..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 16 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE MAYAT KIRIMAN DI RUMAH GADANG


 
Mayat Kiriman




SATU


SESUAI perjanjian yang dibuat para Datuk Luhak Nan Tigo sebelum berpisah 

di Ngarai Sianok, Datuk Kuning Nan Sabatang dari Luhak Agam dan Datuk 

Bandara Putih dari Luhak Limapuluh Kota selepas sholat Asar telah berada di 

rumah gadang kediaman Datuk Panglima Kayo di Batu Sangkar. Turut kepada 

gelarnya, Datuk Panglimo Kayo adalah Datuk paling kaya dibandingkan dua 

Datuk lainnya termasuk Datuk Marajo Sati. Tidak heran kalau rumah gadang 

kediamannya berdiri megah bergonjong lima. (rumah gadang: rumah besar)

Setelah apa yang terjadi di Ngarai Sianok pagi hari itu, Tiga Datuk 

pimpinan tiga Luhak merasa perlu dengan segera merundingkan tindakan apa 

yang akan mereka lakukan sesudah Datuk Marajo Sati yaitu yang menjadi 

Datuk Pucuk atau Datuk Pimpinan dari Tiga Datuk Luhak Nan Tigo diketahui 

menyimpan seorang gadis Cina cantik belia di dalam goa kediamannya di 

Ngarai Sianok.

Ternyata Datuk Panglimo belum sampai di rumah gadang.

“Aneh”, kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Seharusnya Datuk Panglimo 

Kayo lebih dulu tiba daripada kita...”

“Mungkin ada yang dilakukannya lebih dulu sebelum pulang ke sini. Kita 

nantikan saja. Mudah-mudahan sebentar lagi beliau datang...” Berujar Datuk 

Bandara Putih.

Sementara menunggu kedatangan Datuk Panglimo Kayo, dua datuk tadi 

duduk bersila di lantai rumah gadang sambil bercakap-cakap dan menikmati 

hidangan yang disuguhkan orang rumah yaitu kopi hangat serta goreng pisang.

“Datuk Kuning Nan Sabatang, kalau benar Datuk Pucuk Marajo Sati 

menyimpan gadis Cina itu di dalam goanya, saya sungguh kecewa, sungguh 

sedih. Bagaimana mungkin Datuk Pucuk mau berbuat seperti itu. Istrinya di 

Koto Gadang yang kemenakan Datuk Panglimo Kayo selain cantik juga masih 

muda belia. Datuk juga kita ketahui taat pada agama, patuh pada adat 

lembaga. Apa yang kurang...”

“Saya sendiri sebenarnya juga sangat menyayangkan. Kalau tidak 

melihat dengan mata kepala sendiri gadis Cina yang ditemukan dan ditangkap 

orang-orang itu, rasanya mana mungkin saya percaya...”

“Yang sangat terpukul pastilah saudara kita Datuk Panglimo Kayo,” 

ucap Datuk Bandaro Putih dari Luhak Lima Puluh Kota. “Kita tahu benar 

riwayat bagaimana sampai Gadih Puti Seruni kawin dengan Datuk Marajo Sati.


Kalau tidak Datuk itu yang bersikeras memaksakan kehendak mungkin hal itu 

tidak kejadian. Kita juga tahu bagaimana kemudian ayah Puti Seruni jatuh 

sakit dan akhirnya meninggal dunia karena perkawinan itu sebenarnya tidak 

disetujuinya. Tapi dia seperti tidak berdaya, tidak bisa berbuat suatu apa 

karena Datuk Panglimo Kayo adalah mamak Puti Seruni. Kadang-kadang saya 

berpikir-pikir, jika tumbuh baik ya baik hasilnya. Tapi jika tumbuh keliru saya 

merasa kuasa seorang mamak di negeri kita ini seperti berlebihan...”

Setelah terdiam beberapa ketika Datuk Kuning Nan Sabatang 

mengusap wajah lalu menjawab. “Sebenarnya adat lembaga negeri kita sudah 

baik. Tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Cuma mungkin 

musyawarah dan kebijaksanaan yang perlu lebih mendapat tempat. Memang 

susah juga jadinya kalau sampai seorang mamak lebih berkuasa dari ayah nan 

kandung...”

“Kembali pada kejadian di Ngarai tadi pagi...” Datuk Bandaro Putih 

alihkan pembicaraan. “Saya mengerti jalan cerita kalau pemuda Pakih Jauhari 

itu memendam dendam luar biasa pada Datuk Marajo Sati hingga dia menebar 

cerita buruk dan bahkan menggalang penduduk di beberapa dusun untuk

menyiapkan hukuman rajam atas diri Datuk Marajo Sati. Tapi ada yang tidak 

saya mengerti...” Datuk Bandaro putih memandang sebentar ke luar jendela 

baru melanjutkah. “Siapa sebenarnya gadis Cina yang disembunyikan saudara 

kita itu di dalam goa. Lalu mengapa ada beberapa orang tokoh di tanah Minang 

ini yang sama-sama kita kenal ikut bersama orang tua asing berjubah hijau 

dan lelaki Cina berpakaian pasukan Kerajaan Tiongkok menangkap gadis Cina 

itu?”

“Pandeka Langit Bumi Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko Balang, Datuk 

Pancido, Niniek Panjalo...” Datuk Kuning Nan Sabatang menyebut satu persatu 

nama orang yang dimaksudkan Datuk Bandaro Putih. “Kita tahu memang tidak 

ada lantai yang terjungkat dan silang sengketa antara mereka dengan Datuk 

Marajo Sati. Tapi dari kejadian ini jelas mereka menunjukkan perseteruan 

dengan Datuk Pucuk itu. Paling tidak berada di pihak yang berseberangan. 

Mungkin pemuda bernama Pakih Jauhari bekas kekasih Puti Seruni itu telah 

berhasil membujuk mereka untuk melaksanakan niatnya membalas dendam 

terhadap Datuk Marajo Sati...”

“Saya meragukan hal itu,” jawab Datuk Bandaro Putih. “Pemuda itu bisa 

membuat marah lalu membujuk penduduk dusun. Tapi untuk membujuk tokoh-

tokoh berkepandaian tinggi dan berpaham seperti itu, rasanya sulit dipercaya 

dia mampu melakukan. Kalaupun bisa pasti ada yang diandalkannya. Imbalan 

besar. Uang, harta emas berlian. Pakih Jauhari mana punya semua itu...”


“Jika benar orang-orang itu mau berserikat dengan Pakih Jauhari, 

berarti ada satu hal lain yang diberikan atau dijanjikan si pemuda pada 

mereka. Bukan uang bukan harta. Tapi bisa saja berupa petunjuk, berupa 

keterangan sangat rahasia dan sangat berharga...”

“Menyangkut hal apa?” tanya Datuk Bandaro Putih pula.

“Gadis yang mereka tangkap itu seorang gadis Cina. Di antara mereka 

saya lihat ada seorang Cina berseragam pasukan Tiongkok. Mungkin orang ini 

yang jadi pimpinan dalam rombongan. Mereka tengah mencari si gadis. Dan 

Pakih Jauhari mengetahui di mana gadis itu berada lalu memberitahukan. Dia 

membuktikan kalau Datuk Marajo Sati benar-benar menyimpan gadis cantik di 

dalam goa. Dendam kesumatnya terbalaskan...”

Datuk Bandaro Putih angguk-anggukkan kepala beberapa kali.

“Gadis Cina. Perempuan asing. Tapi waktu berteriak saya dengar dia 

mengeluarkan ucapan bahasa orang di sini. Aneh juga. Jangan-jangan sudah 

berminggu-minggu berbilang-bulan Datuk Marajo Sati bersama gadis itu 

hingga dia sempat mengajari bahasa Minang...”

“Satu hal saya perhatikan.” Ucap Datuk Kuning Nan Sabatang. “Cara 

bicara Datuk Marajo Sati pada kita bertiga kasar sekali. Beliau bicara 

beraku-aku pada kita. Padahal jelas-jelas kita bertiga jauh lebih tua dari 

beliau. Dan selama ini beliau tidak pernah berlaku sekasar itu baik dalam 

ucapan apa lagi tindakan. Agaknya Datuk Marajo Sati berada dalam beban 

tekanan jiwa sangat berat. Ditambah dengan amarah yang menggelegak 

karena menuduh kita yang datang menancapkan Bendera Tiga Luhak, 

membawa orang dusun, menghasut untuk merajamnya sampai mati di batang 

pohon...” Datuk Kuning Nan Sabatang menghela napas panjang. “Betapapun 

nyatanya kejadian yang kita lihat, saya punya dugaan ada satu peristiwa atau 

rahasia besar di balik semua kejadian ini.”

“Saya juga merasa begitu,” jawab Datuk Bandaro Putih lalu kembali 

memandang keluar jendela lalu bangkit berdiri.

“Rasanya matahari telah menurun jauh condong ke barat. Datuk 

Panglimo Kayo yang kita tunggu belum juga muncul. Sebentar lagi Magrib akan 

datang...”

Datuk Kuning Nan Sabatang berdiri pula lalu tegak di belakang jendela 

di samping Datuk Bandaro Putih.

“Datuk Bandaro Putih, terus terang sejak tadi hati saya merasa tidak 

enak. Ada firasat...”

Belum selesai Datuk dari Luhak Agam ini berucap tiba-tiba bluk!

Satu benda kuning berbelang hitam jatuh bergedebuk di halaman


samping rumah gadang kediaman Datuk Panglimo Kayo tak jauh dari sebatang 

pohon marapalam. Dua Datuk di belakang jendela terkejut Lebih terkejut lagi 

ketika mereka menyaksikan benda yang jatuh itu adalah seekor harimau 

besar kuning belang hitam.

“Inyiek tunggangan Datuk Panglimo Kayo!” ucap dua Datuk di belakang 

jendela hampir berbarengan. Tidak menunggu lebih lama keduanya langsung 

melompati jendela, turun ke halaman. (Inyiek: di sini artinya harimau sakti)

Harimau besar yang tergeletak di tanah itu ternyata berada dalam 

keadaan tidak bernyawa lagi. Darah setengah kering meleleh di mata, hidung 

dan telinga. Sebuah rantai besi putih panjang melilit tubuh serta empat 

kakinya yang tampak patah.



DUA


“RANTAI Pintu Halilintar! Astaga! Bukankah benda ini potongan senjata milik 

Datuk Panglimo Kayo?!” Datuk Kuning Nan Sabatang berucap setengah 

berseru.

“Saya juga mengenali!” Menyahuti Datuk Bandaro Putih. Wajahnya yang 

putih jernih berubah kelam. “Lalu Datuk Panglimo Kayo sendiri berada di 

mana?” Datuk Luhak Limapuluh Kota ini memperhatikan sekeliling halaman.

“Ah, firasat saya tadi. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan 

saudara kita yang satu itu! Semoga Allah melindunginya...” Kata Datuk Kuning 

Nan Sabatang.

“Datuk, bantu saya melepaskan rantai agar arwah Inyiek bisa tenteram 

di alam gaib. Kalau Datuk Panglimo Kayo tidak apa-apa maka rantai sakti ini 

akan kembali kepadanya.”

Dua orang Datuk dari Luhak Agam dan Luhak Limapuluh Kota itu segera 

berlutut di tanah, di kiri kanan sosok harimau besar. Perlahan-lahan keduanya 

mengangkat tangan sambil alirkan hawa sakti. Begitu terpentang tepat di 

depan dada, dua Datuk hantamkan dua tangan masing-masing ke arah mayat 

harimau yang terikat besi putih. Empat larik cahaya putih menderu.

Pada saat empat cahaya putih menyentuh tubuh dan rantai besi putih 

yang melilit harimau besar, satu letusan dahsyat laksana suara halilintar 

menggelegar di tempat itu disertai berkiblatnya cahaya putih terang 

benderang. Dua Datuk terpental sampai satu tombak tapi tidak cidera. 

Terjadi keajaiban. Sosok harimau kuning belang hitam lenyap sementara 

rantai besi putih melayang ke udara dan akhirnya lenyap dari pemandangan.

Di tempat itu tiba-tiba terdengar suara auman dahsyat dua kali 

berturut-turut. Tanah bergetar, angin dingin menyambar. Itulah auman 

Inyiek atau harimau sakti tunggangan Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk 

Bandaro Putih yang ujudnya tidak kelihatan. Binatang-binatang gaib itu seolah 

memberi ucapan, selamat jalan pada teman mereka yang kembali ke alam gaib 

untuk selama-lamanya dan tak mungkin lagi muncul di bumi.

Dua Datuk bergerak bangun, tampungkan tangan masing-masing, mulut 

berkomat-kamit merapal doa. Sementara dari atas rumah tetangga orang 

muncul berlarian mendatangi untuk melihat apa yang terjadi. Mereka tidak 

sempat melihat harimau besar yang dililit rantai putih. Mereka hanya melihat 

dua Datuk yang masih berlutut di tanah berkomat-kamit merapal doa.

“Inyiek sudah bebas dari penderitaannya. Kembali ke alam gaib


TIRAIKASIH – http://cerita-silat.co.cc/

168 Mayat Kiriman Di Rumah Gadang

–WIRO SABLENG 212

7

Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Datuk Panglimo Kayo.”

Baru saja Datuk Kuning Nan Sabatang keluarkan ucapan, tiba-tiba di 

arah jalan tanah yang agak mendaki menuju rumah gadang terdengar suara 

lenguh sapi, disertai suara derak roda pedati dan gema ganto 

berkepanjangan, (ganto: semacam lonceng kecil terbuat dari besi yang 

digantung di leher jawi/ sapi penarik pedati/gerobak) Dua Datuk segera 

palingkan kepala. Mereka melihat sebuah pedati kecil tak beratap muncul 

dikelokkan jalan tanah yang mendaki, bergerak ke arah halaman rumah gadang 

di mana mereka berada.

“Aneh...” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang. “Pedati berjalan, tapi mana 

kusirnya?”

Diikuti Datuk Bandaro Putih dan orang-orang yang ada di tempat itu 

Datuk Kuning Nan Sabatang mendahului menyongsong pedati. Sapi penarik 

pedati dihentikan. Binatang ini kembali melenguh. Ekor dikibas-kibas. Tiba-

tiba dua kaki depan dilipat, menyusul dua kaki belakang. Binatang ini rebahkan 

diri di tanah hingga pedati yang ditariknya menungging ke depan. Tumpukan 

jerami kering tampak menutupi pedati. Dua Datuk yang sejak tadi merasa 

curiga, dibantu oleh beberapa orang yang ada di situ segera membongkar 

jerami kering. Sesaat kemudian semua orang yang ada di situ termasuk dua 

Datuk tersentak kaget. Ketika tumpukan jerami kering tersibak, di lantai 

pedati kelihatan terbujur sosok Datuk Panglimo Kayo yang sudah jadi mayat. 

Sekujur tubuh mulai dari leher sampai ke kaki dijirat rantai besi putih. Dari 

mata, hidung, telinga dan mulut ada lelehan darah. Dalam cengkeraman jari-

jari tangan kanan Datuk Marajo Sati yang sudah kaku terdapat sehelai 

potongan kain panjang berwarna putih yang salah satu sisinya berjumbai-

jumbai.

“Astagafirullah... Allahuakbar...” Dua Datuk mengucap berulangkah.

“Siapa yang melakukan perbuatan keji dan jahat ini?!” ucap Datuk 

Kuning Nan Sabatang. “Siapa yang mengirimkan jenazah Datuk Panglimo Kayo 

dengan pedati ke sini...”

“Datuk,” bisik Datuk Bandaro Putih. “Saat ini tidak ada yang bisa 

ditanya. Pedati datang tidak berkusir... Lalu satu keanehan lagi, apakah ini 

potongan Rantai Pintu Hallintar yang tadi kita lepas dari tubuh Inyiek kini 

melibat di tubuh Datuk Panglimo Kayo. Rantai ini harus dibuang sebelum 

Datuk Panglimo Kayo dimakamkan...”

“Pemilik rantai akan mengambilnya sebelum jenazah dimandikan...” bisik 

Datuk Kuning Nan


Sabatang yang tahu banyak riwayat senjata sakti bernama Rantai Pintu 

Halilintar itu.

Dibantu orang banyak Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro 

Putih segera menurunkan mayat Datuk Panglimo Kayo dari dalam pedati. 

Sebelum mayat dibawa ke dalam rumah gadang Datuk Bandaro Putih lepaskan 

kain putih panjang dari cengkeraman jari-jari tangan mayat. Kain itu 

diperhatikan sejenak. Air muka Datuk Bandaro Putih berubah. Kain diberikan 

pada Datuk Kuning Nan Sabatang. Setelah memeriksa dengan teliti, wajah 

Datuk Kuning Nan Sabatang juga tampak berubah. Suaranya bergetar ketika 

keluarkan ucapan.

“Saudaraku Datuk Bandaro Putih. Saya yakin sekali kain putih panjang 

berumbai ini adalah potongan sorban Datuk Marajo Sati. Berarti...”

“Datuk, saya benar-benar seperti melihat ayam putih terbang siang. 

Tapi saya tidak berani berprasangka menduga-duga. Kita berdua harus 

menyelidiki kejadian ini sampai terungkap panjang pendeknya, dangkal 

dalamnya dan putih hitamnya. Simpan baik-baik potongan sorban itu!” Kata 

Datuk Bandaro Putih lalu menyambung ucapannya. “Saya tidak yakin pedati 

tak berkusir jtu membawa mayat Datuk Panglimo Kayo jauh-jauh dari Agam. 

Mayat agaknya dinaikkan di satu tempat tak jauh dari Batusangkar.” Sambil 

bicara Datuk Bandaro Putih berjalan ke arah pedati. Di sini dia melakukan 

pemeriksaan kembali sampai matanya membentur satu bungkusan daun yang 

terletak di lantai depan pedati, di bawah palang kayu tempat dudukan kusir.” 

Ada nasi bungkus. Pasti punya orang yang tadinya duduk di atas pedati ini. 

Kusir pedati. Dia belum sempat menyantap makanannya. Lalu di mana kusir 

pedati itu sekarang? Datuk, coba kita menyelidik jalan arah ke Sungai Tarab. 

Pedati ini pasti datang dari jurusan itu. Tidak mungkin dari arah selatan.”

Tak lama menyusuri jalan yang menuju sebuah dusun kecil bernama 

Sungai Tarab, dua Datuk menemukan sesosok mayat pemuda tergeletak di 

tengah jalan. Di keningnya ada luka besar, agak tertutup oleh darah yang 

mengental.

“Mungkin ini kusir pedatinya. Dia dibunuh di tempat ini, lalu pedati 

dilepas sendirian tidak berkusir. Mengapa? Si pembunuh takut diketahui siapa 

dirinya? Mungkin Pakih Jauhari yang melakukan?” Datuk Kuning Nan Sabatang 

berpaling pada Datuk Bandaro Putih di sampingnya.

Datuk Bandaro Putih gelengkan kepala. “Pemuda itu bagaimanapun 

dendam kebenciannya terhadap Datuk Panglimo Kayo mana mungkin punya 

kemampuan membunuh Datuk Panglimo Kayo. Ingat potongan sorban putih 

milik Datuk Marajo Sati yang ada dalam genggaman tangan mayat Datuk


Panglimo Kayo? Itu satu pertanda atau jawaban yang sulit ditampik. Datuk 

saudaraku, apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Jika jenazah sudah dikuburkan, kita segera ke

Ngarai Sianok. Saya ingin sekali menyelidiki keadaan di dalam goa 

kediaman Datuk Marajo Sati,” jawab Datuk Kuning Nan Sabatang.

“Bagaimana dengan mayat orang ini?” tanya Datuk Bandaro Putih.

“Kita bawa ke rumah kediaman Datuk Panglimo Kayo agar diurus 

sekalian. Saya yakin ada orang yang mengenalinya,” jawab Datuk Kuning Nan 

Sabatang.

SESAAT sebelum jenazah Datuk Panglimo Kayo dimandikan, tiba-tiba 

di siang yang terang benderang itu menggelegar suara halilintar. Kilat 

menyambar di langit. Langit seperti hendak runtuh, bumi seolah hendak 

terbelah. Rumah gadang bergoncang berderak-derak. Beberapa orang 

berpekikan. Jenazah Datuk Panglimo Kayo yang dibaringkan di ruang tengah 

rumah memancarkan cahaya putih. Lalu terdengar suara berdesir disusul 

suara berkeretak.

Orang banyak yang ada dalam ruangan itu termasuk dua Datuk pimpinan 

Luhak sama-sama tercekat ketika menyaksikan bagaimana rantai putih Rantai 

Pintu Halilintar yang menggelung sekujur tubuh Datuk Panglimo Kayo 

bergerak terbuka lalu melesat ke arah pintu rumah gadang, melayang ke 

udara dan akhirnya lenyap dari pemandangan laksana menembus langitl

“Pemilik rantai sakti telah mengambil senjata sakti itu...” bisik Datuk 

Kuning Nan Sabatang sambil mengusap kuduknya yang terasa dingin.

PULANGNYA Datuk Panglimo Kayo dalam keadaan sudah menjadi mayat 

dibawa oleh pedati tak berkusir bukan hanya menghebohkan penghuni rumah 

gadang kediaman Datuk Panglimo Kayo, namun, dengan cepat menjalar ke 

seluruh Batusangkar. Besoknya, berita kematian Datuk kaya itu telah 

tersebar iuas sampai ke pelosok daerah Tanah Datar. Perihal kusir pedati 

yang tewas, seperti yang dikatakan Datuk Kuning Nan Sabatang, beberapa 

pelayat mengenali orang ini. Dia adalah Magek Jamin, penduduk Sungai Tarab. 

Sebenarnya yang punya pedati adalah kakaknya yaitu Majo Jamin. Tapi sampai 

mayat Magek Jamin dikubur Majo Jamin tidak muncul. Raib tak diketahui ke 

mana perginya. Dua Datuk mengkhawatirkan Majo Jamin juga telah menjadi 

korban pembunuhan.

SEPERTI yang diduga oleh Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan 

Sabatang, ketika mereka mendatangi goa di samping dinding Ngarai Sianok

untuk menjajagi keberadaan Datuk Marajo Sati, goa berada dalam keadaan 

kosong. Yang mengejutku dua Datuk ini menemukan beberapa helai pakaian


perempuan serta satu kotak kecil berisi pupur dan sepotong alat pemerah 

bibir.

“Kita menemukan bukti Datuk... Keberadaan seorang perempuan di 

dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati ini ternyata memang satu kenyataan,” 

kata Datuk Bandaro Putih.

“Yang jadi pertanyaan sekarang di mana Datuk itu berada?” ucap Datuk 

Kuning Nan Sabatang. “Sungguh aib besar bagi kita para Penghulu dan semua 

Datuk di Luhak Nan Tigo. Datuk Pucuk ternyata bukan saja menyimpan anak 

gadis, tapi juga membunuh Datuk Panglimo Kayo. Saya tidak akan kembali ke 

rumah di Pariangan sebelum menemukan Datuk Marajo Sati.”

“Saya juga berpantang pulang ke Payakumbuh sebelum selesai urusan 

besar yang sangat memalukan ini,” kata Datuk Bandaro Putih pula.

“Sekarang ke mana kita akan mencari saudara dan pimpinan kita yang 

sesat itu?” tanya Datuk Kuning Nan Sabatang.

“Saya menduga dua kemungkinan. Yang pertama Datuk Marajo Sati 

mengejar rombongan orang-orang yang melarikan gadis Cina itu...”

“Gadis Cina itu. Selain menjadi gadis simpanan Datuk Marajo Sati tapi 

siapa dia sebenarnya? Dari mana datang dan munculnya? Dia saya dengar 

fasih bicara bahasa orang di sini. Mengapa tokoh-tokoh berkepandaian tinggi 

dari tanah Jawa, dibantu para tokoh di sini bahkan ada seorang Perwira 

Kerajaan Tiongkok membentuk rombongan menangkapnya? Datuk, apa 

kemungkinan yang kedua dari dugaan Datuk...”

“Kemungkinan kedua Datuk Marajo Sati pergi ke Biaro, mendatangi 

rumah kediaman Pakih Jauhari. Membunuh pemuda itu...”

“Sudah seburuk dan sejahat itukah pekerti Datuk Pucuk? Masya 

Allah...” Datuk Kuning Nan Sabatang mengucap beberapa kali.

“Datuk, kita harus cepat-cepat menyelidik ke tempat yang Datuk 

katakan itu. Apa lagi yang kita tunggu...?” Datuk Bandaro Putih sudah tidak 

sabaran.

“Bagaimana kalau kita menyelidik ke Biaro lebih dulu. Pemuda bernama 

Pakih Jauhari itu perlu diselamatkan bagaimanapun buruk kelakuannya 

terhadap Datuk Marajo Sati. Selain itu mungkin kita bisa mendapatkan 

keterangan dari dia...”

“Saya mengikut apa yang Datuk katakan.” Datuk Bandaro Putih lalu 

berseru.

“Inyiek berdua! Kami memerlukan kalian!”

Sesaat kemudian terdengar suara menderu. Lalu muncul dua sosok 

harimau besar kuning belang hitam. Dua Datuk segera melompat ke atas

tunggangan masing masin



TIGA


APA YANG telah terjadi dengan Datuk Panglimo Kayo yang merupakan Datuk 

Pimpinan Luhak Tanah Datar? Siapa yang telah membunuhnya lalu mengirim 

mayatnya ke rumah gadang dengan pedati tidak beratap dan tidak berkusir.

Seperti diceritakan sebelumnya dalam episode berjudul “Fitnah 

Berdarah Di Tanah Agam”, di pedataran di atas Ngarai Sianok, selagi Pakih 

Jauhari dan puluhan orang menyerbu Datuk Marajo Sati dengan lemparan 

batu dan para Datuk Luhak Nan Tigo berusaha menghalangi serangan, secara 

diam-diam Ki Bonang Talang Ijo dan rombongan sampai di Ngarai Sianok. 

Mereka berhasil masuk ke dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati setelah 

lebih dulu menjebol sebuah batu besar pen utup goa.

Chia Swi Kim yang oleh Datuk Marajo Sati diberi nama Puti Bungo 

Sekuntum alias Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok, mendengar suara bergemuruh 

di mulut goa, mengira yang datang adalah Datuk Marajo Sati, tanpa mengubah 

dirinya lebih dulu keluar dari dalam ruangan rahasia di mana dia bersembunyi.

Begitu melihat siapa yang muncul dan mengenali sosok serta wajah si 

gadis, Perwira Muda Teng Sien langsung berteriak-teriak sambil menunjuk ke 

arah dua bahu si gadis.

Ki Bonang Talang Ijo ikut berteriak

“Cepat tangkap gadis itu! Jangan sampai dia menggerakkan dua 

tangannya!”

Lalu selagi beberapa orang mencekal, dengan cepat orang tua berjubah 

hijau ini totok bahu kiri kanan Puti Bungo Sekuntum hingga dua tangan gadis 

itu menjadi lumpuh. Ini membuat dia tidak bisa bergerak dan berarti dia 

tidak mampu merubah diri menjadi kupu-kupu besar hidup atau berubah 

menjadi kupu-kupu batu giok.

Perwira Muda Teng Sien mendatangi dan bicara panjang pendek»dalam 

bahasa Cina. Seperti diketahui sejak roh gadis yang meninggal dunia masuk ke

dalam tubuhnya, gadis Cina ini walau masih mengerti apa yang dikatakan orang 

namun dia tidak bisa lagi mengeluarkan ucapan dalam bahasa leluhurnya, 

(baca” Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok”)

Ki Bonang dan kawan-kawan cepat membawa si gadis keluar dari goa. 

Karena ingin mencari jalan memintas, tidak sengaja mereka melewati 

pedataran di atas ngarai di mana puluhan orang di bawah pimpinan Pakih 

Jauhari tengah menghujani Datuk


Marajo Sati dengan batu. Serta merta Puti Bungo Sekuntum berteriak.

“Datuk! Tolongl Mereka menangkap saya!”

Suasana menjadi gempar!

Ketika di bawah hujan batu Datuk Marajo Sati berusaha menolong si 

gadis tiba-tiba Ki Bonang Talang Ijo ledakkan sebuah benda yang menebar 

asap hitam menutup pemandangan. Setelah-sap sirna ternyata tokoh silat dari 

tanah Jawa itu bersama rombongannya telah lenyap dengan memboyong serta 

Puti Bungo Sekuntum.

Sebelum dituturkan apa yang terjadi dengan Datuk Panglimo Kayo 

hingga dia terbunuh dan mayatnya dikirim ke rumah gadang di Batusangkar, 

kita ikuti lebih dulu apa yang dialami Datuk Marajo Sati.

WALAU amarah dan kebenciannya terhadap Pakih Jauhari serta tiga 

Datuk Luhak Nan Tigo bukan alang kepalang namun Datuk Marajo Sati lebih 

mementingkan menyelamatkan gadis dari negeri Cina itu. Dia segera 

melakukan pengejaran dengan menggunakan Inyiek harimau tunggangannya. 

Tapi sampai matahari tenggelam dan malam datang dia tidak berhasil 

melakukan pengejaran. Seolah baru sadar Datuk Marajo Sati hentikan 

pengejaran. Inyiek kuning belang hitam yang tadi lari laksana terbang, 

melayang turun ke tanah. Datuk Marajo Sati mendengar suara sesuatu. Selain 

itu dia merasa tiupan angin agak keras dan dingin.

“Suara riak permukaan air dihembus angin,” ucap sang Datuk dalam 

hati. Dia lalu melesat ke arah satu bukit batu kecil. Harimau besar mengikuti. 

Memandang ke bawah terkejutlah Datuk Marajo Sati. Dia melihat sebuah 

danau terbentang luas sementara di arah barat matahari berbentuk setengah 

lingkaran merah menyala siap menggelincir ke ufuk tenggelamnya. Datuk 

Marajo Sati segera tahu di mana dia berada saat itu. Tanpa memalingkan 

kepala pada harimau besar di sebelahnya sang Datuk berkata.

“Inyiek, apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kau membawa diriku 

ke Danau Maninjau. Bukan mengejar orang-orang yang telah melarikan Puti 

Bungo Sekuntum?”

Harimau besar menggereng halus lalu rundukkan diri. Kepala diletakkan 

di atas batu. Mata menatap sayu. Melihat hal ini Datuk Marajo Sati segera 

berjongkok di samping binatang itu dan memeriksa dengan teliti. Mula-mula 

dia melihat ada lapisan cairan biru di sekitar hidung harimau. Lalu bagian 

putih sepasang mata binatang ini juga tampak kebiru-biruan. Ketika Datuk 

Marajo Sati membuka mulut harimau kelihatan gigi dan sebagian lidahnya juga 

berwarna kebiruan. Datuk memeriksa dua telinga harimau. Ternyata juga ada 

lapisan kebiru-biruan


“Inyiek, kau telah disambar ilmu jahat bernama Santuang Panyasek. 

Penciumanmu menjadi tumpul, penglihatan kabur, pendengaran berubah tuli. 

Kau tersesat membawa aku ke tempat ini.” Datuk Marajo Sati mengusap 

kepala Inyiek kuning. “Kau tidak perlu takut, aku tidak marah padamu. Aku 

tahu. Di tanah Minang ini ada beberapa orang sakti memiliki ilmu Santuang 

Panyasek. Tapi yang paling tinggi kepandaiannya adalah Tuanku Laras Muko 

Balang. Dia berada di antara orang-orang yang menculik Puti Bungo Sekuntum. 

Pasti dia yang telah menyirapmu dengan ilmu hitam itu. Agar kita tidak bisa 

melakukan pengejaran, “

Perlahan-lahan sang surya yang tinggal setengah lingkaran lenyap di 

kejauhan. Siang telah berganti malam. Sayup-sayup terdengar kumandang 

Azan. Datuk Marajo Dati, Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo ini jatuhkan kening di 

atas batu. Dalam bersujud dia berkata.

“Ya Allah ya Rabbi. Tuhan Seru Sekalian Alam. Maha Melihat Maha 

Mengetahui. Kau tahu ya Allah. Betapa berat dan jahatnya fitnah berdarah 

yang telah jatuh atas diri hambaMu ini. Berikan hamba ketabahan menghadapi 

semua malapetaka ini. Lebih dari itu Kau lebih mengetahui ya Allah apa yang 

telah hamba lakukan dan apa yang tidak hamba lakukan. Jika itu merupakan 

satu perbuatan keliru mohon ampunan dariMu. Jika kesalahan itu harus 

ditebus dengan hukuman bagaimanapun beratnya akan saya terima dengan 

segala keikhlasan. Tapi saya mohon ya Allah. Tolong selamatkan Puti Bungo 

Sekuntum dari tangan orang-orang jahat yang telah melarikannya. Ulurkan 

tangan kuasaMu. Lindungi anak gadis itu di manapun dia berada, baik siang 

maupun malam. Ya Allah, kabulkanlah permintaan hambaMu yang buruk dan 

hina ini ya Allah.”

Sehabis memanjatkan doa Datuk Marajo Sati turun ke tepi danau, 

mengambil air sembahyang. Ketika Datuk Marajo Sati membungkuk dan 

menyibak airdi tepi Danau Singkarak tiba-tiba muncul bayangan kepala dan 

wajah manusia. Sang Datuk tersurut satu langkah. Pakih Jauhari! Wajah 

pemuda yang samar di dalam air itu menyeringai lalu di kejauhan terdengar 

suara tawanya bergelak.

“Astagafirullah...” Datuk Marajo Sati mengucap. “Setankah yang aku 

lihat barusan? Setankah yang tertawa dikejauhan...?” Sang Datuk lalu 

membaca beberapa ayat suci, diakhiri dengan Ayat Kursi. Perlahan-lahan 

wajah di dalam air danau dan suara tertawa di kejauhan lenyap sirna. Datuk 

kembali meneruskan mengambil air wudhu. Selesai sholat, masih duduk di atas 

batu di atas bukit kecil di tepi danau, ditemani Inyiek, Datuk Marajo Sati 

berzikir. Lalu hampir semalaman suntuk dia melakukan tarak untuk

melenyapkan ilmu jahat Santuang Panyasek yang menguasai diri harimau besar 

tunggangannya.



EMPAT


KETIKA terjadi ledakan dan asap hitam meng-gebubu ke udara menutupi 

pemandangan, Datuk Panglimo Kayo bergerak cepat Dengan cepat dia 

melompat ke udara. Selagi dalam keadaan melayang dia melesat ke atas 

sebatang pohon besar. Dari atas pohon dia dapat melihat rombongan orang-

orang yang menculik gadis Cina itu lari cepat sekali ke arah timur lalu secara 

tiba-tiba lenyap dari pemandangan.

“Heran, kenapa tiba-tiba menghilang tidak kelihatan?” Pikir Datuk 

Panglimo Kayo sambil mengusap dagu. Lalu dia berpikir lagi apakah perlu 

mengejar orang-orang itu atau segera saja kembali ke Batusangkar karena 

ada perjanjian dengan dua Datuk Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota. 

Karena hari masih pagi, akhirnya Datuk Panglimo Kayo memutuskan memanggil 

Inyiek harimau tunggangannya lalu melakukan pengejaran terhadap Ki Bonang 

Talang Ijo dan rombongan.

Untuk menghindari pengejaran yang secara pasti akan dilakukan oleh 

Datuk Marajo Sati, Tuanku Laras Muko Balang telah bersiap-siap dengan 

mengeluarkan ilmu Santuang Panyasek agar Datuk Marajo Sati dan harimau 

tunggangannya tidak mampu melakukan pengejaran. Akan halnya Datuk 

Panglimo Kayo dan Inyiek yang membawanya terbang mula-mula memang 

sempat dipengaruhi ilmu hitam itu. Namun karena Tuanku Laras Muko Balang 

hanya mengarahkan ilmu kesaktiannya pada Datuk Panglimo Kayo bersama 

Inyiek harimau kuning hanya terpengaruh beberapa saat.

Setelah berhasil mendapatkan Puti Bungo Sekuntum, Perwira Muda

Teng Sien ingin agar gadis itu dilepaskan dari totokan hingga bisa berubah 

bentuk menjadi kupu-kupu batu giok dan mudah dibawa. Setelah hal itu 

berlangsung maka dia akan segera pergi ke pesisir timur. Di Selat Malaka dia 

menunggu kapal layar yang akan membawanya ke daratan Tiongkok. Tapi Ki 

Bonang Talang Ijo tidak menyetujui hal itu. Dia ingin gadis Cina itu 

disembunyikan dulu di satu tempat yang telah dipilih oleh Tuanku Laras Muko 

Balang dan Pandeka Bumi Langit dari Sumanik. Setelah Perwira Muda Teng 

Sien menyerahkan peti kedua berisi batangan emas seperti yang dijanjikan 

dan dibagi rata maka Puti Bungo Sekuntum baru akan diserahkan.

Teng Sien bersikeras agar semua orang mengikuti kemauannya. Karena 

merasa dialah yang jadi pimpinan rombongan dan membayar orang-orang itu, 

termasuk Niniek Panjalo dan Datuk Pancido yang datang kemudian. Sementara 

kata mufakat belum dicapai, rombongan tiba di satu telaga kecil tak jauh dari


kaki selatan Gunung Merapi. Tuanku Laras Muko Balang dan Ki Bonang Talang 

Ijo meminta rombongan berhenti untuk beristirahat barang beberapa lama 

sambil meneruskan perundingan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Puti 

Bungo Sekuntum yang dipanggul Tuanku Laras didudukkan di tanah, 

disandarkan di batang pohon. Sampai saat itu gadis ini masih berada dalam 

keadaan tertotok. Perwira Teng Sien menambahkan dua totokan lagi di 

tubuhnya hingga bukan hanya dua tangan yang lumpuh tapi seluruh auratnya 

tidak bisa digerakkan. Hanya mulutnya saja yang masih bicara dan sepasang 

mata yang bergerak sekali-sekali.

Saat itu tengahhari tepat bang surya bersinar terik. Tiba-tiba dari 

arah barat, seekor harimau besar melesat laksana terbang di atas permukaan 

telaga. Di atasnya duduk seorang berpakaian dan berdestar hitam yang bukan 

lain adalah Datuk Panglimo Kayo, Datuk pemimpin Luhak Tanah Datar.

Tentu saja semua orang menjadi heran sekaligus terkejut. Yang diduga 

akan datang mengejar adalah Datuk Marajo Sati. Datuk Marajo Sati tidak 

berhasil menembus ilmu sirapan Tuanku Laras Muko Balang, tapi mengapa kini 

Datuk Panglimo Kayo yang datang?

“Tuanku Laras, menurutmu apa keperluan Datuk dari Batusangkar ini 

mengejar kita?” bertanya Datuk Pancido sambil mengusap-usap tongkat 

berkeluk yang terbuat dari perunggu.

“Aku tidak dapat memastikan. Di Tanah Minang kedudukannya di bawah 

Datuk Marajo Sati. Mungkin dia hendak membela pimpinannya. Kalau dia 

bertingkah macam-macam maka kedatangannya adalah mengantar nyawa. Saat 

ini aku sudah menanam satu rencana bagus dalam benakku!” jawab Tuanku 

Laras Muko Balang sambil mengusap wajahnya yang ditutupi bulu tipis, 

separuh berwarna hitam sebagian lagi berwarna putih. “Datuk, kecuali Perwira 

Muda Teng Sien dan Ki Bonang, ajak semua orang mengurung Datuk Panglimo 

Kayo dan Inyiek tunggangannya. Jangan sampai dua mahluk itu melangkah 

terlalu jauh dari telaga.”

Datuk Pancido segera lakukan apa yang dikatakan Tuanku Laras. 

Bersama Inyiek Panjalo dan Pandeka Bumi Langit dari Sumanik dia segera 

mendatangi Datuk Panglimo Kayo yang baru saja menjejakkan kaki bersama 

harimau tunggangannya di tepi telaga. Ketiga orang ini segera menebar dan 

mengambil sikap mengurung.

Sementara itu Tuanku Laras cepat-cepat mendekati Ki Bonang dan 

Perwira Muda Teng Sien.

“Ki Bonang, turut apa yang aku dengar Datuk Panglimo Kayo memiliki 

satu senjata sakti luar biasa bernama Rantai Pintu Halilintar. Jika terjadi hai


tidak diingini dan dia menyerang kita dengan senjata itu, kita tidak akan 

sanggup menahannya. Kecuali kita memiliki penangkal...”

Kening Ki Bonang Talang Ijo berkerut.

“Lekas katakan apa penangkal itu?”

“Ada pada Perwira Muda Teng Sien. Dia selalu membawanya ke mana-

mana sebagai makanan persediaan. Disimpan di dalam kaleng merah yang 

tergantung di pinggangnya.”

“Dendeng babi? Di dalam kaleng itu yang ada hanya dendeng babi. 

Makanan perwira Cina itu...”

“Benar sekali Ki Bonang. Daging babi, mentah atau masak, lunak atau 

keras, basah atau kering, adalah pantangan senjata sakti milik Datuk Panglimo 

Kayo. Untuk berjaga-jaga, lekas kau minta kaleng itu pada Teng Sien. 

Keluarkan isinya dan lemparkan ke arah Datuk Panglimo Kayo. Walau tidak 

mengena tubuh atau senjatanya, dia tetap akan mengalami celaka berat!”

“Baik, akan aku lakukan!” jawab Ki Bonang Talang Ijo pula lalu dengan 

cepat mendekati Perwira Muda Teng Sien. Setelah bicara sebentar Perwira 

Kerajaan Tiongkok itu menyerahkan kaleng besar merah yang tergantung di 

pinggangnya. Ki Bonang mengeluarkan sebagian isi kaleng lalu memasukkan ke 

dalam saku kiri jubah hijaunya.

Di tepi telaga belum turun dari atas punggung harimau Datuk Panglimo 

Kayo sudah melihat gerakan orang yang mencurigakan. Belum lagi dia 

membuka suara, di hadapannya Datuk Pancido sudah mementang ucapan.

“Datuk Panglimo Kayo. Jika Datuk Marajo Sati yang kau cari, orang itu 

tidak ada di sini. Karenanya kami harap kau segera melanjutkan perjalanan.”

Datuk Panglimo Kayo tidak segera menjawab. Dia lebih dulu menatap 

wajah Datuk Pancido sebentar yang barusan menegurnya, memandang nenek 

yang berdiri di sampingnya lalu beralih pada Pandeka Bumi Langit dari 

Sumanik dan selanjutnya memandang ke arah Ki Bonang Talang Ijo, Perwira 

Muda Teng Sien dan Tuanku Laras Muko Balang. Melirik pada gadis Cina yang 

bersandar di pohon. Setelah itu baru membuka mulut menjawab.

“Datuk Pancido, aku datang ke sini memang bukan mencari Datuk 

Marajo Sati...”

“Astaga! Rupanya jauh panggang dari api dugaan kami!” Menyahuti 

Datuk Pancido sambil melintangkan tongkat perunggunya di atas bahu.

“Lalu gerangan apa maksud kedatangan Datuk ke tempat kami berada 

saat ini?” Niniek Panjalo yang kini ajukan pertanyaan.

Datuk Panglimo Kayo menyeringai.

“Apa kalian berdua yang jadi pimpinan rombongan ini? Aku rasa tidak.


Dua orang tua, aku hanya ingin bicara dengan orang yang kalian tuakan dan 

jadikan pemimpin. Bukan dengan kalian berdua!”

Mendengar ucapan orang dan merasa dirinya direndahkan dua kakek 

nenek itu keluarkan suara menggembor.

“Masing-masing kami semua di sini adalah pimpinan. Jadi kalau memang 

mau bicara silahkan bicara. Kalau tidak segera saja Undang hapus dari 

hadapan kami!” Kata Datuk Pancido pula. (Undang hapus: angkat kaki pergi)

“Datuk Pancido, kalau soal bicara usir mengusir bukan kau yang punya 

kuasa dan wewenang. Di Luhak Tanah Datar akulah yang jadi Datuk 

Penghulunya. Bagaimana kalau aku yang memerintahkan agar kau yang lindang 

hapus dari hadapanku karena aku tidak suka negeri ini kau jadikan tempat 

berbuat ulah sekehendakmu!”

Niniek Panjalo tertawa cekikikan. Di sebelahnya Pandeka Bumi Langit 

dari Sumanik berkata.

“Datuk Panglimo Kayo, kau bukan saja salah berucap tapi juga salah 

berbuat! Datuk pimpinanmu menculik dan memeram gadis di dalam goanya! 

Apa yang kau lakukan terhadapnya? Kau tidak berbuat apa-apa. Malah 

penduduk yang bertindak menjatuhkan hukuman!”

“Soal Datuk Marajo Sati bukan urusanmu! Kalau aku boleh berkata, 

bukankah kau juga saat ini beramai-ramai tengah menculik gadis yang sama? 

Hendak kalian bawa dan peram di mana?!”

Tiba-tiba Puti Bungo Sekuntum berteriak.

“Datuk berbaju hitam! Siapapun kau adanya mohon tolong diri saya! 

Selamatkan diri saya dari orang-orang durjana ini! Mereka... Hekk!” Teriakan 

si gadis hanya sampai di situ karena lehernya keburu ditotok oleh Ki Bonang 

Talang Ijo.

“Para sahabat! Rupanya ada yang hendak menjadi pahlawan kesiangan! 

Biar sama-sama kita lihat apa dia punya kemampuan untuk membebaskan gadis 

itu!”

Yang barusan berseru adalah Tuanku Laras Muko Balang.

Mendengar tantangan orang Datuk Panglimo Kayo jadi gusar.

“Tanah Datar adalah daerah tanggung jawab dan di bawah 

perlindunganku! Kalian semua pergi dari sini! Tinggalkan gadis itu!”

Ki Bonang Talang Ijo maju dua langkah. Blangkon hijau di atas kepala 

dibuka lalu dikipas-kipas di depan dada. Seperti diketahui belangkon kakek ini 

merupakan senjata ampuh yang bisa melumpuhkan lawan dari jarak jauh. 

Sementara itu tangan kiri dimasukkan ke dalam saku jubah di mana tersimpan 

beberapa potong dendeng babi.


“Datuk Panglimo Kayo, mohon maafkan para sahabatku kalau mereka 

bicara agak ceroboh. Kami sangat menghormati kehadiran Datuk sebagai 

pimpinan di Luhak Tanah Datar. Jika Datuk memang menginginkan gadis itu 

silahkan Datuk mengambil sendiri. Tapi kami ingin bertanya. Kalau sudah 

dapat hendak Datuk apakan gadis itu? Hendak disekap di dalam goa seperti 

yang dilakukan Datuk Marajo Sati? Setahu kami Datuk tidak punya goa 

kediaman. Lalu mau dibawa ke mana? Mungkin ke dasar Danau Maninjau? Itu 

saja yang ingin kami tanyakan... Ha... ha... ha!”

Ucapan dan tawa Ki Bonang Talang Ijo itu disambut gelak tawa pula 

oleh semua orang yang ada di tempat itu. Amarah Datuk Panglimo Kayo jadi 

naik ke kepala. Tapi dia masih bisa menahan diri.

“Orang tua, kau orang asing di sini. Bicara seenak mulut, bertindak 

sekehendak hati! Minta maaf padaku dan pergi dari sini bersama yang lain-

lain. Niscaya kalian aku biarkan pergi dengan selamat...”

Tuanku Laras Muko Balang keluarkan suara berbatuk-batuk yang 

disengaja beberapa kali lalu berkata.

“Datuk Panglimo Kayo. Kau baru menjadi pimpinan di satu nagari. Tapi 

sikapmu pongah sekali. Seolah kau sudah menjadi penguasa di muka bumi. Sri 

Baginda Raja di Pagaruyungpun tidak akan berlaku seperti dirimu!”

Ki Bonang Talang Ijo pegang bahu Tuanku Laras lalu maju beberapa 

langkah ke hadapan Datuk Panglimo Kayo. Sesaat dia berpaling dulu pada 

Tuanku Laras.

“Sahabatku Tuanku Laras, bagaimanapun juga sebagai seorang tamu di 

negeri orang aku harus menghormati sang penguasa yang jadi pimpinan. 

Biarkan aku memohon maaf atas kata-kataku yang mungkin kasar...”

Lalu Ki Bonang Talang Ijo menghadap ke arah Datuk Panglimo Kayo 

kembali. Badan sedikit dibungkukkan. Tangan yang memegang belangkon hijau 

berkembang putih diayun sambil mulutnya berucap.

“Datuk Panglimo Kayo, aku Ki Bonang Talang Ijo dari Kota Gede di 

tanah Jawa, aku mohon...”

Ki Bonang tidak teruskan ucapan. Dari pusarnya mendesir tenaga dalam 

ke arah tangan yang memegang belangkon hijau. Ketika tangan kanan itu 

diayunkan maka wuuuttt! Selarik angin luar biasa deras menyambar ke arah 

Datuk pimpinan Luhak Tanah Datar! Kalau sampai tersambar maka sekujur 

tubuh Datuk Panglimo Kayo akan menjadi lumpuh!


LIMA


SEBAGAI Datuk pimpinan di daerah atau Luhak Tanah Datar Datuk Panglimo 

Kayo tentu saja bukan orang sem-barangan. Selain merupakan orang cerdik 

pandai, seperti para Datuk lainnya dia juga membekali diri dengan ilmu agama 

sekaligus ilmu silat serta kesaktian tinggi.

Walau belum pernah berhadapan dengan Ki Bonang Talang Ijo, namun 

Datuk Panglimo Kayo sudah dapat membaca apa arti rundukan tubuh serta 

sapuan belangkon. Sebelum angin melumpuhkan menyambar dirinya Datuk ini 

cepat melompat ke arah Niniek Panjalo. Sekali menyergap nenek bertubuh 

kurus Ini sudah kena dicekal batang lehernya oleh Datuk Panglimo Kayo yang 

bertubuh tinggi besar. Si nenek lalu gemparkan ke arah Ki Bonang Talang Ijo 

yang tengah melancarkan serangan membokong.

Dua orang sama-sama berteriak kaget yaitu si nenek dan Ki Bonang 

sementara yang lain-lain terkesiap tak menyangka akan terjadi hal seperti 

itu. Begitu terkena sambaran angin yang keluar dari sapuan belangkon hijau, 

tubuh si nenek langsung lumpuh tak bisa bergerak. Hanya mulutnya saja yang 

masih mampu berteriak. Tubuh lumpuh Niniek Panjalo melesat menabrak Ki 

Bonang Talang Ijo. Dua kakek nenek ini jatuh bertindihan di tanah. Si nenek 

menyumpah-nyumpah tapi tak bisa berbuat apa-apa karena tidak mampu 

bergerak. Ki Bonang memaki panjang pendek. Dia cepat bergerak bangun. 

Namun sebelum sempat berdiri bangkit satu kaki berkasut kulit telah 

menginjak keningnya.

Si kakek dari Kuto Gede ini merasa seolah satu batu besar menindih 

kepalanya, siap untuk membuatnya remuk! Yang menginjak bukan lain adalah 

Datuk Panglimo Kayo. Semua orang hampir tidak melihat kapan Datuk 

bertubuh tinggi besar itu bergerak tahu-tahu dia sudah mampu menginjak 

kepala Ki Bonang!

“Orang gaek bernama Ki Bonang! Kau datang di negeri orang mengapa 

berani berbuat rusuh!” (orang gaek: orang tua)

“Datuk kurang ajar! Berani kau menginjak kepalaku!” teriak Ki Bonang 

Talang Ijo. Didahului satu teriakan keras dia usap sebagian wajahnya dengan 

tangan kiri sementara tangan kanan yang masih memegang blangkon hijau 

dihantamkan ke atas.

Begitu wajah diusap, seluruh kulit muka Ki Bonang Talang Ijo sampai ke 

mata dan telinga serta rambut berubah menjadi hijau pekat. Dari kepala yang 

berubah warna ini membersit keluar cahaya hijau, menjalar masuk ke kaki


kanan Datuk Panglimo Kayo membuat dia merasa seperti ditusuk ribuan jarum!

Sadar bahaya besar mengancam dirinya, sebelum kaki kanan diangkat 

Datuk Panglimo Kayo walau gerakannya agak tertahan oleh aliran cahaya hijau 

namun masih sempat menghujamkan kaki ke kepala Ki Bonang.

“Kraakk! Craass!”

Ki Bonang Talang Ijo menjerit dahsyat! Keningnya sebelah kanan 

remuk. Mata melesak terpuruk! Tapi sungguh luar biasa! Meski cidera berat 

begitu rupa dia seperti tidak merasa kesakitan malah berteriak keras.

“Datuk jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” Ki Bonang berteriak 

sambil lipat gandakan tenaga dalam ke tangan kanan yang memukulkan 

belangkon. Namun saat itu Datuk Panglimo Kayo sudah melompat ke udara. 

Bukan saja untuk selamatkan diri dari hantaman angin belangkon tapi 

sekaligus juga menghindari serangan beberapa orang lainnya yaitu Tuanku 

Laras Muko Balang, Datuk Pancido, Perwira Muda Teng Sien dan Pandeka Bumi 

Langit dari Sumanik.

Dengan pedang perak Al Kausar Tuanku Laras Muko Balang yang 

menyerbu dari arah kanan membabat ke arah dua kaki Datuik Panglimo Kayo. 

Dari jurusan kiri Perwira Muda Teng Sien sambil berteriak garang bacokkan 

golok besarnya ke arah pangkal leher. Datuk Pancido seperti kebiasaannya, 

menyerang dari belakang. Begitu melewati sosok lawan tongkat perunggu 

berkeluknya langsung dihantamkan, menderu ke arah belakang batok kepala 

Datuk Panglimo Kayo. Pandeka Bumi Langit ikut pula menyerbu dengan ilmu 

silat ganas Sitaralak.

Sementara itu walau dalam keadaan cidera parah dan muka 

bergelimang darah, mata hanya tinggal satu yang melihat, Ki Bonang Talang 

Ijo melompat ke udara setelah hantaman angin belangkonnya tidak mengenai 

sasaran. Blangkon diletakkan di atas kepala kembali lalu dua tangan dipentang 

lebar. Dari mulutnya yang kini menjadi pencong akibat matanya yang terpuruk, 

keluar suara menggerung keras. Saat itu juga sekujur tubuhnya dipijari sinar 

hijau. Di lain kejap dari tubuh itu keluar satu mahluk mengerikan berbentuk 

gurita hijau jejadian berlengan delapan! Ke delapan tangan ini menderu 

dahsyat siap menggulung melumat Datuk Panglimo Kayo.

Seumur hidup baru sekali ini Datuk Panglimo Kayo bertarung melawan 

musuh yang menyerang keroyokan. Selain itu belum pernah dia menghadapi 

tokoh-tokoh berkepandaian silat dan kesaktian tinggi seperti yang 

dihadapinya saat itu. Ketika salah satu ujung kaki celana hitamnya robek 

besar disambar pedang Al Kausar di tangan Tuanku Laras Muko


Balang, sementara dua tangan gurita sudah melibat tangan kirinya, 

Datuk Panglimo Kayo tidakmau berlaku ayal. Didahului suara bentakan keras 

sambil terus melesat ke udara dia memutar tubuh seperti titiran sambil 

berteriak.

“Rantai Pintu Halilintar!”

Di langit mendadak menggelegar suara petir dibarengi memancarnya 

cahaya dua sinar terang benderang laksana dua daun pintu terbuka.

“Rrreettttttttt”

Lalu terdengar suara bergemerincing disertai berkiblatnya sinar putih 

dingin menggidikkan menyelubungi tubuh Datuk Panglimo Kayo. Sinar ini 

berasal dari sebuah senjata sakti milik sang Datuk berupa rantai besi putih 

sepanjang lebih sepuluh tombak.

Bersamaan dengan munculnya rantai putih, Inyiek harimau kuning 

belang hitam yang sejak tadi mendekam diam tiba-tiba mengaum keras dan 

melompat memasuki kalangan pertempuran.

“Trang... trang!”

Pedang Al Kausar di tangan Tuanku Laras Muko Balang terlepas mental. 

Golok besar yang dipakai membacok oleh Perwira Muda Teng Sien patah dua. 

Sisa golok termasuk gagang mencelat menyambar kepalanya sebelah kanan 

hingga daun telinganya tersambar buntung! Teng Sien menjerit setinggi langit 

Dua tangan menekap telinga yang buntung dan mengucurkan darah. Tubuh 

berputar huyung. Untuk selamatkan diri diri dari serangan rantai besi putih 

dia cepat-cepat menjauhi kalangan pertarungan. “Crass!”

Dua tangan gurita yang melibat tangan kiri Datuk Panglimo Kayo putus 

menyemburkan darah hijau mengerikan dan menjijikkan. Di samping kiri Datuk 

Pacindo keluarkan jeritan pendek ketika kepala, punggung dan pinggangnya

hancur digebuk gulungan Rantai Pintu Halilintar. Tubuhnya terhempas ke 

tanah dalam keadaan hangus gosong!

Pandeka Bumi Langit dari Sumanik dengan menjatuhkan diri sama rata 

di tanah masih sempat selamatkan tubuh dari sambaran rantai putih.

“Ki Bonang! Lekas lemparkan barang pamungkas yang ada dalam saku 

jubahmu!”

Tuanku Laras Muko Balang berteriak. Dia sengaja tidak menyebut 

daging atau dendeng babi agar Datuk Panglimo Kayo tidak punya kesempatan 

melakukan sesuatu untuk selamatkan diri.



ENAM


MENDENGAR teriakan Tuanku Laras, Ki Bonang hentikan serangan gurita 

jeja-diannya. Gurita tangan delapan lenyap tanpa bekas. Ki Bonang cepat-

cepat masukkan tangan kiri ke dalam saku jubah hijau. Begitu keluar dari 

dalam saku, potongan-potongan daging dendeng babi yang didapatnya dari 

Perwira Muda Teng Sien_ segera dilempar ke arah Rantai Pintu Halilintar.

Melihat apa yang terjadi dan mencium bau menyengat dari benda yang 

dilemparkan ke arahnya, Datuk Panglimo Kayo berteriak kaget. Dia berusaha 

menghindar namun terlambat. Sekalipun potongan daging babi itu tidak 

mengenai Rantai Pintu Akhirat dan tubuhnya namun kekuatan pantangan 

penghancur yang dimiliki begitu luar biasa. Saat itu juga rantai yang terbuat 

dari besi putih sakti itu terputus dua di sebelah tengah. Putusan pertama 

sepanjang lima tombak menderu ke arah Inyiek harimau kuning belang hitam 

yang tengah melompat hendak menerkam Perwira Muda Teng Sien. Dengan 

cepat rantai putih ini melibat tubuh binatang sakti itu hingga mengeluarkan 

suara berkeretekan remuknya tulang belulang. Inyiek mengaum dua kali lalu 

jatuh terkapar di tanah, Di mata, hidung, mulut dan telinga mengucur darah.

“Mahluk iblis! Pulang ke rumah majikanmu!” Bentak Tuanku Laras Muko 

Balang lalu dengan kaki kanan dia tendang harimau besar hingga mencelat 

mental melewati telaga dan lenyap dari pemandangan dan kelak akan jatuh di 

halaman rumah gadang kediaman Datuk Panglimo Kayo.

Potongan rantai putih yang kedua menderu bergemerlapan ke arah 

Datuk Panglimo Kayo. Seperti yang terjadi dengan Inyiek, rantai ini dengan 

cepat menggulung sekujur tubuh sang Datuk. Terdengar kembali suara 

berkeretekan begitu tulang belulang Datuk Panglimo Kayo remuk. Sebelum 

darah mengucur keluar dari mata, hidung, mulut dan telinga, Datuk Panglimo 

Kayo masih sempat berseru menyebut nama Allah. Setelah itu pimpinan Luhak 

Tanah Datar ini tak bergerak lagi.

Walau Datuk Panglimo Kayo telah menemui ajal, namun Ki Bonang 

Talang Ijo masih ingin melampiaskan dendam amarahnya! Sekali dia 

menendang maka hancurlah kepala Datuk Panglimo Kayo sebelah kanan. Masih 

belum puas Ki Bonang kembali hendak menendang. Namun Tuanku Laras Muko 

Balang segera mencegah.

“Ki Bonang, kalau kau hancurkan seluruh mukanya, tidak lagi nanti orang 

yang bisa mengenali dirinya. Aku ingin melakukan sesuatu. Aku ingin


jangan berani bertindak ceroboh seperti yang dilakukan Datuk satu ini! 

Tetapi aku juga ingin menyesatkan jalan pikiran mereka! Biar mereka 

menuduh orang lain yang telah membunuh Datuk Panglimo Kayo!”

Dari balik pakaiannya Tuanku Laras lalu keluarkan sepotong robekan 

kain putih panjang.

Ki Bonang usap-usap mata kirinya.

“Tuanku Laras, bukankah itu potongan sorban Datuk Marajo Sati...?”

Tuanku Laras menyeringai.

“Aku gembira kau mengetahui,” kata si muka belang ini. “Aku 

mengambilnya ketika tercampakdi tanah sewaktu dia dilempari ratusan batu 

di Ngarai Sianok. Sekarang apakah yang ada di dalam benakku sama dengan 

apa yang ada di dalam otakmu, Ki Bonang?”

Setelah berkata begitu Tuanku Laras letakkan robekan sorban Datuk 

Marajo Sati di atas telapak tangan kanan Datuk Panglimo Kayo. Lalu lima jari 

tangan yang masih belum begitu kaku dikatupkan.

“Tuanku Laras,” kata Ki Bonang sambil menekap mata kanannya yang 

hancur dan berdenyut sakit “Aku memuji kecerdikanmu. Aku merasa dendam 

kesumatku sulit terbalas dengan apa yang kau lakukan. Tapi apa yang hendak 

Tuanku Laras lakukan selanjutnya?”

Sambil menyeringai Tuanku Laras Muko Balang menjawab.

“Mayatnya akan aku kirim ke rumah gadang kediamannya di 

Batusangkar. Biar gempar orang seluhak, biar geger semua manusia di tanah 

Minang ini!”

“Tuanku Laras, mengapa mau bersusah-susah! Biarkan saja mayat 

Datuk Panglimo Kayo membusuk di sini! Kalau memikir dendam kesumat 

rasanya aku lebih membenci manusia satu ini dari siapapun! Lihat apa yang 

terjadi dengan mukaku! Lihat mataku kini buta sebelah!” Habis berkata begitu 

Ki Bonang cepat-cepat ambil dua macam obat dari balik jubahnya. Satu 

berupa bubuk hitam yang segera ditebarkan di atas kening dan mata 

kanannya. Obat yang lain berbentuk butiran kecil bulat sebanyak tujuh buah 

segera hendak ditelannya. Tapi lengannya tiba-tiba dicekal oleh Tuanku Laras 

Muko Balang. Orang yang wajahnya tertutup bulu hitam putih ini lantas 

berkata dengan suara bergetar.

“Siapa saja bisa mempunyai dendam kesumat dan kebencian terhadap 

Datuk Panglimo Kayo! Tapi aku Tuanku Laras Muko Balang, dendam kesumatku 

terhadap manusia itu jauh lebih besar dari dendam orang termasuk Ki Bonang 

ditumpuk jadi satu! Kau


dengar apa yang aku katakan itu Ki Bonang?”

“Tentu saja aku dengar Tuanku Laras. Tapi terus terang aku tidak 

mengerti. Ada silang sengketa apa antara dirimu dengan Tuanku Panglimo 

Kayo?” jawab Ki Bonang Talang Ijo lalu meneruskan dengan bertanya.

“Datuk Panglimo Kayo, manusia jahanam itu! Sepuluh tahun silam dia 

membunuh ayahku demi mendapatkan kedudukan sebagai pimpinan Luhak di 

Tanah Datar!”

“Ah, kalau begitu maafkan diriku,” kata Ki Bonang pula.

Tuanku Laras lepaskan cekalannya di lengan Ki Bonang. Orang tua ini 

cepat-cepat telan tujuh butir obat yang sejak tadi telah digenggamnya.

Tuanku Laras Muko Balang sarungkan pedang sakti Al Kausar. Lalu 

senjata ini diletakkan di tanah. Ujung rantai besi putih yang melibat mayat 

Datuk Panglimo Kayo dicekal erat-erat.

“Ki Bonang, Pandeka Bumi Langit, ada satu hal yang perlu aku katakan 

pada kalian. Dan nanti harap kau beri tahu pada Perwira Teng Sien. Jika aku 

kembali, aku harap kalian dan Perwira Cina itu serta gadis di bawah pohon 

sana tetap berada di tempat ini. Jangan sekali-sekali coba melarikan diri dari 

sini, membawa gadis itu atau menipuku dengan cara keji lainnya. Jika hal itu 

terjadi maka Ki Bonang tidak akan pernah kembali ke tanah Jawa, Perwira itu 

tidak akan pernah pulang ke negerinya di Tiongkok dan Pandeka Bumi Langit 

hanya bisa pulang ke Sumanik dalam keadaan tidak bernafas lagi.”

Ki Bonang menyeringai buruk. Pandeka Bumi Langit pencongkan mulut.

“Kami tidak akan mengkhianatimu! Tapi kami tidak akan mau menunggu 

sampai berhari-hari!” Ki Bonang akhirnya keluarkan ucapan.

“Sebelum matahari tenggelam, aku sudah kembali di sini!” jawab Tuanku 

Laras lalu melangkah menyeret mayat Datuk Panglimo Kayo. Dia letakkan dua 

kaki di aas pedang Al Kausar. Setelah merapal semacam jampai-jampai orang 

bermuka belang ini lalu berseru.

“Pedang sakti aku perlu bantuanmu. Bawa aku ke Sungai Tarab!”

“Wusss!”

Pedang sakti di tanah kepulkan asap putih menyilaukan. Lalu terjadilah 

satu keajaiban. Senjata yang terbuat dari perak murni itu melesat ke udara 

mengangkat tubuh Tuanku Laras yang memegang ujung rantai putih dan 

melibat mayat Datuk Panglimo Kayo lalu menerbangkannya ke arah tenggara.

KETIKA melayang di udara mendekati Sungai Tarab, sebuah dusun 

kecil tak jauh dari Batu Sangkar dari udara Tuanku Laras melihat sebuah 

pedati tak beratap. Di sebelah depan duduk dua orang anak muda. Satu 

diantaranya adalah kusir pedati. Yang


seorang lagi asyik menyantap nasi bungkus.

“Ini yang aku perlukan...” kata Tuanku Laras lalu dengan cepat melayang 

turun, menghadang di depan pedati.

Dua anak muda yang berada di depan pedati tentu saja terkejut bukan 

alang kepalang ketika melihat ada orang bermuka aneh turun dari langit, 

melayang di atas pedang dan membawa mayat bergulung besi putih lalu 

menghadang di tengah jalan!

Pemuda tadi yang asyik menyantap nasi bungkus tercekik seperti mau 

muntah ketika melihat sosok mayat yang hancur dan bergelimang darah 

sebagian wajahnya. Pemuda yang membawa pedati dalam kejutnya segera 

menahan tali kekang. Sapi penarik pedati serta merta berhenti. Dua kaki 

depan menggurat-gurat tanah. Binatang ini agaknya juga seperti ketakutan.

“Dua anak muda, apakah kalian akan menuju ke Batu Sangkar melalui 

Sungai Tarab?”

Anak muda yang tadi menyantap nasi bungkus segera berhenti. Nasi 

bungkus lalu dilempar ke tepi jalan. Karena ngeri dan jijik melihat muka mayat 

yang hancur dia tidak sanggup lagi meneruskan makan.

“Aku bertanya apakah kalian berdua tuli?” Tuanku Laras yang tidak mau 

membuang waktu jadi marah.

Pemuda yang barusan makan mengangguk. “Kami-kami memang hendak 

ke Batu Sangkar. Tentu saja kami melewati Sungai Tarab...” Lalu pemuda ini, 

yang bernama Majo Jamin, berbisik pada teman di sebelah yang adalah 

adiknya, bernama Magek Jamin. “Magek, aden rasa-rasa kenal dengan orang 

bermuka belang ini. Aden pernah melihatnya waktu ada pertunjukan Randai di 

Payakumbuh... Bukankah dia yang dijuluki Tuanku Laras Muko Balang?” (Aden:

aku)

“Kalian tengah berbisik-bisik apa?!” Tuanku Laras membentak marah.

“Tidak... tidak apa-apa...”

“Jangan berani berdusta! Apa kalian mau aku jadikan mayat bergabung 

dengan mayat satu ini?!”

Dua pemuda jadi ketakutan setengah mati.

“Ampun Datuk... kami... tadi saya hanya memberi tahu adik saya ini 

kalau tidak salah saya menduga bukankah Datuk adalah Tuanku Laras...”

“Hemmmm... Jadi kalian kenal juga padaku? Siapa nama kalian?”

“Saya Majo Jamin. Adik saya Magek Jamin. Kami tinggal di selatan 

Sungai Tarab.”

Dari saku jubahnya Tuanku Laras keluarkan dua keping uang logam lalu


dilemparkan ke pangkuan dua kakak beradik. Setelah itu dia mengambil 

pedang yang tergeletak di tanah lalu dengan gerakan kilat melompat naik ke 

atas pedati kosong, hanya dipenuhi jerami kering.

“Kalian berdua bawa aku ke Batu Sangkar. Jangan berani membuka 

mulut kalau tidak aku tanya!”

Dalam takutnya Magek Jamin segera menjalankan pedati. Sebaliknya 

dalam takutnya Majo Jamin melompat dari pedati lalu melarikan diri. Namun 

dia lari tidak jauh. Karena begitu Tuanku Laras arahkan ujung pedang 

bersarung, selarik sinar putih menderu menghantam punggung Majo Jamin. 

Pemuda malang ini terlempar masuk ke dalam jurang sangat dalam dan 

menemui ajal di dasar jurang.

Melihat kakaknya dibunuh dan terlempar masuk ke dalam jurang Magek 

Jamin berteriak.

“Datuk...! Kau!”

Tuanku Laras tusukkan ujung sarung pedang perak ke leher kusir 

pedati.

“Kalau kau tidak ingin menyusul saudaramu ikuti perintahku. Cepat 

jalankan pedati!”

Magek Jamin menggigil ketakutan dan terpaksa mencambuk sapi 

penarik pedati. Tak berapa lama setelah melewati Sungai Tarab, Tuanku 

Laras berkata pada pemuda kusir pedati.

“Aku rasa cukup sampai di sini kau menolongku. Selanjutnya sapi 

penarik pedati ini sudah tahu jalan ke Batu Sangkar.”

Magek Jamin pemuda kusir pedati berpaling ke belakang hendak 

bertanya apa maksud Tuanku Laras. Namun begitu kepala diputar keningnya 

dihantam dengan sarung pedang perak. Tak ampun lagi pemuda ini terbanting 

ke samping dan jatuh ke jalan. Tuanku Laras melompat turun dari pedati 

sementara sapi penarik pedati terus berjalan ke arah Batu Sangkar, 

membawa mayat Datuk Panglimo Kayo yang sudah ditimbun Tuanku Laras 

Muko Balang di bawah tumpukan jerami kering. Sesekali sapi ini melenguh, 

meningkahi bunyi suara ganto yang tergantung di lehernya.


TUJUH


SEKARANG kita ikuti apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng 

setelah oleh Inyiek Susu Tigo dia dilempar ke dalam telaga penuh berisi 

buaya sementara Malin Kapuyuak tergelimpang tertelungkup di atas cabang 

pohon.

Dalam episode sebelumnya (Fitnah Berdarah Di Tanah Agam) Inyiek 

Susu Tigo yang merupakan salah seorang tokoh utama memiliki kesaktian 

tinggi telah lebih dulu didatangi oleh Ki Bonang Talang Ijo, Tuanku Laras, 

Perwira Teng Sien, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Datuk Pancido dan

NiniekPanjalov.

Ki Bonang dan kawan-kawan mengarang cerita melancarkan fitnah kalau

salah seorang murid Inyiek Susu Tigo yaitu Si Kamba Pesek Tangan Manjulai 

telah dibunuh oleh Pendekar 212 Wiro Sableng dan sebelum dibunuh lebih

dulu diperkosa. Tidak heran kalau ketika Wiro, Denok Tuba Biru dan Malin

Kapuyuak datang untuk mencari Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai, Inyiek 

Susu Tigo marah besar walau murid Sinto Gandeng bersumpah bahwa dia 

tidak membunuh murid sang Inyiek. Wiro dilempar ke dalam telaga yang 

ditunggui puluhan buaya besar peliharaan guru Si Kamba Pesek dan Si Kamba 

Mancuang. Di dalam telaga tubuh Wiro secara aneh mengambang 

tertelentang. Namun dia sama sekali tidak bisa menggerakkan tangan atau 

kaki. Hanya leher dan sepasang bola mata yang masih mampu diputar sedikit 

ke kiri atau ke kanan. Air telaga terasa membeku dingin bukan kepalang 

hingga geraham Wiro bergemeletakan menahan gigilan. Dia coba mengerahkan 

hawa panas sakti tapi tidak berhasil. Sedikit demi sedikit dia merasa sekujur 

tubuhnya menjadi kaku. Lidah juga mulai terasa kelu.

“Manusia bersusu tiga itu mengatakan besok begitu matahari terbit 

buaya-buaya jahanam itu akan menyantap diriku. Celakai Apa yang harus aku 

lakukan?! Rasanya aku mau berteriak minta tolong. Tapi lidahku sudah kelu. 

Jangankan berteriak, bersuarapun aku tidak bisa. Kalaupun aku mampu 

berteriak, mending kalau ada mahluk yang datang menolong sekalipun setan. 

Bagaimana kalau buaya-buaya itu yang tersentak lalu tidak menunggu sampai 

matahari terbit tapi langsung menyantap diriku sekarang juga? Oala!”

Wiro menatap ke langit di atasnya. Malah masih belum mencapai 

pertengahan. Berarti masih cukup

banyak waktu untuk memutar akal mencari selamat.


“Dasar nasib sial celaka! Ada ada saja urusan di negeri orang ini. Aku 

sudah enak-enak di tanah Jawa. Datuk Rao memanggilku. Urusan belum 

selesai, malah belum ketahuan apa yang harus aku lakukan. Sekarang...” Ingat 

pada Datuk Rao Basaluang Ameh, Wiro ingat pula pada Datuk Rao Bamato 

Hijau yaitu harimau sakti putih bermata hijau peliharaan sang Datuk. “Ah, 

sahabatku itu pasti bisa menolong.” Murid Sinto Gendeng pejamkan mata. 

Bibir bergerak. Mulut berucap walau suaranya tidak keluar.

“Datuk Rao Bamato Hijau, sahabatku. Datanglah cepat. Aku butuh 

pertolonganmu. Keluarkan aku dari telaga celaka ini. Datuk Rao Bamato 

Hijau...”

Wiro berucap berulang kali tidak putus-putus. Tapi sampai suaranya 

hilang tak mampu lagi keluar dari tenggorokan Datuk Rao Bamato Hijau tidak 

kunjung muncul. Biasanya kalau dipanggil seperti itu, dalam waktu beberapa 

kejapan mata saja harimau putih sakti itu akan segera menampakkan diri.

“Heran, apa yang terjadi? Mengapa Datuk Rao Bamato Hijau tidak 

datang? Apakah sedang ada urusan di tempat jauh dengan Datuk Rao 

Basaluang Ameh...” Wiro jadi tak habis pikir.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan harimau putih sakti itu? Seperti 

yang diceritakan dan diakui oleh Denok Tuba Biru kepada Wiro, dia berhasil 

diam-diam ikut ke tanah Minang dengan bergantungan di bagian bawah tubuh 

harimau putih yang membawa Wiro untuk menemui Datuk Rao Basaluang 

Ameh. Wiro tidak mengetahui keberadaan gadis gemuk bermuka biru belang 

kuning karena Denok Tuba Biru mengerahkan ilmu kesaktian bernama Bayang 

Bayang Angin.

Walau Pendekar 212 tidak mengetahui si gadis gembrot itu ikut 

bersamanya, tapi harimau sakti Datuk Rao Bamato Hijau tentu saja tidak bisa 

ditipu. Dia tahu tubuhnya digelayuti gadis itu. Lalu mengapa binatang sakti ini 

diam saja? Tidak lain karena Denok Tuba Biru punya akal dan cara manjur 

untuk menggereng-gereng halus kedap-kedipkan sepasang mata yang hijau. 

Sepanjang perjalanan Denok Tuba Biru tiada hentinya mengusap-usap dan 

meniup-niup “Burung” Datuk Rao Bamato Hijau hingga harimau putih ini 

menjadi diam dan jinak dalam kenikmatannya.

Seumur hidup jadi peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh, harimau 

putih itu belum pernah merasakan kenikmatan seperti yang dialaminya. 

Selama beberapa hari dia mendekam di dalam alamnya namun lama-lama tidak 

tahan juga. Ingatannya tidak bisa lenyap dari gadis gemuk Denok Tuba Biru. 

Akhirnya harimau putih ini keluar dari alam gaib pergi mencari gadis 

bertangan ampuh yang bisa memberi kenikmatan itu. Ketika Wiro memanggil


manggilnya Datuk Rao Bamato Hijau tengah melayang di atas Danau Maninjau. 

Binatang sakti ini telah dapat mencium bau tubuh Denok Tuba Biru dan tahu 

kira-kira ke arah mana dia harus mencari gadis itu. Walau dia mendengar 

ngiangan suara Wiro di kedua telinganya namun dia tidak mengacuhkan. Yang 

lebih penting baginya saat itu adalah menemui Denok Tuba Biru sang 

pengusap.

DI DALAM rumah di tengah telaga kini perhatian Inyiek Susu Tigo 

tertuju pada Denok Tuba Biru, gadis gemuk berwajah biru bergaris-garis 

kuning. Agaknya dia akan segera menjadi korban kemarahan Inyiek Susu Tigo 

berikutnya. Malin Kapuyuak yang mengetahui hal ini segera membisikkan pada 

Denok Tuba Biru agar cepat-cepat menghisap tiga puting susu si Inyiek. 

Menurut Malin Kapuyuak, dengan cara begitu maka sebagian ilmu kesaktian 

Inyiek Susu Tigo akan pindah ke dalam diri Denok Tuba Biru. Selain itu dia 

akan diangkat jadi murid.

Dalam keadaan terdesak Denok Tuba Biru ikuti saja apa yang dikatakan 

Malin Kapuyuak. Dengan gerakan cepat dia berhasil menghisap tiga puting 

susu Inyiek Susu Tigo. Tapi apa yang terjadi?

Bukan ilmu kesaktian yang didapat Denok Tuba Biru. Ternyata Inyiek 

Susu Tigo mempunyai kaul yaitu siapa saja perempuan yang bisa menghisap 

ketiga puting susunya maka akan dijadikan sebagai istri!

Ketika hal itu diucapkan Inyiek Susu Tigo dengan suara keras dan 

girang, kejut Denok Tuba Biru bukan alang kepalang. Dalam marahnya karena 

merasa ditipu gadis gemuk ini jotos muka Malin Kapuyuak hingga bibir dan 

hidungnya mengucurkan darah. Kaiau tidak ditolong oleh Inyiek Susu Tigo 

mungkin pemuda ini bisa babak belur. Oleh sang Inyiek Malin Kapuyuak yang 

tadinya juga hendak dihajar hanya dilempar hingga jatuh terpentang di 

cabang pohon. Mungkin Inyiek Susu Tigo merasa pemuda yang punya kesukaan 

mengintai anak gadis orang mandi di pancuran itu telah membantunya 

mendapatkan seorang calon istri!

Dengan susah payah Denok Tuba Biru berhasil keluar dari dalam 

pondok di tengah telaga lalu melarikan diri. Inyiek Susu Tigo yang konon 

sudah belasan tahun menunggu datangnya sang calon istri tentu saja tidak 

mau kehilangan Denok Tuba Biru. Dia segera menghambur keluar pondok 

mengejar gadis gemuk berbulu ketiak lebat itu! Selain kaulnya, mungkin pula 

Inyiek Susu Tigo memang suka pada sosok tubuh Denok Tuba Biru yang gemuk 

buntal ditambah bulu ketiak yang lebat tersembul!

Ketika Inyiek Susu Tigo melayang di atas telaga muncul seorang 

perempuan sambil berseru agar Inyiek Susu Tigo jangan pergi dulu karena


ada yang hendak disampaikannya. Tapi Inyiek Susu Tigo yang tidak mau 

kehilangan Denok Tuba Biru tidak perdulikan seruan orang, padahal yang 

datang itu adalah Si Kamba Mancuang, muridnya yang merupakan saudara 

kembar Si Kamba Pesek yang telah dibunuh Ki Bonang dan kawan-kawannya. 

Tapi kejahatan itu difitnahkan pada Wiro sebagai pelakunya.

***


DELAPAN


UNTUK beberapa lamanya Si Kamba Mancuang berdiri di langkan rumah kayu. 

Dia merasa heran Inyiek tidak mengacuhkan dirinya.

“Apa dia tidak melihat, apa telinganya tidak mendengar suara seman 

denai? Ada urusan apa Inyiek gerangan? Lalu pemuda yang dalam bahaya itu, 

di mana dia berada?”

Si Kamba Mancuang dalam pikiran yang agak bingung tidak melihat 

kalau Wiro mengambang di permukaan telaga yang memang gelap. Namun dia 

dapat menyaksikan puluhan buaya yang biasanya berada di dalam telaga saat 

itu mendekam di seputar tepi telaga.

“Buaya-buaya peliharaan Inyiek itu. Mereka menunggu datangnya saat 

bersantap...” Si nenek membatin. Rupanya dia sudah tahu. Jika pada malam 

hari puluhan buaya tidak berada di dalam telaga, berarti besoknya akan ada 

manusia yang jadi santapan.

“Siapa korban kali ini?” pikir Si Kamba Mancuang. Dia kembali 

memperhatikan ke arah telaga. Namun belum sempat melihat sosok Wiro yang 

mengambang si nenek tiba-tiba seperti mendengar suara orang.

“Ada orang mengerang. Tapi sambil bercarut marut... Di arah pohon 

besar sana...”

Tidak menunggu lebih lama, Si Kamba Mancuang segera melesat di 

permukaan telaga lalu melompat ke atas pohon besar. Berdiri di cabang 

sebelah bawah cabang di mana Malin Kapuyuak tertelentang melintang.

“Aneh, tadi ada suara mengerang. Sekarang mengapa sunyi?!” pikir si 

nenek.

Tiba-tiba dia merasa ada tetesan air jatuh dari atas membasahi 

bahunya. Tetesan air diusap.

“Hari tidak hujan, embun belum turun secepat ini. Air apa ini? Mengapa 

terasa hangat?”

Si nenek dekatkan jari-jari tangannya yang mengusap air ke hidung. 

Langsung dia berteriak marah.

“Kurang ajar! Air kajambanl” (Air kajamban: air kencing)

Dalam marahnya Si Kamba Mancuang mendongak ke atas. Baru dia 

melihat sosok tubuh Malin Kapuyuak.

“Mahluk jahanam! Siapa kau? Orang apa hantu?! Mengapa di atas pohon! 

Kau mengencingi aku! Akan aku remas barangmu sampai hancur! Kurangajar 

sekali!”


Di cabang pohon sebelah atas terdengar suara mengerang disusul suara 

ucapan tersendat-sendat

“Nek... aku Malin Kapu... yuak. Kalau kau tidak segera menolong, perutku 

akan pecah. Isi perutku akan tumpah. Kau bukan hanya ketetesan air 

kencingku tapi juga akan kejatuhan langekkul” (langek: kotoran)

Dengan geram Si Kamba Mancuang melesat ke cabang pohon di sebelah 

atas. Kuduk baju Malin Kapuyuak dicekal lalu pemuda itu dibawa melayang 

turun. Sampai di tanah Malin Kapuyuak dilempar ke bawah pohon.

“Malin Kapuyuak! Di mana-mana kau selalu berbuat yang tidak 

menyenangkan orang! Kalau bukan kau sudah keremas hancur barangmu! Apa 

yang terjadi dengan dirimu? Mengapa berada di sini! Mana sahabatmu pemuda 

Jawa berambut panjang seperti perempuan itu?!”

Malin Kapuyuak duduk bersandar di batang pohon sambil memegangi 

perutnya yang sakit Dada turun naik, nafas tersengal. Dalam hati dia berkata, 

“Ala mak, si Uda itu rupanya yang membuat bingung dan mengesalkan hati 

nenek ini.” Lalu pada Si Kamba Mancuang dia berkata.

“Bertanya satu-satu Nek. Jangan menyembur seperti Kudo taciriekl” 

(kudo taciriek: kuda berak)

“Plaak!” Si nenek tampar pipi Malin Kapuyuak.

“Dengar, aku sedang marah! Saudara kembarku mati dibunuh orang. 

Guruku tidak mengacuhkan diriku! Kau bukan saja telah berlaku kurang ajar 

mengencingiku, tapi sengaja berlambat-lambat menjawab pertanyaanku!”

“Sabar Nek, akan aku jawab... akan aku terangkan padamu...” Malin 

Kapuyuak usap pipinya yang masih terasa sakit dan panas akibat tamparan si 

nenek. “Aku berada di atas pohon bukan mauku! Aku dilempar Inyiek Susu 

Tigo, gurumu...”

“Guruku memang aneh! Tapi dia tidak mau menghajar orang sesukanya. 

Kau pasti punya salah! Pasti berlaku kurang ajar!”

“Tidak, maksudnya baik. Dia hendak menolongku dari gebukan seorang 

gapuakyang hendak dijadikan istrinya sesuai kaulannya. Tadinya... aku tidak 

tahu kalau gurumu punya kaulan seperti itu! Aku terlanjur...” (gapuak: gemuk)

Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tersentak kaget. Dia cepat 

memotong ucapan Malin Kapuyuak.

“Apa Inyiek... maksudmu gadis gemuk itu telah menghisap tiga susu 

Inyiek?” Rupanya sang murid tahu juga riwayat kaulan Inyiek Susu Tigo.

“Benarsekali... “jawabMalin Kapuyuak. “Karena tidak menyangka dan 

juga ketakutan setengah mati gadis gemuk itu melarikan diri. Sekarang 

gurumu pasti tengah mengejarnya Nek.


Si nenek geleng-geleng kepala, mulut yang bergigi dilapisi perak 

berkomat-kamit entah mau mengatakan apa. Dua tangan yang panjang hampir 

menyentuh tanah dikepalkan berulang kali. Lalu dia berucap, “Kau belum 

memberi tahu di mana pemuda Jawa bernama Wiro itu! Aku harus segera 

menemuinya. Ada orang hendak berbuat jahat terhadapnya. Mau 

membunuhnya!”

“Kami sudah tahu Nek...” kata Malin Kapuyuak pula.

“Apa maksudmu kami sudah tahu?!”

“Orang-orang itu adalah kakek Jawa berjubah hijau dan lima kawannya. 

Tadi mereka menemui Inyiek. Memfitnah bahwa sahabatku itu telah 

memperkosa dan membunuh saudaramu si nenek pesek...”

“Kurang ajar! Justru aku ke sini mau memberi tahu Inyiek. Tapi dia 

lebih suka mengejar calon istrinya itu daripada bicara sebentar dengan denai! 

Hai! Sahabatmu itu! Di mana dia?!”

Malin Kapuyuak monyongkan bibir sambil tangan kanan menunjuk ke 

arah telaga.

“Di dalam telaga sana. Kata Inyiek besok begitu matahari terbit dia 

akan segera menjadi mangsa puluhan buaya itu...”

“Astaga!” Si nenek terkejut dan cepat-cepat berpaling ke arah telaga. 

Mata dibuka lebar-lebar. Kali ini baru dia dapat melihat tutyuh Wiro yang 

terlentang mengapung di permukaan air telaga. “Ya Tuhan rupanya dia yang 

akan jadi korban pembantaian buaya peliharaan Inyiek!”

“Nek, kalau kau memang sayang pada Uda sahabatku itu, kau harus 

menolongnya!”

Si Kamba Mancuang tersentak kaget mendengar ucapan Malin 

Kapuyuak.

“Pemuda kurang ajar! Kau ini bicara apa?!” membentak Si Kamba 

Mancuang.

Malin Kapuyuak tertawa.

“Lantas kalau kau tidak sayang padaku, apa kau tidak mau 

menolongnya?”

Si nenek bantingkan kaki ke tanah.

“Aku bukan tidak mau menolong! Tapi aku tidak mampu! Kau lihat

puluhan buaya itu? Jika ada yang mendekati tubuh sahabatmu, sekalipun aku 

murid Inyiek, buaya-buaya itu akan lebih dulu membantai orang yang mau 

menolong itu!”

“Kalau begitu kau bunuh saja semua buaya itu!”

“Dasar Kapuyuak! Bicara seenak perutmu sendiri!” maki Si Kamba


Mancuang.

“Kita harus mencari akal Nek. Sahabatku si Uda pandeka itu harus 

ditolong.”

“Kalau berhadapan dengan Inyiek Susu Tigo tidak ada yang namanya 

akal tapi kenyataan! Karena kalau kita punya satu akal dia punya seribu akal!”

“Tapi saat ini dia tidak ada di sini...”

“Kau tidak percaya pada ucapanku? Mari aku buktikan!”

Si Kamba Mancuang cekal leher baju Malin Kapuyuak lalu sambil 

membembeng pemuda ini ia melompat ke tepi telaga. Saat itu juga terdengar 

suara bergemuruh. Puluhan buaya bergerak cepat ke arah mereka. Malin 

Kapuyuak menjerit ketakutan. Si nenek melesat menjauhi telaga, kembali ke 

bawah pohon besar.

“Sekarang baru kau percayai” kata Si Kamba Mancuang pula. “Dan 

bukan puluhan buaya itu saja yang jadi ancaman! Tubuh sahabatmu yang 

terapung di atas permukaan air telaga itu walaupun bisa didekati dan disentuh 

tapi tidak bisa dikeluarkan dari dalam air telaga. Inyiek telah merekat 

pemuda itu dengan ilmu Merekat Raga Menahan Jiwal”

“Onde Mak, cilako benar nasib sahabatku,” ucap Malin Kapuyuak.

“Satu-satunya cara menyelamatkan pemuda itu adalah mencari dan 

menemui Inyiek Susu Tigo, minta pengampunan padanya agar dia mau 

melepaskan sahabatmu itu.”

“Kalau memang tak ada jalan lain biar aku pergi mencari Inyiek. Pemuda 

Jawa itu pernah menyelamatkan jiwaku. Sekarang giliranku menyelamatkan 

jiwanya, kalau aku mampu. Tapi aku mau mencari ke mana? Lalu apa aku bisa 

menemuinya sebelum matahari terbit? Kalau bertemu apa Inyiek mau 

membantu?” Malin Kapuyuak nampak bingung sendiri dan cemas.

Lama si nenek terdiam merenung. Akhirnya dia berkata.

“Mungkin hanya ada dua orang yang mampu menyelamatkan pemuda itu.”

“Siapa mereka Nek?”

“Yang pertama perempuan yang hendak dijadikan istri oleh Inyiek. 

Karena kalau dia memang menginginkan gadis itu, apapun pinta si gadis pasti 

akan dituruti.”

“Satunya lagi siapa?” tanya Malin Kapuyuak.

“Inyiek Batino. Ratu sekalian Harimau Betina Tujuh Gunung Bertuah.”

Malin Kapuyuak ingat bagaimana dia dua kali gagal ketika mencoba 

menjual nama Inyiek Batino untuk menakuti Ki Bonang dan kawan-kawan serta 

Inyiek Susu Tigo. Terbungkuk-bungkuk karena perutnya masih sakit akibat 

terlalu lama tertelungkup melintang di cabang pohon, pemuda ini berusaha


sendiri.

“Nek, kita harus segera mencari salah seorang dari mereka...

“Inyiek Batino kurasa yang paling ampuh. Karena setahuku guruku 

sangat segan pada perempuan sakti berwajah harimau itu. Tapi...”

“Jangan terlalu banyak tapi Nek!” Malin Kapuyuak sudah tidak sabaran.

“Inyiek Batino tidak diketahui berada di gunung yang mana saat ini. 

Kita tidak mungkin mencari di tujuh gunung...”

“Nek, kalau kau bicara begitu sama saja dengan takantuikl” (takantuik: 

terkentut Di sini maksudnya sama saja dengan bohong)

“Mencari gadis gendut calon istri Inyiek itu rasanya lebih mungkin. 

Kalau kita berhasil menemuinya mungkin Inyiek juga ada di situ.”

“Kalau begitu kita cari sekarang juga.” Malin Kapuyuak menatap ke 

langit. “Menurutku saat ini sudah di pertengahan malam. Waktu kita tidak 

banyak sampai matahari terbit.”

“Aku tahu. Ada satu cara yang bisa membantu agar kita bisa menemui 

gadis itu. Jika Inyiek memang sudah memilihnya untuk dijadikan istri maka 

sebagian hawa di dalam tubuh Inyiek sudah berpindah ke dalam tubuhnya. 

Membaui hawa di tubuh si gadis lebih mudah daripada membaui hawa yang ada 

di tubuh Inyiek.”

“Sudah! Jangan bicara saja! Kita pergi sekarang Nek!”.“Tunggu dulu. 

Masih ada satu hal lagi yang harus dilakukan,” kata Si Kamba Mancuang. 

“Hawa di dalam tubuh si gadis berasal dari kesaktian Inyiek Susu Tigo. Kita 

bisa mengetahui keberadaan gadis itu kalau kita menjalani salah satu 

kebiasan Inyiek. Yang paling ampuh ialah meniru cara dia sering berdiri. Kaki 

ke atas kepala ke bawah. Aku tidak mungkin berjalan apa lagi berlari dengan 

cara itu. Berarti kau yang melakukan.”

“Kau ini ada-ada saja Nekl Mana mungkin aku melakukan hal itu.”

“Aku akan mendukungmu, kakimu kau silangkan di atas bahu dan 

leherku, kepalamu di sebelah bawah. Tapi aku mendukungmu di sebelah 

belakang...”

“Berarti mukaku akan menghadap dan menempel di lancirikmu Nek! Kau 

bisa enak-enak kegelian. Tapi aku! Hidungku bisa tanggal!” (Iancihk: pantat)

“Pemuda kurang ajar! Itulah kalau terlalu sering mengintip perempuan 

mandi. Kalau punggungmu yang beradu dengan punggungku mana mungkin 

mukamu malakok di pantatku!” {malakok s menempel) Kini si nenek yang jadi 

kesal. Lalu sekali dia bergerak tubuh Malin Kapuyuak dipentangnya kaki ke 

atas kepala ke bawah. Kaki kedua nenek ini bergerak pemuda itu sudah 

berada di belakang punggungnya. Sambil mencekal dua kaki Malin Kapuyuak Si


Kamba Mancuang dengan cepat berkelebat tinggalkan tempat itu. Sambil lari 

dia menghirup udara berulang kali untuk menjajagi hawa Inyiek Susu Tigo 

yang ada di dalam tubuh Denok Tuba Biru. Dengan cara itu dia mampu 

mengetahui arah mana yang harus dituju. Apa lagi tadi dia sempat 

memperhatikan ke arah mana sang guru melesat dalam mengejar gadis gemuk 

itu.

“Nek, jangan kencang-kencang larinya. Kepalaku pusing! Aku bisa 

muntah!” berteriak Malin Kapuyuak. “Hueekkkl”



SEMBILAN


TUBUH gemuk tinggi Inyiek Susu Tigo mengeluarkan suara angin menderu. 

Rambut dan janggut berkibar-kibar. Sekian lama dia mengerahkan ilmu 

kesaktian untuk berlari cepat, tokoh silat utama di tanah Minang ini jadi 

heran. Dia hentikan lari sesaat lalu tinggikan kepala, mengendus udara 

berulangkah.

“Aneh, dari tadi aku sudah mencium baunya. Tapi mengapa masih tidak 

melihat ujudnya? Istriku... ilmu apa yang kau miliki hingga tega-teganya 

menghilang dari pandangan mataku?”

Saat itu seperti yang diperkirakan Inyiek Susu Tigo, Denok Tuba Biru 

yang tengah dikejar memang telah berada cukup dekat hanya sekitar dua

tombak di sebelah depan. Namun karena gadis gemuk ini menerapkan Ilmu 

Bayang Bayang Angin maka Inyiek Susu Tigo tidak mampu melihatnya. Denok 

Tuba Biru walau mampu melenyapkan diri tidak kelihatan namun tetap merasa 

khawatir karena jarak dia dengan orang yang mengejar hanya terpaut dua 

sampai tiga tombak saja.

Inyiek Susu Tigo akhirnya hentikan lari. Mengusap dagu yang ditumbuhi 

janggut hitam lebat sambil berpikir-pikir.

“Orang Jawa ilmu kesaktiannya memang tinggi dan hebat-hebat Aku 

mau lihat apa dia bisa menangkal ilmuku yang satu ini.”

Habis berkata begitu Inyiek Susu Tigo berjongkok di tanah. Mulut 

komat kamit merapal satu ajian sambil tangan membuka ikatan kain hitam 

yang tergulung di kepala. Gulungan kain menyerupai sorban itu digelar 

memanjang di atas tanah. Sambil mata dipejamkan Inyiek Susu Tigo 

membentak.

“Pergi!”

“Bukk!”

Inyiek Susu Tigo pukulkan telapak tangan kanan ke tanah. Kejapan itu 

juga gulungan kain hitam bergerak seperti ular mengangkat kepala. Disertai 

suara mendesir gulungan kain hitam melesat ke depan dalam kegelapan malam.

Di depan sana, sejarak sekitar dua puluh tombak tiba-tiba terdengar 

pekik perempuan. Itu adalah suara pekik Denok Tuba Biru. Tubuhnya yang 

gemuk hampir jatuh tersungkur kalau dia tidak cepat mengimbangi diri. 

Memandang ke bawah dia melihat satu kain hitam panjang telah melibat 

kedua kakinya mulai dari mata kaki sampai ke betis. Serangan ilmu yang 

dilancarkan Inyiek Susu Tigo telah mengen


“Kurang ajar! Benda jahanam apa yang menjirat kakiku! Aku tidak bisa 

melangkah!”

Denok Tuba Biru membungkuk, berusaha membuka dan memutus 

gulungan kain hitam. Tapi pinggangnya seperti kaku. Dia tidak mampu 

membungkuk hingga dua tangannya tidak sampai menyentuh kain hitam.

Gadis gemuk ini tidak kehabisan akal. Dia membuat gerakan hendak 

menjatuhkan diri ke tanah. Tapi astaga! Dua telapak kakinya seperti dipaku 

lengket ke tanah. Jangankan diangkat, digeser sajapun tidak bisa! Sadar 

kalau ada orang telah mengerjai dirinya Denok Tuba Biru kerahkan tenaga 

dalam dan hawa panas. Dialirkan pada dua kaki. Dia bertiarap sekali dua kaki 

disentakkan maka kain hitam yang mengikat akan robek dan putus. Namun 

sampai napas tersengal dan seluruh tubuh bergetar libatan kain hitam tidak 

bisa diputus atau dirobek. Malah kedua kakinya terasa sakit sekali seperti 

dicucuk ratusan jarum!

Tiba-tiba dia mendengar suara menderu, tanah bergetar. Berpaling ke 

kiri Denok Tuba Biru tersentak kaget Darah mendesir. Mahluk gemuk tinggi 

bernama Inyiek Susu Tigo itu kini berada di samping kirinya. Hanya sejarak 

dua langkah!

Walau berada sedekat itu namun Inyiek Susu Tigo masih belum melihat 

Denok Tuba Biru. Gadis gemuk ini maklum cepat atau lambat orang itu pasti 

akan melihat ujud atau mengetahui keberadaannya. Saat itu dia melihat 

Inyiek Susu Tigo berdiri dengan mendongakkan kepala ke langit gelap. Tangan 

kiri mengusap-usap dada berbulu. Denok Tuba Biru merinding sewaktu 

mendengar orang ini berucap.

“Istriku, aku mencium semerbak bau tubuhmu. Mengapa kau masih 

tidak mau memperlihatkan diri? Mengapa tega menggunakan ilmu untuk 

sembunyi? Aku tahu kau ada di dekat sini. Dekat sekali. Aku ingin melihatmu. 

Aku ingin menyentuhmu. Wahai istriku, perlihatkan dirimu...”

“Istriku...? Celaka!” ucap Denok Tuba Biru dalam hati.

Inyiek Susu Tigo maju dua langkah ke depan sambil dua tangan 

diulurkan lalu disapukan kian kemari seperti berusaha menyentuh sesuatu. 

Tapi dia hanya menyapu udara kosong. Dia mundur ke tempat semula lalu 

bergerak ke kanan dua langkah. Tangan kembali disapukan. Tetap saja dia 

tidak menyentuh apa-apa. Kembali lelaki gemuk tinggi ini mundur dan kini 

bergerak dua langkah ke kiri. Saat itu juga tubuhnya serta merta beradu 

dengan tubuh Denok Tuba Biru!

Inyiek Susu Tigo berseru gembira. Dengan cepat dua tangannya 

digelungkan ke depan. Sesaat lagi dia akan berhasil merangkul tubuh gemuk


Denok Tuba Biru tiba-tiba bukkk!

Satu jotosan keras yang dilepaskan Denok Tuba Biru melanda telak 

dada berbulu Inyiek Susu Tigo hingga si gemuk besar ini terpental beberapa 

langkah dan jatuh terjengkang di tanah. Dari mulutnya keluar suara 

mengerang sementara wajah mengelam menahan sakit. Dalam hati dia 

berkata.

“Seumur hidup baru kali ini aku dihantam pukulan sehebat ini. Dadaku 

terasa remuk. Tulang-tulang seperti melesak ke dalam... Ada hawa aneh dalam 

tubuhku!”

Inyiek Susu Tigo buka mulutnya lebar-lebar Kerahkan hawa sakti di 

dalam tubuh. Saat itu juga dari mulut, hidung dan telinga menyembur keluar 

asap lembab berwarna kebiru-biruan.

“Racun jahat...” ucap Inyiek Susu Tigo dalam hati. Wajah berubah

merah menahan amarah. Sementara DenokTuba Biru terkesiap dan membatin.

“Orang lain jika terkena pukulanku tadi paling tidak pasti muntah 

darah! Mahluk satu ini hanya mengerang kesakitan. Dia mampu mengeluarkan 

racun pukulan! Sungguh luar biasa!”

Masih dalam keadaan terduduk di tanah wajah gelap Inyiek Susu Tigo 

menatap garang ke depan, ke arah mana dipastikannya Denok Tuba Biru 

berada. Dari mulutnya keluar suara menggembor marah.

“Aku bermaksud baik! Tapi kalau orang membalas dengan kekerasan 

maka apapun akan aku lakukan! Kalau aku harus mati maka calon istriku juga 

harus mampus!”

Habis berkata begitu Inyiek Susu Tigo yang sudah dapat mengira-ngira 

di mana saat itu berdirinya Denok Tuba Biru bergerak bangun lalu melompat 

ke depan. Sekali menyergap dia berhasil merangkul tubuh gemuk si gadis yang 

dua kakinya tidak mampu digerakkan itu. Sebaliknya yang dirangkul berusaha 

melepaskan diri sambil hantamkan pukulan-pukulan keras. Dihujani pukulan 

bertubi-tubi Inyiek Susu Tigo menangkis dengan sebat. Namun karena dia 

tidak melihat lawan dan datangnya serangan maka beberapa pukulan berhasil 

mendarat di wajah dan dadanya. Untung saja kedua kaki Denok Tuba Biru 

masih dalam keadaan terikat dan tak bisa bergerak. Kalau tidak pasti Inyiek 

Susu Tigo akan babak belur karena sampai saat itu walau marah tapi anehhya 

dia tidak berusaha balas menyerang. Dua tangannya tampak bilur-bilur merah 

biru dan agak membengkak akibat menangkis pukulan lawan yang tidak 

kelihatan.

Jika ada orang lain yang melihat kejadian itu maka akan merasa aneh 

dan mengira Inyiek Susu Tigo seorang gila atau tengah kemasukan setan


mencak-mencak seorang diri.

“Manusia pengecutl Lepaskan kakiku yang kau jerati” berteriak Denok 

Tuba Biru.

“Kau juga pengecutl Kalau berani perlihatkan dirimu!” balas berteriak 

Inyiek Susu Tigo.

“Maumu akan aku layani! Tapi awas kalau kau tidak melepaskan jiratan 

kain hitam! Jangan berani berlaku culas!” Denok Tuba Biru balas berteriak. 

Lalu sekali dia merapal mantera maka saat itu juga ujudnya terlihat kembali.

Melihat sosok nyata si gadis bertubuh gembrot bermuka biru itu 

Inyiek Susu Tigo terperangah dan berseru lega penuh gembira.

“Kutemui juga kau akhirnyal Aku mohon, aku minta kau ikut aku ke 

rumah di telaga. Kita bicara soal hari baik hari perkawinan kita...”

DenokTuba Biru mencibir.

“Walau aku jelek begini, mana sudi aku kawin denganmu!” jawab Denok 

Tuba Biru. Lalu dia membentak. “Kau belum melepaskan jiratan kain hitam!”

Inyiek Susu Tigo geserkan kaki kanannya ke tanah. “Kain hitam 

kembalilah!” Serangkum angin menderu ke arah dua kaki Denok Tuba Biru. 

“Rerrrtttt!”

Saat itu juga kain hitam panjang yang melihat sepasang kaki 

DenokTuba Biru bergerak berputar lalu melesat di udara dan menggulung di 

atas kepala Inyiek Susu Tigo. Bersamaan dengan itu Denok Tuba Biru bisa 

menggerakkan kedua kakinya. Sambil bertolak pinggang dan pentang wajah 

garang gadis itu berkata.

“Aku akan pergi dari sini. Jangan berani mengikuti I”

Inyiek Susu Tigo kedap-kedipkan mata, tersenyum dan basahi bibir 

dengan ujung lidah. Cara berdiri si gadis ini membuat dadanya yang besar jadi 

tambah membusung sementara ketiak tersibak memperlihatkan bulu yang 

lebat. Sang Inyiek jadi blingsatan.

“Kau sudah ditakdirkan jadi istriku. Ke manapun kau pergi aku akan 

mengikuti. Kita hidup berdua atau mati bersama!” jawab Inyiek Susu Tigo.

“Gila!” teriak Denok Tuba Biru lalu saling kesalnya dia tertawa gelak-

gelak. Melihat hal ini Inyiek Susu Tigo juga ikutan tertawa. Dua sosok yang 

sama-sama gendut gembrot itu tampak terguncang-guncang!

“Istriku, ikut aku sekarang juga ke pondok di telaga. Aku punya 

beberapa perangkat pakaian yang bagus. Jika kau berpakaian cara perempuan 

di sini kau pasti sangat cantik. Mengapa paha yang putih, dada yang besar 

serta bulu ketiak yang rimbun dipertontonkan pada semua orang. Itu semua 

nanti akan jadi milikku. Dan hanya aku seorang yang boleh melihat dan


membelai!”

“Kurang ajar! Tidak tahu diri! Benar-benar tidak tahu diuntung!” teriak 

Denok Tuba Biru sambil banting kaki. Didahului pekik kemarahan gadis gemuk 

ini tusukkan dua jari tangan kanan ke depan. Dua larik cahaya biru yang 

mengandung racun jahat menyambar ke arah dada Inyiek Susu Tigo. Inilah 

ilmu serangan yang disebut Dua Jari Penyebar Racun Akhirat.

“Bagus! Aku senang punya istri berkepandaian tinggi!” Ucap Inyiek Susu 

Tigo. Lalu tubuh gemuk besar itu seolah seenteng kapas berkelebat membuat 

gerakan membalik jungkir balik. Kini Inyiek berdiri kaki ke atas kepala ke 

bawah. Dua larik sinar biru menderu di antara dua kakinya. Begitu lolos dari 

serangan, dengan pergunakan dua-tangan sebagai kaki, dia melangkah cepat 

ke arah Denok Tuba Biru. Selagi si gadis terkejut melihat hal ini dua kaki 

Inyiek tahu-tahu sudah menggelung pinggang dan perutnya yang gembrot!

“Manusia kurang ajar! Jangan kau berani menyentuh tubuhku!” Teriak 

Denok Tuba Biru marah. “Tak tahu diuntung! Makan ini!”

Wuuutt”

Lima larik sinar biru menyambar keluar dari limajari tangan kanan 

Denok Tuba Biru. Inilah tatokan bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat 

Jalan Pernapasan. Jangankan manusia, gajahpun kalau terkena pukulan ini akan 

menjadi lumpuh sekujur tubuhnya!

“Dess! Desss! Desss!”

Tiga dari lima sinar biru menghantam tubuh Inyiek Susu Tigo!



SEPULUH


TERNYATA kehebatan ilmu Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan 

Pernapasan tidak berpengaruh pada Inyiek Susu Tigo. Walau tubuhnya yang 

tinggi gemuk mencelat sampai satu tombak namun dia tidak sanggup dibuat 

lumpuh. Melihat lawan masih mampu bergerak bangkit, Denok Tuba Biru 

segera menerjang dan lepaskan pukulan serta tendangan berantai.

“Hai! Istriku! Jangan kau memukul dan menendang suamimu! Nanti bisa 

kualat!” teriak Inyiek Susu Tigo.

“Setan alas! Ilmu kebal apa yang* dimiliki mahluk keparat ini!” pikir 

DenofcTuba Biru penuh geram. Dia siap menyerang dengan Ilmu andalan yang 

lain yaitu Racun Pelemas Raga, Serangan ini berupa racun jahat yang

disemburkan dar* mulut. Banyak lawan celaka karena tidak mengira akan 

mendapat serangan seperti itu ketika Denok Tuba Biru membarengi serangan 

dengan pukulan-pukulan tangan kosong.

Seperti diceritakan dalam episode Si Cantik Gila Dari Gunung Gede, 

Denok Tuba Biru adalah orang termuda dari kelompok yang menamakan diri 

“Serikat Momok Tiga Racun”. Dua anggota kelompok lainnya tewas. Yang 

pertama yaitu Tukak Racun Kuning tewas di tangan Bujang Gila Tapak Sakti. 

Momok kedua dikenal dengan nama Alis Bisa Merah menemui ajal di tangan 

Manusia Paku Sandaka. Momok ketiga yaitu Denok Tuba Biru diselamatkan 

dan diampuni nyawanya oleh Sandaka. Setelah kejadian itu Denok Tuba Biru 

berubah menjadi orang baik-baik dan bersama Wiro pernah menolong 

Sandaka hingga pemuda ini sembuh dari puluhan paku yang menancap di tubuh 

serta kepalanya dan akhirnya berjodoh dengan Nyi Retno Mantili. (Baca 

“Perjodohan Berdarah” dan “Bayi Titisan”)

Selama malang melintang dalam rimba persilatan tanah Jawa, ketiga 

orang itu terkenal sebagai kelompok rimba persilatan golongan hitam yang 

memiliki ilmu hebat dan telah membuat nama yang menggetarkan para tokoh. 

Setiap serangan yang dilancarkan pasti mengandung racun yang bisa 

mencelakakan bahkan mematikan lawan.

Denok Tuba Biru kerahkan tenaga dalam dari pusar. Disalurkan dengan 

cepat ke dada terus ke tenggorokan. Sepasang matanya berubah menjadi biru 

angker. Untuk mengalihkan perhatian lawan dia mendahului serangan dengan 

gempuran tangan kosong. Ketika Inyiek Susu Tigo masih terus mengalah dan 

hanya sibuk menangkis tak mau membalas serangan, Denok Tuba Biru tiba-

tiba buka mulutnya lebar-lebar. Siap untuk menghamburkan Racun Pelemas


Raga. Mendadak satu bayangan berkelebat dalam kegelapan malam.

“Uni gapuak! Tahan! Hentikan serangan!”

Gadis gemuk bermuka biru belang kuning terpaksa hentikan serangan. 

Dia mengenali suara itu. Tapi tidak melihat orangnya.

“Malin Kapuyuak! Kau kah itu?!”

Memandang ke depan Denok Tuba Biru merasa heran. Yang berteriak 

tadi jelas suara laki-laki. Suara pemuda bernama Malin Kapuyuak. Tapi yang 

dilihat di hadapannya saat itu adalah seorang nenek bertubuh tinggi 

berambut dan berjubah putih yang ketika menyeringai kelihatan gigi berkilat 

karena dilapisi perak.

Si nenek berpaling ke belakang di mana di punggungnya saat itu masih 

menggantung tubuh Malin Kapuyuak. Dia berbisik.

“Cepat kau bujuk gadis gendut itu... Aku akan mengurusi si Inyiek.”

Sekali nenek ini yang bukan lain adalah Si Kamba Mancuang Tangan 

Manjulai menggerakkan dua tangan, maka Malin Kapuyuak yang sejak tadi 

dibawanya berlari di belakang punggung terlempar ke hadapan Denok Tuba 

Biru. Kalau tidak cepat lengannya dipegang si gadis pasti pemuda ini 

tersungkur jatuh di tanah.

“Uni gapuak, hanya kau yang bisa menyelamatkan sahabat kita Uda 

berambut panjang itu.”

“Maksudmu Wiro?”

Malin Kapuyuak mengangguk.

“Aku memang ingat-ingat pemuda itu. Tapi mahluk bersusu tiga itu 

mengejarku. Ini semua gara-garamu. Kalau kau tidak menipu memberi 

keterangan sialan itu...”

“Aku tidak menipu. Aku memang tidak tahu. Aku yakin saat ini ada 

sebagian ilmu Inyiek Susu Tigo yang sudah masuk ke dalam tubuhmu...”

“Ilmu kentut!” maki Denok Tuba Biru.

“Sudah! Jangan disebut lagi hal itu. Kau harus menerima permintaan 

Inyiek Susu Tigo untuk dijadikan istrinya...”

“Setan! Apa tidak salah aku mendengar?!” bentak Denok Tuba Biru.

“Dengar dulu! Ini satu-satunya cara menyelamatkan Wiro. Jika kau 

pura-pura mengatakan pada Inyiek bahwa kau bersedia menjadi istrinya tapi 

terlebih dulu inyiek harus membebaskan Wiro, pasti dia mau melakukan...”

“Pemuda itu, apa dia masih di telaga?”

“Benar...” jawab Malin Kapuyuak.

“Kalau begitu kita segera pergi ke sana menyelamatkan Wiro!”

“Tidak mungkin Uni


Apa yang tidak mungkin?!” kembali Denok Tuba Biru menghardik.

“Nenek berjubah putih itu. Dia murid Inyiek. Dia sudah memberi tahu 

kalau tidak satu orang pun bisa menyelamatkan Wiro. Kuncinya pada Inyiek. 

Aku menyaksikan sendiri nenek itu coba menolong tapi sia-sia karena dia akan 

jadi santapan puluhan buaya lebih dulu!”

“Kalau begitu buayanya yang dibunuh duluan!”

Malin Kapuyuak menggeleng, “Aku juga sudah bilang begitu pada si 

nenek. Tapi tidak mungkin. Wiro tidak bisa diangkat dari atas permukaan 

telaga. Tubuhnya lengket seperti direkat ke air. Uni, sebaiknya kau lekas 

mendatangi Inyiek itu. Katakan padanya kau bersedia menjadi istrinya. Asal 

sahabat kita Wiro dibebaskan lebih dulu. Kalau Wiro sudah bebas kita bisa 

melarikan diri. Tapi kalau nanti kau memang mau kawin benaran dengan Inyiek 

kurasa ada baiknya juga. Mungkin memang sudah takdirmu menemui jodoh di 

negeri ini. Lagi pula, kalau diurus dan didandani yang apik, apa lagi dimandikan 

dengan bunga tujuh rupa aku rasa Inyiek itu tidak buruk-buruk amat...”

“Setan kau Malin!” damprat si gadis gemuk. “Dengar, ada yang tidak aku 

mengerti. Nenek itu jelas tebih tua dari Inyiek. Bagaimana mungkin dia bisa 

jadi muridnya? Lalu jika dia memang murid Inyiek, mengapa dia mau membela 

Wiro, bukan membantu gurunya?!”

Malin Kapuyuak tanggalkan destar putih milik Wiro yang dipakainya, 

Kepala digaruk berulang kali.

“Kalau kita bicara dan berdebat terus di sini, nanti hari keburu siang. 

Matahari keburu terbit dan Wiro tidak bisa diselamatkan lagi dari serbuan 

puluhan buaya yang bakal membantainya!”

Sementara itu Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai sudah berdiri di 

hadapan gurunya.

“Inyiek, denai perlu bicara dengan Inyiek. Ini sangat penting...” (denai:

saya)

Inyiek Susu Tigo delikkan matanya yang belok besar.

“Aku lebih penting mengurus calon istriku! Menyingkirlah sebelum gadis 

itu melarikan diri lagi...”

“Inyiek, aku dan pemuda itu akan membujuk agar gadis itu mau menjadi 

istrimu. Tidak sulit. Tapi asal kau lebih dulu mau membebaskan sahabatnya, 

pemuda berambut panjang yang kau rekat di permukan telaga...”

“Aku tidak akan membuat perjanjian gila itu! Pemuda itu telah 

memperkosa dan membunuh saudara kembarmu Si Kamba Pesek! Malah 

mencari-carimu hendak disantuangnya pula! Mengapa kau justru 

membelanya?!” (disantuangnya: di sini maksudnya hendak diperkosa)


“Itulah sebabnya denai minta diperbolehkan bicara. Agar denai bisa 

menerangkan hal yang sebenarnya pada Inyiek.”

Inyiek Susu Tigo tidak perduli. Dia ulurkan tangannya yang besar lalu 

mendorong si nenek ke samping.

“Inyiek, tidak mau mendengarkan keterangan denai tidak jadi apa. Tapi 

kalau Inyiek sampai kesalahan tangan membunuh pemuda itu, Inyiek tidak 

akan mendapatkan gadis dari Jawa itu untuk selama-lamanya. Inyiek jadikan 

istri!” Lalu Si Kamba Mancuang dengan kesal melengos pergi.

Inyiek Susu Tigo jadi terdiam. Dia menatap si nenek lekat-lekat lalu 

berkata.

“Eh, tunggu dulu!” Inyiek akhirnya berucap. “Baik, sekali ini aku turuti 

permintaanmu. Apa yang hendak kau katakan padaku?”

“Terima kasih Inyiek mau memberi kesempatan,” ucap Si Kamba 

Mancuang pula. “Ketahuilah pemuda yang berasal dari Jawa itu sama sekali 

tidak memperkosa apa lagi membunuh saudara kembar denai Si Kamba Pesek.”

“Lalu bagaimana saudaramu bisa mati? Dicekik hantu Haru-Haru?!”

“Tidak Inyiek. Saya mendapat kabar pelakunya adalah serombongan 

orang yang dipimpin oleh seorang kakek berjubah dan berkopiah hijau berasal 

dari tanah Jawa, bernama Ki Bonang Talang Ijo. Saya memang belum 

menyelidik kebenaran kabar itu. Tapi Ki Bonang dan teman-temannya pernah 

bentrok dan memang tidak menyukai pemuda itu karena dia dianggap sebagai 

penghalang dari apa yang tengah mereka lakukan...”

“Orang tua bernama Ki Bonang Talang Ijo itu bersama teman-temannya 

telah menemuiku di pondok di tengah telaga. Mereka meyakinkan bahwa 

memang pemuda berambut panjang yang berasal dari Jawa itulah pemerkosa 

dan pembunuh Si Kamba Pesek!”

“Fitnah busuk Inyiek. Itu hanya fitnah...”

“Kalau memang begitu biar. nanti saja akan aku selidiki. Saat ini aku 

mau mengurus betina cantik itu yang juga berasal dari Jawa. Menyingkirlah...”

“Tapi Inyiek, tak lama lagi matahari akan terbit. Puluhan buaya 

peliharaan Inyiek akan memangsa pemuda itu...”

“Kamba Mancuang, aku heran mengapa kau sangat mengkhawatirkan diri 

pemuda asing itu?”

“Karena... karena...”

“Karena apa?!” sentak Inyiek Susu Tigo.

“Karena sebenarnya dia pernah menolong saudara kembar denai Si 

Kamba Pesek. Selain itu denai juga menyirap kabar kalau dia ditugaskan 

melakukan sesuatu untuk menghindarkan malapetaka besar di negeri ini.”


“Ah, pahlawan gadang rupanya pemuda itu...” Inyiek Susu Tigo 

menyeringai lalu keluarkan suara berdecak berulang kali sambil kepala 

digeleng-geleng. “Ilmu hanya setinggi mata kaki mau menghindarkan 

malapetaka di negeri ini! Apa tidak ada orang cerdik pandai dan sakti di tanah 

Minang ini?!”

Si nenek diam saja.

“Kamba Mancuang! Siapa yang kau bilang memberi tugas pada pemuda 

Jawa itu?” “Denai tidak tahu Inyiek.” Inyiek Susu Tigo tampak kesal. “Kamba 

Mancuang. Jangan membuat aku jadi marah! Kau mau berbanyak mulut tapi 

ternyata banyak tidak tahu! Lekas menyingkir dari hadapanku!”

“Baiklah kalau begitu kata Inyiek. Murid hanya menurut saja,” jawab Si 

Kamba Mancuang. “Tapi harap Inyiek baik-baik satu hal agar nanti Inyiek 

tidak kesalahan tangan. Pemuda Jawa berambut panjang bernama Wiro itu 

sama sekali tidak membunuh, tidak pula memperkosa saudara kembar denai. 

Denai bersumpah akan mencari dan membunuh pelaku sebenarnya. Dan denai 

punya dugaan bahwa pemuda Jawa itu yang tahu siapa orangnya!”

Selesai bicara si nenek lalu menghindar ke samping kiri memberi jalan 

pada sang guru.

Inyiek Susu Tigo delikkan mata pada muridnya lalu tanpa pedulikan lagi

Si Kamba Mancuang dia menatap ke depan. Khawatir Denok Tuba Biru akan 

melarikan diri lagi maka dia geserkan telapak kaki kanan ke tanah sambil 

mulut merapal aji kesaktian.

“Aku harus menguncinya dengan ilmu Merekat Raga Menahan Jiwa!”

Lima kuku jari kaki Inyiek Susu Tigo berpijar merah. Namun belum 

sempat ilmu kesaktiannya menderu ke arah Denok Tuba Biru mendadak 

terdengar suara menggereng disertai berkelebatnya satu bayangan putih 

besar. Menyusul suara mengaum yang membuat tanah bergetar. Di dalam 

gelap kelihatan dua buah cahaya hijau!

Denok Tuba Biru tercekat.



SEBELAS


MELIHAT mahluk apa yang datang Inyiek Susu Tigo terkesiap. Malin 

Kapuyuak tersentak kaget dan takut sementara Denok Tuba Biru yang sudah 

bisa menduga bersurut mundur sambil berucap dalam hati.

“Oala, binatang sakti ini datang pasti mencariku. Jangan-jangan dia 

ketagihan...”

Belum habis si gadis membatin tiba-tiba binatang besar putih yang 

bukan lain adalah Datuk Rao Bamato Hijau, harimau putih besar peliharaan 

Datuk Rao Basaluang Ameh sudah berada di hadapannya. Harimau ini

geserkan tubuh ke pinggang, mulut mengerang halus, kepala diputar lidah lalu 

menjilati paha putih gemuk gempal si gadis.

“Celaka, si Datuk ini pasti mencari aku, agaknya dia ingin diusap lagi 

anunya” Kuduk gadis ini jadi merinding.

“Binatang keparat...” Inyiek Susu Tigo mendelik melihat apa yang 

terjadi, juga ada rasa cemburu serta marah. Saat itu mau rasanya dia 

menendang harimau putih. Terlebih ketika dilihatnya Denok Tuba Biru 

mengusap-usap tengkuk harimau putih itu. Namun selintas pikiran muncul 

dalam benaknya.

“Harimau putih... Setahuku, turut riwayat yang aku dengar di tanah 

Minang hanya ada satu orang yang memiliki dan memelihara harimau putih. 

Mahluk ini lebih dahsyat dari Inyiek Batino Ratu Sekalian Harimau Betina Di 

Tujuh Gunung Batuah. Yang empunya konon seorang Datuk berkepandaian luar 

biasa tinggi. Tapi Datuk itu kabarnya sudah meninggal dunia puluhan bahkan 

mungkin ratusan tahun silam... Binatang itu tampak jinak dengan istriku. 

Agaknya mereka sudah saling mengenal sebelumnya. Bagaimana mungkin...”

Si Kamba Mancuang yang menyaksikan kemunculan harimau putih itu 

mendadak punya firasat tidak baik. “Agaknya Inyiek tidak akan dapat 

menguasai gadis itu. Apa lagi menjadikannya istri... Kalau tadi-tadi dia 

mendengar kata-kataku...”

Tiba-tiba Denok Tuba Biru menarik tangan Malin Kapuyuak lalu 

melompat ke atas punggung harimau besar putih.

“Datuk, lekas terbang... Kita harus meninggalkan tempat ini sekarang 

juga!” teriak Denok Tuba Biru sambil menepuk pinggul harimau.

“Siapa yang berani pergi dari sini akan aku bunuh!” mengancam Inyiek 

Susu Tigo


Harimau putih mengaum keras, lalu melesat ke udara.

“Istriku! Kembali! Jangan pergi!” teriak Inyiek Susu Tigo.

Tapi Datuk Rao Bamato Hijau melesat terus. Denok Tuba Biru tidak 

menjawab malah berbisik pada harimau putih.

“Melesat lebih tinggi. Orang itu pasti akan menyerang kita!”

Dugaan si gadis benar adanya. Inyiek Susu Tigo melompat setinggi dua 

tombak. Dari dua puting susu di kiri kanan dadanya menyambar dua larik sinar 

merah. Masing-masing mengarah pada kepala dan tubuh harimau putih yang 

ditunggangi Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak.

Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras. Udara malam laksana 

tercabik-cabik. Sekali binatang sakti ini goyangkan kepala, dua larik sinar 

hijau pekat menyembur dari sepasang matanya, melabrak dua larik serangan 

sinar merah yang dilepas Inyiek Susu Tigo!

Dua letusan keras berdentum di kepekatan dingin udara malam. Tubuh 

Datuk Rao Bamato Hijau yang tengah melayang terbang di udara bergoncang 

keras. Cahaya hijau dan merah berbuntal-buntal lalu menebar membentuk 

kabut luas.

Inyiek Susu Tigo terjajar beberapa langkah. Dada berdenyut sakit. Dia 

segera merapal aji kesaktian, mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti dan 

dialirkan pada susu ketiga di pertengahan dada, siap menyerang lagi. Konon, 

selama ini tidak ada satu musuhpun sanggup menghadapi jika sang Inyiek 

menyerang dengan cahaya biru yang keluar dari susu ketiga. Namun saat itu 

Datuk Rao Bamato Hijau bersama dua penunggangnya sudah tidak kelihatan 

lagi di langit malam.

Inyiek Susu Tigo berteriak marah. Jatuhkan diri ke tanah dan mukul 

tanah berulang-ulang dengan dua telapak tangan hingga tempat itu seperti 

dilanda gempa. Si nenek Kamba Mancuang sampai jauh terduduk di tanah 

saking hebatnya kemarahan sang guru. Namun dia cepat berdiri dan cepat-

cepat pula tinggalkan tempat itu. Dia tidak perduli teriakan Inyiek Susu Tigo 

yang memanggil-manggilnya.

“Kamba Mancuang! Kau mau ke mana?!” Jangan pergi! Ada yang akan aku 

tanyakan padamu!”

Yang menjawab hanya hembusan angin malam yang dingin.

“Murid durhaka! Jangan harap aku akan mengembalikan dirimu ke 

bentuk semula!”

Si Kamba Mancuang yang tengah berlari laksana kilat tercekat. 

Berhenti sebentar. Sesaat ada kebimbangan dalam hatinya. Namun dia 

berkata perlahan.”


“Ya Allah, ya Rabbi. Nasib diri denai, denai serahkan pasrah padaMu!” 

Habis keluarkan ucapan si nenek teruskan larinya. Matanya berlinang-linang.

Inyiek Susu Tigo usap muka berulang kali. Mulutnya meratap sedih.

“Istriku mengapa kau tega pergi tinggalkan aku! Bahkan namamupun aku 

belum tahu. Ke mana aku harus mencarimu. Tapi aku tak akan bisa pergi jauh. 

Kita tidak akan berpisah terlalu lama. Bau tubuhmu sudah ada dalam alur 

napasku! Aku bersumpah tidak akan kawin dengan perempuan lain selain 

dirimu. Wajahmu yang bundar, tubuhmu yang montok putih, bulu ketiakmu 

yang lebat oooh... Tak ada perempuan lain yang bisa menandingi!”

Dalam meratap Inyiek Susu Tigo bersujud di tanah. Tiba-tiba dia ingat.

“Pemuda di telaga itu! Akan aku bunuh dia sekarang juga! Perlu apa 

menunggu sampai matahari terbit!”

Inyiek Susu Tigo berteriak keras, memukul-mukul dada beberapa kali 

lalu berkelebat lenyap dari tempat itu. Dia lupa apa yang dikatakan muridnya 

Si Kamba Mancuang. Bahwa membunuh Wiro merupakan satu tindakan keliru.

Dengan ilmu kesaktiannya laksana kilat menyambar Inyiek Susu Tigo 

berkelebat di kegelapan malam. Tak selang berapa lama ketika dia sampai di 

telaga kejutnya bukan alang kepalang. Puluhan buaya peliharaannya 

bergelimpangan di sekitar tepian telaga. Tapi tidak satupun dari mereka yang 

mati atau pingsan. Binatang-binatang itu seperti tertidur pulas! Inyiek 

mendongak ke langit gelap tidak berbintang. Hidung menghirup udara dalam-

dalam. Dia mencium bau kemenyan.

“Ada orang pandai berkepandaian tinggi barusan datang ke sini. Pasti 

dia yang membungkam semua buaya peliharaanku...” Sambil bertanya-tanya 

dalam hati siapa adanya orang itu Inyiek Susu Tigo memandang ke tengah 

telaga kejut. Kejut si gemuk tinggi ini tambah menjadi!

Sosok pendekar 212 Wiro Sableng yang sebelumnya mengapung kaku di 

permukaan air telaga kini tidak kelihatan lagi!

“Bangsat kurang ajar! Pasti orang pandai yang sama yang menolong 

pemuda itu lolos dari sini! Akan kubunuh! Akan kubunuh semuanya!”

Mendadak sang Inyiek terdiam.

“Mungkinkah ini pekerjaan Inyiek Batino Ratu Sekalian Harimau Betina 

di negeri ini? Aku ingat, pemuda yang datang bersama si rambut panjang dan 

istriku itu pernah menyebut-nyebut Inyiek satu itu... Ah, perduli setan! 

Siapapun yang kurang ajar dan menghalangiku akan aku habisi!”

Inyiek memandang berkeliling lalu berteriak.

“Kamba Mancuang! Apa kau ada di sini?!”

Tak ada jawaban. Puluhan buaya masih bergelimpangan tak bergerak di


sepanjang tepian telaga.

MESKIPUN tidak akan mampu menolong namun Si Kamba Mancuang 

Tangan Manjulai tidak ingin membiarkan Wiro begitu saja. Dengan harapan 

akan terjadi satu keajaiban maka dia berlari kembali ke tempat kediaman 

gurunya. Ketika dia sampai Inyiek Susu Tigo sudah berada di sana, tengah 

berteriak maiah memanggil namanya. Si nenek menyelinap sembunyi di balik 

pohon besar. Yang membuat si nenek heran tapi agak lega adalah melihat 

Pendekar 212 Wiro Sableng tak ada lagi di tempat itu. Berarti dia selamat 

dari serbuan puluhan buaya pada saat matahari terbit. Lalu apa pula yang 

terjadi dengan puluhan binatang peliharaan sang guru itu? Mengapa mereka 

bergeletakan tak berkutik semua? Si Kamba Mancuang tak berani mendekati 

untuk memeriksa.

“Di mana pemuda itu sekarang? Apa ada orang pandai yang 

menolongnya? Apa sekarang dia berada di tempat yang aman atau malah 

dalam keadaan lebih berbahaya?”

Selagi berpikir-pikir begitu tiba-tiba ada suara menghilang di dua 

telinga si nenek.

“Perempuan tua berambut dan berjubah putih, tinggalkan tempat ini. 

Berjalan kurus-lurus ke arah matahari terbit. Jangan berbelok. Kau akan 

menemukan pemuda yang kau cemaskan itu. Dia telah selamat dari mangsa 

puluhan buaya. Namun dia masih memerlukan pertolonganmu...”

Si Kamba Mancuang tersirap kaget. Memandang berkeliling.

“Orang pandai siapa yang bicara dengan denai?” Si nenek bertanya.

“Jangan perdulikan siapa diriku. Pergilah cepat...”

“Denai akan menuruti ucapan orang pandai. Namun kunci keselamatan 

pemuda Jawa itu berada di tangan Inyiek;”

“Ilmu seorang anak manusia bisa setinggi gunung sedalam lautan. 

Namun setinggi-tingginya ilmu adalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa juga. 

Jangan lupakan hal itu. Dengan izin Allah kau akan mampu menolongnya karena 

bukankah kau telah mewarisi ilmu Inyiek Susu Tigo.

“Orang pandai. Guru denai Inyiek Susu Tigo adalah orang baik. Namun 

kalau timbul suganya dia bisa berbuat apa saja. Membunuh orang sama dengan 

membunuh lalat baginya. Mohon orang pandai dapat menasehatinya...” (suga: 

gila)

“Inyiek Susu Tigo adalah orang baik dan tetap akan jadi orang baik. 

Nasihat yang terbaik bagi seorang manusia adalah suara hati nuraninya yang 

murni. Pergilah, sebentar lagi malam akan berganti siang...”

Si Kamba Tangan Manjulai membungkuk dalam-dalam


“Orang pandai, denai mengucapkan terima kasih. Jika orang pandai 

mengizinkan, denai sangat ingin bertatap muka dengan orang pandai.”

Terdengar suara tertawa perlahan. Saat itu juga tercium santar bau 

kemenyan disertai kabut tipis yang muncul entah dari mana datangnya. Lapat-

lapat di kejauhan Si Kamba Mancuang mendengar suara tiupan saluang.

“Perempuan tua berambut dan berjubah putih. Allah akan melindungi 

dan memberkatimu...”

“Terima kasih atas doa orang pandai.”

Sekali lagi si nenek membungkuk.



DUA BELAS



DARI hanya berjalan cepat, kemudian berlari kencang sekarang Si Kamba 

Mancuang melesat laksana terbang di kegelapan malam menjelang pagi. 

Akhirnya di satu tempat yang tak jelas di mana adanya nenek ini hentikan lari.

“Sudah cukup lama aku berlari seperti dikejar Palasik Kuduang. Tapi 

pemuda itu tidak juga kutemui. Jangan-jangan orang yang bicara tapi tidak 

kelihatan ujudnya itu telah menipuku!” (Patasik Kuduang: mahlukyang suka 

menghisap darah manusia terutama darah bayi dan anak-anak. Jika mencari 

mangsa hanya kepalanya yang gentayangan ke mana-mana sementara tubuh 

buntung berada di tempat lain Mahluk seram ini sangat terkenal dan ditakuti

di tanah Minang)

Setelah membuangrasa bimbangnya jauh-jauh Si Kamba Mancuang 

Tangan Manjulai kembali menerus kan lari ke arah timur, tidak membelok-

belok.

Satu saat matanya melihat cahaya terang di kaki langit.

“Fajar sudah menyingsing. Aku berlari seperti tidak sampai-sampai. 

Pemuda itu belum juga aku temui...”

“Dukkk!”

Si nenek terpekik. Kakinya mendadak membentur sesuatu yang 

tergelimpang di bawah pohon. Membuatnya nyaris tersungkur jatuh di tanah.

“Kulihat matamu tidak buta. Hari sudah mulai siang. Apakah kau 

sengaja menendangku Nek? Kau masih marah padaku ya?! Gara-gara aku peluk 

dan aku cium dulu itu...?”

Satu suara menegur.

Astaga! Si Kamba Mancuang sampai terlonjak saking terkejut. Dia 

mengenali suara itu. Cepat-cepat dia berpaling.

“Kau!” Pekik si nenek terkejut tapi juga gembira. Yang tergelimpang di 

tanah di bawah pohon besar itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng 

yang memang tengah dicarinya sesuai petunjuk suara mengiang tanpa ujud.

“Bagaimana kau bisa sampai di sini?! Jauh dari telaga?!”

“Ada orang menolongku.”

“Siapa?” tanya si nenek pula.

“Aku tidak tahu. Gerakannya cepat sekali. Dia membawaku ke tempat 

ini. Sebelum pergi dia memberitahu bakal ada orang yang menolongku. 

Ternyata kau yang datang.” Si nenek tersenyum.

“Aku tahu kau berdusta. Kau pasti tahu siapa orang yang menolongmu.


Tapi kalau kau tidak mau memberi tahu siapa penolongmu tak jadi apa. Yang 

penting kau sudah diselamatkan dari malapetaka besar. Aku mencium bau 

kemenyan di sekitar sini. Pasti orang yang menolongmu sama dengan yang 

memberitahu padaku melalui suara mengiang dari jarak jauh.”

Wiro menyeringai. Hendak menggaruk kepala tapi tidak bisa.

“Syukur kau tidak dimangsa buaya itu. Tapi tubuhmu kulihat masih 

diselubungi air beku dari telaga. Kau masih berada di bawah pengaruh ilmu 

Merekat Raga Menahan Jiwa Inyiek Susu Tigo...”

“Nek, kau murid Inyiek Susu Tigo. Mungkin...”

“Ya, aku tahu apa maksud bicaramu. Mudah-mudahan aku bisa 

mencairkan air telaga beku yang membungkus tubuhmu. Waktu kau masih di 

tengah telaga aku tak bisa melakukan karena puluhan buaya. setiap kejapan 

mata bisa menerkam diriku!” kata Si Kamba Mancuang.

“Aku sudah coba mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti panas. Tapi 

air beku ini tidak mau leleh.” Selain mengerahkan tenaga dalam dan hawa 

sakti Wiro juga berusaha menyalurkan kekuatan sakti yang ada di dalam 

Kapak Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya. Namun sungguh luar biasa 

kekuatan ilmu lawan. Dia tidak berdaya melakukan apapun untuk melenyapkan 

air telaga beku yang membungkus tubuhnya.

“Sekalipun ada api di dalam tubuhnya atau dirimu dipanggang satu hari 

satu malam, kekuatan ilmu Inyiek itu tidak akan bisa dibuat lumer.”

“Oala... Tolong aku cepat Nek!”

“Sudah, diam saja. Aku akan menolongmu!”

“Ah! Aku tahu kau orang baik. Kita sudah menjadi sahabat. Sejak 

pertama kali aku melihatmu, aku selalu mengingat-ingat dirimu.”

“Rayuan Jawa!” ejek si nenek sambil cibirkan bibir. “Manusia aneh! 

Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bergurau!”

Si nenek mengangkat Wiro lalu disandarkan ke pohon besar tapi dalam 

menyandarkan kepala Wiro di sebelah bawah di tanah dekat akar pohon 

sementara kaki di sebelah atas.

“Nek, apa-apaan ini...”

“Aku bilang diam saja! Jangan banyak bicara! Kalau kau mau kutolong, 

kalau tidak biaraku pergi sekarang juga! Aku masih banyak kepentingan lain...”

“Baik Nek, maafkan aku...”

“Dengar, kira-kira seratus hitungan darahmu akan mengalir lebih 

banyak turun ke kepala. Kau akan merasa pusing. Kerahkan tenaga dalam 

hingga darahmu mengalir wajar lagi ke seluruh tubuh. Aku akan 

meninggalkanmu sebentar..


Kau... kau mau pergi ke mana Nek?”

“Jangan macam anak kecil yang ditinggal sebentar saja sudah mau 

menangis!” bentak si nenek.

“Ah, kau ini Nek. Aku... aku cuma mau tahu...”

“Aku pergi ke hutan sana mencari kelelawar,” menerangkan si Kamba 

Mancuang.

“Kelelawar? Untuk apa? Mau kau panggang? Memangnya kita mau 

sarapan pagi bersama?”

Si nenek pelintir kuat-kuat telinga kiri Wiro. Tapi karena telinganya 

tertutup air telaga beku maka Wiro tak merasa apa-apa. Si Kamba Mancuang 

lalu berkelebat dan lenyap dari bawah pohon.

Cukup lama si nenek pergi akhirnya muncul kembali sambil menenteng 

seekor kelelawar hutan besar berbulu coklat. Binatang bermata merah ini 

mencicit tiada henti, membuka mulut lebar-lebar memperlihatkan barisan gigi 

kecil runcing dan tajam.

Wiro merasa lega si nenek sudah kembali. Tapi hatinya was-was karena 

menduga-duga si nenek mau melakukan apa.

Sambil mengeluarkan suara meracau berkepanjangan, entah membaca 

mantera entah. menyanyi Si Kamba Mancuang menjengkal-jengkal tubuh 

kelelawar besar itu dari kepala ke kaki, dari sayap kiri ke ujung sayap kanan. 

Dia melakukan hal itu sambil mengelilingi pohon di mana Wiro tersandar. 

Tiba-tiba si nenek totok tenggorokan kelelawar hingga binatang ini membuka 

mulut lebar-lebar dan menguik keras. Setelah itu kepala dan mulutnya tidak 

bisa bergerak lagi. Hanya sepasang mata dan dua kaki serta sayap yang masih 

bisa bergerak-gerak perlahan.

Suara meracau dari mulut si nenek berhenti. Dia memandang ke bawah, 

menyeringai. Lalu dia maju mendekati Wiro. Tangan kiri menarik pinggang 

celana sebelah depan lalu tangan kanan dengan cepat memasuk menyelinapkan 

kelelawar besar ke dalam celana Wiro.

Langsung saja murid Sinto Gendeng berteriak-teriak. Memang 

kelelawar itu tidak bisa menggigit, namun gesekan sayap dan dua kakinya 

membuat Wiro merinding kegelian.

“Nek, kau ini mau berbuat apa? Masakan hendak melumer air beku 

dengan cara begini rupa...?! Aduuhhhh! Apa tidak ada cara lain yang lebih 

gila?!”

Si Kamba Mancuang tertawa mengekeh.

“Kelelawar binatang yang bisa menghimpun hawa panas lalu mengalirkan


ke seluruh tubuhmu. Binatang ini satu-satunya mahluk penangkal ilmu Merekat 

Raga Menahan Jiwa yang saat ini membungkus seluruh badanmu! Aku tidak 

memperdayai dirimu. Kau lihat saja hasilnya sebentar lagi!”

“Tapi Nek, aku tidak tahan! Geli sekali! Huaahhhh!”

Mendadak di tempat itu terdengar suara beberapa orang tertawa 

bergelak.

“Nek, orang sudah berteriak tidak tahan kegelian! Mengapa kelelawar 

itu tidak kau ganti saja dengan tanganmu?; Ha... ha... ha!”

“Betul! Dia enak kau juga enak!” Ada suara lain menyambung yang 

kemudian kembali disusul suara tawa tergelak banyak orang.

Si nenek terkejut dan cepat memutar tubuh.

Wiro juga tak kalah kaget dan melirik ke arah beberapa orang yang 

barusan muncul di tempat itul


TIGA BELAS


YANG muncul di tempat itu di saat fajar mulai menyingsing adalah Ki Bonang 

Talang Ijo yang keningnya luka parah dan mata kanan dibalut kain hitam 

akibat amblas diinjak Datuk Panglimo Kayo. Kakek dari Kuto Gede ini sunguh 

luar biasa. Dalam keadaan cidera berat seperti itu dia masih sanggup 

memimpin rombongan. Di samping Ki Bonang berdiri Perwira Muda Teng Sien 

yang daun telinga kanannya sumplung. Lalu berjejer Tuanku Laras Muko 

Balang, Pandeka Bumi Langit Dari Semanik yang memanggul Puti Bungo 

Sekuntum alias Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok alias Chia Swie Kim. Si gadis

dalam keadaan tertotok, tak bisa bergerak tak bisa bersuara.

Orang-orang ini sebenarnya dalam perjalanan ke satu tempat rahasia 

milik Tuanku Laras Muko Balang. Namun di tengah jalan mereka mendengar 

suara teriak teriakan. Ketika mereka mendatangi sumber suara, mereka tidak 

menyangka akan bertemu dengan Wiro dan Si Kamba Mancuang.

“Kalian berdua! Lengkap sudah!” kata Ki Bonang Talang Ijo.

“Yang satu pengkhianat musuh dalam selimut, berkawan dengan yang 

satunya pemuda Jawa yang berusaha menghalangi urusan kita!” menyambung 

Tuanku Laras Muko Balang. “Ki Bonang, aku akan menabas batang leher 

pemuda Jawa itu. Kau dan teman-teman cepat habisi si nenek agar dia bisa 

bertemu saudara kembarnya di alam baka! Ha... ha... ha!” Lalu Tuanku Laras 

hunus pedang Al Kausar. Melangkah mendatangi Wiro yang sampai saat itu 

masih tersandar di pohon kepala ke bawah kaki ke atas. Rupanya orang ini 

masih sangat mendendam atas apa yang telah diperbuat Wiro beberapa waktu 

lalu. Yaitu menyerang dengan ilmu kesaktian aneh hingga celana luar dan 

dalamnya tanggal tersedot masuk ke dalam belahan tanah.

Sementara Ki Bonang dan Pandeka Bumi Langit melangkah mendekati Si 

Kamba Mancuang, Tuanku Laras bertengkar dengan Perwira Muda Teng Sien. 

Orang Cina yang kuping kanannya kini sumplung akibat tertabas patahan 

goloknya sendiri lebih suka tidak mencari urusan baru tapi cepat-cepat 

menuju ke pesisir timur agar dia bisa membawa Puti Bungo Sekuntum ke 

Tiongkok. Tuanku Laras yang didukung oleh Ki Bonang tetap merasa Wiro dan 

si nenek sebagai batu sandungan yang bisa mencelakai mereka jika tidak 

segera disingkirkan.

Si Kamba Mancuang perhatikan tampang Ki Bonang dan Teng Sien lalu 

tertawa gelak-gelak.

“Kening luka besar, mata dibalut kain. Jauh-jauh datang dari tanah


Jawa hanya mencari celaka! Masih tidak tahu diuntung! Hik... hik... Satunya 

lagi buntung daun telinganya. Masih saja belum jera! Bergundal-bergundal 

busuk! Kaki tangan orang asing! Penculik anak gadis orang! Kalian kalau tidak 

dibunuh semua tidak akan aman tanah Minang ini!” teriak Si Kamba Mancuang.

“Nenek culas!” Hardik Ki Bonang Talang Ijo. “Kau dan saudaramu yang 

sudah mampus telah menerima masing-masing tiga batang emas! Kalau kau 

bisa mengembalikan semua emas itu kami mungkin akan memberikan hukuman 

yang lebih ringan padamu!”

Si nenek kembali tertawa mengekeh.

“Dasar manusia serakah! Kau mau nyawaku atau batangan emas?! Kalau 

mau nyawaku aku ingin tahu bagaimana caramu mau membunuhku! Kalau ingin 

batangan emas, silahkan cari di neraka! Hik... hik... hik!”

“Tua bangka setan! Kau akan mampus dan mayatnya kubuat tidak 

berbentuk!” teriak Ki Bonang Talang Ijo marah sekali.

Dua tangan panjang Si Kamba Mancuang melesat ke depan, 

menyongsong serangan yang dilancarkan Teng Sien yang mempersenjatai diri 

dengan sebilah golok baru dan datang dari arah kiri. Dari kanan Pandeka Bumi 

Langit Dari Sumanik, suara kaki dan dua tangannya bergemuruh memainkan 

silat Sitaralak yang sangat berbahaya.

Si Kamba Mancuang yang maklum kehebatan ilmu silat tidak mau 

berlaku ayal apa lagi sampai saling beradu tangan. Tangan kanan Pandeka 

Langit Bumi masih tampak kemerah-merahan karena melepuh sewaktu 

bertarung dengan Pendekar 212.

Ki Bonang sendiri langsung menggebrak dari depan. Seperti biasa 

sebelum menyerang dia sudah tanggalkan belangkon hijau yang merupakan 

senjata andalan. Sebelum serangan ketiga orang itu sampai Ki Bonang lebih 

dulu kebutkan belangkon, untuk mempengaruhi dan melumpuhkan gerakan 

lawan. Tapi Si Kamba Mancuang yang sudah tahu kehebatan lawan dengan 

cepat melompat mundur satu tombak sementara dua tangan diulur laksana 

sepasang ular menyambar ganas.

“Hebat! Hebat! Aku suka ini! Hik... hik! Nenek jubah putih, aku tahu 

siapa kau walau kita tidak saling kenal sebelumnya! Jangan takuti Aku berada 

di pihakmu menumpas pengeroyok pengecut! Orang-orang asing pembawa 

bahala harus dimusnahkan dari tanah Minangkabau!”

Tiba-tiba ada suara perempuan berseru. Di lain kejap di samping Si 

Kamba Mancuang telah berdiri seorang nenek bungkuk, bertubuh kurus 

kering, kulit muka tipis hingga wajahnya nyaris menyerupai tengkorak. Di 

tangan kanannya bergayut sebuah benda menyerupai jaring. Nenek ini bukan


lain adalah Niniek Panjalo.

Ki Bonang, Pandeka Bumi Langit, Perwira Muda Teng Sien tampak 

terkejut besar. Bahkan Tuanku Laras Muko Balang yang telah menghunus 

pedang dan tengah mendekati Wiro terhenti langkahnya.

“Niniek Panjalo, apa yang terjadi? Mengapa kau jadi begini? Kau 

membela musuh kita?!”

Menegur Ki Bonang Talang Ijo.

“Niniek, melangkahlah ke dekat kami. Jangan berdiri di samping tua 

bangka pengkhianat itu!” Ikut bicara Pandeka Langit Bumi Dari Sumanik.

Niniek Panjalo pelototkan mata lalu tertawa mengekeh.

“Aku membela musuh kita? Hik... hik! Siapa musuhku, siapa kita?! 

Dengar baik-baik apa yang aku katakan! Kalian keparat semua! Ketika aku 

lumpuh tak berdaya akibat serangan Rantai Pintu Halilintar kalian pergi 

begitu saja meninggalkanku. Sementara sahabatku Datuk Pancido tewas 

menemui ajal secara mengenaskan! Aku sudah tahu siapa kalian sebenarnya! 

Manusia-manusia rakus yang menghalalkan nyawa orang lain asal mendapat 

imbalan dan mencapai tujuan! Kalian menculik anak gadis tidak berdosa itu! 

Apakah aku masih pantas berada di pihak kalian?!”

, “Ah, kau pasti sudah termakan bujuk rayu. Kesinilah Niniek,” kata Ki 

Bonang. “Bergabung kembali bersama kami. Urusan kita akan segera rampung. 

Kita semua akan mendapat hasilnya sama rata...”

Niniek Panjalo cibirkan bibir lalu keluarkan suara seperti orang kentut 

dari mulutnya. Di lain kejap nenek ini gerakkan tangan kanan. Benda 

berbentuk jala berpijar lalu menyambar ke arah Ki Bonang Talang Ijo.

“Kurang ajar! Mampuslah kalian berdua!” teriak Ki Bonang. Tubuh 

dirundukkan, tangan kanan mengibaskan belangkon, tangan kiri melepas 

pukulan Di Atas Awan Menyergap Rembulan. Namun sebelum serangan 

dilakukan, salah satu tangan panjang Si Kamba Mancuang telah mencekal 

pergelangan tangannya.

Pendekar 212 yang menyaksikan apa yang terjadi dan tidak mampu 

berbuat apa-apa sebenarnya sejak tadi ingin berteriak memberi tahu pada Si 

Kamba Mancuang bahwa pembunuh saudara kembarnya adalah Ki Bonang dan 

kawan-kawannya itu. Namun dia khawatir si nenek akan terpengaruh dengan 

ucapannya dan larut dalam kemarahan yang bisa membahayakan dirinya. Kini 

setelah Ki Bonang kena dicekal tangannya oleh si nenek maka Wiro baru 

memutuskan untuk memberi tahu.

“Nek, habisi tua bangka berjubah hijau itu! Dia dan kawan-kawannya 

yang membunuh saudara kembarmu Si Kamba Peseki"


i Kamba Mancuang seperti mendengar suara guntur menggelegar di 

atas kepalanya.

“Manusia jahanam! Aku sudah punya dugaan kau dan teman-temanmu 

yang membunuh saudaraku! Sekarang terbanglah ke akhirat untuk menghadap 

penjaga neraka!”

Tangan kiri Si Kamba Mancuang melesat ke depan siap menggulung 

leher Ki Bonang Talang Ijo.


EMPAT BELAS


PANDEKA Bumi Langit Dari Sumanik berusaha menolong Ki Bonang namun 

sapuan jala sakti Niniek Panjalo yang hendak menggebuk kepalanya membuat 

orang ini cepat-cepat melompat mundur. Ki Bonang Talang Ijo yang tidak 

berhasil melepas cekalan Si Kamba Mancuang dengan nekad melompat 

menerjangkan kaki kanan sementara dari dalam belangkonnya dia keluarkan 

sebuah benda hitam bulat sebesar ujung ibu jari.

Didahului suara letupan keras tempat itu kini diselubungi asap hitam 

menutup pemandangan. Si nenek terbatuk-batuk. Walau Ki Bonang akhirnya

mampu lepaskan cekalan si nenek namun tak urung dua jari tangan kirinya 

patah, 

“Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak Ki Bonang Talang Ijo.

Perwira Muda Teng Sien sambil menghambur kabur memaki panjang 

pendek.

“Aku sudah bilang! Jangan mencari urusan baru! Gadis itu lebih 

penting!” teriak Teng Sien yang hanya dimengerti Ki Bonang.

Di bagian lain, begitu asap mengepul, Tuanku Laras Muko Balang dengan 

cepat melompat ke hadapan Wiro yang tersandar di pohon kepala ke bawah 

kaki ke atas. Pedang Al Kausar menderu ke bawah. Menyambar ke arah leher 

Pendekar 212! Cahayanya berkilauan terkena sinar matahari pagi yang belum 

lama menyembul di arah timur.

Sesaat lagi pedang sakti akan membabat putus leher Wiro tiba-tiba 

kelelawar besar yang ada di dalam celana sang pendekar menguik keras dan 

weerrrr! Binatang itu menghambur keluar dari dalam celana. Terbang ke 

udara dan lenyap dari pemandangan, lalu greekkk! Lapisan air telaga beku 

yang membungkus sekujur tubuh murid Sinto Gendeng hancur Berantakan. 

Ratusan keping air telaga beku mental. Sebagian berhamburan ke arah 

Tuanku Laras Muko Balang.

“Brett!”

Bahu kiri pakaian Tuanku Laras robek besar. Kejut orang ini bukan 

alang kepalang. Dengan cepat dia putar pedang Al Kausar melindungi tubuh. 

Suara berdentangan terdengar berulang-ulang seolah pedang sakti itu 

membentur logam keras. Tuanku Laras selamat dari hantaman air telaga beku 

namun ketika satu kepingan menancap di lengan kanannya, orang yang 

wajahnya ditumbuhi bulu tipis hitam putih ini menjerit kesakitan. Pedang Al 

Kausar terlepas jatuh ke tanah. Selagi dia hendak mengambil senjata ini, di


hadapannya telah berdiri Pendekar 212. Kaki kanan bergerak menendang ke 

arah kepalanya!

“Jahanam kurang ajar!” Tuanku Laras Muko Balang menyumpah lalu 

jatuhkan diri ke tanah. Sambil bergulingan ke arah sosok Puti Bungo 

Sekuntum tangan kiri lepaskan satu pukulan tangan kosong menyerang Wiro. 

Wiro cepat membalas dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Karang, ini 

adalah salah satu pukulan sakti yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang 

Ameh di Danau Maninjau.

Wiro terkejut ketika mendadak melihat sosok Tuanku Laras Muko 

Balang tahu-tahu telah berdiri di hadapannya, menyeringai lalu berteriak.

“Wusss!”

Pukulan sakti yang dilepaskan Wiro melabrak tubuh Tuanku Laras 

dengan telak hingga hancur berkeping-keping tapi kepingan-kepingan itu 

kemudian mengambang ke udara berubah jadi asap. Wiro sadar kalau lawan 

telah membuat tubuh jejadian... Lalu ke mana tubuh Tuanku Laras yang asli? 

Dengan mengeluarkan ilmu yang disebut Bayangan Menipu Mata Tuanku Laras 

bukan saja berhasil selamatkan diri dari serangan Wiro tapi juga melarikan 

diri sambil memboyong Puti Bungo Sekuntum. Wiro siap berkelebat hendak 

mengejar. Tapi Niniek Panjalo berteriak.

“Tak usah dikejar! Aku tahu tempat di mana mereka akan berkumpul

sebelum pergi ke pesisir timur!”

Wiro balikkan tubuh. Menatap pada Si Kamba Mancuang dan Niniek 

Panjalo. Si Kamba Mancuang berdiri sambil memegang pedang Al Kausar milik 

Tuanku Laras Muko Balang yang tercampak dan tidak sempat diambil karena 

saat itu selain menyelamatkan diri dia juga lebih mementingkan memboyong 

Puti Bungo Sekuntum. Kawan-kawannya yang lain sudah kabur lebih dulu 

begitu asap hitam menggebubu menutupi pemandangan.

“Anak muda,” ucap Si Kamba Mancuang. “Tadi kau berteriak 

mengatakan bahwa Ki Bonang Talang Ijo dan kawan-kawannya yang membunuh 

saudara kembarku. Aku memang punya dugaan begitu setelah menyirap kabar 

apa yang terjadi. Apa kau menyaksikan sendiri peristiwanya?”

“Saat saudaramu dibunuh memang tidak menyaksikan Nek. Tapi Ki 

Bonang dan kawan-kawan menghadangku di tengah jalan lalu melempar mayat 

saudaramu di hadapanku.”

Si Kamba Mancuang mengucap berulang kali. Sepasang matanya 

berkaca-kaca. “Luar biasa buas! Mereka bukan manusia tapi binatang! Lalu 

bagaimana dengan jenazah saudaraku...?” Si nenek berucap seolah bertanya 

pada diri sendiri


“Aku dibantu Malin Kapuyuak dan seorang sahabat bernama Denok 

Tuba Biru. Jenazah kami bawa ke sebuah dusun. Kami minta bantuan kepala 

Dusun untuk mengurus jenazah sampai di penguburan.”

“Terima kasih... Kau baik sekali. Aku sangat berterima kasih. Kau tahu 

nama dusun di mana saudaraku dimakamkan!” Si Kamba Mancuang bertanya 

dengan suara terisak.

“Aku tidak tahu Nek. Tapi Malin Kapuyuak pasti tahu. Nenek berdua, 

aku juga berterima kasih. Kalian sudah menolong diriku...” Berkata Wiro pada 

dua nenek. Lalu dia ingat pada kelelawar di dalam celananya. Celana ditarik ke 

depan. Tangan kanan dimasukkan ke dalam celana lalu disusupkan kian kemari.

Niniek Panjalo palingkan wajah melengos. Sebenarnya ini adalah satu 

kepura-puraan belaka. Padahal hatinya bergetar melihat apa yang dilakukan 

Wiro. Dia rasa-rasa ingin pula memasukkan tangannya ke dalam celana sang 

pendekar.

“Dasar pemuda gilo! Tidak malu dia membuncah barangnya di hadapan 

kami orang tua-tua! Memangnya ada apa? Hilang burungmu?!” Si nenek yang 

tidak tahu apa asal muasal kejadian hingga Wiro berlaku begitu memandang 

pada Si Kamba Mancuang. Nenek satu ini yang masih diselimuti kesedihan 

lantas saja masih bisa tersenyum.

Niniek Panjalo geleng-geleng kepala.

“Sahabatku, kau rupanya sudah ketularan penyakit gilo pemuda Jawa 

itu! Ayo ikuti aku. Aku tahu ke mana orang-orang itu pergi. Gadis Cina itu 

harus diselamatkan!”

“Nenek berdua, sambil berjalan banyak hal yang akan aku tanyakan 

pada kalian...”

“Satu hal yang ingin aku tanyakan lebih dulu,” kata Niniek Panjalo pula. 

“Kau tidak ada perasaan marah, benci atau dendam padaku. Karena 

sebelumnya aku mengambil sikap bermusuhan dan pernah menyerangmu?”

Wiro tersenyum.

“Nek, melihat dirimu aku ingat pada guruku di tanah Jawa. Aku 

menghormatimu seperti aku menghormati beliau...”

“Ah, aku berterima kasih. Kalau panjang umur mudah-mudahan aku 

nanti bisa bertemu dengan gurumu itu. Siapa nama gurumu?” tanya Niniek 

Panjalo pula.

“Sinto Gendeng.”

“Aneh kedengarannya nama gurumu itu. Di negeri ini tidak ada 

Gendeng. Yang ada Gandang. Hik... hikl Apa nama gurumu itu ada artinya?” 

(Gandang: Gendang)


Betul Nek, ada artinya. Sinto Gendeng artinya Sinto Gila!”

Niniek Panjalo tertawa terkekeh-kekeh sambil tangan kanan mengayun-

ayun jala.

“Ki Bonang memberi tahu namamu Wiro Sableng yang artinya Wiro Gila. 

Sekarang aku tahu gurumu juga gila! Jadi guru dan murid sama-sama gila! Hi... 

hik... hik...”

Tiba-tiba Niniek Panjalo putar tangannya yang memegang jala demikian 

rupa hingga rreettttt saat itu juga jala berpijar terang, menebar di udara 

dan di lain kejap sekujur tubuh Pendekar 212 terjirat erat nyaris tak bisa 

berkutik di dalam jala!

Si Kamba Mancuang sebenarnya ingin cepat-cepat meninggalkan tempat 

itu hendak mengejar Ki Bonang dan kawan-kawannya. Dalam dia berpikir-pikir 

dia tersentak melihat apa yang dilakukan Niniek Panjalo. Nenek ini berteriak 

marah namun sebelum bisa berbuat apa-apa Niniek Panjalo sudah berbalik, 

menotok tubuhnya di dua tempat, mukanya diusap hingga nenek bergigi perak 

ini tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Dengan cepat Niniek Panjalo 

kemudian mengambil pedang Al Kausar milik Tuanku Laras Muko Balang yang 

dipegang Si Kamba Mancuang.

“Nek, kau ini sedang mempermainkan kami atau tengah bergurau 

bagaimana...?” Wiro berseru. Walau bertanya namun ketika melihat Niniek 

Panjalo menotok serta mengambil pedang dari tangan Si Kamba Mancuang, 

murid Sinto Gendeng segera maklum kalau Niniek Panjalo tidak sedang main-

main. Ada yang tidak beres. Lebih tepat kalau dikatakan ada bahaya besar 

mengancam! Karenanya dengan cepat Wiro kerahkan tenaga dalam. Dua 

tangan berusaha merobek menjebol jala berpijar. Namun tidak berhasil! 

Aneh, tangannya tidak bisa merenggut, menyentuh apa lagi merobek. Dia 

seolah menggapai angin!

Tawa cekikikan Niniek Panjalo semakin menjadi-jadi.

“Siapa bilang aku main-main. Tidak ada yang bergurau! Hik... hik... hik!” 

Nenek ini kemudian bertepuk tiga kali.

“Dua kekasihku! Kalian silahkan ke sini! Saatnya kita menyiangi dua 

ayam besar ini! Hik... hik... hik!”



LIMA BELAS


SESAAT kemudian berkelebat satu sosok aneh besar. Ketika sosok ini berdiri 

di hadapan si nenek ternyata adalah dua pemuda, satu berkumis biru, satunya 

berkumis merah. Tubuh dua pemuda ini saling berdempetan di bagian 

punggung dan keduanya mengenakan sehelai jubah besar berwarna merah 

gelap. Ketika keduanya sama-sama menyeringai kelihatan barisan gigi besar 

yang berwarna sama dengan warna kumis masing-masing. Di dalam rimba 

persilatan di tanah Minangkabau dua pemuda dempet ini dikenal dengan 

julukan Tengku Mudo Sagalo Duo. (Tengku Muda Sagala Dua) Konon keduanya 

berasal dari sebuah pulau di Selat Malaka. Menurut orang yang mengetahui 

mereka terlahir dalam kutukan karena ayah dan ibu mereka merupakan kakak 

dan adik kandung sedarah sedaging, Penduduk desa mengusir pasangan suami 

istri salah kaprah itu. Dua bayi dempet lenyap secara aneh. Dua puluh tahun 

kemudian dua bayi dempet itu muncul dalam keadaan sudah menjadi dua 

pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ada yang menduga, ketika masih 

bayi mereka dilarikan oleh orang pandai yang diduga sebangsa mahluk 

jejadian, dibawa ke sebuah pulau dan disitu diberi pelajaran berbagai macam 

ilmu. Karena wajah dua pemuda ini memang gagah, serta keadaan tubuhnya 

yang aneh serba dua konon banyak perempuan tua muda yang jalan hidupnya 

tidak senonoh menyukai Tengku Mudo Sagalo Duo. Salah seorang di antara 

mereka adalah Niniek Panjalo yang selama ini menganggap dua pemuda dempet 

sebagai kekasihnya. Dua pemuda dempet yang merasa mempunyai kelebihan di 

dalam kekurangannya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka 

memanfaatkan keadaan diri mereka yang bisa memberikan kesenangan tidak 

terhingga pada kaum perempuan untuk mendapatkan imbalan berupa uang dan 

harta.

“Niniek, bagus sekali tipu dayamu!” memuji Ki Bonang. “Sekarang cepat 

kau geledah nenek rambut putih bergigi perak itu! Pastikan bahwa tiga batang 

emas yang pernah didapatnya dari kakek Jawa itu benar-benar ada padanya. 

Jika tiga batang emas sudah ditemukan, kita pergi satu persatu lalu kedua 

baruak-baruaktak berguna ini dihabisi saja!” (baruak: beruk/monyet)

“Kekasihku, kalian berdua tidak usah khawatir. Tiga batang emas itu 

pasti ada padanya! Lihat aku akan geledah nenek ini!”

“Kalau perlu kau telanjangi dia!” kata pemuda dempet berkumis dan 

berjanggut biru.

“Aku setuju... aku setuju!” Menyahuti pemuda dempet berkumis merah.


Lalu sambung ucapannya. “Niniek Panjalo, selama ini aku dan saudaraku hanya 

melihat tubuhmu. Sekali-sekali untuk penyedap mata rasanya boleh juga jika 

kami melihat tubuh yang lain! Ha... ha... ha!”

“Jangan bicara kurang ajar yang membuat aku marah!” bentak Niniek 

Panjalo.

“Hai! Aku hanya bergurau!” Si kumis merah cepat-cepat menyahuti.

Niniek Panjalo melangkah mendekati Si Kamba Mancuang. Setelah 

memeriksa sekujur tubuh si nenek, dia akhirnya menemukan tiga batang emas 

dalam sebuah kantong di balik pinggang jubah Si Kamba Mancuang. Sambil 

tertawa gembira Niniek Panjalo perhatikan tiga batang emas itu.

Dua pemuda mengambil masing-masing sebatang emas, memperhatikan 

dengan mata besar, mencium berulang kali. Si kumis biru berkata.

“Seumur hidup baru sekali ini aku melihat dan memegang emas sebesar 

ini. Ini bukan emas palsu! Kita akan jadi kaya raya! Ha... ha... ha!” Lalu 

batangan emas enak saja disusupkannya ke balik pinggang. Hal yang sama 

dilakukan oleh si kumis merah. Niniek Panjalo delikkan mata hendak menegur 

dan meminta kembali batangan emas itu.

“Jangan serakah Niniek. Masing-masing kita sudah dapat satu batang 

emas. Dibagi rata dan adil. Malam nanti kita akan bersenang-senang dan kami 

berdua akan memberikan pengalaman paling hebat bagimu.”

Walau masih cemberut Niniek Panjalo masukkan sisa satu batangan 

emas ke dalam saku pakaiannya lalu mundur dua langkah. Memandang ke arah 

Kamba Mancuang, berpaling pada Wiro, lalu bertanya pada dua pemuda 

dempet.

“Dua kekasihku Sunguik Biru dan Sunguik Merah. Mana dari dua baruak 

ini yang akan kita habisi lebih dulu?” (Sunguik: Sungut, Kumis)

“Terserah padamu. Tapi bagusnya kau habisi nenek bergigi perak itu 

lebih dulu. Agar kau tidak cemburu pada kami! Ha... ha... ha!” jawab pemuda 

dempet berkumis merah lalu tertawa tergelak-gelak.

Niniek Panjalo tersenyum, kedipkan mata pada pemuda berkumis biru. 

“Kau kekasih yang baik. Malam nanti aku akan berikan kenikmatan lebih 

padamu! Hik... hik... hik!”

Ketika si nenek melangkah mendekati Si Kamba Mancuang dengan 

terpentang, Wiro yang tidak mampu merobek jala berpijar cepat berteriak.

“Niniek Panjalo! Jika batangan emas yang jadi incaranmu dan dua 

gendakmu, kalian sudah mendapatkan! Mengapa masih hendak menurunkan 

tangan jahat membunuh nenek itu? Bebaskan kami berdua!”


Niniek Panjalo hentikan langkah, menatap ke arah Wiro. Dalam hati dia 

berkata, “Pemuda berambut panjang, sebenarnya kau sudah jadi salah satu 

lelaki yang aku taksir. Sayang...”

Tampang Niniek Panjalo tiba-tiba berubah. Dari hidungnya keluar suara 

mendengus.

“Gara-gara kalian berdua sahabatku Datuk Pancido tewas dihantam 

besi putih Datuk Panglimo Kayo. Apa kau masih mau bermulut besar di 

hadapanku? Mungkin aku perlu merobek mulutmu lebih dulu sebelum giliranmu 

aku bantai!”

Habis berkata begitu Niniek Panjalo kembali balikkan badan, 

meneruskan langkah mendekati Si Kamba Mancuang. Tangan yang memegang 

pedang Al Kausar diangkat tinggi-tinggi ke atas.

Di dalam jala berpijar yang tidak bisa ditembus dengan tangan kosong, 

rahang murid Sinto Gendeng menggembung.

“Tua bangka jahanam itu harus dihentikan! Aku harus bertindak cepat 

sebelum dia membunuh si nenek mancung!”

Dari mulut Wiro kemudian keluar pekik menggeledek.

“Kapak Naga Geni Dua Satu Dua!”

Didahului dengan memancarnya sinar terang di bagian dada Wiro, 

Kapak Naga Geni 212 yang dengan kesaktiannya oleh Kiai Gede Tapa 

Pamungkas dimasukkan ke dalam raga Wiro, kini melesat keluar dari dalam 

tubuh Wiro. Memancarkan cahaya terang menyilaukan, menebar hawa panas. 

Jala yang melibat tubuh Wiro robek besar lalu hangus menjadi bubuk hitam. 

Kapak Naga Geni 212 melayang sebat di udara mengeluarkan deru seperti 

ratusan tawon, menyambar ke arah Niniek Panjalo.

“Niniek! Awas!” teriak dua pemuda dempet Sunguik Merah dan Sunguik 

Biru.

Kapak Naga Geni 212 senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng 

bukanlah senjata sakti biasa. Senjata ini seolah memiliki mata dan jiwa yang 

tidak mau memperlakukan diri atau diperlakukan secara pengecut. Walau saat 

itu kapak mampu menghantam tubuh bagian belakang Niniek Panjalo namun 

secara aneh dan dalam kecepatan kilat senjata berputar hingga sebelum 

Niniek Panjalo sempat berbalik, Kapak Naga Geni 212 telah mendarat telak di 

pertengahan dadanya!

Niniek Panjalo meraung dahsyat. Tubuhnya mencelat jauh dan akan 

terus terpental kalau tidak menabrak pohon. Walau tubuh itu tergelimpang di 

tanah nyawanya sudah lepas lebih dulu.

Wiro yang saat itu sudah berhasil keluar dari jala yang robek cepat


mengangkat tangan. Kapak Naga Geni 212 melesat kembali ke arahnya, 

sementara melayang di udara noda darah yang ada di mata kapak lenyap 

dengan sendirinya. Senjata sakti itu sesaat kemudian masuk kembali ke dalam 

tubuh Wiro.

Melihat apa yang terjadi dua pemuda dempet menjadi kecut tegang. Si 

Singuik Biru berbisik pada saudaranya Si Singuik Merah.

“Kita sudah dapatkan emas itu. Sebaliknya cepat-cepat pergi dari sini. 

Perlu apa mencari celaka membuat urusan dengan pemuda Jawa itu. Aku 

dengar dia seorang tukang sihir...”

“Dari gerak geriknya aku sudah bisa menjajagi sampai di mana 

kehebatan ilmunya. Kita masih satu tingkat di atas...” kata Si Singuik Merah.

“Matamu apa sudah buta?! Mulutmu asal bicara! Apa tadi tidak kau 

lihat bagaimana senjata aneh berbentuk kapak bisa keluar dari tubuhnya?! 

Mana ada manusia yang punya ilmu seperti itu!”

“Soal itu apa yang perlu ditakutkan? Dia hanya menyihir pandangan 

mata!” Si Singuik Merah masih menganggap enteng urusan.

“Menyihir katamu! Buktinya nenek itu mati dengan dada terbelah 

dibuatnya! Senjatanya keluar dari dalam perut masuk lagi ke dalam perut! Apa 

tidak gila?!” tukas Si Singuik Biru.

“Baik, aku ikut apa katamu. Tapi jangan lupa. Masih ada emas satu 

batang lagi pada Niniek Panjalo yang bisa kita ambil...” jawab Si Singuik 

Merah.

“Jangan menganggap enteng pemuda Jawa itu! Serakah adalah biang 

celaka! Jangan turutkan ketamakan hatimu! Yang paling penting saat ini 

adalah cepat-cepat pergi dari tempat celaka ini!”

“Lalu bagaimana dengan mayat Niniek?” ujar Si Singuik Merah pula.

“Masih banyak perempuan hidup yang masih muda dan cantik-cantik. 

Mengapa mengurusi nenek yang sudah jadi bangkai?!” jawab Si Singuik Biru. 

Lalu dia betot kuat-kuat punggungnya hingga saudaranya yang menempel di 

belakangnya tertarik ke depan. Empat kaki menjejak tanah, Sesaat kemudian 

kedua pemuda dempet berjuluk Tengku Mudo Sagalo Duo ini telah lenyap dari 

tempat tersebut.

Wiro melompat ke hadapan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. 

Dengan cepat dia memeriksa keadaan nenek ini. Setelah melepas dua totokan 

yang tadi ditanamkan Niniek Panjalo, Si Kamba Mancuang bisa bergerak 

kembali namun belum mampu keluarkan suara.

Dengan gerakan tangan Si Kamba Mancuang memberi tahu pada Wiro 

agar pemuda itu mengusapkan tangannya ke wajahnya untuk melepas ilmu


pembungkam yang menguasai dirinya.

Wiro lakukan apa yang diberi tahu si nenek. Begitu dia mengusapkan 

tangan kanan ke wajah Si Kamba Mancuang maka nenek ini langsung 

tersenyum dan keluarkan ucapan.

“Terima kasih kau telah menyelamatkan nyawaku...”

“Terima kasih kembali Nek,” jawab Wiro. “Aku minta maaf kalau 

menduga keliru perbuatanmu ketika menolong mengobati adikku.” “Aku sudah 

melupakan hal itu, Nek.” “Tadi kau menyebut seorang sahabat bersama Denok 

Tuba Biru. Apakah dia gadis bertubuh gemuk yang mukanya biru berbelang 

kuning?” bertanya Si Kamba Mancuang. “Betul Nek.”

“Kalau memang dia, gadis itu... dia sedang dikejar Inyiek Susu Tigo. Dia 

menghisap tiga puting susu Inyiek. Padahal disitu ada rahasia kaulan. Siapa 

perempuan yang bisa menghisap akan dijadikan istri...”

“Si gembrot itu! Sudah gatal dia rupanya! Aku harus mencarinya dan 

memberi pelajaran. Jangan membuat malu di negeri orang!” ujar Wiro.

“Pemuda Malin Kapuyuak itu yang punya pekerjaan mempermainkan si 

gadis.” Menjelaskan si nenek. Lalu dia menyambung. “Anak muda saat ini aku 

ingin segera mengejar Ki Bonang dan kawan-kawannya...”

“Aku ikut bersamamu Nek.”

Si Nenek menatap wajah sang pendekar lalu tersenyum.

“Kau akan membuat budi lagi. Padahal aku mau mengatakan kalau saat 

ini diriku benar-benar berhutang budi besar padamu. Bagaimana aku harus 

membayarnya?”

Wiro garuk-garuk kepala. Dilihatnya wajah si nenek sudah tidak redup 

sedih seperti tadi lagi. Sudah agak cerah. Dia memandang berkeliling. Tidak 

ada orang lain di tempat itu kecuali Niniek Panjalo yang sudah jadi mayat.

“Ada apa? Kau mencari siapa?” tanya si nenek.

Wiro tak menjawab melainkan ulurkan dua tangan memeluk Si Kamba 

Mancuang lalu mencium pipinya kiri kanan. Si nenek jadi terkejut dan 

kelagapan. Tubuhnya sampai bergetar panas dingin. Mendadak Wiro melihat 

ada selapis cahaya biru tipis menyelubungi sekujur kepala dan tubuh si nenek. 

Wiro melihat satu sosok yang lain. Sosok seorang gadis berkulit putih 

berwajah cantik dengan lesung pipit di kedua pipi. Tapi hanya sekilas lalu 

sosok itu kembali pada ujud si nenek semula.

“Nek... kau...” Wiro mempererat pelukannya. Si nenek membalas lebih 

kencang sambil kepala disandarkan di bahu Wiro. Namun kemudian seolah 

sadar cepat-cepat lepaskan diri dari rangkulan Wiro.

“Oooh... jadi begitu caranya aku harus membayar budi besarmu?” ucap


si nenek pula sambil tersipu-sipu.

“Anu Nek, aku...”

Sambil berkelebat pergi dari tempat itu Si Kamba Mancuang berkata.

“Ada satu rahasia besar yang akan aku ceritakan padamu. Ikuti aku...”

“Tunggu Nek, batangan emas yang dicuri nenek satu itu harus kita 

selamatkan.” Wiro mengambil batang emas yang ada di saku pakaian Neniek 

Panjalo lalu lari mengejar Si Kamba Mancuang. Dia juga mengambil pedang Al 

Kausar tak bersarung milik Tuanku Laras Muko Balang yang tergeletak di 

tanah.

Sambil lari mengikuti Si Kamba Mancuang Wiro membatin.

“Aku tidak mungkin bermimpi. Tidak pula melihat mahluk jadi-jadian. 

Tapi tadi, walau sekilas aku jelas-jelas melihat... Agaknya aku harus memeluk 

dan mencium nenek itu sampai dia mau bicara, memberi tahu siapa dia 

sebenarnya!”


TAMAT


Episode Berikutnya:


BULAN SABIT DI BUKIT PATAH
















Share:

0 comments:

Posting Komentar