PUNCAK Bukit Batu Hangus, dini hari menjelang pagi. Udara dingin
luar biasa karena hujan lebat baru saja berhenti. Tiupan angin seperti
sembilu menyayat jangat, menusuk tulang sumsum. Dalam cuaca yang
masih gelap kelihatan jelas delapan benda bersinar mengapung di
udara, mengelilingi puncak bukit. Itulah delapan jimat yang
dilemparkan Eyang Dukun Umbut Watukura bersama Panglima
Pasukan Kerajaan Garung Parawata, Soka Kandawa Tabib Sepuluh Jari
Dewa, Klingkit Kuning dan empat tokoh silat Istana berkepandaian
tinggi lainnya.
Di puncak bukit, dt atas batu datar berwarna hitam gosong, Sri
Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Uskapala duduk tak
bergerak tengah melakukan tapa. Mata terpejam, dua tangan disilang di
atas dada. Tubuh yang dipalut hawa sakti panas pelindung raga
mengeluarkan asap ketika bersentuhan dengan udara dingin. Delapan
jimat melindungi dirinya dari segala kemungkinan datangnya
marabahaya. Perlahan-lahan tubuh itu tampak memancarkan cahaya
lalu mulai bergetar. Pertanda ada bahaya mengancam!
Tiba-tiba wutt!
Delapan larik cahaya merah entah dari mana datangnya secara
bersamaan menyambar ke arah puncak Bukit Batu Hangus, tepat di
jurusan beradanya sang Maharaja Mataram yang tengah duduk bertapa
memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa, agar dapat menyelamatkan
Kerajaan dan rakyat Mataram.
Delapan jimat melesat menghadang sambaran delapan cahaya
merah. Delapan letusan keras disertai pijaran nyala api menggelegar di
udara malam. Seantero kawasan Bukit Batu Hangus bergoncang hebat.
Di lereng bukit terdengar jerit perempuan dan pekik tangis anak-anak.
Orang-orang lelaki berseru tegang dan berulangkali menyebut nama
Yang Maha Kuasa.
Sosok Raja Mataram tersungkur ke depan, seperti sujud tak
bergerak di atas batu yang didudukinya. Mahkota emas bertabur batu
permata yang ada di atas kepala terlepas tanggal, jatuh berguling ke
lereng bukit. Rambut yang tadi disanggul kini terlepas menutupi wajah.
Dalam keadaan seperti itu hebatnya Raja Mataram ini masih
meneruskan tapa, seolah tidak melihat, tidak mendengar letusan
dahsyat, tidak merasakan satu bahaya maut hampir melumat dirinya.
Delapan jimat para tokoh sakti hancur bertaburan sementara delapan
cahaya merah sesaat masih menggantung di udara lalu memudar dan
akhirnya lenyap tak berbekas.
Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara binatang meraung
membuat bulu roma merinding. Mungkin anjing liar mungkin juga
srigala rimba belantara yang kelaparan, atau mungkin pula mahluk
halus yang tengah berkeliaran dan terpesat di sekitar kawasan Bukit
Batu Hangus.
Tepat ketika fajar menyingsing dan langit di ufuk timur mulai
terang dan ada cahaya sang surya menyentuh tubuhnya, perlahan-
lahan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala buka kedua
matanya. Tubuh yang bersujud di atas batu hitam bergerak dan duduk
lurus. Mata memandang jauh ke selatan, ke arah Kotaraja. Apa yang
dilihat membuat air muka Sri Maharaja berubah.
“Dewa Jagat Bathara... Rata... Bhumi Mataram nyaris rata
dengan tanah. Genangan air merah di mana-mana. Bau busuk, mayat
manusia... bangkai binatang. Kerajaan... rakyatku... keluargaku...”
Raja Mataram pejamkan mata lalu berteriak keras. Tubuhnya
seperti hendak meledak. Dia melompat turun dari batu. Lari menuruni
puncak Bukit Batu Hangus.
Dalam waktu singkat Sri Maharaja Rakai Kayuwangi telah sampai
di lereng bukit di mana sebelumnya dia meninggalkan keluarga dan
semua orang yang ikut menyelamatkan diri. Kejut Raja Mataram ini
bukan alang kepalang ketika dia menemui dan melihat keadaan orang-
orang itu. Langsung saja dia jatuhkan diri, berlutut, dua tangan
diangkat ke atas dan mulut berteriak.
“Wahai Para Dewa di Swargaloka! Jika memang ada dosa
kesalahan setinggi langit sedalam lautan dan sepanas bara menyala
yang telah saya lakukan, mohon segala hukuman dijatuhkan hanya
pada diri saya. Jangan pada keluarga, para pengikut dan rakyat saya...!”
Setengah meratap Sri Maharaja Rakai Kayuwangi kemudian
memeluki istri-istri serta putera puterinya yang bergulingan di tanah,
tubuh panas menggigil, dua kaki lumpuh tak bisa digerakkan dan di
kening mereka terdapat delapan benjolan merah mengepulkan asap. Hal
ini ternyata terjadi juga pada ratusan orang yang ada di bukit termasuk
tokoh-tokoh sakti berkepandaian tinggi seperti Eyang Dukun, Panglima
Pasukan Kerajaan Garung Parawata, Tabib Sepuluh Jari Dewa, Klingkit
Kuning dan banyak lagi yang lainnya.
Sri Maharaja menggigit bibir menahan gejolak di dalam dada.
Melihat kening semua orang ditumbuhi delapan benjolan aneh itu Sri
Maharaja meraba kening sendiri. Astagal Ternyata di keningnya juga ada
delapan benjolan merah. Bedanya delapan benjolan merah di kening
sang Raja tidak mengeluarkan asap dan tubuhnya tidak terserang hawa
panas, dua kaki tidak mengalami kelumpuhan.
Terhuyung-huyung Sri Maharaja dekati kakek berjubah biru
Umbut Watukura, yang tergolek di tanah berbantalkan batu hitam.
Disampingnya tergeletak Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata.
Tak jauh dari situ terkapar sosok gemuk Tabib Soka Kandawa.
“Eyang Dukun, kau bisa bicara...” Sri Maharaja usap kepala
Umbut Watukura.
Yang ditanya kedipkan mata.
“Yang Mulia Sri Maharaja Mataram, saya bersyukur kepada Dewa,
Sri Maharaja berada dalam keadaan selamat. Sri Maharaja tidak sampai
celaka seperti kami-kami ini...”
“Jangan pikirkan diriku! Eyang, Panglima katakan apa yang
terjadi. Mengapa anak istriku, kalian semua, bergeletakan lumpuh,
tubuh panas dan ada delapan benjolan aneh di kening kita semua.
Apakah malapetaka ini juga melanda semua orang di Bhumi Mataram?”
Eyang Dukun Umbut Watukura batuk-batuk beberapa kali lalu
menjawab. “Tak lama setelah Sri Maharaja naik ke puncak bukit, karena
Sri Maharaja telah memberi izin, saya dan Panglima segera
menunggangi kuda masing-masing untuk menyelidik turun ke Kotaraja.
Namun entah apa sebabnya binatang-binatang itu meringkik roboh tak
mampu menggerakkan kaki. Di kening mereka muncul delapan benjolan
merah. Kami semua yang ada di sini mengalami hal yang sama. Lumpuh
tak mampu berdiri dan di kening ada delapan benjolan berasap...”
“Dari puncak bukit tadi aku melihat Kotaraja. Keadaannya nyaris
sama rata dengan tanah. Hanya satu dua pohon yang masih kelihatan
menyembul. Satu-satunya bangunan yang masih tinggal adalah sisa-
sisa reruntuhan Istana dan beberapa candi. Cairan merah menggenang
di mana-mana. Malam Jahanam yang diceritakan Empu Semirang Biru
benar-benar menjadi kenyataan. Bhumi Mataram musnah dilanda
bencana. Di bukit ini kita semua mengalami kesengsaraan luar biasa.
Menderita kelumpuhan dan diserang demam panas. Bilamana dalam
waktu dua hari bencana ini tidak bisa dimusnahkan, kita akan
menemui kematian 1 Kalaupun bisa bertahan maka kita akan mati
kelaparan karena kita tidak sempat membawa persediaan makanan
cukup banyak untuk ratusan orang yang ada di bukit ini. Masih
bersyukur ada beberapa mata air kecil di sekitar sini. Tapi karena tak
mampu bergerak kalian semua tidak bisa mendatangi air itu.” Sepasang
mata Sri Maharaja tampak berkaca-kaca. Dia menatap ke langit. “Wahai
Para Dewa di Swargaloka, mengapa Kau turunkan cobaan begini berat
yang tidak sanggup kami semua menghadapi...”
“Yang Mulia, dalam keadaan seperti ini tidak ada yang dapat kita
lakukan selain berpasrah diri dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar
diberi pertolongan...” Berkata Panglima Garung Parawata.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi menghela nafas dalam. “Kita nyaris
tidak punya daya apa-apa. Memang hanya kepada Para Dewa kita bisa
berharap. Kita sudah memanjatkan seribu doa. Kereta Putih, Kereta
Kencana Ratu Adil yang diharapkan bisa menjadi penangkal malah
hancur lebur. Apa lagi yang bisa kita lakukan...” Raja Mataram itu
memandang ke arah Tabib Soka Kandawa. “Tabib Sepuluh Jari Dewa, di
tempat ini hanya aku seorang yang masih bisa berdiri dan berjalan.
Yang lain-lain termasuk dirimu lumpuh tak berdaya! Dengan kesaktian
yang kau miliki, kau bisa melakukan sesuatu?”
Tabib gemuk bermata sipit itu unjukkan air muka redup, menarik
nafas berulang kali lalu gelengkan kepala.
“Saya mohon maaf dan ampunan Yang Mulia. Sejak pertemuan di
ruang rahasia di Istana beberapa waktu lalu saya sudah menyadari
bahwa kemampuan saya tidak dapat menghadapi datangnya bencana...”
“Bencana ini bukan datang dari kemurkaan alam atau peringatan
atau hukuman dari Para Dewa. Apa yang dinamakan Malam Jahanam
adalah buatan manusia, yang bersekutu dengan roh dan arwah jahat!
Kita pasti punya jalan untuk menghancurkannya! Kalau tidak dalam
waktu dua hari, keluargaku, kalian semua akan menemui ajal! Aku
sendiri tidak tahu berapa lama bisa bertahan. Cepat atau lambat aku
merasa giliranku akan datang juga! Oh Dewa Jagat Bathara...”
“Sri Maharaja,” berkata Panglima Garung Parawata. “Dari tapa
Yang Mulia di puncak bukit tengah malam sampai pagi ini, apakah yang
Mulia berhasil memasuki alam gaib dan bertemu dengan roh pertapa
Sedayu Galiwardhana?”
“Aku berhasil masuk ke alam roh. Tapi ada satu kekuatan dahsyat
luar biasa menghalangi dan memagari roh Sedayu Galiwardhana hingga
aku tidak bisa menemui pertapa itu. Namun tapaku bukan satu kesia-
siaan. Dalam tapaku aku mendengar suara genta lonceng. Lalu muncul
satu cahaya kuning emas disusul suara berucap. Aku harus mencari
seorang anak lelaki berusia dua belas tahun. Menurut petunjuk anak itu
mampu memberi pertolongan dan mengeluarkan kita dari bala bencana
ini. Paling tidak melenyapkan kelumpuhan yang kita alami...”
DUA
MENDENGAR ucapan sang Maharaja, Eyang Dukun, Panglima Garung
Parawata dan Tabib Sepuluh Jari Dewa jadi saling pandang. Untuk
beberapa lama ketiganya hanya bisa berdiam diri. Panglima Garung
Parawata kemudian memberanikan diri berkata.
“Yang Mulia, mudah-mudahan saya tidak salah mendengar.
Seorang, anak lelaki berusia dua belas tahun apa kemampuan yang
dimilikinya? Saya mohon maaf kalau saya berkata salah...”
“Kalian pernah mendengar nama Mimba Purana?” Bertanya Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapaja.
Tiga orang di hadapan sang Raja terkejut. “Maksud Yang Mulia,
pendekar Satria Lonceng Dewa, Pendekar Bhumi Mataram yang terlahir
di dalam Sumur Api, dari seorang perawan abadi pilihan Dewa...”
berucap Panglima Garung Parawata.
“Yang pada awal pemerintahan Sri Maharaja telah menyelamatkan
Bhumi Mataram dari angkara murka orang-orang jahat dari selatan?”
Menyambung Eyang Dukun.
“Namun... bukankah pemuda belia tapi sakti itu kemudian lenyap
begitu saja. Sampai hari ini tak ada kabar beritanya...” Berkata Tabib
Soka Kandawa.
“Saya ingat,” ikut bicara Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa Soka
Kandawa. “Tak lama setelah lenyapnya Kesatria Lonceng Dewa Mimba
Purana, kemudian muncul seorang pendekar belia yang konon masih
saudara kembar Mimba Purana bernama Dirga Purana. Tapi kesatria
yang satu ini agaknya bersilang jalan dengan Mimba Purana...”
“Kau benar Tabib Sakti,” kata sang Raja. “Aku harus mencari dan
mendatangi sumur tua yang dikenal dengan nama Sumur Api itu.
Letaknya di kawasan rimba belantara antara Candi Prambanan dan Kali
Dengkeng. Jika anak lelaki bernama Mimba Purana itu memiliki
kesaktian yang dititiskan Para Dewa, maka aku sangat yakin Para Dewa
akan mempertemukan aku dengan dia. Mudah-mudahan kita semua
mendapat keselamatan...”
“Yang Mulia, petunjuk yang didapat dalam tapa Yang Mulia
pastilah datang dari Swargaloka. Kalau saja saya tidak lumpuh, saya
akan ikut bersama Yang Mulia mencari SumurApi itu.” Kata Eyang
Dukun.
“Saya juga,” kata Tabib Soka Kandawa dan Panglima Garung
Parawata hampir berbarangan.
“Aku pergi sekarang juga,” ucap Sri Maharaja. Dia memandang
berkeliling. Tiba-tiba saja dia ingat seseorang. “Dari tadi aku tidak
melihat salah seorang pembantu kepercayaanku. Raden Ageng Daksa, di
mana dia? Ada dari kalian yang melihat?”
Tiga orang di hadapan Raja baru menyadari. Mereka semua
memandang berkeliling, mencari-cari lalu sama-sama menggelengkan
kepala.
“Kalau dia memang meninggalkan bukit ini, dia pergi ke mana?
Mengapa tidak memberi tahu?” Ujar Panglima Garung Parawata.
“Jika benar dia pergi, berarti dia pergi sebelum mala petaka
demam panas dan kelumpuhan menimpa kita semua...” Kata Tabib
Soka Kandawa pula. “Mudah-mudahan seperti Sri Maharaja, Raden
Ageng Daksa juga tidak mengalami bencana seperti kami. Siapa tahu dia
juga tengah berusaha mencari pertolongan...”
“Aku berharap begitu,” kata Sri Maharaja Mataram walau hatinya
agak meragu. “Raibnya Empu Semirang Biru masih belum jelas siapa
penculiknya dan berada di mana orang tua itu sekarang. Apakah dalam
keadaan selamat atau bagaimana. Di mana keberadaan Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi yang dicuri juga masih tidak jelas...” Sri Maharaja
menarik nafas panjang.
Lalu lanjutkan ucapan. “Sambil mencari Sumur Api aku akan
menyelidik ke mana raibnya Raden Ageng Daksa.” Hati sang Raja benar
tidak enak. Perasaan kawatir laksana dua batu besar yang menghimpit
batok kepala dan dadanya.
Sebelum meninggalkan Bukit Batu Hangus Sri Maharaja
memindahkan istri-istri dan putera puterinya ke dalam cegukan batu
yang merupakan goa besar dan banyak terdapat di bukit batu itu. Dia
juga melakukan hal yang sama pada orang-orang perempuan dan anak-
anak serta lelaki-lelaki tua. Lalu Raja Mataram ini mengangkat puluhan
bebatuan yang terdapat banyak di bukit. Batu disebar dan diletakkan di
dekat orang banyak. Batu-batu ini di pukul dengan tangan yang
mengandung kekuatan sakti hingga membentuk cegukan dalam. Ke
dalam cegukan ini Sri Maharaja kemudian memasukkan air yang
diambil dari sumber mata air yang ada di sekitar bukit. Makanan yang
sempat dibawa ke bukit juga disebar. Dengan berbuat begitu Sri
Maharaja berharap bisa menolong orang-orang lebih mudah
menjangkau makanan dan mereguk air, paling tidak memperlambat
datangnya kematian.
Setelah memeluk anak istrinya, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
berkata pada Eyang Dukun Umbut Watukura dan para tokoh lainnya.
“Eyang, aku pergi sekarang. Bertahanlah dan selalu memanjatkan
doa pada Yang Maha Kuasa agar kita semua bisa terlepas dari azab
bencana ini...” Raja Mataram ini lalu angkat dua tangannya ke udara.
Mulut berucap. “Wahai Para Dewa di Kahyangan. Saya bermohon,
lindungi semua orang yang ada di bukit ini, juga mereka yang berada di
seluruh Bhumi Mataram, yang saat ini mungkin jauh lebih menderita
dari kami di sini. Tolong kami semua. Keluarkan kami dari
kesengsaraan ini...” Suara ucapan lenyap. Sang Raja kini tampak
berkomat kamit membaca mantera aji kesaktian. Sesaat kemudian dari
ke dua tangannya memancar keluar sinar kuning, merebak membentuk
kipas raksasa, menyapu
Bukit Batu Hangus mulai dari lereng sampai ke puncak. Itulah
ilmu kesaktian yang berintikan doa suci bernama Antara Bumi Dan
Langit Hanya Yang Maha Kuasa Yang Jadi Pelindung Dan Tempat
Meminta Pertolongan Bagi Semua Insan.
Baru saja Sri Maharaja Rakai Kayuwangi menurunkan kedua
tangan dan dua larik sinar kuning lenyap dari pemandangan mendadak
dari arah kaki bukit sebelah timur terdengar suara jeritan orang. Semua
yang ada di bukit batu terkesiap. Wajah berubah.
“Aku mengenali suara orang yang menjerit itu. Jangan-jangan...”
Tanpa meneruskan kata-katanya Sri Maharaja Rakai Kayuwangi segera
meninggalkan tempat itu, berlari menuruni bukit secepat yang bisa
dilakukan.
Eyang Dukun Umbut Watukura ulurkan tangan memegang bahu
Garung Parawata lalu berkata dengan suara perlahan agar tidak
terdengar oleh orang lain.
“Panglima, aku kawatir. Apakah Raja kita mampu kembali ke
bukit ini dengan selamat...?”
Panglima Pasukan Mataram terkesiap sejenak mendengar ucapan
itu. Lalu dengan suara lirih dia berkata.
“Eyang, jangan bertanya seperti itu. Lebih baik kita doakan dan
memohon pada Para Dewa agar Sri Maharaja selamat, berhasil menemui
kesatria muda bernama Mimba Purana itu dan kembali tanpa kurang
suatu apa menemui kita di bukit ini...”
Eyang Dukun usap-usap tongkat tembaga yang diletakkan di atas
pangkuan dua kaki yang lumpuh. “Tadi malam kita masih bisa
melindungi dirinya dengan delapan jimat sakti. Kini kita tidak punya
daya apapun. Walau Sri Maharaja membekal segudang ilmu kesaktian
namun aku tetap merasa kawatir. Ingat kejadian di ruang rahasia ketika
kita mengadakan pertemuan. Kekuatan sakti dari luar mampu
menembus masuk. Ruangan jebol, cairan merah dan busuk
menggenang di mana-mana. Lalu saat itu aku berteriak. Delapan Sukma
Merah! Mahluk itu ada di sinil Kau ingat semua kejadian itu Panglima?
Apa pendapatmu?”
Panglima Garung Parawata memandang berkeliling. Dia tidak mau
menjawab ucapan dan pertanyaan sang dukun lalu memicingkan mata.
Sebenarnya kekuatiran juga memadati hati dan pikiran Panglima
Pasukan Kerajaan ini.
BELUM jauh Sri Maharaja Rakai Kayuwangi meninggalkan kaki
Bukit Batu Hangus menuju ke arah timur tiba-tiba di satu pedataran
kecil dia melihat ada semak belukar yang terbakar. Karena pedataran ini
terletak di tempat yang agak ketinggian maka air banjir yang berwarna
merah tidak sampai menggenang ke tempat itu.
Dengan cepat Raja Mataram ini berkelebat mendekati. Begitu
sampai di balik semak belukar serta merta dia tersentak kaget dan
keluarkan seruan tertahan.
“Dewa Jagat Bathara...!”
Di tanah tergeletak sosok Raden Ageng Daksa, orang kepercayaan
Sri Maharaja. Pakaian lurik hitam yang melekat di tubuhnya mulai dari
pinggang ke bawah tampak hangus mengepulkan asap. Empat kalung
emas yang tergantung di leher dan menjulai di dada leleh gosong. Topi
tinggi hitam yang selalu ada di atas kepala tercampak jauh, juga dalam
keadaan hangus mengepulkan asap. Walau pakaian tampak hangus
namun tubuh orang ini kelihatan tidak terluka sedikitpun. Ini satu
pertanda bahwa dengan ilmu kesaktian yang dimiliki Raden Ageng
Daksa masih mampu melindungi raga sebelah luar walau Sri Maharaja
tahu kalau pembantunya ini mengalami luka parah di sebelah dalam!
TIGA
“RADEN Ageng Daksa! Apa yang terjadi! Siapa yang mencelakaimu?!”
suara Sri Maharaja setengah berteriak. Dia lalu duduk di tanah,
memangku kepala orang kepercayaannya itu.
Megap-megap Raden Ageng Daksa membuka mulut. Berusaha
menjawab. Namun yang keluar dari mulutnya bukan ucapan melainkan
lelehan darah berwarna hitami Sri Maharaja cepat tempelkan tangan kiri
di atas kening dan tangan kanan di dada orang lalu salurkan hawa
sakti.
“Bicara Rad«fi, katakan siapa yang melakukan perbuatan keji ini
atas dirimu...”
Bantuan tertata dalam dan aliran hawa sakti membuat Raden
Ageng Daksa mampu mengangkat tangan fcirinya. Tergontai-gontai
tangan ini ditunjukkan ke arah punggung. Lalu terdengar suaranya
perlahan dan terputus-putus sementara sepasang mata kini kelihatan
hanya tinggal putihnya saja.
“Ma... maafkan saya Yang Mul... Mulia...” Tangan kiri yang
menunjuk dada lalu berputar menunjuk ke arah kejauhan, ke jurusan
selatan.
Sri Maharaja tahu kalau umur Raden Ageng Daksa tidak akan
lama lagi. Maka dia lipat gandakan tenaga dalam dan aliran hawa sakti
lalu berbisik ke telinga orang itu.
“Jangan bicara banyak. Lekas beritahu siapa yang telah
mencelakai Raden...”
Raden Ageng Daksa berusaha membuka mulut memberikan
jawaban. Namun sebelum suara keluar, kepala sudah terkulai, nyawa
keburu lepas.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi pejamkan mata. Dalam hati
menyebut nama Yang Maha Kuasa. Perlahan-lahan dia baringkan tubuh
Raden Ageng Daksa di tanah. Mata yang terbuka putih diusap hingga
menutup. Raja Mataram berpaling ke arah selatan, arah yang tadi
ditunjuk Raden Ageng Daksa. Dengan gerakannya tadi Raden Ageng
Daksa ingin memberi tahu siapapun yang membunuhnya orang itu telah
melarikan diri ke arah selatan. Raja Mataram kemudian ingat. Sebelum
menunjuk ke arah selatan Raden Ageng Daksa terlebih dulu menunjuk
ke arah bagian belakang tubuhnya sendiri. Raden Ageng rupanya
hendak memberi tahu sesuatu. Perlahan-lahan Sri Maharaja balikkan
badan pembantunya itu. Kejut sang Raja bukan alang kepalang ketika
melihat pada punggung Raden Ageng Daksa terdapat tanda dua telapak
tangan lengkap dengan jari-jari berwarna merah. Namun masing-masing
tangan hanya memiliki empat jari, tanpa jari tengah I
“Hyang Jagat Bathara...” ucap Sri Maharaja Rakai Kayuwangi. Dia
lalu ingat pada kejadian di ruang pertemuan rahasia di dalam Istana.
Waktu itu Ratu Randang penasihatnya tiba-tiba berteriak bahwa ada
orang meraba dadanya. Raden Ageng Daksa menjawab kalau tidak ada
orang yang meraba dirinya. Lantas Ratu Randang merobek dada
pakaian memperlihatkan aurat. Ternyata pada payu daranya kiri kanan
terdapat tanda telapak tangan berjari empat.
“Tanda telapak tangan merah berjari empat yang sama.” Ucap
Raja Mataram perlahan. “Ini penyebab kematian Raden Ageng Daksa.
Aneh... Mengapa Ratu Randang tidak menemui ajal. Padahal dia
mengalami kejadian yang hampir tidak berbeda. Selain itu kesaktian
Ratu Randang tidak lebih tinggi dari Raden Ageng Daksa.” (Perihal
kejadian aneh yang dialami Ratu Randang harap baca buku sebelumnya
“Malam Jahanam Di Mataram”)
Sri Maharaja balikkan kembali jenazah Raden Ageng Daksa hingga
tertelentang. Lalu memandang berkeliling mencari tempat yang baik. Di
bagian pedataran yang agak tinggi Raja Mataram ini terapkan ilmu
kesaktiannya dengan melancarkan pukulan hingga tanah terbongkar
membentuk liang lahat. Jenazah Raden Ageng Daksa dimasukkan ke
dalam liang lalu ditimbun dan di atasnya ditancapi semak belukar
sebagai tanda. Setelah memanjatkan doa untuk keselamatan arwah
pembantunya itu Sri Maharaja segera tinggalkan pedataran.
***
MATAHARI semakin tinggi. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi yang
telah berada cukup lama dalam rimba belantara kecil antara Prambanan
dan Kali Dengkeng masih berputar-putar tidak berhasil menemukan
Sumur Api. Bahkan tanda-tandanyapun tidak kelihatan. Setiap
melangkah sepasang kakinya terasa semakin berat. Bahu seperti
dibebani batu besar dan kepala berdenyut sakit. Sesekali dia mendengar
suara deru angin namun anehnya tidak ada hembusan angin terasa
menyapu tubuhnya. Ranting dan daun-daun pepohonan sama sekali
tidak bergerak, tidak mengeluarkan suara bergemerisik.
“Ada kekuatan gaib mencegah diriku menemukan Sumur Api,”
pikir Sri Maharaja.
Ketika sang surya mencapai titik tertingginya, dalam keadaan
tubuh basah mandi keringat dan terasa sangat letih, dua lutut
mendadak goyah, nyaris tak berdaya Raja Mataram itu akhirnya jatuh
berlutut di tanah. Sambil letakkan dua tangan di dada dan
membungkuk dalam dia berkata dengan suara lirih.
“Wahai Yang Maha Kuasa di Swargaloka. Setengah hari telah saya
habiskan secara sia-sia. Saya masih belum menemukan petunjuk di
mana beradanya Sumur Api. Apa lagi menemukan Mimba Purana,
Kesatria Lonceng Dewa. Jika saya mengalami kegagalan berarti saya
tidak mampu menolong semua orang yang ada di bukit, tidak bisa
menyelamatkan rakyat yang berada di Kotaraja dan di seluruh pelosok
Bhumi Mataram. Wahai Yang Maha Kuasa, jangan berhenti memberi
saya petunjuk, berikan saya pertolongan. Jangan biarkan kami semua
musnah, jangan biarkan Bhumi Mataram lenyap dari permukaan
jagat...”
Tiba-tiba keadaan di tempat itu berubah luar biasa sunyi. Suara
tiupan angin aneh lenyap. Saking sunyinya Sri Maharaja mampu
mendengar detak jantungnya sendiri. Sri Maharaja luruskan tubuh,
menunggu dengan hati berdebar. Dia maklum sesuatu akan terjadi.
Satu cahaya putih berkiblat. Sekejap kemudian di hadapan Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi berdiri seorang kakek berselempang kain
putih. Rambut putih panjang menjulai punggung. Wajah yang jernih
dihias kumis dan janggut putih. Di tangan kanannya orang tua ini
membawa sebatang tongkat kayu, besar di sebelah gagang, mengecil di
bagian ujung.
Sadar kalau doanya didengar Yang Maha Kuasa dan tahu kalau
yang dihadapannya bukan mahluk biasa maka Sri Maharaja segera
membungkuk dalam seraya berkata.
“Orang tua, saya Rakai Kayuwangi Lokapala menghatur sembah
dan hormat untukmu...”
“Terima kasih untuk tutur sapa dan penghormatanmu. Tapi
bukan dirimu, sayalah yang harus menghatur sembah dan
penghormatan padamu. Karena kau adalah Sri Maharaja Mataram
sementara saya hanya rakyat biasa...”
Selesai keluarkan ucapan si orang tua lalu berlutut dan
membungkuk dalam-dalam hingga kepalanya hampir menyentuh tanah.
Raja Mataram cepat memegang bahu orang tua ini, mengangkatnya
hingga berdiri kembali.
“Orang tua, saya...”
“Sri Maharaja, saya tahu Yang Mulia tengah berpacu dengan
waktu untuk menyelamatkan keluarga, kerajaan dan rakyat Bhumi
Mataram. Doa Yang Mulia telah didengar oleh Para Dewa di Swargaloka.
Saya orang tua buruk ini diutus untuk menemui Yang Mulia...”
“Terima kasih Sang Hyang Bathara Agung, terima kasih orang
tua... Saya mohon petunjukmu lebih lanjut.”
“Nama saya Dhana Padmasutra. Dulu saya tinggal di Bhumi
Mataram ini, tak jauh dari Prambanan. Takdir menentukan bahwa saya
harus kembali ke alam baka. Saya datang dari alam roh...”
“Terpujilah Roh Agung...” Sri Maharaja membungkuk berulang
kali.
“Para Dewa meminta saya menyerahkan tongkat kayu ini pada
Yang Mulia. Tongkat ini selanjutnya akan menuntun Yang Mulia ke
Sumur Api menemui orang yang dicari...”
Sebelum mengulurkan tangan mengambil tongkat kembali Sri
Maharaja membungkuk hormat dan berulang kali menyebut nama Yang
Maha Kuasa. Setelah tongkat kayu dipegang, orang tua mengaku
bernama Dhana Padmasutra berkata.
“Ada satu hal perlu saya beritahukan. Bilamana Yang Mulia telah
bertemu dengan Kesatria Lonceng Dewa Mimba Purana, berikan tongkat
ini kepadanya. Walau dulu tongkat ini adalah milik saya, tapi telah saya
berikan kepada ibunya. Jadi saya hanya meminjam. Wajib
dikembalikan...”
“Saya mengerti. Apa yang Eyang katakan akan saya lakukan,”
kata Sri Maharaja pula. “Saya boleh memanggilmu dengan sebutan
Eyang?”
“Itu merupakan satu kehormatan besar bagiku,” jawab Dhana
Padmasutra. “Ada satu hal lagi,” sambung si orang tua. “Yang Mulia
belum melihat tapi mungkin telah merasakan. Di dalam rimba belantara
ini ada bahaya besar mengintai. Bilamana bahaya datang tidak
terelakkan, robahlah cara memegang tongkat. Ujung yang menempel di
tanah pegang sebagai gagang. Sebaliknya gagang ditukikkan ke bawah
hingga menyentuh tanah. Maka Yang Maha Kuasa akan melindungi
Yang Mulia... Apakah Yang Mulia sudah mengerti atau ada yang hendak
ditanyakan?”
“Saya mengerti Eyang. Sekali lagi saya sangat berterima kasih.
Kalau beberapa saat lagi kita akan berpisah, apakah saya akan dapat
bertemu lagi dengan Eyang?”
Orang tua berwajah jernih berselempang kain putih tersenyum.
“Setiap perpisahan dan pertemuan diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Apa lagi kita hidup berlainan alam. Serahkan semua pada Yang Maha
mengetahui. Jika ada niat baik di dalam dada, masakan Yang Maha
Kuasa tidak akan memperhatikan? “
“Terima kasih Eyang.”
Dhana Padmasutra mengangguk. “Kita berpisah sampai di sini.
Semoga Yang Maha Kuasa melindungi Yang Mulia dan keluarga serta
Bhumi Mataram bersama rakyatnya...”
“Tunggu Eyang, sebagai tanda saya tidak melupakan budi Eyang,
terimalah kalung ini sebagai kenang-kenangan...” Raja Mataram
tanggalkan kalung emas besar bertabur permata lalu diulurkan pada si
orang tua.
Dhana Padmasutra tersenyum.
“Yang Mulia, niatmu ingin membalas budi sungguh sangat terpuji.
Tapi bukan untuk imbalan itu saya datang menemui Yang Mulia. Selain
itu, di alam saya, perhiasan luar biasa mahal seperti itu tidak ada
kegunaannya. Maafkan kalau saya menolak...” Sambil bicara Dhana
Padmasutra gerakkan tangan kanannya. Kalung yang berada dalam
pegangan Sri Maharaja tahu-tahu sudah menggantung kembali di
lehernya.
Wajah Rakai Kayuwangi tampak agak berubah. Namun cepat-
cepat dia membungkuk hormat. Ketika dia meluruskan tubuh kembali
orang tua berwajah jernih itu tidak ada lagi di hadapannya. Sang Raja
menarik nafas dalam.
Tiba-tiba tongkat kayu yang dipegangnya bergetar lalu bergerak ke
samping. Sesuai petunjuk si orang tua Raja Mataram mengikuti gerakan
tongkat lalu melangkah ke arah mana tongkat kayu itu membawanya.
Gerakan ke dua kakinya terasa sangat ringan. Walau cuma melangkah
biasa namun dalam waktu singkat dia sudah berjalan puluhan langkah.
Tongkat kayu menuntunnya masuk kembali ke bagian barat rimba
belantara yang sebelumnya telah didatangi dan diselidiki.
Getaran pada tongkat kayu semakin keras. Sepasang kaki Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi tidak lagi menginjak tanah. Dia seolah
terbang. Pandangan mata membesar, dada berdebar ketika tidak berapa
jauh di depan sana dia melihat tumpukan batu hitam bersusun rapi
membentuk lingkaran mulut sumur setinggi pinggang.
“Aku yakin, inilah sumur keramat yang disebut Sumur Api. Tapi
mengapa tidak ada apinya? Heran, aku yakin tadi telah berada di sekitar
tempat ini. Tapi mengapa sama sekali tidak melihat sumur itu.”
Membatin Sri Maharaja.
Seperti diriwayatkan dalam serial Satria Lonceng Dewa buku
pertama berjudul “Perawan Sumur Api”, pada masa itu sumur batu ini
diketahui memancarkan cahaya terang merah karena di dasar sumur
ada api besar menyala. Saat itu nyala api tak ada lagi namun Sri
Maharaja dapat merasakan hawa angker yang menjalar di udara datang
dari arah sumur.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi dari samping sumur batu
mendadak tanah bergetar. Di langit siang terang benderang ada kilat
menyambar lalu menyusul suara gemuruh seperti suara geluduk. Tiba-
tiba dari dalam tanah mencuat delapan larik cahaya merah. Mula-mula
melesat lurus ke udara lalu bergerak patah menyambar ke arah Sri
Maharaja Mataram
EMPAT
SRI MAHARAJA Mataram ingat akan ucapan Eyang Dhana
Padmasutra. Bahaya besar yang dikatakan mengintai kini muncul
sudah memperlihatkan ujudl Secepat kilat Rakai Kayuwangi jatuhkan
diri ke tanah. Dia tidak berani menangkis atau balas menyerang.
Delapan cahaya merah lewat dua jengkal di atas tubuhnya. Namun
setengah jalan berbalik dan kembali menyambar ke arah sang Raja yang
saat itu tengah berusaha berdiri.
Kali ini Rakai Kayuwangi tidak tinggal diam. Tangan kiri
dihantamkan ke depan melepas pukulan sakti bernama Payung Dewa
Mengguncang Badai. Seumur hidup ini adalah kali ke dua Raja Mataram
mengeluarkan pukulan sakti tersebut. Yang pertama kali ketika dia
menghadapi beberapa orang tokoh pemberontak dari selatan yang
berhasil menyerbu masuk ke dalam Istana beberapa tahun lalu.
Kehebatan ilmu pukulan ini memang bukan alang kepalang. Cahaya
ungu berkiblat menyerupai payung raksasa mengembang. Delapan
cahaya merah bermentalan ke udara namun hanya sesaat. Di lain kejap
delapan cahaya itu menukik ke bawah, memancarkan pijaran sinar
menyilaukan pertanda kekuatan yang ada di dalamnya kini berlipat
ganda!
Kejut Sri Maharaja Mataram bukan olah-olah. Sulit dia
mempercayai pukulan saktinya tadi tidak sanggup memusnahkan
delapan cahaya merah. Namun sang Raja tidak bisa berpikir panjang
karena saat itu delapan cahaya merah datang menyerbu ke arahnya.
Sadar kalau saat itu dia memegang tongkat kayu pemberian Eyang
Dhana Padmasutra maka Raja Mataram alirkan seluruh kekuatan
tenaga dalam dan hawa sakti ke dalam tongkat hingga tongkat kayu
memancarkan cahaya merah laksana bara menyala! Tidak tunggu lebih
lama sang Raja segera sapukan tongkat di tangan kanannya ke udara,
ke arah datangnya serangan delapan cahaya merah! Sinar merah
raksasa berkelebat ke udara! Menghantam delapan larik sinar merah.
Delapan letusan dahsyat menggelegar dalam rimba belantara.
Tumpukan bebatuan yang membentuk mulut sumur mental, banyak
yang hancur berkeping-keping. Tanah terbelah di beberapa tempat.
Langit seolah hendak runtuh. Beberapa pohon bertumbangan dengan
ranting dan dedaunan hangus menghitam 1 Kabut kelabu entah dari
mana datangnya menggantung di tempat itul
Sosok Raja Mataram jatuh terbanting di tanah. Walau tulang
punggung serasa hancur dan dada laksana terpanggang namun dia
masih mampu berdiri menyaksikan bagaimana delapan cahaya merah
terpental memencar kian kemari lalu menyatu dan laksana tombak
raksasa menghunjam lenyap masuk ke dalam tanah
Rakai Kayuwangi menarik nafas lega. Dia menyangka serangan
kekuatan jahat telah berhasil dimusnahkan.
“Blaarr!”
Mendadak suara letusan dahsyat kembali menggelegar di tempat
itu. Rakai Kayuwangi tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan
ketika didahului teriakan-teriakan menggidikkan dari dalam tanah
mencuat keluar delapan mahluk dahsyat yang hanya mengenakan cawat
hitam Kecil. Mahluk ini mulai dari ujung rambut sampai ke kaki
berwarna merah. Sepasang mata membelalak putih semua. Di kening
ada satu benjolan besar berwarna merah pekat mengepulkan asap
menebar bau busuk. Rakai Kayuwangi memperhatikan mahluk ini
hanya mempunyai empat jari tangan. Jari tengah tidak ada sama sekali.
Sepuluh kuku jari kaki mencuat panjang merah seperti cakar burung
elang.
“Dewa Maha Agungi Apakah ini mahluk yang bernama Delapan
Sukma Merah...”
Tiba-tiba delapan mahluk merah keluarkan pekik keras. Lalu
sambil tertawa haha-hihi mereka menebar membentuk lingkaran dan
mengurung Rakai Kayuwangi di tengah-tengah.
“Rampas tongkat!”
Empat mahluk merah berteriak.
Empat mahluk lainnya berseru.
“Rampas nyawa!”
“Kreekkk!”
Enam belas kuku jari tangan merah keluarkan suara
berkeretekan lalu mencuat panjang seperti clurit kecil, memancarkan
cahaya merah pekat menggidikkan.
Delapan mahluk merah menerjang. Empat pasang tangan berjari
empat berusaha merampas tongkat sedang empat pasang tangan
lainnya menyambar ke mata, leher, dada dan perut.
Raja Mataram Rakai Kayuwangi sadar, dalam keadaan punggung
dan dada masih mendenyut sakit, dia hanya memiliki satu pilihan. Jika
ingin menyelamatkan diri maka kemungkinan tongkat kayu yang
diberikan Eyang Dhana Padmasutra akan kena dirampas empat mahluk
merah. Sebaliknya kalau dia harus menyelamatkan tongkat maka muka
atau leher, mungkin juga dada atau perutnya akan jebol disambar
cakaran jari-jari berkuku panjang merah.
Sang Raja memilih menyelamatkan tongkat kayu ketimbang
selamatkan diri. Tongkat diputar di depan tubuh hingga mengeluarkan
suara mengaung lalu set! Selagi delapan mahluk merah mundur dan
menunda serangan, Rakai Kayuwangi selipkan tongkat di pinggang
sebelah depan lalu dua tangan sekaligus melepas pukulan Dewa Kembar
Membalik Gunung!*
Dua cahaya hijau kebiruan berkiblat disertai suara menggemuruh
seperti gunung runtuh. Delapan mahluk merah terkesiap kaget. Tubuh
bergoncang keras. Mereka berteriak keras sambil tusukkan empat jari
tangan kanan ke atas. Kabut kelabu yang sejak tadi menggantung di
udara bergerak turun menghadang dua cahaya hijau biru dua pukulan
sakti yang dilepaskan Raja Mataram.
“Tembusl”
Delapan mahluk berteriak berbarengan. “Blaarr! Blaarrl”
Ternyata dua pukulan Rakai Kayuwangi tidak sanggup menahan
hantaman kabut kelabu yang dijadikan senjata oleh delapan mahluk
aneh. Begitu dua larik cahaya hijau biru musnah delapan mahluk ini
kembali berteriak.
“Rampas tongkat!”
“Rampas nyawa!”
“Breett!”
Empat jari tangan berkuku panjang salah satu mahluk merobek
dada pakaian Rakai Kayuwangi, menimbulkan luka panjang, memutus
kalung besar. Saat itu juga Raja Mataram ini merasakan tubuhnya
menggigil diserang hawa luar biasa dingin. Sepasang lutut goyah. Dua
kaki terjajar ke belakang.
“Rampas tongkat!”
“Rampas nyawa!”
Dua tangan menyambar ke pinggang sebelah depan di mana
terselip tongkat kayu, tiga lainnya melesat ke kepala, wajah dan leher
Sri Maharaja Mataram. Hanya beberapa ketika lagi tongkat kayu akan
dapat dirampas dan muka serta leher akan hancur jebol mengerikan
tiba-tiba di telinga Raja Mataram mengiang suara orang tua alam roh
Dhana Padmasutra.
“Bilamana bahaya datang tidak terelakkan, robahlah cara
memegang tongkat. Ujung yang menempel di tanah pegang sebagai
gagang. Sebaliknya gagang ditukikkan ke bawah hingga menyentuh
tanah. Maka Yang Maha Kuasa akan melindungi Yang Mulia...”
Rakai Kayu Wangi tersentak. Mengapa dia tidak ingat dari tadi
petunjuk orang tua yang dikirimkan Para Dewa untuk menolongnya itu.
Secepat kilat Raja Mataram cabut tongkat yang terselip di
pinggang. Ujung yang kecil dipegang sedang ujung yang biasa menjadi
gagang pegangan ditusukkan ke tanah. Pada waktu yang bersamaan
salah seorang dari empat mahluk merah yang berusaha merampas
tongkat berhasil mencekal pertengahan tongkat. Namun di saat itu pula
gagang tongkat telah menyentuh tanah.
“Blaarrl”
Letusan keras menggelegar. Sosok mahluk merah yang memegang
tombak keluarkan jeritan menggidikkan, tubuh mencelat ke udara
dalam keadaan tercabik-cabik lalu berubah jadi asap dan lenyap dari
pemandangan. Dua temannya menggembor marah. Segera menyerang
Rakai Kayuwangi. Raja Mataram dengan penuh percaya diri gebukkan
tongkat. Sekali menghantam kepala mahluk merah di samping kanan.
Pukulan kedua menghajar bahu mahluk merah di sebelah kanan.
Seperti kawannya tadi dua mahluk merah menjerit setinggi langit. Yang
kena gebuk kepalanya meledak dengan mengeluarkan suara
menggelegar lalu hancur berkeping-keping, sirna setelah lebih dulu jadi
asap. Yang dihantam bahunya meraung dahsyat lalu suara raungan
lenyap begitu tubuhnya amblas masuk ke dalam tanahl
Lima mahluk merah yang masih hidup langsung jatuhkan diri
duduk bersila di tanah. Lima pasang mata putih membusat keluar.
Wajah berubah menjadi kuning. Tapi benjolan besar di kening tetap
masih berwarna merah dan mengepulkan asap. Mereka tampak
ketakutan begitu melihat Raja Mataram mendatangi sambil
melintangkan tongkat kayu di atas kepala. Terjadi keanehan. Tubuh
bagian atas masih bisa bergerak sementara pinggang ke bawah berubah
lumpuh! Ke limanya membungkuk berulang kali tanda minta diampuni.
Walau takut setengah mati tapi mereka tidak mampu melarikan diri!
“Aku akan ampuni kalian berlima. Asal memberi tahu kalian ini
siapa sebenarnya. Siapa yang mengirim kalian untuk membunuhku dan
merampas tongkatl Apa kalian ikut mendatangkan bencana di Mataram
malam tadi!”
Tidak ada satupun dari kelima mahluk merah membuka mulut
keluarkan jawaban. Mereka terus saja membungkuk-bungkukkan
tubuh.
“Bicara! Atau aku gebuk kalian semua!” Hardik Raja Mataram
mengancam. Tongkat di tangan kanan diangkat ke atas, siap
mengemplang kepala lima mahluk yang duduk menjele-pok di tanah di
hadapannya.
Tiba-tiba ke lima mahluk merah pukulkan tangan kanan ke
kening masing-masing yang ada benjolan merah.
“Praakkk!”
Lima mahluk merah terkapar di tanah dengan kepala rengkah.
Kabut kelabu lenyap. Raja Mataram berulang kali mengucap menyebut
nama Yang Maha Kuasa. Dia bermaksud hendak memeriksa lima mayat
mahluk aneh, namun tiba-tiba lima sosok merah itu terangkat ke atas
lalu hancur berkeping-keping, berubah jadi asap dan lenyap!
Raja Mataram berulang kali menyeru nama Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba tongkat kayu yang dipegang bergetar keras. Tubuh rtakai
Kayuwangi terangkat ke udara, melayang sebentar lalu melesat masuk
ke dalam sumur batu. Sumur yang pernah dikenal dengan sebutan
Sumur Api di mana beberapa tahun silam Ananthawuri perawan suci
pilihan Para Dewa ibunda dari Mimba Purana dan Dirga Purana pernah
tercebur masuk ketika dikejar oleh anak buah Arwah Muka Hijau yaitu
Setunggul Langit dan Setunggul Bumi. (Baca serial Kesatria Lonceng
Dewa buku pertama berjudul “Perawan Sumur Api” karangan Bastian
Tito)
Tanpa diketahui oleh Raja Mataram, begitu tubuhnya lenyap
masuk ke dalam Sumur Api yang telah padam seratus jarum hitam
melesat keluar dari dalam tanah lalu menyusul masuk ke dalam sumur!
Begitu seratus jarum hitam masuk ke dalam sumur, mendadak
dari arah timur rimba belantara bertiup angin kencang. Pada saat angin
dan tumpukan batu yang membentuk bibir sumur saling bersentuhan,
cahaya putih berpijar. Saat itu juga sumur batu lenyap. Di tempat itu
kini terlihat satu jurang sangat dalam. Di sekelilingnya muncul tujuh
lobang sebesar kubangan kerbau. Begitulah keadaan akhir
Sumur Api seperti yang diriwayatkan dalam Mimba Purana Serial
Kesatria Lonceng Dewa buku ke empat berjudul “Dewi Tangan
Jerangkong”
LIMA
SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi Lokapala terheran-heran ketika
dapatkan dirinya berada di ujung satu pedataran pasir berwarna
kuning. Di kejauhan tampak sang surya memancarkan cahaya terang
benderang namun tidak terasa hawa panas menyengat jangat,
sebaliknya malah mengantar udara sejuk.
“Dewa Agung, bagaimana mungkin kalau bukan Kau yang punya
kuasa...” Berkala Rakai Kayuwangi dalam hati. Dia sadar betul kalau
saat itu berada di dasar sumur, mungkin Jaga d! dalam tanah entah
pada lapisan ke berapa. Tap} mengapa ada pedataran pasir dan seumur
hidup ban? sekali itu dia melihat pasir berwarna kuning laksana emas.
Lalu bagaimana mungkin ada matahari yang sinarnya terang benderang
namun menebar hawa sejuk? Lalu dia melihat lagi beberapa keanehan.
Di kejauhan, di tengah pedataran pasir kuning tampak sebuah
pohon sangat tinggi, tidak berdaun tidak beranting dan hanya memiliki
satu cabang menghadap ke timur yaitu ke arah sang surya. Angin
bertiup ke arah Rakai Kayuwangi. Raja Mataram ini mencium bau
harum semerbak berasal dari pohon tinggi bercabang tunggal. Dia
menatap kembali ke arah pohon. Saat itulah sang Raja melengak
terkejut.
“Tadi aku tidak melihat sosok itu. Bagaimana kini tahu-tahu
muncul sejelas aku melihat tangan sendiri?”
Sambil memegang tongkat erat-erat Rakai Kayuwangi melangkah
cepat ke arah pohon bercabang tunggal. Pada pertengahan cabang
terlihat duduk bersila seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas
tahun. Anak ini mengenakan pakaian hitam terbuat dari kain kasar
sederhana, berkasut kulit. Wajah tampan dihias alis tebal, mata bening
dan bibir merah. Samar-samar tampak cahaya kuning aneh
menyelubungi tubuh anak itu. Kalau saja Raja Mataram tidak memiliki
ilmu kesaktian tinggi, dia tidak akan mampu melihat cahaya kuning ini.
Maka sang Raja mempercepat langkah.
“Walau hanya bertemu satu kali beberapa tahun lalu, aku yakin
anak di atas cabang pohon adalah Mimba Purana. Kesatria penyelamat
Bhumi Mataram berjuluk Kesatria Lonceng Dewa. Terima kasih Dewa
Agung. Kau akhirnya mempertemukan saya dengan anak itu. Terima
kasih Eyang Dhana Padmasutra...”
Tiba-tiba anak lelaki di atas cabang pohon berdiri. Tangan kanan
di angkat, telapak dikembang. Mulut berseru.
“Yang Muliai Berhentilah melangkahi Jangan beranjak sebelum
saya memberi tanda. Maafkan saya karena telah berani memerintah
Raja Mataram!”
Rakai Kayuwangi hentikan langkah. Saat itulah di atas kepalanya
melesat puluhan benda hitam berpijar. Itulah seratus jarum hitam yang
menyusul masuk ke dalam sumur. Seratus jarum kemudian berubah
menjadi seratus tiang batu yang besarnya sepemeluk tangan dan tinggi
mencapai empat tombak, menyamai ketinggian pohon bercabang
tunggal. Seratus tiang batu menancap di pedataran mengelilingi pohon.
Saat itu Rakai Kayuwangi mendengar suara-suara pekik jerit riuh
sekali, aneh menggidikkan. Pedataran pasir bergetar dan telinganya
berdenging sakit. Namun dia sama sekali tidak melihat mahluk apa yang
menjerit dan berada di mana.
Kalau di pedataran Raja Mataram melihat seratus batu tinggi
hitam mengeliling pohon, maka di atas cabang pohon, anak lelaki
berusia dua belas tahun bukannya melihat seratus tiang batu tetapi
melihat seratus mahluk tinggi hitam bugil berperut buncit mengerikan.
Semua berkepala botak, bermata merah besar, di kepala ada sebuah
cula. Lidah panjang luar biasa, setiap dijulurkan bisa menyentuh pasir
pedataran. Sepuluh jari tangan memiliki kuku berwarna merah.
“Puluhan tiang batu hitam... Apakah ini yang jadi penyebab
Mimba Purana melarangku melanjutkan langkah?” pikir Raja Mataram.
Anak di atas cabang pohon gerakkan tangan kanan. Dari telapak
yang terkembang keluar sinar kuning menyilaukan, menyambar
berputar ke arah seratus tiang batu tinggi hitam.
“Seratus Jin Perut Bumi!” Anak di atas pohon beseru lantang.
“Aku Mimba Purana tidak akan beranjak dari tempatku berdiri. Kalian
tidak akan bergerak dari tempat kalian tegak! Tidak ada di antara kita
yang akan mulai melakukan kekerasan!”
Rakai Kayuwangi merasa heran. Tidak tahu pada siapa anak di
atas pohon bicara. Seratus Jin Perut Bumi?! Dia tidak melihat mahluk
apapun kecuali seratus tiang batu tinggi hitam.
Rakai Kayuwangi dikejutkan oleh suara menggemuruh yang
menggetarkan pedataran pasir. Lalu terdengar suara membahana
diucap seratus mahluk yang tidak mampu dilihatnya.
“Mimba Puranal Kami akan memanggangmu sampai menjadi
debu!”
“Seratus Jin Perut Bumi! Kalian tidak memandang sebelah mata
pada maksud baikku! Aku tahu kalian diperalat! Aku masih memberi
kesempatan!”
Jawaban yang terdengar adalah suara menggembor dahsyat.
Rakai Kayuwangi bersurut sampai beberapa langkah ketika
melihat ratusan larik sinar merah menyembur dari seratus tiang batu
lalu melesat ke arah pohon di mana anak lelaki berusia dua belas tahun
berdiri di atas cabang tunggal.
“Wuss ! Wusss !”
Pohon tinggi besar tenggelam dalam kobaran api berwarna merah
bercampur biru. Hawa panasnya membuat Rakai Kayuwangi terpaksa
melompat menjauh.
“Satria Lonceng Dewa!” Raja Mataram berteriak karena saat itu dia
tidak dapat lagi melihat anak di atas cabang pohon. Dia merasa sangat
kawatir kalau terjadi sesuatu dengan anak lelaki bernama Mimba
Purana itu. Karena sesuai petunjuk Eyang Dhana Padmasutra anak itu
adalah kunci petunjuk selanjutnya bagi keselamatan Mataram.
Seratus Jin Perut Bumi! Di hadapannya ada seratus tiang batu.
Apakah ini ujud mahluk gaib itu? Karena merasa punya kewajiban
melindungi anak di atas pohon maka tidak pikir panjang lagi Rakai
Kayuwangi segera sapukan tongkat di tangan kanan ke arah tiang-tiang
batu.
“Wuttt!”
Cahaya merah bertabur menebar hawa panas.
“Dess! Dess!”
Raja Mataram menjerit keras ketika tubuhnya terpental oleh
hantaman hawa panas yang berbaiik menyerangnya. Pakaian
mengepulkan asap. Tongkat hampir terlepas. Tiba-tiba suara jerit pekik
yang tadi mereda kini kembali menggelegar.
Rakai Kayuwangi melihat ratusan tiang batu hitam yang
mengelilingi pohon di tengah pedataran berubah ujud menjadi mahluk
mengerikan. Tubuh bugil buncit dan hitam. Kepala botak bercula.
Seratus lidah menjulur melesat ke arahnya. Puluhan larik cahaya merah
panas datang menggulung.
“Dewa Bathara Agung! Saya pasrah menerima kematian jika ini
memang kehendakMu. Permohonan saya yang terakhir, selamatkan
keluarga, kerajaan, para pengikut dan rakyat Mataram!”
Sri Maharaja Mataram berseru keras karena sadar tidak mampu
menyelamatkan diri lagi. Tubuh terhuyung ke belakang lalu jatuh
terduduk di tanah. Tangan kanan masih memegang tongkat namun
keadaannya seperti lumpuh tak mampu digerakkan. Rakai Kayuwangi
berusaha pergunakan tangan kiri untuk mencabut keris di belakang
pinggang. Namun salah satu lidah mahluk hitam bugil menggebuk bahu
kirinya hingga sang Raja terbanting ke tanah. Kulit bahu hangus
melepuh! Di sebelah dalam daging dan tulang serasa remuk!
Sekejapan lagi sekujur tubuh Raja Mataram akan lumat dan
gosong dilanda serangan puluhan lidah dan cahaya merah panas, tiba-
tiba terdengar bahana suara lonceng yang agaknya bukan lonceng biasa
tetapi merupakan satu lonceng raksasa yang seolah menggantung di
udara. Langit di atas kepala sang Raja tertutup cahaya kuning. Lalu
cahaya ini menerpa ke bawah.
Pedataran laksana disergap badai. Pasir kuning menggebubu ke
udara. Ketika sesaat pandangan mata terhalang tiba-tiba ada seseorang
merangkul pinggang Rakai Kayuwangi, lalu laksana terbang
membawanya pergi dari tempat itu.
Sebelum pedataran lenyap dari pandangan matanya, Rakai
Kayuwangi masih bisa melihat bagaimana seratus mahluk seram
berubah menjadi tiang batu kembali lalu melesak masuk ke dalam
pedataran pasir I Suara jerit pekik menggelegar di Seantero pedataran.
Namun lenyap ditelan bahana suara lonceng raksasa yang tidak terlihat
ujud dan entah berada di mana.
Raja Mataram berusaha melihat dan mencari tahu siapa orang
yang menyelamatkan lalu melarikannya laksana terbang membelakangi
sinar sang surya. Namun dia tidak melihat apa-apa kecuali cahaya
kuning benderang. Selain itu pemandangan matanya perlahan-lahan
berubah pudar. Lalu sang Raja terkulai tak sadarkan diri. Ini adalah
akibat cairan dari lidah panjang mahluk hitam bugil yang melukai bahu
kirinya. Ternyata cairan itu mengandung racun jahatl
ENAM
SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi tidak tahu pasti apa yang telah
terjadi atas dirinya. Yang masih diingatnya terakhir sekali adalah
seseorang membawanya lari laksana terbang dan dia hanya melihat satu
cahaya kuning. Ketika perlahan-lahan kesadarannya mulai pulih,
memandang berkeliling dia melihat sosok anak lelaki itu, duduk bersila.
Rambut hitam menjulai panjang setengkuk. Wajah tampan dan
sepasang mata bening dibawah alis tebal hitam menatap ke arahnya.
Walau agak tersuruk tapi Sri Maharaja dapat melihat kalau ada
sebentuk anting emas mencantel di daun telinga kanan anak lelaki ini.
Kemudian, jika dia menatap dan memusatkan perhatian agak lama
maka dia melihat ada bayangan cahaya kuning menyelubungi tubuh si
anak.
Rakai Kayuwangi merasa jaraknya dengan anak lelaki itu hanya
terpaut sepejangkauan tangan, dekat sekali. Namun ketika dia
mengulurkan tangan kanan berusaha hendak menjangkau, dia tidak
berhasil menyentuh tubuh anak itu. Bocah luar biasa I
“Satria Lonceng Dewa...”
Anak yang disapa tersenyum lalu membungkuk tiga kali lalu
berkata.
“Sri Maharaja, penghormatan saya untuk Yang Mulia. Nama saya
Mimba Purana. Mohon memanggil saya dengan nama itu...”
Suara yang terdengar adalah suara anak lelaki usia dua belas
tahun. Namun suara itu begitu jernih dan penuh wibawa.
Sadar kalau saat itu dia dalam keadaan tersandar ke dinding,
Rakai Kayuwangi cepat luruskan tubuh, lipat kedua kaki dan duduk
bersila. Saat itulah dia juga mengetahui kalau ada dua buah benda
tergeletak di pangkuannya. Ketika menunduk memperhatikan dia
melihat sebilah keris telanjang memancarkan cahaya putih keabu-
abuan. Keris Widuri Bulan. Keris miliknya sendiri. Sesuai dengan
namanya senjata bertuah itu konon terbuat dari gumpalan besar batu
Widuri Bulan yang secara gaib melayang jatuh ke bumi setelah seorang
kakek sakti melakukan tapa selama tujuh purnama. Si kakek kemudian
menyerahkan batu itu kepada Sri Maharaja Mataram yang waktu itu
masih berusia sepuluh tahun. Lalu seorang tokoh istana meminta
seorang sakti di Jawa sebelah timur untuk menempa batu menjadi
sebilah keris setelah dicampur dengan beberapa jenis logam
berkekuatan gaib.
Di samping keris, melintang sebatang tongkat kayu. Itulah tongkat
pemberian Eyang Dhana Padmasutra. Dia merasa ada sesuatu di bahu
kirinya. Ketika diperhatikan di bahu itu menempel sehelai daun keladi
yang warna hijaunya telah berubah menjadi hitam.
akai Kayuwangi mengingat-ingat. Dia berkelahi melawan
puluhan mahluk ganas hitam telanjang berkepala botak bercula di satu
pedataran pasir. Dalam keadaan terdesak dia berusaha menyelamatkan
diri dengan mencabut keris itu. Lalu lidah salah satu mahluk
menggebuk bahu kirinya. Ketika hampir menemui ajal tiba-tiba ada
seseorang menyelamatkan dan menerbangkan dirinya ke langit.
Sri Maharaja angkat daun keladi yang menempel di bahu kirinya.
Kulit bahu itu tampak kemerah-merahan namun tidak lagi hangus
melepuh. Sang Raja menatap ke arah anak lelaki di hadapannya. Dalam
hati berkata. “Hanya selembar daun keladi hutan. Sungguh anak pilihan
Para Dewa ini sakti luar biasa.”
“Mimba Purana, saya percaya kaulah yang telah menyelamatkan
diri saya dari puluhan mahluk seram itu. Saya percaya engkau pula
yang membawa saya ke tempat ini dan mengobati luka parah di bahu
kiri saya. Untuk itu saya berterima kasih...” Tanpa segan-segan Raja
Mataram ini lalu rundukkan tubuh.
Anak lelaki bernama Mimba Purana yang tadi dipanggil dengan
julukan Satria Lonceng Dewa tampak jadi kikuk dan beringsut ke
belakang. Buru-buru dia berkata.
“Yang Mulia, saya tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Semua
terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa. Mohon tidak menghormati
saya secara berlebihan. Menurut usia, saya seharusnya seumur dengan
putera Yang Mulia.”
Raja Mataram anggukkan kepala berulang kali. Berdasarkan
riwayat yang diketahuinya dari para cerdik pandai dan para tokoh di
Istana, dia mengetahui kalau anak lelaki yang duduk bersila di
hadapannya itu sebenarnya baru berusia dua belas bulan. Namun anak
keramat yang terlahir dari seorang ibu yang tetap perawan ini, atas
kehendak Para Dewa selain memiliki ilmu kesaktian juga memiliki usia
yang satu bulan dirinya sama dengan usia satu tahun anak biasa. (Baca
serial Mimba Purana “Satria Lonceng Dewa”)
“Saya mengerti,” kate Raja Mataram pula. “Mulai saat ini saya
akan memanggilmu dengan sebutan Ananda.”
“Yang Mulia, satu kehormatan yang terhingga kalau Yang Mulia
memanggil saya sebagai anak...”
“Tapi saya tetap menghaturkan terima kasih pada Ananda.
Beberapa tahun lalu kita pernah bertemu. Saat itu Ananda
menyelamatkan Kerajaan dari perbuatan jahat orang-orang di selatan.
Sekarang kembali Bhumi Mataram digoncang malapetaka. Jauh lebih
hebat dari yang terjadi sebelumnya. Banjir besar yang airnya berwarna
semerah darah dan menebar bau busuk membuat Bhumi Mataram
porak poranda hampir sama rata dengan tanah. Ratusan bahkan ribuan
rakyat tidak berdosa termasuk ternak menemui ajal. Yang masih hidup
diserang penyakit aneh. Kaki lumpuh, di kepala ada delapan benjolan
berwarna merah seperti yang Ananda bisa lihat sendiri di kening saya.
Ketika saya bertapa di puncak Bukit Batu Hangus memohon
keselamatan bagi para pengikut, keluarga saya dan seluruh rakyat
Mataram, saya mendapat petunjuk dari Sang Hyang Bathara Agung
bahwa saya harus mencari dan menemui Ananda. Saya tidak tahu di
mana harus mencari. Namun saya tahu riwayat Sumur Api. Saya
memasuki rimba belantara tak jauh dari Kali Dengkeng. Namun saya
tersesat dan terputar-putar di dalam hutan. Ada satu kekuatan gaib
menghalangi saya dalam mencari Ananda...”
“Kekuatan penghalang itu ditimbulkan oleh mahluk bernama
Delapan Sukma Merah... Kekuatan itu pula yang hendak mencelakai
Yang Mulia dengan mempergunakan delapan mahluk merah jejadian...”
Berkata Mimba Purana.
“Ananda rupanya sudah tahu peristiwa itu,” kata Sri Maharaja
Mataram. Dia tidak merasa heran karena tahu Mimba Purana bukanlah
anak sembarangan. “Ananda, saya ingat sekarang. Delapan Sukma
Merah. Kata-kata itulah yang pernah diucapkan oleh mahluk roh
Sedayu Galiwardhana. Delapan Sukma Merah penguasa tujuh
samudera, tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Ananda, apakah kau
tahu siapa adanya mahluk itu?”
“Yang Mulia, harap teruskan dulu cerita Yang Mulia,” jawab
Mimba Purana.
“Para Dewa Maha Pengasih. Seorang kakek bernama Dhana
Padmasutra muncul dari alam roh...” Sri Maharaja meneruskan ucapan
setelah terdiam sesaat.
Mimba Purana luruskan tubuhnya. Lalu berkata. “Orang tua itu
adalah sahabat dan sudah dianggap kakek sendiri oleh Ibunda saya...”
“Sungguh besar rahmat Yang Maha Kuasa...” ucap Sri Maharaja
dengan agak tercengang.
“Saya hanya mendengar cerita Ibunda. Saya sendiri belum pernah
bertemu dengan kakek itu. Yang Mulia lebih beruntung dari saya, telah
menemui kakek Ibunda saya...” Berkata anak lelaki bernama Mimba
Purana.
Sri Maharaja terdiam sejurus mendengar ucapan Mimba Purana.
Lalu meneruskan penuturan.
“Eyang Dhana memberikan tongkat kayu miliknya pada saya.
Katanya tongkat ini akan menjadi penuntun untuk mencari dan
menemui diri Ananda. Orang tua itu juga berpesan, setelah kita bertemu
maka tongkat ini harus saya serahkan pada Ananda karena menurut
Eyang Dhana tongkat ini sebenarnya adalah milik Ibunda Ananda yang
dipinjam...”
Sri Maharaja beringsut mendekati anak lelaki di hadapannya
untuk menyerahkan tongkat kayu. Si anak menatap tongkat itu
sebentar lalu berkata.
“Yang Mulia, mungkin tongkat itu akan lebih banyak manfaatnya
jika tetap berada di tangan Yang Mulia. Mengapa tidak dipegang saja
untuk sementara?”
“Ananda Mimba, saya berterima kasih atas kepercayaan dan
perhatian Ananda. Namun begitu pesan Eyang Dhana, begitu pula yang
harus saya lakukan. Ananda Mimba, terimalah tongkat ini...”
Anak lelaki berusia dua belas tahun itu akhirnya ulurkan tangan
menerima tongkat. Sri Maharaja sendiri cepat-cepat mengambil Keris
Widuri Bulan dari pangkuannya dan memasukkan ke dalam sarung
yang masih terselip di belakang pinggang. Tanpa diketahui, dilihat
ataupun disadari oleh Raja Mataram ketika Mimba Purana menerima
tongkat, anak ini dengan kesaktiannya menyusupkan tongkat itu ke
dalam tubuh Rakai Kayuwangi melalui lengan kanannya sementara
yang dilihat sang Raja, tongkat yang diletakkan si anak di lantai di sisi
kanannya hanyalah bayangan semata.
“Ananda, saya bersyukur Para Dewa telah mempertemukan saya
dengan diri Ananda. Selanjutnya saya mohon petunjuk, apa yang harus
saya lakukan.”
“Yang Mulia, apakah Yang Mulia telah menceritakan semua apa
yang terjadi di Mataram?” Mimba Purana bertanya.
Sri Maharaja merenung sejenak sambil menatap wajah tampan
anak lelaki di hadapannya.
“Mungkin saya perlu memberi tahu dari asal muasal kejadian.”
Berkata Sri Maharaja. Lalu dia menceritakan riwayat pembuatan Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi oleh Empu Semirang Biru. Keris lenyap dicuri
mahluk jejadian yang menampilkan diri sebagai pertapa sakti dari
Gunung Merbabu bernama Sedayu Galiwardhana. Raja Mataram juga
menceritakan lenyapnya Empu Semirang beberapa waktu sebelum
bencana melanda Kerajaan. Lalu perihal Raden Ageng Daksa yang
ditemukan sudah menjadi mayat dengan tanda dua telapak tangan
berjari empat di punggungnya.
“Ananda Mimba, itu semua yang bisa saya ceritakan padamu.”
“Yang Mulia, saya menduga Yang Mulia belum menceritakan
semua kejadian penting yang berlangsung di Mataram.” Berkata Mimba
Purana.
Raja Mataram berpikir-pikir. Dia merasa telah menuturkan semua
kejadian. Namun tiba-tiba dia ingat satu hal.
“Ketika saya dan para tokoh Kerajaan mengadakan pertemuan di
satu ruang rahasia di Istana, seorang penasehat saya yaitu perempuan
berusia sekitar setengah abad bernama Ratu Randang telah kesusupan
serangan aneh. Di dadanya tiba-tiba saja ada tanda dua telapak tangan
berjari empat tanpa jari tengah...”
“Yang Mulia tahu, di mana sekarang beradanya Ratu Randang?”
“Dia minta izin untuk menemui Arwah Ketua. Mahluk alam gaib
yang tinggal di sebuah Candi Miring untuk mencari keterangan serta
petunjuk agar dapat menyelamatkan Kerajaan.” Sri Maharaja diam
sebentar lalu bertanya. “Ananda, ada apa Ananda menanyakan
pembantu saya itu?”
“Saya hanya ingin tahu agar tidak ada yang tertinggal di pikiran
dan benak saya,” jawab si bocah yang dijuluki Satria Lonceng Dewa,
Pendekar Bhumi Mataram.
“Yang Mulia, sekarang katakan apa yang bisa sama-sama kita
lakukan untuk menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram.”
“Dengan Kuasa Yang Maha Kuasa Saya ingin kami semua bisa
keluar dari malapetaka yang mengerikan ini. Yang pertama sekali,
bagaimana caranya rakyat dan semua mahluk hidup yang ada di Bhumi
Mataram lepas dari kelumpuhan dan demam panas yang menyerang
mereka. Lalu delapan benjolan merah agar bisa dilenyapkan dari kening
mereka. Kemudian mohon sekali bantuan Ananda agar Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi bisa ditemukan kembali. Saya berharap Ananda bisa
menolong...”
“Yang Mulia, saya bocah yang tidak punya kepandaian apa-apa.
Apa lagi yang namanya kekuasaan. Tapi karena saya adalah anak
Mataram, Ibunda saya juga orang Mataram maka saya merasa diri yang
tidak berdaya ini ikut punya rasa pengabdian terhadap Yang Mulia dan
Kerajaan. Jika Yang Mulia mengizinkan saya akan melakukan tapa
untuk mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa...”
“Saya mengikut saja. Namun saat ini kita berpacu dengan waktu.
Jika Ananda melakukan tapa sampai berhari-hari, semua orang,
termasuk yang kini berada di Bukit Batu Hangus akan menemui ajal
karena penyakit dan kelaparan...”
“Saya tahu apa Yang Mulia kawatirkan. Tapi satu tahun bagi kita
manusia biasa, bisa saja hanya satu hari bagi Yang Maha Kuasa. Satu
minggu bagi kita, bagi Yang Maha Kuasa bisa saja hanya sekejapan
mata. Apakah Yang Mulia sudi menunggu sementara saya mulai
bertapa?”
“Ananda, saya serahkan semuanya padamu. Saya akan
membantu dengan doa,” jawab Sri Maharaja Rakai Kayuwangi lalu
tanpa memejamkan mata dia susun sepuluh jari di atas kepala dan
mulai memanjatkan doa.
Di hadapan Raja Mataram anak lelaki berusia dua belas tahun
duduk bersila dengan khidmat. Mata dipejam, dua tangan disilang di
atas dada. Bayangan cahaya kuning yang samar-samar membungkus
sekujur tubuh Mimba Purana tampak memancar lebih terang. Dari
ubun-ubun di kepalanya memancar satu cahaya kuning berbentuk garis
lurus, menembus langit-langit batu. Itu garis batin hati nurani yang
paling suci yang tengah coba bersentuh dengan kekuatan gaib dari Yang
Maha Kuasa.
Tiba-tiba Raja Mataram yang tengah berdoa melihat larikan garis
kuning lenyap. Cahaya terang yang membungkus sosok Mimba Purana
juga sirna. Anak itu turunkan dua tangan dari atas dada, diletakkan di
atas pangkuan, perlahan-lahan mata dibuka.
“Yang Mulia, saya baru saja menyelesaikan tapa dua puluh satu
hari.” Berkata Mimba Purana Satria Lonceng Dewa.
“Ananda Mimba, sungguh luar biasa...” Ucap Raja Mataram
sambil menurunkan kedua tangan yang tadi disusun di atas kepala.
“Di dalam tapa saya mendapat petunjuk bahwa pertolongan yang
kita harapkan itu berada dalam sebuah ruangan keramat yang pintunya
terkunci. Kunci pembuka pintu itu ada dua buah. Keduanya ada pada
Yang Mulia...”
“Saya...? Saya merasa tidak pernah membawa atau memiliki dua
buah kunci...” Kata Raja Mataram pula dengan heran sambil meraba-
raba pakaiannya.
Untuk beberapa ketika si anak menatap wajah sang Raja. Air
mukanya tampak meredup. Lalu dia berkata dengan suara perlahan.
“Kunci yang dimaksudkan itu adalah dua jari tengah kedua
tangan Yang Mulia. Dua jari tangan itu harus dipotong tepat pada
pangkalnya...”
Kejut Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala bukan alang
kepalang. Wajah berubah. Namun dia cepat menguasai diri lalu
bertanya.
“Ananda Mimba Purana. Tidak salahkah telinga saya
mendengar?”
“Pertunjuk telah didapat. Kata telah diucapkan. Yang Mulia, saya
minta maaf. Saya mohon Yang Mulia segera mencabut Keris Widuri
Bulan. Yang Mulia harus memotong sendiri dua jari tengah Yang Mulia
dengan keris itu...
TUJUH
SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi terkesiap. Mata menatap lekat-lekat
ke wajah anak lelaki dua belas tahun di hadapannya. Kalau tadi dia
masih meragu dan bertanya apakah tidak salah mendengar ucapan
maka kini keraguan itu serta merta lenyap malah berubah menjadi
kecurigaan I Dia diminta si anak untuk memotong kedua jari tangan
sebelah tengah dengan mempergunakan Keris Widuri Bula& Jari lengahi
Tentu saja sang Raja ingat akan peristiwa yang sudah-sudah. Raden
Ageng Dak&* menemui kematian dengan tanda dua telapak tsrtg&ft
oerjari empat-tanpa jari tengah-di panggungnya. Ratu Randang diserang
secara gaib oleh mahluk yang tidak kelihatan dan meninggalkan tanda
dua telapak tangan lengkap dengan jari-jari namun tanpa jari tengah.
Delapan mahluk merah yang hendak membunuhnya juga tidak memiliki
jari tengah. Delapan Sukma Merah.
“Punya hubungan apa bocah ini dengan mahluk bernama Delapan
Sukma Merah. Jangan-jangan... Dewa Agung, apakah saat ini saya
benar-benar berhadapan dengan anak bernama Mimba Purana, berjuluk
Satria Lonceng Dewa? Atau hanya jejadiannya yang hendak mencelakai
diri saya? Menjebak hingga saya berubah menjadi mahluk celaka yang
tidak punya jari tengah?!”
Selagi sang Raja berpikir menduga-duga penuh curiga seperti itu
tiba-tiba ada suara mengiang di telinga kanannya.
“Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala. Bocah jahat hendak
menipumu. Dia bukan Satria Lonceng Dewa yang asli! Dialah mahluk
biang racun penimbul bencana Malam Jahanam! Cabut keris sakti di
pinggangmu sekarang jugal Bunuh dia dengan senjata itu! Jika dia mati
maka dirimu, keluargamu, rakyat dan Kerajaan akan selamat dari
malapetaka. Bunuh dia sekarang jugal”
“Pertunjuk Dewa Agungi Ini pasti petunjuk Yang Maha Kuasa!”
ucap Rakai Kayuwangi dalam hati. Sekujur tubuh menggeletar dialiri
hawa amarah. Tidak menunggu lebih lama Raja Mataram ini segera
cabut Keris Widuri Bulan. Sambil melompat keris sakti ditusukkan ke
dada anak lelaki yang duduk tak bergeming di hadapannya. Gerakan
yang dipergunakan adalah jurus bernama Kilat Menyabung Di Langit
Mataram. Gerakannya luar biasa cepat dan disertai tenaga dalam penuhi
“Setttl”
Raja Mataram melengak kaget. Keris Widuri Bulan jelas dan telak
menusuk masuk ke dalam dada si bocah. Namun dia seperti merasa
menusuk kapas yang lembut. Ketika anak yang hendak dibunuhnya itu
tampak tersenyum, bergetarlah sekujur tubuh Rakai Kayuwangi,
tengkuk serta merta menjadi dingini
Dengan cepat Rakai Kayuwangi cabut keris yang menancap di
dada si anak. Tidak ada lobang bekas tusukan, tidak ada darah yang
mengucur. Badan keris sampai ke ujung bersih sama sekali, tidak ada
noda darah! Cahaya benderang putihnya sama sekali tidak redup!
Tiba-tiba Raja Mataram melihat ada titik putih muncul di
permukaan kening Mimba Purana. Dengan cepat titik ini berubah besar
dan astaga! Titik itu dengan cepat membentuk mata berwarna kuning.
Mata ketigal Mata Dewal Lalu.
“Wuss!”
Selarik sinar kuning melesat keluar dari mata di kening,
menyambar ke arah Raja Mataram. Sinar menyilaukan itu lewat hanya
satu jengkal di atas kepala. Sesaat kemudian terdengar suara jeritan,
disusul suara gedebuk jatuhnya satu sosok ke lantai ruangan. Rakai
Kayuwangi cepat memutar tubuh palingkan kepala.
Di lantai, sedikit tertutup oleh kepulan asap tipis hitam tergeletak
sosok seorang tua berambut putih panjang mengenakan selempang kain
putih. Di keningnya ada delapan benjolan merah. Raja Mataram ingat,
dia pernah bertemu orang tua itu satu kali ketika masih berusia enam
tahun. Namun dia masih bisa mengenali. Si orang tua adalah pertapa
sakti dari Gunung Merbabu bernama Sedayu Galiwardhana yang
diketahuinya telah tewas terbunuh beberapa tahun silam. Tentu saja
yang terlihat saat itu bukanlah jazad asli sang pertapa, melainkan ujud
roh yang menampakkan diri sebagai manusia biasa. (Mengenai siapa
adanya Sedayu Galiwadhana. harap baca serial Mimba Purana “Satria
Lonceng* Mataram”, karangan Bastian Tito)
“Eyang Sedayu Galiwardhana, saya tahu kau muncul dari alam
roh. Berbuat kejahatan bukan maumu. Karenanya kembalilah ke alam
sana dengan segala ketenteraman. Maafkan kalau saya telah berlaku
kasar terhadap Eyang.”
Baru saja Mimba Purana selesai mengeluarkan ucapan, kepulan
asap hitam lenyap. Bersamaan dengan itu sosok orang tua yang
tergeletak di lantai ruangan batu bergerak bangun, duduk di lantai lalu
bangkit berdiri. Dia menatap ke arah Sri Maharaja Mataram lalu
berpaling pada Mimba Purana. Sepertinya ada yang hendak diucapkan.
Namun mulut tetap terkancing sampai akhirnya sosok gaibnya melesat
ke atas, menembus atap batu dan lenyap dari pemandangan.
“Ananda Mimba Purana...” Berkata Rakai Kayuwangi. “Orang tua
tadi... menurut keterangan yang saya dengar dari Empu Semirang Biru,
dialah yang telah mencuri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Seharusnya tadi
kita tanyai dulu dia...”
“Saya tahu Yang Mulia. Seperti kata saya tadi, dia berbuat
kejahatan bukan kehendaknya. Ada yang menguasai dan
mengendalikan rohnya. Saya tidak bisa berbuat banyak selain
membiarkannya kembali ke alamnya. Mungkin saja dia akan kembali
muncul melakukan kejahatan. Tapi jika Yang Maha Kuasa berkehendak
lain maka hal itu tidak akan terjadi. Yang Mulia perlu menemuinya...”
Raja Mataram sadar. Cepat-cepat dia membungkuk.
“Ananda, saya minta maaf. Saya telah tertipu. Ketika Ananda
meminta saya memotong kedua jari tengah tangan saya, saya mendapat
bisikan kalau...”
“Saya tahu Yang Mulia dan saya mengerti. Sekarang apakah Yang
Mulia yakin bahwa diri saya bukan mahluk bocah jahat yang hendak
menipu Yang Mulia? Apakah Yang Mulia masih merasa ragu untuk
memotong kedua jari tengah Yang Mulia sebagaimana petunjuk yang
saya dapat dalam tapa dua puluh satu hari tadi?”
Raja Mataram menatap Keris Widuri Bulan yang masih
tergenggam di tangan kanannya.
“Ananda, saat ini tidak ada lagi keraguan dalam diri saya.
Jangankan memotong jari, demi keselamatan rakyat dan Kerajaan
Mataram memenggal leherpun akan saya lakukan. Karena saya tahu
semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa,” jawab Rakai Kayuwangi.
Lalu Raja Mataram ini letakkan tangan kiri di atas lantai batu. Lima jari
dikembang. Keris Widuri Bulan pancarkan sinar terang ketika
didekatkan ke pangkal jari tengah tangan kiri. Bibir digigit. Tangan
kanan bergerak ke bawah dengan tekanan penuh.
“Crasss!”
DELAPAN
DARAH menyembur begitu jari tengah tangan kiri putus habis di bagian
pangkal! Potongan jari tengah tergeletak di lantai batu. Rakai Kayuwangi
ingin berteriak akibat rasa sakit yang luar biasa. Namun dia kuatkan
diri menahan sakit agar tidak sampai mengeluarkan jeritan hingga
sekujur tubuh bergetar dan memercikkan keringat.
Dalam keadaan tangan kiri berlumuran dan masih mengucurkan
darah dipindahkan Keris Widuri Bulan ke tangan kM. Kini tangan kanan
diletakkan dan dikembangkan di lantai.
Keris sakti berpijar terang-Bagian ujung yang tajam ditetakkan ke
bawah, ditekan ke pangkal jari tengah tangan kanan. “Crass!”
Seperti keadaannya jari tangan kiri, jari tengah tangan kanan
putus buntung! Darah mengucur deras. Rakai Kayuwangi menggigit
bibir sendiri menahan sakit dan berusaha untuk tidak menjerit. Walau
mampu menahan sakit dan tidak menjerit namun sepasang mata Rakai
Kayuwangi tampak berkaca-kaca. Inilah satu pertanda bahwa dia
memotong putus kedua jari tengahnya dengan segala kepasrahan dan
ketegaran.
Sambil membungkukkan tubuh Raja Mataram keluarkan ucapan.
“Wahai Yang Maha Kuasa, apa yang menjadi petunjukMu telah
saya lakukan. Saya mohon selamatkan rakyat dan Kerajaan...”
“Yang Mulia, apa Yang Mulia ucapkan telah didengar oleh Yang
Maha Kuasa. Sesungguhnya Yang Mulia telah berhasil melalui satu
ujian yang sangat berat. Luruskan tubuh. Pandanglah baik-baik kedua
tangan Yang Mulia. Tidak ada yang putus, tak ada yang berkurang pada
diri Yang Mulia. Baik yang berupa daging, tulang ataupun cairan.
Sesungguhnya Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan juga Maha
Pengasih. Yang Maha Kuasa tidak akan pernah mencelakai ummatNya
sendiri. Kecuali jika itu memang maunya sang ummat sendiri...”
Raja Mataram terdiam sesaat mendengar kata-kata Mimba
Purana. Dia merasa aneh. Rasa sakit pada kedua tangannya yang
seperti hendak meledakkan kepala tiba-tiba lenyap. Malah kini dia
merasakan kesejukan di sekujur tubuhl
Perlahan-lahan Rakai Kayuwangi luruskan tubuh dan angkat
kepala. Pandangan mata diarahkan pada kedua tangan.
“Dewa Agungi Hyang Jagat Bathara!”
Di tangan itu tidak ada lagi noda darah. Tidak ada darah yang
menyembur. Tidak ada jari yang putus buntungl Tidak ada daging dan
tulang yang putusl Kedua jari tengah tangan kiri kanan masih utuh di
tempatnya semula, diantara empat jari lainnyal
Lalu buntungan tangan yang tadi jelas-jelas dipotongnya sendiri?
Rakai Kayuwangi memandang ke lantai batu. Astaga! Di lantai di mana
seharusnya tergeletak dua buntungan jari tengah kedua tangannya kini
tergeletak dua potongan kayu!
“Dewa Maha Agung...”
Raja Mataram menatap ke arah anak lelaki yang duduk tenang di
hadapannya malah tampak tersenyum.
“Yang Mulia, Yang Maha Kuasa menguji kita manusia dengan
berbagai cara. Kadang-kadang tidak masuk akal. Yang Maha Kuasa
telah mendengar permohonan Yang Mulia. Ketika memohon Yang Mulia
tidak mengatakan minta keselamatan bagi diri Yang Mulia ataupun
keluarga Yang Mulia. Tapi memohon dan mementingkan keselamatan
rakyat dan Kerajaan. Yang Mulia telah membuka dua kunci pintu
ruangan keramat. Sekarang baru saya berani mengatakan apa yang
harus kita lakukan.”
Raja Mataram rundukkan tubuh dan mengucapkan terima kasih
berulang kali pada Yang Maha Kuasa dan pada anak lelaki di depannya.
“Yang Mulia, petunjuk dalam tapa mengatakan pada saya bahwa
Yang Mulia harus mencari Empat Mayat Aneh yang terkubur dalam
sebuah makam. Makam itu terletak di sekitar Candi Gedong Pitu yang
dibangun oleh Sri Maharaja Mataram para pendahulu Yang Mulia. Dari
Empat Mayat Aneh itulah kelak Yang Mulia akan mampu mengetahui
dan mencari jalan bagaimana menyelamatkan rakyat dan Kerajaan.
Tentu saja menyelamatkan pula keluarga serta para pengikut yang setia
dan Yang Mulia sendiri.”
“Terima kasih Ananda, saya tahu di mana letak Candi Gedong
Pitu. Saya pernah satu kali diajak mendiang Ayahanda ke tempat itu.
Mudah-mudahan saya masih ingat jalan ke situ.” Rakai Kayuwangi
terdiam sejurus. Lalu bertanya. “Ananda, saat ini sebenarnya kita
berada di mana?” (Kawasan Candi Gedong Pitu terletak di desa Candi,
kaki selatan Gunung Ungaran. Pada masa itu Raja-Raja Hindu di Jawa
membangun tujuh candi agung. Itu sebabnya kawasan candi tersebut
dinamakan Candi Gedong Pitu yang berarti Tujuh Bangunan Candi.
Kemudian dibangun lagi dua buah candi baru dan sekarang kawasan
tersebut dikenal dengan nama Candi Gedong Songo atau Sembilan
Bangunan Candi-penulis)
“Yang Mulia, kita berada di bawah Pegunungan Oieng, pada
lapisan tanah ke tiga...”
Sri Maharaja Mataram sampai ternganga mendengar ucapan
Mimba Purana. Si anak tampak tenang-tenang saja.
“Yang Mulia, satu hal perlu saya beritahu. Makam Empat Mayat
Aneh itu tidak terletak di tanah sekitar Candi Gedong Pitu, di kaki
selatan Gunung Ungaran. Tapi tergantung di udara. Yang Mulia harus
mampu menurunkannya ke tanah lalu baru bisa menggali. Satu hal lagi,
ada kesulitan lain. Makam yang tergantung di udara itu tidak mampu
dilihat dengan mata kasat biasa...”
“Ananda, kalau begitu penjelasan Ananda
apakah ada petunjuk lain yang bisa membantu saya menemukan
makam empat mayat aneh itu. Ananda tahu, waktu yang ada sangat
singkat...”
Mimba Purana mengangguk. Dua telapak tangan saling disatukan.
Tak selang berapa lama dua tangan tampak memancarkan cahaya
kuning. Lalu wuttl Sebuah benda melesat keluar diantara dua telapak
tangan, berputar tiga kali di udara lalu melayang turun dan tersandar di
dinding ruangan. Sri Maharaja memperhatikan keberadaan benda itu
dengan mata tak berkesip. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat
benda seperti itu. Berbentuk kuda, lengkap dengan kepala dan buntut
tapi tidak berkaki. Kuda-kuda ini terbuat dari kajang bambu yang
dianyam halus, berwarna hitam dengan sepasang mata coklat besar.
Pada bagian leher melingkar seutas tali kulit. Pada leher itu pula
tergantung seuntai giring-giring atau kerincingan perak dan terselip satu
cemeti kecil.
“Ananda, benda apa ini? Seumur hidup baru sekali ini saya
melihat yang seperti ini. Apa kuda jejadian, tapi mengapa tidak
berkaki...”
“Yang Mulia, benda yang tersandar di dinding itu disebut Kuda
Lumping. Tidak berasal dari alam kita. Tapi berasal dari alam delapan
ratus tahun dimuka kita...”
Rakai Kayuwangi bertambah heran.
“Keberadaan Kuda Lumping itu adalah atas kehendak Yang Maha
Kuasa. Kuda Lumping itu akan menjadi tunggangan Yang Mulia menuju
Gunung Ungaran dan selanjutnya menjadi penghubung antara Yang
Mulia dengan beberapa mahluk tertentu, manusia, bangsa jin dan
mahluk dalam alam roh lainnya...”
Kening Sri Maharaja mengerenyit. “Kuda mainan, kuda mati, tidak
berkaki. Bagaimana mungkin...”
Mimba Purana si bocah sakti berjuluk Satria Lonceng Dewa
tertawa. Lalu berkata.
“Bagi Yang Maha Kuasa tidak ada yang tidak mungkin. Tunggangi
Kuda Lumping itu. Sangkutkan lingkaran tali di leher Yang Mulia. Dia
tidak berkaki karena dia memang tidak berlari seperti kuda biasa.
Pergunakan cemeti untuk memecut pinggulnya maka dia akan
menerbangkan Yang Mulia secepat kilat menyambar. Bilamana Yang
Mulia telah sampai di kawasan Candi Gedong Pitu, akan ada seseorang
menemui Yang Mulia. Selanjutnya setelah Yang Mulia menemui Empat
Mayat Aneh, tanggalkan giring-giring perak dari leher Kuda Lumping,
digoyang-goyang sambil disapukan diatas wajah Empat Mayat Aneh.
Maka dengan izin Yang Maha Kuasa ke empat mayat itu akan terbangun
dari keleiapan tidur mereka di alam baka. Lalu dari merekalah Yang
Mulia akan mendapat petunjuk lebih lanjut.”
Mendengar ucapan Mimba Purana, Raja Mataram mengucap
berulang kali menyebut Kebesaran Yang Maha Kuasa.
“Ananda, saya akan melakukan apa yang Ananda katakan.
Namun sebelum pergi ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan.
Ketika saya dihadang oleh puluhan mahluk hitam bugil, Ananda telah
menyelamatkan saya. Mengapa Ananda tidak terlebih dulu mengambil
tindakan terhadap mereka? Bukankah mahluk seperti itu perlu dibasmi.
Apa lagi saya yakin mereka ikut mengambil peranan jahat dalam
bencana yang melanda Kerajaan dan rakyat Mataram. Siapa puluhan
mahluk itu sebenarnya?”
“Mereka dikenal dengan nama Seratus Jin Perut Bumi. Mereka
diam di hutan Mentaok. Walau mereka jahat ganas tapi saya punya
kendala. Para Dewa tidak memberi izin saya untuk menghabisi mereka.
Saya tidak menerima tanda berupa bunyi suara lonceng di dalam kepala
saya. Karena sebenarnya mereka dahulu adalah yang termasuk jin putih
dan pernah berbakti pada para sepuh Raja Raja Mataram. Sekarang
mereka berada dibawah satu kekuasaan mahluk jahat..”
“Delapan Sukma Merah?” tanya Raja Mataram pula.
“Tidak bisa diduga,” jawab Mimba Purana. “Namun Para Dewa
menginginkan agar mereka disadarkan. Itu menjadi tugas saya. Mudah-
mudahan Yang Mulia bisa membantu...”
“Ananda, menurutmu apakah Delapan Sukma Merah ini ada
sangkut pautnya dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Sri
Maharaja Ke Delapan yang melakukan pemberontakan beberapa tahun
silam?”
“Saya tidak bisa memastikan Yang Mulia. Tapi yang namanya
dendam kesumat itu bisa saja muncul dalam berbagai bentuk ketika
melakukan pembalasan. Karenanya kita harus waspada dan berhati-
hati...”
Rakai Kayuwangi mengusap dagu lalu bertanya.
“Mengenai Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, apakah saya akan
mampu mendapatkannya kembali? Lalu siapa yang telah menculik
Empu Semirang Biru dan bagaimana keadaannya...?”
“Saya berharap jika Yang Mulia telah bertemu dengan Empat
Mayat Aneh, semua pertanyaan Yang Mulia akan terjawab.”
“Terima kasih Ananda. Rasanya saya harus pergi sekarang juga.”
Kata Rakai Kayuwangi.
“Benar Yang Mulia, Yang Mulia harus segera pergi. Namun ada
sesuatu yang akan saya berikan pada Yang Mulia.”
Mimba Purana bangkit dari duduknya lalu melangkah mendekati
Sri Maharaja Mataram. Tangan kanan menggenggam dan tangan itu
tampak mengeluarkan cahaya putih. Ada sesuatu dalam genggaman si
bocah sakti. Tangan diulurkan pada Rakai Kayuwangi yang cepat
disambut oleh sang Raja dengan mengulurkan tangan kanan dan
membuka telapak lebar-lebar. Mimba Purana buka genggaman tangan
kanan, letakkan sebuah benda di atas telapak tangan kanan Sri
Maharaja Mataram. Ketika sang Raja memperhatikan benda yang ada di
telapak tangannya itu ternyata sebuah batu tipis berwarna putih
berbentuk segi tiga. Pada ujung kiri segi tiga terdapat guratan angka 2
berwarna biru. Di ujung segi tiga sebelah atas tertera angka 1, juga
berwarna biru. Lalu pada ujung segi tiga sebelah kanan ada lagi angka 2
berwarna biru.
“Batu putih berangka Dua Satu Dua. Apa artinya ini, Ananda?
Apa kegunaannya?” tanya Raja Mataram.
“Yang Mulia, simpan batu itu baik-baik. Jangan sampai hilang.
Kelak batu itu akan menjadi tanda pengenal bagi seseorang yang datang
dari negeri delapan ratus tahun mendatang, yang akan menemui Yang
Mulia. Yang dengan izin Yang Maha Kuasa akan menolong Yang Mulia,
Kerajaan dan rakyat Mataram... Yang Mulia, kita berpisah sampai di
sini. Semoga Yang Maha Kuasa melindungi kita semua...”
“Seseorang dari negeri delapan ratus tahun mendatang akan
memberi pertolongan. Apakah tidak ada orang di Bhumi Mataram ini
yang berkemampuan melakukan hal itu? Bagaimana mungkin orang
yang masih belum ada dimintakan pertolongannya? Ananda, maafkan
saya. Tapi saya benar-benar tidak mengerti.”
“Yang Mulia,” sahut Mimba Purana, “kekuasaan Yang Maha Kuasa
terkadang tidak bisa diterima akal kita bangsa manusia. Tapi siapakah
yang berani membantah? Selain Kuasa, Dia juga Maha Mengetahui apa-
apa yang ada di dalam hati kita, apa-apa yang telah terjadi di masa lalu
dan apa-apa yang akan terjadi sekalipun di masa ribuan tahun
mendatang. Yang Mulia boleh merasa ragu akan kemampuan manusia
termasuk diri saya. Tapi jangan sekali-kali meragukan kemampuan
Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa...”
Seiring dengan berakhirnya ucapan, anak leiaki dua beias tahun
itu lenyap dari pemandangan, meninggalkan selubung cahaya kuning
yang menebar bau harum untuk beberapa lamanya. Rakai Kayuwangi
menghela nafas panjang berulang kali sambil menyebut nama Yang
Maha Kuasa. Lalu dia melangkah mendekati Kuda Lumping yang
tersandar di dinding ruangan. Setelah memperhatikan dan mengusap-
usap benda itu, punggung dan tubuh Kuda Lumping diletakkan di
antara kedua kakinya. Lingkaran tali disangkutkan ke leher. Cemeti
dicabut lalu dicambukkan ke pinggul Kuda Lumping sebelah kanan.
•Taarrr!”
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi tercekat.
Suara menggeledek membahana dalam ruangan batu. Di
kejauhan terdengar suara kuda meringkik. Giring-giring di leher Kuda
Lumping berbunyi nyaring.
Wuttt! Saat itu juga Kuda Lumping melesat ke udara, menembus
atap ruangan bersama Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala
yang da di atas punggungnya!
SEMBILAN
DALAM serial sebelumnya yang berjudul “Malam Jahanam Di Mataram”
diceritakan Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu dengan seorang gadis
usia empat belas tahun, bernama Ni Gatri anggota pemain rombongan
Kuda Lumping Cahaya Utara. Ketika tengah mengadakan pertunjukan
di sebuah pasar di Demak Ni Gatri hampir celaka bahkan tewas akibat
perbuatan jahat seseorang yang berada di antara para penonton. Wiro
yang ikut berkerumun dEanfaraorafig banyak menyaksikan pertunjukan
berhasil menyelamatkan si gadis.
Di balik kejadian Itu ternyata pembunuhan terhadap Ni Gatri
memang sudah direncanakan oleh mahluk alamroh yang telah sejak
lama mengikuti si gadis. Di saat yang bersamaan ada roh putih seorang
kakek memasuki tubuh si gadis sehingga Ni Gatri berperi laku aneh dan
bicara dengan suara mahluk yang ada dalam tubuhnya yaitu suara si
kakek. Saat itu Ni Gatri mengeluarkan ucapan aneh menyangkut diri
Wiro. “Kau... Akhirnya kutemui juga dirimu... Ki Sugeng saya memang
tidak mengenal pemuda ini. Tapi saya yakin dialah orangnya.”
Di pasar itu ada seorang kakek berdestar merah yang dibentak
oleh Ni Gatri dengan suara anehnya. “Kaulah pembawa roh jahat itu!
Kau yang hendak memasukkan angkara murka ke dalam tubuhku. Tapi
Dewa Penguasa Jagat melindungi diriku, menghancurkan kejahatanmu!
Sekarang tinggalkan tempat ini atau kau akan kujadikan mahluk paling
hina di muka bumi ini!”
Sewaktu Wiro meninggalkan pasar, Ni Gatri melarikan diri dari
rombongan dan pergi mengejar Wiro. Dalam usahanya mencari Wiro
gadis ini dikejar oleh seekor anjing buduk jejadian yang memiliki
delapan benjolan merah di kepala. Binatang ini jelas hendak membunuh
si gadis. Kembali Wiro menyelamatkan Ni Gatri. Anjing hitam dihajar
dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari hingga kepalanya
hancur. Sosok anjing berubah menjadi kepulan asap merah yang
kemudian melesat lenyap ke udara. Di tempat itu lalu muncul samar
sosok seorang lelaki tua berpakaian hitam. Di keningnya ada delapan
benjolan merah. Sebelum lenyap orang tua ini berkata pada Wiro. “Anak.
muda, jangan pernah mengira kalau aku sudah menemui ajal! Delapan
Sukma Merah tidak pernah mati! Ha... ha... ha!”
Yang membuat murid Sinto Gendeng jadi bingung adalah ketika Ni
Gatri menyatakan bahwa dia ingin ikut ke mana Wiro pergi. Dia tidak
mau kembali ke rombongan pemain Kuda Lumping karena takut akan
diperlakukan mesum oleh pimpinan rombongan yang bernama Ki
Sugeng Jambul. Karena merasa ada sesuatu yang aneh dalam diri Ni
Gatri yang berhubungan dengan dirinya Wiro akhirnya mengajak gadis
belia itu ke Kotaraja untuk dititipkan pada seorang sahabat. Dia merasa
hiba dan sekaligus bertanggung jawab kalau sampai terjadi sesuatu
yang buruk dengan Ni Gatri.
Mereka memasuki pinggiran Kotaraja sebelah barat menjelang
senja. Sahabat yang dimaksudkan Wiro adalah sepasang kakek nenek
yang dikenal dengan panggilan Kakek dan Nenek Pringkun. Kedua
suami istri yang tidak punya anak ini bekerja sebagai abdi dalem di
Keraton Sultan. Sekali seminggu mereka pulang ke rumah mereka di
pinggiran Kotaraja.
Kakek-nenek Pringkun selain terkejut melihat kedatangan Wiro
yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ditemui sekaligus merasa
gembira mengetahui bahwa Pendekar 212 datang membawa seorang
gadis belia ayu. Sambil membelai kepala Ni Gatri Kakek Pringkun
berkata.
“Pendekar, kami berdua tentu saja sangat bahagia ketitipan Ni
Gatri. Puluhan tahun kawin tidak punya keturunan. Hari ini Dewa
Agung mengulurkan tangan Kasih memberikan seorang gadis pada
kami. Namun mungkin Ni Gatri belum berjodoh dengan kami...”
“Apa maksud Ki Pringkun?” tanya Wiro yang biasa memanggil si
kakek dengan sebutan Ki.
Kakek Pringkun menatap wajah istrinya yang tampak seperti
sedih. Baru kemudian dia menjawab pertanyaan Wiro.
“Kedatangan Ni Gatri sudah diketahui Raden Mas Jonggrang
Pringgo. Beliau sejak sore tadi sudah menunggu. Saat ini beliau berada
di halaman belakang. Seperti kami berdua beliau juga tidak punya
keturunan...”
Wiro merasa heran. Sementara mendengar kata-kata si kakek Ni
Gatri langsung memegang lengan Wiro.
“Kakak, Gatri suka tinggal di sini bersama kakek-nenek ini. Tapi
kalau ikut orang yang bernama Raden Mas Jonggrang Pringgo itu Gatri
tidak mau. Gatri mau ikut Kakak saja.”
“Ni Gatri, kau tentu saja belum tahu siapa adanya Raden Mas
Jonggrang Pringgo. Nanti kau lihat sendiri. Orangnya baik, istrinya juga
baik.” Berkata nenek Pringkun.
Sebagai jawaban Ni Gatri menggelengkan kepala berulang kali
sementara kedua matanya mulai merebak berkaca-kaca.
“Ki Pringkun, siapa adanya orang bernama Raden Mas Jonggrang
Pringgo itu?” Bertanya murid Sinto Gendeng.
“Beliau seorang bangsawan, tinggal di Kotaraja, tak jauh dari
kawasan Keraton. Masih punya pertalian darah dengan salah seorang
istri Pangeran Kerajaan. Nasib anak ini benar-benar cemerlang. Dia
akan bahagia tinggal bersama Raden Mas Jonggrang Pringgo...”
Wiro memandang pada Ni Gatri. Si anak kembali geleng-gelengkan
kepala. Kakek Pringkun lantas berkata.
“Karena Raden Mas Jonggrang sudah ada sejak petang tadi berada
di rumahku, dan kalian berdua sudah datang, tidak baik membiarkan
beliau menunggu berlama-lama. Baiknya aku perkenalkan kalian
berdua dengan beliau.”
“Ki Pringkun, tunggu dulu. Bagaimana Raden Mas Jonggrang tahu
kalau gadis ini akan datang ke sini hari ini?” Murid Sinto Gendeng
kembali ajukan pertanyaan.
“Pendekar, sudahlah. Simpan dulu pertanyaanmu. Mari kita
menemui bangsawan yang baik hati itu.” Kakek Pringkun lalu menarik
tangan Wiro sementara istrinya menuntun Ni Gatri membawa mereka
masuk ke dalam rumah terus menuju ke halaman belakang di mana
terdapat sebuah taman kecil.
Di dalam taman kecil dan sederhana di atas sebuah tonggak batu
yang dibentuk menyerupai bangku, duduk seorang lelaki berbadan
gemuk, berperut buncit. Kumis dan janggut tebal menghias wajah yang
berminyak. Pakaian mewah, kalung bersusun sampai tiga. Di atas
kepala bertengger topi tinggi hitam bersulam benang emas. Sebilah keris
bersarung perak terselip di pinggang.
Sambil setengah membungkuk Kakek Pringkun berkata. “Raden
Mas Jonggrang, Raden Mas ternyata betul. Ini gadis bernama Ni Gatri
yang Raden Mas katakan itu...”
Orang bernama Raden Mas Jonggrang berdiri dan tersenyum
lebar. Namun Wiro melihat senyum itu menjadi berubah pencong ketika
pandangan sepasang mata mereka saling beradu.
“Kakak, saya tidak mau ikut orang buncit itu...” Berkata Ni Gatri
sambil memegang Wiro kuat-kuat.
“Ni Gatri, jangan bicara seperti itu.” Berkata Nenek Pringkun.
Raden Mas Jonggrang Pringgo tertawa gelak-gelak. Wiro merasa
suara tawa itu membuat tanah yang dipijak bergetar.
“Hemm... Raden Mas ini agaknya sengaja hendak memperlihatkan
kehebatan tenaga dalamnya. Apa maksudnya...?” Membatin Pendekar
212 dalam hati.
“Anak ini takut melihat perut buncitku! Ha... ha... ha! Tak jadi
apa. Ki Pringkun kereta yang akan menjemputku agaknya terlambat
datang. Biar aku langsung saja membawa gadis ini...”
Sementara Raden Mas Jonggrong Pringgo bicara Wiro
memperhatikan. Dalam hati dia berkata.
“Aku merasa ada yang aneh pada orang satu ini. Tapi aku tidak
bisa memastikan apa. Topi dan pakaiannya bagus. Kasut juga bagus.
Dua kaki menginjak tanah pertanda dia memang manusia
benaran adanya. Janggut dan kumis tebal melintang, terpelihara rapi.
Tapi...”
Tiba-tiba ada satu cahaya kelabu berkelebat, entah dari mana
datangnya masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Pada saat yang bersamaan
keanehan yang tadi dirasakan Pendekar 212 kini dilihatnya sebagai satu
kenyataan. Sang Raden Mas Jonggrang Pringgo tidak memiliki bandar di
bibir bagian atas, yaitu antara kumis kiri kanan yang tebal melintang.
Mahluk yang tidak memiliki bandar di bibirnya seperti itu hanyalah
sebangsa mahluk halus, jin atau roh jahatl
SEPULUH
TIDAK menunggu lebih... lama Pendekar 212 Wiro Sableng segera
melompat dan mencekal kerah pakaian bagus Raden Mas Jonggrang
Pringgo.
“Bangsawan keparat! Kau punya niat jahat terhadap Ni Gatri!
Perlihatkan ujudmu sebenarnya!” Sambil membentak Wiro alirkan
tenaga dalam mengandung hawa sakti panasi
Kakek nenek Pringkun berseru kaget melihat apa yang pakukan
Wiro.
Meski tubuhinengepulkan asap akibat hawa panas yang
menghantamnya namun Raden Mas Jonggrang Pringgo menyeringai lalu
tertawa bergolak. $£aJEitu juga delapan benjolan merah muncul di
keningnya!
“Jahanaml” Wiro ingat anjing buduk dan kakek berpakaian hitam
yang pernah hendak mencelakai Ni Gatri. Kedua Mahluk itu sama
memiliki delapan benjolan merah di kening. Dan kini benjolan seperti itu
ada pula di kening Raden Mas Jonggrangl
Tangan kanan Wiro segera bergerak melepaskan pukulan jarak
dekat. Pukulan diarahkan ke kepala Raden Mas Jonggrang. Orang yang
diserang masih menyeringai. Padahal pukulan yang dilancarkan murid
Sinto Gendeng adalah pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang
bisa membuat hancur batu sebesar rumah! Apa lagi kepala manusia,
bisa hancur lumat dan gosong!
“Anak muda, kau punya tangan yang bisa memukul. Tapi kau
tidak pernah menyadari tangan itu adalah seekor ular besar yang akan
melilit menghancur remuk tubuhmu sendiri!”
Begitu Raden Mas Jonggrang selesai keluarkan ucapan tiba-tiba
tangan kanan Wiro yang mencekal leher bajunya berubah menjadi
seekor ular hitam legam yang memiliki delapan benjolan merah kecil di
kepalanya. Serta merta gerak serangan sang pendekar menjadi tertahan!
Pendekar 212 berseru kaget ketika ular besar itu tiba-tiba
mendesis keras lalu berbalik dan dalam sekejapan mata saja binatang
ini telah melilit Wiro mulai dari bahu sampai ke kaki!
“Kreekk! Kreekk!”
Tulang bahu dan pinggul Wiro mengeluarkan suara berderak.
Sambil jatuhkan diri Wiro dengan cepat terapkan ilmu Belut
Menyusup Tanah. Tubuhnya serta merta menjadi licin seperti belut.
Walau cukup susah namun Wiro berhasil lepaskan diri dari lilitan ular
hitam.
Tidak mampu melumat Wiro, ular hitam melesat ke arah Ni Gatri.
Mulut dibuka lebar. Selarik sinar hitam yang menebar bau sangat busuk
menyembur ke sekujur tubuh Ni Gatri mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Gadis ayu! Ubah dirimu dan ikut aku! Atau kau kubunuh sekarang
juga!” Ular hitam besar keluarkan ucapan suara manusia.
Ni Gatri menjerit. Dari tubuhnya memancar cahaya putih,
berusaha membendung datangnya semburan sinar hitam. Namun
kekuatan serangan ular hitam setingkat lebih hebat. Walau cahaya
putih sanggup bertahan tapi tubuh dari pinggang ke bawah saat itu
tampak telah berubah menjadi tubuh ular hitami “Ikut aku.”
Ular hitam besar kembali keluarkan ucapan.
Ni Gatri tampak menggapai-gapai. Buntut ularnya menjejak-jejak
tanah seperti berjalan. Tiba-tiba tubuh gadis ini melayang ke arah ular
besar. Dua tangan dikembang seperti hendak minta dirangkul!
“Orang tua, peluk diriku. Aku ikut bersamamu...” Ni Gatri
berseru. Dan suara yang terdengar adalah suara aslinya.
Namun ada satu kekuatan di dalam tubuh si gadis yang berusaha
menolak dan melindungi dirinya dari kekuatan yang hendak merubah
dan membawa melarikannya. Dari mulut Ni Gatri lalu keluar ucapan
suara seorang kakek.
“Delapan Sukma Merah! Kau boleh muncul seribu ujud. Kau boleh
berada di mana-mana. Tapi kematian bagimu juga ada di mana-mana!
Bagi roh jahat tidak ada tempat di alam manapun!”
Ular besar mendesis keras. Ujung ekor yang panjang runcing
laksana sebilah pedang menyambar ke arah leher Ni Gatri. Si gadis yang
sebagian tubuhnya telah berubah menjadi ular hitam menjerit keras.
Saat itulah dari samping kanan tiba-tiba berkiblat cahaya putih
menyilaukan disertai suara menggelegar dahsyat dan tebaran panas luar
biasai
Taman kecil di bagian belakang rumah kediaman Ki Pringkun
laksana terbongkar. Tanah dan segala macam tanaman termasuk batu
dan meja terbuat dari batu bermentalan ke udara. Sebagian dinding
halaman belakang roboh hangus. Kakek nenek Pringkun jatuh
bergulingan di tanah. Udara panas terasa seperti hendak melelehkan
tubuh. Ni Gatri menjerit keras. Anak perempuan ini tergolek dekat
sebuah jambangan besar yang telah hancur. Tubuhnya masih
berbentuk setengah manusia setengah ular.
Di tanah, dekat reruntuhan tembok halaman sosok ular besar
hitam yang telah berubah gosong menggelepar-gelepar mengeluarkan
suara desis berkepanjangan. Tak selang berapa lama ujud binatang
jejadian ini kepulkan asap busuk. Dalam kegelapan senja memasuki
malam, asap berubah membentuk sosok seorang kakek berpakaian
hitam yang kemudian melesat ke udara dan lenyap dari pandangan
mata. Orang tua ini adalah yang pernah dilihat Wiro secara samar,
muncul setelah dia membunuh anjing besar hitam dan buduk yang
mengejar Ni Gatri.
Tiba-tiba ada suara orang tertawa cekikikan.
“Hik... hik... Pukulan Sinar Matahari! Aku kira ilmu kesaktian itu
sudah kau jual pada orang lain
Wiro terkejut. Memandang berkeliling.
“Ada suara tak ada orangnya. Mungkin aku salah mendengar.
Tapi rasa-rasanya itu memang suara dia. Atau masih ada mahluk gaib
berkeliaran di sekitar sini menyaru suara, mengincar Ni Gatri. Anak itu
dirinya selalu diikuti maraba-haya ke mana dia pergi. Bagaimana aku
harus menolongnya. Aku tak mungkin membawanya ke mana aku pergi.
Dan sekarang sosoknya berbentuk setengah ular setengah manusia.
Ketika ular jahanam itu tadi menyemburnya, ada cahaya putih di dalam
tubuhnya berusaha menolong namun kalah kuat...”
Wiro melangkah mendekati Ni Gatri.
“Kakak, tolong... Bagaimana ini. Bagaimana tubuh Gatri bisa jadi
begini. Gatri takut...” Ni Gatri berucap dengan suara tersendat-sendat.
Wajahnya tampak pucat.
Ketika Wiro berjongkok di samping anak perempuan itu, tiba-tiba
satu bayangan hitam berkelebat. Wiro melihat dua kaki kurus kering tak
berkasut berdiri di tanah di hadapannya. Lalu ada kain panjang dan
kebaya hitam basah menebar bau pesing. Melihat lebih ke atas Pendekar
212 tersentak kaget. Buru-buru dia melompat lalu membungkuk dan
berseru. “Eyang Sinto!”
“Hik... hik! Anak setan, aku belum ingin bicara denganmu. Aku
mau bicara dulu dengan anak perempuan ini. Tidak! Bukan dengan
anak perempuan ini, tapi dengan mahluk yang ada di dalam dirinya!”
Orang yang berdiri di hadapan Wiro saat itu adalah nenek tua
berkulit hitam bermata cekung. Rambut putih jarang digulung di atas
kepala. Kepala itu sendiri ditancapi lima tusuk konde dari perak. Nenek
ini bukan lain Sinto Gendeng, tokoh angker rimba persilatan dan adalah
guru sang pendekar.
Dengan ujung tongkatnya Sinto Gendeng mengangkat tubuh Ni
Gatri hingga terduduk tersandar ke runtuhan tembok. Dengan tongkat
itu pula si nenek kemudian mengusap bagian tubuh gadis belia itu
mulai dari pinggang ke bawah. Tongkat berpijar biru. Tubuh Ni Gatri
tersentak. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara seperti orang
menjerit. Ujud tubuh bagian bawah Ni Gatri yang sebelumnya berbentuk
ular serta merta berubah, kembali pada keadaan aslinya. Sadar dirinya
ditolong orang, walau takut melihat wajah si nenek namun Ni Gatri
cepat berlutut.
“Nenek, saya Ni Gatri menghatur ribuan terima kasih kau telah
mengembalikan ujud saya...”
“Hemmm...” Sinto Gendeng keluarkan suara bergumam. Tongkat
kayu diusap-usapkan di atas kepala Ni Gatri. “Anak baik, anak tahu
diri. Sekarang kancing dulu mulutmu. Aku mau bicara dengan mahluk
yang ada dalam tubuhmu
SEBELAS
SINTO GENDENG bungkukkan tubuh sedikit. Wiro melihat tidak
biasanya sang guru memberi penghormatan seperti itu. Apa lagi pada
orang yang sosoknya tidak terlihat.
“Sahabat di dalam tubuh anak perempuan bernama Ni Gatri, kau
telah melindungi anak ini. Berarti kau mahluk putih. Harap kau mau
memberi tahu siapa dirimu, kau datang dari mana dan apa maksud
keperluanmu. Apakah kehadiranmu dan semua apa yang terjadi di sini
sesuai dengan petunjuk Yang Maha Kuasa yang aku terima melalui
mimpi...”
Baik Wiro apa lagi nenek Pringkun memperhatikan dengan
perasaan mencekam. Mereka sama memandang ke arah Ni Gatri.
Ni Gatri membuka mulut. Suara yang keluar dan terdengar bukan
suaranya namun suara kakek-kakek. Wiro ingat kejadian di pasar
Demak. Ketika memaki kakek jahat berdestar Ni Gatri juga bicara bukan
dengan suaranya sendiri.
“Nenek bersunting lima di atas kepala. Saya sangat menaruh
hormat padamu. Saya mahluk yang datang dari jauh dari Kerajaan
Mataram Kuna, di alam yang berbeda delapan ratus tahun silam dari
saat ini. Saya menerima tugas dari Yang Maha Agung untuk melindungi
anak perempuan bernama Ni Gatri itu. Ternyata ilmu kepandaian yang
saya miliki masih belum memadai. Bersyukur kepada Sang Hyang
Bathara Agung kau dan muridmu telah memberikan pertolongan...”
“Oala... Kalau begitu kau adalah salah seorang leluhur kami...
Hanya Yang maha Kuasa yang mampu membuat kejadian seperti ini...”
Sinto Gendeng membungkuk sampai beberapa kali.
“Nenek berkonde lima, jangan membuat aku sungkan dengan
segala pernghormatan...” Berkata mahluk yang ada di dalam tubuh Ni
Gatri.
“Sahabat, mengapa kau merasa perlu menyelamatkan anak
perempuan itu. Siapa yang berhati jahat menginginkan kematiannya
dan apa alasannya...” Bertanya Sinto Gendeng.
“Anak perempuan itu akan menjadi penghubung bagi Raja
Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala dalam menyelamatkan Kerajaan
dan rakyat Mataram yang saat ini tengah ditimpa bala bencana
mengerikan. Mahluk-mahluk jahat yang dikendalikan seseorang yang
menginginkan agar hubungan tidak terjadi. Itu sebabnya mereka ingin
menghabisi anak perempuan itu...”
“Sahabat, apakah kau mempunyai nama. Dapatkah kau
memperlihatkan ujudmu...?”
“Nenek berkonde lima. Tidak ada kesulitan bagi saya untuk
memberi tahu nama dan memperlihatkan ujud. Namun saya membekali
pesan Para Dewa di Swargaloka untuk tidak melakukan hal itu.
Penyebabnya karena di alammu dan di alam saya banyak sekali telinga
musuh yang bisa mendengar dan mata yang bisa melihat. Kematian bagi
saya bukan apa-apa. Tapi jika tugas saya gagal di tengah jalan maka
seumur hidup bahkan sampai di liang kubur saya akan dibebani dosa
pada Raja dan rakyat Mataram. Saya mohon maaf karena waktu saya
sudah habis. Satu hal sangat saya harapkan. Jangan pisahkan Ni Gatri
dengan muridmu. Paling tidak sampai tengah malam nanti. Dan mohon
diwaspadai, jangan sampai ada kekuatan gaib memisahkan mereka.
Saya mohon nenek bersunting bisa membawa mereka ke rimba kecil tak
jauh dari candi Prambanan. Tunggulah di sana sampai sesuatu
terjadi...”
Kening berkulit tipis Sinto Gendeng mengerenyit lalu berpaling
menatap pada sang murid. Wiro garuk-garuk kepala.
“Mengapa kau meminta agar muridku dan anak perempuan itu
jangan sampai dipisahkan...?” bertanya Sinto Gendeng.
“Karena muridmulah orang yang akan dihubungi oleh Raja
Mataram melalui alam gaib dan melalui anak perempuan bernama Ni
Gatri.”
Sinto Gendeng kini semakin mengerti mengapa musuh Raja
Mataram ingin mencelakai bahkan membunuh Ni Gatri. Supaya
hubungan terputus.
“Tapi sahabat, kenapa musti muridku?” bertanya lagi Sinto
Gendeng.
“Maaf, saya tidak bisa mengatakan. Saat ini saya melihat di
sekeliling tempat ini ada bayangan seratus mahluk hitam bugil yang di
negeri dan zaman kami disebut Seratus Jin Perut Bumi. Mereka bisa
mencelakai diri saya dan juga muridmu...”
“Persetan! Jangankan Jin Perut Bumi. Jin Dari Perut Neraka
sekalipun aku tidak takut I” Ucap Sinto Gendeng. Si nenek lalu
memandang sekeliling kegelapan malam. Dia tidak melihat mahluk-
mahluk yang dikatakan kakek di dalam tubuh Ni Gatri. Namun si nenek
sakti bisa merasakan kehadiran mahluk asing itu. Cuping hidung Sinto
Gendeng bahkan bisa mencium bau mereka. Bau amis!
“Wiro, kau mencium bau sesuatu...?” Tanya Sinto Gendeng pada
Wiro.
Sang murid menghirup udara malam dalam-dalam. Lalu
gelengkan kepala.
“Maaf Eyang, saya tidak mencium bau apa-apa. Kecuali...”
“Kecuali apa?!” tanya si nenek dengan pelototkan mata karena
sudah merasa.
“Maaf Eyang Guru. Yang tercium oleh saya saat ini hanya bau
pesing di tubuh dan pakaianmu...”
“Anak setan! Dasar! Kurang ajar!” Sinto Gendeng memaki panjang
pendek.
Ni Gatri tertawa cekikikan. Suara tawanya adalah suaranya
sendiri. Pertanda mahluk yang ada di dalam tubuhnya telah
meninggalkan dirinya.
“Kalian berdua lekas ikut aku ke rimba belantara dekat candi
Prambanan itu...” Berkata Sinto Gendeng. Kalau sampai tengah malam
nanti tidak terjadi apa-apa berarti tak ada yang perlu dicemaskan. Dua
malam lalu aku memang bermimpi bahwa ada seseorang dari alam gaib
memberikan mahkota padamu. Mahkota dalam artian mimpi adalah
tugas sangat berat dan juga satu pertanda bahwa kau akan pergi ke
satu alam lain...”
“Nek, apa kau percaya ucapan mahluk yang tadi berada di dalam
tubuh Ni Gatri itu? Bagaimana kalau dia menipu hingga kita semua
kelak jadi celaka.”
Sinto Gendeng gelengkan kepala lalu tersenyum.
“Kau tersenyum Nek, memangnya kenapa? Ada yang lucu?” tanya
Wiro.
“Tidak ada yang lucu. Aku hanya mengenang...”
“Mengenang? Mengenang apa Nek?” Senyum sang guru semakin
lebar. “Mengenang wajahnya.”
“Heh...? Wajah siapa Nek?” tanya Wiro lagi.
“Wajah kakek gagah yang ada di dalam tubuh Ni Gatri,” jawab
Sinto Gendeng.
Wiro tercengang, menggaruk kepala lalu berkata.
“Ah... rupanya kau tertarik pada kakek itu. Hemm... pantas tadi
aku melihat Eyang Guru kau bulak balik merunduk membungkukkan
tubuh. Pasti Eyang Guru bukan cuma tertarik. Tapi sudah kepincut
alias jatuh hati padanya...”
“Husss!” Sinto Gendeng membentak.
“Nek, cinta dimasa tua memang lain pula indahnya dibanding
dengan cinta orang muda-muda...”
“Anak setani Jangan macam-macam kau. Aku pelintir pusarmu
nanti!” Mengancam Sinto Gendeng. Lalu dia sambumg ucapannya. “Para
leluhur kita sedang dalam kesulitan. Lekas kau gendong anak
perempuan itu. Kita harus segera berada di hutan yang dikatakan kakek
itu.”
“Kakek atau kakak Nek,” ucap Wiro menggoda.
“Anak setan!” Kembali sang guru memaki.
“Anu Nek, mengapa kau tidak minta dipeluk dan dicium sama
kakek gagah itu?”
“Heh?!” Sinto Gendeng tertegun sejenak. Lalu kembali mulut
perotnya berteriak memaki.
“Anak setan! Bego! Gelo! Sinting! Edan! Jangan sampai aku remas
kantong menyanmu!”
DUA BELAS
PEDATARAN kecil di luar desa Candi di kaki Gunung Ungaran. Saat itu
matahari bersinar terik-teriknya. Kegersangan agak berkurang dengan
kehadiran tujuh buah candi walaupun dari keadaannya jelas kurang
terawat. Itulah kelompok Candi Gedong Pitu yang dibangun oleh Raja
Raja Mataram pendahulu Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala.
Di langit setelah utara serombongan burung melayang terbang ke
arah barat. DI Ujung pedataran yang sunyi sebelah selatan enam orang
anak penggembala menggiring selusin kerbau ke arah kali kecil cabang
sungai Wringin.
Ketika rombongan burung lenyap di langit sebelah barat dan
anak-anak penggembala bersama kerbau-kerbaunya menghilang di
lembah yang menurun yang menuju kali, di langit sebelah utara tiba-
tiba kelihatan satu pemandangan aneh. Ada orang melayang terbang
menunggangi benda berbentuk kuda. Orang ini bukan lain Sri Maharaja
Mataram yang diterbangkan oleh Kuda Lumping yang menurut Mimba
Purana, Satria Lonceng Dewa, berasal dari alam delapan ratus tahun
dimasa yang akan datang.
Di pertengahan pedataran di mana kelompok tujuh candi berada,
Kuda Lumping melayang turun. Begitu Sri Maharaja Mataram
menjejakkan kaki di tanah telinganya mendengar suara orang
melafatkan bacaan yang berasal dari Kitab Weda. Demikian indahnya
orang itu melafat hingga siapa saja yang mendengar akan merasakan
kesejukan dalam jiwa raganya.
Rakai Kayuwangi selipkan cemeti di leher Kuda Lumping,
tanggalkan tali kulit yang melingkar di lehernya lalu membuka giring-
giring perak yang tergantung di leher, menyimpannya di balik pinggang
pakaian. Kuda Lumping kemudian disandarkan pada serumpun semak
belukar. Dia memandang berkeliling, mata mencari-cari orang yang
tengah melantunkan bacaan Kitab Weda.
Sang Raja kemudian melihat ada seorang tua renta berpakaian
dekil penuh tambalan duduk dekat tangga salah satu candi. Rambut
putih panjang dan janggut menjela dada melambai-lambai ditiup angin
pedataran. Rakai Kayuwangi perhatikan kening si orang tua. Dia merasa
lega karena kening itu licin, tidak ada delapan benjolan merah berasap.
Di atas kakinya yang bersila terletak sebatang tongkat berlapis daun-
daun kering. Di sebelah depan, di tanah ada sebuah tempurung. Orang
tua ini melafalkan isi Kitab Weda di luar kepala sambil jari tangan
diacung-acung ke udara dan digoyang-goyang sesuai dengan lantunan
irama bacaan. Kepala diangkat menghadap ke langit, mata dipejamkan.
Debu pedataran mengotori wajahnya. Berarti dia sudah cukup lama
berada di tempat itu.
Rakai Kayuwangi berhenti di hadapan si orang tua. Mengira orang
tua ini adalah seorang pengemis maka dia memeriksa saku baju
pakaiannya. Ternyata dia tidak memiliki sekeping uangpun. Tidak mau
mengecewakan pengemis tua itu Rakai Kayuwangi tanggalkan sebuah
gelang emas yang melingkar di per-gelangan tangan kirinya.
Ketika dia membungkuk untuk menaruh gelang itu di dalam
tempurung dua hal mengejutkan sang Raja.
Hal pertama karena melihat, di dalam tempurung ada dua
potongan kayu. Dua potongan kayu itu sangat sama dengan dua potong
kayu yang tahu-tahu muncul di ruangan di bawah Pegunungan Dieng
setelah dia memotong ke dua jari tengahnya sesuai dengan permintaan
bocah sakti Satria Lonceng Dewa Mimba Purana. Bagaimana mungkin?
Hal kedua. Ketika menatap wajah si pengemis dalam jarak yang
begitu dekat, ternyata orang tua ini memiliki sepasang mata yang
keseluruhannya putih alias butal
Tidak ada waktu untuk berpikir karena dia harus segera
menemukan makam Empat Mayat Aneh maka Rakai Kayuwangi berlalu
dari hadapan sang pengemis.
Sang Raja berjalan sambil menatap ke atas. Sesuai keterangan
Mimba Purana, Makam Empat Mayat Aneh terletak di udara, tidak bisa
terlihat mata biasa. Rakai Kayuwangi jadi bingung. Bagaimana dia bisa
menemukan makam itu? Mengapa sebelumnya dia tidak meminta
petunjuk pada Mimba Purana?
Baru berjalan sekitar tiga tombak Rakai Kayuwangi hentikan
langkah. Di sebelah sana orang tua pengemis berhenti melafatkan
bacaan Kitab Weda. Kini terdengar suaranya menyanyi.
Seorang insan berlalu begitu saja
Berhati baik dan pemurah
Namun berpikiran tidak sejernih kaca
Apakah mungkin membuka pintu
Tanpa memiliki kunci
Apakah mungkin melihat yang gaib
Dengan mata telanjang
Tanpa terlebih dulu
Membuka pintu hati
Sri Maharaja Mataram terpana seketika. Lalu dia ingat ucapan
Mimba Purana sewaktu berada di dalam ruangan batu yang terletak di
dasar pegunungan Dieng.
“...Bilamana Yang Mulia telah sampai di kawasan Candi Gedong
Pitu, akan ada seseorang menemui Yang Mulia...”
“Jangan-jangan pengemis itu orang yang dimaksud anak itu.”
Tidak berpikir lebih lama Rakai Kayuwangi segera berbalik mendatangi
si orang tua. Sampai di hadapan sang pengemis, Raja Mataram duduk
bersila di tanah. Dia memegang lutut orang. Pengemis tua hentikan
nyanyiannya.
Raja Mataram segera keluarkan ucapan.
“Orang tua, maafkan kalau saya pergi begitu saja. Apakah kau
orang yang dimaksudkan Satria Lonceng Dewa sebagai orang yang akan
saya temui di kawasan Candi Gedong Pitu ini?”
Orang tua bermata buta menatap Rakai Kayuwangi lalu berkata.
“Aku mengenal anak keramat berjuluk Satria Lonceng Dewa,
bernama Mimba Purana. Tapi aku tidak mengenal dirimu. Siapakah kau
adanya hingga begitu dermawan memberi aku sebuah gelang emas
besar. Padahal aku tidak meminta, tidak pula mengemis...”
Berubahlah paras Raja Mataram.
“Orang tua, maafkan diri saya. Saya tidak bermaksud
merendahkan dirimu. Tapi di tempat seperti ini, keadaan dirimu, bacaan
suci yang kau lafatkan serta tempurung yang ada dihadapanmu
memberi kesan... Saya mohon beribu maaf kalau telah mengira dirimu
adalah seorang pengemis. Tapi saya tidak akan mengambil kembali apa
yang telah saya berikan kepadamu. Itu saya berikan dengan keikhlasan
hati saya.”
“Insan, dari bau debu yang melekat di tubuh dan pakaianmu
rupanya kau datang dari jauh. Dari suaramu tersirat tanda kau
mengidap penyakit, menanggung beban yang maha berat dan sangat
keletihan. Siapakah dirimu adanya?”
“Saya Rakai Kayuwangi.”
“Rakai Kayuwangi.” Mengulang si orang tua bermata putih buta.
“Ada banyak orang bernama Rakai Kayuwangi di jagat ini. Kau Rakai
Kayuwangi yang mana? Berasal dari mana?”
“Saya Rakai Kayuwangi Lokapaia. Berasal dari Bhumi Mataram,”
Sang Raja masih belum mau menjelaskan siapa dirinya sebenarnya,
kalau dia adalah Sri Maharaja Kerajaan Mataram. Ini disebabkan karena
dia masih merasa was-was siapa sebenarnya orang tua bermata putih
buta di tempat sepi kawasan tujuh candi ini.
“Aku mengharapkan kedatangan seekor burung elang, yang
datang ternyata seekor burung pipit. Insan dalam perjalanan, silahkan
berlalu, aku akan meneruskan bacaan melafatkan isi Kitab Weda...”
Rakai Kayuwangi bangkit dari duduknya. Si orang tua ulurkan
tangan kanan mengambil gelang emas besar di dalam tempurung
dengan maksud hendak mengembalikan pada Rakai Kayuwangi. Ketika
jari-jari tangannya memegang gelang, kebetulan menyentuh permukaan
yang ada ukiran burung Rajawali mengembangkan sayap. Dia mengusap
ukiran berulang kali dengan ujung jari tangan. Ukiran itu adalah
gambar atau salah satu lambang-lambang keramat Kerajaan Mataram.
Wajah si orang tua berubah. Mata yang buta ditatapkan ke arah Rakai
Kayuwangi. Tubuh dibungkukkan. Mulut berucap.
“Sri Maharaja Mataram, Rakai Kayuwangi Lokapala, saya memang
menunggu kedatangan Yang Mulia. Mengapa tidak memberi tahu dari
tadi siapa Yang Mulia sebenarnya. Mohon maafmu kalau saya telah
berlaku tidak sopan bahkan mungkin kurang ajar.”
Raja Mataram usap wajahnya berulang kali lalu menjawab.
“Saya juga mohon maaf kalau telah mengambil sikap yang tidak
berkenan di hatimu. Orang tua siapakah namamu. Apakah benar kau
orang yang dimaksudkan Satria Lonceng Dewa sebagai orang yang akan
menemui diri saya?”
“Yang Mulia, apa yang dikatakan anak keramat itu benar adanya.
Nama saya adalah Kambara Walanipa. Tapi orang-orang lebih sering
menyebut saya Si Tringgiling. Ini disebabkan karena dalam satu tahun,
saya hanya dua puluh satu hari berada di alam terbuka. Selebihnya
saya berada di dalam tanah. Yang Mulia, silahkan bertanya. Mudah-
mudah Yang Maha Kuasa membimbing saya memberi petunjuk yang
benar.”
“Orang tua, saya datang ke sini demi mencari jalan untuk
menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram dari malapetaka yang
sedang menimpa. Saya harus menemukan sebuah makam dari Empat
Mayat Aneh...”
“Apakah Yang Mulia telah menemukan?” bertanya si Tringgiling.
“Belum. Konon makam itu tergantung di udara. Mata biasa tidak
bisa melihatnya. Saya mohon petunjuk...”
“Makam Empat Mayat Aneh masih tertutup dua pinm gaib. Yang
Mulia tidak akan menemukan makam itu tanpa membuka kunci dua
pintu.”
“Kalau begitu saya mohon petunjuk lebih lanjut.”
“Dua buah kunci pembuka pintu adalah dua potongan kayu yang
ada di dalam tempurung.” Menjelaskan Kambara Walanipa.
Rakai Kayuwangi terkejut. Dia memperhatikan dua potongan kayu
dalam tempurung sebentar lalu berkata.
“Orang tua, tolong saya diberi tahu. Di mana letak dua pintu yang
harus dibuka dengan kunci berupa dua potong kayu itu?”
“Dua pintu itu adalah dua mata Yang Muiia sendiri. Ambil dua
potong kayu di dalam tempurung. Cucukkan ke mata kiri kanan Yang
Mulia lalu diputar ke arah yang berlawanan, masing-masing ke arah
samping kepala. Kalau Yang Mulia mendengar suara kreek, maka berarti
dua pintu telah terbuka. Yang Mulia akan melihat makam yang
mengambang di udara. Yang Mulia hanya tinggal berdoa memohon
pertolongan Yang Maha Kuasa maka makam Empat Mayat Aneh akan
turun ke tanah...”
Mendengar penjelasan orang tua buta berjuluk Si Tringgiling kali
ini kejut Raja Mataram bukan alang kepalang.
“Sebelumnya aku diminta harus memotong dua jari tengah.
Sekarang menusuk dua mata dengan potongan kayu. Kalau orang tua
ini mahluk jahat yang menyaru maka aku akan buta seumur-umur.
Kerajaan dan rakyat Mataram tidak akan tertolong...”
Rakai Kayuwangi perhatikan dengan teliti sosok si orang tua mulai
dari kepaia sampai ke kaki. Dia tidak melihat adanya tanda-tanda yang
mencurigakan.
Tahu kalau Raja Mataram berada dalam kebimbangan, si orang
tua angkat kepala lalu kembali lantunkan suara nyanyian.
Keraguan sifat setiap insan
Keraguan sifat untuk berhati-hati
Tapi keraguan bisa juga mengandung kecurigaan
Hidup di dunia berserah diri kepada Yang
Maha Kuasa
Percaya pada diri sendiri
Adalah pangkal percaya pada orang lain
Mendengar nyanyian Kambara Walanipa keraguan dalam hati
Raja Mataram serta merta sirna. Dia segera mengambil dua potong kayu
di dalam tempurung yang besar dan panjangnya seukuran jari tangan
sebelah tengah. Tidak membuang waktu lagi Raja Mataram ini lalu
tancapkan dua potongan kayu ke mata kiri kanan.
“Craasss!”
Darah mengucur. Tubuh menggigil menahan rasa sakit yang luar
biasa. Dua potongan kayu yang telah menancap di mata diputar ke arah
samping wajah.
“Kreek! Keekk!”
TIGA BELAS
SEKONYONG-KONYONG di siang hari yang terang dan panas itu di
langit berkiblat kilat empat kali berturut-turut. Suara guntur
menggelegar. Lalu awan tebal kelabu muncul hingga udara yang tadinya
terang benderang berubah menjadi kelam. Angin bertiup kencang
namun tidak setetes air hujanpun yang turun.
Sri Maharaja Mataram tersentak ketika rasa sakit pada kedua
matanya mendadak hilang. Dia usapkan tangan ke muka. Dua potongan
kayu yang tadi menancap di kedua matanya lenyap! Tidak ada darah
yang mengucur. Tidak ada lagi lelehan darah pada wajah dan kedua
tangannya! Matanya tidak hancur dan juga tidak butaiSelagi dia
terheran-heran tiba-tiba di langit muncul satu cahaya coklat kehitaman.
Rakai Kayuwangi angkat kepala, mendongak ke atas. Dada berdebar dan
tubuh bergetar, mulut berucap.
“Makam Empat Mayat Aneh... Hyang Jagat Bathara! Dewa Agung!”
Raja Mataram merasakan tengkuk dingin merinding.
Seolah tergantung, saat itu di udara tampak sebuah kuburan luar
biasa besar yang tanahnya masih merah, sebagian tertutup tebaran
bunga menebar bau harum. Di kepala makam terdapat empat buah
batu nisan hitam tanpa teraan nama atau tulisan apapun. Di kejauhan
terdengar suara tiupan terompet ditingkah suara tambur.
Perlahan-lahan kuburan atau makam raksasa yang menggantung
di udara bergerak turun ke bawah. Ketika bersentuhan dengan tanah
pedataran di antara dua buah candi, pedataran terasa bergetar dan
debu serta tanah muncrat beterbangan ke udara hingga kedaaan di
tempat itu menjadi bertambah gelap.
Rakai Kayuwangi bungkukkan tubuh berulang kali. Dalam
keadaaan tercekat matanya yang ternyata tetap utuh tidak buta
menatap besar tak berkesip. Dia lalu ingat pada si orang tua buta
bernama Kambara Walanipa alias Si Tringgiling. Memandang ke arah
tangga candi di mana orang tua itu tadi duduk bersila, ternyata Si
Tringgiling tidak ada lagi di tempat itu! Rakai Kayuwangi rapatkan dua
tangan di depan wajah. Saat itulah dia terkejut ketika melihat gelang
emas besar yang sebelumnya dimasukkan ke dalam tempurung
diberikan pada si orang tua, kini telah melingkar kembali di lengan
kirinya!
“Luar biasa! Bathara Agungi KuasaMu sungguh luar biasa!”
Dalam keadaan yang penuh keanehan dan keangkeran itu, Raja
Mataram melangkah mendekati kuburan besar yang memancarkan
cahaya coklat kehitaman. Sementara belum tahu bagaimana dia akan
membongkar makam dan menemukan Empat Mayat Aneh, di hadapan
kuburan Rakai Kayuwangi perlukan membungkuk memberi
penghormatan pada para arwah. Setelah meragu sebentar, sang Raja
duduk bersila, mengheningkan cipta meminta petunjuk pada Yang Maha
Kuasa. Ketika petunjuk tidak didapatkan maka Rakai Kayuwangi mulai
membaca mantera aji kesaktian bernama Sepasang Tangan Dewa
Menebar Pahala.
Dua tangan Rakai Kayuwangi mulai dari bahu sampai ke ujung
jari berubah menjadi sepuluh kali lebih besar. Raja Mataram Ini lalu
bangkit berdiri, melangkah lebih dekat ke arah kuburan besar, siap
untuk melakukan penggalian. Namun darahnya tersirap, wajah berubah
dan tubuh bergeletar ketika tiba-tiba ada suara mendesis keras disusul
suara kreekkk! Tanah kuburan besar, terbelah dan menguak lebar tepat
di bagian tengah. Dalam udara gelap Rakai Kayu Wangi melihat sebuah
peti mati hitam berukuran besar menyembul dari dalam kuburan yang
tanahnya telah terkuak. Sementara dua tangannya kembali ke bentuk
semula, sang Raja lagi-lagi merasa tengkuknya menjadi dingin
merinding. Dia pandangi peti mati besar itu untuk beberapa lama lalu
melangkah mendekati. Tangan kanan bergetar hebat ketika diulurkan
untuk menyentuh dan membuka penutup peti mati. Selain sangat berat
penutup peti keluarkan suara berkereket angker ketika dibuka.
Sedikit demi sedikit penutup peti mati terbuka. Setengah jalan
tiba-tiba penutup peti terpentang membuka sendiri. Dari dalam peti
memancar empat cahaya coklat menyilaukan mata hingga Rakai
Kayuwangi tersurut mundur. Dari dalam peti terdengar pula suara
berucap keras yang membuat Raja Mataram jadi tercekat.
Pelihara mata hanya melihat kebaikan
Pelihara mulut hanya bicara kebaikan
Pelihara telinga hanya mendengar kebaikan
Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan
Untuk beberapa lama Rakai Kayuwangi tidak dapat melihat apa
yang ada di dalam peti mati besar karena ada kepulan asap kelabu
menutupi pemandangan. Tak selang berapa lama, begitu asap kelabu
sirna Rakai Kayuwangi menyaksikan satu pemandangan yang sungguh
luar biasa!
Di dalam peti mati besar terbujur empat sosok mayat laki-laki
yang sekujur tubuh kecuali wajah dan kepala terbalut gulungan kain
putih. Mayat pertama dalam keadaan dua tangan ditutupkan ke mata.
Mayat kedua tangan menutupi mulut. Mayat ketiga dua tangan
ditutupkan ke telinga kiri kanan. Mayat terakhir yaitu mayat ke empat
tekapkan dua tangan di atas kemaluan. Empat Mayat Aneh!
“Hyang Jagat Bathara, bagaimana saya bisa mendapat petunjuk
dari Empat Mayat Aneh ini,” membatin Rakai Kayuwangi.
Setelah merenung sejenak, Raja Mataram bergerak lebih
mendekati peti mati besar. Tiba-tiba dia melihat mayat ke tiga turunkan
dua tangan yang menutup telinga.
“Dia siap mendengarkan apa yang hendak aku sampaikan...” kata
Rakai Kayuwangi dalam hati. Lalu setelah lebih dulu membungkuk Raja
Mataram ini cepat berkata.
“Empat Mayat Aneh, salam sejahtera bagimu semua. Saya Rakai
Kayuwangi Lokapala Raja Mataram datang mengunjungi untuk mohon
diberikan petunjuk. Mohon maaf kalau kedatangan saya telah
menggangu ketenteraman mu di dalam roh di alam baka...”
Seierai Raja Mataram blcar”, mayat ke tiga yang telah mendengar
ucapan sang Raja tutup kembali ke dua telinganya dengan dua tangan.
“Hyang Jagat Bathara, apakah saya akan menerima jawaban?”
ucap Rakai Kayuwangi dalam hati.
Tak ada suara jawaban. Tak «da satupun dari Empat Mayat Aneh
yang bergerak. Kayu penutup peti bergoyang-goyang dan ber-kereketan
ketika angin kembali berdesau bertiup kencang. Rakai Kayuwangi
berdoa dalam hati. Meminta pada Yang Maha Kuasa agar sesuatu
terjadi. Tiba-tiba Raja Mataram Ingat. Ada sesuatu yang terlupa
dilakukannya.
Dari balik pinggang pakaian Raka! Kayu-wa “. gi keluarkan qir:r»g-
oiring porsk. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan Satria Lonceng
Dewa Mimba Purana, giring-giring digoyang hingga keluarkan
suara bergemerincing keras. Giring-giring lalu disapukan pulang balik di
atas wajah Empat Mayat Aneh.
Keajaibanpun terjadi!
“Yang Maha Kuasa, terima kasih...” Rakai Kayuwangi
membungkuk dalam-dalam sementara sepasang mata tak berkesip
memperhatikan mayat kedua yang ada dalam peti mati besar.
Mayat ke dua, yang menutup mulut dengan dua tangan, turunkan
dua tangan ke samping. Lalu terdengar suara ucapan penuh
kelembutan.
“Raja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala saiam sejahtera
bersambut dan berbalas untuk dirimu, keluargamu, para pejabat
Kerajaan dan rakyat Mataram. Kami berempat merasa masih sangat
dihargai karena telah dimintai kehadiran untuk memberi petunjuk.
Petunjuk mana yang sebenarnya bukan datang dari kami mahluk tiada
guna ini, namun berasal dari Yang Maha Kuasa. Selama kami hidup dan
sampai kembali menghadap Yang Maha Kuasa, para sepuh Raja-Raja
Mataram telah sangat memperhatikan kami. Kami diberikan tempat
beristirahat di alam yang indah dan penuh ketenangan, di udara yang
penuh kesegaran. Adalah pada tempatnya kalau kami membalas semua
budi kebaikan itu. Namun rasanya sampai kiamat budi baik itu tidak
sanggup kami balaskan. Maafkan dan ampuni kekurangan kami ini
wahai Para Dewa di Kahyangan. Yang Mulia Raja Mataram, sebelum
lanjut bersuara kami perlu melihat lebih dulu apakah kau sebenar-
benarnya Yang Mulia Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala.
Kami perlu berhati-hati karena alam arwah dan alam nyata selalu penuh
dengan tipu daya.”
Selesai bicara, mayat kedua tutup kembali mulutnya dengan
kedua tangan. Di sebelahnya, mayat pertama lepaskan tekapan dua
tangan pada kedua mata. Mata yang nyalang ini kemudian menatap
memperhatikan Rakai Kayu Wangi. Hidung menghirup dalam-dalam.
Mayat pertama ini kemudian menepuk mayat kedua lalu menutup
matanya. Mayat kedua membuka mulut dan berkata.
“Saudaraku bertiga, orang yang ada di hadapan kita memang
adalah Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala, putera dari
Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu. Tiada keraguan untuk
membantu dirinya, keluarganya, Kerajaan dan rakyat Mataram agar
terlepas dari malapetaka yang menimpa...”
Tiga kepala mayat di samping mayat ke dua tampak bergerak
menganguk-angguk.
“Sahabatku Empat Mayat Aneh, saya sangat berterima kasih.
Saya mohon malapetaka itu dimusnahkan dengan segera...”
Mayat ke empat yang menutupkan kedua tangan di atas
kemaluan tiba-tiba angkat dua tangannya ke atas. Mulut keluarkan
ucapan lantang.
“Salah satu penyebab kejahatan angkara murka di alam arwah
dan dimuka bumi berasal dari kemaluan yang tidak terpelihara secara
baik! Hyang Jagat Bathara Dewa, kami Empat Mayat Bersaudara yang
tiada daya ini, mohon pertolonganMu. Kirimkan kuasaMu untuk
menjemput pemuda pilihan, di negeri dan alam delapan ratus tahun
kemudian nun sangat jauh di sana, yang telah tertulis di dalam aksara
takdir suciMu, satu-satunya insan yang kau berikan kekuatan dan
kemampuan untuk menyelamatkan Raja, Rakyat dan Kerajaan Mataram
dari malapetaka yang sedang menimpa!”
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara kuda meringkik.
“Wuss!”
Kuda Lumping yang disandarkan Raja Mataram di rerumpunan
semak belukar berpijar terang lalu melesat ke udara!
Selagi Raja Mataram tercekat melihat apa yang terjadi, mendadak
mayat ke empat ulurkan tangan kanan sembari berkata.
“Yang Mulia, serahkan pada saya batu putih segi tiga yang
diberikan Satria Lonceng Dewa, Pendekar Bhumi Mataram Mimba
Purana...”
Raja Mataram tersentak kaget.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar