tergetar. “Semuanya sudah 

berlalu, Mira.”

“Shinta. Panggil aku Shinta,” Miranda 

setengah tegak dari baringnya, untuk 

menggapai tangan Bramandita dan menekan

kan telapak tangan laki laki itu ke dadanya.

Bramandita merasakan gunung di 

telapak tangannya berdentum dentum, siap 

meletus dan menghancurkan benteng 

pertahanannya. “Tidak mungkin, Mira...” ia 

mengeluh, setengah hati.

“Mungkin. Rama. Karena Lesmana sudah 

mati.”

“Karena itulah...”

“Tahukah kau?” Miranda duduk kini. 

Bersimpuh di tempat tidur. Sepasang telapak 

tangannya mengusap-usap kedua belah pipi 

Bramandita, kemudian melingkari leher laki-

laki itu, menarik wajahnya lebih dekat. 

“Tahukah kau,” bisiknya, kembali histeri. 

“Sudah lebih dari empat bulan Lesmana tidak


menyetubuhi aku. la lebih suka menyetubuhi 

perempuan lain itu!”

“Mira...”

“Peluk aku. Rama. Cium aku seperti dulu. 

Lakukanlah apapun yang kau kehendaki waktu 

itu. Aku… aku menginginkan engkau. Rama. 

Oh,… ” dan Miranda tidak menunggu, la 

langsung bertindak, la mencium bibir 

Bramandita, mengulumnya seperti orang gila, 

menyeret tubuh tinggi kekar itu dengan 

kekuatan yang luar biasa dahsyat. Sampai

Bramandita tercelentang di tempat tidur dan 

Miranda lampung menjatuhkan seluruh tubuh 

nya di atas tubuh laki-laki itu, tanpa 

melepaskan pelukan maupun ciuman tubirnya.

Dan setengah jam berikutnya, selagi 

Miranda masuk ke kamar mandi yang menyatu 

dengm kamar tidur itu. Bramandita terbadai di 

bawah selimut, dengan sepasang mata nyalang 

menatap langit-langit kamar. Di langit-langit ia 

menemukan apa yang ia cari. Tedi Jukandi 

menghambur dengan tangkas, merangkul 

tubuh Miranda dan belakang. Berbisik mesra: 

“... aku mencintaimu!” Piring kotor di tangan


Miranda jatuh berderai di bak cuci Air dari 

kraan terus mengucur. Putih bening, kemudian 

berubah merah. merah dan semakin merah. 

Bak cuci penuh darah. Dan Bramandita 

terkapar di lantai. Ataukah beranda? Lehernya 

hampir putus, dan alat vitalnya…

“Mira?” Bramindita mengerang Karena 

tak ada sahutan, ia memperkeras suaranya: 

“Mirar?”

Dari kamar mandi, muncul Miranda 

dengan tubuh setengah telanjang terbungkus 

handuk. “Ya, Rama?” Perempuan itu bergerak 

naik ke tempat tidur, melemparkan handuk 

dan menyelusup ke bawah selimut satu 

satunya yang ada di ranjang itu.

“Tahukah kau apa yang barusan kita 

perbuat?” tanya Bramandita, lirih.

“Menyesal, Rama?”

“Seharusnya kita berkabung!”

“Untuk seseorang yang pernah 

mendepakmu? Kemudian mendepak aku?!”

Miranda berkata sengit. “Tidak tahukah kau 

besarnya hasratku membunuh dia, ketika aku


dipukulinya,… dan ketika dia bilang akan 

menceraikan aku?”

“Mira. Ingatlah, la suamimu...” ujar 

Bramandita, menegur.

“Memang. Tetapi itu karena aku tidak 

punya pilihan.”

“Maksudmu?”

“Waktu ia tahu aku juga mencintaimu 

diam-diam, ia langsung mengambil jalan 

pintas. Suatu malam ia datang menemuiku 

dengan dalih meminjam buku catatan kuliah, la 

merayuku. Ketika aku menolak, ia memperkosa 

aku,…” sudut-sudut mata Miranda kembali 

dilinangi butir-butir air bening. “Mau tak mau 

terpaksa pinangannya kuterima.”

Bramandita terdiam.

la berpikir. Tetapi otaknya buntu. Kalut, 

la menyesali sesuatu. Bangga akan sesuatu. 

Tetapi ia tidak dapat menguraikan, apa yang ia 

sesali. Apa yang mesti ia banggakan.

Pelan-pelan ia turun dari ranjang.


Menjangkau pakaiannya yang 

berserakan. Kemeja terhampar di lantai. 

Celana tertumpuk di sudut ranjang, la 

mengenakannya satu persatu, dengan tangan-

tangan gemetar.

“Mau ke mana, Rama?”

“Pulang.”

“Ke isterimu?”

“la minggat lagi,” jawab Bramandita, 

terus terang.

Miranda bangkit, menutupkan selimut 

ke tubuhnya. Dan merangkul Bramandita dari 

belakang. Berbisik: “Katakanlah, kau tidak 

pernah mencintai Retno.”

Bramandita diam.

“Hebat bukan Lesmana? la sodorkan 

salah seorang bekas pacarnya padamu. 

Mengatakan Retno anak baik. Punya sifat 

keibuan. Tahu menjaga diri. Setia. Jujur. Segala 

macamlah. Apa nyatanya, la sudah hamil dua 

bulan ketika dia berhasil merayumu supaya 

menidurinya. Lalu ia… dengan perut bunting


nya, menuntut supaya kau kawini dengan syah. 

Dan kau… ”

Sekujur tubuh Bramandita tegang kaku. 

la ingin berteriak lantang. Namun yang keluar 

hanya rintihan sayup-sayup: “Jangan berpikir, 

bayi itu adalah Ratno.” ,

“Siapa yang menghendaki Retno meng

gugurkan kandungannya, Rama?”

“Aku. Sebagai syarat,…” Bramandita 

menggigil. ”Aku tidak mau punya seorang anak 

yang tiduk kuketahui siapa ayahnya!”

“Dan. Ratno?”

Bramandita melepaskan rangkulan 

Miranda. Berbalik menghadap perempuan itu, 

dan dengan wajah merah padam ia 

menantang: “Akan ku bunuh siapapun juga 

yang lancang mengatakan Ratno bukan 

anakku!”

Miranda terduduk di tepi ranjang. 

“Maafkan aku, Rama.”

Bramandita tidak menjawab, la bergegas 

meninggalkan kamar tidur. Menyambar tustel

nya yang tertinggal di ruang tamu, dan


beranjak ke pintu depan. Miranda menyusul, 

tetapi hanya sampai di ambang pintu kamar.

“Rama...”

Bramandita ingin terbang. Tetapi 

jiwanya memerintahkan jangan. Jiwa itu 

pernah terkapar hampir sekarat karena cinta. 

Retno, atau tepatnya anaknya Ratno,…

membangkitkan jiwa itu kembali, untuk tetap 

hidup. Tetap tabah. Namun biar bagaimana, 

toh cinta yang mengerikan itu tidak juga mau 

padam.

Itulah yang membuatnya tidak lantas 

terbang begitu saja.

“Apa lagi, Mira?”

“Tentang Tedi...”

“Oh,” lemas sekujur tubuh Bramandita. 

“Dia tetap sahabatku. Karena itu, aku akan 

mengurusnya.”

“Terimakasih, Rama.”

“Kalau kau masih perlu sesuatu, telepon 

saja aku di kantor...”

***


BUAT apa pulang ke rumah kosong?

Maka dengan perasaan muak, begitu 

mendapat kan taksi, Bramandita langsung 

pergi ke kantor mereka yang berlokasi di 

percetakan negara itu. la tidak tahu apakah ia 

harus membuat berita tentang kematian 

sahabatnya atau jangan, la ke kantor, hanya 

karena ia tidak tahu harus pergi ke mana.

“Abang ini wartawan?” supir taksi 

bertanya ingin tahu. 

“Apa?”

“Abang bawa tustel. Dan abang minta 

diantarkan ke sebuah alamat di mana aku tahu 

ada pencetakan sekian banyak suratkabar yang 

beredar di metropolitan ini.”

“Hem. Lantas?” .

“Sudah dengar tentang peristiwa itu?”

“Yang mana?” Bramandita bertanya, 

hanya sekedar ingin bertanya. Karena ia sudah 

tahu arah pembicaraan orang itu. 

Bagaimanapun, dia ini supir taksi. Dan salah 

seorang rekannya sepropesi, telah mati malam 

ini.


“Pembunuhan di Ciputat. Gang Masturi...”

“Oh. Itu. Hanya dengar sambil Jalu,”

Bramandita akan ditertawakan supir taksi, 

kalau sebagai seorang kuli tinta ia tidak 

mengetahui peristiwa yang pasti mengheboh

kan itu. “Kudengar ada seorang kawanmu 

terbunuh.”

“Betul, bang. Kasihan. Dia baru menikah 

minggu kemaren. Masih hangat-hangatnya. 

Isterinya terpaksa jadi janda dua kali...”

“Oh ya? Jadi ia menikahi seorang janda?”

timpal Bramandita, sambil mencatat 

pembicaraan itu dalam otak jurnalisnya. Pelan-

pelan, hasrat untuk menulis berita yang sempat 

hilang, kembali tampil ke depan. Bramandita 

mulai bersemangat. Dan ia harus tetap hidup, 

bukan?

“Benar, Oom. Janda, dengan empat anak.”

“Wah. la mau?”

“Masih muda, Oom. Dan lumayan molek. 

Anak-anaknya masih kecil. Dua di antaranya 

kembar. Mereka ditinggal mati oleh ayah 

mereka yang berpenyakit liver.”


“Termasuk kaya dong, bekas suami janda itu.”

“Bukan kaya lagi. Sebagian armada taksi 

ini adalah sahamnya.”

“Lho. Kok kawanmu itu masih menarik 

penumpang, kalau begitu.”

“Alasannya dapat diterima sang isteri. 

Membawa sendiri, perawatan taksi lebih 

terjamin. Alasan lainnya, ia tidak ingin hidup di 

bawah ketiak isteri. Ingin punya penghasilan 

sendiri.”

“Hebat!”

“Benar. Anak hebat kawanku itu. Belum 

seminggu kawin, sudah punya simpanan di 

luar. Lebih muda, tentu. Lebih cantik. Masih 

perawan lagi. Mungkin karena itu, malam ini 

dia apes. Ketemu hantu, lalu mati.”

“Hantu?”

“Apa lagi. Bukankah ia tidak luka. Tidak 

pula digerayangi miliknya. Kata mereka, 

wajahnya begitu menyeramkan. Apa lagi kalau 

bukan karena melihat hantu?”

“Kudengar, ia berperyakit jantung.


“Bohon. Aku kenal dia. la seorang 

perenang juga gemar angkat besi. Ah, inilah 

misteri hidup, bukan? Ia bertemu pacarnya di 

arena renang, empat hari yang lalu. Beberapa 

minggu sebelumnya ia bertemu istrinya yang 

janda itu, di arena angkat besi.”

“Istrinya juga atlit angkat besi?”

“Bukan. Malah kupikir, perempuan itu 

tidak tahu menahu soal angkat besi. la datang 

menonton, karena keranjingan pada otot-otot 

baja yang mentakjubkan. Dalam pikirannya, 

tentulah laki-laki berotot baja itu juga 

mentakjubkan di atas ranjang.”

“Kau mengada-ada.”

“Serius, bang. Aku sendiri hadir ketika 

kawanku yang mati itu dulu habis latihan 

anqkat besi di gymnasium, sang janda datang 

membantu menyeka keringatnya. Semenjak 

hari itu mereka tak pernah lepas satu sama 

lain...”

Tentu saja, soal-soal pribadi itu lebih 

diperhalus Bramandita ketika ia membuat 

beritanya di kantor. Sebelumnya ia telah 

menelepon ke kantor polisi. Kapten Sudrajat


memberitahu bahwa taksi yang misterius itu 

telah ditemukan di sebuah jalanan yang sepi. 

Bagian depannya penyok karena menabrak 

pilar sebuah rumah. Sudrajat juga memberi

tahu bahwa mayat Tedi telah diangkut ke 

rumah sakit untuk autopsi. Hasilnya baru 

diketahui paling cepat besok siang, karena 

dokter Sulaeman tidak sudi bekerja sendirian.

“Dia sudah sedeng, barangkali. Coba saja

Rama. Masa untuk mengotopsi mayat orang, 

dia merasa perlu mengundang kehadiran 

seorang dokter hewan dan seorang ahli yang 

khusus menangani binatang-binatang besar 

serta buas? Binatang apa yang dapat menyetir 

mobil dan kemudian meninggalkannya begitu 

saja tanpa membuat kegaduhan?” demikian 

Sudrajat mencak-mencak di telepon.

Selesai membuat berita, Bramandita 

mendatangi petugas kamar gelap, la 

mendapatkan beberapa seri foto yang sudah 

dicetak, dan menyerahkannya pula pada Rujito 

yang asyik menekuni naskah hasil kerja 

Bramandita. Rujito begitu antusias terhadap 

naskah berita yang satu itu, sehingga ia merasa 

perlu menghubungi kepala bagian lay-out dan


memberitahu agar head-line utama yang sudah 

disusun agar dicabut dan dipindahkan ke kolom 

yang lain.

Tetapi begitu Rujito menerima foto-foto 

yang disodorkan Bramandita, wajah Rujito 

mendadak berubah, la seolah kehilangan nafsu 

makan meski sudak sebulan berpuasa penuh. 

“Cuma ini yang kau dapat? Wajah 

seorang supir taksi yang sedang tidur lelap?”

Rujito menghempaskan !embaran-lembaran 

foto itu ke atas mejanya. Mendelik pada 

Bramandita, dan menuntut: “Mana leher yang 

hampir putus diterkam mahluk biadab itu? 

Mana alat vital korban yang direnggut putus 

itu?”

“Alat vitalnya lenyap secara misterius,”

jawab Bramandita kalem. “Kalaupun ditemu 

kan, jangan berpikir aku bersedia memotret

nya. Sedang leher, sudah dibawa oleh 

pemiliknya ke rumah sakit.”

Rujito bagai dilanda tank baja. Ia

terhenyak di kursinya dengan wajah pucat dan 

mulut megap-megap kehabisan nafas.


Merasa iba, Bramandita bergumam 

halus: “Kalaupun kita muat foto mayat yang 

satu lagi,… tegakah abang membawa pulang 

surat kabar terbitan pagi ini untuk dibaca anak 

isteri di rumah?”

Barulah Rujito tenang kembali.

la mengawasi mata Bramandita, 

kemudian berbisik parau: “Kau menyembunyi

kan sesuatu dari aku.”

Bramandita tersenyum. Pahit.

“Berilah alasan sesungguhnya, Rama, 

agar besok siang aku rela hati dibentak-bentak 

bos kita…”

“Ajukan saja sebuah pertanyaan pada 

mereka...”

“Apa?”

“Tanyakan, apa yang akan mereka 

perbuat, andaikata yang mati terbunuh itu 

seorang sahabat yang sudah seperti saudara 

kandung layaknya?”

Rujito tersenyum. Menghina. “Buat 

mereka, apabila ada kesempatan menampung


banjir uang ke dalam laci, mereka tak akan 

perduli apakah yang kita muat foto nenek 

kandung mereka yang sudah pikun, berak di 

tengah jalan tol...” senyuman Rujito melebar, 

senang akan leluconnya itu. Lalu menambah

kan: “Tetapi alasanmu itu dapat kupakai 

sebagai alat penuli telinga.”

***


LIMA


BRAMANDITA merasakan sesuatu yang 

aneh mengganjal dadanya, tatkala jenasah Tedi 

“Lesmana” Jukandi diturunkan ke liang lahat. 

Pemandangan itu mirip sebuah nostalgia yang 

sampai kapan pun akan tetap menggurat 

hatinya yang paling dalam.

Mungkin mereka sudah gila semua, 

tetapi mereka telah melakukannya dan 

berhasil. Atau sebenarnya. Tedi Jukandi 

seorang yang telah berhasil menenangkan 

sesuatu. Paman Margono memperbolehkan 

sebuah peti perkakas miliknya yang sudah tua 

tetapi masih kuat, dipinjam oleh keponakannya 

dengan alasan untuk dipakai main perahu-

perahuan di sungai... menyenang-nyenangkan 

hati rombongan kecil temannya yang datang

dari kota. Dibantu Ambarita dan Tedi sendiri, 

Margono menutup setiap celah yang terdapat 

di setiap sisi, termasuk tutup peti. Pada tutup 

peti itu di bor sebuah lubang, cukup untuk 

memasukkan sebatang lidi.


Peti persegi empat dan panjangnya 

kebetulan pas seukuran manusia dewasa itu 

mereka gotong ke tempat penumpukan pasir

hasil galian paman Margono dari tengah 

sungai. Setelah diletakkan di sebuah bidang 

tanah datar. Tedi menyelusup masuk ke dalam 

peti. Sebelumnya lebih dulu ia berteriak:

“Semua sudah menyimpan taruhannya?”

Semua bilang sudah, kecuali Bramandita. 

Margono meletakkan pulpen merk Parker 

dekat kaki Miranda. Di tempat yang sama 

Ambarita meletakkan kacamatanya yang paling 

disayangi. Dina meletakkan arloji, demikian

pula Dini. Sedang Miranda sendiri meletakkan 

di atas tumpukan barang-barang kecil tetapi 

bernilai tinggi itu sepasang anting berlian 

miliknya.

Hampir tak ada yang memperhatikan 

bahwa Bramandita tidak meletakkan sesuatu 

apapun juga. Mereka semua terlalu tegang 

memikirkan apa yang bakal terjadi, resiko apa 

yang akan mereka hadapi. Lain halnya dengan 

Dina dan Dini. Si kembar Hitam Putih yang ajaib


yang dilanda gelisah. Dua bersaudara itu 

rupanya tidak dapat dikelabui.

Dina berbisik di telinga kiri Bramandita: 

“Aku yakin, kau yang punya ide!”

Dini berbisik di telinga kanan Bramandita: 

“Taruhanmu pastilah Shinta...!”

Demikian juga, taruhan Tedi Jukandi.

Dia yang punya ide itu. ketika dalam 

gudang paman Margono Tedi menemukan peti 

usang yang beriwayat itu. Dan Tedi masih 

punya taruhan lain yang sangat berbahaya: 

mati.

Meremang bulu roma Bramandita 

seketika. Mulutnya sudah mangap mau 

berteriak supaya permainan edan itu 

dihentikan saja. Tetapi Tedi Jukandi sudah 

lenyap ke dalam peti. Disusul teriakannya yang 

lantang: “Lima menit. Tak kurang, tak lebih!”

Margono, Ambarita dan Bramandita 

segera bekerja dengan sekop dan pacul, 

menumpukkan pasir di sekitar peti. Ketika akan 

mencapai tepi bagian atas, dari dalam peti Tedi 

memperlihatkan senyuman tipis, ditujukan


pada Bramandita. Senyuman itu melambang

kan ketetapan hati dan keyakinannya akan diri 

sendiri. “Aku akan menang,” bisiknya.

Lalu tutup peti dikatupkan rapat-rapat. 

Hilang sudah Tedi Jukandi. Tinggal sebatang lidi 

sepanjang lengan, yang diselusupkan ke dalam 

lubang kecil itu. Kembali mereka bertiga 

menumpukkan pasir secepat mereka mampu. 

Setelah seluruh peti benar-benar tertimbun 

rapat tanpa ada celah untuk udara keluar 

masuk, mereka berenam yang berkerumun di 

luar timbunan maut itu memperhatikan arloji 

di tangan Miranda. Semua menghitung, detik 

demi detik. Keringat bercucuran membanjiri 

tubuh Margono. Ambarita beberapa kali 

menyeka wajahnya yang pucat. Bramandita 

sempoyongan, namun dengan mata sekop 

tetap mengambang di permukaan gundukan 

pasir, siap untuk sesewaktu diperlukan. Dina 

kemudian duduk dengan nafas tersengal-

sengal. Sedang Dini permisi, katanya mau 

kencing; semua maklum, mengapa Dini 

mendadak ingin kencing.

Hanya Miranda yang tetap tenang.


Matanya tak lepas mengawasi putaran 

jarum arloji. Tak pernah sekalipun berkedip. 

Mulut terkatup, rapat, seolah tanpa perasaan. 

Hanya dadanya saja yang tampak naik turun. 

Tidak teratur. Sesekali Miranda melirik ujung 

lidi yang tersembul sepanjang lima jari di 

tengah gundukan pasir. Tiap kali ia berpaling ke 

lidi, yang lain ikut melihat arah yang sama. 

Kalau ia kembali mengawasi jarum jam 

tangannya, yang lain berbuat serupa. 

Bramandita seorang saja yang tidak mau 

melepaskan matanya dari ujung lidi itu. 

Berharap, lidi itu bergerak naik turun dalam 

setiap detik. Bukan karena ia ingin keluar 

sebagai pemenang. Melainkan, karena ia tidak 

dapat membayangkan Tedi Jukandi mati 

karena idenya yang menyeramkan itu. Dan, 

ujung lidi itu tetap tegak. Diam.

“… enam lima empat tiga dua satu. 

Sekarang !” sekonyong-konyong Miranda 

berteriak.

Bramandita langsung menggerakkan 

sekop di tangannya. Berteriak-teriak bagai 

orang kesetanan: “Hayo, Gono. Cepat. Ambar, 

pergunakan saja tanganmu! Hei, kau Dini.


Minggir! Ayo Mira, pakai sepatumu 

mengoreknya… Tuhanku! Tolonglah…”

Tutup peti dibuka oleh Bramandita 

sebelum semua pasir yang menumpukinya 

berhasil disingkirkan. Di dalam, Tedi Jukandi 

terbaring diam. Mulanya mengatup rapat. 

Demikian pula mulutnya yang menjepit ujung 

lain lidi itu. Bramandita muncabut lidi tersebut, 

melemparkannya dan berbisik tertahan: 

“Katakanlah kau masih hidup, saudaraku. 

Persetan, apapun yang ingin kau kehendaki 

dari diriku!”

Tedi Jukandi membuka matanya. 

Lalu tersenyum lebar. Dia telah 

memenangkan taruhannya. Dan Bramandita… 

dengan siapa Tedi diam-diam morencanakan 

ide itu… semenjak detik pertama Tedi 

membuka matanya di dalam peti; harus

mengatakan “tidak”, apabila Miranda bertanya 

apakah Bramandita cinta padanya…

***


“WAKTUNYA untuk pulung, nak.”

Suara Kapten Sudrajat membuyarkan 

lamunan Bramandita. la tersedak sekali. Lalu: 

“Siapa yang pulang?”

Sudrajat tertegun. Kemudian berpaling 

ke gundukan makam Tedi Jukandi. Katanya: 

“Kau tidak berdo'a agar ia pulang dengan 

tenang ke haribaan-Nya?”

Bramandita mencobanya.

Tetapi ia tidak mampu, kecuali 

mengingat beberapa ayat-ayat pendek. Itu pun 

kacau balau. Hampir semua pengiring jenasah 

sudah meninggalkan tempat itu. Tinggal 

seorang dua keluarga yang tetap bersimpuh. 

Berdo'a, seraya mencucurkan air mata. 

Akhirnya Bramandita menurut ketika di

bimbing oleh Sudrajat menuju ke mobilnya 

yang diparkir di luar komplek pemakaman.

“Kuantar ke mana, nak?”

“Kantorku saja.”

“Oke.”


Mobil meluncur ke jalan raya. Suasana 

mati di pemakaman dalam sekejap berubah 

hiruk pikuk dengan suasana Jakarta yang tetap 

hidup biarpun panas terik memanggang ubun-

ubun. Jalanan macet total menjelang kantor 

yang dituju. Tetapi Sudrajat melupakan 

kebiasaannya memaki-maki. Kalau ia memaki, 

ia akan melukai hati Bramandita. Selain itu, ia 

tidak mau memaki korpsnya sendiri… meski 

dari satuan yang lain.

“Beritahu pagi ini...” Sudrajat nyeletuk 

sekedar nyeletuk. “Mendorongku untuk 

berpikir lebih keras.”

“Mengenai apa?”

“Supir taksi yang mati itu. Setelah 

membaca berita yang kau tulis, aku lantas 

menghubungi sejumlah orang dan beberapa 

saksi. Yang awam, maupun yang ahli. 

Kesimpulan mereka, kau benar. Orang itu 

bukan penderita penyakit jantung...”

“Lantas?”

“Itu berarti, ia mati karena kejutan yang 

luar biasa. Jauh lebih dahsyat dari kejutan yang 

dialami seorang Jenderal manakala ia lihat


seluruh pasukan nya gugur bergelimpangan, 

padahal dia yakin kemenangan sudah di depan 

mata...”

“Jelasnya?”

“Supir taksi itu mati setelah melihat 

sesuatu. Sesuatu yang walau tidak menyentuh

nya, tetapi telah mampu menghentikan detak 

jantungnya,” Sudrajat meludah ke luar, karena 

sebuah mobil menyalip mereka di tengah 

macetnya lalu lintas. “Hei. Ia pikir aku ini apa? 

Tidakkah ia hargai barang sedikit plaat dinas

polisi pada mobilku?” sang kapten menggerutu 

panjang pendek. “Mau kutangkap, ya?”

Bramandita tersenyum. “Tangkaplah dia, 

pak. Hanya terima saranku. Sekali bapak turun, 

lalu lintas akan tidak karu-karuan. Aku akan 

memotret bapak adu otot dengan ribuan 

pengemudi serta penumpang mobil itu. Itu 

dapat dijadikan sebuah foto dan berita 

eksklusif.”

“Jadah !”

“Bagaimana skenarionya, pak Drajat?”


“Begini. Tedi baru saja ke luar pintu. 

Diantar Rosmalina sampai ke beranda. 

Katakanlah; mereka sempat berciuman dulu. 

Cium perpisahan… yang ternyata untuk 

selama-lamanya. Pada saat itulah sang mahluk 

datang menyerbu. Tedi mendorong Rosmalina 

ke dalam rumah. Dan ia berjuang sendirian 

melawan si mahluk. Namun karena yang ia 

hadapi bukan mahluk sembarangan, Tedi 

menyerah dalam tempo singkat.

Rosmalina menjerit. Ronggur 

mendengar jeritannya, lantas membuka 

jendela depan rumahnya. Mungkin terlalu 

keras. Mahluk itu mendengarnya, dan 

kemudian kabur. Sementara Ronggur masih 

ragu-ragu apakah akan keluar atau tidak. Supir 

taksi juga mendengar jeritan Rosmalina. la 

turun dari taksinya. Baru beberapa langkah, ia 

sudah berhadapan dengan mahluk yang sama.

Supir taksi yang kaget itu, berteriak. Lalu 

mati. Mahluk itu masuk ke dalam taksi. Lantas 

lenyap, entah ke mana.”

“Bagaimana dengan taksi yang penyok itu?”


“Tak ada petunjuk. Kecuali sidik-sidik jari 

Yang aneh. Sidik jari mana masih kami periksa 

di laboratorium.”

“Seseorang mesti melihatnya lari setelah 

taksi itu terhenti begitu menyambar pilar. 

Sudah dilacak?”

“Sedang.”

“Hasilnya?”

“Negatip positip.”

“Apa pula itu?”

“Negatip. Karena tidak seorang pun yang 

melihat ketika mahluk itu keluar dari dalam 

taksi. Tempat sunyi, ingat. Tengah malam lagi,”

Sudrajat memajukan mobil perlahan-lahan, 

mengikuti arus yang bergerak terus ke depan. 

“Yang positip, keterangan dari seorang pemilik 

rumah yang pilarnya kena tabrak. Karena 

anjingnya terus menggonggong ribut, ia 

mengintip lewat jendela. Tampak sebuah taksi 

warna kuning berlalu. Di pinggir jalan, ia lihat 

ada sebuah mobil lain diparkir. Mobil warna 

gelap, yang merk maupun tahunnya tidak 

begitu ia ingat.


Karena anjingnya berhenti menggong-

gong, ia meneruskan pekerjaannya membuat 

sebuah sket bangunan. Orang itu arsitek, kalau 

kau tertarik. Suatu saat. ia dengar suara 

berderak di luar rumah. Anjingnya kembali 

ribut menyalak. Tetapi karena arsitek itu lagi 

terpusat konsentrasinya pada sket yang hampir 

selesai, baru beberapa menit kemudian ia 

teringat untuk menyelidiki suara apa yang tadi 

ia dengar, mengapa anjingnya yang tadi 

menyalak kini diam lagi. Lewat jendela, ia lihat 

mobil warna gelap tadi sudah lenyap. Sebagai 

gantinya, kembali ia temukan sebuah mobil 

taksi kuning, la mengumpat-umpat dulu 

setelah mengetahui pilar tembok pagar 

rumahnya runtuh. Baru menelepon polisi...”

Mobil meluncur lebih cepat setelah 

mereka melewati lampu hijau.

Karena Sudrajat tak lagi mengatakan 

apa-apa, Bramandita nyeletuk: “Habis?”

“Apa? Pilar itu?”

“Cerita bapak.”

“Oooo. Habis. Untuk sementara.”


“Kukira belum.”

“Ada yang salah?”

“Ya. Bapak beberapa kali menyebut kata 

'mahluk'. Bukan lagi 'manusia', itu menarik 

perhatian saya. Punya sebab?”

“Oh-oh. Kukira, aku juga ikut pikun.”

“Karena dokter Sulaeman?”

“Betul. Dia punya dugaan kuat, 

pembunuh yang kita cari bukan manusia biasa. 

Kubilang: kalau begitu, manusia luar biasa 

dong. Dokter sialan itu geleng kepala. Dia 

bilang, ia tidak tahu apa yang menyerang Tedi 

dan kemudian mengejutkan si supir taksi. 

Namun ia dapat memberi gambaran kasar.”

“Gambarkan pula padaku, pak Drajat.”

“Baik. Tetapi off-de-record ya?”

“Hei. Seram banget!” seru Bramandita, 

kecewa.

“Aku tak mau reputasiku jatuh. Itu satu 

Yang kedua, siapapun tak menghendaki kota 

metropolitan ini goncang, gaduh, gempar. Atau 

semacam itu. Mungkin 80% penduduk Jakarta


akan mentertawakan. Tetapi sisa yang 20% itu 

dapat saja membuat mereka berhenti 

tertawa.”

“Wah!”

“Memang wah. Si pikun botak berkaca

mata min satu setengah itu bilang, hanya 

manusia biasa yang dapat menyetir mobil 

sejauh itu, tanpa mengalami gangguan 

sepanjang jalan. Sebaliknya dia juga bilang, dia 

dan teman-teman yang dia undang 

sependapat, luka-luka yang terdapat pada 

tubuh Tedi hanya dapat dibuat oleh kuku atau 

gigi taring yang selain besar, juga panjang dan 

runcing setajam pisau silet. Belum lagi bulu-

bulu yang kita jadikan barang bukti itu...”

“Bulu. Bukan rambut.”

“Bisa benar, bisa salah. Karena kata 

mereka, sukar memastikan apakah bulu atau 

rambut yang tumbuh di sekujur tubuh seekor 

kera.”

“Ke… ke... raaa?”

“Kok wajahmu pucat. Rama. Apa kau 

belum pernah melihat kera


*****


ENAM


BRAMANDITA punya kebiasaan buruk. 

Sering melek malam. Ngebut mengejar berita 

mendadak. Atau mengetik artikel apa saja yang 

menyangkut dunia kriminil dan menarik.untuk 

dihidangkan pada pembaca. Terkadang ia juga 

membuat cerita pendek berbau perkara-

perkara kejahatan. Sekitar pukul tiga atau 

empat pagi barulah Bramandita merayap ke 

tempat tidur. Letih. Dan mengantuk setengah 

mati.

Sebaliknya, justru pada jam-jam itulah 

isteri-nya bangun. Semenjak anak mereka lahir. 

Retno pelan-pelan mulai belajar menjadi 

seorang Muslimat yang taat. Katanya, untuk 

menebus dosa-dosa masa lalu. Alasan lain, tak 

ingin anak mereka kelak mengikuti jejaknya

yang pernah keliru langkah. Habis menunaikan 

sholat subuh, Retno mencuci pakaian kotor. 

Terus memperiapkan santapan pagi. Lalu 

mengurus Ratno yang menyusul bangun. Pukul 

tujuh, Ratno pergi ke sekolah Taman Kanak-

Kanak di mana ia bekerja sebagai guru. Di mana 

juga kemudian Ratno terdaftar sebagai murid.


Baru sekitar pukul sembilan pagi 

Bramandita bangun. la terpaksa makan 

sarapan pagi yang sudah dingin, itu pun

acapkali harus sendirian. Tak heran Bramandita 

sering tidak menyentuh makanan yang tersedia 

di meja. la lebih suka sarapan di warung yang 

berdekatan dengan kantornya. Ia berkubang di 

kantor itu sekitar setengah atau satu jam. 

Tergantung apa yang harus ia kerjakan. Setelah 

itu getting cari berita di luaran. Bila ada berita 

menarik dan beberapa sumber harus didatangi 

untuk wawancara atau pemotretan, maka ia 

baru pulang ke rumah sekitar pukul lima sore. 

Kadang malah tak pulang sama sekali. Kumpul 

sebentar dengan anak isteri, lantas minggat lagi 

ke kantor untuk menyusun berita-berita yang ia 

peroleh hari itu. Atau, memburu bahan-bahan 

baru. Menjelang tengah malam baru ia bisa 

pulang, dan menemui anak isterinya sudah 

terlelap dalam mimpi.

Kebiasaannya itulah yang membuat 

Retno berulangkali uring-uringan. Apalagi kalau 

bertengkar soal agama. Wah! Bramandita pasti 

selalu jadi pecundang. Untuk menjaga wibawa 

ia mengingatkan Retno bahwa ia melakukan itu


semua demi perut anak isteri juga. Kalau perlu, 

dengan bentakan. Sekali dua, dengan main 

tampar. Hanya karena kecintaan pada Ratno 

saja yang membuat mereka kemudian saling 

memaafkan dan mengurungkan niat untuk 

bercerai. Bramandita punya cara paling mudah 

dan paling mujarab untuk menundukkan Retno 

seret dia ke atas ranjang, telanjangi, lalu 

hancurkan naluri seksuilnya. 

Setelah itu, semuanya akan beres!

***


TETAPI bukan Itu semua yang membuat 

Bramandita malam ini kembali menggeliat 

resah di tempat tidurnya. Matanya tak juga 

mau dibawa tidur. Karena kebiasaan. Dan 

karena memikirkan apakah tindakan yang 

diambilnya hari ini, pantas.

Sudrajat tidak keberatan Miranda 

meninggalkan kota Jakarta. “Dengan syarat, 

setiap saat dipanggil ia harus hadir di kota ini,”

kata Sudrajat. Mulanya enggan. Tetapi 

kemudian malu sendiri setelah Bramandita 

menandaskan: “Aku jaminannya! “

Baik Pemimpin Redaksi maupun Rujito 

tentu saja keberatan. Tapi Bramandita punya 

alasan yang kuat untuk bolos kerja. “Tiga tahun 

terakhir ini aku belum pernah ambil cuti. 

Apalagi, cuma dua hari!” Dan mereka terpaksa 

menyerah dan bersedia memberikan uang 

sangu sebanyak yang diminta Bramandita. 

Mereka juga sempat mengeluarkan syarat: 

“Bawalah oleh-oleh menarik untuk koran kita. 

bi!a kau nanti pulang kembali.” Dengan tegas 

Bramandita menolak: “Namanya juga cuti. 

Karena itu aku ingin istirahat total,” katanya.


Tak ada kesulitan.

Baik di Jakarta. Demikian pula di 

perjalanan. Kuatir mengantuk di tengah jalan, 

mereka memutuskan tidak mempergunakan 

mobil Miranda tetapi berangkat ke Bandung 

dengan taksi. Dari Bandung mereka naik bus di 

terminal Cicaheum.

Turun di Garut. Makan sebentar di 

restoran tak jauh dari terminal bus. Terus 

melanjutkan perjalanan dengan naik Colt

penumpang. Lewat Cikajang, mereka ganti 

kendaraan lagi. Naik oplet Morris tua renta 

yang tersendat-sendat membawa penumpang 

yang berat melalui jalan-jalan kelas kambing 

yang tidak pernah disentuh aspal. Turun dari 

oplet, mereka berdua naik ojek sepeda motor 

menuju kampung kelahiran Miranda.

Dapat dimengerti mengapa selama di 

perjalanan mereka tidak banyak membicara

kan hal-hal yang sifatnya pribadi. Tak mau 

dikuping penumpang lain. Mereka hanya 

mempercakapkan hal-hal remeh, atau sesuatu 

yang mereka lihat dan ingat selama di 

perjalanan… terutama setelah mereka


memasuki daerah Kabupaten Garut, yang baru 

pertama kalinya diinjak oleh Bramandita. Soal 

matinya Tedi Jukandi seolah mereka abaikan. 

Begitu pula kenyataan, bahwa Miranda kini 

berstatus janda, dan Bramandita masih punya 

isteri dan seorang anak. Konon pula 

memperdebatkan mengapa Miranda 

bersikeras cepat pulang kampung, selain 

menerima kenyataan: bahwa Miranda rindu 

keluarga sekalian melipur lara.

Apa yang digelisahkan Bramandita 

malam ini adalah resiko dari kesediaannya 

menemani Miranda. Semakin jauh perjalanan 

mereka tempuh, semakin terasa dalam hati 

sanubari masing-masing bahwa cinta yang 

pernah tumbuh dan pernah dibunuh oleh 

keadaan, kini tumbuh kembali. Semakin mekar. 

Semakin membara. Tiap sentuhan kulit, tiap 

mata memandang, tiap mulut tersenyum; tiap 

kali itu pula diam-diam mereka mengutuk masa 

lampau. Bramandita mengutuk mengapa dulu 

ia sangat pemalu menghadapi Miranda. 

Miranda mengutuk, mengapa dulu ia mau saja 

diperkosa Tedi Jukandi, dan pada akhirny


menikmati pemerkosaan itu dengan 

kesenangan tiada tara.

Mereka diterima oleh keluarga Miranda 

dongan sambutan yang berbeda-beda. Ibu 

Miranda tentu saja memeluk anaknya dengan 

tangis dukacita bercampur rindu. Ayah 

Mirnndn, meski merindukan anaknya namun 

tidak dapat menyembunyikan wajah muram. 

Bramandita sulit menebak, mengapa ayah 

Miranda begitu lesu ketika melihat mereka 

datang. Karena kematian menantunya? Karena 

anaknya otomatis menjadi janda? Atau karena, 

Miranda pulang didampingi seorang laki-laki 

lain yang belum pernah sekalipun ia kenal?

Bramandita menggeliat lagi.

la merungkut dalam selimut 

menghindari sergapan hawa dingin 

pegunungan yang menerobos lewat ventilasi 

jendela. Di sebelahnya, Marjuki mendengkur 

tak perduli. Marjuki adalah satu-satunya 

saudara Miranda. Katanya drop out sekolah 

lanjutan atas, tidak berniat sedikitpun untuk 

meneruskan ke perguruan tinggi seperti 

kakaknya; karena ingin mendampingi


orangtua. terutama ibunya yang sering sakit-

sakitan. Marjuki bekerja sebagai tenaga 

administratur di balai desa. Tadi sore ia 

mengunjungi pacarnya dan baru pulang ke 

rumah lewat Isya. la memeluk kakaknya 

dengan tangis haru dan menyalami Bramandita 

dengan uluran tangan bersahabat. Katanya: 

“... selain bang Tedi, nama bang Rama 

beberapa kali disebut kak Mira dalam surat-

suratnya.”

Pembicaraan mereka malam itu singkat saja.

“Supi sudah menceritakan semuanya, 

begitu ia tiba kemarin siang,” kata ayan 

Miranda. “Apa rencanamu?”

Miranda mengatakan belum tahu. Apakah akan 

terus menetap, atau kembali lagi ke Jakarta. 

“Lihat-lihat keadaanlah,” katanya pendek.

“Kami enggan berjauhan lagi denganmu, 

Nak,” komentar ibu Miranda.

Atas pertanyaan, Bramandita mencerita

kan sedikit-sedikit tentang apa dan bagaimana 

ia bekerja. Entah belum diberitahu, atau entah 

pura-pura tidak tahu… yang jelas tidak seorang


pun dari mereka tampaknya ingin mengetahui 

apakah Bramandita sudah berkeluarga. Ketika 

Bramandita menjelaskan bahwa ia harus 

pulang lagi besok, Miranda tampak gelisah. 

Ibunya cepat-cepat bergumam:

“Kami akan berterimakasih kalau nak 

Rama tinggal lebih lama.”

“Tetapi...”

Ayah Miranda menyela: “Bukan cuti 

nama nya, kalau cuma dua hari.”

“Betul bang !” Marjuki menambahkan, 

setelah lebih dulu mengerling kakaknya: 

“Banyak cerita-cerita aneh di sini yang pasti 

akan menarik hatimu. Misalnya…,” Marjuki 

mendadak berhenti ngomong setelah 

mendengar ayahnya batuk-batuk. Namun 

cepat ia melanjutkan lagi: “Sekarang lagi 

musim buah durian. Tentu sangat mahal 

harganya di Jakarta.”

Lalu percakapan dialihkan ke soal buah 

durian itu, buah-buahan lainnya, hasil sawah, 

hama dan lain sebagainya. Kemudian Marjuki 

permisi tidur duluan meski malam masih siang. 

Ibunya pergi ke dapur untuk membantu bi Supi


mempercepat hidangan jamuan malam. 

Sedang Bramandita pergi ke jamban untuk 

buang air. la dibekali lampu senter, karena 

kakus letaknya di sebelah pancuran tempat 

mandi. Agak jauh dari rumah. Mana gelap pula. 

Terpaksa Marjuki dibangunkan dengan tugas 

sebagai penunjuk jalan.

Bramandita menanyakan ucapan 

Marjuki tadi yang terpotong oleh batuk ayah

nya, selagi pemuda itu menunggu Bramandita 

berak...

“Ah. Besok-besok sajalah,” jawab 

Marjuki.

Pulang ke rumah, yang mereka temui 

hanya ibu Miranda seorang. Perempuan itu 

menerangkan bahwa suaminya, anaknya dan bi 

Supi pergi ke rumah pak Lurah karena 

dijemput. “Pak Lurah menganggap Miranda 

sebagai anak sendiri. Jadi ia lantas dipanggil 

begitu mereka tahu ia telah datang.”

Terpaksa Bramandita makan malam 

hanya ditemani ibu Miranda. Marjuki katanya 

telah makan di rumah pacarnya. Maka, biarpun 

dipaksa-paksa Marjuki hanya makan sedikit, itu


pun sekedar menghormati tuan rumah. Selama 

makan, ibu Miranda menyinggung-nyinggung 

masa lalu anak mereka, la mengatakan tadinya 

mereka menghendaki Miranda lulus dulu 

Sarjana Hukum baru kawin. “Itulah sebabnya, 

mengapa bapakmu kurang akrab dengan nak 

Tedi almarhum. Bapakmu menganggap, karena 

nak Tedi cita-cita anak kami tak tercapai. Yah... 

biarpun almarhum punya kedudukan dan gaji 

besar setelah menikahi Mira, tetap saja 

bapakmu kurang senang. Maklumlah nak. Dari 

semua keluarga kami, baru Mira seorang yang 

sempat menduduki bangku perguruan tinggi...”

“Bagaimana dengan ibu sendiri?” tanya 

Bramandita. Sambil lalu.

“Oh. Aku sih, lebih mementingkan 

kebahagiaan anakku. Jadi sarjana atau tidak, 

yang penting ia senang. Tidak tahunya… Ah. 

Maaf nak Rama. Bukannya menyalahkan 

sahabatmu itu. Tetapi yah… hancurnya rumah

tangga mereka belakangan ini mau tak mau 

membuatku masygul juga.” Perempuan itu 

menyelesaikan makannya, setelah dengan 

sopan menunggu Bramandita berhenti lebih 

dulu. la tampaknya masih akan mengutarakan


sesuatu Namun keburu suaminya masuk 

rumah.

“Mira dipaksa tinggal oleh pak Lurah,”

katanya menerangkan. “Katanya akan 

menghibur Mira dengan kisah-kisah lucu dan 

menarik, agar Mira tidak terlalu memikirkan 

kesedihannya…”

“Kok diiyakan saja. pak,” istrinya memprotes.

“Lha. Apa yang mau kuperbuat, Bu. 

Beliau itu Lurah. Dan kau tahu sendiri, ia 

banyak membantu biaya sekolah anak kita…”

Isterinya tak berkata apa-apa lagi. 

kecuali menyediakan makan malam sang 

suami. Merasa tidak diperlukan lagi, 

Bramandita akhirnya permisi untuk pergi tidur. 

Setelah menutup pintu, ia sempat mendengar

percakapan suami isteri itu.

Sang isteri berbisik: “... kau membuat 

nak Rama kecewa.”

Jawab suami, tenang: “Sudahlah. Toh 

besok mereka akan bertemu lagi “

“Mira mau ditinggal?”


“Alaa... Bu! Bagaimana pula ia menolak 

keinginan pak Lurah? Sudah seperti Uwa-nya 

sendiri kok ini !”

Dan Bramandita terbadai di tempat tidur.

Berpikir risau : tentu saja Miranda 

dipaksa tidur di rumah pak Lurah, la kan janda. 

Masih dalam suasana berkabung. Jadi tak 

pantas tidur satu atap dengan seorang laki-laki 

lain. Laki-laki yang tak mereka kenal pula. Apa 

kata orang sekampung nanti?

Lebih parah lagi ini : Bramandita 

mendadak ingin tidur sekasur dengan Miranda. 

Bukan dengan Marjuki!

Ah. Mengapa ia lupakan Retno.

Hei, Retno. Haram jadah kau. Mengapa 

kau lari?

***


TUJUH


BRAMANDITA menyembul ke permukaan 

lubuk.

Kaki dan tangan ia gerak-gerakkan dalam 

air menjaga keseimbangan tubuh. Miranda 

berenang mendekatinya. Sebelum sampai 

disemburkannya air ke wajah Bramandita 

sehingga Bramandita menyelam lagi, meng

hindari semburan itu. Miranda ikut menyelam. 

Tubuh mereka bersentuhan tak sengaja. Ke 

luar lagi ke permukaan mereka sudah saling 

berpegangan tangan, tertawa malu karena 

sekali lagi tanpa disengaja, tangan Bramandita 

menyentuh dada Miranda.

“Masih kuat menyelam?” tanya 

perempuan itu terengah-engah, sementara 

kaki-kakinya bergerak gerak dalam air.

“Kau sendiri?”

“Masih.”

“Berani bertaruh?”

“Oke.”


“Taruhannya?”

Bramandita berharap Miranda menjawab: 

ciuman bibir yang lama, selama Bramandita 

ingin. Namun setelah menatap wajah 

Bramandita sejenak, Miranda bergumam: “Aku 

punya usul menarik.”

“Apa?”

“Kita ke tepian dulu.”

“Mari.”

Dan mereka berenang saling kejar 

mencapai tepian lubuk di bagian paling dalam 

menjelang kelokan sungai yang berarus tenang 

itu. Matahari terus menyambut mereka. 

Pepohonan, rimbunan daun-daun hijau, bukit-

bukit kelabu, lereng gunung berwarna coklat 

kebiruan, memperhatikan diam-diam. 

Demikian pula, sepasang mata tajam 

yang bersembunyi di balik rimbunan semak 

belukar tak jauh dari tempat kedua sejoli itu 

duduk setengah rebahan di rerumputan. Sosok 

tubuh di semak belukar itu menjatuhkan diri 

rapat-rapat ke tanah tanpa suara, ketika 

Bramandita menoleh ke arah tempat


persembunyiannya. Bramandita menoleh,

tanpa maksud apa-apa.

Miranda juga menoleh. Tetapi ke arah 

lain. Nun jauh dan tinggi di pucuk-pucuk 

pepohonan yang menjulang ke langit,

bergelayutan segerombolan lutung berbulu 

hitam pekat, sambil mangeluarknn suara ribut 

yang terdengar sayup-sayup sampai, Miranda 

segera melupakan binatang-binatang hutan itu 

setelah mendengar suara Bramandita

mendesak : “Apa usulmu, Mira?”

Mlranda berpikir dulu, sebelum 

menjawab: “Ingat waktu kita masih di 

universitas.”

“Tak pernah lupa,” cetus Bramandita 

begitu cepat, sehingga membuat kulit mukanya 

memerah lendlrl.

“Waktu Itu kita sering membuat hal-hal 

yang aneh, bukan?”

“Hem,… ya.”

“Sekadar nostalgia. Mengapa tidak kita 

lakukan sekali lagi? Kali ini saja !”


“Melompat dari tempat yang tinggi? 

Beradu lama tegak dengan kepala di tanah kaki 

di awang-awang? Aku selalu kalah. Tak mau,”

Bramandita memikirkan hal lain, lantas

nyeletuk: “Atau… beradu kuat nafas dalam,... 

peti mati?”

“Jangan membuat hatiku terluka 

kembali. Rama,” rungut Miranda. murung.

“Maaf.”

“Begini saja,” kata Mlranda, hampir-

hampir tanpa semangat. “Kita membuat 

permainan baru. Padu darah, lalu minum.“

“Hai. Bagaimana pula Itu?”

Miranda menjelaskan. 

“Aku punya peniti,” katanya sambil 

menuding ke tumpukan pakaian mereka di 

belakang Bramandita. Peniti itu. kata Miranda. 

harus ditusukkan ke masing-masing ujung jari 

telunjuk mereka. Darah yang menetes 

ditampung, pada sesuatu. Kemudian mereka 

sama-sama menyelam lagi di lubuk. Terserah 

berapa menit yang mereka sepakati. Siapa yang


duluan menyembul ke permukaan, dialah yang 

harus menjilat tetesan darah mereka tadi.

Bramandita berkomentar, kecut: “Aku 

bukan peminum darah.”

“Demikian pula aku,” sahut Miranda, 

agak pucat wajahnya mendengar ungkapan 

kasar temannya. “Tetapi, itulah taruhannya. 

Bukankah itu sangat menarik dan hebat?”

Karena Bramandita tampak ragu-ragu. 

Miranda mendesak: “Ayolah. Cuma dijilat kok. 

Setelah itu, terserah. Apa mau dimuntahkan, 

apa mau ditelan.”

“Kalau begitu, baiklah.”

“Dengan apa kita tampung ya?” Miranda 

agak bingung.

Bramandita mencari-cari di sekitar 

mereka. 

“Aku tahu,” katanya. Lalu ia memetik 

setangkai daun sirih yang banyak menjalar di 

pohon-pohon dekat mereka, la memetik daun 

di pohon yang cuma beberapa langkah dari 

tempat bersembunyi sosok tubuh yang 

tertutup semak belukar rimbun it


Bramandita kembali ke dekat Miranda. 

Ia letakkan daun sirih itu di rumput dengan 

bagian bawah menghadap ke atas, sehingga 

tetesan darah tidak akan tercecer dari daun 

sirih. Miranda telah mengambil sebuah peniti, 

dan tanpa menunggu lebih lama langsung saja 

ujung peniti ditusukkan ke ujung jari telunjuk 

tangan kirinya, la meram sekejap menahan 

perih, lalu membiarkan darah dari telunjuknya 

menetes ke daun sirih. Satu, dua, tiga tetes. 

Bramandita melakukan hal yang sama. Perih 

oleh tusukan jarum memang lumayan, tetapi 

gengsi toh? Maka, ia tahankan agar tidak 

meram atau meringis. Melainkan tersenyum 

simpul. Tiga tetes juga. Setelah itu, bekas 

tusukan peniti sama-sama mereka jilat, agar 

pendarahan berhenti. Tentu saja diacungkan 

dulu bekas tusukan itu, mengarah matahari.

“Siap?” Miranda menyeringai. Senang.

“Oke.”

“Berapa lama kau kuat?”

“Terserah kau.”

“Lima menit?”


“Kau gila!” Bramandita memaki.

“Karena itu, sebutkanlah perkiraanmu.”

“Bagaimana dengan sepuluh kali tarikan 

nafas?”

Miranda berpikir, lantas: “Jadikan lima 

belasl”

Mereka berjabatan tangan sebagai 

tanda setuju. Tak sampai satu menit 

berikutnya, dengan aba-aba: “Mulai !” dari

Bramandita, keduanya lantas menyelam 

sedalam mungkin ke bawah air yang dingin dan 

bening itu. Bramandita berpikir cepat. Ia tidak 

mau menjilat darah itu. Karena nya dia akan 

berusaha naik sebelum hitungan kelima belas 

menarik nafas. Tetapi, itu berarti ia lagi-lagi 

akan kalah. Kalau begitu bertahanlah. Kalau 

mampu, sampai hitungan dua puluh atau lebih. 

Pendeknya ia tidak boleh ke luar ke atas 

sebelum ia yakin Miranda telah naik lebih dulu. 

Pada hitungan keempat, sosok tubuh 

tadi keluar dari persembunyiannya. Tanpa 

berpaling kiri kanan ia mendekati daun sirih di 

atas rumput itu, dengan mata nyalang 

mengawasi permukaan lubuk. Gelembung


gelembung air bermunculan beberapa kali. 

meletup halus dan menyatu lagi dengan 

permukaan yang bening seperti cermin itu. 

Tampak sosok tubuh Bramandita dan Miranda 

bergerak-gerak dalam air yang beriak. Satu 

sama lain begitu dekat. Satu sama lain 

melakukan hal yang sama: menatap ke depan, 

pada lawannya bertaruh.

Pada hitungan ketujuh, sosok tubuh itu 

telah melesat pergi dengan daun sirih berdarah 

itu di pegangnya begitu sangat hati-hati, seolah 

daun sirih serta darah curiannya itu barang 

antik yang paling langka di dunia. Pada 

hitungan kelima belas, sosok tubuh itu sudah 

lenyap di balik jalan setapak menuju desa.

Hitungan ketujuh belas, dada 

Bramandita hampir pecah dan air entah sudah 

berapa banyak memasuki rongga mulutnya 

Belum lagi mata yang perih karena dipaksa 

terus terbuka, kuatir satu kerdipan singkat saja 

dapat membuat ia salah menafsirkan gerakan 

tubuh Miranda. Tatapi akhirnya ia terpaksa 

menyerah, la tidak mau mati dengan paru-paru 

dipenuhi air, mana jauh dari sanak keluarga. la 

langsung menyerbu ka permukaan air. Megap


megap beberapa lama dan kemudian tertawa 

tersendat sendat: nyatanya ia muncul ke 

permukaan, bersamaan waktunya dengan 

Miranda yang juga megap-megap kehabisan 

nafas.

“Kau baik-baik saja?” tanya Miranda. 

Bukan: “Kau kalah!”

“Dan kau?”

“Aku bisa tenggelam kalau kita tetap di sini.”

Lantas ia berenang lebih dulu ke tepi, disusul 

oleh Bramandita. Merangkak ke tanah 

berumput, dua-duanya kemudian sama 

terhempas. Bramandita telentang, Miranda 

menelungkup.

“Aku yang harus menjilatnya, bukan?”

tanya Bramandita, enggan.

“Bukan kau. Tapi aku,” |awab Miranda, 

tenang.

“Tetapi. Mira.”

“Kukira kita seri,” jawab Mira, sambil 

tertawa lembut, la membalikkan tubuh.


Sedemikian rupa sehingga pahanya langsung 

jatuh di atas paha Bramandita. 

“Eh. Aku…“

Miranda berujar gagap dan malu.

“Biarkan pahamu di situ,” bisik 

Bramandita, terengah.

“Rama…”

“Sshhh, diamlah. Tidakkah kau tahu 

betapa aku merindukanmu tadi malam?”

“Sungguh?”

“Sampai aku hampir gila, Mira.”

“Kau pikir, aku tidak?” jawab Miranda, 

dan kini bukan saja paha tetapi juga seluruh 

tubuhnya sudah mendarat di atas tubuh 

Bramandita. Mereka saling menatap dengan 

mata setengah mengatup dalam kehangatan 

dan getaran luar biasa yang langsung melonjak-

lonjak dalam hati mereka.

“Boleh aku menciummu. Rama?”

“Lebih dari itu pun, aku mau Mira.


Miranda menjatuhkan wajahnya ke 

wajah Bramandita.

Kemudian, Bramandita berguling dan 

menempatkan tubuh perempuan itu di bawah 

tubuhnya. “Mira…,” ia berbisik, sesak.

“Shinta. Panggil aku Shinta, Rama.”

“Oh...”

Matahari semakin jauh meninggalkan 

titik sentral langit biru, bergeser ke arah Barat. 

Bramandita hampir tertidur dengan Miranda 

tetap dalam pelukannya, tatkala Miranda 

berseru: “Hei…”

“Ehm?” gumam Bramandita mengantuk

“Taruhan kita.”

“Sudahlah Kita seri ini.”

“Bukan itu.”

“Lantas?”

“Coba kau lihat…”

Ogah-ogahan, Bramandita melepaskan 

rangkulannya di tubuh Miranda yang segera 

bangkit. Mereka kemudian berjalan ke tempat


di mana daun sirih itu mereka tinggalkan 

sebelumnya.

“Hilang. Kok aneh,” rungut Miranda 

sambil ia berjalan kian kemari, dengan mata 

mencari-cari.

“Aneh apanya,” Bramandita nyeletuk. 

“Pasti diterbangkan angin. Dan kalaupun 

ketemu, toh tidak seorang pun dari kita 

diharuskan menjilat darah itu.” Bramandita 

setengah berlari ka tepian. berseru: “Hayolah, 

membersihkan tubuh. Nanti mereka curiga 

karena kita terlalu lama pergi.”

Mereka terjun ke air.

Dan tak pernah lagi memikirkan hilang

nya daun sirih berdarah itu. Apalagi untuk 

memikirkan kemungkinan adanya jejak-jejak 

kaki di rerumputan, yang pasti bukan jejak-

jejak kaki baik Miranda maupun Bramandita. Di 

perjalanan pulang ke rumah orang tua 

Miranda, Bramandita bertanya: “Bagaimana 

yaaa… Andai ada orang yang melihat 

perbuatan kita tad


“Ah. Jarang orang mandi di situ. Mana 

jauh pula dan tempat tempat yang biasa 

dilewati orang, jawab Miranda, menghibur.

“Kubilang tadi, andaikata!”

“Hem. Taruhlah ada yang melihat. Lalu?”

“Penduduk desamu pasti heboh. Orang 

tuamu tercemar malu. Dan kau…”

“Tak usah pikirkan aku.” kata Miranda. 

tertawa. “Pikirkanlah dirimu sendiri.”

“Kau betul. Aku pasti dituduh pembuat 

onar, lantas diusir.”

“Itu masih lumayan,” Miranda berkata 

sungguh-sungguh. “Di desa kami, ada hukuman 

lain yang lebih parah lagi.”

“Oh ya?” wajah Bramandita berubah 

pucat. “Apa?”

Sebelum menjawab, Miranda memegang 

tangan Bramandita. Serius, ia berujar: 

“Kita… dipaksa… kawin!”

“Wah ...


Sinar mata Miranda berkilat resah. 

“Mengerikan, bukan?”

“Untuk siapa?” desah Bramandita. 

Gugup.

“Kau.”

“Kok. aku ...”

“Karena kau masih punya isteri. Kau 

mencintainya. Dan...”

“Aku membencinya!” umpat Bramandita 

buru-buru. “la membawa lari anakku… ”

“Belum jera?”

“Aku?”

“Dia.”

“Uh! Selama Ratno masih dapat 

dijadikannya senjata untuk memukulku, maka 

Retno akan tetap merasa posisinya kuat.”

“Duh! Bilang saja, kau masih cinta”

“Apa maksudmu? Kau kira aku ini…”

”Kok kita jadi bertengkar ya?” Miranda 

tersenyum.


Bramandita terbelalak.

Kemudian, tertawa bergelak.

Dan nyatanya, setiba di rumah Miranda 

mereka tak mendengar atau melihat tanda-

tanda penduduk desa itu heboh.

Ibu Miranda menyambut mereka dengan 

ucapan sayang: “Lama juga kalian pergi. Tadi 

banyak tamu yang datang untuk silaturahmi.”

“Maklumlah, Bu…” jawab Miranda 

“Tempatnya jauh. Dan orangtua kawanku satu 

sekolah di es de itu, bukan main ributnya. Apa 

saja dikeluarkan. Mana kami sanggup meng 

habiskannya? Jadinya aku sempat tertidur di 

rumah kawanku itu. Untung Bramandita 

mengingatkan, kalau kami berlama-lama ia 

takut ibu dan ayah cemberut…”

Di kamarnya, Bramandita nyengir kuda.

***


DELAPAN


TIDUR siang, adalah hak setiap orang. 

Tak perduli apa yang terjadi di sekeliling. Konon 

pula sudah beberapa hari, kesempatan meng

istirahatkan baik jiwa maupun jasmani itu tidak 

kau lakukan. Akibat terlalu banyak berpikir, 

berjalan, dan terutama, kau baru saja 

menyetubuhi seorang perempuan yang begitu 

liar dan agresip semacam Miranda.

Maka tak ayal lagi. Begitu mencium 

bantal, Bramandita langsung mendengkur. 

Ajaibnya pula, ia tidak bermimpi apapun juga. 

Seolah dunia ini selalu tenang, damai, tidak 

berbahaya, usah bermawas diri. Bramandita 

baru melek pukul enam kurang beberapa menit 

sore hari. Itu pun sesudah digoncang-goncang 

oleh Miranda yang kemudian berkata: 

“Kusangka kau sudah mati.” Sebuah ciuman 

hangat mendarat di bibirnya. Membuat 

Bramandita terjaga seketika.

la lalu pergi mandi ke pancuran.

Pulangnya, semua penghuni rumah 

sudah menunggu di meja makan. Selama dan


sehabis santap malam, mereka ngobrol ngalor 

ngidul. Wajah Miranda begitu cerah. Riang ria. 

Senyum manis menghias bibirnya hampir 

setiap kali ia angkat suara. Tawanya sungguh 

enak di telinga. Dapat dimengerti mengapa 

Miranda begitu bahagia, biarpun ia baru saja 

kematian suami. Soalnya, Bramandita 

memutuskan untuk tinggal satu dua hari lagi.

“Kecuali satu di antara kalian sudah 

bosan melihatku, dan ...”

“Kami kuatir, sebaliknya yang terjadi,”

potong ayah Miranda, tertawa untuk pertama 

kali semenjak Bramandita mengenalnya. Sinar 

matanya masih tampak murung, namun wajah 

maupun tutur katanya memperlihatkan 

kegembiraan yang tulus. Bukan dibuat-buat. 

Apakah ada sesuatu yang telah berubah di 

rumah ini?

Seakan menyelami pikiran Bramandita, 

ibu Miranda pura-pura mengejek: “Baru rejeki 

segitu, ayahmu sudah lupa diri, Mira…” Kalimat 

ditujukan pada, anak perempuannya, sedang 

ekor mata dilirikkan ke arah Bramandita, yang 

dengan sendirinya berlagak tidak melihat.


Bramandita pura-pura memperhatikan 

Miranda, yang bertanya.

“... bagi dong, Yah !”

“Nanti. Kalau aku sudah mati,” jawab 

yang ditagih.

“Lho. Kok gitu...”

“Habis? Kau perempuan, mana tidak 

berpengalaman. Mana bisa kau menggarap

nya?”

“Menggarap apa?”

“Dua hektar tanah di sebelah Utara desa 

kita. Ditumbuhi semak perdu, pohon-pohon

liar tak pernah diurus. Tempat bersarang tikus 

dan segala macam ular. Tetapi punya masa 

depan, apabila kita mulai merambasnya, 

kemudian menanaminya kelapa. Kalau perlu, 

cengkeh.” Senyumnya melebar. “Imbalan jerih 

payahku selama delapan tahun mengabdi jadi

kerani. Surat Keputusannya baru tadi siang 

diberikan pak Lurah.”

Petani merangkap kerani desa yang 

beruntung itu, kemudian menoleh pada


Bramandita. Bertanya: “Kau sudah menemui 

beliau tadi pagi, nak Rama. Apa komentarmu?”

“Hebat.”

“Karena dia menghadiahiku dua hektar 

tanah?”

“Ah. Aku toh tidak kebagian apa-apa, 

pak,”' jawab Bramandita, membuat gerrrr seisi 

rumah. “Aku berkata jujur. 32 tahun dipercaya 

Pemerintah menduduki jabatan Lurah; dan 

tidak berminat untuk naik lebih atas lagi, 

karena merasa dekat dengan rakyatnya. Itu 

sudah hebat. Belum lagi ini, usia menjelang 100 

tahun, pak Lurah tidak membutuhkan tongkat 

atau kacamata. Gigi masih utuh, bicara masih 

lantang, dapat mendengar suara pintu dibuka 

dari jarak dua puluh kaki. Manusia macam itu 

mestinya mengisi halaman setiap surat kabar 

dan majalah. Untuk ruang: Tokoh Kita Abad Ini!

Tetapi ada kekurangannya, yang membuat 

pejabat tertentu di Pusat akan marah besar.”

Kalimat terakhir itu membuat suasana 

hening sejenak.

Lalu: “Sebutkan!” ujar ayah Miranda, waspada.


“Pak Lurah punya empat isteri. Dan...”

“la berhak. Tak ada larangan. Selama ia 

...” ayah Miranda mengatupkan mulut ketika 

melihat senyum tipis di bibir Bramandita. “Jadi 

bukan itu soalnya.”

“Memang.”

“Lalu?”

“Anaknya. Memang tersebar di berbagai 

daerah, dan kudengar mereka orang-orang 

yang berhasil. Baik di bidang karier, maupun 

keuangan. Tetapi 17 orang, itu sudah 

kelewatan. Luar biasanya lagi. 14 dari 17 orang 

anaknya itu, dia dikaruniai 65 cucu, 24 cicit,… 

beberapa di antara cicitnya sudah siap pula 

menurunkan generasi berikut. Yang entah apa 

disebutnya.” Bramandita geleng-geleng kepala. 

“Kalau ini mereka dengar mereka bisa botak 

karena tak habis mengerti.”

“Mereka siapa?”

“Para pejabat yang mengurus Program 

Keluarga Berencana!”

Menggelegar lagi tawa berkepanjangan 

di rumah itu, sehingga seorang tetangga di


sebelah rumah memerlukan membuka jendela 

untuk memastikan kegaduhan apa yang 

membuatnya tersentak dari tidur. Setelah 

tahu, orang itu kembali menutup jendela dan 

menggerutu pada sang isteri:

“Katanya baru kematian menantu.”

Yang dijawab: “Apa salahnya? Toh mereka 

sudah punya calon menantu baru.”

Dan di dalam rumah keluarga Miranda, 

sang ibu mengawasi teman laki-laki anaknya, 

kemudian bergumam lirih: “Heran ya nak. Baru 

dua hari, rasanya kau sudah seperti anak kami 

sendiri.”

Dan itu, membuat Bramandita tidak bisa 

tidur malam itu.

la teringat pada anaknya sendiri, Ratno. 

Ibunya pasti mengurus Ratno dengan telaten. 

Mendidik anak itu, agar mencintai dan 

mengabdi pada orangtua. Coba kalau Retno 

tahu cinta suaminya telah berpaling pada 

perempuan lain!

Bramandita berkeringat dingin.


Perasaan bersalah pada isteri, berdosa 

pada anak, menyebabkan udara dingin 

pegunungan berubah panas dan pengap. 

Gerah, Bramandita bangun dari tempat tidur, la 

membuka jendela. Sedikit saja. Sekedar udara 

segar masuk kc dalam, dan Marjuki yang tidur 

lelap tidak terganggu, la hirup hawa dari luar 

sebanyak paru-parunya menerima. Kemudian 

ia pelan-pelan menutupkan jendela, lalu 

mendadak saja gerakannya terhenti.

Dibukanya jendela kembali.

Kali ini lebih lebar, la mengawasi 

kegelapan malam di luar. Kepala sedikit 

tengadah. Merasa kurang yakin, ia condongkan 

tubuh lebih jatuh ke depan. Membuka mata 

lebar-lebar. Menyekanya sekali, dan membuka

nya lagi.

Apakah itu nyala lilin, nun jauh di atas 

bukit? Atau kobaran api, ah… bukan. Nyala lilin 

tidak sebesar itu. Kobaran api tidak selemah 

itu.

Obor barangkali?

“Eh. Apa pula perduliku?” gerutu 

Bramandita, pelan. Menutup jendela lagi.


Namun pikirannya tidak lepas dari 

cahaya ganjil itu.

Lilin, obor, atau api tak ada bedanya. 

Yang membuat nyala kuning kemerahan itu 

membuat perbedaan, adalah letaknya. Waktu 

mandi di pancuran tadi pagi, Bramandita telah 

berhasil mengorek secuil demi secuil apa yang 

dirahasiakan Marjuki. 

Pemuda itu menceritakan beberapa

kisah atau dongeng aneh dan menarik yang 

telah lama berlangsung atau dipercaya oleh 

penduduk desa mereka, dan desa-desa di 

sekitarnya. Salah satu, adalah bukit dari mana 

cahaya misterius tadi terlihat Bramandita.

“... bukit itu,” kata Marjuki tadi pagi. 

“Dijuluki Bukit Larangan”

“Kenapa?”

“Banyak versi. Yang satu bilang, bukit itu 

dihuni setan-setan terkutuk. Yang lain bilang, 

bukit itu dihuni sekelompok orang penderita 

kusta. Ada lagi yang mengatakan di sana 

terdapat sebuah kuburan keramat dari masa 

ratusan, mungkin malah ribuan tahun yang 

silam. Banyak lagi dongeng-dongeng seram


tentangnya. Yang jelas, hampir tak ada 

penduduk yang waras otak, berani mendekati 

bukit itu. Apalagi untuk mengetahui apa dan 

bagaimana sebenarnya maka bukit itu tak 

pernah diinjak manusia macam kita ini…”

“Hanya karena mendengar? Lalu percaya 

begitu saja. Katanya, beberapa dari kalian 

terdiri dari orang-orang moderat. Orang-orang 

yang menganggap tahayul sebagai dongeng 

untuk menakut-nakuti anak badung. Tetapi 

mereka tetap menjauhi tempat itu, dan 

sependapat menjulukinya Bukit Laranngan?”

Marjuki tersenyum. Pahit. Desahnya: 

Ada beberapa yang nekad mencoba.”

“Dan?”

“Kebanyakan, hasil nguping. Tetapi ada 

satu dua yang kulihat sendiri, akibat apa yang 

dialami orang-orang gila itu.” Marjuki tidak 

bergidik. Atau menampakkan perasaan takut, 

la hanya menarik nafas panjang, lalu berkata 

tenang: “Mati. Kalau tak mati, mereka gila. 

Kalau tak mati dan gila, mereka lenyap...”

“Lenyap?”


“Lenyap. Begitu saja. Banyak yang 

percaya, orang orang itu bukan kesasar atau 

mati di suatu tempat yang belum diketahui. 

Desas-desus santer mengatakan, orang-orang 

yang raib itu mati ditelan penghuni kubur Bukit 

Larangan. Atau, dimangsa para penderita 

kusta, karena mereka membutuhkan 

makanan.”

Setelah berpikir agak lama, Bramandita 

bergumam sendiri: “Bila itu kutulis, bosku akan 

memperbolehkan aku cuti satu bulan lagi. 

Dengan sekarung uang, sebagai bonus...”

Tentu saja Bramandita kemudian 

menyepelekan cerita Marjuki.

Dan Rujito akan menjabat tangannya, 

mengatakan. “Lucu. Kau kok mirip saudaraku 

yang sudah lama meninggal dunia.”

Itu, tadi pagi.

Malam ini lain lagi. Bramandita bukan 

ingin menulis sebuah sensasi yang 

mengundang para alim ulama serta orang-

orang yang beriman, adu urat leher.

Masalahnya, sederhana saja.


Bramandita adalah seorang wartawan. 

Dan bukan wartawan namanya, kalau tidak 

punya naluri ingin tahu!

***


SALAH besar Bramandita bilang pada 

bosnya, mau istirahat total.

Kesalahannya yang paling besar, adalah 

ini: biar mulanya bimbang, akhirnya diputuska

nnya meninggalkan tustel di kantor.

Kenyataan pahit itu baru ia sadari 

setelah ia tiba di Bukit Larangan.

Sebelum meninggalkan rumah keluarga 

yang ramah tamah itu, diam-diam Bramandita 

mengambil sebilah pisau panjang, tajam 

berkilat-kilat, dari dapur. Senjata itu diselipkan

nya di balik lipatan sebuah koran mingguan 

yang ia dapatkan di rak buku Marjuki. “Buat 

bacaan di jalan,” katanya pada pemuda itu. 

Miranda percaya kalau ia ingin lihat-lihat 

suasana. “Sekedar perintang waktu,” dalihnya.

Lalu petualangan berbahaya itu dia 

mulai.

Lebih dulu ia berputar sana-sini, singgah 

beli jajanan di sebuah warung kecil, bertukar 

sapa dengan satu dua orang di jalan, kemudian 

pergi ke lubuk yang sehari sebelumnya 

membuat kesan romantis itu. Dari sana Bukit 

Larangan itu tetap terlihat, meski agak


terhalang oleh rimbunan pepohonan hutan di 

sekitarnya. Bramandita menyelusuri pinggiran 

sungai beberapa menit, kemudian menye-

berangi sebuah titian dari bambu. Jalan 

setapak setelah titian itu daerah pesawahan 

yang subur dan di sebelah sananya, lembah 

yang pemandangannya mentakjubkan.

Bramandita tidak mengambil jalan 

setapak itu. la menyimpangkan langkah 

menyusuri pematang sawah, lalu mendaki 

bukit yang hampir seluruhnya ditanami pohon 

durian dan nangka.

la memberi, alasan tersesat apabila 

ketemu orang. Pura-pura mengikuti arah yang 

benar ke desa sebagaimana ditunjuk penyawah 

atau peladang itu. lalu mengendap-endap 

kembali ke jalan semula dengan jalan berputar. 

Terkadang ia terpaksa harus turun untuk 

menyeberangi sungai pada bagian yang 

dangkal.

Beberapa kali ia kehilangan Bukit 

Larangan itu. Namun dengan berpatokan pada 

bayang-bayang pohon dan perjalanan 

matahari, ia temukan lagi arah yang benar.


Sekali ia terperosok di sebuah lereng terjal

berbatu-batu. Jatuh tersungkur, celananya 

robek dan lututnya memar. Istirahat sebentar, 

ia meneruskan perjalanan dengan langkah agak

pincang tersaruk-saruk. Semakin jauh ia 

berjalan, mendaki, menurun dan mendaki lagi, 

melompat-lompat, sesekali berlari-lari untuk 

mempersingkat waktu semakin sukar pula jalan 

yang ditempuh. Tak ada jalan setapak. Tak ada 

manusia, bahkan rasanya juga tak ada mahluk 

hidup lainnya. Kecuali seekor musang yang 

ngacir menyembunyikan diri ketika kepergok 

manusia.

Pisau panjang itu ternyata banyak 

gunanya, selain untuk membela diri. Untuk 

merambat semak belukar yang menghalangi 

jalannya. Untuk memotong sebuah dahan 

kecil, yang ia pergunakan mengorek-ngorek 

ilalang lebat atau ceruk-ceruk di balik belukar, 

yang mungkin menjerumuskannya. Dahan 

sebesar lengan anak kecil dan sepanjang satu 

meter itu tak pernah lagi lepas dari tangannya. 

Itu merupakan senjata kedua, yang barangkali 

dia perlukan.


Herannya, jangankan penderita penyakit 

kusta. Binatang-binatang buas tak satu pun 

ditemuinya selama perjalanan. Sekeliling 

tempat-tempat yang dilaluinya, terutama 

mendekati Bukit Larangan itu, suasananya 

begitu sunyi senyap. Bagai tak berpenghuni.

Atau memang ada: hantu serta dedemit.

“Sialan. Mengapa aku takut?!”

Bramandita membentak. Dan kalau rasa 

takutnya berkembang, ia lantas berteriak: 

“Hayo. Keluar semua. Ini aku. Makanlah!” dan 

ia bersenandung keras-keras. Lagu apa saja 

yang teringat. Tak perduli apakah iramanya pas 

atau fals.

Tibalah ia di tengah kelompok hutan 

yang mengelilingi pinggiran bukit yang dituju. 

Suara Bramandita makin lama makin 

tenggelam oleh suara riuh rendahnya jerit 

monyet, lutung, ada juga mawas yang lari 

serabutan. Di pohon-pohon, di lereng-lereng, 

di semak belukar, di sepanjang anak sungai 

yang sumbernya pasti berasal dari Bukit 

Larangan.

Bramandita tercekat.


Seolah bermimpi buruk. Betapa tidak. 

Selama beberapa menit, riuh rendah binatang-

binatang pencinta pohon itu terdengar begitu 

memekakkan. Hiruk pikuknya mahluk itu lari 

serabutan kian kemari, melemahkan jantung 

oleh degup-degup keras yang memukul-mukul 

tanpa henti. Semuanya berjumlah ratusan. 

Boleh jadi ribuan. Jangankan semua 

mengurung, salah satu saja dari mawas atau 

lutung itu nekad menghadang jalannya, ada 

harapan Bramandita langsung jatuh pingsan.

Ini, dalam tempo beberapa menit pula… 

seluruh mahluk mengerikan itu telah lenyap 

entah ke mana. Baik sosok tubuhnya, maupun 

suara pekik dan jeritnya. Adalah memeras 

jantung, apabila mendadak terjadi perang 

mortir di sekitar kita, lalu mortir-mortir itu 

kemudian berhenti memuntahkan peluru… dan 

para penembaknya, lenyap entah ke mana!

Apakah ia tengah bermimpi buruk?

Bramandita mencubit pahanya.

Sakit.

la berteriak. Tetapi hanya bisikan serak 

lepas dari mulutnya. Wajahnya pucat pasi.


Peluh membuat punggungnya bagai melekat ke 

kulit. Apa yang harus diperbuat sekarang? Lari? 

Baiklah. Tetapi ke mana? Mundur atau maju, 

sama saja Bramandita telah terperangkap di 

tengah hutan lebat yang daun-daunnya seolah 

bersatu padu menghadang matahari.

Hanya ada sinar-sinar lemah. Sekedar 

tidak membuat Bramandita buta. Takut-takut, 

mata Bramandita jelalatan liar kian kemari. 

Sebelah tangan menghunus pisau. Sebelah lagi, 

mengacungkan tongkat tinggi-tinggi. 

Kemudian, tongkat itu turun. Ditekankan 

ke tanah. Memang itulah fungsi sebenarnya 

dari tongkat kayu itu : menopang tubuh 

Bramandita yang sempoyongan mau jatuh ...

Tetapi keadaan itu berlangsung tidak 

lama. Matanya pelan-pelan terbiasa oleh 

kegelapan semu itu, dan dengan sendirinya 

melihat salah satu barisan pohon menyorotkan 

silau kuning terang. Matahari. Dan matahari 

itu, memperlihatkan sesuatu yang memberi 

pengharapan hanya beberapa belas meter di 

depannya. Tanpa ragu lagi, Bramandita 

bergerak. Naluri akan adanya bahaya


menyebabkan semangatnya tumbuh kembali. 

Kaki-kakinya melangkah dan melompat-lompat 

cepat dan tangkas, sambil sesekali ia 

rambaskan tongkat pada semak belukar di 

depannya.

Lalu, ia tiba di sebuah kelokan.

Sebenarnyalah. Sebuah kelokan jalan 

yang orang buta pun tahu, pasti dibuat 

manusia. 

Para penderita kusta?

Bramandita tergetar, la sadar bahwa ia 

telah memasuki bagian paling terlarang, dari 

Bukit Larangan itu. Kalau mau, tidak seorang 

pun yang melarangnya pulang. Jelas dong. 

Mana orangnya yang akan melarang? Maka, 

kepalang basah ya mandi saja sekalian...

Dengan waspada dan mata mengawasi 

setiap sudut yang dilewati, Bramandita 

mengikuti jalan setapak yang cukup lebar itu. 

Mendaki. Setelah satu putaran, ia sampai di 

sebuah bidang datar tanpa penghalang apapun 

sebagai latar depan yang menghadap ke 

lembah jauh di bawahnya. Sebagai latar 

belakang, adalah bagian puncak bukit itu, yang


seluruhnya terdiri dari sebuah batu raksasa 

yang mengingatkan Bramandita pada gunung 

Tangkuban Perahu apabila ditatap dari 

kejauhan. Batu sebesar gajah yang paling besar 

itu hitam pekat, kusam membosankan.

Dan ...

Bramandita berseru tertahan, setelah ia 

melihatnya. Melihat sesosok tubuh tegak 

dengan kaki serta tangan terpentang, tetapi 

dengan kepala terkulai sampai dagu 

menyentuh dada. Tak dapat diragukan lagi, 

bahwa tubuh itu milik seorang manusia 

dewasa. Usianya sekitar 30-an, mengenakan 

pakaian yang biasa membalut tubuh seorang 

petani. Topi pandannya jatuh ke tanah tak jauh 

dari kakinya yang telanjang.

Dua buah kayu besar dan kuat 

dipacakkan dalam ke tanah, dengan posisi 

bersilang. Dua tangan laki-laki itu terikat erat 

dengan tambang pada masing-masing ujung 

kayu paling atas. Hal yang sama terlihat pada 

sepasang pergelangan kaki di kedua ujung kayu 

sebelah bawah. 

Orang itu telah mati.


Dapat dipastikan dari sepotong bambu 

sebesar lengan Bramandita, yang terhunjam di 

lambung orang itu, pada bagian mana 

kemejanya disingkapkan. Warna merah 

kehitaman darah yang telah mengering, 

membercaki baik bambu, kemeja, celana, salah 

satu kaki dan tanah berumput di bawah tubuh 

manusia malang itu.

Dalam bentuk setengah lingkaran di 

belakang dan kedua patok silang itu terhunjam 

beberapa atang bambu lain yang lebih kecil, 

yang dari ujungnya yang hitam jelas 

merupakan obor. Tepatnya, bekas obor. 

Terbukti dari banyaknya abu di sekitar obor-

obor itu, dan rerumputan yang kering 

terpanggang api, berbau minyak.

Bramandita dengan gemetar meraba 

salah satu ujung sisa obor itu.

Terasa masih hangat.

Dan ia yakin, uap hangat itu bukan 

dikarenakan panas matahari!

Tersentak oleh kenyataan itu, 

Bramandita terlompat mundur saking kaget 

menyadari bahwa ia telah melihat sesuatu tadi


malam, lewat jendela kamar tidurnya. Sesuatu, 

yang mustahil dipungkiri: di tempat ini telah 

berlangsung sebuah upacara kematian yang 

menyeramkan...

Tanpa ingin tahu mayat siapa yang 

sengsara itu, Bramandita segera memutar 

tubuh. Kemudian… lari. Tiga jam ditempuhnya 

untuk sampai ke Bukit Larangan itu dari desa. 

Namun tidak sampai satu jam perjalanan yang 

dilakukannya, ketika pulang. Bukan karena ia 

sudah mengetahui jalan pulang. Melainkan 

karena ia berlari “melebihi kecepatan suara”. 

Tunggang langgang, jatuh bangun. Tak perduli 

alam sekitar.

Rasanya ada sekelompok orang 

mengejarnya dari belakang. Penderita kusta, 

kaum yang terkutuk itu.

Atau, hantu.

***


SEMBILAN


“RAMA sudah pulang, bi?” tanya 

Miranda begitu ia muncul di pintu dapur.

“Belum, neng.”

“Ya ampun! Pergi ke mana sih dia?”

keluh Miranda gelisah. Hidungnya kemudian 

mengendus-endus, membaui sesuatu. Lalu 

mengintip lewat pundak bi Supi, ke katel. “Apa 

itu?”

“Semur hati, neng,” jawab pelayan itu 

seraya memasukkan irisan tomat ke katel. 

Mengaduknya sebentar. Lantas mengecilkan 

api di tungku.

“Kenapa rupanya? Engga doyan?”

“Siapa bilang? Aku paling suka semur. 

Cuma baunya kok agak asing. Hati domba ya?”

“...menjangan, Neng.”

“Oh ya?” wajah Miranda berseri-seri. 

“Dapat beli di mana?”

“Bukan dapat beli. Tetapi ada yang 

memberi, Neng. Tadi malam ada seekor


menjangan itu dan gemuk kesasar masuk 

kampung yang di lembah itu. Beberapa orang 

penduduk mengepung dan berhasil 

menangkapnya. Pagi-pagi benar disembelih. 

Dagingnya dibagi-bagikan sesama mereka. 

Sedang hati, langsung dikirim ke sini. Mereka 

bilang, sudah tahu kalau kau pulang dari 

Jakarta, neng Mira. Lagi bingung mau kasih apa 

sebagai ucapan selamat datang, eh… hadiah itu 

datang sendiri masuk kampung. Tentu saja 

mereka girang bukan main, dan...”

“Siapa-siapa mereka itu, bi Supi?”

“Teman-temanku. Juga pak Ading, salah 

seorang penggarap sawah ayahmu.”

“Pak Ading? Wah, jadi kangen! Sudah 

lama tak bertemu. Kok dia tidak nunggu ya?”

“Tadinya nunggu, neng. Tetapi karena 

dia ada perlu ke kecamatan, pak Ading tak 

berlama-lama di sini. Dia ketitipan salam...”

“Dari anaknya?”

Bi Supi terdiam. Murung, dan sedikit 

pucat. Agar tidak kelihatan oleh Miranda, 

pelayan itu pura-pura sibuk mematikan api di


tungku, batuk-batuk seolah kemasukan asap, 

lantas sibuk membenahi meja makan.

Miranda segera membantunya. 

Mengambilkan perlengkapan; piring, gelas, 

sendok garpu, kocokan. Sambil, mengingatkan: 

“Kau belum jawab pertanyaanku, bi . ..”

“Apa? Eh… oh, ya. Ya. Lupa. Lupa. Maaf 

ya neng?” Batuk-batuk lagi. “Uh, asap sialan 

itu...” bi Supi mengusap-usap dada. Kembali 

tenang. Katanya: “Yang kirim salam, isterinya.”

“Ooo. Begitu. Apa pak Ading engga 

cerita-cerita tentang anaknya, si Dadang?”

“Mungkin dia lupa.”

“Kok aneh ya,” Miranda setengah 

melamun, duduk di kursi makan. “Padahal pak 

Ading kan tahu, Dadang dan aku teman 

bermain semenjak kecil. Waktu aku ikut ayah 

melihat-lihat ke sawah. Aku ingat betul, bi. 

Suatu kali Dadang membuatkan aku alat tiup 

dari batang padi. Tapi karena nadanya begitu-

begitu saja, aku merengek minta yang lebih 

bagus. Lalu aku dibuatkannya sebuah suling 

bambu. Malah diajari cara meniupnya. Sayang


aku tak bisa-bisa. Karena jengkel suling bambu 

itu kubenamkan ke lumpur. Kuinjak-injak.

Setelah itu, seminggu, lamanya Dadang tak 

mau mencakapi aku. Kami baru berbaikan 

kembali, sesudah ayah menegur dan menyuruh

ku minta maaf. Kata ayah, tak baik menyakiti 

hati orang. Apalagi, orang itu sudah bersusah 

payah memberikan kita sesuatu, padahal ia 

miskin dan... Tetapi pak Ading dan keluarganya 

tidak miskin, kan begitu bi Supi?”

“Memang tidak.”

“Ya. Mereka tidak miskin. Mereka cukup 

banyak memperoleh bagi hasil sawah kita. 

Buktinya, begitu tamat es-em-pe dan aku akan 

meneruskan sekolah ke Jakarta, Dadang 

memberiku sehelai halsduk penutup leher. Aku 

tahu, dia sengaja pergi jauh-jauh ke Bandung 

untuk membeli halsduk yang mahal itu. 

Katanya, sebagai kenang-kenangan dan agar 

aku tidak masuk angin selama di perjalanan. 

Lama juga aku memakainya, sampai…”

“Kau membuangnya lagi,” bi Supi 

menyela, lembut.


“Ya. Sampai aku membuangnya pula.

Maksudku, membakarnya...”

“Aku yang membakarnya, neng. Atas 

suruhanmu. Ingat engga?”

“Ah, lupa.”

“Aku yang membakarnya...” ulang bi 

Supi. “Dan aku tahu, mengapa kau suruh aku 

membakarnya. Karena kau tak mau dia 

cemburu itu, pacar pertamamu ketika kau naik

kelas dua es-em-a...”

Miranda tersenyum teringat kenangan 

lama itu. Desahnya: “Yang begituan saja 

dicemburui. Tetapi kau benar, bi Supi. Aku 

takut dimarahi pacarku. Takut dibilangin, aku 

mencintai si pemberi halsduk.”

“Nyatanya, kau pernah dicium si Dadang,” bi 

Supi geleng kepala. “Dan kau mau…”

“Dasar tukang ngintip!” rungut Miranda.

bermerah muka. “Itu kan cuma iseng. Cari 

pengalaman baru yang mengasyikkan. Bukan 

cinta.”

“Iseng atau cinta, toh kau kena hukum. 

Sebelum semua orang tahu apa yang telah


kalian perbuat, kau lantas cepat-cepat dikirim 

ke Jakarta. Untungnya, Dadang tutup mulut. 

Kalau tidak, wah. Payah!”

“Bi Supi kira, ia masih tutup mulut 

sampai sekarang?”

“Pasti. Karena selain aku dan ayahmu, 

tak pernah sekalipun kudengar orang lain 

meributkannya. Yang jelas, Dadang tidak akan 

pernah lagi menceritakannya pada siapapun 

juga. Karena tadi malam… Astaga, apa yang 

kuperbuat?” bi Supi, dengan wajah pucat pasi 

menatap pecahan beling dan sambal yang 

berceceran di lantai, dekat kakinya, la telah 

menjatuhkannya… dan hanya ia yang tahu: 

dengan sengaja!

Miranda bergegas bangkit dari kursinya. 

Lalu memunguti pecahan pinggan tempat 

sambal itu, sambil berkata: “Engga usah 

diributkan, bi. Tolong ambilkan pengepel. 

Bersihkan lantai, sementara aku membuatkan 

sambal lain.”

Bi Supi lantas sibuk menyapu dan 

mengepel lantai. “Biarlah aku yang 

membuatnya, Neng. Kau pergilah. Sudah


waktunya makan siang sekarang. Dan tamu kita 

belum pulang juga. Siapa tahu dia tersesat. 

Pergilah cari. Kalau, ketemu, lekaslah ajak 

pulang. Dia pasti sudah kelaparan.”

Miranda meninggalkan rumah. 

Pikirannya seketika sudah dipenuhi oleh 

pertanyaan ke mana dan mengapa Bramandita 

pergi begitu lama? Namun jauh di sanubarinya, 

ia merasa ada sesuatu yang salah. Apakah 

Miranda telah mengatakan sesuatu? Atau 

mendengar sesuatu, tetapi lupa menanyakan

nya? Matahari terik menyengat ubun-ubun 

Miranda. Wahai, ke mana gerangan 

Bramandita? Barangkali dia telah melayap ke 

suatu tempat. Tak tahu jalan pulang. Bisa jadi 

juga, Bramandita telah ketemu seorang gadis 

rupawan, dan...

Miranda jalan bergegas, tanpa menge-

tahui ke mana ia harus mencari.

Dan di belakangnya, bi Supi mengawasi 

kepergian Miranda dari jendela dapur. Wajah 

perempuan tua itu masih tetap pucat seperti 

tadi. Matanya menatap kuatir. Jantungnya 

berdebar, takut. Dalam hati, berpikir: “Untung


aku lekas ingat diri dan menjatuhkan pinggan 

itu. Coba, kalau aku terus lepas omong...”

Bi Supi kembali ke dapur, la harus 

membuat sambal yang baru. Ketika akan 

mengambil rempah-rempah dari tempatnya, 

selintas mata bi Supi terlayang ke katel. Semur 

itu telah masak. Baunya memang aneh, seperti 

dikatakan Miranda. Mestinya hati itu direbus 

dulu, karena akan memakan waktu untuk 

mengirimkannya ke rumah ini. Tetapi siapa 

yang akan merebusnya? Pak Ading? Atau 

isterinya? Memegang rantang berisi hati yang 

masih berlumuran darah itu saja. sudah siksaan 

bathin yang mengerikan.

Pak Ading tadi sempat sempoyongan, 

ketika meletakkan rantang itu di meja dapur. 

Orangtua yang malang itu tampak tegang, 

pucat dan sakit. Begitu pula dua orang kerabat 

yang mendampinginya. Mereka semua letih, 

pucat, ketakutan. Juga bi Supi sendiri.

“... Dadang anak yang baik,” kata pak 

Ading gemetar. “Tetapi kami sadar sepenuh

nya, ia telah melakukan kesalahan. Kami lalai. 

Lupa, bahwa Dadang pernah melakukan


kesalahan yang sama...” pipi orangtua itu 

basah, digenangi air mata. Getir dan tersendat-

sendat, ia melanjutkan: “Kami telah 

memaksanya supaya lekas-lekas menikah, 

setelah… setelah neng Mira pergi ke Jakarta. 

Tetapi… bagaimana lagi? Anak kami… begitu 

mencintai neng Mira. Berbagai usaha telah 

kami coba. Namun ia tetap saja membujang. 

Dan ketika kami lihat bahwa ia tenang dan 

tabah menerima nasibnya, kami lantas lalai 

menjaganya...”

Pak Ading membasahi bibirnya yang 

kering, dengan lidah.

Dua kerabat yang mendampinginya, 

sama menelan ludah. Membasahi tenggorokan 

yang kering kerontang.

“Tak kami nyana,…” lanjutnya pula. 

Terbata-bata. “Dadang melakukan kesalahan 

serupa, justru… justru setelah ia mendengar 

neng Mira pulang-pulang, ditemani lelaki lain. 

Mungkin ia berfirasat apa dan bagaimana 

hubungan laki-laki itu dengan neng Mira. Lalu 

ia nekad, dan...”

Dan orangtua itu menangis tersedu-sedu.


Salah seorang pendampingnya, 

memeluk pak Ading dan menjaga agar orang

tua itu tidak jatuh sempoyongan ke lantai. 

Pendamping yang lain mengawasi bi Ijah 

dengan tajam, dan bertanya ketakutan: 

“Apakah Ading, dan keluarganya… bebas 

dari hukuman tambahan itu?”

“Demikianlah janji pak Lurah,” jawab bi 

Supi, tenang.

“Jadi… mereka tidak akan menghuni 

Bukit Larangan?”

Bi Supi mengerling ke rantang tertutup di 

atas meja. Membayangkan isinya, baru 

menjawab pelan: “Tidak.”

Orang itu mau mengucapkan terima

kasih, tetapi kemudian membatalkannya. Bi 

Supi mengerti. Adalah tolol dan dungu, kalau 

mereka masih harus berterimakasih. Maka, 

kedua orang pendamping itu segera memapah 

pak Ading dan membawa mereka pulang ke 

rumah anak isterinya di lembah.

Bi Supi memandang lagi ke katel.


“Hati menjangan…” bisiknya, gemetar. 

Lantas memaki: “Haram jadah!”

***

“HE, kau kiranya Mira. Masuklah. Ada 

apa? Kau kelihatannya gelisah...”

“Maaf, lagi-lagi aku mengganggu bapak. 

Adakah Rama kemari?”

Ganda, atau lengkapnya Suganda 

Prabukusumah Prayodhia; tertawa gembira. 

“Laki-laki mana yang tak senang 

diganggu perempuan molek seperti kau ini, 

Mira?” katanya riang. “Sayang, dia belum 

kulihat lagi. Terakhir kulihat, ya… kemarin itu. 

Di Balai Desa. Memangnya pergi ke mana si 

Tampan itu, nak?”

“Itu yang ingin kutahu, pak Lurah.”

“Jangan-jangan, ada janda lain yang… 

Husy. Jangan cemberut begitu, Mira,” lurah 

desa Mantili yang ramah itu tertawa lagi. 

Bergelak. “Percayalah. Ramamu tak akan


kepelet oleh Shinta-Shinta lain. Karena tinggal 

kau satu-satunya Shinta yang masih hidup di 

dunia ini.”

“Sialnya, ia tidak pernah mau mengakui 

aku sebagai Shinta nya,” keluh Miranda, sambil 

terduduk kelelahan di sebuah kursi.

“Tak lama lagi, nak. Tak akan lama lagi. 

Asal kau bersabar, dan tetap mau berusaha!”

pak Lurah memanggil isterinya dan menyuruh 

menghidangkan secangkir teh untuk Miranda. 

“Aku melihat gelagat, sang Rama 

akhirnya akan memperisteri sang Shinta dari 

Mantili.”

“Bapak yakin?” Miranda kembali 

bersemangat.

“Roh leluhurku jaminannya,” ujar pak 

Lurah, khidmat. “Toh kau sendiri sudah melihat 

tanda-tandanya…”

“Boleh aku melihatnya sekali lagi, pak 

Ganda?” tanya Miranda, bernafsu.

“Belum puas?”

“Belum.


“Belum yakin?”

“Belum.”

“Menyapa tak kau tanyakan saja 

padanya? Ajuk hatinya?”

“Itu tak lucu, pak!” rungut Miranda, 

merajuk.

“Husy, jangan begitu. Kau bukan anak 

kecil lagi. Kau kan sudah…”

“Janda!” Miianda cemberut. “Dan aku 

akan terus menjanda seumur hidup apabila 

bapak keberatan memperlihatkannya padaku 

sekali lagi.”

“Hem. Dasar lagi dimabuk cinta,”

Suganda Prabukusumah Prayodhia berjalan 

tenang memasuki sebuah kamar yang terletak 

di salah satu sayap rumah besarnya. Rumah 

terbesar di desa itu, dengan penghuni yang 

paling terbanyak pula. Ya anak-anak, ya cucu, 

bahkan sampai beberapa orang dari cicitnya. 

Boleh dibilang Suganda tak hapal mereka 

semua. Sehingga acap-kali ia keliru merangkul 

dan mencium menantu perempuan, yang 

tadinya ia sangka anak kandungnya. Namun


begitu, mereka semua tetap senang padanya. 

Mencintai, mengabdi tanpa banyak protes. 

Penurut, patuh, dan biar tidak diminta, 

bersumpah dalam hati untuk tidak melanggar

larangan apapun yang berlaku di rumah besar 

itu.

Salah satu larangan itu adalah, 

memasuki kamar yang saat ini dimasuki pak 

Lurah untuk mengabulkan permintaan 

Miranda. Lewat pintu yang terbuka sekejap, 

Miranda sempat menangkap suasana temaram 

di dalam, lalu salah satu sisi rak tempat buku. 

Demikian besar, lebar, dan tingginya rak itu 

sehingga dapat menutupi sedemikian rupa 

pandangan dari luar pintu. Mana pintu itu 

terbuka dan menutup lagi secepat dibuka, 

setiap kali Suganda Prabukusumah Prayodhia 

keluar masuk kamar pribadinya.

Siang hari, kamar itu hanya diterangi 

oleh cahaya samar-samar yang masuk lewat 

ventilasi tanpa jendela dari kaca es tebal dan 

suram. Malam, diterangi lampu damar di sudut 

ruang. Hanya sesekali diterangi listrik, pertanda 

si pemilik kamar tengah menekuni buku-

bukunya. Ada puluhan, mungkin lebih buku


buku yang tersusun rapih di tiap bagian rak. 

Besar kecil, berbagai bentuk, ukuran maupun 

warna. Sebagian besar sudah lapuk. Kalau 

bukan karena terlalu sering dibuka, tentulah 

karena saking tuanya usia buku itu sendiri.

Meskipun tanpa jendela dan pintu jarang 

dibuka, udara dalam kamar tertutup itu 

tercium harum semerbak… paling tidak begitu 

lah, menurut hidung pemiliknya. Beraneka 

ragam akar-akaran, rempah rempah, getah 

kering, potongan-potongan rotan atau kulit 

kayu cendana dan banyak lagi hasil hutan 

lainnya, terdapat dalam kamar itu. Tertumpuk 

di meja, di keranjang dalam laci-laci. Atau 

tergantung di tembok, di dinding rak. di 

kapstok yang semestinya untuk gantungan 

pakaian. Sebagian tergenang dalam beberapa 

buah pasu berisi air bening. Pasu-pasu itu 

diletakkan tidak beraturan, namun tetap dalam 

posisi melingkari sebuah patung setinggi anak 

kecil. Patung yang sulit dijelaskan, apakah mirip 

manusia, atau mirip kera.

Salah satu dinding tembok, dibiarkan 

tidak terganggu. Dinding tembok itu diukir 

memanjang oleh seorang pemahat jempolan.


Sehingga, sekilas pandang seorang mahasiswa 

perguruan tinggi akan yakin seketika bahwa 

ukiran memanjang itu adalah jejeran kejadian 

atau terciptanya manusia menurut teori 

evosusi-nya Darwin. Pada bagian di mana 

menurut Darwin semestinya ditempati oleh 

mahluk yang ia sebut The Missing Link, Garis 

Keturunan Yang Hilang, diukir pahatan 

manusia; yang baik bentuk maupun rupanya 

merupakan jiplakan dari postur tubuh maupun 

rupa Suganda Prabukusumah Prayodhia, lurah 

desa Mantili, pemilik kamar dari rumah besar 

yang dihormati dan disegani semua warganya.

Orang yang luar biasa itu, bersimpuh 

sejenak di depan patung bersepuh emas tadi. 

Sukar dijelaskan, manakah yang bersinar dalam 

sekejap. Mata pak Lurah, atau mata patung 

yang aneh itu. Setelah sinar merah kehijauan 

itu lenyap, pak Lurah mengambil salah satu 

pasu dan berjalan ke pintu, membuka dan 

menutup pintu lagi, terus dengan wajah 

berseri-seri meletakkan pasu tadi di depan 

Miranda.

Jantung perempuan itu berdegup 

kencang. Matanya tak berkedip menatap ke

dalam pasu. Dalam air bening, tampak jelas 

selembar daun sirih di dasar pasu. Punggung 

daun sirih menghadap ke atas. Di 

permukaannya, melekat tetesan-tetesan darah 

yang telah berubah jadi gumpalan-gumpalan

kecil, lunak dan misterius! Tiga tetes darah 

Miranda, tiga tetes darah Bramandita. Si 

Tukang ngintip, bi Supi, telah menyambar daun 

sirih berdarah itu sementara Miranda dan 

Bramandita menjalankan taruhannya: siapa 

paling kuat dan tahan paling lama menyelam 

dalam lubuk.

“... indah sekali,” bisik Miranda, tergetar. 

Maksudnya, kenangan romantis di dan sekitar 

lubuk.

“Tentu saja,” jawab pak Lurah, lembut, la 

memaksudkan persetujuan itu, untuk apa yang 

kemudian ia katakan: “Ini adalah tanda-tanda 

akan berpadunya kembali sang Rama dan sang 

Shinta.”

Rama dan Shinta itu telah menyatu. Baik 

Jiwa. maupun raga. Demikian Miranda berpikir 

gemetar dan hangat sekujur tubuhnya,


terbangkit tanpa sadar naluri seksuilnya. Lantas 

bergumam pelan:

“Perlihatkan lagi, pak Ganda ...”

Suganda Prabukusumah Prayodhia terpekur.

Mulut terkatup rapat, sedangkan 

kelopak mata terbuka lebar. Matanya menatap 

lurus dan tajam menusuk ke dalam pasu berisi 

air sebening kaca itu. Sedetik dua, tak terjadi 

apa-apa. Pada detik-detik berikutnya, nafas 

Miranda mulai sesak. Mula-mula, ia lihat 

getaran di permukaan air. Daun sirih sedikit 

bergoyang, kemudian diam kembali. 

Seterusnya, yang bereaksi adalah gumpalan 

kecil tetes-tetes darah itu. Mata biasa tentu 

saja tidak dapat membedakan mana darah 

Miranda, mana pula darah Bramandita. Hanya 

kekuatan bathin pak Lurah… yang kemudian 

disalurkan ke bathin Miranda sehingga 

nafasnya menjadi sesak, yang dapat 

membedakannya.

Tiga gumpalan tetes darah bergerak-

gerak lembut. Seakan merayap, mendekati tiga 

gumpalan tetes darah lainnya. Satu demi satu 

tiga pasang gumpalan tetes darah itu menyatu.


Proses kemudian terjadi. Perpaduan darah itu, 

menyebabkan terjadinya perubahan, warna. 

Dari merah tua ke merah muda sedikit 

kekuning-kuningan lalu lembayung, kemudian 

berubah lagi agak kekuningan, terus merah 

muda, lalu tiga pasang gumpalan tetes darah 

itu kembali berwarna merah tua, begitu satu 

sama lain memisahkan diri.

Kelopak mata Miranda mengerjap. Perih. Lalu:

“... tadi pagi aku lupa menanyakan. 

Kenapa, pak Ganda Tetes tetes itu berpisah 

lagi?''

Mulut pak Lurah terbuka. Menjawab, 

pelan: “Karena kalian belum menyatu...” dan 

manakala ia lihat Miranda akan mengutarakan 

sesuatu namun kemudian mengurungkannya 

dengan wajah malu; maka pak Lurah 

menegaskan: “Menyatu secara utuh. Dan itu 

harus melalui sebuah upacara.”

“Perkawinan?”

“Mirip.”

“Maksud bapak?”


“Kalian berdua boleh menamakannya 

perkawinan. Hanya upacaranya tidak dipimpin 

oleh penghulu, pendeta, atau semacamnya. 

Aku… maupun keturunanku, sungguh belum 

beruntung memperoleh jabatan mulia itu,”

Suganda tampak murung. Sekejap cuma. 

Kemudian, wajahnya berubah riang kembali. 

Berkata: “Andaikata upacara itu jadi kita 

langsungkan. Mira. Bersediakah kau apabila 

aku yang memimpin dan mengesyahkannya?”

Miranda tersenyum, bahagia. “Aku bersedia.”

“Dan Bramandita?”

“Aku kira. dia juga akan…“ Miranda 

kembali gelisah. “Heran, ke mana dia perginya 

ya?”

“Mudah-mudahan ia sudah di rumahmu 

sekarang.”

“Semoga. Jadi bi Supi tak perlu kecewa.”

“Dia kecewa? Kenapa?”

“la telah capai-capai masak, dan paling 

jengkel kalau hidangan yang ia sediakan, 

dibiarkan dingin...” Miranda tersenyum 

semakin lebar. Kemudian: “Hari ini, bi Supi


punya menu menarik. Bapak mau ikut makan 

bersama kami?”

“Wah, bagaimana ya?” Suganda balas 

tersenyum. “Aku ada janji beberapa menit lagi 

dengan sejumlah orang yang pasti sudah 

menunggu di balai desa... Tetapi biar begitu, 

sambil lalu saja. Masak apa si Supi siang ini, 

Mira?”

“Semur. Semur hati.”

“Hati?”

“Ya. Hati menjangan.”

Suganda menelan ludah. “Pasti enak,”

keluhnya. “Sayang sekali. Siapa yang kirim?”

“Pak Ading. Sayang, tadi pagi aku masih 

di sini. Menyaksikan tanda-tanda ,ajaib itu...”

Miranda melirik lagi ke arah pasu. 

Tampak matanya berharap, tetapi kemudian ia 

mengeluh: “Jadinya aku tak sempat berterima

kasih pada penyawah ayahku itu. Padahal ingin 

benar aku ngobrol. Antara lain, tentang 

anaknya. Dadang, tentu bapak ingat...


Kembali Suganda menelan ludah. Matanya

murung, karena perasaan tertekan. Namun 

dalam gambaran Miranda, kemurungan tuan 

rumah dikarenakan apa yang kemudian 

terucap: “Hemm. Jangankan anak orang lain, 

Nama dan wajah anakku sendiri, terkadang aku 

lupa.” kemudian lagi ia tertawa “Itu sebabnya 

aku sayang dan suka padamu, Mira. Dulu 

ayahmu sering membawamu main ke rumah 

Ini. Kumpul bersama anak-anakku sendiri. 

Lantas, yah… seperti biasa, aku lupa dan 

pernah membentak dan menjewer telingamu.”

“Itu karena aku nakal.” ujar Miranda.

“Ya. Juga, karena sebelum kujewer, 

kukira yang punya telinga itu anakku sendiri…”

“Bapak kuanggap ayahku sendiri.”

“Dan kelak akan melahirkan sejumlah 

cucu buatku ya? Cucu-cucu pilihan?”

Miranda bangkit dari kursinya. 

Mengecup pipi pak Lurah, yang bahagia 

menerimanya. “Do’akan aku berhasil, pak.”

“Kau akan berhasil. Buktinya, tugas 

pertama telah kau jalankan dengan baik..


“Oh.” wajah Miranda tampak gundah. 

“Tugas yang jelek. Pura-pura taruhan, lalu 

mencuri hasil taruhan itu.”

“Bukan kau yang mencurinya. Mira.”

“Ah. Sama saja.”

“Kenapa ribut? Toh, demi masa depan 

kalian berdua juga.”

“Tetapi kau telah menipunya, pak 

Ganda. Menipu sang Rama.”

“Kalau kelak sang Rama tahu apa yang 

telah diperbuat Shinta. aku yakin sang Rama 

akan memaafkannya.”

“Kuharap begitu,” Miranda kembali 

gembira. “Kini, aku harus mencarinya. Tak tahu 

ke mana. Semoga saja ia tidak tersesat,”

Miranda berjalan ke pintu.

Pak Lurah mengantarnya. “Sudah kau 

cari ke balai desa?”

“Sudah. Marjuki bilang, tak melihat 

Rama semenjak mereka, berdua meninggalkan 

rumah tadi pagi. la juga sudah mencari. Atas 

kemauannya sendiri.”


“Dan ayahmu?”

“Dia lebih tak tahu lagi. Tetapi 

menghiburku. Rama tak akan ke mana-mana. 

Rama dapat menjaga diri.”

“Iya dong. Ramamu kan sudah besar, 

kata Suganda. Tertawa.

***


SEPULUH


AKHIRNYA Bramandita berhenti lari.

Bukan atas kehendaknya sendiri, la tidak 

lagi memperhatikan jalan yang dilalui. 

Pendeknya yang ia tahu, lari dan larilah sejauh 

kau dapat. Di sebuah belokan tajam jalan 

setapak itu, kakinya terantuk akar kayu yang 

membelintang jalan. Dengan suatu pekik kaget 

dan ngeri, Bramandita melayang ke depan, 

untuk sedetik kemudian terjerembab jatuh.

Pisaunya terlempar.

la tergeletak dengan kaki sampai 

pinggang di jalan setapak, dan selebihnya 

tersuruk masuk semak belukar. Wajah serta 

dadanya perih. Tertusuk duri serta pucuk 

ilalang muda. Bramandita juga merasa pusing 

bukan main. Selama beberapa saat ia biarkan 

tubuhnya terbadai di tanah. Memberi

kesempatan jantung berdegup lebih teratur 

Namun bayangan tubuh manusia terpancang di 

kayu silang dengan sebilah tombak terhunjam 

di lambung, membuat jantungnya kembali ciut.


Kemudian, Bramandita mendengarnya!

Mendengar suara-suara aneh tak jauh 

dari tempatnya berbaring. Terkesiap sebentar, 

Bramandita siap-siap bangkit untuk kabur 

kembali. Apakah itu bunyi pekik dan geram-

geram binatang yeng berusaha mengurungnya 

dari segala penjuru? Ratusan! Bahkan mungkin 

ribuan banyaknya mereka. Serabutan kian 

kemari di semak-semak gelap. Berloncatan 

hiruk pikuk di pepohonan...

Bramandita membuka kelopak matanya. 

Memandang liar ke depan. Tak ada kaki atau 

tangan-tangan panjang berbulu. Juga tidak 

tampak wajah-wajah sempit menyerupai 

setan, dengan mata melotot mengerikan. Apa 

yang ia lihat di sekeliling, hanyalah semak 

perdu berduri, tumbuhan ilalang yang rapat, 

batang-batang pepohonan yang menjulang ke 

langit lepas, la beringsut, bimbang. Bangkit 

ragu-ragu. Benar. Tidak ada mahluk apapun di 

jalan setapak itu, maupun di antara pepohonan 

rindang serta rapat satu sama lain.

Tetapi suara itu tetap bergema.


Sekali pelan. Memelas. Kemudian 

terdengar meninggi, berupa tangisan yang 

menyayat hati. Apakah itu tangis sekarat mayat 

yang lambungnya ditoreh tombak bambu 

runcing itu?

Hati-hati Bramandita berdiri. Telinga 

ditajamkan, leher dipanjangkan. Meninjau 

lewat tumbuhan rambat yang merayapi pohon 

di sebelah kirinya, dan kemudian melihat 

sebuah gubuk kayu beratap ijuk hanya 

beberapa meter dari tempatnya berdiri. Suara 

itu datangnya dari dalam gubuk. Benar, suara 

tangis. Tangis pilu seorang perempuan.

Siapa kiranya perempuan yang mau 

tinggal sebuah gubuk terpencil ini?

Apakah,… Kusta!

Marjuki pernah mengatakannya: 

kelompok penderita penyakit kusta!

Bramandita tertegun. Mula-mula, tak 

tahu apa yang akan ia perbuat, la belum pernah 

bertemu orang berpenyakit kusta, la hanya 

melihatnya di bioskop atau membacanya dari 

buku. Film atau cerita-cerita mengenai orang


berpenyakit kusta itu sedemikian seram namun 

sekaligus memilukan hati.

Bramandita. terenyuh, apalagi ketika 

mendengar isak tangis itu menggema sekali 

lagi. Lolongan seorang perempuan yang putus 

asa.

“Jangan! Jangan mendekat!” akal 

sehatnya memperingatkan.

“Tetapi... dia juga manusia!” hati kecil 

Bramandita menbantah. “Apa salahnya? Asal. 

aku tidak menyentuh apa apa...”

Bramandita membulatkan tekad. Lalu 

berjalan. terpincang-pincang menerobos 

semak belukar mendekati gubuk itu. Kakinya 

sakit sekali. Barangkali yang terantuk tadi 

tulang keringnya.

Suara tangis itu menghilang, tatkala 

Bramandita memasuki halaman gubuk. Sepi 

menyentak, mencemaskan. Bramandita 

kembali bimbang. Liar lagi matanya. Jelalatan 

kian kemari. Mana mahluk-mahluk mengerikan 

itu? Apakah di sekitarnya menyelinap lebih 

banyak lagi orang-orang yang mengidap kusta; 

sembunyi ketakutan melihat manusia normal


yang datang kepada mereka membawa jalan 

pikiran yang tidak normal?

Bramandita tertegun lagi, waktu 

mendengar suara berderak aneh. Juga 

gemerincing besi, kalau tak salah mestinya 

gemerincing rantai. Apakah tidak lebih baik ia 

mundur saja? Dan melupakan gubuk serta 

penghuninya? Tetapi, oh… mustahil. Yang ia 

lihat di film atau yang ia baca di buku, seorang 

penderita kusta akan menjauhi manusia sehat 

yang mendekatinya. Walaupun misalnya ia 

membenci orang yang mendekatinya, belum 

pernah ia dengar penderita kusta melampias

kan kebenciannya dengan membunuh.

Bramandita menyentuh pegangan pintu. 

Segan.

Menekannya sedikit ke bawah. Lantas 

mendorong ke depan, karena pintu itu ternyata 

tidak terkunci. Suasana temaram di dalam 

membutakan matanya sesaat. Bauk pepak, 

hanyir dan busuk membuat perutnya mual. la 

siap menerima serangan, yang nyatanya tak 

pernah datang. Mengerjap beberapa kali, 

akhirnya Bramandita terbiasa dengan


kegelapan di dalam. Cahaya matahari di luar 

gubuk, menerobos malas lewat jendela 

samping yang sedikit terbuka. Cahaya samar itu 

jatuh ke sepasang telapak kaki telanjang yang 

menghadap ke pintu.

Ketika diperhatikannya sekali lagi, jelas

lah Bramandita melihat bahwa pergelangan 

kaki itu lenyap dalam lingkaran pas-pasan dua 

balok kayu besar yang dirapatkan satu sama 

lain dengan sekrup yang mestinya diperguna

kan menyekrup balok-balok besi baja 

konstruksi bangunan bertingkat. Rantai besi di 

masing-masing ujung balok kayu itu, terkait 

pada lingkaran kancing besi di lantai papan 

yang tebal dan kuat.

Orang yang kakinya dipasung ke balok 

kayu besar itu, memang perempuan. Tetapi ia 

sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda 

mengidap kusta. Perempuan itu bertubuh 

sehat, masih muda dan boleh dibilang 

termasuk cantik wajahnya; meski rambutnya 

yang panjang terurai tampak kusut masai, 

wajah pucat dikotori bekas makanan maupun 

debu yang dilelehi keringat serta air mata.


Bramandita memalingkan muka dongan 

terkejut campur malu, manakala ia sadari di 

sebelah dalam paha telanjang yang 

terkangkang itu, si perempuan tidak memakai 

celana. Tergetar hatinya memikirkan ia tengah 

berhadapan dengan seorang gadis gila. Sebab, 

setahunya, hanya orang berpenyakit hilang 

ingatan yang suka mengamuk saja, yang 

terpaksa harus dipasung oleh keluarganya.

“... sssiii… siapa… kkkaaau?”

Bramandita menghela nafas. Kembali 

berpaling menatap si perempuan. Pandangan

nya kali ini lebih di keataskan agar matanya 

tidak beradu dengan bagian terlarang dari 

tubuh gadis malang itu. Bramandita 

memandang lewat pundak si gadis. Dan 

melihat tumpukan kotoran manusia di 

belakang si gadis, campur aduk dengan sisa 

makanan yang berserakan. Bramandita mau 

muntah, namun berusaha menahan keinginan 

itu sekuat mungkin.

Lalu menjawab: “Namaku Bram.”

“Ram?”

“Bram. Bramandita.


“Aku tak pernah melihatmu. Kau… bukan 

penduduk Mantili. Potonganmu dan cara 

berpakaianmu, juga tidak menunjukkan kau… 

kau bukan penduduk lembah, bukan?”

“Benar. Aku orang baru di sini. Aku 

tinggal di Jakarta.”

“Kau tersesat?”

“... ya.”

“Pakaianmu kotor. Ada darahnya. Kau 

mengalami luka lecet. Memar-memar... Kau 

juga tampak kepayahan. Dan takut akan 

sesuatu.” Tetapi gadis itu mengawasi wajah 

Bramandita, seakan mencari sesuatu, lalu 

mendadak ia berkata dengan nada memohon: 

“Kau… masih kuat untuk pergi, bukan?”

“Pergi?” Bramandita tercengang.

“Ya. Pergi. Jauhi tempat ini!”

Bramandita tertawa, tanpa sadar. Lantas 

berhenti jertawa, dengan sadar! Apakah ia 

yang gila, atau perempuan ini? Dipandanginya 

sekujur tubuh gadis itu. Postur tubuhnya 

bagus. Paling kurang, mata lelaki iseng tidak


akan melewatkannya begitu saja. Jelas wajah 

perempuan itu membayangkan putus asa, dan 

sinar matanya yang getir menggambarkan 

betapa berat penderitaan bathin akibat 

hukuman yang ia terima. Tetapi...

“Kau tampaknya sehat wal ‘afiat,”

gumam Bramandita. 

“Apa?”

“Kau bukan…,” hampir saja Bramandita 

menyebut: orang gila. Tetapi lekas 

mengurungkan kata-kata yang tidak pantas itu. 

Dan merubahnya dengan pertanyaan yang 

lebih lunak: “Kau ngobrol sebagaimana orang 

lainnya juga ngobrol. Kau bersikap wajar, 

dan...”

“Aku bukan orang gila. Pikiranku waras, 

bila itu yang kau maksud!” kata si perempuan 

tajam.

Bramandita berpikir, tak ada orang yang 

mau mengakui dirinya maling. Dan orang gila, 

biasanya menuduh orang lain yang gila sedang 

ia sendiri orang waras. Timbul lagi keraguan 

Bramandita. Sebentar cuma. Karena gadis itu 

telah berkata pula:


“Kumohon sekali lagi. Enyahlah…”

“Tetapi...”

“Tolonglah. Tinggalkan aku, sebelum… 

sebelum mereka memergoki kita...!”

“Mereka? Mereka siapa?”

“Ya Tuhan. Mengapa kau masih belum 

pergi juga, orang asing?” dari marah, gadis itu 

berubah jadi ketakutan. Takut dan putus asa. 

“Jangan biarkan mereka memberiku hukuman 

lain yang lebih menakutkan!”

“Kau membuatku bingung.”

“Maka itu, pergilah. Lekas!”

Tak ada kompromi, tampaknya. Dan 

perempuan ini sama sekali tidak memperlihat

kan keinginan untuk ditolong. Namun sebelum 

pergi, kebiasaan bersopan santun belum 

lenyap dari diri Bramandita. Jadi ia bertanya: 

“Ada sesuatu yang dapat kubantu?”

“Pergi!” gadis itu mendesis.

“Siapa namamu, dik?”


“Oh! Kau akan kulempari tahiku, kalau 

belum enyah jua!” gadis itu berteriak, keras 

dan marah. Pada saat bersamaan; ia 

menggerakkan tubuhnya. Mundur ke belakang. 

Balok kayu itu berderak oleh geseran di lantai. 

Gemerincing besi terasa menyakitkan telinga 

Bramandita. Benar saja. Gadis itu mulai 

menggapai ke belakang. Berusaha merahup 

tumpukan kotorannya sendiri, dan...

Dan Bramandita melompat mundur ke 

pintu. Siap menyelamatkan diri. Tetapi: “Hei!”

Bramandita bertahan di ambang pintu gubuk. 

“Ya?” sahutnya, berpaling. 

“Siapa namamu tadi?”

“Bram.”

“Oh ya, Bram,…” gadis itu tampak gelisah 

sebentar. Dadanya naik turun dengan keras, 

dan wajahnya yang kotor serta pucat kembali 

ditetesi air mata. “Benarkah kau tersesat?”

Setelah berpikir sebentar, Bramandita 

menyahut jujur : “Tidak.”

“Kau... baru dari atas sana.”


“Ya?”

“Kau baru turun bukit. Kau… kau 

tentunya telah melihat sesuatu di atas sana. Di 

puncak Bukit Larangan. Kau lari dari sesuatu. 

Sesuatu… yang kau lihat di sana...” mata 

perempuan itu menatap penuh harap. 

“Katakanlah. Apa yang telah kau lihat?”

“Aku,..”

Bramandita jadi gugup. Haruskah ia 

mengatakannya pada perempuan ini? Ia sudah 

begitu menderita. Dipasung sendirian di gubuk 

terpencil, jauh dari manusia lainnya, jauh dari 

kehidupan-kehidupan mahluk-mahluk berakal 

sehat. Dibiarkan terlantar sendirian di tengah 

hutan yang sunyi. Apakah cerita mengenai apa 

yang telah dilihat Bramandita, tidak akan 

menambah penderitaan dan ketakutannya?

Dan dapat menyebabkan gadis itu benar-benar 

gila?

Sesuatu mendadak teikilas di benak 

Bramandita. Ia mendengus:

“Kenapa kau ingin tahu?”


“Karena mereka telah mengambilnya 

dari sisiku.

“Siapa?”

“Laki-laki yang kucintai !” perempuan itu 

terisak-isak, menyedihkan. Kemudian, ia begitu 

ketakutan waktu berkata setengah histeri: “... 

aku melihatnya lewat jendela itu! Melihat 

mereka membawanya lewat jalan setapak. 

Menyeretnya ke atas bukit. Lalu tadi malam, 

kulihat nyala obor di atas sana. Kau dengar? 

Nyala obor di atas Bukit Larangan! Itu pertanda 

tengah dilangsungkan sebuah upacara 

pemujaan terhadap setan. Setan-setan 

penguasa Bukit Larangan! Dan tak lama 

kemudian aku mendengar jeritannya. Jeritan 

sayup-sayup sampai,… dan aku tahu, itu adalah 

jerit kematian orang yang kucintai!

Gadis itu menghempas-hempaskan 

pantat, tangan, bahkan punggungnya ke lantai 

kayu. Berderak-darak bunyi lantai, ber

gemerincing nyaring bunyi rantai, la terus 

celentang sambil menghempas-hempaskan 

tubuhnya sedemikian kuat, lain sebelum 

Bramandita mendekat, tahu-tahu saja; dengan


kekuatan luar biasa, gadis itu telah bangkit. 

Duduk kembali.

“Kau lihat tanganku ini?” ia memperlihat

kan jari-jemarinya sedemikian rupa, sehingga 

tampak bentuk kukunya. 

“Mereka memotong kukuku sedemikian 

pendek. Mengikir ujung-ujungnya supaya 

halus. Mestinya itu jangan mereka lakukan. 

Supaya aku dapat mencakar mukaku. 

Mencakari sekujur tubuhku. Melukainya. 

Mengeluarkan darah, agar aku sama 

merasakan azab sengsara yang diderita 

Dadangku tersayangi” ia menggeram, marah. 

Tengadah, menatap Bramandita. “Telah 

kucoba mencekik leherku sendiri. Nyatanya…

aku tak mampu. Tiap kali aku lemas. Terkulai… 

dan aku gagal mati bersamanya!”

Mendadak, duduk si gadis tegak kaku.

Wajahnya lesi. Liar matanya, terengah-

engah mulutnya, ketika bertanya dalam bisikan 

parau: 

“Benarkah mereka telah membunuh

nya? Membunuh Dadangku tercinta?!”


Bramandita menelan ludah. Tak mampu 

barkata sepatah pun jua.

“Jawablah!” hardik perempuan itu, 

histeri. “Persetan hukuman apa yang akan 

kuterima. Jawablah, orang asing!”

Bramandita membuka mulut. Tak ada 

kata-kata yang keluar. Akhirnya Bramandita 

cuma mampu mengangguk. Sangat perlahan. 

Namun cukup jelas untuk dapat ditangkap 

serta dipahami perempuan itu.

Si gadis terdiam.

Sepasang matanya terpentang lebar. 

Butir-butir air bening menetes kian banyak 

membasahi pipinya. Lalu dengan suatu gerakan 

tangkas dan cepat, kedua telapak tangan gadis 

itu telah mencengkeram lehernya sendiri. 

Menekan kuat, semakin kuat. Gadis itu kini 

berusaha mengerahkan segenap tenaganya 

yang masih bersisa, dan kali ini mungkin ia akan 

berhasil...

“Hentikan!” Bramandita menjerit.

Lalu ia menghambur mendekati gadis 

itu, memegangi pergelangan tangannya dan


menariknya kuat-kuat. Betot membetot segera 

terjadi. Anehnya, si gadis bukannya semakin 

lemah, malah tenaganya semakin kuat. Panik, 

Bramandita berteriak-teriak:

“Kubilang, hentikan! Jangan lakukan itu! 

Kekasihmu sudah mati… tak ada… Tetaplah 

hidup! Persetan! Siapapun mereka… kau dapat 

mengenalinya, kau dapat… membalaskan sakit 

hatimu! Kau…!”

Bramandita melepaskan betotannya di 

pergelangan tangan perempuan itu.

la terduduk. Bukan saja lemas, tetapi 

juga karena kaget dan Hilang semangat. 

Karena, begitu mendengar ucapan terakhir 

Bramandita, cekikan gadis itu pada lehernya 

sendiri, melemah seketika. Matanya yang

terpejam, terbuka nyalang. Terpentang lebar, 

semakin lebar, semakin bunder. Warnanya 

perlahan-lahan berubah. Dari bola putih 

dengan bulatan hitam, menjadi bola meta 

merah saga dengan bulatan hijau kekuningan... 

Bramandita terkesima.


Tak mampu bergerak. Hanya memperhatikan, 

tetap memperhatikan. Padahal semestinya ia 

lari terbirit-birit.

Dan ia memperhatikan perubahan lain. 

Dahi si perempuan menyempit. Alis matanya 

menebal. Tumbuh bulu-bulu halus, coklat. Baik 

di jidat, di sebagian pipi, leher, lengan 

sementara jari-jemarinya berkeriut. Bukan 

menciut, tetapi menebal. Kuku-kukunya yang 

dipotong pendek, pelan tetapi pasti bertambah 

panjang, lancip, dengan ujung-ujung yang 

runcing mengancam.

“Kkk-au… bbbeee-naarrr, Akkan kubbu-

bunuh mereka… kubunuh siapa sajjj… jjja yang 

menjjjaamahhhh keeekkk… kekkk… kasssssih 

kkuuuggg,…” tentunya gadis itu ingin 

mengatakan sesuatu secara wajar, namun dari 

mulutnya yang menyeringai memperlihatkan 

taring dan lidah merah berlendir, hanya lepas 

geraman datar: 

“Gnggeeerr--huuuuuu!” tampaknya ia 

mulai menyadari perubahan pada tubuhnya, 

den air matanya pun menetes kian menjadi-

jadi. Itu bukan lagi air mata kesedihan


melainkan air mata air mata kemurkaan, air 

mata yang mengandung butir-butir dendam 

kesumat. 

Mahluk itu ingin melampiaskan dendam.

Dan korbannya yang pertama, adalah 

benda apa saja yang terdekat pada tubuhnya. 

Benda itu adalah : leher Bramandita!

Ancaman bahaya tercium oleh naluri 

Bramandita. Sayang, datangnya terlalu lambat. 

Nalurinya belum sempat berteriak memper-

ingatkan, tangan-tangan mahluk yang tadinya 

halus lembut kini membengkak semakin besar, 

semakin panjang, kasar berbulu; tahu-tahu saja 

telah menangkap leher Bramandita.

la tercekat.

Dan mulai tercekik.

Dengan segala usahanya Bramandita 

melakukan usaha melepaskan diri. Meronta, 

menendang, memukul. Tetapi cekikan telapak 

tangan tebal, kasar berbulu itu semakin 

menjepit juga. Disertai bunyi detak dan bunyi 

srek-sreeeek dari blus kemudian rok yang tak


mampu membungkus tubuh yang semakin 

membesar itu.

Lalu mendadak segala sesuatunya berhenti.

Mahluk itu menghentikan gerakan 

mencekik pada leher Bramandita yang hampir 

kehabisan nafas. Wajah binatangnya berputar 

sedikit tengadah sedikit. Memandang lewat 

pundak Bramandita. Mahluk setengah 

binatang setengah manusia itu menggeram. 

Tidak sedahsyat tadi. Geramannya kini, begitu 

lemah. Ketakutan...

Bramandita ingin berpaling untuk 

mengetahui apa yang membuat mahluk itu 

demikian takut. Keinginan itu hanya terkilas di 

benak. Tak mampu dilakukan oleh kekuatan 

pisiknya yang telah menghilang lenyap, la 

merasakan sesuatu menghantam tengkuknya. 

Rasanya keras, tetapi lunak. Aneh. Kemudian 

tubuh Bramandita melorot jatuh. Cekikan itu 

lepas. Dan Bramandita terbadai di lantai.

Pingsan. Tak tahu mana dunia mana akhirat.

***


GANDA, atau lengkapnya Suganda 

Prabukusumah Prayodhia, lurah desa Mantili, 

mengusap-usap tepi bawah telapak tangan 

kanannya yang kebas, dengan wajah tampak 

betapa hampa. Keras juga tengkuk anak muda 

ini, ia berpikir. Lalu berujar pada dua orang laki-

laki bertubuh kekar kokoh yang berdiri di 

belakangnya: “Perkiraanku tepat, bukan? 

Rama tersasar sampai kemari...”

la menatap sekilas pada sosok tubuh 

mengerikan yang masih duduk terpasung di 

lantai, tanpa ungkapan perasaan apapun di 

wajahnya. Tidak takut, tidak heran, apalagi 

cemas. Kecemasannya baru muncul manakala 

ia memandang tubuh Bramandita. Leher 

Bramandita tampak berharut-barut merah, dan 

tampak tergores berdarah di sana sini.

“Lekas!” ia membentak keras, untuk 

mengatasi bunyi menggeram keras dari mulut 

lebar tebal dan bertaring yang masih terus 

berproses menghancurkan setiap lembar 

benang yang masih membungkus tubuhnya. 

“Singkirkan Rama dari tempat terkutuk ini. 

Tinggalkan dia di dekat-dekat desa. Tempat di 

mana saja orang lain cepat menemukannya.


Kemudian kalian bereskanlah segala sesuatu 

yang kalian anggap perlu.”

Perintah yang dikeluarkan dengan 

tenang dan nada biasa-biasa itu, belum juga 

dilaksanakan. Dua pengikut pak Lurah masih 

tegak kaku. Dengan mata terbeliak dan mulut 

ternganga. Memandang seram pada mahluk 

yang pertumbuhan tubuh maupun bulu serta 

kuku-kukunya itu tampak kian jadi. Tetapi 

Suganda tidak perlu mengeluarkan perintah 

dua kali. Manakala pandangan mata kedua 

orang itu beradu dengan sepasang mata merah 

kehijauan itu, dengan lantas mereka beradu 

cepat menyambar tubuh Bramandita. 

Menyeretnya menjauhi si mahluk, untuk 

kemudian dengan membopong anak muda itu 

mereka lari pontang panting menuju desa 

Mantili.

“... percuma minta ampun, anak manis!”

gumam Suganda tenang, setelah di gubuk 

terpencil itu tinggal ia saja, berdua dengan sang 

mahluk yang terus menggeram-geram, dengan 

air mata bercucuran.


“Kau telah kuampuni,” katanya lagi, 

“setelah kau mau disetubuhi si Dadang bejat itu 

di gubuk ini. Ya ya. Aku tahu kau lupa diri, 

terhanyut hawa nafsu. Oleh karena itu kau 

kuampuni, bukan?”

Mahluk itu menggeram, makin keras.

Balok kayu yang menjepit pergelangan 

kakinya berderak-derak. Mulai retak oleh 

proses pergelangan kaki yang juga membesar 

itu. Lurah Mantili, menyadarinya, menatap 

sekilas pada pasangan balok kayu itu, namun 

tak beranjak mundur dari tempatnya berdiri.

“Kau telah kuberi kesempatan, anak 

manis,” katanya, lirih. “Terkurung di sini. 

Mensucikan diri. Mensucikan pikiran. Roh-roh 

leluhur kita akan membersihkan tubuh 

maupun jiwamu. Dan kau besar harapan akan 

tetap hidup sebagai manusia normal lainnya. 

Tetapi kau telah mensia-siakan kepercayaan

ku!”

Suganda geleng-geleng kepala. Masygul.

“Aku telah melarangmu bicara dengan 

siapa-pun juga, anakku! Terutama, meminta

mu agar tidak membicarakan apapun tentang


hubunganmu dengan si Dadang. Sekali orang 

lain tahu, sumpah leluhur kita akan jatuh atas 

dirimu...”

Gelengan kepala lagi.

Disertai desah kecewa. Tanpa simpathi!

Lalu: “... aku tadi tak begitu dengar, apa yang 

kalian bicarakan. Aku hanya dengar pekik kaget 

Rama, dan segera tahu apa yang terjadi. Lalu 

aku menyerbu masuk dan,…” Suganda 

menelan ludah. Katanya sedih: “Dan, inilah 

yang terjadi, bukan?”

Mahluk itu melolong, lirih.

Tetapi lurah Mantili itu tidak mengacuh

kannya. Setelah berucap: “Selamat jalan ke 

dunia orang-orang terkutuk, nak!” maka pak 

Lurah berputar, keluar dari dalam gubuk dan 

melangkah pergi meninggalkan tempat sunyi 

sepi itu.

Sunyi sepi?

Tidak. Sebab, kesunyian mencekam yang 

berlangsung sesaat, sekonyong-konyong dipe-

cahkan oleh ledakan suara menggeram 

dahsyat, pekik ratap yang tinggi dan parau, dan


lolong panjang mengerikan. Rantai bergeme-

rincing putus, dan balok balok kayu berderak. 

Pecah berhamburan.

Mahluk itu tegak sempoyongan.

Mengawasi kepergian pak lurah dengan 

pipi banjir air mata. Lalu telapak tangannya 

yang tebal dan lebar, bergerak memukul 

mukuli dadanya yang kokoh berbulu.

Geram dan gaung menggema sampai ke 

tengah hutan. Disambut bunyi ratusan, 

mungkin ribuan geram, rengeh. pekik maupun 

lolong mahluk-mahluk penghuninya.

Penduduk desa Mantili dan sekitarnya, 

mendengar keributan itu sayup-sayup sampai. 

Para petani yang tengah bekerja di sawah, 

tertegun pucat. Perempuan-perempuan yang 

tengah mandi di pancuran, bergegas 

menyambar pakaian lalu berlari-lari pulang. 

Bocah-bocah yang bermain di pekarangan, 

diseret orangtuanya ke dalam rumah. 

Kemudian pintu dan jendela ditutup rapat-

rapat.

Bukit Larangan bergetar lagi, setelah 

sekian tahun terdiam.


Siapa korbannya, kali ini?

***


SEBELAS


BRAMANDITA terduduk lemas di tepi 

tempat tidur. Kedua kaki terjuntai ke lantai, 

mengetuk-ngetuk jubin. Tampaknya ia 

mengikuti irama musik tertentu. Yang 

sebenarnya, Bramandita sedang resah. Hati 

gelisah, jalan pikirannya kacau. Begitu banyak 

yang telah ia lihat dan alami sepanjang hari; 

dan yang ia dengar, sepanjang sore sampai 

malam ini.

la siuman sekitar pukul tiga.

“... aku sangat kuatir,” keluh Miranda 

cemas, bercampur lega. “Bi Supi yang 

membangunkan engkau.”

Perempuan tua itu tengah mengobati 

luka-lukanya, memang. “Kau terpaksa kusadar

kan dulu,” kata bi Supi, ramah. “Tak biasa aku 

mengobati orang yang sedang mati rasa 

pingsan, atau terbius. Kuharap cara-cara 

penyembuhanku tidak membingungkan.”

Bramandita telah mengangguk tanda 

sepakat. Namun toh ia sempat bingung melihat


reaksi obat yang dioleskan pelayan, itu pada 

luka-lukanya. Begitu jari telunjuk bi Supi 

mengusapkan ramuan obat ke luka bekas 

hunjaman kuku di sisi leher, maka luka itu 

bukan saja tidak menimbulkan sakit lagi. Tetapi 

juga, hilang tak berbekas. Goresan merah pun 

tak tampak. Apalagi yang namanya luka lecet. 

Hanya memar-memar saja yang masih tampak 

bengkak memerah.

“Kalau kau bangun besok pagi, memar-

memar itupun akan hilang,” kata bi Supi, yakin.

Bramadita nyeletuk: “Memang sudah 

sejak di Jakarta aku curiga.”

“Curiga?” bi Supi terkejut.

“Bahwa kau dukun!”

Bi Supi tertawa. Katanya: “Anggapanmu 

wajar. Yang sesungguhnya, aku punya bakat 

alami. Dan banyak dokter-dokter sekarang ini

yang diam-diam mempelajari bahkan mem-

praktekkan pengobatan tradisionil, bukan?”

“Terkun,” rungut Bramandita. “Dokter-

dukun, hem...” la kemudian mengawasi


perempuan tua itu sibuk membenahi peralatan 

dan ramuan-ramuan obatnya.

“Baunya sungguh tak sedap. Dari mana

kau dapatkan?”

“Banyak terdapat di sekitar sini. Dengan 

sedikit masuk ke hutan, apapun yang kau 

perlukan akan segera kau peroleh,” jawab bi 

Supi bijaksana. Dalam hati si perempuan 

berharap pak Lurah akan setuju dengan 

jawabannya ini. Toh benda-benda yang 

bertumpuk di kamar Suganda dan sebagian 

kecil diberikan kemudian pada Supi untuk 

mengobati Bramandita, memang diperoleh 

dari tempat-tempat yang ia sebutkan. Bi Supi 

kemudian beranjak ke pintu. “Sekarang, 

istirahatlah. Akan banyak tamu nanti.”

Setelah perempuan tua itu lenyap di 

balik pintu, Bramandita bergumam: “Tamu?”

“Aku yang menyuruh mereka datang. 

Harap kau mengerti, Rama. Aku begitu panik 

dan ketakutan melihat kau digotong orang 

dalam keadaan pingsan. Sebelum sadar betul, 

kau lebih dulu meronta-ronta pula. Mengigau.


Dan berteriak-teriak tidak karuan. Untung ada 

bi Supi, dan...”

“Polisi. Aku perlu bertemu dengan 

polisi.” ujar Bramandita, tersedak.

“Itu juga sudah kulaksanakan.”

“Apa?” Bramandita terperanjat.

“Aku segera menyuruh Marjuki 

memanggil polisi, begitu dalam igauanmu kau 

menyebut-nyebut ada orang mati dibunuh. Kau 

juga menyebut-nyebut tentang api,… tentang 

lutung, mawas dan segala macam kera...”

Miranda tampak pucat. Katanya: “Kami kira kau 

telah tersesat. Masuk ke Bukit Larangan, atau 

hutan-hutan di sekitarnya...”

“Bukit Setan!” Bramandita memaki, ngeri.

“Husy, Jangan keras-keras,” Miranda 

semakin pucat. “Tak seorang pun diperkenan

kan menyebut istilah itu. Kualat, katanya.”

“Kata siapa?”

“Semua orang di sini. Peraturan tak 

tertulis. Rama. Petuah lama, yang ditinggalkan


nenek moyang kami, dan tetap dijaga 

penduduk sampai hari ini.”

“Heem!”

“Kau boleh percaya atau tidak. Namun, 

cobalah mengerti. Atau sedikitnya, meng-

hormati kepercayaan orang lain,” Miranda 

berkata keras. Membuat Bramandita terdiam, 

tanpa daya. Pikirnya: kau boleh membantah 

bahwa sebuah kuburan itu kramat, tetapi

janganlah mengencinginya.

“Aku ingin minum,” katanya, lesu.

Miranda memberinya minum. Bahkan 

kemudian juga menyediakan makan sore 

untuknya. “Sebenarnya ini untuk santapan 

siang. Tetapi telah kuhangatkan. Cobalah ini. 

Enak sekali rasanya,” Miranda menyendokkan 

sekerat semur hati ke mulut Bramandita, yang 

mengunyah dan kemudian menelannya malu-

malu.

“Gurih benar,” ia bergumam.

“Hati menjangan. Belum pernah makan?”

“Rasanya pernah. Tapi tak segurih dan 

selezat ini.


“Bi Supi yang memasaknya,” kata 

Miranda, segan. Tadinya dia bilang, 

diperuntukkan hanya buat aku seorang. Tetapi 

kan engga lucu kalau aku menikmatinya 

sendirian. Lagipula, dia bilang hati menjangan 

baik buat obat jiwa tertekan. Jadi tak ada 

salahnya kuberikan padamu, bukan? Mau 

lagi?”

“Boleh juga,” jawab Bramandita, timbul 

seleranya, dan kemudian terjengah makin malu 

setelah menyadari bahwa setiap kerat semur 

hati itu telah ia telan, tanpa Miranda sendiri 

sempat mencicipinya...!

Tak lama kemudian, tamu-tamu datang 

silih ganti. Mula-mula pak Lurah. 

“Bagaimana perasaanmu, nak?” ia 

bertanya, riang gembira.

“Luar biasa, pak Lurah,” jawab 

Bramandita, sama gembiranya. “Bi Supi itu 

hebat!”

“Oh ya. Barusan ia mengadu. Katanya, 

kau sebut ia dukun.”

“Ah…”


“Mengapa tak kau perhalus, nak? Sebut 

misalnya, tabib atau… Uh, benar juga. Hanya 

soal istilah. Dan bi Supi biar cemberut, akan

lekas lupa lagi. la orang baik, kau tahu?”

kemudian wajahnya berubah serius, ketika 

bertanya: “Benarkah kau memasuki Bukit 

Larangan?”

Bramandita mengangguk, enggan.

“Bila aku telah melanggar pantangan…”

“Bukan salahmu, nak. Mestinya sejak 

kemarin-kemarin sudah kami beritahu. Tetapi 

siapa nyana?”

“Aku harus melaporkan sesuatu pada bapak.”

“Silahkan, nak Rama.”

Merasa kisah yang dialaminya kelewat 

seram, Bramandita melirik pada Miranda yang 

segera paham dan kemudian menyingkir dari 

kamar itu. Bimbang apakah Miranda benar-

benar pergi atau nguping di balik pintu, 

Bramandita bercerita dengan suara direndah

kan. Beberapa kali emosi dan ketakutannya 

muncul, sehingga ceritanya sering terputus dan 

tak tentu ujung pangkalnya.


Tak sekalipun Suganda memotong.

Lurah desa Mantili itu mendengarkan 

dengan sikap tenang, mulut tersenyum 

mengerti, dan mata iba, mengasihani. 

Pantaslah ia diangkat sebagai lurah abadi oleh 

warga desanya, pikir Bramandita, sebelum 

kemudian bertanya hati-hati: 

“Bapak akan bertindak?”

“Bertindak? Terhadap apa, anakku?”

“Astaga. Bukankah sudah kuceritakan…”

kemudian Bramandita sadar akan sesuatu, la 

menatap lurus ke mata Suganda, kemudian 

berbisik parau: 

“Apakah aku juga akan dianggap gila, 

karena telah melanggar pantangan?”

“Aku tidak mengatakan begitu. Lagipula, 

nak Rama. Siapa yang akan berani pergi ke 

sana, untuk membuktikannya. Jangankan 

mendaki ke atas bukit. Mendekakati hutan-

hutan gelap dibawahnya saja, tak seorangpun 

bersedia bersedia. Biar diupah sawah 

berhektar-hektar.”


“Bapak percaya desas-desus itu?” Bramandita 

tercengang.

“Desas-desus?”

“Marjuki pernuh menceritakan padaku 

tentang...”

“Oh, jadi telah ia ceritakan. Bagus. Jadi 

kau boleh tanya pada semua penduduk desa. 

maupun penduduk lembah, benar atau tidak 

akibat-akibat apa yang timbul apabila ada 

orang berpikiran tak waras, nekad memasuki 

Bukit Larangan...” Suganda menghela nafas 

panjang. “Kuakui, aku sebenarnya heran bahwa 

kau tetap hidup, tetap sehat dan tampak tetap 

waras setelah kau terperangkap di bukit itu. 

Atau, di dekat-dekatnya. Tetapi aku ragu. Apa 

yang nanti terjadi dalam jiwamu, apabila kau 

selesai melakukan penyelidikan pada semua 

penduduk, tanpa kecuali. Lebih kuragukan lagi, 

anggapan mereka terhadapmu, apabila kau 

ceritakan pula apa yang barusan kau ceritakan 

padaku!”

Polisi desa, buktinya.

la datang dengan pakaian seragam, 

lengkap dengan sepucuk pestol tersarung di


pinggangnya. Tak lupa ia membawa dua orang 

rekan yang ia perkenalkan sebagai Banpol.

Tetapi begitu ia dengar dari Bramandita 

bahwa orang yang mati dibunuh itu adanya di 

puncak Bukit Larangan, polisi desa itu dengan 

tegas berkata: “Maafkan, bung. Tetapi aku 

sudah acapkali terkecoh orang lain sebelum 

engkau!”

Bramandita hampir putus asa. “Bapak 

tak akan melakukan pengusutan?” tanyanya, 

hampir menjerit.

“Tentu saja harus, bung Rama. Pertama-

tama, akan kuselidiki apakah ada orang hilang. 

Baik di desa Mantili, maupun di kampung para 

penyawah yang tinggal di lembah. Aku juga 

akan bertanya-tanya ke desa sekitar. Baru 

setelah aku yakin, benar ada orang hilang tanpa 

sebab tanpa tujuan, aku rela menghadapi 

semua resiko dengan naik sampai ke puncak 

Bukit larangan.”

“Dan selama bapak kasak-kusuk kian 

kemari, mayat itu sudah mereka singkirkan!”

“Mereka?”

Terngiang ucapan-ucapan gadis yang dipasung 

dalam gubuk terpencil itu, Bramandita 

mendengus: 

“Ya. Mereka. Kaum pemuja setan!”

Wajah polisi desa seketika berubah keruh.

Menarik nafas sebentar, lalu berkata datar: 

“Kunasihatkan, bung Bramandita. 

Sebagian terbesar penduduk desa Mantili 

mempercayai sesuatu, yang tidak dipercayai 

oleh segelintir lainnya. Tetapi segelintir yang 

lain itu, tidak pernah mengganggu-gugat

kepercayaan kelompok terbesar. Dengan 

demikian, kehidupan di desa ini dapat berjalan 

lancar, tanpa terjadi bentrokan antar kelompok 

itu. Jadi, sekali lagi kunasihatkan. Bual gila-

gilaan itu, dapat menimbulkan kegemparan. 

Warga desa akan terpecah belah, dan itu tak 

kukehendaki. Aku, sebagai pelaksana 

Kamtibmas di sini!”

Lantas tanpa pamit, polisi desa itu 

menghilang bersama dua temannya.

Tinggal Bramandita. Terbadai dalam 

ketakutan. Takut, bahwa ia telah bermimpi

buruk dan mengerikan, lantas menganggap 

mimpi buruk itu sebagai kenyataan. Miranda 

memandangnya dengan gundah, cemas dan 

iba. Ibu Miranda, menjauh tanpa terlihat 

kemudian menangis diam-diam di dapur. Bi 

Supi pergi ke luar rumah dengan wajah masam.

Hanya ayah Miranda yang tetap tampak 

tenang.

Orangtua itu tidak beranjak dari kursi 

yang didudukinya. Karena masih akan datang 

beberapa tamu lain. Tamu-tamu itu, seorang 

dikenali Bramandita sebagai pemilik warung 

yang ia singgahi sebelum pergi ke telaga tadi 

pagi. Dua yang lain, adalah petani dengan siapa 

ia berpapasan dan kemudian pura-pura 

tersesat ketika akan menyelinap ke Bukit 

Larangan. Empat orang lainnya tidak ia kenal 

sama sekali, kecuali merasakan betapa mereka 

itu kaku, tak senang terpaksa ikut campur, dan 

lebih tak senang lagi karena kepercayaan 

mereka yang telah mendarah daging, 

diremehkan oleh Bramandita; seorang tamu 

asing. Tamu dari Jakarta, yang begitu muncul, 

begitu menimbulkan kegemparan di desa 

mereka yang selama ini tenteram damai.


Mereka semua didampingi pak Lurah. 

Memang ia yang memanggil mereka, dengan 

maksud menjelaskan situasi pada Bramandita. 

Pemilik warung mengiyakan kalau ia melihat 

Bramandita pergi ke arah telaga. Dua petani itu 

membenarkan, bahwa mereka menunjukkan 

jalan yang seharusnya ditempuh Bramandita 

yang mereka duga telah tersesat. Empat orang 

yang lain menceritakan bahwa mereka sedang 

beristirahat di sawah waktu melihat ada orang 

jatuh terguling-guling dari tebing curam dekat 

sungai tempat mereka biasa mandi.

“Anak muda ini tergelincir, itu pasti,”

kata yang seorang.

“la berada di arah berlawanan dengan 

Bukit Larangan...” ujar yang lain, meyakinkan. 

“Jaraknya terlalu jauh, dan mustahil 

mencapai dua tempat itu sekaligus dalam 

tempo dua hari, apalagi hanya beberapa jam 

saja!”

Dua lainnya menyetujui keterangan 

teman mereka, sambil memberikan gambaran 

lokasi di mana Bramandita mereka temukan 

jatuh dan pingsan. Tempat itu, menurut


mereka mengarah ke lembah, tempat menetap 

kaum penyawah.

Lurah Mantili, sependapat dengan keempat 

orang itu, bahwa Bramandita mungkin tertarik

melihat pemandangan sawah dan perkampung

an nun jauh di bawah. Bermaksud pergi ke sana 

lalu karena jalan licin atau apa, tiba-tiba jatuh 

tergelincir.

“…untung salah seorang dari kami 

mengenalinya. Maka kami gotong ia ke rumah 

ini.” kata tamu yang bertubuh paling besar, 

dengan wajah yang agak janggal untuk seorang 

petani. Wajah itu lebih mirip wajah seorang 

tukang pukul, atau seorang bekas perampok 

yang terpaksa tobat untuk menghindari 

hukuman gantung.

“Mustahil. Semuanya terlalu ganjil,”

desah Bramandita, setelah keempat tamu-

tamu itu pergi, disusul oleh dua petani lainnya, 

serta si pemilik warung yang ngobrol dulu 

dengan Miranda, karena kangen. “Rasanya 

mayat yang terpancang di tiang kayu itu…”

“Mungkin pikiranmu masih dipengaruhi 

ke-matian sahabatmu,” kata pak Lurah. “Kau


pernah menceritakan bagaimana caranya Tedi 

Jukandi meninggal. Cara yang terlalu seram, 

sehingga dapat hadir dalam mimpi buruk, 

dengan berbagai bentuk.”

“Dan luka bekas kuku di leherku?” tanya 

Bramandita. sengit, la telah mengabaikan 

Miranda. Sehingga tidak ia sadari betapa janda 

sahabatnya itu pucat pasi dan gemetar 

mendengar pembicaraan mereka.

“Lukamu telah hilang,” kata Suganda, 

tenang. “Tapi pernah ada!”

“Itu benar...”

“Apa yang menyebabkannya? Duri? 

Batu-batu tajam? Ranting patah?”

“Supi bilang, memang seperti bekas 

cakaran kuku-kuku tajam dan runcing.”

“Lantas, kuku apa kiranya pak Lurah?”

“Hem,…” Suganda Prabukusumah 

Prayodhia tampak bosan. “Di sekitar tempat 

kau tergelincir, memang banyak pula ber-

keliaran lutung dan kera. Coba kita gambarkan 

kejadiannya. Merasa aman, kau berjalan 

tenang-tenang. Dari balik rimbunan belukar,


mendadak muncul salah seekor binatang hutan 

itu. Kau kaget. Binatang itu lebih lagi. Katamu, 

kau membawa pisau. Binatang itu menyangka 

kau bermaksud melukai, atau mau membunuh

nya. Lalu dia menyerang, terdorong instink 

untuk menyelamatkan diri… atau anak-

anaknya, siapa tahu? Dalam pergulatan itulah, 

kau kemudian tergelincir. Luka dan pingsan, 

tetapi nyawamu tetap kau miliki.”

Suganda kemudian bangkit.

“Kau sakit, nak?” desahnya, setelah 

melihat Miranda terengah-engah.

Yang ditanya diam saja. Kemudian 

geleng kepala. Kak Lurah kemudian pamit. 

Pergi meninggalkan rumah bersama ayah 

Miranda, dengan dalih ada urusan yang harus 

mereka kerjakan di balai desa.

“Apakah aku... gila?” Bramandita mengeluh.

Miranda terperanjat. “Sayangku. Kau 

sehat, dan aku yakin kau juga tabah ...”

Sayangku! Hati Bramandita luluh, mencair.

“Aku mau tidur,” katany


Dan sebelum ia tidur, Miranda meng-

hadiahinya sebuah ciuman hangat. Ciuman 

kasih sayang.

***

Malam kian larut.

Bramandita rebah lagi di ranjang. 

Menggeliat, resah dengan mata perih tak mau 

dipaksa terpejam. Mestinya ia keliling saat-saat 

beginian. Dengan sepeda motornya, dengan 

tustel tercantel di pinggang, la harus menemui 

beberapa orang, bertanya pada mereka 

mengenai sesuatu, atau memberitahu sesuatu 

dan meminta reaksinya, la harus memotret 

orang yang kira-kira penting. Lalu pergi ke 

percetakan. Membuat berita untuk terbitan 

besok pagi. Lalu...

“Bang?”

Bramandita membalikkan tubuh. Lampu 

kamar telah dipadamkan. Tetapi dapat juga ia 

lihat gerakan seseorang di dipan sebelahnya


“Ada apa, Marjuki?”

Pemuda yang tidur satu kamar 

dengannya itu, diam sebentar. Lalu: “Kupikir-

pikir... tak ada salahnya kita mencoba.”

“Mencoba apa?”

“Menyelidikinya sendiri.”

“Hai. Kau...”

“Aku telah mendengar semuanya. Meng

gabung-gabungkan kejadian-kejadian jauh 

sebelum ini dengan apa yang bang Rama alami. 

Lalu...”

“Tak seorang pun percaya!” keluh 

Bramandita.

“Aku juga tidak.”

“Lantas?”

“Sudah kubilang tadi. Apa salahnya mencoba?”

“Tetapi kau pernah mengisahkan 

kejadian-kejadian aneh mengenai Bukit Setan 

itu. Kau…”

“Shhhttt! Bukit Larangan, bang Rama.”

Marjuki berbisik, memperingatkan. “Misalkan,


abang memang telah pergi ke sana. Melihat, 

mengalami sesuatu, kemudian kembali pulang. 

Abang luka-luka, bahkan pingsan. Tetapi 

seperti kata kak Mira, kau tetap sehat. Tetap 

tabah. Yang lebih penting lagi, apa yang 

dikatakan pak Lurah. Abang tetap hidup!”

Marjuki menelan ludah. “... barangkali, abang 

ini punya ilmu.”

“Ilmu?”

“He-eh. Penangkal set… eh, kekuatan 

gaib yang jahat. Ilmu pengusir roh-roh jahat 

yang gentayangan...”

“Ahhh… yang benar!” Bramandita 

nyengir sendiri.

“Kita anggap saja, abang punya tapi tak 

abang sadari. Itu memang sering terjadi. Abang 

tak tahu. Tak mempelajarinya. Tak mendalami

nya. Namun tatap saja, abang memiliki 

semacam kekuatan gaib dalam tubuh abang. 

Karena itu abang terlindungi. Dan… yah, aku 

berharap, dapat melindungi aku juga,” Marjuki 

menyeringai, kecut. “Bagaimana? Setuju?”

“Kau tidak takut?” semangat Bramandita 

kembali timbul.


“Takut sih, yaa… takut.”

“Kalau begitu,… lupakan sajalah,”

Bramandita menggoda.

“Biar aku takut, kan ada abang yang 

melindungi aku?”

Melindungi Marjuki. Artinya, melindungi 

adik Miranda.

Wah, hebat!

“Bangunkan aku pagi-pagi benar ya bang 

Rama?” bisik Marjuki, pelan. 

“Oke!”

***

Di kamar tidurnya, Miranda tengah 

menelan segelas air putih yang diberikan oleh 

bi Supi setelah lebih dulu dijampe. 

“Mestinya kau tidak nekad mendengar 

omongan mereka,” kata pelayan tua itu, 

menyesalkan.

“Aku ingin tahu,” keluh Miranda, memprotes.


“Hasilnya? Jiwamu terguncang kembali! 

Padahal sekembali di kampung ini, kau sudah 

jauh lebih baik. Tetapi sudahlah. Air yang kau 

minum akan membuatmu tenang dan dapat 

tertidur nyenyak.”

“Terimakasih, Bi.”

“Omong-omong. Sudahkah kau lihat 

hasil pemeriksaan darah kalian berdua?”

“Sudah.”

“Bagaimana?”

“Positip.”

“Syukur.”

“Anehnya, bi Supi. Kenapa dari Tedi aku 

tidak memperolehnya? Padahal kami sudah 

bertahun-tahun berumah tangga.”

“Bukankah sudah kubilang, neng Mira. 

Telah kutanyakan pak Lurah dan ia bilang 

barangkali letak peranakanmu tidak pas. Besok 

pagi aku akan memeriksanya.”

“Kau bisa, bi Supi?”


“Jelek-jelek begini, sebelum kau lahir aku 

sempat jadi paraji,” pelayan itu tersenyum. 

“Aku percaya.”

“Nah, tidurlah,” perempuan tua itu 

mempef. baiki letak selimut Miranda, 

kemudian terjalan ke pintu. Sebelum ke luar, ia 

teringat sesuatu. Bertanya perlahan: 

“Semur hati itu, neng Mira. Kau habiskan 

semua, bukan?”

“Oh. Maaf. Tak kusisakan untuk bi Supi.”

“Lupakanlah. Yang ingin kutahu, semur 

hati itu apakah cocok dengan perutmu?”

“Bagaimana aku tahu, bi Supi? Dia yang 

menghabiskannya.”

“… dia?”

“Benar. Rama-ku tersayang.” Miranda 

tersenyum, bahagia. Bi Supi membalas 

senyumnya, kemudian cepat-cepat ke luar. 

Begitu pintu tertutup di belakangnya, 

senyuman di bibir pelayan itu lenyap seketika. 

Wajahnya pucat. Kaki-kakinya gemetar.

“Astaga!” ia merintih. Ketakutan.

***


DUA BELAS


TONGGAK MAUT itu masih tetap berdiri 

di tempatnya semula. Tegak kukuh dalam 

posisi silang di permukaan tanah keras padat. 

Demikian pula sisa-sisa gagang obor. Masih 

tetap terhunjam di antara rerumputan tebal 

mengitari tonggak berbentuk setengah 

lingkaran. Di latar belakang, batu raksasa yang 

ganjil itu juga masih menjulang. Angkuh, Tidak 

ada yang berubah.

Kecuali, mayat yang terikat di tonggak.

Belitan tambang kelihatan lebih longgar. 

Karena baik pergelangan tangan maupun 

pergelangan kaki yang dibelit tambang-

tambang itu begitu kecil dan lemah. Mayat itu 

tidak sampai melorot jatuh, hanya dikarenakan 

sudah keras kaku; mana posisi kaki serta lengan 

mayat terpentang lebar pula. Mayat itu boleh 

dikatakan telanjang bulat, karena tidak 

selembar pakaian pun melekat pada tubuhnya. 

Namun jangan berharap kau akan melihat kulit 

halus tipis sebagaimana kulit manusia.


Sebab, hampir sekujur tubuh mayat itu 

ditumbuhi bulu-bulu tebal, kasar, berwarna 

hitam pekat.

Dan manusia, tidak memiliki bulu-bulu 

semacam itu.

“... aa… abang bilang… abang melihat 

mayat seorang petani!” Marjuki yang pertama-

tama membuka mulut, la berdiri gemetar di 

belakang Bramandita yang kebingungan.

“Lutung!” bisiknya, lirih. “Bagaimana 

mungkin?”

Menelan ludah sebentar, kemudian 

Marjuki tertawa. Serak. Katanya: “Kukira ada 

sekelompok orang yang membuat permainan 

di sini. Orang-orang aneh, dengan selera humor 

yang mengerikan...”

“Tetapi, siapa?” tanya Marjuki, semakin 

bingung seraya berjalan lambat-lambat 

mendekati tonggak itu.

“Jangan tanya padaku,” rungut Marjuki, 

sambil buru-buru nguntit di belakang 

Bramandita. Rapat di punggungnya. “Tanya 

saja pada mayat lutung itu.”


“Hem,” Marjuki mengusap dagunya, 

resah. la mengawasi batang bambu runcing 

yang terhunjam di lambung bangkai lutung itu. 

“Tempat yang sama. Tusukan langsung 

ke jantung...” ia mengingat-ingat, dan 

bergumam gemetar: “Bambu ini terlalu besar 

untuk si lutung malang. Rasanya, sama besar 

dengan bambu yang kulihat terhunjam di 

lambung petani itu. Tidak mustahil, ini bambu 

yang itu-itu juga.”

“Apa yang harus kita perbuat?” bisik 

Marjuki, dengan mata jelalatan, mengawasi 

dengan cemas ke sekitar bukit. Sepi lengang 

belaka. Seolah tidak ada mahluk hidup 

menghuni tempat menakutkan itu. Sedang 

beberapa menit sebelumnya, mereka telah 

berpapasan dengan demikian banyak lutung, 

mawas dan segala macam kera yang lari 

serabutan menyelamatkan diri. Ke mana 

semua mahluk menyeramkan itu? 

Bersembunyi jauh-jauh, atau kini tengah 

mengintip dari balik semak belukar, dari celah-

celah dedaunan pohon yang rimbun?


Marjuki semakin merapat ke punggung 

Bramandita, dan terpekik kaget tatkala tanpa ia 

lihat, Bramandita menepuk pundaknya. “Uh. 

Bilang-bilang dong, kalau mau menepuk 

pundak orang!” ia memberengut. Pucat.

“Sudah. Jangan ngomel. Bantu aku 

menurunkan bangkai ini,” kata Bramandita. 

“Kau lepaskan tali-tali yang mengikatnya, 

sementara tombak ini kucabut.”

Bambu pembunuh itu tercabut dengan 

mudah karena letaknya sudah agak miring mau 

jatuh. Bramandita kemudian melepaskan tali 

tambang di pergelangan kaki kemudian tangan 

bangkai lutung itu, sebab Marjuki hanya berdiri 

bengong sambil sesekali menoleh ke belakang.

“Rasanya, kok ada yang mengintai 

perbuatan kita,” rungut pemuda itu.

“Kalau memang ada, biarkan dia keluar 

menemui kita,” sahut Bramandita kesal. 

Bangkai lutung ia biarkan melorot, jatuh 

tergelimpang di tanah dengan bunyi berdebuk 

keras karena bangkai itu sudah sedemikian 

kakunya. Kaki-kaki maupun tangan-tangan 

lutung itu tetap saja terpentang mengerikan


sebagaimana keadaannya selagi terikat di 

tonggak tadi. Masih kesal, ia menggerutu: 

“Jadi, kita terlambat. Mereka telah 

menukar mayat si petani malang itu, dengan 

bangkai lutung Ini.”

“Maksud abang?”

“Mestinya aku tidak banyak omong. Kuat 

dugaanku, ada seseorang di desa yang 

mendengarnya, lalu buru-buru kemari untuk 

melenyapkan bukti-bukti bahwa di sini pernah 

terjadi pembunuhan.”

“Pembunuhan itu memang sudah 

terjadi,” tambah Marjuki. Suaranya lebih 

tenang kini. Tak ada tanda-tanda bahaya 

mengancam di sekeliling mereka. Dan setelah 

terkapar di tanah, bangkai lutung itu tidak 

semenyeramkan selagi terikat pada tonggak. 

“Yang abang lihat, bukan mayat 

manusia. Tetapi bangkai lutung. Dan lutung ini 

telah mereka bunuh secara biadab. Eh, bang. 

Mengapa lubang di lambungnya sedemikian 

besar. Kelihatannya tidak semata-mata 

ditusukkan… Tetapi, ujung bambu itu juga 

ditorehkan. Aku pernah melakukan hal serupa.


Dengan pisau. Mengeluarkan seekor ulat dari 

buah mangga, tanpa melukai ulat sehingga 

tidak mengotori daging buah yang ranum itu...”

Marjuki tercenung sejenak. Lalu: “Apa 

kiranya yang mereka ambil dari dalam tubuh 

bangkai lutung ini?”

Tertarik oleh penjelasan Marjuki, maka 

Bramandita membungkuk, la amati dengan 

seksama lubang besar dan kosong di bagian 

dalam lambung mayat lutung, la menutup 

hidung dengan sebelah tangan, menghindari 

bau busuk yang demikian sengit memualkan. 

Kemudian, sebelah tangannya yang lain 

menekan-nekan di bagian lambung yang tidak 

tertoreh, di pinggang, di dada kiri dan kanan. 

Ketika merasakan ada rongga lembut kosong di 

salah satu sisi lambung tepat di bawah tulang 

dada, tanpa berpikir panjang lagi Bramandita 

menyimpulkan:

“Mereka mengambil hatinya...”

“Hatinya? Hem. Mungkin juga. Aku 

pernah dengar, hati kera bagus untuk orang 

lemah syahwat !” Marjuki tertawa kecil. “Eh, 

abang mau apa?


Bramandita berjalan kian kemari. 

Menginjak-injak tanah di beberapa tempat. 

“Kita harus menguburkan bangkai itu,”

katanya. “Dan karena kita tidak punya sekop 

atau pacul, aku harus menemukan tanah yang 

lembek atau gembur supaya mudah 

mengoreknya.”

“Mengapa susah-susah? Buang saja ke 

tebing itu !'“ Marjuki mengusulkan, seraya 

menuding dengan telunjuk ke bibir tebing bukit 

yang langsung menghadap ke lembah di 

bawahnya. “Tak usah mengasihaninya. Cuma 

bangkai kok ini!”

“Benar juga,” Bramandita setuju.

“Tetapi abang seretlah sendiri ya? Aku 

tak tahan baunya,” keluh Marjuki enggan, la 

lantas menjauh dan kemudian menyandar di 

batu besar yang menjulang di sebelah lain 

puncak bukit itu. Karena letih, ia kemudian 

terkulai. Duduk terbadai di rerumputan, 

dengan punggung menyandar di batu raksasa 

itu. Selagi tubuhnya melorot ke tanah, sebelah 

tangan Marjuki tanpa sengaja menggaruk batu


 belakangnya, la meringis sakit ketika telapak 

tangannya terkait pada sesuatu.

Marjuki menoleh.

Dan mengetahui apa yang telah mengiris 

telapak tangannya. Di antara serpihan pasir 

berdebu yang berleleran dari salah satu bidang 

permukaan batu yang pecah, pemuda itu 

melihat sesuatu tersembul. Mencuat ke luar. 

Ketika disimaknya, ia segera menyadari kalau 

benda tajam yang mencuat itu adalah ujung 

kawat besar yang hitam berkarat. Marjuki 

keheranan. Mengapa ada kawat di batu ini? 

Dari mana asalnya? Atau tepatnya, siapa yang 

menanamnya ke dalam batu?

Marjuki baru saja akan membetot ke luar 

kawat berkarat itu. manakala ia dengar suara 

Bramandita memanggil: “Juki. Kemarilah!”

Marjuki berpaling, la lihat Bramandita 

tegak kaku di pinggir tebing. Dekat kakinya, 

masih tergoler bangkai lutung itu. Rupanya, 

belum sempat dibuang waktu Bramandita 

melihat sesuatu di bawah tebing. Dengan 

minat tertarik. Marjuki bangkit lalu mendekati 

Bramandita. “Ada apa, bang Rama?”


“Katakanlah padaku, Juki. Benda apa itu 

gerangan?”

Marjuki mengikuti arah telunjuk 

Bramandita. Melihat ke lereng tebing yang 

penuh batu-batuan di antara semak belukar. 

Setelah agak lama mencari-cari ia kemudian 

melihat apa yang telah dilihat Bramandita.

Marjuki bergumam: “Topi.”

“Benar. Topi. Tetapi, topi apa?”

“Topi pandan.”

“Katakanlah lagi padaku. Marjuki. Siapa 

kiranya yang biasa memakai topi pandan 

macam itu di daerah ini?”

“Yaaa… tukang sayur. Tukang gali pasir 

juga memakainya. Tetapi umumnya dipakai 

oleh para ...”

“Petani!” potong Bramandita, tercekat.

“Nah. Abang mulai lagi mengada-ada. 

Bukankah yang kita temukan itu bangkai 

lutung? Tuh, masih ada dekat kaki abang. 

Kecuali kalau abang sudah gila. Sudah kena


kutukan Bukit Larangan. Lantas menganggap 

bangkai itu sebagai mayat manusia.”

“Diamlah,” sungut Bramandita, dongkol. 

“Biarkan aku berpikir...” dan ia memang 

berpikir sebentar, kemudian mengutarakan 

apa yang dipikirkannya. “Mereka telah 

menyingkirkan mayat petani itu. Lalu 

membunuh seekor lutung sebagai gantinya. 

Bila ternyata ada beberapa orang yang 

pemberani nekad datang kemari untuk 

membuktikan kisahku, maka dengan mudah 

aku lantas dituduh edan, sinting dan segala 

macam. Malah barangkali, akulah yang akan 

dicap sebagai pembunuh gila, yang telah 

berbuat kejam terhadap lutung ini. Pengaruh 

gaib Bukit Larangan, bukankah begitu?”

Bramandita tersenyum, namun matanya 

bersinar marah. “Tetapi mereka melupakan 

sesuatu. Aku melihat sebuah topi pandan di 

bawah tubuh mayat petani itu, yang pastilah 

miliknya. Waktu mereka datang ke sini untuk

menyingkirkan mayat itu, angin telah 

menerbangkan topi pandan tadi. Melayang dan 

jatuh ke bawah sana. Mereka membiarkannya. 

Atau mereka tidak ingat mengenai topi itu!


“Bang Rama,” Marjuki mendesah, pahit. 

“Berpikirlah lebih tenang. Umpamakan, yang 

mereka bunuh cuma lutung belaka. Dan itu 

telah kita buktikan sendiri hari ini. Nah. Salah 

seorang dari mereka tanpa sengaja telah 

menjatuhkan topinya sendiri. Bagaimana?”

Bramandita menarik nafas panjang. 

Katanya, masih marah: “Akan kutanya, siapa 

kiranya yang nekad melanggar pantangan. 

Datang ke Bukit Larangan.”

“Tahu apa jawab mereka?” sela Marjuki. 

“Mereka hanya menuding seorang saja.”

“Bagus. Tapi, siapa kiranya?”

“Bang Rama.”

“Aku tanya,..” Bramandita mengatupkan 

mulut tiba-tiba. Wajahnya berubah muram. 

“Hem. Kau benar. Mereka justru akan 

menuding diriku,” ia geleng-geleng kepala, 

kembali dilanda kebingungan. Lantas memaki: 

“Setan!”

Makian bertuah! Gaung makian itu 

belum lenyap, setan yang tidak mereka harap 

tahu-tahu saja telah menyeruak rimbunan


semak belukar di antara pepohonan di sebelah 

kanan mereka. Marjuki dan Bramandita segera 

berpaling. Tampak sesosok tubuh menakutkan 

berjalan memasuki tempat terbuka. Sesosok 

mahluk besar dan tinggi tegak mengangkang 

memperhatikan kedua orang di depannya. 

Mahluk itu sejenis kera berbulu coklat. Tetapi 

tentunya kera yang ini kera yang belum pernah 

dicantumkan para ahli di buku-buku tentang 

fauna, karena demikian besar dan demikian 

mengerikan penampilannya. Kera besar itu 

menggeram, menyeringai memperlihatkan 

taring-taring yang dahsyat, air liurnya 

berleleran kian kemari.

Geramnya membuat Marjuki kaku seketika.

Bramandita terkesiap, namun belum 

semua semangatnya terbang dari tubuhnya. 

Maka, ketika mahluk itu kembali menggeram-

geram disertai bunyi mengik lalu pekik tinggi 

menyayat jantung yang mendengar, 

Bramandita segera menyambar lengan Marjuki 

dan menyeret pemuda itu mundur. Pada waktu 

mahluk itu melompat ke depan, tanpa berpikir 

panjang lagi Bramandita berteriak: “Lari!”


Dan mereka lari dahulu mendahului 

memasuki jalan setapak di arah berlawanan 

dari tempat mahluk itu datang. Jalan setapak, 

yang pernah dilalui Bramandita ketika berbuat 

hal serupa saking ketakutan melihat mayat 

manusia terpacak di tonggak kayu, dengan 

bambu runcing terhunjam di lambungnya.

Kera besar berbulu coklat itu tidak 

mengejar dua manusia yang kabur terbirit-birit 

melanda segala apa yang menghalangi jalan 

mereka itu. Sang mahluk hanya tegak 

memperhatikan, menepuk-nepuk dada dengan 

pukulan-pukulan dahsyat. Dada, yang bentuk

nya menandakan bahwa kera itu dari jenis 

betina.

Habis menepuki dada dan memekik-

mekik seram disahuti kera-kera lain di seantero 

hutan Bukit Larangan, mahluk itu mendekati 

bangkai lutung di pinggir tebing. Sesaat, ia 

cuma mengawasi. Saat berikutnya, kera betina 

itu jatuh bersimpuh di tanah. Lutung berbulu 

hitam dengan lambung menganga itu dirahup

nya dalam rangkulan erat. Dirapatkannya ke 

dada, tanpa memperdulikan bau busuk dari

lambung bangkai. Wajah lutung mati itu 

diciuminya bertubi-tubi.

Kemudian, dengan kepala tengadah, 

mahluk berupa kera betina itu bangkit tegak. 

Tetap memeluk bangkai lutung di dadanya. 

Pekik-pekik dahsyat lepas dari mulutnya. Kali 

ini tanpa sambutan apa-apa dari seantero 

hutan yang terdiam, sepi.

Sudut-sudut mata kera betina itu 

dilinangi butir-butir air bening, yang pelan-

pelan melelehi pipi-pipinya. Lalu dengan 

geraman panjang, mahluk itu memboyong 

bangkai lutung. Lari menyelinap ke tempat dari 

mana tadi ia muncul.

Puncak bukit kian menyepi.

Kian mati.

***


“STOP, MARJUKI!”

Pemuda itu masih serabutan sebentar, 

sebelum mengerem larinya. Terengah-engah, 

ia berpaling. Dan melihat Bramandita tengah 

bertelekan ke sebatang pohon, dengan tangan 

menguruti dada. Keringat membanjir di wajah 

Bramandita yang kemerah-merahan, demikian 

pula di wajah Marjuki yang sepucat kertas.

“... kita berhenti dulu sebentar.”

“Tetapi, bang...”

“Ahhhh!” Bramandita mengibaskan 

tangannya. “Jangan bodoh. Setan itu tidak 

mengejar kita.”

“Abang yakin?”

“Cuma menduga.”

“Menduga?”

“Ya. Ingat apa yang kuceritakan 

semalam? Aku terperangkap dalam gubuk, 

dengan gadis terpasung yang kemudian 

berubah rupa itu. Sambil ngibrit tadi sempat 

kupikirkan, apakah bukan mustahil mahluk tadi 

adalah jelmaan si gadis.”


“Oh !”

“Jangan memandangiku seperti itu, Juki. 

Boleh kau anggap aku sudah begini...”

Bramandita menempatkan jari telunjuk, miring 

di depan jidatnya. “Tetapi paling tidak, kau 

telah melihat sendiri kebenaran sebagian dari 

ceritaku,… meski yang kau lihat ternyata cuma 

bangkai lutung…”

Bramandita mengulai ke tanah. Duduk 

kelelahan. Menyeka keringat di wajah, telinga 

dan leher. Mengerpis-ngerpiskannya, menyeka 

lagi. Lantas bersungut gemetar: “Andaikata 

saja begini. Yang kusaksikan bukan pula gadis 

terpasung, melainkan mahluk tadi. Apa 

komentarmu?”

Marjuki merenung sebentar. Lalu: 

“Nol,”, jawabnya. “Nol besar. Otakku sudah 

kaku diajak lari sejauh ini. Abang saja yang 

kemukakan apa yang ada dalam pikiran 

abang.”

“Bagus,” Bramandita menyeringai. 

Sesaat, ia melirik ke jalan setapak menanjak 

yang barusan mereka lalui. “Tak ada tanda-

tanda mahluk jtu mengejar kita, bukan? Jadi


kesimpulanku begini. Mahluk itu tidak 

menginginkan kita. la menginginkan yang lain.”

“Apa?”

“Lutung itu.”

“Bangkai lutung itu?” Marjuki tercekat. 

“Mau diapakannya? Direncah? Dikunyah-

kunyah? Dibagi beberapa kerat pada mahluk-

mahluk lainnya… yang sejenis, dan mungkin 

banyak terdapat di sekitar ini?” jelalatan lagi 

mata Marjuki. Mengawasi takut-takut ke

semak belukar, ke atas pepohonan.

“... karena sesuatu hal,” kata Bramandita 

lagi. “la takut datang sendirian ke Puncak Bukit 

Larangan tadi. la hanya mengintai dari jauh. 

Mengawasi lutung yang diinginkannya. 

Barangkali sambil meratap semoga lutung itu 

hidup kembali. Tetapi besar kemungkinan, 

mahluk itu tidak berani mendekat, sebelum ia 

yakin ada orang atau mahluk lain mendekat. 

tanpa orang atau mahluk lain itu mengalami 

sesuatu sebagai akibat melanggar pantangan 

menginjakkan kaki di puncak bukit. Entah 

bagaimana, ia kemudian melihat kita. Tak 

terjadi apa apa. Lantas ketika ia lihat aku akan


membuang bangkai lutung itu ke bawah tebing, 

mahluk itu lalu nekad keluar.”

“Untuk?”

“Merebut bangkai lutung itu. Dan 

menguburkannya di suatu tempat, dengan cara 

penguburan yang lebih pantas.”

“Hebat!” Marjuki duduk di sebelah 

Bramandita. “Abang maksudkan, mahluk itu 

berpikir sebagaimana kita manusia juga

berpikir, ya?”

“Tepat.”

“Tetapi… bagaimana mungkin?”

“Karena mahluk kera itu, tadinya adalah 

manusia juga seperti kita.”

“Abang menakut-nakuti aku.” Marjuki 

gemetaran.

“Aku lebih takut lagi.”

“Apa yang abang takutkan?”

“Misteri alam. Dunia gaib. Roh-roh yang 

berkeliaran dalam kegelapan, karena raga 

mereka yang sudah mati, ditolak bumi.”


“Uh-uh...” Marjuki bergidik. Seram. “Dan 

kera mengerikan tadi. adalah salah satu roh 

gentayangan itu?”

“Ya. Gentayangan menangisi nasib. 

Meratapi cinta yang tidak diperbolehkan ia 

miliki.”

“Abang tampak aneh.”

“Ha?”

“Eh, salah. Maksudku, kata-kata abang 

terdengar makin aneh. Seolah abang dapat 

menyelami hati mahluk-mahluk menakutkan 

itu. Jangan-jangan, abang ini… salah seorang 

dari merekal”

Bramandita membelalak.

Kemudian, tertawa bergelak.

“Eh. Kok malah ketawal”

“Iya ya. Mestinya aku menangis,”

Bramandita terdiam dan wajahnya berubah 

haru. Haru yang sangat dalam.

Melihat itu, Marjuki menjadi cemas. 

Sampai tadi malam, ia masih tetap percaya 

bahwa teman kakaknya ini sehat jasmani sehat


rohani, meski telah terperangkap di Bukit 

Larangan. Tadi, setelah melihat ternyata cuma 

bangkai lutung yang terikat di. tonggak, 

kepercayaannya mulai goyah. Apalagi 

sekarang. Orang ini bercerita semakin aneh. 

Tertawa bergelak. Lantas terdiam, dengan 

wajah bersedih. Apakah kutuk turun temurun 

di desa mereka, mulai memperlihatkan

kekuasaannya?

“Memilukan.”

Ia dengar Bramandita ngoceh.

“Gadis itu katanya melihat sendiri 

kekasihnya diseret orang ke atas bukit. Gadis 

itu mendengar jerit kematian. la yakin, 

kekasihnya sudah mati, dan ia menangis 

menghiba-hiba, menyayat hatiku, la 

merenggut kerah bajuku, meratap tak 

berkeputusan. Dadangku tercinta, jeritnya. 

Mereka telah membunuh Dadangku, kekasih

ku. Lalu tiba-tiba wajahnya berubah. Dan 

cengkeramannya ...”

“Hei. Tunggu!” Marjuki hampir berseru.

“Apa? Kau melihat sesuatu?”

Bramandita menjadi waspad


“Tidak. Tapi aku mendengar abang 

menyebut nama seseorang. Sampai tadi 

malam, abang tak dapat mengingat-ingat nama 

yang diratapi gadis itu. Kini… mentakjubkan. 

Abang mengingatnya lagi. Tetapi,…” Marjuki 

ragu-ragu sebentar. Lalu: “Dadang. Benarkah ia 

menyebut nama Dadang?”

“Mudah-mudahan aku tak salah. 

Mengapa rupanya?”

“Dadang itu anak penyawah ayahku!”

“Apa? Kau kenal si Dadang?”

“Lebih dari kenal. Aku malah tahu, diam-

diam ia mencintai dan tetap merindukan kak 

Mira. la sudah bujang tua sekarang. Tak kawin-

kawin. Kalau benar dia orangnya... Ah!”

Marjuki patah semangat lagi. “Masih ada 

empat orang lain di desa yang bernama 

Dadang. Kalau di lembah tempat tinggal kaum 

penyawah sih, memang cuma dia seorang. Jadi, 

belum tentu dia.”

“Tak apa. Kita selidiki seorang demi 

seorang.”

“Selidiki apanya?”


“Orangnya. Masih ada. atau tidak. Lebih 

jelas lagi, masih hidup atau sudah mati. Kapan, 

mengapa, dan di mana dikuburkan. Aku punya 

firasat. Penyelidikan itu kita mulai saja dari 

penduduk lembah. Anak penyawah ayahmu 

itu...”

“Wah.”

“Kok, wah?”

“Wah, kalau benar dia. Itu berarti, ia 

telah melupakan kak Mira dan berpaling pada 

gadis lain. Ayahku pasti senang mendengarnya. 

Ayah paling tak senang melukai hati orang, 

apalagi membiarkan luka itu terus 

memborok...” Marjuki menelan ludah. “Lantas, 

siapa gadisnya itu?”

“Nanti juga kita akan tahu,” jawab 

Bramandita, bernafsu. Cepat ia bangkit berdiri. 

“Ayolah. Kita teruskan perjalanan...”

Marjuki bergegas pula bangkit, dan 

lekas-lekas berjalan di depan Bramandita. 

“Pulang ke rumah,” katanya. Riang. 

“Betapa menyenangkan. Aku sudah lapar ...”

“Kau bukan lapar. Kau takut.”


“Alaaa, bang.”

“Benar, bukan?”

“Iya deh!”

“Kalau begitu, kau saja yang pulang. Biar 

aku sendiri yang ke sana. Asal tunjuki aku 

jalannya.”

“Jalan ke mana?”

“Ke lembah.”

“Terserah abang. Lagipula, he... apa ini?”

Marjuki berhenti, lalu memungut sebuah 

benda dari bawah akar sebatang pohon yang 

menghalangi jalan di depan mereka. 

“Oh, oh… bukankah ini, pisau dapur 

punya ibuku?”

Bramandita mengambil, pisau itu dari 

tangan Marjuki. Mengamati sebentar, lantas 

bergumam tersendat. “Benar. Ini pisau yang 

kucuri dari dapur ibumu. Tentunya jatuh di 

tempat ini ketika aku...” ia melihat ke bawah. 

“Hem. Pasti akar ini yang membuatku 

terserandung


Marjuki terengah. Pucat, la memegang lengan 

Bramandita, mencari perlindungan. Bisiknya, 

kelu: “Jadi gubuk itu...”

“Dekat-dekat sini,” sambung Bramandita. 

Yakin.

Dan ia benar.

***


TIGA BELAS


GUBUK kecil terpencil itu tampak tenang 

damai bila dilihat dari jalan setapak. Asap 

mengepul dari pekarangan samping. Rupanya 

seseorang baru saja membakar sampah. Orang 

itu sedang membelah kayu bakar ketika ia 

mendengar langkah kaki kemudian bunyi 

dehem salah seorang dari dua laki-laki yang 

dengan bimbang memasuki halaman.

“Ah. Kiranya den Juki. Dan oh, bung 

Rama kalau tak salah?” orang itu menyambut 

mereka dengan wajah terhias senyum ramah. 

Mereka bertiga saling jabat tangan, bergantian. 

“Tumben mau melongok tempatku yang buruk 

ini. Ada perlu apa kiranya?”

“Jalan jalan saja, mang Dolim,” Marjuki 

yang menyahuti.

Mat Dolim, lelaki tinggi kekar ber 

tampang kriminil, yang tadi malam mengaku 

telah melihat Bramandita tergelincir dari 

sebuah tebing; terkejut. Yang sebenarnya, 

dalam hati ia sama sekali tidak merasa terkejut.


“Sejauh ini? Di kaki Bukit Larangan pula?!”

“Kami tadi menyelusuri sungai. Cari 

udang. Eh, taunya kami lihat ada gubuk. Lantas 

kami pikir, apa salahnya singgah sebentar,”

kata Marjuki lagi.

“Aduh! Coba bilang mau datang. Kan aku 

bisa hidangkan apa-apa...” ia melirik ke arah 

tanaman ubi kayu yang tumbuh subur di 

sebagian halaman itu, lantas berkata: “Kalau 

kalian berdua suka singkong bakar...”

“Tak usah repot-repot. Mang,” sela 

Bramandita. “Terimakasih. Tetapi kami akan 

segera pergi lagi...” ia melirik sana sini, pura-

pura heran, kemudian bertanya takjub: 

“Tinggal sendirian? Dekat bukit keramat pula? 

Mang Dolim tentunya pemberani!”

“Oh. Apa boleh buat, bung Rama. Aku ini 

Pengawas Hutan. Sesuai tugas, adalah patut 

kalau aku memilih tinggal di dalam hutan itu 

sendiri, bukan?” ia tersenyum lebar. Soal bukit 

yang kau sebut keramat, yah… aku termasuk 

salah seorang dari sedikit orang lainnya yang 

tidak percaya akan segala macam tahayul yang 

menggelikan itu. Namun, ah. Terus terang saja.


Agar tidak kualat, aku selalu menekan hasrat 

untuk sesekali mendaki sampai ke atas sana. 

Selain itu, untuk berjaga-jaga aku punya 

jimat...”

“Jimat?” mata Marjuki berbinar-binar.

“Wah, den Juki. Maaf deh. Bila ku

perlihatkan pada orang lain, keampuhan jimat 

itu bisa hilang.”

“Kudengar juga begitu,” Bramandita 

menyela lagi, pura-pura sependapat. “Resik 

juga kebunmu, Mang Dolim. Tentu nyaman 

tinggal di sini. Kami di Jakarta suka berangan-

angan menetap seminggu dua di tempat sunyi, 

jauh dari hiruk-pikuknya manusia, jauh dari 

polusi. Punya gubuk kecil seperti… He, kok 

seperti rusak. Mang?”

“Apa?”

Bramandita tidak langsung menjawab, la 

berjalan santai ke pintu gubuk yang tertutup. 

Salah satu sisi pintu itu pecah berantakan. 

Letak daun pintu sedikit goyang, seolah habis 

didobrak orang.


“Kenapa tak diperbaiki, mang? Kelihatan

nya kok seperti merusak pemandangan...”

lantas pintu ia dorongkan sedikit, sampai 

terbuka dengan suara berkeriut yang nyaring.

Marjuki terjengah oleh kelakuan 

Bramandita. Akan halnya Mat Dolim, tampak 

tenang. Tidak merasa dilangkahi. Sambil 

tertawa-tawa senang ia mendekati pintu yang 

dipercakapkan. Dengan gaya seorang badut 

menceritakan peristiwa lucu, Mat-Dolim 

berkisah bahwa beberapa hari yang lalu 

seorang temannya datang membawa berbotol-

botol minuman keras. Mereka minum sampai 

mabuk, kemudian dalam keadaan mabuk itu 

mereka berselisih menyangkut seorang 

perempuan. Lalu berkelahi.

“Bayangkan, la lebih besar dari aku. 

Tetapi tubuhnya begitu ringan waktu kuangkat, 

la kulemparkan ke luar gubuk. Lupa, kalau pintu 

masih tertutup,…” tawanya membahana lagi.

“Sayang,” Bramandita mendecip-

decipkan mulut, menyayangkan 'keteledoran' 

pemilik gubuk. “Tentunya Mang Dolim 

menuntut ganti rugi.”


“Untuk pintu reot begini?”

“Harus diperbaiki, toh?”

“Aiaa. Biar saja begitu. Kuanggap 

kenangan manis dari seorang teman lama. 

Lagipula, toh tak ada orang yang mau nekad 

datang kemari. Apa pula yang harus dicuri? Aku 

tak punya apa-apa yang berharga kok ini...” dan 

dengan senyuman tipis menyembunyikan 

ejekan, ia membuka pintu semakin lebar. 

Berkata, setengah mencemooh:

“Lihatlah sendiri.”

Bramandita merasakan ejekan dan 

cemooh itu. Tetapi ia berlagak pilon. Pura-pura 

tak berminat pula, ia hanya melirik sekilas ke 

dalam lantas mundur dari pintu. “Kalau ada 

nona manis di dalam, tanpa disuruh pun aku 

akan menyerbu,” katanya, berseloro. Seloro 

yang sekaligus mengandung sindiran.

“Tak ingin melihat-lihat? Membuktikan 

sesuatu?” Mat Dolim berlagak kecewa. Tapi 

kata-katanya begitu tajam.

“Terimakasih, mang. Lain kali saja. Sudah 

terlalu lama kami pergi. Nanti orang kecarian


Bramandita berkata cepat, lantas menyeret 

Marjuki buru-buru meninggalkan gubuk itu. 

Tanpa melupakan sopan santun: “Eh mang 

Dolim. Kalau lain waktu kami nyelonong lagi ke 

gubukmu, mang Dolim ingin dibawakan 

sesuatu engga?”

“Kau baik sekali, bung Rama. 

Terimakasih,” Mat Dolim tertawa senang. 

“Kalian mau datang, sudah lebih dari cukup.”

“Selamat siang, Mang,” seru Marjuki.

“Siang, den.”

Marjuki jalan di depan, mengikuti jalan 

setapak yang semakin lama semakin jelek. 

Beberapa kali mereka harus -melompati 

selokan, menyisi tegalan, menyusuri pinggiran 

tebing sungai yang terjal dan berbahaya. Di 

belakangnya, Bramandita menguntit dengan 

benak bergalau.

“Dia sudah rnempersilahkan. Kok abang 

tak masuk?” gumam Marjuki, tak mengerti.

“Percuma, Juki. Dia… Hem, benarkah 

orang itu pengawas hutan?”


“Nah. Kalaupun kita masuk, tentulah kita 

tidak akan melihat balok berlapis dua dengan 

rantai besi itu. Paling-paling kita hanya 

menemukan tikar digelar. Mungkin dengan 

ekstra sebuah kasur butut. Rak atau bakul 

tempat pakaian. Kompor untuk masak. Lampu 

petromak, mungkin juga lampu baterai. 

Beberapa bilah golok, sangkur dan sebuah 

bedil panjang di dinding. Semuanya bersih, 

rapih. Tak ada bekas, apalagi petunjuk bahwa 

seorang gadis pernah dipasung dalam gubuk 

itu.”

“Seperti juga mereka menukar mayat 

petani dengan bangkai lutung?”

Lama Bramandita tidak menyahut. Kemudian: 

“Kalau benar mereka memang menukarnya!”

ia bersungut sungut misterius.

Marjuki mau mengutarakan sesuatu. 

Tetapi membatalkannya, karena tahu-tahu 

mereka menemui jalan yang lebih patah lagi. 

Tebing licin berlumpur, menurun curam ke 

bawah. Hanya orang-orang yang sudah 

terbiasa yang mampu melaluinya dengan 

mudah. Buktinya Bramandita sempat


terperosok, sedang Marjuki sendiri hampir 

terguling ke tengah sungai. Menyusuri lagi 

tanah becek di tepian sungai, kembali mereka 

harus mendaki jalan berputar ke atas, 

mengikuti tegalan sawah yang terhampar luas 

dan akhirnya tiba di lubuk tempat semula 

mereka datang.

“Kita mandi?” tanya Marjuki.

“Kau mandilah. Aku akan terus ke 

kampung di lembah itu.”

“Abang akan kutunjuki jalan. Dan... hem 

kukira tak ada ruginya aku ikut. Ada beberapa 

cewek cantik di sana.”

Sepeninggal tamu-tamunya, Mat Dolim 

masih berdiri di tempat ketinggian.

la mengawasi sampai kedua orang itu 

mendekati lubuk. Baru ia memutar, berjalan 

memasuki halaman gubuk. Pada saat 

bersamaan, seorang laki-laki lain menyelinap 

keluar dari belakang gubuk ke halaman.

“Orang pintar dia itu,” kata laki-laki yang 

dari tadi bersembunyi di belakang gubuk.


“Lebih tepat lagi, kalau kukatakan, ia sangat 

dan semakin berbahaya!”

“Pemuda kota itu tampaknya tidak usah 

terlalu kita kuatirkan, pak Lurah.”

Suganda Prabukusumah Prayodhia, 

lurah desa Mantili, menggelengkan kepala. 

Gundah. 

“Aku kenal orang macam dia, Dolim. 

Jangan memandang enteng seorang warta-

wan!”

“Oh. Aku tak berpikir sejauh itu. Tadinya, 

yang kukuatirkan justru den Juki. la sudah edan 

rupanya, nekad menemani Bramandita. 

Dikiranya ia telah menolong orang yang syok 

tahu itu, membuktikan sesuatu. Tidak sadar, 

kalau ia justru menjerumuskan kakak 

perempuannya.”

“Hem.” Suganda mengelus jenggotnya. 

Berpikir. Kemudian berjalan ke luar pagar 

halaman “Aku harus kembali ke desa. Kita 

harus merubah rencana.”

Lalu ia menyusuri jalan yang tadi dilalui 

kedua tamu tak diundang itu. Langkahnya


begitu ringan. Hampir-hampir tak meninggal

kan jejak di tanah. Apalagi, sampai tergelincir. 

Turunan curam dan licin itu ia lompati tanpa 

ragu-ragu sedikitpun juga.

Semakin jauh ia berjalan, semakin wajahnya 

menyuram.

***


MIRANDA mengawasi laki-laki tua yang 

terbaring sakit di dipan. “Kapan dia pergi?”

tanyanya dengan wajah kecewa.

Ading, penyawah keluarganya menjawab lirih: 

“Sudah beberapa hari lalu, neng Mira.”

“Kapan, tepatnya? Dan ke mana?”

“Kau mendesak aku, neng Mira.”

“Mestinya ia pamit!”

“Maaf.”

“Dan mestinya aku tidak sia-sia 

membawakan oleh-oleh baju hangat yang 

sengaja kubawa dari Jakarta. Untuk dia, pak. 

Untuk anakmu. Jadi beritahukanlah apa yang 

terjadi sebenarnya. Supaya aku tahu, apakah 

aku tetap harus mengirimkan baju hangat ini, 

atau menyimpannya saja. Dengan harapan, 

suatu hari kelak dapat menjumpainya, lalu 

menyerahkannya.”

Laki-laki tua bermata murung dan wajah 

pucat menahan sakit, katanya gangguan pada 

otot punggung itu, akhirnya menyerah.


“Baiklah. Kutahu, neng Mira akan 

bertanya juga pada orang lain. Dadang 

memang sudah pergi. Tepatnya, tiga hari yang 

lalu. Kami bertengkar hebat tentang sesuatu. 

Masalah keluarga, kuharap neng Mira maklum. 

Lalu yah, Dadang mengumpulkan semua 

pakaian dan ijasah yang dimilikinya. Katanya, ia 

mau mencoba nasib di Garut. Mungkin juga, di 

Bandung.”

“Tak meninggalkan alamat?”

“Dia bilang, akan menulis surat kelak.”

“Oh.”

“Minumlah, neng Mira.” ujar isteri laki-

laki itu, yang tampak jauh lebih tua dari 

suaminya.

Wajahnya membayangkan penderitaan 

yang teramat sangat. Matanya barut, tentulah 

bekas menangisi nasib malang ditinggalkan 

anak sulung yang dicintainya.

Miranda menyesap teh sedikit. Lalu berdiri. 

“Benar tak perlu kupanggilkan bi Supi 

untuk merawatmu, pak Ading?”


“Terimakasih, neng Mira. Biasa aku 

begini. Tidur sejam dua, lantas sembuh dengan 

sendirinya.”

“Kudo'akan semoga bapak cepat sembuh.”

Isteri pak Ading mengantar Mira sampai 

ke pintu. Berterimakasih untuk kesekian 

kalinya, telah dibawakan oleh-oleh penganan 

berupa kueh-kueh, ikan kalengan, mantel 

panjang untuk suaminya dan selendang batik 

untuk dirinya sendiri. Basa basi itu membuat 

Miranda kaku sendiri dan setelah pamit, 

bergegas ia tinggalkan rumah penyawah 

ayahnya yang tinggal di lembah itu.

Di jalan mendaki menjelang desa Mantili, 

Miranda melihat dua orang laki-laki 

mendatangi dari arah berlawanan. Masih jauh, 

namun ia segera mengenali keduanya. Miranda 

mempercepat langkah. Begitu pula kedua laki-

laki itu.

“Mau ke mana kalian?” tanya Miranda, 

setelah mereka bertemu.

“Ke rumah pak Ading,” jawab Marjuki.


“Aku justru baru dari sana,” Miranda 

memperhatikan pakaian mereka, mendelik 

sebentar lantas menggerutu: 

“Kau melakukannya lagi. Rama !”

Sebelum Bramandita menjelaskan 

sesuatu, Miranda telah menegur pula. Kali ini, 

teguran itu ditujukan pada adiknya: 

“Sudah gilakah kau, Juki? Diami Jangan 

coba membo-hongiku. Kalian berdua telah 

pergi ke Bukit Larangan itu, bukan?”

Terdiam Marjuki.

Bramandita lebih terdiam lagi. Tiba-tiba 

ia merasa bersalah. Sadar, bahwa ia telah 

menyeret adik Miranda menempuh perjalanan 

yang sangat berbahaya. Tidak saja selama 

perjalanan. Tetapi lebih-lebih, akibat dari 

perjalanan itu sendiri. Akibat-akibat yang 

konon telah dialami demikian banyak 

penduduk desa yang kehilangan pikiran waras 

ketika memutuskan untuk iseng-iseng ke Bukit 

Larangan.

“Lihat. Pakaian kalian begitu kotornya. 

Dan kau. Rama. Lecet di situ lenganmu


berdarah lagi. Hayo, pulang sekarang! Kalian 

akan kuadukan pada ayah!”

“Tidak menjewer kupingku?” Marjuki 

nyengir, menyindir. Kemudian tertawa.

Miranda mesem.

Sepanjang jalan ke rumah mereka 

kemudian pelan-pelan jadi akrab kembali. 

Bramandita kemudian tahu bahwa mereka 

menuju sasaran yang tepat. Dadang telah 

lenyap tiga hari yang lalu. Itu adalah pada hari 

kedatangan Bramandita dan Miranda ke desa 

Mantili. Dan malamnya, seorang gadis melihat 

kekasihnya tercinta diseret orang ke puncak 

Bukit Larangan.

Pertanyaannya sekarang : 

Benarkah gadis itu memang ada?

Untuk mencari jawabannya, tampaknya 

ada kesulitan. Marjuki langsung dicambuk 

ayahnya dengan kalimat: “Mau cari penyakit 

ya?!” Dan tanpa disuruh, pemuda itu langsung 

menyetrap diri sendiri. Berkurung di kamar, tak 

mau keluar biar dibujuk oleh siapapun juga. 

Bramandita sempat hilang akal. Mana mungkin


ia, seorang pendatang dan belum semua warga 

desa kenal, kasak-kusuk sendirian ke sana 

kemari?

Tetapi selagi mandi di pancuran, 

Bramandita menemukan akal bagus.

Ternyata gampang sekali penyelesaian

nya, la tahu sifat wanita. Maka begitu pulang ke 

rumah, ia langsung meledek Miranda: 

“Hei, tahukah bekas pacarmu itu mau kawin?”

“Bekas pacarku?”

“Alaaa, belagak. Jelek-jelek begini, aku 

punya telinga.”

“Dan apa yang didengar telinga keledaimu?”

“Dadang bekas pacarmu. Dan tak lama 

lagi ia akan menikah dengan seorang gadis. 

Namanya… hem. Mengapa pula harus 

kuberitahu padamu?”

Benar saja. Dasar wanita, tak lama setelah 

mereka ngobrol Miranda pamit.

“Tak usah ditemani,” katanya. “Cuma 

sebentar kok. Uwaku yang di pojok jalan itu 

katanya minta bicara denganku. Empat mata.


“Jangan-jangan ia punya calon buat 

kau,” Bramandita memberengut.

“!h. Gitu saja cemberut. Ini nih, bukti aku 

tak memikirkan laki-laki lain, Ramaku sayang,”

dan, cup-cup-cup, bibir Bramandita di kecup 

berulang-ulang. Gatal tangan Bramandita mau 

menyeret Miranda ke tempat tidur, namun 

gadis itu tahu gelagat, la segera minggat ke luar 

rumah, meninggalkan Bramandita termangu-

mangu, dan setelah Miranda jauh dari rumah, 

tersenyum diam-diam. Berdo'a dalam hati: 

“Semoga wanita hebat itu berhasil.”

Do'a Bramandita tidak sia-sia.

Tak sampai satu jam, Miranda telah 

kembali. “Uwa-ku ada-ada saja. Dia cuma ingin 

tahu, kapan kita kawin.” dan Miranda memang 

tidak berbohong. Pertanyaan itu diajukan uwa-

nya, ketika Miranda melewati rumah mereka 

sambil lalu Dari rumah uwa-nya, Miranda 

menyelinap pergi ke tiga alamat. Kawan-kawan 

lama, siapa lagi.

“… tahu apa cerita pengurus ternak Uwa?”

“Oh. Jadi uwa-mu punya ternak,” rungut 

Bramandita acuh tak acuh, sambil melembari


buku silat yang dipinjam Miranda dari Taman 

Bacaan.

“Aku tidak bicara mengenai ternak,” kata 

Miranda kesal. “Aku mau bicara tentang apa 

yang kudengar.”

“Begitu? Kukira, aku saja yang punya 

telinga keledai.”

“Jangan menyindir lagi,” keluh Miranda, 

dongkol. “Aku memang kenal si Dadang. Tetapi 

tanyalah semua orang, dan akan kau tahu ia 

bukan bekas pacarku!”

“Lho. Kok ngambek?”

“Ngambek sih tidak. Cuma keki.”

“Keki apanya?”

“Dikira aku cemburu kalau si Dadang 

kawin? Tak usah yaaa! Malah aku senang. 

Bebas dari gunjingan yang bukan-bukan. 

Melihat umurnya, memang sudah sepantasnya 

dia menikah sekarang-sekarang ini.”

“Ooo. Jadi Dadang-mu sudah menikah?


“Bangsat. Dadang-ku apa-an. Bilang 

sekali lagi, kuremaskan cabe giling ke mulut 

ceriwismu.”

“Boleh. Asal terus dicium,” Bramandita 

tertawa. “Jadi sama-sama merasa pedasnya.”

Mau tak mau Miranda ikut tertawa juga.

Katanya:

“Hebat juga dia. Mendapatkan anak 

gadis, yang masih terhitung famili pak Lurah. 

Famili jauh, memang. Namun tetap ada 

pertalian darah. Kau tahu? Ayah gadis itu 

langsung naik pitam. Ibunya jatuh sakit. Gadis 

itu kemudian diantarkan keluarganya diam-

diam, dikirimkan ke pamannya di Cirebon. 

Konon, supaya diajar adat,” Miranda geleng-

geleng kepala. “Dasar orangtua kolot. 

Mentang-mentang calon suami anaknya 

seorang penyawah ...”

“Kapan gadis itu diungsikan?” tanya 

Bramandita, dengan jantung berdebar.

“Katanya sih, tiga hari yang lalu...”

Miranda yang tercekat kini. “He, aku mengerti 

maksudmu. Si Dadang bukan kabur ke Garut 

atau ke Bandung, la pasti nyimpang ke Cirebon.


Menguber calon isterinya. Aku tahu si Dadang. 

Sekali ia temukan gadis itu, ia akan nekad 

melarikannya. Hem, hem. Lihat saja. Tak lama 

lagi, kisah petualangan dua sejoli yang cintanya 

ditentang keluarga itu, akan segera sampai ke 

desa ini.”

Bramandita diam.

Dadang tidak bertengkar lalu minggat 

dari rumah orangtuanya. Dadang sudah mati. 

Terikat ke tonggak silang dengan lambung 

dihunjam tombak. Kekasihnya juga tidak 

diungsikan ke Cirebon. Melainkan ke gubuk 

terpencil di kaki bukit. Dipasung. Karena telah 

membuat cemar keluarga, atau karena sebab-

sebab lain yang ingin sekali diketahui 

Bramandita, apa kiranya.

Gadis itu melakukan suatu kesalahan. 

“Jangan sampai mereka pergoki kita...”

terngiang ucapan gadis terpasung di dalam 

gubuk. Dan kesalahan itu harus ia tebus dengan 

harga yang teramat mahal.

Gadis itu telah berubah rupa; ia adalah 

mahluk itu. Mahluk mengerikan menyerupai 

kera besar. Kera betina ...


“Awas!”

Jerit tertahan Miranda membuat Bramandita 

terlompat seketika. “Apa?! Mana?!”

Miranda tersenyum. “Itulah. Orang ngomong, 

tak didengarin!”

Sadar dikecoh, Bramandita malu sendiri.

Ia memungut buku silat yang entah 

kapan telah jatuh terhampar di lantai. Tidak lagi 

bernafsu membacanya, la bergumam, lesu: 

“Aku mau tidur.”

“Siang begini?”

“Tak boleh?” balas Bramandita, sengit.

Rebah di tempat tidur, Bramandita 

menyesal berlaku kasar pada Miranda barusan. 

Tetapi ia begitu tak tahan. Ada sebuah duri 

menyakitkan yang tiba-tiba saja menusuk 

jantungnya. Duri itu adalah gambaran yang 

semakin pasti, bahwa semua yang dialaminya 

di Bukit Larangan bukanlah mimpi buruk atau 

igauan orang sekarat.

Semakin yakin ia sekarang, bahwa ia 

telah melihat gadis dipasung itu berubah rupa


jadi kera betina; Sama yakinnya dia, bahwa 

petani malang yang mati sengsara di tonggak 

maut itu adalah Dadang adanya. Torehan 

bambu runcing di lambung Dadang, sama 

keadaannya dengan torehan pada lambung 

bangkai lutung. Bramandita telah memeriksa 

lambung lutung itu. Lalu ia mengumpamakan, 

itu adalah lambung Dadang.

Apa yang mereka ambil?

Hatinya!

Seketika, Bramandita memegangi perut. 

Lalu, bulu kuduknya tahu-tahu saja 

meremang...

***


EMPAT BELAS


MIRANDA terhenyak di kursinya.

la menyesal telah mengejutkan 

Bramandita. Tidak menyangka akibatnya akan 

separah itu: Bramandita bersikap aneh, lantas 

meninggalkannya begitu saja dengan dalih mau 

tidur. Ada sesuatu di mata laki-laki itu, yang 

membuat Miranda takut. Miranda sadar, 

bahwa ia telah termakan umpan pancing 

Bramandita. Mendengar Dadang jatuh cinta 

dan akan menikahi perempuan yang 

dicintainya itu, mau tak mau hati kewanitaan 

Miranda dijangkiti perasaan cemburu.

Sesungguhnyalah, ia cemburu. 

Betapapun, Dadang adalah laki-laki pertama 

yang pernah mencium bibirnya. Itu merupakan 

sebuah kenangan manis, yang tak pernah 

dilupakan seorang wanita. Terserah, apakah ia 

cinta atau tidak pada lelaki yang menciumnya 

itu. Hati wanita memang sukar diselami. 

Miranda telah menikah dengan Tedi. Setelah 

Tedi meninggal, Miranda langsung 

mendapatkan penggantinya. Bramandita, yang


sama ia cintai sebagaimana Miranda mencintai 

almarhum suaminya. Pada saat ini. Bramandita 

ada di sisinya. Miranda bahagia. Namun toh, 

mendengar Dadang akan menikahi perempuan 

lain tergugah juga kecemburuannya.

Cemburu, yang tidak disertai 

penyesalan. Apalagi sakit hati. Malah ia senang, 

Dadang akhirnya memutuskan tidak mati 

sebagai bujang tua yang sekarat karena 

cintanya yang patah.

Jadi kecemburuan Miranda, adalah 

kecemburuan yang wajar.

Tanpa unsur negatip.

Itulah yang ingin ia beritahukan pada 

Bramandita. Tetapi Miranda ceroboh, la berlari 

terlalu cepat, dan ketika ia berpaling ke 

belakang sadarlah Miranda bahwa ia telah 

menginjak orang lain tanpa sengaja. Itukah 

yang barusan membuat Bramandita tampak 

sewot?

Miranda menghela nafas.

Dikumpulkannya satu seri buku silat

yang tadi mereka baca bergantian. Lalu pergi


meninggalkan rumah. Menuju Taman Bacaan 

Mantili yang terletak dekat balai desa. Masa 

pinjam buku itu telah habis. Miranda akan 

meminjam buku lain, atau majalah, atau komik. 

Melalapnya sampai habis, sekedar mengendur

kan sarap yang tegang.

la bertukar sapa dengan pemilik Taman 

Bacaan dan satu dua langganan lain. Kemudian 

asyik memilih-milih buku. Hampir semuanya 

sudah dibacanya. Di desa ini, atau di Jakarta. 

Kebanyakan sudah tua dan lapuk, sebagian 

malah tak lengkap lagi halamannya. Tiba pada 

susunan komik, matanya menangkap sejumlah 

seri cerita pewayangan. Namun sepintas lalu 

saja tahulah Miranda kalau komik itu semua 

telah pula dibacanya. Baru ketika matanya 

terpaut pada sebuah buku dengan judul 

“Shinta dari Mantili,” Miranda tertarik. Isi buku 

itu juga telah ia baca. Gambar-gambarnya 

malah hampir ia hapal semua. Tetapi toh seri 

“Shinta dari Mantili” diambilnya juga, karena 

itulah seri pewayangan yang tak pernah bosan 

dilalapnya.

Dari dulu ia selalu membayangkan diri

nya sebagai Shinta. Shinta yang berharap agar


Rama memenangkan taruhan mengangkat lalu 

membentangkan busur panah keramat. Rama 

memang melakukannya. Tetapi Rama, dalam 

kenyataan hidup Miranda, ternyata kalah. 

Instink Miranda mencurigai taruhan itu. Tedi 

memasuki peti mati, sedang, Bramandita . tidak 

meletakkan jaminan seperti yang lain-lain. 

Waktu itu Miranda tidak tahu, siapa yang ia 

harapkan keluar sebagai pemenang. Tedi, atau 

Bramandita. Baru setelah Tedi keluar dari peti 

mati sesuai waktu yang dijanjikan, Miranda 

dijalari perasaan kecewa. Kenapa Rama harus 

kalah?

Lewat jendela Taman Bacaan, tampak bi 

Supi melangkah bergegas ke balai desa. 

Miranda melihatnya. Dengan mata. Sedang 

jalan pikirannya melihat yang lain; Rama kalah 

terhormat. Dan sebagai imbalannya, Shinta 

yang kini menjanda bersedia mencucurkan,

setiap tetes keringat untuk menggali kembali 

cinta yang pernah terpendam.

Tiga tetes darahnya di daun sirih itu 

sebagai saksinya


“… Kami akan punya anak,” Miranda 

membathin. Alangkah mentakjubkan! Rama 

dan Shinta abad modern, akan melahirkan 

generasi penerus. Miranda tersenyum. 

Membayangkan, Rama dan Shinta dunia 

pewayangan, cemberut iri...

Di jalan desa, bi Supi duduk menanti 

dengan gelisah.

Ketika tamu pak lurah meninggalkan 

ruangan kepala desa Mantili itu, bi Supi lantas 

saja menyerobot masuk mendahului dua orang 

tamu dan kecamatan yang sudah menunggu

lebih dulu.

Suganda menatap tak senang.

“Ada apa, Supi?” desisnya, tajam. 

Perempuan tua itu menggigil. 

“Semur hati itu ...” bisiknya, gagap. Lalu 

ia melaporkan apa yang semestinya dilaporkan.

Suganda mendengarkan dengan tenang. 

Belum habis laporan pelayan Miranda, 

ketenangan Suganda mulai goyah.


“...kau biarkan Rama menghabiskan 

semuanya?” ia bergumam dengan suara 

kering.

“Neng Mira mengatakan begitu,” jawab 

bi Supi, ketakutan.

“Setiap kerat?”

“Ya. Dasar manusia rakus, Si Rama itu!”

Suganda termenung. Murung. Katanya: 

“Bukan karena rakus. Supi. Ketahuilah. 

Ada kekuatan magnetis dalam tubuh Rama, di 

bawah alam sadarnya. Kekuatan magnetis itu 

juga dimiliki Dadang, meski sifat dan 

pengaruhnya berlainan. Jangan lupa, mereka 

berdua sama mencintai Miranda. Ketika 

Miranda memberi Bramandita semur hati itu, 

dua kekuatan magnetis tadi lantas saling tarik 

menarik. Dadang telah mati. la tidak dapat lagi 

membantu kekuatan magnetis yang 

mengendap di hatinya, yang telah kau semur 

itu,” Suganda menelan ludah. Membasahi 

kerongkongannya yang kering. “Dan hati yang 

masih hidup, berhasil memenangkan 

pertarungan itu. Karena hati yang kedua ini, 

menyatu padu dengan kekuatan pisik yang

masih ditempatinya.” Sekali lagi Suganda 

menelan ludah. “Mengertikah kau?”

Perempuan tua itu tidak mengerti. Namun ia 

jawab juga: 

“Mengerti, pak Ganda.”

“Nah. Kau tak usah mempersalahkan 

dirimu. Kau pergilah. Temui para ketua 

kelompok. Suruh mereka berkumpul di

rumahku. Malam ini!”

***


MATAHARI kota Jakarta memanggang 

atap kantor-kantor salah satu wilayah 

Kepolisian setempat. Panasnya terasa 

menembus langit-langit, dan jatuh di kepala 

botak dokter Sulaeman yang duduk sambil 

mengipasi dada di seberang meja Kapten 

Sudrajat. Dokter polisi itu gerah bukan saja 

karena pengapnya ruangan ataupun panasnya 

matahari, la juga merasa gerah, karena 

jaringan-jaringan otaknya tegang. Mendekati 

histeri.

Betapa tidak. 

Baru saja ia dengar Kapten Sudrajat 

berkata melecehkan: 

“...rasanya, dokter. Kok kau memaksa 

aku percaya, bahwa Jeckyll dan Dr. Hyde baru 

saja menyelinap masuk laciku!”

Sulaeman meringis. Masam. “Mudah-mudahan 

saja benar,” umpatnya, dongkol.

“Jangan marah dulu,” Sudrajat 

tersenyum manis. “Umpamakan aku memper-

cayaimu. Dongeng atau bukan, kita tetap harus 

membuktikan segala omong kosongmu itu. 

Karena terus terang, petunjuk-petunjuk ke


arah itu memang sudah kuperoleh. Informasi 

yang masuk begitu simpang siur. Setelah 

kusaring, aku lantas terperanjat sendiri. Maka 

aku telah memutuskan untuk berangkat siang 

ini juga ...”

“Bukan kau. Kita,” potong Sulaeman, bernafsu.

“Kita?”

“Kau. Aku. Dan satu team lagi yang 

orangnya kutentukan, dengan persetujuanmu. 

Mereka kita perlukan. Drajat. Mereka ahli 

dalam bidang masing-masing, sehingga dapat 

menganalisa apakah Miranda berpribadi 

ganda; ataukah aku telah salah mencopot 

rumus-rumus kedokteran yang selama ini 

kucekokkan ke kepala.”

Sudrajat menggelengkan kepala. 

“Aku akan pergi seorang diri!”

“la berbahaya, Drajat,” rungut Sulaeman, 

mengingatkan.

“Tidak, apabila analisamu yang menggeli

kan itu dikarenakan kau tengah menekuni ilmu 

gaib. Eh, jangan dulu melotot, dokter. Aku kan 

tadi menyebut, apabila. Jadi belum final...”


“Dan, bila aku ternyata benar?”

“Jabatanku taruhannya, dokter. Aku 

telah disumpah, bukan? Nah. Tugasku jelas dan 

gamblang. Jangan biarkan masyarakat heboh. 

Gempar. Supaya tugas itu terlaksana baik, apa 

boleh buat. Aku harus minta maaf, karena buat 

sementara kau dan orang-orangmu yang hebat 

itu terpaksa harus istirahat dulu di pinggir 

lapangan permainan.”

Kapten Sudrajat akhirnya memang pergi 

sendirian.

la tidak pakai mobil, melainkan naik 

kereta api. la sadar apa yang akan ia hadapi, 

resiko-resikonya. taruhannya. Namun selama 

di kereta, ia tertidur nyenyak sekali. Dari 

setasiun kereta di Bandung ia mencarter taksi 

untuk sekali jalan karena sadar ia tidak 

mungkin pulang pergi. Begitu menghenyakkan 

pantat di taksi, ia berdoa semoga negara tidak 

rugi besar telah membayar mahal perjalanan 

menuju pemecahan perkara yang tampaknya 

hanya terdapat dalam buku-buku novel misteri 

itu.


Di Cikajang, ia mendatangi kantor 

Kosekta Kepolisian setempat. Menunjukkan 

kartu pengenal, menceritakan gambaran kasar 

dari perkara yang ia hadapi sehingga ia 

terpaksa ikut merepotkan mereka. Dan 

berharap, ia ditertawakan.

Nyatanya, tidak seorang pun petugas di 

Kosekta Cikajang itu yang tertawa. Senyum pun 

tidak. Lalu, diam-diam Sudrajat menyesali 

mengapa ia menolak tawaran kerjasama 

dokter Sulaeman serta rekan-rekannya, setelah 

ia dengar keterangan komandan sektor dalam 

kalimat sederhana: 

“Kami pun telah lama mendengar 

keanehan-keanehan yang terjadi di desa 

Mantili.”

“Dengan apa aku dapat pergi ke sana?”

“Sudah malam sekarang, pak Sudrajat. 

Kendaraan umum jarang. Mana nantinya masih 

harus jalan kaki. Saya akan mengantarkan 

sendiri bapak ke desa itu. Asal saja bapak tahan 

udara dingin, dan tidak marah kalau misalnya 

kita terpelanting di jalan...”

“Setuju!”


Malam memang telah larut. Gelap lagi. 

Hitam pekat. Seolah menyimpan kutuk.

Pada malam yang terkutuk itu, 

Bramandita tersentak bangun dari tidurnya, la 

telah bermimpi tenggelam di tengah laut. 

Nyatanya, bantal yang ia tiduri telah basah 

kuyup dibanjiri peluh. Demikian pula piyama, 

yang seakan melekat jadi satu dengan kulit 

punggungnya. Terengah-engah ia duduk. 

Memandang iri pada Marjuki yang meringkuk 

di ranjang satunya lagi. Pemuda itu mengorok 

keras, bagai babi gembul yang kelewat banyak 

makan.

Apakah tadi ia mendengar sesuatu?

Benar. Suara itu terdengar lagi. Bersin 

ditahan. Lalu bisik-bisik halus seseorang 

menegur yang lain.

“… aku tak kuat!” protes yang ditegur. 

“Kubilang, jangan berisik!”

”Maaf.”

Langkah-langkah kaki lembut terdengar 

mengingsut ke arah pintu depan. Bagai takut 

ranjang tidur runtuh, Bramandita bersijingkat


pelan, la menggapai tembok. Menekan tombol 

di situ. Sehingga kamar tidurnya menjadi gelap 

gulita dalam sekejap.

Sepi menyentak, beberapa helaan nafas.

Lalu suara-suara tadi terdengar lagi.. 

Lewat di gang samping yang sejajar dengan 

kamar tidur yang ditempati Bramandita dan 

Marjuki. la bersijingkat ke jendela. Menempel

kan telinga. Bersin lagi, lebih keras sedikit 

tetapi kali ini tidak ditegur.

“... semua sudah kau beritahu?” ia 

dengar suara ayah Miranda.

“Sudah!” itu suara bi Supi, pelayan 

mereka.

“Ayolah. Nanti kita terlambat.”

Pantaskah ia ikut campur urusan orang?

Harus!

Terlalu banyak hal-hal ganjil di sekitar 

sini. la tidak ingin, tetapi ia telah terlibat di 

dalamnya. Berpikir sampai di situ, Bramandita 

membuka daun jendela sedikit demi sedikit. 

Remhulan bersinar lemah. Tampak bayang-

bayang dua sosok tubuh hitam berjala


tergesa-gesa, membelok ke jalan utama 

menuju pusat desa.

Saat itu juga Bramandita bersalin 

pakaian. Tangannya meraba-raba dalam 

kegelapan. Cari sepatu, lalu jacket. Jacket ia 

temukan, sepatu tidak. Setelah merangkak 

sebentar di lantai, akhirnya ia cuma 

menemukan sandal. Tak apa. Pokoknya tidak 

bertelanjang kaki.

Pelan-pelan pula ia meluncur ke luar. 

Lewat jendela. Daun jendela itu ditutupkannya 

rapat-rapat. Tanpa menimbulkan suara. Lalu 

kemudian bergegas menuruti arah perginya 

kedua orang tadi. Setelah larak-lirik sebentar, 

merasa aman, ia berjalan setengah berlari. Dan 

baru memperlambat langkahnya setelah 

melihat sosok-sosok tubuh hitam itu kembali. 

Ayah Mira dan bi Supi tampak di simpangan,

sedang bicara dengan tiga orang lain. Mereka 

berlima bersama sama menempuh satu arah. 

Jauh di belakang, Bramandita menyelinap-

nyelinap dalam kegelapan, tanpa melepaskan 

rombongan kecil itu dari matanya. Semakin 

dekat ke rumah pak Lurah, rombongan itu 

semakin besar jua. Mungkin jumlahnya telah


mencapai sebelas atau. dua belas orang, ketika 

tiba di depan pintu rumah induk milik lurah 

desa Mantili.

Suganda membukakan pintu untuk 

mereka. Bramandita bersembunyi dalam 

bayangan sebuah pohon besar. Menunggu 

sampai mereka semua masuk ke dalam dan 

pintu ditutupkan, la masih menunggu sebentar 

lagi. Siapa tahu ada orang lain yang terlambat 

datang. Bramandita menunggu sekitar lima 

menit, baru kemudian memberanikan diri 

keluar dari persembunyiannya. Langkahnya 

langsung ditujukan ke rumah besar dan megah 

di pusat desa Mantili itu. Sunyi sepi di 

sekitarnya. Kecuali di rumah induk. Di ruang 

depan tampak kesibukan yang terlihat 

sebentar-sebentar dari celah-celah tirai jendela 

yang tersingkap di sisi kanan. Bramandita 

memperhatikan rumah yang sejajar dengan 

rumah induk. Sepi mati. Begitu pula bagian 

rumah di sayap kanan. Terdengar tangis bayi 

dari salah satu kamar bagian rumah sayap kiri. 

Kemudian sepi lagi. Menyentak kembali.

Karena celah itu terlalu kecil diawasi dari 

kejauhan. Bramandita bersijingkat memasuki


pekarangan yang luas itu. la mengendap-endap 

mendekati jendela yang tirainya sedikit 

tersingkap itu. Dan melihat mereka yang ada di 

dalam tampak tengah berdebat. Suaranya 

begitu sayup, sukar ditangkap telinga. Hanya 

sesekali ia menangkap kata-kata “terpaksa”, 

“ini gegabah!”, “bagaimana… salah?”

Lalu pak Lurah tampak angkat bicara.

Suaranya sedemikian rendah. Namun 

semua yang mendengar, diam merunduk. Tak 

satu pun mengomentari. Lalu tiba-tiba pak 

Lurah terbatuk. Sekali. Dua kali. Tiga. Dan ia 

berjalan ke jendela justru jendela di balik mana 

Bramandita mengintip. Bramandita langsung 

menjatuhkan diri ke tanah, karena pekarangan 

di bagian itu terbuka, tak ada tempat 

berlindung. Cahaya menerpa matanya, ketika 

tirai jendela disingkap dari dalam. Lalu suara 

kletak-kletok lembut, riuttt… jendela itu dibuka 

oleh pak Lurah.

Bramandita semakin terbenam di tanah.

Matanya terpejam. Takut melihat wajah 

pak Lurah.


Tetapi Suganda tidak merunduk ketika ia 

julurkan kepalanya ke luar. Suganda meludah. 

Lalu menutupkan jendela. 

“Bangsat!” Bramandita memaki dalam 

hati, sambil menyeka cairan berbau hanyir 

yang mendarat di pipinya, la masih 

menggerutu berkepanjangan, sampai ia 

tersadar bahwa suara percakapan di dalam kini 

semakin jelas dan mudah ditangkap.

Ketika ia bangkit dengan bimbang, 

sadarlah ia, meski tirai telah ditutupkan, tetapi 

jendela itu ternyata lupa dikuncikan kembali 

dari sebelah dalam. Pak Lurah yang bicara: “... 

aku sendiri muak memikirkan perubahan 

rencana ini. Tetapi apakah kalian punya pilihan 

lain? Terutama kau, Barja?”

Subarja, ayah Miranda, diam mematung.

Dari celah tirai jendela yang tetap 

tersingkap sedikit karena kaitan atasnya 

terlepas satu kancing, Bramandita melihat 

orangtua itu berwajah sangat pucat. 

Tampaknya ayah Miranda ingin menangis.

“Jadi kita semua sepakat,” pak Lurah

memutuskan.

Satu demi satu. kepala-kepala manusia di 

dalam ruangan itu dianggukkan. Pak Lurah juga 

manggut-manggut. Puas.

“Sekarang,” katanya. “Masuklah ke 

dalam. Bergiliran. Basuh muka kalian dengan 

air yang tersedia dalam pasu-paiu itu. Ucapkan 

do'a dan keinginan masing-masing sambil 

bersujut di hadapan putera junjungan kita,…”

lalu ia membuka sebuah pintu.

Mulanya hanya tampak papan lebar,

Semakin Bramandita menyimak, 

semakin ia tahu papan itu adalah sisi dari 

sebuah rak besar dan tinggi. Tampak susunan 

buku di bagian paling dekat ke pintu. Lalu 

bayangan samar nyala lemah dari dalam kamar 

itu. la ingin meninjau lebih jauh. Tetapi semua 

orang yang ada di ruangan itu telah bangkit 

serempak dan berdiri menuju pintu kamar 

tersebut. Antri, seperti membeli karcis kereta. 

Perempuan-perempuan masuk lebih dulu, baru 

kaum lelaki. Setelah mereka ke luar dan 

kembali ke tempat duduk masing-masing, 

wajah yang tadinya kusut telah berubah cerah. 

Ayah Miranda, tampak penuh kepercayaan diri,


la duduk tenang di kursinya. Dan tersenyum 

pada perempuan di sebelahnya.

Semua menunggu dengan sabar.

Menunggu orang terakhir yang telah 

masuk ke dalam, dan paling lama di kamar 

misterius itu. la adalah Suganda Prabu

kusumah, yang terdengar menyenandungkan 

sesuatu, memohon, memuja, memuji, 

menyebut-nyebut kemuliaan leluhur… yang 

rangkaian kata-katanya seolah mengatakan, 

bahwa leluhur mulia itu tidak jauh dari mereka, 

dan tetap menjaga dan melindungi pengikut

nya yang setia.

Waktu keluar, wajah pak Lurah adalah 

satu-satunya yang berbeda dengan yang lain.

la tampak murung. Katanya: 

“... berangkatlah kalian lebih dulu. Aku 

akan menyusul.”

Tak seorang pun membantah.

Mereka semua keluar dari rumah itu. Ber 

iringan dengan langkah-langkah tenang tetap 

pasti ke ujung desa, mengikuti jalan menurun.


kemudian lenyap ditelan kegelapan yang 

datang dari arah sungai.

Di tempat persembunyiannya, Bramandita 

berpikir keras.

la hampir saja mengikuti arah mereka 

pergi, waktu ia dengar pak Lurah batuk keras. 

Orang tua itu mengurut dadanya, dan 

bergumam perih: 

“Betapa berat beban yang harus 

kutanggung. Padahal… aku menyukai anak 

muda itu.”

Bramandita tercekat.

Anak muda… anak muda yang mana?

Selagi ia berpikir, ia lihat lurah desa 

Mantili itu berjalan ke pintu depan. Suganda 

pergi ke arah yang ditempuh teman-temannya, 

dan menghilang pula dalam kegelapan. Tetap 

saja berakibat sama: Bramandita harus berpikir 

keras. Harus bertindak cepat. Tetapi apa? 

Bagaimana? Setelah merenung sebentar, ia 

sudah tahu apa yang harus ia putuskan; Biarkan 

mereka pergi. Karena kau sudah paham, ke


mana mereka menuju. Tetapi, pastikan sesuatu 

dulu!

“Apakah aku pantas jadi maling?”

desahnya, gemetar, sambil meraba bingkai 

jendela di depannya. Gemetar tangannya. 

Lebih-lebih, ketika daun jendela perlahan-

lahan mulai terbuka...

***

MIRANDA terlompat di ranjangnya. 

“Ap… mengapa, ada…” Ia tersengal-

sengal pucat. Lengan-lengan ia angkat, di 

dekatkan ke wajahnya. Tak ada sesuatu yang 

berubah. Merasa tidak yakin, Miranda 

kemudian berpaling. Menatap kaca rias di 

seberang ranjang, la melihat wajahnya. Melihat 

tubuhnya sendiri.

Bukan wajah lain. Tubuh lain.

Wajah menyeramkan. Tubuh mengerikan.

Bermimpikah dia barusan? Tetapi begitu 

nyata. Begitu jelas. Begitu terasa. Ya. Sampai


detik ini pun, ia masih dapat merasakannya. 

Merasakan darah di sekujur tubuhnya 

menggelegak bagai dipanggang api neraka, la 

melayang-layang menembus kabut tebal, 

tetapi panas membara. Kemudian, di balik 

kabut itu ia melihat seseorang. Laki-laki. 

Miranda serasa kenal pada laki-laki itu. 

Anehnya lagi, ia merasa mengasihi lelaki itu, 

tetapi sekaligus juga membencinya. Demi 

kasihnya, tidak akan ia relakan lelaki itu 

dijamah perempuan lain.

Perempuan yang samar-samar muncul 

pula di balik kabut. Perempuan muda, kecil 

mungil dan molek itu bagai menari-nari, lalu 

jatuh di pelukan si lelaki. Mereka berciuman. 

Kemudian tertawa bahagia.

“Jangan ambil dia!” rasanya Miranda 

berteriak.

Lalu ia menyerbu ke depan. Cinta 

kasihnya tertinggal di dalam kabut. Yang ia 

bawa sebagai senjata, adalah kebenciannya 

yang membabi buta. Lelaki itu memandang 

kaget. Perempuannya, terjerembab. Pingsan.

“Kau, laki-laki tak berguna!” jerit Miranda.


Dan ia sambar lelaki itu dengan kuku-

kukunya, la renggut lehernya dengan mencuat 

keluar dari mulutnya. Tak puas sampai di situ, 

ketika si lelaki terjerembab jatuh, Miranda 

masih merenggut sesuatu yang lain. Sesuatu 

yang hangat, lunak, dan terasa menggelikan di 

telapak tangannya. He, tangannya berbulu 

tebal, pirang dan kasar !

Miranda terpekik.

la remas benda lunak di telapak 

tangannya. Dimasukkan ke mulut. Lantas 

ditelan. Segaaaaarrr…

Tetapi, apa?

Suara siapa itu? Ada orang berteriak. 

Miranda mendekati si pembuat gaduh itu. 

Belum juga ia jamah, orang itu tahu-tahu telah 

lenyap. Apakah ditelan bumi?

Miranda melayang lagi. Memasuki kabut 

panas membara.

Apakah itu kaca? Mengapa kecil dan 

sempit benar? Coba lihat… he, wajah siapa itu? 

Leher dan pundak siapa itu?

Kabut tebal itu terguncang.


Miranda terhempas.

Bangun! Ada yang berteriak. Bangun! 

Bangun! Bangun ...!

“Astaga!” bisik Miranda, bergidik. “Buruk 

benar mimpiku.”

Mimpi?

“... kau sudah bangun, Mira?”

Suara itu lagi. Datangnya dari balik 

jendela. Suara asing, berat, lirih. Miranda 

semakin bergidik.

“Siapa?” bisiknya. Tercekat…

“Kami. Teman-teman lamamu.”

“Miranda pergi ke jendela. Ada semacam 

kekuatan aneh menjalari dirinya. Memberinya 

keberanian. Keteguhan hati.

Jendela terbuka. Gelap pekat di luar, 

namun seketika jendela terbuka, kegelapan itu 

pun sirna. Lidah cahaya lampu kamar tidurnya, 

menerangi beberapa sosok tubuh di luar 

rumah, sedikit Jauh dari jendela, la tak tahu 

berapa orang jumlah mereka. Yang ia tahu, 

sosok-sosok tubuh itu tampak berwarna-warni.


Ada hitam legam. Ada coklat. Ada merah 

kekuningan. Ada pula merah kebiruan. Hitam 

lagi. Lalu abu-abu.

Warna-warni itu, warna-warni bulu tebal 

di sekujur tubuh mereka yang mengaku teman-

temannya.

“Mendekatlah,” Miranda berbisik.

“Tidak. Waktunya sudah tiba,” jawab 

mereka' serempak, dalam senandung ganjil 

dan seolah tiupan bayu di kejauhan.

“Waktu apa… yang telah tiba?”

“Upacara.”

“Upacara apa?”

“Pernikahan.”

“… aku belum punya gaun pengantin.”

“Kau akan mempunyainya. Nanti. Warna

nya, pirang. Kau suka?”

“Suka sekali. Aku pernah melihatnya. 

Entah di mana...”

“Karena itu, cepatlah!”


u mereka bergerak mundur. Semakin

jauh.

“Tunggu,” Miranda berseru tertahan. 

Lalu dengan tangkas, ia melompati jendela. 

Begitu ringan tubuhnya. Bagai melayang, tak 

menjejak di tanah. “Ke mana kita pergi?”

Tak ada jawaban.

Yang ada, tarikan kuat. Menyeret 

Miranda pergi semakin jauh dari rumah 

orangtuanya.

***

BRAMANDITA mengerjapkan mata.

Dan yakin sudah, ia memasuki sebuah 

musium kecil, ganjil, misterius, berbau magis. 

Pasu-pasu dengan genangan air di sekitarnya, 

bau ramuan, rempah, getah, kulit kayu 

cendana. Tetapi ia tidak mabuk. Malah 

menyukai harum semerbak ku.

Sudah berapa puluh tahun usia dinding 

berukir itu?

Ribuan tahun silam, jauh sebelum 

Masehi, siapa tahu! Mahluk kera, yang 

berkembang semakin tumbuh, abad demi 

abad. Rupanya semakin sempurna. Semakin 

mendekat postur tubuh serta wajah manusia. 

Itulah teori evolusi Darwin. Dan betapa 

angkuhnya Suganda Prabukusumah Prayodhia.

“la anggap apa dirinya, eh?” Bramandita 

nyeletuk. “Keturunan Yang Hilang?”

Bukit Larangan begitu aneh.

Tetapi kamar ini lebih aneh lagi. 

Tercengang Bramandita mengawasi sedemi 

kian banyak buku, majalah, guntingan surat

kabar, dari berbagai kurun masa. Buku-buku itu


umumnya berbahasa asing, hanya sebagian 

yang berbahasa Indonesia, atau diterjemahkan 

ke bahasa Indonesia. Terbanyak, adalah yang 

mempergunakan bahasa Belanda; bahasa 

rindu golongan tua! Sebagian sudah remuk 

dimakan ngengat. Sebagian lapuk berdebu. 

Yang lain, kumal karena sering dibaca. Baik

buku, majalah ataupun guntingan surat kabar. 

Yang disebut terakhir, umumnya berbahasa 

Jawa, Sunda, dan sedikit berbahasa Indonesia. 

Beberapa dari kliping itu tentunya telah dicuri 

dari suatu tempat. Atau dibeli dengan harga 

tinggi? Seperti juga buku-buku yang sudah 

teramat langka itu?

Takjub dan terharu biru, Bramandita 

menyentuhnya satu persatu. Menarik yang ini, 

mendorong yang itu. Menyimak yang sana, 

meniup debu yang sini. Perhatiannya lama 

tertarik pada sebuah buku bersampul kulit, 

terbitan abad ke-1. Penulis aslinya, Kappaoni 

Papadoupulos, seorang pilosop Yunani. 

Diterjemahkan oleh Dr. Th. W. Brill ke bahasa 

Belanda, yang Indonesianya: APA YANG ADA Dl 

BALIK PIKIRAN DARWIN?


Juga sebuah buku bersampul karton keras yang 

tulisannya sudah hampir lenyap di atas kertas 

cetak yang kuning tua. Karya Dr. Rarnon von 

Stagenharr, di-lnggeris-kan oleh Trevor Davis, 

London, 1918. Terjemahan judul: KITA DAN 

DARWIN. Sub judul: Badutkah dia atau Pelopor 

Misteri Manusia?

Bramandita melembari buku-buku itu 

sebentar, dengan sangat hati-hati. Takut 

kertasnya remuk jadi kepingan sia-sia. 

Menyimpan lagi di tempatnya, dan mengambil 

buku lain. Yang ini, terbitan Pinguin Book, Inc. 

Ditulis oleh Dong Mc. Ivar. Judulnya lebih

sederhana: MANUSIA KERA. Dengan sub judul:

Pokok-pokok Pikiran. Cetakannya lebih bagus.

Kertasnya kuat, hurup-hurupnya jelas dan 

banyak catatan di sana sini dari si pemilik, atau 

si pemegang buku.

Dalam kotak tebal dari spidol merah di 

halaman 117, tertulis: “Ada petunjuk, 

kelompok-kelompok Garis Keturunan Yang 

Hilang itu menyebar ke berbagai mata angin. 

Menghindari kebekuan guha-guha yang gelap, 

atau pulau-pulau es yang tidak memberi 

kehidupan. Mereka pergi mencari pusat


gerhana. Mencari tempat perbenturan 

bintang. Galaksi berpanas. matahari yang 

dapat memberi lebih banyak energi...”

Hal 212: “... mereKa tidak seperti kita 

bayangkan selama ini. Kuat, luar biasa bodoh 

atau sebaliknya, jenius. Kecuali dalam 

penampilan, dan cara mereka berjuang 

mempertahankan hidup. Mereka juga memiliki 

kelemahan-kelemahan sebagaimana manusia 

abad ini juga memilikinya Mereka mati 

sebagaimana kita juga dapat mati. Tetapi 

bukan mustahil, kondisi dan situasi alam di 

mana kelompok-kelompok yang mengasingkan 

diri itu tinggal menetap, telah mpnciptakan 

perubahan yang terkadang musykil. Alam gaib, 

animisme.”

Halaman 256: “... suku-suku liar bangsa Hunt di 

Eropa, Niger di Afrika, memiliki ciri khas bagian 

evolusi Darwin yang lenyap mengendap itu. 

Demikian pula di Australia. Sedang di Asia, 

secara kronologis beberapa kelompok 

keturunan bangsa-bangsa setempat telah 

berkembang lebih maju. Baik dalam cara 

berpikir, dalam proses perubahan pisik, 

pentaan alami...”


Pada halaman-halaman berikutnya, diberi 

catatan yang tidak menentu dalam hurup-

hurup Jawa yang sukar dimengerti Bramandita. 

Ditulis pada halaman itu oleh Mc.lvar: “Dapat 

dikatakan, kemungkinan besar Darwin benar. 

Apabila, kita menemukan generasi penerus 

Garis Keturunan Yang Hilang itu; hidup segar 

bugar, atau tinggal fosil tua rapuh… yang 

semoga belum remuk oleh pergeseran bumi 

yang beranjak semakin tua. Penyelidikan ke 

arah ini dapat dilakukan ke beberapa benua. 

Terutama Asia; Manchuria, Mongolia,

sepanjang pesisir Samudera Hindia.

Mungkin beberapa tempat di Eropa yang 

sebelum ini disebutkan, dapat pula ditelusuri. 

Tetapi riset di sekitar gugusan pulau-pulau 

Polinesia...”

Selembar kertas buku itu terlepas, 

melayang ke lantai.

Bramandita memungutnya. Dan membacanya 

sekilas, menganggap tidak penting. Sampai 

ketika ia akan menyelipkan kembali ke tempat 

semula, dan menyadari ada tulisan di 

sebaliknya. Pada sudut kanan atas, tampak

tulisan yang masih baru: MIRANDA. IA HARUS 

DITOLONG. Bramandita tertegun. Menyimak 

kertas itu lagi. Ada tanda panah dari tulisan itu, 

menjurus ke bab dalam kertas buku, melingkari 

kata-kata “Orang-orang Pilihan”.

Apa maksudnya?

Miranda. Ditolong dari apa?

Entah mengapa, Bramandita memutar 

lehernya. Menatap ke patung kecil di sudut 

kamar. Patung bersepuh emas. Tubuhnya, 

tubuh manusia dewasa. Dari jenis kelamin 

wanita. Wajahnya, wajah yang sama sekali 

tidak cantik menarik. Wajah yang seakan 

berproses. Dari kera, ke manusia. Hei, apakah 

mata patung itu bersinar?

Bramandita mendekat.

Lalu membungkuk, mengamat-amati 

mata patung.

Barangkali…

Suatu gerakan halus di belakangnya, 

membuat Bramandita membalikkan tubuh 

seketika. Baru sekira 40 derajat kurang sedikit, 

wajahnya telah disekap sebuah telapak tangan


kasar, berbulu, la melihat sesosok tubuh 

dahsyat mengerikan dengan seringai buas, 

mengancam. Bramandita tersedak. Sadar, jalan 

pernapasannya tertutup. Ya hidung, ya mulut, 

la meronta. Namun cengkeraman kuat tangan 

berbulu yang lain, menekan pundaknya ke 

depan, semakin tenggelam dalam telapak 

tangan pertama. Bramandita terbeliak.

Dan sebelum matanya terpejam pingsan, 

ia melihat seseorang muncul di belakang sosok 

tubuh mahluk itu.

Orang itu, lurah Desa Mantili, tersenyum 

lembut.

“Kami tahu kau akan nekad melakukan

nya, anakku,” katanya, lunak dan sabar. 

“Betapa repot memikirkan...”

Sekapan di wajahnya, dilepas perlahan.

Bramandita jatuh terkulai.

***

LIMA BELAS


POLISI DESA MANTILI minta maaf pada 

perempuan yang membuka pintu dengan 

mata-berat karena mengantuk. “Sebelum ibu, 

aku barusan juga digedor,” katanya, 

tersenyum. “Perkenalkan. Ini Letnan Pandi. 

Mungkin ibu pernah… Ah, ya. Yang ini Kapten 

Sudrajat. Baru datang dari Jakarta.”

Sudrajat hampir saja mengambil sikap 

menghormat ala militer. Tetapi kemudian 

menganggap lebih pantas membungkukkan 

badan sedikit. “Apabila ibu tidak 

berkeberatan…,” katanya, merendah. Kalimat 

sengaja diputus. Cara demikian biasanya

memberi hasil memuaskan.

“Tak apa. Bapak-bapak masuklah,” pintu 

dilebarkan. Mempersilahkan krtiga tamunya 

masuk ke dalam. “Apakah suami saya telah…”

“Oh, bukan. Kami mencari neng…”

Ucapan polisi desa itu segera dipotong 

oleh Sudrajat: “Begini. Saya dengar sahabat


saya Bramandita menginap di rumah ibu. Boleh 

dibangunkan sebentar?”

Perempuan setengah baya itu 

mengangguk paham lalu pergi mengetuk pintu 

kamar tidur anaknya. Karena tak ada sahutan, 

pintu dibukanya sendiri. Gelap di dalam. Lampu 

dinyalakan. Perempuan itu terkejut: ranjang 

Bramandita kosong melompong. Bingung, si 

perempuan mengguncang-guncang tubuh 

anaknya di ranjang satunya lagi. Marjuki 

menggeliat malas lalu bangun.

“Dasar tukang molor! Mana abangmu?”

“Abangku?”

“Si Rama, goblok. Mana dia?”

Memandangi tempat tidur Bramandita, 

Marjuki bersungut kesal: “Barangkali pergi 

berak... Eh, tunggu dulu!” ia melihat daun 

jendela sedikit terbuka. Pemuda itu beringsut 

dari ranjangnya. Perasaan kuatir membuatnya 

seketika terjaga. Jendela didorongkan sampai 

terpentang. Gelap pekat di luar. Marjuki 

tengadah. Menatap jauh dan melihatnya


Sementara itu sang ibu yang kebingungan telah 

berjalan ke luar dan secara naluriah langsung 

memasuki kamar anak gadisnya. Kamar itu juga 

kosong, la kalang kabut seketika, lebih-lebih 

menyadari ketika bangun tadi ia juga tidak 

melihat suaminya. Apa-apaan, semua orang 

mendadak menghilang? Tengah malam pula?

“Astaga!” dari kamarnya, Marjuki keras. 

“Pasti ia ke sana lagi I”

Dalam sekejap, suasana di dalam rumah 

berubah ribut dan kalang kabut. Sementara 

Marjuki yang pucat memberitahu apa yang 

diketahuinya, si perempuan menangis karena 

cemas; Sudrajat dan Pandi beberapa kali 

bertukar pandang, bingung; polisi desa, duduk 

resah gelisah sambil sesekali menggeram 

marah tanpa alamat yang jelas. Meskipun 

ibunya ketakutan ditinggal sendiri, Marjuki 

memaksa ikut pergi ke Bukit Larangan. 

“Kalau kak Mira dan bang Rama terjebak 

di atas sana, aku harus menolong mereka!”

katanya bersemangat.

***


SUARA bergaung yang aneh terasa 

menggelitik kendang telinga Bramandita. Ia

membuka kelopak matanya. Mula-mula 

sedikit, kemudian semakin lebar. Namun apa 

yang dilihatnya, hanya warna hitam pekat 

belaka. Tanpa suatu kehidupan. Suara 

bergaung itu kian menyentak. Campuran 

lengking dan tangis yang dikumandangkan 

serempak, diseling lyric berbau rituil yang,… 

ada bila disimak seksama, merupakan lagu 

pujian terhadap roh-roh gaib yang menguasai 

alam semesta.

Bramandita mengerjapkan mata 

berulang-ulang, la dapat menangkap sinar 

lemah di sekeliling. Namun di atasnya, 

kegelapan tetap menghitam. Lalu tahulah 

Bramandita, kegelapan itu merupakan 

hamparan langit kelam. Tanpa rembulan. 

Tanpa bintang, la mencoba bergerak, lalu sadar 

bahwa ia rebah dalam keadaan terikat erat-

erat; baik kedua lengan yang terlipat di bawah 

punggung, maupun kedua kakinya.

“... ia sudah sadar,” terdengar suara 

berbisik di sebelah kirinya. Bramandita 

menoleh, dan cahaya samar menerangi wajah


perempuan tua berambut ubanan yang entah 

sudah berapa tahun dikenalnya. Di sebelah 

perempuan itu, tampak wajah lurah desa 

Mantili terangguk-angguk lembut.

“Aku tahu. Supi,” katanya. “Aku tahu.”

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Biarkan ia duduk dulu. Aku ingin 

bertindak adil. Biarkan ia ketahui apa yang 

terjadi di sekelilingnya,” sambil berujar 

demikian, Suganda Prabukusumah Prayodhia 

membantu Bramandita duduk. Kembali 

Bramandita mengerjap, dengan rasa perih 

menyakitkan pada lengannya yang tadi terlipat 

di bawah punggung. Pergelangannya linu 

tergigit tali tambang.

Sebagaimana diharapkan sang lurah, 

Bramandita segera tahu di mana ia berada. 

Yang pertama dilihatnya adalah tonggak kayu 

silang yang memancarkan bau kematian 

sampai ke hidungnya. Puluhan obor 

terpancang di tanah, mengitari pinggiran bukit 

dalam bentuk tapal kuda dan berakhir di 

masing-masing sisi batu hitam raksasa yang 

misterius itu. Dalam lingkaran obor, duduk


bersila sekitar 20 sosok tubuh manusia 

berpakaian gelap, laki-laki dan perempuan. 

Kebanyakan sudah berusia lanjut, la dapat 

mengenali beberapa orang di antara mereka. 

Ayah Miranda, seorang pesirah desa, Mat 

Dolim dan tiga temannya yang bersikeras 

mengatakan Bramandita tergelincir jauh dari 

bukit di mana kini mereka semua berada. 

Selebihnya adalah penduduk desa Mantili yang 

ia kenal sekilas, atau sama sekali tidak ia kenal.

Apa yang membuat Bramandita 

tercengang takjub, adalah gerakan tubuh 

mereka. Duduk bersila dengan telapak tangan 

di masing-masing paha tetapi pundak

terguncang-guncang dan kepala digelengkan 

ke kiri ke kanan, sesekali disentak bergantian 

ke depan ke belakang. Wajah-wajah 

berkeringat itulah yang menyenandungkan 

lyric rituil yang kata-katanya sukar ditangkap 

itu. Sedangkan suara lengking campur irama 

tangis yang menusuk telinganya, dikumandang

kan oleh mahluk-mahluk aneh yang 

bersembunyi di balik semak belukar, di atas 

batu-batu, di tengah dedaunan rimbun, di


puncak-puncak pepohonan yang menjulang ke 

langit kelam.

Mendadak dari arah jalan setapak yang 

gelap, bermunculan beberapa sosok tubuh. 

Tinggi kekar, berlengan panjang terjuntai tetapi 

dengan betis-betis yang pendek. Sekujur tubuh 

mahluk-mahluk itu penuh ditumbuhi bulu 

kecuali bagian muka dari wajah mereka. Tubuh 

dan wajah yang seketika mengingatkan 

Bramandita pada penjelmaan gadis terpasung 

di gubuk itu, yang berubah mengerikan. Darah 

Bramandita tersirap manakala mahluk-mahluk 

menakutkan itu menatap ke arahnya. Ah, 

bukan. Melainkan ke arah pak Lurah, yang 

kemudian mengangguk halus.

Mahluk-mahluk itu segera menyingkir. 

Masuk dalam kegelapan hutan di sekitar bukit, 

dengan suara menggeram-geram Kecuali, 

seseorang yang tentunya tadi berjalan di 

belakang mereka. Seorang perempuan dengan 

gaun malam putih yang sangat menyolok di 

tengah suasana serba suram itu.

“... Miranda!” desah Bramandita. 

Terperanjat.

Janda muda itu seakan tak mendengar 

suara Bramandita. la terus saja maju ke depan, 

menyatukan diri dengan kumpulan orang 

lainnya. Duduk bersimpuh menghadap ke batu 

hitam, dengan wajah tanpa gambaran emosi 

apapun juga. la seakan bermimpi kelihatannya, 

tatkala pundaknya naik turun perlahan, leher 

dan kepala ikut digerakkan mengikuti ritme 

suara gaung yang berkumandang, untuk 

kemudian sambil terus menggerakkan pundak, 

leher dan kepala, kelopak mata perempuan itu

terpejam rapat.

“Saat ini, nak...” Suganda bergumam di 

telinga Bramandita. “la bukan Miranda yang 

kau kenal. Tetapi seseorang yang lain. Yang 

bukan saja kau, tetapi dirinya sendiri tidak 

kenal...”

Bramandita meronta mau bangkit. 

Namun tekanan telapak tangan Suganda di 

kedua pundaknya, membuat Bramandita 

terhenyak duduk kembali. Tekanan itu begitu 

kuat dan berat, seolah-olah pundak 

Bramandita membawa beban yang ribuan ton 

beratnya. Pundaknya sakit, sekujur tubuhnya 

lumpuh dan nafasnya tersengal-sengal karena


berusaha mati-matian mengendalikan diri agar 

tidak sampai terjerembab jatuh.

“Mengapa,…” ia mengeluh. Sakit.

“Ceritakan padanya, Supi,”, ujar Suganda 

lembut. Tekanan di pundak Bramandita 

melemah, kemudian lenyap. Telapak tangan itu 

telah ditarik mundur, dengan keyakinan 

Bramandita tidak akan mengulangi kesalahan

yang sama.

Bi Supi menyeringai. 

“Kekasihmu di bawah pengaruh jiwanya 

yang asli.”

“Jiwanya… yang… asli?”

“Benar. Jiwa yang muncul ke permukaan, 

tatkala ia ketahui suaminya tidak lagi mencintai 

dirinya tetapi telah berpaling ke perempuan 

lain. Ketika ia dipukul Tedi karena nekad 

mendatangi perempuan lain itu, jiwa asli 

Miranda semakin muncul ke pemermukaan. Itu 

membuat penampilan pisiknya berubah. 

Memang tidak terlalu nyata. Namun suaminya 

kemudian menyadari ada sesuatu yang ganjil 

dalam diri Miranda. la mulai meninggalkan


isterinya, dan memutuskan untuk menikahi 

perempuan lain itu...”

Supi berhenti sebentar, ketika Miranda 

pelan-pelan melolong lembut, kemudian 

melengking aneh. Mirip lengking binatang buas 

di tengah hutan belantara. Disambut oleh 

bunyi pekik dan lengking yang sama dari dalam 

kegelapan di sekeliling bukit, membuat tanah 

di bawah Bramandita seakan bergetar. Suara-

suara itu perlahan-lahan merendah dan hilang. 

Kembali digantikan senandung ritu'il dari 

kumpulan manusia di dalam lingkaran obor.

“… malam- itu,” suara bi Supi dikeraskan 

untuk mengatasi kumandang rituil yang 

memenuhi puncak Bukit Larangan itu. 

“Kesabaran Miranda mencapai puncak, la pergi 

meninggalkan rumah. Masih dalam bentuknya 

semula wanita cantik, tetapi sedang murka. Tak 

sampai dua jam kemudian, ia telah kembali lagi 

ke rumah. Pakaiannya hampir tak bersisa. 

Tinggal sobekan-sobekan kecil yang kemudian 

kubakar setelah membersihkan bercak-bercak 

darah di sekujur tubuh telanjangnya... Lalu aku 

tahu, suatu saat di antara tempo yang dua jam

itu Miranda telah berubah wujud. Dapat


kubuktikan dari bulu-bulu halus, yang tampak 

samar-samar di kulit tubuhnya; bulu-bulu 

pirang yang semakin sirna manakala ia

kemudian tidur kembali.”

“Jadi, ia... Mira...” Bramandita seakan 

tercekik.

“Itulah yang terjadi, la telah membunuh 

suaminya!”

***


POLISI DESA MANTILI meringis dan 

kemudian jatuh berlutut di jalan setapak yang 

mendaki semakin tajam. “Betisku,…” ia 

merintih. “Betisku kraam lagi!” sambil 

memegangi salah satu betisnya dengan wajah 

menahan sakit.

Sudrajat membungkuk untuk menolong.

“... biarkan aku,” cegah polisi desa itu. 

“Sebentar lagi juga sembuh. Kalian terus saja!”

“Tak apa kami tinggal sendirian?”

“Apa boleh buat,” dalam jilatan lampu 

senter yang sesaat menerangi wajahnya, polisi 

desa itu tersenyum malu. “Saya akan kembali 

ke gubuk kosong yang tadi kita lewati, pak. Di 

sana, tidak ada yang perlu saya takutkan.”

“Sanggup berjalan sendirian ke sana?”

“Sanggup, pak. Dekat kok ini.”

“Kau tak bawa senjata.”

“Ah, tak apa. Kalaupun terjadi sesuatu, 

saya kira dalam gubuk itu mestinya ada apa-

apa yang dapat saya gunakan untuk membela 

diri.” Polisi desa itu menghindari pandangan


mata letnan Pandi yang tampak mencemooh, 

kemudian berkata sedih. “Yang saya kuatirkan, 

jalan ke atas sana...”

“Aku tahu jalannya,” gerutu Marjuki. 

Sambil menyorotkan lampu senter ke jalan 

mendaki di atas mereka.

Sementara polisi desa berjalan setengah 

menyeret kaki ke arah semula mereka datang, 

Kapten Sudrajat mengambil alih lampu senter 

dari tangan Marjuki. “Biar aku di depan,”

katanya, tenang. Marjuki tidak menyembunyi

kan kegembiraannya. Langsung saja ia 

menempel di punggung kapten yang tampak

nya tidak mengenal takut itu. Dengan begitu 

Marjuki merasa aman dan nyaman. Karena di 

belakangnya, masih ada letnan Pandi untuk 

menjaga. Letnan itu tersenyum, memahami 

ketakutan si pemuda. Namun dalam hati, tak 

putus-putusnya mengomeli polisi desa yang 

mundur sebelum perang dimulai. Letnan Pandi 

membathin: “Hem. Bikin malu!”

Di depan, Sudrajat tidak memikirkan si 

polisi desa. la bahkan tidak memperdulikan 

Marjuki yang terus lengket seperti lintah di


punggungnya. Yang ada dalam pikiran Sudrajat, 

hanyalah kenyataan yang semakin tergambar 

nyata. Desa terpencil, beberapa warganya 

menghilang tengah malam, api di. bukit, cerita-

cerita seram yang mengambang di atasnya,, 

semakin menjurus pada apa yang dikatakan 

dokter Sulaeman: Miranda berpribadi ganda.

Tetapi pribadi ganda bagaimana gerangan?

Tentunya bukan pribadi kedua dari 

dokter Hyde yang menyuntikkan serum jahat 

ke tubuhnya sehingga ia berubah menjadi 

Jackyll. Arah yang mereka tempuh saat ini, 

tampaknya lebih menyeramkan dari sekedar 

perubahan akibat suntikan serum belaka. 

Lebih-lebih mengingat bagaimana Tedi Jukandi 

mengalami kematiannya. Masih ada lagi: 

sobekan kain, yang kemudian terbukti adalah 

sobekan gaun tidur seorang perempuan. Lalu 

informasi mengalir masuk ke mejanya di 

kantor. Arsitek itu mulai ingat warna dan merk 

mobil yang diparkir di seberang jalan di depan 

rumahnya. Seorang pejalan kaki bersedia jadi 

saksi bahwa yang keluar dari mobil dan 

kemudian ganti naik taksi, adalah seorang 

perempuan muda bergaun tidur. Sementara


saksi lain dengan pasti menjelaskan, bahwa ia 

mendengar suara ban mobil mendecit-decit 

ribut ketika memasuki halaman rumah 

tetangganya. Saksi yang ini bersumpah, bahwa 

ia sempat mengintip dan melihat sesosok 

tubuh baru saja memasuki pintu rumah 

sebelah. Dan sosok tubuh yang masuk itu, 

tampaknya hampir telanjang...

“Namanya?” sang saksi mengoceh tak 

sabar. “Bukankah tadi sudah saya sebutkan 

berulangkah? Namanya Miranda!”

Sudrajat memaki lembut.

Ia hampir saja terperosok ke tebing 

curam yang diselimuti rimbunan semak belukar 

di pinggir jalan setapak yang tiba-tiba saja 

menikung.

“Bapak melihat sesuatu barusan?” bisik 

Marjuki, seram.

“Yeah.”

“Apa?”

“Bayangan maut,” rungut Sudrajat 

jengkel, karena lengannya terasa sakit akibat 

cekalan Marjuki yang terlalu kencang.


“Oh!”

“Sudi melonggarkan cekalanmu sedikit, 

nak?”

“Maaf.”

“Masih jauhkah puncak- bukit setan 

itu?”

“Se… setan?!”

Sudrajat geleng-geleng kepala, 

sementara letnan Pandi tersenyum kecil. 

Marjuki sampai tersipu.

***


ENAM BELAS


“TAK usah berkecil hati. anak muda!”

Suganda menepuk-nepuk pundak Bramandita. 

“Miranda tidaklah sejahat yang kau bayangkan. 

Maksudku, dalam kondisi jiwa yang normal 

secara pisik dan psikis dia tetap manusiawi, 

sebagaimana engkau sendiri. Tetapi baik dia, 

aku. si Supi ini, serta mereka,…” ia 

menggerakkan dagu ke arah kelompok 

manusia terus bergerak mengikutkan ritme 

yang tetap dalam lingkaran obor. “... atas 

kehendak alam, menyimpan suatu kembaran 

jiwa yang lain. Pribadi kedua ini akan tampil ke 

permukaan, memperlihatkan wujutnya yang 

asli. wujut dari… apa yang kami semua yakin, 

kami warisi dari leluhur kami yang pernah

hidup ribuan tahun silam. Wujut dan pribadi ini 

batu muncul apabila kami tidak dapat 

mengendalikan situasi emosi tertentu. Emosi 

yang membangkitkan perasaan marah, dengki, 

sakit hati. Lebih parah lagi, emosi untuk ingin 

membalas kemarahan, kedengkian, atau sakit 

hati itu. Beberapa dari kami berhasil 

mengendalikannya. Melalui perjuangan berat.


Perjuangan bathin yang memakan tempo tidak 

sedikit. Melelahkan, menyedihkan dan acap

kali, menakutkan. Sayang, generasi kami yang 

lebih muda… Mira misalnya, gagal. Bukan 

karena mereka tak mau atau tak mampu. Ini 

termasuk kesalahan kami sendiri. Generasi 

yang tua-tua. Tidak mau memberitahukan pada 

mereka, apa dan siapa sebenarnya kami ini...”

“Dan apa? Siapa sebenarnya kalian?”

Bramandita bertanya ingin tahu. Tekan emosi, 

itulah yang barusan ia dengar. Bramandita 

menekannya kuat-kuat. Bukan karena ia kuatir 

memiliki jiwa apalagi wujut kembar. 

Bramandita menekan emosi, semata-mata 

karena sekarang ia sudah dapat memecahkan 

misteri kematian sahabatnya, Tedi Jukandi. 

Meski, pemecahan misteri itu demikian 

musykil; hampir tak masuk di akal.

Setelah merenung sejenak, lurah desa 

Mantili menjawab: “Kau telah melihatnya 

sendiri. Di tembok rumahku. Kukira, malah kau 

juga sempat membacanya di buku yang ada di 

tanganmu waktu kau kami ringkus…”


“Generasi keturunan yang hilang?”

Bramandita hampir tak percaya.

“Tegasnya, Manusia Kera!”

“Astaga.”

“Kau telah melihatnya, bukan? Di gubuk 

terpencil itu. Ketika gadis itu berubah wujut. 

Laila, namanya. Masih terhitung cucuku. Cucu 

sepupu, la...”

“Laila!” Bramandita bergidik. Bukan 

karena nama itu. Melainkan karena: “Jadi, 

gadis itu benar-benar ada. Dan nyata!”

“Betul.”

“... itu berarti pula, kekasihnya telah 

diseret ke tempat ini. Diikat ke tiang 

gantungan… ah. Ke tonggak maut itu!”

Bramandita menatap gelisah bercampur marah 

pada tonggak silang di tengah kelompok 

manusia yang seakan mabuk karena minum 

obat bius itu. “Aku melihatnya. Dan karena 

kalian tahu aku telah melihatnya, kalian 

menjadi takut… lantas tempatnya kalian 

gantikan dengan bangkai lutung.”


“Kali ini kau salah, Bramandita,” jawab 

Suganda, tenang. “Yang kau lihat pada hari 

pertama, sesungguhnyalah mayat Dadang, 

putera sulung penyawah keluarga Miranda. 

Adapun yang kau lihat esok harinya, masih 

tetap jenasah Dadang. Namun dalam wujut 

lain. Wujutnya yang asli, warisan dari 

leluhurnya - kaum budak belian.”

“Ah.”

“Itulah yang terjadi,... Rama. Laila 

keturunan orang-orang pilihan. Sedang Dadang 

keturunan para budak. Letak, dari keturunan 

orang-orang pilihan boleh saja menikah dengan 

gadis keturunan budak. Tidak sebaliknya. 

Seorang lelaki keturunan budak, pantang 

memperisteri gadis keturunan para majikan. 

Dan apa yang diperbuat Dadang lebih nista. Dia 

telah menyetubuhi Laila, di luar nikah. Karena 

itu dia harus menerima hukuman.”

“Kalian menumbak lambungnya!” keluh 

Bramandita, menggigil.

“Bukan kami. Kami orang-orang pilihan, 

tak mau mengotori tangan kami dengan 

perbuatan biadab dan hina dina itu.”


“Mencari kambing hitam? Atau… kalian 

juga mengenal apa yang disebut pembunuh 

bayaran?”

Lurah Suganda tersenyum, sabar. 

Katanya: “Tak seorang pun yang dibayar atau 

membayar. Dan kami tidak membutuhkan 

kambing hitam. Mereka, keturunan kaum 

budak yang tahu akan diri serta nasib malang

nya, melakukan sendiri hukuman itu. Kami 

hanya bertugas menyeret Dadang ke tempat 

ini. Mengikatnya. Dan tugas untuk menumbak 

jantungnya, diambil alih oleh… ayahnya 

sendiri!”

“Tuhanku!”

“Tak usah heran, anak muda. Itu 

merupakan suatu kehormatan. Suatu upacara 

pensucian diri. Pembersihan noda. Dan 

tebusan kutuk.”

“Kutuk?”

“Ya. Yang apabila tidak dilaksanakan,

kutuk itu akan jatuh. Orangtua, saudara dan 

semua famili sedarah Dadang akan beralih rupa 

dalam wujut kera. Dari jenis paling hina. Jenis 

yang oleh kalian manusia, selalu dijadikan


tontonan. Di tempat, sirkus, di kebon-kebon 

binatang, di halaman-halaman rumah. Monyet 

monyet kecil, lemah, tak berdaya. Masih 

beruntung, apabila berubah wujut dalam jenis 

yang lebih baik: mawas, atau lutung.”

Meremang bulu punduk Bramandita.

Teringat saat ia memeriksa lambung 

bangkai lutung itu, ia berbisik seram:

“Benarkah hatinya kalian keluarkan?”

“Benar.”

“Untuk persembahan terhadap leluhur?”

“Bukan. Tetapi untuk memuliakan roh 

pemilik hati itu, serta roh seluruh keluarganya. 

Sederhana saja. Gumpalan hati yang masih 

segar berlumur darah itu, harus dipersembah

kan kepada keluarga para majikan yang 

membutuhkannya.”

“... dan Mira membutuhkannya,” desah 

Bramandita, kering.

“Dugaanmu tepat. Memang Mira mem-

butuhkannya. Untuk menetralisir pengaruh


jahat dari kembaran jiwanya. Bagaimana kau 

tahu?”

“Aku punya otak. Miranda tidak akan

sudi menelan mentah-mentah gumpalan hati 

berlumur darah itu. Apalagi kalau ia tahu itu 

berasal dari tubuh seorang laki-laki… yang 

kuperkirakan pernah mencintainya.” 

Bramandita menelan ludah, membasahi 

kerongkongannya yang terasa kering. “Jadi hati 

itu kemudian disemur oleh bi Supi.”

“Anak muda yang pintar. Aku semakin 

menyukaimu. Jadi ketahuilah, betapa 

perasaanku sangat masygul, ketika kudengar 

apa yang terjadi dengan hati… eh, semur hati 

itu!”

Tiba-tiba Bramandita ingin muntah.

Namun yang termuntahkan oleh mulut

nya, hanyalah sepatah ucapan pendek: 

“Naudzubillah !”

Lurah desa Mantili agak tergetar den pucat 

mendengar ucapan Bramandita yang terlontar 

tanpa sadar itu. Wajahnya semakin murung. 

Seperti juga suaranya, yang semakin masygul:


“Adalah kesalahan kami, anakku. Bahwa kau 

sendiri yang menghabiskan semur hati itu. 

Bukan Miranda. Dan itu menimbulkan akibat, 

yang terlalu berat untuk kau, bahkan kami 

tanggungkan. Hati yang salah alamat itu, 

terpaksa harus diganti.”

“Budak yang mana, kali ini?” Bramandita

menggeram, muak.

“Oh. Sayang sekali. Tak ada budak saat 

ini yang harus mengorbankan nyawa. Jadi 

bukan kesalahan kami pula, anakku. Bahwa, 

dengan berat kukatakan… kaulah yang harus 

menggantinya!”

Rasanya seperti bermimpi.

Tetapi semua itu nyata. Bramandita

telah mengerjapkan mata berulangkali. Telah 

pula mencubiti punggung, dengan tangannya 

yang terikat. Simpul tambang itu malah 

menjepit, semakin kuat. Semakin menyakitkan. 

Baik di pergelangan tangan, maupun kakinya.

Dan, ia tidak sedang bermimpi.

“Kakiku kebas!” ia mengeluh, pelan. Dan 

heran, mengapa justru ia mengeluh, padahal

panik memenuhi dada maupun kepalanya. 

Ataukah, ia memang cuma bermimpi belaka? 

Baiklah. Andaikata semua ini tak lebih dari 

mimpi buruk, Bramandita tidak mau kepalang 

tanggung. Muak campur marah, ia mendengus: 

“Apakah aku akan digantung… atau 

diikat pula ke tonggak terkutuk itu?”

“Oh. Tidak. Tonggak itu khusus untuk 

menghukum para budak. Sedang kau… Kau 

bukan saja dari kelompok orang-orang pilihan. 

Kelompok para majikan. Kau, jauh lebih mulia 

dari siapapun juga yang hadir di tempat ini, 

sekarang. Jauh lebih mulia, dari diriku sendiri,”

ujar Suganda polos, jujur, campur kagum atas 

ketenangan Bramandita.

“Jangan harap aku tertawa,” rungut 

Bramandita.

“Hakmu untuk tertawa atau tidak. 

Namun apa yang kuucapkan barusan, adalah 

mutlak benar. Kami adalah keturunan dari 

generasi yang pernah hilang. Kami masih 

memiliki sifat-sifat leluhur kami. Manusia Kera. 

Sedang kau, adalah keturunan generasi setelah

nya. Generasi, yang sempurna manusia...”


Suganda menghela nafas panjang. “Oleh 

karena itu, kami harus tetap menghormati dan 

memuliakan engkau. Kau akan ditempatkan di 

altar pengorbanan yang khusus. Istimewa, dan 

langka kami lakukan sejak nenek moyang kami 

dahulu kala. Selain itu, sebagai tanda hormat 

kami padamu… kau diberi kesempatan untuk 

meloloskan dirimu dari keharusan mengorban

kan nyawa.”

“Melalui pertarungan?” Bramandita 

tersenyum. Mengejek. “Tangan kosong, atau 

bersenjata?''

“Kau membuatku bingung, anak muda.”

“Kau, orang pilihan, dengan para budak 

belianmu yang terkutuk. Semua itu merupakan 

dongeng lama. Kisah purbakala, di jaman 

kekaisaran Nero atau Fir'aun. Kalian buat 

sebuah gelanggang. Di mana aku harus 

menjatuhkan kau, tukang-tukang pukulmu, 

jagoan-jagoan dari orang-orang pilihan. Aku 

sudah menyadari nasibku. Tak mungkin aku 

mengelak. Kecuali melalui pertarungan mati-

matian itu. Harapanku, terus terang kuakui, 

setipis dan selemah benang basah. Tetapi aku


akan mencobanya,” dan dalam hati, 

Bramandita memikirkan kemungkinan untuk 

lolos, tanpa melalui pertarungan mati-matian 

yang dibayangkannya, la tertawa, parau. Lantas 

menentang… bukan karena ia nekad dan 

pemberani. Melainkan, karena ia takut. Dan 

ketakutan itu, membuatnya marah. “Siapa 

lawanku yang pertama? Ataukah, kalian maju 

berbarengan, mengeroyokku?”

“Manusia, dengan segala kepicikannya,”

Suganda Prabukusumah Prayodhia, meng-

gelengkan kepala. Prihatin. “Kau tidak akan 

melawan lebih dari satu orang. Dan lawanmu, 

boleh dikata tidak berarti. Karena dia...”

“Persetan. Dia siapa?”

“Miranda!”

“Miranda!” Bramandita berteriak, 

marah… atau putus asa? Teriakan keras itu 

memecahkan lagu puja-puji bernada rituil di 

puncak bukit. Semua yang berkumpul dalam 

lingkaran obor sama terdiam. Bahkan binatang-

binatang mengerikan dalam kegelapan semak 

belukar serta pepohonan di hutan-hutan 

sekitarnya, ikut terperanjat. Namun anehnya,


meski dikejutkan oleh teriakan lantang 

membahana itu, semua kepala tetap menekuri 

paha. Kecuali, satu orang.

Miranda berpaling ke arah suara 

berteriak Itu. la menatap Bramandita. Dengan 

sinar mata kosong. Kemudian kembali 

berpaling, merunduk menekuri pahanya pula. 

Namun dalam tempo sekejap sebelum ia 

berpaling, Bramandita menangkap bentuk 

wajah Miranda dalam jilatan cahaya obor. 

Masih tetap cantik, masih tetap menawan. 

Namun pipinya tidak sehalus pipi Miranda yang 

ia kenal selama ini. Pipi perempuan itu, 

ditumbuhi bulu-bulu halus. Bulu pirang, di 

bawah dahinya yang tampak berkerut. 

Menyempit...

***


Mendadak, Bramandita ingin memberontak.

Tangan dan kakinya yang terikat ia 

gerakkan, seraya menerjang bangkit. Hasilnya 

gampang ditebak: Bramandita langsung jatuh 

terjerembab, dengan wajah mencium tanah!

Dua sosok tubuh tinggi besar dan hitam 

karena seluruh tubuhnya boleh dikata penuh 

ditumbuhi bulu-bulu kesat dan kasar, seketika 

membangunkan Bramandita dari tanah, la 

dipaksa berdiri, dengan kaki dan tangan tetap 

terikat. Oh. Bukan berdiri lagi. Telapak tangan 

yang lebar tebal dengan lengan-lengan kekar 

berbulu itu mengangkat Bramandita terlalu 

tinggi, sehingga ia tak lagi menjejakkan kaki di 

tanah.

“Jauhkan semua obor!” Suganda berseru 

lantang di sebelahnya.

Seruan itu bagaikan magnit yang kuat. 

Mengangkat semua tubuh yang bersila di 

tanah, kecuali Miranda seorang yang masih 

tetap menekuri tangan dan pahanya. Obor-

obor dicabuti dari tanah, dibawa sejauh 

mungkin. Beberapa di antaranya malah 

dipadamkan. Bi Supi kemudian berlari ke


tengah lapangan terbuka itu, menyentuh 

pundak Miranda dan kemudian menariknya 

menjauh. Berkumpul dengan semua orang 

lainnya yang kelihatan pucat dan gemetar, 

saling merapat satu sama lain di sudut 

lapangan terbuka yang berlawanan dengan 

mulut jalan setapak.

Apakah ada mahluk lain, yang akan 

muncul dari jalan setapak itu?

Mahluk dahsyat, yang lebih mengerikan?

Bramandita menunggu dengan cemas, 

panik dan takut. Kemudian ia merasakan ada 

sesuatu yang bergerak di lereng-lereng gunung 

sebelah kiri Bukit Larangan. Beberapa sosok 

bayangan hitam mendekati batu hitam raksasa, 

berkumpul di salah satu sudutnya, untuk 

kemudian mulai mendorong sekuat tenaga. 

Suara kaki-kaki mereka menjompak keras 

seperti kaki-kaki gajah menghentak bumi tiap 

kali mereka berhasil menggeser sudut batu itu. 

Menimbulkan suara berderak, dan getaran 

aneh di permukaan bumi.

Batu misterius yang hampir setinggi


letak. Di mulai dengan gugurnya semak belukar 

di bagian batu yang bersatu dengan lereng 

gunung. Tanah longsor, batu-batu bergelinding

an jatuh ke lembah, dan debu bertebaran 

sampai ke lapangan terbuka yang telah kosong 

itu. Bunyi geseran yang ganjil terasa dan

terdengar semakin kuat di permukaan tanah. 

Batu hitam itu terus bergerak ke depan, 

mengikuti gerakan mahluk-mahluk besar 

menyeramkan yang mendorong sudut 

terendah dari batu raksasa itu. Mahluk-mahluk 

itu menggeram, melengking, mendengus-

dengus buas selama mengerahkan tenaganya.

Batu sebesar dan setinggi rumah itu 

semakin bergeser ke depan.

Demikian pula wujut mahluk-mahluk 

pendorongnya, tampak semakin nyata dalam 

jilatan obor. Semuanya ada dua belas sosok 

tubuh tinggi masing-masing sosok tubuh itu 

hampir mencapai dua meter. Berlengan 

panjang penuh otot yang bersembulan di balik 

bulu-bulu tebal kasar, berkaki pendek kekar. 

Wajah-wajah mereka juga hampir dipenuhi 

bulu, namun wajah-wajah itu masih

menampakkan ciri-ciri wajah manusia.


Manusia yang dahinya selalu berkerut, apabila 

tengah memikirkan sesuatu yang teramat 

rumit. Hidungnya senormal hidung manusia, 

tidak sepesek hidung kera. Namun dari mulut 

mereka yang menyeringai selagi mengerahkan 

segenap kekuatan yang tersimpan dalam tubuh 

yang kokoh itu, tampak memperlihatkan 

taring-taring panjang, runcing, melambangkan 

kebuasan.

Bramandita diam-diam melirik ke sosok-

sosok tubuh yang mengangkat badannya 

sampai tak berjejak di tanah, la lantas bergidik 

seram ketika menyadari sosok-sosok tubuh ini 

sama dengan sosok-sosok tubuh yang 

mendorong batu. Hanya lebih kecil, lebih 

pendek, dengan dada lebih besar, 

menggelembung. Mahluk-mahluk jenis betina!

Dan jantan-jantan yang perkasa itu, 

terus mendorong sambil mulut serta hidung 

mengeluarkan suara-suara geram, lengking 

dan dengus-dengus yang seirama, seolah 

mereka menyanyikan lagu rambate-rata-hayo. 

Batu hitam misterius itu terus saja bergerak 

pada sudut yang mereka dorong, sementara 

sudut lainnya terus berputar dalam satu poros.


Lebih banyak lagi tanah, pasir, debu 

beterbangan.

Obor-obor yang masih menyala, diturun 

kan semakin rendah...

Namun cahayanya masih cukup jelas 

untuk memperlihatkan bentuk dari batu 

raksasa itu. Ternyata sebuah kubah yang 

selama ini menutupi apa yang tersimpan di 

dalamnya. Bramandita melihat sebentuk 

kerangka yang utuh dengan tengkorak yang 

teramat besar, jauh lebih besar dari sosok 

jantan-jantan perkasa yang dahsyat itu. Tulang 

kerangka yang tetap utuh secara ajaib itu, 

duduk di sebuah batu besar yang lengket, ke 

bagian belakang sebelah dalam kubah. Tulang-

belulang kakinya berjuntai ke bawah, menjejak. 

sebuah altar hitam. Batu tebal pipih berbentuk 

bundar. Sebuah altar persembahan korban!

Rongga kosong di tengkorak yang besar 

itu, seolah menatap lurus ke mata Bramandita. 

Membuat yang ditatap bergidik, seolah 

jantungnya lolos. Sekujur tubuh Bramandita 

lemah, layu, terkulai. Kemudian segala sesuatu 

lantas berlangsung cepat dan serempak


Dua sosok tubuh mahluk betina yang 

memegangi Bramandita, seketika melepaskan 

cengkerarnannya. Kemudian menjatuhkan diri, 

rebah menelungkup mencium tanah dengan 

posisi mengarah ke arah mahluk yang tinggal 

kerangka mengerikan itu. Tanpa mengacuhkan, 

bagaimana Bramandita bagai terhempas ke 

tanah. Lututnya terlipat, menyakitkan. Namun 

secara naluriah Bramandita berusaha menahan 

agar tubuhnya tidak sampai terjerembab, 

rebah mencium tanah seperti dua mahluk di 

sampingnya. Seperti juga, semua kelompok 

manusia tadi melakukan hal yang sama. Rebah 

menelungkup, dengan lengan-lengan terulur 

ke depan, ditautkan telapak tangan dalam 

posisi menyembah kerangka di seberang altar.

Sekonyong-konyong, Bramandita me-

rasakan getaran yang hebat di permukaan 

tanah tempatnya berpijak. Seakan lapisan bumi 

nun jauh di bawah, berguncang keras. 

Guncangan itu semakin terasa, manakala altar 

batu itu bergerak semakin jauh dari tempatnya 

semula, mengikuti tarikan kubah yang pelan-

pelan menutup jalan setapak. Mula-mula 

tampak sesuatu yang hitam di bawah altar,


yang kian lama kian lebar. Ternyata sebuah 

lubang, yang sebelum terbuka seluruhnya, 

telah menimbulkan letupan dahsyat. Sesuatu 

mendesis gegap gempita, menimbulkan. 

goncangan luar biasa di sekitar bukit. Sesuatu 

yang tidak terlihat itu menebarkan bau yang 

tak asing di hidung Bramandita, namun tak 

dapat dijelaskan jaringan otaknya yang saat itu 

kacau balau. Desis itu terus meletup-letup 

selama dua tiga detik, untuk kemudian 

berubah menjadi desis panjang dan tetap. 

Mengarah ke langit kelam, dengan warna 

kebiru-biruan.

“Apakah itu….”

Belum habis ucapan Bramandita, 

Suganda telah menarik tubuhnya agar rebah di 

tanah. “Berbaringlah. Atau kau mati!”

Perut Bramandita memang mulai mual.

Dan nafasnya sesak.

Beberapa detik masih berlangsung. Sepi 

mencengkam. Yang terdengar hanya bunyi 

desis panjang dan tinggi itu saja. Jaringan otak 

Bramandita pelan-pelan mulai bereaksi. Itu 

adalah tiupan angin keras dari dasar bumi,


pikirnya. Dan karena angin itu berwarna biru 

yang samar, tentulah angin keras itu meniup

kan sesuatu yang umum dikenal sebagai...

“Terpujilah, para leluhur!” lurah desa 

Mantili mendadak berseru lantang. Seraya 

bangkit perlahan-lahan.

“Terpujilah, para leluhur! Terpujilah, 

para leluhur! Terpujilah...” sosok-sosok tubuh 

manusia dan mahluk-mahluk yang rebah di 

tanah itu ikut berseru, serempak dalam koor 

bergemuruh kemudian disusul senandung lyric 

rituil pemujaan seperti tadi. Kembali duduk 

bersila di tengah lapangan terbuka, kembali 

dalam bentuk tapal kuda, kali ini menghadap ke 

arah kubah yang terbuka itu. Hanya gerakan-

gerakan mereka saja yang semakin liar. Tangan 

tidak lagi bersetumpu di paha, melainkan 

digerakkan serempak dan teratur tinggi di 

udara, kemudian turun serempak sampai ke 

tanah, disertai koor yang menghentak-hentak. 

Mengingatkan Bramandita pada tari kecak dari 

Bali, dikombinasikan dengan gerakan rituil 

bangsa Niger yang menghempas-hempaskan 

tubuh bagian atas kemuka dan ke belakang 

pada upacara pesta pernikahan.


Dua obor besar ditempatkan di dua 

sudut kubah. Letaknya tetap dibuat sejauh 

mungkin dari lubang yang terus berdesis-desis 

itu. Nyala obor meliuk-liuk liar menyinari 

wajah-wajah manusia dan mahluk-mahluk 

aneh yang saling menyatukan diri di lapangan 

terbuka. Dan juga, menyinari wajah Miranda. 

Wajah yang semakin banyak ditumbuhi bulu. 

Wajah yang kini pelan-pelan memperlihatkan 

senyuman lebar… tepatnya, seringai lebar.

“Lihatlah, betapa bahagianya kekasih

mu,” desah Suganda yang berdiri disebelah 

Bramandita. “la membayangkan, inilah pesta 

pernikahannya. Dan sesungguhnyalah anak 

muda, memang pesta demikian yang tadinya 

kami rencanakan. Pesta pernikahanmu dengan 

Miranda… Sayang, kau bergerak terlalu cepat. 

Keingin-tahuanmu terlalu berlebihan. Obat 

penetralisir jiwa jahat yang seharusnya 

dimakan Miranda, kau makan pula. Rencana 

terpaksa kami rubah, anak muda.”

Masih terus menatap kerangka ajaib di 

dalam kubah, Bramandita bergumam antara 

sadar dan tidak: “Aku tak akan sudi mengadu 

otot dengan Miranda.”


“Memang tidak, anakku,” kata Suganda, 

tenang. “Tugasmu, adalah mengadu kekuatan 

bathin dengan bathim Miranda.”

“Pertarungan apa pula itu?”

“Pertarungan hidup dan mati. Juga, 

mempertaruhkan kehormatan, kemuliaan. 

Terutama dari pihakmu, sebagai generasi 

manusia yang utuh dan sempurna!”

“Dan, disaksikan fosil murahan itu?”

“Fosil, ah ya! Kau mengingatkan aku 

pada sesuatu yang hampir saja kulupakan. Itu 

memang fosil, tetapi nilainya… Nilainya akan 

membuat semua ahli sejarah purbakala di 

seluruh dunia, bersedia saling bunuh untuk 

dapat memilikinya. Hem. Sifat manusia, yang 

masih tetap mewarisi sifat-sifat generasi 

sebelum mereka, bukan? Generasi kami, dan 

generasi sebelum kami. Manusia Kera!”

Bramandita hampir tertawa. “Kau 

maksud, pak tua! Fosil di depan sana, adalah 

fosil Garis Keturunan Yang Hilang dalam teori 

Darwin. Begitukah?”

“Salah satu, anakku. Salah satu dari garis


keturunan itu!”

Kemudian, lurah desa Mantili mencerita

kan sejarah leluhur mereka. Tidak saja kepada 

Bramandita, tetapi kepada semua yang hadir di 

puncak Bukit Larangan itu. Semua diam 

mendengarkan, karena apa yang dikisahkan 

Suganda Prabukusumah Prayodhia, sebenar

nyalah, sebuah dongeng mentakjubkan yang 

tak akan pernah mereka temui dalam buku 

manapun juga di dunia ini.

“Kaumku!” seru lurah Mantili, lantang. 

“Satu dua orang di antara kalian telah 

beruntung mengetahui apa yang akan 

kukisahkan. Tetapi marilah kita bagi 

keberuntungan itu secara adil, kepada mereka-

mereka yang belum memperolehnya selama 

ini...”

Lalu ia menceritakan tentang kejadian 

umat manusia menurut teori Darwin. Begitu 

lengkap dan mendetail, meskipun hanya dalam 

garis besarnya saja,… namun membuat setiap 

pendengar yakin dan percaya penuh apa yang 

keluar dari mulutnya, adalah gambaran hidup 

nenek moyang mereka di jaman dahulu kala.


“Kakekku, salah seorang Panglima 

Kerajaan Prabu Pajajaran yang terpercaya,… 

menemukan peninggalan salah satu dari 

leluhur kita yang hidup ribuan tahun sebelum 

abad Masehi. Kakekku, memiliki kembaran jiwa 

sebagaimana kita pernah atau masih memiliki 

nya, la membuat suatu kesalahan dengan 

kembaran jiwanya. Sehingga ia dengan 

semena-mena dibuang oleh Paduka Sinuhun 

Pajajaran ke sebuah wilayah yang belum 

pernah di jamah manusia.”

Prayodhia Kusumah, kakek Suganda 

Prabukusumah Prayodhia begitu marahnya 

ketika salah seorang sanak keluarga raja 

mencemoohkan wajah sang Panglima, yang 

katanya mirip wajah kera. Orang yang sial itu 

dengan lancang mengatakan penuh penghina

an: “Heran. Paduka Raja mengangkat seekor 

kera sebagai Panglimanya yang terpercaya.”

Prayodhia Kusumah murka seketika.

la menggeram marah, mengamuk selagi 

tubuhnya berubah wujut dan membunuh 

sanak keluarga raja itu, dan beberapa perajurit 

Raja yang menghalangi perbuatannya. Patih


terpaksa turun tangan. Prayodhia ditundukkan, 

dan oleh Sinuhun kemudian dibuang ke tempat 

di mana banyak terdapat “dedemit semacam 

engkau!” Dalam pembuangannya itulah bekas 

panglima kepercayaan Raja yang terbuang itu 

menemukan api abadi yang tak henti-hentinya 

keluar dari perut bumi.

“Api abadi itu dijaga oleh sebongkah 

batu raksasa. Kemungkinan besar, muntahan 

dari letusan gunung. Kakekku, dengan mata 

bathinnya melihat ada sesuatu yang aneh dan 

menakjubkan tersembunyi di dalam 

bongkahan batu besar itu. Dengan kekuatan 

bathinnya pula, sebagian bongkahan batu 

dihancurkan tanpa menciderai isinya...” lurah 

desa Mantili menceritakan dengan bangga, dan 

semangat berapi-api. la kemudian tahu, apa 

yang ia kumpulkan adalah tengkorak dan 

tulang belulang yang telah berusia jutaan 

tahun. Dengan tekun dan khusuk, ia mentaut-

tautkan setiap tulang. Membuatnya tampak 

utuh. Sempurna, dengan merekat setiap 

sambungan tulang maupun tengkorak... Dan 

tiba-tiba ia melihat adanya persamaan 

mahluk… atau kita sekarang menamakannya


fosil, dengan perwujutan dirinya sendiri. Tak 

dapat lagi diragukan, dia telah menemukan 

leluhur kami,… bahkan bukan mustahil, kau 

sendiri !”

Dengan perasaan terharu biru, demikian

lah yang terjadi menurut cerita lurah desa 

Mantili, Prayodhia Kusumah si bekas panglima 

yang telah dibuang Sinuhun Prabu Pajajaran 

membuatkan singgasana dari sisa batu untuk 

ditempati penemuannya yang luhur dan mulia 

itu. Dari bahan yang sama, ia buatkan juga 

sebuah altar persembahan. Diberkati dengan 

tetesan air mata dan darahnya sendiri...

“Roh gaib membisikkan, kau adalah 

leluhurku,” kata bekas panglima itu, terharu 

biru. “Lindungi aku, beri aku kekuatan dan 

ketenangan jiwa. Jadikan aku, dan keturunanku 

kelak, berkembang biak dalam wujut yang lebih 

utuh. Wujut sempurna, sebagai manusia!”

Bekas panglima itu kemudian bermimpi 

dalam tapanya, bahwa ia harus menaklukkan 

api abadi, dan bila itu berhasil ia akan 

menemukan jodoh yang akan melahirkan


keturunan yang akan meneruskan generasi 

mereka, sebagaimana ia inginkan.

“Dengan bantuan dan lindunganmu!”

teriak Prayodhia, seraya menarik seluruh 

singgasana dan altar batu itu, mengerahkan 

segenap ilmu yang dimilikinya. Singgasana dan 

altar batu itu berhasil ia dudukkan di mulut 

lubang darimana api abadi itu menyembur ke 

angkasa. Kemudian ia sendiri duduk di altar itu. 

Duduk dengan segenap bobot tenaga dalam 

dikerahkan untuk menekan getaran 

mendorong dari perut bumi, sampai getaran 

itu berhenti dengan sendirinya.

Prayodhia tak pernah beranjak dari altar, 

selama ratusan hari ratusan malam. Lalu ia 

memperoleh mimpi, akan datang seseorang 

kepadanya, merawatnya, dan apabila ia ingin 

tapanya berakhir sempurna, harus menikahi si 

pendatang itu, bagaimanapun wujut si 

pendatang adanya. Pada hari ke 371, Prayodhia 

membuka kelopak matanya dan melihat 

sesosok tubuh tengah membalur dirinya yang 

terkulai lemah di altar batu; dengan ramu-

ramuan hutan. Bekas panglima itu dengan 

cepat sembuh dan sehat kembali.


Tapanya berakhir.

Dan ia menikahi pendatang yang me-

rawatnya. Meskipun ia sadar, pendatang itu 

berwujut bukan manusia, melainkan sesosok 

mahluk kera yang sama besar dan tinggi 

dengan si pertapa sendiri.

“Mereka melahirkan beberapa orang 

keturunan,” lurah desa Mantili berseru dengan 

semangat tinggi dan meluap-luap bahkan 

takjub. “Kakekku, kakek kalian semua… empat 

bersaudara yang kemudian menyebar ke 

berbagai penjuru kerajaan. Mereka lahir dan 

tumbuh dewasa dalam wujut manusia 

sempurna. Sempurna sebagaimana ayah 

mereka, namun malangnya juga mewarisi sifat-

sifat ibu yang melahirkan mereka. Begitulah 

mengapa kita semua pernah, atau masih 

memiliki jiwa kembar. Memiliki, apa yang oleh 

orang sekarang disebut pribadi ganda.”

Pribadi sebagai manusia sempurna tetap 

mengabdi raja-raja di setiap tempat mereka 

pergi merantau. Tetapi pribadi-pribadi yang 

kemudian dipengaruhi kembaran jiwanya, 

menimbulkan kekacauan, kepanikan,


ketakutan. Mereka, dan keturunan-keturunan 

mereka kemudian terpaksa melarikan diri dan 

kembali ke tempat asal mereka. Keturunan 

yang asli kemudian mendirikan desa yang 

mereka sebut Mantili, mengambil nama ibu 

yang melahirkan mereka. Namun para 

pengikut mereka, kemudian ada yang 

melakukan pemberontakan, pengkhianatan, 

permusuhan. Mereka yang ingkar itu naik ke 

Bukit Larangan dan berusaha menguasai 

kerangka abadi yang duduk di singgasananya, 

mengharapkan roh yang menguasai kerangka 

itu dapat menurunkan ilmu-ilmu gaib yang 

mereka miliki. Namun untuk itu mereka harus 

lebih dulu menjatuhkan bekas panglima raja 

dan isterinya. Manusia Kera bernama Mantili 

itu. Beberapa dari pemberontak itu mati 

binasa.

Sisanya dibiarkan hidup.

Dengan sumpah: tetap mengabdi pada 

turunan orang-orang pilihan. Setia selama 

hayat dikandung badan. Sedia berkorban 

sebagai tanda pengabdian. Sebagai bukti 

pengabdian yang pertama, mereka yang tetap 

dibiarkan hidup harus mengalirkan darah


setiap anak sulung mereka. Yang bersedia 

melakukan upacara pengorbanan itu, akan 

tetap hidup sebagai manusia. Namun yang 

membangkang, akan menerima hukumannya: 

lahir sebagai manusia, lalu kemudian mati 

sebagai kera.

“... menyedihkan,” keluh Suganda, lurah 

desa Mantili, kecewa. “Selagi kaum budak 

belian itu melaksanakan sumpahnya dengan 

setia dan patuh, justru sebaliknya beberapa di 

antara kita melakukan perbuatan-perbuatan 

hina. Pribadi mareka sebagai manusia, 

dilunturkan oleh apa yang merupakan sifat 

abadi manusia pula: mudah jatuh cinta, tanpa 

memperdulikan apa dan siapa yang 

dicintainya.”

Ia kemudian menatap salah satu mahluk

aneh di tengah kumpulan pemuja roh leluhur 

itu: “Dia, Laila. semoga adalah orang terakhir di 

desa ini yang melakukannya.”

Yang disebut Laila, melengking lirih, me 

mukuli dadanya yang berbulu, menangis dalam 

ratapan menyayat hati.


“Lebih menyedihkan lagi.” lanjut lurah 

desa Mantili, tak mengacuhkan ratap tangis 

dalam bunyi geram dan lengking mendengus 

itu. “Pengorbanan kekasihnya ternyata tiba di 

alamat yang salah,” Suganda mengurut dada. 

“Itulah sebabnya, mengapa jasad Dadang tidak 

hidup kembali, meski menyerupai lutung 

namun roh leluhur tetap dapat membangkit

kannya untuk mendampingi Laila. Hati yang 

dipersembahkan keluarganya untuk salah 

seorang dari kita, seperti telah kuberi tahu 

pada kalian semua… lenyap memasuki jasad 

orang lain. Bukan jasad Miranda.

Lurah desa Mantili menatap lurus ke 

wajah Bramandita. Bramandita tergetar. Kecut. 

“Ini pengadilan di neraka. Cuma mimpi 

belaka. Bangunlah, Bramandita. He. kau 

bangun dan bangkitlah. Cuci muka. Makan 

sarapanmu yang dingin dan pergilah mencari 

bahan berita. Sekali kau terlambat, bos akan 

memotong gajimu!”

Namun nyatanya. Bramandita tidak 

terbangun di rumahnya. Jauh di pelosok 

Jakarta yang hiruk pikuk. Ia bangun dan sadar,


di sini. Di puncak Bukit Setan, dikelilingi 

manusia dan mahluk-mahluk aneh, yang lebih 

pantas menghuni neraka jahanam.

Dalam paniknya, Bramandita berteriak 

lantang: “Mau kalian apakah aku, he? Mau 

direbus?!” Kemudian ia tertawa. Histeri. 

Jaringan otak maupun sarapnya yang tegang, 

membuat jalan pikirannya seakan berkembang 

menuju kegilaan. “Siapa yang akan melahap 

dagingku nanti. Kau, lurah bejat terkutuk? Atau 

kau… Miranda?”

Miranda menggeram.

Bukan geraman manusia. Melainkan, 

geraman kera.

“Angkat dia ke altar!” Suganda 

membentak. Wajahnya dingin, tanpa emosi.

Dua sosok tubuh tadi segera mendekati 

Bramandita. Dalam histerinya, Bramandita 

menjerit-jerit tidak karuan, sambil 

menggulingkan tubuhnya kian kemari. Namun 

seberapa jauhlah tubuh terikat itu dapat 

melarikan diri. Dalam sekejap mata saja, tahu-

tahu tubuhnya telah tergeletak di altar batu,


dengan wajah menghadap ke tulang belulang 

jari jemari dan kaki fosil yang menakutkan itu.

Hal itu, membuat roh Bramandita seakan

minggat seketika.

Biarpun kemudian, atas perintah lurah 

Mantili, ikatan tangan dan ikatan kakinya 

dilepaskan; toh jangankan usaha. Niatan untuk 

melarikan diri pun sudah lenyap dari benak 

Bramandita.

“Rama!”

Bramandita tetap menatap tungkai 

kerangka itu. Tungkai yang seolah akan 

menginjak tubuhnya, sampai melesak ke dalam 

altar batu, terus ke perut bumi. Itu adalah lebih 

baik! Daripada…

“Bramandita!”

la berpaling, dan melihat lurah desa 

Mantili berdiri tak jauh dari altar... Wajahnya 

keras. Namun berubah lunak dan penuh belas 

kasihan, melihat keadaan Bramandita yang

memilukan.

“... dengarkan aku, anak muda,” katanya, 

lirih.“Teguhkan jiwa. Kembalikan semangatmu.


Dan kalau kau punya… meski aku yakin kau tak 

punya, tebalkan imanmu. Imanmu sebagai 

manusia. Kau punya Tuhan, bukan? Karena itu, 

berdo'alah menurut caramu...”

Bramandita mencoba bergerak. Uh. 

Persendiannya kaku seluruhnya. Apakah ia 

telah mulai lumpuh?

“... kami tetap menghormatimu, anak-

ku!'' ujar Suganda lagi. Lembut, bersahabat. 

“Mungkin aku ini setan. Tetapi dalam diriku, 

kuanggap aku ini tetap manusia. Seperti diri-

mu. Hanya, sekali lagi, kau lebih mulia dari aku. 

Dari kami semua. Karena itu, kami tidak ingin 

memperhinakan dirimu begitu saja. Kau tidak 

terikat, sekarang ini. Kau bebas melawan 

Miranda… Kuingatkan kau, nak Rama. Pisikmu 

tak berguna. Biar perempuan jangan anggap 

enteng Miranda. Bathinmu, anakku. Bathinmu 

yang harus kau kerah…”

Lurah menggapaikan tangan ke belakang.

Pelan-pelan, Miranda bangkit dari duduk

nya. Berjalan mendekati altar, dengan mata 

nyalang dan jalang mengawasi Bramandita 

yang duduk terhenyak di atas altar. Mulut


Miranda melontarkan seringai. Taring-

taringnya telah muncul. Dari lubang-lubang 

hidungnya yang tetap mancung, mengembang-

kempis terlontar suara dengus-dengus buas, 

sambil pelan-pelan menggeram. Kejam.

“... kau dengar aku, Bramandita?” kata 

Suganda, keras dan kuatir. “Gagal diobati 

dengan semur hati itu, wujut Miranda dari 

bentuk kembaran pribadinya yang kedua, tak 

dapat kami elakkan lagi. Jangan melawan 

jelmaan pribadinya yang kedua itu, Rama. 

Lawanlah kembaran jiwanya yang lain. Pribadi

nya yang tetap baik, lemah tak berdaya sebagai 

manusia, sebagai wanita.”

Bramandita tak mendengarnya.

Panik, takut, tak bertenaga walau untuk 

bernafas saja ia terus saja menatap wujut 

Miranda yang terus berubah semakin nyata. 

Robekan gaun tidur. Pertumbuhan bulu-bulu 

pirang yang semakin panjang, semakin banyak. 

Dah yang kian menyempit. Mata yang semakin 

memerah saga...


Taring-taringnya mencuat keluar dari 

sudut-sudut mulut yang melebar dalam 

seringai menakutkan.

Gaun tidurnya tertanggal sudah.

Dalam kepingan-kepingan yang tercabik-

cabik, bertaburan ditiup angin. Sebagian 

terbang ke arah lubang menganga dekat altar. 

Bersatu dengan warna biru yang samar. 

Melambung tinggi ke angkasa, disertai bunyi 

yang terus mendesus-desus dari perut bumi.

Suganda Prabukusumah Prayodhia 

pelan-pelan menjauhi altar. Matanya menatap 

Miranda dengan cemas, kemudian ganti 

menatap Bramandita. Lebih cemas lagi. Sambil 

mundur, ia terus membentak-bentak dan 

suaranya mulai terdengar marah. 

“Manusia tolol. Kau telah kami beri 

pilihan. Perlihatkan siapa kau sebenarnya, 

Bramandita. Sekali Miranda mengambil hatimu

kau mati. Tetapi bila ia gagal, kau tetap hidup. 

Kau dengarkah? Kau tetap hidup… meski untuk 

itu, Miranda tidak akan kembali pada wujutnya 

semula sebagai manusiai Kau dengarkah? 

Rama! Rama! Rama!”


Bramandita mendengarnya.

Bukan ucapan-ucapan lurah desa Mantili 

yang memperingatkan dirinya panjang lebar 

dan putus asa. Melainkan, nama panggilan itu: 

Rama! Rama! Rama! Adakah sesuatu yang lain, 

yang menyerupai, mirip, atau mendekati nama 

itu? Rama! Rama! Rama!

la bergerak mundur di altar, menyentuh 

tungkai belulang di singgasana batu. Terdengar 

suara berderak. Tungkai itu lepas. Jatuh ke 

altar. Hancur. Jadi debu, berserakan.

Miranda telah melompat ke atas altar.

“Jangan,…” Bramandita menjerit 

tertahan. Kerongkongannya sudah tercekik, 

meski lengan-lengan berbulu yang terulur di 

depannya, masih terlalu jauh untuk 

menyentuh.

Miranda menggeram.

Lidahnya sampai terjuiur ke luar. Merah, 

basah berlendir. Haus darah.

Bramandita terkulai ngeri. Tangannya 

menggapai mencari pegangan. Teraba sesuatu. 

Lengan kerangka. Dibetotnya. Lengan kerangka


itu pun hancur jadi debu. Panik dan putus asa, 

Bramandita melolong: “Ini aku… Rama, mu. 

Miranda, ini aku !”

Tak ada reaksi apa-apa.

Dan ketika pundaknya disentuh oleh jari-

jemari tebal berbulu dan berkuku runcing, 

merasakan sakit karena jepitannya, dan nyeri 

yang diakibatkan luka-luka pada kulitnya yang 

dihunjami kuku-kuku runcing panjang itu, 

kegilaan Bramandita meledak dalam perlawan-

an yang membabi buta. la menendang. 

Memukul. Mencakar. Sambil terus berteriak-

teriak: 

“Jangan! Ini aku… Rama. Aku, Rama. Kau 

dengarkan aku? Shinta, ini aku aku Rama. 

Shintaaaaaa!”

Sebuah jerit pekik tak sadar. Tetapi 

terdorong oleh ingatan secara naluriah. 

“Mengapa tidak kau panggil aku Shinta, 

Rama. Sekali saja!” dan ucapan itu dilontarkan 

Miranda lama tahun berselang, ketika gadis itu 

datang ke kamar kost-nya, dan cinta mereka 

sempat membuat Bramandita dan Miranda 

hampir lupa daratan


Ya. Hanya pekik tak sadar.

Tetapi cengkeraman tangan berbulu di 

pundaknya, seketika ditarik mundur. Demikian 

juga ujung jari jemari runcing yang tadinya 

sudah siap menusuk dalam, ke lambungnya. 

Dan mulut lebar bertaring mengerikan yang 

sudah sedemikian dekat ke lehernya, pelan-

pelan pula menjauh.

Kelopak mata tebal berkerut di depan 

Bramandita, mengerjap-ngerjap.

Terdengar bunyi rengeh yang aneh dari 

mulutnya yang kejam.

Rengeh yang lembut.

Kali Ini, dengan kesadaran bathin yang 

penuh. Bramandita bangkit tegak, la 

memegangi tangan-tangan berbulu yang 

menjauh itu, dan berkata getir: “Shinta. 

Sayangku. Mereka apakan kau, Shintaku?”

Rengeh tengeh itu semakin lembut.

Dan sudut-sudut mata yang mengerikan 

itu. berubah lunak, kemudian bersinar lembut, 

sampai akhirnya berlinangkan butir-butir, air 

bening.


kau akan kembali dalam wujutmu 

semula, Shinta. Kita akan pulang. Menikah. 

Dan…”

***

DAN, kapten Sudrajat yang semula putus 

asa menemui jalan buntu di ujung setapak; 

tetapi kemudian kembali bergelora semangat

nya setelah mendengar jerit pekik histeri 

Bramandita… merayapi batu itu sampai ke 

atasnya, dan melihat ke bawah.

Melihat Bramandita berhadapan dengan 

sesosok tubuh mahluk yang membuat Sudrajat 

hampir melorot jatuh karena kaget dan ngeri. 

Pemunculannya yang tiba-tiba dilihat pula oleh 

beberapa orang manusia jauh di bawahnya. 

Dari mereka tidak tampak akan ada kesulitan. 

Tetapi dari beberapa mahluk yang sama 

dengan sosok tubuh di depan Bramandita, 

mulai menggeram. Marah.

Sudrajat mengacungkan senjatanya.


Dan secara naluriah, korban pertama 

dari peluru senjatanya yang tahu-sehu sudah 

meledak, adalah sasaran yang paling dekat dan 

paling pasti untuk menyelamatkan jiwa 

sahabatnya.

Satu kali tembakan cuma.

Miranda tersentak ke belakang. Dengan 

dada berlubang. Mengeluarkan darah, la

menggeram lemah. Tetapi tembakan berikut

nya, tepat mengenai jidat di antara dua 

matanya. Miranda tersungkur jatuh.

“Shintaaaa!” Bramandita menjerit dan 

bersimpuh memeluki sosok tubuh yang terkulai 

sekarat itu.

Tembakan tembakan berikut kemudian 

merubah suasana jadi hiruk pikuk. Sudrajat 

yang terpesona memandang apa yang 

diperbuat Bramandita, telah menjatuhkan 

senjatanya tanpa sengaja. Tetapi letnan Pandi 

yang menyusul naik, ganti melepaskan 

tembakan beruntun dan membabi buta.

Timbul panik seketika.


Kelompok manusia di lapangan terbuka, lari 

kian kemari, menghindari peluru. Dan mahluk-

mahluk buas lainnya, tumbang ke tanah satu 

persatu. Yang selamat dari sasaran peluru 

berusaha memanjat dinding kubah. Sudrajat 

menyadari keadaan gawat itu dalam sekejap 

mata. Senjatanya dipungut, dan secepat ada 

dalam genggamannya, peluru demi peluru 

kembali menyembur-nyembur.

Beberapa dari peluru itu menyambar 

warna kebiruan yang samar yang keluar dari 

lubang dekat altar. Terdengar bunyi letup-letup 

keras, dan cahaya-cahaya berkilauan 

menyambar kian kemari, untuk kemudian 

hilang dan kembali tinggal tiupan angin 

mendesis ke angkasa yang kelam pekat.

Bramandita menangis.

“... ia telah mati, Rama!” teriak kapten 

Sudrajat yang terjun ke bawah kemudian 

menarik sahabatnya itu menjauh. Kelompok-

kelompok yang tadinya berwujut manusia 

berpakaian serba gelap, dengan bentakan 

keras dari lurah desa mereka, kini bersatu padu


mengepung. Tak ada emosi yang bisa 

dikendalikan, saat seperti itu.

Dan manusia-manusia itu berubah rupa 

pribadi ganda mereka.

Bramandita yang masih terharu biru, 

terkejut menyadari siapa orang yang tengah 

menyeretnya menjauhi tempat itu,… tertegun 

oleh suara geram, dengus dan lengking 

membahana dari hutan-hutan gelap di 

sekeliling mereka. Satu tembakan peringatan 

dari letnan Pandi, jatuh di depan kelompok 

manusia yang tengah berproses wujutnya itu.

Sudrajat ikut pula menembak.

Tetapi karena ia terlalu kaget oleh 

pemandangan mentakjubkan dari proses para 

Manusia Kera itu, tembakannya melantur. 

Melayang tinggi, menembus warna biru samar 

yang tetap mendesis itu. Terdengar lagi bunyi 

letupan lemah. Percikan api yang ditimbul

kannya selama sepersekian sekon, tertangkap 

oleh sudut mata Bramandita.

“Api abadi,” gumamnya


Teringat bau asing tetapi serasa ia kenal 

itu, tanpa berpikir panjang lagi Bramandita 

menyambar sebuah obor terdekat.

“Lari!” teriak Bramandita.

la kemudian lari dengan obor di 

tangannya, mengitari kubah, mendaki lereng 

gunung. Sudrajat dan Pandi mengikutinya, 

disusul oleh Marjuki yang semenjak tadi 

sembunyi terkencing-kencing di balik kubah. 

Dari tempat ketinggian itu, Bramandita 

kemudian melontarkan obor besar di 

tangannya. Dengan lemparan sekuat tenaga, 

obor itu melayang-layang kemudian 

menembus desis berwarna biru itu. Obor itu 

tidak tembus ke arah berlawanan. Melainkan, 

lenyap dalam ledakan dahsyat dan kobaran api 

yang membumbung ke angkasa.

Di bawah kobaran api itu, tampak jilatan 

api menyerupai batang pohon raksasa, turun 

dalam tempo sesekon ke bawah, terus ke 

dalam lubang dekat altar. Ledakan bergemuruh 

melemparkan semua sosok tubuh di sekitar 

altar, memporak-porandakan belukar dan


pepohonan di sekitar bukit. Meruntuhkan

lereng gunung, lembah...

Ledakan-ledakan bergemuruh terus bergema.

Kobaran api kian melebar. Lidah-lidah 

merah kebiruan menjilat-jilat kian kemari. 

Menerangi seluruh bukit, menerangi hutan-

hutan di sekitarnya… hutan yang kemudian 

mulai terbakar dengan hebat.

Ribuan sosok tubuh mahluk menjerit-

jerit gegap gempita karena terperangkap api. 

Sementara empat sosok tubuh yang jauh 

sebelumnya telah lari terbirit-birit menuruni 

lereng gunung, beberapa kali jatuh tunggang 

langgang. Yang terjatuh, diangkat oleh yang 

lain. Yang terluka dibopong, dan yang berkaki 

kuat terus lari menerobos semak belukar ke 

arah berlawanan dari jalan setapak yang 

terdekat menuju desa Mantili.

Marjuki jatuh pingsan dalam bopongan 

Letnan Pandi. Sedang Sudrajat tersuruk-suruk 

menyeret Bramandita yang menderita luka di 

sana-sini. Hari sudah terang-terang subuh 

ketika secara ajaib mereka telah memutari 

lubuk dan tiba di mulut jalan menuju desa


Di situ telah menanti seseorang

Polisi desa.

la tidak menyongsong mereka, la tidak 

pula mengacungkan senjatanya, la tetap saja 

tegak di tempatnya berdiri. Dengan wajah 

menyeringai buas, pakaian tersobek-sobek 

oleh perkembangan tubuhnya yang semakin 

besar dan tinggi.

“Kaa… lian… tak aaaa-kan per… giii 

kemana-manaaahhh… !” polisi desa itu berkata 

terputus-putus dengan nafas mendengus-

dengus. Bulu-bulu di sekujur tubuhnya tumbuh 

secepat tubuhnya itu membesar. Dari 

mulutnya kemudian terdengar bunyi 

menggeram buas.

Lengannya tahu-tahu menyambar ke depan.

Letnan Pandi adalah orang yang terdekat 

dan tidak keburu menghindar karena tidak 

menyangka bahwa polisi desa itu adalah salah 

satu dari kelompok mahluk-mahluk mengeri

kan yang sebelumnya mereka hadapi. Reflek, 

letnan Pandi menjatuhkan Marjuki dari 

pundaknya. Dengan teriakan marah, ia


kokoh telah merangkul pinggangnya, memutar

nya sedemikian rupa sampai terdengar bunyi 

berderak tulang-belulang yang patah. Letnan 

Pandi jatuh dengan mulut, mata, hidung dan 

telinga mengeluarkan cairan darah. Sekarat 

sebentar, kemudian diam. Tak bergerak lagi.

“Geeerrrrr - aaaakkkhhhhh!”

Mahluk itu menepuk-nepuk dada tanda 

kemenangan. Tepukannya kemudian 

melemah, sementara dadanya itu berlubang. 

Merah. Hanya sebutir peluru yang tersisa 

dalam pestol kapten Sudrajat. Tetapi yang 

sebutir itu, ternyata cukup.

Mahluk itu terhempas jatuh. Menimpa 

mayat letnan Pandi dengan bunyi berdebum 

yang dahsyat.

Kemudian, orang-orang dari desa mulai 

berdatangan.

Itu pun, setelah matahari terbit. Tidak 

sebelumnya. Mereka telah menyaksikan 

kobaran api di sekitar Bukit Larangan. Tentunya 

roh-roh jahat yang menghuninya tengah 

berpesta pora lebih meriah dari biasa. Dengan 

korban, yang tentunya pula, lebih banyak


Belakangan, Bramandita sempat berpikir

: apakah penduduk desa Mantili tahu dan 

sadar, siapa korban-korban yang telah jatuh 

itu? Dan, apakah mereka tahu dan sadar pula, 

siapa atau apa mereka sendiri, sebenarnya?

Apapun jawabannya, yang pasti adalah: 

Bramandita paling enggan diajak piknik ke 

Kebun Binatang...

***


PENUTUP


“MASA kau telah lupa?”

Yang bertanya heran itu, Retno. la 

tengah melipat telekungnya, selesai menunai

kan sholat subuh.

Bramandita bergumam malu: “Manusia 

itu bersifat lupa.”

“Masih membela diri ya?”

“Jangan mengajak bertengkar, Retno.”

“Maaf, sayang.”

“Jadi, siapa yang menyerahkan 

pengurbanan sebagai tanda pengabdiannya 

kepada Tuhan itu?”

“Ibrahim.”

“Yang dikorbankan?”

“Anaknya. Ismail.”

“Lalu darah pun mengalir...”

“Benar. Tetapi bukan darah Nabi Ismail 

Melainkan, darah kibas. Yang diturunkan


Tuhan sebagai pengganti Ismail. Anak beranak 

itu telah membuktikan kepatuhannya atas 

perintah Tuhan,” Retno mengawasi suaminya 

yang tampak murung. “Mengapa kau tanyakan 

semua itu?”

“Karena aku, rasanya pernah bermimpi.”

“Mimpi apa?”

“Seorang ayah, mengurbankan anak 

sulungnya. Darah dan hati anaknya itu 

dipersembahkan. Bukan kepada Tuhan. Melain

kan, kepada… kalau tak salah, mereka sebut 

dirinya, Orang-orang Pilihan.”

Retno tertawa.

“Aku tahu,” katanya. “Kau tengah 

merancang sebuah novel.”

“Barangkali. Itu sebuah ide menarik juga.”

“Dan, siapa Orang Pilihan itu?”

“... hem. Apakah Shinta, sebuah nama 

yang bagus?”

“Eh. Nanti dulu. Rasanya, aku pernah 

mendengar nama-itu kau sebut-sebut...”


“Kapan?”

“Ketika kau mengigau.”

“Oh ya?”

“Pacar, ya?!” Retno cemberut. 

“Nah. Mulai lagi,” Bramandita balas 

cemberut. Kemudian tertawa bergelak. Ratno, 

anak mereka, sampai terbangun kaget.

Keliling lagi Bramandita, pagi dan siang 

itu. Sorenya pulang kembali ke rumah. “Aku 

sudah mengerjakan apa yang perlu. Jadi aku tak 

ingin keluar malam, kali ini.”

“Kenapa tidak seterusnya?” bujuk Retno.

“Itulah yang sedang kupikirkan,” jawab 

Bramandita, tersenyum.

Namun senyumnya kemudian lenyap, 

tatkala anak mereka datang berlari-lari dari 

pintu depan.

“Papa. Papa!” seru Ratno, dengan wajah 

merah berkeringat.

“Ada apa, Nak?”

“Hebat, papa !”


“Hebat apanya?”

“Bapaknya si Onong.”

“Apa sih hebatnya dia?”

“Temanku si Onong, dibelikan ayahnya 

seekor kera. Kera kecil dan lucu, papa. 

Wajahnya mirip wajah pengawas sekolah...”

“Husy!” ibu si anak, mendesis tajam.

Ratno tak perduli. Seraya mengguncang-

guncang tangan ayahnya, Ratno berkata penuh 

harap: “Mau dong papa, ya ...?”

“Mau apa?”

“Belikan Ratno seekor kera !”

Blingsatan Bramandita mendengar 

permintaan anaknya. Dan lebih blingsatan lagi 

dia, ketika esok siangnya di kantor, la 

menerima telepon dari Kapten Sudrajat.

Kapten Polisj itu berkata tenang, “Kasus 

itu telah ditutup.”

“Kasus mana?”

“Miranda !


Bramandita menatap mesin tiknya. 

Dengan mata layu.

Berita apa, yang harus ia buat untuk 

terbitan esok pagi?


                          TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar