TDS
TIGA dalam SATU
* WIROSABLENG
Judul: Teluk Akhirat
* ARIO BLEDEG
Judul: Petir Di Mahameru
* KUNGFU SABLENG
Judul: Pendekar Spiritus
SATU
TANTANGAN DI DALAM KAMAR
PENDEKAR 211 Wiro Sableng garuk-garuk ke-
pala, memandang wajah cantik Pelangi Indah yang du-
duk di tepi pembaringan besar. Di dalam kamar itu
hanya mereka berdua. Sosok Pelangi Indah, pimpinan
kelompok para gadis cantik yang disebut Bumi Hitam
mengenakan sehelai jubah hitam terbuat dari sutera.
Walau kamar besar itu hanya diterangi sebuah pelita
kecil namun ketipisan pakaian yang dikenakan Pelangi
Indah membuat Wiro dapat melihat jelas setiap lekuk
tubuh si gadis.
Wiro ingat kembali ucapan Eyang Sinto Gen-
deng ketika dia memaksa mendapatkan ilmu kesaktian
bernama Sepasang Inti Roh. Si nenek berkata, bahwa
selama dirinya masih suka pada wajah cantik, senang
melihat keindahan tubuh mulus perempuan, maka dia
harus menunggu 49 tahun untuk mendapatkan ilmu
Kesaktian Sepasang Inti Roh itu. Kini bukan saja dia
tengah ditantang dalam satu ujian sangat besar, tetapi
juga berada dalam keadaan bingung karena tidak
mengetahui dimana berada Eyang Sinto Gendeng dan
apa yang terjadi dengan Sang guru.
Wiro kembali memperhatikan wajah cantik dan
sosok tubuh Pelangi Indah yang menggairahkan. Dalam hati dia membatin.
"Kalau aku berlama-lama dalam kamar ini, bi-
sa-bisa lupa diri dan melakukan apa saja yang diingin-
kan gadis cantik ini. Budi pertolonganku menemukan
kalung kepala srigala itu bisa di salah artikan. Jan-
gankan tubuhnya, jiwanya mungkin diserahkan pada-
ku".
Wiro menghela nafas dalam.
"Wiro, apa yang ada dalam pikiranmu?" Tiba-
tiba Pelangi Indah bertanya.
"Maafkan aku Pelangi. Aku tak mungkin men-
gabulkan permintaanmu..."
"Aku mengajukan beberapa permintaan pada-
mu. Permintaanku yang mana yang tidak mungkin kau
kabulkan?" kembali si gadis bertanya.
"Aku tak mungkin berada di kamar ini sampai
pagi. Aku harus segera pergi.
Aku harus berterima kasih padamu dan semua
gadis di sini. Karena telah menyelamatkan diriku dari
pukulan beracun Ki Tawang Alu. Aku berhutang budi
dan nyawa...."
Diantara kita tidak ada hutang budi dan nyawa.
Kau menolongku, aku menolongmu. Memang begitu
harkat hidup manusia...Mengapa kau tidak bersedia
menghabiskan malam ini bersamaku Wiro? Kau harus
segera pergi. Pergi ke mana.?
Wiro menggaruk kepalanya kembali. "Pelangi
Indah sebenarnya aku ingin sekali berlama-lama di
tempat ini. Namun aku sangat mengkhawatirkan kese-
lamatan guruku Eyang Sinto Gendeng. Nenek sakti itu
lenyap entah kemana. Tapi aku sudah tahu siapa yang
punya pekerjaan. Kakek muka putih yang bernama
Tawang Alu itu..!
Pelangi Indah menatap dalam-dalam ke mata
pendekar 212. Di bibirnya menyeruak senyum tipis.
"Aku tahu dia memang mengkhawatirkan keselamatan
gurunya. Tapi satu hal yang tidak kuduga ternyata
pendekar ini tidak seperti yang diceritakan orang. Dia
bukan pemuda hidung belang. Dia berlindung dibalik
rasa khawatir terhadap keselamatan gurunya. Padahal
dia ingin menghindari ajakan untuk memenuhi koba-
ran hasrat pada diriku. Ternyata Pendekar 212 seorang
pemuda beriman teguh. Sayang nasib malang ku ru-
panya bakal berkepanjangan. Cepat atau lambat kutu-
kan itu pasti akan datang lagi. Semoga kalung kepala
srigala tetap aman berada di tanganku."
"Wiro, apakah kau menolak bermalam di sini
karena kau tak ingin mengkhianati Anggini?"
Murid Sinto Gendeng terkejut mendengar uca-
pan Pelangi Indah itu. "Kau kau kenal dengan gadis
itu?"
Pelangi Indah menggeleng. "Melihatnya-pun
aku belum pernah. Tapi aku yakin dia tentu seorang
gadis sangat cantik..."
"Jika tidak kenal, belum pernah melihatnya lalu
bagaimana..?
"Beberapa waktu itu dedengkot rimba persila-
tan yang berjuluk Dewa Tuak pernah datang ke sini.
Dia memberi tahu perihal perjodohanmu dengan mu-
ridnya yang bernama Anggini. Dia menghabiskan ba-
nyak waktu untuk mencarimu..."
"Kakek satu itu! Dia kakek yang paling baik di
dunia ini. Aku tidak mengerti mengapa dia terlalu ber-
harap pada diriku. Mulutnya memang sering berucap,
tapi siapa yang percaya. Soal perjodohan ku dengan
muridnya yang bernama Anggini itu, suka-sukanya
sendiri. Aku tidak merasa di perjodohkan."
"Pelangi Indah terdiam sesaat. Bibirnya kembali
menyeruakkan senyum. Di lubuk hatinya muncul se-
kelumit harapan. Lalu gadis ini bertanya.
"Wiro apakah kau juga menolak permintaanku
untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Ki Ta-
wang Alu?"
"Kau memberikan satu kehormatan dan keper-
cayaan sangat besar kepadaku, Pelangi Indah. Demi-
kian besarnya hingga aku tidak berani menerima per-
mintaanmu..."
Bayangkan rasa kecewa kelihatan di wajah can-
tik Pelangi Indah. "Ketahuilah, permintaan yang satu
itu bukan cuma datang dariku. Tapi juga merupakan
permintaan semua gadis di Bumi Hitam ini. Mereka
sekarang berada di luar. Menunggu jawabanmu. Mere-
ka akan sangat kecewa jika kau menolak. Harapan me-
reka setinggi langit sedalam lautan..."
"Aku mohon maaf. Mungkin...Mungkin kita bisa
bertemu dan bicara lagi setelah aku menemukan
Eyang Sinto Gendeng. Sekarang aku mohon diri..."
Pelangi Indah bangkit dari tepian ranjang. Kini
dia tegak berhadap-hadapan dengan Pendekar 212.
Diam sesaat lalu seperti tidak hendak dilepaskannya
selama-lamanya dipeluknya sang pendekar. Kepalanya
disandarkan ke dada bidang Wiro. Murid Sinto Gen-
deng merasa betapa hangatnya tubuh gadis itu. Jan-
tung mereka seolah berdegup menjadi satu.
"Maafkan aku Pelangi. Aku berjanji akan da-
tang menyambangimu lagi di puncak Merapi ini..." Wi-
ro membelai punggung si gadis lalu mencium kening-
nya.
"Aku tahu, aku tidak bisa menahanmu, apalagi
punya perasaan ingin memiliki mu," kata Pelangi Indah
tapi hanya terucap di dalam hati.
Pelangi memeluk tubuh Pendekar 212 erat-erat.
Lalu perlahan-lahan dilepaskannya rangkulannya. Dua
tangannya bergerak ke belakang kepala, menyelinap di
balik rambut yang panjang hitam. Jari-jarinya melepas
ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah
batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat
kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya
berkata.
"Terimalah ikat kepala ini sebagai pengiring se-
lamat jalan. Jika batu permata di permukaan kain kau
usap, maka akan ada satu getaran gelombang sam-
bung rasa antara kau dan aku. Dan aku akan tahu
bahwa kau tengah mengingat diriku, ingin bertemu
dengan diriku. Mudah-mudahan aku bisa muncul di
hadapan mu..."
Pendekar 212 merasa heran mendengar ucapan
itu. "Apakah gadis ini memiliki kekuatan gaib yang bi-
sa memunculkan dirinya di hadapanku dengan cara
mengusap batu hitam di atas kain ikat kepala?" Wiro
hendak bertanya. Tapi Pelangi Indah memasukkan ikat
kepala itu ke dalam genggaman Wiro seraya berkata.
"Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau
ikatkan di kepalamu, kau bisa melihat bayangan diri-
ku. Jika kain itu kau pergunakan sebagai senjata, mu-
dah-mudahan dia bisa menjadi senjata yang bisa me-
lindungi dirimu...'1
"Aku...Ini benda sangat berharga. Aku tidak bi-
sa menerimanya Pelangi. Ikat kepala ini pasti sangat
berguna bagi dirimu..."
"Juga bagi dirimu," bisik Pelangi Indah. Wiro
terpaksa menyimpan ikat kepala sutera hitam itu di
balik pakaiannya.
*
* *
DUA
MISTERI NYAWA KELELAWAR
PEMANCUNG ROH
SETELAH melihat Wiro menyimpan kain sutera
ikat kepalanya, Pelangi Indah berkata.
"Dari para gadis aku mendapat kabar bahwa
gurumu Eyang Sinto Gendeng berada dalam keadaan
lumpuh akibat terkena racun Seribu Hawa Kematian.
Dan kau tengah berusaha mencari mahluk bernama
Kelelawar Pemancung Roh..."
Wiro mengangguk. "Mahluk itu memiliki kesak-
tian luar biasa. Para gadis anak buahmu memberikan
beberapa petunjuk. Mungkin kau bisa menambahkan
apa yang harus aku lakukan jika berhadapan dengan
mahluk itu. Mungkin kau tahu kelemahannya!"
"Mahluk apa itu boleh dikatakan tidak mempu-
nyai kelemahan. Karena nyawanya tidak ada di dalam
tubuhnya. Di apakan-pun dia tidak bakal bisa menemui kematian. Konon nyawanya ada pada satu mahluk
lain yang tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah..."
"Mahluk apa itu? Setan, Jin...?" tanya Wiro.
"Sulit diduga. Rahasianya tidak mungkin dis-
ingkapkan kalau tidak mendatangi sarangnya di Teluk
Akhirat. Tapi pergi ke Teluk Akhirat sama saja dengan
mengantar nyawa mencari kematian..."
"Kau tahu dimana letak Teluk Akhirat?"
"Pergilah ke selatan. Ikuti aliran Kali Opak
hingga kau sampai di muaranya. Di situ ada sebuah
desa bernama Kretak. Lanjutkan perjalanan ke arah
matahari terbit. Sebelum kau sampai di Parangtritis,
kau akan menemukan satu teluk kecil dipenuhi ratu-
san bahkan mungkin ribuan kelelawar. Itulah Teluk
Akhirat. Tempat kediaman mahluk jahat bernama Ke-
lelawar Pemancung Roh. Walau teluk itu kecil saja tapi
tidak mudah mencari Kelelawar Pemancung Roh. Satu
hal harus kau ingat baik-baik Wiro. Semua kelelawar
yang ada di teluk itu bukan kelelawar biasa. Mereka
adalah binatang peliharaan Kelelawar Pemancung Roh.
Yang bisa diperintahkan untuk membunuh dan men-
guliti siapa saja. Jangankan manusia, seekor gajahpun
bisa menjadi tinggal tulang belulang hanya dalam be-
berapa kejapan mata. Kau benar-benar harus berhati-
hati..."
"Terima kasih," kata Wiro sambil memegang
lengan Pelangi Indah, membuat si gadis menjadi terge-
tar dadanya.
"Para gadis sudah lama menunggu di luar. Jika
tidak ada hal lain yang ingin kau tanyakan kuharap
kau mau mengatakan sendiri pada mereka. Bahwa kau
tidak bersedia bergabung dengan kami..."
Wiro coba tersenyum. Dipeluknya tubuh si ga-
dis erat-erat lalu diciumnya ke dua pipi dan kening Pe-
langi Indah. Ketika Wiro mencium sepasang mata si
gadis terasa ada perasaan. Dia melangkah ke pintu.
Di halaman depan rumah panggung besar, be-
lasan gadis cantik anggota Kelompok Bumi Hitam yang
sebelumnya duduk di bangku panjang terbuat dari ba-
tang kelapa serta merta bangkit berdiri ketika melihat
Wiro menuruni tangga rumah, diiringi pimpinan mere-
ka. Di depan sekali kelihatan Mentari Pagi dan Rembu-
lan. Di sebelah kiri mereka berdiri Fajar Menyingsing
dan Embun Pagi, dua gadis dalam kelompok Mentari
Pagi dan Rembulan yang pertama sekali bertemu den-
gan Wiro dan secara "keroyokan" pernah mencium
Pendekar 212. Semua mereka tidak satupun yang
mengenakan kerudung hitam hingga wajah mereka
yang cantik terlihat jelas.
"Agaknya pimpinan kita tidak berhasil mena-
han Pendekar 212..." berbisik Rembulan.
"Aku sudah menduga," jawab Mentari Pagi.
"Kau kecewa? Mungkin lebih berat dari kecewanya Pe-
langi Indah?"
Sekilas paras Rembulan terlihat kemerahan.
Gadis satu ini sejak pertemuan pertama dengan Pen-
dekar 212 memang telah jatuh hati. Tidak bisa dis-
alahkan karena bukan cuma Rembulan, diam-diam
semua gadis anggota kelompok Bumi Hitam, termasuk
Mentari Pagi dan sang pimpinan mereka sendiri telah
menaruh hati pada sang pendekar.
"Aku tidak munafik mengakui padamu bahwa
aku menyukai pemuda itu. Tapi siapa diantara kita
yang tidak menaruh hati padanya? Termasuk kau
bahkan pemimpin kita Pelangi Indah."
Kini paras Mentari Pagi yang kelihatan keme-
rah-merahan mendengar kata-kata Rembulan itu. Se-
benarnya Mentari Pagi memang telah pula tertambat
hatinya pada murid Sinto Gendeng itu. Tetapi dia terla-
lu sombong untuk mau mengakui.
Wiro perhatikan wajah-wajah cantik di hada-
pannya. Ketika dia memandang pada Pelangi Indah,
gadis ini anggukkan kepala memberi isyarat. Wiro ga-
ruk kepala, disambut senyum oleh semua gadis.
"Aku, aku sebenarnya ingin bicara banyak. Tapi
menghadapi kalian yang cantik-cantik semua aku jadi
kikuk, susah bicara..."
Para gadis anggota Bumi Hitam tertawa riuh.
Salah seorang di belakang sana bernama Lembayung
berkata. "Sudah, kau tak usah bicara. Tegak saja berdiam diri. Biar kami memandangi! Biar kau tambah kikuk!"
Gelak tawa memenuhi halaman rumah besar.
Membuat murid Sinto Gendeng kembali garuk-garuk
kepala.
"Pemimpin kalian, dan juga kalian semua telah
menolongku, menyelamatkan jiwaku dari pukulan be-
racun Ki Tawang Alu. Aku sangat berterima kasih dan
tidak bakal melupakan budi baik kalian..."
Lembayung yang tadi bicara kembali membuka
mulut. "Kami tidak mau dengar ucapan itu. Yang kami
ingin tahu ialah apakah kau menerima permintaan
pemimpin kami menjadi pengganti Ki Tawang Alu,
menjadi Wakil Ketua Kelompok Bumi Hitam?!"
"Permintaan kalian sudah disampaikan oleh Pe-
langi Indah. Aku sangat berterima kasih atas kehorma-
tan dan kepercayaan itu. Tapi para sahabatku, saat ini
aku tidak bisa membuat keputusan. Kalian semua ta-
hu. Guruku Eyang Sinto Gendeng diculik oleh Ki Ta-
wang Alu. Dirinya dalam bahaya. Aku harus mencari
dan menyelamatkan nenek itu..."
"Kami semua akan membantu!" gadis di sebelah
belakang kembali membuka mulut.
"Terima kasih. Apapun yang terjadi dengan
Eyang Sinto Gendeng, aku muridnya mempunyai ke-
wajiban dan tanggung jawab turun tangan mencari
dan menyelamatkan. Kalian tidak perlu merepotkan di-
ri..."
"Kami justru senang dibikin repot olehmu!
Hik...hik!" kembali Lembayung berucap. Kembali pula
tempat itu dipenuhi gelak tawa para gadis.
Kembali tempat itu dipenuhi gelak tawa para
gadis.
"Pimpinan, "Rembulan maju dua langkah ke
hadapan Pelangi Indah. "Jika benar Ki Tawang Alu
yang menculik guru Pendekar 212, besar kemungkinan
dia menyekap nenek itu di Lembah Belibis."
Pelangi Indah mengangguk walau diam-diam
dia merasa tidak enak dengan perbuatan dan ucapan
Rembulan yang dirasakannya mendahului dirinya. Se-
benarnya pimpinan para gadis cantik Kelompok Bumi
Hitam ini sudah menduga begitu, namun karena su-
dah punya rencana sendiri dia tidak mau mengung-
kapkan. Kini terlanjur anak buahnya telah memberi
tahu maka Pelangi Indah terpaksa anggukkan kepala.
"Mohon aku diberi tahu dimana letak Lembah
Belibis itu," Wiro berkata seraya memandang pada
Rembulan.
Sadar kalau tadi dia merasa bicara mendahului
pimpinannya, kali ini Rembulan tidak berani menja-
wab pertanyaan Pendekar 212.
"Beritahukan padanya Rembulan," tiba-tiba Pe-
langi Indah berkata.
Sedikit kikuk Rembulan akhirnya menerang-
kan. "Di kaki tenggara Gunung Merapi ada satu kali
kecil. Ikuti kali itu, kau akan sampai ke sebuah lem-
bah. Itulah Lembah Belibis. Mudah menemukannya
karena di situ banyak burung-burung belibis."
"Terima kasih. Aku akan segera menuju ke sa-
na..."
Tiba-tiba Lembayung kembali bersuara. "Pen-
dekar 212! Bagaimana kalau ternyata Tawang Alu
menculik gurumu bukan untuk maksud jahat?"
Sepasang mata Wiro Sableng membesar semen-
tara dua alis Pelangi Indah naik ke atas, matanya me-
mandang tajam ke arah Lembayung.
"Apa maksudmu Lembayung?" tanya Pelangi
Indah.
"Mati aku, aku tadi cuma mau bergurau!" kata
Lembayung dalam hati.
"Lembayung?!" suara Pelangi Indah mengeras.
"Maafkan saya pimpinan. Maafkan diriku Pen-
dekar 212. Maksudku, siapa tahu Tawang Alu bukan
bermaksud jahat. Dia menculik gurumu karena dia
suka pada Eyang Sinto Gendeng..."
Sunyi, tak ada suara. Hanya semua mata me-
mandang pada Lembayung yang diam-diam jadi keta-
kutan karena dipelototi oleh sekian banyak pasang
mata, termasuk mata Pendekar 212 dan Pelangi Indah.
Wiro garuk-garuk kepala. Senyum di bibirnya.
Lalu mulutnya terbuka. Bibirnya bergetar. Suara tawa
keluar dari mulut itu. Mula-mula perlahan, lalu makin
keras. Semua yang ada di situ, termasuk Pelangi indah
sendiri tidak dapat pula menahan diri. Gelak tawa un-
tuk kesekian kalinya terdengar riuh.
Lembayung tersenyum lega. Tapi satu tangan
tahu-tahu menyusup menjewer telinganya.
"Lembayung. Lembayung! Dari dulu mulutmu
selalu usil! Dasar gadis nakal!"
*
* *
TIGA
GOA KEMATIAN
SEPERTI yang diterangkan Rembulan, di kaki
gunung sebelah tenggara Wiro menemukan satu kali
kecil. Saat itu sang surya belum lama terbit. Setengah
harian dia mengikuti kali itu ke arah hulu. Di satu
tempat dia mulai melihat burung-burung belibis beter-
bangan rendah. Wiro berjalan terus, malah kini mulai
berlari. Tak lama kemudian di satu tempat ketinggian
dia hentikan larinya. Di balik tanah tinggi itu terben-
tang sebuah lembah yang hanya ditumbuhi satu jenis
pohon aneh berdaun kemerah-merahan. Batu-batu be-
sar bertebaran dimana-mana. Burung-burung belibis
beterbangan di udara namun banyak pula yang hanya
bertengger di cabang pohon, mendekam di atas beba-
tuan atau berjalan berombongan di tanah.
"Lembah Belibis. Lembah aneh..." membatin
Pendekar 212 sambil memandang berkeliling. "Dimana
aku menemukan kakek jahanam bernama Tawang Alu
itu?!"
Wiro kembali memperhatikan keadaan sekitar
lembah. Selain burung-burung belibis, bebatuan dan
pohon-pohon berdaun merah, tak ada benda lain yang
dilihatnya.
"Aku harus berteriak memanggil jahanam itu!"
pikir Wiro. Maka dia kerahkan tenaga dalam lalu berte-
riak.
"Tawang Alu! Dimana kau?! Jangan sembunyi!
Perlihatkan dirimu!"
Suara teriakan Wiro mengumandang di seante-
ro lembah, bergaung panjang. Cukup lama baru le-
nyap. Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Wiro kembali
berteriak. Sampai tiga kali. Dia jadi kesal sendiri. "Ja-
hanam! Agaknya aku harus memeriksa setiap sudut
lembah ini!" Wiro memaki. Dia melompat ke satu batu
besar. Dari atas batu dia memandang berkeliling. Tiba-
tiba bola matanya membesar. Di kejauhan di sebelah
timur sana dia melihat kelompok batu-batu bersusun
membentuk dinding, panjang tiga tombak tinggi dua
tombak. Dari sela-sela batu kelihatan asap mengepul
tipis.
"Ada asap berarti ada api. Ada api berarti ada
manusia di tempat itu!" Tanpa tunggu lebih lama Wiro
segera lari ke arah susunan bebatuan. Dia sengaja melompat dari satu batu ke batu lain.
Di depan dinding susunan batu Wiro berhenti.
Memperhatikan setiap sudut sambil kerahkan tenaga
dalam ke tangan kanan. Dia harus berlaku waspada.
Bukan mustahil tiba-tiba saja dia dibokong orang.
Kepulan asap ternyata berasal dari balik susu-
nan batu. "Aku harus menyelidik ke belakang dinding
batu ini!" Wiro melompat ke kiri, ke arah susunan batu
paling rendah. Dari sini dia naik ke susunan batu yang
lebih tinggi- Di tempat paling tinggi, ketika dia me-
mandang ke bawah, kelihatan sebuah goa batu. Ter-
nyata asap yang menembus susunan dinding batu be-
rasal dan keluar dari dalam goa ini.
"Pasti bangsat itu berada di sana! Mudah-
mudahan aku tidak terlambat! Kalau Eyang Sinto
Gendeng sampai dibunuhnya akan ku kuliti jahanam
bernama Tawang Alu itu!"
Wiro menuruni gundukan susunan batu, lang-
sung ke arah mulut goa. Baru saja dia berkelebat tu-
run dan sampai di depan mulut goa tiba-tiba satu sua-
ra bergelak mengumandang di tempat itu. Semula Wiro
menyangka suara tertawa itu keluar dari dalam goa.
Ternyata ketika dia menoleh ke belakang tahu-tahu
sosok kakek berjubah hitam bermuka putih Ki Tawang
Alu berada di belakangnya, tegak bersandar ke dinding
batu.
"Setan alas! Sembunyi dimana tadi jahanam ini.
Mengapa aku tidak melihatnya!" memaki Pendekar 212
Wiro Sableng lalu tangan kanannya mulai dari siku
sampai ke ujung jari mendadak berubah putih seperti
perak, berkilauan terkena sorotan sang surya.
Ki Tawang Alu tertawa panjang. Mendongak ke
langit. Tangan kanannya yang hancur diremukkan Wi-
ro tampak dibalut. Sementara lengan kiri jubahnya kelihatan bergontai-gontai dan masih basah oleh darah.
Dalam perkelahian sebelumnya tangan kiri itu telah
dibikin buntung oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Dua tangannya cidera, tak mungkin dipergu-
nakan. Tapi dia masih bisa petatang-peteteng unjuk-
kan sikap tidak takut padaku. Pasti ada sesuatu yang
diandalkan. Lebih baik aku hantam dia sekarang juga!"
Wiro gerakkan tangan kanannya.
Ki Tawang Alu kembali tertawa panjang. Tan-
gan kanannya yang dibalut diangkat ke atas.
"Pukulan Sinar Matahari! Kau hendak menye-
rangku dengan pukulan itu! Ha...ha...ha! Aku siap me-
nerima! Aku tidak akan menghindar! Tapi jangan lupa!
Kematian diriku tidak akan menyelamatkan gurumu
dari renggutan maut! Ha...ha...ha!"
"Tawang Alu keparat! Dimana kau sekap guru-
ku?!" teriak Wiro.
"Kau murid baik! Jadi kau ingin melihat dan
menolong gurumu? Ha...ha...ha! ikuti aku anak muda!
Ikuti aku! Ha...ha...ha!"
Sambil terus tertawa Ki Tawang Alu berkelebat
ke arah mulut goa yang dari dalam mana keluar berge-
lung asap putih. Di mulut goa kakek muka putih ini
berhenti sejenak, memandang ke arah Wiro, menunggu
untuk melihat apakah Wiro mengikutinya atau tidak.
Ternyata Pendekar 212 hanya tegak di depan mulut
goa, memandang padanya dengan tampang geram.
"Ikuti aku anak muda! Kau akan bertemu gu-
rumu! Tapi apakah kau bakal bisa menyelamatkannya
itu perkara lain! Ha...ha...ha!"
Ki Tawang Alu melangkah masuk ke dalam goa.
Mau tak mau Wiro terpaksa mengikuti. Ternyata goa
itu hanya memiliki kedalaman sejauh lima tombak.
Tapi langit-langitnya tinggi sekali dan di sebelah ujung
bagian atasnya agaknya terbuka karena ada cahaya terang merambat ke bawah. Lalu ada hawa panas me
nerpa. Wiro memandang ke depan.
"Ada tungku perapian raksasa di ujung goa..."
Wiro hentikan langkah. Hawa kobaran api yang me-
nyala terasa panas bukan kepalang, membuat Wiro
seperti dipanggang. Di sebelah depan Ki Tawang Alu
menoleh.
"Mengapa berhenti anak muda Ha...ha...ha!?
Kau takut pada panasnya apt? Ha...ha...ha! Teruskan
langkahmu. Bukankah kau ingin melihat gurumu?!"
"Jahanam!" rutuk Wiro. "Aku mencium sesuatu.
Bau pesing! Eyang Sinto Gendeng pasti disekap di goa
celaka ini!"
*
* *
EMPAT
SINTO GENDENG DIGANTUNG
TAWANG ALU melanjutkan langkahnya lalu
berhenti satu setengah tombak dari depan tungku api
raksasa. Dia memandang pada Wiro sambil menyerin-
gai. "Kau ingin melihat gurumu atau tidak?!"
Wiro menggeram. Dia langkahkan kakinya. Tiba-tiba dia merasa lantai goa yang diinjaknya ber-
goyang bergetar. Bersamaan dengan itu terdengar suara benda berputar di barangi sesuatu bergesek. Dari
langit-langit di ujung goa ada sebuah benda. bergerak
turun ke bawah, berhenti satu tombak di atas tungku
raksasa! Ketika melihat benda yang tergantung itu,
Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak marah. Benda itu
bukan lain sosok Eyang Sinto Gendeng, digantung kaki
ke atas kepala ke bawah dengan seuntai besi karatan.
Sosok si nenek tidak bergerak, hanya sepasang ma-
tanya saja tampak berputar liar pertanda nenek ini
masih hidup tetapi berada dalam keadaan sangat
mengenaskan.
Wiro maklum gurunya berada dalam satu toto-
kan yang membuat orang tua itu tak bisa bergerak tak
bisa bersuara.
Wiro berteriak dahsyat hingga seantero goa ber-
getar hebat. Dia hendak melompat menyerang Ki Ta-
wang Alu tapi kakek muka putih itu ganda tertawa.
"Jangan kesusu ingin menyerang atau membu-
nuh aku, Pendekar 212. Perhatikan tempat dua kaki-
mu berpijak. Kau berada dalam kotak kematian. Sedi-
kit saja kau menggerakkan kaki atau bagian tubuhmu,
batu yang kau pijak akan bergerak. Gerakan batu
akan menurunkan secara cepat sosok gurumu yang
tergantung. Kalau kau tidak percaya silahkan kau co-
ba. Geser sedikit salah satu kakimu atau gerakkan
tanganmu. Kau akan melihat apa yang terjadi!"
"Jahanam! Jangan berani menipu!" bentak Wi-
ro.
"Siapa menipu! Lakukan saja apa yang aku ka-
takan!"
"Jahanam!" Wiro memaki. Dia geserkan kaki ki-
rinya. Gerakannya ini menggetarkan lantai goa yang
dipijaknya. Bersamaan dengan itu rantai berkarat yang
mengikat dua kaki Sinto Gendeng bergeser turun. So-
sok si nenek bergerak ke bawah sejauh dua jengkal!
Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik. Panasnya api
di tungku raksasa seperti mau melelehkan batok kepa-
lanya. Kalau saja jalan suaranya tidak terkunci pasti si
nenek ini sudah menjerit setinggi langit, memaki habis-habisan.
Kau lihat? Ha...ha...ha! Masih tak percaya,
anak muda? Silahkan gerakkan tanganmu. Tak usah
banyak-banyak. Sedikit saja. Nanti kau lihat apa yang
terjadi..."
Penasaran Wiro Sableng gerakkan tangan ka-
nannya, seolah hendak mencabut Kapak Maut Naga
Geni 212 yang ada di pinggang. Tapi begitu tangannya
bergerak, lantai goa kembali bergetar dan di depan sa-
na rantai besi turun lagi sejauh dua jengkal. Sosok
Sinto Gendeng ikut melorot ke bawah!
"Celaka! Aku tak mungkin menolong Eyang
guru..."
Ki Tawang Alu tertawa mengekeh.
"Eyang! Kerahkan tenaga dalammu! Kau pasti
bisa memusnahkan totokan yang menguasai dirimu!"
Ki Tawang Alu tertawa bergelak mendengar se-
ruan Wiro itu. "Pendekar 212! Gurumu boleh punya
kesaktian dan tenaga dalam setinggi Gunung Merapi,
bahkan setinggi langit! Tapi yang namanya Totokan
Seribu Syaraf tidak bisa dipunahkan oleh siapapun!"
"Tawang Alu keparat! Aku bersumpah membu-
nuhmu!" teriak Wiro.
"Seribu sumpah boleh saja kau ucapkan! Tapi
kau dan gurumu tidak bisa melakukan apa-apa. Nya-
wa Sinto Gendeng justru ada di tanganmu, muridnya
sendiri! Ha...ha...ha!"
"Tua bangka jahanam! Lepaskan guruku! Aku
bersedia melakukan apa saja yang kau minta!"
Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak dan
berputar liar mendengar ucapan muridnya itu. Seba-
liknya Tawang Alu tertawa gelak-gelak.
"Begitu?! Kau memang murid baik! Sangat ber-
bakti pada sang guru! Kau mau melakukan apa untuk
menyelamatkan gurumu?!"
"Kau boleh ambil nyawaku asal kau bersumpah
membebaskan guruku!"
Kembali dua bola mata Sinto Gendeng membe-
sar dan berputar.
Ki Tawang Alu tertawa lagi. "Hebat! Kau murid
hebat! Luar biasa! Tapi aku tidak buru-buru meminta
nyawamu anak muda! Terlalu enak jika kau kubunuh
begitu saja! Ha...ha...ha!"
"Jahanam! Apa yang kau inginkan? Ingin men-
cungkil mataku? Ingin mengorek jantungku? Laku-
kan!" Teriak Wiro.
Ki Tawang Alu menyeringai dan geleng-geleng
kepala.
"Aku bukan manusia serakah!" katanya. Lalu
kakek muka putih ini angkat tangannya kiri kanan.
"Kau telah menghancurkan tangan kananku! kau Juga
membuntungi tangan kiriku! Aku akan menuntut ba-
las sesuai dengan apa yang telah kau lakukan! Aku
minta tanganmu kiri kanan! Itu saja! Ha...ha...ha!"
Saking geramnya Pendekar 212 acungkan dua
tangannya ke depan. "Kau inginkan dua tanganku!
Ambillah!"
Gerakan yang dibuat Wiro menyebabkan lantai
yang dipijaknya bergoyang. Alat rahasia yang menghu-
bungkan bagian bawah lantai dengan roda pemutar
rantai bekerja. Rantai besi bergerak turun dan sosok
Sinto Gendeng tambah ke bawah mendekati tungku
api raksasa!
"Tenang Pendekar 212! kau tak usah bersusah
payah mengulurkan tangan segala. Biar semua aku
yang melakukan! Dengar, aku akan mengambil Kapak
Maut Naga Geni 212 dari balik pakaianmu. Dengan
senjata itu aku akan membabat putus tanganmu kiri
kanan! Pembalasan sangat adil bukan? Ha...ha...ha!"
Sepasang mata Sinto Gendeng kelihatan berki-
lat memancarkan hawa kemarahan. Melihat hal ini Wiro tiba-tiba ingat.
"Eyang! Keluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti
Roh!" Wiro berteriak.
"Manusia tolol!" bentak Tawang Alu. "Apa kau
masih tidak yakin gurumu tidak punya daya apa-apa?
Dia bukan cuma tak bisa bergerak dan bersuara. Tapi
juga tidak mampu mengerahkan hawa sakti atau tena-
ga dalam!"
"Jahanam! Kau benar-benar jahanam!" rutuk
Wiro. Kalau saja Sinto Gendeng telah mewariskan ilmu
Sepasang Sinar Inti Roh itu, pasti Tawang Alu sudah di
habisinya sejak tadi-tadi. Wiro diam-diam menyesali
mengapa sang guru tidak mengajarkan ilmu itu pa-
danya. Malah menyuruhnya menunggu sampai 49 ta-
hun hanya gara-gara dia tidak bisa menahan nafsu
terhadap wajah cantik dan tubuh mulus. Padahal ka-
lau saja si nenek tahu bagaimana dia sanggup meng-
hadapi tantangan Pelangi Indah pasti Sinto Gendeng
akan berubah pikiran. Wiro menghela nafas dalam.
Matanya menatap ke depan, memperhatikan letak
tungku api raksasa serta ketinggian sosok gurunya
yang tergantung.
"Aku tahu apa yang ada di otakmu Pendekar
212. Kau ingin menghancurkan tungku api ini dengan
pukulan sakti. Bersamaan dengan itu kau melompat
untuk menyambuti tubuh gurumu! Silahkan mencoba!
Jika kau membuat kelalaian seperseratus kejapan ma-
ta, kau dan gurumu bakal mampus percuma! Kalau-
pun kau masih hidup, kau akan menyesal seumur-
umur!"
"Kalau begitu lekas kau lakukan niat kejimu!
Aku siap untuk di buntungi ke dua tanganku! Tapi
awas kalau kau berani menipu!"
"Aku juga memperingatkan, awas kalau kau berani memperdayaiku!" balas mengancam Ki lawang
Alu. Lalu dia melangkah mendekati, berhenti sejarak
dua langkah dari hadapan si pemuda. Wiro memperha-
tikan ke bawah. Ternyata pada lantai yang dipijaknya
ada garis berbentuk bujur sangkar. Mungkin ini yang
disebut Kotak Kematian. Dia berada di dalam kotak itu
sedang Tawang Alu di sebelah luar.
Dengan gerakan hati-hati Ki Tawang Alu ulur-
kan tangan kanannya yang dibalut. Seperti diketahui
Wiro telah mematahkan tulang telapak tangan kakek
muka putih ini. Saat ini walaupun dibalut keadaannya
masih parah. Bukan satu hal yang mudah bagi Tawang
Alu menggerakkan tangannya, apalagi untuk mengam-
bil Kapak Naga Geni 212 yang tersisip di pinggang Wi-
ro. Namun dendam kesumat sakit hati membuat dia
melupakan semua kesulitan dan rasa sakit. Jari-
jarinya yang tersembul dari balik balutan bergerak ka-
ku, menggapai ke balik pinggang pakaian Pendekar
212 Wiro Sableng.
Di atas sana, dalam keadaan tergantung kaki
ke atas kepala ke bawah, Sinto Gendeng memaki ha-
bis-habisan.
"Anak setan! Kenapa dia jadi tolol begitu rupa!
Apa dengan menyerahkan dua tangannya di buntungi
oleh laknat muka putih itu dia bisa menyelamatkan di-
riku? Jahanam itu pasti cuma menipu! Aku pasti akan
dibunuhnya dan anak setan itu sendiri akan menemui
ajal dimakan racun kapak! Kalaupun dia mampu ber-
tahan apa. artinya hidup dengan dua tangan bun-
tung?! Tolol! benar-benar tolol!"
Dengan susah payah Tawang Alu berhasil men-
cekal hulu Kapak Maut Naga Geni 212 lalu ditariknya.
Cahaya berkilauan memancar dari mata kapak. Kakek
ini menyeringai. Mukanya yang putih laksana muka ib-
lis. Cahaya pada dua mata kapak sakti semakin terang
pertanda Tawang Alu telah mengerahkan tenaga dalam. Tiba-tiba tangan kanan kakek ini bergerak. Walau
tangannya cidera parah, namun dengan mengandalkan
ilmu kesaktian yang disebut Secepat Kilat Membalik
Tangan kakek ini mampu memegang dan memba-
batkan senjata milik lawannya. Kapak Maut Naga Geni
212 berkiblat ke arah tangan kanan Wiro, memancar-
kan cahaya berkilauan disertai suara bergaung dan
hamparan hawa panas.
Melihat bahaya mengancam muridnya sepasang
mata Sinto Gendeng menyorotkan sinar angker. Na-
mun tidak ada kekuatan atau hawa sakti yang bisa di-
kerahkannya. Dia tidak mampu berbuat apa kecuali
merutuk dalam hati.
"Anak setan itu! Mengapa dia berlaku setolol
itu! Dia menduga bisa menolongku! Padahal dia akan
mati percuma! Malah nyawaku sendiri belum tentu bi-
sa diselamatkan!"
*
* *
LIMA
TOTOKAN SERIBU SYARAF
HANYA SEKEJAPAN lagi tangan kiri Wiro Sableng akan dibabat putus oleh kapak sakti miliknya
sendiri, tiba-tiba dari mulut goa melesat masuk dua
bayangan hitam. Apa yang terjadi kemudian berlangsung serba tidak terduga dan sangat cepat.
Ki Tawang Alu keluarkan jeritan keras. Satu gelombang angin dahsyat membuat dia terhempas tiga
langkah ke belakang. Bersamaan dengan itu darah
muncrat dari urat besar yang putus di pergelangan
tangannya. Sebuah benda menancap di pergelangan
itu. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari gengga-
mannya, jatuh berkerontang di lantai goa. Tidak sadar
Wiro membungkuk untuk mengambil senjata itu. Lan-
tai yang dipijaknya bergoyang, menggetarkan alat ra-
hasia yang berhubungan dengan rantai besi dimana
Sinto Gendeng tergantung. Tak ampun lagi rantai itu
bergerak turun ke bawah. Sosok si nenek dengan ke-
pala lebih dulu, menghunjam turun ke arah tungku
api raksasa! "Celaka!" Wiro sadar. Tapi sudah terlam-
bat!
Muka putih Ki Tawang Alu semakin putih. Da-
rahnya tersirap besar dan nyawanya serasa terbang
ketika dia melihat benda apa yang menancap di perge-
langan tangannya. Lebih dari itu lututnya goyah geme-
tar ketika melihat ada sosok berjubah dan berkeru-
dung hitam tegak berkacak pinggang di depannya.
Si kakek jatuhkan diri berlutut di lantai goa.
Benda yang menancap di pergelangan tangannya ter-
nyata adalah sebilah pisau hitam bergagang berbentuk
kepala srigala terbuat dari perak.
"Racun srigala......Nyawaku tidak tertolong!
Kecuali jika ada yang memberikan obat pena-
war..." Ki Tawang Alu merasa lehernya kaku ketika dia
mencoba mengangkat kepala, memandang ke atas ke
arah kepala orang berkerudung.
"Ampuni selembar nyawaku! Mohon diberikan
obat penawar racun srigala!" Ki Tawang Alu meminta
setengah meratap.
Dari balik kerudung terdengar suara menden-
gus. Lalu suara orang berucap. Dari suaranya jelas di-
ketahui bahwa orang berkerudung ini bukan lain ada-
lah Pelangi Indah, Ketua Kelompok Bumi Hitam dari
Gunung Merapi.
"Ki Tawang Alu! Dosa dan kesalahanmu susah
dijajagi. Lebih tinggi dari langit, melebihi dalamnya da-
sar lautan! Masih ada sedikit kesempatan untuk ber-
tobat sebelum maut datang merenggut! Mengapa tidak
dipergunakan?!" "Ketua!" Suara Ki Tawang Alu terce-
kat. Dia jatuhkan keningnya ke lantai goa. Bersujud.
"Aku mohon belas kasihanmu. Berikan obat penawar
racun srigala. Aku bersumpah menjadi orang baik-
baik, menempuh jalan kebenaran!"
"Sudah terlambat Tawang Alu! Kau memang
pantas mati dimakan racun srigala!" Jawab Pelangi In-
dah.
Saat itu tiba-tiba satu bayangan putih melom-
pat ke hadapan Ki Tawang Alu. "Ada cara mati lain
yang lebih pantas untuk tua bangka keparat ini!"
Satu tangan yang kokoh menjambak rambut
putih Ki Tawang Alu hingga kakek ini meraung kesaki-
tan.
"Ampun! Jangan! Tobat! Pendekar 212, jangan!"
teriak Ki Tawang Alu. Dia coba lepaskan diri. Menjerit,
memukul dan menendang. Tapi sia-sia saja. Wiro sen-
takkan kepala kakek itu hingga tubuhnya terangkat ke
atas. Selagi Tawang Alu melejang-lejang dan menjerit-
jerit Wiro lemparkan sosoknya ke arah tungku raksa-
sa.
"Wuuttt! Bluusss!"
Jeritan Ki Tawang Alu terputus. Berganti den-
gan suara masuknya tubuh ke dalam tungku api. Li-
dah api berhamburan ke udara. Lalu terdengar suara
seperti benda meledak. Semua orang merasa ngeri. Itu
adalah suara meledaknya tubuh Ki Tawang Alu yang di
tambus api tungku raksasa. Bersamaan dengan suara
ledakan itu menyusul berlesatan ke udara beberapa
bagian tubuhnya. Bau daging terbakar memenuhi
seantero goa.
Kita kembali dulu pada saat sewaktu Wiro sa-
lah bergerak, hendak mengambil Kapak Maut Naga
Geni 212 yang tergeletak di lantai. Saat itu juga rantai
besi melorot ke bawah dan sosok Sinto Gendeng yang
tergantung kaki ke atas kepala ke bawah melayang tu-
run dengan deras. Sesaat lagi nenek itu pasti akan
tenggelam amblas dalam tungku api raksasa sementa-
ra Wiro sudah mati langkah, tak mungkin berbuat sua-
tu apa untuk menolong gurunya. Saat itulah bayangan
hitam kedua yang melesat dari mulut goa berkelebat
cepat, menangkap tubuh Sinto Gendeng lalu memba-
wanya melayang turun ke sudut aman menjauhi tung-
ku maut!
Ketika Wiro mendatangi si nenek, orang berju-
bah dan berkerudung hitam tengah membuka jepitan
besi di ujung rantai besi yang mengikat dua kaki kurus
Sinto Gendeng.
"Nek, kau tidak apa-apa?" Wiro menegur seraya
berjongkok di samping Sinto Gendeng. Sekilas dia me-
lirik pada orang berjubah di sebelahnya. Dia tidak tahu
siapa adanya orang ini. Mungkin Rembulan, mungkin
juga Mentari Pagi.
Sinto Gendeng tidak menjawab. Dua matanya
mendelik berputar memandang ke arah Wiro. Mukanya
yang cekung tinggal kulit pembalut tulang unjukkan
tampang asam.
Wiro sadar kalau saat itu gurunya masih bera-
da dalam pengaruh totokan, tak bisa bicara tak bisa
bergerak. Maka dia segera pergunakan kepandaian un-
tuk melepas totokan itu. Yang pertama sekali adalah
membuka jalan suara si nenek agar bisa bicara. Wiro
menotok urat besar di leher kiri kanan Sinto Gendeng.
Memang di situ tempat untuk memusnahkan totokan
jalan suara. Dan nyatanya Sinto Gendeng kini memang
bisa membuka mulut keluarkan suara. Tapi bicaranya
aneh. Ucapannya tidak jelas. Suara si nenek melengk-
ing aneh, cepat sekali. sulit dimengerti.
"Wau! Hikkk! Haauuuuuw! Ngik...! Ngik...!
Wauu! Kik...kik...kik!"
"Astaga! nek, kenapa suaramu jadi begini?" Wi-
ro tersentak kaget." Kau bicara apa?! Suaramu seperti
monyet terbakar buntut!" Wiro kelabakan. Dia me-
mandang ke arah Pelangi Indah dan Rembulan. Dibalik
kerudung dua gadis cantik ini hanya senyum-senyum.
Wiro jadi tambah bingung. Karena dua gadis seper-
tinya tidak berniat menolong, Wiro kembali berusaha
membuka jalan suara si nenek. Dia menotok lagi di
beberapa bagian tubuh gurunya.
Suara aneh si nenek memang lenyap. Tapi kini
yang melesat keluar dari mulut Sinto Gendeng adalah
suara seperti kerbau melenguh! Wiro sampai jatuh ter-
duduk saking kagetnya.
"Eyang! Kau kesambet atau kemasukan atau
bagaimana?!" seru Pendekar 212 dan garuk kepalanya
habis-habisan.
Dalam bingungnya Wiro kembali menotok. Ti-
ba-tiba ser.... Dari bawah perut Sinto Gendeng mengu-
cur cairan yang menebar bau pesing. Di lantai goa ke-
lihatan tergenang cairan kekuning-kuningan! Maksud
baik Wiro untuk menolong gurunya malah salah ka-
prah. Si nenek ditotok hingga mengucurkan air kenc-
ing habis-habisan!
"O walahh! Mengapa jadi begini?!" Wiro tersurut
mundur. Tangan kiri memencet cuping hidung mena-
han sambaran bau pesing, tangan kanan menggaruk
kepala pulang balik! "Kau kelewatan nek. Ditolong ma-
lah kencing seenaknya!"
*
* *
ENAM
BEKAS CUPANGAN DI LEHER
SAMBIL menahan tawa Pelangi Indah menda-
tangi. "Wiro, Totokan Seribu Syaraf bukan totokan
sembarangan. Kau tidak bisa memusnahkannya den-
gan ilmu pembuka totokan biasa. Orang yang ditotok
juga tidak mampu membebaskan diri sekalipun dia
memiliki hawa sakti dan tenaga dalam luar biasa ting-
gi..."
"Lalu bagaimana guruku? Dia musti ditolong.
Kau lihat sendiri. Barusan dia kencing. nanti jangan-
jangan dia berak! Aku..."
Pelangi Indah dan gadis berkerudung di samp-
ing si nenek berusaha menahan tawa.
"Jangan khawatir Wiro. Kami membebaskan
gurumu dari totokan itu," jawab Pelangi Indah. Lalu
gadis Ketua Kelompok Bumi Hitam ini anggukkan ke-
palanya ke arah orang berjubah yang berjongkok di
samping kiri Sinto Gendeng. "Rembulan, musnahkan
totokannya. Buka jalan suara dan kembalikan kelentu-
ran tubuhnya!"
Ternyata yang menolong Sinto Gendeng tadi
adalah Rembulan, gadis tercantik dalam jajaran anggo-
ta Kelompok Bumi Hitam, yang diam-diam telah jatuh
hati pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Mendengar ucapan pimpinannya Rembulan se-
gera mengangkat sosok Sinto Gendeng. Dari belakang,
kepala si nenek di naikkannya demikian rupa. Jari te-
lunjuk tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut.
Mata sesaat dipejamkan. Dia seperti merapal sesuatu
dalam hati. Jari dikeluarkan dari dalam mulut lalu di-
tusukkan ke leher belakang Sinto Gendeng, di sebelah
atas, dekat rambut. Mulut Sinto Gendeng terbuka. Sa-
tu kepulan asap berwarna hitam membersit keluar dari
mulut itu. Sesaat kemudian si nenek tampak mengge-
liatkan ke dua tangannya. Bersamaan dengan itu jalan
suaranya terbuka.
Sinto Gendeng balikkan tubuh, memandang
melotot ke arah muridnya. Lalu mulutnya yang kini bi-
sa bicara mulai merocos.
"Anak setan! Kau sengaja mempermainkan aku
ya?!"
"Nek, aku justru..."
"Diam! Tutup mulutmu! Kau sebut aku monyet
terbakar buntut! Kau bilang aku kencing seenaknya.
Kau bilang aku mau berak..."
"Eyang, aku minta maaf. Maksudku..."
"Sudah! Tutup mulutmu! Jangan sampai aku
tampar!"
"Eyang, kau boleh marah besar padaku! Tapi
harap sedikit hormat pada dua gadis cantik yang telah
menyelamatkan dirimu dan juga diriku..."
"Huh! Dua gadis cantik? Aku tidak melihat apa-
apa. Yang aku lihat cuma dua sosok berjubah hitam.
Kepala mereka ditutup kerudung hitam. Kalau mereka
memang cantik mengapa sembunyikan wajah dibalik
kerudung? Jangan-jangan yang satu sumbing bibir-
nya, yang satu lagi picak matanya! Hik...hik..hik!"
"Nek, jaga mulutmu! Jangan membuat malu!"
Wiro benar-benar merasa jengkel. Dia takut dua gadis
itu tersinggung. Tapi Pelangi Indah dan Rembulan te-
nang-tenang saja. Malah kedua gadis ini senyum-
senyum melihat pertengkaran antara guru dan murid
itu.
"Pelangi Indah, Rembulan, kalau kau tidak ke
beratan harap suka membuka kerudung. Perlihatkan
pada guruku siapa adanya kalian..."
Sesaat Pelangi Indah dan Rembulan merasa
bimbang mendengar permintaan Pendekar 212 itu.
"Apa kataku! Muka mereka pasti jelek! Buk-
tinya mereka tidak mau unjukkan wajah!" kata Sinto
Gendeng pula. "Wajahku walau sudah tua begini,
mungkin lebih cantik dari mereka! Hik...hik..hik!"
"Nenek edan!" maki Wiro dalam hati.
Saat itu Pelangi Indah dan Rembulan sama-
sama menggerakkan tangan membuka kerudung yang
menutupi kepala mereka. Begitu wajah mereka ter-
singkap, Sinto Gendeng jadi terkesiap. Namun nenek
ini cepat menguasai diri. Walau sebenarnya dia kagum
melihat kecantikan dua gadis itu namun dasar gen-
deng, enak saja dia bicara.
"Wallah... Kalian memang cantik semua. Tapi
ketika aku masih muda, kecantikanku jauh melebihi
kalian..."
"Nek!" saking kesalnya Wiro memotong ucapan
sang guru. "Masa mudamu sudah lama lewat. Perlu
apa disebut-sebut. Saat ini kau menghadapi kenya-
taan. Apa kau tidak mau mengucapkan terima kasih
pada Pelangi Indah dan Rembulan?"
"Hai! Kau sudah tahu nama mereka rupanya!"
Sinto Gendeng berucap setengah berseru. Lalu sepa-
sang matanya mendelik berkilat-kilat memandang pa-
da Wiro. "Apa kataku! Terbukti kau nyatanya masih
suka melihat wajah cantik, dada kencang tubuh mu-
lus! Bagaimana mungkin aku memberikan ilmu Sepa-
sang Sinar Inti Roh padamu!"
"Eyang, soal ilmu itu aku sudah melupakannya.
Kau mau memberi atau tidak aku tidak perduli. Saat
ini kita berdua harus mengucapkan terima kasih pada
dua gadis ini. Mereka telah menyelamatkan jiwa kita..."
Lalu tanpa menunggu gurunya Wiro bungkuk-
kan dada, menghormat pada Rembulan dan Pelangi
Indah seraya berkata. "Pada kalian berdua, aku men-
gucapkan terima kasih. Untuk kesekian kalinya kalian
telah menyelamatkan jiwaku..."
"Wiro, sudahlah. Tak perlu memakai segala ma-
cam peradatan. Kami senang bisa menolong mu. Lebih
baik kau perhatikan keadaan gurumu. Kami masih
ada kepentingan lain. Kami minta diri..." Pelangi Indah
melangkah ke mulut goa. Rembulan mengikuti.
"Tunggu!" Sinto Gendeng tiba-tiba berseru. Dua
gadis cantik hentikan langkah, memandang ke arah si
nenek, menunggu apa kelanjutan ucapannya.
"Aku tua bangka ini tidak mau dikatakan tidak
tahu peradatan dan sopan santun. Aku Sinto Gendeng
menghaturkan banyak terima kasih karena kalian te-
lah menyelamatkan jiwa kami guru dan murid. Budi
kalian setinggi langit, sulit bagiku untuk mengukur
membalasnya."
Pelangi Indah tersenyum. Dia membungkuk la-
lu berkata. "Kami sendiri merasa senang dapat berte-
mu denganmu, Nek. Mengingat nama besarmu dalam
rimba persilatan tanah Jawa, bisa bertemu denganmu
sudah merupakan satu kehormatan besar. Izinkan
kami meminta diri untuk pergi lebih dulu..."
Sinto Gendeng menarik nafas panjang. Tiba-
tiba tangan kirinya diulurkan memegang salah satu
ujung pakaian Pelangi Indah. Gadis ini tahu apa yang
hendak dilakukan si nenek. Dia kerahkan tenaga da-
lam. Gerakan si nenek hendak menarik tertahan. Na-
mun sesaat kemudian dirasakannya dua kakinya ber-
geser. Sepertinya dia berada di lantai yang licin.
"Luar biasa tenaga dalam nenek ini. Kalau aku
terus bertahan pakaianku bisa robek! Lebih baik aku
mengalah," kata Pelangi Indah dalam hati.
Gerakan tangan Sinto Gendeng bukan saja
membuat Pelangi Indah tertarik, tapi kepalanya me-
runduk ke bawah mendekati wajah si nenek.
"Gadis cantik, apa yang telah kau perbuat ber-
sama muridku, si anak setan itu?!"
Pelangi Indah terkejut sekali, tidak menduga si
nenek akan mengajukan pertanyaan seperti itu walau
diucapkan secara berbisik.
"Apa maksudmu, Nek?"" Si gadis balik ber-
tanya, juga dengan berbisik.
"Jangan berpura-pura. Gadis cantik dan pemu-
da lajang, bisa saja lupa diri..."
"Aku... kami tidak berbuat apa-apa..."
"Jangan berdusta!"
"Sumpah nek. Muridmu bukan pemuda hidung
belang yang mempergunakan kesempatan sekalipun
diberi jalan. Imannya sekokoh batu karang di pantai
selatan!"
Sepasang mata Sinto Gendeng kelihatan berca-
haya. Lalu nenek ini tertawa lebar. "Kau boleh pergi..."
katanya.
Tapi baru saja Pelangi Indah dan Rembulan
bergerak dua langkah ke mulut goa, tiba-tiba Sinto
Gendeng berseru lagi.
"Hai! Tunggu!"
Walau agak kesal dua gadis itu hentikan lang-
kah, memandang pada si nenek.
"Ya, ada apa Nek?" tanya Pelangi Indah.
"Sebelum kalian pergi, ada satu hal ingin aku
tanyakan." Pelangi Indah dan Rembulan tetap diam di
tempat. Keduanya sekilas melirik ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng.
"Hal apa yang ingin kau tanyakan Eyang Sin-
to?" tanya Pelangi Indah.
Sesaat si nenek pandangi dua wajah yang masih belum ditutupi kerudung itu.
"Kalian memang cantik-cantik. Diantara kalian
berdua, yang mana yang telah jatuh hati pada murid-
ku si anak setan ini?!"
"Guru, kau ini! Mengapa bertanya yang bukan-
bukan?!" Wiro berseru. Tapi si nenek cuma menyengir.
Wajah Pelangi Indah dan Rembulan serta merta
menjadi merah. Pelangi Indah geleng-gelengkan kepala.
Rembulan menggigit bibir. Dua gadis itu kemudian tu-
tup wajah mereka kembali dengan kerudung lalu sa-
ma-sama melangkah cepat ke pintu goa. Ketika mele-
wati Wiro Pelangi Indah berhenti sesaat lalu setengah
berbisik dia berkata.
"Wiro, gurumu benar-benar hebat! Waktu muda
pasti dia merupakan seorang gadis genit centil!"
Wiro diam saja.
Rembulan menyambungi. "Belum pernah aku
menemui nenek-nenek se usil gurumu..."
Pendekar 212 tidak tahu mau berkata apa. Dia
cuma bisa menggaruk kepala.
Sesaat setelah dua gadis cantik itu meninggal-
kan goa, Sinto Gendeng mengangkat kepala, lalu ter-
tawa panjang.
"Tua bangka edan! Apa yang di tertawakan-
nya..." maki Wiro dalam hati. "Nek, memangnya ada
yang lucu?!" tanya Wiro.
"Aku belum edan! Kalau tidak ada yang lucu
masakan aku tertawa!"
"Coba kau katakan apa yang lucu!" ujar Wiro
pula.
"Dua gadis tadi! Mereka tidak bisa menjawab
pertanyaanku! Mereka tidak mau mengatakan siapa
diantara mereka yang telah jatuh hati padamu. Berar-
ti......Berarti... Hik...hik..hik!"
"Berarti apa Nek?" tanya Wiro.
"Berarti dua-duanya telah jatuh cinta padamu!
Kau dengar apa yang aku ucapkan anak setan?! Dua
gadis itu telah jatuh cinta padamu! Hik...hik..hik!"
Wiro tak menjawab. Sang pendekar melangkah
ke pintu goa.
"Eh, kau mau kemana anak setan? Mau me-
nyusul dua gadis yang mencintaimu itu?!" Sinto Gen-
deng menegur lalu tertawa lagi.
"Goa ini pengap Nek. Bau pesing dimana-
mana!" jawab Wiro.
"Brengsek! Aku tidak mencium bau apa-apa!"
tukas Sinto Gendeng. "Jangan kau berani meninggal-
kan aku! Kau tahu saat ini tugasmu harus segera kau
mulai!"
Wiro hentikan langkah.
"Tugas apa Nek?"
"Jangan pura-pura tidak tahu! Gendong aku!
Kita segera menuju Teluk Akhirat!" jawab Sinto Gen-
deng.
Mendengar ucapan gurunya itu Pendekar 212
Wiro Sableng jadi lemas. Tapi tak ada hal lain yang bi-
sa diperbuatnya selain mematuhi ucapan si nenek
yang tidak lebih dari satu perintah. Sambil garuk-
garuk kepala Wiro melangkah mendekati Sinto Gen-
deng. Lalu seperti yang sudah-sudah tubuh lumpuh si
nenek digendongnya di atas pundak. Sambil melang-
kah, untuk menghilangkan kekesalannya Wiro bersiul-
siul seenaknya.
"Hemm, hatimu rupanya sedang senang. Aku
ada satu pertanyaan untukmu, anak setan!"
"Dari tadi kau rupanya lagi senang bertanya!
Ucapkan saja Nek! "Nek."
"Diantara dua gadis cantik tadi, yang mana
yang kau sukai?"
"Waktu kau tadi menanyakan siapa diantara
mereka yang jatuh hati padaku, tak ada yang menja-
wab. Lalu apa perlunya aku menjawab pertanyaan-
mu?" ujar Wiro pula.
Sinto Gendeng tertawa mengekeh. "Mereka ti-
dak mau menjawab. Mereka mendustai diri sendiri.
Aku punya bukti salah satu dari gadis itu sudah men-
dapat tempat di hati mu. Malah sudah kau layani. Be-
tul, hik...hik...hik?!"
"Apa maksudmu Nek?"
Si nenek usapkan jari-jari tangannya ke pang-
kal leher Pendekar 212 Wiro Sableng sebelah kanan.
"Ada tanda bekas cupangan, bekas gigitan di
lehermu ini. Siapa yang menggigit? Jelas bukan kodok
kan? Setan atau jin juga tidak pernah menggigit ma-
nusia seperti ini! Hik...hik...hik..."
Wiro meraba lehernya. Dia tidak bisa melihat.
Dia juga tidak tahu kalau pada lehernya memang ada
bekas gigitan. Jangan-jangan nenek brengsek ini
hanya menipuku. Tapi kalau benar, siapa yang mela-
kukan? Pelangi Indah? Waktu dia berada berdua-dua
di kamar dengan gadis itu? Wiro menggaruk kepa-
lanya!
*
* *
TUJUH
MAUT MENANTI DI TELUK
AKHIRAT
PAGI ITU angin teluk bertiup agak keras. Di
laut gelombang bergulung deras, menghampar me-
mecah di kawasan pasir dengan suara menggemuruh.
Di udara yang tidak begitu cerah, ratusan kelelawar
melayang beterbangan di permukaan teluk. Sesekali
suara gelepar sayap mereka terdengar aneh mengge-
tarkan. Sesekali binatang itu keluarkan suara me-
lengking bukan saja menyakitkan telinga tapi juga
menggidikkan. Sekelompok kelelawar sekitar tiga pu-
luh ekor tiba-tiba muncul melayang dari arah timur.
Dari jurusan berlawanan sepasang elang besar terbang
dipermukaan laut lalu membumbung ke angkasa, me-
layang ke arah pantai. Puluhan kelelawar keluarkan
suara melengking keras. Gerakan mereka berubah be-
ringas. Seolah ada satu ketentuan yang tak bisa dita-
war, di Teluk Akhirat tidak ada mahluk lain boleh hi-
dup, kecuali kelelawar!
Kelelawar-kelelawar ini membuat gerakan ber-
putar di udara, lalu dengan sangat tiba-tiba menukik
ke bawah ke arah dua ekor elang besar.
Dua elang besar rupanya sudah melihat keda-
tangan rombongan kelelawar yang hendak menyerang.
Dua elang ini menyambut dengan lengkingan suara
tak kalah galaknya. Perkelahian aneh, yang jarang dis-
aksikan manusia serta merta terjadi di udara terbuka.
Tiga puluh ekor kelelawar mengeroyok dua ekor elang
besar. Semuanya berlangsung sebentar saja. Dua elang
besar keluarkan suara menguik keras. Tubuh mereka
hancur dicabik-cabik kelelawar. Bulu beterbangan, ja-
tuh melayang ke atas permukaan air laut. Tiga puluh
ekor kelelawar membuat putaran lalu melesat ke arah
pantai. Sebelum lenyap di arah teluk, salah seekor dari
kelelawar itu memisahkan diri, melayang merendah
dan berkelebat diantara kerapatan pohon-pohon kela-
pa.
Di dalam sebuah gubuk tanpa dinding, berlantai tanah keras, satu Sosok tinggi besar duduk di atas
sebuah batu hitam. Batu hitam ini berbentuk aneh.
Bagian bawah merupakan tempat duduk yang kokoh,
lalu di sebelah belakang batu ini membentuk sandaran
tinggi. Di sebelah atas sandaran, seperti di ukir, mem-
bentuk sosok seekor kelelawar yang tengah meren-
tangkan kedua sayapnya.
Orang di atas batu memiliki daun telinga men-
cuat lancip ke atas. Sepasang tangan panjang luar bi-
asa ditumbuhi bulu hitam lebat. Dua matanya sangat
sipit, sepintas seolah terpejam. Inilah mahluk yang
disebut Kelelawar Pemancung Roh, yang telah mence-
lakai Sinto Gendeng hingga nenek sakti itu menderita
lumpuh dari pinggang ke bawah.
Saat itu Kelelawar Pemancung Roh tengah du-
duk rangkapkan dua tangan di depan dada, mata ter-
picing mulut terkancing. Sosoknya tidak bergerak se-
dikitpun. Keadaannya seolah menjadi satu dengan ba-
tu yang didudukinya. Beku mati.
Tiba-tiba seekor kelelawar melesat ke arah gu-
buk, bergelantung pada palang di bawah atap. Terjadi
satu hal aneh. Binatang ini perlahan-lahan membesar,
bentuk kepalanya berubah menjadi seperti kepala seo-
rang bayi. Tapi ketika menyeringai kelihatan barisan
gigi-giginya yang besar lancip serta lidah merah seperti
ada cairan darah memenuhi mulutnya. Selain itu pada
ubun-ubunnya ada gambar dua buah bintang berwar-
na hitam. Dua telinga mencuat lancip.
Mahluk kelelawar berkepala bayi ini melayang
turun ke dalam gubuk, kepakkan sayapnya dua kali
lalu duduk bersila di hadapan Kelelawar Pemancung
Roh, menunggu.
Tak lama berselang Kelelawar Pemancung Roh
buka dua matanya yang sejak tadi dipicingkan, dua
tangan yang panjang diletakkan di atas lutut dan memandang sipit pada mahluk di hadapannya.
"Tuyul Orok! Apakah kau datang membawa ka-
bar yang aku harapkan?"
Mahluk bertubuh kelelawar berkepala bayi
kembangkan dua sayapnya ke samping lalu letakkan
kening di lantai gubuk di depan kaki Kelelawar Peman-
cung Roh. Walau sosoknya kecil, tapi suaranya besar
sember ketika bicara.
"Orang yang kita tunggu sudah kelihatan di
ujung teluk. Mereka muncul berdua..."
"Apakah mereka menunggang kuda?"
"Tidak. Mereka berjalan kaki. Yang satu men-
dukung lainnya di pundak!"
Kening Kelelawar Pemancung Roh mengerenyit.
"Yang satu mendukung yang lainnya di pundak. Aneh.
Siapa mereka. Jangan-jangan bukan orang yang kita
tunggu. Jelaskan ciri-ciri keduanya."
"Yang mendukung seorang pemuda berpakaian
serba putih. Rambutnya gondrong. Sekelebatan aku
melihat ada jarahan tiga angka di dadanya. Angka
212......"
"Pendekar 212 Wiro Sableng!" Saat itu Kelela-
war Pemancung Roh berucap, mengusap dagunya yang
ditumbuhi janggut-janggut kasar, berpikir mengingat-
ingat. "Kalau tidak salah aku menduga, pemuda itu
adalah murid Sinto Gendeng! Hemmm." Kelelawar Pe-
mancung Roh menyeringai. "Lanjutkan keteranganmu.
bagaimana ciri-ciri orang yang didukung?"
"Seorang nenek berpakaian hitam dan kain
panjang butut... Di mulutnya selalu menyumpal susur.
Sosoknya menebar bau pesing. Mukanya seperti teng-
korak. Di atas kepalanya menancap lima tusuk konde
dari perak..."
Mahluk bernama Kelelawar Pemancung Roh
terlonjak dari duduknya. Perlahan-lahan dia bangkit
berdiri. Kepalanya hampir menyondak atap gubuk.
"Tuyul orok, apakah kau tidak salah melihat?"
"Aku melihat dengan mata setajam pisau. Tidak
mungkin setelah melihat aku mengatakan yang salah."
"Tuyul orok, ini adalah aneh...!"
"Pemimpin, maafkan diriku kalau aku lancang
bertanya. Apakah yang aneh?"
"Ciri-ciri orang yang kau katakan itu jelas dia
adalah nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Tetapi..."
"Tetapi apa pemimpin?"
"Nenek itu sudah mampus beberapa waktu
yang lalu!"
"Mampus?!" Mahluk bernama Tuyul Orok berdi-
ri tegak, kembangkan sayap ke samping. Ternyata
tingginya hanya se pusar Kelelawar Pemancung Roh
yang duduk di batu.
"Aku sendiri yang membunuhnya. Dengan ra-
cun Seribu Hawa Kematian. Dia mampus tumpang
tindih dengan kakek bernama Suro Ageng, bekas ke-
kasihnya di masa muda. Aku yang melakukan, aku
yang menyaksikan! Sekarang kau membawa berita
bahwa nenek jahanam itu masih hidup! Muncul didu-
kung oleh muridnya sendiri. tengah menuju ke Teluk
Akhirat ini!"
"Demi segala setan dan jin penghuni Teluk
Akhirat, aku tidak berdusta. Aku mengatakan
ciri-ciri si nenek sesuai apa yang aku lihat. Apakah dia
Sinto Gendeng, apakah dia sudah mampus kemudian
hidup kembali, atau rohnya yang gentayangan, mohon
maafmu, aku tidak tahu menahu..."
Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, Usap-
usap dua telapak tangannya satu sama lain, tampang-
nya yang angker tampak menggelap. Matanya dipe-
jamkan. Dadanya turun naik dan nafasnya memburu.
"Sinto Gendeng..." Mahluk di atas batu itu be-
rucap dengan suara bergetar. "Empat puluh tahun lalu
kau membantai delapan orang saudaraku! Hari ini
pembalasan akan menimpa dirimu! Kau akan ku siksa
habis-habisan sebelum nyawamu kurenggut dari tu-
buh busukmu!"
Dengan kedua tangannya Kelelawar Pemancung
Roh menekan ke bawah sayap kelelawar batu sanda-
ran tempat duduknya. Terdengar suara berdesir halus.
Secara aneh lantai di bawah batu yang merupakan ta-
nah keras bergerak membuka. Bersamaan dengan itu
kursi batu yang diduduki Kelelawar Pemancung Roh
amblas ke bawah. Lenyap tanpa bekas. Yang tinggal
kini hanya gubuk sepi yang sesekali mengeluarkan su-
ara berderik ketika disapu hembusan keras angin dari
teluk.
*
* *
DELAPAN
SINTO GENDENG LENYAP LAGI
PENDEKAR 212 Wiro Sableng melangkah di
atas pasir pantai. Di atas pundaknya Sinto Gendeng
duduk terpejam-pejam disapu angin laut. Entah apa
yang ada di dalam pikirannya.
"Nek, sebenarnya apa yang terjadi dengan diri-
mu waktu berada di telaga?" Wiro bertanya sambil te-
rus berjalan. "Aku kembali ke telaga. Kau tidak ada. Di
sebuah batu aku lihat menancap sebuah benda. Kuki-
ra tusuk sate. Tak tahunya konde perakmu!"
"Anak setan sialan!" maki Sinto Gendeng men-
dengar tusuk kondenya disamakan dengan tusuk sate.
"Kau melihat tusuk konde ku! Apa yang kau lakukan?!
Ayo! Pasti kau sembunyikan! Lekas serahkan padaku
atau ku jewer daun telingamu sampai copot dua-
duanya!" Jari-jari tangan si nenek langsung hinggap di
daun telinga kiri kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Aduh suaakit! Jangan Nek," teriak Wiro. "Geblek! Ku
pelintir-pun belum! Sudah menjerit setinggi langit!
Mana tusuk konde ku?!"
"Ada Nek... ada!" Dari balik pakaian putihnya
Wiro keluarkan sebuah benda. Benda itu diacungkan
ke atas.
Dua mata Sinto Gendeng mendelik. "Kurang
ajar! Mengapa jadi bengkok?!"
"Tentu saja bengkok Nek! Yang kau hantam ba-
tu besar di tepi telaga. Coba kalau pantatnya Ki Ta-
wang Alu! Pasti tidak bengkok! Malah patah!" Wiro ter-
tawa gelak-gelak.
"Anak setan sialan!" rutuk Sinto Gendeng lalu
cepat-cepat mengambil tusuk konde yang dipegang Wi-
ro. Setelah diluruskan tusuk konde itu langsung dis-
isipkannya di atas kepala. Bukan disisipkan di antara
rambutnya yang putih jarang, tapi disisipkan di kulit
kepalanya!
"Aku sudah mengembalikan tusuk konde mu!
Sekarang apa kau masih tidak mau bercerita keja-
diannya hingga kau bisa dikerjai oleh kakek muka pu-
tih bernama Tawang Alu itu?"
"Apa kejadiannya! Kau masih bertanya. Padahal
aku yakin kau sudah tahu! Jelas aku diculik setan
muka putih yang sekarang sudah jadi debu di tungku
api itu!"
"Aku merasa aneh Nek. Kalau aku pikir-pikir
ilmu kepandaianmu jauh berada di atas kakek itu. Tapi mengapa dia bisa menculik mu? Jangan-jangan kau
yang sengaja minta diculik... Aduh!" Wiro menjerit ke-
tika telinga kiri kanan dipelintir si nenek.
"Jangankan aku! Orang gila-pun tidak ada yang
minta diculik! Apa lagi oleh kakek jelek bermuka putih
pucat seperti kain kafan itu!"
"Muka atasnya memang pucat jelek Nek. Tapi
belum tentu muka bawahnya! Mungkin merah mengki-
lap. Hua...ha..."
Tawa Pendekar 212 tertahan lenyap lalu ber-
ganti dengan jerit kesakitan karena kembali si nenek
memelintir dua daun telinganya.
"Ampun Nek, kau memang diculik, bukan min-
ta diculik!" kata Wiro pula sambil tangannya kiri kanan
bergantian mengusap telinganya yang perih pedas.
"Aku tanya lagi Nek. Boleh...?"
Sinto Gendeng diam.
Wiro menyeringai. "Kau diam. Berarti boleh!"
Sang murid enak saja mengambil kesimpulan. "Waktu
kau diculik, apa kau masih berbugil-bugil di dalam te-
laga?"
"Benar-benar anak setan!" maki Sinto Gendeng.
"Bukankah kau menurunkan aku di tempat yang
dangkal? Aku berendam, sesekali menyelam. Ketika
aku selesai mandi, baru saja selesai berpakaian dan
hendak berteriak memanggilmu tiba-tiba kakek itu
muncul. Membokongku dari belakang. Aku mencabut
tusuk konde ku lalu menghantamnya dengan benda
itu. Tapi meleset. Walau sudah berada di pinggir telaga
tapi aku tak bisa berbuat banyak karena dua kakiku
lumpuh. Kakek jahanam itu berhasil membokongku
dari belakang dengan Totokan Seribu Syaraf! Begitu
kejadiannya kalau kau mau tahu! Dia sengaja mencu-
lik ku untuk memaksa agar kau menyerahkan kalung
kepala srigala perak!"
"Oh begitu kejadiannya," kata Wiro pula sambil
garuk-garuk kepala.
Pantai yang ditelusuri Wiro membentuk satu
lekukan dalam di depan sana. Kecuali suara deburan
ombak, keadaan di tempat itu tenang-tenang saja. An-
gin bertiup sejuk.
"Aneh, di pantai seperti ini biasanya banyak pe-
rahu mangkal. Di laut perahu nelayan bertebaran dan
di pantai banyak rumah penduduk. Aku tidak melihat
semua itu..."
Selagi Wiro membatin bertanya-tanya dalam
hati, di atas pundaknya Sinto Gendeng berucap seperti
orang membaca syair.
"Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah.
Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia ra-
sanya hidup ini..."
"Dasar nenek gendeng," kata Wiro dalam hati.
Dua kakinya lumpuh, masih bisa bilang betapa baha-
gianya hidup ini. Aku tersiksa mendukungnya kema-
na-mana, dikencingi! Dan dia masih bisa bilang betapa
bahagia rasanya hidup ini! Tua bangka geblek!"
"Anak setan! Aku merasa pasti ada sesuatu
yang kau ucapkan dalam hati!" Sinto Gendeng tiba-tiba
menegur.
"Nek, kau tadi enak saja bicara. Lihat ke depan.
Laut dan daratan membentuk teluk. Kita sudah berada
di kawasan Teluk Akhirat, sarang mahluk jahanam
yang telah mencelakai dirimu. Membuatmu lumpuh
dan menyebabkan aku kebagian pekerjaan tidak enak,
mendukungmu kemana-mana! Dari pada berucap yang
aneh-aneh lebih baik mulai berlaku waspada!"
Sinto Gendeng tertawa pendek. Tanpa perduli-
kan ucapan muridnya nenek kembali membuka mulut.
"Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah.
Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia rasanya hidup ini. Tetapi... tetapi mengapa mendadak
hidungku mencium bau amis. Amisnya darah! Ih!"
"Nek, kencing mu yang menempel di tengkuk
ku sudah cukup membuat aku merinding. Jangan
tambah dengan omongan yang membuat aku tambah
bergidik..."
Sinto Gendeng masih tidak perdulikan ucapan
muridnya.
"Kata orang Teluk Akhirat banyak kelelawar-
nya. Kelelawar yang bisa menggerogoti tubuh manusia
hingga berubah menjadi jerangkong putih! Hik...hik!
Tapi aku masih belum melihat binatang-binatang itu.
Jangankan kelelawar, lalatpun tak ada di teluk ini.
Jangan-jangan kita datang ke tempat yang salah, Wiro.
Ini bukan Teluk Akhirat tapi Teluk Sorga!
Hik...hik...hik!"
Belum habis tawa si nenek tiba-tiba langit di
sebelah timur kelihatan gelap. Si nenek tenang-tenang
saja. Wiro mendongak, memandang ke atas. Dia meli-
hat puluhan burung aneh melayang di udara, melesat
ke arah teluk. Deru sayapnya menggemuruh, menindih
suara deburan ombak.
"Astaga, itu bukan burung! Tapi kelelawar! Nek!
Ada ratusan kelelawar terbang menuju ke sini!"
"Aku sudah melihat! Mengapa musti terkejut!
Binatang itu yang menebar bau amis yang tadi aku
cium!"
"Nek, lihat! Ratusan kelelawar itu menukik ke
arah kita!" Wiro berteriak.
"Aku sudah melihat! Kau berteriak seperti
orang ketakutan!" ujar Sinto Gendeng sambil pindah-
kan susur dari samping kiri ke kanan mulutnya.
"Kelelawar itu bukan kelelawar biasa! Besar-
besar! Mereka menukik menyerang kita!" teriak Wiro
lagi.
Puluhan kelelawar semakin dekat, melayang
dengan suara bergemuruh, jelas-jelas melesat ke arah
Wiro dan Sinto Gendeng yang berada di pantai teluk, di
tempat terbuka.
"Binatang itu pasti peliharaan Kelelawar Pe-
mancung Roh! Pasti mahluk itu yang menyuruh mere-
ka menyerbu kita!"
"Anak setan! Kalau kau sudah tahu diri mau
diserang, mengapa cuma omong melulu! Lakukan se-
suatu!" Sinto Gendeng membentak.
"Kau yang harus melakukan sesuatu Nek! Bu-
kan aku! Karena kau berada lebih tinggi! Kau yang
bakal di geragot lebih dulu!" teriak Wiro saking jeng-
kelnya. Walau bicara seperti itu tapi dia mulai berusa-
ha mencari selamat yakni lari ke
arah deretan rapat pohon-pohon kelapa di tepi
pantai. Pohon-pohon itu bisa dijadikan sebagai perlin-
dungan dari serbuan kelelawar.
Suara kepak puluhan kelelawar, suara aneh
yang melesat keluar dari mulut binatang-binatang itu
benar-benar menggidikkan.
Wiro berhasil mencapai deretan pohon-pohon
kelapa terdepan. Dia jatuhkan diri ke tanah, tidak per-
duli bagaimana akibatnya dengan guru yang berada di
pundaknya. Si nenek terhempas jatuh, terguling berke-
lukuran. Keningnya membentur salah satu tiang gu-
buk hingga benjut dan tiang itu sendiri patah! Sinto
Gendeng menyumpah panjang pendek! Dia menggapai
beringsut ke depan lalu jatuhkan diri menelungkup di
atas tanah keras lantai gubuk. Sementara itu pada
saat yang sama puluhan kelelawar datang melabrak.
Wiro menelungkup sama rata dengan tanah.
Puluhan kelelawar lewat di atasnya. Pasir beterbangan.
Rerumputan liar terbongkar.
"Plaakkk! Plaakkk! Braaakkk!"
Kulit keras batang pohon kelapa hancur ber-
keping-keping dihantam sayap kelelawar. Binatang-
binatang ini menguik keras karena tak berhasil meng-
hantam Wiro. Mereka melesat berputar di sela-sela po-
hon kelapa lalu membalik, melancarkan serangan un-
tuk kedua kalinya. Yang diserbu hanya Wiro sementa-
ra Sinto Gendeng masih melingkar di bawah atap gu-
buk, kembali terdengar memaki pendek.
Pada serangan kedua kelelawar-kelelawar itu
melayang sangat rendah. Hanya setengah jengkal dari
permukaan tanah. Wiro tidak mungkin menghindar la-
gi. Tak ada jalan lain. Murid Sinto Gendeng hantam-
kan kedua tangannya. Tangan kiri melepas pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera. Ini merupakan sa-
tu pukulan sakti untuk membentengi diri dari seran-
gan, sekaligus merupakan serangan untuk menghan-
tam lawan. Dengan tangan kanannya Wiro melepas
pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
Ratusan kelelawar mengeluarkan suara men-
guik dahsyat. Tubuh mereka terpental jauh, ada yang
melesat sampai melebihi tingginya pohon kelapa. Pu-
luhan terlempar dan jatuh bergedebukan di tanah. Ada
pula yang terpental menghantam pohon-pohon kelapa.
Beberapa pohon kelapa menderak patah lalu tumbang
dengan suara menggemuruh. Tetapi aneh dan luar bi-
asanya, tidak satupun dari kelelawar-kelelawar itu
yang cidera! Bahkan setelah kena dihantam dua puku-
lan dahsyat begitu rupa, puluhan kelelawar keluarkan
suara menggembor, kepakkan sayap. melesat ke udara
lalu menyambar kembali ke arah Pendekar 212!
"Gila! Bagaimana mungkin binatang celaka itu
tidak satupun hancur dihantam pukulan sakti ku!" Wi-
ro terbeliak kaget! Rasa heran sekaligus kecut ngeri
Pendekar 212 memang beralasan. Pohon kelapa saja
patah bertumbangan kena sambaran dua pukulan
sakti yang tadi dilepaskannya. Tetapi kelelawar-
kelelawar itu tidak satupun yang cidera,
malah kini kembali siap melancarkan serangan!
"Gila! Binatang jahanam itu hendak menyerang
kembali! Mengapa cuma aku yang diserang, guruku ti-
dak? Apa kelelawar itu jijik pada tubuhnya yang jelek
dan bau pesing?!"
"Berrr..... berrrr!"
Ratusan kelelawar kembali menyerbu. Suara
kepak sayap mengerikan, serta menguik aneh yang ke-
luar dari mulut mereka pekak menggidikkan.
Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya di-
angkat, berubah memutih laksana perak.
Puluhan kelelawar datang bergemuruh. Cela-
kanya kini mereka tidak datang dari arah; yang sama,
tapi menyambar bersilangan dari berbagai jurusan!
Wiro gerakkan tangan kanan dua kali berturut-
turut.
"Wussss!"
"Wussss!"
Dua larik sinar putih panas menyilaukan ber-
kiblat.
Puluhan kelelawar menguik dahsyat. Tubuh
mereka mencelat cerai berai dalam keadaan hangus,
menebar bau menegakkan bulu roma!
"Brettt!"
"Craaaass!"
Wiro mengeluh kesakitan. Ketika dia meneliti
pakaiannya robek besar di sebelah dada sementara
bahu kirinya mengucurkan darah dari luka terkena
sambaran sayap kelelawar.
Puluhan kelelawar yang masih hidup untuk be-
berapa lamanya hanya berkelebat di antara pohon-
pohon kelapa. Mungkin juga binatang-binatang itu
ngeri melihat apa yang terjadi dengan puluhan kawan
kawan mereka. Tapi sebenarnya tidak. Binatang-
binatang ini tidak mempunyai rasa takut. Mereka ten-
gah menunggu sesuatu!
Tiba-tiba terdengar suara suitan keras tiga kali
berturut-turut. Puluhan kelelawar yang beterbangan
liar di atas kepala Pendekar 212 keluarkan suara men-
guik seolah membalas suara suitan tadi. Lalu bina-
tang-binatang itu berkelebat ke atas, bergelantungan
di pelepah pohon-pohon kelapa. Diam tak bergerak,
hanya mata mereka yang coklat gelap kelihatan me-
mandang menyorot ke arah Pendekar 212. Sikap me-
reka jelas mengurung sambil menunggu sesuatu.
Tak selang beberapa lama dari arah teluk keli-
hatan sekelompok benda aneh melayang cepat ke arah
kawasan pohon-pohon kelapa. Sebentar saja mereka
sudah ikut bergelantungan di dahan-dahan pohon ke-
lapa. Jumlah mereka sekitar tiga puluhan. Ketika Wiro
memperhatikan, berubahlah wajah sang pendekar. Da-
rahnya tersirap. Mahluk-mahluk yang barusan muncul
ini memiliki sayap coklat kehitaman seperti kelelawar.
Tetapi kepala mereka berbentuk kepala bayi. Luar bi-
asa dan mengerikan, ketika menyeringai kelihatan mu-
lut berlidah basah berwarna sangat merah. Lalu bari-
san gigi-gigi merupakan taring lancip mencuat keluar.
Lima diantara sekian banyak mahluk aneh ini memiliki
kepala dihias sebuah gambar bintang hitam d ubun-
ubun. Hanya satu memiliki sekaligus gambar dua bin-
tang di batok kepalanya. Yang lain-lain memiliki kepala
licin botak plontos!
Wiro berusaha menindih rasa bergidiknya. Di
melirik ke samping ke arah gubuk tanpa dinding dan
jadi terkejut ketika dapatkan Eyang Sinto Gendeng tak
ada lagi di tempatnya semula.
"Eyang! kau dimana?! Eyang Sinto!" teriak Wiro
memanggil.
Tiba-tiba ada suara tertawa bergelak. Seekor
kelelawar kepala bayi, yang ubun-ubunnya ada gam-
bar dua buah bintang berkelebat. Sesaat kemudian
mahluk ini sudah tegak di depan Wiro. Lidahnya yang
merah basah terjulur-julur, taringnya mencuat.
"Kau mencari nenek jelek itu? Ha...ha...ha!
Mahluk bertubuh kelelawar berkepala seperti bayi
yang adalah si Tuyul Orok mengumbar tawa.
"Mahluk jahanam! Guruku memang jelek. Tapi
jangan berani menghina!" Wiro hantamkan kaki ka-
nannya, menendang Tuyul Orok. Tendangan ini bukan
sembarangan karena disertai tenaga dalam. Jangan-
kan sosok mahluk sebesar Tuyul Orok, batupun bisa
hancur. Tapi dengan gesit dan cepat Tuyul Orok berke-
lebat ke kiri lalu plaakk.... Sayapnya menyambar ke
depan. Wiro terpekik Memandang ke bawah dilihatnya
celananya robek besar. Kakinya sebelah kanan mengu-
curkan darah. Tulang keringnya kelihatan tersembul
memutih.
Tuyul Orok kembali tertawa gelak-gelak. Begitu
suara tawanya berhenti dia keluarkan suara bersuit
panjang. Puluhan kelelawar kepala bayi yang bergelan-
tungan di pohon kelapa balas bersuit.
"Kawan-kawan! Kita sudah lama tidak menik-
mati daging manusia! Santapan sudah tersedia! Tung-
gu apa lagi?!"
Puluhan kelelawar kepala bayi julurkan lidah
hingga cairan merah berlelehan ke dagu. Lalu didahu-
lui suara menguik dahsyat binatang-binatang itu ke-
pakkan sayap, berkelebat ke bawah, menyambar ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng!
T A M A T
Segera terbit : NYAWA PINJAMAN
--------------------------------------------------
ARIO BLEDEG
EPISODA PETIR DI MAHAMERU
ENAM BELAS
API DENDAM MULAI BERKOBAR
BERSAMAAN dengan menyingsingnya fajar, gerobak yang ditarik dua ekor kuda besar itu memasuki
pintu gerbang keraton. Waktu itu Kerajaan berada da-
lam keadaan kemelut, pengawalan dilakukan sangat
ketat. Prajurit bertebaran di seluruh pelosok Kotaraja.
Keraton dijaga ratusan pasukan siang malam. Semula
para pengawal di pintu gerbang hendak menghentikan
gerobak. Namun ketika melihat siapa yang duduk di
bagian depan gerobak, dengan cepat mereka membuka
pintu gerbang lebar-lebar, memberi jalan.
Bertindak sebagai sais kereta adalah prajurit
kepala Gedeng Kemitir. Di sebelahnya duduk gagah
orang tua berjubah kuning berambut riap-riapan. Di
dadanya tergantung melintang sebuah tombak yang
pada ujungnya terikat sehelai bendera kuning berbentuk segi tiga. Dia bukan lain adalah Ki Dalem Sleman,
tokoh silat Istana.
Di lantai gerobak tergeletak jenazah Pangeran
Tua Sekar Seda Lepen. Di lehernya kelihatan luka besar menguak, agak tertutup oleh darah yang membe-
ku. Itulah bekas luka tusukan golok Perwira Muda Tubagus Lor Putih.
Perwira Kerajaan Brajanala yang sedang sakit
ketika diberitahu kedatangan Ki Dalem Sleman mem-
bawa jenazah Pangeran Tua Sekar Lepen serta merta
turun dari pembaringan. Setelah mencuci muka dan
berpakaian dengan langkah menghuyung dia segera
menuju halaman depan Keraton. Begitu menyaksikan
sendiri mayat Pangeran Tua dan bicara sebentar den-
gan Ki Dalem Sleman, Brajanala membawa tokoh silat
Istana itu ke ruang dalam, bersama-sama menghadap
Sultan Prawoto.
Seluruh penghuni keraton terjaga. Ini adalah
satu peristiwa besar. Pangeran Tua Sekar Seda Lepen
yang oleh pihak Keraton dianggap sebagai pemberon-
tak berhasil ditewaskan dan jenazahnya dibawa sendiri
oleh tokoh silat Istana, Ki Dalem Sleman.
Setelah cukup lama menunggu akhirnya Sultan
Prawoto muncul menemui Brajanala dan Ki Dalem
Sleman.
Setelah menerima penjelasan dari Perwira Bra-
janala Sultan Prawoto berucap.
"Ki Dalem Sleman, ini satu peristiwa besar bagi
Kesultanan Demak. Kau tahu sendiri, mata-mata kita
sudah sejak lama mengikuti gerak-gerik Pangeran Tua.
Itu sebabnya, karena sakitnya Perwira Brajanala, aku
mengirim Perwira Muda Tubagus Lor Putih untuk
mencegatnya di sungai. Ternyata dia tidak mampu
berbuat banyak. Kalau kau tidak turun tangan ke-
mungkinan besar Pangeran Tua itu berhasil melarikan
diri waktu dicegat di sungai. Memalukan sekali, Tuba-
gus Lor Putih hanya bisa membunuh Pangeran Tua ke-
tika Pangeran Tua berada dalam keadaan pingsan tak
berdaya. Anak-anakpun bisa melakukannya!"
"Sultan, dengan izin Sultan saya akan memecat
Perwira Muda itu. Kalau perlu memenjarakannya!" ka-
ta Perwira Tinggi Brajanala yang jadi marah besar setelah mendengar keterangan Ki Dalem Sleman atas apa
yang terjadi.
"Lakukanlah tugasmu, Perwira," jawab Sultan
lalu berdiam diri sesaat. "Aku merasa lega, musuh pal-
ing besar dan paling berbahaya bagi Kerajaan telah
disingkirkan. Namun sebagai manusia biasa aku me-
rasa haru, sedih, duka cita yang mendalam. Bagaima-
napun juga Pangeran Tua Sekar Seda Lepen adalah
masih kakekku juga. Jenazahnya perlu diurus dengan
baik. Ki Dalem Sleman, mengingat Perwira Brajanala
masih dalam keadaan sakit, aku menugaskan mu un-
tuk membawa jenazah Pangeran Tua, menyerahkannya
pada puteranya, Arya Penangsang."
"Saya siap melakukan perintah," jawab Ki Da-
lem Sleman seraya membungkuk dan menambahkan.
"Saya sudah mengabdi sejak masa ayahanda Sultan,
Sultan Trenggono. Pengabdian saya tidak akan terpu-
tus, kecuali Tuhan memanggil saya terlebih dahulu."
Sultan mengangguk. "Ki Dalem tahu dimana
Arya Penangsang berada?"
"Terakhir sekali dia berada di desa Pilangsari di
selatan Demak. Namun seorang mata-mata memberi
tahu dua hari lalu, putera Pangeran Tua itu terlihat di
Welahan, satu desa di kawasan barat
Kudus. Saya akan mengirim seseorang menda-
hului saya ke sana. Jadi jika jenazah sampai, Arya Pe-
nangsang sudah bersiap-siap menerimanya."
"Bagus sekali langkah yang Ki Dalem ambil,"
kata Sultan pula. "Namun harap berhati-hati. Arya Pe-
nangsang kalap mendadak melihat mayat ayahanda!
Tidak mustahil dia akan melakukan tangan jahat ter-
hadap Ki Dalem."
"Saya bisa mengerti kalau dia sampai berbuat
begitu. Saya akan berhati-hati."
"Aku percaya Ki Dalem bisa mengatasi urusan.
Dan atas jasa besarmu ini aku akan memberi tahu
Bendaharawan Istana untuk melipat gandakan santu-
nan bulanan atas nama Ki Dalem...."
"Sultan, sebenarnya saya tidak mengharapkan
imbal jasa apa-apa," kata Ki Dalem Sleman sambil
membungkuk. "Semua yang saya lakukan adalah men-
jadi tugas dan tanggung jawab semata."
Sultan berpaling pada Brajanala. "Perwira, ke-
tatkan pengawalan atas Keraton. Lipat gandakan ke-
kuatan prajurit di seluruh Kerajaan dan sebar mata-
mata sebanyak mungkin. Aku punya firasat, tewasnya
Pangeran Tua akan mendatangkan hal-hal yang tidak
kita inginkan. Terutama dari pihak yang tidak menyu-
kai tahta Kerajaan berada di tanganku."
Perwira Brajanala mengangguk. Setelah mem-
bungkuk memberi hormat dia segera meninggalkan
tempat itu. Tapi Sultan berkata.
"Satu hal lagi Perwira. Harap dikirim seorang
utusan untuk menemui Joko Tingkir. Sejak ayahanda
mangkat dia seperti menghilang begitu saja. Sebagai
menantu ayahanda, dia tidak layak berbuat begitu.
Aku tahu dia tengah merampungkan beberapa ilmu
kesaktian di satu tempat terpencil. Cari dia, minta dia
segera datang ke Kotaraja menemuiku. Kita perlu ban-
tuan tenaga dan pikirannya."
"Akan saya lakukan Sultan," kata Perwira Bra-
janala.
Sesaat setelah Perwira Tinggi Kerajaan itu ber-
lalu, Ki Dalem Sleman minta diri pula dengan alasan
segera hendak mengurus jenazah Pangeran Tua Sekar
Seda Lepen. Namun yang pertama sekali dilakukannya
adalah menyusul Brajanala. Di satu lorong Keraton dia
berhasil mengejar Perwira itu. Keduanya saling berca-
kap berbisik-bisik.
"Tugas dari Sultan harus kita lakukan. Tapi
dengar baik-baik Brajanala. Apapun yang terjadi jan-
gan kau pergi mencari Joko Tingkir. Kehadiran ipar
Sultan itu di dalam Keraton sama saja dengan menda-
tangkan seekor harimau berbahaya bagi kita dan te-
man-teman. Bisa mendatangkan bencana!"
"Ki Dalem Sleman, aku sudah tahu hal itu. Kau
tak usah khawatir," jawab Brajanala. "Sekembalinya
kau menemui Arya Penangsang, kita segera mengada-
kan pertemuan dengan teman-teman. Satu hal kau in-
gat baik-baik Ki Dalem. Kepandaianmu bicara akan
sangat menentukan. Kita semua berharap bisa mena-
rik putera mendiang Pangeran Tua itu agar masuk ke
dalam barisan kita!"
Ki Dalem Sleman tersenyum lalu berkata. "Ba-
nyak orang akan meratap di atas genangan darah. Tapi
kita dan teman-teman mungkin masih bisa menari di
atas genangan darah itu."
"Kerajaan dilanda kekacauan. Ini kesempatan
kita mengeruk keuntungan. Mengeruk uang, harta dan
jabatan!" jawab Perwira Tinggi Brajanala pula sambil
mengulum senyum.
*
* *
TUBUH Arya Penangsang bergetar hebat. Dua
tangannya terkepal laksana batu. Dua mata terpejam.
Rahang mengatup, mulut terkancing. Dari ubun-ubun
di atas kepalanya mengepul asap tipis. Dada berge-
lombang dan tenggorokannya turun naik. Di kiri ka-
nannya orang-orang bertangisan. Ibunya, beberapa
saudara sekandung, keluarga terdekat dan teman-
teman. Rumah besar di desa Welahan itu penuh den-
gan orang-orang yang datang untuk menyampaikan
rasa duka cita atas tewasnya Pangeran Tua Sekar SedaLepen.
Dua tangan Arya Penangsang bergerak, meme-
gang pinggiran peti jenazah yang penutupnya sengaja
dibuka. Di seberang peti, di depan Arya Penangsang
tegak tertunduk Ki Dalem Sleman. Di sebelahnya ber-
diri Gedeng Kemitir. Prajurit Kepala yang pernah dis-
elamatkannya ikut menemani Ki Dalem Sleman men-
gantarkan jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen.
Selain itu masih ada beberapa orang prajurit. Namun
di dalam rumah besar itu, dari Demak hanya Ki Dalem
Sleman dan Gedeng Kemitir yang hadir. Prajurit kepala
ini yang telah diselamatkan nyawanya oleh Ki Dalem
Sleman.
Dua tangan Arya Penangsang bergetar. Peti je-
nazah yang dipegangnya ikut bergetar.
"Orang-orang Demak! Kalian harus membayar
mahal atas kematian ayahanda ku! Aku akan menjadi-
kan. Demak sungai darah! Sungai darah yang berhulu
di Keraton Prawoto!"
Ratap tangis di sekitar peti jenazah semakin ke-
ras begitu semua orang mendengar ucapan Arya Pe-
nangsang itu. Arya Penangsang sendiri yang tidak
sanggup menahan amarah, seperti kalap berteriak ke-
ras. Pinggiran peti jenazah hancur berkeping-keping.
"Orang-orang Demak keparat! Mana orang De-
mak! Mana!"
Orang-orang perempuan berpekikan, orang-
orang lelaki keluarkan seruan tertahan ketika tiba-tiba
Arya Penangsang menyambar golok besar seorang te-
man yang berdiri di dekatnya.
"Kau orang Demak! Kau harus mampus! Kau
juga!"
Tiba-tiba sekali Arya Penangsang melompat ke
hadapan Gedeng Kemitir. Golok di tangannya berkele-
bat ganas ke arah leher prajurit Demak itu.
Sesaat lagi leher Gedeng Kemitir akan tertabas
putus, tiba-tiba satu bayangan kuning melesat. Perge-
langan tangan kanan Arya Penangsang tahu-tahu su-
dah berada dalam satu cekalan kuat.
"Jahanam!" Tua bangka keparat! Kau minta
mampus!"
Laksana kilat tangan kiri Arya Penangsang
menghantam. Bukan cuma satu kali, tapi dua kali ber-
turut-turut.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
Ki Dalem Sleman adalah tokoh silat Istana pal-
ing disegani. Tingkat ilmu silat dan kesaktiannya dika-
gumi teman ditakuti lawan. Tidak mudah untuk bisa
menjatuhkan tangan terhadapnya. Tapi saat itu dia
sama sekali tidak menduga kalau Arya Penangsang
akan menghantamnya demikian rupa.
Ki Dalem Sleman terlempar sampai beberapa
langkah. Mukanya agak pucat. Dari sela bibirnya keli-
hatan lelehan darah. Jelas dia menderita luka dalam
cukup parah akibat hantaman tangan kiri Arya Pe-
nangsang. Walau demikian, sambil menahan rasa sakit
dia masih sempat melontarkan senyum dan bolang ba-
lingkan golok besar berhasil dirampasnya dari tangan
Arya Penangsang. Golok dimelintangkannya di depan
dada lalu berucap.
"Raden Arya, harap tenang. Kendalikan ama-
rah! Kekerasan tidak akan menyelesaikan perkara.
Kami datang dengan ikhlas untuk mengantar jenazah
karena kami sangat menghormati mendiang Pangeran
Tua Sekar Seda Lepen....."
Ucapan Ki Dalem Sleman terputus oleh benta-
kan Arya Penangsang.
"Siapa percaya mulut busuk orang Demak!" Un-
tuk kedua kalinya Arya Penangsang melompat kirim
kan serangan. Kali ini dengan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam dan hawa sakti tinggi.
"Maafkan saya Raden Arya," kata Ki Dalem
Sleman. Tokoh Istana Demak ini tidak rela menerima
hantaman orang untuk kedua kalinya. Dengan tenang
dia kebutkan lengan jubah sebelah kanan.
"Wutttt!"
Satu gelombang angin deras menderu ke arah
Arya Penangsang. Membuatnya terdorong walau dia
sudah kerahkan tenaga untuk bertahan. Dalam ma-
rahnya dia coba memukul dengan dua tangan sekali-
gus. Tapi terlambat. Saat itu dua jari tangan kanan Ki
Dalem Sleman sudah bersarang di dadanya sebelah ki-
ri. Sesaat jalan darahnya terhenti. Ketika darah kem-
bali mengalir, tubuh Arya Penangsang yang tinggi ko-
koh itu telah berubah menjadi patung kaku!
Suasana di dalam rumah besar itu menjadi
hening. Keheningan yang disertai cengkaman ketegan-
gan.
Tiba-tiba ada satu suara menggema.
"Raden Arya, tenangkan pikiran, dinginkan ha-
timu! Jika kau mampu melaksanakan aku akan me-
minta pada sahabatku Ki Dalem Sleman untuk mem-
bebaskan mu dari totokan..."
Semua orang, termasuk Ki Dalem Sleman sen-
diri sama palingkan kepala ke arah datangnya suara.
Yang bicara ternyata adalah seorang bungkuk berpa-
kaian slempang kain putih. Melihat siapa yang berdiri
di depannya, Ki Dalem Sleman segera rangkapkan dua
tangan di depan dada lalu membungkuk hormat.
"Sahabatku Mantre Jembrana. Tidak kusangka
kita bisa bertemu di tempat ini dalam keadaan seperti
ini. Harap maafkan. Aku tidak tahu menahu kalau
kau...."
"Arya Penangsang adalah menantuku," menerangkan orang tua bernama Mantre Jembrana.
"Ah, aku merasa sangat bersalah. harap maaf-
kan diriku."
"Kau tidak bersalah. Hanya menantuku yang
tidak dapat mengendalikan diri."
"Ah," Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam,
"Agaknya aku terlalu terburu-buru menurunkan tan-
gan kasar. Maafkan diriku. Biar aku lepaskan dulu to-
tokan di tubuh menantumu."
Ki Dalem Sleman cepat menghampiri Arya Pe-
nangsang lalu tusukkan dua jari tangan kanannya te-
pat ke arah mana tadi dia menotok lumpuhkan Arya
Penangsang.
Begitu totokan punah, Arya Penangsang mera-
sakan tubuhnya lemas. Kalau Ki Dalem Sleman tidak
lekas memegangnya pasti sosok tubuh besar lelaki itu
akan jatuh terhenyak ke lantai.
"Raden Arya, pekerjaan sahabatku Ki Dalem
Sleman mengantar jenazah ayahmu bukan main-main.
Dia tahu kalau pekerjaan itu sama dengan mengantar
nyawanya sendiri. Apakah keberanian, kebaikan dan
keikhlasannya itu hendak kau balas dengan menye-
rangnya membabi buta? Ingin membunuhnya?"
"Maafkan saya Bapak..." kata Arya Penangsang
pula.
"Jangan minta maaf padaku. Minta maaf pada
Ki Dalem Sleman."
"Ki Dalem, maafkan saya."
Ki Dalem Sleman tersenyum dan pegang bahu
Arya Penangsang.
"Ki Dalem Sleman," berkata Mantre Jembrana.
"Kami semua di sini ingin mendengar bagaimana keja-
diannya sampai Pangeran Tua Sekar Seda Lepen me-
nemui nasib mengenaskan begini rupa. Sehingga kalau
kami menanam dendam, kami tahu dan tidak kesalahan tangan kepada siapa dendam itu akan kami tum-
paskan."
Dalam kisah yang disampaikan Ki Dalem Sle-
man kepada semua orang yang ada di tempat itu, Ki
Dalem Sleman menceritakan mulai dari tertangkapnya
Pangeran Tua Sekar Seda Lepen sampai akhirnya di
bunuh oleh Perwira Muda bernama Tubagus Lor Putih.
Ki Dalem Sleman tentu saja sama sekali tidak menceri-
takan kalau sebenarnya dirinya turut ambil bagian da-
lam penangkapan Pangeran Sekar.
Setelah mendengar penuturan Ki Dalem Sle-
man, Mantre Jembrana merenung sejenak, dia melirik
pada menantunya Arya Penangsang akhirnya sambil
memandang pada Ki Dalem Sleman orang tua ini ber-
kata.
"Ki Dalem, kami menghargai sekali apa yang te-
lah kau lakukan. Rasanya banyak hal yang masih in-
gin kami tanyakan. Mungkin kami juga memerlukan
beberapa petunjuk dari dirimu yang
begitu banyak pengalaman. Kami mengun-
dangmu untuk bermalam satu dua hari di tempat ini.
Sudikah kau menerimanya?"
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Sebenarnya ma-
sih banyak urusanku di Demak. Tapi aku mana berani
menampik undangan sahabatku Mantre Jembrana.
Cuma, aku tak bisa terlalu lama di sini. Bagaimana ka-
lau aku menginap cukup satu malam saja?"
"Itupun sudah satu kehormatan bagi kami," ja-
wab Mantre Jembrana. Orang tua ini memberi isyarat
pada seorang pengawal. Pengawal ini segera menda-
tangi. Dengan suara setengah berbisik Mantre Jem-
brana berkata. "Siapkan satu kamar bagus untuk ta-
mu kita. Beri tahu pelayan kepala agar meminta Nyi
Werda bersedia menjadi teman tidur Ki Dalem Sleman
malam ini."
*
* *
TUJUH BELAS
PENGADILAN DUNIA
SIANG itu Sultan dan beberapa petinggi Kera-
jaan termasuk Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala
tengah mengadakan pembicaraan penting. Sejak bebe-
rapa waktu belakangan ini dilaporkan tentang adanya
gerakan-gerakan beberapa kelompok besar pasukan di
kawasan utara yang tidak dikenal asal kesatuannya.
Perwira Tinggi Brajanala tengah berbicara keti-
ka seorang pengawal muncul, memberi tahu tentang
kedatangan seorang tak dikenal, membawa sebuah pe-
ti.
"Orang itu masih muda, mengaku bernama
Tunggul Kebuti, pekerjaan petani di desa Mijen..."
"Mijen terletak dekat di selatan Welahan, tem-
pat kediaman Arya Penangsang. Mungkin...."
Kata-kata Brajanala diputus oleh ucapan Sul-
tan yang bertanya pada pengawal. "Kau sudah meme-
riksa atau bertanya apa isi peti itu dan siapa pengi-
rimnya?"
"Kami tidak berani melakukan pemeriksaan se-
belum dapat perintah. Kami hanya bertanya. Ketika di-
tanya, pemuda petani itu berkata dia tidak tahu apa isi
peti itu. Seorang tak di kenal menyediakan sebuah ge-
robak untuk membawa peti itu ke sini. Lalu membe-
rinya upah besar...."
Sultan memandang pada Brajanala. Perwira ini
segera bangkit dari tempat duduknya. "Biar saya me-
nemui orang itu," kata Brajanala.
"Tunggu, apakah Perwira Muda Lor Bagus Pu-
tih yang menghabisi Pangeran Tua itu masih belum di-
ketahui dimana beradanya?"
"Saya sudah menyuruh beberapa orang untuk
menyidik. Tapi masih belum di dapat keterangan. Bah-
kan istrinya sendiri tidak tahu..." menerangkan Perwi-
ra Brajanala.
"Aneh. Dia menghilang begitu saja," kata Ki Da-
lem Sleman.
"Memang aneh. Aneh sekali," ujar Sultan. Dia
lalu menganggukkan kepala pada Brajanala. Perwira
ini segera tinggalkan ruangan diikuti oleh pengawal pe-
lapor.
Tak lama kemudian Brajanala muncul kembali
bersama pengawal tadi yang membawa sebuah peti
seukuran satu pemelukan. Di sebelah belakang berja-
lan seorang pemuda yang kelihatan lugu dan melang-
kah sambil memandang kian kemari. Seumur hidup
baru kali ini dia berada dalam Keraton atau Istana.
Tak heran kalau dia memandangi segala sesuatunya
terkagum-kagum.
Pengawal meletakkan peti bagus berwarna cok-
lat dihias ukiran di empat sudutnya dihadapan Sultan.
Setelah memperhatikan peti itu beberapa saat Perwira
Brajanala bertanya pada pemuda lugu di dekatnya.
"Kau datang dari Mijen?"
Pemuda yang ditanya mengangguk.
"Namamu Tunggul Kebuti?"
Yang ditanya kembali anggukkan kepala.
"Apa isi peti itu?" Ki Dalem yang kini ajukan
pertanyaan. Tidak seperti yang lain-lainnya, orang tua
satu ini mulai mencium ada bau yang tidak enak me-
masuki rongga pernafasannya. Seperti bau anyir.
"Saya tidak tahu. Saya tidak tahu isi peti itu..."
"Siapa yang menyuruhmu mengantarkan peti
ke sini?" tanya Brajanala.
"Saya tidak kenal. yang jelas dia bukan orang
Mijen. Dia memberikan sebuah gerobak, lengkap den-
gan kuda. Memberi saya upah banyak. Lalu berkata
antarkan peti ini ke Keraton Demak. Serahkan pada
Sultan. Itu saja. Saya anggap itu pekerjaan mudah,
apa lagi upahnya besar."
Semua orang pandangi pemuda petani dari Mi-
jen itu. Lalu terdengar Sultan berkata. "Pengawal, buka
peti itu."
Pengawal yang tadi membawa peti segera ber-
tindak. Tapi dia jadi bingung sendiri. Peti itu ternyata
terkunci. Ada lobang kunci tapi tak ada anak kunci
pembukanya. Melihat pengawal kebingungan, pemuda
bernama Tunggul Kebuti jadi ingat sesuatu. Dia men-
geruk kantong bajunya, mengeluarkan sebuah anak
kunci.
"Saya lupa," katanya. "Orang yang menyuruh
saya mengantarkan peti memberikan anak kunci ini.
Disertai pesan agar saya sekali-kali jangan membuka
peti."
Brajanala segera mengambil anak kunci itu.
Dia sendiri yang memasukkan ke dalam lobang kunci,.
memutarnya dua kali lalu membuka penutup peti.
Begitu peti terbuka bau tidak sedap menyam-
bar hidung. Lalu sekian pasang mata membelalak dis-
ertai seruan terkejut yang tidak dapat ditahan.
Di dalam peti yang terbuka itu, mengerikan se-
kali, ada satu kepala dengan dua mata membelalak se-
perti ketakutan. Walau kutungan kepala itu penuh
lumuran darah namun semua orang mengenali itu
adalah kepala Tubagus Lor Putih, Perwira Muda yang
tempo hari menusuk mati Pangeran Tua Sekar SedaLepen.
Beberapa orang yang ada di ruangan itu kelua-
rkan suara seperti mau muntah. Sultan palingkan ke-
pala dengan wajah jijik lalu melambaikan tangan. Bra-
janala cepat menutup peti kembali, memerintahkan
pengawal membawa peti itu keluar lalu menjambak
rambut Tunggul Kebuti. Petani lugu yang tak tahu
apa-apa ini tentu saja jadi ketakutan setengah mati.
"Aku tidak percaya kau tidak tahu siapa orang
yang menyuruhmu mengantarkan peti ini!" Perwira
Brajanala menyambar sebilah pedang lalu ditempel-
kannya ke leher si pemuda yang menjadi pucat pasi
seperti mayat. "Bicara! Atau kutabas batang lehermu!"
Pemuda dari Mijen itu menggigil ketakutan.
Masih untung tidak sampai terkencing. Dalam kea-
daan seperti itu mulutnya terbuka, tapi tidak keluar
suara jawaban. Lalu tangan kanannya tergesa-gesa
mengeruk ke balik pinggang pakaiannya. Dari balik
pakaian dia mengeluarkan satu gulungan kertas. Den-
gan suara gagap dan gemetar dia memberitahu. "Or...
orang yang menyuruh antar peti, dia memberikan ini.
Katanya harus diserahkan pada Sultan...."
Brajanala menyambar gulungan kertas itu yang
sudah dapat dipastikan adalah sepucuk surat, lalu
memandang ke arah Sultan.
"Buka, baca isinya keras-keras!" perintah Sul-
tan.
Perwira Brajanala segera membuka gulungan
kertas. Seperti yang diperintahkan Sultan dia memba-
ca tulisan yang tertera di atas kertas keras-keras.
Prawoto,
Tak ada rasa hormatku untuk menyebut mu se-
bagai Sultan. Apa yang telah kau lakukan terhadap
ayahku akan segera kau terima balasannya. Kau akan
menghadapi Pengadilan Dunia. Sebagai bukti aku tidak
main-main, aku sampaikan satu hadiah yang mem-
buatmu tidak bisa tidur nyenyak.
Arya Penangsang
Wajah Sultan tampak merah gelap. Dia berdiri
dari kursi, mengambil surat yang dipegang Perwira
Brajanala, bukan untuk membacanya tapi merobek-
robeknya.
"Ki Dalem Sleman," kata Sultan dengan suara
lantang. Ketika kau membawa jenazah Pangeran
Tua ke Welahan, kau bahkan sempat menginap
satu malam di sana. Menurutmu kau berhasil mere-
dam amarah dan membujuk Arya Penangsang serta
Mantre Jembrana. Tapi kau saksikan sendiri apa yang
terjadi! Jahanam anak pemberontak itu membunuh
Tubagus Lor Putih! Mengirimkan kepalanya ke padaku!
Keji biadab!"
"Sultan, mohon maafmu. Saya tidak dapat
menduga apa yang terjadi Pada saat saya berada di
sana Arya Penangsang sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda akan melakukan sesuatu. Bahkan dia
sendiri mengantarkan kepergian saya sampai ke perba-
tasan. Saya khawatir, mungkin setelah saya pergi ada
yang menghasutnya..."
Brajanala memanggil pengawal, menyuruh ba-
wa Tunggul Kebuti dan menjebloskan petani malang
itu ke dalam tahanan. Lalu pada Sultan dia berkata.
"Jika Sultan berkenan, saya bisa menyiapkan pasu-
kan. Dua hari di muka kita serbu Welahan untuk me-
nangkap Arya Penangsang hidup atau mati!"
"Mengapa musti menunggu sampai dua hari?
Aku ingin paling lambat besok pagi kau dan pasukan-
mu sudah bergerak! Namun ingat satu hal. Hindari ja-
tuh korban dari kalangan rakyat tidak berdosa. Yang
kita cari adalah Arya Penangsang, Mantre Jembrana
dan kaki tangannya."
"Kalau itu perintah Sultan saya akan segera la-
kukan," kata Perwira Brajanala.
"Ki Dalem Sleman, kuharap kau mengumpul-
kan sahabatmu para tokoh persilatan untuk berga-
bung dengan pasukan Demak. Aku yakin
Arya Penangsang tidak sendirian. Aku menyirap
kabar bahwa dia telah mengatur satu barisan khusus
terdiri dari para tokoh rimba persilatan."
"Saya siap menjalankan perintah Sultan," kata
Ki Dalem Sleman sambil membungkuk. "Saya dan
Perwira Brajanala akan segera mengatur segala sesua-
tu yang diperlukan. Kami berdua mohon diri."
"Ki Dalem dan yang Iain-Iain boleh pergi, Perwi-
ra Brajanala biar tetap di sini dulu. Aku perlu membi-
carakan perihal pengamanan Kotaraja dan Keraton
Demak."
Semua orang yang berada di tempat itu kecuali
Perwira Brajanala meninggalkan ruangan. Setelah
tinggal berdua saja Sultan Prawoto berkata.
"Perwira Brajanala, sebenarnya aku bukan saja
memintamu untuk memperhatikan pengamanan Kota-
raja dan memperketat pengawalan Istana, tapi ada sa-
tu hal lain yang perlu akan dibicarakan denganmu.
Ada satu hal yang aku tidak mengerti. Lebih tepat ka-
lau kukatakan mencurigakan..."
"Jika saya boleh mengetahui yang Sultan mak-
sudkan," ujar Brajanala.
"Turut cerita Ki Dalem Sleman waktu dia men-
gantar jenazah Pangeran Tua ke Welahan, dan juga tu-
rut apa yang aku ketahui, Arya Penangsang tidak
mengetahui siapa yang menghabisi ayahnya. Mengapa
tahu-tahu kepala Tubagus Lor Putih dikirimkannya ke
sini? Aku menaruh curiga, jangan-jangan Ki Dalem
Sleman telah menceritakan kejadian yang sesungguh-
nya pada Arya Penangsang. Yaitu bahwa Perwira Muda
itulah yang menusuk mati Pangeran Tua Sekar Seda
Lepen."
"Saya tidak dapat menduga apa-apa, kecuali ji-
ka Sultan memerintahkan untuk menyelidiki," kata
Brajanala pula.
"Itu memang yang aku inginkan. Aku perintah-
kan agar kau melakukan penyelidikan. Selain itu
memperhatikan setiap gerak-gerik orang tua itu. Siapa
saja yang dihubunginya. Beri tahu padaku segera jika
kau menemukan sesuatu. Satu hal lagi, harap perhati-
kan juga tindak tanduk prajurit bernama Gedeng Ke-
mitir. Dia sangat dekat dengan Ki Dalem Sleman. Siapa
tahu ada hubungan yang tidak terduga antara dua
orang itu."
"Akan saya lakukan Sultan," jawab Brajanala
lalu membungkuk, kemudian bergegas Perwira Tinggi
Demak ini meninggalkan tempat itu.
Setelah berada sendiri di ruangan itu Sultan
Prawoto merenung. Dia ingat beberapa kali pembica-
raannya dengan mendiang ayahnya yaitu Sultan
Trenggono. Waktu itu Sultan Trenggono membicarakan
tentang telah terjadinya perpecahan dan bentrokan
terselubung antara beberapa tokoh dalam Keraton
Demak. Yang pertama dipimpin oleh Ki Dalem Sleman.
Yang kedua Ki Suro Gusti Bendoro yang konon hanya
sendirian menghadapi kelompok Ki Dalem Sleman. Ki
Suro kabarnya memilih mengalah dan mengundurkan
diri dari segala urusan Keraton Demak. Kemudian ter-
betik kabar bahwa orang tua itu telah dituduh mencuri
salah satu pusaka Keraton yakni bendera keramat
bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Sultan
Trenggono memerintahkan Ki Dalem Sleman
dan Perwira Tinggi Brajanala untuk mencari Ki Suro
Gusti Bendoro. Namun setelah sekian lama berlalu Ki
Suro tak kunjung berhasil ditemukan.
*
* *
DELAPAN BELAS
BANJIR DARAH
MALAM itu udara terasa dingin sekali karena
sorenya hujan lebat turun mengguyur Kotaraja. Di luar
tembok Keraton, puluhan prajurit terdiri dari empat
kelompok besar melakukan penjagaan dan perondaan
ketat. Di dalam Keraton terlebih lagi. Bukan saja para
pengawal yang melakukan penjagaan, tetapi beberapa
tokoh silat Istana kelihatan turut bertugas mengaman-
kan Keraton, menjaga keselamatan Sultan serta ke-
luarganya.
Lewat tengah malam dinginnya udara bukan
kepalang. Banyak pengawal Keraton menjalankan tu-
gas sambil menggigil. Menjelang dini hari keadaan se-
kitar Keraton tampak aman walau diselimuti kesu-
nyian. Saat itulah di sudut timur kelihatan ada kabut
mengambang. Kabut yang sama kemudian muncul di
ujung barat. Lalu muncul lagi di sebelah selatan dan
akhirnya menyusul di sebelah utara. Perlahan-lahan
kabut itu mengambang naik setinggi dada lalu bergerak ke arah bangunan Keraton.
"Aneh," kata seorang prajurit tua yang bertugas
mengawal di bagian timur Keraton. "Belasan tahun
bertugas jadi pengawal", baru kali ini aku melihat ada
kabut sekitar Keraton..."
"Mengapa musti heran. Sore tadi hujan lebat
bukan main. Udara dingin luar biasa. Kalau kemudian
muncul kabut tak ada anehnya," menyahuti kawan
prajurit tua yang berdiri di sampingnya.
Tak selang berapa lama tebaran kabut melebar
bukan saja ke arah Keraton tapi juga sekitar halaman
luas dimana para pengawal lapisan ketiga bertugas.
"Ini baru aneh," berkata pengawal di samping
prajurit tua. "Tidak biasanya aku mengantuk. Heran,
mataku terasa berat..."
"Kalau kau tidur dalam tugas, kau bisa dijatuhi
hukuman berat," kata prajurit tua pula. Tapi habis
berkata begitu dia menguap lebar-lebar. Matanya tera-
sa berair dan kantuk aneh mendadak membuat kepa-
lanya terasa berat. "Kurasa aku sudah ketularan diri-
mu, ikut-ikutan mengantuk..." Prajurit tua itu berucap
lalu berpaling pada kawannya. Tapi sang kawan ter-
nyata sudah menjelepok di tanah, bersandar ke tem-
bok halaman Keraton, tertidur pulas!
"Masih muda tak tahan kantuk! Bagaimana
nanti kalau sudah setua usiaku! Hai, bangun!" Prajurit
tua itu pergunakan kakinya menggoyang paha teman-
nya. Tapi dia sendiri kemudian merasa lemas, berpe-
gangan ke tembok halaman lalu bluk! Prajurit tua ini
jatuh dekat temannya, melosoh di tanah, entah ping-
san entah tidur!
Di bagian lain halaman Keraton, untuk mela-
wan udara dingin, seorang prajurit menghidupkan se-
batang rokok kawung. Tidak sengaja matanya menatap
ke atas. Prajurit ini terkejut, serta merta mencampak-
kan rokoknya ke tanah lalu lari ke arah rumah jaga di
sudut utara halaman. Di situ biasanya paling tidak ada
lima sampai tujuh pengawal sementara yang lain-
lainnya berkeliling seputar halaman. Kejut prajurit ini
bukan alang kepalang ketika dia sampai di rumah ja-
ga, ditemuinya enam orang kawannya bergeletakan
tumpang tindih di lantai. Di goyang-goyangnya tubuh
enam orang itu satu persatu. Tak ada yang bergerak.
Mati? Di dekapkannya telinganya ke dada beberapa
orang prajurit. Ada degup jantung. Berarti tidak mati.
Lalu pingsan? prajurit satu ini segera berdiri. Meman-
dang ke arah wuwungan Keraton. Seperti tadi dia me-
lihat ada bayangan orang bergerak di atas atap bangu-
nan. Tadi cuma dua orang. Kini malah dilihatnya ada
empat orang!
"Aku harus memberi tahu kepala pengawal.
Aku harus segera melapor ke dalam Keraton!" kata
prajurit itu. Lalu dengan cepat dia lari ke arah bangu-
nan Keraton. Namun di pertengahan halaman tiba-tiba
sebuah benda melesat di udara. Di lain kejap prajurit
itu keluarkan keluhan tinggi, pegangi anak panah yang
menancap di dada kirinya lalu roboh ke tanah.
Tak selang berapa lama di atas atap Keraton
terdengar satu suitan keras. Suitan ini disahuti oleh
suitan lain dari arah selatan. Lalu terdengar lagi sui-
tan-suitan nyaring dari tiga arah yakni utara, barat
dan timur. Begitu suitan terakhir lenyap terdengar de-
rap kaki kuda ke arah pintu gerbang
Keraton, yang saat itu sudah berada dalam
keadaan terpentang lebar. Padahal biasanya pintu ger-
bang itu selalu berada dalam keadaan tertutup. Entah
siapa yang telah membukanya, yang jelas dua puluh
pengawal yang bertugas di tempat itu telah bergeleta-
kan tanpa sadarkan diri.
Dua belas penunggang kuda menembus pintu
gerbang Keraton. Semuanya mengenakan topeng ber-
warna putih hingga di malam sunyi dan dingin itu me-
reka tak bedanya kelihatan seperti setan gentayangan!
Tiba-tiba di sebelah belakang rombongan penunggang kuda bertopeng muncul pula rombongan
penunggang kuda yang dari pakaian yang dikenakan
jelas mereka adalah pasukan Kerajaan. Di depan sekali
seorang Perwira Muda sambil mencekal pedang berte-
riak memberi tahu anak buahnya.
"Rombongan orang-orang tak dikenal memasuki
halaman Keraton! Lekas menyebar! Satu orang segera
mencari bantuan!"
Pasukan Kerajaan yang terdiri dari dua lusin
prajurit itu segera menyebar. Satu orang memisahkan
diri melakukan perintah meminta bantuan. Namun
maksudnya tidak kesampaian karena sesaat kemudian
sebatang panah menancap tepat di kuduknya, tembus
ke tenggorokannya!
Di bawah pimpinan Perwira Muda segera dila-
kukan pengurungan. Dua belas penunggang kuda ber-
topeng putih terjepit di tengah-tengah.
Perwira Muda yang memimpin pasukan berte-
riak lantang. "Hanya orang-orang jahat mengenakan
topeng di malam hari! Buka topeng kalian dan lekas
serahkan diri!" Sambil membentak Perwira Muda itu
menghunus senjatanya yaitu sebilah golok panjang
berbentuk segi empat.
Salah seorang penunggang kuda bertopeng pu-
tih yang dikurung rapat angkat tangan kanannya ke
atas. Saat itu juga udara malam dipenuhi suara ber-
desing.
"Awas serangan panah!" teriak Perwira Muda.
Goloknya diputar di atas kepala,
"Traak....traak!" Dua anak panah yang diarah-
kan ke kepala dan dadanya patah lalu mental ke uda-
ra. Dia berhasil selamatkan diri. Tapi di kiri kanannya
enam orang anak buahnya kena ditembus panah, ja-
tuh terguling dari atas kuda masing-masing.
"Cepat habisi mereka!" Salah seorang penyerbubertopeng putih memberi perintah. Dari sosok tubuh-
nya yang kekar agaknya dia masih muda dan bertin-
dak selaku pimpinan orang-orang bertopeng.
Mendengar perintah itu, empat orang bergerak
maju. Yang pertama seorang bertopeng membawa tom-
bak besi yang bagian kepalanya diikat sehelai bendera
segi tiga berwarna kuning. Orang ini menyerbu ke arah
Perwira Muda yang memegang golok. Begitu berhada-
pan langsung dia tusukkan tombak besinya ke dada
lawan.
"Traangg!"
Terdengar suara bedentrangan ketika Perwira
Kerajaan menangkis dengan golok. Kejut Perwira ini
bukan alang kepalang. Bentrokan senjata itu membuat
tangannya bergetar hebat. Goloknya hampir terlepas
dan tangan kanannya terasa linu kesemutan. Sadar
kalau lawannya memiliki tingkat tenaga dalam jauh di
atasnya, sang Perwira pelototi lawan dengan pandan-
gan menyelidik. Dia memang tidak dapat melihat wa-
jah yang terlindung topeng itu, namun senjata berupa
tombak di tangan lawan rasa-rasa dia pernah melihat
sebelumnya. Hanya sayang Perwira ini tidak bisa ber-
pikir lebih lama. Saat itu lawan telah menyerbunya
kembali dengan serangan tombak. Hanya beberapa ge-
brakan saja Perwira Muda itu kena dipukul bahu ki-
rinya hingga terpental jatuh dari pelananya. Selagi tu-
buhnya melayang di udara, tombak besi menderu dan
craass! Tombak itu menghujam dada, tembus sampai
ke punggung.
Pada saat orang bertombak maju ke hadapan
Perwira Muda, tiga orang lainnya ikut bergerak. Dua
bersenjata satu lagi hanya mengandalkan tangan ko-
song. Lebih dari dua belas prajurit Kerajaan dibuat tak
berdaya. Semua menemui ajal dalam waktu singkat.
Kalau ketiga orang bertopeng putih itu tidak memiliki
ilmu tinggi, tidak mudah untuk merobohkan belasan
prajurit Kerajaan yang telah berlatih begitu cepat.
Orang bertopeng yang bertindak sebagai pimpi-
nan kembali mengangkat tangan kanannya. Kali ini
tangan itu digerakkan ke arah bangunan Keraton. Se-
habis memberi tanda orang tadi mendahului mengge-
brak kuda ke arah Keraton.
Saat itu di sekitar bangunan Keraton kabut
aneh tampak mengambang setinggi dada. Penunggang
kuda di sebelah depan hentikan kudanya di muka
tangga batu. Lalu berpaling pada arah pengikut di be-
lakangnya dan berkata.
"Hentikan serangan kabut penyirap! Aku tidak
ingin bangsat itu menemui ajal dalam keadaan tidak
sadar! Dia harus melihat dan merasakan bagaimana
ngerinya kematian!"
Salah seorang penunggang kuda bertopeng pu-
tih yang mengenakan jubah hitam berambut panjang
awut-awutan sentakkan tali kekang kudanya, bergerak
maju ke depan. Lalu dengan satu gerakan hebat dia
melompat, tegak berdiri di atas punggung kudanya
sambil rangkapkan tangan di atas dada dan pejamkan
sepasang mata.
Dari mulut orang ini keluar suara racauan ha-
lus. Perlahan-lahan dua tangan yang dirangkapkan,
dibuka, dikembangkan ke samping. Sepuluh jari tan-
gan dan telapak tangan digerak-gerakkan seperti orang
memanggil. Terjadilah satu hal luar biasa. Semua ka-
but yang mengambang di halaman dan sekitar bangu-
nan Keraton secara aneh bergerak ke arah tangan yang
melambai lalu naik ke atas kepala. Secara aneh pula
kabut itu seolah masuk ke dalam ubun-ubun orang
itu. Semakin cepat dia menggerakkan jari-jari dan dua
telapak tangannya, semakin cepat pula kabut itu am-
blas masuk ke dalam kepalanya. Dalam waktu singkat
semua kabut yang tadi memenuhi seantero tempat sir-
na tak berbekas. Begitu kabut lenyap, orang di atas
kuda melompat jungkir balik dan di lain kejap dia su-
dah duduk kembali di punggung kudanya.
Di saat yang sama, orang bertopeng yang tadi
jadi pimpinan penyerbu mengangkat tangan sambil
berteriak. Dua belas kuda kemudian menghambur ma-
suk ke dalam Keraton!
*
* *
DENGAN langkah tegap dan tenang Sultan
Prawoto digiring ke ruang tengah Keraton oleh enam
orang bertopeng putih. Di belakangnya mengikuti istri,
anak-anak, dua saudara sepupunya, seorang abdi da-
lem serta tiga orang pelayan. Berlainan dengan sikap
berani yang ditunjukkan oleh Sultan, yang lain jelas
berada dalam ketakutan amat sangat dan tiada hen-
tinya bertangisan. Betapa tidak. Untuk sampai ke
ruang tengah itu mereka melewati bagian-bagian Kera-
ton yang dipenuhi dengan tebaran mayat para pen-
gawal dan beberapa tokoh silat Istana.
Di ruang tengah Istana ada enam orang berto-
peng lagi telah menunggu. Dua belas ekor kuda berke-
liaran di tempat itu. Sekilas memandang saja, dari
bentuk tubuh, pakaian yang dikenakan atau senjata
yang mereka pegang Sultan Prawoto bisa mengetahui
beberapa di antara mereka.
"Pembunuh-pembunuh pengecut! Biadab! Ka-
lian membunuh orang-orang yang tak berdosa!" Sultan
Prawoto yang tak dapat
menahan hatinya lagi berteriak marah. "Aku
perintahkan kalian untuk menyerah!"
Dua belas orang bertopeng saling pandang lalu
meledak tawa bergelak di ruangan itu. Salah seorang
di antaranya, yang bertubuh tegap besar melangkah
mendekati Sultan lalu membuka topeng putihnya.
Sultan Prawoto keluarkan suara mendengus
begitu melihat wajah itu. Matanya memandang laksana
kobaran api.
"Dugaanku tidak keliru! Semua ini adalah per-
buatan jahatmu! Arya Penangsang! Atas nama Kera-
jaan aku perintahkan padamu untuk menyerah!"
Orang yang barusan membuka topeng putih
ternyata adalah Arya Penangsang, pimpinan rombon-
gan penyerbu. Dia adalah putera Pangeran Tua Sekar
Seda Lepen. Wajahnya tampak garang, dipenuhi ku-
mis, cambang bawuk dan jenggot meranggas.
"Prawoto! Jangan menggigau! Saat ini yang na-
manya Kerajaan Demak sudah tidak ada lagi! Yang
namanya Sultan Demak hanya tinggal sisa bangkai hi-
dup yang siap mampus! Kau sudah membaca suratku!
Saat ini kau tengah menghadapi Pengadilan Dunia!
Kau keparatnya yang bertanggung jawab, menanggung
segala dosa!"
Sultan Prawoto sudah bisa menduga apa yang
hendak dilakukan oleh Arya Penangsang. Maka dia
berkata. "Istri dan anak-anakku tidak berdosa, tidak
ada sangkut pautnya dengan diriku!
Bebaskan mereka! Jika kau ingin menuntut ba-
las kematian ayahmu, mari kita bertempur satu lawan
satu secara kesatria!"
Arya Penangsang kerutkan kening, delikkan
mata lalu tertawa bergelak. "Di saat-saat malaikat
maut hendak mengambil nyawamu, kau masih bisa
bersyair menunjukkan jiwa kesatria palsu menutupi
kepengecutan dan dosa besarmu! Kau ingin pertempu-
ran secara jantan! Akan ku penuhi permintaanmu!"
Arya Penangsang jentikkan tangannya hingga
mengeluarkan suara keras. Seorang bertopeng segera
menghampirinya, menyerahkan sebuah benda ter-
bungkus kain putih. Dengan cepat Arya Penangsang
membuka bungkusan kain putih. Isi bungkusan ter-
nyata sebilah golok yang bagian ujungnya sampai ke
pertengahan berwarna hitam. Warna hitam ini adalah
noda darah yang telah mengering.
"Prawoto! Dengan golok ini ayahku dibunuh!
Dengan golok ini pula kau akan ku bantai! Demak
akan tergenang darah! Darah itu berpangkal dari Kera-
ton ini! Kau menginginkan pertempuran secara jantan!
Silahkan kau memilih senjata! Kita bertempur satu la-
wan satu!"
"Aku akan menghadapimu dengan tangan ko-
song! Silahkan menyerang!" jawab Sultan Prawoto pula
sambil kertakkan rahang sementara jerit tangis ter-
dengar semakin menjadi-jadi di ruang itu. Sesekali ku-
da-kuda yang ada di situ keluarkan suara ringkikan.
"Jahanam pengecut! Kau inginkan mampus
secara pengecut! Jangan kira aku akan berbe-
las kasihan kepadamu! Lihat golok!" Di dahului dengan
teriakan dahsyat Arya Penangsang melompat. Golok
besar di tangan kanannya berkiblat, mengeluarkan su-
ara deru mengerikan.
Istri Sultan Prawoto menjerit sambil memeluk
anak-anaknya yang bertangisan. Kuda meringkik. Para
pelayan ikut berteriak.
Sultan Prawoto menghindar ke kiri sambil le-
paskan satu pukulan tangan kosong mengandung ha-
wa sakti, membuat tubuh Arya Penangsang bergoyang-
goyang dan sambaran goloknya tidak mengenai sasa-
ran. Arya Penangsang kembali keluarkan teriakan ke-
ras. Tangan kirinya ikut bekerja melepas pukulan ja-
rak jauh untuk menahan serangan tangan kosong Sultan Prawoto. Golok di tangannya diputar laksana cu-
rahan hujan. Berkiblat ganas mengerikan.
Satu jeritan menggelegar di ruangan besar itu.
Sosok Sultan Prawoto mencelat ke belakang.
Jatuh berlutut di lantai. Darah mancur dari
tangan kanannya yang buntung. Istrinya menjerit,
menghambur coba menghampiri. Namun seorang ber-
topeng putih menjambak rambutnya lalu melempar-
kannya hingga terguling di lantai.
*
* *
KEESOKAN harinya seluruh Demak gempar be-
sar. Kabar kematian Sultan Prawoto yang di bantai
bersama anak istrinya, saudara serta para pelayan ter-
sebar luas dengan cepat. Rakyat bersedia namun tak
berani menunjukkan rasa berkabung terang-terangan.
Karena kabarnya siapa saja yang menunjukkan sikap
masih mendukung Sultan yang lama akan dihabisi se-
cara semena-mena.
Dalam suasana seperti itu Arya Penangsang
mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai Sultan
Demak baru. Beberapa petinggi dan para tokoh silat
yang sebelumnya mengabdi pada Sultan yang lama di-
beri kekuasaan dan kedudukan lebih tinggi. Hal ini
mendatangkan tanda tanya besar bagi rakyat. Hingga
mereka mencurigai bahwa orang-orang itu terlibat atau
membantu Arya Penangsang dalam peristiwa berdarah
di Keraton Demak. Mereka antara lain adalah Nenek
Ular Si Lidah Bangkai. Tumenggung Pakubumi alias
Kala Srenggi. Lalu kepala rampok hutan Roban Warok
Wesi Gludug, Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Bra-
janala serta beberapa orang lainnya yang belum sem-
pat diketahui karena sengaja merahasiakan diri.
Selama satu hari mayat-mayat yang bergeleta-
kan di ruang tengah keraton sengaja dibiarkan begitu
saja. Malah rakyat diminta untuk menyaksikan kema-
tian Sultan Prawoto dan keluarganya itu yang oleh
Arya Penangsang dianggap sebagai pengkhianat. Na-
mun tak seorangpun yang mau datang untuk menyak-
sikan. Rakyat sama maklum siapa sebenarnya yang
jadi pengkhianat dan pemberontak. Beberapa orang
Adipati yang konon masih setia kepada Sultan Prawoto
mengadakan pertemuan rahasia dipimpin oleh Adipati
Japara.
*
* *
SEMBILAN BELAS
PENCULIKAN DI PAGI BUTA
DARI dalam gubuk kajang beratap rumbia itu,
di penghujung malam yang dingin, ketika kebanyakan
orang bahkan juga para satwa masih tenggelam dalam
tidur nyenyak terdengar suara orang mengaji. Dari su-
aranya jelas yang mengaji itu adalah seorang anak laki-laki.
Di luar gubuk yang terletak di puncak bukit kecil pada aliran kali Glugu, di dalam gelap, tanpa suara
dua orang terlihat membimbing kuda masing-masing.
Di satu tempat mereka tinggalkan tunggangan itu.
"Tombak saktimu tidak dibawa serta?" bertanya
orang yang berjalan di sebelah kanan. Tubuhnya tinggi
besar, kulitnya sehitam arang.
"Cuma menangkap seorang bocah saja, apa
perlu senjata sakti itu?" jawab sang teman, seorang
kakek berjubah kuning tebal. Dua orang itu melang-
kah ke arah sebuah pohon besar tak jauh dari gubuk.
Di sini keduanya berhenti dulu.
Yang berpakaian jubah kuning tebal berbisik
pada teman sebelahnya. "Kau mendengar suara orang
mengaji?"
"Sejak tadi," jawab si teman yang berkulit hitam
legam, berbadan besar kokoh.
"Yang mengaji seorang anak lelaki. Kukira dia
anak yang kita cari. Anak yang konon disebut-sebut
dalam Kitab Hikayat Keraton Kuno."
"Aku belum pernah melihat kitab itu. Apa lagi
membacanya. Jadi sangkut paut si anak dengan kitab
itu sulit kupercaya! Lagi pula, apa kitab itu benar-
benar ada? Jangan-jangan cuma karangan belaka.
Disampaikan dari mulut ke mulut hingga akhirnya
orang percaya kitab itu benar-benar ada."
"Sobatku Perwira Kerajaan, apa kau tidak per-
caya pada cerita Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug
dan Tumenggung Pakubumi. Dua diantara mereka
pernah berusaha merampas kitab itu dari tangan Ki
Suro Gusti Bendoro dan Empu Bondan Ciptaning. Tapi
gagal..."
"Anak itu, jika memang dia anak yang kita cari
apa yang hendak kita lakukan terhadapnya?" bertanya
orang yang dipanggil dengan sebutan Perwira Kera-
jaan. Dia bukan lain adalah Brajanala yang kini men-
gabdi di bawah tahta Arya Penangsang Sultan Demak
yang baru. Konon kabar yang mengatakan bahwa da-
lam waktu dekat dia akan diangkat menjadi Patih Ke-
rajaan. Kakek yang dijuluki si culas bermuka banyak
ini kini mendapat kedudukan tinggi dan enak di Kera-
ton Demak sebagai imbal bantuannya menumbangkan
tahta Sultan Prawoto.
"Sesuai perintah Sultan Arya, anak itu harus
kita bawa ke Keraton. Apa yang akan dilakukan terha-
dapnya kemudian aku sendiri tidak tahu." Berkata Ki
Dalem Sleman.
"Seorang anak bisa membahayakan Kerajaan,
Satu hal yang bagiku tidak masuk akal," ujar Brajana-
la. "Kalau memang dia berbahaya, mengapa tidak di-
habisi saja. Lemparkan ke jurang atau ke dalam sun-
gai. Habis perkara. Mengapa! susah-susah menguru-
sinya?"
"Sobatku, jangan berpikiran pendek. Perguna-
kan sedikit akalmu! Justru anak inilah yang diduga
punya teka-teki besar bagi Kerajaan. Dia bukan anak
sembarangan. Kisahnya tertera dalam Kitab Hikayat
Keraton Kuno..."
"Lagi-lagi kitab itu!" bersungut Brajanala. "Pe-
kerjaan seperti ini seharusnya tidak kita yang menan-
gani. Cukup dua tiga orang prajurit saja."
"Tadinya aku juga berpikir seperti itu. Tapi se-
makin ku kaji persoalannya semakin tertarik aku un-
tuk menangani sendiri. Ternyata Sultan kita yang baru
juga punya jalan pikiran sepertiku. Jika tidak ada apa-
apanya, mana mungkin Sultan Arya menugasi kita
berdua."
"Anak ini yang bernama Ario menurut riwayat
yang aku dengar bukan anak Ki Suryo Pabelan..."
"Dia cucu si kakek pemilik gubuk itu. Sudah
dipelihara Ki Suryo sejak ke dua orang tuanya lenyap
tak tentu rimbanya," menerangkan Ki Dalem Sleman.
"Dari tadi kita bicara saja! Kapan kita akan ma-
suk ke gubuk dan menculik anak itu?!" tanya Perwira
Tinggi Brajanala.
"Sabar, jangan kesusu. Coba kau perhatikan
keadaan sekeliling kita." berkata Ki Dalem Sleman.
Brajanala memandang berkeliling. Dia hanya
melihat pepohonan, semak belukar dan kegelapan.
"Tak ada apa-apa yang perlu dirisaukan," kata
Perwira ini kemudian.
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Matamu mulai
lamur. Perasaanmu mulai tumpul. Mungkin terlalu
banyak hidup enak di Keraton...."
Tidak senang mendengar ucapan sahabatnya
itu sang Perwira bertanya. "Apa maksudmu Ki Dalem?"
"Buka matamu besar-besar. Lihat ke atas atap
gubuk," bisik Ki Dalem Sleman.
Mendengar ucapan orang, Brajanala segera pa-
lingkan kepala, memandang ke bagian atas gubuk ka-
jang atap rumbia.
"Astaga, mengapa aku sampai tidak melihat!"
Sang Perwira berucap sambil mengusap-usap janggut
kasar di dagunya. Di atas atap gubuk yang gelap, ter-
nyata mendekam satu sosok yang menghitam dalam
kegelapan. "Orang itu, siapapun dia adanya pasti
punya niat sama dengan kita. Hendak menculik anak
di dalam gubuk. Kita harus segera bertindak sebelum
kedahuluan orang!"
"Jalan pikiranmu mulai terbuka! Tunggu apa
lagi?!"
Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala segera
keluar dari balik pohon. Tapi sesaat langkah mereka
tertahan ketika tiba-tiba sekali sosok di atas gubuk
menjebol atap lalu lenyap masuk ke
dalam gubuk!
"Ki Dalem! Kita kedahuluan!" kata Brajanala.
Saat itu bagian dalam gubuk yang tadinya diterangi
lampu minyak mendadak gelap. Suara anak mengaji
ikut lenyap!
"Aku masuk ke dalam. Kau tunggu di atap!
Orang itu mungkin akan kabur lewat lobang di atas
atap!"
Tanpa banyak bicara Perwira Brajanala segera
melompat ke atas atap. Seperti diketahui Perwira ini
memiliki tubuh tinggi besar. Atap gubuk yang terbuat
dari rumbia lapuk itu mana mungkin menahan tubuh-
nya yang berat. Tapi tanpa suara, seperti seekor bu-
rung enak saja dia hinggap di atas gubuk, lalu mende-
kam menunggu waspada. Ternyata Perwira Kerajaan
ini akhir-akhir ini semakin hebat ilmu tenaga dalam
maupun meringankan tubuh.
Tak lama kemudian di dalam gubuk terdengar
suara orang berkelahi disertai bentakan-bentakan ke-
ras.
"Penculik keparat! Serahkan anak itu padaku!"
Itu adalah suara Ki Dalem Sleman.
Terdengar suara tawa bergelak.
"Maling berteriak penculik! Jika kau mau men-
gambil anak ini silakan saja!" Orang yang tertawa men-
jawab ucapan Ki Dalem Sleman. Lalu... bukkk! Ter-
dengar suara beradunya dua pukulan Dua sosok sa-
ma-sama mental. Gubuk bergoyang keras. Dinding se-
belah kanan jebol. Seorang berpakaian warna gelap
melesat keluar dari gubuk sambil memanggul sosok
seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun
yang berada keadaan tertotok.
Sesaat kemudian kelihatan sosok Ki Dalem
Sleman mengejar. Melihat ini Perwira Brajanala yang
berada di atas atap segera melesat turun ke bawah,
melakukan penghadangan.
Orang yang memanggul anak kecil di bahunya
tersentak lalu berucap. "Kiranya maling jelek memba-
wa kawan yang lebih jelek! Ha...ha...ha! Walau kalian
berdua, jangan harap bisa dapatkan anak ini!"
"Kalau kau tidak mau menyerahkan suka rela,
kami tidak segan-segan membuatmu menjadi mayat
penasaran lebih dulu!" menyahuti Ki Dalem Sleman.
Dia memberi isyarat pada Brajanala. Kedua orang ini
segera menyerbu.
Waktu di dalam gubuk keadaan gelap setelah
lampu minyak padam. Orang yang memboyong anak
kecil tidak bisa melihat jelas siapa adanya kakek ber-
jubah kuning itu. Di luar gubuk walaupun malam tapi
keadaan lebih terang. Ketika memperhatikan pakaian
dan wajah si kakek berjubah kuning tebal, barulah
orang itu sempat menjadi kaget. Terlebih lagi ketika dia
juga mengenali orang ke dua yang jadi pengeroyoknya.
"Ki Dalem Sleman, tokoh silat culas Kesultanan
Demak. Perwira Tinggi Brajanala, sama busuknya den-
gan si tua bangka itu! Bagaimana mereka bisa terlibat
dalam urusan bocah ini? Lawanku tidak enteng. Lebih
baik mencari jalan kabur dari pada membahayakan
keselamatan anak ini!"
Berpikir seperti itu, orang yang memboyong
anak kecil di bahunya segera melancarkan serangan
gencar diseling gerakan-gerakan tipuan. Begitu dua
lawan berlaku lengah, dia akan serta merta kabur me-
larikan diri. Tetapi Ki Dalem Sleman dan Brajanala
yang punya segudang pengalaman mana bisa diper-
dayakan. Dari jurus gerakan orang, kedua tokoh Ista-
na Demak ini sudah bisa membaca apa yang hendak
dilakukan lawan. Dan ternyata Ki Dalem Sleman men-
genai siapa adanya si penculik anak. Kakek ini segera
menegur dengan suara lantang.
"Datuk Manding Kalianget! Tidak kusangka,
jauh-jauh tinggal di Madura muncul di tanah Jawa jadi
penculik bocah!"
Maklum orang sudah tahu siapa dirinya, si
penculik seorang kakek berpakaian biru gelap, memili-
ki rambut, alis, kumis dan janggut kelabu menyeringai
lalu berbatuk-batuk.
"Kalian berdua, bukankah punya maksud sa
ma? Hendak menculik anak ini? Cuma sayang aku
mendapatkannya lebih dulu!"
Habis berkata begitu kakek bernama Manding
Kalianget hentakkan kaki kanannya ke tanah. Bukit
kecil di tepi kali Glugu itu bergetar. Bersamaan dengan
itu di tanah mencuat kepulan asap hitam menutup
pemandangan.
"Penculik busuk! Jangan mengira bisa menipu
kami!" teriak Brajanala.
"Mau lari kemana? Jalan lolos mu cuma satu!
Ke pintu akhirat!" ikut berteriak Ki Dalem Sle-
man.
Dari tempat mereka berdiri Datuk Manding Ka-
lianget memang lenyap tak kelihatan tertutup kepulan
asap hitam. Tapi begitu dua orang itu melesat tinggi ke
udara, dari atas mereka segera melihat di mana bera-
danya si penculik. Saat itu Datuk Manding Kalianget
telah berkelebat ke arah selatan. Dua kali membuat le-
satan, dua tokoh Istana Demak ini berhasil mengha-
dang Manding Kalianget, membuat si penculik terkejut
besar.
Brajanala dan Ki Dalem Sleman tidak member!
kesempatan lagi. Keduanya langsung menyerang. Per-
kelahian hebat segera terjadi. Dalam waktu tiga jurus
saja Datuk Manding Kalianget mulai terdesak. Dengan
beban anak di atas bahu kiri yang harus disela-
matkannya, menghadapi dua lawan berkepandaian
tinggi memang tidak mudah bagi Manding Kalianget.
Pada awal jurus ke enam tokoh silat dari Madura ini
cabut senjatanya, sebilah clurit besar berwarna biru.
Senjata ini memiliki rongga hampa dan pada ujungnya
ada sebuah lobang kecil. Setiap clurit itu berkelebat,
menderu suara seperti lengkingan angin puting beliung
di malam buta!
Ki Dalem Sleman menyesal besar meninggalkan
tombak saktinya di pelana kuda. Gempuran clurit
Manding Kalianget ganas bukan main. Datangnya lak-
sana curahan hujan. Terlebih lagi ketika dari lobang di
ujung clurit menyembur asap hitam menebar bau aneh
pertanda mengandung racun jahat!
Ki Dalem Sleman memberi isyarat pada Braja-
nala. Perwira Tinggi Demak itu segera mencabut pe-
dangnya. Dengan senjata ini dia bisa membendung se-
rangan clurit lawan. Sementara itu Ki Dalem Sleman
menghantam dengan kebutkan ujung jubah kuning-
nya. Dua rangkum gelombang angin menderu meng-
hantam kepulan asap hitam beracun yang keluar dari
lobang di ujung clurit. Selama enam jurus pertempu-
ran berkecamuk hebat. Bagaimanapun hebatnya ilmu
silat Datuk Manding Kalianget, bagaimanapun ganas
serangan cluritnya namun dua lawan yang dihada-
pinya bukan sembarangan.
"Datuk Manding Kalianget! Kau mau serahkan
anak itu atau kau memang ingin dibantai lebih dulu?!"
Ki Dalem Sleman berseru.
Walau jelas dirinya dalam keadaan terdesak
namun Manding Kalianget tidak unjukkan rasa takut.
Malah sambil tertawa dia berkata. "Kau terlalu banyak
bicara! Jaga batang lehermu!"
"Wuuuttt!"
Sinar biru melesat di udara. Clurit besar mem-
babat ke arah perut Ki Dalem Sleman. Selagi kakek ini
melompat mundur tiba-tiba clurit di tangan lawan me-
lesat ke atas, membabat ke arah tenggorokannya. Ki
Dalem Sleman tertipu! Untungnya Brajanala segera
melompat sambil sorongkan pedang.
"Traangg!"
Clurit dan pedang saling beradu, mengeluarkan
suara berdentrangan dan percikan bunga api di udara.
Datuk Manding Kalianget merasa terkejut. Bentrokan
senjata tadi membuat tangannya tergetar hebat dan
ada hawa panas menyerang telapak tangannya hingga
dia hampir-hampir melepas pegangan pada gagang
senjata.
"Celaka, kalaupun aku nekad menyabung nya-
wa, anak ini tak mungkin kuselamatkan. Dua lawan
yang kuhadapi benar-benar tangguh! Masih ada satu
cara untuk menghadapi mereka. Kalau ternyata gagal,
aku memilih mati bersama anak ini!"
Setelah membatin begitu rupa Manding Kalian-
get keluarkan seruan keras. Clurit di tangannya diba-
batkan berputar membentuk lingkaran. Selagi dua la-
wan bergerak menghindar Manding Kalianget perguna-
kan kesempatan untuk melesat ke udara. Dari keting-
gian dua tombak kakek ini kemudian hantamkan tan-
gan kirinya ke bawah sambil mulutnya merapal sesua-
tu.
Dari tangan kiri Manding Kalianget tiba-tiba
melesat keluar satu bayangan besar hitam, memben-
tuk makhluk bermuka raksasa. Kejut Ki Dalem Sleman
dan Perwira Brajanala bukan alang kepalang. Kedua-
nya memukul ke atas. Dua pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi jelas-jelas mengenai
makhluk besar hitam itu. Tapi seperti membal, dua
pukulan itu berbalik kembali, malah menghantam ke
arah Brajanala dan Ki Dalem Sleman.
"Bummm! Bummm!"
Tanah terbongkar membentuk dua lobang be-
sar. Untungnya dua tokoh Istana itu masih sempat se-
lamatkan diri.
Brajanala berdiri dengan muka agak pucat.
Tangannya yang memegang pedang terasa bergetar.
"Perwira, kau gempur kakek jahanam itu den-
gan pedangmu. Aku akan menggasak makhluk jeja-
dian," bisik Ki Dalem Sleman lalu loloskan ikat pinggang jubahnya yang terbuat dari gulungan kawat len-
tur berlapis kain kuning. Dengan kesaktiannya ikat
pinggang ini bisa berubah menjadi sebatang tombak,
cemeti atau tali penjirat.
Mendengar bisikan Ki Dalem Sleman, Brajanala
segera keluarkan jurus-jurus maut ilmu pedangnya.
Gempuran Perwira Tinggi ini membuat Datuk Manding
Kalianget sesaat menjadi sibuk terpaksa andalkan clu-
rit untuk menghadapi pedang lawan. Kakek ini cepat-
cepat pergunakan makhluk hitam jejadiannya untuk
menyerang Brajanala. Namun saat itu ikat pinggang
kuning di tangan Ki Dalem Sleman mulai ambil pera-
nan. Senjata ini meliuk di udara dua kali berturut-
turut, menusuk ke lambung makhluk hitam, lalu ber-
kelebat menjirat ke arah leher! Datuk Manding Kalian-
get tersentak kaget ketika melihat satu kali bergerak
saja lawan telah mampu menjirat leher makhluk hitam
besar jejadian. Dia segera merapal habis-habisan. Tapi
tak ada gunanya. Makhluk jejadian hitam besar kelua-
rkan suara menggebor lalu sirna tak berbekas. Malah
tali kuning yang masih menjulai panjang tiba-tiba
menggelung ke arah lehernya!
Manding Kalianget gerakkan tangan yang me-
megang clurit untuk menabas tali kuning tapi senja-
tanya membal ke atas, terlepas dari genggamannya.
Lidah tokoh silat dari Madura ini mulai terjulur keluar.
Ludah membusah. Matanya mendelik merah. Jiratan
tali kuning pada lehernya tak mampu dilepaskan. Tak
ada kemungkinan lagi baginya untuk selamatkan diri
dari kematian.
"Ki Dalem Sleman keparat! Kau boleh membu-
nuhku! Tapi jangan harap bisa dapatkan anak ini hi-
dup-hidup!"
Habis berkata begitu Datuk Manding Kalianget
gebukkan tinju kanannya ke batok kepala si bocah di
bahu kirinya!
*
* *
BERSAMBUNG KE BAGIAN – 5
-------------------------------------------------
KUNGFU SABLENG
EPISODE PENDEKAR SPIRITUS
SATU
PEMUDA she Ngak berlutut di samping tubuh
gurunya yang tergelimpang penuh luka bekas bacokan.
Orang tua berusia 99 tahun lewat 13 hari itu tengah
sekarat meregang nyawa. Sulit sekali baginya men-
gumpulkan sisa tenaga yang ada agar dapat membuka
mulutnya yang kempot dan ompong.
"Muridku Ngak Ngik Ngok... Rohku bakal tidak
tenteram di alam akhirat sebelum kau membalas sakit
hati kematianku...."
"Suhu..." suara sang murid tersendat menahan
isak. "Siapa yang melakukan perbuatan durjana ini?!"
"Manusianya she Tong. Bernama Bo Long.
Dia... dia dikenal dengan julukan Pendekar Bop karena
mukanya bopeng. Kau harus cari dia dan ambil nya-
wanya penebus nyawaku!"
"Suhu, aku muridmu Ngak Ngik Ngok bersum-
pah akan mencari dan membunuh manusia bernama
Tong Bo Long itu sampai ke laut yang tidak ada airnya
sekalipun! Bahkan sampai ke Planet Crypton bekas
kontrakannya Superman..."
"Bagus, aku gembira mendengar kata-katamu
itu. Tapi ingat, jangan sampai mencari manusia itu ke
Planet Senen. Karena disitu banyak WTS, copet, jamb-
ret dan tukang todong..."
"Terima kasih atas petunjuk suhu..."
"Ngik Ngok, ajal ku sudah dekat. Rasanya su-
dah di depan hidung. Lekas ambilkan dot-ku. Aku mau
menghisapnya, agar bisa menghadap Thian dengan te-
nang."
Mendengar ucapan gurunya Ngak Ngik Ngok
mengambil sebuah dot bayi yang terletak di atas meja
kecil lalu cepat-cepat memasukkannya ke dalam mulut
gurunya. Terkempot-kempot sang guru hisap dot itu
beberapa kali. Kemudian mulutnya tak bergerak lagi.
Sepasang matanya mendelik kosong. Orang tua ini
menghembuskan nafas terakhir sambil nyengir!
Ngak Ngik Ngok menangis tanpa suara. Ketika
dia keluar rumah untuk memberi tahu tetangga terde-
kat atas kematian gurunya itu, mendadak pandangan-
nya membentur secarik kain putih, menempel di pintu.
Dia terkejut dan heran. Karena sebelumnya kain putih
itu tidak ada di tempat itu!
Di atas kain tertera gambar tengkorak bopeng.
Lalu di bawah gambar tengkorak itu ada tulisan ber-
bunyi:
"Jika kau memang pendekar sejati, bukan wa-
dam kalengan, ingin menuntut balas kematian kau
punya guru, datanglah ke puncak gunung Labu Putih.
Tapi jangan lupa membawa nyawa serep karena sekali
kau sampai di puncak gunung kau tak bakal bisa
mundur atau atret. Tertanda Pendekar Bop."
"Keparat sialan!" maki Ngak Ngik Ngok seraya
membetot robek kain putih di pintu, mengucalnya,
membantingnya ke lantai, diludahi lalu diinjak-injak.
Masih belum puas dia songgengkan pantatnya dan
brut! Kain bergambar tengkorak bopeng itu dikentu-
tinya. Sambil kepalkan tinju Ngak Ngik Ngok berkata.
"Tong Bo Long! Kau tunggu pembalasanku! Isi perut-
mu akan aku korek habis agar kau jadi tong bolong
benaran! Pendekar Bop! Mukamu akan aku cucuk
dengan seribu totokan agar tambah bopeng!"
*
* *
DUA
GUNUNG Labu Putih cukup jauh letaknya.
Dengan mengerahkan ilmu lari warisan gurunya yang
bernama "Di atas angin membonceng awan" tiga hari
kemudian, di satu siang mendung sampailah pemuda
Ngak Ngik Ngok di gunung Labu Putih.
Kira-kira setengah lie menjelang puncak gunung, Ngak Ngik Ngok melihat ribuan buah labu putih
berhamparan menutupi tanah pegunungan. Buah labu
ini aneh sekali. Selain warnanya yang putih, bentuknya hampir menyerupai payudara wanita. Ngak Ngik
Ngok tak habis pikir. Dari mana datangnya labu aneh
begini banyak, siapa yang menanam dan memeliharanya?
Tepat di puncak gunung terlihat satu pondok
kayu. Kira-kira berada dua tombak dari hadapan ban-
gunan ini. tiba-tiba pintu pondok terbuka dan keluar-
lah sesosok tubuh yang membuat Ngak Ngik Ngok ter-
perangah kaget campur heran.
Di hadapan Ngak Ngik Ngok saat itu berdiri
seorang perempuan super ultra gemuk bermuka bopeng. Pakaiannya hanya sehelai celana bikini dan ku-
tang sangat besar tapi masih tidak sanggup mem-
bungkus buah dadanya yang dua kali lebih besar.
Rambutnya disanggul tinggi ke atas, ditancapi sumpit
hitam. Pada pinggang kirinya terselip sepasang pe-
dang. Sepasang kakinya mengenakan sepatu bot ber-
hak tinggi warna hitam selutut.
Dua mata Ngik Ngok memandang tak berkesip,
terutama pada payudara yang menggelembung luar bi-
asa besarnya itu.
"Tak pernah kuduga," membatin Ngik Ngok.
"Musuh besar pembunuh guruku yang berjuluk Pen-
dekar Bop ini ternyata adalah seorang perempuan!"
Pendekar Bop yang bernama asli Tong Bo Long
sunggingkan senyum sinis. "Pemuda kuaci yang masih
bau kencur! Akhirnya kau sampai juga di puncak gu-
nung Labu Putih. Seperti yang aku ada pesan, apakah
kau datang lengkap membawa nyawa serep?"
Ngak Ngik Ngok balas menyeringai.
"Perempuan gembrot muka bopeng! Aku me-
mang tidak membawa nyawa cadangan. Bagaimana
kalau aku pinjam dulu nyawa busukmu?!"
Mendengar ucapan si pemuda Pendekar Bop
bukannya marah, malah tertawa gelak-gelak hingga
dadanya yang besar kelihatan seolah berjingkrak-
jingkrak.
"Tidak kusangka kadal jelek macammu pandai
juga bicara! Hik...hik! Apa kau sudah siap menghadapi
kematian?!"
"Perempuan bermuka simpang siur! Urusan
nyawa manusia adalah Thian punya urusan. Yang je-
las guruku sudah menunggu kedatanganmu di pintu
akherat! Hari ini aku akan balaskan sakit hati dendam
kesumat kematian guruku!"
"Kurang ajar! Berani kau mengatakan mukaku
simpang siur! Memangnya wajahku sama dengan per-
simpangan jalan yang macet total karena lampu lalu
lintasnya mati dan polisinya sembunyikan diri?!"
Dua orang yang tidak dapat menahan kemara-
han masing-masing segera berbaku hantam. Ngak Ngik
Ngok mencabut senjatanya sebilah golok tipis. Sedang
Pendekar Bop loloskan pedang di pinggang. Tanpa ba-
nyak cerita lagi pertempuran hebat berkecamuk di
puncak gunung Labu Putih itu.
Ngak Ngik Ngok berkelebat gesit. Serangannya
datang bertubi-tubi. Sebaliknya Pendekar Bop yang
bertubuh gemuk kelihatan lamban. Namun bagaima-
napun Ngak Ngik Ngok berusaha menumbangkan la-
wannya malah keadaan jadi terbalik. Entah ilmu pe-
dang apa yang dimiliki perempuan gembrot itu. Yang
jelas Ngak Ngik Ngok bukan saja tidak mampu menci-
derai lawan malah bajunya berhasil dibikin robek
ujung pedang lawan dan kulit tubuhnya tergores luka
di beberapa tempat. Ngak Ngik Ngok menggigit bibir
menahan amarah dan rasa sakit.
*
* *
TIGA
"PEMUDA kuaci! Sekarang kau baru tahu rasa!
Sebentar lagi kepalamu kubikin menggelinding. Kau
bakal menghadap setan akhirat dan bertemu gurumu!
Hik...hik...hik!"
"Perempuan gila! Aku belum kalah!" teriak Ngak
Ngik Ngok. Dia bacokkan goloknya ke arah batok kepa-
la lawan. Pendekar Bop menangkis dengan pedangnya.
"Trang!"
Dua senjata bentrokan di udara memercikkan
bunga api. Ngak Ngik Ngok tersurut dua langkah. Tan-
gannya bergetar hebat dan wajahnya tampak pucat!
Pendekar Bop kembali tertawa bergelak.
"Pemuda dungu! Kau boleh punya sepuluh ke-
pala dua puluh tangan dua puluh golok! Tapi jangan
mimpi bisa mengalahkanku! Ajalmu hanya tinggal be-
berapa hitungan saja. Tapi aku tuan besarmu ini ber-
sedia mengampuni selembar nyawamu jika kau mau
berlutut minta ampun lalu berjanji untuk mau mencu-
ci kutang serta celana dalamku dan menemaniku di
atas ranjang selama tujuh puluh hari tujuh puluh ma-
lam! Hik...hik! Apa jawabanmu?!"
"Perempuan mesum! Kau kira aku ini jongos
mu atau kau anggap aku ini Pendekar Playboy?!" ben-
tak Ngak Ngik Ngok. "Aku rela mati dari pada hidup
terhina!"
"Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mam-
pus!" Pendekar Bop lalu kirimkan serangan gencar. Ke-
tika dua senjata beradu untuk kesekian kalinya si ge-
muk ini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya.
Golok tipis di tangan Ngak Ngik Ngok terlepas mental.
"Celaka!" keluh Ngak Ngik Ngok. Tong Bo Long
alias Pendekar Bop tertawa bergelak. "Ajalmu sudah ti-
ba pemuda tolol!"
"Mana mungkin! Kepalamu yang bakal pecah!"
jawab Ngak Ngik Ngok. Mendadak saja dia dapat akal.
"Paman guruku yang berjuluk Pendekar Pulang Pagi
Pie Koen siap membokongmu dari belakang! Satu
langkah saja kau berani bergerak, kepalamu akan di-
pukulnya hancur! Paman guru, bunuh perempuan
durjana ini!"
Pendekar Bop Tong Bo Long sesaat jadi terke-
siap. Dia memang pernah mendengar nama Pie Koen
sebagai pendekar cabang atas yang mendapat julukan
Pendekar Pulang Pagi. Di antara para tokoh silat yang
dianggap jadi dedengkot dan disegani karena ilmunya
yang tinggi adalah manusia satu ini. Mau tak mau
Pendekar Bop jadi terkejut juga mendengar ucapan la-
wan yang mengatakan Pie Koen adalah paman gu-
runya dan saat itu berada di belakangnya! Namun se-
saat hati kecilnya meragu. Mungkin saja lawan hendak
menipunya.
Ngak Ngik Ngok rupanya tahu apa yang ada da-
lam benak si gemuk. Maka dia kembali berteriak. "Pa-
man guru! Tunggu apa lagi! Hancurkan kepala iblis
bopeng ini! Dia telah membunuh suhu!"
Mau tak mau Pendekar Bop palingkan kepala
juga ke belakang. Dia kena tertipu! Ternyata di bela-
kangnya memang tidak ada siapa-siapa!
"Setan alas! Kau berani menipuku! Jangan ha-
rap kau bisa lolos dari kematian!"
Tong Bo Long tidak selesaikan ucapannya ka-
rena ketika dia berpaling ke depan kembali, Ngak Ngik
Ngok sudah lenyap dari tempat itu. Sadar kalau di-
rinya memang sudah kena ditipu si gendut ini hanya
bisa memaki panjang pendek! Setelah puas mengelua-
rkan kutuk serapah, Pendekar Bop keluarkan satu ko-
tak kecil yang diselipkannya di balik kutang. Ternyata
kotak alat kecantikan merek Rev Long, lengkap dengan
kacanya. Dengan sikap genit Pendekar Bop mulai me-
rapikan dandanannya yang kacau balau berlepotan ke-
ringat.
*
* *
EMPAT
NGAK NGIK NGOK sakit hati dan sedih bukan
main karena tidak dapat membalaskan dendam kesu-
mat kematian gurunya. Dalam menuruni gunung Labu
Putih dia tidak tahu lagi entah menuju kemana. Ketika
pada akhirnya dia menghentikan Sari dan berjalan bi-
asa didapatinya dirinya berada di sebuah desa berna-
ma Spie Ing Rie Tus. Hampir keseluruhan penduduk
desa ini mempunyai mata pencaharian sebagai pembuat spiritus. Cairan ini bukan saja untuk dijual tapi
juga dijadikan minuman sehari-hari oleh penduduk,
pengganti arak yang mahal harganya. Konon spiritus
keluaran desa Spie Ing Rie Tus ini sangat tinggi kadar
alkoholnya dan merupakan merek nomor satu di daratan Tionggoan (daratan Tiongkok)
Ngik Ngok sampai di hadapan sebuah kedai. Le-
tih dan haus membuat dia arahkan langkahnya ke ke-
dai ini. Dia memesan segelas teh dan menjadi heran
ketika orang kedai dan para tetamu mentertawainya.
"Kau pasti orang asing!" kata pemilik kedai.
"Ketahuilah, di desa ini satu-satunya minuman yang
ada hanyalah spiritus. Jangan harapkan segelas teh,
apalagi susu atau arak! Kau cobalah spiritus desa Spie
Ing. Rasanya lebih sedap dari arak Shantung!"
Mula-mula Ngik Ngok hendak jengkel tapi keti-
ka dia memandang berkeliling dilihatnya semua tamu
memang memesan dan minum spiritus yang berwarna
biru berkilauan. Mau tak mau akhirnya pemuda ini
anggukkan kepala. Tapi ketika pertama kali minuman
itu diteguknya, dia menjerit dan terlonjak dari bangku.
Mulutnya seperti disulut api. Spiritus dalam mulutnya
disemburkan keluar. Mukanya merah padam. Semua
orang mentertawainya. Karena kesal Ngak Ngik Ngok
duduk memencilkan diri di satu sudut kedai.
Duduk sendirian kembali Ngik Ngok ingat pada
musuh besarnya si Pendekar Bop. Lama dia terme-
nung memikirkan bagaimana caranya menghadapi dan
mengalahkan pembunuh suhunya itu. Dalam keadaan
seperti itu tidak sengaja matanya melihat seekor anjing
kampung sedang kencing di bawah pohon. Binatang
ini tidak tahu kalau didekat pohon tersebut ada seekor
kodok sedang mangkal. Begitu sekujur tubuhnya ter-
kena siraman air kencing hangat dan bau, sang kodok
menggelepar megap-megap lalu lari pontang-panting.
Ngak Ngik Ngok tertawa sendirian. Tiba-tiba sa-
tu akal menyelinap masuk ke dalam benaknya. Mu-
suhnya si Tong Bo Long alias Pendekar Bop walau
memiliki gerakan lamban namun ilmu pedangnya he-
bat luar biasa. Jika dia bisa mengacaukan perhatian
lawan bukan mustahil dia bisa mempecundangi si ge-
muk itu. Ngak Ngik Ngok terus merenung. Kemudian
dia bangkit berdiri. Dia mendekati pemilik kedai. Sam-
bil menyerahkan sejumlah uang dia berkata.
"Berikan aku lima buli spiritus!" (buli = sema-
cam kendi tanah berbentuk botol kuno)
Tentu saja pemilik kedai dan orang-orang yang
ada di situ heran semua. Tadi mereka saksikan sendiri
pemuda itu menyemburkan spiritus yang dicicipinya.
Dia hampir kelojotan. Kini malah memesan lima buli
sekaligus!
*
* *
LIMA
SANG surya muncul di ufuk timur tepat pada
saat Ngak Ngik Ngok sampai di puncak gunung Labu
Putih. Begitu sampai di hadapan pondok langsung saja
dia tendang daun pintu sambil berteriak.
"Pendekar Bopeng perempuan keparat! Lekas
keluar! Aku datang kembali untuk minta nyawamu!"
Saat itu si gemuk Tong Bo Long masih tertidur
pulas dan mendengkur keras. Suara dengkurannya
putus. Matanya terbuka dan tubuhnya yang gembrot
duduk di atas ranjang. Tangannya cepat menyambar
kutang ukuran raksasa, bikini antik dan sepatu bot.
Tak ketinggalan kotak kecil berisi alat kecantikan. Se-
telah mengenakan kutang dan bikini serta sepatunya,
Pendekar Bop melompat keluar.
"Setan alas kurang ajar! Kau berani merusak
pintu istanaku! Kau kembali ke sini minta mampus
atau memang kangen dan ingat-ingat diriku!
Hemm...Jangan-jangan kau termimpi-mimpi dan kebe-
let mau tidur denganku! Hik...hik...hik!" Sambil terta-
wa Pendekar Bop cepat merias wajahnya.
"Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya
dandan. Tapi tak jadi apa. Memang harus begitu su-
paya setan neraka tidak pangling padamu!" kata Ngak
Ngik Ngok pula.
Pendekar Bop selipkan kotak alat kecantikan-
nya di balik kutang lalu tanpa banyak cerita lagi dia
segera hunus pedang dan menerjang pemuda di hada-
pannya. Ngak Ngik Ngok sudah pula menyiapkan golok
tipisnya. Hanya kali ini tangan kirinya berbarengan
mengambil satu dari lima buli-buli spiritus yang berge-
lantungan di pinggangnya lalu meneguk isinya. Den-
gan mulut gembung penuh spiritus dia hadapi seran-
gan Pendekar Bop.
"Pemuda keparat! Kali ini jangan harap aku
mau memberi hati ataupun tulang padamu!" Pedang
Pendekar Bop berkiblat. Pertempuran seru berkeca-
muk. Dalam tiga jurus saja Ngak Ngik Ngok sudah terdesak.
Pendekar Bop terus menggebrak sambil lontar-
kan seringai sinis. Ujung pedangnya bertabur me-
nyambar ganas. Dia yakin paling lama dua jurus di-
muka akan sanggup membantai si pemuda. Tiba-tiba
tidak disangka-sangka mulut gembung Ngak Ngik Ngok
menyembur. Cairan spiritus menderu menghantam
muka bopeng Pendekar Bop.
Perempuan gemuk berdandan tebal itu tidak
menyangka akan mendapat serangan begitu rupa. Un-
tung saja dia berlaku waspada. Namun walaupun mu-
kanya selamat, cipratan spiritus masih sempat menge-
nai dadanya. Tak urung kutang besarnya menjadi ber-
lubang-lubang dan payudaranya seperti ditusuk-tusuk
jarum!
Menggelegaklah amarah Pendekar Bop. Didahu-
lui satu pekikan keras seperti pekik penyanyi yang ke-
setanan di disko "Le Go Yang" dia putar pedangnya
dengan sebat hingga saat itu juga sekujur tubuh lawan
terkurung sambaran senjata tajam itu.
Namun kali ini Ngak Ngik Ngok berhasil mem-
babat putus salah satu tali kutang lawan. Pendekar
Bop terpekik. Dia cepat pergunakan tangan kiri untuk
menunjang dan menutupi dadanya yang melorot turun
ke bawah seperti kelapa menggelantung. Namun na-
sibnya rupanya sudah sampai pada saat menentukan.
Sambaran berikutnya memutus tali kutang yang satu
lagi!
"Jahanam keparat! Kau berani menghinaku!
Aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!"
Pedang di tangan Pendekar Bop berkiblat ga-
nas. Tapi semburan spiritus dari mulut lawan mem-
buat gerakannya tertahan.
"Lihat celana!" Ngak Ngik Ngok berseru. Lalu
goloknya menyambar ke bawah. Tali celana bikini Pendekar Bop putus! Kembali si gemuk ini menjerit. Ketika
dengan kalap dia coba mengejar lawan dengan pe-
dangnya, Ngak Ngik Ngok babatkan lagi senjatanya
dan menyembur dengan spiritus. Pendekar Bop terpe-
kik. Luka besar menguak di perutnya yang gendut ber-
lemak. Darah mengucur!
"Oh bikini ku! Kubeli mahal-mahal di Paris. Ro-
bek... kau merobeknya....! "Pendekar Bop bukan kha-
watirkan luka di perutnya tapi malah lebih mengkha-
watirkan bikininya yang robek dimakan ujung golok!
"Dasar perempuan otak miring!" kata Ngak Ngik
Ngok. Selagi lawan kalang kabut goloknya kembali
membabat. Jeritan mengenaskan keluar berulang kali
dari mulut Pendekar Bop, Tubuhnya yang gemuk ak-
hirnya tergelimpang bergedabukan di depan pondok. Si
gemuk ini menemui ajal dengan mata mendelik dan
dua tangan memegangi bikininya.
Ngak Ngik Ngok jatuhkan diri berlutut. Terbata-
bata dia berkata.
"Suhu, sakit hatimu sudah murid balaskan!
Pembunuh mu telah aku habisi! Ternyata murid tidak
perlu susah-susah harus pergi ke Planet Crypton atau
ke Planet Senen.. Juga tidak perlu mengarungi lautan
luas yang penuh dengan pukat harimau. Tidak perlu
memasuki hutan belantara yang kayu-kayunya sudah
pada habis di trondoli orang-orang kota. Hari ini murid
sudah bunuh Pendekar Bop Tong Bo Long. Semoga
arwah suhu kini bisa tenteram di alam baka!"
Ngak Ngik Ngok manggut-manggut tujuh kali
lalu bangkit berdiri dan tinggalkan puncak gunung La-
bu Putih. Sejak itu dia lebih dikenal dengan julukan
Lendekar Spiritus.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar