SATU
DALAM kisah sebelumnya (Petaka Patung Kamasutra) diceritakan
bagaimana nenek jejadian kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar
Tilu berusaha melepas totokan di tubuh Pendekar 212 Wiro
Sableng. Usahanya mengalami kesulitan karena totokan berada di
bawah pusar, di dekat anggota rahasia sang pendekar. Ingat
pengalamannya waktu memperbaiki letak anggota rahasia
Pengemis Empat Mata Angin dimana saat itu Purnama alias
Luhmintari, gadis dan negeri 1200 tahun silam meminjamkan
tenaga dalamnya, maka Wiro minta agar si nenek melakukan hal
yang sama. Namun ternyata cara pemindahan tenaga dalam serta
hawa sakti hanya bisa dilakukan nenek itu melalui dua puting
susunya. Agar tenaga dalam dan hawa sakti itu bisa masuk ke
tubuh Wiro maka sang pendekar harus menyedot dua puting susu
si nenek sekaligus!
Ketika hal itu dikatakan si nenek. Wiro tertawa gelak-gelak
karena menyangka si nenek bergurau mempermainkannya.
"Aku rasa kau punya otak jahil Nek. Kalau apa yang kau
bilang aku lakukan, tiba-tiba kau bersalin rupa menjadi seorang
gadis cantik jelita berdada putih kencang. Aku bisa kebablasan.
Urusan bisa jadi kapiran! Ha...ha...hal"
Murid flnto Gendeng mungkin belum akan berhenti tertawa
kalau tiba-tiba dari dalam candi tidak terdengar suara orang
berucap lembut tapi jelas.
"Hidup ini memang satu keanehan. Di dalam susah ada
tawa.
Di dalam kesulitan ada canda."
Begitu ucapan berakhir di dekat Wiro dan nenek jubah
kuning tahu-tahu telah berdiri seorang pemuda cakap
berbaju dan bercelana hitam. Kening diikat secarik kain
merah. Beborapa bagian baju dan celana serta kain merah di
kepala dihias sulaman bergambar bunga tanjung terbuat
dari benang perak dipadu benang emas. Pemuda tampan ini
berkumis kecil tipis, memelihara janggut serta cambang
bawuk rapi.
Belum sempat Wiro dan si nenek menanyakan siapa adanya
dia, pemuda tak dikenal itu mendahului berkata. Suaranya
lembut
"Sahabat yang sedang kesusahan. Jika kau bersedia.
dengan ilmuku yang bodoh aku mungkin bisa melepas totokan
di tubuhmu. Ketika kalian datang aku sudah berada berada di
dalam candi. Harap dimaafkan kalau aku tak sengaja mendengar
semua pembicaraan sahabat dan nenek ini."
Nenek jubah kuning tegakkan kepala Menatap pemuda di
hadapannya. "Aku tadi telah mencoba, tapi tak berhasil
memusnahkan totokan di tubuh sahabatku ini. Pangeran Sena
Wirapala. Keparat tua itu yang menotok. Entah Ilmu totokan
celaka apa yang dimilikinya! Eh, kau benaran bisa menolong
sahabatku ini?"
Pemuda berbaju hitam mengangguk.
"Jika kau mengizinkan dan yang punya diri mau ditolong
tentu saja aku akan berusaha. Hidup didunia ini bukankah musti
tolong menolong?" Jawab pemuda berkumis kecil.
'Sahabat, kalau kau memang mampu menolong, aku berserah
diri." Kata Wiro pula.
"Terima kasih kau mau mempercayaiku..."
Pemuda berpakaian hitam lalu membaringkan Wiro
menelentang di lantai candi. Si nenek mengawasi.
"Harap maafkan, aku harus menyentuh auratmu di bagian
yang ditotok." Pemuda yang hendak menolong lalu susupkan
tangan kanannya ke balik celana Pendekar 212. Wiro merasa jari-
jari tangan mengusap permukaan kulit tubuhnya kira-kira
setengah jengkal di bawah pusar. Terasa dingin. Hawa sejuk aneh
menjalar ke seluruh tubuhnya. Pemuda berkumis tipis kemudian
menggerakkan kedua tangan Wiro berulang kail. Setelah itu ganti
menggerakkan sepasang kaki.
"Sahabat, kau sekarang bisa menggerakkan tangan dan
kakimu sendiri. Cobalah."
Mendengar ucapan orang Wiro gerakkan tangan kiri kanan. Lalu
angkat kedua kaki. Seperti yang dikatakan pemuda berpakaian
hitam ternyata dia benar-benar mampu melakukan.
"Luar biasa!" Wiro berucap girang. "Sahabat, aku sangat
berterima kasih padamu."
"Cobalah bangun dan berdiri." Kata pemuda berpakaian
hitam.
Wiro bukan hanya mampu bangun tapi malah sanggup
melompat dan di lain saat dia sudah berdiri di hadapan pemuda
penolongnya. Wiro membungkuk dalam-dalam, mengucapkan
terima kasih berulang kali.
Si nenek tertawa gembira, menepuk-nepuk bahu pemuda
tampan itu seraya bertanya. 'Pemuda hebat! Kalau kami boleh
tahu siapa gerangan kau adanya?"
Yang ditanya tersenyum. Dia menjawab dengan suara
lembut merendah " Aku hanya seorang yang kebetulan lewat
di sini Karena kelelahan dan matahari bersinar terik, aku masuk
ke dalam candi. Aku gembira totokan di tubuh sahabatku ini
sudah musnah. Harap dimaafkan, karena ada keperluan lain
aku terpaksa meninggalkan kalian berdua. Di lain waktu mudah-
mudahan kita bisa bertemu lagi."
"Sahabat, tunggu dutul Kau belum memberi tahu namai"
Kata Wiro pula sambil berusaha mengejar.
Namun seperti ditelan bumi pemuda berkumis kecil lenyap
di samping candi. Wiro dan si nenek memutari candi, coba
mencari. Pemuda itu tak kelihatan lagi.
"Ah sayang, dia pergi begitu saja..." ucap Wiro sambil
menggaruk kepala.
"Orang sakti berbudi tinggi selalu merendah diri seperti
itu..." kata nenek kembar jejadian.
"Ilmunya luar biasa. Gerakannya cepat sekali. Kalau tidak
dia menolong, entah apa jadinya dengan diriku."
Murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. Ingin tahu dia berputar
membelakangi si nenek lalu turunkan celananya di sebelah
depan untuk melihat bagian tubuh di bawah pusar yang tadi
d sentuh pemuda yang menolongnya. Dia jadi terkejut ketika
melihat di bawah pusarnya menempel sekuntum bunga tanjung,
putih kekuningan.
"Dari mana munculnya bunga ini?" Wiro bertanya dalam
hati "Mungkin pemuda tadi yang menempelkan? Sebagai alat
untuk memusnahkan totokan di tubuhku?" Murid Sinto
Gendeng berpikir, garuk-garuk kepala. Tiba-tiba saja dia ingat
pada puteri Keraton Ambarsari yang tewas mengenaskan itu.
Otak berpikir, hati berucap. "Pertama kali aku bertemu gadis
itu. ada bunga tanjung di keningnya." Wiro meraba tengkuknya
yang mendadak terasa dingin. "Pemuda berpakaian hitam tadi.
Jangan-jangan..."
Wiro susupkan tangan ke balik celana untuk mengambil
bunga tanjung yang menempel di bawah perut Tiba-tiba rasa
panas menyengat batok kepalanya. Wajahnya serasa dipang-
gang api. Sekujur tubuh panas membara. Dalam keadaan seperti
tu kembali Wiro ingat pada Ambarsari. Wajah si gadis*
membayang di pelupuk matanya. Sang pendekar tersentak. Dia
sadar, Ingat! Ada sesuatu yang mengejutkannya. Wiro keluarkan
Beruan tertahan.
'Ada apa?" nenek jubah kuning yang sejak tadi
memperhatikan bertanya.
"Orang itu!" Wiro menunjuk ke arah lenyapnya pemuda
berpakaian hitam tadi sementara dua kakinya mendadak
bergetar. Lututnya goyah tubuh terasa limbung. "Nek, dia...dia
orangnya yang mengejar Ambarsari. Dia...dia mengaku
bernama Cakra yang .."
Pendekar 212 Wiro Sableng tak sanggup lagi menyelesaikan
ucapan. Kini berganti sekujur badan diserang hawa dingin luar
biasa. Dari mulut menyembur darah kental. Tubuh Wiro
kemudian terhuyung lalu tergelimpang menelungkup di tanah.
menggeliat beberapa kali, setelah itu diam tak berkutik lagi.
Nenek kembar jejadian menjerit kaget. Dia cepat mem-
balikkan Wiro hingga tertelentang. Wajah sang pendekar
tampak merah sekali. Bibir ungu kebiruan.
'Racun jahat!" teriak si nenek. Lalu dua tangannya (lengan
cepat bergerak monotok dua belas titik di sekujur tubuh Wiro.
Ketika memperhatikan bagian celana yang tersibak, dia melihat
bunga tanjung yang menempel di bawah pusar. Si nenek segera
mengambil bunga itu lalu meremas sampai hancur.
"Seharusnya tadi aku tolong saja dia. Melihat atau menyentuh
aurat terlarang demi menolong apa salahnya?" Si nenek sesali diri
sendiri. Mudah-mudahan aku masih bisa menolongnya." Dengan
fbu jari tangan kanan dia menekan kuat-kuat bagian bawah pusar
dimana sebelumnya menempel bunga tanjung. Dia memperkirakan
di bagian inilah jalan masuknya racun jahat ke dalam tubuh Wiro.
Tenaga dalam dikerahkan disertai aliran hawa sakti.
“Dess.. .desss.. .dess!"
Terdengar tiga letupan cukup keras disertai membersitnya
buntalan asap biru. Si nenek terpekik. Oari bawah pusar Wiro
keluar menyambar hawa aneh dan masuk ke bagian bawah perut
si nenek hingga mahluk jejadian ini terpental lalu terbanting
jatuh di tanah.
Mukanya yang keriput tampak merah, bibir membiru.
Di langit muncul awan h-tam merubah udara yang tadi
panas terik menjadi redup mengelam. Guntur menggemuruh.
Sesekali kilat menyambar. Angin bertiup kencang membuat
daun-daun pepohonan bergemerisik menggidikkan. Tak selang
berapa lama hujan mulai mencurah bumi. Sosok Pendekar 212
dan nenek kembar jejadian tergeletak kuyup tak bergerak di
halaman samping candi.
Tiba-tiba terjadi satu keanehan. Dari sosok tubuh nenek
berjubah kuning keluar sebentuk tubuh ramping tinggi
semampai seorang gadis berkulit putih berwajah cantik rambut
hitam pekat tergerai lepas. Pakaian kebaya pendek dan celana
panjang ringkas warna kuning. Sesaat gadis ini menatap ke
arah tubuh nenek jejadian lalu balikkan diri. Dengan langkah
perlahan sosok aneh ini meninggalkan kawasan candi, berjalan
ke arah matahari tenggelam. Walau saat itu hujan turun lebat
namun kepala, tubuh dan pakaiannya tidak basah sedikitpun.
Pada setiap langkah yang dibuatnya, di sebelah belakang sosok
nenek jejadian yang tergeletak di tanah perlahan-lahan berubah
samar lalu sirna. Di bekas tempat dia terbujur kini hanya
kelihatan sebuah seruling perak. Inilah seruling pemberian
paderi Loan Nio yang semula hendak diserahkan si nenek
kepada Wiro, tapi belum sempat dilakukan.
HUJAN belum juga reda. Udara masih diselimuti kegelapan.
Siang hari hampir tidak beda dengan senja. Sesekali angin
bertiup keras menimbulkan suara yang membuat keadaan terasa
seram. Di bawah curahan hujan samar-samar di arah kaki bukit
sebelah timur tampak berjalan terbungkuk-bungkuk seorang
lelaki tua berjubah hijau. Sekujur tubuh mulai dari rambut
putih sampai ke kaki yang tak berkasut basah kuyup. Sambil
berjalan mulutnya meracau.
"Sinto. puluhan hari aku menunggu kedatanganmu. Kau
hanya muncul di dalam mimpi..."
Di satu tempat orang ini hentikan langkah. Dia mengusap
wajah keriput basah lalu memandang ke arah puncak bukit.
Walau sangat samar namun dia masih bisa melihat bangunan
itu.
"Bangunan di puncak bukit. Itu candi yang dikatakan Sinto
Gendeng di dalam mimpi." Orang tua ini geleng-geleng kepala.
"Sinto. kau menyiksaku. Mengapa kau menyuruh aku ke puncak
bukit itu. Padahal kau berjanji akan datang ke gubukku di
tikungan Kali Progo."
Setelah berdiam diri beberapa ketika, orang tua ini
melanjutkan perjalanan. Langkah kaki kini ditujukan ke puncak
bukit dimana dia melihat bangunan candi, tanpa mengetahui
kalau dibawah bukit di balik sederetan pepohonan, dua pasang
mata sejak tadi mengikuti gerak-geriknya.
Orang yang berdiri di sebelah kanan pohon besar mengenakan
topi merah menyerupai tarbus. Wajah bulat memelihara kumis
dan janggut hitam tebal. Pakaian baju dan celana ringkas warna
merah pekat Orang ini adalah Damar Sarka. satu-satunya orang
penting yang masih hidup dari kelompok yang menamakan diri
orang-orang Keraton Kaliningrat.
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng (episode
"Perjanjian Dengan Roh" s/d "Api Di Puncak Merapi") seorang
yang menyebut diri Pangeran Muda bernama Sawung Guntur
alias Brata Sukmapala punya rencana hendak merebut tahta
Kerajaan. Dalam menjalankan rencananya dia mengumpulkan
orang-orang berkepandaian tinggi dan menyebut diri sebagai
penguasa Keraton Kaliningrat Namun usaha jahat itu gagal.
Sawung Guntur menemu, ajal di tangan Patih Wira Bumi. Para
pembantu utamanya dan hampir semua anggota Keraton
Kaliningrat terbunuh. Hanya Damar Sarka yang sempat
selamatkan diri. Orang ini pernah menyamar jadi kusir gerobak,
membawa Wiro dan Nyi Retno Mantili dalam perjalanan menuju
hutan jati di sebuah bukit dekat Plaosan. Sebelum berpisah dia
menyerahkan sepucuk surat dari Pangeran Muda yang isinya
berusaha membujuk Pendekar 212 Wiro Sableng agar mau
bergabung dengan kelompok Keraton Kaliningrat.
Orang kedua di sebelah Damar Sarka adalah lelaki berusia
sekitar empat puluh tahun, berpakaian baju dan celana
gombrong hitam. Dia bernama Surah Sentono, adalah adik
Surah Nenggolo, kepala rampok hutan Ngluwer yang ikut
bergabung dengan orang-orang Keraton Kaliningrat. Karena
dianggap telah berlaku sembrono kemudian dibunuh atas
perintah Pangeran Muda Sawung Guntur.
"Bagaimana kalau orang tua itu kita bekuk di lereng bukit sana
sekarang juga?" Surah Sentono keluarkan ucapan.
"Sobatku, bersabarlah. Jangan terburu-buru. Dia pergi ke bukit
pasti menemui seseorang yang ada hubungannya dengan madat
itu. Kau lihat di atas bukit ada bangunan candi. Aku yakin dia
menemui seseorang di candi itu." Menjawab Damar Sarka.
"Aku setuju kita tidak bertindak terburu-buru. Tapi kita harus
menjaga jarak sedekat mungkin. Kata Surah Sentono pula.
"Ingat, walau ilmu silatnya tidak seberapa tapi dia bukan orang
sembarangan. Manusia seperti orang tua itu setiap saat bisa
menyelinap lenyap seperti ditelan bumi. Ingat waktu tempat
kediamannya digrebek pasukan Kerajaan. Yang ditemukan dan
kemudian digantung adalah Djaka Tua, pembantu Tumenggung
Wirabumi. Orang tua itu sendiri lenyap tidak diketahui dimana
beradanya."
Surah Sentono menatap Damar Sarka sejurus lalu berkata
"Aku tak mau kehilangan madat lima puluh kati itu" katanya
lalu cepat-cepat melangkah ke arah bukit. Damar Sarka
mengikuti. Sementara hujan masih terus turun.
DUA
RANG TUA berjubah hijau sampai di puncak bukit. Hujan
mulai mereda sedikit namun keadaan masih gelap. Tiba-tiba kilat
menyambar. Langit seperti terbelah. Puncak bukit sekejapan
terang benderang. Pada waktu bersamaan ada sebuah benda
berkilau memantulkan cahaya terang kilat yang tadi berkiblat.
Terbungkuk-bungkuk orang tua itu melangkah mendekati benda
ini. Namun baru menindak tiga langkah gerak kakinya tertahan.
Pandangan sudut matanya membentur sosok tubuh seorang lelaki
terbujur di tanah.
"Manusia atau hantukah yang mau-mauan tidur di bawah
hujan lebat begini rupa? Atau mungkin sosok itu mayat yang
tersia-sia?" Orang tua berjubah hijau berkata dalam hati. Namun
bila dia ingat mimpinya tadi malam, hatinya berkata lagi.
"Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan permintaan Sinto
Gendeng dalam mimpiku."
Maka orang tua itu lantas melangkah mendekati sosok lelaki
yang terbaring di tanah becek hanya mengenakan sehelai celana
panjang sementara hujan masih turun walau tidak selebat
sebelumnya.
Setelah memperhatikan sesaat orang yang tergeletak di
tanah di halaman samping candi, si orang tua terkejut, delikkan
mata dan keluarkan seruan tertahan.
"Astagal Apakah aku mengenal orang ini? Bukankah dia
murid sobatku Sinto Gendeng. pemuda berjuluk Pendekar
Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua? Aku pernah menolongnya
sewaktu tangannya luka parah. Bagaimana dia bisa berada di sini?
Apa yang terjadi?"
Orang tua itu berlutut. Memeriksa Pendekar 212 mulai dari
kepala sampai ke kaki. Dia melihat dua belas tanda bekas totokan
di sekujur tubuh Wiro. Lalu ada tanda kemerah-merahan di bawah
pusar. Perlahan-lahan dia ulurkan tangan kanan, letakkan telapak
tangan di atas dada sang pendekar. Tubuh itu terasa dingin.
Bukan karena kehujanan tapi ada penyebab lain. Kening si orang
tua berkerut. Namun dia masih merasa lega sewaktu tangannya
merasa detakan jantung walau hanya perlahan.
"Aku ingat betul. Pada pertemuan pertama kali. di dada pemuda
ini ada jarahan angka Dua Satu Dua Sekarang mengapa tidak
kelihatan lagi?" Orang tua ini usap-usap dada Wiro. Seperti
diceritakan dalam Episode berjudul "Lentera Iblis", demi untuk
menjaga keselamatan Wiro jarahan angka 212 di dadanya oleh
dilenyapkan secara gaib oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas
sementara Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti dimasukkan ke
dalam tubuh Wiro.
"Dua belas totokan! Luar biasa! Siapa yang melakukan?
Aku menduga ada dua orang yang mengerjai pemuda ini.
Orang pertama bermaksud jahat. Mencelakainya melalui jalan
darah dan syaraf di bagian bawah pusar. Orang kedua yang
membuat dua belas totokan agaknya berusaha menolong. Tapi
mengapa murid Sinto Gendeng lantas dibiarkan tergeletak
sendirian di sini? Dalam keadaan setengah telanjang begini
rupa? Jika ada yang menolong mustahil ditinggal begitu saja.
Atau mungkin orangnya pergi untuk mencari obat? Mungkin
juga mencari orang lain untuk meminta bantuan? Berarti orang
itu akan kembali. Biar kutunggu."
Sementara menunggu, di bawah siraman hujan orang tua
ini balikkan tubuh Pendekar 212. Dia meraba punggung sebelah
kiri, di arah jantung sambil mengerahkan tenaga dalam.
Perlahan-lahan tangan diangkat jari-jari menekuk membentuk
tinju. Tiba-tiba tangan itu dipukulkan ke punggung.
"Buukk!"
Dari mulut Pendekar 212 mengalir keluar darah kehitaman.
Si orang tua tekan punggung kiri Wiro dengan tangan kiri
sementara tangan kanan mengurut dan menotok aliran darah
di leher. Darah mengalir terus dari mulut Wiro. Masih berwarna
hitam.
"Celaka, darahnya tidak berubah merah. Pemuda ini
mengidap racun jahat yang tidak mematikan. Tapi membuat
salah satu bagian tubuhnya akan mengalami kelemahan
seumur hidupi Sayang semua alat pengobatanku telah
dimusnahkan bergundal-bergundal Kerajaan. Sulit bagiku
untuk dapat menolong pemuda ini dalam waktu cepat. Aku
harus membawanya ke gubuk di Kali Progo. Tapi bagaimana
caranya?"
Orang tua itu ingat pada suling perak yang tadi dilihatnya
tergeletak di tanah becek. Suling diambil, diperhatikan lalu
ditimang-timang.
"Suling perak...Bagus sekali buatannya. Milik siapa?
Setahuku murid Sinto Gendeng tidak pernah membekal suling.
Mungkin milik orang yang mencelakainya?"
Setelah menunggu cukup lama tak ada orang yang datang,
orang tua ini mulai merasa risau.
'Aku tak mungkin menggendong atau memanggulnya ke gubuk
di Kali Progo. Tempat ini agaknya jarang didatangi orang. Apa lagi
cuaca buruk begini. Apa yang harus aku lakukan?" Orang tua itu
memandang berkeliling. Di bagian belakang candi dia melihat
beberapa rumpun pohon bambu. Dari balik pinggang jubah dia
mengeluarkan sebilah golok. Dengan golok ini dia menebang tiga
batang bambu lalu digabung rata jad! satu. Tubuh Wiro diletakkan
di atas tiga batang bambu dan diikat. Perlahan-lahan si orang tua
mulai menyeret bambu. Baru beberapa langkah dia berhenti dan
gelengkan kepala. Tubuh sang pendekar berat sekali. Jika
dipaksakan mungkin dia sanggup membawa Wiro sampai ke kaki
bukit Tapi untuk membawa sampai di gubuknya di Kali Progo jelas
dia tidak mampu melakukan. Untuk beberapa lama orang tua ini
duduk bersimpuh di tanah becek. Dia ingat pada suling perak yang
tadi ditemuinya. Suling dikeluarkan dari balik jubah, dipandangi
sambil berkata dalam hati.
"Mudah-mudahan saja suara suling akan menarik perhatian.
Membuat ada orang datang ke tempat ini."
Lalu orang tua ini duduk di tangga candi, mulai meniup suling.
Karena tiupan disertai aliran tenaga dalam maka suaranya
menggema keras di udara, menembus suara hujan dan deru angin
di atas bukit.
Apa yang diharapkan orang tua ini menjadi kenyataan
beberapa saat kemudian. Dua orang berkelebat muncul
mendatangi tempat dimana dia duduk di tangga candi meniup
suling. Satu berpakaian hitam gombrong, satunya lagi berbaju
dan bercelana merah, mengenakan tarbus.
Si orang tua hentikan meniup suling. Memandang pada dua
orang yang barusan datang yang belum pemah dikenalnya
sebelumnya lalu membungkuk memberi penghormatan dan
berkata.
"Aku bersyukur dan berterima kasih kalian berdua telah
mau datang ke sini. Dua orang sahabat, aku butuh pertolongan
kalian. Maukah kalian menggotong pemuda di atas bambu itu
ke kaki bukit? Mudah-mudahan cuaca segera berubah baik.
Mudah-mudahan nanti bertemu dengan orang membawa
gerobak. Aku harus membawanya ke tempat kediamanku di
Kali Progo."
Dua orang yang barusan datang dan bukan lain adalah
Damar Sarka dan Surah Sentono saling pandang satu sama
lain lalu menatap ke arah sosok tubuh yang tergeletak di atas
bambu. Begitu melihat wajah orang Damar Sarka terkejut dan
melangkah cepat mendekati. Setelah memperhatikan sebentar
dia berpaling pada si orang tua.
"Ki Tambakpati. bukankah pemuda ini Pendekar Dua Satu
Dua Wiro Sableng?"
"Ah, kau tahu namaku. Berarti kau memang benar-benar
sahabatku. Dugaanmu juga betul. Pemuda pingsan di atas
bambu itu memang Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng,
murid sahabatku Sinto Gendeng."
Damar Sarka dekati Surah Sentono. Keduanya bicara berbisik-
bisik. Kemudian Damar Sarka berkata pada orang tua berjubah
hijau yang ternyata adalah Ki Tambakpati yang dalam rimba
persilatan dikenal dengan julukan Si Tangan Penyembuh.
seorang ahli pengobatan yang pernah menolong Pangeran
Matahari sampai dua kali dan juga mengobati Wiro. (Baca serial
Wiro Sableng berjudul "Kitab Seribu Pengobatan" dan "Nyi
Bodong")
"Ki Tambakpati. karena kau menganggap kami sahabatmu.
kami pasti akan menolong pendekar itu. Kami akan
menggotongnya kemanapun kau meminta."
"Terima kasih....terima kasih." Ki Tambakpati gembira sekali.
"Aku mohon sahabat berdua mau membawanya ke gubuk
kediamanku di tikungan Kali Progo."
"Cukup jauh dari sini," ucap Surah Sentono dengan mulut
dipencongkan. "Tapi kau tak usah kawatir. Kami berdua akan
menggotongnya sampai ke sana." Surah Sentono tersenyum
dan kedipkan mata pada Damar Sarka.
Damar Sarka sambung ucapan temannya itu. "Namun sebelum
kami menolong, kami punya satu permintaan."
"Ah. kalau kalian minta pembayaran terus terang aku tidak
punya uang," kata Ki Tambakpati yang salah mengira.
"Tidak, kami tidak butuh uang. Tapi kami butuh keterangan!"
kata Damar Sarka. Nada suaranya yang tadi ramah kini berubah
kasar.
"Keterangan? Keterangan apa?" tanya Ki Tambakpati sambil
menatap air muka dua orang di hadapannya. Entah mengapa
secara tiba-tiba hatinya merasa tidak enak.
"Ki Tambak, kau terkenal sebagai tabib sakti rimba persilatan.
Beberapa waktu lalu kau pemah mengobati seorang pemuda
mengaku sebagai Pangeran. Benar?"
Ki Tambakpati berpikir-pikir lalu anggukkan kepala.
"Benar, memang pemah. Dia datang dua kali. Tapi aku tidak
akan memberi tahu apa penyakitnya. Lagi pula aku tahu dia bukan
pangeran benaran. Beberapa waktu kemudian aku tahu dia
ternyata adalah Pangeran Matahari, momok paling jahat dalam
rimba persilatan tanah Jawa Belum lama ini aku mendengar
kabar dia telah menemui ajal, tewas di puncak Gunung Merapi."
"Kami tidak perduli apa dia masih hidup atau sudah mampus,"
ucap Damar Sarka. "Pada kedatangannya yang pertama dia
menunggang seekor kuda besar. Kau ingat?"
"Ya. aku ingat."
Damar Sarka melanjutkan. "Orang itu membekal sebuah
kantong kulit Digantung di leher kuda. Kantong Itu dirampasnya
dari kerabat kami. Waktu dia datang, kau sempat melihat kantong
kulit itu?"
Ki Tambakpati mengangguk. "Aku malah sempat melihat
isinya." Kata si orang tua polos.
Damar Sarka dan Surah Sentono saling pandang.
"Kalau kau memang melihat isinya, katakan benda apa yang
kau lihat?" Surah Sentono bertanya ingin menguji.
"Madat candu." Jawab Ki Tambakpati. "Aku melihat barang
itu pertama kali pada malam hari. Tapi sewaktu aku melihat
lagi keesokan paginya, kantong kulit itu sudah lenyap."
""Kau tidak berdusta?" tanya Damar Sarka seraya menatap
tajam.
Ki Tambakpati menggeleng.
"Madat bisa dipergunakan sebagai bahan pengobatan yang
ampuh. Untuk menahan segala macam rasa sakit. Bukan kau yang
mengambil madat dalam kantong itu?" Pandangan mata Damar
Sarka membeliak menyelidik.
"Aku bukan bangsa pencuri." ucap Ki Tambakpati.
“Ucapanmu betul. Madat bisa dipergunakan sebagal obat, Tapi
seumur hidup aku tidak pernah menggunakan madat untuk
menolong orang. Walau tahu harganya luar biasa mahal, aku tidak
mencuri madat itu."
"Kau berdusta." hardik Damar Sarka.
"Mungkin digebuk dulu baru bicara benar!" kata Surah Sentono
pula sambil letakkan tinjunya di kening Ki Tambakpati.
Walau hatinya merasa tidak tenang namun Ki Tambakpati masih
bisa tersenyum.
"Aku sudah bicara jujur. Sekarang apakah kalian benaran mau
menolong menggotong pemuda itu sampai ke Kali Progo?"
Damar Sarka dan Surah Sentono tertawa gelak-gelak.
"Kenapa kalian tertawa. Apa yang lucu?" tanya Ki Tambakpati.
Damar Sarka hentikan tawa dan berkata. "Tentu saja kami akan
menolong Pendekar Dua Satu Dua. Bukan untuk menyelamatkan.
Tapi justru untuk mempercepat kematiannyal Dia dan gurunya
Sinto Gendeng telah banyak menyusahkan kami orang-orang
Keraton Kaliningratl"
"Kami akan menghabisi pendekar sableng itu. Kami akan
mendapat nama besar dalam rimba persilatanl Sesudah itu jika
kau masih tidak mau memberi tahu dimana madat satu kantong
itu kau sembunyikan, kami akan menyiksamu sampai lidahmu
mencelet dan mau bicara"
Habis berkala begitu Damar Sarka dan Surah Sentono melompat
ke arah Wiro terbaring di atas bambu. Ki Tambakpati berusaha
menghalangi.
"Kalau kalian tidak mau menolong tidak jadi apa. Tapi kalau
kalian mau membunuh pemuda itu terpaksa aku harus
mencegah!"
"Kalau begitu memang baiknya kau duluan yang kami
bereskanl Biar kau bisa menjadi penunjuk jalan bagi Pendekar
Dua Satu Dua ke neraka!" Kata Damar Sarka. Bekas anggota
Keraton Kaliningrat ini berpaling pada sahabat di sampingnya
Surah! Habisi tua bangka tak berguna ini!"
Surah Sentono menyeringai. Sekali bergerak dia sudah berada
di hadapan Ki Tambakpati. Tangan kanan melesat ke muka orang
tua itu. Sebagai seorang ahli ilmu pengobatan Ki Tambakpati juga
memiliki kepandaian silat serta tenaga dalam. Namun kalau
dipakai bertarung untuk menghadapi lawan seperti Surah Sentono
atau Damar Sarka maka kedua orang itu bukanlah tandingannya.
Sambil melompat mundur Ki Tambakpati berusaha menahan
jotosan Surah Sentono dengan dua telapak tangan dikembang.
Dengan mudah Surah Sentono mencekal lengan kanan Ki
Tambakpati lalu dipelintir ke punggung dan didorong ke dinding
candi.
"Katakan dlmana kau sembunyikan madat satu kantong itu!"
hardik Surah Sentono.
"Aku tidak mengambil madat itu! Tidak menyembunyikan!
Lepaskan tanganku!" Ki Tambakpati meringis kesakitan.
Surah Sentono perkencang pelintirannya hingga si orang tua
terpekik keras.
"Bicara atau aku remukkan tanganmu sampai ke tulang
punggungl" ancam Surah Sentono.
"Demi Tuhan, aku bersumpah tidak mengambil dan
menyembunyikan madat itu!"
"Bagus! Rasakan ini!"
Ki Tambakpati meraung keras ketika Surah Sentono
menyentakkan pelintirannya.
"Tunggu, lepaskan tanganku! Aku mau bicara!" teriak Ki
Tambakpati dengan nafas panjang pendek.
"Bagus! Bicara yang jelas!" kata Surah Sentono seraya
kendurkan cekalan.
"Madat satu kantong itu.....Madat itu aku berikan pada
setan neraka. Kalau kalian menginginkan pergilah mengambilnya
ke neraka!" Habis berkata begitu Ki Tambakpati tertawa gelak-
gelak. Dia tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya. Namun saat itu
dia merasa puas bisa mempermainkan orang.
"Tua bangka kurang ajar!" maki Surah Sentono.
"Surah! Tak perlu banyak bicara lagi dengan tua bangka keparat
itu. Pecahkan kepalanya! Nanti kita geledah gubuknya di Kali
Progo. Aku tahu letak gubuk itul" Damar Sarka berteriak jengkel.
Mendengar teriakan itu Surah Sentono angkat tangan kirinya
tinggi-tinggi. Surah Sentono adalah seorang kidal. Tangan kirinya
jauh lebih kuat dari tangan kanan. Ketika tangan kiri itu
dihantamkan ke bawah siap untuk menggebuk hancur batok
kepala Ki Tambakpati, tiba-tiba melesat sebuah benda aneh, jatuh
tepat menutupi muka Surah Sentono. Benda ini adalah sepotong
kain basah lepek. Bukan basah oleh air hujan tapi oleh cairan
menebar bau pesing air kencing.
Selagi Surah Sentono kelagapan tiba-tiba satu tendangan
menghajar pinggangnya hingga orang ini terpental, berteriak
keras marah dan kesakitan.
"Bagaimana rasa air kencingku? Hangat dan sedap? Mau lagi?
Ha...ha...ha!"
Seorang kakek bermata belok, kepala setengah botak dan salah
satu daun kuping lebar terbalik berdiri di tempat itu, tertawa
gelak-gelak sambil pegangi bagian bawah celananya yang lepek
oleh air kencing. Siapa lagi kalau bukan kakek konyol si Setan
Ngompol!
Surah Sentono tarik kain basah yang menempel di mukanya
dan campakkan ke tanah sambil morutuk panjang pendek dan
meludah berulang kali karena ada air kencing yang sempat
masuk ke mulutnya. Begitu melihat Setan Ngompol, Surah
Sentono menggembor marah. Dia belum tahu siapa sebenarnya
kakek aneh ini. Karenanya selain marah juga menganggap
enteng. Dengan sekali bergerak dan menggebuk dia mengira
bisa membuat Setan Ngompol tergelimpang roboh bahkan
menemui ajal!
"Jahanam' Kau minta mampus!" teriak Surah Sentono.
Di bagian lain Damar Sarka yang mengenali siapa adanya
kakek berkuping terbalik itu tadinya hendak ikut menyerbu
membantu Surah Sentono. Namun dia batalkan niat ketika
melihat ada seorang lain muncul berkelebat bersama si kakek.
Orang itu ternyata adalah seorang gadis cantik berpakaian serba
biru yang bukan lain adalah Liris Biru.
Damar Sarka terpesona, menyeringai, tenggorokan turun naik.
"Kakek juling mata jengkol! Betina cantik ini apamu?!"
"Nah, nah! Kau naksir rupanya!" sahut Setan Ngompol lalu
tertawa gelak-gelak sambfl pegangi bagian bawah perut
"Dengar, kami ampuni selembar nyawamu asal kau mau
menyerahkan betina cantik ini padaku! Bagaimana? Apa
jawabmu?!" Damar Sarka berucap sambil kedap-kedipkan
sepasang matanya pada Liris Biru, murid mendiang Hantu
Malam Bergigi Perak yang menemui kematian mengenaskan di
tangan Sinto Gendeng.
Setan Ngompol usap-usap kepala, kembali tertawa bergelak.
Lalu dia berpaling pada Liris Biru dan bertanya.
"Sobatku muda Cah Ayu, bagaimana menurutmu? Apa kau suka
ikut kepompong merah ini? Asal tahu saja, manusia satu ini punya
banyak istri dan gendaknya bertebaran dimana-mana." Rupanya
Setan Ngompol sudah kenal siapa dan tahu bagaimana adanya
Damar Sarka.
Liris Biru tertawa cekikikan mendengar Setan Ngompol
menganggap Damar Sarka yang mengenakan tarbus serta
pakaian merah itu sebagai kepompong merah.
"Siapa sudi Kek. Masih jadi kepompong saja lagaknya sudah
memuakkan. Apa iagi nanti kalau sudah keluar jadi ulat benaran!"
Liris Biru memang sudah jengkel pada Damar Sarka karena tadi
dirinya dipanggil dengan sebutan betina seolah dia seekor
binatang saja.
Dikatakan kepompong Damar Sarka jadi naik pitam. Dia
berteriak pada temannya
"Surah! Kau bunuh Ki Tambakpati. Aku akan meringkus gadis
konyol inil"
Damar Sarka lalu melompat ke hadapan Liris Biru. langsung
hendak memeluk gadis itu. Ulurkan kepala hendak mencium.
"Plaakk"
Satu tamparan keras melanda pipi kiri Damar Sarka hingga
sudut bibirnya pecah berdarah. Tarbus merahnya terpental dari
atas kepala, jatuh ke tanah. Kepalanya yang tersingkap ternyata
hanya berambut di sebelah bawah, bagian atas botak plontos.
Bekas anggota Keraton Kaliningrat yang semula menganggap
enteng Liris Biru bersurut mundur sambil pegangi pipinya yang
mendenyut sakit. Ketika melihat darah membasahi jari-jari
tangannya dia berteriak marah.
"Gadis keparat! Jangan mengira aku tidak tega menghajar
dirimu!"
TIGA
KEPOMPONG botak!" ejek Liris Biru. "Apa kau kira aku juga
tidak tega menghajar mahluk jelek macammu?! Hik...hik.„hik
Majulah biar sekarang kutampar pipi kananmu!"
Amarah Damar Sarka mendidih. Namun karena mengenali
siapa adanya Setan Ngompol, dia tidak mau bertindak gegabah.
Dengan membentak dia bertanya.
"Gadis sialan! Gembel tua bangka itu apamu?!"
"Hik.. hik! Aku kira kau naksir aku. Tidak tahunya kau suka
sama kakek tukang ngompol itu! Hik...hik! Tidak sangka
kepompong botak rupanya doyan mahluk sejenis!"
Meledak amarah Damar Sarka. Nafsu bejatnya yang tadi
berkobar melihat kecantikan serta keelokan dan kemulusan
tubuh Liris Biru. berubah menjadi hawa pembunuhanl Dua
tangan diangkat ke atas.
"Cleekkk!"
Terdengar suara berkeclekan. Sepuluh kuku jari mencuat
panjang, berwarna merah pekat Dalam marahnya Damar Sarka
mengeluarkan ilmu paling diandalkan yang disebut Cakar Darah.
Didahului bentakan garang dia menyerbu Liris Biru. Setiap dua
tangannya berkelebat sepuluh larik sinar merah berkiblat di udara
terlihat goresan menyerupai darah, berbuntal menyerang murid
Hantu Malam Bergigi Perak dari depan dan samping kiri kanan.
Dari tempatnya berdiri Setan Ngompol walau tahu Liris Biru
tidak mudah bisa dicelakai Damar Sarka namun si kakek tetap saja
merasa kawatir. Ketika dia hendak melompat mendampingi gadis
itu, Surah Sentono sudah lebih dulu menerjang ke arahnya.
Untuk menghadapi jurus-jurus berbahaya serangan lawan
Liris Biru kerahkan ilmu meringankan tubuh. Berkelebat cepat
Menghindari gempuran sambil sesekali susupkan serangan
balasan.
Tujuh jurus berlalu cepat. Damar Sarka penasaran sekali
karena jangankan mencelakai, menyentuh tubuh atau pakaian
lawan saja dia tidak mampu. Dia berusaha mencari tahu siapa
adanya gadis lawannya itu dengan memperhatikan ilmu silat
yang dimainkan Liris Biru.
Memasuki jurus ke sembilan, dengan keluarkan suara
menggembor Damar Sarka rubah dan percepat gerak jurus ilmu
silatnya. Sosok tubuhnya masih terlihat jelas, namun dua tangan
seolah berubah menjadi bayang-bayang, menyerang dalam
gerakan-gerakan cepat tak terduga. Sepasang kakinya seperti
tidak lagi menginjak tanah. Ternyata orang ini memiliki ilmu
meringankan tubuh setingkat lebih tinggi dari yang dimiliki Liris
Biru.
Jurus kesebelas.
"Breettt!"
Liris Biru terpekik. Bahu kiri baju birunya robek besar hingga
sebagian auratnya tersingkap lebar mulai dari bahu sebelah depan
sampai ke punggung.
Surah Sentono yang diam-diam rupanya juga tertarik pada
Liris Biru. sambil lancarkan serangan ke arah Setan Ngompol
berseru. "Damar! Jika kau tidak suka gadis cantik itu, jangan
diciderai. Apa lagi sampai kau bunuh! Serahkan padakul"
Baru saja bertoriak Surah Sentono keluarkan seman kaget
karena tiba-tiba satu sosok menebar dan memuncratkan air
kencing berkelebat di atas kepalanyal
"Jahanam setan alas" Surah Sentono momaki marah. Ini
untuk kedua kalinya mukanya kena diselomoti air kencing.
Gerak serangan tangannya yang semula hendak dihantamkan
ke depan kini dirubah ke atas. Mengarah aclangkangan Setan
Ngompol yang barusan menyerangnya dengan jurus Sefan
Ngompol Mengencingi Pusara. Jika serangan Ini mengenai
sasaran, celaka besar bagi Setan Ngompol
Tidak mau berlaku ayal. Setan Ngompol hindari serangan
Surah Sentono dengan mengembangkan dua kakinya. Begitu
jotosan lawan lewat di belakang dia segera kucurkan air kencing
sebanyak-banyaknya. Selagi Surah Sentono kelagapan oleh
guyuran air kencing. Setan Ngompol hunjamkan tumit kirinya ke
punggung orang hingga Surah Sentono terjerembab, setengah
menungging jatuh di tanah!
"Hai! Kau belum dapatkan gadis itu! Mengapa sudah
menungging duluan?!" seru Setan Ngompol mengejek. Sambil
balikkan badan dia kembali lepaskan tendangan menghajar
pantat Surah Sentono.
"Duukkk”
Surah Sentono menjerit keras karena ada bagian kaki
Setan Ngompol yang menyerempet perabotan terlarangnya!
Tubuhnya tergeletak di tanah becek, mata mendelik, dada
megap-megap dan dua tangan pegangi bagian bawah perut
Setan Ngompol tertawa mengekeh sambil kucurkan air kencing!
Sadar kalau lawan memiliki kepandaian lebih tinggi dari dirinya.
Surah Sentono memutuskan lebih baik dia tinggalkan tempat itu.
Dia yakin Damar Sarka juga akan mengalami nasib celaka.Namun
sebelum kabur dia masih berusaha lancarkan satu serangan Hmu
hitam. Sambil berguling ke lereng bukit dia lambaikan tangan
kanan Dari tangan itu tiba-tiba melesat keluar seekor ular besar
berwarna hitam berkilat.
Binatang jejadian ini meluncur di tanah, langsung menyerang
ke arah Setan Ngompol yang masih asyik tertawa dan terkencing
tanpa sadar kalau bahaya maut mengancam.
Hanya tinggal satu langkah lagi ular hitam siap mematuk perut
Setan Ngompol, Ki Tambakpati berteriak lalu melompat Kaki
kanannya dengan cepat menginjak ekor ular membuat kepala
binatang jejadian ini tersentak ke atas. Walau tidak memiliki
kepandaian silat namun dalam menghadapi ular Ki Tambakpati
adalah pawangnya. Secepat kilat dia sambar leher ular.
"Kreek!"
Sekali meremas, leher ular hancur sampai ke tulang
belulangnya.
Dess!"
Binatang jejadian itu berubah menjadi asap lalu lenyap dari
pandangan mata. Setan Ngompol yang sadar apa yang barusan
terjadi hentikan tawa, pegangi bagian bawah perutnya dan
kucurkan air kencing.
"Ki Tambak, terima kasih kau telah selamatkan jiwaku," ucap
Setan Ngompol.
Kita kembali dulu pada pertarungan antara Damar Sarka dan
Liris Biru. Didahului teriakan penuh amarah si gadis menerjang
lawan di hadapannya. Tanpa perdulikan keadaan tubuh yang
tersingkap lebar di sisi kiri gadis ini menyerang dengan jurus
Hantu Malam Berbagi Pahala. Jurus serangan ini sebenarnya
dilakukan secara berdua. Biasanya Liris Biru melakukan bersama
dengan Liris Merah kakaknya. Namun dilakukan sendirian tidak
mengurangi kehebatan serangan. Tubuh Liris Biru melesat di
udara. Kaki kanan menendang ke arah kepala sedang kaki kiri
berkelebat ke perut.
Kejut Damar Sarka bukan alang kepalang melihat serangan
cepat dan ganas ini. Terlebih lagi karena dia bisa mengenali jurus
serangan yang dilancarkan lawan.
"Kaul Apa hubunganmu dengan Hantu Malam Bergigi Perak?!"
teriak Damar Sarka. Dia cepat berkelit ke samping untuk
menghindari tendangan ke arah perut. Dua tangan serentak
diangkat ke atas. Yang kiri untuk menahan gerak tendangan,
tangan kanan untuk mencakar kaki kiri Liris Biru!
Liris Biru tidak bodoh. Walau dia mampu menghancurkan
kepala lawan dengan tendangan kaki namun cakaran tangan
kanan Damar Sarka masih bisa menyusup mencelakai paha
kirinya, membuat dia cacat seumur hidup. Sambil berteriak keras
gadis ini putar tubuhnya di udara lalu melayang turun. Begitu kaki
kiri menyentuh tanah dia langsung menggebrak dengan jurus
yang disebut Hantu Malam Menarik Gendewa Tangan kanan
dengan kecepatan kilat melesat ke arah dada kiri tepat di arah
jantung lawan.
Damar Sarka terbeliak kaget. Dia hampir tidak punya
kesempatan untuk selamatkan dada dari serangan mematikan itu.
Pikirannya singkat saja. Dia memutuskan berjibaku menyerahkan
dada namun bersamaan dengan itu sepuluh kuku jarinya melesat
ganas ke arah batok kepala dan wajah Liris Biru.
Dalam keadaan seperti itu, baik Damar Sarka maupun Liris Biru
tidak punya kesempatan lagi untuk menarik diri atau hentikan
serangan. Keduanya akan akan sama-sama menemui ajal, paling
tidak menderita cidera berat dan cacat sengsara selama-lamanya!
Hanya tinggal sepertiga jengkal lagi jotosan maut Hantu Malam
Menarik Gendewa akan mendarat telak di dada kiri Damar Sarka
dan sambaran Cakar Darah akan mengoyaK rengkah kepala serta
muka Liris Biru, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat disertai
terdengarnya ucapan lembut
"Sahabat berpakaian biru. Mengapa ingin mengotorkan tangan
menyentuh orang jahat ini. Mengapa menurutkan kemarahan
dengan mengorbankan diri. Biar aku mewakili dirimu
menjatuhkan hukuman atas dirinya."
Bersamaan dengan terdengarnya suara itu. tubuh Damar
Sarka tertarik ke belakang. Jotosan maut Liris Biru mengambang
di udara, menembus tempat kosong. Sepuluh kuku jari Damar
Sarka hanya menggapai angin. Apa yang terjadi? Saat itu orang
yang tadi berucap dengan suara lembut menarik Damar Sarka dua
langkah ke belakang, sekaligus mencekal leher dan menekan
kepalanya. Belum sempat Liris Biru melihat jelas siapa adanya
orang itu tiba-tiba dua tangan bergerak dani
"Kraakk!"
Leher Damar Sarka patah mengeluarkan suara menggidikkan
Nyawanya putus kejapan itu juga.
Ketika tubuh Damar Sarka dilepas dan jatuh ke tanah baru Liris
Biru, Setan Ngompol dan Ki Tambakpati melihat siapa adanya
orang yang menghabisi bekas anggota Keraton Kaliningrat itu.
Orang ini ternyata pemuda cakap berbaju dan bercelana hitam.
Kening diikat kain merah Pada baju serta kain merah dlkening
terdapat sulaman bunga dari benang perak dan benang emas.
Bibirnya dihias kumis kocll, pipi dan dagu tertutup janggut dan
berewok tipis rapi. KI Tambakpati dan Setan Ngompol segera
mendatangi sementara Liris Biru untuk beberapa saat hanya tegak
memperhatikan.
"Anak muda. terima kasih kau telah menyelamatkan gadis
sahabatku ini," ucap Setan Ngompol.
"Ilmu kepandaian Damar Sarka tidak rendah. Tapi kau
menghabisinya begitu mudah dan cepat Anak muda. siapa
kau adanya? Pasti kau murid seorang sakti ternama." Bertanya
Ki Tambakpati.
Pemuda yang disapa tersenyum dan membungkuk memberi
hormat pada dua kakek di hadapannya
"Aku hanya seorang pengelana muda yang tengah mencari
pengalaman dan kebetulan lewat. Kalau tidak ada aku pasti
ada orang lain yang akan memberikan pertolongan. Bukankah
semua jalan hidup ini sudah diatur dan ditentukan oleh Yang
Maha Kuasa?"
Setan Ngompol ternganga. Ki Tambakpati angguk-anggukkan
kepala mendengar ucapan BI pemuda. Setan Ngompol kemudian
berpaling pada Liris Biru.
"Liris Biru, apakah kau tidak Ingin mengucapkan terima kasih
pada sahabat muda yang telah menyelamatkan dirimu?"
"Aku" Liris Biru tidak mulnkukan apa yang dikatakan Setan
Ngompol, ucapannya malah diputus. Pandangan mata mengarah
pada pemuda di depannya, air muka menyatakan seperti ada yang
menyekat jalan pikirannya saat itu.
"Liris..." Setan Ngompol menegur.
"Kek...."
Pemuda berpakaian hitam tersenyum. Dia berpaling pada Setan
Ngompol dan berkata. "Gadis sahabatku ini masih terpengaruh
oleh apa yang barusan terjadi. Ucapan terimakasih yang tidak
dikatakan tapi disimpan di dalam hati adalah satu ketulusan abadi.
Kakek berdua, aku minta diri karena ada urusan penting yang
harus aku lakukan di Kuto Gede."
Habis berkata begitu, tidak menunggu lebih lama pemuda
berpakaian hitam segera tinggalkan tempat itu. Sebelum pergi
dia melirik sekilas ke arah sosok Pendekar 212 Wiro Sableng
yang terbaring pingsan di atas bambu.
Baik Setan Ngompol maupun Ki Tambakpati tidak berusaha
mengejar. Keduanya mendatangi Liris Biru. Setan Ngompol
menegur.
"Aku tidak tahu, apa yang terjadi dengan dirimu. Kau
kelihatan seperti orang bingung. Kau tidak mengucapkan terima
kasih pada pemuda yang telah menyelamatkan dirimu. Apa kau
kesemsem, mendadak jatuh hati padanya?l"
Lirus Biru gelengkan kepala lalu memutar tubuh, memandang
ke arah lenyapnya pemuda tadi.
"Kek, aku ingat kejadian beberapa waktu sebelum kakak
Liris Merah dibunuh."
"Kejadian apa?" tanya Setan Ngompol yang saat itu merasa mau
kencing lagi. Buru-buru dia pegangi bagian bawah celananya yang
basah.
"Waktu itu aku dan Liris Merah berada dalam goa. Lewat lobang
pengintai kami melihat kemunculan seorang pemuda tak dikenal.
Wajah dan ciri-ciri pemuda itu sangat sama dengan pemuda yang
tadi menolong diriku..."
"Kalau begitu kalian sudah saling kenal." kata Ki Tambakpati
pula.
Liris Biru menggeleng lalu melanjutkan ucapan "Kemunculannya
mendatangkan tanda tanya kecurigaan. Mungkin sekali dia tengah
melakukan penyelidikan..."
"Penyelidikan apa?" tanya Setan Ngompol.
"Kek, saat ini aku tidak bisa mengatakan. Lain waktu pasti aku
ceritakan padamu." Jawab Liris Biru yang masih tetap
merahasiakan perihal candu 50 kati yang tersimpan di dalam goa.
"Kakakku Liris Merah rupanya tertarik pada pemuda Itu. Ketika si
pemuda pergi Liris Merah keluar dari goa. Katanya dia mau
mengikuti pemuda itu. Namun kemudian nasib malang menimpa
diri kakakku. Aku temui dirinya di tepi telaga, di balik sebuah
batu besar dalam keadaan tanpa pakaian dan tak bernyawa lagi.
Seorang pemuda yang kupergoki berada di tempat itu melarikan
diri...."
'Kau sudah menceritakan kisah itu sebelumnya padaku," kata
Setan Ngompol.
"Ya dan aku ingat benar Kek. Walau melihat hanya sekilas
namun raut muka, ciri-ciri dan warna pakaian orang yang
meniduri kakakku lalu membunuhnya dan kemudian kabur
melarikan diri, sama dengan pemuda tadi."
Ki Tambakpati meraba dagunya lalu berkata. "Itu sebabnya
tadi kau tampak bingung..."
"Dugaanku berat pemuda yang membunuh kakakku sama
dengan pemuda yang tadi menolongku. Namun aku tadi merasa
bimbang..."
"Kalau dia memang jahal mengapa tadi dia mau susah-susah
menolong menyelamatkan dirimu dari Damar Sarka?" tanya Setan
Ngompol pula.
"Orang jahat bisa punya seribu wajah seribu akal seribu tipuan.
Bukan mustahil dia sengaja menyelamatkan diriku karena kelak
aku akan dijadikan korban berikutnya."
Setan Ngompol tahan air kencingnya yang hendak memancar Ki
Tambakpati terdiam Puncak bukit mendadak terasa sunyi. karena
saat itu hujan telah berhenti
"Untuk mengetahui bahwa memang dia yang telah membunuh
kakakku, aku harus mengejar manusia satu itu. Dia bilang akan
ke Kuto Gede. Aku akan mencarinya di sana. Kakek berdua, harap
maafkan aku terpaksa meninggalkan kalian."
"Tunggu dulu! Jangan pergi sendirian," seru Ki Tambakpati Dia
merasa kawatirakan keselamatan si gadis. Selain itu dia butuh
Liris Biru untuk membantu membawa Pendekar 212 Wiro Sableng
ke gubuknya di tikungan Kali Progo. Namun Liris Biru sudah
keburu lenyap di lereng bukit sebelah timur.
Ki Tambakpati menarik dan melepas nafas panjang, berpaling
pada Setan Ngompol. "Tinggal kita berdua, tua bangka sial.
Apakah kita sanggup membawa murid Sinto Gendeng itu ke
gubukku di Kali Progo?"
"Mau dibilang apa? Itu harus kita lakukan berdua." Setan
Ngompol pandangi wajah pucat dan sosok tak bergerak tubuh
Pendekar 212 beberapa ketika lalu berkata. "Aku melihat,
pendekar ini seperti mendekam satu malapetaka yang akan
menghancurkan masa depannya."
Ki Tambakpati mengangguk. "Syukur kau sudah bisa menduga.
Aku sendiri masih belum jelas apa sebenarnya yang menimpa diri
murid Sinto Gendeng ini dan apakah aku mampu mengobati."
Terbungkuk-bungkuk dua kakek itu kemudian mulai sama-sama
menyeret potongan bambu di atas mana Pendekar 212 terikat
pingsan. Sebentar-sebentar Setan Ngompol pegangi bagian bawah
perutnya dengan salah satu tangan, menahan agar tidak
pancarkan air kencing.
EMPAT
EBERAPA ratus tahun silam. Sebelum kemunculan pemuda
misterius berpakaian serba hitam membekal patung Kamasutra
dan bunga tanjung, melakukan perkosaan atas diri para gadis dan
membunuhnya.
Kawah Gunung Bromo. Tepat tengah malam. Udara dingin
luar biasa. Keadaan gelap karena di langit tak ada bintang tak
ada rembulan. Selain itu kabut tebal menutupi hampir seluruh
kawah. Dalam keadaan seperti itu dimana mahluk hidup baik
yang namanya manusia atau binatang tidak diharapkan berada
di tempat itu, samar-samar di lamping kawah sebelah timur
tampak berkelebat satu bayangan putih. Sepintas seperti setan
yang terpesat gentayangan. Namun jika diperhatikan ternyata
dia manusia juga adanya yaitu seorang kakak berjubah putih.
mengenakan kain hitam tebal untuk menutup kepala sampai ke
kuduk dan sepasang telinga Alis janggut dan kumis tebal serta
rambut yang tersembul di bawah penutup kepala semua tampak
putih. Walau usia paling tidak telah lebih dari tujuh puluh tahun
namun gerakannya begitu ringan dan cepat.
Pandangan matanya tajam mencari jalan yang akan di tempuh.
Dua kakinya tidak tersandung atau terpeleset dalam melangkah
bahkan sesekali dia melompat dari satu bagian kawah ke bagian
lainnya. Udara dingin yang sanggup membuat air menjadi beku
seperti tidak dirasakannya Sesekali dia memasukkan tangan
kanan ke dalam saku jubah sebelah kanan. Di dalam saku ini
terdapat sebuah benda sakti berupa batu sebesar kepalan yang
senantiasa memancarkan hawa hangat Dengan kesaktian batu
inilah orang tua itu bisa bertahan dari hawa dingin luar biasa yang
bisa membuat air menjadi beku.
Di satu tempat si kakek berhenti. Dia tegak meluruskan tubuh,
mendongak menatap ke langit Setiap hembusan nafas yang keluar
dari hidungnya membuat kepulan hawa dingin berwarna putih
membersit di udara.
"Bulan tidak muncul. Bintang tidak kelihatan. Mudah-mudahan
aku tidak salah menghitung hari. bulan dan tahun. Mudah-
mudahan aku segera menemukan batang pohon kayu besi yang
aku tancapkan sebagai tanda tiga puluh tahun silam."
Kata-kata itu terucap dalam hati. Dengan sepasang matanya
yang kelabu, orang tua berjubah putih kemudian memandang
berkeliling Lalu mulutnya berkata perlahan. "Timur di sebelah
kiri, barat di sebelah kanan. Aku harus menuju ke utara. Berarti
lurus ke depan."
Begitu selesai berucap orang tua ini melangkah ke depan.
Kaki kiri menginjak satu tonjolan batu pada lereng kawah yang
terjal. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh dia pergu-
nakan batu itu untuk menjadi alat pelontar diri, melesat ke udara
setinggi dua tombak lalu melayang ke arah utara Beberapa kali
berkelebat akhirnya dia sampai di bagian kawah sebelah utara.
Dia memilih satu tempat ketinggian untuk berhenti dan memper-
hatikan keadaan sekitarnya. Kabut putih dari dasar kawah masih
terlalu tebal. Orang tua ini menunggu dengan sabar.
Tak selang berapa lama kabut mulai naik ke atas. Perlahan-
lahan bagian kawah yang tadi tertutup kini terlihat eelas. Dan
orang tua ini lepaskan nafas lega ketika sepasang matanya
membentur benda hitam batangan pohon kayu besi yang
menancap di lereng kawah sekitar dua belas langkah di depannya.
Sekali melesat orang tua ini telah berada di depan batangan
kayu besi hitam. Tiga puluh tahun lalu dia menancapkan
potongan batang kayu itu di tempat itu. Setelah sekian lama
waktu berlalu batang kayu itu masih ada di tempat itu. tidak
lapuk bahkan nyaris tidak berubah. Si orang tua mengusap
dan mencium batang kayu hitam. Lalu pandangan matanya
dialihkan ke arah lamping kawah, tujuh langkah dari tempatnya
berdiri. Dia menunggu dengan hati berdebar Mendongak ke
langit. Sepasang mata membesar dan wajah tampak berseri
ketika di langit dia melihat samar-samar muncul bulan sabit
"Bulan sabit telah menampakkan diri. Tepat seperti yang
diramalkan semula. Sebentar lagi aku akan melihat pemuda itu.
Pasti banyak yang berubah dengan dirinya usianya kini lima
puluh lima tahun. Lebih dari setengah abad."
Si orang tua bergerak ke depan mendekati lamping kawah
di hadapannya. Pada langkah ke enam dia berhenti lalu
menduduk diri, bersila di tanah. Dua mata dipejam, dua tangan
diletakkan di atas paha. Sikapnya seperti seseorang tengah
"melakukan samadi.
Tak selang berapa lama orang tua ini mendengar langkah-
langkah halus yang tak akan mungkin didengar oleh telinga
manusia biasa. Orang tua ini buka kedua matanya. Tepat pada
saat itu dinding kawah di hadapannya terasa bergetar lalu
mengeluarkan suara berderak. Pada dinding kawah kelihatan
retakan dalam, berbentuk setengah lingkaran dengan ketinggian
hampir satu setengah tombak. Perlahan-lahan retakan di
sebelah atas gugus luruh dan jatuh ke bawah. Sesaat kemudian
pada dinding kawah muncul lobang besar menyerupai mulut
sebuah goa.
Di langit di atas kawah tiba-tiba terjadi satu keanehan. Kilat
berkiblat membuat udara terang benderang seketika sampai ke
dasar kawah Dalam kilatan cahaya terang itu di dalam goa si
orang tua melihat satu sosok melangkah keluar. Di lain kejap di
hadapan mulut goa telah berdiri seorang pemuda tampan
mengenakan baju dan celana hitam. Wajahnya segar tertutup
kumis, cambang bawuk serta jenggot tipis rapi. Pemuda ini
menatap ke arah si orang tua lalu tersenyum.
"Dewa seru sekalian alam. Orang tua itu keluarkan seruan,
setengah melompat dia menghambur ke mulut goa, jatuhkan
diri di tanah sambil pegangi kaki si pemuda. Pemuda yang
dipegangi kedua kakinya balas memegang bahu orang tua itu
lalu berkata. Suaranya lembut
"Paman Darmasewara, berdirilah. Mengapa harus berlutut
di hadapanku. Aku ini masih keponakanmu, bukan Raja bukan
Dewa."
Si orang tua berdiri langsung memeluk dan menciumi
pemuda Itu. Sepasang matanya berkaca-kaca.
"Suma Mahendra! Sulit aku percayai Tiga puluh tahun lalu aku
meninggalkanmu waktu kau masuk menembus dinding kawah.
Kini kau berdiri di hadapanku tanpa perubahan sedikitpunl Kau
tetap sebagai seorang pemuda tiga puluh tahun silam. Rambutmu,
kumis dan janggut tidak menjadi panjang, tidak berubah warna.
Bahkan pakaianmu tidak lusuh sedikitpunl Kau seolah baru
kutinggal petang tadi!"
"Kuasa dan kasih para Dewa sungguh besar terhadap diriku,
Paman."
"Aku sungguh sangat bersyukur, Mahendra. Eh. lihat dirikul
Ketika aku mengantarkan kau ke kawah Gunung Bromo ini usiaku
sekitar setengah abad. Kini lihat perubahan yang terjadi! Aku
sudah menjadi kakek reot, rambut, kumis dan janggutku putih
semua Separuh gigiku sudah tanggal ompong. Usiaku sekarang
delapan puluh tahun, Suma. Dan kau seharusnya saat ini sudah
berumur lima puluh lima tahun. Namun yang aku lihat kau tetap
pada usiamu dulu, usia dua puluh lima tahun"
Pemuda bernama Suma Mahendra tersenyum
"Paman, seperti yang disebutkan dalam kitab Jagat Pusaka
Dewa, aku berhasil memindahkan pohon tanjung yang terletak
di alun-alun Singosari. Lihatlah ke belakangmu!"
Saat itu terdengar suara menderu keras, seluruh kawah
bergetar, membuat orang tua bernama Darmasewara tercekat
dan berpaling ke belakang. Mata terbeliak, mulut ternganga.
"Dewa Penguasa Langit dan Bumi! Sungguh luar biasai"
ucap Darmasewara. Hanya mulut yang bersuara sementara
sekujur tubuh laksana terpaku, diam tak bergerak. Di
hadapannya, mengambang di atas kawah Gunung Bromo tegak
menjulang sebatang pohon tanjung besar berbunga lebat.
Sebelumnya Darmasewara telah melihat ratusan, mungkin
ribuan kali pohon tanjung itu yang tumbuh di alun-alun Kerajaan
Singosari. Saking seringnya dia melihat, orang tua ini nyaris
mengenali setiap sudut batang pohon, setiap cabang dan ranting
serta pada saat-saat pohon Itu berbunga.
"Singosari akan geger besar begitu besok pagi semua orang
melihat pohon tanjung besar di alun-alun tak ada lagi di
tempatnya semula" Darmasewara gelengkan kepala terkagum-
kagum.
"Paman..."
Si orang tua palingkan kepala, memandang pada Suma
Mahendra.
Tiga puluh tahun aku mendekam bersamadl di dalam perut
kawah Gunung Bromo ternyata tidak semua permintaanku
dikabulkan secara langsung oleh para Dewa. Dewa memberiku
kekuatan luar biasa hingga aku mampu bertahan hidup, sehat
dan tidak menjadi tua. Dewa memberiku kekuatan dan ilmu luar
biasa untuk memindah pohon tanjung besar ke dalam kawah.
Kelak pohon itu nantinya akan muncul di pedataran pasir
Tengger. Namun tidak semua mata manusia bisa melihatnya.
Aku sedih, tapi jauh dari kecewa. Dewa tidak mengabulkan
permintaanku untuk mendapatkan ilmu kesaktian seperti
yang tertulis dalam kitab Jagat Pusaka Dewa. Aku tidak
diperkenankan untuk membalas dendam kematian Paman
Tunggul Ametung. Lebih dari itu aku tidak mendapat restu
untuk mengambil alih tahta Kerajaan Singosari. Paman, setelah
tiga puluh tahun berlalu, apa yang terjadi dengan Kerajaan dan
siapa sekarang yang berkuasa. Apakah masih Ken Arok, Raja
yang telah membunuh pamanku dan saudara sepupumu itu?"
Darmasewara menghela nafas panjang lalu gelengkan kepala.
"Lima tahun setelah berkuasa hukum karma berlaku. Ken
Arok dibunuh oleh anak tirinya sendiri yaitu Anusapati, putera
Ken Dedes dari pamanmu Tunggul Ametung. Anusapati kemudian
di bunuh oleh Tohjaya, putera Ken Arok dari istrinya Ken Umang.
Tahta berdarah berkelanjutan. Tohjaya dibunuh oleh Ranggawuni.
putera Anusapati. Sekarang Ranggawuni yang menduduki tahta
Kerajaan Singosari."
"Selama ini apakah Paman mengabdikan diri pada Kerajaan?"
"Sri Baginda Ranggawuni adalah kerabat satu aliran darah
kita. Namun sesuai petunjukmu sebelum masuk ke dalam kawah
Gunung Bromo ini dulu, selama tiga puluh tahun aku
menjauhkan diri dari segala hal dan kegiatan yang berhubungan
dengan Kerajaan. Sri Baginda pernah menanyakan keberadaan
dirimu dan meminta aku datang ke Istana. Namun sampai hari
ini aku belum berani memperlihatkan diri. Kecuali kalau kau
memberi petunjuk dan izin untuk melakukan."
"Sebaiknya Paman jangan dulu menemui Ranggawuni. Kita
tidak tahu kemelut apa yang akan terjadi. Besok atau lusa bisa
saja Ranggawuni dibunuh orang. Lalu Paman akan ikut menjadi
korban, paling tidak dijebloskan masuk penjara."
"Suma, aku akan menuruti nasihatmu," kata Darmasewara pula.
Setelah mendengar penuturan pamannya dan merenung
beberapa lama Suma Mahendra berkata. "Mungkin sekali karena
perselisihan yang membawa dendam, darah dan nyawa
berkepanjangan itu yang menyebabkan para Dewa tidak
memberikan ilmu kesaktian padaku secara langsung dan juga
tidak membenarkan aku mengambil alih tampuk Kerajaan. Ilmu
yang aku harapkan itu tadinya akan dipergunakan untuk
menghadapi Ken Arok yang sakti mandraguna. Namun sekarang
segala sesuatunya telah berlalu. Ken Arok sendiri sudah tak
ada lagi di permukaan bumi Ini. Aku sangat berterima kasih,
walau tidak memberikan secara langsung padaku namun para
Dewa tetap akan menurunkan ilmu kesaktian itu ke muka bumi
ni. Seseorang kelak akan mendapat menerimanya mewakili
diriku."
"Suma. kau mengatakan para Dewa tidak memberikan ilmu
kesaktian padamu secara langsung. Dan ada seseorang yang
akan menerimanya mewakili dirimu. Bagaimana maksudnya?'
bertanya Darmasewara.
"Paman, ada satu berita sedih bagimu. Aku tidak akan
pulang ke Singosari, tapi akan kembali masuk ke dalam goa.
Malam ini juga. Tiga hari dari malam ini aku akan menemui akhir
dari perjalanan hidupku. Aku akan menghembuskan nafas
terakhir..."
"Suma Mahendra' Kau bicara apa?!" ucap sang paman setengah
bertenak saking kagetnya.
"Begitu petunjuk yang diberikan para Dewa dalam samadiku."
"Suma, apakah kau telah melakukan satu kesalahan selama
kau bersamadi hingga Dewa menjadi marah?"
Pemuda tampan itu menggeleng. "Justru karena Dewa sayang
padaku, maka petunjuk itu diberikan dan pasti akan terlaksana.
Paman tak usah memikirkan bagaimana nasib jazadku. Aku akan
terkubur baik-baik di dasar kawah Gunung Bromo ini."
"Seandainya kau tidak mengikuti petunjuk dalam Kitab Jagat
Pusaka Dewa itu dan tidak melakukan samadi. Mungkin kau tidak
akan mengalami nasib seperti yang barusan kau katakan"
"Nasib seseorang sudah tertulis di dalam Kitab yang bernama
Takdir. Sebagai manusia kita tidak perlu kecewa. Ini adalah satu
kenyataan. Kematian adalah kenyataan yang akan dialami semua
orang. Apakah dia seorang Raja atau seorang hamba sahaya
rakyat jelata. Hanya sayang aku tidak dapat membalaskan sakit
hati Kematian paman Tunggul Ametung Para Dewa tidak ingin
tanganku berlumur darah akibat dendam berkepanjangan
Kenyataannya dendam saling bunuh itu telah berlangsung." Suma
Mahendra pandangi wajah tua Darmasewara dengan senyum
lembut lalu berkata. "Paman, jika paman suka, paman boleh
meninggalkan tempat ini. Aku akan masuk ke dalam goa..." Suma
Mahendra pegang bahu pamannya. Sang paman pegang lengan
pemuda itu erat-erat
"Kau belum menjawab pertanyaanku mengenai ilmu kesaktian
yang akan diberikan secara tidak langsung. Kau mengatakan ada
seseorang yang bakal mendapatkan ilmu kesaktian Ku. Apakah
berarti..."
"Setelah aku mati, aku akan menitis pada diri seorang bayi.
Namun aku tidak tahu kapan kejadiannya. Mungkin mmggu
atau bulan dimuka. Mungkin juga puluhan atau ratusan tahun
kemudian. Bayi itulah kelak, yang setelah dewasa akan
mendapatkan ilmu kesaktian seperti tertulis dalam Kitab Jagat
Pusaka Dewa. Namun Paman, ada satu hal yang aku lihat dalam
samadiku. Ada satu kekuatan alam roh yang datang dari negeri
jauh Ingin mengacaukan keadaan. Aku melihat gurun pasir luas
sekali. Jauh lebih luas dari gurun pasir Tengger. Aku melihat
gunung yang terbuat dari tumpukan jazad perempuan. Di lereng
gunung mengalir sebuah sungai yang airnya berwarna merah
seperti darah, menebar bau busuk menjijikkan. Aku mendengar
raung suara anjing yang seolah sangat ketakutan dan meratapi
apa yang bakal terjadi. Lalu aku melihat ratusan bunga tanjung
beterbangan, luruh jatuh masuk ke dalam sungai darah.
Warnanya yang putih kekuningan berubah menjadi semerah
darah. Bunga yang tadinya suci itu kini telah dibungkus noda.
Paman, aku mohon kau menjaga Kitab Jagat Pusaka Dewa
baik-baik. Jangan sampai jatuh ke tangan siapapun..."
"Aku akan melakukan pesanmu itu Suma." jawab si orang tua.
Kedua orang itu kemudian saling berpelukan. Darmasewara
tinggalkan dasar kawah dengan mata berkaca-kaca. Suma
Mahendra mengikuti langkah cepat sang paman dengan mulut
tersenyum lalu perlahan-lahan balikkan diri, masuk kedalam goa.
Ketika Darmasewara sampai ke ujung kawah sebelah atas
tiba-tiba dia mendengar suara deru seperti angin bertiup. Orang
tua Ini berpaling, memandang ke dalam kawah Dia terheran-
heran melihat ratusan bunga tanjung yang ada di pohon besar
mengambang di atas kawah, berlesatan masuk ke dalam goa
tempat Suma Mahendra bersamadi. Bau harum semerbak bunga
menebar dan tercium sampai ke atas kawah Namun orang tua
ini jadi tercekat ketika bau harum itu mendadak berubah menjadi
bau anyir busuk, menyengat jalan pernafasan hingga dia tak
sanggup menahan muntah. Darmasewara Ingat ucapan Suma
Mahendra. Bunga tanjung telah berubah menjadi bunga noda.
KETIKA dua hari kemudian Darmasewara kembali ke tempat
kediamannya di pinggiran Kotaraja, orang tua ini terkejut
mendapatkan lemari jati yang ada dalam kamar terguling
roboh di lantai. Bagian dinding kamar yang sebelumnya
terlindung di balik lemari hancur berantakan. Pada dinding itu
ada sebuah kotak kayu tempat dimana dia menyimpan Kitab
Jagat Pusaka Dewa sejak tiga puluh tahun lalu. Kotak itu kini
tak ada lagi di tempatnya. Raib bersama kitab yang ada di
dalamnya!
Darmasewara jatuh terduduk di lantai kamar. Dia lebih baik
mati dari pada menyaksikan kejadian ini. Sambil menutup wajah
dengan kedua telapak tangannya dia berkata lirih.
"Dewa. saya mohon dengan segala kerendahan.siapapun
yang telah mencuri Kitab Jagat Pusaka Dewa. jangan jadikan
hal ini sebagai pangkal munculnya malapetaka."
Perlahan-lahan Darmasewara turunkan dua tangannya yang
menutupi wajah. Ketika pandangannya membentur dinding
di hadapannya, dia terkejut
"Astaga, sebelumnya tulisan itu tidak ada disitu!" ucapnya.
Saat itu di dinding kamar entah bagaimana kejadiannya tertera
tulisan.
"Kitab Jagat Pusaka Dewa tidak dicuri orang. Kitab itu hanya
perlu diselamatkan dan orang-orang yang berniat jahat"
Darmasewara bangkit berdiri. Dia memandang seputar kamar.
"Siapa yang menulis? Aku tidak melihat orang masuk ke
tempat ini!" Paman Suma Mahendra, saudara sepupu Tunggul
Ametung ini melihat jendela terbuka. Secepat kilat dia melompat
keluar rumah lewat jendela itu. Berkali-kali dia memutari rumah,
menyelidik sampai ke luar halaman namun tak seorangpun yang
kelihatan.
LIMA
RATUSAN tahun setelah lenyapnya Suma Mahendra di dasar
kawah. Desa Tumpang, di barat Gunung Bromo.
Pagi buta hari Jum'at Legi, dingin dan gelap. Aki Jarot
memacu gerobak sapi sekencang yang bisa dilakukannya.
Tuminah. istrinya yang dukun beranak duduk tergoncang-
goncang di sampingnya, berpegang erat pada tiang kayu di
pinggiran gerobak. Susur dalam mulutnya dipindah kian kemari.
"Pakne. kalau kau memacu gerobak ini lebih kencang, kita
berdua bisa mati terbalik. Maksud hendak menolong orang tidak
kesampaian." Tuminah berkata cemas pada suaminya.
Aki Jarot mencambuk punggung sapi dengan cemeti, menjawab.
"Tadi kau sendiri yang minta diantar cepat-cepat Sudah diam saja.
Aku sudah bertahun-tahun menarik gerobak, sudah belasan tahun
kenal jalan ke desa Tumpang. Mau takut apa?"
"Aku tidak takut Pakne, aku ingin sampean berhati-hati,"
jawab sang istri dengan nada mengalah.
Melewati sebuah tikungan, jalan yang ditempuh agak mendaki.
Sapi penarik gerobak tidak mampu berlari sekencang tadi lagi.
Tepat di puncak pendakian binatang ini berhenti berlari. Bukan
karena keletihan, tapi ada seseorang di depan sana, berdiri di
tengah jalan. Orang ini mengenakan jubah hitam dan ikat kepala
seperti sorban juga berwarna hitam. Wajahnya yang putih
tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk hitam pekat, di
dalam gelap tampak berkilat. Mungkin diberi minyak.
Tubuhnya menebar bau wangi kembang. Dari raut
wajah serta perawakannya yang tinggi besar agaknya orang
ini bukanlah penduduk asli setempat. Mungkin sekali dia
seorang keturunan Arab atau berdarah India. Di tangan
kanannya orang ini memegang sebuah kitab terkembang.
Sepertinya dia asyik membaca isi kitab. Aneh. selain tak masuk
akal ada orang membaca kitab di malam buta di tengah jalan
seperti itu, juga apakah dia bisa melihat di malam segelap itu?
Orang asing ini mengangkat tangan kiri ke atas. Telapak
terkembang diarahkan ke depan pada sapi ponarik gerobak.
Gerak tangan inilah agaknya yang membuat binatang itu
berhenti berlari.
"Ki sanak di tengah jalan, menyingkirlah. Kami harus
melanjutkan perjalanan. Kami ada urusan pentingl Jangan
menghadang di tengah jalan" Aki Jarot berteriak.
Orang berjubah hitam terus saja membaca kitab seperti
tidak mendengarteriakan itu. Aki Jarot jadi jengkel.
Pakne. orang itu kelihatannya bukan orang Jawa. Mungkin
dia tidak mengerti ucapanmu berkata Tumlnah.
"Siapapun dia, kalau berada di tempat ini pasti mengerti
bahasa di sini. Hantu sekalipun tahu apa yang aku ucapkan!"
jawab Aki Jarot. Lalu kembali dia berteriak. "Jangan salahkan
kalau kau diterjang sapiku!" Lelaki separuh baya ini kemudian
cambuk sapinya kuat-kuat, tali kekang disentak berulang kali.
Namun jangankan berlari, bergerakpun tidak binatang itu Malah
sesaat kemudian sapi putih ini tekuk dua kaki depannya lalu
rundukkan diri bersimpuh di tanah.
"Hai!" Aki Jarot berteriak kaget juga heran. Setelah
menyuruh istrinya tetap duduk di atas gerobak dia melompat
turun menemui orang berjubah hitam. Namun baru menindak
tiga langkah, orang tinggi besar angkat tangan kirinya dan
tiba-tiba saja langkah Aki Jarot tertahan. Dua kaki lelaki itu
laksana dipantek ke tanah.
"Apa yang terjadi dengan diriku? Kaul" Aki Jarot berteriak
kaget
Tuminah turun dari gerobak menemui suaminya.
"Pakne. ada apa?"
"Orang berjubah hitam itu! Dia mengangkat tangan. Kakiku
lantas saja tak bisa digerakkan. Pasti dia orang jahat! Mungkin
begal!"
"Biar aku menemuinya." kata sang istri. Dalam hal-hal
tertentu Tuminah memang perempuan pemberani. Dia turun
dari gerobak lalu melangkah ke arah orang tinggi besar berjubah
cian bersorban hitam yang masih tegak dengan sikap asyik
membaca kitab.
Tuminah keluarkan susur dari dalam mulut lalu menegur
orang di tengah jalan dengan suara keras. "Kalau kau memang
begal, kami tidak punya apa-apa. Mau merampok apa?!"
Si jubah hitam tinggi besar perlahan-lahan tutup kitab yang
dibaca lalu dimasukkan ke balik jubah. Dia menatap perempuan
di depannya, tersenyum lalu membungkuk dan berkata.
Suaranya berat tapi lembut. Dialeknya terdengar kaku aneh.
"Bukankah Ibu ini dukun beranak bernama Tuminah yang
tinggal di desa Samberrejo?"
"Sumberrejo. Kami tinggal di Sumberrejo. Bukan Sam-
berrejo," jawab Tuminah. "Eh. sompoan tahu namaku. Sampean
ini siapa? Sampean pasti bukan orang sini. Mengapa
menghadang perjalanan kami?"
"Tuminah! Hati-hati! Orang itu pasti punya niat jahat!
Jangan bicara padanya! Kembali ke sini!" Aki Jarot berteriak,
kawatir akan keselamatan istrinya.
"Aku bukan orang jahat," lelaki berjubah berucap. "Namaku
Deewana Khan. Kau dan suamimu bukankah dalam perjalanan
menuju desa Tumpang?"
"Benar," jawab Tuminah. Dia hendak masukkan susurnya
ke dalam mulut kembali tapi tak jadi. Perempuan ini bertanya.
"Sampean pasti bukan penduduk sini. Bagaimana bisa tahu
kemana kami mau pergi?"
"Di desa Tumpang ada seorang perempuan muda bernama
Sulin, bersuamikan Tajurpambayan. Perempuan muda itu
hendak melahirkan. Anak pertama. Dan Ibu ke Tumpang hendak
menolongnya. Benar begitu?"
Tuminah tercengang mendengar ucapan orang tinggi besar
Jubah hitam yang benar semua adanya. Sampean orang aneh.
Tahu kemana kami pergi dan apa yang hendak aku lakukan.
Kalau tahu kami mau menolong perempuan yang hendak
melahirkan mengapa menghadang?"
"Aku tidak menghadang. Hanya ingin memberi tahu bahwa
Ibu tidak perlu bersusah payah jauh-jauh pergi ke Tumpang.
Sudah ada orang lain yang akan menolong perempuan yang
hendak melahirkan itu."
"Siapa? Mana boleh jadi? Mulai dari Sumbermanjing di
selatan sampai Lawangan di utara hanya aku seorang dukun
beranak..."
Orang mengaku bernama Deewana Khan tersenyum
“Sudahlah, kau dan suamimu kembali saja ke Sumberrejo. Tak
perlu mengawatirkan perempuan muda yang hendak melahirkan
itu."
Habis berkata begitu orang berjubah membuat gerakan
mengusap di depan wajah dan tubuh Tuminah. Tangan kanan
kemudian diusapkan ke wajah dan tubuhnya sendiri. Saat itu
juga wajah dan sosok orang ini berubah menjadi wajah dan
sosok sama dengan Tuminah si dukun beranak!
Tuminah sampai keluarkan seruan tertahan saking kagetnya.
Suaminya Aki Jarot berteriak menyuruhnya menjauhi orang aneh
itu. Namun Tuminah seperti tak berkuasa beranjak dari
tempatnya.
Dengan tangan kanannya Deewana Khan mengambil susur
yang dipegang Tuminah, lalu dimasukkan ke dalam mulut
langsung dikunyah-kunyah!
"Ujud kita sama. Aku akan mewakilimu menolong Sulin
melahirkan." Lelaki tinggi besar yang berubah menjadi Tuminah
itu suaranya kini berubah menjadi suara perempuan, bahkan
suara itu sama benar dengan suara si dukun beranak. "Sebelum
aku pergi ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Kalian
suami istri tidak pernah bertemu denganku, tidak akan pernah
memberi tahu siapapun apa yang terjadi malam ini di tempat ini.
Kalau hal itu kalian langgar, akan ada kutuk penyakit yang
membuat kalian berdua menemui ajal secara sengsara. Namun
jika kalian mematuhi, berkah besar akan menjadi bagian kalian."
Deewana Khan alias Tuminah palsu memasukkan sesuatu
ke dalam genggaman tangan kanan Tuminah. Ketika perempuan
ini memperhatikan ternyata benda itu adalah sekeping perak.
Sepasang mata Tuminah berkilat-kilat
"Itu pembayar kebajikan hendak menolong orang." kata
Tuminah jejadian.
"Tapi...tapi aku belum melakukan apa-apa. Aku belum
menolong Sulin melahirkan."
"Budi baik dan kebajikan tidak selalu diperlihatkan dengan
pekerjaan nyata. Niat yang luhur dalam hati sudah merupakan
satu pahala besar. Ibu. kau dan suamimu kembalilah ke
Sumberejo."
Habis berkata begitu Tuminah palsu angkat tangan kirinya
ke atas. Tahu-tahu di tangan itu sudah ada kitab yang tadi
dibaca sewaktu ujudnya masih merupakan lelaki tinggi besar.
Kitab dikembang, tubuh diputar. Sambil membaca kitab
Tuminah palsu melangkah pergi. Hanya sesaat saja tubuhnya
kemudian lenyap di telan kegelapan malam.
Saat itu Aki Jarot merasakan ke dua kakinya enteng dan
bisa digerakkan lagi. Secara bersamaan sapi yang terduduk di
tanah perlahan-lahan bangkit berdiri. Aki Jarot cepat menemui
istrinya.
"Apa yang tadi diberikan orang itu padamu?" tanya Aki
Jarot pada istrinya.
Tuminah buka genggaman tangan kanannya, memperlihatkan
kepingan perak yang berkilau di dalam kegelapan. Aki Jarot
sampai terbeliak.
Luar biasa. Kita jadi orang kaya Bune! Siapa sebenarnya
orang tadi? Dia bisa merubah ujud menyerupai dirimu!"
"Pakne. baiknya kita lekas-lekas tinggalkan tempat ini.
Kembali ke Sumberrejo."
"Tunggu dulu." jawab sang suami. "Aku tadi mendengar
orang itu mengatakan dia yang hendak menolong Sulin
melahirkan. Aku kawatir..."
"Aku juga kawatir. Kawatir kalau mahluk jejadian itu
sebenarnya adalah mahluk halus hantu pelayangan..." Tuminah
merasa tengkuknya dingin dan memegang tangan suaminya
erat-erat.
"Aku menduga orang tadi adalah tukang sihir jahat yang
hendak melakukan sesuatu terhadap Sulin. Mungkin dia hendak
membunuh perempuan itu atau bayinya Mungkin juga dia
hendak menculik bayi yang nanti dilahirkan Sulin
'Lalu apa yang kita lakukan sekarang'' Maunya aku kita
kembali saja ke Sumberrejo Kita sudah dapat rejeki besar..
"Kita bisa saja mendapat rejeki lebih besar" jawab Aki Jarot
Apa maksudmu Pakne?"
"Kita tidak kembali ke Sumberrejo. Tapi lanjutkan
perjalanan ke Tumpang. Kita harus tahu apa yang akan
dilakukan orang itu Jika benar dia hendak berbuat jahat kita
harus mencegah. Jika kita berbuat begitu pasti kau akan
dibujuknya dan diberi lagi tambahan kepingan perak!"
Rupanya perasaan serakah ketamakan sudah menyelinap
di hati Aki Jarot Sang istri yang tidak begitu suka dengan
sikap suaminya itu berkata.
"Tapi Pakne kalau kita ke Tumpang apa nanti tidak akan
membuat ricuh?''
'Ricuh? Ricuh bagaimana?'
'Apa kau tadi tidak mendengar? Orang Itu berkata agar
kita bersikap seolah tidak pernah bertemu dengan dia. Kita
dilarang memberi tahu apa yang terjadi di sini pada siapapun.
Kalau sampai kita melanggar akan ada kutuk penyakit yang
membuat kita sengsara bahkan menemui ajal "
"Bune kau percaya orang itu atau padaku suamimu? Lagi
pula kita berniat baik! Melindungi bayi Sulin dan Tajur dari
kemungkinan hendak diapa-apakan orang asing aneh itu!
Sudah, lekas naik ke gerobak. Kita berangkat ke Tumpang
sekarang juga"
Tuminah tidak bisa membantah. Setelah memasukkan
kepingan perak ke sebuah kantong kecil di balik siagen di
pinggangnya perempuan ini naik ke atas gerobak.
ENAM
BERSAMAAN dengan menyingsingnya fajar di ufuk sebelah
timur, dari sebuah rumah di desa Tumpang terdengar suara tangis
bayi, keras sekali. Itulah suara tangis bayi yang dilahirkan Sulin
dengan pertolongan dukun beranak Tuminah palsu.
"Bayimu laki-laki. Den Ayu Sulin," memberi tahu dukun beranak
yang disambut senyum bahagia serta perasaan syukur oleh Sulin.
Selesai bayi dibersihkan, diperlihatkan pada sang Ibu lalu
dibaringkan di sampingnya Suami Sulin. Tajurpambayan tidak
sabar lagi segera masuk ke dalam kamar. Dibelainya kepala dan
diciumnya kedua pipi puteranya itu lalu Tajur mencium kening
Sulin. Dengan hati-hati penuh kasih sayang Tajurpambayan
kemudian coba menggendong puteranya. Diam-diam Tuminah
pejamkan mata sesaat. Pikiran dan pandangan matanya
melanglang jauh keluar rumah. Hatinya berucap. "Untuk
sementara keadaan aman. Tapi pasti akan ada yang datang.
Aku harus berlaku waspada. Terutama menjelang putusnya
tali pusar bayi, saat berlangsungnya penirisan...."
"Ibu Tuminah, saya berterima kasih. Kau telah menolong
Kelahiran anak kami dengan setamat" Berkata Tajurpambayan.
Tuminah palsu alias perubahan ujud dari lelaki bernama
Deewana Khan tersenyum.
"Den Mas. anakmu laki-laki Apakah kau sudah menyiapkan
nama?" tanya Tuminah.
"Kami sudah sepakat kalau anak yang lahir seorang laki-
laki maka akan diberi nama Cakra. Karena dia lahir tepat pada
saat sang surya terbit maka kami memberikan nama tambahan
Mentari. Jadi namanya adalah Cakra Mentari."
"Nama yang sangat bagus." Memuji Tuminah. "Kalian pandai
memilih nama Cakra adalah satu senjata ampuh yang direstui para
Dewa sebagai pembasmi kejahatan dan pelindung mereka yang
lemah. Mentari adalah penorang jagat Puteramu kelak akan
menjadi seorang berkepandaian tinggi bijak yang mampu
menerangi hati setiap manusia yang ditemui dan dikenalnya
sehingga kedamaian akan tercipta dimuka bumi Ini"
Tajurpambayan hanya tersenyum dan mengangguk saja
mendengar ucapan dukun beranak Itu Karena dia hanya
memberi sekedar nama pada sang putera tanpa mengetahui
maknanya. Tiba-tiba di halaman rumah terdengar deru suara
roda gerobak disusul suara sapi melenguh Lalu menyusul suara
orang berteriak Wajah Tuminah dukun beranak palsu berubah
"Tajuri Kau ada di dalam rumah? Lekas keluarl Ada yang
hendak aku katakan padamul Cepat! Ini menyangkut
keselamatan bayimu!"
Sulin terkejut Tajurpambayan kaget dan letakkan bayinya
di pembaringan. Tuminah palsu cepat mendahului keluar dari
rumah, tepat pada saat Aki Jarot melompat turun dari atas
gerobak sementara istrinya Tuminah asli tetap duduk di atas
gerobak, kelihatan bingung.
"Aki Jarot, kita sudah membuat perjanjian. Kau dan Istrimu
seharusnya kembali ke Sumberrejo. Mengapa datang ke sini?
Kau merusak semua tugas yang harus aku laksanakan."
Tuminah palsu menegur.
"Aku....Aku menduga kau punya maksud tidak baik
terhadap Sulin dan bayinya..."
"Maksud tidak baik apa? Jangan kau berprasangka buruk.
Bayi itu telah lahir dengan selamat Aku minta kau segera pergi
bersama istrimu sebelum Tajurpambayan keluar dan melihat
keanehan ini."
"Jika itu maumu baiklah. Aku akan segera pergi. Tapi aku
minta tambahan hadiah." Jawab Aki Jarot.
Tuminah palsu menatap wajah lelaki di hadapannya. Kepalanya
digeleng-gelengkan tanda dia tidak senang dengan sikap orang
itu. Namun kemudian tangan kanannya diulurkan. Entah dari
mana datangnya di tangan itu sudah terpegang sekeping perak
lalu diserahkan pada Aki Jarot
"Cuma satu keping?! Aku minta tambahan satu keping lagi!"
kata Aki Jarot dengan serakahnya.
Tuminah palsu kembali menatap muka Aki Jarot. Dalam
hati dia berkata bagaimana mungkin ada manusia seperti ini.
Namun kemudian untuk kedua kalinya dia mengulurkan tangan
menyerahkan tambahan sekeping perak yang diminta.
"Lekas pergi sebelum lelaki itu keluar..." berkata Tuminah
palsu.
Tapi terlambat. Saat itu Tajurpambayan telah keluar dari
dalam rumah. Begitu sampai di halaman dia terheran-heran
melihat ada dua Tuminah. Yang pertama yang berdiri di depan
Aki Jarot sedang yang kedua duduk di atas gerobak.
Tuminah palsu merasakan sekujur tubuhnya bergetar.
Hatinya berucap. "Pertanda buruk. Agaknya akan terjadi
sesuatu di luar rencana. Aku tak bisa merubah ujud sebelum
malam tiba. Lebih baik saat ini aku melenyapkan diri saja. Aku
harus menjaga bayi itu sampai tali pusarnya putus. Aku harus
mengamankan Cakra Mentari sewaktu berlangsungnya titisan
Suma Mahendra."
"Hai!” Tajurpambayan yang tengah terheran-heran terkejut
sekali ketika melihat sosok dukun beranak Tuminah yang berdiri
di hadapan Aki Jarot lenyap tak berbekas. Dia memandang
pada Aki Jarot. "Tadi jelas-jelas kulihat ada ada dua. Lalu
kemana lenyapnya yang satu? Aki, Tuminah istrimu tadi kulihat
ada dua. Satu berdiri di sini satunya yang duduk di atas gerobak
itu..."
"Tajur, Tuminah istriku cuma satu." menyahuti Aki Jarot
Dia segera saja mendapat akal memberikan jawaban. "Kau
mungkin hanya melihat bayang-bayang karena keletihan
semalaman menunggui istrimu. Mana mungkin ada dua
Tuminah! Aku datang menjemput istriku. Lihat, dia sudah
duduk di atas gerobak Aku ucapkan selamat karena sekarang
kau sudah punya momongan. Jaga bayimu baik-baik. Kami pergi
dulu.." Aki Jarot naik ke atas gerobak
"Aki, tunggu. Aku belum membayar istrimu...." Tajurpambayan
masuk ke dalam rumah. Namun ketika keluar lagi Aki Jarot dan
gerobaknya serta Tuminah tak ada lagi di halaman.
Tajurpambayan tegak termangu. "Heran," ucapannya sendirian.
"Waktu muncul malam tadi dukun beranak itu sendirian. Ketika
suaminya datang katanya hendak menjemput tiba-tiba salah
satu sosok dukun beranak itu mendadak lenyap. Tadi Aki Jarot
berteriak hendak mengatakan sesuatu padaku. Tentang
keselamatan bayiku. Aku lupa menanyakan, dia keburu pergi
Aku tak mengerti. Ada apa ini?" Tajurpambayan merasa kawatir
lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah.
***
SETELAH sekian lama berdiam diri. sampai di luar desa
Tumpang baru Aki Jarot berkata.
"Bukne, aku merasa letih. Tubuhku terasa agak panas. Kita
perlu mencari tempat yang baik untuk istirahat barang
sebentar."
"Aneh, aku juga merasa panas," menyahuti Tuminah.
"Jangan-jangan kita ini mau kena demam."
"Aku tahu ada sebuah telaga di satu kaki bukit kecil. Tak
jauh dari sini. Kita kesana. Berendam dulu barang beberapa
lama biar sejuk..."
Hawa paras aneh yang dirasakan dua suami istri itu semakin
lama semakin tak tertahankan. Karenanya begitu sampai di tepi
telaga kedua orang ini langsung mencebur masuk ke dalam air,
berendam sebatas leher. Sesekali mereka menyelamkan kepala.
Ketika terakhir kali menyembulkan kepala dan dalam air, Aki
Jarot dan Tuminah sama-sama terkejut Mereka mencium bau
wangi. Lalu mereka melihat Di atas air telaga sekitar mereka
mengambang bertaburan puluhan bunga kecil berwarna putih
kekuningan.
"Bunga tanjung...." ucap Aki Jarot
Tuminah memandang berkeliling. Tak ada pohon tanjung
sekitar telaga. "Aneh, dari mana datangnya?"
"Bune, hatiku merasa tidak enak. Ayo kita naik, cepat-cepat
pulang ke Sumberrejo."
Ketika suami istri itu sampai di rumah mereka di Sumberrejo.
hawa panas terasa semakin hebat Selain itu mereka dapatkan
ada benjolan-benjolan merah di wajah, badan serta anggota
tubuh mereka. Gatalnya bukan main. Setiap digaruk benjolan
itu pecah mengeluarkan nanah.
"Pakne, apa yang terjadi dengan kita?" Tuminah ketakutan
setengah mati.
"Aku tidak tahu Bu" Jawab Aki Jarot Ketika membuka bajunya
dia tiba-tiba ingat pada dua keping perak yang didapat dari
Tuminah palsu. Dua keping perak itu dikeluarkannya dari kantong
celana. Alangkah terkejutnya lelaki Ini ketika mendapatkan dua
keping perak telah berubah jadi batu.
"Aku tak percaya!" seru Aki Jarot sambil menggaruk yang
membuat dua benjolan di tubuhnya pecah.
Melihat apa yang terjadi Tuminah keluarkan pula kepingan
perak yang disimpannya dibalik setagen. Ternyata kepingan
perak inipun sudah berubah menjadi batu.
"Pakne, mungkin ini akibat karena kita melanggar apa yang
dikatakan orang tinggi besar berjubah hitam itu. Aduh Pakne,
aku tak tahan Rasanya mau leleh. Tubuhku panas. Gatal...."
Tuminah gulingkan diri di lantai. Suaminya melakukan hal yang
sama. Karena tidak tahan oleh rasa panas dan gatal, kedua
orang ini kemudian lari keluar rumah sambil menjerit-jerit.
Tetangga berdatangan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa
karena Aki Jarot dan Tuminah sudah tergeletak tak bergerak di
tanah. Wajah dan tubuh mereka berselomotan darah dan
nanah Perjanjian telah dilanggar. Keserakahan telah diumbar!
***
HARI ke sebelas setelah kelahiran Cakra Mentari. Sore itu
ketika Tajur pulang dan ladang, Sulin memberi tahu bahwa tali
pusar putera mereka telah putus. Malam barnya hujan turun
lebat Angin cukup kencang membuat udara terasa dingin.
Cakra Mentari tidur nyenyak diapit ayah dan ibunya.
Menjelang tengah malam, ketika hujan mulai reda, di
halaman samping rumah Tajur berkelebat satu bayangan hitam.
Orang Ini bertubuh tinggi besar, mendekam di balik pohon.
Tangan dilipat di atas dada, sepasang mata menatap mengawasi
rumah kayu di hadapannya, memperhatikan mulai dari atap
bangunan sampai ke dinding sebelah bawah yang bersentuhan
dengan tanah. Lalu dia sapukan pandangan ke langit lepas.
Telinga di pasang tajam-tajam. Setelah yakin segala sesuatunya
berada dalam keadaan aman, orang ini yang bukan lain adalah
Deewana Khan pejamkan mata, pusatkan pikiran. Di pelupuk
matanya terbayang kawah Gunung Bromo.
“Stt..sstt...stttl"
Tiba-tiba di langit kelam berkiblat tiga kali cahaya terang.
Deewana Khan buka kedua matanya.
"Titisan datang..."
Hidungnya mencium bau harum bunga. Di langit sebelah
timur tampak puluhan bahkan mungkin ratusan bunga tanjung
melayang memancarkan cahaya terang seperti kunang-kunang.
Di atas atap rumah kediaman Tajurpambayan dan Sulin, bunga
tanjung berputar-putar membentuk lingkaran. Lalu satu persatu
bunga berkilau itu melesat menembus atap rumah, masuk ke
dalam kamar dimana Cakra Mentari tertidur lelap bersama kedua
orang tuanya. Bunga tanjung secara aneh menyusup masuk ke
dalam tubuh bayi lelaki ini. Satu demi satu, sekuntum demi
sekuntum tanpa si bayi terusik dari tidur nyenyaknya.
Saat hal aneh itu berlangsung tiba-tiba dari arah barat ada
satu cahaya merah berkelebat Sesaat kemudian seorang tinggi
kurus mengenakan jubah merah bermantel merah, berkepala
botak dan memiliki tanduk seperti cula badak muncul di tempat
itu. Dia langsung berdiri di atas atap bangunan. Dua tangan
dikembang lalu mantel merah dikebutkan.
"Wuuttt!"
Sinar merah berkiblat. Ratusan bunga tanjung yang melayang
berputar di udara di atas atap bergoyang hebat Beberapa di
antaranya terpental. Sebagian luruh ke tanah sebagian bergabung
lagi dengan bunga tanjung lainnya dan kembali melayang
berputar, lalu seperti tadi melesat menembus atap.
Orang bertanduk di atas atap kembali hendak mengebutkan
mantel merahnya. Saat itu Deewana Khan telah melesat ke atas
atap seraya membentak.
"Rajip Kupal. Jin pembawa bahala. Siapa yang memerintahmu
datang ke tanah Jawa ini?l"
Orang bermantel yang disebut dengan nama Rajip Kupal
dan dicap sebagai jin pembawa bahala keluarkan suara
menggembor lalu menyeringai. Lidah terjulur serta barisan gigi
besar runcing berwarna merah seperti dilapisi lelehan darah.
"Kau mengenali diriku itu sudah cukup. Kau tak layak
bertanya siapa yang memerintahkan aku datang ke sini.
Sebaliknya siapa yang mengutusmu hingga berani-beraninya
berada di tempat ini?l Kau rupanya sudah mendekam sejak
lama, sengaja menghadangku!"
Deewana Khan sunggingkan senyum mengejek.
"Bangsa jin berada dibawah telapak kaki manusia
Jadi tidak pantas kau menanyai diriku. Lekas menyingkir dari
tempat ini atau dengan izin para Dewa aku akan
membenamkanmu ke dasar neraka ke tujuh!"
Rajip Kupal tertawa gelak-gelak. Dengan suara lantang dia
membentak.
"Deewana Khan! Kaulah yang harus segera angkat kaki
dan sini. Atau kulumat tubuhmu sekarang jugal"
TUJUH
AHLUK jin Rajip Kupal pegang tanduk di kepalanya dengan
tangan kiri lalu mulut keluarkan suara menggembor. Saat itu juga
asap merah mengepul dari batok kepala yang botak plontos dan
tubuhnya berubah besar serta tinggi tiga kali sebelumnya. Dua
tangan menjulai sampai menyentuh tanah. Dua tangan ini tiba-
tiba berkelebat ke leher Deewana Khan. Siap mencekik dan
mematah hancur leher itu
Deewana Khan cepat jentikkan Ibu jari dan jari tengah
tangan kanannya hingga mengeluarkan suara berkelik. Saat
itu pula tubuhnya berubah besar dan tinggi, jauh lebih tinggi
dari sosok Rajip Kupal. Kepala menembus awan gelap. Sekail
Deewana Khan menggerakkan dua tangan menangkis serangan
lawan, benturan keras dua pasang lengan membuat Rajip Kupal
terhuyung-huyung. Selagi mahluk jin Ini berusaha mengimbangi
diri tendangan kaki kanan Deewana Khan bersarang di perutnya.
Rajip Kupal meraung setinggi langit Tubuh terpental
belasan tombak. Perut pecah. Isi perut berkelojotan keluar,
menjela di tanah.
"Jahanam Deewana Khan! Terima pembalasanku!" Teriak
jin pembawa bahala Rajip Kupal. Tangan kanannya bergerak.
Selarik sinar merah menyambar luar biasa cepat ke arah langit.
"Cahaya Dewa Langit Ke Tujuh!" teriak Deewana Khan
kaget bukan main. "Jin pembawa bahala! Bagaimana kau bisa
menguasai ilmu itu. Kau mencuri dari...." Sambil berteriak
Deewana Khan cepat menghindar selamatkan kepalanya dari
serangan lawan. Namun terlambat Gerakannya menjadi lamban
karena ada getaran di kaki yang berasal dari hawa aneh yang
disebar Rajip Kupal.Sesaat kemudian terdengar jeritan
Deewana Khan. Dia tak sempat mengelak. Mata kanannya kena
dihantam sinar merah hingga hancur dan meninggalkan lobang
besar dikucuri darah. Deewana Khan totok pelipisnya kiri kanan
lalu susutkan tubuh kembali melompat turun ke tanah. Dua
tangan dipentang, siap menghantam dengan sepasang pukulan
sakti.Tapi Rajip Kupal tak ada lagi. Yang tinggal hanya isi
perutnya yang tergeletak di tanah, berbusaian bergerak-gerak
mengerikan.
Di atas atap rumah kediaman Tajurdan Sulin ratusan bunga
tanjung masih melayang berputar-putar. Seperti tadi kembali
melesat masuk ke dalam rumah, terus menyusup ke dalam tubuh
Cakra Mentari.
Di bawah pohon besar. Deewana Khan rangkapkan dua
tangan di depan dada, mata setengah terpejam dan perlahan-
lahan mulutnya berucap.
Mahluk penitisan, datanglah. Para Dewa telah memberkatimu
untuk masuk ke dalam tubuh bayi bernama Cakra Mentari.
Namanya Cakra Mentari Cakra Mentari...."
Baru saja Deewana Khan selesai berucap dalam hati begitu
rupa, tiba-tiba langit menghitam membuat keadaan gelap luar
biasa. Angin berhenti bertiup. Kesunyian mencengkam seluruh
kawasan. Di dalam kegelapan, dari arah timur tampak seberkas
cahaya melayang ke biru-biruan. Sampai di atas atap rumah
kelihatan cahaya itu ternyata keluar dari satu sosok mahluk
berujud manusia mengenakan pakaian serba hitam
Deewana Khan letakkan dua telapak tangan di atas dada
lalu membungkuk dalam-dalam. Dia baru mengangkat kepala
dan luruskan tubuh setelah mahluk di atas atap perlahan-
lahan melayang ke bawah, menembus atap rumah dan lenyap
dari pemandangan.
Di dalam rumah semua keributan yang terjadi di luar
membuat Tajur dan istrinya terbangun. Anehnya sang bayi terus
saja tertidur lelap. Begitu membuka mata kedua suami istri itu
sama-sama terkejut melihat ada benda-benda kecil putih
kekuningan melayang dari atas langit-langit kamar, masuk dan
lenyap ke dalam tubuh bayi mereka. Udara di dalam kamar
berbau bunga harum mewangi.
Sulin terpekik ketakutan. Dia dan suaminya berusaha
melindungi bayi mereka dari benda-benda yang masuk ke dalam
tubuh namun dua-duanya sama-sama tidak bisa bergerak.
Yang bisa mereka perbuat hanyalah menyaksikan apa yang
terjadi dengan mata terbeliak penuh takut Cukup lama hal itu
berlangsung. Ketika tak ada lagi benda yang melayang masuk
ke tubuh Cakra Mentari tiba-tiba dari atas langit-langit kamar
melayang turun satu sosok yang dibungkus cahaya aneh terang
kebiru-biruan, hingga Tajur dan Sulin dapat melihat jelas wajah
dan pakaiannya.
Mahluk ini adalah seorang pemuda berambut hitam sebahu,
mengenakan pakaian hitam berbunga-bunga. Wajahnya
tampan, memelihara kumis kecil, janggut dan cambang bawuk
tipis rapi. Mahluk ini bukan lain adalah perujudan gaib Suma
Mahendra yang hidup ratusan tahun silam di masa berdirinya
Kerajaan Singosari. Seperti yang pemah diucapkan Suma
Mahendra pada pamannya Darmasewara di kawah Gunung
Bromo, malam itu roh Suma Mahendra tengah melakukan
penitisan, masuk ke dalam bayi Cakra Mentari, putera
Tajurpambayan dan Sulin.
Sementara sosok gaib Suma Mahendra perlahan-lahan
melayang turun siap untuk memasuki tubuh Cakra Mentari,
di luar rumah busaian isi perut jin Rajip Kupal bergulung ke
udara, mengepulkan asap hitam. Dan balik asap itu kemudian
menyembul sosok sang jin. Deewana Khan yang menyaksikan
kejadian itu terkejut sekali. Tidak menyangka kalau dari sisa-
sisa isi perutnya jin pembawa bahala bisa muncul
memperlihatkan diri kembali.
"Pasti dia hendak menghadang dan menghancurkan roh
penitis. Aku harus menyingkirkan mahluk ini untuk selama-
lamanya!" Sosok Deewana Khan naik ke udara setengah
jengkal hingga dua kakinya tidak lag! menginjak tanah. Dua
tangan dipukulkan ke depan. Dua larik sinar biru menyembur
lalu bergulung membentuk api biru.
Rajip Kupal berteriak marah. Tangan kiri melepas pukulan
menangkis yang mengeluarkan cahaya hitam, tangan kanan
mengebut mantel membersitkan cahaya merah.
"Asalmu dari alam rohl Karenanya kau harus kembali ke
alam roh. Kau tidak akan keluar lagi ke alam manusia untuk
selama-lamanya!" teriak Deewana Khan.
"Wusssl"
Api biru menyambar membakar Rajip Kupal. Dia berusaha
memadamkan api yang membuntalnya dengan berbagai cara
namun sia-sia. Dalam keadaan terbakar sosoknya melesat ke
langit diringi raung panjang menggidikkan.
Di dalam kamar Tajur dan Sulin berpekikan ketika melihat
bagaimana sosok pemuda aneh yang melayang dari atas langit-
langit kamar berubah seperti selendang bercahaya kebiruan
lalu perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh bayi mereka.
"Mahluk jahat! Tidakl" teriak Tajur.
"Jangan!" pekik Sulin.
Bersamaan dengan lenyapnya cahaya biru masuk ke dalam
tubuh Cakra Mentari, Tajur dan Sulin mendadak sontak mampu
menggerakkan badan. Sulin cepat menggendong bayinya yang
saat itu telah terjaga dan menangis keras Tubuh sang bayi
terasa hangat dan keningnya penuh keringat. Tajur seka
keringat di kening puteranya lalu berkata pada istrinya.
"Sulin, kau tunggu di sini. Tadi aku mendengar suara ribut
di luar rumah. Aku mau memeriksa. Pasti ada hubungannya
dengan peristiwa aneh yang terjadi dengan anak kita."
"Aku takut Mas. Hati-hati. jangan lama-lama..."
Sebelum keluar Tajurpambayan mengambil sebilah golok
yang tersisip di dinding dekat tempat tidur. Tajur keluar dari
kamar langsung membuka pintu depan. Kegelapan, kesunyian
dan hawa dingin menerpa lelaki muda ini. Tiba-tiba entah dari
mana munculnya tahu-tahu di hadapannya telah berdiri seorang
lelaki tinggi besar. Berjubah dan bersorban hitam. Bercambang
bawuk. berjanggut dan berkumis hitam berkilat. Yang membuat
Tajur tersurut gemetar dan hendak berteriak adalah ketika dia
melihat mata kanan orang itu yang hanya merupakan rongga
besar, dipenuhi cucuran darah. Tajur langsung lunglai. Tangan
kanan yang memegang golok tidak berdaya seolah lumpuh.
"Hantu. Tolong....!"
Orang di hadapan Tajur cepat menutup mulut lelaki itu.
“Tajurpambayan, dengar baik-baik. Namaku Deewana Khan
Aku bukan hantu. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya
ingin menyerahkan sesuatu padamu." Dari balik jubah hitam
besar orang ini keluarkan kantong kain. "DI dalam kantong ini
ada sebuah kitab. Kitab Jagat Pusaka Dewa. Di dalam kantong
juga ada seperangkat pakaian hitam dan ikat kepala kain merah.
Jika puteramu telah berusia dua puluh empat tahun berikan
kitab ini padanya. Suruh dia membaca dan mempelajari Isinya.
Kitab Ini berisi ilmu dahsyat yang tidak sembarang orang
mampu memilikinya. Puteramu dengan mudah bisa menguasai
ilmu yang tersimpan dalam kitab karena dia barusan telah
ketitisan seorang sakti mandraguna bernama Suma Mahendra,
yang hidup di masa berdirinya Kerajaan Singosari ratusan tahun
silam. Serahkan juga seperangkat pakaian ini pada puteramu.
Dia harus mengenakan pakaian ini. Selanjutnya ada petunjuk
yang bisa diikutinya, tertulis di dalam kitab. Simpan kitab ini
baik-baik. Jangan sekali-kali sampai ada satu orangpun
mengetahui kalau kau memiliki kitab Jagat Pusaka Dewa ini.
Termasuk Istrimu. Puteramu kelak akan menjadi seorang sakti
mandraguna yang akan sangat berguna bagi rakyat banyak
dan Kerajaan."
Dalam takutnya Tajur tidak menyambut! kantong kain yang
diserahkan Deewana Khan. Tak mau menunggu Deewana Khan
letakkan kantong kain di tanah di depan kaki Tajur. Lalu sekali
berkelebat orang tinggi besar ini lenyap dari pandangan mata
Tajur.
Untuk beberapa lamanya Tajurpambayan masih tegak tak
beranjak dari tempatnya. Dia baru sadar ketika istrinya
memanggil berulang kali. Tajur bingung. Dia hendak masuk ke
dalam tapi ingat dan melihat pada kantong kain di depan
kakinya Dia membungkuk mengambil kantong namun tak berani
membawa masuk ke dalam rumah. Kantong itu kemudian
dimasukkannya di bawah atap rumah.
Hanya sesaat setelah Tajur masuk ke dalam, di langit di
arah tadi lenyapnya jin pembawa bala Rajip Kupal, tiba-tiba
kelihatan cahaya biru. Cahaya biru ini adalah api yang
membuntal satu sosok yang bukan lain adalah jin Rajip Kupal
yang dalam keadaan sakarat masih bisa turun kembali ke arah
rumah Tajur. Di tangan kiri dia membawa sebuah kitab. Dengan
gerakan cepat dia mengambil kantong kain yang disusupkan
Tajur di bawah atap. Kitab Jagat Pusaka Dewa diambil dan
ditukar dengan kitab yang dibawanya. Rajip Kupal kemudian
melesat kembali ke langit membawa Kitab Jagat Pusaka. Kitab
ini kemudian ikut terbakar dan musnah bersama sosok Rajip
Kupal.
***
DUA PULUH EMPAT tahun setelah terjadinya
peristiwa hebat yang dialami oleh Tajurpambayan bersama
istrinya di Tumpang. Hari itu Tajur bangun pagi-pagi sakali.
Dia bermaksud hendak menemui dan bicara dengan puteranya
Cakra Mentari yang kini telah berusia dua puluh empat tahun.
Setelah sekian tahun berlalu ternyata kedua suami Istri itu hanya
dikarunia seorang anak yaitu Cakra Mentari yang kini telah
menjadi seorang pemuda remaja. Maksud sang ayah menemui
Cakra ada hubungannya dengan bungkusan berisi kitab dan
pakaian yang pernah diterimanya dari Deewana Khan. Sejak
kantong disembunyikannya di bawah atap rumah. Tajur tidak
pernah menyentuh benda itu. Apa lagi memeriksa isinya apa
benar ada kitab serta seperangkat pakaian. Dia merasa takut
kalau-kalau saat memeriksa mahluk bermata satu menyeramkan
itu bba-tiba muncul di hadapannya. Selain itu sesuai ucapan
orang, dia tidak ingin istrinya mengetahui kantong kain
itu.Namun pagi itu dia tidak melihat puteranya. Menurut
istetinya Cakra pergi ke Kotaraja malam tadi. Kalau ke Kotaraja
biasanya dia selalu menginap di rumah salah seorang
sahabatnya.
"Kalau tahu dia pergi ke Kotaraja dan menginap di sana
seharusnya aku mencegah. Ada hal penting yang hendak aku
bicarakan dengan dia pagi ini." Berkata Tajur.
"Mengenai jabatan yang ditawarkan Patih Kerajaan
padanya?" tanya sang istri.
Tajur menggeleng. "Cakra sudah memberi tahu dia tidak
menginginkan jabatan sebagal Perwira Kerajaan itu. Anak itu
aneh. Katanya dia tidak tahu kalau punya ilmu kepandaian silat
serta kesaktian. Tapi utusan Patih Kerajaan Ki Demang Surta
pernah bicara padaku kalau Cakra punya Ilmu hebat luar
biasa. Dibanding dengan Ilmu yang dimiliki Patih Kerajaan,
ilmu sang patih ketinggalan jauh.Selain itu aku banyak
mendengar kabar kalau Cakra sering membasmi orang-orang
jahat termasuk orang-orang yang jadi musuh Kerajaan. Belum
lama ini kabarnya dia pernah menangkap seorang tokoh silat
istana yang punya niat hendak membunuh Sri Baginda. Sri
Baginda berulang kali mengirim orang meminta Cakra
menemuinya. Namun anak itu selalu menghindar. Selain itu
aku dengar dia juga menjadi pembicaraan belasan gadis cantik.
Banyak yang jatuh hati padanya. Tapi anak itu lebih suka
berkumpul dengan teman-teman lelaki sebayanya dari pada
memperhatikan gadis-gadis cantik Itu."
Tajurpambayan yang sudah mulai putih rambutnya
melangkah ke sumur untuk menimba air. Pada saat itulah tiba-
tiba serombongan penunggang kuda terdiri dari enam orang
memasuki halaman depan. Lima orang langsung berlompatan.
Masing-masing membekal golok besar di pinggang. Dari pakaian
serta tampang kelima orang itu yang kesemuanya ditutupi
cambang bawuk, kumis serta Janggut lebat tak terurus
Tajurpambayan segera maklum kalau mereka bukan orang baik-
baik. Ketika melihat kalung tengkorak kecil berwarna merah
terbuat dari kayu yang tergantung di leher ke lima orang itu.
Tajur mendadak menjadi dingin tengkuknya.
"Lima Tengkorak Darah..." ucap Tajur dalam hati. Pada
masa itu siapa yang tidak pernah mendengar tentang kelompok
lima penjahat yang menamakan diri Lima Tengkorak Darah.
Selama bertahun-tahun mereka malang melintang melakukan
Kejahatan, merampok dan menjarah harta benda rakyat menculik
anak gadis atau istri orang. Dalam melakukan kejahatan mereka
selalu bertindak cepat. Muncul dan menghilang. Kabarnya
mereka punya banyak tempat persembunyian. Kerajaan telah
berulang kali mengirimkan pasukan untuk menghancurkan Lima
Tengkorak Darah. Namun selalu mengalami kegagalan. Konon
ada orang-orang tertentu yang punya jabatan tinggi di Kerajaan
melindungi para penjahat ini. Untuk itu orang-orang tersebut
menerima sejumlah upeti yang membuat mereka menjadi kaya
raya sementara rakyat banyak menderita dan dilanda ketakutan.
Selain itu diketahui pula disamping mereka berlima yang
menamakan diri Lima Tengkorak Darah, Juga memiliki banyak
anak buah dan kaki tangan yang bertebaran di wilayah timur
terutama sekitar Pegunungan Tengger dan Pegunungan
Semeru.
Orang ke enam, satu-satunya yang tidak turun dan tetap
duduk di punggung kuda adalah seorang kakek berjubah biru.
Seperti pakaiannya rambut, kumis dan janggut lebatnya juga
berwarna biru. Walau sikapnya tenang-tenang saja namun
pandangan sepasang matanya tampak dingin. Kakek ini
bernama Janger Sawung namun lebih dikenal dengan julukan
Si Tangan Gledek. Julukan ini didapatnya karena dia memiliki
ilmu kesaktian di tangan kanan yang sanggup menghancurkan
benda sekeras apapun Setiap kali tangan itu memukul akan
terdengar suara berdentum seperti guntur menggelegar. Meski
diketahui Janger Sawung sering berhubungan dengan
kelompok penjahat Lima Tengkorak Darah, namun pihak
Kerajaan sepertinya belum mampu untuk turun tangan
menangkapnya. Dikabarkan pula bahwa Janger Sawung punya
banyak kerabat di kalangan tokoh nmba persilatan, termasuk
yang menjadi pembantu di Istana di Kotaraja.
"Ada apa manusia-manusia jahat in datang ke sini?" pikir
Tajur. Dia tidak mengenali siapa adanya kakek jubah biru. Tajur
cepat-cepat hendak masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang
untuk memberi tahu istrinya agar Jangan keluar. Namun salah
seorang dari lima orang itu yang bertubuh tinggi besar, bermata
belok merah laksana dikobari api dan ada cacat bekas luka di
kening berteriak. Agaknya dia adalah pimpinan dari Lima
Tengkorak Darah. Anak buahnya memanggilnya dengan nama
Kunto Api.
"Manusia itu pasti bapaknya! Seret dia kemari!"
Salah seorang dari empat anak buah Kunto Api melompat
ke hadapan Tajurpambayan. Orang ini lebih dulu hantamkan
satu jotosan ke muka Tajur hingga lelaki ini jatuh tertelentang.
Matanya yang kena dihajar serta merta lebam bengkak dan
merah. Rambutnya dijambak lalu diseret ke hadapan si berewok
tinggi besar Kunto Api.
Pimpinan Lima Tengkorak Darah Ini letakkan tangan kiri di
gagang golok lalu kaki kanannya berkelebat menendang dada
Tajurpambayan hingga orang ini mengeluh kesakitan.
"Apa salahku? Mengapa...."
"Diaammm!" bentak si tinggi besar. "Kami mencari anakmu
Cakra Mentari. Ada dimana dia?"
"Anakku...? Mengapa anakku? Aku tidak tahu dia berada
dimana..."
"Setan pendusta! Hanya orang tua gila yang tak tahu
dimanatkaknya berada!"
"Duukkk!"
DELAPAN
UNTUK kedua kalinya kaki kanan Kunto Api bersarang di tubuh
Tajurpambayan. Kali ini menghantam perut Tajur terguling,
menjerit namun tercekik karena secara berbarengan dia
muntahkan darah segar.
Saat itu Sulin keluar dari dalam rumah. Perempuan ini
memekik keras ketika melihat suaminya terkapar meliuk di tanah,
mulut bercelemong darah, mata kiri bengkak, Sulin menghambur
menghampiri Tajur lalu jatuhkan diri memeluk suaminya.
"Apa salah suamiku! Mengapa kalian menyiksanya?!" teriak
Sulin.
"Suamimu tidak bersalah. Anakmu yang berlagak jago tapi
kurang ajar. Mungkin bapaknya tidak mendldlk.Jadi pantas
kalau bapaknya diberi hajaranl"
Salah seorang anggota Lima Tengkorak Darah menjawab
sementara Kunto Api saat itu tegak sambil usap-usap dagu
yang ditumbuhi janggut Matanya menatap ke arah Sulin. Walau
berumur empat puluh tahun lebih namun Sulin masih
memiliki kecantikan alami dan tubuh yang sintal. Hal inilah
yang menarik perhatian Kunto Api. Apa lagi ketika perempuan
itu membungkuk. Kunto Api sempat melihat buah dadanya yang
putih membuyut besar dibalik kebaya serta betis bagus yang
tersingkap dari balik kain panjang, membuat kepala penjahat
ini tersengat nafsu bejatnya.
"Kunto, kami akan menggeledah rumahnya! Bisa saja
pemuda keparat itu sembunyi di dalam sana!" Seorang anak
buah Kunto Api bernama Jomblang berkata.
Kepala penjahat yang sudah dipagut nafsu mesum itu dan
cepat-cepat mau memboyong Sulin menjawab. "Tidak perlu.
Bapaknya tadi sudah berkata tidak tahu anaknya ada dimana.
Kalau dia berdusta akan tahu rasa sendiri. Jomblang, bawa
perempuan itu sebagai jaminan. Kita tunggu di air terjun
Cemoro fjo. Jika sampai besok pagi anaknya tidak menyerahkan
diri perempuan ini akan jadi imbalan penghibur bagi kita
semua!"
Penjahat bernama Jomblang maklum apa arti ucapan
pimpinannya. Kunto Api tidak akan menunggu sampai esok
pagi. Begitu sampai di air terjun Cemoro Ijo pasti akan langsung
menggagahi perempuan itu. Jomblang segera menarik Sulin
yang tengah memeluki suaminya Karena meronta memberikan
perlawanan Jomblang jadi tidak sabaran lalu menotok
perempuan itu. Dalam keadaan tak bisa bergerak Sulin
digeletakkan di atas punggung kuda. Perempuan ini berteriak
tiada henti hingga suaranya menjadi serak.
Tajurpambayan dalam menahan sakit coba berdiri dan
berusaha menolong istrinya. Namun Kunto Api lagi-lagi
menendangnya hingga dia Jatuh terjengkang. Tajur berusaha
bangun tapi roboh kembali. Lelaki malang Ini hanya bisa
kumpulkan tenaga dan berteriak.
"Jangan bawa istriku! Apa salah anakku! Apa yang telah
dilakukannya hingga kalian berbuat sekejam ini! Jika anakku
memang salah aku saja yang kalian bawa. Lepaskan Istriku!
Turunkan dia dari kuda itul"
Kunto Api menyeringai Sambil salah satu kaki menginjak
kepala Tajur dia berkata. "Malam tadi Cakra anakmu membunuh
empat orang anak buahku di hutan Klingkit Dia juga membawa
kabur harta rampasan..."
Habis berkata begitu Kunto Api melompat ke atas punggung
kuda. Empat anak buahnya mengikuti sementara Janger Sawung
alias Si Tangan Gledek senyum-senyum. Dia mendekati Kunto Api
lalu berkata.
"Perempuan itu cocok dengan seleraku. Kali ini aku minta
bagian paling dulu."
Kunto Api balas menyeringai. "Nanti kita atur di Cemara
Ijo," jawabnya. Janger Sawung tidak percaya ucapan kambratnya
itu. Yang sudah-sudah dia selalu kebagian nomor dua setelah
Kunto Api. Saat itu dia berpikir-pikir bagaimana caranya menipu
Kunto Api, memboyong dan mendapatkan Sulin lebih dulu.
Kunto Api memberi tanda. Semua orang menggebrak kuda.
Janger Sawung lebih dulu. Disusul Kunto Api. Lalu tiga
anggota Lima Tengkorak Darah dan terakhir sekali Jomblang
yang membawa Sulin.
"Tolong! Kembalikan istriku!" teriak Tajurpambayan. Dia
berusaha mengejar namun jatuh tersungkur di tanah.
Belum sempat semua orang jahat itu keluar dari halaman
rumah kediaman Tajurpambayan. tiba-tiba di sebelah belakang
terdengar ringkikan keras sekali. Orang-orang hentikan kuda
masing-masing dan menoleh ke belakang. Semua tercekat kaget
menyaksikan pemandangan mengerikan yang terpentang di
depan mata mereka,
Jomblang yang tadi berkuda membawa Sulin kini mengapung di
udara di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh dekat pintu
halaman. Tubuhnya terombang-ambing setengah berputar. Seutas
tali menjirat leher, membuat sepasang matanya terbeliak dan
lidah terjulur. Ujung lain dari tali yang menjirat Jomblang terikat
di salah satu dahan pohon besar. Mengerikan luar biasa! Siapa
yang telah menjirat menggantung Jomblang begitu rupa?
Sementara di atas pohon besar tidak terlihat seorangpun
beberapa kail lalu diam tak bergerak, hanya mengibas-ngibaskan
ekornya seolah tak ingin menjatuhkan Sulin dari punggungnya
yang bisa mencelakai perempuan yang berada dalam keadaan
tertotok itu.
"Bangsat jahanaml Siapa yang punya pekerjaan gila Ini?!"
teriak Kunto Api marah sekail. "Jangan sembunyil Cepat
unjukkan tampang"
Janger Sawung berkata setengah berbisik. "Hati-hati
Kunto! Agaknya kita berurusan dengan orang berkepandaian
tinggi. Tidak sembarang orang bisa menjirat dan menggantung
anak buahmu seperti itu!"
"Siapapun adanya manusia keparat itu akan kubelah
kepalanya!" sahut Kunto Api lalu cabut golok besar di
pinggang. Tiga anak buahnya segera mengikuti mencabut
senjata masing-masing. Janger Sawung usap-usap tangan
kanannya yang punya kemampuan mengeluarkan pukulan maut
Tangan Gledekl Sampai saat itu tidak seorangpun diantara
mereka terpikir untuk melepaskan Jomblang dari jiratan tali yang
menggantung lehernya!
"Tangan Gledek. aku akan memaksa bangsat yang
menggantung Jomblang keluar dari persembunyiannya! Kau
cepat tinggalkan tempat celaka ini! Bawa perempuan di atas
kuda itu! Tunggu aku di air terjun Cemoro Ijo."
Sebenarnya ini kesempatan baik bagi si kakek untuk
memboyong Sulin. Namun dia ingin sekali melihat sendiri siapa
adanya orang yang telah menggantung Jomblang begitu rupa.
Dia punya dugaan bahwa yang melakukan adalah Cakra Mentari,
putera Tajurpambayan. Dia sendiri belum pernah melihat
pemuda itu. Dia hanya mendengar cerita bahwa pemuda itu
memiliki ilmu sflat serta kesaktian tinggi Sampai sehebat itukah
kepandaiannya? Jika Cakra Mentari berhadapan melawan Kunto
Api maka ini merupakan pertarungan hebat yang patut
disaksikan.
Janger Sawung lalu berkata. "Kunto Api aku tidak menganggap
enteng ilmu kepandaianmu. Tapi seperti aku bilang tadi kita
berhadapan dengan orang berilmu tinggi. Aku sendiri ingin
melihat tampang orang itu. Aku punya dugaan dia adalah orang
yang kita cari. Pemuda bernama Cakra Mentari, anak
Tajurpambayan!"
Kunto Api tidak perdulikan ucapan orang. Dia memandang
ke berbagai jurusan, memperhatikan pohon besar. Tetap saja
dia tidak melihat orang yang dicarinya. Dalam gelegak amarah
melihat kematian anak buahnya dia melompat ke tempat
Tajurpambayan tergeletak. Dengan tangan kiri dia menjambak
rambut Tajur lalu disentakkan ke atas hingga orang itu tertegak.
Golok di tangan kanan dimelintangkan ditekankan ke leher Tajur
lalu dia berteriak.
"Cakra Mentari! Aku tahu kau ada di tempat ini. Jika kau
tidak segera unjukkan diri akan kugorok batang leher
bapakmu!"
Tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Sepasang mata merah
Kunto Api, juga mata tiga anak buahnya serta Janger Sawung
memandang berputar. Tidak satu orangpun kelihatan.
"Manusia keparat! Jangan kira aku mengancam kosong!
Lihatl"
Kunto Api gerakkan tangannya yang memegang golok.
Kulit leher Tajurpambayan tersayat Lelaki ini menjerit. Darah
mengucur dari goresan luka!
Pada saat itulah tubuh Jomblang yang masih tergantung
melayang-layang di udara tiba-tiba laksana ditiup angin
dahsyat melesat ke arah Tajur dan Kunto Api yang ada
dibelakangnya.
Kedua orang itu sama-sama terjengkang jatuh saling tindih,
Tajur di sebelah atas. Marah dan kalap Kunto Api memiting
leher lalu bacokkan golok besar ke kepala Tajur. Sulin yang
kali ini bisa menyaksikan kejadian itu dari atas kuda menjerit
keras.
"Jangan bunuh suamiku!"
Hanya sekejapan lagi kepala Tajurpambayan akan terbelah
tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat Satu tendangan
keras menghajar lengan yang memegang golok.
"Kraakk!"
Jeritan setinggi langit keluar dari mulut Kunto Api. Kepala
penjahat ini berguling di tanah lalu bangun, berdiri
terbungkuk-bungkuk sambil pegangi lengan kanannya yang
remuk. Di hadapannya berdiri seorang pemuda berwajah
cakap, mengenakan pakaian dan destar putih. Bibir dihias
kumis tipis, pipi tertutup berewok rapi dan dagu berjenggot
pendek.
"Cakra anakku!" seru Tajurpambayan. "Lekas pergi dari
sini. Orang-orang ini hendak membunuhmu!" Tajur tekap
lehernya yang berdarah.
Pemuda di hadapan Kunto Api gembungkan rahang. Pelipis
bergerak-gerak.
"Kau mencari dirikul Mengapa mencelakai ayah dan ibuku?!"
Dalam marahnya si pemuda masih bisa unjukkan sikap tenang.
"Kau...kau Cakra Mentari?" tanya Kunto Api terputus-putus
karena menahan sakit.
"Apa maumu?!" balik bertanya si pemuda yang memang
adalah Cakra Mentari, putera Tajurpambayan dan Sulin.
"Cakra! Lekas pergi dari slnil" Tajurpambayan kembali
berteriak.
"Ayah, tidak usah kawatir," jawab Cakra Mentari. Pemuda ini
melirik ke arah ibunya yang masih tertelungkup di punggung
kuda. Untuk sementara ibunya cukup aman. namun dia harus
cepat menolong karena keadaan bisa mendadak berubah. Cakra
Mentari berpaling pada Kunto Api.
"Aku tadi bertanya. Apa maumu! Apa pasal kau menyiksa
ayahku dan mau menculik ibuku! Ayo bicara!"
"Pemuda keparat! Malam tadi kau membunuh empat anak
buahku di hutan Klingklt. Kau juga menjarah barang rampasan..."
"Lalu?!" tanya si pemuda sambil berkacak pinggang.
Saat itu rasa sakit hancurnya lengan mencucuk sampai ke
dada. Kunto Api berteriak.
"Jahanam! Kenapa kalian diam saja! Bunuh pemuda
keparat ini!” Kepala penjahat itu marah sekali. Karena sampai
saat itu tiga orang anak buahnya masih tetap duduk di atas
kuda masing-masing, termasuk Janger Sawung alias Si Tapak
Geledek. Ke empat orang ini seolah terpana melihat apa yang
terjadi. Mereka tidak b.sa percaya pimpinan mereka yang
berkepandaian tinggi bisa dihajar dipecundangi begitu rupa
hanya dalam satu kali gebrakan saja. Tidak heran kalau ke
empat teman mereka malam tadi menemui ajal di tangan
pemuda ini.
Mendengar teriakan Kunto Api dua anak buahnya segera
menghunus golok dan melompat dari punggung kuda,
menghambur ke arah Cakra. Penjahat yang ketiga menggebrak
kudanya. Binatang ini dipacu lurus-lurus untuk ditabrakkan
pada pemuda berpakaian putih.
Tenang saja tapi dalam ketenangan mampu membuat
gerakan secepat kilat Kuda dan penunggangnya lewat Cakra
sudah berada di samping. Tangan kirinya melesat ke depan
menyambar tangan kiri penjahat Tidak disentakpun penjahat
itu akan terlempar ke udara. Apa lagi Cakra Mentari menyen-
takkan tangan itu. Tak ampun si penjahat melesat tinggi di
udara. Dia coba kerahkan ilmu meringankan tubuh agar bisa
jatuh di atas dua kaki. Namun dari tempatnya berdiri Cakra
angkat tangan kanan. Tangan diputar lalu ditopukkan ke tanah.
Di depan sana tubuh penjahat yang melayang ikut berputar
lalu braakkl Sesuai gerakan tangan Cakra orang ini jatuh ke
bawah, kepala menghantam tanah lebih dulu hingga rengkahi
Meskipun berada dalam ketakutan namun Tajurpambayan
tak habis heran menyaksikan apa yang terjadi. Dari mana
puteranya itu memiliki ilmu silat hebat. Dengan siapa dia
berguru?
Sementara itu dua orang anggota Lima Tengkorak Darah
yang bersenjatakan golok walau tercekat melihat kematian
sahabat mereka keduanya terus menyerang. Dua golok besar
berkelebat dari kiri dan kanan, sama-sama mengarah bagian
atas tubuh Cakra Mentari.
"Tololnya kalian! Mengapa saling bunuh teman sendiri?!"
Cakra Mentari berseru sambil kaki bergerak mundur satu
langkah, tubuh dlrundukkan sedikit dan bersamaan dengan
itu dua tangan melesat ke atas. Dua anggota Lima Tengkorak
Darah berteriak kaget ketika tangan kanan mereka dicekal lawan,
Lalu kedua tangan itu disentakkan ke samping. Akibatnya golok
penjahat yang dlsebeiah kanan membabat ke arah temannya di
sebetah kiri sedang golok penjahat yang di samping kiri menderu
ke arah temannya yang berada di sebelah kanan. Kedua orang
Ini kemudian sama-sama keluarkan jerit kematian. Yang satu
nyaris putus lehernya, yang satu lagi hampir terbelah kepalanya!
Keduanya ambruk ke tanah bermandikan darah.
Melihat apa yang terjadi Kunto Api yang dalam keadaan
remuk lengan kanannya, tidak menunggu lebih lama gerakkan
tangan kiri untuk mengeluarkan sesuatu dari balik pinggang.
Benda ini ternyata adalah sebilah keris berluk lima, berwarna
hitam legam. Sarung keris masih terselip di pinggang.
"Keris Ratu Demit!" seru Cakra Mentari yang rupanya
mengenali senjata itu.
"Ha ha! Keris curian dipakai untuk kejahatan!" Rupanya si
pemuda tahu pula riwayat senjata itu. Memang benar, Keris
Ratu Demit yang tergenggam di tangan kiri Kunto Api adalah
senjata curian.
Beberapa waktu lalu Kunto Api dan anak buahnya menjebol
dan menyusup satu ruangan rahasia di Keraton. Selain
menjarah barang-barang pusaka berupa perhiasan dia juga
berhasil mengambil senjata sakti mandraguna berupa sebilah
keris bernama Keris Ratu Demit Pihak Kerajaan beberapa kali
mengirim pasukan ke tempat-tempat yang diketahui menjadi
sarang Lima Tengkorak Darah. Namun mereka selalu terkecoh
dan tak berhasil menemui para penjahat. Selain itu keadaan
negeri yang selalu kacau akibat dendam di tahta Kerajaan yang
tak kunjung henti membuat mereka yang berkuasa seperti tidak
terlalu memusatkan perhatian untuk mendapatkan harta serta
benda pusaka yang dijarah. Termasuk Keris Ratu Demit yang
kini berada di tangan Kunto Api.
"Bagusi Kau mengenali senjata ini! Berarti kau sadar ajalmu
sudah di depan mata!"
“Wuuttt!"
Keris Ratu Demit berkiblat. Buntalan sinar hitam menyambar,
menutup pandangan disertai suara pekikan aneh, suara
perempuan. Cakra Mentari cepat bersurut mundur sambil
dorongkan telapak tangan kirinya. Sinar hitam berhasil
dibuyarkan namun buyaran sinar kemudian membentuk larikan-
larikan sinar baru banyak sekali hingga saat itu juga Cakra
Mentari berada dalam gulungan sinar. Ini sangat berbahaya
karena dia tidak mampu melihat di arah mana beradanya Keris
Ratu Demit.
“Breett”
SEMBILAN
DADA kanan baju putih Cakra Mentari robek besar. Untung tadi
dia sempat bergerak mundur hingga hanya pakaiannya yang
terkena sambaran ujung keris. Kalau tidak walau tubuhnya hanya
tergores pasti akan membawa celaka besar karena Keris Ratu
Demit mengandung racun jahat sangat mematikan.
Kunto Api yang berhasil merobek pakaian lawan kini jadi
lebih bersemangat Dia yakin dalam dua tiga jurus di depan dia
pasti akan dapat melukai dan membunuh pemuda itu. Sakit
tangan kanannya yang remuk seperti tidak dirasakan. Sambil
mengeluarkan bentakan-bentakan garang tangan kiri yang
memegang keris lancarkan serangan berantai. Senjata sakti itu
diputar, ditusukkan dan dibabatkan demikian rupa hingga
larikan sinar hitam laksana topan prahara menerpa Cakra
Mentari, membuat pemuda ini kelagapan. Merasa terdesak
Cakra Mentari angkat dua tangan ke udara mulut menghembus.
Serangkum angin dahsyat menyembur.Ketika larikan sinar
hitam terkuak dan dia dapat melihat jelas senjata di tangan
lawan. Cakra Mentari pukulkan dua tangan secara berbarengan
ke arah tangan kiri Kunto Api.
Dua larik cahaya biru menderu Hawa luar biasa panas
mendera seantero tempat hingga beberapa ekor kuda yang
masih ada di situ meringkik keras lalu lari keluar halaman
termasuk kuda dimana Sulin tergeletak dan juga kuda yang
ditunggangi Janger Sawung. Tajurpambayan bergulingan di
tanah, menjauh dan ajang pertarungan.
Janger Sawung usap wajahnya berulang kali. Sejak tadi
dia memperhatikan jalannya perkelahian nyaris tak berkesip.
Sebagai orang berpengalaman luas dalam rimba persilatan dia
tidak mengenali jurus-jurus silat yang dimainkan Cakra Mentari.
Dia juga tidak tahu pukulan sakti apa yang barusan dilepas
pemuda itu.
"Usia begini muda. Ilmu silat dan kesaktian luar biasa. Murid
siapa dia gerangan?" membatin Janger Sawung.
"Dessl Desss!"
Keris Ratu Demit bergetar hebat pancarkan cahaya kuning
ketika menangkis serangan dua larik sinar biru panas.
Sementara sinar hitam masih terus bergulung menelikung Cakra
Mentari.
"Taarr..Taaarr!"
Dua letusan keras menggelegar. Kunto Api menjerit. Dia
kalah kuat dalam tenaga dalam dan hawa sakti. Tubuhnya
mencelat dua tombak. Keris Ratu Demit terlepas mental.
Tercampak di tanah namun masih memancarkan larikan sinar
hitam. Tangan kiri Kunto Api dilamun api berwarna biru.
Bersamaan dengan jeritannya tadi entah dari mana terdengar
pula jeritan-jeritan aneh perempuan. Membuat suasana jadi
sangat menggidikkan. Larikan-larikan sinar hitam yang keluar
dari Keris Ratu Demit tiba-tiba lenyap, berubah menjadi sosok
lima demit rakseksi bertelanjang dada. Rambut hitam berkilat
awut-awutan, mata mendelik merah diberi cilak biru di
sekelilingnya. Bibir tebal merah mencuatkan taring besar dan
runcing. Secarik cawat hitam hanya itu yang menutupi aurat
mereka. Payu dara yang lebih besar dari buah kelapa bergoyang-
goyang kian kemari. Lima demit rakseksi ini sama-sama
keluarkan jeritan keras lalu serentak menyerang Cakra Mentari.
Sepuluh tangan berkuku panjang hitam berkelebat Siap untuk
membantai si pemudal
"Cakra! Lari!" teriak Tajurpambayan.
Tapi pemuda itu mana mau lari. Sambil melompat mundur
dia lepaskan dua pukulan tangan kosong. Lima mahluk demit
perempuan yang kena dihantam hanya bergoyang-goyang seperti
asap tertiup angin lalu sambil menjerit-jerit mereka kembali
menyerbu.
Sadar kalau dia tidak mungkin menghadapi mahluk jejadian
itu dengan dengan ilmu luar atau cara keras Cakra Mentari
kembali bersurut mundur beberapa langkah. Dua kaki
berjingkat tubuh terangkat ke atas hingga tidak menjejak tanak
Dua tangan diluruskan ke depan, telapak diusapkan satu sama
lain. Mulut berucap perlahan.
"Ilmu gaib harus dihadapi dengan ilmu gaib! Ilmu hitam harus
dilawan dengan ilmu hitam. Paman Suma Mahendra, melalui
rohmu kekuatan Para Dewa di atas segalanya!"
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara aneh seperti topan
berhembus mendatangi. Ranting pepohonan bergoyang-goyang,
daun-daun bergemerisik. banyak yang luruh ke tanah. Janger
Sawung yang menyaksikan kejadian itu kerenyitkan kening
menahan nafas. Dari sela-sela dua telapak tangan Cakra Mentari
mengepul keluar asap merah disertai menebarnya bau setanggi.
Lima dedemit perempuan yang hendak menyerbu si pemuda
hentikan gerakan, mendongak ke langit Begitu hidung mereka
kemasukan asap berbau setanggi, kelimanya menjerit keras.
Mereka bergerak mundur dengan wajah ketakutan ketika
kepulan asap merah yang keluar dari sela dua telapak tangan
Cakra Mentari berubah membentuk sosok raksasa berambut
dan berkulit merah. Kumis, cambang bawuk dan janggut lebat
hitam. Sekujur tubuh mulai dari leher, dada, pinggang sampai
ke kaki ditumbuhi bulu lebat warna kelabu. Deretan gigi besar
panjang berwarna merah mencuat keluar dari mulut Sepasang
mata keseluruhannya juga berwarna merah menatap mendelik
garang ke arah lima dedemit perempuan. Yang luar biasanya
mahluk ini muncul dalam keadaan bugil telanjang bulat Berdiri
di depan Cakra Mentari.
Lima dedemit perempuan yang hendak membantai pemuda itu
serta merta jatuhkan diri, berlutut di tanah, tampak sangat
ketakutan dan berbarangan mereka sama-sama berkata.
"Raja Demitl Ampuni kami”
Mahluk telanjang yang dipanggil Raja Demit menyeringai.
Lalu keluarkan ucapan.
"Jika kalian ingin menemui celaka, bersiaplah menerimanya
saat ini juga. Aku akan mengirim kalian ke alam gaib dan kalian
akan mendekam di sana untuk selama-lamanya. Tapi jika kalian
inginkan kenikmatan, jangan ganggu Cakra Mentari. Tanggalkan
pakaian kalian! Ikut bersamaku!"
Habis berkata begitu mahluk raksasa yang dipanggil
Raja Demit melangkah tinggalkan tempat itu. Lima dedemit
perempuan meraung. Mereka tanggalkan pakaian yang hanya
berupa cawat hitam lalu mengejar Raja Demit Dua diantaranya
melompat ke bahu kiri kanan demit raksasa. Satu lagi sambil
tertawa-tawa bergelantungan di leher, tubuh ditempelkan dan
dua kaki disilang di punggung Raja Demit. Di satu tempat
enam mahluk alam gaib itu melesat ke udara dan lenyap dari
pemandangan.
Melihat apa yang terjadi nyali Kunto Api si pemimpin Lima
Tengkorak Darah menjadi leleh. Tidak tunggu lebih lama dia
segera putar badan dan melompat ke punggung seekor kuda
lalu menghambur kabur dari tempat itu.
"Manusia jahatl Kau mau lari kemana?!" Teriak Cakra
Mentari. Tubuhnya melesat ke udara. Namun maksudnya
mengejar Kunto Api terhenti ketika mendadak di samping
kanan terdengar satu gelegar dahsyat disertai berkiblatnya
selarik sinar putih terang panas, menyambar ke arah Cakra
Mentari!
"Pukulan Tangan Gledek!" teriak Cakra Mentari sambil
secepat kilat jatuhkan diri ke tanah.
"Wuuuttt!"
Sinar putih lewat satu jengkal di atas tubuh Cakra Mentari
membuat punggung baju putihnya hangus dan tubuTnya panas
laksana dipanggang. Sinar putih itu kemudian melabrak
rumah orang tuanya dan wusss! Rumah kayu beratap ijuk itu
langsung tenggelam dalam kobaran api.
Cakra Mentari berteriak marah. Dia melompat bangun dan
melihat ada dua kuda kabur meninggalkan tempat itu. Yang
pertama ke arah barat ditunggangi Kunto Api. Satunya menuju
ke timur ditunggangi Janger Sawung alias Si Tangan Geledek
yang sekaligus memboyong ibunya.
Tidak tunggu lebih lama Cakra Mentari melompat ke atas
punggung seekor kuda lalu menggebrak binatang ini mengejar
Janger Sawung. Tajurpambayan tidak tinggal diam. Walau
sekujur tubuhnya terasa sakit lelaki ini mengambil Keris Ratu
Demit dan sarungnya yang tergeletak di tanah lalu naik ke atas
seekor kuda milik penjahat lainnya Ikut mengejar Janger
Sawung yang melarikan istrinya.
Cakra Mentari kenal betul wilayah kediamannya. Ketika melihat
Janger Sawung lari ke arah timur dia segera mengambil jalan
pintas. Tak lama kemudian dia muncul di satu jalan mendaki. Di
balik serumpunan semak belukar pemuda ini berhenti. Orang
yang melarikan ibunya pasti melewati jalan ini. Karena itu satu-
satunya jalan ke arah timur. Menunggu tidak terlalu lama Cakra
Mentari mendengar suara derap kaki kuda mendatangi. Ketika
kuda itu muncul ternyata tidak membawa penunggang. Tidak ada
Janger Sawung, juga tak ada ibunya.
Cakra Mentari jengkel sekali karena kena ditipu orang. Dia
berlomba dengan waktu sebelum ibunya diapa-apakan si kakek.
Tak lama kemudian Tajurpambayan sampai pula di tempat itu.
Cakra menerangkan apa yang terjadi
"Ayah tak usah kawatir. Pulanglah. Saya pasti bisa mengejar
dan menangkap tua bangka jahat itul"
"Tidak, aku ikut bersamamu sampai ibumu kita temukan."
Jawab sang ayah. "Aku mendengar para penjahat menyebut
satu tempat rahasia di air terjun Cemoro Ijo. Kakek berjubah
biru itu pasti membawa ibumu ke sana."
Cakra Mentari menggeleng. "Tua bangka itu tidak akan
berlaku sebodoh itu. Kita akan menemukannya. Pasti!" Pemuda
ini lalu angkat tangan kanannya ke udara. Mulutnya berucap.
"Jambul Ireng. Aku perlu bantuanmu!"
Saat itu juga di langit tampak melayang seekor burung.
Sambil menguik keras binatang ini menukik dan melesat turun
lalu hinggap di lengan kanan Cakra Mentari Burung ini ternyata
seekor elang berbulu putih yang tidak biasanya memiliki jambul
berwarna hitam.
"Seorang tua berjubah biru menculik ibuku. Tunjukkan
aku dimana manusia jahat itu berada."
Elang putih berjambul hitam yang disebut Jambul Ireng
menguik keras, rentangkan sayap lalu melesat ke atas. Di
udara burung ini berputar-putar beberapa kali lalu terbang
rendah ke arah timur. Cakra Mentari mengikuti dengan kuda
yang ditunggangi. Tajurpambayan terheran-heran melihat
ilmu kepandaian puteranya. Banyak yang ingin ditanyanya.
Namun saat itu dia hanya bisa berdiam diri dan mengikuti
sang anak.
Setelah kedua orang itu mengikuti beberapa lama Jambul
Ireng tiba-tiba melayang turun, hinggap di satu cabang
pohon jati. Karena rapatnya pepohonan serta lebatnya semak
belukar Cakra Mentari tidak mungkin mendekati deretan
pohon jati dengan terus menunggang kuda. Pemuda ini
melompat turun lalu memberi tanda pada Tajurpambayan agar
sang ayah menunggu di tempat itu. Cakra kemudian menyusup
cepat dikelebatan semak belukar. Saat dia sampai di deretan
pohon jati Jambul Ireng melayang ke bawah, hinggap di ran-
ting kering serumpunan semak belukar lalu terbang ke arah
satu gundukan batu hitam yang menyerupai sebuah arca rusak
berbentuk gajah berlutut. Burung elang berjambul hitam ini
mematuk-matuk arca itu berulang kali lalu terbang ke udara.
bertengger di cabang pohon.
Cakra Mentari melangkah mendekati arca gajah duduk. Dia
memutari arca itu satu kali sambil menduga-duga. Tiba tiba
diiringi teriakan keras pemuda Ini lepaskan satu pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
"Braakk!"
Arca gajah hancur berkeping-keping. Di bekas arca itu tadi
berdiri kini terlihat satu lobang besar. Di dalam lobang ada
tangga batu berundak lima. Di depan undakan terbawah
kelihatan mulut sebuah lorong batu.
"Pasti jahanam tua itu membawa ibuku ke lorong batu di
bawah tanah fnil" Tidak berpikir panjang lagi Cakra Mentari
melompat ke dalam lobang. Baru kakinya menginjak undakan
tangga batu paling atas tiba-tiba dan dalam lorong menggelegar
suara keras, lalu satu sinar putih menyilaukan dan menghampar
hawa panas menderu ganas ke atas lobang.
Cakra Mentari bertenak kaget. Cepat pemuda ini mem-
buang diri ke samping. Walau dia berhasil menghindar namun
tak urung bahu kirinya masih kena disapu hawa panas. Untuk
kedua kalinya baju putihnya hangus. Kini di sisi kiri. Sambaran
angin panas juga membuat pemuda ini terjajar keras lalu jatuh
punggung di tanah. Tubuhnya sebelah kiri terasa seolah
lumpuh. Sebelum dia sempat bangkit satu kaki telah menginjak
dadanya. Satu tangan yang membekal pukulan sakti Tangan
Geledek siap dihantamkan ke arahnya.
"Tua bangka keparatl Mana ibukul" Cakra Mentari berteriak.
Janger Sawung alias Si Tangan Geledek tertawa mengekeh.
"Kau anak yang berbakti pada orang tua. Ibumu baik-baik
saja di lorong sana. Selagi aku bersenang-senang, aku tidak
suka kau mengganggu. Jadi biar kau kuhabisi dulu!"
Tangan kanan Janger Sawung bergerak.
Sesaat lagi pukulan Tangan Geledek akan mengakhiri
riwayat Cakra Mandiri tiba-tiba satu benda hitam melesat di
udara.
SEPULUH
SEHARUSNYA dengan ilmu kepandaian tinggi yang dimilikinya
Janger Sawung mampu mengetahui, paling tidak mendengar suara
benda yang melesat di belakangnya. Namun karena saat itu dia
terlalu mengira akan segera dapat menghabisi Cakra Mentari
maka kakek jubah biru ini berlaku lengah. Dia baru sadar dan
sudah terlambat ketika sebuah senjata menancap di tengkuknya.
Benda ini bukan lain adalah Keris Ratu Demit. Dan yang
melemparkan adalah Tajurpambayan. ayah Cakra Mentari. Seperti
diceritakan. sebelum mengejar Janger Sawung bersama
puteranya, lelaki ini masih sempat mengambil keris berikut
sarungnya yang tergeletak ditinggal begitu saja oleh Kunto Api
sewaktu kabur melarikan diri.
Kakek berjuluk Si Tangan Geledek menjerit keras. Mata
mendelik, dua tangan terpentang ke atas, dalam kalap melepas
pukulan sakti ke udara. Gelegar dahsyat menggetarkan seantero
tempat
Janger Sawung menjerit sekati lagi. Busah cairan hitam
muncul menyembur dari mulut. Kulit, rambut, kumis serta
janggutnya yang berwarna biru berubah menjadi hitam legam.
Perlahan-lahan bagian putih matanya juga berubah hitam.
Racun jahat Keris Ratu Demit tidak bekerja hanya sampai disitu.
Senjata curian milik Kerajaan itu kepulkan asap hitam. Sekujur
tubuh Janger Sawung bergetar, jubah hitamnya mengepul
lalu terjadilah hal yang mengerikan. Tubuh itu mulai dari kepala
sampai ke kaki leleh laksana lumpur dilanda air.
Tajurpambayan yang melemparkan keris sakti jadi bergidik
sendiri menyaksikan apa yang terjadi. Lututnya goyah hingga
dia terduduk di tanah dengan muka pucat.
"Ayah!" seru Cakra Mentari seraya melompat menghampiri
Tajur lalu memeluk ayahnya
“Ibumu. Cakra. Cari ibumu. Selamatkan dia lebih dulu..."
"Ayah saya berterima kasih padamu. Kau telah menyelamatkan
nyawa saya..." Kata Cakra Mentari sambil mencium ayahnya
berulang kali.
"Aku tak tahu bagaimana caranya mempergunakan senjata.
Aku hanya menurutkan naluri saja. Melempar senjata itu ketika
melihat kakek jubah biru hendak menghablsimu.."
"Saya tahu kehebatan senjata itu. Untuk mempergunakan
keris sakti tidak perlu ilmu kepandaian. Keris Ratu Demit mampu
mencari jalan sendiri. Bagaimanapun juga ayah telah
menyelamatkan saya Saya berterima kasih."
Tajurpambayan memegang bahu puteranya lalu berdiri.
"Ayah tunggu di sini. Saya akan mencari ibu di dalam
lorong batu di bawah tanah sana."
Cakra Mentari masuk ke dalam lobang di bekas hancurnya
arca batu lalu menuruni tangga lima undakan yang menuju ke
dalam lorong. Tak lama kemudian pemuda ini muncul kembali
sambil menggendong ibunya yang telah dilepaskan dari
totokan.
"Dewa Mahabesar! Sulin!" teriak Tajur gembira. Lelaki ini
menghambur. Suami istri itu saling berangkulan. Sulin
menangis sesenggukan. Cakra Mentari melangkah mendekati
mayat leleh Janger Sawung lalu mengambil Keris Ratu Demit
yang tergeletak di atas tubuh meleleh nyaris tak berbentuk
itu.
"Sulin, kau tidak apa-apa?" tanya Tajur sambil memeluk
dan membelai rambut istrinya.
"Pakne, kau dan Cakra datang tepat pada waktunya. Saya
tak kurang suatu apa Mas." jawab Sulin.
Setelah ibunya kelihatan lebih tenang sambil memegang
Keris Ratu Demit Cakra berkata. "Ayah dan ibu pulanglah lebih
dulu. Ada dua kuda yang bisa ditunggangi. Saya akan
membawa keris ini ke Kotaraja dan memberikannya pada
seorang pejabat untuk diteruskan pada Sri Baginda Raja."
Tajur menyerahkan sarung keris pada puteranya. "Soal
menyerahkan senjata sakti ini bisa nanti saja kau lakukan. Aku
ingin kau pulang dulu bersama kami. Ada sesuatu yang perlu
aku bicarakan denganmu."
"Apakah tidak bisa ditunda sampai dua tiga hari dimuka,
Ayah?" tanya Cakra Mentari pula.
"Cakra, aku menunggu dua puluh empat tahun untuk
mengatakan hal ini padamu. Apakah kau begitu saja ingin
menundanya?"
Tentu saja Cakra Mentari terkejut mendengar keterangan
ayahnya itu. Buru-buru dia berkata. "Ah, maafkan saya Ayah.
Kalau begitu kita pulang sama-sama," jawab Cakra Mentari
Lalu dia menolong ibunya naik ke atas kuda. Tajurpambayan
hendak naik dan duduk di belakang istrinya. Tapi Cakra berkata.
"Ayah naik saja di kuda yang satu Itu."
"Lalu kau nafk apa? Hanya ada dua kuda di sini." Kata
Tajurpambayan.
"Tidak apa, saya bisa jalan kaki."
Sang ayah kerenyitkan kening lalu tertawa.
"Sampai sore kau baru sampai di rumah. Aku tak mau
menunggu selama itu!"
Cakra Mentari hanya tersenyum. Dia memegang tangan ayahnya
lalu membantu menaikkan lelaki ini ke atas punggung kuda.
Ketika Tajur dan Sulin sampai di rumah mereka yang kini
hanya tinggal puing-puing abu karena telah dibakar Janger
Sawung dengan pukulan saktinya, suami istri itu melihat anak
mereka tengah sibuk mengangkati bagian bangunan yang masih
utuh dan bisa dipakai. Selain itu mereka tidak melihat lagi mayat
anggota Lima Tengkorak Darah yang sebelumnya bergelim-
pangan di tempat itu. Pasti anak itu telah membuangnya ke
satu tempat.
Dua suami istri itu hentikan kuda masing-masing.
Sebenarnya mereka sangat sedih atas musnahnya rumah mereka.
Namun saat itu keduanya hanya bisa tercengang-cengang.
“Bagaimana mungkin anak itu bisa sampai lebih dulu dari kita?”
ucap Tajurpambayan heran.
“Mas Tajur, agaknya anak kita sudah jadi orang sakti…”
berkata Sulin.
Tajur geleng-geleng kepala. “Sulin. Untuk sementara kau
tinggal dulu bersama orang tuamu di Pakis. Aku akan antarkan
dulu kau ke sana kembali ke sini menemui anak itu.”
“Sebaikya Cakra diajak serta mengantarku. Kalau tidak
nanti anak itu pergi lagi. Kalau sudah pergi sulit mencarinya.”
Tajurpambayan tersenyum. “Tentu, tentu. Kedua orang
tuamu kurasa juga sudah kangen pada cucunya itu.”
***
DI TEPI sebuah kali keci I dikaki barat pegunungan tengger,
ayah dan anak duduk berhadap-hadapan. Saat itu sang surya
mulai condong ke barat, udara terasa nyaman dan suasana begitu
sunyi. Keadaan seperti inilah yang diinginkan Tajurpambayan.
"Ayah, saya masih tidak mengerti. Kalau mau bicara
mengapa membawa saya ke tempat ini Cukup jauh dari
rumah. Kalau ada yang hendak Ayah sampaikan bukankah kita
bisa bicara di rumah Kakek sehabis mengantar Ibu?" Cakra
Mentari memandang ke arah bungkusan yang ada di pangkuan
ayahnya. "Ayah, apa isi bungkusan itu?" Dalam bicara anak Ini
selalu bersuara lembut
"Cakra, aku sengaja membawamu ke tempat sunyi Ini
karena tidak ingin ada orang lain mengetahui apa yang bakal
aku sampaikan."
"Termasuk Ibu?" tanya si pemuda.
Tajur mengangguk. "Termasuk ibumu, karena begitu pesan
yang aku terima," jawabnya. "Sebaiknya aku mulai saja
sekarang. Jika urusan ini selesai aku bisa merasa lega. Dua
puluh empat tahun silam, sewaktu kau masih bayi dan baru
saja lepas tali pusar. Saat itu malam hari. Entah bagaimana
terjadi satu hal aneh. Puluhan bunga tanjung melayang
berjatuhan dari atas langit-langit rumah, satu demi satu masuk
ke dalam tubuhmu. Saat itu kau sendiri tengah tertidur lelap.
Aku dan ibumu memperhatikan kejadian ini penuh heran.
Setelah bunga tanjung lenyap, dari atap rumah melayang turun
seorang pemuda yang tubuhnya diselimuti cahaya biru. Seperti
bunga-bunga tanjung, mahluk ini secara aneh masuk ke dalam
tubuhmu. Setelah kau dewasa seperti sekarang ini. baru aku
sadari bahwa wajah orang itu sangat menyerupai wajahmu.
Berkumis kecil, berjanggut dan bercambang bawuktipis...."
"Berarti ada mahluk yang menitis masuk ke dalam diri saya."
ucap Cakra Mentari. "Siapa?"
"Akan aku katakan nanti. Biar aku melanjutkan cerita
dulu...." jawab Tajurpambayan. Lalu dia melanjutkan kisahnya.
"Malam itu di luar rumah aku dengar suara ribut-ribut. Ada
suara bentakan. Suara seperti letusan Sesekali aku merasakan
rumah bergetar. Beberapa kali aku dan ibumu mendengar suara
mahluk meraung. Ada yang berkelahi di luar sana. Aku
memberanikan diri keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Begitu pintu kubuka ada seorang tinggi besar berjubah dan
bersorban hitam. Dari perawakan serta raut wajahnya dia
seperti seseorang berdarah India atau keturunan Arab. Salah
satu matanya hanya merupakan rongga mengerikan digenangi
darah. Aku menyangka dia bukan manusia tapi hantu
pelayangan. Saking takut aku hendak berteriak. Tapi mahluk
ini menekap mulutku. Dia memberi tahu namanya...."
"Ayah ingat nama yang dikatakannya?"
"Ya, aku tidak bakal melupakan. Dia mengaku bernama
Deewana Khan.."
"Ku nama orang India atau orang Gujarat. Lalu apa yang
dilakukannya terhadap Ayah?" tanya Cakra Mentari.
"Dia membawa kantong kain. Bungkusan yang sekarang
ada di pangkuanku ini." jawab Tajurpambayan. "Dia
mengatakan di dalam kantong ada sebuah kitab bernama Jagat
Pusaka alam gaib.Juga ada seperangkat pakaian hitam dan
sehelai ikat kepala kain merah. Kata mahluk itu, jika kau sudah
berusia dua puluh empat tahun, kitab dan pakaian harus aku
serahkan padamu. Kau harus membaca dan mempelajari isi kitab
karena di dalamnya tersimpan ilmu yang dahsyat. Jika kau
mempelajarinya maka kau kelak akan menjadi seorang sakti
mandraguna. Selama dua puluh tiga tahun bungkusan ini aku
sembunyikan di bawah atap rumah. Satu tahun terakhir aku
pindahkan ke tempat lain. Aku bersyukur melakukan hal Itu.
Kalau tidak bungkusan dan isinya pasti sudah ludas sewaktu
rumah kita terbakar tadi pagi. Sampai saat ini ibumu tidak tahu
perihal bungkusan dan isinya. Aku tidak pernah bercerita."
Tajurpambayan berhenti bicara sejenak untuk menarik
nafas dalam Lalu dia melanjutkan. "Cakra, menurut orang
berjubah itu kau akan mampu dan mudah mempelajari isi
kitab karena sebelumnya malam itu seorang sakti dari jaman
Singosari bernama Suma Mahendra telah menitis masuk ke
dalam tubuhmu ,."
"Suma Mahendra.. -" Cakra Mentari berdiri dari duduknya.
Dia menatap ayahnya beberapa ketika lalu berkata. "Saya
memanggilnya Paman. Ayah, orang itulah yang selama ini
mengajarkan berbagai ilmu silat dan ilmu kesaktian pada saya.
Ayah mungkin tidak percaya.."
"Aku dan ibumu selalu bertanya-tanya. Dari mana kau
mendapatkan segala Ilmu kepandaian itu. Tadi kami menyaksi-
kan sendiri waktu kau berkelahi melawan Kunto Api dan anak
buahnya.. Sulit dipercaya. Kau berguru dengan siapa? Orang
bernama Suma Mahendra itu?"
"Ayah mungkin tidak percaya," jawab Cakra Mentari.
"Ketika saya menginjak usia dua belas tahun, setiap malam
Jum'at ada seorang pemuda gagah yang ciri-cirinya sama
dengan orang yang ayah katakan menitis masuk kedaiamdiri
saya. Saya dibawanya ke pedataran pasir Tengger. Tempat itu
jauh dari sini. Tapi saya dan dia bisa sampai di sana hanya
dalam sekojapan mata saja. Di tempat itu dia mengajarkan pada
saya berbagai ilmu kebajikan, ilmu membela diri serta ilmu
kesaktian. Pagi hari sebelum ayah dan ibu bangun, saya sudah
diantarnya kembali ke rumah. Hal itu berlangsung selama
bertahun-tahun..."
"Luar biasai Kau telah menerima berkah Dewa yang
tidak terkirakan besarnya!" kata Tajurpambayan sambil berdiri.
"Cakra, kau ambillah bungkusan ini. Baca dan pelajari isi Kitab
Jagat Pusaka Dewa. Jika orang memberikan seperangkat
pakaian padamu berarti kau harus mengenakannya. Nah semua
itu yang harus aku sampaikan padamu Sekarang aku merasa
lega karena menyimpan rahasia ini selama puluhan tahun."
Karena ingin tahu Cakra keluarkan kitab dari dalam kantong
kain. Kitab itu tidak seberapa besar juga tidak tebal, hanya
beberapa lembar. Terbuat dari kulit kambing. Di bagian sampul
tidak terdapat tulisan apa-apa sedang di sebelah dalam dipenuhi
tulisan Jawa Kuna. Ketika anaknya membalik-balikkan halaman
kitab Tajurpambayan coba memperhatikan.
"Aneh..." ucap sang ayah.
“Aneh bagaimana Ayah?"
"Aku melihat tak ada tulisan apa-apa dalam kitab itu.
Halamannya kosong..."
Cakra heran. "Tapi saya melihat banyak tulisan di dalamnya.
Tidak ada halaman yang kosong."
"Ah. semakin banyak keanehan yang tidak aku mengerti,
kata Tajurpambayan pula sambil geleng- geleng kepala.
"Ayah, saya membutuhkan waktu untuk mempelajari isi
kitab ini. Juga saya perlu satu tempat yang sunyi tenang untuk
melakukan hal itu. Saya ingin menitipkan Keris Ratu Demit pada
Ayah. Kalau sampai saatnya akan saya ambil kembali dan
serahkan pada Kerajaan."
"Aku rasa" Ucapan Tajurpambayan terputus.
Cakra Mentari memeluk ayahnya erat-erat lalu mencium
tangan lelaki itu. Sekali berkelebat dia sudah lenyap dari tepi
sungai.
"Cakra." Tajurpambayan berseru. Namun sang putera tidak
kelihatan lagi. Lelaki ini juga tersentak heran ketika melihat
tahu-tahu Keris Ratu Demit sudah berada dalam genggaman
tangannya. "Aku punya firasat sekali ini anak itu akan pergi
lama sekali. Dewa di Kahyangan, apakah Kau akan memper-
temukan aku lagi dengan puteraku itu? Aku mohon Kau
melindungi anak itu kemana dia pergi, dimana dia berada, apapun
yang dilakukannya." Sepasang mata Tajurpambayan tampak
berkaca-kaca.
Baik Tajurpambayan maupun Cakra Mentari atau siapapun
tidak seorangpun tahu bahwa Kitab Jagat Pusaka Dewa
yang kini berada di tangan pemuda itu adalah kitab palsu. Seperti
dituturkan sebelumnya kitab asli telah dicuri dan dimusnahkan
oleh mahluk jin Rajip Kupal lalu diganti dengan sebuah kitab
lain. Kejahatan pemalsuan ini kelak akan menimbulkan
malapetaka besar dan kegegeran hebat di kalangan rimba
persilatan tanah Jawa. Antara lain seperti apa yang kini dialami
oleh Pendekar 212 Wiro Sobleng seperti dituturkan dalam awal
kisah. Dan rentetan peristiwa pemerkosaan serta pembunuhan
sebagaimana yang diceritakan sebelumnya dalam serial Wiro
Sableng berjudul "Petaka Patung Kamasutra".
***
SEHARI setelah Cakra Mentari berpisah dengan ayahnya,
pagi-pagi sekali alun-alun Kerajaan dilanda kegemparan.
Ratusan orang berkerumun di dekat sebuah pohon besar. Di
salah satu cabang pohon itu tergantung kaki ke atas kepala ke
bawah sosok Kunto Api pimpinan Lima Tengkorak Darah. Di
atas pohon tampak seekor burung elang putih berjambul hitam.
SEBELAS
SANG SURYA yang tadi bersinar terik menyilaukan kini
perlahan-lahan berubah kekuning-kuningan.
Bola penerang jagat ini tengah meluncur menuju titik
tenggelamnya. Di sebuah dangau di tepi sawah kering yang
sunyi karena telah dipanen, Cakra Mentari duduk bersila,
mengeluarkan kitab dari dalam kantong kain.
Ketika pertama kali memegang kitab itu. pada sampulnya
tidak tertera tulisan apa-apa. Tapi kini disitu ada tulisan dalam
bahasa Jawa Kuna berbunyi "Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib".
Cakra ingat betul, ayahnya mengatakan kitab itu bernama "Kitab
Jagat Pusaka Dewa".
"Aneh, apakah Ayah keliru menyebut nama kitab ini? Waktu
pertama kali aku keluarkan dari dalam kantong kain aku ingat
betul. Tak ada tulisan di bagian sampul." Ucap Cakra Mentari
dalam hati.
Pemuda itu kemudian membuka halaman pertama. Disitu
tertera rangkaian tulisan dalam bahasa Jawa Kuna berwarna
hitam.
KITAB JAGAT PUSAKA ALAM GAIB
• Halaman Pertama •
Bunga Tanjung Bunga Bertuah
Saat ini tiada tulisan dapat terbaca
Kecuali yang tertera di sampul dan halaman pertama
Wahai anak manusia penerima kitab
Kenakan baju dan celana hitam
Ikatkan kain merah di kening
Pergilah ke puncak Gunung Mahameru
Bersamadldisana
Sampai ada satu kekuatan gaib
Yang muncul dan membawamu
Ke gurun pasir Tengger
Hanya matamu seorang yang akan melihat
Pohon tanjung di gurun pasir
Panjatlah, cari dahan yang kokoh
Yang menghadap ke utara
Duduk di sana dan kembangkan kitab
Bacalah halaman berikutnya
Niscaya kau akan mendapat petunjuk
Bunga Tanjung Bunga Bertuah
Cakra Mentari merenung sejurus, mengusap wajah lalu
membuka halaman berikutnya dari kitab, halaman kedua. Dia
terkejut ketika mendapatkan halaman kedua itu dan halaman
selanjutnya benar-benar kosong. Padahal sebelumnya ketika
diberikan ayahnya, dia bisa melihat kalau semua halaman dalam
kitab itu penuh dengan tulisan. Sementara ayahnya tidak
melihat apa-apa.
"Ada apa dibalik semua keanehan ini?" pikir Cakra
Mentari. Pemuda ini lalu keluarkan baju dan celana hitam
serta sehelai kain merah dari dalam kantong kain. Pakaian
itu terbuat dari bahan sangat bagus, hitam pekat berkilat
mungkin dari sutera. Pada bagian kelepak baju,bahu, dada,
punggung serta ujung lengannya yang panjang tersulam
rangkaian bunga tanjung dari benang emas dan benang
perak. Sulaman yang sama juga terdapat pada pinggiran
celana, memanjang dari pinggang sampai ke ujung kaki. Pada
lipatan celana Cakra menemui secarik kain merah yang juga
bersulam bunga.
Cakra Mentari melirik ke kitab yang masih terbuka.
Wahai anak manusia penerima kitab. Kenakan baju dan
celana hitam. Ikatkan kain merah di kening.
"Aku si penerima kitab. Aku harus mengenakan pakaian
dan ikat kepala ini..." Cakra berucap pada diri sendiri. Lama
dia memandangi pakaian itu. Ada rasa tertarik akan semua
apa yang baru dialaminya ini. Akhirnya dia membuka pakaian
putih yang dikenakannya lalu diganti dengan pakaian hitam.
Ketika dia mengikatkan kain merah di kening tiba-tiba di
langit menggelegar suara petir disusul cahaya menyilaukan
seperti hendak membelah langit yang disaput cahaya
kekuningan.
"Ada kekuatan luar biasa menyambut diriku dalam pakaian
ini. Namun mungkin juga merupakan peringatan bahwa ada
sesuatu yang tidak baik." Cakra berkata dalam hati. Dia ambil
Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.simpan di balik baju hitam. Nun
jauh di timur dia melihat bayangan Gunung Mahameru
bergandeng dengan Gunung Kepolo.
• • •
DENGAN ilmu kesaktian yang didapatnya dari mahluk gaib
bernama Suma Mahendra dalam waktu satu hari Cakra Mentari
telah sampai di puncak Gunung Mahameru. Saat itu sore hari.
Dalam hawa dingin mencucuk tulang dia mencari tempat yang
baik untuk bersemedi sesuai dengan apa yang tertulis di kitab.
Dia menemukan sebuah batu hitam yang agak datar lalu duduk
bersila. Sesaat pemuda ini ingat pada mahluk bernama Suma
Mahendra, dari siapa dia telah menerima banyak sekali ilmu
kepandaian. Apakah semua yang kini terjadi dengan dirinya
ada sangkut paut dengan orang yang dipanggilnya paman
itu? Jika memang ada kaitan mengapa sang paman tidak
muncul sekedar memberi petunjuk? Bersamaan dengan
tenggelamnya matahari di ufuk barat pemuda ini mulai
bersemedi.
Menjelang pagi Cakra merasa ada hawa panas keluar
dari dalam batu hitam tempat dia duduk bcrsi a. Lalu per-
lahan-lahan muncul asap kelabu hangat menebar bau
wangi. Pada saat itu langit di sebelah timur tampak terang
tanda fajar telah menyingsing. Tiba-tiba satu sosok muncul
dan berdiri di hadapan Cakra Mentari. Pemuda ini merasa
tidak asing dengan bau mahluk yang muncul. Dia buka
kedua mata
"Paman Suma Mahendra!" Cakra Mentari berseru girang
ketika mengenali siapa yang berdiri di hadapannya. Namun
sekali ini dia melihat kelainan pada sosok orang yang telah
mendidik dan memberinya berbagai ilmu kepandaian itu Wajah
sang paman tampak pucat- Pakaian hitamnya lusuh. Rambut,
kumis, berewok serta janggutnya tampak tidak rapi seperti
biasanya. Ketika mulutnya terbuka mengucapkan sesuatu
Cakra tidak mendengar apa-apa.
Tiba-tiba di langit kilat menyambar aneh. Samar-samar,
seperti melihat bayangan, Cakra Mentari melihat sosok tinggi
besar mengenakan pakaian selempang kain putih. Luar
biasanya mahluk ini tidak memiliki wajah. Wajah polos licin itu
berambut dan berjanggut panjang putih nap-riapan pertanda
jika dia manusia maka dia adalah seorang yang telah berusia
lanjut. Di tangan kanan mahluk ini samar-samar memegang
sebatang tongkat besi berlapis emas yang ujung sebelah atas
berbentuk bulat berhias batu permata berkilauan aneka wama.
Mahluk ini pentang tongkatnya ke atas. Saat itu juga dua
gelombang angin menderu dahsyat. Gelombang pertama
menghantam Suma Mahendra hingga mahluk ini terlempar jauh
ke bawah gunung.
"Pamanl" teriak Cakra Mentari. Dia tidak tahu harus
menolong bagaimana. Namun saat itu gelombang angin kedua
telah menghantam dirinya. Tubuhnya terpental melayang dalam
keadaan masih duduk bersila. Bahkan batu hitam tempat
sebelumnya dia duduk bersemedi ikut terlempar melayang
bersamanya!
Cakra Mentari tidak mampu berbuat apa selain pasrah
kemana diri dan batu hitam yang didudukinya hendak
diterbangkan angin dahsyat Dia ingat pada tulisan dalam Kitab
Jagat Pusaka Alam Gaib.
Pergilah ke puncak Gunung Mahameru. Bersamadi disana.
Sampai ada satu kekuatan gaib Yang muncul dan membawamu.
Ke gurun pasir Tengger.
"Kekuatan gaib ini akan membawaku ke gurun pasir
Tengger. Apa yang akan terjadi? Pohon tanjung. Aku akan
menemukan pohon tanjung."
Cakra Mentari tahu betul, dari Gunung Mahameru pedataran
atau gurun pasir Tengger cukup jauh. Paling tidak jika dia
mempergunakan ilmu kesakitan yang dimilikinya akan memakan
waktu satu hari satu malam. Namun yang dialaminya, hanya
beberapa kejapan mata saja tahu-tahu dia sudah berada di
gurun pasir itu. Ketika dia meninggalkan puncak Gunung
Mahameru hari masih pagi. sementara saat itu dia dapatkan
berada pada siang hari dimana matahari bersinar luar biasa
teriknya.
Cakra Mentari turun dari batu hitam Dia memandang
berkeliling. Ketika menghadap ke arah timur pemuda ini terkejut,
sekitar puluhan langkah di sebelah sana dia melihat sebuah
pohon besar.
Cakra ingat tulisan dalam kitab.
"Pohon tanjung..." ucapnya dalam hati. Sejauh mata
memandang memang hanya itu satu-satunya pohon yang
tumbuh di gurun pasir itu. Oan pohon ini dalam keadaan
berbunga. Harumnya bunga tanjung itu tercium sampai
di tempat si pemuda berdiri. Tak ada pohon atau
tumbuhan lainnya. "Aku harus memanjat pohon itu.
Duduk di dahan yang menghadap ke utara dan membuka
kitab."
Cakra Mentari melangkah cepat di pedataran pasir. Sampai
di bawah pohon tanjung dia mencari dahan yang menghadap
ke utara. Begitu menemukan pemuda ini segera melompat ke
atas dan duduk di pohon itu. Dari atas pohon dia memandang
berkeliling. Tak ada orang atau mahluk lain di gurun pasir itu.
Hanya dia dan pohon itu!
Cakra keluarkan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Tangannya
agak bergetar ketika membuka halaman kedua. Dia mulai
membaca apa yang tertulis di situ.
KITAB JAGAT PUSAKA ALAM GAIB
•Halaman Kedua-
Bunga Tanjung Bunga Bertuah
Wahai anak manusia
Selamat datang di gurun pasir Tengger
Selamat pula dudukmu di pohon tanjung
Selamat membaca halaman kedua
Pada saat kau mendudukkan diri di cabang pohon
Saat itu pula terputus hubunganmu dengan masa lalu
Kau tidak ingat apa-apa lagi
Bahkan kau tak ingat lagi ayah ibumu
Semua Hmu kepandaian yang selama ini
kau miliki akan lenyap
Seperti setetes air tenggelam dalam lautan pasir
Namun kelak kau akan mendapatkan ilmu yang
lebih hebat
Kemana kau pergi kau akan menjadi raja diraja rimba
persiktan
Kehidupanmu kini adalah kehidupan masa depan
Di pohon ini ada 305 bunga bertuah
Sebanyak itu pula hari yang harus kau habiskan
untuk bersamadi di pohon ini
Setiap hari sekuntum bunga bertuah akan masuk
ke dalam tubuhmu
Itulah makanan yang akan menjadi penguat badanmu
Pada hari ke 306 kau baru boleh membuka halaman ke
tiga kitab ini
Sekarang simpanlah kitab, mulailah bersamadi
BungaTanjung Bunga Bertuah
Cakra Mentari menyimpan kitab ke balik baju hitamnya.
Tapi dia tidak segera melakukan samadi. Dia berpikir-pikir apa
benar ilmu kepandaian yang selama ini dimilikinya, didapat dari
Suma Mahendra telah sirna? Dia coba mengerahkan tenaga
dalam ke tangan kanan. Dia tidak merasa apa-apa. Tak ada aliran
darah. Tak ada alur hawa sakti. Masih tak percaya dia hantamkan
tangannya ke bawah pohon. Seharusnya tanah tertutup pasir
gurun itu akan terbongkar. Namun saat itu yang terjadi.
bergerak sedikitpun tidak. Ada kerisauan dalam hati pemuda
ini. Namun diam-diam ada rasa tertarik untuk ingin mengetahui
apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mendadak di bawah panas terik sinar matahari Cakra
Mentari merasakan tubuhnya kedinginan. Pikirannya terasa
kosong. Dia tidak ingat lagi segala sesuatu masa lalu
termasuk orang-orang di sekelilingnya. Yang terlintas dalam
pikirannya adalah semua apa yang tertulis di halaman ke
dua Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Pemuda ini letakkan
dua tangan di atas paha. Lalu perlahan-lahan pejamkan
kedua mata.
Beg tu dua mata Cakra Mentari terpejam, di langit
berkelebat satu cahaya aneh. Sosok bayangan tanpa wajah
mahluk berseiempang kain putih yang pemah muncul di puncak
Gunung Mahameru dan menghantam jatuh ke bawah gunung
Suma Mahendra kini terlihat lagi di tempat itu. Untuk sesaat dia
berdiri di ujung ataa pohon tanjung, menatap dengan wajahnya
yang licin polos ko bawah ke arah Cakra Mentari yang duduk
bersila mulai bersamadi
"Aku harus mengikuti terus gerak gerik pemuda Itu. Jika
semua berjalan lancar aku harus menunggu paling sedikit dua
tahun untuk benar-benar mendapatkan patung keramat itu. Dua
tahun tidak lama. Yang penting aku pasti mendapatkannya..."
Mahluk tanpa wajah berambut dan berjanggut putih riap-riapan
berucap dalam hati.
Ketika angin panas bertiup dari selatan gurun pasir, sosok
aneh misterius itupun lenyap dari pemandangan.
TAMAT
Apakah selanjutnya yang akan dialami Cakra Mentari?
Bagaimana dengan Pendekar 212 Wiro Sableng, dapatkah
dia disembuhkan dari penyakit yang bisa mendatangkan azab
sengsara seumur hidup atas dirinya?
Ikuti serial Wiro Sabieng selanjutnya dalam judul:
INSAN
TANPA WAJAH
0 comments:
Posting Komentar