..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 24 November 2024

BOMA GENDENK EPISODE TRIPPING

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 BASTIAN TITO 

Serial BOMA GENDENK 

TRIPPING 

MUNCULNYA PANGERAN MATAHARI 


1.MENGHAJAR SI BODONG 


RONNY Celepuk memperlambat motornya,

memberi jalan pada dua pejalan kaki yang

menyeberang. Vino yang membonceng di

belakang memandang ke kiri, lalu menoleh ke

kanan. Ketika memperhatikan ke gedung

pertokoan, tak sengaja matanya melihat

seseorang di depan toko. Langsung Vino

menepuk bahu Ronny dengan tangan kiri. 

"Ron, gue liat Si Bodong." 

Mendengar ucapan Vino, Ronny batal

menyentak gas motor. Dengan gerakan melejit

dia membawa kendaraan itu ke tepi jalan dan

berhenti. Helm di atas kepalanya didorong ke

atas. 

"Si Bodong? Di mana?" 

Vino menunjuk ke arah gedung pertokoan. 

"Sana di Atrium." 

"Kamu nggak salah liat?"


"Nggak...." 

"Sendirian?" 

"Sama cewek. Aku nggak ngenalin ceweknya.

Keliatannya sih bukan anak Nusantara

Tiga...." 

"Kebetulan kalau gitu!" kata Ronny. Gas motor

disentak-sentakkannya hingga kendaraan itu

mengaum keras. 

"Kebetulan gimana?" tanya Vino di antara

bising deru suara gas Honda Tiger. 

Ronny memperkecil tarikan gas motor. 

"Apa lu udah lupa peristiwa waktu acara

perpisahan minggu lalu? Kamu sendiri yang 

bilang ngeliat dia ngelemparin aku dan Boma

sama te-lor busuk! Ini kesempatan Vin! Aku mau

bikin dia tau rasa!" 

"Selama ini Si Bodong nggak suka rese' sama

kita-kita. Gua rasa dia ada yang nyuruh," kata

Vino. 

"Apa lagi lu bilang gitu! Kita musti nyelidikin

siapa yang nyuruh dia! Biar ketauan dalangnya.

Aku sikat sekalian!" 

"Ala, udahlah Ron. Nanti aja kita beresin

urusan sama si Jumhadi itu. Kita masih ada

urusan lain." 

"Nggak bisa. Aku memang sudah lama nya-riin


ytu anak!" jawab Ronny. Gas motor disentakkan.

Kendaraan itu melesat lurus ke depan lalu

membelok melewati pintu masuk Atrium Plaza di

pusat pertokoan Senen. 

Siang itu pengunjung Atrium Plaza cukup

ramai. Mungkin karena masih bulan muda jadi

banyak yang belanja. Ronny dan Vino mencari di

lantai dasar pertokoan. Jumhadi alias Si Bodong 

tidak kelihatan. Naik ke lantai satu, terus lantai

dua, Si Bodong masih belum ditemukan. Ketika

mereka menuju tangga jalan mau naik ke tingkat

tiga, Vino menggamit pundak Ronny. 

"Ron, itu.... Di depan foto studio." Vino hanya

menggoyangkan kepala, tak mau menunjuk. 

Ronny Celepuk mengikuti arah pandangan

temannya. Benar, di depan sebuah foto studio

tampak Si Bodong tegak berdampingan dengan

seorang anak perempuan. Tengah asyik melihat

foto-foto yang dipajang di belakang kaca. 

Ronny monyongkan mulutnya. 

"Kemon Vin," kata Ronny dengan gaya koboi. 

Dua anak itu melangkah cepat-cepat. Ronny

sebelah depan. Karena itu dia yang sampai lebih

dulu di depan foto studio. Langsung saja Ronny

memegang bahu kiri Jumhadi lalu diremas.

Membuat Jumhadi terkejut dan kesakitan. Dia

menoleh. Jumhadi lebih terkejut ketika melihat

siapa yang meremas bahunya. Wajahnya


berubah pucat. Matanya memperhatikan

tampang garang Ronny Celepuk. Jumhadi melirik

ke samping, ke arah Vino yang berdiri di sebelah

Ronny. 

"Bodong, gua mau ngomong!" kata Ronny.

Tangan kanannya menarik lengan Jumhadi ke

toko sebelah lalu dengan tangan yang sama dia

mendorong dada Jumhadi hingga anak lelaki ini

tersandar ke kaca etalase. 

"Ada apa Ron. Kau mau ngomong apa-an?"

tanya Jumhadi alias Si Bodong. 

"Jangan banyak bacot!" sentak Ronny. "Lu

jawab pertanyaan gua! Lu yang ngelemparin gua

sama Boma pakai telor busuk!" 

"Eh, gua kagak ngarti. Maksudmu apa Ron?

Kapan gua ngelemparin kamu?" 

"Bukkkk!" 

Jotosan tangan kanan Ronny tiba-tiba

mendarat di perut Jumhadi, tepat di pusarnya

yang bodong. Anak ini seperti mau melintir.

Tampangnya jadi merah keriput. Anak

perempuan temannya keluarkan seruan

tertahan. 

"Hai, apa-apaan 'nih! Kok main pukul?!" Anak

perempuan itu berteriak. Dia hendak melangkah

mendekati Ronny tapi Vino cepat mencegat

sambil berkata.


"Tenang aja. Nggak ada apa-apa. Udah, jauh-

jauh sana...." 

Orang mulai berdatangan, mau tahu apa yang 

terjadi di depan toko. Ronny tidak perduli. Dia

cekal kerah baju kaos Jumhadi dengan tangan

kiri. 

"Kalau lu nggak mau ngaku, gua permak

muka lu!" Ronny mengancam. Jari-jari tangan

kanannya dikepal kencang. 

"Nggak Ron, gua.... Bukan gua yang

ngelempar...." 

"Oo gitu?! Lalu siapa? Ayo bilang, siapa?!" 

Cekalan Ronny makin keras dan makin naik

hingga sosok Jumhadi yang kalah besar dengan

Ronny terbembeng ke atas. 

"Nggak tau Ron. Gua nggak tau," kata

Jumhadi. Dengan ke dua tangannya dia

berusaha melepaskan cekalan Ronny. 

"Vino ngeliat! Dia nyaksi-in lu yang ngelem-

par! Dasar Bodong! Gede bohong!" 

"Gua... gua nggak bohong Ron. Lepasin

Ron...." 

"Hai! Lepasin!" Teman perempuan si Bodong

berusaha menarik tangan Ronny tapi lagi-lagi

dihalangi oleh Vino. 

Orang makin banyak berkerumun. Pemilik


toko begitu melihat ada ribut-ribut di dekat pintu

tokonya segera keluar. 

"Hei! Kalau mau ribut jangan di sini! Pergi

sana!" Si pemilik toko berteriak. Matanya

dipelototkan pada Ronny Celepuk. 

Saat itu Ronny sedang marah besar. Ditegur

orang dia jadi tambah beringas. Tampangnya

jadi angker. Benar-benar seperti burung celepuk.

"Jangan ikut campur! Mau ikutan minta

digebuk?" 

Ronny dan pemilik toko saling berperang

pandang. Lama-lama pemilik toko keder juga.

Dia masuk kembali ke dalam toko tapi diam-

diam mengangkat pesawat tilpon di dekat meja

kasir. 

"Ron, lepasin Ron...." Si Bodong berusaha

menarik lepas tangan Ronny yang mencekal

kerah baju kaosnya. 

"Lu nggak mau ngaku ya?!" Ronny 

membentak. Tinju kanannya diangkat ke atas,

ditarik ke belakang. Siap dihunjamkan ke muka

si Bodong. 

"Jangan Ron. Jangan pukul...." 

"Lu mau ngaku nggak?!" 

"Ron, aku...." 

Ronny habis sabarnya. Tinju kanannya


menderu, menghantam mulut Si Bodong tepat di

bawah hidung. Bibir anak ini pecah. Darah

mengucur. Si Bodong terduduk di lantai.

Mengerang menahan sakit sambil pegangi

mulutnya yang jontor berdarah. Teman

perempuannya menjerit histeris melihat darah

yang mengucur di sela-sela jari tangan Si

Bodong. 

Ronny masih belum puas. Dia jambak rambut

Si Bodong. Ketika lututnya mau dihantamkan ke

muka anak itu Si Bodong cepat merangkul kaki

Ronny. 

"Udah Ron.... Udah," kata Si Bodong. Lalu

meluncur ucapan pengakuan dari mulutnya yang

berdarah. "Memang aku yang ngelemparin telor

busuk. Tapi aku cuma disuruh Ron...." 

"Siapa yang nyuruh?!" Ronny perkeras

jambakannya di rambut Si Bodong. 

"Si... si...." Si Bodong tidak meneruskan

ucapan. Seolah takut mau memberi tahu. Dia

seka darah di mulutnya dengan belakang

telapak tangan kiri. 

"Siapa?!" bentak Ronny. Lututnya ditempelkan

ke jidat Si Bodong. 

"Si Anton.... Dia yang nyuruh...." 

"Sialan!" Ronny memaki. Jambakannya

dilepas. Bodong terduduk nanar di lantai


pertokoan. 

Di tangga jalan Vino melihat dua orang

Satpam naik ke tingkat atas. Vino cepat

membisiki Ronny. 

"Cabut Ron." 

Ronny juga sudah melihat dua Satpam itu.

Anak ini tidak langsung cemas. Cepat dia

memperhatikan keadaan, membaca situasi. Lalu

berkata. "Ikutin gua." 

Dua anak itu bergegas, menyeruak di antara

orang banyak. Di belakang sana ada suara

perempuan berteriak. 

"Copet! Copet!" 

Yang berteriak teman perempuan Si Bodong

sambil menunjuk ke arah Ronny dan Vino. 

"Bahaya Ron. Kita diteriakin copet," kata Vino.

Dia membuat gerakan hendak lari. 

"Jangan lari Vin, jalan biasa! Jalan biasa!" kata

Ronny. Kalau sampai temannya itu lari

kemungkinan besar orang banyak akan

menduga mereka benar-benar copet dan akan

mengejar lalu menggebuki. Ronny melirik ke kiri.

Dia melihat pintu lift terbuka. Tiba-tiba Ronny

menarik tangan Vino. Kedua anak ini lenyap

masuk ke dalam lift. 

Di dalam lift Vino masih tampak pucat.


Berkali-kali dia menarik nafas panjang. 

"Hampir celaka Ron. Kamu benar Ron. 

Untung kita nggak lari.Kalau orang-orang 

nyangka kita copet benaran, bisa bonyok kita

berdua digebukin orang!" 

Ronny cuma nyengir mendengar ucapan Vino.

--oo0dw0oo-- 


2.PRAKTEK HOMO DALAM TOILET 


GITA PARWATI menyantap hamburger di

mulutnya dengan lahap. Saos tomat campur

sambal meleleh di sudut bibirnya, turun ke dagu.

Boma dan Firman senyum-senyum

memperhatikan. Saat itu ke tiganya berada di

mini restoran di lantai atas toko buku Gramedia.

"Git, makannya lahap banget," kata Boma. "Lagi

lapar, apa doyan apa memang rakus?" Gita diam

saja. Dengan kertas tisu disekanya saos tomat

dan sambal yang meleleh di dagunya. 

"Bukan lapar, bukan doyan bukan rakus. Tapi

lagi ada yang dikeselin. Orang yang ditunggu

nggak nongol. Balas dendamnya sama

hamburger," kata Firman. 

"Allan oh Allan. Di mana gerangan engkau...?"

Boma berkata dengan gaya nada seorang

pembaca puisi membuat Firman cekikikan. Allan

adalah anak baru di Nusantara III, yang dikenal


Gita sewaktu mendaftar di kantor sekolah. Sejak

pertemuan pertama kali itu keduanya jadi akrab

satu sama lain. 

Gita masih diam. Tangannya bergerak

menjangkau teh botol dingin di atas meja.

Meneguk minuman itu sampai setengahnya lalu

bersandar ke tembok. 

"Kalian ngeledek terus dari tadi...." 

"Ini udah siang Git. Aku sama Firman mau ke

rumah Ronny," kata Boma. "Pacar lu dateng

nggak?" 

"Pacar... pacar. Emangnya gua pacaran sama

Allan." 

"Jangan suka begitul Git. Belon masuk

sekolah kamu sudah lengket sama dia. Kayak

lem Uhu. Apa lagi nanti kalau sudah masuk.

Terus-terusan ketemu. Wah, aku nggak bisa

ngebayangin deh!" Firman senyum-senyum. 

"Kalau nggak sabaran udah, pergi aja sana.

Tapi gue nggak mau ngebayarin. Kalian keluarin

doku sendiri-sendiri." 

Boma menowel hidungnya. "Tuh, ngancem-

nye jelek banget. Kamu janjinya sama Allan

gimana?" 

"Kemaren aku ketemu dia. Bilang hari ini aku

mau ke Gramedia. Jam sepuluh. Dia bilang mau

datang, ketemu di sini."


Firman melirik ke arloji di pergelangan tangan

Gita. 

"Sekarang hampir jam sebelas. Si Allan

memang keliwatan...." Firman geleng-geleng 

kepala. 

"Bukan Si Allan keliwatan, tapi si Allan

memang Sialan," kata Boma pula. 

Gita langsung tendang kaki Boma dengan

ujung sepatunya hingga Boma menyeringai

kesakitan. 

Firman tiba-tiba keluarkan suara bersiul. "Git,

kamu boleh girang deh sekarang. Lihat tuh siapa

yang lagi naik di tangga jalan." 

Gita Parwati dan Boma berpaling ke arah

tangga jalan. Saat itu seorang anak lelaki ceking

tinggi, mengenakan jins warna hitam, t-shirt

putih tengah meluncur di tangga jalan. Rambut

coklat setengah gondrong, menjulai di sebelah

depan. Wajahnya tidak bisa dikatakan tampan.

Jerawat besar kemerah-merahan menutupi

hampir seluruh wajahnya. Matanya besar tapi

tidak bercahaya. Pandangannya kosong. Inilah

Allan, anak lelaki yang ditunggu-tunggu Gita.

Allan tertawa lebar dan lambaikan tangan begitu

melihat Gita, Boma dan Firman. 

"Sorry Git. Sorry teman-teman. Aku terlambat."

Allan keluarkan ucapan begitu sampai di depan

meja.


"Kamu sih kira-kira dong. Gita hampir nangis

nungguin kamu. Air matanya sampai masuk ke

dalam." Boma berkata sambil berdiri. Gita

cemberut Di bawah meja kakinya bergerak lagi

mau menendang tapi Boma sudah menjauh.

Firman juga ikut-ikutan bangkit dari kursi. 

"Git, Allan, aku sama Firman cabut duluan,"

kata Boma. 

"Eh, pada mau ke mana?" tanya Allan

purapura heran, padahal hatinya senang

ditinggal berdua dengan Gita. Allan berpaling 

pada Gita lalu bertanya. "Udah bilang sama

Boma?" Gita menggeleng. 

Boma dan Firman yang hendak beranjak pergi

jadi hentikan langkah di samping meja. 

"Bilang apa-an?" tanya Boma. 

"Ah udah. Nanti aja," jawab Gita. "Soal Si

Bodong dihajar sama Ronny?" 

Gita menggeleng. 

"Lalu?" 

"Nanti aja Bom. Nanti di sekolah. Hari Senin

depan kita 'kan mulai masuk...." 

"Kamu bikin hati gua jadi nggak enak Git.

Memang ada apa-an sih?" tanya Boma. 

"Udah Git, kasih tau aja," kata Allan. 

Gita Parwati merubah duduknya. "Oke deh.


Soal Dwita...." 

"Dwita?" ujar Boma. 

"Aku dengar kabar bokapnya dapat tugas

baru di luar negeri. Katanya di New York. Markas

Besar PBB. Paling cepat empat bulan lagi sudah

harus berangkat." 

Tiga pasang mata memperhatikan Boma.

Gita, Allan dan Firman tidak melihat perubahan

pada wajah Boma. Padahal apa yang barusan

didengar Boma membuat jantung anak ini jadi

berdebar keras. 

Boma tidak berkata apa-apa. Dipegangnya

bahu Gita lalu melangkah ke arah tangga.

Firman mengikuti di belakang. 

"Seharusnya tadi kamu nggak usah maksa

aku bilang soal Dwita," kata Gita begitu Boma

dan Firman berlalu. 

"Lebih cepat dikasih tau lebih bagus. Kasihan

Boma kalau dia tahu cuma tinggal beberapa

hari." Jawab Allan. 

"Bagusnya sih biar Dwita aja yang ngasih tau.

Saat ini Boma pasti ngerasa nggak enak...." Gita

menatap Allan sebentar, tersenyum. "Matamu

kok merah?" 

"Aku kurang tidur Git." 

"Kurang tidur atau kebanyakan tidur?"


"Kurang tidur." Jawab Allan. 

"Begadang?" 

"Nggak juga. Aku haus. Mau pesan minuman

dulu." Allan melambaikan tangan, memanggil

pelayan. 

--oo0dw0oo-- 

TURUN dari tangga jalan Boma berkata. "Man,

aku mau ke toilet dulu." 

"Aku juga pengen kencing," kata Firman. 

Sambil melangkah ke toilet yang terletak di

bawah tangga Boma bertanya. "Man, kamu tadi

meratiin nggak tampangnya Si Allan?" "Maksud

kamu jerawat batunya yang tambah numpuk?"

balik bertanya Firman. "Pasti otak kotormu lagi

jalan. Pasti kamu niikir begini. Tu muka yang

penuh jerawat disenggol tangan aja sakitnya

bukan main. Gimana kalau lagi main gusel-

guselan sama Si Gita...." 

"Otak lu yang bau comberan, bilang otak gue

kotor!" Tukas Boma Sambil menowel hidung.

"Aku liat mata Si Allan merah. Tapi aku yakin itu

bukan karena kurang tidur. Bukan akibat banyak

begadang. Pandangannya kosong. Gerakan

tangan agak gemetaran. Bahunya sesekali

sempoyongan kayak layangan singit." 

"Udah, bilang aja 'tu anak kayak habis teller.

Iya kan?" ujar Firman. "Tapi kalau habis nenggak


miras biasanya musti ada bau-bau alkohol." 

"Bukan miras Man. Bukan alkohol...." kata

Boma. Seorang lelaki gemuk dan anak lelaki

kecil keluar dari dalam toilet. Boma dan Firman

masuk. 

Di dalam toilet kecuali Boma dan Firman saat

itu tidak ada orang lain. Tiba-tiba dua orang 

bertubuh kekar masuk. Dua-duanya berambut

gondrong. Yang satu berewokan. Di luar sana

ada orang ketiga menutup pintu, menjaga jalan

masuk. Tidak itu saja. Orang ini menempelkan

sehelai kertas di pintu. Di atas kertas itu tertulis

"Maaf toilet rusak." 

Boma kencing di sudut kiri. Firman satu kloset

terpisah di sebelah kanan. Dua orang berbadan

tegap tahu-tahu sudah berdiri di kiri-kanan

Boma. Keduanya tidak kencing. Merasa

dipandangi dari samping, Boma jadi tidak enak.

Kencingnya tersendat tidak lampias. Dia

berpaling pada lelaki di sebelah kanan. 

"Kamu anak Nusantara Tiga?" Tiba-tiba si

kekar berewok bertanya dengan suara garang.

Nafasnya menebar bau alkohol. 

Mendengar Boma ditanyai Firman menoleh

tapi giliran dia yang dibentak oleh teman si

berewok. 

"Mau apa lu liat-liat?!" 

Firman yang berbadan kecil jadi terdiam. Tapi


anak ini tidak merasa jerih atau takut. Di

sekolah dia sering disebut sebagai anak

kelotokan. Artinya tidak takut sama siapa saja,

kadang-kadang berlaku aneh. Cuma untuk

melawan lelaki berbadan kekar ini Firman

memang harus berpikir lebih dari dua kali. Lagi

pula dia tidak tahu apa yang tengah terjadi dan

mau apa kedua orang itu. Mau ngompasl Mau

malakl 

Ditegur kasar Boma tidak menjawab.

Restluiting celana jinsnya ditarik ke atas. Dia

merasa sesuatu yang tidak benar bahkan

membahayakan dirinya dan Firman akan terjadi.

Ketika Boma tengah mengancingkan ikat

pinggang, orang di sampingnya mendorong

bahunya dengan kasar. 

"Kamu budek?! Ditanya diam aja!" 

Boma tetap tak menjawab. Dia menatap

wajah orang itu sesaat, melirik ke arah Firman

lalu sambil memberi isyarat dia berkata. "Ayo

Man, kita keluar." 

Begitu Boma melangkah ke pintu yang

tertutup, si berewok ulurkan tangan mencekal

kerah kemejanya. 

"Mana temen lu Ronny Celepuk?" Orang yang

mencekal bertanya sambil menyentakkan

cekatannya. 

"Nggak ada. Nggak tau...." Jawab Boma.


"jangan ngibul! Kamu Boma 'kan? Anak SMA

Nusantara Tiga! Kalau ada kamu pasti juga ada

Ronny Celepuk!" 

"Nggak ngibul tuh! Liat aja sendiri! Apa ada

Ronny Celepuk di tempat ini!" kata Boma. Suara

dan sikapnya kalem-kalem saja. Padahal saat itu

jantungnya dag-dig-dug juga. 

"Anak gendenk! Lu mau nantang gua hah?!"

Dengan tangan kirinya orang itu dorong kening 

Boma hingga kepala Boma terdongak ke

belakang. 

"Nantang? Siapa yang nantang?!" sahut

Boma. Orang yang mencekal kerah kemejanya

memang besar kekar dan seram tapi sealis lebih

pendek dan dirinya tak kenal orang ini 

Sebaliknya, agaknya orang ini tahu siapa dia.

"Wah, berani juga nih kunyuk!" 

"Memang dia sok jadi jagoan!" Lelaki kekar

satunya bicara. "Katanya dia punya ilmu. Mulai

aja Fred! Aku mau liat ilmu apa sih yang dia

punya! Aku biar jagain monyet yang satu ini." 

Si berewok menyeringai. Boma didorong 

hingga tersandar ke dinding ruangan. Lalu

laksana kilat tangan kanannya bergerak. 

"Plaaakk!" 

Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri

Boma. Seumur hidup baru sekali ini Boma


ditampar orang seperti itu. Ayahnya saja yang

terkenal galak sama anak tidak pernah

menampar. Sudut kiri bibir Boma pecah. Darah

meleleh. Boma merasa seperti ada ledakan

dahsyat di telinga kirinya. Untuk beberapa lama

anak ini tertegak nanar, meringis menahan sakit,

telinga mengiang, air mata meleleh dari sudut

mata kiri. Bukan air mata menangis tapi air mata

saking hebatnya dia berusaha menahan sakit. 

"Katanya lu punya ilmu! Kok baru digampar

aja udah ngulet kesakitan!" Lelaki di belakang

Boma mengejek. 

Si berewok yang barusan menampar ikut

bicara. "Katanya jagoan! Nggak taunya cuma

banci cengeng!" 

"Hajar lagi Fred, biar dia tahu rasa!" kembali

teman si berewok berucap. 

Firman tiba-tiba menerjang ke depan. Dia

berusaha menendang orang yang barusan

menampar Boma. Tapi kawan si berewok cepat

menghadang. Bukan cuma menghadang, malah

sekaligus melayangkan jotosan. Sosok kecil

Firman terpental lalu terjengkang di lantai toilet

begitu tinju keras melanda dadanya. Anak ini

melingkar di lantai, mengerang kesakitan sambil

pegangi dadanya yang serasa amblas. Dasar

anak kelotokan, meski menderita sakit bukan

main tapi dia gulingkan badan, menangkap kaki

orang lalu mengigit pahanya. Blujins yang


dipakai orang itu cukup tebal tapi gigi-gigi

runcing Firman masih bisa tembus lalu

menghunjam di daging pahanya. Orang ini

menjerit kesakitan. "Bangsat! Main gigit!" 

Dijambaknya rambut Firman lalu kepala anak

ini disentakkannya. Begitu tubuh Firman

terangkat dia kembali daratkan jotosan. Firman

terpekik. Jotosan mendarat tepat di keningnya.

Lutut anak ini langsung terlipat. Dalam keadaan

seperti itu tubuhnya didorong kuat-kuat hingga

terpelanting, terkapar di lantai toilet yang kotor,

mengerang kesakitan. 

Sebenarnya Boma masih bisa menahan rasa

sakit tamparan lelaki berewok. Dia ingin

menanyakan salah apa sampai dia ditampar

seperti itu. 

Tetapi ketika melihat Firman dijotos dan

dibanting amarah Boma Tri Sumitro yang

mendapat cap Anak Geblek dan terakhir malah

dijuluki Anak Baru Gendenk menggelegak

seperti air mendidih. Ubun-ubunnya serasa

mengepulkan hawa panas. Dadanya membara.

Apa lagi saat itu di depan dilihatnya si berewok

mengayunkan tangan hendak meninju mukanya.

"Bang, jangan Bang. Jangan pukul. Saya kan

nggak punya salah apa-apa sama Abang." 

Luar biasa. Dalam keadaan seperti itu

mendadak saja Boma mampu menindih hawa


amarahnya dan keluarkan ucapan polos sabar. 

"Jangan banyak bacot!" bentak si berewok.

Tinju kanannya menderu. 

"Bukkk!" 

Jotosan si berewok mendarat. Bukan di wajah

Boma, melainkan di atas telapak tangan kiri

anak lelaki itu. Boma berhasil menangkis

serangan orang. 

"Bangsat! Berani ngelawan!" 

Si berewok pergunakan tangan kiri untuk

meninju perut Boma dan tepat mengenai

sasarannya dengan telak di ulu hati. Boma

terlipat ke depan. Perutnya seperti pecah.

Sesaat Boma sulit bernafas. Lalu serasa mau

muntah. Dalam keadaan seperti itu si berewok

kembali mengangkat tangan kanan, siap

melayangkan tinju berikutnya. Yang diincarnya

kali ini adalah hidung Boma. 

Boma cepat mundur. Tapi punggungnya

tertahan oleh papan pemisah kloset. 

"Buukk!" 

Tinju si berewok yang diarahkan ke hidung

Boma mendarat di pipi kiri. Boma seperti melihat

ledakan bintang-bintang di pelupuk matanya. Dia

nyaris roboh kalau tidak cepat menggapai papan

pemisah kloset. Boma baru bisa menarik nafas

agak panjang ketika tiba-tiba dari samping


kawan si berewok melayangkan tinju ke arah

rahang kirinya. 

Rasa sakit yang amat sangat membuat

amarah Boma yang tadi padam kembali

menggelegak, lebih dahsyat dari sebelumnya,

memusnah kesabaran yang ada dalam dirinya.

Satu hawa aneh tiba-tiba terasa di kuduknya.

Hawa ini menjalar ke seluruh tubuh. Entah apa

yang terjadi, di mata Boma dua orang lelaki

kekar yang memukuli dia dan Firman itu tampak

kecil. 

Rahang menggembung, geraham bergeme-

letakan. Sepasang mata menyorot aneh. Tangan

kanan menowel hidung. Kepala dan pundak

dimiringkan. Jotosan yang melayang ke arah

rahang ditangkis dengan lengan kiri. Bersamaan

dengan itu tangan kanan melesat ke depan. 

Kawan si berewok keluarkan suara seperti

sapi melenguh ketika tinju kanan Boma

menyodok ulu hatinya. Tubuhnya terhempas ke

belakang. Dua tangan menggapai udara. Firman

yang saat itu sudah berdiri dan tegak bersandar

ke dinding sambil pegangi keningnya yang benjol

merasa dapat kesempatan untuk memba-las.

Sosok kekar yang terhuyung ke belakang itu

didorongnya kuat-kuat hingga menghantam

pintu wc, terus masuk ke dalam wc. Malang,

kepalanya membentur dinding dengan keras.

Orang ini tergelimpang miring tak sadarkan diri


di lantai wc, sebagian mukanya masuk ke dalam

kloset jongkok! 

Lelaki berewok tidak sempat melihat apa

yang terjadi dengan kawannya. Juga tidak

melihat jotosan kilat yang dihantamkan Boma ke

hidungnya. Boma tidak tahu apakah hidung itu

patah tulangnya. Yang jelas dia melihat ada

darah mengucur dari dua lobang hidung dan si

berewok megap-megap sukar bernafas. Rasa

sakit membuat orang ini jadi kalap. Dia berusaha

mencekik leher Boma dengan dua tangannya

yang kokoh. Tapi Boma tidak memberi

kesempatan. Sebelum cekikan sampai, tinju

kanan Boma untuk kedua kalinya melesat. Kali

ini menghantam mata kanan si berewok. Orang

ini menjerit keras, melintir sambil pegangi

matanya. Ketika tubuh yang melintir berputar

menghadap ke arahnya, Boma sarangkan lagi

satu tonjokan ke perut lawan. Si berewok terjajar

keras amblas masuk ke dalam wc. Jatuh

tertelungkup, tepat di atas sosok kawannya.

Melihat dua orang itu tidak bergerak, tidak

bersuara Firman jadi takut. Kalau cuma pingsan

tidak jadi apa. Tapi kalau ternyata keduanya

mati? 

"Bom, kabur Bom...." bisik Firman. 

Tapi Boma tidak punya pikiran untuk segera

kabur. 

"Tunggu Man, dua orang hutan ini musti


dikasih pelajaran," ucap Boma. Lalu anak ini

melangkah ke pintu wc. Turunkan retsluiting

celana jinsnya. Kencingnya yang tadi tertunda

tidak lampias kini dikeluarkan habis-habisan!

Dikucurkan mengguyur dua orang yang

tergeletak pingsan di dalam wc. Mulai dari

badan sampai kepala. 

"Gila lu Bom!" kata Firman. "Dasar gendenk!" 

Boma menyengir. Sekilas dia melihat

wajahnya di dalam kaca. Bengkak besar merah

kebiruan menghias pipi kirinya. 

"Sial!" maki anak ini. Dia berpaling pada

Firman yang juga tengah memperhatikan benjut

besar di keningnya. 

"Man, sekarang saatnya kabur! Sebentar lagi

pasti ada yang masuk ke sini," kata Boma. 

Sementara itu di luar toilet, lelaki kawan dua

orang tadi, yang sebelumnya menempelkan

kertas bertuliskan "Maaf toilet rusak" merasa

curiga mendengar teriakan-teriakan di dalam

sana. Apa lagi saat itu seorang Satpam

dilihatnya terus-terusan memperhatikan ke

arahnya dari kejauhan. Takut ketahuan, orang ini

cepat tanggalkan kertas yang ditempel di pintu

lalu membuka pintu, masuk ke dalam toilet. Saat

itulah Boma dan Firman menghambur keluar. 

"Hai!" orang yang barusan masuk berteriak.

Dia hendak mengejar Boma dan Firman. Tapi


tidak jadi karena merasa heran tidak melihat

dua temannya di dalam toilet. 

"Cepetan Man!" kata Boma. 

Ketika ke dua anak ini sampai di ujung tangga

jalan, Satpam yang sejak tadi memperhatikan

sekitar toilet melangkah mendatangi. 

"Ada apa?!" Petugas itu bertanya. "Siapa tadi

yang teriak-teriak?" 

Boma pura-pura mengusap pipinya untuk

menutupi benjut lebam di pipi kiri. Firman

memandang ke jurusan lain sambil turunkan

rambut agar menutup benjut di kening. 

Firman bingung, tak tahu mau menjawab apa.

Boma cepat dapat akal, cepat pula menjawab. 

"Pak, cepat masuk ke dalam toilet Pak. Ada

dua orang melakukan praktek homo." Kata

Boma sambil menggeser langkah. 

"Hah?! Apa?!" Si Satpam sulit mau percaya. 

"Betul Pak. Kami berdua liat sendiri. Kami

kabur ketakutan." ucap Firman. Dia bergerak

mengikuti Boma. 

"Teman saya ini hampir dikerjain juga!"

menambahkan Boma. 

"Gila!" 

"Ketika Satpam itu melangkah menuju toilet,


Boma dan Firman langsung kabur. 

--oo0dw0oo-- 


3.ALLAN PUNYA MASALAH 


WARUNG bakso di ujung jalan riuh oleh suara

gelak tawa tujuh orang anak termasuk Firman

yang menceritakan Peristiwa perkelahian di

toilet toko buku Gramedia itu. 

"Untung belon masuk sekolah. Kalau nggak

kalian berdua bisa jadi tontonan. Kayak anak

ondel-ondel...," kata Gita. Lalu anak perempuan

gemuk ini tertawa cekikikan. 

"Mulai sekarang kau jangan dulu pergi-pergi

ke Gramedia, Bom," kata Vino sambil mengusap

matanya yang berair karena tertawa terpingkal-

pingkal. "Kalau Satpam Gramedia ngenalin

kamu, pasti jadi urusan." 

"Bukan cuma Satpam itu," kata Gita Parwati.

"Nggak mustahil dua orang yang mau ngerjain

kamu datang ke sana. Menunggu kamu sama

Firman muncul kembali." 

Boma masih terus mengusap-usap

hidungnya. 

Firman lalu berkata. "Waktu kita lagi dipermak

orang di dalam toilet, Si Gita malah lagi enak-

enakan in the mood bersama Si Allan...."


"Bom' kata Ronny. "Kejadian di Gramedia itu

jelas ada hubungannya dengan kejadian di

Atrium. Buktinya sebelum mukuli kamu, orang

itu nanyain aku. Sebetulnya aku yang diincar,

tapi kalian berdua yang apes." Suara Ronny

bernada sedih, juga menyesal. "Kalau waktu itu

gua nggak nonjokin Si Bodong...." 

Boma pegang tangan Ronny Celepuk. "Kamu

nggak usah ngomong gitu Ron...." 

"Mungkin kita semua sudah masuk dalam

daftar yang mau dikerjain," kata Vino. 

"Kamu nggak ngenalin dua orang itu? Nggak

pernah ngeliat sebelonnya?" tanya Andi. 

Boma menggeleng. "Tapi kalau ketemu lagi

aku pasti ngenalin tampang monyet-monyet itu."

"Aku ingat," kata Firman menyambung ucapan

Boma. "Orang yang mau mukulin Boma dipanggil

Fred sama temannya. Mungkin namanya

Freddy." 

"Gila juga Si Bodong. Bisa-bisanya nyuruh

orang mukulin aku sama Firman." Boma berkata

sambil mengusap-usap hidungnya dengan ujung

jari. 

"Belum tentu ini kerjaan Si Bodong sendirian,"

Gita memberikan pendapat. "Mungkin Si Anton

juga ikutan. Malah bisa saja tu anak yang jadi

dalangnya. Ingat, dia yang nyuruh Si Bodong


bego ngelempar kita sama telor busuk!" 

Masih mengusap-usap ujung hidungnya 

Boma memandang pada Ronny lalu berkata.

"Heran, sirik apa sih Si Anton sama aku dan

kamu Ron?" 

"Sama aku sih mungkin kagak Bom. Tapi

sama kamu pasti iya," kata Ronny pula. 

"Belangnya mulai keliatan waktu dia nyuruh Si

Bodong ngelempar telor busuk tempo hari." 

"Pasti iyanya kenapa?" ujar Boma. "Walau

satu sekolah aku, kita tidak satu kelas sama dia.

Ketemu juga jarang. Pokoknya nggak ada yang

korslet antara aku, antara kita-kita dengan Si

Anton." 

"Aku juga nggak ngarti," kata Ronny dan ikut-

ikutan mengusapi hidungnya yang seperti paruh

burung kakak tua. 

"Kalian semua budek en buta," kata Gita. 

"Ajie Busyetl Maksud kamu apa non Gita

cakep?" tanya Boma sambil mesem-mesem. 

"Yang aku dengar, yang aku tau Si Anton itu

udah lama ngebet sama Trini. Tapi kepentok

kamu, den mas Boma yang ngganteng." Gita

balas meledek. 

Semua mata memandang ke arah Boma.

"Nah, kok kepentok aku?" tanya Boma heran.


"Kepentoknya benjol nggak?!" menimpali Rio.

"Yang kepentok kepala bawah apa kepala

atas?" Vino menimpali. 

Ronny dan Firman tertawa lebar. Gita

cemberut. Boma dan yang lain-lainnya

senyumsenyum mendengar ucapan Vino itu. 

"Kalau dia memang demen sama Trini ambil

aja," kata Boma. "Aku nggak ada hubungan apa-

apa sama 'tu cewek kok." 

"Jangan begitul Bom. Jangan takabur bo...."

ujar Gita. 

"Begitul begitil," Boma agak bersungut. 

"Memangnya aku takabur gimana?" 

"Trini itu naksir sama kamu. Jelas. Semua

orang tau. Tapi kamunya kayak ogah-ogahan...."

"Git, kamu ini kayak yang nggak tau history

aja. Nggak tau sejarah," Vino memotong ucapan

si gendut Gita Parwati. 

"Keren amat lu ngomong. Maksud kamu

apa?" tanya Gita. 

"Gue sih ngomong blak-blakan aja bo," kata

Vino sambil melirik Boma. "Mau marah, marah

deh! Gue ngomong seadanya. Dulu pertama kali

memang Boma duluan yang naksir Trini...." 

"Enak aja lu!" protes Boma.


"Terusin Vin," kata Gita. 

Vino meneruskan. "Tapi Trini jual mahal.

Cuek. Mungkin kawan kita ini nggak masuk

nominasi karena sudah kebeken gebleknya.

Rangkingnya lumayan bagus. Tiga sembilan dari

empat satu...." Sampai di situ Vino berhenti

bicara, memperhatikan dulu teman-temannya

yang pada nyengir, termasuk Boma sendiri.

"Mungkin Trini nggak mandang sebelah mata

karena Boma bukan anak gedongan. Cuma anak

seorang tukang...." Terusan ucapan Vino itu

adalah seorang anak tukang sablon. Tapi

ucapannya terputus. Boma ulurkan tangan

kanan ke arah jidat Vino. Jari-jari ditekuk ke

dalam. 

"Ayo. Terusin nyebut kerjaan bokap gue. Gue

jitak benjol lu!" Boma mengancam. Vino cepat-

cepat jauhkan kepalanya. 

"Sorry teman-teman, ada kerusakan teknis!"

kata Vino membuat teman-temannya kembali

tertawa. "Terusin nggak nih?" 

"Terusin!" jawab Gita, Andi, Firman, Rio dan.

Ronny berbarengan. Boma diam saja. 

"Tapi waktu Dwita masuk...." Vino

menyambung jalan ceritanya. "Everything 

changes. Cia illah, keren banget gua." Vino

tertawa geli sendiri. "Keadaan berobah. Trini

merasa mendapat saingan. Apa lagi Dwita


keliatan akrab sama Boma. Lalu Trini pasang

kuda-kuda baru. Deketin Boma. Saat itu Si Anton

lagi ngebet-ngebetnya sama Trini. Tapi si cewek

justru nguber Boma. Anton kesel en kalap. Kita-

kita yang jadi korbannya. Nah, begitu jalan

ceritanya. Bener nggak penonton?" 

"Bennneerrrrr!" Enam mulut menjawab lalu

sama-sama tertawa. Boma cuma bisa nyengir. 

"Mungkin Si Anton nganggap kamu rakus

Bom," kata Firman. Mauin dua cewek sekaligus."

"Kayak pangeran aja," kata Rio. 

"Pangeran bandit." Sambung Gita. 

"Ajie Gilel" Boma menyeringai lalu menowel

hidungnya. 

"Bom, kamu kalau sehari-hari nggak nowelin

hidung, mungkin meriang kali ya?!" ujar Gita

yang sejak tadi memperhatikan kebiasaan Boma

inenowel hidung. 

"Masih mending gua nowelin hidung sendiri.

Kalau nowelin hidung kamu mau nggak?" tanya

Boma. 

"Rasain lu, Dut!" kata Vino tertawa geli. 

"Uh, si Boma paling bisa ngebalikin omongan

orang!" kata Gita pula. 

"Teman-teman, lupain dulu urusan cewek-

cewek itu." Ronny mengalihkan pembicaraan.


"Lebih penting kita, omongin bahaya yang

mengancam kita. Pertama bahaya pembalasan

dari dua orang yang dikerjain Boma sama

Firman di toilet. Kedua bahaya dari Si Anton

sendiri. Saat ini dia pasti tambah nggak senang

sama kita-kita. Terutama sama Boma." 

"Dua orang itu punya itikad jahat Mau

melakukan tindak kekerasan. Bagaimana kalau

kita lapor Polisi?" kata Andi. "Mungkin bisa pakai

jalur bokapnya Trini yang Letkol itu." 

Boma gelengkan kepala. "Aku nggak setuju.

Soalnya gara-gara urusan orang yang dirampok

di bajaj dulu saja, aku jadi bulak balik ke kantor

polisi. Ditanya ini itu. Diminta kesaksian. Belum

lagi nanti sampai ke sidang pengadilan. Kalau

ditambah lagi dengan urusan yang satu ini,

buntutnya pasti jadi makin panjang. Alamat

bakal banyak bolos nantinya aku di sekolah." 

"Soal perampokan itu Bom," kata Ronny. "Kau

juga harus hati-hati. Banyak yang bilang,

biasanya teman-teman rampok yang ada di

luaran suka balas dendam. Apalagi kalau si

perampok yang nanti dihukum, keluar dari

penjara. Nggak mustahil dia nyari kamu, Bom." 

"Aku memang sudah mikirin itu," jawab Boma.

"Aku memang harus hati-hati. Tapi kalau kelewat

dipikirin,. aku bisa stres sendiri. Akhirnya aku


bersikap pasrah aja. Minta perlindungan Tuhan."

"Bom, banyak yang bilang kau sekarang

sudah punya ilmu. Apa ilmu itu nggak bisa

dipakai buat jaga diri?" Bertanya Gita Parwati. 

"Ilmu apa-an? Ilmu tai kucing?" ujar Boma

pula. 

"Tai kucing, tai anjing kek. Kalau kau memang

punya ilmu berarti nggak usah terlalu banyak

pasrah. Kami teman-temanmu jadi nggak terlalu

kawatir." Gita diam sebentar lalu meneruskan.

"Waktu kau menghajar dua orang di Gramedia

itu, apa kamu ngeluarin ilmu?" 

"Memang aku ngeluarin ilmu. Tapi ilmu

nekad!" jawab Boma. 

Anak perempuan bertubuh gendut itu tertawa

lebar. Dia berdiri sambil berkata "Sorry teman-

teman. Aku musti pergi dulu." 

"Pergi ke mana Git?" tanya Andi. Yang lain-lain

ikut heran. 

"Nganterin nyokap ke dokter." Jawab Gita

Parwati. 

"Ala... Nganterin nyokap apa janji sama

nyongnyong?" meledek Ronny. 

"Enak aja lu," sungut Gita. "Udah, aku pergi

dulu ya." 

"Hati-hati Git. Kalau bisa perginya jangan


lewat jalan Kramat Raya," kata Vino dengan

wajah serius. 

"Memang kenapa?" tanya Gita juga serius. 

"Ada razia," jawab Vino. 

"Razia? Razia apa-an?" Gita tambah serius. 

"Razia orang jelek en gendut!" jawab Vino. 

"Sialan!" Gita angkat tinjunya tinggi-tinggi.

Sebelum tangan itu diayun ke batok kepala Vino,

anak lelaki ini cepat menghambur, berlindung di

belakang Boma. 

"Brengsek!" kata Gita Parwati lalu putar

tubuhnya yang gemuk, melangkah keluar

warung. 

"Ee... Git! Baksonya bayar dulu!" teriak

Firman. 

"Sa' bodo!" jawab Gita tanpa berpaling. 

"Wah, berabe deh kalau kasir kita diantuk

penyakit ngambek," kata Ronny pula. 

Tak lama setelah Gita Parwati meninggalkan

mereka, Boma berkata. "Aku sama Firman

pernah ngomong-ngomong soal cowoknya

Gita...." 

"Si Allan, anak baru itu?" ujar Andi. 

Boma mengangguk. 

"Kayaknya Gita naksir berat sama Allani Allan


juga suka sama Gita' ucap Rio. 

"Ajie Busyet. Si Gita bukan cuman buta mata,

tapi juga buta hidung. Dia betulan naksir sama

Si Allan, anak baru itu?" Ronny Celepuk tepuk

jidatnya sendiri. 

"Soal sama-sama naksir sih itu urusan

mereka," kata Firman. "Justru ada hal lain yang 

bisa jadi masalah. Bukan cuma buat Gita, tapi

juga buat kita-kita semua. Malah bisa-bisa

masalah buat satu sekolah." 

"Ajie Gombali" Ronny lagi yang buka mulut

"Memangnya Si Allan ngelakuin apa? Makar

terhadap Pemerintah yang syah? Atau kudeta

pimpinan SMA Nusantara Tiga?!" 

"Ceritain aja Bom," kata Firman. 

"Kalian pernah nggak meratiin wajah samaj

gerak-geriknya 'tu anak." Boma pandangi wajah

teman-temannya. 

Tak ada yang segera menjawab. Lalu Rio

membuka mulut. "Kalau wajahnya sih jelas. 

Banyak jerawat. Kalau gerak geriknya...." 

"Memangnya kenapa Bom?" Andi bertanya. ; 

"Kita-kita memang baru beberapa kali ketemu

dia. Soalnya masih belum masuk sekolah. Tapi

beberapa kali ketemu aku sering ngeliat

matanya merah...."


"Mungkin aja dia tukang begadang...." kata

Ronny. 

Boma menggeleng. "Mata merahnya Si Allan

bukan karena bergadang. Kayaknya ada

penyebab lain. Lalu, kadang-kadang aku liat dia

duduk atau berdiri seperti orang kehilangan

keseimbangan. Tangannya suka gemetaran. 

Pandangannya kosong. Terus terang aja aku

kawatir dia suka nenggak obat terlarang." 

"Ah, kamu nggak-nggak aja Bom. Kalau Gita

tau kamu ngomong begitu habis kamu

didamprat si gendut itu," kata Ronny. 

"Aku serius Ron. Kalau Allan suka yang

begituan, cepat atau lambat pasti bakal ada

teman-teman yang ketularan. Pertama sekali

Gita tentunya." 

"Bom, kalau dugaanmu nggak benar

buntutnya bisa jadi jelek," kata Ronny Celepuk

pula. "Kalau bener?" ujar Boma. Semua terdiam.

"Ada satu lagi," kata Firman. "Kalau di tempat-

tempat keliwat ramai Si Allan kadang-kadang 

seperti orang sesak nafas. Muka pucat keringat-

an...." 

"Jangan-jangan 'tu anak punya penyakit

bengek," kata Rio. 

"Bukan bengek, tapi asma," celetuk Vino.

"Asma asmara. Asmara sama Gita."


"Gini aja," kata Boma. "Di antara kita harus

ada yang nyelidik. Kalau perlu nanti waktu sudah

sekolah ada yang meriksa tasnya." 

"Mana mungkin segala obat terlarang ada

yang berani bawa ke sekolahan," kata Rio. 

"Mungkin aja Ron. Karena kalau ditarok di

rumah takut digeledah orang tua...." kata Firman.

"Lalu kita mau bikin apa, bo?" tanya Ronny. 

Boma memandang pada Andi. "Di, kamu 'kan

lebih dekat sama Gita dibanding kita-kita. Apa

lagi rumah kalian masih satu komplek. Allan

pasti sering datang ke rumah Gita. Kamu bisa

nggak ngawasin 'tu anak berdua. Terutama Si

Allan." 

"Yah, aku coba deh," jawab Andi sambil garuk-

garuk kepala. 

"Nanya-nanya atau cari keterangan juga bisa,"

kata Firman 

"Nanya-nanya gimana?" tanya Andi pada

Firman. 

"Misal dia pindah sekolah. Lantaran apa? 

Minta pindah sendiri atau dikeluarin. Kalau

dikeluarin sebab apa? Berantem, tawuran atau

suka nenggak obat setan." 

"Tapi kamu musti hati-hati, Di," kata Boma

pula. "Jangan sampai ketauan sama Si Allan


atau Gita kamu nyelidikan dia. Apa lagi kalau

sampai kejebak. Ikut-ikutan nenggak obat 

setan." 

"Amit-amit jabang babu...." kata Andi.

Disambut gelak tawa semua anak yang ada di

situ. 

---oo0dw0oo--- 


4.BATU PENYUSUP BATIN 



DALAM gelapnya malam, di bawah terpaan

angin laut serta deru gelombang ombak pantai

selatan, satu bayangan biru laksana terbang 

berkelebat ke arah timur. Rambutnya yang

panjang sekaki seperti mengambang di udara. Di

atas bahu kanannya orang ini memanggul

seseorang yang tiada hentinya keluarkan suara

menggerang. 

"Jahanam Muka Bangkai Berhentilah

merintih! Atau kuputus urat besar di lehermu

hingga kau jadi gagu seumur-umur!" Orang yang 

memanggul membentak. 

"Eyang...." Orang yang dipanggul keluarkan

suara perlahan. "Daging tubuhku seperti leleh,

tulang-tulangku laksana hancur. Satu tanganku

amblas buntung. Kalau aku tidak boleh merintih

menanggung sakit mengapa kau tidak bunuh

saja diriku saat ini? Kau mau bawa aku ke

mana? Aku memilih mati dari pada hidup cacat

seumur-umur. 

"Murid keparat! Jangan berani bicara tak

karuan padaku! Kematian terlalu enak bagimu!

Aku perlu minta pertanggungan jawabmu lebih

dulu! Kau telah melakukan satu kegagalan

besar! Kegagalan yang akan membuat

celakanya kita para tokoh golongan hitam. Dasar

murid tolol tidak berguna!" 

"Eyang.... Eyang Kunti Api. Aku mohon, bunuh

saja aku sekarang juga!" Sang murid yang 

berjuluk si Muka Bangkai kembali keluarkan

ucapan. 

Sosok berjubah biru, yakni seorang- nenek

bertampang angker keluarkan suara

menggembor marah. Sepasang matanya yang

merah keluarkan cahaya menggidikkan.

Mulutnya yang perot dan pencong ke kiri

lesatkan pekik dahsyat. Begitu dua kakinya

dijejakkan ke tanah, tubuhnya melayang ke

udara setinggi lima tombak. Dari atas, sambil

melayang turun nenek ini, yang dikenal dengan

panggilan Eyang Kunti Api, lemparkan sosok

murid yang sejak tadi dipanggulnya. 

Tak ampun lagi sosok Si Muka Bangkai

amblas tenggelam sampai sebatas leher dalam

pasir lunak dan becek di tepi pantai. Tampang

kakek ini pucat laksana darahnya disedot setan.

Matanya yang besar mendelik tinggal putihnya.

Dia merasa sekujur tubuhnya remuk. Dari mulut


dan hidungnya mengucur darah kental. Dua

tangannya terkulai di atas pasir. Yang kiri

buntung sebatas siku. Dia coba bersitekan

dengan tangan kanan dan mengangkat tubuh

agar bisa keluar dari dalam pasir. Tapi tidak

mampu. Dia hanya bisa menatap putus asa ke

arah sang guru sambil sesekali keluarkan suara

mengerang panjang. 

Eyang Kunti Api melayang turun. Tegak dua

langkah di depan muridnya, berkacak pinggang.

Dongakkan kepala lalu tertawa bergelak. Tiba-

tiba nenek ini hentikan tawanya lalu

membentak. 

"Muka Bangkai!" 

Sang murid angkat sedikit kepalanya. "Kau

tahu kesalahan apa yang telah kau perbuat?!" 

"Eyang.... Kau boleh menyebut segala apa.

Aku pasrah," jawab Si Muka Bangkai. Dari

mulutnya kembali mengucur darah kental. 

Dalam serial Boma Gendenk sebelumnya

(ABG = Anak Baru Gendenk) telah dituturkan

bahwa Si Muka Bangkai mendapat tugas dari

Eyang Kunti Api untuk mencari tahu rencana

Sinto Gendeng yang hendak menghadirkan

seorang pendekar sakti mandraguna dalam

rimba persilatan. Konon pendekar itu diberi

julukan "Pendekar Tahun 2000". Bagi para tokoh

golongan hitam, rencana ini merupakan satu


malapetaka besar. Karena itulah selain mencari

tahu siapa adanya sang pendekar, Si Muka

Bangkai juga ditugaskan untuk membunuh Sinto

Gendeng. Ternyata Si Muka Bangkai yang juga

dikenal sebagai guru Pangeran Matahari tidak

berhasil dalam tugasnya. Bukan saja dia gagal

mencari keterangan dan membunuh Sinto

Gendeng, nenek sakti di puncak Gunung Gede

itu, dia sendiri malah harus kehilangan tangan

kirinya, putus sebatas siku dihantam serangan

Sinto Gendeng. Dan kini gurunya, Eyang Kunti

Api hendak meminta pertanggung jawaban dari

kegagalannya. Dia tidak tahu mau bertanggung

jawab bagaimana. Karena itu dia lebih suka

memilih mati saja. 

"Enaknya mulutmu berucap pasrah! Kau tahu!

Kegagalanmu ini akan terasa sampai puluhan

tahun mendatang. Akan menjadi bencana bagi

kita orang-orang golongan hitam!" Kunti Api

meludah ke tanah. Matanya garang mendelik tak

berkesip pandangi muridnya yang terkubur

sebatas leher. 

"Saya siap menerima hukuman Eyang. Saya

sudah bilang, matipun saya terima...." kata Si

Muka Bangkai. 

"Kakek geblek!" maki Kunti Api dengan mata

laksana kobaran api menyala. "Soal

menghukummu mampus semudah aku

meludahi kepalamu! Kau dengar?!"


Si Muka Bangkai tak menyahut. Kepalanya

terkulai. 

"Jahanam! Angkat kepalamu. Jawab! Kau

dengar?!" 

Kakek yang terkubur di pasir becek itu

terpaksa angkat kepalanya. "Saya dengar

Eyang...." 

"Kesalahanmu pertama! Kau gagal mengorek

keterangan siapa adanya orang yang diambil

Sin-to Gendeng dan dijadikan Pendekar Tahun

2000. Kesalahan kedua! Kau tidak berhasil

membunuh nenek keparat bau pesing Sinto

Gendeng itu. Bahkan mengorek dua mata

sumber segala kesaktiannya tidak mampu kau

lakukan!" 

"Eyang.... Saya sudah berusaha. Saya

mengaku salah, mengaku gagal.Mungkin karena

ilmu saya masih jauh di bawah Sinto Gendeng.

Bahkan saya sampai-sampai mengorbankan

tangan kiri. Eyang saksikan sendiri. Tangan kiri

saya yang buntung...." 

"Murid tak berguna! Masih untung tangan

kirimu yang buntung! Seharusnya jantungmu

yang amblas!" Damprat Eyanfo Kunti Api. Nenek

berjubah biru dengan rambut panjang sekaki ini

merutuk habis-habisan sambil melangkah

mundar mandir di depan kepala muridnya. 

"Dengar, aku akan memberi kesempatan satu


kali lagi padamu. Satu kali dan terakhir kali!" 

Perlahan-lahan Si Muka Bangkai angkat

kepalanya, menatap tak percaya pada sang

guru. Kakek ini menunggu. Apa yang akan

dikatakan selanjutnya oleh si nenek. 

"Muridmu yang putera Surokerto bernama

Pangeran Anom berjuluk Pangeran Matahari itu!

Di mana dia sekarang?!" Tiba-tiba Eyang Kunti

Api bertanya. 

"Saya... saya tidak dapat memastikan. Sudah

lama anak itu tidak menyambangi saya. Tetapi

jika Eyang menghendaki, saya akan berusaha

mencarinya...." 

"Itu yang aku inginkan!" kata Kunti Api. Habis

berucap begitu dia hantamkan kaki kanannya ke

tanah di depan kepala Si Muka Bangkai. Luar

biasa sekali. Tanah itu terkuak sedikit.

Bersamaan dengan itu sosok Si Muka Bangkai

yang sejak tadi terpendam sebatas leher

mencelat ke udara setinggi satu tombak lalu

jatuh bergedebukan, mengerang di atas pasir

becek. 

Eyang Kunti Api berkacak pinggang, dongak-

kan kepala dan umbar tawa bergelak. 

"Muka Bangkai, dengar baik-baik." Berucap

Kunti Api. "Cari muridmu itu sampai dapat. Kalau

bertemu serahkan benda ini padanya." 

Dari balik jubah birunya si nenek keluarkan


sebuah benda yang ternyata adalah batu

sebesar dan sebentuk telur burung merpati,

berwarna biru, terang berkilau. "Dengan

berbekal Batu Penyusup Batin ini, muridmu akan

sanggup menyusup ke mana saja yang

dikehendakinya. Dengan cara menyusup dia

akan mampu mencari tahu siapa adanya orang

yang bakal dijadikan Pendekar Tahun 2000 itu.

Jika dia sudah tahu siapa orangnya, berarti

mudah saja baginya untuk menghabisi orang itu.

Namun perlu kau ketahui dan ingat baik-baik.

Batu Penyusup Batin ini kuserahkan hanya

selama satu purnama. Berhasil atau tidak

muridmu melakukan tugasnya dalam waktu dua

purnama, batu ini harus dikembalikan padaku.

Muka Bangkai, kau dengar semua ucapanku?!" 

"Saya dengar Eyang...." 

"Kau paham, mengerti?!" 

"Paham dan mengerti Eyang," jawab Si Muka

Bangkai yang saat itu masih melingkar di atas

pasir pantai becek. 

Si nenek berjongkok di tanah. Batu Penyusup

Batin sesaat ditimang-timangnya. Lalu "batu itu

digelindingkan di atas pasir. Batu aneh bergulir

membentuk cahaya terang biru dalam gelapnya

malam. Beberapa jengkal di hadapan si kakek

batu itu berhenti bergulir. 

"Ulurkan tanganmu. Ambil batu itu!" perintah


Eyang Kunti Api. 

Si Muka Bangkai ulurkan tangan kanannya.

Pada saat jari-jarinya menyentuh Batu Penyusup

Batin, tiba-tiba wusss! Satu cahaya terang

memancar. Si Muka Bangkai terpekik dan tarik

tangannya. Ketika dia memperhatikan ternyata

beberapa jari dan kuku-kukunya yang panjang 

hitam telah hangus kepulkan asap. 

Eyang Kunti Api tertawa bergelak. 

"Tua bangka itu. Apakah dia hendak menipu

atau mencelakai diriku...." pikir Si Muka Bangkai.

Ada rasa gusar dan juga sikap curiga terhadap

sang guru. Bukan sekali ini dia diperlakukan

seperti itu. Dulu ketika Eyang Kunti Api hendak

memberikan ilmu Sepuluh Cakar Iblis yang juga

dikenal dengan nama Sepuluh Jari Iblis, dirinya

sempat dibuat leleh babak belur seolah

dipanggang di atas bara api. (Baca serial Boma

Gendenk berjudul "ABG- Anak Baru Gendenk"). 

"Muka Bangkai, Batu Penyusup Batin bukan

batu sembarangan. Batu itu mempunyai rasa

dan perasaan seperti manusia. Dia tahu kalau

kau saat ini punya satu rasa dan maksud tidak

baik...." 

Si Muka Bangkai diam-diam melengak kaget.

"Bukankah dalam hatimu saat ini ada maksud

keji hendak memiliki batu sakti itu seumur-

umur?"


Dalam hati Si Muka Bangkai membatin. "Luar

biasa, manusia satu ini bisa tahu apa yang ada

di hatiku." Lalu pada sang guru si kakek berkata.

"Eyang, maafkan saya kalau kau menduga

begitu...." 

"Aku bukan menduga. Tapi dalam hatimu

memang ada maksud jahat itu!" bentak Kunti Api

dan dua larik sinar merah menyambar dari ke

dua matanya. 

"Maafkan saya Eyang. Saya hanya ingin

mengikuti apa petunjuk dan perintah Eyang,"

kata Si Muka Bangkai pula. 

"Bagus! Jadi jangan berani berhati culas

terhadapku dan terhadap Batu Penyusup Batin.

Kau bisa celaka sendiri, kalau sekarang niat

busuk di hatimu sudah hapus, kau boleh

mengambil batu itu!" 

Si Muka Bangkai tarik nafas panjang lebih

dulu baru ulurkan tangan. Kali ini tak terjadi

letusan. Tak terjadi apa-apa. Batu berwarna biru

itu terasa sejuk tersentuh ujung jarinya. Cepat-

cepat Si Muka Bangkai menggenggam batu sakti

itu. Dengan susah payah dia lalu mencoba

bangkit. Ketika dia berhasil duduk di pasir dan

memandang ke depan, sang guru Eyang Kunti

Api tak ada lagi di hadapannya. Si Muka Bangkai

timang-timang batu sakti itu beberapa saat lalu

susupkan ke balik pakaian rombengnya yang


kotor berselemotan tanah dan pasir. Di mulutnya

tersungging seringai yang sulit diketahui artinya.

--oo0dw0oo-- 


5.KOPI DANGDUT 



SOSOK samar itu mendekam di atas talang

air bangunan toko. Pakaiannya baju dan celana

ringkas hitam, di sebelah luar dilapisi sehelai

mantel yang juga berwarna hitam. Di dada baju

terpampang gambar gunung berwarna ? biru,

dilatari gambar surya lengkap dengan garis-garis

cahaya berwarna merah. Di kening terikat

secarik kain merah. Rambut hitam panjang

menjulai sampai ke bahu. 

Sedari tadi sosok samar ini memperhatikan

orang-orang yang lalu lalang di ujung kawasan

pusat perbelanjaan Pasar Baru. Pandangannya

kemudian diarahkan pada tukang cendol

gerobak yang asyik membaca potongan-

potongan koran bekas sambil sesekali mengorek

hidung. 

Sosok berpakaian serba hitam di atas atap

menyeringai. 

"Mengorek hidung, melayani orang. Cendol

yang dijual bisa-bisa campur tahi hidung. Ha...

ha... ha." Orang berpenampilan aneh, sulit

terlihat oleh mata biasa ini memandang

berkeliling. Lalu pandangannya kembali


ditujukan pada tukang cendol yang saat itu

masih asyik membaca koran-koran bekas. "Aku

punya firasat, berita yang dibaca tukang cendol

itu ada sangkut paut dengan tugas dari guru.

Saatnya aku menyusup." Mahluk di atas atap

toko berucap sendiri. Tangan kanannya

dimasukkan ke dalam saku jubah sebelah kanan

di mana tersimpan Batu Penyusup Batin. Sesaat

batu sakti itu diusapnya berulang-ulang. Sosok

yang samar berubah lenyap, menjadi satu

dengan cahaya matahari siang. Sosok itu

kemudian terjun ke bawah. Seperti hembusan

angin mahluk transparan aneh itu menyusup

masuk kedalam tubuh tukang cendol yang

masih asyik membaca. 

Begitu sosok aneh masuk dan jadi satu

dengan si tukang cendol, si abang merasakan

tengkuknya dingin. Rasa dingin ini terus

menjalar ke seluruh tubuh. Ada hawa aneh

menggerayangi badannya. Kulitnya seolah

merinding. Dia terus membaca. Tanpa sadar

kalau saat itu ada mahluk tumpangan dalam

dirinya ikut membaca apa yang dibacanya. 

Boma Bantu Menangkap Penodong. 

Boma Tri Sumitro (sekarang dijuluki Boma

Gendenk), yang belum lama berselang

mengalami musibah di gunung Gede bersama

teman-teman para pelajar SMU Nusantara III

lagi-lagi membuat berita. Kali ini dengan


keberanian seorang anak muda dia berhasil

membantu meringkus penodong bajaj di Kiamat

Raya, Jakarta Pusat. Berdasarkan keterangan

Boma sewaktu diwawancara, pelajar ini

mengatakan.... 

Bacaan si tukang cendol terhenti sampai di

situ karena ada seorang pembeli. Seorang

perempuan muda yang tengah hamil besar.

Rupanya karena panas dan haus, perempuan ini

ngiler melihat cendol. Tukang cendol letakkan

potongan surat kabar di samping gerobak, siap

melayani si pembeli. 

Entah perasaan apa yang masuk dan

menguasai dirinya, si tukang cendol mendadak

berperilaku aneh. Senyum-senyum

memperhatikan perempuan muda hamil yang

duduk menyantap cendolnya. 

Selesai minum, ketika hendak membayar,

tukang cendol itu berkata. "Udah, nggak usah

dibayar." Tukang cendol ini tidak menyadari,

seperti tidak mendengar kalau saat itu suaranya

mendadak berubah. Dia bicara tapi bukan

suaranya. 

"Lho..,?" tentu saja perempuan hamil itu

merasa heran. "Kok? Bener nih nggak usah

bayar?" 

"Bener," jawab tukang cendol. Lagi-lagi sambil

senyum. Kali irii malah sambil kedip-kedipkan


mata, membuat perempuan muda yang tadinya

heran kini jadi merasa tidak enak. 

"Ganjen! jangan, jangan ini abang ada

maunya," pikir perempuan hamil. Lalu cepat-

cepat dia hendak tinggalkan tempat itu. Tapi

entah bagaimana tahu-tahu tangan kanan

tukang cendol itu mengusap pipinya. 

"Eh, Abang kok jadi kurang ajar!" Perempuan

hamil jadi marah. Disekanya pipinya yang

barusan diusap dengan perasaan jijik. 

"Ala cuma pegang pipi aja masa' sih marah.

Habis situ. cakep banget deh!" 

"Jadi kamu nggak mau dibayar tapi gantinya

pengen nyolek orang seenaknya! Songong!

Kurang ajar!" perempuan hamil tambah marah.

Suaranya yang keras membuat orang banyak

yang ada di sekitar situ jadi palingkan kepala,

lalu mendekat ingin tahu apa yang terjadi. 

"Lagi hamil besar jangan suka marah. Nanti

anaknya kaya saya lho," si tukang cendol

berkata, tak ketinggalan senyum dan kedipan

mata yang membuat jijik perempuan hamil. 

"Amit-amit punya anak kayak kamu! Jelek!

Bau!" kata perempuan itu lalu tendang roda

gerobak cendol yang terbuat dari ban sepeda. 

Didamprat seperti itu si tukang cendol

bukannya kapok malah maju mendekat lalu

benar-benar kurang ajar, tangan kirinya


diusapkan ke perut hamil si ibu seraya berkata. 

"Orangnya dibilang jelek. Bau. Tapi cendolnya

diminum habis. Enak ya cendolnya?" 

Karuan saja perempuan hamil itu jadi tambah

menggelegak amarahnya. Terlebih lagi ketika si 

tukang cendol tiba-tiba membungkuk, ulurkan

kepala hendak mencium perutnya. Perempuan

itu menjerit keras sambil meninju punggung

tukang cendol. 

Orang banyak berdatangan. Salah seorang di

antaranya adalah suami perempuan hamil itu

yang tadi rupanya pisah belanja dengan sang

istri. Melihat perut istrinya dipegang-pegang 

malah mau dicium orang langsung dia lempar

belanjaannya dan bak buk-bak buk. Tukang 

cendol terpaksa menerima hadiah bogem

mentah suami perempuan hamil itu hingga

babak belur. Urusan akhirnya sampai pada pihak

berwajib. Sebelum sampai di kantor polisi,

mahluk transparan yang mendekam didalam

tubuh tukang cendol melesat keluar sambil

tertawa-tawa tanpa suara. 

Di kantor polisi anehnya tukang cendol tidak

mau mengaku salah. Dia merasa tidak berbuat

apa-apa. Apalagi melakukan hal-hal kurang ajar

terhadap perempuan hamil itu. 

"Sumpah pak, saya nggak berbuat kurang ajar

sama ibu ini. Saya...." Suara tukang cendol telah


berubah kembali ke suara aslinya. 

Aneh, suara tukang cendol kurang ajar ini kok

jadi lain?"kata perempuan hamil dalam hati yang

duduk di seberang meja pemeriksaan. 

Perempuan hamil dan suaminya

diperbolehkan pulang. Si tukang cendol ditahan.

Malam hari, setelah dicatat nama dan

alamatnya, diberi nasehat dan pengarahan baru

dilepas. Petugas menganggap dirinya kurang

waras. Bagaimana mau inemproses orang sakit

ingatan. Jadi lebih baik dilepas saja. 

Siflrig itu, hanya beberapa saat setelah

tukang cendol diamankan dan dibawa ke kantor

polisi, seoraflg lelaki yang masih berdiri di dekat

gerobak cendol melihat potongan surat kabar

yang tadi ada di samping gerobak tiba-tiba

bergerak, melayang di udara. 

"Eh... eh...!" saking heran dan kagetnya orang

itu hanya bisa berseru eh-eh sambil menunjuk-

nunjuk. Beberapa orang yang memperhatikan

tapi tidak melihat potongan surat kabar yang

melayang di udara jadi geleng-geleng kepala.

Salah seorang di antara mereka berkata. "Tadi

tukang cendol, sekarang ada lagi orang geblek

minta digebukin." 

Sementara itu di atas atap toko, sosok samar

bermantel hitam membuka lipatan potongan

suratkabar yang diambilnya dari gerobak tukang


cendol. Melanjutkan membaca berita yang tadi

sempat dibacanya lewat tukang cendol. 

Belum habis bacaannya tiba-tiba dia

mendengar orang menyanyi diiringi suara

kerirfingan. Orang di atas atap angkat

kepalanya, memandang berkeliling. Disana, di

bawah jembatan penyeberangan, dekat deretan

penjual buah dia melihat orang berkerumun

membentuk lingkaran. Ingin tahu apa yang

terjadi mahluk bermantel hitam ini segera

melesat turun lalu ikut berkerubung di antara

orang banyk. 

Di tengah lingkaran orang ramai, seorang

kakek berpakaian kumal, asyik menyanyi sambil

menari. Di tangan kirinya ada sebuah

kerincingan sedang di tangan kanan dia

memegang satu tongkat yang dipukulkan ke

gendang kecil yang tergantung di pinggang

sebelah depan. Di atas kepala ada payung

terbuka. Apapun gerakan yang dibuat kakek ini

dalam menari, payung itu tidak jatuh-jatuh. Yang 

lucu dipandang adalah muka dan mimik si

kakek. Pipinya keriput kempot. Hidung pesek,

mata belok. Gigi tonggos berat hingga bibir atas

dan bibir bawah jarang saling ketemu. Kelucuan

lainnya ialah kakek ini memakai celana agak

gombrong kedodoran hingga sebagian pantatnya

sebelah atas kelihatan tersingkap hitam. 

Seorang kakek mengamen sambil menari dan


sekaligus melakukan akrobat jarang kejadian. 

Karenanya banyak orang yang lalu lalang

menyempatkan diri, berhenti sekedar melihat.

Apa lagi si kakek lincah sekali melantunkan lagi

Kopi Dangdut walau lidahnya agak pelo

menyebut huruf er. 

Kala kupandang kelip bintang jauh di sana

Sayup teldengal melodi cinta yang menggema

Telasa kembali gelola jiwa mudaku Kalena

telsentuh alunan lagu semeldu kopi dangdut 

Na... na... na Ni... ni... ni 

Api asmala yang dahulu pelnah membala

Semakin hangat bagai ciuman yang peltama 

Detak jantungku seakan ikut Hama 

Aku tellena oleh pesona alunan kopi dangdut

Na... na... na 

Ni... ni... ni 

Ilama kopi dangdut yang celia 

Menyengat hati menjadi gailah 

Membuat aku lupa akan cintaku yang telah 

lalu 

Na... na... na Ni... ni... ni 

Api asmala yang dahulu pelnah membala

Semakin hangat bagai ciuman yang peltama

Detak jantungku seakan ikut ilama Aku tellena


oleh pesona alunan kopi dangdut

Orang banyak tertawa bergelak. Seorang anak

muda berteriak. 

"Kek, apa bener bisa ciuman? Paling-paling 

kepentok gigi duluan!" 

Orang ramai tertawa riuh. Si pengamen

mencibir sambil goyangkan pantatnya. 

Sehabis bernyanyi dan menari si kakek lalu .

mendatangi orang-orang yang berkerumun,

Gendangnya dibalik. 

"Seikhlasnya, Bos, Pak, Bu, Oom, Tante, anak

muda...." 

Banyak yang memberi uang, dimasukkan ke

dalam gendang. Tapi banyak pula yang mundur

menjauh lalu pergi. Ketika dia sampai di

hadapan sosok bermantel hitam, mahluk

transparan ini jadi tersentak kaget. 

"Kakek pengamen ini bukan manusia biasa.

Dia mampu melihat diriku.... Jangan-jangan."

Orang bermantel gelengkan kepala. "Seikhlasnya

anak muda, seikhlasnya...." kata kakek

pengamen. 

Seorang anak lelaki berteriak. "Kek, kakek

minta duit sama siapa? Kok ngomong sama

tempat kosong?!" 

"Seikhlasnya anak muda. Seikhlasnya...." si


kakek berucap kembali pada si mantel hitam. 

Yang dimintai uang tetap gelengkan kepala.

Lalu dengan perasaan tidak enak dia melangkah

mundur. Si kakek buru-buru mengusap pinggang

mantelnya dan berkata. "Terima kasih anak

muda, terima kasih...." 

Si kakek balikkan badan. Sambil

menggoyang-goyang kerincingan dan bernyanyi

na. na... na... ni... ni... ni dia melangkah pergi

hingga akhirnya lenyap di balik seng sebuah

gedung yang tengah dibangun. Orang yang tadi

ramai berkerumun telah lama pergi. Sosok

bermantel tegak termangu di bawah jembatan

pertokoan. Kemudian dia menyadari bagaimana

mata orang-orang yang lalu lalang 

memperhatikan dengan pandangan aneh ke

arahnya. 

"Orang-orang itu melihat diriku. Melihat

tubuhku secara nyata.... Ada yang tidak beres!"

Dia susupkan tangan kanan ke satu mantel. 

Darahnya berdesir. Mukanya mengelam,

rahang menggembung. Batu Penyusup Batin

yang dibawa dan disimpannya di dalam saku

mantel lenyap! "Celaka! bagaimana bisa lenyap!"

Dia memeriksa semua saku, memeriksa setiap

sudut dan lipatan pakaian. Benda yang dicari

tetap tidak ditemukan. "Kurang ajar! Jangan-

jangan...." Dia ingat bagaimana tangan kakek

pengamen tadi mengusap pinggang mantelnya.


"Orang tua itu! Jahanam betul! Pasti dia yang

mencuri batu sakti." Matanya memandang ke

arah lenyapnya si pengamen. Cepat dia

mengejar. Orang banyak menghindar memberi

jalan dengan pandangan heran. Dia tidak

perduli. Setengah berlari dia mengejar kearah

ujung pagar seng gedung yang sedang dibangun.

Namun dia tidak menemukan orang yang dicari.

Jalan di balik pagar seng itu hanya dipenuhi oleh

mobil-mobil parkir. Kakek pengamen tidak

kelihatan sama sekali. 

Beberapa orang petugas Kamtib yang sejak

tadi memperhatikan gerak gerik orang

berpakaian aneh ini salah seorang diantaranya

berkata pda teman-temannya. 

"Siang bolong kok pakai mantel. Rambut

gondrong, kepala diikat kain merah." petugas ini

lalu mengajak teman-temannya mendatangi

orang itu. 

Melihat gelagat yang tidak baik orang

bermantel cepat menyelinap ke balik pagar

seng. Ketika dua orang petugas Kamtib sampai

di tempat itu, orang bermantel tela,h menghilang

di antara alat-alat besar bangunan gedung. 

--oo0dw0oo


6.HARI PERTAMA SEKOLAH


HARI pertama masuk sekolah suasana ramai

dan hangat. Seperti biasa para pelajar

berebutan mencari dan memilih bangku ma-ma-

masing. karenanya banyak di antara mereka

sengaja datang sepagi mungkin agar bisa

mendapatkan tempat duduk atau bangku yang

sip. 

Di Kelas II-9 seperti waktu di Kelas I Boma

duduk di baris kanan, ujung belakang. Di

sebelahnya Firman. Trini yang datang agak

kesiangan berusaha mendapatkan tempat

duduk di dekat bangku Boma. Namun sejak pagi

Ronny dan kelompoknya sudah lebih dulu

menduduki semua bangku sekitar Boma. Ronny

di sebelah depan bangku Boma bersama Andi.

Di baris samping kiri duduk Rio bersama Vino. 

Yang membuat kesal Trini, di depan bangku

Vino dan Rio duduk seorang anak perempuan,

murid baru, pindahan dari Semarang. Wajah

cakep, kulit hitam manis. Rambut sepinggang,

bodi padat sintal. Namanya Sulastri. Trini

mendekati anak ini lalu membujuk agar mau

tukar tempat dengan bangkunya di barisan ke

dua sebelah depan. Tapi Sulastri menolak.

Caranya menolak tidak dengan membuka mulut

menjawab melainkan dengan menggelengkan


kepala berulang-ulang. 

"Eh, kamu anak baru jangan belagu yauiv,"

gertak Trini sambil pelototkan mata. 

Sulastri tidak menyahuti. Seperti tadi dia

hanya gelengkan kepala. Cuma sekali ini

mulutnya yang berbibir tebal bagus

dimonyongkan sedikit. Vino dan Rio tertawa geli

melihat kelakuan anak baru ini. yang membuat

Trini tambah gondok Sulastri kelihatan ngobrol

akrab dengan Boma dan teman-teman. Mau tak

mau Trini jadi panas dan cemburu. 

Ketika Trini kembali ke bangkunya di barisan

depan Sulastri berkata. Suranya medok, khas

Jawa Tengah. "Pasti di antara kalian ada yang

ditaksir sama cewek tadi. Masa' ngotot mau

duduk di sini kalau nggak ada apa-apanya." 

Mata Sulastri yang bulat besar memandangi

Boma dan kawan-kawan satu persatu. 

"Menurut kamu siapa dari kita-kita yang 

ditaksir sama dia?" tanya Vino. 

Mata bulat Sulastri kembali menatapi wajah

enam cowok di sekitarnya. "Dia, pasti dia yang

ditaksir," kata Sulastri sambil menunjuk dengan

ibu jari tangan kanannya ke arah Boma. 

"Hebat! Bukan cuma mata yang tajem,

perasaannya juga tajem. Buktinya bisa nebak!"

kata Ronny.


"Kalau kamu naksir nggak sama dia?" tanya

Vino ajukan pertanyaan konyol. 

Sulastri runcingkan bibir tebalnya. Lalu

menggeleng. 

"Kok nggak naksir sama cowok begini kece?"

Andi yang bertanya. 

"Aku nggak suka sama cowok jangkung,"

jawab Sulastri. 

"Kenapa?' tanya Ronny. 

"Takut medel!" 

Gelak tawa memenuhi sudut kelas. 

"Di antara kita-kita ada nggak yang kamu

taksir?" Vino bertanya sambil kedipkan matanya

pada Boma. 

"Hemm...." Mata bulat Sulastri memandang

berputar. Dia mengerling sekilas ke arah Vino

lalu berkata. "Aii ah! Gelap!" 

Kembali Boma dan kawan-kawannya tertawa

riuh. 

"Hebat," puji Ronny. "Anak Semarang udah

tau istilah Prokem anak Jakarta." 

"Sulastri, bol" kata Sulastri sambil runcingkan

mulut dan busungkan dada lalu senyum-senyum

membuat anak-anak itu jadi tambah suka sama

cewek baru ini.


"Jadi di antara kita nggak ada yang ditaksir,

nih?" ujar Vino. 

Didesak begitu Sulastri tidak kehabisan

jawab. "Gimana kalau kuaammuu saja." 

"Mati gua!" kata Vino sambil tekap kepalanya.

"Rasain lu Vin!" kata Ronny. Kembali sudut

kelas riuh oleh gelak tawa Boma dan kawan-

kawannya. 

Trini kembali ke bangkunya tapi tidak

langsung duduk. Dengan muka asem dia

memandang ke sudut kelas di mana Boma dan

kawan-kawan duduk tidak habis-habisnya

tertawa. 

Saat itu masih ada satu lagi kekesalan Trini.

Entah bagaimana Gita Parwati yang tidak

disukainya itu duduk tepat di belakangnya.

Padahal waktu di kelas satu dia dan Gita duduk

berjauhan. Trini merasa diawasi dan dicibiri dari

belakang oleh si gendut ini. 

"Kayaknya si gendut ini sengaja mau nyari

gara-gara. Nanti gua kerjain lu," gerendeng Trini

dalam hati. 

Allan, yang juga anak baru di SMU Nusantara

III satu kelas dengan Boma dan teman-

temannya. Bangkunya baris paling kiri, kedua

dari depan. Sesekali anak ini melirik ke arah

Gita. Kalau kebetulan bertemu pandang Gita


melemparkan senyum. 

"Eh, lu liatin Si Allan," bisik Vino pada Rio.

"Baru hari pertama penyakit asma-nya sudah

kambuh. Bentar-bentar ngelirik Gita." 

Mendengar ucapan Vino, Sulastri anak baru

berkata. 

"Pasti yang icu sama yang icu punya

hubungan icu-icu." 

Rio dan Vino senyum-senyum. 

"Wah, mata temen kita ini bener-bener tajem,"

kata Rio. 

"Kamu punya icu-icu nggak di Semarang?"

tanya Vino. 

Sulastri mencibir. Lalu seperti tadi dia geleng-

geleng kepala. 

"Kalau gitu kamu mau dong jadi icu-icunya

Vino?" tanya Rio enak saja. Vino langsung

menyikut iga temannya itu. Sulastri mencibir.

Senyum-senyum. Laki geleng-geleng kepala. 

Vino berbisik ke telinga Rio. "Ni anak

kebanyakan ngegelengnya. Tapi gua yakin kalau

dicipok pasti kepalanya dipanteng diem...." 

Vino dan Rio sama-sama tertawa. 

"Situ berdua ketawain aku, ya," ujar Sulastri. 

"Nggak, kami ngetawain icu-icu," jawab Vino.


Sulastri tertawa lepas tapi sadar lalu cepat-

cepat menutupkan tangannya di atas mulut. Lalu

dia menunjuk dengan ibu jarinya ke arah Boma.

"Yang itu namanya Boma ya?" 

Rio mengangguk. 

"Boma. Lucu ya namanya.... Boma singkatan

Bom Atom?" ujar Sulastri. 

Boma cuma senyum. Sebaliknya Vino

bertanya. "Lastri, kamu mau nggak di Bom Atom

sama Boma?" 

"Walah, ya tambah medel aku! Wong aku

takut sama cowok jangkung kok!" jawab Sulastri.

Boma dan kawan-kawannya tertawa

cekikikan. Jawaban Sulastri bukan cuma polos

tapi aksen logatnya kedengaran lucu. 

Gita bangkit dari bangkunya. Dia melangkah

ke belakang kelas. "Ada apa sih dari tadi. Ribut

banget. Boleh ikutan nimbrung nggak?" 

"Gita, kenalin dulu dong. Temen baru dari

Semarang. Namanya Sulastri," kata Ronny. 

"Hallo teman," sapa Gita. 

"Hallo juga," jawab Sulastri. Dua anak

perempuan itu saling bersalaman. "Gita,

makannya apa sih?" Sulastri tiba-tiba bertanya. 

"Emangnya kenapa?" tanya Gita Parwati yang

sudah menduga kalau dirinya bakal dijadikan


bahan jahilan. 

"Kok badannya subur banget," jawab Sulastri.

"Aku jadi kepingin iri." 

Gita Parwati tertawa lebar. 

"Gita, boleh tanya lagi nggak?" ujar Sulastri.

Matanya yang bulat memandang nakal ke dada

Gita Parwati yang gembrot. 

"Nanya apa?" Gita Parwati tahu kalau dia mau

dijahilin lagi. 

"Bvha kamu nomor berapa sih?" 

"Eh, gila 'lu!" kata Gita Parwati setengah

terpekik karena tidak menyangka Sulastri akan

bertanya sejahil itu. Anak perempuan gemuk ini

kelihatan mau marah, tapi tidak jadi. Malah

tertawa cekikikan. 

"Sableng juga kamu Lastri," kata Vino. 

"Segala perabotan orang ditanyain." 

Tangan Gita Parwati meluncur mencubit pipi

Sulastri. 

"Kamu antik deh," ucap cewek gendut ini.

"Mulain hari ini aku kasih julukan mau nggak?"

"Asal julukannya bagus aja." 

"Si Centil. Julukan kamu Si Centil," kata Gita

Parwati pula. 

Sulastri terdiam. Anak-anak yang lain sudah


pada tertawa. Sulastri akhirnya ikutan tertawa

lalu manggut-manggut. "Julukannya nggak jelek

kok. Aku nrimo aja." 

"Tapi ada syaratnya lho. Biar julukannya

afdol'kata Gita. 

"Syarat apa?" tanya Sulastri. "Traktir di warung

baksonya Mang Asep." "Setuju!" kata Rio dan

Andi berbarengan. Sulastri bengong. Gita pegang

lengan Sulastri. Anak baru ini lalu direndeng

keluar kelas. Boma dan kawan-kawannya

mengikuti sambil tertawa-tawa. Sambil

merendeng Sulastri Gita memberi isyarat pada

Allan. Melihat isyarat Gita, Allan langsung

bergabung. 

Ketika melewati Trini, anak perempuan ini

tiba-tiba pegang tangan Boma. "Bom, aku mau

ngomong." "Rin, ayo ikutan. Kita ngomong di

warung Mang Asep. Cewek baru itu mau traktir,"

ajak Boma 

Uh.... Nggak usah deh. Nanti aja ngomong-

nya, jawab Trini sambil pasang wajah cemberut i

! m^buan8 muka- memandang ke arah Su-lastn

Baru neraktir delapan orang -aja kayak 

--oo0dw0oo-- 


7.BAKU HANTAM DI WARUNG BAKSO MANG ASEP


KETIKA Boma dan kawan-kawan sampai di

warung bakso Mang Asep, tempat itu sudah

dipenuhi oleh anak-anak kelas lain. Di antara

mereka terdapat Jumhadi alias Si Bodong dan

Anton dari Kelas II-6. Jumhadi membuang muka

begitu melihat rombongan Boma lalu

membisikkan sesuatu pada Anton. Dua anak ini

seperti menghindar, pindah ke pintu belakang

warung. Tapi Ronny sudah sempat melihat

Anton. "Ron, kau mau kemana?" tanya Boma

ketika melihat Ronny Celepuk memisahkan diri,

ber-balik melangkah ke pintu keluar warung.

Boma sudah punya firasat apa yang mau dibuat

temannya ini. 

"Tenang aja Bom," jawab Ronny. "Kamu sama

teman-teman terus aja ngebakso. Aku mau

beresin urusan sama Si Anton. Dicari-cari baru

sekarang nongol." 

"Ron, sabar dikit. Baru juga masuk sekolah.

Yang udah lupain aja," kata Boma membujuk. 

"Enak aja kamu Bom. Kita dilemparin telor

busuk. Dibikin malu di depan orang banyak.

Kamu sama Firman dipukulin orang. Udah gitu

dia belagak bodoh, kayak yang nggak punya

salah. Nyuruh orang. Pengecut!" 

Boma masih berusaha menahan Ronny. Tapi

Ronny agaknya sudah tak bisa dibujuk. Anak ini


melangkah ke pintu keluar warung. Boma

merasa heran. Anton dan Jumhadi berada di

pintu belakang warung, mengapa Ronny bukan

langsung saja mendatangi tapi malah keluar

warung. 

"Ron, 'tu anak ada dekat pintu belakang

warung. Kok kamu malah jalan ke pintu keluar?"

tanya Boma. 

"Taktik Bom. Taktik. Liat aja..." Ronny keluar

dari warung, mengambil jalan berputar. Boma

melirik ke pintu belakang. 

Dilihatnya Si Bodong dan Anton tergesa-gesa

meletakkan mangkok kosong di meja dapur lalu

cepat-cepat keluar dari pintu belakang. Boma

baru mengerti apa maksud taktik Ronny. Kalau

didatangi dari depan Si Bodong dan Anton pasti

menghindar atau kabur lewat pintu belakang.

Tapi sebelum sempat keluar, sosok Ronny

Celepuk sudah menghadang di pintu hingga dua

anak itu tak mungkin meneruskan langkah. 

Si Bodong jadi pucat. Tak berani bergerak tak

berani bersuara. Anton yang lebih tegap tapi

kalah pendek dari Ronny usap kuduknya yang

tertutup rambut gondrong. 

"Eh, apa-apaan lu Ron ngalangin jalan gua?"

Anton meradang. 

"Lu yang apa-apaan!" bentak Ronny. 

Mukanya berubah kelam, angker. "Ngapain lu

nyuruh Si Bodong ngelemparin aku sama Boma

pake telor busuk?!" 

"Ngelemparin? Ngacok aja lu! Siapa yang

nyuruh!" tangkis Anton. 

"Itu, monyetnya masih hidup. Si Bodong udah

ngaku!" 

"Lu kroyok terang aja dia ketakutan. Siapa

juga kalau digebukin bakal ngaku yang nggak-

nggak!" 

"Jadi lu nggak ngaku nyuruh Si Bodong

ngelemparin telor busuk?!" 

"Mau lu apa sih. Jangan sok! Kalau mau

selamat minggir aja!" 

"Oo begitu," Ronny menyeringai. Dia memba-'

likkan badan, seolah mau menghindar pergi dari

hadapan Anton. Tapi tiba-tiba tidak terduga

setengah jalan sosok Ronny Celepuk berbalik

kembali dan tinju kanannya melayang ke depan,

mendarat tepat di dagu Anton. Anton hanya

sempat keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya

tersandar ke pintu warung lalu merosot ambruk.

K.O. alias pingsan. 

Beberapa orang anak Kelas II-6 teman-teman

Anton begitu melihat teman mereka terkapar

serta merta menyerbu ke belakang. Boma dani

teman-teman tidak tinggal diam. Mereka cepaB

bergerak. Tapi lebih cepat dari itu, tidak

disangka-sangka Allan yang selama ini kelihatan


rada-rada bloon sudah lebih dulu melompat

menghadang enam orang anak Kelas II-6 yang 

mau mengeroyok Ronny. 

"Jangan main keroyok! Anton sama Ronny

berantem satu lawan satu!" Allan berdiri dengan

dua kaki merenggang. Mukanya yang jerawatan

kelihatan merah angker. Dua tangan di sisi

dengan jari-jari ditekuk. 

Boma, Ronny dan teman-temannya yang lain

terkesiap. Tidak mengira Allan punya keberanian

seperti itu serta punya sifat membela teman

yang begitu hebat. 

Isman, salah seorang anak Kelas II-6 teman

Anton tidak pandang sebelah mata. Anak ini

menerjang sambil menendang ke arah Allan.

agaknya Isman menguasai salah satu ilmu bela

diri. Mungkin taekwondo. Karena tendangannya

tinggi keras dan lurus membeset ke arah kepala

Allan. Kalau sampai tendangannya itu mengenai

sasaran, Allan pasti luka parah, bisa-bisa sema-

put. 

Diserang orang, Allan menghadapi tenang

sekali. Dia hanya menggeser kaki kiri sedikit.

Kepala dimiringkan ke kiri. Tangan kiri mencekal

betis lalu tangan kanan kirimkan tiga kali jotosan

kilat ke paha Isman. Anak kelas II-6 itu menjerit

kesakitan. Allan dorong kuat-kuat kaki yang 

dipegangnya hingga lawan hampir jatuh

terjengkang di tanah kalau tidak cepat ditahan


teman-temannya. 

Halaman belakang warung jadi ramai. Mang .

Asep muncul tapi bingung sendiri tak tahu mau I

berbuat apa. Gita menyeruak di antara kerumun-

1 an para pelajar, memegang lengan Allan terus

menarik anak ini. Anak-anak Kelas II-6 menolong 

Anton yang saat itu sudah setengah siuman.

Lalu membawa Anton ke dekat pagar samping

sekolah. Yang lain lain memapah Isman yang

tepin-cang-pincang kesakitan. 

"Gile, gue nggak nyangka Si Allan punyai

maenan juga," kata Vino pada Boma. 

Ronny melangkah disamping Allan sambil

tepuk-tepuk bahu anak itu. 

Trini muncul dari samping kelas. Dial

tunjukkan wajah sebal melihat Gita dan AllanJ

Tanpa menegur Ronny, Vino, Andi, Firman dani

Rio yang dipapasinya anak perempuan ini

menemui Boma, memegang lengan Boma,

berusaha menarik anak laki-laki ini ke dekat

bangki batu di pinggir lapangan basket. 

"Ada apaan sih Bom. Kok pada main gebui

sama-sama satu sekolah? Tawuran sama satu

se kolah! Kalau pada jago sana tawuran sama

seko lah lain." 

"Rin, jangan ngomel sama aku. Semua past

ada sebabnya," jawab Boma. 

"Aku sudah tahu. Pasti gara-gara kamu sam


Ronny dilemparin telor busuk waktu main be

dulu." 

"Itu baru sebagian..." 

"Maksud kamu?" tanya Trini. 

"Kamu tau nggak. Dua hari lalu waktu aku ke

Gramedia sama Firman, ada dua orang suruhan

ngegebukin aku..." 

"Apa?" Trini terkejut. Dia hendak bertanya lagi.

Tapi saat itu dilihatnya Dwita berdiri di depan

pintu kias II-3, memandang ke arah mereka.

Trini buru-buru menarik tangan Boma

meninggalkan tempat itu. Boma hentikan

langkahnya. Di depan sana dilihatnya seorang

Pegawai Tata usaha Sekolah mendatangi Ronny

dan Allan. 

"Bom, kita pulang aja. Hari ini juga belum ada

pelajaran," ajak Trini. Boma menggeleng. 

"Aku mau kumpul sama teman-teman dulu,

Rin." 

Trini kelihatan agak kesal. "Terserah kamu.

Kalau mau berantem lagi silahkan aja!" Anak

perempuan ini lalu masuk ke dalam kelas.

Maksudnya mau mengambil tasnya lalu pergi.

Tapi dia terkejut ketika mendapatkan tasnya

tidak ada lagi di bangku. Dicari-cari sekitar situ

tetap tidak bertemu. Ditanyakan pada teman-

temannya yang kebetulan ada dalam kelas,

mereka semua menjawab tidak tahu. Trini ingin


marah, tapi tidak tahu mau marah sama siapa. 

Trini keluar dari kelas. Saat itulah dia melihat

tas miliknya tergeletak di pinggir taman yang

memisahkan dua bangunan sekolah. Sebagian

dari tas itu terapung di atas got. 

Anak perempuan ini memaki sendiri dalam

hati. "Pasti ada yang sengaja nyemplungin tas ini

ke got." Trini mengambil tasnya yang basah,

memandang berkeliling. Menduga-duga siapa

yang berlaku jahat membuang tasnya ke dalam

got. Marah dan kejengkelan Trini semakin

menjadi-jadi ketika dia melangkah ke kamar

mandi sekolah untuk mencuci tasnya yang kotor,

kena air got, di ujung taman sana dilihatnya

Dwita sudah berkumpul dengan Boma, Ronny

dan yang lain-lainnya. Hanya ada satu cewek lain

bersama mereka. Gita Parwati. Dimana Sulastri,

anak baru itu? 

Entah siapa yang melapor, peristiwa baku

hantam di belakang warung Mang Asep itu

sampai pada Kepala Sekolah. Empat anak yang

langsung terlibat Ronny, Allan, Anton dan Isman

dipanggil ke Kantor. Mereka diberi peringatan

keras. Diancam akan dikeluarkan dari sekolah

jika kejadian seperti itu terulang kembali,

keempat anak itu disuruh saling bersalaman. 

Tadinya Ronny hendak menerangkan sebab

musabab terjadinya perkelahian itu. Tapi setelah

dipikir dia merasa tidak ada gunanya. Satu hal


dia yakin, persoalan ini tidak akan selesai

sampai di situ. Peristiwa Boma menghajar dua

orang di toilet toko buku Gramedia pasti akan

ada buntutnya. Berat dugaannya bahwa Anton

juga punya peranan di balik kejadian itu. Dan

dirinya sendiri jelas akan terlibat karena dua

orang tak dikenal itu sebenarnya mencari

dirinya. 

Sewaktu keluar dari kantor kepala sekolah

Ronny dan Allan malah sempat mendengar

Anton berkata pada Isman. 

"Gue abisin! Pokoknya nggak ada cerita. Musti

gue abisin!" 

--oo0dw0oo-- 


8.TRIPPING 

SEJAK tadi Gita memperhatikan Allan. Anak

lelaki itu sebentar-sebentar kelihatan

memegangi kepala. Sapu tangannya sudah

basah dipergunakan untuk menyeka muka,

tengkuk dan kedua lengan. Begitu bel istirahat

berdentang dan guru Matematika keluar dari

kelas Gita langsung mendatangi Allan. "Lan,

kamu sakit?' tanya Gita. "Nggak, cuman kurang

tidur. Sedikit pusing." "Muka kamu kok pucat?"

Gita memegang lengan anak lelaki itu. "Ih,

keringatmu dingin amat." 

"Iya tu Git, dari tadi dia nyekain keringat

terus." Kawan sebangku Allan berkata lalu keluar

dari kelas. 

"Kamu pulang aja Lan. Aku anterin sampai

depan. Naik bajaj." 

"Nggak usah, nanti juga sembuh," jawab Allan.

Ronny, Boma dan yang lain-lainnya

mendatangi Allan. Mereka juga menyuruh agar

Allan pulang saja. 

"Nanti aku yang lapor sama Wali Kelas," kata

Andi. 

Allan menggeleng. Dia coba berdiri. Tapi agak

sempoyongan. Anak ini berusaha menarik nafas

panjang. 

"Lan, kalau sakit jangan dipaksa. Pulang aja."

Kata Boma. 

Allan duduk kembali. Menyeka dua lengannya

dengan sapu tangan yang sudah basah. Gita

mengambil sapu tangan bersih dari dalam tas,

lalu diberikan pada Allan. 

"Kamu benaran nggak mau pulang?" 

Allan diam. Seolah dia tengah berpikir untuk

mengambil keputusan. Ketika lonceng masuk

berdentang anak itu akhirnya berdiri. 

"Baiknya aku memang pulang aja," katanya. 

"Buruan, sebelum guru Biologi masuk," kata


Gita. "Ayo aku anterin." 

"Nggak usah Git. Aku masih kuat jalan sendiri.

Teman-teman, aku pulang. Di, tolong bi-langin

Wali Kelas." 

"Beres, nanti aku lapor. Hati-hati Lan," kata

Andi. 

Allan mengambil tasnya. "Aku kawatir," kata

Gita. Dia memandang pada Boma. 

Saat itu guru Biologi sudah keluar dari Kantor

Sekolah, tengah berjalan menuju Kelas II-9. 

"Vin," kata Boma pada Vino. "Cepetan kamu

susul Si Allan. Anterin sampai dia naik bajaj." 

Vino segera keluar. Setengah berlari dia

menyusul Allan. Tapi sampai di lapangan basket

Allan sama sekali tidak kelihatan. Padahal kalau

anak itu pulang oasti melewati lapangan itu. Vino

berhenti, diam bersender di dinding bangunan

sekolah. Memandang ke arah pintu gerbang. 

"Heran, cepet banget ngilangnya 'tu anak.

Kalau beneran lagi sakit nggak mungkin jalannya

bisa cepet. Mungkin dia cuma pura-pura sakit.

Tapi nggak mungkin. Dia keringatan gitu kok.

Mukanya pucat..." 

Tidak puas Vino pergi menemui penjaga pintu

gerbang sekolah, tapi nggak ada yang keluar.

Memangnya ada apa?"


"Nggak, nggak ada apa-apa," jawab Vino lalu

kembali ke arah sekolah. Di lapangan basket dia

berhenti. Memandang berkeliling. Di ujung

lapangan basket ada sederet pohon besar. Di

belakang deretan pohon ini ada satu bangunan

tua yang dipergunakan sekolah sebagai gudang.

Para pelajar jarang berada di sekitar tempat ini

karena tempatnya selain kotor tidak terurus juga

kabarnya pernah ada ular. Tetapi tidak semua

pelajar takut berada di tempat itu. Kalau di

antara mereka ada yang berani berada di sekitar

bangunan tua itu pasti ada apa-apanya. 

Vino ingat kisah Ronny dan Sarah. Waktu itu

masih sama-sama di Kelas I. Ronny Kelas 1-4

Sarah Kelas 1-2. Waktu itu hari Sabtu, hari

terakhir sekolah sebelum liburan panjang.

Karena terdesak ingin kencing sekali Vino

terpaksa membuang hajat di balik deretai pohon

besar di ujung lapangan basket. Selain sudah

jauh "sore, sekolah sudah sepi dan hari agak

gerimis pula, Vino merasa tidak ada yang akan

melihat dia kencing di balik pohon itu. Dia

memang tidak dilihat orang tetapi sebaliknya

tidak terduga dia justru melihat orang. 

Rasa kepingin kencing anak lelaki itu

langsung terhenti mandek ketika dilihatnya

Ronny dan Sarah saling berpeluk dan berciuman

di balik bangunan gudang. 

"Brengsek Si Ronny," kata Vino dalam hati.


"Kesambet setan gudang baru nyahok!" Anak ini

cepat-cepat pergi dari tempat itu. 

Waktu menjagai Boma di Rumah Sakit PMI

Bogor (baca serial Boma Gendeng berjudul

"Suka Suka Cinta") Vino pernah mengatakan

pada Ronny bahwa ada anak yang melihat

Ronny ciuman dengan Sarah di gudang. Vino

tidak mengatakan bahwa dia sendiri yang

menyaksikan kejadian itu. Mula-mula Ronny

hendak menyangkal. Tapi kemudian dia malah

bilang. "Kalau cuma ciuman nggak bakal

ketularan AIDS Vin. Percaya gue!" 

Ronny lalu tertawa cekikikan. 

DI UJUNG lapangan basket Vino hentikan

langkah. Dia merasa bimbang, apa terus

menyelidik ke arah pepohonan atau kembali

saja ke kelas. Akhirnya dia memutuskan

melangkah ke arah deretan pohon-pohon. Belum

lima langkah bergerak, Vino berhenti. Dadanya

berdebar. Matanya tak berkesip memandang ke

depan. Di antara celah dua pohon dia melihat

punggung mengenakan kemeja putih seragam

sekolah. Vino miringkan kepalanya sedikit. Dia

bisa melihat jelas kini. Yang dilihatnya di balik

bangunan gudang tua itu memang Allan. 

Saat itu Allan tengah berdiri di samping 

gudang. Tangan kiri bersitekan ke dinding

bangunan. Bahu dan dadanya kelihatan turun

naik. Kepala mendongak ke atas seperti sedang


melihat sesuatu di atas sana. Lalu kepala itu

digoyang-goyangkan beberapa kali. 

"Lan, kamu lagi ngapain?" ujar Vino dalam

hati. Matanya terus memperhatikan. 

Allan kemudian kelihatan membungkuk.

Mengambil sesuatu dari dalam tas sekolahnya.

Vino tidak dapat melihat benda apa yang diambil

Allan. Yang jelas benda yang diambil itu

kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dari

dalam tas Allan mengeluarkan Aqua gelas

plastik. 

Merobek pinggiran gelas, meneguk habis

seluruh isinya. 

Bahu dan dadanya masih bergoyang. Allan

bersandar ke dinding gudang. Kepala digoyang-

goyang. Mulut mendesah tiada henti. Lalu

perlahan-lahan tubuh anak itu meluncur ke

bawah. Sepasang kakinya melejang-lejang.

Goyangan kepalanya semakin keras/'Gila! Ya

ampun. Si Allan ngepritl" kata Vino. Timbul rasa

takut. Dia memutar tubuh, tinggalkan tempat itu

dengan tengkuk terasa dingin. Tapi setengah

jalan dia bingung sendiri. Apakah dia kembali ke

kelas atau ke mana? Seandainya dia masuk

kelas bagaimana kalau guru Biologi bertanya dia

dari mana. Apa jawabnya. Dia tidak mungkin,

tidak akan mau menceritakan apa yang

dilihatnya pada guru kelas. Lalu bagaimana

sebaiknya? kembali ke tempat Allan tripping?


Dia ngeri. Sampai berapa lama Allan akan

berada dalam keadaan seperti itu? 

"Ah, Si Allan itu bikin perkara aja!" 

Vino akhirnya pergi ke warung bakso Mang

Asep. Untungnya Mang Asep menutup

warungnya lebih siang karena ada urusan. Vino

terduduk di bangku, mengusap rambut berulang

kali. Kepalanya diletakkan di atas dua lengan

yang disilangkan. Vino tidak tahu entah berapa

lama dia berada di warung itu. Baru sadar dan

kaget ketika lonceng sekolah berdentang. 

Vino tidak segera kembali ke Kelas II-9. Dia

berdiri dulu di sudut luar kelas. Menunggu sam- j

pai guru Biologi keluar baru dia melangkah

menuju kelas. Itupun tidak masuk. Dari luar

anak ini melambaikan tangannya, memberi

tanda pada Boma, Ronny dan yang lain-lainnya.

Melihat Vino muncul sambil melambaikan

tangan, anak-anak itu segera bergegas keluar

kelas. 

"Kamu disuruh ngantar Allan malah ikutan

ngilang!" ujar Ronny. 

"Vin, kamu nganterin Allan sampai kel

rumahnya?" tanya Gita yang tiba-tiba muncul. 

"Aa... Iyya.... Sampe rumahnya," jawab Vino.

"Duh, perut gue mules. Tunggu, aku ke wc dulu,"

kata Vino sambil pegangi perutnya. Tanpa dilihat

Gita Vino kedipkan matanya pada Boma. Boma


segera mengikuti Vino ke wc. Ronny

memperhatikan. Lalu menyusul. Andi, Rio dan

Firman segera pula angkat kaki mengikuti. 

"Heran, masa sih semuanya pada mules,"

kata Gita Parwati yang ditinggal sendirian. 

Begitu berada di dekat wc, belum ditanya Vino

sudah berkata. 

"Malapetaka Bom, malapetaka." 

"Kenapa lu Vin," tanya Boma. 

"Apa yang kamu duga bener. Teman baru kita

itu...." 

"Siapa? Si Allan?" tanya Boma. 

"Kenapa dia? Di mana dia sekarang? Betul

kamu anterin sampe rumah?" tanya Andi. 

"Aku... aku ngeliat dia. Lagi tripping di dekat

gudang sekolah." 

"Tripping di sekolahan? Apa gue bilang! Gue

udah nyangka ada yang nggak bener sama

cowoknya Si Gita itu. Tapi kalau sampai ngeprit

di sekolahan sih keliwatan banget. Gila 'tu anak!"

Boma menowel hidungnya. 

"Katanya sakit. Kok malah ngeprit!" Andi

mengomel tapi setengah tidak percaya. "Kalau

ketauan pasti dikeluarin!" kata Ronny. 

"Si Allan... kenapa sih lu dikasih nama begitu.


Si Allan jadi Sialan!" ucap Rio. 

"Di mana 'tu anak sekarang?" tanya Ronny. 

"Aku rasa masih di gudang," jawab Vino. 

"Ayo kita samperin ke sana. Paling nggak dia

jangan sampai ketauan orang lain," kata Boma. 

"Kita nggak masuk kelas?" tanya Vino. 

"Pelajaran apa sekarang?" ujar Rio. 

"Bahasa Inggris. Ibu Renata nggak ada.

Kabarnya udah berapa hari sakit. Kelas kosong.

Nggak tau kalau ada guru pengganti," rnenjelas-

kan Firman. 

"Kita ke gudang aja!" kata Boma. 

Enam anak kelas II-9 itu, Vino di depan sekali

bergegas menuju bangunan gudang tua. Sampai

di sana keadaannya sepi-sepi saja. 

"Mana Si Allannya?" tanya Boma pada Vino. 

"Tadi... tadi dia berdiri di situ, lalu duduk...."

Vino menunjuk ke arah gudang. 

"Lu becanda apa gimana Vin," tanya „Ronny. 

"Kamu ngibulin kita-kita?!" ujar Rio. 

"Sumpah! Tadi dia ada di sini. Aku ngeliat

sendiri dia nenggak sesuatu, lalu tripping...." 

"Tadi kapan? Udah berapa lama?" tanya

Boma.


"Setengah jam lebih. Mungkin sekitar empat

puluh menit. Pokoknya nggak lama sesudah aku

keluar ngikutin dia. Waktu dia ngeprit aku

ketakutan sendiri. Aku pergi ke warungnya Mang

Asep...." 

Boma, Ronny dan yang lain-lainnya jadi saling 

pandang. 

"Mungkin dia pulang. Kabur...." kata Vino. 

"Orang tripping mana bisa kabur...." ujar

Boma. 

"Mungkin aja Bom. Tergantung jenis obat

yang ditelan," ucap Ronny. 

"Tanya sama penjaga pintu. Kalau dia pulang

pasti penjaga liat," kata Vino pula. 

Tapi di pintu gerbang sekolah Pak Saud si

penjaga pintu tidak ditemukan. Anak-anak itu

kembali ke Kelas II-9. 

"Gimana kalau Gita nanya?" tanya Rio. 

"Bilang aja Allan memang sudah pulang,"

jawab Ronny. 

Boma menyambung. "Awas, jangan ada yang

ngebocorin. Kalau guru apa lagi Kepala Sekolah

sampai tau, kita bisa rusak semua." 

"Aku masih nggak bisa percaya Si Allan itu

bener-bener ngeprit," kata Ronny. 

"Vino jelas-jelas ngeliat dia nenggak sesuatu


pakai minum Aqua," sahut Boma. "Kau tau

nggak Ron. Obat setan sebangsanya ecstasy

kata orang emang musti diminum sama Aqua

baru bisa on." 

"Aku baru inget' kata Andi. "Tetangganya Si

Allan pernah bilang kalau 'tu anak sering pergi

ke Ancol. Jangan-jangan dia juga tripping di

sana." 

"Gua sih cuman kasian sama Gita. Menurut

kalian, perlu nggak dikasih tau sama si gendut

itu?" 

"Nanti Ron, biar aku yang ngomong," jawab

Boma. "Urusan ini kita musti hati-hati. Gimana-

pun juga Allan teman kita. Ingat, dia pasang

badan waktu ngebelain kita berantem sama si

Anton." 

--ooo0dw0ooo-


9.JANJI KAWIN SINTO GENDENG

 

PUNCAK Gunung Gede. Sejak fajar

menyingsing Sinto Gendeng melangkah gelisah.

Saat itu sang surya telah menerangi jagat dan

sinarnya mulai terasa terik. 

"Tua bangka geblek!" Si nenek tiba-tiba

semprotkan makian. "Sudah hampir dua minggu

berlalu. Masih belum kelihatan mata hidungnya!


Jangan-jangan dia memang tidak mampu

melakukan! Tapi sesumbar minta kawin segala! 

Padahal anunya pasti tidak lebih bagus dari

terong busuk! Hik...hik... hik...! Kawin saja sama

kambing! Hik... hik... hik...!" 

Sambil mengomel dan tertawa cekikikan

Sinto Gendeng terus melangkah. Ternyata dia

bukan melangkah sembarangan, bukan

melangkah di atas tanah. 

Saat itu di pedataran kecil tak jauh dari

pondok kayu kediamannya menancap dua lusin

batang bambu setinggi satu setengah tombak.

Batangan-batangan bambu ini ditancap

demikian rupa hingga membentuk empat

persegi, enam memanjang, empat melebar.

Setiap ujung bambu sengaja dipotong runcing,

mencuat ke langit. Dan di atas ujung-ujung 

bambu runcing inilah si nenek perot melangkah

seenaknya. Sesekali masih saja mengomel,

sesekali tertawa cekikikan. Kalau saja dia tidak

memiliki ilmu kesaktian, sudah sejak tadi dua

kaki Sinto Gendeng yang tinggal kulit pembalut

tulang itu amblas luka parah dimakan ujung

bambu runcing. Kalaupun dia kebal tapi tidak

memiliki ilmu mengimbangi dan meringankan

tubuh yang tinggi, baru bergerak tiga empat

langkah niscaya sudah jatuh bergedebukan di

tanah! 

"Matahari makin panas, aku kepingin kencing!


Kakek geblek itu masih belum muncul! Sial!"

Kembali Sinto Gendeng memaki. Perlahan-lahan

dia angkat ke atas kain panjang yang melilit

tubuhnya. Enak saja dia hendak kencing sambil

berjalan di atas bambu itu. Tapi maksudnya

tertahan ketika tiba-tiba dikejauhan -terdengar

suara kerincingan keras sekali. Ditimpai tabuhan

gendang. Lalu disusul suara Orang bernyanyi. 

Na... na... na Ni... ni.... ni 

Kala kupandang kelip bintang jauh di sana

Sayup teldengar melodi cinta yang menggema

Telasa kembali gelola jizva mudaku Kalena

telsentuh alunan lagu semeldu kopi dangdut. 

Na... na... na Ni... ni... ni 

Tak lama kemudian dari balik deretan

pepohonan, diujung pedataran kecil muncul

sosok seorang kakek bermuka cekung, mulut

tonggos. Dia berjalan sambil menari. Tangan

kanan menabuh gendang kecil yang tergantung

di pinggang. Tangan kiri menggoyang

kerincingan. Di atas kepalanya terkembang 

payung kecil terbuat dari kertas. Celananya yang

gombrong dekil kedodoran hingga sebagian

pantatnya yang hitam tersingkap. Lucunya

pantat yang setengah tersingkap itu diogel-ogel

kian kemari. 

Di atas bambu runcing Sinto Gendeng

hentikan langkahnya. Nenek ini geleng-geleng


kepala. 

"Dasar geblek!" maki guru Pendekar 212 Wiro

Sableng ini. Lalu dia berteriak. "Pelawak Sinting!

Hentikan nyanyianmu! Bising tidak enak!

Kupingku pengang!" Habis berteriak Sinto

Gendeng kembali melangkah dari bambu satu

ke bambu lain. 

Kakek aneh yang barusan muncul dongakkan

kepala. Lalu tertawa gelak-gelak. Tangan kanan

masih terus menabuh gendang, tangan kiri

menggoyang kerincingan. 

"Sinto yang geblek aku atau kau! Apa yang

kau lakukan? Apa tidak ada tempat beljalan

yang lebih baik! Dasal nenek konyol!" «t 

"Ngomong saja tidak becus! Berani memaki!"

"Ha... ha... ha!" Si kakek yang dipanggil

dengan nama Pelazvak Sinting kembali tertawa

gelak-gelak. (Jika pembaca ingin tahu lebih

lanjut siapa adanya kakek berjuluk Pelawak

Sinting ini harap baca serial Wiro Sableng di

Negeri Latanahsilam berjudul "Hantu Tangan

Empat" dan"Rahasia Mawar Beracun". Seperti

diceritakan dalam Episode "Istana Kebahagiaan"

ketika istana milik Hantu Muka Dua itu meledak

hancur, semua orang yang ada di dalamnya

melesat bermentalan ke langit, lalu terpesat ke

berbagai tempat di Pulau Jawa dan pulau-pulau

lainnya. Dalam kejadian ini rupanya kakek


Pelawak Sinting terpesat di Tanah Jawa sebelah

barat). 

Puas tertawa Pelawak Sinting kembali

lantunkan nyanyian. 

Na., na... na Ni.. ni... ni 

Kala kupandang kelip bintang jauh di sana

Sayup telde'ngal melodi cinta yang menggema...

Baru sempat melantunkan dua bait nyanyian,

Sinto Gendeng membentak lantang. 

"Tua bagka edan! Apa kau tuli?! Hentikan

nyanyimu!" 

"Ah, Sinto, kau tidak tahu kemajuan jaman.

Lagu yang aku nyanyikan ini sedang digandrungi

olang di dunia sana. Namanya Kopi Dangdut..." 

"Perduli setan Kopi Dangdut, Kopi Tubruk,*

Kopi Pahit! Aku tidak sudi mendengar. Lekas kau

beri tahu apa kau berhasil mendapatkan benda

yang aku minta?!" 

Si kakek menyeberangi lapangan kecil,!

menyusup diantara barisan batangan bambu,

lalu berhenti tepat di bawah dua bambu di atas

mana Sinto Gendeng berdiri tegak dengan kaki

terkembang. Melihat orang berdiri di bawah dan

memandang ke atas, Si nenek cepat rapatkan

dua kakinya. Dua batang bambu sampai meliuk

akibat gerakan sepasang kaki itu. 

"Jahanam! Kau sengaja berdiri di bawah sana!


Kau mau ngintip auratku! Kakek ganjen sialan!

Kutusuk buta nanti dua mata mesummu!" 

Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. 

"Sinto aku berdiri di bawah sini, mengapa!

musti takut? Jangan-jangan kabal yang aku silap

benal adanya." 

"Kabal? Kabal apa?!" bentak Sinto Gendengl

sambil delikkan mata dan sengaja bicara cadel

meniru pelonya si kakek. 

"Kabal bahwa seumul hidup kau tidak pelnahl

pakai"celana dalam. Ha... ha...ha!" 

"Jahanam setan alas. Biar kusumpal mulut

kurang ajarmu!" 

Sinto Gendeng cabut sebatang bambu. Lalu

secepat kilat bambu runcing itu dilemparkannya!

ke arah kepala kakek Pelawak Sinting. 

Berdiri di atas bambu runcing, mencabut! 

sebatang bambu, lalu membuat gerakan

menyerang dengan bambu yang*sama bukanlah

satu hal mudah. Semua itu dilakukan nenek

sakti dari puncak Gunung Gede ini dalam satu

gerakan kilat dan tak terduga. 

Pelawak Sinting berteriak kaget. 

"Sinto! Kau mau membunuh calon suamimu

sendili!" 

Si kakek sambar payung kertas yang sejak


tadi ada di atas kepalanya lalu cepat melompat

ke samping kiri selamatkan muka dari tusukan

bambu runcing. Bambu besar itu lewat hanya

satu jengkal di samping pipinya. Di atas sana

Sinto Gendeng angkat tangan kanan ke udara,

lengan diputar. Secara aneh bambu yang gagal

menghantam Pelawak Sinting kini berbalik.

Laksana petir menyambar batang bambu itu

membabat ke arah pinggang Pelawak Sinting.

Untuk kedua kalinya sambil berteriak tegang si

kakek selamatkan diri. Kali ini dengan jatuhnya

tubuh lalu bergulingan di tanah. 

"Praakk! Praakk!" 

Dua bambu runcing di atas mana Sinto

Gendeng berdiri hancur berantakan dihantam

Pelawak Sinting. Sebelum tubuhnya terperosok

jatuh si nenek cepat melesat berpindah ke ujung

bambu lainnya sambil berteriak. 

"Kakek buduk! Siapa sudi kawin denganmu!

Terong busuk bau comberan!" 

"Eit Sinto! Jangan belani bicala begitu!:" balas

berteriak si Pelawak Sinting. "Ingat! Kau

sudah beljanji!" 

Sinto Gendeng terdiam. Muka cekung dan

keriputnya mendadak berubah. Dadanya

berdebar. "Tua bangka geblek ini. Jika dia berani

berkata begitu apakah berarti dia benar-benari

berhasil mendapatkan benda yang aku minta itu.


Celaka. Mati aku! bagaimana aku mungkin

berlaku takabur sampai sempat-sempatnya

berjanji segala!" 

"Sinto mengapa kau mendadak diam? Apa

sedang menghitung hali baik bulan baik

pelkawinan kita? Ha... ha... ha!" 

Di atas bambu runcing Sinto Gendeng ke-i

luarkan teriakan melengking tinggi. Lalu nenek

ini melayang terjun ke bawah. Di lain kejap dia

sudah berada dua langkah di hadapan Pelawak

Sinting. 

Si nenek, ulurkan tangan kirinya. Matanya

yang cekung angker menatap Pelawak Sinting

tak berkesip. 

"Lekas serahkan benda itu!" 

Pelawak Sinting menyeringai. 

"Kau keliwat kesusu. Telbulu-bulu. Tapi takl

jadi apa. Makin cepat kita kawin bukankah

makin enak? Ha... ha...ha!" 

"Jahanam! Jangan membuat aku benar-benari

marah!" bentak Sinto Gendeng. 

"Aih, jadi tadi-tadi itu kau cuma malah

bohong-bohongan!" 

Sinto Gendeng berteriak panjang saking

marahnya. Seumur hidup belum pernah dia

berhadapan dengan orang yang pandai bersilat


lidah seperti kakek satu ini. 

"Serahkan! Atau aku benar-benar akan

membunuhmu! Kakek geblek! Jangan kira aku

main-main!" 

Pelawak Sinting goyangkan tangannya yang 

memegang kerincing. Sambil manggut-manggut

dan ogel-ogelkan pantat dia masukkan tangan

kanan ke balik pinggang celana sebelah depan

dimana terletak satu kantong kain. Dari dalam

kantong ini dia keluarkan sebuah benda lonjong

sebesar telur burung dara, berwarna biru. Inilah

Batu Penyusup batin. Pelawak Sinting tidak

segera serahkan batu itu pada Sinto Gendeng.

Sambil digosok-gosok dalam genggaman tangan

kanannya, dia berkata. 

"Ucapanmu tempo hali telnyata betul. Pa-

ngelan Matahali, mulid Si Muka Bangkai telnyata

memang muncul didunia sana. Keadaan bisa

gawat. Anak yang kau katakan akan kau jadikan

Fendekal Tahun 2000 itu bisa dihabisinya

sebelum maksudmu kesampaian. Selain itu dia

juga akan mampu mengoblak ablik segala apa

saja sekehendak otak kejinya. Tapi kau tak usah

ka-watil. Aku belhasil menculi batu ini dali saku

mantelnya. Nah, kau inginkan batu. Aku selah-

kan padamu. Tapi halap ingat janji." 

Sepasang mata Sinto Gendeng berkilat-kilat.

Tidak menunggu lebih lama dia segera

menyambar batu biru itu dari tangan Pelawak


Sinting lalu melesat ke atas bambu-bambu

runcing. Di atas sana ia perhatikan batu itu

dekat-dekat di depan matanya. Tiba-tiba si

nenek berteriak keras. 

"Kurang ajar!" 

Di bawanya Pelawak Sinting mendongak

keheranan. 

"Eh, ada apa Sinto? Mengapa kau memaki?

Siapa yang kulang ajal!" 

Sinto Gendeng keluarkan suara menggerung

lalu melesat turun. Batu Penyusup Batin

diacung-kannya tepat-tepat didepan mulut

tonggos Pelawak Sinting. 

"Palsu! Batu ini palsu!" teriak si nenek- 

"Apa?" Pelawak sinting terkejut dan mendelik.

"Kau menipu aku! Kau pasti menculi batu

yang asli. Memberikan yang palsu ini padaku!

Untuk itu akan aku korek isi perutmu!" 

"Tunggu!" Pelawak sinting cepat bersurat

ketika Sinto Gendeng gerakan tangannya ke

arah perutnya dalam jurus Kepala Naga

Menyusup Awan. "Aku belsumpah, batu itu yang

aku culi dali Pangelan Matahali. Aku ambil

sendili dali saku mantelnya sehabis dia

menyaksikan mengamen." 

"Siapa percaya pada ucapanmu!"


"Jangan-jangan kau yang sengaja berdalih!!

Batu itu asli tapi pula-pula kau bilang palsu. Akal

bulusmu untuk menghindali janji kawin dengan

aku!" 

"Batu ini tidak ada gunanya bagiku! Lihat apa

yang aku lakukan! Habis berkata begitu Sinto

Gendeng remaskan telapak dan jari-jari tangan

kanannya. Terdengar suara berkeratakan. Ketika

genggaman dibuka Batu Penyusup Batin telah

berubah menjadi bubuk halus. 

"Bukan sulap bukan tipuan! Eh, kau tidak

tengah menyiasati aku bukan Sinto?" 

"Setan kurap! Siapa menyiasatimu! Kalau itu

batu asli masakan, aku memusnahkannya!" 

"Kau betul juga," kata Pelawak Sinting

terperangah lalu jatuh terduduk di tanah.

Rambutnya yang awut-awutan dijambak-jambak.

Mulutnya ternganga tonggos sementara matanya

dipejamkan. 

"Tua bangka jelek! Apa yang kau lakukan?"

hardik Sinto Gendeng. "Aku tengah belpikil!" 

"Hemm... aku juga tengah berpikir!" sahut

Sinto Gendeng. 

"Apa yang kau pikilkan kalau aku boleh tahu,"

tanya Pelawak Sinting. 

"Yang kupikirkan saat ini bagaimana cara

yang paling enak membunuh sekaligus mem


pesiangimu!" 

Pelawak Sinting terlonjak saking kagetnya.

Tapi kakek konyol ini segera saja dapat akal. Dia

kembangkan payung, letakkan di atas kepala.

Goyang kerincingan dan pukul gendang sambil

pantat setengah ditunggingkan. Orang lain akan

mengira ini adalah gaya si kakek yang senang

menyanyi dan menari. Tapi sebenarnya ini

merupakan satu pasangan kuda-kuda yang 

hebat. Salah-salah lawan menyerang akan

terjebak dalam satu benteng pertahanan dan

secepat kilat bisa berubah mengirimkan

serangan balik yang dahsyat. 

"Sinto Gendeng, kalau kau memang puya

maksud jahat telhadapku, tak jadi apa. Kau

tidak mau menepati janji kawin denganku kau

bakal f kualat sendili! Tapi yang aku minta saat

ini, ? sebelum kau membunuh aku, kembalikan

dulu Batu Penyusup Batin padaku dalam

keadaan utuh!" 

"Apa katamu?!" ucap Sinto Gendeng setenga!

berteriak. "Dasar tua bagka edan! Apa kau buta'

Kau melihat sendiri batu palsu itu sudal

kuhancurkan!" 

"Perduli setan tujuh tulunan!ri sahut Pelawak

Sinting. "Palsu atau asli, aku mau batu itu

kembalikan. Dalam keadaan utuh!" 

"Kakek Sinting! Kau mencari perkara!" teriak


Sinto Gendeng. Habis berteriak nenek ini

langsung menerjang kirimkan serangan ganas.1

Tangan kiri lancarkan satu pukulan sakti dalami

jurus Kunyuk Melempar Buah sedang tangam

kanan menyambar dua buah tusuk konde perak!

di kepalanya lalu dilemparkan ke arah Pelawak

Sinting. 

Pada saat Sinto Gendeng mulai lancarkan

serangan, kakek yang terpesat dari Negeri LaJ

tanahsilam ini goyangkan kerincinghya demikian

rupa hingga menimbulkan suara bising luar

biasa mencucuk telinga Sinto Gendeng.

Bersamaan dengan itu Pelawak Sinting juga

pukul gendangnya. Suara tabuhan gendang

bukan saja tambah memekakkan telinga tapi

juga membuat dada orang bergetar. 

Ketika dua tusuk konde melesat dan pukulan

sakti menderu, payung di atas kepala si kakek

tiba-tiba berputar deras lalu melayang ke bawah.

Payung kertas itu berputar menebar angin

kencang. Dan yang membuat Sinto Gendeng jadi

melengak kaget ialah payung yang tadinya kecil

makin lama makin besar. Membuat sosok si

kakek terlindung dibelakangnya. 

"Wuuuttt!" 

"Braakk!" 

"settt! Settt!"


"Kraakk! Kraaak!" 

Pukulan Kunyuk Melempar Buah membuat

hancur besar pinggiran payung. Tapi putarannya

yang hebat menggulung pukulan sakti yang

dilepaskan si nenek lalu melontarkannya ke

udara. 

Dua tusuk konde menancap dan merobek

bagian lain dari payung. Namun tidak sanggup

menembus! 

Sepasang mata Sinto Gendeng yang selama

ini mendekam di dalam rqnngga cekung seolah

mau melompat keluar. Saking tidak percaya

melihat kejadian itu. Bagaimana mungkin hanya

sebuah payung kertas sanggup menahan

pukulan saktinya yang bisa memporak

porandakan sebuah bangunan. Bagaimana

mungkin sebuah payung kertas tidak bisa

ditembus dua tusuk kondenya padahal tusuk

konde itu mampu menembus dan

menghancurkan sebuah batu besar?! 

Perlahan-lahan payung berhenti berputar.

Lalu jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu

bentuknya kembali berubah mengecil. Ketika

pandangan si nenek lepas tak terhalang lagi,

mulutnya keluarkan seruan tertahan. 

"Hah?!" 

Pelawak Sinting tak ada lagi di depannya! 

Selagi Sinto Gendeng memandang kian


kemari mencari-cari, di kejauhan terdengar

suara kerincingan dan bunyi gendang. Lalu

menyusul suara orang bernyanyi. 

Na... na... na Ni...ni... ni 

Kau yang minta tolong kau yang mau 

menggolong 

Kau yang butuh, kau yang mau membunuh 

Kau yang beljanji, kau yang mengingkali 

Apakah nyawaku lebih buluk dali batu yang 

dihanculkan 

Apa kematian cukup pantas untuk satu kega 

galan 

Mulutmu sudah mengucap janji 

Aku menganggap kau sudah menjadi istli 

Belpikillah supaya mengelti 

Na...na...na 

Ni...ni...ni 

Sinto Gendeng terkesiap mendengar nyanyian

itu. Sesaat dia merenung lalu menghela nafas

panjang. Hatinya membatin. 

"Mungkin aku telah berlaku keliru. Mungkin

dia memang tidak tahu kalau batu itu palsu. Ada

yang tidak beres. Siapa yang punya pekerjaan?"


Sinto Gendeng melangkah mendekati payung

kertas yang tergeletak di tanah. Mengambil dua

buah tusuk kondenya yang menancap di payung

itu. "Kakek konyol itu. Ilmunya boleh juga.

Payung butut begini mampu menahan lemparan

dua tusuk kondeku. Hemmm...sebenarnya aku

masih bisa minta tolong padanya. Namun saat

ini agaknya hatinya telah terluka." Si nenek

pencongkan mulut. "Apakah aku perlu

mencarinya? Ah, biar nanti saja. Paling penting 

saat ini aku harus mencari anak setan itu! Kalau

tidak bertemu terpaksa ku harus bekerja sendiri.

Anak setan satunya jelas berada dalam keadaan

bahaya." Sinto Gendeng ambil payung di tanah,

dielus-elus diluruskan bagian-bagian yang robek,

dilipat lalu disisipkan di punggung pakaian. 

--oo0dw0oo-- 


10.SINTO GENDENG KELUAR SARANG


 

GUDANG besar penyimpanan berbagai m£

terial bangunan dalam keadaan sepi. Saati itu

semua pekerja sedang istirahat makan. Di pintu

gudang memang ada seorang penjaga tapi asyik

membaca buku porno hingga tidak menyadari

kalau seorang berpakaian aneh telah

menyelinap masuk ke dalam gudang. 

Pangeran Matahari duduk di atas susunan;

kaleng-kaleng besar berisi cat tembok,

terlindung di balik timbunan kantong semen. Dia

tak habis pikir atas kejadian yang barusan

dialami. Begitu mudah orang mencuri sebuah

benda yang disimpannya dalam saku mantel.

Apakah dia telafl kehilangan ilmu kesaktian?

Rahangnya menJ gembung. Seharusnya dia

merasa malu bahkai) terpukul oleh kejadian itu.

Tapi dasar manusia dijuluki "Pangeran segala

cerdik segala akal, segala ilmu, segala licik,

segala congkak," walau kesal namun sikapnya

tenang-tenang saja. Hanya dalam hati dia

berkata. 

"Tua bangka keparat pengamen itu. Dia pasti

bukan manusia biasa. Siapa dia sebenarnya?

Tokoh berkepandaian tinggi yang menyamar?

Bukan mustahil kemunculannya ada sangkut

paut dengan Pendekar Tahun 2000 yang

dikatakan guru. Jangan-jangan dia kaki tangan

Sinto Gendeng." 

Dalam soal berpikir, kecerdikan dan

penggunaan akal Pangeran Matahari memang

hebat. Dia sudah bisa menduga kalau kakek

pengamen punya hubungan dengan. Sinto

Gendeng. 

Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam

hati tiba-tiba seorang bertangan kiri buntung,

bungkuk, berpakaian rombeng dengan wajah

sepucat kain kafan, muncul di hadapannya. Dua


mata yang terpuruk angker pada rongga dalam

memandang penuh marah pada sang Pangeran.

"Guru!" kaget Pangeran Matahari bukan

kepalang ketika dia mengangkat kepala dan

melihat siapa adanya orang tua itu. Buru-buru

dia berdiri lalu membungkuk memberi hormat. 

"Murid tolol! Kecongkakanmu hari ini amblas

dalam comberan!" Begitu membuka mulut orang

tua yang bukan lain adalah Si Muka Bangkai

alias Si Muka Mayat menyemprot kasar. 

Pangeran Matahari tentu saja sudah tahu

sebab apa si orang tua mendampratnya begitu

rupa. Tapi dasar licik panjdng akal dia berpura-

pura terkejut dan heran. 

"Guru, gerangan apa sampai membuatmu

marah besar seperti ini? Murid menduga jangan-

jangan...." 

Dari tenggorokan Si Muka Bangkai keluar

suara menggembor pertanda dia benar-benar

marah sekali. 

"Pangeran goblok! Tutup mulutmu!” 

Dibentak atau dihardik bagi Pangeran

Matahari bukan soal.. Tapi dimaki Pangeran

goblok membuatnya sakit hati. Kalau yang

memaki bukan gurunya saat itu juga pasti sudah

dirobek mulut atau dipecahkannya kepalanya.

Rahang menggembung, pelipis bergerak-gerak.

Pangeran Matahari menatap tajam wajah sang


guru. 

"Untung aku berlaku waspada. Kalau tidak

Batu Penyusup Batin itu akan lenyap selama

lamanya." 

"Guru, maafkan diriku. Apakah guru telah

menemukan kembali batu sakti itu? Batu itu aku

taruh dalam saku mantel. Tapi lenyap dicuri se

orang kakek pengamen." 

"Selama ini kau terlalu sombong, terlalu

congkak...." 

"Guru, tunggu dulu!" tiba-tiba Pangeran

Matahari berkata. 

"Murid kurang ajar! Beraninya kau memotong

ucapanku!" hardik Si Muka Bangkai. 

Pangeran Matahari tidak perduli. "Apa kau

lupa, guru? Bukankah kau sendiri ikut menanam

kan semua sifat itu di dalam diriku ketika kau

menggembleng aku di puncak Merapi?" 

Dua mata Si Muka Bangkai yang ada dalam

rongga cekung seperti mau melompat keluar.

"Dasar kampret!" 

"Kampret?!" Pangeran Matahari melotot

heran. 

"Waktu dulu kau kutemukan di desa Sleman,

itu sebutan yang aku berikan padamu. Setelah

puluhan tahun berlalu ternyata kau masih saja


manusia kampret!" 

Pangeran Matahari menatap muka pucat

sang guru, melirik pada tangan kirinya yang

buntung lalu tertawa gelak-gelak. (Untuk

mengetahui riwayat Pangeran Matahari harap

baca serial Wiro Sableng berjudul "Pangeran

Matahari") 

Di pintu gudang, penjaga asyik membaca

buku porno turunkan buku yang dipegangnya,

memandang ke dalam gudang. 

"Siapa yang tertawa...?" tanyanya dalam hati.

Dia turun dari tumpukan balok kayu, masuk

sampai beberapa langkah ke dalam gudang,

memperhatikan ke segala penjuru. Dia tidak

melihat siapa-siapa. Bulu kuduknya mendadak

merinding. "Jangan-jangan setannya si Tukijan,"

katanya dalam hati. Lalu cepat-cepat dia keluar

dari dalam gudang. Tukijan adalah buruh ba-

ngunan yang mati akibat kecelakaan sebulan

lalu. Jatuh dari tingkat empat gedung yang

tengah dibangun. 

"Pangeran Matahari, kau dengar baik-baik.

Sejak kecil sifat segala licik, congkak sombong 

bahkan kejam telah ada dalam dirimu! Mungkin

karena kau merasa diri sebagai seorang

Pangeran. 

Mungkin juga itu sudah warisan darah daging

dari. orang tuamu!"


"Aku tidak pernah ingat siapa orang tuaku.

Aku tidak pernah kenal mereka sejelas aku

melihat dua telapak tanganku!" kata Pangeran

Matahari sambil memandang ke atas ke arah

atap seng gudang. 

"Tidak heran! Tidak heran kalau kau juga

tidak tahu siapa dirimu sendiri!" tukas Si Muka

Bangkai yang membuat merah padam tampang

Pangeran Matahari. "Kecongkakan dan

kesombonganmu semakin berlipat ganda

setelah kau mewarisi semua ilmu kepandaian

dariku! Tapi hari ini semua akal licik,

kesombongan dan kecongkakanmu, seperti

kataku tadi, amblas dalam comberan ketololan!

Batu biru yang kuberikan padamu lenyap dicuri

orang. Dan tololmu lagi, kau menganggap si

pencuri adalah manusia biasa, pengamen tua

bangka! Kau tahu siapa orang itu?" 

Tenang saja Pangeran Matahari gelengkan

kepala. 

"Dia adalah mahluk berkepandaian tinggi,

tersesat dari negeri seribu dua ratus tahun

silam. Di negeri sana dia dikenal dengan nama

Si Pelawak Sinting. Di dunia sini dia muncul

sebagai kaki tangan Sinto Gendeng! Nenek

keparat dari Gunung Gede itulah yang telah

memperalatnya untuk mencuri Batu Penyusup

Batin yang ada dalam saku mantelmu!" 

"Aku memang sudah menduga," kata


Pangeran Matahari sambil rangkapkan dua

tangan di depan dada. "Tapi tadi guru berkata

bahwa berkat kewaspadaan guru, batu sakti itu

tidak...." 

"Batu yang asli! Batu Penyusup Batin yang asli

memang masih ada padaku! Yang kuberikan

padamu hanya batu tiruan. Batu kaivinanl Kalau

saja aku tidak berlaku cerdik melakukan hal itu,

batu yang asli sudah amblas dibawa kabur." 

"Batu kawinan, aku tidak mengerti maksud

guru," kata Pangeran Matahari pula. 

"Dalam keadaan seperti sekarang ini,

membawa batu asli tanpa mampu menjaganya

adalah sangat berbahaya. Banyak mata bisa

melihat, banyak tangan jahat bisa mengambil.

Itu sebabnya, batu yang asli aku ikatkan ke batu

tiruan. Selama satu minggu aku bersamadi.

Kesaktian yang ada dalam Batu Penyusup Batin

yang asli mengalir ke dalam batu tiruan. Namun

kekuatannya hanya dua tiga hari saja. Batu

tiruan itulah yang aku berikan padamu." 

"Kalau begitu, guru, apakah kau masih punya

banyak batu tiruan?" tanya Pangeran Matahari. 

"Kampret besar!" maki Si Muka Bangkai. 

"Syukur...." ujar Pangeran Matahari. 

"Eh, apa maksudmu berkata syukur?!" tanya

sang guru.


"Dulu aku dibilang kampret kecil. Sekarang 

sudah jadi kampret besar. Salahkah kalau aku

bersyukur?" 

Si Muka Bangkai mendelik besar lalu tertawa

gelak-gelak. 

Di depan pintu gudang kembali si penjaga

tersentak kaget. 

"Suara tertawa," katanya dalam hati. "Tapi

suaranya berbeda dengan yang pertama tadi...."

Untuk memeriksa kembali ke dalam gudang dia

merasa takut. Penjaga ini tinggalkan tempat itu

mencari teman-temannya. 

"Pangeran Matahari, aku tidak membawa

batu tiruan. Aku punya cara lain untuk

membuatmu bisa menyusup ke dalam tubuh

seseorang. 

Kekuatan dan kemampuannya lebih lama

dibanding batu kawinan. Mendekat ke sini." 

Pangeran Matahari melangkah maju

mendekati sang guru. Kakek bungkuk masukkan

tangan kanannya ke balik baju rombeng. Sesaat

kemudian di tangan kanan itu tampak sebuah

benda memancarkan cahaya biru. Itulah Batu

Penyusup Batin asli yang diterimanya dari

gurunya Eyang Kunti Api. Dengan mulut

berkomat-kamit membaca mantera Si Muka

Bangkai usapkan Batu Penyusup Batin ke kepala

dan muka muridnya. Usapan turun ke leher,


dada, perut, dua paha dan dua kaki. 

"Pejamkan matamu," perintah si kakek. 

Pangeran Matahari pejamkan dua mata. Si

Muka Bangkai tempelkan batu sakti di kening

muridnya, di bawah ikat kepala kain merah.

Kembali dia berkomat kamit membaca mantera.

Saat itulah sang murid berkata. 

"Guru, apakah kau mencium bau sesuatu?"

Tadinya Si Muka Bangkai hendak membentak 

marah karena ucapan Pangeran Matahari

membuyarkan pemusatan perhatiannya. Tapi

ketika mengendus, dia memang membaui

sesuatu. Bau yang membuat jantungnya

berdetak keras dan tampangnya berubah

membesi. Bau pesing! 

Karena sang guru tidak keluarkan jawaban,

Pangeran Matahari perlahan-lahan buka

sepasang matanya. Begitu mata dibuka, pada

saat itulah dari atas tumpukan kantong-kantong 

semen di ujung kiri gudang, berkelebat satu

bayangan disertai menebarnya bau pesing yang

amat santar. Mendahului kelebatan bayangan

yang laksana terbang, melesat dua buah senjata

rahasia memancarkan cahaya putih. 

"Guru! Awas serangan!" teriak Pangeran

Matahari. Cepat dia dorong dada Si Muka

Bangkai hingga kakek ini terjengkang jatuh. 

Dalam kejutnya Batu Penyusup Batin yang


tadi ditempelkan di kening Pangeran Matahari,

tidak sempat digenggam kembali oleh Si Muka

Bangkai. Bersamaan dengan terjengkangnya

tubuhnya, batu yang terlepas dari pegangannya

itu ikut mental ke udara. Selagi Pangeran

Matahari membungkuk selamatkan diri dari

serangan dua senjata rahasia, sosok yang

melayang membuat gerakan berjumpalitan dua

kali berturut-turut, lalu menukik turun. Sambil

turun orang ini hantamkan kaki kirinya ke

punggung Si Muka Bangkai. Bersamaan dengan

itu tangan kanannya menyambar Batu Penyusup

Batin yang mental ke udara! 

"Batu Penyusup Batin!" teriak Si Muka

Bangkai yang saat itu terkapar di lantai gudang.

Dia berusaha bangkit tapi roboh kembali.

Tendangan orang telah meremukkan tulang

punggungnya hingga selain menahan sakit luar

biasa kakek muka mayat ini juga kehilangan

keseimbangan. 

Cepat sekali, begitu berhasil menangkap Batu

Penyusup Batin orang di atas sana kembali

membuat gerakan kilat, melesat ke arah celah

besar di dinding atas ujung kiri gudang. 

"Bangsat berani mati!" teriak Pangeran

Matahari. Dalam keadaan setengah terduduk di

lantai dia hantamkan tangan kanannya. Sesaat

udara terasa redup. Lalu tiba-tiba berkiblat sinar

kuning, hitam dan merah. Menderu panas dan


ganas ke arah orang yang berkelebat di atas

sana. Jangankan tubuh manusia, tembok

bajapun akan hancur dihantam pukulan sakti

itu. Karena pukulan yang dilepaskan Pangeran

Matahari adala salah satu pukulan sakti paling

ditakuti dalam rimba persilatan yaitu Pukulan

Gerhana Matahari 

Namun sasaran yang dihantam telah lebih

dulu lolos di balik celah dinding gudang. Begitu

Pukulan Gerhana Matahari melabrak dinding

gudang yang terbuat dari seng, tak ampun lagi

dinding itu hancur berantakan. Kepingan-

kepingan seng melesat tinggi ke udara

terbungkus nyala api. Bukan itu saja. Hawa

panas pukulan sakti membakar seluruh dinding

gudang yang masih utuh. Api merambat dengan

cepat, berkobar ganas karena dalam gudang itu

tersimpan berbagai bahan mengandung kimia

antara lain cat. Lalu di salah satu sudut terdapat

beberapa tabung gas yang biasanya

dipergunakan untuk mengelas. Kebakaran besar

serta merta menggegerkan kawasan itu. 

Pangeran Matahari cepat menolong gurunya.

"Kita harus pergi sebelum api lebih besar.

Sebelum orang-orang masuk ke tempat ini!" kata

sang murid. 

"Tunggu," jawab Si Muka Bangkai. Dia

melompat ke lantai di depan tumpukan tinggi

kayu triplek. Di lantai itu menancap dua buah


senjata rahasia yang tadi menyerang Pangeran

Matahari. Si Muka Bangkai mencabut dua benda

itu. Ketika diperhatikan, mukanya berubah

kelam. Ternyata benda itu adalah dua buah

tusuk konde perak. 

"Tusuk konde perak! Siapa lagi pemiliknya

kalau bukan keparat Sinto Gendeng!" 

Si kakek keluarkan suara menggerung.

Amarahnya bukan kepalang. Lebih lagi begitu

dia ingat bahwa si nenek itu juga yang tadi telah

merampas Batu Penyusup Batin. 

"Nenek keparat itu. Dia keluar dari sarangnya.

. Kalau tidak segera dicegah, bahaya besar akan

mengancam diriku dan para tokoh golongan

hitam." 

--oo0dw0oo-- 


11.BUKAN TRIPING BUKAN NGEPRIT 



PULANG sekolah hari itu Boma dan teman-

temannya kecuali Gita Parwati kumpul di warung 

bakso Mang Asep. "Heran” kata Boma. "Siapa

yang usil punya mulut kayak kompor dua belas

sumbu. Hampir semua anak Nusantara Tiga

udah pada tau kejadian Allan tripping. Malah

katanya ada guru yang juga udah tau. Gila

banget!"


Ronny langsung memandang pada Vino. "Vin,

kau yang liat Allan tripping. Kamu yang ceritain

sama kita-kita. Kamu ceritain sama anak lain

nggak." 

"Sumpah Ron! Aku nggak cerita sama siapa-

siapa," jawab Vino. 

"Mungkin kita perlu ngomong lagi sama Gita,"

berkata Rio sambil memperhatikan Ronny

mengeluarkan bungkusan rokok dari tasnya. 

"Ron, lu jangan gila. Emang sih udah bubaran

sekolah. Tapi jangan ngacok berani ngerokok di

sini." Andi mengingatkan. 

"Mulut gue asem banget!" jawab Ronny. 

"Kalau asem kumur-kumur sono sama air

cucian mangkok baksonya Mang Asep." kata

Boma. 

"Sial!" Ronny masukkan kembali rokoknya ke

dalam tas. Lalu bertanya. 'Bom, waktu kamu

ketemu Gita, 'tu anak bilang apa?", 

"Katanya Allan bukan bangsa anak begituan.

Jangan kan tripping, nenggak minuman keras

aja nggak, ngerokok juga nggak. Malah dia

bilang Vino ngarang." 

"Wah, kalau gitu gua musti ikutan ngomong

sama dia," kata Vino. "Buktinya sekarang kok

udah dua hari si Allan nggak masuk-masuk." 

"Aku rasa dia pindah sekolah gara-raga yang


beginian juga. Ketauan ngeprit." Ucap Firman. 

"Bisa jadi," menyahuti Andi. 

"Besok kalau Si Allan masih belon masuk, aku

mau ngomong lagi sama Gita. Di, kau sama Vino

musti ngelacak. Siapa yang punya mulut jahil

sampai kejadian ini bocor. Bukan cuma anak-

anak kelas lain yang tau, tapi juga guru." 

"Kalau ngomong sama Gita, kamu musti hati-

hati Bom," kata Ronny. 

"hati-hatinya?" 

"Belakangan aku liat 'tu anak sering ngela-

mun. Nggak mau gabung sama kita-kita. 

Kelihatannya jadi sensitip. Gampang

tersinggung..." 

"Mungkin lagi mens 'kali," kata Vino. 

"Perempuan kalau lagi dateng bulan sifatnya

kadang-kadang 'kan aneh-aneh!" 

"Sok tahu lu Vin!" sembur Andi. "Kayak lu

udah pernah ngalamin mens aja!" 

"Sialan! Emangnya gue cewek!" jawab Vino. 

Semua anak tertawa riuh. 

SIANG itu, waktu jam istirahat, Kelas II-9 sepi.

Di dalam kelas hanya ada Gita Parwati duduk

sendirian. Asyik membaca majalah. Boma berdiri

di sudut pintu, memperhatikan. Dia menduga


Gita tahu kalau dia berdiri di situ

memperhatikan, tapi pura-pura terus membaca.

Ronny dan teman-teman yang berdiri di ujung

kelas sebelah luar memberi isyarat agar Boma

segera masuk dan bicara dengan Gita. Boma

akhirnya masuk ke dalam kelas. 

"Asyik banget Git, pasti majalah porno," Boma

menegur. Sengaja memancing dengan ucapan

seperti itu untuk melihat reaksi Gita. 

"Enak aja lu," jawab Gita. "Liat dulu!" Gita

mengangkat majalah yang dibacanya,

memperlihatkan cover depan. Ternyata sebuah

majalah pelajar bahasa Inggris. 

"Git, aku mau ngomong," kata Boma. 

"Aku udah tahu. Ngomong aja..." 

"Gimana kabarnya Allan?" 

"Baik." 

"Baik? Kok masih nggak masuk?" 

"Baik bukan berarti sehat 'tau." 

"Beneran sakitnya apa sih?" tanya Boma lagi.

"Mana aku tau Bom. Tanya sama dokternya

atau sama ortunya." 

"Kamu 'kan sering kesana." 

"Siapa bilang?" Gita angkat kepala dari

majalah yang dibacanya, menatap Boma


sebentar lalu kembali memandang ke majalah di

atas meja. 

Boma merapatkan badannya ke samping

meja. Lalu pegang lengan Gita. Dia merasakan

denyutan cepat sekali pada urat nadi di lengan

temannya ini. 

"Git,, jujur aja. Kau tau si Allan itu ngeprit?". 

"Itu lagi yang diomongin. Kemarin aku udah

bilang. Dia bukan bangsa cowok gituan Bom."

Gita menjawab, tapi melengos, tidak berani

memandang mata Boma. 

"Aku nggak ada maksud apa-apa Git. Kita 'kan

teman. Aku kasian sama kamu, sama Allan." 

"Buat apa ngasianin orang kayak aku Bom?

Tapi ya makasih untuk pengasianannya," jawab

Gita. 

"Git, keadaan mungkin tidak seperti yang

kami duga. Tadi pagi aku liat orang tua Allan

menemui Kepala Sekolah." 

"Biar aja. Biar jelas semuanya..." 

"Kamu ngebelain Allan nggak tanggung-

tanggung. Memangnya kamu cintrong banget

sama dia?" tanya Boma. 

Gita diam. Tatapannya ke wajah Boma seperti

ingin menyampaikan suara hatinya. Ketika

akhirnya anak perempuan ini menjawab,


suaranya terdengar perlahan. 

"Habis, siapa sih yang suka sama aku Bom?

Gendut, item. Jelek begini. Allan selalu meratiin

aku. Memang sih dia nggak pernah bilang

sayang sama aku. Tapi aku tau perasaan kami

sama." 

Boma terdiam. Hatinya sangat tersentuh.

Perasaan haru biru merenyuh lubuk kalbunya

Ditowelnya hidungnya. Lalu dilihatnya ada air

mata meggelinding jatuh dari tanggul kelopak

mata anak perempuan itu. Kalau sudah begini

Boma jadi tidak tahan. 

"Bom...." 

"Udah Git, nanti kita ngomong lagi. Kalau

ketemu Allan bilang salam dari teman-teman." 

"Aku tau kamu dan teman-teman semua

baik..." Gita menyeka air matanya. "Bom..." 

Tapi Boma sudah keluar dari dalam kelas. 

--oo0dw0oo-- 

KETIKA lonceng tanda jam pelajaran

berikutnya dimulai, yang masuk ke dalam Kelas

II-9 bukannya guru Fisika, tetapi guru bahasa

Inggris Ibu Renata. 

"Selamat siang Bu," anak-anak satu kelas

memberi salam. 

"Selamat siang," jawab Ibu Renata. Sejak


sakit ini kali pertama dia masuk ke Kelas II-9.

Badannya agak susut sedikit namun tidak

mengurangi kecantikannya. Sesaat dia

memandang berkeliling, memperhatikan bangku

yang kosong, bangkunya Allan. Lalu melirik ke

sudut kelas sebelah kiri di mana Boma duduk.

Firman yang duduk di sebelah Boma langsung

berbisik. 

"Boma, kamu dilirik sama Ibu Renata..." 

"Kamu 'kali yang dilirik, bukan aku." Jawab

Boma. Dua anak ini sama-sama menutupi mulut

menahan tertawa. 

"Sudah sembuh 'Bu?" Tiba-tiba seorang anak

bertanya. 

Ibu Renata anggukkan kepala, tersenyum

sedikit dan sekilas kembali melirik ke sudut kiri

kelas. 

"Sakitnya apa sih Bu?" seorang anak lain

bertanya. 

Yang menjawab teman di belakangnya. "Ah,

mau tau aja sakitnya Ibu Renata. Emangnya

kamu dokter?" 

"Dukun, kali!" menimpali suara anak

perempuan. Yang bicara ternyata adalah Si

Centil Sulastri, anak baru pindahan dari

Semarang. Suara tawa terdengar di mana-mana.

Ibu Renata juga tertawa walau kelihatan agak


dipaksakan. 

"Anak-anak, saya mewakili Wali Kelas II-9

yang hari ini berhalangan hadir. Saya

meneruskan permintaan dari Bapak Kepala

Sekolah, Bapak Nugroho, untuk menyampaikan

pesan atau pemberitahuan. Hal ini sehubungan

dengan sakitnya teman kalian Allan." 

Sampai di situ Ibu Renata berhenti sebentar.

Apa yang barusan dikatakannya menimbulkan

berbagai dugaan di hati dan benak anak-anak

Kelas II-9. Banyak dari anak-anak itu mengira^

setelah diketahui tripping di sekolah Allan akan

dikeluarkan atau minta keluar. Itu sebabnya pagi

tadi ayah Allan datang menemui Kepala Sekolah.

Hampir semua mata ditujukan pada Gita. Anak

perempuan ini hanya bisa tundukkan kepala

sambil mencungkil-cungkil kuku jari tangannya. 

"Anak-anak..." Ibu Renata meneruskan

ucapannya. "Sebelumnya pada Kepala Sekolah

telah masuk laporan bahwa Allan diketahui

tripping di sekolah..." 

"Siapa yang melapor Bu?" Tiba-tiba ada yangi

bertanya. Boma. 

Ibu Renata memandang ke sudut kiri Kelas; II-

9. Dia menatap ke arah Boma sebentar lalu

mengalihkan pandangan ke jurusan lain seraya

berkata. "Siapa yang melapor tidak perlu kalian

ketahui. Yang penting kalian ketahui adalah


bahwa Allan sama sekali tidak melakukan

tripping. Dia tidak minum obat terlarang..." 

Kelas II-9 sesaat dicekam kesunyian. Semua

anak seperti tidak percaya mendengar kata-kata

Ibu Renata itu. Ketika banyak mata diarahkan

kembali pada Gita Parwati, anak-anak di bangku

terdekat saling berbisik. 

"Liat, si Gita nangis..." 

Saat itu Gita Parwati duduk menundukkan

kepala. Sehelai sapu tangan dipergunakan

menutupi sebagian wajah, terutama sepasang

matanya. 

"Memang ada yang melihat Allan menelan

sesuatu, minum segelas Aqua lalu goyang-

goyang kepala di sekolah. Tapi saat itu

sebenarnya dia bukan sedang tripping. Bukan

menelan ecstasy. Melainkan minum obat. Obat

dari dokter. Di dapat berdasarkan resep dokter.

Anak-anak, Kepala Sekolah minta saya

menyampaikan, memberi tahu pada kamu

bahwa Allan sejak lama menderita penyakit

epilepsi..." 

Epilepsi apa-an sih Di," tanya Rio yang duduk

di sampingnya. "Sipilis ya?" 

Andi menutupi mulutnya menahan ketawa. 

"Epilepsi aja nggak tau. Anak sekolah malu-

maluin. Ngakunya kelas dua lagi..."


"Gue 'kan bukannya dokter!" Rio jadi sengit. 

"Epilepsi sama dengan ayan. Tau nggak?!" 

Diberi tahu Rio cuma ngangguk sambil

monyongkan mulut. 

"Kalian mungkin banyak yang tidak tahu

penyakit ini. Sebab dan jenisnya bermacam-

macam. Allan rentan terhadap udara pengap,

terutama di tempat-tempat ramai, rentan

terhadap stres. Penyakitnya bisa kambuh tidak

terduga. Ketika ada yang melihat dia menelan

sesuatu dan meneguk Aqua, sebenarnya dia

tengah minum obat dokter. Jadi anak-anak,

sekali lagi saya menyampaikan pesan Kepala

Sekolah. Allan bukan pecandu obat terlarang.

Dia tidak pecandu ecstasy atau obat apapun.

Sekarang dia masih istirahat di rumah. Kita

doakan agar dia segera masuk sekolah lagi..." 

"Amin!" beberapa anak mengamini. 

Saat itulah Boma, Firman dan Andi, disusul,

Ronny dan Rio mendatangi Gita yang seseng-*1

gukan di bangkunya. Anak-anak lain melakukah

hal yang sama. Gita dikerubungi. Anak-anak

perempuan menciumnya. Termasuk Sulastri.

Trini satu-satunya anak perempuan yang hanya

tegak tertegun dan tak beranjak di bangkunya. 

Boma pegang tangan Gita dengan tangan

kanan. Tangan kiri mengusap punggung anak

perempuan itu.


"Git maapin aku Git. Maapin juga teman-

teman. Tadinya kami udah nyangka yang nggak-

nggak sama Allan..." 

Sesenggukan Gita berubah jadi tangis

mengharukan. Dia mengangkat kepalanya,

menurunkan sapu tangan yang menutupi dua

matanya sedikit. Diantara isakannya anak

perempuan ini berkata. 

"Bom, sebenarnya aku sudah tau lama

sakitnya Allan. Tapi aku mau bilang sama kalian

nggak tega. Akibatnya dia dituduh tripping..." 

"Sekarang udah nggak lagi Git," kata Ronny. 

Ibu Renata sesaat masih berdiri di depan

kelas memperhatikan semua simpati yang

diberikan anak-anak pada Gita. Kemudian dia

memberi isyarat pada Boma. Melihat isyarat ini

Boma datang mendekat. 

"Ibu manggil saya?" tanya Boma. 

"Selesai sekolah, kamu Ibu tunggu di kantor."

"Baik Bu." 

"Jangan lupa." 

"Iyya Bu." 

Ketika anak-anak yang' mengerumuni Gita

bubar dan Boma kembali ke bangkunya, kini

Boma yang mereka kerumuni.


Ronny bertanya. 

"Ibu Renata ngomongin apa sama kamu?" 

"Pulang sekolah dia suruh aku datang ke

kantor." 

"Ngapain?" tanya Firman. 

"Nggak tau," jawab Boma sambil menowel

hidung. "Yang jelas sikapnya dingin. Belum

pernah aku liat Ibu Renata seperti itu." 

"Jangan-jangan dia tau kita pada kasak-kusuk

curiga sama si Allan," kata Vino. 

"Kalau memang begitu berarti kamu yang 

dipanggil Vin, bukan Boma. Kamu yang pertama

kali ngeliat Allan, nyangka dia lagi tripping," kata

Andi pula. 

Boma menowel hidungnya. "Kayaknya ada

soal lain yang mau diomongin Ibu Renata. Tapi

aku nggak tau soal apa." 

Semua anak memandang pada Boma. Ronny 

hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu guru

Fisika sudah masuk ke dalam kelas. 

--oo0dw0oo-- 


12.SUMPAH BOMA - AIR MATA IBU RENATA 


HUJAN turun rintik-rintik ketika Boma

melangkah seorang diri menuju Kantor Sekolah.

Di Ruang Tamu Kepala Sekolah beberapa orang 

guru duduk bercakap-cakap. Mereka kemudian

meninggalkan tempat itu sebelum hujan

berubah lebat. Ketika berpapasan, Boma segera

memberi hormat. 

Di Ruang Guru Ibu Renata duduk seoran diri

di belakang meja sambil menulis. Dia ber henti

menulis ketika melihat Boma muncul di ambang

pintu. 

"Selamat siang Bu," Boma memberi salam.

Ibu Renata menjawab dengan anggukan kepala.

Wajahnya tidak cerah seperti biasa mungkin

karena habis sakit. Sikapnya masih kelihatan

dingin. Guru Bahasa Inggris ini menunjuk ke

bangku di depan mejanya, memberi isyarat agar

Boma duduk di situ. 

Boma duduk. 

Ibu Renata meneruskan menulis sesuatu lalu

meletakkan bolpen di atas meja, melipat kertas

yang barusan ditulis, memasukkan ke dai am

tas. 

"Boma." 

"Ya Bu." 

"Kamu masih ingat. Waktu di kelas satu saya

pernah ngajak kamu sama-sama nonton film...."

"Ya Bu, saya ingat," jawab Boma.


"Saat itu kamu menolak." 

Boma mengangguk. "Benar Bu," katanya

kemudian. 

Ibu Renata diam. 

Boma memberanikan diri bertanya. "Ibu

marah saya menolak?" 

"Film yang saya mau lihat itu bukan cuma

bagus. Tapi banyak kesamaannya dengan

kehidupan saya...." Guru Bahasa Inggris itu diam

kembali. Lalu gelengkan kepala. "Tidak, saya

tidak marah kamu menolak. Yang saya tidak

menduga dan benar-benar marah, mengapa

kamu menyebarkan, memberi tahu orang lain

bahwa saya pernah mengajakmu nonton." 

Boma tercengang. Ditatapnya wajah cantik

Guru Bahasa Inggris itu. 

"Bu, saya nggak pernah cerita sama siapa-

siapa kalau Ibu ngajak saya nonton." 

"Jangan dusta Boma. Kamu menyebar

omongan...." 

"Sumpah Bu. Saya nggak pernah nyebar-

nyebar omongan begitu...." 

Dalam wajah yang tetap dingin Ibu Renata

tunjukkan air muka tidak percaya. Matanya

mulai merah. Dia berusaha keras membendung

tangis. Tapi isakannya tak tertahankan lagi. Dua

telapak tangannya ditutupkan ke mukanya.


Bahunya bergoncang turun naik. 

"Saya tidak menyangka seburuk itu budi

pekertimu. Kalau kau tidak suka. sama Ibu,

jangan ceritanya disampaikan sama orang lain."

"Sumpah Bu," kata Boma. "Jangan bersumpah

Boma. Saya paling benci pada orang yang suka

mengangkat sumpah tapi ternyata palsu...." "Bu,

saya...." "Tidak mungkin Boma. Tidak mungkin.

Waktu kita bicara pada akhir jam pelajaran hari

Sabtu itu, hanya kita berdua di dalam kelas.

Tidak ada orang lain. Tidak ada siapa-siapa. Lalu

bagaimana ceritanya jadi tersebar kalau bukan

kamu sendiri yang melakukan? Saya malu

sekali. Malu sekali Boma. Mungkin, mungkin

saya terpaksa minta berhenti mengajar di

sekolah ini. Saya akan keluar...." 

"Jangan Bu. Jangan minta berhenti. Jangan

keluar," kata Boma. 

Ucapan polos anak ini membuat air mata

yang sejak tadi terbendung menggelinding jatuh

ke pipi putih Ibu Renata. Isak tangis perempuan

ini semakin keras. Boma memandang ke arah

pintu. 

Dia takut saat itu ada guru atau orang lain

yang melihat. 

"Bu, bagaimana Ibu tau kalau saya menyebar

cerita itu? Ada yang melapor?" Boma tiba-tiba

ajukan pertanyaan.


"Kamu tidak perlu tau siapa yang memberi

tahu, siapa yang melapor. Pak Nugroho Kepala

Sekolah tadi pagi memanggil saya. Dia tau cerita

itu karena katanya sudah tersebar di antara

anak-anak sekolah, di antara para guru. Kamu

tahu apa yang Pak Nugroho bilang?" 

Boma menggeleng. 

"Kamu mau tahu?" 

Boma tak berani menjawab. 

"Pak Nugroho bilang apa yang saya lakukan

sangat tidak pantas. Seorang guru perempuan

mengajak muridnya menonton! Bukan saja

merupakan satu tindakan yang keliru, tapi juga

merusak image guru." 

Ibu Renata menyeka air mata yang semakin

banyak bercucuran. 

Boma mulai bingung. Dia bangkit dari bangku.

Hendak dipegangnya tangan Ibu Renata. Dia

takut. Akhirnya ditowelnya hidungnya sendiri lalu

melangkah keluar Ruangan Guru. Di pintu anak

ini hentikan langkahnya dan membalik. Untuk

beberapa lamanya dipan-danginya Guru Bahasa

Inggris itu. Sikap dingin masih belum pupus dari

wajah perempuan muda itu. 

"Pergi Boma, pergilah...." kata Ibu Renata

sambil melambaikan tangan menyuruh Boma

pergi.


Tapi Boma tidak beranjak dari tempatnya

berdiri. 

"Ibu Renata, sekali lagi saya sumpah. Saya

tidak berbuat sejahat itu." 

Ibu Renata geleng-gelengkan kepala. 

"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak

selamat." 

Habis berkata begitu Boma menowel

hidungnya sampai tiga kali lalu membalikkan

badan, melangkah cepat-cepat meninggalkan

Ruang Guru. 

Setelah Boma keluar dari ruangan guru, Ibu

Renata masih tertegak di belakang meja.

Ucapan Boma terngiang di telinganya. 

"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak

selamat." 

"Berani sekali. Seberani itu dia bersumpah,"

kata Ibu Renata dalam hati. 

--oo0dw0oo-- 

BOMA berjalan sambil memukul-mukulkan

tinju kanannya ke dalam telapak tangan kiri. 

"Ajie Gilel" Kenapa jadi begini urusannya?

Musti gua selidikin siapa yang punya kerjaan!" 

Saat itu Boma ingin sekali ada kawan-

kawannya yang masih belum pulang. Ingin sekali

dia menceritakan apa yang barusan dibicara


kannya dengan Ibu Renata. Mungkin dengan

menyampaikan hal itu dadanya bisa lega,

perasaannya bisa tenang. Namun baik Ronny,

Firman, Vino, maupun Andi dan Rio, tak satupun

yang ada di sekolah. Semua sudah pulang. 

Boma berdiri di pintu gerbang sekolah. Suara

deru motor yang bising membuat dia berpaling.

Guru Olahraga Bapak Sanyoto lewat dengan

sepeda motor yang bocor kenalpotnya. 

"Siang Pak," kata Boma sambil anggukkan

kepala. 

Mungkin tidak melihat, mungkin juga tidak

mendengar salam anak muridnya, Guru

Olahraga itu lewat saja tanpa menjawab hormat

Boma. 

"Nggak denger sih mungkin," kata Boma jadi

kesal karena penghormatannya seolah tidak

diacuhkan. "Budek sih mungkin. Soalnya 'tuh

motor udah kayak suara speed boat aja. Tapi

buta jelas nggak. Rugi gua ngasih hormat.

Sialan! Tapi udahlah. Buat apa aku pikirin."

Borna menowel hidungnya. 

Langit semakin gelap. Hujan rintik-rintik

berubah lebat. Boma tutupi kepalanya dengan

tas, melangkah tinggalkan pintu gerbang

sekolah. Tapi langkahnya tertahan ketika di

belakangnya ada suara deru mobil. Menoleh ke

belakang sebuah Suzuki Katana putih meluncur


perlahan. Di belakang kemudi duduk Ibu Renata.

Hujan lebat turun mendera. Boma masih

tegak di pintu gerbang berpayung tas sekolah.

Suzuki 

Katana lewat di sampingnya. Saat itu ingin

sekali Boma melihat Ibu Renata menurunkan

kaca jendela kiri Suzuki Katana, ingin sekali

mendengar Guru Bahasa Inggris itu

menyapanya. 

"Boma, ayo ikutan sama saya...." 

Namun harapan itu hanyalah suara hati Boma

Tri Sumitro sendiri. Suzuki Katana meluncur

melewatinya. Boma baru sadar dan beranjak

dari pintu gerbang sekolah setelah sekujur tubuh

dan pakaiannya basah kuyup. 

HONDA Tiger merah berhenti di ujung gang 

"Di sini aja Ron. Nggak usah masuk," kata

Boma. Begitu motor berhenti Boma segera

turun. 

"Aku juga males masuk Bom. Takut didamprat

kakek tetangga kamu itu. Dikit-dikit mau

ngeguyur kepala gua sama air kencing. Padahal

gue rasa 'tu kakek boro-boro kencing, kentut aja

udah nggak bisa!" 

Boma tertawa lebar mendengar ucapan

Ronny Celepuk. 

"Besok hari Minggu gimana?" tanya Ronny


"Jadi ke rumah Allan?" 

"Boleh, tapi awas lu, jangan keliwat siang Janji

pagi dateng siang, siang dateng sore. janji

malem bisa-bisa lu dateng subuh." 

Ronny menyengir. Boma lambaikan tangan.

Anak ini tengah berjalan ke tukang rokok

diseberang jalan untuk membeli Gudang Garam

Filter pesanan ayahnya ketika tiba-tiba dari arah

belakang sebuah Toyota Hardtop berhenti. Dua

orang keluar dari sebelah depan, tiga lainnya

melompat dari bagian belakang kendaraan. 

Boma yang mendadak mendapat firasat tidak

enak, cepat menyeberang, melangkah ke arah

tembok tinggi sebuah bangunan. Karena mau

berbalik dan masuk ke gang. Di mulut gang

sudah dihadang dua dari lima orang yang

barusan turun dari jip. Anak lelaki ini sekarang

ingat. Toyota jip itu sebelumnya mengikuti dia

dan Ronny lalu lenyap di satu tikungan jalan.

Tahu-tahu kini muncul di belakangnya. Dugaan

Boma tidak keliru. Dia mendengar ada suara

seseorang berkata. 

"Bener dia Fred! Sayang temannya udah

pergi!" 

Fred. Boma ingat. Itu nama lelaki berewok

yang memukulinya di toilet Gramedia. Dan suara

orang yang barusan bicara sama dengan suara

temannya si berewok. Boma mencapai tembok,


membalik. Lima orang berdiri di hadapannya. Si

berewok di tengah-tengah. 

"Jagoan tengik! Gua mau liat kehebatan lu

sekali lagi!" si berewok membuka mulut. Dia

memberi isyarat dengan gerakan tangan. Empat

orang temannya, dua di kiri dua di kanan tanpa

banyak bicara langsung menyerbu Boma. 

Perkelahian tidak seimbang segera terjadi. 

Walau mampu melayangkan tinjunya

beberapa kali dengan telak ke arah lawan

namun dengan cepat Boma terdesak. Lebih-

lebih setelah si berewok ikut membantu empat

temannya. 

Pedagang rokok yang melihat kejadian itu

berteriak kaget. Tapi kembali masuk ke dalam

kios rokoknya dengan ketakutan ketika dua

orang penyerang mengancam. 

"Berani macem-macem gua bakar kios lu!"

ancam salah seorang pengeroyok. 

Darah mengucur dari hidung dan mulut

Boma. Kakinya mulai goyah. Ketika satu jotosan

melanda perutnya dan satu tendangan

menghajar tulang kering kaki kirinya, anak ini

langsung roboh. 

"Abisin! Bikin mampus!" 

"Jangan dibunuh Fred! Nanti jadi urusan!" 

"Bunuh! Urusan belakangan!" kata si berewok.


Lalu dia mengeluarkan sebilah belati dari

pinggangnya, diserahkan pada salah seorang

temannya. 

Pada saat itulah -seperti kejadian di toilet

toko buku Gramedia- Boma tiba-tiba merasakan

ada hawa dingin di tengkuknya. Tubuhnya

bergeletar panas. Nafasnya seperti membara.

Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke

atas. Lima orang yang mengeroyoknya sama

terkejut. Dua orang berlaku lengah. Tinju Boma

bersarang di hidung lelaki sebelah kanan. 

"Praakk!" 

Orang ini meraung keras. Tulang hidungnya

pecah. Darah mengucur deras. 

Korban kedua muntah darah ketika

tendangan Boma mendarat di dadanya. Orang

ini langsung jatuh terduduk, mengerang

kesakitan beberapa lamanya lalu susah payah

berusaha berdiri. 

Lelaki yang memegang belati tusukkan

senjata di tangan kanannya ke perut Boma.

Nasibnya tak kalah jelek dari dua temannya.

Tinju kanan Boma menyodok ulu hatinya. Orang

ini megap-megap sambil pegangi perut.

Belatinya jatuh entah ke mana. Boma melompat.

Tangan kiri dihantamkan ke kening orang.

Seekor burung putih, entah dari mana

datangnya, terbang di atas tempat terjadinya


perkelahian lalu hinggap di cabang pohon dekat

kios rokok. 

Sesaat lagi tangan kiri Boma akan

menghantam batok kepala orang yang tadi

hendak menikamnya dengan belati, tiba-tiba

Boma merasa ada yang mencekal lengan kirinya.

Bersamaan dengan itu ada suara berkata. 

"Anak setan! Kau membunuh orang dengan

tangan mautmu? Apa kau lupa telapak tangan

kirimu ada tanda silang, tanda kematian? Apa

kau lupa tangan kirimu sudah kuisi ilmu

kesaktian?!" 

Boma terkejut. Dia memandang ke kiri dan

kanan. Dia tak melihat orang yang bicara. Anak

ini mencium bau pesing. Dia coba berontak. Tapi

tak mampu lepaskan diri dari cekalan tangan

yang tak kelihatan. 

Boma kemudian mendengar seseorang

berteriak. 

"Fred! Cabut Fred!" 

Lima orang pengeroyok berhamburan naik ke

atas Toyota Hardtop. Kendaraan itu tancap gas,

lenyap dalam beberapa detik saja. 

Boma tersurut mundur ketika di depannya

kelihatan satu sosok samar bungkuk sementara

bau pesing tercium makin santar. Sosok samar

perlahan-lahan kelihatan semakin nyata. Boma


tambah tersurut. 

"Nek...." Boma mengenali. Nenek hitam

bermuka kulit pembungkus tulang dengan lima

tusuk konde di atas batok kepalanya. Nenek

inilah yang menolongnya sewaktu ditimpa

malapetaka di Gunung Gede. Nenek ini pula

yang memberikan ilmu secara aneh padanya. 

Saat itu beberapa orang berdatangan ke

tempat kejadian itu, termasuk tukang rokok di

pinggir jalan. Si nenek menggerendeng. 

"Anak setan, nanti aku datang lagi mene

muimu. Sekarang kau telan ini...." Begitu

berucap si nenek sumpalkan satu benda hitam

sebesar ujung ibu jari. Empuk-empuk pahit. 

"Nek, kau menjejali aku tai kambing apa

racun?" 

Si nenek tertawa cekikian. "Itu obat yan akan

menyembuhkan seluruh luka yang kau alami.

Sudah, jangan banyak tanya. Telan saja!

Namanya saja obat. Mana ada obat semanis

gulanya cendol! Hik... hik... hik!" 

Si nenek cabut sesuatu dari pinggangnya. 

"Ini satu lagi aku berikan padamu!" 

Boma kerenyitkan keningnya. 

"Apa ini Nek?" tanya Boma. 

"Mana tahu aku apa ini namanya! Di


kampungku di puncak Gunung Gede tak pernah

ada benda beginian. Ambil. Pasti nanti ada

gunanya bagimu!" 

Boma mengambil benda yang diberikan si

nenek. Ternyata benda itu adalah kaleng tipis

plat nomor mobil. Plat nomor polisi sebelah

belakang Toyota jip yang dikendarai lima

pengeroyok. 

Ketika Boma masih bingung dan mau

bertanya, si nenek bau pesing telah lenyap dari

hadapannya. 


                               TAMAT 


Share:

0 comments:

Posting Komentar