BASTIAN TITO
Serial BOMA GENDENK
TRIPPING
MUNCULNYA PANGERAN MATAHARI
1.MENGHAJAR SI BODONG
RONNY Celepuk memperlambat motornya,
memberi jalan pada dua pejalan kaki yang
menyeberang. Vino yang membonceng di
belakang memandang ke kiri, lalu menoleh ke
kanan. Ketika memperhatikan ke gedung
pertokoan, tak sengaja matanya melihat
seseorang di depan toko. Langsung Vino
menepuk bahu Ronny dengan tangan kiri.
"Ron, gue liat Si Bodong."
Mendengar ucapan Vino, Ronny batal
menyentak gas motor. Dengan gerakan melejit
dia membawa kendaraan itu ke tepi jalan dan
berhenti. Helm di atas kepalanya didorong ke
atas.
"Si Bodong? Di mana?"
Vino menunjuk ke arah gedung pertokoan.
"Sana di Atrium."
"Kamu nggak salah liat?"
"Nggak...."
"Sendirian?"
"Sama cewek. Aku nggak ngenalin ceweknya.
Keliatannya sih bukan anak Nusantara
Tiga...."
"Kebetulan kalau gitu!" kata Ronny. Gas motor
disentak-sentakkannya hingga kendaraan itu
mengaum keras.
"Kebetulan gimana?" tanya Vino di antara
bising deru suara gas Honda Tiger.
Ronny memperkecil tarikan gas motor.
"Apa lu udah lupa peristiwa waktu acara
perpisahan minggu lalu? Kamu sendiri yang
bilang ngeliat dia ngelemparin aku dan Boma
sama te-lor busuk! Ini kesempatan Vin! Aku mau
bikin dia tau rasa!"
"Selama ini Si Bodong nggak suka rese' sama
kita-kita. Gua rasa dia ada yang nyuruh," kata
Vino.
"Apa lagi lu bilang gitu! Kita musti nyelidikin
siapa yang nyuruh dia! Biar ketauan dalangnya.
Aku sikat sekalian!"
"Ala, udahlah Ron. Nanti aja kita beresin
urusan sama si Jumhadi itu. Kita masih ada
urusan lain."
"Nggak bisa. Aku memang sudah lama nya-riin
ytu anak!" jawab Ronny. Gas motor disentakkan.
Kendaraan itu melesat lurus ke depan lalu
membelok melewati pintu masuk Atrium Plaza di
pusat pertokoan Senen.
Siang itu pengunjung Atrium Plaza cukup
ramai. Mungkin karena masih bulan muda jadi
banyak yang belanja. Ronny dan Vino mencari di
lantai dasar pertokoan. Jumhadi alias Si Bodong
tidak kelihatan. Naik ke lantai satu, terus lantai
dua, Si Bodong masih belum ditemukan. Ketika
mereka menuju tangga jalan mau naik ke tingkat
tiga, Vino menggamit pundak Ronny.
"Ron, itu.... Di depan foto studio." Vino hanya
menggoyangkan kepala, tak mau menunjuk.
Ronny Celepuk mengikuti arah pandangan
temannya. Benar, di depan sebuah foto studio
tampak Si Bodong tegak berdampingan dengan
seorang anak perempuan. Tengah asyik melihat
foto-foto yang dipajang di belakang kaca.
Ronny monyongkan mulutnya.
"Kemon Vin," kata Ronny dengan gaya koboi.
Dua anak itu melangkah cepat-cepat. Ronny
sebelah depan. Karena itu dia yang sampai lebih
dulu di depan foto studio. Langsung saja Ronny
memegang bahu kiri Jumhadi lalu diremas.
Membuat Jumhadi terkejut dan kesakitan. Dia
menoleh. Jumhadi lebih terkejut ketika melihat
siapa yang meremas bahunya. Wajahnya
berubah pucat. Matanya memperhatikan
tampang garang Ronny Celepuk. Jumhadi melirik
ke samping, ke arah Vino yang berdiri di sebelah
Ronny.
"Bodong, gua mau ngomong!" kata Ronny.
Tangan kanannya menarik lengan Jumhadi ke
toko sebelah lalu dengan tangan yang sama dia
mendorong dada Jumhadi hingga anak lelaki ini
tersandar ke kaca etalase.
"Ada apa Ron. Kau mau ngomong apa-an?"
tanya Jumhadi alias Si Bodong.
"Jangan banyak bacot!" sentak Ronny. "Lu
jawab pertanyaan gua! Lu yang ngelemparin gua
sama Boma pakai telor busuk!"
"Eh, gua kagak ngarti. Maksudmu apa Ron?
Kapan gua ngelemparin kamu?"
"Bukkkk!"
Jotosan tangan kanan Ronny tiba-tiba
mendarat di perut Jumhadi, tepat di pusarnya
yang bodong. Anak ini seperti mau melintir.
Tampangnya jadi merah keriput. Anak
perempuan temannya keluarkan seruan
tertahan.
"Hai, apa-apaan 'nih! Kok main pukul?!" Anak
perempuan itu berteriak. Dia hendak melangkah
mendekati Ronny tapi Vino cepat mencegat
sambil berkata.
"Tenang aja. Nggak ada apa-apa. Udah, jauh-
jauh sana...."
Orang mulai berdatangan, mau tahu apa yang
terjadi di depan toko. Ronny tidak perduli. Dia
cekal kerah baju kaos Jumhadi dengan tangan
kiri.
"Kalau lu nggak mau ngaku, gua permak
muka lu!" Ronny mengancam. Jari-jari tangan
kanannya dikepal kencang.
"Nggak Ron, gua.... Bukan gua yang
ngelempar...."
"Oo gitu?! Lalu siapa? Ayo bilang, siapa?!"
Cekalan Ronny makin keras dan makin naik
hingga sosok Jumhadi yang kalah besar dengan
Ronny terbembeng ke atas.
"Nggak tau Ron. Gua nggak tau," kata
Jumhadi. Dengan ke dua tangannya dia
berusaha melepaskan cekalan Ronny.
"Vino ngeliat! Dia nyaksi-in lu yang ngelem-
par! Dasar Bodong! Gede bohong!"
"Gua... gua nggak bohong Ron. Lepasin
Ron...."
"Hai! Lepasin!" Teman perempuan si Bodong
berusaha menarik tangan Ronny tapi lagi-lagi
dihalangi oleh Vino.
Orang makin banyak berkerumun. Pemilik
toko begitu melihat ada ribut-ribut di dekat pintu
tokonya segera keluar.
"Hei! Kalau mau ribut jangan di sini! Pergi
sana!" Si pemilik toko berteriak. Matanya
dipelototkan pada Ronny Celepuk.
Saat itu Ronny sedang marah besar. Ditegur
orang dia jadi tambah beringas. Tampangnya
jadi angker. Benar-benar seperti burung celepuk.
"Jangan ikut campur! Mau ikutan minta
digebuk?"
Ronny dan pemilik toko saling berperang
pandang. Lama-lama pemilik toko keder juga.
Dia masuk kembali ke dalam toko tapi diam-
diam mengangkat pesawat tilpon di dekat meja
kasir.
"Ron, lepasin Ron...." Si Bodong berusaha
menarik lepas tangan Ronny yang mencekal
kerah baju kaosnya.
"Lu nggak mau ngaku ya?!" Ronny
membentak. Tinju kanannya diangkat ke atas,
ditarik ke belakang. Siap dihunjamkan ke muka
si Bodong.
"Jangan Ron. Jangan pukul...."
"Lu mau ngaku nggak?!"
"Ron, aku...."
Ronny habis sabarnya. Tinju kanannya
menderu, menghantam mulut Si Bodong tepat di
bawah hidung. Bibir anak ini pecah. Darah
mengucur. Si Bodong terduduk di lantai.
Mengerang menahan sakit sambil pegangi
mulutnya yang jontor berdarah. Teman
perempuannya menjerit histeris melihat darah
yang mengucur di sela-sela jari tangan Si
Bodong.
Ronny masih belum puas. Dia jambak rambut
Si Bodong. Ketika lututnya mau dihantamkan ke
muka anak itu Si Bodong cepat merangkul kaki
Ronny.
"Udah Ron.... Udah," kata Si Bodong. Lalu
meluncur ucapan pengakuan dari mulutnya yang
berdarah. "Memang aku yang ngelemparin telor
busuk. Tapi aku cuma disuruh Ron...."
"Siapa yang nyuruh?!" Ronny perkeras
jambakannya di rambut Si Bodong.
"Si... si...." Si Bodong tidak meneruskan
ucapan. Seolah takut mau memberi tahu. Dia
seka darah di mulutnya dengan belakang
telapak tangan kiri.
"Siapa?!" bentak Ronny. Lututnya ditempelkan
ke jidat Si Bodong.
"Si Anton.... Dia yang nyuruh...."
"Sialan!" Ronny memaki. Jambakannya
dilepas. Bodong terduduk nanar di lantai
pertokoan.
Di tangga jalan Vino melihat dua orang
Satpam naik ke tingkat atas. Vino cepat
membisiki Ronny.
"Cabut Ron."
Ronny juga sudah melihat dua Satpam itu.
Anak ini tidak langsung cemas. Cepat dia
memperhatikan keadaan, membaca situasi. Lalu
berkata. "Ikutin gua."
Dua anak itu bergegas, menyeruak di antara
orang banyak. Di belakang sana ada suara
perempuan berteriak.
"Copet! Copet!"
Yang berteriak teman perempuan Si Bodong
sambil menunjuk ke arah Ronny dan Vino.
"Bahaya Ron. Kita diteriakin copet," kata Vino.
Dia membuat gerakan hendak lari.
"Jangan lari Vin, jalan biasa! Jalan biasa!" kata
Ronny. Kalau sampai temannya itu lari
kemungkinan besar orang banyak akan
menduga mereka benar-benar copet dan akan
mengejar lalu menggebuki. Ronny melirik ke kiri.
Dia melihat pintu lift terbuka. Tiba-tiba Ronny
menarik tangan Vino. Kedua anak ini lenyap
masuk ke dalam lift.
Di dalam lift Vino masih tampak pucat.
Berkali-kali dia menarik nafas panjang.
"Hampir celaka Ron. Kamu benar Ron.
Untung kita nggak lari.Kalau orang-orang
nyangka kita copet benaran, bisa bonyok kita
berdua digebukin orang!"
Ronny cuma nyengir mendengar ucapan Vino.
--oo0dw0oo--
2.PRAKTEK HOMO DALAM TOILET
GITA PARWATI menyantap hamburger di
mulutnya dengan lahap. Saos tomat campur
sambal meleleh di sudut bibirnya, turun ke dagu.
Boma dan Firman senyum-senyum
memperhatikan. Saat itu ke tiganya berada di
mini restoran di lantai atas toko buku Gramedia.
"Git, makannya lahap banget," kata Boma. "Lagi
lapar, apa doyan apa memang rakus?" Gita diam
saja. Dengan kertas tisu disekanya saos tomat
dan sambal yang meleleh di dagunya.
"Bukan lapar, bukan doyan bukan rakus. Tapi
lagi ada yang dikeselin. Orang yang ditunggu
nggak nongol. Balas dendamnya sama
hamburger," kata Firman.
"Allan oh Allan. Di mana gerangan engkau...?"
Boma berkata dengan gaya nada seorang
pembaca puisi membuat Firman cekikikan. Allan
adalah anak baru di Nusantara III, yang dikenal
Gita sewaktu mendaftar di kantor sekolah. Sejak
pertemuan pertama kali itu keduanya jadi akrab
satu sama lain.
Gita masih diam. Tangannya bergerak
menjangkau teh botol dingin di atas meja.
Meneguk minuman itu sampai setengahnya lalu
bersandar ke tembok.
"Kalian ngeledek terus dari tadi...."
"Ini udah siang Git. Aku sama Firman mau ke
rumah Ronny," kata Boma. "Pacar lu dateng
nggak?"
"Pacar... pacar. Emangnya gua pacaran sama
Allan."
"Jangan suka begitul Git. Belon masuk
sekolah kamu sudah lengket sama dia. Kayak
lem Uhu. Apa lagi nanti kalau sudah masuk.
Terus-terusan ketemu. Wah, aku nggak bisa
ngebayangin deh!" Firman senyum-senyum.
"Kalau nggak sabaran udah, pergi aja sana.
Tapi gue nggak mau ngebayarin. Kalian keluarin
doku sendiri-sendiri."
Boma menowel hidungnya. "Tuh, ngancem-
nye jelek banget. Kamu janjinya sama Allan
gimana?"
"Kemaren aku ketemu dia. Bilang hari ini aku
mau ke Gramedia. Jam sepuluh. Dia bilang mau
datang, ketemu di sini."
Firman melirik ke arloji di pergelangan tangan
Gita.
"Sekarang hampir jam sebelas. Si Allan
memang keliwatan...." Firman geleng-geleng
kepala.
"Bukan Si Allan keliwatan, tapi si Allan
memang Sialan," kata Boma pula.
Gita langsung tendang kaki Boma dengan
ujung sepatunya hingga Boma menyeringai
kesakitan.
Firman tiba-tiba keluarkan suara bersiul. "Git,
kamu boleh girang deh sekarang. Lihat tuh siapa
yang lagi naik di tangga jalan."
Gita Parwati dan Boma berpaling ke arah
tangga jalan. Saat itu seorang anak lelaki ceking
tinggi, mengenakan jins warna hitam, t-shirt
putih tengah meluncur di tangga jalan. Rambut
coklat setengah gondrong, menjulai di sebelah
depan. Wajahnya tidak bisa dikatakan tampan.
Jerawat besar kemerah-merahan menutupi
hampir seluruh wajahnya. Matanya besar tapi
tidak bercahaya. Pandangannya kosong. Inilah
Allan, anak lelaki yang ditunggu-tunggu Gita.
Allan tertawa lebar dan lambaikan tangan begitu
melihat Gita, Boma dan Firman.
"Sorry Git. Sorry teman-teman. Aku terlambat."
Allan keluarkan ucapan begitu sampai di depan
meja.
"Kamu sih kira-kira dong. Gita hampir nangis
nungguin kamu. Air matanya sampai masuk ke
dalam." Boma berkata sambil berdiri. Gita
cemberut Di bawah meja kakinya bergerak lagi
mau menendang tapi Boma sudah menjauh.
Firman juga ikut-ikutan bangkit dari kursi.
"Git, Allan, aku sama Firman cabut duluan,"
kata Boma.
"Eh, pada mau ke mana?" tanya Allan
purapura heran, padahal hatinya senang
ditinggal berdua dengan Gita. Allan berpaling
pada Gita lalu bertanya. "Udah bilang sama
Boma?" Gita menggeleng.
Boma dan Firman yang hendak beranjak pergi
jadi hentikan langkah di samping meja.
"Bilang apa-an?" tanya Boma.
"Ah udah. Nanti aja," jawab Gita. "Soal Si
Bodong dihajar sama Ronny?"
Gita menggeleng.
"Lalu?"
"Nanti aja Bom. Nanti di sekolah. Hari Senin
depan kita 'kan mulai masuk...."
"Kamu bikin hati gua jadi nggak enak Git.
Memang ada apa-an sih?" tanya Boma.
"Udah Git, kasih tau aja," kata Allan.
Gita Parwati merubah duduknya. "Oke deh.
Soal Dwita...."
"Dwita?" ujar Boma.
"Aku dengar kabar bokapnya dapat tugas
baru di luar negeri. Katanya di New York. Markas
Besar PBB. Paling cepat empat bulan lagi sudah
harus berangkat."
Tiga pasang mata memperhatikan Boma.
Gita, Allan dan Firman tidak melihat perubahan
pada wajah Boma. Padahal apa yang barusan
didengar Boma membuat jantung anak ini jadi
berdebar keras.
Boma tidak berkata apa-apa. Dipegangnya
bahu Gita lalu melangkah ke arah tangga.
Firman mengikuti di belakang.
"Seharusnya tadi kamu nggak usah maksa
aku bilang soal Dwita," kata Gita begitu Boma
dan Firman berlalu.
"Lebih cepat dikasih tau lebih bagus. Kasihan
Boma kalau dia tahu cuma tinggal beberapa
hari." Jawab Allan.
"Bagusnya sih biar Dwita aja yang ngasih tau.
Saat ini Boma pasti ngerasa nggak enak...." Gita
menatap Allan sebentar, tersenyum. "Matamu
kok merah?"
"Aku kurang tidur Git."
"Kurang tidur atau kebanyakan tidur?"
"Kurang tidur." Jawab Allan.
"Begadang?"
"Nggak juga. Aku haus. Mau pesan minuman
dulu." Allan melambaikan tangan, memanggil
pelayan.
--oo0dw0oo--
TURUN dari tangga jalan Boma berkata. "Man,
aku mau ke toilet dulu."
"Aku juga pengen kencing," kata Firman.
Sambil melangkah ke toilet yang terletak di
bawah tangga Boma bertanya. "Man, kamu tadi
meratiin nggak tampangnya Si Allan?" "Maksud
kamu jerawat batunya yang tambah numpuk?"
balik bertanya Firman. "Pasti otak kotormu lagi
jalan. Pasti kamu niikir begini. Tu muka yang
penuh jerawat disenggol tangan aja sakitnya
bukan main. Gimana kalau lagi main gusel-
guselan sama Si Gita...."
"Otak lu yang bau comberan, bilang otak gue
kotor!" Tukas Boma Sambil menowel hidung.
"Aku liat mata Si Allan merah. Tapi aku yakin itu
bukan karena kurang tidur. Bukan akibat banyak
begadang. Pandangannya kosong. Gerakan
tangan agak gemetaran. Bahunya sesekali
sempoyongan kayak layangan singit."
"Udah, bilang aja 'tu anak kayak habis teller.
Iya kan?" ujar Firman. "Tapi kalau habis nenggak
miras biasanya musti ada bau-bau alkohol."
"Bukan miras Man. Bukan alkohol...." kata
Boma. Seorang lelaki gemuk dan anak lelaki
kecil keluar dari dalam toilet. Boma dan Firman
masuk.
Di dalam toilet kecuali Boma dan Firman saat
itu tidak ada orang lain. Tiba-tiba dua orang
bertubuh kekar masuk. Dua-duanya berambut
gondrong. Yang satu berewokan. Di luar sana
ada orang ketiga menutup pintu, menjaga jalan
masuk. Tidak itu saja. Orang ini menempelkan
sehelai kertas di pintu. Di atas kertas itu tertulis
"Maaf toilet rusak."
Boma kencing di sudut kiri. Firman satu kloset
terpisah di sebelah kanan. Dua orang berbadan
tegap tahu-tahu sudah berdiri di kiri-kanan
Boma. Keduanya tidak kencing. Merasa
dipandangi dari samping, Boma jadi tidak enak.
Kencingnya tersendat tidak lampias. Dia
berpaling pada lelaki di sebelah kanan.
"Kamu anak Nusantara Tiga?" Tiba-tiba si
kekar berewok bertanya dengan suara garang.
Nafasnya menebar bau alkohol.
Mendengar Boma ditanyai Firman menoleh
tapi giliran dia yang dibentak oleh teman si
berewok.
"Mau apa lu liat-liat?!"
Firman yang berbadan kecil jadi terdiam. Tapi
anak ini tidak merasa jerih atau takut. Di
sekolah dia sering disebut sebagai anak
kelotokan. Artinya tidak takut sama siapa saja,
kadang-kadang berlaku aneh. Cuma untuk
melawan lelaki berbadan kekar ini Firman
memang harus berpikir lebih dari dua kali. Lagi
pula dia tidak tahu apa yang tengah terjadi dan
mau apa kedua orang itu. Mau ngompasl Mau
malakl
Ditegur kasar Boma tidak menjawab.
Restluiting celana jinsnya ditarik ke atas. Dia
merasa sesuatu yang tidak benar bahkan
membahayakan dirinya dan Firman akan terjadi.
Ketika Boma tengah mengancingkan ikat
pinggang, orang di sampingnya mendorong
bahunya dengan kasar.
"Kamu budek?! Ditanya diam aja!"
Boma tetap tak menjawab. Dia menatap
wajah orang itu sesaat, melirik ke arah Firman
lalu sambil memberi isyarat dia berkata. "Ayo
Man, kita keluar."
Begitu Boma melangkah ke pintu yang
tertutup, si berewok ulurkan tangan mencekal
kerah kemejanya.
"Mana temen lu Ronny Celepuk?" Orang yang
mencekal bertanya sambil menyentakkan
cekatannya.
"Nggak ada. Nggak tau...." Jawab Boma.
"jangan ngibul! Kamu Boma 'kan? Anak SMA
Nusantara Tiga! Kalau ada kamu pasti juga ada
Ronny Celepuk!"
"Nggak ngibul tuh! Liat aja sendiri! Apa ada
Ronny Celepuk di tempat ini!" kata Boma. Suara
dan sikapnya kalem-kalem saja. Padahal saat itu
jantungnya dag-dig-dug juga.
"Anak gendenk! Lu mau nantang gua hah?!"
Dengan tangan kirinya orang itu dorong kening
Boma hingga kepala Boma terdongak ke
belakang.
"Nantang? Siapa yang nantang?!" sahut
Boma. Orang yang mencekal kerah kemejanya
memang besar kekar dan seram tapi sealis lebih
pendek dan dirinya tak kenal orang ini
Sebaliknya, agaknya orang ini tahu siapa dia.
"Wah, berani juga nih kunyuk!"
"Memang dia sok jadi jagoan!" Lelaki kekar
satunya bicara. "Katanya dia punya ilmu. Mulai
aja Fred! Aku mau liat ilmu apa sih yang dia
punya! Aku biar jagain monyet yang satu ini."
Si berewok menyeringai. Boma didorong
hingga tersandar ke dinding ruangan. Lalu
laksana kilat tangan kanannya bergerak.
"Plaaakk!"
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri
Boma. Seumur hidup baru sekali ini Boma
ditampar orang seperti itu. Ayahnya saja yang
terkenal galak sama anak tidak pernah
menampar. Sudut kiri bibir Boma pecah. Darah
meleleh. Boma merasa seperti ada ledakan
dahsyat di telinga kirinya. Untuk beberapa lama
anak ini tertegak nanar, meringis menahan sakit,
telinga mengiang, air mata meleleh dari sudut
mata kiri. Bukan air mata menangis tapi air mata
saking hebatnya dia berusaha menahan sakit.
"Katanya lu punya ilmu! Kok baru digampar
aja udah ngulet kesakitan!" Lelaki di belakang
Boma mengejek.
Si berewok yang barusan menampar ikut
bicara. "Katanya jagoan! Nggak taunya cuma
banci cengeng!"
"Hajar lagi Fred, biar dia tahu rasa!" kembali
teman si berewok berucap.
Firman tiba-tiba menerjang ke depan. Dia
berusaha menendang orang yang barusan
menampar Boma. Tapi kawan si berewok cepat
menghadang. Bukan cuma menghadang, malah
sekaligus melayangkan jotosan. Sosok kecil
Firman terpental lalu terjengkang di lantai toilet
begitu tinju keras melanda dadanya. Anak ini
melingkar di lantai, mengerang kesakitan sambil
pegangi dadanya yang serasa amblas. Dasar
anak kelotokan, meski menderita sakit bukan
main tapi dia gulingkan badan, menangkap kaki
orang lalu mengigit pahanya. Blujins yang
dipakai orang itu cukup tebal tapi gigi-gigi
runcing Firman masih bisa tembus lalu
menghunjam di daging pahanya. Orang ini
menjerit kesakitan. "Bangsat! Main gigit!"
Dijambaknya rambut Firman lalu kepala anak
ini disentakkannya. Begitu tubuh Firman
terangkat dia kembali daratkan jotosan. Firman
terpekik. Jotosan mendarat tepat di keningnya.
Lutut anak ini langsung terlipat. Dalam keadaan
seperti itu tubuhnya didorong kuat-kuat hingga
terpelanting, terkapar di lantai toilet yang kotor,
mengerang kesakitan.
Sebenarnya Boma masih bisa menahan rasa
sakit tamparan lelaki berewok. Dia ingin
menanyakan salah apa sampai dia ditampar
seperti itu.
Tetapi ketika melihat Firman dijotos dan
dibanting amarah Boma Tri Sumitro yang
mendapat cap Anak Geblek dan terakhir malah
dijuluki Anak Baru Gendenk menggelegak
seperti air mendidih. Ubun-ubunnya serasa
mengepulkan hawa panas. Dadanya membara.
Apa lagi saat itu di depan dilihatnya si berewok
mengayunkan tangan hendak meninju mukanya.
"Bang, jangan Bang. Jangan pukul. Saya kan
nggak punya salah apa-apa sama Abang."
Luar biasa. Dalam keadaan seperti itu
mendadak saja Boma mampu menindih hawa
amarahnya dan keluarkan ucapan polos sabar.
"Jangan banyak bacot!" bentak si berewok.
Tinju kanannya menderu.
"Bukkk!"
Jotosan si berewok mendarat. Bukan di wajah
Boma, melainkan di atas telapak tangan kiri
anak lelaki itu. Boma berhasil menangkis
serangan orang.
"Bangsat! Berani ngelawan!"
Si berewok pergunakan tangan kiri untuk
meninju perut Boma dan tepat mengenai
sasarannya dengan telak di ulu hati. Boma
terlipat ke depan. Perutnya seperti pecah.
Sesaat Boma sulit bernafas. Lalu serasa mau
muntah. Dalam keadaan seperti itu si berewok
kembali mengangkat tangan kanan, siap
melayangkan tinju berikutnya. Yang diincarnya
kali ini adalah hidung Boma.
Boma cepat mundur. Tapi punggungnya
tertahan oleh papan pemisah kloset.
"Buukk!"
Tinju si berewok yang diarahkan ke hidung
Boma mendarat di pipi kiri. Boma seperti melihat
ledakan bintang-bintang di pelupuk matanya. Dia
nyaris roboh kalau tidak cepat menggapai papan
pemisah kloset. Boma baru bisa menarik nafas
agak panjang ketika tiba-tiba dari samping
kawan si berewok melayangkan tinju ke arah
rahang kirinya.
Rasa sakit yang amat sangat membuat
amarah Boma yang tadi padam kembali
menggelegak, lebih dahsyat dari sebelumnya,
memusnah kesabaran yang ada dalam dirinya.
Satu hawa aneh tiba-tiba terasa di kuduknya.
Hawa ini menjalar ke seluruh tubuh. Entah apa
yang terjadi, di mata Boma dua orang lelaki
kekar yang memukuli dia dan Firman itu tampak
kecil.
Rahang menggembung, geraham bergeme-
letakan. Sepasang mata menyorot aneh. Tangan
kanan menowel hidung. Kepala dan pundak
dimiringkan. Jotosan yang melayang ke arah
rahang ditangkis dengan lengan kiri. Bersamaan
dengan itu tangan kanan melesat ke depan.
Kawan si berewok keluarkan suara seperti
sapi melenguh ketika tinju kanan Boma
menyodok ulu hatinya. Tubuhnya terhempas ke
belakang. Dua tangan menggapai udara. Firman
yang saat itu sudah berdiri dan tegak bersandar
ke dinding sambil pegangi keningnya yang benjol
merasa dapat kesempatan untuk memba-las.
Sosok kekar yang terhuyung ke belakang itu
didorongnya kuat-kuat hingga menghantam
pintu wc, terus masuk ke dalam wc. Malang,
kepalanya membentur dinding dengan keras.
Orang ini tergelimpang miring tak sadarkan diri
di lantai wc, sebagian mukanya masuk ke dalam
kloset jongkok!
Lelaki berewok tidak sempat melihat apa
yang terjadi dengan kawannya. Juga tidak
melihat jotosan kilat yang dihantamkan Boma ke
hidungnya. Boma tidak tahu apakah hidung itu
patah tulangnya. Yang jelas dia melihat ada
darah mengucur dari dua lobang hidung dan si
berewok megap-megap sukar bernafas. Rasa
sakit membuat orang ini jadi kalap. Dia berusaha
mencekik leher Boma dengan dua tangannya
yang kokoh. Tapi Boma tidak memberi
kesempatan. Sebelum cekikan sampai, tinju
kanan Boma untuk kedua kalinya melesat. Kali
ini menghantam mata kanan si berewok. Orang
ini menjerit keras, melintir sambil pegangi
matanya. Ketika tubuh yang melintir berputar
menghadap ke arahnya, Boma sarangkan lagi
satu tonjokan ke perut lawan. Si berewok terjajar
keras amblas masuk ke dalam wc. Jatuh
tertelungkup, tepat di atas sosok kawannya.
Melihat dua orang itu tidak bergerak, tidak
bersuara Firman jadi takut. Kalau cuma pingsan
tidak jadi apa. Tapi kalau ternyata keduanya
mati?
"Bom, kabur Bom...." bisik Firman.
Tapi Boma tidak punya pikiran untuk segera
kabur.
"Tunggu Man, dua orang hutan ini musti
dikasih pelajaran," ucap Boma. Lalu anak ini
melangkah ke pintu wc. Turunkan retsluiting
celana jinsnya. Kencingnya yang tadi tertunda
tidak lampias kini dikeluarkan habis-habisan!
Dikucurkan mengguyur dua orang yang
tergeletak pingsan di dalam wc. Mulai dari
badan sampai kepala.
"Gila lu Bom!" kata Firman. "Dasar gendenk!"
Boma menyengir. Sekilas dia melihat
wajahnya di dalam kaca. Bengkak besar merah
kebiruan menghias pipi kirinya.
"Sial!" maki anak ini. Dia berpaling pada
Firman yang juga tengah memperhatikan benjut
besar di keningnya.
"Man, sekarang saatnya kabur! Sebentar lagi
pasti ada yang masuk ke sini," kata Boma.
Sementara itu di luar toilet, lelaki kawan dua
orang tadi, yang sebelumnya menempelkan
kertas bertuliskan "Maaf toilet rusak" merasa
curiga mendengar teriakan-teriakan di dalam
sana. Apa lagi saat itu seorang Satpam
dilihatnya terus-terusan memperhatikan ke
arahnya dari kejauhan. Takut ketahuan, orang ini
cepat tanggalkan kertas yang ditempel di pintu
lalu membuka pintu, masuk ke dalam toilet. Saat
itulah Boma dan Firman menghambur keluar.
"Hai!" orang yang barusan masuk berteriak.
Dia hendak mengejar Boma dan Firman. Tapi
tidak jadi karena merasa heran tidak melihat
dua temannya di dalam toilet.
"Cepetan Man!" kata Boma.
Ketika ke dua anak ini sampai di ujung tangga
jalan, Satpam yang sejak tadi memperhatikan
sekitar toilet melangkah mendatangi.
"Ada apa?!" Petugas itu bertanya. "Siapa tadi
yang teriak-teriak?"
Boma pura-pura mengusap pipinya untuk
menutupi benjut lebam di pipi kiri. Firman
memandang ke jurusan lain sambil turunkan
rambut agar menutup benjut di kening.
Firman bingung, tak tahu mau menjawab apa.
Boma cepat dapat akal, cepat pula menjawab.
"Pak, cepat masuk ke dalam toilet Pak. Ada
dua orang melakukan praktek homo." Kata
Boma sambil menggeser langkah.
"Hah?! Apa?!" Si Satpam sulit mau percaya.
"Betul Pak. Kami berdua liat sendiri. Kami
kabur ketakutan." ucap Firman. Dia bergerak
mengikuti Boma.
"Teman saya ini hampir dikerjain juga!"
menambahkan Boma.
"Gila!"
"Ketika Satpam itu melangkah menuju toilet,
Boma dan Firman langsung kabur.
--oo0dw0oo--
3.ALLAN PUNYA MASALAH
WARUNG bakso di ujung jalan riuh oleh suara
gelak tawa tujuh orang anak termasuk Firman
yang menceritakan Peristiwa perkelahian di
toilet toko buku Gramedia itu.
"Untung belon masuk sekolah. Kalau nggak
kalian berdua bisa jadi tontonan. Kayak anak
ondel-ondel...," kata Gita. Lalu anak perempuan
gemuk ini tertawa cekikikan.
"Mulai sekarang kau jangan dulu pergi-pergi
ke Gramedia, Bom," kata Vino sambil mengusap
matanya yang berair karena tertawa terpingkal-
pingkal. "Kalau Satpam Gramedia ngenalin
kamu, pasti jadi urusan."
"Bukan cuma Satpam itu," kata Gita Parwati.
"Nggak mustahil dua orang yang mau ngerjain
kamu datang ke sana. Menunggu kamu sama
Firman muncul kembali."
Boma masih terus mengusap-usap
hidungnya.
Firman lalu berkata. "Waktu kita lagi dipermak
orang di dalam toilet, Si Gita malah lagi enak-
enakan in the mood bersama Si Allan...."
"Bom' kata Ronny. "Kejadian di Gramedia itu
jelas ada hubungannya dengan kejadian di
Atrium. Buktinya sebelum mukuli kamu, orang
itu nanyain aku. Sebetulnya aku yang diincar,
tapi kalian berdua yang apes." Suara Ronny
bernada sedih, juga menyesal. "Kalau waktu itu
gua nggak nonjokin Si Bodong...."
Boma pegang tangan Ronny Celepuk. "Kamu
nggak usah ngomong gitu Ron...."
"Mungkin kita semua sudah masuk dalam
daftar yang mau dikerjain," kata Vino.
"Kamu nggak ngenalin dua orang itu? Nggak
pernah ngeliat sebelonnya?" tanya Andi.
Boma menggeleng. "Tapi kalau ketemu lagi
aku pasti ngenalin tampang monyet-monyet itu."
"Aku ingat," kata Firman menyambung ucapan
Boma. "Orang yang mau mukulin Boma dipanggil
Fred sama temannya. Mungkin namanya
Freddy."
"Gila juga Si Bodong. Bisa-bisanya nyuruh
orang mukulin aku sama Firman." Boma berkata
sambil mengusap-usap hidungnya dengan ujung
jari.
"Belum tentu ini kerjaan Si Bodong sendirian,"
Gita memberikan pendapat. "Mungkin Si Anton
juga ikutan. Malah bisa saja tu anak yang jadi
dalangnya. Ingat, dia yang nyuruh Si Bodong
bego ngelempar kita sama telor busuk!"
Masih mengusap-usap ujung hidungnya
Boma memandang pada Ronny lalu berkata.
"Heran, sirik apa sih Si Anton sama aku dan
kamu Ron?"
"Sama aku sih mungkin kagak Bom. Tapi
sama kamu pasti iya," kata Ronny pula.
"Belangnya mulai keliatan waktu dia nyuruh Si
Bodong ngelempar telor busuk tempo hari."
"Pasti iyanya kenapa?" ujar Boma. "Walau
satu sekolah aku, kita tidak satu kelas sama dia.
Ketemu juga jarang. Pokoknya nggak ada yang
korslet antara aku, antara kita-kita dengan Si
Anton."
"Aku juga nggak ngarti," kata Ronny dan ikut-
ikutan mengusapi hidungnya yang seperti paruh
burung kakak tua.
"Kalian semua budek en buta," kata Gita.
"Ajie Busyetl Maksud kamu apa non Gita
cakep?" tanya Boma sambil mesem-mesem.
"Yang aku dengar, yang aku tau Si Anton itu
udah lama ngebet sama Trini. Tapi kepentok
kamu, den mas Boma yang ngganteng." Gita
balas meledek.
Semua mata memandang ke arah Boma.
"Nah, kok kepentok aku?" tanya Boma heran.
"Kepentoknya benjol nggak?!" menimpali Rio.
"Yang kepentok kepala bawah apa kepala
atas?" Vino menimpali.
Ronny dan Firman tertawa lebar. Gita
cemberut. Boma dan yang lain-lainnya
senyumsenyum mendengar ucapan Vino itu.
"Kalau dia memang demen sama Trini ambil
aja," kata Boma. "Aku nggak ada hubungan apa-
apa sama 'tu cewek kok."
"Jangan begitul Bom. Jangan takabur bo...."
ujar Gita.
"Begitul begitil," Boma agak bersungut.
"Memangnya aku takabur gimana?"
"Trini itu naksir sama kamu. Jelas. Semua
orang tau. Tapi kamunya kayak ogah-ogahan...."
"Git, kamu ini kayak yang nggak tau history
aja. Nggak tau sejarah," Vino memotong ucapan
si gendut Gita Parwati.
"Keren amat lu ngomong. Maksud kamu
apa?" tanya Gita.
"Gue sih ngomong blak-blakan aja bo," kata
Vino sambil melirik Boma. "Mau marah, marah
deh! Gue ngomong seadanya. Dulu pertama kali
memang Boma duluan yang naksir Trini...."
"Enak aja lu!" protes Boma.
"Terusin Vin," kata Gita.
Vino meneruskan. "Tapi Trini jual mahal.
Cuek. Mungkin kawan kita ini nggak masuk
nominasi karena sudah kebeken gebleknya.
Rangkingnya lumayan bagus. Tiga sembilan dari
empat satu...." Sampai di situ Vino berhenti
bicara, memperhatikan dulu teman-temannya
yang pada nyengir, termasuk Boma sendiri.
"Mungkin Trini nggak mandang sebelah mata
karena Boma bukan anak gedongan. Cuma anak
seorang tukang...." Terusan ucapan Vino itu
adalah seorang anak tukang sablon. Tapi
ucapannya terputus. Boma ulurkan tangan
kanan ke arah jidat Vino. Jari-jari ditekuk ke
dalam.
"Ayo. Terusin nyebut kerjaan bokap gue. Gue
jitak benjol lu!" Boma mengancam. Vino cepat-
cepat jauhkan kepalanya.
"Sorry teman-teman, ada kerusakan teknis!"
kata Vino membuat teman-temannya kembali
tertawa. "Terusin nggak nih?"
"Terusin!" jawab Gita, Andi, Firman, Rio dan.
Ronny berbarengan. Boma diam saja.
"Tapi waktu Dwita masuk...." Vino
menyambung jalan ceritanya. "Everything
changes. Cia illah, keren banget gua." Vino
tertawa geli sendiri. "Keadaan berobah. Trini
merasa mendapat saingan. Apa lagi Dwita
keliatan akrab sama Boma. Lalu Trini pasang
kuda-kuda baru. Deketin Boma. Saat itu Si Anton
lagi ngebet-ngebetnya sama Trini. Tapi si cewek
justru nguber Boma. Anton kesel en kalap. Kita-
kita yang jadi korbannya. Nah, begitu jalan
ceritanya. Bener nggak penonton?"
"Bennneerrrrr!" Enam mulut menjawab lalu
sama-sama tertawa. Boma cuma bisa nyengir.
"Mungkin Si Anton nganggap kamu rakus
Bom," kata Firman. Mauin dua cewek sekaligus."
"Kayak pangeran aja," kata Rio.
"Pangeran bandit." Sambung Gita.
"Ajie Gilel" Boma menyeringai lalu menowel
hidungnya.
"Bom, kamu kalau sehari-hari nggak nowelin
hidung, mungkin meriang kali ya?!" ujar Gita
yang sejak tadi memperhatikan kebiasaan Boma
inenowel hidung.
"Masih mending gua nowelin hidung sendiri.
Kalau nowelin hidung kamu mau nggak?" tanya
Boma.
"Rasain lu, Dut!" kata Vino tertawa geli.
"Uh, si Boma paling bisa ngebalikin omongan
orang!" kata Gita pula.
"Teman-teman, lupain dulu urusan cewek-
cewek itu." Ronny mengalihkan pembicaraan.
"Lebih penting kita, omongin bahaya yang
mengancam kita. Pertama bahaya pembalasan
dari dua orang yang dikerjain Boma sama
Firman di toilet. Kedua bahaya dari Si Anton
sendiri. Saat ini dia pasti tambah nggak senang
sama kita-kita. Terutama sama Boma."
"Dua orang itu punya itikad jahat Mau
melakukan tindak kekerasan. Bagaimana kalau
kita lapor Polisi?" kata Andi. "Mungkin bisa pakai
jalur bokapnya Trini yang Letkol itu."
Boma gelengkan kepala. "Aku nggak setuju.
Soalnya gara-gara urusan orang yang dirampok
di bajaj dulu saja, aku jadi bulak balik ke kantor
polisi. Ditanya ini itu. Diminta kesaksian. Belum
lagi nanti sampai ke sidang pengadilan. Kalau
ditambah lagi dengan urusan yang satu ini,
buntutnya pasti jadi makin panjang. Alamat
bakal banyak bolos nantinya aku di sekolah."
"Soal perampokan itu Bom," kata Ronny. "Kau
juga harus hati-hati. Banyak yang bilang,
biasanya teman-teman rampok yang ada di
luaran suka balas dendam. Apalagi kalau si
perampok yang nanti dihukum, keluar dari
penjara. Nggak mustahil dia nyari kamu, Bom."
"Aku memang sudah mikirin itu," jawab Boma.
"Aku memang harus hati-hati. Tapi kalau kelewat
dipikirin,. aku bisa stres sendiri. Akhirnya aku
bersikap pasrah aja. Minta perlindungan Tuhan."
"Bom, banyak yang bilang kau sekarang
sudah punya ilmu. Apa ilmu itu nggak bisa
dipakai buat jaga diri?" Bertanya Gita Parwati.
"Ilmu apa-an? Ilmu tai kucing?" ujar Boma
pula.
"Tai kucing, tai anjing kek. Kalau kau memang
punya ilmu berarti nggak usah terlalu banyak
pasrah. Kami teman-temanmu jadi nggak terlalu
kawatir." Gita diam sebentar lalu meneruskan.
"Waktu kau menghajar dua orang di Gramedia
itu, apa kamu ngeluarin ilmu?"
"Memang aku ngeluarin ilmu. Tapi ilmu
nekad!" jawab Boma.
Anak perempuan bertubuh gendut itu tertawa
lebar. Dia berdiri sambil berkata "Sorry teman-
teman. Aku musti pergi dulu."
"Pergi ke mana Git?" tanya Andi. Yang lain-lain
ikut heran.
"Nganterin nyokap ke dokter." Jawab Gita
Parwati.
"Ala... Nganterin nyokap apa janji sama
nyongnyong?" meledek Ronny.
"Enak aja lu," sungut Gita. "Udah, aku pergi
dulu ya."
"Hati-hati Git. Kalau bisa perginya jangan
lewat jalan Kramat Raya," kata Vino dengan
wajah serius.
"Memang kenapa?" tanya Gita juga serius.
"Ada razia," jawab Vino.
"Razia? Razia apa-an?" Gita tambah serius.
"Razia orang jelek en gendut!" jawab Vino.
"Sialan!" Gita angkat tinjunya tinggi-tinggi.
Sebelum tangan itu diayun ke batok kepala Vino,
anak lelaki ini cepat menghambur, berlindung di
belakang Boma.
"Brengsek!" kata Gita Parwati lalu putar
tubuhnya yang gemuk, melangkah keluar
warung.
"Ee... Git! Baksonya bayar dulu!" teriak
Firman.
"Sa' bodo!" jawab Gita tanpa berpaling.
"Wah, berabe deh kalau kasir kita diantuk
penyakit ngambek," kata Ronny pula.
Tak lama setelah Gita Parwati meninggalkan
mereka, Boma berkata. "Aku sama Firman
pernah ngomong-ngomong soal cowoknya
Gita...."
"Si Allan, anak baru itu?" ujar Andi.
Boma mengangguk.
"Kayaknya Gita naksir berat sama Allani Allan
juga suka sama Gita' ucap Rio.
"Ajie Busyet. Si Gita bukan cuman buta mata,
tapi juga buta hidung. Dia betulan naksir sama
Si Allan, anak baru itu?" Ronny Celepuk tepuk
jidatnya sendiri.
"Soal sama-sama naksir sih itu urusan
mereka," kata Firman. "Justru ada hal lain yang
bisa jadi masalah. Bukan cuma buat Gita, tapi
juga buat kita-kita semua. Malah bisa-bisa
masalah buat satu sekolah."
"Ajie Gombali" Ronny lagi yang buka mulut
"Memangnya Si Allan ngelakuin apa? Makar
terhadap Pemerintah yang syah? Atau kudeta
pimpinan SMA Nusantara Tiga?!"
"Ceritain aja Bom," kata Firman.
"Kalian pernah nggak meratiin wajah samaj
gerak-geriknya 'tu anak." Boma pandangi wajah
teman-temannya.
Tak ada yang segera menjawab. Lalu Rio
membuka mulut. "Kalau wajahnya sih jelas.
Banyak jerawat. Kalau gerak geriknya...."
"Memangnya kenapa Bom?" Andi bertanya. ;
"Kita-kita memang baru beberapa kali ketemu
dia. Soalnya masih belum masuk sekolah. Tapi
beberapa kali ketemu aku sering ngeliat
matanya merah...."
"Mungkin aja dia tukang begadang...." kata
Ronny.
Boma menggeleng. "Mata merahnya Si Allan
bukan karena bergadang. Kayaknya ada
penyebab lain. Lalu, kadang-kadang aku liat dia
duduk atau berdiri seperti orang kehilangan
keseimbangan. Tangannya suka gemetaran.
Pandangannya kosong. Terus terang aja aku
kawatir dia suka nenggak obat terlarang."
"Ah, kamu nggak-nggak aja Bom. Kalau Gita
tau kamu ngomong begitu habis kamu
didamprat si gendut itu," kata Ronny.
"Aku serius Ron. Kalau Allan suka yang
begituan, cepat atau lambat pasti bakal ada
teman-teman yang ketularan. Pertama sekali
Gita tentunya."
"Bom, kalau dugaanmu nggak benar
buntutnya bisa jadi jelek," kata Ronny Celepuk
pula. "Kalau bener?" ujar Boma. Semua terdiam.
"Ada satu lagi," kata Firman. "Kalau di tempat-
tempat keliwat ramai Si Allan kadang-kadang
seperti orang sesak nafas. Muka pucat keringat-
an...."
"Jangan-jangan 'tu anak punya penyakit
bengek," kata Rio.
"Bukan bengek, tapi asma," celetuk Vino.
"Asma asmara. Asmara sama Gita."
"Gini aja," kata Boma. "Di antara kita harus
ada yang nyelidik. Kalau perlu nanti waktu sudah
sekolah ada yang meriksa tasnya."
"Mana mungkin segala obat terlarang ada
yang berani bawa ke sekolahan," kata Rio.
"Mungkin aja Ron. Karena kalau ditarok di
rumah takut digeledah orang tua...." kata Firman.
"Lalu kita mau bikin apa, bo?" tanya Ronny.
Boma memandang pada Andi. "Di, kamu 'kan
lebih dekat sama Gita dibanding kita-kita. Apa
lagi rumah kalian masih satu komplek. Allan
pasti sering datang ke rumah Gita. Kamu bisa
nggak ngawasin 'tu anak berdua. Terutama Si
Allan."
"Yah, aku coba deh," jawab Andi sambil garuk-
garuk kepala.
"Nanya-nanya atau cari keterangan juga bisa,"
kata Firman
"Nanya-nanya gimana?" tanya Andi pada
Firman.
"Misal dia pindah sekolah. Lantaran apa?
Minta pindah sendiri atau dikeluarin. Kalau
dikeluarin sebab apa? Berantem, tawuran atau
suka nenggak obat setan."
"Tapi kamu musti hati-hati, Di," kata Boma
pula. "Jangan sampai ketauan sama Si Allan
atau Gita kamu nyelidikan dia. Apa lagi kalau
sampai kejebak. Ikut-ikutan nenggak obat
setan."
"Amit-amit jabang babu...." kata Andi.
Disambut gelak tawa semua anak yang ada di
situ.
---oo0dw0oo---
4.BATU PENYUSUP BATIN
DALAM gelapnya malam, di bawah terpaan
angin laut serta deru gelombang ombak pantai
selatan, satu bayangan biru laksana terbang
berkelebat ke arah timur. Rambutnya yang
panjang sekaki seperti mengambang di udara. Di
atas bahu kanannya orang ini memanggul
seseorang yang tiada hentinya keluarkan suara
menggerang.
"Jahanam Muka Bangkai Berhentilah
merintih! Atau kuputus urat besar di lehermu
hingga kau jadi gagu seumur-umur!" Orang yang
memanggul membentak.
"Eyang...." Orang yang dipanggul keluarkan
suara perlahan. "Daging tubuhku seperti leleh,
tulang-tulangku laksana hancur. Satu tanganku
amblas buntung. Kalau aku tidak boleh merintih
menanggung sakit mengapa kau tidak bunuh
saja diriku saat ini? Kau mau bawa aku ke
mana? Aku memilih mati dari pada hidup cacat
seumur-umur.
"Murid keparat! Jangan berani bicara tak
karuan padaku! Kematian terlalu enak bagimu!
Aku perlu minta pertanggungan jawabmu lebih
dulu! Kau telah melakukan satu kegagalan
besar! Kegagalan yang akan membuat
celakanya kita para tokoh golongan hitam. Dasar
murid tolol tidak berguna!"
"Eyang.... Eyang Kunti Api. Aku mohon, bunuh
saja aku sekarang juga!" Sang murid yang
berjuluk si Muka Bangkai kembali keluarkan
ucapan.
Sosok berjubah biru, yakni seorang- nenek
bertampang angker keluarkan suara
menggembor marah. Sepasang matanya yang
merah keluarkan cahaya menggidikkan.
Mulutnya yang perot dan pencong ke kiri
lesatkan pekik dahsyat. Begitu dua kakinya
dijejakkan ke tanah, tubuhnya melayang ke
udara setinggi lima tombak. Dari atas, sambil
melayang turun nenek ini, yang dikenal dengan
panggilan Eyang Kunti Api, lemparkan sosok
murid yang sejak tadi dipanggulnya.
Tak ampun lagi sosok Si Muka Bangkai
amblas tenggelam sampai sebatas leher dalam
pasir lunak dan becek di tepi pantai. Tampang
kakek ini pucat laksana darahnya disedot setan.
Matanya yang besar mendelik tinggal putihnya.
Dia merasa sekujur tubuhnya remuk. Dari mulut
dan hidungnya mengucur darah kental. Dua
tangannya terkulai di atas pasir. Yang kiri
buntung sebatas siku. Dia coba bersitekan
dengan tangan kanan dan mengangkat tubuh
agar bisa keluar dari dalam pasir. Tapi tidak
mampu. Dia hanya bisa menatap putus asa ke
arah sang guru sambil sesekali keluarkan suara
mengerang panjang.
Eyang Kunti Api melayang turun. Tegak dua
langkah di depan muridnya, berkacak pinggang.
Dongakkan kepala lalu tertawa bergelak. Tiba-
tiba nenek ini hentikan tawanya lalu
membentak.
"Muka Bangkai!"
Sang murid angkat sedikit kepalanya. "Kau
tahu kesalahan apa yang telah kau perbuat?!"
"Eyang.... Kau boleh menyebut segala apa.
Aku pasrah," jawab Si Muka Bangkai. Dari
mulutnya kembali mengucur darah kental.
Dalam serial Boma Gendenk sebelumnya
(ABG = Anak Baru Gendenk) telah dituturkan
bahwa Si Muka Bangkai mendapat tugas dari
Eyang Kunti Api untuk mencari tahu rencana
Sinto Gendeng yang hendak menghadirkan
seorang pendekar sakti mandraguna dalam
rimba persilatan. Konon pendekar itu diberi
julukan "Pendekar Tahun 2000". Bagi para tokoh
golongan hitam, rencana ini merupakan satu
malapetaka besar. Karena itulah selain mencari
tahu siapa adanya sang pendekar, Si Muka
Bangkai juga ditugaskan untuk membunuh Sinto
Gendeng. Ternyata Si Muka Bangkai yang juga
dikenal sebagai guru Pangeran Matahari tidak
berhasil dalam tugasnya. Bukan saja dia gagal
mencari keterangan dan membunuh Sinto
Gendeng, nenek sakti di puncak Gunung Gede
itu, dia sendiri malah harus kehilangan tangan
kirinya, putus sebatas siku dihantam serangan
Sinto Gendeng. Dan kini gurunya, Eyang Kunti
Api hendak meminta pertanggung jawaban dari
kegagalannya. Dia tidak tahu mau bertanggung
jawab bagaimana. Karena itu dia lebih suka
memilih mati saja.
"Enaknya mulutmu berucap pasrah! Kau tahu!
Kegagalanmu ini akan terasa sampai puluhan
tahun mendatang. Akan menjadi bencana bagi
kita orang-orang golongan hitam!" Kunti Api
meludah ke tanah. Matanya garang mendelik tak
berkesip pandangi muridnya yang terkubur
sebatas leher.
"Saya siap menerima hukuman Eyang. Saya
sudah bilang, matipun saya terima...." kata Si
Muka Bangkai.
"Kakek geblek!" maki Kunti Api dengan mata
laksana kobaran api menyala. "Soal
menghukummu mampus semudah aku
meludahi kepalamu! Kau dengar?!"
Si Muka Bangkai tak menyahut. Kepalanya
terkulai.
"Jahanam! Angkat kepalamu. Jawab! Kau
dengar?!"
Kakek yang terkubur di pasir becek itu
terpaksa angkat kepalanya. "Saya dengar
Eyang...."
"Kesalahanmu pertama! Kau gagal mengorek
keterangan siapa adanya orang yang diambil
Sin-to Gendeng dan dijadikan Pendekar Tahun
2000. Kesalahan kedua! Kau tidak berhasil
membunuh nenek keparat bau pesing Sinto
Gendeng itu. Bahkan mengorek dua mata
sumber segala kesaktiannya tidak mampu kau
lakukan!"
"Eyang.... Saya sudah berusaha. Saya
mengaku salah, mengaku gagal.Mungkin karena
ilmu saya masih jauh di bawah Sinto Gendeng.
Bahkan saya sampai-sampai mengorbankan
tangan kiri. Eyang saksikan sendiri. Tangan kiri
saya yang buntung...."
"Murid tak berguna! Masih untung tangan
kirimu yang buntung! Seharusnya jantungmu
yang amblas!" Damprat Eyanfo Kunti Api. Nenek
berjubah biru dengan rambut panjang sekaki ini
merutuk habis-habisan sambil melangkah
mundar mandir di depan kepala muridnya.
"Dengar, aku akan memberi kesempatan satu
kali lagi padamu. Satu kali dan terakhir kali!"
Perlahan-lahan Si Muka Bangkai angkat
kepalanya, menatap tak percaya pada sang
guru. Kakek ini menunggu. Apa yang akan
dikatakan selanjutnya oleh si nenek.
"Muridmu yang putera Surokerto bernama
Pangeran Anom berjuluk Pangeran Matahari itu!
Di mana dia sekarang?!" Tiba-tiba Eyang Kunti
Api bertanya.
"Saya... saya tidak dapat memastikan. Sudah
lama anak itu tidak menyambangi saya. Tetapi
jika Eyang menghendaki, saya akan berusaha
mencarinya...."
"Itu yang aku inginkan!" kata Kunti Api. Habis
berucap begitu dia hantamkan kaki kanannya ke
tanah di depan kepala Si Muka Bangkai. Luar
biasa sekali. Tanah itu terkuak sedikit.
Bersamaan dengan itu sosok Si Muka Bangkai
yang sejak tadi terpendam sebatas leher
mencelat ke udara setinggi satu tombak lalu
jatuh bergedebukan, mengerang di atas pasir
becek.
Eyang Kunti Api berkacak pinggang, dongak-
kan kepala dan umbar tawa bergelak.
"Muka Bangkai, dengar baik-baik." Berucap
Kunti Api. "Cari muridmu itu sampai dapat. Kalau
bertemu serahkan benda ini padanya."
Dari balik jubah birunya si nenek keluarkan
sebuah benda yang ternyata adalah batu
sebesar dan sebentuk telur burung merpati,
berwarna biru, terang berkilau. "Dengan
berbekal Batu Penyusup Batin ini, muridmu akan
sanggup menyusup ke mana saja yang
dikehendakinya. Dengan cara menyusup dia
akan mampu mencari tahu siapa adanya orang
yang bakal dijadikan Pendekar Tahun 2000 itu.
Jika dia sudah tahu siapa orangnya, berarti
mudah saja baginya untuk menghabisi orang itu.
Namun perlu kau ketahui dan ingat baik-baik.
Batu Penyusup Batin ini kuserahkan hanya
selama satu purnama. Berhasil atau tidak
muridmu melakukan tugasnya dalam waktu dua
purnama, batu ini harus dikembalikan padaku.
Muka Bangkai, kau dengar semua ucapanku?!"
"Saya dengar Eyang...."
"Kau paham, mengerti?!"
"Paham dan mengerti Eyang," jawab Si Muka
Bangkai yang saat itu masih melingkar di atas
pasir pantai becek.
Si nenek berjongkok di tanah. Batu Penyusup
Batin sesaat ditimang-timangnya. Lalu "batu itu
digelindingkan di atas pasir. Batu aneh bergulir
membentuk cahaya terang biru dalam gelapnya
malam. Beberapa jengkal di hadapan si kakek
batu itu berhenti bergulir.
"Ulurkan tanganmu. Ambil batu itu!" perintah
Eyang Kunti Api.
Si Muka Bangkai ulurkan tangan kanannya.
Pada saat jari-jarinya menyentuh Batu Penyusup
Batin, tiba-tiba wusss! Satu cahaya terang
memancar. Si Muka Bangkai terpekik dan tarik
tangannya. Ketika dia memperhatikan ternyata
beberapa jari dan kuku-kukunya yang panjang
hitam telah hangus kepulkan asap.
Eyang Kunti Api tertawa bergelak.
"Tua bangka itu. Apakah dia hendak menipu
atau mencelakai diriku...." pikir Si Muka Bangkai.
Ada rasa gusar dan juga sikap curiga terhadap
sang guru. Bukan sekali ini dia diperlakukan
seperti itu. Dulu ketika Eyang Kunti Api hendak
memberikan ilmu Sepuluh Cakar Iblis yang juga
dikenal dengan nama Sepuluh Jari Iblis, dirinya
sempat dibuat leleh babak belur seolah
dipanggang di atas bara api. (Baca serial Boma
Gendenk berjudul "ABG- Anak Baru Gendenk").
"Muka Bangkai, Batu Penyusup Batin bukan
batu sembarangan. Batu itu mempunyai rasa
dan perasaan seperti manusia. Dia tahu kalau
kau saat ini punya satu rasa dan maksud tidak
baik...."
Si Muka Bangkai diam-diam melengak kaget.
"Bukankah dalam hatimu saat ini ada maksud
keji hendak memiliki batu sakti itu seumur-
umur?"
Dalam hati Si Muka Bangkai membatin. "Luar
biasa, manusia satu ini bisa tahu apa yang ada
di hatiku." Lalu pada sang guru si kakek berkata.
"Eyang, maafkan saya kalau kau menduga
begitu...."
"Aku bukan menduga. Tapi dalam hatimu
memang ada maksud jahat itu!" bentak Kunti Api
dan dua larik sinar merah menyambar dari ke
dua matanya.
"Maafkan saya Eyang. Saya hanya ingin
mengikuti apa petunjuk dan perintah Eyang,"
kata Si Muka Bangkai pula.
"Bagus! Jadi jangan berani berhati culas
terhadapku dan terhadap Batu Penyusup Batin.
Kau bisa celaka sendiri, kalau sekarang niat
busuk di hatimu sudah hapus, kau boleh
mengambil batu itu!"
Si Muka Bangkai tarik nafas panjang lebih
dulu baru ulurkan tangan. Kali ini tak terjadi
letusan. Tak terjadi apa-apa. Batu berwarna biru
itu terasa sejuk tersentuh ujung jarinya. Cepat-
cepat Si Muka Bangkai menggenggam batu sakti
itu. Dengan susah payah dia lalu mencoba
bangkit. Ketika dia berhasil duduk di pasir dan
memandang ke depan, sang guru Eyang Kunti
Api tak ada lagi di hadapannya. Si Muka Bangkai
timang-timang batu sakti itu beberapa saat lalu
susupkan ke balik pakaian rombengnya yang
kotor berselemotan tanah dan pasir. Di mulutnya
tersungging seringai yang sulit diketahui artinya.
--oo0dw0oo--
5.KOPI DANGDUT
SOSOK samar itu mendekam di atas talang
air bangunan toko. Pakaiannya baju dan celana
ringkas hitam, di sebelah luar dilapisi sehelai
mantel yang juga berwarna hitam. Di dada baju
terpampang gambar gunung berwarna ? biru,
dilatari gambar surya lengkap dengan garis-garis
cahaya berwarna merah. Di kening terikat
secarik kain merah. Rambut hitam panjang
menjulai sampai ke bahu.
Sedari tadi sosok samar ini memperhatikan
orang-orang yang lalu lalang di ujung kawasan
pusat perbelanjaan Pasar Baru. Pandangannya
kemudian diarahkan pada tukang cendol
gerobak yang asyik membaca potongan-
potongan koran bekas sambil sesekali mengorek
hidung.
Sosok berpakaian serba hitam di atas atap
menyeringai.
"Mengorek hidung, melayani orang. Cendol
yang dijual bisa-bisa campur tahi hidung. Ha...
ha... ha." Orang berpenampilan aneh, sulit
terlihat oleh mata biasa ini memandang
berkeliling. Lalu pandangannya kembali
ditujukan pada tukang cendol yang saat itu
masih asyik membaca koran-koran bekas. "Aku
punya firasat, berita yang dibaca tukang cendol
itu ada sangkut paut dengan tugas dari guru.
Saatnya aku menyusup." Mahluk di atas atap
toko berucap sendiri. Tangan kanannya
dimasukkan ke dalam saku jubah sebelah kanan
di mana tersimpan Batu Penyusup Batin. Sesaat
batu sakti itu diusapnya berulang-ulang. Sosok
yang samar berubah lenyap, menjadi satu
dengan cahaya matahari siang. Sosok itu
kemudian terjun ke bawah. Seperti hembusan
angin mahluk transparan aneh itu menyusup
masuk kedalam tubuh tukang cendol yang
masih asyik membaca.
Begitu sosok aneh masuk dan jadi satu
dengan si tukang cendol, si abang merasakan
tengkuknya dingin. Rasa dingin ini terus
menjalar ke seluruh tubuh. Ada hawa aneh
menggerayangi badannya. Kulitnya seolah
merinding. Dia terus membaca. Tanpa sadar
kalau saat itu ada mahluk tumpangan dalam
dirinya ikut membaca apa yang dibacanya.
Boma Bantu Menangkap Penodong.
Boma Tri Sumitro (sekarang dijuluki Boma
Gendenk), yang belum lama berselang
mengalami musibah di gunung Gede bersama
teman-teman para pelajar SMU Nusantara III
lagi-lagi membuat berita. Kali ini dengan
keberanian seorang anak muda dia berhasil
membantu meringkus penodong bajaj di Kiamat
Raya, Jakarta Pusat. Berdasarkan keterangan
Boma sewaktu diwawancara, pelajar ini
mengatakan....
Bacaan si tukang cendol terhenti sampai di
situ karena ada seorang pembeli. Seorang
perempuan muda yang tengah hamil besar.
Rupanya karena panas dan haus, perempuan ini
ngiler melihat cendol. Tukang cendol letakkan
potongan surat kabar di samping gerobak, siap
melayani si pembeli.
Entah perasaan apa yang masuk dan
menguasai dirinya, si tukang cendol mendadak
berperilaku aneh. Senyum-senyum
memperhatikan perempuan muda hamil yang
duduk menyantap cendolnya.
Selesai minum, ketika hendak membayar,
tukang cendol itu berkata. "Udah, nggak usah
dibayar." Tukang cendol ini tidak menyadari,
seperti tidak mendengar kalau saat itu suaranya
mendadak berubah. Dia bicara tapi bukan
suaranya.
"Lho..,?" tentu saja perempuan hamil itu
merasa heran. "Kok? Bener nih nggak usah
bayar?"
"Bener," jawab tukang cendol. Lagi-lagi sambil
senyum. Kali irii malah sambil kedip-kedipkan
mata, membuat perempuan muda yang tadinya
heran kini jadi merasa tidak enak.
"Ganjen! jangan, jangan ini abang ada
maunya," pikir perempuan hamil. Lalu cepat-
cepat dia hendak tinggalkan tempat itu. Tapi
entah bagaimana tahu-tahu tangan kanan
tukang cendol itu mengusap pipinya.
"Eh, Abang kok jadi kurang ajar!" Perempuan
hamil jadi marah. Disekanya pipinya yang
barusan diusap dengan perasaan jijik.
"Ala cuma pegang pipi aja masa' sih marah.
Habis situ. cakep banget deh!"
"Jadi kamu nggak mau dibayar tapi gantinya
pengen nyolek orang seenaknya! Songong!
Kurang ajar!" perempuan hamil tambah marah.
Suaranya yang keras membuat orang banyak
yang ada di sekitar situ jadi palingkan kepala,
lalu mendekat ingin tahu apa yang terjadi.
"Lagi hamil besar jangan suka marah. Nanti
anaknya kaya saya lho," si tukang cendol
berkata, tak ketinggalan senyum dan kedipan
mata yang membuat jijik perempuan hamil.
"Amit-amit punya anak kayak kamu! Jelek!
Bau!" kata perempuan itu lalu tendang roda
gerobak cendol yang terbuat dari ban sepeda.
Didamprat seperti itu si tukang cendol
bukannya kapok malah maju mendekat lalu
benar-benar kurang ajar, tangan kirinya
diusapkan ke perut hamil si ibu seraya berkata.
"Orangnya dibilang jelek. Bau. Tapi cendolnya
diminum habis. Enak ya cendolnya?"
Karuan saja perempuan hamil itu jadi tambah
menggelegak amarahnya. Terlebih lagi ketika si
tukang cendol tiba-tiba membungkuk, ulurkan
kepala hendak mencium perutnya. Perempuan
itu menjerit keras sambil meninju punggung
tukang cendol.
Orang banyak berdatangan. Salah seorang di
antaranya adalah suami perempuan hamil itu
yang tadi rupanya pisah belanja dengan sang
istri. Melihat perut istrinya dipegang-pegang
malah mau dicium orang langsung dia lempar
belanjaannya dan bak buk-bak buk. Tukang
cendol terpaksa menerima hadiah bogem
mentah suami perempuan hamil itu hingga
babak belur. Urusan akhirnya sampai pada pihak
berwajib. Sebelum sampai di kantor polisi,
mahluk transparan yang mendekam didalam
tubuh tukang cendol melesat keluar sambil
tertawa-tawa tanpa suara.
Di kantor polisi anehnya tukang cendol tidak
mau mengaku salah. Dia merasa tidak berbuat
apa-apa. Apalagi melakukan hal-hal kurang ajar
terhadap perempuan hamil itu.
"Sumpah pak, saya nggak berbuat kurang ajar
sama ibu ini. Saya...." Suara tukang cendol telah
berubah kembali ke suara aslinya.
Aneh, suara tukang cendol kurang ajar ini kok
jadi lain?"kata perempuan hamil dalam hati yang
duduk di seberang meja pemeriksaan.
Perempuan hamil dan suaminya
diperbolehkan pulang. Si tukang cendol ditahan.
Malam hari, setelah dicatat nama dan
alamatnya, diberi nasehat dan pengarahan baru
dilepas. Petugas menganggap dirinya kurang
waras. Bagaimana mau inemproses orang sakit
ingatan. Jadi lebih baik dilepas saja.
Siflrig itu, hanya beberapa saat setelah
tukang cendol diamankan dan dibawa ke kantor
polisi, seoraflg lelaki yang masih berdiri di dekat
gerobak cendol melihat potongan surat kabar
yang tadi ada di samping gerobak tiba-tiba
bergerak, melayang di udara.
"Eh... eh...!" saking heran dan kagetnya orang
itu hanya bisa berseru eh-eh sambil menunjuk-
nunjuk. Beberapa orang yang memperhatikan
tapi tidak melihat potongan surat kabar yang
melayang di udara jadi geleng-geleng kepala.
Salah seorang di antara mereka berkata. "Tadi
tukang cendol, sekarang ada lagi orang geblek
minta digebukin."
Sementara itu di atas atap toko, sosok samar
bermantel hitam membuka lipatan potongan
suratkabar yang diambilnya dari gerobak tukang
cendol. Melanjutkan membaca berita yang tadi
sempat dibacanya lewat tukang cendol.
Belum habis bacaannya tiba-tiba dia
mendengar orang menyanyi diiringi suara
kerirfingan. Orang di atas atap angkat
kepalanya, memandang berkeliling. Disana, di
bawah jembatan penyeberangan, dekat deretan
penjual buah dia melihat orang berkerumun
membentuk lingkaran. Ingin tahu apa yang
terjadi mahluk bermantel hitam ini segera
melesat turun lalu ikut berkerubung di antara
orang banyk.
Di tengah lingkaran orang ramai, seorang
kakek berpakaian kumal, asyik menyanyi sambil
menari. Di tangan kirinya ada sebuah
kerincingan sedang di tangan kanan dia
memegang satu tongkat yang dipukulkan ke
gendang kecil yang tergantung di pinggang
sebelah depan. Di atas kepala ada payung
terbuka. Apapun gerakan yang dibuat kakek ini
dalam menari, payung itu tidak jatuh-jatuh. Yang
lucu dipandang adalah muka dan mimik si
kakek. Pipinya keriput kempot. Hidung pesek,
mata belok. Gigi tonggos berat hingga bibir atas
dan bibir bawah jarang saling ketemu. Kelucuan
lainnya ialah kakek ini memakai celana agak
gombrong kedodoran hingga sebagian pantatnya
sebelah atas kelihatan tersingkap hitam.
Seorang kakek mengamen sambil menari dan
sekaligus melakukan akrobat jarang kejadian.
Karenanya banyak orang yang lalu lalang
menyempatkan diri, berhenti sekedar melihat.
Apa lagi si kakek lincah sekali melantunkan lagi
Kopi Dangdut walau lidahnya agak pelo
menyebut huruf er.
Kala kupandang kelip bintang jauh di sana
Sayup teldengal melodi cinta yang menggema
Telasa kembali gelola jiwa mudaku Kalena
telsentuh alunan lagu semeldu kopi dangdut
Na... na... na Ni... ni... ni
Api asmala yang dahulu pelnah membala
Semakin hangat bagai ciuman yang peltama
Detak jantungku seakan ikut Hama
Aku tellena oleh pesona alunan kopi dangdut
Na... na... na
Ni... ni... ni
Ilama kopi dangdut yang celia
Menyengat hati menjadi gailah
Membuat aku lupa akan cintaku yang telah
lalu
Na... na... na Ni... ni... ni
Api asmala yang dahulu pelnah membala
Semakin hangat bagai ciuman yang peltama
Detak jantungku seakan ikut ilama Aku tellena
oleh pesona alunan kopi dangdut
Orang banyak tertawa bergelak. Seorang anak
muda berteriak.
"Kek, apa bener bisa ciuman? Paling-paling
kepentok gigi duluan!"
Orang ramai tertawa riuh. Si pengamen
mencibir sambil goyangkan pantatnya.
Sehabis bernyanyi dan menari si kakek lalu .
mendatangi orang-orang yang berkerumun,
Gendangnya dibalik.
"Seikhlasnya, Bos, Pak, Bu, Oom, Tante, anak
muda...."
Banyak yang memberi uang, dimasukkan ke
dalam gendang. Tapi banyak pula yang mundur
menjauh lalu pergi. Ketika dia sampai di
hadapan sosok bermantel hitam, mahluk
transparan ini jadi tersentak kaget.
"Kakek pengamen ini bukan manusia biasa.
Dia mampu melihat diriku.... Jangan-jangan."
Orang bermantel gelengkan kepala. "Seikhlasnya
anak muda, seikhlasnya...." kata kakek
pengamen.
Seorang anak lelaki berteriak. "Kek, kakek
minta duit sama siapa? Kok ngomong sama
tempat kosong?!"
"Seikhlasnya anak muda. Seikhlasnya...." si
kakek berucap kembali pada si mantel hitam.
Yang dimintai uang tetap gelengkan kepala.
Lalu dengan perasaan tidak enak dia melangkah
mundur. Si kakek buru-buru mengusap pinggang
mantelnya dan berkata. "Terima kasih anak
muda, terima kasih...."
Si kakek balikkan badan. Sambil
menggoyang-goyang kerincingan dan bernyanyi
na. na... na... ni... ni... ni dia melangkah pergi
hingga akhirnya lenyap di balik seng sebuah
gedung yang tengah dibangun. Orang yang tadi
ramai berkerumun telah lama pergi. Sosok
bermantel tegak termangu di bawah jembatan
pertokoan. Kemudian dia menyadari bagaimana
mata orang-orang yang lalu lalang
memperhatikan dengan pandangan aneh ke
arahnya.
"Orang-orang itu melihat diriku. Melihat
tubuhku secara nyata.... Ada yang tidak beres!"
Dia susupkan tangan kanan ke satu mantel.
Darahnya berdesir. Mukanya mengelam,
rahang menggembung. Batu Penyusup Batin
yang dibawa dan disimpannya di dalam saku
mantel lenyap! "Celaka! bagaimana bisa lenyap!"
Dia memeriksa semua saku, memeriksa setiap
sudut dan lipatan pakaian. Benda yang dicari
tetap tidak ditemukan. "Kurang ajar! Jangan-
jangan...." Dia ingat bagaimana tangan kakek
pengamen tadi mengusap pinggang mantelnya.
"Orang tua itu! Jahanam betul! Pasti dia yang
mencuri batu sakti." Matanya memandang ke
arah lenyapnya si pengamen. Cepat dia
mengejar. Orang banyak menghindar memberi
jalan dengan pandangan heran. Dia tidak
perduli. Setengah berlari dia mengejar kearah
ujung pagar seng gedung yang sedang dibangun.
Namun dia tidak menemukan orang yang dicari.
Jalan di balik pagar seng itu hanya dipenuhi oleh
mobil-mobil parkir. Kakek pengamen tidak
kelihatan sama sekali.
Beberapa orang petugas Kamtib yang sejak
tadi memperhatikan gerak gerik orang
berpakaian aneh ini salah seorang diantaranya
berkata pda teman-temannya.
"Siang bolong kok pakai mantel. Rambut
gondrong, kepala diikat kain merah." petugas ini
lalu mengajak teman-temannya mendatangi
orang itu.
Melihat gelagat yang tidak baik orang
bermantel cepat menyelinap ke balik pagar
seng. Ketika dua orang petugas Kamtib sampai
di tempat itu, orang bermantel tela,h menghilang
di antara alat-alat besar bangunan gedung.
--oo0dw0oo
6.HARI PERTAMA SEKOLAH
HARI pertama masuk sekolah suasana ramai
dan hangat. Seperti biasa para pelajar
berebutan mencari dan memilih bangku ma-ma-
masing. karenanya banyak di antara mereka
sengaja datang sepagi mungkin agar bisa
mendapatkan tempat duduk atau bangku yang
sip.
Di Kelas II-9 seperti waktu di Kelas I Boma
duduk di baris kanan, ujung belakang. Di
sebelahnya Firman. Trini yang datang agak
kesiangan berusaha mendapatkan tempat
duduk di dekat bangku Boma. Namun sejak pagi
Ronny dan kelompoknya sudah lebih dulu
menduduki semua bangku sekitar Boma. Ronny
di sebelah depan bangku Boma bersama Andi.
Di baris samping kiri duduk Rio bersama Vino.
Yang membuat kesal Trini, di depan bangku
Vino dan Rio duduk seorang anak perempuan,
murid baru, pindahan dari Semarang. Wajah
cakep, kulit hitam manis. Rambut sepinggang,
bodi padat sintal. Namanya Sulastri. Trini
mendekati anak ini lalu membujuk agar mau
tukar tempat dengan bangkunya di barisan ke
dua sebelah depan. Tapi Sulastri menolak.
Caranya menolak tidak dengan membuka mulut
menjawab melainkan dengan menggelengkan
kepala berulang-ulang.
"Eh, kamu anak baru jangan belagu yauiv,"
gertak Trini sambil pelototkan mata.
Sulastri tidak menyahuti. Seperti tadi dia
hanya gelengkan kepala. Cuma sekali ini
mulutnya yang berbibir tebal bagus
dimonyongkan sedikit. Vino dan Rio tertawa geli
melihat kelakuan anak baru ini. yang membuat
Trini tambah gondok Sulastri kelihatan ngobrol
akrab dengan Boma dan teman-teman. Mau tak
mau Trini jadi panas dan cemburu.
Ketika Trini kembali ke bangkunya di barisan
depan Sulastri berkata. Suranya medok, khas
Jawa Tengah. "Pasti di antara kalian ada yang
ditaksir sama cewek tadi. Masa' ngotot mau
duduk di sini kalau nggak ada apa-apanya."
Mata Sulastri yang bulat besar memandangi
Boma dan kawan-kawan satu persatu.
"Menurut kamu siapa dari kita-kita yang
ditaksir sama dia?" tanya Vino.
Mata bulat Sulastri kembali menatapi wajah
enam cowok di sekitarnya. "Dia, pasti dia yang
ditaksir," kata Sulastri sambil menunjuk dengan
ibu jari tangan kanannya ke arah Boma.
"Hebat! Bukan cuma mata yang tajem,
perasaannya juga tajem. Buktinya bisa nebak!"
kata Ronny.
"Kalau kamu naksir nggak sama dia?" tanya
Vino ajukan pertanyaan konyol.
Sulastri runcingkan bibir tebalnya. Lalu
menggeleng.
"Kok nggak naksir sama cowok begini kece?"
Andi yang bertanya.
"Aku nggak suka sama cowok jangkung,"
jawab Sulastri.
"Kenapa?' tanya Ronny.
"Takut medel!"
Gelak tawa memenuhi sudut kelas.
"Di antara kita-kita ada nggak yang kamu
taksir?" Vino bertanya sambil kedipkan matanya
pada Boma.
"Hemm...." Mata bulat Sulastri memandang
berputar. Dia mengerling sekilas ke arah Vino
lalu berkata. "Aii ah! Gelap!"
Kembali Boma dan kawan-kawannya tertawa
riuh.
"Hebat," puji Ronny. "Anak Semarang udah
tau istilah Prokem anak Jakarta."
"Sulastri, bol" kata Sulastri sambil runcingkan
mulut dan busungkan dada lalu senyum-senyum
membuat anak-anak itu jadi tambah suka sama
cewek baru ini.
"Jadi di antara kita nggak ada yang ditaksir,
nih?" ujar Vino.
Didesak begitu Sulastri tidak kehabisan
jawab. "Gimana kalau kuaammuu saja."
"Mati gua!" kata Vino sambil tekap kepalanya.
"Rasain lu Vin!" kata Ronny. Kembali sudut
kelas riuh oleh gelak tawa Boma dan kawan-
kawannya.
Trini kembali ke bangkunya tapi tidak
langsung duduk. Dengan muka asem dia
memandang ke sudut kelas di mana Boma dan
kawan-kawan duduk tidak habis-habisnya
tertawa.
Saat itu masih ada satu lagi kekesalan Trini.
Entah bagaimana Gita Parwati yang tidak
disukainya itu duduk tepat di belakangnya.
Padahal waktu di kelas satu dia dan Gita duduk
berjauhan. Trini merasa diawasi dan dicibiri dari
belakang oleh si gendut ini.
"Kayaknya si gendut ini sengaja mau nyari
gara-gara. Nanti gua kerjain lu," gerendeng Trini
dalam hati.
Allan, yang juga anak baru di SMU Nusantara
III satu kelas dengan Boma dan teman-
temannya. Bangkunya baris paling kiri, kedua
dari depan. Sesekali anak ini melirik ke arah
Gita. Kalau kebetulan bertemu pandang Gita
melemparkan senyum.
"Eh, lu liatin Si Allan," bisik Vino pada Rio.
"Baru hari pertama penyakit asma-nya sudah
kambuh. Bentar-bentar ngelirik Gita."
Mendengar ucapan Vino, Sulastri anak baru
berkata.
"Pasti yang icu sama yang icu punya
hubungan icu-icu."
Rio dan Vino senyum-senyum.
"Wah, mata temen kita ini bener-bener tajem,"
kata Rio.
"Kamu punya icu-icu nggak di Semarang?"
tanya Vino.
Sulastri mencibir. Lalu seperti tadi dia geleng-
geleng kepala.
"Kalau gitu kamu mau dong jadi icu-icunya
Vino?" tanya Rio enak saja. Vino langsung
menyikut iga temannya itu. Sulastri mencibir.
Senyum-senyum. Laki geleng-geleng kepala.
Vino berbisik ke telinga Rio. "Ni anak
kebanyakan ngegelengnya. Tapi gua yakin kalau
dicipok pasti kepalanya dipanteng diem...."
Vino dan Rio sama-sama tertawa.
"Situ berdua ketawain aku, ya," ujar Sulastri.
"Nggak, kami ngetawain icu-icu," jawab Vino.
Sulastri tertawa lepas tapi sadar lalu cepat-
cepat menutupkan tangannya di atas mulut. Lalu
dia menunjuk dengan ibu jarinya ke arah Boma.
"Yang itu namanya Boma ya?"
Rio mengangguk.
"Boma. Lucu ya namanya.... Boma singkatan
Bom Atom?" ujar Sulastri.
Boma cuma senyum. Sebaliknya Vino
bertanya. "Lastri, kamu mau nggak di Bom Atom
sama Boma?"
"Walah, ya tambah medel aku! Wong aku
takut sama cowok jangkung kok!" jawab Sulastri.
Boma dan kawan-kawannya tertawa
cekikikan. Jawaban Sulastri bukan cuma polos
tapi aksen logatnya kedengaran lucu.
Gita bangkit dari bangkunya. Dia melangkah
ke belakang kelas. "Ada apa sih dari tadi. Ribut
banget. Boleh ikutan nimbrung nggak?"
"Gita, kenalin dulu dong. Temen baru dari
Semarang. Namanya Sulastri," kata Ronny.
"Hallo teman," sapa Gita.
"Hallo juga," jawab Sulastri. Dua anak
perempuan itu saling bersalaman. "Gita,
makannya apa sih?" Sulastri tiba-tiba bertanya.
"Emangnya kenapa?" tanya Gita Parwati yang
sudah menduga kalau dirinya bakal dijadikan
bahan jahilan.
"Kok badannya subur banget," jawab Sulastri.
"Aku jadi kepingin iri."
Gita Parwati tertawa lebar.
"Gita, boleh tanya lagi nggak?" ujar Sulastri.
Matanya yang bulat memandang nakal ke dada
Gita Parwati yang gembrot.
"Nanya apa?" Gita Parwati tahu kalau dia mau
dijahilin lagi.
"Bvha kamu nomor berapa sih?"
"Eh, gila 'lu!" kata Gita Parwati setengah
terpekik karena tidak menyangka Sulastri akan
bertanya sejahil itu. Anak perempuan gemuk ini
kelihatan mau marah, tapi tidak jadi. Malah
tertawa cekikikan.
"Sableng juga kamu Lastri," kata Vino.
"Segala perabotan orang ditanyain."
Tangan Gita Parwati meluncur mencubit pipi
Sulastri.
"Kamu antik deh," ucap cewek gendut ini.
"Mulain hari ini aku kasih julukan mau nggak?"
"Asal julukannya bagus aja."
"Si Centil. Julukan kamu Si Centil," kata Gita
Parwati pula.
Sulastri terdiam. Anak-anak yang lain sudah
pada tertawa. Sulastri akhirnya ikutan tertawa
lalu manggut-manggut. "Julukannya nggak jelek
kok. Aku nrimo aja."
"Tapi ada syaratnya lho. Biar julukannya
afdol'kata Gita.
"Syarat apa?" tanya Sulastri. "Traktir di warung
baksonya Mang Asep." "Setuju!" kata Rio dan
Andi berbarengan. Sulastri bengong. Gita pegang
lengan Sulastri. Anak baru ini lalu direndeng
keluar kelas. Boma dan kawan-kawannya
mengikuti sambil tertawa-tawa. Sambil
merendeng Sulastri Gita memberi isyarat pada
Allan. Melihat isyarat Gita, Allan langsung
bergabung.
Ketika melewati Trini, anak perempuan ini
tiba-tiba pegang tangan Boma. "Bom, aku mau
ngomong." "Rin, ayo ikutan. Kita ngomong di
warung Mang Asep. Cewek baru itu mau traktir,"
ajak Boma
Uh.... Nggak usah deh. Nanti aja ngomong-
nya, jawab Trini sambil pasang wajah cemberut i
! m^buan8 muka- memandang ke arah Su-lastn
Baru neraktir delapan orang -aja kayak
--oo0dw0oo--
7.BAKU HANTAM DI WARUNG BAKSO MANG ASEP
KETIKA Boma dan kawan-kawan sampai di
warung bakso Mang Asep, tempat itu sudah
dipenuhi oleh anak-anak kelas lain. Di antara
mereka terdapat Jumhadi alias Si Bodong dan
Anton dari Kelas II-6. Jumhadi membuang muka
begitu melihat rombongan Boma lalu
membisikkan sesuatu pada Anton. Dua anak ini
seperti menghindar, pindah ke pintu belakang
warung. Tapi Ronny sudah sempat melihat
Anton. "Ron, kau mau kemana?" tanya Boma
ketika melihat Ronny Celepuk memisahkan diri,
ber-balik melangkah ke pintu keluar warung.
Boma sudah punya firasat apa yang mau dibuat
temannya ini.
"Tenang aja Bom," jawab Ronny. "Kamu sama
teman-teman terus aja ngebakso. Aku mau
beresin urusan sama Si Anton. Dicari-cari baru
sekarang nongol."
"Ron, sabar dikit. Baru juga masuk sekolah.
Yang udah lupain aja," kata Boma membujuk.
"Enak aja kamu Bom. Kita dilemparin telor
busuk. Dibikin malu di depan orang banyak.
Kamu sama Firman dipukulin orang. Udah gitu
dia belagak bodoh, kayak yang nggak punya
salah. Nyuruh orang. Pengecut!"
Boma masih berusaha menahan Ronny. Tapi
Ronny agaknya sudah tak bisa dibujuk. Anak ini
melangkah ke pintu keluar warung. Boma
merasa heran. Anton dan Jumhadi berada di
pintu belakang warung, mengapa Ronny bukan
langsung saja mendatangi tapi malah keluar
warung.
"Ron, 'tu anak ada dekat pintu belakang
warung. Kok kamu malah jalan ke pintu keluar?"
tanya Boma.
"Taktik Bom. Taktik. Liat aja..." Ronny keluar
dari warung, mengambil jalan berputar. Boma
melirik ke pintu belakang.
Dilihatnya Si Bodong dan Anton tergesa-gesa
meletakkan mangkok kosong di meja dapur lalu
cepat-cepat keluar dari pintu belakang. Boma
baru mengerti apa maksud taktik Ronny. Kalau
didatangi dari depan Si Bodong dan Anton pasti
menghindar atau kabur lewat pintu belakang.
Tapi sebelum sempat keluar, sosok Ronny
Celepuk sudah menghadang di pintu hingga dua
anak itu tak mungkin meneruskan langkah.
Si Bodong jadi pucat. Tak berani bergerak tak
berani bersuara. Anton yang lebih tegap tapi
kalah pendek dari Ronny usap kuduknya yang
tertutup rambut gondrong.
"Eh, apa-apaan lu Ron ngalangin jalan gua?"
Anton meradang.
"Lu yang apa-apaan!" bentak Ronny.
Mukanya berubah kelam, angker. "Ngapain lu
nyuruh Si Bodong ngelemparin aku sama Boma
pake telor busuk?!"
"Ngelemparin? Ngacok aja lu! Siapa yang
nyuruh!" tangkis Anton.
"Itu, monyetnya masih hidup. Si Bodong udah
ngaku!"
"Lu kroyok terang aja dia ketakutan. Siapa
juga kalau digebukin bakal ngaku yang nggak-
nggak!"
"Jadi lu nggak ngaku nyuruh Si Bodong
ngelemparin telor busuk?!"
"Mau lu apa sih. Jangan sok! Kalau mau
selamat minggir aja!"
"Oo begitu," Ronny menyeringai. Dia memba-'
likkan badan, seolah mau menghindar pergi dari
hadapan Anton. Tapi tiba-tiba tidak terduga
setengah jalan sosok Ronny Celepuk berbalik
kembali dan tinju kanannya melayang ke depan,
mendarat tepat di dagu Anton. Anton hanya
sempat keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya
tersandar ke pintu warung lalu merosot ambruk.
K.O. alias pingsan.
Beberapa orang anak Kelas II-6 teman-teman
Anton begitu melihat teman mereka terkapar
serta merta menyerbu ke belakang. Boma dani
teman-teman tidak tinggal diam. Mereka cepaB
bergerak. Tapi lebih cepat dari itu, tidak
disangka-sangka Allan yang selama ini kelihatan
rada-rada bloon sudah lebih dulu melompat
menghadang enam orang anak Kelas II-6 yang
mau mengeroyok Ronny.
"Jangan main keroyok! Anton sama Ronny
berantem satu lawan satu!" Allan berdiri dengan
dua kaki merenggang. Mukanya yang jerawatan
kelihatan merah angker. Dua tangan di sisi
dengan jari-jari ditekuk.
Boma, Ronny dan teman-temannya yang lain
terkesiap. Tidak mengira Allan punya keberanian
seperti itu serta punya sifat membela teman
yang begitu hebat.
Isman, salah seorang anak Kelas II-6 teman
Anton tidak pandang sebelah mata. Anak ini
menerjang sambil menendang ke arah Allan.
agaknya Isman menguasai salah satu ilmu bela
diri. Mungkin taekwondo. Karena tendangannya
tinggi keras dan lurus membeset ke arah kepala
Allan. Kalau sampai tendangannya itu mengenai
sasaran, Allan pasti luka parah, bisa-bisa sema-
put.
Diserang orang, Allan menghadapi tenang
sekali. Dia hanya menggeser kaki kiri sedikit.
Kepala dimiringkan ke kiri. Tangan kiri mencekal
betis lalu tangan kanan kirimkan tiga kali jotosan
kilat ke paha Isman. Anak kelas II-6 itu menjerit
kesakitan. Allan dorong kuat-kuat kaki yang
dipegangnya hingga lawan hampir jatuh
terjengkang di tanah kalau tidak cepat ditahan
teman-temannya.
Halaman belakang warung jadi ramai. Mang .
Asep muncul tapi bingung sendiri tak tahu mau I
berbuat apa. Gita menyeruak di antara kerumun-
1 an para pelajar, memegang lengan Allan terus
menarik anak ini. Anak-anak Kelas II-6 menolong
Anton yang saat itu sudah setengah siuman.
Lalu membawa Anton ke dekat pagar samping
sekolah. Yang lain lain memapah Isman yang
tepin-cang-pincang kesakitan.
"Gile, gue nggak nyangka Si Allan punyai
maenan juga," kata Vino pada Boma.
Ronny melangkah disamping Allan sambil
tepuk-tepuk bahu anak itu.
Trini muncul dari samping kelas. Dial
tunjukkan wajah sebal melihat Gita dan AllanJ
Tanpa menegur Ronny, Vino, Andi, Firman dani
Rio yang dipapasinya anak perempuan ini
menemui Boma, memegang lengan Boma,
berusaha menarik anak laki-laki ini ke dekat
bangki batu di pinggir lapangan basket.
"Ada apaan sih Bom. Kok pada main gebui
sama-sama satu sekolah? Tawuran sama satu
se kolah! Kalau pada jago sana tawuran sama
seko lah lain."
"Rin, jangan ngomel sama aku. Semua past
ada sebabnya," jawab Boma.
"Aku sudah tahu. Pasti gara-gara kamu sam
Ronny dilemparin telor busuk waktu main be
dulu."
"Itu baru sebagian..."
"Maksud kamu?" tanya Trini.
"Kamu tau nggak. Dua hari lalu waktu aku ke
Gramedia sama Firman, ada dua orang suruhan
ngegebukin aku..."
"Apa?" Trini terkejut. Dia hendak bertanya lagi.
Tapi saat itu dilihatnya Dwita berdiri di depan
pintu kias II-3, memandang ke arah mereka.
Trini buru-buru menarik tangan Boma
meninggalkan tempat itu. Boma hentikan
langkahnya. Di depan sana dilihatnya seorang
Pegawai Tata usaha Sekolah mendatangi Ronny
dan Allan.
"Bom, kita pulang aja. Hari ini juga belum ada
pelajaran," ajak Trini. Boma menggeleng.
"Aku mau kumpul sama teman-teman dulu,
Rin."
Trini kelihatan agak kesal. "Terserah kamu.
Kalau mau berantem lagi silahkan aja!" Anak
perempuan ini lalu masuk ke dalam kelas.
Maksudnya mau mengambil tasnya lalu pergi.
Tapi dia terkejut ketika mendapatkan tasnya
tidak ada lagi di bangku. Dicari-cari sekitar situ
tetap tidak bertemu. Ditanyakan pada teman-
temannya yang kebetulan ada dalam kelas,
mereka semua menjawab tidak tahu. Trini ingin
marah, tapi tidak tahu mau marah sama siapa.
Trini keluar dari kelas. Saat itulah dia melihat
tas miliknya tergeletak di pinggir taman yang
memisahkan dua bangunan sekolah. Sebagian
dari tas itu terapung di atas got.
Anak perempuan ini memaki sendiri dalam
hati. "Pasti ada yang sengaja nyemplungin tas ini
ke got." Trini mengambil tasnya yang basah,
memandang berkeliling. Menduga-duga siapa
yang berlaku jahat membuang tasnya ke dalam
got. Marah dan kejengkelan Trini semakin
menjadi-jadi ketika dia melangkah ke kamar
mandi sekolah untuk mencuci tasnya yang kotor,
kena air got, di ujung taman sana dilihatnya
Dwita sudah berkumpul dengan Boma, Ronny
dan yang lain-lainnya. Hanya ada satu cewek lain
bersama mereka. Gita Parwati. Dimana Sulastri,
anak baru itu?
Entah siapa yang melapor, peristiwa baku
hantam di belakang warung Mang Asep itu
sampai pada Kepala Sekolah. Empat anak yang
langsung terlibat Ronny, Allan, Anton dan Isman
dipanggil ke Kantor. Mereka diberi peringatan
keras. Diancam akan dikeluarkan dari sekolah
jika kejadian seperti itu terulang kembali,
keempat anak itu disuruh saling bersalaman.
Tadinya Ronny hendak menerangkan sebab
musabab terjadinya perkelahian itu. Tapi setelah
dipikir dia merasa tidak ada gunanya. Satu hal
dia yakin, persoalan ini tidak akan selesai
sampai di situ. Peristiwa Boma menghajar dua
orang di toilet toko buku Gramedia pasti akan
ada buntutnya. Berat dugaannya bahwa Anton
juga punya peranan di balik kejadian itu. Dan
dirinya sendiri jelas akan terlibat karena dua
orang tak dikenal itu sebenarnya mencari
dirinya.
Sewaktu keluar dari kantor kepala sekolah
Ronny dan Allan malah sempat mendengar
Anton berkata pada Isman.
"Gue abisin! Pokoknya nggak ada cerita. Musti
gue abisin!"
--oo0dw0oo--
8.TRIPPING
SEJAK tadi Gita memperhatikan Allan. Anak
lelaki itu sebentar-sebentar kelihatan
memegangi kepala. Sapu tangannya sudah
basah dipergunakan untuk menyeka muka,
tengkuk dan kedua lengan. Begitu bel istirahat
berdentang dan guru Matematika keluar dari
kelas Gita langsung mendatangi Allan. "Lan,
kamu sakit?' tanya Gita. "Nggak, cuman kurang
tidur. Sedikit pusing." "Muka kamu kok pucat?"
Gita memegang lengan anak lelaki itu. "Ih,
keringatmu dingin amat."
"Iya tu Git, dari tadi dia nyekain keringat
terus." Kawan sebangku Allan berkata lalu keluar
dari kelas.
"Kamu pulang aja Lan. Aku anterin sampai
depan. Naik bajaj."
"Nggak usah, nanti juga sembuh," jawab Allan.
Ronny, Boma dan yang lain-lainnya
mendatangi Allan. Mereka juga menyuruh agar
Allan pulang saja.
"Nanti aku yang lapor sama Wali Kelas," kata
Andi.
Allan menggeleng. Dia coba berdiri. Tapi agak
sempoyongan. Anak ini berusaha menarik nafas
panjang.
"Lan, kalau sakit jangan dipaksa. Pulang aja."
Kata Boma.
Allan duduk kembali. Menyeka dua lengannya
dengan sapu tangan yang sudah basah. Gita
mengambil sapu tangan bersih dari dalam tas,
lalu diberikan pada Allan.
"Kamu benaran nggak mau pulang?"
Allan diam. Seolah dia tengah berpikir untuk
mengambil keputusan. Ketika lonceng masuk
berdentang anak itu akhirnya berdiri.
"Baiknya aku memang pulang aja," katanya.
"Buruan, sebelum guru Biologi masuk," kata
Gita. "Ayo aku anterin."
"Nggak usah Git. Aku masih kuat jalan sendiri.
Teman-teman, aku pulang. Di, tolong bi-langin
Wali Kelas."
"Beres, nanti aku lapor. Hati-hati Lan," kata
Andi.
Allan mengambil tasnya. "Aku kawatir," kata
Gita. Dia memandang pada Boma.
Saat itu guru Biologi sudah keluar dari Kantor
Sekolah, tengah berjalan menuju Kelas II-9.
"Vin," kata Boma pada Vino. "Cepetan kamu
susul Si Allan. Anterin sampai dia naik bajaj."
Vino segera keluar. Setengah berlari dia
menyusul Allan. Tapi sampai di lapangan basket
Allan sama sekali tidak kelihatan. Padahal kalau
anak itu pulang oasti melewati lapangan itu. Vino
berhenti, diam bersender di dinding bangunan
sekolah. Memandang ke arah pintu gerbang.
"Heran, cepet banget ngilangnya 'tu anak.
Kalau beneran lagi sakit nggak mungkin jalannya
bisa cepet. Mungkin dia cuma pura-pura sakit.
Tapi nggak mungkin. Dia keringatan gitu kok.
Mukanya pucat..."
Tidak puas Vino pergi menemui penjaga pintu
gerbang sekolah, tapi nggak ada yang keluar.
Memangnya ada apa?"
"Nggak, nggak ada apa-apa," jawab Vino lalu
kembali ke arah sekolah. Di lapangan basket dia
berhenti. Memandang berkeliling. Di ujung
lapangan basket ada sederet pohon besar. Di
belakang deretan pohon ini ada satu bangunan
tua yang dipergunakan sekolah sebagai gudang.
Para pelajar jarang berada di sekitar tempat ini
karena tempatnya selain kotor tidak terurus juga
kabarnya pernah ada ular. Tetapi tidak semua
pelajar takut berada di tempat itu. Kalau di
antara mereka ada yang berani berada di sekitar
bangunan tua itu pasti ada apa-apanya.
Vino ingat kisah Ronny dan Sarah. Waktu itu
masih sama-sama di Kelas I. Ronny Kelas 1-4
Sarah Kelas 1-2. Waktu itu hari Sabtu, hari
terakhir sekolah sebelum liburan panjang.
Karena terdesak ingin kencing sekali Vino
terpaksa membuang hajat di balik deretai pohon
besar di ujung lapangan basket. Selain sudah
jauh "sore, sekolah sudah sepi dan hari agak
gerimis pula, Vino merasa tidak ada yang akan
melihat dia kencing di balik pohon itu. Dia
memang tidak dilihat orang tetapi sebaliknya
tidak terduga dia justru melihat orang.
Rasa kepingin kencing anak lelaki itu
langsung terhenti mandek ketika dilihatnya
Ronny dan Sarah saling berpeluk dan berciuman
di balik bangunan gudang.
"Brengsek Si Ronny," kata Vino dalam hati.
"Kesambet setan gudang baru nyahok!" Anak ini
cepat-cepat pergi dari tempat itu.
Waktu menjagai Boma di Rumah Sakit PMI
Bogor (baca serial Boma Gendeng berjudul
"Suka Suka Cinta") Vino pernah mengatakan
pada Ronny bahwa ada anak yang melihat
Ronny ciuman dengan Sarah di gudang. Vino
tidak mengatakan bahwa dia sendiri yang
menyaksikan kejadian itu. Mula-mula Ronny
hendak menyangkal. Tapi kemudian dia malah
bilang. "Kalau cuma ciuman nggak bakal
ketularan AIDS Vin. Percaya gue!"
Ronny lalu tertawa cekikikan.
DI UJUNG lapangan basket Vino hentikan
langkah. Dia merasa bimbang, apa terus
menyelidik ke arah pepohonan atau kembali
saja ke kelas. Akhirnya dia memutuskan
melangkah ke arah deretan pohon-pohon. Belum
lima langkah bergerak, Vino berhenti. Dadanya
berdebar. Matanya tak berkesip memandang ke
depan. Di antara celah dua pohon dia melihat
punggung mengenakan kemeja putih seragam
sekolah. Vino miringkan kepalanya sedikit. Dia
bisa melihat jelas kini. Yang dilihatnya di balik
bangunan gudang tua itu memang Allan.
Saat itu Allan tengah berdiri di samping
gudang. Tangan kiri bersitekan ke dinding
bangunan. Bahu dan dadanya kelihatan turun
naik. Kepala mendongak ke atas seperti sedang
melihat sesuatu di atas sana. Lalu kepala itu
digoyang-goyangkan beberapa kali.
"Lan, kamu lagi ngapain?" ujar Vino dalam
hati. Matanya terus memperhatikan.
Allan kemudian kelihatan membungkuk.
Mengambil sesuatu dari dalam tas sekolahnya.
Vino tidak dapat melihat benda apa yang diambil
Allan. Yang jelas benda yang diambil itu
kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dari
dalam tas Allan mengeluarkan Aqua gelas
plastik.
Merobek pinggiran gelas, meneguk habis
seluruh isinya.
Bahu dan dadanya masih bergoyang. Allan
bersandar ke dinding gudang. Kepala digoyang-
goyang. Mulut mendesah tiada henti. Lalu
perlahan-lahan tubuh anak itu meluncur ke
bawah. Sepasang kakinya melejang-lejang.
Goyangan kepalanya semakin keras/'Gila! Ya
ampun. Si Allan ngepritl" kata Vino. Timbul rasa
takut. Dia memutar tubuh, tinggalkan tempat itu
dengan tengkuk terasa dingin. Tapi setengah
jalan dia bingung sendiri. Apakah dia kembali ke
kelas atau ke mana? Seandainya dia masuk
kelas bagaimana kalau guru Biologi bertanya dia
dari mana. Apa jawabnya. Dia tidak mungkin,
tidak akan mau menceritakan apa yang
dilihatnya pada guru kelas. Lalu bagaimana
sebaiknya? kembali ke tempat Allan tripping?
Dia ngeri. Sampai berapa lama Allan akan
berada dalam keadaan seperti itu?
"Ah, Si Allan itu bikin perkara aja!"
Vino akhirnya pergi ke warung bakso Mang
Asep. Untungnya Mang Asep menutup
warungnya lebih siang karena ada urusan. Vino
terduduk di bangku, mengusap rambut berulang
kali. Kepalanya diletakkan di atas dua lengan
yang disilangkan. Vino tidak tahu entah berapa
lama dia berada di warung itu. Baru sadar dan
kaget ketika lonceng sekolah berdentang.
Vino tidak segera kembali ke Kelas II-9. Dia
berdiri dulu di sudut luar kelas. Menunggu sam- j
pai guru Biologi keluar baru dia melangkah
menuju kelas. Itupun tidak masuk. Dari luar
anak ini melambaikan tangannya, memberi
tanda pada Boma, Ronny dan yang lain-lainnya.
Melihat Vino muncul sambil melambaikan
tangan, anak-anak itu segera bergegas keluar
kelas.
"Kamu disuruh ngantar Allan malah ikutan
ngilang!" ujar Ronny.
"Vin, kamu nganterin Allan sampai kel
rumahnya?" tanya Gita yang tiba-tiba muncul.
"Aa... Iyya.... Sampe rumahnya," jawab Vino.
"Duh, perut gue mules. Tunggu, aku ke wc dulu,"
kata Vino sambil pegangi perutnya. Tanpa dilihat
Gita Vino kedipkan matanya pada Boma. Boma
segera mengikuti Vino ke wc. Ronny
memperhatikan. Lalu menyusul. Andi, Rio dan
Firman segera pula angkat kaki mengikuti.
"Heran, masa sih semuanya pada mules,"
kata Gita Parwati yang ditinggal sendirian.
Begitu berada di dekat wc, belum ditanya Vino
sudah berkata.
"Malapetaka Bom, malapetaka."
"Kenapa lu Vin," tanya Boma.
"Apa yang kamu duga bener. Teman baru kita
itu...."
"Siapa? Si Allan?" tanya Boma.
"Kenapa dia? Di mana dia sekarang? Betul
kamu anterin sampe rumah?" tanya Andi.
"Aku... aku ngeliat dia. Lagi tripping di dekat
gudang sekolah."
"Tripping di sekolahan? Apa gue bilang! Gue
udah nyangka ada yang nggak bener sama
cowoknya Si Gita itu. Tapi kalau sampai ngeprit
di sekolahan sih keliwatan banget. Gila 'tu anak!"
Boma menowel hidungnya.
"Katanya sakit. Kok malah ngeprit!" Andi
mengomel tapi setengah tidak percaya. "Kalau
ketauan pasti dikeluarin!" kata Ronny.
"Si Allan... kenapa sih lu dikasih nama begitu.
Si Allan jadi Sialan!" ucap Rio.
"Di mana 'tu anak sekarang?" tanya Ronny.
"Aku rasa masih di gudang," jawab Vino.
"Ayo kita samperin ke sana. Paling nggak dia
jangan sampai ketauan orang lain," kata Boma.
"Kita nggak masuk kelas?" tanya Vino.
"Pelajaran apa sekarang?" ujar Rio.
"Bahasa Inggris. Ibu Renata nggak ada.
Kabarnya udah berapa hari sakit. Kelas kosong.
Nggak tau kalau ada guru pengganti," rnenjelas-
kan Firman.
"Kita ke gudang aja!" kata Boma.
Enam anak kelas II-9 itu, Vino di depan sekali
bergegas menuju bangunan gudang tua. Sampai
di sana keadaannya sepi-sepi saja.
"Mana Si Allannya?" tanya Boma pada Vino.
"Tadi... tadi dia berdiri di situ, lalu duduk...."
Vino menunjuk ke arah gudang.
"Lu becanda apa gimana Vin," tanya „Ronny.
"Kamu ngibulin kita-kita?!" ujar Rio.
"Sumpah! Tadi dia ada di sini. Aku ngeliat
sendiri dia nenggak sesuatu, lalu tripping...."
"Tadi kapan? Udah berapa lama?" tanya
Boma.
"Setengah jam lebih. Mungkin sekitar empat
puluh menit. Pokoknya nggak lama sesudah aku
keluar ngikutin dia. Waktu dia ngeprit aku
ketakutan sendiri. Aku pergi ke warungnya Mang
Asep...."
Boma, Ronny dan yang lain-lainnya jadi saling
pandang.
"Mungkin dia pulang. Kabur...." kata Vino.
"Orang tripping mana bisa kabur...." ujar
Boma.
"Mungkin aja Bom. Tergantung jenis obat
yang ditelan," ucap Ronny.
"Tanya sama penjaga pintu. Kalau dia pulang
pasti penjaga liat," kata Vino pula.
Tapi di pintu gerbang sekolah Pak Saud si
penjaga pintu tidak ditemukan. Anak-anak itu
kembali ke Kelas II-9.
"Gimana kalau Gita nanya?" tanya Rio.
"Bilang aja Allan memang sudah pulang,"
jawab Ronny.
Boma menyambung. "Awas, jangan ada yang
ngebocorin. Kalau guru apa lagi Kepala Sekolah
sampai tau, kita bisa rusak semua."
"Aku masih nggak bisa percaya Si Allan itu
bener-bener ngeprit," kata Ronny.
"Vino jelas-jelas ngeliat dia nenggak sesuatu
pakai minum Aqua," sahut Boma. "Kau tau
nggak Ron. Obat setan sebangsanya ecstasy
kata orang emang musti diminum sama Aqua
baru bisa on."
"Aku baru inget' kata Andi. "Tetangganya Si
Allan pernah bilang kalau 'tu anak sering pergi
ke Ancol. Jangan-jangan dia juga tripping di
sana."
"Gua sih cuman kasian sama Gita. Menurut
kalian, perlu nggak dikasih tau sama si gendut
itu?"
"Nanti Ron, biar aku yang ngomong," jawab
Boma. "Urusan ini kita musti hati-hati. Gimana-
pun juga Allan teman kita. Ingat, dia pasang
badan waktu ngebelain kita berantem sama si
Anton."
--ooo0dw0ooo-
9.JANJI KAWIN SINTO GENDENG
PUNCAK Gunung Gede. Sejak fajar
menyingsing Sinto Gendeng melangkah gelisah.
Saat itu sang surya telah menerangi jagat dan
sinarnya mulai terasa terik.
"Tua bangka geblek!" Si nenek tiba-tiba
semprotkan makian. "Sudah hampir dua minggu
berlalu. Masih belum kelihatan mata hidungnya!
Jangan-jangan dia memang tidak mampu
melakukan! Tapi sesumbar minta kawin segala!
Padahal anunya pasti tidak lebih bagus dari
terong busuk! Hik...hik... hik...! Kawin saja sama
kambing! Hik... hik... hik...!"
Sambil mengomel dan tertawa cekikikan
Sinto Gendeng terus melangkah. Ternyata dia
bukan melangkah sembarangan, bukan
melangkah di atas tanah.
Saat itu di pedataran kecil tak jauh dari
pondok kayu kediamannya menancap dua lusin
batang bambu setinggi satu setengah tombak.
Batangan-batangan bambu ini ditancap
demikian rupa hingga membentuk empat
persegi, enam memanjang, empat melebar.
Setiap ujung bambu sengaja dipotong runcing,
mencuat ke langit. Dan di atas ujung-ujung
bambu runcing inilah si nenek perot melangkah
seenaknya. Sesekali masih saja mengomel,
sesekali tertawa cekikikan. Kalau saja dia tidak
memiliki ilmu kesaktian, sudah sejak tadi dua
kaki Sinto Gendeng yang tinggal kulit pembalut
tulang itu amblas luka parah dimakan ujung
bambu runcing. Kalaupun dia kebal tapi tidak
memiliki ilmu mengimbangi dan meringankan
tubuh yang tinggi, baru bergerak tiga empat
langkah niscaya sudah jatuh bergedebukan di
tanah!
"Matahari makin panas, aku kepingin kencing!
Kakek geblek itu masih belum muncul! Sial!"
Kembali Sinto Gendeng memaki. Perlahan-lahan
dia angkat ke atas kain panjang yang melilit
tubuhnya. Enak saja dia hendak kencing sambil
berjalan di atas bambu itu. Tapi maksudnya
tertahan ketika tiba-tiba dikejauhan -terdengar
suara kerincingan keras sekali. Ditimpai tabuhan
gendang. Lalu disusul suara Orang bernyanyi.
Na... na... na Ni... ni.... ni
Kala kupandang kelip bintang jauh di sana
Sayup teldengar melodi cinta yang menggema
Telasa kembali gelola jizva mudaku Kalena
telsentuh alunan lagu semeldu kopi dangdut.
Na... na... na Ni... ni... ni
Tak lama kemudian dari balik deretan
pepohonan, diujung pedataran kecil muncul
sosok seorang kakek bermuka cekung, mulut
tonggos. Dia berjalan sambil menari. Tangan
kanan menabuh gendang kecil yang tergantung
di pinggang. Tangan kiri menggoyang
kerincingan. Di atas kepalanya terkembang
payung kecil terbuat dari kertas. Celananya yang
gombrong dekil kedodoran hingga sebagian
pantatnya yang hitam tersingkap. Lucunya
pantat yang setengah tersingkap itu diogel-ogel
kian kemari.
Di atas bambu runcing Sinto Gendeng
hentikan langkahnya. Nenek ini geleng-geleng
kepala.
"Dasar geblek!" maki guru Pendekar 212 Wiro
Sableng ini. Lalu dia berteriak. "Pelawak Sinting!
Hentikan nyanyianmu! Bising tidak enak!
Kupingku pengang!" Habis berteriak Sinto
Gendeng kembali melangkah dari bambu satu
ke bambu lain.
Kakek aneh yang barusan muncul dongakkan
kepala. Lalu tertawa gelak-gelak. Tangan kanan
masih terus menabuh gendang, tangan kiri
menggoyang kerincingan.
"Sinto yang geblek aku atau kau! Apa yang
kau lakukan? Apa tidak ada tempat beljalan
yang lebih baik! Dasal nenek konyol!" «t
"Ngomong saja tidak becus! Berani memaki!"
"Ha... ha... ha!" Si kakek yang dipanggil
dengan nama Pelazvak Sinting kembali tertawa
gelak-gelak. (Jika pembaca ingin tahu lebih
lanjut siapa adanya kakek berjuluk Pelawak
Sinting ini harap baca serial Wiro Sableng di
Negeri Latanahsilam berjudul "Hantu Tangan
Empat" dan"Rahasia Mawar Beracun". Seperti
diceritakan dalam Episode "Istana Kebahagiaan"
ketika istana milik Hantu Muka Dua itu meledak
hancur, semua orang yang ada di dalamnya
melesat bermentalan ke langit, lalu terpesat ke
berbagai tempat di Pulau Jawa dan pulau-pulau
lainnya. Dalam kejadian ini rupanya kakek
Pelawak Sinting terpesat di Tanah Jawa sebelah
barat).
Puas tertawa Pelawak Sinting kembali
lantunkan nyanyian.
Na., na... na Ni.. ni... ni
Kala kupandang kelip bintang jauh di sana
Sayup telde'ngal melodi cinta yang menggema...
Baru sempat melantunkan dua bait nyanyian,
Sinto Gendeng membentak lantang.
"Tua bagka edan! Apa kau tuli?! Hentikan
nyanyimu!"
"Ah, Sinto, kau tidak tahu kemajuan jaman.
Lagu yang aku nyanyikan ini sedang digandrungi
olang di dunia sana. Namanya Kopi Dangdut..."
"Perduli setan Kopi Dangdut, Kopi Tubruk,*
Kopi Pahit! Aku tidak sudi mendengar. Lekas kau
beri tahu apa kau berhasil mendapatkan benda
yang aku minta?!"
Si kakek menyeberangi lapangan kecil,!
menyusup diantara barisan batangan bambu,
lalu berhenti tepat di bawah dua bambu di atas
mana Sinto Gendeng berdiri tegak dengan kaki
terkembang. Melihat orang berdiri di bawah dan
memandang ke atas, Si nenek cepat rapatkan
dua kakinya. Dua batang bambu sampai meliuk
akibat gerakan sepasang kaki itu.
"Jahanam! Kau sengaja berdiri di bawah sana!
Kau mau ngintip auratku! Kakek ganjen sialan!
Kutusuk buta nanti dua mata mesummu!"
Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak.
"Sinto aku berdiri di bawah sini, mengapa!
musti takut? Jangan-jangan kabal yang aku silap
benal adanya."
"Kabal? Kabal apa?!" bentak Sinto Gendengl
sambil delikkan mata dan sengaja bicara cadel
meniru pelonya si kakek.
"Kabal bahwa seumul hidup kau tidak pelnahl
pakai"celana dalam. Ha... ha...ha!"
"Jahanam setan alas. Biar kusumpal mulut
kurang ajarmu!"
Sinto Gendeng cabut sebatang bambu. Lalu
secepat kilat bambu runcing itu dilemparkannya!
ke arah kepala kakek Pelawak Sinting.
Berdiri di atas bambu runcing, mencabut!
sebatang bambu, lalu membuat gerakan
menyerang dengan bambu yang*sama bukanlah
satu hal mudah. Semua itu dilakukan nenek
sakti dari puncak Gunung Gede ini dalam satu
gerakan kilat dan tak terduga.
Pelawak Sinting berteriak kaget.
"Sinto! Kau mau membunuh calon suamimu
sendili!"
Si kakek sambar payung kertas yang sejak
tadi ada di atas kepalanya lalu cepat melompat
ke samping kiri selamatkan muka dari tusukan
bambu runcing. Bambu besar itu lewat hanya
satu jengkal di samping pipinya. Di atas sana
Sinto Gendeng angkat tangan kanan ke udara,
lengan diputar. Secara aneh bambu yang gagal
menghantam Pelawak Sinting kini berbalik.
Laksana petir menyambar batang bambu itu
membabat ke arah pinggang Pelawak Sinting.
Untuk kedua kalinya sambil berteriak tegang si
kakek selamatkan diri. Kali ini dengan jatuhnya
tubuh lalu bergulingan di tanah.
"Praakk! Praakk!"
Dua bambu runcing di atas mana Sinto
Gendeng berdiri hancur berantakan dihantam
Pelawak Sinting. Sebelum tubuhnya terperosok
jatuh si nenek cepat melesat berpindah ke ujung
bambu lainnya sambil berteriak.
"Kakek buduk! Siapa sudi kawin denganmu!
Terong busuk bau comberan!"
"Eit Sinto! Jangan belani bicala begitu!:" balas
berteriak si Pelawak Sinting. "Ingat! Kau
sudah beljanji!"
Sinto Gendeng terdiam. Muka cekung dan
keriputnya mendadak berubah. Dadanya
berdebar. "Tua bangka geblek ini. Jika dia berani
berkata begitu apakah berarti dia benar-benari
berhasil mendapatkan benda yang aku minta itu.
Celaka. Mati aku! bagaimana aku mungkin
berlaku takabur sampai sempat-sempatnya
berjanji segala!"
"Sinto mengapa kau mendadak diam? Apa
sedang menghitung hali baik bulan baik
pelkawinan kita? Ha... ha... ha!"
Di atas bambu runcing Sinto Gendeng ke-i
luarkan teriakan melengking tinggi. Lalu nenek
ini melayang terjun ke bawah. Di lain kejap dia
sudah berada dua langkah di hadapan Pelawak
Sinting.
Si nenek, ulurkan tangan kirinya. Matanya
yang cekung angker menatap Pelawak Sinting
tak berkesip.
"Lekas serahkan benda itu!"
Pelawak Sinting menyeringai.
"Kau keliwat kesusu. Telbulu-bulu. Tapi takl
jadi apa. Makin cepat kita kawin bukankah
makin enak? Ha... ha...ha!"
"Jahanam! Jangan membuat aku benar-benari
marah!" bentak Sinto Gendeng.
"Aih, jadi tadi-tadi itu kau cuma malah
bohong-bohongan!"
Sinto Gendeng berteriak panjang saking
marahnya. Seumur hidup belum pernah dia
berhadapan dengan orang yang pandai bersilat
lidah seperti kakek satu ini.
"Serahkan! Atau aku benar-benar akan
membunuhmu! Kakek geblek! Jangan kira aku
main-main!"
Pelawak Sinting goyangkan tangannya yang
memegang kerincing. Sambil manggut-manggut
dan ogel-ogelkan pantat dia masukkan tangan
kanan ke balik pinggang celana sebelah depan
dimana terletak satu kantong kain. Dari dalam
kantong ini dia keluarkan sebuah benda lonjong
sebesar telur burung dara, berwarna biru. Inilah
Batu Penyusup batin. Pelawak Sinting tidak
segera serahkan batu itu pada Sinto Gendeng.
Sambil digosok-gosok dalam genggaman tangan
kanannya, dia berkata.
"Ucapanmu tempo hali telnyata betul. Pa-
ngelan Matahali, mulid Si Muka Bangkai telnyata
memang muncul didunia sana. Keadaan bisa
gawat. Anak yang kau katakan akan kau jadikan
Fendekal Tahun 2000 itu bisa dihabisinya
sebelum maksudmu kesampaian. Selain itu dia
juga akan mampu mengoblak ablik segala apa
saja sekehendak otak kejinya. Tapi kau tak usah
ka-watil. Aku belhasil menculi batu ini dali saku
mantelnya. Nah, kau inginkan batu. Aku selah-
kan padamu. Tapi halap ingat janji."
Sepasang mata Sinto Gendeng berkilat-kilat.
Tidak menunggu lebih lama dia segera
menyambar batu biru itu dari tangan Pelawak
Sinting lalu melesat ke atas bambu-bambu
runcing. Di atas sana ia perhatikan batu itu
dekat-dekat di depan matanya. Tiba-tiba si
nenek berteriak keras.
"Kurang ajar!"
Di bawanya Pelawak Sinting mendongak
keheranan.
"Eh, ada apa Sinto? Mengapa kau memaki?
Siapa yang kulang ajal!"
Sinto Gendeng keluarkan suara menggerung
lalu melesat turun. Batu Penyusup Batin
diacung-kannya tepat-tepat didepan mulut
tonggos Pelawak Sinting.
"Palsu! Batu ini palsu!" teriak si nenek-
"Apa?" Pelawak sinting terkejut dan mendelik.
"Kau menipu aku! Kau pasti menculi batu
yang asli. Memberikan yang palsu ini padaku!
Untuk itu akan aku korek isi perutmu!"
"Tunggu!" Pelawak sinting cepat bersurat
ketika Sinto Gendeng gerakan tangannya ke
arah perutnya dalam jurus Kepala Naga
Menyusup Awan. "Aku belsumpah, batu itu yang
aku culi dali Pangelan Matahali. Aku ambil
sendili dali saku mantelnya sehabis dia
menyaksikan mengamen."
"Siapa percaya pada ucapanmu!"
"Jangan-jangan kau yang sengaja berdalih!!
Batu itu asli tapi pula-pula kau bilang palsu. Akal
bulusmu untuk menghindali janji kawin dengan
aku!"
"Batu ini tidak ada gunanya bagiku! Lihat apa
yang aku lakukan! Habis berkata begitu Sinto
Gendeng remaskan telapak dan jari-jari tangan
kanannya. Terdengar suara berkeratakan. Ketika
genggaman dibuka Batu Penyusup Batin telah
berubah menjadi bubuk halus.
"Bukan sulap bukan tipuan! Eh, kau tidak
tengah menyiasati aku bukan Sinto?"
"Setan kurap! Siapa menyiasatimu! Kalau itu
batu asli masakan, aku memusnahkannya!"
"Kau betul juga," kata Pelawak Sinting
terperangah lalu jatuh terduduk di tanah.
Rambutnya yang awut-awutan dijambak-jambak.
Mulutnya ternganga tonggos sementara matanya
dipejamkan.
"Tua bangka jelek! Apa yang kau lakukan?"
hardik Sinto Gendeng. "Aku tengah belpikil!"
"Hemm... aku juga tengah berpikir!" sahut
Sinto Gendeng.
"Apa yang kau pikilkan kalau aku boleh tahu,"
tanya Pelawak Sinting.
"Yang kupikirkan saat ini bagaimana cara
yang paling enak membunuh sekaligus mem
pesiangimu!"
Pelawak Sinting terlonjak saking kagetnya.
Tapi kakek konyol ini segera saja dapat akal. Dia
kembangkan payung, letakkan di atas kepala.
Goyang kerincingan dan pukul gendang sambil
pantat setengah ditunggingkan. Orang lain akan
mengira ini adalah gaya si kakek yang senang
menyanyi dan menari. Tapi sebenarnya ini
merupakan satu pasangan kuda-kuda yang
hebat. Salah-salah lawan menyerang akan
terjebak dalam satu benteng pertahanan dan
secepat kilat bisa berubah mengirimkan
serangan balik yang dahsyat.
"Sinto Gendeng, kalau kau memang puya
maksud jahat telhadapku, tak jadi apa. Kau
tidak mau menepati janji kawin denganku kau
bakal f kualat sendili! Tapi yang aku minta saat
ini, ? sebelum kau membunuh aku, kembalikan
dulu Batu Penyusup Batin padaku dalam
keadaan utuh!"
"Apa katamu?!" ucap Sinto Gendeng setenga!
berteriak. "Dasar tua bagka edan! Apa kau buta'
Kau melihat sendiri batu palsu itu sudal
kuhancurkan!"
"Perduli setan tujuh tulunan!ri sahut Pelawak
Sinting. "Palsu atau asli, aku mau batu itu
kembalikan. Dalam keadaan utuh!"
"Kakek Sinting! Kau mencari perkara!" teriak
Sinto Gendeng. Habis berteriak nenek ini
langsung menerjang kirimkan serangan ganas.1
Tangan kiri lancarkan satu pukulan sakti dalami
jurus Kunyuk Melempar Buah sedang tangam
kanan menyambar dua buah tusuk konde perak!
di kepalanya lalu dilemparkan ke arah Pelawak
Sinting.
Pada saat Sinto Gendeng mulai lancarkan
serangan, kakek yang terpesat dari Negeri LaJ
tanahsilam ini goyangkan kerincinghya demikian
rupa hingga menimbulkan suara bising luar
biasa mencucuk telinga Sinto Gendeng.
Bersamaan dengan itu Pelawak Sinting juga
pukul gendangnya. Suara tabuhan gendang
bukan saja tambah memekakkan telinga tapi
juga membuat dada orang bergetar.
Ketika dua tusuk konde melesat dan pukulan
sakti menderu, payung di atas kepala si kakek
tiba-tiba berputar deras lalu melayang ke bawah.
Payung kertas itu berputar menebar angin
kencang. Dan yang membuat Sinto Gendeng jadi
melengak kaget ialah payung yang tadinya kecil
makin lama makin besar. Membuat sosok si
kakek terlindung dibelakangnya.
"Wuuuttt!"
"Braakk!"
"settt! Settt!"
"Kraakk! Kraaak!"
Pukulan Kunyuk Melempar Buah membuat
hancur besar pinggiran payung. Tapi putarannya
yang hebat menggulung pukulan sakti yang
dilepaskan si nenek lalu melontarkannya ke
udara.
Dua tusuk konde menancap dan merobek
bagian lain dari payung. Namun tidak sanggup
menembus!
Sepasang mata Sinto Gendeng yang selama
ini mendekam di dalam rqnngga cekung seolah
mau melompat keluar. Saking tidak percaya
melihat kejadian itu. Bagaimana mungkin hanya
sebuah payung kertas sanggup menahan
pukulan saktinya yang bisa memporak
porandakan sebuah bangunan. Bagaimana
mungkin sebuah payung kertas tidak bisa
ditembus dua tusuk kondenya padahal tusuk
konde itu mampu menembus dan
menghancurkan sebuah batu besar?!
Perlahan-lahan payung berhenti berputar.
Lalu jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu
bentuknya kembali berubah mengecil. Ketika
pandangan si nenek lepas tak terhalang lagi,
mulutnya keluarkan seruan tertahan.
"Hah?!"
Pelawak Sinting tak ada lagi di depannya!
Selagi Sinto Gendeng memandang kian
kemari mencari-cari, di kejauhan terdengar
suara kerincingan dan bunyi gendang. Lalu
menyusul suara orang bernyanyi.
Na... na... na Ni...ni... ni
Kau yang minta tolong kau yang mau
menggolong
Kau yang butuh, kau yang mau membunuh
Kau yang beljanji, kau yang mengingkali
Apakah nyawaku lebih buluk dali batu yang
dihanculkan
Apa kematian cukup pantas untuk satu kega
galan
Mulutmu sudah mengucap janji
Aku menganggap kau sudah menjadi istli
Belpikillah supaya mengelti
Na...na...na
Ni...ni...ni
Sinto Gendeng terkesiap mendengar nyanyian
itu. Sesaat dia merenung lalu menghela nafas
panjang. Hatinya membatin.
"Mungkin aku telah berlaku keliru. Mungkin
dia memang tidak tahu kalau batu itu palsu. Ada
yang tidak beres. Siapa yang punya pekerjaan?"
Sinto Gendeng melangkah mendekati payung
kertas yang tergeletak di tanah. Mengambil dua
buah tusuk kondenya yang menancap di payung
itu. "Kakek konyol itu. Ilmunya boleh juga.
Payung butut begini mampu menahan lemparan
dua tusuk kondeku. Hemmm...sebenarnya aku
masih bisa minta tolong padanya. Namun saat
ini agaknya hatinya telah terluka." Si nenek
pencongkan mulut. "Apakah aku perlu
mencarinya? Ah, biar nanti saja. Paling penting
saat ini aku harus mencari anak setan itu! Kalau
tidak bertemu terpaksa ku harus bekerja sendiri.
Anak setan satunya jelas berada dalam keadaan
bahaya." Sinto Gendeng ambil payung di tanah,
dielus-elus diluruskan bagian-bagian yang robek,
dilipat lalu disisipkan di punggung pakaian.
--oo0dw0oo--
10.SINTO GENDENG KELUAR SARANG
GUDANG besar penyimpanan berbagai m£
terial bangunan dalam keadaan sepi. Saati itu
semua pekerja sedang istirahat makan. Di pintu
gudang memang ada seorang penjaga tapi asyik
membaca buku porno hingga tidak menyadari
kalau seorang berpakaian aneh telah
menyelinap masuk ke dalam gudang.
Pangeran Matahari duduk di atas susunan;
kaleng-kaleng besar berisi cat tembok,
terlindung di balik timbunan kantong semen. Dia
tak habis pikir atas kejadian yang barusan
dialami. Begitu mudah orang mencuri sebuah
benda yang disimpannya dalam saku mantel.
Apakah dia telafl kehilangan ilmu kesaktian?
Rahangnya menJ gembung. Seharusnya dia
merasa malu bahkai) terpukul oleh kejadian itu.
Tapi dasar manusia dijuluki "Pangeran segala
cerdik segala akal, segala ilmu, segala licik,
segala congkak," walau kesal namun sikapnya
tenang-tenang saja. Hanya dalam hati dia
berkata.
"Tua bangka keparat pengamen itu. Dia pasti
bukan manusia biasa. Siapa dia sebenarnya?
Tokoh berkepandaian tinggi yang menyamar?
Bukan mustahil kemunculannya ada sangkut
paut dengan Pendekar Tahun 2000 yang
dikatakan guru. Jangan-jangan dia kaki tangan
Sinto Gendeng."
Dalam soal berpikir, kecerdikan dan
penggunaan akal Pangeran Matahari memang
hebat. Dia sudah bisa menduga kalau kakek
pengamen punya hubungan dengan. Sinto
Gendeng.
Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam
hati tiba-tiba seorang bertangan kiri buntung,
bungkuk, berpakaian rombeng dengan wajah
sepucat kain kafan, muncul di hadapannya. Dua
mata yang terpuruk angker pada rongga dalam
memandang penuh marah pada sang Pangeran.
"Guru!" kaget Pangeran Matahari bukan
kepalang ketika dia mengangkat kepala dan
melihat siapa adanya orang tua itu. Buru-buru
dia berdiri lalu membungkuk memberi hormat.
"Murid tolol! Kecongkakanmu hari ini amblas
dalam comberan!" Begitu membuka mulut orang
tua yang bukan lain adalah Si Muka Bangkai
alias Si Muka Mayat menyemprot kasar.
Pangeran Matahari tentu saja sudah tahu
sebab apa si orang tua mendampratnya begitu
rupa. Tapi dasar licik panjdng akal dia berpura-
pura terkejut dan heran.
"Guru, gerangan apa sampai membuatmu
marah besar seperti ini? Murid menduga jangan-
jangan...."
Dari tenggorokan Si Muka Bangkai keluar
suara menggembor pertanda dia benar-benar
marah sekali.
"Pangeran goblok! Tutup mulutmu!”
Dibentak atau dihardik bagi Pangeran
Matahari bukan soal.. Tapi dimaki Pangeran
goblok membuatnya sakit hati. Kalau yang
memaki bukan gurunya saat itu juga pasti sudah
dirobek mulut atau dipecahkannya kepalanya.
Rahang menggembung, pelipis bergerak-gerak.
Pangeran Matahari menatap tajam wajah sang
guru.
"Untung aku berlaku waspada. Kalau tidak
Batu Penyusup Batin itu akan lenyap selama
lamanya."
"Guru, maafkan diriku. Apakah guru telah
menemukan kembali batu sakti itu? Batu itu aku
taruh dalam saku mantel. Tapi lenyap dicuri se
orang kakek pengamen."
"Selama ini kau terlalu sombong, terlalu
congkak...."
"Guru, tunggu dulu!" tiba-tiba Pangeran
Matahari berkata.
"Murid kurang ajar! Beraninya kau memotong
ucapanku!" hardik Si Muka Bangkai.
Pangeran Matahari tidak perduli. "Apa kau
lupa, guru? Bukankah kau sendiri ikut menanam
kan semua sifat itu di dalam diriku ketika kau
menggembleng aku di puncak Merapi?"
Dua mata Si Muka Bangkai yang ada dalam
rongga cekung seperti mau melompat keluar.
"Dasar kampret!"
"Kampret?!" Pangeran Matahari melotot
heran.
"Waktu dulu kau kutemukan di desa Sleman,
itu sebutan yang aku berikan padamu. Setelah
puluhan tahun berlalu ternyata kau masih saja
manusia kampret!"
Pangeran Matahari menatap muka pucat
sang guru, melirik pada tangan kirinya yang
buntung lalu tertawa gelak-gelak. (Untuk
mengetahui riwayat Pangeran Matahari harap
baca serial Wiro Sableng berjudul "Pangeran
Matahari")
Di pintu gudang, penjaga asyik membaca
buku porno turunkan buku yang dipegangnya,
memandang ke dalam gudang.
"Siapa yang tertawa...?" tanyanya dalam hati.
Dia turun dari tumpukan balok kayu, masuk
sampai beberapa langkah ke dalam gudang,
memperhatikan ke segala penjuru. Dia tidak
melihat siapa-siapa. Bulu kuduknya mendadak
merinding. "Jangan-jangan setannya si Tukijan,"
katanya dalam hati. Lalu cepat-cepat dia keluar
dari dalam gudang. Tukijan adalah buruh ba-
ngunan yang mati akibat kecelakaan sebulan
lalu. Jatuh dari tingkat empat gedung yang
tengah dibangun.
"Pangeran Matahari, kau dengar baik-baik.
Sejak kecil sifat segala licik, congkak sombong
bahkan kejam telah ada dalam dirimu! Mungkin
karena kau merasa diri sebagai seorang
Pangeran.
Mungkin juga itu sudah warisan darah daging
dari. orang tuamu!"
"Aku tidak pernah ingat siapa orang tuaku.
Aku tidak pernah kenal mereka sejelas aku
melihat dua telapak tanganku!" kata Pangeran
Matahari sambil memandang ke atas ke arah
atap seng gudang.
"Tidak heran! Tidak heran kalau kau juga
tidak tahu siapa dirimu sendiri!" tukas Si Muka
Bangkai yang membuat merah padam tampang
Pangeran Matahari. "Kecongkakan dan
kesombonganmu semakin berlipat ganda
setelah kau mewarisi semua ilmu kepandaian
dariku! Tapi hari ini semua akal licik,
kesombongan dan kecongkakanmu, seperti
kataku tadi, amblas dalam comberan ketololan!
Batu biru yang kuberikan padamu lenyap dicuri
orang. Dan tololmu lagi, kau menganggap si
pencuri adalah manusia biasa, pengamen tua
bangka! Kau tahu siapa orang itu?"
Tenang saja Pangeran Matahari gelengkan
kepala.
"Dia adalah mahluk berkepandaian tinggi,
tersesat dari negeri seribu dua ratus tahun
silam. Di negeri sana dia dikenal dengan nama
Si Pelawak Sinting. Di dunia sini dia muncul
sebagai kaki tangan Sinto Gendeng! Nenek
keparat dari Gunung Gede itulah yang telah
memperalatnya untuk mencuri Batu Penyusup
Batin yang ada dalam saku mantelmu!"
"Aku memang sudah menduga," kata
Pangeran Matahari sambil rangkapkan dua
tangan di depan dada. "Tapi tadi guru berkata
bahwa berkat kewaspadaan guru, batu sakti itu
tidak...."
"Batu yang asli! Batu Penyusup Batin yang asli
memang masih ada padaku! Yang kuberikan
padamu hanya batu tiruan. Batu kaivinanl Kalau
saja aku tidak berlaku cerdik melakukan hal itu,
batu yang asli sudah amblas dibawa kabur."
"Batu kawinan, aku tidak mengerti maksud
guru," kata Pangeran Matahari pula.
"Dalam keadaan seperti sekarang ini,
membawa batu asli tanpa mampu menjaganya
adalah sangat berbahaya. Banyak mata bisa
melihat, banyak tangan jahat bisa mengambil.
Itu sebabnya, batu yang asli aku ikatkan ke batu
tiruan. Selama satu minggu aku bersamadi.
Kesaktian yang ada dalam Batu Penyusup Batin
yang asli mengalir ke dalam batu tiruan. Namun
kekuatannya hanya dua tiga hari saja. Batu
tiruan itulah yang aku berikan padamu."
"Kalau begitu, guru, apakah kau masih punya
banyak batu tiruan?" tanya Pangeran Matahari.
"Kampret besar!" maki Si Muka Bangkai.
"Syukur...." ujar Pangeran Matahari.
"Eh, apa maksudmu berkata syukur?!" tanya
sang guru.
"Dulu aku dibilang kampret kecil. Sekarang
sudah jadi kampret besar. Salahkah kalau aku
bersyukur?"
Si Muka Bangkai mendelik besar lalu tertawa
gelak-gelak.
Di depan pintu gudang kembali si penjaga
tersentak kaget.
"Suara tertawa," katanya dalam hati. "Tapi
suaranya berbeda dengan yang pertama tadi...."
Untuk memeriksa kembali ke dalam gudang dia
merasa takut. Penjaga ini tinggalkan tempat itu
mencari teman-temannya.
"Pangeran Matahari, aku tidak membawa
batu tiruan. Aku punya cara lain untuk
membuatmu bisa menyusup ke dalam tubuh
seseorang.
Kekuatan dan kemampuannya lebih lama
dibanding batu kawinan. Mendekat ke sini."
Pangeran Matahari melangkah maju
mendekati sang guru. Kakek bungkuk masukkan
tangan kanannya ke balik baju rombeng. Sesaat
kemudian di tangan kanan itu tampak sebuah
benda memancarkan cahaya biru. Itulah Batu
Penyusup Batin asli yang diterimanya dari
gurunya Eyang Kunti Api. Dengan mulut
berkomat-kamit membaca mantera Si Muka
Bangkai usapkan Batu Penyusup Batin ke kepala
dan muka muridnya. Usapan turun ke leher,
dada, perut, dua paha dan dua kaki.
"Pejamkan matamu," perintah si kakek.
Pangeran Matahari pejamkan dua mata. Si
Muka Bangkai tempelkan batu sakti di kening
muridnya, di bawah ikat kepala kain merah.
Kembali dia berkomat kamit membaca mantera.
Saat itulah sang murid berkata.
"Guru, apakah kau mencium bau sesuatu?"
Tadinya Si Muka Bangkai hendak membentak
marah karena ucapan Pangeran Matahari
membuyarkan pemusatan perhatiannya. Tapi
ketika mengendus, dia memang membaui
sesuatu. Bau yang membuat jantungnya
berdetak keras dan tampangnya berubah
membesi. Bau pesing!
Karena sang guru tidak keluarkan jawaban,
Pangeran Matahari perlahan-lahan buka
sepasang matanya. Begitu mata dibuka, pada
saat itulah dari atas tumpukan kantong-kantong
semen di ujung kiri gudang, berkelebat satu
bayangan disertai menebarnya bau pesing yang
amat santar. Mendahului kelebatan bayangan
yang laksana terbang, melesat dua buah senjata
rahasia memancarkan cahaya putih.
"Guru! Awas serangan!" teriak Pangeran
Matahari. Cepat dia dorong dada Si Muka
Bangkai hingga kakek ini terjengkang jatuh.
Dalam kejutnya Batu Penyusup Batin yang
tadi ditempelkan di kening Pangeran Matahari,
tidak sempat digenggam kembali oleh Si Muka
Bangkai. Bersamaan dengan terjengkangnya
tubuhnya, batu yang terlepas dari pegangannya
itu ikut mental ke udara. Selagi Pangeran
Matahari membungkuk selamatkan diri dari
serangan dua senjata rahasia, sosok yang
melayang membuat gerakan berjumpalitan dua
kali berturut-turut, lalu menukik turun. Sambil
turun orang ini hantamkan kaki kirinya ke
punggung Si Muka Bangkai. Bersamaan dengan
itu tangan kanannya menyambar Batu Penyusup
Batin yang mental ke udara!
"Batu Penyusup Batin!" teriak Si Muka
Bangkai yang saat itu terkapar di lantai gudang.
Dia berusaha bangkit tapi roboh kembali.
Tendangan orang telah meremukkan tulang
punggungnya hingga selain menahan sakit luar
biasa kakek muka mayat ini juga kehilangan
keseimbangan.
Cepat sekali, begitu berhasil menangkap Batu
Penyusup Batin orang di atas sana kembali
membuat gerakan kilat, melesat ke arah celah
besar di dinding atas ujung kiri gudang.
"Bangsat berani mati!" teriak Pangeran
Matahari. Dalam keadaan setengah terduduk di
lantai dia hantamkan tangan kanannya. Sesaat
udara terasa redup. Lalu tiba-tiba berkiblat sinar
kuning, hitam dan merah. Menderu panas dan
ganas ke arah orang yang berkelebat di atas
sana. Jangankan tubuh manusia, tembok
bajapun akan hancur dihantam pukulan sakti
itu. Karena pukulan yang dilepaskan Pangeran
Matahari adala salah satu pukulan sakti paling
ditakuti dalam rimba persilatan yaitu Pukulan
Gerhana Matahari
Namun sasaran yang dihantam telah lebih
dulu lolos di balik celah dinding gudang. Begitu
Pukulan Gerhana Matahari melabrak dinding
gudang yang terbuat dari seng, tak ampun lagi
dinding itu hancur berantakan. Kepingan-
kepingan seng melesat tinggi ke udara
terbungkus nyala api. Bukan itu saja. Hawa
panas pukulan sakti membakar seluruh dinding
gudang yang masih utuh. Api merambat dengan
cepat, berkobar ganas karena dalam gudang itu
tersimpan berbagai bahan mengandung kimia
antara lain cat. Lalu di salah satu sudut terdapat
beberapa tabung gas yang biasanya
dipergunakan untuk mengelas. Kebakaran besar
serta merta menggegerkan kawasan itu.
Pangeran Matahari cepat menolong gurunya.
"Kita harus pergi sebelum api lebih besar.
Sebelum orang-orang masuk ke tempat ini!" kata
sang murid.
"Tunggu," jawab Si Muka Bangkai. Dia
melompat ke lantai di depan tumpukan tinggi
kayu triplek. Di lantai itu menancap dua buah
senjata rahasia yang tadi menyerang Pangeran
Matahari. Si Muka Bangkai mencabut dua benda
itu. Ketika diperhatikan, mukanya berubah
kelam. Ternyata benda itu adalah dua buah
tusuk konde perak.
"Tusuk konde perak! Siapa lagi pemiliknya
kalau bukan keparat Sinto Gendeng!"
Si kakek keluarkan suara menggerung.
Amarahnya bukan kepalang. Lebih lagi begitu
dia ingat bahwa si nenek itu juga yang tadi telah
merampas Batu Penyusup Batin.
"Nenek keparat itu. Dia keluar dari sarangnya.
. Kalau tidak segera dicegah, bahaya besar akan
mengancam diriku dan para tokoh golongan
hitam."
--oo0dw0oo--
11.BUKAN TRIPING BUKAN NGEPRIT
PULANG sekolah hari itu Boma dan teman-
temannya kecuali Gita Parwati kumpul di warung
bakso Mang Asep. "Heran” kata Boma. "Siapa
yang usil punya mulut kayak kompor dua belas
sumbu. Hampir semua anak Nusantara Tiga
udah pada tau kejadian Allan tripping. Malah
katanya ada guru yang juga udah tau. Gila
banget!"
Ronny langsung memandang pada Vino. "Vin,
kau yang liat Allan tripping. Kamu yang ceritain
sama kita-kita. Kamu ceritain sama anak lain
nggak."
"Sumpah Ron! Aku nggak cerita sama siapa-
siapa," jawab Vino.
"Mungkin kita perlu ngomong lagi sama Gita,"
berkata Rio sambil memperhatikan Ronny
mengeluarkan bungkusan rokok dari tasnya.
"Ron, lu jangan gila. Emang sih udah bubaran
sekolah. Tapi jangan ngacok berani ngerokok di
sini." Andi mengingatkan.
"Mulut gue asem banget!" jawab Ronny.
"Kalau asem kumur-kumur sono sama air
cucian mangkok baksonya Mang Asep." kata
Boma.
"Sial!" Ronny masukkan kembali rokoknya ke
dalam tas. Lalu bertanya. 'Bom, waktu kamu
ketemu Gita, 'tu anak bilang apa?",
"Katanya Allan bukan bangsa anak begituan.
Jangan kan tripping, nenggak minuman keras
aja nggak, ngerokok juga nggak. Malah dia
bilang Vino ngarang."
"Wah, kalau gitu gua musti ikutan ngomong
sama dia," kata Vino. "Buktinya sekarang kok
udah dua hari si Allan nggak masuk-masuk."
"Aku rasa dia pindah sekolah gara-raga yang
beginian juga. Ketauan ngeprit." Ucap Firman.
"Bisa jadi," menyahuti Andi.
"Besok kalau Si Allan masih belon masuk, aku
mau ngomong lagi sama Gita. Di, kau sama Vino
musti ngelacak. Siapa yang punya mulut jahil
sampai kejadian ini bocor. Bukan cuma anak-
anak kelas lain yang tau, tapi juga guru."
"Kalau ngomong sama Gita, kamu musti hati-
hati Bom," kata Ronny.
"hati-hatinya?"
"Belakangan aku liat 'tu anak sering ngela-
mun. Nggak mau gabung sama kita-kita.
Kelihatannya jadi sensitip. Gampang
tersinggung..."
"Mungkin lagi mens 'kali," kata Vino.
"Perempuan kalau lagi dateng bulan sifatnya
kadang-kadang 'kan aneh-aneh!"
"Sok tahu lu Vin!" sembur Andi. "Kayak lu
udah pernah ngalamin mens aja!"
"Sialan! Emangnya gue cewek!" jawab Vino.
Semua anak tertawa riuh.
SIANG itu, waktu jam istirahat, Kelas II-9 sepi.
Di dalam kelas hanya ada Gita Parwati duduk
sendirian. Asyik membaca majalah. Boma berdiri
di sudut pintu, memperhatikan. Dia menduga
Gita tahu kalau dia berdiri di situ
memperhatikan, tapi pura-pura terus membaca.
Ronny dan teman-teman yang berdiri di ujung
kelas sebelah luar memberi isyarat agar Boma
segera masuk dan bicara dengan Gita. Boma
akhirnya masuk ke dalam kelas.
"Asyik banget Git, pasti majalah porno," Boma
menegur. Sengaja memancing dengan ucapan
seperti itu untuk melihat reaksi Gita.
"Enak aja lu," jawab Gita. "Liat dulu!" Gita
mengangkat majalah yang dibacanya,
memperlihatkan cover depan. Ternyata sebuah
majalah pelajar bahasa Inggris.
"Git, aku mau ngomong," kata Boma.
"Aku udah tahu. Ngomong aja..."
"Gimana kabarnya Allan?"
"Baik."
"Baik? Kok masih nggak masuk?"
"Baik bukan berarti sehat 'tau."
"Beneran sakitnya apa sih?" tanya Boma lagi.
"Mana aku tau Bom. Tanya sama dokternya
atau sama ortunya."
"Kamu 'kan sering kesana."
"Siapa bilang?" Gita angkat kepala dari
majalah yang dibacanya, menatap Boma
sebentar lalu kembali memandang ke majalah di
atas meja.
Boma merapatkan badannya ke samping
meja. Lalu pegang lengan Gita. Dia merasakan
denyutan cepat sekali pada urat nadi di lengan
temannya ini.
"Git,, jujur aja. Kau tau si Allan itu ngeprit?".
"Itu lagi yang diomongin. Kemarin aku udah
bilang. Dia bukan bangsa cowok gituan Bom."
Gita menjawab, tapi melengos, tidak berani
memandang mata Boma.
"Aku nggak ada maksud apa-apa Git. Kita 'kan
teman. Aku kasian sama kamu, sama Allan."
"Buat apa ngasianin orang kayak aku Bom?
Tapi ya makasih untuk pengasianannya," jawab
Gita.
"Git, keadaan mungkin tidak seperti yang
kami duga. Tadi pagi aku liat orang tua Allan
menemui Kepala Sekolah."
"Biar aja. Biar jelas semuanya..."
"Kamu ngebelain Allan nggak tanggung-
tanggung. Memangnya kamu cintrong banget
sama dia?" tanya Boma.
Gita diam. Tatapannya ke wajah Boma seperti
ingin menyampaikan suara hatinya. Ketika
akhirnya anak perempuan ini menjawab,
suaranya terdengar perlahan.
"Habis, siapa sih yang suka sama aku Bom?
Gendut, item. Jelek begini. Allan selalu meratiin
aku. Memang sih dia nggak pernah bilang
sayang sama aku. Tapi aku tau perasaan kami
sama."
Boma terdiam. Hatinya sangat tersentuh.
Perasaan haru biru merenyuh lubuk kalbunya
Ditowelnya hidungnya. Lalu dilihatnya ada air
mata meggelinding jatuh dari tanggul kelopak
mata anak perempuan itu. Kalau sudah begini
Boma jadi tidak tahan.
"Bom...."
"Udah Git, nanti kita ngomong lagi. Kalau
ketemu Allan bilang salam dari teman-teman."
"Aku tau kamu dan teman-teman semua
baik..." Gita menyeka air matanya. "Bom..."
Tapi Boma sudah keluar dari dalam kelas.
--oo0dw0oo--
KETIKA lonceng tanda jam pelajaran
berikutnya dimulai, yang masuk ke dalam Kelas
II-9 bukannya guru Fisika, tetapi guru bahasa
Inggris Ibu Renata.
"Selamat siang Bu," anak-anak satu kelas
memberi salam.
"Selamat siang," jawab Ibu Renata. Sejak
sakit ini kali pertama dia masuk ke Kelas II-9.
Badannya agak susut sedikit namun tidak
mengurangi kecantikannya. Sesaat dia
memandang berkeliling, memperhatikan bangku
yang kosong, bangkunya Allan. Lalu melirik ke
sudut kelas sebelah kiri di mana Boma duduk.
Firman yang duduk di sebelah Boma langsung
berbisik.
"Boma, kamu dilirik sama Ibu Renata..."
"Kamu 'kali yang dilirik, bukan aku." Jawab
Boma. Dua anak ini sama-sama menutupi mulut
menahan tertawa.
"Sudah sembuh 'Bu?" Tiba-tiba seorang anak
bertanya.
Ibu Renata anggukkan kepala, tersenyum
sedikit dan sekilas kembali melirik ke sudut kiri
kelas.
"Sakitnya apa sih Bu?" seorang anak lain
bertanya.
Yang menjawab teman di belakangnya. "Ah,
mau tau aja sakitnya Ibu Renata. Emangnya
kamu dokter?"
"Dukun, kali!" menimpali suara anak
perempuan. Yang bicara ternyata adalah Si
Centil Sulastri, anak baru pindahan dari
Semarang. Suara tawa terdengar di mana-mana.
Ibu Renata juga tertawa walau kelihatan agak
dipaksakan.
"Anak-anak, saya mewakili Wali Kelas II-9
yang hari ini berhalangan hadir. Saya
meneruskan permintaan dari Bapak Kepala
Sekolah, Bapak Nugroho, untuk menyampaikan
pesan atau pemberitahuan. Hal ini sehubungan
dengan sakitnya teman kalian Allan."
Sampai di situ Ibu Renata berhenti sebentar.
Apa yang barusan dikatakannya menimbulkan
berbagai dugaan di hati dan benak anak-anak
Kelas II-9. Banyak dari anak-anak itu mengira^
setelah diketahui tripping di sekolah Allan akan
dikeluarkan atau minta keluar. Itu sebabnya pagi
tadi ayah Allan datang menemui Kepala Sekolah.
Hampir semua mata ditujukan pada Gita. Anak
perempuan ini hanya bisa tundukkan kepala
sambil mencungkil-cungkil kuku jari tangannya.
"Anak-anak..." Ibu Renata meneruskan
ucapannya. "Sebelumnya pada Kepala Sekolah
telah masuk laporan bahwa Allan diketahui
tripping di sekolah..."
"Siapa yang melapor Bu?" Tiba-tiba ada yangi
bertanya. Boma.
Ibu Renata memandang ke sudut kiri Kelas; II-
9. Dia menatap ke arah Boma sebentar lalu
mengalihkan pandangan ke jurusan lain seraya
berkata. "Siapa yang melapor tidak perlu kalian
ketahui. Yang penting kalian ketahui adalah
bahwa Allan sama sekali tidak melakukan
tripping. Dia tidak minum obat terlarang..."
Kelas II-9 sesaat dicekam kesunyian. Semua
anak seperti tidak percaya mendengar kata-kata
Ibu Renata itu. Ketika banyak mata diarahkan
kembali pada Gita Parwati, anak-anak di bangku
terdekat saling berbisik.
"Liat, si Gita nangis..."
Saat itu Gita Parwati duduk menundukkan
kepala. Sehelai sapu tangan dipergunakan
menutupi sebagian wajah, terutama sepasang
matanya.
"Memang ada yang melihat Allan menelan
sesuatu, minum segelas Aqua lalu goyang-
goyang kepala di sekolah. Tapi saat itu
sebenarnya dia bukan sedang tripping. Bukan
menelan ecstasy. Melainkan minum obat. Obat
dari dokter. Di dapat berdasarkan resep dokter.
Anak-anak, Kepala Sekolah minta saya
menyampaikan, memberi tahu pada kamu
bahwa Allan sejak lama menderita penyakit
epilepsi..."
Epilepsi apa-an sih Di," tanya Rio yang duduk
di sampingnya. "Sipilis ya?"
Andi menutupi mulutnya menahan ketawa.
"Epilepsi aja nggak tau. Anak sekolah malu-
maluin. Ngakunya kelas dua lagi..."
"Gue 'kan bukannya dokter!" Rio jadi sengit.
"Epilepsi sama dengan ayan. Tau nggak?!"
Diberi tahu Rio cuma ngangguk sambil
monyongkan mulut.
"Kalian mungkin banyak yang tidak tahu
penyakit ini. Sebab dan jenisnya bermacam-
macam. Allan rentan terhadap udara pengap,
terutama di tempat-tempat ramai, rentan
terhadap stres. Penyakitnya bisa kambuh tidak
terduga. Ketika ada yang melihat dia menelan
sesuatu dan meneguk Aqua, sebenarnya dia
tengah minum obat dokter. Jadi anak-anak,
sekali lagi saya menyampaikan pesan Kepala
Sekolah. Allan bukan pecandu obat terlarang.
Dia tidak pecandu ecstasy atau obat apapun.
Sekarang dia masih istirahat di rumah. Kita
doakan agar dia segera masuk sekolah lagi..."
"Amin!" beberapa anak mengamini.
Saat itulah Boma, Firman dan Andi, disusul,
Ronny dan Rio mendatangi Gita yang seseng-*1
gukan di bangkunya. Anak-anak lain melakukah
hal yang sama. Gita dikerubungi. Anak-anak
perempuan menciumnya. Termasuk Sulastri.
Trini satu-satunya anak perempuan yang hanya
tegak tertegun dan tak beranjak di bangkunya.
Boma pegang tangan Gita dengan tangan
kanan. Tangan kiri mengusap punggung anak
perempuan itu.
"Git maapin aku Git. Maapin juga teman-
teman. Tadinya kami udah nyangka yang nggak-
nggak sama Allan..."
Sesenggukan Gita berubah jadi tangis
mengharukan. Dia mengangkat kepalanya,
menurunkan sapu tangan yang menutupi dua
matanya sedikit. Diantara isakannya anak
perempuan ini berkata.
"Bom, sebenarnya aku sudah tau lama
sakitnya Allan. Tapi aku mau bilang sama kalian
nggak tega. Akibatnya dia dituduh tripping..."
"Sekarang udah nggak lagi Git," kata Ronny.
Ibu Renata sesaat masih berdiri di depan
kelas memperhatikan semua simpati yang
diberikan anak-anak pada Gita. Kemudian dia
memberi isyarat pada Boma. Melihat isyarat ini
Boma datang mendekat.
"Ibu manggil saya?" tanya Boma.
"Selesai sekolah, kamu Ibu tunggu di kantor."
"Baik Bu."
"Jangan lupa."
"Iyya Bu."
Ketika anak-anak yang' mengerumuni Gita
bubar dan Boma kembali ke bangkunya, kini
Boma yang mereka kerumuni.
Ronny bertanya.
"Ibu Renata ngomongin apa sama kamu?"
"Pulang sekolah dia suruh aku datang ke
kantor."
"Ngapain?" tanya Firman.
"Nggak tau," jawab Boma sambil menowel
hidung. "Yang jelas sikapnya dingin. Belum
pernah aku liat Ibu Renata seperti itu."
"Jangan-jangan dia tau kita pada kasak-kusuk
curiga sama si Allan," kata Vino.
"Kalau memang begitu berarti kamu yang
dipanggil Vin, bukan Boma. Kamu yang pertama
kali ngeliat Allan, nyangka dia lagi tripping," kata
Andi pula.
Boma menowel hidungnya. "Kayaknya ada
soal lain yang mau diomongin Ibu Renata. Tapi
aku nggak tau soal apa."
Semua anak memandang pada Boma. Ronny
hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu guru
Fisika sudah masuk ke dalam kelas.
--oo0dw0oo--
12.SUMPAH BOMA - AIR MATA IBU RENATA
HUJAN turun rintik-rintik ketika Boma
melangkah seorang diri menuju Kantor Sekolah.
Di Ruang Tamu Kepala Sekolah beberapa orang
guru duduk bercakap-cakap. Mereka kemudian
meninggalkan tempat itu sebelum hujan
berubah lebat. Ketika berpapasan, Boma segera
memberi hormat.
Di Ruang Guru Ibu Renata duduk seoran diri
di belakang meja sambil menulis. Dia ber henti
menulis ketika melihat Boma muncul di ambang
pintu.
"Selamat siang Bu," Boma memberi salam.
Ibu Renata menjawab dengan anggukan kepala.
Wajahnya tidak cerah seperti biasa mungkin
karena habis sakit. Sikapnya masih kelihatan
dingin. Guru Bahasa Inggris ini menunjuk ke
bangku di depan mejanya, memberi isyarat agar
Boma duduk di situ.
Boma duduk.
Ibu Renata meneruskan menulis sesuatu lalu
meletakkan bolpen di atas meja, melipat kertas
yang barusan ditulis, memasukkan ke dai am
tas.
"Boma."
"Ya Bu."
"Kamu masih ingat. Waktu di kelas satu saya
pernah ngajak kamu sama-sama nonton film...."
"Ya Bu, saya ingat," jawab Boma.
"Saat itu kamu menolak."
Boma mengangguk. "Benar Bu," katanya
kemudian.
Ibu Renata diam.
Boma memberanikan diri bertanya. "Ibu
marah saya menolak?"
"Film yang saya mau lihat itu bukan cuma
bagus. Tapi banyak kesamaannya dengan
kehidupan saya...." Guru Bahasa Inggris itu diam
kembali. Lalu gelengkan kepala. "Tidak, saya
tidak marah kamu menolak. Yang saya tidak
menduga dan benar-benar marah, mengapa
kamu menyebarkan, memberi tahu orang lain
bahwa saya pernah mengajakmu nonton."
Boma tercengang. Ditatapnya wajah cantik
Guru Bahasa Inggris itu.
"Bu, saya nggak pernah cerita sama siapa-
siapa kalau Ibu ngajak saya nonton."
"Jangan dusta Boma. Kamu menyebar
omongan...."
"Sumpah Bu. Saya nggak pernah nyebar-
nyebar omongan begitu...."
Dalam wajah yang tetap dingin Ibu Renata
tunjukkan air muka tidak percaya. Matanya
mulai merah. Dia berusaha keras membendung
tangis. Tapi isakannya tak tertahankan lagi. Dua
telapak tangannya ditutupkan ke mukanya.
Bahunya bergoncang turun naik.
"Saya tidak menyangka seburuk itu budi
pekertimu. Kalau kau tidak suka. sama Ibu,
jangan ceritanya disampaikan sama orang lain."
"Sumpah Bu," kata Boma. "Jangan bersumpah
Boma. Saya paling benci pada orang yang suka
mengangkat sumpah tapi ternyata palsu...." "Bu,
saya...." "Tidak mungkin Boma. Tidak mungkin.
Waktu kita bicara pada akhir jam pelajaran hari
Sabtu itu, hanya kita berdua di dalam kelas.
Tidak ada orang lain. Tidak ada siapa-siapa. Lalu
bagaimana ceritanya jadi tersebar kalau bukan
kamu sendiri yang melakukan? Saya malu
sekali. Malu sekali Boma. Mungkin, mungkin
saya terpaksa minta berhenti mengajar di
sekolah ini. Saya akan keluar...."
"Jangan Bu. Jangan minta berhenti. Jangan
keluar," kata Boma.
Ucapan polos anak ini membuat air mata
yang sejak tadi terbendung menggelinding jatuh
ke pipi putih Ibu Renata. Isak tangis perempuan
ini semakin keras. Boma memandang ke arah
pintu.
Dia takut saat itu ada guru atau orang lain
yang melihat.
"Bu, bagaimana Ibu tau kalau saya menyebar
cerita itu? Ada yang melapor?" Boma tiba-tiba
ajukan pertanyaan.
"Kamu tidak perlu tau siapa yang memberi
tahu, siapa yang melapor. Pak Nugroho Kepala
Sekolah tadi pagi memanggil saya. Dia tau cerita
itu karena katanya sudah tersebar di antara
anak-anak sekolah, di antara para guru. Kamu
tahu apa yang Pak Nugroho bilang?"
Boma menggeleng.
"Kamu mau tahu?"
Boma tak berani menjawab.
"Pak Nugroho bilang apa yang saya lakukan
sangat tidak pantas. Seorang guru perempuan
mengajak muridnya menonton! Bukan saja
merupakan satu tindakan yang keliru, tapi juga
merusak image guru."
Ibu Renata menyeka air mata yang semakin
banyak bercucuran.
Boma mulai bingung. Dia bangkit dari bangku.
Hendak dipegangnya tangan Ibu Renata. Dia
takut. Akhirnya ditowelnya hidungnya sendiri lalu
melangkah keluar Ruangan Guru. Di pintu anak
ini hentikan langkahnya dan membalik. Untuk
beberapa lamanya dipan-danginya Guru Bahasa
Inggris itu. Sikap dingin masih belum pupus dari
wajah perempuan muda itu.
"Pergi Boma, pergilah...." kata Ibu Renata
sambil melambaikan tangan menyuruh Boma
pergi.
Tapi Boma tidak beranjak dari tempatnya
berdiri.
"Ibu Renata, sekali lagi saya sumpah. Saya
tidak berbuat sejahat itu."
Ibu Renata geleng-gelengkan kepala.
"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak
selamat."
Habis berkata begitu Boma menowel
hidungnya sampai tiga kali lalu membalikkan
badan, melangkah cepat-cepat meninggalkan
Ruang Guru.
Setelah Boma keluar dari ruangan guru, Ibu
Renata masih tertegak di belakang meja.
Ucapan Boma terngiang di telinganya.
"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak
selamat."
"Berani sekali. Seberani itu dia bersumpah,"
kata Ibu Renata dalam hati.
--oo0dw0oo--
BOMA berjalan sambil memukul-mukulkan
tinju kanannya ke dalam telapak tangan kiri.
"Ajie Gilel" Kenapa jadi begini urusannya?
Musti gua selidikin siapa yang punya kerjaan!"
Saat itu Boma ingin sekali ada kawan-
kawannya yang masih belum pulang. Ingin sekali
dia menceritakan apa yang barusan dibicara
kannya dengan Ibu Renata. Mungkin dengan
menyampaikan hal itu dadanya bisa lega,
perasaannya bisa tenang. Namun baik Ronny,
Firman, Vino, maupun Andi dan Rio, tak satupun
yang ada di sekolah. Semua sudah pulang.
Boma berdiri di pintu gerbang sekolah. Suara
deru motor yang bising membuat dia berpaling.
Guru Olahraga Bapak Sanyoto lewat dengan
sepeda motor yang bocor kenalpotnya.
"Siang Pak," kata Boma sambil anggukkan
kepala.
Mungkin tidak melihat, mungkin juga tidak
mendengar salam anak muridnya, Guru
Olahraga itu lewat saja tanpa menjawab hormat
Boma.
"Nggak denger sih mungkin," kata Boma jadi
kesal karena penghormatannya seolah tidak
diacuhkan. "Budek sih mungkin. Soalnya 'tuh
motor udah kayak suara speed boat aja. Tapi
buta jelas nggak. Rugi gua ngasih hormat.
Sialan! Tapi udahlah. Buat apa aku pikirin."
Borna menowel hidungnya.
Langit semakin gelap. Hujan rintik-rintik
berubah lebat. Boma tutupi kepalanya dengan
tas, melangkah tinggalkan pintu gerbang
sekolah. Tapi langkahnya tertahan ketika di
belakangnya ada suara deru mobil. Menoleh ke
belakang sebuah Suzuki Katana putih meluncur
perlahan. Di belakang kemudi duduk Ibu Renata.
Hujan lebat turun mendera. Boma masih
tegak di pintu gerbang berpayung tas sekolah.
Suzuki
Katana lewat di sampingnya. Saat itu ingin
sekali Boma melihat Ibu Renata menurunkan
kaca jendela kiri Suzuki Katana, ingin sekali
mendengar Guru Bahasa Inggris itu
menyapanya.
"Boma, ayo ikutan sama saya...."
Namun harapan itu hanyalah suara hati Boma
Tri Sumitro sendiri. Suzuki Katana meluncur
melewatinya. Boma baru sadar dan beranjak
dari pintu gerbang sekolah setelah sekujur tubuh
dan pakaiannya basah kuyup.
HONDA Tiger merah berhenti di ujung gang
"Di sini aja Ron. Nggak usah masuk," kata
Boma. Begitu motor berhenti Boma segera
turun.
"Aku juga males masuk Bom. Takut didamprat
kakek tetangga kamu itu. Dikit-dikit mau
ngeguyur kepala gua sama air kencing. Padahal
gue rasa 'tu kakek boro-boro kencing, kentut aja
udah nggak bisa!"
Boma tertawa lebar mendengar ucapan
Ronny Celepuk.
"Besok hari Minggu gimana?" tanya Ronny
"Jadi ke rumah Allan?"
"Boleh, tapi awas lu, jangan keliwat siang Janji
pagi dateng siang, siang dateng sore. janji
malem bisa-bisa lu dateng subuh."
Ronny menyengir. Boma lambaikan tangan.
Anak ini tengah berjalan ke tukang rokok
diseberang jalan untuk membeli Gudang Garam
Filter pesanan ayahnya ketika tiba-tiba dari arah
belakang sebuah Toyota Hardtop berhenti. Dua
orang keluar dari sebelah depan, tiga lainnya
melompat dari bagian belakang kendaraan.
Boma yang mendadak mendapat firasat tidak
enak, cepat menyeberang, melangkah ke arah
tembok tinggi sebuah bangunan. Karena mau
berbalik dan masuk ke gang. Di mulut gang
sudah dihadang dua dari lima orang yang
barusan turun dari jip. Anak lelaki ini sekarang
ingat. Toyota jip itu sebelumnya mengikuti dia
dan Ronny lalu lenyap di satu tikungan jalan.
Tahu-tahu kini muncul di belakangnya. Dugaan
Boma tidak keliru. Dia mendengar ada suara
seseorang berkata.
"Bener dia Fred! Sayang temannya udah
pergi!"
Fred. Boma ingat. Itu nama lelaki berewok
yang memukulinya di toilet Gramedia. Dan suara
orang yang barusan bicara sama dengan suara
temannya si berewok. Boma mencapai tembok,
membalik. Lima orang berdiri di hadapannya. Si
berewok di tengah-tengah.
"Jagoan tengik! Gua mau liat kehebatan lu
sekali lagi!" si berewok membuka mulut. Dia
memberi isyarat dengan gerakan tangan. Empat
orang temannya, dua di kiri dua di kanan tanpa
banyak bicara langsung menyerbu Boma.
Perkelahian tidak seimbang segera terjadi.
Walau mampu melayangkan tinjunya
beberapa kali dengan telak ke arah lawan
namun dengan cepat Boma terdesak. Lebih-
lebih setelah si berewok ikut membantu empat
temannya.
Pedagang rokok yang melihat kejadian itu
berteriak kaget. Tapi kembali masuk ke dalam
kios rokoknya dengan ketakutan ketika dua
orang penyerang mengancam.
"Berani macem-macem gua bakar kios lu!"
ancam salah seorang pengeroyok.
Darah mengucur dari hidung dan mulut
Boma. Kakinya mulai goyah. Ketika satu jotosan
melanda perutnya dan satu tendangan
menghajar tulang kering kaki kirinya, anak ini
langsung roboh.
"Abisin! Bikin mampus!"
"Jangan dibunuh Fred! Nanti jadi urusan!"
"Bunuh! Urusan belakangan!" kata si berewok.
Lalu dia mengeluarkan sebilah belati dari
pinggangnya, diserahkan pada salah seorang
temannya.
Pada saat itulah -seperti kejadian di toilet
toko buku Gramedia- Boma tiba-tiba merasakan
ada hawa dingin di tengkuknya. Tubuhnya
bergeletar panas. Nafasnya seperti membara.
Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke
atas. Lima orang yang mengeroyoknya sama
terkejut. Dua orang berlaku lengah. Tinju Boma
bersarang di hidung lelaki sebelah kanan.
"Praakk!"
Orang ini meraung keras. Tulang hidungnya
pecah. Darah mengucur deras.
Korban kedua muntah darah ketika
tendangan Boma mendarat di dadanya. Orang
ini langsung jatuh terduduk, mengerang
kesakitan beberapa lamanya lalu susah payah
berusaha berdiri.
Lelaki yang memegang belati tusukkan
senjata di tangan kanannya ke perut Boma.
Nasibnya tak kalah jelek dari dua temannya.
Tinju kanan Boma menyodok ulu hatinya. Orang
ini megap-megap sambil pegangi perut.
Belatinya jatuh entah ke mana. Boma melompat.
Tangan kiri dihantamkan ke kening orang.
Seekor burung putih, entah dari mana
datangnya, terbang di atas tempat terjadinya
perkelahian lalu hinggap di cabang pohon dekat
kios rokok.
Sesaat lagi tangan kiri Boma akan
menghantam batok kepala orang yang tadi
hendak menikamnya dengan belati, tiba-tiba
Boma merasa ada yang mencekal lengan kirinya.
Bersamaan dengan itu ada suara berkata.
"Anak setan! Kau membunuh orang dengan
tangan mautmu? Apa kau lupa telapak tangan
kirimu ada tanda silang, tanda kematian? Apa
kau lupa tangan kirimu sudah kuisi ilmu
kesaktian?!"
Boma terkejut. Dia memandang ke kiri dan
kanan. Dia tak melihat orang yang bicara. Anak
ini mencium bau pesing. Dia coba berontak. Tapi
tak mampu lepaskan diri dari cekalan tangan
yang tak kelihatan.
Boma kemudian mendengar seseorang
berteriak.
"Fred! Cabut Fred!"
Lima orang pengeroyok berhamburan naik ke
atas Toyota Hardtop. Kendaraan itu tancap gas,
lenyap dalam beberapa detik saja.
Boma tersurut mundur ketika di depannya
kelihatan satu sosok samar bungkuk sementara
bau pesing tercium makin santar. Sosok samar
perlahan-lahan kelihatan semakin nyata. Boma
tambah tersurut.
"Nek...." Boma mengenali. Nenek hitam
bermuka kulit pembungkus tulang dengan lima
tusuk konde di atas batok kepalanya. Nenek
inilah yang menolongnya sewaktu ditimpa
malapetaka di Gunung Gede. Nenek ini pula
yang memberikan ilmu secara aneh padanya.
Saat itu beberapa orang berdatangan ke
tempat kejadian itu, termasuk tukang rokok di
pinggir jalan. Si nenek menggerendeng.
"Anak setan, nanti aku datang lagi mene
muimu. Sekarang kau telan ini...." Begitu
berucap si nenek sumpalkan satu benda hitam
sebesar ujung ibu jari. Empuk-empuk pahit.
"Nek, kau menjejali aku tai kambing apa
racun?"
Si nenek tertawa cekikian. "Itu obat yan akan
menyembuhkan seluruh luka yang kau alami.
Sudah, jangan banyak tanya. Telan saja!
Namanya saja obat. Mana ada obat semanis
gulanya cendol! Hik... hik... hik!"
Si nenek cabut sesuatu dari pinggangnya.
"Ini satu lagi aku berikan padamu!"
Boma kerenyitkan keningnya.
"Apa ini Nek?" tanya Boma.
"Mana tahu aku apa ini namanya! Di
kampungku di puncak Gunung Gede tak pernah
ada benda beginian. Ambil. Pasti nanti ada
gunanya bagimu!"
Boma mengambil benda yang diberikan si
nenek. Ternyata benda itu adalah kaleng tipis
plat nomor mobil. Plat nomor polisi sebelah
belakang Toyota jip yang dikendarai lima
pengeroyok.
Ketika Boma masih bingung dan mau
bertanya, si nenek bau pesing telah lenyap dari
hadapannya.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar