SATU
SESUAI perjanjian yang dibuat para Datuk Luhak Nan Tigo sebelum berpisah
di Ngarai Sianok, Datuk Kuning Nan Sabatang dari Luhak Agam dan Datuk
Bandara Putih dari Luhak Limapuluh Kota selepas sholat Asar telah berada di
rumah gadang kediaman Datuk Panglima Kayo di Batu Sangkar. Turut kepada
gelarnya, Datuk Panglimo Kayo adalah Datuk paling kaya dibandingkan dua
Datuk lainnya termasuk Datuk Marajo Sati. Tidak heran kalau rumah gadang
kediamannya berdiri megah bergonjong lima. (rumah gadang: rumah besar)
Setelah apa yang terjadi di Ngarai Sianok pagi hari itu, Tiga Datuk
pimpinan tiga Luhak merasa perlu dengan segera merundingkan tindakan apa
yang akan mereka lakukan sesudah Datuk Marajo Sati yaitu yang menjadi
Datuk Pucuk atau Datuk Pimpinan dari Tiga Datuk Luhak Nan Tigo diketahui
menyimpan seorang gadis Cina cantik belia di dalam goa kediamannya di
Ngarai Sianok.
Ternyata Datuk Panglimo belum sampai di rumah gadang.
“Aneh”, kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Seharusnya Datuk Panglimo
Kayo lebih dulu tiba daripada kita...”
“Mungkin ada yang dilakukannya lebih dulu sebelum pulang ke sini. Kita
nantikan saja. Mudah-mudahan sebentar lagi beliau datang...” Berujar Datuk
Bandara Putih.
Sementara menunggu kedatangan Datuk Panglimo Kayo, dua datuk tadi
duduk bersila di lantai rumah gadang sambil bercakap-cakap dan menikmati
hidangan yang disuguhkan orang rumah yaitu kopi hangat serta goreng pisang.
“Datuk Kuning Nan Sabatang, kalau benar Datuk Pucuk Marajo Sati
menyimpan gadis Cina itu di dalam goanya, saya sungguh kecewa, sungguh
sedih. Bagaimana mungkin Datuk Pucuk mau berbuat seperti itu. Istrinya di
Koto Gadang yang kemenakan Datuk Panglimo Kayo selain cantik juga masih
muda belia. Datuk juga kita ketahui taat pada agama, patuh pada adat
lembaga. Apa yang kurang...”
“Saya sendiri sebenarnya juga sangat menyayangkan. Kalau tidak
melihat dengan mata kepala sendiri gadis Cina yang ditemukan dan ditangkap
orang-orang itu, rasanya mana mungkin saya percaya...”
“Yang sangat terpukul pastilah saudara kita Datuk Panglimo Kayo,”
ucap Datuk Bandaro Putih dari Luhak Lima Puluh Kota. “Kita tahu benar
riwayat bagaimana sampai Gadih Puti Seruni kawin dengan Datuk Marajo Sati.
Kalau tidak Datuk itu yang bersikeras memaksakan kehendak mungkin hal itu
tidak kejadian. Kita juga tahu bagaimana kemudian ayah Puti Seruni jatuh
sakit dan akhirnya meninggal dunia karena perkawinan itu sebenarnya tidak
disetujuinya. Tapi dia seperti tidak berdaya, tidak bisa berbuat suatu apa
karena Datuk Panglimo Kayo adalah mamak Puti Seruni. Kadang-kadang saya
berpikir-pikir, jika tumbuh baik ya baik hasilnya. Tapi jika tumbuh keliru saya
merasa kuasa seorang mamak di negeri kita ini seperti berlebihan...”
Setelah terdiam beberapa ketika Datuk Kuning Nan Sabatang
mengusap wajah lalu menjawab. “Sebenarnya adat lembaga negeri kita sudah
baik. Tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Cuma mungkin
musyawarah dan kebijaksanaan yang perlu lebih mendapat tempat. Memang
susah juga jadinya kalau sampai seorang mamak lebih berkuasa dari ayah nan
kandung...”
“Kembali pada kejadian di Ngarai tadi pagi...” Datuk Bandaro Putih
alihkan pembicaraan. “Saya mengerti jalan cerita kalau pemuda Pakih Jauhari
itu memendam dendam luar biasa pada Datuk Marajo Sati hingga dia menebar
cerita buruk dan bahkan menggalang penduduk di beberapa dusun untuk
menyiapkan hukuman rajam atas diri Datuk Marajo Sati. Tapi ada yang tidak
saya mengerti...” Datuk Bandaro putih memandang sebentar ke luar jendela
baru melanjutkah. “Siapa sebenarnya gadis Cina yang disembunyikan saudara
kita itu di dalam goa. Lalu mengapa ada beberapa orang tokoh di tanah Minang
ini yang sama-sama kita kenal ikut bersama orang tua asing berjubah hijau
dan lelaki Cina berpakaian pasukan Kerajaan Tiongkok menangkap gadis Cina
itu?”
“Pandeka Langit Bumi Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko Balang, Datuk
Pancido, Niniek Panjalo...” Datuk Kuning Nan Sabatang menyebut satu persatu
nama orang yang dimaksudkan Datuk Bandaro Putih. “Kita tahu memang tidak
ada lantai yang terjungkat dan silang sengketa antara mereka dengan Datuk
Marajo Sati. Tapi dari kejadian ini jelas mereka menunjukkan perseteruan
dengan Datuk Pucuk itu. Paling tidak berada di pihak yang berseberangan.
Mungkin pemuda bernama Pakih Jauhari bekas kekasih Puti Seruni itu telah
berhasil membujuk mereka untuk melaksanakan niatnya membalas dendam
terhadap Datuk Marajo Sati...”
“Saya meragukan hal itu,” jawab Datuk Bandaro Putih. “Pemuda itu bisa
membuat marah lalu membujuk penduduk dusun. Tapi untuk membujuk tokoh-
tokoh berkepandaian tinggi dan berpaham seperti itu, rasanya sulit dipercaya
dia mampu melakukan. Kalaupun bisa pasti ada yang diandalkannya. Imbalan
besar. Uang, harta emas berlian. Pakih Jauhari mana punya semua itu...”
“Jika benar orang-orang itu mau berserikat dengan Pakih Jauhari,
berarti ada satu hal lain yang diberikan atau dijanjikan si pemuda pada
mereka. Bukan uang bukan harta. Tapi bisa saja berupa petunjuk, berupa
keterangan sangat rahasia dan sangat berharga...”
“Menyangkut hal apa?” tanya Datuk Bandaro Putih pula.
“Gadis yang mereka tangkap itu seorang gadis Cina. Di antara mereka
saya lihat ada seorang Cina berseragam pasukan Tiongkok. Mungkin orang ini
yang jadi pimpinan dalam rombongan. Mereka tengah mencari si gadis. Dan
Pakih Jauhari mengetahui di mana gadis itu berada lalu memberitahukan. Dia
membuktikan kalau Datuk Marajo Sati benar-benar menyimpan gadis cantik di
dalam goa. Dendam kesumatnya terbalaskan...”
Datuk Bandaro Putih angguk-anggukkan kepala beberapa kali.
“Gadis Cina. Perempuan asing. Tapi waktu berteriak saya dengar dia
mengeluarkan ucapan bahasa orang di sini. Aneh juga. Jangan-jangan sudah
berminggu-minggu berbilang-bulan Datuk Marajo Sati bersama gadis itu
hingga dia sempat mengajari bahasa Minang...”
“Satu hal saya perhatikan.” Ucap Datuk Kuning Nan Sabatang. “Cara
bicara Datuk Marajo Sati pada kita bertiga kasar sekali. Beliau bicara
beraku-aku pada kita. Padahal jelas-jelas kita bertiga jauh lebih tua dari
beliau. Dan selama ini beliau tidak pernah berlaku sekasar itu baik dalam
ucapan apa lagi tindakan. Agaknya Datuk Marajo Sati berada dalam beban
tekanan jiwa sangat berat. Ditambah dengan amarah yang menggelegak
karena menuduh kita yang datang menancapkan Bendera Tiga Luhak,
membawa orang dusun, menghasut untuk merajamnya sampai mati di batang
pohon...” Datuk Kuning Nan Sabatang menghela napas panjang. “Betapapun
nyatanya kejadian yang kita lihat, saya punya dugaan ada satu peristiwa atau
rahasia besar di balik semua kejadian ini.”
“Saya juga merasa begitu,” jawab Datuk Bandaro Putih lalu kembali
memandang keluar jendela lalu bangkit berdiri.
“Rasanya matahari telah menurun jauh condong ke barat. Datuk
Panglimo Kayo yang kita tunggu belum juga muncul. Sebentar lagi Magrib akan
datang...”
Datuk Kuning Nan Sabatang berdiri pula lalu tegak di belakang jendela
di samping Datuk Bandaro Putih.
“Datuk Bandaro Putih, terus terang sejak tadi hati saya merasa tidak
enak. Ada firasat...”
Belum selesai Datuk dari Luhak Agam ini berucap tiba-tiba bluk!
Satu benda kuning berbelang hitam jatuh bergedebuk di halaman
samping rumah gadang kediaman Datuk Panglimo Kayo tak jauh dari sebatang
pohon marapalam. Dua Datuk di belakang jendela terkejut Lebih terkejut lagi
ketika mereka menyaksikan benda yang jatuh itu adalah seekor harimau
besar kuning belang hitam.
“Inyiek tunggangan Datuk Panglimo Kayo!” ucap dua Datuk di belakang
jendela hampir berbarengan. Tidak menunggu lebih lama keduanya langsung
melompati jendela, turun ke halaman. (Inyiek: di sini artinya harimau sakti)
Harimau besar yang tergeletak di tanah itu ternyata berada dalam
keadaan tidak bernyawa lagi. Darah setengah kering meleleh di mata, hidung
dan telinga. Sebuah rantai besi putih panjang melilit tubuh serta empat
kakinya yang tampak patah.
DUA
“RANTAI Pintu Halilintar! Astaga! Bukankah benda ini potongan senjata milik
Datuk Panglimo Kayo?!” Datuk Kuning Nan Sabatang berucap setengah
berseru.
“Saya juga mengenali!” Menyahuti Datuk Bandaro Putih. Wajahnya yang
putih jernih berubah kelam. “Lalu Datuk Panglimo Kayo sendiri berada di
mana?” Datuk Luhak Limapuluh Kota ini memperhatikan sekeliling halaman.
“Ah, firasat saya tadi. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan
saudara kita yang satu itu! Semoga Allah melindunginya...” Kata Datuk Kuning
Nan Sabatang.
“Datuk, bantu saya melepaskan rantai agar arwah Inyiek bisa tenteram
di alam gaib. Kalau Datuk Panglimo Kayo tidak apa-apa maka rantai sakti ini
akan kembali kepadanya.”
Dua orang Datuk dari Luhak Agam dan Luhak Limapuluh Kota itu segera
berlutut di tanah, di kiri kanan sosok harimau besar. Perlahan-lahan keduanya
mengangkat tangan sambil alirkan hawa sakti. Begitu terpentang tepat di
depan dada, dua Datuk hantamkan dua tangan masing-masing ke arah mayat
harimau yang terikat besi putih. Empat larik cahaya putih menderu.
Pada saat empat cahaya putih menyentuh tubuh dan rantai besi putih
yang melilit harimau besar, satu letusan dahsyat laksana suara halilintar
menggelegar di tempat itu disertai berkiblatnya cahaya putih terang
benderang. Dua Datuk terpental sampai satu tombak tapi tidak cidera.
Terjadi keajaiban. Sosok harimau kuning belang hitam lenyap sementara
rantai besi putih melayang ke udara dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
Di tempat itu tiba-tiba terdengar suara auman dahsyat dua kali
berturut-turut. Tanah bergetar, angin dingin menyambar. Itulah auman
Inyiek atau harimau sakti tunggangan Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk
Bandaro Putih yang ujudnya tidak kelihatan. Binatang-binatang gaib itu seolah
memberi ucapan, selamat jalan pada teman mereka yang kembali ke alam gaib
untuk selama-lamanya dan tak mungkin lagi muncul di bumi.
Dua Datuk bergerak bangun, tampungkan tangan masing-masing, mulut
berkomat-kamit merapal doa. Sementara dari atas rumah tetangga orang
muncul berlarian mendatangi untuk melihat apa yang terjadi. Mereka tidak
sempat melihat harimau besar yang dililit rantai putih. Mereka hanya melihat
dua Datuk yang masih berlutut di tanah berkomat-kamit merapal doa.
“Inyiek sudah bebas dari penderitaannya. Kembali ke alam gaib
TIRAIKASIH – http://cerita-silat.co.cc/
168 Mayat Kiriman Di Rumah Gadang
–WIRO SABLENG 212
7
Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Datuk Panglimo Kayo.”
Baru saja Datuk Kuning Nan Sabatang keluarkan ucapan, tiba-tiba di
arah jalan tanah yang agak mendaki menuju rumah gadang terdengar suara
lenguh sapi, disertai suara derak roda pedati dan gema ganto
berkepanjangan, (ganto: semacam lonceng kecil terbuat dari besi yang
digantung di leher jawi/ sapi penarik pedati/gerobak) Dua Datuk segera
palingkan kepala. Mereka melihat sebuah pedati kecil tak beratap muncul
dikelokkan jalan tanah yang mendaki, bergerak ke arah halaman rumah gadang
di mana mereka berada.
“Aneh...” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang. “Pedati berjalan, tapi mana
kusirnya?”
Diikuti Datuk Bandaro Putih dan orang-orang yang ada di tempat itu
Datuk Kuning Nan Sabatang mendahului menyongsong pedati. Sapi penarik
pedati dihentikan. Binatang ini kembali melenguh. Ekor dikibas-kibas. Tiba-
tiba dua kaki depan dilipat, menyusul dua kaki belakang. Binatang ini rebahkan
diri di tanah hingga pedati yang ditariknya menungging ke depan. Tumpukan
jerami kering tampak menutupi pedati. Dua Datuk yang sejak tadi merasa
curiga, dibantu oleh beberapa orang yang ada di situ segera membongkar
jerami kering. Sesaat kemudian semua orang yang ada di situ termasuk dua
Datuk tersentak kaget. Ketika tumpukan jerami kering tersibak, di lantai
pedati kelihatan terbujur sosok Datuk Panglimo Kayo yang sudah jadi mayat.
Sekujur tubuh mulai dari leher sampai ke kaki dijirat rantai besi putih. Dari
mata, hidung, telinga dan mulut ada lelehan darah. Dalam cengkeraman jari-
jari tangan kanan Datuk Marajo Sati yang sudah kaku terdapat sehelai
potongan kain panjang berwarna putih yang salah satu sisinya berjumbai-
jumbai.
“Astagafirullah... Allahuakbar...” Dua Datuk mengucap berulangkah.
“Siapa yang melakukan perbuatan keji dan jahat ini?!” ucap Datuk
Kuning Nan Sabatang. “Siapa yang mengirimkan jenazah Datuk Panglimo Kayo
dengan pedati ke sini...”
“Datuk,” bisik Datuk Bandaro Putih. “Saat ini tidak ada yang bisa
ditanya. Pedati datang tidak berkusir... Lalu satu keanehan lagi, apakah ini
potongan Rantai Pintu Hallintar yang tadi kita lepas dari tubuh Inyiek kini
melibat di tubuh Datuk Panglimo Kayo. Rantai ini harus dibuang sebelum
Datuk Panglimo Kayo dimakamkan...”
“Pemilik rantai akan mengambilnya sebelum jenazah dimandikan...” bisik
Datuk Kuning Nan
Sabatang yang tahu banyak riwayat senjata sakti bernama Rantai Pintu
Halilintar itu.
Dibantu orang banyak Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro
Putih segera menurunkan mayat Datuk Panglimo Kayo dari dalam pedati.
Sebelum mayat dibawa ke dalam rumah gadang Datuk Bandaro Putih lepaskan
kain putih panjang dari cengkeraman jari-jari tangan mayat. Kain itu
diperhatikan sejenak. Air muka Datuk Bandaro Putih berubah. Kain diberikan
pada Datuk Kuning Nan Sabatang. Setelah memeriksa dengan teliti, wajah
Datuk Kuning Nan Sabatang juga tampak berubah. Suaranya bergetar ketika
keluarkan ucapan.
“Saudaraku Datuk Bandaro Putih. Saya yakin sekali kain putih panjang
berumbai ini adalah potongan sorban Datuk Marajo Sati. Berarti...”
“Datuk, saya benar-benar seperti melihat ayam putih terbang siang.
Tapi saya tidak berani berprasangka menduga-duga. Kita berdua harus
menyelidiki kejadian ini sampai terungkap panjang pendeknya, dangkal
dalamnya dan putih hitamnya. Simpan baik-baik potongan sorban itu!” Kata
Datuk Bandaro Putih lalu menyambung ucapannya. “Saya tidak yakin pedati
tak berkusir jtu membawa mayat Datuk Panglimo Kayo jauh-jauh dari Agam.
Mayat agaknya dinaikkan di satu tempat tak jauh dari Batusangkar.” Sambil
bicara Datuk Bandaro Putih berjalan ke arah pedati. Di sini dia melakukan
pemeriksaan kembali sampai matanya membentur satu bungkusan daun yang
terletak di lantai depan pedati, di bawah palang kayu tempat dudukan kusir.”
Ada nasi bungkus. Pasti punya orang yang tadinya duduk di atas pedati ini.
Kusir pedati. Dia belum sempat menyantap makanannya. Lalu di mana kusir
pedati itu sekarang? Datuk, coba kita menyelidik jalan arah ke Sungai Tarab.
Pedati ini pasti datang dari jurusan itu. Tidak mungkin dari arah selatan.”
Tak lama menyusuri jalan yang menuju sebuah dusun kecil bernama
Sungai Tarab, dua Datuk menemukan sesosok mayat pemuda tergeletak di
tengah jalan. Di keningnya ada luka besar, agak tertutup oleh darah yang
mengental.
“Mungkin ini kusir pedatinya. Dia dibunuh di tempat ini, lalu pedati
dilepas sendirian tidak berkusir. Mengapa? Si pembunuh takut diketahui siapa
dirinya? Mungkin Pakih Jauhari yang melakukan?” Datuk Kuning Nan Sabatang
berpaling pada Datuk Bandaro Putih di sampingnya.
Datuk Bandaro Putih gelengkan kepala. “Pemuda itu bagaimanapun
dendam kebenciannya terhadap Datuk Panglimo Kayo mana mungkin punya
kemampuan membunuh Datuk Panglimo Kayo. Ingat potongan sorban putih
milik Datuk Marajo Sati yang ada dalam genggaman tangan mayat Datuk
Panglimo Kayo? Itu satu pertanda atau jawaban yang sulit ditampik. Datuk
saudaraku, apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Jika jenazah sudah dikuburkan, kita segera ke
Ngarai Sianok. Saya ingin sekali menyelidiki keadaan di dalam goa
kediaman Datuk Marajo Sati,” jawab Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Bagaimana dengan mayat orang ini?” tanya Datuk Bandaro Putih.
“Kita bawa ke rumah kediaman Datuk Panglimo Kayo agar diurus
sekalian. Saya yakin ada orang yang mengenalinya,” jawab Datuk Kuning Nan
Sabatang.
SESAAT sebelum jenazah Datuk Panglimo Kayo dimandikan, tiba-tiba
di siang yang terang benderang itu menggelegar suara halilintar. Kilat
menyambar di langit. Langit seperti hendak runtuh, bumi seolah hendak
terbelah. Rumah gadang bergoncang berderak-derak. Beberapa orang
berpekikan. Jenazah Datuk Panglimo Kayo yang dibaringkan di ruang tengah
rumah memancarkan cahaya putih. Lalu terdengar suara berdesir disusul
suara berkeretak.
Orang banyak yang ada dalam ruangan itu termasuk dua Datuk pimpinan
Luhak sama-sama tercekat ketika menyaksikan bagaimana rantai putih Rantai
Pintu Halilintar yang menggelung sekujur tubuh Datuk Panglimo Kayo
bergerak terbuka lalu melesat ke arah pintu rumah gadang, melayang ke
udara dan akhirnya lenyap dari pemandangan laksana menembus langitl
“Pemilik rantai sakti telah mengambil senjata sakti itu...” bisik Datuk
Kuning Nan Sabatang sambil mengusap kuduknya yang terasa dingin.
PULANGNYA Datuk Panglimo Kayo dalam keadaan sudah menjadi mayat
dibawa oleh pedati tak berkusir bukan hanya menghebohkan penghuni rumah
gadang kediaman Datuk Panglimo Kayo, namun, dengan cepat menjalar ke
seluruh Batusangkar. Besoknya, berita kematian Datuk kaya itu telah
tersebar iuas sampai ke pelosok daerah Tanah Datar. Perihal kusir pedati
yang tewas, seperti yang dikatakan Datuk Kuning Nan Sabatang, beberapa
pelayat mengenali orang ini. Dia adalah Magek Jamin, penduduk Sungai Tarab.
Sebenarnya yang punya pedati adalah kakaknya yaitu Majo Jamin. Tapi sampai
mayat Magek Jamin dikubur Majo Jamin tidak muncul. Raib tak diketahui ke
mana perginya. Dua Datuk mengkhawatirkan Majo Jamin juga telah menjadi
korban pembunuhan.
SEPERTI yang diduga oleh Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan
Sabatang, ketika mereka mendatangi goa di samping dinding Ngarai Sianok
untuk menjajagi keberadaan Datuk Marajo Sati, goa berada dalam keadaan
kosong. Yang mengejutku dua Datuk ini menemukan beberapa helai pakaian
perempuan serta satu kotak kecil berisi pupur dan sepotong alat pemerah
bibir.
“Kita menemukan bukti Datuk... Keberadaan seorang perempuan di
dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati ini ternyata memang satu kenyataan,”
kata Datuk Bandaro Putih.
“Yang jadi pertanyaan sekarang di mana Datuk itu berada?” ucap Datuk
Kuning Nan Sabatang. “Sungguh aib besar bagi kita para Penghulu dan semua
Datuk di Luhak Nan Tigo. Datuk Pucuk ternyata bukan saja menyimpan anak
gadis, tapi juga membunuh Datuk Panglimo Kayo. Saya tidak akan kembali ke
rumah di Pariangan sebelum menemukan Datuk Marajo Sati.”
“Saya juga berpantang pulang ke Payakumbuh sebelum selesai urusan
besar yang sangat memalukan ini,” kata Datuk Bandaro Putih pula.
“Sekarang ke mana kita akan mencari saudara dan pimpinan kita yang
sesat itu?” tanya Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Saya menduga dua kemungkinan. Yang pertama Datuk Marajo Sati
mengejar rombongan orang-orang yang melarikan gadis Cina itu...”
“Gadis Cina itu. Selain menjadi gadis simpanan Datuk Marajo Sati tapi
siapa dia sebenarnya? Dari mana datang dan munculnya? Dia saya dengar
fasih bicara bahasa orang di sini. Mengapa tokoh-tokoh berkepandaian tinggi
dari tanah Jawa, dibantu para tokoh di sini bahkan ada seorang Perwira
Kerajaan Tiongkok membentuk rombongan menangkapnya? Datuk, apa
kemungkinan yang kedua dari dugaan Datuk...”
“Kemungkinan kedua Datuk Marajo Sati pergi ke Biaro, mendatangi
rumah kediaman Pakih Jauhari. Membunuh pemuda itu...”
“Sudah seburuk dan sejahat itukah pekerti Datuk Pucuk? Masya
Allah...” Datuk Kuning Nan Sabatang mengucap beberapa kali.
“Datuk, kita harus cepat-cepat menyelidik ke tempat yang Datuk
katakan itu. Apa lagi yang kita tunggu...?” Datuk Bandaro Putih sudah tidak
sabaran.
“Bagaimana kalau kita menyelidik ke Biaro lebih dulu. Pemuda bernama
Pakih Jauhari itu perlu diselamatkan bagaimanapun buruk kelakuannya
terhadap Datuk Marajo Sati. Selain itu mungkin kita bisa mendapatkan
keterangan dari dia...”
“Saya mengikut apa yang Datuk katakan.” Datuk Bandaro Putih lalu
berseru.
“Inyiek berdua! Kami memerlukan kalian!”
Sesaat kemudian terdengar suara menderu. Lalu muncul dua sosok
harimau besar kuning belang hitam. Dua Datuk segera melompat ke atas
tunggangan masing masin
TIGA
APA YANG telah terjadi dengan Datuk Panglimo Kayo yang merupakan Datuk
Pimpinan Luhak Tanah Datar? Siapa yang telah membunuhnya lalu mengirim
mayatnya ke rumah gadang dengan pedati tidak beratap dan tidak berkusir.
Seperti diceritakan sebelumnya dalam episode berjudul “Fitnah
Berdarah Di Tanah Agam”, di pedataran di atas Ngarai Sianok, selagi Pakih
Jauhari dan puluhan orang menyerbu Datuk Marajo Sati dengan lemparan
batu dan para Datuk Luhak Nan Tigo berusaha menghalangi serangan, secara
diam-diam Ki Bonang Talang Ijo dan rombongan sampai di Ngarai Sianok.
Mereka berhasil masuk ke dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati setelah
lebih dulu menjebol sebuah batu besar pen utup goa.
Chia Swi Kim yang oleh Datuk Marajo Sati diberi nama Puti Bungo
Sekuntum alias Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok, mendengar suara bergemuruh
di mulut goa, mengira yang datang adalah Datuk Marajo Sati, tanpa mengubah
dirinya lebih dulu keluar dari dalam ruangan rahasia di mana dia bersembunyi.
Begitu melihat siapa yang muncul dan mengenali sosok serta wajah si
gadis, Perwira Muda Teng Sien langsung berteriak-teriak sambil menunjuk ke
arah dua bahu si gadis.
Ki Bonang Talang Ijo ikut berteriak
“Cepat tangkap gadis itu! Jangan sampai dia menggerakkan dua
tangannya!”
Lalu selagi beberapa orang mencekal, dengan cepat orang tua berjubah
hijau ini totok bahu kiri kanan Puti Bungo Sekuntum hingga dua tangan gadis
itu menjadi lumpuh. Ini membuat dia tidak bisa bergerak dan berarti dia
tidak mampu merubah diri menjadi kupu-kupu besar hidup atau berubah
menjadi kupu-kupu batu giok.
Perwira Muda Teng Sien mendatangi dan bicara panjang pendek»dalam
bahasa Cina. Seperti diketahui sejak roh gadis yang meninggal dunia masuk ke
dalam tubuhnya, gadis Cina ini walau masih mengerti apa yang dikatakan orang
namun dia tidak bisa lagi mengeluarkan ucapan dalam bahasa leluhurnya,
(baca” Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok”)
Ki Bonang dan kawan-kawan cepat membawa si gadis keluar dari goa.
Karena ingin mencari jalan memintas, tidak sengaja mereka melewati
pedataran di atas ngarai di mana puluhan orang di bawah pimpinan Pakih
Jauhari tengah menghujani Datuk
Marajo Sati dengan batu. Serta merta Puti Bungo Sekuntum berteriak.
“Datuk! Tolongl Mereka menangkap saya!”
Suasana menjadi gempar!
Ketika di bawah hujan batu Datuk Marajo Sati berusaha menolong si
gadis tiba-tiba Ki Bonang Talang Ijo ledakkan sebuah benda yang menebar
asap hitam menutup pemandangan. Setelah-sap sirna ternyata tokoh silat dari
tanah Jawa itu bersama rombongannya telah lenyap dengan memboyong serta
Puti Bungo Sekuntum.
Sebelum dituturkan apa yang terjadi dengan Datuk Panglimo Kayo
hingga dia terbunuh dan mayatnya dikirim ke rumah gadang di Batusangkar,
kita ikuti lebih dulu apa yang dialami Datuk Marajo Sati.
WALAU amarah dan kebenciannya terhadap Pakih Jauhari serta tiga
Datuk Luhak Nan Tigo bukan alang kepalang namun Datuk Marajo Sati lebih
mementingkan menyelamatkan gadis dari negeri Cina itu. Dia segera
melakukan pengejaran dengan menggunakan Inyiek harimau tunggangannya.
Tapi sampai matahari tenggelam dan malam datang dia tidak berhasil
melakukan pengejaran. Seolah baru sadar Datuk Marajo Sati hentikan
pengejaran. Inyiek kuning belang hitam yang tadi lari laksana terbang,
melayang turun ke tanah. Datuk Marajo Sati mendengar suara sesuatu. Selain
itu dia merasa tiupan angin agak keras dan dingin.
“Suara riak permukaan air dihembus angin,” ucap sang Datuk dalam
hati. Dia lalu melesat ke arah satu bukit batu kecil. Harimau besar mengikuti.
Memandang ke bawah terkejutlah Datuk Marajo Sati. Dia melihat sebuah
danau terbentang luas sementara di arah barat matahari berbentuk setengah
lingkaran merah menyala siap menggelincir ke ufuk tenggelamnya. Datuk
Marajo Sati segera tahu di mana dia berada saat itu. Tanpa memalingkan
kepala pada harimau besar di sebelahnya sang Datuk berkata.
“Inyiek, apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kau membawa diriku
ke Danau Maninjau. Bukan mengejar orang-orang yang telah melarikan Puti
Bungo Sekuntum?”
Harimau besar menggereng halus lalu rundukkan diri. Kepala diletakkan
di atas batu. Mata menatap sayu. Melihat hal ini Datuk Marajo Sati segera
berjongkok di samping binatang itu dan memeriksa dengan teliti. Mula-mula
dia melihat ada lapisan cairan biru di sekitar hidung harimau. Lalu bagian
putih sepasang mata binatang ini juga tampak kebiru-biruan. Ketika Datuk
Marajo Sati membuka mulut harimau kelihatan gigi dan sebagian lidahnya juga
berwarna kebiruan. Datuk memeriksa dua telinga harimau. Ternyata juga ada
lapisan kebiru-biruan
“Inyiek, kau telah disambar ilmu jahat bernama Santuang Panyasek.
Penciumanmu menjadi tumpul, penglihatan kabur, pendengaran berubah tuli.
Kau tersesat membawa aku ke tempat ini.” Datuk Marajo Sati mengusap
kepala Inyiek kuning. “Kau tidak perlu takut, aku tidak marah padamu. Aku
tahu. Di tanah Minang ini ada beberapa orang sakti memiliki ilmu Santuang
Panyasek. Tapi yang paling tinggi kepandaiannya adalah Tuanku Laras Muko
Balang. Dia berada di antara orang-orang yang menculik Puti Bungo Sekuntum.
Pasti dia yang telah menyirapmu dengan ilmu hitam itu. Agar kita tidak bisa
melakukan pengejaran, “
Perlahan-lahan sang surya yang tinggal setengah lingkaran lenyap di
kejauhan. Siang telah berganti malam. Sayup-sayup terdengar kumandang
Azan. Datuk Marajo Dati, Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo ini jatuhkan kening di
atas batu. Dalam bersujud dia berkata.
“Ya Allah ya Rabbi. Tuhan Seru Sekalian Alam. Maha Melihat Maha
Mengetahui. Kau tahu ya Allah. Betapa berat dan jahatnya fitnah berdarah
yang telah jatuh atas diri hambaMu ini. Berikan hamba ketabahan menghadapi
semua malapetaka ini. Lebih dari itu Kau lebih mengetahui ya Allah apa yang
telah hamba lakukan dan apa yang tidak hamba lakukan. Jika itu merupakan
satu perbuatan keliru mohon ampunan dariMu. Jika kesalahan itu harus
ditebus dengan hukuman bagaimanapun beratnya akan saya terima dengan
segala keikhlasan. Tapi saya mohon ya Allah. Tolong selamatkan Puti Bungo
Sekuntum dari tangan orang-orang jahat yang telah melarikannya. Ulurkan
tangan kuasaMu. Lindungi anak gadis itu di manapun dia berada, baik siang
maupun malam. Ya Allah, kabulkanlah permintaan hambaMu yang buruk dan
hina ini ya Allah.”
Sehabis memanjatkan doa Datuk Marajo Sati turun ke tepi danau,
mengambil air sembahyang. Ketika Datuk Marajo Sati membungkuk dan
menyibak airdi tepi Danau Singkarak tiba-tiba muncul bayangan kepala dan
wajah manusia. Sang Datuk tersurut satu langkah. Pakih Jauhari! Wajah
pemuda yang samar di dalam air itu menyeringai lalu di kejauhan terdengar
suara tawanya bergelak.
“Astagafirullah...” Datuk Marajo Sati mengucap. “Setankah yang aku
lihat barusan? Setankah yang tertawa dikejauhan...?” Sang Datuk lalu
membaca beberapa ayat suci, diakhiri dengan Ayat Kursi. Perlahan-lahan
wajah di dalam air danau dan suara tertawa di kejauhan lenyap sirna. Datuk
kembali meneruskan mengambil air wudhu. Selesai sholat, masih duduk di atas
batu di atas bukit kecil di tepi danau, ditemani Inyiek, Datuk Marajo Sati
berzikir. Lalu hampir semalaman suntuk dia melakukan tarak untuk
melenyapkan ilmu jahat Santuang Panyasek yang menguasai diri harimau besar
tunggangannya.
EMPAT
KETIKA terjadi ledakan dan asap hitam meng-gebubu ke udara menutupi
pemandangan, Datuk Panglimo Kayo bergerak cepat Dengan cepat dia
melompat ke udara. Selagi dalam keadaan melayang dia melesat ke atas
sebatang pohon besar. Dari atas pohon dia dapat melihat rombongan orang-
orang yang menculik gadis Cina itu lari cepat sekali ke arah timur lalu secara
tiba-tiba lenyap dari pemandangan.
“Heran, kenapa tiba-tiba menghilang tidak kelihatan?” Pikir Datuk
Panglimo Kayo sambil mengusap dagu. Lalu dia berpikir lagi apakah perlu
mengejar orang-orang itu atau segera saja kembali ke Batusangkar karena
ada perjanjian dengan dua Datuk Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota.
Karena hari masih pagi, akhirnya Datuk Panglimo Kayo memutuskan memanggil
Inyiek harimau tunggangannya lalu melakukan pengejaran terhadap Ki Bonang
Talang Ijo dan rombongan.
Untuk menghindari pengejaran yang secara pasti akan dilakukan oleh
Datuk Marajo Sati, Tuanku Laras Muko Balang telah bersiap-siap dengan
mengeluarkan ilmu Santuang Panyasek agar Datuk Marajo Sati dan harimau
tunggangannya tidak mampu melakukan pengejaran. Akan halnya Datuk
Panglimo Kayo dan Inyiek yang membawanya terbang mula-mula memang
sempat dipengaruhi ilmu hitam itu. Namun karena Tuanku Laras Muko Balang
hanya mengarahkan ilmu kesaktiannya pada Datuk Panglimo Kayo bersama
Inyiek harimau kuning hanya terpengaruh beberapa saat.
Setelah berhasil mendapatkan Puti Bungo Sekuntum, Perwira Muda
Teng Sien ingin agar gadis itu dilepaskan dari totokan hingga bisa berubah
bentuk menjadi kupu-kupu batu giok dan mudah dibawa. Setelah hal itu
berlangsung maka dia akan segera pergi ke pesisir timur. Di Selat Malaka dia
menunggu kapal layar yang akan membawanya ke daratan Tiongkok. Tapi Ki
Bonang Talang Ijo tidak menyetujui hal itu. Dia ingin gadis Cina itu
disembunyikan dulu di satu tempat yang telah dipilih oleh Tuanku Laras Muko
Balang dan Pandeka Bumi Langit dari Sumanik. Setelah Perwira Muda Teng
Sien menyerahkan peti kedua berisi batangan emas seperti yang dijanjikan
dan dibagi rata maka Puti Bungo Sekuntum baru akan diserahkan.
Teng Sien bersikeras agar semua orang mengikuti kemauannya. Karena
merasa dialah yang jadi pimpinan rombongan dan membayar orang-orang itu,
termasuk Niniek Panjalo dan Datuk Pancido yang datang kemudian. Sementara
kata mufakat belum dicapai, rombongan tiba di satu telaga kecil tak jauh dari
kaki selatan Gunung Merapi. Tuanku Laras Muko Balang dan Ki Bonang Talang
Ijo meminta rombongan berhenti untuk beristirahat barang beberapa lama
sambil meneruskan perundingan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Puti
Bungo Sekuntum yang dipanggul Tuanku Laras didudukkan di tanah,
disandarkan di batang pohon. Sampai saat itu gadis ini masih berada dalam
keadaan tertotok. Perwira Teng Sien menambahkan dua totokan lagi di
tubuhnya hingga bukan hanya dua tangan yang lumpuh tapi seluruh auratnya
tidak bisa digerakkan. Hanya mulutnya saja yang masih bicara dan sepasang
mata yang bergerak sekali-sekali.
Saat itu tengahhari tepat bang surya bersinar terik. Tiba-tiba dari
arah barat, seekor harimau besar melesat laksana terbang di atas permukaan
telaga. Di atasnya duduk seorang berpakaian dan berdestar hitam yang bukan
lain adalah Datuk Panglimo Kayo, Datuk pemimpin Luhak Tanah Datar.
Tentu saja semua orang menjadi heran sekaligus terkejut. Yang diduga
akan datang mengejar adalah Datuk Marajo Sati. Datuk Marajo Sati tidak
berhasil menembus ilmu sirapan Tuanku Laras Muko Balang, tapi mengapa kini
Datuk Panglimo Kayo yang datang?
“Tuanku Laras, menurutmu apa keperluan Datuk dari Batusangkar ini
mengejar kita?” bertanya Datuk Pancido sambil mengusap-usap tongkat
berkeluk yang terbuat dari perunggu.
“Aku tidak dapat memastikan. Di Tanah Minang kedudukannya di bawah
Datuk Marajo Sati. Mungkin dia hendak membela pimpinannya. Kalau dia
bertingkah macam-macam maka kedatangannya adalah mengantar nyawa. Saat
ini aku sudah menanam satu rencana bagus dalam benakku!” jawab Tuanku
Laras Muko Balang sambil mengusap wajahnya yang ditutupi bulu tipis,
separuh berwarna hitam sebagian lagi berwarna putih. “Datuk, kecuali Perwira
Muda Teng Sien dan Ki Bonang, ajak semua orang mengurung Datuk Panglimo
Kayo dan Inyiek tunggangannya. Jangan sampai dua mahluk itu melangkah
terlalu jauh dari telaga.”
Datuk Pancido segera lakukan apa yang dikatakan Tuanku Laras.
Bersama Inyiek Panjalo dan Pandeka Bumi Langit dari Sumanik dia segera
mendatangi Datuk Panglimo Kayo yang baru saja menjejakkan kaki bersama
harimau tunggangannya di tepi telaga. Ketiga orang ini segera menebar dan
mengambil sikap mengurung.
Sementara itu Tuanku Laras cepat-cepat mendekati Ki Bonang dan
Perwira Muda Teng Sien.
“Ki Bonang, turut apa yang aku dengar Datuk Panglimo Kayo memiliki
satu senjata sakti luar biasa bernama Rantai Pintu Halilintar. Jika terjadi hai
tidak diingini dan dia menyerang kita dengan senjata itu, kita tidak akan
sanggup menahannya. Kecuali kita memiliki penangkal...”
Kening Ki Bonang Talang Ijo berkerut.
“Lekas katakan apa penangkal itu?”
“Ada pada Perwira Muda Teng Sien. Dia selalu membawanya ke mana-
mana sebagai makanan persediaan. Disimpan di dalam kaleng merah yang
tergantung di pinggangnya.”
“Dendeng babi? Di dalam kaleng itu yang ada hanya dendeng babi.
Makanan perwira Cina itu...”
“Benar sekali Ki Bonang. Daging babi, mentah atau masak, lunak atau
keras, basah atau kering, adalah pantangan senjata sakti milik Datuk Panglimo
Kayo. Untuk berjaga-jaga, lekas kau minta kaleng itu pada Teng Sien.
Keluarkan isinya dan lemparkan ke arah Datuk Panglimo Kayo. Walau tidak
mengena tubuh atau senjatanya, dia tetap akan mengalami celaka berat!”
“Baik, akan aku lakukan!” jawab Ki Bonang Talang Ijo pula lalu dengan
cepat mendekati Perwira Muda Teng Sien. Setelah bicara sebentar Perwira
Kerajaan Tiongkok itu menyerahkan kaleng besar merah yang tergantung di
pinggangnya. Ki Bonang mengeluarkan sebagian isi kaleng lalu memasukkan ke
dalam saku kiri jubah hijaunya.
Di tepi telaga belum turun dari atas punggung harimau Datuk Panglimo
Kayo sudah melihat gerakan orang yang mencurigakan. Belum lagi dia
membuka suara, di hadapannya Datuk Pancido sudah mementang ucapan.
“Datuk Panglimo Kayo. Jika Datuk Marajo Sati yang kau cari, orang itu
tidak ada di sini. Karenanya kami harap kau segera melanjutkan perjalanan.”
Datuk Panglimo Kayo tidak segera menjawab. Dia lebih dulu menatap
wajah Datuk Pancido sebentar yang barusan menegurnya, memandang nenek
yang berdiri di sampingnya lalu beralih pada Pandeka Bumi Langit dari
Sumanik dan selanjutnya memandang ke arah Ki Bonang Talang Ijo, Perwira
Muda Teng Sien dan Tuanku Laras Muko Balang. Melirik pada gadis Cina yang
bersandar di pohon. Setelah itu baru membuka mulut menjawab.
“Datuk Pancido, aku datang ke sini memang bukan mencari Datuk
Marajo Sati...”
“Astaga! Rupanya jauh panggang dari api dugaan kami!” Menyahuti
Datuk Pancido sambil melintangkan tongkat perunggunya di atas bahu.
“Lalu gerangan apa maksud kedatangan Datuk ke tempat kami berada
saat ini?” Niniek Panjalo yang kini ajukan pertanyaan.
Datuk Panglimo Kayo menyeringai.
“Apa kalian berdua yang jadi pimpinan rombongan ini? Aku rasa tidak.
Dua orang tua, aku hanya ingin bicara dengan orang yang kalian tuakan dan
jadikan pemimpin. Bukan dengan kalian berdua!”
Mendengar ucapan orang dan merasa dirinya direndahkan dua kakek
nenek itu keluarkan suara menggembor.
“Masing-masing kami semua di sini adalah pimpinan. Jadi kalau memang
mau bicara silahkan bicara. Kalau tidak segera saja Undang hapus dari
hadapan kami!” Kata Datuk Pancido pula. (Undang hapus: angkat kaki pergi)
“Datuk Pancido, kalau soal bicara usir mengusir bukan kau yang punya
kuasa dan wewenang. Di Luhak Tanah Datar akulah yang jadi Datuk
Penghulunya. Bagaimana kalau aku yang memerintahkan agar kau yang lindang
hapus dari hadapanku karena aku tidak suka negeri ini kau jadikan tempat
berbuat ulah sekehendakmu!”
Niniek Panjalo tertawa cekikikan. Di sebelahnya Pandeka Bumi Langit
dari Sumanik berkata.
“Datuk Panglimo Kayo, kau bukan saja salah berucap tapi juga salah
berbuat! Datuk pimpinanmu menculik dan memeram gadis di dalam goanya!
Apa yang kau lakukan terhadapnya? Kau tidak berbuat apa-apa. Malah
penduduk yang bertindak menjatuhkan hukuman!”
“Soal Datuk Marajo Sati bukan urusanmu! Kalau aku boleh berkata,
bukankah kau juga saat ini beramai-ramai tengah menculik gadis yang sama?
Hendak kalian bawa dan peram di mana?!”
Tiba-tiba Puti Bungo Sekuntum berteriak.
“Datuk berbaju hitam! Siapapun kau adanya mohon tolong diri saya!
Selamatkan diri saya dari orang-orang durjana ini! Mereka... Hekk!” Teriakan
si gadis hanya sampai di situ karena lehernya keburu ditotok oleh Ki Bonang
Talang Ijo.
“Para sahabat! Rupanya ada yang hendak menjadi pahlawan kesiangan!
Biar sama-sama kita lihat apa dia punya kemampuan untuk membebaskan gadis
itu!”
Yang barusan berseru adalah Tuanku Laras Muko Balang.
Mendengar tantangan orang Datuk Panglimo Kayo jadi gusar.
“Tanah Datar adalah daerah tanggung jawab dan di bawah
perlindunganku! Kalian semua pergi dari sini! Tinggalkan gadis itu!”
Ki Bonang Talang Ijo maju dua langkah. Blangkon hijau di atas kepala
dibuka lalu dikipas-kipas di depan dada. Seperti diketahui belangkon kakek ini
merupakan senjata ampuh yang bisa melumpuhkan lawan dari jarak jauh.
Sementara itu tangan kiri dimasukkan ke dalam saku jubah di mana tersimpan
beberapa potong dendeng babi.
“Datuk Panglimo Kayo, mohon maafkan para sahabatku kalau mereka
bicara agak ceroboh. Kami sangat menghormati kehadiran Datuk sebagai
pimpinan di Luhak Tanah Datar. Jika Datuk memang menginginkan gadis itu
silahkan Datuk mengambil sendiri. Tapi kami ingin bertanya. Kalau sudah
dapat hendak Datuk apakan gadis itu? Hendak disekap di dalam goa seperti
yang dilakukan Datuk Marajo Sati? Setahu kami Datuk tidak punya goa
kediaman. Lalu mau dibawa ke mana? Mungkin ke dasar Danau Maninjau? Itu
saja yang ingin kami tanyakan... Ha... ha... ha!”
Ucapan dan tawa Ki Bonang Talang Ijo itu disambut gelak tawa pula
oleh semua orang yang ada di tempat itu. Amarah Datuk Panglimo Kayo jadi
naik ke kepala. Tapi dia masih bisa menahan diri.
“Orang tua, kau orang asing di sini. Bicara seenak mulut, bertindak
sekehendak hati! Minta maaf padaku dan pergi dari sini bersama yang lain-
lain. Niscaya kalian aku biarkan pergi dengan selamat...”
Tuanku Laras Muko Balang keluarkan suara berbatuk-batuk yang
disengaja beberapa kali lalu berkata.
“Datuk Panglimo Kayo. Kau baru menjadi pimpinan di satu nagari. Tapi
sikapmu pongah sekali. Seolah kau sudah menjadi penguasa di muka bumi. Sri
Baginda Raja di Pagaruyungpun tidak akan berlaku seperti dirimu!”
Ki Bonang Talang Ijo pegang bahu Tuanku Laras lalu maju beberapa
langkah ke hadapan Datuk Panglimo Kayo. Sesaat dia berpaling dulu pada
Tuanku Laras.
“Sahabatku Tuanku Laras, bagaimanapun juga sebagai seorang tamu di
negeri orang aku harus menghormati sang penguasa yang jadi pimpinan.
Biarkan aku memohon maaf atas kata-kataku yang mungkin kasar...”
Lalu Ki Bonang Talang Ijo menghadap ke arah Datuk Panglimo Kayo
kembali. Badan sedikit dibungkukkan. Tangan yang memegang belangkon hijau
berkembang putih diayun sambil mulutnya berucap.
“Datuk Panglimo Kayo, aku Ki Bonang Talang Ijo dari Kota Gede di
tanah Jawa, aku mohon...”
Ki Bonang tidak teruskan ucapan. Dari pusarnya mendesir tenaga dalam
ke arah tangan yang memegang belangkon hijau. Ketika tangan kanan itu
diayunkan maka wuuuttt! Selarik angin luar biasa deras menyambar ke arah
Datuk pimpinan Luhak Tanah Datar! Kalau sampai tersambar maka sekujur
tubuh Datuk Panglimo Kayo akan menjadi lumpuh!
LIMA
SEBAGAI Datuk pimpinan di daerah atau Luhak Tanah Datar Datuk Panglimo
Kayo tentu saja bukan orang sem-barangan. Selain merupakan orang cerdik
pandai, seperti para Datuk lainnya dia juga membekali diri dengan ilmu agama
sekaligus ilmu silat serta kesaktian tinggi.
Walau belum pernah berhadapan dengan Ki Bonang Talang Ijo, namun
Datuk Panglimo Kayo sudah dapat membaca apa arti rundukan tubuh serta
sapuan belangkon. Sebelum angin melumpuhkan menyambar dirinya Datuk ini
cepat melompat ke arah Niniek Panjalo. Sekali menyergap nenek bertubuh
kurus Ini sudah kena dicekal batang lehernya oleh Datuk Panglimo Kayo yang
bertubuh tinggi besar. Si nenek lalu gemparkan ke arah Ki Bonang Talang Ijo
yang tengah melancarkan serangan membokong.
Dua orang sama-sama berteriak kaget yaitu si nenek dan Ki Bonang
sementara yang lain-lain terkesiap tak menyangka akan terjadi hal seperti
itu. Begitu terkena sambaran angin yang keluar dari sapuan belangkon hijau,
tubuh si nenek langsung lumpuh tak bisa bergerak. Hanya mulutnya saja yang
masih mampu berteriak. Tubuh lumpuh Niniek Panjalo melesat menabrak Ki
Bonang Talang Ijo. Dua kakek nenek ini jatuh bertindihan di tanah. Si nenek
menyumpah-nyumpah tapi tak bisa berbuat apa-apa karena tidak mampu
bergerak. Ki Bonang memaki panjang pendek. Dia cepat bergerak bangun.
Namun sebelum sempat berdiri bangkit satu kaki berkasut kulit telah
menginjak keningnya.
Si kakek dari Kuto Gede ini merasa seolah satu batu besar menindih
kepalanya, siap untuk membuatnya remuk! Yang menginjak bukan lain adalah
Datuk Panglimo Kayo. Semua orang hampir tidak melihat kapan Datuk
bertubuh tinggi besar itu bergerak tahu-tahu dia sudah mampu menginjak
kepala Ki Bonang!
“Orang gaek bernama Ki Bonang! Kau datang di negeri orang mengapa
berani berbuat rusuh!” (orang gaek: orang tua)
“Datuk kurang ajar! Berani kau menginjak kepalaku!” teriak Ki Bonang
Talang Ijo. Didahului satu teriakan keras dia usap sebagian wajahnya dengan
tangan kiri sementara tangan kanan yang masih memegang blangkon hijau
dihantamkan ke atas.
Begitu wajah diusap, seluruh kulit muka Ki Bonang Talang Ijo sampai ke
mata dan telinga serta rambut berubah menjadi hijau pekat. Dari kepala yang
berubah warna ini membersit keluar cahaya hijau, menjalar masuk ke kaki
kanan Datuk Panglimo Kayo membuat dia merasa seperti ditusuk ribuan jarum!
Sadar bahaya besar mengancam dirinya, sebelum kaki kanan diangkat
Datuk Panglimo Kayo walau gerakannya agak tertahan oleh aliran cahaya hijau
namun masih sempat menghujamkan kaki ke kepala Ki Bonang.
“Kraakk! Craass!”
Ki Bonang Talang Ijo menjerit dahsyat! Keningnya sebelah kanan
remuk. Mata melesak terpuruk! Tapi sungguh luar biasa! Meski cidera berat
begitu rupa dia seperti tidak merasa kesakitan malah berteriak keras.
“Datuk jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” Ki Bonang berteriak
sambil lipat gandakan tenaga dalam ke tangan kanan yang memukulkan
belangkon. Namun saat itu Datuk Panglimo Kayo sudah melompat ke udara.
Bukan saja untuk selamatkan diri dari hantaman angin belangkon tapi
sekaligus juga menghindari serangan beberapa orang lainnya yaitu Tuanku
Laras Muko Balang, Datuk Pancido, Perwira Muda Teng Sien dan Pandeka Bumi
Langit dari Sumanik.
Dengan pedang perak Al Kausar Tuanku Laras Muko Balang yang
menyerbu dari arah kanan membabat ke arah dua kaki Datuik Panglimo Kayo.
Dari jurusan kiri Perwira Muda Teng Sien sambil berteriak garang bacokkan
golok besarnya ke arah pangkal leher. Datuk Pancido seperti kebiasaannya,
menyerang dari belakang. Begitu melewati sosok lawan tongkat perunggu
berkeluknya langsung dihantamkan, menderu ke arah belakang batok kepala
Datuk Panglimo Kayo. Pandeka Bumi Langit ikut pula menyerbu dengan ilmu
silat ganas Sitaralak.
Sementara itu walau dalam keadaan cidera parah dan muka
bergelimang darah, mata hanya tinggal satu yang melihat, Ki Bonang Talang
Ijo melompat ke udara setelah hantaman angin belangkonnya tidak mengenai
sasaran. Blangkon diletakkan di atas kepala kembali lalu dua tangan dipentang
lebar. Dari mulutnya yang kini menjadi pencong akibat matanya yang terpuruk,
keluar suara menggerung keras. Saat itu juga sekujur tubuhnya dipijari sinar
hijau. Di lain kejap dari tubuh itu keluar satu mahluk mengerikan berbentuk
gurita hijau jejadian berlengan delapan! Ke delapan tangan ini menderu
dahsyat siap menggulung melumat Datuk Panglimo Kayo.
Seumur hidup baru sekali ini Datuk Panglimo Kayo bertarung melawan
musuh yang menyerang keroyokan. Selain itu belum pernah dia menghadapi
tokoh-tokoh berkepandaian silat dan kesaktian tinggi seperti yang
dihadapinya saat itu. Ketika salah satu ujung kaki celana hitamnya robek
besar disambar pedang Al Kausar di tangan Tuanku Laras Muko
Balang, sementara dua tangan gurita sudah melibat tangan kirinya,
Datuk Panglimo Kayo tidakmau berlaku ayal. Didahului suara bentakan keras
sambil terus melesat ke udara dia memutar tubuh seperti titiran sambil
berteriak.
“Rantai Pintu Halilintar!”
Di langit mendadak menggelegar suara petir dibarengi memancarnya
cahaya dua sinar terang benderang laksana dua daun pintu terbuka.
“Rrreettttttttt”
Lalu terdengar suara bergemerincing disertai berkiblatnya sinar putih
dingin menggidikkan menyelubungi tubuh Datuk Panglimo Kayo. Sinar ini
berasal dari sebuah senjata sakti milik sang Datuk berupa rantai besi putih
sepanjang lebih sepuluh tombak.
Bersamaan dengan munculnya rantai putih, Inyiek harimau kuning
belang hitam yang sejak tadi mendekam diam tiba-tiba mengaum keras dan
melompat memasuki kalangan pertempuran.
“Trang... trang!”
Pedang Al Kausar di tangan Tuanku Laras Muko Balang terlepas mental.
Golok besar yang dipakai membacok oleh Perwira Muda Teng Sien patah dua.
Sisa golok termasuk gagang mencelat menyambar kepalanya sebelah kanan
hingga daun telinganya tersambar buntung! Teng Sien menjerit setinggi langit
Dua tangan menekap telinga yang buntung dan mengucurkan darah. Tubuh
berputar huyung. Untuk selamatkan diri diri dari serangan rantai besi putih
dia cepat-cepat menjauhi kalangan pertarungan. “Crass!”
Dua tangan gurita yang melibat tangan kiri Datuk Panglimo Kayo putus
menyemburkan darah hijau mengerikan dan menjijikkan. Di samping kiri Datuk
Pacindo keluarkan jeritan pendek ketika kepala, punggung dan pinggangnya
hancur digebuk gulungan Rantai Pintu Halilintar. Tubuhnya terhempas ke
tanah dalam keadaan hangus gosong!
Pandeka Bumi Langit dari Sumanik dengan menjatuhkan diri sama rata
di tanah masih sempat selamatkan tubuh dari sambaran rantai putih.
“Ki Bonang! Lekas lemparkan barang pamungkas yang ada dalam saku
jubahmu!”
Tuanku Laras Muko Balang berteriak. Dia sengaja tidak menyebut
daging atau dendeng babi agar Datuk Panglimo Kayo tidak punya kesempatan
melakukan sesuatu untuk selamatkan diri.
ENAM
MENDENGAR teriakan Tuanku Laras, Ki Bonang hentikan serangan gurita
jeja-diannya. Gurita tangan delapan lenyap tanpa bekas. Ki Bonang cepat-
cepat masukkan tangan kiri ke dalam saku jubah hijau. Begitu keluar dari
dalam saku, potongan-potongan daging dendeng babi yang didapatnya dari
Perwira Muda Teng Sien_ segera dilempar ke arah Rantai Pintu Halilintar.
Melihat apa yang terjadi dan mencium bau menyengat dari benda yang
dilemparkan ke arahnya, Datuk Panglimo Kayo berteriak kaget. Dia berusaha
menghindar namun terlambat. Sekalipun potongan daging babi itu tidak
mengenai Rantai Pintu Akhirat dan tubuhnya namun kekuatan pantangan
penghancur yang dimiliki begitu luar biasa. Saat itu juga rantai yang terbuat
dari besi putih sakti itu terputus dua di sebelah tengah. Putusan pertama
sepanjang lima tombak menderu ke arah Inyiek harimau kuning belang hitam
yang tengah melompat hendak menerkam Perwira Muda Teng Sien. Dengan
cepat rantai putih ini melibat tubuh binatang sakti itu hingga mengeluarkan
suara berkeretekan remuknya tulang belulang. Inyiek mengaum dua kali lalu
jatuh terkapar di tanah, Di mata, hidung, mulut dan telinga mengucur darah.
“Mahluk iblis! Pulang ke rumah majikanmu!” Bentak Tuanku Laras Muko
Balang lalu dengan kaki kanan dia tendang harimau besar hingga mencelat
mental melewati telaga dan lenyap dari pemandangan dan kelak akan jatuh di
halaman rumah gadang kediaman Datuk Panglimo Kayo.
Potongan rantai putih yang kedua menderu bergemerlapan ke arah
Datuk Panglimo Kayo. Seperti yang terjadi dengan Inyiek, rantai ini dengan
cepat menggulung sekujur tubuh sang Datuk. Terdengar kembali suara
berkeretekan begitu tulang belulang Datuk Panglimo Kayo remuk. Sebelum
darah mengucur keluar dari mata, hidung, mulut dan telinga, Datuk Panglimo
Kayo masih sempat berseru menyebut nama Allah. Setelah itu pimpinan Luhak
Tanah Datar ini tak bergerak lagi.
Walau Datuk Panglimo Kayo telah menemui ajal, namun Ki Bonang
Talang Ijo masih ingin melampiaskan dendam amarahnya! Sekali dia
menendang maka hancurlah kepala Datuk Panglimo Kayo sebelah kanan. Masih
belum puas Ki Bonang kembali hendak menendang. Namun Tuanku Laras Muko
Balang segera mencegah.
“Ki Bonang, kalau kau hancurkan seluruh mukanya, tidak lagi nanti orang
yang bisa mengenali dirinya. Aku ingin melakukan sesuatu. Aku ingin
jangan berani bertindak ceroboh seperti yang dilakukan Datuk satu ini!
Tetapi aku juga ingin menyesatkan jalan pikiran mereka! Biar mereka
menuduh orang lain yang telah membunuh Datuk Panglimo Kayo!”
Dari balik pakaiannya Tuanku Laras lalu keluarkan sepotong robekan
kain putih panjang.
Ki Bonang usap-usap mata kirinya.
“Tuanku Laras, bukankah itu potongan sorban Datuk Marajo Sati...?”
Tuanku Laras menyeringai.
“Aku gembira kau mengetahui,” kata si muka belang ini. “Aku
mengambilnya ketika tercampakdi tanah sewaktu dia dilempari ratusan batu
di Ngarai Sianok. Sekarang apakah yang ada di dalam benakku sama dengan
apa yang ada di dalam otakmu, Ki Bonang?”
Setelah berkata begitu Tuanku Laras letakkan robekan sorban Datuk
Marajo Sati di atas telapak tangan kanan Datuk Panglimo Kayo. Lalu lima jari
tangan yang masih belum begitu kaku dikatupkan.
“Tuanku Laras,” kata Ki Bonang sambil menekap mata kanannya yang
hancur dan berdenyut sakit “Aku memuji kecerdikanmu. Aku merasa dendam
kesumatku sulit terbalas dengan apa yang kau lakukan. Tapi apa yang hendak
Tuanku Laras lakukan selanjutnya?”
Sambil menyeringai Tuanku Laras Muko Balang menjawab.
“Mayatnya akan aku kirim ke rumah gadang kediamannya di
Batusangkar. Biar gempar orang seluhak, biar geger semua manusia di tanah
Minang ini!”
“Tuanku Laras, mengapa mau bersusah-susah! Biarkan saja mayat
Datuk Panglimo Kayo membusuk di sini! Kalau memikir dendam kesumat
rasanya aku lebih membenci manusia satu ini dari siapapun! Lihat apa yang
terjadi dengan mukaku! Lihat mataku kini buta sebelah!” Habis berkata begitu
Ki Bonang cepat-cepat ambil dua macam obat dari balik jubahnya. Satu
berupa bubuk hitam yang segera ditebarkan di atas kening dan mata
kanannya. Obat yang lain berbentuk butiran kecil bulat sebanyak tujuh buah
segera hendak ditelannya. Tapi lengannya tiba-tiba dicekal oleh Tuanku Laras
Muko Balang. Orang yang wajahnya tertutup bulu hitam putih ini lantas
berkata dengan suara bergetar.
“Siapa saja bisa mempunyai dendam kesumat dan kebencian terhadap
Datuk Panglimo Kayo! Tapi aku Tuanku Laras Muko Balang, dendam kesumatku
terhadap manusia itu jauh lebih besar dari dendam orang termasuk Ki Bonang
ditumpuk jadi satu! Kau
dengar apa yang aku katakan itu Ki Bonang?”
“Tentu saja aku dengar Tuanku Laras. Tapi terus terang aku tidak
mengerti. Ada silang sengketa apa antara dirimu dengan Tuanku Panglimo
Kayo?” jawab Ki Bonang Talang Ijo lalu meneruskan dengan bertanya.
“Datuk Panglimo Kayo, manusia jahanam itu! Sepuluh tahun silam dia
membunuh ayahku demi mendapatkan kedudukan sebagai pimpinan Luhak di
Tanah Datar!”
“Ah, kalau begitu maafkan diriku,” kata Ki Bonang pula.
Tuanku Laras lepaskan cekalannya di lengan Ki Bonang. Orang tua ini
cepat-cepat telan tujuh butir obat yang sejak tadi telah digenggamnya.
Tuanku Laras Muko Balang sarungkan pedang sakti Al Kausar. Lalu
senjata ini diletakkan di tanah. Ujung rantai besi putih yang melibat mayat
Datuk Panglimo Kayo dicekal erat-erat.
“Ki Bonang, Pandeka Bumi Langit, ada satu hal yang perlu aku katakan
pada kalian. Dan nanti harap kau beri tahu pada Perwira Teng Sien. Jika aku
kembali, aku harap kalian dan Perwira Cina itu serta gadis di bawah pohon
sana tetap berada di tempat ini. Jangan sekali-sekali coba melarikan diri dari
sini, membawa gadis itu atau menipuku dengan cara keji lainnya. Jika hal itu
terjadi maka Ki Bonang tidak akan pernah kembali ke tanah Jawa, Perwira itu
tidak akan pernah pulang ke negerinya di Tiongkok dan Pandeka Bumi Langit
hanya bisa pulang ke Sumanik dalam keadaan tidak bernafas lagi.”
Ki Bonang menyeringai buruk. Pandeka Bumi Langit pencongkan mulut.
“Kami tidak akan mengkhianatimu! Tapi kami tidak akan mau menunggu
sampai berhari-hari!” Ki Bonang akhirnya keluarkan ucapan.
“Sebelum matahari tenggelam, aku sudah kembali di sini!” jawab Tuanku
Laras lalu melangkah menyeret mayat Datuk Panglimo Kayo. Dia letakkan dua
kaki di aas pedang Al Kausar. Setelah merapal semacam jampai-jampai orang
bermuka belang ini lalu berseru.
“Pedang sakti aku perlu bantuanmu. Bawa aku ke Sungai Tarab!”
“Wusss!”
Pedang sakti di tanah kepulkan asap putih menyilaukan. Lalu terjadilah
satu keajaiban. Senjata yang terbuat dari perak murni itu melesat ke udara
mengangkat tubuh Tuanku Laras yang memegang ujung rantai putih dan
melibat mayat Datuk Panglimo Kayo lalu menerbangkannya ke arah tenggara.
KETIKA melayang di udara mendekati Sungai Tarab, sebuah dusun
kecil tak jauh dari Batu Sangkar dari udara Tuanku Laras melihat sebuah
pedati tak beratap. Di sebelah depan duduk dua orang anak muda. Satu
diantaranya adalah kusir pedati. Yang
seorang lagi asyik menyantap nasi bungkus.
“Ini yang aku perlukan...” kata Tuanku Laras lalu dengan cepat melayang
turun, menghadang di depan pedati.
Dua anak muda yang berada di depan pedati tentu saja terkejut bukan
alang kepalang ketika melihat ada orang bermuka aneh turun dari langit,
melayang di atas pedang dan membawa mayat bergulung besi putih lalu
menghadang di tengah jalan!
Pemuda tadi yang asyik menyantap nasi bungkus tercekik seperti mau
muntah ketika melihat sosok mayat yang hancur dan bergelimang darah
sebagian wajahnya. Pemuda yang membawa pedati dalam kejutnya segera
menahan tali kekang. Sapi penarik pedati serta merta berhenti. Dua kaki
depan menggurat-gurat tanah. Binatang ini agaknya juga seperti ketakutan.
“Dua anak muda, apakah kalian akan menuju ke Batu Sangkar melalui
Sungai Tarab?”
Anak muda yang tadi menyantap nasi bungkus segera berhenti. Nasi
bungkus lalu dilempar ke tepi jalan. Karena ngeri dan jijik melihat muka mayat
yang hancur dia tidak sanggup lagi meneruskan makan.
“Aku bertanya apakah kalian berdua tuli?” Tuanku Laras yang tidak mau
membuang waktu jadi marah.
Pemuda yang barusan makan mengangguk. “Kami-kami memang hendak
ke Batu Sangkar. Tentu saja kami melewati Sungai Tarab...” Lalu pemuda ini,
yang bernama Majo Jamin, berbisik pada teman di sebelah yang adalah
adiknya, bernama Magek Jamin. “Magek, aden rasa-rasa kenal dengan orang
bermuka belang ini. Aden pernah melihatnya waktu ada pertunjukan Randai di
Payakumbuh... Bukankah dia yang dijuluki Tuanku Laras Muko Balang?” (Aden:
aku)
“Kalian tengah berbisik-bisik apa?!” Tuanku Laras membentak marah.
“Tidak... tidak apa-apa...”
“Jangan berani berdusta! Apa kalian mau aku jadikan mayat bergabung
dengan mayat satu ini?!”
Dua pemuda jadi ketakutan setengah mati.
“Ampun Datuk... kami... tadi saya hanya memberi tahu adik saya ini
kalau tidak salah saya menduga bukankah Datuk adalah Tuanku Laras...”
“Hemmmm... Jadi kalian kenal juga padaku? Siapa nama kalian?”
“Saya Majo Jamin. Adik saya Magek Jamin. Kami tinggal di selatan
Sungai Tarab.”
Dari saku jubahnya Tuanku Laras keluarkan dua keping uang logam lalu
dilemparkan ke pangkuan dua kakak beradik. Setelah itu dia mengambil
pedang yang tergeletak di tanah lalu dengan gerakan kilat melompat naik ke
atas pedati kosong, hanya dipenuhi jerami kering.
“Kalian berdua bawa aku ke Batu Sangkar. Jangan berani membuka
mulut kalau tidak aku tanya!”
Dalam takutnya Magek Jamin segera menjalankan pedati. Sebaliknya
dalam takutnya Majo Jamin melompat dari pedati lalu melarikan diri. Namun
dia lari tidak jauh. Karena begitu Tuanku Laras arahkan ujung pedang
bersarung, selarik sinar putih menderu menghantam punggung Majo Jamin.
Pemuda malang ini terlempar masuk ke dalam jurang sangat dalam dan
menemui ajal di dasar jurang.
Melihat kakaknya dibunuh dan terlempar masuk ke dalam jurang Magek
Jamin berteriak.
“Datuk...! Kau!”
Tuanku Laras tusukkan ujung sarung pedang perak ke leher kusir
pedati.
“Kalau kau tidak ingin menyusul saudaramu ikuti perintahku. Cepat
jalankan pedati!”
Magek Jamin menggigil ketakutan dan terpaksa mencambuk sapi
penarik pedati. Tak berapa lama setelah melewati Sungai Tarab, Tuanku
Laras berkata pada pemuda kusir pedati.
“Aku rasa cukup sampai di sini kau menolongku. Selanjutnya sapi
penarik pedati ini sudah tahu jalan ke Batu Sangkar.”
Magek Jamin pemuda kusir pedati berpaling ke belakang hendak
bertanya apa maksud Tuanku Laras. Namun begitu kepala diputar keningnya
dihantam dengan sarung pedang perak. Tak ampun lagi pemuda ini terbanting
ke samping dan jatuh ke jalan. Tuanku Laras melompat turun dari pedati
sementara sapi penarik pedati terus berjalan ke arah Batu Sangkar,
membawa mayat Datuk Panglimo Kayo yang sudah ditimbun Tuanku Laras
Muko Balang di bawah tumpukan jerami kering. Sesekali sapi ini melenguh,
meningkahi bunyi suara ganto yang tergantung di lehernya.
TUJUH
SEKARANG kita ikuti apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng
setelah oleh Inyiek Susu Tigo dia dilempar ke dalam telaga penuh berisi
buaya sementara Malin Kapuyuak tergelimpang tertelungkup di atas cabang
pohon.
Dalam episode sebelumnya (Fitnah Berdarah Di Tanah Agam) Inyiek
Susu Tigo yang merupakan salah seorang tokoh utama memiliki kesaktian
tinggi telah lebih dulu didatangi oleh Ki Bonang Talang Ijo, Tuanku Laras,
Perwira Teng Sien, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Datuk Pancido dan
NiniekPanjalov.
Ki Bonang dan kawan-kawan mengarang cerita melancarkan fitnah kalau
salah seorang murid Inyiek Susu Tigo yaitu Si Kamba Pesek Tangan Manjulai
telah dibunuh oleh Pendekar 212 Wiro Sableng dan sebelum dibunuh lebih
dulu diperkosa. Tidak heran kalau ketika Wiro, Denok Tuba Biru dan Malin
Kapuyuak datang untuk mencari Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai, Inyiek
Susu Tigo marah besar walau murid Sinto Gandeng bersumpah bahwa dia
tidak membunuh murid sang Inyiek. Wiro dilempar ke dalam telaga yang
ditunggui puluhan buaya besar peliharaan guru Si Kamba Pesek dan Si Kamba
Mancuang. Di dalam telaga tubuh Wiro secara aneh mengambang
tertelentang. Namun dia sama sekali tidak bisa menggerakkan tangan atau
kaki. Hanya leher dan sepasang bola mata yang masih mampu diputar sedikit
ke kiri atau ke kanan. Air telaga terasa membeku dingin bukan kepalang
hingga geraham Wiro bergemeletakan menahan gigilan. Dia coba mengerahkan
hawa panas sakti tapi tidak berhasil. Sedikit demi sedikit dia merasa sekujur
tubuhnya menjadi kaku. Lidah juga mulai terasa kelu.
“Manusia bersusu tiga itu mengatakan besok begitu matahari terbit
buaya-buaya jahanam itu akan menyantap diriku. Celakai Apa yang harus aku
lakukan?! Rasanya aku mau berteriak minta tolong. Tapi lidahku sudah kelu.
Jangankan berteriak, bersuarapun aku tidak bisa. Kalaupun aku mampu
berteriak, mending kalau ada mahluk yang datang menolong sekalipun setan.
Bagaimana kalau buaya-buaya itu yang tersentak lalu tidak menunggu sampai
matahari terbit tapi langsung menyantap diriku sekarang juga? Oala!”
Wiro menatap ke langit di atasnya. Malah masih belum mencapai
pertengahan. Berarti masih cukup
banyak waktu untuk memutar akal mencari selamat.
“Dasar nasib sial celaka! Ada ada saja urusan di negeri orang ini. Aku
sudah enak-enak di tanah Jawa. Datuk Rao memanggilku. Urusan belum
selesai, malah belum ketahuan apa yang harus aku lakukan. Sekarang...” Ingat
pada Datuk Rao Basaluang Ameh, Wiro ingat pula pada Datuk Rao Bamato
Hijau yaitu harimau sakti putih bermata hijau peliharaan sang Datuk. “Ah,
sahabatku itu pasti bisa menolong.” Murid Sinto Gendeng pejamkan mata.
Bibir bergerak. Mulut berucap walau suaranya tidak keluar.
“Datuk Rao Bamato Hijau, sahabatku. Datanglah cepat. Aku butuh
pertolonganmu. Keluarkan aku dari telaga celaka ini. Datuk Rao Bamato
Hijau...”
Wiro berucap berulang kali tidak putus-putus. Tapi sampai suaranya
hilang tak mampu lagi keluar dari tenggorokan Datuk Rao Bamato Hijau tidak
kunjung muncul. Biasanya kalau dipanggil seperti itu, dalam waktu beberapa
kejapan mata saja harimau putih sakti itu akan segera menampakkan diri.
“Heran, apa yang terjadi? Mengapa Datuk Rao Bamato Hijau tidak
datang? Apakah sedang ada urusan di tempat jauh dengan Datuk Rao
Basaluang Ameh...” Wiro jadi tak habis pikir.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan harimau putih sakti itu? Seperti
yang diceritakan dan diakui oleh Denok Tuba Biru kepada Wiro, dia berhasil
diam-diam ikut ke tanah Minang dengan bergantungan di bagian bawah tubuh
harimau putih yang membawa Wiro untuk menemui Datuk Rao Basaluang
Ameh. Wiro tidak mengetahui keberadaan gadis gemuk bermuka biru belang
kuning karena Denok Tuba Biru mengerahkan ilmu kesaktian bernama Bayang
Bayang Angin.
Walau Pendekar 212 tidak mengetahui si gadis gembrot itu ikut
bersamanya, tapi harimau sakti Datuk Rao Bamato Hijau tentu saja tidak bisa
ditipu. Dia tahu tubuhnya digelayuti gadis itu. Lalu mengapa binatang sakti ini
diam saja? Tidak lain karena Denok Tuba Biru punya akal dan cara manjur
untuk menggereng-gereng halus kedap-kedipkan sepasang mata yang hijau.
Sepanjang perjalanan Denok Tuba Biru tiada hentinya mengusap-usap dan
meniup-niup “Burung” Datuk Rao Bamato Hijau hingga harimau putih ini
menjadi diam dan jinak dalam kenikmatannya.
Seumur hidup jadi peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh, harimau
putih itu belum pernah merasakan kenikmatan seperti yang dialaminya.
Selama beberapa hari dia mendekam di dalam alamnya namun lama-lama tidak
tahan juga. Ingatannya tidak bisa lenyap dari gadis gemuk Denok Tuba Biru.
Akhirnya harimau putih ini keluar dari alam gaib pergi mencari gadis
bertangan ampuh yang bisa memberi kenikmatan itu. Ketika Wiro memanggil
manggilnya Datuk Rao Bamato Hijau tengah melayang di atas Danau Maninjau.
Binatang sakti ini telah dapat mencium bau tubuh Denok Tuba Biru dan tahu
kira-kira ke arah mana dia harus mencari gadis itu. Walau dia mendengar
ngiangan suara Wiro di kedua telinganya namun dia tidak mengacuhkan. Yang
lebih penting baginya saat itu adalah menemui Denok Tuba Biru sang
pengusap.
DI DALAM rumah di tengah telaga kini perhatian Inyiek Susu Tigo
tertuju pada Denok Tuba Biru, gadis gemuk berwajah biru bergaris-garis
kuning. Agaknya dia akan segera menjadi korban kemarahan Inyiek Susu Tigo
berikutnya. Malin Kapuyuak yang mengetahui hal ini segera membisikkan pada
Denok Tuba Biru agar cepat-cepat menghisap tiga puting susu si Inyiek.
Menurut Malin Kapuyuak, dengan cara begitu maka sebagian ilmu kesaktian
Inyiek Susu Tigo akan pindah ke dalam diri Denok Tuba Biru. Selain itu dia
akan diangkat jadi murid.
Dalam keadaan terdesak Denok Tuba Biru ikuti saja apa yang dikatakan
Malin Kapuyuak. Dengan gerakan cepat dia berhasil menghisap tiga puting
susu Inyiek Susu Tigo. Tapi apa yang terjadi?
Bukan ilmu kesaktian yang didapat Denok Tuba Biru. Ternyata Inyiek
Susu Tigo mempunyai kaul yaitu siapa saja perempuan yang bisa menghisap
ketiga puting susunya maka akan dijadikan sebagai istri!
Ketika hal itu diucapkan Inyiek Susu Tigo dengan suara keras dan
girang, kejut Denok Tuba Biru bukan alang kepalang. Dalam marahnya karena
merasa ditipu gadis gemuk ini jotos muka Malin Kapuyuak hingga bibir dan
hidungnya mengucurkan darah. Kaiau tidak ditolong oleh Inyiek Susu Tigo
mungkin pemuda ini bisa babak belur. Oleh sang Inyiek Malin Kapuyuak yang
tadinya juga hendak dihajar hanya dilempar hingga jatuh terpentang di
cabang pohon. Mungkin Inyiek Susu Tigo merasa pemuda yang punya kesukaan
mengintai anak gadis orang mandi di pancuran itu telah membantunya
mendapatkan seorang calon istri!
Dengan susah payah Denok Tuba Biru berhasil keluar dari dalam
pondok di tengah telaga lalu melarikan diri. Inyiek Susu Tigo yang konon
sudah belasan tahun menunggu datangnya sang calon istri tentu saja tidak
mau kehilangan Denok Tuba Biru. Dia segera menghambur keluar pondok
mengejar gadis gemuk berbulu ketiak lebat itu! Selain kaulnya, mungkin pula
Inyiek Susu Tigo memang suka pada sosok tubuh Denok Tuba Biru yang gemuk
buntal ditambah bulu ketiak yang lebat tersembul!
Ketika Inyiek Susu Tigo melayang di atas telaga muncul seorang
perempuan sambil berseru agar Inyiek Susu Tigo jangan pergi dulu karena
ada yang hendak disampaikannya. Tapi Inyiek Susu Tigo yang tidak mau
kehilangan Denok Tuba Biru tidak perdulikan seruan orang, padahal yang
datang itu adalah Si Kamba Mancuang, muridnya yang merupakan saudara
kembar Si Kamba Pesek yang telah dibunuh Ki Bonang dan kawan-kawannya.
Tapi kejahatan itu difitnahkan pada Wiro sebagai pelakunya.
***
DELAPAN
UNTUK beberapa lamanya Si Kamba Mancuang berdiri di langkan rumah kayu.
Dia merasa heran Inyiek tidak mengacuhkan dirinya.
“Apa dia tidak melihat, apa telinganya tidak mendengar suara seman
denai? Ada urusan apa Inyiek gerangan? Lalu pemuda yang dalam bahaya itu,
di mana dia berada?”
Si Kamba Mancuang dalam pikiran yang agak bingung tidak melihat
kalau Wiro mengambang di permukaan telaga yang memang gelap. Namun dia
dapat menyaksikan puluhan buaya yang biasanya berada di dalam telaga saat
itu mendekam di seputar tepi telaga.
“Buaya-buaya peliharaan Inyiek itu. Mereka menunggu datangnya saat
bersantap...” Si nenek membatin. Rupanya dia sudah tahu. Jika pada malam
hari puluhan buaya tidak berada di dalam telaga, berarti besoknya akan ada
manusia yang jadi santapan.
“Siapa korban kali ini?” pikir Si Kamba Mancuang. Dia kembali
memperhatikan ke arah telaga. Namun belum sempat melihat sosok Wiro yang
mengambang si nenek tiba-tiba seperti mendengar suara orang.
“Ada orang mengerang. Tapi sambil bercarut marut... Di arah pohon
besar sana...”
Tidak menunggu lebih lama, Si Kamba Mancuang segera melesat di
permukaan telaga lalu melompat ke atas pohon besar. Berdiri di cabang
sebelah bawah cabang di mana Malin Kapuyuak tertelentang melintang.
“Aneh, tadi ada suara mengerang. Sekarang mengapa sunyi?!” pikir si
nenek.
Tiba-tiba dia merasa ada tetesan air jatuh dari atas membasahi
bahunya. Tetesan air diusap.
“Hari tidak hujan, embun belum turun secepat ini. Air apa ini? Mengapa
terasa hangat?”
Si nenek dekatkan jari-jari tangannya yang mengusap air ke hidung.
Langsung dia berteriak marah.
“Kurang ajar! Air kajambanl” (Air kajamban: air kencing)
Dalam marahnya Si Kamba Mancuang mendongak ke atas. Baru dia
melihat sosok tubuh Malin Kapuyuak.
“Mahluk jahanam! Siapa kau? Orang apa hantu?! Mengapa di atas pohon!
Kau mengencingi aku! Akan aku remas barangmu sampai hancur! Kurangajar
sekali!”
Di cabang pohon sebelah atas terdengar suara mengerang disusul suara
ucapan tersendat-sendat
“Nek... aku Malin Kapu... yuak. Kalau kau tidak segera menolong, perutku
akan pecah. Isi perutku akan tumpah. Kau bukan hanya ketetesan air
kencingku tapi juga akan kejatuhan langekkul” (langek: kotoran)
Dengan geram Si Kamba Mancuang melesat ke cabang pohon di sebelah
atas. Kuduk baju Malin Kapuyuak dicekal lalu pemuda itu dibawa melayang
turun. Sampai di tanah Malin Kapuyuak dilempar ke bawah pohon.
“Malin Kapuyuak! Di mana-mana kau selalu berbuat yang tidak
menyenangkan orang! Kalau bukan kau sudah keremas hancur barangmu! Apa
yang terjadi dengan dirimu? Mengapa berada di sini! Mana sahabatmu pemuda
Jawa berambut panjang seperti perempuan itu?!”
Malin Kapuyuak duduk bersandar di batang pohon sambil memegangi
perutnya yang sakit Dada turun naik, nafas tersengal. Dalam hati dia berkata,
“Ala mak, si Uda itu rupanya yang membuat bingung dan mengesalkan hati
nenek ini.” Lalu pada Si Kamba Mancuang dia berkata.
“Bertanya satu-satu Nek. Jangan menyembur seperti Kudo taciriekl”
(kudo taciriek: kuda berak)
“Plaak!” Si nenek tampar pipi Malin Kapuyuak.
“Dengar, aku sedang marah! Saudara kembarku mati dibunuh orang.
Guruku tidak mengacuhkan diriku! Kau bukan saja telah berlaku kurang ajar
mengencingiku, tapi sengaja berlambat-lambat menjawab pertanyaanku!”
“Sabar Nek, akan aku jawab... akan aku terangkan padamu...” Malin
Kapuyuak usap pipinya yang masih terasa sakit dan panas akibat tamparan si
nenek. “Aku berada di atas pohon bukan mauku! Aku dilempar Inyiek Susu
Tigo, gurumu...”
“Guruku memang aneh! Tapi dia tidak mau menghajar orang sesukanya.
Kau pasti punya salah! Pasti berlaku kurang ajar!”
“Tidak, maksudnya baik. Dia hendak menolongku dari gebukan seorang
gapuakyang hendak dijadikan istrinya sesuai kaulannya. Tadinya... aku tidak
tahu kalau gurumu punya kaulan seperti itu! Aku terlanjur...” (gapuak: gemuk)
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tersentak kaget. Dia cepat
memotong ucapan Malin Kapuyuak.
“Apa Inyiek... maksudmu gadis gemuk itu telah menghisap tiga susu
Inyiek?” Rupanya sang murid tahu juga riwayat kaulan Inyiek Susu Tigo.
“Benarsekali... “jawabMalin Kapuyuak. “Karena tidak menyangka dan
juga ketakutan setengah mati gadis gemuk itu melarikan diri. Sekarang
gurumu pasti tengah mengejarnya Nek.
Si nenek geleng-geleng kepala, mulut yang bergigi dilapisi perak
berkomat-kamit entah mau mengatakan apa. Dua tangan yang panjang hampir
menyentuh tanah dikepalkan berulang kali. Lalu dia berucap, “Kau belum
memberi tahu di mana pemuda Jawa bernama Wiro itu! Aku harus segera
menemuinya. Ada orang hendak berbuat jahat terhadapnya. Mau
membunuhnya!”
“Kami sudah tahu Nek...” kata Malin Kapuyuak pula.
“Apa maksudmu kami sudah tahu?!”
“Orang-orang itu adalah kakek Jawa berjubah hijau dan lima kawannya.
Tadi mereka menemui Inyiek. Memfitnah bahwa sahabatku itu telah
memperkosa dan membunuh saudaramu si nenek pesek...”
“Kurang ajar! Justru aku ke sini mau memberi tahu Inyiek. Tapi dia
lebih suka mengejar calon istrinya itu daripada bicara sebentar dengan denai!
Hai! Sahabatmu itu! Di mana dia?!”
Malin Kapuyuak monyongkan bibir sambil tangan kanan menunjuk ke
arah telaga.
“Di dalam telaga sana. Kata Inyiek besok begitu matahari terbit dia
akan segera menjadi mangsa puluhan buaya itu...”
“Astaga!” Si nenek terkejut dan cepat-cepat berpaling ke arah telaga.
Mata dibuka lebar-lebar. Kali ini baru dia dapat melihat tutyuh Wiro yang
terlentang mengapung di permukaan air telaga. “Ya Tuhan rupanya dia yang
akan jadi korban pembantaian buaya peliharaan Inyiek!”
“Nek, kalau kau memang sayang pada Uda sahabatku itu, kau harus
menolongnya!”
Si Kamba Mancuang tersentak kaget mendengar ucapan Malin
Kapuyuak.
“Pemuda kurang ajar! Kau ini bicara apa?!” membentak Si Kamba
Mancuang.
Malin Kapuyuak tertawa.
“Lantas kalau kau tidak sayang padaku, apa kau tidak mau
menolongnya?”
Si nenek bantingkan kaki ke tanah.
“Aku bukan tidak mau menolong! Tapi aku tidak mampu! Kau lihat
puluhan buaya itu? Jika ada yang mendekati tubuh sahabatmu, sekalipun aku
murid Inyiek, buaya-buaya itu akan lebih dulu membantai orang yang mau
menolong itu!”
“Kalau begitu kau bunuh saja semua buaya itu!”
“Dasar Kapuyuak! Bicara seenak perutmu sendiri!” maki Si Kamba
Mancuang.
“Kita harus mencari akal Nek. Sahabatku si Uda pandeka itu harus
ditolong.”
“Kalau berhadapan dengan Inyiek Susu Tigo tidak ada yang namanya
akal tapi kenyataan! Karena kalau kita punya satu akal dia punya seribu akal!”
“Tapi saat ini dia tidak ada di sini...”
“Kau tidak percaya pada ucapanku? Mari aku buktikan!”
Si Kamba Mancuang cekal leher baju Malin Kapuyuak lalu sambil
membembeng pemuda ini ia melompat ke tepi telaga. Saat itu juga terdengar
suara bergemuruh. Puluhan buaya bergerak cepat ke arah mereka. Malin
Kapuyuak menjerit ketakutan. Si nenek melesat menjauhi telaga, kembali ke
bawah pohon besar.
“Sekarang baru kau percayai” kata Si Kamba Mancuang pula. “Dan
bukan puluhan buaya itu saja yang jadi ancaman! Tubuh sahabatmu yang
terapung di atas permukaan air telaga itu walaupun bisa didekati dan disentuh
tapi tidak bisa dikeluarkan dari dalam air telaga. Inyiek telah merekat
pemuda itu dengan ilmu Merekat Raga Menahan Jiwal”
“Onde Mak, cilako benar nasib sahabatku,” ucap Malin Kapuyuak.
“Satu-satunya cara menyelamatkan pemuda itu adalah mencari dan
menemui Inyiek Susu Tigo, minta pengampunan padanya agar dia mau
melepaskan sahabatmu itu.”
“Kalau memang tak ada jalan lain biar aku pergi mencari Inyiek. Pemuda
Jawa itu pernah menyelamatkan jiwaku. Sekarang giliranku menyelamatkan
jiwanya, kalau aku mampu. Tapi aku mau mencari ke mana? Lalu apa aku bisa
menemuinya sebelum matahari terbit? Kalau bertemu apa Inyiek mau
membantu?” Malin Kapuyuak nampak bingung sendiri dan cemas.
Lama si nenek terdiam merenung. Akhirnya dia berkata.
“Mungkin hanya ada dua orang yang mampu menyelamatkan pemuda itu.”
“Siapa mereka Nek?”
“Yang pertama perempuan yang hendak dijadikan istri oleh Inyiek.
Karena kalau dia memang menginginkan gadis itu, apapun pinta si gadis pasti
akan dituruti.”
“Satunya lagi siapa?” tanya Malin Kapuyuak.
“Inyiek Batino. Ratu sekalian Harimau Betina Tujuh Gunung Bertuah.”
Malin Kapuyuak ingat bagaimana dia dua kali gagal ketika mencoba
menjual nama Inyiek Batino untuk menakuti Ki Bonang dan kawan-kawan serta
Inyiek Susu Tigo. Terbungkuk-bungkuk karena perutnya masih sakit akibat
terlalu lama tertelungkup melintang di cabang pohon, pemuda ini berusaha
sendiri.
“Nek, kita harus segera mencari salah seorang dari mereka...
“Inyiek Batino kurasa yang paling ampuh. Karena setahuku guruku
sangat segan pada perempuan sakti berwajah harimau itu. Tapi...”
“Jangan terlalu banyak tapi Nek!” Malin Kapuyuak sudah tidak sabaran.
“Inyiek Batino tidak diketahui berada di gunung yang mana saat ini.
Kita tidak mungkin mencari di tujuh gunung...”
“Nek, kalau kau bicara begitu sama saja dengan takantuikl” (takantuik:
terkentut Di sini maksudnya sama saja dengan bohong)
“Mencari gadis gendut calon istri Inyiek itu rasanya lebih mungkin.
Kalau kita berhasil menemuinya mungkin Inyiek juga ada di situ.”
“Kalau begitu kita cari sekarang juga.” Malin Kapuyuak menatap ke
langit. “Menurutku saat ini sudah di pertengahan malam. Waktu kita tidak
banyak sampai matahari terbit.”
“Aku tahu. Ada satu cara yang bisa membantu agar kita bisa menemui
gadis itu. Jika Inyiek memang sudah memilihnya untuk dijadikan istri maka
sebagian hawa di dalam tubuh Inyiek sudah berpindah ke dalam tubuhnya.
Membaui hawa di tubuh si gadis lebih mudah daripada membaui hawa yang ada
di tubuh Inyiek.”
“Sudah! Jangan bicara saja! Kita pergi sekarang Nek!”.“Tunggu dulu.
Masih ada satu hal lagi yang harus dilakukan,” kata Si Kamba Mancuang.
“Hawa di dalam tubuh si gadis berasal dari kesaktian Inyiek Susu Tigo. Kita
bisa mengetahui keberadaan gadis itu kalau kita menjalani salah satu
kebiasan Inyiek. Yang paling ampuh ialah meniru cara dia sering berdiri. Kaki
ke atas kepala ke bawah. Aku tidak mungkin berjalan apa lagi berlari dengan
cara itu. Berarti kau yang melakukan.”
“Kau ini ada-ada saja Nekl Mana mungkin aku melakukan hal itu.”
“Aku akan mendukungmu, kakimu kau silangkan di atas bahu dan
leherku, kepalamu di sebelah bawah. Tapi aku mendukungmu di sebelah
belakang...”
“Berarti mukaku akan menghadap dan menempel di lancirikmu Nek! Kau
bisa enak-enak kegelian. Tapi aku! Hidungku bisa tanggal!” (Iancihk: pantat)
“Pemuda kurang ajar! Itulah kalau terlalu sering mengintip perempuan
mandi. Kalau punggungmu yang beradu dengan punggungku mana mungkin
mukamu malakok di pantatku!” {malakok s menempel) Kini si nenek yang jadi
kesal. Lalu sekali dia bergerak tubuh Malin Kapuyuak dipentangnya kaki ke
atas kepala ke bawah. Kaki kedua nenek ini bergerak pemuda itu sudah
berada di belakang punggungnya. Sambil mencekal dua kaki Malin Kapuyuak Si
Kamba Mancuang dengan cepat berkelebat tinggalkan tempat itu. Sambil lari
dia menghirup udara berulang kali untuk menjajagi hawa Inyiek Susu Tigo
yang ada di dalam tubuh Denok Tuba Biru. Dengan cara itu dia mampu
mengetahui arah mana yang harus dituju. Apa lagi tadi dia sempat
memperhatikan ke arah mana sang guru melesat dalam mengejar gadis gemuk
itu.
“Nek, jangan kencang-kencang larinya. Kepalaku pusing! Aku bisa
muntah!” berteriak Malin Kapuyuak. “Hueekkkl”
SEMBILAN
TUBUH gemuk tinggi Inyiek Susu Tigo mengeluarkan suara angin menderu.
Rambut dan janggut berkibar-kibar. Sekian lama dia mengerahkan ilmu
kesaktian untuk berlari cepat, tokoh silat utama di tanah Minang ini jadi
heran. Dia hentikan lari sesaat lalu tinggikan kepala, mengendus udara
berulangkah.
“Aneh, dari tadi aku sudah mencium baunya. Tapi mengapa masih tidak
melihat ujudnya? Istriku... ilmu apa yang kau miliki hingga tega-teganya
menghilang dari pandangan mataku?”
Saat itu seperti yang diperkirakan Inyiek Susu Tigo, Denok Tuba Biru
yang tengah dikejar memang telah berada cukup dekat hanya sekitar dua
tombak di sebelah depan. Namun karena gadis gemuk ini menerapkan Ilmu
Bayang Bayang Angin maka Inyiek Susu Tigo tidak mampu melihatnya. Denok
Tuba Biru walau mampu melenyapkan diri tidak kelihatan namun tetap merasa
khawatir karena jarak dia dengan orang yang mengejar hanya terpaut dua
sampai tiga tombak saja.
Inyiek Susu Tigo akhirnya hentikan lari. Mengusap dagu yang ditumbuhi
janggut hitam lebat sambil berpikir-pikir.
“Orang Jawa ilmu kesaktiannya memang tinggi dan hebat-hebat Aku
mau lihat apa dia bisa menangkal ilmuku yang satu ini.”
Habis berkata begitu Inyiek Susu Tigo berjongkok di tanah. Mulut
komat kamit merapal satu ajian sambil tangan membuka ikatan kain hitam
yang tergulung di kepala. Gulungan kain menyerupai sorban itu digelar
memanjang di atas tanah. Sambil mata dipejamkan Inyiek Susu Tigo
membentak.
“Pergi!”
“Bukk!”
Inyiek Susu Tigo pukulkan telapak tangan kanan ke tanah. Kejapan itu
juga gulungan kain hitam bergerak seperti ular mengangkat kepala. Disertai
suara mendesir gulungan kain hitam melesat ke depan dalam kegelapan malam.
Di depan sana, sejarak sekitar dua puluh tombak tiba-tiba terdengar
pekik perempuan. Itu adalah suara pekik Denok Tuba Biru. Tubuhnya yang
gemuk hampir jatuh tersungkur kalau dia tidak cepat mengimbangi diri.
Memandang ke bawah dia melihat satu kain hitam panjang telah melibat
kedua kakinya mulai dari mata kaki sampai ke betis. Serangan ilmu yang
dilancarkan Inyiek Susu Tigo telah mengen
“Kurang ajar! Benda jahanam apa yang menjirat kakiku! Aku tidak bisa
melangkah!”
Denok Tuba Biru membungkuk, berusaha membuka dan memutus
gulungan kain hitam. Tapi pinggangnya seperti kaku. Dia tidak mampu
membungkuk hingga dua tangannya tidak sampai menyentuh kain hitam.
Gadis gemuk ini tidak kehabisan akal. Dia membuat gerakan hendak
menjatuhkan diri ke tanah. Tapi astaga! Dua telapak kakinya seperti dipaku
lengket ke tanah. Jangankan diangkat, digeser sajapun tidak bisa! Sadar
kalau ada orang telah mengerjai dirinya Denok Tuba Biru kerahkan tenaga
dalam dan hawa panas. Dialirkan pada dua kaki. Dia bertiarap sekali dua kaki
disentakkan maka kain hitam yang mengikat akan robek dan putus. Namun
sampai napas tersengal dan seluruh tubuh bergetar libatan kain hitam tidak
bisa diputus atau dirobek. Malah kedua kakinya terasa sakit sekali seperti
dicucuk ratusan jarum!
Tiba-tiba dia mendengar suara menderu, tanah bergetar. Berpaling ke
kiri Denok Tuba Biru tersentak kaget Darah mendesir. Mahluk gemuk tinggi
bernama Inyiek Susu Tigo itu kini berada di samping kirinya. Hanya sejarak
dua langkah!
Walau berada sedekat itu namun Inyiek Susu Tigo masih belum melihat
Denok Tuba Biru. Gadis gemuk ini maklum cepat atau lambat orang itu pasti
akan melihat ujud atau mengetahui keberadaannya. Saat itu dia melihat
Inyiek Susu Tigo berdiri dengan mendongakkan kepala ke langit gelap. Tangan
kiri mengusap-usap dada berbulu. Denok Tuba Biru merinding sewaktu
mendengar orang ini berucap.
“Istriku, aku mencium semerbak bau tubuhmu. Mengapa kau masih
tidak mau memperlihatkan diri? Mengapa tega menggunakan ilmu untuk
sembunyi? Aku tahu kau ada di dekat sini. Dekat sekali. Aku ingin melihatmu.
Aku ingin menyentuhmu. Wahai istriku, perlihatkan dirimu...”
“Istriku...? Celaka!” ucap Denok Tuba Biru dalam hati.
Inyiek Susu Tigo maju dua langkah ke depan sambil dua tangan
diulurkan lalu disapukan kian kemari seperti berusaha menyentuh sesuatu.
Tapi dia hanya menyapu udara kosong. Dia mundur ke tempat semula lalu
bergerak ke kanan dua langkah. Tangan kembali disapukan. Tetap saja dia
tidak menyentuh apa-apa. Kembali lelaki gemuk tinggi ini mundur dan kini
bergerak dua langkah ke kiri. Saat itu juga tubuhnya serta merta beradu
dengan tubuh Denok Tuba Biru!
Inyiek Susu Tigo berseru gembira. Dengan cepat dua tangannya
digelungkan ke depan. Sesaat lagi dia akan berhasil merangkul tubuh gemuk
Denok Tuba Biru tiba-tiba bukkk!
Satu jotosan keras yang dilepaskan Denok Tuba Biru melanda telak
dada berbulu Inyiek Susu Tigo hingga si gemuk besar ini terpental beberapa
langkah dan jatuh terjengkang di tanah. Dari mulutnya keluar suara
mengerang sementara wajah mengelam menahan sakit. Dalam hati dia
berkata.
“Seumur hidup baru kali ini aku dihantam pukulan sehebat ini. Dadaku
terasa remuk. Tulang-tulang seperti melesak ke dalam... Ada hawa aneh dalam
tubuhku!”
Inyiek Susu Tigo buka mulutnya lebar-lebar Kerahkan hawa sakti di
dalam tubuh. Saat itu juga dari mulut, hidung dan telinga menyembur keluar
asap lembab berwarna kebiru-biruan.
“Racun jahat...” ucap Inyiek Susu Tigo dalam hati. Wajah berubah
merah menahan amarah. Sementara DenokTuba Biru terkesiap dan membatin.
“Orang lain jika terkena pukulanku tadi paling tidak pasti muntah
darah! Mahluk satu ini hanya mengerang kesakitan. Dia mampu mengeluarkan
racun pukulan! Sungguh luar biasa!”
Masih dalam keadaan terduduk di tanah wajah gelap Inyiek Susu Tigo
menatap garang ke depan, ke arah mana dipastikannya Denok Tuba Biru
berada. Dari mulutnya keluar suara menggembor marah.
“Aku bermaksud baik! Tapi kalau orang membalas dengan kekerasan
maka apapun akan aku lakukan! Kalau aku harus mati maka calon istriku juga
harus mampus!”
Habis berkata begitu Inyiek Susu Tigo yang sudah dapat mengira-ngira
di mana saat itu berdirinya Denok Tuba Biru bergerak bangun lalu melompat
ke depan. Sekali menyergap dia berhasil merangkul tubuh gemuk si gadis yang
dua kakinya tidak mampu digerakkan itu. Sebaliknya yang dirangkul berusaha
melepaskan diri sambil hantamkan pukulan-pukulan keras. Dihujani pukulan
bertubi-tubi Inyiek Susu Tigo menangkis dengan sebat. Namun karena dia
tidak melihat lawan dan datangnya serangan maka beberapa pukulan berhasil
mendarat di wajah dan dadanya. Untung saja kedua kaki Denok Tuba Biru
masih dalam keadaan terikat dan tak bisa bergerak. Kalau tidak pasti Inyiek
Susu Tigo akan babak belur karena sampai saat itu walau marah tapi anehhya
dia tidak berusaha balas menyerang. Dua tangannya tampak bilur-bilur merah
biru dan agak membengkak akibat menangkis pukulan lawan yang tidak
kelihatan.
Jika ada orang lain yang melihat kejadian itu maka akan merasa aneh
dan mengira Inyiek Susu Tigo seorang gila atau tengah kemasukan setan
mencak-mencak seorang diri.
“Manusia pengecutl Lepaskan kakiku yang kau jerati” berteriak Denok
Tuba Biru.
“Kau juga pengecutl Kalau berani perlihatkan dirimu!” balas berteriak
Inyiek Susu Tigo.
“Maumu akan aku layani! Tapi awas kalau kau tidak melepaskan jiratan
kain hitam! Jangan berani berlaku culas!” Denok Tuba Biru balas berteriak.
Lalu sekali dia merapal mantera maka saat itu juga ujudnya terlihat kembali.
Melihat sosok nyata si gadis bertubuh gembrot bermuka biru itu
Inyiek Susu Tigo terperangah dan berseru lega penuh gembira.
“Kutemui juga kau akhirnyal Aku mohon, aku minta kau ikut aku ke
rumah di telaga. Kita bicara soal hari baik hari perkawinan kita...”
DenokTuba Biru mencibir.
“Walau aku jelek begini, mana sudi aku kawin denganmu!” jawab Denok
Tuba Biru. Lalu dia membentak. “Kau belum melepaskan jiratan kain hitam!”
Inyiek Susu Tigo geserkan kaki kanannya ke tanah. “Kain hitam
kembalilah!” Serangkum angin menderu ke arah dua kaki Denok Tuba Biru.
“Rerrrtttt!”
Saat itu juga kain hitam panjang yang melihat sepasang kaki
DenokTuba Biru bergerak berputar lalu melesat di udara dan menggulung di
atas kepala Inyiek Susu Tigo. Bersamaan dengan itu Denok Tuba Biru bisa
menggerakkan kedua kakinya. Sambil bertolak pinggang dan pentang wajah
garang gadis itu berkata.
“Aku akan pergi dari sini. Jangan berani mengikuti I”
Inyiek Susu Tigo kedap-kedipkan mata, tersenyum dan basahi bibir
dengan ujung lidah. Cara berdiri si gadis ini membuat dadanya yang besar jadi
tambah membusung sementara ketiak tersibak memperlihatkan bulu yang
lebat. Sang Inyiek jadi blingsatan.
“Kau sudah ditakdirkan jadi istriku. Ke manapun kau pergi aku akan
mengikuti. Kita hidup berdua atau mati bersama!” jawab Inyiek Susu Tigo.
“Gila!” teriak Denok Tuba Biru lalu saling kesalnya dia tertawa gelak-
gelak. Melihat hal ini Inyiek Susu Tigo juga ikutan tertawa. Dua sosok yang
sama-sama gendut gembrot itu tampak terguncang-guncang!
“Istriku, ikut aku sekarang juga ke pondok di telaga. Aku punya
beberapa perangkat pakaian yang bagus. Jika kau berpakaian cara perempuan
di sini kau pasti sangat cantik. Mengapa paha yang putih, dada yang besar
serta bulu ketiak yang rimbun dipertontonkan pada semua orang. Itu semua
nanti akan jadi milikku. Dan hanya aku seorang yang boleh melihat dan
membelai!”
“Kurang ajar! Tidak tahu diri! Benar-benar tidak tahu diuntung!” teriak
Denok Tuba Biru sambil banting kaki. Didahului pekik kemarahan gadis gemuk
ini tusukkan dua jari tangan kanan ke depan. Dua larik cahaya biru yang
mengandung racun jahat menyambar ke arah dada Inyiek Susu Tigo. Inilah
ilmu serangan yang disebut Dua Jari Penyebar Racun Akhirat.
“Bagus! Aku senang punya istri berkepandaian tinggi!” Ucap Inyiek Susu
Tigo. Lalu tubuh gemuk besar itu seolah seenteng kapas berkelebat membuat
gerakan membalik jungkir balik. Kini Inyiek berdiri kaki ke atas kepala ke
bawah. Dua larik sinar biru menderu di antara dua kakinya. Begitu lolos dari
serangan, dengan pergunakan dua-tangan sebagai kaki, dia melangkah cepat
ke arah Denok Tuba Biru. Selagi si gadis terkejut melihat hal ini dua kaki
Inyiek tahu-tahu sudah menggelung pinggang dan perutnya yang gembrot!
“Manusia kurang ajar! Jangan kau berani menyentuh tubuhku!” Teriak
Denok Tuba Biru marah. “Tak tahu diuntung! Makan ini!”
Wuuutt”
Lima larik sinar biru menyambar keluar dari limajari tangan kanan
Denok Tuba Biru. Inilah tatokan bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat
Jalan Pernapasan. Jangankan manusia, gajahpun kalau terkena pukulan ini akan
menjadi lumpuh sekujur tubuhnya!
“Dess! Desss! Desss!”
Tiga dari lima sinar biru menghantam tubuh Inyiek Susu Tigo!
SEPULUH
TERNYATA kehebatan ilmu Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan
Pernapasan tidak berpengaruh pada Inyiek Susu Tigo. Walau tubuhnya yang
tinggi gemuk mencelat sampai satu tombak namun dia tidak sanggup dibuat
lumpuh. Melihat lawan masih mampu bergerak bangkit, Denok Tuba Biru
segera menerjang dan lepaskan pukulan serta tendangan berantai.
“Hai! Istriku! Jangan kau memukul dan menendang suamimu! Nanti bisa
kualat!” teriak Inyiek Susu Tigo.
“Setan alas! Ilmu kebal apa yang* dimiliki mahluk keparat ini!” pikir
DenofcTuba Biru penuh geram. Dia siap menyerang dengan Ilmu andalan yang
lain yaitu Racun Pelemas Raga, Serangan ini berupa racun jahat yang
disemburkan dar* mulut. Banyak lawan celaka karena tidak mengira akan
mendapat serangan seperti itu ketika Denok Tuba Biru membarengi serangan
dengan pukulan-pukulan tangan kosong.
Seperti diceritakan dalam episode Si Cantik Gila Dari Gunung Gede,
Denok Tuba Biru adalah orang termuda dari kelompok yang menamakan diri
“Serikat Momok Tiga Racun”. Dua anggota kelompok lainnya tewas. Yang
pertama yaitu Tukak Racun Kuning tewas di tangan Bujang Gila Tapak Sakti.
Momok kedua dikenal dengan nama Alis Bisa Merah menemui ajal di tangan
Manusia Paku Sandaka. Momok ketiga yaitu Denok Tuba Biru diselamatkan
dan diampuni nyawanya oleh Sandaka. Setelah kejadian itu Denok Tuba Biru
berubah menjadi orang baik-baik dan bersama Wiro pernah menolong
Sandaka hingga pemuda ini sembuh dari puluhan paku yang menancap di tubuh
serta kepalanya dan akhirnya berjodoh dengan Nyi Retno Mantili. (Baca
“Perjodohan Berdarah” dan “Bayi Titisan”)
Selama malang melintang dalam rimba persilatan tanah Jawa, ketiga
orang itu terkenal sebagai kelompok rimba persilatan golongan hitam yang
memiliki ilmu hebat dan telah membuat nama yang menggetarkan para tokoh.
Setiap serangan yang dilancarkan pasti mengandung racun yang bisa
mencelakakan bahkan mematikan lawan.
Denok Tuba Biru kerahkan tenaga dalam dari pusar. Disalurkan dengan
cepat ke dada terus ke tenggorokan. Sepasang matanya berubah menjadi biru
angker. Untuk mengalihkan perhatian lawan dia mendahului serangan dengan
gempuran tangan kosong. Ketika Inyiek Susu Tigo masih terus mengalah dan
hanya sibuk menangkis tak mau membalas serangan, Denok Tuba Biru tiba-
tiba buka mulutnya lebar-lebar. Siap untuk menghamburkan Racun Pelemas
Raga. Mendadak satu bayangan berkelebat dalam kegelapan malam.
“Uni gapuak! Tahan! Hentikan serangan!”
Gadis gemuk bermuka biru belang kuning terpaksa hentikan serangan.
Dia mengenali suara itu. Tapi tidak melihat orangnya.
“Malin Kapuyuak! Kau kah itu?!”
Memandang ke depan Denok Tuba Biru merasa heran. Yang berteriak
tadi jelas suara laki-laki. Suara pemuda bernama Malin Kapuyuak. Tapi yang
dilihat di hadapannya saat itu adalah seorang nenek bertubuh tinggi
berambut dan berjubah putih yang ketika menyeringai kelihatan gigi berkilat
karena dilapisi perak.
Si nenek berpaling ke belakang di mana di punggungnya saat itu masih
menggantung tubuh Malin Kapuyuak. Dia berbisik.
“Cepat kau bujuk gadis gendut itu... Aku akan mengurusi si Inyiek.”
Sekali nenek ini yang bukan lain adalah Si Kamba Mancuang Tangan
Manjulai menggerakkan dua tangan, maka Malin Kapuyuak yang sejak tadi
dibawanya berlari di belakang punggung terlempar ke hadapan Denok Tuba
Biru. Kalau tidak cepat lengannya dipegang si gadis pasti pemuda ini
tersungkur jatuh di tanah.
“Uni gapuak, hanya kau yang bisa menyelamatkan sahabat kita Uda
berambut panjang itu.”
“Maksudmu Wiro?”
Malin Kapuyuak mengangguk.
“Aku memang ingat-ingat pemuda itu. Tapi mahluk bersusu tiga itu
mengejarku. Ini semua gara-garamu. Kalau kau tidak menipu memberi
keterangan sialan itu...”
“Aku tidak menipu. Aku memang tidak tahu. Aku yakin saat ini ada
sebagian ilmu Inyiek Susu Tigo yang sudah masuk ke dalam tubuhmu...”
“Ilmu kentut!” maki Denok Tuba Biru.
“Sudah! Jangan disebut lagi hal itu. Kau harus menerima permintaan
Inyiek Susu Tigo untuk dijadikan istrinya...”
“Setan! Apa tidak salah aku mendengar?!” bentak Denok Tuba Biru.
“Dengar dulu! Ini satu-satunya cara menyelamatkan Wiro. Jika kau
pura-pura mengatakan pada Inyiek bahwa kau bersedia menjadi istrinya tapi
terlebih dulu inyiek harus membebaskan Wiro, pasti dia mau melakukan...”
“Pemuda itu, apa dia masih di telaga?”
“Benar...” jawab Malin Kapuyuak.
“Kalau begitu kita segera pergi ke sana menyelamatkan Wiro!”
“Tidak mungkin Uni
Apa yang tidak mungkin?!” kembali Denok Tuba Biru menghardik.
“Nenek berjubah putih itu. Dia murid Inyiek. Dia sudah memberi tahu
kalau tidak satu orang pun bisa menyelamatkan Wiro. Kuncinya pada Inyiek.
Aku menyaksikan sendiri nenek itu coba menolong tapi sia-sia karena dia akan
jadi santapan puluhan buaya lebih dulu!”
“Kalau begitu buayanya yang dibunuh duluan!”
Malin Kapuyuak menggeleng, “Aku juga sudah bilang begitu pada si
nenek. Tapi tidak mungkin. Wiro tidak bisa diangkat dari atas permukaan
telaga. Tubuhnya lengket seperti direkat ke air. Uni, sebaiknya kau lekas
mendatangi Inyiek itu. Katakan padanya kau bersedia menjadi istrinya. Asal
sahabat kita Wiro dibebaskan lebih dulu. Kalau Wiro sudah bebas kita bisa
melarikan diri. Tapi kalau nanti kau memang mau kawin benaran dengan Inyiek
kurasa ada baiknya juga. Mungkin memang sudah takdirmu menemui jodoh di
negeri ini. Lagi pula, kalau diurus dan didandani yang apik, apa lagi dimandikan
dengan bunga tujuh rupa aku rasa Inyiek itu tidak buruk-buruk amat...”
“Setan kau Malin!” damprat si gadis gemuk. “Dengar, ada yang tidak aku
mengerti. Nenek itu jelas tebih tua dari Inyiek. Bagaimana mungkin dia bisa
jadi muridnya? Lalu jika dia memang murid Inyiek, mengapa dia mau membela
Wiro, bukan membantu gurunya?!”
Malin Kapuyuak tanggalkan destar putih milik Wiro yang dipakainya,
Kepala digaruk berulang kali.
“Kalau kita bicara dan berdebat terus di sini, nanti hari keburu siang.
Matahari keburu terbit dan Wiro tidak bisa diselamatkan lagi dari serbuan
puluhan buaya yang bakal membantainya!”
Sementara itu Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai sudah berdiri di
hadapan gurunya.
“Inyiek, denai perlu bicara dengan Inyiek. Ini sangat penting...” (denai:
saya)
Inyiek Susu Tigo delikkan matanya yang belok besar.
“Aku lebih penting mengurus calon istriku! Menyingkirlah sebelum gadis
itu melarikan diri lagi...”
“Inyiek, aku dan pemuda itu akan membujuk agar gadis itu mau menjadi
istrimu. Tidak sulit. Tapi asal kau lebih dulu mau membebaskan sahabatnya,
pemuda berambut panjang yang kau rekat di permukan telaga...”
“Aku tidak akan membuat perjanjian gila itu! Pemuda itu telah
memperkosa dan membunuh saudara kembarmu Si Kamba Pesek! Malah
mencari-carimu hendak disantuangnya pula! Mengapa kau justru
membelanya?!” (disantuangnya: di sini maksudnya hendak diperkosa)
“Itulah sebabnya denai minta diperbolehkan bicara. Agar denai bisa
menerangkan hal yang sebenarnya pada Inyiek.”
Inyiek Susu Tigo tidak perduli. Dia ulurkan tangannya yang besar lalu
mendorong si nenek ke samping.
“Inyiek, tidak mau mendengarkan keterangan denai tidak jadi apa. Tapi
kalau Inyiek sampai kesalahan tangan membunuh pemuda itu, Inyiek tidak
akan mendapatkan gadis dari Jawa itu untuk selama-lamanya. Inyiek jadikan
istri!” Lalu Si Kamba Mancuang dengan kesal melengos pergi.
Inyiek Susu Tigo jadi terdiam. Dia menatap si nenek lekat-lekat lalu
berkata.
“Eh, tunggu dulu!” Inyiek akhirnya berucap. “Baik, sekali ini aku turuti
permintaanmu. Apa yang hendak kau katakan padaku?”
“Terima kasih Inyiek mau memberi kesempatan,” ucap Si Kamba
Mancuang pula. “Ketahuilah pemuda yang berasal dari Jawa itu sama sekali
tidak memperkosa apa lagi membunuh saudara kembar denai Si Kamba Pesek.”
“Lalu bagaimana saudaramu bisa mati? Dicekik hantu Haru-Haru?!”
“Tidak Inyiek. Saya mendapat kabar pelakunya adalah serombongan
orang yang dipimpin oleh seorang kakek berjubah dan berkopiah hijau berasal
dari tanah Jawa, bernama Ki Bonang Talang Ijo. Saya memang belum
menyelidik kebenaran kabar itu. Tapi Ki Bonang dan teman-temannya pernah
bentrok dan memang tidak menyukai pemuda itu karena dia dianggap sebagai
penghalang dari apa yang tengah mereka lakukan...”
“Orang tua bernama Ki Bonang Talang Ijo itu bersama teman-temannya
telah menemuiku di pondok di tengah telaga. Mereka meyakinkan bahwa
memang pemuda berambut panjang yang berasal dari Jawa itulah pemerkosa
dan pembunuh Si Kamba Pesek!”
“Fitnah busuk Inyiek. Itu hanya fitnah...”
“Kalau memang begitu biar. nanti saja akan aku selidiki. Saat ini aku
mau mengurus betina cantik itu yang juga berasal dari Jawa. Menyingkirlah...”
“Tapi Inyiek, tak lama lagi matahari akan terbit. Puluhan buaya
peliharaan Inyiek akan memangsa pemuda itu...”
“Kamba Mancuang, aku heran mengapa kau sangat mengkhawatirkan diri
pemuda asing itu?”
“Karena... karena...”
“Karena apa?!” sentak Inyiek Susu Tigo.
“Karena sebenarnya dia pernah menolong saudara kembar denai Si
Kamba Pesek. Selain itu denai juga menyirap kabar kalau dia ditugaskan
melakukan sesuatu untuk menghindarkan malapetaka besar di negeri ini.”
“Ah, pahlawan gadang rupanya pemuda itu...” Inyiek Susu Tigo
menyeringai lalu keluarkan suara berdecak berulang kali sambil kepala
digeleng-geleng. “Ilmu hanya setinggi mata kaki mau menghindarkan
malapetaka di negeri ini! Apa tidak ada orang cerdik pandai dan sakti di tanah
Minang ini?!”
Si nenek diam saja.
“Kamba Mancuang! Siapa yang kau bilang memberi tugas pada pemuda
Jawa itu?” “Denai tidak tahu Inyiek.” Inyiek Susu Tigo tampak kesal. “Kamba
Mancuang. Jangan membuat aku jadi marah! Kau mau berbanyak mulut tapi
ternyata banyak tidak tahu! Lekas menyingkir dari hadapanku!”
“Baiklah kalau begitu kata Inyiek. Murid hanya menurut saja,” jawab Si
Kamba Mancuang. “Tapi harap Inyiek baik-baik satu hal agar nanti Inyiek
tidak kesalahan tangan. Pemuda Jawa berambut panjang bernama Wiro itu
sama sekali tidak membunuh, tidak pula memperkosa saudara kembar denai.
Denai bersumpah akan mencari dan membunuh pelaku sebenarnya. Dan denai
punya dugaan bahwa pemuda Jawa itu yang tahu siapa orangnya!”
Selesai bicara si nenek lalu menghindar ke samping kiri memberi jalan
pada sang guru.
Inyiek Susu Tigo delikkan mata pada muridnya lalu tanpa pedulikan lagi
Si Kamba Mancuang dia menatap ke depan. Khawatir Denok Tuba Biru akan
melarikan diri lagi maka dia geserkan telapak kaki kanan ke tanah sambil
mulut merapal aji kesaktian.
“Aku harus menguncinya dengan ilmu Merekat Raga Menahan Jiwa!”
Lima kuku jari kaki Inyiek Susu Tigo berpijar merah. Namun belum
sempat ilmu kesaktiannya menderu ke arah Denok Tuba Biru mendadak
terdengar suara menggereng disertai berkelebatnya satu bayangan putih
besar. Menyusul suara mengaum yang membuat tanah bergetar. Di dalam
gelap kelihatan dua buah cahaya hijau!
Denok Tuba Biru tercekat.
SEBELAS
MELIHAT mahluk apa yang datang Inyiek Susu Tigo terkesiap. Malin
Kapuyuak tersentak kaget dan takut sementara Denok Tuba Biru yang sudah
bisa menduga bersurut mundur sambil berucap dalam hati.
“Oala, binatang sakti ini datang pasti mencariku. Jangan-jangan dia
ketagihan...”
Belum habis si gadis membatin tiba-tiba binatang besar putih yang
bukan lain adalah Datuk Rao Bamato Hijau, harimau putih besar peliharaan
Datuk Rao Basaluang Ameh sudah berada di hadapannya. Harimau ini
geserkan tubuh ke pinggang, mulut mengerang halus, kepala diputar lidah lalu
menjilati paha putih gemuk gempal si gadis.
“Celaka, si Datuk ini pasti mencari aku, agaknya dia ingin diusap lagi
anunya” Kuduk gadis ini jadi merinding.
“Binatang keparat...” Inyiek Susu Tigo mendelik melihat apa yang
terjadi, juga ada rasa cemburu serta marah. Saat itu mau rasanya dia
menendang harimau putih. Terlebih ketika dilihatnya Denok Tuba Biru
mengusap-usap tengkuk harimau putih itu. Namun selintas pikiran muncul
dalam benaknya.
“Harimau putih... Setahuku, turut riwayat yang aku dengar di tanah
Minang hanya ada satu orang yang memiliki dan memelihara harimau putih.
Mahluk ini lebih dahsyat dari Inyiek Batino Ratu Sekalian Harimau Betina Di
Tujuh Gunung Batuah. Yang empunya konon seorang Datuk berkepandaian luar
biasa tinggi. Tapi Datuk itu kabarnya sudah meninggal dunia puluhan bahkan
mungkin ratusan tahun silam... Binatang itu tampak jinak dengan istriku.
Agaknya mereka sudah saling mengenal sebelumnya. Bagaimana mungkin...”
Si Kamba Mancuang yang menyaksikan kemunculan harimau putih itu
mendadak punya firasat tidak baik. “Agaknya Inyiek tidak akan dapat
menguasai gadis itu. Apa lagi menjadikannya istri... Kalau tadi-tadi dia
mendengar kata-kataku...”
Tiba-tiba Denok Tuba Biru menarik tangan Malin Kapuyuak lalu
melompat ke atas punggung harimau besar putih.
“Datuk, lekas terbang... Kita harus meninggalkan tempat ini sekarang
juga!” teriak Denok Tuba Biru sambil menepuk pinggul harimau.
“Siapa yang berani pergi dari sini akan aku bunuh!” mengancam Inyiek
Susu Tigo
Harimau putih mengaum keras, lalu melesat ke udara.
“Istriku! Kembali! Jangan pergi!” teriak Inyiek Susu Tigo.
Tapi Datuk Rao Bamato Hijau melesat terus. Denok Tuba Biru tidak
menjawab malah berbisik pada harimau putih.
“Melesat lebih tinggi. Orang itu pasti akan menyerang kita!”
Dugaan si gadis benar adanya. Inyiek Susu Tigo melompat setinggi dua
tombak. Dari dua puting susu di kiri kanan dadanya menyambar dua larik sinar
merah. Masing-masing mengarah pada kepala dan tubuh harimau putih yang
ditunggangi Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak.
Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras. Udara malam laksana
tercabik-cabik. Sekali binatang sakti ini goyangkan kepala, dua larik sinar
hijau pekat menyembur dari sepasang matanya, melabrak dua larik serangan
sinar merah yang dilepas Inyiek Susu Tigo!
Dua letusan keras berdentum di kepekatan dingin udara malam. Tubuh
Datuk Rao Bamato Hijau yang tengah melayang terbang di udara bergoncang
keras. Cahaya hijau dan merah berbuntal-buntal lalu menebar membentuk
kabut luas.
Inyiek Susu Tigo terjajar beberapa langkah. Dada berdenyut sakit. Dia
segera merapal aji kesaktian, mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti dan
dialirkan pada susu ketiga di pertengahan dada, siap menyerang lagi. Konon,
selama ini tidak ada satu musuhpun sanggup menghadapi jika sang Inyiek
menyerang dengan cahaya biru yang keluar dari susu ketiga. Namun saat itu
Datuk Rao Bamato Hijau bersama dua penunggangnya sudah tidak kelihatan
lagi di langit malam.
Inyiek Susu Tigo berteriak marah. Jatuhkan diri ke tanah dan mukul
tanah berulang-ulang dengan dua telapak tangan hingga tempat itu seperti
dilanda gempa. Si nenek Kamba Mancuang sampai jauh terduduk di tanah
saking hebatnya kemarahan sang guru. Namun dia cepat berdiri dan cepat-
cepat pula tinggalkan tempat itu. Dia tidak perduli teriakan Inyiek Susu Tigo
yang memanggil-manggilnya.
“Kamba Mancuang! Kau mau ke mana?!” Jangan pergi! Ada yang akan aku
tanyakan padamu!”
Yang menjawab hanya hembusan angin malam yang dingin.
“Murid durhaka! Jangan harap aku akan mengembalikan dirimu ke
bentuk semula!”
Si Kamba Mancuang yang tengah berlari laksana kilat tercekat.
Berhenti sebentar. Sesaat ada kebimbangan dalam hatinya. Namun dia
berkata perlahan.”
“Ya Allah, ya Rabbi. Nasib diri denai, denai serahkan pasrah padaMu!”
Habis keluarkan ucapan si nenek teruskan larinya. Matanya berlinang-linang.
Inyiek Susu Tigo usap muka berulang kali. Mulutnya meratap sedih.
“Istriku mengapa kau tega pergi tinggalkan aku! Bahkan namamupun aku
belum tahu. Ke mana aku harus mencarimu. Tapi aku tak akan bisa pergi jauh.
Kita tidak akan berpisah terlalu lama. Bau tubuhmu sudah ada dalam alur
napasku! Aku bersumpah tidak akan kawin dengan perempuan lain selain
dirimu. Wajahmu yang bundar, tubuhmu yang montok putih, bulu ketiakmu
yang lebat oooh... Tak ada perempuan lain yang bisa menandingi!”
Dalam meratap Inyiek Susu Tigo bersujud di tanah. Tiba-tiba dia ingat.
“Pemuda di telaga itu! Akan aku bunuh dia sekarang juga! Perlu apa
menunggu sampai matahari terbit!”
Inyiek Susu Tigo berteriak keras, memukul-mukul dada beberapa kali
lalu berkelebat lenyap dari tempat itu. Dia lupa apa yang dikatakan muridnya
Si Kamba Mancuang. Bahwa membunuh Wiro merupakan satu tindakan keliru.
Dengan ilmu kesaktiannya laksana kilat menyambar Inyiek Susu Tigo
berkelebat di kegelapan malam. Tak selang berapa lama ketika dia sampai di
telaga kejutnya bukan alang kepalang. Puluhan buaya peliharaannya
bergelimpangan di sekitar tepian telaga. Tapi tidak satupun dari mereka yang
mati atau pingsan. Binatang-binatang itu seperti tertidur pulas! Inyiek
mendongak ke langit gelap tidak berbintang. Hidung menghirup udara dalam-
dalam. Dia mencium bau kemenyan.
“Ada orang pandai berkepandaian tinggi barusan datang ke sini. Pasti
dia yang membungkam semua buaya peliharaanku...” Sambil bertanya-tanya
dalam hati siapa adanya orang itu Inyiek Susu Tigo memandang ke tengah
telaga kejut. Kejut si gemuk tinggi ini tambah menjadi!
Sosok pendekar 212 Wiro Sableng yang sebelumnya mengapung kaku di
permukaan air telaga kini tidak kelihatan lagi!
“Bangsat kurang ajar! Pasti orang pandai yang sama yang menolong
pemuda itu lolos dari sini! Akan kubunuh! Akan kubunuh semuanya!”
Mendadak sang Inyiek terdiam.
“Mungkinkah ini pekerjaan Inyiek Batino Ratu Sekalian Harimau Betina
di negeri ini? Aku ingat, pemuda yang datang bersama si rambut panjang dan
istriku itu pernah menyebut-nyebut Inyiek satu itu... Ah, perduli setan!
Siapapun yang kurang ajar dan menghalangiku akan aku habisi!”
Inyiek memandang berkeliling lalu berteriak.
“Kamba Mancuang! Apa kau ada di sini?!”
Tak ada jawaban. Puluhan buaya masih bergelimpangan tak bergerak di
sepanjang tepian telaga.
MESKIPUN tidak akan mampu menolong namun Si Kamba Mancuang
Tangan Manjulai tidak ingin membiarkan Wiro begitu saja. Dengan harapan
akan terjadi satu keajaiban maka dia berlari kembali ke tempat kediaman
gurunya. Ketika dia sampai Inyiek Susu Tigo sudah berada di sana, tengah
berteriak maiah memanggil namanya. Si nenek menyelinap sembunyi di balik
pohon besar. Yang membuat si nenek heran tapi agak lega adalah melihat
Pendekar 212 Wiro Sableng tak ada lagi di tempat itu. Berarti dia selamat
dari serbuan puluhan buaya pada saat matahari terbit. Lalu apa pula yang
terjadi dengan puluhan binatang peliharaan sang guru itu? Mengapa mereka
bergeletakan tak berkutik semua? Si Kamba Mancuang tak berani mendekati
untuk memeriksa.
“Di mana pemuda itu sekarang? Apa ada orang pandai yang
menolongnya? Apa sekarang dia berada di tempat yang aman atau malah
dalam keadaan lebih berbahaya?”
Selagi berpikir-pikir begitu tiba-tiba ada suara menghilang di dua
telinga si nenek.
“Perempuan tua berambut dan berjubah putih, tinggalkan tempat ini.
Berjalan kurus-lurus ke arah matahari terbit. Jangan berbelok. Kau akan
menemukan pemuda yang kau cemaskan itu. Dia telah selamat dari mangsa
puluhan buaya. Namun dia masih memerlukan pertolonganmu...”
Si Kamba Mancuang tersirap kaget. Memandang berkeliling.
“Orang pandai siapa yang bicara dengan denai?” Si nenek bertanya.
“Jangan perdulikan siapa diriku. Pergilah cepat...”
“Denai akan menuruti ucapan orang pandai. Namun kunci keselamatan
pemuda Jawa itu berada di tangan Inyiek;”
“Ilmu seorang anak manusia bisa setinggi gunung sedalam lautan.
Namun setinggi-tingginya ilmu adalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa juga.
Jangan lupakan hal itu. Dengan izin Allah kau akan mampu menolongnya karena
bukankah kau telah mewarisi ilmu Inyiek Susu Tigo.
“Orang pandai. Guru denai Inyiek Susu Tigo adalah orang baik. Namun
kalau timbul suganya dia bisa berbuat apa saja. Membunuh orang sama dengan
membunuh lalat baginya. Mohon orang pandai dapat menasehatinya...” (suga:
gila)
“Inyiek Susu Tigo adalah orang baik dan tetap akan jadi orang baik.
Nasihat yang terbaik bagi seorang manusia adalah suara hati nuraninya yang
murni. Pergilah, sebentar lagi malam akan berganti siang...”
Si Kamba Tangan Manjulai membungkuk dalam-dalam
“Orang pandai, denai mengucapkan terima kasih. Jika orang pandai
mengizinkan, denai sangat ingin bertatap muka dengan orang pandai.”
Terdengar suara tertawa perlahan. Saat itu juga tercium santar bau
kemenyan disertai kabut tipis yang muncul entah dari mana datangnya. Lapat-
lapat di kejauhan Si Kamba Mancuang mendengar suara tiupan saluang.
“Perempuan tua berambut dan berjubah putih. Allah akan melindungi
dan memberkatimu...”
“Terima kasih atas doa orang pandai.”
Sekali lagi si nenek membungkuk.
DUA BELAS
DARI hanya berjalan cepat, kemudian berlari kencang sekarang Si Kamba
Mancuang melesat laksana terbang di kegelapan malam menjelang pagi.
Akhirnya di satu tempat yang tak jelas di mana adanya nenek ini hentikan lari.
“Sudah cukup lama aku berlari seperti dikejar Palasik Kuduang. Tapi
pemuda itu tidak juga kutemui. Jangan-jangan orang yang bicara tapi tidak
kelihatan ujudnya itu telah menipuku!” (Patasik Kuduang: mahlukyang suka
menghisap darah manusia terutama darah bayi dan anak-anak. Jika mencari
mangsa hanya kepalanya yang gentayangan ke mana-mana sementara tubuh
buntung berada di tempat lain Mahluk seram ini sangat terkenal dan ditakuti
di tanah Minang)
Setelah membuangrasa bimbangnya jauh-jauh Si Kamba Mancuang
Tangan Manjulai kembali menerus kan lari ke arah timur, tidak membelok-
belok.
Satu saat matanya melihat cahaya terang di kaki langit.
“Fajar sudah menyingsing. Aku berlari seperti tidak sampai-sampai.
Pemuda itu belum juga aku temui...”
“Dukkk!”
Si nenek terpekik. Kakinya mendadak membentur sesuatu yang
tergelimpang di bawah pohon. Membuatnya nyaris tersungkur jatuh di tanah.
“Kulihat matamu tidak buta. Hari sudah mulai siang. Apakah kau
sengaja menendangku Nek? Kau masih marah padaku ya?! Gara-gara aku peluk
dan aku cium dulu itu...?”
Satu suara menegur.
Astaga! Si Kamba Mancuang sampai terlonjak saking terkejut. Dia
mengenali suara itu. Cepat-cepat dia berpaling.
“Kau!” Pekik si nenek terkejut tapi juga gembira. Yang tergelimpang di
tanah di bawah pohon besar itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng
yang memang tengah dicarinya sesuai petunjuk suara mengiang tanpa ujud.
“Bagaimana kau bisa sampai di sini?! Jauh dari telaga?!”
“Ada orang menolongku.”
“Siapa?” tanya si nenek pula.
“Aku tidak tahu. Gerakannya cepat sekali. Dia membawaku ke tempat
ini. Sebelum pergi dia memberitahu bakal ada orang yang menolongku.
Ternyata kau yang datang.” Si nenek tersenyum.
“Aku tahu kau berdusta. Kau pasti tahu siapa orang yang menolongmu.
Tapi kalau kau tidak mau memberi tahu siapa penolongmu tak jadi apa. Yang
penting kau sudah diselamatkan dari malapetaka besar. Aku mencium bau
kemenyan di sekitar sini. Pasti orang yang menolongmu sama dengan yang
memberitahu padaku melalui suara mengiang dari jarak jauh.”
Wiro menyeringai. Hendak menggaruk kepala tapi tidak bisa.
“Syukur kau tidak dimangsa buaya itu. Tapi tubuhmu kulihat masih
diselubungi air beku dari telaga. Kau masih berada di bawah pengaruh ilmu
Merekat Raga Menahan Jiwa Inyiek Susu Tigo...”
“Nek, kau murid Inyiek Susu Tigo. Mungkin...”
“Ya, aku tahu apa maksud bicaramu. Mudah-mudahan aku bisa
mencairkan air telaga beku yang membungkus tubuhmu. Waktu kau masih di
tengah telaga aku tak bisa melakukan karena puluhan buaya. setiap kejapan
mata bisa menerkam diriku!” kata Si Kamba Mancuang.
“Aku sudah coba mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti panas. Tapi
air beku ini tidak mau leleh.” Selain mengerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti Wiro juga berusaha menyalurkan kekuatan sakti yang ada di dalam
Kapak Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya. Namun sungguh luar biasa
kekuatan ilmu lawan. Dia tidak berdaya melakukan apapun untuk melenyapkan
air telaga beku yang membungkus tubuhnya.
“Sekalipun ada api di dalam tubuhnya atau dirimu dipanggang satu hari
satu malam, kekuatan ilmu Inyiek itu tidak akan bisa dibuat lumer.”
“Oala... Tolong aku cepat Nek!”
“Sudah, diam saja. Aku akan menolongmu!”
“Ah! Aku tahu kau orang baik. Kita sudah menjadi sahabat. Sejak
pertama kali aku melihatmu, aku selalu mengingat-ingat dirimu.”
“Rayuan Jawa!” ejek si nenek sambil cibirkan bibir. “Manusia aneh!
Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bergurau!”
Si nenek mengangkat Wiro lalu disandarkan ke pohon besar tapi dalam
menyandarkan kepala Wiro di sebelah bawah di tanah dekat akar pohon
sementara kaki di sebelah atas.
“Nek, apa-apaan ini...”
“Aku bilang diam saja! Jangan banyak bicara! Kalau kau mau kutolong,
kalau tidak biaraku pergi sekarang juga! Aku masih banyak kepentingan lain...”
“Baik Nek, maafkan aku...”
“Dengar, kira-kira seratus hitungan darahmu akan mengalir lebih
banyak turun ke kepala. Kau akan merasa pusing. Kerahkan tenaga dalam
hingga darahmu mengalir wajar lagi ke seluruh tubuh. Aku akan
meninggalkanmu sebentar..
Kau... kau mau pergi ke mana Nek?”
“Jangan macam anak kecil yang ditinggal sebentar saja sudah mau
menangis!” bentak si nenek.
“Ah, kau ini Nek. Aku... aku cuma mau tahu...”
“Aku pergi ke hutan sana mencari kelelawar,” menerangkan si Kamba
Mancuang.
“Kelelawar? Untuk apa? Mau kau panggang? Memangnya kita mau
sarapan pagi bersama?”
Si nenek pelintir kuat-kuat telinga kiri Wiro. Tapi karena telinganya
tertutup air telaga beku maka Wiro tak merasa apa-apa. Si Kamba Mancuang
lalu berkelebat dan lenyap dari bawah pohon.
Cukup lama si nenek pergi akhirnya muncul kembali sambil menenteng
seekor kelelawar hutan besar berbulu coklat. Binatang bermata merah ini
mencicit tiada henti, membuka mulut lebar-lebar memperlihatkan barisan gigi
kecil runcing dan tajam.
Wiro merasa lega si nenek sudah kembali. Tapi hatinya was-was karena
menduga-duga si nenek mau melakukan apa.
Sambil mengeluarkan suara meracau berkepanjangan, entah membaca
mantera entah. menyanyi Si Kamba Mancuang menjengkal-jengkal tubuh
kelelawar besar itu dari kepala ke kaki, dari sayap kiri ke ujung sayap kanan.
Dia melakukan hal itu sambil mengelilingi pohon di mana Wiro tersandar.
Tiba-tiba si nenek totok tenggorokan kelelawar hingga binatang ini membuka
mulut lebar-lebar dan menguik keras. Setelah itu kepala dan mulutnya tidak
bisa bergerak lagi. Hanya sepasang mata dan dua kaki serta sayap yang masih
bisa bergerak-gerak perlahan.
Suara meracau dari mulut si nenek berhenti. Dia memandang ke bawah,
menyeringai. Lalu dia maju mendekati Wiro. Tangan kiri menarik pinggang
celana sebelah depan lalu tangan kanan dengan cepat memasuk menyelinapkan
kelelawar besar ke dalam celana Wiro.
Langsung saja murid Sinto Gendeng berteriak-teriak. Memang
kelelawar itu tidak bisa menggigit, namun gesekan sayap dan dua kakinya
membuat Wiro merinding kegelian.
“Nek, kau ini mau berbuat apa? Masakan hendak melumer air beku
dengan cara begini rupa...?! Aduuhhhh! Apa tidak ada cara lain yang lebih
gila?!”
Si Kamba Mancuang tertawa mengekeh.
“Kelelawar binatang yang bisa menghimpun hawa panas lalu mengalirkan
ke seluruh tubuhmu. Binatang ini satu-satunya mahluk penangkal ilmu Merekat
Raga Menahan Jiwa yang saat ini membungkus seluruh badanmu! Aku tidak
memperdayai dirimu. Kau lihat saja hasilnya sebentar lagi!”
“Tapi Nek, aku tidak tahan! Geli sekali! Huaahhhh!”
Mendadak di tempat itu terdengar suara beberapa orang tertawa
bergelak.
“Nek, orang sudah berteriak tidak tahan kegelian! Mengapa kelelawar
itu tidak kau ganti saja dengan tanganmu?; Ha... ha... ha!”
“Betul! Dia enak kau juga enak!” Ada suara lain menyambung yang
kemudian kembali disusul suara tawa tergelak banyak orang.
Si nenek terkejut dan cepat memutar tubuh.
Wiro juga tak kalah kaget dan melirik ke arah beberapa orang yang
barusan muncul di tempat itul
TIGA BELAS
YANG muncul di tempat itu di saat fajar mulai menyingsing adalah Ki Bonang
Talang Ijo yang keningnya luka parah dan mata kanan dibalut kain hitam
akibat amblas diinjak Datuk Panglimo Kayo. Kakek dari Kuto Gede ini sunguh
luar biasa. Dalam keadaan cidera berat seperti itu dia masih sanggup
memimpin rombongan. Di samping Ki Bonang berdiri Perwira Muda Teng Sien
yang daun telinga kanannya sumplung. Lalu berjejer Tuanku Laras Muko
Balang, Pandeka Bumi Langit Dari Semanik yang memanggul Puti Bungo
Sekuntum alias Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok alias Chia Swie Kim. Si gadis
dalam keadaan tertotok, tak bisa bergerak tak bisa bersuara.
Orang-orang ini sebenarnya dalam perjalanan ke satu tempat rahasia
milik Tuanku Laras Muko Balang. Namun di tengah jalan mereka mendengar
suara teriak teriakan. Ketika mereka mendatangi sumber suara, mereka tidak
menyangka akan bertemu dengan Wiro dan Si Kamba Mancuang.
“Kalian berdua! Lengkap sudah!” kata Ki Bonang Talang Ijo.
“Yang satu pengkhianat musuh dalam selimut, berkawan dengan yang
satunya pemuda Jawa yang berusaha menghalangi urusan kita!” menyambung
Tuanku Laras Muko Balang. “Ki Bonang, aku akan menabas batang leher
pemuda Jawa itu. Kau dan teman-teman cepat habisi si nenek agar dia bisa
bertemu saudara kembarnya di alam baka! Ha... ha... ha!” Lalu Tuanku Laras
hunus pedang Al Kausar. Melangkah mendatangi Wiro yang sampai saat itu
masih tersandar di pohon kepala ke bawah kaki ke atas. Rupanya orang ini
masih sangat mendendam atas apa yang telah diperbuat Wiro beberapa waktu
lalu. Yaitu menyerang dengan ilmu kesaktian aneh hingga celana luar dan
dalamnya tanggal tersedot masuk ke dalam belahan tanah.
Sementara Ki Bonang dan Pandeka Bumi Langit melangkah mendekati Si
Kamba Mancuang, Tuanku Laras bertengkar dengan Perwira Muda Teng Sien.
Orang Cina yang kuping kanannya kini sumplung akibat tertabas patahan
goloknya sendiri lebih suka tidak mencari urusan baru tapi cepat-cepat
menuju ke pesisir timur agar dia bisa membawa Puti Bungo Sekuntum ke
Tiongkok. Tuanku Laras yang didukung oleh Ki Bonang tetap merasa Wiro dan
si nenek sebagai batu sandungan yang bisa mencelakai mereka jika tidak
segera disingkirkan.
Si Kamba Mancuang perhatikan tampang Ki Bonang dan Teng Sien lalu
tertawa gelak-gelak.
“Kening luka besar, mata dibalut kain. Jauh-jauh datang dari tanah
Jawa hanya mencari celaka! Masih tidak tahu diuntung! Hik... hik... Satunya
lagi buntung daun telinganya. Masih saja belum jera! Bergundal-bergundal
busuk! Kaki tangan orang asing! Penculik anak gadis orang! Kalian kalau tidak
dibunuh semua tidak akan aman tanah Minang ini!” teriak Si Kamba Mancuang.
“Nenek culas!” Hardik Ki Bonang Talang Ijo. “Kau dan saudaramu yang
sudah mampus telah menerima masing-masing tiga batang emas! Kalau kau
bisa mengembalikan semua emas itu kami mungkin akan memberikan hukuman
yang lebih ringan padamu!”
Si nenek kembali tertawa mengekeh.
“Dasar manusia serakah! Kau mau nyawaku atau batangan emas?! Kalau
mau nyawaku aku ingin tahu bagaimana caramu mau membunuhku! Kalau ingin
batangan emas, silahkan cari di neraka! Hik... hik... hik!”
“Tua bangka setan! Kau akan mampus dan mayatnya kubuat tidak
berbentuk!” teriak Ki Bonang Talang Ijo marah sekali.
Dua tangan panjang Si Kamba Mancuang melesat ke depan,
menyongsong serangan yang dilancarkan Teng Sien yang mempersenjatai diri
dengan sebilah golok baru dan datang dari arah kiri. Dari kanan Pandeka Bumi
Langit Dari Sumanik, suara kaki dan dua tangannya bergemuruh memainkan
silat Sitaralak yang sangat berbahaya.
Si Kamba Mancuang yang maklum kehebatan ilmu silat tidak mau
berlaku ayal apa lagi sampai saling beradu tangan. Tangan kanan Pandeka
Langit Bumi masih tampak kemerah-merahan karena melepuh sewaktu
bertarung dengan Pendekar 212.
Ki Bonang sendiri langsung menggebrak dari depan. Seperti biasa
sebelum menyerang dia sudah tanggalkan belangkon hijau yang merupakan
senjata andalan. Sebelum serangan ketiga orang itu sampai Ki Bonang lebih
dulu kebutkan belangkon, untuk mempengaruhi dan melumpuhkan gerakan
lawan. Tapi Si Kamba Mancuang yang sudah tahu kehebatan lawan dengan
cepat melompat mundur satu tombak sementara dua tangan diulur laksana
sepasang ular menyambar ganas.
“Hebat! Hebat! Aku suka ini! Hik... hik! Nenek jubah putih, aku tahu
siapa kau walau kita tidak saling kenal sebelumnya! Jangan takuti Aku berada
di pihakmu menumpas pengeroyok pengecut! Orang-orang asing pembawa
bahala harus dimusnahkan dari tanah Minangkabau!”
Tiba-tiba ada suara perempuan berseru. Di lain kejap di samping Si
Kamba Mancuang telah berdiri seorang nenek bungkuk, bertubuh kurus
kering, kulit muka tipis hingga wajahnya nyaris menyerupai tengkorak. Di
tangan kanannya bergayut sebuah benda menyerupai jaring. Nenek ini bukan
lain adalah Niniek Panjalo.
Ki Bonang, Pandeka Bumi Langit, Perwira Muda Teng Sien tampak
terkejut besar. Bahkan Tuanku Laras Muko Balang yang telah menghunus
pedang dan tengah mendekati Wiro terhenti langkahnya.
“Niniek Panjalo, apa yang terjadi? Mengapa kau jadi begini? Kau
membela musuh kita?!”
Menegur Ki Bonang Talang Ijo.
“Niniek, melangkahlah ke dekat kami. Jangan berdiri di samping tua
bangka pengkhianat itu!” Ikut bicara Pandeka Langit Bumi Dari Sumanik.
Niniek Panjalo pelototkan mata lalu tertawa mengekeh.
“Aku membela musuh kita? Hik... hik! Siapa musuhku, siapa kita?!
Dengar baik-baik apa yang aku katakan! Kalian keparat semua! Ketika aku
lumpuh tak berdaya akibat serangan Rantai Pintu Halilintar kalian pergi
begitu saja meninggalkanku. Sementara sahabatku Datuk Pancido tewas
menemui ajal secara mengenaskan! Aku sudah tahu siapa kalian sebenarnya!
Manusia-manusia rakus yang menghalalkan nyawa orang lain asal mendapat
imbalan dan mencapai tujuan! Kalian menculik anak gadis tidak berdosa itu!
Apakah aku masih pantas berada di pihak kalian?!”
, “Ah, kau pasti sudah termakan bujuk rayu. Kesinilah Niniek,” kata Ki
Bonang. “Bergabung kembali bersama kami. Urusan kita akan segera rampung.
Kita semua akan mendapat hasilnya sama rata...”
Niniek Panjalo cibirkan bibir lalu keluarkan suara seperti orang kentut
dari mulutnya. Di lain kejap nenek ini gerakkan tangan kanan. Benda
berbentuk jala berpijar lalu menyambar ke arah Ki Bonang Talang Ijo.
“Kurang ajar! Mampuslah kalian berdua!” teriak Ki Bonang. Tubuh
dirundukkan, tangan kanan mengibaskan belangkon, tangan kiri melepas
pukulan Di Atas Awan Menyergap Rembulan. Namun sebelum serangan
dilakukan, salah satu tangan panjang Si Kamba Mancuang telah mencekal
pergelangan tangannya.
Pendekar 212 yang menyaksikan apa yang terjadi dan tidak mampu
berbuat apa-apa sebenarnya sejak tadi ingin berteriak memberi tahu pada Si
Kamba Mancuang bahwa pembunuh saudara kembarnya adalah Ki Bonang dan
kawan-kawannya itu. Namun dia khawatir si nenek akan terpengaruh dengan
ucapannya dan larut dalam kemarahan yang bisa membahayakan dirinya. Kini
setelah Ki Bonang kena dicekal tangannya oleh si nenek maka Wiro baru
memutuskan untuk memberi tahu.
“Nek, habisi tua bangka berjubah hijau itu! Dia dan kawan-kawannya
yang membunuh saudara kembarmu Si Kamba Peseki"
i Kamba Mancuang seperti mendengar suara guntur menggelegar di
atas kepalanya.
“Manusia jahanam! Aku sudah punya dugaan kau dan teman-temanmu
yang membunuh saudaraku! Sekarang terbanglah ke akhirat untuk menghadap
penjaga neraka!”
Tangan kiri Si Kamba Mancuang melesat ke depan siap menggulung
leher Ki Bonang Talang Ijo.
EMPAT BELAS
PANDEKA Bumi Langit Dari Sumanik berusaha menolong Ki Bonang namun
sapuan jala sakti Niniek Panjalo yang hendak menggebuk kepalanya membuat
orang ini cepat-cepat melompat mundur. Ki Bonang Talang Ijo yang tidak
berhasil melepas cekalan Si Kamba Mancuang dengan nekad melompat
menerjangkan kaki kanan sementara dari dalam belangkonnya dia keluarkan
sebuah benda hitam bulat sebesar ujung ibu jari.
Didahului suara letupan keras tempat itu kini diselubungi asap hitam
menutup pemandangan. Si nenek terbatuk-batuk. Walau Ki Bonang akhirnya
mampu lepaskan cekalan si nenek namun tak urung dua jari tangan kirinya
patah,
“Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak Ki Bonang Talang Ijo.
Perwira Muda Teng Sien sambil menghambur kabur memaki panjang
pendek.
“Aku sudah bilang! Jangan mencari urusan baru! Gadis itu lebih
penting!” teriak Teng Sien yang hanya dimengerti Ki Bonang.
Di bagian lain, begitu asap mengepul, Tuanku Laras Muko Balang dengan
cepat melompat ke hadapan Wiro yang tersandar di pohon kepala ke bawah
kaki ke atas. Pedang Al Kausar menderu ke bawah. Menyambar ke arah leher
Pendekar 212! Cahayanya berkilauan terkena sinar matahari pagi yang belum
lama menyembul di arah timur.
Sesaat lagi pedang sakti akan membabat putus leher Wiro tiba-tiba
kelelawar besar yang ada di dalam celana sang pendekar menguik keras dan
weerrrr! Binatang itu menghambur keluar dari dalam celana. Terbang ke
udara dan lenyap dari pemandangan, lalu greekkk! Lapisan air telaga beku
yang membungkus sekujur tubuh murid Sinto Gendeng hancur Berantakan.
Ratusan keping air telaga beku mental. Sebagian berhamburan ke arah
Tuanku Laras Muko Balang.
“Brett!”
Bahu kiri pakaian Tuanku Laras robek besar. Kejut orang ini bukan
alang kepalang. Dengan cepat dia putar pedang Al Kausar melindungi tubuh.
Suara berdentangan terdengar berulang-ulang seolah pedang sakti itu
membentur logam keras. Tuanku Laras selamat dari hantaman air telaga beku
namun ketika satu kepingan menancap di lengan kanannya, orang yang
wajahnya ditumbuhi bulu tipis hitam putih ini menjerit kesakitan. Pedang Al
Kausar terlepas jatuh ke tanah. Selagi dia hendak mengambil senjata ini, di
hadapannya telah berdiri Pendekar 212. Kaki kanan bergerak menendang ke
arah kepalanya!
“Jahanam kurang ajar!” Tuanku Laras Muko Balang menyumpah lalu
jatuhkan diri ke tanah. Sambil bergulingan ke arah sosok Puti Bungo
Sekuntum tangan kiri lepaskan satu pukulan tangan kosong menyerang Wiro.
Wiro cepat membalas dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Karang, ini
adalah salah satu pukulan sakti yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang
Ameh di Danau Maninjau.
Wiro terkejut ketika mendadak melihat sosok Tuanku Laras Muko
Balang tahu-tahu telah berdiri di hadapannya, menyeringai lalu berteriak.
“Wusss!”
Pukulan sakti yang dilepaskan Wiro melabrak tubuh Tuanku Laras
dengan telak hingga hancur berkeping-keping tapi kepingan-kepingan itu
kemudian mengambang ke udara berubah jadi asap. Wiro sadar kalau lawan
telah membuat tubuh jejadian... Lalu ke mana tubuh Tuanku Laras yang asli?
Dengan mengeluarkan ilmu yang disebut Bayangan Menipu Mata Tuanku Laras
bukan saja berhasil selamatkan diri dari serangan Wiro tapi juga melarikan
diri sambil memboyong Puti Bungo Sekuntum. Wiro siap berkelebat hendak
mengejar. Tapi Niniek Panjalo berteriak.
“Tak usah dikejar! Aku tahu tempat di mana mereka akan berkumpul
sebelum pergi ke pesisir timur!”
Wiro balikkan tubuh. Menatap pada Si Kamba Mancuang dan Niniek
Panjalo. Si Kamba Mancuang berdiri sambil memegang pedang Al Kausar milik
Tuanku Laras Muko Balang yang tercampak dan tidak sempat diambil karena
saat itu selain menyelamatkan diri dia juga lebih mementingkan memboyong
Puti Bungo Sekuntum. Kawan-kawannya yang lain sudah kabur lebih dulu
begitu asap hitam menggebubu menutupi pemandangan.
“Anak muda,” ucap Si Kamba Mancuang. “Tadi kau berteriak
mengatakan bahwa Ki Bonang Talang Ijo dan kawan-kawannya yang membunuh
saudara kembarku. Aku memang punya dugaan begitu setelah menyirap kabar
apa yang terjadi. Apa kau menyaksikan sendiri peristiwanya?”
“Saat saudaramu dibunuh memang tidak menyaksikan Nek. Tapi Ki
Bonang dan kawan-kawan menghadangku di tengah jalan lalu melempar mayat
saudaramu di hadapanku.”
Si Kamba Mancuang mengucap berulang kali. Sepasang matanya
berkaca-kaca. “Luar biasa buas! Mereka bukan manusia tapi binatang! Lalu
bagaimana dengan jenazah saudaraku...?” Si nenek berucap seolah bertanya
pada diri sendiri
“Aku dibantu Malin Kapuyuak dan seorang sahabat bernama Denok
Tuba Biru. Jenazah kami bawa ke sebuah dusun. Kami minta bantuan kepala
Dusun untuk mengurus jenazah sampai di penguburan.”
“Terima kasih... Kau baik sekali. Aku sangat berterima kasih. Kau tahu
nama dusun di mana saudaraku dimakamkan!” Si Kamba Mancuang bertanya
dengan suara terisak.
“Aku tidak tahu Nek. Tapi Malin Kapuyuak pasti tahu. Nenek berdua,
aku juga berterima kasih. Kalian sudah menolong diriku...” Berkata Wiro pada
dua nenek. Lalu dia ingat pada kelelawar di dalam celananya. Celana ditarik ke
depan. Tangan kanan dimasukkan ke dalam celana lalu disusupkan kian kemari.
Niniek Panjalo palingkan wajah melengos. Sebenarnya ini adalah satu
kepura-puraan belaka. Padahal hatinya bergetar melihat apa yang dilakukan
Wiro. Dia rasa-rasa ingin pula memasukkan tangannya ke dalam celana sang
pendekar.
“Dasar pemuda gilo! Tidak malu dia membuncah barangnya di hadapan
kami orang tua-tua! Memangnya ada apa? Hilang burungmu?!” Si nenek yang
tidak tahu apa asal muasal kejadian hingga Wiro berlaku begitu memandang
pada Si Kamba Mancuang. Nenek satu ini yang masih diselimuti kesedihan
lantas saja masih bisa tersenyum.
Niniek Panjalo geleng-geleng kepala.
“Sahabatku, kau rupanya sudah ketularan penyakit gilo pemuda Jawa
itu! Ayo ikuti aku. Aku tahu ke mana orang-orang itu pergi. Gadis Cina itu
harus diselamatkan!”
“Nenek berdua, sambil berjalan banyak hal yang akan aku tanyakan
pada kalian...”
“Satu hal yang ingin aku tanyakan lebih dulu,” kata Niniek Panjalo pula.
“Kau tidak ada perasaan marah, benci atau dendam padaku. Karena
sebelumnya aku mengambil sikap bermusuhan dan pernah menyerangmu?”
Wiro tersenyum.
“Nek, melihat dirimu aku ingat pada guruku di tanah Jawa. Aku
menghormatimu seperti aku menghormati beliau...”
“Ah, aku berterima kasih. Kalau panjang umur mudah-mudahan aku
nanti bisa bertemu dengan gurumu itu. Siapa nama gurumu?” tanya Niniek
Panjalo pula.
“Sinto Gendeng.”
“Aneh kedengarannya nama gurumu itu. Di negeri ini tidak ada
Gendeng. Yang ada Gandang. Hik... hikl Apa nama gurumu itu ada artinya?”
(Gandang: Gendang)
Betul Nek, ada artinya. Sinto Gendeng artinya Sinto Gila!”
Niniek Panjalo tertawa terkekeh-kekeh sambil tangan kanan mengayun-
ayun jala.
“Ki Bonang memberi tahu namamu Wiro Sableng yang artinya Wiro Gila.
Sekarang aku tahu gurumu juga gila! Jadi guru dan murid sama-sama gila! Hi...
hik... hik...”
Tiba-tiba Niniek Panjalo putar tangannya yang memegang jala demikian
rupa hingga rreettttt saat itu juga jala berpijar terang, menebar di udara
dan di lain kejap sekujur tubuh Pendekar 212 terjirat erat nyaris tak bisa
berkutik di dalam jala!
Si Kamba Mancuang sebenarnya ingin cepat-cepat meninggalkan tempat
itu hendak mengejar Ki Bonang dan kawan-kawannya. Dalam dia berpikir-pikir
dia tersentak melihat apa yang dilakukan Niniek Panjalo. Nenek ini berteriak
marah namun sebelum bisa berbuat apa-apa Niniek Panjalo sudah berbalik,
menotok tubuhnya di dua tempat, mukanya diusap hingga nenek bergigi perak
ini tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Dengan cepat Niniek Panjalo
kemudian mengambil pedang Al Kausar milik Tuanku Laras Muko Balang yang
dipegang Si Kamba Mancuang.
“Nek, kau ini sedang mempermainkan kami atau tengah bergurau
bagaimana...?” Wiro berseru. Walau bertanya namun ketika melihat Niniek
Panjalo menotok serta mengambil pedang dari tangan Si Kamba Mancuang,
murid Sinto Gendeng segera maklum kalau Niniek Panjalo tidak sedang main-
main. Ada yang tidak beres. Lebih tepat kalau dikatakan ada bahaya besar
mengancam! Karenanya dengan cepat Wiro kerahkan tenaga dalam. Dua
tangan berusaha merobek menjebol jala berpijar. Namun tidak berhasil!
Aneh, tangannya tidak bisa merenggut, menyentuh apa lagi merobek. Dia
seolah menggapai angin!
Tawa cekikikan Niniek Panjalo semakin menjadi-jadi.
“Siapa bilang aku main-main. Tidak ada yang bergurau! Hik... hik... hik!”
Nenek ini kemudian bertepuk tiga kali.
“Dua kekasihku! Kalian silahkan ke sini! Saatnya kita menyiangi dua
ayam besar ini! Hik... hik... hik!”
LIMA BELAS
SESAAT kemudian berkelebat satu sosok aneh besar. Ketika sosok ini berdiri
di hadapan si nenek ternyata adalah dua pemuda, satu berkumis biru, satunya
berkumis merah. Tubuh dua pemuda ini saling berdempetan di bagian
punggung dan keduanya mengenakan sehelai jubah besar berwarna merah
gelap. Ketika keduanya sama-sama menyeringai kelihatan barisan gigi besar
yang berwarna sama dengan warna kumis masing-masing. Di dalam rimba
persilatan di tanah Minangkabau dua pemuda dempet ini dikenal dengan
julukan Tengku Mudo Sagalo Duo. (Tengku Muda Sagala Dua) Konon keduanya
berasal dari sebuah pulau di Selat Malaka. Menurut orang yang mengetahui
mereka terlahir dalam kutukan karena ayah dan ibu mereka merupakan kakak
dan adik kandung sedarah sedaging, Penduduk desa mengusir pasangan suami
istri salah kaprah itu. Dua bayi dempet lenyap secara aneh. Dua puluh tahun
kemudian dua bayi dempet itu muncul dalam keadaan sudah menjadi dua
pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ada yang menduga, ketika masih
bayi mereka dilarikan oleh orang pandai yang diduga sebangsa mahluk
jejadian, dibawa ke sebuah pulau dan disitu diberi pelajaran berbagai macam
ilmu. Karena wajah dua pemuda ini memang gagah, serta keadaan tubuhnya
yang aneh serba dua konon banyak perempuan tua muda yang jalan hidupnya
tidak senonoh menyukai Tengku Mudo Sagalo Duo. Salah seorang di antara
mereka adalah Niniek Panjalo yang selama ini menganggap dua pemuda dempet
sebagai kekasihnya. Dua pemuda dempet yang merasa mempunyai kelebihan di
dalam kekurangannya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka
memanfaatkan keadaan diri mereka yang bisa memberikan kesenangan tidak
terhingga pada kaum perempuan untuk mendapatkan imbalan berupa uang dan
harta.
“Niniek, bagus sekali tipu dayamu!” memuji Ki Bonang. “Sekarang cepat
kau geledah nenek rambut putih bergigi perak itu! Pastikan bahwa tiga batang
emas yang pernah didapatnya dari kakek Jawa itu benar-benar ada padanya.
Jika tiga batang emas sudah ditemukan, kita pergi satu persatu lalu kedua
baruak-baruaktak berguna ini dihabisi saja!” (baruak: beruk/monyet)
“Kekasihku, kalian berdua tidak usah khawatir. Tiga batang emas itu
pasti ada padanya! Lihat aku akan geledah nenek ini!”
“Kalau perlu kau telanjangi dia!” kata pemuda dempet berkumis dan
berjanggut biru.
“Aku setuju... aku setuju!” Menyahuti pemuda dempet berkumis merah.
Lalu sambung ucapannya. “Niniek Panjalo, selama ini aku dan saudaraku hanya
melihat tubuhmu. Sekali-sekali untuk penyedap mata rasanya boleh juga jika
kami melihat tubuh yang lain! Ha... ha... ha!”
“Jangan bicara kurang ajar yang membuat aku marah!” bentak Niniek
Panjalo.
“Hai! Aku hanya bergurau!” Si kumis merah cepat-cepat menyahuti.
Niniek Panjalo melangkah mendekati Si Kamba Mancuang. Setelah
memeriksa sekujur tubuh si nenek, dia akhirnya menemukan tiga batang emas
dalam sebuah kantong di balik pinggang jubah Si Kamba Mancuang. Sambil
tertawa gembira Niniek Panjalo perhatikan tiga batang emas itu.
Dua pemuda mengambil masing-masing sebatang emas, memperhatikan
dengan mata besar, mencium berulang kali. Si kumis biru berkata.
“Seumur hidup baru sekali ini aku melihat dan memegang emas sebesar
ini. Ini bukan emas palsu! Kita akan jadi kaya raya! Ha... ha... ha!” Lalu
batangan emas enak saja disusupkannya ke balik pinggang. Hal yang sama
dilakukan oleh si kumis merah. Niniek Panjalo delikkan mata hendak menegur
dan meminta kembali batangan emas itu.
“Jangan serakah Niniek. Masing-masing kita sudah dapat satu batang
emas. Dibagi rata dan adil. Malam nanti kita akan bersenang-senang dan kami
berdua akan memberikan pengalaman paling hebat bagimu.”
Walau masih cemberut Niniek Panjalo masukkan sisa satu batangan
emas ke dalam saku pakaiannya lalu mundur dua langkah. Memandang ke arah
Kamba Mancuang, berpaling pada Wiro, lalu bertanya pada dua pemuda
dempet.
“Dua kekasihku Sunguik Biru dan Sunguik Merah. Mana dari dua baruak
ini yang akan kita habisi lebih dulu?” (Sunguik: Sungut, Kumis)
“Terserah padamu. Tapi bagusnya kau habisi nenek bergigi perak itu
lebih dulu. Agar kau tidak cemburu pada kami! Ha... ha... ha!” jawab pemuda
dempet berkumis merah lalu tertawa tergelak-gelak.
Niniek Panjalo tersenyum, kedipkan mata pada pemuda berkumis biru.
“Kau kekasih yang baik. Malam nanti aku akan berikan kenikmatan lebih
padamu! Hik... hik... hik!”
Ketika si nenek melangkah mendekati Si Kamba Mancuang dengan
terpentang, Wiro yang tidak mampu merobek jala berpijar cepat berteriak.
“Niniek Panjalo! Jika batangan emas yang jadi incaranmu dan dua
gendakmu, kalian sudah mendapatkan! Mengapa masih hendak menurunkan
tangan jahat membunuh nenek itu? Bebaskan kami berdua!”
Niniek Panjalo hentikan langkah, menatap ke arah Wiro. Dalam hati dia
berkata, “Pemuda berambut panjang, sebenarnya kau sudah jadi salah satu
lelaki yang aku taksir. Sayang...”
Tampang Niniek Panjalo tiba-tiba berubah. Dari hidungnya keluar suara
mendengus.
“Gara-gara kalian berdua sahabatku Datuk Pancido tewas dihantam
besi putih Datuk Panglimo Kayo. Apa kau masih mau bermulut besar di
hadapanku? Mungkin aku perlu merobek mulutmu lebih dulu sebelum giliranmu
aku bantai!”
Habis berkata begitu Niniek Panjalo kembali balikkan badan,
meneruskan langkah mendekati Si Kamba Mancuang. Tangan yang memegang
pedang Al Kausar diangkat tinggi-tinggi ke atas.
Di dalam jala berpijar yang tidak bisa ditembus dengan tangan kosong,
rahang murid Sinto Gendeng menggembung.
“Tua bangka jahanam itu harus dihentikan! Aku harus bertindak cepat
sebelum dia membunuh si nenek mancung!”
Dari mulut Wiro kemudian keluar pekik menggeledek.
“Kapak Naga Geni Dua Satu Dua!”
Didahului dengan memancarnya sinar terang di bagian dada Wiro,
Kapak Naga Geni 212 yang dengan kesaktiannya oleh Kiai Gede Tapa
Pamungkas dimasukkan ke dalam raga Wiro, kini melesat keluar dari dalam
tubuh Wiro. Memancarkan cahaya terang menyilaukan, menebar hawa panas.
Jala yang melibat tubuh Wiro robek besar lalu hangus menjadi bubuk hitam.
Kapak Naga Geni 212 melayang sebat di udara mengeluarkan deru seperti
ratusan tawon, menyambar ke arah Niniek Panjalo.
“Niniek! Awas!” teriak dua pemuda dempet Sunguik Merah dan Sunguik
Biru.
Kapak Naga Geni 212 senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng
bukanlah senjata sakti biasa. Senjata ini seolah memiliki mata dan jiwa yang
tidak mau memperlakukan diri atau diperlakukan secara pengecut. Walau saat
itu kapak mampu menghantam tubuh bagian belakang Niniek Panjalo namun
secara aneh dan dalam kecepatan kilat senjata berputar hingga sebelum
Niniek Panjalo sempat berbalik, Kapak Naga Geni 212 telah mendarat telak di
pertengahan dadanya!
Niniek Panjalo meraung dahsyat. Tubuhnya mencelat jauh dan akan
terus terpental kalau tidak menabrak pohon. Walau tubuh itu tergelimpang di
tanah nyawanya sudah lepas lebih dulu.
Wiro yang saat itu sudah berhasil keluar dari jala yang robek cepat
mengangkat tangan. Kapak Naga Geni 212 melesat kembali ke arahnya,
sementara melayang di udara noda darah yang ada di mata kapak lenyap
dengan sendirinya. Senjata sakti itu sesaat kemudian masuk kembali ke dalam
tubuh Wiro.
Melihat apa yang terjadi dua pemuda dempet menjadi kecut tegang. Si
Singuik Biru berbisik pada saudaranya Si Singuik Merah.
“Kita sudah dapatkan emas itu. Sebaliknya cepat-cepat pergi dari sini.
Perlu apa mencari celaka membuat urusan dengan pemuda Jawa itu. Aku
dengar dia seorang tukang sihir...”
“Dari gerak geriknya aku sudah bisa menjajagi sampai di mana
kehebatan ilmunya. Kita masih satu tingkat di atas...” kata Si Singuik Merah.
“Matamu apa sudah buta?! Mulutmu asal bicara! Apa tadi tidak kau
lihat bagaimana senjata aneh berbentuk kapak bisa keluar dari tubuhnya?!
Mana ada manusia yang punya ilmu seperti itu!”
“Soal itu apa yang perlu ditakutkan? Dia hanya menyihir pandangan
mata!” Si Singuik Merah masih menganggap enteng urusan.
“Menyihir katamu! Buktinya nenek itu mati dengan dada terbelah
dibuatnya! Senjatanya keluar dari dalam perut masuk lagi ke dalam perut! Apa
tidak gila?!” tukas Si Singuik Biru.
“Baik, aku ikut apa katamu. Tapi jangan lupa. Masih ada emas satu
batang lagi pada Niniek Panjalo yang bisa kita ambil...” jawab Si Singuik
Merah.
“Jangan menganggap enteng pemuda Jawa itu! Serakah adalah biang
celaka! Jangan turutkan ketamakan hatimu! Yang paling penting saat ini
adalah cepat-cepat pergi dari tempat celaka ini!”
“Lalu bagaimana dengan mayat Niniek?” ujar Si Singuik Merah pula.
“Masih banyak perempuan hidup yang masih muda dan cantik-cantik.
Mengapa mengurusi nenek yang sudah jadi bangkai?!” jawab Si Singuik Biru.
Lalu dia betot kuat-kuat punggungnya hingga saudaranya yang menempel di
belakangnya tertarik ke depan. Empat kaki menjejak tanah, Sesaat kemudian
kedua pemuda dempet berjuluk Tengku Mudo Sagalo Duo ini telah lenyap dari
tempat tersebut.
Wiro melompat ke hadapan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Dengan cepat dia memeriksa keadaan nenek ini. Setelah melepas dua totokan
yang tadi ditanamkan Niniek Panjalo, Si Kamba Mancuang bisa bergerak
kembali namun belum mampu keluarkan suara.
Dengan gerakan tangan Si Kamba Mancuang memberi tahu pada Wiro
agar pemuda itu mengusapkan tangannya ke wajahnya untuk melepas ilmu
pembungkam yang menguasai dirinya.
Wiro lakukan apa yang diberi tahu si nenek. Begitu dia mengusapkan
tangan kanan ke wajah Si Kamba Mancuang maka nenek ini langsung
tersenyum dan keluarkan ucapan.
“Terima kasih kau telah menyelamatkan nyawaku...”
“Terima kasih kembali Nek,” jawab Wiro. “Aku minta maaf kalau
menduga keliru perbuatanmu ketika menolong mengobati adikku.” “Aku sudah
melupakan hal itu, Nek.” “Tadi kau menyebut seorang sahabat bersama Denok
Tuba Biru. Apakah dia gadis bertubuh gemuk yang mukanya biru berbelang
kuning?” bertanya Si Kamba Mancuang. “Betul Nek.”
“Kalau memang dia, gadis itu... dia sedang dikejar Inyiek Susu Tigo. Dia
menghisap tiga puting susu Inyiek. Padahal disitu ada rahasia kaulan. Siapa
perempuan yang bisa menghisap akan dijadikan istri...”
“Si gembrot itu! Sudah gatal dia rupanya! Aku harus mencarinya dan
memberi pelajaran. Jangan membuat malu di negeri orang!” ujar Wiro.
“Pemuda Malin Kapuyuak itu yang punya pekerjaan mempermainkan si
gadis.” Menjelaskan si nenek. Lalu dia menyambung. “Anak muda saat ini aku
ingin segera mengejar Ki Bonang dan kawan-kawannya...”
“Aku ikut bersamamu Nek.”
Si Nenek menatap wajah sang pendekar lalu tersenyum.
“Kau akan membuat budi lagi. Padahal aku mau mengatakan kalau saat
ini diriku benar-benar berhutang budi besar padamu. Bagaimana aku harus
membayarnya?”
Wiro garuk-garuk kepala. Dilihatnya wajah si nenek sudah tidak redup
sedih seperti tadi lagi. Sudah agak cerah. Dia memandang berkeliling. Tidak
ada orang lain di tempat itu kecuali Niniek Panjalo yang sudah jadi mayat.
“Ada apa? Kau mencari siapa?” tanya si nenek.
Wiro tak menjawab melainkan ulurkan dua tangan memeluk Si Kamba
Mancuang lalu mencium pipinya kiri kanan. Si nenek jadi terkejut dan
kelagapan. Tubuhnya sampai bergetar panas dingin. Mendadak Wiro melihat
ada selapis cahaya biru tipis menyelubungi sekujur kepala dan tubuh si nenek.
Wiro melihat satu sosok yang lain. Sosok seorang gadis berkulit putih
berwajah cantik dengan lesung pipit di kedua pipi. Tapi hanya sekilas lalu
sosok itu kembali pada ujud si nenek semula.
“Nek... kau...” Wiro mempererat pelukannya. Si nenek membalas lebih
kencang sambil kepala disandarkan di bahu Wiro. Namun kemudian seolah
sadar cepat-cepat lepaskan diri dari rangkulan Wiro.
“Oooh... jadi begitu caranya aku harus membayar budi besarmu?” ucap
si nenek pula sambil tersipu-sipu.
“Anu Nek, aku...”
Sambil berkelebat pergi dari tempat itu Si Kamba Mancuang berkata.
“Ada satu rahasia besar yang akan aku ceritakan padamu. Ikuti aku...”
“Tunggu Nek, batangan emas yang dicuri nenek satu itu harus kita
selamatkan.” Wiro mengambil batang emas yang ada di saku pakaian Neniek
Panjalo lalu lari mengejar Si Kamba Mancuang. Dia juga mengambil pedang Al
Kausar tak bersarung milik Tuanku Laras Muko Balang yang tergeletak di
tanah.
Sambil lari mengikuti Si Kamba Mancuang Wiro membatin.
“Aku tidak mungkin bermimpi. Tidak pula melihat mahluk jadi-jadian.
Tapi tadi, walau sekilas aku jelas-jelas melihat... Agaknya aku harus memeluk
dan mencium nenek itu sampai dia mau bicara, memberi tahu siapa dia
sebenarnya!”
TAMAT
Episode Berikutnya:
BULAN SABIT DI BUKIT PATAH
0 comments:
Posting Komentar