..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 25 November 2024

JOKO SABLENG EPISODE PESANGGRAHAN KERAMAT

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

PESANGGRAHAN 

KERAMAT

Hak Cipta Dan Copy Right

Pada Penerbit

Dibawah Lindungan Undang-Undang

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Serial Joko Sableng

Dalam Episode :

Pesanggrahan Keramat



SATU


MATAHARI telah jatuh di bentangan 

kaki langit sebelah barat. Angin malam 

yang dingin menusuk tulang mulai 

berhembus. Bersamaan dengan itu dari 

ufuk sebelah tenggara perlahan-lahan 

bulan bulat penuh yang bersinar putih 

kekuning-kuningan mulai menapak menuju

hamparan angkasa raya, membuat lintasan 

bumi kembali benderang setelah sesaat 

digenggam kepekatan dengan tenggelamnya 

sang matahari.

Di bawah jilatan sang rembulan dua 

penunggang kuda terlihat meluncur deras 

menuju rimba belantara sepi di kaki 

gunung. Untuk beberapa lama 

hentakan-hentakan ladam kaki kuda 

menyentak memecah kesenyapan kawasan 

yang menuju kaki gunung. Tapi kesunyian 

kembali membungkus tatkala kedua 

penunggang kuda ini hentikan kuda 

tunggangan masing-masing di tepi bagian 

timur rimba belantara.

Sejurus kedua penunggang ini 

sama-sama diam di atas punggung kuda 

masing-masing. Mulut masing-masing 

orang terlihat terkancing rapat. Hanya


sepasang mata mereka yang tak berkedip 

menyapu ke sekitar tempat itu.

Tak berselang lama, penunggang kuda

sebelah kanan membuat gerakan dengan 

memalingkan wajahnya pada penunggang 

kuda di sebelah kirinya. Sejenak 

keduanya saling berpandangan.

"Kita hampir sampai ditujuan..." 

bisik penunggang kuda sebelah kanan 

seraya usap-usap wajahnya yang 

keringatan. Dia adalah seorang laki-laki 

setengah baya. Mengenakan pakaian warna 

biru gelap dengan ikat kepala warna 

merah. Rambutnya panjang sebahu dan 

telah berwarna dua. Sepasang matanya 

tajam. Kumis dan jenggotnya lebat, 

hingga yang tampak di bawah hidung 

hanyalah jutaian rambut sampai di depan 

leher. Sedangkan penunggang kuda sebelah 

kiri adalah juga seorang laki-laki yang 

usianya kira-kira enam puluh tahun. 

Mengenakan pakaian warna merah dengan 

ikat kepala hitam. Kepalanya gundul. 

Wajahnya juga bersih dari rambut. 

Sepasang matanya melotot besar dan 

menjorok keluar. Pada telinga kanannya 

terlihat sebuah anting-anting besar dari 

akar laut berwarna hitam.

"Aku juga telah membaui tubuh 

manusia. Berarti sasaran kita memang


berada di kawasan ini dan tak jauh dari 

tempat kita!" laki-laki berkepala botak 

menyahut dengan suara ditahan. Lalu 

kedua tangannya diangkat diusap-usapkan 

pada kepalanya yang plontos. Bibirnya 

sunggingkan senyum seringai.

Laki-laki yang di sebelah kanan 

menghela napas dalam-dalam. Lalu 

mendongak memandangi rembulan.

"Randu Sabrang...," katanya 

memanggil nama laki-laki berkepala 

botak. "Sebenarnya aku masih kurang 

percaya dengan kabar yang berhasil kita 

sirap ini. Mengingat saat ini rimba 

persilatan dalam keadaan keruh. Fitnah 

dan kabar bohong merebak di mana-mana. 

Aku khawatir, jangan-jangan apa yang 

kita lakukan adalah sebagian kabar 

bohong itu! Kabar yang mengantarkan kita 

terjebak dan menemul ajal seperti 

beberapa orang yang akhir-akhir ini 

tewas secara bergelombang...."

Laki-laki berkepala botak yang 

dipanggil Randu Sabrang berpaling. 

Sepasang matanya yang melotot besar 

memandang tak berkedip. Namun sesaat 

kemudian bibirnya sunggingkan senyum 

sinis.

"Uli Santang! Aku menangkap 

keragu-raguan dalam ucapanmu. Kau


tampaknya takut menghadapi orang yang 

akan kita temui!"

Laki-laki setengah baya yang 

berambut panjang dan dipanggil dengan 

nama Uli Santang keluarkan dengusan 

pelan tanpa berpaling. Setelah tertawa 

pendek dia berkata.

"Randu Sabrang. Harap kau jaga 

kata-katamu! Aku tak pernah gentar 

berhadapan dengan siapa saja. Aku hanya 

khawatir jika masuk perangkap kabar 

dusta, hingga penyelidikan kita hanya 

akan berakhir dengan kesia-siaan! 

Apalagi yang sedang kita cari dan kita 

selidiki adalah sesuatu yang saat ini 

menjadi pembicaraan banyak orang."

Meski agak jengkel dengan ucapan Uli 

Santang, namun si gundul Randu Sabrang 

coba menindihnya. Tapi dagunya yang 

masih tampak kokoh terlihat terangkat 

sedikit, sementara sepasang matanya yang 

menjorok keluar berputar liar, 

memandangi laki-laki di sebelahnya yang 

masih tengadah.

"Lantas apakah kita akan balik 

jalan?!" tanya Randu Sabrang dengan 

suara datar.

Untuk kesekian kalinya si gondrong 

Uli Santang keluarkan suara tawa pendek.


Kepala bergerak lurus, lalu menggeleng 

perlahan.

"Kita telah melakukan perjalanan 

jauh. Malah untuk mendapatkan 

keterangan, beberapa kali kita hams 

membunuh orang. Perbuatan konyol jika 

kita balik jalan sebelum membuktikan 

dengan mata kepala sendiri!"

"Hm.... Bagus. Jika demikian kita 

harus bergerak sekarang!" ujar Randu 

Sabrang seraya meloncat turun dari kuda 

tunggangannya. Lalu menyambung 

ucapannya. "Sebaiknya kita tinggalkan 

kuda kita di sini. Selain gerakan kita 

lebih bebas, kedatangan kita juga tak 

akan dicurigai...."

Mungkin merasa kata-kata Randu 

Sabrang ada benarnya, tanpa keluarkan 

kata-kata lagi, Uli Santang meloncat 

turun. Keduanya lantas menambatkan kuda 

masing-masing pada sebatang pohon.

Tiba-tiba Randu Sabrang takupkan 

tangan sejejar dada. Sementara hidungnya 

kembang kempis mengendus. Uli Santang 

tegak diam memperhatikan. Dia tahu betul 

apa yang sedang dilakukan oleh Randu 

Sabrang, kakak seperguruannya yang 

memang punya keahlian untuk dapat 

menentukan sasaran dengan penciumannya.


Setelah beberapa saat, dan Randu 

Sabrang telah tak lagi mengendus, Uli 

Santang ajukan pertanyaan. 

"Bagaimana?!"

"Tak jauh dari sini. Tapi aku tak 

dapat menentukan arahnya. Karena ada 

hawa yang rupanya sengaja dihembuskan 

untuk menangkal keberadaannya! Kita 

harus hati-hati. Menilik hawa 

penangkalnya, orang yang akan kita 

hadapi bukan orang sembarangan!" jawab 

Randu Sabrang mengingatkan.

Uli Santang gerakkan mulutnya 

membuat senyum dingin dan sinis.

"Nyatanya kau yang kecut. Dengan 

menebarkan hawa penangkal belum tentu 

menunjukkan bahwa dia berilmu tinggi! 

Mungkin saja hawa itu hanya untuk 

melindungi dirinya serta menutupi 

kelemahan ilmunya!"

"Terserah kau mau bilang apa. Yang 

pasti, dengan mampu menebarkan hawa 

penangkal dia berilmu tinggi. Karena 

hawa itu memerlukan pengerahan tenaga 

dalam yang kuat!" sungut Randu Sabrang 

dengan wajah merah padam. Laki-laki 

botak ini lantas putar tubuhnya setengah 

lingkaran.

"Kita bergerak sekarang!"


Habis berkata begitu, si gundul 

Randu Sabrang berkelebat. Uli Santang 

sesaat masih tegak mengawasi sekeliling. 

Lalu sekejap kemudian berkelebat 

mengikuti Randu Sabrang.

Pada suatu tempat yang terlindung 

beberapa potion besar hingga cahaya sang 

rembulan tak dapat menembus, Randu 

Sabrang hentikan larinya. Kedua 

tangannya dirangkapkan didepan dada. 

Mulutnya komat-kamit. Bersamaan dengan 

itu tiba-tiba menebar hawa dingin sejuk.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba 

Randu Sabrang menoleh ke belakang, ke 

arah Uli Santang yang memang telah berada 

di belakangnya. Bibirnya sunggingkan 

senyum. Namun laki-laki botak ini segera 

beri isyarat agar Uli Santang tak buka 

mulut ketika dilihatnya laki-laki 

berambut panjang itu hendak berkata. 

Randu Sabrang lantas angkat tangan 

kanannya dan menunjuk pada suatu arah. 

Seakan tahu isyarat, Uli Santang 

anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian 

kedua orang ini berkelebat ke arah yang 

baru saja ditunjuk Randu Sabrang.

Pada suatu tempat agak landai yang 

hanya ditumbuhi semak belukar Randu 

Sabrang dan Uli Santang hentikan 

larinya. Keduanya lantas merunduk dan


mendekam di balik sebatang pohon besar. 

Kedua bola mata masing-masing memandang 

liar ke depan dengan tak berkedip. Dada 

mereka masing-masing tampak bergetar 

karena terkejut. Namun untung mereka 

masih bisa menahan mulut, hingga meski 

keduanya terkejut besar, tapi. tak ada 

suara yang keluar dari mulut 

masing-masing.

Dari tempatnya mendekam, Randu 

Sabrang dan Uli Santang dapat melihat 

dengan jelas seseorang sedang duduk 

bersandar pada sebuah batu besar. Orang 

ini duduk bersila dengan kedua tangan 

merangkap di depan dada. Rambutnya 

panjang sepunggung. Mengena-kan pakaian 

warna putih diselempangkan di bahu kanan 

kirinya mirip pakaian seorang resi. Raut 

muka orang ini tak terlihat jelas, karena 

kepalanya mengenakan caping lebar dan 

dalam, hingga dari wajahnya hanya 

dagunya saja yang kelihatan.

Untuk beberapa lama Randu Sabrang 

dan Uli Santang memperhatikan dengan 

seksama tanpa keluarkan suara. Sesaat 

kemudian Uli Santang berpaling pada si 

gundul Randu Sabrang.

"Apakah dia orangnya?!" bisiknya 

dengan suara bergetar.

Randu Sabrang menggeleng perlahan.


"Aku belum bisa memastikan...."

Uli Santang kernyitkan kening lalu 

berpaling lagi ke depan dan berucap 

lirih. 

"Bukankah kau pernah beberapa kali 

bertemu dengannya sebelum berita ini 

menyebar?!"

"Benar. Tapi dia tak mengenakan 

pakaian seperti itu. Juga tidak 

mengenakan caping! Rambutnya pun 

biasanya disanggul ke atas."

"Hmmm.... Mungkin dia sekarang 

menyamar karena merasa dikejar-kejar 

orang. Sayang aku tak pernah bertemu 

sebelumnya..., kata si gondrong Uli 

Santang dalam hati. Lalu bertanya. 

"Kau ingat ciri-cirinya?!"

Randu Sabrang kerutkan dahi seakan 

mengingat-ingat. Lalu sorongkan 

wajahnya dan berbisik.

"Yang membedakan dia dari laki-laki 

lain adalah sebuah tahi lalat tepat di 

tengah-tengah antara kedua matanya!"

"Hmm.... Aku dapat menebak sekarang 

kenapa dia mengenakan caping lebar dan 

dalam. Dia sengaja menutupi tanda khusus 

di tengah antara kedua matanya itu! Aku 

makin yakin bahwa dia adalah orang yang 

kita cari," ujar Uli Santang dengan 

senyum mengulas di bibir.


"Mari kita buktikan, apakah dia 

benar-benar orang yang kita cari!" 

sambung Uli Santang lalu memberi isyarat 

pada Randu Sabrang untuk segera keluar 

dari tempat mendekamnya.

Namun gerakan kedua orang ini 

tertahan, karena bersamaan dengan itu 

sesosok bayangan hitam berkelebat dan 

tahu-tahu telah berdiri tegak sepuluh 

langkah di hadapan orang yang duduk 

bersila.

Randu Sabrang dan Uli Santang 

urungkan niatnya untuk keluar. Mata 

mereka masing-masing memandang nanar ke 

depan, pada orang yang kini berdiri di 

hadapan orang yang duduk bersila.

Tiba-tiba Uli Santang surutkan 

pundaknya ke belakang pertanda terkejut. 

Matanya dia buka lebih lebar lagi 

memperhatikan orang di depan sana! 

Sementara Randu Sabrang tampak 

tenang-tenang saja walau matanya juga 

tak berkedip mengawasi.

"Air mukamu berubah! Apakah kau 

mengenal manusia yang baru datang itu?!" 

tegur Randu Sabrang dengan berbisik.

Uli Santang tidak segera memberi 

jawaban. Randu Sabrang menunggu. Karena 

ditunggu agak lama Uli Santang tidak juga


buka mulut, Randu Sabrang ulangi lagi 

pertanyaannya dengan sedikit kasar.

"Kau dengar ucapanku, Uli Santang. 

Apakah kau kenal dengan manusia itu?!"

Dengan wajah kaku dan mendengus Uli 

Santang berpaling. Sejenak ditatapinya 

saudara seperguruannya itu dengan 

pandangan geram.

"Percuma kau malang melintang dalam 

rimba persilatan jika tidak dapat 

mengenal tokoh-tokohnya! Buka matamu 

lebar-lebar. Dia adalah manusia yang 

bergelar Setan Neraka! Salah satu tokoh 

yang akhir-akhir ini banyak menelan 

korban!"

Si gundul Randu Sabrang tak sedikit 

pun menampakkan perasaan terkejut 

mendengar Uli Santang sebutkan siapa 

adanya orang di depan sana. Malah sambil 

menyeringai dia menyambuti ucapan si 

gondrong Uli Santang.

"Aku memang tidak berniat mengenal 

siapa-siapa saja orang rimba persilatan. 

Yang penting bagiku menghabisi siapa 

saja yang coba menghadang langkahku!"

Uli Santang buka mulut tertawa tanpa 

keluarkan suara. Namun tiba-tiba dia 

katupkan kembali mulutnya. Dan serentak 

kepalanya berpaling ke depan, demikian


juga Randu Sabrang karena saat itu dari 

arah depan terdengar suara bentakan.

"Bandung Bandawangsa, manusia yang 

bergelar Malaikat Lembah Hijau! Kau bisa 

menipu orang dengan menyamar sebagai apa 

saja, tapi di hadapanku kau tak akan bisa 

berbuat banyak! Kau tak dapat menipu 

penglihatanku!" yang keluarkan bentakan 

adalah orang yang baru datang dan kini 

tegak memperhatikan orang yang duduk 

bersila.

Mendapati bentakan orang, orang 

yang duduk bersila terlihat sedikit 

terkejut. Bukan karena kedatangan-nya, 

melainkan karena orang sudah tahu siapa 

dirinya. Namun keterkejutannya segera 

disembunyikan dengan keluarkan tawa 

pendek. Tangannya yang merangkap di 

depan dada diluruhkan. Tangan kanannya 

lalu bergerak menyodok ujung caping 

lebarnya, hingga caping itu bergerak ke 

atas, membuat sebagian wajahnya yang tak 

kelihatan dapat terlihat sesaat. Namun 

sekejap kemudian tangannya luruh 

kembali, hingga wajahnya kembali tak 

terlihat. Tapi waktu yang sesaat itu 

sudah cukup baginya untuk mengetahui 

siapa adanya orang yang berdiri di 

hadapannya.


Dia adalah seorang laki-laki 

berusia lanjut. Mengenakan pakaian 

rombeng dan sudah robek di sana-sini. 

Rambutnya sangat tipis dan telah 

memutih. Raut wajahnya lonjong dengan 

mata besar dan hidung sangat kecil. 

Kulitnya berwarna hitam dan tipis, 

hingga yang terlihat jelas adalah 

tonjolan tulang-tulang wajahnya. Inilah 

seorang tokoh yang dalam rimba 

persilatan namanya sudah tidak asing 

lagi. Karena selain mempunyai ilmu 

tinggi, juga dikenal sebagai tokoh yang 

ganas dan mudah menurunkan tangan maut, 

hingga dia digelari dengan Setan Neraka.

"Setan Neraka.... Hmm.... Rupanya 

dia telah mengetahui siapa diriku. 

Apakah kedatangannya juga bermaksud 

seperti beberapa orang sebelumnya? 

Heran, Apa tujuan sebenarnya orang-orang 

selalu memburuku dan meminta dariku 

sesuatu yang aku sendiri tak tahu. Pedang 

Tumpul.... Mereka kebanyakan 

membicarakan Pedang Tumpul. Apa 

hubungannya pedang itu dengan diriku? 

Aku benar-benar ditimpa sial! Harus 

berpindah-pindah tempat hanya untuk 

menghindari kejaran orang-orang yang 

maksudnya tak kumengerti!" orang yang 

duduk bersila dan tadi disebut dengan


Bandung Bandawangsa alias Malaikat 

Lembah Hijau membatin seraya usap-usap 

dadanya seolah ingin meredakan gejolak 

yang akhir-akhir ini selalu melanda 

hatinya karena dipenuhi dengan beberapa 

pertanyaan yang sampai sekarang tidak 

bisa ditemukan jawabnya.

Selagi Malaikat Lembah Hijau 

berkata dengan dirinya sendiri, Setan 

Neraka maju satu tindak. Kedua tangannya 

bergerak sedekap. Sesaat kemudian 

laki-laki berpakaian rombeng ini 

berkata.

"Malaikat Lembah Hijau. Meski kita 

lain golongan, namun di antara kita tidak 

pernah terjadi silang sengketa. Dan 

kedatanganku kali ini dengan harapan 

tidak akan terjadi silang sengketa meski 

aku membutuhkan sesuatu darimu!"

"Hm.... Begitu?!" Malaikat Lembah 

Hijau buka mulut. "Harap kau segera 

mengatakan apa maksud kedatanganmu. 

Namun aku juga berharap, agar tidak ada 

silang sengketa jika nantinya aku tidak 

dapat membantumu!"

Setan Neraka tersenyum menyeringai, 

hingga tulang pipinya sedikit terangkat. 

Sepasang matanya yang besar menyorot 

tajam memandangi Malaikat Lembah Hijau.


Sementara itu, di balik pohon Randu 

Sabrang dan Uli Santang sama tersentak 

begitu Malaikat Lembah Hijau keluarkan 

suara. Namun wajah masing-masing orang 

ini tampak berseri. Malah Uli Santang 

terlihat tersenyum lebar. Karena dengan 

terdengarnya suara jawaban Malaikat 

Lembah Hijau, mereka tanpa membuktikan 

lagi siapa adanya orang yang duduk, 

mereka telah dapat mengetahuinya!

"Rupanya perjalanan kita tidak 

sia-sia...," gumam Uli Santang dengan 

mata lurus ke arah Setan Neraka dan 

Malaikat Lembah Hijau.

"Benar. Sasaran telah di depan mata. 

Lantas apa yang harus kita perbuat 

sekarang?!" tanya Randu Sabrang.

"Sebaiknya kita menunggu sambil 

melihat apa yang hendak dilakukan si 

Setan Neraka itu! Sekaligus untuk 

menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu 

Setan Neraka serta Malaikat Lembah 

Hijau!"

"Malaikat Lembah Hijau...," kata 

Setan Neraka sambil usap-usapkan kedua 

tangannya satu sama lain. 

"Kau tentunya telah tahu dan dengar, 

bahwa rimba persilatan saat ini sedang 

dilanda kemelut yang tiada hentinya. 

Tokoh-tokoh rimba persilatan saling


bunuh tanpa maksud yang jelas. Lalu 

beberapa tokoh yang telah lama tiada 

kabar beritanya tiba-tiba muncul lagi 

dan membuat keributan di sana-sini. 

Belum lagi...," Setan Neraka tak 

melanjutkan ucapannya karena Malaikat 

Lembah Hijau telah menukas.

"Setan Neraka! Aku tak punya waktu 

banyak. Bicaralah terus terang saja. 

Katakan apa hubungannya semua yang kau 

katakan tadi dengan diriku!"

Setan Neraka mendengus dan memaki 

dalam hati. Walau ucapan Malaikat Lembah 

Hijau membuatnya geram, namun kakek ini 

menindihnya. Setelah menahan dadanya 

yang bergetar, dia berkata.

"Sebenarnya pangkal dari segala 

kemelut yang terjadi saat ini adalah 

dirimu!"

Malaikat Lembah Hijau melengak 

kaget hingga bahunya terlihat 

berguncang. Mulutnya komat-kamit. 

Lalu terdengar ucapannya. Suaranya 

parau dan bergetar

"Kau jangan seenaknya menuduh orang 

Setan Neraka! Atau mulutmu akan 

kutampar!"

Setan Neraka mendongak. Lalu dari 

mulutnya terdengar suara tawa keras dan 

panjang hingga sesaat kemudian tempat


itu seakan tersentak dari kesunyian. 

Setelah puas tertawa, kakek ini luruskan 

kepalanya memandang tajam pada Malaikat 

Lembah Hijau.

"Dengar baik-baik Malaikat Lembah 

Hijau! Selain saling membunuh dengan 

tujuan ingin menjadi orang tanpa tanding 

tokoh-tokoh itu juga memburu senjata 

mustika yang kehebatannya luar biasa!"

"Hmm.... Rupanya dia juga ingin 

membicarakan tentang Pedang Tumpul itu. 

Aku makin tak mengerti dengan semua 

ini...," ucap Malaikat Lembah Hijau 

dalam hati, lalu berkata dengan suara

agak keras.

"Setan Neraka! Kukatakan sekali 

lagi, bicaralah terus terang atau aku 

akan meninggalkanmu!"

"Boleh-boleh saja kau meninggalkan 

aku, namun kau harus serahkan dulu 

petunjuk tentang beradanya pedang 

mustika itu!" ujar Setan Neraka dengan 

tertawa ngakak.

Malaikat Lembah Hijau menyeringai 

dengan mata di balik caping mendelik 

besar. "Kau rupanya tak beda dengan 

beberapa orang yang datang sebelumnya! 

Meminta sesuatu yang tidak kupunyai!"

Setan Neraka makin keraskan suara 

tawanya mendengar kata-kata Malaikat


Lembah Hijau, membuat laki-laki 

bercaping ini jengkel.

"Setan Neraka. Aku ada perlu lain. 

Aku tak dapat membantumu jika urusan yang 

tak kumengerti itu tujuanmu!" habis 

berkata begitu Malaikat Lembah Hijau 

bergerak bangkit. Namun sebelum 

benar-benar bergerak, Setan Neraka telah 

melompat maju, membuat Malaikat Lembah 

Hijau urungkan niatnya untuk bangkit.

"Kau tak mau membantuku, berarti kau 

menciptakan silang sengketa. Dan itu 

adalah nasib buruk buatmu!"

"Ah.... Ternyata kau punya niat 

busuk terhadapku! Tak kusangka sama 

sekali...," desis Malaikat Lembah Hijau 

dengan sinis. Dia tak bergerak dari 

tempatnya, namun diam-diam dia kerahkan 

tenaga dalamnya pada kedua tangannya.

"Terserah kau bilang apa. Namun satu 

hal yang perlu kau camkan, kalau kau 

tetap tak mau memberikan apa yang kuminta 

selagi kau masih bernapas, aku tak 

keberatan mengambilnya saat nyawamu 

telah melayang!"

"Begitu?! Sayang sekali. Kau 

bukannya akan mendapatkan apa yang kau 

pinta, namun akan kehilangan nyawa 

satu-satunya jika terus memaksaku! Namun


aku masih memberimu kesempatan hidup 

jika kau lekas meninggalkan tempat ini!"

"Jahanam!" teriak Setan Neraka 

marah. Kedua tangannya segera melesat ke 

depan, mengarah pada kepala Malaikat 

Lembah Hijau. Serangkum angin dahsyat 

melabrak mendahului kedua tangan, 

menandakan bahwa hantaman tangan itu 

dialiri tenaga dalam sangat kuat.

Malaikat Lembah Hijau yang sedari 

tadi telah waspada, segera angkat kedua 

tangannya, sementara kepalanya 

dirundukkan kembali, membuat caping 

lebar di kepalanya makin melesak ke 

dalam, menutup seluruh wajahnya.

Prakkk! Prakkk!

Terdengar benturan keras ketika dua 

pasang tangan itu bentrok. Setan Neraka 

berseru tegang dan langsung melompat 

mundur. Parasnya berubah dengan mata 

mendelik memperhatikan kedua tangannya. 

Ternyata kedua tangannya telah berubah 

kemerah-merahan dan bergetar. Sementara 

dadanya berdenyut nyeri. Dari sini Setan 

Neraka telah dapat mengetahui bahwa 

orang yang dihadapi kali ini bukanlah 

orang sembarangan.

"Hmm,... Nyatanya kabar tentang 

ketinggian ilmunya bukan berita bohong. 

Tak heran jika banyak orang menemui ajal


saat memburunya...," ucap Setan Neraka 

dalam hati.

Di hadapannya, Malaikat Lembah 

Hijau tampak mengusap-usap kedua 

tangannya seraya bergumam tak jelas. 

Namun dari bahunya yang sedikit 

berguncang, membuktikan jika orang ini 

juga menahan rasa sakit dan panas pada 

kedua tangannya yang baru saja bentrok.

"Setan Neraka! Sebaiknya urusan ini 

kita selesaikan sampai di sini saja. 

Karena hanya kekecewaan yang nanti akan 

kau peroleh!" ujar Malaikat Lembah Hijau 

sambil bergerak bangkit. Lalu merapikan 

pakaiannya dan hendak melangkah 

meninggalkan tempat itu.

"Jangan mimpi bisa meninggalkan 

tempat ini sebelum kau serahkan apa yang 

kuminta!" bentak Setan Neraka sambil 

hantamkan kedua tangannya.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dua gelombang angin dahsyat yang 

keluarkan suara menggemuruh melesat 

cepat ke arah Malaikat Lembah Hijau. 

Bersamaan itu, suasana berubah panas!

Malaikat Lembah Hijau segera 

menyingkir dengan melompat ke samping. 

Lalu dari tempatnya kini, laki-laki 

bercaping ini lepaskan pukulan dengan


dorong kedua tangannya yang 

dikembangkan.

Wuuusss! Wuuusss!

Asap putih bergulung-gulung 

menggebrak memapak serangan Setan 

Neraka. 

Blaaarrr!

Terdengar ledakan dahsyat. Rimba 

belantara itu laksana dilanda gempa 

hebat. Daun-daun luruh dengan hangus, 

semak belukar bercerabut dan membubung 

ke angkasa. Tanah muncrat menutupi 

pemandangan!

Tubuh Setan Neraka tampak mencelat 

sampai beberapa tombak ke belakang, lalu 

jatuh terduduk bersandar pada sebatang 

pohon. Darah tampak mengalir dari sudut 

bibirnya. Kulit wajahnya yang berwarna 

hitam berubah agak memutih. Sementara 

dari mulutnya terdengar erangan dan 

makian panjang pendek. Di lain pihak, 

Malaikat Lembah Hijau tampak berlutut di 

atas tanah. Caping yang dikenakannya 

mencelat entah ke mana. Sementara 

tubuhnya terlihat bergetar keras. Ketika 

laki-laki ini hendak bergerak bangkit, 

tiba-tiba bersiur angin deras dari 

belakangnya.

Merasa ada bahaya, Malaikat Lembah 

Hijau segera rebahkan tubuh sejajar


tanah. Tubuhnya dengan gerakan kilat 

bergerak membalik dan sepasang kakinya 

melayang ke belakang! 

Bukkk!

Setan Neraka yang ternyata telah 

melakukan serangan lagi dari arah 

belakang tercekat kaget. Dia sama sekali 

tidak menyangka jika gerakan tangannya 

yang menghantam ke arah kepala Malaikat 

Lembah Hijau dapat dielakkan malah 

karena begitu bernafsunya ingin 

menghantam, tubuhnya terhuyung ke depan 

karena hantamannya tak mengenai sasaran, 

dan pada saat itulah sepasang kaki 

Malaikat Lembah Hijau menghajar dadanya! 

Tubuhnya terseret ke belakang sebelum 

akhirnya jatuh terhempas dengan punggung 

sejajar tanah! Darah hitam makin banyak 

keluar dari mulut dan hidungnya!

Melihat Setan Neraka roboh, 

Malaikat Lembah Hijau bergerak bangkit. 

Lalu melangkah menghampiri. Namun baru 

dua langkah dia berhenti. Sepasang mata-

nya memperhatikan sosok Setan Neraka.

Dari tempat mendekamnya, Randu 

Sabrang dan Uli Santang sama pelototkan 

mata masing-masing. Lalu sama-sama 

berpaling dan saling pandang sejenak. 

Meski kedua orang ini tidak ada yang 

keluarkan ucapan, namun dari paras


keduanya mudah ditebak jika keduanya 

tampak sedikit kecut. Mereka telah tahu 

bagaimana orang yang akan dihadapi. 

Namun sesaat kemudian, Uli Santang 

berbisik.

"Kita tak perlu takut! Setan Neraka 

dapat dirobohkan karena manusia itu 

hanya besar di mulut cekak di ilmu! Lagi 

pula kita kan berdua!"

Randu Sabrang hanya mengangguk 

perlahan tanpa keluarkan kata-kata. 

Keduanya lantas alihkan pandangannya ke 

depan lagi. Di sana terlihat Malaikat 

Lembah Hijau tegak mengawasi Setan 

Neraka. Lalu terdengar dia berkata.

"Menuruti kemarahan, ingin rasanya 

aku menghabisimu saat ini juga. Namun tak 

pantas rasanya bertindak pada orang yang 

tak berdaya!" habis berkata begitu, 

Malaikat Lembah Hijau balikkan tubuh 

lalu melangkah.

"Saatnya kita bergerak!" seru Uli 

Santang dengan berbisik. Randu Sabrang 

anggukkan kepalanya. Kedua orang ini 

bangkit dan hendak berkelebat. Namun 

lagi-lagi gerakannya tertahan, karena di 

seberang depan sana Setan Neraka 

tiba-tiba keluarkan bentakan keras. 

Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat.


Kedua tangannya membuat gerakan 

menghantam beberapa kali.

Saat itu juga gelombang angin 

dahsyat yang melesat susul menyusul 

bergemuruh menggebrak ke arah Malaikat 

Lembah Hijau!

Malaikat Lembah Hijau berpaling dan 

serta-merta tersentak. Namun laki-laki 

ini segera sadar dan kejap itu juga kedua 

kakinya ditekuk, kedua tangannya dibuka 

mengembang. Lalu dengan tenaga dalam 

penuh, kedua tangannya didorong ke 

depan.

Untuk kedua kalinya tempat itu 

bergetar keras. Tanah terbongkar dan 

berhamburan ke udara. Ketika tanah telah 

sirap, Malaikat Lembah Hijau tampak 

menggelosoh bersandar pada batu yang 

telah pecan berantakan. Mukanya pias. 

Laki-laki ini segera meneliti. Pakaian 

yang dikenakannya ternyata telah berubah 

hangus. Namun tubuhnya tidak ada yang 

mengalami cidera meski aliran darahnya 

terasa tersumbat dan dadanya sakit jika 

dibuat bernapas!

Di seberang, Setan Neraka tampak 

telentang dengan muka mengelam hitam. 

Darah masih mengucur dari hidung dan 

mulutnya. Sesaat laki-laki ini masih 

bergerak-gerak dengan keluarkan erangan


menyayat. Namun sesaat kemudian

erangannya terputus laksana direnggut 

setan. Bersamaan dengan itu tubuhnya 

diam kaku tak bergerak-gerak lagi!

Malaikat Lembah Hijau menghela 

napas dalam-dalam, lalu menggelengkan 

kepalanya. 

"Kutuk apa yang sebenarnya sedang 

menimpaku saat ini. Aku dikejar-kejar 

orang yang tak kumengerti maksud 

tujuannya! Meminta sesuatu dariku yang 

aku sendiri tak merasa memiliki! Ah...," 

Malaikat Lembah Hijau bergerak bangkit.

Sementara itu, di atas sebuah dahan 

pohon yang ranting dan dahannya amat 

rapat sesosok tubuh samar-samar terlihat 

berpaling sebentar ke arah sosok Setan 

Neraka yang telah tak bernyawa lagi. 

Sosok ini lantas sunggingkan senyum 

sinis dan bergumam sendiri.

"Manusia serakah yang tak pandai 

memperhitungkan diri. Ilmu masih sebatas 

mata kaki, mulut sudah menggelembung 

berkoar setinggi langit! Hm.... Aku akan 

menunggu. Kedua manusia di balik pohon 

itu pasti akan segera keluar dari 

persembunyiannya...," kepala sosok ini 

lantas bergerak ke arah pohon di mana 

Randu Sabrang dan Uli Santang berada.


Apa yang diduga sosok di atas dahan 

ternyata tak meleset. Karena begitu 

Malaikat Lembah Hijau hendak melangkah 

meninggalkan tempat itu, dua sosok 

bayangan berkelebat keluar dari balik 

pohon dan langsung menghadang di depan 

Malaikat Lembah Hijau.

Malaikat Lembah Hijau terperangah. 

Seketika kakinya tersurut satu tindak. 

Sepasang matanya segera memperhatikan 

dua manusia yang kini menghadang di 

depannya. Di lain pihak, dua manusia yang 

ada di hadapannya dan bukan lain adalah 

Randu Sabrang dan Uli Santang sama-sama 

mendongak!

***

DUA



SIAPA kalian sebenarnya?!" tegur 

Malaikat Lembah Hijau dengan suara agak 

keras. Sebenarnya laki-laki berpakaian 

seperti seorang resi ini sudah tahu bahwa 

di sekitar tempat itu ada beberapa pasang 

mata yang mengawasi dirinya. Hingga 

meski dia terkejut, namun dia sudah dapat 

mengatasi diri dalam beberapa saat.


Si gundul Randu Sabrang dan si 

gondrong Uli Santang menjawab teguran 

dengan suara tawa mengekeh. Tiba-tiba 

Uli Santang sentakkan kepalanya lurus ke 

depan. Lalu berpaling pada sosok Setan 

Neraka yang membujur kaku. Bibirnya 

tersenyum sinis.

"Kalian tak mau jawab pertanyaan, 

namun kalian menghadang. Pasti kalian 

punya maksud tidak baik!" ujar Malaikat 

Lembah Hijau seraya memperhatikan lebih 

seksama satu persatu tampang dua orang di

hadapannya. Ketika memandang Randu 

Sabrang, Malaikat Lembah Hijau terlihat 

mengernyit seakan berpikir.

"Aku rasa-rasanya pernah bertemu 

dengan si botak ini. Tapi aku lupa di mana 

dan kapan. Hmm.... Melihat sikap mereka, 

hampir kupastikan mereka punya niat 

seperti beberapa orang sebelumnya. 

Meminta sesuatu yang tak kumiliki! Aneh. 

Siapa sebenarnya yang menyebar berita 

konyol ini? Sialan benar! Gara-gara 

berita konyol ini hidupku tak bisa

tenang, bahkan harus berurusan dengan 

nyawa manusia!" batinnya seraya gerakkan 

kepala menggeleng.

"Bandung Bandawangsa!" ucap Randu 

Sabrang tanpa memandang. "Kami tak akan 

panjang lebar bicara. Serahkan saja


petunjuk itu pada kami! Dan kau boleh 

pergi dengan leluasa!"

Malaikat Lembah Hijau menatap tajam 

pada si gundul Randu Sabrang yang telah 

memanggilnya dengan nama asli.

"Dengar baik-baik! Kalau kalian 

meminta petunjuk yang sebenarnya tak 

kumengerti, kalian boleh lihat-lihat 

dulu apa akibatnya!" seraya berkata 

begitu, Malaikat Lembah Hijau 

mengarahkan pandangannya pada sosok 

Setan Neraka. Dia sengaja menggertak 

agar dua orang di hadapannya tidak 

meneruskan niat.

Namun Randu Sabrang dan Uli Santang 

bukannya takut, malah sebaliknya kedua 

orang ini sama-sama keluarkan tawa 

pendek dengan nada mengejek.

"Kami bukan Setan Neraka! Jangan 

dikira kami takut dengan gertak 

sambalmu!" bentak si gondrong Uli 

Santang dengan mata berkilat merah.

"Bandung Bandawangsa!" sambung Uli 

Santang masih dengan suara keras. 

"Jangan tunggu sampai kesabaran kami 

pupus. Cepat serahkan apa yang kami 

minta!"

Bandung Bandawangsa alias Malaikat 

Lembah Hijau kembangkan kedua telapak 

tangannya hingga keluarkan suara


gemeretakan. Laki-laki ini tampaknya su-

dah merasa geram, karena selalu dimintai 

sesuatu yang dia sendiri merasa tak 

mempunyai. Di lain pihak, orang tak 

percaya dengan kata-katanya.

Sementara itu, di atas dahan sesosok 

tubuh yang sedari tadi memperhatikan 

keadaan di bawahnya menggumam perlahan.

"Muka Iblis dan Datuk Darah! Dua 

bangsat yang sejak lama ingin menguasai 

jagat persilatan. Hmm.... 

Ketidakmunculannya selama ini mungkin 

karena melakukan penyelidikan ini. 

Apakah mereka akan mampu merobohkan 

Malaikat itu?! Aku tidak yakin.... Biar 

pun mereka maju bersamaan. Bandung 

Bandawangsa demikian pesat kemajuannya. 

Aku sendiri merasa heran, kenapa Bandung

Bandawangsa demikian gigih 

mempertahankan petunjuk itu? Padahal dia 

sendiri sepertinya tidak tertarik dengan 

Pedang Tumpul itu. Buktinya dia tidak 

melakukan sesuatu untuk mencarinya, 

sedangkan petunjuk itu ada pada dirinya! 

Apakah.... Ah, tidak mungkin. Semua 

orang kini telah tahu, bahwa dialah yang 

punya petunjuk itu! Mungkin dia ingin 

memberikan petunjuk itu pada seseorang. 

Atau menginginkan pedang mustika itu 

tidak dimiliki oleh siapa pun!" sosok di


atas dahan ini arahkan kembali 

pandangannya ke bawah.

Di bawah, Malaikat Lembah Hijau tak 

segera menyambuti ucapan Uli Santang, 

membuat Randu Sabrang habis 

kesabarannya. Laki-laki berkepala botak 

ini maju dua langkah. Namun sebelum 

terdengar ucapannya, Malaikat Lembah 

Hijau telah mendahului.

"Kalian minta sesuatu dari dariku, 

namun kalian tak mau sebutkan siapa 

kalian sebenarnya!"

Randu Sabrang rangkapkan kedua 

tangan di depan dada. Sepasang matanya 

yang melotot ke luar nanar memandangi 

Malaikat Lembah Hijau.

"Hmm.... Itu maumu. Kuturuti 

permintaanmu! Pasang telinga baik-baik! 

Aku Muka Iblis, sedangkan dia adik 

seperguruanku yang bergelar Datuk 

Darah!"

Malaikat Lembah Hijau sembunyikan 

perubahan wajahnya dengan memandang pada 

jurusan lain. Diam-diam laki-laki ini 

enggan berhadapan dengan mereka.

"Muka Iblis dan Datuk Darah.... 

Gelar mereka telah kudengar selama ini. 

Bahkan dengan si Muka Iblis ini rasanya 

aku pernah jumpa. Hmm.... Mereka katanya 

orang-orang yang berilmu tinggi dan amat


kejam. Aku harus berhati-hati. Ah, aku 

tak habis pikir tentang semua ini...."

"Bandung Bandawangsa. Kami telah 

turuti permintaanmu. Sekarang giliranmu 

memberikan apa yang kami minta!" hardik 

si gundul Randu Sabrang ketika mendapati 

Malaikat Lembah Hijau tercenung diam.

Malaikat Lembah Hijau gelengkan 

kepalanya sambil merrgheia napas 

dalam-dalam. "Dengarlah. Sebenarnya 

kalian meminta pada orang yang salah! Aku 

tidak memiliki apa yang kalian minta!"

Randu Sabrang keluarkan dengusan 

keras dan hentakan kedua kakinya ke atas 

tanah, membuat tanah itu bergetar! Dan

sepasang kakinya segera digeser ke 

samping, karena bekas hentakannya telah 

membentuk lubang! Dari sini Malaikat 

Lembah Hijau telah maklum jika dua orang 

di hadapannya memang tidak bisa

dipandang enteng.

"Bandung Bandawangsa! Apa 

sebenarnya yang membuatmu begitu 

bertahan untuk tidak menyerahkan 

petunjuk itu?! Apakah kau ingin memiliki 

senjata itu?!" yang keluarkan suara kali 

ini adalah Uli Santang alias Datuk Darah. 

Seraya berkata, Datuk Darah maju dua 

langkah menjajari Randu Sabrang alias 

Muka Iblis.


Malaikat Lembah Hijau tertawa 

perlahan. Seraya menggeleng dia berucap.

"Dalam hidup, aku tidak 

memperturutkan nafsu yang ingin minta 

dan memburu sesuatu yang berlebihan. 

Karena nafsu selalu menyatu dengan 

kesenangan. Padahal kesenangan 

seringkali membuat orang lupa! Lupa akan 

siapa dirinya. Malah lupa bahwa dia 

dicipta dan telah ditentukan apa yang 

kelak diperoleh!"

Mendengar ucapan Malaikat Lembah 

Hijau, Randu Sabrang tertawa bergelak, 

hingga sepasang matanya yang menjorok ke 

luar seolah-olah hendak jatuh 

bergelindingan di tanah.

"Tapi apakah kau telah tahu bahwa 

apa yang kami minta darimu adalah sesuatu 

yang memang ditentukan untuk kami 

miliki?!"

"Manusia berhak bicara. Namun 

jangan mendahului kehendak Yang 

Mencipta! Itu telah melangkahi kodrat 

dan akan berakibat fatal!"

"Keparat!" teriak Muka Iblis geram. 

"Akan kubuktikan bahwa ucapanmu tidak 

masuk akal, Bandung Bandawangsa!"

Habis berucap begitu, si gundul Muka 

iblis segera melompat. Tangan kanannya 

melesat, bersamaan dengan itu, kaki


kanannya diangkat dan segera pula ber-

gerak menendang. Angin deras segera 

melesat mendahului sebelum tangan dan 

kaki itu menghajar sasaran! Pertanda 

jika Muka Iblis langsung membuka 

serangan dengan pengerahan tenaga dalam 

kuat. Hal ini bisa dimengerti, karena 

Muka Iblis telah tahu sampai di mana 

kehebatan lawan.

Mengetahui Muka Iblis telah 

melakukan serangan, Datuk Darah tak 

tinggal diam. Laki-laki berambut panjang 

ini segera pula melompat ke depan. Dan 

dari arah samping Malaikat Lembah Hijau, 

dia pukulkan kedua tangannya sekaligus 

ke arah kepala lawan!

Mendapati serangan yang begitu 

gencar, Malaikat Lembah Hijau tampak 

sedikit terkesiap kaget. Darahnya seakan 

sirap sejenak. Sosok laki-laki 

berpakaian seperti resi ini tampak 

terdorong satu tindak ke belakang. Namun 

ia segera genjot tubuhnya ke udara. 

Tangan kanan kirinya bergerak merentang, 

sementara kakinya melayang ke depan 

memapak tendangan Muka Iblis.

Prakkk! Prakkk! Prakkk!

Terdengar benturan keras tiga kali 

berturut-turut. Muka Iblis mencelat 

sampai beberapa tombak ke belakang. Lalu


jatuh terduduk seraya keluarkan makian 

tak karuan. Datuk Darah sendiri tersurut

dua langkah ke belakang, tubuhnya 

terhuyung-huyung dengan paras muka 

berubah pucat. Namun dia segera bisa 

kuasai diri walau tangannya terasa 

seakan hendak penggal, Sementara 

Malaikat Lembah Hijau tubuhnya berputar 

lalu jatuh bergulingan di atas tanah! Hal 

ini terjadi karena Malaikat Lembah Hijau 

harus menghadapi dua kekuatan tenaga 

dalam. Namun dari bentrok tadi, Malaikat 

Lembah Hijau segera putar otak.

"Aku harus sedapat mungkin 

menghindari bentrok langsung, karena 

tenaga dalamku tak akan kuasa jika 

terus-terusan menghadapi dua tenaga 

dalam. Aku akan menjaga jarak dan akan 

memaksa mereka lakukan pukulan jarak 

jauh! Ah.... Urusan edan ini sampai kapan 

akan terhenti?!" batin Malaikat Lembah 

Hijau seraya bergerak bangkit.

Di seberang sana, baik Muka Iblis 

maupun Datuk Darah telah sama-sama siap 

lakukan serangan lagi. Kedua orang ini 

telah takupkan masing-masing tangannya 

di depan dada. Tak lama kemudian, Datuk 

Darah berpaling pada Muka Iblis dan 

memberi isyarat dengan anggukan kepala. 

Kedua orang ini langsung bergerak. Muka


Iblis berkelebat ke samping kanan, 

sedangkan Datuk Darah berkelebat ke 

samping kiri. Dari arah samping kanan 

kiri ini, serentak keduanya lepaskan 

pukulan!

Wuuuttt! Wuuuttt!

Udara dingin hutan belantara itu 

mendadak berubah panas. Bersamaan dengan 

itu, gelombang angin berkekuatan laksana 

ombak menggebrak! Keluarkan suara 

menggidikkan. Tanah muncrat laksana air 

dan berhamburan ke udara.

"Dasar bodoh! Kenapa melakukan 

serangan dari arah samping? Jika dia bisa 

menyelamatkan diri, dua bangsat itu akan 

menerima akibat kebodohannya!" umpat 

sosok yang di atas dahan demi melihat 

Muka Iblis dan Datuk Darah lancarkan 

serangan dari arah samping kiri kanan 

Malaikat Lembah Hijau.

Malaikat Lembah Hijau sendiri 

segera kerahkan tenaga dalam, lalu dia 

menggerakkan bahunya, sosoknya mencuat 

ke udara. Bersamaan dengan itu terdengar 

debuman menggelegar akibat bentroknya 

pukulan Muka Iblis dan Datuk Darah.

Meski Malaikat Lembah Hijau sempat 

mencuat ke udara, namun tak urung juga 

bias bentroknya dua pukulan itu 

menghajar tubuhnya di udara. Hingga


sosoknya makin melambung tinggi. Meski 

sekujur tubuhnya terasa ngilu bukan 

alang kepalang, namun tatkala sosoknya 

menukik turun, laki-laki ini masih 

sempat menangkap sosok Datuk Darah yang 

terseret dan terhuyung-huyung hendak 

terjerembab. Saat itulah tanpa membuang 

kesempatan lagi, Malaikat Lembah Hijau 

hantamkan kedua tangannya! 

Wuuusss! Wuuusss!

Angin yang menderu dahsyat melesat 

keluar dari kedua tangan Malaikat Lembah 

Hijau.

Datuk Darah yang coba menguasai diri 

dari huyungan tubuhnya yang hendak jatuh 

tersentak kaget. Dia kerahkan segenap 

tenaga untuk menghindar dengan bergerak 

melompat ke samping. Namun serangan 

Malaikat Lembah Hijau lebih cepat 

datangnya hingga tanpa ampun lagi 

tubuhnya terpelanting ke belakang dengan 

kepala teriebih dahulu menghempas tanah! 

Datuk Darah meraung keras. Laki-laki ini 

coba bergerak bangkit meski sadar jika 

tubuhnya cidera dalam. Tapi sebelum

sosoknya benar-benar tegak, laki-laki 

ini telah terjerembab kembali! Darah 

hitam telah mengucur dari mulut dan 

hidungnya. Sementara pakaian bagian 

dadanya telah robek besar! Kulit di balik


robekan pakaian itu tampak biru 

kehitaman.

Muka Iblis yang juga jatuh telentang 

akibat pukulannya bentrok dengan pukulan 

Datuk Darah cepat bangkit. Dan demi 

melihat keadaan Datuk Darah, laki-laki 

berkepala botak ini keluarkan gerengan 

keras, Wajahnya keras membatu, pelipis 

kiri kanannya bergerak-bergerak.

"Bandung Bandawangsa! Kau telah 

menciderai saudaraku. Nyawamu adalah 

imbalan yang pantas!" bentak Muka Iblis. 

Serta merta kedua tangannya dihantamkan 

ke arah Malaikat Lembah Hijau.

Malaikat Lembah Hijau tak tinggal 

diam. Begitu gelombang angin melesat 

keluar dari kedua tangan lawan, dia cepat 

berkelebat hampir tak dapat diikuti mata 

telanjang.

Muka Iblis ternganga lebar ketika 

mendapati pukulannya hanya menghajar 

tempat kosong. Dan laki-laki ini makin 

tercekat tatkala sepasang matanya yang 

melotot besar tak menangkap lagi sosok 

Malaikat Lembah Hijau.

Selagi laki-laki botak ini 

tercenung, dari arah belakangnya 

terdengar langkah-langkah mendekatinya. 

Sigap, Muka Iblis segera putar tubuhnya.


Namun belum sampai setengah putaran, dua 

tangan telah menyergapnya.

Seeettt! Seeettt!

Muka Iblis meraung ketika kedua 

tangan itu telah menjapit lehernya. 

Laki-laki ini keluarkan bentakan be-

berapa kali dengan menghantamkan 

tangannya kearah tangan yang menjapit 

lehernya. Namun gerakannya terlambat. 

Kedua tangan yang menjapit telah 

bergerak memutar, lalu mengangkat dan 

menyentak ke bawah. Akibatnya sosok Muka 

Iblis terpuntir lalu terangkat ke atas 

sebelum akhirnya jatuh terbanting dengan 

deras!

Sejenak tubuh Muka Iblis bergerak 

menggeliat. Namun sesaat kemudian 

telentang tak bergerak-gerak lagi dengan 

leher terpuntir dan mulut berdarah!

Malaikat Lembah Hijau menghela 

napas panjang. Sepasang matanya sejenak 

memandangi sosok Muka Iblis yang sudah 

tak bernyawa lagi di bawahnya.

"Hm.... Aku terpaksa harus 

melakukan ini. Jika tidak, nyawaku 

sendiri yang akan melayang.... Sungguh 

amat disayangkan, harus banyak korban 

yang jatuh karena meminta sesuatu yang 

lebih dari apa yang telah 

ditentukan...."


Malaikat Lembah Hijau lalu 

memandang kearah Datuk Darah. Datuk 

Darah yang telah duduk dan cidera 

terlihat berubah parasnya. Sebenarnya 

laki-laki ini marah besar melihat 

saudara seperguruannya tewas begitu 

rupa. Namun menyadari dirinya terluka 

parah dan tak mungkin mengadakan 

perlawanan, dia akhirnya hanya

menyumpah-nyumpah dalam hati. Malah dia 

sempat merinding ketika mendapati 

Malaikat Lembah Hijau memandang ke 

arahnya. Dia khawatir jika Malaikat Lem-

bah Hijau akan menurunkan tangan maut 

terhadapnya. Namun laki-laki ini segera 

menghela napas lega tatkala dilihatnya 

Malaikat Lembah Hijau alihkan 

pandangannya dan perlahan-lahan pula 

melangkah meninggalkan tempat itu.

Tapi baru saja Malaikat Lembah Hijau 

melangkah dua tindak, sesosok bayangan 

turun dari sebuah pohon. Dan tahu-tahu 

telah berdiri tegak di hadapan Malaikat 

Lembah Hijau!

***


TIGA


SEPASANG alis mata Malaikat Lembah 

Hijau naik ke atas. Bola matanya membesar 

menatap sosok di hadapannya dengan mulut 

komat-kamit. Untuk beberapa saat lamanya 

Malaikat Lembah Hijau hanya tegak 

memandang tanpa sepatah kata pun 

terucap. Laki-laki ini seakan masih tak 

percaya dengan pandangan matanya.

Sementara sosok yang baru datang 

segera memperdengarkan suara tawa pelan 

dan alihkan pandangannya ke arah dua 

sosok yang sudah jadi mayat, lalu ke arah 

Datuk Darah yang duduk seraya usap-usap 

dadanya. Datuk Darah membelalakkan 

sepasang matanya dan tubuhnya digeser ke 

belakang. Paras wajahnya berubah dan 

jelas menunjukkan rasa takut.

"Hantu Makam Setan...," gumam Datuk 

Darah pelan seraya alihkan padangannya. 

Dadanya makin bergetar. Mungkin 

menangkap gelagat tidak baik dari 

pandangan orang, diam-diam dia kerahkan 

tenaga dalamnya. Namun laki-laki, ini 

tiba-tiba pucat pasi. Ternyata dadanya 

amat sakit ketika coba kerahkan tenaga 

dalam. Hingga seraya memaki panjang


pendek dalam hati dia geser lagi tubuhnya 

ke belakang.

"Setan alas! Kalau dia menyerangku, 

habislah riwayatku...," keluhnya dalam 

hati.

Sosok orang yang baru datang yang 

ternyata adalah seorang laki-laki 

berusia agak lanjut tersenyum sinis 

penuh ejekan. Orang ini mengenakan jubah 

besar berwarna merah. Sosoknya tinggi 

besar dengan rambut disanggul ke atas. 

Paras wajahnya bulat besar, namun wajah 

itu hampir-hampir tak ditutupi lapisan 

kuiit! Yang jelas tampak adalah guratan 

tonjolan tulang-tulangnya. Sepasang 

matanya besar dan menjorok dalam 

cekungan tulang yang dalam. Kedua alis 

matanya tebal dan bertautan. Hidungnya 

besar, namun hidung itu hanya separo, 

sebelahnya hanya merupakan cekungan! 

Meski manusia ini hanya mempunyai satu 

lubang hidung, namun sewaktu menarik 

napas tak kelihatan sunt, malah dari 

hembusan napasnya terdengar siuran angin 

keras! Dalam jagat persilatan, manusia 

ini dikenal orang dengan gelar Hantu 

Makam Setan. Seorang tokoh rimba 

persilatan yang paling ditakuti dan 

diduga berat dialah si pembuat kemelut


akhir-akhir ini. Orang di belakang 

pembunuhan yang bergelombang!

Mendapati tingkah Datuk Darah yang 

tak dapat menyembunyikan rasa takutnya, 

Hantu Makam Setan mendongak. Sambil 

tertawa pelan dia berujar. Suaranya 

sengau.

"Datuk Darah! Kau tak usah khawatir, 

kita satu golongan!"

Datuk Darah menghela napas lega 

mendengar ucapan Hantu Makam Setan. 

Namun cuma sesaat, karena sesaat 

kemudian Hantu Makam Setan telah 

m-nyambung ucapannya. "Kau tunggulah di 

situ. Setelah aku menyelesaikan 

urusanku, kau pasti akan mendapat 

giliran!"

"Giliran? Giliran apa maksudmu?!" 

tanya Datuk Darah tak mengerti ucapan 

Hantu Makam Setan. Suaranya pelan dan 

bergetar.

"Manusia kerbau!" seru Hantu Makam 

Setan geram karena Datuk Darah tak 

mengerti arah bicaranya. Seraya putar 

tubuhnya menghadap Datuk Darah, Hantu 

Makam Setan melanjutkan. "Kau lihat apa 

di sekitarmu? Itulah giliran yang harus 

kau tunggu!" habis berkata begitu, Hantu 

Makam Setan putar kembali tubuhnya 

menghadap Malaikat Lembah Hijau dengan


tertawa mengekeh. Sementara Datuk Darah 

makin merinding dan tubuhnya semakin 

berguncang. Laki-laki ini geser lagi 

tubuhnya ke belakang dengan sepasang 

mata melirik kesana kemari.

"Datuk Darah! Sekali lagi kau 

bergerak, giliranmu akan datang terlebih 

dahulu! Kau dengar itu?!" hardik Hantu 

Makam Setan seakan tahu apa yang ada di 

benak Datuk Darah.

Datuk Darah menyeringai dengan 

menyumpah-nyumpah dalam hati. Laki-laki 

ini memang telah merencanakan untuk 

melarikan diri. Dia sadar, apa yang 

dikatakan Hantu Makam Setan bukanlah 

omong kosong.

"Jahanam terkutuk! Manusia ini tahu 

apa yang hendak kulakukan. Hm.... 

Sebaiknya aku pura-pura menuruti saja 

perintahnya. Dan begitu dia lengah...," 

Datuk Darah tak melanjutkan kata 

hatinya, dia hanya anggukkan kepala. 

Lalu memandang ke depan, ke arah Hantu 

Makam Setan dan Malaikat Lembah Hijau 

yang kini telah saling berhadapan 

kembali.

"Bandung Bandawangsa...," Hantu 

Makam Setan buka mulut memecah kebisuan 

di antara keduanya. "Aku tak akan bicara 

panjang lebar. Kau tentunya telah tahu


siapa aku dan bagaimana sifatku. Aku 

sengaja mencarimu dengan satu tujuan. Di 

hadapanmu tujuan berubah menjadi 

permintaan! Lekas serahkan petunjuk 

tentang pedang mustika itu, atau aku akan 

mengambilnya begitu kau tak bernyawa 

lagi!"

Malaikat Lembah Hijau tersenyum 

tipis meski dalam hatinya diam-diam 

berkata. "Aku pernah melihat bagaimana 

manusia satu ini menghabisi 

lawan-lawannya. Ilmunya sangat tinggi. 

Tapi aku tak akan mundur, permintaan 

gilanya itu tak mungkin kuturuti karena 

aku sendiri tak tahu segala macam

petunjuk tentang apa yang dikatakannya!"

laki-laki berpakaian selempang putih ini 

lantas berkata.

"Hantu Makam Setan.... Ternyata 

kedatanganmu tidak beda dengan beberapa 

orang sebelumnya. Dengarlah. Kau salah 

alamat jika minta petunjuk itu padaku, 

karena aku sendiri tak tahu-menahu 

tentang segala macam pedang mustika!" '

Tiba-tiba Hantu Makam Setan tertawa 

bergelak. Puas tertawa laki-laki 

berhidung sebelah ini memandang nyalang 

pada Malaikat Lembah Hijau. Didahului 

hendusan napas berat, dia berujar 

sengau.


"Mulutmu boleh berdalih dengan 

segala macam alasan. Namun kau harus 

tahu, hai itu akan membawamu berkalang 

tanah sebelum waktunya!"

"Hmm.... Begitu? Sayang sekali...," 

gumam Malaikat Lembah Hijau, membuat 

Hantu Makam Setan kernyitkan tulang 

dahinya.

"Apanya yang sayang?!" tanya Hantu 

Makam Setan minta penjelasan.

Malaikat Lembah Hijau mendehem 

beberapa kali. Lalu memandang jauh 

seraya berkata datar.

"Aku tak pernah memikirkan kapan aku 

akan mati. Karena hal itu pasti akan 

datang dan terjadi padaku, juga padamu! 

Juga aku tak pernah menduga-duga apa yang 

akan menyebabkan aku mati, juga lantaran

siapa aku akan mati!" Malaikat Lembah 

Hijau sejenak hentikan ucapannya. 

Setelah sesaat menarik napas dalam-dalam 

dia melanjutkan ucapannya.

"Jadi kau salah ucap jika 

mengancamku dengan segala macam 

kematian! Karena aku telah siap meng-

hadapi hal itu!"

"Keparat!" maki Hantu Makam Setan 

dengan tulang-tulang wajah 

bergerak-gerak. Kedua tangannya


bergerak mengembang keluarkan suara 

gemeretakan.

"Bandung Bandawangsa! Sekali lagi 

kuperingatkan. Cepat serahkan apa yang 

kuminta atau guratan hidupmu akan 

selesai malam ini!"

"Sudah kukatakan, kau salah alamat 

Hantu Makam Setan! Aku tak memiliki apa 

yang kau minta! Dan jangan memaksaku!"

Batas kesabaran Hantu Makam Setan 

telah pupus. Kedua tangannya diangkat ke 

atas kepala. 

"Rupanya kau lebih suka jalan 

kekerasan. Terimalah kemauanmu.

Wuuuttt! Wuuuttt! 

Kedua tangan Hantu Makam Setan 

bergerak menghantam ke depan dengan 

telapak mengembang.

Gelombang angin segera menderu 

kencang dengan keluarkan suara laksana 

topan.

Di seberang, Malaikat Lembah Hijau 

cepat menyingkir dengan melompat ke 

samping, membuat serangan pembuka itu 

lewat sejengkal di samping bahunya.

Hantu Makam Setan tidak membutuhkan 

tempo lagi. Laki-laki ini tampaknya tak 

mau memberi kesempatan. Begitu tahu 

serangan awalnya dapat dielakkan, dia 

segera berkelebat dengan


berputar-putar. Tubuhnya mendadak 

berubah menjadi bayang-bayang.

Malaikat Lembah Hijau tak mau ambil 

resiko. Dia maklum orang yang dihadapi 

kali ini tidak bisa dianggap main-main. 

Laki-laki ini segera putar-putar kedua 

tangannya, hingga saat itu juga tubuhnya 

seakan terlindungi oleh deru angin yang 

keluar dari dua tangannya.

Tiba-tiba bayang-bayang Hantu Makam 

Setan merangsek dan serta-merta kedua 

tangannya berkelebat menghantam ke arah 

pinggang dan dada Malaikat Lembah Hijau.

Prakkk! Prakkk!

Terdengar dua kali benturan keras. 

Disusul dengan terdengar seruan tertahan 

dua kali berbarengan. Malaikat Lembah 

Hijau terlihat terseret satu langkah ke 

belakang, sementara Hantu Makam Setan 

melompat mundur. Namun tiba-tiba saja 

Hantu Makam Setan telah sentakkan 

kembali bahunya, hingga tubuhnya kembali 

melesat ke depan.

Malaikat Lembah Hijau segera 

lintangkan kedua tangannya di depan dada 

untuk menangkis serangan lawan. Namun 

baru saja tangannya melintang, tendangan 

Hantu Makam Setan telah menggebrak 

deras!


Bersamaan dengan itu kedua 

tangannya lepaskan pukulan tangan kosong 

bertenaga dalam kuat!

Malaikat Lembah Hijau yang mengira 

hanya akan menerima serangan tendangan 

terkejut besar. Dia tak menduga sama 

sekali jika lawan juga akan lancarkan 

pukulan dengan kedua tangannya. Namun 

kesadarannya telah terlambat. Hingga 

meski dia mampu menahan tendangan malah 

sempat menghantam salah satu kaki lawan, 

namun serangan tangan kosong lawan tak 

bisa dipapak. Hingga kejap itu juga 

tubuhnya terpelanting sampai dua tombak 

ke belakang dan terjerembab!

Di lain pihak, Hantu Makam Setan 

mengeluh tinggi karena kaki kanannya 

seakan dihantam batu besar. Tubuhnya 

terseret ke samping dan terbanting di 

atas tanah! Laki-laki berparas 

menyeramkan ini segera bangkit dan 

langsung meneliti kaki kanannya. Bola 

matanya seketika liar dan 

berkilat-kilat. Kaki kanannya ternyata 

telah bengkak besar dan kemerah-merahan. 

Dia segera salurkan hawa murninya pada 

kaki kanannya, karena selain bengkak, 

terasa panas bukan alang kepalang!

Di depan sana, Malaikat Lembah Hijau 

terlihat mengerang. Dan perlahan-lahan


merambat bangkit. Paras mukanya berubah 

pucat pasi. Tubuhnya bergetar keras. 

Keringat telah membasahi sekujur 

tubuhnya, karena sebelum bergerak

bangkit, laki-laki ini telah kerahkan 

tenaga dalamnya untuk mengatasi denyutan 

nyeri pada ulu hatinya dan pangkal 

bahunya yang terasa hendak lepas akibat 

pukulan tangan Hantu Makam Setan.

Melihat lawan terkena hantamannya 

dan kini telah bangkit lagi, Hantu Makam 

Setan segera kerahkan kembali tenaga 

dalamnya. Dan sekonyong-konyong kedua 

tangannya ditarik ke belakang. Didahului 

bentakan keras dan sengau, kedua 

tangannya dihantamkan ke depan. 

Sinar hitam pekat melesat cepat dari 

kedua tangan Hantu Makam Setan. 

Bersamaan dengan itu sinar cahaya 

rembulan seakan tertutup, hingga untuk 

beberapa saat lamanya tempat itu gelap 

gulita! Inilah pukulan sakti andalan 

Hantu Makam setan, yakni pukulan 'Bara 

Hitam'.

Mendapati lawan lancarkan pukulan 

yang membahayakan, Malaikat Lembah Hijau 

segera takupkan kedua tangannya, lalu 

diangkat di depan kepala. Sesaat 

kemudian kedua tangannya dibuka dan


langsung didorong dengan tarik sebelah 

kakinya sedikit ke belakang.

Dua berkas sinar hijau segera 

menyambar keluar dari kedua tangan 

Malaikat Lembah Hijau. Bersamaan dengan 

itu cahaya hijau juga melingkupi tempat 

itu. Hingga untuk sesaat lamanya tempat 

itu dihiasi warna hitam dan hijau!

Bummm!

Terdengar ledakan dahsyat tatkala 

sinar hitam dan hijau itu bentrok di 

udara. Tempat itu berkelap-kelip 

diterangi pijar api hitam dan hijau. 

Tanah terlihat terbongkar dan muncrat di 

udara.

Sosok Muka Iblis dan Setan Neraka 

yang telah kaku jadi mayat terpental dan 

jatuh terhumbalang sampai beberapa 

tombak! Datuk Darah sendiri mencelat ke 

samping dan jatuh telungkup. Seraya 

mengerang dan memaki, laki-laki ini 

segera merangkak mendekat pada sebuah 

pohon. Dengan bantuan akar-akar pohon, 

laki-laki ini akhirnya bisa bergerak 

bangkit dan bersandar dengan napas 

megap-megap dan meringis, karena dadanya 

terasa sangat sakrt!

Begitu pemandangan terang kembali, 

Hantu Makam Setan tampak tertatih-tatih 

bangun. Dia terhuyung-huyung sejenak,


namun segera dapat diatasi. Tangannya 

lalu mengusap dadanya dan mulutnya yang 

tampak keluarkan darah.

Setelah dapat menguasai peredaran 

darahnya, Hantu Makam Setan arahkan 

pandangannya pada Malaikat Lembah Hijau.

Malaikat Lembah Hijau sendiri 

tampak berdiri dengan kaki agak goyah. 

Dari mulut dan hidungnya mengucur darah. 

Kedua tangannya bergemetaran hebat. 

Sementara sepasang matanya tampak 

menyipit.

"Hmm.... Aku tak mungkin meneruskan 

pertarungan ini. Bukannya aku takut. 

Namun aku mau menyelidiki dahulu tentang 

diriku. Kalau orang-orang rimba persi-

latan selalu mengejar-ngejar diriku dan 

menanyakan tentang senjata mustika, 

bukan tak mungkin semua itu benar adanya. 

Tapi.... Herannya aku sendiri tak merasa 

menyimpan petunjuk itu. Hmm.... Aku 

harus menemui seseorang yang dapat 

membuka tabir ini!"

Berpikir demikian, tanpa membuang 

tempo lagi, Malaikat Lembah Hijau segera

putar tubuhnya dan berkelebat 

meninggalkan tempat itu.

"Haram jadah! Hendak lari ke mana 

kau bangsat!" teriak Hantu Makam Setan. 

Tanpa pikir panjang lagi dia. cepat


berkelebat mengejar Malaikat Lembah 

Hijau, hingga dia lupa akan urusannya 

dengan Datuk Darah. Membuat Datuk Darah 

menghela napas panjang lega.

Datuk Darah segera bergerak 

bangkit, memandang sejurus pada sosok 

mayat Muka Iblis, saudara 

seperguruannya. Dadanya makin sesak. 

Namun pelipisnya bergerak-gerak menahan 

gejolak amarah. Dengan langkah gontai 

dia akhirnya meninggalkan tempat itu.

Namun dapat sepuluh langkah dia 

balikkan tubuh lagi. Memandang kembali 

ke arah mayat Muka Iblis. Tanpa sadar 

terlontar lepas ucapannya.

"Saudaraku Muka Iblis.... Segala 

kejadian ini tak akan pernah selesai 

sebelum aku dapat melunasi orang yang 

menewaskanmu" lalu kepalanya tengadah. 

Sepasang matanya menatap bundaran bulan 

di langit.

"Malaikat Lembah Hijau! Malam ini 

kau berhutang satu nyawa padaku! Saatnya 

kelak akan kutagih nyawa kematian itu!

***


EMPAT


MALAIKAT Lembah Hijau kerahkan 

segenap ilmu peringan tubuhnya agar bisa 

berkelebat lebih kencang. Dia menuju 

arah timur. Begitu sampai perbatasan 

hutan, tiba-tiba dia hentikan larinya. 

Sepasang matanya menangkap dua ekor kuda 

ditambatkan pada batang pohon. Kuda-kuda 

ini bukan lain adalah kuda milik Muka 

Iblis dan Datuk Darah yang sengaja mereka 

tinggalkan sebelum memasuki hutan.

Merasa tenaganya tidak memungkinkan 

untuk terus berlari, begitu melihat 

kuda, tanpa pikir panjang lagi Malaikat 

Lembah Hijau cepat mengambil salah 

satunya. Dan dengan sigap dia segera 

memacu kuda itu terus menuju ke arah 

timur.

Baru saja Malaikat Lembah Hijau 

berlalu, Hantu Makam Setan telah pula 

sampai di mana ada kuda tertambat. 

Sejenak dia mengarahkan pandangannya 

iurus ke depan. Lamat- lamat dia masih 

dapat mendengar hentakan-hentakan kuda 

yang berlari ke arah timur.

"Hmm.... Pasti dia yang menghela 

kuda itu!" gumamnya seraya lepaskan 

ikatan kuda. Seraya memaki panjang


pendek laki-laki berhidung sebelah ini 

segera pula memacu kuda menuju arah 

timur. Tangan kirinya memegang tali kuda 

sementara tangan kanannya memukul 

punggung sang kuda, hingga binatang itu 

melesat kencang dengan sesekali 

keluarkan ringkikan keras.

Karena malam semakin larut dan makin 

sepi, membuat hentakan ladam kuda

Malaikat Lembah Hijau dapat dengan jelas 

ditangkap telinga Hantu Makam Setan, ini 

mengakibatkan tak ada kesulitan bagi 

laki-laki berhidung sebelah ini untuk 

mengetahui arah yang diambil Malaikat 

Lembah Hijau.

Hal ini rupanya segera disadari oleh 

Malaikat Lembah Hijau, karena meski dia 

mencoba jalan berputar, di belakangnya 

masih terdengar ladam kuda yang terus 

mengikutinya. Meski Malaikat Lembah 

Hijau belum tahu siapa adanya orang yang 

di belakangnya, tapi dia yakin orang yang 

mengejarnya adalah Hantu Makam Setan.

"Sebaiknya kutinggalkan tempat 

ini!" batin Malaikat Lembah Hijau seraya 

terus memandang ke depan. Ketika sampai 

pada suatu tempat yang banyak ditumbuhi 

pohon-pohon besar yang berjajar, serta 

merta Malaikat Lembah Hijau hentakkan 

kedua tangannya ke punggung kuda dengan


keras, bersamaan dengan itu tubuhnya 

melesat dan menyelinap.

Kuda tunggangannya meringkik keras 

karena kaget. Karena hentakan kedua 

tangan Malaikat Lembah Hijau bukan 

hentakan biasa, maka rasa sakit pada 

punggungnya, membuat binatang itu terus 

meringkik keras-keras, namun bersamaan 

dengan itu kuda itu melesat lebih kencang 

tanpa penunggang!

Di belakang, Hantu Makam Setan terus 

memacu kuda tunggangannya. Tangan 

kanannya tak henti-hentinya memukul, 

sementara dari mulutnya terdengar makian 

dan sumpah serapah.

"Binatang keparat! Apa kau tak bisa 

berlari lebih kencang lagi? Binatang 

jahanam! Larimu seperti kuda bunting 

saja! Ayo.... Heyaaa...!"

Menduga kuda di depannya masih 

dengan penunggang, Hantu Makam Setan 

terus memacu ke mana suara kuda di 

depannya berlari. Sepasang matanya juga 

tak lepas memperhatikan jejak-jejak kaki 

kuda di tanah untuk memperkuat arah 

larinya kuda yang dikejar.

Begitu Hantu Makam Setan telah lewat 

dan suara ladam-ladam kuda semakin 

sayup-sayup menjauh, Malaikat Lembah


Hijau menarik napas lega. Lalu melangkah 

keluar dari tempat persembunyiannya.

Sejenak dia memandang ke arah 

jurusan berlarinya kuda tunggangan Hantu 

Makam Setan. Setelah kembali menarik 

napas dalam-dalam dan mengurut dadanya, 

laki-laki berpakaian selempang putih ini 

putar tubuhnya hendak berkelebat. Namun 

langkahnya tertahan, karena bersamaan 

dengan itu terdengar suara orang menegur 

seraya tertawa perlahan namun merdu.

"Bandung Bandawangsa.... Kau 

rupanya cerdik juga mengelabui orang!"

Darah Malaikat Lembah Hijau 

serentak seakan tersirap. Dengan dada 

makin berdebar menindih rasa terkejut, 

dia segera berpaling ke arah datangnya 

suara teguran.

Kedua kaki Malaikat Lembah Hijau 

tanpa sadar surut dua tindak ke belakang. 

Sepasang matanya menyipit dan 

membelalak. Dahinya mengernyit dengan 

mulut terkancing rapat.

Lima belas langkah di hadapannya 

terlihat seorang perempuan tegak berdiri 

dengan tangan kiri memegang tali kekang 

kuda. Sementara kepala kudanya 

dielus-elus dengan tangan kanannya. 

Sesaat kemudian, si perempuan berpaling 

memandang ke arah Malaikat Lembah Hijau.


Dia adalah seorang perempuan 

berusia kira-kira tiga puluh lima tahun. 

Parasnya cantik dengan kulit putih. 

Sepasang matanya bulat dengan bulu mata 

lentik. Rambutnya panjang dan dibiarkan 

bergerai. Mengenakan pakaian warna biru 

tipis dengan bagian dada dibuat rendah, 

hingga setengah dari payudaranya jelas 

terlihat menyembul menantang.

Sejurus Malaikat Lembah Hijau 

menghela napas melihat lembah buah dada 

perempuan cantik itu. Namun dia segera 

mengalihkan pandangannya, membuat si 

perempuan tertawa perlahan. Lalu 

melepaskan tali kekang kudanya dan 

melangkah mendekat ke arah Malaikat 

Lembah Hijau. Malaikat Lembah Hijau 

surutkan lagi langkahnya ke belakang, 

membuat si perempuan tertawa makin

panjang dan agak keras.

"Dewi Asmara...," desis Malaikat 

Lembah Hijau. "Apakah.... Apakah dia 

juga mempunyai tujuan seperti 

orang-orang yang mengejarku saat ini?! 

Hmm.... Tak kusangka. Pasti dia sengaja 

menghadang di sini. Dia mendengar kuda 

yang kutunggangi, lalu menyelinap 

bersembunyi...."

"Bandung Bandawangsa.... Lama kita 

tak bersua. Bagaimana keadaanmu...?" si


perempuan menyapa berbasa-basi. Dia 

terus melangkah pelan-pelan mendekat.

Malaikat Lembah Hijau tidak segera 

menyambuti sapaan si perempuan. Dia 

hanya tegak mematung dengan mata kembali 

memandang ke arah si perempuan.

"Aha.... Apa yang terjadi dengan 

dirimu? Apakah kau terkejut dengan 

pertemuan tak disengaja ini? Atau kau 

telah kurang pendengaran?!" ujar si 

perempuan dengan bibir sunggingkan 

senyum.

Sadar akan teguran orang, Malaikat 

Lembah Hijau segera sunggingkan senyum, 

meski dalam hati masih bertanya-tanya 

dan tak mempercayai jika pertemuan ini 

tak disengaja.

"Dewi Asmara...," ujar Malaikat 

Lembah Hijau. "Aku senang bisa bertemu 

denganmu. Hendak ke manakah kau 

sebenarnya malam-malam begini?!"

Si perempuan yang dipanggil dengan 

Dewi Asmara sunggingkan senyum lagi. 

Langkahnya dia hentikan lima tindak di 

hadapan Malaikat Lembah Hijau. Sepasang 

matanya yang bulat memperhatikan 

laki-laki di hadapannya dari atas hingga 

bawah.

"Dia tampaknya sudah terluka cukup 

parah. Pasti akibat bentrok dengan Hantu


Makam Setan yang berhasil dikelabuinya 

tadi.... Hm.... Ini kesempatan baik 

buatku. Kalau dia melawan, tenaganya 

pasti tidak utuh lagi." Setelah membatin 

begitu, Dewi Asmara buka mulut.

"Bandung Bandawangsa.... Kulihat 

kau terluka. Apa sebenarnya yang terjadi 

dengan dirimu?!"

Malaikat Lembah Hijau gelengkan 

kepalanya periahan. Diam-diam dalam hati 

dia berkata. "Dia mengalihkan 

pembicaraan. Aku tak akan berterus 

terang dengan apa yang baru saja terjadi. 

Aku secepatnya harus tinggalkan tempat 

ini. Bukan mustahil Hantu Makam Setan 

akan kembali lagi...."

"Dewi Asmara.... Terima kasih kau 

memperhatikan keadaan diriku. Namun aku 

tak bisa mengatakan apa yang kau 

tanyakan, dan karena masih ada yang harus 

kuselesaikan, maka aku harus segera 

pergi. Semoga suatu hari nanti kita bisa 

bertemu lagi dan bisa ngobrol banyak."

Habis berkata begitu, Malaikat 

Lembah Hijau putar tubuhnya dan hendak 

tinggalkan tempat itu. Namun niatnya 

tertahan ketika tiba-tiba saja Dewi 

Asmara keluarkan suara tawa dan berkata 

agak keras.


"Bandung Bandawangsa.... Aku telah 

melakukan perjaianan panjang untuk 

mencarimu. Kalau kau punya sesuatu yang 

harus kau selesaikan silakan saja, tapi 

kuharap kau mau berbaik hati menyerahkan 

apa yang kuminta!"

"Hm.... Jadi dia juga punya maksud 

seperti orang-orang itu...," desis 

Malaikat Lembah Hijau dengan tangan 

gemetar dan segera putar lagi tubuhnya 

menghadap Dewi Asmara. "Sialan benar. 

Berarti berita tentang diriku ini bukan 

rahasia lagi. Hidupku benar-benar di 

ujung tanduk. Aku harus secepatnya 

menemui seseorang yang kukira dapat 

membuka tabir rahasia ini, dan untuk 

sementara harus mengurung diri.... Ah, 

betapa sialnya diriku...."

"Bandung Bandawangsa...," kata Dewi 

Asmara dengan busungkan dadanya, membuat 

Malaikat Lembah Hijau cepat-cepat 

alihkan pandangan. Karena perempuan di 

hadapannya tampaknya sengaja memancing 

gejolaknya, selain itu Bandung 

Bandawangsa sendiri telah tahu bahwa 

Dewi Asmara adalah seorang perempuan 

yang suka bermain cinta dengan siapa saja 

meski tak dapat disangkal jika perempuan 

yang masih tampak cantik dan bertubuh 

mempesona itu memiliki tingkat


ketinggian ilmu yang sukar dicari 

tandingnya, hingga tak heran jika 

kalangan rimba persilatan menggelarinya 

dengan Dewi Asmara.

"Bagaimana? Kau tak keberatan 

dengan permintaanku bukan?! Atau kau 

ingin imbalan?! Katakan terus terang.... 

Aku siap melayanimu bahkan hingga 

beberapa malam. Hik.... Hik.... Hik...!"

Habis tertawa, Dewi Asmara tampak 

tengadahkan kepala seolah ingin 

menunjukkan kejenjangan lehernya. 

Mulutnya dibuka setengah menganga 

sementara sepasang matanya dipejamkan. 

Lidahnya dikeluarkan dijilatkan 

berputar di bibirnya.

Malaikat Lembah Hijau yang kini 

telah memandang lagi ke arah Dewi Asmara 

mau tak mau bergetar juga hatinya. 

Jakunnya bergerak turun naik sementara 

sepasang matanya mulai merah pertanda 

gejolak mulai menjalari tubuhnya. Namun 

mendadak saja laki-laki ini sadar dan 

buru-buru alihkan pandangan.

"Astaga! Seperti kukatakan pada 

orang-orang sebelumnya yang juga meminta 

sesuatu dariku, sebenarnya kau dan juga 

orang-orang itu termakan kabar dusta. 

Aku tak memiliki petunjuk apa-apa 

tentang adanya pedang mustika itu!"


"Begitu?! Boleh aku membuktikan 

ucapanmu?!" tanya Dewi Asmara masih 

dengan senyum menggoda. Malah dia 

sengaja menarik napas dalam dan panjang, 

hingga dadanya yang membusung menantang 

itu bergerak-gerak menggemaskan.

Malaikat Lembah Hijau sedikit 

terkejut mendengar pertanyaan Dewi 

Asmara. Dengan dahi mengernyit laki-laki 

ini balik ajukan tanya.

"Bagaimana kau akan 

membuktikannya?!"

Dewi Asmara melangkah satu tindak. 

Sepasang matanya menatapi sekujur tubuh 

Malaikat Lembah Hijau, membuat laki-laki 

ini makin mengernyit tak mengerti. 

Tiba-tiba Dewi Asmara tertawa pendek dan 

berkata.

"Lepas seluruh pakaian yang kau 

kenakan!" sejenak Dewi Asmara hentikan 

ucapannya, lalu menyambung. "Kau tak 

usah khawatir. Di sini hanya kita 

berdua!"

Paras muka Malaikat Lembah Hijau 

berubah merah padam dan panas. Mulutnya 

komat-kamit namun tak ada suara yang 

terdengar jelas.

"Gila. Perempuan ini benar-benar 

tak tahu peradatan. Tak mungkin aku 

menuruti permintaan gila ini!"


"Dewi Asmara. Kau jangan bercanda. 

Aku tak bisa memenuhi permintaanmu itu!" 

kata Malaikat Lembah Hijau seraya

rapikan pakaiannya.

Air muka Dewi Asmara berubah 

seketika. Sepasang matanya mendelik, 

dari hidungnya terdengar dengusan.

"Jika begitu berarti kau dusta 

dengan ucapanmu!" kali ini suara Dewi 

Asmara terdengar keras.

"Terserah kau mau bilang apa. Yang 

pasti aku tak dapat menuruti permintaan 

gila itu! Aku harus pergi sekarang!"

Namun sebelum Malaikat Lembah Hijau 

sempat bergerak, Dewi Asmara telah 

melompat ke depan. Dan tahu-tahu kedua 

tangannya telah melesat, satu mengarah 

pada bahunya, satunya lagi menyergap ke 

arah perut.

Malaikat Lembah Hijau yang sedari 

tadi telah menangkap gelagat tidak baik 

yang membuatnya bertindak waspada, 

segera mundur dua langkah, hingga 

lesatan kedua tangan Dewi Asmara hanya 

membabat tempat kosong. Namun demikian, 

angin samba ran tangannya mampu membuat 

tubuh Malaikat Lembah Hijau terdorong ke 

belakang. Hal ini makin menyadarkan 

Malaikat Lembah Hijau jika perempuan di


hadapannya mempunyai tenaga dalam sangat 

tinggi!

Mendapati orang bisa mengelak dari 

lesatan tangannya Dewi Asmara marah 

besar. Kedua tangannya segera disatukan 

di depan dada, sepasang kakinya sedikit 

menekuk dan perlahan-lahan kaki kanannya 

ditarik ke belakang. Sekonyong-konyong, 

perempuan ini dorong kedua tangannya ke 

depan.

"Beeettt! Beeettt!

Dua berkas sinar melesat ke luar. Di 

tengah jalan sinar itu mengembang lalu 

menyergap Malaikat Lembah Hijau dari 

segala jurusan!

Malaikat Lembah Hijau sedikit 

terkesiap juga meski sesaat. Dan 

buru-buru melompat mundur, lalu 

hantamkan kedua tangannya.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dua berkas sinar hijau membersit. 

Suasana mendadak berubah menjadi 

kehijauan. 

Bummm!

Sinar yang mengembang dan menyergap 

ke arah Malaikat Lembah Hijau ambyar 

berhamburan begitu terpapak sinar hijau. 

Baik Dewi Asmara maupun Malaikat Lembah 

Hijau sama-sama perdengarkan suara 

tegang. Sosok keduanya terlihat tersurut


ke belakang hingga beberapa langkah. 

Malah mungkin karena sudah terluka, 

Malaikat Lembah Hijau tampak 

terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh 

berlutut dengan bahu berguncang dan 

kedua tangan bergemetaran keras! Di 

seberang, Dewi Asmara bisa segera kuasai 

tubuh, hingga meski sempat terseret, 

namun tak sampai terjatuh. Meski 

demikian, paras mukanya tampak berubah. 

Dadanya bergetar hingga buah dadanya 

berguncang-guncang. Dan ketika matanya 

memperhatikan, perempuan cantik ini 

membelalak. Pakaian yang dikenakannya 

robek dan hangus di bagian lengan.

"Jahanam! Terimalah kematianmu, 

Bandung Bandawangsa!" teriak Dewi Asmara 

lantang. Tubuhnya lantas berkelebat.

Malaikat Lembah Hijau segera 

bergerak bangkit. Belum sampai tubuhnya 

benar-benar tegak, tendangan kaki Dewi 

Asmara telah melabrak mengarah pada 

kepalanya.

Dengan menindih rasa sakit pada 

sekujur tubuh, Malaikat Lembah Hijau 

segera rebahkan tubuh dengan punggung 

sejajar tanah. Tendangan kaki Dewi 

Asmara lewat sejari telunjuk di depan 

kepalanya dan menghajar angin. Saat 

Itulah Malaikat Lembah Hijau gaetkan


kaki kanannya pada kaki kiri Dewi Asmara 

yang dipakai untuk tumpuan kekuatan 

tubuhnya.

Seeettt!

Bukkk!

Dewi Asmara menjerit tinggi, 

tubuhnya terbanting deras ke atas tanah! 

Malaikat Lembah Hijau tak sia-siakan 

kesempatan. Dia segera bergerak bangkit. 

Namun tanpa diduga sama sekali, Dewi 

Asmara gulingkan tubuhnya dua kali, dan 

serta-merta kedua tangannya segera 

dihantamkan!

Sinar yang mengembang kembali 

melabrak kearah Malaikat Lembah Hijau. 

Begitu cepatnya lesatan serangan itu 

serta karena jaraknya sudah dekat, maka 

tak ada jalan lain bagi Malaikat Lembah 

Hijau selain menangkis serangan, meski 

hal itu amat beresiko bagi dirinya, 

karena tenaganya sudah terkuras juga 

tubuhnya telah cidera bagian dalam. Tapi 

kalau tidak ditangkis, maka tubuhnya 

akan terhantam telak dan tidak mustahil

akan membuat nyawanya putus. Sadar akan 

keadaan demikian, Malaikat Lembah Hijau 

cepat pukulkan kedua tangannya.

Untuk kedua kalinya terdengar 

ledakan dahsyat. Sosok Dewi Asmara 

mencelat mental dan terkapar lagi di atas


tanah. Parasnya makin pias. Tapi 

perempuan ini segera katupkan sepasang 

matanya, alihkan tenaga mumi pada 

sekujur tubuhnya yang terasa ngilu.

Di seberang, Malaikat Lembah Hijau 

terpelanting. Karena sudah tak bisa 

kuasai gerak tubuhnya, dan menduga 

tubuhnya akan menghantam jajaran pohon 

yang ada di belakangnya, Malaikat Lembah 

Hijau pejamkan sepasang matanya. Namun 

bersamaan dengan itu telinganya 

menangkap ringkihan kuda. Dan tiba-tiba 

tubuhnya menumbuk benda keras namun 

empuk.

Begitu tubuhnya tersuruk, Malaikat 

Lembah Hijau segera buka kelopak 

matanya. Tak jauh di sebelahnya terlihat 

kuda tunggangan Dewi Asmara 

berputar-putar. Selain kaget karena 

bentroknya dua pukulan juga terkejut 

karena tertumbuk tubuh Malaikat Lembah 

Hijau yang terpelanting.

Tanpa membuang kesempatan, Malaikat 

Lembah Hijau segera tertatih-tatih 

bangkit. Dengan sisa-sisa tenaganya 

laki-laki ini segera melangkah cepat ke 

arah kuda Dewi Asmara. Tanpa menoleh 

lagi, Malaikat Lembah Hijau melesat naik

dan berpacu meninggalkan tempat itu.


Bersamaan dengan itu, Malaikat 

Lembah Hijau sayup-sayup mendengar 

hentakan ladam langkah-langkah kaki kuda 

menuju ke arahnya. Menduga bahwa kuda itu 

ditunggangi Hantu Makam Setan, laki-laki 

ini segera pukul punggung kuda 

tunggangannya dengan keras hingga kuda 

tunggangannya berlari kencang.

Di lain pihak, begitu mendengar 

langkah-langkah kaki kuda, Dewi Asmara 

buka kelopak matanya. Dari mulutnya 

segera terdengar makian panjang pendek. 

"Keparat! Hendak lari ke mana kau 

bangsat?!" bersamaan itu kepalanya 

berpaling, ekor matanya masih dapat 

menangkap kudanya yang membawa lari 

Malaikat Lembah Hijau. Serta-merta kedua 

tangannya segera dipukulkan.

Seberkas sinar menggebrak dengan 

keluarkan deru dahsyat. Namun terlambat, 

karena Malaikat Lembah Hijau telah lebih 

dahulu berkelebat bersama kuda 

tunggangannya.

Pukulan Dewi Asmara terus melesat 

sebelum akhirnya menghantam sebuah 

pohon. Pohon itu langsung berderak 

tumbang!

"Setan alas! Jangan kira kau bisa 

lolos dari tanganku, Bandung 

Bandawangsa!" teriak Dewi Asmara seraya


bergerak bangkit dan berkelebat ke arah 

berpacunya Malaikat Lembah Hijau. Tapi 

gerakannya tertahan, karena dari arah 

samping terdengar ringkihan kuda yang 

dihentikan mendadak. Secepat kilat Dewi 

Asmara berpaling. Sepasang matanya 

mendelik besar dengan langkah kaki 

tersurut ke belakang. Dadanya yang 

membusung dan tampak turun naik karena 

geram melihat lawan melarikan diri, 

terlihat makin bergerak-gerak.

"Hantu Makam Setan...," desis Dewi 

Asmara begitu mengenali siapa adanya si 

penunggang kuda.

Sang penunggang yang bukan lain 

memang Hantu Makam Setan adanya sejurus 

menatap tajam pada Dewi Asmara. Lalu 

memandang berkeliling. Dari sekilas 

memandang, laki-laki berhidung sebelah 

ini sudah dapat menduga jika baru saja 

terjadi pertempuran di tempat itu.

"Waktu aku lewat tadi tak ada orang 

lain di sini. Pasti keparat itu 

bersembunyi di sini lalu membiarkan 

kudanya berlari sendirian untuk 

mengelabuiku. Lantas datang perempuan 

ini. Dan terjadi bentrok.... Lamat-lamat 

aku menangkap hentakan kaki kuda, apakah 

keparat itu berhasil melarikan diri 

lagi...?!" Hantu Makam Setan


menduga-duga dalam hati. Lalu berkata 

dengan suara agak keras.

"Mana dia?!"

"Siapa yang kau maksud dengan dia?!" 

Dewi Asmara balik bertanya dengan suara 

tak kalah kerasnya, membuat Hantu Makam 

Setan membeliak dengan mulut 

komat-kamit. Seraya menahan rasa marah, 

laki-laki ini menghardik.

"Setan! Kau masih saja 

berpura-pura. Mana keparat si Bandung 

Bandawangsa itu?!"

Meski tahu bahwa laki-laki di 

hadapannya adalah seorang tokoh yang 

tidak asing lagi dalam rimba persilatan, 

namun dibentak demikian rupa mau tak mau 

membuat Dewi Asmara naik pitam. Seraya 

tersenyum sinis, perempuan berparas 

cantik ini alihkan pandangannya sambil 

keluarkan suara garang.

"Kau punya mata, apakah kau lihat di 

sini?!" Tulang-rulang rahang Hantu Makam 

Setan terangkat. Gerahamnya saling 

beradu keluarkan suara menggidikkan. 

Namun mungkin terpancang pada Malaikat 

Lembah Hijau, dan khawatir jika orang 

yang lama dicarinya itu akan lolos begitu 

saja, yang berarti perjalanan dan 

pencariannya akan sia-sia, laki-laki ini 

segera putar kudanya setengah lingkaran.


"Melihat jejak-jejak kaki kuda, 

pasti perempuan ini datang dengan 

membawa kuda. Dan dia berhasil dikelabui 

keparat itu. Hmm.... Aku harus segera 

mengejarnya!"

Tanpa menoleh lagi pada Dewi Asmara, 

Hantu Makam Setan segera tarik kekang 

kuda tunggangannya. Namun gerakan 

tangannya tertahan ketika didengarnya 

Dewi Asmara berseru.

"Tunggu!"

Dewi Asmara langsung berkelebat dan 

berdiri tegak di samping Hantu Makam 

Setan. Perempuan ini tampak ragu-ragu 

sebentar. Memandang lekat-lekat pada 

Hantu Makam Setan.

"Manusia ini mukanya sangat 

menjijikkan. Namun apa boleh buat. Untuk 

sementara aku harus dapat merangkulnya. 

Jika tidak buruan itu pasti akan lenyap! 

Akan kubohongi dia, bahwa sebenarnya aku 

tidak tertarik dengan kabar senjata 

pedang mustika yang kini petunjuknya ada 

di tangan Bandung Bandawangsa. Tapi 

punya urusan lain...."

Berpikir begitu, Dewi Asmara lantas 

angkat bicara. Sementara Hantu Makam 

Setan menunggu. di atas kudanya tanpa 

berpaling.


"Sobatku, Hantu Makam Setan.... 

Harap kau suka memaafkan sikapku yang 

kasar tadi. Karena saat itu aku masih 

geram dengan laki-laki keparat itu!"

Hantu Makam Setan menyambuti ucapan 

Dewi Asmara dengan dengusan sengau. 

Tanpa berpaling dia berucap.

"Aku tak punya waktu banyak. Katakan 

apa maksudmu sebenarnya menahanku!"

"Kau mencari Bandung Bandawangsa 

bukan?!"

"Pertanyaan itu tak pada tempatnya 

kau ucapkan! Kau membuang- buang waktu 

saja!"

Meski dalam hati mengumpat 

habis-habisan, namun perempuan cantik 

ini masih bisa menahannya. Seraya 

tersenyum dan berujar.

"Aku tahu ke mana Bandung 

Bandawangsa pergi!"

"Kau baru saja bentrok dengannya 

bukan?!" dengus Hantu Makam Setan masih 

tanpa berpaling ke arah Dewi Asmara.

"Betul. Tapi urusanku adalah 

persoalan dendam!" jawab Dewi Asmara

dengan langsung katakan alasannya.

Hantu Makam Setan menoleh kearah 

Dewi Asmara. Karena Dewi Asmara berada di 

bawahnya, maka dari punggung kudanya 

sepasang mata Hantu Makam Setan dengan


jelas dapat menangkap busungan buah dada 

yang menyembul putih menantang milik 

Dewi Asmara, membuat laki-laki Ini 

sejenak menghela napas panjang dan 

membelalak tak berkedip. Dadanya 

berdebar keras. Namun wajahnya buru-buru 

dipalingkan ketika Dewi Asmara mendongak 

menatap ke arahnya.

"Aku tahu. Kau juga punya urusan 

dengan Bandung Bandawangsa. Bagaimana 

kalau kita mengejarnya bersama-sama?!"

Hantu Makam Setan tidak segera 

menjawab. Dalam hati diam-diam laki-laki 

ini berkata. "Ucapan perempuan ini tidak 

sepenuhnya bisa dipercaya. Namun kalau 

dia memang benar-benar tahu ke mana arah 

perginya keparat itu, tidak ada salahnya 

jika aku bekerja sama."

"Hantu Makam Setan...," kata Dewi 

Asmara menyambungi ucapannya karena 

Hantu Makam Setan tidak menjawab 

pertanyaannya. "Seperti ucapanmu, waktu 

kita tidak banyak. Sebelum orang yang 

kita kejar lenyap tiada rimbanya kau 

harus cepat ambil keputusan!"

"Tapi...," Hantu Makam Setan 

terlihat ragu-ragu.

Dewi Asmara tersenyum melihat 

kebimbangan di wajah Hantu Makam Setan. 

Rupanya perempuan ini dapat menebak apa


yang menjadikan laki-laki itu bimbang. 

Masih dengan tersenyum, perempuan ini 

berkata.

"Kau tak keberatan bukan kalau 

kudamu itu kita tunggangi berdua?!"

Mungkin masih terkejut dengan 

ucapan Dewi Asmara, lagi-lagi Hantu 

Makam Setan tidak segera menjawab. Di 

pihak lain, Dewi Asmara segera saja 

lesatkan dirinya ke atas. Dan dengan 

sigap, dia segera duduk di belakang Hantu 

Makam Setan.

Hantu Makam Setan terkejut. Namun 

keterkejutannya segera berubah tatkala 

tanpa disengaja Dewi Asmara rapatkan 

dadanya ke punggungnya. Lalu terdengar 

bisikannya. "Kita tak punya waktu 

banyak. Kita berangkat sekarang!"

Hantu Makam Setan masih coba 

menguasai gejolak yang perlahan-lahan 

merayapi tubuhnya. Tiba-tiba laki-laki 

berhidung sebelah ini meloncat turun, 

membuat Dewi Asmara terperangah. Dan 

sebelum lenyap keterperangahan Dewi 

Asmara, Hantu Makam Setan telah berkata.

"Kau yang dimuka. Bukankah kau yang 

tahu kemana keparat itu pergi?!"

Habis berkata demikian, Hantu Makam 

Setan melompat, sementara Dewi Asmara 

geser sedikit tubuhnya ke depan.


"Bagaimana kau bisa mengetahui ke 

mana bangsat itu pergi?!" tanya Hantu 

Makam Setan begitu telah berada di 

belakang Dewi Asmara.

"Selain kita ikuti jejak-jejak kaki 

kuda tunggangannya, kuda yang 

ditunggangi adalah kudaku. Aku hapal 

betul baunya! Lagi pula kukira dia belum 

terlalu jauh!"

"Hmm...," Hantu Makam Setan hanya 

menyambuti dengan helaan napas panjang 

dan dalam. Bukan karena mengerti ucapan 

Dewi Asmara melainkan karena menahan 

gejolak yang semakin membara akibat 

tubuh depannya bersentuhan langsung 

dengan pinggul Dewi Asmara yang besar dan 

menggairahkan.

"Agar kuda ini tak merasakan beban 

terlalu berat, kita harus kerahkan ilmu 

peringan tubuh...," ujar Dewi Asmara 

seraya tarik kekang tali kuda.

Sejenak kemudian kuda tunggangan 

yang dinaiki dua orang itu telah berlari 

kencang. Karena kedua penunggangnya 

telah sama-sama kerahkan Ilmu peringan 

tubuh masing-masing, membuat kuda itu 

tak mengalami beban berat.

Bersamaan dengan melesatnya kuda, 

samar-samar dari ufuk sebelah timur 

cahaya kuning kemerah-merahan telah


menerangi jagat raya, pertanda sebentar 

lagi sang mentari akan segera 

menampakkan diri.

***


LIMA



MATAHARI baru saja unjuk diri dari 

balik julangan Gunung Kinibalu. Langit 

tampak cerah tanpa secuil pun awan 

mengambang. Angin pagi berhembus semilir 

menggantikan terpaan angin malam yang 

dingin menusuk.

Di lereng gunung, dusun Kampung 

Anyar tampak mulai terlihat tanda-tanda 

kehidupan. Beberapa orang keluar rumah 

masing-masing. Sebagian ada yang pergi 

ke sawah, sebagian lagi ada yang 

bergerombol menuju hutan untuk mencari 

kayu bakar. Anak-anak berusia belasan 

tahun pun tampak keluar rumah 

masing-masing. Ada yang sekadar 

main-main dan ada pula yang membantu 

kedua orangtua mereka.

Di sudut dusun Kampung Anyar, 

tepatnya pada sebuah rumah dari kayu yang 

terletak berbatasan dengan jalan menuju


hutan, tampak dua orang sedang duduk 

berhadap-hadapan di ruangan yang tidak 

terlihat satu pun perabot rumah tangga. 

Ruangan itu hanya dihiasi sebuah tikar 

lusuh yang alasnya dari jerami kering.

Duduk di sebelah kanan menghadap ke 

kiri adalah seorang laki-laki berusia 

agak lanjut. Mengenakan pakaian warna 

putih kusam dan lusuh. Rambutnya panjang 

dan putih. Sepasang matanya telah sayu 

karena digerogoti usia. Kulit sekujur 

tubuhnya pun telah mengeriput.

Beberapa kali orang tua ini menghela 

napas panjang seraya memandang seorang 

anak laki-laki berusia kira-kira sepuluh 

tahun yang duduk di hadapannya. Anak ini 

berparas tampan, kulitnya kuning dengan 

rambut hitam dan tebal. Kedua alis 

matanya membentuk bagus. Sepasang 

matanya tajam dengan dada bidang.

Setelah berdiam diri agak lama, si 

orang tua batuk batuk beberapa kali, lalu 

membuka mulut. Suaranya pelan namun 

tegas.

"Joko.... Sebenarnya Paman tidak 

perlu mengulang-ulang lagi apa yang 

pernah Paman katakan padamu. Tapi karena 

kau belum bisa memahami apa yang 

dikatakan Paman, terpaksa Paman 

mengulanginya lagi." Sejenak orang tua


hentikan ucapannya. Pandangannya 

matanya yang sayu tak lepas memandang 

lekat-lekat pada anak yang dipanggilnya 

dengan sebutan Joko.

Sementara Joko sendiri hanya 

menundukkan kepala. Hanya sesekali anak 

ini melirik dan begitu ekor matanya 

menumbuk pada mata orang yang 

menyebutkan diri Paman, Joko segera 

tundukkan wajahnya lagi.

"Joko.... Paman sudah sering 

bilang. Kau jangan berbuat yang 

tidak-tidak. Apa jadinya jika anak-anak 

yang kau pukuli itu orangtuanya tidak 

terima? Paman tahu, dalam hal ini 

sebenarnya kau berada di pihak yang 

benar, tapi setidak-tidaknya kau 

memikirkan akibatnya...."

Tiba-tiba Joko gerakkan kepalanya 

tengadah. Sepasang matanya yang tajam 

menatap lurus ke mata pamannya.

"Paman.... Paman pernah bilang, 

kebenaran harus dibela meski akibatnya 

berat. Apakah aku salah jika melawan 

anak-anak itu demi mempertahankan

milikku yang hendak mereka rampas? Aku 

telah bersusah payah mencari kayu bakar

dan rumput. Tiba-tiba mereka menghadang 

dan seenaknya saja hendak mengambilnya."


Mendengar ucapan Joko, si orang tua 

menghela napas panjang. Dalam hati 

diam-diam orang tua ini berkata. "Kau tak 

beda dengan mendiang ayahmu.... Selalu 

teguh pada pendirian. Sayang.... Ayah 

ibumu telah meninggal dan tidak sempat 

melihatmu tumbuh besar.... Ah...."

"Paman...," sambung Joko ketika 

dilihatnya sang paman tidak menyambuti 

kata-katanya. "Apakah tindakanku 

salah?!"

Sang paman tidak segera menjawab. 

Orang tua ini tampaknya masih 

kebingungan untuk mencari kata yang 

tepat bagaimana mengatakan apa yang ada 

dalam benaknya agar dimengerti anak 

sekecil Joko.

"Paman.... Paman sering cerita 

tentang seorang tokoh silat hebat yang 

berani mengadu nyawa demi me-bela 

kebenaran. Apakah aku salah mengikuti 

orang-orang yang sering Paman ceritakan 

itu?!"

Sang paman tertawa perlahan 

mendengar ucapan Joko.

"Joko.... Kau tak salah mengikuti 

perbuatan tokoh-tokoh hebat itu. Tapi 

kau harus tahu, siapa kau dan siapa 

mereka! Mereka adalah orang-orang


berilmu tinggi yang sanggup menghadapi 

akibat! Sedangkan kita...?"

"Aku akan belajar ilmu silat!" 

tiba-tiba Joko menyahut. Nada suaranya 

berapi-api, membuat sang paman kembali 

tertawa. Tapi dalam hati kecilnya si 

paman ini kagum akan semangat anak di 

hadapannya ini.

"Paman. Apakah tokoh yang sering 

Paman ceritakan itu masih hidup?!"

"Maksudmu tokoh yang mana? Paman 

sering cerita tentang banyak tokoh 

padamu."

Sejenak Joko kernyitkan dahi seolah 

berpikir. Setelah agak lama anak ini 

angkat bicara lagi.

"Yang paling sering Paman 

ceritakan. Yang Paman sebut dengan nama 

Pendeta Sinting."

Sang paman terdiam. Pandangannya 

beralih ke luar ruangan, Memandang jauh. 

Lalu berkata dengan suara pelan.

"Joko.... Sebenarnya apa yang Paman 

ceritakan padamu itu juga di peroleh dari 

cerita ayah Paman. Namun cerita itu sudah 

begitu melekat di hati setiap orang. 

Karena Pendeta Sinting seiain memiliki 

ilmu tinggi juga berbudi luhur meski 

kadang-kadang sifatnya mirip seperti 

orang tak waras. Makanya dia disebut


orang Pendeta Sinting. Soal sampai 

sekarang masih hidup atau sudah 

meninggal, aku sendiri tak tahu."

Joko tampak menarik napas 

dalam-dalam. Paras wajahnya jelas 

menunjukkan rasa kecewa. Tanpa sadar 

dari mulut anak ini terlontar gumaman.

"Seandainya pendeta itu masih 

hidup, aku ingin berguru padanya...."

"Semangat anak ini begitu 

tinggi.... Sayang aku tak memiliki ilmu 

silat...," keluh sang paman dalam hati 

dengan alihkan pandangannya kembali pada 

Joko. Untuk beberapa saat anak itu 

dipandanginya lekat-lekat dari ujung 

rambut sampai kaki. Tiba-tiba sepasang 

matanya yang sayu terhenti pada telapak 

tangan Joko sebelah kiri yang saat itu 

dibuka dan dibuat main-main dengan 

digosok-gosokkan pada telapak tangan 

satunya.

"Anak ini memiliki telapak tangan 

lain dari yang lain. Samar-samar di 

telapak tangan kirinya terdapat gambar 

seorang laki-laki tua bersorban. Aku tak 

tahu, apa maknanya itu...."

Tiba-tiba sepasang mata sang paman 

menangkap beberapa orang yang melangkah 

menuju arah rumahnya. Orang tua ini


menghela napas panjang, lalu memandang 

pada Joko dan berkata pelan.

"Apa yang kita khawatirkan akhirnya 

terjadi juga, Joko. Seperti beberapa 

waktu yang lalu, mereka pastilah 

orang-orang tua anak yang kau pukuli. 

Untuk menghindari hal-hal yang tidak 

kita inginkan, sebaiknya kau segera 

menuju hutan. Carilah kayu bakar. Biar 

mereka Paman hadapi!"

"Tidak Paman. Mereka yang salah, 

kenapa harus takut?!" sahut Joko seraya 

berpaling. Dari jauh memang tampak 

beberapa orang mendatangi kearah 

rumahnya.

"Joko. Bukan masalah takut atau 

tidak. Tapi ini demi keselamatanmu juga 

demi nama baik Paman. Kau tak ingin nama 

baik Paman rusak, bukan?!"

Joko tidak menyahut. Dia berpaling 

lagi dan menatap paras pamannya dengan 

tatapan tajam. Meski tidak berkata 

sepatah kata pun, namun sang paman jelas 

dapat melihat ketidaksetujuan pada wajah 

anak itu.

"Joko.... Aku tahu, kau tidak setuju 

dengan apa yang Paman katakan. Namun 

untuk sementara ini kau harus dapat 

menerimanya. Cepatlah keluar lewat bela-

kang!"


Dengan agak berat, akhirnya Joko 

menuruti perkataan pamannya. 

Perlahan-lahan anak ini bergerak bangkit 

dan melangkah menuju ke belakang. Namun 

sebelum ia keluar, anak ini masih sempat 

berkata lantang.

"Paman, kejadian ini adalah yang 

terakhir. Pada waktu mendatang, aku tak 

akan mau seperti ini. Aku akan hadapi 

mereka! Aku tak takut! Karena aku benar!"

Sang paman hanya dapat menghela 

napas panjang. Lalu anggukkan kepalanya. 

"Anak ini benar-benar teguh. Tapi 

kadang-kadang sifatnya bandel. Hingga 

tak salah jika teman-temannya memanggil 

dengan Joko Sableng...."

"Rajek Wesi! Suruh keluar anak 

kurang ajar itu!" tiba-tiba terdengar 

teriakan dari luar.

Paman Joko yang bernama Rajek Wesi 

ini bergerak bangkit. Seakan terkejut, 

laki-laki yang telah berumur ini 

melangkah ke arah pintu depan. Dari 

pintu, orang tua ini dapat melihat 

beberapa orang berdiri tegak dengan mata 

nyalang memandang ke dalam rumahnya.

"Ada apa?" Rajek Wesi ajukan tanya 

dengan memandang satu persatu orang yang 

berdiri di depan rumahnya. "Silakan


masuk. Mari kita bicara! Ada apa se-

benarnya?!"

"Kami tak perlu masuk. Kami hanya 

ingin anak itu!" salah seorang menjawab 

dengan suara keras.

"Yang kau maksud siapa?!" Rajek Wesi 

masih coba bertanya, membuat orang yang 

tadi menjawab agak geram. Seraya maju 

satu tindak dan dengan mata menyelidik ke 

dalam rumah, orang ini berujar.

"Rajek Wesi. Dengar balik-baik. 

Kami inginkan Joko Sableng!"

Rajek Wesi batuk-batuk beberapa 

kali. Setelah menghela napas panjang 

orang tua ini berkata periahan.

"Ada apa? Apa sebenarnya yang

terjadi hingga kalian mencari Joko 

Sableng?!"

"Anak sableng itu telah memukuli 

anak kami! Lekas suruh keluar anak itu!"

Rajek Wesi pura-pura terkejut, lalu 

dari mulutnya terdengar omelan memaki 

pada Joko Sableng.

"Aku sebagai orangtua yang mengasuh 

Joko Sableng minta maaf jika anak itu 

melakukan perbuatan yang tidak berkenan 

di hati kalian semua, termasuk padamu, 

Samparan. Aku berjanji akan mendidik dan 

memarahi anak itu!"


Orang yang dipanggil Samparan dan 

yang tadi menjawab, kembali keluarkan 

sahutan keras.

"Sudah beberapa kali ucapan itu kau 

katakan pada kami! Tapi tak ada buktinya! 

Anak sableng itu pantas mendapat 

hajaran!"

Rajek Wesi gelengkan kepalanya. 

Seraya melangkah keluar orang tua ini 

berujar datar.

"Sebenarnya sudah tak kurang-kurang 

aku mengingatkannya. Namun kuharap 

kalian mau memaafkannya untuk yang 

terakhir ini. Dan aku berjanji akan 

menghajarnya jika dia berani berbuat 

yang tidak-tidak!"

Samparan berpaling pada beberapa 

orang yang datang bersamanya. Mereka 

sama mengangguk. Samparan lalu berpaling 

lagi dan memandang pada orang tua di 

hadapannya.

"Rajek Wesi.... Untung kami masih 

memandangmu sebagai orang tua yang patut 

dihormati. Namun hal ini untuk yang 

terakhir kali. Sekali lagi Joko Sableng 

mencederai anak-anak kami, kami tak akan 

memandangmu lagi!" habis berkata begitu, 

Samparan putar tubuh lalu mengangguk 

pada beberapa orang yang datang bersa-

manya. Mereka pun lantas melangkah


meninggalkan halaman rumah Rajek Wesi 

dengan mulut merendeng tak karuan.

Rajek Wesi memandangi kepergian 

orang-orang itu dengan angkat bahunya 

dan menarik napas dalam-dalam.

"Hmm.... Orang-orang yang terlalu 

memperturutkan hawa marah. Hingga tak 

tahu siapa sebenarnya yang salah! Ah, 

Joko Sableng.... Selalu bikin orang tua 

harus berhadapan dengan orang-orang yang 

tak mau mengerti...."

* * *

Joko Sableng terus melangkah cepat 

menuju arah hutan lereng Gunung 

Kinibalu. Seraya melangkah anak ini 

bersiul-siul seakan tak ada persoalan. 

Malah tak jarang dia bernyanyi-nyanyi 

dengan suara keras. Namun baru saja masuk 

hutan dan hendak mulai mencari kayu 

bakar, telinganya menangkap derap 

langkah kaki kuda. Merasa bahwa orang 

berkuda akan melewati jalan di mana kini 

dia sedang melangkah, Joko Sableng 

segera menepi.

Baru saja Joko Sableng melangkah 

menepi, seakan memberi jalan pada 

penunggang kuda, dari arah belakangnya


sang binatang itu sudah berderap ken-

cang.

"Sontoloyo! Untung aku cepat 

minggir, jika tidak, mungkin kuda itu 

telah menabrak tubuhku. Apa 

p-nunggangnya sudah tidak bisa melihat 

lagi?!" seraya memaki Joko Sableng 

palingkan wajahnya pada kuda yang 

berlari dari arah belakangnya.

Tiba-tiba sepasang mata tajam anak 

ini membelalak besar, dahinya 

mengernyit. Dan seakan tak percaya 

dengan pandangan matanya, untuk sesaat 

anak ini tertegun, lalu usap-usap 

matanya. Dan sekali lagi memperhatikan 

kuda yang kini telah melewatinya.

"Aneh. Penunggang kuda itu tertidur 

apa gimana? Kalau tertidur kenapa 

tangannya terus menarik-narik tali 

kekang kudanya? Kalau tidak tertidur 

kenapa menunggang kuda dengan sikap 

begitu?!" Joko Sableng coba menduga-duga 

apa yang sedang dilakukan oleh 

penunggang kuda yang baru saja lewat.

Memang, sang penunggang kuda yang 

baru saja lewat menunggang kuda dengan 

sikap aneh. Tubuhnya seakan ditekuk 

sedemikian rupa hingga kepalanya sejajar 

dengan punggung kuda tunggangannya. 

Sementara tangan kiri kanannya tak


henti-hentinya menarik tali kekang kuda 

tunggangannya, hingga binatang itu terus 

berlari kencang. Melihat sikapnya, dapat 

segera ditebak jika sang penunggang 

seakan diburu waktu, setidak-tidaknya 

ada sesuatu yang harus diselesaikan 

dengan cepat.

Namun tiba-tiba sepasang mata Joko 

Sableng membelalak lebih besar lagi 

tatkala bola matanya melihat ceceran 

darah di sepanjang jalan yang baru saja 

dilewati oleh si penunggang kuda.

Dengan agak heran, Joko Sableng 

melangkah mendekati ceceran darah yang 

ada di bekas jejak-jejak kaki kuda. Dia 

seakan ingin meyakinkan bahwa darah itu 

darah yang baru keluar. Sambil jongkok 

memperhatikan hidung anak ini mengembang 

dan mengempis.

"Kulihat tak ada binatang yang 

terluka lewat sini. Pasti darah ini 

berasal dari penunggang kuda tadi. 

Hm.... Berarti orang itu tidak tidur, 

mungkin dia terluka...." Memikir sampai 

di situ, Joko segera bergerak bangkit.

Matanya nyalang ke arah mana kuda tadi 

berlari. Telinganya pun dipasang 

baik-baik.

"Kuda itu tidak terlihat lagi. 

Langkahnya pun tidak terdengar. Padahal


masih beberapa saat berlalu dari sini. 

Jangan-jangan...," Joko tidak 

meneruskan dugaannya. Anak ini segera 

berlari ke arah mana kuda tadi berlari. 

Dengan menelusuri jejak-jejak kaki kuda, 

tak sulit bagi anak ini untuk mengikuti 

ke mana kuda itu mengarah. Dan anak ini 

semakin yakin jika sang penunggang 

mengalami cidera tatkala sepanjang 

jejak-jejak yang diikutinya, darah itu 

semakin banyak!

Pada suatu tempat, Joko Sableng 

hentikan langkahnya. Karena jejak yang 

diikutinya lenyap. Sepasang matanya 

lantas menyapu berkeliling. Dan dia 

tercenung tatkala melihat kuda yang tadi 

lewat dan diikutinya melangkah 

berputar-putar tanpa penunggang. 

Keyakinan Joko makin jelas tatkala 

matanya melihat lelehan darah pada 

punggung kuda itu.

"Ke mana penunggang kuda itu? Kalau 

terjatuh di jalan, pasti aku telah 

melihatnya. Atau...," Joko putuskan 

gumamannya ketika sepasang telinganya 

mendengar erangan perlahan dari balik 

pohon yang di sekitarnya ditumbuhi semak 

belukar merangas tinggi.

Tanpa pikir panjang lagi, Joko 

Sableng segera berlari ke arah datangnya


suara erangan. Semak belukar tinggi itu 

disibakkannya dengan mata nanar 

mencari-cari. Anak ini segera melompat 

sigap tatkala matanya dapat menangkap 

sesosok tubuh yang melingkar di tengah 

semak belukar dengan memperdengarkan 

erangan kecil.

Sejurus Joko memperhatikan sosok 

orang di sebelahnya. Dengan tangan agak 

gemetar dan mata tak berkedip, anak ini 

bergerak jongkok. Lalu tangannya meraba 

orang yang melingkar di sebelahnya. 

Orang itu mengenakan pakaian selempang 

putih yang telah hangus, sementara kedua 

tangannya tampak mengembung merah. Dari 

mulut dan hidungnya mengalir darah merah 

kehitaman. Sepasang matanya terpejam 

rapat. Dari mulutnya yang berdarah, 

keluar erangan pelan.

Begitu dirasa ada tangan menyentuh, 

sosok yang tersuruk di atas semak belukar 

dan bukan lain adalah Bandung 

Bandawangsa alias Malaikat Lembah Hijau 

buka kelopak matanya dengan air muka 

terkejut besar. Hingga untuk beberapa 

lama sepasang matanya memandang liar tak 

berkedip. Namun keterkejutannya segera 

hilang tatkala dilihatnya yang menyentuh 

adalah tangan seorang anak kecil.


"Kek...," kata Joko setelah terdiam 

agak lama dan hanya memperhatikan 

keadaan orang di sampingnya. "Kau 

terluka. Bagaimana kalau Kakek kuajak ke 

rumahku?!"

"Terima kasih, Nak!" sambut 

Malaikat Lembah Hijau dengan suara 

bergetar dan tersendat. "Kalau mau 

menolong, tolong dekatkan kuda itu 

kemari! Aku harus segera pergi dari 

sini!"

"Tapi kau masih terluka...." 

Malaikat Lembah Hijau pejamkan kedua 

matanya menindih rasa sakit yang mendera 

sekujur tubuhnya. Setelah sedikit dapat 

mengatasi rasa nyeri pada dadanya, 

Malaikat Lembah Hijau berujar lirih.

"Nak. Aku punya urusan yang harus 

segera kuselesaikan. Sekali lagi aku 

ucapkan terima kasih atas bantuan yang 

hendak kau berikan. Namun untuk 

sementara ini tolong dekatkan kuda itu 

kemari!"

Dengan benak dipenuhi rasa heran, 

akhirnya Joko Sableng bergerak bangkit 

dan melangkah ke arah kuda. Dan 

perlahan-lahan pula kuda tunggangan itu 

dituntunnya ke arah Malaikat Lembah 

Hijau.


Malaikat Lembah Hijau kerahkan 

segenap tenaganya untuk dapat bergerak 

bangkit. Melihat hal ini, Joko segera 

menolong orang tua itu untuk berdiri. Dan 

perlahan-lahan pula dibimbingnya 

Malaikat Lembah Hijau untuk mendekati 

kuda tunggangannya. Bukan hanya itu 

saja, dengan segenap tenaganya pula anak 

ini membantu Malaikat Lembah Hijau untuk 

naik ke atas punggung kudanya.

"Nak. Terima kasih atas budimu. 

Siapa namamu?!" tanya Malaikat Lembah 

Hijau begitu tubuhnya telah berada di 

atas punggung kuda.

Joko Sableng tengadahkan kepalanya 

memperhatikan lekat-lekat. Dengan 

tersenyum ramah dia menjawab.

"Aku Joko Sableng. Kakek sendiri 

siapa...? Dan hendak ke manakah 

sebenarnya?!"

Belum sampai Malaikat Lembah Hijau 

menjawab pertanyaan Joko, terdengar 

hentakan ladam kaki-kaki kuda menuju ke 

arahnya. Paras muka Malaikat Lembah 

Hijau berubah seketika. Sepasang matanya 

membesar mengikuti gerak bahunya yang 

menegang. Dari mulutnya terlontar 

gumaman peian.

"Pasti mereka! Celaka...!"


Malaikat Lembah Hijau bimbang. 

Apakah akan segera keluar dari tempat itu 

dan meneruskan perjalanan, atau tetap di 

situ dan bersembunyi. Selagi laki-laki 

ini dilanda kebimbangan dan belum dapat 

memutuskan apa yang akan dilakukan, 

terdengar kekehan tawa bersahutan.

Baik Malaikat Lembah Hijau maupun 

Joko sama-sama palingkan wajah. Muka 

Malaikat Lembah Hijau tambah pucat, 

kedua tangannya gemetar dengan kuduk 

merinding. Dan keringat dingin pun 

keluar membasahi dahi dan lehernya. 

Sementara Joko sempat tersedak dan 

melongo dengan paras ngeri. Tanpa sadar 

kakinya bergeser ke belakang, mendekat 

ke arah kuda tunggangan Malaikat Lembah

Hijau!

* * *


ENAM



DI hadapan mereka berdua, Hantu 

Makam Setan dan Dewi Asmara terlihat 

tegak memandang dengan mata dingin. 

Bibir mereka masing-masing sunggingkan 

senyum seringai penuh kemarahan.


"Bandung Bandawangsa! Kau bisa lari 

dari pandangan mataku, tapi jangan mimpi 

bisa lepas dari tanganku! Aku masih 

memberimu kesempatan. Serahkan petunjuk 

itu atau serahkan nyawamu!" yang 

keluarkan suara adalah Hantu Makam 

Setan. Sementara Dewi Asmara hanya tegak 

mematung, namun diam-diam dalam hati 

perempuan cantik ini membatin.

"Hantu Makam Setan. Kau boleh 

mengambil petunjuk itu dari tangan 

Bandung Bandawangsa, namun untuk diriku! 

Hik.... Hik.... Hik.... Aku tahu 

bagaimana menghadapimu nanti...."

"Sialan benar! Tak mungkin aku 

menghadapi mereka berdua dengan keadaan 

demikian. Bagaimana kedua orang ini bisa 

bersatu? Hmm.... Mendengar kekejian 

mereka, pasti anak ini nanti juga akan 

mereka hajar. Anak malang.... Ah,

bagaimanapun juga aku harus 

menyelamatkan diri, juga menyelamatkan 

anak ini!"

Mendapati Malaikat Lembah Hijau tak 

menyambuti ucapan Hantu Makam Setan, 

Dewi Asmara sorongkan wajahnya mendekat 

Hantu Makam Setan, lalu berbisik.

"Hantu Makam Setan. Serahkan dia 

padaku! Rupanya dia tak bergeming dengan 

ancamanmu! Orang macam dia tak akan bisa


ditekan dengan kata-kata. Dia hanya bisa 

ditaklukkan dengan tangan!"

Hantu Makam Setan gelengkan kepala. 

Rupanya laki-laki berhidung sebelah ini 

bertindak hati-hati sekali. Dia masih 

khawatir jika Malaikat Lembah Hijau 

tidak membawa petunjuk itu, tapi 

menyimpannya pada suatu tempat. Hingga 

jika kekhawatirannya benar, maka dengan 

tewasnya Malaikat Lembah Hijau, bukan 

hanya perjalanannya saja yang sia-sia, 

lebih dari itu pedang mustika itu tak 

akan jatuh ke tangannya!

"Dewi Asmara! Kau boleh punya dendam 

setinggi langit pada keparat itu, tapi 

sebelum urusanku selesai jangan 

coba-coba mendahului!" sungut Hantu 

Makam Setan, membuat Dewi Asmara 

mendelik dan katupkan bibir rapat-rapat. 

Namun dalam hati perempuan cantik ini 

sebenarnya merasa lega. Karena dia pikir 

lebih mudah menghadapi Hantu Makam Setan 

daripada menghadapi Malaikat Lembah 

Hijau. Hantu Makam Setan masih bisa 

dibujuk dengan tubuh, tapi tidak 

demikian halnya dengan Malaikat Lembah 

Hijau.

Memikir sampai di situ, meski dengan 

menunjukkan wajah tak senang, akhirnya

Dewi Asmara berbisik lagi.


"Kalau itu maumu, baiklah! Tapi 

jangan lupa, nyawanya adalah untukku!"

Hantu Makam Setan menyeringai 

buruk. Sementara Malaikat Lembah Hijau 

berpikir mencari jalan bagaimana bisa 

menyelamatkan diri dan menyelamatkan 

anak di bawahnya. Sebab tak mungkin 

meninggalkan anak itu sendirian bersama 

dua tokoh biang sesat yang kejam itu.

Selagi Malaikat Lembah Hijau 

tercenung mencari jalan keluar, Joko 

Sableng tengadahkan kepala memandang 

Malaikat Lembah Hijau. Lalu berkata 

polos.

"Kek. Apakah mereka itu 

mencideraimu? Tampaknya mereka bukan 

orang baik-baik. Seandainya Kakek 

mengikuti aku ke rumah, tak mungkin 

mereka dapat menemukanmu!"

"Hmm.... Anak ini perasaannya peka 

sekali. Dari tampang dan nada bicara 

orang, dia telah dapat menduga...," 

batin Malaikat Lembah Hijau. Namun dia 

tak menyahut ucapan Joko. Sebaliknya 

dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga 

sebelah tangannya bergerak mengayun. Dan 

tahu-tahu tubuh Joko telah melesat ke 

atas. Dan belum sempat Joko keluarkan 

kata-kata, Malaikat Lembah Hijau telah 

mendudukkannya di punggung kuda di


sebelah depannya. Serta-merta tali 

kekang kuda dihela dengan keras. Kuda 

tunggangan itu meringkik kaget, tapi 

bersamaan dengan itu tubuhnya menghentak 

dan kakinya bergerak berlari 

meninggalkan tempat itu.

"Keparat busuk!" umpat Hantu Makam 

Setan. Sekonyong-konyong kedua 

tangannya bergerak menghantam. Mungkin 

karena marah, hingga tujuannya semula

yang tidak akan membuat Malaikat Lembah 

Hijau tewas sebelum memberikan apa yang 

diminta jadi teriupa. Serangannya kini 

ditujukan langsung ke arah Malaikat 

Lembah Hijau!

Wuuuttt! Wuuuttt!

Keadaan sekitar tempat itu mendadak 

pekat. Bersamaan dengan itu dua berkas 

sinar hitam melesat dengan keluarkan 

suara menderu dahsyat.

Di lain pihak, Dewi Asmara tak 

tinggal diam. Begitu tahu Hantu Makam 

Setan telah mengarahkan langsung 

pukulannya pada sosok Malaikat Lembah 

Hijau, perempuan ini pukulkan kedua 

tangannya dan diarahkan pada kuda yang 

ditunggangi.

Hingga di kepekatan suasana itu 

melesat pula angin geiombang dahsyat

yang mengembang dan menyergap dari empat


jurusan ke arah kuda tunggangan Malaikat 

Lembah Hijau!

Namun serangan dua orang ini 

terlambat datangnya. Sebab Malaikat 

Lembah Hijau telah menyentakkan lagi 

tali kekang kudanya dengan lebih keras. 

Lalu membelokkan kuda tunggangannya ke 

arah selatan. Hingga dua serangan maut 

itu hanya menghajar tempat kosong. Lalu 

menghantam pohon dan somak belukar di 

sekitar tempat itu.

Pohon-pohon itu berderak tumbang, 

sementara semak belukar tercerabut dari 

tanah dan berhamburan ke udara, membuat 

suasana makin pekat hitam!

Mendapati lawan bisa lolos, Hantu 

Makam Setan mendengus keras. Dadanya 

bergemuruh marah. Dan dengan berteriak 

meradang, laki-laki itu berkelebat lalu 

hantamkan kembali kedua tangannya ke 

arah mana kuda tunggangan Malaikat 

Lembah Hijau berlari.

Sekali lagi sinar hitam melesat, 

karena kali ini Hantu Makam Setan dengan 

pengerahan tenaga dalam penuh, maka 

lesatan sinar hitam itu laksana bersitan 

cahaya dan melabrak dengan kecepatan 

yang suiit diikuti pandangan mata 

telanjang.


Malaikat Lembah Hijau yang merasa 

mendapati gelagat tidak baik segera saja 

berpaling. Dan mendadak paras muka 

laki-laki ini bertambah pias. Darahnya 

seakan sirap! Betap tidak. Tiga depa di 

belakangnya sinar hitam itu menderu 

cepat ke arahnya. Tapi untung laki-laki 

ini bisa berpikir cepat. Karena bukan 

saja dia harus menyelamatkan dtrmya 

saja, tapi juga anak yang ada di 

depannya.

Memikir demikian, tali kekang kuda 

diserahkan pada anak di depannya. Joko 

sendiri yang meski terlihat heran 

bercampur takut, segera mengambil alih 

tali kekang kuda. Lalu menghelanya 

dengan keras-keras. Di belakangnya, 

Malaikat Lembah Hijau segera sentakkan 

kedua tangannya ke arah belakang. 

Wuuuttt! Wuuuttt!

Sinar hijau segera melesat dan 

langsung memapak serangan Hantu Makam 

Setan. Terdengar dentuman menggelegar 

tatkala kedua pukulan sakti itu bentrok 

di udara. Namun karena tenaga yang 

dikeluarkan Malaikat Lembah Hijau tidak 

penuh, maka sebagian sinar hitam yang 

ambyar terkena papasan sinar hijau terus 

melesat dan menyambar deras ke punggung 

Malaikat Lembah Hijau!


Tubuh Malaikat Lembah Hijau 

bergetar. Untung laki-laki ini masih 

sempat menyahut tali kekang kuda hingga 

meski tubuhnya sempat oleng dan kuda 

tunggangannya doyong hendak 

terjerembab, namun segera bisa dikuasai.

"Kek...," ucap Joko di sela rasa 

takut dan ngeri, ka-rena kuda itu kini 

berlari dengan kencang dan tak tentu 

tujuan.

"Nak!" sahut Malaikat Lembah Hijau 

dengan suara sendat dan pelan. "Kau tak 

usah takut! Dan jangan banyak bicara 

dulu."

Habis berkata begitu, Malaikat 

Lembah Hijau terlihat batuk-batuk, lalu 

mulutnya mengembung besar. Sebentar 

kemudian dari mulutnya keluar menyembur 

darah kehitaman!

Jauh di belakangnya, Hantu Makam 

Setan dan Dewi Asmara segera berkelebat 

ke arah kuda tunggangannya yang disimpan 

agak jauh dari tempatnya kini. Dan tanpa 

membuang tempo lagi, kedua orang ini 

segera naik punggung kudanya dan berlari 

mengejar.

"Setan keparat!" maki Hantu Makam 

Setan di sela hentakan kuda tunggannya 

yang berpacu kencang. Dan seakan tak


sabar dengan lari kuda tunggangannya 

laki-laki ini segera membentak garang.

"Dewi. Pukul binatang jahanam ini. 

Aku yang mengendalikan!" seraya berkata 

tali kekang kuda diambil dari tangan Dewi 

Asmara. Sementara Dewi Asmara sendiri 

meski dengan geram diperintah dengan

bentakan demikian rupa segera pukulkan 

kedua tangannya ke dada kiri kanan 

binatang tunggangannya! Hingga binatang 

itu menghentak dan berpacu makin 

kencang.

***

Baik Joko Sableng maupun Malaikat 

Lembah Hijau tak tahu ke mana kuda 

tunggangannya mengarah. Yang ada di 

benak orang tua ini hanya bisa selamat 

dari kejaran Hantu Makam Setan dan Dewi 

Asmara. Karena sayup-sayup dia bisa 

mendengar hentakan kuda yang terus 

mengikutinya ke mana kuda tunggangannya 

berlari.

Karena Hantu Makam Setan dan Dewi 

Asmara menunggang dengan pengerahan ilmu 

peringan tubuh, lagi pula tak 

henti-hentinya Dewi Asmara memukul dada 

kudanya sementara Hantu Makam Setan


tarik-tarik tali kekang kudanya, maka 

dalam beberapa saat kemudian, kedua 

orang ini telah berada beberapa tombak di 

belakang Malaikat Lembah Hijau dan Joko 

Sableng!

Di depan sana, Malaikat Lembah Hijau 

makin bergetar tubuhnya, selain 

merasakan sakit pada punggungnya, juga 

dadanya seakan pecah, apalagi 

terus-menerus diguncang kuda 

tunggangannya. Tapi laki-laki ini tak 

mau menyerah begitu saja. Dia terus 

memacu dan memacu tanpa mempedulikan ke 

mana langkah kudanya mengarah! Hal ini 

berakibat fatal bagi Malaikat Lembah 

Hijau dan Joko Sableng, karena ternyata 

kuda tunggangannya mengarah pada sebuah 

tebing jurang!

Malaikat Lembah Hijau dan Joko 

Sableng sama-sama tertegun, mata 

masing-masing sama membeliak besar. 

Bahkan dari mulut Joko terdengar jeritan 

tinggi melengking. Malaikat Lembah Hijau 

terkesima dan segera mencoba hentikan 

lari kudanya. Namun terlambat, karena 

begitu kuda berhenti, kaki depannya 

sudah tidak menginjak tanah, melainkan 

mengambang di tepi bibir jurang! Melihat 

situasi demikian, Hantu Makam Setan dan 

Dewi Asmara tercengang.


"Dewi. Kita harus cepat lakukan 

sesuatu untuk mencegahnya!"

Habis berkata demikian, Hantu Makam 

Setan segera melesat dari punggung 

kudanya, begitu pula Dewi Asmara.

Beeettt! Beeettt!

Gerakan kedua orang ini mampu 

menahan kuda tunggangan Malaikat Lembah 

Hijau, namun karena yang tersahut tangan 

kedua orang ini adalah kaki belakang kuda 

Malaikat Lembah Hijau, membuat kuda 

tunggangan itu tertekuk ke belakang, 

sementara tubuh bagian depannya tertekuk 

turun ke jurang. Hal ini membuat sosok 

Malaikat Lembah Hijau dan Joko Sableng 

melesat ke depan dan tak ampun lagi 

melayang masuk ke dalam jurang!

"Ah...," Dewi Asmara mengeluh 

kecewa, sementara Hantu Makam Setan 

memandangi dengan wajah merah padam. 

"Kita terlambat!" gumamnya parau. 

Mungkin merasa geram, kaki kuda yang 

masih mereka pegang sama-sama mereka 

sentakkan, hingga kuda itu tepelanting

kelamping jurang dengan keluarkan 

ringkikan keras sebelum akhirnya 

melayang masuk ke jurang!

Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara 

sama-sama bergerak bangkit. Masih dengan 

muka sulit diartikan Hantu Makam Setan


melangkah ke bibir jurang. Demikian pula 

Dewi Asmara. Keduanya melongok ke bawah. 

Meski saat itu matahari memancarkan 

sinar terang tanpa awan, namun yang 

tampak oleh sepasang mata Hantu Makam 

Setan dan Dewi Asmara hanyalah pucuk war-

na hijau rimbun dedaunan pohon yang 

banyak merayap di lamping jurang, dan 

selebihnya adalah warna hitam pekat! 

Pertanda bahwa jurang itu sangat dalam!

"Bagaimana sekarang?!" tiba-tiba 

Dewi Asmara ajukan pertanyaan. Hantu 

Makam Setan tidak menyahut, menoleh pun 

tidak. Dia masih memandang ke bawah dan 

sesekali memutar keliling dengan harapan 

tubuh Malaikat Lembah Hijau tersangkut 

sebagian pohon di lamping jurang. Namun 

harapan laki-laki berhidung sebelah ini 

tak menjadi kenyataan. Laki-laki ini 

rupanya masih tak putus asa. Dia 

melangkah menyusuri bibir jurang dengan 

sepasang mata tak berkedip! Sepasang 

telinganya pun dipasang baik-baik.

Di lain pihak, meski merasa kecewa 

yang amat sangat, Dewi Asmara segera 

sadar. Walau hatinya seakan menangis 

namun kenyataan ini diterimanya. Dan 

melihat Hantu Makam Setan masih saja tak 

mempercayai kenyataan dan melangkah 

mondar-mandir di bibir jurang, perempuan


berwajah cantik ini putar tubuhnya dan 

melangkah menjauh. Kiraa-kira lima belas 

langkah, dia berpaling, Hantu Makam 

Setan masih mondar-mandir.

"Manusia dungu! Sampai kakimu 

tanggal kau tak akan menemukannya!" 

dengus Dewi Asmara perlahan lalu 

tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat 

itu.

Hantu Makam Setan untuk beberapa 

lama masih berjalan di bibir jurang, dan 

begitu menyadari bahwa pencariannya 

sia-sia, dia kembangkan telaapak ta-

ngannya. Lalu berteriak histeris. Kedua 

tangan dan kakinya bergerak bersama-sama 

menghantam bibir jurang.

Bummm!

Lamping jurang itu bergetar hebat. 

Sebagian tanah di bibir jurang kontan

rengkah lalu terbongkar! Tanahnya 

berhamburan masuk ke dalam jurang. Kuda 

tunggangannya meringkik kaget dan sempat 

terangkat setengah tombak sebelum 

akhirnya jatuh tumbang di atas tanah. 

Binatang itu segera bangkit, lalu 

menghambur lenyap.

Hantu Makam Setan tengadah 

memandang langit. Tulang-tulang 

wajahnya bergerak gerak. Mulutnya 

komat-kamit namun tiada suara yang jelas


terdengar. Sesaat kemudian, dia luruskan 

lagi kepalanya dan memandang 

berkeliling.

"Perempuan setan! Ternyata dia 

sudah minggat!" gumamnya pelan. 

Laki-laki ini lantas melangkah ke arah 

sebuah pohon besar. Pantatnya 

dihempaskan lalu duduk bersandar. Kedua 

tangannya bergerak mengusap wajahnya 

yang dipenuhi keringat.

"Akan kutunggu sampai matahari 

tenggelam. Siapa tahu...," desisnya 

lirih dengan memandang jauh.

***


TUJUH



DI sebuah tempat yang suasananya 

sangat lembab dan remang-remang, karena 

kiri kanannya hanyalah jajaran pohon 

berusia ratusan tahun serta semak 

belukar dan lumut-lumut tebal berwarna 

hijau, seorang laki-laki berusia amat 

lanjut terlihat duduk bersila dengan 

mata terpejam setengah membuka. Mulutnya 

terkancing rapat. Mungkin karena usia 

dan juga karena tak pemah terkena cahaya 

matahari, paras muka kakek ini amat pucat

dan berkeriput. Namun keriputan kulit 

wajahnya hanya merupakan garis-garis 

yang samar-samar sebab kulit wajah itu 

demikian tipisnya. Rambutnya telah putih 

dan dibiarkan menjulai hingga sebagian 

menutupi wajah dan lehernya. Kumis dan 

jenggotnya juga putih dan lebat. Kakek 

ini mengenakan jubah panjang yang ketika 

dibuat duduk demikian rupa, sebagian 

kain jubahnya berserakan di samping 

kanan kirinya. Jubah itu telah kusam dan 

bertambal-tambal dari beberapa kain dan 

warna.

Pada beberapa tahun yang silam, 

jagat rimba persilatan pernah diguncang 

dan disentak oleh munculnya seorang 

tokoh berilmu tinggi yang malang 

melintang tanpa tanding. Beberapa tokoh 

golongan hitam yang coba-coba menjajal 

kesaktiannya, harus rela roboh dan yang 

memaksanya harus rela menyerahkan 

selembar nyawanya. Hingga ketika tokoh 

ini malang melintang, dunia persilatan 

menjadi tenteram damai. Dan satu persatu 

tokoh golongan hitam pergi menyingkir. 

Tokoh ini namanya lantas harum dan 

dikenal sampai di kalangan rakyat biasa. 

Tokoh ini sebenarnya adalah seorang 

pendeta. Namun karena melihat rimba 

persilatan banyak dikotori oleh


tangan-tangan yang serakah dan 

merajalelanya kebusukan, tokoh ini 

menanggalkan kependetaannya. Lalu turun 

ke gelanggang persilatan.

Karena tokoh ini selalu mengenakan 

pakaian tambal sulam dan sifatnya yang 

kadang-kadang mirip seperti seorang tak 

waras, orang-orang menyebutnya dengan 

gelar Pendeta Sinting.

Tapi beberapa tahun kemudian 

Pendeta Sinting hilang lenyap tiada 

berita. Beberapa orang coba menyelidiki 

ke mana lenyapnya Pendeta Sinting. Namun 

hingga beberapa lama, tak seorang pun 

yang dapat membuka tabir lenyapnya 

Pendeta Sinting. Bersamaan dengan itu, 

tokoh-tokoh golongan hitam pun mulai 

lagi merajalela. Dan kekejian serta 

kemelut pun mulai muncul di mana-mana. 

Kemelut itu makin keruh dengan 

tersebarnya berita tentang pusaka pedang 

mustika yang dikabarkan berada di tangan 

seseorang.

Sebenarnya Pendeta Sinting saat itu 

masih ingin terjun dalam rimba 

persilatan. Namun karena merasa usia 

telah menggerogoti dirinya, dia mulai 

berkeinginan untuk hidup tanpa bising 

segala macam ilmu silat. Dan secara 

diam-diam dia pergi ke sebuah jurang yang


dikenal orang dengan nama jurang Tlatah 

Perak. Sebuah jurang yang sangat dalam 

dan tidak pernah didiami seorang 

manusia.

Beberapa puluh tahun telah berlalu, 

Pendeta Sinting tetap berdiam diri di 

dalam jurang Tlatah Perak. Selain 

menyendiri untuk menenangkan diri, tokoh 

ini juga memperdalam ilmu silat.

Saat itu Pendeta Sinting sedang 

bersemadi dengan duduk bersila. Wajahnya 

telah mengeriput dimakan usia. Rambutnya 

pun telah memutih. Jubahnya yang 

bertambal-tambal berserakan di samping 

kanan kirinya. Namun semadinya saat itu 

tidak begitu khusuk. Karena sayup-sayup 

sepasang telinganya yang tajam menangkap 

hentakan ladam kaki-kaki kuda. Hal ini 

tidak biasa. Karena selama 

berpuluh-puluh tahun berdiam diri di 

dalam jurang, baru kali ini ada kuda yang 

lan-kah-langkahnya seperti mendekati ke 

arah jurang dimana dia berada. Dan 

semadinya jadi kacau tatkala dengan 

jelas sepasang telinganya menangkap 

jeritan. Jeritan itu menggema dan 

memantul ke lamping bibr jurang. Dari 

suara pantulan jeritan, dengan cepat 

Pendeta Sinting segera dapat menduga 

jika orang yang keluarkan jeritan pasti


masuk ke dalam jurang. Keyakinannya 

makin tebal tatkala bersamaan dengan itu 

terdengar suara makian, lalu bergetarnya 

lamping jurang serta berhamburannya 

tanah dari atas jurang.

Merasa ada yang tidak beres, Pendeta 

Sinting buka kelopak matanya. Kepalanya 

bergerak mendongak. Saat itulah sepasang 

matanya yang kelabu menangkap tiga 

bayangan hitam melayang-layang.

Pendeta Sinting komat-kamitkan 

mulutnya. Tak lama kemudian dari 

mulutnya terdengar kekehan tawa panjang. 

Namun cuma sesaat, sekejap kemudian 

tubuhnya telah melesat, dan tahu-tahu 

telah tegak sambil mendongak tak 

berkedip.

"Gila! Benda apa itu?!" ujarnya 

dengan tertawa mengekeh. Lalu berkelebat 

karena salah satu bayangan hitam itu 

telah hampir menghempas ke bawah. Kedua 

tangannya bergerak ke depan dengan tubuh 

sedikit ditarik ke belakang. 

Tabbb! Tabbb!

Benda yang melayang hampir 

terhempas itu tertangkap kedua tangan 

Pendeta Sinting. Orang ini segera saja 

tertawa terkekeh demi mengetahut bahwa 

yang ditangkapnya adalah seekor kuda 

yang tubuhnya hampir hancur.


"Sialan! Binatang sudah tewas masih 

juga dilemparkan ke dalam jurang! 

Sungguh tak tahu peradatan manusia yang 

melakukan hal ini...," gumam Pendeta 

Sinting, lalu meletakkan bangkai kuda 

itu di atas tanah. Mungkin karena bobot 

kuda itu lebih berat dari tubuh Malaikat 

Lembah Hijau dan Joko Sableng maka bina-

tang itu lebih dahulu sampai di bawah 

meski ketiganya hampir bersamaan saat 

terjatuh ke dalam jurang.

Sesaat setelah kuda itu ditangkap 

dan diletakkan di atas tanah, dua 

bayangan yang melayang segera menyusul. 

Sepasang mata Pendeta Sinting membeliak 

untuk meyakinkan. Begitu matanya yakin 

jika dua bayangan yang menyusul bayangan 

kuda adalah sosok manusia, kakek ini 

segera lesatkan tubuhnya ke udara dan 

dengan gerakan sigap dua bayangan itu 

ditangkapnya. Lalu dengan gerakan ringan 

sosoknya melayang turun ke tempatnya 

semula.

Dua sosok manusia itu segera 

diletakkan di atas tanah. Sepasang 

matanya memandangi dua tubuh yang 

sama-sama pingsan itu seraya menghela 

napas panjang.

"Seorang tua dan seorang anak 

kecil.... Mungkin mereka adalah kakek


dan cucunya. Hmm.... Yang tua tampaknya 

mengalami cidera dalam yang cukup parah. 

Sepertinya baru saja mengalami bentrok 

dengan seorang berilmu tinggi. Hm.... 

Rimba persilatan tak habis-habisnya 

menelan korban. Dunia edan!"

Pendeta Sinting lantas arahkan 

pandangannya pada sosok Joko Sableng. 

Memandang sebentar lalu bergumam. "Anak 

ini tak mengalami cidera. Dia pingsan 

mungkin karena terangas pohon dan 

akar-akar berduri di lamping jurang. 

Tubuhnya penuh barutan merah dan 

berdarah, tapi tak mengalami cidera 

dalam. Ah.... Anak-anak tak berdosa pun 

harus jadi korban rimba persilatan! 

Benar-benar jagat gila!"

Pendeta Sinting alihkan lagi 

pandangannya pada sosok Malaikat Lembah 

Hijau. Setelah menarik napas panjang 

orang tua ini jongkok di samping tubuh 

Malaikat Lembah Hijau. "Aku akan 

memeriksa tubuhnya. Kalau Tuhan masih 

menentukan baik, jiwanya akan 

tertolong...."

Kakek yang dulu pernah menggegerkan 

rimba persilatan ini gerakkan kedua 

tangannya dan ditempelkan pada dada 

Malaikat Lembah Hijau.


"Masih ada denyutan meski 

pelan...," desisnya. Kakek ini lantas 

kerahkan tenaga dalamnya. Tubuh Malaikat 

Lembah Hijau yang tadi diam tak 

bergerak-gerak mulai menampakkan 

gerakan pelan. Perlahan-lahan pula dari 

kedua tangan Pendeta Sinting.yang 

menempel di dada Malaikat Lembah Hijau 

mulai mengepulkan asap. Bersamaan dengan 

itu gerakan Malaikat Lembah Hijau makin 

kelihatan. Pendeta Sinting lipat 

gandakan alirkan hawa murninya, hingga 

tak lama kemudian mulut Malaikat Lembah 

Hijau terbuka dan bergetar. Bersamaan 

dengan terbukanya mulut, dari sudut 

mulut itu meleleh darah hitam. Melihat 

hal ini Pendeta Sinting pejamkan 

matanya. Tangannya makin menekan pada 

dada Malaikat Lembah Hijau. Darah hitam 

makin banyak mengalir, namun 

perlahan-lahan darah itu berubah warna. 

Begitu Pendeta Sinting buka kelopak 

matanya, darah yang mengalir telah 

berubah jadi merah. Pendeta Sinting 

menghela napas lega. Dan bersamaan 

dengan berubahnya darah, yang berarti 

racun akibat cidera telah lenyap, 

perlahan-lahan paras Malaikat Lembah 

Hijau berubah agak cerah. Dan kedua 

kakinya mulai bergerak-gerak. Kelopak


matanya pun mulai bergerak mengerjap dan 

tak lama kemudian kelopak mata itu 

terbuka.

Begitu melihat paras wajah Pendeta 

Sinting, sepasang mata Malaikat Lembah 

Hijau membesar. Mulutnya dibuka namun 

suaranya seakan tersekat di tenggorokan, 

hingga yang terdengar adalah gerengan 

pelan. Setelah agak lama dan merasa dapat 

menguasai keterkejutannya, Malaikat 

Lembah Hijau keluarkan suara. Agak parau 

dan tersendat.

"Kau.... Kau... siapa...?! Apakah 

aku tidak sedang mim.... Mimpi?"

Keterkejutan Malaikat Lembah Hijau 

makin besar hingga matanya makin 

melotot, karena jawaban dari

Pendeta Sinting adalah tawa 

mengekeh! Namun ketika menyadari bahwa 

orang tua di hadapannya telah menolong 

dirinya, Malaikat Lembah Hijau kembali 

ajukan pertanyaan.

"Orang tua. Siapakah... kau?"

Namun lagi-lagi Malaikat Lembah 

Hijau hanya mendapat jawaban kekehan 

tawa, membuat Malaikat Lembah Hijau 

memperhatikan lebih seksama pada orang 

tua di sampingnya itu. Tiba-tiba 

sepasang matanya mendelik dengan dahi

berkerut. Mulutnya bergerak


komat-kamit. Dalam hati Malaikat Lembah 

Hijau bertanya-tanya sendiri.

"Apakah aku tidak mimpi? Melihat 

ciri-cirinya, meski aku belum pernah 

bertemu, bukankah orang tua ini seorang 

tokoh berilmu tinggi yang sejak beberapa 

tahun belakangan ini menjadi teka-teki 

besar karena kepergiannya yang begitu 

tiba-tiba dan tanpa kabar berita? Ah, 

apakah benar dia tokoh yang bergelar 

Pendeta Sinting?"

Meski masih menduga-duga, Malaikat 

Lembah Hijau segera bergerak bangkit 

untuk duduk. Lalu akan menjura, namun 

sebelum hal itu sempat dilakukan, 

tubuhnya telah oleng ke belakang dan 

jatuh lagi telen-tang.

"Kau memang telah selamat dan cidera 

dalammu telah berkurang, namun aliran 

darahmu masih kocar-kacir...," ujar 

Pendeta Sinting. "Kerahkan sedikit 

tenaga dalammu untuk mengatasi aliran 

darahmu!"

Malaikat Lembah Hijau segera turuti 

ucapan Pendeta Sinting. Kedua tangannya 

segera ditakupkan di depan dada. 

Sepasang matanya dipejamkan. Lalu per-

lahan-lahan dia menarik napas untuk 

mengatasi aliran darahnya. Setelah 

merasa aliran darahnya berfungsi dengan


normal, perlahan-lahan Malaikat Lembah 

Hijau buka kelopak matanya, kedua 

tangannya digerakkan ke samping kanan 

dan kiri. Dengan bertumpu pada kedua 

tangannya, Malaikat Lembah Hijau 

bergerak bangkit. Lalu membungkuk 

dalam-dalam.

Pendeta Sinting tertawa mengekeh 

seraya mendongak.

"Kau tak perlu berbuat dengan segala 

macam peradatan begitu rupa! Lebih baik 

kau ceritakan apa yang baru saja 

menimpamu!"

Malaikat Lembah Hijau luruskan 

tubuh. Memandang lekat-lekat pada orang 

tua di hadapannya. Dan mendengar apa yang 

baru saja diucapkan Pendeta Sinting, 

Malaikat Lembah Hijau semakin yakin jika 

orang tua di hadapannya adalah orang yang 

diduganya. Karena menurut apa yang 

pernah didengar, Pendeta Sinting adalah 

seorang tokoh yang tak gila hormat dan 

tak mau dihormati dengan segala 

peradatan yang berlaku dalam rimba 

persilatan.

"Orang tua, kalau tak salah apakah 

aku tengah berhadapan dengan tokoh yang 

bergelar Pendeta Sinting?"

Pendeta Sinting tertawa dahulu 

sebelum buka suara.


"Ternyata kau telah mengenaliku. 

Namun rasanya aku merasa kesulitan untuk 

mengenalimu. Siapa kau?!"

"Ah. Ternyata dugaanku tidak 

meleset. Sungguh satu kebahagiaan besar 

bagiku bisa bertemu dengan tokoh yang 

bernama harum sepertimu, Pendeta Sin-

ting.... Aku adalah Bandung Bandawangsa. 

Berasal dari Lembah Hijau...."

"Ha.... Ha.... Ha...! Jika 

demikian, bukankah kau manusia yang 

bergelar Malaikat Lembah Hijau?"

"Ah, itu hanya nama sebutan yang 

diberikan orang-orang, Pendeta...."

"Hmm.... Begitu? Sekarang ceritakan 

bagaimana kau bisa sampai jatuh ke 

tempatku ini dan mengganggu 

kesendirianku!"

"Maafkan jika aku mengganggu, 

Pendeta...," ujar Malaikat Lembah Hijau 

pelan. Lalu dia segera menceritakan apa 

yang dialaminya hingga sampai masuk ke 

dalam jurang Tlatah Perak.

"Hmm.... Rimba persilatan memang 

tak akan dikatakan arena rimba jika tak 

selalu diselimuti kegegeran. Dan masalah 

Pedang Malaikat itu, sebenarnya telah 

lama juga kudengar. Namun baru kali ini 

aku mendengarnya jika kau yang 

dikejar-kejar orang dan diduga memiliki


petunjuk tentang pedang mustika itu. 

Boleh aku tahu, siapa gurumu?!"

Sejenak Malaikat Lembah Hijau 

terdiam, membuat Pendeta Sinting tertawa 

seakan mengejek.

"Kau tak usah khawatir. Aku tak akan 

menyelidik. Aku juga tak tertarik dengan 

pedang itu!"

Paras muka Malaikat Lembah Hijau 

berubah merah padam. Laki-laki ini 

buru-buru menjawab pertanyaan Pendeta 

Sinting.

"Guruku adalah Ki Buyut Mangun 

Raksa...." Untuk pertama kalinya Pendeta 

Sinting terperangah kaget. Sepasang 

matanya yang kelabu mendeiik 

memperhatikan lekat-lekat Malaikat 

Lembah Hijau. Orang tua ini telah tahu 

siapa sebenarnya manusia yang bernama Ki 

Buyut Mangun Raksa. Dia adalah seorang 

tokoh berilmu tinggi juga seorang tokoh 

yang bisa menembus hal secara gaib!

Melihat sampai di situ, Pendeta 

Sinting lantas berkesimpulan jadi tak 

salah apabiia beberapa tokoh 

mengejar-ngejar Malaikat Lembah Hijau. 

Mereka menduga, Malaikat Lembah Hijau 

pasti tahu petunjuk tentang beradanya 

pusaka Pedang Malaikat itu dari mendiang


gurunya yang punya kesaktian dapat 

melihat hal-hal yang gaib itu.

"Bandung Bandawangsa. Ingat, aku 

tidak menyelidik, hanya sekadar ingin 

tahu. Apakah mendiang gurumu pernah 

bercerita tentang senjata pedang mustika 

itu? Setidak-tidaknya pernah 

menyinggungnya?!" tanya Pendeta Sinting 

setelah agak lama berdiam diri.

"Tak pernah, Pendeta...." 

"Aneh...," gumam Pendeta Sinting 

heran. 

"Apanya yang aneh, Pendeta...?!" 

"Gurumu itu. Juga kau! Bagaimana 

mungkin orang lain bisa tahu, tapi kau 

sendiri sebagai muridnya tak diberitahu! 

Mustahil jika manusia macam Hantu Makam 

Setan dan Dewi Asmara juga tokoh-tokoh 

geblek lain-nya bersusah payah 

mengejar-ngejarmu jika tak yakin gurumu 

telah memberikan petunjuk tentang 

beradanya pedang mustika itu padamu! 

Entah dari siapa, mereka pasti sudah tahu 

bahwa gurumu telah memberitahukan 

tentang beradanya pedang itu!"

"Tapi, Pendeta. Guru memang tidak 

pernah memberitahukan padaku! Maka dari 

itu aku sendiri heran, orang-orang itu 

tiba-tiba mengusikku dan meminta sesuatu 

yang tak pernah kumiliki!"


Pendeta Sinting manggut-manggut 

meski dalam hatinya tak mengerti. 

"Hal-hal seperti inilah yang membuat 

rimba persilatan lain dari pada yang 

lain.... Dan hal-hal seperti ini juga 

yang membuat rimba persilatan penuh 

dengan selimut fitnah dan bara dalam 

sekam! Jika hal seperti ini tidak segera 

terbuka, rimba persilatan akan terus 

guncang dan umat manusia tidak akan aman 

tenteram.... Sayang, aku telah undur 

diri...," gumam Pendeta Sinting seakan 

mengeluh. Wajahnya berubah jadi murung. 

Namun cuma sesaat. Tak lama kemudian 

bibirnya telah membuka dan keluarkan 

tawa mengekeh, membuat Malaikat Lembah 

Hijau geleng-geleng kepala.

"Hmm.... Biarlah itu menjadi urusan 

orang-orang di luar sana. Jikalau Yang 

Kuasa menghendaki, cepat atau lambat 

misteri ini akan juga terbuka. Hanya saja 

kalau segera terbuka, dan orang yang 

ditakdirkan memiliki senjata itu orang 

baik-baik, maka rimba persilatan akan 

menjadi tenang. Setidak-tidaknya segala 

fitnah untuk sementara akan reda...."

Pendeta Sinting lantas berpaling. 

Dia terkejut. "Astaga! Kenapa kita asyik 

ngomong melulu. Bukankah anak itu juga 

per!u pertolongan."


Pendeta Sinting lantas geser

tubuhnya ke arah Joko Sableng. Kedua 

tangannya pun segera meneliti t-buh 

Joko. Karena anak ini tak mengalami 

cidera dalam, Pendeta Sinting hanya 

memijit-mijit jidat dan dada Joko. Dan 

orang tua ini tak menunggu lama. Tubuh 

Joko mulai bergerak-gerak. Lalu sepasang 

matanya terbuka. Bola mata tajam dan 

bening itu sesaat mengerjap, lalu 

memandang lurus ke atas. Setelah agak 

terbiasa, sepasang mata itu melirik ke 

samping. Sepasang alis matanya naik ke 

atas. Keningnya berkerut dengan mulut 

bergumam tak jelas. Namun wajahnya jelas 

mengisyaratkan rasa terkejut bukannya 

takut!

"Hmm.... Nyalinya besar juga ini 

anak. Anak lain mungkin sudah 

terkencing-kencing melihat tampangku. 

Ha.... Ha.... Ha...!" Pendeta Sinting 

membatin dalam hati dan tertawa sendiri.

"Orang tua... Kek.... Siapakah 

kau?!" tiba-tiba Joko Sableng ajukan 

pertanyaan seraya bangkit duduk. 

Sepasang matanya tak berkedip 

memperhatikan raut wajah Pendeta 

Sinting. Lalu berpaling ke samping. 

Ketika melihat Malaikat Lembah Hijau,


Joko sedikit terkejut dan langsung 

menyapa. 

"Kek...."

Malaikat Lembah Hijau tersenyum 

seraya anggukkan kepalanya.

"Bocah. Siapa namamu?!" Pendeta 

Sinting balik ajukan tanya.

"Joko. Tapi teman-teman biasa 

memanggilku Joko Sableng," jawab Joko 

sambii berpaling lagi pada Pendeta 

Sinting.

Mendengar ucapan Joko, Pendeta 

Sinting tertawa ngakak.

"Sinting bertemu sableng.... Ha.... 

Ha.... Ha...! Mana yang lebih geger dari 

hal ini?! Bagaimana menurutmu, Bandung 

Bandawangsa?!"

Bandung Bandawangsa alias Malaikat 

Lembah Hijau menjawab dengan senyum.

"Kek...," ujar Joko sambil 

berpaling pada Malaikat Lembah Hijau. 

"Bukankah kita tadi, atau kemarin jatuh 

dan masuk ke dalam jurang?"

Malaikat Lembah Hijau anggukkan 

kepalanya. Memandang lama pada Joko, 

lalu berkata pelan.

"Benar, Nak! Tapi kita diselamatkan 

oleh kakek ini! Dia adalah tokoh rimba 

persilatan yang digelari orang Pendeta


Sinting. Kau harus berterima kasih 

padanya."

Mungkin karena terkesima dengan 

ucapan Malaikat Lembah Hijau untuk 

beberapa, lama Joko terdiam kaku. Hanya 

sepasang matanya yang memandang tajam 

memperhatikan pada Pendeta Sinting.

"Pendeta Sinting...? Jadi.... Apa 

yang pernah diceritakan Paman padaku itu 

benar adanya...!" gumam Joko lirih.

"Cerita? Cerita apa?!" sahut 

Malaikat Lembah Hijau.

"Paman sering cerita, bahwa pada 

puluhan tahun yang silam, hidup seorang 

tokoh sakti yang berbudi luhur namun juga 

seperti...," Joko tak meneruskan 

ucapannya. Matanya meneliti pakaian juga 

wajah Pendeta Sinting.

Pendeta Sinting tertawa mengekeh. 

"Hai.... Kenapa kau putuskan ucapanmu? 

Teruskan! Ayo katakan apa lanjutan 

ucapanmu!"

Joko tersedak. Dia rupanya sadar 

bahwa dia keceplosan omong. Hingga meski 

Pendeta Sinting memerintah untuk 

melanjutkan ucapannya, Joko masih diam.

"Bocah! Kau dengar kata-kataku. 

Teruskan ucapanmu!"

"Paman bilang kadang-kadang seperti 

orang tak waras...," ujar Joko dengan 

suara dipelankan.

Malaikat Lembah Hijau menghela 

napas panjang. Namun dia maklum, anak 

sekecil Joko masih belum bisa mengerti 

perasaan orang. Namun sebaliknya Pendeta 

Sinting bukannya marah mendengar ucapan 

Joko. Orang tua ini malah tertawa 

terbahak-bahak. Membuat Malaikat Lembah 

Hijau menggeleng tak habis pikir. Joko 

pun yang tadinya agak takut-takut 

meneruskan ucapannya jadi tersenyum dan 

garuk-garuk kepala.

Tiba-tiba sepasang mata kelabu 

Pendeta Sinting membeliak besar. Tawanya 

putus mendadak seakan direnggut setan. 

Membuat Malaikat Lembah Hijau kerutkan 

dahi. Sementara Joko hentikan tangannya 

yang menggaruk. Tangan itu tetap di 

kepalanya. Diam tak bergerak-gerak. 

Kedua orang ini menunggu dengan dada 

berdebar. Malaikat Lembah Hijau khawatir 

jika Pendeta Sinting marah dibilang 

seperti orang tak waras oleh Joko.

"Celaka. Jangan-jangan orang tua 

ini tersinggung. Menghadapi orang tua 

begini memang susah-susah gampang...."

"Pendeta...," kata Malaikat Lembah 

Hijau akan memintakan maaf jika ucapan


Joko tadi memang menyinggung 

perasaannya. Namun sebelum Malaikat 

Lembah Hijau meneruskan ucapannya, 

Pendeta Sinting angkat tangannya memberi 

isyarat padanya untuk tidak teruskan 

ucapan, membuat Malaikat Lembah Hijau 

memandang lekat-lekat pada orang tua di 

hadapannya. Saat itulah Malaikat Lembah 

Hijau baru tahu jika sepasang mata orang 

tua itu menatap bukan pada wajah Joko, 

melainkan pada telapak tangan kirinya 

yang diam di atas kepalanya. Dan 

serta-merta sepasang mata Malaikat 

Lembah Hijau ikut-ikutan membelalak. 

Malah mungkin merasa kurang yakin, dia 

condongkan tubuhnya ke depan, membuka 

lebar-lebar sepasang matanya. Dan 

lukisan itu memang benar-benar terlihat 

meski samar-samar. Melihat dirinya 

dipandangi oleh dua orang tua di 

hadapannya demikian rupa, membuat Joko 

Sableng salah tingkah. Buru-buru anak 

ini turunkan tangannya, lalu menunduk.

"Bandung Bandawangsa. Kau 

melihatnya bukan?!" tiba-tiba Pendeta 

Sinting ajukan pertanyaan.

"Benar, Pendeta. Aku melihatnya!" 

jawab Malaikat Lembah Hijau seraya 

menatap sekujur tubuh Joko.


Sebenarnya kedua orang tua itu 

secara tak sengaja telah dapat melihat 

sebuah lukisan bergambar seorang tua 

bersorban pada telapak tangan kiri Joko 

sewaktu anak itu menggaruk kepalanya.

"Joko. Siapa orangtuamu?!" Pendeta 

Sinting angkat bicara setelah agak lama 

terdiam.

Joko angkat kepalanya. Memandang 

sejenak pada Pendeta Sinting lalu pada 

Malaikat Lembah Hijau.

"Aku tak tahu. Karena keduanya telah 

meninggal saat aku masih kecil. Aku hidup

bersama Paman, adik ayahku...."

"Apakah kau masih ingin kembali 

pulang?!"

Joko Sableng diam sesaat. Anak ini 

terlihat ragu-ragu. Sebenarnya dalam 

hatinya sangat gembira dan hampir tak 

percaya jika dia dapat bertemu dengan 

orang yang selama ini hanya didengarnya 

lewat cerita-cerita pamannya. Keinginan 

hatinya yang besar untuk belajar silat 

muncul. Namun di lain pihak dia khawatir 

dengan pamannya. Karena kepergiannya 

tanpa pamit terlebih dahulu.

"Joko. Kalau kau ingin di sini 

bersamaku, aku senang sekali! Soal 

kepergianmu, biarlah nanti Bandung


Bandawangsa yang mengatakan pada 

pamanmu!" kata Pendeta Sinting.

"Hmm.... Rupanya pendeta ini ingin 

mengambil anak ini sebagai murid! Ah, 

sungguh sangat beruntung anak ini...," 

batin Malaikat Lembah Hijau begitu 

mendengar ucapan Pendeta Sinting. 

Laki-laki berpakaian selempang resi ini 

anggukkan kepalanya dan berkata.

"Benar, Joko. Masalah dengan 

pamanmu, biar nanti aku yang 

menceritakannya. Kurasa dia tak akan 

keberatan."

"Apakah.... Apakah kalau aku di sini 

Eyang mau mengajari ilmu silat?!" tanya 

Joko sambil arahkan pandangannya pada 

tempat sekitarnya.

Pendeta Sinting tertawa mengekeh. 

"Masalah ini belum bisa kuputuskan. Kita 

lihat saja nanti! Kalau kau kuat dan 

berbakat, hal ini tak akan sulit."

"Aku kuat, Eyang!" sahut Joko cepat, 

membuat Malaikat Lembah Hijau dan 

Pendeta Sinting tertawa berbarengan.

"Dan aku mau tinggal di sini asalkan 

Eyang mau mengajariku ilmu silat!"

"Baiklah. Itu urusan nanti. Yang 

penting kau mau tinggal di sini 

menemaniku!" ujar Pendeta Sinting.


Saat itulah tiba-tiba Malaikat 

Lembah Hijau mengerang. Wajahnya 

mendadak pucat pasi. Tubuhnya gemetar 

dengan bahu berguncang.

"Punggungku...," hanya itu ucapan 

yang terlontar dari mulutnya. Bersamaan 

dengan itu laki-laki ini terhumbalang 

jatuh menelentang.

"Edan! Kenapa lagi orang ini? 

Punggung...? Sialan. Jangan-jangan 

punggungnya cidera. Bodohnya aku, kenapa 

tadi punggungnya tak kuperiksa?!" gumam 

Pendeta Sinting, lalu buru-buru 

mendekat. Dengan cepat tangannya 

bergerak membalikkan tubuh Malaikat 

Lembah Hijau. Sementara Joko hanya 

memandang tak tahu apa yang harus 

diperbuat.

Pendeta Sinting cepat memeriksa 

punggung Malaikat Lembah Hijau. Mungkin 

karena terhalang pakaiannya, orang tua 

ini segera menyibakkan pakaian Malaikat 

Lembah Hijau.

Begitu punggung Malaikat Lembah 

Hijau tersingkap, Pendeta Sinting 

terkesiap kaget. Dia tersentak...

***

DELAPAN


DI punggung Malaikat Lembah Hijau, 

Pendeta Sinting melihat guratan tulisan! 

Untuk beberapa lama kakek ini diam tak 

bergerak dengan mata memandang tak

berkedip. Sementara Joko Sableng sendiri 

ikut-ikutan memandang ke arah punggung 

Malaikat Lembah Hijau. Entah karena 

masih tak mengerti, wajah anak ini tak 

menunjukkan rasa terkejut. Malah 

sebaliknya tersenyum seraya memasukkan 

jari keiingkingnya ke lubang telinganya 

hingga dia menggelinjang dan meringis.

Setelah dapat mengatasi 

ketersimaannya, Pendeta Sinting 

condongkan tubuhnya ke depan. Lalu 

membaca tulisan itu.

Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan 

Keramat. Puncak Bukit Sono Keling. Bulan 

Sepenggal.

Meski tulisan itu samar-samar dan 

buruk, namun Pendeta Sinting masih dapat 

membacanya. Bahkan orang tua ini 

membacanya beberapa kaii.

"Hm.... Tak salah jika beberapa 

tokoh edan itu mengejar-ngejarnya. 

Ternyata dia memang membawa petunjuk 

tentang pedang mustika itu! Pasti


tulisan ini dibuat oleh mendiang Ki Buyut 

Mangun Raksa tanpa sepengetahuan Bandung 

Bandawangsa...," Pendeta Sinting 

menghela napas panjang. Lalu melirik 

sekilas pada Joko Sableng yang kini asyik 

mengorek-ngorek lumut tebal hijau di 

sampingnya.

Tiba-tiba kening Pendeta Sinting 

mengernyit. Dia teringat sesuatu. 

"Astaga! Bukankah hal yang kutemui 

saat ini hampir sama dengan mimpiku? Aku 

bermimpi didatangi seorang laki-laki dan 

seorang anak kecil. Si anak datang sambil 

mengacungkan tangan kirinya ke atas 

dengan telapak tangan terbuka, sementara 

si laki-laki datang dengan membawa 

sebuah pedang.... Dan masih kuingat 

sebuah suara yang tiba-tiba menyeruak 

bersama kedatangan kedua orang itu. 

'Anak ini yang kelak ditentukan untuk 

memiliki pedang itu. Rawat dan jagalah!' 

Hm.... Sepertinya sebuah perintah. 

Ah.... Mimpiku benar-benar jadi

kenyataan. Jadi aku harus merawat dan 

menjaga anak ini. Dan menuntunnya untuk 

mendapatkan pedang itu jika sampai 

saatnya. Hmm...."

Tiba-tiba Malaikat Lembah Hijau 

kembali perdengarkan erangan, membuat 

Pendeta Sinting terjaga dari lamunannya.


Cepat, kakek ini tempelkan kedua ta-

ngannya pada punggung Malaikat Lembah 

Hijau yang memang berwarna biru akibat 

pukulan Hantu Makam Setan.

Setelah agak lama Pendeta Sinting 

kerahkan tenaga dalam dan disalurkan 

pada punggung Malaikat Lembah Hijau, 

perlahan-lahan warna biru akibat pukulan 

Hantu Makam Setan sirna, dan bersamaan 

itu Malaikat Lembah Hijau kembali 

bergerak-gerak. Anehnya, bersamaan 

dengan sirnanya warna biru, tulisan di 

punggung Malaikat Lembah Hijau juga 

lenyap!

"Aneh.... Kalau bukan seseorang 

yang memiliki ilmu tinggi, tak mungkin 

bisa melakukan hal seperti ini...," 

desis Pendeta Sinting, lalu tarik kedua 

tangannya.

Malaikat Lembah Hijau 

perlahan-lahan bergerak bangkit. Lalu

duduk seperti semula. "Terima kasih, 

Pendeta.... Ini pasti akibat pukulan 

Hantu Makam Setan yang kuceritakan 

padamu itu, Pendeta!"

Pendeta Sinting tidak menanggapi 

ucapan Malaikat Lembah Hijau. Malah dia 

balik ajukan tanya.


"Bandung Bandawangsa. Kutanya 

padamu. Tapi ingat, jangan kau berkata 

dusta padaku. Kau dengar?l"

Meski dengan wajah heran, Malaikat 

Lembah Hijau anggukkan kepalanya.

"Tak ada untungnya aku bicara dusta 

padamu, Pendeta. Katakanlah!"

"Apakah mendiang gurumu memang tak 

pernah cerita tentang pedang mustika 

itu?!"

"Seperti yang tadi kukatakan. Guru 

Ki Buyut Mangun Raksa memang tak pernah 

cerita apa-apa tentang pedang itu, 

Pendeta. Kenapa pendeta menanyakan hal 

itu lagi?!"

Pendeta Sinting tidak segera 

berkata. Memandang sejenak pada 

Malaikat-Lembah Hijau lalu tengadah.

"Dengar. Aku telah menemukan 

petunjuk tentang pedang mustikan itu 

pada dirimu!"

Malaikat Lembah Hijau tercengang. 

Mungkin takut kalau disangka dia berkata 

dusta, laki-laki ini segera berkata.

"Tapi, Pendeta. Guru memang 

benar-benar tak pernah memberikan 

petunjuk itu padaku. Dan aku pun tak 

tahu! Kalau tak keberatan, boleh aku tahu 

di mana dan bagaimana petunjuknya?!"


"Sebelum kukatakan, jawab lagi 

pertanyaanku. Apakah gurumu pernah 

menulis sesuatu pada tubuhmu?!"

Malaikat Lembah Hijau terdiam. 

Keningnya berkerut seakan mengingat. 

Lalu kepalanya menggeleng perlahan.

"Rasa-rasanya tak pernah. Hanya 

saja...."

"Hanya saja apa?!" tukas Pendeta 

Sinting.

"Sewaktu latihan, aku pernah cidera 

di bagian punggung. Waktu itu Guru 

mengobati. Namun waktu itu aku merasa 

aneh, karena cara mengobatinya dengan 

menggunakan ijuk keras yang 

ditoreh-torehkan di punggungku. Padahal 

biasanya Guru mengobatiku dengan 

salurkan tenaganya lewat teiapak tangan. 

Namun aku waktu itu diam saja."

"Hm.... Jika demikian, tulisan itu 

bisa dipercaya!" gumam Pendeta Sinting, 

membuat Malaikat Lembah Hijau makin 

penasaran.

"Tulisan, Pendeta maksud tulisan 

mana?!"

"Dengar, Bandung Bandawangsa. Di 

punggungmu aku melihat tulisan yang 

memberi petunjuk tentang beradanya 

Pedang Tumpul yang kini diperebutkan 

oleh orang-orang rimba persilatan. Dan


mendengar ceritamu, aku yakin bahwa yang 

menulis itu adalah gurumu"

Malaikat Lembah Hijau terperangah. 

Dia hampir tak percaya dengan apa yang 

didengarnya. Namun sebelum laki-laki ini 

hilang rasa terkejutnya, Pendeta Sinting 

telah ajukan pertanyaan.

"Apakah kau berniat memiliki 

senjata itu?!" "Pendeta.... Kalau 

mendiang Guru tidak pernah mengatakan 

padaku, dan hanya menuliskan di 

punggungku, aku bisa menebak jika pedang 

itu tidak ditentukan untukku! Jadi 

percuma aku memburu atau berniat 

memilikinya! Biarlah pedang itu dimiliki 

oleh orang yang ditentukan untuk 

memilikinya!"

"Hmm.... Bagus. Orang sadar diri 

seperti kau sulit ditemui saat ini. 

Kebanyakan orang, mereka tak sadar dan 

terus memburu sesuatu yang di luar 

jangkauannya. Hingga mereka terperosok! 

Anehnya, dalam keterperosokannya itu 

mereka bangga! Gila...."

Pendeta Sinting lantas melirik ke 

samping. Dilihatnya Joko telah tertidur 

di atas lumut hijau! Orang tua ini 

menggeleng, lalu berpaling pada Malaikat 

Lembah Hijau. Setelah batuk-batuk


beberapa kali orang tua ini menceritakan 

mimpinya pada Malaikat Lembah Hijau.

"Bagaimana menurutmu?!" tanyanya 

setelah menceritakan mimpinya.

Malaikat Lembah Hijau coba 

menguasai diri dari rasa terkejutnya 

dahulu setelah mendengar cerita mimpi 

orang tua di hadapannya. Lalu berkata.

"Menilik mimpimu, aku beranggapan 

bahwa memang anak ini yang ditentukan 

untuk memiliki pedang itu!"

"Hmm.... Dugaanmu sama dengan 

perkiraanku. Namun seperti suara yang 

kudengar, untuk sementara waktu anak ini 

akan kurawat, hingga tiba saatnya nanti. 

Lagi pula sambil jalan aku akan 

menyelidik apa makna tulisan di telapak 

tangan anak ini. Tentunya menyimpan 

sesuatu!"

Beberapa saat berlalu, kedua orang 

ini lantas saling diam, seakan berpikir 

dengan perasaan masing-masing. Namun tak 

lama kemudian Malaikat Lembah Hijau 

angkat bicara.

"Pendeta.... Rasanya aku sudah agak 

baik. Perkenankan aku pamit."

"Hmm.... Begitu? Baik. Tapi kau 

harus tetap berhati-hati. Jiwamu masih 

menjadi incaran banyak orang. Apalagi


jika berita itu telah menyebar 

kemana-mana."

"Segala ucapanmu akan kuperhatikan, 

Pendeta!" ujar Malaikat Lembah Hijau 

pelan, lalu menyambung. 

"Untuk menghindarkan hal-hal yang 

tidak kuinginkan, bisakah Pendeta 

menolong menghilangkan tulisan pada 

punggungku ini?!"

Penghuni jurang Tlatah Perak ini 

tertawa mengekeh. "Kau ternyata belum 

kenal betul dengan gurumu!" 

"Maksud Pendeta...?!"

"Bukan Ki Buyut Mangun Raksa jika 

bertindak bodoh. Tulisan itu telah 

lenyap begitu aku salurkan tenaga dalam 

lewat punggungmu!"

"Ah...," hanya keluhan itu yang 

terdengar dari mulut Malaikat Lembah 

Hijau. Setelah terdiam beberapa saat, 

laki-laki ini menjura hormat, lalu 

berkata. 

"Jika demikian, aku pamit sekarang, 

Pendeta...."

Pendeta Sinting anggukkan kepala. 

"Jangan lupa, temui pamannya Joko. Dan 

ceritakan apa adanya!"

"Akan kulakukan, Pendeta.... Aku 

mohon diri...," Malaikat Lembah Hijau 

bergerak bangkit. Merapikan pakaiannya


sebentar, lalu tengadah. Tiba-tiba dia 

seakan baru sadar jika saat itu dirinya 

ada di dalam jurang yang dalam.

"Astaga! Tak mungkin bagiku 

melewati tebing yang demikian dalam...."

"Bandung Bandawangsa. Turutlah 

jalan setapak ini. Pada sebuah pohon 

beringin kembar kau belok ke kanan. Jalan 

terus melewati jalan setapak. Hingga kau 

menemukan aliran sungai. Dari sana kau 

bisa mendaki!" berkata Pendeta Sinting 

seolah mengerti apa yang ada dalam benak 

Malaikat Lembah Hijau.

Malaikat Lembah Hijau mengangguk, 

lalu putar tubuhnya dan melangkah

menapaki jalan yang telah disebutkan 

penghuni jurang Tlatah Perak itu.

Sejak hari itulah Joko Sableng hidup 

di dalam jurang Tlatah Perak bersama 

Pendeta Sinting.

***


SEMBILAN


ADALAH suatu hal yang aneh jika 

dalam sebuah tempat yang orang tak 

menyangka bakal dihuni manusia terjadi 

suatu pemandangan yang menakjubkan. 

Betapa tidak? Seorang pemuda berparas 

tampan, berambut panjang berurai dan 

acak-acakan sedang berdiri tegak di atas 

sebuah tonjolan batu pipih yang menonjol 

pada lamping jurang. Sejenak pemuda ini 

memandang liar ke bawah, di mana terlihat 

seorang kakek sedang duduk bersila 

seraya memejamkan mata. Namun mulutnya 

tak henti-hentinya komat-kamit, dan tak 

lama kemudian tertawa ngakak.

Namun tiba-tiba saja kedua 

tangannya yang merangkap di depan dada 

bergerak dan memukul ke atas. 

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dua gelombang angin dahsyat segera 

melesat dengan diiringi suara 

menggemuruh.

Di atas sana, sang pemuda 

ikut-ikutan tertawa, namun sebentar 

kemudian telah melesat bersamaan dengan 

sampainya pukulan si kakek.


Suara berderak segera menyeruak. 

Lamping jurang itu hancur berantakan dan 

meninggalkan lubang sedalam setengah 

depa!

Sang kakek melirik ke samping kanan, 

di mana si pemuda kini berada. Kedua 

tangannya lantas diangkat ke atas 

kepala. Serta-merta kedua tangannya 

dikembangkan dan disentakkan ke arah si 

pemuda.

Dua berkas sinar melesat lalu 

mengembang dan serta-merta berhamburan 

membentuk beberapa pijaran. Pijaran itu 

lantas melesat dari segala arah menuju ke 

arah si pemuda!

Sang pemuda tak tinggal diam. Kedua 

tangannya segera pula mengembang, lalu 

disentakkan.

Dari kedua tangan si pemuda segera 

pula melesat dua sinar kuning keperakan. 

Bersamaan dengan itu, suasana berubah 

menjadi semburat warna kuning. Tak lama 

kemudian terdengar beberapa kali letupan 

keras tatkala bersitan sinar kuning tadi 

menghantam beberapa pijaran. Setiap kali 

letupan, tanah di tempat itu bergetar 

keras. Hingga di tempat itu laksana 

dilanda gempa beberapa kali. Tanah pun 

berhamburan, semak belukar tercerabut 

sampai akar-akarnya. Begitu tanah surut,


si pemuda terlihat terhuyuhg-huyung, 

namun segera dapat kuasai diri. 

Sedangkan sang kakek tubuhnya 

bergoyang-goyang sebentar. Namun cuma 

sesaat. Sekejap kemudian tubuhnya telah 

diam seperti sediakala. Malah bersamaan 

dengan itu dari mulutnya terdengar suara 

tawa mengekeh panjang. Tiba-tiba si 

kakek putuskan tawanya. Kaki bergerak ke 

depan lalu ditekuk, hingga kakek ini 

duduk bersimpuh. Sepasang matanya yang 

kelabu sedikit memejam. Mulut berkemik. 

Tiba-tiba saja kedua tangan orang ini 

berubah menjadi kuning bercahaya.

Sang pemuda terperangah. Sepasang 

matanya yang tajam memandang tak 

berkedip. 

"Busyet! Dia hendak lepaskan 

pukulan 'Lembur Kuning'...," sungut si 

pemuda dengan dada berdebar. Dan tanpa 

menunggu si orang tua menggerakkan kedua 

tangannya, pemuda ini cepat pula 

mengambil sikap seperti si orang tua. 

Kedua tangan merangkap sejajar dada, 

sepasang mata sedikit terpejam dengan 

mulut komat-kamit. Seperti yang terjadi 

pada si orang tua, kedua tangan pemuda 

ini sekejap kemudian telah berubah 

menjadi kuning bercahaya!

Wuuuttt! Wuuuttt!


Di depan sana, sekonyong-konyong si 

orang tua buka rangkapan kedua 

tangannya. Dan serta-merta kedua 

tangannya dikembangkan dan disentakkan 

ke arah si pemuda!

Tangan bergetar keras. Dua sinar 

kuning keperakan melesat keluar. Pada 

saat bersamaan, suasana ditempat itu 

berubah menjadi semburat warna kuning. 

Inilah pukulan sakti yang beberapa puluh 

tahun silam pernah menggemparkan rimba 

persilatan, yakni pukulan 'Lembur 

Kuning'!

Di seberang sana, mendapati si orang 

tua telah lepaskan pukulan, sang pemuda 

tak tinggal diam. Kedua tangannya pun 

dikembangkan dan segera dihantamkan 

memapak pukulan si orang tua. 

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dua sinar kuning melesat dari kedua 

telapak tangan si pemuda lalu mengembang 

dan menggebrak memapak pukulan yang 

datang.

Dua pukulan sakti 'Lembur Kuning' 

bentrok di udara. Hingga sekejap itu juga 

terdengar ledakan dahsyat, membuat semak 

belukar di sekitar tempata itu 

porak-poranda, tanah di sana-sini 

membentuk kubangan. Ranting dan 

dahan-dahan pohon berpatahan, rimbun


dedaunan di atas sana langsung mengering 

hangus sebelum akhirnya gugur 

berhamburan.

Ketika suasana terang kembali, si 

orang tua terlihat mengurut dada seraya 

batuk-batuk kecil, tubuhnya bergeser 

hingga beberapa langkah ke belakang. 

Dahi dan lehernya tampak dilelehi 

keringat.

Di seberang, si pemuda terjajar 

hingga dua tombak dan terduduk di atas 

tanah. Wajahnya pucat pasi, kedua 

tangannya bergetar dengan sekujur tubuh 

telah basah kuyup oleh keringat.

"Sontoloyo! Sini kau!" tiba-tiba si 

kakek memanggil dengan anggukkan 

kepalanya pada sang pemuda.

Sang pemuda masukkan jari 

kelingkingnya pada lubang telinganya 

hingga wajahnya meringis. Lalu bangkit 

dan melangkah ke arah si kakek.

"Duduk!" perintah si kakek. Sang 

pemuda menuruti perintah. Dia duduk 

namun tak henti-hentinya wajahnya 

meringis, karena jari kelingkingnya 

masih masuk ke dalam lubang telinganya, 

malah seolah disengaja, jari kelingking 

dimasukkan semakin dalam, hingga 

tubuhnya terangkat dengan cengengesan!


Anehnya, sang kakek tidak marah, 

sebaliknya malah ikut-ikutan tertawa! 

Setelah puas tertawa, kakek ini 

memandang tajam pada sang pemuda. Lalu 

berkata.

"Joko. Aku ingin bicara denganmu!"

"Aha.... Ingin bicara kenapa 

berkata dulu, Eyang...?"

"Sontoloyo, Ini soal sungguhan! 

Tidak bercandal" tukas si kakek dengan 

suara agak keras. Namun wajahnya tak 

menunjukkan perasaan marah.

"Hmm.... Soal apa Eyang?" tanya sang 

pemuda begitu melihat kesungguhaan pada 

wajah orang tua di hadapannya.

"Joko. Tuhan menciptakan sesuatu 

berpasang-pasangan. Ada laki-laki ada 

perempuan. Ada siang ada malam. Ada luar 

ada dalam. Ada pertemuan ada 

perpisahan...," sejenak si kakek 

menghentikan ucapannya. Sementara sang 

pemuda terpekur, seakan masih tak 

mengerti dengan arah pembicaraan orang 

tua di hadapannya.

"Hari ini, kita harus menjalani 

pasangan dari pertemuan!"

"Maksud Eyang...."

"Kurasa apa yang kuberikan padamu 

selama kau disini, sudah cukup. Pukulan 

'Lebur Kuning' telah kau kuasai dengan


baik, demikian pula jurus-jurus yang te-

lah kuajarkan padamu! Tapi ingat. Apa 

yang sekarang telah kau miliki, tidak ada 

apa-apanya bila dibandingkan dengan apa 

yang dimiliki Tuhan. Ilmu yang kau mi-

liki, hanya sebagian kecil dari ilmunya 

Tuhan. Maka dari itu jangan kau bersifat 

sombong. Meremehkan orang lain!"

"Saya mengerti, Eyang...."

"Kembali pada ucapanku tadi, hari 

ini sudah saatnya kita harus berpisah! 

Sudah waktunya kau mengamalkan apa yang 

telah kau miiikl untuk ketenangan dan 

kedamaian umat manusia." 

"Tapi, Eyang...."

"Tak ada tapi. Harus! Kau dengar? 

Harus!" sahut sang kakek tandas.

Sang pemuda yang bukan lain adalah 

Joko Sableng, memandang lekat-lekat pada 

orang tua di hadapannya yang bukan lain 

adalah Pendeta Sinting. Memang, tanpa 

terasa, delapan tahun sudah Joko berdiam 

diri bersama Pendeta Sinting di dalam 

jurang Tlatah Perak. Selama itu pula, 

siang malam Joko mendapat gembelengan 

ilmu silat dari orang tua yang pada 

beberapa puluh tahun silam pernah 

menggegerkan rimba persilatan itu. Tubuh 

Joko pun kini telah berubah. Sosoknya


kini tegap. Kedua tangannya berotot 

dengan kaki kokoh.

"Joko. Ada satu hal yang harus kau 

kerjakan begitu kau menginjak tanah di 

luar sana. Ingat. Hal ini harus kau 

kerjakan! Tanpa berpaling pada masalah 

lain!"

"Apa hal itu, Eyang...?!" sahut Joko 

dengan suara agak parau, karena pemuda 

ini sebenarnya tidak menyangka jika hari 

ini adalah hari terakhir baginya berada 

di dalam jurang Tlatah Perak. Dia seakan 

masih tak percaya dengan apa yang baru 

saja dikatakan oleh gurunya itu.

"Seperti yang sering kukatakan 

padamu, saat ini rimba persilatan sedang 

diguncang dengan berita tentang Pedang 

Tumpul yang dari dahulu hingga kini belum 

juga terbuka misterinya! Kau kutugaskan 

untuk melacak pedang mustika itu!"

Joko Sableng manggut-manggut. 

Pendeta Sinting tengadahkan kepalanya. 

Lalu melanjutkan.

"Kau masih ingat dengan Bandung 

Bandawangsa? Orang tua yang terjun ke 

jurang ini bersamamu dahulu?!"

Joko mengangguk. Sementara Pendeta 

Sinting terus tengadah.

"Orang itu membawa petunjuk tentang 

di mana beradanya pedang mustika itu!"


Joko Sableng tersentak kaget. 

Matanya membesar. Namun sebentar 

kemudian wajahnya berubah. Dia tampak 

ragu-ragu. Lalu mengutarakan apa yang 

diragukannya pada Pendeta Sinting.

"Eyang, apakah petunjuk dari 

Bandung Bandawangsa bisa dipercaya?!"

Penghuni jurang Tlatah Perak itu 

tertawa, lalu luruskan kepalanya.

"Jangan tanyakan hal itu padaku. Aku 

tak dapat memastikannya. Hanya saja 

kelak kau akan mendapatkan jawaban dari 

pertanyaan itu setelah kau menyelidik!"

Joko terdiam. Dia lantas teringat 

sewaktu menolong Bandung Bandawangsa 

yang waktu itu dikejar-kejar oleh Hantu 

Makam Setan dan Dewi Asmara. Dia juga 

masih ingat, Hantu Makam Setan meminta 

sesuatu tentang petunjuk pedang mustika. 

"Kalau tokoh-tokoh hebat mengejar 

dia, rasa-rasanya tidak mustahil jika 

dia memang mempunyai petunjuk itu...," 

memikir sampai di situ keragu-raguan

Joko sedikit hilang. Pemuda murid 

Pendeta Sinting ini lantas bertanya.

"Katakanlah, Eyang. Di mana 

beradanya pedang mustika itu?"

"Kau dengar baik-baik petunjuk yang 

pernah kubaca Itu. Pedang Tumpul 131. 

Pesanggrahan Keramat. Puncak Bukit Sono


Keling. Bulan Sepenggal. Nah, kau 

jabarkan sendiri petunjuk itu!"

Joko Sableng mengulangi petunjuk 

yang diucapkan Pendeta Sinting. Dahinya 

berkerut seakan mencari arti dari 

petunjuk itu.

"Pedang Tumpul 131. Hm.... Ini pasti 

nama pedang mustika itu. Pesanggrahan 

Keramat. Hmm.... Pesanggrahan.... 

Adalah tempat dimakamkannya seseorang 

yang dianggap sakti. Puncak bukit Sono 

Keling. Ini pasti tempat makam orang 

sakti itu. Bulan Sepenggal.... Apa 

artinya ini?!"

Belum sempat Joko menemukan arti 

kata-kata pada petunjuk terakhir itu 

Pendeta Sinting telah buka suara lagi.

"Joko. Kau sudah siap berangkat?!"

Joko anggukkan kepala meski hatinya 

mesih ada beberapa pertanyaan. Dia 

sebenarnya hendak menanyakan hal itu 

pada gurunya namun dia batalkan. Karena 

dia tak mau dianggap manusia yang tak mau 

berpikir.

Setelah memandang sejenak pada 

gurunya, Joko menjura dalam-dalam. Lalu 

bergerak bangkit.

"Joko.... Hari-hari di depanmu 

sangat berat dan sudah pasti sarat dengan 

berbagai cobaan dan tantangan karena


rimba persilatan selalu dan selalu 

dihiasai dengan segala macam fitnah, 

kelicikan, dendam juga hasutan! 

Pergunakan otak bersih dan kepala dingin 

dalam menghadapi segala masalah! Segala 

masalah tujukan hanya demi untuk 

kedamaian dan ketenteraman umat 

manusia!"

"Segala ucapan Eyang sedapat 

mungkin akan murid lakukan! Aku mohon 

pamit, Eyang...."

Pendeta Sinting anggukkan 

kepalanya, lalu memandang tajam pada

Joko Sableng. Joko Sableng menjura 

sekali lagi, lalu putar tubuhnya dan 

melangkah melewati jalan setapak.

Kira-kira dapat lima belas langkah, 

kepalanya tengadah. Lalu berpaling 

sebentar pada Pendeta Sinting, namun 

ternyata orang tua itu sudah tidak ada 

lagi di tempatnya semula!

Joko menggumam tak jelas, lalu 

tengadah lagi. Sekejap kemudian tubuhnya 

melesat ke atas, menjejak tonjolan batu 

di lamping jurang lalu mental lagi ke 

atas, menjejak lagi tonjolan pada 

lamping jurang sampai akhirnya 

menginjaktanah di bibir jurang. Masa 

delapan tahun di dalam jurang Tlatah 

Perak telah membuat pemuda itu hapal


tonjolan-tonjolan tebing yang dapat 

dipijaknya. Sehingga Joko mampu mendaki 

tebing jurang yang dalam itu.

Sejenak sepasang matanya memandang 

berkeliling. Lalu berpaling ke bawah. 

Hanya kegelapan yang terlihat. 

"Hm...Delapan tahun Paman 

kutinggalkan. Sebelum menjalankan tugas 

Guru, aku akan menemui Paman terlebih 

dahulu. Selain melepas rasa rindu, siapa 

tahu Paman tahu tempat yang hendak 

kutuju...." Setelah menghela napas 

panjang dan dalam pemuda ini berkelebat 

meninggalkan tempat itu.

***

"Hmm.... Kulihat telah banyak 

perubahan dengan kampung ini. Delapan 

tahun ternyata telah mampu membuatku 

hampir lupa karena begitu banyaknya per-

ubahan.... Kalau saja masa kecilku tidak 

di daerah sekitar sini, mungkin aku tidak 

akan bisa mengenali lagi kampung ini. 

Apakah Paman masih ingat dengan diriku?" 

Joko berkata sendiri dalam hati serayaa 

terus melangkah menyusuri Kampung Anyar 

dengan sepasang mata tak hentinya 

memperhatikan tempat-tempat yang 

dilewati.


Sampai pada sudut kampung, tepatnya 

di depan sebuah rumah kayu yang letaknya

berbatasan dengan jalan menuju hutan, 

Joko hentikan langkahnya sejenak. 

Sepasang matanya memandang tajam pada 

rumah kayu terpencil itu.

"Rumah itu, masih tetap seperti 

delapan tahun yang lalu.... Tak ada 

perubahan di sini...," gumam Joko lalu 

meneruskan langkah menuju rumah kayu 

yang pintunya tampak tertutup.

"Paman...!" seru Joko begitu telah 

berada di depan pintu.

Tak ada sahutan dari dalam rumah, 

namun sepasang telinga Joko yang telah 

terlatih dapat menangkap 

langkah-langkah kaki menuju ke pintu. 

Dada pemuda ini berdebar. Mungkin tak 

sabar, kedua tangannya segera bergerak 

ke depan mendorong pintu.

Bersamaan dengan itu, dari dalam 

rumah, pintu itu ditarik membuka. 

Debaran dada Joko makin keras, sepasang 

matanya tak berkedip dengan mulut 

komat-kamit ketika di balik pintu yang 

telah terbuka, tampak berdiri seorang 

laki-laki berusia ianjut. Rambutnya 

telah putih dengan mata sayu.

Di balik pintu, si orang tua sejurus 

memandangi pemuda di hadapannya dengan


mata menyipit dan membesar. Dahinya yang 

telah mengeriput makin berkerut. Sebelum 

orang tua ini keluarkan suara untuk 

menanyakan siapa adanya sang tamu, Joko 

telah melangkah masuk dan serta-merta 

menubruk orang tua itu.

"Paman.... Aku Joko...," desis Joko 

dengan suara parau dan tersendat.

Entah karena terkesima atau 

terkejut, si orang tua hanya diam saja.

"Paman.... Aku Joko Sableng...," 

ulang Joko tatkala dilihatnya si orang 

tua hanya diam.

"Joko Sableng...," gumam si orang 

tua mengulangi ucapan Joko. Serta-merta 

orang tua ini merangkul Joko dengan mulut 

komat-kamit tapi tak jelas apa yang 

diucapkan. Namun dari wajahnya jelas 

jika orang tua ini sangat gembira dan 

terharu. Hingga untuk beberapa lamanya, 

orang tua ini tak mau melepaskan 

rangkulan tangannya. Kedua orang ini 

sama melepaskan kerinduan.

"Paman.... Bagaimana keadaanmu 

selama ini?" "Aku baik-baik saja dan aku 

senang melihat kau segar bugar.... Aku 

bahkan hampir tak mengenalimu lagi, 

karena kau telah berubah...."

Paman Joko melepaskan rangkulannya. 

Lalu menarik sedikit tubuhnya ke


belakang. Sepasang matanya yang sayu 

memandangi Joko dari atas hingga bawah.

"Joko.... Aku tak menduga jika semua 

ini terjadi...," ucap pamannya masih 

dengan mata tak berkedip seolah tak 

mempercayai penglihatannya.

Joko tersenyum. Lalu menebarkan 

pandangannya ke seluruh ruangan.

"Paman. Maaf kan aku. Karena saat 

itu aku tak pamit padamu...."

Sang paman menarik napas panjang 

seraya gelengkan kepala.

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku 

telah mendengar semuanya dari Pendekar 

Malaikat Lembah Hijau. Kau sungguh 

beruntung, Joko. Hanya pesanku.... 

Kuharap kau tak berubah meski aku yakin, 

kau sekarang bukan lagi Joko yang delapan 

tahun lalu. Jangan kau bersifat jumawa 

walau kau sekarang telah diangkat murid 

oleh seorang tokoh silat yang kesohor!"

"Segala nasihatmu akan terus 

kuingat, Paman...."

"Bagus.... Aku sangat gembira 

mendengarnya...."

"Paman. Sebenarnya aku masih punya 

sesuatu yang harus kuselesaikan...."

Sang paman menarik napas. Wajahnya 

sedikit murung.


"Joko. Aku tahu. Tapi untuk 

menghilangkan rindu ini, kuharap kau 

malam ini mau menginap di sini. Meski aku 

telah mendengar ceritamu dari Pendekar 

Malaikat Lembah Hijau, aku masih ingin 

mendengar dari dirimu sendiri. Sekarang 

kau mungkin masih lelah. Beristirahatlah 

dulu. Nanti malam kita teruskan obrolan 

kita. Setelah itu kau boleh meneruskan 

perjalanan jika memang ada yang harus kau 

selesaikan."

Karena tak mau mengecewakan orang 

tua yang telah merawat dan mendidiknya 

sejak kecil, murid Pendeta Sinting ini 

akhirnya anggukkan kepalanya dengan 

tersenyum.

"Aku akan ke pancuran dulu, Paman. 

Aku kangen dengan situasi di situ!"

Sang paman hanya tersenyum dan 

memandangi Joko yang telah putar 

tubuhnya dan melangkah menuju pancuran 

di dekat hutan.

"Benar-benar tidak disangka.... 

Hm.... Semoga anak Ini bisa membawa diri 

dan menjadi seorang pendekar muda yang 

berbudi...," ujar sang paman dengan 

memandangi langkah-langkah Joko sampai 

pemuda ini menghilang di tikungan jalan 

setapak menuju pancuran.


***


SEPULUH



MUNGKIN karena satu-satunya yang 

ada, kedai di sudut desa yang tidak 

terlalu besar dan sedikit kotor itu 

banyak didatangi para pengunjung. Be-

berapa ekor kuda tampak ditambatkan di 

sebelah samping kedai, memberi petunjuk 

jika pengunjung kedai itu bukan hanya 

datang dari kampung sekitar daerah itu 

saja, melainkan juga datang dari kampung 

lain.

Dari arah barat kedai, seorang 

pemuda terlihat melangkah pelan seraya 

memperhatikan keadaan sekitar yang 

dilewatinya. Beberapa kali kepalanya 

berpaling ke kanan kiri dengan mata 

sedikit dilebarkan, sementara mulutnya 

tak henti-hentinya bergumam tak jelas, 

seakan menunjukkan bahwa sang pemuda 

adalah bukan penduduk asli kampung itu.

Pemuda ini rnengenakan pakaian 

putih dengan ikat kepala berwarna putih 

juga. Rambutnya panjang sedikit 

acak-acakan, sepasang matanya tajam 

dengan alis mata tebal dan hitam. Dagunya


kokoh dengan hidung sedikit mancung. 

Sosoknya tegap dengan dada bidang.

Begitu sampai di halaman kedai, 

pemuda itu hentikan langkahnya. Sepasang 

matanya jelalatan ke sana kemari, lalu 

memandang lurus ke dalam kedai. Sejurus 

pemuda ini menghela napas panjang. 

Wajahnya jelas menampakkan 

keragu-raguan di hatinya, antara mene-

ruskan langkah dan masuk kedai, karena 

beberapa kali pemuda ini melangkah 

mondar-mandir dengan mata memandang ke 

sebelah timur lalu berpaling ke arah 

kedai.

Setelah berpikir agak lama, 

akhirnya pemuda ini melangkah ke arah 

kedai. Di pintu masuk, dia hentikan 

langkah. Sepasang matanya menyapu ke 

ruangan di mana banyak para pengunjung 

sedang menikmati hidangannya. Bibir si 

pemuda mengulas senyum, namun sesaat 

kemudian berubah menjadi ringisan. Puas 

memandang ke seluruh ruangan, dia 

meneruskan langkah masuk ke dalam kedai. 

Anehnya, dia tak segera mencari tempat 

duduk yang kosong, melainkan terus 

melangkah ke arah dalam, di mana banyak 

pelayan kedai sedang menyiapkan makanan 

pesanan pengunjung.


Merasa ada orang tak dikenal 

melangkah hendak masuk ke dalam, pemiiik 

kedai buru-buru menyongsong dengan 

senyum tipis. Dahinya berkerut dan 

memperhatikan pada sang pemuda dengan 

mata penuh selidik. Karena selain 

celingak-celinguk seakan mencari 

sesuatu, pemuda ini cengengesan sendiri. 

Sang pemiiik kedai segera maklum, namun 

mau tak mau kepalanya menggeleng dengan 

mulut komat-kamit memperdengarkan 

ucapan tak jelas. Ternyata jari 

kelingking sang pemuda masuk ke dalam 

lubang telinganya! Hingga meski 

sendirian tak ada yang mengajak bicara, 

pemuda ini meringis dengan tubuh sedikit 

berjingkatl

"Mau pesan apa, Den...?" sapa sang 

pemiiik masih dengan mata tak berkedip 

memperhatikan pemuda di hadapannya dari 

bawah hingga atas.

Sang pemuda menggeiinjang sebentar, 

lalu tarik jari kelingkingnya dari 

lubang telinganya. Setelah memandang 

sepintas lalu, dia angkat bicara. 

"Bapak pemiiik kedai ini?!" 

"Hmm.... Pemuda inituli apa kurang 

waras? Ditanya mau pesan apa jawabnya 

malah tanya balik!" batin sang pemilik. 

Namun karena ingin segera menyambut


beberapa pengunjung, sang pemilik 

anggukkan kepalanya.

"Melihat banyaknya pengunjung, 

pasti pemilik ini sudah beberapa puluh 

tahun berjualan, dan bukan mustahil dia 

dilahirkan di sini, yang berarti hapal 

betul dengan daerah di sekitar tempat 

ini!" si pemuda berkata dalam hati, lalu 

hadapkan wajahnya pada sang pemiiik 

kedai dan berkata.

"Bapak tak keberatan menjawab jika 

aku tanya sesuatu?!"

Mendengar ucapan si pemuda, pemilik 

kedai kembali kernyitkan kening, namun 

wajahnya menunjukkan rasa tak senang. 

Tapi entah karena tak ingin membuat 

keributan atau agar si pemuda segera 

enyah dari hadapannya, pemilik kedai ini 

segera berujar.

"Sebenarnya ini kedai bukan tempat 

untuk bertanya, tapi untukmu, aku masih 

dapat mengerti, karena kulihat kau bukan 

penduduk daerah sini. Lekas katakan apa 

yang ingin kau tanyakan!"

Meski kata-kata sang pemilik kedai 

sedikit tak enak di telinga, si pemuda 

tak menampakkan raut wajah berubah. 

Sebaliknya makin tersenyum lebar dan 

balik menatap pemilik kedai yang saat itu 

tak lepas memandanginya.


"Di mana letak bukit Sono Keling?!"

Mendengar pertanyaan sang pemuda, 

paras muka sang pemilik kedai berubah 

seketika. Kedua matanya membelalak, 

mulutnya terkancing rapat. Tubuhnya 

sedikit berguncang. Rasa takut tak dapat 

disembunyikan dari wajahnya meski sesaat 

kemudian, pemilik kedai itu sunggingkan 

senyum dan membuka mulut.

"Kau berniat menuju ke sana?!"

Si pemuda tidak segera menjawab. Dia 

masih menduga-duga dalam hati apa yang 

membuat perubahan pada paras orang di

hadapannya. Namun tak dapat menemukan 

dugaan yang pasti, akhirnya pemuda ini 

anggukkan kepala, membuat sang pemilik 

makin dibuat heran bercampur takut.

Tiba-tiba si pemilik kedai 

melangkah maju. Serta-merta tangan kanan 

si pemuda digaetnya dan diajaknya ke 

dalam. Di pojok ruangan dalam, sang 

pemilik berhenti dan langsung ajukan 

pertanyaan.

"Anak muda. Apa maksudmu hendak ke 

bukit Sono Keling?!"

"Hmm.... Aku tak boleh berterus 

terang pada siapa pun juga tentang apa 

tujuanku ke bukit Sono Keling," batin si 

pemuda lalu berkata.


"Ayahku sedang sakit. Aku disuruh 

mencari daun-daunan di bukit itu! Di mana 

letaknya bukit itu?"

Sejurus pemilik kedai memperhatikan 

seakan ragu-ragu dengan ucapan pemuda di 

hadapannya. "Kau tak berkata bohong?!"

"Heran. Ada apa sebenarnya di bukit 

itu? Bukan hanya rasa takut yang tampak 

pada air muka orang ini, tapi juga banyak 

pertanyaan yang seharusnya tak 

ditanyakan...," si pemuda kembali 

menyimpulkan apa yang dilihatnya, lalu 

menjawab pertanyaan orang dengan 

gelengan kepala.

Si pemilik kedai manggut-manggut. 

"Anak muda. Kalau mau kuingatkan, 

sebaiknya urungkan saja niatmu menuju 

bukit itu. Lebih baik kau cari di tempat 

lain saja apa yang kau butuhkan!"

"Wah, hal itu tak dapat dilakukan. 

Karena aku telah mencobanya ke tempat

lain, namun yang kucari tak kutemukan. 

Hanya di bukit Sono Keling adanya 

daun-daunan yang kubutuhkan itu!"

Si pemuda hentikan ucapannya 

sejenak. Ketika ditunggu tak ada 

sambutan dari orang di hadapannya, si 

pemuda menyambung kata katanya.

"Wajah Bapak berubah seolah takut. 

Ada apa sebenarnya di bukit itu?!"


Si pemilik kedai terdiam. Setelah 

menghela napas panjang dia berujar.

"Kau adalah salah satu dari beberapa 

orang yang menanyakan letak bukti itu 

padaku. Namun kau tahu, apa yang terjadi 

setelah mereka menuju ke bukit itu?!"

Sekarang si pemuda yang balik jadi 

terdiam. Bukan karena ingin menduga apa 

yang terjadi dengan beberapa orang 

sebelumnya, namun karena khawatir jika 

ada orang yang telah mendahului.

Melihat si pemuda tidak menjawab, si 

pemilik kedai menjawab pertanyaannya 

sendiri dengan suara sedikit bergetar.

"Mereka tak ada yang pulang kembali! 

Padahal mereka bukan orang sembarangan, 

karena beberapa di antaranya pernah 

terlibat bentrok di sini. Mereka semua 

rata-rata memiliki ilmu silat hebat!"

"Bagaimana kau tahu mereka tidak 

pernah kembali?!"

"Di sebelah timur itu adalah 

satu-satunya jalan menuju ke bukit Sono 

Keling...," kata si pemiiik kedai seraya 

angkat tangannya dan menunjuk ke sebelah 

timur. "Kalau mereka pulang kembali, 

pasti aku mengetahuinya, 

setidak-tidaknya salah seorang 

pelayanku tahu, karena kedai ini buka


sehari semalam. Sementara jalan 

satu-satunya adalah jalan itu!"

Mendengar keterangan demikian, mau 

tak mau merinding juga kuduk si pemuda, 

malah mukanya berubah. Namun karena 

tekadnya telah bulat, keterangan si 

pemiiik kedai hanya sebentar saja 

membuatnya dihantui rasa takut. Sesaat 

kemudian yang terlihat adalah 

semangatnya yang besar. Apalagi 

mendengar beberapa orang yang menuju ke 

sana belum ada yang pernah kembali, yang 

berarti mereka gagal mendapatkan apa 

yang dicari!

"Bapak tahu, apa yang mereka cari di 

bukit itu?" Si pemiiik kedai gelengkan 

kepalanya. 

"Mereka tak mau mengatakan. Tapi 

dari sikap mereka, aku dapat menduga 

mereka mempunyai keperluan yang sangat 

penting sekali. Aku sendiri heran, apa 

yang mereka cari di sana? Padahal yang 

ada di sana hanyalah sebuah makam tua. 

Yang oleh orang-orang di sekitar sini 

dinamakan Pesanggrahan Keramat! Aku tak 

tahu, kenapa makam itu dinamakan 

demikian. Hanya menurut orang-orang tua, 

makam itu adalah makam seorang sakti yang 

telah meningga! pada beberapa ratus 

tahun yang silam...."


"Terima kasih atas keteranganmu. 

Aku harus segera pergi!" kata si pemuda, 

lalu putar tubuh dan hendak melangkah 

meninggalkan ruangan itu. Namun langkah-

nya tertahan karena si pemilik kedai 

berseru.

Tunggu! Apakah kau akan melanjutkan 

niatmu?"

Si pemuda palingkan wajahnya ke 

belakang. Bibirnya mengulas senyum. 

Kepalanya bergerak menggeleng.

"Sebenarnya aku ingin sekali ke 

sana, namun mendengar keteranganmu, aku 

jadi berpikir dua kali untuk meneruskan 

niatku. Apalagi aku hanya seorang yang 

tidak memiliki ilmu silat. Aku belum 

merasakan enaknya hidup, juga belum 

menikmati bagaimana rasanya 

berdampingan dengan seorang gadis 

cantik. Terlalu sayang jika harus mati 

sebelum menikmati semua itu. Bukankan 

begitu?'

Kali ini si pemiiik kedai tersenyum 

lebar, senang karena keterangannya 

dituruti orang. Dia lantas melangkah 

menghampiri si pemuda dan berbisik.

"Apakah kau juga tak ingin menikmati 

makanan kedaiku?!"

Si pemuda menyeringai. Tangan 

kanannya bergerak merogoh bagian dalam


pakaiannya seakan hendak mengambil 

sesuatu. Namun diam-diam dalam hatinya 

berkata. "Sialan. Sebenarnya aku juga 

sudah lapar, tapi apa yang akan kubuat 

untuk membayar makananmu?"

Mungkin menduga si pemuda sedang 

menghitung uang di balik pakaiannya, si 

pemiiik kedai segera menyambung 

ucapannya.

"Ayolah duduk di sana. Kau akan 

menyesal pergi ke daerah sini jika tidak 

mencicipi makanan kedaiku! Harganya juga 

tidak mahal...."

Tiba-tiba sang pemuda bungkukkan 

tubuhnya dengan tangan kiri merangkap di 

depan perut. Wajahnya meringis 

kesakitan.

"Apa yang terjadi dengan dirimu?!" 

tanya si pemilik kedai dengan terkejut.

"Di mana tempatnya membuang hajat?! 

Perutku mulas sekali! Biasa penyakit 

lamaku kumat lagi! Murus-murus...."

Dengan memaki panjang pendek dalam 

hati si pemilik kedai angkat tangannya ke 

sebelah timur, jalan setapak yang menuju 

bukit Sono Keling.

"Di situ kau akan menemukan sebuah 

parit kecil! Tumpahkan semuanya di 

situ!" habis berkata demikian, pemilik


kedai putar tubuh dan melangkah ke 

ruangan dalam seraya mengomel.

"Dasar pemuda geblek! Aku tahu, dia 

pura-pura. Padahal sebenarnya dia tak 

punya uang!"

Si pemuda hendak mengucapkan terima 

kasih, namun begitu berpaling dan 

dilihatnya si pemilik kedai telah 

ngeloyor ke belakang, pemuda ini 

meneruskan langkah dengan 

terbungkuk-bungkuk dan sebelah ta-

ngannya mendekap perutnya dengan wajah 

meringis.

Beberapa orang pengunjung kedai 

memandang ke arah si pemuda dengan 

pandangan heran bercampur geli. Karena 

meringisnya wajah si pemuda bukan karena 

perutnya yang sakit, namun karena jari 

kelingkingnya ditusuk-tusukkan pada 

lubang telinganya!

***


SEBELAS


SI pemuda yang meringis 

terbungkuk-bungkuk terus melangkah 

terseret-seret ke arah timur. Begitu 

sepasang matanya melirik dan dilihatnya 

kedai itu tak kelihatan lagi, pemuda ini 

luruskan kembali tubuhnya dengan 

menghela napas panjang.

"Sialan benar, punggungku serasa 

hendak putus saja! Tapi apa hendak 

dikata. Daripada harus malu di depan 

orang banyak. Makan tapi tak punya 

uang.... He.... He.... He...!" gumam 

sang pemuda seraya tertawa cengengesan. 

Tangannya bergerak merentang ke samping 

kanan kiri dengan tubuh dipuntir. 

Terdengar keretekan tulang beberapa 

kali.

"Hmm.... Untung pemilik kedai itu 

menunjuk arah sini, jadi aku tak usah 

mencari jalan berputar untuk 

mengelabuinya...," desis sang pemuda 

seraya arahkan pandangannya ke sebelah 

timur. Samar-samar di sela kerapatan 

pohon sepasang matanya dapat menangkap 

julangan sebuah bukit.


"Semoga keterangan pemilik kedai 

itu benar adanya. Belum ada orang yang 

pulang kembali dari bukit itu, yang 

berarti barang yang kucari belum 

tersentuh orang lain...," ujar si pemuda 

yang bukan lain adalah Joko Sableng, 

murid Pendeta Sinting dari jurang Tlatah 

Perak.

"Aku harus segera mencapai puncak 

bukit itu mumpung hari belum gelap!" 

desisnya seraya mulai berlari menuju 

arah timur di mana tampak menjulang 

puncak bukit Sono Keling.

Karena Joko Sableng berlari dengan 

mengerahkan ilmu peringan tubuh, 

bersamaan dengan tenggelamnya sang 

matahari di ujung langit sebelah barat, 

pemuda ini telah menginjakkan sepasang 

kakinya di puncak bukit Sono keling.

Joko hanya memerlukan melangkah 

mengikuti jalan setapak satu kali 

putaran. Begitu menghentikan langkah, 

dia sampai pada sebuah tanah datar yang 

luasnya kira-kira dua puluh lima tombak 

berkeliling tanpa penghalang apa pun 

sebagai latar depan yang berhadapan

dengan tebing bukit di bawahnya. Sebagai 

latar belakang, terlihat bentangan 

langit yang jauh di ufuk sana.


Sejenak Joko Sableng tertegun 

seakan menikmati keindahan alam yang ada 

di hadapannya. Lalu sepasang matanya

menangkap gundukan tanah memanjang yang 

di sebelah ujung-ujungnya terpancang se-

buah batu pipih yang tingginya satu depa 

dengan lebar satu setengah jengkal.

Tiba-tiba sepasang matanya 

membelalak dengan langkah surut satu 

tindak ke belakang. Dari mulutnya hampir 

saja terlontar seruan tertahan. Bukan 

karena melihat makam dengan batu nisan 

hitam yang ada di puncak bukit itu, tapi 

karena matanya melihat beberapa orang 

yang tergeletak di sekitar makam itu! 

Melihat keadaan serta sikapnya orang 

mudah ditebak jika beberapa orang itu 

telah tewas! Dan Joko Sableng baru saja 

menyadari ketika saat itu juga hidungnya 

mencium bau yang membuat perutnya mual 

dan ingin muntah. Dengan menggerendeng 

panjang pendek, Joko buru-buru tekap 

hidungnya. Lalu seraya bergidik. 

sepasang kakinya bergerak melangkah ke 

arah makam yang di sekitarnya 

bergeletakan beberapa orang yang telah 

jadi mayat dan menebarkan bau busuk yang 

amat menyengat.

Dibantu pantulan cahaya sinar 

matahari yang berwarna kuning kemerahan


di langit sebelah barat, Joko dengan 

jelas dapat melihat, bahwa beberapa 

orang yang tewas itu mengalami luka-luka 

yang cukup parah. Beberapa senjata 

pedang dan tombak terlihat berserakan. 

Tanahnya pun terbongkar di sana sini.

"Rupanya mereka terlibat dalam 

bentrok...," duga Joko seraya 

memperhatikan satu persatu mayat yang 

tergeletak itu. Pemuda ini lantas 

kerahkan tenaga dalamnya untuk mengatasi 

hawa busuk yang makin menyengat. 

Sepasang matanya nyalang jelalatan 

mengawasi sekitar puncak bukit.

"Melihat petunjuk yang diberikan 

Guru, aku berada pada tempat yang tidak 

salah. Ini adalah Pesanggrahan Keramat 

yang terletak di puncak bukit Sono 

Keling. Tapi di mana pedang itu berada? 

Jangan-jangan seseorang telah 

mendahuluiku.... Karena aku yakin, 

beberapa orang ini tujuannya pasti ingin 

mendapatkan senjata itu! Hmm...."

Joko melangkah berkeliling dengan 

mata nyalang mengawasi setiap sudut. 

Karena malam telah menjelang, Joko 

terpaksa harus membeliakkan matanya. Na-

mun hingga matanya basah dan pedih, dia 

tak menemukan apa yang dicari!


Mungkin karena lelah, Joko lantas 

duduk menggelosoh dengan mengambil 

tempat agak jauh daritergeletaknya 

beberapa mayat.

"Apa petunjuk itu bukan petunjuk 

yang menyesat-an? Dan orang-orang ini, 

dari mana mereka mendapatkan petunjuk? 

Apa juga dari Bandung Bandawangsa? 

Atau...," Joko tak meneruskan kata 

hatinya, karena saat itu suasana yang 

gelap samar-samar agak terang. Joko 

segera tengadahkan kepalanya. Di atas 

langit sana, sang rembulan tampak 

melintas dari kurungan awan hitam. 

Hingga untuk beberapa saat lamanya 

keadaan dl buml sedikit terang.

Tiba-tiba Joko teringat akan 

petunjuk yang diberikan Pendeta Sinting. 

"Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan 

Keramat. Puncak bukit Sono Keling. Bulan 

Sepenggail. Hmm.... Bulan Sepenggai. .," 

gum am Joko mengulangi. Kepalanya terus 

mendongak memperhatikan bulan. Mendadak 

kepala pemuda ini bergerak 

manggut-manggut.

"Bulan Sepenggal berarti bulan 

separo! Hmm... Padahal bulan itu masih 

belum mencapai separo. Mungkin masih 

sehari atau dua hari lagi. Terpaksa aku 

harus menunggu. Sambil menunggu lebih


baik aku tiduran saja. Besok pagi mencari

kelinci untuk mengisi perut. Waktu aku 

melintas tadi, banyak kelinci di bawah 

sana...."

Berpikir sampai di situ, Joko lantas 

bergerak bangkit. Mencari tempat yang 

agak rata dan jauh dari mayat, lalu 

merebahkan diri. Mungkin karena lelah, 

sebentar kemudian terdengar dengkurnya

seakan memecah kesunyian bukit Sono 

Keling!

* * *

Malam telah mulai menjelang. Dua 

hari sudah Joko Sableng berada di puncak 

bukit Sono Keling. Dia telah menyelidik 

di puncak bukh itu tanpa sejengkal pun 

tanah yang lolos dari matanya. Namun 

sejauh ini dia belum menemukan 

tanda-tanda akan mendapatkan barang yang 

dicari. Hingga mungkin khawatir jika 

pedang itu telah ditemuikan oleh 

beberapa mayat yang berada di situ, 

dengan menekan perasaan bergidik, Joko 

membalik dan meraba-raba beberapa mayat 

itu, lalu mengumpulkannya di suatu 

tempat, hingga tempat di sekitar makam 

itu telah bersih dari mayat yang 

berserakan.


"Hm.... Jika malam ini belum juga 

kutemukan pedang itu, berarti petunjuk 

itu tidak benar.... Atau mungkin sudah 

ada orang lain yang mendahuluiku...," 

gumam Joko seraya. memandang ke bawah. 

Yang tampak hanyalah rindangi 

pohon-pohon yang saling merapat di 

lereng bukit dan samar-samar berubah 

warna menjadi hijau kehitaman, karena 

malam telah turun melingkupi bumi.

Sambil menarik napas dalam dan 

panjang, Joko balikkan tubuh, lalu 

melangkah ke arah makam. Tiga langkah 

dari gundukan tanah yang ujung-ujungnya 

terpancang batu nisan hitam itu, pemuda 

murid Pendeta Sinting ini hentikan 

langkah. Memandang lekat-lekat pada 

nisan makam yang tak bertuliskan. Lalu 

tengadahkan kepala. Sepasang matanya 

tiba-tiba sedikit membelalak.

Di atas sana, langit tampak cerah. 

Awan tak secuil pun mengambang. Hingga 

bulan sepenggal yang mulai memanjat ke 

atas segera dapat memancarkan cahayanya. 

Namun bukan hal itu yang membuat mata 

Joko membelalak dan tubuh berguncang. 

Ternyata bulan itu tidak berwarna 

seperti biasanya, melainkan berwarna 

merah darah! Dan ada seberkas cahaya yang


keluar dan langsung menyorot ke makam 

bernisan batu hitam!

Bersamaan dengan itu angin 

berhembus kencang, makin lama makin 

keras, dan mengejuarkan suara 

menderu-deru dahsyat. Joko segera 

kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi 

tubuhnya agar tak terhempas. Dan 

perlahan-lahan pula ia duduk di depan 

makam dengan kedua tangan merangkap di 

depan dada.

Angin berhernbus makin kencang, 

beberapa sosok mayat yang dikumpulkan 

Joko satu persatu terhempas dan melayang 

turun ke bawah bukit. Tanah di puncak 

bukit itu pun mulai berhamburan ke udara! 

Joko menambah tenaga dalamnya karena 

tubuhnya mulai bergoyang-goyang tersapu 

hembusan angin.

"Sialan. Angin apa ini?" bisik Joko 

dalam hati seraya pejamkan sepasang 

matanya. Pemuda ini lipat gandakan 

tenaga dalamnya, karena hembusan angin 

makin kencang, namun hembusan angin itu 

ternyata sukar untuk ditaklukkan meski 

murid Pendeta Sinting telah kerahkan 

segenap tenaga dalamnya, hingga tak lama

kemudian tubuhnya mulai bergeser, sesaat 

kemudian terseret ke samping makam dan 

jatuh bergulingan!


"Sialan! Angin keparat!" maki Joko 

Sableng seraya bergerak bangkit. Namun 

lagi-lagi tubuhnya terseret dan kali ini 

bahkan hampir saja terhempas melayang ke 

bawah bukit. Untung murid Pendeta 

Sinting segera hujamkan kedua tangannya 

ke atas tanah hingga tanah Itu terbongkar 

dan kedua tangannya menancap amblas ke 

depan, membuat tubuhnya terhenti.

Dengan kerahkan segenap tenaganya, 

baru murid Pendeta Sinting dari jurang 

Tlatah Perak ini bisa bergerak bangkit. 

Dan mungkin takut tubuhnya akan kembali 

terseret, dia mendekat kembali ke arah 

makam dengan jalan menyeret tubuhnya 

dengan perut sejajar tanah.

Saat itulah tiba-tiba tanah 

berhamburan ke udara dengan derasnya. 

Joko Sableng cepat-cepat menutup kedua 

matanya, namun sebelum kedua kelopak 

matanya menutup, sepasang matanya masih 

bisa menang-kap berkelebatnya dua benda 

hitam. Joko tak tahu benda apa itu, namun 

melihat desingannya yang lewat di 

sampingnya, murid Pendeta Sinting ini 

bisa menduga jika benda itu adalah benda 

keras.

Beberapa saat berlalu. Angin terus 

berhembus namun makin lama makin 

berkurang. Dan begitu angin tak lagi


berhernbus, Joko segera buka kelopak 

matanya. Tanah yang berhamburan telah 

surut. Sementara cahaya bulan terus 

memancarkan sinar kemerah merahan.

Sepasang mata Joko mendadak 

terpentang lebar. Memperhatikan ke arah 

makam yang lima tombak di hadapannya. 

Ternyata gundukan tanah makam itu telah 

rata. Dua nisan batu hitam telah pula 

lenyap! Dan samar-samar murid Pendeta 

Sinting ini melihat lubang di bawah bekas 

gundukan tanah makam!

"Benda hitam tadi pasti batu nisan 

yang ikut terhempas angin...," duga Joko 

seraya bergerak bangkit dan langsung 

meloncat ke arah makam yang kini telah 

terbongkar.

Dengan bantuan cahaya rembulan yang 

memancarkan sinar kemerah-merahan, 

murid Pendeta Sinting dengan jelas dapat 

melihat lubang menganga di hadapannya. 

Sepasang mata pemuda ini mendelik besar

dengan mulut menganga. Ternyata lubang 

bekas gundukan makam itu terbuat dari 

batu yang membentuk persegi panjang. 

Tapi yang membuat sepasang mata Joko 

terpentang tak berkedip, adalah 

memancarnya sinar kuning berkilau dari 

sisi samping batu persegi panjang itu. 

Dan mungkin masih tak percaya dengan


pandangan matanya, murid Pendeta Sinting 

mengusap-usap kedua matanya, lalu 

dilebarkan dan memandang sekali lagi ke 

arah cahaya kuning berkilau.

"Tidak bermimpikah aku...?!" 

gumamnya seakan tak percaya. 

Perlahan-lahan dia melangkah maju dan 

membungkuk.

“Ternyata petunjuk itu benar 

adanya. Benda itu ada! Dan kini ada di 

hadapanku!" desis Joko seraya memper-

hatikan lebih seksama.

Di salah satu sisi batu persegi 

panjang itu terlihat cahaya kuning 

berkilau memancar dari sebuah sarung 

pedang bergagang warna hijau masuk ke 

dalam batu.

Dengan tubuh agak gemetar, Joko 

segera melangkah satu tindak, dan 

perlahan-lahan pula masuk ke dalam batu 

persegi panjang. Matanya tak berkedip 

memperhatikan, sementara kedua 

tangannya bergetar dan dada berdebar 

keras.

Untuk beberapa saat lamanya murid 

Pendeta Sinting ini diam tak bergerak 

seakan masih menindih perasaan tak 

percaya dan terkesima. Setelah dapat 

menguasai perasaan yang menggelayut 

dadanya, pemuda ini gerakkan tangannya


hendak mengambil pedang yang memancarkan 

sinar kuning berkilau itu.

"Semoga Tuhan memberiku 

kekuatan...," bisiknya dalam hati. Kedua 

tangannya terus bergerak. 

Namunmsejengkal lagi kedua tangannya 

menyentuh pedang, tiba-tiba terdengar 

desiran angin dahsyat yang menusuk 

gendang telinga. Bersamaan dengan itu, 

batu persegi di mana Joko berada 

berguncang keras. Dan belum sempat murid 

Pendeta Sinting mengetahui apa yang 

terjadi, tubuhnya telah terhumbalang dan 

jatuh bergedebukan di dalam batu persegi 

panjang!

Dengan kuduk merinding dan tubuh 

terguncang, Joko segera takupkan kedua 

tangannya untuk kerahkan tenaga dalam. 

Bersamaan dengan itu, guncangan di batu 

persegi panjang perlahan-lahan mereda.

Murid Pendeta Sinting segera 

bergerak bangkit duduk. Kepalanya lantas 

tengadah. Bulan sepenggai tepat berada 

di atasnya. Dan sorotan cahayanya 

memancar ke lubang batu persegi panjang. 

Joko kembali luruskan kepalanya dan 

memperhatikan pedang yang kini ada di 

hadapannya.

Dengan tangan masih gemetar dan dada 

berdebar, Joko segera geser duduknya


perlahan-lahan ke depan, mendekat ke 

arah pedang. Kedua tangannya kembali 

bergerak hendak mengambil pedang 

berwarna kekuningan itu. Mungkin takut 

akan terjadi sesuatu yang tidak 

diduganya, pemuda ini kerahkan segenap 

tenaganya. Ternyata apa yang diduga 

tidak terjadi. Tidak ada desiran angin 

menggemuruh yang menusuk gendang 

telinga, juga tidak ada guncangan! 

Hingga meski dengan tubuh dan tangan 

gemetar, Joko teruskan niatnya untuk 

mengambil pedang.

Kedua tangannya telah menyentuh 

pedang. Sejenak murid Pendeta Sinting 

ini menghela napas dalam-dalam. Sepasang 

matanya mengerjap, lantas dibuka 

kembali. Kedua tangannya pun menarik 

pedang yang terletak menjorok ke dalam 

batu.

Namun pemuda ini melengak 

terkesiap. Kedua tangannya tak mampu 

menarik keluar pedang dari tempatnya! 

Joko lipat gandakan tenaga dalam dan 

disalurkan pada kedua tangannya, hingga 

tangannya berwarna kuning. Namun kedua 

tangannya masih juga tidak mampu membuat 

pedang itu lepas dari tempatnya!

Murid Pendeta Sinting ini tak putus 

asa, dia terus berupaya kerahkan tenaga


dalam dan mencoba menarik pedang dari 

tempatnya. Tubuh pemuda itu telah basah 

kuyup oleh keringat, namun usahanya 

belum juga menampakkan hasil. Malah 

goyang pun tidak! Padahal Joko telah 

kerahkan segala kemampuannya yang telah 

diwariskan Pendeta Sinting.

"Hmm.... Kalau pedang ini tak dapat 

ditarik, terpaksa aku akan menghantam 

tempat sekitar pedang ini! Hanya itu 

satu-satunya jalan!" pikir Joko seraya 

tarik kedua tangannya. Kedua tangannya 

lantas memukul-mukul tempat di sekitar 

pedang. Kepala pemuda ini 

mengangguk-angguk. Kedua tangannya 

lantas diangkat tinggi-tinggi di atas 

kepala. Serta-merta kedua tangannya 

dihantamkan ke batu yang ada di sekitar 

pedang.

Bukkk! 

Dukkk!

Murid Pendeta Sinting ini berteriak

keras. Kedua tangannya yang menghantam 

batu mental ke belakang. Pemuda ini 

segera memeriksa dengan paras meringis 

kesakitan. Kedua tangannya berubah merah 

dan sedikit menggembung!

"Edan!" maki Joko dalam hati seraya 

memperhatikan batu yang baru saja 

dihantam. Jangankan retak, membekas pun


tidak! Padahal hantaman Joko tadi 

biasanya mampu menghancurkan batu 

sebesar satu rangkulan tangan manusia.

Merasa masih penasaran, Joko geser 

duduknya ke belakang. Kedua tangannya 

diangkat di depan dada. Lalu 

dikembangkan dan perlahan-lahan 

didorong ke arah batu di sekitar pedang.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dari kedua tangan Joko melesat sinar 

kuning keperakan.

Duuukkk! Duuukkk!

Pukulan 'Lembur Kuning' yang 

dllepaskan Joko menghantam batu di 

sekitar pedang dan keluarkan suara keras 

dua kali berturut-turut. Namun murid 

Pendeta Sinting tersirap darahnya. 

Mulutnya keluarkan seruan tertahan. 

Karena pukulannya membalik kearahnya! 

Hingga dengan menahan rasa tak percaya, 

pemuda ini segera membuat gerakan 

melesatkan tubuhnya ke udara. Namun 

angin yang membalik lebih cepat 

datangnya, hingga tanpa ampun lagi 

tubuhnya terjengkang ke belakang dan 

menghantam batu di belakangnya! Untuk 

beberapa lama dia tersandar di batu 

dengan mata berkunang-kunang. Tubuhnya 

bagian belakang serasa remuk. Dadanya 

pun berdenyut sakit. Perlahan-lahan dia


geser tubuhnya agar bisa sedikit tegak 

bersandar. Saat itulah terdengar angin 

berdesir dari atas.

Joko cepat mendongak. Kuduk pemuda 

ini makin merinding dan keringat makin 

membasahi sekujur tubuhnya, karena di 

atas sana Joko melihat asap putih 

mengurung lubang di mana dia berada!

Dan sepasang mata Joko terpentang 

besar tatkala samar-samar dari sisi 

bagian depan di atas sana, asap putih hu 

menipis, lalu muncul sesosok tubuh! 

Mungkin karena terkejut, Joko serentak 

geser tubuhnya ke belakang. Namun karena 

di belakangnya adalah sisi batu yang 

persegi panjang, maka membuat pemuda ini 

terantuk sisi batu di belakangnya!

Belum hilang rasa terkejut murid 

Pendeta Sinting, sosok di atas Joko telah 

keluarkan suara, membuat Joko tersentak.

"Siapa namamu, Anak Muda??!" Karena 

masih kaget, Joko tidak segera menjawab 

pertanyaan orang. Sebaliknya sepasang 

matanya me-natap lurus pada sosok yang 

duduk di atas sana. Dia adalah seorang 

laki-laki berusia lanjut. Jenggotnya 

panjang menjulai sampai dada. Meski 

paras wajahnya samar-samar, namun Joko 

masih bisa menangkap jika wajah itu cerah 

berseri. Kakek ini mengenakan pakaian


jubah putih dengan kepala memakai sorban 

juga berwarna putih. Anehnya, meski 

tampak duduk bersila, Namun kakinya 

tidak menyentuh tanah! Kakek ini duduk 

mengambang di udara dengan kedua tangan 

merangkap sejajar dada!

Joko memperhatikan lebih seksama. 

Mulutnya bergerak komat-kamit namun tak 

ada suara yang terdengar. Sementara 

sepasang matanya tak berkedip! 

Keterkejutannya perlahan-lahan berubah 

menjadi rasa heran, karena Joko 

sepertinya tidak asing lagi dengan wajah 

orang tua di atasnya itu! Namun Joko 

tidak mengetahui di mana dia bertemu. 

Joko coba mengingat-ingat. Tiba-tiba 

matanya beralih pada telapak tangan 

kirinya.

"Hm.... Wajah orang tua di atas itu 

mirip dengan lukisan yang ada di telapak 

tangan kiriku.... Hampir tak 

kupercaya...!" gumam Joko Sableng tak 

mengerti.

"Anak Muda! Kau belum jawab 

pertanyaanku!" orang tua bersorban 

kembali keluarkan suara.

Dengan mulut bergetar dan suara 

tersendat, Joko menjawab.

"Namaku Joko...."


Sebenarnya Joko ingin menanyakan 

siapa sebenarnya orang tua yang paras 

wajahnya mirip dengan lukisan yang ada di 

telapak tangan kirinya. Namun sebelum 

ucapannya terdengar, si orang tua telah 

kembali keluarkan suara.

"Joko. Apa yang kau lihat di telapak 

tangan kirimu?!"

Sejenak Joko tak memberi jawaban. 

Dia memandang silih berganti pada 

telapak tangan kirinya lalu pada orang 

tua yang duduk bersila di atas lubang.

"Lukisan di telapak tanganku mirip 

sekali dengan wajahmu...," gumam Joko 

pada akhirnya.

Si orang tua tersenyum. Lalu 

mengangguk-angguk.

"Dengar baik-baik, Joko! 

Beratus-ratus tahun aku menunggu orang 

yang memiliki tanda seperti yang kau 

punyai. Dan dengan kedatanganmu, berarti 

masa penantianku malam ini akan segera 

berakhir. Kaulah manusia yang telah 

ditentukan untuk memiliki pedang itu!" 

orang tua itu hentikan ucapannya 

sejenak. Lalu melanjutkan.

"Peganglah gagang pedang itu dengan 

telapak tangan kirimu. Jangan bernapas 

tatkala menyentuhnya!"


Mungkin karena masih tertegun, Joko 

masih diam meski si orang tua telah 

memberi perintah.

"Joko. Waktuku tidak banyak. Lekas 

lakukan apa yang kukatakan!" ujar si 

orang tua dengan naga tegas.

Seakan baru tersadar, Joko 

buru-buru geser tubuhnya ke dekat 

pedang. Tangan kirinya bergerak dan 

langsung menempel pada gagang pedang, 

sementara napasnya ditahan.

Joko tersedak. Begitu tangan 

kirinya menyentuh gagang pedang, terasa 

ada hawa dingin yang masuk melalui 

telapak tangannya. Anehnya bersamaan de-

ngan itu rasa sakit di sekujur tubuhnya 

akibat benturan dengan batu persegi itu 

seketika lenyap. Pandangannya makin 

tajam. Sementara tenaga dalamnya seakan 

berlipat ganda!

Keterkejutan Joko tidak hanya 

sampai di situ. Begitu telapak tangan 

kirinya menyentuh pedang, pedang itu 

bergerak-gerak! Masih dengan menahan 

napas, Joko segera mencabut pedang dari 

tempatnya. Kali ini dengan mudah pedang 

itu dapat ditarik dari tempatnya!

Dengan tubuh bergetar dan dada 

berdebar, Joko tarik tangan kirinya yang 

telah menggenggam gagang pedang. Begitu


pedang lepas dari tempatnya, seberkas 

sinar kuning berkilau memancar ke udara, 

hingga saat itu juga suasana di tempat 

itu berubah menjadi merah kekuningan.

Pedang di tangannya dldekatkan. 

Perlahan-lahan pedang Itu ditarik dari 

sarungnya. Sepasang matanya 

memperhatikan dengan seksama. Ternyata 

pedang itu berwarna kuning keemasan. 

Panjangnya cuma setengah depa. Lebarnya 

kira-kira dua pertiga jengkal. Ujung dan 

pangkal pedang sama besarnya. Sedangkan 

gagang pedang berwarna hijau terbuat 

dari batu giok. Pada tubuh pedang itu 

tergurat dengan jelas angka 131!

"Joko. Yang berada di tanganmu itu 

adalah senjata mustika yang sulit dicari 

tandingannya. Sebuah pedang bernama 

Pedang Tumpul 131. Senjata itu tidak 

dapat digunakan oleh sembarang orang, 

karena untuk mempergunakannya 

diperlukan tenaga dalam yang kuat. Tanpa 

disertai tenaga dalam, senjata itu hanya 

akan seperti pedang biasa...," si orang 

tua hentikan sejenak penuturannya. 

Sepasang matanya memandang lekat-lekat 

pada murid Pendeta Sinting yang 

mendengarkan penuturannya dengan 

seksama.


"Joko. Sebagai salah seorang 

pewaris yang ditentukan memiliki Pedang 

Tumpul 131, kau harus mengerti satu hal. 

Yakni pedang itu diciptakan dengan satu 

tujuan, yaitu untuk menegakkan kebenaran 

dan menghancurkan kejahatan! Pedang 

Tumpul 131 harus kau jaga dan kau rawat 

baik-baik layaknya kau menjaga dan 

merawat dirlmu! Dan jangan coba-coba 

mempergunakannya dl jalan yang tidak 

semestinya, karena kau akan menerlma 

akibat yang mengenaskan!"

"Eyang...," Joko tidak meneruskan 

ucapannya, karena saat itu dilihatnya si 

orang tua melintangkan telunjuk 

tangannya pada mulutnya, memberi Isyarat 

agar Joko tak meneruskan kata-katanya.

"Joko. Seperti kata-kataku tadi, 

waktuku tidak banyak. Sebelum aku pergi 

aku akan menjeiaskan padamu dahulu apa 

yang ada di tubuh Pedang Tumpul 131 itu. 

Pedang Tumpul 131 dibuat lurus dengan 

pangkal dan ujung sama besar memberi 

isyarat bahwa kebenaran harus kau 

tegakkan semenjak kau lahir sampai kau 

menutup mata tanpa sedikit pun mengendor 

atau mengecil! Angka 131 menunjukkan 

bahwa menegakkan kebenaran itu 

sebenarnya tugas yang amat mulia yang 

datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Itulah


yang diisyaratkan dengan angka satu yang 

pertama. Namun ketahuilah, segala 

sesuatu pasti ada rintangannya. Apalagi 

jika sesuatu itu bernama kebenaran. 

Ketahuilah olehmu, ada tiga hal yang jika 

kau tidak berhati-hati hal tersebut akan 

mendatangkan bencana besar dalam 

hidupmu. Yang pertama adalah harta. 

Kedua tahta dan ketiga wanita! Tiga hal 

tersebut adalah pangkal bencana yang 

bisa membenamkan kebenaran jika 

dlpergunakan secara salah! Itulah yang 

diisyaratkan dengan angka tiga.

Sementara angka satu yang terakhir 

memberi isyarat pada diri manusia. 

Maksudnya, manusia akan terpisah dengan 

Tuhannya jika manusia itu membenamkan 

dirinya dalam-dalam pada tiga hal 

tersebut di atas! Jika kau Ingin angka 

satu bersanding dengan angka satu 

lainnya, yang berarti kau ingin selalu 

dekat dengan Tuhan, hindarilah tiga hal 

itu! Sedangkan inti dari semuanya itu 

adalah setiap kebenaran pasti akan 

mendapat tantangan! Dan tantangan itu 

bisa diredam jika manusia itu selalu 

mendekatkan diri pada Tuhannya! Jadi 

pedang Ini hanyalah alat, sementara akar 

dari semuanya adalah tergantung manusia 

yang menggunakan pedang ini! Harapanku,


sebagai manusia yang ditentukan memegang 

alat, kau harus dapat menggunakannya 

sebagaimana mestinya!"

Joko mendengarkan penuturan orang 

tua dengan seksama. Memasukkannya dalam 

otak dan mengingatnya baik-baik.

"Joko. Kuharap kau melakukan apa 

yang telah kukatakan. Sekarang aku harus 

pergi...."

"Eyang...," ujar Joko dengan suara 

bergetar parau.

Namun kata-katanya terputus, karena 

sosok orang tua itu samar-samar telah 

lenyap dari pandangannya! Asap yang 

melingkupi bagian atas lubang di mana 

Joko berada pun perlahan-lahan menipis 

sebelum akhirnya sirna.

"Eyang.... Segala petunjukmu akan 

kulaksanakan...," desis Joko seraya 

menjura dalam-dalam.

Selagi murid Pendeta Sinting ini 

menjura, tiba-tiba telinganya mendengar 

deru angin, disusul kemudian dengan 

bergetarnya lubang di mana ia berada. 

Deru dan getaran tempat itu makin lama 

makin keras.

Merasa ada gelagat tidak baik, 

pemuda murid dari jurang Tlatah ini cepat 

masukkan Pedang Tumpul 131 pada 

sarungnya lalu disimpan ke dalam balik


pakaiannya. Baru saja pedang Itu 

tersimpan, Joko terkesiap lalu memandang 

lekat-lekat pada telapak tangan kirinya. 

Di telapak tangan itu kini selain 

samar-samar terlihat gambar orang tua 

bersorban juga menggurat angka 131! 

Namun keterkejutan Joko tidak 

berlangsung lama, karena pada saat 

bersamaan, batu persegi panjang di mana 

dia berada makin bergetar, dan dari atas 

tanah bukit berhamburan masuk ke dalam 

lubang.

Sebelum tubuhnya terbenam dalam 

lubang yang perlahan-lahan ditimbuni 

tanah, Joko Sableng segera lesatkan 

dirinya ke atas. Murid Pendeta Sinting 

ini tersentak. Angin berhembus demikian 

kencang, hingga tubuhnya hampir saja 

terseret jika dia tak segera kerahkan 

tenaga dalam untuk mengatasi tubuhnya.

Angin terus berhembus menghamburkan 

tanah di puncak bukit. Dan 

perlahan-lahan lubang bekas makam tadi 

tertimbun tanah. Begitu angin berhenti 

berhembus, tanah berlubang bekas makam 

di mana tadi tersimpan Pedang Tumpul 131 

telah rata dengan tanah layaknya seperti 

tidak pernah ada makam!

"Luar biasa...," desis Joko seraya 

tak berkedip memandang! bekas makam.


Selagi murid Pendeta Sinting 

mengaguml apa yang baru saja terjadi, 

terdengar suara.

"Pendekar Pedang Tumpul 131! Sejak 

malam Ini, kau mempunyi tugas. 

Menegakkan kebenaran dan menghancurkan 

keangkaramurkaan! Tujuan hidupmu adalah 

mendamaikan umat manusia dan menumpas 

manusia yang membuat malapetaka di 

bumi!"

Dengan menindih rasa terkejut, 

murid dari jurang Tlatah Perak ini 

arahkan pandangannya berkeliling. Tapi 

matanya tak dapat menangkap adanya 

seseorang!

"Hmm.... Pasti Eyang tadi.... 

Suaranya masih kuingat betul...," gumam 

Joko dengan tengadahkan kepala memandang 

bulan.

"Eyang.... Segala ucapanmu akan 

kuingat dan kulakukan!" teriak Joko 

memecah kesunyian Pesanggrahan Keramat 

di puncak bukit Sono Keling.

Namun kesunyian tidak lagi 

melingkupi, karena bersamaan dengan 

lenyapnya teriakan Joko, dari arah bawah 

terdengar derap langkah kaki-kaki kuda 

menuju ke atas bukit.


Siapakah penungang kuda yang menuju 

Puncak Bukit Sono Keling?

Untuk mengetahuinya, 

Ikuti petualangan Joko Sableng 

Yang seru dan menggemparkan 


Dalam episode selanjutnya.


“RATU PEMIKAT”


                        SELESAI

 

Share:

0 comments:

Posting Komentar