SATU
BOMA DIBAWA KE POLSEK
NENEK berkulit hitam pandangi
wajah Boma yang babak belur dihahtam
lima pengeroyok berkendaraan Toyota
Hardtop. Mulutnya yang perot
menyeringai.
"Kalau mau jadi pendekar sejati
memang musti tahu kerasnya jotosan,
kencangnya tendangan. Mukamu bengap,
seperti orang kena penyakit biri-biri.
Anak setan, aku pergi dulu. Hik...
hik... hik!"
Sekali berkelebat sosok si nenek
melesat ke arah pohon besar di
seberang jalan. Boma ikuti gerakan
orang tua itu dengan pandangan mata.
Namun di pohon sana bayangan si nenek
lenyap. Tak kelihatan apa-apa. Kecuali
seekor burung putih, yang hinggap di
salah satu cabang.
"Hilang... Nenek itu, dia....'
Boma tidak meneruskan kata-katanya.
Untuk beberapa lama anak ini masih
berdiri sambil memegang plat nomor
mobil Toyota Hardtop yang diberikan
nenek muka hitam dari Gunung Gede.
Lalu lututnya mulai goyah. Rasa sakit
akibat pukulan pengeroyok mulai terasa
di bagian wajah dan tubuhnya. Matanya
masih sempat melihat burung putih yang
hinggap di cabang pohon dekat kios
rokok mengepakkan sayap lalu
pahdangannya berubah menjadi samar.
Dia seperti kehabisan tenaga.
Ketika sosoknya nyaris roboh beberapa
orang berlarian mendatangi. Salah
seorang di antaranya adalah Pasiran,
tukang rokok yang mangkal di ujung
gang dan kenal baik dengan Boma,
"Ini Mas Boma. Dia barusan
dikeroyok. Tolong pegangin, saya mau
kasi tau orang tuanya." Kata Pasiran
pada orang-orang yang ada di situ
dengan suara kental aksen Tegal.
"Panggil laksi. Bawa ke rumah
sakit." Seorang lain berucap.
Mendengar disebutnya rumah sakit,
rasa trauma serta merta mcnghantui
Boma. Pengalaman pahit dii.nv.it di
rumah sakit akibat musibah di Gunung
Gede tempo hari muncul kembali. Dalam
keadaan babak belur seperti itu Boma
kerahkan seluruh tenaga, berusaha agar
tidak pingsan.
"Antarin saya ke rumah. Jangan
bawa ke rumah sakit. Saya...." Ucapan
Boma terputus ketika tiba-tiba cahaya
menyilaukan lampu sebuah mobil pikup
terbuka menyoroti wajahnya. Terdengar
denyit keras rem mobil. Pintu depan
kiri kanan pikup terbuka. Dua orang
berseragam Polisi keluar. Bersamaan
dengan itu dari bagian belakang
kendaraan ini berlompatan pnla empat
petugas.
TAK JAUH dari pohon besar nenek
kulit hitam hentikan lari, berpaling
ke seberang jalan. Saat itu dua orang
polisi dilihatnya memapah Boma.
Beberapa petugas lainnya menanyai
orang-orang yang ada di tempat itu.
Si nenek pencongkan mulut.
"Kasihan. Anak setan itu pasti akan
ketiban urusan tidak enak. Untung tadi
dia tidak memukul mati salah seorang
pengeroyok...." Si nenek berucap dalam
hati. Sambil geleng-gelengkan kepala
dia memutar tubuh. Namun baru bergerak
setengah putaran tiba-tiba sesuatu
menghantam dadanya.
"Bukkk!"
Sinto Gendeng, nenek sakti dari
puncak Gunung Gede terpekik. Tubuhnya
mencelat menghantam kios rokok hingga
kios itu terbalik roboh, isinya
berantakan ke mana-mana. Pasiran yang
tengah ditanyai Polisi melengak kaget
ketika menyaksikan apa yang terjadi
dengan kios miliknya. Tanpa perdulikan
petugas yang tengah menanyai, Pasiran
menghambur lari ke arah kios rokoknya.
"Walah biyung! Matek aku! Ora ono
mobil yang nabrak, ora ono angin
puyuh! Kenapa kiosku jadi ambrol
begini?!" Pasiran berteriak setengah
menggerung. Beberapa orang Polisi
mendatangi. Ikut terheran-heran
melihat apa yang terjadi. Sementara
Pasiran sibuk mengambil dan mengumpul-
kan barang dagangannya yang berham-
buran ke mana-mana.
DI BAWAH pohon besar tak jauh
dari kios yang terbalik, tidak
terlihat oleh orang-orang yang ada di
jalan raya kecuali Boma, nenek muka
hitam berdiri terhuyung-huyung sambil
pegangi dadanya yang barusan terkena
hantaman dahsyat. Rasa sakit dan panas
seolah ada bara api menimbun dada itu.
Di sela bibirnya terlihat ada lelehan
darah. Nenek bertampang angker ini
bukan orang sembarangan. Ilmu silat
dan kesaktiannya telah menggegerkan
delapan penjuru rimba persilatan Tanah
Jawa. Kalau malam itu ada orang mampu
menghantamnya tanpa dia sempat
mengetahui, mengelak atau menangkis,
berarti si penyerang memiliki tingkat
kepandaian luar biasa.
"PAK, jangan bawa ke rumah sakit,
Pak," kata Boma pada dua anggota
Polisi yang memapahnya. "Saya mau
pulang. Rumah saya di ujung gang...."
"Dik, luka adik cukup parah. Adik
harus dirawat...."
"Saya nggak apa-apa Pak. Saya
nggak apa-apa...." jawab Boma.
"Nggak apa-apa gimana?!" ucap
Polisi berpangkat sersan Satu bernama
menggerung. Beberapa orang Polisi
mendatangi. Ikut terheran-heran
melihat apa yang terjadi. Sementara
Pasiran sibuk mengambil dan mengumpul-
kan barang dagangannya yang berham-
buran ke mana-mana.
DI BAWAH pohon besar tak jauh
dari kios yang terbalik, tidak
terlihat oleh orang-orang yang ada di
jalan raya kecuali Boma, nenek muka
hitam berdiri terhuyung-huyung sambil
pegangi dadanya yang barusan terkena
hantaman dahsyat. Rasa sakit dan panas
seolah ada bara api menimbun dada itu.
Di sela bibirnya terlihat ada lelehan
darah. Nenek bertampang angker ini
bukan orang sembarangan. Ilmu silat
dan kesaktiannya telah menggegerkan
delapan penjuru rimba persilatan Tanah
Jawa. Kalau malam itu ada orang mampu
menghantamnya tanpa dia sempat
mengetahui, mengelak atau menangkis,
berarti si penyerang memiliki tingkat
kepandaian luar biasa.
"PAK, jangan bawa ke rumah sakit,
Pak," kata Boma pada dua anggota
Polisi yang memapahnya. "Saya mau
pulang. Rumah saya di ujung gang...."
"Dik, luka adik cukup parah. Adik
harus dirawat...."
"Saya nggak apa-apa Pak. Saya
nggak apa-apa...." jawab Boma.
"Nggak apa-apa gimana?!" ucap
Polisi berpangkat sersan Satu bernama
Suwarto yang memapah boma di sebelah
kanan. "Mata kiri kamu bengkak, pipi
bengap. Hidung juga bengkak, ada
pendarahan. Bibir kamu pecah!" Pada
temannya Sersan ini berkata. "Naikkan
anak ini ke mobil. Bawa ke RSCM untuk
perawatan pertama. Nanti kita tanyai
di Polsek...."
"Saya pulang aja Pak. Bapak boleh
tanyai saya di rumah," Boma memohon
sambil kepalanya dipalingkan ke arah
pohon. Saat itu dia melihat nenek
berkulit hitam yang kepalanya di-
tancapi lima tusuk konde perak tengah
berusaha bangun sambil pegangi dada.
Di hadapan si nenek, dalam kegelapan
ada dua sosok menghadang.
"Nek... Nenek...." panggil Boma.
"Anak ini pasti ngacok!" kata
Sersan Satu Suwarto. Dia memperhatikan
ke jurusan yang dipandang Boma. Arah
pohon besar di belakang kios rokok
yang terbalik. "Nenek siapa? Siapa
yang kamu panggil nenek?"
Boma tak menjawab. Sersan Satu
Suwarto dan anak buahnya saling
pandang sesaat lalu geleng-gelengkan
kepala. Kedua petugas itu memapah Boma
ke arah mobil pikup.
"Jangan ke rumah sakit Pak.
Jangan. Saya nggak apa-apa. Saya mau
pulang aja," pinta Boma.
Tapi dua anggota Polisi itu tetap
membawanya ke mobil pikup. Boma
berpaling lagi ke arah pohon. Saat itu
si nenek muka hitam telah bangkit
berdiri. Salah satu dari dua sosok
yang mendekam dalam gelap bergerak
mendekatinya.
"Nek...."
"Nenek lagi! Nenek lagi! Siapa
sih yang kamu panggil Nenek? Setan?
Hantu?!" Gerutu Sersan Satu Suwarto
sambil terus memaksa Boma melangkah
menuju mobil pikup.
Saat itu Boma mendadak ingat
peristiwa malam hari di satu bukit
kecil. Dalam keadaan di luar sadar,
dia melangkah mengikuti bimbingan satu
kekuatan aneh. Di satu puncak bukit
kecil telah menunggu seorang nenek
tinggi hitam bermuka angker.
"Anak Setan," begitu si nenek
selalu memanggil yang membuat Boma
jadi jengkel. "Malam ini ataskehendak
Yang Maha Kuasa antara kau dan aku
terjalin satu hubungan yang sebelumnya
tidak satu pun di antara kita pernah
menduga hal ini akan terjadi...."
Boma tatap sosok nenek tinggi
yang menebar bau pesing itu. Dia ingat
perempuan tua inilah yang dulu
menyelamatkan dirinya dan kawan-kawan
sewaktu terjadi musibah di puncak
Gunung Gede. Ketika dia dirawat di
Rumah Sakit PMI Bogor, nenek aneh ini
muncul, ingin menurunkan ilmu
kepandaian padanya, tapi ditolak. Lalu
nenek ini pula yang kemudian
memasukkan hawa sakti ke dalam telapak
tangan kirinya yang ada tanda silang
sewaktu dia dirawat di RSCM akibat
perutnya diclurit rampok di Jalan
Kramat Raya. (Baca Episode sebelumnya
berjudul "ABG = Anak Baru Gendenk")
Mendengar ucapan si nenek Boma
menowel hidungnya lalu beranikan diri
bertanya.
"Nek, maksudmu hubungan apa?"
"Apa yang ada dalam benakmu, Anak
Setan?" balik bertanya si nenek.
"Hubungan... hubungan cinta pasti
bukan. Iya 'kan Nek?!"
"Gila kau!"
"Hubungan tilpon juga nggak...."
"Tilpon? Binatang apa itu?" tanya
si nenek.
"Itu, pesawat untuk bicara jarak
jauh." Boma coba menjelaskan.
"Di Gunung Gede tidak ada barang
begituan! Kalau mau bicara jarak jauh
teriak saja! Atau pakai ilmu
mengandalkan tenaga dalam. Anak Setan,
dengar baik-baik. Perjalanan nasib
serta takdir Illahi membuat kita
bertemu satu sama lain. Mulai malam
ini kau berjodoh dengan diriku.
Sebenarnya sejak aku mengalirkan hawa
murni sakti ke dalam tubuhmu itu satu
pertanda kita telah berjodoh." Boma
melengak kaget.
"Nek, maksudmu berjodoh.... Kau
kawin dengan saya?"
"Anak Setan! Jangan bicara
ngacok! Kau berjodoh untuk jadi
muridku! Tahu?"
Boma lepaskan nafas lega tapi
masih kernyitkan kening.
"Memangnya kau mau mengajarkan
apa Nek? Bahasa Inggris? Matematika
atau Fisika? Dua mata pelajaran itu
saya memang jeblok banget!"
Si nenek kulit hitam muka cekung
tertawa panjang sampai lima tusuk
konde yang menancap di batok kepalanya
bergoyang-goyang.
"Tolol! Aku tidak mengajarkan
segala ilmu begituan! Yang akan
kuberikan padamu adalah ilmu
kepandaian untuk menjaga diri dan
menolong sesama...."
"Kau... kau mau menjadikan saya
dukun, Nek? Begitu?"
"Goblok! Apa kau lupa waktu
kejadian di Rumah Sakit? Aku pernah
menyalurkan hawa murni sakti ke dalam
tubuhmu lewat telapak tangan kiri yang
suka kau pakai cebok itu! Lupa hah?!"
"Saya nggak lupa Nek. Tapi tangan
kiri ini tetap aja saya pakai buat
cebok Nek. Mana ada sih orang cebok
pakai tangan kanan. Saya nggak tau
kesaktian apa yang Nenek berikan."
"Anak Setan! Bagusnya kau jangan
banyak bicara dulu! Dengar saja apa
yang akan aku katakan!"
Boma menowel hidungnya, berdiam
diri. Menunggu apa yang hendak
diucapkan orang.
Setelah pmdangi wajah anak lelaki
di depannya beberapa ketika, si nenek
lantas berkata.
"Manusia itu pertama kali
dijadikan Gusti Allah dari debu,
dirubah menjadi segumpal tanah.
Dibentuk sosoknya seperti bentuk dan
keadaan manusia sekarang ini. Lalu
Gusti Allah meniupkan nyawa ke dalam
tubuhnya. Maka hiduplah dia sebagai
manusia. Bernafas, makan, minum,
berjalan, berbicara, bisa kentut...."
"bisa beoll" sambung Boma polos
tapi seenaknya.
"Apa itu beol?" tanya si nenek.
"Itu Nek, maksud saya bisa ke
belakang."
"Berak?"
"Ya kira-kira 'gitu Nek." jawab
Boma sambil nyengir dan menowel
hidung.
"Sialan kau!" maki si nenek tapi
ikutan nyengir. lalu lanjutkan kata-
katanya yang tadi terputus.
"Manusia diciptakan punya otak,
punya rasa dan hati nurani yang
membuatnya kelak lebih mulia dari
mahluk hidup lain. Manusia pertama
yang diciptakan Gusti Allah itulah
yang kita kenal sebagai Nabi Adam.
Sampai di sini, Anak Setan, apa kau
punya pertanyaan?"
Boma berpikir sejenak. Dia memang
sudah banyak mendengar dan membaca
riwayat kehadiran
Nabi Adam di muka bumi. Namun
saat itu dia tidak mengerti apa maksud
si nenek menuturkan riwayat itu
padanya.
"Nek, bukankah kemudian Gusli
Allah menciptakan Siti Hawa untuk jadi
teman hidup Nabi Adam?"
Muka nyaris tak berdaging dan
berkulit hitam si nenek menyeringai.
"Anak Setan! Kau tidak pernah
melupakan urusan perempuan. Hik...
hik... hik! Tapi kau betul. Gusti
Allah menciptakan Siti Hawa dari salah
satu tulang rusuk Nabi Adam. Kau
pernah dengar riwayat itu, Anak
Setan?"
Boma mengangguk. "Buntut
kejadiannya, tidak salah kalau kemu-
dian orang-orang perempuan mengejar
orang-orang lelaki. Katanya sih mau
kembali ke asalnya di susunan tulang
iga lelaki. Tapi anehnya yang dikejar
kok lelaki ganteng melulu atau lelaki
yang banyak doku."
Si nenek unjukkan tampang
merengut.
"Hanya perempuan tolol yang mau
mengejar lelaki! Jaman sekarang kau
saksikan sendiri. Kenyataannya orang
lelaki yang mengejar orang perempuan.
Kakek-kakek masih mau mengejar gadis
padahal pantas jadi cucunya! Eh, tadi
kau bicara doku. Apa itu doku?"
"Ini Nek," jawab Boma sambil
menggesek-gesekkan telunjuk dengan ibu
jari tangan kanan. "Duit alias uang!"
"Uang.... Itu salah satu urusan
dunia yang sering membawa manusia ke
dalam neraka."
"Nek, kepala saya pusing. Saya
nggak ngerti maksud semua pembicaraan
ini," kata Boma pula.
"Manusia dijadikan Gusti Allah
dari tanah. Berarti dalam setiap sisi
kehidupannya manusia tidak akan
terlepas dari alam, terutama tanah.
Bahkan pada akhir hayatnya manusia
akan kembali kepada tanah. Dikubur
dalam tanah! Di dalam tubuhmu saat ini
ada satu kekuatan yang bisa kau
pergunakan setiap saat kau ingini,
terutama dalam bahaya. Jika kau
menahan nafas, lalu mengencangkan
bagian perutmu di sekitar pusar yang
men jadi pusat kekuatan hawa sakti
yang kau miliki, maka jika kau
mengucapkan Basmallah dan menyebut
kata berat dalam hati sambil
membayangkan batu besar, bukit atau
gunung, maka dengan izin Gusti Allah
tubuhmu akan menjadi seberat batu,
bukit atau seberat gunung!"
Saat itu ingin Boma mengatakan
ketidak percayaannya atas ucapan si
nenek, tapi dia diam saja.
"Anak Setan! Dari tampangmu aku
tahu kau tidak percaya pada apa yang
aku ucapkan. Mari kita lihat. Aku
ingin kau membuktikan sendiri."
Habis berkata begitu si nenek
cabut satu dari lima tusuk konde yang
menancap di batok kepalanya. Tusuk
konde dari perak itu diletakkan di
tanah, di depan Boma.
"Ambil tusuk konde itu," perintah
si nenek.
"Apa sulitnya mengambil tusuk
konde ini, Nek," kata Boma seraya
ulurkan tangan mengambil tusuk konde
dari tanah.
"Letakkan tusuk konde di tempat
semula."
Boma ikuti ucapan si nenek. Tusuk
konde perak diletakkan di tanah.
"Sekarang ambil lagi," ucap si
nenek.
Seperti tadi Boma kembali
mengambil tusuk konde perak yang
tergeletak di tanah. Tapi sekali ini
dia tidak mampu mengambil dan
mengangkat. Tusuk konde itu telah
berubah menjadi berat luar biasa. Boma
kerahkan tenaga. Keringat sampai
memercik di keningnya. Dari bersila
dia kini berjongkok. Kalau tadi cuma
pergunakan tangan kanan, kini dia
pergunakan dua tangan sekaligus. Tetap
saja tusuk konde perak itu tidak mampu
diangkatnya dari tanah. Terengah-engah
seperti habis berlari jauh Boma tarik
kedua tangannya.
Si nenek menyeringai. Dia ulurkan
tangan mengambil tusuk konde lalu
ditancapkan kembali di batok
kepalanya.
"Tusuk konde itu tadi telah
menyatu dengan alam. Di dalam alam
terdapat kekuatan Gusti Allah yang
maha dahsyat. Aku membayangkan Gunung
Gede. Dengan izin Yang Kuasa bobot
tusuk konde berubah seberat Gunung
Gede! Sampai bijimu pecah, kau tak
akan mampu mengangkatnya! Hik...
hik... hik!"
"Aneh," anak lelaki ini berucap
perlahan.
"Atas izin Allah, tak ada
keanehan di dunia ini. Kau bisa
membuat sebuah benda menjadi seberat
batu raksasa. Kau bisa membuat dirimu
menjadi seberat gunung hingga tak ada
yang mampu mengangkat...."
UCAPAN si nenek seolah mengiang
di telinga Boma. "Kau bisa membuat
dirimu menjadi seberat gunung hingga
tak ada yang mampu mengangkat...."
Mungkin ini saatnya dia
membuktikan ucapan si nenek. Sekaligus
membuktikan bahwa dia memang telah
menguasai ilmu kesaktian yang
diajarkan.
Diam-diam Boma menahan nafas,
mengencangkan perut. Kata Basmallah
diucapkannya dalam hati. Sambil
mengucap kata berat anak ini
membayangkan gunung. Apa yang kemudian
terjadi membuatnya kaget luar biasa.
Dua anggota Polisi yang setengah
memaksa memapah Boma ke arah mobil
pikup mendadak merasa seperti
mendorong satu benda berat. Jangankan
bergerak berjalan, bergeming sedikit
pun tubuh Boma tidak.
"Ayo jalan!" Sersan Satu Suwarto
berkata sambil kakinya ditendang-
tendangkan ke tumit sepatu Boma.
T'etap saja anak itu tidak bergerak.
Malah kakinya yang terbungkus sepatu
berkulit tebal terasa sakit seperti
menendang batu. Semakin dia dan
temannya memaksa, menarik dan
mendorong semakin berat sosok tubuh
anak itu.
"Pak, jangan bawa saya ke rumah
sakit...." Boma kembali memohon.
Sersan Satu Suwarto yang mulai
merasa bingung tapi juga jengkel
akhirnya berkata.
"Kalau situ tidak mau ke rumah
sakit, ya sudah! Tapi kami tetap harus
membawa kamu ke Polsek untuk dimintai
keterangan."
Kali ini Boma tak berani
membantah. Perutnya yang tadi
kencangkan perlahan-lahan dikendurkan.
Begitu kekuatan hawa sakti yang
berpusat di bagian perut buyar, bobot
Boma kembali normal seperti semula.
Sekali dorong saja anak ini maju
sampai dua tiga langkah ke arah mobil
pikup.
"Mas Pasiran!" Boma berseru pada
pemilik kios rokok. "Tolong kasih tau
bapak saya. Saya dibawa ke Polsek."
Pasiran yang sibuk mengurusi
barang dagangannya hanya mengangkat
kepala lalu mengangguk. Tapi pedagang
rokok ini bersama seorang lainnya yang
ada di situ kemudian juga dibawa ke
Polsek untuk jadi saksi dan dimintai
keterangan. Terpaksa Pasiran
menitipkan kios dan barang dagangannya
pada seorang kenalan.
Sebelum mobil pikup bergerak
untuk terakhir kali Boma memandang ke
arah pohon.
"Nek...." ucap Boma. Sejak tadi
dia merasa nenek penolongnya itu
berada dalam bahaya.
Di bawah pohon sana Sinto Gendeng
melirik sekilas ke arah Boma. Lalu
Boma mendengar suara seperti ngiangan
nyamuk di telinganya.
"Anak Setan, jangan perdulikan
aku. Bantu petugas. Tapi awas. Jangan
menyebut-nyebut diriku."
Di atas mobil pikup, salah
seorang anggota Polisi mengambil plat
nomor kendaraan yang sejak tadi
dipegang Boma. Dua buah lobang tempat
masuknya sekerup kelihatan robek
besar. Agaknya plat kaleng itu dicopot
secara sengaja. Dan tentunya
mempergunakan daya tarik yang kuat.
Tangan biasa tidak mungkin
menanggalkan plat kaleng itu begitu
saja.
"Ini plat mobil siapa?" tanya
anggota Polisi yang duduk di samping
Boma di bagian belakang pikup terbuka.
"Plat mobil orang yang ngeroyok
saya Pak." Jawab Boma.
"Kok ada sama kamu?"
"Nemu di jalan, Pak. Mungkin
jatuh." Jawab Boma berdusta. Dia ingat
si nenek. Jangan memberi keterangan
apa-apa mengenai dirinya pada Polisi.
Dalam keterdiamannya Boma membayangkan
sikap kedua orang tuanya kalau mereka
menyusul datang ke Polsek. Ibunya akan
menangis begitu melihal dia. Ayahnya
seperti biasa sebelum bertanya apa-apa
pasti akan mendamprat dirinya. lalu
terbayang wajah Dwita Tifani. Hari
Sabtu tadi anak perempuan itu tidak
masuk sekolah. Mungkin sakit. Mungkin
juga ikut sibuk bersama orang tuanya
mengurus segala sesuatu yang
berhubungan dengan persiapan tugas
baru ayahnya di gedung PBB New York.
Walau berlainan kelas dengan Boma,
tapi semua anak di kelas Boma sudah
tahu kalau Dwita akan ikut pindah
bersama ayahnya ke Iuar negeri. Dalam
keadaan seperti itu, diangkut di alas
mobil pikup terbuka, dikawal petugas
Polisi, diterpa angin malam yang
mencucuk dingin, muka bengap dan badan
sakit, hati anak lelaki ini mengeluh.
"Heran, semua anak udah tau kalau
dia mau pindah ke luar negeri. Kok
Dwita-nya sendiri tenang-tenang aja.
Nggak pernah ngomong sama aku.
Kayaknya nggak ada peratian."
Boma menowel hidungnya. Tapi
mengerenyit sendiri kesakitan.
DUA
TAMU ANEH DI KLINIK
BEDAH DHARMA BAKTI
SEJAK pensiun dari R.S. Cipto
Mangunkusumo, Profesor Victor
Nainggolan menyibukkan diri mengurus
Klinik Bedah miliknya di Jakarta
Pusat. Pagi itu di ruang kerjanya,
sambil membaca koran dia menunggu
kedatangan seorang pasien untuk bedah
satu benjolan kecil di tangan kiri.
Tilpon di meja berdering. Profesor
Nainggolan mengangkat pesawat.
Ternyata dari seorang calon pasien
yang minta waktu untuk pemeriksaan
hasil ronsen benjolan di leher.
Setelah memeriksa buku catatan
prakteknya, Profesor Nainggolan minta
agar pasien itu datang jam tiga nanti
sore.
Ahli bedah lulusan salah sebuah
Universitas di Jerman itu meneguk
kopinya lalu meneruskan membaca koran.
Dia tengah asyik membaca berita
kriminalitas di Ibukota ketika tiba-
tiba pintu ruangan praktek terbuka.
Dua orang dengan tampang dan dandanan
luar biasa masuk ke dalam ruangan.
Profesor Nainggolan setengah terlonjak
di kursinya saking kaget. Dia hampir
tidak bisa yakin apakah saat itu
benar-benar berhadapan dengan manusia
atau mahluk apa. Ruangan praktek itu
kini dilanda bau tidak enak yang
berasal daritubuh serta pakaian dua
orang yang barusan masuk.
Orang pertama lelaki tua renta
berpakaian kumal rombeng. Tubuhnya
menghampar bau tidak enak. Wajahnya
mengerikan untuk dipandang. Wajah itu
dihias dua mata cekung angker, tidak
berdaging dan kelihatan pucat pasi
seolah tidak berdarah. Mulutnya selalu
berada dalam keadaan miring hingga dia
seperti dalam keadaan menyeringai
terus-menerus. Manusia satu ini
berambut putih sepunggung. Profesor
Victor Nainggolan memperhatikan, orang
ini buntung tangan kirinya sebatas
siku. Sepasang matanya yang cekung
memandang tak berkesip seolah-olah mau
menelan sosok sang ahli bedah yang
tinggi kurus itu.
Orang kedua tak kalah hebatnya,
malah lebih mengerikan. Seorang nenek
mengenakan jubah dalam tebal biru
pekat. Rambutnya berwarna merah,
menjulai panjang dan diikat di sekitar
pinggang. Kalau rambut yang riap-
riapan itu tidak diikat ujungnya akan
menjela sampai lantai ruangan. Sepuluh
jari tangan si nenek panjang berwarna
merah. Lalu sepasang matanya. Ini yang
paling mengerikan. Dua mata itu merah
semua, tak ada putihnya! Satu hal yang
luar biasa, nenek bermantel biru ini
memanggul sosok seorang kakek
berpakaian kolor di bahu kirinya.
Seperti kakek di sebelahnya, nenek ini
mengeluarkan bau yang tidak sedap di
ruang praktek ber-ac itu.
"Penjahat bukan, pengemis jelas
bukan...." membatin Profesor Victor
Nainggolan.
"Kalian ini siapa?" Ahli bedah
itu bertanya dengan suara serak
tersekat.
"Siapa kami tidak penting." Yang
menjawab kakek muka pucat bertangan
buntung. Dia memberi isyarat pada
nenek bermantel biru, lalu tnenunjuk
ke ranjang periksa di samping kiri
ruangan praktek. Si nenek melangkah
mendekati ranjang lain membaringkan
tubuh kakek yang sejak tadi dipanggul.
Selesai membaringkan orang, si nenek
berpaling pada Profesor Nainggolan.
"Kami butuh pertolongan...."
Saat itu sang Profesor masih
setengah terkesiap. Belum sempat dia
menjawab tiba-tiba dari ruangan dalam
terdengar langkah-langkah kaki
bersepatu.
Sesaat kemudian muncul seorang
perempuan muda berseragam putih. Dia
adalah satu-satunya jururawat yang
membantu Profesor Nainggolan di Klinik
hari itu. Jururawat ini begitu
terkejut melihat orang-orang aneh di
ruang praktek, langsung pucat dan
melangkah mundur. Nenek bermantel
cepat mendekati. Tak dapat
mengendalikan rasa takutnya jururawat
ini menjerit keras. Namun suara
jeritannya hanya sampai di
tenggorokan. Dengan cepat nenek
bermantel menggerakkan tangan, menotok
urat besar di pangkal leher. Membuat
jururawat itu serta-merta kaku tak
bisa bergerak tak bisa bersuara!
Melihat apa yang terjadi, rasa
takut membuat Profesor Nainggolan
berusaha melarikan diri ke ruang
belakang. Namun gerakannya dihadang
oleh kakek bermuka pucat. Sekali
tangan kanan kakek ini bergerak, apa
yang terjadi dengan jururawat
Poliklinik dialami pula oleh sang ahli
bedah.
Profesor ini tertegun kaku tak
bersuara di dekat sekat pembatas ruang
praktek dengan ruang operasi.
Nenek bermata merah berambut
riap-riapan melangkah mendekati
Profesor Nainggolan.
"Profesor, dengar baik-baik apa
yang akan aku ucapkan. Aku tidak akan
mengulang dua kali, dan apa yang kami
inginkan harus terlaksana. Kedipkan
matamu dua kali tanda kau mengerti apa
yang aku barusan bilang!"
Profesor ahli bedah yang tak bisa
bersuara tak mampu bergerak itu
ternyata bisa mengedipkan matanya dua
kali.
Nenek bermata merah menyeringai.
"Jika kau berjanji tidak akan
berteriak, aku akan membuka jalan
suaramu. Tapi untuk sementara tubuhmu
akan tetap kaku tak bisa bergerak.
Jika kau berani menipu, aku akan
hancurkan semua peralatan di tempat
ini lalu meremas kepalamu seperti
ini!"
Selesai berucap si nenek ulurkan
tangan mengambil benda penindih kertas
terbuat dari kaca tebal berbentuk
piramid yang lerletak di atas meja.
Sekali tangannya meremas kraaakk!
Penindih kertas itu hancur menjadi
kepingan-kepingan kecil yang kemudian
diletakkannya di atas koran yang tadi
dibaca Profesor Nainggolan.
Profesor Nainggolan terbelalak
kaget dan kecut. Mukanya pucat pasi.
Seumur hidup baru sekali ini dia
dilanda rasa takut luar biasa begitu
rupa.
"Ya, Tuhan, tabahkan diri saya.
Saat ini mungkin saya tidak berhadapan
dengan manusia. Tolong saya Tuhan."
sang Profesor berdoa dalam hati.
"Profesor, jika kau berjanji
tidak berteriak, aku akan buka jalan
suaramu! Kedipkan matamu dua kali
tanda kau mengerti dan setuju!"
Kembali Profesor Nainggolan
kedipkan matanya dua kali.
Tangan kanan nenek bermantel biru
berkelebat.
"Beettt!"
Urat besar di pangkal leher sang
Profesor ditotoknya. Detik itu juga
ahli bedah itu terbatuk-batuk beberapa
kali.
"Katakan apa mau kalian."
Profesor Nainggolan beranikan diri
keluarkan ucapan. Suaranya perlahan,
bergetar.
Sebagai jawaban nenek bermata
merah rambut riap-riapan melangkah
mendekati kawannya si kakek bungkuk
muka pucat. Tangan kanannya yang
berkuku panjang merah bergerak ke
lengan kiri pakaian si kakek. Brettt!
Lengan itu robek besar.
"Kau lihat, tangan sobatku ini
buntung sebatas siku. Aku ingin kau
menyambungnya dengan tangan baru."
Profesor Nainggolan terkesiap
mendengar ucapan itu. Dia perhatikan
tangan kiri kakek muka pucat yang
buntung. "Hal itu tak mungkin saya
lakukan." kata Profesor Nainggolan.
"Dari keadaan tangan itu, buntungnya
pasti sudah berlangsung lama. Saya
tidak bisa melakukan. Lagi pula mau
disambung dengan tangan baru dari
mana?"
"Tangan orang ini." Yang menjawab
adalah nenek bermantel biru yang
berdiri di samping ranjang periksa.
Profesor Nainggolan terkejut.
Mulutnya sampai ternganga. Untuk
beberapa lamanya dia tegak terdiam
seperti itu.
"Profesor pasti mampu melakukan,"
kata nenek bermantel biru dengan
pandangan mata merah menyala tak
berkesip.
"Tidak mungkin...." Profesor
Nainggolan gelengkan kepala.
"Apa yang tidak mungkin. Kami
tahu Profesor pernah belajar di Cina
seluk-beluk penyambungan tangan dan
kaki buntung...." Yang bicara adalah
kakek muka pucat.
"Bagaimana Anda tahu. Anda-anda
ini siapa sebenarnya?"
"Sudah aku bilang, Profesor tidak
perlu tahu siapa kami. Lakukan saja
apa yang kami minta. Jika kau berani
menolak bangunan Klinik ini akan kami
sama ratakan dengan tanah...."
"Saya bukan menolak. Tapi
menyambung tangan yang sudah lama
buntung mana mungkin...."
"Lalu apa artinya Profesor
belajar sekian lama di Cina?"
"Tangan atau kaki yang buntung
ada kemungkinan untuk disambung jika
buntungnya masih baru. Tidak lewat
dari dua jam...."
"Begitu?" ujar nenek mata merah.
Dia melangkah ke lemari yang penuh
berisi alat-alat bedah.
"Jangan dibuka. Semua peralatan
di situ sudahdisteril," kata Profesor
Nainggolan mencegah setengah
berteriak.
Tapi si nenek tidak perduli.
Sekali tangannya diputar handel pintu
lemari kaca berderak palah. Pintu
lemari dibuka. Si nenek mengambil
sebuah pisau besar berkilat. Pisau ini
dimelintangkannya di depan wajah sang
Profesor lalu berkata.
"Dengan pisau ini aku bisa
membuat buntungan baru di tangan
sobatku. Lima jari di atas siku. Lalu
dengan pisau ini aku juga bisa memutus
lengan kiri orang di atas ranjang lima
atau enam jari di atas sikunya.
Berarti kau punya dua tangan buntung
kurang dari dua jam. Berarti mudah
bagimu menyambung tangan sobatku ini
dengan tangan orang itu!"
"Tetap tidak mungkin. Urusannya
tidak semudah itu...."
"Buat jadi mudah! Agar kau tidak
susah!" Kata kakek muka pucat.
"Atau mungkin tangan kirimu saja
yang aku babat putus untuk disambung
ke tangan kiri sobatku!" kata nenek
mata merah lalu tertawa mengekeh.
"Saya tidak bisa melakukan. Orang
di atas ranjang itu. Siapa dia?"
"Perlu apa kau tanyakan dirinya?
Dia cuma pengemis kurang ingatan yang
kami temukan di jalanan. Dan satu hal!
Untuk tangan kirinya yang akan
dibuntungi ada ganti rugi cukup
memadai!" Habis berkata begitu dari
balik mantelnya si nenek keluarkan dua
gepok uang lima puluh ribuan,masing-
masing gepok berjumlah lima juta
Rupiah. Satu gepok dilemparkannya ke
atas tubuh pengemis di atas tempat
tidur.
"Itu kami rasa cukup untuk ganti
lengannya yang kami perlukan. Dan ini
lima juta untuk ongkos penyambungan!"
Si nenek lemparkan gepokan lima juta
yang satunya ke atas meja kerja
Profesor Nainggolan.
"Demi Tuhan, saya tidak bisa
melakukan apa yang kalian minta. Ambil
kembali uang itu. Bawa orang di atas
tempat tidur. Tinggalkan klinik saya
sekarang juga."
"Profesor... Profesor. Kau
mengingkari janji!"
"Saya tidak berjanji apa-apa,"
jawab Profesor Nainggolan.
"Begitu?" ujar si nenek. Lalu
umbar tawa bergelak. Sepasang matanya
memancarkan cahaya aneh menggidikkan.
Pisau besar berkilat yang masih
dipegangnya di tangan kanan
dilemparkannya pada kakek muka pucat.
"Muka Bangkai, buntungi tangan
kiri orang ini!"
Sambil keluarkan tawa mengekeh
kakek muka pucat yang ternyata Si Muka
Bangkai dengan tangan kanannya sambuti
pisau yang dilemparkan si nenek yang
bukan Iain adalah gurunya yakni Kunti
Api. Sambil tertawa mengekeh dia
ulurkan lidah menjilati pisau besar
lalu melangkah mendekati Profesor
Nainggolan.
Lelehlah nyali ahli bedah lulusan
Jerman itu.
KETIKA rombongan petugas Kepoli-
sian yang diberitahu lewat tilpon
memasuki Klinik Bedah Dharma Bakti,
Profesor Victor Nainggolan, mereka
menemukan ahli bedah itu terduduk
pucat di terasa Klinik ditemani
jururawat yang masih menangis
sesenggukan. Tiga petugas menanyai
kedua orang ini. Yang lain-lain
melakukan pemeriksaan di bagian dalam.
Dua gepok uang lima puluhan ribu yang
ditemukan ternyata hanya satu lembar
sebelah atas dan satu lembar sebelah
bawah saja berupa uang asli. Di
sebelah dalam hanya berupa potongan-
potongan kertas polos yang ukurannya
dibuat sama dengan uang di sebelah
atas dan bawah.
Di meja operasi, tergeletak sosok
pengemis yang masih belum sadar akibat
pengaruh obat bius. Tangan kirinya
buntung, dibalut sebatas siku.
TIGA
BAKU HANTAM TIGA
DEDENGKOT RIMBA PERSILATAN
DIBAWAH bayangan gelap pohon
besar di pinggir jalan Sinto Gendeng
memandang menyorot pada dua sosok yang
tegak menghadang di hadapannya.
"Hemm...." masih memegangi
dadanya yang sakit, si nenek bergumam.
"Guru dan murid. Mereka rupanya. Dua
setan alas keparat. Satu ratu, satunya
setan golongan hitam rimba
persilatan." Meski gelap, guru
pendekar 212 Wiro Sableng ini ternyata
masih bisa mengenali jelas siapa
adanya dua orang di hadapannya.
Yang pertama adalah tua bangka
yang dikenal sebagai guru Pangeran
Malahari yakni kakek berjuluk Si Muka
Bangkai alias Si Muka Mayat. Sinto
Gendeng soroti sosok manusia satu ini
dengan pandangan mata geram tapi juga
heran.
"Aneh, aku tidak lupa. Beberapa
waktu lalu ketika Si Muka Bangkai ini
menyerbu ke puncak Gunung Gede, aku
telah membuat buntung tangan kirinya.
Kini mengapa tangan itu utuh kembali?
Memakai tangan palsu? Agaknya tidak.
Walau agak kaku tangan itu jelas
tangan sungguhan. Tapi dibagian siku
ada balutan-balutan tebal dan palang
bambu pengganjal. Mungkin aku harus
membetot lepas tangan kiri bangsat
muka pucat ini untuk mengetahui
keadaan tangannya."
Sinto Gendeng melirik pada sosok
tinggi yane, tegak di samping Si Muka
Mayat.
"Mengenakan mantel biru, rambut
merah riap riapan. Sepuluh kuku jari
panjang merah. Dua mata juga merah
seperti setan neraka! Siapa tidak
kenal dirinya. Kunti Api! Guru Si Muka
Bangkai."
"Dadamu masih sakit Sinto?" Tiba-
tiba Si Muka Bangkai menegur ketika
melihat Sinto Gendeng masih pegangi
dadanya yang tadi kena gebuk, entah
dihantam jotosan entah dilabrak
tendangan.
Sinto Gendeng keluarkan suara
mendengus lalu meludah ke tanah.
Ludahnya bercampur darah pertanda dia
menderita luka dalam cukup parah.
Salah satu dari dua orang itu tadi
menghantamnya. Menimbang tingkat
kepandaian mereka Sinto Gendeng
menduga yang menghantamnya pastilah
Kunti Api.
Setelah mendengus sekali lagi
nenek sakti dari Gunung Gede berkata.
"Datang berdua. Masih tidak punya
malu berlaku pengecut. Membokong lawan
secara keji! Cuah!" Kembali Sinto
Gendeng meludah.
"Nenek jelek," menyahuti Si Muka
Bangkai. "Jangan salahkan kami. Makin
tua matamu makin lamur. Pedengaranmu
mulai tuli. Kau tak tahu diserang
orang. Ternyata nama besarmu di
delapan penjuru angin hanya isapan
jempol, bohong belaka!"
Kunti Api tertawa bergelak
mendengar ucapan muridnya itu.
"Sinto Gendeng, aku ingin
mendengar apa jawabmu!" ujar Kunti Api
pula.
"Jawabanku mudah-mudah saja!
Kalian berdua mencari mati!"
Si Muka Bangkai dan Kunti Api
tertawa gelak-gelak mendengar jawaban
Sinto Gendeng itu.
"Puaskan tawa kalian! Biar keras,
lebih panjang lebih bagus! Nanti di
liang neraka kalian tidak bisa tertawa
lagi seperti saat ini!" menimpali
Sinto
Gendeng.
"Nenek bau pesing!" semprot Si
Muka Bangkai. "Melihat gelapnya
langit, tak ada bulan tak ada bintang,
agaknya malam ini lebih cocok menjadi
malam kematian bagimu!"
"Bicaramu sombong amat!" ucap
Sinto Gendeng sambil sunggingkan
seringai mengejek di mulutnya yang
perot. "Mentang-mentang punya tangan
baru! Tangan setan mana yang kau
sambung ke tangan kirimu yang buntung?
Hik... hik... hik!"
lampang Si Muka Bangkai jadi
membesi mendengar ucapan Sinto
Gendeng. Dia menjawab dengan suara
keras. "Kalau kau mau tahu setan mana
yang tangannya kupakai, baiknya cepat-
cepat kau kukirim ke neraka. Di sana
kau boleh bertanya pada setiap setan
yang kau temui!"
Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Muridku Muka Bangkai," Kunti Api
berucap. Waktu bicara dia sengaja
kerahkan tenaga dalam hingga suaranya
menindih suara tawa Sinto Gendeng.
"Aku setuju sekali dengan pendapatmu.
Malam ini akan menjadi malam terakhir
bagi nenek bau pesing itu jual tampang
jeleknya di muka bumi! Tapi kurasa tak
ada salahnya kita menunda kematian
nenek bau ini kalau dia mau
menyerahkan cepat-cepat Batu Penyusup
Batin yang dirampasnya tempo hari."
(Dalam Episode sebelumnya berjudul
"Tripping" diceritakan bagaimana Sinto
Gendeng berhasil merampas satu batu
sakti bernama Batu Penyusup Batin
milik Kunti Api yang dipinjamkan pada
Si Muka Bangkai untuk diserahkan pada
Pangeran Matahari. Batu ini mempunyai
kesaktian membuat seseorang tidak
terlihat. Sinto Gendeng merampas batu
tersebut ketika batu tengah
dipergunakan Si Muka Bangkai untuk
mengusapi wajah dan tubuh Pangeran
Matahari di sebuah gudang bangunan).
"Ah, gentayangan malam-malam buta
ternyata kalian mencari batu butut
itu! Hik... hik... hik.... Kalian
datang terlambat. Sayang sekali...
sayang sekali!"
"Tua bangka jahanam! Apa
maksudmu?!" Menghardik Si Muka
Bangkai. Dia paling merasa bersalah
karena batu sakti milik gurunya itu
sampai dapat dirampas oleh Sinto
Gendeng. Sang guru yang disebutnya
dengan panggilan Eyang Kunti Api
memang belum menunjukkan tanda-tanda
marah apa lagi menjatuhkan hukuman.
Tapi kalau sampai batu itu tidak
berhasil didapatnya kembali, jangan
harap dia bisa lolos dari rajaman.
Bukan mustahil Kunti Api sendiri yang
akan menghabisi nyawanya!
Ditanya Si Muka Bangkai, Sinto
Gendeng berkata. "Kata orang, batu
sakti itu bisa membuat seseorang
lenyap, tidak terlihat sosoknya oleh
orang lain. Nah, nah! Kalau batu itu
memang masih ada padaku mana mungkin
kalian berdua bisa melihatku sejelas
seperti sekarang?"
"Tua bangka celaka! Kau kemanakan
batu itu?!" bentak Kunti Api.
Sinto Gendeng garuk-garuk pipinya
yang baret akibat cakaran Si Muka
Bangkai tempo hari.
"Aku lupa aku kemanakan batu itu.
Mungkin sudah kujual pada tukang loak.
Barangkali sudah kubuang ke jamban
atau comberan. Aku lupa, maklum sudah
tua. Jadi sudah pikun! Hik... hik...
hik!"
Merasa dipermainkan Kunti Api
menggembor marah. Dia melompat hingga
kini jaraknya dengan Sinto Gendeng
hanya terpisah tiga langkah.
"Aku tanya kali terakhir! Kau
kemanakan Batu Penyusup Batin
milikku?!" Kunti Api membentak garang.
"Ada, tapi aku lupa aku
kemanakan. Tunggu, biar aku berpikir
mengingat-ingat lebih dulu!" jawab
Sinto Gendeng sambil menggaruk-garuk
kening. Sesaat kemudian dia berkata.
"Ah, baru aku ingat. Batu sakti itu
kemarin malam aku main-mainkan dalam
mulut. Tak sengaja tertelan. Tadi pagi
aku sulit buang air besar. Mampet,
seperti ada yang menghalangi. Saat ini
ada sesuatu terasa mengganjal di bawah
bokongku. Hik... hik! Mungkin sekali
batu sakti milikmu itu!"
"Jahanam kurang ajar! Kau berani
mempermainkan aku!" teriak Kunti Api
sementara Si Muka Bangkai melangkah
mendekati.
"Eyang, dia minta mampus lebih
cepat! Kita habisi saja sekarang
juga!" berucap Si Muka Bangkai.
"Hai tunggu!" seru Sinto Gendeng.
"Aku tidak berdusta. Yang mengganjal
di bawah perutku pasti batu sakti itu.
Jika kalian tidak percaya lihat saja
sendiri!"
Habis berkata begitu enak saja si
nenek tarik ke atas kain panjangnya
yang bau pesing, memutar tubuh lalu
menungging ke arah dua orang yang kini
dibelakanginya. .
"Lihat baik-baik! Kalau ada benda
biru-biru pasti batu sakti yang kalian
cari!" kata Sinto Gendeng lalu tertawa
ha-ha hi-hi.
Kunti Api palingkan kepala.
Wajahnya semerah saga. Seumur hidup
belum pernah dia dihina orang begitu
rupa. Si Muka Bangkai keluarkan seruan
tertahan lalu buru-buru menoleh ke
jurusan lain, tak berani memandang.
Dalam marahnya Kunti Api melompat
ke depan sambil hantamkan tendangan ke
pantat Sinto Gendeng. Yang diserang
sudah bisa menduga. Sebelum tendangan
sampai dia menghambur tiga langkah ke
depan. Begitu kaki Kunti Api menderu
lewat dia berbalik sambil lepaskan
pukulan yang memancarkan sinar terang
berkilauan dalam gelapnya malam.
"Pukulan Sinar Matahari! Awas!"
Berteriak Si Muka Bangkai. Dengan
cepat dia hantamkan tangan kanannya.
Diserang orang Kunti Api tidak
tinggal diam. Nenek ini hantamkan
pukulan tangan kosong sekaligus dengan
tangan kiri kanan. Terjadi pemandangan
dahsyat dalam gelapnya malam.
Dari arah Sinto Gendeng melesat
sinar putih berkilauan menebar hawa
panas luar biasa. Sebaliknya dari arah
dua lawan menghambur rangkuman sinar
merah, kuning dan hitam. Itulah
Pukulan "Gerhana Matahari" yang
dilepaskan Si Muka Bangkai dengan
tangan kanan.
Dari dua tangan Kunti Api sendiri
menderu dua larik sinar merah membara.
Inilah pukulan maut yang disebut
"Setan Api Turun Ke Bumi."
"Dess!"
"Dess!"
"Dess!"
"Blaaarrr!"
Dua pekikan satu seruan keras
mengumandang tapi tertindih oleh suara
gelegar dahsyat disertai kobaran nyala
api mencual ke langit menggoncang
seantero tempat. Pohon besar di ujung
gang mengepulkan asap. Kios rokok
milik Pasiran untuk kedua kalinya
mencelat mental dan hancur berantakan
tak karuan. Kenalan Pasiran yang
diminta menjaga kios itu sudah
tunggang-langgang sejak tadi-tadi. Dia
tidak melihat tiga dedengkot rimba
persilatan itu saling baku hantam.
Namun begitu pohon besar mengepulkan
asap dan kios rokok terpental hancur
berantakan, tidak pikir panjang lagi
orang ini segera menghambur lari.
Dua serangan yang dilepaskan Si
Muka Bangkai dan Kunti Api setelah
bertabrakan dengan Pukulan Sinar
Matahari yang dilepas Sinto Gendeng
terbelah dan melesat ke arah tiga
penjuru. Namun yang jadi sasaran sudah
lebih dulu berkelebat lenyap.
Sebalikhya Pukulan Sinar Matahari
walau terbelah dua masih sempat
menyambar ke arah Si Muka Bangkai dan
Kunti Api. Kedua orang ini sama-sama
terpekik, menghambur selamatkan diri.
"Wuss!"
“Wuss!”
"Jahanam kurang ajar!" terdengar
makian Kunti Api. Nenek ini sibuk
mengipas-ngipas mematikan api yang
membakar ujung bawah mantelnya. Tapi
karena mantel terlalu tebal, semakin
dikipas api semakin besar. Sambil
menyumpah tak karuan dari pada
terbakar hangus Kunti Api terpaksa
buka mantelnya. Celakanya di sebelah
dalam nenek ini tidak mengenakan
pakaian lain, kecuali kutang lebar dan
celana dalam butut!
Di bagian lain Si Muka Bangkai
tegak dengan tengkuk merinding dan
muka bertambah pucat. Pakaian
rombengnya di sebelah kanan hangus
hitam. Dalam marahnya Kunti Api
melompat ke depan, mencari Sinto
Gendeng. Tapi orang yang dicari tak
kelihatan lagi. Lenyap entah ke mana.
Ketika pandangannya membentur sosok
Kunti Api kagetlah Si Muka Bangkai
melihat keadaan gurunya.
"Eyang, apa yang terjadi
denganmu!"
"Edan! Kau sudah lihat sendiri!
Masih bertanya!" bentak Kunti Api
marah.
"Aku bersumpah akan membunuh
nenek keparat itu!"
"Kalau begitu cari dia! Kejar
sampai dapat! Mengapa masih berada di
tempat ini?!" Hardik Kunti Api.
Si Muka Bangkai jadi bingung.
"Eyang Kunti, kalau aku pergi
bagaimana denganmu?"
Tak usah perdulikan diriku! Lekas
cari dan kejar tua bangka keparat
itu!"
Setengah hati tapi karena takut
Si Muka Bangkai akhirnya tinggalkan
juga tempat itu. Tak lama setelah
muridnya pergi Kunti Api berlalu pula
dari situ. Sepanjang jalan sumpah
rutuknya terdengar tiada henti.
Di satu tempat gelap Sinto
Gendeng tertawa cekikikan. "Kunti Api,
Kunti Api!" Ucap Sinto Gendeng sambil
geleng-geleng kepala. "Di luar
dandananmu kelihatan mewah mencorong.
Mantel tebal biru bahan mahal. Di
dalam ternyata cuma pakai kutang dan
celana butut! Hik... hik... hik! Apa
begitu semua perempuan sekarang?!
Hik... hik... hik!"
Dari dalam rumah sepanjang dua
sisi jalan, penghuni kelihatan keluar.
Mereka terheran-heran melihat pohon
besar mengepulkan asap. Lalu kios
rokok Pasiran yang terguling di jalan,
hancur berantakan.
EMPAT
PERKARA BESAR
SESUAI janji malam tadi, hari
Minggu pagi Ronny datang ke rumah
Boma. Suasana lengang menyambutnya.
Biasanya Sumitro Danurejo, ayah Boma,
saat-saat seperti itu duduk di kursi
dekat tangga, mengenakan singlet dan
kain sarung, duduk membaca koran
sambil menghisap rokok ditemani
secangkir kopi. Atau ibu Boma keluar
menyapanya. Sementara Boma sendiri
biasanya masih bergelung di tempat
tidur. Tapi sekali ini Sumitro
Danurejo tak kelihatan di kursinya.
Ibu Boma tidak keluar menyambut dan
menyapanya. Di atas meja Kompas Minggu
terlipat rapi, belum disentuh, belum
dibaca. Di samping koran secangkir
kopi panas masih penuh, belum diminum.
Aromanya yang harum menggoda rongga
pernafasan Ronny.
Ronny Celepuk melangkah mendekati
meja. Pagi itu dia memang belum sempat
sarapan atau minum. Melihat kopi panas
dalam cangkir dan mencium harummya
yang sedap, membuat air liur Ronny
turun naik di tenggorokan. Anak lelaki
berhidung bengkok ini membungkuk.
Ulurkan tangan.
"Rejeki nganggur jangan didiemin.
Minum dulu aah...."
Baru saja jari-jarinya menyentuh
pegangan cangkir tiba-tiba ada suara
orang batuk di belakangnya. Ronny
kaget. Tangannya goyang. Sebagian kopi
panas tumpah menyirami tangannya. Anak
lelaki itu mengerenyit kesakitan,
cepat-cepat meletakkan cangkir kopi ke
atas tatakannya di meja. Ketika dia
berpaling Sumitro Danurejo sudah
berdiri di hadapannya. Kaca mata tebal
plus 6 mencantel rendah di batang
hidungnya.
Ronny Celepuk jadi salah
tingkah". "Wah, habis deh gue
didamprat!" Pikir Ronny. Dia sadar
kesalahannya. Dia memberanikan diri
menyapa.
"Selamat pagi Oom."
"Haus?" tanya ayah Boma.
Ronny tambah salah tingkah. Tapi
dasar celepuk masih bisa nyengir.
"Minum saja kopinya. Habisin."
"Nggak Oom. Kirain nggak ada
orang di rumah. Sayang kopi panas
didiemin." Ucap Ronny. Lalu sebelum
Sumitro Danurejo membuka mulut, anak
ini cepat bertanya. "bomanya ada Oom?"
Lelaki pensiunan Departemen
Penerangan itu pegang bahu kanan Ronny
Celepuk, menekannya sambil berkata.
"Duduk...."
Ronny jadi kecut.
"Sial bener." Ronny menyesali
diri dalam hati. "Mau diapain gue?
Gara-gara nggak tahan ngeliat kopi di
.cangkir."
Ronny duduk di kursi yang biasa
diduduki Sumitro Danurejo. Sumitro
sendiri kemudian duduk di bangku lain
di hadapan Ronny. Pandangan matanya
tak berkesip diarahkan tepat-tepat ke
mata Ronny, membuat anak lelaki ini
jadi tambah kecut.
"Maaf Oom, kopinya nggak sempat
saya minum. Masih utuh. Cuma tumpah
sedikit."
"Diam. Saya mau bicara." Suara
dan air muka Sumitro Danurejo ter-
dengar dan kelihatan serius. Membuat
Ronny tambah merasa tidak enak. Dia
menunggu apa yang mau dikatakan ayah
Boma. "Tadi malam Boma dikeroyok
orang." Kata-kata itu kemudian keluar
dari mulut Sumitro.
Ronny kaget.
"Tadi malam Boma dikeroyok
orang." Sumitro Danurejo mengulang.
"Sama siapa Oom?" Ronny bertanya.
"Belum tahu. Boma sama beberapa
orang saksi dibawa ke Polsek. Ditanyai
sampai pagi. Ini perkara besar."
"Sekarang Bomanya di mana?"
Sumitro menudingkan jari telunjuk
tangan kirinya ke atas. "Di kamarnya.
Tidur. Capek.... Sakit."
"Saya boleh ke atas Oom?"
Sumitro diam sebentar lalu
mengangguk. "Kalau dia masih tidur,
jangan dibangunkan."
Ronny berdiri. Tangga kayu menuju
tingkat atas seperti mau dilompatinya.
Pintu kamar Boma renggang tak
tertutup. Ronny mendorong daun pintu.
Di sudut kamar dilihatnya ibu Boma
tertidur di atas sehelai sajadah. Di
sampingnya, Bram kakak Boma duduk di
lantai bersandar ke dinding, matanya
terpejam. Mungkin tidur.
Ronny mendorong daun pintu lebih
ke dalam.
Begitu masuk ke kamar, begitu
langkah Ronny terhenti.
Sosok Boma terbaring di tempat
tidur. Dua bantal sekaligus menopang
kepalanya. Mata kiri bengkak, pipi
kiri kanan lebam. Hidung merah, ada
nocl.i darah mengering di salah satu
pinggiran lobangnya. Mata kiri yang
bengkak dan mata kanan sama-sama
terpejam. Tapi dua mata itu bergerak
membuka ketika pintu kamar terbuka dan
Ronny masuk.
Melihat wajah Boma, kalau tidak
ada ibu dan kakak kawannya itu dalam
keadaan tertidur hampir saja dia
memanggil setengah berteriak. Dengan
menindih suaranya, seperlahan mungkin
Ronny berkata.
"Bom! Gila! Kau kenapa?!"
Yang ditanya menatap sebentar
lalu tersenyum. "Sial! Muka lu bengep
begitu masih bisa nyengir!"
Boma menyilangkan telunjuk tangan
kiri diatas mulutnya seraya
menggoyangkan kepala ke arah ibu dan
kakaknya.
"Kita bicara di bawah aja." Kata
Boma.
"Memangnya lu bisa jalan?" tanya
Ronny Celepuk.
"Jangankan jalan. Terbang juga
gua bisa!" jawab Boma.
"Tapi di bawah ada bokap lu,"
kata Ronny lagi. "Kita ngomong di
teras, di bawah pohon jambu."
"Kamu nggak ngerasa sakit Bom?
Muka lu ancur-ancuran begitu."
"Ala, gua udah minum obat." Jawab
Boma. "Kamu udah ke dokter?"
Boma menggeleng. Sebenarnya Boma
sendiri merasa heran. Akibat pukulan
dan tendangan orang-orang yang
mengeroyoknya mukanya dan beberapa
bagian tubuhnya babak belur. Tapi rasa
sakit hanya dirasakan beberapa saat,
malam tadi. Setelah itu dia tidak
merasa apa-apa lagi. Cuma orang yang
melihat keadaan wajahnya memang bisa
merasa ngeri sendiri. Boma sadar kalau
obat yang diberikan nenek kulit hitam
malam tadi itulah yang telah
menolongnya.
Tangga kayu mengeluarkan suara
berderik sewaktu Boma dan Ronny
menuruni menuju ke lantai bawah.
Ketika dua anak ini melewati ruang
tamu, dari bawah tangga mendadak
terdengar suara Sumitro Danurejo.
"Boma! Kamu mau ke mana?"
"Nggak ke mana-mana. Cuma di
teras." Jawab Boma.
Di teras di bawah pohon jambu
berdaun rimbun yang tidak pernah
berbuah sejak ditanam, Boma duduk di
sebuah kursi reyot, Ronny duduk di
atas bangku kayu.
"Sekarang ceritain apa yang
kejadian, Bom." Ronny sudah tidak
sabar.
Boma lalu menceritakan peristiwa
tadi malam yaitu hanya beberapa saat
setelah dia turun dari motor Ronny.
"Aku lagi jalan ke kios rokoknya
Mas Pasiran. Biasa, beliin rokok
pesanan Bokap gua. Mendadak ada mobil
berhenti. Lima orang aku liat keluar
dari Toyota Hardtop. Kamu ingat
kejadian waktu aku sama Firman
dipukulin orang di Gramedia?"
Ronny mengangguk.
"Nah, yang dua aku kenalin. Salah
satu dari mereka lelaki berewok
bernama Fred. Orang-orang ini nyariin
kamu juga."
"Pasti mereka mau balas dendam."
"Bukan cuma mau balas dendam Ron.
Aku mau dibunuh. Salah seorang dari
mereka bawa belati. Hampir mampus aku
Ron...."
Cerita Boma terputus. Anak ini
tidak tahu bagaimana dia harus
melanjutkan ceritanya tanpa memberi
tahu kalau ada satu kekuatan dalam
dirinya yang membuat dia sanggup
menghadapi lima pengeroyok. Juga tidak
mungkin dia memberi tahu munculnya
nenek aneh berkulit hitam yang batok
kepalanya ditancapi lima tusuk konde
perak itu.
"Terusnya gimana Bom?" tanya
Ronny.
Boma menowel hidungnya yang
bengkak. Otaknya diputar mencari
jawaban. Untung dia segera dapat akal.
"Mas Pasiran. Dia bersama
beberapa orang yang kebetulan ada di
dekat situ berteriak-teriak lalu
mendatangi. Lima pengeroyok kabur...."
"Lantas gimana kamu bisa dibawa
ke Polsek?" tanya Ronny.
"Kamu tahu dari mana aku dibawa
ke Polsek?"
"Bokap lu yang bilang." Jawab
Ronny Celepuk.
Boma mengangguk. "Nggak lama
sesudah orang-orang itu kabur,
kebetulan ada patroli Polsek lewat.Aku
sama Mas Pasiran dan beberapa orang
lainnya dibawa ke Kantor Polisi.
Diminta keterangan. Tapi aku nggak
bilang kalau pengeroyokan itu ada
sangkut pautnya sama kejadian kita
dengan si Bodong dan si Anton. Aku
nggak mau teman-teman ikut terlibat,
dipanggil ke Kantor Polisi. Termasuk
kamu, Ron."
"Jadi soal kamu dikeroyok sampai
babak belur begini, sama Polisi kamu
bilang apa?"
"Aku bilang orang-orang itu mau
ngerampok. Tapi aku nggak punya apa-
apa yang berharga untuk dirampok.
Mereka jadi marah. Aku melawan. Salah
seorang dari mereka cabut belati mau
nusuk aku."
"Polisi nggak bodoh Bom. Aku juga
nggak setuju. Kamu mustinya ceritakan
semuanya. Ini bukan urusan main-main
Bom."
"Aku tau," jawab Boma perlahan.
"Naga-naga-nya para pengeroyok itu
bakal bisa dibekuk dalam waktu
singkat. Soalnya plat nomor mobil
Toyota Hardtop itu ada di tangan
Polisi. Siapa pemiliknya gampang
dilacak." Boma mengalihkan pembi-
caraan.
"Gimana plat mobil itu bisa ada
sama Polisi?" Ronny bertanya heran.
Boma mengusap kepalanya sekali
lagi. Diamenyesal memberi tahu soal
plat nomor mobil itu. Karena hal ini
berhubungan dengan si nenek aneh. Di
Polsek, petugas sampai beberapa kali
bertanya bagaimana Boma bisa
mendapatkan plat nomor Toyota Hardtop
itu.
"Aku nemuin di jalan. Dekat
tempat aku dikeroyok. Mungkin jatuh.
Mungkin murnya udah kendor." Boma
memberi jawaban yang sama dengan apa
yang dikatakannya di Polsek.
"Rasain mereka! Huh! Bokapmu
bilang ini perkara besar. So pasti.
Ini perkara kriminal Bom. Kamu mau
dibunuh! Yang direncanakan lebih dulu.
Hukumannya berat Bom! Rasain si Anton!
Baru nyaho' dia! Baru tau die!"
"Belum tentu ini kerjaannya si
Anton, Ron." Kata Boma. "Bisa aja si
berewok bernama Freddy itu ngajak
temen-temennya ngerjain aku karena
dendam."
"Kalau buat gua sih udah kebaca.
Si Anton pasti kebawa-bawa. Terserah
kamu. Kamu bilang sama Polisi kejadian
itu cuma perampokan. Berarti latar
belakangnya nggak tersingkap. Kalau
urusan sampai di Pengadilan, sekali
kamu nyanyi si Anton nggak bisa lari."
Ronny diam sebentar lalu berkata lagi.
"Sebenarnya kalau dipikir-pikir si
Anton itu yang dendam berat sama aku.
Ingat waktu aku bikin KO dia di
sekolah? Tapi malah kamu yang jadi
sasaran."
"Kita berdua jadi sasaran. Aku
yang ketemu, aku yang apes duluan."
ujar Boma pula. "Orang yang bernama
Freddy sama temannya mungkin dendam
berat sama gua. Gara-gara gua
kencingin di toilet Gramedia." Boma
mengusap hidungnya. "Ini jadi urusan
nggak enak buat aku Ron. Sidang
peristiwa perampokan tempo hari aja
belon beres. Sekarang urusan kayak
gini. Lusa, hari Selasa aku musti ke
Polsek lagi."
"Tapi kalau urusan nggak dibikin
tuntas preman-preman seperti
pengeroyokmu itu nggak kapok-
kapoknya," kata Ronny pula. "Dan kau
tau! Si Anton pasti keseret-seret!
Dosanya lebih berat. Karena dia bisa
dianggap sebagai dalang pelaku. Dia
pasti yang ngebayar lima preman itu
untuk ngerjain kita-kita. Anak tolol!
Cuman gara-gara naksir sama Trini aja,
bikin urusan yang nggak-nggak. Aku
bilang sama kamu Bom. Udah, jauin aja
si Trini. Dia cuma bikin masalah buat
kita-kita. Temen-temen pada nggak suka
sama dia. Kalau si Anton memang suka
sama Trini ya sudah. Kasih aja! Segala
cewek kayak begituan kamu ladenin!"
"Jangan sewot Ron. Aku rasa Trini
nggak tau apa-apa. Biar gimana dia
teman kita juga."
"Ah, kamu masih ngebelain dia.
Jangan-jangan kamu benaran cintrong
sama dia!" Ronny tampak kesal. Setelah
diam beberapa saat Ronny berkata.
"Batal rencana kita ke rumah si Allan.
Baiknya kamu tidur aja Bom. Istirahat.
Besok pasti kamu belum bisa sekolah.
Aku mau beri tau teman-teman...."
"Jangan. Nggak usah Ron."
"Nggak bisa!"
"Oke deh. Terserah kamu." Boma
mengalah. "Tapi cukup cuma Firman,
Vino, Rio, Andi dan Gita. Allan juga
boleh. Yang lain-lain nggak perlu tau.
"Trini?" tanya Ronny. "Nggak
usah." "Dwita?" tanya Ronny lagi. Boma
diam tapi kemudian gelengkan kepala.
"Nggak usah Ron."
"Kok?"
Ronnymenyengir. "Aku nggak mau
temen-temen jadi pada repot. Cuma
gara-gara anak gendenk macam aku ini
dikerjain orang."
Ronny Celepuk angkat bahu,
berdiri lalu usap kepala cepak
temannya itu.
"Bom, aku jadi nyesel. Semua
kejadian ini gara-gara aku ngejotosin
si Bodong di Atrium Senen dulu,
konconya si Anton yang ngelempar kamu
sama telor busuk. Ditambah si Anton
aku hajar sampai semaput di sekolah.
Ditambah lagi si Anton ngebet sama
Trini, tapi tu cewek suka sama ka-
mu....?"
"Ala.... Nggak usah pakai nyesel-
nyesel segala Ron. Anggap aja gue lagi
apes." kata Boma pula sambil mengusap
hidungnya.
Boma masih tampak kesal. Kesal
pada dirinya sendiri.
"Gimana kalau aku kumpulin temen-
temen. Bikin pembalasan sama orang-
orang yang mukulin kamu."
"Biar Polisi yang kerja Ron.
Lagian siapa teman teman yang kamu
maksudkan? Si Firman ceking? Vino,
Andi...."
"Bukan mereka Ron. Aku punya
teman. Gang anak-anak Kramat."
"Jangan cari urusan baru Ron.
Ngomong-ngomong kepala gua rada
pusing. Gua tiduran dulu...."
"Oke Bom. Nanti aku datang lagi."
Ronny menunggu sampai temannya itu
masuk ke dalam rumah, baru melangkah
pergi.
LIMA
SUMPAH BOMA DAN
KENYATAAN
JAM ke tiga di Kelas II-9 adalah
mata pelajaran bahasa Inggris. Ibu
Renata yang belum lama sembuh dari
sakit pagi itu memasuki kelas dengan
air muka cukup cerah walau sejak
beberapa hari belakangan ini senyumnya
tak banyak kelihatan. Senyum itu malah
tidak ada sama sekali setiap dia
mengajar di Kelas II-9. Setiap
memasuki Kelas II-9 Ibu Renata merasa
seperti ada ganjalan. Semua anak di
kelas ini paling tahu peristiwa dia
mengajak Boma menonton. Berdiri di
depan kelas dia merasa mata setiap
anak memandangnya seperti mencemooh.
Ibu Renata menjawab salam selamat
pagi anak-anak dengan anggukan kepala.
Dan surprise!. Ada sedikit senyum di
bibirnya yang merah. Namun senyum yang
sedikit ini serta merta pupus sewaktu
dia mengarahkan pandangan ke sudut
kiri kelas. Bangku Boma Tri Sumitro
kosong.
"Boma tidak masuk?" Ibu Renata
bertanya. Pandangannya diarahkan pada
Firman kawan satu bangku Boma. Firman
mendahului jawabannya dengan gelengan
kepala.
"Tidak Bu."
Guru Bahasa Inggris ini seperti
hendak bertanya lagi namun membatalkan
maksudnya.
Di bangku depan kiri Trini
berpaling pada Gita. "Dut, kamu tau
Boma ke mana?"
Si gendut Gita Parwati yang sejak
lama memang tidak sreg dengan Trini,
apa lagi barusan ditegur dengan
sebutan Dut, kependekan dari Gendut,
cuma angkat bahu lalu gelengkan
kepala.
Ibu Renata melirik ke arah Trini
dan Gita. Dia diam sesaat. Mungkin ada
yang tengah dipikirkan. Mungkin juga
ada yang hendak ditanyakannya pada
salah satu dari dua anak perempuan
itu. Tapi apa yang kemudian
dilakukannya adalah mengambil buku
bahan pelajaran Bahasa Inggris yang
diletakannya di meja.
Setelah hampir setengah jam
mengikuti pelajaran, "Si Centil"
Sulastri anak baru pindahan dari
Semarang membalikkan badan. Dengan
suara perlahan setengah berbisik
berkata pada Vino yang duduk di
belakangnya.
"Bo, aku liat Ibu kita ngajarnya
kayak nggak ada semangat."
"Masa' sih? Kok kamu tau?" sahut
Vino.
"Ini pasti gara-gara si Macho
nggak masuk."
"Maksudmu Boma?"
"Siapa lagi." Jawab Sulastri.
"Lucu ya?"
"Apanya yang lucu?" Tanya Rio
yang duduk di samping Vino.
"Ibu Renata kan lagi marahan sama
Boma. Tapi begitu Boma nggak masuk
ditanyain juga." Jawab Sulastri.
"Kamu tau dari mana Ibu Renata
marah sama Boma?" Vino yang bertanya.
"Sulastri bo!" jawab cewek cakep
bertubuh padat sintal, berkulit hitam
manis itu. "Kalau orang sekampung aja
tau Ibu Renata marah gara-gara
omongannya mau ngajak Boma nonton bisa
kesebar di sekolahan ini, masa'
Sulastri nggak bisa tau? Kayaknya
bakalan ada kejadian besar antara Boma
dan Ibu Renata."
"Kamu nyumpahin temen sama guru
sendiri." Firman yang ikut mendengar
percakapan nimbrung ngomong.
"Dosa lho, kalau aku nyumpahin.
Tapi aku sudah bisa memperkirakan tau?
Lagian kejadian yang aku maksud itu
belum tentu hal jelek. Ihh... Belum
tau dikau." Sulastri bicara sambil
senyum-senyum.
"Kamu kayak paranormal aja!" ucap
Vino.
Sulastri ulurkan tangannya, coba
menusuk lengan Vino dengan ujung
bolpen. Untung Vino cepat menghindar
dengan menarik tangannya.
Di bangku depan sebelah kanan, si
gemuk Gita Parwati yang duduk di
belakang Trini sejak tadi
memperhatikan Vino dan yang lain-
lainnya. Gita heran dan menduga-duga
apa yang tengah dibicarakan anak
perempuan yang dijulukinya "Si Centil"
itu dengan kawan-kawannya yang lain.
"Ssstt... udah, jangan ngobrol
aja. Ibu Renata dari tadi ngeliatin ke
sini." Kata Andi yang duduk di samping
kanan Sulastri.
"Anak-anak, harap memperhatikan
pelajaran! Jangan ngobrol sendiri-
sendiri!"
Baru saja Andi mengingatkan
terdengar suara Ibu Renata
memperingatkan.
"Nah, gue bilang apa!" kata Andi.
Beberapa menit sebelum jam
pelajaran selesai Ibu Renata melangkah
ke sudut kelas di mana Sulastri, Rio,
Vino, Firman, Andi dan Ronny duduk
saling berdekatan. Anak-anak itu
mengira Ibu Renata akan memarahi
mereka karena tadi ngobrol seenaknya
dalam jam pelajaran. Tapi dugaan
mereka keliru.
Setelah memandangi anak-anak itu
satu persatu Ibu Renata bertanya.
"Kalian tahu ke mana Boma? Kenapa
dia tidak masuk hari ini?"
Tak ada yang menjawab. Mungkin
bisa tapi tidak mau. Hari Minggu
siang, sehabis dari rumah Boma Ronny
keliling menemui teman-temannya. Dia
menceritakan apa yang terjadi dengan
Boma. Pada semua temannya Ronny
mengingatkan agar kejadian itu tidak
diceritakan pada siapa pun-termasuk
Trini dan Dwita. Firman dan Vino
melirik ke arah Ronny. Ronny sendiri
duduk diam dan tenang-tenang saja
sambil usap-usap dagu. Ibu Renata
merasa ada sesuatu yang disembunyikan
anak-anak itu. Dia mendekati Ronny
lalu berkata.
"Temui saya di kantor pada jam
istirahat."
"Ajie sial!Gue yang kena!" kata
Ronny Celepuk sambil garuk-garuk
kepala begitu Ibu Renata melangkah
kembali ke depan kelas.
Jam istirahat, sewaktu Ronny
berjalan menuju Kantor SMU III
Nusantara, Trini setengah berlari
mengejarnya. Trini pegang pundak anak
lelaki itu.
"Ron, memangnya Boma ke mana?
Sakit?"
"Nggak 'tu." Jawab Ronny.
"Lalu, kok nggak masuk?"
"Nggak tau juga, ya."
"Memangnya kamu enggak ketemu-
ketemu dia?"
"Baru hari ini." Jawab Ronny.
"Ala, kamu bohong! Kamu pasti tau Boma
ke mana."
"Kalau tau pasti aku bilang,
Rin."
"Lalu kalau nanti Ibu Renata
tanya, kamu mau bilang apa?"
"Sama. Nggak tau." Jawab Ronny
lalu mene-ruskan langkahnya menuju
Kantor Sekolah.
"Celepuk itu bohong! Aku yakin
dia bohong!" kata Trini sendirian.
Trini memandang berkeliling.
Dekat lapangan basket dilihatnya Vino,
Andi, Firman dan Rio asyik bicara.
Anak perempuan ini segera mendatangi
mereka. Tapi langkahnya serta-merta
tertahan sewaktu dari ujung kiri
lapangan basket Dwita Tifani bersama
Gita Parwati kelihatan berjalan ke
arah kelompok anak-anak lelaki itu.
Sekali pun berlari, Trini tidak
mungkin mencapai Vino dan kawan-
kawannya lebih dulu dari Dwita dan
Gita.
"Brengsek," Trini Damayanti hanya
bisa menggerutu dalam hati. Dia tidak
suka pada Gita. Pada Dwita lebih lagi.
KETIKA Ronny memasuki Ruang
Kantor SMU Nusantara III Ibu Renata
sedang bicara dengan Bapak Sanyoto,
Guru Olah Raga. Ronny terpaksa
mengurungkan niatnya masuk, berdiri
menunggu dekat pintu. Dari tempatnya
berdiri anak ini dapat melihat Ibu
Renata menggeleng-gelengkan kepala.
Lalu Ronny mendengar Guru Bahasa
Inggris itu berkata.
"Malam nanti saya tidak bisa Pak
San. Lain kali saja."
"Belakangan ini Ibu kelihatan
banyak sibuk. Kesehatannya lho Bu
Rena. Kan habis sakit...."
"Terima kasih Bapak memperhatikan
saya."
Pak Sanyoto berpaling ke pintu.
Sekilas dia melihat sosok Ronny di
luar sana. Guru Olah Raga ini
memandang kembali pada Ibu Renata.
"Jadi boleh?" Suara Pak Sanyoto
lebih pelan dari tadi. Mungkin karena
kini tahu ada orang lain di dekat
situ.
"Maafkan saya Pak San. Nanti
saja. Saya akan beri tahu."
Ronny ulurkan kepalanya melewati
pinggiran pintu. Dia melihat Pak
Sanyoto berdiri dengan wajah kecewa.
Lalu dengan senyum dibuat-buat Guru
Olah Raga itu keluar dari ruangan.
Ketika melihat Ronny di dekat pintu
senyum yang dibuat-buat itu lenyap.
"Ada apa kamu di sini?! Guru Olah
Raga bertanya. Nada suaranya tinggi
dan mimik wajahnya tidak sedap. Di
balik semua ini tersembunyi adanya
rasa kawatir. Kawatir kalau-kalau
Ronny mendengar pembicaraannya dengan
Ibu Renata tadi.
"Saya dipanggil Ibu Renata, Pak."
Jawab Ronny Celepuk.
"Ya sudah. Masuk sana." Pak
Sanyoto bergegas meninggalkan tempat
itu.
Ibu Renata masih berdiri di
tempat tadi dia bicara dengan Guru
Olah Raga Pak Sanyoto.
"Pak Sanyoto bicara apa sama
kamu?" Bertanya Ibu Renata.
"Nggak bicara apa-apa Bu. Cuma
tanya ada keperltian apa saya berdiri
dekat pintu." "Kamu jawab apa?"
"Saya bilang saya dipanggil Ibu."
Jawab Ronny.
Ibu Renata duduk di kursi di
belakang meja. Dia tidak menyuruh
Ronny duduk di kursi di depannya.
"Ronny...."
"Ya Bu."
"Kamu sama Boma kawan karib
'kan?" Ronny mengangguk.
"Berarti kamu tahu kenapa Boma
tidak masuk hari ini."
"Saya nggak tau Bu. Mungkin saja
dia sakit...."
"Bagaimana kamu tahu kalau dia
sakit?"
"Saya bilang mungkin Bu."
"Kapan kamu terakhir kali bertemu
Boma?"
Ronny Celepuk tak segera
menjawab. Mungkin dia tengah berpikir.
Mungkin juga merasa heran mengapa Ibu
Renata begitu ingin tahu mengapa Boma
tidak masuk sekolah hari ini.
"Terakhir saya ketemu Boma....
Hari Sabtu. Waktu sama-sama pulang
sekolah." "Betul?" "Sungguh Bu."
"Kamu nggak bohong?"
Ronny tertawa.
"Kok kamu ketawa?"
"Saya nggak bohong Bu."
"Ibu tahu kamu bohong."
Ronny terdiam. Mencoba senyum.
Senyum anak lelaki ini justru membuat
Ibu Renata semakin yakin kalau dia
memang bohong.
"Saya mau kamu cerita yang
sebenarnya, Ronny."
Ronny usap-usap hidungnya yang
seperti paruh burung kakak tua.
Matanya tak berani menatap wajah Ibu
Renata. Hatinya berkata-kata sendiri.
"Heran, Ibu ini kok maksa banget
sih. Jangan-jangan dia punya firasat
ada apa-apa dengan Boma. Tapi apa sih
sebenarnya kepentingannya. Dulu Boma
pernah cerita kalau Ibu Renata marah
sama dia. Boma dituduh menyebar
omongan soal ngajak nonton itu. Ibu
Renata benci berat sama Boma. Sekarang
malah mau tau banyak mengenai Boma."
"Ronny...."
"Ya, Bu."
"Saya tahu kamu anak baik. Saya
ingin kamu bicara apa adanya."
"Saya nggak tau mau ngomong apa
Bu."
"Kenapa? Kamu tidak suka sama
saya?"
"Nggak Bu."
"Lalu? Ada yang melarang? Boma?
Teman-temanmu?"
"Bu, saya minta waktu."
"Maksudmu?" Ibu Renata menyan-
darkan punggungnya ke kursi. Dalam
hati dia berkata. "Anak ini tahu
sesuatu. Tapi dia tidak mau bicara."
"Besok saya kasi tau Ibu."
"Lho, kok sampai nunggu besok?
Memangnya mau lapor sama siap dulu?"
Ibu Renata tersenyum. Senyum yang bagi
Ronny terasa seperti mendesaknya.
"Nggak lapor sama siapa-siapa
Bu."
"Berarti kamu bisa bicara
sekarang. Nggak usah besok.''
Ronny diam. Mengusap hidungnya.
"Ronny, Ibu akan sangat kecewa
kalau kau tidak mau bicara."
Ronny kembali terdiam.
Bel tanda masuk berdentang.
Ibu Renata berdiri. Wajahnya
memancarkan rasa kecewa tapi juga
menunjukkan rasa bingung. Ronny
Celepuk untuk beberapa lama masih
berdiri di depan meja.
"Kalau tidak ada yang mau kau
katakan, silakan kembali ke kelas."
Kata Ibu Renata tanpa meman-dang pada
Ronny dan sambil mengambil tasnya dari
atas meja.
"Bu Renata, maafkan saya Bu. Saya
sudah janji sama Boma, sama teman-
teman agar nggak cerita. Tapi Saya
takut Ibu marah...."
"Saya tidak marah. Buat apa
marah?" ujar Guru Bahasa Inggris itu.
Dia tetap tegak tak beranjak dari
belakang meja.
"Boma kena musibah lagi Bu."
Sepasang bola mata bagus dan
bening Ibu. Renata membesar sedikit,
menatap Ronny tak berkesip.
"Musibah apa? Apa yang terjadi?"
"Boma dikeroyok lima orang.
Kejadiannya malam Minggu lalu.
Perkaranya sekarang sudah di tangan
Polisi."
Tubuh Ibu Renata perlahan-lahan
duduk kembali ke kursi.
"Sekarang Boma di mana?"
"Di rumah, Bu."
"Ronny, ceritakan selengkap-
lengkapnya bagaimana kejadiannya."
"Tapi sudah bel Bu."
"Biar, nanti saya bicara sama
guru yang mengajar."
RONNY sudah lama keluar dari
ruangan Kantor SMU Nusantara III tapi
Ibu Renata masih duduk di belakang
meja. Wajahnya yang cantik tampak
redup. Sebentar-sebentar dia menarik
nafas dalam. Cerita Ronny membuat Guru
Bahasa Inggris ini gelisah berat.
Pikiran dan hatinya kacau-balau. Lalu
dia ingat pertemuannya dengan Boma di
ruangan kantor itu beberapa waktu
lalu. Dia menuduh Boma menyebar
luaskan cerita yaitu bahwa dia
mengajak anak itu menonton tapi
ditolak. Cerita itu kemudian menjadi
gunjingan yang memalukan di seluruh
SMU Nusantara III. Bukan cuma para
murid saja yang tahu, tapi guru-guru
pun tahu. Pak Nugroho, Kepala Sekolah
sampai menegurnya.
Boma sendiri tidak mengaku
sebagai pelaku yang menyebar luaskan
cerita tersebut. Ibu Renata ingat
pembicaraannya dengan Boma di ruangan
itu.
Saya tidak menyangka seburuk itu
budi pekertimu. Kalau kau tidak suka
sama Ibu, jangan ceritanya disampaikan
sama orang lain."
"Sumpah Bu," kata Boma.
"jangan bersumpah Boma. Saya
paling benci pada orang yang suka
mengangkat sumpah tapi ternyata sumpah
palsu...."
Boma mulai bingung.
"Pergi Boma, pergilah...." kata
Ibu Renata sambil melambaikan tangan
menyuruh Boma pergi.
Tapi Boma tidak beranjak dari
tempatnya berdiri.
"Ibu Renata, sekali lagi saya
sumpah. Saya tidak berbuat sejahat
itu."
Ibu Renata geleng-gelengkan
kepala.
"Kalau sumpah saya palsu, biar
saya nggak selamat."
"Kalau sumpah saya palsu, biar
saya nggak selamat."
Ucapan Boma itu terngiang di
telinga Ibu Renata. Perempuan itu
masih duduk di kursinya.
Keningnya ditopangkan ke tangan
kanan. Halinya berucap. "Dia dikeroyok
orang. Berarti tidak selamat. Dia
termakan sumpahnya sendiri. Berarti
sumpahnya memang palsu. Boma....
Benarkah semua kenyataan ini? Seharus-
nya saat itu kau tak perlu bersumpah.
Mungkin saya terlalu mendesaknya
dengan tuduhan itu. Mungkin Boma tidak
bersalah. Tapi...." Ibu Renata geleng-
kan kepalanya. Ada cairan hangat jatuh
dari kelopak matanya, membasahi pipi.
Guru Bahasa Inggris ini baru sadar
kalau dia telah meneteskan air mata.
Cepat-cepat dia mengambil sapu tangan
dari dalam tas, menyeka perlahan ke
dua mata dan pipinya.
"Ibu Renata. Tidak mengajar?"
Tiba-tiba ada suara dari arah
pintu Ruangan Kantor.
Ibu Renata mengangkat kepalanya.
Memandang ke arah pintu. Dia melihat
Pak Nugroho, Kepala Sekolah, berdiri
di situ.
"Sakit?" Tanya Kepala Sekolah.
Ibu Renata gelengkan kepala. Coba
tersenyum.
"Cuma pusing sedikit, Pak."
"Kalau memang sakit pulang saja."
"Tidak, tidak apa-apa. Saya masih
bisa mengajar. Terima kasih Pak." Lalu
Ibu Renata keluar dari ruangan.
Bergegas ke Kelas II-5. Dia sudah
terlambat sekitar seperempat jam
mengajar pelajaran Bahasa Inggris di
kelas itu.
ENAM
U M A R = UNTUNG
MASIH ADA RAM BUT
PULANG sekolah Ronny dan Vino
langsung ke rumah Boma. Begitu melihat
Boma, Vino berkata.
"Kemaren tampangmu masih peyang
Bom. Sekarang mendingan, benjutnya
udah rada kempes."
Boma tertawa.
"Hidung gua masih suka nyut-
nyutan," katanya. Lalu Boma bertanya.
"Yang laen-laen nggak pada ke sini?"
"Nanti nyusul," jawa Ronny.
"Gita, Allan, Andi, Rio sama Firman
ceking katanya ke Gramedia dulu, cari
buku."
"Kirain beli apel sama anggur
buat gua," ujar Boma bercanda.
"Maunya mereka sih gitu. Tapi
kata Gita, anak kayak kamu kalau
dikasih buah-buahan luar negeri takut
disentri, malah mencret," kata Vino
mengarang. Boma cuma menyengir.
"Bom, gua mau ngomong. Tapi sorry
nih...." Ronny bicara sambil melirik
pada Vino.
"Pakai sorry menyorry segala.
Memangnya ada apaan?
"Gue terpaksa nyeritain kejadian
kamu dikeroyok...."
"Sama siapa?" tanya Boma.
"Trini?"
Ronny menggeleng. "Bukan,"
ucapnya.
"Pasti Dwita. Kan aku udah bilang
Ron. Jangan...."
Ronny kembali menggeleng.
"Ibu Renata." Ucap Ronny
kemudian. Suaranya perlahan seolah
takut Boma akan terkejut.
Boma memang terkejut. Matanya
melotot. Hidung ditowel berkali-kali.
"Ajie gile! Kok ceritanya sampai
ke Ibu Renata?"
"Aku dipanggil ke kantor.
Ditanyain kenapa kamu nggak masuk.
Terpaksa Bom. Aku terpaksa bilang.
Habis Ibu Renata ngedesak terus.
Kayaknya dia tau kalau aku ngebohong."
"Kamu bilang apa saja Ron?" suara
Boma lemas, wajahnya menunjukkan
kejengkelan.
"Aku ceritain semua. Sorry Bom."
"Lalu reaksi Ibu Renata gimana?"
Boma menowel hidungnya.
"Diem aja. Tapi aku liat wajahnya
sedih."
Boma kembali menowel hidungnya.
"Jangan ngarang Ron."
"Aku nggak ngarang," jawab Ronny.
"Mustinya dia girang tau aku
celaka begini."
"Kok kamu ngomong begitu?" tanya
Vino.
Boma memandang ke luar jendela.
"Waktu aku dituduh nyebarin soal
nonton itu, buat ngeyakinin dia aku
sampai sumpah sama Ibu Renata. Aku
bilang kalau sumpahku palsu, aku bakal
nggak selamat."
"Dasar gendenk! Ngapain kamu
pakai sumpah kayak gitu segala?" tukas
Ronny.
"Habis, dia nggak percaya," sahut
Boma.
"Sekarang justru dia jadi percaya
beneran kalau kamu bohong. Terbukti.
Kenyataannya kamu nggak selamat.
Celaka dikeroyok rampok. Berarti
sumpahmu memang sumpah palsu. Berarti
memang kamu yang nyebarin omongan."
"Biar aja Ibu Renata punya
pikiran begitu. Yang penting aku nggak
berbuat jahat sama dia." Boma diam
lalu melanjutkan. "Eh, kamu bilang aku
dikeroyok rampok. Bukan dikeroyok
gara-gara ribut sama si Bodong dan si
Anton."
"Gua nggak tolol nyeritain yang
sebenernya Bom," jawab Ronny. "Kan
urusan bisa jadi panjang."
"Encer juga otak lu," kata Boma
sambil senyum.
"Sebenarnya kenapa sih kamu nggak
mau diajak nonton Bom?" Bertanya Vino.
"Aku cuman mau ngejaga nama dan
kehormatan Ibu Renata, Vin. Kalau
sampai ada anak-anak yang lihat aku
nonton sama Ibu Renata, apa lagi kalau
yang ngeliat guru, kamu bisa bayangin
gimana akibatnya. Aku sih anak gendenk
nggak apa-apa. Tapi Ibu Renata pasti
akan jadi susah...."
"Hatimu polos juga Bom," ujar
Vino. "Tapi kalau aku yang diajak.
Wah! Nggak usah ditawarin sampai dua
kali. Ibu Renata kan cantik banget.
Kulitnya putih. Matanya bagus, bening.
Suaranya sejuk seperti air es di
waning bakso Mang Asep...." Habis
berkata begitu Vino tertawa sendiri.
"Kalau kamu sih nggak heran Vin,"
kata Boma. "Jangankan cewek, kambing
congek dibedakin kalau ngajak, kamu
pasti mau."
Ronny tertawa mengakak.
Vino cuma bisa mendehem-dehem.
Lalu berkata. "Aku rasa Ibu Renata
nggak punya pikiran buruk sama kamu
Bom...."
"Mana aku tau. Buktinya dia marah
berat sama aku."
Vino menjawab. "Itu yang keliatan
di luar. Sebenernya, menurut aku dia
malah sayang sama kamu."
"Sialan lu!" semprot Boma.
"Taroan yuk!"
"Ini taroannya!" jawab Boma lalu
tendang tulang kering kaki kanan Vino
hingga anak ini teraduh-aduh dan
berjingkat-jingkat kesakitan.
Ibu Renata bilang apa lagi sama
kamu?" tanya Boma pada Ronny.
"Sampai aku keluar kantor dia
nggak bilang apa-apa. Cuma aku lihat
wajahnya pucat."
"Mudah-mudahan dia nggak nyukurin
aku digebuk orang begini," kata Boma.
"Aku rasa kalau dia sayang sama
kamu, pasti dia nggak punya pikiran
atau perasaan begitu Bom." Vino lagi
yang menggoda.
"Besok kau masuk?" tanya Ronny.
Boma menggeleng.
"Besok pagi aku musti ke Polsek.
Tadi malam ada Polisi datang. Ngasi
tau kalau tiga orang dari dua
pengeroyokku sudah tertangkap."
"Bravo!” seru Vino. "Cepet juga
Polisi kerjanya. Salut deh!"
"Mereka melacak dari plat nomor
mobil.
Menurut Polisi dua pengeroyok
yang masih buron sudah diketahui
identitasnya. Tinggal diciduk. Yang
dua ini, satu si berewok bernama
Freddy. Satunya lagi yang mau nusuk
aku pakai belati namanya Radiman.
Dikenal dengan julukan si Apache."
"Indian kesasar!" ujar Ronny.
"Menurut Polisi lima orang itu
memang bangsa premanan. Sering mangkal
di kawasan Mangga Besar. Kerjaan
mereka merasin orang. Besok pagi aku
musti ke Polsek. Polisi perlu
keterangan tambahan. Nanti nyusul
bikin Berita Acara."
"Aku besok bisa bolos. Nganterin
kamu ke Kantor Polisi." Kata Ronny
pula.
"Nggak usah Ron. Aku bisa pergi
sendiri. Paling Bokap gua yang
nemenin. Uuhh.... Dia ngomel nululu
saban ngeliat gua. Katanya seumur-umur
baru aku dari sekian banyak keluarga
yang bikin urusan sama Polisi. Waktu
aku nyautin siapa sih yang mau cari
urusan sama Polisi, eh aku hampir
digaplok. Tinggal Ibu gue cuma bisa
nangis."
"Abang lu gimana?" tanya Vino.
"Dia sempat nekat waktu pertama
kali lihat gua babak belur di Kantor
Polisi. Dia mau balas dendam,
ngumpulin temen-temennya. Tapi
dilarang Bokap gua. Polisi juga ngasi
nasihat." Lalu Boma bertanya. "Ron,
cewek lu gimana?"
"Cewek gua? Siapa?" Ronny
berlagak pilon.
"Belagak lu! Siapa lagi! Si
Sarah!"
"Uh, makin melar aja Bom." Vino
yang menjawab. "Jerawatnya tambah
banyak. Habis dipupuk terus sama
Ronny."
Ronny tersenyum. "Itu bukti kalau
aku jadi saudara asuh yang bener.
Orang-orang pada sibuk sama urusan
orang tua asuh. Gua sih jadi saudara
asidt aja." Ronny kembali memandang
keluar lewat jendela. Masih berusaha
mengingat-ingat.
"Bom, ada yang aku mau bilang
sama kamu. Tapi ini nggak ada
hubungannya sama kejadian
pengeroyokan. Cuma terkait sama Ibu
Renata."
"Apaan Ron?" tanya Boma.
"Waktu aku mau masuk Kantor, aku
lihat Pak Sanyoto Guru Olah Raga lagi
ngomong sama Ibu Renata. Aku sih nggak
begitu denger apa yang mereka omongin.
Tapi kayaknya Pak Sanyoto ngebet sama
Ibu Renata."
"Kamu tau dari mana?" Bertanya
Vino.
"Mungkin Pak Sanyoto mau ngajak
Ibu Renata pergi. Atau mungkin juga
mau datang ke rumahnya. Soalnya aku
dengar Ibu Renata bilang malam nanti
dia tidak bisa. Lain kali saja. Nanti
saja dia beri tau...."
"Urusan guru sama guru biarin aja
Ron. Ngapain kita pikirin." Kata Boma
pula.
"Siapa yang mikirin. Yang aku
jadi nggak enak, waktu Pak Sanyoto
keluar, dia kayaknya geram sekali
ngeliat aku. Omongannya kasar. Mungkin
dia ngira aku sengaja ngintipin. Dia
nanya kasar sekali. Ada apa kamu di
sini?!"
"Pak Sanyoto keliatannya juga
nggak senang sama aku," ucap Boma.
"So pasti!" celetuk Vino. "Kamu
kan saingannya."
"Brengsek lu Vin," kata Boma.
Lalu meneruskan. "Inget nggak, waktu
latihan atletik. Gua nggak salah apa-
apa, cuman terlambat lima menit.
Padahal latihan juga belon mulai. Eh,
aku disuruh lari muterin lapangan
sampai tiga kali. Sial, berok gua
rasanya mau copot. Lalu di Rapor angka
Olah Raga gua dikasih jeblok. Empat!
Sialan kagak!”.
"Waktu istirahat aku sering liat
Pak Sanyoto suka ngedeketin Ibu
Renata. Juga kalau ada acara-acara
tertentu. Dia selalu berusaha duduk di
samping Ibu Renata." Ujar Ronny.
"Pak Sanyoto sih kalah ster sama
Ibu Renata." Kata Vino pula. "Ke
sekolah dia cuma naik Honda Bebek
bapet. Ibu Renata bawa Suzuki Katana."
"Pak Sanyoto tampangnya sih nggak
jelek-jelek amat. Cuman kepalanya aja
yang udah rada botak. Nggak salah
kalau anak baru Si Sulastri itu ngasih
nama dia Si Umar."
Ron?" tanya Vino. "Uh,
ketinggalan bajaj kamu Vin. UMAR
artinya untung Masih Ada Rambut."
Boma dan Vino sama-sama tertawa
cekikikan mendengar kata-kata Ronny
itu.
"Pak Sanyoto, Pak Sanyoto...."
Boma menyebut nama Guru Olah Raga itu
berulang-ulang. Tiba-tiba dia ingat
sesuatu. "Ron! Vin! Gue jadi inget!"
"Inget apa?" tanya Ronny.
Di luar terdengar langkah-langkah
berisik menaiki tangga.
"Pasti Gita sama yang Iain-lain,"
kata Vino. Lalu anak ini melangkah ke
pintu. Boma menowel hidungnya. Tak
jadi melanjutkan ucapannya yang tadi
terputus.
TUJUH
DUA BURONAN KIRIMAN
NENEK ANEH
DARI luar rumah kontrakan di
ujung gang itu kelihatan sepi. Di
dalam ternyata ada dua orang lelaki
berambut gondrong tengah bicara
serius. Si gondrong pertama sebagian
wajahnya tertutup berewok. Dia bukan
lain Freddy, lelaki yang dihajar Boma
di toilet Gramedia. Dia pula yang jadi
pimpinan empat kawannya mencari Ronny
dan Boma. Yang ditemukan pada Sabtu
malam itu cuma Boma sendirian dan
langsung dikeroyok.
Orang kedua bernama Radiman. Oleh
kawan-kawan dan beberapa kelompok
preman Ibukota dikenal dengan julukan
Si Apache. Lelaki ini paling sadis.
Nyawa orang baginya bukan apa-apa.
Dialah yang malam itu membawa belati
hendak menikam menghabisi Boma.
"Fred, kalau tiga temen kita yang
ketangkap nyanyi di Kantor Polisi,
cepat atau lambat Polisi akan
menggerebek tempat ini." Berkata si
Apache.
"Kamu nggak usah kawatir. Tiga
teman kita itu tidak tau rumah
kontrakan ini."
"Aku tetap saja merasa kawatir
Fred. Baiknya kita nyingkir ke Bogor.
Ke rumah si Marjuki."
"Di situ malah lebih gawat. Dulu
si Klewang dijedor mati di rumah itu."
Kata Freddy.
"Kalau gitu kita cari tempat
lain. Pokoknya jangan di sini. Aku
benar-benar was-was...."
"Nanti saja kita bicara lagi. Aku
capek. Ngantuk dan lapar. Aku mau
tidur. Tapi sebelum tidur aku mau ma
kau dulu. Kamu beli nasi di warung
Padang." Freddy mengeluarkan selembar
lima ribuan lecek dan menyerahkannya
pada si Apache.
Si Apache melihat arloji di
pergelangan tangan kanannya. Hampir
jam enam. Di luar rumah masih agak
lerang.
"Tunggu sampai gelap dulu Fred,"
katanya sambil mengantongi uang yang
lima ribu. Seperempat jam kemudian si
Apache berdiri dari kursinya. Sebelum
membuka pintu depan, dia mengintip
dulu lewat celah hordeng. Bila
dirasakannya aman baru pintu dibuka.
Rumah makan Padang hanya sekitar
dua ratus meter dari ujung gang. Walau
bisa dicapai dengan jalan kaki tapi si
Apache lebih suka naik bajaj.
Bagaimana pun juga dia harus
menghindari dirinya terlihat di
jalanan. Selesai membeli nasi bungkus
dengan lauk ala kadarnya, si Apache
kembali ke rumah kontrakan. Memasuki
gang dia melangkah cepat-cepat menuju
rumah kontrakan. Pada setiap langkah
yang dibuatnya, dia merasa ada
seseorang mengikuti. Si Apache menoleh
ke belakang. Yang dilihatnya cuma
seorang nenek bungkuk berkulit hitam
berpipi cekung. Pakaian lusuh. Di
kepalanya ada beberapa hiasan. Mungkin
sunting.
"Sialan, cuma seorang gembel
pengemis," Si Apache memaki dirinya
sendiri. Dia terus berjalan. Hatinya
lega begitu sampai di rumah kontrakan.
Setelah mengunci pintu entah mengapa
dia ingin mengintai keluar lewat celah
hordeng. Nenek bungkuk hitam
dilihatnya berdiri di depan pintu
pagar, memandang ke arah rumah.
Freddy yang melihat kawannya
mengintai keluar bertanya.
"Ada apa Man?"
Radiman alias si Apache memberi
isyarat dengan gerakan tangan agar
Freddy mendekat. Begitu si berewok ada
di sampingnya dia berkata. "Lihat
keluar...."
Freddy melihat keluar lewat celah
hordeng.
"Cuma seorang pengemis tua. Apa
anehnya?" ujar Freddy. Dia mengambil
bungkusan nasi Padang dari tangan
temannya lalu kembali ke kursi.
"Pengemis malam-malam begini, apa
nggak aneh Fred?"
"Udah, jangan dipeduliin. Ayo
makan. Habis makan kita perlu tidur.
Perlu istirahat. Besok pagi kita
bicara mau pergi ke mana."
Nenek bungkuk itu masih tegak di
depan rumah.
"Kalau dia memang pengemis, pasti
sudah tadi-tadi minta uang padaku.
Ngulurkan tangan...."
"Mungkin otaknya nggak waras,"
jawab Freddy. Dari dalam saku
blujinsnya si berewok keluarkan koin
seratus perak. "Ini, kasih sama dia.
Suruh pergi."
Freddy menggulirkan uang logam
seratus perak itu ke arah kaki
temannya. Si Apache ambil uang itu,
letakkan nasi bungkusnya di kursi lalu
membuka pintu. Ketika pintu terbuka si
nenek aneh tak ada lagi di depan
rumah. Ada rasa angker menjalari tubuh
si Apache. Apalagi saat itu mendadak
saja dia mencium bau pesing santar
sekali. Cepat-cepat dia masuk ke dalam
rumah, langsung mengunci pintu.
"Udah pergi tu nenek-nenek?"
tanya Freddy.
Si Anache tak menjawab. Uang
logam seratus perak diletakkannya di
atas meja lalu dia mengambil nasi
bungkus yang tadi diletakkan di alas
kursi.
"Kok uangnya nggak kamu kasih?"
tanya Freddy.
"Nenek pengemis itu sudah pergi
duluan. Nggak tau ke mana," jawab si
Apache. Dirabanya tengkuknya dengan
tangan kiri. Dingin berkeringat. "Hati
gua nggak enak Fred," katanya.
"Oo... syukur kamu masih punya
hati. Gua kira nggak punya hati,"
jawab si berewok lalu menyeringai.
"Man, kamu badan doang yang gede.
Julukan doang yang keren. Tapi nyalimu
nyali kadal. Pengecut." Si berewok
Freddy mulai menyuap nasinya tanpa
cuci tangan lebih dulu. Baru saja dia
mengunyah suapan pertama, belum sempat
ditelan, tiba-tiba dia membaui
sesuatu. "Man, kau nyium bau aneh,
nggak?" Kadiman si Apache menghirup
udara dalam rumah dalam-dalam. Dia
mengenali bau itu karena telah mencium
sebelumnya.
"Bau pesing," katanya perlahan.
"Mungkin pintu kamar mandi terbuka.
Baunya nyebar sampai ke sini," kata
Freddy lalu menelan makanan dalam
mulutnya. Ketika dia hendak menyuap
untuk ke dua kali tiba-tiba si Apache
melihat tampang temannya itu berubah.
Matanya membelalak, memandang sesuatu
di belakangnya.
"Ada apa, Fred?" tanya si Apache.
Freddy seperti tak mampu mengunyah
makanan dalam mulutnya. Tangannya
terasa berat sewaktu diangkat.
Tunjukan jarinya gemetar.
"Man... Man...." Tampang si
berewok kelihatan memucat. Suaranya
tersendat, bukan cuma oleh makanan
yang ada dalam mulutnya tapi lebih
banyak oleh rasa takut.
Si Apache ikut kecut. Sekujur
tubuhnya mendadak jadi dingin.
Perlahan-lahan dia palingkan kepala ke
arah yang ditunjuk temannya. Si Apache
tergagau. kaget dan takut ketika
melihat siapa yang tegak di sudut
ruangan yang hanya diterangi lampu 10
watt itu. Bukan lain sosok si nanek
bungkuk, pengemis tua berkulit hitam
berwajah cekung. Nenek ini berdiri
dengan kepala agak dijulurkan ke
depan, menyeringai angker seperti
binatang buas hendak menerkam
mangsanya.
Ketika nenek itu keluarkan suara
tawa cekikikan, nyali dua preman
berambut gondrong itu putus sudah.
Keduanya melompat dari kursi masing-
masing. Si Apache lari ke pintu depan.
Tapi setengah mati dia berusaha, pintu
itu tak berhasil dibukanya.
Si berewok Freddy lari ke
belakang. Pada bagian yang berhubungan
dengan dapur terdapat sebuah pintu
dalam keadaan terbuka. Freddy melompat
ke arah pintu. Tapi tidak terduga,
secara aneh tiba-tiba daun pintu itu
bergerak ke arahnya.
"Braaakk!"
Daun pintu kayu Borneo yang cukup
keras menumbuk jidat, mulut serta dagu
dan perut gendut Freddy. Tak ampun
lagi si berewok ini terkapar
bergedebuk di lantai, pingsan tak
berkutik.
SFKITAR jam delapan malam,
petugas piket dikejutkan oleh
meluncurnya sebuah bajaj memasuki
halaman Polsek. Kendaraan roda tiga
ini berhenti di tengah halaman,
mesinnya tidak dimatikan.
Beberapa orang anggota Polisi
segera menghambur keluar, langsung
mengelilingi bajaj. Semua petugas ini
jadi terheran-heran ketika mereka
dapatkan bajaj itu sama sekali tanpa
pengemudi.
"Kok nggak ada sopirnya?" seorang
Polisi -Prajurit Satu Timbul- berkata
lalu melangkah lebih dekat untuk
memeriksa.
"Kabur barangkali," anggota
Polisi lainnya menyahuti.
"Mana mungkin. Kalau kabur pasti
kelihatan." Pratu Timbul berkata
sambil memasukkan kepala dan separuh
badan ke dalam bajaj. Mendadak petugas
ini menarik kepala dan badannya
kembali.
"Ada apa?" tanya teman di
sampingnya.
"Dorong ke tempat terang!" Pratu
Timbul minta bantuan teman-temannya.
Bajaj didorong ke depan bangunan
utama Polsek. Cahaya lampu di teras
bangunan menerangi bajaj.
"Ayo, kalian lihat sendiri!" kata
Pratu Timbul.
Tiga orang temannya segera
membuka pintu bajaj kiri kanan,
memeriksa kendaraan roda tiga itu. Di
atas jok bajaj tergeletak duduk dua
orang lelaki bertubuh kekar dan
berambut gondrong. Yang satu bere-
wokan. Ke duanya duduk tak bergerak,
mata terpejam. Entah tidur entah
pingsan. Tak ada tanda-tanda
penganiayaan di wajah dua orang itu.
Juga tak ada bercak darah di pakaian
mereka.
Dari lantai bajaj ada suara
seperti orang mengerang. Ternyata di
lantai itu melingkar sosok ketiga,
seorang lelaki berkemeja belang-
belang, bercelana hitam.
Sementara tiga temannya masih
diselimuti perasaan heran, Pratu
Timbul malah berpikir-pikir. Ada
sesuatu yang coba diingatnya. Tidak
sia-sia dia memutar otak. Begitu ingat
dia langsung mengeluarkan borgol.
Memborgol si berewok. Teman-temannya
disuruh memborgol lelaki di samping si
berewok. Kedua orang itu kemudian
diseret keluar bajaj, dibaringkan di
lantai ruangan piket. Orang ketiga
menyusul dikeluarkan dari dalam bajaj,
diborgol dan digeletakkan di samping
dua lelaki berambut gondrong. Orang
ini sadarkan diri lebih dulu dari dua
lainnya. Dia langs duduk di lantai.
Memandang berkeliling. He melihat ada
beberapa orang Polisi mengelilingmy.i.
Lalu ketakutan ketika menyadari
tangannya berada dalam keadaan
diborgol.
"Pak... Pak, kenapa saya
diborgol? Kenapa saya ditangkap Pak?
Saya nggak bikin salah apa-apa. Saya
nggak salah jalan, nggak nerobos lampu
merah...."
"Kamu sopir bajaj?" tanya seorang
Polisi. "Betul Pak. Kenapa saya jadi
ada di Kantor Polisi?"
"Lepaskan borgolnya. Kita tanyai
dia," kata Pratu Timbul pada teman di
sebelahnya. Lalu jongkok di dekat
sosok lelaki berewok yang terbaring di
lantai.
"Orang ini," kata Pratu Timbul
sambil bangkit berdiri lalu mengambil
pesawat HT dari atas meja. "Aku yakin
dia Freddy. Buronan perampok anak
sekolah. Yang gondrong satunya si
Apache, preman Mangga Besar, konconya
si berewok." Pratu Timbul kemudian
menghubungi Komandan Polsek lewat HT,
melaporkan apa yang terjadi.
SELAGI para petugas di ruang
Piket sibuk menangani tiga tamu yang
datang secara aneh itu, di halaman
Polsek, tidak terlihat oleh siapa pun,
tegak berdiri seorang nenek bungkuk
berpakaian serba hitam. Mulutnya
menyeringai pencong. Tangan kanannya
menimang-nimiang sebuah benda biru
bercahaya sebesar telur burung.
"Batu Penyusup Batin," kata si
nenek, "kesaktianmu boleh juga. Aku
bisa menghilang dari pandangan mata
orang. Hik... hik... hik. Mungkin ada
baiknya kamu aku berikan pada muridku
Anak Setan si gendenk itu. Hik...
hik... hik."
Terbungkuk-bungkuk si nenek
melangkah meninggalkan halaman Polsek.
Di pintu gerbang dia berpapasan dengan
seorang anggota Polisi bertubuh gemuk
berperut buncit yang baru saja makan
malam di sebuah warung. Iseng, enak
saja si nenek menarik hidung Polisi
ini. Yang ditarik hidungnya tersentak
kaget. Tamparkan tangan ke depan tapi
hanya mengenai udara kosong. Si nenek
tarik sekali lagi hidung itu. Kali ini
selain kesakitan anggota Polisi itu
juga jadi ketakutan setengah mati.
Secepat yang bisa dilakukannya dia
lari menuju ruangan Piket menemui
teman-temannya.
Sebelum keluar dari pintu gerbang
si nenek palingkan kepala ke belakang.
Matanya membentur bajaj yang tadi
dikemudikannya.
"Tidak sangka mudah saja
mengemudikan kuda berkaki tiga itu.
Tapi bantingannya keras sekali.
Tubuhku enjot-enjotan. Aku sampai tiga
kali terkencing-kencing. Hik... hik...
hik!"
BEBERAPA koran terbitan pagi
keesokan harinya masih sempat memuat
kejadian aneh Polsek malam tadi.
Berbagai judul berita dan sub judul
terpampang di halaman satu.
"Sopir Bajaj Mengaku Disirap
Nenek Aneh."
"Dua Buronan Pengeroyok Dikirim
Nenek Aneh Ke Polsek."
"Boma, Murid SMU Nusantara III
Bikin Berita lagi."
"Bajaj Tanpa Sopir Ditumpangi Dua
Buronan. Salah Satu Diantaranya
Pentolan Preman Si Apache."
"Kejadian Aneh di Polsek. Seorang
Anggota Polisi Mengaku Dipencet
Hidungnya Sampai Dua Kali."
"Polsek Mendapat Hadian Malam
Kliwon. Dua Buronan Dikirim Secara
Aneh."
DELAPAN
ORANG DALAM KOBARAN
API
PAGI itu sebelum jam pelajaran
pertama dimulai Trini mendatangi Ronny
yang asyik ngobrol bersama teman-teman
dekat taman kecil di samping lapangan
basket.
"Ron," bisik Gita yang berdiri di
samping Si Centil Sulastri. "Liat, si
Trini lagi mau ke sini. Gue liat tu
kucing garong tampangnya sewot banget.
Pasti ada yang nggak beres. Siap-siap
aja...."
Apa yang diduga Gita memang
benar. Masih beberapa langkah dari
Ronny, Trini sudah membuka mulut.
"Ron, kamu brengsek!"
"Waduh, pagi-pagi udah nyemprotin
gua! Ada apa Rin?" tanya Ronny.
"Tadi pagi aku baca koran. Ada
berita Boma dikeroyok rampok. Kok kamu
nggak mau ngasih tau sih? Kayaknya ada
yang dirahasiain! Brengsek lu!"
"Iya, brengsek lu Ron,"
menimbrung Vino membuat Trini jadi
tambah jengkel sementara teman-
temannya yang lain cuma senyum-senyum.
"Rin, gua sih tadinya mau ngasih
tau sama kamu-kamu semua. Tapi
dilarang sama Boma."
"Bohong aja lu!" tukas Trini.
"Iyya memang Ronny tukang bohong,"
kata Vino lagi.
"Eh, Vin! Jangan konyol lu! Lu
juga brengsek!" sembur Trini.
"Wadaww! Gua yang kena sekarang!"
kata Vino sambil garuk kepala.
"Ya, Rin terserah kamu deh nggak
mau percaya. Nanti aja tanya Boma
kalau udah masuk." Kata Ronny.
"Brengsek!" Trini masih sewot.
"Udah, pagi-pagi nggak usah
ribut," kata Sulastri seolah mau jadi
penengah. "Kalau udah tahu Boma kena
musibah, dateng dong ke rumahnya.
Kita-kita semua udah pada datang,
cuman kamu yang belum nongol."
Sulastri melanjuikan ucapan. Dia
berdusta karena sebenarnya dia tidak
pernah datang ke rumah Boma.
"Ala lu lagi! Kucing burik! Nggak
usah ngajarin!" Meluncur kata-kata itu
dari mulut Trini. Ditujukan pada
Sulastri.
Sulastri mencibir.
"Katanya suka sama Boma, tapi
dikasih tau kok malah ngedumel!"
"Eh, Centil! Jangan banyak
ngomong lu! Gue jambak baru tau!"
"Eh, belon tan dia siapa
Sulastri. Jambak aja kalau berani!"
Ditantang begitu Trini jadi
nekad. Anak perempuan ini melompat ke
depan. Bukan cuma satu tangan, tapi
dua tangan sekaligus bergerak men-
jambak rambut Sulastri hingga anak ini
menjerit kesakitan. Bando di kepalanya
mencelat mental.
"Pisain Vin! Git pisain!" Firman
berpaling pads Vino dan Gita.
Ronny menggoyangkan tangannya.
Berkata setengah berbisik.
"Jangan, biarin aja."
"Rasain lu!" teriak Trini. "Gue
emang udah lama pengen ngejambak lu!
Dulu lu juga yang ngebuang tas gue ke
got!"
Dalam sakitnya dijambak Sulastri
tidak tinggal diam. Tangan kanannya
bergerak ke depan.
"Breett!"
Baju putih Trini robek besar.
Kancing-kancingnya bercopotan. Dadanya
tersingkap lebar. Mata semua anak
lelaki yang ada di situ pada melotot.
Sulastri belum puas. Sekali lagi
tangan kanannya bergerak. Kali ini
memutus salah satu tali beha yang
dikenakan Trini. Anak perempuan ini
terpekik. Cepat menutupi dadanya.
Mundur beberapa langkah lalu lari ke
dalam kelas.
Sulastri rapikan rambutnya.
"Lastri, gila lu!" kata Andi.
"Biarin bo! Sekarang bru tau dia
siapa Sulastri!"
"Lastri," kata Rio.
"Tadi Trini bilang kamu ngebuang
tasnya ke got. Bener?"
"Tuduhan palsu," jawab Sulastri
tapi kemudian anak perempuan ini
tertawa cekikikan. "Bener, memang aku
yang ngebuang tas kucing garong itu ke
got. Habis, waktu aku baru masuk
sombongnya tu anak bukan main."
Ronny geleng-geleng kepala. Gita
tertawa lebar.
"Tapi kamu berantemnya enggak
per," tiba-tiba Vino menyeletuk.
"Nggak per gimana?" tanya Lastri.
"Kalau dijambak kamu musti balas
ngejambak dong. Masa, kamu ngerobek
pakaian orang. Narik behanya si Trini
sampai melorot ke mana-mana...."
"Aaah! Tapi kamu semua senang kan
liat dada putihnya kucing garong
itu?!" tukas Sulastri.
Semua anak laki-laki yang ada di
situ sama menyengir.
"Untung kamu bukan berantem sama
Si Gita," kata Vino pula.
"kalau berantem sama gua
memangnya kenapa?" tanya cewek gemuk
Gita Parwati sambil pelolotkan mata
pada Vino.
"lyaa, kalau sampai dada kamu
yang dibikin melompong sama Sulastri,
wadauw! Bisa gerr deh semua kita-kita
ini."
"Setan lu!" Maki Gita.
Bel tanda masuk jam pelajaran
pertama berdentang. Ketika anak-anak
itu masuk ke dalam kelas, Trini malah
keluar meninggalkan kelas II-9 itu,
pulang ke rumah dengan mata balut
merah habis menangis.
HARI itu sejak sore langit kota
Jakarta diselimuti awan kelabu.
Mendung menggantung di mana-mana.
Namun hujan tak kunjung
turun.Menjelang senja turun hujan
rintik-rintik. Hanya sebentar lalu
berhenti. .
Jam di ruang tengah berdentang
tujuh kali. Siaran "Seputar Indonesia"
di RCTl baru saja berakhir. Ibu Renata
masih duduk di depan pesawat televisi.
Dia tadi memang menonton tayangan yang
banyak diminati pirsawan itu namun
dalam menonton pikirannya jauh berada
di tempat lain. Ketika pembantu
mengatakan bahwa makan malam sudah
disiapkan, dia tidak menyahut, juga
tidak beranjak dari kursinya.
Pagi tadi Ibu Renata sempat
membaca beberapa koran yang mem berita
kan peristiwa pengeroyokan Boma,
termasuk berita dua orang buronan pe-
ngeroyok yang muncul di Polsek secara
aneh. Boma... Boma... Boma. Bayangan
anak lelaki itu selalu muncul di
pelupuk mata Ibu Renata. Pikirannya
tidak bisa lepas dari mengingat Boma
dan hatinya senantiasa bertanya-tanya
bagaimana keadaan anak itu sekarang.
Sebagian dari hati yang bertanya itu
masih diselimuti rasa penyesalan sejak
kemarin dia mendengar cerita Ronny.
"Kalau saya tidak terlalu
mendesak, Boma tak akan bersumpah.
Sumpahnya menjadi kenyataan. Tapi,
apakah dia benar-benar bersalah?
Apakah dia benar-benar yang menye-
barkan cerita itu di sekolah?" Ibu
Renata mengusap wajahnya. "Mungkin
saya yang sebenarnya bersalah. Seorang
guru mengajak muridnya menonton! Tolol
sekali!
Memalukan!"
Ibu Renata menatap ke arah
televisi, mengambil remote lalu
mematikan pesawat itu. Percuma
menonton. Perhatiannya tidak pada apa
yang ditonton.
Guru Bahasa Inggris ini tersentak
kaget ketika tiba-tiba pesawat tilpon
di sudut ruangan berdering. Seberkas
cahaya penuh harapan menyeruak di
wajah Ibu Renata.
"Mudah-mudahan dia," hatinya
membatin sambil melangkah cepat ke
tempat pesawat tilpon terletak.
"Selamat malam, ya.... Oo Pak
Sanyoto...."
Wajah yang tadi berseri berubah
redup bahkan kelihatan ada bayangan
rasa jengkel.
"Saya baik-baik saja Pak.
Betul.... Terima kasih.... Aduh maaf
Pak San. Saya baru saja siap-siap mau
keluar.... Nggak, nggak sama siapa-
siapa.... Ah, Pak San bisa saja....
Cuma ke rumah famili kok. Ada adik
datang dari Ujung Pandang. BetuL...
Saya nggak bisa janji Pak San....
Nanti saya beritahu. Ya... ya....
Selamat malam."
Ibu Renata meletakkan pesawat
tilpon.
"Dia lagi. Apa sih maunya orang
itu?"
Ketika dia melangkah menuju
kamar, pembantu menegur. Menanyakan
apakah dia mau makan.
"Nanti saja Mbok. Saya belum
lapar," jawab Ibu Renata.
"Jangan suka telat makannya.
Nanti Ibu sakit lagi...."
"Mbok, kapan-kapan kalau ada
tilpon dari orang bernama Sanyoto,
bilang saya nggak ada." Sang pembantu
mengangguk lain memperhatikan jam di
dinding yang menunjukkan pukul 7.24.
"Belum lapar? Biasanya setengah
tujuh Ibu sudah duduk di meja makan.
Sekarang sudah jam tujuh lewat.
Bilangnya belum lapar. Beberapa hari
ini Ibu kok sering keliatan ngelamun?"
DI DALAM kamar Ibu Renata
terbaring menelentang. Dua matanya
dipejamkan. Siang tadi di sekolah dia
memberikan nomor tilpon rumahnya pada
Ronny.
Berikan ini sama Boma. Minta dia
nilpon saya nanti malam. Saya minta
kamu tidak memberi tahu siapa-siapa."
"Baik Bu, tapi di rumah Boma
nggak punya tilpon." Kata Ronny sambil
mengambil potongan kertas bertuliskan
nomor tilpon yang disodorkan Ibu
Renata.
Ibu Renata terdiam sesaat.
Akhirnya berkata. "Berikan saja. Kalau
dia nggak keberatan nilpon saya, dia
bisa menggunakan tilpon umum."
"Baik Bu."
"Kamu sudah ketemu Boma?"
Ronny mengangguk.
"Kamu cerita saya menanyakan
dia?"
"Saya cerita semua Bu."
"Dia tidak marah kamu cerita
begitu?"
"Nggak, cuma heran.”
"Heran? Heran kenapa?"
"Boma nggak nyangka kalau Ibu
menanyakan dia."
"Dia bilang apa saja sama kamu?"
"Katanya dia celaka karena
bersumpah. Tapi sumpahnya nggak palsu.
Dia bersumpah buat ngeyakinin Ibu
kalau dia tidak bohong...."
"Tidak bohong soal apa?"
Ronny agak sungkan menjawab. Tapi
akhirnya dia berkata juga. "Soal siapa
yang nyebarin berita Ibu mengajak dia
nonton itu."
"Jadi boma bilang sama kamu kalau
dia tidak menyebarkan cerita itu?"
"Katanya Ibu pasti girang
mendengar dia celaka. Tapi katanya
lagi, walau Ibu punya pikiran dia yang
menyebarkan cerita, yang penting dia
nggak pernah berbuat jahat sama Ibu."
Ibu Renata terdiam. Apa yang
didengarnya dari mulut Ronny itu
membuat hatinya terenyuh. Untuk
beberapa lamanya Guru Bahasa Inggris
yang cantik ini tegak terdiam.
"Hanya itu yang dikatakan Boma
sama kamu?" Akhirnya Ibu Renata
membuka mulut bertanya lagi.
"Boma juga cerita apa sebabnya
dia tidak mau menemani Ibu nonton."
"Oh ya?" Ibu Renata terkejut. Ini
satu hal yang tak pernah diduganya.
"Apa katanya?"
Dia menolak diajak sama Ibu
karena ingin menjaga nama dan
kehormatan Ibu. Kalau sampai ada anak-
anak, apa lagi guru yang melihat,
pasti buruk akibatnya. Kata Boma, dia
sih anak gendenk nggak apa-apa. Tapi
Ibu pasti akan jadi susah."
Ibu Renata merasakan lututnya
goyah mendengar keterangan Ronny itu.
Perlahan-lahan dia dudukkan diri di
kursi di belakang meja. Kalau saja
saat itu Boma ada di hadapannya
mungkin akan dipeluknya anak itu untuk
menunjukkan rasa penyesalannya.
"Boma... Boma. Saya telah
berprasangka buruk pada anak itu.
Kalau dia memang menjaga nama dan
kehormatan saya, berarti memang bukan
dia yang menyebar cerita itu. Lalu
siapa? Saya harus menemuinya secepat
mungkin. Besok mudah-mudahan dia
masuk. Tapi bicara di sekolah,
walaupun di Kantor, bisa saja menambah
bahan pergunjingan yang tidak enak."
DAN MALAM itu yang menilpon
ternyata bukan Boma. Tapi Pak Sanyoto,
Guru Olah Raga.
"Heran itu orang. Apa saya harus
menunjukkan sikap tidak suka saya
secara kasar. Atau bilang sama dia
terang-terangan?"
Mata perempuan itu terus saja
terpejam. Dia seolah-olah takut
melihat langit-langit kamarnya
sendiri. Walau mata terpejam namun
telinganya menangkap setiap suara di
luar kamar. Dia mengharapkan suara
sesuatu. Suara deringan tilpon. Tapi
sampai dia keletihan dalam penungguan
dan akhirnya tertidur tilpon di luar
kamar tak kunjung berdering. Mungkin
Boma tidak mau menilponnya. Mungkin
anak itu masih sakit. Mungkin juga
Ronny tidak memberikan nomor tilpon
itu.
PESAWAT helikopter itu terbang
tak menentu di ketinggian 2000 kaki di
atas rimba belantara Kalimantan
Tengah. Dari bagian mesin membersit
asap hitam disertai percikan-percikan
bunga api. Di dalam kokpit pilot heli
tak henti-hentinya meneriakkan kata
midday berulang kali di corong
radiokom, memberi tahu bahwa dia
tengah menghadapi bahaya sementara
pesawat seperti kehilangan bobot,
terus melaju turun.
Helikopter itu hanya bisa
bertahan beberapa menit. Dalam keadaan
tak bisa dikendalikan lagi pesawat
akhirnya menukik ke bawah menghujam di
antara kerapatan pepohonan raksasa.
Beberapa saat kemudian satu ledakan
dashyat menggelegar. Api berkobar. Di
atas kobaran api kepulan asap hitam
menjulang ke udara.
Dari dalam kepulan asap hitam itu
tiba-tiba menyeruak satu sosok seorang
berpakaian pilot. Sekujur tubuhnya
mulai dari kepala sampai ke kaki
dikobari api. Anehnya cuma wajahnya
yang tidak diselubungi api hingga
terlihat jelas. Orang ini melangkah
menjauhi helikopter yang tenggelam
dalam kobaran api dan asap hitam. Di
satu tempat dia hentikan langkah. Dari
mulutnya keluar ucapan. Suaranya
menggema menggidikkan seolah keluar
dari satu lobang batu yang dalam.
"Renata... Renata! Saya masih
hidup.... Saya masih hidup! Tunggu
saya Renata.... Jangan pergi....
Jangan pergi!"
Orang itu mengangkat tangan
kanannya yang dikobari api dan
mendadak berubah besar serta panjang.
Menggapai-gapai ke depan, coba
menyentuh satu paras perempuan
berwajah cantik. Wajah itu adalah
wajah Renata. Perempuan itu berteriak
ketakutan. Melompat menjauhi gapaian
tangan.
Ibu Renata menjerit keras. Dia
tutupi wajahnya dengan ke dua tangan
lalu melompat berusaha menghindar dari
tangan seram yang hendak menyentuh
wajahnya.
PINTU kamar terbuka. Ibu Renata
di ujung tempat tidur, bersandar ke
dinding kamar. Wajahnya pucat dan
keringatan.
"Ibu...."
"Saya mimpi Mbok...." Suara Guru
Bahasa Inggris itu terdengar gemetar.
"Jam berapa sekarang?" Ibu Renata
menjawab pertanyaannya sendiri dengan
berpaling ke arah meja kecil di
samping tempat tidur. Di situ ada
sebuah beker kecil. Jarum-jarum beker
ini menunjukkan jam 9.45 malam.
"Ambilkan saya air putih
Mbok...."
Ketika si pembantu hendak keluar
kamar Ibu Renata berkata. "Mbok....
Ada tilpon buat saya?"
"Nggak ada Bu. Nggak ada...."
Ibu Renata menyeka keringat yang
membasahi keningnya. Matanya kemudian
dialihkan ke dinding di kepala tempat
tidur. Di situ tergantung sebuah foto
besar seorang lelaki berambut crew
cut, mengenakan seragam pilot, berdiri
gagah Si depan sebuah pesawat heli.
Ibu Renata pejamkan matanya.
Wajahnya disembunyikan di balik dua
telapak tangan. Di antara tarikan
nafas panjang yang berulang kali
hatinya bersuara lirih dan perih.
"Kalau saja kau masih ada...."
Tiba-tiba mengiang suara yang
menggema di dalam mimpi.
"Renata... Renata! Saya masih
hidup.... Saya masih hidup! Tunggu
saya Renata.... Jangan pergi...:
Jangan pergi!"
Perempuan itu mulai sesenggukan,
mengambil bantal dan menenggelamkan
wajahnya ke bantal. Dia berusaha
menguasai diri namun tak bisa. Turun
dari tempat tidur ibu Renata membuka
pintu kamar, bersamaan dengan sang
pembantu yang datang membawa segelas
air putih. Tabrakan tak terhindarkan.
Gelas berisi air putih di tangan si
Mbok terlepas, jatuh berderai ke
lantai keramik.
"Aduh Ibu, maafkan saya...."
"Saya yang salah Mbok," kata Ibu
Renata lalu melangkah pergi ke ruangan
makan. Dia duduk di meja makan. Bukan
untuk bersantap tapi kembali
sesenggukkan menahan tangis.
Sang pembantu pandangi pecahan
gelas dan tumpahan air di lantai.
Dalam hati perempuan berusia hampir
setengah abad ini berkata.
"Gelas pecah. Pertanda apa lagi
ini...."
SEMBILAN
TAMU PEJABAT
SORE ITU Ronny ke rumah Boma
sendirian. Di pintu pagar dia tak jadi
masuk. Di ruang tamu dilihatnya ayah
dan ibu Boma tengah mengobrol. serius
dengan sepasang suami istri yang kira-
kira seusia mereka. Boma juga duduk di
situ. Anak ini sebentar-sebentar
memandang ke luar. Dia telah mendengar
suara sepeda motor yang dikendarai
Ronny dan tahu kalau Ronny ada di luar
sana. Boma berdiri, keluar menemui
Ronny. "Ron, kamu naik ke atas aja. Ke
kamar gua...." "Biar aku nunggu di
sini aja Bom. Ada tamu siapa?"
"Orang tuanya si Anton," jawab
Boma.
"Orang tuanya si Anton? Ngapain
mereka pada ke sini? Pantes tadi di
jalanan aku liat ada Volvo biru gelap
parkir. Nomor dua angka. Nggak taunya
ada pejabat yang datang ke rumah
kamu."
Boma nyengir. "Kamu tunggu di
sini Ron. Nggak lama lagi mereka pasti
pulang."
Sambil menunggu, Ronny yang
merasa mulutnya asam nyalakan sebatang
rokok. Baru dua kali hisap dua tamu di
rumah Boma kelihatan keluar diiringi
ayah dan ibu Boma, lalu Boma di
sebel'ah belakang. Ronny cepat
membuang rokoknya ke got. Ketika
hendak minta diri tamu yang laki-laki
memegang tangan ayah Boma seraya
berkata.
"Pak Sumitro, saya bermohon
sekali. Saya harap Bapak bisa mengerti
dan menolong saya...."
Sumitro Danurejo angguk-anggukan
kepala.
"Semua kejadian ini kita ambil
hikmahnya, Pak Yusuf."
"Saya dan istri akan datang lagi
ke sini. Harap Bapak tidak bosan
menemui kami."
Laki-laki bernama Yusuf itu ayah
Anton berpaling pada Boma. "Nak Boma,
Bapak juga minta pertolongan Nak Boma.
Anton nanti akan Bapak suruh menemui
Nak Boma. Untuk minta maaf." Yusuf
memegang bahu Boma. Istrinya sejak
tadi tegak diam lalu mengeluarkan
kata. Sebentar-sebentar mengusap kedua
matanya dengan sehelai sapu tangan.
Begitu dua tamu pergi Boma segera
mengajak Konny naik ke kamarnya di
tingkat atas.
"Nah, sekarang kamu ceritain
ngapain orang tua si Anton datang ke
sini. Gua udah nyelidikin di
sekolahan. Si Anton kagak nongol dari
hari Senin."
"Orang tuanya juga nggak tau
anaknya ada di mana. Cuma katanya
Senin siang lalu Anton nilpon. Dia
nggak berani pulang. Anak itu ngasi
tau semua kejadian sama ibunya. Bilang
kalau dia terlibat perkara
pengeroyokan hari Sabtu malam itu.
Lima orang yang dibayarnya buat
ngerjain kita sudah tertangkap semua.
Cepat atau lambat Polisi akan tau
cerita sebenarnya. Dia akan menjadi
orang buronan."
"Gua rasa orang tua si Anton tau
di mana anaknya ngumpet. Mungkin juga
mereka yang ngumpetin."
"Aku rasa begitu," jawab Boma.
"Lalu apa maunya orang tua si
Anton?"
"Mereka minta agar aku tidak
melibatkan anaknya dalam pemeriksaan
dan terutama dalam sidang pengadilan
nanti."
"Bagaimana mungkin? Tu anak
memang udah terlibat kok. Apa lagi
kamu 'kan sudah diperiksa Polisi.
Memang sih kamu nggak nyebut-nyebut si
Anton. Tapi di pengadilan nanti kamu
nggak bisa dusta Bom. Lima monyet
bayarannya si Anton bisa aja diatur
sama Bapaknya si Anton. Tapi kamu sama
Bokap kamu apa mau diatur?"
"Menurut Bokapnya Si Anton, kalau
aku cukup membatasi kejadian itu pada
perkara perampokan saja berarti itu
sudah nyelamatin anaknya...."
"Bukan cuma anaknya. Tapi dia
juga. Nyelamatin jabatannya!"
"Memang ini urusan berat. Bokap
gua bilang si Anton bisa dituduh
melakukan pembunuhan berencana.
Berdasarkan KUHP Pasal 339 tuntutan
hukumannya masuk bui dua puluh tahun."
"Hebat juga Bokap lu tau segala
urusan Hukum. Lalu keterangan sama
Polisi jadi simpang siur."
"Bom, ini perkara besar. Ini
saatnya kita balas ngegebuk si Anton
dan kaki tangannya. Kita bertindak
berdasarkan hukum yang berlaku. Tidak
seperti mereka, pakai hukum rimba. Ala
Mafia! Mereka pasti habis, Bom!
Percaya gua! Udah kamu jelaskan aja
semua pada Polisi. Biar tau rasa tu
anak. Mentang-mentang anak pejabat.
Waktu kita dilemparin telor busuk aja
aku rasanya dendam setengah mati. Apa
lagi waktu kamu dibilangin gendenk
karena keberatan ilmu!"
"Mauku sih tadinya begitu Ron.
Tapi seudahnya aku pikir-pikir rasanya
nggak tega juga."
Ronny gelengkan kepala dan
acungkan tinju. "Kalau kamu sampai
koit dibunuh sama si Apache itu, pasti
kamu nggak bisa bilang segala nggak
tega. Orang tuanya si Anton
menjanjikan sesuatu sama kamu, sama
Bokap kamu?"
"Tadi dalam pembicaraan omongan-
nya memang mengarah ke situ. Balas
jasa sebagai tanda terima kasih. Tapi
Bokap gua langsung motong, mengalihkan
pembicaraan pada hal lain." Boma
menowel hidungnya lalu berkata lagi.
"Udah Ron, nanti aja kita liat di
pengadilan. Tau nggak, menjelang
selesai aku ngasih keterangan di
Polsek tau-tau Bokapnya Trini muncul."
"Tau dari mana dia?"
"Waktu aku tanya dia bilang Trini
yang ngasi tau. Hari ini Trini pulang
cepat...."
"Bukan pulang cepat Bom. Ada
kejadian di sekolah. Trini berantem
sama si Centil cewek baru itu." Lalu
Ronny Celepuk menceritakan kejadian
tadi pagi disekolah. "Wah, berarti
kamu bisa hutang budi lagi buat kedua
kali Bom."
"Kamu untung punya pacar bapaknya
Polisi."Boma cuma tersenyum lalu
menowel hidungnya.
Dari dalam kantong kemejanya
Ronny keluarkan selembar potongan
kertas. Lalu diserahkannya pada Boma.
Boma perhatikan sebentar angka-angka
yang tertulis di atas kertas itu. Dia
tahu itu adalah nomor tilpon. Tapi
bergurau dia berkata kepada Ronny.
"SDSB udah nggak ada lagi. Ini
nomor lotere apaan Ron?"
"Bukan nomor lotere. Itu nomor
tilpon Ibu Renata."
"Wah, kejutan nih! Kok kamu bisa
dapetin nomor tilponnya Ibu itu?"
"Dia yang nulis. Diberikan sama
aku. Disertai pesan agar disampaikan
pada kamu. Dan nanti malam dia minta
kau menilponnya."
"Nomor tilpon Ibu Renata. Itu
kejutan pertama. Dia yang nulis lalu
diberikan pada kamu. Itu kejutan
kedua. Dipesan agar diberikan padaku.
Itu kejutan ke tiga. Dia minta aku
menilponnya nanti malam. Itu kejutan
keempat!"
"Jangan kaget, pasti ada kejutan
ke lima dan ke enam!" menimpali Ronny.
"Gimana ceritanya sampai Ibu
Renata ngasi nomor tilpon. Kamu cerita
yang jujur Ron. Jangan ditambah jangan
dikurangin."
Ronny lalu menceritakan pertemuan
dan pembicarannya dengan Ibu Renata di
sekolah hari itu.
"Kayaknya dia mulai meragukan
kalau kamu yang nyebar berita soal
menonton itu."
"Mungkin begitu mungkin juga
nggak," jawab Boma.
"Untuk pastinya kamu tilpon aja
Ibu Renata nanti malam." Kata Ronny.
"Terus terang gua nggak abis pikir
Bom. Siapa yang punya pekerjaan nyebar
luasin cerita kamu sama Ibu Renata
itu."
"Inget kemarin waktu kamu, aku
dan Vino bicara di kamar ini? Aku
ingat sesuatu. Tapi nggak sempat
ngomong karena teman-teman yang lain
berdatangan...."
"Sekarang kamu boleh ngomong apa
yang kamu ingat itu." Kata Ronny pula.
"Pak Sanyoto," ucap Boma. "Waktu
kelas satu kita masuk siang pulang
sore."
"Betul."
"Sore itu, kalau aku nggak salah
hari Sabtu, Ibu Renata manggil aku ke
kantor. Di kantor cuma kami berdua.
Guru-guru sudah pada pulang. Waktu itu
Ibu Renata bilang dia mau ngajak aku
nonton. Aku lupa filmnya apa. Tapi
kata Ibu Renata film itu bagus sekali
dan ceritanya banyak kesamaan dengan
kehidupannya. Saat itu aku bingung
Ron. Tapi kemudian masih bisa
berpikir. Ajakan Ibu Renata aku tolak.
Aku lupa apa alasan yang aku bilang
waktu itu. Nah, waktu keluar dari
Kantor aku Hat Pak Sanyoto. Kayaknya
dia udah lama berdiri, nguping dekat
pintu Kantor sebelah luar. Waktu
ngeliat aku, dia pura-pura ngebetulin
sesuatu di motornya."
"Jangan-jangan dia ngedenger apa
yang Ibu Renata bilang."
"Bisa aja."
"Lalu karena Ibu Renata lebih
punya perhatian sama kamu, dia
ngegosipin kejadian itu ke mana-mana.
Dasar guru kuyak! Kamu musti ceritain
sama Ibu Renata Bom."
"Aku nggak berani Ron. Nggak mau.
Urusan bisa tambah panjang."
"Kok? Kenapa? Kamu harus
membersihkan diri di mata Ibu Renata.
Biar Ibu Renata tau kalau memang bukan
kamu yang jadi biang kerok nyebarin
cerita nggak karuan."
"Aku nggak punya bukti kalau Pak
Sanyoto yang jadi dalang nyebarin
cerita." Kata Boma.
Ronny terdiam lalu berkata. "Iyya
juga. Susah juga."
"Udah, nggak usah dipikirin."
Kata Boma pula.
Ronny keluarkan kunci motor dari
kantong blujinsnya. "Aku cabut dulu
Bom. Nomor tilpon Ibu Renata sudah
patik berikan. Pesan sudah hamba
sampaikan. Selanjutnya terserah anda."
Ucap Ronny menirukan kata-kata iklan
di televisi.
DAN seperti diketahui malam itu
Boma tidak menilpon Ibu Renata.
Setelah Ronny pergi Boma membaca
sebuah majalah di lantai bawah lalu
selesai sembahyang Magrib dia naik
kembali ke kamarnya. Untuk beberapa
lama anak ini memperhatikan wajahnya
di sebuah kaca kecil yang tergantung
di dinding. Besok dia harus masuk
sekolah. Untung benjat-benjut di
wajahnya sudah berkurang jauh. Selagi
dia mengusap-usap pipinya yang pernah
lebam tiba-tiba dia melihat wajah lain
dalam kaca. Wajah nenek-nenek berkulit
hitam, berpipi cekung dengan mata
mencorong angker. Wajah seram itu
menyeringai. Bersamaan dengan itu Boma
mencium bau pesing santar sekali.
SEPULUH
SINTO GENDENG DATANG
SUMITRO Danurejo merasa heran
melihat di pintu pagar rumah berdiri
seorang nenek berpakaian butut,
bertampang seram. Rokok yang terselip
di bibir dicabutnya, kacamata plus
enam ditanggalkan, diletakkan di atas
meja. Saat itu si nenek di luar sana
enak saja nyelonong masuk.
"Malam-malam kok masih mau
ngemis?" tegur Sumitro. Walau suaranya
menegur agak tidak enak didengar tapi
tangan kirinya merogoh ke kantong
celana panjang di mana ada beberapa
uang logam seratus perakan.
Nenek yang ditegur menyeringai
lalu berkata.
"Sampean salah menduga. Aku bukan
pengemis."
"Lalu?" tanya Sumitro heran. Saat
itu bau tidak enak yang sudah
diciumnya sejak tadi terasa semakin
menusuk.
"Lalu? Hik... hik... hik!" Si
nenek tertawa lalu enak saja dia
mengambil rokok yang ada di sela jari
tangan kanan Sumitro. Rokok dihisapnya
satu kali. Sumitro jadi marah. Ketika
dia hendak membentak tiba-tiba si
nenek hembuskan asap rokok dalam
mulutnya ke wajah lelaki itu. Saat itu
juga seperti dihipnotis Sumitro
tertegak diam, tak bergerak tak mampu
bersuara.
Si nenek perhatikan rokok yang
dipegangnya. "Ini yang namanya rokok.
Dasar manusia pada tolol. Mau saja
menenggak asap. Apa nggak kembung?!"
Walau berucap begitu tapi si nenek
sedot rokok di tangannya sekali lagi.
Lalu rokok itu diselipkan kembali di
sela jari Sumitro. Sambil senyum-
senyum si nenek masuk ke dalam rumah,
menaiki tangga, menyelinap masuk ke
dalam kamar Boma.
DI DALAM kamar Boma tersurut
mundur dua langkah begitu melihat
wajah nenek seram dalam kaca. Ketika
dia memutar tubuh dan palingkan
kepala, ternyata si nenek telah
berdiri tiga langkah di hadapannya,
menyeringai dan menebar bau pesing.
"Nek...." Boma menegur dengan
suara tercekat.
"Anak Gendenk."
"Syukur."
"Eh, mengapa kau bilang syukur?"
tanya si nenek sambil delikkan mata.
"Biasanya kau memanggil saya Anak
Setan. Sekarang Anak Gendenk."
Si nenek tertawa cekikikan.
"Anak Gendenk, Anak Setan dengar.
Aku tidak bisa lama-lama di tempat
ini. Aku datang karena ada firasat
dirimu dalam bahaya...."
"Bahayanya sudah lewat Nek. Nenek
tau sendiri. Waktu saya dikeroyok
orang, mau dibunuh. Bukankah Nenek
ikut menolong?"
"Bahaya yang sudah lewat perlu
apa aku urus. Yang aku maksud adalah
bahaya yang bakal datang. Ada orang
yang akan membunuhmu. Petunjuk memberi
tahu kau bakal dipateni di sekolahan.
Besok kau masuk sekolah?"
Boma mengangguk.
"Siapa orang jahat itu Nek? Masih
kawanan kelompok lima pengeroyok itu?"
"Dia mahluk dari alamku. Dikenal
dengan nama Pangeran Matahari.
Berpakaian serba hitam. Ada gambar
gunung dan matahari di dadanya. Dia
juga pakai mantel warna hitam.
Kepalanya diikat secarik kain merah.
Dia merupakan suruhan para dedengkot
golongan hitam yang tak suka
kemunculan dirimu sebagai Pendekar
Tahun 2000."
"Apa Nek, saya Pendekar Tahun
2000? Nek setiap muncul kau membawa
keanehan. Sulit bisa dipercaya."
"Dalam rimba persilatan keanehan
hanya selangkah jaraknya dari
kematian. Itu sebabnya setiap keanehan
harus kau perhatikan, harus kau
pecahkan sebelum keanehan memecah
kepalamu! Mahluk bernama Pangeran
Matahari itu ilmunya tinggi. Selain
itu mata biasa tidak bisa melihat
ujudnya karena dia sudah diusap dengan
benda ini oleh gurunya yang bernama Si
Muka Bangkai...."
Dari balik baju hitam bututnya di
bawah ketiak kiri si nenek keluarkan
sebuah benda berbentuk dan sebesar
telur burung merpati, berwarna biru
bercahaya.
"Apa itu Nek?" tanya Boma.
"Batu Penyusup Batin," jawab si
nenek. "Jika batu ini kau genggam,
ujudmu tak akan terlihat oleh siapa
pun. Kau lenyap, menghilang dari
pemandangan mata manusia. Jika
Pangeran Matahari muncul, orang lain
tak bisa melihat dirinya, tapi kau
bisa."
"Kalau saya bisa menghilang wah
enak juga Nek." Kata Boma.
"Enaknya?! "tanya si nenek.
"Saya bisa gentayangan ke mana-
mana. Masuk bioskop nggak bayar.
Ngintip orang pacaran. Ngintipin cewek
mandi. Masuk ke kamar penganten
baru...."
"Anak Setan!" bentak si nenek.
"Ilmu apa saja kalau dipergunakan
salah, untuk kejahatan, bisa kualat
makan diri sendiri."
"Nek, gimana kalau setelah
menghilang saya tidak bisa kembali ke
alam nyata? Bisa celaka saya seumur-
umur."
"Dasar anak gendenk! Tubuhmu
tidak ludes, tidak menghilang benaran.
Yang kejadian mata manusia tidak bisa
melihat sosokmu. Itu bisa melindungi
dirimu, dari segala macam bahaya!
Bukan buat ngintip cewek kencing!"
"Nek, saya tetap nggak mau nerima
batu itu.
Ngeri Nek."
"Kalau jadi anak tolol boleh
saja. Tapi jangan keliwatan. Aku sudah
bilang dirimu terancam bahaya maut.
Pangeran Matahari akan muncul mau
membunuhmu. Aku pinjamkan batu ini
selama beberapa hari padamu."
"Saya nggak berani Nek. Tetap
nggak berani. Takut...."
"Takut apa jijik?! Karena batu
ini barusan aku keluarkan dari
ketiakku hah?!"
Boma menowel hidungnya.
"Tidak, bukan karena itu Nek."
"Jangan dusta Anak Setan!"
"Saya nggak dusta Nek.
Sumpah...."
"Jangan suka bersumpah! Urusan
sumpahmu sama guru cantik itu belum
beres. Sekarang kamu sumpah lagi sama
nenek jelek ini! Bisa tambah celaka
kamu!"
"Kok.... Kok Nenek tau saya
sumpahan sama Ibu Renata?" tanya Boma
heran.
"Apa yang aku tidak tahu mengenai
dirimu. Yang tersembunyi dalam celana
di bawah perutmu itu juga aku tahu!
Ada tahi lalatnya di lempengan sebelah
kiri! Hik... hik... hik!"
Boma melengak kaget. Kaget karena
apa yang dikatakan si nenek memang
benar adanya. Tak sadar dia turunkan
tangan meraba bagian bawah celananya.
Tawa cekikikan si nenek tambah keras.
"Anak Setan, kau tetap tidak mau
menerima Batu Penyusup Batin ini?"
Boma gelengkan kepala. Tangan
kirinya masih menekap ke bawah perut.
Si nenek tampak kesal.
"Terserah kamu!" katanya. "Kalau
kau celaka jangan salahkan aku!"
Perempuan tua berwajah angker dengan
lima tusuk konde di kepalanya itu
melangkah mendekati Boma. Anak lelaki
ini mundur.
"Kamu takut?!" Si nenek
menyeringai.
"Nek, Nenek ini siapa sih
sebenarnya?"
"Kalau aku beri tahu namaku apa
kau mau menerima batu sakti ini?"
"Nggak Nek, nggak. Biar saya
nggak tau nama Nenek...."
Si muka angker tertawa panjang.
"Bagus, kau rupanya tidak mempan
disogok! Nik... hik... hik!"
Nenek itu maju lagi satu langkah.
Tiba-tiba tangan kirinya ditepukkan ke
bahu kanan Boma seraya berkata. "Kau
akan menyesal tidak mau kupinjamkan
batu sakti itu. Aku pergi sekarang!"
Boma merasa bahunya yang ditepuk
menjadi pegal dan berat.
"Nek, pintu keluar sebelah sini,"
kata Boma ketika melihat si nenek
melangkah ke arah jendela yang
tertutup.
"Siapa bilang aku keluar lewat
pintu!" jawab si nenek sambil tertawa
lebar. Tangannya bergerak membuka daun
jendela. "Anak tolol, dengar baik-
baik. Batu Penyusup Batin sudah aku
susupkan ke dalam bahu kanan di bawah
tulang belikatmu. Jika kau mengusap
bahumu satu kali, sosokmu akan menjadi
samar. Jika kau mengusap kedua kali,
tubuhmu akan lenyap dari pemandangan
mata manusia. Jika kau mengusap sekali
lagi, ujudmu akan kembali seperti
semula."
Boma tersentak kaget. Dirabanya
bahu kanannya di bawah tulang belikat.
Astaga, ada sesuatu yang menonjol pada
daging di bawah tulang belikatnya.
Selagi Boma bingung, kaget dan juga
takut si nenek kembali tertawa
cekikikan. Lalu sekali dia berkelebat
sosoknya melesat keluar jendela. Boma
mengejar ke jendela, namun dia hanya
melihat kegelapan di luar sana. Si
nenek tak kelihatan lagi.
TERNYATA si nenek tidak terus
pergi. Dia melayang ke teras rumah,
menemui Sumitro Danurejo yang sampai
saat itu masih tegak tak bergerak tak
bersuara. Rokok yang terselip di sela
jari tangan kanannya dan masih menyala
hampir membakar jari-jari itu. Seperti
tadi si nenek mengambil rokok itu,
menghisapnya dalam-dalam lalu hembus-
kan asap rokok ke wajah Sumitro. Sisa
rokok diselipkan kembali ke jari
tangan lelaki itu. Setelah tertawa
cekikikan si nenek berkelebat. Sumitro
melihat sosok perempuan tua itu
laksana terbang menembus udara malam,
berkelebat di wuwungan rumah tetangga
lalu lenyap.
Hanya sesaat setelah sosok si
nenek bau pesing lenyap, Sumitro sadar
akan dirinya. Dia mampu bergerak dan
bersuara kembali. Dia perhatikan rokok
di tangannya yang tinggal pendek.
Memandang ke arah atap rumah tetangga
di seberang sana, lalu kembali
memperhatikan rokok. Dia tak berani
meneruskan menghisap. Rokok itu
dicampakkannya ke jalanan. Kini ada
rasa takut menjalari tengkuknya yang
terasa dingin. Cepat-cepat lelaki ini
masuk ke dalam rumah, mengunci pintu
depan lalu naik ke atas, menemui Boma
di kamarnya.
Tapi Boma tidak ada dalam kamar.
"Ke mana lagi itu anak?" Sumitro
bicara sendirian sambil meraba
tengkuknya.
Sebenarnya saat itu Boma ada
dekat jendela. Barusan dia mencoba
mengusap bahu kanannya dua kali. Dia
tidak dapat memastikan apakah dirinya
benar-benar lenyap seperti kata si
nenek. Dia baru percaya akan kenyataan
setelah melihat ayahnya masuk kamar
tapi tidak melihat dirinya tegak dekat
jendela.
"Boma?!" Sumitro memanggil.
Tak ada jawaban.
Boma berpikir apa sebaiknya dia
segera mengusap bahunya sekali lagi.
Tapi dia kawatir ayahnya akan kaget
besar. Lebih dari itu dia tidak mau
ada orang lain tahu kalau dia memiliki
ilmu aneh. Boma terus saja berdiri
diam dekat jendela.
Sumitro Danurejo kembali usap
tengkuknya yang dingin. Dia memandang
seputar kamar. Lalu gelengkan kepala.
"Gila! Mengapa banyak keanehan
sekarang terjadi di rumah ini?"
"Boma!" Sumitro memanggil lagi.
Tetap tak ada jawaban. Jengkel, tapi
kemudian lebih banyak takutnya,
Sumitro Danurejo keluar dari kamar
anaknya.
MALAM itu Boma tidak mengikuti
apa yang dipesankan Ronny. Dia tidak
menilpon Ibu Renata. Hal ini membuat
kegelisahan mendalam dalam diri Guru
Bahasa Inggris itu. Membuatnya sulit
tidur. Pikirannya menerawang jauh.
Hatinya diselubungi berbagai rasa. Dia
baru bisa memicingkan mata menjelang
pagi. Ketika bangun tubuhnya terasa
capai sekali. Namun keletihan pisik
yang dirasakannya tidak ada arti sama
sekali dibanding dengan tekanan
penyesalan batin yang menghunjam lubuk
hatinya.
KEESOKAN harinya, hari Rabu Boma
kembali masuk sekolah. Justru Ibu
Renata tidak kelihatan. Menurut kabar
yang bersumber dari Tata Usaha
Sekolah, Guru Bahasa Inggris itu
terserang flu.
Pagi itu Ronny datang lebih dulu
di sekolah. Ketika Boma muncul,
sehabis dikerubungi oleh teman-
temannya Ronny mengajak Boma masuk ke
dalam kelas.
"Orang Tata Usaha bilang Ibu
Renata tidak masuk. Sakit flu. Tadi
malam kamu nilpon dia?"
Boma menggeleng.
"Aku udah duga," Ronny berkata
sambil sandarkan punggungnya ke
tembok. "Kamu nggak kasian sama Ibu
itu?"
Boma menowel hidungnya.
"Kalau Pak Sanyoto nggak masuk
hari ini gara-gara flu, apa aku juga
harus merasa kasihan sama dia?"
"Gendenk kamu Bom! Aku tanya
lain, jawabmu lain lagi. Sejak punya
ilmu kamu kok jadi sering ngelantur
omongannya? Jalan pikiranmu seperti
nggak normal lagi. Mungkin kamu dendam
sama Ibu Renata? Dia nuduh kamu biang
kerok penyebar cerita yang membuat dia
malu setengah mati. Kamu kan udah tau,
dia salah sangka. Aku yakin Bom, Ibu
Renata bukan cuma sakit flu. Ada
sakitnya yang lain...."
"Gitu?" Boma menowel hidungnya.
"Udah lama kamu jadi dokter atau
dukun? Atau terkun?"
"Gendenk lu Bom!"
Bel tanda masuk berbunyi. Ketika
semua anak telah duduk di bangku
masing-masing, Boma memandang seputar
kelas. Dia tidak melihat Trini di
bangkunya.
"Ron," kata Boma pada Ronny yang
duduk di sebelah depan. "Kalau
ngikutin omonganmu, aku juga musti
kasian sama Trini. Bangkunya kosong.
Dia nggak masuk hari ini."
Ronny diam saja. Yang menyahuti
malah Vino. "Trini bukannya nggak
masuk. Tapi terlambat doang. Mungkin
dia lagi sibuk ngejait kutangnya yang
putus dibetot Sulastri kemaren."
Si Centil Sulastri mesem-mesem.
Yang lain senyum-senyum kecil
mendengar ucapan Vino.
SEBELAS
IBU RENATA SAKIT
LAGI
HARI RABU, tepat satu minggu Ibu
Renata tidak masuk mengajar. Hari ini
ada rapat guru di SMU Nusantara III.
Dua jam pelajaran terakhir anak-anak
dipulangkan.
"Bom, kamu nggak buru-buru pulang
'kan?" tanya Ronny ketika melangkah
keluar dari kelas.
"Kenapa? Kamu mau ngajak aku ke
mana? Ke Mal?"
"Ada yang aku mau bicarain. Kita
ngobrol di warung baksonya Mang Asep."
"Ngobrol aja sambil jalan."
"Bom, ini soal sakitnya Ibu
Renata. Hari ini persis seminggu dia
nggak masuk mengajar."
"Kamu rajin banget ngitungin hari
orang sakit."
"Sakitnya Ibu Renata serius Bom."
"Memangnya sakitnya apa? Katanya
cuma flu."
"Bukan cuma flu Bom. Tapi ada
gejala tipus."
"Dokter sekarang nggak heran.
Kalau pasien panas dikit dibilang
tipus. Apa lagi kalau dokternya magang
rumah sakit. Pasti disuruh rawat.
Sekarang penyakit sering
dikomersialkan Ron."
"Gue nggak ngerti itu. Mau
dikomersialkan,mau diapain kek. Yang
aku mau omongin soal Ibu Renata.
Sakitnya udah gitu lama, kok kamu ngga
mau nengokin sih?"
"Eh, gua rasa nggak ada aturan di
sekolah ini kalau guru sakit anak
murid musti nengokin."
"Aturan sih memang nggak ada.
Tapi budaya kita kan budaya timur
Bom...."
"Sok tau lu. Kalau budaya timur
memangnya kenapa?"
"Nengokin orang sakit itu nggak
ada ruginya. Apa lagi yang sakit guru
kita. Ibu Renata. Guru sebaik itu
rasanya nggak enak kalau sampai nggak
ditengokin."
"Ibu Renata kan baik sama kamu-
kamu. Sama aku enggak."
"Kamu kayaknya masih dendam aja."
"Kata orang pinter, jadi manusia
nggak boleh dendam. Tapi yang namanya
manusia paling nggak punya perasaan.
Iyya 'kan?"
"Kata orang pikiran jangan
dipengaruhi perasaan. Bisa jadi nggak
sehat," jawab Ronny.
"Kamu kayak Socrates aja," ujar
Boma. Ditowelnya hidungnya lalu
bertanya.
"Kamu memangnya udah nengokin si
Ibu?" "Udah dua kali. Kali yang kedua
aku nggak bisa ketemu. Kata
pembantunya Ibu Renata nggak bisa
turun dari tempat tidur. Nggak mau
ketemu siapa-siapa."
"Nah kalau nggak mau ketemu
siapa-siapa, buat apa aku datang?
Malu-maluin aja...."
Ronny pegang tangan Boma. "Bom,
aku yakin Ibu Renata sangat ngarepin
kedatanganmu."
"Pak Sanyoto udah nengokin?"
"Brengsek! Kok kamu nanyain guru
kunyak itu!" ujar Ronny jengkel. "Ibu
Renata nggak suka sama Guru Olah Raga
itu tau. Gua sih cuman ngasih usul
Bom. Lu tau nggak...."
"Tau apa?" tanya Boma.
"Waktu aku datang kedua kali, aku
cuma ketemu sama pembantu...."
"Tunggu dulu, kamu datang sama
siapa?" potong Boma.
"Sama Sarah," jawab Ronny sambil
sedikit tersenyum. "Terus?"
"Waktu aku sama Sarah mau pergi,
pembantu nanya begini. Nak, mungkin
kenal sama orang namanya Boma?"
Boma hentikan langkah. Duduk di
bangku batu di pinggiran taman. Saat
itu keadaan mulai sepi. Beberapa anak
bermain basket di ujung lapangan.
"Kamu jawab apa Ron?"
"Aku tanya sama pembantu.
Memangnya kenapa 'Bi? Pembantu itu
bilang. Dia sering dengar Ibu Renata
mengigau. Kalau ngigau dia manggil-
manggil nama kamu."
"Ngacok! Kamu ngarang Ron!"
"Sumpah! Aku nggak ngarang! Tanya
sama Sarah situ. Atau sama si pembantu
di rumahnya Ibu Renata.
Boma menowel hidungnya. Matanya
tunduk memandang bunga layu di dekat
kakinya.
"Ibu Renata sudah ke dokter?"
tanya anak ini.
"Sudah dua dokter. Panasnya masih
belum turun-turun juga."
"Flu sekarang memang begitu Ron.
Panas tinggi, lama sembuhnya. Gua rasa
nggak ada yang perlu dikawatirin."
"Jadi kamu tetap nggak mau
nengokin Ibu Renata?"
Boma diam.
"Kamu mau nemanin aku?" "Mau aja
Bom. Tapi aku rasa lebih baik kamu
datang sendirian."
"Aku musti bawa apa?"
Nggak perlu bawa apaan. Ibu
Renata cuman mau liat kamu. Mau
ngomong. Kangen. Itu aja...."
"Kapan aku musti ke sana?" tanya
Boma lagi.
"Terserah kamu. Yang penting
jangan waktu dia lagi tidur siang.
Juga jangan keliwat malam." Ronny
pandangi wajah sahabatnya itu lalu
berkata. "Kamu inget nggak, kamu
sendiri yang bilang. Ibu Renata ngajak
kamu nonton karena filmnya ada
kesamaan dengan jalan hidupnya.
Mungkin saja dia mau cerita sesuatu
pada kamu. Mungkin cuma kamu yang dia
percaya."
Boma diam lagi. Matanya masih
menatap bunga layu di ujung kaki.
"Kasian itu kembang," katanya. "Orang
sebanyak ini, nggak ada yang nyiramin.
Taman ini apa nggak ada yang ngurus."
"Kamu bisa bilang kasian sama
kembang. Tapi sama guru sendiri nggak
kasian."
Boma usap-usap hidungnya lalu
berdiri.
"Ayo Ron, pulang. Udah sepi."
Di pintu gerbang sekolah sebelum
berpisah Ronny berhenti sebentar.
Ditatapnya wajah Boma.
"Kamu mau bilang apa Ron?"
Ronny gelengkan kepala. "Aku
nggak mau bilang apa-apa. Aku udah
kehabisan omongan."
Boma tertawa. "Kamu bilang ingin
jadi pengacara. Membela orang-orang
tertindas. Tapi kalau pengacara
kehabisan ngomong wah bisa gawat Ron!
Mulut dan kata-kata itu senjatanya
pengacara nomor satu."
"Ada senjata yang lebih berharga
Bom," sahut Ronny.
"Apa?"
Ronny menunjuk ke kepala dan ke
dadanya. "Otak sehat sama hati
bersih."
"Boleh juga omongan lu!" kata
Boma seraya menowel hidungnya. Anak
ini lambaikan tangan lalu menyeberang
jalan.
Ronny pandangi temannya itu.
Hatinya berkata. "Nggak bisa juga sih
dia disalain. Hatinya polos. Nggak
pernah nyakitin temen. Sama guru
sangat menghormat. Sampai mau sumpah
segala untuk mendapatkan kepercayaan.
Tapi yang didapatnya pukulan dan
tendangan."
DUABELAS
MURIDKU MACHOKU
BOMA berlaku cerdik. Seolah ada
firasat dia lidak berhenti tepat di
depan rumah nomor 14 itu. Setelah
lewat dua rumah baru dia memberi tahu
supir bajaj agar berhenti. Dengan
jalan kaki dia kembali ke arah rumah
nomor 14 itu. Rumah berpagar cat
putih, rumah Ibu Renata. Boma sengaja
tidak menyusuri tepi jalan di mana
rumah terletak, tapi menyeberang ke
sisi jalan yang lain.
Menjelang Boma akan sampai ke
rumah nomor 14 itu dari ujung jalan
tiba-tiba sebuah Honda Bebek meluncur
dan berhenti tepat di pintu pagar cat
putih. Boma cepat menyelinap ke balik
sebuah bedeng PU. Dia sering mendengar
dan mengenali betul suara motor itu.
Ketika dia memperhatikan dari balik
sudut dinding bedeng, dugaannya tidak
salah.
Guru Olah raga Pak Sanyoto
mematikan mesin motor, memarkir
kendaraannya dekat pintu pagar lalu
menekan bel. Bel itu agak tersembunyi
di balik tembok pagar. Tapi Pak
Sanyoto tahu tempatnya. Pertanda dia
sudah pernah ke rumah itu sebelumnya.
Guru Olah Raga ini turun dari
kendaraannya sambil menenteng satu
kantong plastik.
"Sial, gua keduluan," kata Boma
dalam hati. Dia berpikir lebih baik
segera pulang saja. Tapi kalau dia
keluar dari balik bedeng itu sekarang,
mungkin Pak Sanyoto melihatnya. Boma
memutuskan menunggu.
Pintu garasi rumah terbuka.
Seorang perempuan berkebaya lusuh
keluar. Siti, pembantu yang
diceritakan Ronny, yang sudah bekerja
di rumah Ibu Renata hampir empat
tahun.
"Mbok, Ibu Renata ada?" Pak
Sanyoto menyapa.
"Bapak dari mana?"
"Saya Sanyoto, saya dan Ibu
Renata sama-sama ngajar di Nusantara
III."
"Ooh, Ibu ada tapi sedang tidur.
Masih sakit."
"Bisa saya ketemu sebentar?"
"Bapak masuk dulu. Silakan duduk
di teras. Saya beri tahu Ibu."
Sanyoto mengucapkan terima kasih
lalu naik ke teras rumah dan duduk di
kursi yang ada di situ. Tak lama
kemudian pembantu tadi keluar kembali.
"Aduh maaf, Pak. Ibunya masih
tidur. Saya nggak berani ngebangunin."
"Sakitnya Ibu bagaimana?"
"Sekarang sudah jauh mendingan.
Tapi sesekali panasnya suka naik."
"Sudah ke dokter?"
"Sudah dua kali, Pak."
"Barangkali, saya bisa menunggu
di sini sampai Ibu bangun?"
"Boleh saja. Tapi kasian kalau
Bapak nanti nunggunya lama."
Sanyoto merasa tidak senang
dengan jawaban pembantu itu. Sang
pembantu juga merasakan. Maka Siti
berkata. "Atau mungkin Bapak datang
lagi nanti malam. Sekitar jam setengah
tujuh?"
Sanyoto memperhatikan arloji di
lengan kirinya. Saat ilu baru jam 4.55
sore. Di dalam rumah dia tnendengar
suara kran mengucur di kamar mandi.
Tadi waktu dia baru datang suara itu
tidak ada. Berarti ada seseorang baru
masuk ke kamar mandi dan menghidupkan
kran air.
"Mbok, di rumah sini yang tinggal
siapa saja?" tanya Sanyoto.
"Cuma Ibu Renata dan saya," jawab
si pembantu.
"Berarti di kamar mandi, yang
barusan membuka kran air adalah Ibu
Renata." Otak Guru Olah Raga itu
bekerja.
Merasa dibohongi Sanyoto menjadi
mengkal. Dia berkata.
"Saya ada keperluan lain nanti
malam. Sebetulnya kalau saya menunggu
saja, biar lama nggak apa-apa."
Si pembantu tidak memberikan
jawaban. Sanyoto merasa tambah tidak
enak, tambah kesal. Ibu Renata jelas
tidak sedang tidur. Perempuan itu
tidak mau menemui dia lalu menyuruh
pembantunya mengatakan bahwa dia
sedang tidur.
"Kalau saya tidak boleh menunggu,
ya sudah Mbok." Kata Sanyoto pula.
Bungkusan yang dipegangnya diletakkan
di meja. "Tolong sampaikan ini sama
Ibu Renata. Salam dari saya Pak
Sanyoto."
"Isinya apa Pak?"
"Anggur," jawab Sanyoto kesal.
Dia merasa tidak sopan seorang
pembantu ingin tahu apa isi bingkisan
yang diberikan orang untuk majikannya.
Ini membuat Guru Olah Raga itu semakin
kesal.
Suara deru Honda Bebek yang
dikemudikan Sanyoto lenyap di tikungan
jalan. Mbok Siti tengah menutup pintu
pagar ketika dia melihat ada seorang
anak laki-laki menyeberangi jalan,
mendatangi. Ketika dia mengangkat
kepala, anak itu sudah berdiri di
hadapannya. Begitu melihat wajah si
anak, air muka sang pembantu jadi
berubah. Mulutnya ternganga. Bola mata
membesar. Dia seperti kaget.
"Bapak...." Suara Mbok Siti
seperti tercekik.
Seumur hidup baru sekali itu Boma
Tri Sumitro dipanggil Bapak. Untuk
beberapa lamanya ke dua orang itu
berdiri saling pandang.
"Maafkan saya, Anak mau cari
siapa?" Mbok Siti akhirnya keluarkan
ucapan tapi sepasang matanya masih
terus mengawasi anak laki-laki di
depannya dan air mukanya tetap berubah
seperti tadi.
"Saya mau ketemu Ibu Renata. Saya
murid Ibu di SMU Nusantara III."
"Nama Anak siapa?"
"Saya Boma."
Untuk kedua kalinya Boma melihat
perempuan di depannya terkejut. Boma
jadi tidak enak tapi dia tidak mau
bertanya.
"Nama Anak siapa?" Mbok Siti
bertanya sekali lagi.
"Boma," jawab Boma. Dalam hati
dia berkata. "Budek kali ini orang."
"Boma?"
Boma mengangguk.
Tiba-tiba Mbok Siti membuka pintu
pagar cepat-cepat.
"Nak Boma.... Nak Boma...."
"Ada apa Mbok?" Tanya Boma heran.
"Masuk, masuk dulu. Nanti saya
beri tau Ibu."
Pembantu memegang lengan Boma
lalu membawa anak itu ke teras. Dengan
suara agak perlahan dia berkata.
"Waktu sakit, Ibu Renata sering
ngigau nyebut-nyebut nama situ.
Boma... Boma... Boma."
Boma menowel hidungnya. Dalam
hati anak ini berkata. "Ronny nggak
cerita bohong."
"Duduk Nak Boma, duduk. Saya beri
tau Ibu," kata Mbok Siti.
Belum sempat pembantu ini
melangkah masuk ke dalam tiba-tiba
sebuah sepeda motor berhenti di depan
pintu pagar dengan mengeluarkan suara
berdenyit, pertanda pengemudinya
menginjak pedal rem dalam-dalam.
Sekaligus pertanda bahwa si pengemudi
diselimuti emosi tinggi.
Mbok Siti dan Boma berpaling.
Keduanya sama-sama terkejut. Pak
Sanyoto! Tanpa metnatikan mesin motor
Honda Bebek lelaki itu turun dari
kendaraan, langsung menuju teras
rumah.
Sesuatu telah terjadi. Entah
mengapa tadi setelah sesaat meluncur
di atas motor meninggalkan rumah Ibu
Renata, lelaki itu berpaling ke
belakang. Tak sengaja dia melihat
seorang anak laki-laki sedang
menyeberang jalan menuju rumah Ibu
Renata. Walau agak jauh tapi matanya
cukup awas untuk melihat dan mengenali
siapa anak itu.
"Mbok, kamu 'kan cuma pembantu.
Tapi beraninya ngebohongin saya!"
Sanyoto membentak.
Mbok Siti kelihatan pucat pasi
wajah tuanya.
"Kembalikan bungkusan itu. Saya
keliru ngasih!" Sanyoto menunjuk pada
bungkusan plastik berisi anggur.
Dengan tangan gemetar Mbok Siti
mengambil bungkusan anggur di atas
meja lalu menyerahkannya pada Pak
Sanyoto. Setengah merenggut lelaki itu
mengambil bungkusan. Sebelum pergi dia
memandang ke arah Boma.
"Selamat sore Pak," Boma memberi
salam.
Sanyoto diam saja. Mukanya masam
sekali. Cepat-cepat dia kembali ke
motor yang mesinnya sengaja dibiarkan
hidup. Tiba-tiba lelaki ini berlaku
aneh. Bungkusan berisi anggur itu
dibantingkannya ke aspal. Belum puas,
bungkusan digilasnya dengan roda
motor.
Mbok Siti masih tertegun sesaat
melihat kejadian itu.
"Sayang, anggur dalam plastik
digilas" seperti itu. Harganya pasti
mahal. Kalau nggak mau ngasih Ibu
Renata, ya disedekahkan pada orang
miskin lebih baik." Mbok Siti
keluarkan ucapan. Lalu dia berpaling
pada Boma.
"Kok Pak Sanyoto bisa marah
seperti itu Mbok?"
"Mungkin dia tahu saya bohongin.
Bilang Ibu Rena masih tidur. Jadi dia
marah. Habis, saya mau gimana. Wong
Ibu Renata sendiri yang selalu bilang
sama saya. Kalau ada tilpon dari orang
yang namanya Pak Sanyoto bilang dia
lagi tidur. Malah kalau orangnya
sampai datang, bilang dia masih tidur.
Saya 'kan cuma ikut apa majikan suruh.
Wong namanya pembantu. Iyya toh?"
"Kalau saya nggak dipesanin kayak
gitu Mbok? Kalau ada anak namanya Boma
datang, bilang Ibu lagi tidur?"
Mbok Siti tertawa sambil
gelengkan kepala. "Nak Boma, tunggu di
sini. Saya beri tau Ibu." Boma
mengangguk. Dalam duduk menunggu dia
berpikir-pikir, perlakuan apa lagi
kelak yang bakal diterimanya dari Pak
Sanyoto. Jelas Guru Olah Raga itu akan
bertambah benci padanya setelah
melihat kehadirannya di rumah Ibu
Renata. Tambah marah lagi karena dia
tidak diterima Ibu Renata. Sebaliknya
Boma yang datang kemudian
diperbolehkan masuk menemui Guru
Bahasa Inggris itu.
"Pasti gawat. Pasti aku bakal
jadi bahan inceran pelampiasan
kemarahan. Keliling seputar lapangan
sampai tiga kali udah. Angka empat
dalam Rapor udah. Apa lagi?"
Tak lama kemudian Mbok Siti
muncul di teras.Dia melambaikan tangan
pada Boma.
"Ayo masuk. Ibu Renata barusan
dari kamar mandi. Sekarang menunggu di
kamar."
Boma masuk. Di ruang tamu dia
berhenti.
"Saya tunggu di sini saja Mbok."
"Ibu Renata belum boleh jalan
keluar kamar. Lebih banyak berbaring
di tempat tidur. Soalnya belum sembuh
benar."
Boma tampak bimbang. Kikuk.
"Ibu Renata yang bilang. Ibu
Renata yang suruh agar Nak Boma dibawa
ke kamar."
"Mbok, apa Ibu kalau sakit biasa
nerima tamu di kamar?"
"Nggak semua tamu. Biasanya teman
dekat, atau masih keluarga."
"Mbok, tadi Mbok manggil saya
Bapak. Kenapa?"
"Anu.... Ala, jangan biarkan Ibu
menunggu lama. Nanti saya yang kena
marah. Ayo masuk. Mari saya anter
sampai ke pintu."
Boma masih bimbang. Masih berdiri
tak bergerak di ruang tamu itu. Mbok
Siti menarik lengan anak lelaki ini,
membawanya ke kamar yang pintunya
terbuka.
"Masuk...." bisik si pembantu
sambil mendorong perlahan punggung
anak lelaki itu.
Ibu Renata terbaring pucat tanpa
make-up di atas tempat tidur. Tubuhnya
yang agak kurusan mengenakan piyama
warna biru muda. Kepalanya dialasi dua
buah bantal agar tinggi. Sepasang
matanya menatap ke arah Boma.
Pandangan mata yang seolah tidak
percaya kalau saat itu dia benar-benar
melihat Boma berdiri di ambang pintu
kamar. Kalau dia punya kekuatan untuk
bangkit serta keberanian untuk
melakukan, saat itu ingin sekali dia
bangkit dari tempat tidur dan memeluk
anak lelaki itu.
Boma balas menatap. Untuk
beberapa saat lamanya sepasang mata
guru dan murid itu saling bertemu.
Boma melihat mata Ibu Renata masih
bening dan bagus, hanya saja telah
kehilangan cahayanya yang selama ini
sangat mempesona. Boma tidak tahu
harus berkata apa, mau menyapa
bagaimana. Akhirnya dia mengucapkan:
"Selamat sore Ibu Rena."
"Boma...." Suara Ibu Renata
perlahan sekali. Dia menunjuk pada
kursi di samping tempat tidur.
Boma duduk di kursi itu. Ibu
Renata masih menatapi wajahnya. Boma
sendiri saat itu tidak lagi memandangi
Ibu Renata. Sepasang matanya terpaku
pada sebuah potret besar yang
tergantung di dinding, di atas kepala
tempat tidur. Potret seorang lelaki
muda jangkung, rambut crew cut,
mengenakan pakaian pilot dengan latar
belakang sebuah helikopter besar.
Boma seperti melihat dirinya
sendiri dalam potret itu. Aneh,
mengapa wajah dan potongan rambut
orang dalam potret bisa sama dengan
dirinya. Lama Boma memandangi potret
itu. Sampai akhirnya Ibu Renata
memecah kesunyian dalam kamar.
Suaranya perlahan tapi jelas terdengar
di telinga Boma.
"Itu potret Sandro. Suami
saya...."
Mendengar ucapan Ibu Renata baru
Boma mengalihkan pandangannya dari
potret ke wajah Ibu Renata.
"Suami Ibu? Saya mengira...."
"Mengira apa?"
"Saya mengira Ibu belum kawin,"
kata Boma polos.
Guru Bahasa Inggris itu menatap
wajah Boma sebentar lalu tertawa.
Tertawa membuat wajahnya menjadi
merah. Kecantikan dan cahaya pada
matanya seolah kembali.
"Suami Ibu pilot?"
Ibu Renata mengangguk.
"Sekarang suami Ibu tugas di
mana?"
"Dia sudah tidak ada. Sejak dua
tahun lalu...."
"Maksud Ibu?"
"Panjang ceritanya Boma. Begitu
panjang seolah tak ada akhir. Saya
berusaha melupakan. Tapi tidak bisa.
Kamu melihat wajah dalam potret itu?"
Boma mengangguk. Lalu berkata.
"Saya merasa heran. Wajah dalam potret
itu mirip wajah saya. Saya seolah
melihat potret saya sendiri."
Ibu Renata tersenyum tapi dengan
mata dipejamkan.
"Setiap saya melihat kamu, saya
seolah melihat Sandro. Saya merasa
bahagia dalam derita saya. Saya
tertawa dalam tangis saya...."
Boma melihat ada butir air mata
bening berkilat muncul di sudut kedua
mata perempuan itu lalu meluncur jatuh
ke pipi. Dada anak ini jadi sesak.
"Boma, saya pernah melakukan satu
kesalahan besar padamu. Waktu kamu
masuk tadi, saya masih melihat bekas
tanda-tanda kekerasan di wajahmu. Saya
merasa berdosa. Saya merasa seolah
diri saya menyumpahi agar celaka. Apa
lagi kemudian saya mendengar cerita
dari Ronny. Bahwa kau sangat
menghargai nama dan kehormatan diri
saya. Bahwa kau tidak pernah ingin
berbuat jahat terhadap saya. Saya
merasa berdosa. Benar-benar berdosa."
Boma tidak tahu mau berkata apa.
Dia duduk mematung di atas kursi.
Hanya matanya yang bergerak memandang
dari wajah sang guru ke potret di
dinding.
"Boma, sakit saya adalah sebagian
dari dosa yang harus saya tebus. Saya
tahu kau menderita karena tekanan
saya. Tapi ketahuilah, saya justru
yang sangat menderita karena perbuatan
saya sendiri."
"Ibu Rena, saya rasa Ibu tidak
pernah berbuat salah apa-apa. Apa lagi
sampai bilang berdosa. Saya...."
"Saya mengajakmu menonton bukan
karena hasrat yang bukan-bukan. Tapi
cerita dalam film itu banyak sekali
kesamaannya dengan hidup saya. Saya
pernah mengatakan padamu. Film itu
menceritakan seorang pilot yang
mengalami celaka; Pesawatnya jatuh di
satu rimba belantara. Tiga tahun
lamanya pilot itu berjuang agar bisa
keluar dari rimba belantara yang
ganas. Ketika berhasil dia menemui
istrinya telah kawin dengan laki-laki
lain."
Ibu Renata menutup matanya dengan
tangan, isak tangisnya tak bisa
dibendung. Boma bingung. Dia berharap
agar Mbok Siti muncul saat itu. Di
meja kecil di samping tempat tidur ada
kotak tissu. Boma mengambil dan
meletakkannya di tepi tempat tidur.
"Ibu Rena, suami Ibu. Apakah
dia...."
Ibu Rena tahu apa yang hendak
ditanyakan Boma. Dia mengambil sehelai
tissu, menyeka ke dua matanya.
"Peristiwanya sekitar dua tahun
lalu. Sandro dikontrak oleh satu
perusahaan perkayuan di Kalimantan
Tengah. Saat itu kami baru saja
menikah selama dua bulan. Berita buruk
itu datang dua hari setelah terjadi.
Pesawat heli yang dipiloti Sandro
jatuh di satu rimba belantara. Tapi
sampai hari ini bangkai pesawat
ataupun jenazah Sandro tidak pernah
ditemui."
Kepala Boma tertunduk. Kini dia
yang merasa bersalah menolak ajakan
Ibu Renata untuk menemaninya menonton.
Untuk pertama kalinya anak ini
menggerakkan tangan menowel hidungnya.
"Dua tahun, saya tidak
mengharapkan lagi Sandro akan kembali.
Saya sering mimpi. Dia muncul dalam
pakaian pilot. Berteriak bahwa dia
masih hidup. Berteriak agar saya
menunggunya. Saya tidak mempunyai
keyakinan bahwa dia masih hidup. Kalau
saya harus menunggu, sampai berapa
tahun saya harus melakukan hal itu?
Ketika saya pertama kali mengajar di
Nusantara III, ketika saya pertama
kali melihat kamu, saya merasa Sandro
seolah-olah hidup kembali. Wajahmu,
cara kamu berjalan, tertawamu, sama
seperti dia. Saya ingin sekali
mendekatimu, bersamamu. Tapi kita
berada di dua tempat yang dipisah oleh
pagar bernama ketidak mungkinan.
Ketika saya berusaha melompati pagar
itu, mengajakmu menonton, pagar itu
bukan saja roboh, tapi malapetaka
datang atas diri kita berdua.
Saya...."
Makin banyak Ibu Renata bicara
semakin sesak rasanya dada Boma.
"Ibu Rena, Ibu masih sakit.
Jangan dulu bicara banyak."
"Boma, saya ingin mengeluarkan
semua apa yang saya rasa. Kamu mungkin
mentertawakan saya. Tapi saya tidak
perlu merasa malu. Saya tidak mau
memendam rasa menjadi penyakit yang
sulit disembuhkan, menjadi penyakit
yang akan makan diri saya sendiri.
Saya sudah cukup menderita terbaring
selama satu minggu di atas tempat
tidur ini. Dokter mengatakan saya kena
flu. Ada juga yang mengatakan saya
terserang gejala tipus. Apa pun
penyakit saya hanya saya sendiri yang
tahu. Saya bersyukur, sangat bersyukur
kamu mau datang melihat saya. Sebagian
dari penyakit saya rasanya hilang
setelah melihat kehadiranmu. Saya....
Boma, kalau saja saya bisa
memelukmu...."
Ibu Renata tidak meneruskan
ucapannya. Dia tiba-tiba sadar kalau
dia telah bicara terlalu banyak dan
terlalu jauh. Dia hanya menunjukkan
kelemahannya sendiri. Dia merasa malu.
Isaknya tenggelam di dalam bantal di
mana dia kemudian membenamkan
wajahnya.
Boma berdiri dari kursi. Lama dia
tegak memandangi tubuh yang
menelungkup di alas tempat tidur itu.
Perlahan-lahan dia memberanikan diri
duduk di tepi tempat tidur. Sesaat dia
me mandang potret besar di dinding.
Hatinya berdoa. Semoga Sandro suami
Ibu Renata masih hidup. Semoga Ibu
Renata bisa bertemu kembali dengan
dia.
Duduk di tepi tempat tidur Boma
tidak tahu mau berbuat apa. Keluar
dari kamar? Meninggalkan perempuan itu
begitu saja?
"Ibu Renata, jangan nangis Bu,"
ucap Boma perlahan.
Tangis Ibu Renata malah tambah
keras. Boma jadi semakin bingung.
Entah bagaimana mendadak ada
keberanian dalam diri anak ini.
Disentuhnya punggung Ibu Renata,
diusapnya seraya berkata berulang
kali. "Ibu, jangan nangis terus. Saya
bingung Bu."
Tubuh yang menelungkup itu tiba-
tiba berbalik. Boma menarik tangannya
sebelum dia tak sengaja menyentuh dada
Ibu Renata. Namun tangan Ibu Renata
bergerak lebih dahulu memegang tangan
anak lelaki itu. Seperti bergayut di
tali pengharapan Ibu Renata pergunakan
tangan itu untuk bersigantung bangkit
dari tempat tidur. Tapi tubuhnya
oleng. Sebelum dia jatuh kembali ke
atas tempat tidur, Boma cepat
merangkul sosok Ibu Renata.
"Boma...." Ibu Renata membenamkan
wajahnya di dada anak lelaki itu.
Tidak sengaja keningnya menekan Batu
Penyusup Batin yang ada di bawah
tulang belikat kanan Boma sampai dua
kali.
"Boma...." Ibu Renata angkat
wajahnya dari dada Boma. Saat itu
ingin sekali dia melihat wajah Boma,
memegang wajah itu dengan ke dua
tangannya. Namun perempuan ini tiba-
tiba menjerit keras. Tangannya masih
merangkul. Dia masih merasa menyentuh
tubuh Boma. Tapi sosok anak itu sama
sekali tidak kelihatan.
"Ibu Renata...."
Ada suara tapi ujud orangnya
tidak kelihatan. Untuk ke dua kalinya
Ibu Renata menjerit.
"Boma, kau di mana?!"
Wajah Ibu Renata menunjukkan rasa
takut amat sangat. Dia lepaskan
rangkulannya. Perempuan ini beringsut
pucat ke kepala tempat tidur.
"Boma?"
"Saya di sini Bu," jawab Boma.
Tiba-tiba dia sadar. "Astaga, jangan-
jangan. Pasti ada kesalahan teknis!"
Cepat Boma ucap benjolan di bahu
kanannya. Saat itu juga sosoknya
muncul kembali di ha-dapan Ibu Renata,
masih duduk di tepi tempat tidur.
"Boma, bagaimana mungkin? Tadi
kau... tadi kau lenyap. Lalu...."
Boma menowel hidungnya. Lalu
tersenyum.
"Tadi saya melompati pagar yang
Ibu sebut sebagai pagar ketidak
mungkinan itu. Sekarang kita berada di
sisi yang sama. Rasanya semua kini
menjadi mungkin."
"Boma...?" Sepasang mata Ibu
Renata membesar, memandang tak
berkesip mendengar ucapan Boma.
Tiba-tiba perempuan ini terisak
keras. Ketika gerungan itu berubah
menjadi tangis keras Boma telah
mendekap Ibu Renata erat-erat ke dada
kirinya, tak berada di dada kanan.
Takut Batu Penyusup Batin akan
tersentuh kembali. Takut kesalahan
teknis terulang lagi.
"Ibu, Ibu Renata, jangan
nangis...." Boma coba membujuk.
"Tidak, saya akan menangis sepuas
hati saya." Jawab Ibu Renata.
"Sampai pagi?" ujar Boma.
Satu cubitan menyengat di
pinggang Boma, membuat anak ini
tersentak kesakitan. Ibu Renata
menarik kepalanya dari dada Boma.
"Ada apa?"
"Ibu nyubit saya?"
"Kau aneh. Dalam keadaan seperti
ini masih bisa bergurau. Saya tidak
mencubit."
Tiba-tiba mengiang suara tawa
cekikikan di telinga Boma. Anak ini
berpaling ke pintu. Semula disangkanya
yang tegak di ambang pintu Mbok Siti.
Ternyata sosok nenek berkulit hitam
yang kepalanya ditancapi lima tusuk
konde perak itu.
Melihat Boma memandang ke arahnya
nenek ini angguk-anggukkan kepala
sambil acung-acungkan jempol dengan
tangan kanannya.
"Nenek konyol. Pasti tadi dia
yang nyubit pinggang gua!" gerutu Boma
dalam hati.
TAMAT
SEGERA TERBIT BUKU BERIKUTNYA :
TOPAN DI BOROBUDUR
0 comments:
Posting Komentar