..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 27 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE TELUK AKHIRAT (TDS)

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

TDS 

TIGA dalam SATU 

 

 

 

* WIROSABLENG 

Judul: Teluk Akhirat 

* ARIO BLEDEG 

Judul: Petir Di Mahameru 

* KUNGFU SABLENG 

Judul: Pendekar Spiritus



SATU


TANTANGAN DI DALAM KAMAR


PENDEKAR 211 Wiro Sableng garuk-garuk ke-

pala, memandang wajah cantik Pelangi Indah yang du-

duk di tepi pembaringan besar. Di dalam kamar itu 

hanya mereka berdua. Sosok Pelangi Indah, pimpinan 

kelompok para gadis cantik yang disebut Bumi Hitam 

mengenakan sehelai jubah hitam terbuat dari sutera. 

Walau kamar besar itu hanya diterangi sebuah pelita 

kecil namun ketipisan pakaian yang dikenakan Pelangi 

Indah membuat Wiro dapat melihat jelas setiap lekuk 

tubuh si gadis.

Wiro ingat kembali ucapan Eyang Sinto Gen-

deng ketika dia memaksa mendapatkan ilmu kesaktian 

bernama Sepasang Inti Roh. Si nenek berkata, bahwa 

selama dirinya masih suka pada wajah cantik, senang 

melihat keindahan tubuh mulus perempuan, maka dia 

harus menunggu 49 tahun untuk mendapatkan ilmu 

Kesaktian Sepasang Inti Roh itu. Kini bukan saja dia 

tengah ditantang dalam satu ujian sangat besar, tetapi 

juga berada dalam keadaan bingung karena tidak 

mengetahui dimana berada Eyang Sinto Gendeng dan 

apa yang terjadi dengan Sang guru.

Wiro kembali memperhatikan wajah cantik dan 

sosok tubuh Pelangi Indah yang menggairahkan. Dalam hati dia membatin.

"Kalau aku berlama-lama dalam kamar ini, bi-

sa-bisa lupa diri dan melakukan apa saja yang diingin-

kan gadis cantik ini. Budi pertolonganku menemukan 

kalung kepala srigala itu bisa di salah artikan. Jan-

gankan tubuhnya, jiwanya mungkin diserahkan pada-

ku".

Wiro menghela nafas dalam.

"Wiro, apa yang ada dalam pikiranmu?" Tiba-

tiba Pelangi Indah bertanya.

"Maafkan aku Pelangi. Aku tak mungkin men-

gabulkan permintaanmu..."

"Aku mengajukan beberapa permintaan pada-

mu. Permintaanku yang mana yang tidak mungkin kau 

kabulkan?" kembali si gadis bertanya.

"Aku tak mungkin berada di kamar ini sampai 

pagi. Aku harus segera pergi.

Aku harus berterima kasih padamu dan semua 

gadis di sini. Karena telah menyelamatkan diriku dari 

pukulan beracun Ki Tawang Alu. Aku berhutang budi 

dan nyawa...."

Diantara kita tidak ada hutang budi dan nyawa. 

Kau menolongku, aku menolongmu. Memang begitu 

harkat hidup manusia...Mengapa kau tidak bersedia 

menghabiskan malam ini bersamaku Wiro? Kau harus 

segera pergi. Pergi ke mana.?

Wiro menggaruk kepalanya kembali. "Pelangi 

Indah sebenarnya aku ingin sekali berlama-lama di 

tempat ini. Namun aku sangat mengkhawatirkan kese-

lamatan guruku Eyang Sinto Gendeng. Nenek sakti itu 

lenyap entah kemana. Tapi aku sudah tahu siapa yang 

punya pekerjaan. Kakek muka putih yang bernama 

Tawang Alu itu..!

Pelangi Indah menatap dalam-dalam ke mata 

pendekar 212. Di bibirnya menyeruak senyum tipis.


"Aku tahu dia memang mengkhawatirkan keselamatan 

gurunya. Tapi satu hal yang tidak kuduga ternyata 

pendekar ini tidak seperti yang diceritakan orang. Dia 

bukan pemuda hidung belang. Dia berlindung dibalik 

rasa khawatir terhadap keselamatan gurunya. Padahal 

dia ingin menghindari ajakan untuk memenuhi koba-

ran hasrat pada diriku. Ternyata Pendekar 212 seorang 

pemuda beriman teguh. Sayang nasib malang ku ru-

panya bakal berkepanjangan. Cepat atau lambat kutu-

kan itu pasti akan datang lagi. Semoga kalung kepala 

srigala tetap aman berada di tanganku."

"Wiro, apakah kau menolak bermalam di sini 

karena kau tak ingin mengkhianati Anggini?"

Murid Sinto Gendeng terkejut mendengar uca-

pan Pelangi Indah itu. "Kau kau kenal dengan gadis 

itu?"

Pelangi Indah menggeleng. "Melihatnya-pun 

aku belum pernah. Tapi aku yakin dia tentu seorang 

gadis sangat cantik..."

"Jika tidak kenal, belum pernah melihatnya lalu 

bagaimana..?

"Beberapa waktu itu dedengkot rimba persila-

tan yang berjuluk Dewa Tuak pernah datang ke sini. 

Dia memberi tahu perihal perjodohanmu dengan mu-

ridnya yang bernama Anggini. Dia menghabiskan ba-

nyak waktu untuk mencarimu..."

"Kakek satu itu! Dia kakek yang paling baik di 

dunia ini. Aku tidak mengerti mengapa dia terlalu ber-

harap pada diriku. Mulutnya memang sering berucap, 

tapi siapa yang percaya. Soal perjodohan ku dengan 

muridnya yang bernama Anggini itu, suka-sukanya 

sendiri. Aku tidak merasa di perjodohkan."

"Pelangi Indah terdiam sesaat. Bibirnya kembali 

menyeruakkan senyum. Di lubuk hatinya muncul se-

kelumit harapan. Lalu gadis ini bertanya.


"Wiro apakah kau juga menolak permintaanku 

untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Ki Ta-

wang Alu?"

"Kau memberikan satu kehormatan dan keper-

cayaan sangat besar kepadaku, Pelangi Indah. Demi-

kian besarnya hingga aku tidak berani menerima per-

mintaanmu..."

Bayangkan rasa kecewa kelihatan di wajah can-

tik Pelangi Indah. "Ketahuilah, permintaan yang satu 

itu bukan cuma datang dariku. Tapi juga merupakan 

permintaan semua gadis di Bumi Hitam ini. Mereka 

sekarang berada di luar. Menunggu jawabanmu. Mere-

ka akan sangat kecewa jika kau menolak. Harapan me-

reka setinggi langit sedalam lautan..."

"Aku mohon maaf. Mungkin...Mungkin kita bisa 

bertemu dan bicara lagi setelah aku menemukan 

Eyang Sinto Gendeng. Sekarang aku mohon diri..."

Pelangi Indah bangkit dari tepian ranjang. Kini 

dia tegak berhadap-hadapan dengan Pendekar 212. 

Diam sesaat lalu seperti tidak hendak dilepaskannya 

selama-lamanya dipeluknya sang pendekar. Kepalanya 

disandarkan ke dada bidang Wiro. Murid Sinto Gen-

deng merasa betapa hangatnya tubuh gadis itu. Jan-

tung mereka seolah berdegup menjadi satu.

"Maafkan aku Pelangi. Aku berjanji akan da-

tang menyambangimu lagi di puncak Merapi ini..." Wi-

ro membelai punggung si gadis lalu mencium kening-

nya.

"Aku tahu, aku tidak bisa menahanmu, apalagi 

punya perasaan ingin memiliki mu," kata Pelangi Indah 

tapi hanya terucap di dalam hati.

Pelangi memeluk tubuh Pendekar 212 erat-erat. 

Lalu perlahan-lahan dilepaskannya rangkulannya. Dua 

tangannya bergerak ke belakang kepala, menyelinap di 

balik rambut yang panjang hitam. Jari-jarinya melepas


ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah 

batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat 

kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya 

berkata.

"Terimalah ikat kepala ini sebagai pengiring se-

lamat jalan. Jika batu permata di permukaan kain kau 

usap, maka akan ada satu getaran gelombang sam-

bung rasa antara kau dan aku. Dan aku akan tahu 

bahwa kau tengah mengingat diriku, ingin bertemu 

dengan diriku. Mudah-mudahan aku bisa muncul di 

hadapan mu..."

Pendekar 212 merasa heran mendengar ucapan 

itu. "Apakah gadis ini memiliki kekuatan gaib yang bi-

sa memunculkan dirinya di hadapanku dengan cara 

mengusap batu hitam di atas kain ikat kepala?" Wiro 

hendak bertanya. Tapi Pelangi Indah memasukkan ikat 

kepala itu ke dalam genggaman Wiro seraya berkata.

"Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau 

ikatkan di kepalamu, kau bisa melihat bayangan diri-

ku. Jika kain itu kau pergunakan sebagai senjata, mu-

dah-mudahan dia bisa menjadi senjata yang bisa me-

lindungi dirimu...'1

"Aku...Ini benda sangat berharga. Aku tidak bi-

sa menerimanya Pelangi. Ikat kepala ini pasti sangat 

berguna bagi dirimu..."

"Juga bagi dirimu," bisik Pelangi Indah. Wiro 

terpaksa menyimpan ikat kepala sutera hitam itu di 

balik pakaiannya.

*

* *


DUA


MISTERI NYAWA KELELAWAR 

PEMANCUNG ROH


SETELAH melihat Wiro menyimpan kain sutera 

ikat kepalanya, Pelangi Indah berkata.

"Dari para gadis aku mendapat kabar bahwa 

gurumu Eyang Sinto Gendeng berada dalam keadaan 

lumpuh akibat terkena racun Seribu Hawa Kematian. 

Dan kau tengah berusaha mencari mahluk bernama 

Kelelawar Pemancung Roh..."

Wiro mengangguk. "Mahluk itu memiliki kesak-

tian luar biasa. Para gadis anak buahmu memberikan 

beberapa petunjuk. Mungkin kau bisa menambahkan 

apa yang harus aku lakukan jika berhadapan dengan 

mahluk itu. Mungkin kau tahu kelemahannya!"

"Mahluk apa itu boleh dikatakan tidak mempu-

nyai kelemahan. Karena nyawanya tidak ada di dalam 

tubuhnya. Di apakan-pun dia tidak bakal bisa menemui kematian. Konon nyawanya ada pada satu mahluk 

lain yang tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah..."

"Mahluk apa itu? Setan, Jin...?" tanya Wiro.

"Sulit diduga. Rahasianya tidak mungkin dis-

ingkapkan kalau tidak mendatangi sarangnya di Teluk 

Akhirat. Tapi pergi ke Teluk Akhirat sama saja dengan 

mengantar nyawa mencari kematian..."

"Kau tahu dimana letak Teluk Akhirat?"

"Pergilah ke selatan. Ikuti aliran Kali Opak 

hingga kau sampai di muaranya. Di situ ada sebuah 

desa bernama Kretak. Lanjutkan perjalanan ke arah


matahari terbit. Sebelum kau sampai di Parangtritis, 

kau akan menemukan satu teluk kecil dipenuhi ratu-

san bahkan mungkin ribuan kelelawar. Itulah Teluk 

Akhirat. Tempat kediaman mahluk jahat bernama Ke-

lelawar Pemancung Roh. Walau teluk itu kecil saja tapi 

tidak mudah mencari Kelelawar Pemancung Roh. Satu 

hal harus kau ingat baik-baik Wiro. Semua kelelawar 

yang ada di teluk itu bukan kelelawar biasa. Mereka 

adalah binatang peliharaan Kelelawar Pemancung Roh. 

Yang bisa diperintahkan untuk membunuh dan men-

guliti siapa saja. Jangankan manusia, seekor gajahpun 

bisa menjadi tinggal tulang belulang hanya dalam be-

berapa kejapan mata. Kau benar-benar harus berhati-

hati..."

"Terima kasih," kata Wiro sambil memegang 

lengan Pelangi Indah, membuat si gadis menjadi terge-

tar dadanya.

"Para gadis sudah lama menunggu di luar. Jika 

tidak ada hal lain yang ingin kau tanyakan kuharap 

kau mau mengatakan sendiri pada mereka. Bahwa kau 

tidak bersedia bergabung dengan kami..."

Wiro coba tersenyum. Dipeluknya tubuh si ga-

dis erat-erat lalu diciumnya ke dua pipi dan kening Pe-

langi Indah. Ketika Wiro mencium sepasang mata si 

gadis terasa ada perasaan. Dia melangkah ke pintu.

Di halaman depan rumah panggung besar, be-

lasan gadis cantik anggota Kelompok Bumi Hitam yang 

sebelumnya duduk di bangku panjang terbuat dari ba-

tang kelapa serta merta bangkit berdiri ketika melihat 

Wiro menuruni tangga rumah, diiringi pimpinan mere-

ka. Di depan sekali kelihatan Mentari Pagi dan Rembu-

lan. Di sebelah kiri mereka berdiri Fajar Menyingsing 

dan Embun Pagi, dua gadis dalam kelompok Mentari 

Pagi dan Rembulan yang pertama sekali bertemu den-

gan Wiro dan secara "keroyokan" pernah mencium


Pendekar 212. Semua mereka tidak satupun yang 

mengenakan kerudung hitam hingga wajah mereka 

yang cantik terlihat jelas.

"Agaknya pimpinan kita tidak berhasil mena-

han Pendekar 212..." berbisik Rembulan.

"Aku sudah menduga," jawab Mentari Pagi. 

"Kau kecewa? Mungkin lebih berat dari kecewanya Pe-

langi Indah?"

Sekilas paras Rembulan terlihat kemerahan. 

Gadis satu ini sejak pertemuan pertama dengan Pen-

dekar 212 memang telah jatuh hati. Tidak bisa dis-

alahkan karena bukan cuma Rembulan, diam-diam 

semua gadis anggota kelompok Bumi Hitam, termasuk 

Mentari Pagi dan sang pimpinan mereka sendiri telah 

menaruh hati pada sang pendekar.

"Aku tidak munafik mengakui padamu bahwa 

aku menyukai pemuda itu. Tapi siapa diantara kita 

yang tidak menaruh hati padanya? Termasuk kau 

bahkan pemimpin kita Pelangi Indah."

Kini paras Mentari Pagi yang kelihatan keme-

rah-merahan mendengar kata-kata Rembulan itu. Se-

benarnya Mentari Pagi memang telah pula tertambat 

hatinya pada murid Sinto Gendeng itu. Tetapi dia terla-

lu sombong untuk mau mengakui.

Wiro perhatikan wajah-wajah cantik di hada-

pannya. Ketika dia memandang pada Pelangi Indah, 

gadis ini anggukkan kepala memberi isyarat. Wiro ga-

ruk kepala, disambut senyum oleh semua gadis.

"Aku, aku sebenarnya ingin bicara banyak. Tapi 

menghadapi kalian yang cantik-cantik semua aku jadi 

kikuk, susah bicara..."

Para gadis anggota Bumi Hitam tertawa riuh. 

Salah seorang di belakang sana bernama Lembayung 

berkata. "Sudah, kau tak usah bicara. Tegak saja berdiam diri. Biar kami memandangi! Biar kau tambah kikuk!"

Gelak tawa memenuhi halaman rumah besar. 

Membuat murid Sinto Gendeng kembali garuk-garuk 

kepala.

"Pemimpin kalian, dan juga kalian semua telah 

menolongku, menyelamatkan jiwaku dari pukulan be-

racun Ki Tawang Alu. Aku sangat berterima kasih dan 

tidak bakal melupakan budi baik kalian..."

Lembayung yang tadi bicara kembali membuka 

mulut. "Kami tidak mau dengar ucapan itu. Yang kami 

ingin tahu ialah apakah kau menerima permintaan 

pemimpin kami menjadi pengganti Ki Tawang Alu, 

menjadi Wakil Ketua Kelompok Bumi Hitam?!"

"Permintaan kalian sudah disampaikan oleh Pe-

langi Indah. Aku sangat berterima kasih atas kehorma-

tan dan kepercayaan itu. Tapi para sahabatku, saat ini 

aku tidak bisa membuat keputusan. Kalian semua ta-

hu. Guruku Eyang Sinto Gendeng diculik oleh Ki Ta-

wang Alu. Dirinya dalam bahaya. Aku harus mencari 

dan menyelamatkan nenek itu..."

"Kami semua akan membantu!" gadis di sebelah 

belakang kembali membuka mulut.

"Terima kasih. Apapun yang terjadi dengan 

Eyang Sinto Gendeng, aku muridnya mempunyai ke-

wajiban dan tanggung jawab turun tangan mencari 

dan menyelamatkan. Kalian tidak perlu merepotkan di-

ri..."

"Kami justru senang dibikin repot olehmu! 

Hik...hik!" kembali Lembayung berucap. Kembali pula 

tempat itu dipenuhi gelak tawa para gadis.

Kembali tempat itu dipenuhi gelak tawa para 

gadis.

"Pimpinan, "Rembulan maju dua langkah ke 

hadapan Pelangi Indah. "Jika benar Ki Tawang Alu 

yang menculik guru Pendekar 212, besar kemungkinan


dia menyekap nenek itu di Lembah Belibis."

Pelangi Indah mengangguk walau diam-diam 

dia merasa tidak enak dengan perbuatan dan ucapan 

Rembulan yang dirasakannya mendahului dirinya. Se-

benarnya pimpinan para gadis cantik Kelompok Bumi 

Hitam ini sudah menduga begitu, namun karena su-

dah punya rencana sendiri dia tidak mau mengung-

kapkan. Kini terlanjur anak buahnya telah memberi 

tahu maka Pelangi Indah terpaksa anggukkan kepala.

"Mohon aku diberi tahu dimana letak Lembah 

Belibis itu," Wiro berkata seraya memandang pada 

Rembulan.

Sadar kalau tadi dia merasa bicara mendahului 

pimpinannya, kali ini Rembulan tidak berani menja-

wab pertanyaan Pendekar 212.

"Beritahukan padanya Rembulan," tiba-tiba Pe-

langi Indah berkata.

Sedikit kikuk Rembulan akhirnya menerang-

kan. "Di kaki tenggara Gunung Merapi ada satu kali 

kecil. Ikuti kali itu, kau akan sampai ke sebuah lem-

bah. Itulah Lembah Belibis. Mudah menemukannya 

karena di situ banyak burung-burung belibis."

"Terima kasih. Aku akan segera menuju ke sa-

na..."

Tiba-tiba Lembayung kembali bersuara. "Pen-

dekar 212! Bagaimana kalau ternyata Tawang Alu 

menculik gurumu bukan untuk maksud jahat?"

Sepasang mata Wiro Sableng membesar semen-

tara dua alis Pelangi Indah naik ke atas, matanya me-

mandang tajam ke arah Lembayung.

"Apa maksudmu Lembayung?" tanya Pelangi 

Indah.

"Mati aku, aku tadi cuma mau bergurau!" kata 

Lembayung dalam hati.

"Lembayung?!" suara Pelangi Indah mengeras.


"Maafkan saya pimpinan. Maafkan diriku Pen-

dekar 212. Maksudku, siapa tahu Tawang Alu bukan 

bermaksud jahat. Dia menculik gurumu karena dia 

suka pada Eyang Sinto Gendeng..."

Sunyi, tak ada suara. Hanya semua mata me-

mandang pada Lembayung yang diam-diam jadi keta-

kutan karena dipelototi oleh sekian banyak pasang 

mata, termasuk mata Pendekar 212 dan Pelangi Indah.

Wiro garuk-garuk kepala. Senyum di bibirnya. 

Lalu mulutnya terbuka. Bibirnya bergetar. Suara tawa 

keluar dari mulut itu. Mula-mula perlahan, lalu makin 

keras. Semua yang ada di situ, termasuk Pelangi indah 

sendiri tidak dapat pula menahan diri. Gelak tawa un-

tuk kesekian kalinya terdengar riuh.

Lembayung tersenyum lega. Tapi satu tangan 

tahu-tahu menyusup menjewer telinganya.

"Lembayung. Lembayung! Dari dulu mulutmu 

selalu usil! Dasar gadis nakal!"

*

* *

TIGA


GOA KEMATIAN


SEPERTI yang diterangkan Rembulan, di kaki 

gunung sebelah tenggara Wiro menemukan satu kali 

kecil. Saat itu sang surya belum lama terbit. Setengah 

harian dia mengikuti kali itu ke arah hulu. Di satu 

tempat dia mulai melihat burung-burung belibis beter-

bangan rendah. Wiro berjalan terus, malah kini mulai 

berlari. Tak lama kemudian di satu tempat ketinggian


dia hentikan larinya. Di balik tanah tinggi itu terben-

tang sebuah lembah yang hanya ditumbuhi satu jenis 

pohon aneh berdaun kemerah-merahan. Batu-batu be-

sar bertebaran dimana-mana. Burung-burung belibis 

beterbangan di udara namun banyak pula yang hanya 

bertengger di cabang pohon, mendekam di atas beba-

tuan atau berjalan berombongan di tanah.

"Lembah Belibis. Lembah aneh..." membatin 

Pendekar 212 sambil memandang berkeliling. "Dimana 

aku menemukan kakek jahanam bernama Tawang Alu 

itu?!"

Wiro kembali memperhatikan keadaan sekitar

lembah. Selain burung-burung belibis, bebatuan dan 

pohon-pohon berdaun merah, tak ada benda lain yang 

dilihatnya.

"Aku harus berteriak memanggil jahanam itu!" 

pikir Wiro. Maka dia kerahkan tenaga dalam lalu berte-

riak.

"Tawang Alu! Dimana kau?! Jangan sembunyi! 

Perlihatkan dirimu!"

Suara teriakan Wiro mengumandang di seante-

ro lembah, bergaung panjang. Cukup lama baru le-

nyap. Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Wiro kembali 

berteriak. Sampai tiga kali. Dia jadi kesal sendiri. "Ja-

hanam! Agaknya aku harus memeriksa setiap sudut 

lembah ini!" Wiro memaki. Dia melompat ke satu batu 

besar. Dari atas batu dia memandang berkeliling. Tiba-

tiba bola matanya membesar. Di kejauhan di sebelah 

timur sana dia melihat kelompok batu-batu bersusun 

membentuk dinding, panjang tiga tombak tinggi dua 

tombak. Dari sela-sela batu kelihatan asap mengepul 

tipis.

"Ada asap berarti ada api. Ada api berarti ada 

manusia di tempat itu!" Tanpa tunggu lebih lama Wiro 

segera lari ke arah susunan bebatuan. Dia sengaja melompat dari satu batu ke batu lain.

Di depan dinding susunan batu Wiro berhenti. 

Memperhatikan setiap sudut sambil kerahkan tenaga 

dalam ke tangan kanan. Dia harus berlaku waspada. 

Bukan mustahil tiba-tiba saja dia dibokong orang.

Kepulan asap ternyata berasal dari balik susu-

nan batu. "Aku harus menyelidik ke belakang dinding 

batu ini!" Wiro melompat ke kiri, ke arah susunan batu 

paling rendah. Dari sini dia naik ke susunan batu yang 

lebih tinggi- Di tempat paling tinggi, ketika dia me-

mandang ke bawah, kelihatan sebuah goa batu. Ter-

nyata asap yang menembus susunan dinding batu be-

rasal dan keluar dari dalam goa ini.

"Pasti bangsat itu berada di sana! Mudah-

mudahan aku tidak terlambat! Kalau Eyang Sinto 

Gendeng sampai dibunuhnya akan ku kuliti jahanam 

bernama Tawang Alu itu!"

Wiro menuruni gundukan susunan batu, lang-

sung ke arah mulut goa. Baru saja dia berkelebat tu-

run dan sampai di depan mulut goa tiba-tiba satu sua-

ra bergelak mengumandang di tempat itu. Semula Wiro 

menyangka suara tertawa itu keluar dari dalam goa. 

Ternyata ketika dia menoleh ke belakang tahu-tahu 

sosok kakek berjubah hitam bermuka putih Ki Tawang 

Alu berada di belakangnya, tegak bersandar ke dinding 

batu.

"Setan alas! Sembunyi dimana tadi jahanam ini. 

Mengapa aku tidak melihatnya!" memaki Pendekar 212 

Wiro Sableng lalu tangan kanannya mulai dari siku 

sampai ke ujung jari mendadak berubah putih seperti 

perak, berkilauan terkena sorotan sang surya.

Ki Tawang Alu tertawa panjang. Mendongak ke 

langit. Tangan kanannya yang hancur diremukkan Wi-

ro tampak dibalut. Sementara lengan kiri jubahnya kelihatan bergontai-gontai dan masih basah oleh darah.


Dalam perkelahian sebelumnya tangan kiri itu telah 

dibikin buntung oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Dua tangannya cidera, tak mungkin dipergu-

nakan. Tapi dia masih bisa petatang-peteteng unjuk-

kan sikap tidak takut padaku. Pasti ada sesuatu yang 

diandalkan. Lebih baik aku hantam dia sekarang juga!" 

Wiro gerakkan tangan kanannya.

Ki Tawang Alu kembali tertawa panjang. Tan-

gan kanannya yang dibalut diangkat ke atas.

"Pukulan Sinar Matahari! Kau hendak menye-

rangku dengan pukulan itu! Ha...ha...ha! Aku siap me-

nerima! Aku tidak akan menghindar! Tapi jangan lupa! 

Kematian diriku tidak akan menyelamatkan gurumu 

dari renggutan maut! Ha...ha...ha!"

"Tawang Alu keparat! Dimana kau sekap guru-

ku?!" teriak Wiro.

"Kau murid baik! Jadi kau ingin melihat dan 

menolong gurumu? Ha...ha...ha! ikuti aku anak muda! 

Ikuti aku! Ha...ha...ha!"

Sambil terus tertawa Ki Tawang Alu berkelebat 

ke arah mulut goa yang dari dalam mana keluar berge-

lung asap putih. Di mulut goa kakek muka putih ini 

berhenti sejenak, memandang ke arah Wiro, menunggu 

untuk melihat apakah Wiro mengikutinya atau tidak. 

Ternyata Pendekar 212 hanya tegak di depan mulut 

goa, memandang padanya dengan tampang geram.

"Ikuti aku anak muda! Kau akan bertemu gu-

rumu! Tapi apakah kau bakal bisa menyelamatkannya 

itu perkara lain! Ha...ha...ha!"

Ki Tawang Alu melangkah masuk ke dalam goa. 

Mau tak mau Wiro terpaksa mengikuti. Ternyata goa 

itu hanya memiliki kedalaman sejauh lima tombak. 

Tapi langit-langitnya tinggi sekali dan di sebelah ujung 

bagian atasnya agaknya terbuka karena ada cahaya terang merambat ke bawah. Lalu ada hawa panas me


nerpa. Wiro memandang ke depan.

"Ada tungku perapian raksasa di ujung goa..." 

Wiro hentikan langkah. Hawa kobaran api yang me-

nyala terasa panas bukan kepalang, membuat Wiro 

seperti dipanggang. Di sebelah depan Ki Tawang Alu 

menoleh.

"Mengapa berhenti anak muda Ha...ha...ha!? 

Kau takut pada panasnya apt? Ha...ha...ha! Teruskan 

langkahmu. Bukankah kau ingin melihat gurumu?!"

"Jahanam!" rutuk Wiro. "Aku mencium sesuatu. 

Bau pesing! Eyang Sinto Gendeng pasti disekap di goa 

celaka ini!"

*

* *

EMPAT


SINTO GENDENG DIGANTUNG


TAWANG ALU melanjutkan langkahnya lalu 

berhenti satu setengah tombak dari depan tungku api 

raksasa. Dia memandang pada Wiro sambil menyerin-

gai. "Kau ingin melihat gurumu atau tidak?!"

Wiro menggeram. Dia langkahkan kakinya. Tiba-tiba dia merasa lantai goa yang diinjaknya ber-

goyang bergetar. Bersamaan dengan itu terdengar suara  benda berputar di barangi sesuatu bergesek. Dari 

langit-langit di ujung goa ada sebuah benda. bergerak 

turun ke bawah, berhenti satu tombak di atas tungku 

raksasa! Ketika melihat benda yang tergantung itu, 

Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak marah. Benda itu


bukan lain sosok Eyang Sinto Gendeng, digantung kaki 

ke atas kepala ke bawah dengan seuntai besi karatan. 

Sosok si nenek tidak bergerak, hanya sepasang ma-

tanya saja tampak berputar liar pertanda nenek ini 

masih hidup tetapi berada dalam keadaan sangat 

mengenaskan.

Wiro maklum gurunya berada dalam satu toto-

kan yang membuat orang tua itu tak bisa bergerak tak 

bisa bersuara.

Wiro berteriak dahsyat hingga seantero goa ber-

getar hebat. Dia hendak melompat menyerang Ki Ta-

wang Alu tapi kakek muka putih itu ganda tertawa.

"Jangan kesusu ingin menyerang atau membu-

nuh aku, Pendekar 212. Perhatikan tempat dua kaki-

mu berpijak. Kau berada dalam kotak kematian. Sedi-

kit saja kau menggerakkan kaki atau bagian tubuhmu, 

batu yang kau pijak akan bergerak. Gerakan batu 

akan menurunkan secara cepat sosok gurumu yang 

tergantung. Kalau kau tidak percaya silahkan kau co-

ba. Geser sedikit salah satu kakimu atau gerakkan 

tanganmu. Kau akan melihat apa yang terjadi!"

"Jahanam! Jangan berani menipu!" bentak Wi-

ro.

"Siapa menipu! Lakukan saja apa yang aku ka-

takan!"

"Jahanam!" Wiro memaki. Dia geserkan kaki ki-

rinya. Gerakannya ini menggetarkan lantai goa yang 

dipijaknya. Bersamaan dengan itu rantai berkarat yang 

mengikat dua kaki Sinto Gendeng bergeser turun. So-

sok si nenek bergerak ke bawah sejauh dua jengkal! 

Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik. Panasnya api 

di tungku raksasa seperti mau melelehkan batok kepa-

lanya. Kalau saja jalan suaranya tidak terkunci pasti si 

nenek ini sudah menjerit setinggi langit, memaki habis-habisan.


Kau lihat? Ha...ha...ha! Masih tak percaya, 

anak muda? Silahkan gerakkan tanganmu. Tak usah 

banyak-banyak. Sedikit saja. Nanti kau lihat apa yang 

terjadi..."

Penasaran Wiro Sableng gerakkan tangan ka-

nannya, seolah hendak mencabut Kapak Maut Naga 

Geni 212 yang ada di pinggang. Tapi begitu tangannya 

bergerak, lantai goa kembali bergetar dan di depan sa-

na rantai besi turun lagi sejauh dua jengkal. Sosok 

Sinto Gendeng ikut melorot ke bawah!

"Celaka! Aku tak mungkin menolong Eyang 

guru..."

Ki Tawang Alu tertawa mengekeh.

"Eyang! Kerahkan tenaga dalammu! Kau pasti 

bisa memusnahkan totokan yang menguasai dirimu!"

Ki Tawang Alu tertawa bergelak mendengar se-

ruan Wiro itu. "Pendekar 212! Gurumu boleh punya 

kesaktian dan tenaga dalam setinggi Gunung Merapi, 

bahkan setinggi langit! Tapi yang namanya Totokan 

Seribu Syaraf tidak bisa dipunahkan oleh siapapun!"

"Tawang Alu keparat! Aku bersumpah membu-

nuhmu!" teriak Wiro.

"Seribu sumpah boleh saja kau ucapkan! Tapi 

kau dan gurumu tidak bisa melakukan apa-apa. Nya-

wa Sinto Gendeng justru ada di tanganmu, muridnya 

sendiri! Ha...ha...ha!"

"Tua bangka jahanam! Lepaskan guruku! Aku 

bersedia melakukan apa saja yang kau minta!"

Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak dan 

berputar liar mendengar ucapan muridnya itu. Seba-

liknya Tawang Alu tertawa gelak-gelak.

"Begitu?! Kau memang murid baik! Sangat ber-

bakti pada sang guru! Kau mau melakukan apa untuk 

menyelamatkan gurumu?!"

"Kau boleh ambil nyawaku asal kau bersumpah


membebaskan guruku!"

Kembali dua bola mata Sinto Gendeng membe-

sar dan berputar.

Ki Tawang Alu tertawa lagi. "Hebat! Kau murid 

hebat! Luar biasa! Tapi aku tidak buru-buru meminta 

nyawamu anak muda! Terlalu enak jika kau kubunuh 

begitu saja! Ha...ha...ha!"

"Jahanam! Apa yang kau inginkan? Ingin men-

cungkil mataku? Ingin mengorek jantungku? Laku-

kan!" Teriak Wiro.

Ki Tawang Alu menyeringai dan geleng-geleng 

kepala.

"Aku bukan manusia serakah!" katanya. Lalu 

kakek muka putih ini angkat tangannya kiri kanan. 

"Kau telah menghancurkan tangan kananku! kau Juga 

membuntungi tangan kiriku! Aku akan menuntut ba-

las sesuai dengan apa yang telah kau lakukan! Aku 

minta tanganmu kiri kanan! Itu saja! Ha...ha...ha!"

Saking geramnya Pendekar 212 acungkan dua 

tangannya ke depan. "Kau inginkan dua tanganku! 

Ambillah!"

Gerakan yang dibuat Wiro menyebabkan lantai 

yang dipijaknya bergoyang. Alat rahasia yang menghu-

bungkan bagian bawah lantai dengan roda pemutar 

rantai bekerja. Rantai besi bergerak turun dan sosok 

Sinto Gendeng tambah ke bawah mendekati tungku 

api raksasa!

"Tenang Pendekar 212! kau tak usah bersusah 

payah mengulurkan tangan segala. Biar semua aku 

yang melakukan! Dengar, aku akan mengambil Kapak 

Maut Naga Geni 212 dari balik pakaianmu. Dengan 

senjata itu aku akan membabat putus tanganmu kiri 

kanan! Pembalasan sangat adil bukan? Ha...ha...ha!"

Sepasang mata Sinto Gendeng kelihatan berki-

lat memancarkan hawa kemarahan. Melihat hal ini Wiro tiba-tiba ingat.

"Eyang! Keluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti 

Roh!" Wiro berteriak.

"Manusia tolol!" bentak Tawang Alu. "Apa kau 

masih tidak yakin gurumu tidak punya daya apa-apa? 

Dia bukan cuma tak bisa bergerak dan bersuara. Tapi 

juga tidak mampu mengerahkan hawa sakti atau tena-

ga dalam!"

"Jahanam! Kau benar-benar jahanam!" rutuk 

Wiro. Kalau saja Sinto Gendeng telah mewariskan ilmu 

Sepasang Sinar Inti Roh itu, pasti Tawang Alu sudah di 

habisinya sejak tadi-tadi. Wiro diam-diam menyesali 

mengapa sang guru tidak mengajarkan ilmu itu pa-

danya. Malah menyuruhnya menunggu sampai 49 ta-

hun hanya gara-gara dia tidak bisa menahan nafsu 

terhadap wajah cantik dan tubuh mulus. Padahal ka-

lau saja si nenek tahu bagaimana dia sanggup meng-

hadapi tantangan Pelangi Indah pasti Sinto Gendeng 

akan berubah pikiran. Wiro menghela nafas dalam. 

Matanya menatap ke depan, memperhatikan letak 

tungku api raksasa serta ketinggian sosok gurunya 

yang tergantung.

"Aku tahu apa yang ada di otakmu Pendekar 

212. Kau ingin menghancurkan tungku api ini dengan 

pukulan sakti. Bersamaan dengan itu kau melompat 

untuk menyambuti tubuh gurumu! Silahkan mencoba! 

Jika kau membuat kelalaian seperseratus kejapan ma-

ta, kau dan gurumu bakal mampus percuma! Kalau-

pun kau masih hidup, kau akan menyesal seumur-

umur!"

"Kalau begitu lekas kau lakukan niat kejimu! 

Aku siap untuk di buntungi ke dua tanganku! Tapi 

awas kalau kau berani menipu!"

"Aku juga memperingatkan, awas kalau kau berani memperdayaiku!" balas mengancam Ki lawang


Alu. Lalu dia melangkah mendekati, berhenti sejarak 

dua langkah dari hadapan si pemuda. Wiro memperha-

tikan ke bawah. Ternyata pada lantai yang dipijaknya 

ada garis berbentuk bujur sangkar. Mungkin ini yang 

disebut Kotak Kematian. Dia berada di dalam kotak itu 

sedang Tawang Alu di sebelah luar.

Dengan gerakan hati-hati Ki Tawang Alu ulur-

kan tangan kanannya yang dibalut. Seperti diketahui 

Wiro telah mematahkan tulang telapak tangan kakek 

muka putih ini. Saat ini walaupun dibalut keadaannya 

masih parah. Bukan satu hal yang mudah bagi Tawang 

Alu menggerakkan tangannya, apalagi untuk mengam-

bil Kapak Naga Geni 212 yang tersisip di pinggang Wi-

ro. Namun dendam kesumat sakit hati membuat dia 

melupakan semua kesulitan dan rasa sakit. Jari-

jarinya yang tersembul dari balik balutan bergerak ka-

ku, menggapai ke balik pinggang pakaian Pendekar 

212 Wiro Sableng.

Di atas sana, dalam keadaan tergantung kaki 

ke atas kepala ke bawah, Sinto Gendeng memaki ha-

bis-habisan.

"Anak setan! Kenapa dia jadi tolol begitu rupa! 

Apa dengan menyerahkan dua tangannya di buntungi 

oleh laknat muka putih itu dia bisa menyelamatkan di-

riku? Jahanam itu pasti cuma menipu! Aku pasti akan 

dibunuhnya dan anak setan itu sendiri akan menemui 

ajal dimakan racun kapak! Kalaupun dia mampu ber-

tahan apa. artinya hidup dengan dua tangan bun-

tung?! Tolol! benar-benar tolol!"

Dengan susah payah Tawang Alu berhasil men-

cekal hulu Kapak Maut Naga Geni 212 lalu ditariknya. 

Cahaya berkilauan memancar dari mata kapak. Kakek 

ini menyeringai. Mukanya yang putih laksana muka ib-

lis. Cahaya pada dua mata kapak sakti semakin terang 

pertanda Tawang Alu telah mengerahkan tenaga dalam. Tiba-tiba tangan kanan kakek ini bergerak. Walau 

tangannya cidera parah, namun dengan mengandalkan 

ilmu kesaktian yang disebut Secepat Kilat Membalik 

Tangan kakek ini mampu memegang dan memba-

batkan senjata milik lawannya. Kapak Maut Naga Geni 

212 berkiblat ke arah tangan kanan Wiro, memancar-

kan cahaya berkilauan disertai suara bergaung dan 

hamparan hawa panas.

Melihat bahaya mengancam muridnya sepasang 

mata Sinto Gendeng menyorotkan sinar angker. Na-

mun tidak ada kekuatan atau hawa sakti yang bisa di-

kerahkannya. Dia tidak mampu berbuat apa kecuali 

merutuk dalam hati.

"Anak setan itu! Mengapa dia berlaku setolol 

itu! Dia menduga bisa menolongku! Padahal dia akan 

mati percuma! Malah nyawaku sendiri belum tentu bi-

sa diselamatkan!"

*

* *

LIMA


TOTOKAN SERIBU SYARAF


HANYA SEKEJAPAN lagi tangan kiri Wiro Sableng akan dibabat putus oleh kapak sakti miliknya 

sendiri, tiba-tiba dari mulut goa melesat masuk dua 

bayangan hitam. Apa yang terjadi kemudian berlangsung serba tidak terduga dan sangat cepat.

Ki Tawang Alu keluarkan jeritan keras. Satu gelombang angin dahsyat membuat dia terhempas tiga 

langkah ke belakang. Bersamaan dengan itu darah


muncrat dari urat besar yang putus di pergelangan 

tangannya. Sebuah benda menancap di pergelangan 

itu. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari gengga-

mannya, jatuh berkerontang di lantai goa. Tidak sadar 

Wiro membungkuk untuk mengambil senjata itu. Lan-

tai yang dipijaknya bergoyang, menggetarkan alat ra-

hasia yang berhubungan dengan rantai besi dimana 

Sinto Gendeng tergantung. Tak ampun lagi rantai itu 

bergerak turun ke bawah. Sosok si nenek dengan ke-

pala lebih dulu, menghunjam turun ke arah tungku 

api raksasa! "Celaka!" Wiro sadar. Tapi sudah terlam-

bat!

Muka putih Ki Tawang Alu semakin putih. Da-

rahnya tersirap besar dan nyawanya serasa terbang 

ketika dia melihat benda apa yang menancap di perge-

langan tangannya. Lebih dari itu lututnya goyah geme-

tar ketika melihat ada sosok berjubah dan berkeru-

dung hitam tegak berkacak pinggang di depannya.

Si kakek jatuhkan diri berlutut di lantai goa. 

Benda yang menancap di pergelangan tangannya ter-

nyata adalah sebilah pisau hitam bergagang berbentuk 

kepala srigala terbuat dari perak.

"Racun srigala......Nyawaku tidak tertolong!

Kecuali jika ada yang memberikan obat pena-

war..." Ki Tawang Alu merasa lehernya kaku ketika dia 

mencoba mengangkat kepala, memandang ke atas ke 

arah kepala orang berkerudung.

"Ampuni selembar nyawaku! Mohon diberikan 

obat penawar racun srigala!" Ki Tawang Alu meminta 

setengah meratap.

Dari balik kerudung terdengar suara menden-

gus. Lalu suara orang berucap. Dari suaranya jelas di-

ketahui bahwa orang berkerudung ini bukan lain ada-

lah Pelangi Indah, Ketua Kelompok Bumi Hitam dari 

Gunung Merapi.


"Ki Tawang Alu! Dosa dan kesalahanmu susah 

dijajagi. Lebih tinggi dari langit, melebihi dalamnya da-

sar lautan! Masih ada sedikit kesempatan untuk ber-

tobat sebelum maut datang merenggut! Mengapa tidak 

dipergunakan?!" "Ketua!" Suara Ki Tawang Alu terce-

kat. Dia jatuhkan keningnya ke lantai goa. Bersujud. 

"Aku mohon belas kasihanmu. Berikan obat penawar 

racun srigala. Aku bersumpah menjadi orang baik-

baik, menempuh jalan kebenaran!"

"Sudah terlambat Tawang Alu! Kau memang 

pantas mati dimakan racun srigala!" Jawab Pelangi In-

dah.

Saat itu tiba-tiba satu bayangan putih melom-

pat ke hadapan Ki Tawang Alu. "Ada cara mati lain 

yang lebih pantas untuk tua bangka keparat ini!"

Satu tangan yang kokoh menjambak rambut 

putih Ki Tawang Alu hingga kakek ini meraung kesaki-

tan.

"Ampun! Jangan! Tobat! Pendekar 212, jangan!" 

teriak Ki Tawang Alu. Dia coba lepaskan diri. Menjerit, 

memukul dan menendang. Tapi sia-sia saja. Wiro sen-

takkan kepala kakek itu hingga tubuhnya terangkat ke 

atas. Selagi Tawang Alu melejang-lejang dan menjerit-

jerit Wiro lemparkan sosoknya ke arah tungku raksa-

sa.

"Wuuttt! Bluusss!"

Jeritan Ki Tawang Alu terputus. Berganti den-

gan suara masuknya tubuh ke dalam tungku api. Li-

dah api berhamburan ke udara. Lalu terdengar suara 

seperti benda meledak. Semua orang merasa ngeri. Itu 

adalah suara meledaknya tubuh Ki Tawang Alu yang di 

tambus api tungku raksasa. Bersamaan dengan suara 

ledakan itu menyusul berlesatan ke udara beberapa 

bagian tubuhnya. Bau daging terbakar memenuhi 

seantero goa.


Kita kembali dulu pada saat sewaktu Wiro sa-

lah bergerak, hendak mengambil Kapak Maut Naga 

Geni 212 yang tergeletak di lantai. Saat itu juga rantai 

besi melorot ke bawah dan sosok Sinto Gendeng yang 

tergantung kaki ke atas kepala ke bawah melayang tu-

run dengan deras. Sesaat lagi nenek itu pasti akan 

tenggelam amblas dalam tungku api raksasa sementa-

ra Wiro sudah mati langkah, tak mungkin berbuat sua-

tu apa untuk menolong gurunya. Saat itulah bayangan 

hitam kedua yang melesat dari mulut goa berkelebat 

cepat, menangkap tubuh Sinto Gendeng lalu memba-

wanya melayang turun ke sudut aman menjauhi tung-

ku maut!

Ketika Wiro mendatangi si nenek, orang berju-

bah dan berkerudung hitam tengah membuka jepitan 

besi di ujung rantai besi yang mengikat dua kaki kurus 

Sinto Gendeng.

"Nek, kau tidak apa-apa?" Wiro menegur seraya 

berjongkok di samping Sinto Gendeng. Sekilas dia me-

lirik pada orang berjubah di sebelahnya. Dia tidak tahu 

siapa adanya orang ini. Mungkin Rembulan, mungkin 

juga Mentari Pagi.

Sinto Gendeng tidak menjawab. Dua matanya 

mendelik berputar memandang ke arah Wiro. Mukanya 

yang cekung tinggal kulit pembalut tulang unjukkan 

tampang asam.

Wiro sadar kalau saat itu gurunya masih bera-

da dalam pengaruh totokan, tak bisa bicara tak bisa 

bergerak. Maka dia segera pergunakan kepandaian un-

tuk melepas totokan itu. Yang pertama sekali adalah 

membuka jalan suara si nenek agar bisa bicara. Wiro 

menotok urat besar di leher kiri kanan Sinto Gendeng. 

Memang di situ tempat untuk memusnahkan totokan 

jalan suara. Dan nyatanya Sinto Gendeng kini memang 

bisa membuka mulut keluarkan suara. Tapi bicaranya


aneh. Ucapannya tidak jelas. Suara si nenek melengk-

ing aneh, cepat sekali. sulit dimengerti.

"Wau! Hikkk! Haauuuuuw! Ngik...! Ngik...! 

Wauu! Kik...kik...kik!"

"Astaga! nek, kenapa suaramu jadi begini?" Wi-

ro tersentak kaget." Kau bicara apa?! Suaramu seperti 

monyet terbakar buntut!" Wiro kelabakan. Dia me-

mandang ke arah Pelangi Indah dan Rembulan. Dibalik 

kerudung dua gadis cantik ini hanya senyum-senyum. 

Wiro jadi tambah bingung. Karena dua gadis seper-

tinya tidak berniat menolong, Wiro kembali berusaha 

membuka jalan suara si nenek. Dia menotok lagi di 

beberapa bagian tubuh gurunya.

Suara aneh si nenek memang lenyap. Tapi kini 

yang melesat keluar dari mulut Sinto Gendeng adalah 

suara seperti kerbau melenguh! Wiro sampai jatuh ter-

duduk saking kagetnya.

"Eyang! Kau kesambet atau kemasukan atau 

bagaimana?!" seru Pendekar 212 dan garuk kepalanya 

habis-habisan.

Dalam bingungnya Wiro kembali menotok. Ti-

ba-tiba ser.... Dari bawah perut Sinto Gendeng mengu-

cur cairan yang menebar bau pesing. Di lantai goa ke-

lihatan tergenang cairan kekuning-kuningan! Maksud 

baik Wiro untuk menolong gurunya malah salah ka-

prah. Si nenek ditotok hingga mengucurkan air kenc-

ing habis-habisan!

"O walahh! Mengapa jadi begini?!" Wiro tersurut 

mundur. Tangan kiri memencet cuping hidung mena-

han sambaran bau pesing, tangan kanan menggaruk 

kepala pulang balik! "Kau kelewatan nek. Ditolong ma-

lah kencing seenaknya!"

*

* *


ENAM


BEKAS CUPANGAN DI LEHER


SAMBIL menahan tawa Pelangi Indah menda-

tangi. "Wiro, Totokan Seribu Syaraf bukan totokan 

sembarangan. Kau tidak bisa memusnahkannya den-

gan ilmu pembuka totokan biasa. Orang yang ditotok 

juga tidak mampu membebaskan diri sekalipun dia 

memiliki hawa sakti dan tenaga dalam luar biasa ting-

gi..."

"Lalu bagaimana guruku? Dia musti ditolong. 

Kau lihat sendiri. Barusan dia kencing. nanti jangan-

jangan dia berak! Aku..."

Pelangi Indah dan gadis berkerudung di samp-

ing si nenek berusaha menahan tawa.

"Jangan khawatir Wiro. Kami membebaskan 

gurumu dari totokan itu," jawab Pelangi Indah. Lalu 

gadis Ketua Kelompok Bumi Hitam ini anggukkan ke-

palanya ke arah orang berjubah yang berjongkok di 

samping kiri Sinto Gendeng. "Rembulan, musnahkan 

totokannya. Buka jalan suara dan kembalikan kelentu-

ran tubuhnya!"

Ternyata yang menolong Sinto Gendeng tadi 

adalah Rembulan, gadis tercantik dalam jajaran anggo-

ta Kelompok Bumi Hitam, yang diam-diam telah jatuh 

hati pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

Mendengar ucapan pimpinannya Rembulan se-

gera mengangkat sosok Sinto Gendeng. Dari belakang, 

kepala si nenek di naikkannya demikian rupa. Jari te-

lunjuk tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. 

Mata sesaat dipejamkan. Dia seperti merapal sesuatu


dalam hati. Jari dikeluarkan dari dalam mulut lalu di-

tusukkan ke leher belakang Sinto Gendeng, di sebelah 

atas, dekat rambut. Mulut Sinto Gendeng terbuka. Sa-

tu kepulan asap berwarna hitam membersit keluar dari 

mulut itu. Sesaat kemudian si nenek tampak mengge-

liatkan ke dua tangannya. Bersamaan dengan itu jalan 

suaranya terbuka.

Sinto Gendeng balikkan tubuh, memandang 

melotot ke arah muridnya. Lalu mulutnya yang kini bi-

sa bicara mulai merocos.

"Anak setan! Kau sengaja mempermainkan aku 

ya?!"

"Nek, aku justru..."

"Diam! Tutup mulutmu! Kau sebut aku monyet 

terbakar buntut! Kau bilang aku kencing seenaknya. 

Kau bilang aku mau berak..."

"Eyang, aku minta maaf. Maksudku..."

"Sudah! Tutup mulutmu! Jangan sampai aku 

tampar!"

"Eyang, kau boleh marah besar padaku! Tapi 

harap sedikit hormat pada dua gadis cantik yang telah 

menyelamatkan dirimu dan juga diriku..."

"Huh! Dua gadis cantik? Aku tidak melihat apa-

apa. Yang aku lihat cuma dua sosok berjubah hitam. 

Kepala mereka ditutup kerudung hitam. Kalau mereka 

memang cantik mengapa sembunyikan wajah dibalik 

kerudung? Jangan-jangan yang satu sumbing bibir-

nya, yang satu lagi picak matanya! Hik...hik..hik!"

"Nek, jaga mulutmu! Jangan membuat malu!" 

Wiro benar-benar merasa jengkel. Dia takut dua gadis 

itu tersinggung. Tapi Pelangi Indah dan Rembulan te-

nang-tenang saja. Malah kedua gadis ini senyum-

senyum melihat pertengkaran antara guru dan murid 

itu.

"Pelangi Indah, Rembulan, kalau kau tidak ke


beratan harap suka membuka kerudung. Perlihatkan 

pada guruku siapa adanya kalian..."

Sesaat Pelangi Indah dan Rembulan merasa 

bimbang mendengar permintaan Pendekar 212 itu.

"Apa kataku! Muka mereka pasti jelek! Buk-

tinya mereka tidak mau unjukkan wajah!" kata Sinto 

Gendeng pula. "Wajahku walau sudah tua begini, 

mungkin lebih cantik dari mereka! Hik...hik..hik!"

"Nenek edan!" maki Wiro dalam hati.

Saat itu Pelangi Indah dan Rembulan sama-

sama menggerakkan tangan membuka kerudung yang 

menutupi kepala mereka. Begitu wajah mereka ter-

singkap, Sinto Gendeng jadi terkesiap. Namun nenek 

ini cepat menguasai diri. Walau sebenarnya dia kagum 

melihat kecantikan dua gadis itu namun dasar gen-

deng, enak saja dia bicara.

"Wallah... Kalian memang cantik semua. Tapi 

ketika aku masih muda, kecantikanku jauh melebihi 

kalian..."

"Nek!" saking kesalnya Wiro memotong ucapan 

sang guru. "Masa mudamu sudah lama lewat. Perlu 

apa disebut-sebut. Saat ini kau menghadapi kenya-

taan. Apa kau tidak mau mengucapkan terima kasih 

pada Pelangi Indah dan Rembulan?"

"Hai! Kau sudah tahu nama mereka rupanya!" 

Sinto Gendeng berucap setengah berseru. Lalu sepa-

sang matanya mendelik berkilat-kilat memandang pa-

da Wiro. "Apa kataku! Terbukti kau nyatanya masih 

suka melihat wajah cantik, dada kencang tubuh mu-

lus! Bagaimana mungkin aku memberikan ilmu Sepa-

sang Sinar Inti Roh padamu!"

"Eyang, soal ilmu itu aku sudah melupakannya. 

Kau mau memberi atau tidak aku tidak perduli. Saat 

ini kita berdua harus mengucapkan terima kasih pada 

dua gadis ini. Mereka telah menyelamatkan jiwa kita..."


Lalu tanpa menunggu gurunya Wiro bungkuk-

kan dada, menghormat pada Rembulan dan Pelangi 

Indah seraya berkata. "Pada kalian berdua, aku men-

gucapkan terima kasih. Untuk kesekian kalinya kalian 

telah menyelamatkan jiwaku..."

"Wiro, sudahlah. Tak perlu memakai segala ma-

cam peradatan. Kami senang bisa menolong mu. Lebih 

baik kau perhatikan keadaan gurumu. Kami masih 

ada kepentingan lain. Kami minta diri..." Pelangi Indah 

melangkah ke mulut goa. Rembulan mengikuti.

"Tunggu!" Sinto Gendeng tiba-tiba berseru. Dua 

gadis cantik hentikan langkah, memandang ke arah si 

nenek, menunggu apa kelanjutan ucapannya.

"Aku tua bangka ini tidak mau dikatakan tidak 

tahu peradatan dan sopan santun. Aku Sinto Gendeng 

menghaturkan banyak terima kasih karena kalian te-

lah menyelamatkan jiwa kami guru dan murid. Budi 

kalian setinggi langit, sulit bagiku untuk mengukur 

membalasnya."

Pelangi Indah tersenyum. Dia membungkuk la-

lu berkata. "Kami sendiri merasa senang dapat berte-

mu denganmu, Nek. Mengingat nama besarmu dalam 

rimba persilatan tanah Jawa, bisa bertemu denganmu 

sudah merupakan satu kehormatan besar. Izinkan 

kami meminta diri untuk pergi lebih dulu..."

Sinto Gendeng menarik nafas panjang. Tiba-

tiba tangan kirinya diulurkan memegang salah satu 

ujung pakaian Pelangi Indah. Gadis ini tahu apa yang 

hendak dilakukan si nenek. Dia kerahkan tenaga da-

lam. Gerakan si nenek hendak menarik tertahan. Na-

mun sesaat kemudian dirasakannya dua kakinya ber-

geser. Sepertinya dia berada di lantai yang licin.

"Luar biasa tenaga dalam nenek ini. Kalau aku 

terus bertahan pakaianku bisa robek! Lebih baik aku 

mengalah," kata Pelangi Indah dalam hati.


Gerakan tangan Sinto Gendeng bukan saja 

membuat Pelangi Indah tertarik, tapi kepalanya me-

runduk ke bawah mendekati wajah si nenek.

"Gadis cantik, apa yang telah kau perbuat ber-

sama muridku, si anak setan itu?!"

Pelangi Indah terkejut sekali, tidak menduga si 

nenek akan mengajukan pertanyaan seperti itu walau 

diucapkan secara berbisik.

"Apa maksudmu, Nek?"" Si gadis balik ber-

tanya, juga dengan berbisik.

"Jangan berpura-pura. Gadis cantik dan pemu-

da lajang, bisa saja lupa diri..."

"Aku... kami tidak berbuat apa-apa..."

"Jangan berdusta!"

"Sumpah nek. Muridmu bukan pemuda hidung 

belang yang mempergunakan kesempatan sekalipun 

diberi jalan. Imannya sekokoh batu karang di pantai 

selatan!"

Sepasang mata Sinto Gendeng kelihatan berca-

haya. Lalu nenek ini tertawa lebar. "Kau boleh pergi..." 

katanya.

Tapi baru saja Pelangi Indah dan Rembulan 

bergerak dua langkah ke mulut goa, tiba-tiba Sinto 

Gendeng berseru lagi.

"Hai! Tunggu!"

Walau agak kesal dua gadis itu hentikan lang-

kah, memandang pada si nenek.

"Ya, ada apa Nek?" tanya Pelangi Indah.

"Sebelum kalian pergi, ada satu hal ingin aku 

tanyakan." Pelangi Indah dan Rembulan tetap diam di 

tempat. Keduanya sekilas melirik ke arah Pendekar 

212 Wiro Sableng.

"Hal apa yang ingin kau tanyakan Eyang Sin-

to?" tanya Pelangi Indah.

Sesaat si nenek pandangi dua wajah yang masih belum ditutupi kerudung itu.

"Kalian memang cantik-cantik. Diantara kalian 

berdua, yang mana yang telah jatuh hati pada murid-

ku si anak setan ini?!"

"Guru, kau ini! Mengapa bertanya yang bukan-

bukan?!" Wiro berseru. Tapi si nenek cuma menyengir.

Wajah Pelangi Indah dan Rembulan serta merta 

menjadi merah. Pelangi Indah geleng-gelengkan kepala. 

Rembulan menggigit bibir. Dua gadis itu kemudian tu-

tup wajah mereka kembali dengan kerudung lalu sa-

ma-sama melangkah cepat ke pintu goa. Ketika mele-

wati Wiro Pelangi Indah berhenti sesaat lalu setengah 

berbisik dia berkata.

"Wiro, gurumu benar-benar hebat! Waktu muda 

pasti dia merupakan seorang gadis genit centil!"

Wiro diam saja.

Rembulan menyambungi. "Belum pernah aku 

menemui nenek-nenek se usil gurumu..."

Pendekar 212 tidak tahu mau berkata apa. Dia 

cuma bisa menggaruk kepala.

Sesaat setelah dua gadis cantik itu meninggal-

kan goa, Sinto Gendeng mengangkat kepala, lalu ter-

tawa panjang.

"Tua bangka edan! Apa yang di tertawakan-

nya..." maki Wiro dalam hati. "Nek, memangnya ada 

yang lucu?!" tanya Wiro.

"Aku belum edan! Kalau tidak ada yang lucu 

masakan aku tertawa!"

"Coba kau katakan apa yang lucu!" ujar Wiro 

pula.

"Dua gadis tadi! Mereka tidak bisa menjawab 

pertanyaanku! Mereka tidak mau mengatakan siapa 

diantara mereka yang telah jatuh hati padamu. Berar-

ti......Berarti... Hik...hik..hik!"

"Berarti apa Nek?" tanya Wiro.


"Berarti dua-duanya telah jatuh cinta padamu! 

Kau dengar apa yang aku ucapkan anak setan?! Dua 

gadis itu telah jatuh cinta padamu! Hik...hik..hik!"

Wiro tak menjawab. Sang pendekar melangkah 

ke pintu goa.

"Eh, kau mau kemana anak setan? Mau me-

nyusul dua gadis yang mencintaimu itu?!" Sinto Gen-

deng menegur lalu tertawa lagi.

"Goa ini pengap Nek. Bau pesing dimana-

mana!" jawab Wiro.

"Brengsek! Aku tidak mencium bau apa-apa!"

tukas Sinto Gendeng. "Jangan kau berani meninggal-

kan aku! Kau tahu saat ini tugasmu harus segera kau 

mulai!"

Wiro hentikan langkah.

"Tugas apa Nek?"

"Jangan pura-pura tidak tahu! Gendong aku! 

Kita segera menuju Teluk Akhirat!" jawab Sinto Gen-

deng.

Mendengar ucapan gurunya itu Pendekar 212 

Wiro Sableng jadi lemas. Tapi tak ada hal lain yang bi-

sa diperbuatnya selain mematuhi ucapan si nenek 

yang tidak lebih dari satu perintah. Sambil garuk-

garuk kepala Wiro melangkah mendekati Sinto Gen-

deng. Lalu seperti yang sudah-sudah tubuh lumpuh si 

nenek digendongnya di atas pundak. Sambil melang-

kah, untuk menghilangkan kekesalannya Wiro bersiul-

siul seenaknya.

"Hemm, hatimu rupanya sedang senang. Aku 

ada satu pertanyaan untukmu, anak setan!"

"Dari tadi kau rupanya lagi senang bertanya! 

Ucapkan saja Nek! "Nek."

"Diantara dua gadis cantik tadi, yang mana 

yang kau sukai?"

"Waktu kau tadi menanyakan siapa diantara


mereka yang jatuh hati padaku, tak ada yang menja-

wab. Lalu apa perlunya aku menjawab pertanyaan-

mu?" ujar Wiro pula.

Sinto Gendeng tertawa mengekeh. "Mereka ti-

dak mau menjawab. Mereka mendustai diri sendiri. 

Aku punya bukti salah satu dari gadis itu sudah men-

dapat tempat di hati mu. Malah sudah kau layani. Be-

tul, hik...hik...hik?!"

"Apa maksudmu Nek?"

Si nenek usapkan jari-jari tangannya ke pang-

kal leher Pendekar 212 Wiro Sableng sebelah kanan.

"Ada tanda bekas cupangan, bekas gigitan di 

lehermu ini. Siapa yang menggigit? Jelas bukan kodok 

kan? Setan atau jin juga tidak pernah menggigit ma-

nusia seperti ini! Hik...hik...hik..."

Wiro meraba lehernya. Dia tidak bisa melihat. 

Dia juga tidak tahu kalau pada lehernya memang ada 

bekas gigitan. Jangan-jangan nenek brengsek ini 

hanya menipuku. Tapi kalau benar, siapa yang mela-

kukan? Pelangi Indah? Waktu dia berada berdua-dua 

di kamar dengan gadis itu? Wiro menggaruk kepa-

lanya!

*

* *

TUJUH


MAUT MENANTI DI TELUK 

AKHIRAT


PAGI ITU angin teluk bertiup agak keras. Di


laut gelombang bergulung deras, menghampar me-

mecah di kawasan pasir dengan suara menggemuruh. 

Di udara yang tidak begitu cerah, ratusan kelelawar 

melayang beterbangan di permukaan teluk. Sesekali 

suara gelepar sayap mereka terdengar aneh mengge-

tarkan. Sesekali binatang itu keluarkan suara me-

lengking bukan saja menyakitkan telinga tapi juga 

menggidikkan. Sekelompok kelelawar sekitar tiga pu-

luh ekor tiba-tiba muncul melayang dari arah timur. 

Dari jurusan berlawanan sepasang elang besar terbang 

dipermukaan laut lalu membumbung ke angkasa, me-

layang ke arah pantai. Puluhan kelelawar keluarkan 

suara melengking keras. Gerakan mereka berubah be-

ringas. Seolah ada satu ketentuan yang tak bisa dita-

war, di Teluk Akhirat tidak ada mahluk lain boleh hi-

dup, kecuali kelelawar!

Kelelawar-kelelawar ini membuat gerakan ber-

putar di udara, lalu dengan sangat tiba-tiba menukik 

ke bawah ke arah dua ekor elang besar.

Dua elang besar rupanya sudah melihat keda-

tangan rombongan kelelawar yang hendak menyerang. 

Dua elang ini menyambut dengan lengkingan suara 

tak kalah galaknya. Perkelahian aneh, yang jarang dis-

aksikan manusia serta merta terjadi di udara terbuka. 

Tiga puluh ekor kelelawar mengeroyok dua ekor elang 

besar. Semuanya berlangsung sebentar saja. Dua elang 

besar keluarkan suara menguik keras. Tubuh mereka 

hancur dicabik-cabik kelelawar. Bulu beterbangan, ja-

tuh melayang ke atas permukaan air laut. Tiga puluh 

ekor kelelawar membuat putaran lalu melesat ke arah 

pantai. Sebelum lenyap di arah teluk, salah seekor dari 

kelelawar itu memisahkan diri, melayang merendah 

dan berkelebat diantara kerapatan pohon-pohon kela-

pa.

Di dalam sebuah gubuk tanpa dinding, berlantai tanah keras, satu Sosok tinggi besar duduk di atas 

sebuah batu hitam. Batu hitam ini berbentuk aneh. 

Bagian bawah merupakan tempat duduk yang kokoh, 

lalu di sebelah belakang batu ini membentuk sandaran 

tinggi. Di sebelah atas sandaran, seperti di ukir, mem-

bentuk sosok seekor kelelawar yang tengah meren-

tangkan kedua sayapnya.

Orang di atas batu memiliki daun telinga men-

cuat lancip ke atas. Sepasang tangan panjang luar bi-

asa ditumbuhi bulu hitam lebat. Dua matanya sangat 

sipit, sepintas seolah terpejam. Inilah mahluk yang 

disebut Kelelawar Pemancung Roh, yang telah mence-

lakai Sinto Gendeng hingga nenek sakti itu menderita 

lumpuh dari pinggang ke bawah.

Saat itu Kelelawar Pemancung Roh tengah du-

duk rangkapkan dua tangan di depan dada, mata ter-

picing mulut terkancing. Sosoknya tidak bergerak se-

dikitpun. Keadaannya seolah menjadi satu dengan ba-

tu yang didudukinya. Beku mati.

Tiba-tiba seekor kelelawar melesat ke arah gu-

buk, bergelantung pada palang di bawah atap. Terjadi 

satu hal aneh. Binatang ini perlahan-lahan membesar, 

bentuk kepalanya berubah menjadi seperti kepala seo-

rang bayi. Tapi ketika menyeringai kelihatan barisan 

gigi-giginya yang besar lancip serta lidah merah seperti 

ada cairan darah memenuhi mulutnya. Selain itu pada 

ubun-ubunnya ada gambar dua buah bintang berwar-

na hitam. Dua telinga mencuat lancip.

Mahluk kelelawar berkepala bayi ini melayang 

turun ke dalam gubuk, kepakkan sayapnya dua kali 

lalu duduk bersila di hadapan Kelelawar Pemancung 

Roh, menunggu.

Tak lama berselang Kelelawar Pemancung Roh 

buka dua matanya yang sejak tadi dipicingkan, dua 

tangan yang panjang diletakkan di atas lutut dan memandang sipit pada mahluk di hadapannya.

"Tuyul Orok! Apakah kau datang membawa ka-

bar yang aku harapkan?"

Mahluk bertubuh kelelawar berkepala bayi 

kembangkan dua sayapnya ke samping lalu letakkan 

kening di lantai gubuk di depan kaki Kelelawar Peman-

cung Roh. Walau sosoknya kecil, tapi suaranya besar 

sember ketika bicara.

"Orang yang kita tunggu sudah kelihatan di 

ujung teluk. Mereka muncul berdua..."

"Apakah mereka menunggang kuda?"

"Tidak. Mereka berjalan kaki. Yang satu men-

dukung lainnya di pundak!"

Kening Kelelawar Pemancung Roh mengerenyit. 

"Yang satu mendukung yang lainnya di pundak. Aneh. 

Siapa mereka. Jangan-jangan bukan orang yang kita 

tunggu. Jelaskan ciri-ciri keduanya."

"Yang mendukung seorang pemuda berpakaian 

serba putih. Rambutnya gondrong. Sekelebatan aku 

melihat ada jarahan tiga angka di dadanya. Angka 

212......"

"Pendekar 212 Wiro Sableng!" Saat itu Kelela-

war Pemancung Roh berucap, mengusap dagunya yang 

ditumbuhi janggut-janggut kasar, berpikir mengingat-

ingat. "Kalau tidak salah aku menduga, pemuda itu 

adalah murid Sinto Gendeng! Hemmm." Kelelawar Pe-

mancung Roh menyeringai. "Lanjutkan keteranganmu. 

bagaimana ciri-ciri orang yang didukung?"

"Seorang nenek berpakaian hitam dan kain 

panjang butut... Di mulutnya selalu menyumpal susur. 

Sosoknya menebar bau pesing. Mukanya seperti teng-

korak. Di atas kepalanya menancap lima tusuk konde 

dari perak..."

Mahluk bernama Kelelawar Pemancung Roh 

terlonjak dari duduknya. Perlahan-lahan dia bangkit


berdiri. Kepalanya hampir menyondak atap gubuk.

"Tuyul orok, apakah kau tidak salah melihat?"

"Aku melihat dengan mata setajam pisau. Tidak 

mungkin setelah melihat aku mengatakan yang salah."

"Tuyul orok, ini adalah aneh...!"

"Pemimpin, maafkan diriku kalau aku lancang 

bertanya. Apakah yang aneh?"

"Ciri-ciri orang yang kau katakan itu jelas dia 

adalah nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede. 

Tetapi..."

"Tetapi apa pemimpin?"

"Nenek itu sudah mampus beberapa waktu 

yang lalu!"

"Mampus?!" Mahluk bernama Tuyul Orok berdi-

ri tegak, kembangkan sayap ke samping. Ternyata 

tingginya hanya se pusar Kelelawar Pemancung Roh 

yang duduk di batu.

"Aku sendiri yang membunuhnya. Dengan ra-

cun Seribu Hawa Kematian. Dia mampus tumpang 

tindih dengan kakek bernama Suro Ageng, bekas ke-

kasihnya di masa muda. Aku yang melakukan, aku 

yang menyaksikan! Sekarang kau membawa berita 

bahwa nenek jahanam itu masih hidup! Muncul didu-

kung oleh muridnya sendiri. tengah menuju ke Teluk 

Akhirat ini!"

"Demi segala setan dan jin penghuni Teluk

Akhirat, aku tidak berdusta. Aku mengatakan 

ciri-ciri si nenek sesuai apa yang aku lihat. Apakah dia 

Sinto Gendeng, apakah dia sudah mampus kemudian 

hidup kembali, atau rohnya yang gentayangan, mohon 

maafmu, aku tidak tahu menahu..."

Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, Usap-

usap dua telapak tangannya satu sama lain, tampang-

nya yang angker tampak menggelap. Matanya dipe-

jamkan. Dadanya turun naik dan nafasnya memburu.


"Sinto Gendeng..." Mahluk di atas batu itu be-

rucap dengan suara bergetar. "Empat puluh tahun lalu 

kau membantai delapan orang saudaraku! Hari ini 

pembalasan akan menimpa dirimu! Kau akan ku siksa

habis-habisan sebelum nyawamu kurenggut dari tu-

buh busukmu!"

Dengan kedua tangannya Kelelawar Pemancung 

Roh menekan ke bawah sayap kelelawar batu sanda-

ran tempat duduknya. Terdengar suara berdesir halus. 

Secara aneh lantai di bawah batu yang merupakan ta-

nah keras bergerak membuka. Bersamaan dengan itu 

kursi batu yang diduduki Kelelawar Pemancung Roh 

amblas ke bawah. Lenyap tanpa bekas. Yang tinggal 

kini hanya gubuk sepi yang sesekali mengeluarkan su-

ara berderik ketika disapu hembusan keras angin dari 

teluk.

*

* *

DELAPAN


SINTO GENDENG LENYAP LAGI


PENDEKAR 212 Wiro Sableng melangkah di 

atas pasir pantai. Di atas pundaknya Sinto Gendeng 

duduk terpejam-pejam disapu angin laut. Entah apa 

yang ada di dalam pikirannya.

"Nek, sebenarnya apa yang terjadi dengan diri-

mu waktu berada di telaga?" Wiro bertanya sambil te-

rus berjalan. "Aku kembali ke telaga. Kau tidak ada. Di 

sebuah batu aku lihat menancap sebuah benda. Kuki-

ra tusuk sate. Tak tahunya konde perakmu!"


"Anak setan sialan!" maki Sinto Gendeng men-

dengar tusuk kondenya disamakan dengan tusuk sate. 

"Kau melihat tusuk konde ku! Apa yang kau lakukan?! 

Ayo! Pasti kau sembunyikan! Lekas serahkan padaku 

atau ku jewer daun telingamu sampai copot dua-

duanya!" Jari-jari tangan si nenek langsung hinggap di 

daun telinga kiri kanan Pendekar 212 Wiro Sableng. 

"Aduh suaakit! Jangan Nek," teriak Wiro. "Geblek! Ku 

pelintir-pun belum! Sudah menjerit setinggi langit! 

Mana tusuk konde ku?!"

"Ada Nek... ada!" Dari balik pakaian putihnya 

Wiro keluarkan sebuah benda. Benda itu diacungkan 

ke atas.

Dua mata Sinto Gendeng mendelik. "Kurang 

ajar! Mengapa jadi bengkok?!"

"Tentu saja bengkok Nek! Yang kau hantam ba-

tu besar di tepi telaga. Coba kalau pantatnya Ki Ta-

wang Alu! Pasti tidak bengkok! Malah patah!" Wiro ter-

tawa gelak-gelak.

"Anak setan sialan!" rutuk Sinto Gendeng lalu 

cepat-cepat mengambil tusuk konde yang dipegang Wi-

ro. Setelah diluruskan tusuk konde itu langsung dis-

isipkannya di atas kepala. Bukan disisipkan di antara 

rambutnya yang putih jarang, tapi disisipkan di kulit 

kepalanya!

"Aku sudah mengembalikan tusuk konde mu! 

Sekarang apa kau masih tidak mau bercerita keja-

diannya hingga kau bisa dikerjai oleh kakek muka pu-

tih bernama Tawang Alu itu?"

"Apa kejadiannya! Kau masih bertanya. Padahal 

aku yakin kau sudah tahu! Jelas aku diculik setan 

muka putih yang sekarang sudah jadi debu di tungku 

api itu!"

"Aku merasa aneh Nek. Kalau aku pikir-pikir 

ilmu kepandaianmu jauh berada di atas kakek itu. Tapi mengapa dia bisa menculik mu? Jangan-jangan kau 

yang sengaja minta diculik... Aduh!" Wiro menjerit ke-

tika telinga kiri kanan dipelintir si nenek.

"Jangankan aku! Orang gila-pun tidak ada yang 

minta diculik! Apa lagi oleh kakek jelek bermuka putih 

pucat seperti kain kafan itu!"

"Muka atasnya memang pucat jelek Nek. Tapi 

belum tentu muka bawahnya! Mungkin merah mengki-

lap. Hua...ha..."

Tawa Pendekar 212 tertahan lenyap lalu ber-

ganti dengan jerit kesakitan karena kembali si nenek 

memelintir dua daun telinganya.

"Ampun Nek, kau memang diculik, bukan min-

ta diculik!" kata Wiro pula sambil tangannya kiri kanan 

bergantian mengusap telinganya yang perih pedas. 

"Aku tanya lagi Nek. Boleh...?"

Sinto Gendeng diam.

Wiro menyeringai. "Kau diam. Berarti boleh!" 

Sang murid enak saja mengambil kesimpulan. "Waktu 

kau diculik, apa kau masih berbugil-bugil di dalam te-

laga?"

"Benar-benar anak setan!" maki Sinto Gendeng. 

"Bukankah kau menurunkan aku di tempat yang 

dangkal? Aku berendam, sesekali menyelam. Ketika 

aku selesai mandi, baru saja selesai berpakaian dan 

hendak berteriak memanggilmu tiba-tiba kakek itu 

muncul. Membokongku dari belakang. Aku mencabut 

tusuk konde ku lalu menghantamnya dengan benda 

itu. Tapi meleset. Walau sudah berada di pinggir telaga 

tapi aku tak bisa berbuat banyak karena dua kakiku 

lumpuh. Kakek jahanam itu berhasil membokongku 

dari belakang dengan Totokan Seribu Syaraf! Begitu 

kejadiannya kalau kau mau tahu! Dia sengaja mencu-

lik ku untuk memaksa agar kau menyerahkan kalung 

kepala srigala perak!"


"Oh begitu kejadiannya," kata Wiro pula sambil 

garuk-garuk kepala.

Pantai yang ditelusuri Wiro membentuk satu 

lekukan dalam di depan sana. Kecuali suara deburan 

ombak, keadaan di tempat itu tenang-tenang saja. An-

gin bertiup sejuk.

"Aneh, di pantai seperti ini biasanya banyak pe-

rahu mangkal. Di laut perahu nelayan bertebaran dan 

di pantai banyak rumah penduduk. Aku tidak melihat 

semua itu..."

Selagi Wiro membatin bertanya-tanya dalam 

hati, di atas pundaknya Sinto Gendeng berucap seperti 

orang membaca syair.

"Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah. 

Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia ra-

sanya hidup ini..."

"Dasar nenek gendeng," kata Wiro dalam hati. 

Dua kakinya lumpuh, masih bisa bilang betapa baha-

gianya hidup ini. Aku tersiksa mendukungnya kema-

na-mana, dikencingi! Dan dia masih bisa bilang betapa 

bahagia rasanya hidup ini! Tua bangka geblek!"

"Anak setan! Aku merasa pasti ada sesuatu 

yang kau ucapkan dalam hati!" Sinto Gendeng tiba-tiba 

menegur.

"Nek, kau tadi enak saja bicara. Lihat ke depan. 

Laut dan daratan membentuk teluk. Kita sudah berada 

di kawasan Teluk Akhirat, sarang mahluk jahanam 

yang telah mencelakai dirimu. Membuatmu lumpuh 

dan menyebabkan aku kebagian pekerjaan tidak enak, 

mendukungmu kemana-mana! Dari pada berucap yang 

aneh-aneh lebih baik mulai berlaku waspada!"

Sinto Gendeng tertawa pendek. Tanpa perduli-

kan ucapan muridnya nenek kembali membuka mulut.

"Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah. 

Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia rasanya hidup ini. Tetapi... tetapi mengapa mendadak 

hidungku mencium bau amis. Amisnya darah! Ih!"

"Nek, kencing mu yang menempel di tengkuk 

ku sudah cukup membuat aku merinding. Jangan 

tambah dengan omongan yang membuat aku tambah

bergidik..."

Sinto Gendeng masih tidak perdulikan ucapan 

muridnya.

"Kata orang Teluk Akhirat banyak kelelawar-

nya. Kelelawar yang bisa menggerogoti tubuh manusia 

hingga berubah menjadi jerangkong putih! Hik...hik! 

Tapi aku masih belum melihat binatang-binatang itu. 

Jangankan kelelawar, lalatpun tak ada di teluk ini. 

Jangan-jangan kita datang ke tempat yang salah, Wiro. 

Ini bukan Teluk Akhirat tapi Teluk Sorga! 

Hik...hik...hik!"

Belum habis tawa si nenek tiba-tiba langit di 

sebelah timur kelihatan gelap. Si nenek tenang-tenang 

saja. Wiro mendongak, memandang ke atas. Dia meli-

hat puluhan burung aneh melayang di udara, melesat 

ke arah teluk. Deru sayapnya menggemuruh, menindih 

suara deburan ombak.

"Astaga, itu bukan burung! Tapi kelelawar! Nek! 

Ada ratusan kelelawar terbang menuju ke sini!"

"Aku sudah melihat! Mengapa musti terkejut! 

Binatang itu yang menebar bau amis yang tadi aku 

cium!"

"Nek, lihat! Ratusan kelelawar itu menukik ke 

arah kita!" Wiro berteriak.

"Aku sudah melihat! Kau berteriak seperti 

orang ketakutan!" ujar Sinto Gendeng sambil pindah-

kan susur dari samping kiri ke kanan mulutnya.

"Kelelawar itu bukan kelelawar biasa! Besar-

besar! Mereka menukik menyerang kita!" teriak Wiro 

lagi.


Puluhan kelelawar semakin dekat, melayang 

dengan suara bergemuruh, jelas-jelas melesat ke arah 

Wiro dan Sinto Gendeng yang berada di pantai teluk, di 

tempat terbuka.

"Binatang itu pasti peliharaan Kelelawar Pe-

mancung Roh! Pasti mahluk itu yang menyuruh mere-

ka menyerbu kita!"

"Anak setan! Kalau kau sudah tahu diri mau 

diserang, mengapa cuma omong melulu! Lakukan se-

suatu!" Sinto Gendeng membentak.

"Kau yang harus melakukan sesuatu Nek! Bu-

kan aku! Karena kau berada lebih tinggi! Kau yang 

bakal di geragot lebih dulu!" teriak Wiro saking jeng-

kelnya. Walau bicara seperti itu tapi dia mulai berusa-

ha mencari selamat yakni lari ke

arah deretan rapat pohon-pohon kelapa di tepi 

pantai. Pohon-pohon itu bisa dijadikan sebagai perlin-

dungan dari serbuan kelelawar.

Suara kepak puluhan kelelawar, suara aneh 

yang melesat keluar dari mulut binatang-binatang itu 

benar-benar menggidikkan.

Wiro berhasil mencapai deretan pohon-pohon 

kelapa terdepan. Dia jatuhkan diri ke tanah, tidak per-

duli bagaimana akibatnya dengan guru yang berada di 

pundaknya. Si nenek terhempas jatuh, terguling berke-

lukuran. Keningnya membentur salah satu tiang gu-

buk hingga benjut dan tiang itu sendiri patah! Sinto 

Gendeng menyumpah panjang pendek! Dia menggapai 

beringsut ke depan lalu jatuhkan diri menelungkup di 

atas tanah keras lantai gubuk. Sementara itu pada 

saat yang sama puluhan kelelawar datang melabrak.

Wiro menelungkup sama rata dengan tanah. 

Puluhan kelelawar lewat di atasnya. Pasir beterbangan. 

Rerumputan liar terbongkar.

"Plaakkk! Plaakkk! Braaakkk!"


Kulit keras batang pohon kelapa hancur ber-

keping-keping dihantam sayap kelelawar. Binatang-

binatang ini menguik keras karena tak berhasil meng-

hantam Wiro. Mereka melesat berputar di sela-sela po-

hon kelapa lalu membalik, melancarkan serangan un-

tuk kedua kalinya. Yang diserbu hanya Wiro sementa-

ra Sinto Gendeng masih melingkar di bawah atap gu-

buk, kembali terdengar memaki pendek.

Pada serangan kedua kelelawar-kelelawar itu 

melayang sangat rendah. Hanya setengah jengkal dari 

permukaan tanah. Wiro tidak mungkin menghindar la-

gi. Tak ada jalan lain. Murid Sinto Gendeng hantam-

kan kedua tangannya. Tangan kiri melepas pukulan 

Benteng Topan Melanda Samudera. Ini merupakan sa-

tu pukulan sakti untuk membentengi diri dari seran-

gan, sekaligus merupakan serangan untuk menghan-

tam lawan. Dengan tangan kanannya Wiro melepas 

pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.

Ratusan kelelawar mengeluarkan suara men-

guik dahsyat. Tubuh mereka terpental jauh, ada yang 

melesat sampai melebihi tingginya pohon kelapa. Pu-

luhan terlempar dan jatuh bergedebukan di tanah. Ada 

pula yang terpental menghantam pohon-pohon kelapa. 

Beberapa pohon kelapa menderak patah lalu tumbang 

dengan suara menggemuruh. Tetapi aneh dan luar bi-

asanya, tidak satupun dari kelelawar-kelelawar itu 

yang cidera! Bahkan setelah kena dihantam dua puku-

lan dahsyat begitu rupa, puluhan kelelawar keluarkan 

suara menggembor, kepakkan sayap. melesat ke udara 

lalu menyambar kembali ke arah Pendekar 212!

"Gila! Bagaimana mungkin binatang celaka itu 

tidak satupun hancur dihantam pukulan sakti ku!" Wi-

ro terbeliak kaget! Rasa heran sekaligus kecut ngeri 

Pendekar 212 memang beralasan. Pohon kelapa saja 

patah bertumbangan kena sambaran dua pukulan


sakti yang tadi dilepaskannya. Tetapi kelelawar-

kelelawar itu tidak satupun yang cidera,

malah kini kembali siap melancarkan serangan!

"Gila! Binatang jahanam itu hendak menyerang 

kembali! Mengapa cuma aku yang diserang, guruku ti-

dak? Apa kelelawar itu jijik pada tubuhnya yang jelek 

dan bau pesing?!"

"Berrr..... berrrr!"

Ratusan kelelawar kembali menyerbu. Suara 

kepak sayap mengerikan, serta menguik aneh yang ke-

luar dari mulut mereka pekak menggidikkan.

Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya di-

angkat, berubah memutih laksana perak.

Puluhan kelelawar datang bergemuruh. Cela-

kanya kini mereka tidak datang dari arah; yang sama, 

tapi menyambar bersilangan dari berbagai jurusan!

Wiro gerakkan tangan kanan dua kali berturut-

turut.

"Wussss!"

"Wussss!"

Dua larik sinar putih panas menyilaukan ber-

kiblat.

Puluhan kelelawar menguik dahsyat. Tubuh 

mereka mencelat cerai berai dalam keadaan hangus, 

menebar bau menegakkan bulu roma!

"Brettt!"

"Craaaass!"

Wiro mengeluh kesakitan. Ketika dia meneliti 

pakaiannya robek besar di sebelah dada sementara 

bahu kirinya mengucurkan darah dari luka terkena 

sambaran sayap kelelawar.

Puluhan kelelawar yang masih hidup untuk be-

berapa lamanya hanya berkelebat di antara pohon-

pohon kelapa. Mungkin juga binatang-binatang itu 

ngeri melihat apa yang terjadi dengan puluhan kawan


kawan mereka. Tapi sebenarnya tidak. Binatang-

binatang ini tidak mempunyai rasa takut. Mereka ten-

gah menunggu sesuatu!

Tiba-tiba terdengar suara suitan keras tiga kali 

berturut-turut. Puluhan kelelawar yang beterbangan 

liar di atas kepala Pendekar 212 keluarkan suara men-

guik seolah membalas suara suitan tadi. Lalu bina-

tang-binatang itu berkelebat ke atas, bergelantungan 

di pelepah pohon-pohon kelapa. Diam tak bergerak, 

hanya mata mereka yang coklat gelap kelihatan me-

mandang menyorot ke arah Pendekar 212. Sikap me-

reka jelas mengurung sambil menunggu sesuatu.

Tak selang beberapa lama dari arah teluk keli-

hatan sekelompok benda aneh melayang cepat ke arah 

kawasan pohon-pohon kelapa. Sebentar saja mereka 

sudah ikut bergelantungan di dahan-dahan pohon ke-

lapa. Jumlah mereka sekitar tiga puluhan. Ketika Wiro 

memperhatikan, berubahlah wajah sang pendekar. Da-

rahnya tersirap. Mahluk-mahluk yang barusan muncul 

ini memiliki sayap coklat kehitaman seperti kelelawar. 

Tetapi kepala mereka berbentuk kepala bayi. Luar bi-

asa dan mengerikan, ketika menyeringai kelihatan mu-

lut berlidah basah berwarna sangat merah. Lalu bari-

san gigi-gigi merupakan taring lancip mencuat keluar. 

Lima diantara sekian banyak mahluk aneh ini memiliki 

kepala dihias sebuah gambar bintang hitam d ubun-

ubun. Hanya satu memiliki sekaligus gambar dua bin-

tang di batok kepalanya. Yang lain-lain memiliki kepala 

licin botak plontos!

Wiro berusaha menindih rasa bergidiknya. Di 

melirik ke samping ke arah gubuk tanpa dinding dan 

jadi terkejut ketika dapatkan Eyang Sinto Gendeng tak 

ada lagi di tempatnya semula.

"Eyang! kau dimana?! Eyang Sinto!" teriak Wiro 

memanggil.


Tiba-tiba ada suara tertawa bergelak. Seekor 

kelelawar kepala bayi, yang ubun-ubunnya ada gam-

bar dua buah bintang berkelebat. Sesaat kemudian 

mahluk ini sudah tegak di depan Wiro. Lidahnya yang 

merah basah terjulur-julur, taringnya mencuat.

"Kau mencari nenek jelek itu? Ha...ha...ha!

Mahluk bertubuh kelelawar berkepala seperti bayi 

yang adalah si Tuyul Orok mengumbar tawa.

"Mahluk jahanam! Guruku memang jelek. Tapi 

jangan berani menghina!" Wiro hantamkan kaki ka-

nannya, menendang Tuyul Orok. Tendangan ini bukan 

sembarangan karena disertai tenaga dalam. Jangan-

kan sosok mahluk sebesar Tuyul Orok, batupun bisa 

hancur. Tapi dengan gesit dan cepat Tuyul Orok berke-

lebat ke kiri lalu plaakk.... Sayapnya menyambar ke 

depan. Wiro terpekik Memandang ke bawah dilihatnya 

celananya robek besar. Kakinya sebelah kanan mengu-

curkan darah. Tulang keringnya kelihatan tersembul 

memutih.

Tuyul Orok kembali tertawa gelak-gelak. Begitu 

suara tawanya berhenti dia keluarkan suara bersuit 

panjang. Puluhan kelelawar kepala bayi yang bergelan-

tungan di pohon kelapa balas bersuit.

"Kawan-kawan! Kita sudah lama tidak menik-

mati daging manusia! Santapan sudah tersedia! Tung-

gu apa lagi?!"

Puluhan kelelawar kepala bayi julurkan lidah 

hingga cairan merah berlelehan ke dagu. Lalu didahu-

lui suara menguik dahsyat binatang-binatang itu ke-

pakkan sayap, berkelebat ke bawah, menyambar ke 

arah Pendekar 212 Wiro Sableng!


                                T A M A T


Segera terbit : NYAWA PINJAMAN


--------------------------------------------------


ARIO BLEDEG

EPISODA PETIR DI MAHAMERU


ENAM BELAS


API DENDAM MULAI BERKOBAR


BERSAMAAN dengan menyingsingnya fajar, gerobak yang ditarik dua ekor kuda besar itu memasuki 

pintu gerbang keraton. Waktu itu Kerajaan berada da-

lam keadaan kemelut, pengawalan dilakukan sangat 

ketat. Prajurit bertebaran di seluruh pelosok Kotaraja. 

Keraton dijaga ratusan pasukan siang malam. Semula 

para pengawal di pintu gerbang hendak menghentikan 

gerobak. Namun ketika melihat siapa yang duduk di 

bagian depan gerobak, dengan cepat mereka membuka 

pintu gerbang lebar-lebar, memberi jalan.

Bertindak sebagai sais kereta adalah prajurit 

kepala Gedeng Kemitir. Di sebelahnya duduk gagah 

orang tua berjubah kuning berambut riap-riapan. Di 

dadanya tergantung melintang sebuah tombak yang 

pada ujungnya terikat sehelai bendera kuning berbentuk segi tiga. Dia bukan lain adalah Ki Dalem Sleman, 

tokoh silat Istana.

Di lantai gerobak tergeletak jenazah Pangeran 

Tua Sekar Seda Lepen. Di lehernya kelihatan luka besar menguak, agak tertutup oleh darah yang membe-

ku. Itulah bekas luka tusukan golok Perwira Muda Tubagus Lor Putih.


Perwira Kerajaan Brajanala yang sedang sakit 

ketika diberitahu kedatangan Ki Dalem Sleman mem-

bawa jenazah Pangeran Tua Sekar Lepen serta merta 

turun dari pembaringan. Setelah mencuci muka dan 

berpakaian dengan langkah menghuyung dia segera 

menuju halaman depan Keraton. Begitu menyaksikan 

sendiri mayat Pangeran Tua dan bicara sebentar den-

gan Ki Dalem Sleman, Brajanala membawa tokoh silat 

Istana itu ke ruang dalam, bersama-sama menghadap 

Sultan Prawoto.

Seluruh penghuni keraton terjaga. Ini adalah 

satu peristiwa besar. Pangeran Tua Sekar Seda Lepen 

yang oleh pihak Keraton dianggap sebagai pemberon-

tak berhasil ditewaskan dan jenazahnya dibawa sendiri 

oleh tokoh silat Istana, Ki Dalem Sleman.

Setelah cukup lama menunggu akhirnya Sultan 

Prawoto muncul menemui Brajanala dan Ki Dalem 

Sleman.

Setelah menerima penjelasan dari Perwira Bra-

janala Sultan Prawoto berucap.

"Ki Dalem Sleman, ini satu peristiwa besar bagi 

Kesultanan Demak. Kau tahu sendiri, mata-mata kita 

sudah sejak lama mengikuti gerak-gerik Pangeran Tua. 

Itu sebabnya, karena sakitnya Perwira Brajanala, aku 

mengirim Perwira Muda Tubagus Lor Putih untuk 

mencegatnya di sungai. Ternyata dia tidak mampu 

berbuat banyak. Kalau kau tidak turun tangan ke-

mungkinan besar Pangeran Tua itu berhasil melarikan 

diri waktu dicegat di sungai. Memalukan sekali, Tuba-

gus Lor Putih hanya bisa membunuh Pangeran Tua ke-

tika Pangeran Tua berada dalam keadaan pingsan tak 

berdaya. Anak-anakpun bisa melakukannya!"

"Sultan, dengan izin Sultan saya akan memecat 

Perwira Muda itu. Kalau perlu memenjarakannya!" ka-

ta Perwira Tinggi Brajanala yang jadi marah besar setelah mendengar keterangan Ki Dalem Sleman atas apa 

yang terjadi.

"Lakukanlah tugasmu, Perwira," jawab Sultan 

lalu berdiam diri sesaat. "Aku merasa lega, musuh pal-

ing besar dan paling berbahaya bagi Kerajaan telah 

disingkirkan. Namun sebagai manusia biasa aku me-

rasa haru, sedih, duka cita yang mendalam. Bagaima-

napun juga Pangeran Tua Sekar Seda Lepen adalah 

masih kakekku juga. Jenazahnya perlu diurus dengan 

baik. Ki Dalem Sleman, mengingat Perwira Brajanala 

masih dalam keadaan sakit, aku menugaskan mu un-

tuk membawa jenazah Pangeran Tua, menyerahkannya 

pada puteranya, Arya Penangsang."

"Saya siap melakukan perintah," jawab Ki Da-

lem Sleman seraya membungkuk dan menambahkan. 

"Saya sudah mengabdi sejak masa ayahanda Sultan, 

Sultan Trenggono. Pengabdian saya tidak akan terpu-

tus, kecuali Tuhan memanggil saya terlebih dahulu."

Sultan mengangguk. "Ki Dalem tahu dimana 

Arya Penangsang berada?"

"Terakhir sekali dia berada di desa Pilangsari di 

selatan Demak. Namun seorang mata-mata memberi 

tahu dua hari lalu, putera Pangeran Tua itu terlihat di 

Welahan, satu desa di kawasan barat

Kudus. Saya akan mengirim seseorang menda-

hului saya ke sana. Jadi jika jenazah sampai, Arya Pe-

nangsang sudah bersiap-siap menerimanya."

"Bagus sekali langkah yang Ki Dalem ambil," 

kata Sultan pula. "Namun harap berhati-hati. Arya Pe-

nangsang kalap mendadak melihat mayat ayahanda! 

Tidak mustahil dia akan melakukan tangan jahat ter-

hadap Ki Dalem."

"Saya bisa mengerti kalau dia sampai berbuat 

begitu. Saya akan berhati-hati."

"Aku percaya Ki Dalem bisa mengatasi urusan.


Dan atas jasa besarmu ini aku akan memberi tahu 

Bendaharawan Istana untuk melipat gandakan santu-

nan bulanan atas nama Ki Dalem...."

"Sultan, sebenarnya saya tidak mengharapkan 

imbal jasa apa-apa," kata Ki Dalem Sleman sambil 

membungkuk. "Semua yang saya lakukan adalah men-

jadi tugas dan tanggung jawab semata."

Sultan berpaling pada Brajanala. "Perwira, ke-

tatkan pengawalan atas Keraton. Lipat gandakan ke-

kuatan prajurit di seluruh Kerajaan dan sebar mata-

mata sebanyak mungkin. Aku punya firasat, tewasnya 

Pangeran Tua akan mendatangkan hal-hal yang tidak 

kita inginkan. Terutama dari pihak yang tidak menyu-

kai tahta Kerajaan berada di tanganku."

Perwira Brajanala mengangguk. Setelah mem-

bungkuk memberi hormat dia segera meninggalkan 

tempat itu. Tapi Sultan berkata.

"Satu hal lagi Perwira. Harap dikirim seorang 

utusan untuk menemui Joko Tingkir. Sejak ayahanda 

mangkat dia seperti menghilang begitu saja. Sebagai 

menantu ayahanda, dia tidak layak berbuat begitu. 

Aku tahu dia tengah merampungkan beberapa ilmu 

kesaktian di satu tempat terpencil. Cari dia, minta dia 

segera datang ke Kotaraja menemuiku. Kita perlu ban-

tuan tenaga dan pikirannya."

"Akan saya lakukan Sultan," kata Perwira Bra-

janala.

Sesaat setelah Perwira Tinggi Kerajaan itu ber-

lalu, Ki Dalem Sleman minta diri pula dengan alasan 

segera hendak mengurus jenazah Pangeran Tua Sekar 

Seda Lepen. Namun yang pertama sekali dilakukannya 

adalah menyusul Brajanala. Di satu lorong Keraton dia 

berhasil mengejar Perwira itu. Keduanya saling berca-

kap berbisik-bisik.

"Tugas dari Sultan harus kita lakukan. Tapi


dengar baik-baik Brajanala. Apapun yang terjadi jan-

gan kau pergi mencari Joko Tingkir. Kehadiran ipar 

Sultan itu di dalam Keraton sama saja dengan menda-

tangkan seekor harimau berbahaya bagi kita dan te-

man-teman. Bisa mendatangkan bencana!"

"Ki Dalem Sleman, aku sudah tahu hal itu. Kau 

tak usah khawatir," jawab Brajanala. "Sekembalinya 

kau menemui Arya Penangsang, kita segera mengada-

kan pertemuan dengan teman-teman. Satu hal kau in-

gat baik-baik Ki Dalem. Kepandaianmu bicara akan 

sangat menentukan. Kita semua berharap bisa mena-

rik putera mendiang Pangeran Tua itu agar masuk ke 

dalam barisan kita!"

Ki Dalem Sleman tersenyum lalu berkata. "Ba-

nyak orang akan meratap di atas genangan darah. Tapi 

kita dan teman-teman mungkin masih bisa menari di 

atas genangan darah itu."

"Kerajaan dilanda kekacauan. Ini kesempatan 

kita mengeruk keuntungan. Mengeruk uang, harta dan 

jabatan!" jawab Perwira Tinggi Brajanala pula sambil 

mengulum senyum.

*

* *

TUBUH Arya Penangsang bergetar hebat. Dua 

tangannya terkepal laksana batu. Dua mata terpejam. 

Rahang mengatup, mulut terkancing. Dari ubun-ubun 

di atas kepalanya mengepul asap tipis. Dada berge-

lombang dan tenggorokannya turun naik. Di kiri ka-

nannya orang-orang bertangisan. Ibunya, beberapa 

saudara sekandung, keluarga terdekat dan teman-

teman. Rumah besar di desa Welahan itu penuh den-

gan orang-orang yang datang untuk menyampaikan 

rasa duka cita atas tewasnya Pangeran Tua Sekar SedaLepen.

Dua tangan Arya Penangsang bergerak, meme-

gang pinggiran peti jenazah yang penutupnya sengaja 

dibuka. Di seberang peti, di depan Arya Penangsang 

tegak tertunduk Ki Dalem Sleman. Di sebelahnya ber-

diri Gedeng Kemitir. Prajurit Kepala yang pernah dis-

elamatkannya ikut menemani Ki Dalem Sleman men-

gantarkan jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. 

Selain itu masih ada beberapa orang prajurit. Namun 

di dalam rumah besar itu, dari Demak hanya Ki Dalem 

Sleman dan Gedeng Kemitir yang hadir. Prajurit kepala 

ini yang telah diselamatkan nyawanya oleh Ki Dalem 

Sleman.

Dua tangan Arya Penangsang bergetar. Peti je-

nazah yang dipegangnya ikut bergetar.

"Orang-orang Demak! Kalian harus membayar 

mahal atas kematian ayahanda ku! Aku akan menjadi-

kan. Demak sungai darah! Sungai darah yang berhulu 

di Keraton Prawoto!"

Ratap tangis di sekitar peti jenazah semakin ke-

ras begitu semua orang mendengar ucapan Arya Pe-

nangsang itu. Arya Penangsang sendiri yang tidak 

sanggup menahan amarah, seperti kalap berteriak ke-

ras. Pinggiran peti jenazah hancur berkeping-keping.

"Orang-orang Demak keparat! Mana orang De-

mak! Mana!"

Orang-orang perempuan berpekikan, orang-

orang lelaki keluarkan seruan tertahan ketika tiba-tiba 

Arya Penangsang menyambar golok besar seorang te-

man yang berdiri di dekatnya.

"Kau orang Demak! Kau harus mampus! Kau 

juga!"

Tiba-tiba sekali Arya Penangsang melompat ke 

hadapan Gedeng Kemitir. Golok di tangannya berkele-

bat ganas ke arah leher prajurit Demak itu.


Sesaat lagi leher Gedeng Kemitir akan tertabas 

putus, tiba-tiba satu bayangan kuning melesat. Perge-

langan tangan kanan Arya Penangsang tahu-tahu su-

dah berada dalam satu cekalan kuat.

"Jahanam!" Tua bangka keparat! Kau minta 

mampus!"

Laksana kilat tangan kiri Arya Penangsang 

menghantam. Bukan cuma satu kali, tapi dua kali ber-

turut-turut.

"Bukkk!"

"Bukkk!"

Ki Dalem Sleman adalah tokoh silat Istana pal-

ing disegani. Tingkat ilmu silat dan kesaktiannya dika-

gumi teman ditakuti lawan. Tidak mudah untuk bisa 

menjatuhkan tangan terhadapnya. Tapi saat itu dia 

sama sekali tidak menduga kalau Arya Penangsang 

akan menghantamnya demikian rupa.

Ki Dalem Sleman terlempar sampai beberapa 

langkah. Mukanya agak pucat. Dari sela bibirnya keli-

hatan lelehan darah. Jelas dia menderita luka dalam 

cukup parah akibat hantaman tangan kiri Arya Pe-

nangsang. Walau demikian, sambil menahan rasa sakit 

dia masih sempat melontarkan senyum dan bolang ba-

lingkan golok besar berhasil dirampasnya dari tangan 

Arya Penangsang. Golok dimelintangkannya di depan 

dada lalu berucap.

"Raden Arya, harap tenang. Kendalikan ama-

rah! Kekerasan tidak akan menyelesaikan perkara. 

Kami datang dengan ikhlas untuk mengantar jenazah 

karena kami sangat menghormati mendiang Pangeran 

Tua Sekar Seda Lepen....."

Ucapan Ki Dalem Sleman terputus oleh benta-

kan Arya Penangsang.

"Siapa percaya mulut busuk orang Demak!" Un-

tuk kedua kalinya Arya Penangsang melompat kirim


kan serangan. Kali ini dengan pukulan tangan kosong 

mengandung tenaga dalam dan hawa sakti tinggi.

"Maafkan saya Raden Arya," kata Ki Dalem 

Sleman. Tokoh Istana Demak ini tidak rela menerima 

hantaman orang untuk kedua kalinya. Dengan tenang 

dia kebutkan lengan jubah sebelah kanan.

"Wutttt!"

Satu gelombang angin deras menderu ke arah 

Arya Penangsang. Membuatnya terdorong walau dia 

sudah kerahkan tenaga untuk bertahan. Dalam ma-

rahnya dia coba memukul dengan dua tangan sekali-

gus. Tapi terlambat. Saat itu dua jari tangan kanan Ki 

Dalem Sleman sudah bersarang di dadanya sebelah ki-

ri. Sesaat jalan darahnya terhenti. Ketika darah kem-

bali mengalir, tubuh Arya Penangsang yang tinggi ko-

koh itu telah berubah menjadi patung kaku!

Suasana di dalam rumah besar itu menjadi 

hening. Keheningan yang disertai cengkaman ketegan-

gan.

Tiba-tiba ada satu suara menggema.

"Raden Arya, tenangkan pikiran, dinginkan ha-

timu! Jika kau mampu melaksanakan aku akan me-

minta pada sahabatku Ki Dalem Sleman untuk mem-

bebaskan mu dari totokan..."

Semua orang, termasuk Ki Dalem Sleman sen-

diri sama palingkan kepala ke arah datangnya suara. 

Yang bicara ternyata adalah seorang bungkuk berpa-

kaian slempang kain putih. Melihat siapa yang berdiri 

di depannya, Ki Dalem Sleman segera rangkapkan dua 

tangan di depan dada lalu membungkuk hormat.

"Sahabatku Mantre Jembrana. Tidak kusangka 

kita bisa bertemu di tempat ini dalam keadaan seperti 

ini. Harap maafkan. Aku tidak tahu menahu kalau 

kau...."

"Arya Penangsang adalah menantuku," menerangkan orang tua bernama Mantre Jembrana.

"Ah, aku merasa sangat bersalah. harap maaf-

kan diriku."

"Kau tidak bersalah. Hanya menantuku yang 

tidak dapat mengendalikan diri."

"Ah," Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam, 

"Agaknya aku terlalu terburu-buru menurunkan tan-

gan kasar. Maafkan diriku. Biar aku lepaskan dulu to-

tokan di tubuh menantumu."

Ki Dalem Sleman cepat menghampiri Arya Pe-

nangsang lalu tusukkan dua jari tangan kanannya te-

pat ke arah mana tadi dia menotok lumpuhkan Arya 

Penangsang.

Begitu totokan punah, Arya Penangsang mera-

sakan tubuhnya lemas. Kalau Ki Dalem Sleman tidak 

lekas memegangnya pasti sosok tubuh besar lelaki itu 

akan jatuh terhenyak ke lantai.

"Raden Arya, pekerjaan sahabatku Ki Dalem 

Sleman mengantar jenazah ayahmu bukan main-main. 

Dia tahu kalau pekerjaan itu sama dengan mengantar 

nyawanya sendiri. Apakah keberanian, kebaikan dan 

keikhlasannya itu hendak kau balas dengan menye-

rangnya membabi buta? Ingin membunuhnya?"

"Maafkan saya Bapak..." kata Arya Penangsang 

pula.

"Jangan minta maaf padaku. Minta maaf pada 

Ki Dalem Sleman."

"Ki Dalem, maafkan saya."

Ki Dalem Sleman tersenyum dan pegang bahu 

Arya Penangsang.

"Ki Dalem Sleman," berkata Mantre Jembrana. 

"Kami semua di sini ingin mendengar bagaimana keja-

diannya sampai Pangeran Tua Sekar Seda Lepen me-

nemui nasib mengenaskan begini rupa. Sehingga kalau 

kami menanam dendam, kami tahu dan tidak kesalahan tangan kepada siapa dendam itu akan kami tum-

paskan."

Dalam kisah yang disampaikan Ki Dalem Sle-

man kepada semua orang yang ada di tempat itu, Ki 

Dalem Sleman menceritakan mulai dari tertangkapnya 

Pangeran Tua Sekar Seda Lepen sampai akhirnya di 

bunuh oleh Perwira Muda bernama Tubagus Lor Putih. 

Ki Dalem Sleman tentu saja sama sekali tidak menceri-

takan kalau sebenarnya dirinya turut ambil bagian da-

lam penangkapan Pangeran Sekar.

Setelah mendengar penuturan Ki Dalem Sle-

man, Mantre Jembrana merenung sejenak, dia melirik 

pada menantunya Arya Penangsang akhirnya sambil 

memandang pada Ki Dalem Sleman orang tua ini ber-

kata.

"Ki Dalem, kami menghargai sekali apa yang te-

lah kau lakukan. Rasanya banyak hal yang masih in-

gin kami tanyakan. Mungkin kami juga memerlukan 

beberapa petunjuk dari dirimu yang

begitu banyak pengalaman. Kami mengun-

dangmu untuk bermalam satu dua hari di tempat ini. 

Sudikah kau menerimanya?"

Ki Dalem Sleman tersenyum. "Sebenarnya ma-

sih banyak urusanku di Demak. Tapi aku mana berani 

menampik undangan sahabatku Mantre Jembrana. 

Cuma, aku tak bisa terlalu lama di sini. Bagaimana ka-

lau aku menginap cukup satu malam saja?"

"Itupun sudah satu kehormatan bagi kami," ja-

wab Mantre Jembrana. Orang tua ini memberi isyarat 

pada seorang pengawal. Pengawal ini segera menda-

tangi. Dengan suara setengah berbisik Mantre Jem-

brana berkata. "Siapkan satu kamar bagus untuk ta-

mu kita. Beri tahu pelayan kepala agar meminta Nyi 

Werda bersedia menjadi teman tidur Ki Dalem Sleman 

malam ini."


*

* *

TUJUH BELAS


PENGADILAN DUNIA


SIANG itu Sultan dan beberapa petinggi Kera-

jaan termasuk Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala 

tengah mengadakan pembicaraan penting. Sejak bebe-

rapa waktu belakangan ini dilaporkan tentang adanya 

gerakan-gerakan beberapa kelompok besar pasukan di 

kawasan utara yang tidak dikenal asal kesatuannya.

Perwira Tinggi Brajanala tengah berbicara keti-

ka seorang pengawal muncul, memberi tahu tentang 

kedatangan seorang tak dikenal, membawa sebuah pe-

ti.

"Orang itu masih muda, mengaku bernama 

Tunggul Kebuti, pekerjaan petani di desa Mijen..."

"Mijen terletak dekat di selatan Welahan, tem-

pat kediaman Arya Penangsang. Mungkin...."

Kata-kata Brajanala diputus oleh ucapan Sul-

tan yang bertanya pada pengawal. "Kau sudah meme-

riksa atau bertanya apa isi peti itu dan siapa pengi-

rimnya?"

"Kami tidak berani melakukan pemeriksaan se-

belum dapat perintah. Kami hanya bertanya. Ketika di-

tanya, pemuda petani itu berkata dia tidak tahu apa isi 

peti itu. Seorang tak di kenal menyediakan sebuah ge-

robak untuk membawa peti itu ke sini. Lalu membe-

rinya upah besar...."

Sultan memandang pada Brajanala. Perwira ini


segera bangkit dari tempat duduknya. "Biar saya me-

nemui orang itu," kata Brajanala.

"Tunggu, apakah Perwira Muda Lor Bagus Pu-

tih yang menghabisi Pangeran Tua itu masih belum di-

ketahui dimana beradanya?"

"Saya sudah menyuruh beberapa orang untuk 

menyidik. Tapi masih belum di dapat keterangan. Bah-

kan istrinya sendiri tidak tahu..." menerangkan Perwi-

ra Brajanala.

"Aneh. Dia menghilang begitu saja," kata Ki Da-

lem Sleman.

"Memang aneh. Aneh sekali," ujar Sultan. Dia 

lalu menganggukkan kepala pada Brajanala. Perwira 

ini segera tinggalkan ruangan diikuti oleh pengawal pe-

lapor.

Tak lama kemudian Brajanala muncul kembali 

bersama pengawal tadi yang membawa sebuah peti 

seukuran satu pemelukan. Di sebelah belakang berja-

lan seorang pemuda yang kelihatan lugu dan melang-

kah sambil memandang kian kemari. Seumur hidup 

baru kali ini dia berada dalam Keraton atau Istana. 

Tak heran kalau dia memandangi segala sesuatunya 

terkagum-kagum.

Pengawal meletakkan peti bagus berwarna cok-

lat dihias ukiran di empat sudutnya dihadapan Sultan. 

Setelah memperhatikan peti itu beberapa saat Perwira 

Brajanala bertanya pada pemuda lugu di dekatnya.

"Kau datang dari Mijen?"

Pemuda yang ditanya mengangguk.

"Namamu Tunggul Kebuti?"

Yang ditanya kembali anggukkan kepala.

"Apa isi peti itu?" Ki Dalem yang kini ajukan 

pertanyaan. Tidak seperti yang lain-lainnya, orang tua 

satu ini mulai mencium ada bau yang tidak enak me-

masuki rongga pernafasannya. Seperti bau anyir.


"Saya tidak tahu. Saya tidak tahu isi peti itu..."

"Siapa yang menyuruhmu mengantarkan peti 

ke sini?" tanya Brajanala.

"Saya tidak kenal. yang jelas dia bukan orang 

Mijen. Dia memberikan sebuah gerobak, lengkap den-

gan kuda. Memberi saya upah banyak. Lalu berkata 

antarkan peti ini ke Keraton Demak. Serahkan pada 

Sultan. Itu saja. Saya anggap itu pekerjaan mudah, 

apa lagi upahnya besar."

Semua orang pandangi pemuda petani dari Mi-

jen itu. Lalu terdengar Sultan berkata. "Pengawal, buka 

peti itu."

Pengawal yang tadi membawa peti segera ber-

tindak. Tapi dia jadi bingung sendiri. Peti itu ternyata 

terkunci. Ada lobang kunci tapi tak ada anak kunci 

pembukanya. Melihat pengawal kebingungan, pemuda 

bernama Tunggul Kebuti jadi ingat sesuatu. Dia men-

geruk kantong bajunya, mengeluarkan sebuah anak 

kunci.

"Saya lupa," katanya. "Orang yang menyuruh 

saya mengantarkan peti memberikan anak kunci ini. 

Disertai pesan agar saya sekali-kali jangan membuka 

peti."

Brajanala segera mengambil anak kunci itu. 

Dia sendiri yang memasukkan ke dalam lobang kunci,. 

memutarnya dua kali lalu membuka penutup peti.

Begitu peti terbuka bau tidak sedap menyam-

bar hidung. Lalu sekian pasang mata membelalak dis-

ertai seruan terkejut yang tidak dapat ditahan.

Di dalam peti yang terbuka itu, mengerikan se-

kali, ada satu kepala dengan dua mata membelalak se-

perti ketakutan. Walau kutungan kepala itu penuh 

lumuran darah namun semua orang mengenali itu 

adalah kepala Tubagus Lor Putih, Perwira Muda yang 

tempo hari menusuk mati Pangeran Tua Sekar SedaLepen.

Beberapa orang yang ada di ruangan itu kelua-

rkan suara seperti mau muntah. Sultan palingkan ke-

pala dengan wajah jijik lalu melambaikan tangan. Bra-

janala cepat menutup peti kembali, memerintahkan 

pengawal membawa peti itu keluar lalu menjambak 

rambut Tunggul Kebuti. Petani lugu yang tak tahu 

apa-apa ini tentu saja jadi ketakutan setengah mati.

"Aku tidak percaya kau tidak tahu siapa orang 

yang menyuruhmu mengantarkan peti ini!" Perwira 

Brajanala menyambar sebilah pedang lalu ditempel-

kannya ke leher si pemuda yang menjadi pucat pasi 

seperti mayat. "Bicara! Atau kutabas batang lehermu!"

Pemuda dari Mijen itu menggigil ketakutan. 

Masih untung tidak sampai terkencing. Dalam kea-

daan seperti itu mulutnya terbuka, tapi tidak keluar 

suara jawaban. Lalu tangan kanannya tergesa-gesa 

mengeruk ke balik pinggang pakaiannya. Dari balik 

pakaian dia mengeluarkan satu gulungan kertas. Den-

gan suara gagap dan gemetar dia memberitahu. "Or... 

orang yang menyuruh antar peti, dia memberikan ini. 

Katanya harus diserahkan pada Sultan...."

Brajanala menyambar gulungan kertas itu yang 

sudah dapat dipastikan adalah sepucuk surat, lalu 

memandang ke arah Sultan.

"Buka, baca isinya keras-keras!" perintah Sul-

tan.

Perwira Brajanala segera membuka gulungan 

kertas. Seperti yang diperintahkan Sultan dia memba-

ca tulisan yang tertera di atas kertas keras-keras.

Prawoto,

Tak ada rasa hormatku untuk menyebut mu se-

bagai Sultan. Apa yang telah kau lakukan terhadap 

ayahku akan segera kau terima balasannya. Kau akan


menghadapi Pengadilan Dunia. Sebagai bukti aku tidak 

main-main, aku sampaikan satu hadiah yang mem-

buatmu tidak bisa tidur nyenyak.

Arya Penangsang

Wajah Sultan tampak merah gelap. Dia berdiri 

dari kursi, mengambil surat yang dipegang Perwira 

Brajanala, bukan untuk membacanya tapi merobek-

robeknya.

"Ki Dalem Sleman," kata Sultan dengan suara 

lantang. Ketika kau membawa jenazah Pangeran

Tua ke Welahan, kau bahkan sempat menginap 

satu malam di sana. Menurutmu kau berhasil mere-

dam amarah dan membujuk Arya Penangsang serta 

Mantre Jembrana. Tapi kau saksikan sendiri apa yang 

terjadi! Jahanam anak pemberontak itu membunuh 

Tubagus Lor Putih! Mengirimkan kepalanya ke padaku! 

Keji biadab!"

"Sultan, mohon maafmu. Saya tidak dapat 

menduga apa yang terjadi Pada saat saya berada di 

sana Arya Penangsang sama sekali tidak menunjukkan 

tanda-tanda akan melakukan sesuatu. Bahkan dia 

sendiri mengantarkan kepergian saya sampai ke perba-

tasan. Saya khawatir, mungkin setelah saya pergi ada 

yang menghasutnya..."

Brajanala memanggil pengawal, menyuruh ba-

wa Tunggul Kebuti dan menjebloskan petani malang 

itu ke dalam tahanan. Lalu pada Sultan dia berkata. 

"Jika Sultan berkenan, saya bisa menyiapkan pasu-

kan. Dua hari di muka kita serbu Welahan untuk me-

nangkap Arya Penangsang hidup atau mati!"

"Mengapa musti menunggu sampai dua hari? 

Aku ingin paling lambat besok pagi kau dan pasukan-

mu sudah bergerak! Namun ingat satu hal. Hindari ja-

tuh korban dari kalangan rakyat tidak berdosa. Yang


kita cari adalah Arya Penangsang, Mantre Jembrana 

dan kaki tangannya."

"Kalau itu perintah Sultan saya akan segera la-

kukan," kata Perwira Brajanala.

"Ki Dalem Sleman, kuharap kau mengumpul-

kan sahabatmu para tokoh persilatan untuk berga-

bung dengan pasukan Demak. Aku yakin

Arya Penangsang tidak sendirian. Aku menyirap 

kabar bahwa dia telah mengatur satu barisan khusus 

terdiri dari para tokoh rimba persilatan."

"Saya siap menjalankan perintah Sultan," kata 

Ki Dalem Sleman sambil membungkuk. "Saya dan 

Perwira Brajanala akan segera mengatur segala sesua-

tu yang diperlukan. Kami berdua mohon diri."

"Ki Dalem dan yang Iain-Iain boleh pergi, Perwi-

ra Brajanala biar tetap di sini dulu. Aku perlu membi-

carakan perihal pengamanan Kotaraja dan Keraton 

Demak."

Semua orang yang berada di tempat itu kecuali 

Perwira Brajanala meninggalkan ruangan. Setelah 

tinggal berdua saja Sultan Prawoto berkata.

"Perwira Brajanala, sebenarnya aku bukan saja 

memintamu untuk memperhatikan pengamanan Kota-

raja dan memperketat pengawalan Istana, tapi ada sa-

tu hal lain yang perlu akan dibicarakan denganmu. 

Ada satu hal yang aku tidak mengerti. Lebih tepat ka-

lau kukatakan mencurigakan..."

"Jika saya boleh mengetahui yang Sultan mak-

sudkan," ujar Brajanala.

"Turut cerita Ki Dalem Sleman waktu dia men-

gantar jenazah Pangeran Tua ke Welahan, dan juga tu-

rut apa yang aku ketahui, Arya Penangsang tidak 

mengetahui siapa yang menghabisi ayahnya. Mengapa 

tahu-tahu kepala Tubagus Lor Putih dikirimkannya ke 

sini? Aku menaruh curiga, jangan-jangan Ki Dalem


Sleman telah menceritakan kejadian yang sesungguh-

nya pada Arya Penangsang. Yaitu bahwa Perwira Muda 

itulah yang menusuk mati Pangeran Tua Sekar Seda 

Lepen."

"Saya tidak dapat menduga apa-apa, kecuali ji-

ka Sultan memerintahkan untuk menyelidiki," kata 

Brajanala pula.

"Itu memang yang aku inginkan. Aku perintah-

kan agar kau melakukan penyelidikan. Selain itu 

memperhatikan setiap gerak-gerik orang tua itu. Siapa 

saja yang dihubunginya. Beri tahu padaku segera jika 

kau menemukan sesuatu. Satu hal lagi, harap perhati-

kan juga tindak tanduk prajurit bernama Gedeng Ke-

mitir. Dia sangat dekat dengan Ki Dalem Sleman. Siapa 

tahu ada hubungan yang tidak terduga antara dua 

orang itu."

"Akan saya lakukan Sultan," jawab Brajanala 

lalu membungkuk, kemudian bergegas Perwira Tinggi 

Demak ini meninggalkan tempat itu.

Setelah berada sendiri di ruangan itu Sultan 

Prawoto merenung. Dia ingat beberapa kali pembica-

raannya dengan mendiang ayahnya yaitu Sultan 

Trenggono. Waktu itu Sultan Trenggono membicarakan 

tentang telah terjadinya perpecahan dan bentrokan 

terselubung antara beberapa tokoh dalam Keraton 

Demak. Yang pertama dipimpin oleh Ki Dalem Sleman. 

Yang kedua Ki Suro Gusti Bendoro yang konon hanya 

sendirian menghadapi kelompok Ki Dalem Sleman. Ki 

Suro kabarnya memilih mengalah dan mengundurkan 

diri dari segala urusan Keraton Demak. Kemudian ter-

betik kabar bahwa orang tua itu telah dituduh mencuri 

salah satu pusaka Keraton yakni bendera keramat 

bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Sultan

Trenggono memerintahkan Ki Dalem Sleman

dan Perwira Tinggi Brajanala untuk mencari Ki Suro



Gusti Bendoro. Namun setelah sekian lama berlalu Ki 

Suro tak kunjung berhasil ditemukan.

*

* *

DELAPAN BELAS


BANJIR DARAH


MALAM itu udara terasa dingin sekali karena 

sorenya hujan lebat turun mengguyur Kotaraja. Di luar 

tembok Keraton, puluhan prajurit terdiri dari empat 

kelompok besar melakukan penjagaan dan perondaan 

ketat. Di dalam Keraton terlebih lagi. Bukan saja para 

pengawal yang melakukan penjagaan, tetapi beberapa 

tokoh silat Istana kelihatan turut bertugas mengaman-

kan Keraton, menjaga keselamatan Sultan serta ke-

luarganya.

Lewat tengah malam dinginnya udara bukan 

kepalang. Banyak pengawal Keraton menjalankan tu-

gas sambil menggigil. Menjelang dini hari keadaan se-

kitar Keraton tampak aman walau diselimuti kesu-

nyian. Saat itulah di sudut timur kelihatan ada kabut 

mengambang. Kabut yang sama kemudian muncul di 

ujung barat. Lalu muncul lagi di sebelah selatan dan 

akhirnya menyusul di sebelah utara. Perlahan-lahan 

kabut itu mengambang naik setinggi dada lalu bergerak ke arah bangunan Keraton.

"Aneh," kata seorang prajurit tua yang bertugas 

mengawal di bagian timur Keraton. "Belasan tahun 

bertugas jadi pengawal", baru kali ini aku melihat ada


kabut sekitar Keraton..."

"Mengapa musti heran. Sore tadi hujan lebat 

bukan main. Udara dingin luar biasa. Kalau kemudian 

muncul kabut tak ada anehnya," menyahuti kawan 

prajurit tua yang berdiri di sampingnya.

Tak selang berapa lama tebaran kabut melebar 

bukan saja ke arah Keraton tapi juga sekitar halaman 

luas dimana para pengawal lapisan ketiga bertugas.

"Ini baru aneh," berkata pengawal di samping 

prajurit tua. "Tidak biasanya aku mengantuk. Heran, 

mataku terasa berat..."

"Kalau kau tidur dalam tugas, kau bisa dijatuhi 

hukuman berat," kata prajurit tua pula. Tapi habis 

berkata begitu dia menguap lebar-lebar. Matanya tera-

sa berair dan kantuk aneh mendadak membuat kepa-

lanya terasa berat. "Kurasa aku sudah ketularan diri-

mu, ikut-ikutan mengantuk..." Prajurit tua itu berucap 

lalu berpaling pada kawannya. Tapi sang kawan ter-

nyata sudah menjelepok di tanah, bersandar ke tem-

bok halaman Keraton, tertidur pulas!

"Masih muda tak tahan kantuk! Bagaimana 

nanti kalau sudah setua usiaku! Hai, bangun!" Prajurit 

tua itu pergunakan kakinya menggoyang paha teman-

nya. Tapi dia sendiri kemudian merasa lemas, berpe-

gangan ke tembok halaman lalu bluk! Prajurit tua ini 

jatuh dekat temannya, melosoh di tanah, entah ping-

san entah tidur!

Di bagian lain halaman Keraton, untuk mela-

wan udara dingin, seorang prajurit menghidupkan se-

batang rokok kawung. Tidak sengaja matanya menatap 

ke atas. Prajurit ini terkejut, serta merta mencampak-

kan rokoknya ke tanah lalu lari ke arah rumah jaga di 

sudut utara halaman. Di situ biasanya paling tidak ada 

lima sampai tujuh pengawal sementara yang lain-

lainnya berkeliling seputar halaman. Kejut prajurit ini


bukan alang kepalang ketika dia sampai di rumah ja-

ga, ditemuinya enam orang kawannya bergeletakan 

tumpang tindih di lantai. Di goyang-goyangnya tubuh 

enam orang itu satu persatu. Tak ada yang bergerak. 

Mati? Di dekapkannya telinganya ke dada beberapa 

orang prajurit. Ada degup jantung. Berarti tidak mati. 

Lalu pingsan? prajurit satu ini segera berdiri. Meman-

dang ke arah wuwungan Keraton. Seperti tadi dia me-

lihat ada bayangan orang bergerak di atas atap bangu-

nan. Tadi cuma dua orang. Kini malah dilihatnya ada 

empat orang!

"Aku harus memberi tahu kepala pengawal. 

Aku harus segera melapor ke dalam Keraton!" kata 

prajurit itu. Lalu dengan cepat dia lari ke arah bangu-

nan Keraton. Namun di pertengahan halaman tiba-tiba 

sebuah benda melesat di udara. Di lain kejap prajurit 

itu keluarkan keluhan tinggi, pegangi anak panah yang 

menancap di dada kirinya lalu roboh ke tanah.

Tak selang berapa lama di atas atap Keraton 

terdengar satu suitan keras. Suitan ini disahuti oleh 

suitan lain dari arah selatan. Lalu terdengar lagi sui-

tan-suitan nyaring dari tiga arah yakni utara, barat 

dan timur. Begitu suitan terakhir lenyap terdengar de-

rap kaki kuda ke arah pintu gerbang

Keraton, yang saat itu sudah berada dalam 

keadaan terpentang lebar. Padahal biasanya pintu ger-

bang itu selalu berada dalam keadaan tertutup. Entah 

siapa yang telah membukanya, yang jelas dua puluh 

pengawal yang bertugas di tempat itu telah bergeleta-

kan tanpa sadarkan diri.

Dua belas penunggang kuda menembus pintu 

gerbang Keraton. Semuanya mengenakan topeng ber-

warna putih hingga di malam sunyi dan dingin itu me-

reka tak bedanya kelihatan seperti setan gentayangan!

Tiba-tiba di sebelah belakang rombongan penunggang kuda bertopeng muncul pula rombongan 

penunggang kuda yang dari pakaian yang dikenakan 

jelas mereka adalah pasukan Kerajaan. Di depan sekali 

seorang Perwira Muda sambil mencekal pedang berte-

riak memberi tahu anak buahnya.

"Rombongan orang-orang tak dikenal memasuki 

halaman Keraton! Lekas menyebar! Satu orang segera 

mencari bantuan!"

Pasukan Kerajaan yang terdiri dari dua lusin 

prajurit itu segera menyebar. Satu orang memisahkan 

diri melakukan perintah meminta bantuan. Namun 

maksudnya tidak kesampaian karena sesaat kemudian 

sebatang panah menancap tepat di kuduknya, tembus 

ke tenggorokannya!

Di bawah pimpinan Perwira Muda segera dila-

kukan pengurungan. Dua belas penunggang kuda ber-

topeng putih terjepit di tengah-tengah.

Perwira Muda yang memimpin pasukan berte-

riak lantang. "Hanya orang-orang jahat mengenakan 

topeng di malam hari! Buka topeng kalian dan lekas 

serahkan diri!" Sambil membentak Perwira Muda itu 

menghunus senjatanya yaitu sebilah golok panjang 

berbentuk segi empat.

Salah seorang penunggang kuda bertopeng pu-

tih yang dikurung rapat angkat tangan kanannya ke 

atas. Saat itu juga udara malam dipenuhi suara ber-

desing.

"Awas serangan panah!" teriak Perwira Muda. 

Goloknya diputar di atas kepala,

"Traak....traak!" Dua anak panah yang diarah-

kan ke kepala dan dadanya patah lalu mental ke uda-

ra. Dia berhasil selamatkan diri. Tapi di kiri kanannya 

enam orang anak buahnya kena ditembus panah, ja-

tuh terguling dari atas kuda masing-masing.

"Cepat habisi mereka!" Salah seorang penyerbubertopeng putih memberi perintah. Dari sosok tubuh-

nya yang kekar agaknya dia masih muda dan bertin-

dak selaku pimpinan orang-orang bertopeng.

Mendengar perintah itu, empat orang bergerak 

maju. Yang pertama seorang bertopeng membawa tom-

bak besi yang bagian kepalanya diikat sehelai bendera 

segi tiga berwarna kuning. Orang ini menyerbu ke arah 

Perwira Muda yang memegang golok. Begitu berhada-

pan langsung dia tusukkan tombak besinya ke dada 

lawan.

"Traangg!"

Terdengar suara bedentrangan ketika Perwira 

Kerajaan menangkis dengan golok. Kejut Perwira ini 

bukan alang kepalang. Bentrokan senjata itu membuat 

tangannya bergetar hebat. Goloknya hampir terlepas 

dan tangan kanannya terasa linu kesemutan. Sadar 

kalau lawannya memiliki tingkat tenaga dalam jauh di 

atasnya, sang Perwira pelototi lawan dengan pandan-

gan menyelidik. Dia memang tidak dapat melihat wa-

jah yang terlindung topeng itu, namun senjata berupa 

tombak di tangan lawan rasa-rasa dia pernah melihat 

sebelumnya. Hanya sayang Perwira ini tidak bisa ber-

pikir lebih lama. Saat itu lawan telah menyerbunya 

kembali dengan serangan tombak. Hanya beberapa ge-

brakan saja Perwira Muda itu kena dipukul bahu ki-

rinya hingga terpental jatuh dari pelananya. Selagi tu-

buhnya melayang di udara, tombak besi menderu dan 

craass! Tombak itu menghujam dada, tembus sampai 

ke punggung.

Pada saat orang bertombak maju ke hadapan 

Perwira Muda, tiga orang lainnya ikut bergerak. Dua 

bersenjata satu lagi hanya mengandalkan tangan ko-

song. Lebih dari dua belas prajurit Kerajaan dibuat tak 

berdaya. Semua menemui ajal dalam waktu singkat. 

Kalau ketiga orang bertopeng putih itu tidak memiliki


ilmu tinggi, tidak mudah untuk merobohkan belasan 

prajurit Kerajaan yang telah berlatih begitu cepat.

Orang bertopeng yang bertindak sebagai pimpi-

nan kembali mengangkat tangan kanannya. Kali ini 

tangan itu digerakkan ke arah bangunan Keraton. Se-

habis memberi tanda orang tadi mendahului mengge-

brak kuda ke arah Keraton.

Saat itu di sekitar bangunan Keraton kabut 

aneh tampak mengambang setinggi dada. Penunggang 

kuda di sebelah depan hentikan kudanya di muka 

tangga batu. Lalu berpaling pada arah pengikut di be-

lakangnya dan berkata.

"Hentikan serangan kabut penyirap! Aku tidak 

ingin bangsat itu menemui ajal dalam keadaan tidak 

sadar! Dia harus melihat dan merasakan bagaimana 

ngerinya kematian!"

Salah seorang penunggang kuda bertopeng pu-

tih yang mengenakan jubah hitam berambut panjang 

awut-awutan sentakkan tali kekang kudanya, bergerak 

maju ke depan. Lalu dengan satu gerakan hebat dia 

melompat, tegak berdiri di atas punggung kudanya 

sambil rangkapkan tangan di atas dada dan pejamkan 

sepasang mata.

Dari mulut orang ini keluar suara racauan ha-

lus. Perlahan-lahan dua tangan yang dirangkapkan, 

dibuka, dikembangkan ke samping. Sepuluh jari tan-

gan dan telapak tangan digerak-gerakkan seperti orang 

memanggil. Terjadilah satu hal luar biasa. Semua ka-

but yang mengambang di halaman dan sekitar bangu-

nan Keraton secara aneh bergerak ke arah tangan yang 

melambai lalu naik ke atas kepala. Secara aneh pula 

kabut itu seolah masuk ke dalam ubun-ubun orang 

itu. Semakin cepat dia menggerakkan jari-jari dan dua 

telapak tangannya, semakin cepat pula kabut itu am-

blas masuk ke dalam kepalanya. Dalam waktu singkat


semua kabut yang tadi memenuhi seantero tempat sir-

na tak berbekas. Begitu kabut lenyap, orang di atas 

kuda melompat jungkir balik dan di lain kejap dia su-

dah duduk kembali di punggung kudanya.

Di saat yang sama, orang bertopeng yang tadi 

jadi pimpinan penyerbu mengangkat tangan sambil 

berteriak. Dua belas kuda kemudian menghambur ma-

suk ke dalam Keraton!

*

* *

DENGAN langkah tegap dan tenang Sultan 

Prawoto digiring ke ruang tengah Keraton oleh enam 

orang bertopeng putih. Di belakangnya mengikuti istri, 

anak-anak, dua saudara sepupunya, seorang abdi da-

lem serta tiga orang pelayan. Berlainan dengan sikap 

berani yang ditunjukkan oleh Sultan, yang lain jelas 

berada dalam ketakutan amat sangat dan tiada hen-

tinya bertangisan. Betapa tidak. Untuk sampai ke 

ruang tengah itu mereka melewati bagian-bagian Kera-

ton yang dipenuhi dengan tebaran mayat para pen-

gawal dan beberapa tokoh silat Istana.

Di ruang tengah Istana ada enam orang berto-

peng lagi telah menunggu. Dua belas ekor kuda berke-

liaran di tempat itu. Sekilas memandang saja, dari 

bentuk tubuh, pakaian yang dikenakan atau senjata 

yang mereka pegang Sultan Prawoto bisa mengetahui 

beberapa di antara mereka.

"Pembunuh-pembunuh pengecut! Biadab! Ka-

lian membunuh orang-orang yang tak berdosa!" Sultan 

Prawoto yang tak dapat

menahan hatinya lagi berteriak marah. "Aku 

perintahkan kalian untuk menyerah!"

Dua belas orang bertopeng saling pandang lalu


meledak tawa bergelak di ruangan itu. Salah seorang 

di antaranya, yang bertubuh tegap besar melangkah 

mendekati Sultan lalu membuka topeng putihnya.

Sultan Prawoto keluarkan suara mendengus 

begitu melihat wajah itu. Matanya memandang laksana 

kobaran api.

"Dugaanku tidak keliru! Semua ini adalah per-

buatan jahatmu! Arya Penangsang! Atas nama Kera-

jaan aku perintahkan padamu untuk menyerah!"

Orang yang barusan membuka topeng putih 

ternyata adalah Arya Penangsang, pimpinan rombon-

gan penyerbu. Dia adalah putera Pangeran Tua Sekar 

Seda Lepen. Wajahnya tampak garang, dipenuhi ku-

mis, cambang bawuk dan jenggot meranggas.

"Prawoto! Jangan menggigau! Saat ini yang na-

manya Kerajaan Demak sudah tidak ada lagi! Yang 

namanya Sultan Demak hanya tinggal sisa bangkai hi-

dup yang siap mampus! Kau sudah membaca suratku! 

Saat ini kau tengah menghadapi Pengadilan Dunia! 

Kau keparatnya yang bertanggung jawab, menanggung 

segala dosa!"

Sultan Prawoto sudah bisa menduga apa yang 

hendak dilakukan oleh Arya Penangsang. Maka dia 

berkata. "Istri dan anak-anakku tidak berdosa, tidak 

ada sangkut pautnya dengan diriku!

Bebaskan mereka! Jika kau ingin menuntut ba-

las kematian ayahmu, mari kita bertempur satu lawan 

satu secara kesatria!"

Arya Penangsang kerutkan kening, delikkan 

mata lalu tertawa bergelak. "Di saat-saat malaikat 

maut hendak mengambil nyawamu, kau masih bisa 

bersyair menunjukkan jiwa kesatria palsu menutupi 

kepengecutan dan dosa besarmu! Kau ingin pertempu-

ran secara jantan! Akan ku penuhi permintaanmu!"

Arya Penangsang jentikkan tangannya hingga


mengeluarkan suara keras. Seorang bertopeng segera 

menghampirinya, menyerahkan sebuah benda ter-

bungkus kain putih. Dengan cepat Arya Penangsang 

membuka bungkusan kain putih. Isi bungkusan ter-

nyata sebilah golok yang bagian ujungnya sampai ke 

pertengahan berwarna hitam. Warna hitam ini adalah 

noda darah yang telah mengering.

"Prawoto! Dengan golok ini ayahku dibunuh! 

Dengan golok ini pula kau akan ku bantai! Demak 

akan tergenang darah! Darah itu berpangkal dari Kera-

ton ini! Kau menginginkan pertempuran secara jantan! 

Silahkan kau memilih senjata! Kita bertempur satu la-

wan satu!"

"Aku akan menghadapimu dengan tangan ko-

song! Silahkan menyerang!" jawab Sultan Prawoto pula 

sambil kertakkan rahang sementara jerit tangis ter-

dengar semakin menjadi-jadi di ruang itu. Sesekali ku-

da-kuda yang ada di situ keluarkan suara ringkikan.

"Jahanam pengecut! Kau inginkan mampus

secara pengecut! Jangan kira aku akan berbe-

las kasihan kepadamu! Lihat golok!" Di dahului dengan 

teriakan dahsyat Arya Penangsang melompat. Golok 

besar di tangan kanannya berkiblat, mengeluarkan su-

ara deru mengerikan.

Istri Sultan Prawoto menjerit sambil memeluk 

anak-anaknya yang bertangisan. Kuda meringkik. Para 

pelayan ikut berteriak.

Sultan Prawoto menghindar ke kiri sambil le-

paskan satu pukulan tangan kosong mengandung ha-

wa sakti, membuat tubuh Arya Penangsang bergoyang-

goyang dan sambaran goloknya tidak mengenai sasa-

ran. Arya Penangsang kembali keluarkan teriakan ke-

ras. Tangan kirinya ikut bekerja melepas pukulan ja-

rak jauh untuk menahan serangan tangan kosong Sultan Prawoto. Golok di tangannya diputar laksana cu-

rahan hujan. Berkiblat ganas mengerikan.

Satu jeritan menggelegar di ruangan besar itu.

Sosok Sultan Prawoto mencelat ke belakang.

Jatuh berlutut di lantai. Darah mancur dari 

tangan kanannya yang buntung. Istrinya menjerit, 

menghambur coba menghampiri. Namun seorang ber-

topeng putih menjambak rambutnya lalu melempar-

kannya hingga terguling di lantai.

*

* *

KEESOKAN harinya seluruh Demak gempar be-

sar. Kabar kematian Sultan Prawoto yang di bantai 

bersama anak istrinya, saudara serta para pelayan ter-

sebar luas dengan cepat. Rakyat bersedia namun tak 

berani menunjukkan rasa berkabung terang-terangan. 

Karena kabarnya siapa saja yang menunjukkan sikap 

masih mendukung Sultan yang lama akan dihabisi se-

cara semena-mena.

Dalam suasana seperti itu Arya Penangsang 

mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai Sultan 

Demak baru. Beberapa petinggi dan para tokoh silat 

yang sebelumnya mengabdi pada Sultan yang lama di-

beri kekuasaan dan kedudukan lebih tinggi. Hal ini 

mendatangkan tanda tanya besar bagi rakyat. Hingga

mereka mencurigai bahwa orang-orang itu terlibat atau 

membantu Arya Penangsang dalam peristiwa berdarah 

di Keraton Demak. Mereka antara lain adalah Nenek 

Ular Si Lidah Bangkai. Tumenggung Pakubumi alias 

Kala Srenggi. Lalu kepala rampok hutan Roban Warok 

Wesi Gludug, Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Bra-

janala serta beberapa orang lainnya yang belum sem-

pat diketahui karena sengaja merahasiakan diri.


Selama satu hari mayat-mayat yang bergeleta-

kan di ruang tengah keraton sengaja dibiarkan begitu 

saja. Malah rakyat diminta untuk menyaksikan kema-

tian Sultan Prawoto dan keluarganya itu yang oleh 

Arya Penangsang dianggap sebagai pengkhianat. Na-

mun tak seorangpun yang mau datang untuk menyak-

sikan. Rakyat sama maklum siapa sebenarnya yang 

jadi pengkhianat dan pemberontak. Beberapa orang 

Adipati yang konon masih setia kepada Sultan Prawoto 

mengadakan pertemuan rahasia dipimpin oleh Adipati 

Japara.

*

* *

SEMBILAN BELAS


PENCULIKAN DI PAGI BUTA


DARI dalam gubuk kajang beratap rumbia itu, 

di penghujung malam yang dingin, ketika kebanyakan 

orang bahkan juga para satwa masih tenggelam dalam 

tidur nyenyak terdengar suara orang mengaji. Dari su-

aranya jelas yang mengaji itu adalah seorang anak laki-laki.

Di luar gubuk yang terletak di puncak bukit kecil pada aliran kali Glugu, di dalam gelap, tanpa suara 

dua orang terlihat membimbing kuda masing-masing. 

Di satu tempat mereka tinggalkan tunggangan itu.

"Tombak saktimu tidak dibawa serta?" bertanya 

orang yang berjalan di sebelah kanan. Tubuhnya tinggi 

besar, kulitnya sehitam arang.

"Cuma menangkap seorang bocah saja, apa


perlu senjata sakti itu?" jawab sang teman, seorang 

kakek berjubah kuning tebal. Dua orang itu melang-

kah ke arah sebuah pohon besar tak jauh dari gubuk. 

Di sini keduanya berhenti dulu.

Yang berpakaian jubah kuning tebal berbisik 

pada teman sebelahnya. "Kau mendengar suara orang 

mengaji?"

"Sejak tadi," jawab si teman yang berkulit hitam 

legam, berbadan besar kokoh.

"Yang mengaji seorang anak lelaki. Kukira dia 

anak yang kita cari. Anak yang konon disebut-sebut 

dalam Kitab Hikayat Keraton Kuno."

"Aku belum pernah melihat kitab itu. Apa lagi 

membacanya. Jadi sangkut paut si anak dengan kitab 

itu sulit kupercaya! Lagi pula, apa kitab itu benar-

benar ada? Jangan-jangan cuma karangan belaka. 

Disampaikan dari mulut ke mulut hingga akhirnya 

orang percaya kitab itu benar-benar ada."

"Sobatku Perwira Kerajaan, apa kau tidak per-

caya pada cerita Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug 

dan Tumenggung Pakubumi. Dua diantara mereka 

pernah berusaha merampas kitab itu dari tangan Ki 

Suro Gusti Bendoro dan Empu Bondan Ciptaning. Tapi 

gagal..."

"Anak itu, jika memang dia anak yang kita cari 

apa yang hendak kita lakukan terhadapnya?" bertanya 

orang yang dipanggil dengan sebutan Perwira Kera-

jaan. Dia bukan lain adalah Brajanala yang kini men-

gabdi di bawah tahta Arya Penangsang Sultan Demak 

yang baru. Konon kabar yang mengatakan bahwa da-

lam waktu dekat dia akan diangkat menjadi Patih Ke-

rajaan. Kakek yang dijuluki si culas bermuka banyak 

ini kini mendapat kedudukan tinggi dan enak di Kera-

ton Demak sebagai imbal bantuannya menumbangkan 

tahta Sultan Prawoto.


"Sesuai perintah Sultan Arya, anak itu harus 

kita bawa ke Keraton. Apa yang akan dilakukan terha-

dapnya kemudian aku sendiri tidak tahu." Berkata Ki 

Dalem Sleman.

"Seorang anak bisa membahayakan Kerajaan, 

Satu hal yang bagiku tidak masuk akal," ujar Brajana-

la. "Kalau memang dia berbahaya, mengapa tidak di-

habisi saja. Lemparkan ke jurang atau ke dalam sun-

gai. Habis perkara. Mengapa! susah-susah menguru-

sinya?"

"Sobatku, jangan berpikiran pendek. Perguna-

kan sedikit akalmu! Justru anak inilah yang diduga 

punya teka-teki besar bagi Kerajaan. Dia bukan anak 

sembarangan. Kisahnya tertera dalam Kitab Hikayat 

Keraton Kuno..."

"Lagi-lagi kitab itu!" bersungut Brajanala. "Pe-

kerjaan seperti ini seharusnya tidak kita yang menan-

gani. Cukup dua tiga orang prajurit saja."

"Tadinya aku juga berpikir seperti itu. Tapi se-

makin ku kaji persoalannya semakin tertarik aku un-

tuk menangani sendiri. Ternyata Sultan kita yang baru 

juga punya jalan pikiran sepertiku. Jika tidak ada apa-

apanya, mana mungkin Sultan Arya menugasi kita 

berdua."

"Anak ini yang bernama Ario menurut riwayat 

yang aku dengar bukan anak Ki Suryo Pabelan..."

"Dia cucu si kakek pemilik gubuk itu. Sudah 

dipelihara Ki Suryo sejak ke dua orang tuanya lenyap 

tak tentu rimbanya," menerangkan Ki Dalem Sleman.

"Dari tadi kita bicara saja! Kapan kita akan ma-

suk ke gubuk dan menculik anak itu?!" tanya Perwira 

Tinggi Brajanala.

"Sabar, jangan kesusu. Coba kau perhatikan 

keadaan sekeliling kita." berkata Ki Dalem Sleman.

Brajanala memandang berkeliling. Dia hanya


melihat pepohonan, semak belukar dan kegelapan.

"Tak ada apa-apa yang perlu dirisaukan," kata 

Perwira ini kemudian.

Ki Dalem Sleman tersenyum. "Matamu mulai 

lamur. Perasaanmu mulai tumpul. Mungkin terlalu 

banyak hidup enak di Keraton...."

Tidak senang mendengar ucapan sahabatnya 

itu sang Perwira bertanya. "Apa maksudmu Ki Dalem?"

"Buka matamu besar-besar. Lihat ke atas atap 

gubuk," bisik Ki Dalem Sleman.

Mendengar ucapan orang, Brajanala segera pa-

lingkan kepala, memandang ke bagian atas gubuk ka-

jang atap rumbia.

"Astaga, mengapa aku sampai tidak melihat!" 

Sang Perwira berucap sambil mengusap-usap janggut 

kasar di dagunya. Di atas atap gubuk yang gelap, ter-

nyata mendekam satu sosok yang menghitam dalam 

kegelapan. "Orang itu, siapapun dia adanya pasti 

punya niat sama dengan kita. Hendak menculik anak 

di dalam gubuk. Kita harus segera bertindak sebelum 

kedahuluan orang!"

"Jalan pikiranmu mulai terbuka! Tunggu apa 

lagi?!"

Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala segera 

keluar dari balik pohon. Tapi sesaat langkah mereka 

tertahan ketika tiba-tiba sekali sosok di atas gubuk 

menjebol atap lalu lenyap masuk ke

dalam gubuk!

"Ki Dalem! Kita kedahuluan!" kata Brajanala. 

Saat itu bagian dalam gubuk yang tadinya diterangi 

lampu minyak mendadak gelap. Suara anak mengaji 

ikut lenyap!

"Aku masuk ke dalam. Kau tunggu di atap! 

Orang itu mungkin akan kabur lewat lobang di atas 

atap!"


Tanpa banyak bicara Perwira Brajanala segera 

melompat ke atas atap. Seperti diketahui Perwira ini 

memiliki tubuh tinggi besar. Atap gubuk yang terbuat 

dari rumbia lapuk itu mana mungkin menahan tubuh-

nya yang berat. Tapi tanpa suara, seperti seekor bu-

rung enak saja dia hinggap di atas gubuk, lalu mende-

kam menunggu waspada. Ternyata Perwira Kerajaan 

ini akhir-akhir ini semakin hebat ilmu tenaga dalam 

maupun meringankan tubuh.

Tak lama kemudian di dalam gubuk terdengar 

suara orang berkelahi disertai bentakan-bentakan ke-

ras.

"Penculik keparat! Serahkan anak itu padaku!"

Itu adalah suara Ki Dalem Sleman.

Terdengar suara tawa bergelak.

"Maling berteriak penculik! Jika kau mau men-

gambil anak ini silakan saja!" Orang yang tertawa men-

jawab ucapan Ki Dalem Sleman. Lalu... bukkk! Ter-

dengar suara beradunya dua pukulan Dua sosok sa-

ma-sama mental. Gubuk bergoyang keras. Dinding se-

belah kanan jebol. Seorang berpakaian warna gelap 

melesat keluar dari gubuk sambil memanggul sosok 

seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun 

yang berada keadaan tertotok.

Sesaat kemudian kelihatan sosok Ki Dalem 

Sleman mengejar. Melihat ini Perwira Brajanala yang 

berada di atas atap segera melesat turun ke bawah, 

melakukan penghadangan.

Orang yang memanggul anak kecil di bahunya 

tersentak lalu berucap. "Kiranya maling jelek memba-

wa kawan yang lebih jelek! Ha...ha...ha! Walau kalian 

berdua, jangan harap bisa dapatkan anak ini!"

"Kalau kau tidak mau menyerahkan suka rela, 

kami tidak segan-segan membuatmu menjadi mayat 

penasaran lebih dulu!" menyahuti Ki Dalem Sleman.


Dia memberi isyarat pada Brajanala. Kedua orang ini 

segera menyerbu.

Waktu di dalam gubuk keadaan gelap setelah 

lampu minyak padam. Orang yang memboyong anak 

kecil tidak bisa melihat jelas siapa adanya kakek ber-

jubah kuning itu. Di luar gubuk walaupun malam tapi 

keadaan lebih terang. Ketika memperhatikan pakaian 

dan wajah si kakek berjubah kuning tebal, barulah 

orang itu sempat menjadi kaget. Terlebih lagi ketika dia 

juga mengenali orang ke dua yang jadi pengeroyoknya.

"Ki Dalem Sleman, tokoh silat culas Kesultanan 

Demak. Perwira Tinggi Brajanala, sama busuknya den-

gan si tua bangka itu! Bagaimana mereka bisa terlibat 

dalam urusan bocah ini? Lawanku tidak enteng. Lebih 

baik mencari jalan kabur dari pada membahayakan 

keselamatan anak ini!"

Berpikir seperti itu, orang yang memboyong 

anak kecil di bahunya segera melancarkan serangan 

gencar diseling gerakan-gerakan tipuan. Begitu dua 

lawan berlaku lengah, dia akan serta merta kabur me-

larikan diri. Tetapi Ki Dalem Sleman dan Brajanala 

yang punya segudang pengalaman mana bisa diper-

dayakan. Dari jurus gerakan orang, kedua tokoh Ista-

na Demak ini sudah bisa membaca apa yang hendak 

dilakukan lawan. Dan ternyata Ki Dalem Sleman men-

genai siapa adanya si penculik anak. Kakek ini segera 

menegur dengan suara lantang.

"Datuk Manding Kalianget! Tidak kusangka, 

jauh-jauh tinggal di Madura muncul di tanah Jawa jadi 

penculik bocah!"

Maklum orang sudah tahu siapa dirinya, si 

penculik seorang kakek berpakaian biru gelap, memili-

ki rambut, alis, kumis dan janggut kelabu menyeringai 

lalu berbatuk-batuk.

"Kalian berdua, bukankah punya maksud sa


ma? Hendak menculik anak ini? Cuma sayang aku 

mendapatkannya lebih dulu!"

Habis berkata begitu kakek bernama Manding 

Kalianget hentakkan kaki kanannya ke tanah. Bukit 

kecil di tepi kali Glugu itu bergetar. Bersamaan dengan 

itu di tanah mencuat kepulan asap hitam menutup 

pemandangan.

"Penculik busuk! Jangan mengira bisa menipu 

kami!" teriak Brajanala.

"Mau lari kemana? Jalan lolos mu cuma satu!

Ke pintu akhirat!" ikut berteriak Ki Dalem Sle-

man.

Dari tempat mereka berdiri Datuk Manding Ka-

lianget memang lenyap tak kelihatan tertutup kepulan 

asap hitam. Tapi begitu dua orang itu melesat tinggi ke 

udara, dari atas mereka segera melihat di mana bera-

danya si penculik. Saat itu Datuk Manding Kalianget 

telah berkelebat ke arah selatan. Dua kali membuat le-

satan, dua tokoh Istana Demak ini berhasil mengha-

dang Manding Kalianget, membuat si penculik terkejut 

besar.

Brajanala dan Ki Dalem Sleman tidak member! 

kesempatan lagi. Keduanya langsung menyerang. Per-

kelahian hebat segera terjadi. Dalam waktu tiga jurus 

saja Datuk Manding Kalianget mulai terdesak. Dengan 

beban anak di atas bahu kiri yang harus disela-

matkannya, menghadapi dua lawan berkepandaian 

tinggi memang tidak mudah bagi Manding Kalianget. 

Pada awal jurus ke enam tokoh silat dari Madura ini 

cabut senjatanya, sebilah clurit besar berwarna biru. 

Senjata ini memiliki rongga hampa dan pada ujungnya 

ada sebuah lobang kecil. Setiap clurit itu berkelebat, 

menderu suara seperti lengkingan angin puting beliung 

di malam buta!

Ki Dalem Sleman menyesal besar meninggalkan


tombak saktinya di pelana kuda. Gempuran clurit 

Manding Kalianget ganas bukan main. Datangnya lak-

sana curahan hujan. Terlebih lagi ketika dari lobang di 

ujung clurit menyembur asap hitam menebar bau aneh 

pertanda mengandung racun jahat!

Ki Dalem Sleman memberi isyarat pada Braja-

nala. Perwira Tinggi Demak itu segera mencabut pe-

dangnya. Dengan senjata ini dia bisa membendung se-

rangan clurit lawan. Sementara itu Ki Dalem Sleman 

menghantam dengan kebutkan ujung jubah kuning-

nya. Dua rangkum gelombang angin menderu meng-

hantam kepulan asap hitam beracun yang keluar dari 

lobang di ujung clurit. Selama enam jurus pertempu-

ran berkecamuk hebat. Bagaimanapun hebatnya ilmu 

silat Datuk Manding Kalianget, bagaimanapun ganas 

serangan cluritnya namun dua lawan yang dihada-

pinya bukan sembarangan.

"Datuk Manding Kalianget! Kau mau serahkan 

anak itu atau kau memang ingin dibantai lebih dulu?!" 

Ki Dalem Sleman berseru.

Walau jelas dirinya dalam keadaan terdesak 

namun Manding Kalianget tidak unjukkan rasa takut. 

Malah sambil tertawa dia berkata. "Kau terlalu banyak 

bicara! Jaga batang lehermu!"

"Wuuuttt!"

Sinar biru melesat di udara. Clurit besar mem-

babat ke arah perut Ki Dalem Sleman. Selagi kakek ini 

melompat mundur tiba-tiba clurit di tangan lawan me-

lesat ke atas, membabat ke arah tenggorokannya. Ki 

Dalem Sleman tertipu! Untungnya Brajanala segera 

melompat sambil sorongkan pedang.

"Traangg!"

Clurit dan pedang saling beradu, mengeluarkan 

suara berdentrangan dan percikan bunga api di udara. 

Datuk Manding Kalianget merasa terkejut. Bentrokan


senjata tadi membuat tangannya tergetar hebat dan 

ada hawa panas menyerang telapak tangannya hingga 

dia hampir-hampir melepas pegangan pada gagang 

senjata.

"Celaka, kalaupun aku nekad menyabung nya-

wa, anak ini tak mungkin kuselamatkan. Dua lawan 

yang kuhadapi benar-benar tangguh! Masih ada satu 

cara untuk menghadapi mereka. Kalau ternyata gagal, 

aku memilih mati bersama anak ini!"

Setelah membatin begitu rupa Manding Kalian-

get keluarkan seruan keras. Clurit di tangannya diba-

batkan berputar membentuk lingkaran. Selagi dua la-

wan bergerak menghindar Manding Kalianget perguna-

kan kesempatan untuk melesat ke udara. Dari keting-

gian dua tombak kakek ini kemudian hantamkan tan-

gan kirinya ke bawah sambil mulutnya merapal sesua-

tu.

Dari tangan kiri Manding Kalianget tiba-tiba 

melesat keluar satu bayangan besar hitam, memben-

tuk makhluk bermuka raksasa. Kejut Ki Dalem Sleman 

dan Perwira Brajanala bukan alang kepalang. Kedua-

nya memukul ke atas. Dua pukulan tangan kosong 

mengandung tenaga dalam tinggi jelas-jelas mengenai 

makhluk besar hitam itu. Tapi seperti membal, dua 

pukulan itu berbalik kembali, malah menghantam ke 

arah Brajanala dan Ki Dalem Sleman.

"Bummm! Bummm!"

Tanah terbongkar membentuk dua lobang be-

sar. Untungnya dua tokoh Istana itu masih sempat se-

lamatkan diri.

Brajanala berdiri dengan muka agak pucat. 

Tangannya yang memegang pedang terasa bergetar.

"Perwira, kau gempur kakek jahanam itu den-

gan pedangmu. Aku akan menggasak makhluk jeja-

dian," bisik Ki Dalem Sleman lalu loloskan ikat pinggang jubahnya yang terbuat dari gulungan kawat len-

tur berlapis kain kuning. Dengan kesaktiannya ikat 

pinggang ini bisa berubah menjadi sebatang tombak, 

cemeti atau tali penjirat.

Mendengar bisikan Ki Dalem Sleman, Brajanala 

segera keluarkan jurus-jurus maut ilmu pedangnya. 

Gempuran Perwira Tinggi ini membuat Datuk Manding 

Kalianget sesaat menjadi sibuk terpaksa andalkan clu-

rit untuk menghadapi pedang lawan. Kakek ini cepat-

cepat pergunakan makhluk hitam jejadiannya untuk 

menyerang Brajanala. Namun saat itu ikat pinggang 

kuning di tangan Ki Dalem Sleman mulai ambil pera-

nan. Senjata ini meliuk di udara dua kali berturut-

turut, menusuk ke lambung makhluk hitam, lalu ber-

kelebat menjirat ke arah leher! Datuk Manding Kalian-

get tersentak kaget ketika melihat satu kali bergerak 

saja lawan telah mampu menjirat leher makhluk hitam 

besar jejadian. Dia segera merapal habis-habisan. Tapi 

tak ada gunanya. Makhluk jejadian hitam besar kelua-

rkan suara menggebor lalu sirna tak berbekas. Malah 

tali kuning yang masih menjulai panjang tiba-tiba 

menggelung ke arah lehernya!

Manding Kalianget gerakkan tangan yang me-

megang clurit untuk menabas tali kuning tapi senja-

tanya membal ke atas, terlepas dari genggamannya. 

Lidah tokoh silat dari Madura ini mulai terjulur keluar. 

Ludah membusah. Matanya mendelik merah. Jiratan 

tali kuning pada lehernya tak mampu dilepaskan. Tak 

ada kemungkinan lagi baginya untuk selamatkan diri 

dari kematian.

"Ki Dalem Sleman keparat! Kau boleh membu-

nuhku! Tapi jangan harap bisa dapatkan anak ini hi-

dup-hidup!"

Habis berkata begitu Datuk Manding Kalianget 

gebukkan tinju kanannya ke batok kepala si bocah di


bahu kirinya!

*

* *

BERSAMBUNG KE BAGIAN – 5


-------------------------------------------------

KUNGFU SABLENG

EPISODE PENDEKAR SPIRITUS


 SATU


PEMUDA she Ngak berlutut di samping tubuh 

gurunya yang tergelimpang penuh luka bekas bacokan. 

Orang tua berusia 99 tahun lewat 13 hari itu tengah 

sekarat meregang nyawa. Sulit sekali baginya men-

gumpulkan sisa tenaga yang ada agar dapat membuka 

mulutnya yang kempot dan ompong.

"Muridku Ngak Ngik Ngok... Rohku bakal tidak 

tenteram di alam akhirat sebelum kau membalas sakit 

hati kematianku...."

"Suhu..." suara sang murid tersendat menahan 

isak. "Siapa yang melakukan perbuatan durjana ini?!"

"Manusianya she Tong. Bernama Bo Long. 

Dia... dia dikenal dengan julukan Pendekar Bop karena 

mukanya bopeng. Kau harus cari dia dan ambil nya-

wanya penebus nyawaku!"

"Suhu, aku muridmu Ngak Ngik Ngok bersum-

pah akan mencari dan membunuh manusia bernama 

Tong Bo Long itu sampai ke laut yang tidak ada airnya


sekalipun! Bahkan sampai ke Planet Crypton bekas 

kontrakannya Superman..."

"Bagus, aku gembira mendengar kata-katamu 

itu. Tapi ingat, jangan sampai mencari manusia itu ke 

Planet Senen. Karena disitu banyak WTS, copet, jamb-

ret dan tukang todong..." 

"Terima kasih atas petunjuk suhu..." 

"Ngik Ngok, ajal ku sudah dekat. Rasanya su-

dah di depan hidung. Lekas ambilkan dot-ku. Aku mau 

menghisapnya, agar bisa menghadap Thian dengan te-

nang."

Mendengar ucapan gurunya Ngak Ngik Ngok 

mengambil sebuah dot bayi yang terletak di atas meja 

kecil lalu cepat-cepat memasukkannya ke dalam mulut 

gurunya. Terkempot-kempot sang guru hisap dot itu 

beberapa kali. Kemudian mulutnya tak bergerak lagi. 

Sepasang matanya mendelik kosong. Orang tua ini 

menghembuskan nafas terakhir sambil nyengir!

Ngak Ngik Ngok menangis tanpa suara. Ketika 

dia keluar rumah untuk memberi tahu tetangga terde-

kat atas kematian gurunya itu, mendadak pandangan-

nya membentur secarik kain putih, menempel di pintu. 

Dia terkejut dan heran. Karena sebelumnya kain putih 

itu tidak ada di tempat itu!

Di atas kain tertera gambar tengkorak bopeng. 

Lalu di bawah gambar tengkorak itu ada tulisan ber-

bunyi:

"Jika kau memang pendekar sejati, bukan wa-

dam kalengan, ingin menuntut balas kematian kau 

punya guru, datanglah ke puncak gunung Labu Putih. 

Tapi jangan lupa membawa nyawa serep karena sekali 

kau sampai di puncak gunung kau tak bakal bisa 

mundur atau atret. Tertanda Pendekar Bop."

"Keparat sialan!" maki Ngak Ngik Ngok seraya 

membetot robek kain putih di pintu, mengucalnya,


membantingnya ke lantai, diludahi lalu diinjak-injak. 

Masih belum puas dia songgengkan pantatnya dan 

brut! Kain bergambar tengkorak bopeng itu dikentu-

tinya. Sambil kepalkan tinju Ngak Ngik Ngok berkata. 

"Tong Bo Long! Kau tunggu pembalasanku! Isi perut-

mu akan aku korek habis agar kau jadi tong bolong 

benaran! Pendekar Bop! Mukamu akan aku cucuk 

dengan seribu totokan agar tambah bopeng!"

*

* *

DUA


GUNUNG Labu Putih cukup jauh letaknya. 

Dengan mengerahkan ilmu lari warisan gurunya yang 

bernama "Di atas angin membonceng awan" tiga hari 

kemudian, di satu siang mendung sampailah pemuda 

Ngak Ngik Ngok di gunung Labu Putih.

Kira-kira setengah lie menjelang puncak gunung, Ngak Ngik Ngok melihat ribuan buah labu putih 

berhamparan menutupi tanah pegunungan. Buah labu 

ini aneh sekali. Selain warnanya yang putih, bentuknya hampir menyerupai payudara wanita. Ngak Ngik 

Ngok tak habis pikir. Dari mana datangnya labu aneh 

begini banyak, siapa yang menanam dan memeliharanya?

Tepat di puncak gunung terlihat satu pondok 

kayu. Kira-kira berada dua tombak dari hadapan ban-

gunan ini. tiba-tiba pintu pondok terbuka dan keluar-

lah sesosok tubuh yang membuat Ngak Ngik Ngok ter-

perangah kaget campur heran.

Di hadapan Ngak Ngik Ngok saat itu berdiri 

seorang perempuan super ultra gemuk bermuka bopeng. Pakaiannya hanya sehelai celana bikini dan ku-

tang sangat besar tapi masih tidak sanggup mem-

bungkus buah dadanya yang dua kali lebih besar. 

Rambutnya disanggul tinggi ke atas, ditancapi sumpit 

hitam. Pada pinggang kirinya terselip sepasang pe-

dang. Sepasang kakinya mengenakan sepatu bot ber-

hak tinggi warna hitam selutut.

Dua mata Ngik Ngok memandang tak berkesip, 

terutama pada payudara yang menggelembung luar bi-

asa besarnya itu.

"Tak pernah kuduga," membatin Ngik Ngok. 

"Musuh besar pembunuh guruku yang berjuluk Pen-

dekar Bop ini ternyata adalah seorang perempuan!"

Pendekar Bop yang bernama asli Tong Bo Long 

sunggingkan senyum sinis. "Pemuda kuaci yang masih 

bau kencur! Akhirnya kau sampai juga di puncak gu-

nung Labu Putih. Seperti yang aku ada pesan, apakah 

kau datang lengkap membawa nyawa serep?"

Ngak Ngik Ngok balas menyeringai.

"Perempuan gembrot muka bopeng! Aku me-

mang tidak membawa nyawa cadangan. Bagaimana 

kalau aku pinjam dulu nyawa busukmu?!"

Mendengar ucapan si pemuda Pendekar Bop 

bukannya marah, malah tertawa gelak-gelak hingga 

dadanya yang besar kelihatan seolah berjingkrak-

jingkrak.

"Tidak kusangka kadal jelek macammu pandai 

juga bicara! Hik...hik! Apa kau sudah siap menghadapi 

kematian?!"

"Perempuan bermuka simpang siur! Urusan 

nyawa manusia adalah Thian punya urusan. Yang je-

las guruku sudah menunggu kedatanganmu di pintu 

akherat! Hari ini aku akan balaskan sakit hati dendam 

kesumat kematian guruku!"

"Kurang ajar! Berani kau mengatakan mukaku


simpang siur! Memangnya wajahku sama dengan per-

simpangan jalan yang macet total karena lampu lalu 

lintasnya mati dan polisinya sembunyikan diri?!"

Dua orang yang tidak dapat menahan kemara-

han masing-masing segera berbaku hantam. Ngak Ngik 

Ngok mencabut senjatanya sebilah golok tipis. Sedang 

Pendekar Bop loloskan pedang di pinggang. Tanpa ba-

nyak cerita lagi pertempuran hebat berkecamuk di 

puncak gunung Labu Putih itu.

Ngak Ngik Ngok berkelebat gesit. Serangannya 

datang bertubi-tubi. Sebaliknya Pendekar Bop yang 

bertubuh gemuk kelihatan lamban. Namun bagaima-

napun Ngak Ngik Ngok berusaha menumbangkan la-

wannya malah keadaan jadi terbalik. Entah ilmu pe-

dang apa yang dimiliki perempuan gembrot itu. Yang 

jelas Ngak Ngik Ngok bukan saja tidak mampu menci-

derai lawan malah bajunya berhasil dibikin robek 

ujung pedang lawan dan kulit tubuhnya tergores luka 

di beberapa tempat. Ngak Ngik Ngok menggigit bibir 

menahan amarah dan rasa sakit.

*

* *

TIGA


"PEMUDA kuaci! Sekarang kau baru tahu rasa! 

Sebentar lagi kepalamu kubikin menggelinding. Kau 

bakal menghadap setan akhirat dan bertemu gurumu! 

Hik...hik...hik!"

"Perempuan gila! Aku belum kalah!" teriak Ngak 

Ngik Ngok. Dia bacokkan goloknya ke arah batok kepa-

la lawan. Pendekar Bop menangkis dengan pedangnya. 

"Trang!"


Dua senjata bentrokan di udara memercikkan 

bunga api. Ngak Ngik Ngok tersurut dua langkah. Tan-

gannya bergetar hebat dan wajahnya tampak pucat! 

Pendekar Bop kembali tertawa bergelak.

"Pemuda dungu! Kau boleh punya sepuluh ke-

pala dua puluh tangan dua puluh golok! Tapi jangan 

mimpi bisa mengalahkanku! Ajalmu hanya tinggal be-

berapa hitungan saja. Tapi aku tuan besarmu ini ber-

sedia mengampuni selembar nyawamu jika kau mau 

berlutut minta ampun lalu berjanji untuk mau mencu-

ci kutang serta celana dalamku dan menemaniku di 

atas ranjang selama tujuh puluh hari tujuh puluh ma-

lam! Hik...hik! Apa jawabanmu?!"

"Perempuan mesum! Kau kira aku ini jongos 

mu atau kau anggap aku ini Pendekar Playboy?!" ben-

tak Ngak Ngik Ngok. "Aku rela mati dari pada hidup 

terhina!"

"Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mam-

pus!" Pendekar Bop lalu kirimkan serangan gencar. Ke-

tika dua senjata beradu untuk kesekian kalinya si ge-

muk ini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya. 

Golok tipis di tangan Ngak Ngik Ngok terlepas mental.

"Celaka!" keluh Ngak Ngik Ngok. Tong Bo Long 

alias Pendekar Bop tertawa bergelak. "Ajalmu sudah ti-

ba pemuda tolol!"

"Mana mungkin! Kepalamu yang bakal pecah!" 

jawab Ngak Ngik Ngok. Mendadak saja dia dapat akal. 

"Paman guruku yang berjuluk Pendekar Pulang Pagi 

Pie Koen siap membokongmu dari belakang! Satu 

langkah saja kau berani bergerak, kepalamu akan di-

pukulnya hancur! Paman guru, bunuh perempuan 

durjana ini!"

Pendekar Bop Tong Bo Long sesaat jadi terke-

siap. Dia memang pernah mendengar nama Pie Koen 

sebagai pendekar cabang atas yang mendapat julukan


Pendekar Pulang Pagi. Di antara para tokoh silat yang 

dianggap jadi dedengkot dan disegani karena ilmunya 

yang tinggi adalah manusia satu ini. Mau tak mau 

Pendekar Bop jadi terkejut juga mendengar ucapan la-

wan yang mengatakan Pie Koen adalah paman gu-

runya dan saat itu berada di belakangnya! Namun se-

saat hati kecilnya meragu. Mungkin saja lawan hendak 

menipunya.

Ngak Ngik Ngok rupanya tahu apa yang ada da-

lam benak si gemuk. Maka dia kembali berteriak. "Pa-

man guru! Tunggu apa lagi! Hancurkan kepala iblis 

bopeng ini! Dia telah membunuh suhu!"

Mau tak mau Pendekar Bop palingkan kepala 

juga ke belakang. Dia kena tertipu! Ternyata di bela-

kangnya memang tidak ada siapa-siapa!

"Setan alas! Kau berani menipuku! Jangan ha-

rap kau bisa lolos dari kematian!"

Tong Bo Long tidak selesaikan ucapannya ka-

rena ketika dia berpaling ke depan kembali, Ngak Ngik 

Ngok sudah lenyap dari tempat itu. Sadar kalau di-

rinya memang sudah kena ditipu si gendut ini hanya 

bisa memaki panjang pendek! Setelah puas mengelua-

rkan kutuk serapah, Pendekar Bop keluarkan satu ko-

tak kecil yang diselipkannya di balik kutang. Ternyata 

kotak alat kecantikan merek Rev Long, lengkap dengan 

kacanya. Dengan sikap genit Pendekar Bop mulai me-

rapikan dandanannya yang kacau balau berlepotan ke-

ringat.

*

* *


EMPAT


NGAK NGIK NGOK sakit hati dan sedih bukan 

main karena tidak dapat membalaskan dendam kesu-

mat kematian gurunya. Dalam menuruni gunung Labu 

Putih dia tidak tahu lagi entah menuju kemana. Ketika 

pada akhirnya dia menghentikan Sari dan berjalan bi-

asa didapatinya dirinya berada di sebuah desa berna-

ma Spie Ing Rie Tus. Hampir keseluruhan penduduk 

desa ini mempunyai mata pencaharian sebagai pembuat spiritus. Cairan ini bukan saja untuk dijual tapi 

juga dijadikan minuman sehari-hari oleh penduduk, 

pengganti arak yang mahal harganya. Konon spiritus 

keluaran desa Spie Ing Rie Tus ini sangat tinggi kadar 

alkoholnya dan merupakan merek nomor satu di daratan Tionggoan (daratan Tiongkok)

Ngik Ngok sampai di hadapan sebuah kedai. Le-

tih dan haus membuat dia arahkan langkahnya ke ke-

dai ini. Dia memesan segelas teh dan menjadi heran 

ketika orang kedai dan para tetamu mentertawainya.

"Kau pasti orang asing!" kata pemilik kedai. 

"Ketahuilah, di desa ini satu-satunya minuman yang 

ada hanyalah spiritus. Jangan harapkan segelas teh, 

apalagi susu atau arak! Kau cobalah spiritus desa Spie 

Ing. Rasanya lebih sedap dari arak Shantung!"

Mula-mula Ngik Ngok hendak jengkel tapi keti-

ka dia memandang berkeliling dilihatnya semua tamu 

memang memesan dan minum spiritus yang berwarna 

biru berkilauan. Mau tak mau akhirnya pemuda ini 

anggukkan kepala. Tapi ketika pertama kali minuman 

itu diteguknya, dia menjerit dan terlonjak dari bangku. 

Mulutnya seperti disulut api. Spiritus dalam mulutnya 

disemburkan keluar. Mukanya merah padam. Semua 

orang mentertawainya. Karena kesal Ngak Ngik Ngok


duduk memencilkan diri di satu sudut kedai.

Duduk sendirian kembali Ngik Ngok ingat pada 

musuh besarnya si Pendekar Bop. Lama dia terme-

nung memikirkan bagaimana caranya menghadapi dan 

mengalahkan pembunuh suhunya itu. Dalam keadaan 

seperti itu tidak sengaja matanya melihat seekor anjing 

kampung sedang kencing di bawah pohon. Binatang 

ini tidak tahu kalau didekat pohon tersebut ada seekor 

kodok sedang mangkal. Begitu sekujur tubuhnya ter-

kena siraman air kencing hangat dan bau, sang kodok 

menggelepar megap-megap lalu lari pontang-panting.

Ngak Ngik Ngok tertawa sendirian. Tiba-tiba sa-

tu akal menyelinap masuk ke dalam benaknya. Mu-

suhnya si Tong Bo Long alias Pendekar Bop walau 

memiliki gerakan lamban namun ilmu pedangnya he-

bat luar biasa. Jika dia bisa mengacaukan perhatian 

lawan bukan mustahil dia bisa mempecundangi si ge-

muk itu. Ngak Ngik Ngok terus merenung. Kemudian 

dia bangkit berdiri. Dia mendekati pemilik kedai. Sam-

bil menyerahkan sejumlah uang dia berkata.

"Berikan aku lima buli spiritus!" (buli = sema-

cam kendi tanah berbentuk botol kuno)

Tentu saja pemilik kedai dan orang-orang yang 

ada di situ heran semua. Tadi mereka saksikan sendiri 

pemuda itu menyemburkan spiritus yang dicicipinya. 

Dia hampir kelojotan. Kini malah memesan lima buli 

sekaligus!

*

* *

LIMA


SANG surya muncul di ufuk timur tepat pada 

saat Ngak Ngik Ngok sampai di puncak gunung Labu


Putih. Begitu sampai di hadapan pondok langsung saja 

dia tendang daun pintu sambil berteriak.

"Pendekar Bopeng perempuan keparat! Lekas 

keluar! Aku datang kembali untuk minta nyawamu!"

Saat itu si gemuk Tong Bo Long masih tertidur 

pulas dan mendengkur keras. Suara dengkurannya 

putus. Matanya terbuka dan tubuhnya yang gembrot 

duduk di atas ranjang. Tangannya cepat menyambar 

kutang ukuran raksasa, bikini antik dan sepatu bot. 

Tak ketinggalan kotak kecil berisi alat kecantikan. Se-

telah mengenakan kutang dan bikini serta sepatunya, 

Pendekar Bop melompat keluar.

"Setan alas kurang ajar! Kau berani merusak 

pintu istanaku! Kau kembali ke sini minta mampus 

atau memang kangen dan ingat-ingat diriku! 

Hemm...Jangan-jangan kau termimpi-mimpi dan kebe-

let mau tidur denganku! Hik...hik...hik!" Sambil terta-

wa Pendekar Bop cepat merias wajahnya.

"Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya 

dandan. Tapi tak jadi apa. Memang harus begitu su-

paya setan neraka tidak pangling padamu!" kata Ngak 

Ngik Ngok pula.

Pendekar Bop selipkan kotak alat kecantikan-

nya di balik kutang lalu tanpa banyak cerita lagi dia 

segera hunus pedang dan menerjang pemuda di hada-

pannya. Ngak Ngik Ngok sudah pula menyiapkan golok 

tipisnya. Hanya kali ini tangan kirinya berbarengan

mengambil satu dari lima buli-buli spiritus yang berge-

lantungan di pinggangnya lalu meneguk isinya. Den-

gan mulut gembung penuh spiritus dia hadapi seran-

gan Pendekar Bop.

"Pemuda keparat! Kali ini jangan harap aku 

mau memberi hati ataupun tulang padamu!" Pedang 

Pendekar Bop berkiblat. Pertempuran seru berkeca-

muk. Dalam tiga jurus saja Ngak Ngik Ngok sudah terdesak.

Pendekar Bop terus menggebrak sambil lontar-

kan seringai sinis. Ujung pedangnya bertabur me-

nyambar ganas. Dia yakin paling lama dua jurus di-

muka akan sanggup membantai si pemuda. Tiba-tiba 

tidak disangka-sangka mulut gembung Ngak Ngik Ngok 

menyembur. Cairan spiritus menderu menghantam 

muka bopeng Pendekar Bop.

Perempuan gemuk berdandan tebal itu tidak 

menyangka akan mendapat serangan begitu rupa. Un-

tung saja dia berlaku waspada. Namun walaupun mu-

kanya selamat, cipratan spiritus masih sempat menge-

nai dadanya. Tak urung kutang besarnya menjadi ber-

lubang-lubang dan payudaranya seperti ditusuk-tusuk 

jarum!

Menggelegaklah amarah Pendekar Bop. Didahu-

lui satu pekikan keras seperti pekik penyanyi yang ke-

setanan di disko "Le Go Yang" dia putar pedangnya 

dengan sebat hingga saat itu juga sekujur tubuh lawan 

terkurung sambaran senjata tajam itu.

Namun kali ini Ngak Ngik Ngok berhasil mem-

babat putus salah satu tali kutang lawan. Pendekar 

Bop terpekik. Dia cepat pergunakan tangan kiri untuk 

menunjang dan menutupi dadanya yang melorot turun 

ke bawah seperti kelapa menggelantung. Namun na-

sibnya rupanya sudah sampai pada saat menentukan. 

Sambaran berikutnya memutus tali kutang yang satu 

lagi!

"Jahanam keparat! Kau berani menghinaku! 

Aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!"

Pedang di tangan Pendekar Bop berkiblat ga-

nas. Tapi semburan spiritus dari mulut lawan mem-

buat gerakannya tertahan.

"Lihat celana!" Ngak Ngik Ngok berseru. Lalu 

goloknya menyambar ke bawah. Tali celana bikini Pendekar Bop putus! Kembali si gemuk ini menjerit. Ketika 

dengan kalap dia coba mengejar lawan dengan pe-

dangnya, Ngak Ngik Ngok babatkan lagi senjatanya 

dan menyembur dengan spiritus. Pendekar Bop terpe-

kik. Luka besar menguak di perutnya yang gendut ber-

lemak. Darah mengucur!

"Oh bikini ku! Kubeli mahal-mahal di Paris. Ro-

bek... kau merobeknya....! "Pendekar Bop bukan kha-

watirkan luka di perutnya tapi malah lebih mengkha-

watirkan bikininya yang robek dimakan ujung golok!

"Dasar perempuan otak miring!" kata Ngak Ngik 

Ngok. Selagi lawan kalang kabut goloknya kembali 

membabat. Jeritan mengenaskan keluar berulang kali 

dari mulut Pendekar Bop, Tubuhnya yang gemuk ak-

hirnya tergelimpang bergedabukan di depan pondok. Si 

gemuk ini menemui ajal dengan mata mendelik dan 

dua tangan memegangi bikininya.

Ngak Ngik Ngok jatuhkan diri berlutut. Terbata-

bata dia berkata.

"Suhu, sakit hatimu sudah murid balaskan! 

Pembunuh mu telah aku habisi! Ternyata murid tidak 

perlu susah-susah harus pergi ke Planet Crypton atau 

ke Planet Senen.. Juga tidak perlu mengarungi lautan 

luas yang penuh dengan pukat harimau. Tidak perlu 

memasuki hutan belantara yang kayu-kayunya sudah 

pada habis di trondoli orang-orang kota. Hari ini murid 

sudah bunuh Pendekar Bop Tong Bo Long. Semoga 

arwah suhu kini bisa tenteram di alam baka!"

Ngak Ngik Ngok manggut-manggut tujuh kali 

lalu bangkit berdiri dan tinggalkan puncak gunung La-

bu Putih. Sejak itu dia lebih dikenal dengan julukan 

Lendekar Spiritus.



                                TAMAT








































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive