..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 30 November 2024

JOKO SABLENG EPISODE MALAIKAT PENGGALI KUBUR


 
JOKO SABLENG EPISODE MALAIKAT PENGGALI KUBUR
Hak cipta dan copy right
pada penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mangcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU

MATAHARI sudah mengambang di atas
permukaan air laut sebelah barat. Senja pun
perlahan-lahan melingkari bumi. Tak
berselang lama, air laut berubah warna.
Lintasan bumi pun diselimuti kegelapan
malam.
Di sebuah gugusan batu karang yang menghadang
laut, terlihat sesosok tubuh duduk bersila dengan
sepasang tangan merangkap di depan dada. Dia adalah
seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya yang panjang
dan telah memutih dibiarkan jatuh bergerai menutupi
sebagian bahu dan wajahnya yang pucat dan berkulit
tipis. Sepasang kelopak matanya yang masuk ke rongga
yang dalam tampak terpejam rapat. Namun sedari tadi
mulutnya selalu berkemik-kemik hingga kumis dan
jenggotnya yang panjang terlihat bergerak-gerak. Kakek
ini mengenakan pakaian gombrang berwarna putih
kusam.
Ada sedikit keanehan pada kakek ini. Meski rambutnya
dibiarkan bergerai, sementara pakaian yang
dikenakannya begitu gombrang, namun baik rambut
serta pakaiannya tidak tampak melambai-lambai,
padahal angin laut saat itu bertiup amat kencang. Lalu
dari mulutnya yang selalu berkemik terdengar suara
gumaman. Siapa pun yang berada sejarak lima belas
tombak dari tempat si kakek duduk pasti akan dengan
jelas mendengar gumaman itu. Padahal saat itu
gempuran ombak yang abadi menghantam gugusan
karang terdengar memekakkan telinga dan hampir
menindih lenyap semua suara yang terdengar!
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba si kakek buka kelopak
matanya. Saat Itu malam tengah merangkak makin jauh.
Dan angkasa raya terbungkus gulungan awan hitam,
hingga tatkala si kakek jerengkan sepasang matanya

yang tampak hanyalah permukaan air laut yang hitam
dan suasana pekat di sekitarnya.
Sejenak sepasang mata si kakek memandang ke arah
selatan dengan sedikit palingkan kepala. Muiutnya tiba-
tiba dikancingkan rapat-rapat. Sejurus kemudian
kepalanya mengangguk perlahan.
Bersamaan dengan itu, dari arah selatan terlihat satu
bayangan hitam berlari kencang laksana dikejar setan.
Seluruh tubuh sosok ini telah basah kuyup, selain karena
keringat juga karena gelombang air laut yang menghajar
pantai di mana saat itu si sosok sedang berlari.
Tiba-tiba sosok yang berlari ini hentikan langkah.
Kepalanya bergerak berputar memperhatikan beberapa
gugusan karang. Sepasang matanya dipentangkan liar
mengawasi. Ketika samar-samar sepasang matanya
menangkap sesosok tubuh duduk bersila di salah satu
gugusan batu karang, tanpa menunggu iagi. sosok yang
tadi berlari kembali bergerak berkelebat. Dan tahu-tahu
sosok ini telah tegak lima langkah di hadapan si kakek
yang duduk bersila.
Ternyata sosok yang baru datang ini adalah seorang
pemuda bertubuh besar tegap. Rambutnya panjang
lebat, demikian pula kumis dan alis matanya. Sepasang
matanya tajam laksana elang. Dagunya kokoh dengan
hidung sedikit besar. Paras wajahnya keras dengan
ditingkahi bibir yang selalu sunggingkan senyum aneh.
Untuk beberapa saat si pemuda memandang tak
berkesip pada si kakek di hadapannya. Setelah
mengusap leher dan rambutnya yang basah, si pemuda
buka mulut.
"Kakek guru! Harap maafkan atas lambatnya
kedatanganku!"
Si kakek buka matanya. Memandang sejurus lalu
menggeleng periahan.

"Aku sengaja sampai di tempat ini jauh sebelum waktu
yang kita janjikan, karena aku ingin menikmati keindahan
laut dan lantunan suara gelombang ombak...."
Si pemuda yang juga mengenakan jubah warna putih
kusam dan besar palingkan kepalanya sedikit
menghadap laut. Diam-diam dalam hati si pemuda
berkata.
"Hem.... Air laut terlihat hitam. Suara gelombang
ombak menyakitkan gendang telinga. Aneh. Di mana
keindahannya?!" senyum aneh si pemuda tersungging.
"Pandanglah dengan mata hatimu. Dengarkan dengan
batinmu. Di sana akan kau temui keindahan itu!" Tiba-
tiba si kakek berucap seakan tahu apa yang ada di
benak si pemuda, membuat sang pemuda melengak
dengan wajah berubah.
"Itulah yang sering kukatakan padamu, Gumara!
Lihatlah sesuatu dari apa yang terkandung di dalamnya.
Dan lihatlah dengan mata hatimu! Jika itu selalu kau
lakukan, maka kau tak akan punya prasangka buruk
terhadap apa pun yang ada di muka bumi ini! Karena
asal segala sesuatu adalah baik. Manusialah yang punya
ulah dengan tak mau memandang dari segi batin, hingga
muncullah apa yang dinamakan buruk!”
Si pemuda yang dipanggil Gumara terdiam beberapa
saat seolah meresapi apa yang dikatakan si kakek. Di
hadapannya, si kakek alihkan pandangannya ke arah
permukaan air iaut di depan sana. Lalu berucap kembali.
"Gumara.... Tiap langkah manusia pasti dihadang
dengan batas. Dan hal itu tak bisa lepas dari kehidupan
manusia. Demikian halnya dengan aku dan dirimu...."
"Maksud, Eyang guru...?!"
"Sejak lima belas tahun terakhir ini kau dan aku hidup
bersama terikat hubungan murid dan guru. Seperti yang
kukatakan, langkah manusia pasti dihadang dengan
batas. Demikian pula kebersamaan kita. Dan malam ini
batas itu menghadang kebersamaan kita!"

"Aku masih belum mengerti maksud Eyang guru
sebenarnya...!"
"Gumara.... Sejak malam ini kita harus berpisah!
Sudah saatnya kau melangkah sendiri tentukan masa
depanmu. Semua kepandaian yang ku turunkan padamu
hanyalah bagian kecil dari bongkahan ilmu, dan pasti
sangat terbatas sekali. Maka dari itu janganlah berjalan
di atas bumi dengan congkak!"
"Jadi...?"
Si kakek telah memotong ucapan sang murid sebelum
kata-katanya selesai.
"Tiba saatnya bagimu menggunakan semua yang kau
miliki, Gumara. Tapi harus kau ingat. Yang hendak kau
masuki di depan sana adalah dunia persilatan. Satu
dunia yang bukan saja dilingkari dengan manusia-
manusia berilmu, namun juga diselimuti berbagai corak
ragam kehidupan aneh. Karena terkadang di sanalah
orang dapat berubah secara cepat. Kebaikan bisa
berubah jadi buruk! Di sana akan kau temui dendam
turun temurun. Fitnah yang dibungkus ucapan manis.
Lebih dari itu, kau akan melihat kelicikan yang digunakan
orang untuk mencapai tujuannya!" Sejenak si kakek
menghela napas panjang lalu melanjutkan. "Dunia
persilatan adalah batu ujian bagimu. Sekali kau
tergelincir di sana, maka kau akan tenggelam dalam
lumpur kebusukan! Sebaliknya jika kau tegar berdiri,
maka namamu akan dikenang orang! Di depan matamu
terbentang dua pilihan. Tinggal ke mana kakimu hendak
kau bawa!"
"Eyang guru.... Demi nama baikmu, pasti aku akan
berjalan di atas yang benar!"
Si kakek tertawa perlahan mendengar ucapan
muridnya.
"Jawaban itu belum bisa menjamin, Gumara. Tanpa
kau ucapkan sekarang, kelak semuanya akan bisa

dilihat! Hanya yang kuharap, apa yang kau katakan
benar-benar jadi kenyataan!"
"Nada ucapan Eyang guru tampaknya menyangsikan
diriku...," kata Gumara dengan suara perlahan namun
agak gemetar pertanda dia menahan rasa tak enak.
"Sebagai orang tua, terus terang saja aku khawatir,
Gumara. Godaan di depan sana sangat besar.
Sedangkan kau masih muda. Tapi.... Sudahlah. Apa pun
yang nanti terjadi harus kita terima. Sekarang dengar
baik-baik!" kata si kakek seraya menatap tajam pada
Gumara.
"Rimba persilatan saat ini sedang dilanda kemelut tak
menentu. Banyak tokoh yang Iama menyembunyikan diri
muncul kembali...."
Wajah Gumara sedikit berubah dengan dahi
mengernyit. Lalu pemuda ini angkat bicara tatkala sang
guru tak segera lanjutkan ucapannya.
"Kalau boleh tahu, apa yang menyebabkan
kemunculan mereka kembali, Eyang guru...?"
"Sebenarnya ini urusan lama. Namun karena sampai
saat ini tak kunjung selesai, maka urusan ini tetap
hangat, malah bertambah ramai. Apalagi dengan malang
melintangnya beberapa tokoh muda...."
"Urusan lama?" gumam Gumara. "Urusan apa, Eyang
guru?"
Si kakek arahkan kembali pandangannya ke air iaut di
depan sana. Lalu berkata. "Entah sejak kapan mulainya
aku sendiri tak tahu. Yang pasti urusan Ini telah merebak
saat aku masih muda. Seperti saat ini, saat itu rimba
persilatan dibuat geger dengan beredarnya berita
tentang sebuah kitab yang diyakini berisi iimu hebat.
Orang menyebut kitab itu Serat Biru. Demikian gegernya
urusan kitab itu hingga saat itu banyak terjadi
pembunuhan baik karena salah sangka atau karena
fitnah. Namun akhirnya urusan kitab itu mereda sendiri

ketika telah banyak korban yang jatuh dan kitab itu belum
juga bisa ditemukan!"
"Apakah kitab itu betul-betul tidak ada?"
"Belum bisa dijawab dengan pasti. Melihat beraninya
orang turunkan tangan maut lalu banyaknya tokoh yang
memburu dan berani pertaruhkan nyawa, menandakan
berita itu bukan hanya kabar burung. Namun melihat
hasilnya, orang lantas bimbang!"
"Menurut Eyang guru sendiri, apakah kitab itu benar
adanya?!"
Untuk sesaat si kakek tak segera menjawab. Setelah
menghela napas daiam akhirnya dia berkata.
"Aku sendiri berkesimpulan Kitab Serat Biru betul-betul
ada!"
Gumara agak tegang mendengar ucapan gurunya.
Pemuda ini buru-buru angkat bicara kembali. "Harap
Eyang guru sudi mengatakan di mana kitab itu berada!"
Si kakek bukannya menjawab, namun tertawa
perlahan seraya geleng-gelengkan kepala, membuat
Gumara pentangkan sedikit matanya.
"Gumara! Kitab Serat Biru bukan barang semba-
rangan. Tidak semua orang dengan mudah mengetahui
di mana beradanya!"
"Kalau mengetahui di mana beradanya sulit,
bagaimana Eyang guru dapat berkesimpulan jika kitab itu
betul-betul ada?!"
"Gumara. Kau masih ingat aku pernah cerita padamu
tentang kakak kandungku bernama Jalu Paksi?"
"Yang dikenal orang dengan gelar Dewa Sukma itu?!
Apa hubungannya dengan Kitab Serat Biru?!"
"Dengar, Gumara. Pada suatu hari, tanpa sengaja aku
mendengar pembicaraan antara kakakku dengan
seorang tokoh. Mereka menyebut-nyebut sebuah peta
yang ada kaitannya dengan tempat di mana beradanya
Kitab Serat Biru. Karena saat itu aku tidak tertarik
dengan urusan kitab, maka aku tak begitu

memperhatikan! Tapi dari pembicaraan ituiah aku yakin
jika kitab itu benar-benar ada!"
"Baru sekarang Eyang guru membicarakan. Apakah
sekarang Eyang guru jadi tertarik dengan kitab itu?!"
Si kakek tersenyum sambil gelengkan kepala. "Aku
sudah tua, Gumara. Kitab itu tak akan berguna banyak
jika berada di tanganku. Lagi pula aku sudah ingin hidup
tenang damai tanpa bising senjata. Biarlah orang lain
saja yang berurusan dengan kitab itu. Tapi jika kau suka
tak ada jeieknya kau coba menyelidik. Kau masih muda,
masih banyak yang bisa kau perbuat jika kitab itu bisa
kau miliki!"
"Hem.... Kalau kitab itu benar-benar dapat kumiliki,
tentunya aku akan jadi orang sakti tanpa tanding. Itulah
cita-citaku sebenarnya...,' gumam Gumara dalam hati
lalu berujar.
"Eyang guru. Kalau kau memberi izin, aku akan segera
menyelidik kitab itu!"
"Gumara. Sejak malam ini kau bebas tentukan
langkah. Jika kau berkeinginan menyelidik berangkatlah
ke tempat kakakku. Jalu Paksi. Tapi jika kau tak suka,
mulailah melangkah menurut apa yang kau yakini baik
dan berguna bagi orang banyak!"
“Tapi, Eyang. Dengan kitab itu di tanganku, akan lebih
banyak nantinya yang bisa kulakukan! Aku akan
menyelidik kitab Itu!"
"Hem.... Begitu? Bagus! Tapi satu hal harus kau ingat,
Gumara. Sebuah kitab biasanya hanya berjodoh pada
satu orang. Jika nantinya kau ditakdirkan tidak berjodoh
untuk memilikinya, kuharap kau mau menerima
kenyataan! Jangan sekali-kali paksakan diri jika kau tak
ingin terjerumus !"
"Ucapanmu akan kuingat, Eyang guru! Sekarang
harap Eyang katakan di mana aku bisa menjumpai kakek
Jalu Paksl?!"

"Meski sepuluh tahun terakhir ini aku tak jumpa
dengannya tapi aku yakin dia masih berada di tempatnya
semula. Pergilah kau ke lereng bukit Watu Gedek
sebelah selatan dusun Polaman. Di belakang dua
beringin kembar ada satu gua batu. Di sana kau akan
menemui orang yang kau cari!"
Lama Gumara terdiam mendengarkan penuturan
gurunya. Sementara si kakek pandangi muridnya sejurus
sebelum akhirnya berkata kembali.
"Aku berharap kaulah yang kelak ditakdirkan berjodoh
memiliki kitab itu, Gumara. Kalaupun tidak, aku berharap
kau dapat mempergunakan ilmu yang ada padamu untuk
kebaikan!"
Gumara anggukkan kepala. Lalu menjura dalam-
dalam seraya berucap.
"Eyang guru. Sebelum aku berangkat, kuucapkan
terima kasih atas segala jerih payahmu mendidikku. Aku
akan melangkah sesuai apa yang kau katakan!"
SI kakek tersenyum. "Sebagai guru sudah menjadi
kewajibannya untuk turunkan ilmu pada murid. Kau tak
usah berbasa-basi ucapkan terima kasih. Jika kau dapat
pergunakan dengan baik apa yang kau miliki, itu sudah
lebih dari cukup!"
Gumara menatap tajam pada Eyang gurunya dengan
mulut terkancing rapat. Dan tanpa berkata-kata lagi,
pemuda ini menjura tiga kali lalu putar diri dan berkelebat
tinggalkan tempat itu.
"Hem...." SI kakek menghela napas sambil bergumam.
"Perasaannya mudah tersinggung. Dan tampaknya dia
masih perlu waktu untuk mematahkan pikirannya. Tapi
aku sudah terlalu lama menahannya. Semoga dengan
jalan ini dia dapat lebih cepat matang...."
Si kakek donggakkan kepala memandangi angkasa
yang masih diselimuti awan hitam. "Sebenarnya aku tak
hendak utarakan tentang Kitab Serat Biru padanya,
namun daripada dia salah langkah dan terjerumus,

terpaksa hal itu kukatakan! Hem.... Mudah-mudahan dia
nanti dapat menerima kenyataan....”
Habis bergumam begitu, si kakek gerakkan bahunya.
Kejap lain tubuhnya berkelebat dan sosoknya lenyap dari
gugusan batu karang!
-oo0dw0oo

DUA


KiTA tinggalkan dulu si pemuda bernama Gumara
yang mulai menyelidik Kitab Serat Biru dengan
jalan menemui seorang tokoh bergelar Dewa
Sukma. Kita kembali sejenak pada Pendekar 131.
Seperti dituturkan pada episode: "Rahasia Pulau Biru",
saat Pendekar 131 terluka dalam dan terlibat bentrok
dengan Ratu Pemikat, tiba-tiba berkelebat satu
bayangan yang menyambar tubuh murid Pendeta
Sinting. Si bayangan yang ternyata Dewi Siluman
membawa lari Joko Sableng, namun di tengah jalan sang
Dewi dihadang oleh seorang perempuan bercadar dan
berpunuk. Perkelahian tak dapat dihindarkan lagi. Tapi
dalam beberapa jurus, Dewi Siluman dapat merobohkan
si perempuan berpunuk. Karena penasaran ingin
mengetahui siapa adanya perempuan bercadar dan
berpunuk, Dewi Sliuman sengaja tak langsung kirimkan
pukulan mematikan namun hanya membuat perempuan
berpunuk roboh pingsan. Saat Dewi Siluman hendak
menyingkap cadar ai perempuan berpunuk, mendadak
muncul ibiis Ompong. Karena Ibiis Ompong
menginginkan Pendekar 131 dan perempuan berpunuk,
sementara Dewi Siluman merasa urusannya dicampuri,
membuat sang Dewi marah besar hingga terjadilah
bentrok. Saat suasana pekat karena hamburan tanah
akibat dari bentroknya pukulan, tanpa sepengetahuan
Dewi Siiuman, iblis Ompong berkelebat menyambar
tubuh Joko dan perempuan berpunuk. Hingga ketika
suasana sirap kembali, Dewi Siluman tak lagi melihat
sosok iblis Ompong, Joko Sableng dan perempuan
berpunuk. Namun Dewi Siluman masih merasa agak
lega, karena Pedang Tumpui 131 miilk Pendekar Pedang
Tumpul Joko Sableng berhasil dibawanya.
Pada satu padang rumput tak begitu luas yang di
sekitarnya dirangasi semak belukar lebat dan tinggi

tinggi, Iblis Ompong yang di kanan kiri pundaknya terlihat
dua sosok tubuh, hentikan larinya. Sepasang matanya
dipentangkan lebar-lebar sejurus, lalu, Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua bahu kiri kanannya bergerak. Dua sosok yang di
atas pundaknya melenting setengah tombak dari
pundaknya. Bersamaan dengan itu Ibiis Ompong
gerakkan kedua tangannya seraya berkelebat ke udara.
Saat melayang turun, kedua tangan kiri kanan si kakek
telah membopong satu tubuh.
Perlahan-lahan ibiis Ompong letakkan satu persatu
tubuh di tangannya ke atas tanah berumput di sebelah
kanan kiri tubuhnya. Sejenak dia pandangi dua sosok itu.
"Hem.... Perempuan ini terluka cukup parah. Harus
segera ditolong terlebih dahulu...."
Iblis Ompong jongkok dengan tubuh menghadap
perempuan berpunuk. Sejurus mulutnya membuka lebar-
lebar. Lalu dengan cepat kedua tangannya bergerak
menutup pakaian si perempuan yang robek di bagian
dada dan pinggangnya yang sedari tadi perlihatkan kulit
putih mulus di baliknya.
Tak menunggu lama, iblis Ompong segera totok
beberapa jalan darah perempuan berpunuk. Lalu
balikkan tubuh si perempuan. Kedua tangannya lalu
ditempelkan pada punggung si perempuan. Tapi tiba-tiba
iblis Ompong tarik kembail kedua tangannya. Mulutnya
membuka lebar-lebar.
"Aneh, kenapa punuk orang demikian lembek?
Jangan-jangan.... Tapi itu urusan orang. Aku tak mau
tahu apa sebabnya dia menyamar. Urusanku adalah
menyelamatkan nyawanya...."
Iblis Ompong kembali letakkan kedua telapak
tangannya pada punggung orang. Lalu kerahkan tenaga
dalam salurkan hawa murni.
Beberapa saat berlalu. Perubahan segera terlihat.
Sosok perempuan berpunuk perdengarkan erangan
pelan. Tubuhnya mulai bergerak-gerak. Tak lama

kemudian terdengar si perempuan batuk-batuk beberapa
kali. Pada saat yang sama kedua tangan ibiis Ompong
bergerak menotok beberapa bagian dari tubuh si
perempuan. Tiba-tiba si perempuan angkat kepalanya
sedikit. Mulutnya terlihat mengembung besar. Ketika si
perempuan semburkan mulut, darah merah kehitaman
muncrat keluar dari mulutnya.
Anehnya, bersamaan dengan muncratnya darah dari
mulut, si perempuan berpunuk yang mukanya masih
mengenakan cadar berlobang kecii-kecii merasakan
tubuhnya perlahan-lahan dialiri hawa hangat
Mungkin merasa tubuhnya agak enak, ditambah ingin
tahu siapa adanya orang yang menolong, perempuan
berpunuk cepat balikkan tubuh. Sepasang mata dari balik
cadar berlobang kecii-kecii terpentang sejenak
perhatikan orang tua disampingnya. Lalu terdengar suara
bergumam perlahan.
"Orang tua. Terima kasih...."
ibiis Ompong buka mulutnya lebar-iebar. Seraya
mendongak dia berujar.
“Tak perlu ucap terima kasih. Semua ini didasarkan
pada rasa kemanusiaan saja."
Perempuan berpunuk rapikan pakaiannya dengan
tubuh sedikit ditarik ke belakang. Dari balik kain cadarnya
terlihat perubahan wajahnya. Namun perubahan itu
makin nyata bahkan tiba-tiba dia gerakkan tangan
kanannya untuk menutupi mulutnya di balik cadar.
Sementara kepalanya lurus dengan sepasang mata di
balik cadar memandang lekat-lekat pada tubuh Joko
Sableng yang masih tergeietak dengan tubuh diam dan
mata terpejam.
"Buang rasa khawatir. Tak ada yang perlu dipikirkan.
Dia baik-baik saja!" kata Iblis Ompong seraya kerlingkan
sebelah matanya pada perempuan berpunuk yang jelas
mengkhawatirkan keadaan murid Pendeta Sinting.

"Orang tua. Boleh aku tahu siapa kau sebenarnya?"
tanya perempuan berpunuk.
Iblis Ompong tertawa panjang, tapi meski suara
tawanya tak lama kemudian terhenti, mulutnya tetap
membuka lebar-lebar, membuat perempuan berpunuk
belalakkan sepasang matanya di baiik cadar.
"Orang tua aneh. Tapi kalau dia mampu selamatkan
diriku bersama Pendekar 131 dari tangan Dewi Siluman,
pasti dia bukan orang sembarangan. Hem.... Sebenarnya
aku ingin berlama-lama di sini. Namun karena ada
sesuatu yang harus segera kuselesaikan, terpaksa aku
tinggalkan tempat ini...."
Berpikir sampai di situ, perempuan berpunuk bergerak
bangkit. Memandang sejurus pada Pendekar 131 lalu
pada Ibiis Ompong dan berkata.
"Orang tua. Kalau kau berat sebutkan siapa dirimu, tak
apa. Tapi siapa pun adanya dirimu, kau akan tetap
kuingat! Sekarang aku harus tinggalkan tempat ini."
Perempuan berpunuk putar diri. Lalu melangkah
hendak tinggalkan tempat Itu. Tapi gerak kakinya
tertahan saat dari arah belakang terdengar suara.
"Gadis cantik! Tidak titip sesuatu padanya?!"
Perempuan berpunuk berdiri tegang dengan air muka
di balik cadar berubah. Diam-diam daiam hati si
perempuan berkata.
"Jangan-jangan orang tua Itu telah usil membuka
penutup cadar ini. Hem. Tapi aku tak kenal dia, demikian
pula sebaliknya!"
Tanpa berpaling pada iblis Ompong, perempuan
berpunuk perdengarkan tawa pendek seraya berujar.
"Orang tua. Aku suka kau menyebutku gadis cantik,
mesti aku tahu ucapanmu hanyalah untuk membuat diri
tua bangka ini gembira. Aku tak punya sesuatu yang
pantas untuk kuberikan pada pemuda Itu. Hanya...."
Perempuan berpunuk putuskan ucapannya.
"Hanya apa...?!" sahut Ibiis Ompong.

Perempuan berpunuk gerakkan kepalanya
menggeleng. Tapi ibiis Ompong masih jelas menangkap
gumaman tak jelas dari mulutnya.
"Dalamnya laut bisa diseiami. Tingginya gunung dapat
didaki. Tapi hati perempuan luas tiada bertepi.
Kuucapkan selamat jalan padamu. Kalau takdir masih
menentukan, pasti akan bertemu...," ucap ibiis Ompong
lalu balikkan tubuh ke arah Joko Sabieng.
Perempuan berpunuk di seberang sana sejenak masih
tegak. Jelas sikapnya tampak bimbang. Tapi tak lama
kemudian sosoknya berkelebat tlnggaikan tempat itu.
"Meski belum jelas benar siapa dirinya. Berat dugaan
dia adalah seorang gadis. Kulit dari robekan pakaiannya
jelas menunjukkan itu. Melihat sikap khawatirnya,
sepertinya dia menyukai pemuda ini.
“Hem...." Iblis Ompong bergumam sendiri. Lalu
gerakkan kepalanya menggeleng dengan mulut dibuka
lebar-lebar.
Sesaat kemudian kedua tangan Iblis Ompong
bergerak bebaskan Joko Sableng dari totokan. Sejurus
murid Pendeta Sinting masih belum membuat gerakan
apa-apa. Sepasang matanya pun masih terpejam rapat.
Tapi tak berselang lama kemudian terdengar dia
mengerang pelan. Saat akhirnya sepasang mata Joko
terbuka, murid Pendeta Sinting Ini jadi tersentak dan
pentangkan sepasang matanya dengan mulut komat-
kamit. Memandang tak berkedip pada orang tua di
sampingnya dengan dada dipenuhi berbagai tanya.
"Apa yang terjadi dengan diriku? Dan kenapa aku bisa
di tangan orang tua Ini? Bukankah dia menginginkan
nyawaku...? Celaka!"
Mungkin merasa bahwa si orang tua benar dengan
ucapannya beberapa waktu yang lalu yang mengatakan
inginkan nyawanya, murid Pendeta Sinting bergerak
bangkit untuk duduk. Memandang berkeliling dia makin
melengak ketika mendapati dirinya berada pada satu

tempat sunyi yang di sekitarnya dirangasi semak belukar
lebat.
Iblis Ompong menatap dengan mata dijerengkan. Lalu
memandang ke jurusan lain. Dalam hati kakek ini
berkata, "Senjata yang ada padanya jelas menunjukkan
bahwa anak manusia inilah yang kutunggu selama ini.
Hem.... Apakah Ratu Malam sudah menemukannya?
Dan memberikan peta itu padanya?"
Iblis Ompong tidak tahu jika saat itu Pedang Tumpul
131 sudah dibawa o!eh perempuan berjubah dan
bercadar hitam yang membawanya lari dan bukan lain
adalah Dewi Siluman. (Untuk lebih jelasnya baca serial
Joko Sableng episode: "Rahasia Pulau Biru").
"Orang tua.... Siapakah kau? Dan kenapa
membawaku ke sini?!" Joko segera ajukan tanya.
"Siapa aku, kau telah tahu. Jangan bicara berpura-
pura. Sekarang aku tanya padamu. Apakah kau pernah
bertemu dengan Ratu Malam?!"
"Ratu Malam?! Hem.... Rasanya baru kali Ini aku
mendengarnya. Apakah ia seorang ratu beneran?!" Joko
balik ajukan tanya.
"Jangan banyak tanya! Jawab saja tanyaku pernah
atau belum!" sentak Iblis Ompong lalu buka mulutnya
lebar-lebar.
"Kek! Aku tadi sudah bilang. Baru pertama kali ini
mendengarnya. Jadi sudah barang tentu aku belum
pernah bertemu dengannya! Sebenarnya siapakah dia,
Kek? Lalu apa hubungannya diriku dengan ratu itu?!
Apakah tujuanmu membawaku ke sini hanya untuk tanya
soal ratu itu?!"
"Hem.... Bagaimana sekarang? Aku sebenarnya sudah
tak betah menyimpan penggalan peta ini. Lalu apakah
penggalan peta ini akan kuberikan meski belum jelas
apakah Ratu Malam sebagai pemegang penggalan peta
sebelum yang ada padaku telah bertemu dan
memberikan padanya?" Diam-diam Iblis Ompong didera

berbagai pertanyaan. Hingga dia tak sempat untuk
menjawab pertanyaan Joko.
"Kek! Kau tak jawab tanyaku. Kau terlihat tercenung
bergumam sendiri. Aku bisa menebak sekarang. Pasti
kau kehilangan orang yang kau sebut sebagai Ratu
Malam itu. Hem.... Apakah dia seorang gadis cantik,
Kek?"
"Cantik atau tidak yang pasti kau harus bertemu
dengannya! Karena kau telah ditentukan berjodoh
dengannya! Dan yang perlu kau ketahui, dia adalah
seorang nenek-nenek!"
Joko melengak dengan sepasang mata dibeliakkan.
Dahinya mengernyit lalu berpaling pada jurusan lain
seraya berujar.
"Kek! Meski aku tahu kau berilmu tinggi, namun bukan
berarti kau dengan enaknya bisa menjodohkan orang!"
Iblis Ompong tertawa bergelak. "Silakan kau berontak.
Namun takdir Itu tak bisa kau tolak! Bertahun-tahun ratu
itu menunggu dan mencari. Suratan telah ditulis dan
terpateri. Tak mungkin semuanya diingkari meski kau
coba hendak berlari!"
"Iblis Ompong.... Hem.... Ratu Pemikat menyebut
orang ini demikian. Belum bisa kutentukan apakah dia
punya maksud jahat atau baik. Tapi melihat ia tak
berbuat apa-apa padaku sewaktu aku pingsan, jelas dia
tak menginginkan nyawaku. Namun apa maksudnya
menjodohkan diriku dengan orang bernama Ratu
Malam?"
Berpikir demikian, murid Pendeta Sinting ini lantas
berkata.
"Kek. Aku tak mungkin berada berlama-lama di sini.
Aku harus segera lanjutkan perjalanan untuk menemui
seseorang! Soal perjodohan, nanti bisa kita bicarakan
lagi jika kita bertemu kembali!"
"Bagaimana bisa begitu? Aku bukannya mengungkit
segala macam budi. Tapi adalah satu perbuatan tolol jika

kau hendak berlari dari perjodohan ini. Lebih dari itu, kau
akan menyesal berkali-kali!"
Murid Pendeta Sinting ganti perdengarkan suara tawa.
"Mana bisa begitu Kek? Kau bilang sang ratu adalah
seorang nenek-nenek. Di mana nikmatnya bersanding
dengan seorang nenek meski dia seorang ratu?"
"Hem.... Begitu? Baiklah. Hari ini kau kubebaskan.
Tapi dengan syarat?!"
"Aneh. Kau sepertinya menanam banyak jasa padaku
hingga untuk pergi saja kau memasang syarat padaku!"
"Anak muda! Sekali lagi kukatakan bukannya aku
meminta kau membalas budi padaku...."
"Kek!" potong Joko sebelum Iblis Ompong teruskan
ucapannya. "Dari tadi kau mengatakan segala macam
budi. Katakan padaku, pertolongan dan budi apa saja
yang telah kau tanam padaku?!"
Iblis Ompong tertawa bergelak. "Tidak baik ungkap
pertolongan. Namun kalau kau ingin tahu, kelak bisa kau
tanyakan pada seorang perempuan bercadar dan
berpunuk!"
Ucapan Iblis Ompong membuat Pendekar 131
melengak. "Apa hubungan orang tua Ini dengan
perempuan berpunuk yang menolongku itu?"
Sebelum Joko Sableng berpikir jauh untuk mengetahui
ada hubungan apa antara Iblis Ompong dan perempuan
berpunuk, Iblis Ompong telah berucap.
"Katakan padaku. Siapa yang hendak kau temui?!"
Joko Sableng terdiam sejenak. Memandang tajam
pada Iblis Ompong beberapa saat sebelum akhirnya
berkata.
"Aku tak bisa mengatakan padamu!"
"Ah!" tiba-tiba Iblis Ompong mengeluh. "Memang tidak
seharusnya aku memaksakan kehendak. Dan aku juga
tak seharusnya tahu ke mana kau berkehendak.
Sudahlah, sebaiknya aku mengikuti langkah kakiku

sekarang. Mudah-mudahan kau tidak menyesal dengan
sikap yang kau ambil...."
Murid Pendeta Sinting berpaling. Astaga! Joko jadi
tersentak. Meski suara Iblis Ompong masih jelas
terdengar di tempat itu, namun tatkala dia berpaling,
sosok Iblis Ompong sudah tak ada di tempat itu!
"Ucapan orang tua itu sulit untuk kumengerti. Sikapnya
pun berubah-ubah. Pertama kali sepertinya sengaja
hendak menahanku. Tapi akhirnya dia pergi
mendahuluiku begitu saja.... Hem.... Malam memang
sebentar lagi menjelang. Dengan keadaan gelap,
perjalananku akan sedikit mudah. Meski tenagaku belum
pulih benar, tapi dengan Pedang Tumpul 131, mungkin
akan sedikit menolong...."
Tanpa sadar, tangan murid Pendeta Sinting meraba
pinggangnya di mana tersimpan Pedang Tumpul 131.
Namun mendadak nyawa Pendekar 131 laksana terbang
ketika tangannya tak menemukan lagi senjata di bailk
pakaiannya.
"Celaka! Ke mana pedang Itu? Jangan-jangan orang
tua itu...." Sepasang mata murid Pendeta Sinting
terpentang besar. Dagunya mengembung dengan pelipis
kiri kanan bergerak-gerak.
Saat itulah mendadak satu bayangan berkelebat. Joko
cepat berpaling.
"Dia...!" desis Joko seraya memandang ke depan.
-oo0dw0oo

TIGA

LIMA langkah dari tempatnya berdiri, murid
Pendeta Sinting melihat seorang nenek
mengenakan jubah besar warna merah menyala.
Paras wajahnya pucat. Kelopak sepasang
matanya amat besar, namun sepasang mata di
dalamnya yang bolak-balik membuka dan memejam
tampak sangat sipit. Rambutnya putih dan hanya sebatas
tengkuk. Pada mulutnya terlihat gumpalan tembakau
berwarna hitam yang selalu bergerak-gerak keluar
masuk! Beberapa saat lamanya si nenek yang bukan lain
adalah Ratu Malam kembang kempiskan cuping
hidungnya. Lalu bergumam dengan kepala digoyang-
goyang.
"Aku masih jelas mencium bau badannya. Dia pasti tak
jauh dari sekitar tempat ini...."
Ratu Malam seakan tak pedulikan pandangan Joko
yang menatap tak berkesip ke arahnya. Dia malah
arahkan sepasang matanya yang dlpentangkan ke arah
rangasan semak belukar.
"Nek!" seru Joko setelah sekian lama dilihatnya si
nenek tetap nyalangkan sepasang matanya mencari-cari.
"Ada sesuatu yang hilang?!"
Ratu Malam tidak memberi jawaban. Bahkan berpaling
pun tidak, membuat murid Pendeta Sinting gelengkan
kepala.
"Nek...."
Belum sempat Joko teruskan ucapannya, Ratu Malam
telah menyemprot dengan suara keras.
"Apa panggil-panggil, hah? Kau kira aku tak dengar?!"
Joko jadi terkesiap. Dan belum sampai murid Pendeta
Sinting ini utarakan kata-kata, kembali Ratu Malam telah
membentak garang.
"Kenapa kau masih enak-enakan di sini? Apa yang
kau tunggu?! Setan Jelek! Lekas pergi dari hadapanku!"

"Nek! Aku tak akan pergi dari sini. Lebih-lebih urusan
penggalan peta itu terpaksa kutunda dahulu. Ada urusan
lain yang lebih penting, dan jika tidak segera
kuselesaikan, bisa-bisa aku celaka!"
Ratu Malam melotot angker. Mulutnya komat-kamit
mainkan gumpalan tembakau hitam.
"Ternyata kau anak manusia yang tak tahu diuntung.
Diberi cuma-cuma barang yang diperebutkan banyak
orang tapi enak saja kau sepelekan! Kalau tidak karena
pesan, barangkali penggalan peta itu tak akan kuberikan
padamu! Aku tanya padamu. Urusan apa hingga kau
tunda urusan peta itu, hah?!"
"Senjataku lenyap, Nek...!"
"Apa? Ulangi lagi ucapanmu!" ujar Ratu Malam seraya
miringkan kepalanya seakan ingin hadapkan telinganya
ke arah Joko.
"Setan Jelek! Kau dengar ucapanku. Ulangi kata-
katamu!" bentak Ratu Malam ketika ditunggu agak lama
murid Pendeta Sinting tak segera turuti ucapan Ratu
Malam.
"Kau tidak akan marah lagi bila aku ulangi kata-kataku,
Nek? Karena aku tahu kau telah mendengarnya dengan
jelas!"
"Setan! Jangan banyak tanya-tanya. Ayo katakan lagi!"
"Senjataku lenyap!" terpaksa Joko ulangi kata-katanya.
Ratu Malam cepat arahkan pandangannya pada. Joko.
Lalu sepasang matanya memperhatikan tubuh Joko dan
atas sampai bawah.
"Kau yakin? Kau telah periksa dengan teliti?!"
"Nek. Meski aku tak tahu siapa namamu, tapi kau telah
berjasa padaku. Tidak ada untungnya mendustaimu!
Senjataku benar-benar hilang lenyap!"
Tiba-tiba Ratu Malam tertawa mengekeh panjang,
membuat Joko Sableng mau tak mau sedikit jengkel.
"Dikasih tahu bukannya ikut mencari jalan keluar,
malah tertawa terbahak-bahak!"

"Setan Jelek. Kau boleh bicara berkata tak men-
dustaiku. Tapi mata hatiku mengatakan lain. Aku melihat
senjatamu masih ada. Hik... hik... hik...!"
Murid Pendeta Sinting belalakkan mata. Mulutnya
komat-kamit tanpa adanya ucapan yang jelas terdengar.
"Setan Jelek! Coba kau periksa sekali lagi!" kata Ratu
Malam masih dengan tertawa mengekeh.
Entah karena ingin buktikan ucapan Ratu Malam atau
ingin menunjukkan bahwa dia tak berdusta, Joko cepat
gerakkan tangan kanannya ke arah balik pakaiannya.
Namun gerakan tangan murid Pendeta Sinting ini
tertahan tatkala bersamaan dengan itu Ratu Malam
kembali berkata.
"Tunggu! Meski aku seorang nenek bau, tapi aku tak
mau lihat seorang pemuda meraba-raba di hadapanku.
Aku akan berbalik dahulu!" Habis berkata begitu Ratu
Malam putar diri membelakangi seraya terus tertawa
terbahak.
Meski belum mengerti arah ucapan Ratu Malam,
begitu si nenek putar membelakangi, Joko Sableng
segera selinapkan tangan kanan, mencari-cari pedang di
balik pakaiannya. Bahkan kali ini dia sempat buka
sebagian pakaiannya.
"Bagaimana? Kau masih temukan senjatamu, bukan?i"
kata Ratu Maiam setelah ditunggu agak lama tak juga
terdengar ucapan dari Joko.
Karena merasa jengkel, murid Pendeta Sinting tak
buka mulut untuk menjawab. Malah memandang ke arah
punggung si nenek dengan bergumam sendiri.
"Seandainya bukan dia, sudah kudamprat habis-
habisan!"
Saat itulah mendadak Ratu Malam balikkan tubuh.
Sepasang matanya terpejam rapat. Sementara mulutnya
bergerak-gerak mainkan gumpalan tembakau hitam.
"Setan Jelek. Kau masih ada di hadapanku?!"

Lagi-lagi Joko tak menjawab, membuat Ratu Malam
sedikit buka kelopak matanya.
"Nah, apa kubilang. Senjatamu masih utuh bukan?!"
"Busyet! Ternyata yang dimaksud senjata olehnya,
bukan pedangku. Tapi senjata yang lain! Walah. Kenapa
aku tadi juga salah ucap...?"
Menyadari bahwa ucapan Ratu Malam lain dengan
yang dimaksud Joko, murid Pendeta Sinting Ini segera
berkata.
"Nek, yang lenyap adalah Pedang Tumpul 131! Bukan
senjata nenek moyangku!"
Ratu Malam kancingkan mulut. Sepasang matanya
membesar. Kepalanya dlgeleng-gelengkan seakan tak
percaya dengan ucapan si pemuda.
"Nek. Aku harus segera pergi. Orang itu pasti belum
jauh dari sini. Aku curiga orang itulah yang
mengambilnya!"
"Hel. Siapa yang dimaksud?!"
"Aku belum kenal betul. Tapi seseorang sempat
memanggilnya Iblis Ompong!"
"Hem.... Dugaanku benar. Tua peot itu berada di
sekitar tempat Ini.... Tapi tak mungkin dia berani
menggerayangi milik orang lain! Bahkan seharusnya dia
serahkan miliknya pada pemuda Ini. Hem...."
"Setan Jelek!" tegur Ratu Malam. "Jangan
sembarangan menuduh orang tanpa bukti!"
"Nek. Dialah yang membawaku sampai ke tempat Ini.
Dia juga mengatakan hendak menjodohkan aku dengan
seorang nenek-nenek bergelar Ratu Malam! Mungkin
saat membawaku, dia mengambil pedang dari balik
pakaianku! Karena kulihat tak ada orang lain selain dia!"
"Tua bangka sialan! Sejak kapan dia jadi mak
comblang tukang cari jodoh? Apa dikira aku tak bisa cari
sendiri?"

Mendengar desisan suara si nenek, murid Pendeta
Sinting jadi curiga Jika si nenek kenal dengan Iblis
Ompong. Pendekar 131 segera buka mulut.
"Ucapanmu menunjukkan kau kenal dengan kakek Itu.
Katakan siapa dia sebenarnya! Dia orang jahat atau
orang baik?!"
"Sebelum kujawab tanyamu. Aku tanya padamu.
Apakah kakek itu memberikan sesuatu padamu?!"
Murid Pendeta Sinting menyeringai. Seraya tertawa
pendek dia berucap.
"Dia bukannya memberikan sesuatu. Sebaliknya aku
curiga dialah yang mengambil barang milikku!"
"Tua bangka bodoh. Apalagi yang dia tunggu? Atau
barangkali dia belum tahu siapa adanya pemuda Ini?
Urusan peta harus segera diselesaikan. Kulihat banyak
tangan-tangan usil yang mulai gentayangan. Terbukti
penggalan peta pertama yang ada di tangan Jalu Paksl
telah jatuh pada orang yang tidak berhak. Aku yakin tua
bangka itu masih ada di tempat ini...," gumam Ratu
Malam lantas arahkan sepasang matanya ke semak
belukar di samping kirinya. Tiba-tiba nenek berjubah
merah menyala Ini berteriak lantang.
"Lantika! Aku tak perlu banyak bicara lagi. Keluarlah
dari tempatmu!"
"Heran. Siapa yang dimaksud dengan nenek Ini?
Adakah orang lain di sekitar tempat Ini?"
Ucapan lantang Ratu Malam tak mendapat jawaban
dengan munculnya seseorang, membuat si nenek
pelototkan sepasang matanya yang sipit. Lalu dengan
mainkan gumpalan tembakau di mulutnya, dia berteriak
lagi.
"Lantika! Lekas keluar atau...."
Semak belukar di samping kiri Ratu Malam bergoyang-
goyang. Lalu disusul dengan suara orang.
"Aku datang penuhi undangan. Tapi jangan sangkut-
pautkan aku dengan senjata yang raib dan tangan.

Urusan memang harus cepat dikupas agar segalanya
menjadi jelas...."
Suara orang belum selesai, enam langkah di samping
Ratu Malam telah tegak seorang kakek berambut putih
panjang yang mulutnya dibuka lebar-lebar.
Pendekar 131 membelalakkan mata. Laksana terbang,
murid Pendeta Sinting ini berkelebat ke samping, ke arah
di mana si kakek yang bukan lain Iblis Ompong adanya
berada.
Namun gerakan Joko Sableng tertahan, tubuhnya
tampak sedikit doyong ke depan dalam posisi seperti
orang hendak berkelebat. Murid Pendeta Sinting ini
rasakan desiran angin pelan. Anehnya, pada saat yang
sama satu kekuatan luar biasa menahan gerakannya,
hingga bukan saja dia gagal berkelebat namun tubuhnya
terdorong ke belakang dan kini tegak kembali seperti
semula.
"Tahan hawa marahmu, Bocah jelek! Kita bicara baik-
baik!"
Pendekar 131 kertakkan rahang sambil berpaling ke
arah Ratu Malam yang baru saja bicara. Terlihat Ratu
Malam kembungkan mulut seperti orang sedang meniup.
"Edan! Bagaimana mungkin tiupannya mampu
menghadang gerakanku? Atau karena tenagaku yang
belum pulih betul?!" kata Joko dalam hati, lalu lipat
gandakan tenaga dalamnya. Sekonyong-konyong murid
Pendeta Sinting melesat ke arah Iblis Ompong. Tapi
setengah jalan melesat, Ratu Malam gerakkan kedua
tangannya mendorong ke depan.
Satu gelombang angin menyambar pelan. Di lain kejap
sosok Pendekar 131 tampak terdorong keras ke
belakang dan terhuyung-huyung hendak roboh. Untung
Joko cepat dapat kuasai diri, jika tidak niscaya tubuhnya
akan terjengkang!
"Gila! Aku tak percaya!" desis Joko. Karena masih
penasaran, murid Pendeta Sinting Ini kerahkan segenap

tenaga dalamnya. Lalu tanpa berkata-kata lagi dia
berkelebat ke depan.
Ratu Malam terdengar mengomel panjang pendek.
Bersamaan dengan Itu kedua tangannya menyilang di
depan dada lalu didorong sambil meniup.
Wuussss! Wuusss!
Kali ini gerakan Pendekar 131 tampaknya tak bisa
dibendung. Meski Ratu Malam telah mendorong dan
meniup tapi sosok murid Pendeta Sinting ini terus
berkelebat.
"Sialan! Anak ini betul-betul geblekl" ujar Ratu Malam
dan hendak maju menghadang. Tapi di sampingnya Iblis
Ompong berbisik pelan.
"Sekar Mayang! Biarkan dia!"
"Tapi jangan bertindak yang bukan-bukan padanya!
Lihat. Hari sebentar lagi akan malam. Dan aku harus
tinggalkan tempat Ini dengan segera! Jika terjadi
sesuatu, aku...."
"Sudah! Aku tahu apa maksudmu!" potong Ibils
Ompong. Lalu kakek ini balikkan tubuh dengan kedua
tangan menyentak ke belakang saat mana kelebatan
tubuh Pendekar 131 sudah setengah tombak dari
tempatnya berdiri.
Mendadak sosok murid Pendeta Sinting tertahan di
udara. Mungkin merasa jengkel, Joko dorong kedua
tangannya ke arah Iblis Ompong. Iblis Ompong tidak
tinggal diam, seraya menekuk tubuhnya ke depan
sampai melipat dan kini dalam posisi menungging, kakek
Ini melompat ke belakang.
Bukk! Bukkk!
Kedua tangan Joko yang mendorong ke depan
menghantam pantat kiri kanan si kakek. Bersamaan
dengan itu dari mulut Joko terdengar seruan tertahan.
Lalu kedua tangannya tampak mental ke belakang.
Disusul kemudian dengan terdorongnya tubuh mencelat

sampai dua tombak. Terhuyung-huyung, murid Pendeta
Sinting mendarat kembali di mana tadi dia berdiri!
Di depan sana, Iblis Ompong tampak tersapu ke
depan dengan tubuh masih melipat menungging. Namun
kejap lain, si kakek buat gerakan melesat ke udara lalu
melayang turun dan tegak dua langkah di samping Ratu
Maiam dengan mulut terbuka lebar!
"Sekar Mayang! Lama tak jumpa bertatap muka.
Sepertinya kau tambah cantik hingga hampir aku salah
sangka. Bagaimana keadaanmu?l" bisik Iblis Ompong
dengan memanggli nama asli Ratu Malam.
Sekar Mayang alias Ratu Malam monyongkan
mulutnya ke depan. Tanpa menoleh dia berkata.
"Tak usah berbasa-basi memuji. Aku tahu apa maksud
tujuanmu keluarkan kata-kata pujian. Bukankah kau Ingin
mendekatiku lagi? Dasar laki-laki. Tidak bosan-bosannya
perdengarkan kata-kata puja-puji, meski orang yang
dipuji-puji sebenarnya mual! Hik... hik... hik...l"
Mendengar ucapan Ratu Malam, Iblis Ompong yang
bernama asli Lantlka ganti tertawa.
"Sekar Mayang! Dulu memang kuakui aku ingin
mendekatimu. Tapi sekarang?" Iblis Ompong tergelak -
gelak lagi sebelum melanjutkan. "Apa yang sedang
dipandang dari tubuhmu?"
"Tutup mulutmu, Lantlka!" hardik Ratu Malam, namun
meski nada suaranya keras menghardik, mulut nenek ini
tampak sunggingkan senyum.
"Hari sudah hampir berganti. Urusan Ini harus segera
selesai!"
"Hem.... Betul. Tapi apakah tugasmu telah kau
sampaikan?!" tanya Iblis Ompong.
"Tanya saja padanya!" jawab Ratu Malam seraya
arahkan pandangannya pada Joko yang sedari tadi diam
memperhatikan.
"Berarti dia mendustaiku. Dia bilang belum pernah
bertemu denganmu! Kurang ajar betul!"

"Sudah. Tak usah banyak clngcong. Bukankah selama
ini kita menunggu kedatangannya? Adalah satu
keberuntungan jika orang yang bertahun-tahun kita
tunggu akhirnya muncul tak terduga!"
"Orang-orang ini bicara urusan apa? Mereka
sepertinya sudah kenal akrab. Jangan-jangan keduanya
bersekongkol lalu...." Pendekar 131 maju satu tindak.
"Orang tua ompong! Harap serahkan kembali
pedangku!"
"Tadi sudah kubilang. Jangan sangkut-pautkan aku
dengan senjata yang lenyap hilang!"
"Lantika!" kata Ratu Malam. "Adalah aneh jika tiba-tiba
senjata Itu raib begitu saja. Padahal bukankah kau yang
membawanya ke sini?!"
"Membawanya ke sini benar. Tapi mengambil
senjatanya tidak benar!"
"Bagaimana bisa terjadi begitu?!" gumam Ratu Malam
seraya geleng-gelengkan kepalanya.
"Barangkali dia...," desis Iblis Ompong dengan
sepasang mata memandang jauh.
"Dia siapa?!" tanya Joko dengan suara agak keras.
"Dengar. Aku mengambil tubuhmu yang sudah dalam
keadaan tertotok dari seorang perempuan bercadar dan
berjubah hitam? Coba kau ingat-ingat! Bukankah
sewaktu terlibat bentrok dengan Ratu Pemikat tiba-tiba
muncul berkelebatseorang yang menyambar tubuhmu?!"
Murid Pendeta Sinting dongakkan kepala dengan dahi
mengeryit. Dia coba mengingat-ingat. "Benar. Waktu aku
melayang, aku merasakan seseorang menyambar
tubuhku. Sayang, aku tak bisa mengenalinyal Hem....
Urusan pedang ini akan makin ruwet...," batin Joko
dalam hati.
"Setan jelek! Benar apa yang diucapkan tua bangka
bau ini?!" tanya Ratu Malam setelah beberapa saat
saling diam.

"Aku memang merasakan seseorang menyambar
tubuhku. Tapi aku tak mengenali siapa adanya orang itu!"
"Hem.... Jika begitu sekarang jelas persoalannya. Dan
itu bagian dari tugasmu untuk mencari dan
mendapatkannya kembali. Sekarang ada persoalan lain
yang harus kita selesaikan!" Ratu Malam berpaling pada
Iblis Ompong. "Kau tunggu apalagi?! Apa barang Itu
akan kau simpan terus menerus?!"
"Persoalan apalagi ini?l" desis murid Pendeta Sinting
seraya menatap bergantian pada Ratu Malam dan Iblis
Ompong.
"Setan jelek! Kau masih ingat dengan keteranganku
tempo harl?l" tanya Ratu Malam.
"Keterangan? Keterangan apa?l"
"Edan! Bukankah aku telah cerita padamu urusan
penggalan peta itu? Hah?"
"Ah. Keterangan itu. Jelas aku masih ingat!"
"Bagusi Nyatanya kau anak manusia yang benar-
benar beruntung...."
"Nek. Dengan lenyapnya pedangku, kau masih
mengatakan aku beruntung?"
"Diam! Jangan berkata memotong ucapanku!" sentak
Ratu Malam. "Urusan hilangnya pedangmu bisa dicari,
apalagi orangnya meski belum jelas siapa adanya namun
sedikit banyak sudah ada gambaran. Tapi urusan yang
satu Ini, kalau tidak beruntung, sampai menungging
seumur-umur pun tak akan dapat!"
Habis berkata begitu, tangan kanan Ratu Malam
mengangsur ke arah Iblis Ompong membuat gerakan
seperti meminta. Pada saat yang sama, Iblis Ompong
masukkan tangannya ke balik pakaian. Kejap kemudian,
di tangan si kakek terlihat satu gulungan kulit berwarna
coklat. Gulungan itu segera diberikan pada Ratu Malam.
"Tak usah kukatakan, kau tentu bisa menerka sendiri!"
ujar Ratu Malam seraya sentakkan tangannya yang
memegang gulungan kulit.

Di depan sana, Pendekar 131 cepat maju dan
menyahut guiungan kulit yang melayang di udara.
"Ikuti terus petunjuk yang tertera!" kata Ratu Malam.
Lalu berpaling pada Iblis Ompong. "Sudah saatnya kita
tinggalkan tempat ini!"
Iblis Ompong tidak menyahut. Sebaliknya memandang
tajam ke arah Ratu Malam dengan mulut membuka
lebar-lebar. DI seberang, murid Pendeta Sinting sejenak
pandangi gulungan kulit yang kini ada di tangannya.
Dadanya sedikit berdebar. Lalu memandang ke depan.
Mendadak sepasang mata murid Pendeta Sinting Ini
terpentang besar tak berkesip. Bahkan untuk
meyakinkan, kedua tangannya diusap-usapkan ke bola
matanya, lalu dengan dijerengkan makin besar dia
menatap lagi ke depan.
"Gila! Aku yang salah lihat atau dia yang menipu
mataku?!"
Sementara di depan sana, Ratu Malam terdengar
bergumam tak karuan. Namun sejenak kemudian dia
rapikan rambutnya. Tenyata rambut nenek ini telah
berubah warna jadi hitam dan bergerai panjang sampai
punggung. Bukan hanya Itu saja. Raut wajahnya yang
tadi dibalut dengan kulit tipis dan pucat, kini berubah
menjadi putih dan padat. Sepasang matanya bulat tajam
dengan tangan lentik!
"Ompong!" seru Ratu Malam yang kini telah berubah
wujud menjadi seorang gadis muda cantik jelita.
"Aku tak bisa menunggumu lama-lama. Aku pergi
sekarang!" Habis berkata begitu, Ratu Malam putar tubuh
dan berkelebat tinggalkan tempat Itu.
"Ratu Malam! Tunggu...," teriak Iblis Ompong. Lalu
berpaling pada Pendekar 131 dan berkata.
"Kali ini keberuntungan tidak padamu. Karena ternyata
tua bangka ini yang dijamu. Ha... ha... ha...! Seandainya
kau tidak menolak perjodohan itu.... Tapi terlambat!"

Sambil terus tertawa, Iblis Ompong berkelebat
menyusul Ratu Malam.
"Busyet! Jadi nenek itu adalah Ratu Malam...," gumam
Joko seraya pandangi keperglan Iblis Ompong. "Dan Iblis
Ompong pasti salah satu saudara seperguruan Ratu
Malam yang pernah diceritakan padaku.... Ratu Malam.
Hem.... Siapa kira jika nenek-nenek itu adalah seorang
gadis muda cantik...."
Memang, Ratu Malam adalah seorang tokoh yang
tidak asing lagi bagi dunia persilatan. Selain berilmu
tinggi, tokoh Ini punya keanehan. Yakni jika malam telah
menjelang, maka wujudnya akan berubah menjadi
seorang gadis muda berparas cantik jelita. Karena itulah
kalangan rimba persilatan menggelarinya Ratu Malam.
-oo0dw0oo

EMPAT

SEPERTI dituturkan dalam episode: "Rahasia
Pulau Biru", setelah terjadinya bentrok antara
Iblis Ompong dan Dewi Siluman, tiba-tiba di
tempat mana Dewi Siluman berada muncul dua
orang gadis berparas cantik mengenakan jubah warna
kuning dan biru yang bukan lain adalah murid Dewi
Siluman sendiri yakni Wulandari dan Ayu Laksmi. Karena
yang muncul cuma dua muridnya, saat Itu juga Dewi
Siluman memerintahkah pada kedua muridnya untuk
mencari salah seorang lagi yang tidak muncul di tempat
itu, yakni Sitoresmi. Dan untuk mencari Sitoresmi, Dewi
Siluman memberi batas sampai malam hari.
Wuiandari dan Ayu Laksmi sudah berputar di tempat
mana tadi mereka bertiga berpisah. Bahkan keduanya
telah saling berpencar untuk mencari jajak Sitoresmi.
Namun hingga keduanya bertemu kembali, mereka
berdua gagal menemukan Sitoresmi.
Dua gadis berparas cantik murid Dewi Siluman ini
sama tegak di tempat masing-masing dengan keringat
membasahi sekujur tubuh. Si jubah kuning Wulandari
tiba-tiba mendongak melihat langit.
"Malam hampir tiba...," gumamnya dengan suara agak
bergetar. "Tapi Sitoresmi belum berhasil kita temukan.
Bagaimana sekarang? Apa kita temui Guru tanpa
Sitoresmi?!"
Si jubah biru Ayu Laksmi berpaling. "Kita hanya cari
celaka jika menemui Guru tanpa Sitoresmi! Sebaiknya
kita tunggu sampai besok pagi. Bukankah kita bertiga
telah membuat perjanjian untuk bertemu besok pagi?!"
"Tapi Guru memberi batas waktu sampai malam ini!"
ujar Wuiandari seraya menghela napas panjang dan
dalam. "Siaian! Ke mana perginya anak itu? Gara-gara
dia kita jadi tambah tugas!"

"Peduli setan dengan batas waktu. Kalau kita
memaksakan diri menemui Guru tanpa Sitoresmi malam
ini, kau tahu apa yang akan menimpa kita! Lebih baik kita
tunda sampai besok. Kita nanti bisa memberi alasan,
asalkan Sitoresmi sudah kita temukan!" kata Ayu Laksmi
lalu memandang berkeliling. Saat Itu perlahan-lahan
cuaca sudah mulai gelap.
"Kita cari tempat untuk istirahat!" sambung Ayu Laksmi
seraya hendak pergi.
"Tunggu!" tahan Wuiandari. Kepala gadis berjubah
kuning Ini berpaling ke arah timur. "Ada orang menuju
kemari!"
Ayu Laksmi ikuti arah pandangan Wulandarl. Dan dari
arah timur samar-samar terlihat sesosok tubuh berlari
kencang menuju ke arah keduanya.
Belum sampai kedua gadis ini ada yang buka mulut
kembali, tahu-tahu sepuluh langkah di hadapan mereka
berdua tegak seorang kakek bertubuh besar. Rambutnya
putih panjang disanggul tinggi ke atas. Wajahnya pucat
laksana tak berdarah. Sepasang matanya besar dan
hanya tampak putihnya saja, pertanda jika kakek ini buta.
Dia mengenakan pakaian gombrong besar warna hijau
hingga sekujur tubuhnya hampir tertutup. Pada
pinggangnya tampak sebuah ikat pinggang besar dari
kulit yang pangkalnya berupa cermin bundar. Anehnya,
begitu si kakek berada di tempat itu, suasana tempat itu
jadi terang benderang.
"Aneh...," bisik Wuiandarl setelah menahan rasa kejut.
"Baru saja tubuhnya jauh di sebeiah timur. Tapl kini tahu-
tahu sudah berada di sini...." Wulandari perhatikan sekali
lagi lebih seksama pada si kakek. "Cermin pada pangkal
ikat pinggangnya mampu membuat tempat ini terang
benderang, dan walau sepasang matanya buta, tapi
tampaknya dia tahu di hadapannya ada orang.... Hem....
Siapa orang tua ini?!" ujar Wulandari dalam hati, lalu
utarakan yang ada dalam hatinya pada Ayu Laksmi.

"Aku juga sulit mengenali siapa dia adanya! Tapi kalau
dia berbuat macam-macam aku tak segan-segan
membuat matanya buta dua kali!" bisik Ayu Laksmi.
Gadis Ini tampaknya sudah jengkel dengan tidak
ditemukannya Sitoresmi, hingga tatkala ada orang yang
tahu-tahu tegak di hadapannya, semua kejengkelannya
laksana hendak ditumpahkan.
"Hem.... Ternyata ada dua orang di hadapanku Ini.
Sahabat-sahabat cantik. Sudi tunjukkan padaku mana
arah yang menuju mata air?l" SI kakek tiba-tiba
keluarkan ucapan.
Wulandari dan Ayu Laksmi saling berpandangan.
Mereka sedikit terkesiap. Karena jarak antara mereka
dan si kakek cukup jauh dan ucapan keduanya juga amat
pelan, tapi si kakek tampaknya mengetahui, malah bisa
berkata jika kedua orang di hadapannya adalah dua
gadis berparas cantik.
"Orang tua!" teriak Wulandari. "Aku tak tahu mana
arah mata air. Dan ingat. Kami bukan sahabatmu!"
"Ah...I" si kakek terdengar keluarkan keluhan. "Maaf.
Jika begitu aku harus cari sendiri mata air itu. Padahal, di
sana ada seorang gadis cantik mengenakan jubah warna
merah...."
Habis berkata begitu, si kakek usap cermin pada
pangkal ikat pinggangnya yang tepat berada di depan
pusarnya. Bersamaan dengan itu, suasana kembali
gelap seperti sedia kala.
Wulandari dan Ayu Laksmi kali ini tak dapat
menyembunyikan lagi rasa kecut masing-masing.
Setelah diam sejurus, tiba-tiba Wulandari yang merasa
bahwa yang disebut-sebut si kakek adalah Sitoresmi,
segera melompat ke depan.
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya? Kulihat sepasang
matamu buta, tapi kau tahu siapa kami, lebih-lebih
sepertinya kau juga tahu bahwa kami sedang mencari
gadis berjubah merah!"

Si kakek tertawa panjang. Dua gadis di depannya
tampak tersentak, karena masing-masing gadis Ini
merasakan tanah di mana kini mereka berpijak bergetar!
Padahal suara tawa Itu hanya pelan saja!
"Eh, jadi kalian mencari gadis berjubah merah...?"
tanya si kakek setelah tawanya berhenti.
"Betul! Dan katakan di mana dia berada!" Kali ini yang
buka mulut adalah Ayu Laksmi.
"Sayang kita bukan sahabat. Lagi pula aku tak tahu di
mana temanmu itu berada.... Jadi harap maafkan orang
tua ini tak bisa jawab pertanyaanmu!"
"Aku yakin, orang Ini bukan orang sembarangan.
Bohong jika dia tak tahu di mana beradanya Sitoresmi.
Bukankah apa yang baru diucapkan tadi benar adanya?"
kata Wulandari dalam hati. Gadis berjubah kuning ini
lantas angkat bicara.
"Orang tua! Kalau kau tak mau jawab pertanyaan
kami, jangan harap kau bisa teruskan langkah!"
"Eh, bagaimana bisa begini?!"
"Itu urusanmu! Sekarang jawab atau langkahmu
sampai di sini!"
"Jadi kau memaksaku...?!"
"Terserah kau sebut apa. Yang jelas kau harus
menjawab!" sahut Wulandari dengan suara lantang.
"Baiklah...," ucap si kakek pada akhirnya sambil
menghela napas. Kepalanya didongakkan menghadap
langit. Sementara tangan kanannya mengusap-usap
cermin bulat yang ada di depan perutnya.
"Aku tak bisa menunjukkan di mana beradanya
temanmu itu. Hanya...."
"Orang tua! Aku ingin jawaban pasti!" potong
Wulandari. "Dan jangan coba-coba menjual bualan''
"Anak manusia cantik!" kata si kakek seraya hadapkan
wajahnya ke arah Wulandari. "Jawaban pasti hanya milik
Tuhan. Aku hanya bisa menduga. Tapi sebaiknya kau
dengar. Selama ini apa yang kuduga biasanya jarang

sekali meleset. Dan satu lagi, jangan kau memotong
kata-kataku sebelum aku selesai bicara!"
"Jahaman! Aku yang buat peraturan. Bukan kau!"
teriak Wulandari.
Si kakek tertawa perlahan. "Di sini tak ada yang
berhak bikin aturan. Atau barangkali kau tak mau dengar
ucapanku?!"
Wulandari jadi terdiam mendengar ucapan si kakek.
Sebenarnya gadis ini sudah geram, tapi karena memang
ingin tahu keberadaan Sitoresmi, terpaksa dia harus
menindih rasa geramnya. Sambil berpaling akhirnya dia
berkata.
"Baik. Lekas katakan apa yang kau ketahui tentang
temanku itu!"
"Seperti kukatakan tadi, aku tak bisa menunjukkan di
mana beradanya temanmu itu. Hanya saja sebentar lagi
dia akan sampai di tempat itu. Dan satu hal lagi. Meski
malam ini kalian punya janji dengan seseorang,
sebaiknya kalian urungkan. Karena orang itu tidak akan
datang di tempat perjanjian! Besok pagi adalah waktu
yang baik untuk menemuinya...."
Baik Wulandari maupun Ayu Laksmi tampak besarkan
mata masing-masing. Seperti diketahui, kedua gadis ini
memang punya janji malam Ini dengan gurunya Dewi
Siluman.
"Hem.... Orang tua ini benar-benar tepat
dugaannya...," gumam Wuiandari. "Tak ada salahnya jika
aku tanya tentang urusan yang kini kuemban. Siapa tahu
dia bisa membantu...."
Berpikir begitu, gadis berjubah kuning ini segera buka
mulut.
"Orang tua. Dugaanmu yang satu memang tepat.
Satunya lagi perlu dibuktikan. Bagaimana kalau aku
ajukan beberapa pertanyaan lagi?"
"Sebenarnya aku keberatan. Tapi untuk kali lnl,
baiklah! Apa yang hendak kau tanyakan?!"

"Saat ini rimba persilatan sedang ramai membicarakan
sebuah kitab sakti bernama Serat Biru. Apakah kitab itu
betul-betul ada? Lalu di mana kira-kira beradanya? Kalau
ada, kelak siapakah yang berhasll mendapatkannya?!"
"Wah. Pertanyaanmu banyak betul. Namun karena
aku sudah berjanji akan menjawab, terpaksa semua itu
akan kucoba mengatakannya padamu...." Sejenak si
kakek hentikan kata-katanya. Saat bersamaan, Ayu
Laksmi yang berada agak jauh segera berkelebat
menghampiri Wulandari.
Ayu Laksmi sepertinya hendak mengucapkan sesuatu.
Namun Wulandari cepat jarinya di tengah bibir.
Si kakek usap-usap cermin bundarnya sejurus. Lalu
hadapkan wajahnya ke depan seolah melihat dua gadis
cantik yang kini tegak dengan sepasang mata tak
berkedip memperhatikan. Kejap kemudian si kakek
arahkan wajahnya menghadap ke atas, lalu buka mulut.
"Aku menduga Kitab Serat Biru yang saat Ini ramai
dibicarakan kalangan orang-orang persilatan memang
benar-benar ada! Namun di mana beradanya, terus
terang aku hanya tahu nama tempatnya tanpa tahu di
mana tempat Itu!"
"Apa nama tempat itu?!" sahut Wuiandari.
"Pulau Biru...!"
"Hem.... Jadi apa yang diucapkan Guru betul!" desis
Wulandari. Lalu gadis berjubah kuning ini lanjutkan
pertanyaan.
"Siapakah kelak yang berhasil mendapatkannya?!"
"Seperti biasanya, meski kitab Itu sejak dulu hingga
kini diperebutkan banyak orang, namun pada akhirnya
hanya satu orang di kolong langit ini yang mendapatkan
dan mewarisinya. Apa kalian berdua punya niat untuk
memilikinya?"
"Menurut kabar yang tersiar. Kitab Serat Biru adalah
kitab sakti, raja di raja kitab. Adalah bohong jika orang

yang menamakan diri sebagai kalangan orang persilatan
tidak punya niat untuk memilikinya!"
"Mau dengar saranku, gadis-gadis cantik!" tanya si
kakek sambil hadapkan lagi wajahnya ke arah dua gadis
di hadapannya.
"Katakan. Namun aku tak bisa jamin akan turuti
saranmu!" kata Wulandari.
Si kakek tertawa pendek. Lalu usap-usap dagunya dan
berkata.
"Terserah kalian mau turuti apa tidak. Aku hanya
memberi saran. Siapa tahu kelak ucapanku bisa jadi
pertimbangan. Kalian masih muda...."
"Orang tua! Sepertinya kau merasa tahu tentang kami
lebih dari kami sendiri! Jangan bicara ke mana-mana.
Katakan saja apa yang perlu!"
"Urungkan niat kalian memburu kitab itu! Aku melihat
dua penghalang di depan kalian...." Akhirnya si kakek
berkata setelah agak lama terdiam.
Wulandari melirik pada Ayu Laksmi. Saat itu Ayu
Laksmi sendiri sedang melirik pada Wulandari.
"Orang ini membual atau sengaja menghalang-halangi
langkah kita?" bisik Wulandari.
"Aku tak bisa menebak dengan pasti. Tapi apa
perlunya menuruti omongan orang. Dia baru saja kita
kenal, dan kita belum tahu pasti siapa dia sebenarnya!
Jangan-jangan orang ini sengaja menghalangi niat kita
agar orang lain leluasa mendapatkan kitab Itu!" ujar Ayu
Laksmi.
"Hem.... Tapi tak ada jeleknya kita tanya apa halangan
itu. Dengan demikian setidaknya kita nanti bisa
menghindari atau sekaligus menyingkirkannya!" kata
Wulandari. Lalu tanpa menunggu persetujuan dari Ayu
Laksmi gadis berjubah kuning Ini berucap.
"Orang tua! Kalau mulutmu tidak membual, coba
katakan apa halangan itu!"
Si kakek manggut-manggutsebelum akhirnya berkata.

"Pertama. Menurut mata batinku, kelak si pewaris itu
adalah seorang laki-laki. Kedua, justru laki-laki itu yang
membuat kalian terpecah...."
Wajah kedua gadis di hadapan si kakek berubah agak
tegang. Tanpa sadar keduanya saling bentrok pandang
saat sama berpaling. Mulut sama terkancing dengan
sikap jelas membayangkan hati yang gelisah. Tapi
Wulandari segera memecah ketegangan dengan buka
mulut.
"Orang tua! Kau jangan bicara yang bukan-bukan!
Mana mungkin kami bisa terpecah hanya gara-gara
seorang laki-laki? Persaudaraan bagi kami adalah nomor
satu. Itu sudah jadi ikrar kami bertiga!"
Si kakek perdengarkan tawa panjang. "Cinta datang
tanpa diundang. Sekali datang, tak ada yang bisa
menghadang. Jangankan badai gelombang, hingga
nyawa melayang dia akan tetap menerjang. Cinta datang
membawa lupa dan buta. Jangankan ikrar kata, derajat
dan harta dipandangnya sebelah mata...."
Mendengar ucapan si kakek, Wulandarl ganti tertawa.
"Orang tua. Kau bukan saja pandai bicara membual, tapi
juga pintar urusan cinta!"
"Kita ini hidup. Dalam hidup, siapa pun dia adanya
pasti memiliki rasa cinta. Kalau saat ini kalian belum
merasakan, mungkin belum tiba saatnya. Dan satu hal
lagi, cinta seringkali butuh pengorbanan. Nah, di sinilah
kelak kalian harus tentukan pilihan. Rela berkorban untuk
cinta atau...."
"Orang tua! Omonganmu sudah ngelantur! Kami tak
butuh korban untuk cinta. Silakan orang lupa dan buta
karena cinta, tapi bagi kami...."
"Anak gadis!" Kali ini ganti si kakek yang memotong
ucapan Wulandari.
"Tadi kukatakan, cinta datang tanpa diundang, berarti
kita belum tahu kapan datangnya. Dan karena kalian
belum merasakan maka kalian dapat bicara apa saja.


Tapi aku yakin, kalian akan lupa pada ucapan kalian
sendiri jika la telah melanda hati kalian. Silakan percaya
apa tidak. Kelak kalian sendiri akan membuktikannya...."
Habis berkata begitu, si kakek hadapkan wajahnya ke
atas.
"Ah. Rupanya kita telah banyak bicara. Aku harus
pergi.... Aku tak mau ganggu urusan pertemuan kalian
dengan gadis yang kalian cari...."
Si kakek lalu melangkah dengan kepala tetap
menengadah menghadap langit.
"Tunggu!" tahan Ayu Laksmi, membuat si kakek
hentikan langkah.
"Katakan siapa kau sebenarnya? Dan hendak ke mana
kau pergi?!"
Tetap dengan mendongak si kakek buka mulut
memberi jawaban.
"Kadang-kadang orang memanggil tua bangka Ini
Gendeng Panuntun. Namun jangan salah sangka, meski
aku gendeng tapi banyak orang yang perlu tuntunan
dariku. Ha ha ha...! Dan karena aku biasa berjalan tanpa
tujuan, maka aku tak bisa katakan ke mana aku hendak
pergi. Tapi jangan salah tangkap, meskipun aku jalan
tanpa tujuan, namun pasti punya maksud! Ha... ha...
ha...!"
Masih tetap tertawa dan menengadah, si kakek
lanjutkan langkah. Bersamaan dengan itu dari perutnya
di mana cermin bulat berada, tampak cahaya cemerlang
menyorot. Seakan bisa melihat, si kakek melangkah
menuruti cahaya yang keluar dari cerminnya.
Meski terlihat melangkah pelan, tapi dalam waktu
sekejap sosok si kakek sudah berada jauh dari tempat di
mana Wulandari dan Ayu Laksmi berada. Bahkan kejap
kemudian, kedua gadis murid Dewi Siluman ini hanya
mendengar suara tawa dan kilatan cahaya tanpa
terlihatnya sosok si kakek!

"Untuk apa pikirkan omongan orang gendengl" gumam
Ayu Laksmi saat dilihatnya Wulandari tegak dengan
sikap gelisah dan memandang jauh dengan sorot mata
kosong.
"Tapi ucapan-ucapannya sepertinya benar!" sahut si
jubah kuning Wulandari tanpa menoleh.
Ayu Laksmi tertawa bergelak msndengar ucapan
Wulandarl.
"Rupanya kau tergoda dengan kata-kata Tua bangka
itu. Padahal dugaannya belum kita buktikan
kebenarannya!"
"Dugaannya tentang pertemuan dan janji kita malam
ini dengan Guru tepat!"
"Itu mungkin satu kebetulan belaka! Perlu waktu untuk
pembuktian selanjutnya. Kalau benar...."
Ayu Laksmi putuskan ucapannya. Lalu sentakkan
kepalanya ke samping. Demikian pula halnya dengan
Wulandari.
"Gemerisik itu pasti bukan ulah binatang. Ada orang di
sekitar tempat Ini...," bisik Wuiandarl saat telinganya
mendengar gemerislk semak-belukar tidak jauh dari
tempatnya berdiri. Ayu Laksmi anggukkan kepala dan
cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Belum sampai ada yang membuat gerakan, semak
belukar di samping kedua gadis ini bergerak menguak.
Lalu muncullah sesosok tubuh!
Wulandari dan Ayu Laksmi sama-sama pentangkan
mata masing-masing memandang tak berkesip pada
sosok yang kini melangkah ke arah mereka. Ternyata
sosok ini adaiah seorang gadis berwajah cantik
mengenakan jubah merah!
"Sitoresmi...!" gumam Wulandari.
-oo0dw0oo

LIMA

SEAKAN tak percaya, laksana terbang Wulandari
dan Ayu Laksmi segera melompat. Berdiri tegak
tiga langkah di hadapan sosok gadis berjubah
merah yang bukan lain Sitoresmi adanya dengan mata
perhatikan dari atas sampai bawah.
Merasa jengah dipandangi begitu rupa, Sitoresmi
balas memandang dengan tatapan melotot dan segera
buka mulut menegur.
"Kenapa kalian memandang demikian padaku? Apa
yang salah?!"
Wulandari dan Ayu Laksmi tak segera memberi
jawaban. Sebaliknya kedua gadis ini saling pandang.
"Ucapan orang tua itu ternyata terbukti...," desis
Wuiandari. Diam-diam perasaan gadis berjubah kuning
ini menjadi tak enak dan tampak bimbang. Hatinya pun
lantas berkata. "Apakah dugaan orang tua itu akan apa
yang hendak menghadang perburuan ini juga akan
menjadi kenyataan? Akankah seorang laki-laki akhirnya
hendak memisahkan kami? Mungkinkah kami harus
berhadapan dengan pilihan yang meminta
pengorbanan?"
Ternyata bukan hanya Wulandari yang dilanda gelisah
dengan berbagai pertanyaan. Diam-diam pula Ayu
Laksmi membatin.
"Dugaan Gendeng Panuntun tentang janji pertemuan
dengan Guru mungkin saja bisa satu kebetulan. Tapi
kalau tepatnya dugaan tentang datangnya Sitoresmi, Ini
sudah bukan lagi kebetulan! Hem.... Apakah dugaannya
tentang apa yang akan terjadi betul-betul akan terbukti?
Siapa laki-laki yang dikatakannya Itu?"
Karena sama-sama tenggelam dengan pikiran masing-
masing, membuat kedua gadis ini belum juga memberi
jawaban pada Sitoresmi. Sltoresmi makin tak enak. Dia
sepertinya salah tingkah.

"Apa pun yang akan terjadi, aku sudah bulat. Kalau
mereka tak mau mengerti, apa hendak dikata. Aku tak
hendak surutkan langkah...," kata Sitoresmi dalam hati.
Lalu dengan suara agak keras dia berkata.
"Kalian diam tak jawab tanyaku. Aku bukannya
lancang bicara. Tapi aku menangkap perubahan pada
kalian! Hem.... Malam ini memang belum saatnya kita
bertemu. Aku harus pergi dulu. Besok pagi kita bertemu
di tempat yang kita tentukan!"
Sitoresmi segera putar diri dan melangkah
meninggalkan tempat Itu. Namun langkah gadis berjubah
merah ini tertahan saat didengarnya satu suara
menahan.
"Sitoresmi! Tunggu!"
Meski tak ucapkan sepatah kata, namun Sitoresmi
hentikan langkah. Dia tegak menunggu tanpa berpaling.
"Malam ini Guru menunggu kita! Aku dan Ayu Laksmi
diberi perintah mencarimu dan ditunggu malam ini juga!"
Wajah Sitoresmi tampak berubah tegang. Dahinya
mengernyit. Sepasang matanya tiba-tiba memejam rapat
dengan bibir saling mengigit. Untuk sesaat gadis ini coba
menahan guncangan pada tubuh dan dadanya.
"Apakah aku harus menemui Guru? Bagaimana kalau
dia.... Ah, ini sudah resiko yang harus kutanggung...,"
bisik Sitoresml dalam hati. Tanpa menoleh ia berkata
"Apakah Guru ikut serta turun tangan dalam urusan ini?
Dan untuk apa kita menemuinya?!"
"Turun tangan atau tidak bukan hal penting yang harus
kita ketahui. Kita juga tak usah pikir untuk apa
menemuinya. Ini perintah!" ucap Wulandari dengan suara
tak kalah keras. Gadis ini yang sedari tadi telah menindih
rasa jengkel karena harus mencari Sitoresmi sepertinya
sudah tak sabar. Namun dia masih mencoba menahan
rasa jengkelnya.

"Baiklah. Kita temui Guru sekarang juga!" kata
Sitoresmi pada akhirnya, lalu balikkan tubuh menghadap
Wulandari dan Ayu Laksmi.
"Tapi menurut dugaan orang tua itu, kita tak akan
bertemu dengan Guru. Apa tidak sebaiknya kita tunda
dulu sampai besok pagi?" kata Ayu Laksmi dengan suara
perlahan seraya berpaling pada Wulandari.
Wulandari tertawa. "Nyatanya kau juga terpengaruh
dengan ucapan orang tua itu...."
"Dua hal yang dikatakannya tepat. Ini sudah bukan
sebuah kebetulan lagi."
"Ucapanmu benar. Tapi yang kita hadapi lain. Bertemu
atau tidak kita ke sana sekarang! Kita tunggu dia di
tempat yang ditentukan!" ujar Wulandari.
"Hem....Dari tadi kailan berdua menyebut-nyebut orang
tua. Siapa yang kalian maksud?" tanya Sitoresmi.
"Seorang pembual yang kami temui di tempat Ini
beberapa saat yang lalu. Kita berangkat sekarang!" kata
Wulandari lalu berkelebat mendahului.
Sitoresmi segera mendekati Ayu Laksmi, lalu menjajari
gadis berjubah biru ini dan berbisik.
"Kukira yang kalian temui bukan seorang pembual.
Bisa katakan padaku siapa sebenarnya orang-tua yang
kalian bicarakan tadi?"
Sambil berkelebat menyusul Wulandari, Ayu Laksmi
berkata.
"Dia mengaku bernama Gendeng Panuntun.
Menurutku dia bukan seorang pembual!"
"Pasti kau punya alasan...."
"Apa yang diucapkan tepat dan terbukti!"
Sitoresmi memegang lengan Ayu Laksmi seraya terus
mengikuti Wulandari.
"Apa saja yang dikatakan orang tua itu?l" Tanya
Sitoresmi.
"Tentang janji kami yang hendak menemui Guru
malam ini. Lalu soal kedatanganmu yang kami cari-cari!

Juga tentang pertemuan malam ini dengan Guru. Tapi
dalam hal Ini, dia mengatakan, kita tak akan
menemuinya malam Ini. Kita buktikan nanti apakah
ucapan orang tua itu terbukti...."
"Tak ada lagi yang dikatakannya selain itu?"
"Hem.... Ada. Namun terus terang dalam soal yang
terakhir ini aku masih sangsi...."
"Soal apa itu?!"
"Soal pemburuan kita dan masa depan kita bertiga!"
"Apa yang diucapkannya?!"
"Dia menyarankan agar kita tidak meneruskan
pemburuan ini, karena kelak sang pewaris Kitab Serat
Biru adalah seorang laki-laki. Dan yang lebih tidak
mengenakkan, dia bilang justru seorang laki-laki itu kelak
yang akan memisahkan kita bertiga!"
Perubahan tampak di raut wajah Sitoresmi. Entah
kenapa gadis ini tiba-tiba dilanda perasaan tak enak.
Dadanya berdebar, kedua tangannya bergetar.
"Kenapa tanganmu bergetar, Sitoresmi?" tanya Ayu
Laksmi sambil melirik. "Apa yang ada dalam benakmu?!"
Sitoresmi menggeleng perlahan. "Kau percaya dengan
itu semua?" dia balik ajukan tanya pada Ayu Laksmi.
Ayu Laksmi tertawa pelan. "Untuk tiga hal yang
pertama, mungkin aku bisa menerima. Tapi untuk soal
yang terakhir, kukira orang tua itu sudah terlalu jauh
bicara...."
Di depan sana, mendadak Wulandarl hentikan larinya.
Kepala gadis ini bergerak berputar berkeliling. Sepasang
matanya membesar tak berkedip.
"Dia belum datang...," katanya setelah Ayu Laksmi dan
Sitoresmi tegak di sampingnya. "Kita tunggu sebentar...!"
Beberapa saat berlalu. Namun orang yang ditunggu
belum juga tampak. Ketiga gadis ini sudah terlihat agak
gelisah. Malah Wulandari tampak berjalan mondar-
mandir dengan sesekali memandang ke arah Sitoresmi

dan Ayu Laksmi. Entah karena tak sabar, akhirnya
Wuiandarl berkata.
"Bagaimana sekarang?!"
"Ucapan orang tua itu kali ini terbukti lagi. Hem.... Kita
sudah terlanjur di tempat Ini. Terpaksa kita cari tempat
istirahat di sini!" sahut Ayu Laksmi seraya menoleh pada
Sitoresmi.
"Benar. Lagi pula malam masih panjang. Siapa tahu
Guru akan datang tengah malam nanti...," ujar Sitoresmi
menyahut.
Tak lama kemudian, ketiga gadis ini sama mencari
tempat untuk istirahat. Tapi meski ketiganya sudah sama
rebahkan diri dan mata sama terpejam, sebenarnya
dalam hati masing-masing gadis ini sama dibuncah
berbagal hal. Dan yang tampak paling gundah adalah
Sitoresmi. Sesekali gadis berjubah merah ini buka
kelopak matanya dan memandang pada dua saudara
seperguruannya.
"Cerita Ayu Laksmi tadi, apakah benar-benar akan
terjadi...? Ah.... Kenapa hatiku jadi berdebar-debar tak
karuan? Dan wajah itu, kenapa tak bisa lepas dari
mataku?"
-oo0dw0oo-
Sitoresmi tak sadar sampai berapa lama dia gundah
sendiri malam Itu. la baru buka kelopak matanya lebar-
lebar tatkala telinganya menangkap suara gemeretak
sayup-sayup di kejauhan. Sejurus dia menatap pada
Wulandari dan Ayu Laksmi yang rebah tak jauh dari
tempatnya. Lalu bangkit duduk dan memandang ke arah
sumber suara gemeretakan. Saat itu langit di sebelah
timur tampak terang kekuningan, pertanda tak lama lagi
sang mentari akan unjuk diri menggantikan malam.
Suara gemeretak makin lama makin dekat, dan tak
berselang lama, dari tempatnya berada, Sitoresmi
melihat sebuah kereta yang di bagian depannya tampak
seorang laki-laki berjubah hitam duduk di bangku kusir.

Sejenak wajah Sitoresmi berubah. Dadanya makin
berdebar. Buru-buru gadis ini berseru pada Wulandari
dan Ayu Laksmi.
"Guru datang!"
Wulandari dan Ayu Laksmi cepat-cepat bergerak
bangkit. Kini ketiganya tegak berdiri menyongsong kereta
yang terus berderak menghampiri ke arah mereka.
Sejarak tiga tombak dari hadapan ketiga gadis ini, di
depan sana mendadak sang kusir kereta menarik tali
kekang kuda keretanya. Terdengar suara kaki ladam
kuda menggeru tanah. Serta-merta binatang penarik
kereta Itu hentikan larinya. Sejurus terlihat tanah lembab
muncrat setengah tombak ke udara. Lalu satu bayangan
hitam berkelebat. Dan tahu-tahu tiga langkah di hadapan
para gadis tadi tegak berdiri seorang kakek berjubah
hitam besar dan panjang dengan rambut putih dan
disanggul ke atas. Paras wajahnya pucat keriput.
Sepasang matanya besar. Kedua tangannya tampak
dimasukkan ke dalam saku kedua jubahnya.
"Kl Buyut Pagar Alam...," seru ketiga gadis lalu sama
menjura.
Si kakek berjubah hitam besar dan panjang yang
kedua tangannya masuk ke dalam saku yang dikenal
sebagai paman sekaligus pendamping utama Dewi
Siluman perdengarkan gumaman dengan mata
memandang bergantian ke arah tiga gadis di
hadapannya.
Si kakek yang dipanggil dengan Kl Buyut Pagar Alam
tengadah, lalu terdengar ucapannya.
"Apakah kalian bertiga sudah lama menanti?"
"Kami belum begitu lama di tempat ini, Kl Buyut,"
jawab Wulandari.
"Dan kalaupun Guru tidak datang hari ini, kami akan
tetap di sini menunggu...," sambung Sitoresml.
Ki Buyut Pagar Alam sunggingkan senyum, tapi cuma
sekejap. Masih dengan mendongak, si kakek ini berkata.

"Bagaimana keadaanmu Sitoresmi?!"
Untuk sesaat raut Sitoresmi berubah sedikit tegang.
Namun kejap kemudian gadis berjubah merah ini
tersenyum sambil berkata menjawab.
"Aku baik-baik saja, Ki Buyut. Hanya beberapa saat
kemarin aku menemui halangan, hingga tak sempat
bertemu dengan Guru. Lagi pula kami bertiga telah
sepakat untuk bertemu pagi ini...."
"Hem.... Aku gembira mendengar keteranganmu.
Terus terang aku dan gurumu sangat cemas dengan
ketidakhadiranmu kemarin siang. Karena kusirap telah
banyak orang-orang muncul di sekitar tempat Ini. Dan
kemunculan mereka pasti punya maksud yang sama
dengan kita!"
Beberapa saat suasana di tempat itu sunyi, karena
keempat orang itu tidak ada yang buka mulut. Namun tak
berapa lama kemudian, Ki Buyut Pagar Alam memecah
kesunyian dengan berucap.
"Guru kalian Dewi Siluman hari ini tak bisa menemui
kalian, karena ada sesuatu yang harus dikerjakan. Hanya
dia berpesan agar kalian teruskan perjalanan menuju
arah selatan. Tujuh hari di depan, kalian ditunggu di
sebuah kanal yang menuju arah laut selatan! Tapi harus
diingat, meski kailan menuju arah selatan, tapi kalian
harus berpencar. Dan beri tanda seperti biasa jika salah
satu di antara kalian ada yang mengalami kesulitan! Ada
yang ingin utarakan sesuatu?!"
"Berarti jarak di antara kami bertiga harus tidak terlalu
jauh. Begitu?" Wulandari ajukan tanya.
"Itu bisa kalian atur. Yang penting jika salah satu di
antara kalian memberi tanda, lainnya dapat menangkap
tanda itu!" jawab Ki Buyut.
"Dan yang juga perlu kalian perhatikan, kailan harus
lebih waspada. Orang yang kini banyak muncul, rata-rata
punya kepandaian yang tidak bisa dipandang remeh.
Jangan liat orang dari segi pakaian atau ucapannya!

Justru di balik pakaian rombeng dan ucapan yang seperti
orang gila kadang tersimpan kekuatan luar biasa! Kalian
dengar?!"
Ketiga gadis di hadapan Ki Buyut Pagar Alam sama
anggukkan kepala.
"Satu hal lagi. Singkirkan setiap orang yang punya
maksud searah dengan perjalanan kalian! Siapa saja.
Jangan pandang bulu!" sambung Ki Buyut. Kakek Ini
lantas putar tubuh, dan sekali bergerak, tubuhnya
melesat. Kejap lain sosoknya telah tegak di atas kereta.
Ketiga gadis saling pandang sejurus. Lalu sama
anggukkan kepala memberi isyarat. Sitoresmi yang
membuat gerakan terlebih dahulu dengan melesat ke
arah selatan. Lalu disusul dengan Ayu Laksmi yang juga
berkelebat ke arah selatan namun mengambil jarak kira-
kira enam tombak dari arah yang diambil Sitoresmi. Yang
terakhir berkelebat adalah Wulandari. Tapi tiba-tiba gadis
ini tercengang sendiri. Meski dia telah kerahkan tenaga
namun sepertinya ada satu kekuatan luar biasa yang
menahan gerakannya.
"Gila! Pasti ada orang yang berbuat kurang ajar!"
teriak Wulandari dalam hati, lalu kerahkan tenaga dalam
sekali lagi. Namun sia-sia.
Selagi sadis berjubah kuning ini memaki sendiri, tiba-
tiba terdengar orang tertawa. Wulandari cepat berpaiing.
Di depan sana, di atas kereta tampak Ki Buyut Pagar
Alam arahkan wajah ke jurusan lain dengan mulut
terbuka tertawa.
"Apa maksud orang tua itu menahan gerakanku?!"
desis Wulandari. Gadis ini sudah buka mulut untuk
berucap. Namun suaranya belum terdengar, Ki Buyut
Pagar Alam telah putuskan tawanya. Kedua tangannya
yang mengepal di dalam saku dibuka perlahan-lahan.
Lalu mulutnya terbuka.
"Wulandari! Kemarilah...."

Sejurus Wulandari tampak bimbang. Di atas kereta Ki
Buyut keluarkan tangan kanannya dari saku jubahnya.
Lalu tangan itu membuat gerakan melambai seperti
orang memanggil.
Wulandari merasakan ada satu kekuatan dahsyat
mendorong tubuhnya dari belakang. Dan belum sempat
mengetahui apa yang terjadi menimpa dirinya, sosok
Wulandari perlahan-lahan bergerak maju ke arah kereta!
Empat langkah lagi sampai, tiba-tiba Ki Buyut hentikan
lambaian tangannya dan dimasukkan kembali ke dalam
saku jubahnya. Pada saat bersamaan, sosok Wulandari
terhenti.
"Wulandari! Kau mendapat tugas khusus dari gurumu.
Kau diperintahkan berjalan membuntuti Sitoresmi!"
"Ki Buyut...."
"Kau tak usah tanya mengapa. Ini pesan Dewi
Siluman! Jika kepergok, kau cari sendiri alasannya! Nah.
Berangkatlah!" tukas Ki Buyut Pagar Alam.
Meski dalam hati masih disarati berbagai tanya, tapi
Wulandari tak bisa berbuat banyak. Karena begitu
selesai bicara Ki Buyut Pagar Alam segera tarik tali
kekang kereta. Anehnya, bukan kedua tangannya yang
menghentak tali kekang Itu, melainkan mulutnya! Dan
meski tali kekang yang ada di mulutnya itu hanya ditarik
pelan, kuda kereta itu tersentak dan perdengarkan suara
ringkikan keras. Kedua kaki depannya terangkat tinggi.
Lalu sekali Ki Buyut tarik kepalanya, sang kuda berputar
dan berderak cepat meninggalkan tempat itu.
Untuk beberapa saat Wulandari pandangi punggung
kereta. Dan masih dengan benak dipenuhi tanda tanya,
Wulandari balikkan tubuh lalu berkelebat mengambil arah
sejalan dengan arah Sitoresmi.
-oo0dw0oo

ENAM

PENDEKAR Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
sandarkan tubuh pada sebatang pohon. Lalu
tangan kirinya bergerak ke atas. Jari
kelingkingnya dimasukkan ke lobang telinganya,
hingga tak lama kemudian dia tampak meringis sendiri
seraya berjingkat. Sejurus tangan kanannya bergerak
pula ke balik pakaiannya. Mengeluarkan dua gulungan
kulit berwarna coklat lusuh. Perlahan-lahan tubuhnya
melorot. Dua gulungan kulit diletakkan di atas tanah. Lalu
dibuka satu persatu dan dijajar bersambung.
"Hem.... Peta kedua ini berakhir tak jauh dari tempat
ini...," desisnya iaiu menggulung kembali gulungan kulit
dan dimasukkan ke balik pakaiannya. Sepasang
matanya memandang ke depan.
"Urusan peta belum ada ujung pangkalnya tapi
pedangku telah lenyap disambar orang. Hem....
Perempuan bercadar dan berjubah hitam. Hanya itu
tanda yang kuketahui tentang orang yang mengambil
pedangku. Apa aku harus mencari orang itu dahulu atau
teruskan perjalanan gila ini?"
Murid Pendeta Sinting itu untuk beberapa saat dilanda
kebingungan tentukan keputusan.
"Ah. Benar kata Ratu Maiam. Orang yang mengambil
pedangku sudah ada gambaran. Sedangkan urusan
Kitab Serat Biru harus diselesaikan dengan cepat,
karena telah banyak orang yang muncul. Terlambat
sedikit kitab itu tidak mustahil akan didahului orang iain.
Dan dunia persilatan akan geger dan kiamat jika orang
itu dari golongan orang yang tidak bertanggung jawab.
Sebaiknya aku teruskan perjala nan ini. Tidak tertutup
kemungkinan perempuan bercadar dan berjubah hitam
itu juga sedang memburu Kitab Serat Biru. Siapa tahu
aku berjumpa dengannya...."

Berpikir sampai di situ, murid Pendeta Sinting ini
bangkit. Memandang ke arah selatan seperti yang tertera
dalam peta, lalu melangkah cepat.
Hanya beberapa saat berlari, tiba-tiba Joko hentikan
langkah. Pada sebuah batu besar, tempak seorang laki-
laki duduk ongkang-ongkang kaki. Joko hanya bisa
melihat rambut putih yang menggerai di punggung orang.
Karena orang yang duduk itu membelakangi.
"Meski sikapnya acuh, sepertinya dia bukan tak
sengaja duduk di situ. Siapa orang ini? Tapi tak perlu
diladeni...," putus Joko. Lalu teruskan langkah berjalan di
belakang orang.
Sampai batu di mana orang duduk terlewati, tak
terdengar orang buka mulut. Hingga Joko teruskan
langkah tanpa memandang. Namun baru beberapa
langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa.
Tanpa berpaling, Joko telah tahu siapa adanya orang
yang perdengarkan tawa. Dia hentikan langkah. Suara
tawa kian keras melengking, membuat murid Pendeta
Sinting harus kerahkan tenaga dalam pada telinga untuk
menutup suara yang masuk.
Tiba-tiba suara tawa diputus laksana disambar setan.
Lalu terdengar suara orang bicara.
"Setengah jalan sudah dikayuh. Namun setengahnya
lagi masih harus ditempuh. Makin tinggi pohon dipanjat.
Makin kencang angin menghujat. Makin dalam lobang
digali, makin gelap yang terpandangi. Tapi takdir sudah
terpentang, tak pantas putus asa berpatah arang!"
Joko Sableng terkesiap mendengar ucapan orang. Cepat
dia putar diri dengan mata lurus memandang ke arah
orang yang duduk di atas batu. Karena dari arah
samping, Joko tak bisa mengenali dengan jelas raut
wajah orang. Yang terlihat hanya sebagian wajahnya
sebelah kanan yang putih berkilat. Dan sekali lihat, Joko
telah bisa menebak jika arang itu menggunakan penutup
wajah untuk menyembunyikan wajah aslinya.

"Wajahnya beda. Tapi suaranya kukenal betul! Apakah
memang dia?!" Joko melangkah mendekat.
"Berbalik dan teruskan langkah berjalan. Sedikit
terlambat gerak akan tertahan. Di depan orang telah
menunggu. Jangan sia-siakan dengan diam termangu."
Habis ucapkan kata-kata orang yang duduk ongkang-
ongkang kaki di atas batu membuat gerakan dengan
Jejakkan sepasang kakinya ke batu yang diduduki.
Bersamaan dengan itu tubuhnya berkelebat melesat ke
depan. Batu yang tadi diduduki bergetar sesaat, lalu
bergerak menggelinding ke arah Joko!
Dengan menggerendeng panjang pendek, murid
Pendeta Sinting melompat ke samping hindarkan diri.
Begitu memandang ke depan, dia sudah tak melihat
siapa-siapa lagi! Orang yang baru saja berkelebat lenyap
laksana ditelan bumi.
Sambil geleng-geleng kepala Pendekar 131 balikkan
tubuh.
"Orang aneh. Tapi kata-katanya mengandung kaitan
dengan apa yang sedang kulakukan. Hem…Di depan
orang sudah menunggu. Aku yang ditunggu?!”
Tanpa pikir panjang lagi, murid Pendeta Sinting segera
berkelebat teruskan langkah ke arah selatan. Kira-kira
seratus tombak, samar-samar sepasang matanya
menangkap adanya sesosok tubuh yang berjalan pelan
di depan sana.
"Hem.... Mungkin orang ini yang dimaksud...," gumam
Joko Ialu percepat larinya. Namun Joko jadi terkesiap
sendiri. Meski dia telah berusaha kerahkan segenap ilmu
peringan tubuh, dan di depan sana si orang berjalan
pelan, tapi Joko mengalami kesulitan untuk
mempersempit jarak! Malah pada suatu tempat, orang
yang dikejar tak tampak lagi sosoknya.
"Ke mana lenyapnya orang itu! Baru saja kulihat, tapi
sekarang sudah tak tampak!"

Joko mengawasi berkeliling. Namun sampai matanya
pedas berpeluh, orang yang dicari tak juga ditemukan.
"Ah. Untuk apa buang waktu mencari orang yang
belum jelas sangkut-pautnya?" Joko putar diri lalu
teruskan langkah ke arah selatan.
Baru beberapa tombak, tiba-tiba terdengar suara
orang bersenandung tak jelas. Lalu tampak cahaya
berkilat-kilat memantul. Karena suara Itu datangnya dari
arah belakang, Joko cepat balikkan tubuh.
Di depan sana, tampak seorang kakek berjalan pelan
dengan kepala mendongak. Dia mengenakan pakaian
gombrong warna hijau. Rambutnya disanggul ke atas
tinggi. Dari perut orang ini tampak keluar cahaya
pantulan matahari.
Anehnya, meski Joko tegak menunggu dengan mata
tak berkesip memperhatikan, sementara orang tua itu
berjalan ke arahnya, namun jarak antara keduanya tak
juga jadi dekat!
"Waduh. Orang ini hantu atau manusia biasa? Kalau
hantu kenapa siang-siang begini berkeliaran. Kalau
manusia kenapa memiliki keunikan demikian?!"
Karena ditunggu agak lama. kakek bertubuh gemuk
besar mengenakan pakaian hijau tak juga mendekat
meski tampak melangkah ke arahnya, murid Pendeta
Sinting segera berkelebat ke depan. Empat langkah di
depan orang, Joko berhenti. Sepasapg matanya di
pentang besar mengawasi orang dengan tak berkesip.
Mendadak kakek bertubuh besar luruskan kepalanya.
Sepasang matanya bolak-balik mengerjap. Ternyata
mata itu hanya kelihatan putihnya seja, menandakan jika
orang Itu buta.
"Mengapa kau mengikuti, Bocah?!" Tiba-tiba kakek
bertubuh besar perdengarkan teguran.
Joko terkesiap. Sambil gelengkan kepala diam-diam
dia membatin.

"Matanya buta, bagaimana dia tahu ku ikuti? Akan
kucoba, apakah dia benar-benar tahu meski matanya
buta!" Lalu Joko kerahkan tenaga dalam ke tenggorokan.
Kejap kemudian dia buka muiut.
"Orang tua! Siapa mengikutimu? lagi pula apa
untungnya mengikutimu? Masih banyak laki-laki muda
yang gagah yang pantas untuk diikuti!"
Si kakek kernyitkan dahi. Karena suara Joko kali ini
terdengar seperti suara seorang perempuan!
"Eh, meski mataku buta tapi mata hatiku bisa melihat
dan merasakan. Orang yang diam-diam mengikutiku
adalah seorang pemuda. Tapi kenapa suaranya mirip
suara orang perempuan?! Giia. Jangan-jangan orang di
hadapanku ini banci.... Ah, kebetulan sekali. Sudah lama
aku tak ngomong-ngomong dengan banci," gumam si
kakek lalu tertawa panjang.
'Busyet! Dia telah tahu?. Bagaimana Ini? Aku tak
mungkin terus menerus berkata seperti perempuan...,"
batin Joko seraya cengengesan.
"Anak Banci! Kalau kau tak mengikuti, ke mana
tujuanmu sebenarnya?" si kakek yang bukan lain adalah
Gendeng Panuntun ajukan tanya seraya arahkan cermin
bulat di depan perutnya pada Joko.
Sejenak Joko tadangkan telapak tangannya di depan
mata karena silau. Lalu melangkah satu tindak ke
samping dan berkata.
"Ke mana tujuanku, seorang pun tak layak
mengetahuinya! Kau sendiri akan ke mana?"
Si kakek tak segera menjawab. Sebaliknya dia
bergumam sendiri dengan kepala ditengadahkan.
"Rambut panjang sedikit acak-cakan. Pakaian warna
putih dengan ikat kepala putih. Hem..., penglihatan
cerminku yang salah atau pendengaranku yang tidak
benar?" Sejenak Gendeng Panuntun hentikan
gumamannya, tapi tak berapa lama bergumam iagi.

"Tampangnya seperti tampang laki-laki. Ah, kasihan
sekali jika dugaanku benar. Tampang laki-laki tapi jiwa
dan suara perempuan...."
Pendekar 131 hanya bisa mengumpat dalam hati
mendengar gumaman si kakek. Tapi diam-diam dia sadar
jika orang tua di hadapannya bukan orang sembarangan.
Dengan sekali pantulkan cermin, dia dapat mengetahui
siapa adanya orang!
"Eh, kau tadi tanya apa?!" si kakek tiba-tiba bertanya.
"Ke mana kau hendak menuju?!" jawab Joko masih
dengan suara perempuan.
"Apa itu penting bagimu?!"
"Dibilang penting ya penting. Dikatakan tidak penting
juga bisa!"
"Pentingnya apa? Dan tidak pentingnya juga apa?"
"Pentingnya. Maaf, kulihat penglihatanmu tidak
berfungsi. Kalau kita satu arah tak ada jeleknya kita jajan
bersama. Akan kuceritakan padamu tentang tempat-
tempat yang kita lewati. Tidak pentingnya, kalau
tujuanmu tidak boleh diketahui orang lain aku tak akan
usil mencari tahu...."
"Begitu? Sayang sekali niat baikmu tak bisa kuterima.
Karena selama malang melintang di hamparan bumi ini
aku telah mendapatkan teman seperjalanan yang bukan
saja tidak pernah berkata dusta dan pura-pura namun
juga tak pernah bertanya-tanya...!"
Sejenak sepasang mata Joko mengawasi,
mencaritahu teman seperjalanan yang baru saja
dikatakan si kakek. Tapi hingga agak lama murid
Pendeta Sinting ini tak bisa menemukan apa yang
dikatakan si kakek.
"Apa yang kau cari, Bocah?!"
"Kau tadi mengatakan punya teman...."
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. Puas tertawa dia
berkata.

"Bocah. Lihatlah sesuatu dari sudut berbeda! Karena
sesuatu apa pun ingin dilihat lebih dari apa adanya!"
"Aku belum mengerti maksudmu!"
"Hem.... Lihat! Apa ini?!" tanya Gendeng Panuntun
seraya arahkan telunjuk tangannya pada cermin bundar
di depan perutnya.
"Cermin!" jawab Joko.
Kembali Gendeng Panuntun tertawa mengekeh. "Anak
kecil pun pasti akan menjawab seperti jawabanmu!
Namun tidak bagi orang yang memandang cermin dari
sudut berbeda! Cermin adalah sahabat sejati yang
mengatakan apa adanya! Hitam adanya, cermin akan
pantulkan hitam. Putih adanya, cermin akan tunjukkan
putih! Kau paham?!"
Joko hanya bisa mengangguk tanpa sepatah kata pun
keluar dari mulutnya.
"Nah, Jika kau dapat memandang sesuatu dari sudut
beda dan melihatnya lebih dari apa adanya, maka kau
tidak akan meremehkan ciptaan Tuhan meski ciptaan itu
seperti benda tak berguna: Demikian pula cara
pandangmu padaku. Maaf meski penglihatanku tak bisa
digunakan, tapi mungkin aku dapat menduga ke mana
dan apa tujuanmu!"
"Hem.... Coba katakan...!"
"Kau sebenarnya belum paham betul ke mana kau
hendak melangkah. Namun yang pasti kau punya tujuan
mencari Kitab Serat Biru! Betul?!"
"Luar biasa orang tua ini. Siapa dia sebenarnya?" Joko
bertanya-tanya sendiri dalam hati. Lalu berkata
menjawab.
"Aku tak bisa katakan betul apa tidak!"
"Dan kau sebenarnya seorang pemuda yang berlagak
bicara seperti perempuan. Benar?!"
Murid Pendeta Sinting tidak menjawab. Tapi dia
sunggingkan senyum dengan kepala menggeleng.
"Anak muda! Siapa namamu?"

"Hem.... Joko Sableng!"
"Sableng.... Sama artinya dengan edan. Tak beda
dengan sinting. Juga berarti gendeng.... Ha... ha... ha...!"
Mendadak Gendeng Panuntun tertawa terbahak-bahak.
"Namamu sama artinya dengan namaku. Berarti kamu
ditentukan berjodoh denganku, Anak muda!"
"Eh. Apa maksud ucapanmu, Kek?!"
"Berjodoh artinya harus bersatu hati meski tidak
bersanding. Orang berjodoh harus saling terbuka. Satu
sama lain harus rela memberikan apa yang dibutuhkan
lainnya. Milikku adalah punyamu. Milikmu juga boleh
kumiliki!"
“Tapi, Kek. Aku sepertinya tak punya sesuatu yang
pantas kau miliki!"
"Jangan khawatir, Anak muda. Aku tak akan meminta
lebih dari apa yang tak kuasa kau berikan! Aku tak akan
minta penglihatanmu. Karena aku sudah senang dengan
keadaanku yang demikian ini. Orang punya mata
memang bisa melihat. Namun harus diingat. Justru dari
matalah, awal terjadinya kebohongan! Lain dengan orang
buta sepertiku yang melihat segala sesuatu dengan hati
Karena hati tak bisa diajak untuk berbohong!"
"Kek. Aku tadi sudah mengatakan siapa diriku.
Sekarang katakan siapa dirimu...."
"Orang-orang menyebutku Gendeng Penuntun....!"
"Gendeng Panuntun. Hem...," Joko bergumam, lalu
tersenyum.
"Eh. Ingat nama itu, aku jadi ingat dengan nama
seorang sahabat dan tokoh yang artinya sama...," ujar
Gendeng Panuntun dengan terus mendongak.
"Yang kau maksud Pendeta Sinting?" kata Joko
menebak setelah agak iama si kakek terdiam seolah
mengingat-ingat.
"Ah. Betul. Pendeta Sinting. Kau kenal dengannya?"
"Lebih dari kenal, Kek. Dia adalah Eyang guruku!"

"Wah. Berarti kita benar-benar berjodoh. Satunya
Sableng, lainnya Gendeng, ditambah Sinting! Ha... ha...
ha...!"
Setelah puas tertawa, Gendeng Panuntun usap-usap
cerminnya. Lalu berkata. "Mendung.... Kulihat awan
hitam berarak di atas kepalamu. Apa sebenarnya yang
terjadi menimpa dirimu?!"
"Hem.... Dia sepertinya tahu apa yang akan terjadi.
Aku akan berkata terus terang. Barangkali dia bisa
membantu," kata Joko dalam hati, lalu setelah menarik
napas panjang dia berkata.
"Pedang Tumpul 131 milikku dibawa orang! Aku tak
tahu siapa orangnya, tapi berat dugaan dia adalah
seorang perempuan mengenakan cadar dan jubah
hitam...."
"Hem... tak salah. Berarti Ini anak manusianya yang
ditakdirkan memiliki barang yang terpendam di Pulau
Biru," membatin Gendeng Panuntun.
"Tak usah cemas dengan senjatamu, Anak muda. Aku
menduga kelak kau akan bertemu dengan perempuan
itu. Tapi kau harus hati-hati. Karena aku melihat kau
dikelilingi bunga. Bunga adalah isyarat perempuan.
Sementara perempuan adalah makhluk di kolong langit
yang dengan kelemahannya bisa mengguncang bumi!"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek!"
"Dalam perjalananmu kelak, akan menghadang
beberapa perempuan yang tidak saja membawa
kekuatan ilmu, namun juga berbekal senjata cinta! Di sini
kau dihadapkan dengan pilihan pelik. Sekali kau salah
tentukan langkah, bukan saja akan terperosok, tapi
tugasmu akan terbengkelai!"
"Ah, kau ada-ada saja. Mana mungkin ada perempuan
yang mau sama manusia jelek sepertiku ini. Apalagi
beberapa perempuan!"
"Kelak kau bisa buktikan ucapanku. Dan sekali lagi
pesanku, berhati-hatilah. Kadangkala laki-laki bisa

menerjang badai ombak, tegar menghadapi letusan
gunung. Namun terhenti dan bersimpuh karena tetes air
mata perempuan!"
Murid Pendeta Sinting terdiam mendengar ucapan
Gendeng Panuntun. Dia buka muiut hendak mengatakan
sesuatu. Namun si kakek telah mendahului.
"Joko. Sebenarnya telah bertahun lamanya aku
menyimpan sesuatu untukmu. Sekarang mumpung
bertemu, terimalah barang itu!"
Habis berkata, Gendeng Panuntun selinapkan tangan
ke balik ikat pinggangnya. Ketika tangan itu menjulur
kembali, tampaklah sebuah gulungan kulit berwarna
coklat lusuh.
Kulit coklat segera diangsurkan ke depan. Tanpa ragu-
ragu lagi Pendekar 131 cepat angsurkan tangan untuk
menerima gulungan kulit itu.
"Dengan sampainya kau di sini, aku telah dapat
menduga jika kedua saudaraku telah memberikan
penggalan kulit seperti ini padamu! Nah. Silakan
teruskan jalan! Jangan lupa. Jika dugaanku tentang
bunga-bunga tadi tidak meleset, tolong sisakan satu
untukku!"
"Hem.... Karena kita berjodoh, jangankan satu,
semuanya nanti bisa kau ambil. Bukankah milikku juga
milikmu?"
"Ha... ha... ha...! Boleh, boleh. Tapi jangan coba-coba
curang. Karena aku tak bisa melihat, lantas kau ganti
dengan nenek-nenek girang!"
"Wah, sebagai orang yang lama malang melintang,
sekali pegang tentu kau dapat membedakan. Dan
kalaupun tak dapat, kau harus melihatnya dari sudut
berbeda! Bukankah begitu?!"
"Sontoloyo! Kau pandai juga!”
Bersamaan dengan selesainya ucapan, Gendeng
Panuntun goyangkan pantatnya. Cermin di perutnya ikut
bergerak ke kanan kiri ikuti goyangan pantat. Cahaya

putih tampak memantul. Di hadapannya, murid Pendeta
Sinting terpaksa pejamkan mata untuk menghindari silau.
Begitu sepasang mata Pendekar 131 dibuka kembali,
astaga! Sosok Gendeng Panuntun sudah tidak tampak
lagi di tempat itu. Hanya samar-samar Joko dapat
menangkap kelebatan pakaiannya yang berkibar-kibar
ditiup angin jauh di depan!
-oo0dw0oo

TUJUH

ORANG berjubah biru itu berkelebat laksana
angin. Melihat tubuhnya telah basah kuyup oleh
keringat, napasnya yang terengah-engah,
namun tak juga berhenti barang sejenak, berat dugaan
jika orang ini punya satu maksud yang sangat penting.
Menilik dari sepasang matanya yang tak henti terpentang
besar pandangi setiap jalan yang dilewati dan kadang tak
jarang memandang jauh ke depan, jelas dia sedang
mencari sesuatu.
"Hem.... Sudah dua hari aku berlari, tapi tiada seorang
pun yang kutemui. Apakah petunjuk yang diberikan tidak
salah? Ataukah perintah itu hanya untuk menemui Guru
di tempat yang ditentukan itu?!" kata orang berjubah biru
sendirian seraya terus berkelebat.
Mendadak sepasang mata orang ini yang ternyata
milik seorang gadis muda berparas cantik dan bukan lain
adalah Ayu Laksmi, salah seorang murid Dewi Siluman
mendelik besar menatap jauh ke depan.
"Aku menangkap seseorang di depan sana. Mudah-
mudahan orang itu ada hubungannya dengan Kitab Serat
Biru yang sedang diincar banyak-orang...," gumamnya
perlahan. Penglihatannya semakin dipertajam. Meski
tubuhnya sudah terasa capek bukan main, dia tetap
berkelebat ke depan dengan kerahkan tenaga tambahan.
Seperti diketahui, sang Guru Dewi Siluman melalui Ki
Buyut Pagar Alam memberi perintah pada ketiga
muridnya, Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi untuk
bergerak menuju arah selatan dan dalam waktu enam
hari ditunggu di sebuah kanal yang menuju arah Laut
Selatan. Karena dalam pesan itu Dewi Siluman
memerintahkan muridnya untuk bergerak berpencar,
maka menuruti perintah itu ketiga gadis muda murid Dewi
Siluman bergerak sendiri-sendiri meski arahnya sama.

"Hai! Berhenti!" Tiba-tiba Ayu Laksmi berseru ketika
jarak antara dia dengan orang di depannya sudah agak
dekat meski saat itu Ayu Laksmi belum jelas benar siapa
adanya orang di depannya.
Orang yang diteriaki seolah tak mendengar. Malah dia
percepat larinya. Pada satu jalan berkelok, orang yang
dikejar cepat menerabas rumpun lebatnya semak belukar
dan menyelinap mendekam. Hingga tatkala si jubah biru
Ayu Laksmi sampai pada kelokan jalan, gadis ini
kehilangan jejak.
"Hem.... Pasti masih di sekitar sini!" desis Ayu Laksmi
setelah memandang jauh ke depan dia tak melihat
seorang pun.
Sepasang mata tajam milik Ayu Laksmi bergerak
mementang lebar mengawasi rumpun semak belukar di
sekitar kelokan jaian. Tapi tetap saja dia tak melihat
siapa-siapa.
"Heran. Jelas jika tadi aku menangkap seseorang.
Tapi mana tampangnya?! Hem.... Tampaknya dia ingin
main-main!" Ayu Laksmi mulai tampak jengkel, karena
meski dia telah pentangkan mata berkali-kali dia tak juga
bisa menemukan orang yang diyakininya ada di sekitar
tempat itu.
"Jahanaml Hai. Manusia atau iblis sekalipun, mengapa
pengecut tak berani tunjukkan rupa?!" membentak Ayu
Laksmi hilang kesabaran.
Enam langkah dari tempat Ayu Laksmi tegak dengan
mata melotot, rumpun semak belukar perlahan bergerak
sedikit menguak. Dari celah kuakan itu terlihat sepasang
mata tajam memperhatikan ke arah Ayu Laksmi. Mata itu
sejenak menyipit lalu membesar. Berkedip-kedip lalu
menghilang tertutup kembali oleh rumpun semak belukar
yang tadi menguak.
"Jangkrik! Bagaimana gadis itu bisa berada di sini?
Apakah selama ini dia menguntit jalanku? Atau ini hanya
kebetulan belaka? Dia sendirian. Bukankah tempo hari

bertiga? Hem.... Bunga sama artinya dengan
perempuan. Adakah ini pertanda dugaan itu sudah akan
terbukti?" Orang yang mendekam di balik semak belukar
berkata sendiri dalam hati.
"Jahanam keparat! Sekali lagi kuperintah tak juga
perlihatkan diri, jangan menyesal bila tubuhmu akan
hancur bersama leburnya tempat ini!" teriak Ayu Laksmi
mengancam seraya angkat kedua tangannya ke atas
kepala membuat gerakan seperti orang hendak lepaskan
pukulan.
"Gelagatnya dia tak main-main dengan ancamannya!
Walah. Daripada cari penyakit, lebih baik kutemui saja!"
desis orang di balik rumpun semak seraya berjingkat
karena jari kelingkingnya tampak masuk kedalam lobang
telinganya.
"Kalau tak dibuktikan, dikira aku main-main!" Ayu
Laksmi kertakkan rahang. Lalu alirkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Kejap kemudian kedua
tangannya bergerak lepaskan satu pukulan ke arah
semak belukar di samping kirinya, tepat di mana orang
yang mendekam berada.
"Busyeti Jangan-jangan dia tahu aku berada di sini !"
keluh orang di balik semak, lalu bergerak bangkit dan
menguak semak belukar. Seraya nongolkan kepala
orang ini berseru.
“Tahan!"
Ayu Laksmi tarik pulang kedua tangannya. Gadis ini
berpijak di atas tanah dengan sepasang mata
membelalak namun air muka berubah. Dia pandangi
orang yang baru muncul dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Ternyata orang ini adalah seorang pemuda
mengenakan pakaian putih-putih dengan ikat kepala juga
berwarna putih. Seraya keluar si pemuda tersenyum-
senyum.
"Aku telah turuti perintah. Sekarang perintah apalagi
yang hendak dititahkan?" sambil berkata si pemuda yang

bukan lain adaiah Pendekar 131 menjura dalam-dalam.
Namun sepasang matanya tampak melirik.
Ayu Laksmi berdiri di atas tanah dengan kaki bergetar.
Dia sama sekail tidak menduga jika orang di hadapannya
adalah Pendekar 131. Dalam pertemuan tempo hari, si
pemuda dapat membendung pukulan 'Kabut Neraka' dan
'Sinar Setan'. Padahal saat itu Ayu Laksmi bersama
Wulandari dan Sitoresmi. Kini dia sendirian, bagaimana
perasaannya tidak kecut? Namun mengingat perintah
gurunya, perlahan-lahan muncul keberanian di dalam
dada gadis berjubah biru ini.
"Jeias sekarang jika dugaan Wulandari ada benarnya.
Jalan yang ditempuh pemuda ini searah dengan yang
dikatakan Guru. Berarti pemuda ini memburu Kitab Serat
Biru! Aku harus segera menyingkirkannya!"
Ayu Laksmi arahkan pandangannya pada jurusan lain.
"Akan kuhantam sekaligus dengan 'Kabut Neraka' dan
'Sinar Setan'! Jika tidak, aku sendiri yang mendapat
celaka!"
Berpikir sampai di situ, Ayu Laksmi segera kerahkan
tenaga dalam pada kedua tangan dan sepasang
matanya. Siap hendak lepaskan dua pukulan sekaligus.
Namun sebelum si gadis sempat membuat gerakan,
terdengar murid Pendeta Sinting buka suara.
"Hai! Kenapa jadi diam? Kita telah dua kali Ini bertemu.
Pertama bertemu kau dan dua sahabatmu sebutkan diri
Pemburu Dari Neraka. Itu pasti gelar kailan bertiga.
Waktu itu aku telah katakan siapa diriku. Kalau boleh,
mau sebutkan siapa namamu sebenarnya?"
Mulut Ayu Laksmi masih terkancing tak memberi
jawaban. Namun sejurus kemudian dia buka mulut
membentak.
"Siapa namaku bisa kau tanya pada Malaikat Maut!"
"Ah. Berarti kenalanmu banyak. Sampai-sampai
Malaikat Maut sudah mengenalmu.... Bisa tunjukkan
padaku di mana Malaikat Maut berada?!"

Ucapan Joko makin membuat Ayu Laksmi geram.
Masih dengan palingkan wajah, gadis berjubah biru ini
berkata.
"Aku memang akan tunjukkan padamu di mana
beradanya Malaikat Maut! Bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Ayu Laksmi angkat kedua
tangannya, sementara kedua kakinya dibantingkan ke
atas tanah. Gadis ini hendak lepaskan pukulan 'Kabut
Neraka' sekaligus dengan pukulan sakti 'Sinar Setan'.
Namun gerakan Ayu Laksmi tertahan, tatkala
mendadak satu bayangan berkelebat dan tegak
memandang lima langkah di samping Pendekar 131.
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
berpaling. Sejenak keningnya mengernyit. Tapi kejap iain
bibirnya tersenyum dan mulutnya membuka.
"Dewi Seribu Bunga" serunya ketika mengenali siapa
adanya yang tegak tak jauh darinya.
Di tempat itu kini terlihat seorang gadis muda berparas
jelita mengenakan pakaian warna merah ketat. Hidung
mancung dengan mata bulat dan buru mata lentik.
Rambutnya panjang dikuncir ke atas dengan diikat
menggunakan ikat kepala warna putih.
Gadis berbaju merah ketat berparas jelita dan bukan
lain memang Dewi Seribu Bunga adanya sunggingkan
senyum. Lalu gadis ini berpaling pada Ayu Laksmi
dengan aiis mata diangkat. Namun kejap lain Dewi
Seribu Bunga telah alihkan pandangannya kembali pada
Joko Sableng. (Tentang Dewi Seribu Bunga silakan baca
serial Joko Sableng dalam episode: "Ratu Pemikat").
"Pendekar 131 Joko Sableng.... Terima kasih. Kau tak
lupa padaku...."
"Ha... ha... ha.... Wajah secantik dirimu, mana mungkin
mudah dilupakan?" ujar Joko lalu hendak melangkah
mendekat. Tapi di depan sana, Dewi Seribu Bunga
memberi isyarat agar Joko urungkan niat, membuat
murid Pendeta Sinting urungkan niat tak jadi melangkah.

Saat Dewi Seribu Bunga muncul dan Joko menyambut
dengan gembira, Ayu Laksmi semakin geram. Dan demi
mendengar kata pujian yang diucapkan Joko, raut wajah
Ayu Laksmi berubah mengelam. Gadis berjubah biru ini
segera berpaling.
"Tampaknya mereka begitu akrab. Bisa jadi mereka
pasangan kekasih. Hm.... Siapa sebenarnya gadis itu
belum jeias. Yang jelas dengan adanya gadis itu di
tempat ini, pasti dia juga sedang memburu Kitab Serat
Biru. ini tak boleh dibiarkan!"
Ayu Laksmi lipat gandakan tenaga dalamnya. Dia
menduga jika si pemuda diserang, si gadis berbaju
merah pasti tak akan tinggal diam. Apalagi keduanya
sudah tampak akrab.
Gelagat dan sikap Ayu Laksmi tampaknya tak lepas
dari pandangan Dewi Seribu Bunga, hingga tatkala
Pendekar 131 hendak melangkah mendekat, gadis
berbaju merah murid Maut Mata Satu ini memberi isyarat
pada Joko untuk urungkan niat. Malah tak lama
kemudian dia berkata.
"Maaf. Rupanya kedatanganku mengganggu kalian
berdua. Aku harus segera pergi...."
"Dewi.... Tunggu!" panggil Joko menahan langkah
Dewi Seribu Bunga yang telah putar diri hendak
tinggalkan tempat itu.
"Bagus! Memang tidak semudah itu untuk tinggalkan
tempat ini!" Tiba-tiba Ayu Laksmi perdengarkan suara
keras.
Sambii kernyitkan dahi, Pendekar 131 berpaling pada
Ayu Laksmi. Ayu Laksmi hujamkan sepasang matanya
lekat-lekat pada Dewi Seribu Bunga. Saat bersamaan, di
depan sana Dewi Seribu Bunga yang merasa tak enak
dengan nada ucapan orang segera balikkan tubuh.
Sejenak Ayu Laksmi dan Dewi Seribu Bunga saling
bentrok pandangan. SI jubah biru Ayu Laksmi

sunggingkah senyum seringai. Di seberang Dewi Seribu
Bunga tersenyum simpul.
"Hm.... Apa maunya gadis berjubah biru ini?" kata
Joko dalam hati begitu melihat gelagat tidak baik dalam
adu pandangan dua gadis yang kini telah saling
berhadapan.
Untuk mencegah terjadinya sesuatu, cepat-cepat
murid Pendeta Sinting meiangkah maju ke arah Ayu
Laksmi dan berkata.
"Dia sahabatku. Kalau kau merasa punya urusan
denganku, harap jangan sangkut-pautkan orang lain!"
Tanpa berpaling, Ayu Laksmi membentak garang.
"Persetan dengan sahabat! Kau dan dia silakan
tinggalkan tempat ini tapi tanpa nyawa!"
"Hai… Ada apa ini sebenarnya?!"
"Tutup mulutmul" sentak Ayu Laksmi. "Jangan
bergerak dari tempatmu. Setelah dia kuselesalkan, kau
akan dapat giliran!"
Kedatangan Dewi Seribu Bunga ternyata telah
membuat salah seorang murid Dewi Siluman ini
bertambah geram. Hingga yang ada dalam hatinya kini
adalah melenyapkan Dewi Seribu Bunga juga Pendekar
131 sekaligus.
Dewi Seribu Bunga sebenarnya tak tahu urusan antara
Joko Sableng dengan Ayu Laksmi. Dia hanya tahu
bahwa saat Itu pemuda yang secara diam-diam
dirindukan berada berdua-dua dengan seorang gadis
cantik. Perasaan cemburu mendera dada Dewi Seribu
Bunga. Dia menduga ucapan keras gadis berjubah biru
karena dia juga cemburu dengan kedatangannya.
"Dia adalah pemuda tampan, berilmu tinggi. Tak heran
jika banyak gadis yang menyukainya. Tapi sejak pertama
bertemu, aku tak dapat melupakannya. Aku tak dapat
mendustai diri sendiri. Sebenarnya aku mengharapkan
dirinya, perhatiannya. Tapi mungkinkah dia mengetahui
apa yang selama ini kurasakan? Apakah dia tahu

bagaimana selama ini aku merindukan pertemuan
dengannya? Ah. Sekian lama memendam rindu, begitu
jumpa ternyata dia.... Hemm.... Lebih baik aku segera
tinggalkan tempat ini. Tak ada guna meladeni orang!"
Berpikir sampai di situ, Dewi Seribu Bunga palingkan
wajah ke arah Pendekar 131 seraya berujar.
"Pendekar 131, aku pergi dulu. Katakan pada gadismu
Itu, bahwa urusan hati tak akan pernah selesai meski
diputus dengan jalan kekerasan! Urusan hati akan tuntas
jika orang sadar bahwa takdir telah menyuratkan
demlkian!"
Habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga balikkan
tubuh. Namun untuk kedua kalinya gerakan gadis jelita
berbaju merah Ini tertahan ketika terdengar suara tawa
panjang. Ayu Laksmi yang kemudian disusul dengan
ucapan.
"Kau salah duga, Gadis Liar! Ini bukan lagi urusan hati!
Ini urusan mati hidup yang baru selesai jika salah satu
terkapar tak bernyawal"
Dikatakan gadis liar, paras wajah Dewi Seribu Bunga
seketika berubah. Dia kembali putar tubuh dengan wajah
merah padam dan mata menyorot tajam.
"Kalau begitu ucapmu, sekarang katakan apa maumu!"
bentak Dewi Seribu Bunga.
"Kau sudah mendengar sejak tadi!" jawab Ayu Laksmi
balik membentak.
Dewi Seribu Bunga tertawa pendek. "Kalau kau
inginkan nyawa orang kenapa masih diam? Apa yang
kau tunggu, hah?!"
"Bagus! Kau telah siap untuk mati rupanya!" hardik
Ayu Laksmi lalu gadis ini melompat ke depan. Kedua
tangannya diangkat tinggi-tinggi.
"Tahan!" teriak Joko sambil melompat ke depan
menghadang gerakan Ayu Laksmi.
Merasa dirinya dihadang demikian rupa, kemarahan
Ayu Laksmi makin memuncak. Serta-merta kedua

tangannya yang hendak kirimkan pukulan pada Dewi
Seribu Bunga dipukulkan pada murid Pendeta Sinting.
Menduga bahwa si gadis berjubah biru tak akan
memukulnya, Joko hanya tegak dengan kedua tangan
mengembang ke samping.
Bukkk! Bukkk!
Dua jotosan telak menghantam dada dan perut
Pendekar 131. Karena pukulan itu bukan pukulan biasa,
tapi telah dialiri tenaga daiam tinggi, maka meski sesaat
sosok murid Pendeta Sinting tetap diam tak bergeming,
namun kejap lain tubuhnya tersurut dua langkah ke
belakang!
Saat itulah, Ayu Laksmi cepat berkelebat dan
langsung kirimkan tendangan keras ke arah Dewi Seribu
Bunga. Dewi Seribu Bunga tak mau bertindak ayal. Dari
gerakan dan pukulan yang baru saja disarangkan pada
Joko Sableng, gadis berbaju merah ini telah dapat
menduga jika gadis berjubah biru berbekal ilmu yang
tidak rendah.
"Apa hendak dikata. Meski apa urusannya tidak jelas
namun orang telah menginginkan nyawaku!" kata Dewi
Seribu Bunga dalam hati, lalu angkat kedua tangannya
dan dilintangkan di depan kepala.
Saat tendangan sejengkal lagi sampai, Dewi Seribu
Bunga sentakkan tangan kiri kanannya.
Dess! Desss!
Karena Ayu Laksmi belum tahu siapa adanya Dewi
Seribu Bunga, dan merasa dirinya berilmu tinggi,
membuat gadis berjubah biru ini remehkan orang.
Hingga meski tendangannya dialiri tenaga dalam, namun
karena kedua tangan yang memapak juga dialiri tenaga
dalam, membuat tubuhnya terpental dan terhuyung
hampir jatuh. Namun Ayu Laksmi adalah murid seorang
tokoh sakti dan sudah beberapa tahun digembleng,
hingga pada saat tubuhnya terhuyung bahkan sampai
akan roboh, gadis berjubah biru Ini cepat membuat

gerakan seperti orang mengayun. Kejap kemudian sosok
Ayu Laksmi tampak meliuk ke depan. Lalu....
Wuuuttl Wuuttt!
Tubuh Ayu Laksmi melesat ke udara setinggi dua
tombak. Membuat gerakan jungkir balik dua kali. Begitu
tubuhnya melayang turun, sosoknya langsung melesat
ke arah Dewi Seribu Bunga dengan kedua tangan
sekaligus kirimkan pukulan!
Dewi Seribu Bunga tak tinggal diam. Gadis Ini segera
pula sentakkan kedua tangannya ke depan.
Prakk! Prakkk!
Terdengar dua benturan keras. Dua Seruan tertahan
segera pula terdengar. Ayu Laksmi tampak terjajar lima
langkah ke belakang. Wajahnya berubah memucat.
Tubuhnya bergetar dengan dada bergerak turun naik.
MuLutnya terkancing rapat dengan sepasang mata
mendelik memandang ke arah Dewi Seribu Bunga.
"Gadis jahanam ini ternyata punya ilmu juga. Jika tak
segera kuselesaikan kelak bisa menghadang jalan!"
Berpikir ke sana, gadis murid Dewi Siluman ini segera
kerahkan tenaga dalam siapkan pukulan 'Kabut Neraka'.
DI lain pihak, Dewi Seribu Bunga tampak berpijak di
atas tanah dengan sosok bergoyang-goyang sebelum
akhirnya tersurut tiga langkah. Raut wajahnya yang jelita
pias dengan napas terengah-engah. Namun gadis murid
tokoh bergelar Maut Mata Satu ini segera alirkan tenaga
dalam demi melihat lawan membuat gerakan.
"Rupanya dia hendak lepaskan pukulan andalanl"
duga Dewi Seribu Bunga. Dia segera pula siapkan
pukulan sakti 'Api Seribu Bunga'.
Melihat gelagat yang makin buruk, Joko segera maju
kembali menghalangi.
"Tunggu! Jangan lakukan pukulan!" teriak Joko.
Namun sudah terlambat. Karena Ayu Laksmi yang telah
marah besar, apalagi mengetahui Dewi Seribu Bunga
memiliki simpanan ilmu telah melesat dan menggebrak

terlebih dahulu dengan lepaskan pukulan sakti 'Kabut
Neraka'
-oo0dw0oo


DELAPAN

KABUT putih tampak melesat hamparkan hawa
panas dan perdengarkan suara luar biasa
dahsyat. Sejurus Dewi Seribu Bunga terkesiap.
Tapi kejap lain kedua tangannya bergerak lepaskan
pukulan 'Api Seribu Bunga'.
Wusss!
Dari kedua tangan Dewi Seribu Bunga menggebrak
satu sinar yang sebarkan cahaya berwarna-warni.
Setengah jalan, sinar itu pecah. Lalu terlihat beberapa
bunga-bunga api muncrat yang selain keluarkan hawa
luar biasa panas juga berdesing laksana pisau tajam!
Bummm!
Tempat Itu laksana didera gempa hebat. Di udara
sekejap terlihat cahaya terang yang kemudian padam
dengan keluarkan letupan. Bersamaan itu tanah muncrat
membungkus udara hingga suasana menjadi agak pekat.
Semak belukar yang ada di sekitar tempat Itu terabas
rata.
Ketika hamburan tanah surut, Ayu Laksmi terlihat
tegak dengan lutut goyah. Dan tak berselang lama gadis
berjubah biru ini jatuh terduduk dengan lutut menekuk.
Dari mulutnya mengalir darah agak kehitaman pertanda
dia telah terluka dalam. Wajahnya pucat pasi seakan tak
berdarah. Tubuhnya bergetar keras. Sepasang matanya
setengah memejam jelas membayangkan rasa sakit.
Lima belas langkah di seberang Ayu Laksmi, Dewi
Seribu Bunga tampak terhuyung-huyung sebentar
sebelum akhirnya juga jatuh terduduk. Seperti halnya
Ayu Laksmi, gadis berbaju merah Ini tampak
mengeluarkan darah dari mulutnya.
Sementara murid Pendeta Sinting tampak tegak
dengan kepala berpaling bergantian ke arah Ayu Laksmi
dan Dewi Seribu Bunga.

"Urusan ini tak boleh dibiarkan! Mereka bisa celaka
sendiri. Padahal urusannya apa belum jelas...!" gumam
Joko lalu melangkah ke arah Dewi Seribu Bunga.
"Dewi.... Lekas tinggalkan tempat Ini. Tunggu aku di
arah selatan. Aku perlu bicara denganmu!" bisik murid
Pendeta Sinting.
"Hem.... Tampaknya dia juga tak suka dengan
kemunculanku di sini! Seenaknya dia memerintahku
untuk menunggu, sementara dia sendiri akan menunggui
gadis keparat itu! Huh.... Jauh berjalan membawa rindu,
namun yang kutemui adalah malapetaka yang
menyakitkan hati!"
Dewi Seribu Bunga memandang tajam pada Pendekar
131. Yang dipandang tersenyum dan anggukkan kepala.
Namun senyum murid Pendeta Sinting pupus seketika
tatkala perlahan-lahan Dewi Seribu Bunga bangkit dan
berkata dengan suara bergetar.
"Aku tahu ke mana arah bicaramu, Pendekar 131! Aku
memang datang mengganggu keasyikanmu, dan jika kau
menginginkan aku pergi, aku tak keberatan! Tapi aku tak
bisa diam menerima serangan gadis keparatmu itu!"
Joko jadi terlengak mendengar ucapan Dewi Seribu
Bunga. Dia maju lebih mendekat. Mulutnya terbuka
hendak berkata, namun telah didahului oleh Dewi Seribu
Bunga.
"Tak perlu bicara, Pendekar 131! Dan kuingatkan
jangan lagi ikut campur urusan ini! Ini urusan
perempuan!"
"Dewil Jangan salah paham. Aku...."
Belum habis ucapan Joko, Dewi Seribu Bunga telah
menukas.
"Kau laki-laki. Memalukan bila usil urusan perempuan!
Menyingkirlah!"
Selagi Pendekar 131 dan Dewi Seribu Bunga
bercakap-cakap, diam-diam Ayu Laksmi yang kini sadar
jika lawan tidak bisa dipandang remeh segera membatin.

"Kalau terjadi bentrok lagi, pasti keadaanku akan
bertambah parah. Sementara perjalanan masih jauh.
Dah aku juga tak mau mati konyol! Hem.... Terpaksa aku
harus meminta bantuan!"
Cepat gadis berjubah biru ini selinapkan tangan kanan
ke balik jubahnya lalu mengeluarkan satu benda bulat
warna putih sebesar telor. Tak menunggu lama, Ayu
Laksmi segera lemparkan benda bulat itu ke udara.
Sepuluh tombak di atas udara benda bulat putih itu
pecah, lalu tampaklah asap biru bertabur.
"Hem.... Gadis keparat Itu lepaskan tanda. Untuk
siapa? Sebelum telanjur lebih baik kudahului!" desis
Dewi Seribu Bunga ketika melihat hal yang dilakukan
Ayu Laksmi. Namun karena di hadapannya Pendekar
131 masih tegak dengan sikap menghadang, membuat
Dewi Seribu Bunga terhalangi. Gadis ini jadi jengkel.
"Kalau kau tetap di situ, berarti kau buat urusan
denganku!" bentak Dewi Seribu Bunga dengan mata
membesar dan bibir bergetar. Sebenarnya gadis Ini tak
kuasa ucapkan kata-kata begitu, namun dia kuatkan hati
apalagi dilihatnya Joko sepertinya melindungi Ayu
Laksmi.
"Dewi.... Harap jangan salah sangka. Bagiku,
kemunculanmu adalah kebahagiaan tersendiri. Aku tahu
siapa dia dan siapa kau! Aku tak ingin melihat kau
terluka...," bisik Joko dengan mata tajam menghujam ke
dalam mata si gadis.
Ucapan dan tatapan murid Pendeta Sinting membuat
gadis berbaju merah di hadapannya dirasuki berbagai
perasaan tak karuan.
"Dia tak ingin melihatku terluka. Apakah hanya itu?
Apakah dia tak tahu lukanya hati lebih pedih dari luka
tubuh? Apakah dia memang benar-benar hendak
melindungiku? Atau hanya ingin jual kebaikan di
hadapanku untuk menutupi hal sebenarnya?"

Selagi Dewi Seribu Bunga bergulat dengan
perasaannya sendiri, Ayu Laksmi yang melihat sikap
Joko terhadap Dewi Seribu Bunga tak bisa lagi menahan
rasa geram.
"Keparat jahanam!" makinya lalu sekonyong-konyong
hantamkan kedua tangannya ke depan, lepaskan
pukulan 'Kabut Neraka'.
Wuuttt! Wuuuttt!
Kabut putih menggebrak lurus ke arah Pendekar
Pedang Tumpul 131 yang tegak membelakangi Ayu
Laksmi.
"Perempuan licik!" teriak Dewi Seribu Bunga, lalu
peringatkan Joko agar segera menyingkir.
Murid Pendeta Sinting keluarkan gerendengan
panjang pendek sambil melompat menghindar.
Bersamaan dengan menyingkirnya Joko, Dewi Seribu
Bunga segera lepaskan pukulan 'Api Seribu Bunga'.
Saat itulah, mendadak dari balik rumpun semak
belukar terdengar satu seruan. Lalu melesat kabut putih
yang membantu pukulan 'Kabut Neraka'-nya Ayu Laksmi,
hingga saat terdengar dentuman dahsyat akibat
bentroknya pukulan, tubuh Dewi Seribu Bunga tampak
mental mencelat sampai tiga tombak dan terhuyung-
huyung siap menghajar tanah.
Melihat hal demikian, Joko cepat berkelebat. Lalu
menyambar tubuh Dewi Seribu Bunga, hingga
selamatlah tubuh gadis jelita ini dari jilatan tanah yang
sudah menunggu luncuran tubuhnya.
Di seberang, sosok Ayu Laksmi juga tersapu ke
belakang. Namun tubuhnya serta-merta terhenti tatkala
dua tangan tampak mendekap dari arah belakangnya.
Pemilik tangan itu ternyata seorang gadis muda berparas
cantik mengenakan jubah warna kuning.
"Kau tak apa-apa, Ayu Laksmi?" tanya gadis berjubah
kuning.

Ayu Laksmi gelengkan kepalanya. Gadis berjubah
kuning yang bukan lain adalah Wulandarl segera
salurkan tenaga pada Ayu Laksmi, karena walau Ayu
Laksmi menggeleng tapi dari mulutnya keluarkan darah
pertanda terluka cukup parah.
"Untung kau segera datang...," gumam Ayu Laksmi
setelah merasa tubuhnya agak enak.
"Terlambat sedikit kau memberi tanda, mungkin
nyawamu tak tertolong!" ujar Wulandari lalu melangkah
ke depan menjajari Ayu Laksmi dengan sepasang mata
memandang tajam tak berkesip ke arah Pendekar 131
dan Dewi Seribu Bunga.
Seperti diketahui, Dewi Siluman lewat Paman
sekaligus pendampingnya Ki Buyut Pagar Alam
berpesan pada ketiga muridnya untuk menuju arah
selatan dengan cara berpencar. Namun jika salah satu
mendapatkan bahaya, harus segera memberi tanda.
Saat itu Wuiandari yang juga mendapat tugas khusus
dari Ki Buyut Pagar Aiam agar membuntuti Sltoresmi
tiba-tiba melihat tanda yang dilepaskan Ayu Laksmi.
Hingga saat itu juga terpaksa dia berbeiok dari belakang
Sitoresmi dan berkelebat ke arah datangnya tanda.
Ketika Dewi Seribu Bunga melepas pukulan 'Api
Seribu Bunga', saat itulah Wulandarl sampai di tempat
mana Ayu Laksmi berada, dan melihat Ayu Laksmi
mendapat serangan, Wulandarl segera pula lepaskan
pukulan 'Kabut Neraka'. Hingga membuat pukulan Dewi
Seribu Bunga harus bentrok dengan dua pukulan. Inilah
yang menyebabkan tubuh Dewi Seribu Bunga terlempar
sampai tiga tombak ke belakang.
-oo0dw0oo


SEMBILAN

JAHANAM!" maki si jubah kuning Wulandari
dengan sepasang mata tak berkesip memandang
ke arah Pendekar 131 dan Dewi Seribu Bunga
yang tampak masih saling berpelukan.
Dada gadis berjubah kuning ini berdebar keras. Dari
mulutnya terdengar gumaman tak jelas. Setelah
mendengus keras, dia melirik pada Ayu Laksmi.
"Firasatku tak salah. Pemuda itu pasti punya tujuan
sama dengan kita! Mumpung masih di sini, kita habisi
sekarang juga!"
Ayu Laksmi tidak menyahut ucapan Wulandar!.
Sebaliknya gadis berjubah biru ini hanya memandang ke
depan dengan tatapan tajam menyengat.
"Siapa gadis berbaju merah itu?!" tanya Wulandari
dalam hati. "Ucap Ki Buyut benar. Telah banyak orang
bermunculan! Dan pasti tujuannya adalah memburu
Kitab Serat Biru! Hm...."
Gadis berjubah kuning ini segera utarakan isi hatinya
pada Ayu Laksmi.
Untuk beberapa saat Ayu Laksmi terdiam. Namun
kejap lain dia palingkan kepala ke arah Wulandarl.
"Pemuda itu memanggilnya Dewi Seribu Bunga...!"
Tiba-tiba Wulandari tertawa panjang.
"Dewi Seribu Bunga?!" ulangnya dengan nada
mengejek.
"Tampang begitu bergelar Seribu Bunga? Bunga
apa?!”
"Tak perlu urus segala macam nama, yang penting
keduanya harus segera kita singkirkan!" ujar Ayu Laksmi,
lalu tanpa bicara lagi dia salurkan tenaga dalam pada
kedua tangannya siapkan pukulan sakti 'Kabut Neraka'.
Wulandarl tak menunggu, begitu tahu saudara
seperguruannya siapkan pukulan, dia pun cepat alirkan
tenaga dalam pada kedua tangannya.

Sementara di depan sana, Pendekar 131 tak hiraukan
ucapan-ucapan gadis berjubah biru dan kuning. Murid
Pendeta Sinting ini perlahan-lahan menggandeng Dewi
Seribu Bunga lalu didudukkan bersandar pada sebatang
pohon.
Untuk beberapa saat Ayu Laksmi dan Wulandarl sama
memandang tak berkedip pada Pendekar 131 dan Dewi
Seribu Bunga. Tiba-tiba Ayu Laksmi berpaling.
"Kau siap?!"
Wulandari hanya mengangguk. Sejurus kedua murid
Dewi Siluman ini saling berpandangan, lalu saling
memberi isyarat.
Di seberang, Pendekar 131 tampak memandang tajam
pada Dewi Seribu Bunga. Yang dipandang tampak
tundukkan kepala dengan menggigit bibir.
"Dewi.... Aku akan salurkan hawa murni untuk
mengurangi rasa sakit di tubuhmu...."
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Aku tak apa-
apa. Jangan hiraukan diriku. Lihat! Mereka hendak
lepaskan pukulan lagi...."
Tanpa diketahui, dari balik rumpun semak belukar
sepasang mata tampak menatap tajam pada Pendekar
131 dan Dewi Seribu Bunga, lalu beralih pada Ayu
Laksmi dan Wulandari. Lantas beralih lagi pada sosok
Pendekar 131. Untuk beberapa saat lamanya mata itu
tak bergerak lagi. Terus menatap tak berkesip! Tak
berselang lama terlihat dua telapak tangan putih
menutupi mata dari balik rumpun semak belukar Itu.
"Pendekar 131...," terdengar bisikan halus dari balik
rumpun semak belukar. "Tak kuduga jika kau telah punya
pilihan.... Ah. Dia memang gadis Jelita. Dan pasti dari
kalangan orang baik-baik. Tidak seperti diriku, yang
banyak dilumuri dosa.... Tapi tidak bolehkah orang
sepertiku ini mengharap sepenggal hati dari seseorang?"

Telapak tangan yang menutup mata di balik rumpun
semak belukar perlahan-lahan diturunkan. Kini tampak
sepasang mata itu merah sembab.
"Pendekar 131.... Tahukah kau, aku.... Ah, tapi
mungkinkah itu? Aku mengenalmu, tapi kau tidak.
Hem.... Haruskah aku mencintai orang yang tak
mengenalku? Bisakah cinta tumbuh bersemi tanpa
adanya saling mengenal? Pendekar 131. Sebenarnya
aku ingin kau mengenalku, tapi aku takut. Apa yang
harus kulakukan sekarang...? Terus menutup diri dengan
hati memendam, perasaan? Ataukah aku akan berterus
terang...?"
Tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan laksana kilat
langsung menyelinap masuk ke balik rumpun semak
belukar tak jauh dari sepasang mata yang sedari tadi
memandang pada Pendekar 131.
Sepasang mata itu mementang besar, laju kepalanya
berputar memperhatikan berkeliling. Tiba-tiba sepasang
mata itu menyipit dan membesar ketika menangkap satu
sosok tubuh besar dengan enaknya menggeletak
telentang sejarak lima langkah di sampingnya.
Orang yang menggeletak ternyata seorang kakek
bertubuh besar. Rambutnya putih disanggul tinggi ke
atas. Sepasang matanya besar dan lurus memandang
langit. Anehnya sepasang mata Itu hanya kelihatan
putihnya saja pertanda orang yang memilikinya adalah
orang buta. Kakek ini mengenakan baju gombrong besar
berwarna hijau yang di bagian perutnya tampak
melingkar satu ikat pinggang besar yang di pangkalnya
terdapat cermin bulat tepat pada depan perutnya.
"Gadis cantik...," tiba-tiba si kakek bertubuh besar
buka mulut dengan wajah masih menghadap langit dan
tubuh telentang.
"Husss!" terdengar orang memberi isyarat agar si
kakek tak buka mulut.


"Jangan takut, Anak cantik! Mereka tak mungkin
mendengar...," ujar si kakek lalu tertawa perlahan.
"Siapa orang tua ini? Meski tubuhnya besar, tapi
keberadaannya di sampingku tidak bisa kuketahui. Lebih-
lebih meski kulihat sepasang matanya buta, namun dia
tahu jika aku adalah seorang gadis...," gumam orang di
samping si kakek yang sedari tadi sepasang matanya
mengintai dan memandangi pada Pendekar 131.
"Biasanya...," kata si kakek. "Dari cahaya sorot mata,
air muka dan sikap, orang bisa dengan mudah ditebak.
Hemmm... Pandangan matamu suram, rona wajahmu
keruh. Sikapmu gelisah. Tentu kau sedang dilanda
perasaan hebat. Dan kalau seorang gadis mengalami
perasaan hebat demikian, biasanya hal yang dihadapi
bukan lain adalah masalah cinta! Bagaimana...?"
Orang di samping si kakek yang ternyata adalah
seorang gadis muda berparas cantik mengenakan jubah
warna merah dan bukan lain adalah Sitoresml terdiam.
Tapi diam-diam dalam hati si gadis membatin. "Jangan-
jangan orang tua ini yang diceritakan Ayu Laksmi tempo
hari.... Matanya buta, tapi dugaannya tidak pernah
meleset!"
"Kalau tak salah, apakah orang di hadapanku ini yang
bernama Gendeng Panuntun?!" tanya Sitoresmi dengan
suara perlahan setengah berbisik.
Si kakek yang memang Gendeng Panuntun adanya
tertawa pelan. Sambil usap-usap cermin di depan
perutnya dia berucap.
"Hem.... Aku senang kau telah mengenalku, Anak
Cantik. Kalau tak salah, bukankah kau gadis yang dicari-
cari dua temanmu Itu?!"
"Betul, Kek...!"
"Bisa katakan padaku, apa yang sedari tadi
membuatmu memandang tak berkedip dan bicara
sendiri?!"
"Aku tak bisa mengatakan padamu!"

Gendeng Panuntun tertawa perlahan. "Hem... Inilah
salah satu kekuatan cinta! Membuat orang lebih percaya
pada benda mati daripada yang bernapas. Lebih percaya
pada orang yang melihat daripada orang buta!"
"Bukan karena itu aku tak mau mengatakan padamu!"
sahut Sitoresmi.
Gendeng Panuntun geleng-gelengkan kepala.
Sepasang matanya yang putih bolak-balik mengerjap.
Tubuhnya tetap telentang.
"Kunasihati, Anak cantik. Beban apa pun yang kau
pikul, jika kau mau berbagi dengan orang lain, meski
tampak tak berkurang setidak-tidaknya langkahmu akan
lebih ringan! Apalagi bebanmu adalah beban hati. Satu
beban yang tak tampak dipandang mata tapi bisa
membutakan mata!"
"Aku.... Aku tak bisa mengutarakannya padamu...,"
gumam Sitoresmi seraya gelengkan kepalanya perlahan.
"Kuatkan hati. Katakan apa yang kau lihat!*
Setelah terdiam agak lama, akhirnya Sitoresmi berkata
dengan suara agak tersendat. "Di seberang sana kulihat
dua saudara seperguruanku. Sementara di depan
mereka ada seorang pemuda bersama seorang gadis
jelita...."
"Kau tertarik dengan pemuda yang kau katakan
bersama dengan gadis berparas jelita itu?!"
Sitoresmi tak menjawab. Gendeng Panuntun
tersenyum. "Biasanya, jika seorang gadis ditanya dan
menjawab tidak, maka jawaban itu belum menjamin
apakah gadis Itu benar bersungguh-sungguh. Tapi bila si
gadis tidak menjawab, bisa dipastikan jawabannya
adalah ya!"
Ucapan si kakek membuat gadis di sampingnya
berubah paras. Mungkin karena ucapan si kakek ada
benarnya, pada akhirnya Sitoresmi mengatakan terus
terang apa yang ada dalam hatinya.

"Sebenarnya aku memang menyukainya, Kek! Tapi
aku takut. Ada beberapa hal yang pasti akan
menghadang. Apalagi dia telah...." Sitoresmi tak kuasa
teruskan kata-katanya.
"Anak cantik. Pengorbanan adalah satu hal yang
tak dapat dipisahkan dari sebuah cita-cita dan cinta.
Tanpa pengorbanan segalanya akan terasa hambar.
Dan harus diingat, cinta suci tidak selamanya harus
memiliki! Orang sudah merasa bahagia jika orang
yang dicintai mendapat kebahagiaan," Gendeng
Panuntun hentikan bicaranya sebentar sebelum akhirnya
meneruskan. "Segala sesuatu ada jalan keluarnya, Anak
cantik: Tak terkecuali hal yang kini menjadi beban
perasaanmu!"
"Katakanlah Kek. Apa jalan keluar itu!?!''
"Kau harus ambil kuputusan. Lupakan dan tinggalkan
dia atau hadapi segala sesuatu yang menghadang
dengan resiko berkorban!"
"Kek. Rasanya aku tak bisa lupakan dia. Tapi aku juga
belum tahu apakah aku dapatmenghadang rintangan!"
"Memutuskan masalah pelik begini membutuhkan
waktu panjang. Dan...." Gendeng Panuntun putuskan
ucapannya karena dari arah depan sana terdengar suara
ledakan keras.
Sitoresmi cepat berpaling untuk mengetahui apa yang
terjadi. Namun karena pemandangan di depan sana
dihamburi taburan tanah, hingga untuk beberapa saat
gadis berjubah merah ini belum bisa menentukan apa
yang terjadi.
"Menurutmu, apakah aku harus keluar dari sini...?"
tanya Sitoresmi.
Tak terdengar suara jawaban. Sitoresmi berpaling.
Gadis salah seorang murid Dewi Siluman ini melengak
tak percaya. Kakek bertubuh besar sudah tidak tampak
di tempatnya tadi menggeletak!
-oo0dw0oo


SEPULUH

SEWAKTU terjadi percakapan antara Sitoresmi
dan Gendeng Panuntun, di depan sana
Wulandari dan Ayu Laksmi yang sudah sama
saling memberi isyarat untuk lepaskan pukulan,
segera saja hantamkan kedua tangan masing-masing
kirimkan pukulan 'Kabut Neraka'.
Karena kedua gadis murid Dewi Siluman ini melepas
pukulan secara bersama-sama, maka saat itu juga
tempat Itu laksana dibungkus kabut putih. Suasana
berubah menjadi luar biasa panas, dan terdengar suara
laksana gelombang hebat.
Di seberang, melihat datangnya serangan, Dewi
Seribu Bunga cepat peringatkan Pendekar 131. Murid
Pendeta Sinting ini segera berpaling. Sejenak dia jadi
melengak melihat ganasnya pukulan.
Sadar bahwa bukan saja harus selamatkan diri sendiri,
namun juga harus menyelamatkan Dewi Seribu Bunga
yang tak mungkin lagi bisa bergerak menghindar dengan
cepat, murid Pendeta Sinting segera kerahkan tenaga
lalu lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.
Kejap kemudian terdengar ledakan hebat ketika
pukulan 'Kabut Neraka' yang dilepas secara bersama
oleh Wulandari dan Ayu Laksmi bentrok dengan pukulan
'Lembur Kuning'.
Tanah bertabur ke udara menutupi pemandangan, lalu
tempat itu bergetar keras. Samar-samar dalam pekatnya
suasana tampak sosok Wuiandari dan Ayu Laksmi
terpental jauh ke belakang lalu sama terkapar di atas
tanah.
"Bangsat Jahanam!" maki Wuiandari. Setelah meneliti
dan tak mengalami cidera parah, gadis berjubah kuning
cepat bergerak bangkit. Namun serentak sepasang mata
gadis ini membelalak besar. Kedua kakinya dibanting ke

atas tanah, hingga tanah dua tembak di sekitar
tempatnya berdiri bergetar.
"Keparat! Setan alas!" Wulandari terus memaki-maki
dengan kepala berputar dan mata liar menyapu.
"Wulandari! Ada...."
"Diam!" potong Wulandarl saat Ayu Laksmi hendak
ajukan tanya.
Periahan-lahan Ayu Laksmi bangkit duduk.
Memandang sekejap pada Wulandarl yang melangkah
mondar-mandir sambil terus mengomel. Gadis berjubah
biru menarik napas panjang dan dalam.
"Tak ada guna memaki. Yang kita perlukan sekarang
bergerak mencari ke mana mereka pergi!"
Ternyata di tempat itu tinggal mereka berdua.
Sementara Joko Sableng dan Dewi Seribu Bunga sudah
tak kelihatan lagi.
"Ini salah kita! Salah kita!" teriak Wulandari.
"Jangan salahkan diri sendiri! Semuanya sudah
terjadi!"
"Seandalnya kita langsung lepaskan gabung 'Kabut
Neraka' dan 'Sinar Setan'! Pasti bangsat tidak akan lolos!
Dua kali dia lepas dari tangan kita!
"Waktu kita masih panjang. Kalau tujuan sama, tentu
akan bertemu lagi!" ujar Ayu Laksmi mereda kemarahan
Wulandari. "Sekarang lebih baik kita teruskan
perjalanan!"
Karena Wulandari sepertinya tak mendengarkan
ucapan Ayu Laksmi, gadis berjubah biru ini segera putar
diri setengah lingkaran.
"Kita bertemu di tempat yang ditentukan. Aku pergi
sekarang!"
Namun gerakan Ayu Laksmi tertahan tatkala saat itu
dari rumpun semak belukar satu sosok tubuh berkelebat
keluar. Ayu Laksmi cepat berpaling, sementara
Wulandarl yang masih dilanda kemarahan cepat angkat

kedua tangannya tinggi-tinggi hendak lepaskan pukulan
pada sosok yang berkelebat datang.
Tunggul Aku Sitoresmi!" teriak orang yang berkelebat.
"Apa yang terjadi?!" tanya Sitoresmi begitu sosoknya
tegak lima langkah di depan Wulandari. Wulandari tak
menjawab. Hanya sepasang matanya menatap pada
Sitoresmi dengan pandangan menyelidik.
"Mudah-mudahan mereka tak tahu atau mendengar
percakapanku dengan orang tua itu...." Diam-diam
Sitoresmi membatin. Lalu memandang pada Ayu Laksmi.
Ayu Laksmi memberi isyarat agar Sitoresmi mendekat
ke arahnya. Tanpa pikir panjang, Sitoresmi segera
melangkah mendekat ke arah Ayu Laksmi.
"Teruskan perjalanan! Tak ada gunanya bertanya
pada orang yang sedang dilanda amarah! Nanti
kuceritakan apa yang baru saja terjadi!"
Habis berkata begitu, Ayu Laksmi berkelebat pergi.
Sementara Sitoresmi memandang sejurus pada
Wulandari. Dan tanpa keluarkan sepatah kata pun dia
meninggalkan tempat itu juga.
Karena tak ada lagi suara yang terdengar, Wulandari
palingkan wajah ke arah mana tadi Ayu Laksmi berada.
Pelipis gadis ini bergerak-gerak. Dagunya mengembung.
Kedua tangannya mengepal lalu dihantamkan satu sama
lain ketika mendapati tinggal dirinya sendiri di tempat itu.
"Sialan! Jahanam!" makinya lalu bantingkan kaki.
Untuk kesekian kalinya tempat itu bergetar. Akhirnya
Wulandari melangkah meninggalkan tempat itu. Namun
tiba-tiba saja salah seorang dari murid Dewi Siluman ini
hentikan langkah, karena saat itu terdengar orang
tertawa perlahan.
"Heran. Mataku baru saja mengelilingi tempat ini. Lalu
Sitoresmi dan Ayu Laksmi baru saja pergi. Adalah aneh
jika tiba-tiba saja ada orang di sekitar tempat ini yang tak
kuketahui kapan datangnya! Pasti dia memiliki
kepandaian luar biasa! Hemm...." Wulandari cepat alirkan

tenaga dalam pada kedua tangannya, lalu cepat pula
balikkan diri menghadap ke arah datangnya suara tawa.
Wulandari terkesiap. Hanya beberapa langkah dari
tempatnya berdiri dilihatnya tegak seorang kakek
bertubuh besar mengenakan pakaian gombrong warna
hijau dengan rambut disanggul tinggi ke atas. Pada
pinggang kakek ini tampak melingkar sebuah ikat
pinggang besar yang di bagian depan perutnya terdapat
sebuah cermin bulat.
"Adakah kedatanganku membuatmu terkejut?!" si
kakek yang bukan lain adalah Gendeng Panuntun ajukan
tanya.
Karena masih dibungkus hawa amarah ditambah
dengan rasa terkejut dengan kemunculan orang,
membuat Wulandari tidak segera menjawab. Malah dia
pelototkan sepasang matanya. Namun kejap lain gadis
ini segera membentak.
"Orang tua! Hari ini aku tak butuh ocehanmu! Lekas
tinggalkan tempat ini!"
Gendeng Panuntun tersenyum. Tangan kanannya
mengusap-usap cermin bulat di depan perutnya.
Kepalanya bergerak mendongak. Lalu terdengarlah
ucapannya.
"Kalau kau tak mau dengar omonganku, biarlah
omonganku akan kudengar sendiri. Hanya sayang
jika...."
"Orang tua!" tukas Wulandari. "Aku tidak main-main!
Kudengar kau buka suara, aku tak segan membuat
mulutmu bungkam!"
"Ah. Siapa berani main-main denganmu, Anak cantik.
Aku bersungguh-sungguh.... Aku ingin dengar
omonganku sendiri. Jika kau tak suka, harap jangan
dengarkan...."
Wulandari yang bersifat tak sabaran, segera melompat
ke depan. Kemarahan yang tadi ditindihnya segera

dimuntahkan. Gadis ini sambil melompat kirimkan satu
jotosan ke arah mulut si kakek.
Wuuuttt!
Terdengar suara tawa pendek Wulandari tersentak
namun makin naik pitam karena bukan saja jotosan
tangannya tak mengenai sasaran, namun di depannya si
kakek mendongak dengan perdengarkan tawa!
Mendadak gadis berjubah kuning ini membuat gerakan
berputar dua kali di atas tanah. Pada putaran ketiga,
dengan mengandalkan kaki sebelah sebagai tumpuan
Wulandari hentikan putarannya tepat saat menghadap
Gendeng Panuntun. Lalu dengan cepat kaki sebelahnya
melesat lepaskan satu tendangan.
Buukkk!
Tendangan kaki Wulandari mendarat telak di mulut
Gendeng Panuntun. Namun untuk kedua kailnya gadis
berjubah kuning ini melengak kaget. Karena jangankan
mengeluh, kepala kakek bertubuh besar ini pun tak
bergeming! Bahkan sambil tertawa-tawa, Gendeng
Panuntun usap-usap mulutnya yang baru saja terkena
tendangan.
"Luar biasa. Tendangan hebat! Sekarang boleh aku
bicara?!" ujar Gendeng Panuntun sambil tersenyum.
Wulandari tegak di atas tanah dengan mata terbeliak
dan mulut terkancing rapat. Di hadapannya, Gendeng
Panuntun usap-usap cerminnya lalu tanpa pedulikan
orang dia buka mulut.
"Manusia memang diberi perasaan marah. Tapi jika
salah tempat akan jadi salah kaprah. Berjalanlah dengan
membawa lentera. Di sana akan kau temui bahtera...."
Meski dada Wuiandari masih disarati dengan rasa
geram, namun diam-diam dia juga menyimak kata-kata
Gendeng Panuntun.
"Sialan betul! Ucapannya menyinggung diriku! Aku tak
mau dengar lagi ucapannya!" ucap Wuiandari dalam hati.
Lalu gadis ini segera keluarkan hardikan keras tatkala

dilihatnya Gendeng Panuntun hendak buka mulutnya
lagi.
"Gendeng Panuntun! Cukup! Tinggalkan tempat ini!"
"Ah. Sebenarnya aku masih ingin mendengar
ucapanku sendiri. Namun karena kau tak berkenan, apa
boleh buat. Aku akan turuti perintahmu tinggalkan tempat
ini. Tapi...."
"Tak ada tapi!" sentak Wuiandari menukas ucapan si
kakek. Kedua tangannya diangkat tinggi siapkan pukulan
'Kabut Neraka'.
"Ah, 'Kabut Neraka'. Jadi kau masih ada sangkut-paut
dengan Durga Ratih."
Wulandari tegak terbelalak. Kedua tangannya tertahan
di udara. Gadis ini diam-diam juga merasa terkejut
bagaimana Gendeng Panuntun tahu bahwa dirinya
hendak siap lepaskan pukulan 'Kabut Neraka', meski dia
juga bertanya-tanya sendiri siapa yang dimaksud dengan
Durga Ratih.
"Orang tua! Jangan bicara sembarangan. Siapa Durga
Ratih?!" kata Wulandari pada akhirnya.
"Sebetulnya aku ingin katakan padamu. Namun
karena sudah waktunya aku tinggalkan tempat ini. jadi
sementara waktu biarlah tersimpan dulu jawaban itu
untuk kita bicarakan lagi suatu hari kelak. Maafkan diri
tua bangka ini...."
Gendeng Panuntun usap-usap cerminnya. Lalu putar
tubuh dan masih dengan mendongak, kakek ini
melangkah ke jurusan selatan.
Wuiandari tatapi punggung orang dengan mata
menerawang jauh.
"Durga Ratih.... Hemmm... Jadi masih ada orang lain
yang memiliki pukulan 'Kabut Neraka'. Aku teringat pada
kecurigaan Ayu Laksmi yang katanya mengenali pukulan
orang. Jangan-jangan orang itu adalah Durga Ratih yang
masih tak berani tunjukkan diri. Ah, aku juga sepertinya
mengenali pukulan perempuan berpunuk tempo hari.
Apakah dia Durga Ratih...? Edan! Kenapa aku jadi
pusing urusan orang? Aku harus segera pergi.... Jika
tidak, aku bisa kehilangan jejak Sitoresmi!"
Berpikir begitu, akhirnya Wuiandari segera berkelebat
tinggalkan tempat yang telah sepi itu.
-oo0dw0oo

SEBELAS

SOSOK berjubah putih yang basah kuyup oleh
keringat itu hentikan larinya saat sepasang
kakinya menginjak lereng bukit Watu Gedeg.
Untuk beberapa lama sepasang matanya
memperhatikan tak berkedip ke seluruh lereng bukit yang
banyak ditumbuhi pohon-pohon besar dan rimbun semak
belukar.
"Beringin kembar.... Itulah tandanya!" desis si sosok
seraya terus mengawasi berkeliling. Lalu orang ini
melompat ke samping. Dari tempatnya kini berdiri, di
antara kerapatan pohon dan rimbun semak belukar,
orang ini melihat dua pohon beringin besar yang berdiri
kokoh berjajar.
Tanpa banyak pikir lagi, orang itu segera berkelebat.
Kejap lain tubuhnya telah tegap di depan dua pohon
beringin besar.
"Beringin kembar. Inilah tempat yang kucari!" gumam
si orang yang ternyata adalah seorang pemuda berparas
tampan dengan rambut panjang mengenakan jubah
besar warna putih. Sosoknya besar tegap. Sepasang
matanya tajam ditingkah dagu kokoh dan mulut selalu
sunggingkan senyum aneh.
Dengan langkah pasti, si pemuda melangkah ke arah
beringin kembar di mana di belakangnya tampak sebuah
gua batu yang telah disamaki lumut hitam. Namun
langkah pemuda ini tertahan ketika tiba-tiba sepasang
telinganya menangkap suara orang mendesah panjang.
Namun sejenak kemudian tempat itu kembali sepi.
Meski kuduknya sedikit meremang, namun si pemuda
teruskan langkah. Baru tiga langkah kembali terdengar
suara orang mendesah. Bahkan kali Ini disusul dengan
suara orang mengerang laksana dicekik!
"Hem.... Dengan terdengarnya suara itu, berarti di sini
masih dihuni manusia! Tapi aneh. Kenapa yang

terdengar hanya desahan panjang dan suara orang
seperti hendak menjerit...?!"
Si pemuda tenangkan hati. Dia tegak diam menunggu.
Tapi kali ini suara itu tidak lagi terdengar. Si pemuda
tajamkan telinga. Tapi suara desahan dan jerit tertahan
itu tak lagi tertangkap telinganya.
"Jangan-jangan orang sekarat hendak...." Si pemuda
kini cepat melompat dan segera menerobos masuk ke
dalam gua batu.
Untuk sesaat si pemuda disambut dengan suasana
gelap. Namun setelah agak terbiasa sepasang matanya
mulai mencari-cari. Saat itulah suara desahan panjang
terdengar lagi. Si pemuda cepat palingkan kepala ke
arah sumber datangnya suara.
Si pemuda mendadak keluarkan suara terperanjat
ketika sepasang matanya melihat sesosok tubuh
tergantung dengan kaki di atas kepala di bawah!
Anehnya, meski tubuh orang ini tampak tergantung, yang
menggantung sosoknya bukanlah tali. Melainkan satu
cahaya hitam berkilat-kilat. Cahaya hitam itu
menggantung mulai dari langit-langit gua sampai
membelit sekujur tubuh orang.
"Ini pasti ulah orang yang memiliki kepandaian luar
biasa! Apakah orang ini yang kucari?!" si pemuda
pandangi berlama-lama tubuh orang yang tergantung.
Ternyata dia adalah seorang kakek mengenakan pakaian
tambal-tambal. Rambutnya putih panjang. Wajahnya
cekung dengan dibalut kulit keriput tipis.
"Harus kupastikan apakah orang ini yang kucari!" kata
si pemuda dalam hati lalu sunggingkan senyum aneh.
"Orang tua! Apakah kau yang bergelar Dewa
Sukma?!"
Sepasang mata orang yang tergantung dengan tali
aneh itu membuka. Namun mulutnya tetap bungkam tak
perdengarkan suara menjawab. Bahkan tak lama
kemudian, sepasang matanya memejam kembali.

"Jangan-jangan dia tak dengar...." Si pemuda ulangi
lagi pertanyaannya dengan suara dikeraskan.
Orang yang tergantung tidak menjawab. Malah
membuka matanya pun tidak, membuat si pemuda mulai
agak jengkel karena dia yakin orang yang ditanya
mendengar suaranya. Tapi karena merasa punya satu
kepentingan, si pemuda menindih rasa geramnya, lalu
kembali berkata dengan suara agak lirih.
"Orang tua! Ada pesan untukmu dari seseorang...."
Si pemuda menunggu. Mula-mula tak ada gerakan
apa-apa dari orang tua tergantung itu. Tapi tak lama
kemudian matanya terbuka. Malah kini menatap tajam ke
arah si pemuda.
"Siapa kau?!" tiba-tiba si kakek ajukan tanya.
Suaranya keras menggelenggar, hingga karena tak
menyangka, si pemuda sempat terkesiap.
"Hem.... Caraku mengena!" desis si pemuda lal
kembali sunggingkan senyum aneh. "Menghadap orang
macam begini, tidak boleh tunjukkan kelemahan. Nama
pun harus terdengar angker!"
Setelah terdiam agak lama, si pemuda akhirnya
menjawab tanya si kakek.
"Aku Malaikat Penggali Kubur! Kau bukankah Jalu
Paksi yang lebih dikenal dengan gelaran Dewa Sukma?
Benar?!"
"Bertahun-tahun malang melintang, hanya beberapa
orang tertentu yang tahu nama asliku. Orang ini masih
muda, tapi rupanya telah tahu banyak tentang diriku...."
"Aku tak mau jawab sebelum kau katakan siapa kau
sebenarnya dan siapa orang yang menitip pesan
padamu!"
"Aku adalah murid tunggal Bayu Bajra. Dialah yang
juga titip pesan padamu!"
"Bayu Bajra adikku...," gumam si kakek. "Hem....
Sepuluh tahun silam dia memang mengatakan punya
seorang murid. Dan kalau pemuda ini sampai tahu nama

asliku juga tempat tinggalku, berarti dia tak berkata
mendustaiku "
"Kek! Ini pasti perbuatan orang. Apa sebenarnya yang
telah terjadi?!" pemuda yang bukan lain adalah Gumara
yang kini mengaku bergelar Malaikat Penggali Kubur
cepat ajukan tanya sebelum si kakek yang ternyata
adalah kakak Bayu Bajra, guru Gumara alias Malaikat
Penggali Kubur buka mulut.
"Gila! Ini memang bukan perbuatan setan. Tapi
perbuatan manusia berhati setan!" ujar si kakek yang
sebenarnya bukan lain adalah Jalu Paksi yang dalam
rimba persilatan lebih dikenal dengan gelar Dewa
Sukma. Seorang tokoh kelas atas yang beberapa puluh
tahun silam bersama tokoh-tokoh besar lainnya sempat
malang melintang meramaikan rimba persilatan.
"Tapi kenapa kau tidak segera bebaskan dirimu, Kek?
Bukankah....”
Jalu Paksi alias Dewa Sukma telah tertawa keras
sebelum ucapan Malaikat Penggali Kubur selesai, hingga
si pemuda putuskan ucapannya.
"Anak mudai Ini bukan tali biasa. Aku bisa bebas
dengan tangan orang lain! Kau mau bantu aku?!"
Malaikat Penggali Kubur tak buka mulut untuk
memberikan jawab, namun diam-diam otaknya
merencana.
"Hai! Kau dengar ucapku. Kenapa tidak memberi
jawab?!" tanya Dewa Sukma.
Malaikat Penggali Kubur sunggingkan senyum aneh.
Seraya melangkah mendekat dia angguk-anggukkan
kepala. Lalu memandangi cahaya hitam yang
menggantung dan membelit sekujur tubuh Dewa Sukma.
"Orang tua. Sebelum aku katakan mau atau tidak, aku
ingin pastikan dulu apakah kau betul-betul Dewa
Sukma?!"
"Kurang ajar! Bukit Watu Gedeg hanya dihuni oleh
satu orang! Dan jika kau tak mengatakan murid Bayu

Bajra adikku, lebih baik aku mati daripada buka mulut
minta bantuan!"
"Hem.... Sekarang katakan apa yang harus
kulakukan!"
"Cari simpul terakhir dari cahaya sialan ini. Kerahkan
sedikit tenaga dalam lalu tarik simpul dengan menahan
napas! Ingat baik-baik. Waktu menarik tali simpul kau
harus membelakangi! Sekali kau lakukan dengan
menghadap, bukan hanya aku yang celaka, namun kau
juga akan menemui ajal! Jelas? Sekarang lakukan! Aku
sudah tak tahan!"
Malaikat Penggali Kubur bukannya segera melakukan
apa yang diperintahkan si kakek. Melainkan pandangi
cahaya hitam seraya manggut-manggut. Dan tiba-tiba
pemuda ini balikkan tubuh dan melangkah menjauh.
"Gila! Apa yang kau lakukan?! Hendak ke mana kau?l"
"Aku tak bisa membantumu, Keki Dan aku sebenarnya
belum yakin benar apakah kau betul-betul Dewa Sukma
adik Eyang guruku!"
"Setan! Kalau tak ikut bertanggung jawab, sudah sejak
lama aku ingin mati saja!" maki si kakek dalam hati. Lalu
berujar dengan suara keras.
"Anak muda! Bebaskan aku dulu, nanti akan
kubuktikan keraguanmu!"
Malaikat Penggali Kubur tersenyum. Lalu balikkan
tubuh menghadap mulut gua. "Kek! Aku yang akan
membantumu. Nyawamu sekarang tergantung padaku.
Jadi aku yang menentukan!"
"Hai! Apa maksudmu?!"
"Pembuktian bahwa dirimu adalah Dewa Sukma harus
kau lakukan sebelum aku membuka ikatan celaka itul
Bagaimana? Aku tak mau tertipu orang yang mengaku-
ngaku sebagai Dewa Sukma."
"Bagaimana aku akan buktikan? Lihat. Aku hanya bisa
buka mulut dan mata!"
"Justru dari situlah aku butuh pembuktian itu!"

"Hem.... Katakan apa sebenarnya yang kau mau!"
"Eyang guru pernah mengatakan bahwa kau
memegang peta tempat tersimpannya kitab sakti Serat
Biru. Sekarang katakan di mana kau simpan peta itu!
Kau cukup buka mulut saja!"
Dewa Sukma menggerendeng tak habis-hablsnya
dalam hati. Sepasang matanya menyipit membesar
perhatikan tak berkesip pada punggung Malaikat
Penggali Kubur. Yang dipandangi tersenyum aneh.
Pemuda murid Bayu Bajra Ini sebenarnya sejak semula
sudah memendam niat buruk. Dasar sifatnya pun tinggi
hati. Namun dengan kelicikannya dia dapat menyimpan
dan menyembunyikan sifat aslinya. Hingga gurunya
sendiri tak tahu jika muridnya mempunyai maksud
tertentu di balik sikap baiknya selama lima belas tahun
menimba ilmu.
Seraya masih membelakangi, Malaikat Penggali Kubur
berujar.
"Kau tak buka mulut. Berarti kau bukan Dewa Sukma.
Hem.... Selamat tinggal!"
Malaikat Penggali Kubur melangkah. Tapi sebelum
kakinya bergerak, Dewa Sukma telah berteriak.
"Tunggul!
"Aku ada perlu lain yang penting. Lekas katakan atau
aku tinggalkan tempat ini!"
"Benar-benar sialan pemuda ini! Hem.... Kalau saja
aku tak merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi
menimpa rimba persilatan...."
"Anak muda!" akhirnya Dewa Sukma berkata. "Hantam
mulut gua sebelah kiri!"
"Kau rupanya ingin permainkan aku, Orang tual"
"Sialan kurang ajar! Siapa main-main?! Lakukan apa
yang kukatakan atau kau tak akan mendapatkan bukti
itu!"

"Hem.... Jangan-jangan peta Itu disimpan di mulut gua
yang dikatakannya. Betul-betul tempat simpanan yang
tak terduga!" pikir Malaikat Penggali Kubur.
Pemuda murid Bayu Bajra ini melangkah perlahan ke
arah mulut gua, sejenak sepasang matanya
memperhatikan batu yang menjadi bagian dari mulut
gua.
"Jika kau menipu, bukan saja aku akan tinggalkan
tempat ini, tapi aku akan mengantarmu ke liang akherat!"
desis Malaikat Penggali Kubur. Lalu serta-merta
gerakkan tangan kanannya menjotos mulut gua sebelah
kiri. Karena jotosan itu mengandung tenaga dalam,sekali
jotos batu besar pasti akan hancur berkeping-keping.
Tapi Malaikat Penggali Kubur jadi terkesiap.
Jotosannya hanya membuat mulut gua bergetar!
Sementara tak secuil pun mulut gua Itu bertaburan.
"Kau harus kerahkan segenap tenaga dalammu, Anak
muda!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Dia segera
kerahkan segenap tenaga dalamnya.Dan sekonyong-
konyong kedua tangannya bergerak sekaligus
menghantam mulut gua.
Bukkk! Buukkk!
Byaarrr!
Mulut gua sebelah kiri hancur berantakan. Di antara
hamburan batu si pemuda melihat benda mirip kotak
yang terlempar keluar.
Tanpa pikir panjang lagi, Malaikat Penggali Kubur
segera melesat menghambur keluar. Kotak berwarna
hitam yang tergeletak nyangsrang di antara rumpun
semak belukar cepat diambil.
Dengan dada bergetar, kotak hitam segera dibuka.
Mata Malaikat Penggali Kubur tiba-tiba mendelik besar
tatkala dapati kotak hitam itu tidak berisi apa-apa!
"Jahanam! Penipu busuk!" kotak hitam dibanting. Dan
serta-merta tubuhnya melesat ke dalam gua. Tegak

dengan mulut terkancing tiga langkah di hadapan tubuh
Dewa Sukma yang tergantung.
Dewa Sukma tersenyum. Lalu berujar lirih.
"Jangan berlaku bodoh, Anak muda! DI dalam kotak
itu kau memang tak akan menemukan peta. Namun jika
kau buka lapisan bagian tutup kotak, di situ akan kau
dapatkan peta itu! Ayo sekarang bebaskan akui"
"Akan kubuktikan dahulu ucapanmu!" kata Malaikat
Penggali Kubur, lalu bergerak lagi berkelebat keluar.
Sementara di dalam gua Dewa Sukma kembali hanya
bisa menghela napas.
Di luar gua, Malaikat Penggali Kubur segera lakukan
seperti apa yang dikatakan Dewa Sukma. Dan
mendadak terbelalaklah mata murid Bayu Bajra ini. Pada
lapisan penutup kotak dia menemukan lipatan kain putih
yang ketika dipentangkan terlihat gambar sebuah peta!
"Aku berhasil! Ha... ha... ha...!"
"Hai! Sekarang giliranmu lakukan apa yang
kuperintah!" Dari dalam gua Dewa Sukma berteriak.
"Dewa Sukma. Kau masih inginkan peta ini?!" Dari luar
Malaikat Penggali Kubur ajukan tanya.
"Hai! Apa maksudmu?!"
"Akan kubuktikan dahulu apakah peta ini asli atau
palsu!"
"Setan! Bagaimana harus membuktikannya?!"
"Kau tidak bodoh Dewa Sukma! Aku akan melakukan
perjalanan menurut apa yang tertera dalam peta ini. Jika
terbukti benar sampai ke Pulau Biru, berarti peta ini asli.
Jadi harap kau bersabar menunggu sampai aku tiba
kembali. Ha... ha... ha...!"
"Jahanam! Setan Alas! Kau menipuku!" teriak Dewa
Sukma.
"Berteriaklah sepuasmu, Dewa Sukma. Itu akan
mempercepat hari kematianmu! Ha … ha … ha … !"
Suara tawa Malaikat Penggali Kubur makin lama
makin perlahan sebelum akhirnya lenyap.


DUA BELAS

KIRA-KIRA baru seratus tombak dari tempat di
mana Dewa Sukma berada, tepatnya pada
satu dataran luas yang jarang di tumbuh!
pohon dan semak-belukar, satu teguran keras
mendadak terdengar, Gumara yang kini menggelari diri
dengan julukan Malaikat Penggali Kubur bukan saja
tersentak kaget, namun juga memutuskan suara
tawanya.
“Garis kehidupanmu mujur, Anak muda! Kulihat kau
tertawa-tawa sendirian. Tentu kau baru saja mendapat
rejeki besar. Sudi berbagi rejeki itu barang sedikit
denganku?!”
"Meski aku belum bisa memastikan apakah peta Ini
asli atau palsu, namun tidak akan kubiarkan anak
manusia jenis apa pun yang hendak menyentuhnya!
Aneh, dari mana bangsat itu tahu aku mendapat rejeki?
Tentu yang dimaksud adalah peta ini. Hemmm...."
Meski baru saja jejakkan kaki di rimba persilatan,
namun karena pemuda murid Bayu Bajra ini punya sifat
tinggi hati walau dia tak menunjukkan di depan gurunya,
dia segera putar diri lalu berkacak pinggang dengan
sepasang mata menyengat tajam memandang tak
berkesip ke depan.
Dari tempatnya berdiri, Malaikat Penggali Kubur
melihat seorang kakek bertubuh tinggi kurus. Sepasang
matanya besar melotot. Rambutnya panjang kelimis
diuraikan ke depan, hingga raut wajah kakek ini hanya
terlihat samar-samar. Dia mengenakan pakaian panjang
gombrang sebatas mata kaki berwarna hitam.
Keangkeran sosok kakek ini makin nyata jika orang
melihat pada raut wajahnya yang kelihatan samar-samar,
karena ternyata warna kulit wajahnya hitam legam!
Kelopak matanya juga terlihat besar. Si kakek tegak
dengan sedikit tengadah dan kedua tangan merangkap

di depan dada. Lalu terlihat sepasang matanya bergerak
memejam. Hingga kini dari balik uraian rambutnya yang
tampak raut hitam angker!
Walau Malaikat Penggali Kubur merasa memiliki
kepandaian tinggi dan pada dasarnya punya sifat
sombong, melihat tampang si kakek mau tak mau
membuat hatinya berdebar. Namun semua itu hanya
sekejap. Di lain kejap sifat aslinya muncul.
Sambil ikut dongakkan kepala, Malaikat Penggali
Kubur perdengarkan dengusan keras. Lalu terdengarlah
suara bentakannya.
"Siapa kau?! Berani menghadang, selembar nyawamu
melayang!"
Si kakek luruskan kepalanya menghadap Malaikat
Penggali Kubur. Sepasang matanya masih tetap
terpejam rapat. Tiba-tiba si kakek tertawa bergetok.
"Melihat kau tanya siapa aku, jelas pertanda kau
masih bau kencur dalam dunia persilatan! Hem.... Tapi
tak ada salahnya kita berkenalan. Pasang telinga baik-
baik! Dunia persilatan memberi julukan padaku Datuk
Hitam! Kau sendiri siapa?!"
Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. "Aku
Malaikat Penggali Kubur! Manusia yang membuat liang
untuk kuburkan siapa saja yang berani ikut campur
semua urusanku! Kau dengar?!"
"Hem... Begitu? Pasti kau memiliki ilmu hebat. Tapi
ucapan setinggi langit hanya akan ditertawakan orang
tanpa tunjukkan bukti! Dan jangan mengira Datuk Hitam
lari terkentut-kentut dengar ancaman orang!"
"Inilah saat-saat yang selama Ini kutunggu. Menjajal
ilmu yang telah kupelajari selama lima belas tahun...,"
batin Malaikat Penggali Kubur. Kemudian alihkan
pandangannya pada jurusan lain seraya berkata.
"Akan kulipat lidahmu hingga tak bisa bicara,
kubungkam mulutmu hingga tak dapat tertawa sebagai

bukti ucapan Malaikat Penggali Kubur bukan seperti
busa di lautan!"
"Hem.... Bangsat tengik sombong Ini nampaknya
memang berbekal ilmu. Tapi apakah dia benar-benar
telah mendapatkan peta itu? Dia datang dari jurusan di
mana Dewa Sukma berada. Wajahnya cerah berseri....
Kalau belum tahu dengan mata kepalaku sendiri,
bagaimana aku bisa membuktikannya?!" kata Datuk
Hitam dalam hati. Lalu berujar.
"Bagi Datuk Hitam, nyawa manusia tidak ada
harganya. Namun saat ini tanganku masih bisa diajak
kompromi. Hanya saja hal itu harus mendapat imbalan.
Dari itulah aku tadi menawarkan padamu untuk memberi
sediki rejeki yang sudah kau peroleh!"
“Jehanam! Apa yang kau maksud dengan rejeki,
hah?!" hardik Malaikat Penggali Kubur sambil palingkan
kembali kepalanya.
Datuk Hitam tertawa berbahak. "Kau datang dengan
tertawa-tawa dari arah tempat Dewa Sukma. Kalau tidak
mendapat rejeki dari Dewa Sukma, mana mungkin kau
berbuat begitu? Hanya orang gila yang tertawa sendiri
tanpa ada sebab!"
Rahang Malaikat Penggali Kubur mengembang, pelipis
kiri kanannya bergerak-gerak. Sepasang matanya
terpentang angker, pertanda dadanya telah terbungkus
hawa amarah. Namun Malaikat Penggali Kubur segera
tersenyum aneh. Pemuda ini selain berhati sombong
ternyata juga memendam sifat licik dan pura-pura.
Bahkan begitu liciknya, sampai-sampai gurunya tak
mengetahui sifat asli muridnya ini.
"Datuk Hitam!" ucap Malaikat Penggali Kubur. "Orang
tertawa bukan selamanya karena mendapat rejeki.
Demikian juga dengan apa yang kualami saat Ini!"
"Hem.... Jika begitu, katakan apa yang membuatmu
seperti orang gila itu!"

Meski dadanya bergemuruh disebut seperti orang gila,
tapi si pemuda bukannya naik pitam. Sebaliknya dia
hanya tersenyum, lalu berkata.
"Aku memang datang dari tempat Dewa Sukma untuk
menyampaikan pesan seseorang. Tapi sampai di sana,
pesan itu terpaksa urung kusampaikan secara langsung,
dan hanya kutulis lalu kuletakkan di depan tempat
tinggalnya. Lalu aku pergi begitu saja dan bertemu
denganmu di sini!"
"Keparat! Aku tanya kenapa kau bertingkah seperti
orang gila!" sentak Datuk Hitam seraya goyang-
goyangkan kepala, hingga rambutnya yang mengurai
kedepan bergerak sedikitmenyibak ke kiri kanan.
"Yang kau tanyakan itulah yang juga menyebabkan
aku urungkan niat sampaikan pesan. Aku tak bisa
katakan padamu, lebih baik kau melihatnya sendiri saja!"
Lalu tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak-
gelak.
"Aku tak percaya ucapan orang gila sepertimu!”
"Percaya atau tidak itu urusanmu! Aku hanya ingin
mengatakan bahwa kau juga akan berlaku mirip orang
gila jika telah melihatnya sendiri!"
"Herrm,... Aku jadi ingin lihat apa sebenarnya yang
terjadi. Tapi aku tidak mudah dipecundangi ucapan anak
bau kencur seperti dia...,’' desis Datuk Hitam. Lalu maju
selangkah dan berkata.
"Mendengar ceritamu, aku tak sabar ingin melihatnya.
Tapi sebelum itu, serahkan dulu peta itu padaku!"
Tampang Malaikat Penggali Kubur langsung berubah.
Untuk beberapa saat, sepasang matanya tak berkesip
pandangi sosok Datuk Hitam. "Jahanam ini ternyata telah
tahu. Sialan betul! Tapi apa hendak dikata. Pantang
serahkan benda yang telah berada di tangan!" batinnya.
Di depan sana, Datuk Hitam jerengkan sepasang
matanya. Sekali lihat dia telah tahu apa yang
berkecamuk dalam dada si pemuda.

"Hemm.... Gertakku nyatanya tidak sia-sia. Perubahan
wajahnya menunjukkan bahwa bangsat itu telah
mendapatkan rejeki dari Dewa Sukma. Heran.... Dewa
Sukma bukanlah tokoh yang begitu saja bisa dibikin
mampus, apalagi serahkan peta yang menyimpan benda
sakti. Untuk urusan Ini saja aku siapkan diri bertahun-
tahun lamanya. Kalau bangsat itu berhasil mendapatkan
peta itu, berarti dia bukan lawan yang dapat dipandang
enteng...." Diam-diam Datuk Hitam juga berkaia dalam
hati. Setelah berpikir sejurus, akhirnya Datuk Hitam
berujar.
"Bagaimana?! Jangan banyak pikir. Waktuku hanya
sedikit! Ada urusan lain yang harus cepat kuselesaikan!"
Malaikat Penggali Kubur mendengus keras. Namun
sejauh ini dia belum beri jawaban. Hingga Datuk Hitam
kembali buka mulut.
"Baik! Mungkin aku harus menunda dahulu urusanku.
Dan...."
"Kau tak akan pernah selesaikan urusanmu, Datuk
Hitam! Hari ini aku telah menggali lobang kubur
untukmu!" tukas Malaikat Penggali Kubur.
"Hemm.... Kita buktikan untuk siapa lobang kubur yang
kau gali! Jangan-jangan kau gali lobang kubur untuk
dirimu sendiri!" kata Datuk Hitam lalu tertawa berderai.
Namun suara tawa itu mendadak terputus laksana
dirobek setan ketika tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur
membuat gerakan seperti menyembah. Kedua
tangannya saling menakup dan diangkat sejajar kening.
Lalu kaki kanannya ditarik sedikit ke belakang. Kejap lain
tubuhnya melesat ke depan dengan kedua tangan
lepaskan satu pukulan ke arah kepala Datuk Hitam!
Datuk Hitam dongakkan kepala tanpa membuat
gerakan menghindar. Begitu sejengkal lagi kedua tangan
Malaikat Penggali Kubur menghantam pecah batok
kepalanya, kakek berwajah hitam ini angkat kedua
tangannya.

Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan saling beradu keras. Datuk Hitam
rasakan sapuan luar biasa keras, hingga begitu terjadi
bentrok tangan, sosok kakek ini terjajar satu tombak ke
belakang. Ketika si kakek singkapkan kain di bagian
lengannya, dia terlengak kaget mendapati lengan
tangannya menggembung berwarna merah! Si kakek
cepat alirkan tenaga dalam, lalu pandangi Malaikat
Penggali Kubur dengan mata mendelik angker.
Saat itu, Malaikat Penggali Kubur tampak tegak
dengan sepasang kaki goyang. Namun raut wajahnya
jelas memendam rasa sakit. Malah kejap itu juga
sepasang matanya bergerak terpejam. Namun sejurus
kemudian membuka kembali dan balas menatap
pandangan Datuk Hitam dengan senyum seringai!
Datuk Hitam diam-diam bertanya-tanya sendiri dalam
hati tentang siapa sebenarnya adanya si pemuda. Dia
memang telah tahu jika Dewa Sukma adalah seorang
tokoh yang memiliki ilmu tinggi, tapi dengan sekali
bentrok tadi, dia sadar bahwa tidak mustahil jika si
pemuda dapat mengimbangi Dewa Sukma. Hal Itu
membuatnya tidak berani bertindak ayal. Bukan saja
karena bisa mendapat celaka, tapi persiapannya
bertahun-tahun hanya akan sia-sia.
Berpikir sampai di situ, Datuk Hitam segera kerahkan
tenaga dalam pada kedua tangan dan kakinya. Kejap itu
juga sepasang kaki si kakek bergerak-gerak. Dan....
Blepp! Bleepp!
Sepasang kaki Datuk Hitam masuk ke dalam tanah
sebatas mata kaki.
Malaikat Penggali Kubur sedikit terkesiap. Karena
bersamaan dengan masuknya kaki si kakek ke dalam
tanah, tempat dia tegak berdiri bergetar keras! Belum
tahu apa yang hendak diperbuat si kakek, mendadak si
kakek melesat ke atas. DI udara dia membuat gerakan
telentang, tiba-tiba seraya masih telentang tubuhnya

berputar cepat dan menggebrak lurus ke arah Malaikat
Penggali Kubur dengan sepasang kaki mencuat dari
balik pakaian hitamnya, lepaskan satu tendangan
dahsyat!
Malaikat Penggali Kubur pentangkan sepasang
matanya dengan kedua tangan diangkat siap kirimkan
pukulan. Namun sebelum tangannya bergerak, si
pemuda rasakan deruan angin luar biasa kencang.
"Keparat!" umpat Malaikat Penggali Kubur lalu arahkan
kedua tangannya ke depan. Baru tangannya bergerak
setengah jalan hendak lepaskan pukulan, tubuhnya
terhuyung ke belakang hingga kedua tangannya oleng ke
atas dan pukulannya melenceng menghajar tempat
kosong di udara.
Malaikat Penggali Kubur kertakkan rahang, dia lipat
gandakan tenaga dalam, lalu kedua tangannya kembali
diangkat ke atas siap lancarkan pukulan. Namun pemuda
murid Bayu Bajra ini jadi terkesiap. Deru angin yang
datang dari arah depan begitu luar biasa dahsyat, hingga
sebelum dia sempat hantamkan kedua tangannya
lepaskan pukulan, tubuhnya tersapu ke beiakang sampai
empat langkah! Kejap kemudian sepasang kaki tampak
mencuat dari balik pakaian hitam di depan hidung
Malaikat Penggali Kubur!
Bukkk!
Sosok Malaikat Penggali Kubur terpental. Datuk Hitam
segera pula berkelebat di udara, memburu tubuh
Malaikat Penggali Kubur. Lalu untuk kedua kalinya kaki
kanannya bergerak lepaskan satu tendangan.
Bukkk!
Malaikat Penggali Kubur berseru tertahan. Tubuhnya
melayang dan terbanting di udara. Lalu menghujam ke
bawah dan terpuruk dengan kepala lebih dulu menghajar
tanah!
Malaikat Penggali Kubur rasakan tubuh dan kepalanya
laksana pecah. Tapi mendapati gelagat bahaya belum


selesai, pemuda murid Bayu Bajra ini segera kerahkan
tenaga dalam, lalu secepat kilat bergerak bangkit dan
tegak dengan kaki terkembang.
Dua tombak di hadapannya, si pemuda melihat Datuk
Hitam goyang-goyangkan kepala lalu tertawa terbahak
dengan kepala tengadah dan mata terpejam. Mendadak
Datuk Hitam ulurkan tangannya ke depan.
"Peta Itu atau akan kuambil beserta nyawamu
sekalian!"
Malaikat Penggali Kubur katupkan mulut. Sejenak dia
terkesiap, karena mulutnya terasa asin pertanda ada
darah yang menunjukkan bahwa dirinya telah terluka
bagian dalam.
"Ha... ha... ha...l" Tiba-tiba Datuk Hitam perdengarkan
tawa panjang. Lalu berkata. "Jangan bertindak bodoh!
Kau telah terluka, memutus selembar nyawamu saat ini
bagiku semudah membalik telapak tangan!"
Malaikat Penggali Kubur tak hiraukan ucapan orang.
Sebaliknya dia kepalkan tangan.
Tak menunggu lama, si pemuda segera angkat kedua
tangannya. Seraya membentak garang, dia pukulkan
kedua tangannya ke arah Datuk Hitam.
Wuuttt! Wuttt!
Dari kepalan tangannya membersit sinar terang,
namun cuma sekejap, kejap lain terdengar deru luar
biasa dahsyat, pada saat bersamaan menghampar
gelombang angin laksana gelombang yang
menggidikkan dan menebar hawa luar biasa panas!
Inilah pukulan sakti 'Telaga Surya', satu pukulan sakti
yang telah diwarisi dari Bayu Bajra dan telah lima belas
tahun dilatih dan dipelajarinya.
Beberapa puluh tahun silam, pukulan ‘Telaga Surya'
sempal membuat guru Malaikat Penggali Kubur yakni
Bayu Bajra ditakuti dan disegani lawan dan kawan.
Bahkan hanya beberapa tokoh saja yang dapat
mengimbangi kehebatan pukulan 'Telaga Surya'. Hingga

saat pukulan Itu dilepas oleh Malaikat Penggali Kubur,
Datuk Hitam terlihat tersirap kaget.
Kakek berpakaian gombrong panjang berwarna hitam
Ini segera rentangkan kedua telapak tangannya.
Terdengar suara berkeretekan. Lalu serta-merta Datuk
Hitam dorong kedua telapak tangannya ke depan.
Wuusss! Wuusss!
Meiesat dua jalur hitam di udara yang bukan saja
membuat tempat itu berubah gelap gulita, namun juga
perdengarkan suara keras laksana gemuruh badai dan
menyambarnya angin luar biasa kencang!
Inilah pukulan sakti Datuk Hitam yang disebut 'Puspa
Jagat'. Satu pukulan yang menghantar Datuk Hitam
menjadi salah satu momok rimba persilatan dan juga
membuat dirinya sebagai tokoh jajaran atas yang
menjadikan beberapa tokoh harus berpikir dua kali untuk
coba-coba mencari urusan dengan Datuk Hitam. Selain
memiliki pukulan sakti 'Puspa Jagat', Datuk Hitam juga
dikenal memiliki ilmu 'Mendera Bayu'. Satu ilmu yang
membuat sang Datuk bisa telentang dan berputar cepat
di atas udara. Sementara lawan akan merasakan sapuan
gelombang angin luar biasa dahsyat. Ilmu 'Mendera
Bayu' Inilah yang tadi membuat Malaikat Penggali Kubur
terhuyung-huyung dan pukulan yang dilepas melenceng
jauh di udara.
Bummm!
Terdengar ledakan hebat saat pukulan 'Telaga Surya'
yang dilepas Malaikat Penggali Kubur beradu dengan
pukulan 'Puspa Jagat' yang dikirim Datuk Hitam.
Suasana yang sebentar tadi gelap gulita karena bias
pukulan 'Puspa Jagat' bertambah pekat katika hamburan
tanah akibat bentroknya dua pukulan bertabur
menyungkup tempat itu.
Sosok Malaikat Penggali Kubur tampak mencelat
mental sejauh dua tombak, terhuyung-huyung beberapa
kali sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan wajah

laksana tak berdarah. Napasnya megap-megap dan
darah kehitaman keluar membasahi jubah putihnya.
"Iblis Jahanam!" rutuk Malaikat Penggali Kubur dengan
suara mendesis. "Aku tak mungkin teruskan pertarungan
ini dengan keadaan begini! Aku bisa mendapat celaka
dan peta Ini akan jatuh ke tangan setan tua itu! Hemm...."
Malaikat Penggali Kubur angkat kepalanya dan
memandang berkeliling. Saat itu suasana masih
dibungkus kepekatan.
"Tunggulah Setan tua! Urusan kita belum selesai.
Kelak urusan ini akan kita tuntaskan!" gumam si pemuda,
lalu secepat kilat dia bergerak bangkit dan secepat itu
pula dia berkelebat tinggalkan tempat Itu.
Saat suasana terang kembali, Datuk Hitam yang juga
tampak terduduk dengan tubuh bergetar dan bergumam
tak jelas, pentangkan sepasang matanya tak berkesip.
Seakan tak percaya dengan pandangan matanya, kakek
ini gerakkan tangan kanan menyibak uraian rambutnya
yang menutupi wajah. Tiba-tiba kakek Ini keluarkan
sumpah serapah tidak karuan ketika menyadari bahwa
Malaikat Penggali Kubur benar-benar telah pergi
tinggalkan tempat itu.
"Anak keparat itu benar-benar memiliki ilmu yang tak
boleh dipandang sembarangan! Apakah dia betul-betul
telah mendapatkan peta itu dari Dewa Sukma? Dan apa
yang dilakukan Dewa Sukma hingga anak jahanam tadi
tertawa mirip orang gila?! Hem.... Kalau tak melihat
sendiri, bagaimana aku mendapat jawaban pasti?!"
Datuk Hitam berpikir, lalu bergerak bangkit. Setelah
yakin bahwa Malaikat Penggali Kubur betul-betul tidak
ada di tempat itu, sang Datuk jejak tanah. Tanah itu
terbongkar, dan bersamaan itu sosok Datuk Hitam
berkelebat.
-oo0dw0oo

Pada satu tempat di mana tampak dua pohon beringin
kembar berdiri kokoh, Datuk Hitam hentikan larinya.
Sepasang matanya dijerengkan memandang seantero
tempat itu. Saat matanya menangkap sebuah gua tak
jauh di belakang pohon, sang Datuk kembali melesat ke
depan. Lalu berhenti lima langkah di depan mulut gua.
"Hemm.... Mulut gua bagian kiri tampak berantakan. ini
pasti perbuatan tangan manusia! Sialan! Jangan-jangan
ini perbuatan anak keparat itu!" desah Datuk Hitam
dengan sepasang mata memeriksa dengan tajam.
"Tampaknya hal ini dilakukan dengan sengaja! Orang
yang memukul mulut gua sepertinya menjaga agar ada
sesuatu yang tak terkena pukulan"
Paras wajah Datuk Hitam mendadak berubah.
Mulutnya komat-kamit dengan mata mendelik angker.
"Jahanam busuk!" terdengar umpatan dari mulutnya.
"Jangan-jangan anak bangsat Itu benar-benar telah
mendahuluiku mendapatkan peta itu!"
Tanpa pikir panjang lagi, Datuk Hitam segera
berkelebat masuk ke dalam gua. Sepasang matanya
segera menyapu ke seluruh ruangan gua. Tiba-tiba
kepala sang Datuk yang ikut bergerak berputar terhenti.
Sepasang matanya makin membeliak. Seraya angkat
tangannya menyibak uraian rambut yang menghalangi
pandangannya, sang Datuk berkata pelan.
"Hemm.... Yang ini pasti bukan perbuatan si anak
jahanam itu! Setan alas! Berarti telah banyak orang yang
datang mendahuluiku!"
"Melihat keadaannya bukan satu purnama dua
purnama dia tergantung seperti itu! Jika bukan orang
yang berkepandaian tinggi, pasti sudah mampus sejak
lama...," gumam Datuk Hitam tatkala melihat satu sosok
tergantung dengan kaki di atas dan kepala di bawah.
Sosok ini tergantung dengan satu tali berupa sinar hitam

yang bukan saja menggantung tubuhnya namun juga
membelit sekujur tubuhnya.
"Siapa yang mempunyai perbuatan gila ini? Tapi
aneh.... Tapi siapa pun manusianya yang punya ulah ini
bagiku tidak penting! Jauh lebih penting mengetahui
apakah peta itu masih di tangannya atau sudah
berpindah tangan!"
Datuk Hitam pandang sekali lagi pada sosok yang
tergantung dan bukan lain adalah Dewa Sukma. Lalu
seraya tengadah dia berkata.
"Dewa Sukma! Tentu tidak enak hidup bergelantungan
begitu rupa. Sebagai sahabat aku ingin sekali
menolongmu. Apa jawabmu?!"
Dewa Sukma tidak buka mulut untuk memberi
jawaban. Bahkan sepasang matanya pun tetap terpejam
rapat. Hanya tarikan napasnya yang terdengar berat.
Mungkin menduga Dewa Sukma tidak mendengar
ucapannya karena tubuhnya telah iemah, Datuk Hitam
ulangi lagi ucapannya dengan suara agak keras. Namun
sejauh ini orang yang diajak bicara tetap diam.
"Kau mendengar! Jangan berlagak tuli!" hardik Datuk
Hitam geram karena pertanyaannya tidak terjawab.
Beberapa saat berlalu. Perlahan Dewa Sukma buka
kelopak matanya. Lalu memandang pada Datuk Hitam.
Tapi mulutnya tetap terkancing tak perdengarkan
sepatah kata.
"Dewa Sukma! Aku telah tawarkan pertolongan
padamu. Harap kau suka beri jawaban!"
"Nada ucapanmu mengisyaratkan kau punya pamrih
dalam urusan tawar menawar ini.... Sebelum kujawab
tanyamu, aku tanya padamu. Apa yang ada di balik
ucapanmu!"
Datuk Hitam tertawa pelan. "Ternyata kau pandai
menduga. Terus terang saja, aku akan menolongmu
dengan syarat berikan padaku peta itu!"

Meski tampak lemah, Dewa Sukma perdengarkan
tawa pelan. Sejenak kemudian dia berkata. "Harap kau
suka tinggalkan aku sendirian!"
"Dewa Sukma...."
"Aku tak suka bicara dua kali!" potong Dewa Sukma
sebelum Daluk Hitam selesaikan ucapannya.
"Jahanam!" dengus sang Datuk. “Datang jauh-jauh
percuma jika berhampa tangan. Tak mendapat peta,
nyawamu pun jadilah!"
Habis berkata begitu, Datuk Hitam angkat kedua
tangannya dengan telapak terkembang. Sang datuk siap
lepaskan pukulan sakt! 'Puspa Jagat'. Tapi sebelum
telapak tangan sang datuk bergerak, satu suara
membuat orang tua bertampang hitam angker Ini
melengak kaget.
"Masih pantaskah lepaskan pukulan 'Puspa Jagat'
untuk membunuh orang yang tak bisa melawan? Hik...
hik... hik...
Datuk Hitam cepat putar diri. Namun hingga sepasang
matanya dlbeliakkan besar-besar dan uraian rambut di
wajahnya disibakkan, sang datuk tidak melihat siapa-
siapa !

                           SELESAI

PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOKO SABLENG
Segera terbit:
seriai Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131
dalam episode :
KITAB SERAT BIRU

Share:

0 comments:

Posting Komentar