..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 24 November 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE RATU PENGGODA SILUMAN MUKA AYU

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 RATU PENGGODA SILUMAN MUKA AYU


Oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1990

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Gambar Sampul oleh

oleh: Trias Typesetting

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seliiruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman 

Darah dalam episode:

Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu 

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Seorang lelaki tua tampak tengah 

duduk bersila, di hadapannya duduk 

seorang pemuda. Mereka tampaknya 

tengah membicarakan sesuatu hal.

Sesekali nafas lelaki tua itu 

memburu, sepertinya dalam hati orang 

tua itu ada ganjelan yang memendam. 

Pemuda yang duduk di hadapannya tampak 

hanya menundukkan muka, tak banyak 

bicara.

Sesaat setelah lama terdiam, 

lelaki tua itu pun tampak memulai 

berkata: "Lima puluh tahun yang lalu, 

di kaki gunung Slamet ada sepasang 

pendekar suami istri. Keduanya 

merupakan pendekar-pendekar kelas 

wahid, yang disegani kawan maupun 

lawan."

"Hai! Untuk apa Ki Perwana 

menceritakan kejadian lima puluh tahun 

yang silam? Bukankah aku diundang ke 

mari untuk membicarakan sesuatu masa-

lah?" tanya pemuda yang duduk di 

hadapan Ki Perwana, yang tersenyum 

demi mendengar pertanyaan pemuda itu.

"Benar, Jaka! Sengaja aku men-

ceritakan kejadian lima puluh tahun 

yang silam, yang memang ada kaitan nya

dengan apa yang akan kita bicarakan."

Mengerut kening Jaka, demi 

mendengar ucapan Ki Perwana. "Untuk 

apa?"


Tersenyum Ki Perwana kembali, 

mendengar pertanyaan Jaka yang hanya 

terbengong-bengong melihat Ki Perwana 

tersenyum. Hingga karena tak mengerti 

akan apa yang disenyumi Ki Perwana, 

Jaka kembali bertanya.

"Kenapa paman tersenyum? Adakah 

aku telah membuat sebuah pertanyaan 

yang sangat lucu?"

"Tidak begitu, Jaka. Sebenarnya 

pertanyaanmu bagus. Aku tersenyum 

bukan karena pertanyaanmu. Namun aku 

tersenyum melihat kau begitu terkejut 

mendengar cerita ku. Perlu kau ingat, 

Jaka!" 

"Tentang apa itu, Paman?" 

"Sebenarnya cerita ku ada kaitan 

nya dengan apa yang nantinya akan aku 

minta tolong padamu," tandas Ki 

Perwana hingga membuat Jaka hanya 

manggut-manggut, tanpa banyak berkata-

kata lagi.

Demi melihat Jaka atau Pendekar 

Pedang Siluman terdiam, Ki Perwana pun 

segera meneruskan ceritanya.

Di sebuah desa yang berada di 

kaki gunung Slamet, lima puluh tahun 

yang lalu. Tersebut lah sepasang 

pendekar suami-istri. Mereka merupakan 

pendekar-pendekar kelas wahid. Dise-

gani baik lawan, maupun kawan. Kedua 

suami istri itu mempunyai ilmu kedig-

dayaan yang tinggi. Sang suami bernama 

Ki Jagalaya, sedang yang istri bernama


Dewi Kalandasan.

Sudah menjadi kebiasaan semua 

pendekar-pendekar persilatan. Kedua 

suami istri itu pun, suka mengadakan 

petualangan-petualangan guna menambah 

pengalaman.

Kedua pendekar suami-istri itu 

adalah murid-murid seorang tokoh 

persilatan, yang namanya telah kondang 

di masa itu. Guru mereka adalah, Ki 

Tapak Waringin.

Karena keduanya sukar untuk 

dipisahkan, maka Ki Tapak Waringin pun 

menjodohkan keduanya, menjadi sepasang 

suami istri. Setelah kedua pendekar 

itu menyatu, makin bertambah pula 

kekuatannya. Dengan senjata yang 

mereka miliki, yaitu Tri Sula Sakti 

lengkaplah apa yang dimiliki oleh 

kedua pendekar itu.

Kecantikan Dewi Kalandasan yang 

tiada cacat cela nya, telah mengundang 

Tumenggung Tambak Yasa tergila-gila. 

Dengan mengutus prajurit-prajuritnya, 

Tumenggung Tambak Yasa bermaksud 

meminta Dewi Kalandasan dari tangan 

Jagalaya untuk dijadikan istrinya.

Hal membuat Jagalaya seakan 

diinjak-injak martabat dan harga 

dirinya. Maka dengan berani, Jagalaya 

menentang tindakan Tumenggung seraya 

berkata pada prajurit-prajurit utusan 

Tumenggung

"Sampaikan pada Tumenggung mu!


Jangan karena dia menjadi Tumenggung, 

lalu hendak semena-mena! Istriku 

adalah harga diriku, yang harus aku 

pertahankan walau dengan nyawaku!"

Mendengar ucapan Jagalaya yang 

dirasa menentang Tumenggung nya. Salah 

satu prajurit yang menjadi pimpinan, 

marah dan berkata:

"Jagalaya! Tumenggung telah mem-

berikan kehormatan padamu. Tapi rupa-

nya kau malah menghina dan menentang. 

Jangan salahkan kalau nantinya ber-

akibat tak baik bagimu!" Habis berkata 

begitu, pimpinan prajurit pun segera 

mengajak anak buahnya pergi mening-

galkan Jagalaya yang hanya terbengong-

bengong tak mengerti apa yang men-

jadikan Tumenggung hendak berbuat 

gila.

Tercenung Jagalaya setelah keper-

gian lima prajurit Ketemenggungan. 

Hatinya bimbang, dan bertanya-tanya: 

"Mengapa Tumenggung Tambak Yasa hendak 

mengambil istriku? Apakah sudah sede-

mikian buruknya watak dan kepribadian 

Tumenggung? Kalau memang benar apa 

yang akan dikatakan pimpinan prajurit 

itu, celakalah aku ini. Tapi masalah 

harga diri, apapun resikonya, aku 

harus dapat menghalangi niat buruk 

Tumenggung gila itu!"

Ketika Jagalaya tengah dilanda 

kebimbangan, Dewi Kalandasan istrinya 

datang menghampiri sembari bertanya.


"Ada apakah, Kakang? Tampaknya 

Kakang tengah memikirkan sesuatu. 

Kalau boleh dinda mengetahui, gerangan 

apakah yang tengah menjadi buah 

pikiran Kakang?"

Tersentak Jagalaya seketika, yang 

tak menyangka kalau istrinya telah 

hadir di situ dan mengajukan per-

tanyaan secara tiba-tiba. Maka dengan 

masih terkejut, Jagalaya segera 

menceritakan akan apa yang tengah 

dipikirkannya.

"Demikianlah, Di Ajeng! Aku 

bingung. Apakah mungkin seorang istri 

diberikan pada orang lain?"

Dewi Kalandasan sesaat tercenung 

diam, demi mendengar ucapan sang 

suami. Ditatapnya wajah Jagalaya yang 

tampak murung. Sesaat kemudian, Dewi 

Kalandasan tampak tersenyum.

"Kakang, bolehkah aku berpen-

dapat?" 

"Apakah itu, Di Ajeng?" tanya 

Jagalaya. 

"Kakang Mas Jagalaya, kalau 

menurut dinda, maka lebih baik Kakang 

mengabulkan permintaan Kanjeng 

Tumenggung..."

"Gila! Apa kau tidak berpikir 

bagaimana nanti orang-orang persilatan 

akan membicarakan dan menjelekkan 

namaku! Di mana harga diriku?!" Ter-

sentak Jagalaya mendengar penuturan 

dan saran istrinya. Hingga membuat


Jagalaya marah. Merasa saran istrinya, 

adalah suatu saran yang makin 

menjerumuskan.

Dewi Kalandasan bukannya takut 

mendengar bentakan suaminya, bahkan 

dengan tersenyum bagaikan tak bersalah 

ia kembali berkata.

"Kakang jangan marah dulu. 

Dengarkan pendapatku, hingga aku 

selesai. Kalau nanti dirasa oleh 

Kakang kurang baik, Kakang boleh 

menolaknya"

Semarah apapun Jagalaya saat itu, 

dirayu dengan senyuman maut Dewi 

Kalandasan seketika hilang lah

marahnya dan berubah menjadi senyum 

yang mengulas di bibir.

"Maafkan Kakang, Di Ajeng! Kakang 

marah karena terlalu cintanya pada Di 

Ajeng. Kakang takut Di Ajeng pergi 

meninggalkan Kakang. Apalah jadinya 

kalau Di Ajeng meninggalkan Kakang, 

yang sangat mencintai dan mengasihi Di 

Ajeng. Sekarang katakanlah, apa yang 

menjadi saran Di Ajeng."

Makin melebar senyum di bibir 

Dewi Kalandasan, mendengar ucapan sang 

suami. Dengan melendotkan badan pada 

tubuh suaminya, Dewi Kalandasan 

kembali berkata:

"Kakang mas! Kalau Kakang mas 

menghendaki perubahan status, maka 

hendaklah Kakang mas mau mengabulkan 

permintaan Tumenggung."


Terbelalak mata Jagalaya, demi 

mendengar ucapan istrinya. Hampir saja 

ia bangkit dari duduknya, kalau saja 

sang istri tidak segera mencegah.

"Tenang dulu, Kakang. Bukankah 

dinda belum selesai bicara?"

"Tapi apa yang menjadi saran Di 

Ajeng itu, bagi Kakang merupakan 

tindakan gila! Bagaimana mungkin! 

Kalau Di Ajeng Kakang serahkan pada 

Tumenggung, apalah akibat yang akan 

Kakang terima. Bagaimana pula tang-

gapan dari tokoh-tokoh persilatan, 

juga tanggapan dari guru? Semua akan 

akan menyalahkan Kakang yang tak mampu 

mempertahankan kewajibannya. Semua 

akan menganggap Kakang terlalu 

mengalah pada penguasa. Tidak, Di 

Ajeng!"

Kemarahan Jagalaya bukannya men-

jadikan Dewi Kalandasan takut, maupun 

mengalah. Bahkan dengan tersenyum-

senyum, Dewi Kalandasan kembali 

berkata:

"Kakang, aku tahu perasaan 

Kakang. Seperti juga perasaanku pada 

Kakang. Aku merasa takut kehilangan 

Kakang. Namun, saran ku itu hanya 

bersifat sementara. Apabila kita telah 

dapat mengambil hati Tumenggung, maka 

kita akan mudah untuk mempengaruhinya. 

Aku bermaksud agar Kakang nantinya 

dapat menguasai Ketemenggungan. Bu-

kankah itu akan menjadikan kehormatan


bagi kita, Kakang?"

Terdiam Jagalaya mendengar kata-

kata istrinya. Pikirannya seketika 

terbang melayang, bertanya-tanya dan 

menimbang-nimbang. Setelah sesaat 

terdiam, Jagalaya tampak tersenyum.

"Hm... Kau pintar Di Ajeng. Tapi 

apakah hal itu akan mudah kita 

laksanakan? Tidakkah kau berpikir apa 

akibatnya? Aku takut nanti kita 

sendiri yang susah."

"Menurut Kakang?"

Ditariknya nafas panjang-panjang 

oleh Jagalaya, sebelum dia kembali 

berkata menerangkan.

"Di Ajeng, memang kita nanti 

mampu menguasai Ketemenggungan. Namun, 

apakah massa tidak akan menilai kita? 

Apakah semudah itu kita menutup 

telinga? Susah Di Ajeng."

Dewi Kalandasan tersenyum kem-

bali, bukan memikir mendengar ucapan 

suaminya. Sepertinya ucapan sang 

suami, hanyalah kata-kata kiasan yang 

tak ada arti sama sekali. Sepertinya 

ia telah memprogram apa yang bakalan 

terjadi. Maka dengan masih bergayut di 

pundak sang suami, Dewi Kalandasan 

kembali berkata:

"Kakang, bagiku hal itu mudah." 

"Mudah...? Bagaimana kau bisa 

bilang mudah, Di Ajeng?" tanya 

Jagalaya mengernyitkan dahi, tak 

memahami kata-kata yang diucapkan oleh


istrinya. Makin melebar senyum Dewi 

Kalandasan, mendengar suaminya ber-

kata. Lalu dengan melepaskan rang-

kulannya dari pundak Jagalaya dan 

melangkah meninggalkannya, Dewi Kalan-

dasan pun berkata menerangkan maksud-

nya.

"Kakang mas... kalau Tumenggung 

telah kita kuasai hatinya, segala 

sesuatunya akan mudah untuk kita 

lakukan. Pertama, kita akan meman-

faatkan dirinya sebagai perisai kita. 

Kedua, kita akan memanfaatkan dirinya 

sebagai boneka kita. Sedang perjala-

nannya, adalah diri kita. Bukankah hal 

itu akan lebih baik? Orang tak akan 

mengetahui kalau sebenarnya kitalah 

yang menjalankan Pemerintahan, karena 

Tumenggung masih duduk di kursinya. 

Kita juga dapat menjaga nama baik 

kita, karena ada Tumenggung yang 

sebenarnya telah kita kuasai. 

Bagaimana, Kakang mas?"

Diangguk-anggukkan kepala seperti 

mengerti dan memahami kata-kata 

istrinya. Hati Jagalaya bangga, men-

dengar ucapan istrinya yang terasa 

bagaikan penyebar semangat.

"Cek, cek, cek! Sungguh tidak 

kusangka, kalau Di Ajeng mempunyai 

pikiran yang pintar. Kalau memang itu 

yang Di Ajeng kehendaki, maka demi 

rasa sayang kanda menyetujui nya."

"Terima kasih, Kanda! Nah...


nanti kalau Tumenggung datang ke mari, 

bilang saja kalau aku mau dengannya. 

Aku mohon, hanya kita berdua saja yang 

mengetahuinya."

Tertawa tergelak-gelak kedua 

suami istri itu, setelah keduanya 

mencapai kesepakatan. Lalu dengan 

bergelak tawa, keduanya pun segera 

masuk ke dalam kamar.



DUA



Keesokan harinya tampak sepuluh 

prajurit Ketemenggungan, menuju ke 

arah kediaman Jagalaya. Jagalaya yang 

telah mengerti akan apa yang bakal

dilakukan oleh kesepuluh prajurit itu, 

dengan segera menemui mereka sebelum 

tiba.

"Selamat datang prajurit-prajurit 

Ketemenggungan! Apa kabar dengan 

Kanjeng Tumenggung Tambak Yasa?"

Kesepuluh prajurit itu seketika 

saling pandang, mendengar sapaan ramah 

dari Jagalaya yang lain dengan hari 

kemarin.

"Apakah ini suatu taktik mu saja, 

Jagalaya? kau bermaksud menjebak 

kami?" tanya ketua prajurit masih 

penuh selidik.

Jagalaya tersenyum demi mendengar 

ucapan ketua prajurit. Lalu dengan 

menjura hormat, Jagalaya berkata.


"Bagiku, tak ada jebak-jebakan. Aku 

seorang persilatan, yang menjunjung 

tinggi sifat kesatriaan. Kalau kalian 

memandangku dari kejadian kemarin, 

sungguh kalian salah. Aku sengaja 

menghadang kalian bukan untuk bertem-

pur, namun untuk meneruskan masalah 

kemarin."

"Hem... apa kata-katamu dapat aku 

pegang, Jagalaya?"

Jagalaya seketika tertawa 

bergelak-gelak, mendengar pertanyaan 

ketua prajurit yang dirasakannya 

sangat khawatir. Dengan masih tertawa 

bergelak-gelak, Jagalaya kembali ber-

kata.

"Apakah pantas seorang prajurit 

yang gagah berani sepertimu meragukan 

itikad baik seseorang?"

"Ah! Rupanya kau pintar 

berdiplomasi, Jagalaya! Baiklah, 

memang sepantasnya aku harus memper-

cayai kata-katamu. Nah, apa yang 

hendak kau lakukan dengan menghadang 

kami?"

Untuk yang kesekian kalinya 

Jagalaya tertawa.

"Perlu kalian ketahui, aku 

menghadang kalian di sini, semata-mata 

ingin memberitahukan pada kalian 

tentang kabar yang gembira."

"Kabar gembira? Jangan bercanda, 

Jagalaya! Ingat, kami tidak segan-

segan memenggal kepalamu jika kau


dusta!" bentak kepala prajurit, 

menganggap Jagalaya hanya ingin mem-

permainkannya saja.

"Kalau kau ternyata berdusta, 

maka tak akan ada ampun lagi bagimu!"

"Baik! Kalau memang aku berdusta 

pada kalian, aku rela untuk kalian 

penggal kepalaku. Nah, dengarlah! Aku 

ingin memberikan istriku pada Tumeng-

gung. Sampaikan pada Tumenggung salam 

dariku."

Terbelalak kesepuluh prajurit 

Ketemenggungan demi mendengar hal yang 

tak terduga-duga oleh mereka. Maka 

dengan seketika, kesepuluh prajurit 

itu pun tertawa bergelak-gelak.

"Bagus-bagus! Itu memang jalan 

yang baik! Baiklah, aku akan segera 

menyampaikan pada Kanjeng Tumenggung. 

Persiapkan olehmu penyambutan."

"Akan aku persiapkan semuanya," 

kata Jagalaya dengan menjura hormat, 

yang disambut dengan senyum oleh 

kesepuluh prajurit Ketemenggungan.

Dengan segera, kesepuluh prajurit 

Ketemenggungan menghela kais kuda 

mereka. Di wajah-wajah mereka nampak 

kebahagiaan. Mereka memacu kuda dengan 

cepatnya, ingin segera menyampaikan 

berita gembira pada Kanjeng 

Tumenggung.

Sepeninggal kesepuluh prajurit 

Ketemenggungan, tampak Jagalaya ter-

cenung seperti tengah berpikir


sesuatu. Matanya menyipit sempit, 

keningnya berkerut, hatinya gundah dan 

bertanya-tanya. "Apakah semua dapat 

berjalan lancar? Apakah istriku tidak 

mendustai ku?"

Segera Jagalaya berkelebat 

meninggalkan tempat itu, kembali 

menuju rumah kediamannya.

Di ruang tengah tampak istrinya 

telah duduk dengan anggun menyambut 

kedatangannya dengan senyum dan 

bertanya.

"Bagaimana Kakang?"

"Sudah aku lakukan. Tapi aku 

ragu..." 

"Ragu? Ragu tentang apa, Kakang?" 

tanya Dewi Kalandasan sembari meng-

hampiri suaminya yang berdiri di 

ambang pintu.

Mata Jagalaya tampak memandang 

tajam pada istrinya. Jagalaya tak 

berkata barang sepatah pun, sepertinya 

ia enggan untuk mengatakannya. Hal itu 

membuat Dewi Kalandasan makin 

mendalamkan kerutan keningnya. Lalu 

dengan bibir terurai senyum, Dewi 

Kalandasan pun berucap: "Kakang ragu 

dengan niatku?"

"Ya!" jawab Jagalaya pendek.

"Mengapa Kakang mesti berpikir 

begitu?"

"Entahlah, Di Ajeng. Aku mendapat 

firasat, bahwa kita tak akan dapat 

menyatu kembali."


Makin tersentak kaget Dewi 

Kalandasan, mendengar kata-kata yang 

diucapkan suaminya. Hingga saking 

kagetnya sampai mulut sang Dewi 

melongo bengong. Mata sang Dewi terus 

memandang pada Jagalaya dengan 

berlinang. Sepertinya ia tak mengha-

rapkan ucapan itu keluar dari mulut 

sang suami. Dengan linangan air mata, 

Dewi Kalandasan memekik. "Tidak! 

Kakang jangan menakuti aku!"

"Aku tidak menakuti mu, Di 

Ajeng!"

"Kalau begitu Kakang tidak 

percaya padaku?" tanya Dewi Kalan-

dasan, sepertinya memelas membuat 

Jagalaya mau tak mau akhirnya luluh 

juga hatinya. Dan dengan perlahan 

setengah berbisik ia berkata.

"Aku percaya padamu, Di Ajeng. 

Namun kodrat tak mungkin kita tentang, 

karena itu merupakan suratan Yang 

Kuasa."

Dengan penuh perasaan risau, Dewi 

Kalandasan segera memeluk erat tubuh 

suaminya. Ditumpahkannya isak tangis 

di dada Jagalaya, yang turut sedih 

menerima kenyataan itu.

"Apakah kita tidak dapat mencari 

jalan?" 

"Maksudmu Di Ajeng?"

"Apakah kita tidak lebih baik 

membatalkan rencana kita?"

"Yang Di Ajeng maksudkan, kita


lebih baik menghadapi Tumenggung dan 

prajuritnya?" tanya Jagalaya, yang di 

angguki oleh istrinya.

"Bagaimana, Kakang? Dari pada aku 

harus berpisah denganmu, lebih baik 

kita menentang walau kematian 

hasilnya."

Tercenung Jagalaya mendengar 

ucapan istrinya. Hatinya bimbang akan 

tujuan hidupnya. Apakah ia mampu 

menghadapi tantangan dan menentang Ko-

drat? Rasanya tak mungkin bila manusia 

harus menentang kodrat.

"Kenapa Yang Maha Kuasa 

memberikan kodrat? Apakah aku pernah 

berbuat lancang menentang-Nya? Oh 

Gusti Allah, apakah gerangan yang 

hendak Kau limpahkan pada kami?" tanya 

hati Jagalaya. 

Hatinya terasa sakit dan pahit 

bila mengenang wangsit yang telah ia 

terima semalam.

"Kenapa Kakang hanya terdiam?"

Tersentak Jagalaya dari lamu-

nannya, manakala sang istri bertanya 

kembali meminta kepastian. Bagaikan 

orang yang tak mempunyai semangat 

hidup, Jagalaya hanya mampu meng-

geleng. Makin menambah keras tangis 

Dewi Kalandasan, melihat gelengan 

lemah sang suami. Dipeluknya tubuh 

Jagalaya dengan erat-erat, seakan ia 

tak mau berpisah lagi.


* * *

Dari kejauhan tampak rombongan 

Tumenggung Tambak Yasa tengah berjalan 

menuju ke tempat Jagalaya. Langkah 

kaki kuda mereka diperlambat, dengan 

tujuan supaya tuan rumah segera keluar 

menjemput. Namun sampai sekian lama 

dan hampir tiba di lapangan rumah 

Jagalaya tak seorang pun tampak 

keluar.

"Wangkur! Mana Jagalaya? Mengapa 

dia dan calon istriku tak pernah 

muncul-muncul, padahal kita telah 

tiba."

"Ampun, tuan ku! Mungkin keduanya 

tengah mempersiapkan diri," jawab 

Wangkur, yang segera turun dari 

kudanya dan berjalan menuju ke rumah 

Jagalaya. 

"Jagalaya! Jagalaya buka pintu! 

Mengapa kau mengurung diri dalam 

rumah?" Tak ada jawaban dari dalam 

rumah, membuat Wangkur mengernyitkan 

alis matanya. "Ke mana dia?" tanya 

hati Wangkur.

"Bukankah kemarin telah menemui 

diriku, dengan maksud memberikan 

istrinya pada Tumenggung? Mengapa dia 

sekarang tak ada?"

Saking penasaran dan marah, 

karena merasa dipermainkan, dengan 

sekuat tenaga, Wangkur segera men-

dobrak pintu rumah itu. Dan betapa


terkejutnya Wangkur, kala secepat 

kilat sebuah tombak melayang ke 

arahnya. Belum sempat ia sadar, tombak 

itu telah berkelebat dengan cepat, 

menghantam dan menembus tubuhnya. 

Seketika Wangkur mengejang dengan 

tubuh bermandikan darah, ambruk ke 

tanah tanpa nyawa lagi.

Melihat ketua prajuritnya mati, 

marahlah Tumenggung Tambak Yasa, yang 

segera melompat dari kudanya dan 

menghambur ke dalam rumah dengan caci 

maki dan umpatan kemarahan.

"Jagalaya keparat! Keluar kau! 

Jangan beraninya hanya main kucing-

kucingan. Ayo, keluar!"

Namun jawaban dari caci maki itu, 

hanyalah desingan anak panah yang 

beratus-ratus jumlahnya menyerbu ke 

arahnya.

Dengan kembali mencaci maki, 

Tumenggung Tambak Yasa segera 

mengelakkan serangan gelap itu. "Iblis 

laknat! Rupanya kau sengaja menje-

bakku. Jangan salahkan kalau nanti aku 

memenggal kepalamu!"

Sesaat tampak diam hening tak ada 

jawaban. Tumenggung Tambak Yasa dengan 

disertai prajuritnya, berjalan per-

lahan menyusuri ruangan depan rumah 

itu.

Untuk kedua kalinya Tumenggung 

Tambak Yasa tersentak dan segera 

mengibaskan pedangnya, ratusan anak


panah kembali berkelebat menuju ke 

arahnya. Walaupun Tumenggung Tambak 

Yasa dapat berhasil mengelakkan 

serangan itu. Namun tak urung anak 

buahnya yang terkena. Seketika memekik 

lah prajurit-prajurit itu ambruk 

dengan nyawa yang hilang.

Terbelalak mata Tumenggung Tambak 

Yasa, melihat kejadian di depan 

matanya. Hatinya mulai bimbang. Namun 

karena didorong oleh rasa penasaran 

dan marah, Tumenggung Tambak Yasa pun 

nekad melangkah terus menuju ke dalam.

Mata Tumenggung Tambak Yasa yang 

tajam, segera dapat menangkap berke-

lebatnya seseorang. Dengan menggeram 

marah, Tumenggung Tambak Yasa segera 

berkelebat menyerang orang yang berada 

di hadapannya. 

"Brak...!"

Tersentak Tumenggung Tambak Yasa, 

kala mengetahui bahwa yang diserangnya 

tadi hanyalah sebuah kaca. Belum juga 

habis kekagetan Tumenggung, tiba-tiba 

terdengar suara tawa seorang wanita di 

belakangnya.

Terkesiap darah Tumenggung Tambak 

Yasa, manakala melihat keadaan wanita 

yang berdiri di hadapannya. Darah 

kelelakiannya seketika menggelegar-

gelegar, menyaksikan pemandangan yang 

dapat meleletkan lidah.

Wanita di hadapannya tersenyum 

manis, dengan tubuh tanpa sehelai


benang pun. Matanya yang lentik 

menatap tajam ke arah Tumenggung, 

sepertinya mengundang Tumenggung 

Tambak Yasa untuk menghampiri. Memang 

benar! Tumenggung Tambak Yasa segera 

menghampiri wanita yang kini tengah 

berdiri di hadapannya dengan mengurai 

senyum.

Kecantikan wanita itu, membuat 

Tumenggung Tambak Yasa lupa pada 

keadaan. Yang ada di pikiran 

Tumenggung, hanyalah nafsu untuk dapat 

mencicipi tubuh mulus dan putih bersih 

itu.

"Ayo, Kanjeng Tumenggung! Kenapa 

kau diam saja? Bukankah kau ingin 

menikmati tubuhku? Mumpung suamiku 

tengah tak ada," kata wanita itu yang 

menjadikan Tumenggung Tambak Yasa 

makin menggelegar darahnya.

Hati Tumenggung Tambak Yasa 

bimbang, untuk menentukan apa yang 

harus dilakukan. Ia tahu kalau wanita 

di hadapannya adalah seorang tokoh 

persilatan, istri dari Jagalaya yang 

tak boleh dianggap enteng. Namun ia 

juga mengetahui kalau wanita itu 

menginginkannya, untuk menemani 

membuang rasa sepi.

Karena tak tahan melihat tubuh 

Dewi Kalandasan yang mulus dan menor, 

Tumenggung Tambak Yasa seketika lupa 

akan tujuan semula. Ia tak ingat bahwa 

dirinya tengah dalam ancaman bahaya,


yang sewaktu-waktu akan datang kala ia 

lengah. Maka dengan menggigit bibir 

menahan nafsu, Tumenggung Tambak Yasa 

melompat menubruk tubuh Dewi Kalan-

dasan yang masih tersenyum berdiri 

tanpa sehelai benang pun.

Tak terpikirkan oleh Tumenggung 

Tambak Yasa, kalau Dewi Kalandasan 

bermaksud mempermainkannya. Ketika 

tubuh Tumenggung Tambak Yasa hampir 

menyentuh tubuh Dewi Kalandasan, sang 

Dewi dengan enteng berkelit ke 

samping. Tak ayal lagi tubuh 

Tumenggung menubruk tempat kosong, dan 

langsung nyungsep mencium tanah.

Gusar hati Tumenggung Tambak 

Yasa, merasa dipermainkan. Dewi

Kalandasan, masih tersenyum dan makin 

menantang. Dibukanya kaki kiri ke sam-

ping di antara duduknya. Hal itu 

membuat Tumenggung Tambak Yasa bagai-

kan terserang demam berdarah. Tubuhnya 

menggigil gemetaran, matanya melotot 

tak berkedip memandang ke selangkangan 

Dewi Kalandasan yang tersenyum sembari 

berkata: "Ayolah, Kanjeng Tumenggung! 

Jangan terlalu lama. Aku takut kalau-

kalau suamiku pulang." Nada ucapan 

sang Dewi yang manja, membuat Tumeng-

gung Tambak Yasa yang tadinya marah 

berubah menjadi senang dan nafsu.

Untuk kedua kalinya, Dewi 

Kalandasan segera mengelakkan diri 

dari pelukan Tumenggung Tambak Yasa.


Dan untuk kedua kalinya, Tumenggung 

Tambak Yasa harus menubruk angin 

langsung mencium tanah.

"Bedebah! Rupanya kau hendak 

mempermainkan aku, sundel!"

"Mengapa kau begitu marah, 

Tumenggung? Bukankah untuk mendapatkan 

sesuatu yang enak kita harus bersusah-

susah dulu? Ayolah, jangan putus asa!"

Ditantang seperti itu membuat 

darahnya makin menggelora. Muka yang 

tadinya membara marah, berubah menjadi 

senyum penuh harapan dan keramahan.

"Kali ini aku harus berhasil!" 

memberiak hati Tumenggung Tambak Yasa. 

Dengan tanpa diduga oleh Dewi Kalan-

dasan sebelumnya, Tumenggung Tambak 

Yasa telah menyalurkan ajian 

penyirepnya. "Harus kena!"

Bersamaan dengan ucapan itu, 

Tumenggung Tambak Yasa telah menghan-

tarkan ajian Penyirep Sukma ke arah 

Dewi Kalandasan. Sang Dewi yang tak 

menyangka bakal diserang dengan ajian 

itu, tersentak dan berusaha menghina-

dar. Namun luncuran ajian itu lebih 

cepat. Hingga sang Dewi pun tak mampu 

lagi untuk mengelakkannya. Tubuh sang 

Dewi seketika lemas dan tertidur tanpa 

sadar.

Tertawa Tumenggung Tambak Yasa, 

merasa usahanya berhasil. Dengan tanpa 

menyia-nyiakan waktu lagi, dibopongnya 

tubuh Dewi Kalandasan yang tanpa


sehelai benang itu ke dalam kamar.

"Ha...ha... ha..! Akhirnya aku 

dapat merasakan kenikmatan dari 

tubuhnya." 

Hanya itu yang terdengar dari 

mulut Tumenggung Tambak Yasa, lalu 

keadaan di situ pun seketika sepi. 

Hanya desah-desah panjang saja yang 

masih menggelitik gendang telinga.

3

Tersentak Dewi Kalandasan kala 

menemukan dirinya tergeletak dengan 

tubuh terasa ngilu semua. Setelah ia 

kembali sadar ingatannya, seketika ia 

pun menjerit dan menangis.

Kini ia telah menyadari bahwa 

dirinya telah menjadi pemuas nafsu 

Tumenggung Tambak Yasa, yang telah 

memperkosanya kala ia tengah tak 

sadarkan diri.

Kala Dewi Kalandasan tengah 

menangis sesenggukan mengingat petaka 

yang telah menimpa dirinya, tampak 

seorang lelaki telah berdiri di ambang 

pintu.

Kedatangan lelaki itu yang tanpa

sepengetahuan dirinya, membuat Dewi 

Kalandasan makin mengguguk tangisnya 

dan memeluk kaki lelaki yang tak lain 

dari pada suaminya sendiri Jagalaya.

"Apa yang aku takutkan ternyatasehelai benang itu ke dalam kamar.

"Ha...ha... ha..! Akhirnya aku 

dapat merasakan kenikmatan dari 

tubuhnya." 

Hanya itu yang terdengar dari 

mulut Tumenggung Tambak Yasa, lalu 

keadaan di situ pun seketika sepi. 

Hanya desah-desah panjang saja yang 

masih menggelitik gendang telinga.



TIGA



Tersentak Dewi Kalandasan kala 

menemukan dirinya tergeletak dengan 

tubuh terasa ngilu semua. Setelah ia 

kembali sadar ingatannya, seketika ia 

pun menjerit dan menangis.

Kini ia telah menyadari bahwa 

dirinya telah menjadi pemuas nafsu 

Tumenggung Tambak Yasa, yang telah 

memperkosanya kala ia tengah tak 

sadarkan diri.

Kala Dewi Kalandasan tengah 

menangis sesenggukan mengingat petaka 

yang telah menimpa dirinya, tampak 

seorang lelaki telah berdiri di ambang 

pintu.

Kedatangan lelaki itu yang tanpa

sepengetahuan dirinya, membuat Dewi 

Kalandasan makin mengguguk tangisnya 

dan memeluk kaki lelaki yang tak lain 

dari pada suaminya sendiri Jagalaya.

"Apa yang aku takutkan ternyata


benar adanya, Di Ajeng."

Mendengar ucapan Jagalaya yang 

tampak sinis, menjadikan makin 

histeris Dewi Kalandasan.

"Ampunilah aku, Kang Mas!"

"Tak bisa aku mengampunimu, Di 

Ajeng! Yang mampu mengampuni dirimu, 

hanyalah hati nurani mu sendiri dan 

yang Maha Esa!" 

"Kang Mas!"

Bagaikan tak mendengar ratapan 

Dewi Kalandasan, Jagalaya tersenyum 

sinis yang terasa menyakitkan hati 

Dewi Kalandasan.

"Sudah kasep, Di Ajeng. Memang 

kodrat kita harus begini."

"Tidak...! Tak maukah Kang Mas 

mengampuni saya?"

Jagalaya hanya menggeleng lemah, 

bagaikan sebuah robot yang bisu. Lalu 

dengan tanpa menghiraukan ratap tangis 

Dewi Kalandasan, Jagalaya segera 

berlalu.

Dewi Kalandasan segera berlari, 

memburu dan memeluk kaki Jagalaya 

sembari terus terisak menangis. Mung-

kin karena kecewa, Dewi Kalandasan pun 

dengan lantang setengah berteriak 

mengucapkan sumpah:

"Kalau Kang Mas tak sudi mengam-

puni diri saya lagi, aku bersumpah! 

Akan aku buat semua lelaki dan 

khususnya keturunan Kang Mas untuk 

bertekuk lutut padaku! Akan aku bunuh


mereka setelah menerima kepuasan 

dariku!"

Bersamaan dengan habisnya ucapan 

Dewi Kalandasan, seketika itu pula 

awan bergulung-gulung, menggumpal 

menjadi satu. Petir bersahut-sahutan, 

tak ubahnya sebuah keputusan dari 

sumpah tersebut. Jagalaya yang tak 

memikirkan sampai di situ, tersentak 

kaget. Dari mulutnya terdengar desah, 

pertanda menyayangkan ucapan istrinya.

"Ah! Kenapa kau berkata begitu, 

Di Ajeng? Apakah kau tak mengerti 

akibatnya?"

"Aku mengerti, Kang Mas. Namun 

apalah artinya hidupku ini, yang telah 

hancur oleh keteledoran diri sendiri. 

Maafkan aku, Kang Mas. Untuk 

memulainya, maka aku akan mengorbankan 

tubuhku ini."

Setelah berkata begitu, Dewi 

Kalandasan segera pergi meninggalkan 

Jagalaya yang hanya terbengong-bengong 

memandang kepergiannya.

Perasaannya kini diliputi oleh 

kesal, yang tak mungkin untuk diganti. 

Dengan hati yang penuh rasa bersalah, 

Jagalaya segera berlalu pergi 

meninggalkan rumahnya entah ke mana.

* * * *

"Tambak Yasa, keluar kau!"

Terdengar seruan seorang wanita,


yang berdiri di depan pintu rumah 

kediaman Tumenggung Tambak Yasa. Dari 

dalam rumah seorang prajurit nampak 

dengan wajah beringas menghampirinya. 

Lalu dengan mata berapi-api, si 

prajurit segera bertanya dengan 

membentak

"Heh, wanita! Apakah kau telah 

gila! Hingga kau berteriak-teriak 

seenak udel mu?"

Ditanya begitu rupa, bukan men-

jadikan wanita itu mengkerut nyalinya. 

Bahkan dengan mata melotot si wanita 

balik membentak prajurit itu.

"Kau prajurit Tumenggung Tambak 

Yasa? Cepat katakan pada tuanmu, aku 

Dewi Kalandasan menunggunya! 

Cepat...!"

"Dewi Kalandasan. Rupanya kau 

ketagihan dengan Tumenggung. Ah, 

sayang Kanjeng Tumenggung sedang tidur 

bersama istrinya. Kalau mau aku pun 

dapat melebihi Tumenggung."

Tersenyum Dewi Kalandasan men-

dengar ucapan prajurit Ketemenggungan, 

lalu dengan mengurai senyum si Dewi 

pun perlahan menghampiri prajurit itu. 

Dirangkulnya leher prajurit itu, yang 

seketika badannya terasa panas dingin.

Nafas prajurit itu tampak memburu

bagaikan kuda binal, sembari tangannya 

yang jahil beroperasi ke setiap 

pelosok tubuh Dewi Kalandasan yang 

tampak terdiam.


Ketika tangan sang prajurit 

hendak makin merajalela, Dewi 

Kalandasan tersenyum sembari membisik-

kan sesuatu pada prajurit yang 

seketika itu mengangguk sambil 

meleletkan lidahnya.

Tak berapa lama keduanya pun 

segera masuk ke dalam rumah Tumenggung 

paling belakang, yang biasanya dipakai 

untuk gudang.

Setelah pintu gudang tertutup. 

Tak lama kemudian terdengar pekikan 

kematian, hingga membuat Tumenggung 

dan istrinya yang tengah beristirahat 

tersentak bangun.

"Ada apakah di gudang?"

Tumenggung Tambak Yasa segera 

pergi meninggalkan istrinya yang hanya 

ter bengong sesaat, lalu mengikuti 

langkah suaminya menuju ke gudang.

Kala pintu gudang terbuka, saat 

itu pula Tumenggung Tambak Yasa 

membelalakkan matanya. Tubuh prajurit 

jaganya telah tergeletak tanpa nyawa. 

Lebih tersentak kaget lagi Tumenggung 

Tambak Yasa, kala Dewi Kalandasan 

tiba-tiba muncul.

"Selamat jumpa lagi, Tumenggung! 

Apa kabarmu?"

"Kau...!" tergagap Tumenggung 

Tambak Yasa berkata, setelah tahu 

siapa wanita yang menyapanya.

"Ya, aku. Apakah kau masih ingat 

kenangan manis kemarin? Apakah kau


ingin mengulangi lagi, Kanjeng 

Tumenggung?"

Melotot Tumenggung Tambak Yasa, 

yang merasa terbuka kedoknya di muka 

sang istri. Maka bagaikan orang tak 

mengenal, Tumenggung Tambak Yasa 

membentak marah.

"Wanita sinting! Apa perlumu 

datang-datang ke mari?"

Tertawa Dewi Kalandasan mendengar 

ucapan Tumenggung Tambak Yasa, yang 

sepertinya tak mengenalinya.

"Tumenggung edan! Kau adalah 

seorang lelaki pengecut! Setelah kau 

dapatkan pelayanan dariku, kini kau 

hendak lari dari tanggung jawab. Aku 

ke mari untuk meminta tanggung 

jawabmu."

Membeliak mata istri Tumenggung 

Tambak Yasa, mendengar ucapan wanita 

yang berdiri di hadapannya. Sesaat 

matanya memandang pada si wanita, lalu 

beralih memandang pada suaminya yang 

tertunduk takut-takut.

"Apa yang telah diperbuat suamiku 

padamu, Di Ajeng?" tanyanya.

Dengan terisak-isak Dewi Kalan-

dasan pun menceritakan, apa yang telah 

terjadi pada dirinya dengan Kanjeng 

Tumenggung Tambak Yasa.

Seketika istri Tumenggung melo-

totkan mata, mana kala mendengar 

penuturan Dewi Kalandasan. Mata istri 

Tumenggung tak henti-hentinya meman


dang bergantian, pada suaminya yang 

hanya mampu menunduk dan pada Dewi 

Kalandasan yang masih menangis.

"Di Ajeng... kalau memang suamiku 

telah melakukannya padamu, maka aku 

pun tak akan menghalangi kalian untuk 

menjadi suami istri. Kang Mas Tumeng-

gung, kuharap kau mau bertanggung 

jawab."

Terbelalak mata Tumenggung Tambak 

Yasa mendengar ucapan istrinya. 

Hatinya begitu marah pada Dewi 

Kalandasan yang telah membuat istrinya 

terpukul. Maka dengan membentak, 

Tumenggung Tambak Yasa segera 

menghardik.

"Kuntilanak! Apa perlumu 

menceritakan nista di sini!"

"Hem... kalau aku kuntilanak, 

bukankah kau itu gendrewo?"

Tersenyum sinis Dewi Kalandasan, 

membuat Tumenggung Tambak Yasa 

menggeretak marah. Giginya yang beradu 

terdengar berkeriut-keriut, dengan 

mata melotot.

"Kuntilanak busuk! Kau telah 

lancang padaku. Apakah kau tak 

mengetahui siapa aku?"

"Aku tahu siapa kau sebenarnya. 

Kau tak ubah nya lelaki buaya yang 

suka usilan dengan rumah tangga orang! 

Kalau kau tak mau bertanggung jawab, 

jangan salahkan bila akan menyesal 

nantinya."


Ucapan Dewi Kalandasan sepertinya 

tak adi artinya bagi Tumenggung Tambak 

Yasa yang merasa telah mampu men-

jatuhkan Dewi Kalandasan. Maka dengan 

tersenyum sinis, Tumenggung Tambak 

Yasa berkata:

"Apa yang hendak kau lakukan, 

kuntilanak?"

Sebelum Dewi Kalandasan berkata 

menyahuti, seketika istri Tumenggung 

Tambak Yasa telah mendahului berkata: 

"Sudahlah, Kakang. Kalau memang kau 

merasa telah melakukannya, kenapa lari 

dari tanggung jawab? Seperti halnya 

aku. Di Ajeng ini pun tak mau 

dipermainkan."

"Tapi itu tidak benar, Di Ajeng! 

Dia hanya mengarang cerita, agar kita 

hancur!" Tumenggung Tambak Yasa 

berusaha mengelak, yang membuat Dewi 

Kalandasan seketika itu marah.

"Pengecut! Kenapa dulu kau 

merayu-rayu aku? Kenapa kau memaksa 

pada suamiku, agar dia mau memberikan 

diriku padamu. Sekarang setelah kau 

dapatkan kehormatanku, kau hendak lari 

dari tanggung jawab! Lelaki macam apa 

kau!"

Dengan penuh kemarahan Dewi 

Kalandasan menyerang Tumenggung Tambak 

Yasa, yang terperanjat dan menghindar.

Melihat suaminya diserang tiba-

tiba, istri Tumenggung Tambak Yasa 

seketika itu pula memekik, karena


takut. Hal itu mengundang para 

prajurit, yang segera datang mengham-

piri. Tak ayal lagi. Para prajurit 

segera mengeroyok Dewi Kalandasan yang 

mengamuk.

Perkelahian itu pun tak dapat 

dihindarkan lagi. 

Dengan membabi buta, Dewi 

Kalandasan terus merangsek Tumenggung 

Tambak Yasa yang tampak makin 

terdesak. Sementara kelima prajurit-

nya, tak mampu harus berbuat apa 

melihat Tumenggung nya terdesak begitu 

hebat. Baru ketika terdengar seruan 

dari Tumenggung Tambak Yasa, para 

prajurit itu segera membantu.

"Prajurit geblek! Kenapa kalian 

bengong saja! Ayo bantu aku!"

"Hem... benar apa yang aku 

katakan! Kau tak ubahnya seorang 

lelaki pengecut, yang hanya bisa 

merusak rumah tangga orang lain. Hari 

ini juga, kau harus mampus di. 

tanganku! Hiat...!"

Dewi Kalandasan berkelebat cepat 

dan makin cepat, menyerang dan 

merangsek Tumenggung Tambak Yasa yang 

makin kelabakan tak dapat berbuat apa-

apa.

Sia-sia prajurit-prajurit itu 

hendak membantu. Sebelum mereka mampu 

menyentuh kulit Dewi Kalandasan, Dewi 

Kalandasan telah mendahului menghantam 

mereka dengan pukulan jarak jauhnya.


Pekik kematian seketika menggema 

susul-menyusul, diikuti dengan ambruk-

nya kelima prajurit Ketemenggungan.

Terbeliak mata Tumenggung Tambak 

Yasa kaget melihat kejadian itu. Kini 

Tumenggung Tambak Yasa baru menyadari, 

bahwa nama sepasang pendekar bukan 

nama kosong belaka. Wajahnya seketika 

pucat pasi, sepertinya tak ada 

harapan.

Sebelum Tumenggung Tambak Yasa 

tersadar dari kepanikan nya, tiba-tiba 

Dewi Kalandasan telah mengebutkan 

tangannya. Seketika angin keluar dari 

kebutan tangan Dewi Kalandasan men-

deru, disertai hawa dingin yang amat 

sangat.

Melotot kaget Tumenggung Tambak 

Yasa sembari melompat mundur mencoba 

mengelakkan serangan itu dan balik 

menyerang. Tapi sungguh fatal 

akibatnya. Serangan Tumenggung Tambak 

Yasa, malah berbalik menyerang 

tuannya. 

"Ah...!" Lengkingan panjang 

keluar dari mulut Tumenggung Tambak 

Yasa, yang akhirnya ambruk dengan 

tubuh membiru beku.

Setelah mendapatkan Tumenggung 

telah mati di tangannya, dengan 

tertawa gembira, Dewi Kalandasan 

segera berlalu pergi meninggalkan 

kediaman Tumenggung.

Istri Tumenggung Tambak Yasa tak


dapat berbuat apa-apa, kecuali 

menangis dan menangis. Menangisi kema-

tian suaminya yang mati akibat 

perbuatannya sendiri.

Langit kelam bergayut di kediaman 

Tumenggung Tambak Yasa, yang kembali 

sunyi-senyap bagaikan di pekuburan. 

Mayat bergelimpangan di sana-sini, 

menjadikan sebuah pemandangan yang

mengerikan, mendirikan bulu kuduk 

bagi yang melihatnya. Angin sepoi-

sepoi di sore hari, mengiringi 

kepergian istri Tumenggung yang ber-

jalan sembari menangis. Melangkah 

terus sang waktu, yang tak diam atau 

beristirahat...!



EMPAT



Sesaat Ki Perwana menarik 

nafasnya, Jaka Ndableg kembali 

bertanya: "Lalu bagaimana tindakan 

kerajaan pada masa itu, Paman?"

"Sebentar kita istirahat dulu. 

Ayo, diminum kopinya!"

"Terima kasih, Paman."

Jaka pun segera mengangkat 

cangkir kopi yang ada di hadapannya, 

yang terbuat dari tanah liat. 

Diminumnya kopi hangat habis tak 

tersisa, membuat Ki Perwana tersenyum 

senang dan berkomentar.

"Memang kopi dapat membuat mata 

kita tak mengantuk."


"Benar katamu, Paman. Tadi aku 

begitu ngantuk, Eh... setelah aku 

minum kopi, rasa kantuk ku seketika 

lenyap."

Kedua orang itu tertawa bergelak-

gelak. Mata keduanya tampak berlinang-

linang, menahan air mata yang hendak 

jatuh menetes.

"Ayo, Paman. Ceritakan lagi, 

sebab hari hampir menjelang subuh. Aku 

takut kita tak ada waktu lagi. 

Bukankah aku harus segera pergi untuk 

mencari Kala Peningasan?"

"Hai! Ada apakah kau dengan Kala 

Peningasan, Jaka?" tanya Ki Perwana 

kaget, mendengar ucapan Jaka tentang 

Kala Peningasan. "Bukankah ia seorang 

tokoh silat golongan lurus?"

"Semua orang persilatan telah 

tertipu, Paman."

"Maksudmu...?" Ki Perwana tersen-

tak, mendengar penuturan Jaka yang 

tidak diduga-duga nya. Sesaat Jaka 

terdiam menundukkan muka memandang 

pada tikar duduknya, sebelum akhirnya 

ia pun menceritakan tentang Kala 

Peningasan.

"Dia dengan berkedok sebagai 

tokoh persilatan golongan lurus, telah 

mencuri beberapa Kitab dan pusaka-

pusaka sakti. Pusaka milik perguruan 

Teratai Putih telah dicurinya. Begitu 

juga dengan Kitab Lembayung Mas milik 

perguruan Jalak Mas, telah digondol


nya."

Ter angguk-angguk Ki Perwana 

mendengar penuturan Jaka yang menya-

darkan dirinya tentang siapa 

sebenarnya Kala Peningasan yang dari 

dulu dikenalnya sebagai seorang tokoh 

golongan lurus. Namun begitu, Ki 

Perwana tak mau langsung menggaris 

bawahi. Maka sebelum memutuskan untuk 

menentukan dugaannya, Ki Perwana pun 

segera bertanya.

"Dari mana kau mengetahuinya?"

"Dari laporan perguruan-perguruan 

yang telah dicuri Kitab atau 

pusakanya, yang kini meminta padaku 

untuk mencarikan nya."

"Kalau begitu, sungguh berat 

tugasmu." 

"Maksud, Paman?"

Ki Perwana sesaat tersenyum 

sembari menggelengkan kepala, sebelum 

kembali berkata. "Sungguh berat 

tugasmu, Jaka. Pertama kau harus mampu 

mendapatkan kembali Kitab dan pusaka-

pusaka yang telah dicuri oleh Kala 

Peningasan. Kedua, kau akan aku minta 

tolong untuk menghentikan sepak 

terjang Nyi Dewi Kalandasan."

"Apa...! Dewi Kalandasan masih 

hidup?"

Kaget Jaka seketika itu, manakala 

dirinya diminta tolong untuk menghen-

tikan sepak terjang Dewi Kalandasan. 

Bukannya ia takut atau repot, namun ia


menyangka kalau Dewi Kalandasan hanya 

hidup kala lima puluh tahun yang silam 

bukan sampai sekarang.

"Apakah Paman tidak tengah 

bercanda?"

"Tidak, Jaka. Ini memang benar-

benar tugas yang harus kau emban, 

sebagai seorang pendekar golongan 

lurus sejati."

"Maksud Paman?" Kembali Jaka 

bertanya.

"Sebagai seorang pendekar yang 

kondang sepertimu, maka tindakan Dewi 

Kalandasan merupakan musuh yang harus 

dibasmi. Sebab bila dibiarkan ber-

larut-larut, akan membuat petaka di 

dunia ini."

Terdiam Jaka mendengar penuturan 

Ki Perwana, yang dirasakan memang 

benar adanya. Lalu dengan rasa ingin 

tahu, Jaka segera bertanya.

"Apa yang telah diperbuat oleh 

Dewi Kalandasan? Hingga akan membuat 

petaka di dunia, Paman?"

Ki Perwana tak segera menjawab. 

Ditariknya nafas sesaat untuk membuang 

rasa kantuk, sebelum kembali ia 

berkata: "Sejak sumpah yang ia ikrar 

kan, maka setelah membunuh Tumenggung 

Tambak Yasa, ia menjadi buronan 

kerajaan."

Setelah kembali terdiam sesaat 

memandang pada Jaka yang tampaknya tak 

ngantuk sedikit pun Ki Perwana kembali


menceritakan lanjutan kejadian lima 

puluh tahun yang silam.

Dengan matinya Tumenggung Tambak 

Yasa, membuat murka sang Raja kerajaan 

Trenggiling Wesi. Segera sang raja 

memerintahkan pasukan kerajaan untuk 

mencari dan menangkap pelaku 

pembunuhan Tumenggung Tambak Yasa, 

yang diketahui adalah seorang wanita.

Saat itu juga disebar pengumuman 

di seantero kerajaan. Sarang siapa 

yang mampu menangkap Dewi Kalandasan 

hidup, atau mati. Akan mendapatkan 

hadiah dari raja berupa kedudukan dan 

jabatan yang sangat memuaskan! Raja 

Trenggiling Wesi.

Semua tokoh persilatan yang 

membaca pengumuman itu, segera ber-

lomba memburu Dewi Kalandasan. Namun 

sejauh itu, mereka selalu menemui 

kegagalan.

* * *

Pada suatu pagi di padepokan 

Gunung Tengger, tampak seorang guru 

yang tengah dihadapi oleh muridnya. 

Guru itu bernama Ki Paksi Atom atau 

Pendekar Seruling Emas dengan muridnya 

yang bernama Eka Bilawa.

"Heh. Bukankah itu kakek dan 

ayahku?" tanya Jaka seketika, demi 

mendengar nama orang-orang tersebut.

"Benar! Kedua murid dan guru itu


adalah kakek dan ayahmu."

“Teruskanlah cerita paman."

Sesaat Ki Perwana tersenyum 

sesaat, sebelum kembali meneruskan 

ceritanya yang telah dipotong oleh 

pertanyaan Jaka.

Kedua murid dan guru yang tak 

lain dari Ki paksi Anom dan Eka 

Bilawa, tengah membicarakan tentang 

desas-desus yang saat itu melanda 

kerajaan.

Ki Paksi Anom selaku tokoh 

persilatan golongan lurus, merasa ikut 

bertanggung jawab dengan kejadian yang 

telah menimpa kerajaan. Maka Ki Paksi 

Anom pun memanggil muridnya, untuk 

membahas masalah yang tengah dihadapi 

kerajaan dan bagaimana untuk 

menanggulangi nya.

"Eka Bilawa, Kerajaan kini tengah 

dilanda oleh sebuah kejadian yang 

sangat berat. Tumenggung Tambak Yasa 

mati terbunuh oleh seorang wanita, 

yang tak lain dari Dewi Kalandasan."

"Dewi Kalandasan istrinya 

Jagalaya, Guru?"

"Benar! Dia telah membunuh 

Tumenggung Tambak Yasa, yang telah 

membuat keluarganya berantakan. Rupa-

nya Dewi Kalandasan sangat terpukul 

oleh tindakan suaminya, setelah 

dirinya ternoda oleh Tumenggung Tambak 

Yasa. Bahkan Dewi Kalandasan pernah 

bersumpah, akan membunuh semua lelaki



setelah lelaki itu mendapat kepuasan 

dari tubuhnya."

Terkesiap darah Eka Bilawa 

mendengar penuturan gurunya.

"Sungguh tindakan biadab yang 

harus dicegah secepatnya, Guru?"

"Benar Bilawa! Kita sebagai orang 

persilatan, dituntut untuk dapat 

mencegah meluas nya Sumpah Dewi 

Kalandasan. Maka dari itu aku 

memanggilmu untuk membicarakan masalah 

ini. Aku harap kau mau mengerti, 

Bilawa?"

"Hamba mengerti, Guru!" kata Eka 

Bilawa. Hari itu juga, Eka Bilawa 

segera pergi meninggalkan padepokan 

Gunung Tengger untuk mencari Dewi 

Kalandasan yang telah membuat geger 

kerajaan.

Setelah beberapa waktu lamanya 

berjalan dalam usahanya mencari Dewi 

Kalandasan, akhirnya Eka Bilawa 

menemukan persembunyian si Dewi.

"Dewi Kalandasan, keluar kau!"

Mendengar seruan seorang pemuda 

di luar gubuknya. Dewi Kalandasan yang 

saat itu tengah memadu nafsunya dengan 

pemuda mangsanya, tersentak dan 

melompat ke luar.

"Brengsek! Siapa kau? Lancang 

benar berbicara lantang padaku!" 

Berkelebat Dewi Kalandasan menuju ke 

halaman gubuknya, di mana Eka Bilawa 

tengah berdiri menunggu kemunculannya.


Demi melihat seorang pemuda tampan, 

seketika Dewi Kalandasan tercenung. 

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba 

hati si Dewi terajut benang-benang 

aneh. Dewi Kalandasan pun hanya mampu 

mematung sembari memandang Eka Bilawa, 

dengan senyum yang mampu membuat 

jantung setiap lelaki akan bergetar. 

Dengan bibir tersenyum manis, Dewi 

Kalandasan pun menghampiri Eka Bilawa 

yang masih berdiri termangu di 

tempatnya menyaksikan kecantikan Dewi 

Kalandasan.

"Siapa kau pemuda tampan?" tanya 

Dewi Kalandasan merajuk membuat Eka 

Bilawa kelabakan bingung. Hatinya 

sebagai seorang pemuda, seketika 

menggejolak mengajak dirinya untuk 

menyambut rasa suka yang dilontarkan 

sang Dewi. Namun kala mengingat 

gurunya, Eka Bilawa segera sadar akan 

tugasnya. Dengan membuang rasa yang 

ada di hatinya, Eka Bilawa pun segera 

berkata:

"Aku Eka Bilawa, yang akan 

menangkapmu untuk mempertanggung-

jawabkan atas semua tindakanmu."

"Ah... sungguhkah kau bermaksud 

menyerahkan diriku pada raja?"

"Mengapa tidak! Kau telah membuat 

keonaran di kerajaan dengan membunuh 

Tumenggung Tambak Yasa, sepantasnyalah 

kau harus dihukum!" kata Eka Bilawa, 

setelah mendengar ucapan Dewi Kalan


dasan yang sepertinya mengundang rasa 

iba. Namun sebagai seorang tokoh 

persilatan, dan merupakan murid 

terkasih Paksi Anom ia harus mampu 

mempertimbangkan kebenaran walaupun 

perasaannya berkata lain.

Mendengar ucapan Eka Bilawa, 

seketika Dewi Kalandasan meneteskan 

air mata. Dan dengan penuh rasa iba, 

Dewi Kalandasan mencoba mempengaruhi.

"Eka Bilawa. Bukankah kau seorang 

pendekar yang berbudi luhur? Mengapa 

kau tak mampu mempertimbangkan dan 

membedakan kebenaran dan keadilan? Aku 

membunuh Tumenggung Tambak Yasa, 

karena dia telah membuat rumah tangga 

ku hancur. Salahkah bila aku 

menuntut?"

"Kau tidak salah. Tapi menuntut 

itu ada cara dan aturannya, tidak 

sembarangan membunuh sepertimu!"

Hati Dewi Kalandasan yang telah 

ter panah asmara, saat memandang Eka 

Bilawa seketika memekik. "Oh... betapa 

semua lelaki di dunia ini sama! Semua 

egois! Semua tak mengerti perasaanku!" 

Dengan linangan air mata, Dewi 

Kalandasan pur kembali berkata.

"Eka Bilawa, apakah kau 

bersungguh-sungguh?"

"Ya!" jawab Eka Bilawa pendek. 

Matanya memandang tajam pada Dewi 

Kalandasan, yang saat itu kembali 

menitikkan air mata. Lalu dengan


menangis terisak Dewi Kalandasan pun 

kembali berucap membuat Eka Bilawa 

tersentak.

"Baiklah! Aku akan menyerah tanpa 

syarat. Asalkan kau mau menerima 

cintaku, yang telah lama membeku. 

Terus terang Bilawa, aku mencintaimu, 

aku tertarik sejak melihatmu."

Trenyuh hati Bilawa mendengar 

ucapan Dewi Kalandasan, yang polos dan 

dengan sepenuh hati. Namun 

kewajibannya menuntut agar ia tidak 

memperdulikan ucapan Dewi Kalandasan. 

Setelah sesaat terdiam, Eka Bilawa 

akhirnya berkata perlahan. "Maaf Dewi 

Kalandasan. Aku tak mampu mengabulkan 

permohonan mu. Aku harus menjalankan 

tugasku. Kau masih mempunyai suami 

yang sah. Janganlah kau memburu nafsu 

setan, yang akhirnya membuatmu 

celaka."

Membeliak mata Dewi Kalandasan 

mendengar ucapan Eka Bilawa, yang 

dirasa telah kembali menghancurkan 

harapannya. Maka dengan histeris dan 

amarah. Dewi Kalandasan pun berkata: 

"Diam! Aku tak perlu khotbah mu! Kalau 

kau tak mau menerima diriku, maka 

jangan salahkan kalau aku menolak 

untuk menuruti kemauanmu. Jangan harap 

kau mampu menangkapku. Walaupun kau 

murid Paksi Anom, namun aku tak mau 

menuruti ucapanmu."

"Kau menantangku, Dewi?"


Eka Bilawa mendesah panjang, 

manakala mendengar Dewi Kalandasan 

menantangnya. Sebenarnya hatinya ragu 

untuk menerima tantangan itu, 

disebabkan ia juga merasa iba. Apalagi 

dalam hati Eka Bilawa ada tersirap 

perasaan yang sukar dimengerti, yang 

menggebu-gebu manakala beradu pandang 

dengan Dewi Kalandasan.

"Kuharap kau tidak dalam keadaan 

sadar, Dewi."

"Apa maksud mu?"

"Aku mengharapkan di antara kita 

tak terjadi bentrokan."

Diam seketika Dewi Kalandasan 

mendengar ucapan Eka Bilawa yang telah 

memetik hatinya. Namun kalau dia harus 

mengalah begitu saja tanpa menerima 

balasan permintaannya, sia-sialah. Di 

samping ia akan mendekam dalam penjara 

kerajaan, ia juga tak akan mendapatkan 

balasan cintanya dari Eka Bilawa.

Setelah berpikir untuk beberapa 

saat, Dewi Kalandasan pun kembali 

berkata: "Memang aku pun enggan untuk 

bentrok denganmu, namun aku tak mau 

pengorbanan ku sia-sia. Aku akan 

menyerah pada kerajaan, asalkan kau 

mau menerima cintaku "

Bimbang juga hati Eka Bilawa 

mendengar ucapan Dewi Kalandasan yang 

begitu mengharukan dan polos. Tapi 

kalau mengingat tugas, Eka Bilawa mau 

tak mau harus berpikir kembali. Maka


setelah diam berpikir untuk beberapa 

saat lamanya, Eka Bilawa akhirnya 

kembali berkata: "Baiklah! Aku akan 

menerima cinta mu, asalkan kau mau 

menghentikan perbuatanmu sekaligus 

menyerahkan dirimu pada kerajaan."

"Kau tak berdusta, Bilawa?"

Dengan lemah Eka Bilawa meng-

geleng, yang menjadikan Dewi Kalan-

dasan seketika itu senang hatinya. 

Dengan tanpa malu-malu lagi, dipeluk-

nya tubuh Eka Bilawa yang masih 

terdiam mematung.

Hari itu juga Dewi Kalandasan 

menyerah pada kerajaan untuk 

mempertanggung jawabkan segala per-

buatan yang telah ia lakukan. Hari itu 

juga, Dewi Kalandasan harus mendekam 

dalam penjara kerajaan.



LIMA



Setelah lima tahun mendekam dalam 

tahanan, Dewi Kalandasan segera pergi 

mencari Eka Bilawa untuk menagih 

janji. Lama dia mencari Eka Bilawa 

yang belum diketahui di mana 

tempatnya.

Akhirnya setelah setahun ia men-

cari-cari, Eka Bilawa dapat 

diketemukan. Dengan penuh harapan, 

Dewi Kalandasan pun mengutarakan 

maksud hatinya. Tapi jawaban Eka


Bilawa sangat mengagetkan Dewi 

Kalandasan sekaligus makin menambah 

dendam pada semua lelaki.

"Aku telah mengalah untuk 

menyerah pada kerajaan. Maka hari ini 

juga, aku menagih janjimu."

"Ah...!"

"Kenapa, Bilawa?" tanya Dewi 

Kalandasan.

"Aku tak dapat, Dewi. Maafkan 

aku!" Mengeluh Eka Bilawa, sepertinya 

penuh sesal. Mendengar ucapan Eka 

Bilawa, seketika meledaklah amarah 

Dewi Kalandasan.

"Kau tak ubahnya lelaki lain! Kau 

penipu, Bilawa!" Air mata Dewi 

Kalandasan yang tengah dilanda marah, 

tampak berlinang-linang menggayut di 

kelopak matanya. Melihat hal itu Eka 

Bilawa seketika iba hatinya. 

"Dewi, maafkan aku. Bukannya aku 

bermaksud mengingkari apa yang pernah 

aku ucapkan padamu, namun aku kini 

telah mempunyai istri hingga tak 

mungkin bagiku menerima cinta mu. Juga 

aku pikir, kau masih mempunyai suami."

"Alasan! Kau hanya membuat alasan 

saja! Aku benci! Aku benci padamu! 

Sekarang mari kita buktikan siapa di 

antara kita yang berhak untuk hidup di 

dunia ini lebih lama!"

"Dewi...! Apakah kau sadar 

berkata begitu?"

"Aku sadar, Bilawa! Aku sadar


bahwa aku tak ada artinya bagimu dan 

bagi dunia. Untuk itu, aku lebih baik 

mati atau terus hidup dengan sumpahku 

untuk membunuh semua lelaki yang telah 

mendapat kepuasan dariku!" Ucapan Dewi 

Kalandasan yang disertai. emosi, 

menjadikan dirinya bagai seekor 

harimau betina. Matanya yang redup dan 

indah, seketika liar memerah.

Melihat hal itu, Eka Bilawa 

merasa terpukul juga. Hingga seketika 

itu juga, Eka Bilawa hanya mampu 

menundukkan muka. Dalam hatinya 

membatin penuh iba: "Ah... Betapa dia 

selalu dalam penderitaan. Namun 

haruskah aku menuruti kemauannya? 

Haruskah aku menentang keputusan guru? 

Sebenarnya aku iba dan kasihan 

melihatnya. Tapi bila aku menuruti 

nya, apakah tidak menyalahi hukum? 

Bagaimana nanti orang-orang persilatan 

menuduhku? Sungguh suatu keputusan 

yang perlu memakan pikiran."

"Kenapa kau terdiam, Bilawa! Ayo! 

Kita tentukan siapa di antara kita 

yang berhak menghirup udara bebas 

lebih lama lagi!"

Belum juga Eka Bilawa mampu 

berkata, tiba-tiba Dewi Kalandasan 

telah menyerangnya dengan cepat. 

Tersentak Eka Bilawa, hampir saja 

tubuhnya terhantam pukulan maut Dewi 

Kalandasan. Dengan melompat, Eka 

Bilawa segera berteriak.


"Tunggu! Apakah tak ada jalan 

lain bagi kita?"

"Jalan lain hanya bila kau mau 

menerimaku, Bilawa!" Dewi Kalandasan 

terus merangsek Eka Bilawa, yang terus 

berusaha menghindar tanpa membalas 

menyerang sekali pun. Hal itu membuat 

Dewi Kalandasan makin marah. "Kenapa 

kau hanya menghindar, Bilawa! Kalau 

kau memang laki-laki, seranglah aku!" 

Eka Bilawa segera duduk bersujud 

dengan mata terpejam, siap untuk 

menerima kematian.

Eka Bilawa telah siap untuk 

segala-galanya, demi kepuasan Dewi 

Kalandasan.

Namun apa yang ditunggu-tunggu 

tak kunjung tiba. Dewi Kalandasan yang 

hendak menghantamkan tangan segera 

mengurungkan niatnya. Dengan menangis 

tersedu-sedu, Dewi Kalandasan akhirnya 

duduk berlutut di hadapan Eka Bilawa 

seraya berucap lirih di antara isak 

tangisnya.

"Aku tak mampu! Aku tak mampu 

untuk membunuhmu. Aku... aku sangat 

mencintaimu. Hu.... hu...!"

Perlahan-lahan Eka Bilawa membuka 

matanya, memandang pada Dewi 

Kalandasan yang kini menangis terisak-

isak. Hatinya yang penuh kasih, seke-

tika menggugah nya untuk turut 

menitikkan air mata. Eka Bilawa 

akhirnya hanya dapat menangis, melihat


kepedihan Dewi Kalandasan.

"Kenapa kau mengurungkan niatmu, 

Dewi? Lakukanlah bila hal itu akan 

membuatmu tenang!"

Makin seru tangis Dewi Kalandasan 

mendengar ucapan Eka Bilawa yang 

pasrah dan siap untuk menerima segala-

nya. Maka dengan menangis tersedu-

sedu, Dewi Kalandasan segera berlalu 

pergi meninggalkannya.

Sesaat setelah dirinya sadar, 

dengan segera Eka Bilawa berlari 

mengejar Dewi Kalandasan. "Dewi 

tunggu!"

"Jangan hiraukan aku! Aku benci 

kamu! Aku benci!" Dewi Kalandasan 

terus berlari. Manakala tampak jurang 

menganga di hadapan sang Dewi, dengan 

segera Eka Bilawa mempercepat larinya. 

Maka dalam sekejap, Eka Bilawa telah 

berhasil menghadang langkah sang Dewi.

"Berhenti, Dewi!"

"Jangan halangi aku! Minggir! " 

pekik Dewi Kalandasan, disertai dengan 

serangan. Tersentak Eka Bilawa melihat 

kenekatan Dewi Kalandasan. Dengan 

segera Eka Bilawa mengelit. Hal itu 

mengakibatkan fatal bagi Dewi 

Kalandasan yang tengah dilanda emosi. 

Tubuhnya yang melaju, terus melayang 

ke bawah jurang.

"Dewi...!" Eka Bilawa memekik dan 

berusaha menolong. Namun terlambat 

sebab tubuh Dewi Kalandasan telah


deras meluncur ke bawah, dengan 

lengkingan yang menyayat.

Eka Bilawa hanya terpaku, meman-

dang ke bawah jurang di mana tubuh 

Dewi Kalandasan terjatuh. Dengan wajah 

lesu, Eka Bilawa segera balik kembali 

ke tempatnya. "Sungguh tragis 

kematiannya," gumam Eka Bilawa dalam 

hati.

* * * *

Kala tubuh Dewi Kalandasan 

meluncur jatuh dari atas, sebuah 

bayangan dengan cepatnya meluncur dan 

menyambar tubuh Dewi yang telah 

pingsan karena panik.

"Tapp..." Bagaikan menangkap 

sehelai daun, orang itu menyambar 

tubuh Dewi Kalandasan, sebelum sampai 

ke dasar jurang. Dengan lari bagaikan 

angin, orang itu segera membawa tubuh 

Dewi Kalandasan pergi menuju ke sebuah 

tempat.

"Kasihan gadis ini. Sepertinya ia 

telah mengalami tekanan batin yang 

berat. Kalau saja dia tidak mempunyai 

dasar yang kuat, niscaya dia telah 

gila." Setelah bergumam sesaat sembari 

merebahkan tubuh Dewi Kalandasan,

wanita tua itu segera kembali berlari 

ke luar.

Tak lama kemudian orang tua itu 

telah kembali. Di tangannya membawa


daun dan akar-akar pohon untuk obat. 

Ditatapnya tubuh Dewi Kalandasan se-

saat, sebelum ia berlalu menuju ke 

sebuah ruangan.

Diracik nya jamu-jamuan yang 

terbuat dari akar dan daun-daunan. 

Lalu setelah selesai orang tua itu pun 

segera kembali menuju di mana Dewi 

Kalandasan terbaring pingsan. Sedikit 

demi sedikit, diminumkan jamu yang 

telah diramu nya ke mulut Dewi 

Kalandasan.

Setelah beberapa saat jamu itu 

diminumkan, tampak perubahan di tubuh 

Dewi Kalandasan. Tubuh Dewi Kalandasan 

tampak memerah bagaikan menyala. 

Keringat seketika keluar dari pori-

pori tubuh Dewi Kalandasan, banyak 

bagaikan mandi.

Dibukanya pakaian Dewi Kalandasan 

satu persatu, sampai benar-benar tubuh 

Dewi Kalandasan tak tertutup sehelai 

benang pun. Kepala wanita tua itu 

menggeleng lemah, memandang tubuh Dewi 

Kalandasan yang putih bersih bagaikan 

tak bernoda sedikit pun. Dibaluri nya

tubuh Dewi Kalandasan dengan ramuan 

obat yang diracik nya, sampai ke 

seluruh badan.

Tubuh Dewi Kalandasan yang 

telanjang, makin nampak bersinar 

terang. Lambat laun, perubahan pada 

tubuh Dewi Kalandasan berlangsung.

Si Nenek tersenyum sembari


mengangguk-anggukan kepalanya, dan 

bergumam lirih. "Bagus! Bagus.

Ternyata tak sia-sia aku menolongnya."

Dengan penuh kesabaran si nenek 

menunggui Dewi Kalandasan yang tengah 

pingsan, yang akhirnya tampak per-

lahan-lahan membuka kedua matanya.

Makin melebar senyum si nenek, 

menyaksikan Dewi Kalandasan telah 

siuman. Matanya yang menyipit, meman-

dang tak berkedip. Dewi Kalandasan 

heran melihat tubuhnya tak berpakaian 

sebenang pun.

Kala dilihatnya seorang wanita 

tua ada di sisinya, dengan segera Dewi 

Kalandasan bertanya: "Di mana aku? Dan 

siapakah engkau?"

Terkekeh si nenek mendengar per-

tanyaannya, menampakkan gigi-giginya 

yang kuning dan tajam. Kemudian 

terdengar suaranya yang serak dan

parau.

"Kau berada di rumahku. Kau telah 

kutolong kala kau terjatuh ke dalam 

jurang. Kalau kau ingin tahu namaku, 

biasanya orang menyebutku "Ratu

Siluman Muka Ayu" karena aku mampu 

mengubah wajahku yang keriput ini 

menjadi cantik bak bidadari." Terkekeh 

wanita tua itu, dibarengi dengan peru-

bahan paras mukanya yang seketika itu 

mengejutkan Dewi Kalandasan. Muka yang 

tadinya penuh keriputan, seketika 

berubah menjadi cantik bak bidadari


setelah si nenek membacakan mantra.

"Bagaimana Dewi Kalandasan? 

Apakah kau percaya?"

"Hai! Rupanya kau telah mengenal 

namaku. Dari mana kau tahu namaku?"

Ditanya seperti itu si nenek 

terkekeh-kekeh. Dengan terlebih dulu 

mengubah wajahnya kembali ke bentuk 

semula, si nenek kembali berkata: 

"Jangan kaget, Dewi. Aku memang dapat 

mengenalmu, bila kau mengerutkan 

matamu."

"Bagaimana si nenek mengenaliku 

hanya dari mataku? Ah! Jangan-jangan 

dia malaikat," kata Dewi Kalandasan 

dalam hati.

"Kau rupanya bimbang, Dewi? 

Jangan bimbang! Sebab akan menjadikan 

dirimu terombang ambing oleh 

kehidupan. Kalau kau menentukan sikap, 

maka lakukanlah sikapmu."

"Nenek sangat tajam penglihatan 

batinnya. Apakah nenek adalah seorang 

malaikat yang menyamar?"

Terkekeh-kekeh kembali Dewi Muka 

Ayu mendengar pertanyaan Dewi 

Kalandasan. Lalu dengan menggeleng-

gelengkan kepala, si nenek Iblis Si-

luman Muka Ayu berkata: "Aku bukannya 

malaikat. Aku orang biasa sepertimu, 

yang punya kekurangan serta kelebihan. 

Kalau kau ingin dapat seperti aku, 

maka kelak kau pun akan menda-

patkannya. Dengan syarat, kau harus


menjadi muridku. Kau mau?"

Sesaat Dewi Kalandasan tercenung 

diam, memikirkan keputusan apa yang 

harus ia utarakan pada si nenek. 

Mengingat dendamnya pada Braja Denta 

karena cintanya ditolak, Dewi Kalan-

dasan pun segera memutuskan untuk 

menerima tawaran Siluman Muka Ayu.

"Baiklah, Nenek. Aku menerima 

tawaranmu. Aku siap untuk menjadi 

muridmu."

"Bagus, bagus! Mulai sekarang, 

kau harus memanggilku dengan sebutan 

guru!"

"Baiklah, Guru. Saat ini juga, 

aku siap untuk menjadi muridmu."

Terkekeh si nenek, mana kala 

mendengar ucapan Dewi Kalandasan.

Saking senangnya, si nenek tampak 

melompat-lompat bagaikan anak kecil 

kegirangan. Sejak saat itu pula, Dewi 

Kalandasan pun menjadi murid tunggal 

Siluman Muka Ayu.



ENAM



"Lain bagaimana dengan ayahku 

setelah itu?" tanya Jaka setelah 

melihat Ki Perwana terdiam meng-

hentikan ceritanya, untuk menarik 

nafas.

"Kau belum ngantuk, Jaka?"

"Belum, Paman. Ceritakanlah selu-

ruhnya, biar aku mengerti dan tahu apa


yang menjadikan paman begitu tertarik 

dalam masalah ini. Hingga paman 

mengundangku untuk datang ke mari."

"Wah, wah, wah. Sebenarnya paman 

sendiri telah ngantuk. Namun karena 

melihatmu masih belum apa-apa paman 

hilang kantuknya. Kau memang benar-

benar seorang tokoh persilatan yang 

mumpuni. Tak heran kalau kau mampu 

mengatasi segala kesusahan, apalagi 

masalah ngantuk, bukan begitu, Jaka? "

"Ah, paman terlalu meninggikan. 

Saya rasa semua orang sama," kata Jaka 

mengelak tuduhan yang dilontarkan Ki 

Perwana yang kembali tersenyum dan 

mengangkat cangkir kopinya untuk 

diminum.

Setelah berguru pada Siluman Muka 

Ayu, bertambahlah ilmu yang dimiliki 

oleh Dewi Kalandasan. Dendamnya pada 

Eka Bilawa yang mendorongnya untuk 

mampu menyerap segala ilmu yang 

diajarkan oleh Siluman Muka Ayu. 

Hingga dalam waktu yang singkat, Dewi 

Kalandasan telah menguasai ilmu-ilmu 

Siluman Muka Ayu.

Di antara ilmu-ilmu silumannya, 

ada sejenis ilmu yang akan membuatnya 

tampak ayu dan awet muda. Ilmu itu, 

bernama ajian Ronggeng. Sedangkan ilmu 

yang ganas, yang ia kuasai dari 

Siluman Muka Ayu adalah sebuah ajian 

yang sungguh dahsyat bernama Ajian 

Lebur Raga. Yang bila dihantamkan pada


musuhnya, seketika musuhnya akan 

menjadi tepung.

Setelah mendapatkan seluruh ilmu 

dari Siluman Muka Ayu, Dewi Kalandasan 

pun bermaksud mengadakan perhitungan 

pada semua lelaki, khususnya pada Eka 

Bilawa yang dicintainya sekaligus 

dibencinya.

Saat itu juga kembali dunia 

persilatan dibuat geger, dengan ulah 

seorang wanita cantik yang membunuh 

setiap lelaki yang telah menerima ke-

puasan darinya.

Petualangannya begitu menggempar-

kan, sampai mengundang perhatian Ki 

Paksi, yang segera mengundang 

muridnya.

"Ada gerangan apa lagi, hingga 

guru memanggilku?"

"Ketahuilah, Bilawa. Dunia persi-

latan kini tengah kembali digegerkan 

oleh tingkah seorang wanita cantik, 

yang sepak terjang nya sungguh kelewat 

telengas dan biadab." 

"Maksud Guru?"

Eka Bilawa yang memang belum 

mendengar dan mengetahuinya, kembali 

bertanya pada gurunya. Paksi Anom 

sesaat mengangguk-anggukkan kepala, 

sebelum kembali berkata menerangkan.

"Wanita itu setiap beraksi selalu 

meninggalkan selembar daun lontar, 

yang bertuliskan "Hadiah untuk Eka 

Bilawa."


"Ah! Siapa kira-kira wanita itu, 

guru?"

"Menurut pengamatan mata batin 

ku, wanita itu orang yang dulu pernah 

berbuat yang sama. Wanita itu tak lain 

dari Dewi Kalandasan yang masih hidup 

kala jatuh ke dalam jurang," kata 

Paksi Anom menjelaskan, membuat Eka 

Bilawa makin tersentak kaget hingga 

mendesah.

"Ah... Apa itu mungkin, guru? 

Sedangkan Dewi Kalandasan jatuh ke 

dalam jurang yang terjal dan dalam?"

"Mungkin...! Di dunia ini 

segalanya dapat mungkin terjadi."

"Kalau begitu Dewi Kalandasan ada 

yang menolongnya?"

"Benar katamu, anakku. Dewi 

Kalandasan memang ada yang menolong 

manakala terjatuh dalam jurang, hingga 

tubuhnya selamat."

Tercenung Eka Bilawa mendengar 

pertuturan gurunya. Ia tak menyangka 

kalau Dewi Kalandasan masih hidup, dan 

kini mendendam padanya karena ia telah 

menolak cintanya. "Kalau begitu, 

sungguh suatu petaka besar bagi dunia. 

Lambat atau cepat, Dewi Kalandasan 

akan menemuiku. Maka sebelum banyak 

korban, aku harus mencari dan mencegah 

tindakannya."

Ter masygul Eka Bilawa dalam 

hati, manakala mengingat apa yang 

bakal terjadi di dunia persilatan bila


ia tak segera mencegah tindakan 

telengas Dewi Kalandasan.

"Tak adakah orang persilatan yang 

berusaha menghalangi niat Dewi 

Kalandasan, guru?"

"Sudah, namun semuanya menemui 

kegagalan. Perlu kau tahu, biasanya 

orang-orang itu, tak mampu menghadapi 

rayuan Dewi Kalandasan."

"Maksud guru?" Masih Eka Bilawa 

tak memahami apa yang dikatakan 

gurunya, yang seketika itu memandang 

padanya sembari tersenyum.

Setelah sesaat menarik nafas 

panjang-panjang, Paksi Anom segera 

kembali berkata menerangkan: "Dalam 

menjalankan aksi nya wanita yang 

bernama Dewi Kalandasan selalu merayu 

setiap laki-laki dengan kecantikan 

wajahnya dan kemulusan tubuhnya. Bila 

laki-laki itu telah terjebak rayuan 

nya, maka jadilah laki-laki itu 

terbuai oleh bisikan setan. Dan 

setelah lelaki itu mendapat kepuasan 

darinya, lelaki itu pun dengan 

telengas dan biadab dibunuh.

Mengerti lah Eka Bilawa setelah 

gurunya menerangkan. Maka dengan 

didahului desahan, Eka Bilawa 

bertanya. "Lalu apa yang harus hamba 

kerjakan, guru?"

"Sebagai seorang pembela kebena-

ran serta keadilan, kau harus dapat 

mencegah tindakannya agar tidak meluas


dan memakan korban lebih banyak lagi. 

Hati-hatilah! Sebab dia kini bukan 

Dewi Kalandasan yang dulu kau kenal. 

Dia sekarang Dewi Kalandasan yang 

memiliki ilmu-ilmu Siluman. Di antara 

ilmu silumannya, ia memiliki ilmu yang 

sangat ganas dan berbahaya. Ilmu itu 

bernama Ajian Lebur Raga. Barang siapa 

terkena ajian itu, niscaya tubuhnya 

akan menjadi tepung."

Terkesiap Eka Bilawa mendengar 

penuturan gurunya, tentang ilmu yang 

dimiliki oleh Dewi Kalandasan. 

Keraguan di hatinya seketika timbul, 

dan menjadikan sebuah pertanyaan. 

"Mampukah aku mengalahkannya? Kalau 

aku tak mampu, maka akulah yang bakal 

menjadi korbannya."

Paksi Anom yang memang cermat, 

segera mengetahui apa yang tengah 

tersirat di hati muridnya. Maka dengan 

mengurai senyum di bibir, Paksi Anom 

segera menegur: "Bilawa, kau rupanya 

bimbang. Jangan kau takut dan bimbang 

menghadapinya, sebab ilmu yang ia 

miliki tak lebih tinggi dari ilmumu.

Karena kau menggunakannya pada 

kebenaran. Maka Yang Maha Kuasa akan 

selalu melindungimu. Percayalah, bahwa 

ilmu yang kau miliki akan mampu 

mengatasi ilmunya. Kalau ia memiliki 

ajian Lebur Raga, kau pun memiliki 

Ajian Tapak Yaksa bukan?"

"Terima kasih atas nasehat yang


guru berikan, kini hati hamba telah 

tenang dan penuh kepercayaan. Kapankah 

hamba diperkenankan untuk menghentikan 

sepak terjang Dewi Kalandasan, guru?"

Hatinya kini tenang dan yakin 

akan kemampuan yang ia miliki, walau 

ia pun harus menyadari bahwa 

keberuntungan yang dilimpahkan Tuhan 

jugalah yang bakal mampu memberikan 

kemenangan.

"Sebelum kau menghadangnya. Aku 

sarankan kau terlebih dahulu meng-

hubungi suaminya, Jagalaya di kaki 

gunung Semeru. Berangkatlah ke sana."

Setelah habis ucapan gurunya, Eka 

Bilawa menjura hormat meminta ijin dan 

doa restu untuk menemui Ki Jagalaya 

sekaligus untuk mencegah tindakan Dewi 

Kalandasan. "Guru, hamba mohon doa 

restu. Hari ini juga murid akan pergi 

menemui Ki Jagalaya sekaligus 

menghentikan sepak terjang Dewi 

Kalandasan yang terlalu telengas."

"Pergilah, anakku. Aku doakan 

semoga kau berhasil," kata Ki Paksi 

Anom, seraya membelai rambut Eka 

Bilawa yang masih menjura hormat dan 

menyembah.

Dengan diikuti gurunya sampai ke 

pelataran rumah, Eka Bilawa segera 

berlalu pergi meninggalkan kediaman 

gurunya untuk menemui Ki jagalaya di 

kaki gunung Semeru.


* * * *

Di kaki gunung Semeru tampak 

sebuah pondok kecil, yang tenang dan 

sunyi. Sepertinya pondok itu tak ada 

penghuninya, sepi menyendiri. Namun 

bila kita menengok ke dalam pondok, 

kita akan melihat seorang lelaki 

tengah khusuk bermeditasi.

Kala lelaki itu tengah khusuk 

melakukan semedinya, tiba-tiba 

seberkas sinar tampak masuk ke pondok 

melalui jeruji jendela yang terbuat 

dari bambu belahan.

Belum juga lelaki itu hilang dari 

kekagetannya, cahaya itu telah berubah 

menjadi sesosok tubuh manusia yang 

telah berdiri di hadapannya sembari 

menjura hormat, dan menyapa ramah.

"Sampurasun...!"

"Rampes...!" jawab lelaki yang 

tengah semedi, yang tak henti-hentinya 

memandang kaget pada sosok pemuda yang 

berdiri di hadapannya yang datangnya 

secara tiba-tiba. "Siapakah Ki sanak 

adanya?"

"Maafkan kelancanganku mengganggu 

meditasi mu, namaku Eka Bilawa. Aku 

sengaja datang ke mari, karena diutus 

oleh guruku."

"Siapakah guru Ki sanak adanya? 

Dan ada keperluan apa yang Ki Sanak 

tuju hingga bertandang ke mari?"

"Guruku bernama Paksi Anom. Aku


datang ke mari untuk meminta 

pendapatmu tentang sepak terjang 

istrimu Dewi Kalandasan. Bagaimana 

menurutmu, Ki Jagalaya?"

Seketika terkesiap Jagalaya demi 

mendengar nama orang yang disebut, 

sebelum akhirnya ia bertanya kembali.

"Maksud Ki sanak?"

"Istrimu kini telah membuat 

keonaran di dunia persilatan. Dengan 

mengandalkan tubuhnya, istrimu telah 

menjerat dan membunuh banyak lelaki.

Apakah kau akan membiarkannya?"

Jagalaya seketika tersentak 

manakala mendengarkan penuturan Eka 

Bilawa tak menyangka kalau tindakan 

istrinya telah sedemikian jauhnya. 

melampaui nilai-nilai kemanusiaan. 

Maka setelah terdiam sesaat, Jagalaya 

pun dengan terlebih dahulu menarik 

nafas berkata pasrah: "Ki sanak Eka 

Bilawa. Kalau memang hal itu perlu 

adanya tindakan, Aku serahkan padamu 

sepenuhnya. Aku yakin, Ki sanak 

mengerti apa yang harus Ki sanak 

lakukan."

"Baiklah, kalau itu keputusanmu. 

Berarti aku telah mendapatkan mandat 

darimu. Terima kasih terlebih dulu aku 

ucapkan, dan aku pun mohon diri untuk 

segera menemui istrimu yang tengah 

berkelana mencari mangsa."

Maka kedua orang itu pun segera 

saling bersalaman, sebelum akhirnya


Eka Bilawa segera pergi meninggalkan 

padepokan Jagalaya. Dengan diiringi 

Jagalaya hingga ke lereng gunung 

Kelud, Eka Bilawa segera berlalu pergi 

untuk menjalankan tugasnya menghadang 

sepak terjang Dewi Kalandasan.

Kala Eka Bilawa tengah berjalan 

menyusuri jalan setapak di tengah 

hutan, ia bertemu dengan seorang 

lelaki tua yang menghadang langkahnya. 

Merasa tak mengenal lelaki itu, Eka 

Bilawa segera bertanya. "Ki sanak.

Apakah gerangan hingga Ki sanak 

menghadang langkahku?"

Di tanya seperti itu, lelaki itu 

bukannya menjawab, malah dengan mata 

menyipit, dipandanginya tubuh Eka 

Bilawa bagaikan menyelidik. Hal itu 

membuat Eka Bilawa makin tak mengerti, 

hingga untuk kedua kalinya bertanya: 

"Ki sanak! Adakah sesuatu yang menjadi 

perhatian pada diriku?"

Belum juga ada jawaban dari 

lelaki tua renta berbadan bongkok. 

Malah dengan mulut menyeringai, lelaki 

tua berbadan bongkok itu berkata 

ngawur bagaikan orang gila. Hingga 

membuat Eka Bilawa terpaksa 

mengerutkan kening, tak mengerti akan 

apa yang diucapkan oleh lelaki tua 

bongkok itu.

"Sungguh beruntung orang yang 

berjalan pada jalan kebenaran. Karena 

dirinya selalu tenang dan damai. Namun


bila berjalan dalam kekhilafan, 

niscaya dirinya tak pernah bahagia. 

Iblis dan setan selalu menggoda."

"Hai, sepertinya kau tengah 

bersyair, Ki sanak! Apa maksud syair 

mu itu?"

Terkekeh lelaki tua bongkok itu, 

sepertinya tertawa pada diri sendiri. 

Lalu dengan masih memandang pada Eka 

Bilawa, lelaki tua berbadan bongkok 

itu menerangkan maksudnya.

"Pendekar Eka Bilawa, ketahuilah, 

bahwa di utara sana kau akan menemui 

tantangan. Berhati-hatilah, karena 

petaka akan datang secara tiba-tiba 

bila kau lengah dan menyepelekan hal-

hal yang kau anggap sepele. Jangan kau 

terpengaruh dengan rayuan mautnya."

Bersamaan dengan habisnya ucapan 

lelaki tua bongkok itu, lenyap pula 

tubuh lelaki tua bongkok di 

hadapannya. Seketika Eka Bilawa 

tersentak, mendapatkan lelaki tua itu 

tak ada lagi di hadapannya. Belum 

habis keterkejutan Eka Bilawa, tiba-

tiba terdengar suara lelaki tua 

bongkok itu berkata kembali padanya.

"Eka Bilawa, kau tak perlu 

terkejut, sebab aku adalah manusia 

semacammu. Bila kau hendak melangkah 

mencari Dewi Kalandasan, maka perguna-

kanlah penangkal ilmu silumannya 

dengan bambu kuning yang ada di 

hadapanmu."


"Siapa kau sebenarnya, Ki sanak?"

Terkekeh suara lelaki tua bongkok 

itu, sebelum akhirnya kembali ter-

dengar berkata menjawab: "Aku adalah 

orang yang selalu dekat denganmu."

Terkesiap Eka Bilawa kala men-

dengar ucapan orang tua berbadan 

bongkok, yang seketika mengingatkannya 

pada seseorang yang selalu dekat 

dengannya. Setelah merasa pasti, 

dengan segera Eka Bilawa bersujud 

sembari menyembah dan berkata: "Guru! 

Ah, mengapa guru menyamar?"

"Ha.... ha.... ha....! Rupanya 

ingatanmu masih tajam. Nah, sekarang 

pergilah kau ke arah utara. Di sana 

kau akan menemui korban-korban Dewi 

Kalandasan, yang terlalu sadis dan 

telengas. Jangan kau terpengaruh oleh 

rayuan nya, yang akan menjadikan lemah 

imanmu. Pusatkan segala pikiranmu pada 

Tuhan Yang Maha Esa, sebab hanya 

Dialah yang dapat melindungimu. Ingat! 

Kalau musuhmu telah tak berdaya, 

jangan kau lalu menurunkan tangan 

jahatmu. Biarkanlah ia sadar sendiri."

"Baiklah, guru. Hamba akan selalu 

mengingat petuah dan pesan yang guru 

berikan. Kini hamba mohon pamit."

Bersamaan dengan lenyapnya suara 

Ki Paksi Anom, maka Eka Bilawa segera 

meneruskan langkahnya menuju ke arah 

yang diberikan gurunya untuk menemui 

Dewi Kalandasan yang makin telengas


dan membawa banyak korban.

"Kalau tidak segera dicegah. Aku 

khawatir korban makin bertambah 

banyak. Aku harus segera mencegahnya." 

Maka dengan menggunakan ajian angin 

puyuh Eka Bilawa segera berlari menuju 

ke arah utara. Karena menggunakan 

ajian angin puyuh hingga Eka Bilawa 

seperti angin saja berlari.

* * * *

Di dalam sebuah gubuk tampak 

seorang lelaki tengah menggeluti 

seorang wanita. Keduanya tampak telan-

jang tanpa sehelai benang pun, 

manakala sebuah sinar berkelebat masuk 

ke dalam dan mengejutkan mereka. Kedua 

orang yang tengah dipengaruhi setan, 

segera tersentak dan melepaskan 

pelukan masing-masing. Sementara 

bayangan yang tadi berkelebat, tampak 

seorang pemuda yang kini berdiri 

mematung di sudut ruangan dengan wajah 

menghadap ke bilik.

"Siapa kau?" tanya Dewi 

Kalandasan, yang segera bangkit dari 

terlentang nya dengan terlebih dahulu 

mengibaskan tubuh pemuda yang sedari 

tadi menggeluti nya. Kibasan tangan 

Dewi Kalandasan, menjadikan pemuda itu 

menjerit dan meregang mati.

"Gunakan pakaianmu dulu, nanti 

aku akan memberitahukan mu siapa aku


sebenarnya."

Dewi Kalandasan segera menyadari 

keadaan tubuhnya, dengan segera 

dikenakan pakaiannya sebelum akhirnya 

ia kembali bertanya lagi setelah 

pakaiannya melekat di tubuhnya. 

"Siapakah kau, Ki sanak? Apakah kau 

juga ingin merasakan kehangatan 

tubuhku?"

Perlahan lelaki itu membalikkan

tubuhnya menghadap ke Dewi Kalandasan 

yang terkejut setelah tahu siapa 

adanya lelaki itu. Yang dengan 

senyumnya berkata: "Ternyata 

tindakanmu makin menjadi-jadi, Dewi 

Kalandasan?"

"Bilawa! Untuk apa kau datang ke 

mari?"

"Hem... kalaupun aku tak datang 

ke mari, pasti suatu saat kau pun akan 

datang menemuiku, untuk menuntut 

dendam cinta mu bukan?"

"Benar, Bilawa memang aku hendak 

menagih janjimu. Aku akan mengambil 

nyawamu, yang telah tega membuatku 

menderita batin."

"Kalau itu yang engkau mau, 

lakukanlah bila mampu."

Menggeretak gigi Dewi Kalandasan, 

mendengar ucapan Eka Bilawa. Maka 

dengan terlebih dahulu menggeram 

marah, Dewi Kalandasan segera 

menyerang.

"Eka Bilawa keparat! Jangan


sesalkan tindakanku! Hiat...!"

Eka Bilawa yang telah waspada, 

dengan segera mengelak dan balik 

menyerang.

"Hiat...!"

Perkelahian kedua orang yang 

pernah terjerat cinta di hati masing-

masing, tak dapat dicegah lagi. 

Keduanya berkelebat-kelebat dengan 

cepatnya, saling serang dan elak. 

Jurus demi jurus terlampaui.

Manakala jurus yang kedua puluh 

lima hendak berjalan, seketika tubuh 

Dewi Kalandasan tampak melompat 

mundur. Lalu dengan disertai pekikan, 

Dewi Kalandasan pun kembali menyerang 

dengan ilmunya.

"Terimalah kematianmu, Bilawa! 

Ajian Lebur Raga! Hiat...!"

Dari tangan Dewi Kalandasan, 

tampak selarik sinar merah membara 

berkelebat di samping kiri Eka Bilawa 

yang segera mengelak. Sedetik saja Eka 

Bilawa terlambat, maka nyawanya akan 

melayang.

Mendengus Eka Bilawa seketika, 

manakala melihat kehebatan ajian yang 

baru saja dilancarkan oleh Dewi 

Kalandasan. Maka dengan mendengus, Eka 

Bilawa segera mengimbanginya dengan 

jurus Ajian Tapak Bahana.

"Tapak Bahana! Hiat...!"

Keduanya segera melompat ke 

udara, dan berbareng keduanya meng


hantamkan ajian masing-masing. 

Seketika dua ajian pamungkas itu 

berada di udara, menjadikan sebuah 

ledakan dahsyat. 

"Duar...!"

Tubuh keduanya terdorong ke 

belakang. Eka Bilawa tergetar 

tubuhnya, dan menyurut kakinya tiga 

langkah. Sementara Dewi Kalandasan 

tampak terdorong lima tombak, dengan 

mulut mengeluarkan darah segar.

Tanpa menghiraukan Eka Bilawa, 

Dewi Kalandasan yang terluka dalam itu 

berkelebat pergi. Eka Bilawa hanya 

terbengong-bengong tanpa bermaksud 

mengejarnya.

"Sejak kejadian itu, Dewi 

Kalandasan tak terdengar lagi kabar 

beritanya hilang bagaikan tertelan 

bumi." Mengakhiri Ki Perwana berkata, 

yang membuat Jaka termangu diam. 

Setelah sesaat terdiam, Jaka bertanya 

kembali.

"Lalu apa yang menjadikan 

perhatian paman saat ini?"

Seketika Ki Perwana tersentak, 

manakala mendengar pertanyaan Jaka. 

Setelah menguap sesaat, Ki Perwana 

segera menerangkan apa yang menjadikan 

perhatiannya hingga mengundang Jaka 

datang ke tempatnya.

"Setelah sekian lama menghilang! 

Dewi Kalandasan tiba-tiba muncul dan 

membuat keonaran lagi. Maka sebagai


orang yang bertumpu pada kebenaran dan 

ketentraman, aku tak bisa berdiam diri 

begitu saja. Namun untuk mencegah 

tindakannya, hanya kaulah yang mampu 

untuk mengatasinya."

Mengerut alis mata Jaka mendengar 

ucapan Ki Perwana. Dengan masih tak 

mengerti, Jaka bertanya:

"Hai! Mengapa mesti aku? Apakah 

tak ada pendekar lain yang berusaha 

mencegahnya?"

"Sudah, Jaka. Berpuluh-puluh 

pendekar telah berusaha mencegahnya. 

Namun kesemuanya hanya mengalami 

kegagalan dan menemui kematian yang 

mengerikan, yaitu barang miliknya 

hilang terbetot."

"Hah! Sungguh mengerikan, paman!" 

Terbelalak mata Jaka mendengar penu-

turan Ki Perwana. Hatinya tersengat 

juga, bila membayangkan tindakan yang 

dilakukan Dewi Kalandasan.

"Itulah, Jaka. Mengapa aku 

mengundangmu ke mari. Sebab hanya 

pewaris ilmu Empat Pendekar Sakti yang 

mampu menghadapinya, Karena kau satu-

satunya pewaris ilmu Empat Pendekar 

Sakti, aku minta tolong padamu. Kau 

sanggup bukan?"

Setelah mendengar ucapan Ki 

Perwana dan sesaat terdiam berpikir, 

Jaka akhirnya berkata juga:

"Aku akan berusaha membantu. 

Namun aku tak dapat menjanjikannya,


karena aku pun belum yakin pada 

kemampuanku. Di samping itu pula, aku 

harus mencari orang yang bernama Kala 

Peningasan yang telah mencuri Kitab

dan pusaka-pusaka milik beberapa 

perguruan."

"Tak mengapa, yang penting bagi 

kami, kau mau membantu. Kini hari 

sebentar lagi pagi. Tidakkah kau 

bermaksud istirahat barang sekejap 

untuk memulihkan tenagamu?"

Dengan segera kedua orang itu pun 

berlalu menuju ke dipan masing-masing 

yang ada di rumah itu, untuk tidur. 

Mungkin karena telah mengantuk, 

keduanya pun segera terlelap tidur.

Rumah itu pun kini tampak sunyi, 

dan hanya suara dengkuran Ki Perwana 

saja yang mengumandang memecahkan 

kesunyian malam itu. Walau Jaka merasa 

bising oleh dengkuran Ki Perwana, 

namun karena rasa kantuk telah 

menggayut di kedua matanya Jaka 

akhirnya tertidur pulas.



TUJUH



Di kaki gunung Slamet tampak 

sebuah padepokan berdiri dengan 

megahnya. Di sekelilingnya terpagar 

betonan dari batu bata merah, makin 

menambah kemegahan bangunan itu.

Di pintu depan untuk masuk ke


dalam, dua orang penjaga tampak selalu 

siaga dan seksama. Mata kedua orang 

itu, selalu liar memandang orang yang 

lalu lalang jalan di situ.

Tengah kedua penjaga pintu 

gerbang itu memandang ke orang-orang 

yang berjalan di muka tempat itu, 

seorang pemuda tiba-tiba memberi 

salam: "Sampurasun...!"

Dengan agak terkejut, kedua 

penjaga pintu gerbang segera menjawab 

dengan mata penuh selidik: "Rampes...! 

Siapakah Ki Sanak ini? Dan ada 

keperluan apakah Ki Sanak datang ke 

mari?"

Pemuda yang baru datang dengan 

menggunakan caping lebar dengan segera 

berkata: "Namaku, Loh Gamyar. Aku 

sengaja datang ke mari, dengan maksud 

ingin mengabdi pada Ratu mu. Sampaikan 

lah salam hormatku pada Ratu kalian."

Kedua penjaga pintu gerbang itu, 

tidak segera menuruti ucapannya. Malah 

dengan mata tajam, keduanya memandang 

penuh selidik Setelah sesaat 

memandang, salah seorang penjaga 

itupun berkata: "Baiklah, tunggu 

sebentar." Pengawal itupun segera 

masuk ke dalam, untuk menemui 

pimpinannya Ratu Siluman Muka Ayu.

Sang Ratu yang tengah duduk-duduk 

dengan didampingi abdi setianya yang 

rata-rata pemuda, menyipitkan mata 

demi melihat penjaga pintu gerbang


datang menghadapnya dengan senyuman.

"Ada apa, Warma? Seperti mendapat 

rejeki saja kau tersenyum-senyum."

"Ampun, Sri Ratu. Ada seorang 

pemuda gagah yang hendak mengabdikan 

diri pada Sri Ratu," menjawab Warma 

setelah menjura hormat.

Sri Ratu tersenyum, lalu dengan 

penuh wibawa Sri Ratu pun kembali 

berkata menyuruh pada Warma.

"Warma, siapakah nama pemuda 

itu?"

"Dia bernama Loh Gamyar, Sri 

Ratu."

"Suruh dia masuk untuk menghadap 

ku."

"Daulat, Sri Ratu," berkata Warma 

seraya menyembah, lalu dengan segera 

berlalu meninggalkan Sri Ratu yang 

kembali bermesraan dengan abdi-

abdinya.

"Tuan Loh Gamyar. Tuan 

diperkenankan masuk untuk menemui Sri 

Ratu," berkata Warma setelah sampai 

kembali ke pintu gerbang.

"Ke mana aku harus menemui Ratu 

mu?"

"Aku akan mengantarmu, ayo!"

Dengan diantar Warma, Loh Gamyar 

pun segera menuju ke tempat Sri Ratu 

berada. Tak berapa lama mereka 

melangkah masuk, keduanyapun segera 

tiba di tempat Sri Ratu berada.

Warma segera masuk mendahului,


sementara Loh Gamyar menunggu di luar. 

Warma dengan segera menghadap Sri Ratu 

dan menyampaikan berita bahwa pemuda 

itu ada di luar.

"Ampun, Sri Ratu. Pemuda itu kini 

menunggu di luar."

Sri Ratu yang tengah bercumbu 

rayu dengan abdi-abdinya, seketika 

menghentikan cumbuan nya dan langsung 

menghadap ke Warma sembari berkata: 

"Suruh dia masuk!"

"Daulat, Sri Ratu!"

Bergegas Warma kembali ke luar 

menemui Loh Gamyar.

"Tuan diperkenankan masuk!"

Kedua orang itupun akhirnya masuk 

ke dalam ruangan yang besar. Tampak 

oleh Loh Gamyar seorang wanita cantik 

dengan pakaian yang minim sekali duduk 

dengan posisi merangsang. Senyumnya 

menghias bibir yang makin menambah 

anggun dan cantiknya.

Setelah Loh Gamyar menyembah, 

terdengar suara Ratu Siluman Muka Ayu 

berkata: "Loh Gamyar. Benarkah kau 

hendak mengabdi padaku?" 

"Benar, Sri Ratu."

"Baiklah, Loh Gamyar. Kau aku 

terima sebagai abdi ku. Kau tahu apa 

yang harus kau kerjakan?"

Sesaat Loh Gamyar terdiam 

memandang wajah Sri Ratu dengan 

pandangan kurang ajar. Semestinya Sri 

Ratu marah, namun demi melihat wajah


Loh Gamyar yang tampan, Sri Ratu 

bukannya marah tapi tersenyum.

Dengan perlahan Sri Ratu beranjak 

dari tempat duduknya, menuju ke Loh 

Gamyar yang tampaknya terdiam saja. 

Diajaknya Loh Gamyar menuju ke sebuah 

ruangan yang bertirai putih bersih.

"Loh Gamyar. Sudahkah kau 

pikirkan semuanya?" tanya Sri Ratu 

kala keduanya telah masuk ke dalam 

peraduan pada Loh Gamyar yang masih 

terdiam memandang wajah Sri Ratu.

"Sungguh benar-benar cantik," 

bergumam hati Loh Gamyar. "Pantas 

kalau tokoh-tokoh persilatan akan 

mudah ditaklukannya." Loh Gamyar 

bagaikan orang bodoh saja mengangguk, 

lalu dengan penuh nafsu Loh Gamyar 

merengkuh tubuh Sri Ratu.

Mendesah-desah Sri Ratu Siluman 

Muka Ayu manakala tangan Loh Gamyar 

bergerayangan menuju ke seluruh tubuh.

"Jangan kau hentikan, Loh!" 

rengek Sri Ratu yang telah dilanda 

nafsu, menjadikan Loh Gamyar makin 

bertambah semangat.

Kedua orang itupun terus memburu 

emosi, yang bersamaan dengan nafsu di 

hati mereka. Napas keduanya memburu, 

bak kuda-kuda yang tengah berpacu. Tak 

lama antaranya, keduanya terlelap 

dalam heningnya alunan rasa yang 

menderu di setiap sentuhan-sentuhan 

birahi.


* * *

Mendengar desah-desah di dalam 

kamar Sri Ratu, menjadikan emosi abdi-

abdi yang lainnya. Wajah-wajah mereka 

seketika membara, penuh nafsu dan 

kebencian pada Loh Gamyar yang 

dianggapnya telah merebut hati Sri 

Ratu.

Salah seorang dari keenam abdi 

Sri Ratu nekad menerobos masuk ke 

dalam, membuat Loh Gamyar dan Sri Ratu 

terperanjat.

"Mau apa kau masuk ke sini, 

Londang!" membentak Sri Ratu marah, 

melihat Londang dengan napas memburu 

hendak mencengkeram pundak Loh Gamyar 

yang segera mengelak.

"Heh... Kenapa kau tiba-tiba hen-

dak menyerangku, Ki Sanak?" bertanya 

Loh Gamyar tak mengerti, setelah 

dirinya dapat mengelakkan cengkeraman 

Londang.

Namun Londang yang dipengaruhi 

oleh rasa cemburu tak mau menjawab. 

Bahkan dengan mendengus da mata 

menyorot penuh kebencian pada Loh 

Gamyar, Londang kembali menyerang.

Murka Sri Ratu melihat tingkah 

laku Londang. Matanya yang tadi redup 

dan jeli, berubah memerah penuh bara 

kematian. Tak dapat terelakkan lagi 

oleh Londang, manakala tangan Sri Ratu 

yang dialiri tenaga dalam menghantam


tubuhnya. Seketika tubuh Londang 

hancur menjadi tepung, berserakan 

memenuhi lantai. Loh Gamyar yang 

menyaksikan hal itu, tak terasa 

bergumam lirih penuh kekagetan. "Ajian 

Tapak Bahana!"

Terbelalak mata Sri Ratu, 

manakala mendengar ucapan Loh Gamyar. 

Maka dengan masih kaget, Sri Ratu 

Siluman Muka Ayu bertanya: "Apa yang 

tadi kau katakan, Loh?"

"Tidak!! Hamba tidak berkata apa-

apa," menjawab Loh Gamyar terbata-

bata. "Sungguh bahaya mulutku ini. 

Kalau saja Sri Ratu mendengar jelas, 

ah...." menggumam hati Loh Gamyar.

Sri Ratu Siluman Muka Ayu 

mengangguk-anggukkan kepalanya, meman-

dang tajam pada Loh Gamyar, sepertinya 

tak percaya pada apa yang dikatakan 

oleh Loh Gamyar. Maka seketika, 

terdengar Sri Ratu kembali bertanya 

pada Loh Gamyar: "Loh, kau berdusta 

padaku. Aku dengar kau tadi mengatakan 

Bahana, apa itu?"

"Ampun, Sri Ratu. Hamba tadi 

saking kagumnya melihat ajian yang 

dilontarkan oleh Sri Ratu, hingga tak 

sengaja hamba bergumam bahaya. 

Sedangkan apa yang menjadi nama ajian 

Sri Ratu, hamba sendiri tidak mengerti 

apa-apa."

Sri Ratu kini tersenyum melebar 

dan dengan penuh gejolak di hatinya,


didekatinya kembali Loh Gamyar. 

Direngkuhnya leher Loh Gamyar yang ha-

nya diam menurut. Keduanyapun kembali 

terlelap dalam alunan kasih berbaur 

nafsu.

Hari begitu panasnya, kala sese-

orang pemuda tampak berjalan dengan 

lambat menuju ke sebuah kedai yang tak 

jauh dari tempatnya berjalan.

"Wah... perut ini telah minta 

jatah. Sudah seminggu aku mencari Kala 

Peningasan. Namun sejauh aku 

melangkah, belum juga aku temui. Ke 

mana aku harus mencarinya? Apakah aku 

menemui Loh saja?" berkata Jaka dalam 

hati.

Dirogohnya kantong yang ada di 

balik sabuknya, lalu dikeluarkan uang 

yang masih tersisa. "Waah... duitku 

hampir habis." Ditimang-timang duit 

itu hingga berbunyi,

"Kalau sampai dalam dua tiga hari 

ini aku belum dapat menemukan Kala

Peningasan, sungguh bodoh nya aku ini. 

Huh... pusing!" sambil menggumam dalam 

hati, Jaka Ndableg segera masuk ke 

dalam kedai.

Setelah mengambil tempat duduk, 

Jaka Ndableg segera memesan makanan 

pada pelayan kedai. Tak berapa lama 

antaranya, pesanannya pun telah 

datang. Maka dengan segera disantap 

nya seluruh makanan yang ter 

hidangkan. Sekejap saja makanan di


piring itu tuntas tak tersisa.

"Hem. Perutku sekarang kenyang. 

Ah. Lebih baik aku istirahat dulu 

sambil mengademkan badan yang sedari 

tadi disengat matahari," gumamnya 

dalam hati, lalu dengan menyenderkan 

tubuh pada tiang penyangga atap, Jaka 

duduk beristirahat.

Tengah Jaka beristirahat melepas 

lelah, seseorang lelaki masuk ke dalam 

kedai. Lelaki yang tak lain adalah 

Kala Peningasan, tampak memandang ke 

sekeliling ruangan kedai itu.

Setelah dirasakannya aman, Kala 

Peningasan dengan segera mengambil 

duduk tiga bangku dari kelana 

beristirahat. "Pelayan, beri aku nasi 

satu piring dengan lauk-pauknya. 

Jangan lupa sekendi tuak," pintanya 

pada pelayan kedai, yang dengan segera 

mengangguk dan berlalu pergi mening-

galkannya untuk mengambil pesanannya.

"Hem... rupanya di sini kau 

kutemui, Kunyuk! Kau telah membuatku 

pusing," bergumam Jaka dalam hati. 

Dibiarkannya Kala Peningasan menyantap 

makanannya lebih dulu, sementara ia 

tampak masih pura-pura tidur sambil 

menunggu Kala Peningasan makan.

Mata Kala Peningasan tampak liar, 

memandang ke sekeliling ruangan kedai. 

Seketika matanya tertuju pada seorang 

pemuda yang tengah tertidur dengan 

menyenderkan tubuhnya ke tiang


penyangga. Hatinya seketika gelisah 

manakala mengetahui bahwa pemuda itu 

tak lain Jaka adanya.

Bagaikan tak mengetahui adanya 

Kala Peningasan, Jaka dengan segera 

bangun dari tidurnya dan membayar 

makanan yang telah dimakannya. Lalu 

dengan tak memandang selirikpun pada 

Kala Peningasan. Jaka Ndableg segera 

berlalu pergi meninggalkan kedai itu.

Tersenyum Kala Peningasan yang 

merasa telah aman dari incaran Jaka, 

yang dianggapnya tak mengetahui 

keberadaan dirinya. Dengan hati tenang 

Kala Peningasan segera menyantap 

makanannya.

"Rupanya ia tak mengetahuiku. 

Ah... kalau dia sampai mengetahuiku, 

niscaya dia telah menangkapku. Semoga 

saja ia benar-benar tak tahu," ber-

gumam hati Kala Peningasan senang.

Setelah habis menyantap makanan 

bergegas Kala Peningasan membayar. 

Kemudian segera Kala Peningasan 

berlalu meninggalkan kedai itu dengan 

bernyanyi-nyanyi bagaikan seorang yang 

mendapat hadiah dari Raja.

Kala Peningasan melangkah sudah 

agak jauh dari kedai, terdengar 

seseorang memanggil namanya yang 

dikenalnya suara itu milik Jaka.

"Selamat bertemu, Kala Peni-

ngasan! Bagaimana keadaanmu sekarang? 

Bagaimana pula usahamu yang telah


mampu mengelabui orang-orang persilat-

an? aku berharap kau akan mampu 

menerima hukuman dari orang-orang 

persilatan, khususnya perguruan-

perguruan yang kau curi pusaka atau 

kitabnya."

Tersentak Kala Peningasan seraya 

memandang sekelilingnya, mencari orang 

yang telah berbicara. Mendapatkan 

bahwa orang yang telah berbicara tak 

ada tongkrongannya, Kala Peningasan 

segera berseru: "Hai! Kalau kau memang 

manusia adanya, tunjukkan mukamu!"

Habis ucapan Kala Peningasan, 

seketika berkelebat sesosok tubuh dari 

atas pohon yang telah berdiri di

hadapannya. Tubuh itu yang tak lain 

Jaka adanya, tampak tersenyum 

sepertinya ramah dan kembali berkata: 

"Aku, Kala Peningasan! Masih 

mengenalku, bukan?"

Melihat Jaka Ndableg. yang telah 

menyapanya, dengan seketika Kala 

Peningasan hendak berlari pergi. Namun 

dengan segera, Jaka memburunya. Dengan 

ajian Angin Puyuh, Jaka dengan segera 

mencegat di muka Kala Peningasan.

"Mau lari ke mana kau, Kala 

Peningasan? Aku ingin kau mau 

mengembalikan Kitab dan pusaka yang 

telah kau curi dari pemiliknya."

"Jangan harap kau akan mampu 

mendapatkan Kitab dan pusaka yang 

telah aku curi. Kau terlalu lancang


mencampuri urusanku. Maka janganlah 

kau menyesal bila kelak kau akan 

menderita."

"Hem... jangan kau mengancamku, 

Kala Peningasan! Kalau kelak aku 

menderita, itu adalah suratan Yang 

Kuasa. Sekarang aku meminta 

pertanggungan jawabmu atas tinda-

kanmu."

Mendengus marah Kala Peningasan 

mendengar ucapan Jaka. Maka dengan 

mata memerah marah, Kala Peningasan 

mengeretakkan gigi-giginya dan dengan 

seketika menyerang.

Jaka yang telah waspada dari 

semula, dengan segera mengegoskan 

tubuhnya mengelakan serangan Kala 

Peningasan sembari membentak marah.

"Rupanya kau memang iblis, Kala 

Peningasan! Dengan berkedok sebagai 

pendekar lurus, kau mencuri pusaka dan 

Kitab milik beberapa perguruan! 

Sungguh perbuatanmu tak dapat 

dimaafkan."

"Jangan banyak omong! Kalau kau 

memang pendekar yang kesohor, 

lakukanlah apa yang kau bisa. Tapi 

jangan harap kalau aku mau memberikan 

apa yang telah aku peroleh."

Maka tak dapat dicegah lagi, 

kedua orang itupun dengan seketika 

saling serang dan elak. Jurus demi 

jurus tingkat tinggi, dikeluarkannya 

untuk dapat menjatuhkan lawan.


Kala Peningasan bukanlah tokoh 

persilatan sembarangan, hingga ilmu-

ilmunya juga bukanlah ilmu ringan. Tak 

ayal lagi, Jaka harus waspada dan 

hati-hati. Setiap sambaran Kala 

Peningasan selalu mengeluarkan hawa 

panas dan deru angin.

Begitu juga halnya dengan Jaka 

yang telah kondang di dunia 

persilatan, bukanlah lawan yang enteng 

bagi Kala Peningasan. Nama besarnya 

sebagai Pendekar Pedang Siluman, telah 

menggetarkan dunia persilatan waktu 

itu.

Maka sudah dapat dipastikan bila 

dua tokoh persilatan bertemu, akan 

menjadikan sebuah pertarungan yang 

sayat dan seru.

"Matilah kau!" bentak Kala 

Peningasan dibarengi dengan lompatan 

tubuhnya ke belakang. Lalu dengan 

cepat dari tangan Kala Peningasan 

melarik seberkas sinar putih kekuning-

kuningan.

Jaka tersentak manakala menge-

tahui apa yang menderu-deru, yang ke 

luar dari tangan Kala Peningasan. 

Ribuan jarum-jarum beracun, beter-

bangan ke arahnya.

"Licik!" Dengan segera tangannya 

yang telah disaluri tenaga dalam serta 

didasari Ajian Bayu Sakti. Bunyi angin 

kibasan Bayu Sakti telah meruntuhkan 

puluhan jarum berbisa itu.


Manakala Jaka tengah sibuk 

menghalau jarum beracun yang ia 

taburkan, tidak disia-siakan oleh Kala 

Peningasan yang segera pergi 

meninggalkan Jaka secara diam-diam.

Betapa gusarnya Jaka seketika itu 

manakala melihat musuhnya telah 

berlalu entah ke mana. "Bedebah! Licik 

benar dia. Jangan harap bisa lolos 

dariku!" menggeretak Jaka marah, lalu 

dengan segera berkelebat mengejar Kala 

Peningasan yang telah pergi.



DELAPAN



Malam telah tiba ketika tampak 

sebuah bayangan berkelebat dari satu 

atap ke atap lainnya yang ada di 

kawasan wilayah Ratu Siluman Muka Ayu. 

Bayangan itu milik seorang lelaki, 

nampaknya tengah bermaksud menyelidiki 

sesuatu yang ada di dalam kawasan itu.

"Untung Sri Ratu sangat 

mencintaiku, kalau tidak. Mungkin aku 

sudah dijadikan bregedel semacam 

gacoan-gacoannya yang lima orang itu. 

Aku jadi tertarik untuk mengetahui di 

mana Sri Ratu mengeksekusi gacoannya? 

Mengapa mereka hilang begitu saja?"

Setelah tercenung sesaat, kembali 

bayangan lelaki itu berkelebat menuju 

ke satu rumah ke rumah yang lainnya 

tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.


Ketika telah sampai pada tempat 

yang dituju, yaitu sebuah bangunan 

yang terletak paling belakang. Lelaki 

itu segera melompat turun dan segera 

mengendap-endap.

"Mungkin di sini tempat Sri Ratu 

mengeksekusi gacoannya. Akan ku coba

menyelidiki tempat ini, hup!" Lelaki 

itu segera melompat lagi ke semak-

semak manakala tampak olehnya seorang 

peronda keliling.

Peronda itu tampak berhenti lama 

di tempat itu, di mana lelaki tadi 

bersembunyi. Sepertinya peronda itu 

melihat sebuah bayangan berkelebat 

menyusup dalam semak-semak.

"Sepertinya tadi aku melihat 

seseorang di sini, ke manakah? Atau 

jangan-jangan hanya mataku saja yang 

sudah rabun?"

Peronda itu membatin, mengingat-

ingat dan mengucak-ucak mata, seperti 

tak yakin pada penglihatannya. Lalu 

setelah mengucak-ucak mata, kembali 

peronda itu melotot ke arah semak-

semak membuat orang yang bersembunyi 

merasa was-was juga.

"Kalau tidak aku lumpuhkan bisa-

bisa orang ini akan membuat kesusahan, 

hup!" Seketika sebuah serangan datang

tiba-tiba menyerang si peronda yang 

tersentak dan berusaha melawan. Namun 

dengan segera si penyerang menotok 

urat darahnya, hingga si peronda


terkulai lemas seketika.

Tanpa membuang waktu lagi, orang 

yang menyerang si peronda dengan 

segera berkelebat menuju ke pintu 

bangunan itu. Dengan hati-hati sekali 

dibukanya pintu bangunan itu. Namun 

tak urung, pintu itu berderit juga 

dimakan usia.

Sesaat orang itu berhenti membuka 

pintu. Memandang celingukan ke 

belakang, takut-takut ada orang yang 

mendengar dan datang ke arahnya.

Setelah dirasa aman, orang itupun 

kembali membuka pintu perlahan-lahan. 

Namun kembali pintu berderit 

menjadikan rasa was-was pada orang 

yang membukanya. Setelah pintu terbuka 

agak lebar, lelaki itu dengan segera 

menyelinap masuk ke dalam.

Betapa tersentaknya lelaki itu 

manakala melihat tulang belulang 

berserakan di sana-sini. "Jagad Dewa 

Batara! Apa gerangan yang telah 

memakan orang-orang ini? Padahal baru 

dua hari yang lalu orang-orang ini 

menghilang," membatin lelaki yang tak 

lain Loh Gamyar menyaksikan kengerian 

yang terpampang di depan matanya.

"Hem... Aku rasa ada sesuatu di 

balik kamar yang tertutup itu. 

Kudengar suara dengkur yang sangat 

keras. Coba aku intip dari lobang 

angin itu."

Dengan melangkah perlahan


menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, 

Loh Gamyar segera mendekati lobang 

angin.

Seketika wajahnya tampak pucat 

pasi, manakala melihat apa yang 

sebenarnya tengah mendengkur di balik 

pintu besi itu. Sesosok tubuh binatang 

besar yang menyerupai ular tengah 

tertidur pulas karena kekenyangan.

"Jagat Dewa Batara! Ternyata 

bukan dibunuh seperti biasanya. Namun 

dimakankan pada binatang ini. Oh... 

mungkinkah aku juga bakal seperti 

orang-orang itu?" mengeluh pendek Loh 

Gamyar dalam hati.

Dengan hati-hati sekali, Loh 

Gamyar segera berlalu pergi mening-

galkan lobang angin. Ia takut kalau-

kalau mahluk yang tengah tertidur itu 

mendengar suara langkahnya.

"Hem... Aku tahu sekarang. 

Ternyata Sri Ratu Siluman Muka Ayu 

memelihara binatang ini. Atau... 

jangan-jangan binatang inilah yang 

menjadikan Sri Ratu awet muda dan 

sakti," bergumam hati Loh Gamyar, 

sebelum akhirnya pergi meninggalkan 

kembali ruangan itu.

Dengan berkelebat cepat laksana 

seekor kera, Loh Gamyar kembali 

menyusuri atap demi atap bangunan yang 

ada di situ. Hatinya kini bertanya-

tanya, gerangan apa yang menjadikan 

Sri Ratu memelihara mahluk seperti


ular namun besar itu?

Tengah Loh Gamyar berkelebat dari 

atap yang satu ke atap yang lain, tiga 

orang peronda keliling melihat. Ketiga 

orang itu hendak berseru manakala Loh 

Gamyar dengan segera mengibaskan 

tangan. Seketika ketiga orang yang 

hendak berteriak itu terdiam, 

mengejoprak ke tanah. Rupanya Loh Gam-

yar telah menyerang mereka dengan 

totokan mautnya, hingga mereka 

seketika terkulai lemas.

"Bahaya kalau aku terus-terusan 

begini. Bisa-bisa aku kepergok oleh 

yang lainnya dan hal itu akan 

menjadikan kegagalan usahaku. Kalau 

Jaka ada di sini, mungkin aku tak 

perlu khawatir. Aku merasa yakin, 

kalau Jaka yang mampu menghadapi Sri 

Ratu. Kedua-duanya memiliki ajian yang 

sama yaitu Tapak Bahana. Hem... dari 

mana Sri Ratu mendapatkan ajian itu?" 

Setelah sesaat Loh Gamyar tercenung, 

dengan segera iapun berkelebat turun 

dan menyelinap masuk ke dalam 

kamarnya.

Selang tak berapa lama antaranya, 

Sri Ratu datang menemuinya dan 

menanyakan apakah ia tak mendengar 

keributan di luar?

"Ampun, Sri Ratu. Hamba tidak 

mendengar sama sekali. Mungkin hamba 

terlelap tidur karena terlalu lelah," 

menjawab Loh Gamyar, yang pura-pura


menggeliat bangun dari tidurnya. 

"Memang gerangan apakah yang telah 

terjadi?"

Rupanya Sri Ratu mempercayainya. 

Sri Ratu pun tampak tersenyum manis 

sembari merapatkan tubuhnya pada tubuh 

Loh Gamyar. Dengan lembut Sri Ratu 

berbisik manja: "Sudahlah... Tak perlu 

kau risaukan. Jangan kau khawatir! Aku 

akan segera dapat menangkap orang yang 

telah membuat keonaran itu. Marilah 

kita bersenang-senang, Loh?"

Sri Ratu segera merengkuh tubuh 

Loh yang hanya diam menurut, masuk ke 

dalam peraduan di mana Loh Gamyar 

tidur. Dalam hati Loh Gamyar terbersit 

pertanyaan, tentang ucapan Sri Ratu 

yang tampaknya tak mengandung apa-apa. 

Namun bila dianalisa, jelas ucapannya 

merupakan sindiran bagi dirinya.

"Apakah Sri Ratu mengetahui bahwa 

aku yang telah berbuat? Ah... moga-

moga tidak benar firasat ku. Kalaupun 

memang benar, maka aku harus pura-pura 

tak mengerti."

Loh Gamyar menuruti Sri Ratu 

Siluman Muka Ayu, diboyongnya tubuh 

Sri Ratu yang tersenyum senang 

memandang padanya.

"Kau sungguh tampan, Loh. Maka 

aku sangat sayang padamu," berbisik 

Ratu Siluman Muka Ayu manakala 

keduanya masuk ke dalam peraduan dan 

langsung menutup tirai putih.


Keduanya pun akhirnya hening 

tanpa kata. Hanya keluh panjang Sri 

Ratu yang terdengar, memecah 

keheningan.

* * *

Terkejut penjaga pintu gerbang 

melihat beberapa tokoh persilatan 

datang. Mata kedua penjaga pintu masuk 

terbelalak dengan mulut ternganga

lebar.

"Kang Warma, sepertinya mereka 

dari golongan kaum persilatan. Ada apa 

gerangan, ya?" bergumam teman Warma. 

"Ayo, kang Warma beri tahukan pada Sri 

Ratu!"

Dengan tanpa protes atau menolak, 

Warma segera bergegas masuk ke dalam 

untuk menemui Sri Ratu. Langkah Warma 

nampak tergopoh-gopoh menjadikan Sri

Ratu yang melihatnya tampak 

mengernyitkan alis.

"Ada apa, Warma? Sepertinya ada 

sesuatu yang penting. Hingga mukamu 

pucat pasi seperti itu?"

"Ampun, Sri Ratu. Orang-orang 

persilatan berdatangan menuju ke mari"

"Apa? Orang-orang persilatan 

datang ke mari?" bertanya Sri Ratu 

Siluman Muka Ayu tampak terkejut, demi 

mendengar laporan Warman. Matanya yang 

jeli dan indah, seketika berubah 

menjadi beringas. Lalu dengan tanpa


bicara lagi, Sri Ratu segera 

meninggalkan Loh Gamyar yang masih 

terbengong tak mengerti.

"Kebetulan! Dengan adanya orang-

orang persilatan datang ke mari, aku 

ada kesempatan untuk menyelidiki 

keadaan di sini. Aku harap Jaka 

Ndableg akan segera datang," bergumam 

hati Loh Gamyar. Bibirnya mengurai 

senyum setelah kepergian Sri Ratu.

Dengan berkelebat cepat, Loh 

Gamyar segera keluar dari pondoknya. 

Pondok di mana Loh Gamyar berada, tak 

jauh dengan bangunan di mana Sri Ratu 

beristirahat. Dengan segera, Loh 

Gamyar menuju ke bangunan utama di 

mana tempat Sri Ratu melakukan upacara 

keagamaan.

"Semoga semuanya tengah tertuju 

pada kedatangan para tokoh 

persilatan."

Memang benar apa yang diharapkan 

Loh Gamyar. Saat itu semua penghuni 

padepokan Ratu Siluman Muka Ayu tengah 

tertuju perhatiannya pada kedatangan 

para tokoh persilatan yang kini tengah 

berkumpul di halaman padepokan.

"Aku harap Sri Ratu kalian segera 

keluar menemui kami!" berseru salah 

seorang tokoh persilatan dari per-

guruan Walang Keket.

Mendengar temannya berseru, dari 

pihak lainpun segera turut berseru 

menyuruh Sri Ratu Siluman Muka Ayu


segera keluar. "Benar! Katakan pada 

Ratu kalian, kami orang-orang 

persilatan ingin meminta tanggung 

jawabnya atas kematian beberapa pemuda 

murid-murid perguruan!"

Tengah di halaman padepokan 

terjadi keributan. Di dalam padepokan 

dengan leluasa Loh Gamyar berkelebat-

kelebat menuju ke bangunan yang satu 

ke bangunan yang lain.

"Coba aku selidiki bangunan yang 

menjadi tempat pemujaan Sri Ratu. Aku 

merasa curiga, jangan-jangan ada apa-

apanya."

Loh Gamyar segera menuju ke 

bangunan besar itu, di mana Sri Ratu 

mengadakan upacara keagamaan. Dengan 

hati-hati sekali, Loh Gamyar segera 

melompat ke atas genting bangunan itu. 

Perlahan Loh Gamyar membuka genting.

Mata Loh Gamyar terbelalak, 

melihat apa yang ia saksikan di bawah. 

Pemandangan yang sangat mengerikan 

terpampang di mata Loh Gamyar. Loh 

Gamyar hampir jatuh karena saking 

kagetnya.

"Jagad Dewa Batara! Sungguh aku 

tak menyangka kalau Sri Ratu yang 

cantik jelita, ternyata seorang yang 

mempunyai penyakit gila. Betapa sadis 

nya perbuatan Sri Ratu."

Loh Gamyar mengeretakkan gigi-

giginya manakala menyaksikan peman-

dangan di bawah. Tampak pemuda-pemuda


tampan, dengan tangan dan kaki diikat 

serta anggota tubuh yang hilang dari 

tempatnya.

"Alat kelamin pemuda-pemuda itu 

telah hilang entah ke mana. Mungkin 

dibetot oleh Sri Ratu, atau memang 

telah putus sendiri."

Setelah untuk beberapa lama Loh 

Gamyar memandang bergidik pada keadaan 

di bawah. Segera Loh Gamyar melompat 

ke ruangan lain yang tak jauh dari 

kamar itu.

Kembali Loh Gamyar membuka salah 

satu genting dan menyaksikan keadaan 

di bawahnya. Tampak dalam keremangan 

sebuah lampu lentera yang terbuat dari 

bambu, sebuah dupa mengepul menyengat-

kan bau kemenyan. Di samping kiri 

dupa, terpampang sebuah meja dan 

kursi. Di depan meja dan kursi, tampak 

sebuah kaca yang dibawahnya tergeletak

sebuah baskom.

Dan untuk kedua kalinya Loh 

Gamyar terperanjat hampir memekik 

manakala menyaksikan apa yang terdapat 

dalam baskom itu yang tak lain dari 

kemaluan lelaki yang diawetkan.

"Jagad Dewa Batara! Hal ini tak 

boleh dibiarkan."

* * * *

Dari kejauhan Loh Gamyar dapat 

menyaksikan keributan dan pertempuran


antara Sri Ratu yang tengah dikeroyok 

oleh tokoh-tokoh persilatan.

Sri Ratu Siluman Muka Ayu nampak 

berkelebat-kelebat dengan cepatnya. 

Setiap kelebatan tangan dan kakinya 

menjadikan pekik-pekik kematian yang 

terkena.

Seperti yang Loh Gamyar lihat 

kala Sri Ratu menghantam tubuh 

Londang. Saat itu juga Sri Ratu tengah 

mengamuk dengan ajian Tapak Bahan. 

Akibat dari hantaman ajian itu luluh 

lantak lah semua pengeroyoknya.

Korban demi korban berjatuhan 

dari pihak para tokoh persilatan. Loh 

Gamyar seketika hatinya menjerit 

menyaksikan kejadian itu. Tapi untuk 

segera membantu ia merasa belum 

waktunya. Loh Gamyar merasa belum 

mampu untuk menghadapi Sri Ratu yang 

berkepandaian tinggi. Namun bila 

dibiarkan terus menerus, niscaya akan 

habislah para tokoh persilatan itu.

"Apa yang harus aku lakukan?" 

bertanya Loh Gamyar dengan mata 

berlinang manakala menyaksikan korban-

korban tak berdosa di tangan Sri Ratu 

Siluman Muka Ayu. "Kalau aku mem-

bantunya secara terang-terangan, maka 

gagallah rencanaku untuk mengetahui 

kelemahan-kelemahan Sri Ratu. Namun 

kalau aku tak membantu mereka, 

bagaimana mereka? Bisa-bisa akan 

habis."


Karena bingungnya, Loh Gamyar 

hanya dapat menangis dan menangis tak 

tahu barus bagaimana. Tengah ia 

menangis bingung, sayup-sayup ia 

mendengar suara seseorang yang jelas 

terdengar di telinganya.

"Jangan kau menangis, Loh! Kau 

adalah laki-laki. Pantang kau cengeng 

seperti itu. Bila mereka memang 

menjadi korban, maka mereka adalah 

korban kesatria. Memang mereka terlalu 

gegabah, menghadapi Sri Ratu Siluman. 

Kalau kau hendak bertindak, tunggulah 

olehmu anak muda yang bernama Jaka... 

Jaka Ndableg!"

"Guru! Di mana kau?" berseru Loh 

Gamyar lirih memanggil suara yang 

dikenalnya, suara gurunya. Namun sang 

guru hanya terdiam tanpa menjawab

panggilan Loh Gamyar.

Dengan perasaan perih menyaksikan 

keadaan di luar padepokan, Loh Gamyar 

segera melompat turun dari wuwungan 

dan kembali masuk ke dalam

Pertarungan antara Ratu Siluman 

Muka Ayu dan para tokoh persilatan 

masih berlangsung. Dari arah Utara 

seseorang berkelebat menuju ke tempat 

itu.

Orang yang baru datang nampak 

bingung melihat hal itu. Hatinya 

gundah penuh keraguan. Gundah harus

berbuat apa dalam hal itu.

Bagi orang-orang persilatan


golongan lurus, namanya merupakan 

sahabat karena mereka belum mengetahui 

siapa sebenarnya Kala Peningasan. Ka-

lau Kala Peningasan ikut membantu Ratu 

Siluman. Tak ayal lagi, semua tokoh 

persilatan akan mengetahui siapa dia 

sebenarnya. Dan secara tak langsung, 

Kala Peningasan akan membuka kedoknya 

sendiri.

Namun untuk membantu para tokoh 

persilatan, ia tak berani menghadapi 

Sri Ratu yang sudah ia ketahui 

kehebatan ilmunya.

"Huh...! Mengapa hal ini sampai 

terjadi?" bergumam hati Kala 

Peningasan mengeluh. Dengan penuh 

keragu-raguan, Kala Peningasan segera 

memutar tubuhnya balik ke samping 

tembok padepokan.

"Aku harap kalian segera pergi 

dari sini sebelum kesabaranku hilang!" 

membentak Ratu Siluman Muka Ayu.

"Ratu Iblis Cabul! Jangan harap 

kami mau menuruti kata-katamu sebelum 

nyawa kami lepas dari raga!" tak kalah 

seorang dari tokoh dari perguruan 

Samudra Putih membentak, dibarengi 

dengan kelebatan tubuhnya menyerang 

Sri Ratu.

"Hem... kalau itu yang kalian 

mau. Jangan salahkan kalau aku 

bertindak terlalu telengas! Ber-

siaplah. Hiat...!"

Dengan segera Sri Ratu pun


memapaki serangan tokoh persilatan 

dari Samudra Putih itu yang dibantu 

oleh tokoh-tokoh persilatan lainnya.

Mereka kembali terlibat pertem-

puran seru, tanpa ada yang dapat 

mencegah atau pun melerai. Semuanya

telah dibelenggu dengan hawa nafsu dan 

amarah, hingga serangan-serangan 

mereka pun menjurus pada arah kema-

tian.

"Hari ini juga kau harus lenyap 

dari muka bumi ini, Ratu Cabul!"

Habis berkata begitu, segera 

seorang tokoh persilatan dari 

perguruan Teratai Putih mengibaskan 

tangannya. Dari tangan itu, seketika 

berdesing puluhan bunga teratai 

meluncur deras menuju ke tubuh Sri 

Ratu yang dengan segera mengkiblatkan 

tangannya ke arah desingan itu.

Seketika bunga-bunga teratai 

putih itu, hancur berantakan jatuh ke 

tanah. Terkesiap tokoh wanita dari 

Teratai Putih menyaksikan senjata 

andalannya dapat dengan mudah diluluh-

lantahkan. Matanya melotot memandang 

tak percaya. Maka dengan penuh amarah, 

Teratai Putih kembali menyerang dengan 

didahului makian: "Iblis laknat! 

Jangan bersenang dulu, terimalah ini 

lagi. Hiat...!" Kembali tokoh Teratai 

Putih mengibaskan tangannya. Dan 

kembali dari tangannya beterbangan 

puluhan bunga teratai mendesing ke


arah Ratu Siluman yang tengah repot 

menghadapi serangan tokoh persilatan 

lainnya.

Mata Ratu Siluman Muka Ayu 

membelalak liar memandang pada 

desingan yang menderu ke arahnya. Dan 

dengan memaki marah, Ratu Siluman Muka 

Ayu kembali kiblatkan tangan kirinya. 

Sementara tangan kanannya tertuju pada 

pengeroyok yang lain.

"Pembokong pengecut! Jangan harap 

kau akan mampu melukai dan 

membokongku, hiat...!"

Untuk kedua kalinya, bunga-bunga 

teratai itupun hancur terhantam 

pukulan Ratu Siluman Muka Ayu. Bahkan 

angin pukulannya terus meluncur menye-

rang ke Anggrek Putih yang hampir saja 

terkena kalau tidak cepat-cepat 

mengelak.

"Hem... hampir saja aku terkena 

pukulannya," menggumam Anggrek Putih 

sambil jatuhkan diri ke tanah, 

menghindari angin pukulan Ratu Siluman 

yang mendesing sekuku jari di atas 

kepalanya.

Sementara itu, Kala Peningasan 

yang bimbang hatinya segera melompat 

masuk ke dalam padepokan melalui 

tembok yang mengelilingi padepokan 

itu.

Hatinya tersentak manakala meli-

hat tulang belulang berserakan di 

sana-sini. Walaupun ia telah lama


mengabdi pada Ratu Siluman Muka Ayu, 

namun baru kali ini ia melihat tulang 

belulang berserakan di tempat pem-

buangan sampah. Manakala ia teliti dan 

pandangi dengan seksama, betapa 

terkesiapnya Kala Peningasan, ketika 

tahu ternyata tulang belulang itu 

adalah tulang manusia.

"Hem... kenapa banyak tulang 

belulang di sini? Siapakah yang suka 

makan tubuh manusia? Jangan-jangan Sri 

Ratu," bergidik tengkuk Kala 

Peningasan mengingat hal itu.

Belum sempat hilang rasa 

ngerinya, terdengar suara yang makin

mendirikan bulu kuduknya hingga Kala 

Peningasan melompat saking kagetnya. 

"Haaarrr...! Ssttt...! 

Sssstrt...!" 

Belum hilang rasa kaget Kala 

Peningasan mendengar suara itu. Tiba-

tiba ia melihat sosok tubuh hitam 

besar dan panjang, menjalar ke luar 

dari tempat yang tak jauh dari 

dirinya.

Sosok tubuh yang ternyata ular 

besar dan panjang, terus menjalar ke 

luar menuju ke muka padepokan. Hampir 

copot jantung Kala Peningasan me-

nyaksikan hal itu.

Tak kalah kagetnya Loh Gamyar 

yang tengah merenung manakala men-

dengar suara desisan keras. Dengan 

penuh rasa ingin tahu, Loh Gamyar


segera menengok ke arah suara itu.

Betapa terbelalak mata Loh Gamyar 

melihat ular besar dan panjang yang ia 

tahu suka makan orang itu, berjalan 

menyusuri jalan setapak menuju ke arah 

di mana Ratu Siluman dan tokoh-tokoh 

persilatan tengah bertempur.

"Apa yang hendak dilakukan ular 

setan itu? Kenapa ular itu tiba-tiba 

keluar? Siapa yang telah berani 

mengeluarkannya?" bertanya-tanya hati 

Loh Gamyar mengira-ngira apa yang 

bakal terjadi.

Ular itu terus berjalan menuju ke 

muka padepokan, di mana Ratu Siluman

tengah bertempur melawan tokoh-tokoh 

persilatan.

Tersentak tokoh-tokoh persilatan 

ketika melihat kedatangan ular raksasa 

ke arah mereka. Maka seketika itu 

terpecahlah perhatian mereka. Hal itu 

tidak disia-siakan oleh Ratu Siluman

Muka Ayu yang dengan bengisnya 

mengumbar hantaman ajian Lebur Nya-

wanya.

Tak kalah hebatnya ular besar 

itu. Bagaikan orang layaknya menyerang 

para tokoh persilatan.

"Jangan takut saudara-saudara! 

Kita bagi dua! Sebagian menyerang ular 

keparat ini, sebagian lagi menyerang 

Ratu Siluman Cabul!" berseru tokoh 

persilatan Rajawali Emas, yang dengan 

segera dilaksanakan oleh teman


temannya dari tokoh persilatan lain.

"Lebih baik kalian menyerah dan 

menjadi abdiku. Daripada kalian mati 

sia-sia dimangsa oleh sekutuku ini!"

"Cuih! Pantang bagi kami menyerah 

kalau nyawa kami masih tersisa di 

tubuh!" menggeretak tokoh dari 

perguruan Randu Sanga yang dengan 

segera berkelebat mendahului rekan-

rekannya menyerang Ratu Siluman Muka 

Ayu.

Pertarungan pun kembali ber-

langsung. Kini tampak makin seru 

dengan datangnya ular iblis membantu 

Ratu Siluman menghadapi para tokoh 

persilatan. Setiap hantaman ekor ular 

raksasa itu menjadikan bunyi ledakan 

dahsyat.

"Duar...!"

Mau tak mau, tokoh-tokoh per-

silatan yang menyerangnya harus gesit 

berkelebat mengelak. Kalau tidak 

Hancurlah tubuh mereka terhantam 

kibasan ekor ular raksasa itu.

"Percuma kita teruskan! Kita akan 

sia-sia menghadapi iblis-iblis ini. 

Lebih baik kita mundur dulu sambil 

menyusun rencana lagi," berbisik Ki 

Randu Sanga pada Nyi Mayang Jingga 

yang mengangguk mengiyakan.

"Benar, Ki. Aku melihat ilmu Ratu 

Iblis itu seperti ilmu yang dimiliki 

oleh pendekar Pedang Siluman Darah."

"Maksudmu pendekar Jaka Ndableg?"


"Benar, Ki! Aku rasa, hanya 

pendekar muda itulah yang dapat 

menghadapi Ratu Siluman ini."

Ki Randu Sanga tampak manggut-

manggut mengerti. Lalu dengan berseru 

Ki Randu Sanga pun memerintahkan pada 

tokoh persilatan lain untuk mundur

"Saudara-saudara, kita mundur 

dulu!"

"Kenapa, Ki?" bertanya tokoh-

tokoh persilatan lain.

"Yang penting mundur!"

Tanpa banyak omong lagi, semuanya 

segera berkelebat pergi meninggalkan 

Ratu Siluman dan ular raksasa nya yang 

tertawa-tawa melihat musuh-musuhnya 

lari serabutan.

"Ayo, kakang kita kembali masuk!" 

ajak Ratu Siluman Muka Ayu pada ular 

raksasa itu, yang segera mengikuti 

langkah Ratu Siluman Muka Ayu masuk ke 

lingkungan padepokan.



SEMBILAN



Jaka tampak berjalan dengan lesu, 

setelah seharian berlari-lari dalam 

usahanya mengejar Kala Peningasan yang 

berhasil lolos darinya setelah berbuat 

curang.

Hatinya mangkel dan marah serta 

penuh kekecewaan atas lolosnya buro-

nannya yang kini menjadikan maksudkan


untuk menemui Loh yang sekaligus 

menghentikan sepak terjang Ratu 

Siluman Muka Ayu tersendat.

"Sialan! Kalau begini terus 

menerus, mana mungkin aku akan segera 

menemui Loh. Aku takut kalau-kalau 

nanti Loh telah menjadi korban Ratu 

Siluman itu," membatin Jaka Ndableg.

Tengah dirinya tercenung melamun 

sembari berjalan, tiba-tiba dirasakan 

olehnya tiupan angin janggal menerpa 

gendang telinganya dan mendengungkan 

sebuah kalimat.

"Pendekar! Janganlah kau memen-

tingkan urusanmu saja, tapi kaupun 

harus turut prihatin pada kejadian 

yang lebih penting yang sekarang 

tengah menimpa para tokoh persilatan."

"Siapa kau, Ki Sanak? Kau mampu 

menembus lapisan dimensi udara. 

Siapakah dirimu, Ki Sanak?"

"Aku hanyalah orang biasa. Aku 

bermukim di kaki gunung Semeru," 

terdengar jawaban dari orang yang 

berkata, mengejutkan Jaka yang 

mendengarnya.

"Hmm... kalau begitu, cukup jauh 

kau mengirim suara padaku. Aku yakin, 

kau bukan orang sembarangan. Siapakah 

dirimu kalau boleh aku mengetahui?"

"Aku adalah Jagalaya adanya."

Terkesiap darah Jaka saat itu, 

mendengar orang yang mengirim suaranya 

menyebutkan namanya. Tanpa terkendali,


Jaka kembali mendesah: "Ah, Ki 

Jagalaya. Mengapa kau tak segera turun 

tangan melihat istrimu terlalu 

melengas? Apakah kau tak mempunyai 

rasa kemanusiaan?"

"Oh, memang benar katamu, Anak 

muda. Aku memang tak punya perasaan, 

hingga membiarkan korban berjatuhan di 

tangan istriku. Sungguh aku adalah 

orang yang tak tahu diri."

Terdengar isak tangis Ki Jagalaya 

menjadikan Jaka seketika turut iba. 

Hampir saja Jaka ikut meneteskan air 

mata kalau tak segera Ki Jagalaya 

kembali berkata:

"Anak muda, sebenarnya akupun 

ingin menghentikan sepak terjang 

istriku yang kelewat melengas. Namun 

karena aku telah bersumpah, tak akan 

dapat melakukannya. Namun aku juga 

merasa takut."

"Kenapa? Apakah ilmu istrimu jauh 

lebih tinggi dari ilmumu?"

"Bukan itu yang aku takuti, anak 

muda. Tapi ketahuilah, bahwa istriku 

tak akan mati sempurna! Maka janganlah 

kaget, bila nanti istriku akan berubah 

ujud menjadi binatang yang 

menjijikkan. Sebab dia telah bersumpah 

dan mengikat janji dengan Siluman Ular 

Hitam. Aku menyesal mengapa istriku

sampai se nekad itu?"

"Kenapa kau menyesal, Ki 

Jagalaya? Bukankah kau yang kala itu


meninggalkannya, ketika istrimu 

diketahui telah diperkosa oleh 

Tumenggung Tambak Yasa?"

"Hai! Kau mengetahui semua 

riwayatku. Dari manakah kau menge-

tahuinya, Anak muda?"

Ada rasa kaget terdengar dari 

ucapan Ki Jagalaya manakala mendengar 

Jaka membeberkan rahasia pribadinya. 

Hingga Ki Jagalaya sepertinya terjaga 

dari lamunannya dan terkenang kembali 

kejadian lima puluh tahun yang silam. 

"Bukankah kejadian itu sudah lima 

puluh tahun yang silam? Kala umurku 

baru tiga puluh lima tahun?"

"Benar! Kejadian itu sekitar lima 

puluh tahun yang silam. Aku 

mengetahuinya dari Ki Perwana, yang 

memintaku untuk mencegah tindakan 

istrimu."

Sesaat terdengar desah panjang Ki 

Jagalaya manakala mendengar ucapan 

Jaka. Tak berapa lama antaranya 

kembali terdengar suara Ki Jagalaya 

berkata: "Perwana... Jadi kau telah 

bertemu dengan murid tunggalku?"

Tak kalah kagetnya Jaka saat itu 

kala mengetahui bahwa Ki Perwana 

adalah murid tunggal Ki Jagalaya. 

Hingga saking kagetnya, Jaka Ndableg 

kembali mendesah. "Ah. Tak kusangka, 

kalau Ki Jagalaya adalah guru Paman 

Perwana."

"Kalau begitu, bukankah kau cucu


Ki Paksi Anon?" bertanya Ki Jagalaya, 

seraya menekankan nada suaranya kala 

mengucapkan nama kakek Jaka Ndableg.

"Kebetulan, kebetulan!"

"Hai! Apanya yang kau maksud 

kebetulan, Ki?" bertanya Jaka tak 

mengerti, mengerutkan keningnya dalam-

dalam membuat Ki Jagalaya tertawa 

bergelak-gelak bagaikan seorang anak 

mendapatkan telur.

"Anak muda. Kalau memang kau 

benar cucu Ki Paksi Anom, maka aku 

meminta tolong padamu untuk segera 

menghentikan sepak terjang istriku 

yang kelewat telengas. Sebab bila 

tidak segera kau hentikan, maka korban 

akan banyak berjatuhan. Dengar anak 

muda, tak ada orang yang mampu 

mengalahkan istriku, kalau orang itu 

bukan anak dari Eka Bilawa."

"Mengapa kau begitu pasti, Ki? 

Apakah kau tak mengetahui bahwa di 

atas langit masih ada langit?"

"Kau benar, anak muda. Di atas 

langit masih ada langit, di seberang 

laut masih ada lautan yang lebih luas. 

Namun bila ilmu setinggi apapun, kalau 

digunakan dalam hal kejahatan maka 

akan lemahlah kasiatnya."

Jaka terdiam hening mendengarkan 

petuah Ki Jagalaya yang ternyata guru 

Ki Perwana adanya. Kemudian terdengar 

lagi ucapan Ki Jagalaya meneruskan 

setelah sesaat terdiam.


"Mantapkanlah langkahmu, Anak 

muda. Segalanya kembalikanlah pada 

Yang Wenang."

"Apakah Ki Jagalaya dapat meno-

longku?"

"Ah... rupanya kau seperti 

ayahmu, suka merendahkan diri."

"Bukan begitu. Ki! Aku adalah 

orang biasa yang ada kekurangannya dan 

kelebihannya. Maka tak jarang bila aku 

akan berbuat salah. Untuk itulah, Ki. 

Aku meminta petunjuk darimu, di mana 

kelemahan istrimu?"

"Ah! Sayang sekali, Anak muda. 

Aku sendiri tak tahu. Tapi janganlah 

kau khawatir, aku akan membantumu dari 

jauh. Nah, berangkatlah menuju ke arah 

Utara. Di sana kau akan menemukan 

padepokan yang besar, itulah tempat 

kediaman istriku. Hati-hatilah dengan 

pasangan istriku, yaitu Siluman Ular."

"Baiklah, Ki. Aku minta pamit!" 

Dengan terlebih dahulu menjura ke arah 

Tenggara, Jaka segera berlalu pergi 

meninggalkan tempat itu ke arah Utara 

Barat di mana Gunung Slamet tampak 

menjulang tinggi. '

* * * *

"Bagaimana usahamu, Kala 

Peningasan?" terdengar suara Ratu 

Siluman Muka Ayu bertanya pada Kala 

Peningasan yang duduk di bawah


menghadap padanya.

Sesaat Kala Peningasan menunduk-

kan wajah, mengatur pernapasan sebelum 

akhirnya berkata: "Hamba telah 

menjalankan tugas hamba dengan baik, 

Tuan Putri yang mulia. Namun hamba 

hampir saja celaka,"

"Kenapa? Apakah ada orang yang 

bermaksud menghalangimu?"

"Benar, Tuan Putri yang mulia. 

Hamba memang hampir saja celaka oleh 

seseorang yang memang telah mengetahui 

tindakan hamba."

Sri Ratu Siluman Muka Ayu 

memandang sesaat pada Loh Gamyar yang 

terduduk di sampingnya. Lalu setelah 

Loh Gamyar mengangguk, Ratu Siluman

itu pun kembali bertanya pada Kala 

Peningasan.

"Siapakah orang itu adanya, 

Kala?"

"Dia adalah seorang pendekar 

muda, bernama Jaka Ndableg!"

Terkesiap darah Loh Gamyar 

mendengar nama Jaka disebut Kala 

Peningasan. Hatinya seketika gembira, 

sebab Jaka akhirnya akan datang juga 

ke situ. Yang dengan begitu, makin 

besarlah harapan Loh Gamyar untuk 

dapat dengan segera membekuk Ratu 

Siluman ini.

"Semoga Jaka Ndableg secepatnya 

datang ke mari," berkata hati Loh 

Gamyar senang membayangkan Jaka akan


membantunya untuk menghentikan sepak 

terjang Sri Ratu yang kelewat 

telengas. "Aku telah mengetahui 

semuanya di sini. Kalau nanti ia tiba, 

maka aku harus mampu membunuh ular 

Siluman itu. Sebab kekuatan Ratu, 

berada pada ular itu." Loh Gamyar 

bergumam dalam hati.

"Kau kenal orang yang disebut 

Kala Peningasan, Loh?" bertanya Ratu 

Siluman Muka Ayu, yang seketika 

mengejutkan Loh Gamyar dari 

lamunannya.

"Ti... tidak, Sri Ratu!"

"Bagaimana rupanya, Kala?" Kini 

Sri Ratu bertanya pada Kala 

Peningasan, yang dengan menyembah 

terlebih dahulu segera menceritakan 

sembari melukis raut wajah Jaka pada 

lantai.

Tergetar hati Ratu Siluman Muka 

Ayu manakala menyaksikan lukisan yang 

dibuat Kala Peningasan. Hatinya 

seketika bergumam, tertarik melihat 

wajah Jaka: "Sungguh tampan! Ah... 

kalau saja dia mau bersamaku, maka Loh 

Gamyar harus aku buang. Biarpun aku 

harus mati hancur, aku rela. Asalkan 

aku dapat memilikinya."

Saking tertariknya memandang 

wajah Jaka, sampai-sampai Sri Ratu 

terdiam untuk beberapa lamanya. Hingga 

membuat Loh Gamyar dan Kala Peningasan 

hanya mengerutkan alis matanya. Loh


Gamyar yang telah mengerti apa yang 

saat itu tersirap di hati Sri Ratu, 

hanya tersenyum seraya berkata dalam 

hati.

"Rupanya Ratu Siluman ini telah 

jatuh cinta pada Jaka. Kalau sampai 

Kelana dapat dipengaruhinya, maka 

akulah yang akan dikorbankan pada 

mahluk itu."

Tengah Sri Ratu termenung 

memandangi lukisan di lantai, seketika 

seorang penjaga pintu gerbang 

tergopoh-gopoh masuk. Hingga membuat 

Sri Ratu tersentak dan memandang heran 

melihat penjaga pintu gerbangnya 

tampak pucat.

"Ada apa, Warma? Seperti kau 

ketakutan?"

"Ampun, Sri Ratu yang mulia. 

Seorang pemuda tampan telah datang ke 

mari dan bermaksud menemui Sri Ratu."

Sri Ratu tampak tersenyum 

mendengar ucapan penjaga pintu 

gerbang, seraya menggeleng-gelengkan 

kepala dan berkata: "Warma, Warma! 

Kenapa kau begitu takutnya? Adakah 

pemuda itu mengamuk?"

"Tidak, Sri Ratu?"

"Apakah rupa pemuda itu seperti 

gambar ini?" kembali Sri Ratu bertanya

sembari menunjukkan gambar yang 

tertera di atas lantai. Hingga 

seketika ia membelalakkan mata Warma 

yang mendesah panjang.


"Ah! Benar Sri Ratu. Memang 

dialah orangnya,"

"Suruh dia masuk, Warma!"

Dengan segera tanpa menunggu

perintah yang kedua kalinya, Warma 

berlalu pergi dengan terlebih dahulu 

menyembah pada ratunya.

Bersorak hati Loh Gamyar senang, 

sebab rencananya akan dapat berjalan 

lancar. "Hem. Sungguh tepat 

kedatangannya ke mari."

Seperti halnya Loh Gamyar, Sri 

Ratu pun dalam hati bersorak senang 

menyangka kalau Jaka akan mampu 

ditundukannya. Dia berharap Kelana 

akan mau menerima cintanya dan akan 

mau menjadi suaminya.

Lain Sri Ratu dengan Loh Gamyar, 

yang hatinya saat itu senang walau 

tujuannya berbeda. Kala Peningasan 

sebaliknya, rasa takut dan was-was 

beraduk menjadi satu. Hingga membuat 

wajahnya pucat dan keringat dinginpun 

mengucur deras dari kedua pelipisnya, 

mengundang tanya Sri Ratu yang 

melihatnya.

"Kenapa kau, Kala? Sepertinya kau 

begitu takutnya pada pemuda itu?" Kala 

Peningasan menganggukkan kepalanya 

membuat Sri Ratu tersenyum mengembang 

di bibirnya. Hingga wajahnya yang 

cantik, tampak makin bertambah cantik. 

Lalu dengan senyum melebar, Sri Ratu 

kembali berkata:


"Tak perlu kau takut, Kala. Bila 

dia telah aku kuasai, maka dia akan 

tunduk padaku. Aku rasa, kecantikanku 

mampu mengatasinya."

Ketika Sri Ratu hendak berbicara 

lagi, terdengar seruan seorang pemuda 

lantang dengan sopannya berteriak 

memanggil nama asli Sri Ratu.

"Nyi Dewi Kalandasan, apakah kau 

masih akan terus membuat onar dunia 

dengan sepak terjangmu yang kelewat 

telengas?"

Terbelalak mata Sri Ratu Siluman 

Muka Ayu manakala mendengar nama 

aslinya disebut oleh pemuda yang tiba-

tiba telah berdiri di hadapannya. Maka 

dengan masih diliputi rasa kaget, Dewi 

Kalandasan atau Sri Ratu Siluman Muka 

Ayu balik membentak bertanya:

"Siapa kau! Dari mana kau tahu 

namaku?!"

Tertawa bergelak-gelak Jaka 

mendengar bentakan Dewi Kalandasan, 

yang seketika itu menyipitkan matanya 

melihat Jaka tertawa bergelak-gelak. 

Jarang ada orang yang berani tertawa 

begitu di hadapannya, namun pemuda 

tampan dan agak kurang ajar ini berani 

melakukannya. Maka membatin Dewi 

Kalandasan, penuh rasa heran. "Hem... 

berani benar anak muda ini. Jarang ada 

orang yang berani demikian padaku dan 

baru kali ini ada orang muda yang 

sembrono. Kalau saja hatiku tak


terpikat olehnya, tak akan aku ampuni 

kesembronoan dan kekurangajarannya 

ini."

"Dewi Kalandasan! Apakah kau tak 

pernah ada rasa kasihan, hingga kau 

begitu telengas pada kaum laki-laki? 

Sudah berapa korban di tanganmu. Dari 

Tumenggung Tambak Yasa, hingga 

sekarang. Sungguh perbuatanmu seperti 

perbuatan Iblis!"

Mendengar kata-kara Jaka yang 

pedas, seketika wajah Sri Ratu Siluman

Muka Ayu yang tadinya tersenyum 

berubah menjadi beringas. Lalu dengan 

mendengus marah, Ratu Siluman itu 

kembali membentak.

"Anak muda! Tadinya aku bermaksud 

baik padamu. Tadinya aku hendak 

menjadikanmu suamiku, tapi kau telah 

terlalu lancang dan kurang ajar. Maka 

jangan salahkan kalau aku terlalu 

telengas padamu!"

Napas Dewi Kalandasan memburu 

karena marah. Matanya seketika memerah 

penuh bara emosi. Sementara gigi-

giginya terdengar beradu menjadikan 

bunyi bergemeretukkan. Maka dengan 

penuh amarah, Ratu Siluman Muka Ayu 

atau Dewi Kalandasan segera berseru 

menyuruh pada Loh Gamyar untuk 

menyerang Jaka Ndableg. "Loh Gamyar, 

serang dia!" 

Loh Gamyar bukannya menjalankan 

perintah Dewi Kalandasan, malah dengan


tersenyum berkata: "Jangan harap aku 

akan menuruti perintahmu, Dewi. Jaka, 

hati-hatilah. Aku akan membunuh ular 

peliharaannya sebab di situlah letak 

kekuatannya. Jangan sekali-kali kau 

terpengaruh pada sorot matanya." 

berbisik Loh Gamyar yang membuat marah 

Dewi Kalandasan mengetahui bahwa 

ternyata Loh Gamyar tak lebih adalah 

musuh dalam selimut.

"Loh Gamyar! Ternyata kau adalah 

mata-mata. Jangan harap kau dapat 

lolos dengan pemuda ini! Hiat...!" 

Dewi Kalandasan yang telah kecewa 

manakala tahu siapa sebenarnya Loh

Gamyar adanya, segera bermaksud 

menyerangnya. Namun dengan segera, 

Jaka memapakinya.

"Jangan kau serang dia. Akulah 

musuhmu! Hiat...!" 

Tak ayal lagi keduanya seketika 

terlibat pertarungan. Sementara Wayan 

Suba atau Loh Gamyar dengan segera 

berkelebat menuju ke tempat di mana 

ular raksasa itu berada dengan 

terlebih dulu memberitahukan pada 

Jaka. "Jaka! Jangan sampai kau

terpedaya oleh sorot matanya!"

"Bedebah! Rupanya kau mau mampus, 

penipu!" Habis berkata begitu Ratu 

Siluman Muka Ayu segera mengkiblatkan 

tangannya yang telah dialiri ajian 

Lebur Raga ke arah Loh Gamyar yang 

berkelebat menuju ke luar.


Melihat hal itu, Jaka dengan 

segera memapakinya dengan membabatkan 

Pedang Siluman yang telah berada di 

tangannya, hingga buyarlah ajian Lebur 

Raga seketika itu.

Terkesiap Ratu Siluman Muka Ayu 

menyaksikan keampuhan pedang di tangan 

Jaka yang telah mampu membuyarkan 

serangannya. Seketika hatinya bimbang 

untuk terus menyerang. Namun karena 

telah dirasupi nafsu dan amarah, Ratu 

Siluman Muka Ayu pun terus berusaha 

mencerca Jaka.

Keduanya segera saling serang dan 

elak dengan jurus-jurus tingkat 

tinggi. Tak jarang ajian-ajian yang 

mereka miliki mereka keluarkan. Betapa 

tersentaknya Jaka, kala melihat ajian 

yang dikeluarkan oleh Ratu Siluman 

Muka Ayu. Karena ajian-ajian itu telah 

ia kenal betul siapa pemiliknya. 

Seperti Ajian Raja Brahma milik 

perguruan Rajawali Sakti. Serat Gampar 

milik Perguruan Teratai Putih dan 

banyak lagi.

Melihat Jaka terkejut, seketika 

Ratu Siluman Muka Ayu tertawa 

terkekeh-kekeh sembari berseru: "Anak 

muda! Rupanya kau takut menghadapiku

dengan segudang ajian yang sepertinya 

kau kenal! Itu belum seberapa! 

Lihatlah ini!"

Makin tersentak kaget Jaka 

manakala melihat sebuah benda yang


berada di genggaman Ratu Siluman Muka 

Ayu. Benda itu adalah Pusaka Pedang 

Rajawali, milik perguruan Rajawali 

Sakti pula.

"Kebetulan! Ternyata kau telah 

bersekongkol pula dengan maling dungu! 

Jadi aku tak sia-sia datang ke mari."

"Jangan bangga dulu, Anak muda! 

Orang lain boleh takut mendengar nama 

besarmu. Namun aku Ratu Siluman Muka 

Ayu, tak akan gentar sedikit pun. 

Hiat...!"

Dengan secepat kilat, Sri Ratu 

Siluman Muka Ayu kembali menyerang 

Kelana yang segera berkelebat 

menghindar. Pedang pusaka Rajawali 

berkelebat cepat di tangan Ratu 

Siluman menjadikan Jaka agak repot 

dibuatnya.

Sepertinya Dewi Kalandasan atau 

Ratu Siluman Muka Ayu tak memberi 

kesempatan sedetikpun pada Kelana 

untuk bernapas. Ia terus memburu 

dengan pedang Pusaka Rajawali di 

tangannya.

Mau tak mau Jaka harus 

mengimbanginya dengan menggunakan ilmu 

meringankan tubuhnya. Sesekali Jaka 

mencoba membalik menyerang, dengan 

tipuan agar mampu memancing Ratu 

Siluman untuk melonggarkan 

serangannya.

"Brettt...!"

Baju yang dipakainya sobek


manakala pedang di tangan Ratu Siluman

Muka Ayu membeset tubuhnya. Marahlah 

Jaka saat itu juga, demi melihat 

pakaiannya telah terkoyak oleh pedang 

di tangan Ratu Siluman Muka Ayu. Tak 

dapat dibayangkan betapa gusar dan 

marahnya Jaka. Pedang Siluman Darah di 

tangannya seketika meneteskan darah 

dari ujungnya.

"Bedebah! Kau telah mendahului. 

Jangan salahkan kalau aku bertindak 

kejam! Hati-hatilah, hiat...!" Secepat 

angin Jaka berkelebat melompat, menye-

rang Ratu Siluman Muka Ayu yang segera 

memapakinya.

Trang...!

Terkesiap Ratu Siluman Muka Ayu 

menyaksikan apa yang terjadi. Pedang 

pusaka di tangannya jatuh menjadi dua 

kala berbenturan dengan Pedang Siluman

Darah di tangan Jaka. Melotot mata 

Dewi Ratu Siluman kaget.

"Hebat juga senjatamu, Anak muda. 

Tapi jangan berbangga dulu. Sebab aku 

belum kalah dan mungkin tak akan 

pernah kalah olehmu,"

"Sombong!"

"Hati-hatilah, Anak muda! 

Terimalah ini! Hiat...!" Dari tangan 

Dewi Kalandasan seketika memancar 

sinar merah membara yang mengejutkan 

Jaka hingga seketika dari mulutnya 

keluar gumaman:

"Hem... Ajian Tapak Bahana! Baik!

Aku pun memilikinya. Hiat...!"

Kelana segera mengeluarkan Ajian 

Tapak Prahara hingga seketika 

tangannya berubah membara merah. Hal 

itu menjadikan Ratu Siluman Muka Ayu 

terbelalak menyaksikan pemuda musuhnya 

pun mempunyai ilmu seperti orang yang 

dicintainya sekaligus dibenci yaitu 

Eka Bilawa. Maka dengan seketika, Dewi 

Kalandasan atau Ratu Siluman Muka Ayu 

membentak bertanya. "Ada hubungan apa 

kau dengan Eka Bilawa, Anak muda?"

"Aku adalah anaknya," menjawab 

Jaka makin membuat Ratu Siluman Muka 

Ayu membelalakkan matanya lebar-lebar. 

Seketika membatin Ratu Siluman Muka 

Ayu manakala tahu siapa sebenarnya 

pemuda di hadapannya.

"Pantas, kalau ia memiliki ilmu 

tersebut!"

Namun Dewi Kalandasan yang sudah 

dikuasai Iblis, tak segera menyadari. 

Bahkan dengan nekadnya ia kembali 

menyerang Jaka dengan ajian Segara 

Brahma.

Dengan segera Jaka memapakinya 

dengan ajian Jamus Kalimusada, 

menjadikan dua kekuatan dahsyat beradu 

saat itu juga.

"Duar...!"

Jaka terdorong ke belakang lima 

tombak, sementara Ratu Siluman Muka 

Ayu terdorong tujuh tombak dengan muka 

memucat dan darah meleleh dari sela


sela bibirnya.

Bersamaan dengan itu Loh Gamyar 

dapat membunuh ular siluman yang 

seketika berubah menjadi ujud manusia 

laki-laki setelah bertarung beberapa 

waktu lamanya.

Lelaki yang berubah dari ular 

raksasa itu berwajah sangat menakutkan 

dengan gigi-giginya yang runcing ke 

luar. Lelaki iblis itu seketika 

kembali menyerang Loh Gamyar. Namun 

kala lelaki itu hendak merenggut nyawa 

Loh Gamyar, seketika sebuah bayangan 

berkelebat menghantam tubuh laki-laki 

menakutkan itu yang seketika 

sempoyongan.

Belum hilang rasa ngeri Loh 

Gamyar, terdengar seorang tua berkata 

memerintah: "Tinggalkan tempat ini! 

Biar aku yang menghadapi mahluk 

siluman ini!"

Tanpa membuang waktu lagi, Loh 

Gamyar segera berkelebat meninggalkan 

tempat itu. Lelaki tua itu kini tengah 

berhadap-hadapan dengan mahluk siluman 

yang telah tegak kembali dengan mata 

beringas memandang ke arah orang itu.

"Kenapa kau ikut campur, Ki 

Jagalaya? Apakah kau tak kasihan 

melihat istrimu?" berkata laki-laki 

siluman itu.

"Lebih kasihan kalau istriku 

selalu dipengaruhi olehmu. Maka untuk 

itulah aku turun ke dunia ramai lagi."


"Hem... kau memang lelaki tak 

tahu diri!" Habis berkata begitu, 

lelaki siluman itupun kembali menye-

rang. Hingga dengan segera Jagalaya 

pun berkelit dan balik menyerang. 

Pertarungan pun terjadi dengan 

serunya, membuat goncangan bangunan di 

situ apabila keduanya mengadu 

kesaktian.

Sementara itu Jaka tengah terus 

mendesak Ratu Siluman Muka Ayu. Dengan 

Pedang Siluman Darah di tangannya, 

membuat Jaka makin tampak di atas. 

Sementara Ratu Siluman Muka Ayu, kini 

makin terdesak oleh tebasan-tebasan 

Pedang Siluman Darah yang dilakukan 

Jaka.

Hingga pada suatu kesempatan, 

Jaka dengan segera menebaskan Pedang 

Siluman Darah ke tubuh Ratu Siluman 

Muka Ayu. Melengkinglah suara Ratu 

Siluman Muka Ayu seketika dengan tubuh 

terpotong jadi dua.

Dengan menahan sakit yang tak 

terkira, Ratu Siluman Muka Ayu 

berguling-guling di tanah. Tubuhnya 

yang terpotong kembali menyatu dan 

berubah. Mulutnya memanjang, kupingnya 

menghilang, kaki dan tangannya pun 

menghilang dan memanjang. Tubuh Ratu 

Siluman Muka Ayu berubah menjadi sosok 

tubuh yang melata, yang dengan segera 

berlalu pergi meninggalkan Jaka yang 

hanya terbengong-bengong heran.


Di pihak lain Ki Jagalaya masih 

bertempur melawan Siluman Ular yang 

tampak masih memiliki tenaga walau 

telah beberapa kali dihantam dengan 

pukulan sakti Jagalaya.

Tengah keduanya bertarung, tampak 

seekor ular besar menjalar menuju ke 

arah mereka. Dari mulut ular itu 

mendesis dan terdengar suara seorang 

wanita berkata: "Kakang Jagalaya. 

Maafkanlah aku. Aku tak dapat kembali 

padamu. Kakang Welang, ayo kita 

pergi!"

"Kenapa kita harus pergi, 

istriku?" bertanya mahluk Siluman Ular 

itu pada ular yang menjalar. 

Sepertinya Welang tak ingin segera 

pergi dari tempat itu.

"Ayolah, Kakang! Di sini ada 

seorang pendekar keturunan Eka Bilawa. 

Kau tak akan mampu menghadapinya. 

Apabila sampai ia mengetahuinya, 

sungguh petaka bagimu."

Walaupun sudah diperingatkan oleh 

Ratu Siluman Muka Ayu, namun Welang 

nampaknya tak mau percaya begitu saja. 

Hingga apa yang dikatakan Ratu Siluman

Muka Ayu menjadi kebenaran. Jaka yang 

sedari tadi mengikuti langkah ular 

jejadian itu sampai pula ke tempat 

itu.

"Cilaka, Kakang! Pemuda itu telah 

datang!"

"Hem... mau lari ke mana,


kalian?" bertanya Jaka yang segera 

membabatkan Pedang Silumannya ke tubuh 

Siluman Ular yang tengah bertempur 

dengan Ki Jagalaya. Saking cepatnya 

tebasan itu tak dapat Siluman Ular 

mengelakkannya. Maka...!

"Aaahhh...!" menjeritlah Siluman

Ular itu manakala Pedang Siluman Darah 

menebas tubuhnya. Seketika itu pula 

tubuhnya berubah pada ujud semula 

berbentuk ular. Mendesis-desis dan 

berlalu pergi dengan seketika.

Bersamaan dengan perginya kedua 

ular Siluman itu, lenyap pula lelaki 

tua di hadapan Jaka. Pedang Siluman

Darah di tangan Jaka turut lenyap.

"Hei! Ke mana gerangan lelaki tua 

itu?"

"Anak muda! Aku mengucapkan 

terima kasih padamu karena kau telah 

membebaskan istriku. Kini aku tenang 

bertapa. Selamat tinggal, Anak muda!"

Jaka hanya diam mamatung sesaat. 

Setelah ingat akan Loh Gamyar dan Kala 

Peningasan, Jaka segera berkelebat 

mencari mereka. Tak begitu lama 

terdengar olehnya dua orang tengah 

bertempur. Maka dengan segera Jaka 

menemui mereka yang ternyata Wayan 

Saba dengan Kala Peningasan.

Melihat Jaka datang, dengan se-

gera Kala Peningasan bersujud meminta 

ampun. "Aku meminta ampun, Jaka. 

Sebenarnya bukan maksudku mencuri


Kitab dan pusaka milik beberapa 

perguruan. Aku hanya diperintah oleh 

Sri Ratu Siluman Muka Ayu dengan 

imbalan aku mendapat pelayanannya 

setiap seminggu sekali."

Jaka hanya mampu menggelengkan 

kepalanya, sementara Loh Gamyar yang 

merasakan pelayanan Sri Ratu Siluman 

Muka Ayu atau Dewi Kalandasan bergidik

setelah mengetahui siapa sebenarnya 

sang Ratu itu.

"Jadi aku telah tidur dengan 

ular? Pantas setiap kali main, selalu 

mendesis-desis. Oh ya, Jaka. Aku 

melihat sesuatu yang aneh di tempat 

itu." 

Dengan diikuti Jaka dan Kala 

Peningasan, Loh Gamyar segera menuju 

ke suatu tempat di mana ia melihat 

sesuatu keganjilan.

Terbelalak Jaka dan Kala 

Peningasan manakala melihat beberapa 

pemuda telanjang dengan kelamin hilang 

entah ke mana dan tubuh telah mati.

"Apakah kau juga tahu di mana 

Ratu Siluman itu menyimpan kitab-kitab 

yang kau curi, Kala?" bertanya Jaka, 

yang segera diangguki oleh Kala 

Peningasan.

Setelah mengambil kitab-kitab dan 

pusaka yang telah dicuri milik 

beberapa persilatan, Jaka segera 

berlalu meninggalkan Wayan Saba dan 

Kala Peningasan yang hanya terbengong


bengong keheranan. Demi menyaksikan 

betapa cepatnya Jaka hilang dari 

pandangannya, hingga keduanya hanya 

mampu saling pandang.



                            TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar