SATU
BRAMANDITA menyelesaikan ketikan
nya lalu mengoreksi sambil lalu. la tahu kalau
itu adalah artikel terburuk yang dibuatnya satu
minggu terakhir ini, tetapi tidak berbuat
sesuatu untuk penerbitan esok pagi adalah
lebih buruk lagi. Ia akan ditegur Pemimpin
Redaksi dan bonus bulanannya besar
kemungkinan dipotong. Dan, kalau terus-
terusan begini ada harapan Bramandita
dilarang getting kemudian diserahi tugas
mengedit berita-berita yang masuk dan
merelai press-release. Retno mungkin
bersukacita mendengarnya. Mereka dapat
berbaikan kembali. Sialnya, semua rekan
sekantor sudah tahu kalau Bramandita paling
ogah ditempatkan sebagai redaktur. Sebabnya
cuma satu; ia paling benci duduk seharian di
belakang meja !
Tak banyak koreksian. Hanya satu dua
huruf salah tik dan sebuah kalimat yang perlu
direvisi. Bramandita beranjak dari mejanya.
Enggan ia berjalan menuju meja Kepala
Pelaksana Redaksi Malam dan menyerahkan
hasil pekerjaannya dengan wajah tak bersalah.
Rujito yang usianya sepuluh tahun lebih tua
dari Bramandita menerima naskah yang
disodorkan anak buahnya itu, membaca sekilas
lintas. Lalu apa yang ditunggu-tunggu
Bramandita segera ia peroleh. Lipatan kulit
dahi Rujito bertambah satu garis, kemudian
dengan alis naik matanya menatap lurus ke
mata anak buahnya yang lagi apes itu.
“Cuma ini hasilmu selama 24 jam, eh?!”
Rujito mulai mengomel.
Bramandita tertawa kaku. Dengan ibu
jari dibengkokkan ke arah mesin tik di atas
mejanya sendiri, ia menyeringai sambil
berkata: “Tak lebih dari sepuluh menit…”
Rujito mengikuti arah ibu jari
Bramandita. Memperhatikan kertas-kertas
berserakan di atas meja, serta keranjang
sampah yang sudah penuh sesak. Omelannya
yang kedua muncul seketika: “… artikel dua
setengah halaman… yang tak ada apa-apanya
pula. Untuk itukah kau habiskan kertas
sebanyak satu rim?”
“Alaaa... Cuma beberapa lembar kok.
Perusahaan toh tidak akan rugi apabila...”
“Aku tidak membicarakan apakah
kertas-kertas itu kau buang atau kau kunyah-
kunyah.” tukas Rujito sengit. “Aku membicara
kan hasil kerjamu...” naskah Bramandita
dihempaskannya ke meja. “Artikel beginian
bisa membuat surat-kabar kita bangkrut dalam
tempo satu menit !”
“Secepat itu?” Bramandita pura-pura
membelalak.
“Ngajak bercanda, ya?l” Rujito
bergumam, tajam.
Dan Bramandita yang seharian sudah
menekan perasaan karena Retno minggat lagi
ke rumah orangtuanya dengan membawa si
kecil Ratno, kini meledak, la tidak sudi lagi
beramah tamah. la kini marah: “Lalu apa yang
harus kuperbuat, bang Totok? Pergi menemui
seorang pelacur? Memperkosanya, membeset
isi perutnya, menjerumuskannya ke lubang
kakus; dan bergegas kemari untuk membuat
beritanya? Atau kau lebih suka aku mendatangi
seorang Menteri yang korup, lalu karena kita
tidak bolah memberitakan tingkah lakunya,
maka lebih baik kukencingi saja mukanya?!”
Rujito tersedak. Lalu, tiba-tiba mulutnya
mengulas senyum. Seperti orang sakit gigi, ia
mendesah: “Eh. Kok jadi serius !” Bramandita
terdiam. Mulai menyadari situasi, tetapi
sebaliknya tidak sudi minta maaf. Karena itu ia
biarkan Rujito yang mendinginkan voltase yang
sudah terlanjur tinggi, sementara ia sendiri
menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk
mengisi rongga dada yang kering.
“Ucapan-ucapanmu tadi membuatku
seram,” berkata Rujito, sambil melirik ke rekan-
rekan lain yang saat itu sama tertegun
menghentikan pekerjaan masing-masing
karena tidak menduga mendadak terjadi
perang besar tanpa pemberitahuan lebih dulu.
Rujito melotot ke masing-masing mereka
supaya meneruskan pekerjaan, lantas berkata
lesu pada Bramandita: “Maafkan aku, Rama.
Aku sendiri lagi sue. Tadi siang aku dipanggil
pimpinan dan diberitahu oplah surat kabar kita
belakangan ini jatuh merosot...” ia tersenyum,
getir dan duduknya berubah gelisah. “Mereka
sepertinya tak maklum, bahwa banyak bahan
yang dapat kita muat. Namun lebih banyak lagi
off-de-record, himbauan tertulis atau per
telepon. Mereka memaksaku agar mengikuti
arus koran-koran mingguan yang sedang
menjamur itu. Buat lebih banyak berita sensasi.
Skandal seks, cerita-cerita tentang hantu
gentayangan, perdukunan dan semacamnya.
Pendeknya, sensasilah. Dan kau kan tahu,
membuat yang begituan aku bisa kencing di
tempat tidur...!”
Dingin kepala Bramandita seketika. Sifat
suka berselorohnya kembali muncul. Katanya:
“Tak apa, kalau tempat kencingnya enak.
Isterimu cantik...”
“Jorok !” memaki Rujito, sambil tertawa
lebar. “Isterimu sendiri bagaimana? Melihat
hasil kerjamu satu minggu ini, aku lantas
curiga.”
“Ah! Persetan. Dia boleh enyah ke
neraka!” umpat Bramandita, tanpa mem
beritahu persoalan sebenarnya, la berjalan
kembali ke mejanya. Membuang semua berkas
yang tak terpakai ke keranjang sampah,
memasukkan nota dan perlengkapan potret ke
dalam tas dan bersiap-siap untuk pergi.
“Mau ke mana, Rama?” Rujito bertanya.
Ingin tahu.
“Getting. Siapa tahu aku ketemu hantu
yang bersedia kita muat potretnya untuk
penerbitan besok,” Bramandita nyengir kuda
lalu berjalan ke pintu ke luar, pas ketika telepon
berdering nyaring. Rujito mengangkat telepon,
bicara sepatah dua lantas berseru pada
Bramandita: “Hei. Untukmu !”
Bramandita membalikkan tubuh.
Bertanya malas: “Dari siapa?”
Corong telepon ditutup Rujito dengan
telapak tangan, lantas bergumam acuh tak
acuh: “Maumu dari siapa, kecoa?”
Kecoa! Hem, pas untuk Retno. Lari
terbirit-birit, lalu mendadak terhenti karena
menyesal. Mengendus-endus sejenak,
kemudian kembali pada suaminya dengan
alasan Ratno sakit, Ratno bertanya terus
tentang ayahnya, Ratno tak betah di rumah
neneknya. Atau segala, macamlah. Retno tahu
Bramandita sangat menyayangi Ratno.
Membawa Ratno minggat, dapat merupakan
pembalasan dendam. Sebaliknya, membawa
Ratno pulang kembali, dapat dijadikan alasan
oleh Retno untuk tidak meminta maaf pada
Bramandita.
Anak itu dia jadikan alat saja, pikir
Bramandita geram sambil menerima gagang
telepon dari Rujito. la sudah bersiap-siap untuk
menyumpah serapah isterinya, kalau tak
keburu sadar bahwa bukan Retno yang
menelepon, melainkan seorang laki-laki yang
suaranya sudah tak asing di telinga
Bramandita: “Rama? Selamat malam, bung.
Mau menemaniku sebentar? Ada makanan
enak di
“Terimakasih. pak. Aku sedang...”
“Kalau begitu, kuajak orang lain saja !”
“Astaga!” Bramandita tersadar. “Tunggu
dulu. Ke mana aku harus datang? Ke kantor
bapak?”
“Temui seja aku di...” terdengar suara
keretek-keretek seperti seseorang di seberang
sana sedang melembari buku notes. Kemudian
terdengar suara orang itu menyebut sebuah
alamat di daerah Kebayoran Lama disertai
sedikit petunjuk agar Bramandita tidak sukar
mencarinya. “Aku akan ke sana lima menit lagi.
Punya waktu?”
“Untuk bapak, selalu ada.”
“Syukurlah. Jadi kita ketemu di sana saja ya?”
“Oke.”
Bramandita meletakkan gagang telepon, lalu
bertanya enthusias pada Rujito: “Masih ada
tempat untuk satu berita lagi?”
“Kalau kau dapet datang ka sini sebelum
jam dua, masih... Hem. Berita besar, kuharap.”
“Atau hantu ya? Supaya mereka di atas
sana dengan senang hati menaikkan gaji kita?”
Bramandita tertawa lantas bergegas
meninggalkan kantor Redaksi Malam yang
berlokasi di salah satu sudut percetakan milik
Negara itu, menuju sepeda motor yang la
simpen di pinggir jalan besar, la lebih suka
menyimpan kendaraannya di situ karena
pelataran parkir percetakan sempit lagi kotor;
untuk keluar masuk harus rela membuang
tenaga menggeser kendaraan lain yang sudah
penuh sesak, entah berapa belas kali
Bramandita menjatuhkan kendaraan orang lain
karenanya, sebelum ini. Sebenarnya banyak
percetakan di Jakarta yang lebih luas tempat
parkirnya. Lebih bagus ruangan-ruangan
kantornya. Lebih bagus hasil cetakannya.
Tetapi percetakan Negara, berarti biaya murah.
Selain itu dapat menunggak pembayaran
sekian lama, dengan sedikit “omong-omong”
dengan Direktur Administrasi yang biarpun
berpangkat Direktur toh tetap digaji sebagai
Pegawai Negeri. Namun sebaliknya, berarti
pula harus ikhlas menjalani kebudayaan
telepon serta off-de-record yang memuakkan
itu.
Makan hati, memang. Buat mereka yang
di atas, maupun buat wartawan keliling macam
Bramandita. Semoga saja ada berita bagus
malam ini yang tidak terkena tilang sebelum
dicetak, pikir Bramandita sambil memacu
kendaraannya membelah udara malam yang
dingin berembun. Baru beberapa ratus meter,
sepeda motornya sudah batuk-batuk keras lalu
mandek begitu saja. Bramandita menstarter
sambil ngomel tak berkeputusan, menendang
dan memukul sampai ia tahu bahwa
persediaan bensin kendaraannya sudah licin
tandas. Udara dingin menggigit, namun toh ia
banjir peluh setelah lima menit berikutnya tiba
dengan mendorong sepeda motor sialan itu ke
sebuah kios bensih dua tak, yang pemiliknya
sedang sibuk merumus kode buntut dari
selembar stensilan.
Tahu isi kantongnya sendiri, begitu si
keranjingan judi buntut mendekat dengan
perlengkapannya, Bramandita buru-buru
memberitahu: “Satu liter saja bang...” la
terpaksa menulikan telinga, agar tidak
mendengar suara bersungut-sungut pemilik
kios yang merasa terganggu keasyikannya itu.
***
LAKI-LAKI yang tergeletak di mulut gang,
mengenakan pakaian seragam lengkap
bersepatu. Di depan saku kemeja seragamnya
terkancing kartu pengenal. Menunjukkan
bahwa laki-laki itu berasal dari Sumatera Utara
menilik marga di belakang namanya, berusia
sekitar 35 tahun, pekerjaan supir taksi resmi
milik sebuah perusahaan terkemuka di Jakarta.
Tak ada tanda-tanda penganiayaan.
Pakaiannya tidak diganggu, demikian pula isi
saku dan arloji yang melingkari lengan.
Sepintas lalu posisinya tampak seperti
orang sedang tidur nyenyak. Hanya bedanya, ia
memilih tempat untuk tidur yang salah serta
wajah yang memperlihatkan tanda-tanda ia
sebelumnya seolah telah bermimpi sangat
buruk. Wajah itu kaku dan dingin seperti es
balok, pucat seperti kertas yang baru keluar
dari toko. Mulut ternganga memperlihatkan
gigi kuning kehitam-hitaman sebagai pertanda
ia seorang perokok yang kuat. Dan, matanya!
Hanya sel-sel tubuhnya yang kuat yang
masih mampu menahan biji mata itu tidak
sampai terloncat ke luar rongganya. Sepasang
mata itu melotot lebar. Seolah ingin bertanya
pada orang-orang yang mengerubunginya,
mengapa ia sampai terkapar di tempat yang
sama sekali tidak nyaman itu. Bramandita
menjepretkan kameranya beberapa kali. Nyala
lampu blitz yang menyambar-nyambar wajah
mayat itu membuatnya tampak semakin
mengerikan. Bagai ada kutukan terlontar dari
balik biji matanya, ditujukan pada orang yang
tengah memotretnya.
Bramandita sampai mundur selangkah,
dengan bulu kuduk merinding.
“... apa penyebab kematiannya?” ia
bertanya, tersendat.
“Jantung, kata pak Leman,” jawab orang
setengah baya berpakaian preman yang tadi
menyambut kedatangan Bramandita dan
mendampinginya semenjak itu. Sulaeman,
adalah dokter kepolisian khusus untuk perkara-
perkara pembunuhan. “Mari kita temui dia
untuk mengetahui apa komentarnya tentang
korban satunya lagi...”
“Ma… masih ada?”
“Oh, yang barusan kau potret belum
seberapa !”
“Maksud bapak ...”
“Ayolah. Siapkan kameramu.”
Kamera sudah dalam keadaan siap
tembak. Tinggal mengatur posisi dan angle;
vertikal atau horisontal, sedikit ke atas atau
dari bawah. Korban yang kedua layak
menempati halaman satu surat-kabarnya.
Berita tentangnya patut dijadikan head-line
utama. Rujito tidak lagi tertekan bathin, karena
pimpinan mereka di atas dalam sekejap telah
menyedot untung dalam jumlah besar karena
oplah yang mendadak naik, bahkan mungkin
perlu dicetak ulang dua tiga kali karena
permintaan dari agen datang tak berkeputus
an; sama seperti apabila tak ada apa-apa dalam
koran mereka, para agen itu tak berkeputusan
meminta oplah, tetapi untuk dikurangi...
Rujito malang! la tetap harus makan hati.
Karena Bramandita tidak sekalipun menekan
shutter kamera. Alat potret itu lepas tanpa ia
sadari, tergantung berayun-ayun dengan tali
kulit pada pundaknya. Padahal, betapa
sensasionilnya keadaan mayat itu. Berbaring di
beranda sebuah rumah kecil mungil dengan
sepasang kaki mengangkang, la juga masih
bersepatu. Tetapi celana yang dipakainya jelas
bukan dibuka dengan sukarela. Tali pinggang
maupun resluting celana laki-laki itu bagai
direnggut tangan-tangan raksasa sehingga
robek berkeping keping. Alat kejantanannya
hilang lenyap, meninggalkan luka mengerikan
berlumur darah.
Cairan anyir berwarna merah itu
terdapat lebih banyak lagi di sekitar leher, leher
yang boleh dikata hampir tanggal dari pundak.
Sehingga tanpa sengaja Bramandita setengah
berlari mundur sambil memegangi leher
sendiri, kemudian jatuh terduduk di ujung lain
beranda terbuka itu. Kerumunan manusia hilir
mudik, suara bentak, teriak, perintah-perintah
dan tanya jawab yang bergalau seperti keadaan
darurat perang; tak sedikitpun menarik
perhatiannya.
Bramandita terduduk diam, lesu dan
bagai hilang ingatan.
Nafasnya sesak. Berapa kali ia terpaksa
mengurut dada. Beberapa kali pula meludah
kasar, tanpa memperdulikan ada orang
mendekatinya. Ternyata orang setengah baya
tadi, yang kemudian duduk santai di sebelah
Bramandita sambil membujuk:
“Kalau mau muntah, silahkan...”
Bramandita diam.
Menarik nafas panjang, lalu mengeluh
setengah mengigau:
“Apa… yang… menggororok dia?”
“Clurit, golok, mungkin juga kampak. Itu
menurut aku. Tetapi pak Leman bilang, bukan.
Ketika kubilang, mungkin juga garpu pengeduk
sampah, lagi-lagi dia bilang bukan. Sampai aku
mulai kuatir kalau-kalau dokter kita yang sudah
hampir pensiun itu… he, kau masih mendengar
ku, nak?”
“He eh...”
“Seperti kubilang tadi. Aku kuatir, si tua
itu sudah mulai pikun. Lantas nekad mengambil
kesimpulan yang bukan-bukan.”
“Apa?”
“Cakar, katanya. Cakar besar dan runcing
luar biasa !”
“Ha… hhari… mau?” mata Bramandita
jelalatan kian kemari. Ke arah orang
berkerumun dan hilir mudik. Ke pintu-pintu
dan jendela-jendela rumah yang menganga
terbuka. Ke langit kelam, hitam pekat dan
masih tetap berembun.
“Seorang pembantuku sudah
menelepon ke Kebon Binatang. Petugas yang
menerima telepon di Ragunan bilang, tak ada
harimau yang lepas. Demikian pula mahluk
buas lain… mahluk bercakar! Uh, pak Leman
sudah edan barangkali. Jangan-jangan ia mulai
percaya tahayul dan...”
“Aku mau pergi!” potong Bramandita
tiba-tiba. Beranjak bangkit dari duduknya.
Sedikit sempoyongan, sehingga pendamping
nya terpaksa membantu agar Bramandita tidak
sampai terpeleset jatuh.
“Kau tidak memotret mayat itu?”
“Tidak.”
“Ceritanya! Kisah tentangnya sangat
menarik. Apakah kau juga...”
“Tidak. Terima kasih.”
“Hei. Kau sakit, nak?”
Bramandita manggut. “Sakit sekali,” katanya,
setengah berbisik.
“Kau bukan Pengecut. Kau sudah
seringkali kuajak melihat mayat-mayat lain
yang lebih menakutkan. Mengakulah!”
“Bapak benar.”
“Jadi?”
“Bukan kekejaman yang menimpanya itu
yang membuatku kehilangan gairah...”
“Jadi?”
“Ya Tuhan. Biarkan aku pergi, pak Drajat.
Aku harus menemui seseorang. Aku harus
menceritakan padanya, bahwa… bahwa...”
Bramandita semakin pucat. Semakin gemetar.
“Bagaimana aku menceritakannya? Lalu,
astaga! Apa akibatnya pada dia?'
“Berhentilah linglung. Dia siapa?”
“Miranda...”
“Aduh, nak. Sebutlah seribu atau sejuta
nama. Tetapi katakan padaku, apa hubungan
nya dengan peristiwa malam ini.”
Bramandita tengadah, menghirup udara lebih
banyak lagi. Lalu menjelaskan dengan suara
terengah-engah:
“Miranda isterinya mayat… maksudku
orang yang sengsara itu,” ia setengah meng
gerakkan dagu, enggan, ke arah kerumunan
petugas yang membantu dokter Sulaeman
mengurus mayat dimaksud. “Namanya Tedi.
Tedi Jukandi. la sudah seperti saudara kandung
buatku.”
Sudrajat, Kapten Polisi yang berpakaian
preman itu terpukau sejenak, la mengawasi
Bramandita dengan hati-hati, dan melihat
sudut-sudut mata laki-laki muda bertubuh
kekar tampan itu pelan-pelan digenangi butir-
butir air bening. Akhirnya, Sudrajat berbisik
lembut: “Kau yakin?”
“Dari sini pun, aku dapat mengenali
wajah Tedi!”
Sudrajat tidak mengulurkan tangan, la
hanya berucap: “Maafkan, nak. Aku tak dapat
berbuat atau mengatakan sesuatu, kecuali…
yah. Terimalah ucapan belasungkawa dariku,
dan… ”
“Bapak dapat berbuat sesuatu.”
“Katakanlah.”
“Angkat jenasah Tedi dari tempat
terkutuk ini, sekarang! Bawalah ke kamar
mayat, atau ke mana saja; pendeknya, jangan
biarkan ia jadi tontonan yang menjijikkan
seperti sekarang ini…”
“Tetapi, nak. Prosedur belum sepenuh
nya kami…”
“Demi Tuhan. Kumohon.”
Kapten berusia setengah baya itu
berpikir dua tiga detik, kemudian mendekati
kerumunan orang orang di sekitar mayat yang
kepala hampir tanggal dari tubuhnya itu.
Tampak ia bicara sebentar. Beberapa anak
buahnya bergerak dengan sigap, siap
menjalankan perintah. Tetapi dokter Sulaeman
kelihatan mencak-mencak dan mereka berdua
bertengkar sebentar, sebelum dokter
Sulaeman berpaling ke arah Bramandita
berdiri, kemudian mengangguk tanda
menyerah. Dokter itu langsung mendekati
Bramandita. Merangkul pundak orang muda
itu, bertanya lunak:
“Ada yang dapat kubantu. nak?”
Masih pucat, Bramandita menjawab kasar:
“Bukankah sudah diberitahu oleh pak Drajat?”
“Betul,” jawab dokter Sulaeman, sabar.
“Tetapi barangkali kau lupa, aku seorang
dokter.”
“Terimakasih. Aku baik-baik saja.”
“Sebuah pendapat, barangkali?”
Bramandita mengawasi wajah dokter
tua berkepala botak dan berkacamata itu,
sambil berpikir. Lalu:
“Misalkan kita tukar posisi, dokter.
Dokter harus pergi menemui Miranda, isteri
orang yang terbunuh itu. Apa yang akan dokter
katakan padanya?”
“Kenyataan, nak. Kenyataan. Betapapun
pahit dan menakutkan.”
“la akan terpukul,” keluh Bramandita,
cemas.
“Lambat atau cepat, toh ia akan tahu
juga. Aku mengerti kesulitanmu, nak Rama.
Tetapi coba dengarkan ini. Anggaplah
pendapat seorang tua renta yang sudah banyak
makan asam garam. Mendustai seseorang,
meski sifatnya sementara dan meski dengan
tujuan baik… dapat melukai hatinya, kelak bila
ia tahu kau telah berdusta. Padahal, barangkali
ia sudah siap menerima kebenaran. Itu satu.
Yang kedua; kau berbelit-belit, sedikit putar
sana putar sini. Maka akibatnya, ia akan gelisah
dan bertambah takut. Itu sama artinya dengan
membunuh dia perlahan-lahan...”
“Langsung saja !” gerutu Bramandita, tak
sabar.
“Ah. Itu dia. Satu-satunya jalan terbaik,
langsung saja dia sekaligus. Lalu anggap
persoalannya sudah selesai.”
“Begitu gampang?”
“Teorinya, memang. Prakteknya, dia
mungkin mengalami shock yang hebat.
Mungkin pula tidak, siapa tahu? Lagipula,
dengan cara itu kau akan banyak membantu
sahabatmu, si Drajat yang kebingungan itu.”
“Membantu? Dalam hal apa?”
“Melihat apa reaksi Miranda...”
“Kau !” nafas Bramandita menjadi sesak
lagi. Tegaknya berubah tegang. Kaku.
“Dokter… menuduh Miranda sebagai si
pembunuh?!”
“Ungkapan yang kasar, Rama!” kata
dokter Sulaeman, tak setuju. “Kita perhalus
saja: dia pelaku kejahatan, atau dia terlibat
dalam tindak kejahatan. Ini kita lihat dari
kacamata Sudrajat. Untuk perkara-perkara
tertentu, orang pertama yang dicurigai adalah
orang yang paling dekat dengan korban
kejahatan...”
“Itu dapat diartikan, saya termasuk salah
seorang tersangka.”
“Persis.”
Bramandita menyeringai. Kecut. Tanpa
berkata sepatah pun lagi ia tinggalkan dokter
itu dan berjalan tersuruk-suruk menerobos
kerumunan orang menuju kendaraannya.
Belum juga ia naik, sebuah mobil dinas
kepolisian sudah meluncur dan berhenti di
sebelahnya. Pintu mobil sebelah kiri dengan
dibuka seseorang dari dalam disertai suara
lembut tetapi berbau perintah:
“Untuk menghemat waktu, naiklah.
Seorang pembantuku akan mengantarkan
motormu ke rumah...”
Bersamaan waktunya, seorang petugas
berseragam datang mendekat. Tangannya
terulur ke depan, tetapi dengan sikap tegak
yang tetap sopan dan menaruh respek.
Bramandita mau tak mau menyerahkan kunci
motornya ke tangan yang terulur itu.
menyelusup ke tempat duduk di sebelah
Sudrajat, lalu menyandar dengan kelopak mata
terpejam. Tak lupa ia menggerutu: “Bapak
main cepat ya? Takut aku kabur ya?”
Sudrajat mengeluh: “Jangan seperti anak-anak.
Diamlah. Biarkan aku berpikir...”
Bramandita tidak memberi kesempatan
berpikir, la ngoceh: “Aku masuk kantor sekitar
pukul tujuh. Baru keluar setelah bapak telepon.
Alibi tentang ini dapat bapak kejar. Kapan saja.”
“Hei, bung. Dengarkan.”
“Aku dan Tedi bersahabat. Sebagai dua
orang bersahabat, kami akrab satu sama lain,
namun ada kalanya kami bermusuhan. Aku
pernah dibuatnya marah. Kecewa. Sakit hati.
Tapi jangan coba membuat catatan tentang itu,
karena...”
Mobil di rem dengan tiba-tiba.
Bramandita terlonjak ke depan.
Kepalanya hampir membentur dashboard,
karena tidak siap menghadapi kejutan itu.
Mana tangan secara reflek mendekap tustel ke
dada. Melihat itu, Sudrajat ingin tertawa.
Orang ini lebih sayang kamera ketimbang
kepalanya, pikir sang kapten. Lalu katanya:
“Bung. Bersediakah kau mengendurkan
otot sedikit? Aku belum ingin bertarung
denganmu. Tetapi bila kau memaksa…, biar kau
lebih muda, lebih berotot… percayalah. Kau
dapat kujatuhkan, sebelum tubuhku kau
sentuh !”
“Eh. Kok jadi galak,” Bramandita
menyeringai. Sudrajat menyeringai juga.
“Habis. Kau sih.” dan mobil meluncur lagi
setelah Sudrajat menanyakan alamat rumah
Miranda dan Bramandita memberitahunya.
“Rupanya dokter brengsek itu ngoceh
yang bukan-bukan tadi ya?”
“He-eh. Aku salah seorang tersangka,
katanya.”
“Secara dinas, ya. Tetapi secara pribadi,
kaulah orang terakhir yang akan kuseret ke
kantorku.”
“Dan... Miranda?”
“Maaf. Dia tetap yang pertama.”
Bramandita terbungkam, la sudah lama
kenal Sudrajat. Demikian pula beberapa anak
buah kapten ini. Jadi ia tahu benar cara-cara
kerja mereka, tahu cara berpikir nereka.
Acapkali mereka salah. Tetapi kesalahan itu
tidak lantas membuat mereka menyesal dan
mundur. Kesalahan itu justru mereka
manfaatkan jadi petunjuk menuju sasaran yang
benar.
“Apa yang telah kalian peroleh, pak Drajat?”
“Kuakui saja, nol. Satwanya masih gelap.
Lebih gelap dari malam yang terkutuk ini!”
“Informasinya?”
***
DUA
“KAMI telah menanyai sejumlah taksi,”
Sudrajat bercerita. Bermula dan laporan
telepon ke kantor dari salah seorang warga di
tempat peristiwa. Sudrajat segera memerintah
kan satu team anak buahnya bergerak ke
sasaran, la menyusul beberapa menit berikut
nya, karena harus membereskan sesuatu,
menelepon doktar Sulaeman dan teringat pula
untuk menghubungi Bramandita. “Selalu, kau
satu-satunya wartawan yang pertama ku
beritahu.” katanya tersenyum.
“Mengharapkan terima kasih?” ejek
Bramandita.
“Katakan saja, harga sebuah kebaikan.
Karena namaku banyak kau sebut-sebut dalam
skripsimu dulu.”
“Hah, Sampai aku lupa. Waktu itu bapak
masih Sersan Dua, kalau tak salah. Berapa
tahunkah itu? Cepat juga ya, bapak naik
pangkat...
“Karena kerja keras. Juga, berkat
promosimu. Berita beritamu yang gencar
mengenai kegiatanku banyak membantu.”
“Ah. Bapak membuatku malu,”
Bramandita menyeringai. “Tahukah pula
bapak, bahwa berkat bapak pula aku berhasil
membuat sebuah skripsi yang berbobot. Aku
lulus, orongtuaku senang. Tetapi kemudian
mereka kecewa, karena bapak pula.”
“Aku?”
“He-eh. Orangtuaku bermimpi aku jadi
Hakim, Jaksa, paling kurang seorang advokat.
Tetapi karena kelewat sering mengikuti
kegiatan bapak, aku menyimpang. Jadi
keranjingan menulis berita Berhenti kuliah,
lalu… inilah aku sekarang. Ngelayap tengah
malam untuk memotret orang orang mati.
Kadang-kadang aku sampai ngeri memikirkan,
bahwa aku cari makan dari bencana yang
menimpa diri orang lain. Orang-orang yang
menangis karena habis dirampok; orang-orang
yang menjerit malu karena anaknya ketahuan
mencuri atau memperkosa; orang-orang yang
suaminya terkapar mati dengan leher hampir
putus…,” Bramandita gemetar. “Mengapa Tedi
harus mati dengan cara itu. Mahluk biadab apa
yang telah merenggut nyawanya?”
“Untuk itulah kita tidak boleh tidur
malam ini. Rama. Untuk mencari jawaban dari
'mengapa' itu. Memecahkan apa motifnya,
mencari tahu siapa orangnya. Jadi kau tak perlu
terlalu berkecil hati tentang caramu mencari
makan... ” Sudrajat menepuk-nepuk pundak
Bramandita, menghibur. “Kuteruskan laporan
ku?”
“... aku siap mendengar, pak Drajat.”
“Mana notesmu?”
“Otakku dapat mencatatnya.”
“Oke...” Sudrajat menarik nafas. “Ketika
tiba di tempat, para pembantuku telah
menanyai beberapa orang saksi...”
Dan toh, Bramandita mengeluarkan juga
notesnya ketika Sudrajat menyebut beberapa
nama dan identitas mereka.
Saksi 1, Ronggur Hutagalung. Pekerjaan,
pedagang.
Semua keluarganya sudah tidur. Ronggur
masih bekerja. Sendirian, la seorang pemilik
kios oli di Jl. Fatmawati, dan malam itu sedang
menyusun daftar pemasukan dengan
pengeluaran uang sepanjang siang sampai ia
tutup pukul delapan malam dan pulang ke
rumah. Sekitar pukul 10.15 ia sedang
menelepon seorang relasi, ketika dari rumah
sebelah terdengar suara-suara ribut yang aneh.
Mulanya tidak ia perdulikan. Baru setelah ia
dengar suara orang menjerit, Ronggur
meletakkan telepon.
la membuka jendela depan tetapi tidak
dapat meninjau ke rumah sebelah yang
pekarangannya jauh masuk ke dalam. Oleh
karena itu ia bergegas membuka pintu, namun
kemudian berpikir mungkin tetangga sebelah
tengah bertengkar dengan seseorang, la ragu-
ragu. Tidak ingin turut campur.
Lalu teriakan kedua terdengar. Teriak
ngeri, yang membuat Ronggur segera
menghambur ke luar. Pemilik kios oli itu lari ke
halaman, melompati pagar pemisah memasuki
pekarangan rumah sebelah.
Ronggur menemukan mayat Tedi.
Terpekik ngeri kemudian lintang pukang
kembali ke dalam rumahnya sendiri.
Saksi inilah yang menelepon ke kantor
polisi. Isteri dan anak-anaknya pada terbangun.
Kuatir mereka tergoncang, isteri dan anak-
anaknya tidak ia perbolehkan meninggalkan
rumah, la sendiri kemudian menutup pintu.
Mengunci rapat-rapat. Dan menunggu polisi
datang.
“Saya ketakutan,” katanya memberi
alasan pada polisi pemeriksa. “Saya kira terjadi
perampokan di rumah sebelah. Bukan mustahil
kalau perampok itu tahu-tahu muncul di rumah
kami, dan membunuh keluarga kami pula...”
Ronggur tidak melihat ada mayat lain
kecuali Tedi. la juga tidak melihat Rosmalina,
gadis penghuni rumah sebelah, karena begitu
melihat mayat Tedi ia langsung ambil langkah
seribu. Dengan sendirinya, ia tidak melihat ada
orang lain di sekitar tempat kejadian.
Saksi 2, Ijah. Janda. Pekerjaan, usaha
warung kecil-kecilan.
Ketika warungnya masih buka, ia melihat
Tedi memasuki rumah Rosmalina. Malah adik
Rosmalina, seorang bocah laki-laki yang masih
duduk di bangku kelas satu es-em-pe, sempat
membeli sebungkus rokok. Hamid, bocah itu,
bukan perokok. Jadi Ijah beranggapan tentu
rokok itu untuk keperluan tamu kakaknya.
Mereka sempat ngobrol sebentar.
“Kudengar, kakakmu si Ros akan
menikah,” kata Ijah.
“Memang.”
“Si Ros mau?”
“Itu urusannya, Bu,” kata si anak, rupa
nya tak senang.
“Kau menyukai calon suami kakakmu itu?”
“Tidak.”
“Karena ia sudah punya isteri?”
“Ya. Katanya ia akan menceraikan isteri
nya yang sekarang. Tetapi bila itu ia lakukan,
suatu ketika kelak dapat pula kakakku ia
ceraikan...”
“Kok kau membelikannya rokok.”
“Terpaksa. Takut kak Ros marah.”
Hamid kemudian kembali ke rumahnya.
Ketika Ijah akan menutup warung ia lihat bocah
itu keluar dan tampaknya akan pergi. Ijah
bertanya heran:
“Mau ke mana, nak?”
“Ke rumah teman.”
“Diusir ya?”
“Engga. Cuma aku emoh melihat kakak
ku dicium orang itu di depanku...”
“Mereka biarkan kau pergi?”
“Aku menyelinap lewat pintu dapur.”
“Tidur di sini sajalah, nak.”
Hamid menolak kemudian menghilang.
Ijah geleng-geleng kepala. Ikut prihatin dengan
nasib anak kecil itu. la tidak melihat sesuatu
yang aneh terjadi di rumah seberang gang.
“Pasti mereka lagi asyik di kamar tidur.
Kudengar, si Ros sudah bunting...”
Sebelum tidur ia memeriksa dulu apakah
keempat orang anak-anaknya sudah berangkat
ke alam mimpi. Di kamarnya, ia menangis.
Teringat suaminya, yang kabur dengan
perempuan lain. Katanya perempuan lain itu
telah mengguna-gunai suaminya, sehingga tak
pernah ingat pulang ke rumah. Tak pernah
ingat anak-anaknya. Tak pernah mengirimkan
uang belanja...
Ijah tidak tahu apakah ia sudah tidur atau
masih bangun ketika tiba-tiba ia dikejutkan
oleh bunyi berisik di luar rumah. “Rasanya ada
suara menggeram-geram. Seperti geram
binatang buas...”
Mengira ia bermimpi, Ijah makin
merungkut di dipannya. Tak berapa lama
kemudian, ia mendengar suara orang menjerit.
“Wah. Binatang itu sudah menerkam
mangsanya,” pikir Ijah, dan ia lari ke kamar
tidur anak-anaknya. Tak seorang pun anaknya
yang terbangun waktu itu. Ijah semakin takut,
waktu terdengar jeritan kedua, terdengarnya
dari arah mulut gang. Sebelum jeritan kedua itu
bergema, sempat Ijah mendengar suara aneh
tadi seperti lewat di depan rumahnya.
“Geram binatang buas. Pekik-pekik
tertahan yang mengerikan. Seperti pekik
mawas di Ragunan...”
Ijah baru ke luar setelah mendengar
bunyi sirene polisi dan banyak suara langkah-
langkah orang berlari dan berteriak-teriak di
sekitar rumahnya. Ketika ia dengar suara
membentak:
“Hayo minggir. Biarkan kami lewat!”
barulah Ijah berani mengintip lewat jendela
depan,
la lihat banyak tetangganya berkerumun
di depan rumah Rosmalina, dan di sepanjang
gang. Barulah Ijah berani ke luar, dan
mengetahui dari cerita orang dan penglihatan
nya sendiri ada dua mayat tergeletak tak jauh
dari rumahnya.
“Mawas itu yang membunuh mereka.
Pasti!” kata Ijah pada polisi yang menanyainya.
“Mawas? Ibu melihatnya?”
“Melihat sih tidak. Tetapi aku
mendengar, suaranya. Mengerikan !”
Saksi 3, Yunan. Pekerjaan, kuli
bangunan.
Yunan malam itu mendapat tugas ronda
malam bersama tiga teman yang lain. Mereka
terbagi dua kelompok. Dengan berbagai dalih
Yunan berusaha menutupi kenyataan bahwa
udara dingin berembun dan malam begitu
larut, mana daerah mereka termasuk aman
dan tenteram selama ini; keempat penjaga
malam itu lebih banyak ngobrol di pos jaga
yang malangnya, justru terletak di ujung gang
yang berlawanan dari tempat mayat supir taksi
ditemukan.
“Kami juga sudah lama mendengar
bahwa orang itu… siapa ya namanya. Oh ya. Ya.
Tedi. Entah Tedi apa… Dia sudah punya isteri.
Malah semua orang di sini boleh dikata sudah
tahu, bahwa isterinya pernah mendatangi si
Ros...” demikian antara lain kesaksian Yunan.
“Mereka bertengkar. Tentu saja. Tapi tak
sampai saling caci-maki. Apalagi jambak-
jambakan. Perempuan-perempuan hebat,
mereka itu...”
“Berapa kali isteri korban datang ke sini?
“Setahu saya, cuma satu kali.”
Yunan malam itu tidak melihat Tedi
datang menemui Rosmalina.
“Saya baru tahu, setelah melihat mayat
nya,” Yunan bergidik.
“Melihat sesuatu yang aneh di dalam
atau sekitar rumah gadis itu?”
“Tidak.”
Saksi 4, Alex. Juga peronda malam itu.
Alex dan seorang temannya meronda
sempat melihat sebuah taksi warna kuning
berhenti tak jauh di mulut gang. Alex
melihatnya dari kejauhan, tak dapat mengenali
siapa yang turun karena ia saat itu juga
meneruskan perondaan bersama temannya ke
jurusan lain.
“Kami sudah terbiasa melihat taksi
mundar-mandir di sekitar ini…,” katanya,
membela diri.
Kira-kira antara pukul 10.15 dan pukul
10.20 malam itu ia dan teman yang sama
berkeliling kembali di tempat yang tadi. Sayup
sayup ia mendengar suara orang berteriak, la
dan temannya berlari mendatangi.
“Kami lihat sebuah taksi melewati kami.
Cepat sekali. Jalannya zig-zag. Mungkin taksi
yang tadi. Mungkin taksi lain, yang pengemudi
nya sedang mabok. Kami berlari-lari memasuki
gang dari arah itu, dan menemukan mayat laki-
laki. Mayat seorang supir taksi...”
“Tidak kalian uber taksi yang melarikan
diri itu?”
“Dengan apa? Kaki?!”
Yunan dan teman satunya lagi buru buru
pula datang. Mereka berempat menemukan
korban lain. “Dari keadaan tubuhnya, luka-luka
dan pakaiannya yang tercabik-cabik kami
berpendapat, tentulah ada seekor binatang
buas telah kesasar memasuki kampung
kami…,” Alex mengusap wajahnya, cemas.
“Apakah kalian telah menangkap
binatang buas itu? Harimaukah? Orang Hutan?
Atau serigala?”
Petugas yang memeriksa A!ex dan Yunan
menjawab tenang: “Tak ada orang hutan,
harimau atau serigala yang dapat menyetir dan
kabur dengan sebuah taksi !”
Saksi 5, Juanda. ketua RT.
Juanda sedang ada di tempat seorang
keluarganya ketika peristiwa itu terjadi, la
segera datang setelah dijemput oleh salah
seorang anaknya. Tiba di tempat, ia terkejut
melihat begitu banyak orang, begitu banyak
polisi, dan begitu panik dan ributnya suasana.
Tentulah telah terjadi peristiwa hebat,
pikirnya.
Juanda tidak mengenal supir taksi itu.
Tetapi ia mengenal Tedi sambil lalu.
“Saya baru tahu kalau ia punya isteri,
setelah isterinya pernah datang ke rumah si
Ros. Semenjak itu saya mendengar gunjingan
yang tidak enak di kalangan kaum ibu. Jadi saya
putuskan untuk mendatangi Rosmalina pada
suatu hari untuk membuktikan kebenaran
desas-desus itu. la mengakui bahwa ia telah
hamil. Karena itu saya beri ia saran. Agar
kampung kami tidak tercemar, ia boleh
memilih. Angkat kaki dari sini, atau menikah
segera dengan laki-laki itu…”
Juanda mengatakan Ros anak baik, sebenar
nya, la bekerja sebagai juru tulis di kelurahan
setempat. Waktu lowong ia manfaatkan
dengan bekerja mengkreditkan pakaian, tas.
dan sepatu wanita. Dengan demikian
Rosmalina dapat menghidupi dirinya sendiri
dan menyekolahkan adiknya, Hamid. Dua-dua
pekerjaan itu ia tinggalkan, begitu Rosmalina
bertemu Tedi Jukandi. “Mungkin laki-laki itu
telah memberinya uang belanja yang cukup
padanya,” kata Juanda menyimpulkan. Tedi
sendiri bersikap baik dan sopan tiap kali datang
ke kampung itu. Tak ada orang yang memusuhi
dia, apalagi Rosmalina yang menurut Juanda:
“Si kecil mungil yang lembut dan perasa.”
Saksi 6, mestinya Hamid.
Tetapi ia belum diketemukan malam ini.
Sesekali ia memang suka tidur di rumah
temannya. Belajar bersama. Tetapi temannya
banyak. Beberapa orang warga setempat dan
anggota polisi masih terus mencarinya. Untuk
memberitahu peristiwa yang menimpa kakak
perempuannya, dan menyelidiki apakah ia
terlibat dalam peristiwa itu.
***
“Tetapi aku berani potong kuping, bila
ternyata anak itulah pembunuh sahabatmu.”
kata Kapten Sudrajat, memastikan.
“Bagaimana dengan Rosmalina sendiri?”
tanya Bramandita.
“Kau tidak melihat dia?”
“Tak ingat. Aku begitu shock melihat
mayat temanku.”
Keempat petugas ronda malam itu yang
pertama kali melihat Rosmalina, Sudrajat
menerangkan. Si kecil mungil yang lembut dan
perasa itu, mereka temukan jatuh pingsan di
ambang pintu. Yunan dan teman-temannya
membopong perempuan itu ke kursi panjang
dan berusaha menyadarkannya. Begitu mata
nya terbuka, Rosmalina langsung meronta-
ronta. Gadis itu menendang. Memukul.
Mencakar. Sambil berteriak-teriak:
“Jauhkan hantu itu dari akui Tolonglah,
enyahkan mahluk mengerikan itu...”
“Hantu?” BramBndita menyela.
“Tak usah ditanggapi. Rama. Itu cuma
pekik orang yang histeri.”
“Tidak kalian sadarkan?”
“Oleh dokter Leman sudah diberi
suntikan penenang. Mungkin baru besok ia
bangun dan dapat bercerita lebih jelas, la saksi
utama, tentu saja. Tetapi dokter kita yang
sudah pikun itu mengkuatirkan bahwa kita
tidak akan memperoleh apa-apa dari gadis
itu...”
“Mengapa?”
“Dia bilang, ada kemungkinan Rosmalina
harus dikirimkan untuk dirawat beberapa lama
di sanatorium.”
“Gila?”
“Gangguan mental, tepatnya.”
“Oh.”
“Kau tak ingin bertanya, apakah aku
tidak mencurigai dia sebagai si pelaku?”
“Mestinya.”
“Kau benar. Mestinya dia juga kucurigai.
Tetapi ia begitu kecil dan lemahnya, untuk
dapat berbuat sedahsyat itu. Entah, kalau ia
dalam keadaan tegang syaraf sebelum
pembunuhan itu terjadi.”
“Dan... Miranda?”
“Maaf. Dia tetap yang pertama.”
“Miranda juga perempuan. Memang
posturnya sehat dan kuat. Tetapi tetap saja dia
perempuan, yang tak akan mampu berbuat...”
“Nanti akan kita lihat. Setelah kita
bertemu dia.”
Bramandita ingin menangis. Bukan
karena tuduhan Miranda terlibat dalam
pembunuhan Tedi dan supir taksi itu.
Melainkan, karena ia harus memberitahu
bahwa semenjak malam ini, Miranda resmi jadi
janda...
“Gadisku yang malangi” ia mengeluh,
tanpa sadar.
“Siapa?”
“Ah !”
Mobil terus melaju. Berkejar-kejaran
dengan perasaan cemas yang berkecamuk
dalam bathin Bramandita. Berpacu dengan
otak seorang polisi dalam kepala Sudrajat. Di
suatu tempat, hujan gerimis tampak turun
sebentar. Menjelang tiba di rumah yang
mereka tuju, gerimis itu berhenti.
“Nak...”
“Heh?”
“Boleh menanyakan sesuatu?”
“Aku masuk kantor di percetakan pukul
tujuh dan baru ke luar setelah menerima
telepon bapak. Alibi ini bisa bapak kejar dan
tentang…”
”Bung! Bersediakah kau mengendurkan
otot sedikit? Aku belum siap bertarung
denganmu. Tetapi bila kau memaksa, biarpun
kau lebih muda dan lebih berotot ketimbang
aku, percayalah. Kau… dapat kujatuhkan,
sebelum tubuhku kau sentuh !”
Mau tak mau, Bramandita akhirnya
tersenyum juga. Katanya:
“Apa yang ingin bapak ketahui?”
“Namamu.”
“Lho. Bukankah...”
“Begini, nak. Biasanya, seseorang
dipanggil dengan memenggal bagian depan
atau bagian belakang nama. Mengapa kau
justru mengambil yang tengah. Rama?”
“Masa kecilku, aku dipanggil Bram, pak
Drajat.”
“Sudah kuduga.”
“Waktu es-em-a, beberapa teman
mengganti huruf M jadi P. Demikianlah,
mereka penggal namaku agak panjang, dengan
panggilan Pandita. Mulanya, karena aku
pernah ikut sebuah sandiwara sekolahan, dan
aku mendapat peran sebagai seorang pendeta
yang memberontak terhadap gereja.”
“Dan. Rama?”
“Kuperoleh ketika memasuki universitas.”
“Tampaknya bukan nama panggilan
sembarangan. Rama. Gagah didengar, mesra
diucapkan,” Sudrajat melamun. “Lantas kau
balas memanggil seseorang dengan panggilan,
Shinta.”
“Ya.. .”
“Oleh siapa, nak?”
“Seseorang...”
“Itu sudah pasti. Tetapi, boleh aku tahu
siapa kiranya Shinta yang beruntung itu?”
“Mungkin ia beruntung. Mungkin juga,
sebaliknya.”
“Oh-oh. Menarik. Sebabnya?”
“Sebabnya. Kita sekarang sedang
menuju dia, untuk memberitahu bahwa
Lesmana telah gugur !”
Sudrajat tercengang.
Kemudian manggut-manggut, meski
dalam hati sebenarnya ia tetap bingung.
***
TIGA
MASA lampau yang manis itu sudah
diatur; seperti sebuah skenario yang sudah siap
dilayar-putihkan. Dibuat atas kehendak alam,
dan sutradaranya ialah keadaan. Margono
mendadak sakit perut. Si perut gembul yang
pantang disodori makanan itu menceritakan, ia
diundang menghadiri pesta ulang tahun di
rumah tetangga sebelah tempatnya kost.
Maklum yang ulang tahun anak perawan
tanggung. Acaranya tentu saja disko sambil
rujak party. Selagi yang lain asyik berjingkrak-
jingkrak, putar sana putar sini gonta-ganti
pasangan di lantai dansa, Margono duduk
sendirian menghabiskan lima porsi rujak.
“Ketimbang beli sendiri. Mana enak
lagi!” kisahnya tanpa malu-malu. “Makin
pedas, makin kusikat...” Lalu lima porsi rujak itu
ia lengkapi dengan menghabiskan tiga botol
bier. Tak heran, begitu bangun pagi Margono
langsung mencret.
Si kembar Dina dan Dini juga
berhalangan datang. Kakek mereka datang
menjemput karena nenek sudah lama tidak
bertemu dan rindu setengah mati. Gadis
kembar itu punya raut wajah, potongan tubuh,
dandanan dan cara berpakaian yang sukar
dibedakan satu sama lain. Tetapi suami-suami
mereka di kelak kemudian hari tidak usah
cemas. Dina berkulit kuning langsat, sedang
Dini… konon tak pernah kecewa atau
meributkannya, berkulit merah kehitaman
seperti orang Negro. Perbedaan yang
menyolok ini menyebabkan mereka dijuluki
warga sekampus sebagai si Kembar hitam-
putih yang ajaib. Salah satu keajaiban mereka
hari itu, adalah meninggalkan sepucuk surat
yang ditujukan pada Bramandita: “Kami pergi
ya. Biar kau lebih leluasa merayu dia.”
Ambarita paling menderita. Mahasiswa
asal Nias itu terkenal necis dan apik menjaga
setiap barang miliknya. Sore hari sebelumnya ia
pergi nonton bioskop. Bubaran film ia tunggu
hujan reda dulu baru pulang ke rumah,
tempatnya inde-kos. Ambarita baru bisa
memasuki rumah itu setelah dini hari, karena
sepanjang sore dan malam, perkampungan di
mana rumah kostnya terletak digenangi air
banjii sampai setinggi ventilasi jendela. Waktu
Tedi Jukandi datang menyamper, kawan yang
malang itu tengah sibuk mencuci empat potong
pakaiannya yang tersisa, menjemuri buku
buku, sepatu, dan kasur yang mungkin setahun
baru bisa kering. “Haram jadah mereka, bah !”
katanya ngomel ngomel. “Mereka bilang
daerah ini bebas banjir. Apa !” la kemudian
sibuk mencari sisir di antara genangan lumpur
lantai kamarnya. Melanjutkan marah: “Nanti
aku pindah ke Depok saja. Biar tahun depan,
mereka kukirimi banjir sebanyak-banyaknya.
Sampai mereka semua kelelep!”
Tedi menceritakan nasib Ambarita yang
menyedihkan itu ketika bertemu Bramandita
menjelang rumah Miranda. Bramandita
menyesalkan Tedi tidak membantu Ambarita
bebersih rumahnya. Tetapi Tedi dengan
dongkol berdalih, ia tidak sampai hati
membiarkan Miranda menunggu kami semua
tanpa kabar berita. Gadis cantik molek itu
sedang asyik membaca buku komik waktu
mereka berdua memasuki pavilyun yang ia
sewa bersama seorang gadis lain. Nancy, gadis
temannya sekamar, pagi itu harus mengikuti
tentamen sebanyak empat mata kuliah,
sehingga baru dapat pulang sekitar pukul dua
siang.
Karena grup studi mereka tidak lengkap,
dengan sendirinya rencana belajar bersama
dibatalkan. Miranda tidak memperkenankan
mereka berdua itu pulang sebelum menyantap
makan siang yang segera ia hidangkan. Sambil
makan, ia memberitahu bahwa sambil
menunggu tadi ia telah menghabiskan 17 jilid
buku komik. “Klasik.” katanya. “Tentang jatuh
bangunnya Rahwana setelah nekad menculik
Shinta.”
Lalu Miranda berkata terus terang
bahwa ia sangat interesan dengan tokoh
Shinta, lalu tiba-tiba bertanya: “Apakah aku
pantas jadi Shinta?”
Bramandita mengawasi Miranda dengan
segan, lantas berucap jujur: “Setahuku, tokoh
Shinta montok berisi. Kau terlalu ramping...”
Tedi langsung menimpali: “la salah. Kau
pantas jadi Shinta. Tetapi apabila kau dan
Shinta disandingkan, maka Shinta harus
mundur. Kau lebih cantik, Miranda !”
Miranda bersemu merah kulit mukanya,
la tersenyum pada Bramandita, lalu dengan
sikap tersipu-sipu ganti memandang; Tedi.
Bertanya: “Benarkah?”
“Aku menyatakan yang sebenarnya.”
“Alasanmu?”
“Karena,” suara Tedi memberat: “Aku
mengagumi kau.”
“Oh.”
Yang mendesahkan “oh” itu dua orang.
Miranda, karena bangga dan semakin malu.
Dan Bramandita. karena hatinya panas, namun
tak berani memandang baik Miranda maupun
Tedi. ia pura-pura minum dengan nikmat, dan
sempat melihat gelas di tangannya bergoyang.
“Lalu, siapa kau pikir yang pas jadi
Rama?” yang bertanya itu, Tedi. Bernafsu.
“Hem,” Miranda berpikir seraya
membereskan meja dari perabotan bekas
makan. “Kalian berdua sama-sama gagah.
Sama tampan. Selagi aku menekuni komik itu,
aku teringat pada kamu berdua. Jadi aku
berumpama Bramandita, jelas namanya bisa
kuganti jadi Rama...”
Bramandita bagai ingin melambung ke
angkasa. Nyatanya, pantatnya justru terhenyak
semakin dalam di jok kursi yang ia duduki.
Ketiak, bahkan mungkin juga pantatnya, tahu-
tahu saja sudah basah berpeluh. Dan agar tidak
terhempas jatuh berderai, gelas yang ia pegang
buru-buru ia antarkan ke bak cuci. Langkah
kakinya seolah tidak menginjak lantai. Ribuan
mata seolah mengawasinya, dan membuatnya
serba salah tingkah kemudian balik ke tempat
duduknya ia pura-pura asyik menekuni salah
satu buku komik Miranda. Gambar-gambarnya
kuno. Kalimat-kalimat ceritanya maupun
dialog, sudah lama ditelan jaman, la hampir
lupa melembari komik itu sebagai pertanda ia
memang asyik membaca. Karena pikirannya
terpusat pada ucapan Miranda tadi. Telinganya
ingin mendengarkan kalimat lain, yang lebih
menegaskan maksud Miranda.
Yang angkat suara, ternyata Tedi:
“Eh, kok kau cemberut!” tegur Miranda,
lembut.
“Aku, apa?”
Terdengar suara kursi bergeser, dan
waktu Bramandita mengintip lewat bagian atas
tepi buku komik yang sengaja ia rendahkan
sedikit, dilihatnya Miranda mendekati Tedi dan
dengan gaya manja seorang gadis merangkul
lengan pemuda yang sedang cemberut tak
senang itu. Berkata si gadis: “Kau kan sudah
bilang, ini cuma umpama. Jangan lantas marah,
dong.”
Senang lengannya dirangkul, Tedi
mendekatkan wajah dengan lagak tak sengaja
ke dada Miranda… yang sungguh terkutuk,
tidak pula menghindarinya.
“Umpama,” kata Tedi, yakin akan
kemampuan dirinya. “Umpama saja ya.
Umpama ini sungguhan, siapa yang akan kau
pilih sebagai Rama?”
Mendengar pertanyaan itu, Miranda
terkejut dan berpaling kaget. Persis saat itu
matanya bertemu dengan mata Bramandita.
Miranda bergegas melepaskan rangkulannya,
menjauhi Tedi dan pura-pura sibuk mencuci
piring di bak dapur yang bersatu dengan ruang
makan itu. Miranda kini membelakangi
mereka. Tedi menoleh, tetapi Bramandita
sudah menaikkan buku komik di tangannya
lebih tinggi dari tadi. Itulah kesalahannya. Dina
dan Dini sudah mengisyaratkan: “Rayu dia!”
Bramandita tidak punya keberanian
melakukan itu. Lain halnya dengan Tedi. la
nekad menyerbu Miranda, merangkul gadis itu
dari belakang dan seolah hanya mereka berdua
yang ada di rumah itu. Tedi langsung mengakui
isi hatinya:
“Marahkah, sayangku. Kalau kukatakan,
aku mencintaimu?”
Piring yang dicuci Miranda terlepas dari
tangannya. Jatuh di permukaan bak dan
porselen itu. Pecah berentakan, dengan suara
memekakkan.
“Lepaskan aku, Tedi.” kata Miranda,
tersendat-sendat, lantas berlari-lari masuk ke
kamar tidurnya. Tak keluar-keluar lagi sampai
Tedi akhirnya mau diajak pulang oleh
Bramandita.
“Aku tahu dia juga mencintaiku. Dan
akan kau lihat, hal itu segera dapat kubukti
kan.”
Bramandita diam saja.
Dengan hati yang terasa hancur luluh.
***
DAN Kini, kehancuran itu terulang kembali.
Miranda tampak jauh lebih kurus
dibanding terakhir kalinya Bramandita mene-
muinya, dan itu belum sampai setengah tahun
ketika perempuan itu bersama suaminya
datang mengunjungi Bramandita, yang ber-
untung waktu itu tidak ditinggal sendirian oleh
Ratno. Beberapa bulan yang lalu Miranda
masih tampak sehat dan penuh gairah hidup
sebagaimana keadaannya semasih gadis.
Kini Miranda tampak kurus, lemah dan
sakit-sakitan. Namun begitu kemolekan wajah
nya tidak pernah hilang, la justru semakin
cantik terbungkus gaun tidurnya yang
berwarna merah dan berpotongan anggun.
Berlawanan dengan apa yang diharap Sudrajat
dan apa yang dicemaskan Bramandita, Miranda
mendengarkan semua yang diceritakan oleh
bekas sahabatnya dan laki-laki lain yang
memperkenalkan diri sebagai seorang polisi
berpangkat Kapten itu. Tak sepatah kata pun
perempuan itu memotong, la memang pucat,
tetapi tidak gemetar apalagi melolong histeris.
Komentar pertama yang keluar dari
mulutnya adalah: “Jadi, dia sudah meninggal.”
Tenang, dalam. Tanpa emosi.
Bramandita mengangguk mengiyakan.
Sedang Sudrajat, tak berkedip matanya
mengawasi tuan rumah mereka. Namun
tampak jelas dari wajah kapten polisi itu bahwa
ia telah keliru apabila ia beranggapan tugasnya
malam itu berakhir di rumah ini.
Berkata dia: “Kami lega, nyonya cukup
tabah menghadapi musibah ini.”
“Apakah seember air mata dapat
menghidupkan kembali orang yang sudah
mati?” balas Miranda.
Sudrajat terbatuk dibuatnya.
Tetapi tentu saja ia bukan orang yang
mudah menyerah, la langsung menyerang:
“Nyonya tidak keluar rumah sepanjang
malam?”
“Justru aku tidur nyenyak,” jawab
Miranda, datar. “Pelayan saya boleh Anda
tanya.”
“Tak ada saksi lain?”
“Dengan suami saya, kami cuma bertiga
di rumah ini.”
“Hem. Pelayan nyonya akan saya tanyai.
Tetapi begitu ia membuka pintu waktu kami
datang, saya sudah dapat menggambarkan, ia
tentunya tidur lebih nyenyak lagi dari
nyonya...”
Bramandita ingin protes, tetapi
kedahuluan oleh Miranda yang berkata seraya
tersenyum: ”Itulah kelemahan alibi saya,
bukan? Andai pun saya tahu suami saya mati
terbunuh malam ini, tentulah mencurigakan
kalau saya tiba-tiba mengundang orang
sekampung untuk kujamu di rumah tanpa
suatu alasan yang masuk di akal.”
“Saya mengerti.” gumam Sudrajat.
Dalam hati, Bramandita bersorak: “Puas.
Kena kau. Satu nol!” Dan ia tidak lagi
memprotes ketika sang petugas negara yang
kukuh pendirian itu mengajukan pertanyaan
berikut:
“Apakah suami nyonya punya musuh?”
“Musuh?” Miranda mengerutkan dahi
sebentar, lalu menyimpulkan dengan pasti:
“Saya dan suamiku sangat akrab satu
sama lain. Kesulitanku selalu saya beritahukan
padanya, demikian pula sebaliknya. Dengan
demikian kami dapat menanggulanginya
bersama-sama. Karena itulah rumahtangga
kami dapat bertahan hampir tujuh tahun
lamanya. Biar kami tidak beruntung
memperoleh keturunan ...”
“Dia punya musuh?” ulang Sudrajat,
menegaskan pertanyaan semula.
“Setahu saya, di luar rumah tidak.”
“Maksud nyonya?”
“Musuh suamiku yang sesungguhnya,
ada di rumah ini !”
“Saya akan berterimakasih, kalau nyonya
bersedia menerangkan maksud kata-kata
nyonya...” Sudrajat sedikit menganggukkan
kepala, hormat tetapi mendesak. Orang dekil,
pikir Bramandita: kau akan kena batunya
malam ini !
“... seperti saya terangkan tadi,” gumam
Miranda, hambar. “Hampir tujuh tahun rumah
tangga kami berjalan harmonis dan lancar.
Tetapi tidak, selama beberapa bulan terakhir.
Mendadak ia ingin punya anak. Keinginan yang
sudah lama, memang! Namun baru beberapa
bulan yang lalu ia mendesak saya. Dan ketika
saya katakan saya sudah berusaha tetapi sia-
sia, ia mulai bertingkah. Sampai beberapa
minggu yang lalu kudengar kabar, ia bergaul
intim dengan seorang perempuan lain.”
“Siapa?”
Miranda balas bertanya, heran:
“Tidakkah perempuan itu mengatakannya?”
“Perempuan... Perempuan yang mana?”
“Penghuni rumah, di mana mayat suami
saya kalian temukan.”
Bramandita tertegun. Baru sekarang ia
sadari, bahwa ia telah menanggalkan profesi
kewartawanannya ketika ia tinggalkan tempat
yang mengerikan itu. Jiwa jurnalistiknya sirna
begitu saja ketika mengenali mayat Tedi
Jukandi. Sehingga ia sampai alpa memikirkan,
mengapa sahabatnya nyasar dan mati di
beranda rumah orang. Rujito yang malang!
Kepala Pelaksana Redaksi Malam itu akan
pingsan seketika apabila ia tahu sebuah berita
besar telah lolos malam itu dari mejanya.
“Oh…,” keluh Sudrajat. “Perempuan itu
begitu histeri. Kata dokter kami, kemungkinan
shock luar biasa yang dapat membuatnya lupa
ingatan. Gadis itu duduk di kursinya seperti
patung tak bernyawa. Mata terbuka nyalang,
namun jangankan menceritakan sesuatu.
Mengerdip pun, ia hampir tak pernah. Entah
setelah kami tinggalkan tadi...”
“Bagus!”
“Bagus apanya, nyonya?”
“Dia sudah dapat pelajaran, apa akibat
nya merebut suami orang!” jawab Miranda,
dingin.
“Nyonya...”
“Demikianlah ceritanya, bukan?” sela
Miranda, acuh tak acuh. “Saya tidak suka
desas-desus. Jadi saya datangi gadis itu,
berbicara dengan dia, dan mengetahui
kenyataan sebenarnya. Dia telah saya minta
baik-baik agar melepaskan suami saya. Benar,
dia tidak mengatakan setuju. Tidak pula,
menolak. Dia saya tinggalkan. Tanpa ancaman
apa-apa. Dan pulang ke rumah, esok harinya
saya habis dipukuli suami saya...”
“Mira...” Bramandita memotong.
“Biarkan aku. Rama. Biarkan kubeberkan
semua. Telah lama hal ini kusimpan sendirian.
Aku terluka, parah. Tetapi kini aku sudah bebas
dari luka menyakitkan itu. Jadi biarkan aku jelas
kan semua, sebagai aplaus untuk kebebasan
ku.” la tidak tersenyum pada Bramandita.
Matanya ketika menatap, juga bukan mata
yang selama ini dikenal dan pernah diimpikan
olehnya. Bramandita gemetar.
Diam-diam, berduka cita.
Untuk dirinya sendiri…!
“Teruskan, nyonya,” desak Sudrajat,
karena tidak mau kisah menarik itu lolos dari
tangannya. “Teruskan.”
“... begitulah. Cuma sekali ia memukuli
saya. Tetapi yang sekali itu saja, sudah cukup.
Saya tidak mau kehilangan dia. Jadi semenjak
itu, tak pernah lagi mendatangi gadis pelihara
annya. Sampai tadi siang, suami saya berkata
terang-terangan bahwa gadis itu telah hamil
dan mereka akan segera menikah. Kemudian ia
pergi...”
“Dan nyonya masih bisa tidur nyenyak?”
ucap Sudrajat, tak habis pikir.
“Mengapa tidak? Tiga butir pel tidur
cukup untuk membuat seseorang lupa bahwa
kakinya baru saja putus disambar mobil...”
Perumpamaan yang keterlaluan, pikir
Bramandita. Dan Miranda tampak semakin
asing di matanya.
“Ada yang melihat nyonya menelan pel
tidur Itu?”
“Pelayan saya. la sendiri ikut
meminumkan air ke mulut saya, karena saya
tersedak. Lupa tidak menyediakan air minum
ketika pel tidur itu saya telan...”
“Hem. Pantas tadi pelayan nyonya agak
lama membangunkan nyonya.”
“Bukti yang dapat menguatkan alibi
saya, benarkah?” Miranda tersenyum. Seolah-
olah ia bukan sedang berbicara tentang
kematian suaminya, melainkan tentang
kematian Rahwana dari negeri Alengka. Mana
Miranda yang manja dan sembrono itu; yang
lari terbirit-birit ke kamar tidur ketika Tedi
Jukandi menyatakan cinta?
Seolah menyelami jalan pikiran
Bramandita, perempuan itu tiba-tiba berpaling.
Miranda menatap lurus ke mata pemuda yang
pernah jadi sahabat, pernah dicintai dan
mencintainya, pernah dia mohon agar untuk
seterusnya mereka saling menganggap sebagai
saudara kandung saja. Dan di balik sinar mata
yang tajam menusuk itu, Bramandita pelan-
pelan menangkap suatu permintaan maaf:
ketahuilah. Rama, aku telah begitu banyak
berkorban selama ini!
Bramandita menggapai tangan Miranda.
Mengelusnya. Lembut. Kemudian
menariknya pelan-pelan setelah menangkap
lirikan mata mencuri dari wajah si kapten polisi
yang serba ingin tahu dan serba penuh selidik
itu. Bramandita mengambil minumannya,
meneguknya tetes demi tetes, membiarkan
waktu terus berlalu. Miranda kembali berpaling
pada tamunya yang lain, tampak lebih tenang
dan tabah kini. Dan berujar lebih tenang lagi:
“Itulah semuanya. Musuh suamiku, bila
ada, terdapat di rumah ini. Yakni, isterinya
sendiri. Saya!”
Mengekori perbuatan Bramandita,
Kapten Sudrajat ikut-ikutan menjemput gelas
minuman di meja dan meneguknya… sekaligus,
sampai tak bersisa walau setetes. Tak perduli
pada kerakusannya yang aneh itu, Sudrajat
merogoh saku jaketnya yang tebal dan
mengeluarkan dua pucuk amplop manila.
bercap resmi kepolisian, namun belum disegel.
“Saya akan berterimakasih apabila
nyonya dapat menolong saya mengenali
barang-barang bukti ini,” katanya, tenang dan
terdengar seolah tidak berpengharapan.
Salah satu amplop itu ia letakkan di meja.
Amplop Iainnya ia buka simpulnya dan diangkat
miring sedemikian rupa sehingga isinya jatuh
ke permukaan amplop pertama. Selembar
cabikan kain yang kelihatannya disobek dari
kain utama.
“Apa itu?” tanya Miranda dengan dahi
mengernyit.
“Bagian dari sesuatu. Mungkin saja
kemeja laki-laki. Tetapi jaman moderen, yah…
dapat pula bagian dari blouse atau rok seorang
perempuan. Pernah lihat?”
“Tidak.”
“Pasti?”
“Ya.”
“Hem,” Sudrajat tidak menyembunyikan
perasaan kecewa di wajahnya selagi
memasukkan cabikan kain itu ke amplop
semula. Amplop itu ia letakkan pula di meja,
dan mengambil amplop lainnya. Dia berbuat
sama, memiringkan amplop kedua sedemikian
rupa sehingga dengan sedikit digoyangkan
isinya jatuh ke permukaan amplop manila putih
yang berisi cabikan kain itu.
“Bagaimana dengan yang ini?”
Miranda sedikit membungkuk ke depan,
demikian pula Bramandita Mereka berdua
dengan heran mengawasi sejemput kecil.
mungkin rambut, berwarna pirang, terikat
selembar benang halus.
“Rambut siapa ini?” bertanya Miranda.
“Ah. Jadi anda setuju dengn saya, bahwa
itu rambut. Dokter kami menyebutnya dengan
ucapan lain.”
“Apa?” Bramandita menyela, penasaran.
“Bulu.”
“Bulu? Bulu manusia?”
“Menurut dia, bulu binatang.”
“Binatang apa?”
“Kalau aku tahu, Nak, tak akan aku
duduk bersantai-santai di rumah ini !” dan
kepada Miranda ia mendesak: “Oke. Kita
sependapat bahwa ini rambut. Pernah
mengenali seseorang dengan rambut ini?”
“Asli? Atau wig?” Miranda balas
bertanya.
“Terserah.”
Miranda meluruskan duduknya. Dan apa
yang diharapkan baik oleh Bramandita maupun
oleh Sudrajat sendiri, dengan segera
dikeluarkan oleh Miranda. “Tidak!” jawabnya,
tegas dan yakin.
Sudrajat mengantongi lagi kedua amplop
itu. Bramandita yang tak kuat menahan
penasaran, langsung menembak: “Dari mana
semua itu Bapak peroleh?”
“Dari telapak tangan mayat sahabat
karibmu itu, nak. Kami kira ia sempat
merenggutnya sebelum ia mati. Kesimpulan
nya, ia tidak mau meninggal tanpa memberi
jejak. Itu satu. Kesimpulan kedua, perbuatan
itu dilakukannya tanpa sengaja selagi ia
memberi perlawanan habis-habisan untuk
mempertahankan nyawa yang cuma
selembar.”
Perwira polisi itu masih akan mengata
kan sesuatu. Tetapi cepat ia batalkan,
manakala ia melihat pipi Miranda dilelehi butir-
butir air mata. Ternyata perempuan tegar ini
dapat juga menangis, pikirnya. Gundah. Pura-
pura tak tahu ia bangkit dan duduknya.
Berkata: “Terimakasih untuk bantuanmu,
nyonya. Katakanlah, bila ada hal-hal yang ingin
kami bantu.”
Miranda diam saja.
Terpaksa Sudrajat menelan ludah. “Ikut
denganku?” ia bertanya, seraya mengerling
Bramandita yang terharu biru mengawasi
Miranda.
“Aku akan tinggal sebentar, pak.”
Tolol untuk menyatakan: tabahkan
hatimu, nyonya. Maka Sudrajat terus saja
keluar, berjalan menuju mobilnya di
pekarangan. Setelah meliuk sebentar pada
Miranda. Bramandita mengikuti perwira itu.
Membukakan pintu untuknya. Dan sebelum
Sudrajat menyelinap masuk, Bramandita
mendesak: “Tidak meninggalkan sesuatu
untukku, pak Drajat?”
Kapten polisi itu tertegun. Sejenak, in
berpaling ke pintu rumah Miranda. Hanya
tampak sebagian tubuh perempuan itu, masih
tetap duduk di kursinya semula. Diam. Tak
bergeming. “Kukira, sebentar lagi ia akan
histeris...”
“Setuju. Tetapi bukan itu yang kuminta.”
“Kau benar-benar tak mau membuang
ke sempatan ya?” Sudrajat bersungut-sungut.
“Baiklah. Miranda, tidak lebih kuat dari
Rosmalina. Lagi, Miranda begitu polos. Jujur.
Dia tidak berusaha menutup-nutupi sesuatu
yang dapat memberatkan dirinya. Sepintas
lalu, 99% ia bebas dari sangkaan.”
“Dan,” Bramandita menarik wajah lega.
“Persetan dengan yang satu persen sisanya.
Apa yang harus kutulis?”
“Biarkan aku bernafas. Rama.”
“Dan, berikan sesuatu untuk kukunyah,”
Bramandita tak mau kalah.
“Jadah! Okelah. Untuk sementara,
kesimpulanku pembunuh itu seorang laki-laki.
Lelaki tinggi besar, kuat. Berdarah dingin,
mampu berbuat hal-hal luar biasa. Mungkin
maniac. Dan supaya koranmu laris seperti
kacang goreng, kau tambahkan saja: mungkin
dia itu mahluk penghisap darah !”
Sudrajat masuk ke mobil, menghempas
kan pintu sampai tertutup dengan bunyi keras,
lantas meluncur pergi.
***
EMPAT
“BENARKAH dia sudah mati, Rama?”
Bramandita menutupkan pintu di
belakangnya. Menatap Miranda yang duduk
kaku dengan pipinya yang pucat dibasahi air
mata. “Mengapa kau masih...”
“Benarkah dia sudah mati?!”
“Mayatnya kulihat sendiri, Mira. Dan...”
Dan, betapapun kuat Miranda menggigit
bibir; betapapun keras kedua tangannya
mengepal…, akhirnya perempuan itu meledak
juga dalam isak tangis. Sekujur tubuhnya yang
ramping tergetar hebat. “Mengapa?” ia
mengerang. “Mengapa dia harus mati?
Mengapa… dia meninggalkan aku begitu
cepat? Apa… apa yang telah kuperbuat?” Lalu
dengan liar tangannya menjambaki rambut
sendiri dengan kaki dihentak-hentakkan ke
lantai. “Apa kesalahanku… apaa…?”
“Mira!”
Bramandita menyerbu perempuan itu,
hanya dua tiga detik sebelum tubuh Miranda
jatuh ke lantai. Panik Bramandita memanggil-
manggil pelayan, membopong tubuh Miranda
dalam pelukan lengan-lengannya yang kokoh
kemudian membaringkannya di ranjang kamar
tidur perempuan itu. Pelayan yang tak muncul-
muncul semenjak membukakan pintu untuk
tamu tamu nyonyanya, datang berlari-larian
dari belakang.
“Ada apa, Tuan? Apa yang… Astaga!”
“Punya minyak angin, bi Supi?”
Bramandita menepuk-nepuk pipi
Miranda yang pingsan.
Pelayan berlari ke luar kamar, dan
kembali dengan obat yang diminta Bramandita.
Dengan minyak angin berbau keras itu
Bramandita mengusap-usap tengkuk dan
bawah hidung Miranda, sampai Miranda
perlahan-lahan bergerak, tetapi belum juga
membuka matanya. Sibuk lagi Bramandita
mengusap, memijit, memanggil-manggil nama
perempuan itu. “Bi Supi. Ambilkan segelas air.”
Lama Bramandita menunggu, Miranda
tak juga sadarkan diri. Demikian pula air putih
yang dimintanya tidak juga muncul.
Bramandita berpaling ke belakang, karena
merasakan sesuatu yang ganjil pada
tengkuknya. Dan ia terkejut setengah mati
setelah menyadari bahwa bi Supi tegak
mematung persis di belakangnya. Sepasang
mata perempuan tua itu menyorot tajam tak
berkedip. Mulutnya kumat-kamit, namun tak
ada suara, perempuan yang rambutnya sudah
memutih semua itu maju ke depan.
Bramandita bergeser dengan sendirinya.
Begitupun, ia masih kurang cepat.
Karena jalannya terhalang, bukannya bi
Supi menghindari tubuh Bramandita.
Melainkan, melabraknya! Bramandita sampai
hampir terjatuh, terbelalak kaget karena
kekuatan dorongan tubuh pelayan perempuan
yang tampaknya kecil dan tak berdaya itu. Bi
Supi terus membungkuk. Kedua tangannya
memegang dan kemudian memijit masing-
masing ibu jari kaki Miranda.
“Bangunlah, nak,” bisiknya. Lembut.
Sepasang kelopak mata Miranda tahu-
tahu saja terpentang. Nyalang. Bola matanya
berputar sebentar. Liar. Dan setelah bi Supi
melepaskan pijitannya pada ibu jari kaki
Miranda, putaran mata yang liar itu berhenti.
Miranda mengerjap-ngerjap sementara bi Supi
mundur menjauh, la tersenyum pada
Bramandita. Berbisik ramah: “Dengan cara
itulah tadi dia saya bangunkan ketika Tuan
Rama datang,” lalu perempuan itu
mengundurkan diri dari kamar.
“... Rama?”
Bramandita yang masih ternganga bingung
menatap kepergian pelayan perempuan itu,
tersentak seketika, la berpaling dan mendekat
ke tempat tidur. “Ya, Mira?”
“Maafkan ketololanku barusan.”
Miranda mencoba tersenyum, sambil tangan
nya melambai menyuruh Bramandita duduk di
sampingnya, yang segera dipatuhi laki-laki itu
dengan senang hati.
“Wajar, Mira.”
“Tidak. Sifat sentimentil paling kubenci.
Waktu temanmu masih ada, aku dapat
bertahan. Namun begitu yang tinggal cuma kita
berdua, aku lantas teringat ada sesuatu yang
kurang. Sesuatu itu adalah orang ketiga.
Lesmana,” Miranda menggigit bibir, kemudian
menarik nafas panjang. “Kematian yang
mengerikan, bukan?”
“Mira. Cobalah lupakan...”
“Aku tak bisa.”
“Lesmana sudah pergi.”
Mendengar itu, sepasang mata Miranda
berkilat selagi menatap lurus ke mata
Bramandita. “Tahukah kau apa arti ucapanmu
itu, Rama?”
“Ya?”
“Berarti, yang tinggal cuma Rama dan Shinta.”
“Mira…,” Bramandita tercekat.
“Mengapa kau tidak berhenti memanggil
ku Mira? Bukankah kau pernah memanggilku,
Shinta? Walau hanya satu kali?”
Bramandita gemetar. Terkilas peristiwa
masa silam di matanya, la demam, Miranda
datang menjenguk. Dalam demamnya, ia
diganggu pikiran akan hati yang patah. Waktu
itu, Bramandita mengigau keras, setengah
berteriak memelas: “Sinta! Menyapa kau justru
mencintai Lesmana?!” Waktu itu pula. sadar
akan keadaan Bramandita, sadar pula akan jerit
hatinya sendiri. Miranda langsung memeluk
dan menciumi Bramandita. Naluri yang lama
tertekan mendorong Bramandita bertindak
ceroboh. la balas memeluk, balas mencium.
Karena tidak ada perlawanan dari Miranda, ia
akhirnya kesurupan. Tidak lagi sekedar
mencium atau memeluk, la menggerayangi
tubuh gadis itu, berusaha dengan paksa
menanggalkan pakaiannya. Namun sebelum
semuanya terlambat, sekonyong-konyong
Miranda menampar pipi Bramandita dengan
keras, meronta; menjatuhkan diri di lantai,
kemudian menangis. Kata Miranda:
“Dia telah mendahuluimu, Rama.
Lesmana sudah mengambil apa yang seharus
nya kuberikan pada seorang suami. Jangan,
Rama. Jangan paksa aku menerima dua benih
sekaligus, meski dua-dua kalian sama kucintai!”
***
“Mengapa membisu, Rama?”
Bramandita tergetar. “Semuanya sudah
berlalu, Mira.”
“Shinta. Panggil aku Shinta,” Miranda
setengah tegak dari baringnya, untuk
menggapai tangan Bramandita dan menekan
kan telapak tangan laki laki itu ke dadanya.
Bramandita merasakan gunung di
telapak tangannya berdentum dentum, siap
meletus dan menghancurkan benteng
pertahanannya. “Tidak mungkin, Mira...” ia
mengeluh, setengah hati.
“Mungkin. Rama. Karena Lesmana sudah
mati.”
“Karena itulah...”
“Tahukah kau?” Miranda duduk kini.
Bersimpuh di tempat tidur. Sepasang telapak
tangannya mengusap-usap kedua belah pipi
Bramandita, kemudian melingkari leher laki-
laki itu, menarik wajahnya lebih dekat.
“Tahukah kau,” bisiknya, kembali histeri.
“Sudah lebih dari empat bulan Lesmana tidak
menyetubuhi aku. la lebih suka menyetubuhi
perempuan lain itu!”
“Mira...”
“Peluk aku. Rama. Cium aku seperti dulu.
Lakukanlah apapun yang kau kehendaki waktu
itu. Aku… aku menginginkan engkau. Rama.
Oh,… ” dan Miranda tidak menunggu, la
langsung bertindak, la mencium bibir
Bramandita, mengulumnya seperti orang gila,
menyeret tubuh tinggi kekar itu dengan
kekuatan yang luar biasa dahsyat. Sampai
Bramandita tercelentang di tempat tidur dan
Miranda lampung menjatuhkan seluruh tubuh
nya di atas tubuh laki-laki itu, tanpa
melepaskan pelukan maupun ciuman tubirnya.
Dan setengah jam berikutnya, selagi
Miranda masuk ke kamar mandi yang menyatu
dengm kamar tidur itu. Bramandita terbadai di
bawah selimut, dengan sepasang mata nyalang
menatap langit-langit kamar. Di langit-langit ia
menemukan apa yang ia cari. Tedi Jukandi
menghambur dengan tangkas, merangkul
tubuh Miranda dan belakang. Berbisik mesra:
“... aku mencintaimu!” Piring kotor di tangan
Miranda jatuh berderai di bak cuci Air dari
kraan terus mengucur. Putih bening, kemudian
berubah merah. merah dan semakin merah.
Bak cuci penuh darah. Dan Bramandita
terkapar di lantai. Ataukah beranda? Lehernya
hampir putus, dan alat vitalnya…
“Mira?” Bramindita mengerang Karena
tak ada sahutan, ia memperkeras suaranya:
“Mirar?”
Dari kamar mandi, muncul Miranda
dengan tubuh setengah telanjang terbungkus
handuk. “Ya, Rama?” Perempuan itu bergerak
naik ke tempat tidur, melemparkan handuk
dan menyelusup ke bawah selimut satu
satunya yang ada di ranjang itu.
“Tahukah kau apa yang barusan kita
perbuat?” tanya Bramandita, lirih.
“Menyesal, Rama?”
“Seharusnya kita berkabung!”
“Untuk seseorang yang pernah
mendepakmu? Kemudian mendepak aku?!”
Miranda berkata sengit. “Tidak tahukah kau
besarnya hasratku membunuh dia, ketika aku
dipukulinya,… dan ketika dia bilang akan
menceraikan aku?”
“Mira. Ingatlah, la suamimu...” ujar
Bramandita, menegur.
“Memang. Tetapi itu karena aku tidak
punya pilihan.”
“Maksudmu?”
“Waktu ia tahu aku juga mencintaimu
diam-diam, ia langsung mengambil jalan
pintas. Suatu malam ia datang menemuiku
dengan dalih meminjam buku catatan kuliah, la
merayuku. Ketika aku menolak, ia memperkosa
aku,…” sudut-sudut mata Miranda kembali
dilinangi butir-butir air bening. “Mau tak mau
terpaksa pinangannya kuterima.”
Bramandita terdiam.
la berpikir. Tetapi otaknya buntu. Kalut,
la menyesali sesuatu. Bangga akan sesuatu.
Tetapi ia tidak dapat menguraikan, apa yang ia
sesali. Apa yang mesti ia banggakan.
Pelan-pelan ia turun dari ranjang.
Menjangkau pakaiannya yang
berserakan. Kemeja terhampar di lantai.
Celana tertumpuk di sudut ranjang, la
mengenakannya satu persatu, dengan tangan-
tangan gemetar.
“Mau ke mana, Rama?”
“Pulang.”
“Ke isterimu?”
“la minggat lagi,” jawab Bramandita,
terus terang.
Miranda bangkit, menutupkan selimut
ke tubuhnya. Dan merangkul Bramandita dari
belakang. Berbisik: “Katakanlah, kau tidak
pernah mencintai Retno.”
Bramandita diam.
“Hebat bukan Lesmana? la sodorkan
salah seorang bekas pacarnya padamu.
Mengatakan Retno anak baik. Punya sifat
keibuan. Tahu menjaga diri. Setia. Jujur. Segala
macamlah. Apa nyatanya, la sudah hamil dua
bulan ketika dia berhasil merayumu supaya
menidurinya. Lalu ia… dengan perut bunting
nya, menuntut supaya kau kawini dengan syah.
Dan kau… ”
Sekujur tubuh Bramandita tegang kaku.
la ingin berteriak lantang. Namun yang keluar
hanya rintihan sayup-sayup: “Jangan berpikir,
bayi itu adalah Ratno.” ,
“Siapa yang menghendaki Retno meng
gugurkan kandungannya, Rama?”
“Aku. Sebagai syarat,…” Bramandita
menggigil. ”Aku tidak mau punya seorang anak
yang tiduk kuketahui siapa ayahnya!”
“Dan. Ratno?”
Bramandita melepaskan rangkulan
Miranda. Berbalik menghadap perempuan itu,
dan dengan wajah merah padam ia
menantang: “Akan ku bunuh siapapun juga
yang lancang mengatakan Ratno bukan
anakku!”
Miranda terduduk di tepi ranjang.
“Maafkan aku, Rama.”
Bramandita tidak menjawab, la bergegas
meninggalkan kamar tidur. Menyambar tustel
nya yang tertinggal di ruang tamu, dan
beranjak ke pintu depan. Miranda menyusul,
tetapi hanya sampai di ambang pintu kamar.
“Rama...”
Bramandita ingin terbang. Tetapi
jiwanya memerintahkan jangan. Jiwa itu
pernah terkapar hampir sekarat karena cinta.
Retno, atau tepatnya anaknya Ratno,…
membangkitkan jiwa itu kembali, untuk tetap
hidup. Tetap tabah. Namun biar bagaimana,
toh cinta yang mengerikan itu tidak juga mau
padam.
Itulah yang membuatnya tidak lantas
terbang begitu saja.
“Apa lagi, Mira?”
“Tentang Tedi...”
“Oh,” lemas sekujur tubuh Bramandita.
“Dia tetap sahabatku. Karena itu, aku akan
mengurusnya.”
“Terimakasih, Rama.”
“Kalau kau masih perlu sesuatu, telepon
saja aku di kantor...”
***
BUAT apa pulang ke rumah kosong?
Maka dengan perasaan muak, begitu
mendapat kan taksi, Bramandita langsung
pergi ke kantor mereka yang berlokasi di
percetakan negara itu. la tidak tahu apakah ia
harus membuat berita tentang kematian
sahabatnya atau jangan, la ke kantor, hanya
karena ia tidak tahu harus pergi ke mana.
“Abang ini wartawan?” supir taksi
bertanya ingin tahu.
“Apa?”
“Abang bawa tustel. Dan abang minta
diantarkan ke sebuah alamat di mana aku tahu
ada pencetakan sekian banyak suratkabar yang
beredar di metropolitan ini.”
“Hem. Lantas?” .
“Sudah dengar tentang peristiwa itu?”
“Yang mana?” Bramandita bertanya,
hanya sekedar ingin bertanya. Karena ia sudah
tahu arah pembicaraan orang itu.
Bagaimanapun, dia ini supir taksi. Dan salah
seorang rekannya sepropesi, telah mati malam
ini.
“Pembunuhan di Ciputat. Gang Masturi...”
“Oh. Itu. Hanya dengar sambil Jalu,”
Bramandita akan ditertawakan supir taksi,
kalau sebagai seorang kuli tinta ia tidak
mengetahui peristiwa yang pasti mengheboh
kan itu. “Kudengar ada seorang kawanmu
terbunuh.”
“Betul, bang. Kasihan. Dia baru menikah
minggu kemaren. Masih hangat-hangatnya.
Isterinya terpaksa jadi janda dua kali...”
“Oh ya? Jadi ia menikahi seorang janda?”
timpal Bramandita, sambil mencatat
pembicaraan itu dalam otak jurnalisnya. Pelan-
pelan, hasrat untuk menulis berita yang sempat
hilang, kembali tampil ke depan. Bramandita
mulai bersemangat. Dan ia harus tetap hidup,
bukan?
“Benar, Oom. Janda, dengan empat anak.”
“Wah. la mau?”
“Masih muda, Oom. Dan lumayan molek.
Anak-anaknya masih kecil. Dua di antaranya
kembar. Mereka ditinggal mati oleh ayah
mereka yang berpenyakit liver.”
“Termasuk kaya dong, bekas suami janda itu.”
“Bukan kaya lagi. Sebagian armada taksi
ini adalah sahamnya.”
“Lho. Kok kawanmu itu masih menarik
penumpang, kalau begitu.”
“Alasannya dapat diterima sang isteri.
Membawa sendiri, perawatan taksi lebih
terjamin. Alasan lainnya, ia tidak ingin hidup di
bawah ketiak isteri. Ingin punya penghasilan
sendiri.”
“Hebat!”
“Benar. Anak hebat kawanku itu. Belum
seminggu kawin, sudah punya simpanan di
luar. Lebih muda, tentu. Lebih cantik. Masih
perawan lagi. Mungkin karena itu, malam ini
dia apes. Ketemu hantu, lalu mati.”
“Hantu?”
“Apa lagi. Bukankah ia tidak luka. Tidak
pula digerayangi miliknya. Kata mereka,
wajahnya begitu menyeramkan. Apa lagi kalau
bukan karena melihat hantu?”
“Kudengar, ia berperyakit jantung.
“Bohon. Aku kenal dia. la seorang
perenang juga gemar angkat besi. Ah, inilah
misteri hidup, bukan? Ia bertemu pacarnya di
arena renang, empat hari yang lalu. Beberapa
minggu sebelumnya ia bertemu istrinya yang
janda itu, di arena angkat besi.”
“Istrinya juga atlit angkat besi?”
“Bukan. Malah kupikir, perempuan itu
tidak tahu menahu soal angkat besi. la datang
menonton, karena keranjingan pada otot-otot
baja yang mentakjubkan. Dalam pikirannya,
tentulah laki-laki berotot baja itu juga
mentakjubkan di atas ranjang.”
“Kau mengada-ada.”
“Serius, bang. Aku sendiri hadir ketika
kawanku yang mati itu dulu habis latihan
anqkat besi di gymnasium, sang janda datang
membantu menyeka keringatnya. Semenjak
hari itu mereka tak pernah lepas satu sama
lain...”
Tentu saja, soal-soal pribadi itu lebih
diperhalus Bramandita ketika ia membuat
beritanya di kantor. Sebelumnya ia telah
menelepon ke kantor polisi. Kapten Sudrajat
memberitahu bahwa taksi yang misterius itu
telah ditemukan di sebuah jalanan yang sepi.
Bagian depannya penyok karena menabrak
pilar sebuah rumah. Sudrajat juga memberi
tahu bahwa mayat Tedi telah diangkut ke
rumah sakit untuk autopsi. Hasilnya baru
diketahui paling cepat besok siang, karena
dokter Sulaeman tidak sudi bekerja sendirian.
“Dia sudah sedeng, barangkali. Coba saja
Rama. Masa untuk mengotopsi mayat orang,
dia merasa perlu mengundang kehadiran
seorang dokter hewan dan seorang ahli yang
khusus menangani binatang-binatang besar
serta buas? Binatang apa yang dapat menyetir
mobil dan kemudian meninggalkannya begitu
saja tanpa membuat kegaduhan?” demikian
Sudrajat mencak-mencak di telepon.
Selesai membuat berita, Bramandita
mendatangi petugas kamar gelap, la
mendapatkan beberapa seri foto yang sudah
dicetak, dan menyerahkannya pula pada Rujito
yang asyik menekuni naskah hasil kerja
Bramandita. Rujito begitu antusias terhadap
naskah berita yang satu itu, sehingga ia merasa
perlu menghubungi kepala bagian lay-out dan
memberitahu agar head-line utama yang sudah
disusun agar dicabut dan dipindahkan ke kolom
yang lain.
Tetapi begitu Rujito menerima foto-foto
yang disodorkan Bramandita, wajah Rujito
mendadak berubah, la seolah kehilangan nafsu
makan meski sudak sebulan berpuasa penuh.
“Cuma ini yang kau dapat? Wajah
seorang supir taksi yang sedang tidur lelap?”
Rujito menghempaskan !embaran-lembaran
foto itu ke atas mejanya. Mendelik pada
Bramandita, dan menuntut: “Mana leher yang
hampir putus diterkam mahluk biadab itu?
Mana alat vital korban yang direnggut putus
itu?”
“Alat vitalnya lenyap secara misterius,”
jawab Bramandita kalem. “Kalaupun ditemu
kan, jangan berpikir aku bersedia memotret
nya. Sedang leher, sudah dibawa oleh
pemiliknya ke rumah sakit.”
Rujito bagai dilanda tank baja. Ia
terhenyak di kursinya dengan wajah pucat dan
mulut megap-megap kehabisan nafas.
Merasa iba, Bramandita bergumam
halus: “Kalaupun kita muat foto mayat yang
satu lagi,… tegakah abang membawa pulang
surat kabar terbitan pagi ini untuk dibaca anak
isteri di rumah?”
Barulah Rujito tenang kembali.
la mengawasi mata Bramandita,
kemudian berbisik parau: “Kau menyembunyi
kan sesuatu dari aku.”
Bramandita tersenyum. Pahit.
“Berilah alasan sesungguhnya, Rama,
agar besok siang aku rela hati dibentak-bentak
bos kita…”
“Ajukan saja sebuah pertanyaan pada
mereka...”
“Apa?”
“Tanyakan, apa yang akan mereka
perbuat, andaikata yang mati terbunuh itu
seorang sahabat yang sudah seperti saudara
kandung layaknya?”
Rujito tersenyum. Menghina. “Buat
mereka, apabila ada kesempatan menampung
banjir uang ke dalam laci, mereka tak akan
perduli apakah yang kita muat foto nenek
kandung mereka yang sudah pikun, berak di
tengah jalan tol...” senyuman Rujito melebar,
senang akan leluconnya itu. Lalu menambah
kan: “Tetapi alasanmu itu dapat kupakai
sebagai alat penuli telinga.”
***
LIMA
BRAMANDITA merasakan sesuatu yang
aneh mengganjal dadanya, tatkala jenasah Tedi
“Lesmana” Jukandi diturunkan ke liang lahat.
Pemandangan itu mirip sebuah nostalgia yang
sampai kapan pun akan tetap menggurat
hatinya yang paling dalam.
Mungkin mereka sudah gila semua,
tetapi mereka telah melakukannya dan
berhasil. Atau sebenarnya. Tedi Jukandi
seorang yang telah berhasil menenangkan
sesuatu. Paman Margono memperbolehkan
sebuah peti perkakas miliknya yang sudah tua
tetapi masih kuat, dipinjam oleh keponakannya
dengan alasan untuk dipakai main perahu-
perahuan di sungai... menyenang-nyenangkan
hati rombongan kecil temannya yang datang
dari kota. Dibantu Ambarita dan Tedi sendiri,
Margono menutup setiap celah yang terdapat
di setiap sisi, termasuk tutup peti. Pada tutup
peti itu di bor sebuah lubang, cukup untuk
memasukkan sebatang lidi.
Peti persegi empat dan panjangnya
kebetulan pas seukuran manusia dewasa itu
mereka gotong ke tempat penumpukan pasir
hasil galian paman Margono dari tengah
sungai. Setelah diletakkan di sebuah bidang
tanah datar. Tedi menyelusup masuk ke dalam
peti. Sebelumnya lebih dulu ia berteriak:
“Semua sudah menyimpan taruhannya?”
Semua bilang sudah, kecuali Bramandita.
Margono meletakkan pulpen merk Parker
dekat kaki Miranda. Di tempat yang sama
Ambarita meletakkan kacamatanya yang paling
disayangi. Dina meletakkan arloji, demikian
pula Dini. Sedang Miranda sendiri meletakkan
di atas tumpukan barang-barang kecil tetapi
bernilai tinggi itu sepasang anting berlian
miliknya.
Hampir tak ada yang memperhatikan
bahwa Bramandita tidak meletakkan sesuatu
apapun juga. Mereka semua terlalu tegang
memikirkan apa yang bakal terjadi, resiko apa
yang akan mereka hadapi. Lain halnya dengan
Dina dan Dini. Si kembar Hitam Putih yang ajaib
yang dilanda gelisah. Dua bersaudara itu
rupanya tidak dapat dikelabui.
Dina berbisik di telinga kiri Bramandita:
“Aku yakin, kau yang punya ide!”
Dini berbisik di telinga kanan Bramandita:
“Taruhanmu pastilah Shinta...!”
Demikian juga, taruhan Tedi Jukandi.
Dia yang punya ide itu. ketika dalam
gudang paman Margono Tedi menemukan peti
usang yang beriwayat itu. Dan Tedi masih
punya taruhan lain yang sangat berbahaya:
mati.
Meremang bulu roma Bramandita
seketika. Mulutnya sudah mangap mau
berteriak supaya permainan edan itu
dihentikan saja. Tetapi Tedi Jukandi sudah
lenyap ke dalam peti. Disusul teriakannya yang
lantang: “Lima menit. Tak kurang, tak lebih!”
Margono, Ambarita dan Bramandita
segera bekerja dengan sekop dan pacul,
menumpukkan pasir di sekitar peti. Ketika akan
mencapai tepi bagian atas, dari dalam peti Tedi
memperlihatkan senyuman tipis, ditujukan
pada Bramandita. Senyuman itu melambang
kan ketetapan hati dan keyakinannya akan diri
sendiri. “Aku akan menang,” bisiknya.
Lalu tutup peti dikatupkan rapat-rapat.
Hilang sudah Tedi Jukandi. Tinggal sebatang lidi
sepanjang lengan, yang diselusupkan ke dalam
lubang kecil itu. Kembali mereka bertiga
menumpukkan pasir secepat mereka mampu.
Setelah seluruh peti benar-benar tertimbun
rapat tanpa ada celah untuk udara keluar
masuk, mereka berenam yang berkerumun di
luar timbunan maut itu memperhatikan arloji
di tangan Miranda. Semua menghitung, detik
demi detik. Keringat bercucuran membanjiri
tubuh Margono. Ambarita beberapa kali
menyeka wajahnya yang pucat. Bramandita
sempoyongan, namun dengan mata sekop
tetap mengambang di permukaan gundukan
pasir, siap untuk sesewaktu diperlukan. Dina
kemudian duduk dengan nafas tersengal-
sengal. Sedang Dini permisi, katanya mau
kencing; semua maklum, mengapa Dini
mendadak ingin kencing.
Hanya Miranda yang tetap tenang.
Matanya tak lepas mengawasi putaran
jarum arloji. Tak pernah sekalipun berkedip.
Mulut terkatup, rapat, seolah tanpa perasaan.
Hanya dadanya saja yang tampak naik turun.
Tidak teratur. Sesekali Miranda melirik ujung
lidi yang tersembul sepanjang lima jari di
tengah gundukan pasir. Tiap kali ia berpaling ke
lidi, yang lain ikut melihat arah yang sama.
Kalau ia kembali mengawasi jarum jam
tangannya, yang lain berbuat serupa.
Bramandita seorang saja yang tidak mau
melepaskan matanya dari ujung lidi itu.
Berharap, lidi itu bergerak naik turun dalam
setiap detik. Bukan karena ia ingin keluar
sebagai pemenang. Melainkan, karena ia tidak
dapat membayangkan Tedi Jukandi mati
karena idenya yang menyeramkan itu. Dan,
ujung lidi itu tetap tegak. Diam.
“… enam lima empat tiga dua satu.
Sekarang !” sekonyong-konyong Miranda
berteriak.
Bramandita langsung menggerakkan
sekop di tangannya. Berteriak-teriak bagai
orang kesetanan: “Hayo, Gono. Cepat. Ambar,
pergunakan saja tanganmu! Hei, kau Dini.
Minggir! Ayo Mira, pakai sepatumu
mengoreknya… Tuhanku! Tolonglah…”
Tutup peti dibuka oleh Bramandita
sebelum semua pasir yang menumpukinya
berhasil disingkirkan. Di dalam, Tedi Jukandi
terbaring diam. Mulanya mengatup rapat.
Demikian pula mulutnya yang menjepit ujung
lain lidi itu. Bramandita muncabut lidi tersebut,
melemparkannya dan berbisik tertahan:
“Katakanlah kau masih hidup, saudaraku.
Persetan, apapun yang ingin kau kehendaki
dari diriku!”
Tedi Jukandi membuka matanya.
Lalu tersenyum lebar. Dia telah
memenangkan taruhannya. Dan Bramandita…
dengan siapa Tedi diam-diam morencanakan
ide itu… semenjak detik pertama Tedi
membuka matanya di dalam peti; harus
mengatakan “tidak”, apabila Miranda bertanya
apakah Bramandita cinta padanya…
***
“WAKTUNYA untuk pulung, nak.”
Suara Kapten Sudrajat membuyarkan
lamunan Bramandita. la tersedak sekali. Lalu:
“Siapa yang pulang?”
Sudrajat tertegun. Kemudian berpaling
ke gundukan makam Tedi Jukandi. Katanya:
“Kau tidak berdo'a agar ia pulang dengan
tenang ke haribaan-Nya?”
Bramandita mencobanya.
Tetapi ia tidak mampu, kecuali
mengingat beberapa ayat-ayat pendek. Itu pun
kacau balau. Hampir semua pengiring jenasah
sudah meninggalkan tempat itu. Tinggal
seorang dua keluarga yang tetap bersimpuh.
Berdo'a, seraya mencucurkan air mata.
Akhirnya Bramandita menurut ketika di
bimbing oleh Sudrajat menuju ke mobilnya
yang diparkir di luar komplek pemakaman.
“Kuantar ke mana, nak?”
“Kantorku saja.”
“Oke.”
Mobil meluncur ke jalan raya. Suasana
mati di pemakaman dalam sekejap berubah
hiruk pikuk dengan suasana Jakarta yang tetap
hidup biarpun panas terik memanggang ubun-
ubun. Jalanan macet total menjelang kantor
yang dituju. Tetapi Sudrajat melupakan
kebiasaannya memaki-maki. Kalau ia memaki,
ia akan melukai hati Bramandita. Selain itu, ia
tidak mau memaki korpsnya sendiri… meski
dari satuan yang lain.
“Beritahu pagi ini...” Sudrajat nyeletuk
sekedar nyeletuk. “Mendorongku untuk
berpikir lebih keras.”
“Mengenai apa?”
“Supir taksi yang mati itu. Setelah
membaca berita yang kau tulis, aku lantas
menghubungi sejumlah orang dan beberapa
saksi. Yang awam, maupun yang ahli.
Kesimpulan mereka, kau benar. Orang itu
bukan penderita penyakit jantung...”
“Lantas?”
“Itu berarti, ia mati karena kejutan yang
luar biasa. Jauh lebih dahsyat dari kejutan yang
dialami seorang Jenderal manakala ia lihat
seluruh pasukan nya gugur bergelimpangan,
padahal dia yakin kemenangan sudah di depan
mata...”
“Jelasnya?”
“Supir taksi itu mati setelah melihat
sesuatu. Sesuatu yang walau tidak menyentuh
nya, tetapi telah mampu menghentikan detak
jantungnya,” Sudrajat meludah ke luar, karena
sebuah mobil menyalip mereka di tengah
macetnya lalu lintas. “Hei. Ia pikir aku ini apa?
Tidakkah ia hargai barang sedikit plaat dinas
polisi pada mobilku?” sang kapten menggerutu
panjang pendek. “Mau kutangkap, ya?”
Bramandita tersenyum. “Tangkaplah dia,
pak. Hanya terima saranku. Sekali bapak turun,
lalu lintas akan tidak karu-karuan. Aku akan
memotret bapak adu otot dengan ribuan
pengemudi serta penumpang mobil itu. Itu
dapat dijadikan sebuah foto dan berita
eksklusif.”
“Jadah !”
“Bagaimana skenarionya, pak Drajat?”
“Begini. Tedi baru saja ke luar pintu.
Diantar Rosmalina sampai ke beranda.
Katakanlah; mereka sempat berciuman dulu.
Cium perpisahan… yang ternyata untuk
selama-lamanya. Pada saat itulah sang mahluk
datang menyerbu. Tedi mendorong Rosmalina
ke dalam rumah. Dan ia berjuang sendirian
melawan si mahluk. Namun karena yang ia
hadapi bukan mahluk sembarangan, Tedi
menyerah dalam tempo singkat.
Rosmalina menjerit. Ronggur
mendengar jeritannya, lantas membuka
jendela depan rumahnya. Mungkin terlalu
keras. Mahluk itu mendengarnya, dan
kemudian kabur. Sementara Ronggur masih
ragu-ragu apakah akan keluar atau tidak. Supir
taksi juga mendengar jeritan Rosmalina. la
turun dari taksinya. Baru beberapa langkah, ia
sudah berhadapan dengan mahluk yang sama.
Supir taksi yang kaget itu, berteriak. Lalu
mati. Mahluk itu masuk ke dalam taksi. Lantas
lenyap, entah ke mana.”
“Bagaimana dengan taksi yang penyok itu?”
“Tak ada petunjuk. Kecuali sidik-sidik jari
Yang aneh. Sidik jari mana masih kami periksa
di laboratorium.”
“Seseorang mesti melihatnya lari setelah
taksi itu terhenti begitu menyambar pilar.
Sudah dilacak?”
“Sedang.”
“Hasilnya?”
“Negatip positip.”
“Apa pula itu?”
“Negatip. Karena tidak seorang pun yang
melihat ketika mahluk itu keluar dari dalam
taksi. Tempat sunyi, ingat. Tengah malam lagi,”
Sudrajat memajukan mobil perlahan-lahan,
mengikuti arus yang bergerak terus ke depan.
“Yang positip, keterangan dari seorang pemilik
rumah yang pilarnya kena tabrak. Karena
anjingnya terus menggonggong ribut, ia
mengintip lewat jendela. Tampak sebuah taksi
warna kuning berlalu. Di pinggir jalan, ia lihat
ada sebuah mobil lain diparkir. Mobil warna
gelap, yang merk maupun tahunnya tidak
begitu ia ingat.
Karena anjingnya berhenti menggong-
gong, ia meneruskan pekerjaannya membuat
sebuah sket bangunan. Orang itu arsitek, kalau
kau tertarik. Suatu saat. ia dengar suara
berderak di luar rumah. Anjingnya kembali
ribut menyalak. Tetapi karena arsitek itu lagi
terpusat konsentrasinya pada sket yang hampir
selesai, baru beberapa menit kemudian ia
teringat untuk menyelidiki suara apa yang tadi
ia dengar, mengapa anjingnya yang tadi
menyalak kini diam lagi. Lewat jendela, ia lihat
mobil warna gelap tadi sudah lenyap. Sebagai
gantinya, kembali ia temukan sebuah mobil
taksi kuning, la mengumpat-umpat dulu
setelah mengetahui pilar tembok pagar
rumahnya runtuh. Baru menelepon polisi...”
Mobil meluncur lebih cepat setelah
mereka melewati lampu hijau.
Karena Sudrajat tak lagi mengatakan
apa-apa, Bramandita nyeletuk: “Habis?”
“Apa? Pilar itu?”
“Cerita bapak.”
“Oooo. Habis. Untuk sementara.”
“Kukira belum.”
“Ada yang salah?”
“Ya. Bapak beberapa kali menyebut kata
'mahluk'. Bukan lagi 'manusia', itu menarik
perhatian saya. Punya sebab?”
“Oh-oh. Kukira, aku juga ikut pikun.”
“Karena dokter Sulaeman?”
“Betul. Dia punya dugaan kuat,
pembunuh yang kita cari bukan manusia biasa.
Kubilang: kalau begitu, manusia luar biasa
dong. Dokter sialan itu geleng kepala. Dia
bilang, ia tidak tahu apa yang menyerang Tedi
dan kemudian mengejutkan si supir taksi.
Namun ia dapat memberi gambaran kasar.”
“Gambarkan pula padaku, pak Drajat.”
“Baik. Tetapi off-de-record ya?”
“Hei. Seram banget!” seru Bramandita,
kecewa.
“Aku tak mau reputasiku jatuh. Itu satu
Yang kedua, siapapun tak menghendaki kota
metropolitan ini goncang, gaduh, gempar. Atau
semacam itu. Mungkin 80% penduduk Jakarta
akan mentertawakan. Tetapi sisa yang 20% itu
dapat saja membuat mereka berhenti
tertawa.”
“Wah!”
“Memang wah. Si pikun botak berkaca
mata min satu setengah itu bilang, hanya
manusia biasa yang dapat menyetir mobil
sejauh itu, tanpa mengalami gangguan
sepanjang jalan. Sebaliknya dia juga bilang, dia
dan teman-teman yang dia undang
sependapat, luka-luka yang terdapat pada
tubuh Tedi hanya dapat dibuat oleh kuku atau
gigi taring yang selain besar, juga panjang dan
runcing setajam pisau silet. Belum lagi bulu-
bulu yang kita jadikan barang bukti itu...”
“Bulu. Bukan rambut.”
“Bisa benar, bisa salah. Karena kata
mereka, sukar memastikan apakah bulu atau
rambut yang tumbuh di sekujur tubuh seekor
kera.”
“Ke… ke... raaa?”
“Kok wajahmu pucat. Rama. Apa kau
belum pernah melihat kera
*****
ENAM
BRAMANDITA punya kebiasaan buruk.
Sering melek malam. Ngebut mengejar berita
mendadak. Atau mengetik artikel apa saja yang
menyangkut dunia kriminil dan menarik.untuk
dihidangkan pada pembaca. Terkadang ia juga
membuat cerita pendek berbau perkara-
perkara kejahatan. Sekitar pukul tiga atau
empat pagi barulah Bramandita merayap ke
tempat tidur. Letih. Dan mengantuk setengah
mati.
Sebaliknya, justru pada jam-jam itulah
isteri-nya bangun. Semenjak anak mereka lahir.
Retno pelan-pelan mulai belajar menjadi
seorang Muslimat yang taat. Katanya, untuk
menebus dosa-dosa masa lalu. Alasan lain, tak
ingin anak mereka kelak mengikuti jejaknya
yang pernah keliru langkah. Habis menunaikan
sholat subuh, Retno mencuci pakaian kotor.
Terus memperiapkan santapan pagi. Lalu
mengurus Ratno yang menyusul bangun. Pukul
tujuh, Ratno pergi ke sekolah Taman Kanak-
Kanak di mana ia bekerja sebagai guru. Di mana
juga kemudian Ratno terdaftar sebagai murid.
Baru sekitar pukul sembilan pagi
Bramandita bangun. la terpaksa makan
sarapan pagi yang sudah dingin, itu pun
acapkali harus sendirian. Tak heran Bramandita
sering tidak menyentuh makanan yang tersedia
di meja. la lebih suka sarapan di warung yang
berdekatan dengan kantornya. Ia berkubang di
kantor itu sekitar setengah atau satu jam.
Tergantung apa yang harus ia kerjakan. Setelah
itu getting cari berita di luaran. Bila ada berita
menarik dan beberapa sumber harus didatangi
untuk wawancara atau pemotretan, maka ia
baru pulang ke rumah sekitar pukul lima sore.
Kadang malah tak pulang sama sekali. Kumpul
sebentar dengan anak isteri, lantas minggat lagi
ke kantor untuk menyusun berita-berita yang ia
peroleh hari itu. Atau, memburu bahan-bahan
baru. Menjelang tengah malam baru ia bisa
pulang, dan menemui anak isterinya sudah
terlelap dalam mimpi.
Kebiasaannya itulah yang membuat
Retno berulangkali uring-uringan. Apalagi kalau
bertengkar soal agama. Wah! Bramandita pasti
selalu jadi pecundang. Untuk menjaga wibawa
ia mengingatkan Retno bahwa ia melakukan itu
semua demi perut anak isteri juga. Kalau perlu,
dengan bentakan. Sekali dua, dengan main
tampar. Hanya karena kecintaan pada Ratno
saja yang membuat mereka kemudian saling
memaafkan dan mengurungkan niat untuk
bercerai. Bramandita punya cara paling mudah
dan paling mujarab untuk menundukkan Retno
seret dia ke atas ranjang, telanjangi, lalu
hancurkan naluri seksuilnya.
Setelah itu, semuanya akan beres!
***
TETAPI bukan Itu semua yang membuat
Bramandita malam ini kembali menggeliat
resah di tempat tidurnya. Matanya tak juga
mau dibawa tidur. Karena kebiasaan. Dan
karena memikirkan apakah tindakan yang
diambilnya hari ini, pantas.
Sudrajat tidak keberatan Miranda
meninggalkan kota Jakarta. “Dengan syarat,
setiap saat dipanggil ia harus hadir di kota ini,”
kata Sudrajat. Mulanya enggan. Tetapi
kemudian malu sendiri setelah Bramandita
menandaskan: “Aku jaminannya! “
Baik Pemimpin Redaksi maupun Rujito
tentu saja keberatan. Tapi Bramandita punya
alasan yang kuat untuk bolos kerja. “Tiga tahun
terakhir ini aku belum pernah ambil cuti.
Apalagi, cuma dua hari!” Dan mereka terpaksa
menyerah dan bersedia memberikan uang
sangu sebanyak yang diminta Bramandita.
Mereka juga sempat mengeluarkan syarat:
“Bawalah oleh-oleh menarik untuk koran kita.
bi!a kau nanti pulang kembali.” Dengan tegas
Bramandita menolak: “Namanya juga cuti.
Karena itu aku ingin istirahat total,” katanya.
Tak ada kesulitan.
Baik di Jakarta. Demikian pula di
perjalanan. Kuatir mengantuk di tengah jalan,
mereka memutuskan tidak mempergunakan
mobil Miranda tetapi berangkat ke Bandung
dengan taksi. Dari Bandung mereka naik bus di
terminal Cicaheum.
Turun di Garut. Makan sebentar di
restoran tak jauh dari terminal bus. Terus
melanjutkan perjalanan dengan naik Colt
penumpang. Lewat Cikajang, mereka ganti
kendaraan lagi. Naik oplet Morris tua renta
yang tersendat-sendat membawa penumpang
yang berat melalui jalan-jalan kelas kambing
yang tidak pernah disentuh aspal. Turun dari
oplet, mereka berdua naik ojek sepeda motor
menuju kampung kelahiran Miranda.
Dapat dimengerti mengapa selama di
perjalanan mereka tidak banyak membicara
kan hal-hal yang sifatnya pribadi. Tak mau
dikuping penumpang lain. Mereka hanya
mempercakapkan hal-hal remeh, atau sesuatu
yang mereka lihat dan ingat selama di
perjalanan… terutama setelah mereka
memasuki daerah Kabupaten Garut, yang baru
pertama kalinya diinjak oleh Bramandita. Soal
matinya Tedi Jukandi seolah mereka abaikan.
Begitu pula kenyataan, bahwa Miranda kini
berstatus janda, dan Bramandita masih punya
isteri dan seorang anak. Konon pula
memperdebatkan mengapa Miranda
bersikeras cepat pulang kampung, selain
menerima kenyataan: bahwa Miranda rindu
keluarga sekalian melipur lara.
Apa yang digelisahkan Bramandita
malam ini adalah resiko dari kesediaannya
menemani Miranda. Semakin jauh perjalanan
mereka tempuh, semakin terasa dalam hati
sanubari masing-masing bahwa cinta yang
pernah tumbuh dan pernah dibunuh oleh
keadaan, kini tumbuh kembali. Semakin mekar.
Semakin membara. Tiap sentuhan kulit, tiap
mata memandang, tiap mulut tersenyum; tiap
kali itu pula diam-diam mereka mengutuk masa
lampau. Bramandita mengutuk mengapa dulu
ia sangat pemalu menghadapi Miranda.
Miranda mengutuk, mengapa dulu ia mau saja
diperkosa Tedi Jukandi, dan pada akhirny
menikmati pemerkosaan itu dengan
kesenangan tiada tara.
Mereka diterima oleh keluarga Miranda
dongan sambutan yang berbeda-beda. Ibu
Miranda tentu saja memeluk anaknya dengan
tangis dukacita bercampur rindu. Ayah
Mirnndn, meski merindukan anaknya namun
tidak dapat menyembunyikan wajah muram.
Bramandita sulit menebak, mengapa ayah
Miranda begitu lesu ketika melihat mereka
datang. Karena kematian menantunya? Karena
anaknya otomatis menjadi janda? Atau karena,
Miranda pulang didampingi seorang laki-laki
lain yang belum pernah sekalipun ia kenal?
Bramandita menggeliat lagi.
la merungkut dalam selimut
menghindari sergapan hawa dingin
pegunungan yang menerobos lewat ventilasi
jendela. Di sebelahnya, Marjuki mendengkur
tak perduli. Marjuki adalah satu-satunya
saudara Miranda. Katanya drop out sekolah
lanjutan atas, tidak berniat sedikitpun untuk
meneruskan ke perguruan tinggi seperti
kakaknya; karena ingin mendampingi
orangtua. terutama ibunya yang sering sakit-
sakitan. Marjuki bekerja sebagai tenaga
administratur di balai desa. Tadi sore ia
mengunjungi pacarnya dan baru pulang ke
rumah lewat Isya. la memeluk kakaknya
dengan tangis haru dan menyalami Bramandita
dengan uluran tangan bersahabat. Katanya:
“... selain bang Tedi, nama bang Rama
beberapa kali disebut kak Mira dalam surat-
suratnya.”
Pembicaraan mereka malam itu singkat saja.
“Supi sudah menceritakan semuanya,
begitu ia tiba kemarin siang,” kata ayan
Miranda. “Apa rencanamu?”
Miranda mengatakan belum tahu. Apakah akan
terus menetap, atau kembali lagi ke Jakarta.
“Lihat-lihat keadaanlah,” katanya pendek.
“Kami enggan berjauhan lagi denganmu,
Nak,” komentar ibu Miranda.
Atas pertanyaan, Bramandita mencerita
kan sedikit-sedikit tentang apa dan bagaimana
ia bekerja. Entah belum diberitahu, atau entah
pura-pura tidak tahu… yang jelas tidak seorang
pun dari mereka tampaknya ingin mengetahui
apakah Bramandita sudah berkeluarga. Ketika
Bramandita menjelaskan bahwa ia harus
pulang lagi besok, Miranda tampak gelisah.
Ibunya cepat-cepat bergumam:
“Kami akan berterimakasih kalau nak
Rama tinggal lebih lama.”
“Tetapi...”
Ayah Miranda menyela: “Bukan cuti
nama nya, kalau cuma dua hari.”
“Betul bang !” Marjuki menambahkan,
setelah lebih dulu mengerling kakaknya:
“Banyak cerita-cerita aneh di sini yang pasti
akan menarik hatimu. Misalnya…,” Marjuki
mendadak berhenti ngomong setelah
mendengar ayahnya batuk-batuk. Namun
cepat ia melanjutkan lagi: “Sekarang lagi
musim buah durian. Tentu sangat mahal
harganya di Jakarta.”
Lalu percakapan dialihkan ke soal buah
durian itu, buah-buahan lainnya, hasil sawah,
hama dan lain sebagainya. Kemudian Marjuki
permisi tidur duluan meski malam masih siang.
Ibunya pergi ke dapur untuk membantu bi Supi
mempercepat hidangan jamuan malam.
Sedang Bramandita pergi ke jamban untuk
buang air. la dibekali lampu senter, karena
kakus letaknya di sebelah pancuran tempat
mandi. Agak jauh dari rumah. Mana gelap pula.
Terpaksa Marjuki dibangunkan dengan tugas
sebagai penunjuk jalan.
Bramandita menanyakan ucapan
Marjuki tadi yang terpotong oleh batuk ayah
nya, selagi pemuda itu menunggu Bramandita
berak...
“Ah. Besok-besok sajalah,” jawab
Marjuki.
Pulang ke rumah, yang mereka temui
hanya ibu Miranda seorang. Perempuan itu
menerangkan bahwa suaminya, anaknya dan bi
Supi pergi ke rumah pak Lurah karena
dijemput. “Pak Lurah menganggap Miranda
sebagai anak sendiri. Jadi ia lantas dipanggil
begitu mereka tahu ia telah datang.”
Terpaksa Bramandita makan malam
hanya ditemani ibu Miranda. Marjuki katanya
telah makan di rumah pacarnya. Maka, biarpun
dipaksa-paksa Marjuki hanya makan sedikit, itu
pun sekedar menghormati tuan rumah. Selama
makan, ibu Miranda menyinggung-nyinggung
masa lalu anak mereka, la mengatakan tadinya
mereka menghendaki Miranda lulus dulu
Sarjana Hukum baru kawin. “Itulah sebabnya,
mengapa bapakmu kurang akrab dengan nak
Tedi almarhum. Bapakmu menganggap, karena
nak Tedi cita-cita anak kami tak tercapai. Yah...
biarpun almarhum punya kedudukan dan gaji
besar setelah menikahi Mira, tetap saja
bapakmu kurang senang. Maklumlah nak. Dari
semua keluarga kami, baru Mira seorang yang
sempat menduduki bangku perguruan tinggi...”
“Bagaimana dengan ibu sendiri?” tanya
Bramandita. Sambil lalu.
“Oh. Aku sih, lebih mementingkan
kebahagiaan anakku. Jadi sarjana atau tidak,
yang penting ia senang. Tidak tahunya… Ah.
Maaf nak Rama. Bukannya menyalahkan
sahabatmu itu. Tetapi yah… hancurnya rumah
tangga mereka belakangan ini mau tak mau
membuatku masygul juga.” Perempuan itu
menyelesaikan makannya, setelah dengan
sopan menunggu Bramandita berhenti lebih
dulu. la tampaknya masih akan mengutarakan
sesuatu Namun keburu suaminya masuk
rumah.
“Mira dipaksa tinggal oleh pak Lurah,”
katanya menerangkan. “Katanya akan
menghibur Mira dengan kisah-kisah lucu dan
menarik, agar Mira tidak terlalu memikirkan
kesedihannya…”
“Kok diiyakan saja. pak,” istrinya memprotes.
“Lha. Apa yang mau kuperbuat, Bu.
Beliau itu Lurah. Dan kau tahu sendiri, ia
banyak membantu biaya sekolah anak kita…”
Isterinya tak berkata apa-apa lagi.
kecuali menyediakan makan malam sang
suami. Merasa tidak diperlukan lagi,
Bramandita akhirnya permisi untuk pergi tidur.
Setelah menutup pintu, ia sempat mendengar
percakapan suami isteri itu.
Sang isteri berbisik: “... kau membuat
nak Rama kecewa.”
Jawab suami, tenang: “Sudahlah. Toh
besok mereka akan bertemu lagi “
“Mira mau ditinggal?”
“Alaa... Bu! Bagaimana pula ia menolak
keinginan pak Lurah? Sudah seperti Uwa-nya
sendiri kok ini !”
Dan Bramandita terbadai di tempat tidur.
Berpikir risau : tentu saja Miranda
dipaksa tidur di rumah pak Lurah, la kan janda.
Masih dalam suasana berkabung. Jadi tak
pantas tidur satu atap dengan seorang laki-laki
lain. Laki-laki yang tak mereka kenal pula. Apa
kata orang sekampung nanti?
Lebih parah lagi ini : Bramandita
mendadak ingin tidur sekasur dengan Miranda.
Bukan dengan Marjuki!
Ah. Mengapa ia lupakan Retno.
Hei, Retno. Haram jadah kau. Mengapa
kau lari?
***
TUJUH
BRAMANDITA menyembul ke permukaan
lubuk.
Kaki dan tangan ia gerak-gerakkan dalam
air menjaga keseimbangan tubuh. Miranda
berenang mendekatinya. Sebelum sampai
disemburkannya air ke wajah Bramandita
sehingga Bramandita menyelam lagi, meng
hindari semburan itu. Miranda ikut menyelam.
Tubuh mereka bersentuhan tak sengaja. Ke
luar lagi ke permukaan mereka sudah saling
berpegangan tangan, tertawa malu karena
sekali lagi tanpa disengaja, tangan Bramandita
menyentuh dada Miranda.
“Masih kuat menyelam?” tanya
perempuan itu terengah-engah, sementara
kaki-kakinya bergerak gerak dalam air.
“Kau sendiri?”
“Masih.”
“Berani bertaruh?”
“Oke.”
“Taruhannya?”
Bramandita berharap Miranda menjawab:
ciuman bibir yang lama, selama Bramandita
ingin. Namun setelah menatap wajah
Bramandita sejenak, Miranda bergumam: “Aku
punya usul menarik.”
“Apa?”
“Kita ke tepian dulu.”
“Mari.”
Dan mereka berenang saling kejar
mencapai tepian lubuk di bagian paling dalam
menjelang kelokan sungai yang berarus tenang
itu. Matahari terus menyambut mereka.
Pepohonan, rimbunan daun-daun hijau, bukit-
bukit kelabu, lereng gunung berwarna coklat
kebiruan, memperhatikan diam-diam.
Demikian pula, sepasang mata tajam
yang bersembunyi di balik rimbunan semak
belukar tak jauh dari tempat kedua sejoli itu
duduk setengah rebahan di rerumputan. Sosok
tubuh di semak belukar itu menjatuhkan diri
rapat-rapat ke tanah tanpa suara, ketika
Bramandita menoleh ke arah tempat
persembunyiannya. Bramandita menoleh,
tanpa maksud apa-apa.
Miranda juga menoleh. Tetapi ke arah
lain. Nun jauh dan tinggi di pucuk-pucuk
pepohonan yang menjulang ke langit,
bergelayutan segerombolan lutung berbulu
hitam pekat, sambil mangeluarknn suara ribut
yang terdengar sayup-sayup sampai, Miranda
segera melupakan binatang-binatang hutan itu
setelah mendengar suara Bramandita
mendesak : “Apa usulmu, Mira?”
Mlranda berpikir dulu, sebelum
menjawab: “Ingat waktu kita masih di
universitas.”
“Tak pernah lupa,” cetus Bramandita
begitu cepat, sehingga membuat kulit mukanya
memerah lendlrl.
“Waktu Itu kita sering membuat hal-hal
yang aneh, bukan?”
“Hem,… ya.”
“Sekadar nostalgia. Mengapa tidak kita
lakukan sekali lagi? Kali ini saja !”
“Melompat dari tempat yang tinggi?
Beradu lama tegak dengan kepala di tanah kaki
di awang-awang? Aku selalu kalah. Tak mau,”
Bramandita memikirkan hal lain, lantas
nyeletuk: “Atau… beradu kuat nafas dalam,...
peti mati?”
“Jangan membuat hatiku terluka
kembali. Rama,” rungut Miranda. murung.
“Maaf.”
“Begini saja,” kata Mlranda, hampir-
hampir tanpa semangat. “Kita membuat
permainan baru. Padu darah, lalu minum.“
“Hai. Bagaimana pula Itu?”
Miranda menjelaskan.
“Aku punya peniti,” katanya sambil
menuding ke tumpukan pakaian mereka di
belakang Bramandita. Peniti itu. kata Miranda.
harus ditusukkan ke masing-masing ujung jari
telunjuk mereka. Darah yang menetes
ditampung, pada sesuatu. Kemudian mereka
sama-sama menyelam lagi di lubuk. Terserah
berapa menit yang mereka sepakati. Siapa yang
duluan menyembul ke permukaan, dialah yang
harus menjilat tetesan darah mereka tadi.
Bramandita berkomentar, kecut: “Aku
bukan peminum darah.”
“Demikian pula aku,” sahut Miranda,
agak pucat wajahnya mendengar ungkapan
kasar temannya. “Tetapi, itulah taruhannya.
Bukankah itu sangat menarik dan hebat?”
Karena Bramandita tampak ragu-ragu.
Miranda mendesak: “Ayolah. Cuma dijilat kok.
Setelah itu, terserah. Apa mau dimuntahkan,
apa mau ditelan.”
“Kalau begitu, baiklah.”
“Dengan apa kita tampung ya?” Miranda
agak bingung.
Bramandita mencari-cari di sekitar
mereka.
“Aku tahu,” katanya. Lalu ia memetik
setangkai daun sirih yang banyak menjalar di
pohon-pohon dekat mereka, la memetik daun
di pohon yang cuma beberapa langkah dari
tempat bersembunyi sosok tubuh yang
tertutup semak belukar rimbun it
Bramandita kembali ke dekat Miranda.
Ia letakkan daun sirih itu di rumput dengan
bagian bawah menghadap ke atas, sehingga
tetesan darah tidak akan tercecer dari daun
sirih. Miranda telah mengambil sebuah peniti,
dan tanpa menunggu lebih lama langsung saja
ujung peniti ditusukkan ke ujung jari telunjuk
tangan kirinya, la meram sekejap menahan
perih, lalu membiarkan darah dari telunjuknya
menetes ke daun sirih. Satu, dua, tiga tetes.
Bramandita melakukan hal yang sama. Perih
oleh tusukan jarum memang lumayan, tetapi
gengsi toh? Maka, ia tahankan agar tidak
meram atau meringis. Melainkan tersenyum
simpul. Tiga tetes juga. Setelah itu, bekas
tusukan peniti sama-sama mereka jilat, agar
pendarahan berhenti. Tentu saja diacungkan
dulu bekas tusukan itu, mengarah matahari.
“Siap?” Miranda menyeringai. Senang.
“Oke.”
“Berapa lama kau kuat?”
“Terserah kau.”
“Lima menit?”
“Kau gila!” Bramandita memaki.
“Karena itu, sebutkanlah perkiraanmu.”
“Bagaimana dengan sepuluh kali tarikan
nafas?”
Miranda berpikir, lantas: “Jadikan lima
belasl”
Mereka berjabatan tangan sebagai
tanda setuju. Tak sampai satu menit
berikutnya, dengan aba-aba: “Mulai !” dari
Bramandita, keduanya lantas menyelam
sedalam mungkin ke bawah air yang dingin dan
bening itu. Bramandita berpikir cepat. Ia tidak
mau menjilat darah itu. Karena nya dia akan
berusaha naik sebelum hitungan kelima belas
menarik nafas. Tetapi, itu berarti ia lagi-lagi
akan kalah. Kalau begitu bertahanlah. Kalau
mampu, sampai hitungan dua puluh atau lebih.
Pendeknya ia tidak boleh ke luar ke atas
sebelum ia yakin Miranda telah naik lebih dulu.
Pada hitungan keempat, sosok tubuh
tadi keluar dari persembunyiannya. Tanpa
berpaling kiri kanan ia mendekati daun sirih di
atas rumput itu, dengan mata nyalang
mengawasi permukaan lubuk. Gelembung
gelembung air bermunculan beberapa kali.
meletup halus dan menyatu lagi dengan
permukaan yang bening seperti cermin itu.
Tampak sosok tubuh Bramandita dan Miranda
bergerak-gerak dalam air yang beriak. Satu
sama lain begitu dekat. Satu sama lain
melakukan hal yang sama: menatap ke depan,
pada lawannya bertaruh.
Pada hitungan ketujuh, sosok tubuh itu
telah melesat pergi dengan daun sirih berdarah
itu di pegangnya begitu sangat hati-hati, seolah
daun sirih serta darah curiannya itu barang
antik yang paling langka di dunia. Pada
hitungan kelima belas, sosok tubuh itu sudah
lenyap di balik jalan setapak menuju desa.
Hitungan ketujuh belas, dada
Bramandita hampir pecah dan air entah sudah
berapa banyak memasuki rongga mulutnya
Belum lagi mata yang perih karena dipaksa
terus terbuka, kuatir satu kerdipan singkat saja
dapat membuat ia salah menafsirkan gerakan
tubuh Miranda. Tatapi akhirnya ia terpaksa
menyerah, la tidak mau mati dengan paru-paru
dipenuhi air, mana jauh dari sanak keluarga. la
langsung menyerbu ka permukaan air. Megap
megap beberapa lama dan kemudian tertawa
tersendat sendat: nyatanya ia muncul ke
permukaan, bersamaan waktunya dengan
Miranda yang juga megap-megap kehabisan
nafas.
“Kau baik-baik saja?” tanya Miranda.
Bukan: “Kau kalah!”
“Dan kau?”
“Aku bisa tenggelam kalau kita tetap di sini.”
Lantas ia berenang lebih dulu ke tepi, disusul
oleh Bramandita. Merangkak ke tanah
berumput, dua-duanya kemudian sama
terhempas. Bramandita telentang, Miranda
menelungkup.
“Aku yang harus menjilatnya, bukan?”
tanya Bramandita, enggan.
“Bukan kau. Tapi aku,” |awab Miranda,
tenang.
“Tetapi. Mira.”
“Kukira kita seri,” jawab Mira, sambil
tertawa lembut, la membalikkan tubuh.
Sedemikian rupa sehingga pahanya langsung
jatuh di atas paha Bramandita.
“Eh. Aku…“
Miranda berujar gagap dan malu.
“Biarkan pahamu di situ,” bisik
Bramandita, terengah.
“Rama…”
“Sshhh, diamlah. Tidakkah kau tahu
betapa aku merindukanmu tadi malam?”
“Sungguh?”
“Sampai aku hampir gila, Mira.”
“Kau pikir, aku tidak?” jawab Miranda,
dan kini bukan saja paha tetapi juga seluruh
tubuhnya sudah mendarat di atas tubuh
Bramandita. Mereka saling menatap dengan
mata setengah mengatup dalam kehangatan
dan getaran luar biasa yang langsung melonjak-
lonjak dalam hati mereka.
“Boleh aku menciummu. Rama?”
“Lebih dari itu pun, aku mau Mira.
Miranda menjatuhkan wajahnya ke
wajah Bramandita.
Kemudian, Bramandita berguling dan
menempatkan tubuh perempuan itu di bawah
tubuhnya. “Mira…,” ia berbisik, sesak.
“Shinta. Panggil aku Shinta, Rama.”
“Oh...”
Matahari semakin jauh meninggalkan
titik sentral langit biru, bergeser ke arah Barat.
Bramandita hampir tertidur dengan Miranda
tetap dalam pelukannya, tatkala Miranda
berseru: “Hei…”
“Ehm?” gumam Bramandita mengantuk
“Taruhan kita.”
“Sudahlah Kita seri ini.”
“Bukan itu.”
“Lantas?”
“Coba kau lihat…”
Ogah-ogahan, Bramandita melepaskan
rangkulannya di tubuh Miranda yang segera
bangkit. Mereka kemudian berjalan ke tempat
di mana daun sirih itu mereka tinggalkan
sebelumnya.
“Hilang. Kok aneh,” rungut Miranda
sambil ia berjalan kian kemari, dengan mata
mencari-cari.
“Aneh apanya,” Bramandita nyeletuk.
“Pasti diterbangkan angin. Dan kalaupun
ketemu, toh tidak seorang pun dari kita
diharuskan menjilat darah itu.” Bramandita
setengah berlari ka tepian. berseru: “Hayolah,
membersihkan tubuh. Nanti mereka curiga
karena kita terlalu lama pergi.”
Mereka terjun ke air.
Dan tak pernah lagi memikirkan hilang
nya daun sirih berdarah itu. Apalagi untuk
memikirkan kemungkinan adanya jejak-jejak
kaki di rerumputan, yang pasti bukan jejak-
jejak kaki baik Miranda maupun Bramandita. Di
perjalanan pulang ke rumah orang tua
Miranda, Bramandita bertanya: “Bagaimana
yaaa… Andai ada orang yang melihat
perbuatan kita tad
“Ah. Jarang orang mandi di situ. Mana
jauh pula dan tempat tempat yang biasa
dilewati orang, jawab Miranda, menghibur.
“Kubilang tadi, andaikata!”
“Hem. Taruhlah ada yang melihat. Lalu?”
“Penduduk desamu pasti heboh. Orang
tuamu tercemar malu. Dan kau…”
“Tak usah pikirkan aku.” kata Miranda.
tertawa. “Pikirkanlah dirimu sendiri.”
“Kau betul. Aku pasti dituduh pembuat
onar, lantas diusir.”
“Itu masih lumayan,” Miranda berkata
sungguh-sungguh. “Di desa kami, ada hukuman
lain yang lebih parah lagi.”
“Oh ya?” wajah Bramandita berubah
pucat. “Apa?”
Sebelum menjawab, Miranda memegang
tangan Bramandita. Serius, ia berujar:
“Kita… dipaksa… kawin!”
“Wah ...
Sinar mata Miranda berkilat resah.
“Mengerikan, bukan?”
“Untuk siapa?” desah Bramandita.
Gugup.
“Kau.”
“Kok. aku ...”
“Karena kau masih punya isteri. Kau
mencintainya. Dan...”
“Aku membencinya!” umpat Bramandita
buru-buru. “la membawa lari anakku… ”
“Belum jera?”
“Aku?”
“Dia.”
“Uh! Selama Ratno masih dapat
dijadikannya senjata untuk memukulku, maka
Retno akan tetap merasa posisinya kuat.”
“Duh! Bilang saja, kau masih cinta”
“Apa maksudmu? Kau kira aku ini…”
”Kok kita jadi bertengkar ya?” Miranda
tersenyum.
Bramandita terbelalak.
Kemudian, tertawa bergelak.
Dan nyatanya, setiba di rumah Miranda
mereka tak mendengar atau melihat tanda-
tanda penduduk desa itu heboh.
Ibu Miranda menyambut mereka dengan
ucapan sayang: “Lama juga kalian pergi. Tadi
banyak tamu yang datang untuk silaturahmi.”
“Maklumlah, Bu…” jawab Miranda
“Tempatnya jauh. Dan orangtua kawanku satu
sekolah di es de itu, bukan main ributnya. Apa
saja dikeluarkan. Mana kami sanggup meng
habiskannya? Jadinya aku sempat tertidur di
rumah kawanku itu. Untung Bramandita
mengingatkan, kalau kami berlama-lama ia
takut ibu dan ayah cemberut…”
Di kamarnya, Bramandita nyengir kuda.
***
DELAPAN
TIDUR siang, adalah hak setiap orang.
Tak perduli apa yang terjadi di sekeliling. Konon
pula sudah beberapa hari, kesempatan meng
istirahatkan baik jiwa maupun jasmani itu tidak
kau lakukan. Akibat terlalu banyak berpikir,
berjalan, dan terutama, kau baru saja
menyetubuhi seorang perempuan yang begitu
liar dan agresip semacam Miranda.
Maka tak ayal lagi. Begitu mencium
bantal, Bramandita langsung mendengkur.
Ajaibnya pula, ia tidak bermimpi apapun juga.
Seolah dunia ini selalu tenang, damai, tidak
berbahaya, usah bermawas diri. Bramandita
baru melek pukul enam kurang beberapa menit
sore hari. Itu pun sesudah digoncang-goncang
oleh Miranda yang kemudian berkata:
“Kusangka kau sudah mati.” Sebuah ciuman
hangat mendarat di bibirnya. Membuat
Bramandita terjaga seketika.
la lalu pergi mandi ke pancuran.
Pulangnya, semua penghuni rumah
sudah menunggu di meja makan. Selama dan
sehabis santap malam, mereka ngobrol ngalor
ngidul. Wajah Miranda begitu cerah. Riang ria.
Senyum manis menghias bibirnya hampir
setiap kali ia angkat suara. Tawanya sungguh
enak di telinga. Dapat dimengerti mengapa
Miranda begitu bahagia, biarpun ia baru saja
kematian suami. Soalnya, Bramandita
memutuskan untuk tinggal satu dua hari lagi.
“Kecuali satu di antara kalian sudah
bosan melihatku, dan ...”
“Kami kuatir, sebaliknya yang terjadi,”
potong ayah Miranda, tertawa untuk pertama
kali semenjak Bramandita mengenalnya. Sinar
matanya masih tampak murung, namun wajah
maupun tutur katanya memperlihatkan
kegembiraan yang tulus. Bukan dibuat-buat.
Apakah ada sesuatu yang telah berubah di
rumah ini?
Seakan menyelami pikiran Bramandita,
ibu Miranda pura-pura mengejek: “Baru rejeki
segitu, ayahmu sudah lupa diri, Mira…” Kalimat
ditujukan pada, anak perempuannya, sedang
ekor mata dilirikkan ke arah Bramandita, yang
dengan sendirinya berlagak tidak melihat.
Bramandita pura-pura memperhatikan
Miranda, yang bertanya.
“... bagi dong, Yah !”
“Nanti. Kalau aku sudah mati,” jawab
yang ditagih.
“Lho. Kok gitu...”
“Habis? Kau perempuan, mana tidak
berpengalaman. Mana bisa kau menggarap
nya?”
“Menggarap apa?”
“Dua hektar tanah di sebelah Utara desa
kita. Ditumbuhi semak perdu, pohon-pohon
liar tak pernah diurus. Tempat bersarang tikus
dan segala macam ular. Tetapi punya masa
depan, apabila kita mulai merambasnya,
kemudian menanaminya kelapa. Kalau perlu,
cengkeh.” Senyumnya melebar. “Imbalan jerih
payahku selama delapan tahun mengabdi jadi
kerani. Surat Keputusannya baru tadi siang
diberikan pak Lurah.”
Petani merangkap kerani desa yang
beruntung itu, kemudian menoleh pada
Bramandita. Bertanya: “Kau sudah menemui
beliau tadi pagi, nak Rama. Apa komentarmu?”
“Hebat.”
“Karena dia menghadiahiku dua hektar
tanah?”
“Ah. Aku toh tidak kebagian apa-apa,
pak,”' jawab Bramandita, membuat gerrrr seisi
rumah. “Aku berkata jujur. 32 tahun dipercaya
Pemerintah menduduki jabatan Lurah; dan
tidak berminat untuk naik lebih atas lagi,
karena merasa dekat dengan rakyatnya. Itu
sudah hebat. Belum lagi ini, usia menjelang 100
tahun, pak Lurah tidak membutuhkan tongkat
atau kacamata. Gigi masih utuh, bicara masih
lantang, dapat mendengar suara pintu dibuka
dari jarak dua puluh kaki. Manusia macam itu
mestinya mengisi halaman setiap surat kabar
dan majalah. Untuk ruang: Tokoh Kita Abad Ini!
Tetapi ada kekurangannya, yang membuat
pejabat tertentu di Pusat akan marah besar.”
Kalimat terakhir itu membuat suasana
hening sejenak.
Lalu: “Sebutkan!” ujar ayah Miranda, waspada.
“Pak Lurah punya empat isteri. Dan...”
“la berhak. Tak ada larangan. Selama ia
...” ayah Miranda mengatupkan mulut ketika
melihat senyum tipis di bibir Bramandita. “Jadi
bukan itu soalnya.”
“Memang.”
“Lalu?”
“Anaknya. Memang tersebar di berbagai
daerah, dan kudengar mereka orang-orang
yang berhasil. Baik di bidang karier, maupun
keuangan. Tetapi 17 orang, itu sudah
kelewatan. Luar biasanya lagi. 14 dari 17 orang
anaknya itu, dia dikaruniai 65 cucu, 24 cicit,…
beberapa di antara cicitnya sudah siap pula
menurunkan generasi berikut. Yang entah apa
disebutnya.” Bramandita geleng-geleng kepala.
“Kalau ini mereka dengar mereka bisa botak
karena tak habis mengerti.”
“Mereka siapa?”
“Para pejabat yang mengurus Program
Keluarga Berencana!”
Menggelegar lagi tawa berkepanjangan
di rumah itu, sehingga seorang tetangga di
sebelah rumah memerlukan membuka jendela
untuk memastikan kegaduhan apa yang
membuatnya tersentak dari tidur. Setelah
tahu, orang itu kembali menutup jendela dan
menggerutu pada sang isteri:
“Katanya baru kematian menantu.”
Yang dijawab: “Apa salahnya? Toh mereka
sudah punya calon menantu baru.”
Dan di dalam rumah keluarga Miranda,
sang ibu mengawasi teman laki-laki anaknya,
kemudian bergumam lirih: “Heran ya nak. Baru
dua hari, rasanya kau sudah seperti anak kami
sendiri.”
Dan itu, membuat Bramandita tidak bisa
tidur malam itu.
la teringat pada anaknya sendiri, Ratno.
Ibunya pasti mengurus Ratno dengan telaten.
Mendidik anak itu, agar mencintai dan
mengabdi pada orangtua. Coba kalau Retno
tahu cinta suaminya telah berpaling pada
perempuan lain!
Bramandita berkeringat dingin.
Perasaan bersalah pada isteri, berdosa
pada anak, menyebabkan udara dingin
pegunungan berubah panas dan pengap.
Gerah, Bramandita bangun dari tempat tidur, la
membuka jendela. Sedikit saja. Sekedar udara
segar masuk kc dalam, dan Marjuki yang tidur
lelap tidak terganggu, la hirup hawa dari luar
sebanyak paru-parunya menerima. Kemudian
ia pelan-pelan menutupkan jendela, lalu
mendadak saja gerakannya terhenti.
Dibukanya jendela kembali.
Kali ini lebih lebar, la mengawasi
kegelapan malam di luar. Kepala sedikit
tengadah. Merasa kurang yakin, ia condongkan
tubuh lebih jatuh ke depan. Membuka mata
lebar-lebar. Menyekanya sekali, dan membuka
nya lagi.
Apakah itu nyala lilin, nun jauh di atas
bukit? Atau kobaran api, ah… bukan. Nyala lilin
tidak sebesar itu. Kobaran api tidak selemah
itu.
Obor barangkali?
“Eh. Apa pula perduliku?” gerutu
Bramandita, pelan. Menutup jendela lagi.
Namun pikirannya tidak lepas dari
cahaya ganjil itu.
Lilin, obor, atau api tak ada bedanya.
Yang membuat nyala kuning kemerahan itu
membuat perbedaan, adalah letaknya. Waktu
mandi di pancuran tadi pagi, Bramandita telah
berhasil mengorek secuil demi secuil apa yang
dirahasiakan Marjuki.
Pemuda itu menceritakan beberapa
kisah atau dongeng aneh dan menarik yang
telah lama berlangsung atau dipercaya oleh
penduduk desa mereka, dan desa-desa di
sekitarnya. Salah satu, adalah bukit dari mana
cahaya misterius tadi terlihat Bramandita.
“... bukit itu,” kata Marjuki tadi pagi.
“Dijuluki Bukit Larangan”
“Kenapa?”
“Banyak versi. Yang satu bilang, bukit itu
dihuni setan-setan terkutuk. Yang lain bilang,
bukit itu dihuni sekelompok orang penderita
kusta. Ada lagi yang mengatakan di sana
terdapat sebuah kuburan keramat dari masa
ratusan, mungkin malah ribuan tahun yang
silam. Banyak lagi dongeng-dongeng seram
tentangnya. Yang jelas, hampir tak ada
penduduk yang waras otak, berani mendekati
bukit itu. Apalagi untuk mengetahui apa dan
bagaimana sebenarnya maka bukit itu tak
pernah diinjak manusia macam kita ini…”
“Hanya karena mendengar? Lalu percaya
begitu saja. Katanya, beberapa dari kalian
terdiri dari orang-orang moderat. Orang-orang
yang menganggap tahayul sebagai dongeng
untuk menakut-nakuti anak badung. Tetapi
mereka tetap menjauhi tempat itu, dan
sependapat menjulukinya Bukit Laranngan?”
Marjuki tersenyum. Pahit. Desahnya:
Ada beberapa yang nekad mencoba.”
“Dan?”
“Kebanyakan, hasil nguping. Tetapi ada
satu dua yang kulihat sendiri, akibat apa yang
dialami orang-orang gila itu.” Marjuki tidak
bergidik. Atau menampakkan perasaan takut,
la hanya menarik nafas panjang, lalu berkata
tenang: “Mati. Kalau tak mati, mereka gila.
Kalau tak mati dan gila, mereka lenyap...”
“Lenyap?”
“Lenyap. Begitu saja. Banyak yang
percaya, orang orang itu bukan kesasar atau
mati di suatu tempat yang belum diketahui.
Desas-desus santer mengatakan, orang-orang
yang raib itu mati ditelan penghuni kubur Bukit
Larangan. Atau, dimangsa para penderita
kusta, karena mereka membutuhkan
makanan.”
Setelah berpikir agak lama, Bramandita
bergumam sendiri: “Bila itu kutulis, bosku akan
memperbolehkan aku cuti satu bulan lagi.
Dengan sekarung uang, sebagai bonus...”
Tentu saja Bramandita kemudian
menyepelekan cerita Marjuki.
Dan Rujito akan menjabat tangannya,
mengatakan. “Lucu. Kau kok mirip saudaraku
yang sudah lama meninggal dunia.”
Itu, tadi pagi.
Malam ini lain lagi. Bramandita bukan
ingin menulis sebuah sensasi yang
mengundang para alim ulama serta orang-
orang yang beriman, adu urat leher.
Masalahnya, sederhana saja.
Bramandita adalah seorang wartawan.
Dan bukan wartawan namanya, kalau tidak
punya naluri ingin tahu!
***
SALAH besar Bramandita bilang pada
bosnya, mau istirahat total.
Kesalahannya yang paling besar, adalah
ini: biar mulanya bimbang, akhirnya diputuska
nnya meninggalkan tustel di kantor.
Kenyataan pahit itu baru ia sadari
setelah ia tiba di Bukit Larangan.
Sebelum meninggalkan rumah keluarga
yang ramah tamah itu, diam-diam Bramandita
mengambil sebilah pisau panjang, tajam
berkilat-kilat, dari dapur. Senjata itu diselipkan
nya di balik lipatan sebuah koran mingguan
yang ia dapatkan di rak buku Marjuki. “Buat
bacaan di jalan,” katanya pada pemuda itu.
Miranda percaya kalau ia ingin lihat-lihat
suasana. “Sekedar perintang waktu,” dalihnya.
Lalu petualangan berbahaya itu dia
mulai.
Lebih dulu ia berputar sana-sini, singgah
beli jajanan di sebuah warung kecil, bertukar
sapa dengan satu dua orang di jalan, kemudian
pergi ke lubuk yang sehari sebelumnya
membuat kesan romantis itu. Dari sana Bukit
Larangan itu tetap terlihat, meski agak
terhalang oleh rimbunan pepohonan hutan di
sekitarnya. Bramandita menyelusuri pinggiran
sungai beberapa menit, kemudian menye-
berangi sebuah titian dari bambu. Jalan
setapak setelah titian itu daerah pesawahan
yang subur dan di sebelah sananya, lembah
yang pemandangannya mentakjubkan.
Bramandita tidak mengambil jalan
setapak itu. la menyimpangkan langkah
menyusuri pematang sawah, lalu mendaki
bukit yang hampir seluruhnya ditanami pohon
durian dan nangka.
la memberi, alasan tersesat apabila
ketemu orang. Pura-pura mengikuti arah yang
benar ke desa sebagaimana ditunjuk penyawah
atau peladang itu. lalu mengendap-endap
kembali ke jalan semula dengan jalan berputar.
Terkadang ia terpaksa harus turun untuk
menyeberangi sungai pada bagian yang
dangkal.
Beberapa kali ia kehilangan Bukit
Larangan itu. Namun dengan berpatokan pada
bayang-bayang pohon dan perjalanan
matahari, ia temukan lagi arah yang benar.
Sekali ia terperosok di sebuah lereng terjal
berbatu-batu. Jatuh tersungkur, celananya
robek dan lututnya memar. Istirahat sebentar,
ia meneruskan perjalanan dengan langkah agak
pincang tersaruk-saruk. Semakin jauh ia
berjalan, mendaki, menurun dan mendaki lagi,
melompat-lompat, sesekali berlari-lari untuk
mempersingkat waktu semakin sukar pula jalan
yang ditempuh. Tak ada jalan setapak. Tak ada
manusia, bahkan rasanya juga tak ada mahluk
hidup lainnya. Kecuali seekor musang yang
ngacir menyembunyikan diri ketika kepergok
manusia.
Pisau panjang itu ternyata banyak
gunanya, selain untuk membela diri. Untuk
merambat semak belukar yang menghalangi
jalannya. Untuk memotong sebuah dahan
kecil, yang ia pergunakan mengorek-ngorek
ilalang lebat atau ceruk-ceruk di balik belukar,
yang mungkin menjerumuskannya. Dahan
sebesar lengan anak kecil dan sepanjang satu
meter itu tak pernah lagi lepas dari tangannya.
Itu merupakan senjata kedua, yang barangkali
dia perlukan.
Herannya, jangankan penderita penyakit
kusta. Binatang-binatang buas tak satu pun
ditemuinya selama perjalanan. Sekeliling
tempat-tempat yang dilaluinya, terutama
mendekati Bukit Larangan itu, suasananya
begitu sunyi senyap. Bagai tak berpenghuni.
Atau memang ada: hantu serta dedemit.
“Sialan. Mengapa aku takut?!”
Bramandita membentak. Dan kalau rasa
takutnya berkembang, ia lantas berteriak:
“Hayo. Keluar semua. Ini aku. Makanlah!” dan
ia bersenandung keras-keras. Lagu apa saja
yang teringat. Tak perduli apakah iramanya pas
atau fals.
Tibalah ia di tengah kelompok hutan
yang mengelilingi pinggiran bukit yang dituju.
Suara Bramandita makin lama makin
tenggelam oleh suara riuh rendahnya jerit
monyet, lutung, ada juga mawas yang lari
serabutan. Di pohon-pohon, di lereng-lereng,
di semak belukar, di sepanjang anak sungai
yang sumbernya pasti berasal dari Bukit
Larangan.
Bramandita tercekat.
Seolah bermimpi buruk. Betapa tidak.
Selama beberapa menit, riuh rendah binatang-
binatang pencinta pohon itu terdengar begitu
memekakkan. Hiruk pikuknya mahluk itu lari
serabutan kian kemari, melemahkan jantung
oleh degup-degup keras yang memukul-mukul
tanpa henti. Semuanya berjumlah ratusan.
Boleh jadi ribuan. Jangankan semua
mengurung, salah satu saja dari mawas atau
lutung itu nekad menghadang jalannya, ada
harapan Bramandita langsung jatuh pingsan.
Ini, dalam tempo beberapa menit pula…
seluruh mahluk mengerikan itu telah lenyap
entah ke mana. Baik sosok tubuhnya, maupun
suara pekik dan jeritnya. Adalah memeras
jantung, apabila mendadak terjadi perang
mortir di sekitar kita, lalu mortir-mortir itu
kemudian berhenti memuntahkan peluru… dan
para penembaknya, lenyap entah ke mana!
Apakah ia tengah bermimpi buruk?
Bramandita mencubit pahanya.
Sakit.
la berteriak. Tetapi hanya bisikan serak
lepas dari mulutnya. Wajahnya pucat pasi.
Peluh membuat punggungnya bagai melekat ke
kulit. Apa yang harus diperbuat sekarang? Lari?
Baiklah. Tetapi ke mana? Mundur atau maju,
sama saja Bramandita telah terperangkap di
tengah hutan lebat yang daun-daunnya seolah
bersatu padu menghadang matahari.
Hanya ada sinar-sinar lemah. Sekedar
tidak membuat Bramandita buta. Takut-takut,
mata Bramandita jelalatan liar kian kemari.
Sebelah tangan menghunus pisau. Sebelah lagi,
mengacungkan tongkat tinggi-tinggi.
Kemudian, tongkat itu turun. Ditekankan
ke tanah. Memang itulah fungsi sebenarnya
dari tongkat kayu itu : menopang tubuh
Bramandita yang sempoyongan mau jatuh ...
Tetapi keadaan itu berlangsung tidak
lama. Matanya pelan-pelan terbiasa oleh
kegelapan semu itu, dan dengan sendirinya
melihat salah satu barisan pohon menyorotkan
silau kuning terang. Matahari. Dan matahari
itu, memperlihatkan sesuatu yang memberi
pengharapan hanya beberapa belas meter di
depannya. Tanpa ragu lagi, Bramandita
bergerak. Naluri akan adanya bahaya
menyebabkan semangatnya tumbuh kembali.
Kaki-kakinya melangkah dan melompat-lompat
cepat dan tangkas, sambil sesekali ia
rambaskan tongkat pada semak belukar di
depannya.
Lalu, ia tiba di sebuah kelokan.
Sebenarnyalah. Sebuah kelokan jalan
yang orang buta pun tahu, pasti dibuat
manusia.
Para penderita kusta?
Bramandita tergetar, la sadar bahwa ia
telah memasuki bagian paling terlarang, dari
Bukit Larangan itu. Kalau mau, tidak seorang
pun yang melarangnya pulang. Jelas dong.
Mana orangnya yang akan melarang? Maka,
kepalang basah ya mandi saja sekalian...
Dengan waspada dan mata mengawasi
setiap sudut yang dilewati, Bramandita
mengikuti jalan setapak yang cukup lebar itu.
Mendaki. Setelah satu putaran, ia sampai di
sebuah bidang datar tanpa penghalang apapun
sebagai latar depan yang menghadap ke
lembah jauh di bawahnya. Sebagai latar
belakang, adalah bagian puncak bukit itu, yang
seluruhnya terdiri dari sebuah batu raksasa
yang mengingatkan Bramandita pada gunung
Tangkuban Perahu apabila ditatap dari
kejauhan. Batu sebesar gajah yang paling besar
itu hitam pekat, kusam membosankan.
Dan ...
Bramandita berseru tertahan, setelah ia
melihatnya. Melihat sesosok tubuh tegak
dengan kaki serta tangan terpentang, tetapi
dengan kepala terkulai sampai dagu
menyentuh dada. Tak dapat diragukan lagi,
bahwa tubuh itu milik seorang manusia
dewasa. Usianya sekitar 30-an, mengenakan
pakaian yang biasa membalut tubuh seorang
petani. Topi pandannya jatuh ke tanah tak jauh
dari kakinya yang telanjang.
Dua buah kayu besar dan kuat
dipacakkan dalam ke tanah, dengan posisi
bersilang. Dua tangan laki-laki itu terikat erat
dengan tambang pada masing-masing ujung
kayu paling atas. Hal yang sama terlihat pada
sepasang pergelangan kaki di kedua ujung kayu
sebelah bawah.
Orang itu telah mati.
Dapat dipastikan dari sepotong bambu
sebesar lengan Bramandita, yang terhunjam di
lambung orang itu, pada bagian mana
kemejanya disingkapkan. Warna merah
kehitaman darah yang telah mengering,
membercaki baik bambu, kemeja, celana, salah
satu kaki dan tanah berumput di bawah tubuh
manusia malang itu.
Dalam bentuk setengah lingkaran di
belakang dan kedua patok silang itu terhunjam
beberapa atang bambu lain yang lebih kecil,
yang dari ujungnya yang hitam jelas
merupakan obor. Tepatnya, bekas obor.
Terbukti dari banyaknya abu di sekitar obor-
obor itu, dan rerumputan yang kering
terpanggang api, berbau minyak.
Bramandita dengan gemetar meraba
salah satu ujung sisa obor itu.
Terasa masih hangat.
Dan ia yakin, uap hangat itu bukan
dikarenakan panas matahari!
Tersentak oleh kenyataan itu,
Bramandita terlompat mundur saking kaget
menyadari bahwa ia telah melihat sesuatu tadi
malam, lewat jendela kamar tidurnya. Sesuatu,
yang mustahil dipungkiri: di tempat ini telah
berlangsung sebuah upacara kematian yang
menyeramkan...
Tanpa ingin tahu mayat siapa yang
sengsara itu, Bramandita segera memutar
tubuh. Kemudian… lari. Tiga jam ditempuhnya
untuk sampai ke Bukit Larangan itu dari desa.
Namun tidak sampai satu jam perjalanan yang
dilakukannya, ketika pulang. Bukan karena ia
sudah mengetahui jalan pulang. Melainkan
karena ia berlari “melebihi kecepatan suara”.
Tunggang langgang, jatuh bangun. Tak perduli
alam sekitar.
Rasanya ada sekelompok orang
mengejarnya dari belakang. Penderita kusta,
kaum yang terkutuk itu.
Atau, hantu.
***
SEMBILAN
“RAMA sudah pulang, bi?” tanya
Miranda begitu ia muncul di pintu dapur.
“Belum, neng.”
“Ya ampun! Pergi ke mana sih dia?”
keluh Miranda gelisah. Hidungnya kemudian
mengendus-endus, membaui sesuatu. Lalu
mengintip lewat pundak bi Supi, ke katel. “Apa
itu?”
“Semur hati, neng,” jawab pelayan itu
seraya memasukkan irisan tomat ke katel.
Mengaduknya sebentar. Lantas mengecilkan
api di tungku.
“Kenapa rupanya? Engga doyan?”
“Siapa bilang? Aku paling suka semur.
Cuma baunya kok agak asing. Hati domba ya?”
“...menjangan, Neng.”
“Oh ya?” wajah Miranda berseri-seri.
“Dapat beli di mana?”
“Bukan dapat beli. Tetapi ada yang
memberi, Neng. Tadi malam ada seekor
menjangan itu dan gemuk kesasar masuk
kampung yang di lembah itu. Beberapa orang
penduduk mengepung dan berhasil
menangkapnya. Pagi-pagi benar disembelih.
Dagingnya dibagi-bagikan sesama mereka.
Sedang hati, langsung dikirim ke sini. Mereka
bilang, sudah tahu kalau kau pulang dari
Jakarta, neng Mira. Lagi bingung mau kasih apa
sebagai ucapan selamat datang, eh… hadiah itu
datang sendiri masuk kampung. Tentu saja
mereka girang bukan main, dan...”
“Siapa-siapa mereka itu, bi Supi?”
“Teman-temanku. Juga pak Ading, salah
seorang penggarap sawah ayahmu.”
“Pak Ading? Wah, jadi kangen! Sudah
lama tak bertemu. Kok dia tidak nunggu ya?”
“Tadinya nunggu, neng. Tetapi karena
dia ada perlu ke kecamatan, pak Ading tak
berlama-lama di sini. Dia ketitipan salam...”
“Dari anaknya?”
Bi Supi terdiam. Murung, dan sedikit
pucat. Agar tidak kelihatan oleh Miranda,
pelayan itu pura-pura sibuk mematikan api di
tungku, batuk-batuk seolah kemasukan asap,
lantas sibuk membenahi meja makan.
Miranda segera membantunya.
Mengambilkan perlengkapan; piring, gelas,
sendok garpu, kocokan. Sambil, mengingatkan:
“Kau belum jawab pertanyaanku, bi . ..”
“Apa? Eh… oh, ya. Ya. Lupa. Lupa. Maaf
ya neng?” Batuk-batuk lagi. “Uh, asap sialan
itu...” bi Supi mengusap-usap dada. Kembali
tenang. Katanya: “Yang kirim salam, isterinya.”
“Ooo. Begitu. Apa pak Ading engga
cerita-cerita tentang anaknya, si Dadang?”
“Mungkin dia lupa.”
“Kok aneh ya,” Miranda setengah
melamun, duduk di kursi makan. “Padahal pak
Ading kan tahu, Dadang dan aku teman
bermain semenjak kecil. Waktu aku ikut ayah
melihat-lihat ke sawah. Aku ingat betul, bi.
Suatu kali Dadang membuatkan aku alat tiup
dari batang padi. Tapi karena nadanya begitu-
begitu saja, aku merengek minta yang lebih
bagus. Lalu aku dibuatkannya sebuah suling
bambu. Malah diajari cara meniupnya. Sayang
aku tak bisa-bisa. Karena jengkel suling bambu
itu kubenamkan ke lumpur. Kuinjak-injak.
Setelah itu, seminggu, lamanya Dadang tak
mau mencakapi aku. Kami baru berbaikan
kembali, sesudah ayah menegur dan menyuruh
ku minta maaf. Kata ayah, tak baik menyakiti
hati orang. Apalagi, orang itu sudah bersusah
payah memberikan kita sesuatu, padahal ia
miskin dan... Tetapi pak Ading dan keluarganya
tidak miskin, kan begitu bi Supi?”
“Memang tidak.”
“Ya. Mereka tidak miskin. Mereka cukup
banyak memperoleh bagi hasil sawah kita.
Buktinya, begitu tamat es-em-pe dan aku akan
meneruskan sekolah ke Jakarta, Dadang
memberiku sehelai halsduk penutup leher. Aku
tahu, dia sengaja pergi jauh-jauh ke Bandung
untuk membeli halsduk yang mahal itu.
Katanya, sebagai kenang-kenangan dan agar
aku tidak masuk angin selama di perjalanan.
Lama juga aku memakainya, sampai…”
“Kau membuangnya lagi,” bi Supi
menyela, lembut.
“Ya. Sampai aku membuangnya pula.
Maksudku, membakarnya...”
“Aku yang membakarnya, neng. Atas
suruhanmu. Ingat engga?”
“Ah, lupa.”
“Aku yang membakarnya...” ulang bi
Supi. “Dan aku tahu, mengapa kau suruh aku
membakarnya. Karena kau tak mau dia
cemburu itu, pacar pertamamu ketika kau naik
kelas dua es-em-a...”
Miranda tersenyum teringat kenangan
lama itu. Desahnya: “Yang begituan saja
dicemburui. Tetapi kau benar, bi Supi. Aku
takut dimarahi pacarku. Takut dibilangin, aku
mencintai si pemberi halsduk.”
“Nyatanya, kau pernah dicium si Dadang,” bi
Supi geleng kepala. “Dan kau mau…”
“Dasar tukang ngintip!” rungut Miranda.
bermerah muka. “Itu kan cuma iseng. Cari
pengalaman baru yang mengasyikkan. Bukan
cinta.”
“Iseng atau cinta, toh kau kena hukum.
Sebelum semua orang tahu apa yang telah
kalian perbuat, kau lantas cepat-cepat dikirim
ke Jakarta. Untungnya, Dadang tutup mulut.
Kalau tidak, wah. Payah!”
“Bi Supi kira, ia masih tutup mulut
sampai sekarang?”
“Pasti. Karena selain aku dan ayahmu,
tak pernah sekalipun kudengar orang lain
meributkannya. Yang jelas, Dadang tidak akan
pernah lagi menceritakannya pada siapapun
juga. Karena tadi malam… Astaga, apa yang
kuperbuat?” bi Supi, dengan wajah pucat pasi
menatap pecahan beling dan sambal yang
berceceran di lantai, dekat kakinya, la telah
menjatuhkannya… dan hanya ia yang tahu:
dengan sengaja!
Miranda bergegas bangkit dari kursinya.
Lalu memunguti pecahan pinggan tempat
sambal itu, sambil berkata: “Engga usah
diributkan, bi. Tolong ambilkan pengepel.
Bersihkan lantai, sementara aku membuatkan
sambal lain.”
Bi Supi lantas sibuk menyapu dan
mengepel lantai. “Biarlah aku yang
membuatnya, Neng. Kau pergilah. Sudah
waktunya makan siang sekarang. Dan tamu kita
belum pulang juga. Siapa tahu dia tersesat.
Pergilah cari. Kalau, ketemu, lekaslah ajak
pulang. Dia pasti sudah kelaparan.”
Miranda meninggalkan rumah.
Pikirannya seketika sudah dipenuhi oleh
pertanyaan ke mana dan mengapa Bramandita
pergi begitu lama? Namun jauh di sanubarinya,
ia merasa ada sesuatu yang salah. Apakah
Miranda telah mengatakan sesuatu? Atau
mendengar sesuatu, tetapi lupa menanyakan
nya? Matahari terik menyengat ubun-ubun
Miranda. Wahai, ke mana gerangan
Bramandita? Barangkali dia telah melayap ke
suatu tempat. Tak tahu jalan pulang. Bisa jadi
juga, Bramandita telah ketemu seorang gadis
rupawan, dan...
Miranda jalan bergegas, tanpa menge-
tahui ke mana ia harus mencari.
Dan di belakangnya, bi Supi mengawasi
kepergian Miranda dari jendela dapur. Wajah
perempuan tua itu masih tetap pucat seperti
tadi. Matanya menatap kuatir. Jantungnya
berdebar, takut. Dalam hati, berpikir: “Untung
aku lekas ingat diri dan menjatuhkan pinggan
itu. Coba, kalau aku terus lepas omong...”
Bi Supi kembali ke dapur, la harus
membuat sambal yang baru. Ketika akan
mengambil rempah-rempah dari tempatnya,
selintas mata bi Supi terlayang ke katel. Semur
itu telah masak. Baunya memang aneh, seperti
dikatakan Miranda. Mestinya hati itu direbus
dulu, karena akan memakan waktu untuk
mengirimkannya ke rumah ini. Tetapi siapa
yang akan merebusnya? Pak Ading? Atau
isterinya? Memegang rantang berisi hati yang
masih berlumuran darah itu saja. sudah siksaan
bathin yang mengerikan.
Pak Ading tadi sempat sempoyongan,
ketika meletakkan rantang itu di meja dapur.
Orangtua yang malang itu tampak tegang,
pucat dan sakit. Begitu pula dua orang kerabat
yang mendampinginya. Mereka semua letih,
pucat, ketakutan. Juga bi Supi sendiri.
“... Dadang anak yang baik,” kata pak
Ading gemetar. “Tetapi kami sadar sepenuh
nya, ia telah melakukan kesalahan. Kami lalai.
Lupa, bahwa Dadang pernah melakukan
kesalahan yang sama...” pipi orangtua itu
basah, digenangi air mata. Getir dan tersendat-
sendat, ia melanjutkan: “Kami telah
memaksanya supaya lekas-lekas menikah,
setelah… setelah neng Mira pergi ke Jakarta.
Tetapi… bagaimana lagi? Anak kami… begitu
mencintai neng Mira. Berbagai usaha telah
kami coba. Namun ia tetap saja membujang.
Dan ketika kami lihat bahwa ia tenang dan
tabah menerima nasibnya, kami lantas lalai
menjaganya...”
Pak Ading membasahi bibirnya yang
kering, dengan lidah.
Dua kerabat yang mendampinginya,
sama menelan ludah. Membasahi tenggorokan
yang kering kerontang.
“Tak kami nyana,…” lanjutnya pula.
Terbata-bata. “Dadang melakukan kesalahan
serupa, justru… justru setelah ia mendengar
neng Mira pulang-pulang, ditemani lelaki lain.
Mungkin ia berfirasat apa dan bagaimana
hubungan laki-laki itu dengan neng Mira. Lalu
ia nekad, dan...”
Dan orangtua itu menangis tersedu-sedu.
Salah seorang pendampingnya,
memeluk pak Ading dan menjaga agar orang
tua itu tidak jatuh sempoyongan ke lantai.
Pendamping yang lain mengawasi bi Ijah
dengan tajam, dan bertanya ketakutan:
“Apakah Ading, dan keluarganya… bebas
dari hukuman tambahan itu?”
“Demikianlah janji pak Lurah,” jawab bi
Supi, tenang.
“Jadi… mereka tidak akan menghuni
Bukit Larangan?”
Bi Supi mengerling ke rantang tertutup di
atas meja. Membayangkan isinya, baru
menjawab pelan: “Tidak.”
Orang itu mau mengucapkan terima
kasih, tetapi kemudian membatalkannya. Bi
Supi mengerti. Adalah tolol dan dungu, kalau
mereka masih harus berterimakasih. Maka,
kedua orang pendamping itu segera memapah
pak Ading dan membawa mereka pulang ke
rumah anak isterinya di lembah.
Bi Supi memandang lagi ke katel.
“Hati menjangan…” bisiknya, gemetar.
Lantas memaki: “Haram jadah!”
***
“HE, kau kiranya Mira. Masuklah. Ada
apa? Kau kelihatannya gelisah...”
“Maaf, lagi-lagi aku mengganggu bapak.
Adakah Rama kemari?”
Ganda, atau lengkapnya Suganda
Prabukusumah Prayodhia; tertawa gembira.
“Laki-laki mana yang tak senang
diganggu perempuan molek seperti kau ini,
Mira?” katanya riang. “Sayang, dia belum
kulihat lagi. Terakhir kulihat, ya… kemarin itu.
Di Balai Desa. Memangnya pergi ke mana si
Tampan itu, nak?”
“Itu yang ingin kutahu, pak Lurah.”
“Jangan-jangan, ada janda lain yang…
Husy. Jangan cemberut begitu, Mira,” lurah
desa Mantili yang ramah itu tertawa lagi.
Bergelak. “Percayalah. Ramamu tak akan
kepelet oleh Shinta-Shinta lain. Karena tinggal
kau satu-satunya Shinta yang masih hidup di
dunia ini.”
“Sialnya, ia tidak pernah mau mengakui
aku sebagai Shinta nya,” keluh Miranda, sambil
terduduk kelelahan di sebuah kursi.
“Tak lama lagi, nak. Tak akan lama lagi.
Asal kau bersabar, dan tetap mau berusaha!”
pak Lurah memanggil isterinya dan menyuruh
menghidangkan secangkir teh untuk Miranda.
“Aku melihat gelagat, sang Rama
akhirnya akan memperisteri sang Shinta dari
Mantili.”
“Bapak yakin?” Miranda kembali
bersemangat.
“Roh leluhurku jaminannya,” ujar pak
Lurah, khidmat. “Toh kau sendiri sudah melihat
tanda-tandanya…”
“Boleh aku melihatnya sekali lagi, pak
Ganda?” tanya Miranda, bernafsu.
“Belum puas?”
“Belum.
“Belum yakin?”
“Belum.”
“Menyapa tak kau tanyakan saja
padanya? Ajuk hatinya?”
“Itu tak lucu, pak!” rungut Miranda,
merajuk.
“Husy, jangan begitu. Kau bukan anak
kecil lagi. Kau kan sudah…”
“Janda!” Miianda cemberut. “Dan aku
akan terus menjanda seumur hidup apabila
bapak keberatan memperlihatkannya padaku
sekali lagi.”
“Hem. Dasar lagi dimabuk cinta,”
Suganda Prabukusumah Prayodhia berjalan
tenang memasuki sebuah kamar yang terletak
di salah satu sayap rumah besarnya. Rumah
terbesar di desa itu, dengan penghuni yang
paling terbanyak pula. Ya anak-anak, ya cucu,
bahkan sampai beberapa orang dari cicitnya.
Boleh dibilang Suganda tak hapal mereka
semua. Sehingga acap-kali ia keliru merangkul
dan mencium menantu perempuan, yang
tadinya ia sangka anak kandungnya. Namun
begitu, mereka semua tetap senang padanya.
Mencintai, mengabdi tanpa banyak protes.
Penurut, patuh, dan biar tidak diminta,
bersumpah dalam hati untuk tidak melanggar
larangan apapun yang berlaku di rumah besar
itu.
Salah satu larangan itu adalah,
memasuki kamar yang saat ini dimasuki pak
Lurah untuk mengabulkan permintaan
Miranda. Lewat pintu yang terbuka sekejap,
Miranda sempat menangkap suasana temaram
di dalam, lalu salah satu sisi rak tempat buku.
Demikian besar, lebar, dan tingginya rak itu
sehingga dapat menutupi sedemikian rupa
pandangan dari luar pintu. Mana pintu itu
terbuka dan menutup lagi secepat dibuka,
setiap kali Suganda Prabukusumah Prayodhia
keluar masuk kamar pribadinya.
Siang hari, kamar itu hanya diterangi
oleh cahaya samar-samar yang masuk lewat
ventilasi tanpa jendela dari kaca es tebal dan
suram. Malam, diterangi lampu damar di sudut
ruang. Hanya sesekali diterangi listrik, pertanda
si pemilik kamar tengah menekuni buku-
bukunya. Ada puluhan, mungkin lebih buku
buku yang tersusun rapih di tiap bagian rak.
Besar kecil, berbagai bentuk, ukuran maupun
warna. Sebagian besar sudah lapuk. Kalau
bukan karena terlalu sering dibuka, tentulah
karena saking tuanya usia buku itu sendiri.
Meskipun tanpa jendela dan pintu jarang
dibuka, udara dalam kamar tertutup itu
tercium harum semerbak… paling tidak begitu
lah, menurut hidung pemiliknya. Beraneka
ragam akar-akaran, rempah rempah, getah
kering, potongan-potongan rotan atau kulit
kayu cendana dan banyak lagi hasil hutan
lainnya, terdapat dalam kamar itu. Tertumpuk
di meja, di keranjang dalam laci-laci. Atau
tergantung di tembok, di dinding rak. di
kapstok yang semestinya untuk gantungan
pakaian. Sebagian tergenang dalam beberapa
buah pasu berisi air bening. Pasu-pasu itu
diletakkan tidak beraturan, namun tetap dalam
posisi melingkari sebuah patung setinggi anak
kecil. Patung yang sulit dijelaskan, apakah mirip
manusia, atau mirip kera.
Salah satu dinding tembok, dibiarkan
tidak terganggu. Dinding tembok itu diukir
memanjang oleh seorang pemahat jempolan.
Sehingga, sekilas pandang seorang mahasiswa
perguruan tinggi akan yakin seketika bahwa
ukiran memanjang itu adalah jejeran kejadian
atau terciptanya manusia menurut teori
evosusi-nya Darwin. Pada bagian di mana
menurut Darwin semestinya ditempati oleh
mahluk yang ia sebut The Missing Link, Garis
Keturunan Yang Hilang, diukir pahatan
manusia; yang baik bentuk maupun rupanya
merupakan jiplakan dari postur tubuh maupun
rupa Suganda Prabukusumah Prayodhia, lurah
desa Mantili, pemilik kamar dari rumah besar
yang dihormati dan disegani semua warganya.
Orang yang luar biasa itu, bersimpuh
sejenak di depan patung bersepuh emas tadi.
Sukar dijelaskan, manakah yang bersinar dalam
sekejap. Mata pak Lurah, atau mata patung
yang aneh itu. Setelah sinar merah kehijauan
itu lenyap, pak Lurah mengambil salah satu
pasu dan berjalan ke pintu, membuka dan
menutup pintu lagi, terus dengan wajah
berseri-seri meletakkan pasu tadi di depan
Miranda.
Jantung perempuan itu berdegup
kencang. Matanya tak berkedip menatap ke
dalam pasu. Dalam air bening, tampak jelas
selembar daun sirih di dasar pasu. Punggung
daun sirih menghadap ke atas. Di
permukaannya, melekat tetesan-tetesan darah
yang telah berubah jadi gumpalan-gumpalan
kecil, lunak dan misterius! Tiga tetes darah
Miranda, tiga tetes darah Bramandita. Si
Tukang ngintip, bi Supi, telah menyambar daun
sirih berdarah itu sementara Miranda dan
Bramandita menjalankan taruhannya: siapa
paling kuat dan tahan paling lama menyelam
dalam lubuk.
“... indah sekali,” bisik Miranda, tergetar.
Maksudnya, kenangan romantis di dan sekitar
lubuk.
“Tentu saja,” jawab pak Lurah, lembut, la
memaksudkan persetujuan itu, untuk apa yang
kemudian ia katakan: “Ini adalah tanda-tanda
akan berpadunya kembali sang Rama dan sang
Shinta.”
Rama dan Shinta itu telah menyatu. Baik
Jiwa. maupun raga. Demikian Miranda berpikir
gemetar dan hangat sekujur tubuhnya,
terbangkit tanpa sadar naluri seksuilnya. Lantas
bergumam pelan:
“Perlihatkan lagi, pak Ganda ...”
Suganda Prabukusumah Prayodhia terpekur.
Mulut terkatup rapat, sedangkan
kelopak mata terbuka lebar. Matanya menatap
lurus dan tajam menusuk ke dalam pasu berisi
air sebening kaca itu. Sedetik dua, tak terjadi
apa-apa. Pada detik-detik berikutnya, nafas
Miranda mulai sesak. Mula-mula, ia lihat
getaran di permukaan air. Daun sirih sedikit
bergoyang, kemudian diam kembali.
Seterusnya, yang bereaksi adalah gumpalan
kecil tetes-tetes darah itu. Mata biasa tentu
saja tidak dapat membedakan mana darah
Miranda, mana pula darah Bramandita. Hanya
kekuatan bathin pak Lurah… yang kemudian
disalurkan ke bathin Miranda sehingga
nafasnya menjadi sesak, yang dapat
membedakannya.
Tiga gumpalan tetes darah bergerak-
gerak lembut. Seakan merayap, mendekati tiga
gumpalan tetes darah lainnya. Satu demi satu
tiga pasang gumpalan tetes darah itu menyatu.
Proses kemudian terjadi. Perpaduan darah itu,
menyebabkan terjadinya perubahan, warna.
Dari merah tua ke merah muda sedikit
kekuning-kuningan lalu lembayung, kemudian
berubah lagi agak kekuningan, terus merah
muda, lalu tiga pasang gumpalan tetes darah
itu kembali berwarna merah tua, begitu satu
sama lain memisahkan diri.
Kelopak mata Miranda mengerjap. Perih. Lalu:
“... tadi pagi aku lupa menanyakan.
Kenapa, pak Ganda Tetes tetes itu berpisah
lagi?''
Mulut pak Lurah terbuka. Menjawab,
pelan: “Karena kalian belum menyatu...” dan
manakala ia lihat Miranda akan mengutarakan
sesuatu namun kemudian mengurungkannya
dengan wajah malu; maka pak Lurah
menegaskan: “Menyatu secara utuh. Dan itu
harus melalui sebuah upacara.”
“Perkawinan?”
“Mirip.”
“Maksud bapak?”
“Kalian berdua boleh menamakannya
perkawinan. Hanya upacaranya tidak dipimpin
oleh penghulu, pendeta, atau semacamnya.
Aku… maupun keturunanku, sungguh belum
beruntung memperoleh jabatan mulia itu,”
Suganda tampak murung. Sekejap cuma.
Kemudian, wajahnya berubah riang kembali.
Berkata: “Andaikata upacara itu jadi kita
langsungkan. Mira. Bersediakah kau apabila
aku yang memimpin dan mengesyahkannya?”
Miranda tersenyum, bahagia. “Aku bersedia.”
“Dan Bramandita?”
“Aku kira. dia juga akan…“ Miranda
kembali gelisah. “Heran, ke mana dia perginya
ya?”
“Mudah-mudahan ia sudah di rumahmu
sekarang.”
“Semoga. Jadi bi Supi tak perlu kecewa.”
“Dia kecewa? Kenapa?”
“la telah capai-capai masak, dan paling
jengkel kalau hidangan yang ia sediakan,
dibiarkan dingin...” Miranda tersenyum
semakin lebar. Kemudian: “Hari ini, bi Supi
punya menu menarik. Bapak mau ikut makan
bersama kami?”
“Wah, bagaimana ya?” Suganda balas
tersenyum. “Aku ada janji beberapa menit lagi
dengan sejumlah orang yang pasti sudah
menunggu di balai desa... Tetapi biar begitu,
sambil lalu saja. Masak apa si Supi siang ini,
Mira?”
“Semur. Semur hati.”
“Hati?”
“Ya. Hati menjangan.”
Suganda menelan ludah. “Pasti enak,”
keluhnya. “Sayang sekali. Siapa yang kirim?”
“Pak Ading. Sayang, tadi pagi aku masih
di sini. Menyaksikan tanda-tanda ,ajaib itu...”
Miranda melirik lagi ke arah pasu.
Tampak matanya berharap, tetapi kemudian ia
mengeluh: “Jadinya aku tak sempat berterima
kasih pada penyawah ayahku itu. Padahal ingin
benar aku ngobrol. Antara lain, tentang
anaknya. Dadang, tentu bapak ingat...
Kembali Suganda menelan ludah. Matanya
murung, karena perasaan tertekan. Namun
dalam gambaran Miranda, kemurungan tuan
rumah dikarenakan apa yang kemudian
terucap: “Hemm. Jangankan anak orang lain,
Nama dan wajah anakku sendiri, terkadang aku
lupa.” kemudian lagi ia tertawa “Itu sebabnya
aku sayang dan suka padamu, Mira. Dulu
ayahmu sering membawamu main ke rumah
Ini. Kumpul bersama anak-anakku sendiri.
Lantas, yah… seperti biasa, aku lupa dan
pernah membentak dan menjewer telingamu.”
“Itu karena aku nakal.” ujar Miranda.
“Ya. Juga, karena sebelum kujewer,
kukira yang punya telinga itu anakku sendiri…”
“Bapak kuanggap ayahku sendiri.”
“Dan kelak akan melahirkan sejumlah
cucu buatku ya? Cucu-cucu pilihan?”
Miranda bangkit dari kursinya.
Mengecup pipi pak Lurah, yang bahagia
menerimanya. “Do’akan aku berhasil, pak.”
“Kau akan berhasil. Buktinya, tugas
pertama telah kau jalankan dengan baik..
“Oh.” wajah Miranda tampak gundah.
“Tugas yang jelek. Pura-pura taruhan, lalu
mencuri hasil taruhan itu.”
“Bukan kau yang mencurinya. Mira.”
“Ah. Sama saja.”
“Kenapa ribut? Toh, demi masa depan
kalian berdua juga.”
“Tetapi kau telah menipunya, pak
Ganda. Menipu sang Rama.”
“Kalau kelak sang Rama tahu apa yang
telah diperbuat Shinta. aku yakin sang Rama
akan memaafkannya.”
“Kuharap begitu,” Miranda kembali
gembira. “Kini, aku harus mencarinya. Tak tahu
ke mana. Semoga saja ia tidak tersesat,”
Miranda berjalan ke pintu.
Pak Lurah mengantarnya. “Sudah kau
cari ke balai desa?”
“Sudah. Marjuki bilang, tak melihat
Rama semenjak mereka, berdua meninggalkan
rumah tadi pagi. la juga sudah mencari. Atas
kemauannya sendiri.”
“Dan ayahmu?”
“Dia lebih tak tahu lagi. Tetapi
menghiburku. Rama tak akan ke mana-mana.
Rama dapat menjaga diri.”
“Iya dong. Ramamu kan sudah besar,
kata Suganda. Tertawa.
***
SEPULUH
AKHIRNYA Bramandita berhenti lari.
Bukan atas kehendaknya sendiri, la tidak
lagi memperhatikan jalan yang dilalui.
Pendeknya yang ia tahu, lari dan larilah sejauh
kau dapat. Di sebuah belokan tajam jalan
setapak itu, kakinya terantuk akar kayu yang
membelintang jalan. Dengan suatu pekik kaget
dan ngeri, Bramandita melayang ke depan,
untuk sedetik kemudian terjerembab jatuh.
Pisaunya terlempar.
la tergeletak dengan kaki sampai
pinggang di jalan setapak, dan selebihnya
tersuruk masuk semak belukar. Wajah serta
dadanya perih. Tertusuk duri serta pucuk
ilalang muda. Bramandita juga merasa pusing
bukan main. Selama beberapa saat ia biarkan
tubuhnya terbadai di tanah. Memberi
kesempatan jantung berdegup lebih teratur
Namun bayangan tubuh manusia terpancang di
kayu silang dengan sebilah tombak terhunjam
di lambung, membuat jantungnya kembali ciut.
Kemudian, Bramandita mendengarnya!
Mendengar suara-suara aneh tak jauh
dari tempatnya berbaring. Terkesiap sebentar,
Bramandita siap-siap bangkit untuk kabur
kembali. Apakah itu bunyi pekik dan geram-
geram binatang yeng berusaha mengurungnya
dari segala penjuru? Ratusan! Bahkan mungkin
ribuan banyaknya mereka. Serabutan kian
kemari di semak-semak gelap. Berloncatan
hiruk pikuk di pepohonan...
Bramandita membuka kelopak matanya.
Memandang liar ke depan. Tak ada kaki atau
tangan-tangan panjang berbulu. Juga tidak
tampak wajah-wajah sempit menyerupai
setan, dengan mata melotot mengerikan. Apa
yang ia lihat di sekeliling, hanyalah semak
perdu berduri, tumbuhan ilalang yang rapat,
batang-batang pepohonan yang menjulang ke
langit lepas, la beringsut, bimbang. Bangkit
ragu-ragu. Benar. Tidak ada mahluk apapun di
jalan setapak itu, maupun di antara pepohonan
rindang serta rapat satu sama lain.
Tetapi suara itu tetap bergema.
Sekali pelan. Memelas. Kemudian
terdengar meninggi, berupa tangisan yang
menyayat hati. Apakah itu tangis sekarat mayat
yang lambungnya ditoreh tombak bambu
runcing itu?
Hati-hati Bramandita berdiri. Telinga
ditajamkan, leher dipanjangkan. Meninjau
lewat tumbuhan rambat yang merayapi pohon
di sebelah kirinya, dan kemudian melihat
sebuah gubuk kayu beratap ijuk hanya
beberapa meter dari tempatnya berdiri. Suara
itu datangnya dari dalam gubuk. Benar, suara
tangis. Tangis pilu seorang perempuan.
Siapa kiranya perempuan yang mau
tinggal sebuah gubuk terpencil ini?
Apakah,… Kusta!
Marjuki pernah mengatakannya:
kelompok penderita penyakit kusta!
Bramandita tertegun. Mula-mula, tak
tahu apa yang akan ia perbuat, la belum pernah
bertemu orang berpenyakit kusta, la hanya
melihatnya di bioskop atau membacanya dari
buku. Film atau cerita-cerita mengenai orang
berpenyakit kusta itu sedemikian seram namun
sekaligus memilukan hati.
Bramandita. terenyuh, apalagi ketika
mendengar isak tangis itu menggema sekali
lagi. Lolongan seorang perempuan yang putus
asa.
“Jangan! Jangan mendekat!” akal
sehatnya memperingatkan.
“Tetapi... dia juga manusia!” hati kecil
Bramandita menbantah. “Apa salahnya? Asal.
aku tidak menyentuh apa apa...”
Bramandita membulatkan tekad. Lalu
berjalan. terpincang-pincang menerobos
semak belukar mendekati gubuk itu. Kakinya
sakit sekali. Barangkali yang terantuk tadi
tulang keringnya.
Suara tangis itu menghilang, tatkala
Bramandita memasuki halaman gubuk. Sepi
menyentak, mencemaskan. Bramandita
kembali bimbang. Liar lagi matanya. Jelalatan
kian kemari. Mana mahluk-mahluk mengerikan
itu? Apakah di sekitarnya menyelinap lebih
banyak lagi orang-orang yang mengidap kusta;
sembunyi ketakutan melihat manusia normal
yang datang kepada mereka membawa jalan
pikiran yang tidak normal?
Bramandita tertegun lagi, waktu
mendengar suara berderak aneh. Juga
gemerincing besi, kalau tak salah mestinya
gemerincing rantai. Apakah tidak lebih baik ia
mundur saja? Dan melupakan gubuk serta
penghuninya? Tetapi, oh… mustahil. Yang ia
lihat di film atau yang ia baca di buku, seorang
penderita kusta akan menjauhi manusia sehat
yang mendekatinya. Walaupun misalnya ia
membenci orang yang mendekatinya, belum
pernah ia dengar penderita kusta melampias
kan kebenciannya dengan membunuh.
Bramandita menyentuh pegangan pintu.
Segan.
Menekannya sedikit ke bawah. Lantas
mendorong ke depan, karena pintu itu ternyata
tidak terkunci. Suasana temaram di dalam
membutakan matanya sesaat. Bauk pepak,
hanyir dan busuk membuat perutnya mual. la
siap menerima serangan, yang nyatanya tak
pernah datang. Mengerjap beberapa kali,
akhirnya Bramandita terbiasa dengan
kegelapan di dalam. Cahaya matahari di luar
gubuk, menerobos malas lewat jendela
samping yang sedikit terbuka. Cahaya samar itu
jatuh ke sepasang telapak kaki telanjang yang
menghadap ke pintu.
Ketika diperhatikannya sekali lagi, jelas
lah Bramandita melihat bahwa pergelangan
kaki itu lenyap dalam lingkaran pas-pasan dua
balok kayu besar yang dirapatkan satu sama
lain dengan sekrup yang mestinya diperguna
kan menyekrup balok-balok besi baja
konstruksi bangunan bertingkat. Rantai besi di
masing-masing ujung balok kayu itu, terkait
pada lingkaran kancing besi di lantai papan
yang tebal dan kuat.
Orang yang kakinya dipasung ke balok
kayu besar itu, memang perempuan. Tetapi ia
sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda
mengidap kusta. Perempuan itu bertubuh
sehat, masih muda dan boleh dibilang
termasuk cantik wajahnya; meski rambutnya
yang panjang terurai tampak kusut masai,
wajah pucat dikotori bekas makanan maupun
debu yang dilelehi keringat serta air mata.
Bramandita memalingkan muka dongan
terkejut campur malu, manakala ia sadari di
sebelah dalam paha telanjang yang
terkangkang itu, si perempuan tidak memakai
celana. Tergetar hatinya memikirkan ia tengah
berhadapan dengan seorang gadis gila. Sebab,
setahunya, hanya orang berpenyakit hilang
ingatan yang suka mengamuk saja, yang
terpaksa harus dipasung oleh keluarganya.
“... sssiii… siapa… kkkaaau?”
Bramandita menghela nafas. Kembali
berpaling menatap si perempuan. Pandangan
nya kali ini lebih di keataskan agar matanya
tidak beradu dengan bagian terlarang dari
tubuh gadis malang itu. Bramandita
memandang lewat pundak si gadis. Dan
melihat tumpukan kotoran manusia di
belakang si gadis, campur aduk dengan sisa
makanan yang berserakan. Bramandita mau
muntah, namun berusaha menahan keinginan
itu sekuat mungkin.
Lalu menjawab: “Namaku Bram.”
“Ram?”
“Bram. Bramandita.
“Aku tak pernah melihatmu. Kau… bukan
penduduk Mantili. Potonganmu dan cara
berpakaianmu, juga tidak menunjukkan kau…
kau bukan penduduk lembah, bukan?”
“Benar. Aku orang baru di sini. Aku
tinggal di Jakarta.”
“Kau tersesat?”
“... ya.”
“Pakaianmu kotor. Ada darahnya. Kau
mengalami luka lecet. Memar-memar... Kau
juga tampak kepayahan. Dan takut akan
sesuatu.” Tetapi gadis itu mengawasi wajah
Bramandita, seakan mencari sesuatu, lalu
mendadak ia berkata dengan nada memohon:
“Kau… masih kuat untuk pergi, bukan?”
“Pergi?” Bramandita tercengang.
“Ya. Pergi. Jauhi tempat ini!”
Bramandita tertawa, tanpa sadar. Lantas
berhenti jertawa, dengan sadar! Apakah ia
yang gila, atau perempuan ini? Dipandanginya
sekujur tubuh gadis itu. Postur tubuhnya
bagus. Paling kurang, mata lelaki iseng tidak
akan melewatkannya begitu saja. Jelas wajah
perempuan itu membayangkan putus asa, dan
sinar matanya yang getir menggambarkan
betapa berat penderitaan bathin akibat
hukuman yang ia terima. Tetapi...
“Kau tampaknya sehat wal ‘afiat,”
gumam Bramandita.
“Apa?”
“Kau bukan…,” hampir saja Bramandita
menyebut: orang gila. Tetapi lekas
mengurungkan kata-kata yang tidak pantas itu.
Dan merubahnya dengan pertanyaan yang
lebih lunak: “Kau ngobrol sebagaimana orang
lainnya juga ngobrol. Kau bersikap wajar,
dan...”
“Aku bukan orang gila. Pikiranku waras,
bila itu yang kau maksud!” kata si perempuan
tajam.
Bramandita berpikir, tak ada orang yang
mau mengakui dirinya maling. Dan orang gila,
biasanya menuduh orang lain yang gila sedang
ia sendiri orang waras. Timbul lagi keraguan
Bramandita. Sebentar cuma. Karena gadis itu
telah berkata pula:
“Kumohon sekali lagi. Enyahlah…”
“Tetapi...”
“Tolonglah. Tinggalkan aku, sebelum…
sebelum mereka memergoki kita...!”
“Mereka? Mereka siapa?”
“Ya Tuhan. Mengapa kau masih belum
pergi juga, orang asing?” dari marah, gadis itu
berubah jadi ketakutan. Takut dan putus asa.
“Jangan biarkan mereka memberiku hukuman
lain yang lebih menakutkan!”
“Kau membuatku bingung.”
“Maka itu, pergilah. Lekas!”
Tak ada kompromi, tampaknya. Dan
perempuan ini sama sekali tidak memperlihat
kan keinginan untuk ditolong. Namun sebelum
pergi, kebiasaan bersopan santun belum
lenyap dari diri Bramandita. Jadi ia bertanya:
“Ada sesuatu yang dapat kubantu?”
“Pergi!” gadis itu mendesis.
“Siapa namamu, dik?”
“Oh! Kau akan kulempari tahiku, kalau
belum enyah jua!” gadis itu berteriak, keras
dan marah. Pada saat bersamaan; ia
menggerakkan tubuhnya. Mundur ke belakang.
Balok kayu itu berderak oleh geseran di lantai.
Gemerincing besi terasa menyakitkan telinga
Bramandita. Benar saja. Gadis itu mulai
menggapai ke belakang. Berusaha merahup
tumpukan kotorannya sendiri, dan...
Dan Bramandita melompat mundur ke
pintu. Siap menyelamatkan diri. Tetapi: “Hei!”
Bramandita bertahan di ambang pintu gubuk.
“Ya?” sahutnya, berpaling.
“Siapa namamu tadi?”
“Bram.”
“Oh ya, Bram,…” gadis itu tampak gelisah
sebentar. Dadanya naik turun dengan keras,
dan wajahnya yang kotor serta pucat kembali
ditetesi air mata. “Benarkah kau tersesat?”
Setelah berpikir sebentar, Bramandita
menyahut jujur : “Tidak.”
“Kau... baru dari atas sana.”
“Ya?”
“Kau baru turun bukit. Kau… kau
tentunya telah melihat sesuatu di atas sana. Di
puncak Bukit Larangan. Kau lari dari sesuatu.
Sesuatu… yang kau lihat di sana...” mata
perempuan itu menatap penuh harap.
“Katakanlah. Apa yang telah kau lihat?”
“Aku,..”
Bramandita jadi gugup. Haruskah ia
mengatakannya pada perempuan ini? Ia sudah
begitu menderita. Dipasung sendirian di gubuk
terpencil, jauh dari manusia lainnya, jauh dari
kehidupan-kehidupan mahluk-mahluk berakal
sehat. Dibiarkan terlantar sendirian di tengah
hutan yang sunyi. Apakah cerita mengenai apa
yang telah dilihat Bramandita, tidak akan
menambah penderitaan dan ketakutannya?
Dan dapat menyebabkan gadis itu benar-benar
gila?
Sesuatu mendadak teikilas di benak
Bramandita. Ia mendengus:
“Kenapa kau ingin tahu?”
“Karena mereka telah mengambilnya
dari sisiku.
“Siapa?”
“Laki-laki yang kucintai !” perempuan itu
terisak-isak, menyedihkan. Kemudian, ia begitu
ketakutan waktu berkata setengah histeri: “...
aku melihatnya lewat jendela itu! Melihat
mereka membawanya lewat jalan setapak.
Menyeretnya ke atas bukit. Lalu tadi malam,
kulihat nyala obor di atas sana. Kau dengar?
Nyala obor di atas Bukit Larangan! Itu pertanda
tengah dilangsungkan sebuah upacara
pemujaan terhadap setan. Setan-setan
penguasa Bukit Larangan! Dan tak lama
kemudian aku mendengar jeritannya. Jeritan
sayup-sayup sampai,… dan aku tahu, itu adalah
jerit kematian orang yang kucintai!
Gadis itu menghempas-hempaskan
pantat, tangan, bahkan punggungnya ke lantai
kayu. Berderak-darak bunyi lantai, ber
gemerincing nyaring bunyi rantai, la terus
celentang sambil menghempas-hempaskan
tubuhnya sedemikian kuat, lain sebelum
Bramandita mendekat, tahu-tahu saja; dengan
kekuatan luar biasa, gadis itu telah bangkit.
Duduk kembali.
“Kau lihat tanganku ini?” ia memperlihat
kan jari-jemarinya sedemikian rupa, sehingga
tampak bentuk kukunya.
“Mereka memotong kukuku sedemikian
pendek. Mengikir ujung-ujungnya supaya
halus. Mestinya itu jangan mereka lakukan.
Supaya aku dapat mencakar mukaku.
Mencakari sekujur tubuhku. Melukainya.
Mengeluarkan darah, agar aku sama
merasakan azab sengsara yang diderita
Dadangku tersayangi” ia menggeram, marah.
Tengadah, menatap Bramandita. “Telah
kucoba mencekik leherku sendiri. Nyatanya…
aku tak mampu. Tiap kali aku lemas. Terkulai…
dan aku gagal mati bersamanya!”
Mendadak, duduk si gadis tegak kaku.
Wajahnya lesi. Liar matanya, terengah-
engah mulutnya, ketika bertanya dalam bisikan
parau:
“Benarkah mereka telah membunuh
nya? Membunuh Dadangku tercinta?!”
Bramandita menelan ludah. Tak mampu
barkata sepatah pun jua.
“Jawablah!” hardik perempuan itu,
histeri. “Persetan hukuman apa yang akan
kuterima. Jawablah, orang asing!”
Bramandita membuka mulut. Tak ada
kata-kata yang keluar. Akhirnya Bramandita
cuma mampu mengangguk. Sangat perlahan.
Namun cukup jelas untuk dapat ditangkap
serta dipahami perempuan itu.
Si gadis terdiam.
Sepasang matanya terpentang lebar.
Butir-butir air bening menetes kian banyak
membasahi pipinya. Lalu dengan suatu gerakan
tangkas dan cepat, kedua telapak tangan gadis
itu telah mencengkeram lehernya sendiri.
Menekan kuat, semakin kuat. Gadis itu kini
berusaha mengerahkan segenap tenaganya
yang masih bersisa, dan kali ini mungkin ia akan
berhasil...
“Hentikan!” Bramandita menjerit.
Lalu ia menghambur mendekati gadis
itu, memegangi pergelangan tangannya dan
menariknya kuat-kuat. Betot membetot segera
terjadi. Anehnya, si gadis bukannya semakin
lemah, malah tenaganya semakin kuat. Panik,
Bramandita berteriak-teriak:
“Kubilang, hentikan! Jangan lakukan itu!
Kekasihmu sudah mati… tak ada… Tetaplah
hidup! Persetan! Siapapun mereka… kau dapat
mengenalinya, kau dapat… membalaskan sakit
hatimu! Kau…!”
Bramandita melepaskan betotannya di
pergelangan tangan perempuan itu.
la terduduk. Bukan saja lemas, tetapi
juga karena kaget dan Hilang semangat.
Karena, begitu mendengar ucapan terakhir
Bramandita, cekikan gadis itu pada lehernya
sendiri, melemah seketika. Matanya yang
terpejam, terbuka nyalang. Terpentang lebar,
semakin lebar, semakin bunder. Warnanya
perlahan-lahan berubah. Dari bola putih
dengan bulatan hitam, menjadi bola meta
merah saga dengan bulatan hijau kekuningan...
Bramandita terkesima.
Tak mampu bergerak. Hanya memperhatikan,
tetap memperhatikan. Padahal semestinya ia
lari terbirit-birit.
Dan ia memperhatikan perubahan lain.
Dahi si perempuan menyempit. Alis matanya
menebal. Tumbuh bulu-bulu halus, coklat. Baik
di jidat, di sebagian pipi, leher, lengan
sementara jari-jemarinya berkeriut. Bukan
menciut, tetapi menebal. Kuku-kukunya yang
dipotong pendek, pelan tetapi pasti bertambah
panjang, lancip, dengan ujung-ujung yang
runcing mengancam.
“Kkk-au… bbbeee-naarrr, Akkan kubbu-
bunuh mereka… kubunuh siapa sajjj… jjja yang
menjjjaamahhhh keeekkk… kekkk… kasssssih
kkuuuggg,…” tentunya gadis itu ingin
mengatakan sesuatu secara wajar, namun dari
mulutnya yang menyeringai memperlihatkan
taring dan lidah merah berlendir, hanya lepas
geraman datar:
“Gnggeeerr--huuuuuu!” tampaknya ia
mulai menyadari perubahan pada tubuhnya,
den air matanya pun menetes kian menjadi-
jadi. Itu bukan lagi air mata kesedihan
melainkan air mata air mata kemurkaan, air
mata yang mengandung butir-butir dendam
kesumat.
Mahluk itu ingin melampiaskan dendam.
Dan korbannya yang pertama, adalah
benda apa saja yang terdekat pada tubuhnya.
Benda itu adalah : leher Bramandita!
Ancaman bahaya tercium oleh naluri
Bramandita. Sayang, datangnya terlalu lambat.
Nalurinya belum sempat berteriak memper-
ingatkan, tangan-tangan mahluk yang tadinya
halus lembut kini membengkak semakin besar,
semakin panjang, kasar berbulu; tahu-tahu saja
telah menangkap leher Bramandita.
la tercekat.
Dan mulai tercekik.
Dengan segala usahanya Bramandita
melakukan usaha melepaskan diri. Meronta,
menendang, memukul. Tetapi cekikan telapak
tangan tebal, kasar berbulu itu semakin
menjepit juga. Disertai bunyi detak dan bunyi
srek-sreeeek dari blus kemudian rok yang tak
mampu membungkus tubuh yang semakin
membesar itu.
Lalu mendadak segala sesuatunya berhenti.
Mahluk itu menghentikan gerakan
mencekik pada leher Bramandita yang hampir
kehabisan nafas. Wajah binatangnya berputar
sedikit tengadah sedikit. Memandang lewat
pundak Bramandita. Mahluk setengah
binatang setengah manusia itu menggeram.
Tidak sedahsyat tadi. Geramannya kini, begitu
lemah. Ketakutan...
Bramandita ingin berpaling untuk
mengetahui apa yang membuat mahluk itu
demikian takut. Keinginan itu hanya terkilas di
benak. Tak mampu dilakukan oleh kekuatan
pisiknya yang telah menghilang lenyap, la
merasakan sesuatu menghantam tengkuknya.
Rasanya keras, tetapi lunak. Aneh. Kemudian
tubuh Bramandita melorot jatuh. Cekikan itu
lepas. Dan Bramandita terbadai di lantai.
Pingsan. Tak tahu mana dunia mana akhirat.
***
GANDA, atau lengkapnya Suganda
Prabukusumah Prayodhia, lurah desa Mantili,
mengusap-usap tepi bawah telapak tangan
kanannya yang kebas, dengan wajah tampak
betapa hampa. Keras juga tengkuk anak muda
ini, ia berpikir. Lalu berujar pada dua orang laki-
laki bertubuh kekar kokoh yang berdiri di
belakangnya: “Perkiraanku tepat, bukan?
Rama tersasar sampai kemari...”
la menatap sekilas pada sosok tubuh
mengerikan yang masih duduk terpasung di
lantai, tanpa ungkapan perasaan apapun di
wajahnya. Tidak takut, tidak heran, apalagi
cemas. Kecemasannya baru muncul manakala
ia memandang tubuh Bramandita. Leher
Bramandita tampak berharut-barut merah, dan
tampak tergores berdarah di sana sini.
“Lekas!” ia membentak keras, untuk
mengatasi bunyi menggeram keras dari mulut
lebar tebal dan bertaring yang masih terus
berproses menghancurkan setiap lembar
benang yang masih membungkus tubuhnya.
“Singkirkan Rama dari tempat terkutuk ini.
Tinggalkan dia di dekat-dekat desa. Tempat di
mana saja orang lain cepat menemukannya.
Kemudian kalian bereskanlah segala sesuatu
yang kalian anggap perlu.”
Perintah yang dikeluarkan dengan
tenang dan nada biasa-biasa itu, belum juga
dilaksanakan. Dua pengikut pak Lurah masih
tegak kaku. Dengan mata terbeliak dan mulut
ternganga. Memandang seram pada mahluk
yang pertumbuhan tubuh maupun bulu serta
kuku-kukunya itu tampak kian jadi. Tetapi
Suganda tidak perlu mengeluarkan perintah
dua kali. Manakala pandangan mata kedua
orang itu beradu dengan sepasang mata merah
kehijauan itu, dengan lantas mereka beradu
cepat menyambar tubuh Bramandita.
Menyeretnya menjauhi si mahluk, untuk
kemudian dengan membopong anak muda itu
mereka lari pontang panting menuju desa
Mantili.
“... percuma minta ampun, anak manis!”
gumam Suganda tenang, setelah di gubuk
terpencil itu tinggal ia saja, berdua dengan sang
mahluk yang terus menggeram-geram, dengan
air mata bercucuran.
“Kau telah kuampuni,” katanya lagi,
“setelah kau mau disetubuhi si Dadang bejat itu
di gubuk ini. Ya ya. Aku tahu kau lupa diri,
terhanyut hawa nafsu. Oleh karena itu kau
kuampuni, bukan?”
Mahluk itu menggeram, makin keras.
Balok kayu yang menjepit pergelangan
kakinya berderak-derak. Mulai retak oleh
proses pergelangan kaki yang juga membesar
itu. Lurah Mantili, menyadarinya, menatap
sekilas pada pasangan balok kayu itu, namun
tak beranjak mundur dari tempatnya berdiri.
“Kau telah kuberi kesempatan, anak
manis,” katanya, lirih. “Terkurung di sini.
Mensucikan diri. Mensucikan pikiran. Roh-roh
leluhur kita akan membersihkan tubuh
maupun jiwamu. Dan kau besar harapan akan
tetap hidup sebagai manusia normal lainnya.
Tetapi kau telah mensia-siakan kepercayaan
ku!”
Suganda geleng-geleng kepala. Masygul.
“Aku telah melarangmu bicara dengan
siapa-pun juga, anakku! Terutama, meminta
mu agar tidak membicarakan apapun tentang
hubunganmu dengan si Dadang. Sekali orang
lain tahu, sumpah leluhur kita akan jatuh atas
dirimu...”
Gelengan kepala lagi.
Disertai desah kecewa. Tanpa simpathi!
Lalu: “... aku tadi tak begitu dengar, apa yang
kalian bicarakan. Aku hanya dengar pekik kaget
Rama, dan segera tahu apa yang terjadi. Lalu
aku menyerbu masuk dan,…” Suganda
menelan ludah. Katanya sedih: “Dan, inilah
yang terjadi, bukan?”
Mahluk itu melolong, lirih.
Tetapi lurah Mantili itu tidak mengacuh
kannya. Setelah berucap: “Selamat jalan ke
dunia orang-orang terkutuk, nak!” maka pak
Lurah berputar, keluar dari dalam gubuk dan
melangkah pergi meninggalkan tempat sunyi
sepi itu.
Sunyi sepi?
Tidak. Sebab, kesunyian mencekam yang
berlangsung sesaat, sekonyong-konyong dipe-
cahkan oleh ledakan suara menggeram
dahsyat, pekik ratap yang tinggi dan parau, dan
lolong panjang mengerikan. Rantai bergeme-
rincing putus, dan balok balok kayu berderak.
Pecah berhamburan.
Mahluk itu tegak sempoyongan.
Mengawasi kepergian pak lurah dengan
pipi banjir air mata. Lalu telapak tangannya
yang tebal dan lebar, bergerak memukul
mukuli dadanya yang kokoh berbulu.
Geram dan gaung menggema sampai ke
tengah hutan. Disambut bunyi ratusan,
mungkin ribuan geram, rengeh. pekik maupun
lolong mahluk-mahluk penghuninya.
Penduduk desa Mantili dan sekitarnya,
mendengar keributan itu sayup-sayup sampai.
Para petani yang tengah bekerja di sawah,
tertegun pucat. Perempuan-perempuan yang
tengah mandi di pancuran, bergegas
menyambar pakaian lalu berlari-lari pulang.
Bocah-bocah yang bermain di pekarangan,
diseret orangtuanya ke dalam rumah.
Kemudian pintu dan jendela ditutup rapat-
rapat.
Bukit Larangan bergetar lagi, setelah
sekian tahun terdiam.
Siapa korbannya, kali ini?
***
SEBELAS
BRAMANDITA terduduk lemas di tepi
tempat tidur. Kedua kaki terjuntai ke lantai,
mengetuk-ngetuk jubin. Tampaknya ia
mengikuti irama musik tertentu. Yang
sebenarnya, Bramandita sedang resah. Hati
gelisah, jalan pikirannya kacau. Begitu banyak
yang telah ia lihat dan alami sepanjang hari;
dan yang ia dengar, sepanjang sore sampai
malam ini.
la siuman sekitar pukul tiga.
“... aku sangat kuatir,” keluh Miranda
cemas, bercampur lega. “Bi Supi yang
membangunkan engkau.”
Perempuan tua itu tengah mengobati
luka-lukanya, memang. “Kau terpaksa kusadar
kan dulu,” kata bi Supi, ramah. “Tak biasa aku
mengobati orang yang sedang mati rasa
pingsan, atau terbius. Kuharap cara-cara
penyembuhanku tidak membingungkan.”
Bramandita telah mengangguk tanda
sepakat. Namun toh ia sempat bingung melihat
reaksi obat yang dioleskan pelayan, itu pada
luka-lukanya. Begitu jari telunjuk bi Supi
mengusapkan ramuan obat ke luka bekas
hunjaman kuku di sisi leher, maka luka itu
bukan saja tidak menimbulkan sakit lagi. Tetapi
juga, hilang tak berbekas. Goresan merah pun
tak tampak. Apalagi yang namanya luka lecet.
Hanya memar-memar saja yang masih tampak
bengkak memerah.
“Kalau kau bangun besok pagi, memar-
memar itupun akan hilang,” kata bi Supi, yakin.
Bramadita nyeletuk: “Memang sudah
sejak di Jakarta aku curiga.”
“Curiga?” bi Supi terkejut.
“Bahwa kau dukun!”
Bi Supi tertawa. Katanya: “Anggapanmu
wajar. Yang sesungguhnya, aku punya bakat
alami. Dan banyak dokter-dokter sekarang ini
yang diam-diam mempelajari bahkan mem-
praktekkan pengobatan tradisionil, bukan?”
“Terkun,” rungut Bramandita. “Dokter-
dukun, hem...” la kemudian mengawasi
perempuan tua itu sibuk membenahi peralatan
dan ramuan-ramuan obatnya.
“Baunya sungguh tak sedap. Dari mana
kau dapatkan?”
“Banyak terdapat di sekitar sini. Dengan
sedikit masuk ke hutan, apapun yang kau
perlukan akan segera kau peroleh,” jawab bi
Supi bijaksana. Dalam hati si perempuan
berharap pak Lurah akan setuju dengan
jawabannya ini. Toh benda-benda yang
bertumpuk di kamar Suganda dan sebagian
kecil diberikan kemudian pada Supi untuk
mengobati Bramandita, memang diperoleh
dari tempat-tempat yang ia sebutkan. Bi Supi
kemudian beranjak ke pintu. “Sekarang,
istirahatlah. Akan banyak tamu nanti.”
Setelah perempuan tua itu lenyap di
balik pintu, Bramandita bergumam: “Tamu?”
“Aku yang menyuruh mereka datang.
Harap kau mengerti, Rama. Aku begitu panik
dan ketakutan melihat kau digotong orang
dalam keadaan pingsan. Sebelum sadar betul,
kau lebih dulu meronta-ronta pula. Mengigau.
Dan berteriak-teriak tidak karuan. Untung ada
bi Supi, dan...”
“Polisi. Aku perlu bertemu dengan
polisi.” ujar Bramandita, tersedak.
“Itu juga sudah kulaksanakan.”
“Apa?” Bramandita terperanjat.
“Aku segera menyuruh Marjuki
memanggil polisi, begitu dalam igauanmu kau
menyebut-nyebut ada orang mati dibunuh. Kau
juga menyebut-nyebut tentang api,… tentang
lutung, mawas dan segala macam kera...”
Miranda tampak pucat. Katanya: “Kami kira kau
telah tersesat. Masuk ke Bukit Larangan, atau
hutan-hutan di sekitarnya...”
“Bukit Setan!” Bramandita memaki, ngeri.
“Husy, Jangan keras-keras,” Miranda
semakin pucat. “Tak seorang pun diperkenan
kan menyebut istilah itu. Kualat, katanya.”
“Kata siapa?”
“Semua orang di sini. Peraturan tak
tertulis. Rama. Petuah lama, yang ditinggalkan
nenek moyang kami, dan tetap dijaga
penduduk sampai hari ini.”
“Heem!”
“Kau boleh percaya atau tidak. Namun,
cobalah mengerti. Atau sedikitnya, meng-
hormati kepercayaan orang lain,” Miranda
berkata keras. Membuat Bramandita terdiam,
tanpa daya. Pikirnya: kau boleh membantah
bahwa sebuah kuburan itu kramat, tetapi
janganlah mengencinginya.
“Aku ingin minum,” katanya, lesu.
Miranda memberinya minum. Bahkan
kemudian juga menyediakan makan sore
untuknya. “Sebenarnya ini untuk santapan
siang. Tetapi telah kuhangatkan. Cobalah ini.
Enak sekali rasanya,” Miranda menyendokkan
sekerat semur hati ke mulut Bramandita, yang
mengunyah dan kemudian menelannya malu-
malu.
“Gurih benar,” ia bergumam.
“Hati menjangan. Belum pernah makan?”
“Rasanya pernah. Tapi tak segurih dan
selezat ini.
“Bi Supi yang memasaknya,” kata
Miranda, segan. Tadinya dia bilang,
diperuntukkan hanya buat aku seorang. Tetapi
kan engga lucu kalau aku menikmatinya
sendirian. Lagipula, dia bilang hati menjangan
baik buat obat jiwa tertekan. Jadi tak ada
salahnya kuberikan padamu, bukan? Mau
lagi?”
“Boleh juga,” jawab Bramandita, timbul
seleranya, dan kemudian terjengah makin malu
setelah menyadari bahwa setiap kerat semur
hati itu telah ia telan, tanpa Miranda sendiri
sempat mencicipinya...!
Tak lama kemudian, tamu-tamu datang
silih ganti. Mula-mula pak Lurah.
“Bagaimana perasaanmu, nak?” ia
bertanya, riang gembira.
“Luar biasa, pak Lurah,” jawab
Bramandita, sama gembiranya. “Bi Supi itu
hebat!”
“Oh ya. Barusan ia mengadu. Katanya,
kau sebut ia dukun.”
“Ah…”
“Mengapa tak kau perhalus, nak? Sebut
misalnya, tabib atau… Uh, benar juga. Hanya
soal istilah. Dan bi Supi biar cemberut, akan
lekas lupa lagi. la orang baik, kau tahu?”
kemudian wajahnya berubah serius, ketika
bertanya: “Benarkah kau memasuki Bukit
Larangan?”
Bramandita mengangguk, enggan.
“Bila aku telah melanggar pantangan…”
“Bukan salahmu, nak. Mestinya sejak
kemarin-kemarin sudah kami beritahu. Tetapi
siapa nyana?”
“Aku harus melaporkan sesuatu pada bapak.”
“Silahkan, nak Rama.”
Merasa kisah yang dialaminya kelewat
seram, Bramandita melirik pada Miranda yang
segera paham dan kemudian menyingkir dari
kamar itu. Bimbang apakah Miranda benar-
benar pergi atau nguping di balik pintu,
Bramandita bercerita dengan suara direndah
kan. Beberapa kali emosi dan ketakutannya
muncul, sehingga ceritanya sering terputus dan
tak tentu ujung pangkalnya.
Tak sekalipun Suganda memotong.
Lurah desa Mantili itu mendengarkan
dengan sikap tenang, mulut tersenyum
mengerti, dan mata iba, mengasihani.
Pantaslah ia diangkat sebagai lurah abadi oleh
warga desanya, pikir Bramandita, sebelum
kemudian bertanya hati-hati:
“Bapak akan bertindak?”
“Bertindak? Terhadap apa, anakku?”
“Astaga. Bukankah sudah kuceritakan…”
kemudian Bramandita sadar akan sesuatu, la
menatap lurus ke mata Suganda, kemudian
berbisik parau:
“Apakah aku juga akan dianggap gila,
karena telah melanggar pantangan?”
“Aku tidak mengatakan begitu. Lagipula,
nak Rama. Siapa yang akan berani pergi ke
sana, untuk membuktikannya. Jangankan
mendaki ke atas bukit. Mendekakati hutan-
hutan gelap dibawahnya saja, tak seorangpun
bersedia bersedia. Biar diupah sawah
berhektar-hektar.”
“Bapak percaya desas-desus itu?” Bramandita
tercengang.
“Desas-desus?”
“Marjuki pernuh menceritakan padaku
tentang...”
“Oh, jadi telah ia ceritakan. Bagus. Jadi
kau boleh tanya pada semua penduduk desa.
maupun penduduk lembah, benar atau tidak
akibat-akibat apa yang timbul apabila ada
orang berpikiran tak waras, nekad memasuki
Bukit Larangan...” Suganda menghela nafas
panjang. “Kuakui, aku sebenarnya heran bahwa
kau tetap hidup, tetap sehat dan tampak tetap
waras setelah kau terperangkap di bukit itu.
Atau, di dekat-dekatnya. Tetapi aku ragu. Apa
yang nanti terjadi dalam jiwamu, apabila kau
selesai melakukan penyelidikan pada semua
penduduk, tanpa kecuali. Lebih kuragukan lagi,
anggapan mereka terhadapmu, apabila kau
ceritakan pula apa yang barusan kau ceritakan
padaku!”
Polisi desa, buktinya.
la datang dengan pakaian seragam,
lengkap dengan sepucuk pestol tersarung di
pinggangnya. Tak lupa ia membawa dua orang
rekan yang ia perkenalkan sebagai Banpol.
Tetapi begitu ia dengar dari Bramandita
bahwa orang yang mati dibunuh itu adanya di
puncak Bukit Larangan, polisi desa itu dengan
tegas berkata: “Maafkan, bung. Tetapi aku
sudah acapkali terkecoh orang lain sebelum
engkau!”
Bramandita hampir putus asa. “Bapak
tak akan melakukan pengusutan?” tanyanya,
hampir menjerit.
“Tentu saja harus, bung Rama. Pertama-
tama, akan kuselidiki apakah ada orang hilang.
Baik di desa Mantili, maupun di kampung para
penyawah yang tinggal di lembah. Aku juga
akan bertanya-tanya ke desa sekitar. Baru
setelah aku yakin, benar ada orang hilang tanpa
sebab tanpa tujuan, aku rela menghadapi
semua resiko dengan naik sampai ke puncak
Bukit larangan.”
“Dan selama bapak kasak-kusuk kian
kemari, mayat itu sudah mereka singkirkan!”
“Mereka?”
Terngiang ucapan-ucapan gadis yang dipasung
dalam gubuk terpencil itu, Bramandita
mendengus:
“Ya. Mereka. Kaum pemuja setan!”
Wajah polisi desa seketika berubah keruh.
Menarik nafas sebentar, lalu berkata datar:
“Kunasihatkan, bung Bramandita.
Sebagian terbesar penduduk desa Mantili
mempercayai sesuatu, yang tidak dipercayai
oleh segelintir lainnya. Tetapi segelintir yang
lain itu, tidak pernah mengganggu-gugat
kepercayaan kelompok terbesar. Dengan
demikian, kehidupan di desa ini dapat berjalan
lancar, tanpa terjadi bentrokan antar kelompok
itu. Jadi, sekali lagi kunasihatkan. Bual gila-
gilaan itu, dapat menimbulkan kegemparan.
Warga desa akan terpecah belah, dan itu tak
kukehendaki. Aku, sebagai pelaksana
Kamtibmas di sini!”
Lantas tanpa pamit, polisi desa itu
menghilang bersama dua temannya.
Tinggal Bramandita. Terbadai dalam
ketakutan. Takut, bahwa ia telah bermimpi
buruk dan mengerikan, lantas menganggap
mimpi buruk itu sebagai kenyataan. Miranda
memandangnya dengan gundah, cemas dan
iba. Ibu Miranda, menjauh tanpa terlihat
kemudian menangis diam-diam di dapur. Bi
Supi pergi ke luar rumah dengan wajah masam.
Hanya ayah Miranda yang tetap tampak
tenang.
Orangtua itu tidak beranjak dari kursi
yang didudukinya. Karena masih akan datang
beberapa tamu lain. Tamu-tamu itu, seorang
dikenali Bramandita sebagai pemilik warung
yang ia singgahi sebelum pergi ke telaga tadi
pagi. Dua yang lain, adalah petani dengan siapa
ia berpapasan dan kemudian pura-pura
tersesat ketika akan menyelinap ke Bukit
Larangan. Empat orang lainnya tidak ia kenal
sama sekali, kecuali merasakan betapa mereka
itu kaku, tak senang terpaksa ikut campur, dan
lebih tak senang lagi karena kepercayaan
mereka yang telah mendarah daging,
diremehkan oleh Bramandita; seorang tamu
asing. Tamu dari Jakarta, yang begitu muncul,
begitu menimbulkan kegemparan di desa
mereka yang selama ini tenteram damai.
Mereka semua didampingi pak Lurah.
Memang ia yang memanggil mereka, dengan
maksud menjelaskan situasi pada Bramandita.
Pemilik warung mengiyakan kalau ia melihat
Bramandita pergi ke arah telaga. Dua petani itu
membenarkan, bahwa mereka menunjukkan
jalan yang seharusnya ditempuh Bramandita
yang mereka duga telah tersesat. Empat orang
yang lain menceritakan bahwa mereka sedang
beristirahat di sawah waktu melihat ada orang
jatuh terguling-guling dari tebing curam dekat
sungai tempat mereka biasa mandi.
“Anak muda ini tergelincir, itu pasti,”
kata yang seorang.
“la berada di arah berlawanan dengan
Bukit Larangan...” ujar yang lain, meyakinkan.
“Jaraknya terlalu jauh, dan mustahil
mencapai dua tempat itu sekaligus dalam
tempo dua hari, apalagi hanya beberapa jam
saja!”
Dua lainnya menyetujui keterangan
teman mereka, sambil memberikan gambaran
lokasi di mana Bramandita mereka temukan
jatuh dan pingsan. Tempat itu, menurut
mereka mengarah ke lembah, tempat menetap
kaum penyawah.
Lurah Mantili, sependapat dengan keempat
orang itu, bahwa Bramandita mungkin tertarik
melihat pemandangan sawah dan perkampung
an nun jauh di bawah. Bermaksud pergi ke sana
lalu karena jalan licin atau apa, tiba-tiba jatuh
tergelincir.
“…untung salah seorang dari kami
mengenalinya. Maka kami gotong ia ke rumah
ini.” kata tamu yang bertubuh paling besar,
dengan wajah yang agak janggal untuk seorang
petani. Wajah itu lebih mirip wajah seorang
tukang pukul, atau seorang bekas perampok
yang terpaksa tobat untuk menghindari
hukuman gantung.
“Mustahil. Semuanya terlalu ganjil,”
desah Bramandita, setelah keempat tamu-
tamu itu pergi, disusul oleh dua petani lainnya,
serta si pemilik warung yang ngobrol dulu
dengan Miranda, karena kangen. “Rasanya
mayat yang terpancang di tiang kayu itu…”
“Mungkin pikiranmu masih dipengaruhi
ke-matian sahabatmu,” kata pak Lurah. “Kau
pernah menceritakan bagaimana caranya Tedi
Jukandi meninggal. Cara yang terlalu seram,
sehingga dapat hadir dalam mimpi buruk,
dengan berbagai bentuk.”
“Dan luka bekas kuku di leherku?” tanya
Bramandita. sengit, la telah mengabaikan
Miranda. Sehingga tidak ia sadari betapa janda
sahabatnya itu pucat pasi dan gemetar
mendengar pembicaraan mereka.
“Lukamu telah hilang,” kata Suganda,
tenang. “Tapi pernah ada!”
“Itu benar...”
“Apa yang menyebabkannya? Duri?
Batu-batu tajam? Ranting patah?”
“Supi bilang, memang seperti bekas
cakaran kuku-kuku tajam dan runcing.”
“Lantas, kuku apa kiranya pak Lurah?”
“Hem,…” Suganda Prabukusumah
Prayodhia tampak bosan. “Di sekitar tempat
kau tergelincir, memang banyak pula ber-
keliaran lutung dan kera. Coba kita gambarkan
kejadiannya. Merasa aman, kau berjalan
tenang-tenang. Dari balik rimbunan belukar,
mendadak muncul salah seekor binatang hutan
itu. Kau kaget. Binatang itu lebih lagi. Katamu,
kau membawa pisau. Binatang itu menyangka
kau bermaksud melukai, atau mau membunuh
nya. Lalu dia menyerang, terdorong instink
untuk menyelamatkan diri… atau anak-
anaknya, siapa tahu? Dalam pergulatan itulah,
kau kemudian tergelincir. Luka dan pingsan,
tetapi nyawamu tetap kau miliki.”
Suganda kemudian bangkit.
“Kau sakit, nak?” desahnya, setelah
melihat Miranda terengah-engah.
Yang ditanya diam saja. Kemudian
geleng kepala. Kak Lurah kemudian pamit.
Pergi meninggalkan rumah bersama ayah
Miranda, dengan dalih ada urusan yang harus
mereka kerjakan di balai desa.
“Apakah aku... gila?” Bramandita mengeluh.
Miranda terperanjat. “Sayangku. Kau
sehat, dan aku yakin kau juga tabah ...”
Sayangku! Hati Bramandita luluh, mencair.
“Aku mau tidur,” katany
Dan sebelum ia tidur, Miranda meng-
hadiahinya sebuah ciuman hangat. Ciuman
kasih sayang.
***
Malam kian larut.
Bramandita rebah lagi di ranjang.
Menggeliat, resah dengan mata perih tak mau
dipaksa terpejam. Mestinya ia keliling saat-saat
beginian. Dengan sepeda motornya, dengan
tustel tercantel di pinggang, la harus menemui
beberapa orang, bertanya pada mereka
mengenai sesuatu, atau memberitahu sesuatu
dan meminta reaksinya, la harus memotret
orang yang kira-kira penting. Lalu pergi ke
percetakan. Membuat berita untuk terbitan
besok pagi. Lalu...
“Bang?”
Bramandita membalikkan tubuh. Lampu
kamar telah dipadamkan. Tetapi dapat juga ia
lihat gerakan seseorang di dipan sebelahnya
“Ada apa, Marjuki?”
Pemuda yang tidur satu kamar
dengannya itu, diam sebentar. Lalu: “Kupikir-
pikir... tak ada salahnya kita mencoba.”
“Mencoba apa?”
“Menyelidikinya sendiri.”
“Hai. Kau...”
“Aku telah mendengar semuanya. Meng
gabung-gabungkan kejadian-kejadian jauh
sebelum ini dengan apa yang bang Rama alami.
Lalu...”
“Tak seorang pun percaya!” keluh
Bramandita.
“Aku juga tidak.”
“Lantas?”
“Sudah kubilang tadi. Apa salahnya mencoba?”
“Tetapi kau pernah mengisahkan
kejadian-kejadian aneh mengenai Bukit Setan
itu. Kau…”
“Shhhttt! Bukit Larangan, bang Rama.”
Marjuki berbisik, memperingatkan. “Misalkan,
abang memang telah pergi ke sana. Melihat,
mengalami sesuatu, kemudian kembali pulang.
Abang luka-luka, bahkan pingsan. Tetapi
seperti kata kak Mira, kau tetap sehat. Tetap
tabah. Yang lebih penting lagi, apa yang
dikatakan pak Lurah. Abang tetap hidup!”
Marjuki menelan ludah. “... barangkali, abang
ini punya ilmu.”
“Ilmu?”
“He-eh. Penangkal set… eh, kekuatan
gaib yang jahat. Ilmu pengusir roh-roh jahat
yang gentayangan...”
“Ahhh… yang benar!” Bramandita
nyengir sendiri.
“Kita anggap saja, abang punya tapi tak
abang sadari. Itu memang sering terjadi. Abang
tak tahu. Tak mempelajarinya. Tak mendalami
nya. Namun tatap saja, abang memiliki
semacam kekuatan gaib dalam tubuh abang.
Karena itu abang terlindungi. Dan… yah, aku
berharap, dapat melindungi aku juga,” Marjuki
menyeringai, kecut. “Bagaimana? Setuju?”
“Kau tidak takut?” semangat Bramandita
kembali timbul.
“Takut sih, yaa… takut.”
“Kalau begitu,… lupakan sajalah,”
Bramandita menggoda.
“Biar aku takut, kan ada abang yang
melindungi aku?”
Melindungi Marjuki. Artinya, melindungi
adik Miranda.
Wah, hebat!
“Bangunkan aku pagi-pagi benar ya bang
Rama?” bisik Marjuki, pelan.
“Oke!”
***
Di kamar tidurnya, Miranda tengah
menelan segelas air putih yang diberikan oleh
bi Supi setelah lebih dulu dijampe.
“Mestinya kau tidak nekad mendengar
omongan mereka,” kata pelayan tua itu,
menyesalkan.
“Aku ingin tahu,” keluh Miranda, memprotes.
“Hasilnya? Jiwamu terguncang kembali!
Padahal sekembali di kampung ini, kau sudah
jauh lebih baik. Tetapi sudahlah. Air yang kau
minum akan membuatmu tenang dan dapat
tertidur nyenyak.”
“Terimakasih, Bi.”
“Omong-omong. Sudahkah kau lihat
hasil pemeriksaan darah kalian berdua?”
“Sudah.”
“Bagaimana?”
“Positip.”
“Syukur.”
“Anehnya, bi Supi. Kenapa dari Tedi aku
tidak memperolehnya? Padahal kami sudah
bertahun-tahun berumah tangga.”
“Bukankah sudah kubilang, neng Mira.
Telah kutanyakan pak Lurah dan ia bilang
barangkali letak peranakanmu tidak pas. Besok
pagi aku akan memeriksanya.”
“Kau bisa, bi Supi?”
“Jelek-jelek begini, sebelum kau lahir aku
sempat jadi paraji,” pelayan itu tersenyum.
“Aku percaya.”
“Nah, tidurlah,” perempuan tua itu
mempef. baiki letak selimut Miranda,
kemudian terjalan ke pintu. Sebelum ke luar, ia
teringat sesuatu. Bertanya perlahan:
“Semur hati itu, neng Mira. Kau habiskan
semua, bukan?”
“Oh. Maaf. Tak kusisakan untuk bi Supi.”
“Lupakanlah. Yang ingin kutahu, semur
hati itu apakah cocok dengan perutmu?”
“Bagaimana aku tahu, bi Supi? Dia yang
menghabiskannya.”
“… dia?”
“Benar. Rama-ku tersayang.” Miranda
tersenyum, bahagia. Bi Supi membalas
senyumnya, kemudian cepat-cepat ke luar.
Begitu pintu tertutup di belakangnya,
senyuman di bibir pelayan itu lenyap seketika.
Wajahnya pucat. Kaki-kakinya gemetar.
“Astaga!” ia merintih. Ketakutan.
***
DUA BELAS
TONGGAK MAUT itu masih tetap berdiri
di tempatnya semula. Tegak kukuh dalam
posisi silang di permukaan tanah keras padat.
Demikian pula sisa-sisa gagang obor. Masih
tetap terhunjam di antara rerumputan tebal
mengitari tonggak berbentuk setengah
lingkaran. Di latar belakang, batu raksasa yang
ganjil itu juga masih menjulang. Angkuh, Tidak
ada yang berubah.
Kecuali, mayat yang terikat di tonggak.
Belitan tambang kelihatan lebih longgar.
Karena baik pergelangan tangan maupun
pergelangan kaki yang dibelit tambang-
tambang itu begitu kecil dan lemah. Mayat itu
tidak sampai melorot jatuh, hanya dikarenakan
sudah keras kaku; mana posisi kaki serta lengan
mayat terpentang lebar pula. Mayat itu boleh
dikatakan telanjang bulat, karena tidak
selembar pakaian pun melekat pada tubuhnya.
Namun jangan berharap kau akan melihat kulit
halus tipis sebagaimana kulit manusia.
Sebab, hampir sekujur tubuh mayat itu
ditumbuhi bulu-bulu tebal, kasar, berwarna
hitam pekat.
Dan manusia, tidak memiliki bulu-bulu
semacam itu.
“... aa… abang bilang… abang melihat
mayat seorang petani!” Marjuki yang pertama-
tama membuka mulut, la berdiri gemetar di
belakang Bramandita yang kebingungan.
“Lutung!” bisiknya, lirih. “Bagaimana
mungkin?”
Menelan ludah sebentar, kemudian
Marjuki tertawa. Serak. Katanya: “Kukira ada
sekelompok orang yang membuat permainan
di sini. Orang-orang aneh, dengan selera humor
yang mengerikan...”
“Tetapi, siapa?” tanya Marjuki, semakin
bingung seraya berjalan lambat-lambat
mendekati tonggak itu.
“Jangan tanya padaku,” rungut Marjuki,
sambil buru-buru nguntit di belakang
Bramandita. Rapat di punggungnya. “Tanya
saja pada mayat lutung itu.”
“Hem,” Marjuki mengusap dagunya,
resah. la mengawasi batang bambu runcing
yang terhunjam di lambung bangkai lutung itu.
“Tempat yang sama. Tusukan langsung
ke jantung...” ia mengingat-ingat, dan
bergumam gemetar: “Bambu ini terlalu besar
untuk si lutung malang. Rasanya, sama besar
dengan bambu yang kulihat terhunjam di
lambung petani itu. Tidak mustahil, ini bambu
yang itu-itu juga.”
“Apa yang harus kita perbuat?” bisik
Marjuki, dengan mata jelalatan, mengawasi
dengan cemas ke sekitar bukit. Sepi lengang
belaka. Seolah tidak ada mahluk hidup
menghuni tempat menakutkan itu. Sedang
beberapa menit sebelumnya, mereka telah
berpapasan dengan demikian banyak lutung,
mawas dan segala macam kera yang lari
serabutan menyelamatkan diri. Ke mana
semua mahluk menyeramkan itu?
Bersembunyi jauh-jauh, atau kini tengah
mengintip dari balik semak belukar, dari celah-
celah dedaunan pohon yang rimbun?
Marjuki semakin merapat ke punggung
Bramandita, dan terpekik kaget tatkala tanpa ia
lihat, Bramandita menepuk pundaknya. “Uh.
Bilang-bilang dong, kalau mau menepuk
pundak orang!” ia memberengut. Pucat.
“Sudah. Jangan ngomel. Bantu aku
menurunkan bangkai ini,” kata Bramandita.
“Kau lepaskan tali-tali yang mengikatnya,
sementara tombak ini kucabut.”
Bambu pembunuh itu tercabut dengan
mudah karena letaknya sudah agak miring mau
jatuh. Bramandita kemudian melepaskan tali
tambang di pergelangan kaki kemudian tangan
bangkai lutung itu, sebab Marjuki hanya berdiri
bengong sambil sesekali menoleh ke belakang.
“Rasanya, kok ada yang mengintai
perbuatan kita,” rungut pemuda itu.
“Kalau memang ada, biarkan dia keluar
menemui kita,” sahut Bramandita kesal.
Bangkai lutung ia biarkan melorot, jatuh
tergelimpang di tanah dengan bunyi berdebuk
keras karena bangkai itu sudah sedemikian
kakunya. Kaki-kaki maupun tangan-tangan
lutung itu tetap saja terpentang mengerikan
sebagaimana keadaannya selagi terikat di
tonggak tadi. Masih kesal, ia menggerutu:
“Jadi, kita terlambat. Mereka telah
menukar mayat si petani malang itu, dengan
bangkai lutung Ini.”
“Maksud abang?”
“Mestinya aku tidak banyak omong. Kuat
dugaanku, ada seseorang di desa yang
mendengarnya, lalu buru-buru kemari untuk
melenyapkan bukti-bukti bahwa di sini pernah
terjadi pembunuhan.”
“Pembunuhan itu memang sudah
terjadi,” tambah Marjuki. Suaranya lebih
tenang kini. Tak ada tanda-tanda bahaya
mengancam di sekeliling mereka. Dan setelah
terkapar di tanah, bangkai lutung itu tidak
semenyeramkan selagi terikat pada tonggak.
“Yang abang lihat, bukan mayat
manusia. Tetapi bangkai lutung. Dan lutung ini
telah mereka bunuh secara biadab. Eh, bang.
Mengapa lubang di lambungnya sedemikian
besar. Kelihatannya tidak semata-mata
ditusukkan… Tetapi, ujung bambu itu juga
ditorehkan. Aku pernah melakukan hal serupa.
Dengan pisau. Mengeluarkan seekor ulat dari
buah mangga, tanpa melukai ulat sehingga
tidak mengotori daging buah yang ranum itu...”
Marjuki tercenung sejenak. Lalu: “Apa
kiranya yang mereka ambil dari dalam tubuh
bangkai lutung ini?”
Tertarik oleh penjelasan Marjuki, maka
Bramandita membungkuk, la amati dengan
seksama lubang besar dan kosong di bagian
dalam lambung mayat lutung, la menutup
hidung dengan sebelah tangan, menghindari
bau busuk yang demikian sengit memualkan.
Kemudian, sebelah tangannya yang lain
menekan-nekan di bagian lambung yang tidak
tertoreh, di pinggang, di dada kiri dan kanan.
Ketika merasakan ada rongga lembut kosong di
salah satu sisi lambung tepat di bawah tulang
dada, tanpa berpikir panjang lagi Bramandita
menyimpulkan:
“Mereka mengambil hatinya...”
“Hatinya? Hem. Mungkin juga. Aku
pernah dengar, hati kera bagus untuk orang
lemah syahwat !” Marjuki tertawa kecil. “Eh,
abang mau apa?
Bramandita berjalan kian kemari.
Menginjak-injak tanah di beberapa tempat.
“Kita harus menguburkan bangkai itu,”
katanya. “Dan karena kita tidak punya sekop
atau pacul, aku harus menemukan tanah yang
lembek atau gembur supaya mudah
mengoreknya.”
“Mengapa susah-susah? Buang saja ke
tebing itu !'“ Marjuki mengusulkan, seraya
menuding dengan telunjuk ke bibir tebing bukit
yang langsung menghadap ke lembah di
bawahnya. “Tak usah mengasihaninya. Cuma
bangkai kok ini!”
“Benar juga,” Bramandita setuju.
“Tetapi abang seretlah sendiri ya? Aku
tak tahan baunya,” keluh Marjuki enggan, la
lantas menjauh dan kemudian menyandar di
batu besar yang menjulang di sebelah lain
puncak bukit itu. Karena letih, ia kemudian
terkulai. Duduk terbadai di rerumputan,
dengan punggung menyandar di batu raksasa
itu. Selagi tubuhnya melorot ke tanah, sebelah
tangan Marjuki tanpa sengaja menggaruk batu
belakangnya, la meringis sakit ketika telapak
tangannya terkait pada sesuatu.
Marjuki menoleh.
Dan mengetahui apa yang telah mengiris
telapak tangannya. Di antara serpihan pasir
berdebu yang berleleran dari salah satu bidang
permukaan batu yang pecah, pemuda itu
melihat sesuatu tersembul. Mencuat ke luar.
Ketika disimaknya, ia segera menyadari kalau
benda tajam yang mencuat itu adalah ujung
kawat besar yang hitam berkarat. Marjuki
keheranan. Mengapa ada kawat di batu ini?
Dari mana asalnya? Atau tepatnya, siapa yang
menanamnya ke dalam batu?
Marjuki baru saja akan membetot ke luar
kawat berkarat itu. manakala ia dengar suara
Bramandita memanggil: “Juki. Kemarilah!”
Marjuki berpaling, la lihat Bramandita
tegak kaku di pinggir tebing. Dekat kakinya,
masih tergoler bangkai lutung itu. Rupanya,
belum sempat dibuang waktu Bramandita
melihat sesuatu di bawah tebing. Dengan
minat tertarik. Marjuki bangkit lalu mendekati
Bramandita. “Ada apa, bang Rama?”
“Katakanlah padaku, Juki. Benda apa itu
gerangan?”
Marjuki mengikuti arah telunjuk
Bramandita. Melihat ke lereng tebing yang
penuh batu-batuan di antara semak belukar.
Setelah agak lama mencari-cari ia kemudian
melihat apa yang telah dilihat Bramandita.
Marjuki bergumam: “Topi.”
“Benar. Topi. Tetapi, topi apa?”
“Topi pandan.”
“Katakanlah lagi padaku. Marjuki. Siapa
kiranya yang biasa memakai topi pandan
macam itu di daerah ini?”
“Yaaa… tukang sayur. Tukang gali pasir
juga memakainya. Tetapi umumnya dipakai
oleh para ...”
“Petani!” potong Bramandita, tercekat.
“Nah. Abang mulai lagi mengada-ada.
Bukankah yang kita temukan itu bangkai
lutung? Tuh, masih ada dekat kaki abang.
Kecuali kalau abang sudah gila. Sudah kena
kutukan Bukit Larangan. Lantas menganggap
bangkai itu sebagai mayat manusia.”
“Diamlah,” sungut Bramandita, dongkol.
“Biarkan aku berpikir...” dan ia memang
berpikir sebentar, kemudian mengutarakan
apa yang dipikirkannya. “Mereka telah
menyingkirkan mayat petani itu. Lalu
membunuh seekor lutung sebagai gantinya.
Bila ternyata ada beberapa orang yang
pemberani nekad datang kemari untuk
membuktikan kisahku, maka dengan mudah
aku lantas dituduh edan, sinting dan segala
macam. Malah barangkali, akulah yang akan
dicap sebagai pembunuh gila, yang telah
berbuat kejam terhadap lutung ini. Pengaruh
gaib Bukit Larangan, bukankah begitu?”
Bramandita tersenyum, namun matanya
bersinar marah. “Tetapi mereka melupakan
sesuatu. Aku melihat sebuah topi pandan di
bawah tubuh mayat petani itu, yang pastilah
miliknya. Waktu mereka datang ke sini untuk
menyingkirkan mayat itu, angin telah
menerbangkan topi pandan tadi. Melayang dan
jatuh ke bawah sana. Mereka membiarkannya.
Atau mereka tidak ingat mengenai topi itu!
“Bang Rama,” Marjuki mendesah, pahit.
“Berpikirlah lebih tenang. Umpamakan, yang
mereka bunuh cuma lutung belaka. Dan itu
telah kita buktikan sendiri hari ini. Nah. Salah
seorang dari mereka tanpa sengaja telah
menjatuhkan topinya sendiri. Bagaimana?”
Bramandita menarik nafas panjang.
Katanya, masih marah: “Akan kutanya, siapa
kiranya yang nekad melanggar pantangan.
Datang ke Bukit Larangan.”
“Tahu apa jawab mereka?” sela Marjuki.
“Mereka hanya menuding seorang saja.”
“Bagus. Tapi, siapa kiranya?”
“Bang Rama.”
“Aku tanya,..” Bramandita mengatupkan
mulut tiba-tiba. Wajahnya berubah muram.
“Hem. Kau benar. Mereka justru akan
menuding diriku,” ia geleng-geleng kepala,
kembali dilanda kebingungan. Lantas memaki:
“Setan!”
Makian bertuah! Gaung makian itu
belum lenyap, setan yang tidak mereka harap
tahu-tahu saja telah menyeruak rimbunan
semak belukar di antara pepohonan di sebelah
kanan mereka. Marjuki dan Bramandita segera
berpaling. Tampak sesosok tubuh menakutkan
berjalan memasuki tempat terbuka. Sesosok
mahluk besar dan tinggi tegak mengangkang
memperhatikan kedua orang di depannya.
Mahluk itu sejenis kera berbulu coklat. Tetapi
tentunya kera yang ini kera yang belum pernah
dicantumkan para ahli di buku-buku tentang
fauna, karena demikian besar dan demikian
mengerikan penampilannya. Kera besar itu
menggeram, menyeringai memperlihatkan
taring-taring yang dahsyat, air liurnya
berleleran kian kemari.
Geramnya membuat Marjuki kaku seketika.
Bramandita terkesiap, namun belum
semua semangatnya terbang dari tubuhnya.
Maka, ketika mahluk itu kembali menggeram-
geram disertai bunyi mengik lalu pekik tinggi
menyayat jantung yang mendengar,
Bramandita segera menyambar lengan Marjuki
dan menyeret pemuda itu mundur. Pada waktu
mahluk itu melompat ke depan, tanpa berpikir
panjang lagi Bramandita berteriak: “Lari!”
Dan mereka lari dahulu mendahului
memasuki jalan setapak di arah berlawanan
dari tempat mahluk itu datang. Jalan setapak,
yang pernah dilalui Bramandita ketika berbuat
hal serupa saking ketakutan melihat mayat
manusia terpacak di tonggak kayu, dengan
bambu runcing terhunjam di lambungnya.
Kera besar berbulu coklat itu tidak
mengejar dua manusia yang kabur terbirit-birit
melanda segala apa yang menghalangi jalan
mereka itu. Sang mahluk hanya tegak
memperhatikan, menepuk-nepuk dada dengan
pukulan-pukulan dahsyat. Dada, yang bentuk
nya menandakan bahwa kera itu dari jenis
betina.
Habis menepuki dada dan memekik-
mekik seram disahuti kera-kera lain di seantero
hutan Bukit Larangan, mahluk itu mendekati
bangkai lutung di pinggir tebing. Sesaat, ia
cuma mengawasi. Saat berikutnya, kera betina
itu jatuh bersimpuh di tanah. Lutung berbulu
hitam dengan lambung menganga itu dirahup
nya dalam rangkulan erat. Dirapatkannya ke
dada, tanpa memperdulikan bau busuk dari
lambung bangkai. Wajah lutung mati itu
diciuminya bertubi-tubi.
Kemudian, dengan kepala tengadah,
mahluk berupa kera betina itu bangkit tegak.
Tetap memeluk bangkai lutung di dadanya.
Pekik-pekik dahsyat lepas dari mulutnya. Kali
ini tanpa sambutan apa-apa dari seantero
hutan yang terdiam, sepi.
Sudut-sudut mata kera betina itu
dilinangi butir-butir air bening, yang pelan-
pelan melelehi pipi-pipinya. Lalu dengan
geraman panjang, mahluk itu memboyong
bangkai lutung. Lari menyelinap ke tempat dari
mana tadi ia muncul.
Puncak bukit kian menyepi.
Kian mati.
***
“STOP, MARJUKI!”
Pemuda itu masih serabutan sebentar,
sebelum mengerem larinya. Terengah-engah,
ia berpaling. Dan melihat Bramandita tengah
bertelekan ke sebatang pohon, dengan tangan
menguruti dada. Keringat membanjir di wajah
Bramandita yang kemerah-merahan, demikian
pula di wajah Marjuki yang sepucat kertas.
“... kita berhenti dulu sebentar.”
“Tetapi, bang...”
“Ahhhh!” Bramandita mengibaskan
tangannya. “Jangan bodoh. Setan itu tidak
mengejar kita.”
“Abang yakin?”
“Cuma menduga.”
“Menduga?”
“Ya. Ingat apa yang kuceritakan
semalam? Aku terperangkap dalam gubuk,
dengan gadis terpasung yang kemudian
berubah rupa itu. Sambil ngibrit tadi sempat
kupikirkan, apakah bukan mustahil mahluk tadi
adalah jelmaan si gadis.”
“Oh !”
“Jangan memandangiku seperti itu, Juki.
Boleh kau anggap aku sudah begini...”
Bramandita menempatkan jari telunjuk, miring
di depan jidatnya. “Tetapi paling tidak, kau
telah melihat sendiri kebenaran sebagian dari
ceritaku,… meski yang kau lihat ternyata cuma
bangkai lutung…”
Bramandita mengulai ke tanah. Duduk
kelelahan. Menyeka keringat di wajah, telinga
dan leher. Mengerpis-ngerpiskannya, menyeka
lagi. Lantas bersungut gemetar: “Andaikata
saja begini. Yang kusaksikan bukan pula gadis
terpasung, melainkan mahluk tadi. Apa
komentarmu?”
Marjuki merenung sebentar. Lalu:
“Nol,”, jawabnya. “Nol besar. Otakku sudah
kaku diajak lari sejauh ini. Abang saja yang
kemukakan apa yang ada dalam pikiran
abang.”
“Bagus,” Bramandita menyeringai.
Sesaat, ia melirik ke jalan setapak menanjak
yang barusan mereka lalui. “Tak ada tanda-
tanda mahluk jtu mengejar kita, bukan? Jadi
kesimpulanku begini. Mahluk itu tidak
menginginkan kita. la menginginkan yang lain.”
“Apa?”
“Lutung itu.”
“Bangkai lutung itu?” Marjuki tercekat.
“Mau diapakannya? Direncah? Dikunyah-
kunyah? Dibagi beberapa kerat pada mahluk-
mahluk lainnya… yang sejenis, dan mungkin
banyak terdapat di sekitar ini?” jelalatan lagi
mata Marjuki. Mengawasi takut-takut ke
semak belukar, ke atas pepohonan.
“... karena sesuatu hal,” kata Bramandita
lagi. “la takut datang sendirian ke Puncak Bukit
Larangan tadi. la hanya mengintai dari jauh.
Mengawasi lutung yang diinginkannya.
Barangkali sambil meratap semoga lutung itu
hidup kembali. Tetapi besar kemungkinan,
mahluk itu tidak berani mendekat, sebelum ia
yakin ada orang atau mahluk lain mendekat.
tanpa orang atau mahluk lain itu mengalami
sesuatu sebagai akibat melanggar pantangan
menginjakkan kaki di puncak bukit. Entah
bagaimana, ia kemudian melihat kita. Tak
terjadi apa apa. Lantas ketika ia lihat aku akan
membuang bangkai lutung itu ke bawah tebing,
mahluk itu lalu nekad keluar.”
“Untuk?”
“Merebut bangkai lutung itu. Dan
menguburkannya di suatu tempat, dengan cara
penguburan yang lebih pantas.”
“Hebat!” Marjuki duduk di sebelah
Bramandita. “Abang maksudkan, mahluk itu
berpikir sebagaimana kita manusia juga
berpikir, ya?”
“Tepat.”
“Tetapi… bagaimana mungkin?”
“Karena mahluk kera itu, tadinya adalah
manusia juga seperti kita.”
“Abang menakut-nakuti aku.” Marjuki
gemetaran.
“Aku lebih takut lagi.”
“Apa yang abang takutkan?”
“Misteri alam. Dunia gaib. Roh-roh yang
berkeliaran dalam kegelapan, karena raga
mereka yang sudah mati, ditolak bumi.”
“Uh-uh...” Marjuki bergidik. Seram. “Dan
kera mengerikan tadi. adalah salah satu roh
gentayangan itu?”
“Ya. Gentayangan menangisi nasib.
Meratapi cinta yang tidak diperbolehkan ia
miliki.”
“Abang tampak aneh.”
“Ha?”
“Eh, salah. Maksudku, kata-kata abang
terdengar makin aneh. Seolah abang dapat
menyelami hati mahluk-mahluk menakutkan
itu. Jangan-jangan, abang ini… salah seorang
dari merekal”
Bramandita membelalak.
Kemudian, tertawa bergelak.
“Eh. Kok malah ketawal”
“Iya ya. Mestinya aku menangis,”
Bramandita terdiam dan wajahnya berubah
haru. Haru yang sangat dalam.
Melihat itu, Marjuki menjadi cemas.
Sampai tadi malam, ia masih tetap percaya
bahwa teman kakaknya ini sehat jasmani sehat
rohani, meski telah terperangkap di Bukit
Larangan. Tadi, setelah melihat ternyata cuma
bangkai lutung yang terikat di. tonggak,
kepercayaannya mulai goyah. Apalagi
sekarang. Orang ini bercerita semakin aneh.
Tertawa bergelak. Lantas terdiam, dengan
wajah bersedih. Apakah kutuk turun temurun
di desa mereka, mulai memperlihatkan
kekuasaannya?
“Memilukan.”
Ia dengar Bramandita ngoceh.
“Gadis itu katanya melihat sendiri
kekasihnya diseret orang ke atas bukit. Gadis
itu mendengar jerit kematian. la yakin,
kekasihnya sudah mati, dan ia menangis
menghiba-hiba, menyayat hatiku, la
merenggut kerah bajuku, meratap tak
berkeputusan. Dadangku tercinta, jeritnya.
Mereka telah membunuh Dadangku, kekasih
ku. Lalu tiba-tiba wajahnya berubah. Dan
cengkeramannya ...”
“Hei. Tunggu!” Marjuki hampir berseru.
“Apa? Kau melihat sesuatu?”
Bramandita menjadi waspad
“Tidak. Tapi aku mendengar abang
menyebut nama seseorang. Sampai tadi
malam, abang tak dapat mengingat-ingat nama
yang diratapi gadis itu. Kini… mentakjubkan.
Abang mengingatnya lagi. Tetapi,…” Marjuki
ragu-ragu sebentar. Lalu: “Dadang. Benarkah ia
menyebut nama Dadang?”
“Mudah-mudahan aku tak salah.
Mengapa rupanya?”
“Dadang itu anak penyawah ayahku!”
“Apa? Kau kenal si Dadang?”
“Lebih dari kenal. Aku malah tahu, diam-
diam ia mencintai dan tetap merindukan kak
Mira. la sudah bujang tua sekarang. Tak kawin-
kawin. Kalau benar dia orangnya... Ah!”
Marjuki patah semangat lagi. “Masih ada
empat orang lain di desa yang bernama
Dadang. Kalau di lembah tempat tinggal kaum
penyawah sih, memang cuma dia seorang. Jadi,
belum tentu dia.”
“Tak apa. Kita selidiki seorang demi
seorang.”
“Selidiki apanya?”
“Orangnya. Masih ada. atau tidak. Lebih
jelas lagi, masih hidup atau sudah mati. Kapan,
mengapa, dan di mana dikuburkan. Aku punya
firasat. Penyelidikan itu kita mulai saja dari
penduduk lembah. Anak penyawah ayahmu
itu...”
“Wah.”
“Kok, wah?”
“Wah, kalau benar dia. Itu berarti, ia
telah melupakan kak Mira dan berpaling pada
gadis lain. Ayahku pasti senang mendengarnya.
Ayah paling tak senang melukai hati orang,
apalagi membiarkan luka itu terus
memborok...” Marjuki menelan ludah. “Lantas,
siapa gadisnya itu?”
“Nanti juga kita akan tahu,” jawab
Bramandita, bernafsu. Cepat ia bangkit berdiri.
“Ayolah. Kita teruskan perjalanan...”
Marjuki bergegas pula bangkit, dan
lekas-lekas berjalan di depan Bramandita.
“Pulang ke rumah,” katanya. Riang.
“Betapa menyenangkan. Aku sudah lapar ...”
“Kau bukan lapar. Kau takut.”
“Alaaa, bang.”
“Benar, bukan?”
“Iya deh!”
“Kalau begitu, kau saja yang pulang. Biar
aku sendiri yang ke sana. Asal tunjuki aku
jalannya.”
“Jalan ke mana?”
“Ke lembah.”
“Terserah abang. Lagipula, he... apa ini?”
Marjuki berhenti, lalu memungut sebuah
benda dari bawah akar sebatang pohon yang
menghalangi jalan di depan mereka.
“Oh, oh… bukankah ini, pisau dapur
punya ibuku?”
Bramandita mengambil, pisau itu dari
tangan Marjuki. Mengamati sebentar, lantas
bergumam tersendat. “Benar. Ini pisau yang
kucuri dari dapur ibumu. Tentunya jatuh di
tempat ini ketika aku...” ia melihat ke bawah.
“Hem. Pasti akar ini yang membuatku
terserandung
Marjuki terengah. Pucat, la memegang lengan
Bramandita, mencari perlindungan. Bisiknya,
kelu: “Jadi gubuk itu...”
“Dekat-dekat sini,” sambung Bramandita.
Yakin.
Dan ia benar.
***
TIGA BELAS
GUBUK kecil terpencil itu tampak tenang
damai bila dilihat dari jalan setapak. Asap
mengepul dari pekarangan samping. Rupanya
seseorang baru saja membakar sampah. Orang
itu sedang membelah kayu bakar ketika ia
mendengar langkah kaki kemudian bunyi
dehem salah seorang dari dua laki-laki yang
dengan bimbang memasuki halaman.
“Ah. Kiranya den Juki. Dan oh, bung
Rama kalau tak salah?” orang itu menyambut
mereka dengan wajah terhias senyum ramah.
Mereka bertiga saling jabat tangan, bergantian.
“Tumben mau melongok tempatku yang buruk
ini. Ada perlu apa kiranya?”
“Jalan jalan saja, mang Dolim,” Marjuki
yang menyahuti.
Mat Dolim, lelaki tinggi kekar ber
tampang kriminil, yang tadi malam mengaku
telah melihat Bramandita tergelincir dari
sebuah tebing; terkejut. Yang sebenarnya,
dalam hati ia sama sekali tidak merasa terkejut.
“Sejauh ini? Di kaki Bukit Larangan pula?!”
“Kami tadi menyelusuri sungai. Cari
udang. Eh, taunya kami lihat ada gubuk. Lantas
kami pikir, apa salahnya singgah sebentar,”
kata Marjuki lagi.
“Aduh! Coba bilang mau datang. Kan aku
bisa hidangkan apa-apa...” ia melirik ke arah
tanaman ubi kayu yang tumbuh subur di
sebagian halaman itu, lantas berkata: “Kalau
kalian berdua suka singkong bakar...”
“Tak usah repot-repot. Mang,” sela
Bramandita. “Terimakasih. Tetapi kami akan
segera pergi lagi...” ia melirik sana sini, pura-
pura heran, kemudian bertanya takjub:
“Tinggal sendirian? Dekat bukit keramat pula?
Mang Dolim tentunya pemberani!”
“Oh. Apa boleh buat, bung Rama. Aku ini
Pengawas Hutan. Sesuai tugas, adalah patut
kalau aku memilih tinggal di dalam hutan itu
sendiri, bukan?” ia tersenyum lebar. Soal bukit
yang kau sebut keramat, yah… aku termasuk
salah seorang dari sedikit orang lainnya yang
tidak percaya akan segala macam tahayul yang
menggelikan itu. Namun, ah. Terus terang saja.
Agar tidak kualat, aku selalu menekan hasrat
untuk sesekali mendaki sampai ke atas sana.
Selain itu, untuk berjaga-jaga aku punya
jimat...”
“Jimat?” mata Marjuki berbinar-binar.
“Wah, den Juki. Maaf deh. Bila ku
perlihatkan pada orang lain, keampuhan jimat
itu bisa hilang.”
“Kudengar juga begitu,” Bramandita
menyela lagi, pura-pura sependapat. “Resik
juga kebunmu, Mang Dolim. Tentu nyaman
tinggal di sini. Kami di Jakarta suka berangan-
angan menetap seminggu dua di tempat sunyi,
jauh dari hiruk-pikuknya manusia, jauh dari
polusi. Punya gubuk kecil seperti… He, kok
seperti rusak. Mang?”
“Apa?”
Bramandita tidak langsung menjawab, la
berjalan santai ke pintu gubuk yang tertutup.
Salah satu sisi pintu itu pecah berantakan.
Letak daun pintu sedikit goyang, seolah habis
didobrak orang.
“Kenapa tak diperbaiki, mang? Kelihatan
nya kok seperti merusak pemandangan...”
lantas pintu ia dorongkan sedikit, sampai
terbuka dengan suara berkeriut yang nyaring.
Marjuki terjengah oleh kelakuan
Bramandita. Akan halnya Mat Dolim, tampak
tenang. Tidak merasa dilangkahi. Sambil
tertawa-tawa senang ia mendekati pintu yang
dipercakapkan. Dengan gaya seorang badut
menceritakan peristiwa lucu, Mat-Dolim
berkisah bahwa beberapa hari yang lalu
seorang temannya datang membawa berbotol-
botol minuman keras. Mereka minum sampai
mabuk, kemudian dalam keadaan mabuk itu
mereka berselisih menyangkut seorang
perempuan. Lalu berkelahi.
“Bayangkan, la lebih besar dari aku.
Tetapi tubuhnya begitu ringan waktu kuangkat,
la kulemparkan ke luar gubuk. Lupa, kalau pintu
masih tertutup,…” tawanya membahana lagi.
“Sayang,” Bramandita mendecip-
decipkan mulut, menyayangkan 'keteledoran'
pemilik gubuk. “Tentunya Mang Dolim
menuntut ganti rugi.”
“Untuk pintu reot begini?”
“Harus diperbaiki, toh?”
“Aiaa. Biar saja begitu. Kuanggap
kenangan manis dari seorang teman lama.
Lagipula, toh tak ada orang yang mau nekad
datang kemari. Apa pula yang harus dicuri? Aku
tak punya apa-apa yang berharga kok ini...” dan
dengan senyuman tipis menyembunyikan
ejekan, ia membuka pintu semakin lebar.
Berkata, setengah mencemooh:
“Lihatlah sendiri.”
Bramandita merasakan ejekan dan
cemooh itu. Tetapi ia berlagak pilon. Pura-pura
tak berminat pula, ia hanya melirik sekilas ke
dalam lantas mundur dari pintu. “Kalau ada
nona manis di dalam, tanpa disuruh pun aku
akan menyerbu,” katanya, berseloro. Seloro
yang sekaligus mengandung sindiran.
“Tak ingin melihat-lihat? Membuktikan
sesuatu?” Mat Dolim berlagak kecewa. Tapi
kata-katanya begitu tajam.
“Terimakasih, mang. Lain kali saja. Sudah
terlalu lama kami pergi. Nanti orang kecarian
Bramandita berkata cepat, lantas menyeret
Marjuki buru-buru meninggalkan gubuk itu.
Tanpa melupakan sopan santun: “Eh mang
Dolim. Kalau lain waktu kami nyelonong lagi ke
gubukmu, mang Dolim ingin dibawakan
sesuatu engga?”
“Kau baik sekali, bung Rama.
Terimakasih,” Mat Dolim tertawa senang.
“Kalian mau datang, sudah lebih dari cukup.”
“Selamat siang, Mang,” seru Marjuki.
“Siang, den.”
Marjuki jalan di depan, mengikuti jalan
setapak yang semakin lama semakin jelek.
Beberapa kali mereka harus -melompati
selokan, menyisi tegalan, menyusuri pinggiran
tebing sungai yang terjal dan berbahaya. Di
belakangnya, Bramandita menguntit dengan
benak bergalau.
“Dia sudah rnempersilahkan. Kok abang
tak masuk?” gumam Marjuki, tak mengerti.
“Percuma, Juki. Dia… Hem, benarkah
orang itu pengawas hutan?”
“Nah. Kalaupun kita masuk, tentulah kita
tidak akan melihat balok berlapis dua dengan
rantai besi itu. Paling-paling kita hanya
menemukan tikar digelar. Mungkin dengan
ekstra sebuah kasur butut. Rak atau bakul
tempat pakaian. Kompor untuk masak. Lampu
petromak, mungkin juga lampu baterai.
Beberapa bilah golok, sangkur dan sebuah
bedil panjang di dinding. Semuanya bersih,
rapih. Tak ada bekas, apalagi petunjuk bahwa
seorang gadis pernah dipasung dalam gubuk
itu.”
“Seperti juga mereka menukar mayat
petani dengan bangkai lutung?”
Lama Bramandita tidak menyahut. Kemudian:
“Kalau benar mereka memang menukarnya!”
ia bersungut sungut misterius.
Marjuki mau mengutarakan sesuatu.
Tetapi membatalkannya, karena tahu-tahu
mereka menemui jalan yang lebih patah lagi.
Tebing licin berlumpur, menurun curam ke
bawah. Hanya orang-orang yang sudah
terbiasa yang mampu melaluinya dengan
mudah. Buktinya Bramandita sempat
terperosok, sedang Marjuki sendiri hampir
terguling ke tengah sungai. Menyusuri lagi
tanah becek di tepian sungai, kembali mereka
harus mendaki jalan berputar ke atas,
mengikuti tegalan sawah yang terhampar luas
dan akhirnya tiba di lubuk tempat semula
mereka datang.
“Kita mandi?” tanya Marjuki.
“Kau mandilah. Aku akan terus ke
kampung di lembah itu.”
“Abang akan kutunjuki jalan. Dan... hem
kukira tak ada ruginya aku ikut. Ada beberapa
cewek cantik di sana.”
Sepeninggal tamu-tamunya, Mat Dolim
masih berdiri di tempat ketinggian.
la mengawasi sampai kedua orang itu
mendekati lubuk. Baru ia memutar, berjalan
memasuki halaman gubuk. Pada saat
bersamaan, seorang laki-laki lain menyelinap
keluar dari belakang gubuk ke halaman.
“Orang pintar dia itu,” kata laki-laki yang
dari tadi bersembunyi di belakang gubuk.
“Lebih tepat lagi, kalau kukatakan, ia sangat
dan semakin berbahaya!”
“Pemuda kota itu tampaknya tidak usah
terlalu kita kuatirkan, pak Lurah.”
Suganda Prabukusumah Prayodhia,
lurah desa Mantili, menggelengkan kepala.
Gundah.
“Aku kenal orang macam dia, Dolim.
Jangan memandang enteng seorang warta-
wan!”
“Oh. Aku tak berpikir sejauh itu. Tadinya,
yang kukuatirkan justru den Juki. la sudah edan
rupanya, nekad menemani Bramandita.
Dikiranya ia telah menolong orang yang syok
tahu itu, membuktikan sesuatu. Tidak sadar,
kalau ia justru menjerumuskan kakak
perempuannya.”
“Hem.” Suganda mengelus jenggotnya.
Berpikir. Kemudian berjalan ke luar pagar
halaman “Aku harus kembali ke desa. Kita
harus merubah rencana.”
Lalu ia menyusuri jalan yang tadi dilalui
kedua tamu tak diundang itu. Langkahnya
begitu ringan. Hampir-hampir tak meninggal
kan jejak di tanah. Apalagi, sampai tergelincir.
Turunan curam dan licin itu ia lompati tanpa
ragu-ragu sedikitpun juga.
Semakin jauh ia berjalan, semakin wajahnya
menyuram.
***
MIRANDA mengawasi laki-laki tua yang
terbaring sakit di dipan. “Kapan dia pergi?”
tanyanya dengan wajah kecewa.
Ading, penyawah keluarganya menjawab lirih:
“Sudah beberapa hari lalu, neng Mira.”
“Kapan, tepatnya? Dan ke mana?”
“Kau mendesak aku, neng Mira.”
“Mestinya ia pamit!”
“Maaf.”
“Dan mestinya aku tidak sia-sia
membawakan oleh-oleh baju hangat yang
sengaja kubawa dari Jakarta. Untuk dia, pak.
Untuk anakmu. Jadi beritahukanlah apa yang
terjadi sebenarnya. Supaya aku tahu, apakah
aku tetap harus mengirimkan baju hangat ini,
atau menyimpannya saja. Dengan harapan,
suatu hari kelak dapat menjumpainya, lalu
menyerahkannya.”
Laki-laki tua bermata murung dan wajah
pucat menahan sakit, katanya gangguan pada
otot punggung itu, akhirnya menyerah.
“Baiklah. Kutahu, neng Mira akan
bertanya juga pada orang lain. Dadang
memang sudah pergi. Tepatnya, tiga hari yang
lalu. Kami bertengkar hebat tentang sesuatu.
Masalah keluarga, kuharap neng Mira maklum.
Lalu yah, Dadang mengumpulkan semua
pakaian dan ijasah yang dimilikinya. Katanya, ia
mau mencoba nasib di Garut. Mungkin juga, di
Bandung.”
“Tak meninggalkan alamat?”
“Dia bilang, akan menulis surat kelak.”
“Oh.”
“Minumlah, neng Mira.” ujar isteri laki-
laki itu, yang tampak jauh lebih tua dari
suaminya.
Wajahnya membayangkan penderitaan
yang teramat sangat. Matanya barut, tentulah
bekas menangisi nasib malang ditinggalkan
anak sulung yang dicintainya.
Miranda menyesap teh sedikit. Lalu berdiri.
“Benar tak perlu kupanggilkan bi Supi
untuk merawatmu, pak Ading?”
“Terimakasih, neng Mira. Biasa aku
begini. Tidur sejam dua, lantas sembuh dengan
sendirinya.”
“Kudo'akan semoga bapak cepat sembuh.”
Isteri pak Ading mengantar Mira sampai
ke pintu. Berterimakasih untuk kesekian
kalinya, telah dibawakan oleh-oleh penganan
berupa kueh-kueh, ikan kalengan, mantel
panjang untuk suaminya dan selendang batik
untuk dirinya sendiri. Basa basi itu membuat
Miranda kaku sendiri dan setelah pamit,
bergegas ia tinggalkan rumah penyawah
ayahnya yang tinggal di lembah itu.
Di jalan mendaki menjelang desa Mantili,
Miranda melihat dua orang laki-laki
mendatangi dari arah berlawanan. Masih jauh,
namun ia segera mengenali keduanya. Miranda
mempercepat langkah. Begitu pula kedua laki-
laki itu.
“Mau ke mana kalian?” tanya Miranda,
setelah mereka bertemu.
“Ke rumah pak Ading,” jawab Marjuki.
“Aku justru baru dari sana,” Miranda
memperhatikan pakaian mereka, mendelik
sebentar lantas menggerutu:
“Kau melakukannya lagi. Rama !”
Sebelum Bramandita menjelaskan
sesuatu, Miranda telah menegur pula. Kali ini,
teguran itu ditujukan pada adiknya:
“Sudah gilakah kau, Juki? Diami Jangan
coba membo-hongiku. Kalian berdua telah
pergi ke Bukit Larangan itu, bukan?”
Terdiam Marjuki.
Bramandita lebih terdiam lagi. Tiba-tiba
ia merasa bersalah. Sadar, bahwa ia telah
menyeret adik Miranda menempuh perjalanan
yang sangat berbahaya. Tidak saja selama
perjalanan. Tetapi lebih-lebih, akibat dari
perjalanan itu sendiri. Akibat-akibat yang
konon telah dialami demikian banyak
penduduk desa yang kehilangan pikiran waras
ketika memutuskan untuk iseng-iseng ke Bukit
Larangan.
“Lihat. Pakaian kalian begitu kotornya.
Dan kau. Rama. Lecet di situ lenganmu
berdarah lagi. Hayo, pulang sekarang! Kalian
akan kuadukan pada ayah!”
“Tidak menjewer kupingku?” Marjuki
nyengir, menyindir. Kemudian tertawa.
Miranda mesem.
Sepanjang jalan ke rumah mereka
kemudian pelan-pelan jadi akrab kembali.
Bramandita kemudian tahu bahwa mereka
menuju sasaran yang tepat. Dadang telah
lenyap tiga hari yang lalu. Itu adalah pada hari
kedatangan Bramandita dan Miranda ke desa
Mantili. Dan malamnya, seorang gadis melihat
kekasihnya tercinta diseret orang ke puncak
Bukit Larangan.
Pertanyaannya sekarang :
Benarkah gadis itu memang ada?
Untuk mencari jawabannya, tampaknya
ada kesulitan. Marjuki langsung dicambuk
ayahnya dengan kalimat: “Mau cari penyakit
ya?!” Dan tanpa disuruh, pemuda itu langsung
menyetrap diri sendiri. Berkurung di kamar, tak
mau keluar biar dibujuk oleh siapapun juga.
Bramandita sempat hilang akal. Mana mungkin
ia, seorang pendatang dan belum semua warga
desa kenal, kasak-kusuk sendirian ke sana
kemari?
Tetapi selagi mandi di pancuran,
Bramandita menemukan akal bagus.
Ternyata gampang sekali penyelesaian
nya, la tahu sifat wanita. Maka begitu pulang ke
rumah, ia langsung meledek Miranda:
“Hei, tahukah bekas pacarmu itu mau kawin?”
“Bekas pacarku?”
“Alaaa, belagak. Jelek-jelek begini, aku
punya telinga.”
“Dan apa yang didengar telinga keledaimu?”
“Dadang bekas pacarmu. Dan tak lama
lagi ia akan menikah dengan seorang gadis.
Namanya… hem. Mengapa pula harus
kuberitahu padamu?”
Benar saja. Dasar wanita, tak lama setelah
mereka ngobrol Miranda pamit.
“Tak usah ditemani,” katanya. “Cuma
sebentar kok. Uwaku yang di pojok jalan itu
katanya minta bicara denganku. Empat mata.
“Jangan-jangan ia punya calon buat
kau,” Bramandita memberengut.
“!h. Gitu saja cemberut. Ini nih, bukti aku
tak memikirkan laki-laki lain, Ramaku sayang,”
dan, cup-cup-cup, bibir Bramandita di kecup
berulang-ulang. Gatal tangan Bramandita mau
menyeret Miranda ke tempat tidur, namun
gadis itu tahu gelagat, la segera minggat ke luar
rumah, meninggalkan Bramandita termangu-
mangu, dan setelah Miranda jauh dari rumah,
tersenyum diam-diam. Berdo'a dalam hati:
“Semoga wanita hebat itu berhasil.”
Do'a Bramandita tidak sia-sia.
Tak sampai satu jam, Miranda telah
kembali. “Uwa-ku ada-ada saja. Dia cuma ingin
tahu, kapan kita kawin.” dan Miranda memang
tidak berbohong. Pertanyaan itu diajukan uwa-
nya, ketika Miranda melewati rumah mereka
sambil lalu Dari rumah uwa-nya, Miranda
menyelinap pergi ke tiga alamat. Kawan-kawan
lama, siapa lagi.
“… tahu apa cerita pengurus ternak Uwa?”
“Oh. Jadi uwa-mu punya ternak,” rungut
Bramandita acuh tak acuh, sambil melembari
buku silat yang dipinjam Miranda dari Taman
Bacaan.
“Aku tidak bicara mengenai ternak,” kata
Miranda kesal. “Aku mau bicara tentang apa
yang kudengar.”
“Begitu? Kukira, aku saja yang punya
telinga keledai.”
“Jangan menyindir lagi,” keluh Miranda,
dongkol. “Aku memang kenal si Dadang. Tetapi
tanyalah semua orang, dan akan kau tahu ia
bukan bekas pacarku!”
“Lho. Kok ngambek?”
“Ngambek sih tidak. Cuma keki.”
“Keki apanya?”
“Dikira aku cemburu kalau si Dadang
kawin? Tak usah yaaa! Malah aku senang.
Bebas dari gunjingan yang bukan-bukan.
Melihat umurnya, memang sudah sepantasnya
dia menikah sekarang-sekarang ini.”
“Ooo. Jadi Dadang-mu sudah menikah?
“Bangsat. Dadang-ku apa-an. Bilang
sekali lagi, kuremaskan cabe giling ke mulut
ceriwismu.”
“Boleh. Asal terus dicium,” Bramandita
tertawa. “Jadi sama-sama merasa pedasnya.”
Mau tak mau Miranda ikut tertawa juga.
Katanya:
“Hebat juga dia. Mendapatkan anak
gadis, yang masih terhitung famili pak Lurah.
Famili jauh, memang. Namun tetap ada
pertalian darah. Kau tahu? Ayah gadis itu
langsung naik pitam. Ibunya jatuh sakit. Gadis
itu kemudian diantarkan keluarganya diam-
diam, dikirimkan ke pamannya di Cirebon.
Konon, supaya diajar adat,” Miranda geleng-
geleng kepala. “Dasar orangtua kolot.
Mentang-mentang calon suami anaknya
seorang penyawah ...”
“Kapan gadis itu diungsikan?” tanya
Bramandita, dengan jantung berdebar.
“Katanya sih, tiga hari yang lalu...”
Miranda yang tercekat kini. “He, aku mengerti
maksudmu. Si Dadang bukan kabur ke Garut
atau ke Bandung, la pasti nyimpang ke Cirebon.
Menguber calon isterinya. Aku tahu si Dadang.
Sekali ia temukan gadis itu, ia akan nekad
melarikannya. Hem, hem. Lihat saja. Tak lama
lagi, kisah petualangan dua sejoli yang cintanya
ditentang keluarga itu, akan segera sampai ke
desa ini.”
Bramandita diam.
Dadang tidak bertengkar lalu minggat
dari rumah orangtuanya. Dadang sudah mati.
Terikat ke tonggak silang dengan lambung
dihunjam tombak. Kekasihnya juga tidak
diungsikan ke Cirebon. Melainkan ke gubuk
terpencil di kaki bukit. Dipasung. Karena telah
membuat cemar keluarga, atau karena sebab-
sebab lain yang ingin sekali diketahui
Bramandita, apa kiranya.
Gadis itu melakukan suatu kesalahan.
“Jangan sampai mereka pergoki kita...”
terngiang ucapan gadis terpasung di dalam
gubuk. Dan kesalahan itu harus ia tebus dengan
harga yang teramat mahal.
Gadis itu telah berubah rupa; ia adalah
mahluk itu. Mahluk mengerikan menyerupai
kera besar. Kera betina ...
“Awas!”
Jerit tertahan Miranda membuat Bramandita
terlompat seketika. “Apa?! Mana?!”
Miranda tersenyum. “Itulah. Orang ngomong,
tak didengarin!”
Sadar dikecoh, Bramandita malu sendiri.
Ia memungut buku silat yang entah
kapan telah jatuh terhampar di lantai. Tidak lagi
bernafsu membacanya, la bergumam, lesu:
“Aku mau tidur.”
“Siang begini?”
“Tak boleh?” balas Bramandita, sengit.
Rebah di tempat tidur, Bramandita
menyesal berlaku kasar pada Miranda barusan.
Tetapi ia begitu tak tahan. Ada sebuah duri
menyakitkan yang tiba-tiba saja menusuk
jantungnya. Duri itu adalah gambaran yang
semakin pasti, bahwa semua yang dialaminya
di Bukit Larangan bukanlah mimpi buruk atau
igauan orang sekarat.
Semakin yakin ia sekarang, bahwa ia
telah melihat gadis dipasung itu berubah rupa
jadi kera betina; Sama yakinnya dia, bahwa
petani malang yang mati sengsara di tonggak
maut itu adalah Dadang adanya. Torehan
bambu runcing di lambung Dadang, sama
keadaannya dengan torehan pada lambung
bangkai lutung. Bramandita telah memeriksa
lambung lutung itu. Lalu ia mengumpamakan,
itu adalah lambung Dadang.
Apa yang mereka ambil?
Hatinya!
Seketika, Bramandita memegangi perut.
Lalu, bulu kuduknya tahu-tahu saja
meremang...
***
EMPAT BELAS
MIRANDA terhenyak di kursinya.
la menyesal telah mengejutkan
Bramandita. Tidak menyangka akibatnya akan
separah itu: Bramandita bersikap aneh, lantas
meninggalkannya begitu saja dengan dalih mau
tidur. Ada sesuatu di mata laki-laki itu, yang
membuat Miranda takut. Miranda sadar,
bahwa ia telah termakan umpan pancing
Bramandita. Mendengar Dadang jatuh cinta
dan akan menikahi perempuan yang
dicintainya itu, mau tak mau hati kewanitaan
Miranda dijangkiti perasaan cemburu.
Sesungguhnyalah, ia cemburu.
Betapapun, Dadang adalah laki-laki pertama
yang pernah mencium bibirnya. Itu merupakan
sebuah kenangan manis, yang tak pernah
dilupakan seorang wanita. Terserah, apakah ia
cinta atau tidak pada lelaki yang menciumnya
itu. Hati wanita memang sukar diselami.
Miranda telah menikah dengan Tedi. Setelah
Tedi meninggal, Miranda langsung
mendapatkan penggantinya. Bramandita, yang
sama ia cintai sebagaimana Miranda mencintai
almarhum suaminya. Pada saat ini. Bramandita
ada di sisinya. Miranda bahagia. Namun toh,
mendengar Dadang akan menikahi perempuan
lain tergugah juga kecemburuannya.
Cemburu, yang tidak disertai
penyesalan. Apalagi sakit hati. Malah ia senang,
Dadang akhirnya memutuskan tidak mati
sebagai bujang tua yang sekarat karena
cintanya yang patah.
Jadi kecemburuan Miranda, adalah
kecemburuan yang wajar.
Tanpa unsur negatip.
Itulah yang ingin ia beritahukan pada
Bramandita. Tetapi Miranda ceroboh, la berlari
terlalu cepat, dan ketika ia berpaling ke
belakang sadarlah Miranda bahwa ia telah
menginjak orang lain tanpa sengaja. Itukah
yang barusan membuat Bramandita tampak
sewot?
Miranda menghela nafas.
Dikumpulkannya satu seri buku silat
yang tadi mereka baca bergantian. Lalu pergi
meninggalkan rumah. Menuju Taman Bacaan
Mantili yang terletak dekat balai desa. Masa
pinjam buku itu telah habis. Miranda akan
meminjam buku lain, atau majalah, atau komik.
Melalapnya sampai habis, sekedar mengendur
kan sarap yang tegang.
la bertukar sapa dengan pemilik Taman
Bacaan dan satu dua langganan lain. Kemudian
asyik memilih-milih buku. Hampir semuanya
sudah dibacanya. Di desa ini, atau di Jakarta.
Kebanyakan sudah tua dan lapuk, sebagian
malah tak lengkap lagi halamannya. Tiba pada
susunan komik, matanya menangkap sejumlah
seri cerita pewayangan. Namun sepintas lalu
saja tahulah Miranda kalau komik itu semua
telah pula dibacanya. Baru ketika matanya
terpaut pada sebuah buku dengan judul
“Shinta dari Mantili,” Miranda tertarik. Isi buku
itu juga telah ia baca. Gambar-gambarnya
malah hampir ia hapal semua. Tetapi toh seri
“Shinta dari Mantili” diambilnya juga, karena
itulah seri pewayangan yang tak pernah bosan
dilalapnya.
Dari dulu ia selalu membayangkan diri
nya sebagai Shinta. Shinta yang berharap agar
Rama memenangkan taruhan mengangkat lalu
membentangkan busur panah keramat. Rama
memang melakukannya. Tetapi Rama, dalam
kenyataan hidup Miranda, ternyata kalah.
Instink Miranda mencurigai taruhan itu. Tedi
memasuki peti mati, sedang, Bramandita . tidak
meletakkan jaminan seperti yang lain-lain.
Waktu itu Miranda tidak tahu, siapa yang ia
harapkan keluar sebagai pemenang. Tedi, atau
Bramandita. Baru setelah Tedi keluar dari peti
mati sesuai waktu yang dijanjikan, Miranda
dijalari perasaan kecewa. Kenapa Rama harus
kalah?
Lewat jendela Taman Bacaan, tampak bi
Supi melangkah bergegas ke balai desa.
Miranda melihatnya. Dengan mata. Sedang
jalan pikirannya melihat yang lain; Rama kalah
terhormat. Dan sebagai imbalannya, Shinta
yang kini menjanda bersedia mencucurkan,
setiap tetes keringat untuk menggali kembali
cinta yang pernah terpendam.
Tiga tetes darahnya di daun sirih itu
sebagai saksinya
“… Kami akan punya anak,” Miranda
membathin. Alangkah mentakjubkan! Rama
dan Shinta abad modern, akan melahirkan
generasi penerus. Miranda tersenyum.
Membayangkan, Rama dan Shinta dunia
pewayangan, cemberut iri...
Di jalan desa, bi Supi duduk menanti
dengan gelisah.
Ketika tamu pak lurah meninggalkan
ruangan kepala desa Mantili itu, bi Supi lantas
saja menyerobot masuk mendahului dua orang
tamu dan kecamatan yang sudah menunggu
lebih dulu.
Suganda menatap tak senang.
“Ada apa, Supi?” desisnya, tajam.
Perempuan tua itu menggigil.
“Semur hati itu ...” bisiknya, gagap. Lalu
ia melaporkan apa yang semestinya dilaporkan.
Suganda mendengarkan dengan tenang.
Belum habis laporan pelayan Miranda,
ketenangan Suganda mulai goyah.
“...kau biarkan Rama menghabiskan
semuanya?” ia bergumam dengan suara
kering.
“Neng Mira mengatakan begitu,” jawab
bi Supi, ketakutan.
“Setiap kerat?”
“Ya. Dasar manusia rakus, Si Rama itu!”
Suganda termenung. Murung. Katanya:
“Bukan karena rakus. Supi. Ketahuilah.
Ada kekuatan magnetis dalam tubuh Rama, di
bawah alam sadarnya. Kekuatan magnetis itu
juga dimiliki Dadang, meski sifat dan
pengaruhnya berlainan. Jangan lupa, mereka
berdua sama mencintai Miranda. Ketika
Miranda memberi Bramandita semur hati itu,
dua kekuatan magnetis tadi lantas saling tarik
menarik. Dadang telah mati. la tidak dapat lagi
membantu kekuatan magnetis yang
mengendap di hatinya, yang telah kau semur
itu,” Suganda menelan ludah. Membasahi
kerongkongannya yang kering. “Dan hati yang
masih hidup, berhasil memenangkan
pertarungan itu. Karena hati yang kedua ini,
menyatu padu dengan kekuatan pisik yang
masih ditempatinya.” Sekali lagi Suganda
menelan ludah. “Mengertikah kau?”
Perempuan tua itu tidak mengerti. Namun ia
jawab juga:
“Mengerti, pak Ganda.”
“Nah. Kau tak usah mempersalahkan
dirimu. Kau pergilah. Temui para ketua
kelompok. Suruh mereka berkumpul di
rumahku. Malam ini!”
***
MATAHARI kota Jakarta memanggang
atap kantor-kantor salah satu wilayah
Kepolisian setempat. Panasnya terasa
menembus langit-langit, dan jatuh di kepala
botak dokter Sulaeman yang duduk sambil
mengipasi dada di seberang meja Kapten
Sudrajat. Dokter polisi itu gerah bukan saja
karena pengapnya ruangan ataupun panasnya
matahari, la juga merasa gerah, karena
jaringan-jaringan otaknya tegang. Mendekati
histeri.
Betapa tidak.
Baru saja ia dengar Kapten Sudrajat
berkata melecehkan:
“...rasanya, dokter. Kok kau memaksa
aku percaya, bahwa Jeckyll dan Dr. Hyde baru
saja menyelinap masuk laciku!”
Sulaeman meringis. Masam. “Mudah-mudahan
saja benar,” umpatnya, dongkol.
“Jangan marah dulu,” Sudrajat
tersenyum manis. “Umpamakan aku memper-
cayaimu. Dongeng atau bukan, kita tetap harus
membuktikan segala omong kosongmu itu.
Karena terus terang, petunjuk-petunjuk ke
arah itu memang sudah kuperoleh. Informasi
yang masuk begitu simpang siur. Setelah
kusaring, aku lantas terperanjat sendiri. Maka
aku telah memutuskan untuk berangkat siang
ini juga ...”
“Bukan kau. Kita,” potong Sulaeman, bernafsu.
“Kita?”
“Kau. Aku. Dan satu team lagi yang
orangnya kutentukan, dengan persetujuanmu.
Mereka kita perlukan. Drajat. Mereka ahli
dalam bidang masing-masing, sehingga dapat
menganalisa apakah Miranda berpribadi
ganda; ataukah aku telah salah mencopot
rumus-rumus kedokteran yang selama ini
kucekokkan ke kepala.”
Sudrajat menggelengkan kepala.
“Aku akan pergi seorang diri!”
“la berbahaya, Drajat,” rungut Sulaeman,
mengingatkan.
“Tidak, apabila analisamu yang menggeli
kan itu dikarenakan kau tengah menekuni ilmu
gaib. Eh, jangan dulu melotot, dokter. Aku kan
tadi menyebut, apabila. Jadi belum final...”
“Dan, bila aku ternyata benar?”
“Jabatanku taruhannya, dokter. Aku
telah disumpah, bukan? Nah. Tugasku jelas dan
gamblang. Jangan biarkan masyarakat heboh.
Gempar. Supaya tugas itu terlaksana baik, apa
boleh buat. Aku harus minta maaf, karena buat
sementara kau dan orang-orangmu yang hebat
itu terpaksa harus istirahat dulu di pinggir
lapangan permainan.”
Kapten Sudrajat akhirnya memang pergi
sendirian.
la tidak pakai mobil, melainkan naik
kereta api. la sadar apa yang akan ia hadapi,
resiko-resikonya. taruhannya. Namun selama
di kereta, ia tertidur nyenyak sekali. Dari
setasiun kereta di Bandung ia mencarter taksi
untuk sekali jalan karena sadar ia tidak
mungkin pulang pergi. Begitu menghenyakkan
pantat di taksi, ia berdoa semoga negara tidak
rugi besar telah membayar mahal perjalanan
menuju pemecahan perkara yang tampaknya
hanya terdapat dalam buku-buku novel misteri
itu.
Di Cikajang, ia mendatangi kantor
Kosekta Kepolisian setempat. Menunjukkan
kartu pengenal, menceritakan gambaran kasar
dari perkara yang ia hadapi sehingga ia
terpaksa ikut merepotkan mereka. Dan
berharap, ia ditertawakan.
Nyatanya, tidak seorang pun petugas di
Kosekta Cikajang itu yang tertawa. Senyum pun
tidak. Lalu, diam-diam Sudrajat menyesali
mengapa ia menolak tawaran kerjasama
dokter Sulaeman serta rekan-rekannya, setelah
ia dengar keterangan komandan sektor dalam
kalimat sederhana:
“Kami pun telah lama mendengar
keanehan-keanehan yang terjadi di desa
Mantili.”
“Dengan apa aku dapat pergi ke sana?”
“Sudah malam sekarang, pak Sudrajat.
Kendaraan umum jarang. Mana nantinya masih
harus jalan kaki. Saya akan mengantarkan
sendiri bapak ke desa itu. Asal saja bapak tahan
udara dingin, dan tidak marah kalau misalnya
kita terpelanting di jalan...”
“Setuju!”
Malam memang telah larut. Gelap lagi.
Hitam pekat. Seolah menyimpan kutuk.
Pada malam yang terkutuk itu,
Bramandita tersentak bangun dari tidurnya, la
telah bermimpi tenggelam di tengah laut.
Nyatanya, bantal yang ia tiduri telah basah
kuyup dibanjiri peluh. Demikian pula piyama,
yang seakan melekat jadi satu dengan kulit
punggungnya. Terengah-engah ia duduk.
Memandang iri pada Marjuki yang meringkuk
di ranjang satunya lagi. Pemuda itu mengorok
keras, bagai babi gembul yang kelewat banyak
makan.
Apakah tadi ia mendengar sesuatu?
Benar. Suara itu terdengar lagi. Bersin
ditahan. Lalu bisik-bisik halus seseorang
menegur yang lain.
“… aku tak kuat!” protes yang ditegur.
“Kubilang, jangan berisik!”
”Maaf.”
Langkah-langkah kaki lembut terdengar
mengingsut ke arah pintu depan. Bagai takut
ranjang tidur runtuh, Bramandita bersijingkat
pelan, la menggapai tembok. Menekan tombol
di situ. Sehingga kamar tidurnya menjadi gelap
gulita dalam sekejap.
Sepi menyentak, beberapa helaan nafas.
Lalu suara-suara tadi terdengar lagi..
Lewat di gang samping yang sejajar dengan
kamar tidur yang ditempati Bramandita dan
Marjuki. la bersijingkat ke jendela. Menempel
kan telinga. Bersin lagi, lebih keras sedikit
tetapi kali ini tidak ditegur.
“... semua sudah kau beritahu?” ia
dengar suara ayah Miranda.
“Sudah!” itu suara bi Supi, pelayan
mereka.
“Ayolah. Nanti kita terlambat.”
Pantaskah ia ikut campur urusan orang?
Harus!
Terlalu banyak hal-hal ganjil di sekitar
sini. la tidak ingin, tetapi ia telah terlibat di
dalamnya. Berpikir sampai di situ, Bramandita
membuka daun jendela sedikit demi sedikit.
Remhulan bersinar lemah. Tampak bayang-
bayang dua sosok tubuh hitam berjala
tergesa-gesa, membelok ke jalan utama
menuju pusat desa.
Saat itu juga Bramandita bersalin
pakaian. Tangannya meraba-raba dalam
kegelapan. Cari sepatu, lalu jacket. Jacket ia
temukan, sepatu tidak. Setelah merangkak
sebentar di lantai, akhirnya ia cuma
menemukan sandal. Tak apa. Pokoknya tidak
bertelanjang kaki.
Pelan-pelan pula ia meluncur ke luar.
Lewat jendela. Daun jendela itu ditutupkannya
rapat-rapat. Tanpa menimbulkan suara. Lalu
kemudian bergegas menuruti arah perginya
kedua orang tadi. Setelah larak-lirik sebentar,
merasa aman, ia berjalan setengah berlari. Dan
baru memperlambat langkahnya setelah
melihat sosok-sosok tubuh hitam itu kembali.
Ayah Mira dan bi Supi tampak di simpangan,
sedang bicara dengan tiga orang lain. Mereka
berlima bersama sama menempuh satu arah.
Jauh di belakang, Bramandita menyelinap-
nyelinap dalam kegelapan, tanpa melepaskan
rombongan kecil itu dari matanya. Semakin
dekat ke rumah pak Lurah, rombongan itu
semakin besar jua. Mungkin jumlahnya telah
mencapai sebelas atau. dua belas orang, ketika
tiba di depan pintu rumah induk milik lurah
desa Mantili.
Suganda membukakan pintu untuk
mereka. Bramandita bersembunyi dalam
bayangan sebuah pohon besar. Menunggu
sampai mereka semua masuk ke dalam dan
pintu ditutupkan, la masih menunggu sebentar
lagi. Siapa tahu ada orang lain yang terlambat
datang. Bramandita menunggu sekitar lima
menit, baru kemudian memberanikan diri
keluar dari persembunyiannya. Langkahnya
langsung ditujukan ke rumah besar dan megah
di pusat desa Mantili itu. Sunyi sepi di
sekitarnya. Kecuali di rumah induk. Di ruang
depan tampak kesibukan yang terlihat
sebentar-sebentar dari celah-celah tirai jendela
yang tersingkap di sisi kanan. Bramandita
memperhatikan rumah yang sejajar dengan
rumah induk. Sepi mati. Begitu pula bagian
rumah di sayap kanan. Terdengar tangis bayi
dari salah satu kamar bagian rumah sayap kiri.
Kemudian sepi lagi. Menyentak kembali.
Karena celah itu terlalu kecil diawasi dari
kejauhan. Bramandita bersijingkat memasuki
pekarangan yang luas itu. la mengendap-endap
mendekati jendela yang tirainya sedikit
tersingkap itu. Dan melihat mereka yang ada di
dalam tampak tengah berdebat. Suaranya
begitu sayup, sukar ditangkap telinga. Hanya
sesekali ia menangkap kata-kata “terpaksa”,
“ini gegabah!”, “bagaimana… salah?”
Lalu pak Lurah tampak angkat bicara.
Suaranya sedemikian rendah. Namun
semua yang mendengar, diam merunduk. Tak
satu pun mengomentari. Lalu tiba-tiba pak
Lurah terbatuk. Sekali. Dua kali. Tiga. Dan ia
berjalan ke jendela justru jendela di balik mana
Bramandita mengintip. Bramandita langsung
menjatuhkan diri ke tanah, karena pekarangan
di bagian itu terbuka, tak ada tempat
berlindung. Cahaya menerpa matanya, ketika
tirai jendela disingkap dari dalam. Lalu suara
kletak-kletok lembut, riuttt… jendela itu dibuka
oleh pak Lurah.
Bramandita semakin terbenam di tanah.
Matanya terpejam. Takut melihat wajah
pak Lurah.
Tetapi Suganda tidak merunduk ketika ia
julurkan kepalanya ke luar. Suganda meludah.
Lalu menutupkan jendela.
“Bangsat!” Bramandita memaki dalam
hati, sambil menyeka cairan berbau hanyir
yang mendarat di pipinya, la masih
menggerutu berkepanjangan, sampai ia
tersadar bahwa suara percakapan di dalam kini
semakin jelas dan mudah ditangkap.
Ketika ia bangkit dengan bimbang,
sadarlah ia, meski tirai telah ditutupkan, tetapi
jendela itu ternyata lupa dikuncikan kembali
dari sebelah dalam. Pak Lurah yang bicara: “...
aku sendiri muak memikirkan perubahan
rencana ini. Tetapi apakah kalian punya pilihan
lain? Terutama kau, Barja?”
Subarja, ayah Miranda, diam mematung.
Dari celah tirai jendela yang tetap
tersingkap sedikit karena kaitan atasnya
terlepas satu kancing, Bramandita melihat
orangtua itu berwajah sangat pucat.
Tampaknya ayah Miranda ingin menangis.
“Jadi kita semua sepakat,” pak Lurah
memutuskan.
Satu demi satu. kepala-kepala manusia di
dalam ruangan itu dianggukkan. Pak Lurah juga
manggut-manggut. Puas.
“Sekarang,” katanya. “Masuklah ke
dalam. Bergiliran. Basuh muka kalian dengan
air yang tersedia dalam pasu-paiu itu. Ucapkan
do'a dan keinginan masing-masing sambil
bersujut di hadapan putera junjungan kita,…”
lalu ia membuka sebuah pintu.
Mulanya hanya tampak papan lebar,
Semakin Bramandita menyimak,
semakin ia tahu papan itu adalah sisi dari
sebuah rak besar dan tinggi. Tampak susunan
buku di bagian paling dekat ke pintu. Lalu
bayangan samar nyala lemah dari dalam kamar
itu. la ingin meninjau lebih jauh. Tetapi semua
orang yang ada di ruangan itu telah bangkit
serempak dan berdiri menuju pintu kamar
tersebut. Antri, seperti membeli karcis kereta.
Perempuan-perempuan masuk lebih dulu, baru
kaum lelaki. Setelah mereka ke luar dan
kembali ke tempat duduk masing-masing,
wajah yang tadinya kusut telah berubah cerah.
Ayah Miranda, tampak penuh kepercayaan diri,
la duduk tenang di kursinya. Dan tersenyum
pada perempuan di sebelahnya.
Semua menunggu dengan sabar.
Menunggu orang terakhir yang telah
masuk ke dalam, dan paling lama di kamar
misterius itu. la adalah Suganda Prabu
kusumah, yang terdengar menyenandungkan
sesuatu, memohon, memuja, memuji,
menyebut-nyebut kemuliaan leluhur… yang
rangkaian kata-katanya seolah mengatakan,
bahwa leluhur mulia itu tidak jauh dari mereka,
dan tetap menjaga dan melindungi pengikut
nya yang setia.
Waktu keluar, wajah pak Lurah adalah
satu-satunya yang berbeda dengan yang lain.
la tampak murung. Katanya:
“... berangkatlah kalian lebih dulu. Aku
akan menyusul.”
Tak seorang pun membantah.
Mereka semua keluar dari rumah itu. Ber
iringan dengan langkah-langkah tenang tetap
pasti ke ujung desa, mengikuti jalan menurun.
kemudian lenyap ditelan kegelapan yang
datang dari arah sungai.
Di tempat persembunyiannya, Bramandita
berpikir keras.
la hampir saja mengikuti arah mereka
pergi, waktu ia dengar pak Lurah batuk keras.
Orang tua itu mengurut dadanya, dan
bergumam perih:
“Betapa berat beban yang harus
kutanggung. Padahal… aku menyukai anak
muda itu.”
Bramandita tercekat.
Anak muda… anak muda yang mana?
Selagi ia berpikir, ia lihat lurah desa
Mantili itu berjalan ke pintu depan. Suganda
pergi ke arah yang ditempuh teman-temannya,
dan menghilang pula dalam kegelapan. Tetap
saja berakibat sama: Bramandita harus berpikir
keras. Harus bertindak cepat. Tetapi apa?
Bagaimana? Setelah merenung sebentar, ia
sudah tahu apa yang harus ia putuskan; Biarkan
mereka pergi. Karena kau sudah paham, ke
mana mereka menuju. Tetapi, pastikan sesuatu
dulu!
“Apakah aku pantas jadi maling?”
desahnya, gemetar, sambil meraba bingkai
jendela di depannya. Gemetar tangannya.
Lebih-lebih, ketika daun jendela perlahan-
lahan mulai terbuka...
***
MIRANDA terlompat di ranjangnya.
“Ap… mengapa, ada…” Ia tersengal-
sengal pucat. Lengan-lengan ia angkat, di
dekatkan ke wajahnya. Tak ada sesuatu yang
berubah. Merasa tidak yakin, Miranda
kemudian berpaling. Menatap kaca rias di
seberang ranjang, la melihat wajahnya. Melihat
tubuhnya sendiri.
Bukan wajah lain. Tubuh lain.
Wajah menyeramkan. Tubuh mengerikan.
Bermimpikah dia barusan? Tetapi begitu
nyata. Begitu jelas. Begitu terasa. Ya. Sampai
detik ini pun, ia masih dapat merasakannya.
Merasakan darah di sekujur tubuhnya
menggelegak bagai dipanggang api neraka, la
melayang-layang menembus kabut tebal,
tetapi panas membara. Kemudian, di balik
kabut itu ia melihat seseorang. Laki-laki.
Miranda serasa kenal pada laki-laki itu.
Anehnya lagi, ia merasa mengasihi lelaki itu,
tetapi sekaligus juga membencinya. Demi
kasihnya, tidak akan ia relakan lelaki itu
dijamah perempuan lain.
Perempuan yang samar-samar muncul
pula di balik kabut. Perempuan muda, kecil
mungil dan molek itu bagai menari-nari, lalu
jatuh di pelukan si lelaki. Mereka berciuman.
Kemudian tertawa bahagia.
“Jangan ambil dia!” rasanya Miranda
berteriak.
Lalu ia menyerbu ke depan. Cinta
kasihnya tertinggal di dalam kabut. Yang ia
bawa sebagai senjata, adalah kebenciannya
yang membabi buta. Lelaki itu memandang
kaget. Perempuannya, terjerembab. Pingsan.
“Kau, laki-laki tak berguna!” jerit Miranda.
Dan ia sambar lelaki itu dengan kuku-
kukunya, la renggut lehernya dengan mencuat
keluar dari mulutnya. Tak puas sampai di situ,
ketika si lelaki terjerembab jatuh, Miranda
masih merenggut sesuatu yang lain. Sesuatu
yang hangat, lunak, dan terasa menggelikan di
telapak tangannya. He, tangannya berbulu
tebal, pirang dan kasar !
Miranda terpekik.
la remas benda lunak di telapak
tangannya. Dimasukkan ke mulut. Lantas
ditelan. Segaaaaarrr…
Tetapi, apa?
Suara siapa itu? Ada orang berteriak.
Miranda mendekati si pembuat gaduh itu.
Belum juga ia jamah, orang itu tahu-tahu telah
lenyap. Apakah ditelan bumi?
Miranda melayang lagi. Memasuki kabut
panas membara.
Apakah itu kaca? Mengapa kecil dan
sempit benar? Coba lihat… he, wajah siapa itu?
Leher dan pundak siapa itu?
Kabut tebal itu terguncang.
Miranda terhempas.
Bangun! Ada yang berteriak. Bangun!
Bangun! Bangun ...!
“Astaga!” bisik Miranda, bergidik. “Buruk
benar mimpiku.”
Mimpi?
“... kau sudah bangun, Mira?”
Suara itu lagi. Datangnya dari balik
jendela. Suara asing, berat, lirih. Miranda
semakin bergidik.
“Siapa?” bisiknya. Tercekat…
“Kami. Teman-teman lamamu.”
“Miranda pergi ke jendela. Ada semacam
kekuatan aneh menjalari dirinya. Memberinya
keberanian. Keteguhan hati.
Jendela terbuka. Gelap pekat di luar,
namun seketika jendela terbuka, kegelapan itu
pun sirna. Lidah cahaya lampu kamar tidurnya,
menerangi beberapa sosok tubuh di luar
rumah, sedikit Jauh dari jendela, la tak tahu
berapa orang jumlah mereka. Yang ia tahu,
sosok-sosok tubuh itu tampak berwarna-warni.
Ada hitam legam. Ada coklat. Ada merah
kekuningan. Ada pula merah kebiruan. Hitam
lagi. Lalu abu-abu.
Warna-warni itu, warna-warni bulu tebal
di sekujur tubuh mereka yang mengaku teman-
temannya.
“Mendekatlah,” Miranda berbisik.
“Tidak. Waktunya sudah tiba,” jawab
mereka' serempak, dalam senandung ganjil
dan seolah tiupan bayu di kejauhan.
“Waktu apa… yang telah tiba?”
“Upacara.”
“Upacara apa?”
“Pernikahan.”
“… aku belum punya gaun pengantin.”
“Kau akan mempunyainya. Nanti. Warna
nya, pirang. Kau suka?”
“Suka sekali. Aku pernah melihatnya.
Entah di mana...”
“Karena itu, cepatlah!”
u mereka bergerak mundur. Semakin
jauh.
“Tunggu,” Miranda berseru tertahan.
Lalu dengan tangkas, ia melompati jendela.
Begitu ringan tubuhnya. Bagai melayang, tak
menjejak di tanah. “Ke mana kita pergi?”
Tak ada jawaban.
Yang ada, tarikan kuat. Menyeret
Miranda pergi semakin jauh dari rumah
orangtuanya.
***
BRAMANDITA mengerjapkan mata.
Dan yakin sudah, ia memasuki sebuah
musium kecil, ganjil, misterius, berbau magis.
Pasu-pasu dengan genangan air di sekitarnya,
bau ramuan, rempah, getah, kulit kayu
cendana. Tetapi ia tidak mabuk. Malah
menyukai harum semerbak ku.
Sudah berapa puluh tahun usia dinding
berukir itu?
Ribuan tahun silam, jauh sebelum
Masehi, siapa tahu! Mahluk kera, yang
berkembang semakin tumbuh, abad demi
abad. Rupanya semakin sempurna. Semakin
mendekat postur tubuh serta wajah manusia.
Itulah teori evolusi Darwin. Dan betapa
angkuhnya Suganda Prabukusumah Prayodhia.
“la anggap apa dirinya, eh?” Bramandita
nyeletuk. “Keturunan Yang Hilang?”
Bukit Larangan begitu aneh.
Tetapi kamar ini lebih aneh lagi.
Tercengang Bramandita mengawasi sedemi
kian banyak buku, majalah, guntingan surat
kabar, dari berbagai kurun masa. Buku-buku itu
umumnya berbahasa asing, hanya sebagian
yang berbahasa Indonesia, atau diterjemahkan
ke bahasa Indonesia. Terbanyak, adalah yang
mempergunakan bahasa Belanda; bahasa
rindu golongan tua! Sebagian sudah remuk
dimakan ngengat. Sebagian lapuk berdebu.
Yang lain, kumal karena sering dibaca. Baik
buku, majalah ataupun guntingan surat kabar.
Yang disebut terakhir, umumnya berbahasa
Jawa, Sunda, dan sedikit berbahasa Indonesia.
Beberapa dari kliping itu tentunya telah dicuri
dari suatu tempat. Atau dibeli dengan harga
tinggi? Seperti juga buku-buku yang sudah
teramat langka itu?
Takjub dan terharu biru, Bramandita
menyentuhnya satu persatu. Menarik yang ini,
mendorong yang itu. Menyimak yang sana,
meniup debu yang sini. Perhatiannya lama
tertarik pada sebuah buku bersampul kulit,
terbitan abad ke-1. Penulis aslinya, Kappaoni
Papadoupulos, seorang pilosop Yunani.
Diterjemahkan oleh Dr. Th. W. Brill ke bahasa
Belanda, yang Indonesianya: APA YANG ADA Dl
BALIK PIKIRAN DARWIN?
Juga sebuah buku bersampul karton keras yang
tulisannya sudah hampir lenyap di atas kertas
cetak yang kuning tua. Karya Dr. Rarnon von
Stagenharr, di-lnggeris-kan oleh Trevor Davis,
London, 1918. Terjemahan judul: KITA DAN
DARWIN. Sub judul: Badutkah dia atau Pelopor
Misteri Manusia?
Bramandita melembari buku-buku itu
sebentar, dengan sangat hati-hati. Takut
kertasnya remuk jadi kepingan sia-sia.
Menyimpan lagi di tempatnya, dan mengambil
buku lain. Yang ini, terbitan Pinguin Book, Inc.
Ditulis oleh Dong Mc. Ivar. Judulnya lebih
sederhana: MANUSIA KERA. Dengan sub judul:
Pokok-pokok Pikiran. Cetakannya lebih bagus.
Kertasnya kuat, hurup-hurupnya jelas dan
banyak catatan di sana sini dari si pemilik, atau
si pemegang buku.
Dalam kotak tebal dari spidol merah di
halaman 117, tertulis: “Ada petunjuk,
kelompok-kelompok Garis Keturunan Yang
Hilang itu menyebar ke berbagai mata angin.
Menghindari kebekuan guha-guha yang gelap,
atau pulau-pulau es yang tidak memberi
kehidupan. Mereka pergi mencari pusat
gerhana. Mencari tempat perbenturan
bintang. Galaksi berpanas. matahari yang
dapat memberi lebih banyak energi...”
Hal 212: “... mereKa tidak seperti kita
bayangkan selama ini. Kuat, luar biasa bodoh
atau sebaliknya, jenius. Kecuali dalam
penampilan, dan cara mereka berjuang
mempertahankan hidup. Mereka juga memiliki
kelemahan-kelemahan sebagaimana manusia
abad ini juga memilikinya Mereka mati
sebagaimana kita juga dapat mati. Tetapi
bukan mustahil, kondisi dan situasi alam di
mana kelompok-kelompok yang mengasingkan
diri itu tinggal menetap, telah mpnciptakan
perubahan yang terkadang musykil. Alam gaib,
animisme.”
Halaman 256: “... suku-suku liar bangsa Hunt di
Eropa, Niger di Afrika, memiliki ciri khas bagian
evolusi Darwin yang lenyap mengendap itu.
Demikian pula di Australia. Sedang di Asia,
secara kronologis beberapa kelompok
keturunan bangsa-bangsa setempat telah
berkembang lebih maju. Baik dalam cara
berpikir, dalam proses perubahan pisik,
pentaan alami...”
Pada halaman-halaman berikutnya, diberi
catatan yang tidak menentu dalam hurup-
hurup Jawa yang sukar dimengerti Bramandita.
Ditulis pada halaman itu oleh Mc.lvar: “Dapat
dikatakan, kemungkinan besar Darwin benar.
Apabila, kita menemukan generasi penerus
Garis Keturunan Yang Hilang itu; hidup segar
bugar, atau tinggal fosil tua rapuh… yang
semoga belum remuk oleh pergeseran bumi
yang beranjak semakin tua. Penyelidikan ke
arah ini dapat dilakukan ke beberapa benua.
Terutama Asia; Manchuria, Mongolia,
sepanjang pesisir Samudera Hindia.
Mungkin beberapa tempat di Eropa yang
sebelum ini disebutkan, dapat pula ditelusuri.
Tetapi riset di sekitar gugusan pulau-pulau
Polinesia...”
Selembar kertas buku itu terlepas,
melayang ke lantai.
Bramandita memungutnya. Dan membacanya
sekilas, menganggap tidak penting. Sampai
ketika ia akan menyelipkan kembali ke tempat
semula, dan menyadari ada tulisan di
sebaliknya. Pada sudut kanan atas, tampak
tulisan yang masih baru: MIRANDA. IA HARUS
DITOLONG. Bramandita tertegun. Menyimak
kertas itu lagi. Ada tanda panah dari tulisan itu,
menjurus ke bab dalam kertas buku, melingkari
kata-kata “Orang-orang Pilihan”.
Apa maksudnya?
Miranda. Ditolong dari apa?
Entah mengapa, Bramandita memutar
lehernya. Menatap ke patung kecil di sudut
kamar. Patung bersepuh emas. Tubuhnya,
tubuh manusia dewasa. Dari jenis kelamin
wanita. Wajahnya, wajah yang sama sekali
tidak cantik menarik. Wajah yang seakan
berproses. Dari kera, ke manusia. Hei, apakah
mata patung itu bersinar?
Bramandita mendekat.
Lalu membungkuk, mengamat-amati
mata patung.
Barangkali…
Suatu gerakan halus di belakangnya,
membuat Bramandita membalikkan tubuh
seketika. Baru sekira 40 derajat kurang sedikit,
wajahnya telah disekap sebuah telapak tangan
kasar, berbulu, la melihat sesosok tubuh
dahsyat mengerikan dengan seringai buas,
mengancam. Bramandita tersedak. Sadar, jalan
pernapasannya tertutup. Ya hidung, ya mulut,
la meronta. Namun cengkeraman kuat tangan
berbulu yang lain, menekan pundaknya ke
depan, semakin tenggelam dalam telapak
tangan pertama. Bramandita terbeliak.
Dan sebelum matanya terpejam pingsan,
ia melihat seseorang muncul di belakang sosok
tubuh mahluk itu.
Orang itu, lurah Desa Mantili, tersenyum
lembut.
“Kami tahu kau akan nekad melakukan
nya, anakku,” katanya, lunak dan sabar.
“Betapa repot memikirkan...”
Sekapan di wajahnya, dilepas perlahan.
Bramandita jatuh terkulai.
***
LIMA BELAS
POLISI DESA MANTILI minta maaf pada
perempuan yang membuka pintu dengan
mata-berat karena mengantuk. “Sebelum ibu,
aku barusan juga digedor,” katanya,
tersenyum. “Perkenalkan. Ini Letnan Pandi.
Mungkin ibu pernah… Ah, ya. Yang ini Kapten
Sudrajat. Baru datang dari Jakarta.”
Sudrajat hampir saja mengambil sikap
menghormat ala militer. Tetapi kemudian
menganggap lebih pantas membungkukkan
badan sedikit. “Apabila ibu tidak
berkeberatan…,” katanya, merendah. Kalimat
sengaja diputus. Cara demikian biasanya
memberi hasil memuaskan.
“Tak apa. Bapak-bapak masuklah,” pintu
dilebarkan. Mempersilahkan krtiga tamunya
masuk ke dalam. “Apakah suami saya telah…”
“Oh, bukan. Kami mencari neng…”
Ucapan polisi desa itu segera dipotong
oleh Sudrajat: “Begini. Saya dengar sahabat
saya Bramandita menginap di rumah ibu. Boleh
dibangunkan sebentar?”
Perempuan setengah baya itu
mengangguk paham lalu pergi mengetuk pintu
kamar tidur anaknya. Karena tak ada sahutan,
pintu dibukanya sendiri. Gelap di dalam. Lampu
dinyalakan. Perempuan itu terkejut: ranjang
Bramandita kosong melompong. Bingung, si
perempuan mengguncang-guncang tubuh
anaknya di ranjang satunya lagi. Marjuki
menggeliat malas lalu bangun.
“Dasar tukang molor! Mana abangmu?”
“Abangku?”
“Si Rama, goblok. Mana dia?”
Memandangi tempat tidur Bramandita,
Marjuki bersungut kesal: “Barangkali pergi
berak... Eh, tunggu dulu!” ia melihat daun
jendela sedikit terbuka. Pemuda itu beringsut
dari ranjangnya. Perasaan kuatir membuatnya
seketika terjaga. Jendela didorongkan sampai
terpentang. Gelap pekat di luar. Marjuki
tengadah. Menatap jauh dan melihatnya
Sementara itu sang ibu yang kebingungan telah
berjalan ke luar dan secara naluriah langsung
memasuki kamar anak gadisnya. Kamar itu juga
kosong, la kalang kabut seketika, lebih-lebih
menyadari ketika bangun tadi ia juga tidak
melihat suaminya. Apa-apaan, semua orang
mendadak menghilang? Tengah malam pula?
“Astaga!” dari kamarnya, Marjuki keras.
“Pasti ia ke sana lagi I”
Dalam sekejap, suasana di dalam rumah
berubah ribut dan kalang kabut. Sementara
Marjuki yang pucat memberitahu apa yang
diketahuinya, si perempuan menangis karena
cemas; Sudrajat dan Pandi beberapa kali
bertukar pandang, bingung; polisi desa, duduk
resah gelisah sambil sesekali menggeram
marah tanpa alamat yang jelas. Meskipun
ibunya ketakutan ditinggal sendiri, Marjuki
memaksa ikut pergi ke Bukit Larangan.
“Kalau kak Mira dan bang Rama terjebak
di atas sana, aku harus menolong mereka!”
katanya bersemangat.
***
SUARA bergaung yang aneh terasa
menggelitik kendang telinga Bramandita. Ia
membuka kelopak matanya. Mula-mula
sedikit, kemudian semakin lebar. Namun apa
yang dilihatnya, hanya warna hitam pekat
belaka. Tanpa suatu kehidupan. Suara
bergaung itu kian menyentak. Campuran
lengking dan tangis yang dikumandangkan
serempak, diseling lyric berbau rituil yang,…
ada bila disimak seksama, merupakan lagu
pujian terhadap roh-roh gaib yang menguasai
alam semesta.
Bramandita mengerjapkan mata
berulang-ulang, la dapat menangkap sinar
lemah di sekeliling. Namun di atasnya,
kegelapan tetap menghitam. Lalu tahulah
Bramandita, kegelapan itu merupakan
hamparan langit kelam. Tanpa rembulan.
Tanpa bintang, la mencoba bergerak, lalu sadar
bahwa ia rebah dalam keadaan terikat erat-
erat; baik kedua lengan yang terlipat di bawah
punggung, maupun kedua kakinya.
“... ia sudah sadar,” terdengar suara
berbisik di sebelah kirinya. Bramandita
menoleh, dan cahaya samar menerangi wajah
perempuan tua berambut ubanan yang entah
sudah berapa tahun dikenalnya. Di sebelah
perempuan itu, tampak wajah lurah desa
Mantili terangguk-angguk lembut.
“Aku tahu. Supi,” katanya. “Aku tahu.”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Biarkan ia duduk dulu. Aku ingin
bertindak adil. Biarkan ia ketahui apa yang
terjadi di sekelilingnya,” sambil berujar
demikian, Suganda Prabukusumah Prayodhia
membantu Bramandita duduk. Kembali
Bramandita mengerjap, dengan rasa perih
menyakitkan pada lengannya yang tadi terlipat
di bawah punggung. Pergelangannya linu
tergigit tali tambang.
Sebagaimana diharapkan sang lurah,
Bramandita segera tahu di mana ia berada.
Yang pertama dilihatnya adalah tonggak kayu
silang yang memancarkan bau kematian
sampai ke hidungnya. Puluhan obor
terpancang di tanah, mengitari pinggiran bukit
dalam bentuk tapal kuda dan berakhir di
masing-masing sisi batu hitam raksasa yang
misterius itu. Dalam lingkaran obor, duduk
bersila sekitar 20 sosok tubuh manusia
berpakaian gelap, laki-laki dan perempuan.
Kebanyakan sudah berusia lanjut, la dapat
mengenali beberapa orang di antara mereka.
Ayah Miranda, seorang pesirah desa, Mat
Dolim dan tiga temannya yang bersikeras
mengatakan Bramandita tergelincir jauh dari
bukit di mana kini mereka semua berada.
Selebihnya adalah penduduk desa Mantili yang
ia kenal sekilas, atau sama sekali tidak ia kenal.
Apa yang membuat Bramandita
tercengang takjub, adalah gerakan tubuh
mereka. Duduk bersila dengan telapak tangan
di masing-masing paha tetapi pundak
terguncang-guncang dan kepala digelengkan
ke kiri ke kanan, sesekali disentak bergantian
ke depan ke belakang. Wajah-wajah
berkeringat itulah yang menyenandungkan
lyric rituil yang kata-katanya sukar ditangkap
itu. Sedangkan suara lengking campur irama
tangis yang menusuk telinganya, dikumandang
kan oleh mahluk-mahluk aneh yang
bersembunyi di balik semak belukar, di atas
batu-batu, di tengah dedaunan rimbun, di
puncak-puncak pepohonan yang menjulang ke
langit kelam.
Mendadak dari arah jalan setapak yang
gelap, bermunculan beberapa sosok tubuh.
Tinggi kekar, berlengan panjang terjuntai tetapi
dengan betis-betis yang pendek. Sekujur tubuh
mahluk-mahluk itu penuh ditumbuhi bulu
kecuali bagian muka dari wajah mereka. Tubuh
dan wajah yang seketika mengingatkan
Bramandita pada penjelmaan gadis terpasung
di gubuk itu, yang berubah mengerikan. Darah
Bramandita tersirap manakala mahluk-mahluk
menakutkan itu menatap ke arahnya. Ah,
bukan. Melainkan ke arah pak Lurah, yang
kemudian mengangguk halus.
Mahluk-mahluk itu segera menyingkir.
Masuk dalam kegelapan hutan di sekitar bukit,
dengan suara menggeram-geram Kecuali,
seseorang yang tentunya tadi berjalan di
belakang mereka. Seorang perempuan dengan
gaun malam putih yang sangat menyolok di
tengah suasana serba suram itu.
“... Miranda!” desah Bramandita.
Terperanjat.
Janda muda itu seakan tak mendengar
suara Bramandita. la terus saja maju ke depan,
menyatukan diri dengan kumpulan orang
lainnya. Duduk bersimpuh menghadap ke batu
hitam, dengan wajah tanpa gambaran emosi
apapun juga. la seakan bermimpi kelihatannya,
tatkala pundaknya naik turun perlahan, leher
dan kepala ikut digerakkan mengikuti ritme
suara gaung yang berkumandang, untuk
kemudian sambil terus menggerakkan pundak,
leher dan kepala, kelopak mata perempuan itu
terpejam rapat.
“Saat ini, nak...” Suganda bergumam di
telinga Bramandita. “la bukan Miranda yang
kau kenal. Tetapi seseorang yang lain. Yang
bukan saja kau, tetapi dirinya sendiri tidak
kenal...”
Bramandita meronta mau bangkit.
Namun tekanan telapak tangan Suganda di
kedua pundaknya, membuat Bramandita
terhenyak duduk kembali. Tekanan itu begitu
kuat dan berat, seolah-olah pundak
Bramandita membawa beban yang ribuan ton
beratnya. Pundaknya sakit, sekujur tubuhnya
lumpuh dan nafasnya tersengal-sengal karena
berusaha mati-matian mengendalikan diri agar
tidak sampai terjerembab jatuh.
“Mengapa,…” ia mengeluh. Sakit.
“Ceritakan padanya, Supi,”, ujar Suganda
lembut. Tekanan di pundak Bramandita
melemah, kemudian lenyap. Telapak tangan itu
telah ditarik mundur, dengan keyakinan
Bramandita tidak akan mengulangi kesalahan
yang sama.
Bi Supi menyeringai.
“Kekasihmu di bawah pengaruh jiwanya
yang asli.”
“Jiwanya… yang… asli?”
“Benar. Jiwa yang muncul ke permukaan,
tatkala ia ketahui suaminya tidak lagi mencintai
dirinya tetapi telah berpaling ke perempuan
lain. Ketika ia dipukul Tedi karena nekad
mendatangi perempuan lain itu, jiwa asli
Miranda semakin muncul ke pemermukaan. Itu
membuat penampilan pisiknya berubah.
Memang tidak terlalu nyata. Namun suaminya
kemudian menyadari ada sesuatu yang ganjil
dalam diri Miranda. la mulai meninggalkan
isterinya, dan memutuskan untuk menikahi
perempuan lain itu...”
Supi berhenti sebentar, ketika Miranda
pelan-pelan melolong lembut, kemudian
melengking aneh. Mirip lengking binatang buas
di tengah hutan belantara. Disambut oleh
bunyi pekik dan lengking yang sama dari dalam
kegelapan di sekeliling bukit, membuat tanah
di bawah Bramandita seakan bergetar. Suara-
suara itu perlahan-lahan merendah dan hilang.
Kembali digantikan senandung ritu'il dari
kumpulan manusia di dalam lingkaran obor.
“… malam- itu,” suara bi Supi dikeraskan
untuk mengatasi kumandang rituil yang
memenuhi puncak Bukit Larangan itu.
“Kesabaran Miranda mencapai puncak, la pergi
meninggalkan rumah. Masih dalam bentuknya
semula wanita cantik, tetapi sedang murka. Tak
sampai dua jam kemudian, ia telah kembali lagi
ke rumah. Pakaiannya hampir tak bersisa.
Tinggal sobekan-sobekan kecil yang kemudian
kubakar setelah membersihkan bercak-bercak
darah di sekujur tubuh telanjangnya... Lalu aku
tahu, suatu saat di antara tempo yang dua jam
itu Miranda telah berubah wujud. Dapat
kubuktikan dari bulu-bulu halus, yang tampak
samar-samar di kulit tubuhnya; bulu-bulu
pirang yang semakin sirna manakala ia
kemudian tidur kembali.”
“Jadi, ia... Mira...” Bramandita seakan
tercekik.
“Itulah yang terjadi, la telah membunuh
suaminya!”
***
POLISI DESA MANTILI meringis dan
kemudian jatuh berlutut di jalan setapak yang
mendaki semakin tajam. “Betisku,…” ia
merintih. “Betisku kraam lagi!” sambil
memegangi salah satu betisnya dengan wajah
menahan sakit.
Sudrajat membungkuk untuk menolong.
“... biarkan aku,” cegah polisi desa itu.
“Sebentar lagi juga sembuh. Kalian terus saja!”
“Tak apa kami tinggal sendirian?”
“Apa boleh buat,” dalam jilatan lampu
senter yang sesaat menerangi wajahnya, polisi
desa itu tersenyum malu. “Saya akan kembali
ke gubuk kosong yang tadi kita lewati, pak. Di
sana, tidak ada yang perlu saya takutkan.”
“Sanggup berjalan sendirian ke sana?”
“Sanggup, pak. Dekat kok ini.”
“Kau tak bawa senjata.”
“Ah, tak apa. Kalaupun terjadi sesuatu,
saya kira dalam gubuk itu mestinya ada apa-
apa yang dapat saya gunakan untuk membela
diri.” Polisi desa itu menghindari pandangan
mata letnan Pandi yang tampak mencemooh,
kemudian berkata sedih. “Yang saya kuatirkan,
jalan ke atas sana...”
“Aku tahu jalannya,” gerutu Marjuki.
Sambil menyorotkan lampu senter ke jalan
mendaki di atas mereka.
Sementara polisi desa berjalan setengah
menyeret kaki ke arah semula mereka datang,
Kapten Sudrajat mengambil alih lampu senter
dari tangan Marjuki. “Biar aku di depan,”
katanya, tenang. Marjuki tidak menyembunyi
kan kegembiraannya. Langsung saja ia
menempel di punggung kapten yang tampak
nya tidak mengenal takut itu. Dengan begitu
Marjuki merasa aman dan nyaman. Karena di
belakangnya, masih ada letnan Pandi untuk
menjaga. Letnan itu tersenyum, memahami
ketakutan si pemuda. Namun dalam hati, tak
putus-putusnya mengomeli polisi desa yang
mundur sebelum perang dimulai. Letnan Pandi
membathin: “Hem. Bikin malu!”
Di depan, Sudrajat tidak memikirkan si
polisi desa. la bahkan tidak memperdulikan
Marjuki yang terus lengket seperti lintah di
punggungnya. Yang ada dalam pikiran Sudrajat,
hanyalah kenyataan yang semakin tergambar
nyata. Desa terpencil, beberapa warganya
menghilang tengah malam, api di. bukit, cerita-
cerita seram yang mengambang di atasnya,,
semakin menjurus pada apa yang dikatakan
dokter Sulaeman: Miranda berpribadi ganda.
Tetapi pribadi ganda bagaimana gerangan?
Tentunya bukan pribadi kedua dari
dokter Hyde yang menyuntikkan serum jahat
ke tubuhnya sehingga ia berubah menjadi
Jackyll. Arah yang mereka tempuh saat ini,
tampaknya lebih menyeramkan dari sekedar
perubahan akibat suntikan serum belaka.
Lebih-lebih mengingat bagaimana Tedi Jukandi
mengalami kematiannya. Masih ada lagi:
sobekan kain, yang kemudian terbukti adalah
sobekan gaun tidur seorang perempuan. Lalu
informasi mengalir masuk ke mejanya di
kantor. Arsitek itu mulai ingat warna dan merk
mobil yang diparkir di seberang jalan di depan
rumahnya. Seorang pejalan kaki bersedia jadi
saksi bahwa yang keluar dari mobil dan
kemudian ganti naik taksi, adalah seorang
perempuan muda bergaun tidur. Sementara
saksi lain dengan pasti menjelaskan, bahwa ia
mendengar suara ban mobil mendecit-decit
ribut ketika memasuki halaman rumah
tetangganya. Saksi yang ini bersumpah, bahwa
ia sempat mengintip dan melihat sesosok
tubuh baru saja memasuki pintu rumah
sebelah. Dan sosok tubuh yang masuk itu,
tampaknya hampir telanjang...
“Namanya?” sang saksi mengoceh tak
sabar. “Bukankah tadi sudah saya sebutkan
berulangkah? Namanya Miranda!”
Sudrajat memaki lembut.
Ia hampir saja terperosok ke tebing
curam yang diselimuti rimbunan semak belukar
di pinggir jalan setapak yang tiba-tiba saja
menikung.
“Bapak melihat sesuatu barusan?” bisik
Marjuki, seram.
“Yeah.”
“Apa?”
“Bayangan maut,” rungut Sudrajat
jengkel, karena lengannya terasa sakit akibat
cekalan Marjuki yang terlalu kencang.
“Oh!”
“Sudi melonggarkan cekalanmu sedikit,
nak?”
“Maaf.”
“Masih jauhkah puncak- bukit setan
itu?”
“Se… setan?!”
Sudrajat geleng-geleng kepala,
sementara letnan Pandi tersenyum kecil.
Marjuki sampai tersipu.
***
ENAM BELAS
“TAK usah berkecil hati. anak muda!”
Suganda menepuk-nepuk pundak Bramandita.
“Miranda tidaklah sejahat yang kau bayangkan.
Maksudku, dalam kondisi jiwa yang normal
secara pisik dan psikis dia tetap manusiawi,
sebagaimana engkau sendiri. Tetapi baik dia,
aku. si Supi ini, serta mereka,…” ia
menggerakkan dagu ke arah kelompok
manusia terus bergerak mengikutkan ritme
yang tetap dalam lingkaran obor. “... atas
kehendak alam, menyimpan suatu kembaran
jiwa yang lain. Pribadi kedua ini akan tampil ke
permukaan, memperlihatkan wujutnya yang
asli. wujut dari… apa yang kami semua yakin,
kami warisi dari leluhur kami yang pernah
hidup ribuan tahun silam. Wujut dan pribadi ini
batu muncul apabila kami tidak dapat
mengendalikan situasi emosi tertentu. Emosi
yang membangkitkan perasaan marah, dengki,
sakit hati. Lebih parah lagi, emosi untuk ingin
membalas kemarahan, kedengkian, atau sakit
hati itu. Beberapa dari kami berhasil
mengendalikannya. Melalui perjuangan berat.
Perjuangan bathin yang memakan tempo tidak
sedikit. Melelahkan, menyedihkan dan acap
kali, menakutkan. Sayang, generasi kami yang
lebih muda… Mira misalnya, gagal. Bukan
karena mereka tak mau atau tak mampu. Ini
termasuk kesalahan kami sendiri. Generasi
yang tua-tua. Tidak mau memberitahukan pada
mereka, apa dan siapa sebenarnya kami ini...”
“Dan apa? Siapa sebenarnya kalian?”
Bramandita bertanya ingin tahu. Tekan emosi,
itulah yang barusan ia dengar. Bramandita
menekannya kuat-kuat. Bukan karena ia kuatir
memiliki jiwa apalagi wujut kembar.
Bramandita menekan emosi, semata-mata
karena sekarang ia sudah dapat memecahkan
misteri kematian sahabatnya, Tedi Jukandi.
Meski, pemecahan misteri itu demikian
musykil; hampir tak masuk di akal.
Setelah merenung sejenak, lurah desa
Mantili menjawab: “Kau telah melihatnya
sendiri. Di tembok rumahku. Kukira, malah kau
juga sempat membacanya di buku yang ada di
tanganmu waktu kau kami ringkus…”
“Generasi keturunan yang hilang?”
Bramandita hampir tak percaya.
“Tegasnya, Manusia Kera!”
“Astaga.”
“Kau telah melihatnya, bukan? Di gubuk
terpencil itu. Ketika gadis itu berubah wujut.
Laila, namanya. Masih terhitung cucuku. Cucu
sepupu, la...”
“Laila!” Bramandita bergidik. Bukan
karena nama itu. Melainkan karena: “Jadi,
gadis itu benar-benar ada. Dan nyata!”
“Betul.”
“... itu berarti pula, kekasihnya telah
diseret ke tempat ini. Diikat ke tiang
gantungan… ah. Ke tonggak maut itu!”
Bramandita menatap gelisah bercampur marah
pada tonggak silang di tengah kelompok
manusia yang seakan mabuk karena minum
obat bius itu. “Aku melihatnya. Dan karena
kalian tahu aku telah melihatnya, kalian
menjadi takut… lantas tempatnya kalian
gantikan dengan bangkai lutung.”
“Kali ini kau salah, Bramandita,” jawab
Suganda, tenang. “Yang kau lihat pada hari
pertama, sesungguhnyalah mayat Dadang,
putera sulung penyawah keluarga Miranda.
Adapun yang kau lihat esok harinya, masih
tetap jenasah Dadang. Namun dalam wujut
lain. Wujutnya yang asli, warisan dari
leluhurnya - kaum budak belian.”
“Ah.”
“Itulah yang terjadi,... Rama. Laila
keturunan orang-orang pilihan. Sedang Dadang
keturunan para budak. Letak, dari keturunan
orang-orang pilihan boleh saja menikah dengan
gadis keturunan budak. Tidak sebaliknya.
Seorang lelaki keturunan budak, pantang
memperisteri gadis keturunan para majikan.
Dan apa yang diperbuat Dadang lebih nista. Dia
telah menyetubuhi Laila, di luar nikah. Karena
itu dia harus menerima hukuman.”
“Kalian menumbak lambungnya!” keluh
Bramandita, menggigil.
“Bukan kami. Kami orang-orang pilihan,
tak mau mengotori tangan kami dengan
perbuatan biadab dan hina dina itu.”
“Mencari kambing hitam? Atau… kalian
juga mengenal apa yang disebut pembunuh
bayaran?”
Lurah Suganda tersenyum, sabar.
Katanya: “Tak seorang pun yang dibayar atau
membayar. Dan kami tidak membutuhkan
kambing hitam. Mereka, keturunan kaum
budak yang tahu akan diri serta nasib malang
nya, melakukan sendiri hukuman itu. Kami
hanya bertugas menyeret Dadang ke tempat
ini. Mengikatnya. Dan tugas untuk menumbak
jantungnya, diambil alih oleh… ayahnya
sendiri!”
“Tuhanku!”
“Tak usah heran, anak muda. Itu
merupakan suatu kehormatan. Suatu upacara
pensucian diri. Pembersihan noda. Dan
tebusan kutuk.”
“Kutuk?”
“Ya. Yang apabila tidak dilaksanakan,
kutuk itu akan jatuh. Orangtua, saudara dan
semua famili sedarah Dadang akan beralih rupa
dalam wujut kera. Dari jenis paling hina. Jenis
yang oleh kalian manusia, selalu dijadikan
tontonan. Di tempat, sirkus, di kebon-kebon
binatang, di halaman-halaman rumah. Monyet
monyet kecil, lemah, tak berdaya. Masih
beruntung, apabila berubah wujut dalam jenis
yang lebih baik: mawas, atau lutung.”
Meremang bulu punduk Bramandita.
Teringat saat ia memeriksa lambung
bangkai lutung itu, ia berbisik seram:
“Benarkah hatinya kalian keluarkan?”
“Benar.”
“Untuk persembahan terhadap leluhur?”
“Bukan. Tetapi untuk memuliakan roh
pemilik hati itu, serta roh seluruh keluarganya.
Sederhana saja. Gumpalan hati yang masih
segar berlumur darah itu, harus dipersembah
kan kepada keluarga para majikan yang
membutuhkannya.”
“... dan Mira membutuhkannya,” desah
Bramandita, kering.
“Dugaanmu tepat. Memang Mira mem-
butuhkannya. Untuk menetralisir pengaruh
jahat dari kembaran jiwanya. Bagaimana kau
tahu?”
“Aku punya otak. Miranda tidak akan
sudi menelan mentah-mentah gumpalan hati
berlumur darah itu. Apalagi kalau ia tahu itu
berasal dari tubuh seorang laki-laki… yang
kuperkirakan pernah mencintainya.”
Bramandita menelan ludah, membasahi
kerongkongannya yang terasa kering. “Jadi hati
itu kemudian disemur oleh bi Supi.”
“Anak muda yang pintar. Aku semakin
menyukaimu. Jadi ketahuilah, betapa
perasaanku sangat masygul, ketika kudengar
apa yang terjadi dengan hati… eh, semur hati
itu!”
Tiba-tiba Bramandita ingin muntah.
Namun yang termuntahkan oleh mulut
nya, hanyalah sepatah ucapan pendek:
“Naudzubillah !”
Lurah desa Mantili agak tergetar den pucat
mendengar ucapan Bramandita yang terlontar
tanpa sadar itu. Wajahnya semakin murung.
Seperti juga suaranya, yang semakin masygul:
“Adalah kesalahan kami, anakku. Bahwa kau
sendiri yang menghabiskan semur hati itu.
Bukan Miranda. Dan itu menimbulkan akibat,
yang terlalu berat untuk kau, bahkan kami
tanggungkan. Hati yang salah alamat itu,
terpaksa harus diganti.”
“Budak yang mana, kali ini?” Bramandita
menggeram, muak.
“Oh. Sayang sekali. Tak ada budak saat
ini yang harus mengorbankan nyawa. Jadi
bukan kesalahan kami pula, anakku. Bahwa,
dengan berat kukatakan… kaulah yang harus
menggantinya!”
Rasanya seperti bermimpi.
Tetapi semua itu nyata. Bramandita
telah mengerjapkan mata berulangkali. Telah
pula mencubiti punggung, dengan tangannya
yang terikat. Simpul tambang itu malah
menjepit, semakin kuat. Semakin menyakitkan.
Baik di pergelangan tangan, maupun kakinya.
Dan, ia tidak sedang bermimpi.
“Kakiku kebas!” ia mengeluh, pelan. Dan
heran, mengapa justru ia mengeluh, padahal
panik memenuhi dada maupun kepalanya.
Ataukah, ia memang cuma bermimpi belaka?
Baiklah. Andaikata semua ini tak lebih dari
mimpi buruk, Bramandita tidak mau kepalang
tanggung. Muak campur marah, ia mendengus:
“Apakah aku akan digantung… atau
diikat pula ke tonggak terkutuk itu?”
“Oh. Tidak. Tonggak itu khusus untuk
menghukum para budak. Sedang kau… Kau
bukan saja dari kelompok orang-orang pilihan.
Kelompok para majikan. Kau, jauh lebih mulia
dari siapapun juga yang hadir di tempat ini,
sekarang. Jauh lebih mulia, dari diriku sendiri,”
ujar Suganda polos, jujur, campur kagum atas
ketenangan Bramandita.
“Jangan harap aku tertawa,” rungut
Bramandita.
“Hakmu untuk tertawa atau tidak.
Namun apa yang kuucapkan barusan, adalah
mutlak benar. Kami adalah keturunan dari
generasi yang pernah hilang. Kami masih
memiliki sifat-sifat leluhur kami. Manusia Kera.
Sedang kau, adalah keturunan generasi setelah
nya. Generasi, yang sempurna manusia...”
Suganda menghela nafas panjang. “Oleh
karena itu, kami harus tetap menghormati dan
memuliakan engkau. Kau akan ditempatkan di
altar pengorbanan yang khusus. Istimewa, dan
langka kami lakukan sejak nenek moyang kami
dahulu kala. Selain itu, sebagai tanda hormat
kami padamu… kau diberi kesempatan untuk
meloloskan dirimu dari keharusan mengorban
kan nyawa.”
“Melalui pertarungan?” Bramandita
tersenyum. Mengejek. “Tangan kosong, atau
bersenjata?''
“Kau membuatku bingung, anak muda.”
“Kau, orang pilihan, dengan para budak
belianmu yang terkutuk. Semua itu merupakan
dongeng lama. Kisah purbakala, di jaman
kekaisaran Nero atau Fir'aun. Kalian buat
sebuah gelanggang. Di mana aku harus
menjatuhkan kau, tukang-tukang pukulmu,
jagoan-jagoan dari orang-orang pilihan. Aku
sudah menyadari nasibku. Tak mungkin aku
mengelak. Kecuali melalui pertarungan mati-
matian itu. Harapanku, terus terang kuakui,
setipis dan selemah benang basah. Tetapi aku
akan mencobanya,” dan dalam hati,
Bramandita memikirkan kemungkinan untuk
lolos, tanpa melalui pertarungan mati-matian
yang dibayangkannya, la tertawa, parau. Lantas
menentang… bukan karena ia nekad dan
pemberani. Melainkan, karena ia takut. Dan
ketakutan itu, membuatnya marah. “Siapa
lawanku yang pertama? Ataukah, kalian maju
berbarengan, mengeroyokku?”
“Manusia, dengan segala kepicikannya,”
Suganda Prabukusumah Prayodhia, meng-
gelengkan kepala. Prihatin. “Kau tidak akan
melawan lebih dari satu orang. Dan lawanmu,
boleh dikata tidak berarti. Karena dia...”
“Persetan. Dia siapa?”
“Miranda!”
“Miranda!” Bramandita berteriak,
marah… atau putus asa? Teriakan keras itu
memecahkan lagu puja-puji bernada rituil di
puncak bukit. Semua yang berkumpul dalam
lingkaran obor sama terdiam. Bahkan binatang-
binatang mengerikan dalam kegelapan semak
belukar serta pepohonan di hutan-hutan
sekitarnya, ikut terperanjat. Namun anehnya,
meski dikejutkan oleh teriakan lantang
membahana itu, semua kepala tetap menekuri
paha. Kecuali, satu orang.
Miranda berpaling ke arah suara
berteriak Itu. la menatap Bramandita. Dengan
sinar mata kosong. Kemudian kembali
berpaling, merunduk menekuri pahanya pula.
Namun dalam tempo sekejap sebelum ia
berpaling, Bramandita menangkap bentuk
wajah Miranda dalam jilatan cahaya obor.
Masih tetap cantik, masih tetap menawan.
Namun pipinya tidak sehalus pipi Miranda yang
ia kenal selama ini. Pipi perempuan itu,
ditumbuhi bulu-bulu halus. Bulu pirang, di
bawah dahinya yang tampak berkerut.
Menyempit...
***
Mendadak, Bramandita ingin memberontak.
Tangan dan kakinya yang terikat ia
gerakkan, seraya menerjang bangkit. Hasilnya
gampang ditebak: Bramandita langsung jatuh
terjerembab, dengan wajah mencium tanah!
Dua sosok tubuh tinggi besar dan hitam
karena seluruh tubuhnya boleh dikata penuh
ditumbuhi bulu-bulu kesat dan kasar, seketika
membangunkan Bramandita dari tanah, la
dipaksa berdiri, dengan kaki dan tangan tetap
terikat. Oh. Bukan berdiri lagi. Telapak tangan
yang lebar tebal dengan lengan-lengan kekar
berbulu itu mengangkat Bramandita terlalu
tinggi, sehingga ia tak lagi menjejakkan kaki di
tanah.
“Jauhkan semua obor!” Suganda berseru
lantang di sebelahnya.
Seruan itu bagaikan magnit yang kuat.
Mengangkat semua tubuh yang bersila di
tanah, kecuali Miranda seorang yang masih
tetap menekuri tangan dan pahanya. Obor-
obor dicabuti dari tanah, dibawa sejauh
mungkin. Beberapa di antaranya malah
dipadamkan. Bi Supi kemudian berlari ke
tengah lapangan terbuka itu, menyentuh
pundak Miranda dan kemudian menariknya
menjauh. Berkumpul dengan semua orang
lainnya yang kelihatan pucat dan gemetar,
saling merapat satu sama lain di sudut
lapangan terbuka yang berlawanan dengan
mulut jalan setapak.
Apakah ada mahluk lain, yang akan
muncul dari jalan setapak itu?
Mahluk dahsyat, yang lebih mengerikan?
Bramandita menunggu dengan cemas,
panik dan takut. Kemudian ia merasakan ada
sesuatu yang bergerak di lereng-lereng gunung
sebelah kiri Bukit Larangan. Beberapa sosok
bayangan hitam mendekati batu hitam raksasa,
berkumpul di salah satu sudutnya, untuk
kemudian mulai mendorong sekuat tenaga.
Suara kaki-kaki mereka menjompak keras
seperti kaki-kaki gajah menghentak bumi tiap
kali mereka berhasil menggeser sudut batu itu.
Menimbulkan suara berderak, dan getaran
aneh di permukaan bumi.
Batu misterius yang hampir setinggi
letak. Di mulai dengan gugurnya semak belukar
di bagian batu yang bersatu dengan lereng
gunung. Tanah longsor, batu-batu bergelinding
an jatuh ke lembah, dan debu bertebaran
sampai ke lapangan terbuka yang telah kosong
itu. Bunyi geseran yang ganjil terasa dan
terdengar semakin kuat di permukaan tanah.
Batu hitam itu terus bergerak ke depan,
mengikuti gerakan mahluk-mahluk besar
menyeramkan yang mendorong sudut
terendah dari batu raksasa itu. Mahluk-mahluk
itu menggeram, melengking, mendengus-
dengus buas selama mengerahkan tenaganya.
Batu sebesar dan setinggi rumah itu
semakin bergeser ke depan.
Demikian pula wujut mahluk-mahluk
pendorongnya, tampak semakin nyata dalam
jilatan obor. Semuanya ada dua belas sosok
tubuh tinggi masing-masing sosok tubuh itu
hampir mencapai dua meter. Berlengan
panjang penuh otot yang bersembulan di balik
bulu-bulu tebal kasar, berkaki pendek kekar.
Wajah-wajah mereka juga hampir dipenuhi
bulu, namun wajah-wajah itu masih
menampakkan ciri-ciri wajah manusia.
Manusia yang dahinya selalu berkerut, apabila
tengah memikirkan sesuatu yang teramat
rumit. Hidungnya senormal hidung manusia,
tidak sepesek hidung kera. Namun dari mulut
mereka yang menyeringai selagi mengerahkan
segenap kekuatan yang tersimpan dalam tubuh
yang kokoh itu, tampak memperlihatkan
taring-taring panjang, runcing, melambangkan
kebuasan.
Bramandita diam-diam melirik ke sosok-
sosok tubuh yang mengangkat badannya
sampai tak berjejak di tanah, la lantas bergidik
seram ketika menyadari sosok-sosok tubuh ini
sama dengan sosok-sosok tubuh yang
mendorong batu. Hanya lebih kecil, lebih
pendek, dengan dada lebih besar,
menggelembung. Mahluk-mahluk jenis betina!
Dan jantan-jantan yang perkasa itu,
terus mendorong sambil mulut serta hidung
mengeluarkan suara-suara geram, lengking
dan dengus-dengus yang seirama, seolah
mereka menyanyikan lagu rambate-rata-hayo.
Batu hitam misterius itu terus saja bergerak
pada sudut yang mereka dorong, sementara
sudut lainnya terus berputar dalam satu poros.
Lebih banyak lagi tanah, pasir, debu
beterbangan.
Obor-obor yang masih menyala, diturun
kan semakin rendah...
Namun cahayanya masih cukup jelas
untuk memperlihatkan bentuk dari batu
raksasa itu. Ternyata sebuah kubah yang
selama ini menutupi apa yang tersimpan di
dalamnya. Bramandita melihat sebentuk
kerangka yang utuh dengan tengkorak yang
teramat besar, jauh lebih besar dari sosok
jantan-jantan perkasa yang dahsyat itu. Tulang
kerangka yang tetap utuh secara ajaib itu,
duduk di sebuah batu besar yang lengket, ke
bagian belakang sebelah dalam kubah. Tulang-
belulang kakinya berjuntai ke bawah, menjejak.
sebuah altar hitam. Batu tebal pipih berbentuk
bundar. Sebuah altar persembahan korban!
Rongga kosong di tengkorak yang besar
itu, seolah menatap lurus ke mata Bramandita.
Membuat yang ditatap bergidik, seolah
jantungnya lolos. Sekujur tubuh Bramandita
lemah, layu, terkulai. Kemudian segala sesuatu
lantas berlangsung cepat dan serempak
Dua sosok tubuh mahluk betina yang
memegangi Bramandita, seketika melepaskan
cengkerarnannya. Kemudian menjatuhkan diri,
rebah menelungkup mencium tanah dengan
posisi mengarah ke arah mahluk yang tinggal
kerangka mengerikan itu. Tanpa mengacuhkan,
bagaimana Bramandita bagai terhempas ke
tanah. Lututnya terlipat, menyakitkan. Namun
secara naluriah Bramandita berusaha menahan
agar tubuhnya tidak sampai terjerembab,
rebah mencium tanah seperti dua mahluk di
sampingnya. Seperti juga, semua kelompok
manusia tadi melakukan hal yang sama. Rebah
menelungkup, dengan lengan-lengan terulur
ke depan, ditautkan telapak tangan dalam
posisi menyembah kerangka di seberang altar.
Sekonyong-konyong, Bramandita me-
rasakan getaran yang hebat di permukaan
tanah tempatnya berpijak. Seakan lapisan bumi
nun jauh di bawah, berguncang keras.
Guncangan itu semakin terasa, manakala altar
batu itu bergerak semakin jauh dari tempatnya
semula, mengikuti tarikan kubah yang pelan-
pelan menutup jalan setapak. Mula-mula
tampak sesuatu yang hitam di bawah altar,
yang kian lama kian lebar. Ternyata sebuah
lubang, yang sebelum terbuka seluruhnya,
telah menimbulkan letupan dahsyat. Sesuatu
mendesis gegap gempita, menimbulkan.
goncangan luar biasa di sekitar bukit. Sesuatu
yang tidak terlihat itu menebarkan bau yang
tak asing di hidung Bramandita, namun tak
dapat dijelaskan jaringan otaknya yang saat itu
kacau balau. Desis itu terus meletup-letup
selama dua tiga detik, untuk kemudian
berubah menjadi desis panjang dan tetap.
Mengarah ke langit kelam, dengan warna
kebiru-biruan.
“Apakah itu….”
Belum habis ucapan Bramandita,
Suganda telah menarik tubuhnya agar rebah di
tanah. “Berbaringlah. Atau kau mati!”
Perut Bramandita memang mulai mual.
Dan nafasnya sesak.
Beberapa detik masih berlangsung. Sepi
mencengkam. Yang terdengar hanya bunyi
desis panjang dan tinggi itu saja. Jaringan otak
Bramandita pelan-pelan mulai bereaksi. Itu
adalah tiupan angin keras dari dasar bumi,
pikirnya. Dan karena angin itu berwarna biru
yang samar, tentulah angin keras itu meniup
kan sesuatu yang umum dikenal sebagai...
“Terpujilah, para leluhur!” lurah desa
Mantili mendadak berseru lantang. Seraya
bangkit perlahan-lahan.
“Terpujilah, para leluhur! Terpujilah,
para leluhur! Terpujilah...” sosok-sosok tubuh
manusia dan mahluk-mahluk yang rebah di
tanah itu ikut berseru, serempak dalam koor
bergemuruh kemudian disusul senandung lyric
rituil pemujaan seperti tadi. Kembali duduk
bersila di tengah lapangan terbuka, kembali
dalam bentuk tapal kuda, kali ini menghadap ke
arah kubah yang terbuka itu. Hanya gerakan-
gerakan mereka saja yang semakin liar. Tangan
tidak lagi bersetumpu di paha, melainkan
digerakkan serempak dan teratur tinggi di
udara, kemudian turun serempak sampai ke
tanah, disertai koor yang menghentak-hentak.
Mengingatkan Bramandita pada tari kecak dari
Bali, dikombinasikan dengan gerakan rituil
bangsa Niger yang menghempas-hempaskan
tubuh bagian atas kemuka dan ke belakang
pada upacara pesta pernikahan.
Dua obor besar ditempatkan di dua
sudut kubah. Letaknya tetap dibuat sejauh
mungkin dari lubang yang terus berdesis-desis
itu. Nyala obor meliuk-liuk liar menyinari
wajah-wajah manusia dan mahluk-mahluk
aneh yang saling menyatukan diri di lapangan
terbuka. Dan juga, menyinari wajah Miranda.
Wajah yang semakin banyak ditumbuhi bulu.
Wajah yang kini pelan-pelan memperlihatkan
senyuman lebar… tepatnya, seringai lebar.
“Lihatlah, betapa bahagianya kekasih
mu,” desah Suganda yang berdiri disebelah
Bramandita. “la membayangkan, inilah pesta
pernikahannya. Dan sesungguhnyalah anak
muda, memang pesta demikian yang tadinya
kami rencanakan. Pesta pernikahanmu dengan
Miranda… Sayang, kau bergerak terlalu cepat.
Keingin-tahuanmu terlalu berlebihan. Obat
penetralisir jiwa jahat yang seharusnya
dimakan Miranda, kau makan pula. Rencana
terpaksa kami rubah, anak muda.”
Masih terus menatap kerangka ajaib di
dalam kubah, Bramandita bergumam antara
sadar dan tidak: “Aku tak akan sudi mengadu
otot dengan Miranda.”
“Memang tidak, anakku,” kata Suganda,
tenang. “Tugasmu, adalah mengadu kekuatan
bathin dengan bathim Miranda.”
“Pertarungan apa pula itu?”
“Pertarungan hidup dan mati. Juga,
mempertaruhkan kehormatan, kemuliaan.
Terutama dari pihakmu, sebagai generasi
manusia yang utuh dan sempurna!”
“Dan, disaksikan fosil murahan itu?”
“Fosil, ah ya! Kau mengingatkan aku
pada sesuatu yang hampir saja kulupakan. Itu
memang fosil, tetapi nilainya… Nilainya akan
membuat semua ahli sejarah purbakala di
seluruh dunia, bersedia saling bunuh untuk
dapat memilikinya. Hem. Sifat manusia, yang
masih tetap mewarisi sifat-sifat generasi
sebelum mereka, bukan? Generasi kami, dan
generasi sebelum kami. Manusia Kera!”
Bramandita hampir tertawa. “Kau
maksud, pak tua! Fosil di depan sana, adalah
fosil Garis Keturunan Yang Hilang dalam teori
Darwin. Begitukah?”
“Salah satu, anakku. Salah satu dari garis
keturunan itu!”
Kemudian, lurah desa Mantili mencerita
kan sejarah leluhur mereka. Tidak saja kepada
Bramandita, tetapi kepada semua yang hadir di
puncak Bukit Larangan itu. Semua diam
mendengarkan, karena apa yang dikisahkan
Suganda Prabukusumah Prayodhia, sebenar
nyalah, sebuah dongeng mentakjubkan yang
tak akan pernah mereka temui dalam buku
manapun juga di dunia ini.
“Kaumku!” seru lurah Mantili, lantang.
“Satu dua orang di antara kalian telah
beruntung mengetahui apa yang akan
kukisahkan. Tetapi marilah kita bagi
keberuntungan itu secara adil, kepada mereka-
mereka yang belum memperolehnya selama
ini...”
Lalu ia menceritakan tentang kejadian
umat manusia menurut teori Darwin. Begitu
lengkap dan mendetail, meskipun hanya dalam
garis besarnya saja,… namun membuat setiap
pendengar yakin dan percaya penuh apa yang
keluar dari mulutnya, adalah gambaran hidup
nenek moyang mereka di jaman dahulu kala.
“Kakekku, salah seorang Panglima
Kerajaan Prabu Pajajaran yang terpercaya,…
menemukan peninggalan salah satu dari
leluhur kita yang hidup ribuan tahun sebelum
abad Masehi. Kakekku, memiliki kembaran jiwa
sebagaimana kita pernah atau masih memiliki
nya, la membuat suatu kesalahan dengan
kembaran jiwanya. Sehingga ia dengan
semena-mena dibuang oleh Paduka Sinuhun
Pajajaran ke sebuah wilayah yang belum
pernah di jamah manusia.”
Prayodhia Kusumah, kakek Suganda
Prabukusumah Prayodhia begitu marahnya
ketika salah seorang sanak keluarga raja
mencemoohkan wajah sang Panglima, yang
katanya mirip wajah kera. Orang yang sial itu
dengan lancang mengatakan penuh penghina
an: “Heran. Paduka Raja mengangkat seekor
kera sebagai Panglimanya yang terpercaya.”
Prayodhia Kusumah murka seketika.
la menggeram marah, mengamuk selagi
tubuhnya berubah wujut dan membunuh
sanak keluarga raja itu, dan beberapa perajurit
Raja yang menghalangi perbuatannya. Patih
terpaksa turun tangan. Prayodhia ditundukkan,
dan oleh Sinuhun kemudian dibuang ke tempat
di mana banyak terdapat “dedemit semacam
engkau!” Dalam pembuangannya itulah bekas
panglima kepercayaan Raja yang terbuang itu
menemukan api abadi yang tak henti-hentinya
keluar dari perut bumi.
“Api abadi itu dijaga oleh sebongkah
batu raksasa. Kemungkinan besar, muntahan
dari letusan gunung. Kakekku, dengan mata
bathinnya melihat ada sesuatu yang aneh dan
menakjubkan tersembunyi di dalam
bongkahan batu besar itu. Dengan kekuatan
bathinnya pula, sebagian bongkahan batu
dihancurkan tanpa menciderai isinya...” lurah
desa Mantili menceritakan dengan bangga, dan
semangat berapi-api. la kemudian tahu, apa
yang ia kumpulkan adalah tengkorak dan
tulang belulang yang telah berusia jutaan
tahun. Dengan tekun dan khusuk, ia mentaut-
tautkan setiap tulang. Membuatnya tampak
utuh. Sempurna, dengan merekat setiap
sambungan tulang maupun tengkorak... Dan
tiba-tiba ia melihat adanya persamaan
mahluk… atau kita sekarang menamakannya
fosil, dengan perwujutan dirinya sendiri. Tak
dapat lagi diragukan, dia telah menemukan
leluhur kami,… bahkan bukan mustahil, kau
sendiri !”
Dengan perasaan terharu biru, demikian
lah yang terjadi menurut cerita lurah desa
Mantili, Prayodhia Kusumah si bekas panglima
yang telah dibuang Sinuhun Prabu Pajajaran
membuatkan singgasana dari sisa batu untuk
ditempati penemuannya yang luhur dan mulia
itu. Dari bahan yang sama, ia buatkan juga
sebuah altar persembahan. Diberkati dengan
tetesan air mata dan darahnya sendiri...
“Roh gaib membisikkan, kau adalah
leluhurku,” kata bekas panglima itu, terharu
biru. “Lindungi aku, beri aku kekuatan dan
ketenangan jiwa. Jadikan aku, dan keturunanku
kelak, berkembang biak dalam wujut yang lebih
utuh. Wujut sempurna, sebagai manusia!”
Bekas panglima itu kemudian bermimpi
dalam tapanya, bahwa ia harus menaklukkan
api abadi, dan bila itu berhasil ia akan
menemukan jodoh yang akan melahirkan
keturunan yang akan meneruskan generasi
mereka, sebagaimana ia inginkan.
“Dengan bantuan dan lindunganmu!”
teriak Prayodhia, seraya menarik seluruh
singgasana dan altar batu itu, mengerahkan
segenap ilmu yang dimilikinya. Singgasana dan
altar batu itu berhasil ia dudukkan di mulut
lubang darimana api abadi itu menyembur ke
angkasa. Kemudian ia sendiri duduk di altar itu.
Duduk dengan segenap bobot tenaga dalam
dikerahkan untuk menekan getaran
mendorong dari perut bumi, sampai getaran
itu berhenti dengan sendirinya.
Prayodhia tak pernah beranjak dari altar,
selama ratusan hari ratusan malam. Lalu ia
memperoleh mimpi, akan datang seseorang
kepadanya, merawatnya, dan apabila ia ingin
tapanya berakhir sempurna, harus menikahi si
pendatang itu, bagaimanapun wujut si
pendatang adanya. Pada hari ke 371, Prayodhia
membuka kelopak matanya dan melihat
sesosok tubuh tengah membalur dirinya yang
terkulai lemah di altar batu; dengan ramu-
ramuan hutan. Bekas panglima itu dengan
cepat sembuh dan sehat kembali.
Tapanya berakhir.
Dan ia menikahi pendatang yang me-
rawatnya. Meskipun ia sadar, pendatang itu
berwujut bukan manusia, melainkan sesosok
mahluk kera yang sama besar dan tinggi
dengan si pertapa sendiri.
“Mereka melahirkan beberapa orang
keturunan,” lurah desa Mantili berseru dengan
semangat tinggi dan meluap-luap bahkan
takjub. “Kakekku, kakek kalian semua… empat
bersaudara yang kemudian menyebar ke
berbagai penjuru kerajaan. Mereka lahir dan
tumbuh dewasa dalam wujut manusia
sempurna. Sempurna sebagaimana ayah
mereka, namun malangnya juga mewarisi sifat-
sifat ibu yang melahirkan mereka. Begitulah
mengapa kita semua pernah, atau masih
memiliki jiwa kembar. Memiliki, apa yang oleh
orang sekarang disebut pribadi ganda.”
Pribadi sebagai manusia sempurna tetap
mengabdi raja-raja di setiap tempat mereka
pergi merantau. Tetapi pribadi-pribadi yang
kemudian dipengaruhi kembaran jiwanya,
menimbulkan kekacauan, kepanikan,
ketakutan. Mereka, dan keturunan-keturunan
mereka kemudian terpaksa melarikan diri dan
kembali ke tempat asal mereka. Keturunan
yang asli kemudian mendirikan desa yang
mereka sebut Mantili, mengambil nama ibu
yang melahirkan mereka. Namun para
pengikut mereka, kemudian ada yang
melakukan pemberontakan, pengkhianatan,
permusuhan. Mereka yang ingkar itu naik ke
Bukit Larangan dan berusaha menguasai
kerangka abadi yang duduk di singgasananya,
mengharapkan roh yang menguasai kerangka
itu dapat menurunkan ilmu-ilmu gaib yang
mereka miliki. Namun untuk itu mereka harus
lebih dulu menjatuhkan bekas panglima raja
dan isterinya. Manusia Kera bernama Mantili
itu. Beberapa dari pemberontak itu mati
binasa.
Sisanya dibiarkan hidup.
Dengan sumpah: tetap mengabdi pada
turunan orang-orang pilihan. Setia selama
hayat dikandung badan. Sedia berkorban
sebagai tanda pengabdian. Sebagai bukti
pengabdian yang pertama, mereka yang tetap
dibiarkan hidup harus mengalirkan darah
setiap anak sulung mereka. Yang bersedia
melakukan upacara pengorbanan itu, akan
tetap hidup sebagai manusia. Namun yang
membangkang, akan menerima hukumannya:
lahir sebagai manusia, lalu kemudian mati
sebagai kera.
“... menyedihkan,” keluh Suganda, lurah
desa Mantili, kecewa. “Selagi kaum budak
belian itu melaksanakan sumpahnya dengan
setia dan patuh, justru sebaliknya beberapa di
antara kita melakukan perbuatan-perbuatan
hina. Pribadi mareka sebagai manusia,
dilunturkan oleh apa yang merupakan sifat
abadi manusia pula: mudah jatuh cinta, tanpa
memperdulikan apa dan siapa yang
dicintainya.”
Ia kemudian menatap salah satu mahluk
aneh di tengah kumpulan pemuja roh leluhur
itu: “Dia, Laila. semoga adalah orang terakhir di
desa ini yang melakukannya.”
Yang disebut Laila, melengking lirih, me
mukuli dadanya yang berbulu, menangis dalam
ratapan menyayat hati.
“Lebih menyedihkan lagi.” lanjut lurah
desa Mantili, tak mengacuhkan ratap tangis
dalam bunyi geram dan lengking mendengus
itu. “Pengorbanan kekasihnya ternyata tiba di
alamat yang salah,” Suganda mengurut dada.
“Itulah sebabnya, mengapa jasad Dadang tidak
hidup kembali, meski menyerupai lutung
namun roh leluhur tetap dapat membangkit
kannya untuk mendampingi Laila. Hati yang
dipersembahkan keluarganya untuk salah
seorang dari kita, seperti telah kuberi tahu
pada kalian semua… lenyap memasuki jasad
orang lain. Bukan jasad Miranda.
Lurah desa Mantili menatap lurus ke
wajah Bramandita. Bramandita tergetar. Kecut.
“Ini pengadilan di neraka. Cuma mimpi
belaka. Bangunlah, Bramandita. He. kau
bangun dan bangkitlah. Cuci muka. Makan
sarapanmu yang dingin dan pergilah mencari
bahan berita. Sekali kau terlambat, bos akan
memotong gajimu!”
Namun nyatanya. Bramandita tidak
terbangun di rumahnya. Jauh di pelosok
Jakarta yang hiruk pikuk. Ia bangun dan sadar,
di sini. Di puncak Bukit Setan, dikelilingi
manusia dan mahluk-mahluk aneh, yang lebih
pantas menghuni neraka jahanam.
Dalam paniknya, Bramandita berteriak
lantang: “Mau kalian apakah aku, he? Mau
direbus?!” Kemudian ia tertawa. Histeri.
Jaringan otak maupun sarapnya yang tegang,
membuat jalan pikirannya seakan berkembang
menuju kegilaan. “Siapa yang akan melahap
dagingku nanti. Kau, lurah bejat terkutuk? Atau
kau… Miranda?”
Miranda menggeram.
Bukan geraman manusia. Melainkan,
geraman kera.
“Angkat dia ke altar!” Suganda
membentak. Wajahnya dingin, tanpa emosi.
Dua sosok tubuh tadi segera mendekati
Bramandita. Dalam histerinya, Bramandita
menjerit-jerit tidak karuan, sambil
menggulingkan tubuhnya kian kemari. Namun
seberapa jauhlah tubuh terikat itu dapat
melarikan diri. Dalam sekejap mata saja, tahu-
tahu tubuhnya telah tergeletak di altar batu,
dengan wajah menghadap ke tulang belulang
jari jemari dan kaki fosil yang menakutkan itu.
Hal itu, membuat roh Bramandita seakan
minggat seketika.
Biarpun kemudian, atas perintah lurah
Mantili, ikatan tangan dan ikatan kakinya
dilepaskan; toh jangankan usaha. Niatan untuk
melarikan diri pun sudah lenyap dari benak
Bramandita.
“Rama!”
Bramandita tetap menatap tungkai
kerangka itu. Tungkai yang seolah akan
menginjak tubuhnya, sampai melesak ke dalam
altar batu, terus ke perut bumi. Itu adalah lebih
baik! Daripada…
“Bramandita!”
la berpaling, dan melihat lurah desa
Mantili berdiri tak jauh dari altar... Wajahnya
keras. Namun berubah lunak dan penuh belas
kasihan, melihat keadaan Bramandita yang
memilukan.
“... dengarkan aku, anak muda,” katanya,
lirih.“Teguhkan jiwa. Kembalikan semangatmu.
Dan kalau kau punya… meski aku yakin kau tak
punya, tebalkan imanmu. Imanmu sebagai
manusia. Kau punya Tuhan, bukan? Karena itu,
berdo'alah menurut caramu...”
Bramandita mencoba bergerak. Uh.
Persendiannya kaku seluruhnya. Apakah ia
telah mulai lumpuh?
“... kami tetap menghormatimu, anak-
ku!'' ujar Suganda lagi. Lembut, bersahabat.
“Mungkin aku ini setan. Tetapi dalam diriku,
kuanggap aku ini tetap manusia. Seperti diri-
mu. Hanya, sekali lagi, kau lebih mulia dari aku.
Dari kami semua. Karena itu, kami tidak ingin
memperhinakan dirimu begitu saja. Kau tidak
terikat, sekarang ini. Kau bebas melawan
Miranda… Kuingatkan kau, nak Rama. Pisikmu
tak berguna. Biar perempuan jangan anggap
enteng Miranda. Bathinmu, anakku. Bathinmu
yang harus kau kerah…”
Lurah menggapaikan tangan ke belakang.
Pelan-pelan, Miranda bangkit dari duduk
nya. Berjalan mendekati altar, dengan mata
nyalang dan jalang mengawasi Bramandita
yang duduk terhenyak di atas altar. Mulut
Miranda melontarkan seringai. Taring-
taringnya telah muncul. Dari lubang-lubang
hidungnya yang tetap mancung, mengembang-
kempis terlontar suara dengus-dengus buas,
sambil pelan-pelan menggeram. Kejam.
“... kau dengar aku, Bramandita?” kata
Suganda, keras dan kuatir. “Gagal diobati
dengan semur hati itu, wujut Miranda dari
bentuk kembaran pribadinya yang kedua, tak
dapat kami elakkan lagi. Jangan melawan
jelmaan pribadinya yang kedua itu, Rama.
Lawanlah kembaran jiwanya yang lain. Pribadi
nya yang tetap baik, lemah tak berdaya sebagai
manusia, sebagai wanita.”
Bramandita tak mendengarnya.
Panik, takut, tak bertenaga walau untuk
bernafas saja ia terus saja menatap wujut
Miranda yang terus berubah semakin nyata.
Robekan gaun tidur. Pertumbuhan bulu-bulu
pirang yang semakin panjang, semakin banyak.
Dah yang kian menyempit. Mata yang semakin
memerah saga...
Taring-taringnya mencuat keluar dari
sudut-sudut mulut yang melebar dalam
seringai menakutkan.
Gaun tidurnya tertanggal sudah.
Dalam kepingan-kepingan yang tercabik-
cabik, bertaburan ditiup angin. Sebagian
terbang ke arah lubang menganga dekat altar.
Bersatu dengan warna biru yang samar.
Melambung tinggi ke angkasa, disertai bunyi
yang terus mendesus-desus dari perut bumi.
Suganda Prabukusumah Prayodhia
pelan-pelan menjauhi altar. Matanya menatap
Miranda dengan cemas, kemudian ganti
menatap Bramandita. Lebih cemas lagi. Sambil
mundur, ia terus membentak-bentak dan
suaranya mulai terdengar marah.
“Manusia tolol. Kau telah kami beri
pilihan. Perlihatkan siapa kau sebenarnya,
Bramandita. Sekali Miranda mengambil hatimu
kau mati. Tetapi bila ia gagal, kau tetap hidup.
Kau dengarkah? Kau tetap hidup… meski untuk
itu, Miranda tidak akan kembali pada wujutnya
semula sebagai manusiai Kau dengarkah?
Rama! Rama! Rama!”
Bramandita mendengarnya.
Bukan ucapan-ucapan lurah desa Mantili
yang memperingatkan dirinya panjang lebar
dan putus asa. Melainkan, nama panggilan itu:
Rama! Rama! Rama! Adakah sesuatu yang lain,
yang menyerupai, mirip, atau mendekati nama
itu? Rama! Rama! Rama!
la bergerak mundur di altar, menyentuh
tungkai belulang di singgasana batu. Terdengar
suara berderak. Tungkai itu lepas. Jatuh ke
altar. Hancur. Jadi debu, berserakan.
Miranda telah melompat ke atas altar.
“Jangan,…” Bramandita menjerit
tertahan. Kerongkongannya sudah tercekik,
meski lengan-lengan berbulu yang terulur di
depannya, masih terlalu jauh untuk
menyentuh.
Miranda menggeram.
Lidahnya sampai terjuiur ke luar. Merah,
basah berlendir. Haus darah.
Bramandita terkulai ngeri. Tangannya
menggapai mencari pegangan. Teraba sesuatu.
Lengan kerangka. Dibetotnya. Lengan kerangka
itu pun hancur jadi debu. Panik dan putus asa,
Bramandita melolong: “Ini aku… Rama, mu.
Miranda, ini aku !”
Tak ada reaksi apa-apa.
Dan ketika pundaknya disentuh oleh jari-
jemari tebal berbulu dan berkuku runcing,
merasakan sakit karena jepitannya, dan nyeri
yang diakibatkan luka-luka pada kulitnya yang
dihunjami kuku-kuku runcing panjang itu,
kegilaan Bramandita meledak dalam perlawan-
an yang membabi buta. la menendang.
Memukul. Mencakar. Sambil terus berteriak-
teriak:
“Jangan! Ini aku… Rama. Aku, Rama. Kau
dengarkan aku? Shinta, ini aku aku Rama.
Shintaaaaaa!”
Sebuah jerit pekik tak sadar. Tetapi
terdorong oleh ingatan secara naluriah.
“Mengapa tidak kau panggil aku Shinta,
Rama. Sekali saja!” dan ucapan itu dilontarkan
Miranda lama tahun berselang, ketika gadis itu
datang ke kamar kost-nya, dan cinta mereka
sempat membuat Bramandita dan Miranda
hampir lupa daratan
Ya. Hanya pekik tak sadar.
Tetapi cengkeraman tangan berbulu di
pundaknya, seketika ditarik mundur. Demikian
juga ujung jari jemari runcing yang tadinya
sudah siap menusuk dalam, ke lambungnya.
Dan mulut lebar bertaring mengerikan yang
sudah sedemikian dekat ke lehernya, pelan-
pelan pula menjauh.
Kelopak mata tebal berkerut di depan
Bramandita, mengerjap-ngerjap.
Terdengar bunyi rengeh yang aneh dari
mulutnya yang kejam.
Rengeh yang lembut.
Kali Ini, dengan kesadaran bathin yang
penuh. Bramandita bangkit tegak, la
memegangi tangan-tangan berbulu yang
menjauh itu, dan berkata getir: “Shinta.
Sayangku. Mereka apakan kau, Shintaku?”
Rengeh tengeh itu semakin lembut.
Dan sudut-sudut mata yang mengerikan
itu. berubah lunak, kemudian bersinar lembut,
sampai akhirnya berlinangkan butir-butir, air
bening.
kau akan kembali dalam wujutmu
semula, Shinta. Kita akan pulang. Menikah.
Dan…”
***
DAN, kapten Sudrajat yang semula putus
asa menemui jalan buntu di ujung setapak;
tetapi kemudian kembali bergelora semangat
nya setelah mendengar jerit pekik histeri
Bramandita… merayapi batu itu sampai ke
atasnya, dan melihat ke bawah.
Melihat Bramandita berhadapan dengan
sesosok tubuh mahluk yang membuat Sudrajat
hampir melorot jatuh karena kaget dan ngeri.
Pemunculannya yang tiba-tiba dilihat pula oleh
beberapa orang manusia jauh di bawahnya.
Dari mereka tidak tampak akan ada kesulitan.
Tetapi dari beberapa mahluk yang sama
dengan sosok tubuh di depan Bramandita,
mulai menggeram. Marah.
Sudrajat mengacungkan senjatanya.
Dan secara naluriah, korban pertama
dari peluru senjatanya yang tahu-sehu sudah
meledak, adalah sasaran yang paling dekat dan
paling pasti untuk menyelamatkan jiwa
sahabatnya.
Satu kali tembakan cuma.
Miranda tersentak ke belakang. Dengan
dada berlubang. Mengeluarkan darah, la
menggeram lemah. Tetapi tembakan berikut
nya, tepat mengenai jidat di antara dua
matanya. Miranda tersungkur jatuh.
“Shintaaaa!” Bramandita menjerit dan
bersimpuh memeluki sosok tubuh yang terkulai
sekarat itu.
Tembakan tembakan berikut kemudian
merubah suasana jadi hiruk pikuk. Sudrajat
yang terpesona memandang apa yang
diperbuat Bramandita, telah menjatuhkan
senjatanya tanpa sengaja. Tetapi letnan Pandi
yang menyusul naik, ganti melepaskan
tembakan beruntun dan membabi buta.
Timbul panik seketika.
Kelompok manusia di lapangan terbuka, lari
kian kemari, menghindari peluru. Dan mahluk-
mahluk buas lainnya, tumbang ke tanah satu
persatu. Yang selamat dari sasaran peluru
berusaha memanjat dinding kubah. Sudrajat
menyadari keadaan gawat itu dalam sekejap
mata. Senjatanya dipungut, dan secepat ada
dalam genggamannya, peluru demi peluru
kembali menyembur-nyembur.
Beberapa dari peluru itu menyambar
warna kebiruan yang samar yang keluar dari
lubang dekat altar. Terdengar bunyi letup-letup
keras, dan cahaya-cahaya berkilauan
menyambar kian kemari, untuk kemudian
hilang dan kembali tinggal tiupan angin
mendesis ke angkasa yang kelam pekat.
Bramandita menangis.
“... ia telah mati, Rama!” teriak kapten
Sudrajat yang terjun ke bawah kemudian
menarik sahabatnya itu menjauh. Kelompok-
kelompok yang tadinya berwujut manusia
berpakaian serba gelap, dengan bentakan
keras dari lurah desa mereka, kini bersatu padu
mengepung. Tak ada emosi yang bisa
dikendalikan, saat seperti itu.
Dan manusia-manusia itu berubah rupa
pribadi ganda mereka.
Bramandita yang masih terharu biru,
terkejut menyadari siapa orang yang tengah
menyeretnya menjauhi tempat itu,… tertegun
oleh suara geram, dengus dan lengking
membahana dari hutan-hutan gelap di
sekeliling mereka. Satu tembakan peringatan
dari letnan Pandi, jatuh di depan kelompok
manusia yang tengah berproses wujutnya itu.
Sudrajat ikut pula menembak.
Tetapi karena ia terlalu kaget oleh
pemandangan mentakjubkan dari proses para
Manusia Kera itu, tembakannya melantur.
Melayang tinggi, menembus warna biru samar
yang tetap mendesis itu. Terdengar lagi bunyi
letupan lemah. Percikan api yang ditimbul
kannya selama sepersekian sekon, tertangkap
oleh sudut mata Bramandita.
“Api abadi,” gumamnya
Teringat bau asing tetapi serasa ia kenal
itu, tanpa berpikir panjang lagi Bramandita
menyambar sebuah obor terdekat.
“Lari!” teriak Bramandita.
la kemudian lari dengan obor di
tangannya, mengitari kubah, mendaki lereng
gunung. Sudrajat dan Pandi mengikutinya,
disusul oleh Marjuki yang semenjak tadi
sembunyi terkencing-kencing di balik kubah.
Dari tempat ketinggian itu, Bramandita
kemudian melontarkan obor besar di
tangannya. Dengan lemparan sekuat tenaga,
obor itu melayang-layang kemudian
menembus desis berwarna biru itu. Obor itu
tidak tembus ke arah berlawanan. Melainkan,
lenyap dalam ledakan dahsyat dan kobaran api
yang membumbung ke angkasa.
Di bawah kobaran api itu, tampak jilatan
api menyerupai batang pohon raksasa, turun
dalam tempo sesekon ke bawah, terus ke
dalam lubang dekat altar. Ledakan bergemuruh
melemparkan semua sosok tubuh di sekitar
altar, memporak-porandakan belukar dan
pepohonan di sekitar bukit. Meruntuhkan
lereng gunung, lembah...
Ledakan-ledakan bergemuruh terus bergema.
Kobaran api kian melebar. Lidah-lidah
merah kebiruan menjilat-jilat kian kemari.
Menerangi seluruh bukit, menerangi hutan-
hutan di sekitarnya… hutan yang kemudian
mulai terbakar dengan hebat.
Ribuan sosok tubuh mahluk menjerit-
jerit gegap gempita karena terperangkap api.
Sementara empat sosok tubuh yang jauh
sebelumnya telah lari terbirit-birit menuruni
lereng gunung, beberapa kali jatuh tunggang
langgang. Yang terjatuh, diangkat oleh yang
lain. Yang terluka dibopong, dan yang berkaki
kuat terus lari menerobos semak belukar ke
arah berlawanan dari jalan setapak yang
terdekat menuju desa Mantili.
Marjuki jatuh pingsan dalam bopongan
Letnan Pandi. Sedang Sudrajat tersuruk-suruk
menyeret Bramandita yang menderita luka di
sana-sini. Hari sudah terang-terang subuh
ketika secara ajaib mereka telah memutari
lubuk dan tiba di mulut jalan menuju desa
Di situ telah menanti seseorang
Polisi desa.
la tidak menyongsong mereka, la tidak
pula mengacungkan senjatanya, la tetap saja
tegak di tempatnya berdiri. Dengan wajah
menyeringai buas, pakaian tersobek-sobek
oleh perkembangan tubuhnya yang semakin
besar dan tinggi.
“Kaa… lian… tak aaaa-kan per… giii
kemana-manaaahhh… !” polisi desa itu berkata
terputus-putus dengan nafas mendengus-
dengus. Bulu-bulu di sekujur tubuhnya tumbuh
secepat tubuhnya itu membesar. Dari
mulutnya kemudian terdengar bunyi
menggeram buas.
Lengannya tahu-tahu menyambar ke depan.
Letnan Pandi adalah orang yang terdekat
dan tidak keburu menghindar karena tidak
menyangka bahwa polisi desa itu adalah salah
satu dari kelompok mahluk-mahluk mengeri
kan yang sebelumnya mereka hadapi. Reflek,
letnan Pandi menjatuhkan Marjuki dari
pundaknya. Dengan teriakan marah, ia
kokoh telah merangkul pinggangnya, memutar
nya sedemikian rupa sampai terdengar bunyi
berderak tulang-belulang yang patah. Letnan
Pandi jatuh dengan mulut, mata, hidung dan
telinga mengeluarkan cairan darah. Sekarat
sebentar, kemudian diam. Tak bergerak lagi.
“Geeerrrrr - aaaakkkhhhhh!”
Mahluk itu menepuk-nepuk dada tanda
kemenangan. Tepukannya kemudian
melemah, sementara dadanya itu berlubang.
Merah. Hanya sebutir peluru yang tersisa
dalam pestol kapten Sudrajat. Tetapi yang
sebutir itu, ternyata cukup.
Mahluk itu terhempas jatuh. Menimpa
mayat letnan Pandi dengan bunyi berdebum
yang dahsyat.
Kemudian, orang-orang dari desa mulai
berdatangan.
Itu pun, setelah matahari terbit. Tidak
sebelumnya. Mereka telah menyaksikan
kobaran api di sekitar Bukit Larangan. Tentunya
roh-roh jahat yang menghuninya tengah
berpesta pora lebih meriah dari biasa. Dengan
korban, yang tentunya pula, lebih banyak
Belakangan, Bramandita sempat berpikir
: apakah penduduk desa Mantili tahu dan
sadar, siapa korban-korban yang telah jatuh
itu? Dan, apakah mereka tahu dan sadar pula,
siapa atau apa mereka sendiri, sebenarnya?
Apapun jawabannya, yang pasti adalah:
Bramandita paling enggan diajak piknik ke
Kebun Binatang...
***
PENUTUP
“MASA kau telah lupa?”
Yang bertanya heran itu, Retno. la
tengah melipat telekungnya, selesai menunai
kan sholat subuh.
Bramandita bergumam malu: “Manusia
itu bersifat lupa.”
“Masih membela diri ya?”
“Jangan mengajak bertengkar, Retno.”
“Maaf, sayang.”
“Jadi, siapa yang menyerahkan
pengurbanan sebagai tanda pengabdiannya
kepada Tuhan itu?”
“Ibrahim.”
“Yang dikorbankan?”
“Anaknya. Ismail.”
“Lalu darah pun mengalir...”
“Benar. Tetapi bukan darah Nabi Ismail
Melainkan, darah kibas. Yang diturunkan
Tuhan sebagai pengganti Ismail. Anak beranak
itu telah membuktikan kepatuhannya atas
perintah Tuhan,” Retno mengawasi suaminya
yang tampak murung. “Mengapa kau tanyakan
semua itu?”
“Karena aku, rasanya pernah bermimpi.”
“Mimpi apa?”
“Seorang ayah, mengurbankan anak
sulungnya. Darah dan hati anaknya itu
dipersembahkan. Bukan kepada Tuhan. Melain
kan, kepada… kalau tak salah, mereka sebut
dirinya, Orang-orang Pilihan.”
Retno tertawa.
“Aku tahu,” katanya. “Kau tengah
merancang sebuah novel.”
“Barangkali. Itu sebuah ide menarik juga.”
“Dan, siapa Orang Pilihan itu?”
“... hem. Apakah Shinta, sebuah nama
yang bagus?”
“Eh. Nanti dulu. Rasanya, aku pernah
mendengar nama-itu kau sebut-sebut...”
“Kapan?”
“Ketika kau mengigau.”
“Oh ya?”
“Pacar, ya?!” Retno cemberut.
“Nah. Mulai lagi,” Bramandita balas
cemberut. Kemudian tertawa bergelak. Ratno,
anak mereka, sampai terbangun kaget.
Keliling lagi Bramandita, pagi dan siang
itu. Sorenya pulang kembali ke rumah. “Aku
sudah mengerjakan apa yang perlu. Jadi aku tak
ingin keluar malam, kali ini.”
“Kenapa tidak seterusnya?” bujuk Retno.
“Itulah yang sedang kupikirkan,” jawab
Bramandita, tersenyum.
Namun senyumnya kemudian lenyap,
tatkala anak mereka datang berlari-lari dari
pintu depan.
“Papa. Papa!” seru Ratno, dengan wajah
merah berkeringat.
“Ada apa, Nak?”
“Hebat, papa !”
“Hebat apanya?”
“Bapaknya si Onong.”
“Apa sih hebatnya dia?”
“Temanku si Onong, dibelikan ayahnya
seekor kera. Kera kecil dan lucu, papa.
Wajahnya mirip wajah pengawas sekolah...”
“Husy!” ibu si anak, mendesis tajam.
Ratno tak perduli. Seraya mengguncang-
guncang tangan ayahnya, Ratno berkata penuh
harap: “Mau dong papa, ya ...?”
“Mau apa?”
“Belikan Ratno seekor kera !”
Blingsatan Bramandita mendengar
permintaan anaknya. Dan lebih blingsatan lagi
dia, ketika esok siangnya di kantor, la
menerima telepon dari Kapten Sudrajat.
Kapten Polisj itu berkata tenang, “Kasus
itu telah ditutup.”
“Kasus mana?”
“Miranda !
Bramandita menatap mesin tiknya.
Dengan mata layu.
Berita apa, yang harus ia buat untuk
terbitan esok pagi?
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar