..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 25 November 2024

BOMA GENDENK EPISODE MURIDKU MACHO

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 SATU


BOMA DIBAWA KE POLSEK


NENEK berkulit hitam pandangi 

wajah Boma yang babak belur dihahtam 

lima pengeroyok berkendaraan Toyota 

Hardtop. Mulutnya yang perot 

menyeringai.

"Kalau mau jadi pendekar sejati 

memang musti tahu kerasnya jotosan, 

kencangnya tendangan. Mukamu bengap, 

seperti orang kena penyakit biri-biri. 

Anak setan, aku pergi dulu. Hik... 

hik... hik!"

Sekali berkelebat sosok si nenek 

melesat ke arah pohon besar di 

seberang jalan. Boma ikuti gerakan 

orang tua itu dengan pandangan mata. 

Namun di pohon sana bayangan si nenek 

lenyap. Tak kelihatan apa-apa. Kecuali 

seekor burung putih, yang hinggap di 

salah satu cabang.

"Hilang... Nenek itu, dia....' 

Boma tidak meneruskan kata-katanya. 

Untuk beberapa lama anak ini masih 

berdiri sambil memegang plat nomor 

mobil Toyota Hardtop yang diberikan 

nenek muka hitam dari Gunung Gede. 

Lalu lututnya mulai goyah. Rasa sakit


akibat pukulan pengeroyok mulai terasa 

di bagian wajah dan tubuhnya. Matanya 

masih sempat melihat burung putih yang 

hinggap di cabang pohon dekat kios 

rokok mengepakkan sayap lalu 

pahdangannya berubah menjadi samar.

Dia seperti kehabisan tenaga. 

Ketika sosoknya nyaris roboh beberapa 

orang berlarian mendatangi. Salah 

seorang di antaranya adalah Pasiran, 

tukang rokok yang mangkal di ujung

gang dan kenal baik dengan Boma,

"Ini Mas Boma. Dia barusan 

dikeroyok. Tolong pegangin, saya mau 

kasi tau orang tuanya." Kata Pasiran 

pada orang-orang yang ada di situ 

dengan suara kental aksen Tegal.

"Panggil laksi. Bawa ke rumah 

sakit." Seorang lain berucap.

Mendengar disebutnya rumah sakit, 

rasa trauma serta merta mcnghantui 

Boma. Pengalaman pahit dii.nv.it di 

rumah sakit akibat musibah di Gunung 

Gede tempo hari muncul kembali. Dalam 

keadaan babak belur seperti itu Boma

kerahkan seluruh tenaga, berusaha agar 

tidak pingsan.

"Antarin saya ke rumah. Jangan 

bawa ke rumah sakit. Saya...." Ucapan 

Boma terputus ketika tiba-tiba cahaya 

menyilaukan lampu sebuah mobil pikup 

terbuka menyoroti wajahnya. Terdengar 

denyit keras rem mobil. Pintu depan 

kiri kanan pikup terbuka. Dua orang


berseragam Polisi keluar. Bersamaan 

dengan itu dari bagian belakang 

kendaraan ini berlompatan pnla empat 

petugas.

TAK JAUH dari pohon besar nenek 

kulit hitam hentikan lari, berpaling 

ke seberang jalan. Saat itu dua orang 

polisi dilihatnya memapah Boma. 

Beberapa petugas lainnya menanyai 

orang-orang yang ada di tempat itu.

Si nenek pencongkan mulut. 

"Kasihan. Anak setan itu pasti akan 

ketiban urusan tidak enak. Untung tadi 

dia tidak memukul mati salah seorang 

pengeroyok...." Si nenek berucap dalam 

hati. Sambil geleng-gelengkan kepala 

dia memutar tubuh. Namun baru bergerak 

setengah putaran tiba-tiba sesuatu 

menghantam dadanya.

"Bukkk!"

Sinto Gendeng, nenek sakti dari 

puncak Gunung Gede terpekik. Tubuhnya 

mencelat menghantam kios rokok hingga 

kios itu terbalik roboh, isinya 

berantakan ke mana-mana. Pasiran yang 

tengah ditanyai Polisi melengak kaget 

ketika menyaksikan apa yang terjadi 

dengan kios miliknya. Tanpa perdulikan 

petugas yang tengah menanyai, Pasiran 

menghambur lari ke arah kios rokoknya.

"Walah biyung! Matek aku! Ora ono 

mobil yang nabrak, ora ono angin 

puyuh! Kenapa kiosku jadi ambrol 

begini?!" Pasiran berteriak setengah


menggerung. Beberapa orang Polisi 

mendatangi. Ikut terheran-heran 

melihat apa yang terjadi. Sementara 

Pasiran sibuk mengambil dan mengumpul-

kan barang dagangannya yang berham-

buran ke mana-mana.

DI BAWAH pohon besar tak jauh 

dari kios yang terbalik, tidak 

terlihat oleh orang-orang yang ada di 

jalan raya kecuali Boma, nenek muka 

hitam berdiri terhuyung-huyung sambil 

pegangi dadanya yang barusan terkena 

hantaman dahsyat. Rasa sakit dan panas 

seolah ada bara api menimbun dada itu. 

Di sela bibirnya terlihat ada lelehan 

darah. Nenek bertampang angker ini 

bukan orang sembarangan. Ilmu silat 

dan kesaktiannya telah menggegerkan 

delapan penjuru rimba persilatan Tanah 

Jawa. Kalau malam itu ada orang mampu 

menghantamnya tanpa dia sempat 

mengetahui, mengelak atau menangkis, 

berarti si penyerang memiliki tingkat 

kepandaian luar biasa.

"PAK, jangan bawa ke rumah sakit, 

Pak," kata Boma pada dua anggota 

Polisi yang memapahnya. "Saya mau

pulang. Rumah saya di ujung gang...."

"Dik, luka adik cukup parah. Adik 

harus dirawat...."

"Saya nggak apa-apa Pak. Saya 

nggak apa-apa...." jawab Boma.

"Nggak apa-apa gimana?!" ucap 

Polisi berpangkat sersan Satu bernama


menggerung. Beberapa orang Polisi 

mendatangi. Ikut terheran-heran 

melihat apa yang terjadi. Sementara 

Pasiran sibuk mengambil dan mengumpul-

kan barang dagangannya yang berham-

buran ke mana-mana.

DI BAWAH pohon besar tak jauh 

dari kios yang terbalik, tidak 

terlihat oleh orang-orang yang ada di 

jalan raya kecuali Boma, nenek muka 

hitam berdiri terhuyung-huyung sambil 

pegangi dadanya yang barusan terkena 

hantaman dahsyat. Rasa sakit dan panas 

seolah ada bara api menimbun dada itu. 

Di sela bibirnya terlihat ada lelehan 

darah. Nenek bertampang angker ini 

bukan orang sembarangan. Ilmu silat 

dan kesaktiannya telah menggegerkan 

delapan penjuru rimba persilatan Tanah 

Jawa. Kalau malam itu ada orang mampu 

menghantamnya tanpa dia sempat 

mengetahui, mengelak atau menangkis, 

berarti si penyerang memiliki tingkat 

kepandaian luar biasa.

"PAK, jangan bawa ke rumah sakit, 

Pak," kata Boma pada dua anggota 

Polisi yang memapahnya. "Saya mau

pulang. Rumah saya di ujung gang...."

"Dik, luka adik cukup parah. Adik 

harus dirawat...."

"Saya nggak apa-apa Pak. Saya 

nggak apa-apa...." jawab Boma.

"Nggak apa-apa gimana?!" ucap 

Polisi berpangkat sersan Satu bernama


Suwarto yang memapah boma di sebelah 

kanan. "Mata kiri kamu bengkak, pipi 

bengap. Hidung juga bengkak, ada 

pendarahan. Bibir kamu pecah!" Pada 

temannya Sersan ini berkata. "Naikkan 

anak ini ke mobil. Bawa ke RSCM untuk 

perawatan pertama. Nanti kita tanyai 

di Polsek...."

"Saya pulang aja Pak. Bapak boleh 

tanyai saya di rumah," Boma memohon 

sambil kepalanya dipalingkan ke arah 

pohon. Saat itu dia melihat nenek 

berkulit hitam yang kepalanya di-

tancapi lima tusuk konde perak tengah 

berusaha bangun sambil pegangi dada. 

Di hadapan si nenek, dalam kegelapan 

ada dua sosok menghadang.

"Nek... Nenek...." panggil Boma.

"Anak ini pasti ngacok!" kata 

Sersan Satu Suwarto. Dia memperhatikan 

ke jurusan yang dipandang Boma. Arah

pohon besar di belakang kios rokok 

yang terbalik. "Nenek siapa? Siapa 

yang kamu panggil nenek?"

Boma tak menjawab. Sersan Satu 

Suwarto dan anak buahnya saling 

pandang sesaat lalu geleng-gelengkan 

kepala. Kedua petugas itu memapah Boma 

ke arah mobil pikup.

"Jangan ke rumah sakit Pak. 

Jangan. Saya nggak apa-apa. Saya mau 

pulang aja," pinta Boma.

Tapi dua anggota Polisi itu tetap 

membawanya ke mobil pikup. Boma


berpaling lagi ke arah pohon. Saat itu 

si nenek muka hitam telah bangkit 

berdiri. Salah satu dari dua sosok 

yang mendekam dalam gelap bergerak 

mendekatinya.

"Nek...."

"Nenek lagi! Nenek lagi! Siapa 

sih yang kamu panggil Nenek? Setan? 

Hantu?!" Gerutu Sersan Satu Suwarto 

sambil terus memaksa Boma melangkah 

menuju mobil pikup.

Saat itu Boma mendadak ingat 

peristiwa malam hari di satu bukit 

kecil. Dalam keadaan di luar sadar, 

dia melangkah mengikuti bimbingan satu 

kekuatan aneh. Di satu puncak bukit 

kecil telah menunggu seorang nenek 

tinggi hitam bermuka angker.

"Anak Setan," begitu si nenek 

selalu memanggil yang membuat Boma 

jadi jengkel. "Malam ini ataskehendak 

Yang Maha Kuasa antara kau dan aku 

terjalin satu hubungan yang sebelumnya 

tidak satu pun di antara kita pernah 

menduga hal ini akan terjadi...."

Boma tatap sosok nenek tinggi 

yang menebar bau pesing itu. Dia ingat 

perempuan tua inilah yang dulu 

menyelamatkan dirinya dan kawan-kawan 

sewaktu terjadi musibah di puncak 

Gunung Gede. Ketika dia dirawat di 

Rumah Sakit PMI Bogor, nenek aneh ini 

muncul, ingin menurunkan ilmu

kepandaian padanya, tapi ditolak. Lalu


nenek ini pula yang kemudian 

memasukkan hawa sakti ke dalam telapak 

tangan kirinya yang ada tanda silang 

sewaktu dia dirawat di RSCM akibat 

perutnya diclurit rampok di Jalan 

Kramat Raya. (Baca Episode sebelumnya 

berjudul "ABG = Anak Baru Gendenk")

Mendengar ucapan si nenek Boma 

menowel hidungnya lalu beranikan diri

bertanya.

"Nek, maksudmu hubungan apa?"

"Apa yang ada dalam benakmu, Anak 

Setan?" balik bertanya si nenek.

"Hubungan... hubungan cinta pasti 

bukan. Iya 'kan Nek?!"

"Gila kau!"

"Hubungan tilpon juga nggak...."

"Tilpon? Binatang apa itu?" tanya 

si nenek.

"Itu, pesawat untuk bicara jarak 

jauh." Boma coba menjelaskan.

"Di Gunung Gede tidak ada barang 

begituan! Kalau mau bicara jarak jauh 

teriak saja! Atau pakai ilmu 

mengandalkan tenaga dalam. Anak Setan, 

dengar baik-baik. Perjalanan nasib 

serta takdir Illahi membuat kita 

bertemu satu sama lain. Mulai malam 

ini kau berjodoh dengan diriku. 

Sebenarnya sejak aku mengalirkan hawa 

murni sakti ke dalam tubuhmu itu satu 

pertanda kita telah berjodoh." Boma 

melengak kaget.


"Nek, maksudmu berjodoh.... Kau 

kawin dengan saya?"

"Anak Setan! Jangan bicara 

ngacok! Kau berjodoh untuk jadi 

muridku! Tahu?"

Boma lepaskan nafas lega tapi 

masih kernyitkan kening.

"Memangnya kau mau mengajarkan

apa Nek? Bahasa Inggris? Matematika 

atau Fisika? Dua mata pelajaran itu 

saya memang jeblok banget!"

Si nenek kulit hitam muka cekung 

tertawa panjang sampai lima tusuk 

konde yang menancap di batok kepalanya 

bergoyang-goyang.

"Tolol! Aku tidak mengajarkan 

segala ilmu begituan! Yang akan 

kuberikan padamu adalah ilmu 

kepandaian untuk menjaga diri dan 

menolong sesama...."

"Kau... kau mau menjadikan saya 

dukun, Nek? Begitu?"

"Goblok! Apa kau lupa waktu 

kejadian di Rumah Sakit? Aku pernah 

menyalurkan hawa murni sakti ke dalam 

tubuhmu lewat telapak tangan kiri yang 

suka kau pakai cebok itu! Lupa hah?!"

"Saya nggak lupa Nek. Tapi tangan 

kiri ini tetap aja saya pakai buat 

cebok Nek. Mana ada sih orang cebok 

pakai tangan kanan. Saya nggak tau

kesaktian apa yang Nenek berikan."


"Anak Setan! Bagusnya kau jangan 

banyak bicara dulu! Dengar saja apa 

yang akan aku katakan!"

Boma menowel hidungnya, berdiam 

diri. Menunggu apa yang hendak 

diucapkan orang.

Setelah pmdangi wajah anak lelaki 

di depannya beberapa ketika, si nenek 

lantas berkata.

"Manusia itu pertama kali 

dijadikan Gusti Allah dari debu, 

dirubah menjadi segumpal tanah. 

Dibentuk sosoknya seperti bentuk dan 

keadaan manusia sekarang ini. Lalu 

Gusti Allah meniupkan nyawa ke dalam 

tubuhnya. Maka hiduplah dia sebagai 

manusia. Bernafas, makan, minum, 

berjalan, berbicara, bisa kentut...."

"bisa beoll" sambung Boma polos 

tapi seenaknya.

"Apa itu beol?" tanya si nenek.

"Itu Nek, maksud saya bisa ke 

belakang."

"Berak?"

"Ya kira-kira 'gitu Nek." jawab 

Boma sambil nyengir dan menowel 

hidung.

"Sialan kau!" maki si nenek tapi 

ikutan nyengir. lalu lanjutkan kata-

katanya yang tadi terputus.

"Manusia diciptakan punya otak, 

punya rasa dan hati nurani yang 

membuatnya kelak lebih mulia dari 

mahluk hidup lain. Manusia pertama


yang diciptakan Gusti Allah itulah 

yang kita kenal sebagai Nabi Adam. 

Sampai di sini, Anak Setan, apa kau 

punya pertanyaan?"

Boma berpikir sejenak. Dia memang 

sudah banyak mendengar dan membaca 

riwayat kehadiran

Nabi Adam di muka bumi. Namun 

saat itu dia tidak mengerti apa maksud 

si nenek menuturkan riwayat itu 

padanya.

"Nek, bukankah kemudian Gusli 

Allah menciptakan Siti Hawa untuk jadi 

teman hidup Nabi Adam?"

Muka nyaris tak berdaging dan 

berkulit hitam si nenek menyeringai. 

"Anak Setan! Kau tidak pernah 

melupakan urusan perempuan. Hik... 

hik... hik! Tapi kau betul. Gusti 

Allah menciptakan Siti Hawa dari salah 

satu tulang rusuk Nabi Adam. Kau 

pernah dengar riwayat itu, Anak 

Setan?"

Boma mengangguk. "Buntut 

kejadiannya, tidak salah kalau kemu-

dian orang-orang perempuan mengejar 

orang-orang lelaki. Katanya sih mau 

kembali ke asalnya di susunan tulang 

iga lelaki. Tapi anehnya yang dikejar 

kok lelaki ganteng melulu atau lelaki 

yang banyak doku."

Si nenek unjukkan tampang 

merengut.


"Hanya perempuan tolol yang mau 

mengejar lelaki! Jaman sekarang kau 

saksikan sendiri. Kenyataannya orang 

lelaki yang mengejar orang perempuan. 

Kakek-kakek masih mau mengejar gadis 

padahal pantas jadi cucunya! Eh, tadi 

kau bicara doku. Apa itu doku?"

"Ini Nek," jawab Boma sambil 

menggesek-gesekkan telunjuk dengan ibu 

jari tangan kanan. "Duit alias uang!"

"Uang.... Itu salah satu urusan 

dunia yang sering membawa manusia ke 

dalam neraka."

"Nek, kepala saya pusing. Saya 

nggak ngerti maksud semua pembicaraan 

ini," kata Boma pula.

"Manusia dijadikan Gusti Allah 

dari tanah. Berarti dalam setiap sisi 

kehidupannya manusia tidak akan 

terlepas dari alam, terutama tanah. 

Bahkan pada akhir hayatnya manusia 

akan kembali kepada tanah. Dikubur 

dalam tanah! Di dalam tubuhmu saat ini 

ada satu kekuatan yang bisa kau 

pergunakan setiap saat kau ingini, 

terutama dalam bahaya. Jika kau 

menahan nafas, lalu mengencangkan 

bagian perutmu di sekitar pusar yang 

men jadi pusat kekuatan hawa sakti

yang kau miliki, maka jika kau 

mengucapkan Basmallah dan menyebut

kata berat dalam hati sambil 

membayangkan batu besar, bukit atau 

gunung, maka dengan izin Gusti Allah


tubuhmu akan menjadi seberat batu, 

bukit atau seberat gunung!"

Saat itu ingin Boma mengatakan 

ketidak percayaannya atas ucapan si 

nenek, tapi dia diam saja.

"Anak Setan! Dari tampangmu aku 

tahu kau tidak percaya pada apa yang 

aku ucapkan. Mari kita lihat. Aku 

ingin kau membuktikan sendiri."

Habis berkata begitu si nenek 

cabut satu dari lima tusuk konde yang 

menancap di batok kepalanya. Tusuk 

konde dari perak itu diletakkan di 

tanah, di depan Boma.

"Ambil tusuk konde itu," perintah 

si nenek.

"Apa sulitnya mengambil tusuk 

konde ini, Nek," kata Boma seraya 

ulurkan tangan mengambil tusuk konde 

dari tanah.

"Letakkan tusuk konde di tempat 

semula."

Boma ikuti ucapan si nenek. Tusuk 

konde perak diletakkan di tanah.

"Sekarang ambil lagi," ucap si 

nenek.

Seperti tadi Boma kembali 

mengambil tusuk konde perak yang 

tergeletak di tanah. Tapi sekali ini 

dia tidak mampu mengambil dan 

mengangkat. Tusuk konde itu telah 

berubah menjadi berat luar biasa. Boma 

kerahkan tenaga. Keringat sampai 

memercik di keningnya. Dari bersila


dia kini berjongkok. Kalau tadi cuma 

pergunakan tangan kanan, kini dia 

pergunakan dua tangan sekaligus. Tetap 

saja tusuk konde perak itu tidak mampu 

diangkatnya dari tanah. Terengah-engah 

seperti habis berlari jauh Boma tarik 

kedua tangannya.

Si nenek menyeringai. Dia ulurkan 

tangan mengambil tusuk konde lalu 

ditancapkan kembali di batok 

kepalanya.

"Tusuk konde itu tadi telah 

menyatu dengan alam. Di dalam alam 

terdapat kekuatan Gusti Allah yang 

maha dahsyat. Aku membayangkan Gunung 

Gede. Dengan izin Yang Kuasa bobot 

tusuk konde berubah seberat Gunung 

Gede! Sampai bijimu pecah, kau tak 

akan mampu mengangkatnya! Hik... 

hik... hik!"

"Aneh," anak lelaki ini berucap 

perlahan.

"Atas izin Allah, tak ada 

keanehan di dunia ini. Kau bisa 

membuat sebuah benda menjadi seberat 

batu raksasa. Kau bisa membuat dirimu 

menjadi seberat gunung hingga tak ada 

yang mampu mengangkat...."

UCAPAN si nenek seolah mengiang 

di telinga Boma. "Kau bisa membuat

dirimu menjadi seberat gunung hingga 

tak ada yang mampu mengangkat...."

Mungkin ini saatnya dia 

membuktikan ucapan si nenek. Sekaligus


membuktikan bahwa dia memang telah 

menguasai ilmu kesaktian yang 

diajarkan.

Diam-diam Boma menahan nafas, 

mengencangkan perut. Kata Basmallah 

diucapkannya dalam hati. Sambil 

mengucap kata berat anak ini 

membayangkan gunung. Apa yang kemudian 

terjadi membuatnya kaget luar biasa.

Dua anggota Polisi yang setengah 

memaksa memapah Boma ke arah mobil 

pikup mendadak merasa seperti

mendorong satu benda berat. Jangankan 

bergerak berjalan, bergeming sedikit 

pun tubuh Boma tidak.

"Ayo jalan!" Sersan Satu Suwarto 

berkata sambil kakinya ditendang-

tendangkan ke tumit sepatu Boma. 

T'etap saja anak itu tidak bergerak. 

Malah kakinya yang terbungkus sepatu 

berkulit tebal terasa sakit seperti 

menendang batu. Semakin dia dan 

temannya memaksa, menarik dan 

mendorong semakin berat sosok tubuh 

anak itu.

"Pak, jangan bawa saya ke rumah 

sakit...." Boma kembali memohon.

Sersan Satu Suwarto yang mulai 

merasa bingung tapi juga jengkel 

akhirnya berkata.

"Kalau situ tidak mau ke rumah 

sakit, ya sudah! Tapi kami tetap harus 

membawa kamu ke Polsek untuk dimintai 

keterangan."


Kali ini Boma tak berani 

membantah. Perutnya yang tadi 

kencangkan perlahan-lahan dikendurkan. 

Begitu kekuatan hawa sakti yang 

berpusat di bagian perut buyar, bobot 

Boma kembali normal seperti semula. 

Sekali dorong saja anak ini maju 

sampai dua tiga langkah ke arah mobil 

pikup.

"Mas Pasiran!" Boma berseru pada 

pemilik kios rokok. "Tolong kasih tau 

bapak saya. Saya dibawa ke Polsek."

Pasiran yang sibuk mengurusi 

barang dagangannya hanya mengangkat 

kepala lalu mengangguk. Tapi pedagang 

rokok ini bersama seorang lainnya yang 

ada di situ kemudian juga dibawa ke 

Polsek untuk jadi saksi dan dimintai 

keterangan. Terpaksa Pasiran 

menitipkan kios dan barang dagangannya

pada seorang kenalan.

Sebelum mobil pikup bergerak 

untuk terakhir kali Boma memandang ke 

arah pohon.

"Nek...." ucap Boma. Sejak tadi 

dia merasa nenek penolongnya itu 

berada dalam bahaya.

Di bawah pohon sana Sinto Gendeng 

melirik sekilas ke arah Boma. Lalu 

Boma mendengar suara seperti ngiangan 

nyamuk di telinganya.

"Anak Setan, jangan perdulikan 

aku. Bantu petugas. Tapi awas. Jangan 

menyebut-nyebut diriku."


Di atas mobil pikup, salah 

seorang anggota Polisi mengambil plat 

nomor kendaraan yang sejak tadi 

dipegang Boma. Dua buah lobang tempat 

masuknya sekerup kelihatan robek 

besar. Agaknya plat kaleng itu dicopot 

secara sengaja. Dan tentunya 

mempergunakan daya tarik yang kuat. 

Tangan biasa tidak mungkin 

menanggalkan plat kaleng itu begitu 

saja.

"Ini plat mobil siapa?" tanya 

anggota Polisi yang duduk di samping 

Boma di bagian belakang pikup terbuka.

"Plat mobil orang yang ngeroyok 

saya Pak." Jawab Boma.

"Kok ada sama kamu?"

"Nemu di jalan, Pak. Mungkin 

jatuh." Jawab Boma berdusta. Dia ingat 

si nenek. Jangan memberi keterangan 

apa-apa mengenai dirinya pada Polisi. 

Dalam keterdiamannya Boma membayangkan 

sikap kedua orang tuanya kalau mereka 

menyusul datang ke Polsek. Ibunya akan 

menangis begitu melihal dia. Ayahnya 

seperti biasa sebelum bertanya apa-apa 

pasti akan mendamprat dirinya. lalu 

terbayang wajah Dwita Tifani. Hari 

Sabtu tadi anak perempuan itu tidak 

masuk sekolah. Mungkin sakit. Mungkin 

juga ikut sibuk bersama orang tuanya 

mengurus segala sesuatu yang 

berhubungan dengan persiapan tugas 

baru ayahnya di gedung PBB New York.


Walau berlainan kelas dengan Boma, 

tapi semua anak di kelas Boma sudah 

tahu kalau Dwita akan ikut pindah 

bersama ayahnya ke Iuar negeri. Dalam 

keadaan seperti itu, diangkut di alas 

mobil pikup terbuka, dikawal petugas 

Polisi, diterpa angin malam yang 

mencucuk dingin, muka bengap dan badan 

sakit, hati anak lelaki ini mengeluh.

"Heran, semua anak udah tau kalau 

dia mau pindah ke luar negeri. Kok 

Dwita-nya sendiri tenang-tenang aja. 

Nggak pernah ngomong sama aku. 

Kayaknya nggak ada peratian."

Boma menowel hidungnya. Tapi 

mengerenyit sendiri kesakitan.


DUA



TAMU ANEH DI KLINIK 

BEDAH DHARMA BAKTI



SEJAK pensiun dari R.S. Cipto 

Mangunkusumo, Profesor Victor 

Nainggolan menyibukkan diri mengurus 

Klinik Bedah miliknya di Jakarta 

Pusat. Pagi itu di ruang kerjanya, 

sambil membaca koran dia menunggu 

kedatangan seorang pasien untuk bedah 

satu benjolan kecil di tangan kiri.


Tilpon di meja berdering. Profesor 

Nainggolan mengangkat pesawat. 

Ternyata dari seorang calon pasien 

yang minta waktu untuk pemeriksaan 

hasil ronsen benjolan di leher. 

Setelah memeriksa buku catatan 

prakteknya, Profesor Nainggolan minta 

agar pasien itu datang jam tiga nanti 

sore.

Ahli bedah lulusan salah sebuah 

Universitas di Jerman itu meneguk 

kopinya lalu meneruskan membaca koran. 

Dia tengah asyik membaca berita 

kriminalitas di Ibukota ketika tiba-

tiba pintu ruangan praktek terbuka. 

Dua orang dengan tampang dan dandanan 

luar biasa masuk ke dalam ruangan. 

Profesor Nainggolan setengah terlonjak 

di kursinya saking kaget. Dia hampir 

tidak bisa yakin apakah saat itu 

benar-benar berhadapan dengan manusia 

atau mahluk apa. Ruangan praktek itu 

kini dilanda bau tidak enak yang 

berasal daritubuh serta pakaian dua 

orang yang barusan masuk.

Orang pertama lelaki tua renta 

berpakaian kumal rombeng. Tubuhnya 

menghampar bau tidak enak. Wajahnya 

mengerikan untuk dipandang. Wajah itu 

dihias dua mata cekung angker, tidak 

berdaging dan kelihatan pucat pasi 

seolah tidak berdarah. Mulutnya selalu 

berada dalam keadaan miring hingga dia 

seperti dalam keadaan menyeringai


terus-menerus. Manusia satu ini 

berambut putih sepunggung. Profesor 

Victor Nainggolan memperhatikan, orang 

ini buntung tangan kirinya sebatas 

siku. Sepasang matanya yang cekung 

memandang tak berkesip seolah-olah mau 

menelan sosok sang ahli bedah yang 

tinggi kurus itu.

Orang kedua tak kalah hebatnya, 

malah lebih mengerikan. Seorang nenek 

mengenakan jubah dalam tebal biru 

pekat. Rambutnya berwarna merah, 

menjulai panjang dan diikat di sekitar 

pinggang. Kalau rambut yang riap-

riapan itu tidak diikat ujungnya akan 

menjela sampai lantai ruangan. Sepuluh 

jari tangan si nenek panjang berwarna 

merah. Lalu sepasang matanya. Ini yang 

paling mengerikan. Dua mata itu merah 

semua, tak ada putihnya! Satu hal yang 

luar biasa, nenek bermantel biru ini 

memanggul sosok seorang kakek 

berpakaian kolor di bahu kirinya. 

Seperti kakek di sebelahnya, nenek ini 

mengeluarkan bau yang tidak sedap di 

ruang praktek ber-ac itu.

"Penjahat bukan, pengemis jelas 

bukan...." membatin Profesor Victor 

Nainggolan.

"Kalian ini siapa?" Ahli bedah 

itu bertanya dengan suara serak 

tersekat.

"Siapa kami tidak penting." Yang 

menjawab kakek muka pucat bertangan


buntung. Dia memberi isyarat pada 

nenek bermantel biru, lalu tnenunjuk 

ke ranjang periksa di samping kiri 

ruangan praktek. Si nenek melangkah 

mendekati ranjang lain membaringkan 

tubuh kakek yang sejak tadi dipanggul. 

Selesai membaringkan orang, si nenek 

berpaling pada Profesor Nainggolan.

"Kami butuh pertolongan...."

Saat itu sang Profesor masih 

setengah terkesiap. Belum sempat dia 

menjawab tiba-tiba dari ruangan dalam 

terdengar langkah-langkah kaki 

bersepatu.

Sesaat kemudian muncul seorang 

perempuan muda berseragam putih. Dia 

adalah satu-satunya jururawat yang 

membantu Profesor Nainggolan di Klinik 

hari itu. Jururawat ini begitu 

terkejut melihat orang-orang aneh di 

ruang praktek, langsung pucat dan 

melangkah mundur. Nenek bermantel 

cepat mendekati. Tak dapat 

mengendalikan rasa takutnya jururawat 

ini menjerit keras. Namun suara 

jeritannya hanya sampai di 

tenggorokan. Dengan cepat nenek 

bermantel menggerakkan tangan, menotok 

urat besar di pangkal leher. Membuat 

jururawat itu serta-merta kaku tak 

bisa bergerak tak bisa bersuara!

Melihat apa yang terjadi, rasa 

takut membuat Profesor Nainggolan 

berusaha melarikan diri ke ruang


belakang. Namun gerakannya dihadang 

oleh kakek bermuka pucat. Sekali 

tangan kanan kakek ini bergerak, apa 

yang terjadi dengan jururawat 

Poliklinik dialami pula oleh sang ahli 

bedah.

Profesor ini tertegun kaku tak 

bersuara di dekat sekat pembatas ruang 

praktek dengan ruang operasi.

Nenek bermata merah berambut 

riap-riapan melangkah mendekati 

Profesor Nainggolan.

"Profesor, dengar baik-baik apa 

yang akan aku ucapkan. Aku tidak akan 

mengulang dua kali, dan apa yang kami 

inginkan harus terlaksana. Kedipkan 

matamu dua kali tanda kau mengerti apa 

yang aku barusan bilang!"

Profesor ahli bedah yang tak bisa 

bersuara tak mampu bergerak itu 

ternyata bisa mengedipkan matanya dua

kali.

Nenek bermata merah menyeringai. 

"Jika kau berjanji tidak akan 

berteriak, aku akan membuka jalan 

suaramu. Tapi untuk sementara tubuhmu 

akan tetap kaku tak bisa bergerak. 

Jika kau berani menipu, aku akan 

hancurkan semua peralatan di tempat 

ini lalu meremas kepalamu seperti 

ini!"

Selesai berucap si nenek ulurkan 

tangan mengambil benda penindih kertas 

terbuat dari kaca tebal berbentuk


piramid yang lerletak di atas meja. 

Sekali tangannya meremas kraaakk! 

Penindih kertas itu hancur menjadi 

kepingan-kepingan kecil yang kemudian 

diletakkannya di atas koran yang tadi 

dibaca Profesor Nainggolan.

Profesor Nainggolan terbelalak 

kaget dan kecut. Mukanya pucat pasi. 

Seumur hidup baru sekali ini dia 

dilanda rasa takut luar biasa begitu 

rupa.

"Ya, Tuhan, tabahkan diri saya. 

Saat ini mungkin saya tidak berhadapan 

dengan manusia. Tolong saya Tuhan." 

sang Profesor berdoa dalam hati.

"Profesor, jika kau berjanji 

tidak berteriak, aku akan buka jalan 

suaramu! Kedipkan matamu dua kali 

tanda kau mengerti dan setuju!"

Kembali Profesor Nainggolan 

kedipkan matanya dua kali.

Tangan kanan nenek bermantel biru 

berkelebat.

"Beettt!"

Urat besar di pangkal leher sang 

Profesor ditotoknya. Detik itu juga 

ahli bedah itu terbatuk-batuk beberapa 

kali.

"Katakan apa mau kalian." 

Profesor Nainggolan beranikan diri 

keluarkan ucapan. Suaranya perlahan, 

bergetar.

Sebagai jawaban nenek bermata 

merah rambut riap-riapan melangkah


mendekati kawannya si kakek bungkuk 

muka pucat. Tangan kanannya yang 

berkuku panjang merah bergerak ke 

lengan kiri pakaian si kakek. Brettt! 

Lengan itu robek besar.

"Kau lihat, tangan sobatku ini 

buntung sebatas siku. Aku ingin kau 

menyambungnya dengan tangan baru."

Profesor Nainggolan terkesiap 

mendengar ucapan itu. Dia perhatikan 

tangan kiri kakek muka pucat yang 

buntung. "Hal itu tak mungkin saya 

lakukan." kata Profesor Nainggolan. 

"Dari keadaan tangan itu, buntungnya 

pasti sudah berlangsung lama. Saya 

tidak bisa melakukan. Lagi pula mau 

disambung dengan tangan baru dari 

mana?"

"Tangan orang ini." Yang menjawab 

adalah nenek bermantel biru yang 

berdiri di samping ranjang periksa.

Profesor Nainggolan terkejut. 

Mulutnya sampai ternganga. Untuk 

beberapa lamanya dia tegak terdiam 

seperti itu.

"Profesor pasti mampu melakukan," 

kata nenek bermantel biru dengan 

pandangan mata merah menyala tak 

berkesip.

"Tidak mungkin...." Profesor 

Nainggolan gelengkan kepala.

"Apa yang tidak mungkin. Kami 

tahu Profesor pernah belajar di Cina 

seluk-beluk penyambungan tangan dan


kaki buntung...." Yang bicara adalah 

kakek muka pucat.

"Bagaimana Anda tahu. Anda-anda 

ini siapa sebenarnya?"

"Sudah aku bilang, Profesor tidak 

perlu tahu siapa kami. Lakukan saja 

apa yang kami minta. Jika kau berani 

menolak bangunan Klinik ini akan kami 

sama ratakan dengan tanah...."

"Saya bukan menolak. Tapi 

menyambung tangan yang sudah lama 

buntung mana mungkin...."

"Lalu apa artinya Profesor 

belajar sekian lama di Cina?"

"Tangan atau kaki yang buntung 

ada kemungkinan untuk disambung jika 

buntungnya masih baru. Tidak lewat 

dari dua jam...."

"Begitu?" ujar nenek mata merah.

Dia melangkah ke lemari yang penuh 

berisi alat-alat bedah.

"Jangan dibuka. Semua peralatan 

di situ sudahdisteril," kata Profesor 

Nainggolan mencegah setengah 

berteriak.

Tapi si nenek tidak perduli. 

Sekali tangannya diputar handel pintu 

lemari kaca berderak palah. Pintu 

lemari dibuka. Si nenek mengambil 

sebuah pisau besar berkilat. Pisau ini 

dimelintangkannya di depan wajah sang 

Profesor lalu berkata.

"Dengan pisau ini aku bisa 

membuat buntungan baru di tangan


sobatku. Lima jari di atas siku. Lalu 

dengan pisau ini aku juga bisa memutus 

lengan kiri orang di atas ranjang lima 

atau enam jari di atas sikunya. 

Berarti kau punya dua tangan buntung 

kurang dari dua jam. Berarti mudah 

bagimu menyambung tangan sobatku ini 

dengan tangan orang itu!"

"Tetap tidak mungkin. Urusannya 

tidak semudah itu...."

"Buat jadi mudah! Agar kau tidak 

susah!" Kata kakek muka pucat.

"Atau mungkin tangan kirimu saja 

yang aku babat putus untuk disambung 

ke tangan kiri sobatku!" kata nenek 

mata merah lalu tertawa mengekeh.

"Saya tidak bisa melakukan. Orang 

di atas ranjang itu. Siapa dia?"

"Perlu apa kau tanyakan dirinya? 

Dia cuma pengemis kurang ingatan yang 

kami temukan di jalanan. Dan satu hal! 

Untuk tangan kirinya yang akan 

dibuntungi ada ganti rugi cukup 

memadai!" Habis berkata begitu dari 

balik mantelnya si nenek keluarkan dua 

gepok uang lima puluh ribuan,masing-

masing gepok berjumlah lima juta 

Rupiah. Satu gepok dilemparkannya ke 

atas tubuh pengemis di atas tempat 

tidur.

"Itu kami rasa cukup untuk ganti 

lengannya yang kami perlukan. Dan ini 

lima juta untuk ongkos penyambungan!" 

Si nenek lemparkan gepokan lima juta


yang satunya ke atas meja kerja 

Profesor Nainggolan.

"Demi Tuhan, saya tidak bisa 

melakukan apa yang kalian minta. Ambil 

kembali uang itu. Bawa orang di atas 

tempat tidur. Tinggalkan klinik saya 

sekarang juga."

"Profesor... Profesor. Kau 

mengingkari janji!"

"Saya tidak berjanji apa-apa," 

jawab Profesor Nainggolan.

"Begitu?" ujar si nenek. Lalu 

umbar tawa bergelak. Sepasang matanya 

memancarkan cahaya aneh menggidikkan. 

Pisau besar berkilat yang masih 

dipegangnya di tangan kanan 

dilemparkannya pada kakek muka pucat.

"Muka Bangkai, buntungi tangan 

kiri orang ini!"

Sambil keluarkan tawa mengekeh 

kakek muka pucat yang ternyata Si Muka 

Bangkai dengan tangan kanannya sambuti 

pisau yang dilemparkan si nenek yang 

bukan Iain adalah gurunya yakni Kunti 

Api. Sambil tertawa mengekeh dia 

ulurkan lidah menjilati pisau besar 

lalu melangkah mendekati Profesor 

Nainggolan.

Lelehlah nyali ahli bedah lulusan 

Jerman itu.

KETIKA rombongan petugas Kepoli-

sian yang diberitahu lewat tilpon 

memasuki Klinik Bedah Dharma Bakti, 

Profesor Victor Nainggolan, mereka


menemukan ahli bedah itu terduduk 

pucat di terasa Klinik ditemani 

jururawat yang masih menangis 

sesenggukan. Tiga petugas menanyai 

kedua orang ini. Yang lain-lain 

melakukan pemeriksaan di bagian dalam. 

Dua gepok uang lima puluhan ribu yang 

ditemukan ternyata hanya satu lembar 

sebelah atas dan satu lembar sebelah 

bawah saja berupa uang asli. Di 

sebelah dalam hanya berupa potongan-

potongan kertas polos yang ukurannya 

dibuat sama dengan uang di sebelah 

atas dan bawah.

Di meja operasi, tergeletak sosok 

pengemis yang masih belum sadar akibat 

pengaruh obat bius. Tangan kirinya 

buntung, dibalut sebatas siku.


TIGA


BAKU HANTAM TIGA 

DEDENGKOT RIMBA PERSILATAN



DIBAWAH bayangan gelap pohon 

besar di pinggir jalan Sinto Gendeng 

memandang menyorot pada dua sosok yang 

tegak menghadang di hadapannya.

"Hemm...." masih memegangi 

dadanya yang sakit, si nenek bergumam.


"Guru dan murid. Mereka rupanya. Dua 

setan alas keparat. Satu ratu, satunya 

setan golongan hitam rimba 

persilatan." Meski gelap, guru 

pendekar 212 Wiro Sableng ini ternyata 

masih bisa mengenali jelas siapa 

adanya dua orang di hadapannya.

Yang pertama adalah tua bangka 

yang dikenal sebagai guru Pangeran 

Malahari yakni kakek berjuluk Si Muka 

Bangkai alias Si Muka Mayat. Sinto 

Gendeng soroti sosok manusia satu ini 

dengan pandangan mata geram tapi juga 

heran.

"Aneh, aku tidak lupa. Beberapa 

waktu lalu ketika Si Muka Bangkai ini 

menyerbu ke puncak Gunung Gede, aku 

telah membuat buntung tangan kirinya. 

Kini mengapa tangan itu utuh kembali? 

Memakai tangan palsu? Agaknya tidak. 

Walau agak kaku tangan itu jelas 

tangan sungguhan. Tapi dibagian siku 

ada balutan-balutan tebal dan palang 

bambu pengganjal. Mungkin aku harus 

membetot lepas tangan kiri bangsat 

muka pucat ini untuk mengetahui 

keadaan tangannya."

Sinto Gendeng melirik pada sosok 

tinggi yane, tegak di samping Si Muka 

Mayat.

"Mengenakan mantel biru, rambut 

merah riap riapan. Sepuluh kuku jari 

panjang merah. Dua mata juga merah 

seperti setan neraka! Siapa tidak


kenal dirinya. Kunti Api! Guru Si Muka 

Bangkai."

"Dadamu masih sakit Sinto?" Tiba-

tiba Si Muka Bangkai menegur ketika 

melihat Sinto Gendeng masih pegangi 

dadanya yang tadi kena gebuk, entah 

dihantam jotosan entah dilabrak 

tendangan.

Sinto Gendeng keluarkan suara 

mendengus lalu meludah ke tanah. 

Ludahnya bercampur darah pertanda dia 

menderita luka dalam cukup parah. 

Salah satu dari dua orang itu tadi 

menghantamnya. Menimbang tingkat 

kepandaian mereka Sinto Gendeng 

menduga yang menghantamnya pastilah 

Kunti Api.

Setelah mendengus sekali lagi 

nenek sakti dari Gunung Gede berkata.

"Datang berdua. Masih tidak punya 

malu berlaku pengecut. Membokong lawan 

secara keji! Cuah!" Kembali Sinto 

Gendeng meludah.

"Nenek jelek," menyahuti Si Muka 

Bangkai. "Jangan salahkan kami. Makin 

tua matamu makin lamur. Pedengaranmu 

mulai tuli. Kau tak tahu diserang 

orang. Ternyata nama besarmu di 

delapan penjuru angin hanya isapan 

jempol, bohong belaka!"

Kunti Api tertawa bergelak 

mendengar ucapan muridnya itu.


"Sinto Gendeng, aku ingin 

mendengar apa jawabmu!" ujar Kunti Api 

pula.

"Jawabanku mudah-mudah saja! 

Kalian berdua mencari mati!"

Si Muka Bangkai dan Kunti Api 

tertawa gelak-gelak mendengar jawaban 

Sinto Gendeng itu.

"Puaskan tawa kalian! Biar keras, 

lebih panjang lebih bagus! Nanti di 

liang neraka kalian tidak bisa tertawa

lagi seperti saat ini!" menimpali 

Sinto

Gendeng.

"Nenek bau pesing!" semprot Si 

Muka Bangkai. "Melihat gelapnya 

langit, tak ada bulan tak ada bintang, 

agaknya malam ini lebih cocok menjadi 

malam kematian bagimu!"

"Bicaramu sombong amat!" ucap 

Sinto Gendeng sambil sunggingkan 

seringai mengejek di mulutnya yang 

perot. "Mentang-mentang punya tangan 

baru! Tangan setan mana yang kau 

sambung ke tangan kirimu yang buntung? 

Hik... hik... hik!"

lampang Si Muka Bangkai jadi 

membesi mendengar ucapan Sinto 

Gendeng. Dia menjawab dengan suara 

keras. "Kalau kau mau tahu setan mana 

yang tangannya kupakai, baiknya cepat-

cepat kau kukirim ke neraka. Di sana 

kau boleh bertanya pada setiap setan 

yang kau temui!"


Sinto Gendeng tertawa cekikikan.

"Muridku Muka Bangkai," Kunti Api 

berucap. Waktu bicara dia sengaja 

kerahkan tenaga dalam hingga suaranya 

menindih suara tawa Sinto Gendeng. 

"Aku setuju sekali dengan pendapatmu. 

Malam ini akan menjadi malam terakhir 

bagi nenek bau pesing itu jual tampang 

jeleknya di muka bumi! Tapi kurasa tak 

ada salahnya kita menunda kematian 

nenek bau ini kalau dia mau 

menyerahkan cepat-cepat Batu Penyusup 

Batin yang dirampasnya tempo hari." 

(Dalam Episode sebelumnya berjudul 

"Tripping" diceritakan bagaimana Sinto 

Gendeng berhasil merampas satu batu 

sakti bernama Batu Penyusup Batin 

milik Kunti Api yang dipinjamkan pada 

Si Muka Bangkai untuk diserahkan pada 

Pangeran Matahari. Batu ini mempunyai 

kesaktian membuat seseorang tidak 

terlihat. Sinto Gendeng merampas batu 

tersebut ketika batu tengah 

dipergunakan Si Muka Bangkai untuk 

mengusapi wajah dan tubuh Pangeran 

Matahari di sebuah gudang bangunan).

"Ah, gentayangan malam-malam buta 

ternyata kalian mencari batu butut 

itu! Hik... hik... hik.... Kalian 

datang terlambat. Sayang sekali... 

sayang sekali!"

"Tua bangka jahanam! Apa 

maksudmu?!" Menghardik Si Muka 

Bangkai. Dia paling merasa bersalah


karena batu sakti milik gurunya itu 

sampai dapat dirampas oleh Sinto

Gendeng. Sang guru yang disebutnya 

dengan panggilan Eyang Kunti Api 

memang belum menunjukkan tanda-tanda 

marah apa lagi menjatuhkan hukuman. 

Tapi kalau sampai batu itu tidak 

berhasil didapatnya kembali, jangan 

harap dia bisa lolos dari rajaman. 

Bukan mustahil Kunti Api sendiri yang 

akan menghabisi nyawanya!

Ditanya Si Muka Bangkai, Sinto 

Gendeng berkata. "Kata orang, batu 

sakti itu bisa membuat seseorang 

lenyap, tidak terlihat sosoknya oleh 

orang lain. Nah, nah! Kalau batu itu 

memang masih ada padaku mana mungkin 

kalian berdua bisa melihatku sejelas 

seperti sekarang?"

"Tua bangka celaka! Kau kemanakan 

batu itu?!" bentak Kunti Api.

Sinto Gendeng garuk-garuk pipinya 

yang baret akibat cakaran Si Muka 

Bangkai tempo hari.

"Aku lupa aku kemanakan batu itu. 

Mungkin sudah kujual pada tukang loak. 

Barangkali sudah kubuang ke jamban 

atau comberan. Aku lupa, maklum sudah 

tua. Jadi sudah pikun! Hik... hik... 

hik!"

Merasa dipermainkan Kunti Api 

menggembor marah. Dia melompat hingga 

kini jaraknya dengan Sinto Gendeng 

hanya terpisah tiga langkah.


"Aku tanya kali terakhir! Kau 

kemanakan Batu Penyusup Batin 

milikku?!" Kunti Api membentak garang.

"Ada, tapi aku lupa aku 

kemanakan. Tunggu, biar aku berpikir 

mengingat-ingat lebih dulu!" jawab 

Sinto Gendeng sambil menggaruk-garuk 

kening. Sesaat kemudian dia berkata. 

"Ah, baru aku ingat. Batu sakti itu 

kemarin malam aku main-mainkan dalam 

mulut. Tak sengaja tertelan. Tadi pagi 

aku sulit buang air besar. Mampet, 

seperti ada yang menghalangi. Saat ini 

ada sesuatu terasa mengganjal di bawah 

bokongku. Hik... hik! Mungkin sekali 

batu sakti milikmu itu!"

"Jahanam kurang ajar! Kau berani 

mempermainkan aku!" teriak Kunti Api 

sementara Si Muka Bangkai melangkah 

mendekati.

"Eyang, dia minta mampus lebih 

cepat! Kita habisi saja sekarang 

juga!" berucap Si Muka Bangkai.

"Hai tunggu!" seru Sinto Gendeng. 

"Aku tidak berdusta. Yang mengganjal 

di bawah perutku pasti batu sakti itu. 

Jika kalian tidak percaya lihat saja 

sendiri!"

Habis berkata begitu enak saja si 

nenek tarik ke atas kain panjangnya 

yang bau pesing, memutar tubuh lalu 

menungging ke arah dua orang yang kini 

dibelakanginya. .


"Lihat baik-baik! Kalau ada benda 

biru-biru pasti batu sakti yang kalian 

cari!" kata Sinto Gendeng lalu tertawa 

ha-ha hi-hi.

Kunti Api palingkan kepala. 

Wajahnya semerah saga. Seumur hidup 

belum pernah dia dihina orang begitu 

rupa. Si Muka Bangkai keluarkan seruan 

tertahan lalu buru-buru menoleh ke 

jurusan lain, tak berani memandang.

Dalam marahnya Kunti Api melompat 

ke depan sambil hantamkan tendangan ke 

pantat Sinto Gendeng. Yang diserang 

sudah bisa menduga. Sebelum tendangan 

sampai dia menghambur tiga langkah ke 

depan. Begitu kaki Kunti Api menderu 

lewat dia berbalik sambil lepaskan 

pukulan yang memancarkan sinar terang 

berkilauan dalam gelapnya malam.

"Pukulan Sinar Matahari! Awas!" 

Berteriak Si Muka Bangkai. Dengan 

cepat dia hantamkan tangan kanannya.

Diserang orang Kunti Api tidak 

tinggal diam. Nenek ini hantamkan 

pukulan tangan kosong sekaligus dengan 

tangan kiri kanan. Terjadi pemandangan 

dahsyat dalam gelapnya malam.

Dari arah Sinto Gendeng melesat 

sinar putih berkilauan menebar hawa 

panas luar biasa. Sebaliknya dari arah 

dua lawan menghambur rangkuman sinar 

merah, kuning dan hitam. Itulah 

Pukulan "Gerhana Matahari" yang


dilepaskan Si Muka Bangkai dengan 

tangan kanan.

Dari dua tangan Kunti Api sendiri 

menderu dua larik sinar merah membara. 

Inilah pukulan maut yang disebut 

"Setan Api Turun Ke Bumi."

"Dess!"

"Dess!"

"Dess!"

"Blaaarrr!"

Dua pekikan satu seruan keras 

mengumandang tapi tertindih oleh suara 

gelegar dahsyat disertai kobaran nyala 

api mencual ke langit menggoncang 

seantero tempat. Pohon besar di ujung 

gang mengepulkan asap. Kios rokok 

milik Pasiran untuk kedua kalinya 

mencelat mental dan hancur berantakan 

tak karuan. Kenalan Pasiran yang 

diminta menjaga kios itu sudah 

tunggang-langgang sejak tadi-tadi. Dia 

tidak melihat tiga dedengkot rimba 

persilatan itu saling baku hantam. 

Namun begitu pohon besar mengepulkan 

asap dan kios rokok terpental hancur 

berantakan, tidak pikir panjang lagi 

orang ini segera menghambur lari.

Dua serangan yang dilepaskan Si 

Muka Bangkai dan Kunti Api setelah 

bertabrakan dengan Pukulan Sinar 

Matahari yang dilepas Sinto Gendeng 

terbelah dan melesat ke arah tiga 

penjuru. Namun yang jadi sasaran sudah 

lebih dulu berkelebat lenyap.


Sebalikhya Pukulan Sinar Matahari 

walau terbelah dua masih sempat 

menyambar ke arah Si Muka Bangkai dan 

Kunti Api. Kedua orang ini sama-sama 

terpekik, menghambur selamatkan diri.

"Wuss!"

“Wuss!”

"Jahanam kurang ajar!" terdengar 

makian Kunti Api. Nenek ini sibuk 

mengipas-ngipas mematikan api yang 

membakar ujung bawah mantelnya. Tapi 

karena mantel terlalu tebal, semakin 

dikipas api semakin besar. Sambil 

menyumpah tak karuan dari pada 

terbakar hangus Kunti Api terpaksa 

buka mantelnya. Celakanya di sebelah 

dalam nenek ini tidak mengenakan 

pakaian lain, kecuali kutang lebar dan 

celana dalam butut!

Di bagian lain Si Muka Bangkai 

tegak dengan tengkuk merinding dan 

muka bertambah pucat. Pakaian 

rombengnya di sebelah kanan hangus 

hitam. Dalam marahnya Kunti Api 

melompat ke depan, mencari Sinto 

Gendeng. Tapi orang yang dicari tak 

kelihatan lagi. Lenyap entah ke mana. 

Ketika pandangannya membentur sosok 

Kunti Api kagetlah Si Muka Bangkai 

melihat keadaan gurunya.

"Eyang, apa yang terjadi 

denganmu!"


"Edan! Kau sudah lihat sendiri! 

Masih bertanya!" bentak Kunti Api 

marah.

"Aku bersumpah akan membunuh 

nenek keparat itu!"

"Kalau begitu cari dia! Kejar 

sampai dapat! Mengapa masih berada di 

tempat ini?!" Hardik Kunti Api.

Si Muka Bangkai jadi bingung. 

"Eyang Kunti, kalau aku pergi 

bagaimana denganmu?"

Tak usah perdulikan diriku! Lekas 

cari dan kejar tua bangka keparat 

itu!"

Setengah hati tapi karena takut 

Si Muka Bangkai akhirnya tinggalkan 

juga tempat itu. Tak lama setelah 

muridnya pergi Kunti Api berlalu pula 

dari situ. Sepanjang jalan sumpah 

rutuknya terdengar tiada henti.

Di satu tempat gelap Sinto 

Gendeng tertawa cekikikan. "Kunti Api, 

Kunti Api!" Ucap Sinto Gendeng sambil 

geleng-geleng kepala. "Di luar 

dandananmu kelihatan mewah mencorong. 

Mantel tebal biru bahan mahal. Di 

dalam ternyata cuma pakai kutang dan 

celana butut! Hik... hik... hik! Apa 

begitu semua perempuan sekarang?! 

Hik... hik... hik!"

Dari dalam rumah sepanjang dua 

sisi jalan, penghuni kelihatan keluar. 

Mereka terheran-heran melihat pohon 

besar mengepulkan asap. Lalu kios


rokok Pasiran yang terguling di jalan, 

hancur berantakan.


EMPAT


PERKARA BESAR


SESUAI janji malam tadi, hari 

Minggu pagi Ronny datang ke rumah 

Boma. Suasana lengang menyambutnya. 

Biasanya Sumitro Danurejo, ayah Boma, 

saat-saat seperti itu duduk di kursi 

dekat tangga, mengenakan singlet dan 

kain sarung, duduk membaca koran 

sambil menghisap rokok ditemani 

secangkir kopi. Atau ibu Boma keluar 

menyapanya. Sementara Boma sendiri 

biasanya masih bergelung di tempat 

tidur. Tapi sekali ini Sumitro 

Danurejo tak kelihatan di kursinya. 

Ibu Boma tidak keluar menyambut dan 

menyapanya. Di atas meja Kompas Minggu 

terlipat rapi, belum disentuh, belum 

dibaca. Di samping koran secangkir 

kopi panas masih penuh, belum diminum. 

Aromanya yang harum menggoda rongga 

pernafasan Ronny.

Ronny Celepuk melangkah mendekati 

meja. Pagi itu dia memang belum sempat 

sarapan atau minum. Melihat kopi panas


dalam cangkir dan mencium harummya 

yang sedap, membuat air liur Ronny 

turun naik di tenggorokan. Anak lelaki 

berhidung bengkok ini membungkuk. 

Ulurkan tangan.

"Rejeki nganggur jangan didiemin. 

Minum dulu aah...."

Baru saja jari-jarinya menyentuh 

pegangan cangkir tiba-tiba ada suara 

orang batuk di belakangnya. Ronny 

kaget. Tangannya goyang. Sebagian kopi 

panas tumpah menyirami tangannya. Anak 

lelaki itu mengerenyit kesakitan, 

cepat-cepat meletakkan cangkir kopi ke 

atas tatakannya di meja. Ketika dia 

berpaling Sumitro Danurejo sudah 

berdiri di hadapannya. Kaca mata tebal 

plus 6 mencantel rendah di batang 

hidungnya.

Ronny Celepuk jadi salah 

tingkah". "Wah, habis deh gue 

didamprat!" Pikir Ronny. Dia sadar 

kesalahannya. Dia memberanikan diri 

menyapa.

"Selamat pagi Oom."

"Haus?" tanya ayah Boma.

Ronny tambah salah tingkah. Tapi 

dasar celepuk masih bisa nyengir.

"Minum saja kopinya. Habisin."

"Nggak Oom. Kirain nggak ada 

orang di rumah. Sayang kopi panas 

didiemin." Ucap Ronny. Lalu sebelum 

Sumitro Danurejo membuka mulut, anak 

ini cepat bertanya. "bomanya ada Oom?"


Lelaki pensiunan Departemen 

Penerangan itu pegang bahu kanan Ronny 

Celepuk, menekannya sambil berkata.

"Duduk...."

Ronny jadi kecut.

"Sial bener." Ronny menyesali 

diri dalam hati. "Mau diapain gue? 

Gara-gara nggak tahan ngeliat kopi di 

.cangkir."

Ronny duduk di kursi yang biasa 

diduduki Sumitro Danurejo. Sumitro 

sendiri kemudian duduk di bangku lain 

di hadapan Ronny. Pandangan matanya 

tak berkesip diarahkan tepat-tepat ke 

mata Ronny, membuat anak lelaki ini 

jadi tambah kecut.

"Maaf Oom, kopinya nggak sempat 

saya minum. Masih utuh. Cuma tumpah 

sedikit."

"Diam. Saya mau bicara." Suara 

dan air muka Sumitro Danurejo ter-

dengar dan kelihatan serius. Membuat 

Ronny tambah merasa tidak enak. Dia 

menunggu apa yang mau dikatakan ayah 

Boma. "Tadi malam Boma dikeroyok 

orang." Kata-kata itu kemudian keluar 

dari mulut Sumitro.

Ronny kaget.

"Tadi malam Boma dikeroyok 

orang." Sumitro Danurejo mengulang.

"Sama siapa Oom?" Ronny bertanya.

"Belum tahu. Boma sama beberapa 

orang saksi dibawa ke Polsek. Ditanyai 

sampai pagi. Ini perkara besar."


"Sekarang Bomanya di mana?"

Sumitro menudingkan jari telunjuk 

tangan kirinya ke atas. "Di kamarnya. 

Tidur. Capek.... Sakit."

"Saya boleh ke atas Oom?"

Sumitro diam sebentar lalu 

mengangguk. "Kalau dia masih tidur, 

jangan dibangunkan."

Ronny berdiri. Tangga kayu menuju 

tingkat atas seperti mau dilompatinya. 

Pintu kamar Boma renggang tak 

tertutup. Ronny mendorong daun pintu. 

Di sudut kamar dilihatnya ibu Boma 

tertidur di atas sehelai sajadah. Di 

sampingnya, Bram kakak Boma duduk di 

lantai bersandar ke dinding, matanya 

terpejam. Mungkin tidur.

Ronny mendorong daun pintu lebih 

ke dalam.

Begitu masuk ke kamar, begitu 

langkah Ronny terhenti.

Sosok Boma terbaring di tempat 

tidur. Dua bantal sekaligus menopang 

kepalanya. Mata kiri bengkak, pipi 

kiri kanan lebam. Hidung merah, ada 

nocl.i darah mengering di salah satu 

pinggiran lobangnya. Mata kiri yang 

bengkak dan mata kanan sama-sama 

terpejam. Tapi dua mata itu bergerak 

membuka ketika pintu kamar terbuka dan 

Ronny masuk.

Melihat wajah Boma, kalau tidak 

ada ibu dan kakak kawannya itu dalam 

keadaan tertidur hampir saja dia


memanggil setengah berteriak. Dengan 

menindih suaranya, seperlahan mungkin 

Ronny berkata.

"Bom! Gila! Kau kenapa?!"

Yang ditanya menatap sebentar 

lalu tersenyum. "Sial! Muka lu bengep 

begitu masih bisa nyengir!"

Boma menyilangkan telunjuk tangan 

kiri diatas mulutnya seraya 

menggoyangkan kepala ke arah ibu dan 

kakaknya.

"Kita bicara di bawah aja." Kata 

Boma.

"Memangnya lu bisa jalan?" tanya 

Ronny Celepuk.

"Jangankan jalan. Terbang juga 

gua bisa!" jawab Boma.

"Tapi di bawah ada bokap lu," 

kata Ronny lagi. "Kita ngomong di 

teras, di bawah pohon jambu."

"Kamu nggak ngerasa sakit Bom? 

Muka lu ancur-ancuran begitu."

"Ala, gua udah minum obat." Jawab 

Boma. "Kamu udah ke dokter?"

Boma menggeleng. Sebenarnya Boma 

sendiri merasa heran. Akibat pukulan 

dan tendangan orang-orang yang 

mengeroyoknya mukanya dan beberapa 

bagian tubuhnya babak belur. Tapi rasa 

sakit hanya dirasakan beberapa saat, 

malam tadi. Setelah itu dia tidak 

merasa apa-apa lagi. Cuma orang yang 

melihat keadaan wajahnya memang bisa 

merasa ngeri sendiri. Boma sadar kalau


obat yang diberikan nenek kulit hitam 

malam tadi itulah yang telah 

menolongnya.

Tangga kayu mengeluarkan suara 

berderik sewaktu Boma dan Ronny 

menuruni menuju ke lantai bawah. 

Ketika dua anak ini melewati ruang 

tamu, dari bawah tangga mendadak 

terdengar suara Sumitro Danurejo.

"Boma! Kamu mau ke mana?"

"Nggak ke mana-mana. Cuma di 

teras." Jawab Boma.

Di teras di bawah pohon jambu 

berdaun rimbun yang tidak pernah 

berbuah sejak ditanam, Boma duduk di 

sebuah kursi reyot, Ronny duduk di 

atas bangku kayu.

"Sekarang ceritain apa yang 

kejadian, Bom." Ronny sudah tidak 

sabar.

Boma lalu menceritakan peristiwa 

tadi malam yaitu hanya beberapa saat 

setelah dia turun dari motor Ronny.

"Aku lagi jalan ke kios rokoknya 

Mas Pasiran. Biasa, beliin rokok 

pesanan Bokap gua. Mendadak ada mobil 

berhenti. Lima orang aku liat keluar 

dari Toyota Hardtop. Kamu ingat 

kejadian waktu aku sama Firman 

dipukulin orang di Gramedia?"

Ronny mengangguk.

"Nah, yang dua aku kenalin. Salah 

satu dari mereka lelaki berewok


bernama Fred. Orang-orang ini nyariin 

kamu juga."

"Pasti mereka mau balas dendam."

"Bukan cuma mau balas dendam Ron. 

Aku mau dibunuh. Salah seorang dari 

mereka bawa belati. Hampir mampus aku 

Ron...."

Cerita Boma terputus. Anak ini 

tidak tahu bagaimana dia harus 

melanjutkan ceritanya tanpa memberi 

tahu kalau ada satu kekuatan dalam 

dirinya yang membuat dia sanggup 

menghadapi lima pengeroyok. Juga tidak 

mungkin dia memberi tahu munculnya 

nenek aneh berkulit hitam yang batok 

kepalanya ditancapi lima tusuk konde 

perak itu.

"Terusnya gimana Bom?" tanya 

Ronny.

Boma menowel hidungnya yang 

bengkak. Otaknya diputar mencari 

jawaban. Untung dia segera dapat akal.

"Mas Pasiran. Dia bersama 

beberapa orang yang kebetulan ada di 

dekat situ berteriak-teriak lalu 

mendatangi. Lima pengeroyok kabur...."

"Lantas gimana kamu bisa dibawa 

ke Polsek?" tanya Ronny.

"Kamu tahu dari mana aku dibawa 

ke Polsek?"

"Bokap lu yang bilang." Jawab 

Ronny Celepuk.

Boma mengangguk. "Nggak lama 

sesudah orang-orang itu kabur,


kebetulan ada patroli Polsek lewat.Aku 

sama Mas Pasiran dan beberapa orang 

lainnya dibawa ke Kantor Polisi. 

Diminta keterangan. Tapi aku nggak 

bilang kalau pengeroyokan itu ada 

sangkut pautnya sama kejadian kita 

dengan si Bodong dan si Anton. Aku 

nggak mau teman-teman ikut terlibat, 

dipanggil ke Kantor Polisi. Termasuk 

kamu, Ron."

"Jadi soal kamu dikeroyok sampai 

babak belur begini, sama Polisi kamu 

bilang apa?"

"Aku bilang orang-orang itu mau

ngerampok. Tapi aku nggak punya apa-

apa yang berharga untuk dirampok. 

Mereka jadi marah. Aku melawan. Salah 

seorang dari mereka cabut belati mau 

nusuk aku."

"Polisi nggak bodoh Bom. Aku juga 

nggak setuju. Kamu mustinya ceritakan 

semuanya. Ini bukan urusan main-main 

Bom."

"Aku tau," jawab Boma perlahan. 

"Naga-naga-nya para pengeroyok itu 

bakal bisa dibekuk dalam waktu 

singkat. Soalnya plat nomor mobil 

Toyota Hardtop itu ada di tangan 

Polisi. Siapa pemiliknya gampang 

dilacak." Boma mengalihkan pembi-

caraan.

"Gimana plat mobil itu bisa ada 

sama Polisi?" Ronny bertanya heran.


Boma mengusap kepalanya sekali 

lagi. Diamenyesal memberi tahu soal 

plat nomor mobil itu. Karena hal ini 

berhubungan dengan si nenek aneh. Di 

Polsek, petugas sampai beberapa kali 

bertanya bagaimana Boma bisa 

mendapatkan plat nomor Toyota Hardtop 

itu.

"Aku nemuin di jalan. Dekat 

tempat aku dikeroyok. Mungkin jatuh. 

Mungkin murnya udah kendor." Boma 

memberi jawaban yang sama dengan apa 

yang dikatakannya di Polsek.

"Rasain mereka! Huh! Bokapmu 

bilang ini perkara besar. So pasti. 

Ini perkara kriminal Bom. Kamu mau 

dibunuh! Yang direncanakan lebih dulu. 

Hukumannya berat Bom! Rasain si Anton! 

Baru nyaho' dia! Baru tau die!"

"Belum tentu ini kerjaannya si 

Anton, Ron." Kata Boma. "Bisa aja si 

berewok bernama Freddy itu ngajak 

temen-temennya ngerjain aku karena 

dendam."

"Kalau buat gua sih udah kebaca. 

Si Anton pasti kebawa-bawa. Terserah 

kamu. Kamu bilang sama Polisi kejadian 

itu cuma perampokan. Berarti latar 

belakangnya nggak tersingkap. Kalau 

urusan sampai di Pengadilan, sekali 

kamu nyanyi si Anton nggak bisa lari." 

Ronny diam sebentar lalu berkata lagi. 

"Sebenarnya kalau dipikir-pikir si 

Anton itu yang dendam berat sama aku.


Ingat waktu aku bikin KO dia di 

sekolah? Tapi malah kamu yang jadi 

sasaran."

"Kita berdua jadi sasaran. Aku 

yang ketemu, aku yang apes duluan." 

ujar Boma pula. "Orang yang bernama 

Freddy sama temannya mungkin dendam 

berat sama gua. Gara-gara gua 

kencingin di toilet Gramedia." Boma 

mengusap hidungnya. "Ini jadi urusan 

nggak enak buat aku Ron. Sidang 

peristiwa perampokan tempo hari aja 

belon beres. Sekarang urusan kayak 

gini. Lusa, hari Selasa aku musti ke 

Polsek lagi."

"Tapi kalau urusan nggak dibikin 

tuntas preman-preman seperti 

pengeroyokmu itu nggak kapok-

kapoknya," kata Ronny pula. "Dan kau 

tau! Si Anton pasti keseret-seret! 

Dosanya lebih berat. Karena dia bisa 

dianggap sebagai dalang pelaku. Dia 

pasti yang ngebayar lima preman itu 

untuk ngerjain kita-kita. Anak tolol! 

Cuman gara-gara naksir sama Trini aja, 

bikin urusan yang nggak-nggak. Aku 

bilang sama kamu Bom. Udah, jauin aja 

si Trini. Dia cuma bikin masalah buat 

kita-kita. Temen-temen pada nggak suka 

sama dia. Kalau si Anton memang suka 

sama Trini ya sudah. Kasih aja! Segala 

cewek kayak begituan kamu ladenin!"


"Jangan sewot Ron. Aku rasa Trini 

nggak tau apa-apa. Biar gimana dia 

teman kita juga."

"Ah, kamu masih ngebelain dia. 

Jangan-jangan kamu benaran cintrong 

sama dia!" Ronny tampak kesal. Setelah 

diam beberapa saat Ronny berkata. 

"Batal rencana kita ke rumah si Allan. 

Baiknya kamu tidur aja Bom. Istirahat. 

Besok pasti kamu belum bisa sekolah. 

Aku mau beri tau teman-teman...."

"Jangan. Nggak usah Ron."

"Nggak bisa!"

"Oke deh. Terserah kamu." Boma 

mengalah. "Tapi cukup cuma Firman, 

Vino, Rio, Andi dan Gita. Allan juga 

boleh. Yang lain-lain nggak perlu tau.

"Trini?" tanya Ronny. "Nggak 

usah." "Dwita?" tanya Ronny lagi. Boma 

diam tapi kemudian gelengkan kepala. 

"Nggak usah Ron." 

"Kok?"

Ronnymenyengir. "Aku nggak mau 

temen-temen jadi pada repot. Cuma 

gara-gara anak gendenk macam aku ini 

dikerjain orang."

Ronny Celepuk angkat bahu, 

berdiri lalu usap kepala cepak 

temannya itu.

"Bom, aku jadi nyesel. Semua 

kejadian ini gara-gara aku ngejotosin 

si Bodong di Atrium Senen dulu, 

konconya si Anton yang ngelempar kamu 

sama telor busuk. Ditambah si Anton


aku hajar sampai semaput di sekolah. 

Ditambah lagi si Anton ngebet sama 

Trini, tapi tu cewek suka sama ka-

mu....?"

"Ala.... Nggak usah pakai nyesel-

nyesel segala Ron. Anggap aja gue lagi 

apes." kata Boma pula sambil mengusap 

hidungnya.

Boma masih tampak kesal. Kesal 

pada dirinya sendiri.

"Gimana kalau aku kumpulin temen-

temen. Bikin pembalasan sama orang-

orang yang mukulin kamu."

"Biar Polisi yang kerja Ron. 

Lagian siapa teman teman yang kamu 

maksudkan? Si Firman ceking? Vino, 

Andi...."

"Bukan mereka Ron. Aku punya 

teman. Gang anak-anak Kramat."

"Jangan cari urusan baru Ron. 

Ngomong-ngomong kepala gua rada 

pusing. Gua tiduran dulu...."

"Oke Bom. Nanti aku datang lagi." 

Ronny menunggu sampai temannya itu 

masuk ke dalam rumah, baru melangkah 

pergi.


LIMA


SUMPAH BOMA DAN 

KENYATAAN



JAM ke tiga di Kelas II-9 adalah 

mata pelajaran bahasa Inggris. Ibu 

Renata yang belum lama sembuh dari 

sakit pagi itu memasuki kelas dengan 

air muka cukup cerah walau sejak 

beberapa hari belakangan ini senyumnya 

tak banyak kelihatan. Senyum itu malah 

tidak ada sama sekali setiap dia 

mengajar di Kelas II-9. Setiap 

memasuki Kelas II-9 Ibu Renata merasa 

seperti ada ganjalan. Semua anak di 

kelas ini paling tahu peristiwa dia 

mengajak Boma menonton. Berdiri di 

depan kelas dia merasa mata setiap 

anak memandangnya seperti mencemooh.

Ibu Renata menjawab salam selamat 

pagi anak-anak dengan anggukan kepala. 

Dan surprise!. Ada sedikit senyum di 

bibirnya yang merah. Namun senyum yang 

sedikit ini serta merta pupus sewaktu 

dia mengarahkan pandangan ke sudut 

kiri kelas. Bangku Boma Tri Sumitro 

kosong.

"Boma tidak masuk?" Ibu Renata 

bertanya. Pandangannya diarahkan pada 

Firman kawan satu bangku Boma. Firman


mendahului jawabannya dengan gelengan 

kepala.

"Tidak Bu."

Guru Bahasa Inggris ini seperti 

hendak bertanya lagi namun membatalkan 

maksudnya.

Di bangku depan kiri Trini 

berpaling pada Gita. "Dut, kamu tau 

Boma ke mana?"

Si gendut Gita Parwati yang sejak 

lama memang tidak sreg dengan Trini, 

apa lagi barusan ditegur dengan 

sebutan Dut, kependekan dari Gendut, 

cuma angkat bahu lalu gelengkan 

kepala.

Ibu Renata melirik ke arah Trini 

dan Gita. Dia diam sesaat. Mungkin ada 

yang tengah dipikirkan. Mungkin juga 

ada yang hendak ditanyakannya pada 

salah satu dari dua anak perempuan 

itu. Tapi apa yang kemudian 

dilakukannya adalah mengambil buku 

bahan pelajaran Bahasa Inggris yang 

diletakannya di meja.

Setelah hampir setengah jam 

mengikuti pelajaran, "Si Centil" 

Sulastri anak baru pindahan dari 

Semarang membalikkan badan. Dengan 

suara perlahan setengah berbisik 

berkata pada Vino yang duduk di 

belakangnya.

"Bo, aku liat Ibu kita ngajarnya 

kayak nggak ada semangat."


"Masa' sih? Kok kamu tau?" sahut 

Vino.

"Ini pasti gara-gara si Macho 

nggak masuk."

"Maksudmu Boma?"

"Siapa lagi." Jawab Sulastri. 

"Lucu ya?"

"Apanya yang lucu?" Tanya Rio 

yang duduk di samping Vino.

"Ibu Renata kan lagi marahan sama 

Boma. Tapi begitu Boma nggak masuk 

ditanyain juga." Jawab Sulastri.

"Kamu tau dari mana Ibu Renata 

marah sama Boma?" Vino yang bertanya.

"Sulastri bo!" jawab cewek cakep 

bertubuh padat sintal, berkulit hitam 

manis itu. "Kalau orang sekampung aja 

tau Ibu Renata marah gara-gara 

omongannya mau ngajak Boma nonton bisa 

kesebar di sekolahan ini, masa' 

Sulastri nggak bisa tau? Kayaknya

bakalan ada kejadian besar antara Boma 

dan Ibu Renata."

"Kamu nyumpahin temen sama guru 

sendiri." Firman yang ikut mendengar 

percakapan nimbrung ngomong.

"Dosa lho, kalau aku nyumpahin. 

Tapi aku sudah bisa memperkirakan tau? 

Lagian kejadian yang aku maksud itu 

belum tentu hal jelek. Ihh... Belum 

tau dikau." Sulastri bicara sambil 

senyum-senyum.

"Kamu kayak paranormal aja!" ucap 

Vino.


Sulastri ulurkan tangannya, coba 

menusuk lengan Vino dengan ujung 

bolpen. Untung Vino cepat menghindar 

dengan menarik tangannya.

Di bangku depan sebelah kanan, si 

gemuk Gita Parwati yang duduk di 

belakang Trini sejak tadi 

memperhatikan Vino dan yang lain-

lainnya. Gita heran dan menduga-duga 

apa yang tengah dibicarakan anak 

perempuan yang dijulukinya "Si Centil" 

itu dengan kawan-kawannya yang lain.

"Ssstt... udah, jangan ngobrol 

aja. Ibu Renata dari tadi ngeliatin ke 

sini." Kata Andi yang duduk di samping 

kanan Sulastri.

"Anak-anak, harap memperhatikan 

pelajaran! Jangan ngobrol sendiri-

sendiri!"

Baru saja Andi mengingatkan 

terdengar suara Ibu Renata 

memperingatkan.

"Nah, gue bilang apa!" kata Andi.

Beberapa menit sebelum jam 

pelajaran selesai Ibu Renata melangkah 

ke sudut kelas di mana Sulastri, Rio, 

Vino, Firman, Andi dan Ronny duduk 

saling berdekatan. Anak-anak itu 

mengira Ibu Renata akan memarahi 

mereka karena tadi ngobrol seenaknya 

dalam jam pelajaran. Tapi dugaan 

mereka keliru.

Setelah memandangi anak-anak itu 

satu persatu Ibu Renata bertanya.


"Kalian tahu ke mana Boma? Kenapa 

dia tidak masuk hari ini?"

Tak ada yang menjawab. Mungkin 

bisa tapi tidak mau. Hari Minggu 

siang, sehabis dari rumah Boma Ronny 

keliling menemui teman-temannya. Dia 

menceritakan apa yang terjadi dengan 

Boma. Pada semua temannya Ronny 

mengingatkan agar kejadian itu tidak 

diceritakan pada siapa pun-termasuk

Trini dan Dwita. Firman dan Vino 

melirik ke arah Ronny. Ronny sendiri 

duduk diam dan tenang-tenang saja 

sambil usap-usap dagu. Ibu Renata 

merasa ada sesuatu yang disembunyikan 

anak-anak itu. Dia mendekati Ronny 

lalu berkata.

"Temui saya di kantor pada jam

istirahat."

"Ajie sial!Gue yang kena!" kata 

Ronny Celepuk sambil garuk-garuk 

kepala begitu Ibu Renata melangkah 

kembali ke depan kelas.

Jam istirahat, sewaktu Ronny 

berjalan menuju Kantor SMU III 

Nusantara, Trini setengah berlari 

mengejarnya. Trini pegang pundak anak 

lelaki itu.

"Ron, memangnya Boma ke mana? 

Sakit?"

"Nggak 'tu." Jawab Ronny.

"Lalu, kok nggak masuk?"

"Nggak tau juga, ya."


"Memangnya kamu enggak ketemu-

ketemu dia?"

"Baru hari ini." Jawab Ronny. 

"Ala, kamu bohong! Kamu pasti tau Boma 

ke mana."

"Kalau tau pasti aku bilang, 

Rin."

"Lalu kalau nanti Ibu Renata 

tanya, kamu mau bilang apa?"

"Sama. Nggak tau." Jawab Ronny 

lalu mene-ruskan langkahnya menuju 

Kantor Sekolah.

"Celepuk itu bohong! Aku yakin 

dia bohong!" kata Trini sendirian.

Trini memandang berkeliling. 

Dekat lapangan basket dilihatnya Vino, 

Andi, Firman dan Rio asyik bicara. 

Anak perempuan ini segera mendatangi 

mereka. Tapi langkahnya serta-merta 

tertahan sewaktu dari ujung kiri 

lapangan basket Dwita Tifani bersama 

Gita Parwati kelihatan berjalan ke 

arah kelompok anak-anak lelaki itu. 

Sekali pun berlari, Trini tidak 

mungkin mencapai Vino dan kawan-

kawannya lebih dulu dari Dwita dan 

Gita.

"Brengsek," Trini Damayanti hanya 

bisa menggerutu dalam hati. Dia tidak 

suka pada Gita. Pada Dwita lebih lagi.

KETIKA Ronny memasuki Ruang 

Kantor SMU Nusantara III Ibu Renata 

sedang bicara dengan Bapak Sanyoto, 

Guru Olah Raga. Ronny terpaksa


mengurungkan niatnya masuk, berdiri 

menunggu dekat pintu. Dari tempatnya 

berdiri anak ini dapat melihat Ibu 

Renata menggeleng-gelengkan kepala. 

Lalu Ronny mendengar Guru Bahasa 

Inggris itu berkata.

"Malam nanti saya tidak bisa Pak 

San. Lain kali saja."

"Belakangan ini Ibu kelihatan 

banyak sibuk. Kesehatannya lho Bu 

Rena. Kan habis sakit...."

"Terima kasih Bapak memperhatikan 

saya."

Pak Sanyoto berpaling ke pintu. 

Sekilas dia melihat sosok Ronny di 

luar sana. Guru Olah Raga ini 

memandang kembali pada Ibu Renata.

"Jadi boleh?" Suara Pak Sanyoto 

lebih pelan dari tadi. Mungkin karena 

kini tahu ada orang lain di dekat 

situ.

"Maafkan saya Pak San. Nanti 

saja. Saya akan beri tahu."

Ronny ulurkan kepalanya melewati 

pinggiran pintu. Dia melihat Pak 

Sanyoto berdiri dengan wajah kecewa. 

Lalu dengan senyum dibuat-buat Guru 

Olah Raga itu keluar dari ruangan. 

Ketika melihat Ronny di dekat pintu 

senyum yang dibuat-buat itu lenyap.

"Ada apa kamu di sini?! Guru Olah 

Raga bertanya. Nada suaranya tinggi 

dan mimik wajahnya tidak sedap. Di 

balik semua ini tersembunyi adanya


rasa kawatir. Kawatir kalau-kalau 

Ronny mendengar pembicaraannya dengan 

Ibu Renata tadi.

"Saya dipanggil Ibu Renata, Pak." 

Jawab Ronny Celepuk.

"Ya sudah. Masuk sana." Pak 

Sanyoto bergegas meninggalkan tempat 

itu.

Ibu Renata masih berdiri di 

tempat tadi dia bicara dengan Guru 

Olah Raga Pak Sanyoto.

"Pak Sanyoto bicara apa sama 

kamu?" Bertanya Ibu Renata.

"Nggak bicara apa-apa Bu. Cuma 

tanya ada keperltian apa saya berdiri 

dekat pintu." "Kamu jawab apa?"

"Saya bilang saya dipanggil Ibu." 

Jawab Ronny.

Ibu Renata duduk di kursi di 

belakang meja. Dia tidak menyuruh 

Ronny duduk di kursi di depannya.

"Ronny...."

"Ya Bu."

"Kamu sama Boma kawan karib 

'kan?" Ronny mengangguk.

"Berarti kamu tahu kenapa Boma 

tidak masuk hari ini."

"Saya nggak tau Bu. Mungkin saja 

dia sakit...."

"Bagaimana kamu tahu kalau dia 

sakit?"

"Saya bilang mungkin Bu."

"Kapan kamu terakhir kali bertemu 

Boma?"


Ronny Celepuk tak segera 

menjawab. Mungkin dia tengah berpikir. 

Mungkin juga merasa heran mengapa Ibu 

Renata begitu ingin tahu mengapa Boma 

tidak masuk sekolah hari ini.

"Terakhir saya ketemu Boma.... 

Hari Sabtu. Waktu sama-sama pulang 

sekolah." "Betul?" "Sungguh Bu."

"Kamu nggak bohong?" 

Ronny tertawa. 

"Kok kamu ketawa?" 

"Saya nggak bohong Bu." 

"Ibu tahu kamu bohong."

Ronny terdiam. Mencoba senyum. 

Senyum anak lelaki ini justru membuat 

Ibu Renata semakin yakin kalau dia 

memang bohong.

"Saya mau kamu cerita yang 

sebenarnya, Ronny."

Ronny usap-usap hidungnya yang 

seperti paruh burung kakak tua. 

Matanya tak berani menatap wajah Ibu 

Renata. Hatinya berkata-kata sendiri.

"Heran, Ibu ini kok maksa banget 

sih. Jangan-jangan dia punya firasat 

ada apa-apa dengan Boma. Tapi apa sih 

sebenarnya kepentingannya. Dulu Boma 

pernah cerita kalau Ibu Renata marah 

sama dia. Boma dituduh menyebar 

omongan soal ngajak nonton itu. Ibu 

Renata benci berat sama Boma. Sekarang 

malah mau tau banyak mengenai Boma."

"Ronny...."

"Ya, Bu."


"Saya tahu kamu anak baik. Saya 

ingin kamu bicara apa adanya."

"Saya nggak tau mau ngomong apa 

Bu." 

"Kenapa? Kamu tidak suka sama 

saya?" 

"Nggak Bu."

"Lalu? Ada yang melarang? Boma? 

Teman-temanmu?"

"Bu, saya minta waktu."

"Maksudmu?" Ibu Renata menyan-

darkan punggungnya ke kursi. Dalam 

hati dia berkata. "Anak ini tahu 

sesuatu. Tapi dia tidak mau bicara."

"Besok saya kasi tau Ibu."

"Lho, kok sampai nunggu besok? 

Memangnya mau lapor sama siap dulu?" 

Ibu Renata tersenyum. Senyum yang bagi 

Ronny terasa seperti mendesaknya.

"Nggak lapor sama siapa-siapa 

Bu."

"Berarti kamu bisa bicara 

sekarang. Nggak usah besok.''

Ronny diam. Mengusap hidungnya.

"Ronny, Ibu akan sangat kecewa 

kalau kau tidak mau bicara."

Ronny kembali terdiam.

Bel tanda masuk berdentang.

Ibu Renata berdiri. Wajahnya 

memancarkan rasa kecewa tapi juga 

menunjukkan rasa bingung. Ronny 

Celepuk untuk beberapa lama masih 

berdiri di depan meja.


"Kalau tidak ada yang mau kau 

katakan, silakan kembali ke kelas." 

Kata Ibu Renata tanpa meman-dang pada 

Ronny dan sambil mengambil tasnya dari 

atas meja.

"Bu Renata, maafkan saya Bu. Saya 

sudah janji sama Boma, sama teman-

teman agar nggak cerita. Tapi Saya 

takut Ibu marah...."

"Saya tidak marah. Buat apa 

marah?" ujar Guru Bahasa Inggris itu. 

Dia tetap tegak tak beranjak dari 

belakang meja.

"Boma kena musibah lagi Bu."

Sepasang bola mata bagus dan 

bening Ibu. Renata membesar sedikit, 

menatap Ronny tak berkesip.

"Musibah apa? Apa yang terjadi?"

"Boma dikeroyok lima orang. 

Kejadiannya malam Minggu lalu. 

Perkaranya sekarang sudah di tangan 

Polisi."

Tubuh Ibu Renata perlahan-lahan 

duduk kembali ke kursi.

"Sekarang Boma di mana?"

"Di rumah, Bu."

"Ronny, ceritakan selengkap-

lengkapnya bagaimana kejadiannya." 

"Tapi sudah bel Bu."

"Biar, nanti saya bicara sama 

guru yang mengajar."

RONNY sudah lama keluar dari 

ruangan Kantor SMU Nusantara III tapi 

Ibu Renata masih duduk di belakang


meja. Wajahnya yang cantik tampak 

redup. Sebentar-sebentar dia menarik 

nafas dalam. Cerita Ronny membuat Guru 

Bahasa Inggris ini gelisah berat. 

Pikiran dan hatinya kacau-balau. Lalu 

dia ingat pertemuannya dengan Boma di 

ruangan kantor itu beberapa waktu 

lalu. Dia menuduh Boma menyebar 

luaskan cerita yaitu bahwa dia 

mengajak anak itu menonton tapi 

ditolak. Cerita itu kemudian menjadi 

gunjingan yang memalukan di seluruh 

SMU Nusantara III. Bukan cuma para 

murid saja yang tahu, tapi guru-guru 

pun tahu. Pak Nugroho, Kepala Sekolah 

sampai menegurnya.

Boma sendiri tidak mengaku 

sebagai pelaku yang menyebar luaskan 

cerita tersebut. Ibu Renata ingat 

pembicaraannya dengan Boma di ruangan 

itu.

Saya tidak menyangka seburuk itu 

budi pekertimu. Kalau kau tidak suka 

sama Ibu, jangan ceritanya disampaikan 

sama orang lain."

"Sumpah Bu," kata Boma.

"jangan bersumpah Boma. Saya 

paling benci pada orang yang suka 

mengangkat sumpah tapi ternyata sumpah 

palsu...."

Boma mulai bingung.

"Pergi Boma, pergilah...." kata 

Ibu Renata sambil melambaikan tangan 

menyuruh Boma pergi.


Tapi Boma tidak beranjak dari 

tempatnya berdiri.

"Ibu Renata, sekali lagi saya 

sumpah. Saya tidak berbuat sejahat 

itu."

Ibu Renata geleng-gelengkan 

kepala.

"Kalau sumpah saya palsu, biar 

saya nggak selamat."

"Kalau sumpah saya palsu, biar 

saya nggak selamat."

Ucapan Boma itu terngiang di 

telinga Ibu Renata. Perempuan itu 

masih duduk di kursinya.

Keningnya ditopangkan ke tangan 

kanan. Halinya berucap. "Dia dikeroyok 

orang. Berarti tidak selamat. Dia

termakan sumpahnya sendiri. Berarti 

sumpahnya memang palsu. Boma.... 

Benarkah semua kenyataan ini? Seharus-

nya saat itu kau tak perlu bersumpah. 

Mungkin saya terlalu mendesaknya 

dengan tuduhan itu. Mungkin Boma tidak 

bersalah. Tapi...." Ibu Renata geleng-

kan kepalanya. Ada cairan hangat jatuh 

dari kelopak matanya, membasahi pipi. 

Guru Bahasa Inggris ini baru sadar 

kalau dia telah meneteskan air mata. 

Cepat-cepat dia mengambil sapu tangan 

dari dalam tas, menyeka perlahan ke 

dua mata dan pipinya.

"Ibu Renata. Tidak mengajar?"

Tiba-tiba ada suara dari arah 

pintu Ruangan Kantor.


Ibu Renata mengangkat kepalanya. 

Memandang ke arah pintu. Dia melihat 

Pak Nugroho, Kepala Sekolah, berdiri 

di situ.

"Sakit?" Tanya Kepala Sekolah.

Ibu Renata gelengkan kepala. Coba 

tersenyum.

"Cuma pusing sedikit, Pak."

"Kalau memang sakit pulang saja."

"Tidak, tidak apa-apa. Saya masih 

bisa mengajar. Terima kasih Pak." Lalu 

Ibu Renata keluar dari ruangan. 

Bergegas ke Kelas II-5. Dia sudah 

terlambat sekitar seperempat jam 

mengajar pelajaran Bahasa Inggris di 

kelas itu.


ENAM


U M A R = UNTUNG 

MASIH ADA RAM BUT



PULANG sekolah Ronny dan Vino 

langsung ke rumah Boma. Begitu melihat 

Boma, Vino berkata.

"Kemaren tampangmu masih peyang 

Bom. Sekarang mendingan, benjutnya 

udah rada kempes."

Boma tertawa.


"Hidung gua masih suka nyut-

nyutan," katanya. Lalu Boma bertanya. 

"Yang laen-laen nggak pada ke sini?"

"Nanti nyusul," jawa Ronny. 

"Gita, Allan, Andi, Rio sama Firman 

ceking katanya ke Gramedia dulu, cari 

buku."

"Kirain beli apel sama anggur 

buat gua," ujar Boma bercanda.

"Maunya mereka sih gitu. Tapi 

kata Gita, anak kayak kamu kalau 

dikasih buah-buahan luar negeri takut 

disentri, malah mencret," kata Vino 

mengarang. Boma cuma menyengir.

"Bom, gua mau ngomong. Tapi sorry 

nih...." Ronny bicara sambil melirik 

pada Vino.

"Pakai sorry menyorry segala. 

Memangnya ada apaan?

"Gue terpaksa nyeritain kejadian 

kamu dikeroyok...."

"Sama siapa?" tanya Boma. 

"Trini?"

Ronny menggeleng. "Bukan," 

ucapnya.

"Pasti Dwita. Kan aku udah bilang 

Ron. Jangan...."

Ronny kembali menggeleng.

"Ibu Renata." Ucap Ronny 

kemudian. Suaranya perlahan seolah 

takut Boma akan terkejut.

Boma memang terkejut. Matanya 

melotot. Hidung ditowel berkali-kali.


"Ajie gile! Kok ceritanya sampai 

ke Ibu Renata?"

"Aku dipanggil ke kantor. 

Ditanyain kenapa kamu nggak masuk. 

Terpaksa Bom. Aku terpaksa bilang. 

Habis Ibu Renata ngedesak terus. 

Kayaknya dia tau kalau aku ngebohong."

"Kamu bilang apa saja Ron?" suara 

Boma lemas, wajahnya menunjukkan 

kejengkelan.

"Aku ceritain semua. Sorry Bom."

"Lalu reaksi Ibu Renata gimana?"

Boma menowel hidungnya.

"Diem aja. Tapi aku liat wajahnya 

sedih."

Boma kembali menowel hidungnya.

"Jangan ngarang Ron."

"Aku nggak ngarang," jawab Ronny.

"Mustinya dia girang tau aku 

celaka begini."

"Kok kamu ngomong begitu?" tanya 

Vino.

Boma memandang ke luar jendela.

"Waktu aku dituduh nyebarin soal 

nonton itu, buat ngeyakinin dia aku 

sampai sumpah sama Ibu Renata. Aku 

bilang kalau sumpahku palsu, aku bakal 

nggak selamat."

"Dasar gendenk! Ngapain kamu 

pakai sumpah kayak gitu segala?" tukas 

Ronny.

"Habis, dia nggak percaya," sahut 

Boma.


"Sekarang justru dia jadi percaya 

beneran kalau kamu bohong. Terbukti. 

Kenyataannya kamu nggak selamat. 

Celaka dikeroyok rampok. Berarti 

sumpahmu memang sumpah palsu. Berarti 

memang kamu yang nyebarin omongan."

"Biar aja Ibu Renata punya 

pikiran begitu. Yang penting aku nggak 

berbuat jahat sama dia." Boma diam 

lalu melanjutkan. "Eh, kamu bilang aku 

dikeroyok rampok. Bukan dikeroyok 

gara-gara ribut sama si Bodong dan si 

Anton."

"Gua nggak tolol nyeritain yang 

sebenernya Bom," jawab Ronny. "Kan 

urusan bisa jadi panjang."

"Encer juga otak lu," kata Boma 

sambil senyum.

"Sebenarnya kenapa sih kamu nggak 

mau diajak nonton Bom?" Bertanya Vino.

"Aku cuman mau ngejaga nama dan 

kehormatan Ibu Renata, Vin. Kalau 

sampai ada anak-anak yang lihat aku 

nonton sama Ibu Renata, apa lagi kalau 

yang ngeliat guru, kamu bisa bayangin 

gimana akibatnya. Aku sih anak gendenk 

nggak apa-apa. Tapi Ibu Renata pasti 

akan jadi susah...."

"Hatimu polos juga Bom," ujar 

Vino. "Tapi kalau aku yang diajak. 

Wah! Nggak usah ditawarin sampai dua 

kali. Ibu Renata kan cantik banget. 

Kulitnya putih. Matanya bagus, bening. 

Suaranya sejuk seperti air es di


waning bakso Mang Asep...." Habis 

berkata begitu Vino tertawa sendiri.

"Kalau kamu sih nggak heran Vin," 

kata Boma. "Jangankan cewek, kambing 

congek dibedakin kalau ngajak, kamu 

pasti mau."

Ronny tertawa mengakak.

Vino cuma bisa mendehem-dehem. 

Lalu berkata. "Aku rasa Ibu Renata 

nggak punya pikiran buruk sama kamu 

Bom...."

"Mana aku tau. Buktinya dia marah 

berat sama aku."

Vino menjawab. "Itu yang keliatan 

di luar. Sebenernya, menurut aku dia 

malah sayang sama kamu."

"Sialan lu!" semprot Boma.

"Taroan yuk!"

"Ini taroannya!" jawab Boma lalu 

tendang tulang kering kaki kanan Vino 

hingga anak ini teraduh-aduh dan 

berjingkat-jingkat kesakitan.

Ibu Renata bilang apa lagi sama 

kamu?" tanya Boma pada Ronny.

"Sampai aku keluar kantor dia 

nggak bilang apa-apa. Cuma aku lihat 

wajahnya pucat."

"Mudah-mudahan dia nggak nyukurin 

aku digebuk orang begini," kata Boma.

"Aku rasa kalau dia sayang sama 

kamu, pasti dia nggak punya pikiran 

atau perasaan begitu Bom." Vino lagi 

yang menggoda.

"Besok kau masuk?" tanya Ronny.


Boma menggeleng.

"Besok pagi aku musti ke Polsek. 

Tadi malam ada Polisi datang. Ngasi 

tau kalau tiga orang dari dua 

pengeroyokku sudah tertangkap."

"Bravo!” seru Vino. "Cepet juga 

Polisi kerjanya. Salut deh!"

"Mereka melacak dari plat nomor 

mobil.

Menurut Polisi dua pengeroyok 

yang masih buron sudah diketahui 

identitasnya. Tinggal diciduk. Yang 

dua ini, satu si berewok bernama 

Freddy. Satunya lagi yang mau nusuk 

aku pakai belati namanya Radiman. 

Dikenal dengan julukan si Apache."

"Indian kesasar!" ujar Ronny. 

"Menurut Polisi lima orang itu 

memang bangsa premanan. Sering mangkal 

di kawasan Mangga Besar. Kerjaan 

mereka merasin orang. Besok pagi aku 

musti ke Polsek. Polisi perlu 

keterangan tambahan. Nanti nyusul 

bikin Berita Acara."

"Aku besok bisa bolos. Nganterin 

kamu ke Kantor Polisi." Kata Ronny 

pula.

"Nggak usah Ron. Aku bisa pergi 

sendiri. Paling Bokap gua yang 

nemenin. Uuhh.... Dia ngomel nululu 

saban ngeliat gua. Katanya seumur-umur 

baru aku dari sekian banyak keluarga 

yang bikin urusan sama Polisi. Waktu 

aku nyautin siapa sih yang mau cari


urusan sama Polisi, eh aku hampir 

digaplok. Tinggal Ibu gue cuma bisa 

nangis." 

"Abang lu gimana?" tanya Vino.

"Dia sempat nekat waktu pertama 

kali lihat gua babak belur di Kantor 

Polisi. Dia mau balas dendam, 

ngumpulin temen-temennya. Tapi 

dilarang Bokap gua. Polisi juga ngasi 

nasihat." Lalu Boma bertanya. "Ron, 

cewek lu gimana?"

"Cewek gua? Siapa?" Ronny 

berlagak pilon.

"Belagak lu! Siapa lagi! Si 

Sarah!"

"Uh, makin melar aja Bom." Vino 

yang menjawab. "Jerawatnya tambah 

banyak. Habis dipupuk terus sama 

Ronny."

Ronny tersenyum. "Itu bukti kalau 

aku jadi saudara asuh yang bener. 

Orang-orang pada sibuk sama urusan 

orang tua asuh. Gua sih jadi saudara 

asidt aja." Ronny kembali memandang 

keluar lewat jendela. Masih berusaha 

mengingat-ingat.

"Bom, ada yang aku mau bilang 

sama kamu. Tapi ini nggak ada 

hubungannya sama kejadian 

pengeroyokan. Cuma terkait sama Ibu 

Renata."

"Apaan Ron?" tanya Boma.

"Waktu aku mau masuk Kantor, aku 

lihat Pak Sanyoto Guru Olah Raga lagi


ngomong sama Ibu Renata. Aku sih nggak 

begitu denger apa yang mereka omongin. 

Tapi kayaknya Pak Sanyoto ngebet sama 

Ibu Renata."

"Kamu tau dari mana?" Bertanya 

Vino.

"Mungkin Pak Sanyoto mau ngajak 

Ibu Renata pergi. Atau mungkin juga 

mau datang ke rumahnya. Soalnya aku 

dengar Ibu Renata bilang malam nanti 

dia tidak bisa. Lain kali saja. Nanti 

saja dia beri tau...."

"Urusan guru sama guru biarin aja 

Ron. Ngapain kita pikirin." Kata Boma 

pula.

"Siapa yang mikirin. Yang aku 

jadi nggak enak, waktu Pak Sanyoto 

keluar, dia kayaknya geram sekali 

ngeliat aku. Omongannya kasar. Mungkin 

dia ngira aku sengaja ngintipin. Dia 

nanya kasar sekali. Ada apa kamu di 

sini?!"

"Pak Sanyoto keliatannya juga

nggak senang sama aku," ucap Boma.

"So pasti!" celetuk Vino. "Kamu 

kan saingannya."

"Brengsek lu Vin," kata Boma. 

Lalu meneruskan. "Inget nggak, waktu 

latihan atletik. Gua nggak salah apa-

apa, cuman terlambat lima menit. 

Padahal latihan juga belon mulai. Eh, 

aku disuruh lari muterin lapangan 

sampai tiga kali. Sial, berok gua 

rasanya mau copot. Lalu di Rapor angka


Olah Raga gua dikasih jeblok. Empat! 

Sialan kagak!”.

"Waktu istirahat aku sering liat 

Pak Sanyoto suka ngedeketin Ibu 

Renata. Juga kalau ada acara-acara 

tertentu. Dia selalu berusaha duduk di 

samping Ibu Renata." Ujar Ronny.

"Pak Sanyoto sih kalah ster sama 

Ibu Renata." Kata Vino pula. "Ke 

sekolah dia cuma naik Honda Bebek 

bapet. Ibu Renata bawa Suzuki Katana."

"Pak Sanyoto tampangnya sih nggak 

jelek-jelek amat. Cuman kepalanya aja 

yang udah rada botak. Nggak salah 

kalau anak baru Si Sulastri itu ngasih 

nama dia Si Umar."

Ron?" tanya Vino. "Uh, 

ketinggalan bajaj kamu Vin. UMAR 

artinya untung Masih Ada Rambut."

Boma dan Vino sama-sama tertawa 

cekikikan mendengar kata-kata Ronny 

itu.

"Pak Sanyoto, Pak Sanyoto...." 

Boma menyebut nama Guru Olah Raga itu 

berulang-ulang. Tiba-tiba dia ingat 

sesuatu. "Ron! Vin! Gue jadi inget!" 

"Inget apa?" tanya Ronny.

Di luar terdengar langkah-langkah 

berisik menaiki tangga.

"Pasti Gita sama yang Iain-lain," 

kata Vino. Lalu anak ini melangkah ke 

pintu. Boma menowel hidungnya. Tak 

jadi melanjutkan ucapannya yang tadi 

terputus.


TUJUH


DUA BURONAN KIRIMAN 

NENEK ANEH



DARI luar rumah kontrakan di 

ujung gang itu kelihatan sepi. Di 

dalam ternyata ada dua orang lelaki 

berambut gondrong tengah bicara 

serius. Si gondrong pertama sebagian 

wajahnya tertutup berewok. Dia bukan 

lain Freddy, lelaki yang dihajar Boma 

di toilet Gramedia. Dia pula yang jadi 

pimpinan empat kawannya mencari Ronny 

dan Boma. Yang ditemukan pada Sabtu 

malam itu cuma Boma sendirian dan 

langsung dikeroyok.

Orang kedua bernama Radiman. Oleh 

kawan-kawan dan beberapa kelompok 

preman Ibukota dikenal dengan julukan 

Si Apache. Lelaki ini paling sadis. 

Nyawa orang baginya bukan apa-apa. 

Dialah yang malam itu membawa belati 

hendak menikam menghabisi Boma.

"Fred, kalau tiga temen kita yang 

ketangkap nyanyi di Kantor Polisi, 

cepat atau lambat Polisi akan 

menggerebek tempat ini." Berkata si 

Apache.


"Kamu nggak usah kawatir. Tiga 

teman kita itu tidak tau rumah 

kontrakan ini."

"Aku tetap saja merasa kawatir 

Fred. Baiknya kita nyingkir ke Bogor. 

Ke rumah si Marjuki."

"Di situ malah lebih gawat. Dulu 

si Klewang dijedor mati di rumah itu." 

Kata Freddy.

"Kalau gitu kita cari tempat 

lain. Pokoknya jangan di sini. Aku 

benar-benar was-was...."

"Nanti saja kita bicara lagi. Aku 

capek. Ngantuk dan lapar. Aku mau 

tidur. Tapi sebelum tidur aku mau ma 

kau dulu. Kamu beli nasi di warung 

Padang." Freddy mengeluarkan selembar 

lima ribuan lecek dan menyerahkannya 

pada si Apache.

Si Apache melihat arloji di 

pergelangan tangan kanannya. Hampir 

jam enam. Di luar rumah masih agak 

lerang.

"Tunggu sampai gelap dulu Fred," 

katanya sambil mengantongi uang yang 

lima ribu. Seperempat jam kemudian si 

Apache berdiri dari kursinya. Sebelum 

membuka pintu depan, dia mengintip 

dulu lewat celah hordeng. Bila 

dirasakannya aman baru pintu dibuka.

Rumah makan Padang hanya sekitar 

dua ratus meter dari ujung gang. Walau 

bisa dicapai dengan jalan kaki tapi si 

Apache lebih suka naik bajaj.


Bagaimana pun juga dia harus 

menghindari dirinya terlihat di 

jalanan. Selesai membeli nasi bungkus 

dengan lauk ala kadarnya, si Apache 

kembali ke rumah kontrakan. Memasuki 

gang dia melangkah cepat-cepat menuju 

rumah kontrakan. Pada setiap langkah 

yang dibuatnya, dia merasa ada 

seseorang mengikuti. Si Apache menoleh 

ke belakang. Yang dilihatnya cuma 

seorang nenek bungkuk berkulit hitam 

berpipi cekung. Pakaian lusuh. Di 

kepalanya ada beberapa hiasan. Mungkin 

sunting.

"Sialan, cuma seorang gembel 

pengemis," Si Apache memaki dirinya 

sendiri. Dia terus berjalan. Hatinya 

lega begitu sampai di rumah kontrakan. 

Setelah mengunci pintu entah mengapa 

dia ingin mengintai keluar lewat celah 

hordeng. Nenek bungkuk hitam 

dilihatnya berdiri di depan pintu 

pagar, memandang ke arah rumah.

Freddy yang melihat kawannya 

mengintai keluar bertanya.

"Ada apa Man?"

Radiman alias si Apache memberi 

isyarat dengan gerakan tangan agar 

Freddy mendekat. Begitu si berewok ada 

di sampingnya dia berkata. "Lihat 

keluar...."

Freddy melihat keluar lewat celah 

hordeng.


"Cuma seorang pengemis tua. Apa 

anehnya?" ujar Freddy. Dia mengambil 

bungkusan nasi Padang dari tangan 

temannya lalu kembali ke kursi.

"Pengemis malam-malam begini, apa 

nggak aneh Fred?"

"Udah, jangan dipeduliin. Ayo 

makan. Habis makan kita perlu tidur. 

Perlu istirahat. Besok pagi kita 

bicara mau pergi ke mana."

Nenek bungkuk itu masih tegak di 

depan rumah.

"Kalau dia memang pengemis, pasti 

sudah tadi-tadi minta uang padaku.

Ngulurkan tangan...."

"Mungkin otaknya nggak waras," 

jawab Freddy. Dari dalam saku 

blujinsnya si berewok keluarkan koin 

seratus perak. "Ini, kasih sama dia. 

Suruh pergi."

Freddy menggulirkan uang logam 

seratus perak itu ke arah kaki 

temannya. Si Apache ambil uang itu, 

letakkan nasi bungkusnya di kursi lalu 

membuka pintu. Ketika pintu terbuka si 

nenek aneh tak ada lagi di depan 

rumah. Ada rasa angker menjalari tubuh 

si Apache. Apalagi saat itu mendadak 

saja dia mencium bau pesing santar 

sekali. Cepat-cepat dia masuk ke dalam 

rumah, langsung mengunci pintu.

"Udah pergi tu nenek-nenek?" 

tanya Freddy.


Si Anache tak menjawab. Uang 

logam seratus perak diletakkannya di 

atas meja lalu dia mengambil nasi 

bungkus yang tadi diletakkan di alas 

kursi.

"Kok uangnya nggak kamu kasih?" 

tanya Freddy.

"Nenek pengemis itu sudah pergi 

duluan. Nggak tau ke mana," jawab si 

Apache. Dirabanya tengkuknya dengan 

tangan kiri. Dingin berkeringat. "Hati 

gua nggak enak Fred," katanya.

"Oo... syukur kamu masih punya 

hati. Gua kira nggak punya hati," 

jawab si berewok lalu menyeringai. 

"Man, kamu badan doang yang gede. 

Julukan doang yang keren. Tapi nyalimu 

nyali kadal. Pengecut." Si berewok 

Freddy mulai menyuap nasinya tanpa 

cuci tangan lebih dulu. Baru saja dia 

mengunyah suapan pertama, belum sempat 

ditelan, tiba-tiba dia membaui 

sesuatu. "Man, kau nyium bau aneh, 

nggak?" Kadiman si Apache menghirup 

udara dalam rumah dalam-dalam. Dia 

mengenali bau itu karena telah mencium 

sebelumnya.

"Bau pesing," katanya perlahan. 

"Mungkin pintu kamar mandi terbuka. 

Baunya nyebar sampai ke sini," kata 

Freddy lalu menelan makanan dalam 

mulutnya. Ketika dia hendak menyuap 

untuk ke dua kali tiba-tiba si Apache 

melihat tampang temannya itu berubah.


Matanya membelalak, memandang sesuatu 

di belakangnya. 

"Ada apa, Fred?" tanya si Apache. 

Freddy seperti tak mampu mengunyah 

makanan dalam mulutnya. Tangannya 

terasa berat sewaktu diangkat. 

Tunjukan jarinya gemetar.

"Man... Man...." Tampang si 

berewok kelihatan memucat. Suaranya 

tersendat, bukan cuma oleh makanan 

yang ada dalam mulutnya tapi lebih 

banyak oleh rasa takut.

Si Apache ikut kecut. Sekujur 

tubuhnya mendadak jadi dingin. 

Perlahan-lahan dia palingkan kepala ke 

arah yang ditunjuk temannya. Si Apache 

tergagau. kaget dan takut ketika 

melihat siapa yang tegak di sudut 

ruangan yang hanya diterangi lampu 10 

watt itu. Bukan lain sosok si nanek 

bungkuk, pengemis tua berkulit hitam 

berwajah cekung. Nenek ini berdiri 

dengan kepala agak dijulurkan ke 

depan, menyeringai angker seperti 

binatang buas hendak menerkam 

mangsanya.

Ketika nenek itu keluarkan suara 

tawa cekikikan, nyali dua preman 

berambut gondrong itu putus sudah. 

Keduanya melompat dari kursi masing-

masing. Si Apache lari ke pintu depan. 

Tapi setengah mati dia berusaha, pintu 

itu tak berhasil dibukanya.


Si berewok Freddy lari ke 

belakang. Pada bagian yang berhubungan 

dengan dapur terdapat sebuah pintu 

dalam keadaan terbuka. Freddy melompat 

ke arah pintu. Tapi tidak terduga, 

secara aneh tiba-tiba daun pintu itu 

bergerak ke arahnya.

"Braaakk!"

Daun pintu kayu Borneo yang cukup 

keras menumbuk jidat, mulut serta dagu 

dan perut gendut Freddy. Tak ampun 

lagi si berewok ini terkapar 

bergedebuk di lantai, pingsan tak 

berkutik.

SFKITAR jam delapan malam, 

petugas piket dikejutkan oleh 

meluncurnya sebuah bajaj memasuki 

halaman Polsek. Kendaraan roda tiga 

ini berhenti di tengah halaman, 

mesinnya tidak dimatikan.

Beberapa orang anggota Polisi 

segera menghambur keluar, langsung 

mengelilingi bajaj. Semua petugas ini 

jadi terheran-heran ketika mereka 

dapatkan bajaj itu sama sekali tanpa 

pengemudi.

"Kok nggak ada sopirnya?" seorang 

Polisi -Prajurit Satu Timbul- berkata 

lalu melangkah lebih dekat untuk 

memeriksa.

"Kabur barangkali," anggota 

Polisi lainnya menyahuti.

"Mana mungkin. Kalau kabur pasti 

kelihatan." Pratu Timbul berkata


sambil memasukkan kepala dan separuh 

badan ke dalam bajaj. Mendadak petugas 

ini menarik kepala dan badannya 

kembali.

"Ada apa?" tanya teman di 

sampingnya. 

"Dorong ke tempat terang!" Pratu 

Timbul minta bantuan teman-temannya.

Bajaj didorong ke depan bangunan 

utama Polsek. Cahaya lampu di teras 

bangunan menerangi bajaj.

"Ayo, kalian lihat sendiri!" kata 

Pratu Timbul.

Tiga orang temannya segera 

membuka pintu bajaj kiri kanan, 

memeriksa kendaraan roda tiga itu. Di 

atas jok bajaj tergeletak duduk dua 

orang lelaki bertubuh kekar dan 

berambut gondrong. Yang satu bere-

wokan. Ke duanya duduk tak bergerak, 

mata terpejam. Entah tidur entah 

pingsan. Tak ada tanda-tanda 

penganiayaan di wajah dua orang itu. 

Juga tak ada bercak darah di pakaian 

mereka.

Dari lantai bajaj ada suara 

seperti orang mengerang. Ternyata di 

lantai itu melingkar sosok ketiga, 

seorang lelaki berkemeja belang-

belang, bercelana hitam.

Sementara tiga temannya masih 

diselimuti perasaan heran, Pratu 

Timbul malah berpikir-pikir. Ada 

sesuatu yang coba diingatnya. Tidak


sia-sia dia memutar otak. Begitu ingat 

dia langsung mengeluarkan borgol. 

Memborgol si berewok. Teman-temannya 

disuruh memborgol lelaki di samping si 

berewok. Kedua orang itu kemudian 

diseret keluar bajaj, dibaringkan di 

lantai ruangan piket. Orang ketiga 

menyusul dikeluarkan dari dalam bajaj, 

diborgol dan digeletakkan di samping

dua lelaki berambut gondrong. Orang 

ini sadarkan diri lebih dulu dari dua 

lainnya. Dia langs duduk di lantai. 

Memandang berkeliling. He melihat ada 

beberapa orang Polisi mengelilingmy.i. 

Lalu ketakutan ketika menyadari 

tangannya berada dalam keadaan 

diborgol.

"Pak... Pak, kenapa saya 

diborgol? Kenapa saya ditangkap Pak? 

Saya nggak bikin salah apa-apa. Saya 

nggak salah jalan, nggak nerobos lampu 

merah...."

"Kamu sopir bajaj?" tanya seorang 

Polisi. "Betul Pak. Kenapa saya jadi 

ada di Kantor Polisi?"

"Lepaskan borgolnya. Kita tanyai 

dia," kata Pratu Timbul pada teman di 

sebelahnya. Lalu jongkok di dekat 

sosok lelaki berewok yang terbaring di 

lantai.

"Orang ini," kata Pratu Timbul 

sambil bangkit berdiri lalu mengambil 

pesawat HT dari atas meja. "Aku yakin 

dia Freddy. Buronan perampok anak


sekolah. Yang gondrong satunya si 

Apache, preman Mangga Besar, konconya 

si berewok." Pratu Timbul kemudian 

menghubungi Komandan Polsek lewat HT, 

melaporkan apa yang terjadi.

SELAGI para petugas di ruang 

Piket sibuk menangani tiga tamu yang 

datang secara aneh itu, di halaman 

Polsek, tidak terlihat oleh siapa pun, 

tegak berdiri seorang nenek bungkuk 

berpakaian serba hitam. Mulutnya 

menyeringai pencong. Tangan kanannya 

menimang-nimiang sebuah benda biru 

bercahaya sebesar telur burung.

"Batu Penyusup Batin," kata si 

nenek, "kesaktianmu boleh juga. Aku 

bisa menghilang dari pandangan mata 

orang. Hik... hik... hik. Mungkin ada 

baiknya kamu aku berikan pada muridku 

Anak Setan si gendenk itu. Hik... 

hik... hik."

Terbungkuk-bungkuk si nenek 

melangkah meninggalkan halaman Polsek. 

Di pintu gerbang dia berpapasan dengan 

seorang anggota Polisi bertubuh gemuk 

berperut buncit yang baru saja makan 

malam di sebuah warung. Iseng, enak 

saja si nenek menarik hidung Polisi 

ini. Yang ditarik hidungnya tersentak 

kaget. Tamparkan tangan ke depan tapi 

hanya mengenai udara kosong. Si nenek 

tarik sekali lagi hidung itu. Kali ini 

selain kesakitan anggota Polisi itu 

juga jadi ketakutan setengah mati.


Secepat yang bisa dilakukannya dia 

lari menuju ruangan Piket menemui 

teman-temannya.

Sebelum keluar dari pintu gerbang 

si nenek palingkan kepala ke belakang. 

Matanya membentur bajaj yang tadi 

dikemudikannya.

"Tidak sangka mudah saja 

mengemudikan kuda berkaki tiga itu. 

Tapi bantingannya keras sekali. 

Tubuhku enjot-enjotan. Aku sampai tiga 

kali terkencing-kencing. Hik... hik... 

hik!"

BEBERAPA koran terbitan pagi 

keesokan harinya masih sempat memuat 

kejadian aneh Polsek malam tadi. 

Berbagai judul berita dan sub judul 

terpampang di halaman satu.

"Sopir Bajaj Mengaku Disirap 

Nenek Aneh."

"Dua Buronan Pengeroyok Dikirim 

Nenek Aneh Ke Polsek."

"Boma, Murid SMU Nusantara III 

Bikin Berita lagi."

"Bajaj Tanpa Sopir Ditumpangi Dua 

Buronan. Salah Satu Diantaranya 

Pentolan Preman Si Apache."

"Kejadian Aneh di Polsek. Seorang 

Anggota Polisi Mengaku Dipencet 

Hidungnya Sampai Dua Kali."

"Polsek Mendapat Hadian Malam 

Kliwon. Dua Buronan Dikirim Secara 

Aneh."


DELAPAN


ORANG DALAM KOBARAN 

API



PAGI itu sebelum jam pelajaran 

pertama dimulai Trini mendatangi Ronny 

yang asyik ngobrol bersama teman-teman 

dekat taman kecil di samping lapangan 

basket.

"Ron," bisik Gita yang berdiri di 

samping Si Centil Sulastri. "Liat, si 

Trini lagi mau ke sini. Gue liat tu 

kucing garong tampangnya sewot banget. 

Pasti ada yang nggak beres. Siap-siap 

aja...."

Apa yang diduga Gita memang 

benar. Masih beberapa langkah dari 

Ronny, Trini sudah membuka mulut.

"Ron, kamu brengsek!"

"Waduh, pagi-pagi udah nyemprotin 

gua! Ada apa Rin?" tanya Ronny.

"Tadi pagi aku baca koran. Ada 

berita Boma dikeroyok rampok. Kok kamu 

nggak mau ngasih tau sih? Kayaknya ada 

yang dirahasiain! Brengsek lu!"

"Iya, brengsek lu Ron," 

menimbrung Vino membuat Trini jadi 

tambah jengkel sementara teman-

temannya yang lain cuma senyum-senyum.


"Rin, gua sih tadinya mau ngasih 

tau sama kamu-kamu semua. Tapi 

dilarang sama Boma."

"Bohong aja lu!" tukas Trini. 

"Iyya memang Ronny tukang bohong," 

kata Vino lagi.

"Eh, Vin! Jangan konyol lu! Lu 

juga brengsek!" sembur Trini.

"Wadaww! Gua yang kena sekarang!" 

kata Vino sambil garuk kepala.

"Ya, Rin terserah kamu deh nggak 

mau percaya. Nanti aja tanya Boma 

kalau udah masuk." Kata Ronny.

"Brengsek!" Trini masih sewot.

"Udah, pagi-pagi nggak usah 

ribut," kata Sulastri seolah mau jadi 

penengah. "Kalau udah tahu Boma kena 

musibah, dateng dong ke rumahnya. 

Kita-kita semua udah pada datang, 

cuman kamu yang belum nongol." 

Sulastri melanjuikan ucapan. Dia 

berdusta karena sebenarnya dia tidak 

pernah datang ke rumah Boma.

"Ala lu lagi! Kucing burik! Nggak 

usah ngajarin!" Meluncur kata-kata itu 

dari mulut Trini. Ditujukan pada 

Sulastri.

Sulastri mencibir.

"Katanya suka sama Boma, tapi 

dikasih tau kok malah ngedumel!"

"Eh, Centil! Jangan banyak 

ngomong lu! Gue jambak baru tau!"

"Eh, belon tan dia siapa 

Sulastri. Jambak aja kalau berani!"


Ditantang begitu Trini jadi 

nekad. Anak perempuan ini melompat ke 

depan. Bukan cuma satu tangan, tapi 

dua tangan sekaligus bergerak men-

jambak rambut Sulastri hingga anak ini 

menjerit kesakitan. Bando di kepalanya 

mencelat mental.

"Pisain Vin! Git pisain!" Firman 

berpaling pads Vino dan Gita.

Ronny menggoyangkan tangannya. 

Berkata setengah berbisik.

"Jangan, biarin aja."

"Rasain lu!" teriak Trini. "Gue 

emang udah lama pengen ngejambak lu! 

Dulu lu juga yang ngebuang tas gue ke 

got!"

Dalam sakitnya dijambak Sulastri 

tidak tinggal diam. Tangan kanannya 

bergerak ke depan.

"Breett!"

Baju putih Trini robek besar. 

Kancing-kancingnya bercopotan. Dadanya 

tersingkap lebar. Mata semua anak 

lelaki yang ada di situ pada melotot. 

Sulastri belum puas. Sekali lagi 

tangan kanannya bergerak. Kali ini 

memutus salah satu tali beha yang 

dikenakan Trini. Anak perempuan ini 

terpekik. Cepat menutupi dadanya. 

Mundur beberapa langkah lalu lari ke 

dalam kelas. 

Sulastri rapikan rambutnya. 

"Lastri, gila lu!" kata Andi.


"Biarin bo! Sekarang bru tau dia 

siapa Sulastri!" 

"Lastri," kata Rio. 

"Tadi Trini bilang kamu ngebuang 

tasnya ke got. Bener?"

"Tuduhan palsu," jawab Sulastri 

tapi kemudian anak perempuan ini 

tertawa cekikikan. "Bener, memang aku 

yang ngebuang tas kucing garong itu ke 

got. Habis, waktu aku baru masuk 

sombongnya tu anak bukan main."

Ronny geleng-geleng kepala. Gita 

tertawa lebar.

"Tapi kamu berantemnya enggak 

per," tiba-tiba Vino menyeletuk.

"Nggak per gimana?" tanya Lastri.

"Kalau dijambak kamu musti balas 

ngejambak dong. Masa, kamu ngerobek 

pakaian orang. Narik behanya si Trini 

sampai melorot ke mana-mana...."

"Aaah! Tapi kamu semua senang kan 

liat dada putihnya kucing garong 

itu?!" tukas Sulastri.

Semua anak laki-laki yang ada di 

situ sama menyengir.

"Untung kamu bukan berantem sama 

Si Gita," kata Vino pula.

"kalau berantem sama gua 

memangnya kenapa?" tanya cewek gemuk 

Gita Parwati sambil pelolotkan mata 

pada Vino.

"lyaa, kalau sampai dada kamu 

yang dibikin melompong sama Sulastri,


wadauw! Bisa gerr deh semua kita-kita 

ini."

"Setan lu!" Maki Gita.

Bel tanda masuk jam pelajaran 

pertama berdentang. Ketika anak-anak 

itu masuk ke dalam kelas, Trini malah 

keluar meninggalkan kelas II-9 itu, 

pulang ke rumah dengan mata balut 

merah habis menangis.

HARI itu sejak sore langit kota 

Jakarta diselimuti awan kelabu. 

Mendung menggantung di mana-mana. 

Namun hujan tak kunjung 

turun.Menjelang senja turun hujan 

rintik-rintik. Hanya sebentar lalu 

berhenti. .

Jam di ruang tengah berdentang 

tujuh kali. Siaran "Seputar Indonesia" 

di RCTl baru saja berakhir. Ibu Renata 

masih duduk di depan pesawat televisi. 

Dia tadi memang menonton tayangan yang 

banyak diminati pirsawan itu namun 

dalam menonton pikirannya jauh berada 

di tempat lain. Ketika pembantu 

mengatakan bahwa makan malam sudah 

disiapkan, dia tidak menyahut, juga 

tidak beranjak dari kursinya.

Pagi tadi Ibu Renata sempat 

membaca beberapa koran yang mem berita 

kan peristiwa pengeroyokan Boma, 

termasuk berita dua orang buronan pe-

ngeroyok yang muncul di Polsek secara 

aneh. Boma... Boma... Boma. Bayangan 

anak lelaki itu selalu muncul di


pelupuk mata Ibu Renata. Pikirannya 

tidak bisa lepas dari mengingat Boma 

dan hatinya senantiasa bertanya-tanya 

bagaimana keadaan anak itu sekarang. 

Sebagian dari hati yang bertanya itu 

masih diselimuti rasa penyesalan sejak 

kemarin dia mendengar cerita Ronny.

"Kalau saya tidak terlalu 

mendesak, Boma tak akan bersumpah. 

Sumpahnya menjadi kenyataan. Tapi, 

apakah dia benar-benar bersalah? 

Apakah dia benar-benar yang menye-

barkan cerita itu di sekolah?" Ibu 

Renata mengusap wajahnya. "Mungkin 

saya yang sebenarnya bersalah. Seorang 

guru mengajak muridnya menonton! Tolol 

sekali!

Memalukan!"

Ibu Renata menatap ke arah 

televisi, mengambil remote lalu 

mematikan pesawat itu. Percuma 

menonton. Perhatiannya tidak pada apa 

yang ditonton.

Guru Bahasa Inggris ini tersentak 

kaget ketika tiba-tiba pesawat tilpon 

di sudut ruangan berdering. Seberkas 

cahaya penuh harapan menyeruak di 

wajah Ibu Renata.

"Mudah-mudahan dia," hatinya 

membatin sambil melangkah cepat ke 

tempat pesawat tilpon terletak.

"Selamat malam, ya.... Oo Pak 

Sanyoto...."


Wajah yang tadi berseri berubah 

redup bahkan kelihatan ada bayangan 

rasa jengkel.

"Saya baik-baik saja Pak. 

Betul.... Terima kasih.... Aduh maaf 

Pak San. Saya baru saja siap-siap mau

keluar.... Nggak, nggak sama siapa-

siapa.... Ah, Pak San bisa saja.... 

Cuma ke rumah famili kok. Ada adik 

datang dari Ujung Pandang. BetuL... 

Saya nggak bisa janji Pak San.... 

Nanti saya beritahu. Ya... ya.... 

Selamat malam."

Ibu Renata meletakkan pesawat 

tilpon.

"Dia lagi. Apa sih maunya orang 

itu?"

Ketika dia melangkah menuju 

kamar, pembantu menegur. Menanyakan 

apakah dia mau makan.

"Nanti saja Mbok. Saya belum 

lapar," jawab Ibu Renata.

"Jangan suka telat makannya. 

Nanti Ibu sakit lagi...."

"Mbok, kapan-kapan kalau ada 

tilpon dari orang bernama Sanyoto, 

bilang saya nggak ada." Sang pembantu 

mengangguk lain memperhatikan jam di 

dinding yang menunjukkan pukul 7.24.

"Belum lapar? Biasanya setengah 

tujuh Ibu sudah duduk di meja makan. 

Sekarang sudah jam tujuh lewat. 

Bilangnya belum lapar. Beberapa hari 

ini Ibu kok sering keliatan ngelamun?"


DI DALAM kamar Ibu Renata 

terbaring menelentang. Dua matanya 

dipejamkan. Siang tadi di sekolah dia 

memberikan nomor tilpon rumahnya pada 

Ronny.

Berikan ini sama Boma. Minta dia 

nilpon saya nanti malam. Saya minta 

kamu tidak memberi tahu siapa-siapa."

"Baik Bu, tapi di rumah Boma 

nggak punya tilpon." Kata Ronny sambil 

mengambil potongan kertas bertuliskan 

nomor tilpon yang disodorkan Ibu 

Renata.

Ibu Renata terdiam sesaat. 

Akhirnya berkata. "Berikan saja. Kalau 

dia nggak keberatan nilpon saya, dia 

bisa menggunakan tilpon umum."

"Baik Bu."

"Kamu sudah ketemu Boma?"

Ronny mengangguk.

"Kamu cerita saya menanyakan 

dia?"

"Saya cerita semua Bu."

"Dia tidak marah kamu cerita 

begitu?"

"Nggak, cuma heran.”

"Heran? Heran kenapa?"

"Boma nggak nyangka kalau Ibu 

menanyakan dia."

"Dia bilang apa saja sama kamu?"

"Katanya dia celaka karena 

bersumpah. Tapi sumpahnya nggak palsu. 

Dia bersumpah buat ngeyakinin Ibu 

kalau dia tidak bohong...."


"Tidak bohong soal apa?"

Ronny agak sungkan menjawab. Tapi 

akhirnya dia berkata juga. "Soal siapa 

yang nyebarin berita Ibu mengajak dia 

nonton itu."

"Jadi boma bilang sama kamu kalau 

dia tidak menyebarkan cerita itu?"

"Katanya Ibu pasti girang 

mendengar dia celaka. Tapi katanya 

lagi, walau Ibu punya pikiran dia yang 

menyebarkan cerita, yang penting dia 

nggak pernah berbuat jahat sama Ibu."

Ibu Renata terdiam. Apa yang 

didengarnya dari mulut Ronny itu 

membuat hatinya terenyuh. Untuk 

beberapa lamanya Guru Bahasa Inggris 

yang cantik ini tegak terdiam.

"Hanya itu yang dikatakan Boma 

sama kamu?" Akhirnya Ibu Renata 

membuka mulut bertanya lagi.

"Boma juga cerita apa sebabnya 

dia tidak mau menemani Ibu nonton."

"Oh ya?" Ibu Renata terkejut. Ini 

satu hal yang tak pernah diduganya. 

"Apa katanya?"

Dia menolak diajak sama Ibu 

karena ingin menjaga nama dan 

kehormatan Ibu. Kalau sampai ada anak-

anak, apa lagi guru yang melihat, 

pasti buruk akibatnya. Kata Boma, dia 

sih anak gendenk nggak apa-apa. Tapi 

Ibu pasti akan jadi susah."

Ibu Renata merasakan lututnya 

goyah mendengar keterangan Ronny itu.


Perlahan-lahan dia dudukkan diri di 

kursi di belakang meja. Kalau saja 

saat itu Boma ada di hadapannya 

mungkin akan dipeluknya anak itu untuk 

menunjukkan rasa penyesalannya.

"Boma... Boma. Saya telah 

berprasangka buruk pada anak itu. 

Kalau dia memang menjaga nama dan 

kehormatan saya, berarti memang bukan 

dia yang menyebar cerita itu. Lalu 

siapa? Saya harus menemuinya secepat 

mungkin. Besok mudah-mudahan dia 

masuk. Tapi bicara di sekolah, 

walaupun di Kantor, bisa saja menambah 

bahan pergunjingan yang tidak enak."

DAN MALAM itu yang menilpon 

ternyata bukan Boma. Tapi Pak Sanyoto, 

Guru Olah Raga.

"Heran itu orang. Apa saya harus 

menunjukkan sikap tidak suka saya 

secara kasar. Atau bilang sama dia 

terang-terangan?"

Mata perempuan itu terus saja 

terpejam. Dia seolah-olah takut 

melihat langit-langit kamarnya 

sendiri. Walau mata terpejam namun 

telinganya menangkap setiap suara di 

luar kamar. Dia mengharapkan suara 

sesuatu. Suara deringan tilpon. Tapi 

sampai dia keletihan dalam penungguan 

dan akhirnya tertidur tilpon di luar 

kamar tak kunjung berdering. Mungkin 

Boma tidak mau menilponnya. Mungkin 

anak itu masih sakit. Mungkin juga


Ronny tidak memberikan nomor tilpon 

itu.

PESAWAT helikopter itu terbang 

tak menentu di ketinggian 2000 kaki di 

atas rimba belantara Kalimantan 

Tengah. Dari bagian mesin membersit 

asap hitam disertai percikan-percikan 

bunga api. Di dalam kokpit pilot heli 

tak henti-hentinya meneriakkan kata 

midday berulang kali di corong 

radiokom, memberi tahu bahwa dia 

tengah menghadapi bahaya sementara 

pesawat seperti kehilangan bobot, 

terus melaju turun.

Helikopter itu hanya bisa 

bertahan beberapa menit. Dalam keadaan 

tak bisa dikendalikan lagi pesawat 

akhirnya menukik ke bawah menghujam di 

antara kerapatan pepohonan raksasa. 

Beberapa saat kemudian satu ledakan 

dashyat menggelegar. Api berkobar. Di 

atas kobaran api kepulan asap hitam 

menjulang ke udara.

Dari dalam kepulan asap hitam itu 

tiba-tiba menyeruak satu sosok seorang 

berpakaian pilot. Sekujur tubuhnya 

mulai dari kepala sampai ke kaki 

dikobari api. Anehnya cuma wajahnya 

yang tidak diselubungi api hingga 

terlihat jelas. Orang ini melangkah 

menjauhi helikopter yang tenggelam 

dalam kobaran api dan asap hitam. Di 

satu tempat dia hentikan langkah. Dari 

mulutnya keluar ucapan. Suaranya


menggema menggidikkan seolah keluar 

dari satu lobang batu yang dalam.

"Renata... Renata! Saya masih 

hidup.... Saya masih hidup! Tunggu 

saya Renata.... Jangan pergi.... 

Jangan pergi!"

Orang itu mengangkat tangan 

kanannya yang dikobari api dan 

mendadak berubah besar serta panjang. 

Menggapai-gapai ke depan, coba 

menyentuh satu paras perempuan 

berwajah cantik. Wajah itu adalah 

wajah Renata. Perempuan itu berteriak 

ketakutan. Melompat menjauhi gapaian

tangan.

Ibu Renata menjerit keras. Dia 

tutupi wajahnya dengan ke dua tangan 

lalu melompat berusaha menghindar dari 

tangan seram yang hendak menyentuh 

wajahnya.

PINTU kamar terbuka. Ibu Renata 

di ujung tempat tidur, bersandar ke 

dinding kamar. Wajahnya pucat dan 

keringatan.

"Ibu...."

"Saya mimpi Mbok...." Suara Guru 

Bahasa Inggris itu terdengar gemetar. 

"Jam berapa sekarang?" Ibu Renata 

menjawab pertanyaannya sendiri dengan 

berpaling ke arah meja kecil di 

samping tempat tidur. Di situ ada 

sebuah beker kecil. Jarum-jarum beker 

ini menunjukkan jam 9.45 malam.


"Ambilkan saya air putih 

Mbok...."

Ketika si pembantu hendak keluar 

kamar Ibu Renata berkata. "Mbok.... 

Ada tilpon buat saya?"

"Nggak ada Bu. Nggak ada...."

Ibu Renata menyeka keringat yang 

membasahi keningnya. Matanya kemudian 

dialihkan ke dinding di kepala tempat 

tidur. Di situ tergantung sebuah foto 

besar seorang lelaki berambut crew 

cut, mengenakan seragam pilot, berdiri 

gagah Si depan sebuah pesawat heli.

Ibu Renata pejamkan matanya. 

Wajahnya disembunyikan di balik dua 

telapak tangan. Di antara tarikan 

nafas panjang yang berulang kali 

hatinya bersuara lirih dan perih.

"Kalau saja kau masih ada...."

Tiba-tiba mengiang suara yang 

menggema di dalam mimpi.

"Renata... Renata! Saya masih 

hidup.... Saya masih hidup! Tunggu 

saya Renata.... Jangan pergi...: 

Jangan pergi!"

Perempuan itu mulai sesenggukan, 

mengambil bantal dan menenggelamkan 

wajahnya ke bantal. Dia berusaha 

menguasai diri namun tak bisa. Turun 

dari tempat tidur ibu Renata membuka 

pintu kamar, bersamaan dengan sang 

pembantu yang datang membawa segelas 

air putih. Tabrakan tak terhindarkan. 

Gelas berisi air putih di tangan si


Mbok terlepas, jatuh berderai ke 

lantai keramik.

"Aduh Ibu, maafkan saya...."

"Saya yang salah Mbok," kata Ibu 

Renata lalu melangkah pergi ke ruangan 

makan. Dia duduk di meja makan. Bukan 

untuk bersantap tapi kembali 

sesenggukkan menahan tangis.

Sang pembantu pandangi pecahan 

gelas dan tumpahan air di lantai.

Dalam hati perempuan berusia hampir 

setengah abad ini berkata.

"Gelas pecah. Pertanda apa lagi 

ini...."


SEMBILAN


TAMU PEJABAT



SORE ITU Ronny ke rumah Boma 

sendirian. Di pintu pagar dia tak jadi 

masuk. Di ruang tamu dilihatnya ayah 

dan ibu Boma tengah mengobrol. serius 

dengan sepasang suami istri yang kira-

kira seusia mereka. Boma juga duduk di 

situ. Anak ini sebentar-sebentar 

memandang ke luar. Dia telah mendengar 

suara sepeda motor yang dikendarai 

Ronny dan tahu kalau Ronny ada di luar 

sana. Boma berdiri, keluar menemui


Ronny. "Ron, kamu naik ke atas aja. Ke 

kamar gua...." "Biar aku nunggu di 

sini aja Bom. Ada tamu siapa?"

"Orang tuanya si Anton," jawab 

Boma.

"Orang tuanya si Anton? Ngapain 

mereka pada ke sini? Pantes tadi di 

jalanan aku liat ada Volvo biru gelap 

parkir. Nomor dua angka. Nggak taunya 

ada pejabat yang datang ke rumah 

kamu."

Boma nyengir. "Kamu tunggu di 

sini Ron. Nggak lama lagi mereka pasti 

pulang."

Sambil menunggu, Ronny yang 

merasa mulutnya asam nyalakan sebatang 

rokok. Baru dua kali hisap dua tamu di 

rumah Boma kelihatan keluar diiringi 

ayah dan ibu Boma, lalu Boma di 

sebel'ah belakang. Ronny cepat 

membuang rokoknya ke got. Ketika 

hendak minta diri tamu yang laki-laki 

memegang tangan ayah Boma seraya 

berkata.

"Pak Sumitro, saya bermohon 

sekali. Saya harap Bapak bisa mengerti 

dan menolong saya...."

Sumitro Danurejo angguk-anggukan 

kepala.

"Semua kejadian ini kita ambil 

hikmahnya, Pak Yusuf."

"Saya dan istri akan datang lagi 

ke sini. Harap Bapak tidak bosan 

menemui kami."



Laki-laki bernama Yusuf itu ayah 

Anton berpaling pada Boma. "Nak Boma, 

Bapak juga minta pertolongan Nak Boma. 

Anton nanti akan Bapak suruh menemui 

Nak Boma. Untuk minta maaf." Yusuf 

memegang bahu Boma. Istrinya sejak 

tadi tegak diam lalu mengeluarkan 

kata. Sebentar-sebentar mengusap kedua 

matanya dengan sehelai sapu tangan.

Begitu dua tamu pergi Boma segera 

mengajak Konny naik ke kamarnya di 

tingkat atas.

"Nah, sekarang kamu ceritain 

ngapain orang tua si Anton datang ke 

sini. Gua udah nyelidikin di 

sekolahan. Si Anton kagak nongol dari 

hari Senin."

"Orang tuanya juga nggak tau 

anaknya ada di mana. Cuma katanya 

Senin siang lalu Anton nilpon. Dia 

nggak berani pulang. Anak itu ngasi 

tau semua kejadian sama ibunya. Bilang 

kalau dia terlibat perkara 

pengeroyokan hari Sabtu malam itu. 

Lima orang yang dibayarnya buat 

ngerjain kita sudah tertangkap semua. 

Cepat atau lambat Polisi akan tau 

cerita sebenarnya. Dia akan menjadi 

orang buronan."

"Gua rasa orang tua si Anton tau 

di mana anaknya ngumpet. Mungkin juga 

mereka yang ngumpetin."

"Aku rasa begitu," jawab Boma.


"Lalu apa maunya orang tua si 

Anton?"

"Mereka minta agar aku tidak 

melibatkan anaknya dalam pemeriksaan 

dan terutama dalam sidang pengadilan 

nanti."

"Bagaimana mungkin? Tu anak 

memang udah terlibat kok. Apa lagi 

kamu 'kan sudah diperiksa Polisi. 

Memang sih kamu nggak nyebut-nyebut si 

Anton. Tapi di pengadilan nanti kamu 

nggak bisa dusta Bom. Lima monyet 

bayarannya si Anton bisa aja diatur 

sama Bapaknya si Anton. Tapi kamu sama 

Bokap kamu apa mau diatur?"

"Menurut Bokapnya Si Anton, kalau 

aku cukup membatasi kejadian itu pada 

perkara perampokan saja berarti itu 

sudah nyelamatin anaknya...."

"Bukan cuma anaknya. Tapi dia 

juga. Nyelamatin jabatannya!"

"Memang ini urusan berat. Bokap 

gua bilang si Anton bisa dituduh 

melakukan pembunuhan berencana. 

Berdasarkan KUHP Pasal 339 tuntutan 

hukumannya masuk bui dua puluh tahun."

"Hebat juga Bokap lu tau segala 

urusan Hukum. Lalu keterangan sama 

Polisi jadi simpang siur."

"Bom, ini perkara besar. Ini 

saatnya kita balas ngegebuk si Anton 

dan kaki tangannya. Kita bertindak 

berdasarkan hukum yang berlaku. Tidak 

seperti mereka, pakai hukum rimba. Ala


Mafia! Mereka pasti habis, Bom! 

Percaya gua! Udah kamu jelaskan aja 

semua pada Polisi. Biar tau rasa tu 

anak. Mentang-mentang anak pejabat. 

Waktu kita dilemparin telor busuk aja 

aku rasanya dendam setengah mati. Apa 

lagi waktu kamu dibilangin gendenk 

karena keberatan ilmu!"

"Mauku sih tadinya begitu Ron. 

Tapi seudahnya aku pikir-pikir rasanya 

nggak tega juga."

Ronny gelengkan kepala dan 

acungkan tinju. "Kalau kamu sampai 

koit dibunuh sama si Apache itu, pasti 

kamu nggak bisa bilang segala nggak 

tega. Orang tuanya si Anton 

menjanjikan sesuatu sama kamu, sama 

Bokap kamu?"

"Tadi dalam pembicaraan omongan-

nya memang mengarah ke situ. Balas 

jasa sebagai tanda terima kasih. Tapi 

Bokap gua langsung motong, mengalihkan 

pembicaraan pada hal lain." Boma 

menowel hidungnya lalu berkata lagi. 

"Udah Ron, nanti aja kita liat di 

pengadilan. Tau nggak, menjelang 

selesai aku ngasih keterangan di 

Polsek tau-tau Bokapnya Trini muncul."

"Tau dari mana dia?"

"Waktu aku tanya dia bilang Trini 

yang ngasi tau. Hari ini Trini pulang 

cepat...."

"Bukan pulang cepat Bom. Ada 

kejadian di sekolah. Trini berantem


sama si Centil cewek baru itu." Lalu 

Ronny Celepuk menceritakan kejadian 

tadi pagi disekolah. "Wah, berarti 

kamu bisa hutang budi lagi buat kedua 

kali Bom."

"Kamu untung punya pacar bapaknya 

Polisi."Boma cuma tersenyum lalu 

menowel hidungnya.

Dari dalam kantong kemejanya 

Ronny keluarkan selembar potongan 

kertas. Lalu diserahkannya pada Boma. 

Boma perhatikan sebentar angka-angka 

yang tertulis di atas kertas itu. Dia 

tahu itu adalah nomor tilpon. Tapi 

bergurau dia berkata kepada Ronny.

"SDSB udah nggak ada lagi. Ini 

nomor lotere apaan Ron?"

"Bukan nomor lotere. Itu nomor 

tilpon Ibu Renata."

"Wah, kejutan nih! Kok kamu bisa 

dapetin nomor tilponnya Ibu itu?"

"Dia yang nulis. Diberikan sama 

aku. Disertai pesan agar disampaikan 

pada kamu. Dan nanti malam dia minta 

kau menilponnya."

"Nomor tilpon Ibu Renata. Itu 

kejutan pertama. Dia yang nulis lalu 

diberikan pada kamu. Itu kejutan 

kedua. Dipesan agar diberikan padaku. 

Itu kejutan ke tiga. Dia minta aku 

menilponnya nanti malam. Itu kejutan 

keempat!"

"Jangan kaget, pasti ada kejutan 

ke lima dan ke enam!" menimpali Ronny.


"Gimana ceritanya sampai Ibu 

Renata ngasi nomor tilpon. Kamu cerita 

yang jujur Ron. Jangan ditambah jangan 

dikurangin."

Ronny lalu menceritakan pertemuan 

dan pembicarannya dengan Ibu Renata di 

sekolah hari itu.

"Kayaknya dia mulai meragukan 

kalau kamu yang nyebar berita soal 

menonton itu."

"Mungkin begitu mungkin juga 

nggak," jawab Boma.

"Untuk pastinya kamu tilpon aja 

Ibu Renata nanti malam." Kata Ronny. 

"Terus terang gua nggak abis pikir 

Bom. Siapa yang punya pekerjaan nyebar 

luasin cerita kamu sama Ibu Renata 

itu."

"Inget kemarin waktu kamu, aku 

dan Vino bicara di kamar ini? Aku 

ingat sesuatu. Tapi nggak sempat

ngomong karena teman-teman yang lain 

berdatangan...."

"Sekarang kamu boleh ngomong apa 

yang kamu ingat itu." Kata Ronny pula.

"Pak Sanyoto," ucap Boma. "Waktu 

kelas satu kita masuk siang pulang 

sore."

"Betul."

"Sore itu, kalau aku nggak salah 

hari Sabtu, Ibu Renata manggil aku ke 

kantor. Di kantor cuma kami berdua. 

Guru-guru sudah pada pulang. Waktu itu 

Ibu Renata bilang dia mau ngajak aku


nonton. Aku lupa filmnya apa. Tapi 

kata Ibu Renata film itu bagus sekali 

dan ceritanya banyak kesamaan dengan 

kehidupannya. Saat itu aku bingung 

Ron. Tapi kemudian masih bisa 

berpikir. Ajakan Ibu Renata aku tolak. 

Aku lupa apa alasan yang aku bilang 

waktu itu. Nah, waktu keluar dari 

Kantor aku Hat Pak Sanyoto. Kayaknya 

dia udah lama berdiri, nguping dekat 

pintu Kantor sebelah luar. Waktu 

ngeliat aku, dia pura-pura ngebetulin 

sesuatu di motornya."

"Jangan-jangan dia ngedenger apa 

yang Ibu Renata bilang."

"Bisa aja."

"Lalu karena Ibu Renata lebih 

punya perhatian sama kamu, dia 

ngegosipin kejadian itu ke mana-mana. 

Dasar guru kuyak! Kamu musti ceritain 

sama Ibu Renata Bom."

"Aku nggak berani Ron. Nggak mau. 

Urusan bisa tambah panjang."

"Kok? Kenapa? Kamu harus 

membersihkan diri di mata Ibu Renata. 

Biar Ibu Renata tau kalau memang bukan 

kamu yang jadi biang kerok nyebarin 

cerita nggak karuan."

"Aku nggak punya bukti kalau Pak 

Sanyoto yang jadi dalang nyebarin 

cerita." Kata Boma.

Ronny terdiam lalu berkata. "Iyya 

juga. Susah juga."


"Udah, nggak usah dipikirin." 

Kata Boma pula.

Ronny keluarkan kunci motor dari 

kantong blujinsnya. "Aku cabut dulu 

Bom. Nomor tilpon Ibu Renata sudah 

patik berikan. Pesan sudah hamba 

sampaikan. Selanjutnya terserah anda." 

Ucap Ronny menirukan kata-kata iklan 

di televisi.

DAN seperti diketahui malam itu 

Boma tidak menilpon Ibu Renata. 

Setelah Ronny pergi Boma membaca 

sebuah majalah di lantai bawah lalu 

selesai sembahyang Magrib dia naik 

kembali ke kamarnya. Untuk beberapa 

lama anak ini memperhatikan wajahnya 

di sebuah kaca kecil yang tergantung 

di dinding. Besok dia harus masuk 

sekolah. Untung benjat-benjut di 

wajahnya sudah berkurang jauh. Selagi 

dia mengusap-usap pipinya yang pernah 

lebam tiba-tiba dia melihat wajah lain 

dalam kaca. Wajah nenek-nenek berkulit 

hitam, berpipi cekung dengan mata 

mencorong angker. Wajah seram itu 

menyeringai. Bersamaan dengan itu Boma 

mencium bau pesing santar sekali.


SEPULUH


SINTO GENDENG DATANG



SUMITRO Danurejo merasa heran 

melihat di pintu pagar rumah berdiri 

seorang nenek berpakaian butut, 

bertampang seram. Rokok yang terselip 

di bibir dicabutnya, kacamata plus 

enam ditanggalkan, diletakkan di atas 

meja. Saat itu si nenek di luar sana 

enak saja nyelonong masuk.

"Malam-malam kok masih mau 

ngemis?" tegur Sumitro. Walau suaranya 

menegur agak tidak enak didengar tapi 

tangan kirinya merogoh ke kantong 

celana panjang di mana ada beberapa 

uang logam seratus perakan.

Nenek yang ditegur menyeringai 

lalu berkata.

"Sampean salah menduga. Aku bukan 

pengemis."

"Lalu?" tanya Sumitro heran. Saat 

itu bau tidak enak yang sudah 

diciumnya sejak tadi terasa semakin 

menusuk.

"Lalu? Hik... hik... hik!" Si 

nenek tertawa lalu enak saja dia 

mengambil rokok yang ada di sela jari 

tangan kanan Sumitro. Rokok dihisapnya 

satu kali. Sumitro jadi marah. Ketika


dia hendak membentak tiba-tiba si 

nenek hembuskan asap rokok dalam 

mulutnya ke wajah lelaki itu. Saat itu 

juga seperti dihipnotis Sumitro 

tertegak diam, tak bergerak tak mampu 

bersuara.

Si nenek perhatikan rokok yang 

dipegangnya. "Ini yang namanya rokok. 

Dasar manusia pada tolol. Mau saja

menenggak asap. Apa nggak kembung?!" 

Walau berucap begitu tapi si nenek 

sedot rokok di tangannya sekali lagi. 

Lalu rokok itu diselipkan kembali di 

sela jari Sumitro. Sambil senyum-

senyum si nenek masuk ke dalam rumah, 

menaiki tangga, menyelinap masuk ke 

dalam kamar Boma.

DI DALAM kamar Boma tersurut 

mundur dua langkah begitu melihat 

wajah nenek seram dalam kaca. Ketika 

dia memutar tubuh dan palingkan 

kepala, ternyata si nenek telah 

berdiri tiga langkah di hadapannya, 

menyeringai dan menebar bau pesing.

"Nek...." Boma menegur dengan 

suara tercekat.

"Anak Gendenk."

"Syukur."

"Eh, mengapa kau bilang syukur?" 

tanya si nenek sambil delikkan mata.

"Biasanya kau memanggil saya Anak 

Setan. Sekarang Anak Gendenk."

Si nenek tertawa cekikikan.


"Anak Gendenk, Anak Setan dengar. 

Aku tidak bisa lama-lama di tempat 

ini. Aku datang karena ada firasat 

dirimu dalam bahaya...."

"Bahayanya sudah lewat Nek. Nenek 

tau sendiri. Waktu saya dikeroyok 

orang, mau dibunuh. Bukankah Nenek 

ikut menolong?"

"Bahaya yang sudah lewat perlu 

apa aku urus. Yang aku maksud adalah 

bahaya yang bakal datang. Ada orang 

yang akan membunuhmu. Petunjuk memberi 

tahu kau bakal dipateni di sekolahan. 

Besok kau masuk sekolah?"

Boma mengangguk.

"Siapa orang jahat itu Nek? Masih 

kawanan kelompok lima pengeroyok itu?"

"Dia mahluk dari alamku. Dikenal 

dengan nama Pangeran Matahari. 

Berpakaian serba hitam. Ada gambar 

gunung dan matahari di dadanya. Dia 

juga pakai mantel warna hitam. 

Kepalanya diikat secarik kain merah. 

Dia merupakan suruhan para dedengkot 

golongan hitam yang tak suka 

kemunculan dirimu sebagai Pendekar 

Tahun 2000."

"Apa Nek, saya Pendekar Tahun 

2000? Nek setiap muncul kau membawa 

keanehan. Sulit bisa dipercaya."

"Dalam rimba persilatan keanehan 

hanya selangkah jaraknya dari 

kematian. Itu sebabnya setiap keanehan 

harus kau perhatikan, harus kau


pecahkan sebelum keanehan memecah 

kepalamu! Mahluk bernama Pangeran 

Matahari itu ilmunya tinggi. Selain 

itu mata biasa tidak bisa melihat 

ujudnya karena dia sudah diusap dengan 

benda ini oleh gurunya yang bernama Si 

Muka Bangkai...."

Dari balik baju hitam bututnya di 

bawah ketiak kiri si nenek keluarkan 

sebuah benda berbentuk dan sebesar 

telur burung merpati, berwarna biru 

bercahaya.

"Apa itu Nek?" tanya Boma.

"Batu Penyusup Batin," jawab si 

nenek. "Jika batu ini kau genggam, 

ujudmu tak akan terlihat oleh siapa 

pun. Kau lenyap, menghilang dari 

pemandangan mata manusia. Jika 

Pangeran Matahari muncul, orang lain 

tak bisa melihat dirinya, tapi kau 

bisa."

"Kalau saya bisa menghilang wah 

enak juga Nek." Kata Boma.

"Enaknya?! "tanya si nenek.

"Saya bisa gentayangan ke mana-

mana. Masuk bioskop nggak bayar. 

Ngintip orang pacaran. Ngintipin cewek 

mandi. Masuk ke kamar penganten 

baru...."

"Anak Setan!" bentak si nenek. 

"Ilmu apa saja kalau dipergunakan 

salah, untuk kejahatan, bisa kualat 

makan diri sendiri."


"Nek, gimana kalau setelah 

menghilang saya tidak bisa kembali ke 

alam nyata? Bisa celaka saya seumur-

umur."

"Dasar anak gendenk! Tubuhmu 

tidak ludes, tidak menghilang benaran. 

Yang kejadian mata manusia tidak bisa 

melihat sosokmu. Itu bisa melindungi 

dirimu, dari segala macam bahaya! 

Bukan buat ngintip cewek kencing!"

"Nek, saya tetap nggak mau nerima 

batu itu.

Ngeri Nek."

"Kalau jadi anak tolol boleh 

saja. Tapi jangan keliwatan. Aku sudah 

bilang dirimu terancam bahaya maut. 

Pangeran Matahari akan muncul mau 

membunuhmu. Aku pinjamkan batu ini 

selama beberapa hari padamu."

"Saya nggak berani Nek. Tetap 

nggak berani. Takut...."

"Takut apa jijik?! Karena batu 

ini barusan aku keluarkan dari 

ketiakku hah?!"

Boma menowel hidungnya.

"Tidak, bukan karena itu Nek."

"Jangan dusta Anak Setan!"

"Saya nggak dusta Nek. 

Sumpah...."

"Jangan suka bersumpah! Urusan 

sumpahmu sama guru cantik itu belum 

beres. Sekarang kamu sumpah lagi sama 

nenek jelek ini! Bisa tambah celaka 

kamu!"


"Kok.... Kok Nenek tau saya 

sumpahan sama Ibu Renata?" tanya Boma 

heran.

"Apa yang aku tidak tahu mengenai 

dirimu. Yang tersembunyi dalam celana 

di bawah perutmu itu juga aku tahu! 

Ada tahi lalatnya di lempengan sebelah 

kiri! Hik... hik... hik!"

Boma melengak kaget. Kaget karena 

apa yang dikatakan si nenek memang 

benar adanya. Tak sadar dia turunkan 

tangan meraba bagian bawah celananya. 

Tawa cekikikan si nenek tambah keras.

"Anak Setan, kau tetap tidak mau 

menerima Batu Penyusup Batin ini?"

Boma gelengkan kepala. Tangan 

kirinya masih menekap ke bawah perut. 

Si nenek tampak kesal.

"Terserah kamu!" katanya. "Kalau 

kau celaka jangan salahkan aku!" 

Perempuan tua berwajah angker dengan 

lima tusuk konde di kepalanya itu 

melangkah mendekati Boma. Anak lelaki 

ini mundur.

"Kamu takut?!" Si nenek 

menyeringai.

"Nek, Nenek ini siapa sih 

sebenarnya?"

"Kalau aku beri tahu namaku apa 

kau mau menerima batu sakti ini?"

"Nggak Nek, nggak. Biar saya 

nggak tau nama Nenek...."

Si muka angker tertawa panjang.


"Bagus, kau rupanya tidak mempan 

disogok! Nik... hik... hik!"

Nenek itu maju lagi satu langkah. 

Tiba-tiba tangan kirinya ditepukkan ke 

bahu kanan Boma seraya berkata. "Kau 

akan menyesal tidak mau kupinjamkan 

batu sakti itu. Aku pergi sekarang!"

Boma merasa bahunya yang ditepuk 

menjadi pegal dan berat.

"Nek, pintu keluar sebelah sini," 

kata Boma ketika melihat si nenek 

melangkah ke arah jendela yang 

tertutup.

"Siapa bilang aku keluar lewat 

pintu!" jawab si nenek sambil tertawa 

lebar. Tangannya bergerak membuka daun 

jendela. "Anak tolol, dengar baik-

baik. Batu Penyusup Batin sudah aku 

susupkan ke dalam bahu kanan di bawah 

tulang belikatmu. Jika kau mengusap 

bahumu satu kali, sosokmu akan menjadi 

samar. Jika kau mengusap kedua kali, 

tubuhmu akan lenyap dari pemandangan 

mata manusia. Jika kau mengusap sekali 

lagi, ujudmu akan kembali seperti 

semula."

Boma tersentak kaget. Dirabanya 

bahu kanannya di bawah tulang belikat. 

Astaga, ada sesuatu yang menonjol pada 

daging di bawah tulang belikatnya. 

Selagi Boma bingung, kaget dan juga 

takut si nenek kembali tertawa 

cekikikan. Lalu sekali dia berkelebat 

sosoknya melesat keluar jendela. Boma


mengejar ke jendela, namun dia hanya 

melihat kegelapan di luar sana. Si 

nenek tak kelihatan lagi.

TERNYATA si nenek tidak terus 

pergi. Dia melayang ke teras rumah, 

menemui Sumitro Danurejo yang sampai 

saat itu masih tegak tak bergerak tak 

bersuara. Rokok yang terselip di sela 

jari tangan kanannya dan masih menyala 

hampir membakar jari-jari itu. Seperti 

tadi si nenek mengambil rokok itu, 

menghisapnya dalam-dalam lalu hembus-

kan asap rokok ke wajah Sumitro. Sisa 

rokok diselipkan kembali ke jari 

tangan lelaki itu. Setelah tertawa 

cekikikan si nenek berkelebat. Sumitro 

melihat sosok perempuan tua itu 

laksana terbang menembus udara malam, 

berkelebat di wuwungan rumah tetangga 

lalu lenyap.

Hanya sesaat setelah sosok si 

nenek bau pesing lenyap, Sumitro sadar 

akan dirinya. Dia mampu bergerak dan 

bersuara kembali. Dia perhatikan rokok 

di tangannya yang tinggal pendek. 

Memandang ke arah atap rumah tetangga 

di seberang sana, lalu kembali 

memperhatikan rokok. Dia tak berani 

meneruskan menghisap. Rokok itu 

dicampakkannya ke jalanan. Kini ada 

rasa takut menjalari tengkuknya yang 

terasa dingin. Cepat-cepat lelaki ini 

masuk ke dalam rumah, mengunci pintu


depan lalu naik ke atas, menemui Boma 

di kamarnya.

Tapi Boma tidak ada dalam kamar. 

"Ke mana lagi itu anak?" Sumitro 

bicara sendirian sambil meraba 

tengkuknya.

Sebenarnya saat itu Boma ada 

dekat jendela. Barusan dia mencoba 

mengusap bahu kanannya dua kali. Dia 

tidak dapat memastikan apakah dirinya 

benar-benar lenyap seperti kata si 

nenek. Dia baru percaya akan kenyataan 

setelah melihat ayahnya masuk kamar 

tapi tidak melihat dirinya tegak dekat 

jendela.

"Boma?!" Sumitro memanggil. 

Tak ada jawaban.

Boma berpikir apa sebaiknya dia 

segera mengusap bahunya sekali lagi. 

Tapi dia kawatir ayahnya akan kaget 

besar. Lebih dari itu dia tidak mau 

ada orang lain tahu kalau dia memiliki 

ilmu aneh. Boma terus saja berdiri 

diam dekat jendela.

Sumitro Danurejo kembali usap 

tengkuknya yang dingin. Dia memandang 

seputar kamar. Lalu gelengkan kepala.

"Gila! Mengapa banyak keanehan 

sekarang terjadi di rumah ini?"

"Boma!" Sumitro memanggil lagi. 

Tetap tak ada jawaban. Jengkel, tapi 

kemudian lebih banyak takutnya, 

Sumitro Danurejo keluar dari kamar 

anaknya.


MALAM itu Boma tidak mengikuti 

apa yang dipesankan Ronny. Dia tidak 

menilpon Ibu Renata. Hal ini membuat 

kegelisahan mendalam dalam diri Guru 

Bahasa Inggris itu. Membuatnya sulit 

tidur. Pikirannya menerawang jauh. 

Hatinya diselubungi berbagai rasa. Dia 

baru bisa memicingkan mata menjelang 

pagi. Ketika bangun tubuhnya terasa 

capai sekali. Namun keletihan pisik 

yang dirasakannya tidak ada arti sama 

sekali dibanding dengan tekanan 

penyesalan batin yang menghunjam lubuk 

hatinya.

KEESOKAN harinya, hari Rabu Boma 

kembali masuk sekolah. Justru Ibu 

Renata tidak kelihatan. Menurut kabar 

yang bersumber dari Tata Usaha 

Sekolah, Guru Bahasa Inggris itu 

terserang flu.

Pagi itu Ronny datang lebih dulu 

di sekolah. Ketika Boma muncul, 

sehabis dikerubungi oleh teman-

temannya Ronny mengajak Boma masuk ke 

dalam kelas.

"Orang Tata Usaha bilang Ibu 

Renata tidak masuk. Sakit flu. Tadi 

malam kamu nilpon dia?"

Boma menggeleng.

"Aku udah duga," Ronny berkata 

sambil sandarkan punggungnya ke 

tembok. "Kamu nggak kasian sama Ibu 

itu?"

Boma menowel hidungnya.


"Kalau Pak Sanyoto nggak masuk 

hari ini gara-gara flu, apa aku juga 

harus merasa kasihan sama dia?"

"Gendenk kamu Bom! Aku tanya 

lain, jawabmu lain lagi. Sejak punya 

ilmu kamu kok jadi sering ngelantur 

omongannya? Jalan pikiranmu seperti 

nggak normal lagi. Mungkin kamu dendam 

sama Ibu Renata? Dia nuduh kamu biang 

kerok penyebar cerita yang membuat dia 

malu setengah mati. Kamu kan udah tau, 

dia salah sangka. Aku yakin Bom, Ibu 

Renata bukan cuma sakit flu. Ada 

sakitnya yang lain...."

"Gitu?" Boma menowel hidungnya. 

"Udah lama kamu jadi dokter atau 

dukun? Atau terkun?"

"Gendenk lu Bom!"

Bel tanda masuk berbunyi. Ketika 

semua anak telah duduk di bangku 

masing-masing, Boma memandang seputar 

kelas. Dia tidak melihat Trini di 

bangkunya.

"Ron," kata Boma pada Ronny yang 

duduk di sebelah depan. "Kalau 

ngikutin omonganmu, aku juga musti 

kasian sama Trini. Bangkunya kosong. 

Dia nggak masuk hari ini."

Ronny diam saja. Yang menyahuti 

malah Vino. "Trini bukannya nggak 

masuk. Tapi terlambat doang. Mungkin 

dia lagi sibuk ngejait kutangnya yang 

putus dibetot Sulastri kemaren."


Si Centil Sulastri mesem-mesem. 

Yang lain senyum-senyum kecil 

mendengar ucapan Vino.


SEBELAS


IBU RENATA SAKIT 

LAGI



HARI RABU, tepat satu minggu Ibu 

Renata tidak masuk mengajar. Hari ini 

ada rapat guru di SMU Nusantara III. 

Dua jam pelajaran terakhir anak-anak 

dipulangkan.

"Bom, kamu nggak buru-buru pulang 

'kan?" tanya Ronny ketika melangkah 

keluar dari kelas.

"Kenapa? Kamu mau ngajak aku ke 

mana? Ke Mal?"

"Ada yang aku mau bicarain. Kita 

ngobrol di warung baksonya Mang Asep."

"Ngobrol aja sambil jalan."

"Bom, ini soal sakitnya Ibu 

Renata. Hari ini persis seminggu dia 

nggak masuk mengajar."

"Kamu rajin banget ngitungin hari 

orang sakit."

"Sakitnya Ibu Renata serius Bom."

"Memangnya sakitnya apa? Katanya 

cuma flu."


"Bukan cuma flu Bom. Tapi ada 

gejala tipus."

"Dokter sekarang nggak heran. 

Kalau pasien panas dikit dibilang 

tipus. Apa lagi kalau dokternya magang 

rumah sakit. Pasti disuruh rawat. 

Sekarang penyakit sering 

dikomersialkan Ron."

"Gue nggak ngerti itu. Mau 

dikomersialkan,mau diapain kek. Yang 

aku mau omongin soal Ibu Renata. 

Sakitnya udah gitu lama, kok kamu ngga

mau nengokin sih?"

"Eh, gua rasa nggak ada aturan di 

sekolah ini kalau guru sakit anak 

murid musti nengokin."

"Aturan sih memang nggak ada. 

Tapi budaya kita kan budaya timur 

Bom...."

"Sok tau lu. Kalau budaya timur 

memangnya kenapa?"

"Nengokin orang sakit itu nggak 

ada ruginya. Apa lagi yang sakit guru 

kita. Ibu Renata. Guru sebaik itu 

rasanya nggak enak kalau sampai nggak 

ditengokin."

"Ibu Renata kan baik sama kamu-

kamu. Sama aku enggak."

"Kamu kayaknya masih dendam aja." 

"Kata orang pinter, jadi manusia 

nggak boleh dendam. Tapi yang namanya 

manusia paling nggak punya perasaan. 

Iyya 'kan?"


"Kata orang pikiran jangan 

dipengaruhi perasaan. Bisa jadi nggak 

sehat," jawab Ronny.

"Kamu kayak Socrates aja," ujar 

Boma. Ditowelnya hidungnya lalu 

bertanya.

"Kamu memangnya udah nengokin si 

Ibu?" "Udah dua kali. Kali yang kedua 

aku nggak bisa ketemu. Kata 

pembantunya Ibu Renata nggak bisa 

turun dari tempat tidur. Nggak mau 

ketemu siapa-siapa."

"Nah kalau nggak mau ketemu 

siapa-siapa, buat apa aku datang? 

Malu-maluin aja...."

Ronny pegang tangan Boma. "Bom, 

aku yakin Ibu Renata sangat ngarepin 

kedatanganmu."

"Pak Sanyoto udah nengokin?"

"Brengsek! Kok kamu nanyain guru 

kunyak itu!" ujar Ronny jengkel. "Ibu 

Renata nggak suka sama Guru Olah Raga 

itu tau. Gua sih cuman ngasih usul 

Bom. Lu tau nggak...."

"Tau apa?" tanya Boma.

"Waktu aku datang kedua kali, aku 

cuma ketemu sama pembantu...."

"Tunggu dulu, kamu datang sama 

siapa?" potong Boma.

"Sama Sarah," jawab Ronny sambil 

sedikit tersenyum. "Terus?"

"Waktu aku sama Sarah mau pergi, 

pembantu nanya begini. Nak, mungkin 

kenal sama orang namanya Boma?"


Boma hentikan langkah. Duduk di 

bangku batu di pinggiran taman. Saat 

itu keadaan mulai sepi. Beberapa anak 

bermain basket di ujung lapangan.

"Kamu jawab apa Ron?"

"Aku tanya sama pembantu. 

Memangnya kenapa 'Bi? Pembantu itu 

bilang. Dia sering dengar Ibu Renata 

mengigau. Kalau ngigau dia manggil-

manggil nama kamu."

"Ngacok! Kamu ngarang Ron!"

"Sumpah! Aku nggak ngarang! Tanya 

sama Sarah situ. Atau sama si pembantu 

di rumahnya Ibu Renata.

Boma menowel hidungnya. Matanya 

tunduk memandang bunga layu di dekat 

kakinya.

"Ibu Renata sudah ke dokter?" 

tanya anak ini.

"Sudah dua dokter. Panasnya masih 

belum turun-turun juga."

"Flu sekarang memang begitu Ron. 

Panas tinggi, lama sembuhnya. Gua rasa 

nggak ada yang perlu dikawatirin."

"Jadi kamu tetap nggak mau 

nengokin Ibu Renata?"

Boma diam.

"Kamu mau nemanin aku?" "Mau aja 

Bom. Tapi aku rasa lebih baik kamu 

datang sendirian."

"Aku musti bawa apa?"

Nggak perlu bawa apaan. Ibu 

Renata cuman mau liat kamu. Mau 

ngomong. Kangen. Itu aja...."


"Kapan aku musti ke sana?" tanya 

Boma lagi. 

"Terserah kamu. Yang penting 

jangan waktu dia lagi tidur siang. 

Juga jangan keliwat malam." Ronny 

pandangi wajah sahabatnya itu lalu 

berkata. "Kamu inget nggak, kamu 

sendiri yang bilang. Ibu Renata ngajak 

kamu nonton karena filmnya ada 

kesamaan dengan jalan hidupnya. 

Mungkin saja dia mau cerita sesuatu 

pada kamu. Mungkin cuma kamu yang dia 

percaya."

Boma diam lagi. Matanya masih 

menatap bunga layu di ujung kaki. 

"Kasian itu kembang," katanya. "Orang 

sebanyak ini, nggak ada yang nyiramin. 

Taman ini apa nggak ada yang ngurus."

"Kamu bisa bilang kasian sama 

kembang. Tapi sama guru sendiri nggak 

kasian."

Boma usap-usap hidungnya lalu 

berdiri.

"Ayo Ron, pulang. Udah sepi."

Di pintu gerbang sekolah sebelum 

berpisah Ronny berhenti sebentar. 

Ditatapnya wajah Boma.

"Kamu mau bilang apa Ron?"

Ronny gelengkan kepala. "Aku 

nggak mau bilang apa-apa. Aku udah 

kehabisan omongan."

Boma tertawa. "Kamu bilang ingin 

jadi pengacara. Membela orang-orang 

tertindas. Tapi kalau pengacara


kehabisan ngomong wah bisa gawat Ron! 

Mulut dan kata-kata itu senjatanya 

pengacara nomor satu."

"Ada senjata yang lebih berharga 

Bom," sahut Ronny.

"Apa?"

Ronny menunjuk ke kepala dan ke 

dadanya. "Otak sehat sama hati 

bersih."

"Boleh juga omongan lu!" kata 

Boma seraya menowel hidungnya. Anak 

ini lambaikan tangan lalu menyeberang 

jalan.

Ronny pandangi temannya itu. 

Hatinya berkata. "Nggak bisa juga sih 

dia disalain. Hatinya polos. Nggak 

pernah nyakitin temen. Sama guru 

sangat menghormat. Sampai mau sumpah 

segala untuk mendapatkan kepercayaan. 

Tapi yang didapatnya pukulan dan 

tendangan."


DUABELAS


MURIDKU MACHOKU


BOMA berlaku cerdik. Seolah ada 

firasat dia lidak berhenti tepat di 

depan rumah nomor 14 itu. Setelah 

lewat dua rumah baru dia memberi tahu


supir bajaj agar berhenti. Dengan 

jalan kaki dia kembali ke arah rumah 

nomor 14 itu. Rumah berpagar cat 

putih, rumah Ibu Renata. Boma sengaja 

tidak menyusuri tepi jalan di mana 

rumah terletak, tapi menyeberang ke 

sisi jalan yang lain.

Menjelang Boma akan sampai ke 

rumah nomor 14 itu dari ujung jalan 

tiba-tiba sebuah Honda Bebek meluncur 

dan berhenti tepat di pintu pagar cat 

putih. Boma cepat menyelinap ke balik 

sebuah bedeng PU. Dia sering mendengar 

dan mengenali betul suara motor itu. 

Ketika dia memperhatikan dari balik 

sudut dinding bedeng, dugaannya tidak 

salah.

Guru Olah raga Pak Sanyoto 

mematikan mesin motor, memarkir 

kendaraannya dekat pintu pagar lalu 

menekan bel. Bel itu agak tersembunyi 

di balik tembok pagar. Tapi Pak 

Sanyoto tahu tempatnya. Pertanda dia 

sudah pernah ke rumah itu sebelumnya. 

Guru Olah Raga ini turun dari

kendaraannya sambil menenteng satu 

kantong plastik.

"Sial, gua keduluan," kata Boma 

dalam hati. Dia berpikir lebih baik 

segera pulang saja. Tapi kalau dia 

keluar dari balik bedeng itu sekarang, 

mungkin Pak Sanyoto melihatnya. Boma 

memutuskan menunggu.


Pintu garasi rumah terbuka. 

Seorang perempuan berkebaya lusuh 

keluar. Siti, pembantu yang 

diceritakan Ronny, yang sudah bekerja 

di rumah Ibu Renata hampir empat 

tahun.

"Mbok, Ibu Renata ada?" Pak 

Sanyoto menyapa.

"Bapak dari mana?"

"Saya Sanyoto, saya dan Ibu 

Renata sama-sama ngajar di Nusantara 

III."

"Ooh, Ibu ada tapi sedang tidur. 

Masih sakit."

"Bisa saya ketemu sebentar?"

"Bapak masuk dulu. Silakan duduk 

di teras. Saya beri tahu Ibu."

Sanyoto mengucapkan terima kasih 

lalu naik ke teras rumah dan duduk di 

kursi yang ada di situ. Tak lama 

kemudian pembantu tadi keluar kembali.

"Aduh maaf, Pak. Ibunya masih 

tidur. Saya nggak berani ngebangunin."

"Sakitnya Ibu bagaimana?"

"Sekarang sudah jauh mendingan. 

Tapi sesekali panasnya suka naik."

"Sudah ke dokter?"

"Sudah dua kali, Pak."

"Barangkali, saya bisa menunggu 

di sini sampai Ibu bangun?"

"Boleh saja. Tapi kasian kalau 

Bapak nanti nunggunya lama."

Sanyoto merasa tidak senang 

dengan jawaban pembantu itu. Sang


pembantu juga merasakan. Maka Siti 

berkata. "Atau mungkin Bapak datang 

lagi nanti malam. Sekitar jam setengah 

tujuh?"

Sanyoto memperhatikan arloji di 

lengan kirinya. Saat ilu baru jam 4.55 

sore. Di dalam rumah dia tnendengar 

suara kran mengucur di kamar mandi. 

Tadi waktu dia baru datang suara itu 

tidak ada. Berarti ada seseorang baru 

masuk ke kamar mandi dan menghidupkan 

kran air.

"Mbok, di rumah sini yang tinggal 

siapa saja?" tanya Sanyoto.

"Cuma Ibu Renata dan saya," jawab 

si pembantu.

"Berarti di kamar mandi, yang 

barusan membuka kran air adalah Ibu 

Renata." Otak Guru Olah Raga itu 

bekerja.

Merasa dibohongi Sanyoto menjadi 

mengkal. Dia berkata.

"Saya ada keperluan lain nanti 

malam. Sebetulnya kalau saya menunggu 

saja, biar lama nggak apa-apa."

Si pembantu tidak memberikan 

jawaban. Sanyoto merasa tambah tidak 

enak, tambah kesal. Ibu Renata jelas 

tidak sedang tidur. Perempuan itu 

tidak mau menemui dia lalu menyuruh 

pembantunya mengatakan bahwa dia 

sedang tidur.

"Kalau saya tidak boleh menunggu, 

ya sudah Mbok." Kata Sanyoto pula.


Bungkusan yang dipegangnya diletakkan 

di meja. "Tolong sampaikan ini sama

Ibu Renata. Salam dari saya Pak 

Sanyoto." 

"Isinya apa Pak?"

"Anggur," jawab Sanyoto kesal. 

Dia merasa tidak sopan seorang 

pembantu ingin tahu apa isi bingkisan 

yang diberikan orang untuk majikannya. 

Ini membuat Guru Olah Raga itu semakin 

kesal.

Suara deru Honda Bebek yang 

dikemudikan Sanyoto lenyap di tikungan 

jalan. Mbok Siti tengah menutup pintu 

pagar ketika dia melihat ada seorang 

anak laki-laki menyeberangi jalan, 

mendatangi. Ketika dia mengangkat 

kepala, anak itu sudah berdiri di 

hadapannya. Begitu melihat wajah si 

anak, air muka sang pembantu jadi 

berubah. Mulutnya ternganga. Bola mata 

membesar. Dia seperti kaget.

"Bapak...." Suara Mbok Siti 

seperti tercekik.

Seumur hidup baru sekali itu Boma 

Tri Sumitro dipanggil Bapak. Untuk 

beberapa lamanya ke dua orang itu 

berdiri saling pandang.

"Maafkan saya, Anak mau cari 

siapa?" Mbok Siti akhirnya keluarkan 

ucapan tapi sepasang matanya masih 

terus mengawasi anak laki-laki di 

depannya dan air mukanya tetap berubah 

seperti tadi.


"Saya mau ketemu Ibu Renata. Saya

murid Ibu di SMU Nusantara III." 

"Nama Anak siapa?" 

"Saya Boma."

Untuk kedua kalinya Boma melihat 

perempuan di depannya terkejut. Boma 

jadi tidak enak tapi dia tidak mau 

bertanya.

"Nama Anak siapa?" Mbok Siti 

bertanya sekali lagi.

"Boma," jawab Boma. Dalam hati 

dia berkata. "Budek kali ini orang." 

"Boma?"

Boma mengangguk.

Tiba-tiba Mbok Siti membuka pintu 

pagar cepat-cepat.

"Nak Boma.... Nak Boma...."

"Ada apa Mbok?" Tanya Boma heran.

"Masuk, masuk dulu. Nanti saya 

beri tau Ibu."

Pembantu memegang lengan Boma 

lalu membawa anak itu ke teras. Dengan 

suara agak perlahan dia berkata.

"Waktu sakit, Ibu Renata sering 

ngigau nyebut-nyebut nama situ. 

Boma... Boma... Boma."

Boma menowel hidungnya. Dalam 

hati anak ini berkata. "Ronny nggak 

cerita bohong."

"Duduk Nak Boma, duduk. Saya beri 

tau Ibu," kata Mbok Siti.

Belum sempat pembantu ini 

melangkah masuk ke dalam tiba-tiba 

sebuah sepeda motor berhenti di depan


pintu pagar dengan mengeluarkan suara 

berdenyit, pertanda pengemudinya 

menginjak pedal rem dalam-dalam. 

Sekaligus pertanda bahwa si pengemudi 

diselimuti emosi tinggi.

Mbok Siti dan Boma berpaling. 

Keduanya sama-sama terkejut. Pak 

Sanyoto! Tanpa metnatikan mesin motor 

Honda Bebek lelaki itu turun dari

kendaraan, langsung menuju teras 

rumah.

Sesuatu telah terjadi. Entah 

mengapa tadi setelah sesaat meluncur 

di atas motor meninggalkan rumah Ibu 

Renata, lelaki itu berpaling ke 

belakang. Tak sengaja dia melihat 

seorang anak laki-laki sedang 

menyeberang jalan menuju rumah Ibu 

Renata. Walau agak jauh tapi matanya 

cukup awas untuk melihat dan mengenali 

siapa anak itu.

"Mbok, kamu 'kan cuma pembantu. 

Tapi beraninya ngebohongin saya!" 

Sanyoto membentak. 

Mbok Siti kelihatan pucat pasi 

wajah tuanya. 

"Kembalikan bungkusan itu. Saya 

keliru ngasih!" Sanyoto menunjuk pada 

bungkusan plastik berisi anggur.

Dengan tangan gemetar Mbok Siti 

mengambil bungkusan anggur di atas 

meja lalu menyerahkannya pada Pak 

Sanyoto. Setengah merenggut lelaki itu


mengambil bungkusan. Sebelum pergi dia 

memandang ke arah Boma.

"Selamat sore Pak," Boma memberi 

salam. 

Sanyoto diam saja. Mukanya masam 

sekali. Cepat-cepat dia kembali ke 

motor yang mesinnya sengaja dibiarkan 

hidup. Tiba-tiba lelaki ini berlaku 

aneh. Bungkusan berisi anggur itu 

dibantingkannya ke aspal. Belum puas, 

bungkusan digilasnya dengan roda 

motor.

Mbok Siti masih tertegun sesaat 

melihat kejadian itu.

"Sayang, anggur dalam plastik 

digilas" seperti itu. Harganya pasti 

mahal. Kalau nggak mau ngasih Ibu 

Renata, ya disedekahkan pada orang 

miskin lebih baik." Mbok Siti 

keluarkan ucapan. Lalu dia berpaling 

pada Boma.

"Kok Pak Sanyoto bisa marah 

seperti itu Mbok?"

"Mungkin dia tahu saya bohongin. 

Bilang Ibu Rena masih tidur. Jadi dia 

marah. Habis, saya mau gimana. Wong 

Ibu Renata sendiri yang selalu bilang 

sama saya. Kalau ada tilpon dari orang 

yang namanya Pak Sanyoto bilang dia 

lagi tidur. Malah kalau orangnya 

sampai datang, bilang dia masih tidur. 

Saya 'kan cuma ikut apa majikan suruh. 

Wong namanya pembantu. Iyya toh?"


"Kalau saya nggak dipesanin kayak 

gitu Mbok? Kalau ada anak namanya Boma 

datang, bilang Ibu lagi tidur?"

Mbok Siti tertawa sambil 

gelengkan kepala. "Nak Boma, tunggu di 

sini. Saya beri tau Ibu." Boma 

mengangguk. Dalam duduk menunggu dia 

berpikir-pikir, perlakuan apa lagi 

kelak yang bakal diterimanya dari Pak 

Sanyoto. Jelas Guru Olah Raga itu akan 

bertambah benci padanya setelah 

melihat kehadirannya di rumah Ibu 

Renata. Tambah marah lagi karena dia 

tidak diterima Ibu Renata. Sebaliknya 

Boma yang datang kemudian 

diperbolehkan masuk menemui Guru 

Bahasa Inggris itu.

"Pasti gawat. Pasti aku bakal 

jadi bahan inceran pelampiasan 

kemarahan. Keliling seputar lapangan 

sampai tiga kali udah. Angka empat 

dalam Rapor udah. Apa lagi?"

Tak lama kemudian Mbok Siti 

muncul di teras.Dia melambaikan tangan 

pada Boma.

"Ayo masuk. Ibu Renata barusan

dari kamar mandi. Sekarang menunggu di 

kamar."

Boma masuk. Di ruang tamu dia 

berhenti.

"Saya tunggu di sini saja Mbok."

"Ibu Renata belum boleh jalan 

keluar kamar. Lebih banyak berbaring


di tempat tidur. Soalnya belum sembuh 

benar."

Boma tampak bimbang. Kikuk.

"Ibu Renata yang bilang. Ibu 

Renata yang suruh agar Nak Boma dibawa 

ke kamar."

"Mbok, apa Ibu kalau sakit biasa 

nerima tamu di kamar?"

"Nggak semua tamu. Biasanya teman 

dekat, atau masih keluarga."

"Mbok, tadi Mbok manggil saya 

Bapak. Kenapa?"

"Anu.... Ala, jangan biarkan Ibu 

menunggu lama. Nanti saya yang kena 

marah. Ayo masuk. Mari saya anter 

sampai ke pintu."

Boma masih bimbang. Masih berdiri 

tak bergerak di ruang tamu itu. Mbok 

Siti menarik lengan anak lelaki ini, 

membawanya ke kamar yang pintunya

terbuka.

"Masuk...." bisik si pembantu 

sambil mendorong perlahan punggung 

anak lelaki itu.

Ibu Renata terbaring pucat tanpa 

make-up di atas tempat tidur. Tubuhnya 

yang agak kurusan mengenakan piyama 

warna biru muda. Kepalanya dialasi dua 

buah bantal agar tinggi. Sepasang 

matanya menatap ke arah Boma. 

Pandangan mata yang seolah tidak 

percaya kalau saat itu dia benar-benar 

melihat Boma berdiri di ambang pintu 

kamar. Kalau dia punya kekuatan untuk


bangkit serta keberanian untuk 

melakukan, saat itu ingin sekali dia 

bangkit dari tempat tidur dan memeluk 

anak lelaki itu.

Boma balas menatap. Untuk 

beberapa saat lamanya sepasang mata 

guru dan murid itu saling bertemu. 

Boma melihat mata Ibu Renata masih 

bening dan bagus, hanya saja telah 

kehilangan cahayanya yang selama ini 

sangat mempesona. Boma tidak tahu 

harus berkata apa, mau menyapa 

bagaimana. Akhirnya dia mengucapkan: 

"Selamat sore Ibu Rena."

"Boma...." Suara Ibu Renata 

perlahan sekali. Dia menunjuk pada 

kursi di samping tempat tidur.

Boma duduk di kursi itu. Ibu 

Renata masih menatapi wajahnya. Boma 

sendiri saat itu tidak lagi memandangi 

Ibu Renata. Sepasang matanya terpaku 

pada sebuah potret besar yang 

tergantung di dinding, di atas kepala 

tempat tidur. Potret seorang lelaki 

muda jangkung, rambut crew cut, 

mengenakan pakaian pilot dengan latar 

belakang sebuah helikopter besar.

Boma seperti melihat dirinya 

sendiri dalam potret itu. Aneh, 

mengapa wajah dan potongan rambut 

orang dalam potret bisa sama dengan

dirinya. Lama Boma memandangi potret 

itu. Sampai akhirnya Ibu Renata 

memecah kesunyian dalam kamar.


Suaranya perlahan tapi jelas terdengar 

di telinga Boma.

"Itu potret Sandro. Suami 

saya...."

Mendengar ucapan Ibu Renata baru 

Boma mengalihkan pandangannya dari 

potret ke wajah Ibu Renata.

"Suami Ibu? Saya mengira...."

"Mengira apa?"

"Saya mengira Ibu belum kawin," 

kata Boma polos.

Guru Bahasa Inggris itu menatap 

wajah Boma sebentar lalu tertawa. 

Tertawa membuat wajahnya menjadi 

merah. Kecantikan dan cahaya pada 

matanya seolah kembali.

"Suami Ibu pilot?"

Ibu Renata mengangguk.

"Sekarang suami Ibu tugas di 

mana?"

"Dia sudah tidak ada. Sejak dua 

tahun lalu...."

"Maksud Ibu?"

"Panjang ceritanya Boma. Begitu 

panjang seolah tak ada akhir. Saya 

berusaha melupakan. Tapi tidak bisa. 

Kamu melihat wajah dalam potret itu?"

Boma mengangguk. Lalu berkata. 

"Saya merasa heran. Wajah dalam potret 

itu mirip wajah saya. Saya seolah 

melihat potret saya sendiri."

Ibu Renata tersenyum tapi dengan 

mata dipejamkan.


"Setiap saya melihat kamu, saya 

seolah melihat Sandro. Saya merasa 

bahagia dalam derita saya. Saya 

tertawa dalam tangis saya...."

Boma melihat ada butir air mata 

bening berkilat muncul di sudut kedua 

mata perempuan itu lalu meluncur jatuh 

ke pipi. Dada anak ini jadi sesak.

"Boma, saya pernah melakukan satu 

kesalahan besar padamu. Waktu kamu 

masuk tadi, saya masih melihat bekas 

tanda-tanda kekerasan di wajahmu. Saya 

merasa berdosa. Saya merasa seolah 

diri saya menyumpahi agar celaka. Apa 

lagi kemudian saya mendengar cerita 

dari Ronny. Bahwa kau sangat 

menghargai nama dan kehormatan diri 

saya. Bahwa kau tidak pernah ingin 

berbuat jahat terhadap saya. Saya 

merasa berdosa. Benar-benar berdosa."

Boma tidak tahu mau berkata apa. 

Dia duduk mematung di atas kursi. 

Hanya matanya yang bergerak memandang 

dari wajah sang guru ke potret di 

dinding.

"Boma, sakit saya adalah sebagian 

dari dosa yang harus saya tebus. Saya 

tahu kau menderita karena tekanan 

saya. Tapi ketahuilah, saya justru 

yang sangat menderita karena perbuatan 

saya sendiri."

"Ibu Rena, saya rasa Ibu tidak 

pernah berbuat salah apa-apa. Apa lagi 

sampai bilang berdosa. Saya...."


"Saya mengajakmu menonton bukan 

karena hasrat yang bukan-bukan. Tapi 

cerita dalam film itu banyak sekali 

kesamaannya dengan hidup saya. Saya 

pernah mengatakan padamu. Film itu 

menceritakan seorang pilot yang 

mengalami celaka; Pesawatnya jatuh di 

satu rimba belantara. Tiga tahun 

lamanya pilot itu berjuang agar bisa 

keluar dari rimba belantara yang 

ganas. Ketika berhasil dia menemui 

istrinya telah kawin dengan laki-laki 

lain."

Ibu Renata menutup matanya dengan 

tangan, isak tangisnya tak bisa 

dibendung. Boma bingung. Dia berharap 

agar Mbok Siti muncul saat itu. Di 

meja kecil di samping tempat tidur ada 

kotak tissu. Boma mengambil dan 

meletakkannya di tepi tempat tidur.

"Ibu Rena, suami Ibu. Apakah 

dia...."

Ibu Rena tahu apa yang hendak 

ditanyakan Boma. Dia mengambil sehelai 

tissu, menyeka ke dua matanya.

"Peristiwanya sekitar dua tahun 

lalu. Sandro dikontrak oleh satu 

perusahaan perkayuan di Kalimantan 

Tengah. Saat itu kami baru saja 

menikah selama dua bulan. Berita buruk 

itu datang dua hari setelah terjadi. 

Pesawat heli yang dipiloti Sandro 

jatuh di satu rimba belantara. Tapi 

sampai hari ini bangkai pesawat


ataupun jenazah Sandro tidak pernah 

ditemui."

Kepala Boma tertunduk. Kini dia 

yang merasa bersalah menolak ajakan 

Ibu Renata untuk menemaninya menonton. 

Untuk pertama kalinya anak ini 

menggerakkan tangan menowel hidungnya.

"Dua tahun, saya tidak 

mengharapkan lagi Sandro akan kembali. 

Saya sering mimpi. Dia muncul dalam 

pakaian pilot. Berteriak bahwa dia 

masih hidup. Berteriak agar saya 

menunggunya. Saya tidak mempunyai 

keyakinan bahwa dia masih hidup. Kalau 

saya harus menunggu, sampai berapa 

tahun saya harus melakukan hal itu? 

Ketika saya pertama kali mengajar di 

Nusantara III, ketika saya pertama 

kali melihat kamu, saya merasa Sandro 

seolah-olah hidup kembali. Wajahmu, 

cara kamu berjalan, tertawamu, sama 

seperti dia. Saya ingin sekali 

mendekatimu, bersamamu. Tapi kita 

berada di dua tempat yang dipisah oleh 

pagar bernama ketidak mungkinan. 

Ketika saya berusaha melompati pagar 

itu, mengajakmu menonton, pagar itu 

bukan saja roboh, tapi malapetaka 

datang atas diri kita berdua. 

Saya...."

Makin banyak Ibu Renata bicara

semakin sesak rasanya dada Boma.

"Ibu Rena, Ibu masih sakit. 

Jangan dulu bicara banyak."


"Boma, saya ingin mengeluarkan 

semua apa yang saya rasa. Kamu mungkin 

mentertawakan saya. Tapi saya tidak 

perlu merasa malu. Saya tidak mau 

memendam rasa menjadi penyakit yang 

sulit disembuhkan, menjadi penyakit 

yang akan makan diri saya sendiri. 

Saya sudah cukup menderita terbaring 

selama satu minggu di atas tempat 

tidur ini. Dokter mengatakan saya kena 

flu. Ada juga yang mengatakan saya 

terserang gejala tipus. Apa pun 

penyakit saya hanya saya sendiri yang 

tahu. Saya bersyukur, sangat bersyukur 

kamu mau datang melihat saya. Sebagian 

dari penyakit saya rasanya hilang 

setelah melihat kehadiranmu. Saya.... 

Boma, kalau saja saya bisa 

memelukmu...."

Ibu Renata tidak meneruskan 

ucapannya. Dia tiba-tiba sadar kalau 

dia telah bicara terlalu banyak dan 

terlalu jauh. Dia hanya menunjukkan 

kelemahannya sendiri. Dia merasa malu. 

Isaknya tenggelam di dalam bantal di 

mana dia kemudian membenamkan 

wajahnya.

Boma berdiri dari kursi. Lama dia 

tegak memandangi tubuh yang 

menelungkup di alas tempat tidur itu. 

Perlahan-lahan dia memberanikan diri 

duduk di tepi tempat tidur. Sesaat dia 

me mandang potret besar di dinding.

Hatinya berdoa. Semoga Sandro suami


Ibu Renata masih hidup. Semoga Ibu 

Renata bisa bertemu kembali dengan 

dia.

Duduk di tepi tempat tidur Boma 

tidak tahu mau berbuat apa. Keluar 

dari kamar? Meninggalkan perempuan itu 

begitu saja?

"Ibu Renata, jangan nangis Bu," 

ucap Boma perlahan.

Tangis Ibu Renata malah tambah 

keras. Boma jadi semakin bingung. 

Entah bagaimana mendadak ada 

keberanian dalam diri anak ini. 

Disentuhnya punggung Ibu Renata, 

diusapnya seraya berkata berulang 

kali. "Ibu, jangan nangis terus. Saya 

bingung Bu."

Tubuh yang menelungkup itu tiba-

tiba berbalik. Boma menarik tangannya 

sebelum dia tak sengaja menyentuh dada 

Ibu Renata. Namun tangan Ibu Renata 

bergerak lebih dahulu memegang tangan 

anak lelaki itu. Seperti bergayut di 

tali pengharapan Ibu Renata pergunakan 

tangan itu untuk bersigantung bangkit 

dari tempat tidur. Tapi tubuhnya 

oleng. Sebelum dia jatuh kembali ke 

atas tempat tidur, Boma cepat 

merangkul sosok Ibu Renata.

"Boma...." Ibu Renata membenamkan 

wajahnya di dada anak lelaki itu. 

Tidak sengaja keningnya menekan Batu 

Penyusup Batin yang ada di bawah


tulang belikat kanan Boma sampai dua 

kali.

"Boma...." Ibu Renata angkat 

wajahnya dari dada Boma. Saat itu 

ingin sekali dia melihat wajah Boma, 

memegang wajah itu dengan ke dua 

tangannya. Namun perempuan ini tiba-

tiba menjerit keras. Tangannya masih 

merangkul. Dia masih merasa menyentuh 

tubuh Boma. Tapi sosok anak itu sama 

sekali tidak kelihatan.

"Ibu Renata...."

Ada suara tapi ujud orangnya 

tidak kelihatan. Untuk ke dua kalinya 

Ibu Renata menjerit.

"Boma, kau di mana?!"

Wajah Ibu Renata menunjukkan rasa 

takut amat sangat. Dia lepaskan 

rangkulannya. Perempuan ini beringsut 

pucat ke kepala tempat tidur.

"Boma?"

"Saya di sini Bu," jawab Boma. 

Tiba-tiba dia sadar. "Astaga, jangan-

jangan. Pasti ada kesalahan teknis!" 

Cepat Boma ucap benjolan di bahu 

kanannya. Saat itu juga sosoknya 

muncul kembali di ha-dapan Ibu Renata, 

masih duduk di tepi tempat tidur.

"Boma, bagaimana mungkin? Tadi 

kau... tadi kau lenyap. Lalu...."

Boma menowel hidungnya. Lalu 

tersenyum.

"Tadi saya melompati pagar yang 

Ibu sebut sebagai pagar ketidak


mungkinan itu. Sekarang kita berada di 

sisi yang sama. Rasanya semua kini 

menjadi mungkin."

"Boma...?" Sepasang mata Ibu 

Renata membesar, memandang tak 

berkesip mendengar ucapan Boma.

Tiba-tiba perempuan ini terisak 

keras. Ketika gerungan itu berubah 

menjadi tangis keras Boma telah 

mendekap Ibu Renata erat-erat ke dada 

kirinya, tak berada di dada kanan. 

Takut Batu Penyusup Batin akan 

tersentuh kembali. Takut kesalahan 

teknis terulang lagi.

"Ibu, Ibu Renata, jangan 

nangis...." Boma coba membujuk.

"Tidak, saya akan menangis sepuas 

hati saya." Jawab Ibu Renata.

"Sampai pagi?" ujar Boma.

Satu cubitan menyengat di

pinggang Boma, membuat anak ini 

tersentak kesakitan. Ibu Renata 

menarik kepalanya dari dada Boma.

"Ada apa?"

"Ibu nyubit saya?"

"Kau aneh. Dalam keadaan seperti 

ini masih bisa bergurau. Saya tidak 

mencubit."

Tiba-tiba mengiang suara tawa 

cekikikan di telinga Boma. Anak ini 

berpaling ke pintu. Semula disangkanya 

yang tegak di ambang pintu Mbok Siti. 

Ternyata sosok nenek berkulit hitam


yang kepalanya ditancapi lima tusuk 

konde perak itu.

Melihat Boma memandang ke arahnya 

nenek ini angguk-anggukkan kepala 

sambil acung-acungkan jempol dengan 

tangan kanannya.

"Nenek konyol. Pasti tadi dia 

yang nyubit pinggang gua!" gerutu Boma 

dalam hati.


                     TAMAT



SEGERA TERBIT BUKU BERIKUTNYA :


TOPAN DI BOROBUDUR






Share:

0 comments:

Posting Komentar