PESANGGRAHAN
KERAMAT
Hak Cipta Dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Joko Sableng
Dalam Episode :
Pesanggrahan Keramat
SATU
MATAHARI telah jatuh di bentangan
kaki langit sebelah barat. Angin malam
yang dingin menusuk tulang mulai
berhembus. Bersamaan dengan itu dari
ufuk sebelah tenggara perlahan-lahan
bulan bulat penuh yang bersinar putih
kekuning-kuningan mulai menapak menuju
hamparan angkasa raya, membuat lintasan
bumi kembali benderang setelah sesaat
digenggam kepekatan dengan tenggelamnya
sang matahari.
Di bawah jilatan sang rembulan dua
penunggang kuda terlihat meluncur deras
menuju rimba belantara sepi di kaki
gunung. Untuk beberapa lama
hentakan-hentakan ladam kaki kuda
menyentak memecah kesenyapan kawasan
yang menuju kaki gunung. Tapi kesunyian
kembali membungkus tatkala kedua
penunggang kuda ini hentikan kuda
tunggangan masing-masing di tepi bagian
timur rimba belantara.
Sejurus kedua penunggang ini
sama-sama diam di atas punggung kuda
masing-masing. Mulut masing-masing
orang terlihat terkancing rapat. Hanya
sepasang mata mereka yang tak berkedip
menyapu ke sekitar tempat itu.
Tak berselang lama, penunggang kuda
sebelah kanan membuat gerakan dengan
memalingkan wajahnya pada penunggang
kuda di sebelah kirinya. Sejenak
keduanya saling berpandangan.
"Kita hampir sampai ditujuan..."
bisik penunggang kuda sebelah kanan
seraya usap-usap wajahnya yang
keringatan. Dia adalah seorang laki-laki
setengah baya. Mengenakan pakaian warna
biru gelap dengan ikat kepala warna
merah. Rambutnya panjang sebahu dan
telah berwarna dua. Sepasang matanya
tajam. Kumis dan jenggotnya lebat,
hingga yang tampak di bawah hidung
hanyalah jutaian rambut sampai di depan
leher. Sedangkan penunggang kuda sebelah
kiri adalah juga seorang laki-laki yang
usianya kira-kira enam puluh tahun.
Mengenakan pakaian warna merah dengan
ikat kepala hitam. Kepalanya gundul.
Wajahnya juga bersih dari rambut.
Sepasang matanya melotot besar dan
menjorok keluar. Pada telinga kanannya
terlihat sebuah anting-anting besar dari
akar laut berwarna hitam.
"Aku juga telah membaui tubuh
manusia. Berarti sasaran kita memang
berada di kawasan ini dan tak jauh dari
tempat kita!" laki-laki berkepala botak
menyahut dengan suara ditahan. Lalu
kedua tangannya diangkat diusap-usapkan
pada kepalanya yang plontos. Bibirnya
sunggingkan senyum seringai.
Laki-laki yang di sebelah kanan
menghela napas dalam-dalam. Lalu
mendongak memandangi rembulan.
"Randu Sabrang...," katanya
memanggil nama laki-laki berkepala
botak. "Sebenarnya aku masih kurang
percaya dengan kabar yang berhasil kita
sirap ini. Mengingat saat ini rimba
persilatan dalam keadaan keruh. Fitnah
dan kabar bohong merebak di mana-mana.
Aku khawatir, jangan-jangan apa yang
kita lakukan adalah sebagian kabar
bohong itu! Kabar yang mengantarkan kita
terjebak dan menemul ajal seperti
beberapa orang yang akhir-akhir ini
tewas secara bergelombang...."
Laki-laki berkepala botak yang
dipanggil Randu Sabrang berpaling.
Sepasang matanya yang melotot besar
memandang tak berkedip. Namun sesaat
kemudian bibirnya sunggingkan senyum
sinis.
"Uli Santang! Aku menangkap
keragu-raguan dalam ucapanmu. Kau
tampaknya takut menghadapi orang yang
akan kita temui!"
Laki-laki setengah baya yang
berambut panjang dan dipanggil dengan
nama Uli Santang keluarkan dengusan
pelan tanpa berpaling. Setelah tertawa
pendek dia berkata.
"Randu Sabrang. Harap kau jaga
kata-katamu! Aku tak pernah gentar
berhadapan dengan siapa saja. Aku hanya
khawatir jika masuk perangkap kabar
dusta, hingga penyelidikan kita hanya
akan berakhir dengan kesia-siaan!
Apalagi yang sedang kita cari dan kita
selidiki adalah sesuatu yang saat ini
menjadi pembicaraan banyak orang."
Meski agak jengkel dengan ucapan Uli
Santang, namun si gundul Randu Sabrang
coba menindihnya. Tapi dagunya yang
masih tampak kokoh terlihat terangkat
sedikit, sementara sepasang matanya yang
menjorok keluar berputar liar,
memandangi laki-laki di sebelahnya yang
masih tengadah.
"Lantas apakah kita akan balik
jalan?!" tanya Randu Sabrang dengan
suara datar.
Untuk kesekian kalinya si gondrong
Uli Santang keluarkan suara tawa pendek.
Kepala bergerak lurus, lalu menggeleng
perlahan.
"Kita telah melakukan perjalanan
jauh. Malah untuk mendapatkan
keterangan, beberapa kali kita hams
membunuh orang. Perbuatan konyol jika
kita balik jalan sebelum membuktikan
dengan mata kepala sendiri!"
"Hm.... Bagus. Jika demikian kita
harus bergerak sekarang!" ujar Randu
Sabrang seraya meloncat turun dari kuda
tunggangannya. Lalu menyambung
ucapannya. "Sebaiknya kita tinggalkan
kuda kita di sini. Selain gerakan kita
lebih bebas, kedatangan kita juga tak
akan dicurigai...."
Mungkin merasa kata-kata Randu
Sabrang ada benarnya, tanpa keluarkan
kata-kata lagi, Uli Santang meloncat
turun. Keduanya lantas menambatkan kuda
masing-masing pada sebatang pohon.
Tiba-tiba Randu Sabrang takupkan
tangan sejejar dada. Sementara hidungnya
kembang kempis mengendus. Uli Santang
tegak diam memperhatikan. Dia tahu betul
apa yang sedang dilakukan oleh Randu
Sabrang, kakak seperguruannya yang
memang punya keahlian untuk dapat
menentukan sasaran dengan penciumannya.
Setelah beberapa saat, dan Randu
Sabrang telah tak lagi mengendus, Uli
Santang ajukan pertanyaan.
"Bagaimana?!"
"Tak jauh dari sini. Tapi aku tak
dapat menentukan arahnya. Karena ada
hawa yang rupanya sengaja dihembuskan
untuk menangkal keberadaannya! Kita
harus hati-hati. Menilik hawa
penangkalnya, orang yang akan kita
hadapi bukan orang sembarangan!" jawab
Randu Sabrang mengingatkan.
Uli Santang gerakkan mulutnya
membuat senyum dingin dan sinis.
"Nyatanya kau yang kecut. Dengan
menebarkan hawa penangkal belum tentu
menunjukkan bahwa dia berilmu tinggi!
Mungkin saja hawa itu hanya untuk
melindungi dirinya serta menutupi
kelemahan ilmunya!"
"Terserah kau mau bilang apa. Yang
pasti, dengan mampu menebarkan hawa
penangkal dia berilmu tinggi. Karena
hawa itu memerlukan pengerahan tenaga
dalam yang kuat!" sungut Randu Sabrang
dengan wajah merah padam. Laki-laki
botak ini lantas putar tubuhnya setengah
lingkaran.
"Kita bergerak sekarang!"
Habis berkata begitu, si gundul
Randu Sabrang berkelebat. Uli Santang
sesaat masih tegak mengawasi sekeliling.
Lalu sekejap kemudian berkelebat
mengikuti Randu Sabrang.
Pada suatu tempat yang terlindung
beberapa potion besar hingga cahaya sang
rembulan tak dapat menembus, Randu
Sabrang hentikan larinya. Kedua
tangannya dirangkapkan didepan dada.
Mulutnya komat-kamit. Bersamaan dengan
itu tiba-tiba menebar hawa dingin sejuk.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba
Randu Sabrang menoleh ke belakang, ke
arah Uli Santang yang memang telah berada
di belakangnya. Bibirnya sunggingkan
senyum. Namun laki-laki botak ini segera
beri isyarat agar Uli Santang tak buka
mulut ketika dilihatnya laki-laki
berambut panjang itu hendak berkata.
Randu Sabrang lantas angkat tangan
kanannya dan menunjuk pada suatu arah.
Seakan tahu isyarat, Uli Santang
anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian
kedua orang ini berkelebat ke arah yang
baru saja ditunjuk Randu Sabrang.
Pada suatu tempat agak landai yang
hanya ditumbuhi semak belukar Randu
Sabrang dan Uli Santang hentikan
larinya. Keduanya lantas merunduk dan
mendekam di balik sebatang pohon besar.
Kedua bola mata masing-masing memandang
liar ke depan dengan tak berkedip. Dada
mereka masing-masing tampak bergetar
karena terkejut. Namun untung mereka
masih bisa menahan mulut, hingga meski
keduanya terkejut besar, tapi. tak ada
suara yang keluar dari mulut
masing-masing.
Dari tempatnya mendekam, Randu
Sabrang dan Uli Santang dapat melihat
dengan jelas seseorang sedang duduk
bersandar pada sebuah batu besar. Orang
ini duduk bersila dengan kedua tangan
merangkap di depan dada. Rambutnya
panjang sepunggung. Mengena-kan pakaian
warna putih diselempangkan di bahu kanan
kirinya mirip pakaian seorang resi. Raut
muka orang ini tak terlihat jelas, karena
kepalanya mengenakan caping lebar dan
dalam, hingga dari wajahnya hanya
dagunya saja yang kelihatan.
Untuk beberapa lama Randu Sabrang
dan Uli Santang memperhatikan dengan
seksama tanpa keluarkan suara. Sesaat
kemudian Uli Santang berpaling pada si
gundul Randu Sabrang.
"Apakah dia orangnya?!" bisiknya
dengan suara bergetar.
Randu Sabrang menggeleng perlahan.
"Aku belum bisa memastikan...."
Uli Santang kernyitkan kening lalu
berpaling lagi ke depan dan berucap
lirih.
"Bukankah kau pernah beberapa kali
bertemu dengannya sebelum berita ini
menyebar?!"
"Benar. Tapi dia tak mengenakan
pakaian seperti itu. Juga tidak
mengenakan caping! Rambutnya pun
biasanya disanggul ke atas."
"Hmmm.... Mungkin dia sekarang
menyamar karena merasa dikejar-kejar
orang. Sayang aku tak pernah bertemu
sebelumnya..., kata si gondrong Uli
Santang dalam hati. Lalu bertanya.
"Kau ingat ciri-cirinya?!"
Randu Sabrang kerutkan dahi seakan
mengingat-ingat. Lalu sorongkan
wajahnya dan berbisik.
"Yang membedakan dia dari laki-laki
lain adalah sebuah tahi lalat tepat di
tengah-tengah antara kedua matanya!"
"Hmm.... Aku dapat menebak sekarang
kenapa dia mengenakan caping lebar dan
dalam. Dia sengaja menutupi tanda khusus
di tengah antara kedua matanya itu! Aku
makin yakin bahwa dia adalah orang yang
kita cari," ujar Uli Santang dengan
senyum mengulas di bibir.
"Mari kita buktikan, apakah dia
benar-benar orang yang kita cari!"
sambung Uli Santang lalu memberi isyarat
pada Randu Sabrang untuk segera keluar
dari tempat mendekamnya.
Namun gerakan kedua orang ini
tertahan, karena bersamaan dengan itu
sesosok bayangan hitam berkelebat dan
tahu-tahu telah berdiri tegak sepuluh
langkah di hadapan orang yang duduk
bersila.
Randu Sabrang dan Uli Santang
urungkan niatnya untuk keluar. Mata
mereka masing-masing memandang nanar ke
depan, pada orang yang kini berdiri di
hadapan orang yang duduk bersila.
Tiba-tiba Uli Santang surutkan
pundaknya ke belakang pertanda terkejut.
Matanya dia buka lebih lebar lagi
memperhatikan orang di depan sana!
Sementara Randu Sabrang tampak
tenang-tenang saja walau matanya juga
tak berkedip mengawasi.
"Air mukamu berubah! Apakah kau
mengenal manusia yang baru datang itu?!"
tegur Randu Sabrang dengan berbisik.
Uli Santang tidak segera memberi
jawaban. Randu Sabrang menunggu. Karena
ditunggu agak lama Uli Santang tidak juga
buka mulut, Randu Sabrang ulangi lagi
pertanyaannya dengan sedikit kasar.
"Kau dengar ucapanku, Uli Santang.
Apakah kau kenal dengan manusia itu?!"
Dengan wajah kaku dan mendengus Uli
Santang berpaling. Sejenak ditatapinya
saudara seperguruannya itu dengan
pandangan geram.
"Percuma kau malang melintang dalam
rimba persilatan jika tidak dapat
mengenal tokoh-tokohnya! Buka matamu
lebar-lebar. Dia adalah manusia yang
bergelar Setan Neraka! Salah satu tokoh
yang akhir-akhir ini banyak menelan
korban!"
Si gundul Randu Sabrang tak sedikit
pun menampakkan perasaan terkejut
mendengar Uli Santang sebutkan siapa
adanya orang di depan sana. Malah sambil
menyeringai dia menyambuti ucapan si
gondrong Uli Santang.
"Aku memang tidak berniat mengenal
siapa-siapa saja orang rimba persilatan.
Yang penting bagiku menghabisi siapa
saja yang coba menghadang langkahku!"
Uli Santang buka mulut tertawa tanpa
keluarkan suara. Namun tiba-tiba dia
katupkan kembali mulutnya. Dan serentak
kepalanya berpaling ke depan, demikian
juga Randu Sabrang karena saat itu dari
arah depan terdengar suara bentakan.
"Bandung Bandawangsa, manusia yang
bergelar Malaikat Lembah Hijau! Kau bisa
menipu orang dengan menyamar sebagai apa
saja, tapi di hadapanku kau tak akan bisa
berbuat banyak! Kau tak dapat menipu
penglihatanku!" yang keluarkan bentakan
adalah orang yang baru datang dan kini
tegak memperhatikan orang yang duduk
bersila.
Mendapati bentakan orang, orang
yang duduk bersila terlihat sedikit
terkejut. Bukan karena kedatangan-nya,
melainkan karena orang sudah tahu siapa
dirinya. Namun keterkejutannya segera
disembunyikan dengan keluarkan tawa
pendek. Tangannya yang merangkap di
depan dada diluruhkan. Tangan kanannya
lalu bergerak menyodok ujung caping
lebarnya, hingga caping itu bergerak ke
atas, membuat sebagian wajahnya yang tak
kelihatan dapat terlihat sesaat. Namun
sekejap kemudian tangannya luruh
kembali, hingga wajahnya kembali tak
terlihat. Tapi waktu yang sesaat itu
sudah cukup baginya untuk mengetahui
siapa adanya orang yang berdiri di
hadapannya.
Dia adalah seorang laki-laki
berusia lanjut. Mengenakan pakaian
rombeng dan sudah robek di sana-sini.
Rambutnya sangat tipis dan telah
memutih. Raut wajahnya lonjong dengan
mata besar dan hidung sangat kecil.
Kulitnya berwarna hitam dan tipis,
hingga yang terlihat jelas adalah
tonjolan tulang-tulang wajahnya. Inilah
seorang tokoh yang dalam rimba
persilatan namanya sudah tidak asing
lagi. Karena selain mempunyai ilmu
tinggi, juga dikenal sebagai tokoh yang
ganas dan mudah menurunkan tangan maut,
hingga dia digelari dengan Setan Neraka.
"Setan Neraka.... Hmm.... Rupanya
dia telah mengetahui siapa diriku.
Apakah kedatangannya juga bermaksud
seperti beberapa orang sebelumnya?
Heran, Apa tujuan sebenarnya orang-orang
selalu memburuku dan meminta dariku
sesuatu yang aku sendiri tak tahu. Pedang
Tumpul.... Mereka kebanyakan
membicarakan Pedang Tumpul. Apa
hubungannya pedang itu dengan diriku?
Aku benar-benar ditimpa sial! Harus
berpindah-pindah tempat hanya untuk
menghindari kejaran orang-orang yang
maksudnya tak kumengerti!" orang yang
duduk bersila dan tadi disebut dengan
Bandung Bandawangsa alias Malaikat
Lembah Hijau membatin seraya usap-usap
dadanya seolah ingin meredakan gejolak
yang akhir-akhir ini selalu melanda
hatinya karena dipenuhi dengan beberapa
pertanyaan yang sampai sekarang tidak
bisa ditemukan jawabnya.
Selagi Malaikat Lembah Hijau
berkata dengan dirinya sendiri, Setan
Neraka maju satu tindak. Kedua tangannya
bergerak sedekap. Sesaat kemudian
laki-laki berpakaian rombeng ini
berkata.
"Malaikat Lembah Hijau. Meski kita
lain golongan, namun di antara kita tidak
pernah terjadi silang sengketa. Dan
kedatanganku kali ini dengan harapan
tidak akan terjadi silang sengketa meski
aku membutuhkan sesuatu darimu!"
"Hm.... Begitu?!" Malaikat Lembah
Hijau buka mulut. "Harap kau segera
mengatakan apa maksud kedatanganmu.
Namun aku juga berharap, agar tidak ada
silang sengketa jika nantinya aku tidak
dapat membantumu!"
Setan Neraka tersenyum menyeringai,
hingga tulang pipinya sedikit terangkat.
Sepasang matanya yang besar menyorot
tajam memandangi Malaikat Lembah Hijau.
Sementara itu, di balik pohon Randu
Sabrang dan Uli Santang sama tersentak
begitu Malaikat Lembah Hijau keluarkan
suara. Namun wajah masing-masing orang
ini tampak berseri. Malah Uli Santang
terlihat tersenyum lebar. Karena dengan
terdengarnya suara jawaban Malaikat
Lembah Hijau, mereka tanpa membuktikan
lagi siapa adanya orang yang duduk,
mereka telah dapat mengetahuinya!
"Rupanya perjalanan kita tidak
sia-sia...," gumam Uli Santang dengan
mata lurus ke arah Setan Neraka dan
Malaikat Lembah Hijau.
"Benar. Sasaran telah di depan mata.
Lantas apa yang harus kita perbuat
sekarang?!" tanya Randu Sabrang.
"Sebaiknya kita menunggu sambil
melihat apa yang hendak dilakukan si
Setan Neraka itu! Sekaligus untuk
menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu
Setan Neraka serta Malaikat Lembah
Hijau!"
"Malaikat Lembah Hijau...," kata
Setan Neraka sambil usap-usapkan kedua
tangannya satu sama lain.
"Kau tentunya telah tahu dan dengar,
bahwa rimba persilatan saat ini sedang
dilanda kemelut yang tiada hentinya.
Tokoh-tokoh rimba persilatan saling
bunuh tanpa maksud yang jelas. Lalu
beberapa tokoh yang telah lama tiada
kabar beritanya tiba-tiba muncul lagi
dan membuat keributan di sana-sini.
Belum lagi...," Setan Neraka tak
melanjutkan ucapannya karena Malaikat
Lembah Hijau telah menukas.
"Setan Neraka! Aku tak punya waktu
banyak. Bicaralah terus terang saja.
Katakan apa hubungannya semua yang kau
katakan tadi dengan diriku!"
Setan Neraka mendengus dan memaki
dalam hati. Walau ucapan Malaikat Lembah
Hijau membuatnya geram, namun kakek ini
menindihnya. Setelah menahan dadanya
yang bergetar, dia berkata.
"Sebenarnya pangkal dari segala
kemelut yang terjadi saat ini adalah
dirimu!"
Malaikat Lembah Hijau melengak
kaget hingga bahunya terlihat
berguncang. Mulutnya komat-kamit.
Lalu terdengar ucapannya. Suaranya
parau dan bergetar
"Kau jangan seenaknya menuduh orang
Setan Neraka! Atau mulutmu akan
kutampar!"
Setan Neraka mendongak. Lalu dari
mulutnya terdengar suara tawa keras dan
panjang hingga sesaat kemudian tempat
itu seakan tersentak dari kesunyian.
Setelah puas tertawa, kakek ini luruskan
kepalanya memandang tajam pada Malaikat
Lembah Hijau.
"Dengar baik-baik Malaikat Lembah
Hijau! Selain saling membunuh dengan
tujuan ingin menjadi orang tanpa tanding
tokoh-tokoh itu juga memburu senjata
mustika yang kehebatannya luar biasa!"
"Hmm.... Rupanya dia juga ingin
membicarakan tentang Pedang Tumpul itu.
Aku makin tak mengerti dengan semua
ini...," ucap Malaikat Lembah Hijau
dalam hati, lalu berkata dengan suara
agak keras.
"Setan Neraka! Kukatakan sekali
lagi, bicaralah terus terang atau aku
akan meninggalkanmu!"
"Boleh-boleh saja kau meninggalkan
aku, namun kau harus serahkan dulu
petunjuk tentang beradanya pedang
mustika itu!" ujar Setan Neraka dengan
tertawa ngakak.
Malaikat Lembah Hijau menyeringai
dengan mata di balik caping mendelik
besar. "Kau rupanya tak beda dengan
beberapa orang yang datang sebelumnya!
Meminta sesuatu yang tidak kupunyai!"
Setan Neraka makin keraskan suara
tawanya mendengar kata-kata Malaikat
Lembah Hijau, membuat laki-laki
bercaping ini jengkel.
"Setan Neraka. Aku ada perlu lain.
Aku tak dapat membantumu jika urusan yang
tak kumengerti itu tujuanmu!" habis
berkata begitu Malaikat Lembah Hijau
bergerak bangkit. Namun sebelum
benar-benar bergerak, Setan Neraka telah
melompat maju, membuat Malaikat Lembah
Hijau urungkan niatnya untuk bangkit.
"Kau tak mau membantuku, berarti kau
menciptakan silang sengketa. Dan itu
adalah nasib buruk buatmu!"
"Ah.... Ternyata kau punya niat
busuk terhadapku! Tak kusangka sama
sekali...," desis Malaikat Lembah Hijau
dengan sinis. Dia tak bergerak dari
tempatnya, namun diam-diam dia kerahkan
tenaga dalamnya pada kedua tangannya.
"Terserah kau bilang apa. Namun satu
hal yang perlu kau camkan, kalau kau
tetap tak mau memberikan apa yang kuminta
selagi kau masih bernapas, aku tak
keberatan mengambilnya saat nyawamu
telah melayang!"
"Begitu?! Sayang sekali. Kau
bukannya akan mendapatkan apa yang kau
pinta, namun akan kehilangan nyawa
satu-satunya jika terus memaksaku! Namun
aku masih memberimu kesempatan hidup
jika kau lekas meninggalkan tempat ini!"
"Jahanam!" teriak Setan Neraka
marah. Kedua tangannya segera melesat ke
depan, mengarah pada kepala Malaikat
Lembah Hijau. Serangkum angin dahsyat
melabrak mendahului kedua tangan,
menandakan bahwa hantaman tangan itu
dialiri tenaga dalam sangat kuat.
Malaikat Lembah Hijau yang sedari
tadi telah waspada, segera angkat kedua
tangannya, sementara kepalanya
dirundukkan kembali, membuat caping
lebar di kepalanya makin melesak ke
dalam, menutup seluruh wajahnya.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar benturan keras ketika dua
pasang tangan itu bentrok. Setan Neraka
berseru tegang dan langsung melompat
mundur. Parasnya berubah dengan mata
mendelik memperhatikan kedua tangannya.
Ternyata kedua tangannya telah berubah
kemerah-merahan dan bergetar. Sementara
dadanya berdenyut nyeri. Dari sini Setan
Neraka telah dapat mengetahui bahwa
orang yang dihadapi kali ini bukanlah
orang sembarangan.
"Hmm,... Nyatanya kabar tentang
ketinggian ilmunya bukan berita bohong.
Tak heran jika banyak orang menemui ajal
saat memburunya...," ucap Setan Neraka
dalam hati.
Di hadapannya, Malaikat Lembah
Hijau tampak mengusap-usap kedua
tangannya seraya bergumam tak jelas.
Namun dari bahunya yang sedikit
berguncang, membuktikan jika orang ini
juga menahan rasa sakit dan panas pada
kedua tangannya yang baru saja bentrok.
"Setan Neraka! Sebaiknya urusan ini
kita selesaikan sampai di sini saja.
Karena hanya kekecewaan yang nanti akan
kau peroleh!" ujar Malaikat Lembah Hijau
sambil bergerak bangkit. Lalu merapikan
pakaiannya dan hendak melangkah
meninggalkan tempat itu.
"Jangan mimpi bisa meninggalkan
tempat ini sebelum kau serahkan apa yang
kuminta!" bentak Setan Neraka sambil
hantamkan kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua gelombang angin dahsyat yang
keluarkan suara menggemuruh melesat
cepat ke arah Malaikat Lembah Hijau.
Bersamaan itu, suasana berubah panas!
Malaikat Lembah Hijau segera
menyingkir dengan melompat ke samping.
Lalu dari tempatnya kini, laki-laki
bercaping ini lepaskan pukulan dengan
dorong kedua tangannya yang
dikembangkan.
Wuuusss! Wuuusss!
Asap putih bergulung-gulung
menggebrak memapak serangan Setan
Neraka.
Blaaarrr!
Terdengar ledakan dahsyat. Rimba
belantara itu laksana dilanda gempa
hebat. Daun-daun luruh dengan hangus,
semak belukar bercerabut dan membubung
ke angkasa. Tanah muncrat menutupi
pemandangan!
Tubuh Setan Neraka tampak mencelat
sampai beberapa tombak ke belakang, lalu
jatuh terduduk bersandar pada sebatang
pohon. Darah tampak mengalir dari sudut
bibirnya. Kulit wajahnya yang berwarna
hitam berubah agak memutih. Sementara
dari mulutnya terdengar erangan dan
makian panjang pendek. Di lain pihak,
Malaikat Lembah Hijau tampak berlutut di
atas tanah. Caping yang dikenakannya
mencelat entah ke mana. Sementara
tubuhnya terlihat bergetar keras. Ketika
laki-laki ini hendak bergerak bangkit,
tiba-tiba bersiur angin deras dari
belakangnya.
Merasa ada bahaya, Malaikat Lembah
Hijau segera rebahkan tubuh sejajar
tanah. Tubuhnya dengan gerakan kilat
bergerak membalik dan sepasang kakinya
melayang ke belakang!
Bukkk!
Setan Neraka yang ternyata telah
melakukan serangan lagi dari arah
belakang tercekat kaget. Dia sama sekali
tidak menyangka jika gerakan tangannya
yang menghantam ke arah kepala Malaikat
Lembah Hijau dapat dielakkan malah
karena begitu bernafsunya ingin
menghantam, tubuhnya terhuyung ke depan
karena hantamannya tak mengenai sasaran,
dan pada saat itulah sepasang kaki
Malaikat Lembah Hijau menghajar dadanya!
Tubuhnya terseret ke belakang sebelum
akhirnya jatuh terhempas dengan punggung
sejajar tanah! Darah hitam makin banyak
keluar dari mulut dan hidungnya!
Melihat Setan Neraka roboh,
Malaikat Lembah Hijau bergerak bangkit.
Lalu melangkah menghampiri. Namun baru
dua langkah dia berhenti. Sepasang mata-
nya memperhatikan sosok Setan Neraka.
Dari tempat mendekamnya, Randu
Sabrang dan Uli Santang sama pelototkan
mata masing-masing. Lalu sama-sama
berpaling dan saling pandang sejenak.
Meski kedua orang ini tidak ada yang
keluarkan ucapan, namun dari paras
keduanya mudah ditebak jika keduanya
tampak sedikit kecut. Mereka telah tahu
bagaimana orang yang akan dihadapi.
Namun sesaat kemudian, Uli Santang
berbisik.
"Kita tak perlu takut! Setan Neraka
dapat dirobohkan karena manusia itu
hanya besar di mulut cekak di ilmu! Lagi
pula kita kan berdua!"
Randu Sabrang hanya mengangguk
perlahan tanpa keluarkan kata-kata.
Keduanya lantas alihkan pandangannya ke
depan lagi. Di sana terlihat Malaikat
Lembah Hijau tegak mengawasi Setan
Neraka. Lalu terdengar dia berkata.
"Menuruti kemarahan, ingin rasanya
aku menghabisimu saat ini juga. Namun tak
pantas rasanya bertindak pada orang yang
tak berdaya!" habis berkata begitu,
Malaikat Lembah Hijau balikkan tubuh
lalu melangkah.
"Saatnya kita bergerak!" seru Uli
Santang dengan berbisik. Randu Sabrang
anggukkan kepalanya. Kedua orang ini
bangkit dan hendak berkelebat. Namun
lagi-lagi gerakannya tertahan, karena di
seberang depan sana Setan Neraka
tiba-tiba keluarkan bentakan keras.
Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat.
Kedua tangannya membuat gerakan
menghantam beberapa kali.
Saat itu juga gelombang angin
dahsyat yang melesat susul menyusul
bergemuruh menggebrak ke arah Malaikat
Lembah Hijau!
Malaikat Lembah Hijau berpaling dan
serta-merta tersentak. Namun laki-laki
ini segera sadar dan kejap itu juga kedua
kakinya ditekuk, kedua tangannya dibuka
mengembang. Lalu dengan tenaga dalam
penuh, kedua tangannya didorong ke
depan.
Untuk kedua kalinya tempat itu
bergetar keras. Tanah terbongkar dan
berhamburan ke udara. Ketika tanah telah
sirap, Malaikat Lembah Hijau tampak
menggelosoh bersandar pada batu yang
telah pecan berantakan. Mukanya pias.
Laki-laki ini segera meneliti. Pakaian
yang dikenakannya ternyata telah berubah
hangus. Namun tubuhnya tidak ada yang
mengalami cidera meski aliran darahnya
terasa tersumbat dan dadanya sakit jika
dibuat bernapas!
Di seberang, Setan Neraka tampak
telentang dengan muka mengelam hitam.
Darah masih mengucur dari hidung dan
mulutnya. Sesaat laki-laki ini masih
bergerak-gerak dengan keluarkan erangan
menyayat. Namun sesaat kemudian
erangannya terputus laksana direnggut
setan. Bersamaan dengan itu tubuhnya
diam kaku tak bergerak-gerak lagi!
Malaikat Lembah Hijau menghela
napas dalam-dalam, lalu menggelengkan
kepalanya.
"Kutuk apa yang sebenarnya sedang
menimpaku saat ini. Aku dikejar-kejar
orang yang tak kumengerti maksud
tujuannya! Meminta sesuatu dariku yang
aku sendiri tak merasa memiliki! Ah...,"
Malaikat Lembah Hijau bergerak bangkit.
Sementara itu, di atas sebuah dahan
pohon yang ranting dan dahannya amat
rapat sesosok tubuh samar-samar terlihat
berpaling sebentar ke arah sosok Setan
Neraka yang telah tak bernyawa lagi.
Sosok ini lantas sunggingkan senyum
sinis dan bergumam sendiri.
"Manusia serakah yang tak pandai
memperhitungkan diri. Ilmu masih sebatas
mata kaki, mulut sudah menggelembung
berkoar setinggi langit! Hm.... Aku akan
menunggu. Kedua manusia di balik pohon
itu pasti akan segera keluar dari
persembunyiannya...," kepala sosok ini
lantas bergerak ke arah pohon di mana
Randu Sabrang dan Uli Santang berada.
Apa yang diduga sosok di atas dahan
ternyata tak meleset. Karena begitu
Malaikat Lembah Hijau hendak melangkah
meninggalkan tempat itu, dua sosok
bayangan berkelebat keluar dari balik
pohon dan langsung menghadang di depan
Malaikat Lembah Hijau.
Malaikat Lembah Hijau terperangah.
Seketika kakinya tersurut satu tindak.
Sepasang matanya segera memperhatikan
dua manusia yang kini menghadang di
depannya. Di lain pihak, dua manusia yang
ada di hadapannya dan bukan lain adalah
Randu Sabrang dan Uli Santang sama-sama
mendongak!
***
DUA
SIAPA kalian sebenarnya?!" tegur
Malaikat Lembah Hijau dengan suara agak
keras. Sebenarnya laki-laki berpakaian
seperti seorang resi ini sudah tahu bahwa
di sekitar tempat itu ada beberapa pasang
mata yang mengawasi dirinya. Hingga
meski dia terkejut, namun dia sudah dapat
mengatasi diri dalam beberapa saat.
Si gundul Randu Sabrang dan si
gondrong Uli Santang menjawab teguran
dengan suara tawa mengekeh. Tiba-tiba
Uli Santang sentakkan kepalanya lurus ke
depan. Lalu berpaling pada sosok Setan
Neraka yang membujur kaku. Bibirnya
tersenyum sinis.
"Kalian tak mau jawab pertanyaan,
namun kalian menghadang. Pasti kalian
punya maksud tidak baik!" ujar Malaikat
Lembah Hijau seraya memperhatikan lebih
seksama satu persatu tampang dua orang di
hadapannya. Ketika memandang Randu
Sabrang, Malaikat Lembah Hijau terlihat
mengernyit seakan berpikir.
"Aku rasa-rasanya pernah bertemu
dengan si botak ini. Tapi aku lupa di mana
dan kapan. Hmm.... Melihat sikap mereka,
hampir kupastikan mereka punya niat
seperti beberapa orang sebelumnya.
Meminta sesuatu yang tak kumiliki! Aneh.
Siapa sebenarnya yang menyebar berita
konyol ini? Sialan benar! Gara-gara
berita konyol ini hidupku tak bisa
tenang, bahkan harus berurusan dengan
nyawa manusia!" batinnya seraya gerakkan
kepala menggeleng.
"Bandung Bandawangsa!" ucap Randu
Sabrang tanpa memandang. "Kami tak akan
panjang lebar bicara. Serahkan saja
petunjuk itu pada kami! Dan kau boleh
pergi dengan leluasa!"
Malaikat Lembah Hijau menatap tajam
pada si gundul Randu Sabrang yang telah
memanggilnya dengan nama asli.
"Dengar baik-baik! Kalau kalian
meminta petunjuk yang sebenarnya tak
kumengerti, kalian boleh lihat-lihat
dulu apa akibatnya!" seraya berkata
begitu, Malaikat Lembah Hijau
mengarahkan pandangannya pada sosok
Setan Neraka. Dia sengaja menggertak
agar dua orang di hadapannya tidak
meneruskan niat.
Namun Randu Sabrang dan Uli Santang
bukannya takut, malah sebaliknya kedua
orang ini sama-sama keluarkan tawa
pendek dengan nada mengejek.
"Kami bukan Setan Neraka! Jangan
dikira kami takut dengan gertak
sambalmu!" bentak si gondrong Uli
Santang dengan mata berkilat merah.
"Bandung Bandawangsa!" sambung Uli
Santang masih dengan suara keras.
"Jangan tunggu sampai kesabaran kami
pupus. Cepat serahkan apa yang kami
minta!"
Bandung Bandawangsa alias Malaikat
Lembah Hijau kembangkan kedua telapak
tangannya hingga keluarkan suara
gemeretakan. Laki-laki ini tampaknya su-
dah merasa geram, karena selalu dimintai
sesuatu yang dia sendiri merasa tak
mempunyai. Di lain pihak, orang tak
percaya dengan kata-katanya.
Sementara itu, di atas dahan sesosok
tubuh yang sedari tadi memperhatikan
keadaan di bawahnya menggumam perlahan.
"Muka Iblis dan Datuk Darah! Dua
bangsat yang sejak lama ingin menguasai
jagat persilatan. Hmm....
Ketidakmunculannya selama ini mungkin
karena melakukan penyelidikan ini.
Apakah mereka akan mampu merobohkan
Malaikat itu?! Aku tidak yakin.... Biar
pun mereka maju bersamaan. Bandung
Bandawangsa demikian pesat kemajuannya.
Aku sendiri merasa heran, kenapa Bandung
Bandawangsa demikian gigih
mempertahankan petunjuk itu? Padahal dia
sendiri sepertinya tidak tertarik dengan
Pedang Tumpul itu. Buktinya dia tidak
melakukan sesuatu untuk mencarinya,
sedangkan petunjuk itu ada pada dirinya!
Apakah.... Ah, tidak mungkin. Semua
orang kini telah tahu, bahwa dialah yang
punya petunjuk itu! Mungkin dia ingin
memberikan petunjuk itu pada seseorang.
Atau menginginkan pedang mustika itu
tidak dimiliki oleh siapa pun!" sosok di
atas dahan ini arahkan kembali
pandangannya ke bawah.
Di bawah, Malaikat Lembah Hijau tak
segera menyambuti ucapan Uli Santang,
membuat Randu Sabrang habis
kesabarannya. Laki-laki berkepala botak
ini maju dua langkah. Namun sebelum
terdengar ucapannya, Malaikat Lembah
Hijau telah mendahului.
"Kalian minta sesuatu dari dariku,
namun kalian tak mau sebutkan siapa
kalian sebenarnya!"
Randu Sabrang rangkapkan kedua
tangan di depan dada. Sepasang matanya
yang melotot ke luar nanar memandangi
Malaikat Lembah Hijau.
"Hmm.... Itu maumu. Kuturuti
permintaanmu! Pasang telinga baik-baik!
Aku Muka Iblis, sedangkan dia adik
seperguruanku yang bergelar Datuk
Darah!"
Malaikat Lembah Hijau sembunyikan
perubahan wajahnya dengan memandang pada
jurusan lain. Diam-diam laki-laki ini
enggan berhadapan dengan mereka.
"Muka Iblis dan Datuk Darah....
Gelar mereka telah kudengar selama ini.
Bahkan dengan si Muka Iblis ini rasanya
aku pernah jumpa. Hmm.... Mereka katanya
orang-orang yang berilmu tinggi dan amat
kejam. Aku harus berhati-hati. Ah, aku
tak habis pikir tentang semua ini...."
"Bandung Bandawangsa. Kami telah
turuti permintaanmu. Sekarang giliranmu
memberikan apa yang kami minta!" hardik
si gundul Randu Sabrang ketika mendapati
Malaikat Lembah Hijau tercenung diam.
Malaikat Lembah Hijau gelengkan
kepalanya sambil merrgheia napas
dalam-dalam. "Dengarlah. Sebenarnya
kalian meminta pada orang yang salah! Aku
tidak memiliki apa yang kalian minta!"
Randu Sabrang keluarkan dengusan
keras dan hentakan kedua kakinya ke atas
tanah, membuat tanah itu bergetar! Dan
sepasang kakinya segera digeser ke
samping, karena bekas hentakannya telah
membentuk lubang! Dari sini Malaikat
Lembah Hijau telah maklum jika dua orang
di hadapannya memang tidak bisa
dipandang enteng.
"Bandung Bandawangsa! Apa
sebenarnya yang membuatmu begitu
bertahan untuk tidak menyerahkan
petunjuk itu?! Apakah kau ingin memiliki
senjata itu?!" yang keluarkan suara kali
ini adalah Uli Santang alias Datuk Darah.
Seraya berkata, Datuk Darah maju dua
langkah menjajari Randu Sabrang alias
Muka Iblis.
Malaikat Lembah Hijau tertawa
perlahan. Seraya menggeleng dia berucap.
"Dalam hidup, aku tidak
memperturutkan nafsu yang ingin minta
dan memburu sesuatu yang berlebihan.
Karena nafsu selalu menyatu dengan
kesenangan. Padahal kesenangan
seringkali membuat orang lupa! Lupa akan
siapa dirinya. Malah lupa bahwa dia
dicipta dan telah ditentukan apa yang
kelak diperoleh!"
Mendengar ucapan Malaikat Lembah
Hijau, Randu Sabrang tertawa bergelak,
hingga sepasang matanya yang menjorok ke
luar seolah-olah hendak jatuh
bergelindingan di tanah.
"Tapi apakah kau telah tahu bahwa
apa yang kami minta darimu adalah sesuatu
yang memang ditentukan untuk kami
miliki?!"
"Manusia berhak bicara. Namun
jangan mendahului kehendak Yang
Mencipta! Itu telah melangkahi kodrat
dan akan berakibat fatal!"
"Keparat!" teriak Muka Iblis geram.
"Akan kubuktikan bahwa ucapanmu tidak
masuk akal, Bandung Bandawangsa!"
Habis berucap begitu, si gundul Muka
iblis segera melompat. Tangan kanannya
melesat, bersamaan dengan itu, kaki
kanannya diangkat dan segera pula ber-
gerak menendang. Angin deras segera
melesat mendahului sebelum tangan dan
kaki itu menghajar sasaran! Pertanda
jika Muka Iblis langsung membuka
serangan dengan pengerahan tenaga dalam
kuat. Hal ini bisa dimengerti, karena
Muka Iblis telah tahu sampai di mana
kehebatan lawan.
Mengetahui Muka Iblis telah
melakukan serangan, Datuk Darah tak
tinggal diam. Laki-laki berambut panjang
ini segera pula melompat ke depan. Dan
dari arah samping Malaikat Lembah Hijau,
dia pukulkan kedua tangannya sekaligus
ke arah kepala lawan!
Mendapati serangan yang begitu
gencar, Malaikat Lembah Hijau tampak
sedikit terkesiap kaget. Darahnya seakan
sirap sejenak. Sosok laki-laki
berpakaian seperti resi ini tampak
terdorong satu tindak ke belakang. Namun
ia segera genjot tubuhnya ke udara.
Tangan kanan kirinya bergerak merentang,
sementara kakinya melayang ke depan
memapak tendangan Muka Iblis.
Prakkk! Prakkk! Prakkk!
Terdengar benturan keras tiga kali
berturut-turut. Muka Iblis mencelat
sampai beberapa tombak ke belakang. Lalu
jatuh terduduk seraya keluarkan makian
tak karuan. Datuk Darah sendiri tersurut
dua langkah ke belakang, tubuhnya
terhuyung-huyung dengan paras muka
berubah pucat. Namun dia segera bisa
kuasai diri walau tangannya terasa
seakan hendak penggal, Sementara
Malaikat Lembah Hijau tubuhnya berputar
lalu jatuh bergulingan di atas tanah! Hal
ini terjadi karena Malaikat Lembah Hijau
harus menghadapi dua kekuatan tenaga
dalam. Namun dari bentrok tadi, Malaikat
Lembah Hijau segera putar otak.
"Aku harus sedapat mungkin
menghindari bentrok langsung, karena
tenaga dalamku tak akan kuasa jika
terus-terusan menghadapi dua tenaga
dalam. Aku akan menjaga jarak dan akan
memaksa mereka lakukan pukulan jarak
jauh! Ah.... Urusan edan ini sampai kapan
akan terhenti?!" batin Malaikat Lembah
Hijau seraya bergerak bangkit.
Di seberang sana, baik Muka Iblis
maupun Datuk Darah telah sama-sama siap
lakukan serangan lagi. Kedua orang ini
telah takupkan masing-masing tangannya
di depan dada. Tak lama kemudian, Datuk
Darah berpaling pada Muka Iblis dan
memberi isyarat dengan anggukan kepala.
Kedua orang ini langsung bergerak. Muka
Iblis berkelebat ke samping kanan,
sedangkan Datuk Darah berkelebat ke
samping kiri. Dari arah samping kanan
kiri ini, serentak keduanya lepaskan
pukulan!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Udara dingin hutan belantara itu
mendadak berubah panas. Bersamaan dengan
itu, gelombang angin berkekuatan laksana
ombak menggebrak! Keluarkan suara
menggidikkan. Tanah muncrat laksana air
dan berhamburan ke udara.
"Dasar bodoh! Kenapa melakukan
serangan dari arah samping? Jika dia bisa
menyelamatkan diri, dua bangsat itu akan
menerima akibat kebodohannya!" umpat
sosok yang di atas dahan demi melihat
Muka Iblis dan Datuk Darah lancarkan
serangan dari arah samping kiri kanan
Malaikat Lembah Hijau.
Malaikat Lembah Hijau sendiri
segera kerahkan tenaga dalam, lalu dia
menggerakkan bahunya, sosoknya mencuat
ke udara. Bersamaan dengan itu terdengar
debuman menggelegar akibat bentroknya
pukulan Muka Iblis dan Datuk Darah.
Meski Malaikat Lembah Hijau sempat
mencuat ke udara, namun tak urung juga
bias bentroknya dua pukulan itu
menghajar tubuhnya di udara. Hingga
sosoknya makin melambung tinggi. Meski
sekujur tubuhnya terasa ngilu bukan
alang kepalang, namun tatkala sosoknya
menukik turun, laki-laki ini masih
sempat menangkap sosok Datuk Darah yang
terseret dan terhuyung-huyung hendak
terjerembab. Saat itulah tanpa membuang
kesempatan lagi, Malaikat Lembah Hijau
hantamkan kedua tangannya!
Wuuusss! Wuuusss!
Angin yang menderu dahsyat melesat
keluar dari kedua tangan Malaikat Lembah
Hijau.
Datuk Darah yang coba menguasai diri
dari huyungan tubuhnya yang hendak jatuh
tersentak kaget. Dia kerahkan segenap
tenaga untuk menghindar dengan bergerak
melompat ke samping. Namun serangan
Malaikat Lembah Hijau lebih cepat
datangnya hingga tanpa ampun lagi
tubuhnya terpelanting ke belakang dengan
kepala teriebih dahulu menghempas tanah!
Datuk Darah meraung keras. Laki-laki ini
coba bergerak bangkit meski sadar jika
tubuhnya cidera dalam. Tapi sebelum
sosoknya benar-benar tegak, laki-laki
ini telah terjerembab kembali! Darah
hitam telah mengucur dari mulut dan
hidungnya. Sementara pakaian bagian
dadanya telah robek besar! Kulit di balik
robekan pakaian itu tampak biru
kehitaman.
Muka Iblis yang juga jatuh telentang
akibat pukulannya bentrok dengan pukulan
Datuk Darah cepat bangkit. Dan demi
melihat keadaan Datuk Darah, laki-laki
berkepala botak ini keluarkan gerengan
keras, Wajahnya keras membatu, pelipis
kiri kanannya bergerak-bergerak.
"Bandung Bandawangsa! Kau telah
menciderai saudaraku. Nyawamu adalah
imbalan yang pantas!" bentak Muka Iblis.
Serta merta kedua tangannya dihantamkan
ke arah Malaikat Lembah Hijau.
Malaikat Lembah Hijau tak tinggal
diam. Begitu gelombang angin melesat
keluar dari kedua tangan lawan, dia cepat
berkelebat hampir tak dapat diikuti mata
telanjang.
Muka Iblis ternganga lebar ketika
mendapati pukulannya hanya menghajar
tempat kosong. Dan laki-laki ini makin
tercekat tatkala sepasang matanya yang
melotot besar tak menangkap lagi sosok
Malaikat Lembah Hijau.
Selagi laki-laki botak ini
tercenung, dari arah belakangnya
terdengar langkah-langkah mendekatinya.
Sigap, Muka Iblis segera putar tubuhnya.
Namun belum sampai setengah putaran, dua
tangan telah menyergapnya.
Seeettt! Seeettt!
Muka Iblis meraung ketika kedua
tangan itu telah menjapit lehernya.
Laki-laki ini keluarkan bentakan be-
berapa kali dengan menghantamkan
tangannya kearah tangan yang menjapit
lehernya. Namun gerakannya terlambat.
Kedua tangan yang menjapit telah
bergerak memutar, lalu mengangkat dan
menyentak ke bawah. Akibatnya sosok Muka
Iblis terpuntir lalu terangkat ke atas
sebelum akhirnya jatuh terbanting dengan
deras!
Sejenak tubuh Muka Iblis bergerak
menggeliat. Namun sesaat kemudian
telentang tak bergerak-gerak lagi dengan
leher terpuntir dan mulut berdarah!
Malaikat Lembah Hijau menghela
napas panjang. Sepasang matanya sejenak
memandangi sosok Muka Iblis yang sudah
tak bernyawa lagi di bawahnya.
"Hm.... Aku terpaksa harus
melakukan ini. Jika tidak, nyawaku
sendiri yang akan melayang.... Sungguh
amat disayangkan, harus banyak korban
yang jatuh karena meminta sesuatu yang
lebih dari apa yang telah
ditentukan...."
Malaikat Lembah Hijau lalu
memandang kearah Datuk Darah. Datuk
Darah yang telah duduk dan cidera
terlihat berubah parasnya. Sebenarnya
laki-laki ini marah besar melihat
saudara seperguruannya tewas begitu
rupa. Namun menyadari dirinya terluka
parah dan tak mungkin mengadakan
perlawanan, dia akhirnya hanya
menyumpah-nyumpah dalam hati. Malah dia
sempat merinding ketika mendapati
Malaikat Lembah Hijau memandang ke
arahnya. Dia khawatir jika Malaikat Lem-
bah Hijau akan menurunkan tangan maut
terhadapnya. Namun laki-laki ini segera
menghela napas lega tatkala dilihatnya
Malaikat Lembah Hijau alihkan
pandangannya dan perlahan-lahan pula
melangkah meninggalkan tempat itu.
Tapi baru saja Malaikat Lembah Hijau
melangkah dua tindak, sesosok bayangan
turun dari sebuah pohon. Dan tahu-tahu
telah berdiri tegak di hadapan Malaikat
Lembah Hijau!
***
TIGA
SEPASANG alis mata Malaikat Lembah
Hijau naik ke atas. Bola matanya membesar
menatap sosok di hadapannya dengan mulut
komat-kamit. Untuk beberapa saat lamanya
Malaikat Lembah Hijau hanya tegak
memandang tanpa sepatah kata pun
terucap. Laki-laki ini seakan masih tak
percaya dengan pandangan matanya.
Sementara sosok yang baru datang
segera memperdengarkan suara tawa pelan
dan alihkan pandangannya ke arah dua
sosok yang sudah jadi mayat, lalu ke arah
Datuk Darah yang duduk seraya usap-usap
dadanya. Datuk Darah membelalakkan
sepasang matanya dan tubuhnya digeser ke
belakang. Paras wajahnya berubah dan
jelas menunjukkan rasa takut.
"Hantu Makam Setan...," gumam Datuk
Darah pelan seraya alihkan padangannya.
Dadanya makin bergetar. Mungkin
menangkap gelagat tidak baik dari
pandangan orang, diam-diam dia kerahkan
tenaga dalamnya. Namun laki-laki, ini
tiba-tiba pucat pasi. Ternyata dadanya
amat sakit ketika coba kerahkan tenaga
dalam. Hingga seraya memaki panjang
pendek dalam hati dia geser lagi tubuhnya
ke belakang.
"Setan alas! Kalau dia menyerangku,
habislah riwayatku...," keluhnya dalam
hati.
Sosok orang yang baru datang yang
ternyata adalah seorang laki-laki
berusia agak lanjut tersenyum sinis
penuh ejekan. Orang ini mengenakan jubah
besar berwarna merah. Sosoknya tinggi
besar dengan rambut disanggul ke atas.
Paras wajahnya bulat besar, namun wajah
itu hampir-hampir tak ditutupi lapisan
kuiit! Yang jelas tampak adalah guratan
tonjolan tulang-tulangnya. Sepasang
matanya besar dan menjorok dalam
cekungan tulang yang dalam. Kedua alis
matanya tebal dan bertautan. Hidungnya
besar, namun hidung itu hanya separo,
sebelahnya hanya merupakan cekungan!
Meski manusia ini hanya mempunyai satu
lubang hidung, namun sewaktu menarik
napas tak kelihatan sunt, malah dari
hembusan napasnya terdengar siuran angin
keras! Dalam jagat persilatan, manusia
ini dikenal orang dengan gelar Hantu
Makam Setan. Seorang tokoh rimba
persilatan yang paling ditakuti dan
diduga berat dialah si pembuat kemelut
akhir-akhir ini. Orang di belakang
pembunuhan yang bergelombang!
Mendapati tingkah Datuk Darah yang
tak dapat menyembunyikan rasa takutnya,
Hantu Makam Setan mendongak. Sambil
tertawa pelan dia berujar. Suaranya
sengau.
"Datuk Darah! Kau tak usah khawatir,
kita satu golongan!"
Datuk Darah menghela napas lega
mendengar ucapan Hantu Makam Setan.
Namun cuma sesaat, karena sesaat
kemudian Hantu Makam Setan telah
m-nyambung ucapannya. "Kau tunggulah di
situ. Setelah aku menyelesaikan
urusanku, kau pasti akan mendapat
giliran!"
"Giliran? Giliran apa maksudmu?!"
tanya Datuk Darah tak mengerti ucapan
Hantu Makam Setan. Suaranya pelan dan
bergetar.
"Manusia kerbau!" seru Hantu Makam
Setan geram karena Datuk Darah tak
mengerti arah bicaranya. Seraya putar
tubuhnya menghadap Datuk Darah, Hantu
Makam Setan melanjutkan. "Kau lihat apa
di sekitarmu? Itulah giliran yang harus
kau tunggu!" habis berkata begitu, Hantu
Makam Setan putar kembali tubuhnya
menghadap Malaikat Lembah Hijau dengan
tertawa mengekeh. Sementara Datuk Darah
makin merinding dan tubuhnya semakin
berguncang. Laki-laki ini geser lagi
tubuhnya ke belakang dengan sepasang
mata melirik kesana kemari.
"Datuk Darah! Sekali lagi kau
bergerak, giliranmu akan datang terlebih
dahulu! Kau dengar itu?!" hardik Hantu
Makam Setan seakan tahu apa yang ada di
benak Datuk Darah.
Datuk Darah menyeringai dengan
menyumpah-nyumpah dalam hati. Laki-laki
ini memang telah merencanakan untuk
melarikan diri. Dia sadar, apa yang
dikatakan Hantu Makam Setan bukanlah
omong kosong.
"Jahanam terkutuk! Manusia ini tahu
apa yang hendak kulakukan. Hm....
Sebaiknya aku pura-pura menuruti saja
perintahnya. Dan begitu dia lengah...,"
Datuk Darah tak melanjutkan kata
hatinya, dia hanya anggukkan kepala.
Lalu memandang ke depan, ke arah Hantu
Makam Setan dan Malaikat Lembah Hijau
yang kini telah saling berhadapan
kembali.
"Bandung Bandawangsa...," Hantu
Makam Setan buka mulut memecah kebisuan
di antara keduanya. "Aku tak akan bicara
panjang lebar. Kau tentunya telah tahu
siapa aku dan bagaimana sifatku. Aku
sengaja mencarimu dengan satu tujuan. Di
hadapanmu tujuan berubah menjadi
permintaan! Lekas serahkan petunjuk
tentang pedang mustika itu, atau aku akan
mengambilnya begitu kau tak bernyawa
lagi!"
Malaikat Lembah Hijau tersenyum
tipis meski dalam hatinya diam-diam
berkata. "Aku pernah melihat bagaimana
manusia satu ini menghabisi
lawan-lawannya. Ilmunya sangat tinggi.
Tapi aku tak akan mundur, permintaan
gilanya itu tak mungkin kuturuti karena
aku sendiri tak tahu segala macam
petunjuk tentang apa yang dikatakannya!"
laki-laki berpakaian selempang putih ini
lantas berkata.
"Hantu Makam Setan.... Ternyata
kedatanganmu tidak beda dengan beberapa
orang sebelumnya. Dengarlah. Kau salah
alamat jika minta petunjuk itu padaku,
karena aku sendiri tak tahu-menahu
tentang segala macam pedang mustika!" '
Tiba-tiba Hantu Makam Setan tertawa
bergelak. Puas tertawa laki-laki
berhidung sebelah ini memandang nyalang
pada Malaikat Lembah Hijau. Didahului
hendusan napas berat, dia berujar
sengau.
"Mulutmu boleh berdalih dengan
segala macam alasan. Namun kau harus
tahu, hai itu akan membawamu berkalang
tanah sebelum waktunya!"
"Hmm.... Begitu? Sayang sekali...,"
gumam Malaikat Lembah Hijau, membuat
Hantu Makam Setan kernyitkan tulang
dahinya.
"Apanya yang sayang?!" tanya Hantu
Makam Setan minta penjelasan.
Malaikat Lembah Hijau mendehem
beberapa kali. Lalu memandang jauh
seraya berkata datar.
"Aku tak pernah memikirkan kapan aku
akan mati. Karena hal itu pasti akan
datang dan terjadi padaku, juga padamu!
Juga aku tak pernah menduga-duga apa yang
akan menyebabkan aku mati, juga lantaran
siapa aku akan mati!" Malaikat Lembah
Hijau sejenak hentikan ucapannya.
Setelah sesaat menarik napas dalam-dalam
dia melanjutkan ucapannya.
"Jadi kau salah ucap jika
mengancamku dengan segala macam
kematian! Karena aku telah siap meng-
hadapi hal itu!"
"Keparat!" maki Hantu Makam Setan
dengan tulang-tulang wajah
bergerak-gerak. Kedua tangannya
bergerak mengembang keluarkan suara
gemeretakan.
"Bandung Bandawangsa! Sekali lagi
kuperingatkan. Cepat serahkan apa yang
kuminta atau guratan hidupmu akan
selesai malam ini!"
"Sudah kukatakan, kau salah alamat
Hantu Makam Setan! Aku tak memiliki apa
yang kau minta! Dan jangan memaksaku!"
Batas kesabaran Hantu Makam Setan
telah pupus. Kedua tangannya diangkat ke
atas kepala.
"Rupanya kau lebih suka jalan
kekerasan. Terimalah kemauanmu.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Kedua tangan Hantu Makam Setan
bergerak menghantam ke depan dengan
telapak mengembang.
Gelombang angin segera menderu
kencang dengan keluarkan suara laksana
topan.
Di seberang, Malaikat Lembah Hijau
cepat menyingkir dengan melompat ke
samping, membuat serangan pembuka itu
lewat sejengkal di samping bahunya.
Hantu Makam Setan tidak membutuhkan
tempo lagi. Laki-laki ini tampaknya tak
mau memberi kesempatan. Begitu tahu
serangan awalnya dapat dielakkan, dia
segera berkelebat dengan
berputar-putar. Tubuhnya mendadak
berubah menjadi bayang-bayang.
Malaikat Lembah Hijau tak mau ambil
resiko. Dia maklum orang yang dihadapi
kali ini tidak bisa dianggap main-main.
Laki-laki ini segera putar-putar kedua
tangannya, hingga saat itu juga tubuhnya
seakan terlindungi oleh deru angin yang
keluar dari dua tangannya.
Tiba-tiba bayang-bayang Hantu Makam
Setan merangsek dan serta-merta kedua
tangannya berkelebat menghantam ke arah
pinggang dan dada Malaikat Lembah Hijau.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali benturan keras.
Disusul dengan terdengar seruan tertahan
dua kali berbarengan. Malaikat Lembah
Hijau terlihat terseret satu langkah ke
belakang, sementara Hantu Makam Setan
melompat mundur. Namun tiba-tiba saja
Hantu Makam Setan telah sentakkan
kembali bahunya, hingga tubuhnya kembali
melesat ke depan.
Malaikat Lembah Hijau segera
lintangkan kedua tangannya di depan dada
untuk menangkis serangan lawan. Namun
baru saja tangannya melintang, tendangan
Hantu Makam Setan telah menggebrak
deras!
Bersamaan dengan itu kedua
tangannya lepaskan pukulan tangan kosong
bertenaga dalam kuat!
Malaikat Lembah Hijau yang mengira
hanya akan menerima serangan tendangan
terkejut besar. Dia tak menduga sama
sekali jika lawan juga akan lancarkan
pukulan dengan kedua tangannya. Namun
kesadarannya telah terlambat. Hingga
meski dia mampu menahan tendangan malah
sempat menghantam salah satu kaki lawan,
namun serangan tangan kosong lawan tak
bisa dipapak. Hingga kejap itu juga
tubuhnya terpelanting sampai dua tombak
ke belakang dan terjerembab!
Di lain pihak, Hantu Makam Setan
mengeluh tinggi karena kaki kanannya
seakan dihantam batu besar. Tubuhnya
terseret ke samping dan terbanting di
atas tanah! Laki-laki berparas
menyeramkan ini segera bangkit dan
langsung meneliti kaki kanannya. Bola
matanya seketika liar dan
berkilat-kilat. Kaki kanannya ternyata
telah bengkak besar dan kemerah-merahan.
Dia segera salurkan hawa murninya pada
kaki kanannya, karena selain bengkak,
terasa panas bukan alang kepalang!
Di depan sana, Malaikat Lembah Hijau
terlihat mengerang. Dan perlahan-lahan
merambat bangkit. Paras mukanya berubah
pucat pasi. Tubuhnya bergetar keras.
Keringat telah membasahi sekujur
tubuhnya, karena sebelum bergerak
bangkit, laki-laki ini telah kerahkan
tenaga dalamnya untuk mengatasi denyutan
nyeri pada ulu hatinya dan pangkal
bahunya yang terasa hendak lepas akibat
pukulan tangan Hantu Makam Setan.
Melihat lawan terkena hantamannya
dan kini telah bangkit lagi, Hantu Makam
Setan segera kerahkan kembali tenaga
dalamnya. Dan sekonyong-konyong kedua
tangannya ditarik ke belakang. Didahului
bentakan keras dan sengau, kedua
tangannya dihantamkan ke depan.
Sinar hitam pekat melesat cepat dari
kedua tangan Hantu Makam Setan.
Bersamaan dengan itu sinar cahaya
rembulan seakan tertutup, hingga untuk
beberapa saat lamanya tempat itu gelap
gulita! Inilah pukulan sakti andalan
Hantu Makam setan, yakni pukulan 'Bara
Hitam'.
Mendapati lawan lancarkan pukulan
yang membahayakan, Malaikat Lembah Hijau
segera takupkan kedua tangannya, lalu
diangkat di depan kepala. Sesaat
kemudian kedua tangannya dibuka dan
langsung didorong dengan tarik sebelah
kakinya sedikit ke belakang.
Dua berkas sinar hijau segera
menyambar keluar dari kedua tangan
Malaikat Lembah Hijau. Bersamaan dengan
itu cahaya hijau juga melingkupi tempat
itu. Hingga untuk sesaat lamanya tempat
itu dihiasi warna hitam dan hijau!
Bummm!
Terdengar ledakan dahsyat tatkala
sinar hitam dan hijau itu bentrok di
udara. Tempat itu berkelap-kelip
diterangi pijar api hitam dan hijau.
Tanah terlihat terbongkar dan muncrat di
udara.
Sosok Muka Iblis dan Setan Neraka
yang telah kaku jadi mayat terpental dan
jatuh terhumbalang sampai beberapa
tombak! Datuk Darah sendiri mencelat ke
samping dan jatuh telungkup. Seraya
mengerang dan memaki, laki-laki ini
segera merangkak mendekat pada sebuah
pohon. Dengan bantuan akar-akar pohon,
laki-laki ini akhirnya bisa bergerak
bangkit dan bersandar dengan napas
megap-megap dan meringis, karena dadanya
terasa sangat sakrt!
Begitu pemandangan terang kembali,
Hantu Makam Setan tampak tertatih-tatih
bangun. Dia terhuyung-huyung sejenak,
namun segera dapat diatasi. Tangannya
lalu mengusap dadanya dan mulutnya yang
tampak keluarkan darah.
Setelah dapat menguasai peredaran
darahnya, Hantu Makam Setan arahkan
pandangannya pada Malaikat Lembah Hijau.
Malaikat Lembah Hijau sendiri
tampak berdiri dengan kaki agak goyah.
Dari mulut dan hidungnya mengucur darah.
Kedua tangannya bergemetaran hebat.
Sementara sepasang matanya tampak
menyipit.
"Hmm.... Aku tak mungkin meneruskan
pertarungan ini. Bukannya aku takut.
Namun aku mau menyelidiki dahulu tentang
diriku. Kalau orang-orang rimba persi-
latan selalu mengejar-ngejar diriku dan
menanyakan tentang senjata mustika,
bukan tak mungkin semua itu benar adanya.
Tapi.... Herannya aku sendiri tak merasa
menyimpan petunjuk itu. Hmm.... Aku
harus menemui seseorang yang dapat
membuka tabir ini!"
Berpikir demikian, tanpa membuang
tempo lagi, Malaikat Lembah Hijau segera
putar tubuhnya dan berkelebat
meninggalkan tempat itu.
"Haram jadah! Hendak lari ke mana
kau bangsat!" teriak Hantu Makam Setan.
Tanpa pikir panjang lagi dia. cepat
berkelebat mengejar Malaikat Lembah
Hijau, hingga dia lupa akan urusannya
dengan Datuk Darah. Membuat Datuk Darah
menghela napas panjang lega.
Datuk Darah segera bergerak
bangkit, memandang sejurus pada sosok
mayat Muka Iblis, saudara
seperguruannya. Dadanya makin sesak.
Namun pelipisnya bergerak-gerak menahan
gejolak amarah. Dengan langkah gontai
dia akhirnya meninggalkan tempat itu.
Namun dapat sepuluh langkah dia
balikkan tubuh lagi. Memandang kembali
ke arah mayat Muka Iblis. Tanpa sadar
terlontar lepas ucapannya.
"Saudaraku Muka Iblis.... Segala
kejadian ini tak akan pernah selesai
sebelum aku dapat melunasi orang yang
menewaskanmu" lalu kepalanya tengadah.
Sepasang matanya menatap bundaran bulan
di langit.
"Malaikat Lembah Hijau! Malam ini
kau berhutang satu nyawa padaku! Saatnya
kelak akan kutagih nyawa kematian itu!
***
EMPAT
MALAIKAT Lembah Hijau kerahkan
segenap ilmu peringan tubuhnya agar bisa
berkelebat lebih kencang. Dia menuju
arah timur. Begitu sampai perbatasan
hutan, tiba-tiba dia hentikan larinya.
Sepasang matanya menangkap dua ekor kuda
ditambatkan pada batang pohon. Kuda-kuda
ini bukan lain adalah kuda milik Muka
Iblis dan Datuk Darah yang sengaja mereka
tinggalkan sebelum memasuki hutan.
Merasa tenaganya tidak memungkinkan
untuk terus berlari, begitu melihat
kuda, tanpa pikir panjang lagi Malaikat
Lembah Hijau cepat mengambil salah
satunya. Dan dengan sigap dia segera
memacu kuda itu terus menuju ke arah
timur.
Baru saja Malaikat Lembah Hijau
berlalu, Hantu Makam Setan telah pula
sampai di mana ada kuda tertambat.
Sejenak dia mengarahkan pandangannya
iurus ke depan. Lamat- lamat dia masih
dapat mendengar hentakan-hentakan kuda
yang berlari ke arah timur.
"Hmm.... Pasti dia yang menghela
kuda itu!" gumamnya seraya lepaskan
ikatan kuda. Seraya memaki panjang
pendek laki-laki berhidung sebelah ini
segera pula memacu kuda menuju arah
timur. Tangan kirinya memegang tali kuda
sementara tangan kanannya memukul
punggung sang kuda, hingga binatang itu
melesat kencang dengan sesekali
keluarkan ringkikan keras.
Karena malam semakin larut dan makin
sepi, membuat hentakan ladam kuda
Malaikat Lembah Hijau dapat dengan jelas
ditangkap telinga Hantu Makam Setan, ini
mengakibatkan tak ada kesulitan bagi
laki-laki berhidung sebelah ini untuk
mengetahui arah yang diambil Malaikat
Lembah Hijau.
Hal ini rupanya segera disadari oleh
Malaikat Lembah Hijau, karena meski dia
mencoba jalan berputar, di belakangnya
masih terdengar ladam kuda yang terus
mengikutinya. Meski Malaikat Lembah
Hijau belum tahu siapa adanya orang yang
di belakangnya, tapi dia yakin orang yang
mengejarnya adalah Hantu Makam Setan.
"Sebaiknya kutinggalkan tempat
ini!" batin Malaikat Lembah Hijau seraya
terus memandang ke depan. Ketika sampai
pada suatu tempat yang banyak ditumbuhi
pohon-pohon besar yang berjajar, serta
merta Malaikat Lembah Hijau hentakkan
kedua tangannya ke punggung kuda dengan
keras, bersamaan dengan itu tubuhnya
melesat dan menyelinap.
Kuda tunggangannya meringkik keras
karena kaget. Karena hentakan kedua
tangan Malaikat Lembah Hijau bukan
hentakan biasa, maka rasa sakit pada
punggungnya, membuat binatang itu terus
meringkik keras-keras, namun bersamaan
dengan itu kuda itu melesat lebih kencang
tanpa penunggang!
Di belakang, Hantu Makam Setan terus
memacu kuda tunggangannya. Tangan
kanannya tak henti-hentinya memukul,
sementara dari mulutnya terdengar makian
dan sumpah serapah.
"Binatang keparat! Apa kau tak bisa
berlari lebih kencang lagi? Binatang
jahanam! Larimu seperti kuda bunting
saja! Ayo.... Heyaaa...!"
Menduga kuda di depannya masih
dengan penunggang, Hantu Makam Setan
terus memacu ke mana suara kuda di
depannya berlari. Sepasang matanya juga
tak lepas memperhatikan jejak-jejak kaki
kuda di tanah untuk memperkuat arah
larinya kuda yang dikejar.
Begitu Hantu Makam Setan telah lewat
dan suara ladam-ladam kuda semakin
sayup-sayup menjauh, Malaikat Lembah
Hijau menarik napas lega. Lalu melangkah
keluar dari tempat persembunyiannya.
Sejenak dia memandang ke arah
jurusan berlarinya kuda tunggangan Hantu
Makam Setan. Setelah kembali menarik
napas dalam-dalam dan mengurut dadanya,
laki-laki berpakaian selempang putih ini
putar tubuhnya hendak berkelebat. Namun
langkahnya tertahan, karena bersamaan
dengan itu terdengar suara orang menegur
seraya tertawa perlahan namun merdu.
"Bandung Bandawangsa.... Kau
rupanya cerdik juga mengelabui orang!"
Darah Malaikat Lembah Hijau
serentak seakan tersirap. Dengan dada
makin berdebar menindih rasa terkejut,
dia segera berpaling ke arah datangnya
suara teguran.
Kedua kaki Malaikat Lembah Hijau
tanpa sadar surut dua tindak ke belakang.
Sepasang matanya menyipit dan
membelalak. Dahinya mengernyit dengan
mulut terkancing rapat.
Lima belas langkah di hadapannya
terlihat seorang perempuan tegak berdiri
dengan tangan kiri memegang tali kekang
kuda. Sementara kepala kudanya
dielus-elus dengan tangan kanannya.
Sesaat kemudian, si perempuan berpaling
memandang ke arah Malaikat Lembah Hijau.
Dia adalah seorang perempuan
berusia kira-kira tiga puluh lima tahun.
Parasnya cantik dengan kulit putih.
Sepasang matanya bulat dengan bulu mata
lentik. Rambutnya panjang dan dibiarkan
bergerai. Mengenakan pakaian warna biru
tipis dengan bagian dada dibuat rendah,
hingga setengah dari payudaranya jelas
terlihat menyembul menantang.
Sejurus Malaikat Lembah Hijau
menghela napas melihat lembah buah dada
perempuan cantik itu. Namun dia segera
mengalihkan pandangannya, membuat si
perempuan tertawa perlahan. Lalu
melepaskan tali kekang kudanya dan
melangkah mendekat ke arah Malaikat
Lembah Hijau. Malaikat Lembah Hijau
surutkan lagi langkahnya ke belakang,
membuat si perempuan tertawa makin
panjang dan agak keras.
"Dewi Asmara...," desis Malaikat
Lembah Hijau. "Apakah.... Apakah dia
juga mempunyai tujuan seperti
orang-orang yang mengejarku saat ini?!
Hmm.... Tak kusangka. Pasti dia sengaja
menghadang di sini. Dia mendengar kuda
yang kutunggangi, lalu menyelinap
bersembunyi...."
"Bandung Bandawangsa.... Lama kita
tak bersua. Bagaimana keadaanmu...?" si
perempuan menyapa berbasa-basi. Dia
terus melangkah pelan-pelan mendekat.
Malaikat Lembah Hijau tidak segera
menyambuti sapaan si perempuan. Dia
hanya tegak mematung dengan mata kembali
memandang ke arah si perempuan.
"Aha.... Apa yang terjadi dengan
dirimu? Apakah kau terkejut dengan
pertemuan tak disengaja ini? Atau kau
telah kurang pendengaran?!" ujar si
perempuan dengan bibir sunggingkan
senyum.
Sadar akan teguran orang, Malaikat
Lembah Hijau segera sunggingkan senyum,
meski dalam hati masih bertanya-tanya
dan tak mempercayai jika pertemuan ini
tak disengaja.
"Dewi Asmara...," ujar Malaikat
Lembah Hijau. "Aku senang bisa bertemu
denganmu. Hendak ke manakah kau
sebenarnya malam-malam begini?!"
Si perempuan yang dipanggil dengan
Dewi Asmara sunggingkan senyum lagi.
Langkahnya dia hentikan lima tindak di
hadapan Malaikat Lembah Hijau. Sepasang
matanya yang bulat memperhatikan
laki-laki di hadapannya dari atas hingga
bawah.
"Dia tampaknya sudah terluka cukup
parah. Pasti akibat bentrok dengan Hantu
Makam Setan yang berhasil dikelabuinya
tadi.... Hm.... Ini kesempatan baik
buatku. Kalau dia melawan, tenaganya
pasti tidak utuh lagi." Setelah membatin
begitu, Dewi Asmara buka mulut.
"Bandung Bandawangsa.... Kulihat
kau terluka. Apa sebenarnya yang terjadi
dengan dirimu?!"
Malaikat Lembah Hijau gelengkan
kepalanya periahan. Diam-diam dalam hati
dia berkata. "Dia mengalihkan
pembicaraan. Aku tak akan berterus
terang dengan apa yang baru saja terjadi.
Aku secepatnya harus tinggalkan tempat
ini. Bukan mustahil Hantu Makam Setan
akan kembali lagi...."
"Dewi Asmara.... Terima kasih kau
memperhatikan keadaan diriku. Namun aku
tak bisa mengatakan apa yang kau
tanyakan, dan karena masih ada yang harus
kuselesaikan, maka aku harus segera
pergi. Semoga suatu hari nanti kita bisa
bertemu lagi dan bisa ngobrol banyak."
Habis berkata begitu, Malaikat
Lembah Hijau putar tubuhnya dan hendak
tinggalkan tempat itu. Namun niatnya
tertahan ketika tiba-tiba saja Dewi
Asmara keluarkan suara tawa dan berkata
agak keras.
"Bandung Bandawangsa.... Aku telah
melakukan perjaianan panjang untuk
mencarimu. Kalau kau punya sesuatu yang
harus kau selesaikan silakan saja, tapi
kuharap kau mau berbaik hati menyerahkan
apa yang kuminta!"
"Hm.... Jadi dia juga punya maksud
seperti orang-orang itu...," desis
Malaikat Lembah Hijau dengan tangan
gemetar dan segera putar lagi tubuhnya
menghadap Dewi Asmara. "Sialan benar.
Berarti berita tentang diriku ini bukan
rahasia lagi. Hidupku benar-benar di
ujung tanduk. Aku harus secepatnya
menemui seseorang yang kukira dapat
membuka tabir rahasia ini, dan untuk
sementara harus mengurung diri.... Ah,
betapa sialnya diriku...."
"Bandung Bandawangsa...," kata Dewi
Asmara dengan busungkan dadanya, membuat
Malaikat Lembah Hijau cepat-cepat
alihkan pandangan. Karena perempuan di
hadapannya tampaknya sengaja memancing
gejolaknya, selain itu Bandung
Bandawangsa sendiri telah tahu bahwa
Dewi Asmara adalah seorang perempuan
yang suka bermain cinta dengan siapa saja
meski tak dapat disangkal jika perempuan
yang masih tampak cantik dan bertubuh
mempesona itu memiliki tingkat
ketinggian ilmu yang sukar dicari
tandingnya, hingga tak heran jika
kalangan rimba persilatan menggelarinya
dengan Dewi Asmara.
"Bagaimana? Kau tak keberatan
dengan permintaanku bukan?! Atau kau
ingin imbalan?! Katakan terus terang....
Aku siap melayanimu bahkan hingga
beberapa malam. Hik.... Hik.... Hik...!"
Habis tertawa, Dewi Asmara tampak
tengadahkan kepala seolah ingin
menunjukkan kejenjangan lehernya.
Mulutnya dibuka setengah menganga
sementara sepasang matanya dipejamkan.
Lidahnya dikeluarkan dijilatkan
berputar di bibirnya.
Malaikat Lembah Hijau yang kini
telah memandang lagi ke arah Dewi Asmara
mau tak mau bergetar juga hatinya.
Jakunnya bergerak turun naik sementara
sepasang matanya mulai merah pertanda
gejolak mulai menjalari tubuhnya. Namun
mendadak saja laki-laki ini sadar dan
buru-buru alihkan pandangan.
"Astaga! Seperti kukatakan pada
orang-orang sebelumnya yang juga meminta
sesuatu dariku, sebenarnya kau dan juga
orang-orang itu termakan kabar dusta.
Aku tak memiliki petunjuk apa-apa
tentang adanya pedang mustika itu!"
"Begitu?! Boleh aku membuktikan
ucapanmu?!" tanya Dewi Asmara masih
dengan senyum menggoda. Malah dia
sengaja menarik napas dalam dan panjang,
hingga dadanya yang membusung menantang
itu bergerak-gerak menggemaskan.
Malaikat Lembah Hijau sedikit
terkejut mendengar pertanyaan Dewi
Asmara. Dengan dahi mengernyit laki-laki
ini balik ajukan tanya.
"Bagaimana kau akan
membuktikannya?!"
Dewi Asmara melangkah satu tindak.
Sepasang matanya menatapi sekujur tubuh
Malaikat Lembah Hijau, membuat laki-laki
ini makin mengernyit tak mengerti.
Tiba-tiba Dewi Asmara tertawa pendek dan
berkata.
"Lepas seluruh pakaian yang kau
kenakan!" sejenak Dewi Asmara hentikan
ucapannya, lalu menyambung. "Kau tak
usah khawatir. Di sini hanya kita
berdua!"
Paras muka Malaikat Lembah Hijau
berubah merah padam dan panas. Mulutnya
komat-kamit namun tak ada suara yang
terdengar jelas.
"Gila. Perempuan ini benar-benar
tak tahu peradatan. Tak mungkin aku
menuruti permintaan gila ini!"
"Dewi Asmara. Kau jangan bercanda.
Aku tak bisa memenuhi permintaanmu itu!"
kata Malaikat Lembah Hijau seraya
rapikan pakaiannya.
Air muka Dewi Asmara berubah
seketika. Sepasang matanya mendelik,
dari hidungnya terdengar dengusan.
"Jika begitu berarti kau dusta
dengan ucapanmu!" kali ini suara Dewi
Asmara terdengar keras.
"Terserah kau mau bilang apa. Yang
pasti aku tak dapat menuruti permintaan
gila itu! Aku harus pergi sekarang!"
Namun sebelum Malaikat Lembah Hijau
sempat bergerak, Dewi Asmara telah
melompat ke depan. Dan tahu-tahu kedua
tangannya telah melesat, satu mengarah
pada bahunya, satunya lagi menyergap ke
arah perut.
Malaikat Lembah Hijau yang sedari
tadi telah menangkap gelagat tidak baik
yang membuatnya bertindak waspada,
segera mundur dua langkah, hingga
lesatan kedua tangan Dewi Asmara hanya
membabat tempat kosong. Namun demikian,
angin samba ran tangannya mampu membuat
tubuh Malaikat Lembah Hijau terdorong ke
belakang. Hal ini makin menyadarkan
Malaikat Lembah Hijau jika perempuan di
hadapannya mempunyai tenaga dalam sangat
tinggi!
Mendapati orang bisa mengelak dari
lesatan tangannya Dewi Asmara marah
besar. Kedua tangannya segera disatukan
di depan dada, sepasang kakinya sedikit
menekuk dan perlahan-lahan kaki kanannya
ditarik ke belakang. Sekonyong-konyong,
perempuan ini dorong kedua tangannya ke
depan.
"Beeettt! Beeettt!
Dua berkas sinar melesat ke luar. Di
tengah jalan sinar itu mengembang lalu
menyergap Malaikat Lembah Hijau dari
segala jurusan!
Malaikat Lembah Hijau sedikit
terkesiap juga meski sesaat. Dan
buru-buru melompat mundur, lalu
hantamkan kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua berkas sinar hijau membersit.
Suasana mendadak berubah menjadi
kehijauan.
Bummm!
Sinar yang mengembang dan menyergap
ke arah Malaikat Lembah Hijau ambyar
berhamburan begitu terpapak sinar hijau.
Baik Dewi Asmara maupun Malaikat Lembah
Hijau sama-sama perdengarkan suara
tegang. Sosok keduanya terlihat tersurut
ke belakang hingga beberapa langkah.
Malah mungkin karena sudah terluka,
Malaikat Lembah Hijau tampak
terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh
berlutut dengan bahu berguncang dan
kedua tangan bergemetaran keras! Di
seberang, Dewi Asmara bisa segera kuasai
tubuh, hingga meski sempat terseret,
namun tak sampai terjatuh. Meski
demikian, paras mukanya tampak berubah.
Dadanya bergetar hingga buah dadanya
berguncang-guncang. Dan ketika matanya
memperhatikan, perempuan cantik ini
membelalak. Pakaian yang dikenakannya
robek dan hangus di bagian lengan.
"Jahanam! Terimalah kematianmu,
Bandung Bandawangsa!" teriak Dewi Asmara
lantang. Tubuhnya lantas berkelebat.
Malaikat Lembah Hijau segera
bergerak bangkit. Belum sampai tubuhnya
benar-benar tegak, tendangan kaki Dewi
Asmara telah melabrak mengarah pada
kepalanya.
Dengan menindih rasa sakit pada
sekujur tubuh, Malaikat Lembah Hijau
segera rebahkan tubuh dengan punggung
sejajar tanah. Tendangan kaki Dewi
Asmara lewat sejari telunjuk di depan
kepalanya dan menghajar angin. Saat
Itulah Malaikat Lembah Hijau gaetkan
kaki kanannya pada kaki kiri Dewi Asmara
yang dipakai untuk tumpuan kekuatan
tubuhnya.
Seeettt!
Bukkk!
Dewi Asmara menjerit tinggi,
tubuhnya terbanting deras ke atas tanah!
Malaikat Lembah Hijau tak sia-siakan
kesempatan. Dia segera bergerak bangkit.
Namun tanpa diduga sama sekali, Dewi
Asmara gulingkan tubuhnya dua kali, dan
serta-merta kedua tangannya segera
dihantamkan!
Sinar yang mengembang kembali
melabrak kearah Malaikat Lembah Hijau.
Begitu cepatnya lesatan serangan itu
serta karena jaraknya sudah dekat, maka
tak ada jalan lain bagi Malaikat Lembah
Hijau selain menangkis serangan, meski
hal itu amat beresiko bagi dirinya,
karena tenaganya sudah terkuras juga
tubuhnya telah cidera bagian dalam. Tapi
kalau tidak ditangkis, maka tubuhnya
akan terhantam telak dan tidak mustahil
akan membuat nyawanya putus. Sadar akan
keadaan demikian, Malaikat Lembah Hijau
cepat pukulkan kedua tangannya.
Untuk kedua kalinya terdengar
ledakan dahsyat. Sosok Dewi Asmara
mencelat mental dan terkapar lagi di atas
tanah. Parasnya makin pias. Tapi
perempuan ini segera katupkan sepasang
matanya, alihkan tenaga mumi pada
sekujur tubuhnya yang terasa ngilu.
Di seberang, Malaikat Lembah Hijau
terpelanting. Karena sudah tak bisa
kuasai gerak tubuhnya, dan menduga
tubuhnya akan menghantam jajaran pohon
yang ada di belakangnya, Malaikat Lembah
Hijau pejamkan sepasang matanya. Namun
bersamaan dengan itu telinganya
menangkap ringkihan kuda. Dan tiba-tiba
tubuhnya menumbuk benda keras namun
empuk.
Begitu tubuhnya tersuruk, Malaikat
Lembah Hijau segera buka kelopak
matanya. Tak jauh di sebelahnya terlihat
kuda tunggangan Dewi Asmara
berputar-putar. Selain kaget karena
bentroknya dua pukulan juga terkejut
karena tertumbuk tubuh Malaikat Lembah
Hijau yang terpelanting.
Tanpa membuang kesempatan, Malaikat
Lembah Hijau segera tertatih-tatih
bangkit. Dengan sisa-sisa tenaganya
laki-laki ini segera melangkah cepat ke
arah kuda Dewi Asmara. Tanpa menoleh
lagi, Malaikat Lembah Hijau melesat naik
dan berpacu meninggalkan tempat itu.
Bersamaan dengan itu, Malaikat
Lembah Hijau sayup-sayup mendengar
hentakan ladam langkah-langkah kaki kuda
menuju ke arahnya. Menduga bahwa kuda itu
ditunggangi Hantu Makam Setan, laki-laki
ini segera pukul punggung kuda
tunggangannya dengan keras hingga kuda
tunggangannya berlari kencang.
Di lain pihak, begitu mendengar
langkah-langkah kaki kuda, Dewi Asmara
buka kelopak matanya. Dari mulutnya
segera terdengar makian panjang pendek.
"Keparat! Hendak lari ke mana kau
bangsat?!" bersamaan itu kepalanya
berpaling, ekor matanya masih dapat
menangkap kudanya yang membawa lari
Malaikat Lembah Hijau. Serta-merta kedua
tangannya segera dipukulkan.
Seberkas sinar menggebrak dengan
keluarkan deru dahsyat. Namun terlambat,
karena Malaikat Lembah Hijau telah lebih
dahulu berkelebat bersama kuda
tunggangannya.
Pukulan Dewi Asmara terus melesat
sebelum akhirnya menghantam sebuah
pohon. Pohon itu langsung berderak
tumbang!
"Setan alas! Jangan kira kau bisa
lolos dari tanganku, Bandung
Bandawangsa!" teriak Dewi Asmara seraya
bergerak bangkit dan berkelebat ke arah
berpacunya Malaikat Lembah Hijau. Tapi
gerakannya tertahan, karena dari arah
samping terdengar ringkihan kuda yang
dihentikan mendadak. Secepat kilat Dewi
Asmara berpaling. Sepasang matanya
mendelik besar dengan langkah kaki
tersurut ke belakang. Dadanya yang
membusung dan tampak turun naik karena
geram melihat lawan melarikan diri,
terlihat makin bergerak-gerak.
"Hantu Makam Setan...," desis Dewi
Asmara begitu mengenali siapa adanya si
penunggang kuda.
Sang penunggang yang bukan lain
memang Hantu Makam Setan adanya sejurus
menatap tajam pada Dewi Asmara. Lalu
memandang berkeliling. Dari sekilas
memandang, laki-laki berhidung sebelah
ini sudah dapat menduga jika baru saja
terjadi pertempuran di tempat itu.
"Waktu aku lewat tadi tak ada orang
lain di sini. Pasti keparat itu
bersembunyi di sini lalu membiarkan
kudanya berlari sendirian untuk
mengelabuiku. Lantas datang perempuan
ini. Dan terjadi bentrok.... Lamat-lamat
aku menangkap hentakan kaki kuda, apakah
keparat itu berhasil melarikan diri
lagi...?!" Hantu Makam Setan
menduga-duga dalam hati. Lalu berkata
dengan suara agak keras.
"Mana dia?!"
"Siapa yang kau maksud dengan dia?!"
Dewi Asmara balik bertanya dengan suara
tak kalah kerasnya, membuat Hantu Makam
Setan membeliak dengan mulut
komat-kamit. Seraya menahan rasa marah,
laki-laki ini menghardik.
"Setan! Kau masih saja
berpura-pura. Mana keparat si Bandung
Bandawangsa itu?!"
Meski tahu bahwa laki-laki di
hadapannya adalah seorang tokoh yang
tidak asing lagi dalam rimba persilatan,
namun dibentak demikian rupa mau tak mau
membuat Dewi Asmara naik pitam. Seraya
tersenyum sinis, perempuan berparas
cantik ini alihkan pandangannya sambil
keluarkan suara garang.
"Kau punya mata, apakah kau lihat di
sini?!" Tulang-rulang rahang Hantu Makam
Setan terangkat. Gerahamnya saling
beradu keluarkan suara menggidikkan.
Namun mungkin terpancang pada Malaikat
Lembah Hijau, dan khawatir jika orang
yang lama dicarinya itu akan lolos begitu
saja, yang berarti perjalanan dan
pencariannya akan sia-sia, laki-laki ini
segera putar kudanya setengah lingkaran.
"Melihat jejak-jejak kaki kuda,
pasti perempuan ini datang dengan
membawa kuda. Dan dia berhasil dikelabui
keparat itu. Hmm.... Aku harus segera
mengejarnya!"
Tanpa menoleh lagi pada Dewi Asmara,
Hantu Makam Setan segera tarik kekang
kuda tunggangannya. Namun gerakan
tangannya tertahan ketika didengarnya
Dewi Asmara berseru.
"Tunggu!"
Dewi Asmara langsung berkelebat dan
berdiri tegak di samping Hantu Makam
Setan. Perempuan ini tampak ragu-ragu
sebentar. Memandang lekat-lekat pada
Hantu Makam Setan.
"Manusia ini mukanya sangat
menjijikkan. Namun apa boleh buat. Untuk
sementara aku harus dapat merangkulnya.
Jika tidak buruan itu pasti akan lenyap!
Akan kubohongi dia, bahwa sebenarnya aku
tidak tertarik dengan kabar senjata
pedang mustika yang kini petunjuknya ada
di tangan Bandung Bandawangsa. Tapi
punya urusan lain...."
Berpikir begitu, Dewi Asmara lantas
angkat bicara. Sementara Hantu Makam
Setan menunggu. di atas kudanya tanpa
berpaling.
"Sobatku, Hantu Makam Setan....
Harap kau suka memaafkan sikapku yang
kasar tadi. Karena saat itu aku masih
geram dengan laki-laki keparat itu!"
Hantu Makam Setan menyambuti ucapan
Dewi Asmara dengan dengusan sengau.
Tanpa berpaling dia berucap.
"Aku tak punya waktu banyak. Katakan
apa maksudmu sebenarnya menahanku!"
"Kau mencari Bandung Bandawangsa
bukan?!"
"Pertanyaan itu tak pada tempatnya
kau ucapkan! Kau membuang- buang waktu
saja!"
Meski dalam hati mengumpat
habis-habisan, namun perempuan cantik
ini masih bisa menahannya. Seraya
tersenyum dan berujar.
"Aku tahu ke mana Bandung
Bandawangsa pergi!"
"Kau baru saja bentrok dengannya
bukan?!" dengus Hantu Makam Setan masih
tanpa berpaling ke arah Dewi Asmara.
"Betul. Tapi urusanku adalah
persoalan dendam!" jawab Dewi Asmara
dengan langsung katakan alasannya.
Hantu Makam Setan menoleh kearah
Dewi Asmara. Karena Dewi Asmara berada di
bawahnya, maka dari punggung kudanya
sepasang mata Hantu Makam Setan dengan
jelas dapat menangkap busungan buah dada
yang menyembul putih menantang milik
Dewi Asmara, membuat laki-laki Ini
sejenak menghela napas panjang dan
membelalak tak berkedip. Dadanya
berdebar keras. Namun wajahnya buru-buru
dipalingkan ketika Dewi Asmara mendongak
menatap ke arahnya.
"Aku tahu. Kau juga punya urusan
dengan Bandung Bandawangsa. Bagaimana
kalau kita mengejarnya bersama-sama?!"
Hantu Makam Setan tidak segera
menjawab. Dalam hati diam-diam laki-laki
ini berkata. "Ucapan perempuan ini tidak
sepenuhnya bisa dipercaya. Namun kalau
dia memang benar-benar tahu ke mana arah
perginya keparat itu, tidak ada salahnya
jika aku bekerja sama."
"Hantu Makam Setan...," kata Dewi
Asmara menyambungi ucapannya karena
Hantu Makam Setan tidak menjawab
pertanyaannya. "Seperti ucapanmu, waktu
kita tidak banyak. Sebelum orang yang
kita kejar lenyap tiada rimbanya kau
harus cepat ambil keputusan!"
"Tapi...," Hantu Makam Setan
terlihat ragu-ragu.
Dewi Asmara tersenyum melihat
kebimbangan di wajah Hantu Makam Setan.
Rupanya perempuan ini dapat menebak apa
yang menjadikan laki-laki itu bimbang.
Masih dengan tersenyum, perempuan ini
berkata.
"Kau tak keberatan bukan kalau
kudamu itu kita tunggangi berdua?!"
Mungkin masih terkejut dengan
ucapan Dewi Asmara, lagi-lagi Hantu
Makam Setan tidak segera menjawab. Di
pihak lain, Dewi Asmara segera saja
lesatkan dirinya ke atas. Dan dengan
sigap, dia segera duduk di belakang Hantu
Makam Setan.
Hantu Makam Setan terkejut. Namun
keterkejutannya segera berubah tatkala
tanpa disengaja Dewi Asmara rapatkan
dadanya ke punggungnya. Lalu terdengar
bisikannya. "Kita tak punya waktu
banyak. Kita berangkat sekarang!"
Hantu Makam Setan masih coba
menguasai gejolak yang perlahan-lahan
merayapi tubuhnya. Tiba-tiba laki-laki
berhidung sebelah ini meloncat turun,
membuat Dewi Asmara terperangah. Dan
sebelum lenyap keterperangahan Dewi
Asmara, Hantu Makam Setan telah berkata.
"Kau yang dimuka. Bukankah kau yang
tahu kemana keparat itu pergi?!"
Habis berkata demikian, Hantu Makam
Setan melompat, sementara Dewi Asmara
geser sedikit tubuhnya ke depan.
"Bagaimana kau bisa mengetahui ke
mana bangsat itu pergi?!" tanya Hantu
Makam Setan begitu telah berada di
belakang Dewi Asmara.
"Selain kita ikuti jejak-jejak kaki
kuda tunggangannya, kuda yang
ditunggangi adalah kudaku. Aku hapal
betul baunya! Lagi pula kukira dia belum
terlalu jauh!"
"Hmm...," Hantu Makam Setan hanya
menyambuti dengan helaan napas panjang
dan dalam. Bukan karena mengerti ucapan
Dewi Asmara melainkan karena menahan
gejolak yang semakin membara akibat
tubuh depannya bersentuhan langsung
dengan pinggul Dewi Asmara yang besar dan
menggairahkan.
"Agar kuda ini tak merasakan beban
terlalu berat, kita harus kerahkan ilmu
peringan tubuh...," ujar Dewi Asmara
seraya tarik kekang tali kuda.
Sejenak kemudian kuda tunggangan
yang dinaiki dua orang itu telah berlari
kencang. Karena kedua penunggangnya
telah sama-sama kerahkan Ilmu peringan
tubuh masing-masing, membuat kuda itu
tak mengalami beban berat.
Bersamaan dengan melesatnya kuda,
samar-samar dari ufuk sebelah timur
cahaya kuning kemerah-merahan telah
menerangi jagat raya, pertanda sebentar
lagi sang mentari akan segera
menampakkan diri.
***
LIMA
MATAHARI baru saja unjuk diri dari
balik julangan Gunung Kinibalu. Langit
tampak cerah tanpa secuil pun awan
mengambang. Angin pagi berhembus semilir
menggantikan terpaan angin malam yang
dingin menusuk.
Di lereng gunung, dusun Kampung
Anyar tampak mulai terlihat tanda-tanda
kehidupan. Beberapa orang keluar rumah
masing-masing. Sebagian ada yang pergi
ke sawah, sebagian lagi ada yang
bergerombol menuju hutan untuk mencari
kayu bakar. Anak-anak berusia belasan
tahun pun tampak keluar rumah
masing-masing. Ada yang sekadar
main-main dan ada pula yang membantu
kedua orangtua mereka.
Di sudut dusun Kampung Anyar,
tepatnya pada sebuah rumah dari kayu yang
terletak berbatasan dengan jalan menuju
hutan, tampak dua orang sedang duduk
berhadap-hadapan di ruangan yang tidak
terlihat satu pun perabot rumah tangga.
Ruangan itu hanya dihiasi sebuah tikar
lusuh yang alasnya dari jerami kering.
Duduk di sebelah kanan menghadap ke
kiri adalah seorang laki-laki berusia
agak lanjut. Mengenakan pakaian warna
putih kusam dan lusuh. Rambutnya panjang
dan putih. Sepasang matanya telah sayu
karena digerogoti usia. Kulit sekujur
tubuhnya pun telah mengeriput.
Beberapa kali orang tua ini menghela
napas panjang seraya memandang seorang
anak laki-laki berusia kira-kira sepuluh
tahun yang duduk di hadapannya. Anak ini
berparas tampan, kulitnya kuning dengan
rambut hitam dan tebal. Kedua alis
matanya membentuk bagus. Sepasang
matanya tajam dengan dada bidang.
Setelah berdiam diri agak lama, si
orang tua batuk batuk beberapa kali, lalu
membuka mulut. Suaranya pelan namun
tegas.
"Joko.... Sebenarnya Paman tidak
perlu mengulang-ulang lagi apa yang
pernah Paman katakan padamu. Tapi karena
kau belum bisa memahami apa yang
dikatakan Paman, terpaksa Paman
mengulanginya lagi." Sejenak orang tua
hentikan ucapannya. Pandangannya
matanya yang sayu tak lepas memandang
lekat-lekat pada anak yang dipanggilnya
dengan sebutan Joko.
Sementara Joko sendiri hanya
menundukkan kepala. Hanya sesekali anak
ini melirik dan begitu ekor matanya
menumbuk pada mata orang yang
menyebutkan diri Paman, Joko segera
tundukkan wajahnya lagi.
"Joko.... Paman sudah sering
bilang. Kau jangan berbuat yang
tidak-tidak. Apa jadinya jika anak-anak
yang kau pukuli itu orangtuanya tidak
terima? Paman tahu, dalam hal ini
sebenarnya kau berada di pihak yang
benar, tapi setidak-tidaknya kau
memikirkan akibatnya...."
Tiba-tiba Joko gerakkan kepalanya
tengadah. Sepasang matanya yang tajam
menatap lurus ke mata pamannya.
"Paman.... Paman pernah bilang,
kebenaran harus dibela meski akibatnya
berat. Apakah aku salah jika melawan
anak-anak itu demi mempertahankan
milikku yang hendak mereka rampas? Aku
telah bersusah payah mencari kayu bakar
dan rumput. Tiba-tiba mereka menghadang
dan seenaknya saja hendak mengambilnya."
Mendengar ucapan Joko, si orang tua
menghela napas panjang. Dalam hati
diam-diam orang tua ini berkata. "Kau tak
beda dengan mendiang ayahmu.... Selalu
teguh pada pendirian. Sayang.... Ayah
ibumu telah meninggal dan tidak sempat
melihatmu tumbuh besar.... Ah...."
"Paman...," sambung Joko ketika
dilihatnya sang paman tidak menyambuti
kata-katanya. "Apakah tindakanku
salah?!"
Sang paman tidak segera menjawab.
Orang tua ini tampaknya masih
kebingungan untuk mencari kata yang
tepat bagaimana mengatakan apa yang ada
dalam benaknya agar dimengerti anak
sekecil Joko.
"Paman.... Paman sering cerita
tentang seorang tokoh silat hebat yang
berani mengadu nyawa demi me-bela
kebenaran. Apakah aku salah mengikuti
orang-orang yang sering Paman ceritakan
itu?!"
Sang paman tertawa perlahan
mendengar ucapan Joko.
"Joko.... Kau tak salah mengikuti
perbuatan tokoh-tokoh hebat itu. Tapi
kau harus tahu, siapa kau dan siapa
mereka! Mereka adalah orang-orang
berilmu tinggi yang sanggup menghadapi
akibat! Sedangkan kita...?"
"Aku akan belajar ilmu silat!"
tiba-tiba Joko menyahut. Nada suaranya
berapi-api, membuat sang paman kembali
tertawa. Tapi dalam hati kecilnya si
paman ini kagum akan semangat anak di
hadapannya ini.
"Paman. Apakah tokoh yang sering
Paman ceritakan itu masih hidup?!"
"Maksudmu tokoh yang mana? Paman
sering cerita tentang banyak tokoh
padamu."
Sejenak Joko kernyitkan dahi seolah
berpikir. Setelah agak lama anak ini
angkat bicara lagi.
"Yang paling sering Paman
ceritakan. Yang Paman sebut dengan nama
Pendeta Sinting."
Sang paman terdiam. Pandangannya
beralih ke luar ruangan, Memandang jauh.
Lalu berkata dengan suara pelan.
"Joko.... Sebenarnya apa yang Paman
ceritakan padamu itu juga di peroleh dari
cerita ayah Paman. Namun cerita itu sudah
begitu melekat di hati setiap orang.
Karena Pendeta Sinting seiain memiliki
ilmu tinggi juga berbudi luhur meski
kadang-kadang sifatnya mirip seperti
orang tak waras. Makanya dia disebut
orang Pendeta Sinting. Soal sampai
sekarang masih hidup atau sudah
meninggal, aku sendiri tak tahu."
Joko tampak menarik napas
dalam-dalam. Paras wajahnya jelas
menunjukkan rasa kecewa. Tanpa sadar
dari mulut anak ini terlontar gumaman.
"Seandainya pendeta itu masih
hidup, aku ingin berguru padanya...."
"Semangat anak ini begitu
tinggi.... Sayang aku tak memiliki ilmu
silat...," keluh sang paman dalam hati
dengan alihkan pandangannya kembali pada
Joko. Untuk beberapa saat anak itu
dipandanginya lekat-lekat dari ujung
rambut sampai kaki. Tiba-tiba sepasang
matanya yang sayu terhenti pada telapak
tangan Joko sebelah kiri yang saat itu
dibuka dan dibuat main-main dengan
digosok-gosokkan pada telapak tangan
satunya.
"Anak ini memiliki telapak tangan
lain dari yang lain. Samar-samar di
telapak tangan kirinya terdapat gambar
seorang laki-laki tua bersorban. Aku tak
tahu, apa maknanya itu...."
Tiba-tiba sepasang mata sang paman
menangkap beberapa orang yang melangkah
menuju arah rumahnya. Orang tua ini
menghela napas panjang, lalu memandang
pada Joko dan berkata pelan.
"Apa yang kita khawatirkan akhirnya
terjadi juga, Joko. Seperti beberapa
waktu yang lalu, mereka pastilah
orang-orang tua anak yang kau pukuli.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak
kita inginkan, sebaiknya kau segera
menuju hutan. Carilah kayu bakar. Biar
mereka Paman hadapi!"
"Tidak Paman. Mereka yang salah,
kenapa harus takut?!" sahut Joko seraya
berpaling. Dari jauh memang tampak
beberapa orang mendatangi kearah
rumahnya.
"Joko. Bukan masalah takut atau
tidak. Tapi ini demi keselamatanmu juga
demi nama baik Paman. Kau tak ingin nama
baik Paman rusak, bukan?!"
Joko tidak menyahut. Dia berpaling
lagi dan menatap paras pamannya dengan
tatapan tajam. Meski tidak berkata
sepatah kata pun, namun sang paman jelas
dapat melihat ketidaksetujuan pada wajah
anak itu.
"Joko.... Aku tahu, kau tidak setuju
dengan apa yang Paman katakan. Namun
untuk sementara ini kau harus dapat
menerimanya. Cepatlah keluar lewat bela-
kang!"
Dengan agak berat, akhirnya Joko
menuruti perkataan pamannya.
Perlahan-lahan anak ini bergerak bangkit
dan melangkah menuju ke belakang. Namun
sebelum ia keluar, anak ini masih sempat
berkata lantang.
"Paman, kejadian ini adalah yang
terakhir. Pada waktu mendatang, aku tak
akan mau seperti ini. Aku akan hadapi
mereka! Aku tak takut! Karena aku benar!"
Sang paman hanya dapat menghela
napas panjang. Lalu anggukkan kepalanya.
"Anak ini benar-benar teguh. Tapi
kadang-kadang sifatnya bandel. Hingga
tak salah jika teman-temannya memanggil
dengan Joko Sableng...."
"Rajek Wesi! Suruh keluar anak
kurang ajar itu!" tiba-tiba terdengar
teriakan dari luar.
Paman Joko yang bernama Rajek Wesi
ini bergerak bangkit. Seakan terkejut,
laki-laki yang telah berumur ini
melangkah ke arah pintu depan. Dari
pintu, orang tua ini dapat melihat
beberapa orang berdiri tegak dengan mata
nyalang memandang ke dalam rumahnya.
"Ada apa?" Rajek Wesi ajukan tanya
dengan memandang satu persatu orang yang
berdiri di depan rumahnya. "Silakan
masuk. Mari kita bicara! Ada apa se-
benarnya?!"
"Kami tak perlu masuk. Kami hanya
ingin anak itu!" salah seorang menjawab
dengan suara keras.
"Yang kau maksud siapa?!" Rajek Wesi
masih coba bertanya, membuat orang yang
tadi menjawab agak geram. Seraya maju
satu tindak dan dengan mata menyelidik ke
dalam rumah, orang ini berujar.
"Rajek Wesi. Dengar balik-baik.
Kami inginkan Joko Sableng!"
Rajek Wesi batuk-batuk beberapa
kali. Setelah menghela napas panjang
orang tua ini berkata periahan.
"Ada apa? Apa sebenarnya yang
terjadi hingga kalian mencari Joko
Sableng?!"
"Anak sableng itu telah memukuli
anak kami! Lekas suruh keluar anak itu!"
Rajek Wesi pura-pura terkejut, lalu
dari mulutnya terdengar omelan memaki
pada Joko Sableng.
"Aku sebagai orangtua yang mengasuh
Joko Sableng minta maaf jika anak itu
melakukan perbuatan yang tidak berkenan
di hati kalian semua, termasuk padamu,
Samparan. Aku berjanji akan mendidik dan
memarahi anak itu!"
Orang yang dipanggil Samparan dan
yang tadi menjawab, kembali keluarkan
sahutan keras.
"Sudah beberapa kali ucapan itu kau
katakan pada kami! Tapi tak ada buktinya!
Anak sableng itu pantas mendapat
hajaran!"
Rajek Wesi gelengkan kepalanya.
Seraya melangkah keluar orang tua ini
berujar datar.
"Sebenarnya sudah tak kurang-kurang
aku mengingatkannya. Namun kuharap
kalian mau memaafkannya untuk yang
terakhir ini. Dan aku berjanji akan
menghajarnya jika dia berani berbuat
yang tidak-tidak!"
Samparan berpaling pada beberapa
orang yang datang bersamanya. Mereka
sama mengangguk. Samparan lalu berpaling
lagi dan memandang pada orang tua di
hadapannya.
"Rajek Wesi.... Untung kami masih
memandangmu sebagai orang tua yang patut
dihormati. Namun hal ini untuk yang
terakhir kali. Sekali lagi Joko Sableng
mencederai anak-anak kami, kami tak akan
memandangmu lagi!" habis berkata begitu,
Samparan putar tubuh lalu mengangguk
pada beberapa orang yang datang bersa-
manya. Mereka pun lantas melangkah
meninggalkan halaman rumah Rajek Wesi
dengan mulut merendeng tak karuan.
Rajek Wesi memandangi kepergian
orang-orang itu dengan angkat bahunya
dan menarik napas dalam-dalam.
"Hmm.... Orang-orang yang terlalu
memperturutkan hawa marah. Hingga tak
tahu siapa sebenarnya yang salah! Ah,
Joko Sableng.... Selalu bikin orang tua
harus berhadapan dengan orang-orang yang
tak mau mengerti...."
* * *
Joko Sableng terus melangkah cepat
menuju arah hutan lereng Gunung
Kinibalu. Seraya melangkah anak ini
bersiul-siul seakan tak ada persoalan.
Malah tak jarang dia bernyanyi-nyanyi
dengan suara keras. Namun baru saja masuk
hutan dan hendak mulai mencari kayu
bakar, telinganya menangkap derap
langkah kaki kuda. Merasa bahwa orang
berkuda akan melewati jalan di mana kini
dia sedang melangkah, Joko Sableng
segera menepi.
Baru saja Joko Sableng melangkah
menepi, seakan memberi jalan pada
penunggang kuda, dari arah belakangnya
sang binatang itu sudah berderap ken-
cang.
"Sontoloyo! Untung aku cepat
minggir, jika tidak, mungkin kuda itu
telah menabrak tubuhku. Apa
p-nunggangnya sudah tidak bisa melihat
lagi?!" seraya memaki Joko Sableng
palingkan wajahnya pada kuda yang
berlari dari arah belakangnya.
Tiba-tiba sepasang mata tajam anak
ini membelalak besar, dahinya
mengernyit. Dan seakan tak percaya
dengan pandangan matanya, untuk sesaat
anak ini tertegun, lalu usap-usap
matanya. Dan sekali lagi memperhatikan
kuda yang kini telah melewatinya.
"Aneh. Penunggang kuda itu tertidur
apa gimana? Kalau tertidur kenapa
tangannya terus menarik-narik tali
kekang kudanya? Kalau tidak tertidur
kenapa menunggang kuda dengan sikap
begitu?!" Joko Sableng coba menduga-duga
apa yang sedang dilakukan oleh
penunggang kuda yang baru saja lewat.
Memang, sang penunggang kuda yang
baru saja lewat menunggang kuda dengan
sikap aneh. Tubuhnya seakan ditekuk
sedemikian rupa hingga kepalanya sejajar
dengan punggung kuda tunggangannya.
Sementara tangan kiri kanannya tak
henti-hentinya menarik tali kekang kuda
tunggangannya, hingga binatang itu terus
berlari kencang. Melihat sikapnya, dapat
segera ditebak jika sang penunggang
seakan diburu waktu, setidak-tidaknya
ada sesuatu yang harus diselesaikan
dengan cepat.
Namun tiba-tiba sepasang mata Joko
Sableng membelalak lebih besar lagi
tatkala bola matanya melihat ceceran
darah di sepanjang jalan yang baru saja
dilewati oleh si penunggang kuda.
Dengan agak heran, Joko Sableng
melangkah mendekati ceceran darah yang
ada di bekas jejak-jejak kaki kuda. Dia
seakan ingin meyakinkan bahwa darah itu
darah yang baru keluar. Sambil jongkok
memperhatikan hidung anak ini mengembang
dan mengempis.
"Kulihat tak ada binatang yang
terluka lewat sini. Pasti darah ini
berasal dari penunggang kuda tadi.
Hm.... Berarti orang itu tidak tidur,
mungkin dia terluka...." Memikir sampai
di situ, Joko segera bergerak bangkit.
Matanya nyalang ke arah mana kuda tadi
berlari. Telinganya pun dipasang
baik-baik.
"Kuda itu tidak terlihat lagi.
Langkahnya pun tidak terdengar. Padahal
masih beberapa saat berlalu dari sini.
Jangan-jangan...," Joko tidak
meneruskan dugaannya. Anak ini segera
berlari ke arah mana kuda tadi berlari.
Dengan menelusuri jejak-jejak kaki kuda,
tak sulit bagi anak ini untuk mengikuti
ke mana kuda itu mengarah. Dan anak ini
semakin yakin jika sang penunggang
mengalami cidera tatkala sepanjang
jejak-jejak yang diikutinya, darah itu
semakin banyak!
Pada suatu tempat, Joko Sableng
hentikan langkahnya. Karena jejak yang
diikutinya lenyap. Sepasang matanya
lantas menyapu berkeliling. Dan dia
tercenung tatkala melihat kuda yang tadi
lewat dan diikutinya melangkah
berputar-putar tanpa penunggang.
Keyakinan Joko makin jelas tatkala
matanya melihat lelehan darah pada
punggung kuda itu.
"Ke mana penunggang kuda itu? Kalau
terjatuh di jalan, pasti aku telah
melihatnya. Atau...," Joko putuskan
gumamannya ketika sepasang telinganya
mendengar erangan perlahan dari balik
pohon yang di sekitarnya ditumbuhi semak
belukar merangas tinggi.
Tanpa pikir panjang lagi, Joko
Sableng segera berlari ke arah datangnya
suara erangan. Semak belukar tinggi itu
disibakkannya dengan mata nanar
mencari-cari. Anak ini segera melompat
sigap tatkala matanya dapat menangkap
sesosok tubuh yang melingkar di tengah
semak belukar dengan memperdengarkan
erangan kecil.
Sejurus Joko memperhatikan sosok
orang di sebelahnya. Dengan tangan agak
gemetar dan mata tak berkedip, anak ini
bergerak jongkok. Lalu tangannya meraba
orang yang melingkar di sebelahnya.
Orang itu mengenakan pakaian selempang
putih yang telah hangus, sementara kedua
tangannya tampak mengembung merah. Dari
mulut dan hidungnya mengalir darah merah
kehitaman. Sepasang matanya terpejam
rapat. Dari mulutnya yang berdarah,
keluar erangan pelan.
Begitu dirasa ada tangan menyentuh,
sosok yang tersuruk di atas semak belukar
dan bukan lain adalah Bandung
Bandawangsa alias Malaikat Lembah Hijau
buka kelopak matanya dengan air muka
terkejut besar. Hingga untuk beberapa
lama sepasang matanya memandang liar tak
berkedip. Namun keterkejutannya segera
hilang tatkala dilihatnya yang menyentuh
adalah tangan seorang anak kecil.
"Kek...," kata Joko setelah terdiam
agak lama dan hanya memperhatikan
keadaan orang di sampingnya. "Kau
terluka. Bagaimana kalau Kakek kuajak ke
rumahku?!"
"Terima kasih, Nak!" sambut
Malaikat Lembah Hijau dengan suara
bergetar dan tersendat. "Kalau mau
menolong, tolong dekatkan kuda itu
kemari! Aku harus segera pergi dari
sini!"
"Tapi kau masih terluka...."
Malaikat Lembah Hijau pejamkan kedua
matanya menindih rasa sakit yang mendera
sekujur tubuhnya. Setelah sedikit dapat
mengatasi rasa nyeri pada dadanya,
Malaikat Lembah Hijau berujar lirih.
"Nak. Aku punya urusan yang harus
segera kuselesaikan. Sekali lagi aku
ucapkan terima kasih atas bantuan yang
hendak kau berikan. Namun untuk
sementara ini tolong dekatkan kuda itu
kemari!"
Dengan benak dipenuhi rasa heran,
akhirnya Joko Sableng bergerak bangkit
dan melangkah ke arah kuda. Dan
perlahan-lahan pula kuda tunggangan itu
dituntunnya ke arah Malaikat Lembah
Hijau.
Malaikat Lembah Hijau kerahkan
segenap tenaganya untuk dapat bergerak
bangkit. Melihat hal ini, Joko segera
menolong orang tua itu untuk berdiri. Dan
perlahan-lahan pula dibimbingnya
Malaikat Lembah Hijau untuk mendekati
kuda tunggangannya. Bukan hanya itu
saja, dengan segenap tenaganya pula anak
ini membantu Malaikat Lembah Hijau untuk
naik ke atas punggung kudanya.
"Nak. Terima kasih atas budimu.
Siapa namamu?!" tanya Malaikat Lembah
Hijau begitu tubuhnya telah berada di
atas punggung kuda.
Joko Sableng tengadahkan kepalanya
memperhatikan lekat-lekat. Dengan
tersenyum ramah dia menjawab.
"Aku Joko Sableng. Kakek sendiri
siapa...? Dan hendak ke manakah
sebenarnya?!"
Belum sampai Malaikat Lembah Hijau
menjawab pertanyaan Joko, terdengar
hentakan ladam kaki-kaki kuda menuju ke
arahnya. Paras muka Malaikat Lembah
Hijau berubah seketika. Sepasang matanya
membesar mengikuti gerak bahunya yang
menegang. Dari mulutnya terlontar
gumaman peian.
"Pasti mereka! Celaka...!"
Malaikat Lembah Hijau bimbang.
Apakah akan segera keluar dari tempat itu
dan meneruskan perjalanan, atau tetap di
situ dan bersembunyi. Selagi laki-laki
ini dilanda kebimbangan dan belum dapat
memutuskan apa yang akan dilakukan,
terdengar kekehan tawa bersahutan.
Baik Malaikat Lembah Hijau maupun
Joko sama-sama palingkan wajah. Muka
Malaikat Lembah Hijau tambah pucat,
kedua tangannya gemetar dengan kuduk
merinding. Dan keringat dingin pun
keluar membasahi dahi dan lehernya.
Sementara Joko sempat tersedak dan
melongo dengan paras ngeri. Tanpa sadar
kakinya bergeser ke belakang, mendekat
ke arah kuda tunggangan Malaikat Lembah
Hijau!
* * *
ENAM
DI hadapan mereka berdua, Hantu
Makam Setan dan Dewi Asmara terlihat
tegak memandang dengan mata dingin.
Bibir mereka masing-masing sunggingkan
senyum seringai penuh kemarahan.
"Bandung Bandawangsa! Kau bisa lari
dari pandangan mataku, tapi jangan mimpi
bisa lepas dari tanganku! Aku masih
memberimu kesempatan. Serahkan petunjuk
itu atau serahkan nyawamu!" yang
keluarkan suara adalah Hantu Makam
Setan. Sementara Dewi Asmara hanya tegak
mematung, namun diam-diam dalam hati
perempuan cantik ini membatin.
"Hantu Makam Setan. Kau boleh
mengambil petunjuk itu dari tangan
Bandung Bandawangsa, namun untuk diriku!
Hik.... Hik.... Hik.... Aku tahu
bagaimana menghadapimu nanti...."
"Sialan benar! Tak mungkin aku
menghadapi mereka berdua dengan keadaan
demikian. Bagaimana kedua orang ini bisa
bersatu? Hmm.... Mendengar kekejian
mereka, pasti anak ini nanti juga akan
mereka hajar. Anak malang.... Ah,
bagaimanapun juga aku harus
menyelamatkan diri, juga menyelamatkan
anak ini!"
Mendapati Malaikat Lembah Hijau tak
menyambuti ucapan Hantu Makam Setan,
Dewi Asmara sorongkan wajahnya mendekat
Hantu Makam Setan, lalu berbisik.
"Hantu Makam Setan. Serahkan dia
padaku! Rupanya dia tak bergeming dengan
ancamanmu! Orang macam dia tak akan bisa
ditekan dengan kata-kata. Dia hanya bisa
ditaklukkan dengan tangan!"
Hantu Makam Setan gelengkan kepala.
Rupanya laki-laki berhidung sebelah ini
bertindak hati-hati sekali. Dia masih
khawatir jika Malaikat Lembah Hijau
tidak membawa petunjuk itu, tapi
menyimpannya pada suatu tempat. Hingga
jika kekhawatirannya benar, maka dengan
tewasnya Malaikat Lembah Hijau, bukan
hanya perjalanannya saja yang sia-sia,
lebih dari itu pedang mustika itu tak
akan jatuh ke tangannya!
"Dewi Asmara! Kau boleh punya dendam
setinggi langit pada keparat itu, tapi
sebelum urusanku selesai jangan
coba-coba mendahului!" sungut Hantu
Makam Setan, membuat Dewi Asmara
mendelik dan katupkan bibir rapat-rapat.
Namun dalam hati perempuan cantik ini
sebenarnya merasa lega. Karena dia pikir
lebih mudah menghadapi Hantu Makam Setan
daripada menghadapi Malaikat Lembah
Hijau. Hantu Makam Setan masih bisa
dibujuk dengan tubuh, tapi tidak
demikian halnya dengan Malaikat Lembah
Hijau.
Memikir sampai di situ, meski dengan
menunjukkan wajah tak senang, akhirnya
Dewi Asmara berbisik lagi.
"Kalau itu maumu, baiklah! Tapi
jangan lupa, nyawanya adalah untukku!"
Hantu Makam Setan menyeringai
buruk. Sementara Malaikat Lembah Hijau
berpikir mencari jalan bagaimana bisa
menyelamatkan diri dan menyelamatkan
anak di bawahnya. Sebab tak mungkin
meninggalkan anak itu sendirian bersama
dua tokoh biang sesat yang kejam itu.
Selagi Malaikat Lembah Hijau
tercenung mencari jalan keluar, Joko
Sableng tengadahkan kepala memandang
Malaikat Lembah Hijau. Lalu berkata
polos.
"Kek. Apakah mereka itu
mencideraimu? Tampaknya mereka bukan
orang baik-baik. Seandainya Kakek
mengikuti aku ke rumah, tak mungkin
mereka dapat menemukanmu!"
"Hmm.... Anak ini perasaannya peka
sekali. Dari tampang dan nada bicara
orang, dia telah dapat menduga...,"
batin Malaikat Lembah Hijau. Namun dia
tak menyahut ucapan Joko. Sebaliknya
dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga
sebelah tangannya bergerak mengayun. Dan
tahu-tahu tubuh Joko telah melesat ke
atas. Dan belum sempat Joko keluarkan
kata-kata, Malaikat Lembah Hijau telah
mendudukkannya di punggung kuda di
sebelah depannya. Serta-merta tali
kekang kuda dihela dengan keras. Kuda
tunggangan itu meringkik kaget, tapi
bersamaan dengan itu tubuhnya menghentak
dan kakinya bergerak berlari
meninggalkan tempat itu.
"Keparat busuk!" umpat Hantu Makam
Setan. Sekonyong-konyong kedua
tangannya bergerak menghantam. Mungkin
karena marah, hingga tujuannya semula
yang tidak akan membuat Malaikat Lembah
Hijau tewas sebelum memberikan apa yang
diminta jadi teriupa. Serangannya kini
ditujukan langsung ke arah Malaikat
Lembah Hijau!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Keadaan sekitar tempat itu mendadak
pekat. Bersamaan dengan itu dua berkas
sinar hitam melesat dengan keluarkan
suara menderu dahsyat.
Di lain pihak, Dewi Asmara tak
tinggal diam. Begitu tahu Hantu Makam
Setan telah mengarahkan langsung
pukulannya pada sosok Malaikat Lembah
Hijau, perempuan ini pukulkan kedua
tangannya dan diarahkan pada kuda yang
ditunggangi.
Hingga di kepekatan suasana itu
melesat pula angin geiombang dahsyat
yang mengembang dan menyergap dari empat
jurusan ke arah kuda tunggangan Malaikat
Lembah Hijau!
Namun serangan dua orang ini
terlambat datangnya. Sebab Malaikat
Lembah Hijau telah menyentakkan lagi
tali kekang kudanya dengan lebih keras.
Lalu membelokkan kuda tunggangannya ke
arah selatan. Hingga dua serangan maut
itu hanya menghajar tempat kosong. Lalu
menghantam pohon dan somak belukar di
sekitar tempat itu.
Pohon-pohon itu berderak tumbang,
sementara semak belukar tercerabut dari
tanah dan berhamburan ke udara, membuat
suasana makin pekat hitam!
Mendapati lawan bisa lolos, Hantu
Makam Setan mendengus keras. Dadanya
bergemuruh marah. Dan dengan berteriak
meradang, laki-laki itu berkelebat lalu
hantamkan kembali kedua tangannya ke
arah mana kuda tunggangan Malaikat
Lembah Hijau berlari.
Sekali lagi sinar hitam melesat,
karena kali ini Hantu Makam Setan dengan
pengerahan tenaga dalam penuh, maka
lesatan sinar hitam itu laksana bersitan
cahaya dan melabrak dengan kecepatan
yang suiit diikuti pandangan mata
telanjang.
Malaikat Lembah Hijau yang merasa
mendapati gelagat tidak baik segera saja
berpaling. Dan mendadak paras muka
laki-laki ini bertambah pias. Darahnya
seakan sirap! Betap tidak. Tiga depa di
belakangnya sinar hitam itu menderu
cepat ke arahnya. Tapi untung laki-laki
ini bisa berpikir cepat. Karena bukan
saja dia harus menyelamatkan dtrmya
saja, tapi juga anak yang ada di
depannya.
Memikir demikian, tali kekang kuda
diserahkan pada anak di depannya. Joko
sendiri yang meski terlihat heran
bercampur takut, segera mengambil alih
tali kekang kuda. Lalu menghelanya
dengan keras-keras. Di belakangnya,
Malaikat Lembah Hijau segera sentakkan
kedua tangannya ke arah belakang.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Sinar hijau segera melesat dan
langsung memapak serangan Hantu Makam
Setan. Terdengar dentuman menggelegar
tatkala kedua pukulan sakti itu bentrok
di udara. Namun karena tenaga yang
dikeluarkan Malaikat Lembah Hijau tidak
penuh, maka sebagian sinar hitam yang
ambyar terkena papasan sinar hijau terus
melesat dan menyambar deras ke punggung
Malaikat Lembah Hijau!
Tubuh Malaikat Lembah Hijau
bergetar. Untung laki-laki ini masih
sempat menyahut tali kekang kuda hingga
meski tubuhnya sempat oleng dan kuda
tunggangannya doyong hendak
terjerembab, namun segera bisa dikuasai.
"Kek...," ucap Joko di sela rasa
takut dan ngeri, ka-rena kuda itu kini
berlari dengan kencang dan tak tentu
tujuan.
"Nak!" sahut Malaikat Lembah Hijau
dengan suara sendat dan pelan. "Kau tak
usah takut! Dan jangan banyak bicara
dulu."
Habis berkata begitu, Malaikat
Lembah Hijau terlihat batuk-batuk, lalu
mulutnya mengembung besar. Sebentar
kemudian dari mulutnya keluar menyembur
darah kehitaman!
Jauh di belakangnya, Hantu Makam
Setan dan Dewi Asmara segera berkelebat
ke arah kuda tunggangannya yang disimpan
agak jauh dari tempatnya kini. Dan tanpa
membuang tempo lagi, kedua orang ini
segera naik punggung kudanya dan berlari
mengejar.
"Setan keparat!" maki Hantu Makam
Setan di sela hentakan kuda tunggannya
yang berpacu kencang. Dan seakan tak
sabar dengan lari kuda tunggangannya
laki-laki ini segera membentak garang.
"Dewi. Pukul binatang jahanam ini.
Aku yang mengendalikan!" seraya berkata
tali kekang kuda diambil dari tangan Dewi
Asmara. Sementara Dewi Asmara sendiri
meski dengan geram diperintah dengan
bentakan demikian rupa segera pukulkan
kedua tangannya ke dada kiri kanan
binatang tunggangannya! Hingga binatang
itu menghentak dan berpacu makin
kencang.
***
Baik Joko Sableng maupun Malaikat
Lembah Hijau tak tahu ke mana kuda
tunggangannya mengarah. Yang ada di
benak orang tua ini hanya bisa selamat
dari kejaran Hantu Makam Setan dan Dewi
Asmara. Karena sayup-sayup dia bisa
mendengar hentakan kuda yang terus
mengikutinya ke mana kuda tunggangannya
berlari.
Karena Hantu Makam Setan dan Dewi
Asmara menunggang dengan pengerahan ilmu
peringan tubuh, lagi pula tak
henti-hentinya Dewi Asmara memukul dada
kudanya sementara Hantu Makam Setan
tarik-tarik tali kekang kudanya, maka
dalam beberapa saat kemudian, kedua
orang ini telah berada beberapa tombak di
belakang Malaikat Lembah Hijau dan Joko
Sableng!
Di depan sana, Malaikat Lembah Hijau
makin bergetar tubuhnya, selain
merasakan sakit pada punggungnya, juga
dadanya seakan pecah, apalagi
terus-menerus diguncang kuda
tunggangannya. Tapi laki-laki ini tak
mau menyerah begitu saja. Dia terus
memacu dan memacu tanpa mempedulikan ke
mana langkah kudanya mengarah! Hal ini
berakibat fatal bagi Malaikat Lembah
Hijau dan Joko Sableng, karena ternyata
kuda tunggangannya mengarah pada sebuah
tebing jurang!
Malaikat Lembah Hijau dan Joko
Sableng sama-sama tertegun, mata
masing-masing sama membeliak besar.
Bahkan dari mulut Joko terdengar jeritan
tinggi melengking. Malaikat Lembah Hijau
terkesima dan segera mencoba hentikan
lari kudanya. Namun terlambat, karena
begitu kuda berhenti, kaki depannya
sudah tidak menginjak tanah, melainkan
mengambang di tepi bibir jurang! Melihat
situasi demikian, Hantu Makam Setan dan
Dewi Asmara tercengang.
"Dewi. Kita harus cepat lakukan
sesuatu untuk mencegahnya!"
Habis berkata demikian, Hantu Makam
Setan segera melesat dari punggung
kudanya, begitu pula Dewi Asmara.
Beeettt! Beeettt!
Gerakan kedua orang ini mampu
menahan kuda tunggangan Malaikat Lembah
Hijau, namun karena yang tersahut tangan
kedua orang ini adalah kaki belakang kuda
Malaikat Lembah Hijau, membuat kuda
tunggangan itu tertekuk ke belakang,
sementara tubuh bagian depannya tertekuk
turun ke jurang. Hal ini membuat sosok
Malaikat Lembah Hijau dan Joko Sableng
melesat ke depan dan tak ampun lagi
melayang masuk ke dalam jurang!
"Ah...," Dewi Asmara mengeluh
kecewa, sementara Hantu Makam Setan
memandangi dengan wajah merah padam.
"Kita terlambat!" gumamnya parau.
Mungkin merasa geram, kaki kuda yang
masih mereka pegang sama-sama mereka
sentakkan, hingga kuda itu tepelanting
kelamping jurang dengan keluarkan
ringkikan keras sebelum akhirnya
melayang masuk ke jurang!
Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara
sama-sama bergerak bangkit. Masih dengan
muka sulit diartikan Hantu Makam Setan
melangkah ke bibir jurang. Demikian pula
Dewi Asmara. Keduanya melongok ke bawah.
Meski saat itu matahari memancarkan
sinar terang tanpa awan, namun yang
tampak oleh sepasang mata Hantu Makam
Setan dan Dewi Asmara hanyalah pucuk war-
na hijau rimbun dedaunan pohon yang
banyak merayap di lamping jurang, dan
selebihnya adalah warna hitam pekat!
Pertanda bahwa jurang itu sangat dalam!
"Bagaimana sekarang?!" tiba-tiba
Dewi Asmara ajukan pertanyaan. Hantu
Makam Setan tidak menyahut, menoleh pun
tidak. Dia masih memandang ke bawah dan
sesekali memutar keliling dengan harapan
tubuh Malaikat Lembah Hijau tersangkut
sebagian pohon di lamping jurang. Namun
harapan laki-laki berhidung sebelah ini
tak menjadi kenyataan. Laki-laki ini
rupanya masih tak putus asa. Dia
melangkah menyusuri bibir jurang dengan
sepasang mata tak berkedip! Sepasang
telinganya pun dipasang baik-baik.
Di lain pihak, meski merasa kecewa
yang amat sangat, Dewi Asmara segera
sadar. Walau hatinya seakan menangis
namun kenyataan ini diterimanya. Dan
melihat Hantu Makam Setan masih saja tak
mempercayai kenyataan dan melangkah
mondar-mandir di bibir jurang, perempuan
berwajah cantik ini putar tubuhnya dan
melangkah menjauh. Kiraa-kira lima belas
langkah, dia berpaling, Hantu Makam
Setan masih mondar-mandir.
"Manusia dungu! Sampai kakimu
tanggal kau tak akan menemukannya!"
dengus Dewi Asmara perlahan lalu
tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat
itu.
Hantu Makam Setan untuk beberapa
lama masih berjalan di bibir jurang, dan
begitu menyadari bahwa pencariannya
sia-sia, dia kembangkan telaapak ta-
ngannya. Lalu berteriak histeris. Kedua
tangan dan kakinya bergerak bersama-sama
menghantam bibir jurang.
Bummm!
Lamping jurang itu bergetar hebat.
Sebagian tanah di bibir jurang kontan
rengkah lalu terbongkar! Tanahnya
berhamburan masuk ke dalam jurang. Kuda
tunggangannya meringkik kaget dan sempat
terangkat setengah tombak sebelum
akhirnya jatuh tumbang di atas tanah.
Binatang itu segera bangkit, lalu
menghambur lenyap.
Hantu Makam Setan tengadah
memandang langit. Tulang-tulang
wajahnya bergerak gerak. Mulutnya
komat-kamit namun tiada suara yang jelas
terdengar. Sesaat kemudian, dia luruskan
lagi kepalanya dan memandang
berkeliling.
"Perempuan setan! Ternyata dia
sudah minggat!" gumamnya pelan.
Laki-laki ini lantas melangkah ke arah
sebuah pohon besar. Pantatnya
dihempaskan lalu duduk bersandar. Kedua
tangannya bergerak mengusap wajahnya
yang dipenuhi keringat.
"Akan kutunggu sampai matahari
tenggelam. Siapa tahu...," desisnya
lirih dengan memandang jauh.
***
TUJUH
DI sebuah tempat yang suasananya
sangat lembab dan remang-remang, karena
kiri kanannya hanyalah jajaran pohon
berusia ratusan tahun serta semak
belukar dan lumut-lumut tebal berwarna
hijau, seorang laki-laki berusia amat
lanjut terlihat duduk bersila dengan
mata terpejam setengah membuka. Mulutnya
terkancing rapat. Mungkin karena usia
dan juga karena tak pemah terkena cahaya
matahari, paras muka kakek ini amat pucat
dan berkeriput. Namun keriputan kulit
wajahnya hanya merupakan garis-garis
yang samar-samar sebab kulit wajah itu
demikian tipisnya. Rambutnya telah putih
dan dibiarkan menjulai hingga sebagian
menutupi wajah dan lehernya. Kumis dan
jenggotnya juga putih dan lebat. Kakek
ini mengenakan jubah panjang yang ketika
dibuat duduk demikian rupa, sebagian
kain jubahnya berserakan di samping
kanan kirinya. Jubah itu telah kusam dan
bertambal-tambal dari beberapa kain dan
warna.
Pada beberapa tahun yang silam,
jagat rimba persilatan pernah diguncang
dan disentak oleh munculnya seorang
tokoh berilmu tinggi yang malang
melintang tanpa tanding. Beberapa tokoh
golongan hitam yang coba-coba menjajal
kesaktiannya, harus rela roboh dan yang
memaksanya harus rela menyerahkan
selembar nyawanya. Hingga ketika tokoh
ini malang melintang, dunia persilatan
menjadi tenteram damai. Dan satu persatu
tokoh golongan hitam pergi menyingkir.
Tokoh ini namanya lantas harum dan
dikenal sampai di kalangan rakyat biasa.
Tokoh ini sebenarnya adalah seorang
pendeta. Namun karena melihat rimba
persilatan banyak dikotori oleh
tangan-tangan yang serakah dan
merajalelanya kebusukan, tokoh ini
menanggalkan kependetaannya. Lalu turun
ke gelanggang persilatan.
Karena tokoh ini selalu mengenakan
pakaian tambal sulam dan sifatnya yang
kadang-kadang mirip seperti seorang tak
waras, orang-orang menyebutnya dengan
gelar Pendeta Sinting.
Tapi beberapa tahun kemudian
Pendeta Sinting hilang lenyap tiada
berita. Beberapa orang coba menyelidiki
ke mana lenyapnya Pendeta Sinting. Namun
hingga beberapa lama, tak seorang pun
yang dapat membuka tabir lenyapnya
Pendeta Sinting. Bersamaan dengan itu,
tokoh-tokoh golongan hitam pun mulai
lagi merajalela. Dan kekejian serta
kemelut pun mulai muncul di mana-mana.
Kemelut itu makin keruh dengan
tersebarnya berita tentang pusaka pedang
mustika yang dikabarkan berada di tangan
seseorang.
Sebenarnya Pendeta Sinting saat itu
masih ingin terjun dalam rimba
persilatan. Namun karena merasa usia
telah menggerogoti dirinya, dia mulai
berkeinginan untuk hidup tanpa bising
segala macam ilmu silat. Dan secara
diam-diam dia pergi ke sebuah jurang yang
dikenal orang dengan nama jurang Tlatah
Perak. Sebuah jurang yang sangat dalam
dan tidak pernah didiami seorang
manusia.
Beberapa puluh tahun telah berlalu,
Pendeta Sinting tetap berdiam diri di
dalam jurang Tlatah Perak. Selain
menyendiri untuk menenangkan diri, tokoh
ini juga memperdalam ilmu silat.
Saat itu Pendeta Sinting sedang
bersemadi dengan duduk bersila. Wajahnya
telah mengeriput dimakan usia. Rambutnya
pun telah memutih. Jubahnya yang
bertambal-tambal berserakan di samping
kanan kirinya. Namun semadinya saat itu
tidak begitu khusuk. Karena sayup-sayup
sepasang telinganya yang tajam menangkap
hentakan ladam kaki-kaki kuda. Hal ini
tidak biasa. Karena selama
berpuluh-puluh tahun berdiam diri di
dalam jurang, baru kali ini ada kuda yang
lan-kah-langkahnya seperti mendekati ke
arah jurang dimana dia berada. Dan
semadinya jadi kacau tatkala dengan
jelas sepasang telinganya menangkap
jeritan. Jeritan itu menggema dan
memantul ke lamping bibr jurang. Dari
suara pantulan jeritan, dengan cepat
Pendeta Sinting segera dapat menduga
jika orang yang keluarkan jeritan pasti
masuk ke dalam jurang. Keyakinannya
makin tebal tatkala bersamaan dengan itu
terdengar suara makian, lalu bergetarnya
lamping jurang serta berhamburannya
tanah dari atas jurang.
Merasa ada yang tidak beres, Pendeta
Sinting buka kelopak matanya. Kepalanya
bergerak mendongak. Saat itulah sepasang
matanya yang kelabu menangkap tiga
bayangan hitam melayang-layang.
Pendeta Sinting komat-kamitkan
mulutnya. Tak lama kemudian dari
mulutnya terdengar kekehan tawa panjang.
Namun cuma sesaat, sekejap kemudian
tubuhnya telah melesat, dan tahu-tahu
telah tegak sambil mendongak tak
berkedip.
"Gila! Benda apa itu?!" ujarnya
dengan tertawa mengekeh. Lalu berkelebat
karena salah satu bayangan hitam itu
telah hampir menghempas ke bawah. Kedua
tangannya bergerak ke depan dengan tubuh
sedikit ditarik ke belakang.
Tabbb! Tabbb!
Benda yang melayang hampir
terhempas itu tertangkap kedua tangan
Pendeta Sinting. Orang ini segera saja
tertawa terkekeh demi mengetahut bahwa
yang ditangkapnya adalah seekor kuda
yang tubuhnya hampir hancur.
"Sialan! Binatang sudah tewas masih
juga dilemparkan ke dalam jurang!
Sungguh tak tahu peradatan manusia yang
melakukan hal ini...," gumam Pendeta
Sinting, lalu meletakkan bangkai kuda
itu di atas tanah. Mungkin karena bobot
kuda itu lebih berat dari tubuh Malaikat
Lembah Hijau dan Joko Sableng maka bina-
tang itu lebih dahulu sampai di bawah
meski ketiganya hampir bersamaan saat
terjatuh ke dalam jurang.
Sesaat setelah kuda itu ditangkap
dan diletakkan di atas tanah, dua
bayangan yang melayang segera menyusul.
Sepasang mata Pendeta Sinting membeliak
untuk meyakinkan. Begitu matanya yakin
jika dua bayangan yang menyusul bayangan
kuda adalah sosok manusia, kakek ini
segera lesatkan tubuhnya ke udara dan
dengan gerakan sigap dua bayangan itu
ditangkapnya. Lalu dengan gerakan ringan
sosoknya melayang turun ke tempatnya
semula.
Dua sosok manusia itu segera
diletakkan di atas tanah. Sepasang
matanya memandangi dua tubuh yang
sama-sama pingsan itu seraya menghela
napas panjang.
"Seorang tua dan seorang anak
kecil.... Mungkin mereka adalah kakek
dan cucunya. Hmm.... Yang tua tampaknya
mengalami cidera dalam yang cukup parah.
Sepertinya baru saja mengalami bentrok
dengan seorang berilmu tinggi. Hm....
Rimba persilatan tak habis-habisnya
menelan korban. Dunia edan!"
Pendeta Sinting lantas arahkan
pandangannya pada sosok Joko Sableng.
Memandang sebentar lalu bergumam. "Anak
ini tak mengalami cidera. Dia pingsan
mungkin karena terangas pohon dan
akar-akar berduri di lamping jurang.
Tubuhnya penuh barutan merah dan
berdarah, tapi tak mengalami cidera
dalam. Ah.... Anak-anak tak berdosa pun
harus jadi korban rimba persilatan!
Benar-benar jagat gila!"
Pendeta Sinting alihkan lagi
pandangannya pada sosok Malaikat Lembah
Hijau. Setelah menarik napas panjang
orang tua ini jongkok di samping tubuh
Malaikat Lembah Hijau. "Aku akan
memeriksa tubuhnya. Kalau Tuhan masih
menentukan baik, jiwanya akan
tertolong...."
Kakek yang dulu pernah menggegerkan
rimba persilatan ini gerakkan kedua
tangannya dan ditempelkan pada dada
Malaikat Lembah Hijau.
"Masih ada denyutan meski
pelan...," desisnya. Kakek ini lantas
kerahkan tenaga dalamnya. Tubuh Malaikat
Lembah Hijau yang tadi diam tak
bergerak-gerak mulai menampakkan
gerakan pelan. Perlahan-lahan pula dari
kedua tangan Pendeta Sinting.yang
menempel di dada Malaikat Lembah Hijau
mulai mengepulkan asap. Bersamaan dengan
itu gerakan Malaikat Lembah Hijau makin
kelihatan. Pendeta Sinting lipat
gandakan alirkan hawa murninya, hingga
tak lama kemudian mulut Malaikat Lembah
Hijau terbuka dan bergetar. Bersamaan
dengan terbukanya mulut, dari sudut
mulut itu meleleh darah hitam. Melihat
hal ini Pendeta Sinting pejamkan
matanya. Tangannya makin menekan pada
dada Malaikat Lembah Hijau. Darah hitam
makin banyak mengalir, namun
perlahan-lahan darah itu berubah warna.
Begitu Pendeta Sinting buka kelopak
matanya, darah yang mengalir telah
berubah jadi merah. Pendeta Sinting
menghela napas lega. Dan bersamaan
dengan berubahnya darah, yang berarti
racun akibat cidera telah lenyap,
perlahan-lahan paras Malaikat Lembah
Hijau berubah agak cerah. Dan kedua
kakinya mulai bergerak-gerak. Kelopak
matanya pun mulai bergerak mengerjap dan
tak lama kemudian kelopak mata itu
terbuka.
Begitu melihat paras wajah Pendeta
Sinting, sepasang mata Malaikat Lembah
Hijau membesar. Mulutnya dibuka namun
suaranya seakan tersekat di tenggorokan,
hingga yang terdengar adalah gerengan
pelan. Setelah agak lama dan merasa dapat
menguasai keterkejutannya, Malaikat
Lembah Hijau keluarkan suara. Agak parau
dan tersendat.
"Kau.... Kau... siapa...?! Apakah
aku tidak sedang mim.... Mimpi?"
Keterkejutan Malaikat Lembah Hijau
makin besar hingga matanya makin
melotot, karena jawaban dari
Pendeta Sinting adalah tawa
mengekeh! Namun ketika menyadari bahwa
orang tua di hadapannya telah menolong
dirinya, Malaikat Lembah Hijau kembali
ajukan pertanyaan.
"Orang tua. Siapakah... kau?"
Namun lagi-lagi Malaikat Lembah
Hijau hanya mendapat jawaban kekehan
tawa, membuat Malaikat Lembah Hijau
memperhatikan lebih seksama pada orang
tua di sampingnya itu. Tiba-tiba
sepasang matanya mendelik dengan dahi
berkerut. Mulutnya bergerak
komat-kamit. Dalam hati Malaikat Lembah
Hijau bertanya-tanya sendiri.
"Apakah aku tidak mimpi? Melihat
ciri-cirinya, meski aku belum pernah
bertemu, bukankah orang tua ini seorang
tokoh berilmu tinggi yang sejak beberapa
tahun belakangan ini menjadi teka-teki
besar karena kepergiannya yang begitu
tiba-tiba dan tanpa kabar berita? Ah,
apakah benar dia tokoh yang bergelar
Pendeta Sinting?"
Meski masih menduga-duga, Malaikat
Lembah Hijau segera bergerak bangkit
untuk duduk. Lalu akan menjura, namun
sebelum hal itu sempat dilakukan,
tubuhnya telah oleng ke belakang dan
jatuh lagi telen-tang.
"Kau memang telah selamat dan cidera
dalammu telah berkurang, namun aliran
darahmu masih kocar-kacir...," ujar
Pendeta Sinting. "Kerahkan sedikit
tenaga dalammu untuk mengatasi aliran
darahmu!"
Malaikat Lembah Hijau segera turuti
ucapan Pendeta Sinting. Kedua tangannya
segera ditakupkan di depan dada.
Sepasang matanya dipejamkan. Lalu per-
lahan-lahan dia menarik napas untuk
mengatasi aliran darahnya. Setelah
merasa aliran darahnya berfungsi dengan
normal, perlahan-lahan Malaikat Lembah
Hijau buka kelopak matanya, kedua
tangannya digerakkan ke samping kanan
dan kiri. Dengan bertumpu pada kedua
tangannya, Malaikat Lembah Hijau
bergerak bangkit. Lalu membungkuk
dalam-dalam.
Pendeta Sinting tertawa mengekeh
seraya mendongak.
"Kau tak perlu berbuat dengan segala
macam peradatan begitu rupa! Lebih baik
kau ceritakan apa yang baru saja
menimpamu!"
Malaikat Lembah Hijau luruskan
tubuh. Memandang lekat-lekat pada orang
tua di hadapannya. Dan mendengar apa yang
baru saja diucapkan Pendeta Sinting,
Malaikat Lembah Hijau semakin yakin jika
orang tua di hadapannya adalah orang yang
diduganya. Karena menurut apa yang
pernah didengar, Pendeta Sinting adalah
seorang tokoh yang tak gila hormat dan
tak mau dihormati dengan segala
peradatan yang berlaku dalam rimba
persilatan.
"Orang tua, kalau tak salah apakah
aku tengah berhadapan dengan tokoh yang
bergelar Pendeta Sinting?"
Pendeta Sinting tertawa dahulu
sebelum buka suara.
"Ternyata kau telah mengenaliku.
Namun rasanya aku merasa kesulitan untuk
mengenalimu. Siapa kau?!"
"Ah. Ternyata dugaanku tidak
meleset. Sungguh satu kebahagiaan besar
bagiku bisa bertemu dengan tokoh yang
bernama harum sepertimu, Pendeta Sin-
ting.... Aku adalah Bandung Bandawangsa.
Berasal dari Lembah Hijau...."
"Ha.... Ha.... Ha...! Jika
demikian, bukankah kau manusia yang
bergelar Malaikat Lembah Hijau?"
"Ah, itu hanya nama sebutan yang
diberikan orang-orang, Pendeta...."
"Hmm.... Begitu? Sekarang ceritakan
bagaimana kau bisa sampai jatuh ke
tempatku ini dan mengganggu
kesendirianku!"
"Maafkan jika aku mengganggu,
Pendeta...," ujar Malaikat Lembah Hijau
pelan. Lalu dia segera menceritakan apa
yang dialaminya hingga sampai masuk ke
dalam jurang Tlatah Perak.
"Hmm.... Rimba persilatan memang
tak akan dikatakan arena rimba jika tak
selalu diselimuti kegegeran. Dan masalah
Pedang Malaikat itu, sebenarnya telah
lama juga kudengar. Namun baru kali ini
aku mendengarnya jika kau yang
dikejar-kejar orang dan diduga memiliki
petunjuk tentang pedang mustika itu.
Boleh aku tahu, siapa gurumu?!"
Sejenak Malaikat Lembah Hijau
terdiam, membuat Pendeta Sinting tertawa
seakan mengejek.
"Kau tak usah khawatir. Aku tak akan
menyelidik. Aku juga tak tertarik dengan
pedang itu!"
Paras muka Malaikat Lembah Hijau
berubah merah padam. Laki-laki ini
buru-buru menjawab pertanyaan Pendeta
Sinting.
"Guruku adalah Ki Buyut Mangun
Raksa...." Untuk pertama kalinya Pendeta
Sinting terperangah kaget. Sepasang
matanya yang kelabu mendeiik
memperhatikan lekat-lekat Malaikat
Lembah Hijau. Orang tua ini telah tahu
siapa sebenarnya manusia yang bernama Ki
Buyut Mangun Raksa. Dia adalah seorang
tokoh berilmu tinggi juga seorang tokoh
yang bisa menembus hal secara gaib!
Melihat sampai di situ, Pendeta
Sinting lantas berkesimpulan jadi tak
salah apabiia beberapa tokoh
mengejar-ngejar Malaikat Lembah Hijau.
Mereka menduga, Malaikat Lembah Hijau
pasti tahu petunjuk tentang beradanya
pusaka Pedang Malaikat itu dari mendiang
gurunya yang punya kesaktian dapat
melihat hal-hal yang gaib itu.
"Bandung Bandawangsa. Ingat, aku
tidak menyelidik, hanya sekadar ingin
tahu. Apakah mendiang gurumu pernah
bercerita tentang senjata pedang mustika
itu? Setidak-tidaknya pernah
menyinggungnya?!" tanya Pendeta Sinting
setelah agak lama berdiam diri.
"Tak pernah, Pendeta...."
"Aneh...," gumam Pendeta Sinting
heran.
"Apanya yang aneh, Pendeta...?!"
"Gurumu itu. Juga kau! Bagaimana
mungkin orang lain bisa tahu, tapi kau
sendiri sebagai muridnya tak diberitahu!
Mustahil jika manusia macam Hantu Makam
Setan dan Dewi Asmara juga tokoh-tokoh
geblek lain-nya bersusah payah
mengejar-ngejarmu jika tak yakin gurumu
telah memberikan petunjuk tentang
beradanya pedang mustika itu padamu!
Entah dari siapa, mereka pasti sudah tahu
bahwa gurumu telah memberitahukan
tentang beradanya pedang itu!"
"Tapi, Pendeta. Guru memang tidak
pernah memberitahukan padaku! Maka dari
itu aku sendiri heran, orang-orang itu
tiba-tiba mengusikku dan meminta sesuatu
yang tak pernah kumiliki!"
Pendeta Sinting manggut-manggut
meski dalam hatinya tak mengerti.
"Hal-hal seperti inilah yang membuat
rimba persilatan lain dari pada yang
lain.... Dan hal-hal seperti ini juga
yang membuat rimba persilatan penuh
dengan selimut fitnah dan bara dalam
sekam! Jika hal seperti ini tidak segera
terbuka, rimba persilatan akan terus
guncang dan umat manusia tidak akan aman
tenteram.... Sayang, aku telah undur
diri...," gumam Pendeta Sinting seakan
mengeluh. Wajahnya berubah jadi murung.
Namun cuma sesaat. Tak lama kemudian
bibirnya telah membuka dan keluarkan
tawa mengekeh, membuat Malaikat Lembah
Hijau geleng-geleng kepala.
"Hmm.... Biarlah itu menjadi urusan
orang-orang di luar sana. Jikalau Yang
Kuasa menghendaki, cepat atau lambat
misteri ini akan juga terbuka. Hanya saja
kalau segera terbuka, dan orang yang
ditakdirkan memiliki senjata itu orang
baik-baik, maka rimba persilatan akan
menjadi tenang. Setidak-tidaknya segala
fitnah untuk sementara akan reda...."
Pendeta Sinting lantas berpaling.
Dia terkejut. "Astaga! Kenapa kita asyik
ngomong melulu. Bukankah anak itu juga
per!u pertolongan."
Pendeta Sinting lantas geser
tubuhnya ke arah Joko Sableng. Kedua
tangannya pun segera meneliti t-buh
Joko. Karena anak ini tak mengalami
cidera dalam, Pendeta Sinting hanya
memijit-mijit jidat dan dada Joko. Dan
orang tua ini tak menunggu lama. Tubuh
Joko mulai bergerak-gerak. Lalu sepasang
matanya terbuka. Bola mata tajam dan
bening itu sesaat mengerjap, lalu
memandang lurus ke atas. Setelah agak
terbiasa, sepasang mata itu melirik ke
samping. Sepasang alis matanya naik ke
atas. Keningnya berkerut dengan mulut
bergumam tak jelas. Namun wajahnya jelas
mengisyaratkan rasa terkejut bukannya
takut!
"Hmm.... Nyalinya besar juga ini
anak. Anak lain mungkin sudah
terkencing-kencing melihat tampangku.
Ha.... Ha.... Ha...!" Pendeta Sinting
membatin dalam hati dan tertawa sendiri.
"Orang tua... Kek.... Siapakah
kau?!" tiba-tiba Joko Sableng ajukan
pertanyaan seraya bangkit duduk.
Sepasang matanya tak berkedip
memperhatikan raut wajah Pendeta
Sinting. Lalu berpaling ke samping.
Ketika melihat Malaikat Lembah Hijau,
Joko sedikit terkejut dan langsung
menyapa.
"Kek...."
Malaikat Lembah Hijau tersenyum
seraya anggukkan kepalanya.
"Bocah. Siapa namamu?!" Pendeta
Sinting balik ajukan tanya.
"Joko. Tapi teman-teman biasa
memanggilku Joko Sableng," jawab Joko
sambii berpaling lagi pada Pendeta
Sinting.
Mendengar ucapan Joko, Pendeta
Sinting tertawa ngakak.
"Sinting bertemu sableng.... Ha....
Ha.... Ha...! Mana yang lebih geger dari
hal ini?! Bagaimana menurutmu, Bandung
Bandawangsa?!"
Bandung Bandawangsa alias Malaikat
Lembah Hijau menjawab dengan senyum.
"Kek...," ujar Joko sambil
berpaling pada Malaikat Lembah Hijau.
"Bukankah kita tadi, atau kemarin jatuh
dan masuk ke dalam jurang?"
Malaikat Lembah Hijau anggukkan
kepalanya. Memandang lama pada Joko,
lalu berkata pelan.
"Benar, Nak! Tapi kita diselamatkan
oleh kakek ini! Dia adalah tokoh rimba
persilatan yang digelari orang Pendeta
Sinting. Kau harus berterima kasih
padanya."
Mungkin karena terkesima dengan
ucapan Malaikat Lembah Hijau untuk
beberapa, lama Joko terdiam kaku. Hanya
sepasang matanya yang memandang tajam
memperhatikan pada Pendeta Sinting.
"Pendeta Sinting...? Jadi.... Apa
yang pernah diceritakan Paman padaku itu
benar adanya...!" gumam Joko lirih.
"Cerita? Cerita apa?!" sahut
Malaikat Lembah Hijau.
"Paman sering cerita, bahwa pada
puluhan tahun yang silam, hidup seorang
tokoh sakti yang berbudi luhur namun juga
seperti...," Joko tak meneruskan
ucapannya. Matanya meneliti pakaian juga
wajah Pendeta Sinting.
Pendeta Sinting tertawa mengekeh.
"Hai.... Kenapa kau putuskan ucapanmu?
Teruskan! Ayo katakan apa lanjutan
ucapanmu!"
Joko tersedak. Dia rupanya sadar
bahwa dia keceplosan omong. Hingga meski
Pendeta Sinting memerintah untuk
melanjutkan ucapannya, Joko masih diam.
"Bocah! Kau dengar kata-kataku.
Teruskan ucapanmu!"
"Paman bilang kadang-kadang seperti
orang tak waras...," ujar Joko dengan
suara dipelankan.
Malaikat Lembah Hijau menghela
napas panjang. Namun dia maklum, anak
sekecil Joko masih belum bisa mengerti
perasaan orang. Namun sebaliknya Pendeta
Sinting bukannya marah mendengar ucapan
Joko. Orang tua ini malah tertawa
terbahak-bahak. Membuat Malaikat Lembah
Hijau menggeleng tak habis pikir. Joko
pun yang tadinya agak takut-takut
meneruskan ucapannya jadi tersenyum dan
garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba sepasang mata kelabu
Pendeta Sinting membeliak besar. Tawanya
putus mendadak seakan direnggut setan.
Membuat Malaikat Lembah Hijau kerutkan
dahi. Sementara Joko hentikan tangannya
yang menggaruk. Tangan itu tetap di
kepalanya. Diam tak bergerak-gerak.
Kedua orang ini menunggu dengan dada
berdebar. Malaikat Lembah Hijau khawatir
jika Pendeta Sinting marah dibilang
seperti orang tak waras oleh Joko.
"Celaka. Jangan-jangan orang tua
ini tersinggung. Menghadapi orang tua
begini memang susah-susah gampang...."
"Pendeta...," kata Malaikat Lembah
Hijau akan memintakan maaf jika ucapan
Joko tadi memang menyinggung
perasaannya. Namun sebelum Malaikat
Lembah Hijau meneruskan ucapannya,
Pendeta Sinting angkat tangannya memberi
isyarat padanya untuk tidak teruskan
ucapan, membuat Malaikat Lembah Hijau
memandang lekat-lekat pada orang tua di
hadapannya. Saat itulah Malaikat Lembah
Hijau baru tahu jika sepasang mata orang
tua itu menatap bukan pada wajah Joko,
melainkan pada telapak tangan kirinya
yang diam di atas kepalanya. Dan
serta-merta sepasang mata Malaikat
Lembah Hijau ikut-ikutan membelalak.
Malah mungkin merasa kurang yakin, dia
condongkan tubuhnya ke depan, membuka
lebar-lebar sepasang matanya. Dan
lukisan itu memang benar-benar terlihat
meski samar-samar. Melihat dirinya
dipandangi oleh dua orang tua di
hadapannya demikian rupa, membuat Joko
Sableng salah tingkah. Buru-buru anak
ini turunkan tangannya, lalu menunduk.
"Bandung Bandawangsa. Kau
melihatnya bukan?!" tiba-tiba Pendeta
Sinting ajukan pertanyaan.
"Benar, Pendeta. Aku melihatnya!"
jawab Malaikat Lembah Hijau seraya
menatap sekujur tubuh Joko.
Sebenarnya kedua orang tua itu
secara tak sengaja telah dapat melihat
sebuah lukisan bergambar seorang tua
bersorban pada telapak tangan kiri Joko
sewaktu anak itu menggaruk kepalanya.
"Joko. Siapa orangtuamu?!" Pendeta
Sinting angkat bicara setelah agak lama
terdiam.
Joko angkat kepalanya. Memandang
sejenak pada Pendeta Sinting lalu pada
Malaikat Lembah Hijau.
"Aku tak tahu. Karena keduanya telah
meninggal saat aku masih kecil. Aku hidup
bersama Paman, adik ayahku...."
"Apakah kau masih ingin kembali
pulang?!"
Joko Sableng diam sesaat. Anak ini
terlihat ragu-ragu. Sebenarnya dalam
hatinya sangat gembira dan hampir tak
percaya jika dia dapat bertemu dengan
orang yang selama ini hanya didengarnya
lewat cerita-cerita pamannya. Keinginan
hatinya yang besar untuk belajar silat
muncul. Namun di lain pihak dia khawatir
dengan pamannya. Karena kepergiannya
tanpa pamit terlebih dahulu.
"Joko. Kalau kau ingin di sini
bersamaku, aku senang sekali! Soal
kepergianmu, biarlah nanti Bandung
Bandawangsa yang mengatakan pada
pamanmu!" kata Pendeta Sinting.
"Hmm.... Rupanya pendeta ini ingin
mengambil anak ini sebagai murid! Ah,
sungguh sangat beruntung anak ini...,"
batin Malaikat Lembah Hijau begitu
mendengar ucapan Pendeta Sinting.
Laki-laki berpakaian selempang resi ini
anggukkan kepalanya dan berkata.
"Benar, Joko. Masalah dengan
pamanmu, biar nanti aku yang
menceritakannya. Kurasa dia tak akan
keberatan."
"Apakah.... Apakah kalau aku di sini
Eyang mau mengajari ilmu silat?!" tanya
Joko sambil arahkan pandangannya pada
tempat sekitarnya.
Pendeta Sinting tertawa mengekeh.
"Masalah ini belum bisa kuputuskan. Kita
lihat saja nanti! Kalau kau kuat dan
berbakat, hal ini tak akan sulit."
"Aku kuat, Eyang!" sahut Joko cepat,
membuat Malaikat Lembah Hijau dan
Pendeta Sinting tertawa berbarengan.
"Dan aku mau tinggal di sini asalkan
Eyang mau mengajariku ilmu silat!"
"Baiklah. Itu urusan nanti. Yang
penting kau mau tinggal di sini
menemaniku!" ujar Pendeta Sinting.
Saat itulah tiba-tiba Malaikat
Lembah Hijau mengerang. Wajahnya
mendadak pucat pasi. Tubuhnya gemetar
dengan bahu berguncang.
"Punggungku...," hanya itu ucapan
yang terlontar dari mulutnya. Bersamaan
dengan itu laki-laki ini terhumbalang
jatuh menelentang.
"Edan! Kenapa lagi orang ini?
Punggung...? Sialan. Jangan-jangan
punggungnya cidera. Bodohnya aku, kenapa
tadi punggungnya tak kuperiksa?!" gumam
Pendeta Sinting, lalu buru-buru
mendekat. Dengan cepat tangannya
bergerak membalikkan tubuh Malaikat
Lembah Hijau. Sementara Joko hanya
memandang tak tahu apa yang harus
diperbuat.
Pendeta Sinting cepat memeriksa
punggung Malaikat Lembah Hijau. Mungkin
karena terhalang pakaiannya, orang tua
ini segera menyibakkan pakaian Malaikat
Lembah Hijau.
Begitu punggung Malaikat Lembah
Hijau tersingkap, Pendeta Sinting
terkesiap kaget. Dia tersentak...
***
DELAPAN
DI punggung Malaikat Lembah Hijau,
Pendeta Sinting melihat guratan tulisan!
Untuk beberapa lama kakek ini diam tak
bergerak dengan mata memandang tak
berkedip. Sementara Joko Sableng sendiri
ikut-ikutan memandang ke arah punggung
Malaikat Lembah Hijau. Entah karena
masih tak mengerti, wajah anak ini tak
menunjukkan rasa terkejut. Malah
sebaliknya tersenyum seraya memasukkan
jari keiingkingnya ke lubang telinganya
hingga dia menggelinjang dan meringis.
Setelah dapat mengatasi
ketersimaannya, Pendeta Sinting
condongkan tubuhnya ke depan. Lalu
membaca tulisan itu.
Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan
Keramat. Puncak Bukit Sono Keling. Bulan
Sepenggal.
Meski tulisan itu samar-samar dan
buruk, namun Pendeta Sinting masih dapat
membacanya. Bahkan orang tua ini
membacanya beberapa kaii.
"Hm.... Tak salah jika beberapa
tokoh edan itu mengejar-ngejarnya.
Ternyata dia memang membawa petunjuk
tentang pedang mustika itu! Pasti
tulisan ini dibuat oleh mendiang Ki Buyut
Mangun Raksa tanpa sepengetahuan Bandung
Bandawangsa...," Pendeta Sinting
menghela napas panjang. Lalu melirik
sekilas pada Joko Sableng yang kini asyik
mengorek-ngorek lumut tebal hijau di
sampingnya.
Tiba-tiba kening Pendeta Sinting
mengernyit. Dia teringat sesuatu.
"Astaga! Bukankah hal yang kutemui
saat ini hampir sama dengan mimpiku? Aku
bermimpi didatangi seorang laki-laki dan
seorang anak kecil. Si anak datang sambil
mengacungkan tangan kirinya ke atas
dengan telapak tangan terbuka, sementara
si laki-laki datang dengan membawa
sebuah pedang.... Dan masih kuingat
sebuah suara yang tiba-tiba menyeruak
bersama kedatangan kedua orang itu.
'Anak ini yang kelak ditentukan untuk
memiliki pedang itu. Rawat dan jagalah!'
Hm.... Sepertinya sebuah perintah.
Ah.... Mimpiku benar-benar jadi
kenyataan. Jadi aku harus merawat dan
menjaga anak ini. Dan menuntunnya untuk
mendapatkan pedang itu jika sampai
saatnya. Hmm...."
Tiba-tiba Malaikat Lembah Hijau
kembali perdengarkan erangan, membuat
Pendeta Sinting terjaga dari lamunannya.
Cepat, kakek ini tempelkan kedua ta-
ngannya pada punggung Malaikat Lembah
Hijau yang memang berwarna biru akibat
pukulan Hantu Makam Setan.
Setelah agak lama Pendeta Sinting
kerahkan tenaga dalam dan disalurkan
pada punggung Malaikat Lembah Hijau,
perlahan-lahan warna biru akibat pukulan
Hantu Makam Setan sirna, dan bersamaan
itu Malaikat Lembah Hijau kembali
bergerak-gerak. Anehnya, bersamaan
dengan sirnanya warna biru, tulisan di
punggung Malaikat Lembah Hijau juga
lenyap!
"Aneh.... Kalau bukan seseorang
yang memiliki ilmu tinggi, tak mungkin
bisa melakukan hal seperti ini...,"
desis Pendeta Sinting, lalu tarik kedua
tangannya.
Malaikat Lembah Hijau
perlahan-lahan bergerak bangkit. Lalu
duduk seperti semula. "Terima kasih,
Pendeta.... Ini pasti akibat pukulan
Hantu Makam Setan yang kuceritakan
padamu itu, Pendeta!"
Pendeta Sinting tidak menanggapi
ucapan Malaikat Lembah Hijau. Malah dia
balik ajukan tanya.
"Bandung Bandawangsa. Kutanya
padamu. Tapi ingat, jangan kau berkata
dusta padaku. Kau dengar?l"
Meski dengan wajah heran, Malaikat
Lembah Hijau anggukkan kepalanya.
"Tak ada untungnya aku bicara dusta
padamu, Pendeta. Katakanlah!"
"Apakah mendiang gurumu memang tak
pernah cerita tentang pedang mustika
itu?!"
"Seperti yang tadi kukatakan. Guru
Ki Buyut Mangun Raksa memang tak pernah
cerita apa-apa tentang pedang itu,
Pendeta. Kenapa pendeta menanyakan hal
itu lagi?!"
Pendeta Sinting tidak segera
berkata. Memandang sejenak pada
Malaikat-Lembah Hijau lalu tengadah.
"Dengar. Aku telah menemukan
petunjuk tentang pedang mustikan itu
pada dirimu!"
Malaikat Lembah Hijau tercengang.
Mungkin takut kalau disangka dia berkata
dusta, laki-laki ini segera berkata.
"Tapi, Pendeta. Guru memang
benar-benar tak pernah memberikan
petunjuk itu padaku. Dan aku pun tak
tahu! Kalau tak keberatan, boleh aku tahu
di mana dan bagaimana petunjuknya?!"
"Sebelum kukatakan, jawab lagi
pertanyaanku. Apakah gurumu pernah
menulis sesuatu pada tubuhmu?!"
Malaikat Lembah Hijau terdiam.
Keningnya berkerut seakan mengingat.
Lalu kepalanya menggeleng perlahan.
"Rasa-rasanya tak pernah. Hanya
saja...."
"Hanya saja apa?!" tukas Pendeta
Sinting.
"Sewaktu latihan, aku pernah cidera
di bagian punggung. Waktu itu Guru
mengobati. Namun waktu itu aku merasa
aneh, karena cara mengobatinya dengan
menggunakan ijuk keras yang
ditoreh-torehkan di punggungku. Padahal
biasanya Guru mengobatiku dengan
salurkan tenaganya lewat teiapak tangan.
Namun aku waktu itu diam saja."
"Hm.... Jika demikian, tulisan itu
bisa dipercaya!" gumam Pendeta Sinting,
membuat Malaikat Lembah Hijau makin
penasaran.
"Tulisan, Pendeta maksud tulisan
mana?!"
"Dengar, Bandung Bandawangsa. Di
punggungmu aku melihat tulisan yang
memberi petunjuk tentang beradanya
Pedang Tumpul yang kini diperebutkan
oleh orang-orang rimba persilatan. Dan
mendengar ceritamu, aku yakin bahwa yang
menulis itu adalah gurumu"
Malaikat Lembah Hijau terperangah.
Dia hampir tak percaya dengan apa yang
didengarnya. Namun sebelum laki-laki ini
hilang rasa terkejutnya, Pendeta Sinting
telah ajukan pertanyaan.
"Apakah kau berniat memiliki
senjata itu?!" "Pendeta.... Kalau
mendiang Guru tidak pernah mengatakan
padaku, dan hanya menuliskan di
punggungku, aku bisa menebak jika pedang
itu tidak ditentukan untukku! Jadi
percuma aku memburu atau berniat
memilikinya! Biarlah pedang itu dimiliki
oleh orang yang ditentukan untuk
memilikinya!"
"Hmm.... Bagus. Orang sadar diri
seperti kau sulit ditemui saat ini.
Kebanyakan orang, mereka tak sadar dan
terus memburu sesuatu yang di luar
jangkauannya. Hingga mereka terperosok!
Anehnya, dalam keterperosokannya itu
mereka bangga! Gila...."
Pendeta Sinting lantas melirik ke
samping. Dilihatnya Joko telah tertidur
di atas lumut hijau! Orang tua ini
menggeleng, lalu berpaling pada Malaikat
Lembah Hijau. Setelah batuk-batuk
beberapa kali orang tua ini menceritakan
mimpinya pada Malaikat Lembah Hijau.
"Bagaimana menurutmu?!" tanyanya
setelah menceritakan mimpinya.
Malaikat Lembah Hijau coba
menguasai diri dari rasa terkejutnya
dahulu setelah mendengar cerita mimpi
orang tua di hadapannya. Lalu berkata.
"Menilik mimpimu, aku beranggapan
bahwa memang anak ini yang ditentukan
untuk memiliki pedang itu!"
"Hmm.... Dugaanmu sama dengan
perkiraanku. Namun seperti suara yang
kudengar, untuk sementara waktu anak ini
akan kurawat, hingga tiba saatnya nanti.
Lagi pula sambil jalan aku akan
menyelidik apa makna tulisan di telapak
tangan anak ini. Tentunya menyimpan
sesuatu!"
Beberapa saat berlalu, kedua orang
ini lantas saling diam, seakan berpikir
dengan perasaan masing-masing. Namun tak
lama kemudian Malaikat Lembah Hijau
angkat bicara.
"Pendeta.... Rasanya aku sudah agak
baik. Perkenankan aku pamit."
"Hmm.... Begitu? Baik. Tapi kau
harus tetap berhati-hati. Jiwamu masih
menjadi incaran banyak orang. Apalagi
jika berita itu telah menyebar
kemana-mana."
"Segala ucapanmu akan kuperhatikan,
Pendeta!" ujar Malaikat Lembah Hijau
pelan, lalu menyambung.
"Untuk menghindarkan hal-hal yang
tidak kuinginkan, bisakah Pendeta
menolong menghilangkan tulisan pada
punggungku ini?!"
Penghuni jurang Tlatah Perak ini
tertawa mengekeh. "Kau ternyata belum
kenal betul dengan gurumu!"
"Maksud Pendeta...?!"
"Bukan Ki Buyut Mangun Raksa jika
bertindak bodoh. Tulisan itu telah
lenyap begitu aku salurkan tenaga dalam
lewat punggungmu!"
"Ah...," hanya keluhan itu yang
terdengar dari mulut Malaikat Lembah
Hijau. Setelah terdiam beberapa saat,
laki-laki ini menjura hormat, lalu
berkata.
"Jika demikian, aku pamit sekarang,
Pendeta...."
Pendeta Sinting anggukkan kepala.
"Jangan lupa, temui pamannya Joko. Dan
ceritakan apa adanya!"
"Akan kulakukan, Pendeta.... Aku
mohon diri...," Malaikat Lembah Hijau
bergerak bangkit. Merapikan pakaiannya
sebentar, lalu tengadah. Tiba-tiba dia
seakan baru sadar jika saat itu dirinya
ada di dalam jurang yang dalam.
"Astaga! Tak mungkin bagiku
melewati tebing yang demikian dalam...."
"Bandung Bandawangsa. Turutlah
jalan setapak ini. Pada sebuah pohon
beringin kembar kau belok ke kanan. Jalan
terus melewati jalan setapak. Hingga kau
menemukan aliran sungai. Dari sana kau
bisa mendaki!" berkata Pendeta Sinting
seolah mengerti apa yang ada dalam benak
Malaikat Lembah Hijau.
Malaikat Lembah Hijau mengangguk,
lalu putar tubuhnya dan melangkah
menapaki jalan yang telah disebutkan
penghuni jurang Tlatah Perak itu.
Sejak hari itulah Joko Sableng hidup
di dalam jurang Tlatah Perak bersama
Pendeta Sinting.
***
SEMBILAN
ADALAH suatu hal yang aneh jika
dalam sebuah tempat yang orang tak
menyangka bakal dihuni manusia terjadi
suatu pemandangan yang menakjubkan.
Betapa tidak? Seorang pemuda berparas
tampan, berambut panjang berurai dan
acak-acakan sedang berdiri tegak di atas
sebuah tonjolan batu pipih yang menonjol
pada lamping jurang. Sejenak pemuda ini
memandang liar ke bawah, di mana terlihat
seorang kakek sedang duduk bersila
seraya memejamkan mata. Namun mulutnya
tak henti-hentinya komat-kamit, dan tak
lama kemudian tertawa ngakak.
Namun tiba-tiba saja kedua
tangannya yang merangkap di depan dada
bergerak dan memukul ke atas.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua gelombang angin dahsyat segera
melesat dengan diiringi suara
menggemuruh.
Di atas sana, sang pemuda
ikut-ikutan tertawa, namun sebentar
kemudian telah melesat bersamaan dengan
sampainya pukulan si kakek.
Suara berderak segera menyeruak.
Lamping jurang itu hancur berantakan dan
meninggalkan lubang sedalam setengah
depa!
Sang kakek melirik ke samping kanan,
di mana si pemuda kini berada. Kedua
tangannya lantas diangkat ke atas
kepala. Serta-merta kedua tangannya
dikembangkan dan disentakkan ke arah si
pemuda.
Dua berkas sinar melesat lalu
mengembang dan serta-merta berhamburan
membentuk beberapa pijaran. Pijaran itu
lantas melesat dari segala arah menuju ke
arah si pemuda!
Sang pemuda tak tinggal diam. Kedua
tangannya segera pula mengembang, lalu
disentakkan.
Dari kedua tangan si pemuda segera
pula melesat dua sinar kuning keperakan.
Bersamaan dengan itu, suasana berubah
menjadi semburat warna kuning. Tak lama
kemudian terdengar beberapa kali letupan
keras tatkala bersitan sinar kuning tadi
menghantam beberapa pijaran. Setiap kali
letupan, tanah di tempat itu bergetar
keras. Hingga di tempat itu laksana
dilanda gempa beberapa kali. Tanah pun
berhamburan, semak belukar tercerabut
sampai akar-akarnya. Begitu tanah surut,
si pemuda terlihat terhuyuhg-huyung,
namun segera dapat kuasai diri.
Sedangkan sang kakek tubuhnya
bergoyang-goyang sebentar. Namun cuma
sesaat. Sekejap kemudian tubuhnya telah
diam seperti sediakala. Malah bersamaan
dengan itu dari mulutnya terdengar suara
tawa mengekeh panjang. Tiba-tiba si
kakek putuskan tawanya. Kaki bergerak ke
depan lalu ditekuk, hingga kakek ini
duduk bersimpuh. Sepasang matanya yang
kelabu sedikit memejam. Mulut berkemik.
Tiba-tiba saja kedua tangan orang ini
berubah menjadi kuning bercahaya.
Sang pemuda terperangah. Sepasang
matanya yang tajam memandang tak
berkedip.
"Busyet! Dia hendak lepaskan
pukulan 'Lembur Kuning'...," sungut si
pemuda dengan dada berdebar. Dan tanpa
menunggu si orang tua menggerakkan kedua
tangannya, pemuda ini cepat pula
mengambil sikap seperti si orang tua.
Kedua tangan merangkap sejajar dada,
sepasang mata sedikit terpejam dengan
mulut komat-kamit. Seperti yang terjadi
pada si orang tua, kedua tangan pemuda
ini sekejap kemudian telah berubah
menjadi kuning bercahaya!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Di depan sana, sekonyong-konyong si
orang tua buka rangkapan kedua
tangannya. Dan serta-merta kedua
tangannya dikembangkan dan disentakkan
ke arah si pemuda!
Tangan bergetar keras. Dua sinar
kuning keperakan melesat keluar. Pada
saat bersamaan, suasana ditempat itu
berubah menjadi semburat warna kuning.
Inilah pukulan sakti yang beberapa puluh
tahun silam pernah menggemparkan rimba
persilatan, yakni pukulan 'Lembur
Kuning'!
Di seberang sana, mendapati si orang
tua telah lepaskan pukulan, sang pemuda
tak tinggal diam. Kedua tangannya pun
dikembangkan dan segera dihantamkan
memapak pukulan si orang tua.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua sinar kuning melesat dari kedua
telapak tangan si pemuda lalu mengembang
dan menggebrak memapak pukulan yang
datang.
Dua pukulan sakti 'Lembur Kuning'
bentrok di udara. Hingga sekejap itu juga
terdengar ledakan dahsyat, membuat semak
belukar di sekitar tempata itu
porak-poranda, tanah di sana-sini
membentuk kubangan. Ranting dan
dahan-dahan pohon berpatahan, rimbun
dedaunan di atas sana langsung mengering
hangus sebelum akhirnya gugur
berhamburan.
Ketika suasana terang kembali, si
orang tua terlihat mengurut dada seraya
batuk-batuk kecil, tubuhnya bergeser
hingga beberapa langkah ke belakang.
Dahi dan lehernya tampak dilelehi
keringat.
Di seberang, si pemuda terjajar
hingga dua tombak dan terduduk di atas
tanah. Wajahnya pucat pasi, kedua
tangannya bergetar dengan sekujur tubuh
telah basah kuyup oleh keringat.
"Sontoloyo! Sini kau!" tiba-tiba si
kakek memanggil dengan anggukkan
kepalanya pada sang pemuda.
Sang pemuda masukkan jari
kelingkingnya pada lubang telinganya
hingga wajahnya meringis. Lalu bangkit
dan melangkah ke arah si kakek.
"Duduk!" perintah si kakek. Sang
pemuda menuruti perintah. Dia duduk
namun tak henti-hentinya wajahnya
meringis, karena jari kelingkingnya
masih masuk ke dalam lubang telinganya,
malah seolah disengaja, jari kelingking
dimasukkan semakin dalam, hingga
tubuhnya terangkat dengan cengengesan!
Anehnya, sang kakek tidak marah,
sebaliknya malah ikut-ikutan tertawa!
Setelah puas tertawa, kakek ini
memandang tajam pada sang pemuda. Lalu
berkata.
"Joko. Aku ingin bicara denganmu!"
"Aha.... Ingin bicara kenapa
berkata dulu, Eyang...?"
"Sontoloyo, Ini soal sungguhan!
Tidak bercandal" tukas si kakek dengan
suara agak keras. Namun wajahnya tak
menunjukkan perasaan marah.
"Hmm.... Soal apa Eyang?" tanya sang
pemuda begitu melihat kesungguhaan pada
wajah orang tua di hadapannya.
"Joko. Tuhan menciptakan sesuatu
berpasang-pasangan. Ada laki-laki ada
perempuan. Ada siang ada malam. Ada luar
ada dalam. Ada pertemuan ada
perpisahan...," sejenak si kakek
menghentikan ucapannya. Sementara sang
pemuda terpekur, seakan masih tak
mengerti dengan arah pembicaraan orang
tua di hadapannya.
"Hari ini, kita harus menjalani
pasangan dari pertemuan!"
"Maksud Eyang...."
"Kurasa apa yang kuberikan padamu
selama kau disini, sudah cukup. Pukulan
'Lebur Kuning' telah kau kuasai dengan
baik, demikian pula jurus-jurus yang te-
lah kuajarkan padamu! Tapi ingat. Apa
yang sekarang telah kau miliki, tidak ada
apa-apanya bila dibandingkan dengan apa
yang dimiliki Tuhan. Ilmu yang kau mi-
liki, hanya sebagian kecil dari ilmunya
Tuhan. Maka dari itu jangan kau bersifat
sombong. Meremehkan orang lain!"
"Saya mengerti, Eyang...."
"Kembali pada ucapanku tadi, hari
ini sudah saatnya kita harus berpisah!
Sudah waktunya kau mengamalkan apa yang
telah kau miiikl untuk ketenangan dan
kedamaian umat manusia."
"Tapi, Eyang...."
"Tak ada tapi. Harus! Kau dengar?
Harus!" sahut sang kakek tandas.
Sang pemuda yang bukan lain adalah
Joko Sableng, memandang lekat-lekat pada
orang tua di hadapannya yang bukan lain
adalah Pendeta Sinting. Memang, tanpa
terasa, delapan tahun sudah Joko berdiam
diri bersama Pendeta Sinting di dalam
jurang Tlatah Perak. Selama itu pula,
siang malam Joko mendapat gembelengan
ilmu silat dari orang tua yang pada
beberapa puluh tahun silam pernah
menggegerkan rimba persilatan itu. Tubuh
Joko pun kini telah berubah. Sosoknya
kini tegap. Kedua tangannya berotot
dengan kaki kokoh.
"Joko. Ada satu hal yang harus kau
kerjakan begitu kau menginjak tanah di
luar sana. Ingat. Hal ini harus kau
kerjakan! Tanpa berpaling pada masalah
lain!"
"Apa hal itu, Eyang...?!" sahut Joko
dengan suara agak parau, karena pemuda
ini sebenarnya tidak menyangka jika hari
ini adalah hari terakhir baginya berada
di dalam jurang Tlatah Perak. Dia seakan
masih tak percaya dengan apa yang baru
saja dikatakan oleh gurunya itu.
"Seperti yang sering kukatakan
padamu, saat ini rimba persilatan sedang
diguncang dengan berita tentang Pedang
Tumpul yang dari dahulu hingga kini belum
juga terbuka misterinya! Kau kutugaskan
untuk melacak pedang mustika itu!"
Joko Sableng manggut-manggut.
Pendeta Sinting tengadahkan kepalanya.
Lalu melanjutkan.
"Kau masih ingat dengan Bandung
Bandawangsa? Orang tua yang terjun ke
jurang ini bersamamu dahulu?!"
Joko mengangguk. Sementara Pendeta
Sinting terus tengadah.
"Orang itu membawa petunjuk tentang
di mana beradanya pedang mustika itu!"
Joko Sableng tersentak kaget.
Matanya membesar. Namun sebentar
kemudian wajahnya berubah. Dia tampak
ragu-ragu. Lalu mengutarakan apa yang
diragukannya pada Pendeta Sinting.
"Eyang, apakah petunjuk dari
Bandung Bandawangsa bisa dipercaya?!"
Penghuni jurang Tlatah Perak itu
tertawa, lalu luruskan kepalanya.
"Jangan tanyakan hal itu padaku. Aku
tak dapat memastikannya. Hanya saja
kelak kau akan mendapatkan jawaban dari
pertanyaan itu setelah kau menyelidik!"
Joko terdiam. Dia lantas teringat
sewaktu menolong Bandung Bandawangsa
yang waktu itu dikejar-kejar oleh Hantu
Makam Setan dan Dewi Asmara. Dia juga
masih ingat, Hantu Makam Setan meminta
sesuatu tentang petunjuk pedang mustika.
"Kalau tokoh-tokoh hebat mengejar
dia, rasa-rasanya tidak mustahil jika
dia memang mempunyai petunjuk itu...,"
memikir sampai di situ keragu-raguan
Joko sedikit hilang. Pemuda murid
Pendeta Sinting ini lantas bertanya.
"Katakanlah, Eyang. Di mana
beradanya pedang mustika itu?"
"Kau dengar baik-baik petunjuk yang
pernah kubaca Itu. Pedang Tumpul 131.
Pesanggrahan Keramat. Puncak Bukit Sono
Keling. Bulan Sepenggal. Nah, kau
jabarkan sendiri petunjuk itu!"
Joko Sableng mengulangi petunjuk
yang diucapkan Pendeta Sinting. Dahinya
berkerut seakan mencari arti dari
petunjuk itu.
"Pedang Tumpul 131. Hm.... Ini pasti
nama pedang mustika itu. Pesanggrahan
Keramat. Hmm.... Pesanggrahan....
Adalah tempat dimakamkannya seseorang
yang dianggap sakti. Puncak bukit Sono
Keling. Ini pasti tempat makam orang
sakti itu. Bulan Sepenggal.... Apa
artinya ini?!"
Belum sempat Joko menemukan arti
kata-kata pada petunjuk terakhir itu
Pendeta Sinting telah buka suara lagi.
"Joko. Kau sudah siap berangkat?!"
Joko anggukkan kepala meski hatinya
mesih ada beberapa pertanyaan. Dia
sebenarnya hendak menanyakan hal itu
pada gurunya namun dia batalkan. Karena
dia tak mau dianggap manusia yang tak mau
berpikir.
Setelah memandang sejenak pada
gurunya, Joko menjura dalam-dalam. Lalu
bergerak bangkit.
"Joko.... Hari-hari di depanmu
sangat berat dan sudah pasti sarat dengan
berbagai cobaan dan tantangan karena
rimba persilatan selalu dan selalu
dihiasai dengan segala macam fitnah,
kelicikan, dendam juga hasutan!
Pergunakan otak bersih dan kepala dingin
dalam menghadapi segala masalah! Segala
masalah tujukan hanya demi untuk
kedamaian dan ketenteraman umat
manusia!"
"Segala ucapan Eyang sedapat
mungkin akan murid lakukan! Aku mohon
pamit, Eyang...."
Pendeta Sinting anggukkan
kepalanya, lalu memandang tajam pada
Joko Sableng. Joko Sableng menjura
sekali lagi, lalu putar tubuhnya dan
melangkah melewati jalan setapak.
Kira-kira dapat lima belas langkah,
kepalanya tengadah. Lalu berpaling
sebentar pada Pendeta Sinting, namun
ternyata orang tua itu sudah tidak ada
lagi di tempatnya semula!
Joko menggumam tak jelas, lalu
tengadah lagi. Sekejap kemudian tubuhnya
melesat ke atas, menjejak tonjolan batu
di lamping jurang lalu mental lagi ke
atas, menjejak lagi tonjolan pada
lamping jurang sampai akhirnya
menginjaktanah di bibir jurang. Masa
delapan tahun di dalam jurang Tlatah
Perak telah membuat pemuda itu hapal
tonjolan-tonjolan tebing yang dapat
dipijaknya. Sehingga Joko mampu mendaki
tebing jurang yang dalam itu.
Sejenak sepasang matanya memandang
berkeliling. Lalu berpaling ke bawah.
Hanya kegelapan yang terlihat.
"Hm...Delapan tahun Paman
kutinggalkan. Sebelum menjalankan tugas
Guru, aku akan menemui Paman terlebih
dahulu. Selain melepas rasa rindu, siapa
tahu Paman tahu tempat yang hendak
kutuju...." Setelah menghela napas
panjang dan dalam pemuda ini berkelebat
meninggalkan tempat itu.
***
"Hmm.... Kulihat telah banyak
perubahan dengan kampung ini. Delapan
tahun ternyata telah mampu membuatku
hampir lupa karena begitu banyaknya per-
ubahan.... Kalau saja masa kecilku tidak
di daerah sekitar sini, mungkin aku tidak
akan bisa mengenali lagi kampung ini.
Apakah Paman masih ingat dengan diriku?"
Joko berkata sendiri dalam hati serayaa
terus melangkah menyusuri Kampung Anyar
dengan sepasang mata tak hentinya
memperhatikan tempat-tempat yang
dilewati.
Sampai pada sudut kampung, tepatnya
di depan sebuah rumah kayu yang letaknya
berbatasan dengan jalan menuju hutan,
Joko hentikan langkahnya sejenak.
Sepasang matanya memandang tajam pada
rumah kayu terpencil itu.
"Rumah itu, masih tetap seperti
delapan tahun yang lalu.... Tak ada
perubahan di sini...," gumam Joko lalu
meneruskan langkah menuju rumah kayu
yang pintunya tampak tertutup.
"Paman...!" seru Joko begitu telah
berada di depan pintu.
Tak ada sahutan dari dalam rumah,
namun sepasang telinga Joko yang telah
terlatih dapat menangkap
langkah-langkah kaki menuju ke pintu.
Dada pemuda ini berdebar. Mungkin tak
sabar, kedua tangannya segera bergerak
ke depan mendorong pintu.
Bersamaan dengan itu, dari dalam
rumah, pintu itu ditarik membuka.
Debaran dada Joko makin keras, sepasang
matanya tak berkedip dengan mulut
komat-kamit ketika di balik pintu yang
telah terbuka, tampak berdiri seorang
laki-laki berusia ianjut. Rambutnya
telah putih dengan mata sayu.
Di balik pintu, si orang tua sejurus
memandangi pemuda di hadapannya dengan
mata menyipit dan membesar. Dahinya yang
telah mengeriput makin berkerut. Sebelum
orang tua ini keluarkan suara untuk
menanyakan siapa adanya sang tamu, Joko
telah melangkah masuk dan serta-merta
menubruk orang tua itu.
"Paman.... Aku Joko...," desis Joko
dengan suara parau dan tersendat.
Entah karena terkesima atau
terkejut, si orang tua hanya diam saja.
"Paman.... Aku Joko Sableng...,"
ulang Joko tatkala dilihatnya si orang
tua hanya diam.
"Joko Sableng...," gumam si orang
tua mengulangi ucapan Joko. Serta-merta
orang tua ini merangkul Joko dengan mulut
komat-kamit tapi tak jelas apa yang
diucapkan. Namun dari wajahnya jelas
jika orang tua ini sangat gembira dan
terharu. Hingga untuk beberapa lamanya,
orang tua ini tak mau melepaskan
rangkulan tangannya. Kedua orang ini
sama melepaskan kerinduan.
"Paman.... Bagaimana keadaanmu
selama ini?" "Aku baik-baik saja dan aku
senang melihat kau segar bugar.... Aku
bahkan hampir tak mengenalimu lagi,
karena kau telah berubah...."
Paman Joko melepaskan rangkulannya.
Lalu menarik sedikit tubuhnya ke
belakang. Sepasang matanya yang sayu
memandangi Joko dari atas hingga bawah.
"Joko.... Aku tak menduga jika semua
ini terjadi...," ucap pamannya masih
dengan mata tak berkedip seolah tak
mempercayai penglihatannya.
Joko tersenyum. Lalu menebarkan
pandangannya ke seluruh ruangan.
"Paman. Maaf kan aku. Karena saat
itu aku tak pamit padamu...."
Sang paman menarik napas panjang
seraya gelengkan kepala.
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku
telah mendengar semuanya dari Pendekar
Malaikat Lembah Hijau. Kau sungguh
beruntung, Joko. Hanya pesanku....
Kuharap kau tak berubah meski aku yakin,
kau sekarang bukan lagi Joko yang delapan
tahun lalu. Jangan kau bersifat jumawa
walau kau sekarang telah diangkat murid
oleh seorang tokoh silat yang kesohor!"
"Segala nasihatmu akan terus
kuingat, Paman...."
"Bagus.... Aku sangat gembira
mendengarnya...."
"Paman. Sebenarnya aku masih punya
sesuatu yang harus kuselesaikan...."
Sang paman menarik napas. Wajahnya
sedikit murung.
"Joko. Aku tahu. Tapi untuk
menghilangkan rindu ini, kuharap kau
malam ini mau menginap di sini. Meski aku
telah mendengar ceritamu dari Pendekar
Malaikat Lembah Hijau, aku masih ingin
mendengar dari dirimu sendiri. Sekarang
kau mungkin masih lelah. Beristirahatlah
dulu. Nanti malam kita teruskan obrolan
kita. Setelah itu kau boleh meneruskan
perjalanan jika memang ada yang harus kau
selesaikan."
Karena tak mau mengecewakan orang
tua yang telah merawat dan mendidiknya
sejak kecil, murid Pendeta Sinting ini
akhirnya anggukkan kepalanya dengan
tersenyum.
"Aku akan ke pancuran dulu, Paman.
Aku kangen dengan situasi di situ!"
Sang paman hanya tersenyum dan
memandangi Joko yang telah putar
tubuhnya dan melangkah menuju pancuran
di dekat hutan.
"Benar-benar tidak disangka....
Hm.... Semoga anak Ini bisa membawa diri
dan menjadi seorang pendekar muda yang
berbudi...," ujar sang paman dengan
memandangi langkah-langkah Joko sampai
pemuda ini menghilang di tikungan jalan
setapak menuju pancuran.
***
SEPULUH
MUNGKIN karena satu-satunya yang
ada, kedai di sudut desa yang tidak
terlalu besar dan sedikit kotor itu
banyak didatangi para pengunjung. Be-
berapa ekor kuda tampak ditambatkan di
sebelah samping kedai, memberi petunjuk
jika pengunjung kedai itu bukan hanya
datang dari kampung sekitar daerah itu
saja, melainkan juga datang dari kampung
lain.
Dari arah barat kedai, seorang
pemuda terlihat melangkah pelan seraya
memperhatikan keadaan sekitar yang
dilewatinya. Beberapa kali kepalanya
berpaling ke kanan kiri dengan mata
sedikit dilebarkan, sementara mulutnya
tak henti-hentinya bergumam tak jelas,
seakan menunjukkan bahwa sang pemuda
adalah bukan penduduk asli kampung itu.
Pemuda ini rnengenakan pakaian
putih dengan ikat kepala berwarna putih
juga. Rambutnya panjang sedikit
acak-acakan, sepasang matanya tajam
dengan alis mata tebal dan hitam. Dagunya
kokoh dengan hidung sedikit mancung.
Sosoknya tegap dengan dada bidang.
Begitu sampai di halaman kedai,
pemuda itu hentikan langkahnya. Sepasang
matanya jelalatan ke sana kemari, lalu
memandang lurus ke dalam kedai. Sejurus
pemuda ini menghela napas panjang.
Wajahnya jelas menampakkan
keragu-raguan di hatinya, antara mene-
ruskan langkah dan masuk kedai, karena
beberapa kali pemuda ini melangkah
mondar-mandir dengan mata memandang ke
sebelah timur lalu berpaling ke arah
kedai.
Setelah berpikir agak lama,
akhirnya pemuda ini melangkah ke arah
kedai. Di pintu masuk, dia hentikan
langkah. Sepasang matanya menyapu ke
ruangan di mana banyak para pengunjung
sedang menikmati hidangannya. Bibir si
pemuda mengulas senyum, namun sesaat
kemudian berubah menjadi ringisan. Puas
memandang ke seluruh ruangan, dia
meneruskan langkah masuk ke dalam kedai.
Anehnya, dia tak segera mencari tempat
duduk yang kosong, melainkan terus
melangkah ke arah dalam, di mana banyak
pelayan kedai sedang menyiapkan makanan
pesanan pengunjung.
Merasa ada orang tak dikenal
melangkah hendak masuk ke dalam, pemiiik
kedai buru-buru menyongsong dengan
senyum tipis. Dahinya berkerut dan
memperhatikan pada sang pemuda dengan
mata penuh selidik. Karena selain
celingak-celinguk seakan mencari
sesuatu, pemuda ini cengengesan sendiri.
Sang pemiiik kedai segera maklum, namun
mau tak mau kepalanya menggeleng dengan
mulut komat-kamit memperdengarkan
ucapan tak jelas. Ternyata jari
kelingking sang pemuda masuk ke dalam
lubang telinganya! Hingga meski
sendirian tak ada yang mengajak bicara,
pemuda ini meringis dengan tubuh sedikit
berjingkatl
"Mau pesan apa, Den...?" sapa sang
pemiiik masih dengan mata tak berkedip
memperhatikan pemuda di hadapannya dari
bawah hingga atas.
Sang pemuda menggeiinjang sebentar,
lalu tarik jari kelingkingnya dari
lubang telinganya. Setelah memandang
sepintas lalu, dia angkat bicara.
"Bapak pemiiik kedai ini?!"
"Hmm.... Pemuda inituli apa kurang
waras? Ditanya mau pesan apa jawabnya
malah tanya balik!" batin sang pemilik.
Namun karena ingin segera menyambut
beberapa pengunjung, sang pemilik
anggukkan kepalanya.
"Melihat banyaknya pengunjung,
pasti pemilik ini sudah beberapa puluh
tahun berjualan, dan bukan mustahil dia
dilahirkan di sini, yang berarti hapal
betul dengan daerah di sekitar tempat
ini!" si pemuda berkata dalam hati, lalu
hadapkan wajahnya pada sang pemiiik
kedai dan berkata.
"Bapak tak keberatan menjawab jika
aku tanya sesuatu?!"
Mendengar ucapan si pemuda, pemilik
kedai kembali kernyitkan kening, namun
wajahnya menunjukkan rasa tak senang.
Tapi entah karena tak ingin membuat
keributan atau agar si pemuda segera
enyah dari hadapannya, pemilik kedai ini
segera berujar.
"Sebenarnya ini kedai bukan tempat
untuk bertanya, tapi untukmu, aku masih
dapat mengerti, karena kulihat kau bukan
penduduk daerah sini. Lekas katakan apa
yang ingin kau tanyakan!"
Meski kata-kata sang pemilik kedai
sedikit tak enak di telinga, si pemuda
tak menampakkan raut wajah berubah.
Sebaliknya makin tersenyum lebar dan
balik menatap pemilik kedai yang saat itu
tak lepas memandanginya.
"Di mana letak bukit Sono Keling?!"
Mendengar pertanyaan sang pemuda,
paras muka sang pemilik kedai berubah
seketika. Kedua matanya membelalak,
mulutnya terkancing rapat. Tubuhnya
sedikit berguncang. Rasa takut tak dapat
disembunyikan dari wajahnya meski sesaat
kemudian, pemilik kedai itu sunggingkan
senyum dan membuka mulut.
"Kau berniat menuju ke sana?!"
Si pemuda tidak segera menjawab. Dia
masih menduga-duga dalam hati apa yang
membuat perubahan pada paras orang di
hadapannya. Namun tak dapat menemukan
dugaan yang pasti, akhirnya pemuda ini
anggukkan kepala, membuat sang pemilik
makin dibuat heran bercampur takut.
Tiba-tiba si pemilik kedai
melangkah maju. Serta-merta tangan kanan
si pemuda digaetnya dan diajaknya ke
dalam. Di pojok ruangan dalam, sang
pemilik berhenti dan langsung ajukan
pertanyaan.
"Anak muda. Apa maksudmu hendak ke
bukit Sono Keling?!"
"Hmm.... Aku tak boleh berterus
terang pada siapa pun juga tentang apa
tujuanku ke bukit Sono Keling," batin si
pemuda lalu berkata.
"Ayahku sedang sakit. Aku disuruh
mencari daun-daunan di bukit itu! Di mana
letaknya bukit itu?"
Sejurus pemilik kedai memperhatikan
seakan ragu-ragu dengan ucapan pemuda di
hadapannya. "Kau tak berkata bohong?!"
"Heran. Ada apa sebenarnya di bukit
itu? Bukan hanya rasa takut yang tampak
pada air muka orang ini, tapi juga banyak
pertanyaan yang seharusnya tak
ditanyakan...," si pemuda kembali
menyimpulkan apa yang dilihatnya, lalu
menjawab pertanyaan orang dengan
gelengan kepala.
Si pemilik kedai manggut-manggut.
"Anak muda. Kalau mau kuingatkan,
sebaiknya urungkan saja niatmu menuju
bukit itu. Lebih baik kau cari di tempat
lain saja apa yang kau butuhkan!"
"Wah, hal itu tak dapat dilakukan.
Karena aku telah mencobanya ke tempat
lain, namun yang kucari tak kutemukan.
Hanya di bukit Sono Keling adanya
daun-daunan yang kubutuhkan itu!"
Si pemuda hentikan ucapannya
sejenak. Ketika ditunggu tak ada
sambutan dari orang di hadapannya, si
pemuda menyambung kata katanya.
"Wajah Bapak berubah seolah takut.
Ada apa sebenarnya di bukit itu?!"
Si pemilik kedai terdiam. Setelah
menghela napas panjang dia berujar.
"Kau adalah salah satu dari beberapa
orang yang menanyakan letak bukti itu
padaku. Namun kau tahu, apa yang terjadi
setelah mereka menuju ke bukit itu?!"
Sekarang si pemuda yang balik jadi
terdiam. Bukan karena ingin menduga apa
yang terjadi dengan beberapa orang
sebelumnya, namun karena khawatir jika
ada orang yang telah mendahului.
Melihat si pemuda tidak menjawab, si
pemilik kedai menjawab pertanyaannya
sendiri dengan suara sedikit bergetar.
"Mereka tak ada yang pulang kembali!
Padahal mereka bukan orang sembarangan,
karena beberapa di antaranya pernah
terlibat bentrok di sini. Mereka semua
rata-rata memiliki ilmu silat hebat!"
"Bagaimana kau tahu mereka tidak
pernah kembali?!"
"Di sebelah timur itu adalah
satu-satunya jalan menuju ke bukit Sono
Keling...," kata si pemiiik kedai seraya
angkat tangannya dan menunjuk ke sebelah
timur. "Kalau mereka pulang kembali,
pasti aku mengetahuinya,
setidak-tidaknya salah seorang
pelayanku tahu, karena kedai ini buka
sehari semalam. Sementara jalan
satu-satunya adalah jalan itu!"
Mendengar keterangan demikian, mau
tak mau merinding juga kuduk si pemuda,
malah mukanya berubah. Namun karena
tekadnya telah bulat, keterangan si
pemiiik kedai hanya sebentar saja
membuatnya dihantui rasa takut. Sesaat
kemudian yang terlihat adalah
semangatnya yang besar. Apalagi
mendengar beberapa orang yang menuju ke
sana belum ada yang pernah kembali, yang
berarti mereka gagal mendapatkan apa
yang dicari!
"Bapak tahu, apa yang mereka cari di
bukit itu?" Si pemiiik kedai gelengkan
kepalanya.
"Mereka tak mau mengatakan. Tapi
dari sikap mereka, aku dapat menduga
mereka mempunyai keperluan yang sangat
penting sekali. Aku sendiri heran, apa
yang mereka cari di sana? Padahal yang
ada di sana hanyalah sebuah makam tua.
Yang oleh orang-orang di sekitar sini
dinamakan Pesanggrahan Keramat! Aku tak
tahu, kenapa makam itu dinamakan
demikian. Hanya menurut orang-orang tua,
makam itu adalah makam seorang sakti yang
telah meningga! pada beberapa ratus
tahun yang silam...."
"Terima kasih atas keteranganmu.
Aku harus segera pergi!" kata si pemuda,
lalu putar tubuh dan hendak melangkah
meninggalkan ruangan itu. Namun langkah-
nya tertahan karena si pemilik kedai
berseru.
Tunggu! Apakah kau akan melanjutkan
niatmu?"
Si pemuda palingkan wajahnya ke
belakang. Bibirnya mengulas senyum.
Kepalanya bergerak menggeleng.
"Sebenarnya aku ingin sekali ke
sana, namun mendengar keteranganmu, aku
jadi berpikir dua kali untuk meneruskan
niatku. Apalagi aku hanya seorang yang
tidak memiliki ilmu silat. Aku belum
merasakan enaknya hidup, juga belum
menikmati bagaimana rasanya
berdampingan dengan seorang gadis
cantik. Terlalu sayang jika harus mati
sebelum menikmati semua itu. Bukankan
begitu?'
Kali ini si pemiiik kedai tersenyum
lebar, senang karena keterangannya
dituruti orang. Dia lantas melangkah
menghampiri si pemuda dan berbisik.
"Apakah kau juga tak ingin menikmati
makanan kedaiku?!"
Si pemuda menyeringai. Tangan
kanannya bergerak merogoh bagian dalam
pakaiannya seakan hendak mengambil
sesuatu. Namun diam-diam dalam hatinya
berkata. "Sialan. Sebenarnya aku juga
sudah lapar, tapi apa yang akan kubuat
untuk membayar makananmu?"
Mungkin menduga si pemuda sedang
menghitung uang di balik pakaiannya, si
pemiiik kedai segera menyambung
ucapannya.
"Ayolah duduk di sana. Kau akan
menyesal pergi ke daerah sini jika tidak
mencicipi makanan kedaiku! Harganya juga
tidak mahal...."
Tiba-tiba sang pemuda bungkukkan
tubuhnya dengan tangan kiri merangkap di
depan perut. Wajahnya meringis
kesakitan.
"Apa yang terjadi dengan dirimu?!"
tanya si pemilik kedai dengan terkejut.
"Di mana tempatnya membuang hajat?!
Perutku mulas sekali! Biasa penyakit
lamaku kumat lagi! Murus-murus...."
Dengan memaki panjang pendek dalam
hati si pemilik kedai angkat tangannya ke
sebelah timur, jalan setapak yang menuju
bukit Sono Keling.
"Di situ kau akan menemukan sebuah
parit kecil! Tumpahkan semuanya di
situ!" habis berkata demikian, pemilik
kedai putar tubuh dan melangkah ke
ruangan dalam seraya mengomel.
"Dasar pemuda geblek! Aku tahu, dia
pura-pura. Padahal sebenarnya dia tak
punya uang!"
Si pemuda hendak mengucapkan terima
kasih, namun begitu berpaling dan
dilihatnya si pemilik kedai telah
ngeloyor ke belakang, pemuda ini
meneruskan langkah dengan
terbungkuk-bungkuk dan sebelah ta-
ngannya mendekap perutnya dengan wajah
meringis.
Beberapa orang pengunjung kedai
memandang ke arah si pemuda dengan
pandangan heran bercampur geli. Karena
meringisnya wajah si pemuda bukan karena
perutnya yang sakit, namun karena jari
kelingkingnya ditusuk-tusukkan pada
lubang telinganya!
***
SEBELAS
SI pemuda yang meringis
terbungkuk-bungkuk terus melangkah
terseret-seret ke arah timur. Begitu
sepasang matanya melirik dan dilihatnya
kedai itu tak kelihatan lagi, pemuda ini
luruskan kembali tubuhnya dengan
menghela napas panjang.
"Sialan benar, punggungku serasa
hendak putus saja! Tapi apa hendak
dikata. Daripada harus malu di depan
orang banyak. Makan tapi tak punya
uang.... He.... He.... He...!" gumam
sang pemuda seraya tertawa cengengesan.
Tangannya bergerak merentang ke samping
kanan kiri dengan tubuh dipuntir.
Terdengar keretekan tulang beberapa
kali.
"Hmm.... Untung pemilik kedai itu
menunjuk arah sini, jadi aku tak usah
mencari jalan berputar untuk
mengelabuinya...," desis sang pemuda
seraya arahkan pandangannya ke sebelah
timur. Samar-samar di sela kerapatan
pohon sepasang matanya dapat menangkap
julangan sebuah bukit.
"Semoga keterangan pemilik kedai
itu benar adanya. Belum ada orang yang
pulang kembali dari bukit itu, yang
berarti barang yang kucari belum
tersentuh orang lain...," ujar si pemuda
yang bukan lain adalah Joko Sableng,
murid Pendeta Sinting dari jurang Tlatah
Perak.
"Aku harus segera mencapai puncak
bukit itu mumpung hari belum gelap!"
desisnya seraya mulai berlari menuju
arah timur di mana tampak menjulang
puncak bukit Sono Keling.
Karena Joko Sableng berlari dengan
mengerahkan ilmu peringan tubuh,
bersamaan dengan tenggelamnya sang
matahari di ujung langit sebelah barat,
pemuda ini telah menginjakkan sepasang
kakinya di puncak bukit Sono keling.
Joko hanya memerlukan melangkah
mengikuti jalan setapak satu kali
putaran. Begitu menghentikan langkah,
dia sampai pada sebuah tanah datar yang
luasnya kira-kira dua puluh lima tombak
berkeliling tanpa penghalang apa pun
sebagai latar depan yang berhadapan
dengan tebing bukit di bawahnya. Sebagai
latar belakang, terlihat bentangan
langit yang jauh di ufuk sana.
Sejenak Joko Sableng tertegun
seakan menikmati keindahan alam yang ada
di hadapannya. Lalu sepasang matanya
menangkap gundukan tanah memanjang yang
di sebelah ujung-ujungnya terpancang se-
buah batu pipih yang tingginya satu depa
dengan lebar satu setengah jengkal.
Tiba-tiba sepasang matanya
membelalak dengan langkah surut satu
tindak ke belakang. Dari mulutnya hampir
saja terlontar seruan tertahan. Bukan
karena melihat makam dengan batu nisan
hitam yang ada di puncak bukit itu, tapi
karena matanya melihat beberapa orang
yang tergeletak di sekitar makam itu!
Melihat keadaan serta sikapnya orang
mudah ditebak jika beberapa orang itu
telah tewas! Dan Joko Sableng baru saja
menyadari ketika saat itu juga hidungnya
mencium bau yang membuat perutnya mual
dan ingin muntah. Dengan menggerendeng
panjang pendek, Joko buru-buru tekap
hidungnya. Lalu seraya bergidik.
sepasang kakinya bergerak melangkah ke
arah makam yang di sekitarnya
bergeletakan beberapa orang yang telah
jadi mayat dan menebarkan bau busuk yang
amat menyengat.
Dibantu pantulan cahaya sinar
matahari yang berwarna kuning kemerahan
di langit sebelah barat, Joko dengan
jelas dapat melihat, bahwa beberapa
orang yang tewas itu mengalami luka-luka
yang cukup parah. Beberapa senjata
pedang dan tombak terlihat berserakan.
Tanahnya pun terbongkar di sana sini.
"Rupanya mereka terlibat dalam
bentrok...," duga Joko seraya
memperhatikan satu persatu mayat yang
tergeletak itu. Pemuda ini lantas
kerahkan tenaga dalamnya untuk mengatasi
hawa busuk yang makin menyengat.
Sepasang matanya nyalang jelalatan
mengawasi sekitar puncak bukit.
"Melihat petunjuk yang diberikan
Guru, aku berada pada tempat yang tidak
salah. Ini adalah Pesanggrahan Keramat
yang terletak di puncak bukit Sono
Keling. Tapi di mana pedang itu berada?
Jangan-jangan seseorang telah
mendahuluiku.... Karena aku yakin,
beberapa orang ini tujuannya pasti ingin
mendapatkan senjata itu! Hmm...."
Joko melangkah berkeliling dengan
mata nyalang mengawasi setiap sudut.
Karena malam telah menjelang, Joko
terpaksa harus membeliakkan matanya. Na-
mun hingga matanya basah dan pedih, dia
tak menemukan apa yang dicari!
Mungkin karena lelah, Joko lantas
duduk menggelosoh dengan mengambil
tempat agak jauh daritergeletaknya
beberapa mayat.
"Apa petunjuk itu bukan petunjuk
yang menyesat-an? Dan orang-orang ini,
dari mana mereka mendapatkan petunjuk?
Apa juga dari Bandung Bandawangsa?
Atau...," Joko tak meneruskan kata
hatinya, karena saat itu suasana yang
gelap samar-samar agak terang. Joko
segera tengadahkan kepalanya. Di atas
langit sana, sang rembulan tampak
melintas dari kurungan awan hitam.
Hingga untuk beberapa saat lamanya
keadaan dl buml sedikit terang.
Tiba-tiba Joko teringat akan
petunjuk yang diberikan Pendeta Sinting.
"Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan
Keramat. Puncak bukit Sono Keling. Bulan
Sepenggail. Hmm.... Bulan Sepenggai. .,"
gum am Joko mengulangi. Kepalanya terus
mendongak memperhatikan bulan. Mendadak
kepala pemuda ini bergerak
manggut-manggut.
"Bulan Sepenggal berarti bulan
separo! Hmm... Padahal bulan itu masih
belum mencapai separo. Mungkin masih
sehari atau dua hari lagi. Terpaksa aku
harus menunggu. Sambil menunggu lebih
baik aku tiduran saja. Besok pagi mencari
kelinci untuk mengisi perut. Waktu aku
melintas tadi, banyak kelinci di bawah
sana...."
Berpikir sampai di situ, Joko lantas
bergerak bangkit. Mencari tempat yang
agak rata dan jauh dari mayat, lalu
merebahkan diri. Mungkin karena lelah,
sebentar kemudian terdengar dengkurnya
seakan memecah kesunyian bukit Sono
Keling!
* * *
Malam telah mulai menjelang. Dua
hari sudah Joko Sableng berada di puncak
bukit Sono Keling. Dia telah menyelidik
di puncak bukh itu tanpa sejengkal pun
tanah yang lolos dari matanya. Namun
sejauh ini dia belum menemukan
tanda-tanda akan mendapatkan barang yang
dicari. Hingga mungkin khawatir jika
pedang itu telah ditemuikan oleh
beberapa mayat yang berada di situ,
dengan menekan perasaan bergidik, Joko
membalik dan meraba-raba beberapa mayat
itu, lalu mengumpulkannya di suatu
tempat, hingga tempat di sekitar makam
itu telah bersih dari mayat yang
berserakan.
"Hm.... Jika malam ini belum juga
kutemukan pedang itu, berarti petunjuk
itu tidak benar.... Atau mungkin sudah
ada orang lain yang mendahuluiku...,"
gumam Joko seraya. memandang ke bawah.
Yang tampak hanyalah rindangi
pohon-pohon yang saling merapat di
lereng bukit dan samar-samar berubah
warna menjadi hijau kehitaman, karena
malam telah turun melingkupi bumi.
Sambil menarik napas dalam dan
panjang, Joko balikkan tubuh, lalu
melangkah ke arah makam. Tiga langkah
dari gundukan tanah yang ujung-ujungnya
terpancang batu nisan hitam itu, pemuda
murid Pendeta Sinting ini hentikan
langkah. Memandang lekat-lekat pada
nisan makam yang tak bertuliskan. Lalu
tengadahkan kepala. Sepasang matanya
tiba-tiba sedikit membelalak.
Di atas sana, langit tampak cerah.
Awan tak secuil pun mengambang. Hingga
bulan sepenggal yang mulai memanjat ke
atas segera dapat memancarkan cahayanya.
Namun bukan hal itu yang membuat mata
Joko membelalak dan tubuh berguncang.
Ternyata bulan itu tidak berwarna
seperti biasanya, melainkan berwarna
merah darah! Dan ada seberkas cahaya yang
keluar dan langsung menyorot ke makam
bernisan batu hitam!
Bersamaan dengan itu angin
berhembus kencang, makin lama makin
keras, dan mengejuarkan suara
menderu-deru dahsyat. Joko segera
kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi
tubuhnya agar tak terhempas. Dan
perlahan-lahan pula ia duduk di depan
makam dengan kedua tangan merangkap di
depan dada.
Angin berhernbus makin kencang,
beberapa sosok mayat yang dikumpulkan
Joko satu persatu terhempas dan melayang
turun ke bawah bukit. Tanah di puncak
bukit itu pun mulai berhamburan ke udara!
Joko menambah tenaga dalamnya karena
tubuhnya mulai bergoyang-goyang tersapu
hembusan angin.
"Sialan. Angin apa ini?" bisik Joko
dalam hati seraya pejamkan sepasang
matanya. Pemuda ini lipat gandakan
tenaga dalamnya, karena hembusan angin
makin kencang, namun hembusan angin itu
ternyata sukar untuk ditaklukkan meski
murid Pendeta Sinting telah kerahkan
segenap tenaga dalamnya, hingga tak lama
kemudian tubuhnya mulai bergeser, sesaat
kemudian terseret ke samping makam dan
jatuh bergulingan!
"Sialan! Angin keparat!" maki Joko
Sableng seraya bergerak bangkit. Namun
lagi-lagi tubuhnya terseret dan kali ini
bahkan hampir saja terhempas melayang ke
bawah bukit. Untung murid Pendeta
Sinting segera hujamkan kedua tangannya
ke atas tanah hingga tanah Itu terbongkar
dan kedua tangannya menancap amblas ke
depan, membuat tubuhnya terhenti.
Dengan kerahkan segenap tenaganya,
baru murid Pendeta Sinting dari jurang
Tlatah Perak ini bisa bergerak bangkit.
Dan mungkin takut tubuhnya akan kembali
terseret, dia mendekat kembali ke arah
makam dengan jalan menyeret tubuhnya
dengan perut sejajar tanah.
Saat itulah tiba-tiba tanah
berhamburan ke udara dengan derasnya.
Joko Sableng cepat-cepat menutup kedua
matanya, namun sebelum kedua kelopak
matanya menutup, sepasang matanya masih
bisa menang-kap berkelebatnya dua benda
hitam. Joko tak tahu benda apa itu, namun
melihat desingannya yang lewat di
sampingnya, murid Pendeta Sinting ini
bisa menduga jika benda itu adalah benda
keras.
Beberapa saat berlalu. Angin terus
berhembus namun makin lama makin
berkurang. Dan begitu angin tak lagi
berhernbus, Joko segera buka kelopak
matanya. Tanah yang berhamburan telah
surut. Sementara cahaya bulan terus
memancarkan sinar kemerah merahan.
Sepasang mata Joko mendadak
terpentang lebar. Memperhatikan ke arah
makam yang lima tombak di hadapannya.
Ternyata gundukan tanah makam itu telah
rata. Dua nisan batu hitam telah pula
lenyap! Dan samar-samar murid Pendeta
Sinting ini melihat lubang di bawah bekas
gundukan tanah makam!
"Benda hitam tadi pasti batu nisan
yang ikut terhempas angin...," duga Joko
seraya bergerak bangkit dan langsung
meloncat ke arah makam yang kini telah
terbongkar.
Dengan bantuan cahaya rembulan yang
memancarkan sinar kemerah-merahan,
murid Pendeta Sinting dengan jelas dapat
melihat lubang menganga di hadapannya.
Sepasang mata pemuda ini mendelik besar
dengan mulut menganga. Ternyata lubang
bekas gundukan makam itu terbuat dari
batu yang membentuk persegi panjang.
Tapi yang membuat sepasang mata Joko
terpentang tak berkedip, adalah
memancarnya sinar kuning berkilau dari
sisi samping batu persegi panjang itu.
Dan mungkin masih tak percaya dengan
pandangan matanya, murid Pendeta Sinting
mengusap-usap kedua matanya, lalu
dilebarkan dan memandang sekali lagi ke
arah cahaya kuning berkilau.
"Tidak bermimpikah aku...?!"
gumamnya seakan tak percaya.
Perlahan-lahan dia melangkah maju dan
membungkuk.
“Ternyata petunjuk itu benar
adanya. Benda itu ada! Dan kini ada di
hadapanku!" desis Joko seraya memper-
hatikan lebih seksama.
Di salah satu sisi batu persegi
panjang itu terlihat cahaya kuning
berkilau memancar dari sebuah sarung
pedang bergagang warna hijau masuk ke
dalam batu.
Dengan tubuh agak gemetar, Joko
segera melangkah satu tindak, dan
perlahan-lahan pula masuk ke dalam batu
persegi panjang. Matanya tak berkedip
memperhatikan, sementara kedua
tangannya bergetar dan dada berdebar
keras.
Untuk beberapa saat lamanya murid
Pendeta Sinting ini diam tak bergerak
seakan masih menindih perasaan tak
percaya dan terkesima. Setelah dapat
menguasai perasaan yang menggelayut
dadanya, pemuda ini gerakkan tangannya
hendak mengambil pedang yang memancarkan
sinar kuning berkilau itu.
"Semoga Tuhan memberiku
kekuatan...," bisiknya dalam hati. Kedua
tangannya terus bergerak.
Namunmsejengkal lagi kedua tangannya
menyentuh pedang, tiba-tiba terdengar
desiran angin dahsyat yang menusuk
gendang telinga. Bersamaan dengan itu,
batu persegi di mana Joko berada
berguncang keras. Dan belum sempat murid
Pendeta Sinting mengetahui apa yang
terjadi, tubuhnya telah terhumbalang dan
jatuh bergedebukan di dalam batu persegi
panjang!
Dengan kuduk merinding dan tubuh
terguncang, Joko segera takupkan kedua
tangannya untuk kerahkan tenaga dalam.
Bersamaan dengan itu, guncangan di batu
persegi panjang perlahan-lahan mereda.
Murid Pendeta Sinting segera
bergerak bangkit duduk. Kepalanya lantas
tengadah. Bulan sepenggai tepat berada
di atasnya. Dan sorotan cahayanya
memancar ke lubang batu persegi panjang.
Joko kembali luruskan kepalanya dan
memperhatikan pedang yang kini ada di
hadapannya.
Dengan tangan masih gemetar dan dada
berdebar, Joko segera geser duduknya
perlahan-lahan ke depan, mendekat ke
arah pedang. Kedua tangannya kembali
bergerak hendak mengambil pedang
berwarna kekuningan itu. Mungkin takut
akan terjadi sesuatu yang tidak
diduganya, pemuda ini kerahkan segenap
tenaganya. Ternyata apa yang diduga
tidak terjadi. Tidak ada desiran angin
menggemuruh yang menusuk gendang
telinga, juga tidak ada guncangan!
Hingga meski dengan tubuh dan tangan
gemetar, Joko teruskan niatnya untuk
mengambil pedang.
Kedua tangannya telah menyentuh
pedang. Sejenak murid Pendeta Sinting
ini menghela napas dalam-dalam. Sepasang
matanya mengerjap, lantas dibuka
kembali. Kedua tangannya pun menarik
pedang yang terletak menjorok ke dalam
batu.
Namun pemuda ini melengak
terkesiap. Kedua tangannya tak mampu
menarik keluar pedang dari tempatnya!
Joko lipat gandakan tenaga dalam dan
disalurkan pada kedua tangannya, hingga
tangannya berwarna kuning. Namun kedua
tangannya masih juga tidak mampu membuat
pedang itu lepas dari tempatnya!
Murid Pendeta Sinting ini tak putus
asa, dia terus berupaya kerahkan tenaga
dalam dan mencoba menarik pedang dari
tempatnya. Tubuh pemuda itu telah basah
kuyup oleh keringat, namun usahanya
belum juga menampakkan hasil. Malah
goyang pun tidak! Padahal Joko telah
kerahkan segala kemampuannya yang telah
diwariskan Pendeta Sinting.
"Hmm.... Kalau pedang ini tak dapat
ditarik, terpaksa aku akan menghantam
tempat sekitar pedang ini! Hanya itu
satu-satunya jalan!" pikir Joko seraya
tarik kedua tangannya. Kedua tangannya
lantas memukul-mukul tempat di sekitar
pedang. Kepala pemuda ini
mengangguk-angguk. Kedua tangannya
lantas diangkat tinggi-tinggi di atas
kepala. Serta-merta kedua tangannya
dihantamkan ke batu yang ada di sekitar
pedang.
Bukkk!
Dukkk!
Murid Pendeta Sinting ini berteriak
keras. Kedua tangannya yang menghantam
batu mental ke belakang. Pemuda ini
segera memeriksa dengan paras meringis
kesakitan. Kedua tangannya berubah merah
dan sedikit menggembung!
"Edan!" maki Joko dalam hati seraya
memperhatikan batu yang baru saja
dihantam. Jangankan retak, membekas pun
tidak! Padahal hantaman Joko tadi
biasanya mampu menghancurkan batu
sebesar satu rangkulan tangan manusia.
Merasa masih penasaran, Joko geser
duduknya ke belakang. Kedua tangannya
diangkat di depan dada. Lalu
dikembangkan dan perlahan-lahan
didorong ke arah batu di sekitar pedang.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dari kedua tangan Joko melesat sinar
kuning keperakan.
Duuukkk! Duuukkk!
Pukulan 'Lembur Kuning' yang
dllepaskan Joko menghantam batu di
sekitar pedang dan keluarkan suara keras
dua kali berturut-turut. Namun murid
Pendeta Sinting tersirap darahnya.
Mulutnya keluarkan seruan tertahan.
Karena pukulannya membalik kearahnya!
Hingga dengan menahan rasa tak percaya,
pemuda ini segera membuat gerakan
melesatkan tubuhnya ke udara. Namun
angin yang membalik lebih cepat
datangnya, hingga tanpa ampun lagi
tubuhnya terjengkang ke belakang dan
menghantam batu di belakangnya! Untuk
beberapa lama dia tersandar di batu
dengan mata berkunang-kunang. Tubuhnya
bagian belakang serasa remuk. Dadanya
pun berdenyut sakit. Perlahan-lahan dia
geser tubuhnya agar bisa sedikit tegak
bersandar. Saat itulah terdengar angin
berdesir dari atas.
Joko cepat mendongak. Kuduk pemuda
ini makin merinding dan keringat makin
membasahi sekujur tubuhnya, karena di
atas sana Joko melihat asap putih
mengurung lubang di mana dia berada!
Dan sepasang mata Joko terpentang
besar tatkala samar-samar dari sisi
bagian depan di atas sana, asap putih hu
menipis, lalu muncul sesosok tubuh!
Mungkin karena terkejut, Joko serentak
geser tubuhnya ke belakang. Namun karena
di belakangnya adalah sisi batu yang
persegi panjang, maka membuat pemuda ini
terantuk sisi batu di belakangnya!
Belum hilang rasa terkejut murid
Pendeta Sinting, sosok di atas Joko telah
keluarkan suara, membuat Joko tersentak.
"Siapa namamu, Anak Muda??!" Karena
masih kaget, Joko tidak segera menjawab
pertanyaan orang. Sebaliknya sepasang
matanya me-natap lurus pada sosok yang
duduk di atas sana. Dia adalah seorang
laki-laki berusia lanjut. Jenggotnya
panjang menjulai sampai dada. Meski
paras wajahnya samar-samar, namun Joko
masih bisa menangkap jika wajah itu cerah
berseri. Kakek ini mengenakan pakaian
jubah putih dengan kepala memakai sorban
juga berwarna putih. Anehnya, meski
tampak duduk bersila, Namun kakinya
tidak menyentuh tanah! Kakek ini duduk
mengambang di udara dengan kedua tangan
merangkap sejajar dada!
Joko memperhatikan lebih seksama.
Mulutnya bergerak komat-kamit namun tak
ada suara yang terdengar. Sementara
sepasang matanya tak berkedip!
Keterkejutannya perlahan-lahan berubah
menjadi rasa heran, karena Joko
sepertinya tidak asing lagi dengan wajah
orang tua di atasnya itu! Namun Joko
tidak mengetahui di mana dia bertemu.
Joko coba mengingat-ingat. Tiba-tiba
matanya beralih pada telapak tangan
kirinya.
"Hm.... Wajah orang tua di atas itu
mirip dengan lukisan yang ada di telapak
tangan kiriku.... Hampir tak
kupercaya...!" gumam Joko Sableng tak
mengerti.
"Anak Muda! Kau belum jawab
pertanyaanku!" orang tua bersorban
kembali keluarkan suara.
Dengan mulut bergetar dan suara
tersendat, Joko menjawab.
"Namaku Joko...."
Sebenarnya Joko ingin menanyakan
siapa sebenarnya orang tua yang paras
wajahnya mirip dengan lukisan yang ada di
telapak tangan kirinya. Namun sebelum
ucapannya terdengar, si orang tua telah
kembali keluarkan suara.
"Joko. Apa yang kau lihat di telapak
tangan kirimu?!"
Sejenak Joko tak memberi jawaban.
Dia memandang silih berganti pada
telapak tangan kirinya lalu pada orang
tua yang duduk bersila di atas lubang.
"Lukisan di telapak tanganku mirip
sekali dengan wajahmu...," gumam Joko
pada akhirnya.
Si orang tua tersenyum. Lalu
mengangguk-angguk.
"Dengar baik-baik, Joko!
Beratus-ratus tahun aku menunggu orang
yang memiliki tanda seperti yang kau
punyai. Dan dengan kedatanganmu, berarti
masa penantianku malam ini akan segera
berakhir. Kaulah manusia yang telah
ditentukan untuk memiliki pedang itu!"
orang tua itu hentikan ucapannya
sejenak. Lalu melanjutkan.
"Peganglah gagang pedang itu dengan
telapak tangan kirimu. Jangan bernapas
tatkala menyentuhnya!"
Mungkin karena masih tertegun, Joko
masih diam meski si orang tua telah
memberi perintah.
"Joko. Waktuku tidak banyak. Lekas
lakukan apa yang kukatakan!" ujar si
orang tua dengan naga tegas.
Seakan baru tersadar, Joko
buru-buru geser tubuhnya ke dekat
pedang. Tangan kirinya bergerak dan
langsung menempel pada gagang pedang,
sementara napasnya ditahan.
Joko tersedak. Begitu tangan
kirinya menyentuh gagang pedang, terasa
ada hawa dingin yang masuk melalui
telapak tangannya. Anehnya bersamaan de-
ngan itu rasa sakit di sekujur tubuhnya
akibat benturan dengan batu persegi itu
seketika lenyap. Pandangannya makin
tajam. Sementara tenaga dalamnya seakan
berlipat ganda!
Keterkejutan Joko tidak hanya
sampai di situ. Begitu telapak tangan
kirinya menyentuh pedang, pedang itu
bergerak-gerak! Masih dengan menahan
napas, Joko segera mencabut pedang dari
tempatnya. Kali ini dengan mudah pedang
itu dapat ditarik dari tempatnya!
Dengan tubuh bergetar dan dada
berdebar, Joko tarik tangan kirinya yang
telah menggenggam gagang pedang. Begitu
pedang lepas dari tempatnya, seberkas
sinar kuning berkilau memancar ke udara,
hingga saat itu juga suasana di tempat
itu berubah menjadi merah kekuningan.
Pedang di tangannya dldekatkan.
Perlahan-lahan pedang Itu ditarik dari
sarungnya. Sepasang matanya
memperhatikan dengan seksama. Ternyata
pedang itu berwarna kuning keemasan.
Panjangnya cuma setengah depa. Lebarnya
kira-kira dua pertiga jengkal. Ujung dan
pangkal pedang sama besarnya. Sedangkan
gagang pedang berwarna hijau terbuat
dari batu giok. Pada tubuh pedang itu
tergurat dengan jelas angka 131!
"Joko. Yang berada di tanganmu itu
adalah senjata mustika yang sulit dicari
tandingannya. Sebuah pedang bernama
Pedang Tumpul 131. Senjata itu tidak
dapat digunakan oleh sembarang orang,
karena untuk mempergunakannya
diperlukan tenaga dalam yang kuat. Tanpa
disertai tenaga dalam, senjata itu hanya
akan seperti pedang biasa...," si orang
tua hentikan sejenak penuturannya.
Sepasang matanya memandang lekat-lekat
pada murid Pendeta Sinting yang
mendengarkan penuturannya dengan
seksama.
"Joko. Sebagai salah seorang
pewaris yang ditentukan memiliki Pedang
Tumpul 131, kau harus mengerti satu hal.
Yakni pedang itu diciptakan dengan satu
tujuan, yaitu untuk menegakkan kebenaran
dan menghancurkan kejahatan! Pedang
Tumpul 131 harus kau jaga dan kau rawat
baik-baik layaknya kau menjaga dan
merawat dirlmu! Dan jangan coba-coba
mempergunakannya dl jalan yang tidak
semestinya, karena kau akan menerlma
akibat yang mengenaskan!"
"Eyang...," Joko tidak meneruskan
ucapannya, karena saat itu dilihatnya si
orang tua melintangkan telunjuk
tangannya pada mulutnya, memberi Isyarat
agar Joko tak meneruskan kata-katanya.
"Joko. Seperti kata-kataku tadi,
waktuku tidak banyak. Sebelum aku pergi
aku akan menjeiaskan padamu dahulu apa
yang ada di tubuh Pedang Tumpul 131 itu.
Pedang Tumpul 131 dibuat lurus dengan
pangkal dan ujung sama besar memberi
isyarat bahwa kebenaran harus kau
tegakkan semenjak kau lahir sampai kau
menutup mata tanpa sedikit pun mengendor
atau mengecil! Angka 131 menunjukkan
bahwa menegakkan kebenaran itu
sebenarnya tugas yang amat mulia yang
datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Itulah
yang diisyaratkan dengan angka satu yang
pertama. Namun ketahuilah, segala
sesuatu pasti ada rintangannya. Apalagi
jika sesuatu itu bernama kebenaran.
Ketahuilah olehmu, ada tiga hal yang jika
kau tidak berhati-hati hal tersebut akan
mendatangkan bencana besar dalam
hidupmu. Yang pertama adalah harta.
Kedua tahta dan ketiga wanita! Tiga hal
tersebut adalah pangkal bencana yang
bisa membenamkan kebenaran jika
dlpergunakan secara salah! Itulah yang
diisyaratkan dengan angka tiga.
Sementara angka satu yang terakhir
memberi isyarat pada diri manusia.
Maksudnya, manusia akan terpisah dengan
Tuhannya jika manusia itu membenamkan
dirinya dalam-dalam pada tiga hal
tersebut di atas! Jika kau Ingin angka
satu bersanding dengan angka satu
lainnya, yang berarti kau ingin selalu
dekat dengan Tuhan, hindarilah tiga hal
itu! Sedangkan inti dari semuanya itu
adalah setiap kebenaran pasti akan
mendapat tantangan! Dan tantangan itu
bisa diredam jika manusia itu selalu
mendekatkan diri pada Tuhannya! Jadi
pedang Ini hanyalah alat, sementara akar
dari semuanya adalah tergantung manusia
yang menggunakan pedang ini! Harapanku,
sebagai manusia yang ditentukan memegang
alat, kau harus dapat menggunakannya
sebagaimana mestinya!"
Joko mendengarkan penuturan orang
tua dengan seksama. Memasukkannya dalam
otak dan mengingatnya baik-baik.
"Joko. Kuharap kau melakukan apa
yang telah kukatakan. Sekarang aku harus
pergi...."
"Eyang...," ujar Joko dengan suara
bergetar parau.
Namun kata-katanya terputus, karena
sosok orang tua itu samar-samar telah
lenyap dari pandangannya! Asap yang
melingkupi bagian atas lubang di mana
Joko berada pun perlahan-lahan menipis
sebelum akhirnya sirna.
"Eyang.... Segala petunjukmu akan
kulaksanakan...," desis Joko seraya
menjura dalam-dalam.
Selagi murid Pendeta Sinting ini
menjura, tiba-tiba telinganya mendengar
deru angin, disusul kemudian dengan
bergetarnya lubang di mana ia berada.
Deru dan getaran tempat itu makin lama
makin keras.
Merasa ada gelagat tidak baik,
pemuda murid dari jurang Tlatah ini cepat
masukkan Pedang Tumpul 131 pada
sarungnya lalu disimpan ke dalam balik
pakaiannya. Baru saja pedang Itu
tersimpan, Joko terkesiap lalu memandang
lekat-lekat pada telapak tangan kirinya.
Di telapak tangan itu kini selain
samar-samar terlihat gambar orang tua
bersorban juga menggurat angka 131!
Namun keterkejutan Joko tidak
berlangsung lama, karena pada saat
bersamaan, batu persegi panjang di mana
dia berada makin bergetar, dan dari atas
tanah bukit berhamburan masuk ke dalam
lubang.
Sebelum tubuhnya terbenam dalam
lubang yang perlahan-lahan ditimbuni
tanah, Joko Sableng segera lesatkan
dirinya ke atas. Murid Pendeta Sinting
ini tersentak. Angin berhembus demikian
kencang, hingga tubuhnya hampir saja
terseret jika dia tak segera kerahkan
tenaga dalam untuk mengatasi tubuhnya.
Angin terus berhembus menghamburkan
tanah di puncak bukit. Dan
perlahan-lahan lubang bekas makam tadi
tertimbun tanah. Begitu angin berhenti
berhembus, tanah berlubang bekas makam
di mana tadi tersimpan Pedang Tumpul 131
telah rata dengan tanah layaknya seperti
tidak pernah ada makam!
"Luar biasa...," desis Joko seraya
tak berkedip memandang! bekas makam.
Selagi murid Pendeta Sinting
mengaguml apa yang baru saja terjadi,
terdengar suara.
"Pendekar Pedang Tumpul 131! Sejak
malam Ini, kau mempunyi tugas.
Menegakkan kebenaran dan menghancurkan
keangkaramurkaan! Tujuan hidupmu adalah
mendamaikan umat manusia dan menumpas
manusia yang membuat malapetaka di
bumi!"
Dengan menindih rasa terkejut,
murid dari jurang Tlatah Perak ini
arahkan pandangannya berkeliling. Tapi
matanya tak dapat menangkap adanya
seseorang!
"Hmm.... Pasti Eyang tadi....
Suaranya masih kuingat betul...," gumam
Joko dengan tengadahkan kepala memandang
bulan.
"Eyang.... Segala ucapanmu akan
kuingat dan kulakukan!" teriak Joko
memecah kesunyian Pesanggrahan Keramat
di puncak bukit Sono Keling.
Namun kesunyian tidak lagi
melingkupi, karena bersamaan dengan
lenyapnya teriakan Joko, dari arah bawah
terdengar derap langkah kaki-kaki kuda
menuju ke atas bukit.
Siapakah penungang kuda yang menuju
Puncak Bukit Sono Keling?
Untuk mengetahuinya,
Ikuti petualangan Joko Sableng
Yang seru dan menggemparkan
Dalam episode selanjutnya.
“RATU PEMIKAT”
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar