..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 17 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE DUA NYAWA KEMBAR

Dua Nyawa



 SATU



NENEK sakti Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro 

Sableng terkencing-kencing serabutan begitu mela–

yang jatuh memasuki alam delapan ratus tahun 

silam Bhumi Mataram di kawasan selatan kaki Gunung 

Merapi. Tubuh kurus kering si nenek terguling-guling di 

tanah lalu tertumbuk dan tersandar di sebatang pohon 

mahoni. Dua kaki masih mengepit kuda lumping yang tadi 

ditunggangi sewaktu melesat dari dalam hutan di dekat 

Candi Prambanan. 

“Oala! Bagaimana bisa kejadian begini rupa?!” Si nenek 

berucap setengah berseru lalu semburkan air kunyahan 

susur yang ada di dalam mulut. Dia memandang berke–

liling. “Aku di mana? Apa aku sudah berada di Mataram 

Kuna, kerajaan delapan ratus tahun silam?” 

Perlahan-lahan si nenek bangkit berdiri. Kuda lumping 

dikepit di ketiak kiri, tangan kanan rapikan empat tusuk 

konde perak yang menancap di kepalanya. 

Bukannya ingin mencari tahu di mana keberadaan Wiro 

dan anak perempuan bernama Ni Gatri, si nenek malah 

terus bertanya-tanya dalam hati. “Apakah aku akan ber–

temu lagi dengan kakek gagah bersorban dan berjubah 

kelabu yang menyusup ke dalam tubuh Ni Gatri sewaktu 

berada di rumah Abdi Dalem Pringkun? Ah, mengapa aku 

begitu tertarik padanya? Padahal apakah dia tertarik pada 

diriku yang jelek rongsokan ini?” 

Membayangkan wajah kakek dari alam gaib itu si nenek 

senyum-senyum sendiri (Baca “Empat Mayat Aneh”). 

Namun wajahnya yang hanya dilapis kulit tipis keriput 

mendadak berubah redup.


“Kalau aku sampai bertemu dia dalam keadaan diriku 

tak karuan seperti ini, dekil dan bau pesing, tobat biyung! 

Betapa memalukan! Aku harus mencari pakaian pengganti, 

bersolek sedikit dan yang paling penting mendapatkan 

pewangi pengharum tubuh. Agaknya aku harus mencari 

pasar lalu mencuri barang dagangan orang. Hik... hik... 

hik!” Sinto Gendeng tertawa cekikikan lalu membatin lagi. 

“Mungkin juga kakek gagah itu tidak suka dan jijik 

melihat aku mengunyah susur. Biar aku buang saja!” 

Si nenek lalu semburkan susur yang ada di dalam mulut 

hingga amblas masuk ke dalam batang pohon. Lalu dia 

kembali merenung. “Aku ingat orang bernama Swara 

Pancala itu. Apa benar yang dikatakannya kalau kakek 

gagah melihat diriku dalam ujud seorang gadis cantik 

hitam manis. Sebagaimana keadaan wajah dan tubuhku di 

masa muda...? Dan bahwa dia akan minta kakek gagah itu 

menggantikan tusuk kondeku yang hancur? Ah, rasanya 

tidak diganti pun aku tidak kecewa. Yang penting syukur-

syukur aku bisa bertemu dengan dia dan... Hik... hik... hik!” 

Sinto Gendeng lantas ingat pula sewaktu Wiro meng–

godanya. Yaitu mengapa dia tidak minta dipeluk dan 

dicium oleh kakek gagah yang terlihat di dalam diri Ni Gatri 

itu. Si nenek tersipu, usap-usap dagunya yang runcing. 

Sebagaimana diceritakan dalam serial sebelumnya 

(Roh Jemputan) sesuai petunjuk kakek jubah kelabu 

makhluk alam gaib dari zaman Mataram Kuna delapan 

ratus tahun silam yang masuk ke dalam tubuh Ni Gatri dan 

bicara lewat anak perempuan itu, pada menjelang tengah 

malam Mayat Keempat benar-benar muncul mengejutkan 

Wiro, Ni Gatri dan Sinto Gendeng yang memang telah 

menunggu di dalam rimba belantara tak jauh dari Candi 

Prambanan. Tentu saja mereka tidak pernah menyangka 

yang bakal datang adalah makhluk dengan ujud begitu 

rupa dan mengaku bernama Mayat Aneh Keempat! 

Sebelum itu seorang bernama Swara Pancala yang 

masuk ke dalam kuda lumping lalu berpindah ke dalam 

tubuh Ni Gatri menjelaskan bahwa kuda lumping terbuat


dari bambu itu kelak akan dijadikan tunggangan bagi Wiro 

untuk masuk ke alam delapan ratus tahun silam, yaitu 

pada masa terjadinya malapetaka Malam Jahanam di 

Bhumi Mataram. 

Sinto Gendeng merasa sangat kesal ketika Mayat 

Keempat tidak mengizinkannya pergi bersama sang murid. 

Sebaliknya Ni Gatri malah disuruh ikut dengan Wiro. Sebe–

lum Wiro menunggangi, Sinto Gendeng mendahului me–

lompat naik ke punggung kuda lumping. Kuda lumping dari 

kajang bambu yang telah berubah menjadi satu benda 

sakti ini langsung melesat ke udara. Untung saja Wiro 

sambil menarik Ni Gatri masih bisa mengejar hingga ketiga 

orang itu duduk berdesakan di punggung kuda lumping 

yang melesat ke langit untuk kemudian melayang turun di 

Bhumi Mataram. Ketika hampir mencapai tanah ke tiga 

orang itu jatuh terpental berpencaran. Ni Gatri jatuh ke 

dalam pangkuan seorang nenek bernama Rauh Kalidathi 

yang dalam keadaan lumpuh tengah duduk bersemadi di 

atas serumpunan semak belukar. Baru saja anak perem–

puan itu berada dalam haribaannya mendadak muncul 

seorang bernama Ludra Bhawana yang di Bhumi Mataram 

dikenal sebagai dukun jahat, anak buah Raja Dukun Batu 

Berlumut. Raja Dukun adalah kaki tangan Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah. Ludra Bhawana memaksa Rauh Kali–

dathi menyerahkan Ni Gatri kepadanya. Melihat ancaman 

bahaya, Rauh Kalidathi mengamankan Ni Gatri dengan 

Ilmu Kesejukan di Dalam Api. Anak perempuan itu dima–

sukkan ke dalam semak belukar dan dilindungi dengan 

kobaran api. 

Pertarungan antara si nenek dengan Ludra Bhawana 

tidak dapat dihindari. Walau usia lanjut dan banyak penga–

laman namun ternyata kesaktian si nenek masih berada di 

bawah lawan. Sekejapan lagi Rauh Kalidathi akan mene–

mui ajal dihantam pukulan Batu Neraka Menggoncang 

Jagat yang dilepas Ludra Bhawana tiba-tiba satu makhluk 

gaib sakti merasuk masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Sosok 

anak perempuan ini melesat keluar dari dalam semak


belukar yang terbakar. Tangan kanan menunjuk ke arah 

Ludra Bhawana, mulut membentak dalam suara lelaki tua. 

“Manusia culas Ludra Bhawana! Masih muda tapi dosa 

setinggi langit sedalam samudera! Kerajaan memberi 

pangkat tinggi dan anugerah besar padamu! Tapi kau 

berkhianat! Malam ini dosamu sudah lewat dari takaran! 

Malam ini kau harus menyerahkan nyawa busukmu pada 

penjaga pintu neraka?” 

Rupanya orang bernama Ludra Bhawana ini dulunya 

adalah pejabat kerajaan yang kemudian berkhianat men–

jadi anak buah Raja Dukun Batu Berlumut alias Jambal 

Ungu dan memperhamba diri pada makhluk bernama 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang dalam alur cerita 

diketahui menjadi makhluk penimbul bencana Malam 

Jahanam di Kerajaan Mataram Kuna. 

Begitu bentakan yang keluar dari mulut Ni Gatri ber–

akhir, dari dalam tanah tiba-tiba reettt... rettt! Mencuat 

keluar dua tangan besar merah menyala laksana bara. Dua 

tangan dengan gerakan kilat mencekal pergelangan 

sepasang kaki Ludra Bhawana. 

Cess! Cess! 

Dua kaki Ludra Bhawana leleh mulai dari kulit sampai 

ke daging dan tembus ke tulang! Orang ini menjerit setinggi 

langit, mulut robek, lidah mencuat terjulur. Dia berusaha 

menarik dua kakinya yang telah lumat namun satu hen–

takan dahsyat membuat tubuhnya amblas masuk ke dalam 

tanah! 

Kembali pada Sinto Gendeng yang tengah teringat pada 

kakek gageh bersorban dan berjubah kelabu. Nenek satu 

ini sedang memikirkan bagaimana caranya dia harus me–

matut diri sebelum bertemu dengan kakek yang sangat 

menarik hatinya itu ketika lapat-lapat dia mendengar suara 

air mengalir. Sinto Gendeng tancapkan tongkat kayunya ke 

tanah. Melalui getaran yang keluar dari dalam tanah dan 

menjalar masuk ke tongkat terus ke tangannya si nenek 

segera bisa menduga di mana beradanya sumber suara 

aliran air. Melangkah cepat mengikuti getaran sejauh


belasan tombak akhirnya Sinto Gendeng menemukan 

sebuah kali kecil dan dangkal. Walau airnya jernih namun 

kali kecil ini nyaris hanya merupakan sebuah selokan 

selebar tiga langkah. Si nenek tidak berhenti sampai di 

situ. Dia berjalan ke arah tanah yang ketinggian, berlawa–

nan dengan aliran air dan sangat gembira ketika di satu 

tempat akhirnya dia menemukan sebuah telaga kecil. Saat 

itu ada rembulan setengah lingkaran di langit. Cahaya 

bulan membuat suasana di telaga dan sekitarnya tampak 

indah dan sejuk. Namun Sinto Gendeng tidak memper–

dulikan semua itu. Yang dipikirkan si nenek saat itu adalah 

segera menanggalkan pakaian lalu masuk ke dalam telaga 

untuk membersihkan diri. 

Puas mandi di telaga berair jernih dan sejuk Sinto 

Gendeng menepi ke daratan, ke arah batu datar di mana 

tadi dia melepas dan meninggalkan pakaian. Si nenek 

terkejut ketika dia dapatkan baju panjang hitam dan kain 

hitam miliknya tidak ada lagi di atas batu. Yang ada di atas 

batu hanya tongkat kayunya sementara kuda lumping 

masih tergeletak di tanah di pinggiran telaga. 

Sebaliknya, yang membuat dia tercengang di atas batu 

kini terlihat pula seperangkat kebaya dalam berwarna biru 

serta sehelai kain panjang yang sangat bagus dan halus 

tenunannya. Dan yang membuat nenek ini jadi lebih 

melengak adalah ketika melihat di samping pakaian ada 

sebuah nampan kecil terbuat dari perak. Di atas nampan 

terdapat serbuk pupur putih kemerahan, kayu kecil hitam 

untuk penghitam alis, kayu merah basah untuk pemerah 

bibir. Lalu ada sebuah tabung perunggu kecil yang dari 

balik penutupnya menebar keluar bau harum semerbak 

yang membuat sedap rongga pernafasan. 

“Ada orang meletakkan semua benda itu di atas batu. 

Siapa? Apa memang aku disuruh mengganti pakaian dan 

berdandan. Baik sekali orang itu...” Sinto Gendeng me–

mandang berkeliling. Dalam kegelapan malam dia tidak 

melihat siapapun Telinga dipasang. Tenaga dalam dike–

rahkan. “Aku tidak mendengar suara gerakan, apalagi


degup jantung dan tarikan nafas...” 

Si nenek akhirnya kembali menatap ke arah batu datar. 

Dia bergerak mendekati. Tangan diulurkan. Namun ditarik 

kembali. Ada kebimbangan dalam diri nenek sakti yang kini 

berada di alam delapan ratus tahun silam itu. 

“Ini negeri asing. Aku tidak mengenal siapapun di sini. 

Aneh kalau ada orang berbuat baik. Apakah ini satu jeba–

kan atau kakek gagah itu yang hendak berbuat baik mena–

nam budi...?” Sinto Gendeng usap-usap keningnya yang 

berkulit tipis dan hitam. 

Tidak terduga tiba-tiba dalam kegelapan malam terde–

ngar suara lembut seorang lelaki menegur, mengucapkan 

kata-kata. 

“Gadis cantik yang datang dari alam jauh. Jangan ragu, 

jangan ada kebimbangan. Setelah bersegar diri mandi di 

dalam Telaga Banyu Mindi, sangatlah layak bagimu untuk 

berpakaian dan menghias diri serta memperwangi tubuh 

dengan Minyak Sari Seratus Bunga.”


DUA


SINTO Gendeng terkejut. Dua tangan disilang melin–

dungi dada seolah anak perawan yang merasa malu 

karena auratnya tersingkap dan takut dilihat orang. 

Padahal dada si nenek rata dan ceper kisut! Kepala dipa–

ling ke arah kiri pinggiran telaga di mana tumbuh sedere–

tan pohon besar. Orang yang tadi mengeluarkan ucapan, 

suaranya datang dari balik deretan pepohonan itu. 

“Orang itu, dia mengatakan diriku gadis cantik! Apa 

matanya buta tidak melihat wajah dan kulit tubuhku yang 

keriputan? Atau... Heh! Jangan-jangan dia melihat keadaan 

diriku di masa muda. Berarti dia adalah si kakek gagah. 

Ah...” Sinto Gendeng terkesima. Wajah berseri. Mengingat-

ingat. Lalu berkata lagi dalam hati. “Suara itu sungguh 

lembut. Memang mirip dengan suara kakek berwajah 

gagah yang aku lihat dan aku dengar tempo hari. Aku yakin 

yang bicara dari balik pohon itu memang dia...” 

Wajah Sinto Gendeng tampak berseri. Dia menatap 

sekali lagi ke arah gelap deretan pohon lalu berkata 

dengan dada berdebar. “Orang di balik pohon, harap kau 

suka memperlihatkan diri. Aku mengenali suaramu. Mung–

kin kita pernah bertemu.” 

Tak ada jawaban. Sinto Gendeng menunggu. Ketika 

masih tak ada jawaban dia berseru. “Hai! Mengapa tidak 

menjawab?” 

“Gadis cantik di dalam telaga. Bagaimana mungkin aku 

memperlihatkan diri sementara auratmu yang bagus tidak 

tertutup selembar benangpun. Para Dewa akan meng–

hukumku jika berani melihat tubuh terlarang seorang anak 

gadis baik-baik, cantik, mulus dan bagus...”


“Ah...” Sinto Gendeng tersipu-sipu. 

“Selesaikan mandimu...” Kata orang di balik pohon. 

“Aku memang sudah selesai mandi.” Jawab Sinto 

Gendeng. 

“Kalau begitu keluarlah dari dalam telaga. Kenakan 

pakaian yang telah tersedia. Setelah itu berhiaslah dan 

pakai Minyak Sari Seratus Bunga. Maka kau tidak akan 

beda laksana seorang bidadari yang turun dari Swarga–

loka...” 

Sudah puluhan tahun Sinto Gendeng tidak mendengar 

puji sanjung seperti itu. Tentu saja hati si nenek jadi ber–

bunga-bunga. 

“Orang di balik pohon! Aku akan keluar dari telaga. 

Awas, jangan berani mengintip!” Habis berkata begitu 

tanpa tedeng aling-aling Sinto Gendeng enak saja keluar 

dari dalam telaga. Naik ke atas batu datar untuk meng–

ambil dan mengenakan kebaya dan kain panjang. Setelah 

memperhatikan segala macam alat berhias yang ada di 

atas nampan perak, nenek ini dengan cepat berdandan 

diri. Karena tidak ada kaca untuk melihat wajahnya maka 

dandanan Sinto Gendeng boleh dikatakan centang pere–

nang tak karuan rupa. Selesai berdandan si nenek guyur–

kan Minyak Sari Seratus Bunga di dalam tabung perunggu, 

mulai dari ubun-ubun, leher, dada, perut dan sampai ba–

gian di bawah perut! 

“Hik... hik! Nyaman rasanya tapi agak panas-panas...” 

Ucap si nenek sambil keluarkan tangan kanan dari balik 

kain panjang. Dua kaki dikibas-kibas. Sisa minyak wangi 

yang masih ada dioles di kedua ketiak dan kain panjang 

sebelah bawah untuk berjaga-jaga dan menangkis kalau 

dia sempat terkencing! Tabung perunggu yang sudah 

kosong di buang ke dalam telaga. Saat itu juga seantero 

telaga dan sekitarnya ditebar bau wangi luar biasa yang 

keluar dari tubuh dan pakaian si nenek. 

“Aku sudah selesai! Sekarang sahabat yang baik harap 

mau memperlihatkan diri!” Berseru Sinto Gendeng sambil 

berdiri lurus-lurus dan menatap ke arah deretan pepoho–


nan. 

Saat itu juga dari balik pohon besar di sebelah tengah 

muncul keluar seorang kakek gagah berwajah klimis, 

mengenakan sorban dan jubah dalam berwarna abu-abu. 

Sambil tersenyum dia berjalan ke tepi telaga dan berhenti 

dua langkah di hadapan batu besar di mana Sinto Gendeng 

berdiri memegang tongkat kayu. Dengan mengembangkan 

tangan, sambil membungkuk si orang tua berkata. 

“Bidadari yang malam hari datang dari jauh, konon dari 

negeri delapan ratus tahun mendatang, aku Kumara 

Gandamayana mengucapkan selamat datang di Bhumi 

Mataram, kerajaan yang tengah ditimpa malapetaka akibat 

perbuatan orang-orang jahat yang berserikat menjatuhkan 

angkara murka ganas luar biasa.” 

Sambil berkata kakek itu melirik memperhatikan wajah 

Sinto Gendeng. Lalu tundukkan kepala untuk menyembu–

nyikan senyum. Sang bidadari cantik berambut hitam 

disanggul dengan empat tusuk konde perak menancap di 

kepala, dandanannya celemong mencorong tak karuan. 

Wajah tertutup pupur tebal, sepasang alis kereng hitam 

mencong dan mulut belepotan pemerah bibir. 

Akan halnya dengan Sinto Gendeng, ketika mendengar 

nama belakang kakek gagah di hadapannya itu, lantas saja 

dia teringat pada seorang pendeta bernama Mayana yang 

pernah menjadi kekasihnya di masa muda dan tewas 

menjelang runtuhnya Kerajaan Singosari (Mengenai kisah 

Sinto Gendeng dan Pendeta bernama Mayana bisa dibaca 

dalam dua serial Wiro Sableng yaitu “Halilintar di Singosari” 

dan “Pelangi di Majapahit”). 

Sinto Gendeng menatap tak berkesip. Memang ada 

senyum di bibir si nenek tanda gembira dengan pertemuan 

itu, namun juga ada bayangan rasa heran di wajahnya yang 

keriputan. Sinto Gendeng yang biasa bicara ceplas-ceplos 

langsung saja berkata. 

“Sahabat, aku yakin kau orang tua gagah yang aku lihat 

berada dalam tubuh anak perempuan bernama Ni Gatri di 

rumah kediaman Abdi Dalem Pringkun...”


“Gadis cantik, ucapanmu tidak keliru...” 

“Tapi...” Sinto Gendeng cepat memotong ucapan orang. 

“Waktu itu keningmu kulihat polos. Sekarang mengapa ada 

delapan benjolan merah? Apakah kau sedang menderita 

sakit?” 

Kakek mengaku bernama Kumara Gandamayana 

tersenyum. Dia mengusap delapan benjolan yang ada di 

keningnya lalu berkata. “Kau telah menyaksikan. Inilah 

perbuatan ganas manusia-manusia terkutuk yang hendak 

menghancurkan Kerajaan Mataram. Membunuh semua 

orang yang ada di sini mulai dari Sri Maharaja Rakai Kayu–

wangi, para pengikutnya dan seluruh rakyat. Bahkan 

hewan tak berdosa pun menjadi korban. Sahabatku cantik, 

dengar, malam ini juga aku akan membawamu ke kotaraja. 

Kau bisa menyaksikan sendiri bagaimana sebagian besar 

negeri ini telah tenggelam ditelan banjir air merah busuk. 

Semua orang menderita lumpuh, diserang demam panas 

dan benjolan di kening, dilanda kelaparan. Mudah-muda–

han kedatanganmu bisa membantu memusnahkan mala–

petaka yang menimpa kami. Untuk itu aku akan memper–

temukan dirimu dengan Sri Maharaja Mataram...” 

“Sahabat, ceritamu sungguh mengejutkan. Sebelumnya 

aku memang mendengar kabar tentang malapetaka itu. 

Namun tidak mengira luar biasa ganas seperti yang kau 

katakan. Namun, apakah kau juga diserang demam 

panas? Aku lihat kau sehat-sehat saja dan tidak mengala–

mi kelumpuhan...” 

“Aku bersyukur, Para Dewa masih melindungi diriku,” 

jawab Kumara Gandamayana. 

Sinto Gendeng mengusap keningnya yang saat itu 

terasa basah oleh kucuran keringat. Kepalanya terasa agak 

berat. 

“Kau memegang kepala, ada apakah?” 

“Tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing...” Jawab Sinto 

Gendeng. 

“Mungkin udara di tempat ini tidak baik bagimu...” 

“Kakek bernama Kumara Gandamayana, apakah kau


yang menyadiaken seperangkat pakaian lengkap dengan 

alat berhias?” Tanya Sinto Gendeng kemudian. 

Kakek bersorban dan berjubah kelabu tersenyum. 

Anggukkan kepala seraya berkata. “Untuk seorang sahabat 

yang datang dari jauh, apalagi seorang gadis secantik 

bidadari, apapun akan aku lakukan...” 

“Kau keliwat memuji,” kata Sinto Gendeng pula. Lalu 

dia bertanya. “Kau... saat ini kau melihat diriku memang–

nya seperti apa? Tadi kau menyebut aku gadis cantik, 

bidadari. Apakah kau tidak salah pandang Tidak keliru 

melihat?” 

Orang yang ditanya tertawa lebar. Dia mengusap sepa–

sang mata beberapa kali lalu menjawab. “Saat ini memang 

malam hari. Namun aku tidak lamur juga belum buta. Apa 

yang aku lihat itulah yang aku katakan...” 

“Terus terang aku sebenarnya sudah tua bangka, hitam 

jelek...” 

Kumara Gandamayana tertawa mengekeh. “Jangan 

berkata begitu. Para Dewa akan kecewa jika kau memutar 

balik keadaan dirimu yang cantik jelita, muda belia menjadi 

seorang nenek buruk...” 

“Aneh...” 

“Tidak ada yang aneh. Jangan lupa kau berada di alam 

delapan ratus tahun silam. Berarti kalau dipikir sebenarnya 

kau terlahirpun belum. Selain itu Yang Maha Kuasa mem–

beri anugerah kepadamu hingga kau terlihat dalam keada–

an cantik belia...” 

“Apakah kulitku hitam manis? Tidak budukan, keriput 

kisut...?” 

“Kulitmu hitam manis. Mulus. Tubuhmu elok...” 

“Bagaimana dadaku?” Sinto Gendeng bertanya lagi 

tanpa ada perasaan sungkan sambil memegang dadanya 

yang rata ceper.


TIGA


KUMARA Gandamayana telan ludahnya sendiri. “Aku... 

aku tak berani mengatakan. Tapi terus terang belum 

pernah aku melihat gadis yang memiliki dada besar 

dan bagus sepertimu. Semoga Para Dewa mengampuni 

kalau orang tua seusiaku telah bicara tidak pantas...” 

Kini Sinto Gendeng benar-benar yakin kalau ujud dirinya 

di mata Kumara Gandamayana adalah benar-benar ujud 

ketika dia masih gadis muda belia. Berarti semua orang 

yang berada di Bhumi Mataram akan melihatnya dalam 

keadaan seperti itu. Wahai, benarkah demikian? 

“Gadis cantik, bolehkah aku mengetahui siapa nama–

mu? Jika sudah tahu bolehkah aku memanggilmu dengan 

nama itu?” 

“Namaku Sinto Weni,” jawab si nenek memberi tahu 

nama aslinya dan tentu saja tidak mau mengatakan kalau 

dia lebih dikenal dengan nama Sinto Gendeng alias Sinto 

Sinting! 

“Ah, nama yang bagus. Sungguh indah terdengar di 

telinga. Cocok dengan orangnya.” Memuji Kumara Ganda–

mayana. 

“Kakek sahabatku, kau mengenal seorang bernama 

Swara Pancala?” 

“Dia sahabatku. Dia yang memberi tahu kalau kau telah 

menyelamatkan dirinya sewaktu diserang sehabis mene–

muimu di negeri delapan ratus tahun mendatang. Dia juga 

mengatakan bagaimana kau kehilangan satu dari lima 

tusuk kondemu dan meminta aku mengganti tusuk konde 

yang musnah itu. Aku akan menggantinya...” 

“Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk urusan


tusuk konde butut itu. Aku...” Sinto Gendeng tidak mene–

ruskan ucapan lalu tersenyum sambil menghela nafas. 

“Aku sudah merasa sangat senang dapat bertemu de–

nganmu.” 

Kumara Gandamayana ikut tersenyum. 

“Sahabat yang datang dari jauh. Aku senang kau mau 

bicara berterus terang. Turut kabar yang aku terima kau 

datang ke Mataram bersama dua orang sahabat. Di mana–

kah mereka sekarang?” 

“Kami mental berpencaran sewaktu melayang turun 

hampir mencapai tanah. Aku tidak tahu di mana mereka 

sekarang.” 

“Kalau begitu aku dan para sahabat akan mencari tahu 

di mana mereka berada dan akan menolong jika terjadi 

sesuatu dengan keduanya. Kalau aku boleh tahu, siapa 

saja kedua orang itu?” Bertanya Kumara Gandamayana. 

“Seorang anak perempuan bernama Ni Gatri dan 

seorang pemuda bernama Wiro Sableng.” jawab Sinto 

Gendeng polos. 

“Pemuda itu, bukankah dia yang diketahui memiliki 

ilmu kesaktian tinggi, dan konon memiliki sebuah senjata 

sakti mandraguna di dalam tubuhnya?” 

Sinto Gendeng tercengang. 

“Bagaimana kau bisa tahu hal itu?” bertanya si nenek. 

Lalu dia menjawab sendiri. “Pasti orang bernama Swara 

Pancala itu yang memberitahu...” 

Kumara Gandamayana tersenyum, usap dagu, menatap 

ke arah kejauhan dan angguk-anggukkan kepala. 

“Aku harap kita segera akan menemukan mereka. 

Keduanya dan juga dirimu tidak akan terserang malapeta–

ka yang dibuat orang-orang jahat itu. Jika kau berkenan 

kami semua para tokoh Bhumi Mataram sangat meng–

inginkan bantuanmu untuk menghabisi manusia-manusia 

jahat yang telah menimbulkan malapetaka mengerikan 

itu.” 

“Siapa saja mereka? Apakah orang-orang jahat itu 

berjumlah banyak?” Bertanya Sinto Gendeng.


“Nanti kau akan melihat dan menemui mereka. Yang 

penting apakah kau mau menuruti semua permohonan 

kami? Membantu kerajaan dan rakyat Mataram?” 

“Kalau sudah begitu kehendak Yang Maha Kuasa, 

ketika seorang sahabat minta tolong masakan aku akan 

berpangku tangan.” 

“Aku sangat berterima kasih...” Kata Kumara Ganda–

mayana lalu memegang dan remas jari-jari tangan kanan si 

nenek. Perasaan mesra membuat Sinto Gendeng balas 

meremas. 

“Sahabat, ke manapun kau pergi aku akan mengikuti. 

Pertolongan apapun yang kau harapkan mudah-mudahan 

aku bisa memberikan...” 

“Kau gadis baik! Belum pernah aku menemui gadis 

sepertimu. Cantik, rendah hati dan mau menanam budi 

menolong kami...” Kumara Gandamayana lalu dekatkan 

tangan kanan Sinto Gendeng ke wajahnya. Tangan dielus–

kan ke pipi lalu punggung telapak tangan dicium dengan 

lembut serta mesra. Wajah Sinto Gendeng berubah merah. 

Hati senang berbunga-bunga luar biasa. 

Kakek bersorban dan berjubah kelabu lepaskan 

pegangannya lalu memandang ke arah kuda lumping 

bambu yang tergeletak di tanah dekat batu besar di tepi 

telaga. 

“Benda aneh berbentuk kuda tak berkaki ini milikmu?” 

Sinto Gendeng mengangguk lalu membungkuk meng–

ambil kuda lumping bambu. 

“Seumur hidup belum pernah aku melihat benda atau 

mainan seperti ini. Boleh aku melihat? Boleh aku pegeng?” 

tanya Kumara Gandamayana pula. 

“Boleh saja. Benda ini bernama kuda lumping. Dia 

adalah tungganganku bersama dua orang lainnya sewaktu 

melayang memasuki Bhumi Mataram.” 

Si kakek tercengang lalu berdecak kagum beberapa 

kali. 

“Kuda lumping ini pastilah merupakan benda sakti 

mandraguna!” Kata Kumara Gandamayana sambil ulurkan


tangan mengambil kuda lumping yang diserahkan Sinto 

Gendeng. 

Mendadak di saat yang bersamaan ada suara mengi–

ang di telinga kiri Sinto Gendeng. 

“Jangan serahkan kuda lumping pada orang itu! Cepat 

tarik tanganmu!” 

Tapi terlambat. 

Saat itu Kumara Gandamayana telah menyentuh kuda 

lumping yang diserahkan Sinto Gendeng. Begitu kuda 

lumping berada dalam pegangannya Kumara Ganda–

mayana keluarkan suara tertawa bergelak. 

“Gadis tolol tidak tahu diri! Berdandan celemongan tak 

karuan rupa! Kau akan menemui ajal di Bhumi Mataram! 

Kalaupun kau bisa bertahan hidup kau tidak akan pernah 

bisa kembali ke negeri asalmu seumur-umur! Di negeri ini 

kau akan menjadi budak hamba sahayaku! Seperti katamu 

kau akan ikut ke mana aku pergi! Dan patuh pada apa 

yang aku perintahkan! Ha... ha... ha!” 

Kejut Sinto Gendeng bukan alang kepalang. Lebih kaget 

lagi ketika dari delapan benjolan di kening Kumara Ganda–

mayana melesat keluar delapan larik sinar merah menyala. 

Semuanya menyambar ke arah Sinto Gendeng. 

Wuttt! Wuttt! 

Delapan larik sinar merah masuk ke dalam tubuh Sinto 

Gendeng. Saat itu juga delapan benjolan merah muncul di 

kening si nenek. 

“Sinto Weni! Berlutut di hadapanku! Bersumpah kalau 

kau akan setia mengabdi pada diriku!” 

Entah apa yang terjadi dengan Sinto Gendeng, nenek ini 

jatuhkan diri berlutut di tanah. Mulut berucap. “Aku Sinto 

Weni bersumpah setia dan mengabdi padamu, orang yang 

bernama Kumara Gandamayana!” 

“Bagus!” seru si kakek. “Sekarang kau harus pergi ke 

Bukit Batu Hangus! Ada yang akan membimbingmu pergi 

ke bukit itu! Bunuh semua orang yang ada di sana. Ter–

masuk Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah 

Lokapala! Apa jawabmu?”


“Kumara Gandamayana, semua perintahmu akan aku 

laksanakan!” Jawab Sinto Gendeng sambil manggut-

manggut 

“Mulai sekarang, jangan lagi kau berani memanggil aku 

Kumara Gandamayana. Namaku adalah Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah. Ha... ha... ha! Aku akan segera mele–

nyapkan diri dari hadapanmu. Dan kau harus segera pergi 

ke Bukit Batu Hangus!” 

Sosok kakek yang kini menyebut diri sebagai Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah berubah merah lalu lenyap dari 

pemandangan. Kuda lumping yang dipegangnya ikut lenyap 

tak kelihatan lagi! Kini hanya suara tawanya yang masih 

menggema di kaki selatan Gunung Merapi itu. 

Sinto Gendeng berdiri. Memandang berkeliling. “Bukit 

Batu Hangus. Di mana letaknya...?” Si nenek membatin. 

Tiba-tiba ada suara mengiang. “Berjalan lurus ke arah 

matahari tenggelam. Pergunakan ilmu kesaktianmu untuk 

berlari cepat. Kau akan sampai ke Bukit Batu Hangus 

selewatnya tengah malam!” 

Tidak pikir panjang lagi Sinto Gendeng segera putar 

tubuh menghadap ke barat. Ketika dia siap hendak pergi 

tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat disertai seruan. 

“Tunggu! Jangan pergi dulu! Orang telah mencuci 

otakmu dengan ilmu hitam Delapan Jalur Arwah Pencuci 

Otak!”


EMPAT


KETIKA melihat orang yang muncul dari kegelapan itu 

ternyata seorang kakek bersorban dan berjubah 

kelabu, meski tercengang namun wajah Sinto Gen–

deng nampak gembira. “Sinuhun Merah Penghisap Arwah, 

kau kembali. Apakah hendak...” 

Orang yang disapa angkat tangan kanan memberi 

tanda agar Sinto Gendeng tidak meneruskan ucapan lalu 

dia sendiri berkata. 

“Sahabat yang pernah aku lihat di alam delapan ratus 

tahun mendatang, aku bukan Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah.” 

Sinto Gendong delikkan mata. Memperhatikan si kakek 

mulai dari kepala sampai ke kaki. 

“Aku tak mengerti. Tadi kau hadir di sini. Lalu lenyap 

setelah ujudmu menjadi merah. Sekarang muncul kembali 

dalam ujud pertama kali aku melihatmu. Apa kau berubah 

pikiran dan hendak mengantar sendiri aku ke Bukit Batu 

Hangus?” 

“Sahabat, aku adalah orang bernama Kumara Ganda–

mayana yang sebenarnya. Orang yang kau lihat dalam 

sosok anak perempuan bernama Ni Gatri di alam kedia–

manmu delapan ratus tahun mendatang. Yang tadi muncul 

di hadapanmu adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah 

yang sengaja merubah diri menyerupaiku untuk mengela–

buhi dan menipumu. Dialah makhluk penimbul malapetaka 

Malam Jahanam di Bhumi Mataram.” 

Sinto Gendeng tancapkan tongkat kayu ke tanah hingga 

kakek di hadapannya merasakan ada getaran hawa panas 

masuk ke dalam tubuhnya.


“Kumara Gandamayana, siapapun kau adanya jangan 

berani bicara dusta! Jangan berani menghalangi ke mana 

aku mau pergi! Sinuhun Merah Penghisap Arwah adalah 

kepada siapa segala perintah harus aku laksanakan! 

Sekarang lekas menyingkir dari hadapanku!” 

“Sahabat yang aku ketahui bernama Sinto Weni...” 

“Jangan berani menyebut namaku sembarangan!” 

“Sebelumnya kau begitu mendambakan ingin bertemu 

dengan diriku. Setelah saling berhadapan muka mengapa 

kau berubah...” 

“Aku sudah berjumpa dengan orang yang ingin aku 

temui. Kau muncul pasti dengan niat jahat!” 

“Sahabatku, aku sangat menghormatimu. Ketahuilah 

keadaan dirimu sekarang telah berubah. Kau telah kena 

tersirap ilmu hitam Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak. Di 

keningmu kini ada delapan benjolan merah. Tanpa kau 

sadari kau telah masuk ke dalam pengaruh kekuatan dan 

kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dia bahkan 

telah merampas kuda lumping dari tanganmu. Selama 

kuda lumping itu berada di tangan Sinuhun kau dan anak 

perempuan itu serta pemuda berambut panjang yang di 

Bhumi Mataram kami panggil dengan Julukan Ksatria 

Panggilan tidak akan dapat kembali ke negeri asalmu...” 

“Siapa bilang! Enak saja kau bicara! Sinuhun tidak akan 

mencelakai diriku karena aku telah mengucap sumpah 

setia dan patuh padanya!” 

“Aku tahu. Bahkan dia sangat suka padamu. Bukankah 

dia telah membelai dan mencium tanganmu?” 

“Apa perdulimu? Sekalipun dia mencium pipi atau 

ketiakku, kalau aku suka kau mau apa?! Hik... hik... hik!” Si 

nenek bicara sambil kacakkan dua tangan di pinggang lalu 

tertawa mengekeh. 

“Sinto Weni kita telah memulai pertemuan dengan 

persahabatan. Demi persahabatan itu, izinkan aku meno–

long dirimu agar lepas dari jeratan Ilmu Delapan Jalur 

Arwah Pencuci Otak. Apa kau tidak sadar kalau di kening–

mu saat ini ada delapan benjolan? Delapan benjolan itu


bukan tanda kesengsaraan seperti dialami semua orang di 

Mataram. Tapi pertanda bahwa kau telah kemasukan 

arwah jahat yang akan memperbudakmu untuk berbuat 

apa saja!” 

Sinto Gendeng delikkan mata lalu tertawa gelek-gelak. 

“Aku tidak yakin! Bisa-bisa kaulah jejadian yang meniru 

keberadaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kecuali jika 

kau bisa membuktikan...” 

“Aku memang tidak mungkin membuktikan. Karena 

ujud tiruan yang dibuatnya sangat sama dengan ujud diriku 

seperti yang kau lihat saat ini. Lagi pula dia memiliki dua 

nyawa kembar yang memungkinkannya bisa berada di dua 

tempat yang berlainan dalam waktu bersamaan...” 

“Dua nyawa kembar! Hik... hik! Lucu juga banyolanmu! 

Tapi aku sudah muak mendengar ocehanmu. Jangan 

sampai membuat aku muntah! Tidak ada gunanya kau 

masih berdiri di hadapanku! Lekas menyingkir! Atau...” 

“Sinto Weni, aku telah berjanji pada Swara Pancala 

kalau aku akan mengganti tusuk konde milikmu yang 

hancur sewaktu menyelamatkan anak buahku itu...” 

Sinto Gendeng menyeringai. “Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah telah lebih dulu menjanjikan hal itu padaku! Kakek 

penipu! Kau ketinggalan dokar! Ha. ha... ha!” 

Sinto Gendeng angkat tongkat kayu di tangan kanan–

nya. Tongkat itu serta merta berubah merah dan meman–

carkan delapan larik cahaya. 

Kakek di hadapan si nenek terkejut. 

“Astaga! Tongkat itu telah memiliki kekuatan jahat ilmu 

kesaktian Sinuhun Merah! Kalau tidak aku rampas bisa-

bisa menimbulkan malapetaka tambah besar di Bhumi 

Mataram...” 

Wuttt! 

Tongkat di tangan kanan dibabatkan ke depan. 

Wusss! 

Delapan larik cahaya merah menderu dahsyat. Me–

nyambar ganas ke arah kakek bersorban dan berjubah 

kelabu.


“Selendang Dewa Menutup Bahala!” 

Kumara Gandamayana berseru merapal ilmu kesaktian 

yang dimilikinya. Saat itu juga tubuhnya berubah menyeru–

pai sehelai selendang putih panjang yang menyelinap di 

antara delapan larik serangan cahaya merah untuk kemu–

dian menggulung tongkat kayu di tangan Sinto Gendeng! 

Dengan cepat si nenek putar tongkatnya ke arah ber–

lawanan dari gulungan selendang. 

Breett! 

Ada bagian selendang yang robek.



LIMA



SNTO Gendeng menjerit kaget dan marah ketika 

tongkat yang dipegang di tangan kanan mendadak 

ditarik lepas oleh sentakan gulungan selendang. 

Walau robek dan bagian selendang ada yang terbakar 

namun dia tidak bisa menyelamatkan tongkat. 

“Makhluk jahanam!” maki Sinto Gendong. Tongkat 

miliknya kini berada di tangan lawan. 

Saat itu Kumara Gandamayana telah kembali ke ujud 

semula. Bahu dan ujung bawah jubahnya tampak hangus. 

Pipi kanan tampak lecet merah. 

“Sinto Weni, aku tidak ingin kita sama-sama bertindak 

lebih keliru. Aku akan kembalikan tongkatmu kalau kau 

mau aku ajak bicara secara baik-baik!” 

“Jangan sombong! Apa kau kira aku tidak bisa meng–

ambil tongkat itu kembali?” 

Delapan benjolan merah di kening si nenek kepulkan 

asap. Begitu si nenek sentakan kepala tiba-tiba dari 

delapan benjolan melesat keluar delapan larik sinar merah. 

Jauh lebih dahsyat dari delapan larik cahaya yang tadi 

keluar dari tongkat. 

“Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!” Ucap 

Kumara Gandamayana dengan suara bergetar begitu 

mengenali serangan. 

“Dewa Bathara Agung! Nenek satu ini benar-benar telah 

dikuasai dan menguasai ilmu hitam sinuhun keparat itu! 

Celaka besar bagi Mataram!” 

Dengan cepat si kakek jatuhkan diri dan bergulingan. 

Sorban di atas kepala tercampak ke tanah. Tenaga dalam 

penuh dialirkan ke tangan kanan. Ketika tongkat dibabat–


kan ke depan, selarik cahaya putih menyambar deras, 

langsung bentrokan dengan delapan cahaya merah. 

Letusan keras menggelegar. Tanah berderak seolah 

rengkah. Air telaga muncrat setinggi dua tombak. Dua buah 

batu di tepi telaga pecah berantakan. Tiga pohon besar 

tumbang ke tanah! Tongkat di tangan kanan Kumara 

Gandamayana kini hanya tinggal berupa arang hitam yang 

kemudian jatuh berguguran ke tanah. 

Sinto Gendeng menjerit keras melihat keadaan tong–

katnya. Dia segera melompat ke arah sosok Kumara 

Gandamayana yang walau berhasil membuat buyar sera–

ngan lawan namun saat itu tidak kuasa untuk bangkit 

berdiri. Apalagi berusaha menghindar ketika Sinto Gendeng 

melancarkan satu tendangan ke kepalanya. Saat itu si 

kakek merasakan sekujur tubuhnya lemas tiada daya. 

Tangan kanan seolah lumpuh terkulai ke tanah. Tubuh 

laksana luluh lantak dihantam kekuatan tenaga dalam dan 

hawa sakti. 

Hanya sekejapan lagi tendangan akan memecahkan 

kepala Kumara Gandamayana mendadak Sinto Gendeng 

tahan serangan. Dengan mata mendelik, setengah mem–

bungkuk nenek ini berkata. 

“Sebelum kau kuhabisi ada satu hal yang ingin aku 

tanyakan! Saat ini kau melihat diriku seperti apa?! Tua 

bangka nenek keriputan atau gadis cantik berkulit hitam 

manis...” 

Kumara Gandamayana tidak segera menjawab melain–

kan terlebih dulu menatap cukup lama. Suaranya bergetar 

ketika keluarkan ucapan. “Kau tidak ada perubahan 

seperti pertama kali aku melihatmu. Gadis cantik berkulit 

hitam manis dan berotak cerdik...” 

“Hemm...” Sinto Gendeng bergumam. Terdiam sebentar 

lalu berkata. “Aku mengampuni selembar nyawamu! Tapi 

awas! Jangan berani menghalangi ke mana aku mau 

pergi!” 

“Sinto Weni, kau hendak pergi ke Bukit Batu Hangus?” 

“Apa urusanmu?!” Bentak Sinto Gendeng.


“Jika kau pergi ke Bukit Batu Hangus lalu membunuhi 

semua orang yang ada di sana seperti yang diperintahkan 

Sinuhun, maka kau akan berbuat satu kesalahan dan dosa 

besar. Semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus adalah 

orang-orang tidak berdosa yang telah mendapat celaka dan 

sengsara akibat perbuatan Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah bersama para pengikutnya. Kau akan dikutuk Yang 

Maha Kuasa dunia akhirat!” 

“Kau boleh bicara apa saja sampai mulutmu robek! Aku 

tidak percaya pada dirimu! Satu-satunya yang kupercaya di 

Bhumi Mataram ini adalah Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah!” Sinto Gendeng balikkan badan. 

“Tunggu! Jangan pergi dulu. Mungkin aku bisa menghi–

langkan delapan benjolan merah di keningmu agar kau 

sadar siapa dirimu sebenarnya. Kau orang baik yang 

datang dari negeri jauh yang kami harapkan untuk meno–

long kami di Bhumi Mataram ini. Selanjutnya aku akan 

memberikan sesuatu padamu agar kau tidak lagi kena 

dipengaruhi roh atau arwah jahat dari luar!” 

Mendengar ucapan si kakek Sinto Gendeng tertawa 

mengekeh. Lalu mencibir. Untung saja saat itu di mulutnya 

tidak ada lagi susur. Kalau ada pasti sudah disemburkan–

nya ke arah si kakek. 

“Aku tidak butuh pertolonganmu! Jika kau ingin punya 

delapan benjolan di keningmu aku bersedia memberikan!” 

Sinto Gendeng silangkan dua tangan di atas dada. 

Tenaga dalam dialirkan ke kepala. Tiba-tiba didahului 

bentakan keras, delapan benjolan di kening Sinto Gendeng 

pancarkan cahaya terang lalu wuttt! Delapan larik sinar 

merah menderu ke arah Kumara Gandamayana yang saat 

itu terduduk tak berdaya di tanah. 

Si kakek berjubah kelabu berteriak kaget. “Tahan! 

Jangan!” 

Wusss! 

Delapan larik sinar merah yang melesat keluar dari 

delapan benjolan merah di kening Sinto Gendeng menderu 

ganas ke arah kening si kakek!


Hanya seujung jari delapan sinar merah akan mendarat 

dan menghajar kening Kumara Gandamayana tiba-tiba 

satu cahaya kuning melesat jatuh dari langit malam kelam. 

Bersamaan dengan itu terdengar suara lonceng mem–

bahana. 

Delapan larik cahaya merah yang hendak menghantam 

kening Kumara Gandamayana terpental berantakan, 

mengeluarkan pijaran angker lalu lenyap dari peman–

dangan. 

Sinto Gendeng terjungkal di tanah. Tubuh menggigil 

seperti orang diserang demam kura. Mulut meracau 

mengeluarkan suara tidak karuan. 

“Gadis cantik, kami menghormati dirimu walau keda–

tanganmu di Bhumi Mataram tidak diminta,” satu suara 

tiba-tiba terdengar di tempat itu. Suara anak kecil laki-laki. 

“Keterkaitanmu dengan Ksatria Panggilan sebagai guru 

dan murid membuat kami tidak mau bertindak keras. Kami 

tahu saat ini kau berada di bawah pengaruh dan kuasa 

ilmu hitam Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kami akan 

mencari jalan agar kau kembali ke negeri asalmu delapan 

ratus tahun mendatang.” 

“Bocah itu, dia melihat diriku dalam ujud seorang 

gadis,” Sinto Gendeng membatin. Lalu dia berseru. “Anak 

sialan! Siapa kau! Kau bicara tapi ujudmu tidak kelihatan. 

Kalau bukan anak jin pasti kau makhluk jejadian tak 

ketahuan juntrungan! Jika kalian orang-orang Mataram 

mampu bertindak keras, mengapa tidak mampu meng–

habisi manusia-manusia penimbul angkara murka yang 

masih gentayangan di negeri ini! Mengapa meminta ban–

tuan muridku! Mendatangkannya secara paksa!” 

Tubuh Kumara Gandamayana sampai bergetar saking 

marah mendengar ucapan Sinto Gendeng. “Dia tidak tahu 

tengah bicara dengan siapa,” ucap si kakek dalam hati. 

“Sinto Weni, kau boleh bicara kurang ajar terhadap 

diriku. Tapi jangan bicara tak karuan pada Satria Lonceng 

Dewa. Dia bukan anak sembarangan. Dia...” 

“Kek,” Mimba Purana memotong ucapan Kumara


Gandamayana. “Lebih baik kita tinggalkan saja gadis itu. 

Tidak perlu diurusi. Kita harus segera menemui Ksatria 

Panggilan. Waktu kita sangat sedikit. Makhluk Roh Jem–

putan itu pasti sudah berada di Bhumi Mataram...” 

“Mimba, saya merasa sangat malu dan rendah diri. 

Saya tidak mampu menghadapi kekuatan Sinuhun yang 

ada di dalam tubuh nenek dari alam delapan ratus tahun 

mendatang itu. Bagaimana mungkin saya akan mampu 

menyelamatkan kerajaan dan rakyat Mataram?” 

“Kakek Kumara, kau tidak perlu berkecil hati. Selama 

Para Dewa melindungi kita, semua kesulitan pasti akan 

dapat diatasi. Ilmu kesaktian Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah memang tinggi. Tapi itu bukan berarti kebenaran 

tidak bisa menghancurkannya. Saya rasa yang perlu 

dikhawatirkan adalah kehadiran gadis itu. Walau kita 

melihat ujudnya sebagai seorang gadis cantik, namun saya 

yakin perbedaan alam yang delapan ratus tahun, dalam 

keadaan sebenarnya dia bukan seorang gadis. Ilmu 

kesaktiannya saya duga jauh lebih tinggi dari Sinuhun. Itu 

sebabnya Sinuhun memilih lebih dulu menguasai gadis itu. 

Lalu Sinuhun menambahkan pula padanya kekuatan hitam 

yang bersumber pada apa yang disebut sebagai Delapan 

Sukma Merah... Sampai saat ini kita tidak mengetahui apa 

sebenarnya Delapan Sukma Merah. Apakah satu kekuatan 

gaib sakti mandraguna atau berupa makhluk sakti yang tak 

ada tandingannya. Sekarang saatnya kita menjemput 

kedatangan Ksatria Panggilan. Kalau gurunya sudah 

muncul pasti dia juga telah berada di sini bersama anak 

perempuan bernama Ni Gatri itu.” 

“Satria Lonceng Dewa, mohon maafmu kalau saya telah 

bertindak mendahului. Saya telah membawa anak perem–

puan bernama Ni Gatri itu bersama nenek Rauh Kalidathi 

ke Bukit Batu Hangus. Itu satu-satunya tempat yang aman 

bagi mereka. Saya tidak lama berada di bukit itu. Namun 

saya sempat menyaksikan penderitaan semua orang yang 

ada di sana. Terutama perempuan dan anak-anak...” Lalu 

Kumara Gandamayana menceritakan apa yang telah


terjadi. Yaitu Ni Gatri diselamatkan Rauh Kalidathi ketika 

diserang anak buah Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang 

bernama Ludra Bhawana. 

“Syukur mereka kau selamatkan. Namun gadis kecil itu 

harus dipertemukan dengan Raja Mataram karena nanti 

setelah kau masuk ke dalam dirinya, anak itu akan jadi 

penghubung antara Raja dengan Ksatria Panggilan...” 

“Saya sudah meninggalkan pesan pada Swara Pancala. 

Jika sudah saatnya dia harus menjemput anak perempuan 

itu guna dipertemukan dengan Sri Maharaja Mataram dan 

Ksatria Panggilan. Kemungkinan saya akan mewakili Raja 

Mataram masuk ke dalam tubuh Ni Gatri dan bicara 

dengan Ksatria Panggilan yang telah saya ketahui bernama 

Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 

212.” Kumara Gandamayana diam sebentar lalu sambung 

ucapannya. “Saya merasa sedih telah membunuh Ludra 

Bhawana. Dulu dia sahabat baik saya. Sudah saya anggap 

sebagai adik...” 

“Orang baik yang telah berubah menjadi durjana layak 

disingkirkan dari muka bumi ini. Lagi pula jika Kakek tidak 

membunuhnya pasti dia yang akan menghabisi Kakek.” 

Berkata anak sakti keramat pilihan Para Dewa bernama 

Mimba Purana. “Kakek Kumara, kita harus bertindak 

cepat. Saat ini sudah lewat tengah malam. Tak lama lagi 

fajar akan segera menyingsing. Sinuhun telah memanfaat–

kan ilmu kesaktian bernama Dua Arwah Kembar. Itu 

sebabnya saya ketahui seperti juga yang kau ketahui, dia 

mampu berada di dua tempat. Nyawa pertama menemui 

Roh Jemputan. Nyawa kedua mendatangi nenek tadi 

dengan merubah ujud menyerupai dirimu. Ilmu jahat ini jika 

tidak dimusnahkan benar-benar akan sangat berbahaya. 

Namun saya yakin Dewa akan memberi petunjuk. Dewa 

akan memberi jalan. Mudah-mudahan kita tidak salah 

bertindak meminta bantuan Ksatria Panggilan dari alam 

delapan ratus tahun mendatang itu. Sekarang saatnya kita 

harus segera pergi.” 

Sinar kuning kembali memancar. Lalu lenyap. Di kejau–


han terdengar suara lonceng bergema. Saat itu pula sosok 

Kumara Gandamayana terangkat ke atas lalu melesat ke 

langit laksana diterbangkan seseorang. 

Sinto Gendeng melompat bangun. Berusaha mengejar. 

Namun dua orang itu telah berada jauh di udara. Si nenek 

merasa sangat penasaran. Sepasang mata cekung mena–

tap ke langit. Tangan kanan diangkat ke atas hendak 

melepas satu pukulan sakti ke arah bocah samar dalam 

cahaya kuning dan Kumara Gandamayana. Namun entah 

mengapa niat itu dibatalkan. 

Sambil mengepal-ngepalkan dua tangan Sinto Gendeng 

memandang berkeliling, memperhatikan ke arah telaga 

lalu menyumpah panjang pendek. 

Saat itu kekuatan jahat yang ditanamkan Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah masih menguasai dirinya. Celaka–

nya nenek sakti ini sama sekali tidak menyadari. Sinto 

Gendeng meludah ke tanah. Mulut terasa pahit. Dia mera–

sa menyesal telah membuang susurnya, padahal dia tidak 

lagi punya persediaan tembakau, pinang, sirih dan kapur. 

Si nenek tiba-tiba saja ingat pada muridnya. Dia berteriak 

keras. Suara teriakannya menggelegar di malam buta. 

“Anak setan! Kau berada di mana! Aku akan mencin–

cang tubuhmu sampai lumat kalau kau berani menolong 

orang-orang Mataram yang menjadi musuh Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah!” 

Sinto Gendeng usap wajah hitam keriputnya yang di 

mata orang-orang di Bhumi Mataram tampak sebagai 

wajah gadis cantik. Tangannya menyentuh delapan benjo–

lan di kening. Si nenek menyeringai. Bukannya sadar kalau 

delapan benjolan itu merupakan sumber ilmu hitam ber–

nama Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak yaitu kekuatan 

yang menguasai dan mengendalikan dirinya, malah sambil 

senyum-senyum dia berkata dalam hati. 

“Aku telah menerima kenang-kenangan indah dari 

Sinuhun. Walau sikapnya galak tapi aku rasa dia telah 

jatuh hati padaku. Hik... hik... hik!”



ENAM


KEMBALI pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam 

kisah sebelumnya (“Roh Jemputan”) dituturkan baru 

saja sang pendekar terhampar di Bhumi Mataram, 

terpencar dari Sinto Gendeng dan Ni Gatri tiba-tiba ada 

delapan bocah lelaki kembar telanjang bertubuh merah 

melesat keluar dari dalam tanah. Bocah-bocah aneh ini 

yang bukan lain adalah kiriman Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah masing-masing membekal sebatang suling. Ketika 

suling ditiup, dari enam lobang setiap suling menyembur 

keluar gulungan api yang langsung menyambar Wiro. 

Pendekar 212 bukan saja berhasil selamatkan diri dari 

kepungan empat puluh delapan jalur api, malah dia mem–

balas dan membuat serangan api berbalik menghantam 

delapan bocah kembar bugil hingga muka mereka hangus 

gosong! Wiro berhasil mencekal dan meremas kemaluan 

salah seorang bocah. Tujuh bocah lainnya jadi ikut tak 

berdaya. Karena tidak mampu kabur melarikan diri ketujuh 

bocah bugil bersujud minta ampun. Wiro berjanji akan 

mengampuni jika mereka mau memberitahu siapa yang 

telah menyuruh mereka untuk membunuh dirinya. Bukan–

nya memberitahu, ketujuh bocah bugil itu malah benturkan 

kepala ke tanah hingga hancur. Sosok makhluk jejadian ini 

kemudian berubah menjadi asap dan lenyap dari peman–

dangan. 

Anak lelaki ke delapan yang dicekal dan diremas han–

cur kemaluannya oleh Wiro, walau tidak membenturkan 

kepala ke tanah namun aneh, kepalanya tampak ikut 

pecah mengerikan. Seperti tujuh saudara kembarnya yang 

lain, sosoknya mengepulkan asap lalu lenyap. Wiro ter–


sentak kaget! Dalam keadaan tangan berlumuran darah 

yang berasal dari hancuran remasan kemaluan sang 

bocah, Wiro memaki panjang pendek sambil menahan 

muntah. Beruntung dia kemudian menemukan sebuah kali 

kecil. Ketika dia tengah membersihkan tangan di kali, tiba-

tiba dia mendengar suara teriakan yang menggetarkan 

seantero tempat di malam buta itu. Dia tidak mendengar 

jelas kata-kata yang diteriakan, namun Wiro segera 

mengenali. 

“Itu suara Eyang Sinto! Agaknya dia berada tidak jauh 

dari sini!” 

Tidak menunggu lebih lama sang murid serta merta 

berkelebat ke arah datangnya suara teriakan. Dia sampai 

di sebuah telaga. Dalam gelap dia mencium bau harum. 

Setelah memperhatikan keadaan di sekitar telaga Wiro 

maklum, kalau belum lama telah terjadi perkelahian hebat 

di tempat itu. Beberapa buah batu besar di tepi telaga 

dalam keadaan hancur. Beberapa pohon besar tumbang ke 

tanah. Memandang berkeliling Wiro tidak melihat satu 

orang pun di tempat itu. 

“Ada orang berkelahi malam-malam di tempat begini 

rupa. Salah satu di antaranya pasti perempuan, karena aku 

mencium bau harum. Apakah Eyang Sinto yang membuat 

ulah di tempat ini? Belum lama datang, masih malam buta 

sudah membuat perkara! Tapi kalau memang dia, menga–

pa bukan tercium bau pesing. Malah aku mencium bau 

wangi.” 

“Guru! Eyang Sinto! Nek! Ni Gatri! Kalian berada di 

mana?!” Pendekar 212 akhirnya berseru memanggil. 

Karena seruan disertai aliran tenaga dalam maka suaranya 

menggelegar tidak kalah dahsyat dengan teriakan sang 

guru tadi. 

Sampai gaung suaranya lenyap seolah ditelan kege–

lapan malam tidak ada suara jawaban. Tidak ada gerakan 

di sekitar telaga. Tapi tunggu dulu! 

Kesunyian di sekitar telaga mendadak dihingar-bingari 

oleh suara deru aneh. Lalu weerrr... werrr... weerr! Ketika


memperhatikan berkeliling, Wiro terheran-heran. 

“Aneh, mengapa pepohonan di tempat ini jadi ber–

tambah banyak?” 

Saat itu secara aneh puluhan pohon baru mencuat 

tumbuh muncul dari dalam tanah hingga keadaan di 

tempat itu menjadi semakin gelap! 

“Aku mencium bau amis!” 

Baru saja Wiro berucap dalam hati tiba-tiba puluhan 

batang pohon besar di sekelilingnya bergetar. Ranting, 

cabang dan dedaunan bergoyang-goyang mengeluarkan 

suara menggidikkan. Belum habis kejut sang pendekar, 

tiba-tiba terdengar suara seperti puluhan harimau meng–

gereng. Lalu dess... dess... desss! Puluhan pohon besar 

berubah ujud menjadi makhluk tinggi hitam, berperut 

buncit. Bagian bawah perut tampak licin hingga walau 

dalam keadan bugil tidak bisa diketahui apakah dia lelaki 

atau perempuan. 

Puluhan makhluk ini memiliki kepala botak yang ditum–

buhi sebuah cula atau tanduk. Sepasang mata besar 

merah. Sepuluh kuku jari tangan berwarna merah, men–

cuat panjang seperti cakar burung elang. Ketika puluhan 

makhluk ini menyeringai, lidahnya menjulur panjang 

hampir menyentuh tanah! Inilah Seratus Jin Perut Bumi! 

Makhluk yang berada di bawah kekuasaan dan perintah 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah! 

Seperti diketahui, selagi Wiro berada di dalam rimba 

belantara dekat Candi Prambanan di alam delapan ratus 

tahun mendatang, di bawah pimpinan sang ketua, makh–

luk-makhluk alam gaib itu berusaha mencegah masuknya 

Wiro ke Bhumi Mataram. Namun mereka terlambat karena 

Wiro bersama Sinto Gendeng dan Ni Gatri telah lebih dulu 

melesat pergi menunggangi kuda lumping sakti. 

Pendekar 212 terperangah. “Sebelumnya cuma dela–

pan bocah bugil. Kini biangnya yang muncul. Gila, jumlah 

mereka kurasa hampir seratusan. Tidak ketahuan lelaki 

atau perempuan! Ada cula di kepala. Mungkin itu kemalu–

annya! Gila! Bagaimana aku harus menghadapi...”


Tengah Wiro tertegun menghadapi kehadiran seratus jin 

yang jelas akan membantainya, sosok jin yang paling tinggi 

dan memakai anting-anting bulat hitam di cuping kiri 

hidung melangkah mendekati. Kepala mendongak, hidung 

menghirup. Inilah Jin Ketua, pimpinan Seratus Jin Perut 

Bumi. 

“Aku mencium baunya. Tidak salah. Memang ini orang–

nya! Kalian semua, bunuh orang ini! Jangan ada yang 

bersisa dari tubuhnya!” Jin Ketua berteriak. 

Sembilan puluh sembilan jin anak buahnya keluarkan 

suara menggembor keras. Tubuh mereka bergerak aneh, 

bergoyang laksana asap ditiup angin. Lidah yang menjulur 

membeset ke depan. 

“Celaka! Jauh-jauh datang ke sini ternyata cuma men–

cari mati! Kuda lumping lenyap entah ke mana. Siapa yang 

akan membawaku ke hadapan Raja Mataram?! Bagaimana 

Eyang Sinto, Ni Gatri. Jangan-jangan mereka sudah mati 

duluan!” 

Ketika lima lidah panjang menjerat pinggang dan dua 

kakinya, Wiro membuat jurus gerakan yang disebut Kincir 

Padi Berputar. Bersamaan dengan itu tangan kiri yang 

sudah dialirkan tenaga dalam tinggi melepas pukulan 

Tangan Dewa Menghantam Matahari. Tangan kanan 

lancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu 

Karang. Begitu tubuh bergerak setengah lingkaran tangan 

kiri kembali melepas pukulan susulan Tangan Dewa 

Menghantam Tanah. Semua pukulan sakti itu didapat Wiro 

dari Datuk Rao Basaluang Ameh, seorang tokoh rimba 

persilatan di tanah Minang. 

Satu dari tiga pukulan sakti yang dilancarkan Wiro yaitu 

Tangan Dewa Menghantam Batu Karang sengaja diarah–

kan telak pada Jin Ketua. Ketika hal ini dilihat oleh anak 

buahnya, delapan Jin Perut Bumi segera melompat mem–

bentengi sang pimpinan. 

Dess! Blaarr! 

Sosok delapan jin terlempar, memancarkan cahaya 

hitam menggidikkan. Mereka mengeluarkan suara raungan


dahsyat sebelum tubuh masing-masing bertabur cerai-berai 

di udara. Di bagian lain dua pukulan sakti yang dilepas 

Wiro juga berhasil mengenai sasaran. Dua belas Jin Perut 

Bumi terkapar di tanah. Menggeliat sambil meraung-raung, 

lalu blaar! Seperti delapan temannya tadi tubuh mereka 

meledak berkeping-keping. 

Jin Ketua menggembor dahsyat. Saat itu lima lidah 

panjang telah menjerat tubuh Pendekar 212 mulai dari 

pinggang sampai ke kaki. Tiba-tiba lidah yang hitam ber–

ubah menjadi merah dan mengeluarkan hawa panas. Wiro 

merasa tubuhnya seperti dilingkari besi membara. Dalam 

keadaan nyaris tak berdaya seperti itu didahului teriakan 

keras, sang pendekar siap melepas Pukulan Sinar Mata–

hari. Namun mendadak ada suara orang berseru. Suara 

perempuan. 

“Jin Ketua! Kau telah berbuat satu hal yang hebat. 

Namun atas nama Sang Junjungan yang diwakili oleh 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan diriku sebagai 

kepanjangan tangannya, harap kau dan anak buahmu 

segera meninggalkan tempat ini! Mulai saat ini semua 

urusan dengan tamu yang datang dari jauh menjadi 

tanggung jawabku!” 

Sepasang mata merah Jin Ketua mendelik. Dia belum 

melihat orang tapi telah mendahului menjawab. “Sinuhun 

telah meminta diriku untuk membunuh pemuda itu! Aku 

dan anak buahku telah menghadang sampai ke alam 

delapan ratus tahun mendatang. Ketika niat hampir terlak–

sana mengapa kau berani menghalangi? Padahal dua 

puluh anak buahku telah jadi korban!” 

Perempuan yang tadi bicara mendengus. 

“Aku perempuan bodoh dan tidak punya keberanian 

apa-apa. Mungkin kau berani menentang perintah Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah?” 

Mendengar ucapan orang, Jin Ketua yang saat itu hanya 

tinggal dua langkah dari hadapan Wiro dan siap untuk me–

robek-robek tubuh murid Sinto Gendeng dengan sepuluh 

kuku merah menyerupai cakar burung elang menggerung


keras, hentikan langkah lalu palingkan kepala ke arah 

orang yang barusan datang dan keluarkan ucapan. 

Begitu mengenali kedua orang itu, hawa amarah Jin 

Ketua menjadi kendur walau hatinya tetap jengkel. 

“Kekasih Sinuhun memberi perintah. Sial sekali aku 

tidak kuasa menolak!” Jin Ketua menggerutu dalam hati. 

Lidahnya menjulur sampai ke tanah. Dess! Tanah menge–

pulkan asap merah ketika terkena sentuhan ujung lidah! 

Jin Ketua kemudian memberi tanda pada anak buahnya 

yang kini hanya tinggal delapan puluh orang. Lidah-lidah 

merah panjang dan panas yang menjerat tubuh Pendekar 

212 bergerak membuka. Lalu didahului oleh Jin Ketua di 

sebelah depan, dengan mengeluarkan suara menderu 

dahsyat, makhluk-makhluk gaib itu melesat ke langit 

kelam. 

Wiro yang saat itu dalam keadaan jatuh terduduk di 

tanah cepat berdiri bangun. Beberapa bagian pakaiannya 

tampak hangus bekas jeratan lidah merah panas. Kulitnya 

juga ada yang cidera. Dia berpaling ke arah kiri. Di dalam 

gelapnya malam dia melihat orang yang datang. Ternyata 

ada dua orang.



TUJUH


OANG di samping kanan, seorang perempuan berusia 

sudah agak lanjut namun memiliki kecantikan yang 

menggoda serta potongan tubuh memikat. Perem–

puan ini mengenakan pakaian ringkas warna merah muda 

yang ketat sehingga keelokan tubuhnya laksana dicetak. 

Rambut dikuncir di atas kepala seperti seorang gadis 

manja. Dia memiliki sepasang mata yang walaupun juling 

tapi penuh daya tarik. Keningnya tampak licin tidak ditum–

buhi benjolan. Perempuan ini adalah Ratu Randang, pena–

sihat Raja Mataram yang sebelum terjadi malapetaka 

Malam Jahanam di Mataram telah meninggalkan Kotaraja 

dengan memberi alasan pada Sri Maharaja bahwa dia 

akan menemui Arwah Ketua di Candi Miring untuk memin–

ta bantuan menghadapi persekongkolan orang-orang jahat 

yang hendak menghancurkan Kerajaan Mataram. Ternyata 

Ratu Randang tidak pergi ke Candi Miring, melainkan 

menemui dan bercinta dengan Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah alias Ghama Karadipa di satu goa rahasia. Rupanya 

kedua orang ini sudah lama menjalin hubungan rahasia. 

Dan sampai saat itu walau Ratu Randang dikabarkan 

sebagai seorang perempuan yang suka berhubungan 

dengan banyak pemuda namun belum ada seorangpun 

termasuk raja mengetahui jalinan hubungannya dengan 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah. 

Di samping Ratu Randang, berdiri seorang lelaki katai. 

Dia tidak mengenakan pakaian karena sekujur tubuh 

sampai ke wajah ditutupi batu berlumut berwarna ungu. 

Delapan benjolan merah terlihat di keningnya. Selain tubuh 

yang berlapis batu berlumut orang ini memiliki keanehan


lain yaitu punya dua daun telinga di masing-masing sisi 

kepala serta sepasang alis yang terletak bukan di atas 

mata melainkan di sebelah bawah mata. Orang ini meme–

gang sebuah kantong kain kecil di tangan kiri. Sesekali 

tangan kanan dimasukkan ke dalam kantong untuk meng–

ambil sejumput benda. Benda ini yang ternyata adalah 

potongan-potongan kemenyan kemudian dimasukkan ke 

mulut, dikunyah seperti enaknya mengunyah kacang! 

Orang katai ini bukan lain adalah Jambal Ungu alias 

Raja Dukun Batu Berlumut. Dia merupakan salah seorang 

tangan kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah, seorang 

dukun sakti yang bersama beberapa orang anak buahnya 

ikut menjadi biang racun timbulnya malapetaka Malam 

Jahanam di Mataram. 

Sebelumnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah bermak–

sud membawa serta Ratu Randang untuk pergi ke alam 

delapan ratus tahun mendatang menjemput Ksatria Roh 

Jemputan yang bukan lain adalah Pangeran Matahari. 

Namun Sinuhun merobah rencana. Dia pergi seorang diri 

ke puncak Gunung Merapi untuk menjemput roh Pangeran 

Matahari dan meminta Ratu Randang bersama Raja Dukun 

Batu Berlumut untuk menghadang kedatangan Ksatria 

Panggilan Pendekar 212. 

Wiro yang walau tidak tahu siapa adanya kedua orang 

ini namun karena merasa diri telah ditolong segera mem–

bungkuk memberi penghormatan sambil berkata. 

“Dua sahabat yang tidak aku kenal. Aku berterima kasih 

karena telah diselamatkan dari puluhan makhluk hitam 

bugil tadi.” 

Dua orang yang disapa tidak menyahut. Ratu Randang 

berbisik. Suaranya hanya mampu terdengar oleh orang 

katai di sampingnya. Sementara sepasang mata yang 

bagus tapi juling terus memperhatikan pemuda berambut 

gondrong di hadapannya. 

“Jambal Ungu, coba kau perhatikan. Apa benar pemuda 

ini yang kau lihat di dalam ilmu gaibmu. Yang disebut 

sebagai Ksatria Panggilan yang harus ditamatkan riwayat–


nya sebelum dia berbuat macam-macam di Bhumi Mata–

ram?” 

“Aku tidak keliru. Memang dia orangnya. Namun kita 

perlu menyelidik dulu agar jangan sampai kesalahan.” 

Menjawab si Raja Dukun. 

“Kalau begitu kau yang bicara padanya.” 

Si katai berkulit batu berlumut maju satu langkah 

mendekati Wiro. 

“Orang muda yang datang dari alam lain yang sungguh 

sangat jauh. Kami berdua sudah mengira siapa adanya 

dirimu. Tapi sebelum mempertemukan dirimu dengan Sri 

Maharaja Mataram terlebih dulu kami harus memeriksa.” 

Wiro memandang berkeliling. Menggaruk kepala lalu 

berkata. “Jadi saat ini aku sudah berada di Kerajaan 

Mataram Kuna? Terkait jarak waktu delapan ratus tahun 

dengan negeri asalku?” 

“Betul sekali,” jawab Raja Dukun. 

“Sahabat bertubuh katai, kau dan temanmu yang cantik 

itu hendak memeriksa apa? Mau menggeledah tubuhku 

atau bagaimana? Kalau mau menggeledah aku suka-suka 

saja...” Wiro berkata sambil mata dikedipkan ke arah Ratu 

Randang. 

Disebut si cantik dan dikedipkan mata Ratu Randang 

diam saja. Hanya sepasang mata julingnya sekilas tampak 

berbinar. Dalam hati perempuan yang sudah berusis 

sekitar setengah abad ini berkata. “Benar kabar yang aku 

sirap. Ksatria Panggilan ini ternyata seorang pemuda 

bermulut usil konyol dan mata keranjang. Apa dia benar 

memiliki ilmu kesaktian luar biasa hingga hanya dia yang 

diharapkan mampu menyelamatkan Mataram? Hemm. Dia 

belum tahu siapa diriku. Hik... hik... hik...” 

“Apa benar sahabat muda yang di negeri ini kami 

panggil sebagai Ksatria Panggilan bernama Wiro Sableng, 

berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?” Raja 

Dukun bertanya. 

Wiro tidak menjawab melainkan balas bertanya. “Saha–

bat, bagaimana kau tahu tentang diriku?”


“Seorang anak perempuan bernama Ni Gatri memberi–

tahu pada kami...” 

“Ni Gatri. Di mana anak itu sekarang?” tanya Wiro. 

“Dia berada di tempat yang aman. Setelah kami per–

temukan kau dengan Sri Maharaja Mataram, kami akan 

membawamu menemui anak itu.” 

“Apa kalian juga tahu perihal seorang nenek yang ikut 

datang ke negeri ini?” 

“Tidak ada nenek. Yang ada seorang gadis cantik 

berkulit hitam manis yang tubuh dan pakaiannya harum 

selangit. Ada empat tusuk kundai di kepalanya...” 

Wiro tercengang mendengar ucapan Raja Dukun lalu 

menggaruk kepala. 

“Sahabat muda, seseorang telah memberi tahu bahwa 

untuk bertemu dengan Sri Maharaja Mataram kau harus 

memperlihatkan sebuah benda...” 

Murid Sinto Gendeng terdiam lalu anggukkan kepala. 

“Apakah kau membawa benda itu sekarang?” Tanya 

Raja Dukun. 

Wiro kembali mengangguk lalu mengeluarkan sebuah 

benda pipih putih berbentuk segi tiga yang ada guratan 

angka 2, 1 dan 2 berwarna biru pada masing-masing 

sudutnya. Batu putih itu diperlihatkan pada si katai di 

depannya. 

“Benda ini maksudmu?” 

“Ah, malam agak gelap. Penglihatanku kurang baik. Apa 

boleh kau serahkan barang sebentar padaku biar aku bisa 

meneliti. Kau tahu sahabat, dunia sekarang ini penuh 

dengan tipu daya. Aku tak ingin dirimu dan juga diriku 

tertipu orang-orang bermulut manis tapi sebenarnya punya 

niat jahat.” Berkata si Raja Dukun Batu Berlumut. 

Wiro menggaruk kepala. “Kalau kau cuma mau melihat 

sebentar apa salahnya...” Kata Pendekar 212 pada 

akhirnya. 

Pada saat itu Wiro melihat perempuan cantik bermata 

juling yang tegak di sebelah belakang Raja Dukun geleng–

kan kepala sambil menggoyangkan tangan kanan. Wiro jadi


heran tapi juga berpikir. “Aneh, mereka muncul berdua. Si 

katai minta batu, si cantik berdada montok memberi isya–

rat agar aku tidak menyerahkan batu. Bagaimana ini?” 

Akhirnya Wiro berkata, “Sahabat, sesuai perjanjian 

sebenarnya batu putih ini hanya boleh aku perlihatkan dan 

diserahkan pada Sri Maharaja Mataram...” 

“Sahabat muda Ksatria Panggilan. Kami berdua justru 

datang mewakili dan atas perintah Sri Maharaja Mataram 

Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.” 

Wiro diam saja, hanya menggaruk kepala. Melihat 

tanda orang tidak akan mau menyerahkan batu putih segi 

tiga yang diminta, Raja Dukun berpaling pada Ratu Ran–

dang dan bertanya dengan suara yang hanya terdengar 

mengiang. 

“Aku rasa kita harus membunuh pemuda ini sekarang 

juga!” 

Ratu Randang kedipkan sepasang mata julingnya. 

“Sahabat muda,” kata Raja Dukun Batu Berlumut. “Aku 

sudah melihat batu putih segi tiga. Itu kurasa sudah cukup. 

Kau tidak mau menyerahkan tidak jadi apa. Bersiaplah 

untuk aku antar menemui Raja Mataram...” 

Wiro ingat, sesuai rencana sesampainya di Bhumi 

Mataram kuda lumping yang akan membawa dirinya 

menemui Raja Mataram. Kini kuda lumping itu entah 

berada di mana. Maka dia bertanya. “Aku gembira akan 

bertemu Raja. Saat ini berada di manakah beliau...?” 

“Di Bukit Batu Hangus. Sebuah bukit tak jauh di 

pinggiran Kotaraja. Bukit ini sudah ada sejak ratusan tahun 

lalu. Ujudnya pasti juga ada di dalam alammu. Hanya 

mungkin bernama lain...” Menerangkan Raja Dukun. Dia 

maju satu langkah lagi mendekati Pendekar 212. “Aku 

akan menyerahkan sebatang tongkat pembimbing langkah 

padamu. Ini bukan tongkat sembarangan. Merupakan 

benda alam gaib. Dengan membawa tongkat ini kau selalu 

berada dalam perlindungan Yang Maha Kuasa selama kau 

berada di negeri ini. Kau harus tahu, ada banyak orang dan 

makhluk gaib yang ingin membunuhmu! Kau sudah


mengalami sendiri sejak pertama kali menginjakkan kaki di 

Bhumi Mataram!” 

Apa yang dikatakan Raja Dukun diakui kebenarannya 

oleh Pendekar 212. Yang pertama delapan bocah merah 

telanjang. Yang kedua seratus makhluk hitam bugil bercula 

berlidah panjang. Namun untuk menerima pemberian 

orang dia merasa segan. 

Sebelum Wiro sempat menjawab menolak maksud baik 

orang, tangan kanan Raja Dukun mengeluarkan cahaya 

berpijar hitam. Di lain kejap dalam genggamannya terlihat 

sebatang tongkat terbuat dari besi hitam berujud tubuh 

lurus seekor ular yang pada keningnya ada delapan titik 

merah. 

“Ksatria Panggilan ambil tongkat ini. Susupkan di balik 

punggung bajumu!” Ucap si Raja Dukun Batu Berlumut 

sambil tangan kiri diletakkan di atas dada, kepala sedikit 

ditundukkan penuh takzim seolah tongkat yang diberikan 

benar-benar sebuah senjata sakti mandraguna dan sakral! 

Tongkat diulurkan pada Wiro. Namun setengah jalan, 

wuuut...! Dengan gerakan luar biasa cepat tongkat kepala 

ular dihantamkan ke arah kepala sang pendekar! Cahaya 

hitam berkiblat ditimpai delapan larik sinar merah! 

Jangankan kepala manusia, kepala seekor gajah 

bahkan batu sebesar rumahpun akan hancur mengerikan 

jika sampai kena hantaman tongkat kepala ular berbenjol 

delapan! 

“Jambal Ungu. Cukup sampai di sini aku mengikuti 

sandiwaramu! Hik... hik... hik!” 

Di sebelah belakang Ratu Randang keluarkan ucapan. 

Lalu lebih cepat dari gerakan memukul tongkat ke kepala 

Wiro yang dilakukan oleh Raja Dukun tiba-tiba sekali 

perempuan itu pukulkan tangan kanannya ke batok kepala 

Raja Dukun. 

Praakk! 

Sekali hantam saja Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu 

Berlumut terjengkang di tanah, tak berkutik lagi. Kepala 

pecah! Delapan benjolan di kepala mengebul lalu hilang.


Manusia katai ini menemui ajal tanpa keluarkan suara 

sedikitpun! Tongkat yang tadi tergenggam di tangannya 

jatuh ke tanah lalu sirna begitu saja!



DELAPAN


KEJUT Wiro bukan alang kepalang. Namun sebelum 

dia sempat mengatakan sesuatu perempuan di 

hadapannya mendahului bicara. “Tinggalkan tempat 

ini! Cepat ikuti aku!” 

“Hai! Tunggu dulu! Aku mau tanya!” 

“Jangan banyak bicara! Tutup mulut dan ikuti aku kalau 

tidak mau celaka!” 

Wiro tertegun garuk-garuk kepala. 

“Si cantik aneh! Siapa perempuan ini adanya! Membu–

nuh orang sambil tertawa cekikikan!” Wiro membatin. 

Habis berucap Ratu Randang segera berkelebat. Dia 

sengaja melompat melayang di atas telaga yang cukup 

lebar. Maksudnya sengaja hendak menguji apakah Wiro 

akan melakukan hal yang sama atau melompat memutari 

telaga pertanda dia tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi. 

Namun alangkah terkejutnya perempuan cantik berdada 

besar ini ketika dia berhenti di seberang telaga dan 

menunggu kedatangan Wiro tahu-tahu ada yang menepuk 

bahunya. 

“Sahabat cantik! Aku ada di sini.” 

Ratu Randang tersentak kaget. Cepat berbalik. Di 

hadapannya berdiri Pendekar 212 sambil tertawa dan 

kedip-kedipkan mata! 

“Benar-benar pemuda konyol!” Ratu Randang mengge–

rutu dalam hati. Namun diam-diam dia merasa gembira. 

Ternyata Ksatria Panggilan yang diharapkan dapat menye–

lamatkan Mataram itu walau punya sifat aneh tapi me–

mang memiliki ilmu kepandaian tinggi. 

“Sekarang aku mau ikut kau ke mana?” Wiro bertanya.


Tiba-tiba di langit sebelah timur bertebar selarik cahaya 

merah. Ratu Randang cepat tarik Wiro ke balik semak 

belukar. Sambil memegang bahu si pemuda dia berbisik. 

Bisikannya terdengar merupakan ngiangan di telinga Wiro. 

“Salah satu dari dua makhluk keparat itu sudah da–

tang...” 

“Makhluk keparat siapa maksudmu?” tanya Wiro 

dengan suara biasa-biasa saja. 

“Anak muda, apakah kau tidak punya ilmu kepandaian! 

Bicara padaku dengan suara halus mengiang hingga tidak 

ada orang lain yang mendengar. Di negeri ini orang pandai 

bisa punya seribu telinga!” 

Wiro jadi garuk-garuk kepala. Seperti diketahui, sang 

pendekar memang tidak memiliki ilmu mengirimkan suara 

secara mengiang ke telinga orang. 

“Aku tidak memiliki ilmu itu. Ilmu kepandaianku tidak 

setinggi yang kau miliki. Kau pasti orang hebat di negeri 

ini!” Wiro menjawab dengan suara perlahan. Mengakui 

terus terang tidak punya ilmu mengirimkan suara dan 

sekaligus memuji orang. 

Ratu Randang tersenyum kecil. Tangan kanan masih 

diletakkan di bahu sang pendekar. Wiro menatap wajah 

cantik di sampingnya lalu berkata. 

“Aku mendengar cerita. Semua orang di Bhumi Mata–

ram memiliki delapan benjolan merah di jidat. Kenapa aku 

lihat keningmu licin-licin saja. Atau mungkin benjolan pada 

dirimu tumbuh di bagian tubuh yang lain? He... he... he!” 

Ratu Randang menutup mulut menahan tawa. Lalu dia 

mencubit punggung sang pendekar dan berkata, “Me–

mangnya kau tahu apa tentang tubuhku?” 

Wiro menjawab dengan menatap perempuan di sam–

pingnya dari rambut sampai ke kaki lalu berulang kali 

keluarkan suara berdecak tanda kagum. 

“Baru sekali ini aku bertemu orang paling konyol seper–

timu! Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bersenda 

gurau!” Sekali lagi dia mencubit punggung Wiro. 

Wiro meringis kesakitan. Ketika dia hendak membuka


mulut, Ratu Randang cepat berucap. 

“Sudah, lain kali saja kau teruskan kekonyolanmu. Aku 

harus menyelidik keadaan di sekitar sini.” 

Ratu Randang memperhatikan dengan sepasang mata 

julingnya ke arah kegelapan. Terutama lurus-lurus ke arah 

seberang telaga di mana mereka sebelumnya berada dan 

mayat si katai Raja Dukun Batu Berlumut masih terkapar 

tergeletak. 

“Aneh, tadi sudah kelihatan cahayanya. Tapi mengapa 

aku masih belum melihat ujudnya? Pasti dia memperguna–

kan Ilmu Tabir Langit Turun ke Bumi atau Insan Berjalan 

Tanpa Bayangan...”

“Dari namanya pasti itu ilmu-ilmu kesaktian hebat. Tapi 

kurasa aku bisa menembus ilmu kesaktian itu.” 

“Anak muda, jangan sombong kalau bicara. Kalau kau 

sudah berhadapan dengan manusia biang racun itu kau 

bisa terkencing di celana!” 

Murid Sinto Gendeng menyeringai. 

“Aku tidak pernah kencing di celana. Buka celana dulu 

baru kencing. Kau mau lihat bagaimana caranya aku 

kencing?!” Murid Sinto Gendeng pura-pura menggerakkan 

tangan ke pinggang celana. 

Sepasang mata juling Ratu Randang mendelik besar. 

Dua kaki tersurut satu langkah. 

“Aku suka mata julingmu yang bagus itu.” Wiro kembali 

menggoda. 

“Benar-benar sinting!” Ucap Ratu Randang sambil 

goleng-goleng kepala. 

Wiro melintangkan jari telunjuk di depan bibir. Sepa–

sang mata menatap ke seberang telaga. Lalu dia berbisik, 

“Aku sudah melihat orang yang datang. Ternyata ada dua 

orang.” 

Ratu Randang terkejut. Sampai saat itu dia masih 

belum melihat apa-apa. 

“Kau melihat dua orang katamu. Aku tidak melihat 

sepotong manusiapun! Yang aku lihat gelap dan kelam.” 

“Orang cantik, maaf saja. Kau melihat dengan mata


biasa. Aku melihat dengan mata biasa ditambah sedikit 

ilmu.” Jawab Pendekar 212 sambil senyum-senyum. 

“Kau jangan mempermainkan diriku! Sampai saat ini 

aku tidak melihat satu orang pun!” 

“Dua orang yang barusan datang saat ini ada di sebe–

rang telaga. Satu seorang pemuda gagah berpakaian hijau. 

Satunya lagi lelaki berusia sekitar setengah abad menge–

nakan selempang kain biru dan berdestar biru. Mereka 

tengah melangkah mendekati mayat si katai yang tadi kau 

pecahkan kepalanya.” 

Penjelasan Wiro ini membuat Ratu Randang tersentak 

kaget. 

“Seharusnya aku singkirkan dulu mayat dukun celaka 

itu. Mengapa tadi tidak aku ceburkan ke dalam telaga. Tapi 

sekarang sudah terlambat...” Lalu Ratu Randang bertanya 

pada Wiro. 

“Pemuda berpakaian hijau yang kau lihat apakah dia 

memelihara kumis, janggut dan berewok tipis? Kepala 

diikat kain hijau?” 

Wiro anggukkan kepala. “Kau kenal pemuda itu?” 

Ratu Randang tidak menjawab. Dia usap dua mata ber–

ulang-ulang tapi tetap saja tidak melihat dua orang yang 

dikatakan Wiro. Sambil tersenyum Wiro tekap kedua mata–

nya sendiri dengan tangan kanan. Lalu telapak tangan 

kanan disapukan di atas sepasang mata juling Ratu Ran–

dang. 

“Jangan jahil! Apa yang kau lakukan?!” 

“Ssttt... Tenang saja. Sekarang coba kau lihat ke sebe–

rang telaga di depan sana.” 

Ratu Randang ikuti apa yang dikatakan Wiro. Berubah–

lah paras perempuan cantik berusia setengah abad ini. 

Alisnya yang hitam kereng mencuat ke atas. Kuncir di atas 

kepala bergoyang-goyang. Dia kini melihat dua orang yang 

dikatakan Wiro tadi dan berada di seberang telaga. 

“Kau kini bisa melihat dua orang yang tadi aku kata–

kan?” 

Ratu Randang mengangguk.


“Siapa mereka. Dari sini kelihatan mereka tengah 

memeriksa mayat lelaki katai yang kau sebut sebagai Raja 

Dukun itu.” 

“Siapa mereka tidak penting. Ada yang jauh lebih 

penting,” menyahuti Ratu Randang. “Aku ingin bertanya.” 

“Apa?” Tanya Wiro. 

“Kau bisa lebih dulu melihat dari aku. Katamu kau 

melihat dengan mata biasa ditambah sedikit ilmu. Ilmu 

apa?” 

Wiro tertawa, tidak menjawab. 

Ratu Randang jadi penasaran. 

“Dengar, aku akan berikan padamu ilmu bicara mengi–

ang ke telinga orang yang ingin kau ajak bicara. Kau beri–

kan padaku ilmu yang bisa melihat dalam gelap sampai ke 

tempat jauh itu.” 

“Hanya bertukar ilmu itu tawaranmu?” Wiro seperti jual 

mahal. 

“Apa itu kurang adil?! Memangnya kau mau apa? 

Hemmm...” Ratu Randang bergumam berpikir-pikir. Lalu 

sambil tersenyum dia berkata. “Aku tahu maunya laki-laki... 

Dengar, aku akan tambah tawaranku dengan memberikan 

seratus pelukan dan seratus ciuman!” 

Ditawari seperti itu murid Sinto Gendeng semakin 

menggoda. 

“Sedap! Seratus pelukan seratus ciuman. Ciumannya di 

sebelah mana? Di pipi atau di bibir?” 

“Kalau kau mau dicium di bibir aku tidak keberatan...” 

Jawab Ratu Randang dengan raut wajah bersungguh-

sungguh. 

“Hanya seratus ciuman?” tanya Wiro lagi. 

“Memangnya kau mau berapa kali? Mau lima ratus 

kali?!” 

“Wah! Bisa jontor bibirku!” Kata Wiro pula sambil 

tertawa lebar. 

“Baik. Aku akan menciummu sampai lima ratus kali! 

Biar cepatan dan biar kau percaya aku akan melakukannya 

sekarang!” Perempuan tinggi semampai ini rangkulkan


tangan ke punggung Wiro. Lalu sambil menarik tubuh sang 

pendekar dia dekatkan bibirnya ke mulut Wiro. Namun 

gerakannya tiba-tiba terhenti. Sepasang matanya yang tak 

sengaja memandang ke arah seberang telaga melihat 

tanda-tanda bahaya. 

“Tunggu, jangan kau mengira aku mendustaimu. Aku 

lihat dua orang di seberang telaga sana bicara sambil 

memandang ke arah kita. Aku rasa mereka sudah tahu 

kehadiran kita di sini. Mungkin karena kau dari tadi bicara 

terlalu keras dan tidak karuan...” 

“Biarkan saja mereka. Bagaimana janjimu hendak 

menciumku. Tidak mau dilanjutkan?” 

Ratu Randang tidak menjawab. Dia menarik tangan 

Wiro. Wiro merasa dua kakinya terangkat dari tanah. 

Sesaat kemudian ketika memandang ke bawah ternyata 

dia telah dibawa melayang di antara kerapatan pepohonan 

di malam gelap. 

“Ilmu terbang yang kau miliki ini apa namanya? Ilmu 

Jalan-jalan di Malam Gelap dan Sunyi?” 

“Jangan bergurau terus. Kita belum lepas dari bahaya!” 

Kata Ratu Randang pula. 

Sambil mencekal tangan Wiro, Ratu Randang berkomat-

kamit. Lalu tangannya dipukulkan ke bawah. 

Wuttt! 

Terdengar sambaran angin sangat halus. 

“Apa yang kau lakukan? Mengeluarkan ilmu lagi?” 

Bertanya Wiro. 

“Aku menciptakan telaga kedua. Untuk mengelabuhi 

kedua orang itu jika mereka mengejar kita.” 

“Apa?! Telaga kedua? Semudah dan secepat kau 

membalikkan tangan?!” 

“Kalau tidak percaya lihat saja ke bawah. Pergunakan 

ilmu kepandaianmu yang bisa melihat jauh di dalam 

gelap.” 

Pendekar 212 memandang ke bawah. Astaga! Apa yang 

dikatakan Ratu Randang bukan dusta. Saat itu di bawah 

sana Wiro melihat sebuah telaga sementara lebih jauh ke


selatan telaga di mana sebelumnya dia berada masih 

terlihat walau agak samar. Kemudian dia melihat dua 

orang berkelebat di sekitar telaga kedua. 

“Hebat! Belum pernah aku melihat tukang sihir secan–

tikmu!” Wiro memuji. 

Ratu Randang dongakkan kepala. 

“Aku jelas cantik! Tapi jelas aku bukan tukang sihir!” 

Wiro tertawa. 

Tawa sang pendekar lenyap ketika, cuuppp! 

Bibir Ratu Randang menempel ketat di bibir Wiro hingga 

sang pendekar gelagapan. Ratu Randang tertawa ceki–

kikan. 

“Itu ciuman pertama! Masih ada empat ratus sembilan 

puluh sembilan ciuman lagi! Hik... hik... hik!”



SEMBILAN


DUA ORANG di tepi telaga yang memeriksa mayat Raja 

Dukun Batu Berlumut untuk beberapa lama sama-

sama terdiam. Agaknya mereka tenggelam dalam 

pikiran masing-masing. Akhirnya pemuda berpakaian hijau 

membuka mulut. “Swara Pancala, apa pendapatmu?” 

Melihat kepada umur, orang berpakaian dan berdestar 

biru jauh lebih tua dari si pemuda yang bertanya. Namun 

jika pemuda itu langsung menyebut nama maka ini adalah 

satu kejanggalan mengandung keanehan. 

Orang yang ditanya menghirup udara malam di tepi 

telaga dalam-dalam baru menjawab. “Dari udara yang ada 

di tempat ini saya mencium Ratu Randang dan sahabat 

malang ini sebelumnya memang sama-sama berada di sini. 

Namun di mana sekarang beradanya Ratu Randang dan 

siapa yang membunuh Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu 

Berlumut ini masih merupakan satu tanda tanya besar. 

Saya juga mencium kalau orang dari negeri delapan ratus 

tahun mendatang yang disebut dengan nama Ksatria 

Panggilan itu sebelumnya mungkin juga berada di tempat 

ini. Apakah dia pergi bersama Ratu Randang...” 

“Swara Pancala, harap bicara memakai pertimbangan. 

Apa kau lupa kalau Ratu Randang adalah kekasih nyawa 

kembarku? Apakah mungkin dia mengkhianati nyawa 

kembarku?!” Pemuda berpakaian hijau memotong ucapan 

orang bernama Swara Pancala. 

“Maafkan saya Sinuhun Muda. Saya tahu Ratu Randang 

yang cantik itu adalah kekasih Sinuhun Muda dan Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah. Saya tidak mengatakan bahwa 

Ratu Randang telah berkhianat. Saya hanya memberi tahu


apa yang saya ketahui. Raja Dukun berilmu tinggi. Agaknya 

dia dibunuh dalam keadaan lengah. Melihat bagian bela–

kang kepala yang hancur parah saya yakin dia telah dihan–

tam dari belakang. Lalu melihat bentuk hancurnya kepala, 

mohon dimaafkan kalau saya mengatakan Raja Dukun 

telah dihantam dengan ilmu pukulan bernama Di Dalam 

Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat.” 

Sepasang mata pemuda berpakaian hijau membesar. 

Dia usap dagu dan cambang bawuknya sebelum keluarkan 

ucapan. “Ilmu pukulan itu adalah salah satu ilmu yang 

dimiliki Ratu Randang!” 

“Maafkan saya Sinuhun Muda Ghama Karadipa.” Orang 

bernama Swara Pancala cepat-cepat tundukkan kepala lalu 

memandang ke arah lain. 

“Swara Pancala, sebenarnya tadi-tadi aku sudah men–

duga kalau Ratu Randang telah melakukan pengkhianatan. 

Aku tidak mengerti. Dia bercinta denganku. Menjadi keka–

sihku walau belum terlalu lama. Lalu mengapa dia menjadi 

musuh dalam selimut? Apakah kesetiaannya pada Raja 

Mataram melebihi kesetiaannya dan cintanya terhadap 

diriku?” 

“Sinuhun Muda, saya tidak berani memberikan tangga–

pan. Namun saya menduga apa yang dilakukan Ratu Ran–

dang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Mengapa 

dia tidak pernah menemui Arwah Ketua sebagaimana yang 

Sinuhun Muda perintahkan, itu cukup pula menjadi per–

tanda bahwa ada satu kerahasiaan dalam diri perempuan 

itu. Mohon saya dimaafkan kalau salah bicara...” 

Sinuhun Muda menarik nafas dalam. 

“Aku telah berbuat kesalahan besar menyuruhnya pergi 

bersama Raja Dukun. Saat itu kau tengah menjaga roh 

Sedayu Galiwardhana. Aku sendiri dalam ujud nyawa kem–

bar yang lain tengah menjemput Ksatria Roh Jemputan di 

Gunung Merapi di alam delapan ratus tahun mendatang...” 

Sinuhun Muda berhenti bicara dan menatap tajam-

tajam ke wajah orang di hadapannya. Melihat hal ini Swara 

Pancala yang jadi gelisah segera saja berkata.


“Mohon saya diberi tahu apa yang ada di pikiran Sinu–

hun Muda. Ada sesuatu yang hendak Sinuhun Muda 

katakan?” 

“Benar. Aku khawatir kau kelak akan berbuat culas, 

sama dengan Ratu Randang. Sampai saat ini pihak kera–

jaan tidak tahu menahu apa yang kau lakukan. Kalau kau 

telah menjadi orang kepercayaanku dan berkhianat pada 

Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Raja Mataram...” 

“Sinuhun Muda, kalau saya boleh berkata. Arwah kedua 

orang tua saya, istri dan seorang anak yang tewas ketika 

kerajaan menumpas pemberontakan beberapa tahun 

silam, apakah itu tidak cukup menjadi sumber dendam 

kesumat yang sangat besar bagi saya? Rasanya dalam hal 

ini kita banyak kesamaan.” 

“Aku tahu hal itu,” sahut Sinuhun Muda pula. Namun 

wajahnya masih tetap menunjukkan sesuatu yang tidak 

mengenakkan bagi Swara Pancala. 

Maka Swara Pancalapun berkata. “Sinuhun Muda, 

kalau ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk mem–

buat Sinuhun Muda percaya bahwa saya tidak akan 

mengkhianati Sinuhun Muda...” 

Pemuda berpakaian dan berikat kepala hijau terse–

nyum. Dari kantong pakaiannya dia mengeluarkan sesuatu 

yang dibungkus dengan daun pisang kering. Perlahan-

lahan daun pembungkus dibuka lalu dibuang ke tanah. Kini 

di telapak tangan kanan Sinuhun Muda tampak sebuah 

benda hitam bulat memancarkan cahaya berkilau. 

“Swara Pancala, benda yang ada di tanganku ini adalah 

gumpalan Tiga Ratus Tuba Duri Bambu. Siapa saja yang 

berbuat jahat terhadap diriku dan telah menelan racun ini 

maka dia hanya mampu bertahan hidup selama dua puluh 

satu hari. Sebelum menemui ajal orang yang menelan akan 

muntah darah selama tujuh hari hingga seluruh cairan 

yang ada di dalam tubuhnya menjadi kering. Keadaannya 

akan berubah tidak beda seperti jerangkong hidup. Tetapi 

jika orang yang menelan memang tidak punya niat jahat 

terhadapku maka setelah dua puluh satu hari dia akan


selamat. Nah, berikan kepercayaan padaku. Telan benda 

ini!” 

Tampang Swara Pancala berubah pucat. Orang ini 

tertegun untuk beberapa lama. 

“Swara Pancala. Aku menunggu. Tapi jangan terlalu 

lama. Aku akan menghitung sampai lima. Jika kau tidak 

bersedia menelan maka aku minta kau membenturkan 

kepalamu ke batu besar di tepi telaga sana.” 

Swara Pancala melirik ke arah batu besar yang dikata–

kan lalu kembali memperhatikan benda hitam di atas 

telapak tangan Sinuhun Muda. Tengkuk terasa dingin tapi 

dada berdebar panas! 

“Swara Pancala. Aku akan menghitung dengan sangat 

cepat! Satu! Dua! Tiga! Em...” 

Pada hitungan ke empat Swara Pancala ulurkan tangan 

mengambil gumpalan racun Tiga Ratus Tuba Duri Bambu 

lalu memasukkan ke dalam mulut dan dengan cepat 

menelannya. Sesaat sepasang mata orang ini tampak 

mendelik dan muka serta tubuhnya basah dengan keri–

ngat. 

“Sinuhun Muda,” ucap Swara Pancala dengan suara 

bergetar. “Saya telah membuktikan bahwa saya tidak sama 

dengan Ratu Randang.” 

Sinuhun Muda angguk-anggukkan kepala. Memegang 

bahu Swara Pancala dan berkata. “Bagus. Pengabdianmu 

tidak akan aku lupakan.” 

“Kalau begitu sekarang kita harus bertindak mengejar 

perempuan itu.” 

Sinuhun Muda gelengkan kepala. 

“Sampai sebelum matahari terbit kita tidak akan 

mampu mengetahui di mana perempuan pengkhianat itu 

berada dan dengan siapa. Aku merasa sangat menyesal 

telah memberikan Ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan 

padanya.” 

“Kalau begitu agar kita tidak terpaut terlalu jauh 

dengannya, sebaiknya kita sekarang juga bergerak ke 

jurusan lenyapnya perempuan itu. Mudah-mudahan kita


masih bisa tertolong dengan Ilmu Tanpa Mata Mengan–

dalkan Penciuman. Kita berdua sudah sama mengetahui 

bau tubuh dan pekaian perempuan itu...” 

“Tidak ada salahnya dicoba,” jawab Sinuhun Muda. 

Lalu sekali berkelebat kedua orang ini telah melayang 

di atas telaga meninggalkan rimba belantara gelap di 

belakang mereka. Tak selang berapa lama Sinuhun Muda 

angkat tangan kanan dan berseru sambil melayang turun 

ke tanah. 

“Swara Pancala! Lihat ke depan!” 

Swara Pancala segera pula melayang turun ke tanah, 

berdiri di samping Sinuhun Muda dan memandang ke 

depan. 

Astaga! 

Di depan mereka terbentang sebuah telaga. Telaga 

yang sama dengan telaga sebelumnya di mana mereka 

berada. Yang berbeda adalah di tepi telaga tidak ada 

mayat Raja Dukun Batu Berlumut! 

Masih tak percaya Sinuhun Muda dan Swara Pancala 

memandang berkeliling. Keadaan di sekitar telaga juga 

sama dengan telaga sebelumnya! 

“Perempuan celaka itu telah mempergunakan Ilmu 

Sang Pencipta Berbuat Penuh Kuasa. Kita disesatkan 

dengan telaga jejadian ini yang baru akan lenyap kalau 

tersentuh sinar sang surya. Kecuali ada petunjuk lain. 

Percuma saja kita meneruskan pengejaran.” 

Tiba-tiba tidak disangka-sangka ada suara menyahuti 

ucapan Sinuhun Muda. Suara perempuan. 

“Kalau yang bernama Sinuhun Muda percaya, maka 

petunjuk itu ada padaku. Aku tahu di mana orang yang 

dicari saat ini berada. Apakah Sinuhun Muda masih ingat 

kata-kataku beberapa waktu lalu di alam delapan ratus 

tahun mendatang? Pada saat Sinuhun Muda muncul 

dengan ujud Sinuhun Merah Penghisap Arwah? Apakah itu 

ujud nyawa kembar Sinuhun Muda? Ingat? Waktu itu aku 

berkata. Suatu ketika kau akan memerlukan diriku. 

Mungkin untuk berbagi ilmu. Mungkin juga untuk berbagi


cinta. Hik... hik... hik...”

Sinuhun Muda terkesiap. Swara Pancala palingkan 

kepala ke arah datangnya suara tadi. Sinuhun Muda lalu 

berucap perlahan. 

“Aku kenal suara itu. Aku juga ingat kata-kata itu. Tapi 

bagaimana dia tahu-tahu bisa berada di Bhumi Mataram 

ini...?”



SEPULUH


PENDEKAR 212 Wiro Sableng memandang seputar 

ruangan batu. Tak ada jendela tak ada pintu. Aneh, 

melalui bagian mana tadi dia dibawa masuk oleh 

perempuan cantik itu. Sementara sang pendekar masih 

tercengang-cengang, Ratu Randang melangkah mondar-

mandir mengelilingi ruangan sambil sapukan tangan kanan 

pada empat din–ding. Sesekali mata dipejamkan dan bibir 

yang merah bergetar. Jelas dia tengah merapal sesuatu 

bacaan. 

Tak lama kemudian perempuan ini memutar tubuh. 

Punggung dirapatkan ke dinding, kaki dikembang dan dada 

dibusungkan. Sepasang mata juling tapi bagus menatap 

lurus ke arah Wiro. Sikapnya berdiri sungguh menawan. 

“Sahabat muda, apa benar namamu Wiro Sableng. 

Sableng yang artinya sinting?” 

“Aku memang sableng tapi belum sinting,” jawab Wiro 

sambil tertawa. “Aku sendiri, sampai saat ini belum tahu 

namamu. Padahal aku sudah berhutang budi dan nyawa 

padamu.” 

“Jangan menyebut segala macam hutang budi. Mungkin 

kelak aku yang akan menerima budi jauh lebih besar 

darimu.” 

“Lalu namamu? Apa kau tidak mau memberi tahu?” 

tanya Wiro lagi. 

“Namaku Ratu Randang...” 

“Ratu Rendang! Nama bagus. Tapi mengapa seperti 

nama hidangan daging lezat?” 

Si cantik di hadapan Wiro cemberut. 

“Ih...! Namaku Ratu Randang. Bukan Rendang! Enak


saja kau bicara! Kau sengaja mempermainkan aku!” 

Wiro tertawa. “Maafkan kalau aku salah menyebut. 

Namamu benar-benar bagus. Kau memang secantik 

seorang ratu...” Wiro memuji. Dia lantas saja ingat pada 

Ratu Duyung, gadis cantik bermata biru yang mencintai 

dirinya. 

“Sebenarnya aku adalah salah seorang pembantu 

dekat Raja Mataram. Aku seorang penasihat Istana Mata–

ram...” Ratu Randang coba menjelaskan siapa dirinya. 

Wiro tercengang. 

“Jadi, ternyata kau bukan saja seorang sakti berkepan–

daian hebat Tapi juga seorang tokoh berkedudukan tinggi 

di Istana Mataram. Sungguh kau orang luar biasa. Tapi...” 

Wiro memandang seputar ruangan lalu bertanya. “Sahabat 

cantik, saat ini kita berada di mana. Ruangan batu ini 

tertutup rapat Tidak ada pintu tidak ada jendela. Heran 

ruangan ini bisa terang. Lalu dari mana tadi kau membawa 

aku masuk ke tempat ini.” 

“Ketahuilah kita berada di dalam tanah di bawah Candi 

Prambanan.” Ratu Randang memberi tahu yang membuat 

murid Sinto Gendeng jadi melongo. “Aku membawamu ke 

sini dengan ilmu Menunggang Kabut Menembus Batu...”

Wiro keluarkan suara berdecak. 

“Kau begitu polos mau memberi tahu ilmu kesaktian 

yang kau miliki. Jangan-jangan kau mau menukar dengan 

apa lagi? Lima ratus pelukan dan ciuman saja belum 

selesai. He... he.” 

Wajah Ratu Randang bersemu merah. Kalau Wiro ada 

sepejangkauan tangannya pasti sudah dicubit perutnya 

sampai melintir! 

“Kau masih saja bersenda gurau. Terus terang sebe–

narnya saat ini kita belum terlepas dari bahaya...” 

Wiro menggaruk kepala. 

“Jadi saat ini kita berada di bawah Candi Prambanan? 

Candi Prambanan di Mataram Kuna atau yang di negeri–

ku?” 

“Keduanya adalah candi yang sama walau berbeda


alam. Sesepuh nenek moyangmu membuat Candi Pram–

banan di masa lalu. Candi tetap berdiri gagah sampai 

delapan ratus tahun kemudian. Walau saat ini keadaan 

memang aman namun aku tidak tahu kita bisa bertahan 

sampai berapa lama. Kalau kita keluar sekarang-sekarang 

dari tempat ini aku khawatir orang-orang yang mengejar 

bisa menemui kita. Saat ini aku punya kewajiban harus 

membawamu ke hadapan Sri Maharaja Mataram secepat-

cepatnya. Padahal itu sebenarnya tugas orang lain. Namun 

keadaan berubah. Tindakan cepat harus dilakukan. Siapa 

sangka aku diperintahkan bersama si katai yang sudah 

mati itu menemuimu. Kau masih menyimpan baik-baik 

batu putih berbentuk segi tiga itu?” 

Wiro menepuk-nepuk pinggang sebelah kiri tanda 

benda yang ditanyakan berada dalam keadaan aman. 

“Siapa yang memerintahmu menemui aku bersama 

orang katai pemakan kemenyan itu?” Wiro bertanya. 

“Satu makhluk yang memiliki dua nyawa kembar.” 

Jawab Ratu Randang. 

“Nyawa kembar? Baru sekali ini aku mendengar ada 

nyawa kembar. Bagaimana mungkin...?” 

“Akal sehat memang tidak bisa menerima. Namun 

begitulah kejadiannya. Dua nyawa kembar masuk ke dalam 

sosok makhluk yang punya dua ujud. Ujud pertama yang 

sebenarnya sudah menemui kematian beberapa tahun 

silam, dipanggil dengan nama Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah. Ujud kedua adalah pemuda berpakaian dan berikat 

kepala hijau yang tadi kau lihat di tepi telaga. Keduanya 

bisa berada di tempat berbeda dalam waktu yang bersa–

maan.” 

Wiro menggaruk kepala. 

“Berarti jika yang satu lagi asyik menyanyi di satu tem–

pat, ujud yang lain bisa saja tengah membunuh orang! 

Hebat juga!” Setelah berpikir sejenak Wiro berkata. “Jika 

makhluk bernyawa kembar memberi perintah padamu dan 

orang katai yang sudah mati itu, berarti kalian berdua 

sebenarnya adalah anak buah Sinuhun-Sinuhun. Tadi kau


mengatakan dirimu adalah penasihat Raja Mataram. Lalu 

mengapa pula kau membunuh si katai itu? Aku menduga 

kau membunuhnya bukan karena hendak menolongku 

saja, tapi ada penyebab lain...” 

“Aku ingin menyelamatkan Raja Mataram, rakyat dan 

kerajaan. Dua sinuhun bersama para pengikutnya telah 

menjatuhkan malapetaka mengerikan di Bhumi Mataram.” 

Lalu Ratu Randang menceritakan apa yang telah terjadi. 

“Jika begitu ceritanya berarti kau telah mengkhianati 

dua sinuhun. Tidak heran kalau makhluk bernyawa kembar 

itu akan mencarimu sampai ke langit ke tujuh sekalipun! 

Tapi dari caramu bercerita dan dari raut wajahmu aku 

melihat tidak ada perasaan takut dalam dirimu. Aku punya 

dugaan ada satu perkara yang tidak kau jelaskan padaku.” 

Sepasang mata juling Ratu Randang menatap Pendekar 

212 tak berkesip. 

“Apa?” tanya perempuan itu. “Apa yang tidak aku ceri–

takan padamu?” 

“Aku tidak tahu, tapi pasti ada. Aku bisa merasakan. 

Kau melakukan pengkhianatan. Dua sinuhun aku rasa 

bukan makhluk tolol yang bisa mempercayaimu begitu 

saja...” 

Ratu Randang tertawa. 

“Kau memang benar. Pengkhianatan itu harus aku 

bayar mahal, sangat mahal. Aku bercinta, berpura-pura 

menjadi kekasih dua sinuhun. Bahkan Sri Maharaja dan 

orang-orang penting di kerajaan tidak mengetahui hal ini. 

Semua aku rencanakan sendiri karena aku sadar dalam 

keadaan negeri dilanda malapetaka seperti ini terkadang 

sulit menduga mana kawan mana lawan.” 

“Pengorbananmu sungguh luar biasa besar. Tapi tidak 

sia-sia karena ada enaknya.” 

“Jangan menyindir! Kau marah? Atau cemburu?” 

Wiro tertawa lebar dan gelengkan kepala. 

“Hanya dengan cara begitu aku bisa mengabdi menye–

lamatkan raja dan kerajaan. Aku berhasil mencari tahu apa 

kelemahan dua sinuhun...”


“Kalau memang kau sudah tahu kelemahan mereka 

mengapa tidak membunuh saja keduanya? Raja dan kera–

jaan selamat. Cerita selesai! Aku tidak perlu jauh-jauh 

datang ke sini naik kuda lumping!” 

“Tidak semudah itu membunuh dua makhluk bernyawa 

kembar itu. Seperti yang kau katakan tadi mereka bukan 

makhluk-makhluk tolol. Sekalipun aku tahu kelemahan 

mereka namun pasti mereka memiliki penangkal. Selain itu 

aku khawatir mereka tidak bisa dibunuh satu demi satu, 

tapi harus sekaligus. Kalau nyawa kembar yang satu mati 

yang lain masih hidup, celaka besar akan terjadi. Riwayat–

ku akan tamat! Padahal aku masih ingin panjang umur 

menikmati hidup di dunia yang penuh keindahan ini. Hik... 

hik” 

Setelah mengusap lehernya yang putih jenjang Ratu 

Randang teruskan ucapan. “Mengenai kuda lumping yang 

kau tunggangi bersama dua orang lain dari negeri delapan 

ratus tahun mendatang, benda sakti itu kini berada di 

tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang menyamar 

menyerupai Kumara Gandamayana. Sulit bagimu untuk 

kembali ke negeri asalmu kalau tidak mendapatkan kuda 

lumping itu kembali.” 

“Celaka biyung!” Ujar Wiro. “Agaknya sudah takdir aku 

akan berada di negeri ini sampai karatan.” Lalu Wiro ber–

tanya. “Siapa orang bernama Kumara Gandamayana itu?” 

“Seorang kakek sakti yang pernah datang ke negerimu, 

masuk ke dalam tubuh seorang anak perempuan dan 

bicara dengan seorang gadis bersunting lima tusuk konde 

perak. Gadis itu badan dan pakaiannya menebar bau 

sangat harum. Kini tusuk kondenya tinggal empat.” 

“Yang pakai tusuk konde perak ditancap di batok kepa–

la cuma ada satu orang. Guruku! Eyang Sinto Gendeng. 

Dan dia sudah nenek keriput, bukan gadis! Tubuhnya bau 

pesing karena suka kencing! Aneh kalau kau mengatakan 

tubuhnya sangat harum.” 

“Agaknya telah terjadi satu keanehan. Semua orang di 

sini melihat gurumu itu sebagai seorang gadis cantik.”


“Hebatnya guruku! Tapi aku benar-benar tidak mengerti 

keadaan di negeri ini. Banyak aku melihat dan mengalami 

keanehan sebelumnya tapi tidak seperti di sini...” 

“Wiro, aku sedih mengatakan gurumu sekarang berada 

di bawah kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. 

Otaknya telah dicuci dengan Ilmu Delapan Jalur Arwah 

Pencuci Otak. Dia akan melakukan apa saja yang diperin–

tahkan sinuhun, termasuk membunuhmu!” 

Wiro terlonjak kaget. 

“Bagaimana kejadiannya?” 

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil menipu 

gurumu. Merampas kuda lumping dan sekaligus mencuci 

otaknya dengan ilmu kesaktian yang aku sebutkan tadi. 

Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak.” 

“Apakah kau punya obat penangkalnya?” Tanya Wiro. 

Ratu Randang menggeleng. “Agaknya sulit menyem–

buhkan gurumu atau siapa saja yang sudah ditumbuhi 

delapan benjolan merah di keningnya...” 

“Astaga! Jadi guruku sudah terserang benjolan aneh itu! 

Celaka! Benar-benar celaka! Sebenarnya nenek itu sudah 

dilarang untuk tidak ikut ke Mataram. Tapi dia memaksa. 

Aku menduga dia tergila-gila pada si Kumara itu. Sekarang 

dia jadi gila benaran!” Wiro tepuk-tepuk jidatnya sendiri. 

Lalu berkata. “Aku harus mencari guruku lebih dulu. Aku 

harus menyelamatkan dirinya.” 

“Tapi raja dan rakyat Mataram menunggu dan memer–

lukan pertolonganmu.” Kata Ratu Randang pula. 

Murid Sinto Gendeng jadi bingung. Dia lalu ingat sese–

orang. “Ratu, orang yang muncul bersama Sinuhun Muda, 

berpakaian dan berdestar biru. Siapakah dia?” 

“Namanya Swara Pancala. Dialah pengkhianat sebe–

narnya.” 

Wiro terkejut! 

“Nama itu! Aku pernah mendengar sebelumnya...” 

“Swara Pancala adalah salah seorang kepercayaan 

Raja Mataram. Namun dia kena dipengaruhi Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah dan secara diam-diam menjadi


kaki tangannya. Aku khawatir banyak rahasia yang diketa–

huinya telah disampaikan kepada Sinuhun Merah dan 

Sinuhun Muda. Termasuk mengenai dirimu dan batu segi 

tiga putih. Itu sebabnya Sinuhun mengirim si katai Raja 

Dukun dan diriku untuk merampas batu segi tiga putih. 

Maksudnya dia akan menyerahkan batu itu pada seorang 

makhluk alam roh yang didatangkan dari alam delapan 

ratus tahun mendatang. Konon makhluk itu diberi nama 

Ksatria Jemputan. Dengan berbekal batu, Ksatria Roh 

Jemputan akan mengaku diri sebagai Ksatria Panggilan 

menghadap raja, menipu lalu membunuhnya.” 

“Roh Jemputan...” Wiro mengulang nama itu. “Ratu 

Randang, kau tahu siapa adanya makhluk yang disebut 

Roh Jemputan itu?” 

“Aku tidak tahu. Tapi aku tahu Sinuhun Merah sendiri 

yang pergi ke negeri asalmu, menghisap arwah Roh Jem–

putan di puncak Gunung Merapi. Saat ini mungkin dia 

sudah masuk ke Bhumi Mataram. Satu hal lagi yang aku 

ketahui, Ksatria Roh Jemputan akan dikendalikan untuk 

membunuhmu!” 

“Edan!” Wiro memaki. “Ratu, dua sinuhun yang berasal 

dari dua nyawa kembar itu, kau tahu siapa mereka sebe–

narnya? Mengapa mereka menjatuhkan tangan jahat 

terhadap raja dan rakyat Mataram yang tidak berdosa? 

Pasti ada sesuatu sebab makhluk dua nyawa kembar itu 

berbuat begitu. Sesuatu yang merupakan dendam kesumat 

yang terbawa di dalam dirinya seumur-umur dan baru akan 

lenyap jika dia sudah melakukan pembalasan...” 

“Aku tidak bisa menduga. Selama beberapa kali aku 

bercinta dengan Sinuhun Muda Ghama Karadipa, pemuda 

itu selalu bicara tentang hal-hal yang aku tidak mengerti...” 

“Misalnya?” tanya Wiro pula. 

“Terkadang dia bersikap aneh. Seperti mau menangis 

sesenggukan. Lalu bicara tentang segala macam arwah 

keramat. Cerita tentang perang arwah! Pernah satu kali 

ketika dia terbaring setengah tertidur setelah bercinta 

denganku, tiba-tiba Sinuhun Muda berteriak. Ayahku!


Jangan dipenggal! Jangan! Jangan! Ibu... Ibu... kau di mana 

Ibu! Dewa Jagat Bathara! Mereka juga telah memancung 

Ibuku! Habis berteriak Sinuhun Muda lalu menangis 

tersedu-sedu.” 

Wiro menggaruk kepala. Coba merenung. 

“Agaknya ada satu peristiwa dahsyat di masa lalu yang 

sampai saat ini tidak bisa dilupakannya. Mungkin peristiwa 

itu yang menjadi pemicu dendam kesumat yang melekat di 

dalam dirinya seumur-umur dan baru akan lenyap jika dia 

sudah melakukan pembalasan. Ratu, tadi kau mengatakan 

telah berhasil mengetahui kelemahan dua sinuhun nyawa 

kembar itu. Kau mau memberi tahu padaku?” 

“Aku sudah lama menduga-duga. Dugaanku itu tersing–

kap kebenarannya ketika belum lama ini aku hendak 

bercinta dengan Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Malah 

dia sendiri yang menyebut kelemahan dirinya. Waktu itu dia 

mengatakan...” 

Mendadak Ratu Randang hentikan ucapan. 

“Mengatakan apa? Ratu, mengapa kau tidak menerus–

kan keterangan?” 

Ratu Randang memberi tanda agar Wiro tidak bicara. 

Perempuan ini menghirup udara dalam-dalam lalu berbisik. 

“Kau mendengar sesuatu?” 

Wiro raba telinga kirinya. “Aku mendengar suara seperti 

sesuatu melata di tanah. Mungkin seekor ular besar. Aku 

juga mencium bau harum semerbak. Tapi bukan bau ha–

rum manusia. Melainkah bau harum makhluk alam roh!” 

“Kepalaku terasa pusing mencium bau itu,” kata Ratu 

Randang sambil memijit pelipis kiri kanan. 

“Ratu, kita harus meninggalkan tempat ini! Aku curiga 

orang sudah mengetahui persembunyian kita.” 

Tiba-tiba terdengar suara mendesis. Bersamaan dengan 

itu dari bagian bawah dinding ruangan batu sebelah kanan 

menyembur asap kuning. Serta merta kedua orang itu 

merasa sesak dada masing-masing dan pemandangan 

menjadi kabur. 

“Racun ular!” Teriak Pendekar 212.


Tidak menunggu lebih lama Ratu Randang segera 

menarik lengan Pendekar 212 sambil merapal ajian 

Menunggang Kabut Menembus Batu.

Saat itu juga tubuh Ratu Randang dan Wiro melesat ke 

atap ruangan. Seperti tadi ketika masuk Wiro merasakan 

sekujur tubuhnya dingin lalu, sett... sett! Di lain kejap sosok 

kedua orang itu sudah meninggalkan ruangan batu. Me–

mandang berkeliling Wiro dapatkan dirinya berada di satu 

pedataran dan dia melihat tiga buah candi besar yang 

segera dikenalinya sebagai Candi Siwa atau Candi Loro 

Jonggrang, Candi Brahma dan Candi Wisnu. 

Saat itu udara masih dibalut kegelapan malam dan 

hawa dingin. Tanah pedataran tampak basah oleh genang–

an air berwarna merah dan menebar bau busuk. Dua ekor 

sapi dan empat ekor kambing yang telah jadi bangkai 

tergeletak di kejauhan. 

“Wiro aku memperkirakan ada beberapa orang sembu–

nyi di balik candi di sebelah kanan. Lekas kau tinggalkan 

tempat ini. Pergi lurus-lurus ke arah utara. Kau akan 

menemukan sebuah bukit batu. Itulah Bukit Batu Hangus. 

Raja Mataram ada di sana! Segera temui beliau!” 

“Kau sendiri mau ke mana? Mau berbuat apa?” Tanya 

Pendekar 212. 

“Aku akan tetap di sini. Aku akan menghadang mere–

ka!” 

Wiro tekapkan kedua tangannya di wajah Ratu Randang 

dan berkata. 

“Aku juga akan tetap di sini. Mati hidup kita berdua!” 

Ratu Randang terkesiap mendengar ucapan sang 

pendekar. 

“Tapi Wiro, raja dan rakyat Mataram membutuhkan 

pertolonganmu! Jika terjadi sesuatu dengan dirimu di 

tempat ini aku merasa bersalah dan harus bertanggung 

jawab...” 

“Tenang saja. Tidak akan terjadi apa-apa dengan kita 

berdua.” Kata Wiro pula. 

Saking girangnya Ratu Randang langsung saja menge–


cup bibir Pendekar 212 hangat dan mesra. Lalu sambil 

tersipu perempuan ini berkata. “Masih empat ratus sembi–

lan puluh delapan ciuman...” 

Wiro hanya bisa tersenyum. 

Saat itulah tiba-tiba terdengar suara perempuan ter–

tawa melengking panjang. 

“Dasar pemuda mata keranjang! Di tanah delapan ratus 

tahun mendatang berbuat cabul! Sampai di sini masih juga 

berbuat mesum! Menyekap diri di dalam liang batu dengan 

perempuan dajal yang berusia dua kali lebih tua! Hik... 

hik... hik! Padahal kedatanganmu katanya untuk menolong. 

Ternyata malah enak-enakan berbuat serong! Hik... hik... 

hik!” 

Wajah Ratu Randang tampak mengelam merah. Tubuh 

bergetar pertanda marah besar menyelimuti sekujur 

dirinya. 

“Jangan perdulikan ucapan orang!” kata Wiro sambil 

pegang lengan Ratu Randang. “Aku punya dugaan perem–

puan bermulut kotor itu datang dari negeri yang sama 

dengan negeri asalku!” 

Tiba-tiba dari balik Candi Wisnu tiga bayangan berke–

lebat!



SEBELAS



DARI tiga orang yang berdiri di hadapannya, Wiro 

segera mengenali orang pertama dan kedua yaitu 

orang-orang yang malam itu dilihatnya di tepi telaga 

dan telah dijelaskan siapa adanya oleh Ratu Randang. 

Kedua orang ini bukan lain adalah Sinuhun Muda Ghama 

Karadipa dan si pengkhianat Swara Pancala. 

Di antara kedua orang itu berdiri seorang perempuan 

muda berwajah cantik mengenakan pakaian terbuat dari 

sutera halus berwarna hijau. Tubuhnya yang sintal serta 

pakaian bagusnya, menebar bau harum. Rambut hitam 

digerai lepas sepinggang. Di sebelah atas dada pakaian 

hijaunya agak tersingkap hingga menyembulkan sepasang 

payudara yang kencang putih. Di kepala sebelah depan 

terdapat sebuah mahkota kecil terbuat dari perak putih 

berkilat ditaburi batu permata aneka warna. 

Sementara Pendekar 212 terperangah tidak percaya 

akan apa yang dilihatnya, Ratu Randang mengerenyit 

karena di pinggang perempuan muda cantik yang tidak 

dikenalnya itu melingkar seekor ular hitam besar berkepala 

putih. Dan yang membuat Ratu Randang jadi mengkirik 

bergidik, sebagian tubuh ular yakni di sebelah ekor masuk 

menembus ke dalam perut orang melalui pusar! 

Sesaat Ratu Randang kerenyitkan kening, sebelum 

berbisik, bertanya pada Pendekar 212. 

“Wiro, kau mengenali siapa perempuan muda yang 

tegak di antara dua makhluk jahanam itu? Benar dia orang 

yang juga datang dari negeri asalmu? Mengapa aku lihat 

ada ular. Aku punya dugaan dia bukan manusia biasa. Tapi 

makhluk alam roh.”


“Dewi Ular...” Ucap Wiro berkata dalam hati. “Aneh, 

bagaimana perempuan jahat yang sudah mati ini bisa 

muncul di Bhumi Mataram. Lebih aneh lagi mengapa dia 

tahu-tahu bergabung dengan orang bernama Sinuhun dan 

Swara Pancala. Pasti tadi dia yang menyemburkan asap 

beracun ke dalam liang batu...” 

Karena tidak mendapat jawaban Ratu Randang kembali 

bertanya. “Wiro, kau kenal perempuan bermahkota yang 

perutnya ditancapi ular itu?” 

Wiro mengangguk perlahan. 

“Kau benar Ratu. Manusia satu ini sebenarnya sudah 

mati beberapa waktu lalu. Aku yang membunuhnya ber–

sama seorang sahabat di sebuah jurang batu pualam. 

Ilmunya tinggi, secantik bidadari tapi hatinya lebih jahat 

dari iblis. Namanya Kunti Ambiri. Di negeri asalku ketika 

masih hidup dia lebih dikenal dengan panggilan Dewi Ular. 

Tadinya aku agak pangling karena biasanya dia memakai 

mahkota terbuat dari emas berbentuk kepala ular. Seka–

rang diganti dengan mahkota perak...” (Riwayat asal 

muasal Dewi Ular bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng 

berjudul “Dewi Ular” sedang kematian Dewi Ular dicerita–

kan dalam serial berjudul “Bayi Titisan”). 

“Kau menyebut mahkota emas! Wiro ketahuilah...” 

Ratu Randang yang hendak memberi tahu kelemahan 

makhluk dua nyawa kembar tidak sempat menyelesaikan 

ucapan karena tiba-tiba di depan sana ular besar yang 

bergelung di pinggang Dewi Ular melesat ke depan, men–

desis keras, menyambar satu jengkal di depan Ratu Ran–

dang, membuat perempuan ini terpekik lalu melompat 

mundur. 

“Ratu, tenang saja. Jangan membalas. Perempuan iblis 

itu hanya menakut-nakuti. Mungkin sekedar menjajagi ilmu 

kepandaianmu...” 

“Aku yakin Sinuhun Penghisap Arwah telah menghisap 

arwahnya hingga dia bisa datang ke sini. Pasti Sinuhun 

sudah menguasai pula dirinya. Tapi mengapa tidak ada 

delapan benjolan di keningnya seperti yang terjadi dengan


gurumu. Perempuan bermahkota ini menjadi lebih berba–

haya karena dia datang membekal dendam kesumat 

pembunuhan yang kau lakukan atas dirinya. Kau harus 

berhati-hati...” 

“Ratu, tiga orang ini mengincar kita berdua. Kau pergi 

cepat dari sini. Aku titipkan batu putih segi tiga...” 

“Kalau kau sudah berkata memilih mati berdua, aku 

juga akan melakukan hal yang sama!” Jawab Ratu Ran–

dang. 

“Dua manusia salah kaprah! Apa berlama-lama di liang 

batu masih belum puas? Masih bercumbu berbisik-bisik di 

hadapan kami?! Sungguh menjijikkan! Luar biasa memalu–

kan!” Tiba-tiba si cantik berbaju sutera hijau keluarkan 

seruan. Suaranya menggema keras dalam kegelapan 

malam. Menghadang alur hembusan angin di antara tiga 

candi besar. 

Ratu Randang dongakkan kepala lalu tertawa panjang. 

Suara tawanya tidak kalah dahsyat dengan seruan Dewi 

Ular tadi. 

“Disedot dari alam roh! Kesasar di Bhumi Mataram. Aku 

khawatir kau tidak tahu jalan pulang! Padahal bangkai 

busukmu tidak diterima tanah negeri ini! Mengapa berani 

bicara sombong? Mengandalkan dua orang yang mendam–

pingi dirimu? Hik... hik... hik!” 

“Berujud cantik padahal sudah nenek tua bangka! 

Perempuan tidak tahu diri. Pengkhianat busuk bermata 

juling! Berlutut di hadapan kami! Minta ampun pada 

Sinuhun. Maka selembar nyawamu akan diampuni!” 

Mendengar ucapan Dewi Ular, Ratu Randang kembali 

tertawa panjang. 

“Perempuan iblis roh busuk! Hik... hik! Kau menyuruh 

aku berlutut di hadapan Sinuhun?! Kau tidak tahu, aku 

sudah terlalu sering berlutut di hadapan Sinuhun! Yaitu 

pada saat kami bercinta! Hik... hik... hik! Walau penampi–

lanmu seperti bidadari apa kau kira Sinuhun akan meng–

ambilmu menjadi kekasih? Bagaimana mungkin bercinta 

dengan roh seorang iblis perempuan yang perut dan


kemaluannya tersumpal ular jejadian? Hik... hik... hik!” 

Pendekar 212 Wiro Sableng ikut-ikutan tertawa berge–

lak mendengar kata-kata Ratu Randang. Mulut dipencong-

pencong dan mata dijereng-jerengkan 

Marahlah Dewi Ular. Ular hitam besar di pinggangnya 

mendesis keras. Tiba-tiba dari sepasang mata, dua lobang 

hidung, dua liang telinga serta mulut, pusar, dubur dan 

aurat terlarangnya mencuat keluar sepuluh ular merah 

belang hitam. Didahului suara gemerisik sisik tubuh dan 

desis di mulut sepuluh binatang ini siap melesat ke arah 

Ratu Randang. 

“Ilmu Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi!” Ucap Wiro 

yang mengenali serangan yang hendak dilancarkan Dewi 

Ular. Serta merta dia kembangkan telapak tangan dan 

meniup perlahan. Saat itu juga di telapak tangan sang 

pendekar muncul gambar kepala harimau putih bermata 

hijau. Pukulan Harimau Dewa! Itulah pukulan sakti pem–

berian Datuk Rao Basaluang Ameh! 

Sementara itu Ratu Randang alirkan tenaga dalam 

penuh ke tangan kanan hingga tangannya mulai dari ujung 

jari sampai ke siku berubah menjadi merah. 

Sinuhun Muda Ghama Karadipa tidak tahu ilmu puku–

lan sakti apa yang hendak dilepaskan pemuda berambut 

gondrong di hadapannya. Namun melihat perubahan 

tangan Ratu Randang dia menimbang-nimbang lalu cepat 

melangkah ke depan sambil membentak. 

“Tunggu! Aku mau bicara dulu!” 

Suara Sinuhun Muda Ghama Karadipa luar biasa keras. 

Udara bergaung, tanah basah bergetar. Genangan air 

merah busuk bermuncratan. Sepasang matanya meman–

dang berapi-api ke arah Ratu Randang. Delapan benjolan 

merah memancar cahaya terang. 

Melihat keadaan dan sikap Sinuhun Muda, murid Sinto 

Gendeng segera maklum bahwa sumber kekuatan orang 

ini terletak pada delapan benjolan di kening. Namun di 

mana letak kelemahannya? Sayang Ratu Randang masih 

belum sempat memberi tahu.


“Perempuan jahanam! Aku masih mau melupakan kau 

sebagai seorang pengkhianat. Nyawamu kuampuni. 

Dengan satu syarat! Pemuda berambut gondrong bernama 

Wiro Sableng ini harus menyerahkan batu segi tiga putih 

berikut nyawanya padaku!” 

Sebagai jawaban Ratu Randang sunggingkan tawa 

mengejek. 

“Batu dan nyawa bukan milikku. Tapi milik pemuda dari 

alam delapan ratus tahun mendatang. Jika kau merasa 

mampu mengapa tidak melakukan sendiri? Merampas 

batu dan merampas nyawanya?! Hik... hik! Kita memang 

beberapa kali bercinta! Tapi yang kuberikan padamu bukan 

tubuhku! Melainkan tubuh bangkai anjing! Hik... hik... hik!” 

Tampang Sinuhun Muda merah membesi! Gemuruh 

amarah seperti hendak meledakkan tubuhnya! 

“Kurang ajar! Dewi Ular! Bunuh kedua orang ini!” Teriak 

Sinuhun Muda.



DUA BELAS


RATU Randang tudingkan telunjuk tangan kiri tepat-

tepat ke arah Sinuhun Muda. “Sungguh memalukan! 

Ternyata kau tidak punya nyali menghadapi Ksatria 

Panggilan! Kau bersembunyi di balik ketiak perempuan 

iblis itu! Apakah kau sudah pernah bercinta dan tidur 

dengan dia? Apakah enak gigitan ularnya? Hik... hik... hik!” 

“Apakah ularmu tidak dipatuk ularnya?! Ha... ha... ha!” 

Wiro ikut menimpali. 

Sinuhun Muda berteriak marah. Dewi ular menggembor 

keras. Sepuluh ular merah belang hitam yang meliuk-liuk di 

sekujur tubuhnya mendesis panjang dan menggeliat. Lidah 

di dalam mulut pancarkan cahaya kebiru-biruan. 

“Keparat jahanam! Kau akan menjadi budakku di dunia 

dan alam roh!” 

Delapan larik sinar merah menyembur keluar dari 

delapan benjolan di kening Sinuhun Muda. Yang diarah 

adalah kening Pendekar 212 Wiro Sableng. Jika serangan 

itu mengenai sasaran maka seperti apa yang terjadi 

dengan Sinto Gendeng, Wiro akan jatuh ke dalam kekua–

saan dan kendali Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah! 

Saat itulah Ratu Randang dengan tiba-tiba memeluk 

tubuh Pendekar 212 sambil berteriak. 

“Wiro! Cepat balas memeluk tubuhku!” 

Meskipun terkejut namun Wiro melakukan apa yang 

dikatakan Ratu Randang. Begitu keduanya saling berpelu–

kan maka di tanah basah di bawah kaki mereka berpijar 

sinar putih. 

Reettt! 

Sinar putih menjalar ke atas.


“Dia menggunakan Ilmu Insan Berjalan Tanpa Baya–

ngan! Aku benar-benar menyesal memberikan ilmu itu 

pada perempuan keparat itu!” Teriak Sinuhun Muda. Lalu 

hantamkan tangan kanannya sementara dari delapan 

benjolan di kening masih terus melesat delapan sinar 

merah. Dua serangan ini diarahkan pada Ratu Randang 

dan Wiro yang saling berpelukan. 

Di sebelah Sinuhun Muda sepuluh ular telah melesat 

laksana anak panah lepas dari busurnya. Namun terlam–

bat! Sosok Wiro dan Ratu Randang telah terlebih dulu 

lenyap dari pemandangan bersama sirnanya pijaran sinar 

putih. 

Malah saat itu ada sambaran cahaya putih kehijauan. 

Dewi Ular menjerit. Sinuhun Muda berteriak marah. Sepu–

luh ular merah yang keluar menyerang dari tubuh Dewi Ular 

terpental di udara, jatuh di tanah basah dalam keadaan 

hancur berkeping-keping. Dewi Ular terjajar ke belakang, 

nyaris jatuh ke tanah kalau tidak lekas ditolong Swara 

Pancala. Wajahnya yang cantik tampak pucat. Mahkota 

perak di atas kepala miring ke kiri. 

Sinuhun Muda perhatikan lima jari tangan lalu meraba 

kening yang ada benjolan. Dalam hati dia membatin, “Luar 

biasa! Pemuda jahanam itu tidak bisa dipandang sebelah 

mata. Sebelum lenyap bersama perempuan celaka itu 

agaknya dia masih sempat melepas serangan balasan! 

Untung delapan sinar merah masih bisa meredam. Kalau 

tidak bisa-bisa aku sudah celaka...” 

Sinuhun Merah berpaling pada Dewi Ular. Lalu berkata. 

“Ternyata kau tidak punya kemampuan apa-apa. Ilmu 

kesaktianmu tidak sanggup membunuh pemuda itu. Apa–

kah aku masih memerlukan dirimu?!” 

“Jangan memandang rendah diriku. Kalau aku tidak 

menyerang dengan sepuluh ular jejadian, saat ini tubuh 

Sinuhun Muda mungkin sudah tercabik-cabik.” 

“Dewi Ular, aku rasa aku tidak memerlukan dirimu lagi. 

Kau makhluk tidak berguna. Cepat menyingkir dari hada–

panku!”


Mendengar ucapan orang Dewi Ular alias Kunti Ambiri 

ganda menyeringai. Mulut kemudian berucap, “Yang 

menghisap arwahku dan mendatangkan diriku ke Bhumi 

Mataram ini adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah 

walau pertama kali dia merasa ragu melakukan. Dia yang 

membutuhkan diriku! Sekarang terserah Sinuhun Muda. 

Kalau Sinuhun Muda merasa tidak memerlukan diriku lagi, 

aku akan pergi ke mana aku suka! Tapi jangan menyesal 

kalau kelak aku akan bergabung dengan orang-orang 

kerajaan. Harap Sinuhun Muda mau memberi tahu hal itu 

pada Sinuhun Merah...” 

“Swara Pancala! Antarkan Dewi Ular ke gua di balik air 

terjun! Kalian berdua tunggu aku di sana. Awasi perem–

puan ini!” 

“Aku tidak perlu pengawalan. Aku tidak berhasrat pergi 

ke gua di balik air terjun! Aku akan pergi ke mana aku 

suka!” 

“Perempuan keparat! Kau mencari celaka berani me–

nentangku!” Sinuhun Muda berteriak marah. Kaki kanan–

nya dibantingkan ke tanah. Tanah bergetar. Genangan air 

merah busuk muncrat ke udara. Dewi Ular merasa ada 

hawa aneh memasuki tubuhnya. Sebelum dia menyadari 

bahaya dan melakukan sesuatu tiba-tiba sekujur tubuhnya 

berubah kaku tak bisa digerakkan lagi. Bahkan ular hitam 

kepala putih yang bergelung di pinggangnya ikut diam 

membatu! 

“Swara Pancala! Bawa perempuan itu ke gua di balik air 

terjun. Setelah itu kau cepat menyusul aku ke Bukit Batu 

Hangus sebelum fajar menyingsing! Aku akan berusaha 

menghambat Ratu Randang dan pemuda gondrong itu 

menemui Raja Mataram dengan Ilmu Tabir Langit Turun Ke 

Bumi. Aku juga akan menerapkan Di Bumi Ada Enam 

Kesesatan, Di Langit Ada Tujuh Kesesalan, Dalam Air Ada 

Delapan Kesesatan. Kita terpaksa melaksanakan rencana 

cadangan. Raja Mataram harus menemui ajal sebelum 

Ksatria Panggilan lebih dulu menemuinya!” 

Tidak tunggu lebih lama lagi Swara Pancala segera


panggul tubuh Dewi Ular lalu berkelebat ke arah selatan. 

Dalam berlari secapat angin berhembus, dada lelaki ini 

berdebar keras. Sejak istrinya tewas beberapa tahun silam 

baru kali ini dia bersentuhan dengan tubuh molek seorang 

perempuan berwajah cantik penuh pesona. 

*** 

Di dalam gua di balik air terjun di tempat mana Sinuhun 

Muda pernah bercinta dengan Ratu Randang, Swara 

Pancala membaringkan Dewi Ular di lantai batu. Pakaian 

mereka basah sewaktu melewati air terjun. Setelah mem–

baringkan Dewi Ular, Swara Pancala cepat-cepat berbalik 

hendak meninggalkan gua. 

“Swara, kita belum lama bersahabat Tapi aku tahu kau 

orang baik. Kau mau pergi ke mana?” 

“Aku harus segera menuju Bukit Batu Hangus!” Jawab 

Swara Pancala. 

“Kau tega meninggalkan aku seorang diri dalam 

keadaan tubuh tak berdaya seperti ini?” 

“Aku hanya menjalankan perintah Sinuhun Muda.” 

“Tapi saat ini Sinuhun Muda tidak ada di sini. Jika kau 

mau berbaik hati menolong diriku, aku tidak akan melupa–

kan budimu. Apapun yang kau minta sebagai imbalan akan 

aku berikan...” 

Dewi Ular layangkan senyum mesra sambil sepasang 

mata menatap mesra. 

“Jangan memikatku! Aku harus pergi!” 

Dewi Ular tertawa lepas. Barisan giginya tampak rata 

putih dan lidahnya kelihatan merah basah. 

“Swara Pancala. Jangan berburuk kira. Aku tidak ber–

usaha memikatmu. Persahabatan dan kebaikan itulah yang 

lebih utama. Kau telah melihat apa yang dilakukan Sinu–

hun Muda terhadap diriku. Aku khawatir hal yang serupa 

akan terjadi atas dirimu di kemudian hari. Kau memberikan 

seluruh pengabdian dan kepatuhan pada Sinuhun Muda. 

Apakah kau benar-benar bisa mempercayainya? Saat ini


dia memerlukan bantuanmu karena ada urusan besar. 

Kalau urusan sudah selesai dan kau tidak diperlukan lagi 

mungkin saja kau akan dilempar ke comberan, itu yang 

paling baik. Karena tidak mustahil Sinuhun Muda akan 

membantaimu!” 

“Aku lebih percaya pada Sinuhun Muda daripada men–

dengar ucapanmu!” 

“Swara Pancala. Ketahuilah, penyesalan selalu datang 

belakangan.” 

“Aku tidak akan pernah menyesal mengabdi pada 

Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah. Sekian belas tahun 

mengabdi kepada pada raja dan kerajaan Mataram sebe–

narnya aku hanya menunggu kesempatan. Raja Mataram 

Rakai Kayuwangi bertanggung jawab atas kematian dua 

orang tua, istri dan saudara-saudaraku. Mereka dibantai 

tanpa kemanusiaan sewaktu terjadi huru-hara besar 

penumpasan kaum pemberontak. Itu pula yang terjadi 

dengan Sinuhun Muda!” 

“Ah, kalian berdua menanggung beban dendam luar 

biasa rupanya! Swara, saat ini kau telah melakukan hal 

yang terbaik. Kau hanya menunggu kesempatan membalas 

dendam pada Raja Mataram. Aku yakin kau akan berhasil 

membalaskan sakit hati dendam kesumat. Untuk itu aku 

akan berdoa bagi keberhasilanmu. Jika kau memang mau 

pergi aku tidak bisa melarang. Kau melihat ketidakadilan 

yang terjadi atas diriku. Aku tahu hatimu memelas namun 

karena kesetiaan pada sinuhun kau tidak bergeming. 

Seandainya diriku ini adik perempuanmu atau kekasihmu, 

apa kau akan tetap tidak perduli? Aku hanya minta satu 

hal...” 

“Apa?” tanya Swara Pancala yang mulai terpengaruh. 

“Kalau aku harus mati di dalam gua ini, aku tidak ingin 

diriku mengenakan mahkota di kepala dan pakaian di 

badan. Aku mohon, tanggalkan mahkota dan seluruh 

pakaianku. Dengan cara itu kelak aku akan lebih cepat 

kembali ke alam rohku di masa delapan ratus tahun 

mendatang...”


Swara Pancala tidak bergerak. Menjawabpun tidak. 

“Mengapa kau hanya berdiam diri? Kau tidak mau 

menolongku? Apa yang aku minta tidak sulit untuk kau 

lakukan. Aku akan sangat berterima kasih...” 

“Aku tidak yakin kau akan mati di tempat ini. Sinuhun 

Muda akan datang menemuimu begitu urusan di Bukit 

Batu Hangus selesai.” 

“Bagaimana kalau Sinuhun Muda menemui ajal di bukit 

itu? Kau mau datang ke sini untuk membebaskan diriku?” 

“Aku tidak berjanji.” 

“Kau tak perlu berjanji. Hanya kuminta melakukan satu 

pekerjaan mudah. Tolong tanggalkan mahkota dan pa–

kaianku.” 

Swara Pancala terdiam, berpikir-pikir. 

“Aku tahu kau akan memenuhi permintaanku. Karena 

kau orang baik...” 

Swara Pencala tatap wajah Dewi Ular yang tersenyum 

padanya dengan mata setengah terpejam. Perlahan-lahan 

lelaki ini akhirnya membungkuk, berlutut di lantai batu lalu 

menanggalkan mahkota perak di atas kepala Dewi Ular. 

Ketika Swara Pancala hendak menanggalkan pakaian Dewi 

Ular, lelaki ini agak tertegun. Namun akhirnya hal itu 

dilakukannya juga. 

“Swara, aku merasa sangat kedinginan. Sebelum kau 

pergi maukah kau memeluk tubuhku barang sebentar agar 

aku merasakan kehangatan...” 

Sejak tadi sebenarnya Swara Pancala tidak sanggup 

lagi menahan gejolak darahnya yang mengalir cepat dan 

panas. Jantung berdegup kencang, nafas menyengat 

terbendung gelora nafsu yang membara. 

Tidak berpikir lebih lama lagi lelaki ini jatuhkan diri di 

samping Dewi Ular lalu memeluk tubuh perempuan yang 

putih elok dan yang tidak lagi tertutup selembar benang–

pun! 

Kemudian Swara mendengar bisikan itu. “Swara, 

tidakkah kau ingin menanggalkan pula pakaianmu?” 

“Dewi, jika semua urusan gila di Bhumi Mataram ini


selesai, apakah kau mau menjadi istriku?” 

Sepasang mata Dewi Ular berbinar, bibir bergetar 

merenggang. Lidah merah basah dijulurkan lalu senyum 

dikulum. Dada yang putih besar bergerak mengikuti tarikan 

nafas bahagia. 

“Swara, kau mungkin tidak percaya. Itulah yang aku 

harapkan ketika pertama kali aku melihat wajahmu. Apa 

yang barusan kau ucapkan adalah kata-kata paling indah 

yang pernah aku dengar. Kalau saja aku mampu meng–

gerakkan kedua tangan dan kakiku, pasti saat ini tubuhmu 

sudah aku rangkul dan tidak akan aku lepaskan...” 

“Aku bisa membuyarkan ilmu sinuhun yang membuat–

mu kaku tidak bisa bergerak...” 

“Swara, aku bersumpah untuk menyerahkan diri dan 

jiwaku untukmu seorang.” 

“Sumpahmu adalah sumpahku juga!” Sahut Swara 

Pancala. 

Lalu dengan cepat seperti yang diminta Dewi Ular dia 

melepas pakaian yang melekat di tubuhnya.



TIGA BELAS


DINI hari di Bukit Batu Hangus. Ratusan orang ber–

hamparan di lereng bukit dalam keadaan menyedih–

kan. Tidak terlindung dari hawa dingin, tubuh masih 

diserang demam panas dan kaki masih dalam keadaan 

lumpuh. Sejak persediaan air di bukit mulai berkurang, 

keadaan ratusan orang itu semakin tambah sengsara. 

Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala duduk di 

atas sebuah batu besar memperhatikan Ni Gatri yang 

tengah memberi minum Rauh Kalidathi, nenek yang telah 

menyelamatkannya dari Ludra Bhawana, anak buah 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang hendak menculik 

dan membunuhnya. Setelah memberi minum si nenek 

anak perempuan ini berkeliling menolong orang-orang 

lainnya. Kebanyakan orang yang ada di atas bukit terma–

suk keluarga raja berada dalam keadaan lemah, tergolek 

tertidur dalam haus dan lapar serta diserang penyakit 

panas dan lumpuh. Jika sampai besok siang orang-orang 

itu tidak juga mendapat pertolongan, lepas dari pende–

ritaan yang mengerikan itu, sudah dapat diduga apa yang 

akan terjadi. Satu persatu mereka akan menemui ajal! 

Ketika Raja Mataram hendak memanjatkan doa mohon 

keselamatan pada Yang Maha Kuasa tiba-tiba di kejauhan 

di kaki bukit terdengar suara kuda meringkik. 

Sri Maharaja Rakai Kayuwangi buka sepasang matanya 

yang baru saja terpejam. Memandang ke kaki bukit lalu 

menoleh ke jurusan Ni Gatri yang saat itu dilihatnya berdiri 

tertegun. 

“Suara kuda meringkik. Masih adakah hewan pelihara–

an yang hidup di Bhumi Mataram? Mungkin ada seseorang


dari jauh datang ke sini dengan menunggang kuda? Mu–

dah-mudahan Ksatria Panggilan. Tapi menunggang kuda?” 

Raja Mataram berkata dalam hati yang penuh harapan 

namun juga ada perasaan khawatir. 

Akan halnya Ni Gatri, ketika mendengar suara kuda 

meringkik, anak perempuan ini langsung ingat pada kuda 

lumpingnya. 

“Kuda lumpingku, apakah kau yang meringkik. Kau 

berada di mana? Datanglah ke sini...” 

Raja Mataram bangkit berdiri, turun dari atas batu lalu 

mendekati Ni Gatri. 

“Anak perempuan, kau barusan bicara dengan siapa?” 

“Gusti Yang Mulia, saya barusan mendengar suara kuda 

meringkik. Saya mengharap itu adalah ringkikan kuda 

lumping. Mungkin saya terlalu berharap dan mengada-ada. 

Kuda- kudaan dari bambu itu mana bisa mengeluarkan 

suara meringkik. Lagi pula kuda lumping saya tidak tahu 

berada di mana sekarang. Terakhir sekali masih ditung–

gangi nenek bernama Sinto Gendeng...” 

“Nenek itu lenyap tidak diketahui di mana rimbanya. 

Pendekar panggilan bernama Wiro Sableng seharusnya 

sudah menemuiku. Kau beruntung dalam keadaan selamat 

sampai di bukit ini...” 

Baru saja Raja Mataram Rakai Kayuwangi berucap tiba-

tiba di kejauhan terdengar suara anjing meraung, panjang 

berhiba-hiba. Suara raungan ini ditimpali oleh suara anjing 

lain yang terdengar lebih kecil dan pendek. 

Raja mengusap kumis dan janggutnya yang meranggas. 

“Tadi ringkikan kuda, sekarang raungan anjing. Apa 

artinya semua ini...?” Pikir Raja Mataram. Lalu dia berkata 

pada Ni Gatri. “Kau pergilah ke atas. Tolong jaga anak-

anakku, juga perhatikan orang-orang tua yang sakit...” 

Ni Gatri membungkuk. Namun sebelum anak perem–

puan ini sempat beranjak tiba-tiba di kaki bukit ada kilauan 

cahaya merah. Di lain kejap satu sosok berpakaian dan 

berikat kepala putih berkelebat muncul berdiri di hadapan 

Raja Mataram. Ternyata dia adalah sosok Pendekar 212


Wiro Sableng. Sang pendekar membungkuk hormat seraya 

berkata. 

“Yang Mulia Sri Maharaja Mataram, maafkan kalau 

kedatangan saya yang agak terlambat kurang berkenan di 

hati Yang Mulia. Izinkan saya memperkenalkan diri. Saya 

Wiro Sableng dari alam delapan ratus tahun mendatang 

menghatur hormat dan siap melaksanakan perintah Yang 

Mulia.” 

Wiro berpaling pada Ni Gatri, kedipkan mata dan ber–

kata. “Aku senang kau berada dalam keadaan selamat.” 

Sri Maharaja Mataram merasa gembira mengetahui 

kalau pemuda yang berdiri di depannya adalah Pendekar 

212 Wiro Sableng, sang Ksatria Panggilan. Dia tidak me–

nyangka kalau sang pendekar begitu sopan sikap dan tutur 

katanya. Sebelumnya dia mendengar kalau Ksatria Pang–

gilan walau berilmu tinggi adalah seorang pendekar urakan 

dan konyol kalau tidak mau dikatakan kurang ajar! 

“Pendekar, aku berterima kasih padamu dan bersyukur 

pada Para Dewa kau telah hadir di Bhumi Mataram. Seha–

rusnya ada yang mengantarmu ke sini...” Lalu dalam hati 

Raja Mataram berkata. “Kumara Gandamayana baru saja 

pergi dari sini sehabis mengantar aku dan Ni Gatri. Seha–

rusnya pendekar ini datang diantar Swara Pancala. Di 

mana beradanya orang kepercayaanku itu. Aku khawatir 

dia mengalami nasib buruk seperti Ageng Daksa...” 

Raden Ageng Daksa adalah orang kepercayaan Raja 

Mataram yang mati dibunuh dan sampai saat itu belum 

diketahui siapa pembunuhnya. 

“Yang Mulia, tidak sulit mencari Bukit Batu Hangus ini. 

Nama dan letaknya tidak berubah dari delapan ratus tahun 

silam. Selain itu saya tidak mau merepotkan orang lain 

untuk mengantar segala.” 

Pendekar 212 memandang berkeliling dan tarik nafas 

tercekat ketika melihat puluhan orang yang bergelim–

pangan di sekitarnya. Memandang ke bagian atas bukit dia 

melihat lebih banyak lagi orang yang sengsara. 

“Yang Mulia, jika ada sesuatu yang harus saya lakukan,


maka kita harus bertindak cepat.” 

Sementara Pendeker 212 bicara dengan Raja Mataram, 

Ni Gatri terus-menerus memandangi sang pendekar. 

Dipandangi begitu rupa Wiro kedipkan mata. 

“Ni Gatri, kau memperhatikan aku terus dari tadi. Pasti 

kau kangen dengan kakakmu ini.” 

Ni Gatri tersenyum. 

“Gatri gembira bertemu Kakak lagi. Hanya saja kuda 

lumping Gatri lenyap entah ke mana...” 

“Tidak usah khawatir, nanti kita cari sama-sama. Pasti 

bertemu,” kata Wiro pula. 

Ni Gatri dekati Wiro dan pegang lengan sang pendekar. 

Diam-diam anak ini menghirup udara dalam-dalam. Hi–

dungnya diarahkan ke tubuh Wiro. 

“Kakak, aku tak mau berpisah lagi denganmu,” kata Ni 

Gatri yang dijawab oleh Pendekar 212 dengan mengusap 

kepala anak perempuan itu. 

Ni Gatri kembali berdiri di samping Raja Mataram. 

“Ksatria Panggilan, apa yang kau katakan benar sekali. 

Kita harus bertindak cepat. Sebelum kuajak menemui 

beberapa tokoh yang ada di bukit ini untuk merundingkan 

hal apa saja yang harus kita laksanakan dan dahulukan, 

aku ingin bertanya apakah kau membawa sebuah benda 

titipan yang membuktikan jati dirimu memang sebenarnya 

adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dari negeri delapan 

ratus tahun mendatang.” 

“Tentu saja Yang Mulia. Saya memang membawanya. 

Bukankah batu itu berasal dari Yang Mulia juga, dititipkan 

pada makhluk yang memperkenalkan diri sebagai Mayat 

Aneh Keempat...” 

“Bersyukur pada Yang Maha Kuasa, semuanya berjalan 

lancar.” Ucap Raja Mataram yang gembira mendengar 

kata-kata Wiro tadi yang menyatakan bahwa si pemuda 

berambut gondrong itu memang benar adalah Ksatria 

Panggilan yang diharapkan mampu menyelamatkan kera–

jaan. 

Tiba-tiba di samping Raja Ni Gatri batuk-batuk berulang


kali sampai tubuhnya terbungkuk-bungkuk dan wajah tam–

pak merah. 

“Ni Gatri kau pergilah ke atas bukit. Temui dan lihat 

anak-anakku...” 

Ni Gatri mengangguk. Sambil batuk-batuk dia melang–

kah menuju ke bukit sebelah atas. Sewaktu berada di 

samping Raja Mataram tubuh anak ini mendadak tampak 

limbung. Sebelum jatuh Raja Mataram cepat memegang–

nya. Pada saat itulah anak perempuan ini berbisik pada 

sang raja. 

“Gusti Yang Mulia, orang itu bukan kakak saya. Dia 

bukan Pendekar 212 Wiro Sableng. Lekas menjauh!” 

Walau terkejut namun Raja Mataram Rakai Kayuwangi 

bisa bersikap tenang dan wajahnya pun tidak berubah. Dia 

mengusap kepala anak perempuan itu dan menyuruh naik 

ke bagian atas bukit. Namun Ni Gatri tidak mau beranjak 

dari tempatnya. 

Ketika Raja berpaling pada Pendekar 212, sang pen–

dekar saat itu telah mengeluarkan sebuah benda berwana 

putih yang bukan lain adalah batu pipih berbentuk segi 

tiga. Pada masing-masing sudut batu terdapat guratan 

angka berwarna biru: 212. Raja Mataram ingat apa yang 

tadi dibisikkan Ni Gatri. Dalam hati sang Raja berkata. “Apa 

ada yang tidak beres? Pemuda ini membawa batu titipan–

ku. Berarti dia memang... Tapi mengapa anak perempuan 

itu tadi berkata...” 

Di hadapan Raja, Pendekar 212 berdiri membungkuk–

kan badan dan mengulurkan batu pipih putih berbentuk 

segi tiga. 

“Yang Mulia, batu titipan saya kembalikan. Harap Yang 

Mulia sudi memeriksa keasliannya.” 

“Aku melihat tidak ada kelainan pada batu itu,” jawab 

Sri Maharaja Mataram lalu mengulurkan tangan untuk 

mengambil batu segi tiga yang hendak diserahkan. 

Pada saat itulah mendadak terdengar suara dua ekor 

anjing menyalak. Lalu ada suara orang berteriak. Suara 

perempuan.


“Yang Mulia! Jangan sentuh batu putih! Lekas lari 

menjauh!” 

Dalam keterkejutannya Raja Mataram sempat terkesiap 

tak bergerak. Lalu tanpa melihat ujud dia merasakan ada 

empat buah kaki secara aneh mendorong tubuhnya hingga 

dia jatuh terjengkang dan terguling-guling ke lereng bukit 

sebelah kiri. 

Di saat yang sama Ni Gatri merasa ada sesuatu meng–

gigit bagian bawah bajunya lalu tubuhnya ditarik hingga 

terseret cukup jauh.


EMPAT BELAS


HANYA sekejapan saja setelah sosok Raja Mataram 

jatuh tertelentang di batu bukit dan tubuh Ni Gatri 

terseret jauh, tiba-tiba batu putih segi tiga di tangan 

Pendekar 212 Wiro Sableng memancarkan cahaya terang 

lalu menyemburkan delapan larik sinar merah menyala! 

Kedelapan sinar merah menyambar ke arah Sri Maha–

raja Rakai Kayuwangi. Namun saat itu sosok Raja Mataram 

telah lebih dulu terhempas jatuh ke atas batu bukit. Bukan 

saja sang Raja selamat akibat dorongan empat kaki aneh 

tetapi juga karena sekaligus serangan delapan larik sinar 

merah yang ganas mematikan terhalang oleh sosok tubuh 

aneh berkaki empat tadi. Ketika sosok aneh ini ujudnya 

menampakkan diri, ternyata dia adalah seekor anjing 

betina besar mengenakan kalung emas tebal di leher! 

Sekujur kulit tubuhnya nyaris mengelupas dan mengepul–

kan asap akibat hantaman delapan sinar merah. Di sela 

mulut kelihatan ada lelehan darah. Anjing betina ini me–

raung panjang lalu melompat di samping tubuh Raja 

Mataram, seolah bertindak untuk melindungi. 

Raja Mataram memandang tak berkesip. Dia merasa 

mengenali anjing betina ini. 

“Sri Padmi Kameswari. Apakah ini kau...” 

Anjing betina menggereng perlahan, berbalik dengan 

cepat, menatap galak ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng 

yang saat itu tampak sangat pucat wajahnya dan tegak 

terhuyung-huyung. 

Di bagian lain Ni Gatri terpekik ketika melihat ada 

seekor anak anjing menarik-narik bagian bawah pakaian–

nya. Menyeret dirinya hingga menjauh ke tempat yang


aman. 

Tiba-tiba, dess... dess! 

Sosok Pendekar 212 Wiro Sableng mengepulkan asap 

merah lalu lenyap. Di tempat sang pendekar berdiri kini 

kelihatan ujud Sinuhun Muda Ghama Karadipa, berpakaian 

dan berikat kepala hijau. Tampangnya tampak merah 

membatu. Kumis, janggut dan berewok tipis hitam yang 

membungkus wajahnya berjingkrak meranggas. Sepasang 

mata laksana berubah menjadi bara api. 

“Binatang itu membuka rahasia diriku! Jahanam, ilmu 

apa yang dimilikinya?!” Sinuhun Muda merutuk dalam hati. 

Lalu dia berteriak dahsyat, “Anjing keparat! Aku tahu siapa 

kau! Sudah saatnya kau aku tenggelamkan ke dalam 

neraka alam roh lapis ke tujuh!” 

Tubuh Sinuhun Muda bergerak ke udara lalu melesat ke 

arah anjing betina yang ada di samping Raja Mataram. 

Tangan kiri kanan di pentang lurus ke depan. Telapak 

dikembangkan memancar sinar merah. Saat itulah terlihat 

kalau setiap tangannya telah berubah, kini hanya memiliki 

empat buah jari, tanpa jari tengah! 

Pukulan Delapan Sukma Merah! 

Selama ini tidak ada satu manusia atau makhluk alam 

rohpun yang sanggup menghadapi pukulan dahsyat ini! 

Tapi anjing betina yang hendak dibantai sedikitpun 

tidak bergeming, malah kepala didongak dan mulut 

keluarkan raungan panjang seolah menyambut senang 

serangan orang! 

Tiba-tiba di langit sebelah timur Bukit Batu Hangus ber–

kiblat cahaya kuning bersemu merah. Cahaya itu kelihatan 

hanya sebentar lalu lenyap! Lalu terdengar suara mencicit 

aneh riuh sekali. Kemudian ada suara lain. Suara anak 

lelaki kecil! 

Suara itu mengiang begitu rupa dan hanya terdengar 

oleh Sinuhun Muda dan Raja Mataram Rakai Kayuwangi. 

“Sinuhun! Buka mata besar-besar! Jangan kemarahan 

membutakan penglihatan. Perhatikan apa yang ada di 

leher anjing betina itu!”


Sinuhun Merah tersentak kaget. Gerakannya melesat 

segera dihentikan. Dia terjungkir balik satu kali. Melayang 

turun ke atas bukit batu. Begitu berdiri sepasang mata 

langsung memperhatikan leher anjing betina yang barusan 

hendak diserangnya dengan pukulan maut! Kagetnya sang 

Sinuhun bukan alang kepalang! 

“Kalung emas!” ucap Sinuhun Muda dengan suara 

bergetar. Tengkuk terasa dingin! “Kalau saja Ksatria 

Junjungan tidak muncul dan mengingatkan diriku, walau 

anjing itu bisa aku bunuh tapi saat ini tubuhku mungkin 

sudah hancur berkeping-keping!” 

Seperti diketahui dan dikatakan sendiri oleh Sinuhun 

Muda pada Ratu Randang saat mereka bercinta di gua di 

balik air terjun, dia memiliki pantangan yaitu tidak boleh 

tersentuh emas. Kalau hal itu sampai terjadi maka tubuh–

nya seperti meledak akan hancur berantakan tak karuan 

rupa! 

“Binatang jahanam! Aku akan kembali! Kau dan raja 

keparat itu tidak akan bisa lolos dari tanganku!” 

Sinuhun Muda hanya bisa keluarkan caci maki dan 

ancaman. Lalu tidak menunggu lebih lama dia segera 

melesat pergi meninggalkan Bukit Batu Hangus. 

Namun tak jauh dari situ sekonyong-konyong ada suara 

perempuan berseru. 

“Sinuhun Muda! Malam masih panjang. Mengapa pergi 

terburu-buru. Aku harap kau senang menyaksikan tontonan 

bagus ini!” 

Sinuhun Muda mengenali suara perempuan itu. Dengan 

cepat dia hentikan lari lalu berkelebat ke balik sebuah 

gundukan batu. Dari lereng Bukit Batu Hangus sebelah 

timur tiba-tiba, wutt! Ada orang melemparkan sebuah 

benda menyerupai sosok manusia ke udara. Lalu, braakkk! 

Benda itu jatuh tergeletak di atas sebuah batu besar. 

Ketika Sinuhun Merah memperhatikan, berubahlah 

wajahnya. Kagetnya bukan alang kepalang. Keterkejutan 

yang sama juga terjadi atas diri Raja Mataram ketika dia 

mengenali siapa adanya orang yang terkapar di atas batu


dalam keadaan sudah jadi mayat dengan kepala pecah! 

Sosok laki-laki itu berada dalam keadaan telanjang bulat. 

Sekujur tubuh penuh puluhan lubang luka dan bergelimang 

darah! 

Semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus termasuk 

para tokoh istana Mataram terkejut gempar. Raja Mataram 

sendiri berucap setengah berteriak. 

“Swara Pancala. Hyang Jagat Bathara, mengapa satu 

lagi orang kepercayaanku harus menemui ajal!’’ 


TAMAT 


Mampukah Pendekar 212 Wiro Sableng membantu 

Raja Mataram menyelamatkan kerajaan dan rakyatnya 

sementara musuh yang dihadapi begitu banyak. Di 

antaranya dua musuh bebuyutan: Pangeran Matahari alias 

Ksatria Roh Jemputan dan Kunti Ambiri alias Dewi Ular. 

Ditambah lagi dengan sang guru Eyang Sinto Gendeng yang 

telah dicuci otaknya dan diarahkan untuk membunuh sang 

murid! Sementara itu Keris Kanjeng Sepuh Pelangi belum 

diketahui di mana keberadaannya. Siapa pula gerangan 

Ksatria Junjungan yang telah memperingati dan menyela–

matkan Sinuhun Muda Ghama Karadipa? 

Ikuti serial berikutnya berjudul: 


SEPASANG ARWAH BISU





Share:

0 comments:

Posting Komentar