RATU PENGGODA SILUMAN MUKA AYU
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1990
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Gambar Sampul oleh
oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seliiruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman
Darah dalam episode:
Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Seorang lelaki tua tampak tengah
duduk bersila, di hadapannya duduk
seorang pemuda. Mereka tampaknya
tengah membicarakan sesuatu hal.
Sesekali nafas lelaki tua itu
memburu, sepertinya dalam hati orang
tua itu ada ganjelan yang memendam.
Pemuda yang duduk di hadapannya tampak
hanya menundukkan muka, tak banyak
bicara.
Sesaat setelah lama terdiam,
lelaki tua itu pun tampak memulai
berkata: "Lima puluh tahun yang lalu,
di kaki gunung Slamet ada sepasang
pendekar suami istri. Keduanya
merupakan pendekar-pendekar kelas
wahid, yang disegani kawan maupun
lawan."
"Hai! Untuk apa Ki Perwana
menceritakan kejadian lima puluh tahun
yang silam? Bukankah aku diundang ke
mari untuk membicarakan sesuatu masa-
lah?" tanya pemuda yang duduk di
hadapan Ki Perwana, yang tersenyum
demi mendengar pertanyaan pemuda itu.
"Benar, Jaka! Sengaja aku men-
ceritakan kejadian lima puluh tahun
yang silam, yang memang ada kaitan nya
dengan apa yang akan kita bicarakan."
Mengerut kening Jaka, demi
mendengar ucapan Ki Perwana. "Untuk
apa?"
Tersenyum Ki Perwana kembali,
mendengar pertanyaan Jaka yang hanya
terbengong-bengong melihat Ki Perwana
tersenyum. Hingga karena tak mengerti
akan apa yang disenyumi Ki Perwana,
Jaka kembali bertanya.
"Kenapa paman tersenyum? Adakah
aku telah membuat sebuah pertanyaan
yang sangat lucu?"
"Tidak begitu, Jaka. Sebenarnya
pertanyaanmu bagus. Aku tersenyum
bukan karena pertanyaanmu. Namun aku
tersenyum melihat kau begitu terkejut
mendengar cerita ku. Perlu kau ingat,
Jaka!"
"Tentang apa itu, Paman?"
"Sebenarnya cerita ku ada kaitan
nya dengan apa yang nantinya akan aku
minta tolong padamu," tandas Ki
Perwana hingga membuat Jaka hanya
manggut-manggut, tanpa banyak berkata-
kata lagi.
Demi melihat Jaka atau Pendekar
Pedang Siluman terdiam, Ki Perwana pun
segera meneruskan ceritanya.
Di sebuah desa yang berada di
kaki gunung Slamet, lima puluh tahun
yang lalu. Tersebut lah sepasang
pendekar suami-istri. Mereka merupakan
pendekar-pendekar kelas wahid. Dise-
gani baik lawan, maupun kawan. Kedua
suami istri itu mempunyai ilmu kedig-
dayaan yang tinggi. Sang suami bernama
Ki Jagalaya, sedang yang istri bernama
Dewi Kalandasan.
Sudah menjadi kebiasaan semua
pendekar-pendekar persilatan. Kedua
suami istri itu pun, suka mengadakan
petualangan-petualangan guna menambah
pengalaman.
Kedua pendekar suami-istri itu
adalah murid-murid seorang tokoh
persilatan, yang namanya telah kondang
di masa itu. Guru mereka adalah, Ki
Tapak Waringin.
Karena keduanya sukar untuk
dipisahkan, maka Ki Tapak Waringin pun
menjodohkan keduanya, menjadi sepasang
suami istri. Setelah kedua pendekar
itu menyatu, makin bertambah pula
kekuatannya. Dengan senjata yang
mereka miliki, yaitu Tri Sula Sakti
lengkaplah apa yang dimiliki oleh
kedua pendekar itu.
Kecantikan Dewi Kalandasan yang
tiada cacat cela nya, telah mengundang
Tumenggung Tambak Yasa tergila-gila.
Dengan mengutus prajurit-prajuritnya,
Tumenggung Tambak Yasa bermaksud
meminta Dewi Kalandasan dari tangan
Jagalaya untuk dijadikan istrinya.
Hal membuat Jagalaya seakan
diinjak-injak martabat dan harga
dirinya. Maka dengan berani, Jagalaya
menentang tindakan Tumenggung seraya
berkata pada prajurit-prajurit utusan
Tumenggung
"Sampaikan pada Tumenggung mu!
Jangan karena dia menjadi Tumenggung,
lalu hendak semena-mena! Istriku
adalah harga diriku, yang harus aku
pertahankan walau dengan nyawaku!"
Mendengar ucapan Jagalaya yang
dirasa menentang Tumenggung nya. Salah
satu prajurit yang menjadi pimpinan,
marah dan berkata:
"Jagalaya! Tumenggung telah mem-
berikan kehormatan padamu. Tapi rupa-
nya kau malah menghina dan menentang.
Jangan salahkan kalau nantinya ber-
akibat tak baik bagimu!" Habis berkata
begitu, pimpinan prajurit pun segera
mengajak anak buahnya pergi mening-
galkan Jagalaya yang hanya terbengong-
bengong tak mengerti apa yang men-
jadikan Tumenggung hendak berbuat
gila.
Tercenung Jagalaya setelah keper-
gian lima prajurit Ketemenggungan.
Hatinya bimbang, dan bertanya-tanya:
"Mengapa Tumenggung Tambak Yasa hendak
mengambil istriku? Apakah sudah sede-
mikian buruknya watak dan kepribadian
Tumenggung? Kalau memang benar apa
yang akan dikatakan pimpinan prajurit
itu, celakalah aku ini. Tapi masalah
harga diri, apapun resikonya, aku
harus dapat menghalangi niat buruk
Tumenggung gila itu!"
Ketika Jagalaya tengah dilanda
kebimbangan, Dewi Kalandasan istrinya
datang menghampiri sembari bertanya.
"Ada apakah, Kakang? Tampaknya
Kakang tengah memikirkan sesuatu.
Kalau boleh dinda mengetahui, gerangan
apakah yang tengah menjadi buah
pikiran Kakang?"
Tersentak Jagalaya seketika, yang
tak menyangka kalau istrinya telah
hadir di situ dan mengajukan per-
tanyaan secara tiba-tiba. Maka dengan
masih terkejut, Jagalaya segera
menceritakan akan apa yang tengah
dipikirkannya.
"Demikianlah, Di Ajeng! Aku
bingung. Apakah mungkin seorang istri
diberikan pada orang lain?"
Dewi Kalandasan sesaat tercenung
diam, demi mendengar ucapan sang
suami. Ditatapnya wajah Jagalaya yang
tampak murung. Sesaat kemudian, Dewi
Kalandasan tampak tersenyum.
"Kakang, bolehkah aku berpen-
dapat?"
"Apakah itu, Di Ajeng?" tanya
Jagalaya.
"Kakang Mas Jagalaya, kalau
menurut dinda, maka lebih baik Kakang
mengabulkan permintaan Kanjeng
Tumenggung..."
"Gila! Apa kau tidak berpikir
bagaimana nanti orang-orang persilatan
akan membicarakan dan menjelekkan
namaku! Di mana harga diriku?!" Ter-
sentak Jagalaya mendengar penuturan
dan saran istrinya. Hingga membuat
Jagalaya marah. Merasa saran istrinya,
adalah suatu saran yang makin
menjerumuskan.
Dewi Kalandasan bukannya takut
mendengar bentakan suaminya, bahkan
dengan tersenyum bagaikan tak bersalah
ia kembali berkata.
"Kakang jangan marah dulu.
Dengarkan pendapatku, hingga aku
selesai. Kalau nanti dirasa oleh
Kakang kurang baik, Kakang boleh
menolaknya"
Semarah apapun Jagalaya saat itu,
dirayu dengan senyuman maut Dewi
Kalandasan seketika hilang lah
marahnya dan berubah menjadi senyum
yang mengulas di bibir.
"Maafkan Kakang, Di Ajeng! Kakang
marah karena terlalu cintanya pada Di
Ajeng. Kakang takut Di Ajeng pergi
meninggalkan Kakang. Apalah jadinya
kalau Di Ajeng meninggalkan Kakang,
yang sangat mencintai dan mengasihi Di
Ajeng. Sekarang katakanlah, apa yang
menjadi saran Di Ajeng."
Makin melebar senyum di bibir
Dewi Kalandasan, mendengar ucapan sang
suami. Dengan melendotkan badan pada
tubuh suaminya, Dewi Kalandasan
kembali berkata:
"Kakang mas! Kalau Kakang mas
menghendaki perubahan status, maka
hendaklah Kakang mas mau mengabulkan
permintaan Tumenggung."
Terbelalak mata Jagalaya, demi
mendengar ucapan istrinya. Hampir saja
ia bangkit dari duduknya, kalau saja
sang istri tidak segera mencegah.
"Tenang dulu, Kakang. Bukankah
dinda belum selesai bicara?"
"Tapi apa yang menjadi saran Di
Ajeng itu, bagi Kakang merupakan
tindakan gila! Bagaimana mungkin!
Kalau Di Ajeng Kakang serahkan pada
Tumenggung, apalah akibat yang akan
Kakang terima. Bagaimana pula tang-
gapan dari tokoh-tokoh persilatan,
juga tanggapan dari guru? Semua akan
akan menyalahkan Kakang yang tak mampu
mempertahankan kewajibannya. Semua
akan menganggap Kakang terlalu
mengalah pada penguasa. Tidak, Di
Ajeng!"
Kemarahan Jagalaya bukannya men-
jadikan Dewi Kalandasan takut, maupun
mengalah. Bahkan dengan tersenyum-
senyum, Dewi Kalandasan kembali
berkata:
"Kakang, aku tahu perasaan
Kakang. Seperti juga perasaanku pada
Kakang. Aku merasa takut kehilangan
Kakang. Namun, saran ku itu hanya
bersifat sementara. Apabila kita telah
dapat mengambil hati Tumenggung, maka
kita akan mudah untuk mempengaruhinya.
Aku bermaksud agar Kakang nantinya
dapat menguasai Ketemenggungan. Bu-
kankah itu akan menjadikan kehormatan
bagi kita, Kakang?"
Terdiam Jagalaya mendengar kata-
kata istrinya. Pikirannya seketika
terbang melayang, bertanya-tanya dan
menimbang-nimbang. Setelah sesaat
terdiam, Jagalaya tampak tersenyum.
"Hm... Kau pintar Di Ajeng. Tapi
apakah hal itu akan mudah kita
laksanakan? Tidakkah kau berpikir apa
akibatnya? Aku takut nanti kita
sendiri yang susah."
"Menurut Kakang?"
Ditariknya nafas panjang-panjang
oleh Jagalaya, sebelum dia kembali
berkata menerangkan.
"Di Ajeng, memang kita nanti
mampu menguasai Ketemenggungan. Namun,
apakah massa tidak akan menilai kita?
Apakah semudah itu kita menutup
telinga? Susah Di Ajeng."
Dewi Kalandasan tersenyum kem-
bali, bukan memikir mendengar ucapan
suaminya. Sepertinya ucapan sang
suami, hanyalah kata-kata kiasan yang
tak ada arti sama sekali. Sepertinya
ia telah memprogram apa yang bakalan
terjadi. Maka dengan masih bergayut di
pundak sang suami, Dewi Kalandasan
kembali berkata:
"Kakang, bagiku hal itu mudah."
"Mudah...? Bagaimana kau bisa
bilang mudah, Di Ajeng?" tanya
Jagalaya mengernyitkan dahi, tak
memahami kata-kata yang diucapkan oleh
istrinya. Makin melebar senyum Dewi
Kalandasan, mendengar suaminya ber-
kata. Lalu dengan melepaskan rang-
kulannya dari pundak Jagalaya dan
melangkah meninggalkannya, Dewi Kalan-
dasan pun berkata menerangkan maksud-
nya.
"Kakang mas... kalau Tumenggung
telah kita kuasai hatinya, segala
sesuatunya akan mudah untuk kita
lakukan. Pertama, kita akan meman-
faatkan dirinya sebagai perisai kita.
Kedua, kita akan memanfaatkan dirinya
sebagai boneka kita. Sedang perjala-
nannya, adalah diri kita. Bukankah hal
itu akan lebih baik? Orang tak akan
mengetahui kalau sebenarnya kitalah
yang menjalankan Pemerintahan, karena
Tumenggung masih duduk di kursinya.
Kita juga dapat menjaga nama baik
kita, karena ada Tumenggung yang
sebenarnya telah kita kuasai.
Bagaimana, Kakang mas?"
Diangguk-anggukkan kepala seperti
mengerti dan memahami kata-kata
istrinya. Hati Jagalaya bangga, men-
dengar ucapan istrinya yang terasa
bagaikan penyebar semangat.
"Cek, cek, cek! Sungguh tidak
kusangka, kalau Di Ajeng mempunyai
pikiran yang pintar. Kalau memang itu
yang Di Ajeng kehendaki, maka demi
rasa sayang kanda menyetujui nya."
"Terima kasih, Kanda! Nah...
nanti kalau Tumenggung datang ke mari,
bilang saja kalau aku mau dengannya.
Aku mohon, hanya kita berdua saja yang
mengetahuinya."
Tertawa tergelak-gelak kedua
suami istri itu, setelah keduanya
mencapai kesepakatan. Lalu dengan
bergelak tawa, keduanya pun segera
masuk ke dalam kamar.
DUA
Keesokan harinya tampak sepuluh
prajurit Ketemenggungan, menuju ke
arah kediaman Jagalaya. Jagalaya yang
telah mengerti akan apa yang bakal
dilakukan oleh kesepuluh prajurit itu,
dengan segera menemui mereka sebelum
tiba.
"Selamat datang prajurit-prajurit
Ketemenggungan! Apa kabar dengan
Kanjeng Tumenggung Tambak Yasa?"
Kesepuluh prajurit itu seketika
saling pandang, mendengar sapaan ramah
dari Jagalaya yang lain dengan hari
kemarin.
"Apakah ini suatu taktik mu saja,
Jagalaya? kau bermaksud menjebak
kami?" tanya ketua prajurit masih
penuh selidik.
Jagalaya tersenyum demi mendengar
ucapan ketua prajurit. Lalu dengan
menjura hormat, Jagalaya berkata.
"Bagiku, tak ada jebak-jebakan. Aku
seorang persilatan, yang menjunjung
tinggi sifat kesatriaan. Kalau kalian
memandangku dari kejadian kemarin,
sungguh kalian salah. Aku sengaja
menghadang kalian bukan untuk bertem-
pur, namun untuk meneruskan masalah
kemarin."
"Hem... apa kata-katamu dapat aku
pegang, Jagalaya?"
Jagalaya seketika tertawa
bergelak-gelak, mendengar pertanyaan
ketua prajurit yang dirasakannya
sangat khawatir. Dengan masih tertawa
bergelak-gelak, Jagalaya kembali ber-
kata.
"Apakah pantas seorang prajurit
yang gagah berani sepertimu meragukan
itikad baik seseorang?"
"Ah! Rupanya kau pintar
berdiplomasi, Jagalaya! Baiklah,
memang sepantasnya aku harus memper-
cayai kata-katamu. Nah, apa yang
hendak kau lakukan dengan menghadang
kami?"
Untuk yang kesekian kalinya
Jagalaya tertawa.
"Perlu kalian ketahui, aku
menghadang kalian di sini, semata-mata
ingin memberitahukan pada kalian
tentang kabar yang gembira."
"Kabar gembira? Jangan bercanda,
Jagalaya! Ingat, kami tidak segan-
segan memenggal kepalamu jika kau
dusta!" bentak kepala prajurit,
menganggap Jagalaya hanya ingin mem-
permainkannya saja.
"Kalau kau ternyata berdusta,
maka tak akan ada ampun lagi bagimu!"
"Baik! Kalau memang aku berdusta
pada kalian, aku rela untuk kalian
penggal kepalaku. Nah, dengarlah! Aku
ingin memberikan istriku pada Tumeng-
gung. Sampaikan pada Tumenggung salam
dariku."
Terbelalak kesepuluh prajurit
Ketemenggungan demi mendengar hal yang
tak terduga-duga oleh mereka. Maka
dengan seketika, kesepuluh prajurit
itu pun tertawa bergelak-gelak.
"Bagus-bagus! Itu memang jalan
yang baik! Baiklah, aku akan segera
menyampaikan pada Kanjeng Tumenggung.
Persiapkan olehmu penyambutan."
"Akan aku persiapkan semuanya,"
kata Jagalaya dengan menjura hormat,
yang disambut dengan senyum oleh
kesepuluh prajurit Ketemenggungan.
Dengan segera, kesepuluh prajurit
Ketemenggungan menghela kais kuda
mereka. Di wajah-wajah mereka nampak
kebahagiaan. Mereka memacu kuda dengan
cepatnya, ingin segera menyampaikan
berita gembira pada Kanjeng
Tumenggung.
Sepeninggal kesepuluh prajurit
Ketemenggungan, tampak Jagalaya ter-
cenung seperti tengah berpikir
sesuatu. Matanya menyipit sempit,
keningnya berkerut, hatinya gundah dan
bertanya-tanya. "Apakah semua dapat
berjalan lancar? Apakah istriku tidak
mendustai ku?"
Segera Jagalaya berkelebat
meninggalkan tempat itu, kembali
menuju rumah kediamannya.
Di ruang tengah tampak istrinya
telah duduk dengan anggun menyambut
kedatangannya dengan senyum dan
bertanya.
"Bagaimana Kakang?"
"Sudah aku lakukan. Tapi aku
ragu..."
"Ragu? Ragu tentang apa, Kakang?"
tanya Dewi Kalandasan sembari meng-
hampiri suaminya yang berdiri di
ambang pintu.
Mata Jagalaya tampak memandang
tajam pada istrinya. Jagalaya tak
berkata barang sepatah pun, sepertinya
ia enggan untuk mengatakannya. Hal itu
membuat Dewi Kalandasan makin
mendalamkan kerutan keningnya. Lalu
dengan bibir terurai senyum, Dewi
Kalandasan pun berucap: "Kakang ragu
dengan niatku?"
"Ya!" jawab Jagalaya pendek.
"Mengapa Kakang mesti berpikir
begitu?"
"Entahlah, Di Ajeng. Aku mendapat
firasat, bahwa kita tak akan dapat
menyatu kembali."
Makin tersentak kaget Dewi
Kalandasan, mendengar kata-kata yang
diucapkan suaminya. Hingga saking
kagetnya sampai mulut sang Dewi
melongo bengong. Mata sang Dewi terus
memandang pada Jagalaya dengan
berlinang. Sepertinya ia tak mengha-
rapkan ucapan itu keluar dari mulut
sang suami. Dengan linangan air mata,
Dewi Kalandasan memekik. "Tidak!
Kakang jangan menakuti aku!"
"Aku tidak menakuti mu, Di
Ajeng!"
"Kalau begitu Kakang tidak
percaya padaku?" tanya Dewi Kalan-
dasan, sepertinya memelas membuat
Jagalaya mau tak mau akhirnya luluh
juga hatinya. Dan dengan perlahan
setengah berbisik ia berkata.
"Aku percaya padamu, Di Ajeng.
Namun kodrat tak mungkin kita tentang,
karena itu merupakan suratan Yang
Kuasa."
Dengan penuh perasaan risau, Dewi
Kalandasan segera memeluk erat tubuh
suaminya. Ditumpahkannya isak tangis
di dada Jagalaya, yang turut sedih
menerima kenyataan itu.
"Apakah kita tidak dapat mencari
jalan?"
"Maksudmu Di Ajeng?"
"Apakah kita tidak lebih baik
membatalkan rencana kita?"
"Yang Di Ajeng maksudkan, kita
lebih baik menghadapi Tumenggung dan
prajuritnya?" tanya Jagalaya, yang di
angguki oleh istrinya.
"Bagaimana, Kakang? Dari pada aku
harus berpisah denganmu, lebih baik
kita menentang walau kematian
hasilnya."
Tercenung Jagalaya mendengar
ucapan istrinya. Hatinya bimbang akan
tujuan hidupnya. Apakah ia mampu
menghadapi tantangan dan menentang Ko-
drat? Rasanya tak mungkin bila manusia
harus menentang kodrat.
"Kenapa Yang Maha Kuasa
memberikan kodrat? Apakah aku pernah
berbuat lancang menentang-Nya? Oh
Gusti Allah, apakah gerangan yang
hendak Kau limpahkan pada kami?" tanya
hati Jagalaya.
Hatinya terasa sakit dan pahit
bila mengenang wangsit yang telah ia
terima semalam.
"Kenapa Kakang hanya terdiam?"
Tersentak Jagalaya dari lamu-
nannya, manakala sang istri bertanya
kembali meminta kepastian. Bagaikan
orang yang tak mempunyai semangat
hidup, Jagalaya hanya mampu meng-
geleng. Makin menambah keras tangis
Dewi Kalandasan, melihat gelengan
lemah sang suami. Dipeluknya tubuh
Jagalaya dengan erat-erat, seakan ia
tak mau berpisah lagi.
* * *
Dari kejauhan tampak rombongan
Tumenggung Tambak Yasa tengah berjalan
menuju ke tempat Jagalaya. Langkah
kaki kuda mereka diperlambat, dengan
tujuan supaya tuan rumah segera keluar
menjemput. Namun sampai sekian lama
dan hampir tiba di lapangan rumah
Jagalaya tak seorang pun tampak
keluar.
"Wangkur! Mana Jagalaya? Mengapa
dia dan calon istriku tak pernah
muncul-muncul, padahal kita telah
tiba."
"Ampun, tuan ku! Mungkin keduanya
tengah mempersiapkan diri," jawab
Wangkur, yang segera turun dari
kudanya dan berjalan menuju ke rumah
Jagalaya.
"Jagalaya! Jagalaya buka pintu!
Mengapa kau mengurung diri dalam
rumah?" Tak ada jawaban dari dalam
rumah, membuat Wangkur mengernyitkan
alis matanya. "Ke mana dia?" tanya
hati Wangkur.
"Bukankah kemarin telah menemui
diriku, dengan maksud memberikan
istrinya pada Tumenggung? Mengapa dia
sekarang tak ada?"
Saking penasaran dan marah,
karena merasa dipermainkan, dengan
sekuat tenaga, Wangkur segera men-
dobrak pintu rumah itu. Dan betapa
terkejutnya Wangkur, kala secepat
kilat sebuah tombak melayang ke
arahnya. Belum sempat ia sadar, tombak
itu telah berkelebat dengan cepat,
menghantam dan menembus tubuhnya.
Seketika Wangkur mengejang dengan
tubuh bermandikan darah, ambruk ke
tanah tanpa nyawa lagi.
Melihat ketua prajuritnya mati,
marahlah Tumenggung Tambak Yasa, yang
segera melompat dari kudanya dan
menghambur ke dalam rumah dengan caci
maki dan umpatan kemarahan.
"Jagalaya keparat! Keluar kau!
Jangan beraninya hanya main kucing-
kucingan. Ayo, keluar!"
Namun jawaban dari caci maki itu,
hanyalah desingan anak panah yang
beratus-ratus jumlahnya menyerbu ke
arahnya.
Dengan kembali mencaci maki,
Tumenggung Tambak Yasa segera
mengelakkan serangan gelap itu. "Iblis
laknat! Rupanya kau sengaja menje-
bakku. Jangan salahkan kalau nanti aku
memenggal kepalamu!"
Sesaat tampak diam hening tak ada
jawaban. Tumenggung Tambak Yasa dengan
disertai prajuritnya, berjalan per-
lahan menyusuri ruangan depan rumah
itu.
Untuk kedua kalinya Tumenggung
Tambak Yasa tersentak dan segera
mengibaskan pedangnya, ratusan anak
panah kembali berkelebat menuju ke
arahnya. Walaupun Tumenggung Tambak
Yasa dapat berhasil mengelakkan
serangan itu. Namun tak urung anak
buahnya yang terkena. Seketika memekik
lah prajurit-prajurit itu ambruk
dengan nyawa yang hilang.
Terbelalak mata Tumenggung Tambak
Yasa, melihat kejadian di depan
matanya. Hatinya mulai bimbang. Namun
karena didorong oleh rasa penasaran
dan marah, Tumenggung Tambak Yasa pun
nekad melangkah terus menuju ke dalam.
Mata Tumenggung Tambak Yasa yang
tajam, segera dapat menangkap berke-
lebatnya seseorang. Dengan menggeram
marah, Tumenggung Tambak Yasa segera
berkelebat menyerang orang yang berada
di hadapannya.
"Brak...!"
Tersentak Tumenggung Tambak Yasa,
kala mengetahui bahwa yang diserangnya
tadi hanyalah sebuah kaca. Belum juga
habis kekagetan Tumenggung, tiba-tiba
terdengar suara tawa seorang wanita di
belakangnya.
Terkesiap darah Tumenggung Tambak
Yasa, manakala melihat keadaan wanita
yang berdiri di hadapannya. Darah
kelelakiannya seketika menggelegar-
gelegar, menyaksikan pemandangan yang
dapat meleletkan lidah.
Wanita di hadapannya tersenyum
manis, dengan tubuh tanpa sehelai
benang pun. Matanya yang lentik
menatap tajam ke arah Tumenggung,
sepertinya mengundang Tumenggung
Tambak Yasa untuk menghampiri. Memang
benar! Tumenggung Tambak Yasa segera
menghampiri wanita yang kini tengah
berdiri di hadapannya dengan mengurai
senyum.
Kecantikan wanita itu, membuat
Tumenggung Tambak Yasa lupa pada
keadaan. Yang ada di pikiran
Tumenggung, hanyalah nafsu untuk dapat
mencicipi tubuh mulus dan putih bersih
itu.
"Ayo, Kanjeng Tumenggung! Kenapa
kau diam saja? Bukankah kau ingin
menikmati tubuhku? Mumpung suamiku
tengah tak ada," kata wanita itu yang
menjadikan Tumenggung Tambak Yasa
makin menggelegar darahnya.
Hati Tumenggung Tambak Yasa
bimbang, untuk menentukan apa yang
harus dilakukan. Ia tahu kalau wanita
di hadapannya adalah seorang tokoh
persilatan, istri dari Jagalaya yang
tak boleh dianggap enteng. Namun ia
juga mengetahui kalau wanita itu
menginginkannya, untuk menemani
membuang rasa sepi.
Karena tak tahan melihat tubuh
Dewi Kalandasan yang mulus dan menor,
Tumenggung Tambak Yasa seketika lupa
akan tujuan semula. Ia tak ingat bahwa
dirinya tengah dalam ancaman bahaya,
yang sewaktu-waktu akan datang kala ia
lengah. Maka dengan menggigit bibir
menahan nafsu, Tumenggung Tambak Yasa
melompat menubruk tubuh Dewi Kalan-
dasan yang masih tersenyum berdiri
tanpa sehelai benang pun.
Tak terpikirkan oleh Tumenggung
Tambak Yasa, kalau Dewi Kalandasan
bermaksud mempermainkannya. Ketika
tubuh Tumenggung Tambak Yasa hampir
menyentuh tubuh Dewi Kalandasan, sang
Dewi dengan enteng berkelit ke
samping. Tak ayal lagi tubuh
Tumenggung menubruk tempat kosong, dan
langsung nyungsep mencium tanah.
Gusar hati Tumenggung Tambak
Yasa, merasa dipermainkan. Dewi
Kalandasan, masih tersenyum dan makin
menantang. Dibukanya kaki kiri ke sam-
ping di antara duduknya. Hal itu
membuat Tumenggung Tambak Yasa bagai-
kan terserang demam berdarah. Tubuhnya
menggigil gemetaran, matanya melotot
tak berkedip memandang ke selangkangan
Dewi Kalandasan yang tersenyum sembari
berkata: "Ayolah, Kanjeng Tumenggung!
Jangan terlalu lama. Aku takut kalau-
kalau suamiku pulang." Nada ucapan
sang Dewi yang manja, membuat Tumeng-
gung Tambak Yasa yang tadinya marah
berubah menjadi senang dan nafsu.
Untuk kedua kalinya, Dewi
Kalandasan segera mengelakkan diri
dari pelukan Tumenggung Tambak Yasa.
Dan untuk kedua kalinya, Tumenggung
Tambak Yasa harus menubruk angin
langsung mencium tanah.
"Bedebah! Rupanya kau hendak
mempermainkan aku, sundel!"
"Mengapa kau begitu marah,
Tumenggung? Bukankah untuk mendapatkan
sesuatu yang enak kita harus bersusah-
susah dulu? Ayolah, jangan putus asa!"
Ditantang seperti itu membuat
darahnya makin menggelora. Muka yang
tadinya membara marah, berubah menjadi
senyum penuh harapan dan keramahan.
"Kali ini aku harus berhasil!"
memberiak hati Tumenggung Tambak Yasa.
Dengan tanpa diduga oleh Dewi Kalan-
dasan sebelumnya, Tumenggung Tambak
Yasa telah menyalurkan ajian
penyirepnya. "Harus kena!"
Bersamaan dengan ucapan itu,
Tumenggung Tambak Yasa telah menghan-
tarkan ajian Penyirep Sukma ke arah
Dewi Kalandasan. Sang Dewi yang tak
menyangka bakal diserang dengan ajian
itu, tersentak dan berusaha menghina-
dar. Namun luncuran ajian itu lebih
cepat. Hingga sang Dewi pun tak mampu
lagi untuk mengelakkannya. Tubuh sang
Dewi seketika lemas dan tertidur tanpa
sadar.
Tertawa Tumenggung Tambak Yasa,
merasa usahanya berhasil. Dengan tanpa
menyia-nyiakan waktu lagi, dibopongnya
tubuh Dewi Kalandasan yang tanpa
sehelai benang itu ke dalam kamar.
"Ha...ha... ha..! Akhirnya aku
dapat merasakan kenikmatan dari
tubuhnya."
Hanya itu yang terdengar dari
mulut Tumenggung Tambak Yasa, lalu
keadaan di situ pun seketika sepi.
Hanya desah-desah panjang saja yang
masih menggelitik gendang telinga.
3
Tersentak Dewi Kalandasan kala
menemukan dirinya tergeletak dengan
tubuh terasa ngilu semua. Setelah ia
kembali sadar ingatannya, seketika ia
pun menjerit dan menangis.
Kini ia telah menyadari bahwa
dirinya telah menjadi pemuas nafsu
Tumenggung Tambak Yasa, yang telah
memperkosanya kala ia tengah tak
sadarkan diri.
Kala Dewi Kalandasan tengah
menangis sesenggukan mengingat petaka
yang telah menimpa dirinya, tampak
seorang lelaki telah berdiri di ambang
pintu.
Kedatangan lelaki itu yang tanpa
sepengetahuan dirinya, membuat Dewi
Kalandasan makin mengguguk tangisnya
dan memeluk kaki lelaki yang tak lain
dari pada suaminya sendiri Jagalaya.
"Apa yang aku takutkan ternyatasehelai benang itu ke dalam kamar.
"Ha...ha... ha..! Akhirnya aku
dapat merasakan kenikmatan dari
tubuhnya."
Hanya itu yang terdengar dari
mulut Tumenggung Tambak Yasa, lalu
keadaan di situ pun seketika sepi.
Hanya desah-desah panjang saja yang
masih menggelitik gendang telinga.
TIGA
Tersentak Dewi Kalandasan kala
menemukan dirinya tergeletak dengan
tubuh terasa ngilu semua. Setelah ia
kembali sadar ingatannya, seketika ia
pun menjerit dan menangis.
Kini ia telah menyadari bahwa
dirinya telah menjadi pemuas nafsu
Tumenggung Tambak Yasa, yang telah
memperkosanya kala ia tengah tak
sadarkan diri.
Kala Dewi Kalandasan tengah
menangis sesenggukan mengingat petaka
yang telah menimpa dirinya, tampak
seorang lelaki telah berdiri di ambang
pintu.
Kedatangan lelaki itu yang tanpa
sepengetahuan dirinya, membuat Dewi
Kalandasan makin mengguguk tangisnya
dan memeluk kaki lelaki yang tak lain
dari pada suaminya sendiri Jagalaya.
"Apa yang aku takutkan ternyata
benar adanya, Di Ajeng."
Mendengar ucapan Jagalaya yang
tampak sinis, menjadikan makin
histeris Dewi Kalandasan.
"Ampunilah aku, Kang Mas!"
"Tak bisa aku mengampunimu, Di
Ajeng! Yang mampu mengampuni dirimu,
hanyalah hati nurani mu sendiri dan
yang Maha Esa!"
"Kang Mas!"
Bagaikan tak mendengar ratapan
Dewi Kalandasan, Jagalaya tersenyum
sinis yang terasa menyakitkan hati
Dewi Kalandasan.
"Sudah kasep, Di Ajeng. Memang
kodrat kita harus begini."
"Tidak...! Tak maukah Kang Mas
mengampuni saya?"
Jagalaya hanya menggeleng lemah,
bagaikan sebuah robot yang bisu. Lalu
dengan tanpa menghiraukan ratap tangis
Dewi Kalandasan, Jagalaya segera
berlalu.
Dewi Kalandasan segera berlari,
memburu dan memeluk kaki Jagalaya
sembari terus terisak menangis. Mung-
kin karena kecewa, Dewi Kalandasan pun
dengan lantang setengah berteriak
mengucapkan sumpah:
"Kalau Kang Mas tak sudi mengam-
puni diri saya lagi, aku bersumpah!
Akan aku buat semua lelaki dan
khususnya keturunan Kang Mas untuk
bertekuk lutut padaku! Akan aku bunuh
mereka setelah menerima kepuasan
dariku!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan
Dewi Kalandasan, seketika itu pula
awan bergulung-gulung, menggumpal
menjadi satu. Petir bersahut-sahutan,
tak ubahnya sebuah keputusan dari
sumpah tersebut. Jagalaya yang tak
memikirkan sampai di situ, tersentak
kaget. Dari mulutnya terdengar desah,
pertanda menyayangkan ucapan istrinya.
"Ah! Kenapa kau berkata begitu,
Di Ajeng? Apakah kau tak mengerti
akibatnya?"
"Aku mengerti, Kang Mas. Namun
apalah artinya hidupku ini, yang telah
hancur oleh keteledoran diri sendiri.
Maafkan aku, Kang Mas. Untuk
memulainya, maka aku akan mengorbankan
tubuhku ini."
Setelah berkata begitu, Dewi
Kalandasan segera pergi meninggalkan
Jagalaya yang hanya terbengong-bengong
memandang kepergiannya.
Perasaannya kini diliputi oleh
kesal, yang tak mungkin untuk diganti.
Dengan hati yang penuh rasa bersalah,
Jagalaya segera berlalu pergi
meninggalkan rumahnya entah ke mana.
* * * *
"Tambak Yasa, keluar kau!"
Terdengar seruan seorang wanita,
yang berdiri di depan pintu rumah
kediaman Tumenggung Tambak Yasa. Dari
dalam rumah seorang prajurit nampak
dengan wajah beringas menghampirinya.
Lalu dengan mata berapi-api, si
prajurit segera bertanya dengan
membentak
"Heh, wanita! Apakah kau telah
gila! Hingga kau berteriak-teriak
seenak udel mu?"
Ditanya begitu rupa, bukan men-
jadikan wanita itu mengkerut nyalinya.
Bahkan dengan mata melotot si wanita
balik membentak prajurit itu.
"Kau prajurit Tumenggung Tambak
Yasa? Cepat katakan pada tuanmu, aku
Dewi Kalandasan menunggunya!
Cepat...!"
"Dewi Kalandasan. Rupanya kau
ketagihan dengan Tumenggung. Ah,
sayang Kanjeng Tumenggung sedang tidur
bersama istrinya. Kalau mau aku pun
dapat melebihi Tumenggung."
Tersenyum Dewi Kalandasan men-
dengar ucapan prajurit Ketemenggungan,
lalu dengan mengurai senyum si Dewi
pun perlahan menghampiri prajurit itu.
Dirangkulnya leher prajurit itu, yang
seketika badannya terasa panas dingin.
Nafas prajurit itu tampak memburu
bagaikan kuda binal, sembari tangannya
yang jahil beroperasi ke setiap
pelosok tubuh Dewi Kalandasan yang
tampak terdiam.
Ketika tangan sang prajurit
hendak makin merajalela, Dewi
Kalandasan tersenyum sembari membisik-
kan sesuatu pada prajurit yang
seketika itu mengangguk sambil
meleletkan lidahnya.
Tak berapa lama keduanya pun
segera masuk ke dalam rumah Tumenggung
paling belakang, yang biasanya dipakai
untuk gudang.
Setelah pintu gudang tertutup.
Tak lama kemudian terdengar pekikan
kematian, hingga membuat Tumenggung
dan istrinya yang tengah beristirahat
tersentak bangun.
"Ada apakah di gudang?"
Tumenggung Tambak Yasa segera
pergi meninggalkan istrinya yang hanya
ter bengong sesaat, lalu mengikuti
langkah suaminya menuju ke gudang.
Kala pintu gudang terbuka, saat
itu pula Tumenggung Tambak Yasa
membelalakkan matanya. Tubuh prajurit
jaganya telah tergeletak tanpa nyawa.
Lebih tersentak kaget lagi Tumenggung
Tambak Yasa, kala Dewi Kalandasan
tiba-tiba muncul.
"Selamat jumpa lagi, Tumenggung!
Apa kabarmu?"
"Kau...!" tergagap Tumenggung
Tambak Yasa berkata, setelah tahu
siapa wanita yang menyapanya.
"Ya, aku. Apakah kau masih ingat
kenangan manis kemarin? Apakah kau
ingin mengulangi lagi, Kanjeng
Tumenggung?"
Melotot Tumenggung Tambak Yasa,
yang merasa terbuka kedoknya di muka
sang istri. Maka bagaikan orang tak
mengenal, Tumenggung Tambak Yasa
membentak marah.
"Wanita sinting! Apa perlumu
datang-datang ke mari?"
Tertawa Dewi Kalandasan mendengar
ucapan Tumenggung Tambak Yasa, yang
sepertinya tak mengenalinya.
"Tumenggung edan! Kau adalah
seorang lelaki pengecut! Setelah kau
dapatkan pelayanan dariku, kini kau
hendak lari dari tanggung jawab. Aku
ke mari untuk meminta tanggung
jawabmu."
Membeliak mata istri Tumenggung
Tambak Yasa, mendengar ucapan wanita
yang berdiri di hadapannya. Sesaat
matanya memandang pada si wanita, lalu
beralih memandang pada suaminya yang
tertunduk takut-takut.
"Apa yang telah diperbuat suamiku
padamu, Di Ajeng?" tanyanya.
Dengan terisak-isak Dewi Kalan-
dasan pun menceritakan, apa yang telah
terjadi pada dirinya dengan Kanjeng
Tumenggung Tambak Yasa.
Seketika istri Tumenggung melo-
totkan mata, mana kala mendengar
penuturan Dewi Kalandasan. Mata istri
Tumenggung tak henti-hentinya meman
dang bergantian, pada suaminya yang
hanya mampu menunduk dan pada Dewi
Kalandasan yang masih menangis.
"Di Ajeng... kalau memang suamiku
telah melakukannya padamu, maka aku
pun tak akan menghalangi kalian untuk
menjadi suami istri. Kang Mas Tumeng-
gung, kuharap kau mau bertanggung
jawab."
Terbelalak mata Tumenggung Tambak
Yasa mendengar ucapan istrinya.
Hatinya begitu marah pada Dewi
Kalandasan yang telah membuat istrinya
terpukul. Maka dengan membentak,
Tumenggung Tambak Yasa segera
menghardik.
"Kuntilanak! Apa perlumu
menceritakan nista di sini!"
"Hem... kalau aku kuntilanak,
bukankah kau itu gendrewo?"
Tersenyum sinis Dewi Kalandasan,
membuat Tumenggung Tambak Yasa
menggeretak marah. Giginya yang beradu
terdengar berkeriut-keriut, dengan
mata melotot.
"Kuntilanak busuk! Kau telah
lancang padaku. Apakah kau tak
mengetahui siapa aku?"
"Aku tahu siapa kau sebenarnya.
Kau tak ubah nya lelaki buaya yang
suka usilan dengan rumah tangga orang!
Kalau kau tak mau bertanggung jawab,
jangan salahkan bila akan menyesal
nantinya."
Ucapan Dewi Kalandasan sepertinya
tak adi artinya bagi Tumenggung Tambak
Yasa yang merasa telah mampu men-
jatuhkan Dewi Kalandasan. Maka dengan
tersenyum sinis, Tumenggung Tambak
Yasa berkata:
"Apa yang hendak kau lakukan,
kuntilanak?"
Sebelum Dewi Kalandasan berkata
menyahuti, seketika istri Tumenggung
Tambak Yasa telah mendahului berkata:
"Sudahlah, Kakang. Kalau memang kau
merasa telah melakukannya, kenapa lari
dari tanggung jawab? Seperti halnya
aku. Di Ajeng ini pun tak mau
dipermainkan."
"Tapi itu tidak benar, Di Ajeng!
Dia hanya mengarang cerita, agar kita
hancur!" Tumenggung Tambak Yasa
berusaha mengelak, yang membuat Dewi
Kalandasan seketika itu marah.
"Pengecut! Kenapa dulu kau
merayu-rayu aku? Kenapa kau memaksa
pada suamiku, agar dia mau memberikan
diriku padamu. Sekarang setelah kau
dapatkan kehormatanku, kau hendak lari
dari tanggung jawab! Lelaki macam apa
kau!"
Dengan penuh kemarahan Dewi
Kalandasan menyerang Tumenggung Tambak
Yasa, yang terperanjat dan menghindar.
Melihat suaminya diserang tiba-
tiba, istri Tumenggung Tambak Yasa
seketika itu pula memekik, karena
takut. Hal itu mengundang para
prajurit, yang segera datang mengham-
piri. Tak ayal lagi. Para prajurit
segera mengeroyok Dewi Kalandasan yang
mengamuk.
Perkelahian itu pun tak dapat
dihindarkan lagi.
Dengan membabi buta, Dewi
Kalandasan terus merangsek Tumenggung
Tambak Yasa yang tampak makin
terdesak. Sementara kelima prajurit-
nya, tak mampu harus berbuat apa
melihat Tumenggung nya terdesak begitu
hebat. Baru ketika terdengar seruan
dari Tumenggung Tambak Yasa, para
prajurit itu segera membantu.
"Prajurit geblek! Kenapa kalian
bengong saja! Ayo bantu aku!"
"Hem... benar apa yang aku
katakan! Kau tak ubahnya seorang
lelaki pengecut, yang hanya bisa
merusak rumah tangga orang lain. Hari
ini juga, kau harus mampus di.
tanganku! Hiat...!"
Dewi Kalandasan berkelebat cepat
dan makin cepat, menyerang dan
merangsek Tumenggung Tambak Yasa yang
makin kelabakan tak dapat berbuat apa-
apa.
Sia-sia prajurit-prajurit itu
hendak membantu. Sebelum mereka mampu
menyentuh kulit Dewi Kalandasan, Dewi
Kalandasan telah mendahului menghantam
mereka dengan pukulan jarak jauhnya.
Pekik kematian seketika menggema
susul-menyusul, diikuti dengan ambruk-
nya kelima prajurit Ketemenggungan.
Terbeliak mata Tumenggung Tambak
Yasa kaget melihat kejadian itu. Kini
Tumenggung Tambak Yasa baru menyadari,
bahwa nama sepasang pendekar bukan
nama kosong belaka. Wajahnya seketika
pucat pasi, sepertinya tak ada
harapan.
Sebelum Tumenggung Tambak Yasa
tersadar dari kepanikan nya, tiba-tiba
Dewi Kalandasan telah mengebutkan
tangannya. Seketika angin keluar dari
kebutan tangan Dewi Kalandasan men-
deru, disertai hawa dingin yang amat
sangat.
Melotot kaget Tumenggung Tambak
Yasa sembari melompat mundur mencoba
mengelakkan serangan itu dan balik
menyerang. Tapi sungguh fatal
akibatnya. Serangan Tumenggung Tambak
Yasa, malah berbalik menyerang
tuannya.
"Ah...!" Lengkingan panjang
keluar dari mulut Tumenggung Tambak
Yasa, yang akhirnya ambruk dengan
tubuh membiru beku.
Setelah mendapatkan Tumenggung
telah mati di tangannya, dengan
tertawa gembira, Dewi Kalandasan
segera berlalu pergi meninggalkan
kediaman Tumenggung.
Istri Tumenggung Tambak Yasa tak
dapat berbuat apa-apa, kecuali
menangis dan menangis. Menangisi kema-
tian suaminya yang mati akibat
perbuatannya sendiri.
Langit kelam bergayut di kediaman
Tumenggung Tambak Yasa, yang kembali
sunyi-senyap bagaikan di pekuburan.
Mayat bergelimpangan di sana-sini,
menjadikan sebuah pemandangan yang
mengerikan, mendirikan bulu kuduk
bagi yang melihatnya. Angin sepoi-
sepoi di sore hari, mengiringi
kepergian istri Tumenggung yang ber-
jalan sembari menangis. Melangkah
terus sang waktu, yang tak diam atau
beristirahat...!
EMPAT
Sesaat Ki Perwana menarik
nafasnya, Jaka Ndableg kembali
bertanya: "Lalu bagaimana tindakan
kerajaan pada masa itu, Paman?"
"Sebentar kita istirahat dulu.
Ayo, diminum kopinya!"
"Terima kasih, Paman."
Jaka pun segera mengangkat
cangkir kopi yang ada di hadapannya,
yang terbuat dari tanah liat.
Diminumnya kopi hangat habis tak
tersisa, membuat Ki Perwana tersenyum
senang dan berkomentar.
"Memang kopi dapat membuat mata
kita tak mengantuk."
"Benar katamu, Paman. Tadi aku
begitu ngantuk, Eh... setelah aku
minum kopi, rasa kantuk ku seketika
lenyap."
Kedua orang itu tertawa bergelak-
gelak. Mata keduanya tampak berlinang-
linang, menahan air mata yang hendak
jatuh menetes.
"Ayo, Paman. Ceritakan lagi,
sebab hari hampir menjelang subuh. Aku
takut kita tak ada waktu lagi.
Bukankah aku harus segera pergi untuk
mencari Kala Peningasan?"
"Hai! Ada apakah kau dengan Kala
Peningasan, Jaka?" tanya Ki Perwana
kaget, mendengar ucapan Jaka tentang
Kala Peningasan. "Bukankah ia seorang
tokoh silat golongan lurus?"
"Semua orang persilatan telah
tertipu, Paman."
"Maksudmu...?" Ki Perwana tersen-
tak, mendengar penuturan Jaka yang
tidak diduga-duga nya. Sesaat Jaka
terdiam menundukkan muka memandang
pada tikar duduknya, sebelum akhirnya
ia pun menceritakan tentang Kala
Peningasan.
"Dia dengan berkedok sebagai
tokoh persilatan golongan lurus, telah
mencuri beberapa Kitab dan pusaka-
pusaka sakti. Pusaka milik perguruan
Teratai Putih telah dicurinya. Begitu
juga dengan Kitab Lembayung Mas milik
perguruan Jalak Mas, telah digondol
nya."
Ter angguk-angguk Ki Perwana
mendengar penuturan Jaka yang menya-
darkan dirinya tentang siapa
sebenarnya Kala Peningasan yang dari
dulu dikenalnya sebagai seorang tokoh
golongan lurus. Namun begitu, Ki
Perwana tak mau langsung menggaris
bawahi. Maka sebelum memutuskan untuk
menentukan dugaannya, Ki Perwana pun
segera bertanya.
"Dari mana kau mengetahuinya?"
"Dari laporan perguruan-perguruan
yang telah dicuri Kitab atau
pusakanya, yang kini meminta padaku
untuk mencarikan nya."
"Kalau begitu, sungguh berat
tugasmu."
"Maksud, Paman?"
Ki Perwana sesaat tersenyum
sembari menggelengkan kepala, sebelum
kembali berkata. "Sungguh berat
tugasmu, Jaka. Pertama kau harus mampu
mendapatkan kembali Kitab dan pusaka-
pusaka yang telah dicuri oleh Kala
Peningasan. Kedua, kau akan aku minta
tolong untuk menghentikan sepak
terjang Nyi Dewi Kalandasan."
"Apa...! Dewi Kalandasan masih
hidup?"
Kaget Jaka seketika itu, manakala
dirinya diminta tolong untuk menghen-
tikan sepak terjang Dewi Kalandasan.
Bukannya ia takut atau repot, namun ia
menyangka kalau Dewi Kalandasan hanya
hidup kala lima puluh tahun yang silam
bukan sampai sekarang.
"Apakah Paman tidak tengah
bercanda?"
"Tidak, Jaka. Ini memang benar-
benar tugas yang harus kau emban,
sebagai seorang pendekar golongan
lurus sejati."
"Maksud Paman?" Kembali Jaka
bertanya.
"Sebagai seorang pendekar yang
kondang sepertimu, maka tindakan Dewi
Kalandasan merupakan musuh yang harus
dibasmi. Sebab bila dibiarkan ber-
larut-larut, akan membuat petaka di
dunia ini."
Terdiam Jaka mendengar penuturan
Ki Perwana, yang dirasakan memang
benar adanya. Lalu dengan rasa ingin
tahu, Jaka segera bertanya.
"Apa yang telah diperbuat oleh
Dewi Kalandasan? Hingga akan membuat
petaka di dunia, Paman?"
Ki Perwana tak segera menjawab.
Ditariknya nafas sesaat untuk membuang
rasa kantuk, sebelum kembali ia
berkata: "Sejak sumpah yang ia ikrar
kan, maka setelah membunuh Tumenggung
Tambak Yasa, ia menjadi buronan
kerajaan."
Setelah kembali terdiam sesaat
memandang pada Jaka yang tampaknya tak
ngantuk sedikit pun Ki Perwana kembali
menceritakan lanjutan kejadian lima
puluh tahun yang silam.
Dengan matinya Tumenggung Tambak
Yasa, membuat murka sang Raja kerajaan
Trenggiling Wesi. Segera sang raja
memerintahkan pasukan kerajaan untuk
mencari dan menangkap pelaku
pembunuhan Tumenggung Tambak Yasa,
yang diketahui adalah seorang wanita.
Saat itu juga disebar pengumuman
di seantero kerajaan. Sarang siapa
yang mampu menangkap Dewi Kalandasan
hidup, atau mati. Akan mendapatkan
hadiah dari raja berupa kedudukan dan
jabatan yang sangat memuaskan! Raja
Trenggiling Wesi.
Semua tokoh persilatan yang
membaca pengumuman itu, segera ber-
lomba memburu Dewi Kalandasan. Namun
sejauh itu, mereka selalu menemui
kegagalan.
* * *
Pada suatu pagi di padepokan
Gunung Tengger, tampak seorang guru
yang tengah dihadapi oleh muridnya.
Guru itu bernama Ki Paksi Atom atau
Pendekar Seruling Emas dengan muridnya
yang bernama Eka Bilawa.
"Heh. Bukankah itu kakek dan
ayahku?" tanya Jaka seketika, demi
mendengar nama orang-orang tersebut.
"Benar! Kedua murid dan guru itu
adalah kakek dan ayahmu."
“Teruskanlah cerita paman."
Sesaat Ki Perwana tersenyum
sesaat, sebelum kembali meneruskan
ceritanya yang telah dipotong oleh
pertanyaan Jaka.
Kedua murid dan guru yang tak
lain dari Ki paksi Anom dan Eka
Bilawa, tengah membicarakan tentang
desas-desus yang saat itu melanda
kerajaan.
Ki Paksi Anom selaku tokoh
persilatan golongan lurus, merasa ikut
bertanggung jawab dengan kejadian yang
telah menimpa kerajaan. Maka Ki Paksi
Anom pun memanggil muridnya, untuk
membahas masalah yang tengah dihadapi
kerajaan dan bagaimana untuk
menanggulangi nya.
"Eka Bilawa, Kerajaan kini tengah
dilanda oleh sebuah kejadian yang
sangat berat. Tumenggung Tambak Yasa
mati terbunuh oleh seorang wanita,
yang tak lain dari Dewi Kalandasan."
"Dewi Kalandasan istrinya
Jagalaya, Guru?"
"Benar! Dia telah membunuh
Tumenggung Tambak Yasa, yang telah
membuat keluarganya berantakan. Rupa-
nya Dewi Kalandasan sangat terpukul
oleh tindakan suaminya, setelah
dirinya ternoda oleh Tumenggung Tambak
Yasa. Bahkan Dewi Kalandasan pernah
bersumpah, akan membunuh semua lelaki
setelah lelaki itu mendapat kepuasan
dari tubuhnya."
Terkesiap darah Eka Bilawa
mendengar penuturan gurunya.
"Sungguh tindakan biadab yang
harus dicegah secepatnya, Guru?"
"Benar Bilawa! Kita sebagai orang
persilatan, dituntut untuk dapat
mencegah meluas nya Sumpah Dewi
Kalandasan. Maka dari itu aku
memanggilmu untuk membicarakan masalah
ini. Aku harap kau mau mengerti,
Bilawa?"
"Hamba mengerti, Guru!" kata Eka
Bilawa. Hari itu juga, Eka Bilawa
segera pergi meninggalkan padepokan
Gunung Tengger untuk mencari Dewi
Kalandasan yang telah membuat geger
kerajaan.
Setelah beberapa waktu lamanya
berjalan dalam usahanya mencari Dewi
Kalandasan, akhirnya Eka Bilawa
menemukan persembunyian si Dewi.
"Dewi Kalandasan, keluar kau!"
Mendengar seruan seorang pemuda
di luar gubuknya. Dewi Kalandasan yang
saat itu tengah memadu nafsunya dengan
pemuda mangsanya, tersentak dan
melompat ke luar.
"Brengsek! Siapa kau? Lancang
benar berbicara lantang padaku!"
Berkelebat Dewi Kalandasan menuju ke
halaman gubuknya, di mana Eka Bilawa
tengah berdiri menunggu kemunculannya.
Demi melihat seorang pemuda tampan,
seketika Dewi Kalandasan tercenung.
Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba
hati si Dewi terajut benang-benang
aneh. Dewi Kalandasan pun hanya mampu
mematung sembari memandang Eka Bilawa,
dengan senyum yang mampu membuat
jantung setiap lelaki akan bergetar.
Dengan bibir tersenyum manis, Dewi
Kalandasan pun menghampiri Eka Bilawa
yang masih berdiri termangu di
tempatnya menyaksikan kecantikan Dewi
Kalandasan.
"Siapa kau pemuda tampan?" tanya
Dewi Kalandasan merajuk membuat Eka
Bilawa kelabakan bingung. Hatinya
sebagai seorang pemuda, seketika
menggejolak mengajak dirinya untuk
menyambut rasa suka yang dilontarkan
sang Dewi. Namun kala mengingat
gurunya, Eka Bilawa segera sadar akan
tugasnya. Dengan membuang rasa yang
ada di hatinya, Eka Bilawa pun segera
berkata:
"Aku Eka Bilawa, yang akan
menangkapmu untuk mempertanggung-
jawabkan atas semua tindakanmu."
"Ah... sungguhkah kau bermaksud
menyerahkan diriku pada raja?"
"Mengapa tidak! Kau telah membuat
keonaran di kerajaan dengan membunuh
Tumenggung Tambak Yasa, sepantasnyalah
kau harus dihukum!" kata Eka Bilawa,
setelah mendengar ucapan Dewi Kalan
dasan yang sepertinya mengundang rasa
iba. Namun sebagai seorang tokoh
persilatan, dan merupakan murid
terkasih Paksi Anom ia harus mampu
mempertimbangkan kebenaran walaupun
perasaannya berkata lain.
Mendengar ucapan Eka Bilawa,
seketika Dewi Kalandasan meneteskan
air mata. Dan dengan penuh rasa iba,
Dewi Kalandasan mencoba mempengaruhi.
"Eka Bilawa. Bukankah kau seorang
pendekar yang berbudi luhur? Mengapa
kau tak mampu mempertimbangkan dan
membedakan kebenaran dan keadilan? Aku
membunuh Tumenggung Tambak Yasa,
karena dia telah membuat rumah tangga
ku hancur. Salahkah bila aku
menuntut?"
"Kau tidak salah. Tapi menuntut
itu ada cara dan aturannya, tidak
sembarangan membunuh sepertimu!"
Hati Dewi Kalandasan yang telah
ter panah asmara, saat memandang Eka
Bilawa seketika memekik. "Oh... betapa
semua lelaki di dunia ini sama! Semua
egois! Semua tak mengerti perasaanku!"
Dengan linangan air mata, Dewi
Kalandasan pur kembali berkata.
"Eka Bilawa, apakah kau
bersungguh-sungguh?"
"Ya!" jawab Eka Bilawa pendek.
Matanya memandang tajam pada Dewi
Kalandasan, yang saat itu kembali
menitikkan air mata. Lalu dengan
menangis terisak Dewi Kalandasan pun
kembali berucap membuat Eka Bilawa
tersentak.
"Baiklah! Aku akan menyerah tanpa
syarat. Asalkan kau mau menerima
cintaku, yang telah lama membeku.
Terus terang Bilawa, aku mencintaimu,
aku tertarik sejak melihatmu."
Trenyuh hati Bilawa mendengar
ucapan Dewi Kalandasan, yang polos dan
dengan sepenuh hati. Namun
kewajibannya menuntut agar ia tidak
memperdulikan ucapan Dewi Kalandasan.
Setelah sesaat terdiam, Eka Bilawa
akhirnya berkata perlahan. "Maaf Dewi
Kalandasan. Aku tak mampu mengabulkan
permohonan mu. Aku harus menjalankan
tugasku. Kau masih mempunyai suami
yang sah. Janganlah kau memburu nafsu
setan, yang akhirnya membuatmu
celaka."
Membeliak mata Dewi Kalandasan
mendengar ucapan Eka Bilawa, yang
dirasa telah kembali menghancurkan
harapannya. Maka dengan histeris dan
amarah. Dewi Kalandasan pun berkata:
"Diam! Aku tak perlu khotbah mu! Kalau
kau tak mau menerima diriku, maka
jangan salahkan kalau aku menolak
untuk menuruti kemauanmu. Jangan harap
kau mampu menangkapku. Walaupun kau
murid Paksi Anom, namun aku tak mau
menuruti ucapanmu."
"Kau menantangku, Dewi?"
Eka Bilawa mendesah panjang,
manakala mendengar Dewi Kalandasan
menantangnya. Sebenarnya hatinya ragu
untuk menerima tantangan itu,
disebabkan ia juga merasa iba. Apalagi
dalam hati Eka Bilawa ada tersirap
perasaan yang sukar dimengerti, yang
menggebu-gebu manakala beradu pandang
dengan Dewi Kalandasan.
"Kuharap kau tidak dalam keadaan
sadar, Dewi."
"Apa maksud mu?"
"Aku mengharapkan di antara kita
tak terjadi bentrokan."
Diam seketika Dewi Kalandasan
mendengar ucapan Eka Bilawa yang telah
memetik hatinya. Namun kalau dia harus
mengalah begitu saja tanpa menerima
balasan permintaannya, sia-sialah. Di
samping ia akan mendekam dalam penjara
kerajaan, ia juga tak akan mendapatkan
balasan cintanya dari Eka Bilawa.
Setelah berpikir untuk beberapa
saat, Dewi Kalandasan pun kembali
berkata: "Memang aku pun enggan untuk
bentrok denganmu, namun aku tak mau
pengorbanan ku sia-sia. Aku akan
menyerah pada kerajaan, asalkan kau
mau menerima cintaku "
Bimbang juga hati Eka Bilawa
mendengar ucapan Dewi Kalandasan yang
begitu mengharukan dan polos. Tapi
kalau mengingat tugas, Eka Bilawa mau
tak mau harus berpikir kembali. Maka
setelah diam berpikir untuk beberapa
saat lamanya, Eka Bilawa akhirnya
kembali berkata: "Baiklah! Aku akan
menerima cinta mu, asalkan kau mau
menghentikan perbuatanmu sekaligus
menyerahkan dirimu pada kerajaan."
"Kau tak berdusta, Bilawa?"
Dengan lemah Eka Bilawa meng-
geleng, yang menjadikan Dewi Kalan-
dasan seketika itu senang hatinya.
Dengan tanpa malu-malu lagi, dipeluk-
nya tubuh Eka Bilawa yang masih
terdiam mematung.
Hari itu juga Dewi Kalandasan
menyerah pada kerajaan untuk
mempertanggung jawabkan segala per-
buatan yang telah ia lakukan. Hari itu
juga, Dewi Kalandasan harus mendekam
dalam penjara kerajaan.
LIMA
Setelah lima tahun mendekam dalam
tahanan, Dewi Kalandasan segera pergi
mencari Eka Bilawa untuk menagih
janji. Lama dia mencari Eka Bilawa
yang belum diketahui di mana
tempatnya.
Akhirnya setelah setahun ia men-
cari-cari, Eka Bilawa dapat
diketemukan. Dengan penuh harapan,
Dewi Kalandasan pun mengutarakan
maksud hatinya. Tapi jawaban Eka
Bilawa sangat mengagetkan Dewi
Kalandasan sekaligus makin menambah
dendam pada semua lelaki.
"Aku telah mengalah untuk
menyerah pada kerajaan. Maka hari ini
juga, aku menagih janjimu."
"Ah...!"
"Kenapa, Bilawa?" tanya Dewi
Kalandasan.
"Aku tak dapat, Dewi. Maafkan
aku!" Mengeluh Eka Bilawa, sepertinya
penuh sesal. Mendengar ucapan Eka
Bilawa, seketika meledaklah amarah
Dewi Kalandasan.
"Kau tak ubahnya lelaki lain! Kau
penipu, Bilawa!" Air mata Dewi
Kalandasan yang tengah dilanda marah,
tampak berlinang-linang menggayut di
kelopak matanya. Melihat hal itu Eka
Bilawa seketika iba hatinya.
"Dewi, maafkan aku. Bukannya aku
bermaksud mengingkari apa yang pernah
aku ucapkan padamu, namun aku kini
telah mempunyai istri hingga tak
mungkin bagiku menerima cinta mu. Juga
aku pikir, kau masih mempunyai suami."
"Alasan! Kau hanya membuat alasan
saja! Aku benci! Aku benci padamu!
Sekarang mari kita buktikan siapa di
antara kita yang berhak untuk hidup di
dunia ini lebih lama!"
"Dewi...! Apakah kau sadar
berkata begitu?"
"Aku sadar, Bilawa! Aku sadar
bahwa aku tak ada artinya bagimu dan
bagi dunia. Untuk itu, aku lebih baik
mati atau terus hidup dengan sumpahku
untuk membunuh semua lelaki yang telah
mendapat kepuasan dariku!" Ucapan Dewi
Kalandasan yang disertai. emosi,
menjadikan dirinya bagai seekor
harimau betina. Matanya yang redup dan
indah, seketika liar memerah.
Melihat hal itu, Eka Bilawa
merasa terpukul juga. Hingga seketika
itu juga, Eka Bilawa hanya mampu
menundukkan muka. Dalam hatinya
membatin penuh iba: "Ah... Betapa dia
selalu dalam penderitaan. Namun
haruskah aku menuruti kemauannya?
Haruskah aku menentang keputusan guru?
Sebenarnya aku iba dan kasihan
melihatnya. Tapi bila aku menuruti
nya, apakah tidak menyalahi hukum?
Bagaimana nanti orang-orang persilatan
menuduhku? Sungguh suatu keputusan
yang perlu memakan pikiran."
"Kenapa kau terdiam, Bilawa! Ayo!
Kita tentukan siapa di antara kita
yang berhak menghirup udara bebas
lebih lama lagi!"
Belum juga Eka Bilawa mampu
berkata, tiba-tiba Dewi Kalandasan
telah menyerangnya dengan cepat.
Tersentak Eka Bilawa, hampir saja
tubuhnya terhantam pukulan maut Dewi
Kalandasan. Dengan melompat, Eka
Bilawa segera berteriak.
"Tunggu! Apakah tak ada jalan
lain bagi kita?"
"Jalan lain hanya bila kau mau
menerimaku, Bilawa!" Dewi Kalandasan
terus merangsek Eka Bilawa, yang terus
berusaha menghindar tanpa membalas
menyerang sekali pun. Hal itu membuat
Dewi Kalandasan makin marah. "Kenapa
kau hanya menghindar, Bilawa! Kalau
kau memang laki-laki, seranglah aku!"
Eka Bilawa segera duduk bersujud
dengan mata terpejam, siap untuk
menerima kematian.
Eka Bilawa telah siap untuk
segala-galanya, demi kepuasan Dewi
Kalandasan.
Namun apa yang ditunggu-tunggu
tak kunjung tiba. Dewi Kalandasan yang
hendak menghantamkan tangan segera
mengurungkan niatnya. Dengan menangis
tersedu-sedu, Dewi Kalandasan akhirnya
duduk berlutut di hadapan Eka Bilawa
seraya berucap lirih di antara isak
tangisnya.
"Aku tak mampu! Aku tak mampu
untuk membunuhmu. Aku... aku sangat
mencintaimu. Hu.... hu...!"
Perlahan-lahan Eka Bilawa membuka
matanya, memandang pada Dewi
Kalandasan yang kini menangis terisak-
isak. Hatinya yang penuh kasih, seke-
tika menggugah nya untuk turut
menitikkan air mata. Eka Bilawa
akhirnya hanya dapat menangis, melihat
kepedihan Dewi Kalandasan.
"Kenapa kau mengurungkan niatmu,
Dewi? Lakukanlah bila hal itu akan
membuatmu tenang!"
Makin seru tangis Dewi Kalandasan
mendengar ucapan Eka Bilawa yang
pasrah dan siap untuk menerima segala-
nya. Maka dengan menangis tersedu-
sedu, Dewi Kalandasan segera berlalu
pergi meninggalkannya.
Sesaat setelah dirinya sadar,
dengan segera Eka Bilawa berlari
mengejar Dewi Kalandasan. "Dewi
tunggu!"
"Jangan hiraukan aku! Aku benci
kamu! Aku benci!" Dewi Kalandasan
terus berlari. Manakala tampak jurang
menganga di hadapan sang Dewi, dengan
segera Eka Bilawa mempercepat larinya.
Maka dalam sekejap, Eka Bilawa telah
berhasil menghadang langkah sang Dewi.
"Berhenti, Dewi!"
"Jangan halangi aku! Minggir! "
pekik Dewi Kalandasan, disertai dengan
serangan. Tersentak Eka Bilawa melihat
kenekatan Dewi Kalandasan. Dengan
segera Eka Bilawa mengelit. Hal itu
mengakibatkan fatal bagi Dewi
Kalandasan yang tengah dilanda emosi.
Tubuhnya yang melaju, terus melayang
ke bawah jurang.
"Dewi...!" Eka Bilawa memekik dan
berusaha menolong. Namun terlambat
sebab tubuh Dewi Kalandasan telah
deras meluncur ke bawah, dengan
lengkingan yang menyayat.
Eka Bilawa hanya terpaku, meman-
dang ke bawah jurang di mana tubuh
Dewi Kalandasan terjatuh. Dengan wajah
lesu, Eka Bilawa segera balik kembali
ke tempatnya. "Sungguh tragis
kematiannya," gumam Eka Bilawa dalam
hati.
* * * *
Kala tubuh Dewi Kalandasan
meluncur jatuh dari atas, sebuah
bayangan dengan cepatnya meluncur dan
menyambar tubuh Dewi yang telah
pingsan karena panik.
"Tapp..." Bagaikan menangkap
sehelai daun, orang itu menyambar
tubuh Dewi Kalandasan, sebelum sampai
ke dasar jurang. Dengan lari bagaikan
angin, orang itu segera membawa tubuh
Dewi Kalandasan pergi menuju ke sebuah
tempat.
"Kasihan gadis ini. Sepertinya ia
telah mengalami tekanan batin yang
berat. Kalau saja dia tidak mempunyai
dasar yang kuat, niscaya dia telah
gila." Setelah bergumam sesaat sembari
merebahkan tubuh Dewi Kalandasan,
wanita tua itu segera kembali berlari
ke luar.
Tak lama kemudian orang tua itu
telah kembali. Di tangannya membawa
daun dan akar-akar pohon untuk obat.
Ditatapnya tubuh Dewi Kalandasan se-
saat, sebelum ia berlalu menuju ke
sebuah ruangan.
Diracik nya jamu-jamuan yang
terbuat dari akar dan daun-daunan.
Lalu setelah selesai orang tua itu pun
segera kembali menuju di mana Dewi
Kalandasan terbaring pingsan. Sedikit
demi sedikit, diminumkan jamu yang
telah diramu nya ke mulut Dewi
Kalandasan.
Setelah beberapa saat jamu itu
diminumkan, tampak perubahan di tubuh
Dewi Kalandasan. Tubuh Dewi Kalandasan
tampak memerah bagaikan menyala.
Keringat seketika keluar dari pori-
pori tubuh Dewi Kalandasan, banyak
bagaikan mandi.
Dibukanya pakaian Dewi Kalandasan
satu persatu, sampai benar-benar tubuh
Dewi Kalandasan tak tertutup sehelai
benang pun. Kepala wanita tua itu
menggeleng lemah, memandang tubuh Dewi
Kalandasan yang putih bersih bagaikan
tak bernoda sedikit pun. Dibaluri nya
tubuh Dewi Kalandasan dengan ramuan
obat yang diracik nya, sampai ke
seluruh badan.
Tubuh Dewi Kalandasan yang
telanjang, makin nampak bersinar
terang. Lambat laun, perubahan pada
tubuh Dewi Kalandasan berlangsung.
Si Nenek tersenyum sembari
mengangguk-anggukan kepalanya, dan
bergumam lirih. "Bagus! Bagus.
Ternyata tak sia-sia aku menolongnya."
Dengan penuh kesabaran si nenek
menunggui Dewi Kalandasan yang tengah
pingsan, yang akhirnya tampak per-
lahan-lahan membuka kedua matanya.
Makin melebar senyum si nenek,
menyaksikan Dewi Kalandasan telah
siuman. Matanya yang menyipit, meman-
dang tak berkedip. Dewi Kalandasan
heran melihat tubuhnya tak berpakaian
sebenang pun.
Kala dilihatnya seorang wanita
tua ada di sisinya, dengan segera Dewi
Kalandasan bertanya: "Di mana aku? Dan
siapakah engkau?"
Terkekeh si nenek mendengar per-
tanyaannya, menampakkan gigi-giginya
yang kuning dan tajam. Kemudian
terdengar suaranya yang serak dan
parau.
"Kau berada di rumahku. Kau telah
kutolong kala kau terjatuh ke dalam
jurang. Kalau kau ingin tahu namaku,
biasanya orang menyebutku "Ratu
Siluman Muka Ayu" karena aku mampu
mengubah wajahku yang keriput ini
menjadi cantik bak bidadari." Terkekeh
wanita tua itu, dibarengi dengan peru-
bahan paras mukanya yang seketika itu
mengejutkan Dewi Kalandasan. Muka yang
tadinya penuh keriputan, seketika
berubah menjadi cantik bak bidadari
setelah si nenek membacakan mantra.
"Bagaimana Dewi Kalandasan?
Apakah kau percaya?"
"Hai! Rupanya kau telah mengenal
namaku. Dari mana kau tahu namaku?"
Ditanya seperti itu si nenek
terkekeh-kekeh. Dengan terlebih dulu
mengubah wajahnya kembali ke bentuk
semula, si nenek kembali berkata:
"Jangan kaget, Dewi. Aku memang dapat
mengenalmu, bila kau mengerutkan
matamu."
"Bagaimana si nenek mengenaliku
hanya dari mataku? Ah! Jangan-jangan
dia malaikat," kata Dewi Kalandasan
dalam hati.
"Kau rupanya bimbang, Dewi?
Jangan bimbang! Sebab akan menjadikan
dirimu terombang ambing oleh
kehidupan. Kalau kau menentukan sikap,
maka lakukanlah sikapmu."
"Nenek sangat tajam penglihatan
batinnya. Apakah nenek adalah seorang
malaikat yang menyamar?"
Terkekeh-kekeh kembali Dewi Muka
Ayu mendengar pertanyaan Dewi
Kalandasan. Lalu dengan menggeleng-
gelengkan kepala, si nenek Iblis Si-
luman Muka Ayu berkata: "Aku bukannya
malaikat. Aku orang biasa sepertimu,
yang punya kekurangan serta kelebihan.
Kalau kau ingin dapat seperti aku,
maka kelak kau pun akan menda-
patkannya. Dengan syarat, kau harus
menjadi muridku. Kau mau?"
Sesaat Dewi Kalandasan tercenung
diam, memikirkan keputusan apa yang
harus ia utarakan pada si nenek.
Mengingat dendamnya pada Braja Denta
karena cintanya ditolak, Dewi Kalan-
dasan pun segera memutuskan untuk
menerima tawaran Siluman Muka Ayu.
"Baiklah, Nenek. Aku menerima
tawaranmu. Aku siap untuk menjadi
muridmu."
"Bagus, bagus! Mulai sekarang,
kau harus memanggilku dengan sebutan
guru!"
"Baiklah, Guru. Saat ini juga,
aku siap untuk menjadi muridmu."
Terkekeh si nenek, mana kala
mendengar ucapan Dewi Kalandasan.
Saking senangnya, si nenek tampak
melompat-lompat bagaikan anak kecil
kegirangan. Sejak saat itu pula, Dewi
Kalandasan pun menjadi murid tunggal
Siluman Muka Ayu.
ENAM
"Lain bagaimana dengan ayahku
setelah itu?" tanya Jaka setelah
melihat Ki Perwana terdiam meng-
hentikan ceritanya, untuk menarik
nafas.
"Kau belum ngantuk, Jaka?"
"Belum, Paman. Ceritakanlah selu-
ruhnya, biar aku mengerti dan tahu apa
yang menjadikan paman begitu tertarik
dalam masalah ini. Hingga paman
mengundangku untuk datang ke mari."
"Wah, wah, wah. Sebenarnya paman
sendiri telah ngantuk. Namun karena
melihatmu masih belum apa-apa paman
hilang kantuknya. Kau memang benar-
benar seorang tokoh persilatan yang
mumpuni. Tak heran kalau kau mampu
mengatasi segala kesusahan, apalagi
masalah ngantuk, bukan begitu, Jaka? "
"Ah, paman terlalu meninggikan.
Saya rasa semua orang sama," kata Jaka
mengelak tuduhan yang dilontarkan Ki
Perwana yang kembali tersenyum dan
mengangkat cangkir kopinya untuk
diminum.
Setelah berguru pada Siluman Muka
Ayu, bertambahlah ilmu yang dimiliki
oleh Dewi Kalandasan. Dendamnya pada
Eka Bilawa yang mendorongnya untuk
mampu menyerap segala ilmu yang
diajarkan oleh Siluman Muka Ayu.
Hingga dalam waktu yang singkat, Dewi
Kalandasan telah menguasai ilmu-ilmu
Siluman Muka Ayu.
Di antara ilmu-ilmu silumannya,
ada sejenis ilmu yang akan membuatnya
tampak ayu dan awet muda. Ilmu itu,
bernama ajian Ronggeng. Sedangkan ilmu
yang ganas, yang ia kuasai dari
Siluman Muka Ayu adalah sebuah ajian
yang sungguh dahsyat bernama Ajian
Lebur Raga. Yang bila dihantamkan pada
musuhnya, seketika musuhnya akan
menjadi tepung.
Setelah mendapatkan seluruh ilmu
dari Siluman Muka Ayu, Dewi Kalandasan
pun bermaksud mengadakan perhitungan
pada semua lelaki, khususnya pada Eka
Bilawa yang dicintainya sekaligus
dibencinya.
Saat itu juga kembali dunia
persilatan dibuat geger, dengan ulah
seorang wanita cantik yang membunuh
setiap lelaki yang telah menerima ke-
puasan darinya.
Petualangannya begitu menggempar-
kan, sampai mengundang perhatian Ki
Paksi, yang segera mengundang
muridnya.
"Ada gerangan apa lagi, hingga
guru memanggilku?"
"Ketahuilah, Bilawa. Dunia persi-
latan kini tengah kembali digegerkan
oleh tingkah seorang wanita cantik,
yang sepak terjang nya sungguh kelewat
telengas dan biadab."
"Maksud Guru?"
Eka Bilawa yang memang belum
mendengar dan mengetahuinya, kembali
bertanya pada gurunya. Paksi Anom
sesaat mengangguk-anggukkan kepala,
sebelum kembali berkata menerangkan.
"Wanita itu setiap beraksi selalu
meninggalkan selembar daun lontar,
yang bertuliskan "Hadiah untuk Eka
Bilawa."
"Ah! Siapa kira-kira wanita itu,
guru?"
"Menurut pengamatan mata batin
ku, wanita itu orang yang dulu pernah
berbuat yang sama. Wanita itu tak lain
dari Dewi Kalandasan yang masih hidup
kala jatuh ke dalam jurang," kata
Paksi Anom menjelaskan, membuat Eka
Bilawa makin tersentak kaget hingga
mendesah.
"Ah... Apa itu mungkin, guru?
Sedangkan Dewi Kalandasan jatuh ke
dalam jurang yang terjal dan dalam?"
"Mungkin...! Di dunia ini
segalanya dapat mungkin terjadi."
"Kalau begitu Dewi Kalandasan ada
yang menolongnya?"
"Benar katamu, anakku. Dewi
Kalandasan memang ada yang menolong
manakala terjatuh dalam jurang, hingga
tubuhnya selamat."
Tercenung Eka Bilawa mendengar
pertuturan gurunya. Ia tak menyangka
kalau Dewi Kalandasan masih hidup, dan
kini mendendam padanya karena ia telah
menolak cintanya. "Kalau begitu,
sungguh suatu petaka besar bagi dunia.
Lambat atau cepat, Dewi Kalandasan
akan menemuiku. Maka sebelum banyak
korban, aku harus mencari dan mencegah
tindakannya."
Ter masygul Eka Bilawa dalam
hati, manakala mengingat apa yang
bakal terjadi di dunia persilatan bila
ia tak segera mencegah tindakan
telengas Dewi Kalandasan.
"Tak adakah orang persilatan yang
berusaha menghalangi niat Dewi
Kalandasan, guru?"
"Sudah, namun semuanya menemui
kegagalan. Perlu kau tahu, biasanya
orang-orang itu, tak mampu menghadapi
rayuan Dewi Kalandasan."
"Maksud guru?" Masih Eka Bilawa
tak memahami apa yang dikatakan
gurunya, yang seketika itu memandang
padanya sembari tersenyum.
Setelah sesaat menarik nafas
panjang-panjang, Paksi Anom segera
kembali berkata menerangkan: "Dalam
menjalankan aksi nya wanita yang
bernama Dewi Kalandasan selalu merayu
setiap laki-laki dengan kecantikan
wajahnya dan kemulusan tubuhnya. Bila
laki-laki itu telah terjebak rayuan
nya, maka jadilah laki-laki itu
terbuai oleh bisikan setan. Dan
setelah lelaki itu mendapat kepuasan
darinya, lelaki itu pun dengan
telengas dan biadab dibunuh.
Mengerti lah Eka Bilawa setelah
gurunya menerangkan. Maka dengan
didahului desahan, Eka Bilawa
bertanya. "Lalu apa yang harus hamba
kerjakan, guru?"
"Sebagai seorang pembela kebena-
ran serta keadilan, kau harus dapat
mencegah tindakannya agar tidak meluas
dan memakan korban lebih banyak lagi.
Hati-hatilah! Sebab dia kini bukan
Dewi Kalandasan yang dulu kau kenal.
Dia sekarang Dewi Kalandasan yang
memiliki ilmu-ilmu Siluman. Di antara
ilmu silumannya, ia memiliki ilmu yang
sangat ganas dan berbahaya. Ilmu itu
bernama Ajian Lebur Raga. Barang siapa
terkena ajian itu, niscaya tubuhnya
akan menjadi tepung."
Terkesiap Eka Bilawa mendengar
penuturan gurunya, tentang ilmu yang
dimiliki oleh Dewi Kalandasan.
Keraguan di hatinya seketika timbul,
dan menjadikan sebuah pertanyaan.
"Mampukah aku mengalahkannya? Kalau
aku tak mampu, maka akulah yang bakal
menjadi korbannya."
Paksi Anom yang memang cermat,
segera mengetahui apa yang tengah
tersirat di hati muridnya. Maka dengan
mengurai senyum di bibir, Paksi Anom
segera menegur: "Bilawa, kau rupanya
bimbang. Jangan kau takut dan bimbang
menghadapinya, sebab ilmu yang ia
miliki tak lebih tinggi dari ilmumu.
Karena kau menggunakannya pada
kebenaran. Maka Yang Maha Kuasa akan
selalu melindungimu. Percayalah, bahwa
ilmu yang kau miliki akan mampu
mengatasi ilmunya. Kalau ia memiliki
ajian Lebur Raga, kau pun memiliki
Ajian Tapak Yaksa bukan?"
"Terima kasih atas nasehat yang
guru berikan, kini hati hamba telah
tenang dan penuh kepercayaan. Kapankah
hamba diperkenankan untuk menghentikan
sepak terjang Dewi Kalandasan, guru?"
Hatinya kini tenang dan yakin
akan kemampuan yang ia miliki, walau
ia pun harus menyadari bahwa
keberuntungan yang dilimpahkan Tuhan
jugalah yang bakal mampu memberikan
kemenangan.
"Sebelum kau menghadangnya. Aku
sarankan kau terlebih dahulu meng-
hubungi suaminya, Jagalaya di kaki
gunung Semeru. Berangkatlah ke sana."
Setelah habis ucapan gurunya, Eka
Bilawa menjura hormat meminta ijin dan
doa restu untuk menemui Ki Jagalaya
sekaligus untuk mencegah tindakan Dewi
Kalandasan. "Guru, hamba mohon doa
restu. Hari ini juga murid akan pergi
menemui Ki Jagalaya sekaligus
menghentikan sepak terjang Dewi
Kalandasan yang terlalu telengas."
"Pergilah, anakku. Aku doakan
semoga kau berhasil," kata Ki Paksi
Anom, seraya membelai rambut Eka
Bilawa yang masih menjura hormat dan
menyembah.
Dengan diikuti gurunya sampai ke
pelataran rumah, Eka Bilawa segera
berlalu pergi meninggalkan kediaman
gurunya untuk menemui Ki jagalaya di
kaki gunung Semeru.
* * * *
Di kaki gunung Semeru tampak
sebuah pondok kecil, yang tenang dan
sunyi. Sepertinya pondok itu tak ada
penghuninya, sepi menyendiri. Namun
bila kita menengok ke dalam pondok,
kita akan melihat seorang lelaki
tengah khusuk bermeditasi.
Kala lelaki itu tengah khusuk
melakukan semedinya, tiba-tiba
seberkas sinar tampak masuk ke pondok
melalui jeruji jendela yang terbuat
dari bambu belahan.
Belum juga lelaki itu hilang dari
kekagetannya, cahaya itu telah berubah
menjadi sesosok tubuh manusia yang
telah berdiri di hadapannya sembari
menjura hormat, dan menyapa ramah.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" jawab lelaki yang
tengah semedi, yang tak henti-hentinya
memandang kaget pada sosok pemuda yang
berdiri di hadapannya yang datangnya
secara tiba-tiba. "Siapakah Ki sanak
adanya?"
"Maafkan kelancanganku mengganggu
meditasi mu, namaku Eka Bilawa. Aku
sengaja datang ke mari, karena diutus
oleh guruku."
"Siapakah guru Ki sanak adanya?
Dan ada keperluan apa yang Ki Sanak
tuju hingga bertandang ke mari?"
"Guruku bernama Paksi Anom. Aku
datang ke mari untuk meminta
pendapatmu tentang sepak terjang
istrimu Dewi Kalandasan. Bagaimana
menurutmu, Ki Jagalaya?"
Seketika terkesiap Jagalaya demi
mendengar nama orang yang disebut,
sebelum akhirnya ia bertanya kembali.
"Maksud Ki sanak?"
"Istrimu kini telah membuat
keonaran di dunia persilatan. Dengan
mengandalkan tubuhnya, istrimu telah
menjerat dan membunuh banyak lelaki.
Apakah kau akan membiarkannya?"
Jagalaya seketika tersentak
manakala mendengarkan penuturan Eka
Bilawa tak menyangka kalau tindakan
istrinya telah sedemikian jauhnya.
melampaui nilai-nilai kemanusiaan.
Maka setelah terdiam sesaat, Jagalaya
pun dengan terlebih dahulu menarik
nafas berkata pasrah: "Ki sanak Eka
Bilawa. Kalau memang hal itu perlu
adanya tindakan, Aku serahkan padamu
sepenuhnya. Aku yakin, Ki sanak
mengerti apa yang harus Ki sanak
lakukan."
"Baiklah, kalau itu keputusanmu.
Berarti aku telah mendapatkan mandat
darimu. Terima kasih terlebih dulu aku
ucapkan, dan aku pun mohon diri untuk
segera menemui istrimu yang tengah
berkelana mencari mangsa."
Maka kedua orang itu pun segera
saling bersalaman, sebelum akhirnya
Eka Bilawa segera pergi meninggalkan
padepokan Jagalaya. Dengan diiringi
Jagalaya hingga ke lereng gunung
Kelud, Eka Bilawa segera berlalu pergi
untuk menjalankan tugasnya menghadang
sepak terjang Dewi Kalandasan.
Kala Eka Bilawa tengah berjalan
menyusuri jalan setapak di tengah
hutan, ia bertemu dengan seorang
lelaki tua yang menghadang langkahnya.
Merasa tak mengenal lelaki itu, Eka
Bilawa segera bertanya. "Ki sanak.
Apakah gerangan hingga Ki sanak
menghadang langkahku?"
Di tanya seperti itu, lelaki itu
bukannya menjawab, malah dengan mata
menyipit, dipandanginya tubuh Eka
Bilawa bagaikan menyelidik. Hal itu
membuat Eka Bilawa makin tak mengerti,
hingga untuk kedua kalinya bertanya:
"Ki sanak! Adakah sesuatu yang menjadi
perhatian pada diriku?"
Belum juga ada jawaban dari
lelaki tua renta berbadan bongkok.
Malah dengan mulut menyeringai, lelaki
tua berbadan bongkok itu berkata
ngawur bagaikan orang gila. Hingga
membuat Eka Bilawa terpaksa
mengerutkan kening, tak mengerti akan
apa yang diucapkan oleh lelaki tua
bongkok itu.
"Sungguh beruntung orang yang
berjalan pada jalan kebenaran. Karena
dirinya selalu tenang dan damai. Namun
bila berjalan dalam kekhilafan,
niscaya dirinya tak pernah bahagia.
Iblis dan setan selalu menggoda."
"Hai, sepertinya kau tengah
bersyair, Ki sanak! Apa maksud syair
mu itu?"
Terkekeh lelaki tua bongkok itu,
sepertinya tertawa pada diri sendiri.
Lalu dengan masih memandang pada Eka
Bilawa, lelaki tua berbadan bongkok
itu menerangkan maksudnya.
"Pendekar Eka Bilawa, ketahuilah,
bahwa di utara sana kau akan menemui
tantangan. Berhati-hatilah, karena
petaka akan datang secara tiba-tiba
bila kau lengah dan menyepelekan hal-
hal yang kau anggap sepele. Jangan kau
terpengaruh dengan rayuan mautnya."
Bersamaan dengan habisnya ucapan
lelaki tua bongkok itu, lenyap pula
tubuh lelaki tua bongkok di
hadapannya. Seketika Eka Bilawa
tersentak, mendapatkan lelaki tua itu
tak ada lagi di hadapannya. Belum
habis keterkejutan Eka Bilawa, tiba-
tiba terdengar suara lelaki tua
bongkok itu berkata kembali padanya.
"Eka Bilawa, kau tak perlu
terkejut, sebab aku adalah manusia
semacammu. Bila kau hendak melangkah
mencari Dewi Kalandasan, maka perguna-
kanlah penangkal ilmu silumannya
dengan bambu kuning yang ada di
hadapanmu."
"Siapa kau sebenarnya, Ki sanak?"
Terkekeh suara lelaki tua bongkok
itu, sebelum akhirnya kembali ter-
dengar berkata menjawab: "Aku adalah
orang yang selalu dekat denganmu."
Terkesiap Eka Bilawa kala men-
dengar ucapan orang tua berbadan
bongkok, yang seketika mengingatkannya
pada seseorang yang selalu dekat
dengannya. Setelah merasa pasti,
dengan segera Eka Bilawa bersujud
sembari menyembah dan berkata: "Guru!
Ah, mengapa guru menyamar?"
"Ha.... ha.... ha....! Rupanya
ingatanmu masih tajam. Nah, sekarang
pergilah kau ke arah utara. Di sana
kau akan menemui korban-korban Dewi
Kalandasan, yang terlalu sadis dan
telengas. Jangan kau terpengaruh oleh
rayuan nya, yang akan menjadikan lemah
imanmu. Pusatkan segala pikiranmu pada
Tuhan Yang Maha Esa, sebab hanya
Dialah yang dapat melindungimu. Ingat!
Kalau musuhmu telah tak berdaya,
jangan kau lalu menurunkan tangan
jahatmu. Biarkanlah ia sadar sendiri."
"Baiklah, guru. Hamba akan selalu
mengingat petuah dan pesan yang guru
berikan. Kini hamba mohon pamit."
Bersamaan dengan lenyapnya suara
Ki Paksi Anom, maka Eka Bilawa segera
meneruskan langkahnya menuju ke arah
yang diberikan gurunya untuk menemui
Dewi Kalandasan yang makin telengas
dan membawa banyak korban.
"Kalau tidak segera dicegah. Aku
khawatir korban makin bertambah
banyak. Aku harus segera mencegahnya."
Maka dengan menggunakan ajian angin
puyuh Eka Bilawa segera berlari menuju
ke arah utara. Karena menggunakan
ajian angin puyuh hingga Eka Bilawa
seperti angin saja berlari.
* * * *
Di dalam sebuah gubuk tampak
seorang lelaki tengah menggeluti
seorang wanita. Keduanya tampak telan-
jang tanpa sehelai benang pun,
manakala sebuah sinar berkelebat masuk
ke dalam dan mengejutkan mereka. Kedua
orang yang tengah dipengaruhi setan,
segera tersentak dan melepaskan
pelukan masing-masing. Sementara
bayangan yang tadi berkelebat, tampak
seorang pemuda yang kini berdiri
mematung di sudut ruangan dengan wajah
menghadap ke bilik.
"Siapa kau?" tanya Dewi
Kalandasan, yang segera bangkit dari
terlentang nya dengan terlebih dahulu
mengibaskan tubuh pemuda yang sedari
tadi menggeluti nya. Kibasan tangan
Dewi Kalandasan, menjadikan pemuda itu
menjerit dan meregang mati.
"Gunakan pakaianmu dulu, nanti
aku akan memberitahukan mu siapa aku
sebenarnya."
Dewi Kalandasan segera menyadari
keadaan tubuhnya, dengan segera
dikenakan pakaiannya sebelum akhirnya
ia kembali bertanya lagi setelah
pakaiannya melekat di tubuhnya.
"Siapakah kau, Ki sanak? Apakah kau
juga ingin merasakan kehangatan
tubuhku?"
Perlahan lelaki itu membalikkan
tubuhnya menghadap ke Dewi Kalandasan
yang terkejut setelah tahu siapa
adanya lelaki itu. Yang dengan
senyumnya berkata: "Ternyata
tindakanmu makin menjadi-jadi, Dewi
Kalandasan?"
"Bilawa! Untuk apa kau datang ke
mari?"
"Hem... kalaupun aku tak datang
ke mari, pasti suatu saat kau pun akan
datang menemuiku, untuk menuntut
dendam cinta mu bukan?"
"Benar, Bilawa memang aku hendak
menagih janjimu. Aku akan mengambil
nyawamu, yang telah tega membuatku
menderita batin."
"Kalau itu yang engkau mau,
lakukanlah bila mampu."
Menggeretak gigi Dewi Kalandasan,
mendengar ucapan Eka Bilawa. Maka
dengan terlebih dahulu menggeram
marah, Dewi Kalandasan segera
menyerang.
"Eka Bilawa keparat! Jangan
sesalkan tindakanku! Hiat...!"
Eka Bilawa yang telah waspada,
dengan segera mengelak dan balik
menyerang.
"Hiat...!"
Perkelahian kedua orang yang
pernah terjerat cinta di hati masing-
masing, tak dapat dicegah lagi.
Keduanya berkelebat-kelebat dengan
cepatnya, saling serang dan elak.
Jurus demi jurus terlampaui.
Manakala jurus yang kedua puluh
lima hendak berjalan, seketika tubuh
Dewi Kalandasan tampak melompat
mundur. Lalu dengan disertai pekikan,
Dewi Kalandasan pun kembali menyerang
dengan ilmunya.
"Terimalah kematianmu, Bilawa!
Ajian Lebur Raga! Hiat...!"
Dari tangan Dewi Kalandasan,
tampak selarik sinar merah membara
berkelebat di samping kiri Eka Bilawa
yang segera mengelak. Sedetik saja Eka
Bilawa terlambat, maka nyawanya akan
melayang.
Mendengus Eka Bilawa seketika,
manakala melihat kehebatan ajian yang
baru saja dilancarkan oleh Dewi
Kalandasan. Maka dengan mendengus, Eka
Bilawa segera mengimbanginya dengan
jurus Ajian Tapak Bahana.
"Tapak Bahana! Hiat...!"
Keduanya segera melompat ke
udara, dan berbareng keduanya meng
hantamkan ajian masing-masing.
Seketika dua ajian pamungkas itu
berada di udara, menjadikan sebuah
ledakan dahsyat.
"Duar...!"
Tubuh keduanya terdorong ke
belakang. Eka Bilawa tergetar
tubuhnya, dan menyurut kakinya tiga
langkah. Sementara Dewi Kalandasan
tampak terdorong lima tombak, dengan
mulut mengeluarkan darah segar.
Tanpa menghiraukan Eka Bilawa,
Dewi Kalandasan yang terluka dalam itu
berkelebat pergi. Eka Bilawa hanya
terbengong-bengong tanpa bermaksud
mengejarnya.
"Sejak kejadian itu, Dewi
Kalandasan tak terdengar lagi kabar
beritanya hilang bagaikan tertelan
bumi." Mengakhiri Ki Perwana berkata,
yang membuat Jaka termangu diam.
Setelah sesaat terdiam, Jaka bertanya
kembali.
"Lalu apa yang menjadikan
perhatian paman saat ini?"
Seketika Ki Perwana tersentak,
manakala mendengar pertanyaan Jaka.
Setelah menguap sesaat, Ki Perwana
segera menerangkan apa yang menjadikan
perhatiannya hingga mengundang Jaka
datang ke tempatnya.
"Setelah sekian lama menghilang!
Dewi Kalandasan tiba-tiba muncul dan
membuat keonaran lagi. Maka sebagai
orang yang bertumpu pada kebenaran dan
ketentraman, aku tak bisa berdiam diri
begitu saja. Namun untuk mencegah
tindakannya, hanya kaulah yang mampu
untuk mengatasinya."
Mengerut alis mata Jaka mendengar
ucapan Ki Perwana. Dengan masih tak
mengerti, Jaka bertanya:
"Hai! Mengapa mesti aku? Apakah
tak ada pendekar lain yang berusaha
mencegahnya?"
"Sudah, Jaka. Berpuluh-puluh
pendekar telah berusaha mencegahnya.
Namun kesemuanya hanya mengalami
kegagalan dan menemui kematian yang
mengerikan, yaitu barang miliknya
hilang terbetot."
"Hah! Sungguh mengerikan, paman!"
Terbelalak mata Jaka mendengar penu-
turan Ki Perwana. Hatinya tersengat
juga, bila membayangkan tindakan yang
dilakukan Dewi Kalandasan.
"Itulah, Jaka. Mengapa aku
mengundangmu ke mari. Sebab hanya
pewaris ilmu Empat Pendekar Sakti yang
mampu menghadapinya, Karena kau satu-
satunya pewaris ilmu Empat Pendekar
Sakti, aku minta tolong padamu. Kau
sanggup bukan?"
Setelah mendengar ucapan Ki
Perwana dan sesaat terdiam berpikir,
Jaka akhirnya berkata juga:
"Aku akan berusaha membantu.
Namun aku tak dapat menjanjikannya,
karena aku pun belum yakin pada
kemampuanku. Di samping itu pula, aku
harus mencari orang yang bernama Kala
Peningasan yang telah mencuri Kitab
dan pusaka-pusaka milik beberapa
perguruan."
"Tak mengapa, yang penting bagi
kami, kau mau membantu. Kini hari
sebentar lagi pagi. Tidakkah kau
bermaksud istirahat barang sekejap
untuk memulihkan tenagamu?"
Dengan segera kedua orang itu pun
berlalu menuju ke dipan masing-masing
yang ada di rumah itu, untuk tidur.
Mungkin karena telah mengantuk,
keduanya pun segera terlelap tidur.
Rumah itu pun kini tampak sunyi,
dan hanya suara dengkuran Ki Perwana
saja yang mengumandang memecahkan
kesunyian malam itu. Walau Jaka merasa
bising oleh dengkuran Ki Perwana,
namun karena rasa kantuk telah
menggayut di kedua matanya Jaka
akhirnya tertidur pulas.
TUJUH
Di kaki gunung Slamet tampak
sebuah padepokan berdiri dengan
megahnya. Di sekelilingnya terpagar
betonan dari batu bata merah, makin
menambah kemegahan bangunan itu.
Di pintu depan untuk masuk ke
dalam, dua orang penjaga tampak selalu
siaga dan seksama. Mata kedua orang
itu, selalu liar memandang orang yang
lalu lalang jalan di situ.
Tengah kedua penjaga pintu
gerbang itu memandang ke orang-orang
yang berjalan di muka tempat itu,
seorang pemuda tiba-tiba memberi
salam: "Sampurasun...!"
Dengan agak terkejut, kedua
penjaga pintu gerbang segera menjawab
dengan mata penuh selidik: "Rampes...!
Siapakah Ki Sanak ini? Dan ada
keperluan apakah Ki Sanak datang ke
mari?"
Pemuda yang baru datang dengan
menggunakan caping lebar dengan segera
berkata: "Namaku, Loh Gamyar. Aku
sengaja datang ke mari, dengan maksud
ingin mengabdi pada Ratu mu. Sampaikan
lah salam hormatku pada Ratu kalian."
Kedua penjaga pintu gerbang itu,
tidak segera menuruti ucapannya. Malah
dengan mata tajam, keduanya memandang
penuh selidik Setelah sesaat
memandang, salah seorang penjaga
itupun berkata: "Baiklah, tunggu
sebentar." Pengawal itupun segera
masuk ke dalam, untuk menemui
pimpinannya Ratu Siluman Muka Ayu.
Sang Ratu yang tengah duduk-duduk
dengan didampingi abdi setianya yang
rata-rata pemuda, menyipitkan mata
demi melihat penjaga pintu gerbang
datang menghadapnya dengan senyuman.
"Ada apa, Warma? Seperti mendapat
rejeki saja kau tersenyum-senyum."
"Ampun, Sri Ratu. Ada seorang
pemuda gagah yang hendak mengabdikan
diri pada Sri Ratu," menjawab Warma
setelah menjura hormat.
Sri Ratu tersenyum, lalu dengan
penuh wibawa Sri Ratu pun kembali
berkata menyuruh pada Warma.
"Warma, siapakah nama pemuda
itu?"
"Dia bernama Loh Gamyar, Sri
Ratu."
"Suruh dia masuk untuk menghadap
ku."
"Daulat, Sri Ratu," berkata Warma
seraya menyembah, lalu dengan segera
berlalu meninggalkan Sri Ratu yang
kembali bermesraan dengan abdi-
abdinya.
"Tuan Loh Gamyar. Tuan
diperkenankan masuk untuk menemui Sri
Ratu," berkata Warma setelah sampai
kembali ke pintu gerbang.
"Ke mana aku harus menemui Ratu
mu?"
"Aku akan mengantarmu, ayo!"
Dengan diantar Warma, Loh Gamyar
pun segera menuju ke tempat Sri Ratu
berada. Tak berapa lama mereka
melangkah masuk, keduanyapun segera
tiba di tempat Sri Ratu berada.
Warma segera masuk mendahului,
sementara Loh Gamyar menunggu di luar.
Warma dengan segera menghadap Sri Ratu
dan menyampaikan berita bahwa pemuda
itu ada di luar.
"Ampun, Sri Ratu. Pemuda itu kini
menunggu di luar."
Sri Ratu yang tengah bercumbu
rayu dengan abdi-abdinya, seketika
menghentikan cumbuan nya dan langsung
menghadap ke Warma sembari berkata:
"Suruh dia masuk!"
"Daulat, Sri Ratu!"
Bergegas Warma kembali ke luar
menemui Loh Gamyar.
"Tuan diperkenankan masuk!"
Kedua orang itupun akhirnya masuk
ke dalam ruangan yang besar. Tampak
oleh Loh Gamyar seorang wanita cantik
dengan pakaian yang minim sekali duduk
dengan posisi merangsang. Senyumnya
menghias bibir yang makin menambah
anggun dan cantiknya.
Setelah Loh Gamyar menyembah,
terdengar suara Ratu Siluman Muka Ayu
berkata: "Loh Gamyar. Benarkah kau
hendak mengabdi padaku?"
"Benar, Sri Ratu."
"Baiklah, Loh Gamyar. Kau aku
terima sebagai abdi ku. Kau tahu apa
yang harus kau kerjakan?"
Sesaat Loh Gamyar terdiam
memandang wajah Sri Ratu dengan
pandangan kurang ajar. Semestinya Sri
Ratu marah, namun demi melihat wajah
Loh Gamyar yang tampan, Sri Ratu
bukannya marah tapi tersenyum.
Dengan perlahan Sri Ratu beranjak
dari tempat duduknya, menuju ke Loh
Gamyar yang tampaknya terdiam saja.
Diajaknya Loh Gamyar menuju ke sebuah
ruangan yang bertirai putih bersih.
"Loh Gamyar. Sudahkah kau
pikirkan semuanya?" tanya Sri Ratu
kala keduanya telah masuk ke dalam
peraduan pada Loh Gamyar yang masih
terdiam memandang wajah Sri Ratu.
"Sungguh benar-benar cantik,"
bergumam hati Loh Gamyar. "Pantas
kalau tokoh-tokoh persilatan akan
mudah ditaklukannya." Loh Gamyar
bagaikan orang bodoh saja mengangguk,
lalu dengan penuh nafsu Loh Gamyar
merengkuh tubuh Sri Ratu.
Mendesah-desah Sri Ratu Siluman
Muka Ayu manakala tangan Loh Gamyar
bergerayangan menuju ke seluruh tubuh.
"Jangan kau hentikan, Loh!"
rengek Sri Ratu yang telah dilanda
nafsu, menjadikan Loh Gamyar makin
bertambah semangat.
Kedua orang itupun terus memburu
emosi, yang bersamaan dengan nafsu di
hati mereka. Napas keduanya memburu,
bak kuda-kuda yang tengah berpacu. Tak
lama antaranya, keduanya terlelap
dalam heningnya alunan rasa yang
menderu di setiap sentuhan-sentuhan
birahi.
* * *
Mendengar desah-desah di dalam
kamar Sri Ratu, menjadikan emosi abdi-
abdi yang lainnya. Wajah-wajah mereka
seketika membara, penuh nafsu dan
kebencian pada Loh Gamyar yang
dianggapnya telah merebut hati Sri
Ratu.
Salah seorang dari keenam abdi
Sri Ratu nekad menerobos masuk ke
dalam, membuat Loh Gamyar dan Sri Ratu
terperanjat.
"Mau apa kau masuk ke sini,
Londang!" membentak Sri Ratu marah,
melihat Londang dengan napas memburu
hendak mencengkeram pundak Loh Gamyar
yang segera mengelak.
"Heh... Kenapa kau tiba-tiba hen-
dak menyerangku, Ki Sanak?" bertanya
Loh Gamyar tak mengerti, setelah
dirinya dapat mengelakkan cengkeraman
Londang.
Namun Londang yang dipengaruhi
oleh rasa cemburu tak mau menjawab.
Bahkan dengan mendengus da mata
menyorot penuh kebencian pada Loh
Gamyar, Londang kembali menyerang.
Murka Sri Ratu melihat tingkah
laku Londang. Matanya yang tadi redup
dan jeli, berubah memerah penuh bara
kematian. Tak dapat terelakkan lagi
oleh Londang, manakala tangan Sri Ratu
yang dialiri tenaga dalam menghantam
tubuhnya. Seketika tubuh Londang
hancur menjadi tepung, berserakan
memenuhi lantai. Loh Gamyar yang
menyaksikan hal itu, tak terasa
bergumam lirih penuh kekagetan. "Ajian
Tapak Bahana!"
Terbelalak mata Sri Ratu,
manakala mendengar ucapan Loh Gamyar.
Maka dengan masih kaget, Sri Ratu
Siluman Muka Ayu bertanya: "Apa yang
tadi kau katakan, Loh?"
"Tidak!! Hamba tidak berkata apa-
apa," menjawab Loh Gamyar terbata-
bata. "Sungguh bahaya mulutku ini.
Kalau saja Sri Ratu mendengar jelas,
ah...." menggumam hati Loh Gamyar.
Sri Ratu Siluman Muka Ayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, meman-
dang tajam pada Loh Gamyar, sepertinya
tak percaya pada apa yang dikatakan
oleh Loh Gamyar. Maka seketika,
terdengar Sri Ratu kembali bertanya
pada Loh Gamyar: "Loh, kau berdusta
padaku. Aku dengar kau tadi mengatakan
Bahana, apa itu?"
"Ampun, Sri Ratu. Hamba tadi
saking kagumnya melihat ajian yang
dilontarkan oleh Sri Ratu, hingga tak
sengaja hamba bergumam bahaya.
Sedangkan apa yang menjadi nama ajian
Sri Ratu, hamba sendiri tidak mengerti
apa-apa."
Sri Ratu kini tersenyum melebar
dan dengan penuh gejolak di hatinya,
didekatinya kembali Loh Gamyar.
Direngkuhnya leher Loh Gamyar yang ha-
nya diam menurut. Keduanyapun kembali
terlelap dalam alunan kasih berbaur
nafsu.
Hari begitu panasnya, kala sese-
orang pemuda tampak berjalan dengan
lambat menuju ke sebuah kedai yang tak
jauh dari tempatnya berjalan.
"Wah... perut ini telah minta
jatah. Sudah seminggu aku mencari Kala
Peningasan. Namun sejauh aku
melangkah, belum juga aku temui. Ke
mana aku harus mencarinya? Apakah aku
menemui Loh saja?" berkata Jaka dalam
hati.
Dirogohnya kantong yang ada di
balik sabuknya, lalu dikeluarkan uang
yang masih tersisa. "Waah... duitku
hampir habis." Ditimang-timang duit
itu hingga berbunyi,
"Kalau sampai dalam dua tiga hari
ini aku belum dapat menemukan Kala
Peningasan, sungguh bodoh nya aku ini.
Huh... pusing!" sambil menggumam dalam
hati, Jaka Ndableg segera masuk ke
dalam kedai.
Setelah mengambil tempat duduk,
Jaka Ndableg segera memesan makanan
pada pelayan kedai. Tak berapa lama
antaranya, pesanannya pun telah
datang. Maka dengan segera disantap
nya seluruh makanan yang ter
hidangkan. Sekejap saja makanan di
piring itu tuntas tak tersisa.
"Hem. Perutku sekarang kenyang.
Ah. Lebih baik aku istirahat dulu
sambil mengademkan badan yang sedari
tadi disengat matahari," gumamnya
dalam hati, lalu dengan menyenderkan
tubuh pada tiang penyangga atap, Jaka
duduk beristirahat.
Tengah Jaka beristirahat melepas
lelah, seseorang lelaki masuk ke dalam
kedai. Lelaki yang tak lain adalah
Kala Peningasan, tampak memandang ke
sekeliling ruangan kedai itu.
Setelah dirasakannya aman, Kala
Peningasan dengan segera mengambil
duduk tiga bangku dari kelana
beristirahat. "Pelayan, beri aku nasi
satu piring dengan lauk-pauknya.
Jangan lupa sekendi tuak," pintanya
pada pelayan kedai, yang dengan segera
mengangguk dan berlalu pergi mening-
galkannya untuk mengambil pesanannya.
"Hem... rupanya di sini kau
kutemui, Kunyuk! Kau telah membuatku
pusing," bergumam Jaka dalam hati.
Dibiarkannya Kala Peningasan menyantap
makanannya lebih dulu, sementara ia
tampak masih pura-pura tidur sambil
menunggu Kala Peningasan makan.
Mata Kala Peningasan tampak liar,
memandang ke sekeliling ruangan kedai.
Seketika matanya tertuju pada seorang
pemuda yang tengah tertidur dengan
menyenderkan tubuhnya ke tiang
penyangga. Hatinya seketika gelisah
manakala mengetahui bahwa pemuda itu
tak lain Jaka adanya.
Bagaikan tak mengetahui adanya
Kala Peningasan, Jaka dengan segera
bangun dari tidurnya dan membayar
makanan yang telah dimakannya. Lalu
dengan tak memandang selirikpun pada
Kala Peningasan. Jaka Ndableg segera
berlalu pergi meninggalkan kedai itu.
Tersenyum Kala Peningasan yang
merasa telah aman dari incaran Jaka,
yang dianggapnya tak mengetahui
keberadaan dirinya. Dengan hati tenang
Kala Peningasan segera menyantap
makanannya.
"Rupanya ia tak mengetahuiku.
Ah... kalau dia sampai mengetahuiku,
niscaya dia telah menangkapku. Semoga
saja ia benar-benar tak tahu," ber-
gumam hati Kala Peningasan senang.
Setelah habis menyantap makanan
bergegas Kala Peningasan membayar.
Kemudian segera Kala Peningasan
berlalu meninggalkan kedai itu dengan
bernyanyi-nyanyi bagaikan seorang yang
mendapat hadiah dari Raja.
Kala Peningasan melangkah sudah
agak jauh dari kedai, terdengar
seseorang memanggil namanya yang
dikenalnya suara itu milik Jaka.
"Selamat bertemu, Kala Peni-
ngasan! Bagaimana keadaanmu sekarang?
Bagaimana pula usahamu yang telah
mampu mengelabui orang-orang persilat-
an? aku berharap kau akan mampu
menerima hukuman dari orang-orang
persilatan, khususnya perguruan-
perguruan yang kau curi pusaka atau
kitabnya."
Tersentak Kala Peningasan seraya
memandang sekelilingnya, mencari orang
yang telah berbicara. Mendapatkan
bahwa orang yang telah berbicara tak
ada tongkrongannya, Kala Peningasan
segera berseru: "Hai! Kalau kau memang
manusia adanya, tunjukkan mukamu!"
Habis ucapan Kala Peningasan,
seketika berkelebat sesosok tubuh dari
atas pohon yang telah berdiri di
hadapannya. Tubuh itu yang tak lain
Jaka adanya, tampak tersenyum
sepertinya ramah dan kembali berkata:
"Aku, Kala Peningasan! Masih
mengenalku, bukan?"
Melihat Jaka Ndableg. yang telah
menyapanya, dengan seketika Kala
Peningasan hendak berlari pergi. Namun
dengan segera, Jaka memburunya. Dengan
ajian Angin Puyuh, Jaka dengan segera
mencegat di muka Kala Peningasan.
"Mau lari ke mana kau, Kala
Peningasan? Aku ingin kau mau
mengembalikan Kitab dan pusaka yang
telah kau curi dari pemiliknya."
"Jangan harap kau akan mampu
mendapatkan Kitab dan pusaka yang
telah aku curi. Kau terlalu lancang
mencampuri urusanku. Maka janganlah
kau menyesal bila kelak kau akan
menderita."
"Hem... jangan kau mengancamku,
Kala Peningasan! Kalau kelak aku
menderita, itu adalah suratan Yang
Kuasa. Sekarang aku meminta
pertanggungan jawabmu atas tinda-
kanmu."
Mendengus marah Kala Peningasan
mendengar ucapan Jaka. Maka dengan
mata memerah marah, Kala Peningasan
mengeretakkan gigi-giginya dan dengan
seketika menyerang.
Jaka yang telah waspada dari
semula, dengan segera mengegoskan
tubuhnya mengelakan serangan Kala
Peningasan sembari membentak marah.
"Rupanya kau memang iblis, Kala
Peningasan! Dengan berkedok sebagai
pendekar lurus, kau mencuri pusaka dan
Kitab milik beberapa perguruan!
Sungguh perbuatanmu tak dapat
dimaafkan."
"Jangan banyak omong! Kalau kau
memang pendekar yang kesohor,
lakukanlah apa yang kau bisa. Tapi
jangan harap kalau aku mau memberikan
apa yang telah aku peroleh."
Maka tak dapat dicegah lagi,
kedua orang itupun dengan seketika
saling serang dan elak. Jurus demi
jurus tingkat tinggi, dikeluarkannya
untuk dapat menjatuhkan lawan.
Kala Peningasan bukanlah tokoh
persilatan sembarangan, hingga ilmu-
ilmunya juga bukanlah ilmu ringan. Tak
ayal lagi, Jaka harus waspada dan
hati-hati. Setiap sambaran Kala
Peningasan selalu mengeluarkan hawa
panas dan deru angin.
Begitu juga halnya dengan Jaka
yang telah kondang di dunia
persilatan, bukanlah lawan yang enteng
bagi Kala Peningasan. Nama besarnya
sebagai Pendekar Pedang Siluman, telah
menggetarkan dunia persilatan waktu
itu.
Maka sudah dapat dipastikan bila
dua tokoh persilatan bertemu, akan
menjadikan sebuah pertarungan yang
sayat dan seru.
"Matilah kau!" bentak Kala
Peningasan dibarengi dengan lompatan
tubuhnya ke belakang. Lalu dengan
cepat dari tangan Kala Peningasan
melarik seberkas sinar putih kekuning-
kuningan.
Jaka tersentak manakala menge-
tahui apa yang menderu-deru, yang ke
luar dari tangan Kala Peningasan.
Ribuan jarum-jarum beracun, beter-
bangan ke arahnya.
"Licik!" Dengan segera tangannya
yang telah disaluri tenaga dalam serta
didasari Ajian Bayu Sakti. Bunyi angin
kibasan Bayu Sakti telah meruntuhkan
puluhan jarum berbisa itu.
Manakala Jaka tengah sibuk
menghalau jarum beracun yang ia
taburkan, tidak disia-siakan oleh Kala
Peningasan yang segera pergi
meninggalkan Jaka secara diam-diam.
Betapa gusarnya Jaka seketika itu
manakala melihat musuhnya telah
berlalu entah ke mana. "Bedebah! Licik
benar dia. Jangan harap bisa lolos
dariku!" menggeretak Jaka marah, lalu
dengan segera berkelebat mengejar Kala
Peningasan yang telah pergi.
DELAPAN
Malam telah tiba ketika tampak
sebuah bayangan berkelebat dari satu
atap ke atap lainnya yang ada di
kawasan wilayah Ratu Siluman Muka Ayu.
Bayangan itu milik seorang lelaki,
nampaknya tengah bermaksud menyelidiki
sesuatu yang ada di dalam kawasan itu.
"Untung Sri Ratu sangat
mencintaiku, kalau tidak. Mungkin aku
sudah dijadikan bregedel semacam
gacoan-gacoannya yang lima orang itu.
Aku jadi tertarik untuk mengetahui di
mana Sri Ratu mengeksekusi gacoannya?
Mengapa mereka hilang begitu saja?"
Setelah tercenung sesaat, kembali
bayangan lelaki itu berkelebat menuju
ke satu rumah ke rumah yang lainnya
tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Ketika telah sampai pada tempat
yang dituju, yaitu sebuah bangunan
yang terletak paling belakang. Lelaki
itu segera melompat turun dan segera
mengendap-endap.
"Mungkin di sini tempat Sri Ratu
mengeksekusi gacoannya. Akan ku coba
menyelidiki tempat ini, hup!" Lelaki
itu segera melompat lagi ke semak-
semak manakala tampak olehnya seorang
peronda keliling.
Peronda itu tampak berhenti lama
di tempat itu, di mana lelaki tadi
bersembunyi. Sepertinya peronda itu
melihat sebuah bayangan berkelebat
menyusup dalam semak-semak.
"Sepertinya tadi aku melihat
seseorang di sini, ke manakah? Atau
jangan-jangan hanya mataku saja yang
sudah rabun?"
Peronda itu membatin, mengingat-
ingat dan mengucak-ucak mata, seperti
tak yakin pada penglihatannya. Lalu
setelah mengucak-ucak mata, kembali
peronda itu melotot ke arah semak-
semak membuat orang yang bersembunyi
merasa was-was juga.
"Kalau tidak aku lumpuhkan bisa-
bisa orang ini akan membuat kesusahan,
hup!" Seketika sebuah serangan datang
tiba-tiba menyerang si peronda yang
tersentak dan berusaha melawan. Namun
dengan segera si penyerang menotok
urat darahnya, hingga si peronda
terkulai lemas seketika.
Tanpa membuang waktu lagi, orang
yang menyerang si peronda dengan
segera berkelebat menuju ke pintu
bangunan itu. Dengan hati-hati sekali
dibukanya pintu bangunan itu. Namun
tak urung, pintu itu berderit juga
dimakan usia.
Sesaat orang itu berhenti membuka
pintu. Memandang celingukan ke
belakang, takut-takut ada orang yang
mendengar dan datang ke arahnya.
Setelah dirasa aman, orang itupun
kembali membuka pintu perlahan-lahan.
Namun kembali pintu berderit
menjadikan rasa was-was pada orang
yang membukanya. Setelah pintu terbuka
agak lebar, lelaki itu dengan segera
menyelinap masuk ke dalam.
Betapa tersentaknya lelaki itu
manakala melihat tulang belulang
berserakan di sana-sini. "Jagad Dewa
Batara! Apa gerangan yang telah
memakan orang-orang ini? Padahal baru
dua hari yang lalu orang-orang ini
menghilang," membatin lelaki yang tak
lain Loh Gamyar menyaksikan kengerian
yang terpampang di depan matanya.
"Hem... Aku rasa ada sesuatu di
balik kamar yang tertutup itu.
Kudengar suara dengkur yang sangat
keras. Coba aku intip dari lobang
angin itu."
Dengan melangkah perlahan
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya,
Loh Gamyar segera mendekati lobang
angin.
Seketika wajahnya tampak pucat
pasi, manakala melihat apa yang
sebenarnya tengah mendengkur di balik
pintu besi itu. Sesosok tubuh binatang
besar yang menyerupai ular tengah
tertidur pulas karena kekenyangan.
"Jagat Dewa Batara! Ternyata
bukan dibunuh seperti biasanya. Namun
dimakankan pada binatang ini. Oh...
mungkinkah aku juga bakal seperti
orang-orang itu?" mengeluh pendek Loh
Gamyar dalam hati.
Dengan hati-hati sekali, Loh
Gamyar segera berlalu pergi mening-
galkan lobang angin. Ia takut kalau-
kalau mahluk yang tengah tertidur itu
mendengar suara langkahnya.
"Hem... Aku tahu sekarang.
Ternyata Sri Ratu Siluman Muka Ayu
memelihara binatang ini. Atau...
jangan-jangan binatang inilah yang
menjadikan Sri Ratu awet muda dan
sakti," bergumam hati Loh Gamyar,
sebelum akhirnya pergi meninggalkan
kembali ruangan itu.
Dengan berkelebat cepat laksana
seekor kera, Loh Gamyar kembali
menyusuri atap demi atap bangunan yang
ada di situ. Hatinya kini bertanya-
tanya, gerangan apa yang menjadikan
Sri Ratu memelihara mahluk seperti
ular namun besar itu?
Tengah Loh Gamyar berkelebat dari
atap yang satu ke atap yang lain, tiga
orang peronda keliling melihat. Ketiga
orang itu hendak berseru manakala Loh
Gamyar dengan segera mengibaskan
tangan. Seketika ketiga orang yang
hendak berteriak itu terdiam,
mengejoprak ke tanah. Rupanya Loh Gam-
yar telah menyerang mereka dengan
totokan mautnya, hingga mereka
seketika terkulai lemas.
"Bahaya kalau aku terus-terusan
begini. Bisa-bisa aku kepergok oleh
yang lainnya dan hal itu akan
menjadikan kegagalan usahaku. Kalau
Jaka ada di sini, mungkin aku tak
perlu khawatir. Aku merasa yakin,
kalau Jaka yang mampu menghadapi Sri
Ratu. Kedua-duanya memiliki ajian yang
sama yaitu Tapak Bahana. Hem... dari
mana Sri Ratu mendapatkan ajian itu?"
Setelah sesaat Loh Gamyar tercenung,
dengan segera iapun berkelebat turun
dan menyelinap masuk ke dalam
kamarnya.
Selang tak berapa lama antaranya,
Sri Ratu datang menemuinya dan
menanyakan apakah ia tak mendengar
keributan di luar?
"Ampun, Sri Ratu. Hamba tidak
mendengar sama sekali. Mungkin hamba
terlelap tidur karena terlalu lelah,"
menjawab Loh Gamyar, yang pura-pura
menggeliat bangun dari tidurnya.
"Memang gerangan apakah yang telah
terjadi?"
Rupanya Sri Ratu mempercayainya.
Sri Ratu pun tampak tersenyum manis
sembari merapatkan tubuhnya pada tubuh
Loh Gamyar. Dengan lembut Sri Ratu
berbisik manja: "Sudahlah... Tak perlu
kau risaukan. Jangan kau khawatir! Aku
akan segera dapat menangkap orang yang
telah membuat keonaran itu. Marilah
kita bersenang-senang, Loh?"
Sri Ratu segera merengkuh tubuh
Loh yang hanya diam menurut, masuk ke
dalam peraduan di mana Loh Gamyar
tidur. Dalam hati Loh Gamyar terbersit
pertanyaan, tentang ucapan Sri Ratu
yang tampaknya tak mengandung apa-apa.
Namun bila dianalisa, jelas ucapannya
merupakan sindiran bagi dirinya.
"Apakah Sri Ratu mengetahui bahwa
aku yang telah berbuat? Ah... moga-
moga tidak benar firasat ku. Kalaupun
memang benar, maka aku harus pura-pura
tak mengerti."
Loh Gamyar menuruti Sri Ratu
Siluman Muka Ayu, diboyongnya tubuh
Sri Ratu yang tersenyum senang
memandang padanya.
"Kau sungguh tampan, Loh. Maka
aku sangat sayang padamu," berbisik
Ratu Siluman Muka Ayu manakala
keduanya masuk ke dalam peraduan dan
langsung menutup tirai putih.
Keduanya pun akhirnya hening
tanpa kata. Hanya keluh panjang Sri
Ratu yang terdengar, memecah
keheningan.
* * *
Terkejut penjaga pintu gerbang
melihat beberapa tokoh persilatan
datang. Mata kedua penjaga pintu masuk
terbelalak dengan mulut ternganga
lebar.
"Kang Warma, sepertinya mereka
dari golongan kaum persilatan. Ada apa
gerangan, ya?" bergumam teman Warma.
"Ayo, kang Warma beri tahukan pada Sri
Ratu!"
Dengan tanpa protes atau menolak,
Warma segera bergegas masuk ke dalam
untuk menemui Sri Ratu. Langkah Warma
nampak tergopoh-gopoh menjadikan Sri
Ratu yang melihatnya tampak
mengernyitkan alis.
"Ada apa, Warma? Sepertinya ada
sesuatu yang penting. Hingga mukamu
pucat pasi seperti itu?"
"Ampun, Sri Ratu. Orang-orang
persilatan berdatangan menuju ke mari"
"Apa? Orang-orang persilatan
datang ke mari?" bertanya Sri Ratu
Siluman Muka Ayu tampak terkejut, demi
mendengar laporan Warman. Matanya yang
jeli dan indah, seketika berubah
menjadi beringas. Lalu dengan tanpa
bicara lagi, Sri Ratu segera
meninggalkan Loh Gamyar yang masih
terbengong tak mengerti.
"Kebetulan! Dengan adanya orang-
orang persilatan datang ke mari, aku
ada kesempatan untuk menyelidiki
keadaan di sini. Aku harap Jaka
Ndableg akan segera datang," bergumam
hati Loh Gamyar. Bibirnya mengurai
senyum setelah kepergian Sri Ratu.
Dengan berkelebat cepat, Loh
Gamyar segera keluar dari pondoknya.
Pondok di mana Loh Gamyar berada, tak
jauh dengan bangunan di mana Sri Ratu
beristirahat. Dengan segera, Loh
Gamyar menuju ke bangunan utama di
mana tempat Sri Ratu melakukan upacara
keagamaan.
"Semoga semuanya tengah tertuju
pada kedatangan para tokoh
persilatan."
Memang benar apa yang diharapkan
Loh Gamyar. Saat itu semua penghuni
padepokan Ratu Siluman Muka Ayu tengah
tertuju perhatiannya pada kedatangan
para tokoh persilatan yang kini tengah
berkumpul di halaman padepokan.
"Aku harap Sri Ratu kalian segera
keluar menemui kami!" berseru salah
seorang tokoh persilatan dari per-
guruan Walang Keket.
Mendengar temannya berseru, dari
pihak lainpun segera turut berseru
menyuruh Sri Ratu Siluman Muka Ayu
segera keluar. "Benar! Katakan pada
Ratu kalian, kami orang-orang
persilatan ingin meminta tanggung
jawabnya atas kematian beberapa pemuda
murid-murid perguruan!"
Tengah di halaman padepokan
terjadi keributan. Di dalam padepokan
dengan leluasa Loh Gamyar berkelebat-
kelebat menuju ke bangunan yang satu
ke bangunan yang lain.
"Coba aku selidiki bangunan yang
menjadi tempat pemujaan Sri Ratu. Aku
merasa curiga, jangan-jangan ada apa-
apanya."
Loh Gamyar segera menuju ke
bangunan besar itu, di mana Sri Ratu
mengadakan upacara keagamaan. Dengan
hati-hati sekali, Loh Gamyar segera
melompat ke atas genting bangunan itu.
Perlahan Loh Gamyar membuka genting.
Mata Loh Gamyar terbelalak,
melihat apa yang ia saksikan di bawah.
Pemandangan yang sangat mengerikan
terpampang di mata Loh Gamyar. Loh
Gamyar hampir jatuh karena saking
kagetnya.
"Jagad Dewa Batara! Sungguh aku
tak menyangka kalau Sri Ratu yang
cantik jelita, ternyata seorang yang
mempunyai penyakit gila. Betapa sadis
nya perbuatan Sri Ratu."
Loh Gamyar mengeretakkan gigi-
giginya manakala menyaksikan peman-
dangan di bawah. Tampak pemuda-pemuda
tampan, dengan tangan dan kaki diikat
serta anggota tubuh yang hilang dari
tempatnya.
"Alat kelamin pemuda-pemuda itu
telah hilang entah ke mana. Mungkin
dibetot oleh Sri Ratu, atau memang
telah putus sendiri."
Setelah untuk beberapa lama Loh
Gamyar memandang bergidik pada keadaan
di bawah. Segera Loh Gamyar melompat
ke ruangan lain yang tak jauh dari
kamar itu.
Kembali Loh Gamyar membuka salah
satu genting dan menyaksikan keadaan
di bawahnya. Tampak dalam keremangan
sebuah lampu lentera yang terbuat dari
bambu, sebuah dupa mengepul menyengat-
kan bau kemenyan. Di samping kiri
dupa, terpampang sebuah meja dan
kursi. Di depan meja dan kursi, tampak
sebuah kaca yang dibawahnya tergeletak
sebuah baskom.
Dan untuk kedua kalinya Loh
Gamyar terperanjat hampir memekik
manakala menyaksikan apa yang terdapat
dalam baskom itu yang tak lain dari
kemaluan lelaki yang diawetkan.
"Jagad Dewa Batara! Hal ini tak
boleh dibiarkan."
* * * *
Dari kejauhan Loh Gamyar dapat
menyaksikan keributan dan pertempuran
antara Sri Ratu yang tengah dikeroyok
oleh tokoh-tokoh persilatan.
Sri Ratu Siluman Muka Ayu nampak
berkelebat-kelebat dengan cepatnya.
Setiap kelebatan tangan dan kakinya
menjadikan pekik-pekik kematian yang
terkena.
Seperti yang Loh Gamyar lihat
kala Sri Ratu menghantam tubuh
Londang. Saat itu juga Sri Ratu tengah
mengamuk dengan ajian Tapak Bahan.
Akibat dari hantaman ajian itu luluh
lantak lah semua pengeroyoknya.
Korban demi korban berjatuhan
dari pihak para tokoh persilatan. Loh
Gamyar seketika hatinya menjerit
menyaksikan kejadian itu. Tapi untuk
segera membantu ia merasa belum
waktunya. Loh Gamyar merasa belum
mampu untuk menghadapi Sri Ratu yang
berkepandaian tinggi. Namun bila
dibiarkan terus menerus, niscaya akan
habislah para tokoh persilatan itu.
"Apa yang harus aku lakukan?"
bertanya Loh Gamyar dengan mata
berlinang manakala menyaksikan korban-
korban tak berdosa di tangan Sri Ratu
Siluman Muka Ayu. "Kalau aku mem-
bantunya secara terang-terangan, maka
gagallah rencanaku untuk mengetahui
kelemahan-kelemahan Sri Ratu. Namun
kalau aku tak membantu mereka,
bagaimana mereka? Bisa-bisa akan
habis."
Karena bingungnya, Loh Gamyar
hanya dapat menangis dan menangis tak
tahu barus bagaimana. Tengah ia
menangis bingung, sayup-sayup ia
mendengar suara seseorang yang jelas
terdengar di telinganya.
"Jangan kau menangis, Loh! Kau
adalah laki-laki. Pantang kau cengeng
seperti itu. Bila mereka memang
menjadi korban, maka mereka adalah
korban kesatria. Memang mereka terlalu
gegabah, menghadapi Sri Ratu Siluman.
Kalau kau hendak bertindak, tunggulah
olehmu anak muda yang bernama Jaka...
Jaka Ndableg!"
"Guru! Di mana kau?" berseru Loh
Gamyar lirih memanggil suara yang
dikenalnya, suara gurunya. Namun sang
guru hanya terdiam tanpa menjawab
panggilan Loh Gamyar.
Dengan perasaan perih menyaksikan
keadaan di luar padepokan, Loh Gamyar
segera melompat turun dari wuwungan
dan kembali masuk ke dalam
Pertarungan antara Ratu Siluman
Muka Ayu dan para tokoh persilatan
masih berlangsung. Dari arah Utara
seseorang berkelebat menuju ke tempat
itu.
Orang yang baru datang nampak
bingung melihat hal itu. Hatinya
gundah penuh keraguan. Gundah harus
berbuat apa dalam hal itu.
Bagi orang-orang persilatan
golongan lurus, namanya merupakan
sahabat karena mereka belum mengetahui
siapa sebenarnya Kala Peningasan. Ka-
lau Kala Peningasan ikut membantu Ratu
Siluman. Tak ayal lagi, semua tokoh
persilatan akan mengetahui siapa dia
sebenarnya. Dan secara tak langsung,
Kala Peningasan akan membuka kedoknya
sendiri.
Namun untuk membantu para tokoh
persilatan, ia tak berani menghadapi
Sri Ratu yang sudah ia ketahui
kehebatan ilmunya.
"Huh...! Mengapa hal ini sampai
terjadi?" bergumam hati Kala
Peningasan mengeluh. Dengan penuh
keragu-raguan, Kala Peningasan segera
memutar tubuhnya balik ke samping
tembok padepokan.
"Aku harap kalian segera pergi
dari sini sebelum kesabaranku hilang!"
membentak Ratu Siluman Muka Ayu.
"Ratu Iblis Cabul! Jangan harap
kami mau menuruti kata-katamu sebelum
nyawa kami lepas dari raga!" tak kalah
seorang dari tokoh dari perguruan
Samudra Putih membentak, dibarengi
dengan kelebatan tubuhnya menyerang
Sri Ratu.
"Hem... kalau itu yang kalian
mau. Jangan salahkan kalau aku
bertindak terlalu telengas! Ber-
siaplah. Hiat...!"
Dengan segera Sri Ratu pun
memapaki serangan tokoh persilatan
dari Samudra Putih itu yang dibantu
oleh tokoh-tokoh persilatan lainnya.
Mereka kembali terlibat pertem-
puran seru, tanpa ada yang dapat
mencegah atau pun melerai. Semuanya
telah dibelenggu dengan hawa nafsu dan
amarah, hingga serangan-serangan
mereka pun menjurus pada arah kema-
tian.
"Hari ini juga kau harus lenyap
dari muka bumi ini, Ratu Cabul!"
Habis berkata begitu, segera
seorang tokoh persilatan dari
perguruan Teratai Putih mengibaskan
tangannya. Dari tangan itu, seketika
berdesing puluhan bunga teratai
meluncur deras menuju ke tubuh Sri
Ratu yang dengan segera mengkiblatkan
tangannya ke arah desingan itu.
Seketika bunga-bunga teratai
putih itu, hancur berantakan jatuh ke
tanah. Terkesiap tokoh wanita dari
Teratai Putih menyaksikan senjata
andalannya dapat dengan mudah diluluh-
lantahkan. Matanya melotot memandang
tak percaya. Maka dengan penuh amarah,
Teratai Putih kembali menyerang dengan
didahului makian: "Iblis laknat!
Jangan bersenang dulu, terimalah ini
lagi. Hiat...!" Kembali tokoh Teratai
Putih mengibaskan tangannya. Dan
kembali dari tangannya beterbangan
puluhan bunga teratai mendesing ke
arah Ratu Siluman yang tengah repot
menghadapi serangan tokoh persilatan
lainnya.
Mata Ratu Siluman Muka Ayu
membelalak liar memandang pada
desingan yang menderu ke arahnya. Dan
dengan memaki marah, Ratu Siluman Muka
Ayu kembali kiblatkan tangan kirinya.
Sementara tangan kanannya tertuju pada
pengeroyok yang lain.
"Pembokong pengecut! Jangan harap
kau akan mampu melukai dan
membokongku, hiat...!"
Untuk kedua kalinya, bunga-bunga
teratai itupun hancur terhantam
pukulan Ratu Siluman Muka Ayu. Bahkan
angin pukulannya terus meluncur menye-
rang ke Anggrek Putih yang hampir saja
terkena kalau tidak cepat-cepat
mengelak.
"Hem... hampir saja aku terkena
pukulannya," menggumam Anggrek Putih
sambil jatuhkan diri ke tanah,
menghindari angin pukulan Ratu Siluman
yang mendesing sekuku jari di atas
kepalanya.
Sementara itu, Kala Peningasan
yang bimbang hatinya segera melompat
masuk ke dalam padepokan melalui
tembok yang mengelilingi padepokan
itu.
Hatinya tersentak manakala meli-
hat tulang belulang berserakan di
sana-sini. Walaupun ia telah lama
mengabdi pada Ratu Siluman Muka Ayu,
namun baru kali ini ia melihat tulang
belulang berserakan di tempat pem-
buangan sampah. Manakala ia teliti dan
pandangi dengan seksama, betapa
terkesiapnya Kala Peningasan, ketika
tahu ternyata tulang belulang itu
adalah tulang manusia.
"Hem... kenapa banyak tulang
belulang di sini? Siapakah yang suka
makan tubuh manusia? Jangan-jangan Sri
Ratu," bergidik tengkuk Kala
Peningasan mengingat hal itu.
Belum sempat hilang rasa
ngerinya, terdengar suara yang makin
mendirikan bulu kuduknya hingga Kala
Peningasan melompat saking kagetnya.
"Haaarrr...! Ssttt...!
Sssstrt...!"
Belum hilang rasa kaget Kala
Peningasan mendengar suara itu. Tiba-
tiba ia melihat sosok tubuh hitam
besar dan panjang, menjalar ke luar
dari tempat yang tak jauh dari
dirinya.
Sosok tubuh yang ternyata ular
besar dan panjang, terus menjalar ke
luar menuju ke muka padepokan. Hampir
copot jantung Kala Peningasan me-
nyaksikan hal itu.
Tak kalah kagetnya Loh Gamyar
yang tengah merenung manakala men-
dengar suara desisan keras. Dengan
penuh rasa ingin tahu, Loh Gamyar
segera menengok ke arah suara itu.
Betapa terbelalak mata Loh Gamyar
melihat ular besar dan panjang yang ia
tahu suka makan orang itu, berjalan
menyusuri jalan setapak menuju ke arah
di mana Ratu Siluman dan tokoh-tokoh
persilatan tengah bertempur.
"Apa yang hendak dilakukan ular
setan itu? Kenapa ular itu tiba-tiba
keluar? Siapa yang telah berani
mengeluarkannya?" bertanya-tanya hati
Loh Gamyar mengira-ngira apa yang
bakal terjadi.
Ular itu terus berjalan menuju ke
muka padepokan, di mana Ratu Siluman
tengah bertempur melawan tokoh-tokoh
persilatan.
Tersentak tokoh-tokoh persilatan
ketika melihat kedatangan ular raksasa
ke arah mereka. Maka seketika itu
terpecahlah perhatian mereka. Hal itu
tidak disia-siakan oleh Ratu Siluman
Muka Ayu yang dengan bengisnya
mengumbar hantaman ajian Lebur Nya-
wanya.
Tak kalah hebatnya ular besar
itu. Bagaikan orang layaknya menyerang
para tokoh persilatan.
"Jangan takut saudara-saudara!
Kita bagi dua! Sebagian menyerang ular
keparat ini, sebagian lagi menyerang
Ratu Siluman Cabul!" berseru tokoh
persilatan Rajawali Emas, yang dengan
segera dilaksanakan oleh teman
temannya dari tokoh persilatan lain.
"Lebih baik kalian menyerah dan
menjadi abdiku. Daripada kalian mati
sia-sia dimangsa oleh sekutuku ini!"
"Cuih! Pantang bagi kami menyerah
kalau nyawa kami masih tersisa di
tubuh!" menggeretak tokoh dari
perguruan Randu Sanga yang dengan
segera berkelebat mendahului rekan-
rekannya menyerang Ratu Siluman Muka
Ayu.
Pertarungan pun kembali ber-
langsung. Kini tampak makin seru
dengan datangnya ular iblis membantu
Ratu Siluman menghadapi para tokoh
persilatan. Setiap hantaman ekor ular
raksasa itu menjadikan bunyi ledakan
dahsyat.
"Duar...!"
Mau tak mau, tokoh-tokoh per-
silatan yang menyerangnya harus gesit
berkelebat mengelak. Kalau tidak
Hancurlah tubuh mereka terhantam
kibasan ekor ular raksasa itu.
"Percuma kita teruskan! Kita akan
sia-sia menghadapi iblis-iblis ini.
Lebih baik kita mundur dulu sambil
menyusun rencana lagi," berbisik Ki
Randu Sanga pada Nyi Mayang Jingga
yang mengangguk mengiyakan.
"Benar, Ki. Aku melihat ilmu Ratu
Iblis itu seperti ilmu yang dimiliki
oleh pendekar Pedang Siluman Darah."
"Maksudmu pendekar Jaka Ndableg?"
"Benar, Ki! Aku rasa, hanya
pendekar muda itulah yang dapat
menghadapi Ratu Siluman ini."
Ki Randu Sanga tampak manggut-
manggut mengerti. Lalu dengan berseru
Ki Randu Sanga pun memerintahkan pada
tokoh persilatan lain untuk mundur
"Saudara-saudara, kita mundur
dulu!"
"Kenapa, Ki?" bertanya tokoh-
tokoh persilatan lain.
"Yang penting mundur!"
Tanpa banyak omong lagi, semuanya
segera berkelebat pergi meninggalkan
Ratu Siluman dan ular raksasa nya yang
tertawa-tawa melihat musuh-musuhnya
lari serabutan.
"Ayo, kakang kita kembali masuk!"
ajak Ratu Siluman Muka Ayu pada ular
raksasa itu, yang segera mengikuti
langkah Ratu Siluman Muka Ayu masuk ke
lingkungan padepokan.
SEMBILAN
Jaka tampak berjalan dengan lesu,
setelah seharian berlari-lari dalam
usahanya mengejar Kala Peningasan yang
berhasil lolos darinya setelah berbuat
curang.
Hatinya mangkel dan marah serta
penuh kekecewaan atas lolosnya buro-
nannya yang kini menjadikan maksudkan
untuk menemui Loh yang sekaligus
menghentikan sepak terjang Ratu
Siluman Muka Ayu tersendat.
"Sialan! Kalau begini terus
menerus, mana mungkin aku akan segera
menemui Loh. Aku takut kalau-kalau
nanti Loh telah menjadi korban Ratu
Siluman itu," membatin Jaka Ndableg.
Tengah dirinya tercenung melamun
sembari berjalan, tiba-tiba dirasakan
olehnya tiupan angin janggal menerpa
gendang telinganya dan mendengungkan
sebuah kalimat.
"Pendekar! Janganlah kau memen-
tingkan urusanmu saja, tapi kaupun
harus turut prihatin pada kejadian
yang lebih penting yang sekarang
tengah menimpa para tokoh persilatan."
"Siapa kau, Ki Sanak? Kau mampu
menembus lapisan dimensi udara.
Siapakah dirimu, Ki Sanak?"
"Aku hanyalah orang biasa. Aku
bermukim di kaki gunung Semeru,"
terdengar jawaban dari orang yang
berkata, mengejutkan Jaka yang
mendengarnya.
"Hmm... kalau begitu, cukup jauh
kau mengirim suara padaku. Aku yakin,
kau bukan orang sembarangan. Siapakah
dirimu kalau boleh aku mengetahui?"
"Aku adalah Jagalaya adanya."
Terkesiap darah Jaka saat itu,
mendengar orang yang mengirim suaranya
menyebutkan namanya. Tanpa terkendali,
Jaka kembali mendesah: "Ah, Ki
Jagalaya. Mengapa kau tak segera turun
tangan melihat istrimu terlalu
melengas? Apakah kau tak mempunyai
rasa kemanusiaan?"
"Oh, memang benar katamu, Anak
muda. Aku memang tak punya perasaan,
hingga membiarkan korban berjatuhan di
tangan istriku. Sungguh aku adalah
orang yang tak tahu diri."
Terdengar isak tangis Ki Jagalaya
menjadikan Jaka seketika turut iba.
Hampir saja Jaka ikut meneteskan air
mata kalau tak segera Ki Jagalaya
kembali berkata:
"Anak muda, sebenarnya akupun
ingin menghentikan sepak terjang
istriku yang kelewat melengas. Namun
karena aku telah bersumpah, tak akan
dapat melakukannya. Namun aku juga
merasa takut."
"Kenapa? Apakah ilmu istrimu jauh
lebih tinggi dari ilmumu?"
"Bukan itu yang aku takuti, anak
muda. Tapi ketahuilah, bahwa istriku
tak akan mati sempurna! Maka janganlah
kaget, bila nanti istriku akan berubah
ujud menjadi binatang yang
menjijikkan. Sebab dia telah bersumpah
dan mengikat janji dengan Siluman Ular
Hitam. Aku menyesal mengapa istriku
sampai se nekad itu?"
"Kenapa kau menyesal, Ki
Jagalaya? Bukankah kau yang kala itu
meninggalkannya, ketika istrimu
diketahui telah diperkosa oleh
Tumenggung Tambak Yasa?"
"Hai! Kau mengetahui semua
riwayatku. Dari manakah kau menge-
tahuinya, Anak muda?"
Ada rasa kaget terdengar dari
ucapan Ki Jagalaya manakala mendengar
Jaka membeberkan rahasia pribadinya.
Hingga Ki Jagalaya sepertinya terjaga
dari lamunannya dan terkenang kembali
kejadian lima puluh tahun yang silam.
"Bukankah kejadian itu sudah lima
puluh tahun yang silam? Kala umurku
baru tiga puluh lima tahun?"
"Benar! Kejadian itu sekitar lima
puluh tahun yang silam. Aku
mengetahuinya dari Ki Perwana, yang
memintaku untuk mencegah tindakan
istrimu."
Sesaat terdengar desah panjang Ki
Jagalaya manakala mendengar ucapan
Jaka. Tak berapa lama antaranya
kembali terdengar suara Ki Jagalaya
berkata: "Perwana... Jadi kau telah
bertemu dengan murid tunggalku?"
Tak kalah kagetnya Jaka saat itu
kala mengetahui bahwa Ki Perwana
adalah murid tunggal Ki Jagalaya.
Hingga saking kagetnya, Jaka Ndableg
kembali mendesah. "Ah. Tak kusangka,
kalau Ki Jagalaya adalah guru Paman
Perwana."
"Kalau begitu, bukankah kau cucu
Ki Paksi Anon?" bertanya Ki Jagalaya,
seraya menekankan nada suaranya kala
mengucapkan nama kakek Jaka Ndableg.
"Kebetulan, kebetulan!"
"Hai! Apanya yang kau maksud
kebetulan, Ki?" bertanya Jaka tak
mengerti, mengerutkan keningnya dalam-
dalam membuat Ki Jagalaya tertawa
bergelak-gelak bagaikan seorang anak
mendapatkan telur.
"Anak muda. Kalau memang kau
benar cucu Ki Paksi Anom, maka aku
meminta tolong padamu untuk segera
menghentikan sepak terjang istriku
yang kelewat telengas. Sebab bila
tidak segera kau hentikan, maka korban
akan banyak berjatuhan. Dengar anak
muda, tak ada orang yang mampu
mengalahkan istriku, kalau orang itu
bukan anak dari Eka Bilawa."
"Mengapa kau begitu pasti, Ki?
Apakah kau tak mengetahui bahwa di
atas langit masih ada langit?"
"Kau benar, anak muda. Di atas
langit masih ada langit, di seberang
laut masih ada lautan yang lebih luas.
Namun bila ilmu setinggi apapun, kalau
digunakan dalam hal kejahatan maka
akan lemahlah kasiatnya."
Jaka terdiam hening mendengarkan
petuah Ki Jagalaya yang ternyata guru
Ki Perwana adanya. Kemudian terdengar
lagi ucapan Ki Jagalaya meneruskan
setelah sesaat terdiam.
"Mantapkanlah langkahmu, Anak
muda. Segalanya kembalikanlah pada
Yang Wenang."
"Apakah Ki Jagalaya dapat meno-
longku?"
"Ah... rupanya kau seperti
ayahmu, suka merendahkan diri."
"Bukan begitu. Ki! Aku adalah
orang biasa yang ada kekurangannya dan
kelebihannya. Maka tak jarang bila aku
akan berbuat salah. Untuk itulah, Ki.
Aku meminta petunjuk darimu, di mana
kelemahan istrimu?"
"Ah! Sayang sekali, Anak muda.
Aku sendiri tak tahu. Tapi janganlah
kau khawatir, aku akan membantumu dari
jauh. Nah, berangkatlah menuju ke arah
Utara. Di sana kau akan menemukan
padepokan yang besar, itulah tempat
kediaman istriku. Hati-hatilah dengan
pasangan istriku, yaitu Siluman Ular."
"Baiklah, Ki. Aku minta pamit!"
Dengan terlebih dahulu menjura ke arah
Tenggara, Jaka segera berlalu pergi
meninggalkan tempat itu ke arah Utara
Barat di mana Gunung Slamet tampak
menjulang tinggi. '
* * * *
"Bagaimana usahamu, Kala
Peningasan?" terdengar suara Ratu
Siluman Muka Ayu bertanya pada Kala
Peningasan yang duduk di bawah
menghadap padanya.
Sesaat Kala Peningasan menunduk-
kan wajah, mengatur pernapasan sebelum
akhirnya berkata: "Hamba telah
menjalankan tugas hamba dengan baik,
Tuan Putri yang mulia. Namun hamba
hampir saja celaka,"
"Kenapa? Apakah ada orang yang
bermaksud menghalangimu?"
"Benar, Tuan Putri yang mulia.
Hamba memang hampir saja celaka oleh
seseorang yang memang telah mengetahui
tindakan hamba."
Sri Ratu Siluman Muka Ayu
memandang sesaat pada Loh Gamyar yang
terduduk di sampingnya. Lalu setelah
Loh Gamyar mengangguk, Ratu Siluman
itu pun kembali bertanya pada Kala
Peningasan.
"Siapakah orang itu adanya,
Kala?"
"Dia adalah seorang pendekar
muda, bernama Jaka Ndableg!"
Terkesiap darah Loh Gamyar
mendengar nama Jaka disebut Kala
Peningasan. Hatinya seketika gembira,
sebab Jaka akhirnya akan datang juga
ke situ. Yang dengan begitu, makin
besarlah harapan Loh Gamyar untuk
dapat dengan segera membekuk Ratu
Siluman ini.
"Semoga Jaka Ndableg secepatnya
datang ke mari," berkata hati Loh
Gamyar senang membayangkan Jaka akan
membantunya untuk menghentikan sepak
terjang Sri Ratu yang kelewat
telengas. "Aku telah mengetahui
semuanya di sini. Kalau nanti ia tiba,
maka aku harus mampu membunuh ular
Siluman itu. Sebab kekuatan Ratu,
berada pada ular itu." Loh Gamyar
bergumam dalam hati.
"Kau kenal orang yang disebut
Kala Peningasan, Loh?" bertanya Ratu
Siluman Muka Ayu, yang seketika
mengejutkan Loh Gamyar dari
lamunannya.
"Ti... tidak, Sri Ratu!"
"Bagaimana rupanya, Kala?" Kini
Sri Ratu bertanya pada Kala
Peningasan, yang dengan menyembah
terlebih dahulu segera menceritakan
sembari melukis raut wajah Jaka pada
lantai.
Tergetar hati Ratu Siluman Muka
Ayu manakala menyaksikan lukisan yang
dibuat Kala Peningasan. Hatinya
seketika bergumam, tertarik melihat
wajah Jaka: "Sungguh tampan! Ah...
kalau saja dia mau bersamaku, maka Loh
Gamyar harus aku buang. Biarpun aku
harus mati hancur, aku rela. Asalkan
aku dapat memilikinya."
Saking tertariknya memandang
wajah Jaka, sampai-sampai Sri Ratu
terdiam untuk beberapa lamanya. Hingga
membuat Loh Gamyar dan Kala Peningasan
hanya mengerutkan alis matanya. Loh
Gamyar yang telah mengerti apa yang
saat itu tersirap di hati Sri Ratu,
hanya tersenyum seraya berkata dalam
hati.
"Rupanya Ratu Siluman ini telah
jatuh cinta pada Jaka. Kalau sampai
Kelana dapat dipengaruhinya, maka
akulah yang akan dikorbankan pada
mahluk itu."
Tengah Sri Ratu termenung
memandangi lukisan di lantai, seketika
seorang penjaga pintu gerbang
tergopoh-gopoh masuk. Hingga membuat
Sri Ratu tersentak dan memandang heran
melihat penjaga pintu gerbangnya
tampak pucat.
"Ada apa, Warma? Seperti kau
ketakutan?"
"Ampun, Sri Ratu yang mulia.
Seorang pemuda tampan telah datang ke
mari dan bermaksud menemui Sri Ratu."
Sri Ratu tampak tersenyum
mendengar ucapan penjaga pintu
gerbang, seraya menggeleng-gelengkan
kepala dan berkata: "Warma, Warma!
Kenapa kau begitu takutnya? Adakah
pemuda itu mengamuk?"
"Tidak, Sri Ratu?"
"Apakah rupa pemuda itu seperti
gambar ini?" kembali Sri Ratu bertanya
sembari menunjukkan gambar yang
tertera di atas lantai. Hingga
seketika ia membelalakkan mata Warma
yang mendesah panjang.
"Ah! Benar Sri Ratu. Memang
dialah orangnya,"
"Suruh dia masuk, Warma!"
Dengan segera tanpa menunggu
perintah yang kedua kalinya, Warma
berlalu pergi dengan terlebih dahulu
menyembah pada ratunya.
Bersorak hati Loh Gamyar senang,
sebab rencananya akan dapat berjalan
lancar. "Hem. Sungguh tepat
kedatangannya ke mari."
Seperti halnya Loh Gamyar, Sri
Ratu pun dalam hati bersorak senang
menyangka kalau Jaka akan mampu
ditundukannya. Dia berharap Kelana
akan mau menerima cintanya dan akan
mau menjadi suaminya.
Lain Sri Ratu dengan Loh Gamyar,
yang hatinya saat itu senang walau
tujuannya berbeda. Kala Peningasan
sebaliknya, rasa takut dan was-was
beraduk menjadi satu. Hingga membuat
wajahnya pucat dan keringat dinginpun
mengucur deras dari kedua pelipisnya,
mengundang tanya Sri Ratu yang
melihatnya.
"Kenapa kau, Kala? Sepertinya kau
begitu takutnya pada pemuda itu?" Kala
Peningasan menganggukkan kepalanya
membuat Sri Ratu tersenyum mengembang
di bibirnya. Hingga wajahnya yang
cantik, tampak makin bertambah cantik.
Lalu dengan senyum melebar, Sri Ratu
kembali berkata:
"Tak perlu kau takut, Kala. Bila
dia telah aku kuasai, maka dia akan
tunduk padaku. Aku rasa, kecantikanku
mampu mengatasinya."
Ketika Sri Ratu hendak berbicara
lagi, terdengar seruan seorang pemuda
lantang dengan sopannya berteriak
memanggil nama asli Sri Ratu.
"Nyi Dewi Kalandasan, apakah kau
masih akan terus membuat onar dunia
dengan sepak terjangmu yang kelewat
telengas?"
Terbelalak mata Sri Ratu Siluman
Muka Ayu manakala mendengar nama
aslinya disebut oleh pemuda yang tiba-
tiba telah berdiri di hadapannya. Maka
dengan masih diliputi rasa kaget, Dewi
Kalandasan atau Sri Ratu Siluman Muka
Ayu balik membentak bertanya:
"Siapa kau! Dari mana kau tahu
namaku?!"
Tertawa bergelak-gelak Jaka
mendengar bentakan Dewi Kalandasan,
yang seketika itu menyipitkan matanya
melihat Jaka tertawa bergelak-gelak.
Jarang ada orang yang berani tertawa
begitu di hadapannya, namun pemuda
tampan dan agak kurang ajar ini berani
melakukannya. Maka membatin Dewi
Kalandasan, penuh rasa heran. "Hem...
berani benar anak muda ini. Jarang ada
orang yang berani demikian padaku dan
baru kali ini ada orang muda yang
sembrono. Kalau saja hatiku tak
terpikat olehnya, tak akan aku ampuni
kesembronoan dan kekurangajarannya
ini."
"Dewi Kalandasan! Apakah kau tak
pernah ada rasa kasihan, hingga kau
begitu telengas pada kaum laki-laki?
Sudah berapa korban di tanganmu. Dari
Tumenggung Tambak Yasa, hingga
sekarang. Sungguh perbuatanmu seperti
perbuatan Iblis!"
Mendengar kata-kara Jaka yang
pedas, seketika wajah Sri Ratu Siluman
Muka Ayu yang tadinya tersenyum
berubah menjadi beringas. Lalu dengan
mendengus marah, Ratu Siluman itu
kembali membentak.
"Anak muda! Tadinya aku bermaksud
baik padamu. Tadinya aku hendak
menjadikanmu suamiku, tapi kau telah
terlalu lancang dan kurang ajar. Maka
jangan salahkan kalau aku terlalu
telengas padamu!"
Napas Dewi Kalandasan memburu
karena marah. Matanya seketika memerah
penuh bara emosi. Sementara gigi-
giginya terdengar beradu menjadikan
bunyi bergemeretukkan. Maka dengan
penuh amarah, Ratu Siluman Muka Ayu
atau Dewi Kalandasan segera berseru
menyuruh pada Loh Gamyar untuk
menyerang Jaka Ndableg. "Loh Gamyar,
serang dia!"
Loh Gamyar bukannya menjalankan
perintah Dewi Kalandasan, malah dengan
tersenyum berkata: "Jangan harap aku
akan menuruti perintahmu, Dewi. Jaka,
hati-hatilah. Aku akan membunuh ular
peliharaannya sebab di situlah letak
kekuatannya. Jangan sekali-kali kau
terpengaruh pada sorot matanya."
berbisik Loh Gamyar yang membuat marah
Dewi Kalandasan mengetahui bahwa
ternyata Loh Gamyar tak lebih adalah
musuh dalam selimut.
"Loh Gamyar! Ternyata kau adalah
mata-mata. Jangan harap kau dapat
lolos dengan pemuda ini! Hiat...!"
Dewi Kalandasan yang telah kecewa
manakala tahu siapa sebenarnya Loh
Gamyar adanya, segera bermaksud
menyerangnya. Namun dengan segera,
Jaka memapakinya.
"Jangan kau serang dia. Akulah
musuhmu! Hiat...!"
Tak ayal lagi keduanya seketika
terlibat pertarungan. Sementara Wayan
Suba atau Loh Gamyar dengan segera
berkelebat menuju ke tempat di mana
ular raksasa itu berada dengan
terlebih dulu memberitahukan pada
Jaka. "Jaka! Jangan sampai kau
terpedaya oleh sorot matanya!"
"Bedebah! Rupanya kau mau mampus,
penipu!" Habis berkata begitu Ratu
Siluman Muka Ayu segera mengkiblatkan
tangannya yang telah dialiri ajian
Lebur Raga ke arah Loh Gamyar yang
berkelebat menuju ke luar.
Melihat hal itu, Jaka dengan
segera memapakinya dengan membabatkan
Pedang Siluman yang telah berada di
tangannya, hingga buyarlah ajian Lebur
Raga seketika itu.
Terkesiap Ratu Siluman Muka Ayu
menyaksikan keampuhan pedang di tangan
Jaka yang telah mampu membuyarkan
serangannya. Seketika hatinya bimbang
untuk terus menyerang. Namun karena
telah dirasupi nafsu dan amarah, Ratu
Siluman Muka Ayu pun terus berusaha
mencerca Jaka.
Keduanya segera saling serang dan
elak dengan jurus-jurus tingkat
tinggi. Tak jarang ajian-ajian yang
mereka miliki mereka keluarkan. Betapa
tersentaknya Jaka, kala melihat ajian
yang dikeluarkan oleh Ratu Siluman
Muka Ayu. Karena ajian-ajian itu telah
ia kenal betul siapa pemiliknya.
Seperti Ajian Raja Brahma milik
perguruan Rajawali Sakti. Serat Gampar
milik Perguruan Teratai Putih dan
banyak lagi.
Melihat Jaka terkejut, seketika
Ratu Siluman Muka Ayu tertawa
terkekeh-kekeh sembari berseru: "Anak
muda! Rupanya kau takut menghadapiku
dengan segudang ajian yang sepertinya
kau kenal! Itu belum seberapa!
Lihatlah ini!"
Makin tersentak kaget Jaka
manakala melihat sebuah benda yang
berada di genggaman Ratu Siluman Muka
Ayu. Benda itu adalah Pusaka Pedang
Rajawali, milik perguruan Rajawali
Sakti pula.
"Kebetulan! Ternyata kau telah
bersekongkol pula dengan maling dungu!
Jadi aku tak sia-sia datang ke mari."
"Jangan bangga dulu, Anak muda!
Orang lain boleh takut mendengar nama
besarmu. Namun aku Ratu Siluman Muka
Ayu, tak akan gentar sedikit pun.
Hiat...!"
Dengan secepat kilat, Sri Ratu
Siluman Muka Ayu kembali menyerang
Kelana yang segera berkelebat
menghindar. Pedang pusaka Rajawali
berkelebat cepat di tangan Ratu
Siluman menjadikan Jaka agak repot
dibuatnya.
Sepertinya Dewi Kalandasan atau
Ratu Siluman Muka Ayu tak memberi
kesempatan sedetikpun pada Kelana
untuk bernapas. Ia terus memburu
dengan pedang Pusaka Rajawali di
tangannya.
Mau tak mau Jaka harus
mengimbanginya dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya. Sesekali Jaka
mencoba membalik menyerang, dengan
tipuan agar mampu memancing Ratu
Siluman untuk melonggarkan
serangannya.
"Brettt...!"
Baju yang dipakainya sobek
manakala pedang di tangan Ratu Siluman
Muka Ayu membeset tubuhnya. Marahlah
Jaka saat itu juga, demi melihat
pakaiannya telah terkoyak oleh pedang
di tangan Ratu Siluman Muka Ayu. Tak
dapat dibayangkan betapa gusar dan
marahnya Jaka. Pedang Siluman Darah di
tangannya seketika meneteskan darah
dari ujungnya.
"Bedebah! Kau telah mendahului.
Jangan salahkan kalau aku bertindak
kejam! Hati-hatilah, hiat...!" Secepat
angin Jaka berkelebat melompat, menye-
rang Ratu Siluman Muka Ayu yang segera
memapakinya.
Trang...!
Terkesiap Ratu Siluman Muka Ayu
menyaksikan apa yang terjadi. Pedang
pusaka di tangannya jatuh menjadi dua
kala berbenturan dengan Pedang Siluman
Darah di tangan Jaka. Melotot mata
Dewi Ratu Siluman kaget.
"Hebat juga senjatamu, Anak muda.
Tapi jangan berbangga dulu. Sebab aku
belum kalah dan mungkin tak akan
pernah kalah olehmu,"
"Sombong!"
"Hati-hatilah, Anak muda!
Terimalah ini! Hiat...!" Dari tangan
Dewi Kalandasan seketika memancar
sinar merah membara yang mengejutkan
Jaka hingga seketika dari mulutnya
keluar gumaman:
"Hem... Ajian Tapak Bahana! Baik!
Aku pun memilikinya. Hiat...!"
Kelana segera mengeluarkan Ajian
Tapak Prahara hingga seketika
tangannya berubah membara merah. Hal
itu menjadikan Ratu Siluman Muka Ayu
terbelalak menyaksikan pemuda musuhnya
pun mempunyai ilmu seperti orang yang
dicintainya sekaligus dibenci yaitu
Eka Bilawa. Maka dengan seketika, Dewi
Kalandasan atau Ratu Siluman Muka Ayu
membentak bertanya. "Ada hubungan apa
kau dengan Eka Bilawa, Anak muda?"
"Aku adalah anaknya," menjawab
Jaka makin membuat Ratu Siluman Muka
Ayu membelalakkan matanya lebar-lebar.
Seketika membatin Ratu Siluman Muka
Ayu manakala tahu siapa sebenarnya
pemuda di hadapannya.
"Pantas, kalau ia memiliki ilmu
tersebut!"
Namun Dewi Kalandasan yang sudah
dikuasai Iblis, tak segera menyadari.
Bahkan dengan nekadnya ia kembali
menyerang Jaka dengan ajian Segara
Brahma.
Dengan segera Jaka memapakinya
dengan ajian Jamus Kalimusada,
menjadikan dua kekuatan dahsyat beradu
saat itu juga.
"Duar...!"
Jaka terdorong ke belakang lima
tombak, sementara Ratu Siluman Muka
Ayu terdorong tujuh tombak dengan muka
memucat dan darah meleleh dari sela
sela bibirnya.
Bersamaan dengan itu Loh Gamyar
dapat membunuh ular siluman yang
seketika berubah menjadi ujud manusia
laki-laki setelah bertarung beberapa
waktu lamanya.
Lelaki yang berubah dari ular
raksasa itu berwajah sangat menakutkan
dengan gigi-giginya yang runcing ke
luar. Lelaki iblis itu seketika
kembali menyerang Loh Gamyar. Namun
kala lelaki itu hendak merenggut nyawa
Loh Gamyar, seketika sebuah bayangan
berkelebat menghantam tubuh laki-laki
menakutkan itu yang seketika
sempoyongan.
Belum hilang rasa ngeri Loh
Gamyar, terdengar seorang tua berkata
memerintah: "Tinggalkan tempat ini!
Biar aku yang menghadapi mahluk
siluman ini!"
Tanpa membuang waktu lagi, Loh
Gamyar segera berkelebat meninggalkan
tempat itu. Lelaki tua itu kini tengah
berhadap-hadapan dengan mahluk siluman
yang telah tegak kembali dengan mata
beringas memandang ke arah orang itu.
"Kenapa kau ikut campur, Ki
Jagalaya? Apakah kau tak kasihan
melihat istrimu?" berkata laki-laki
siluman itu.
"Lebih kasihan kalau istriku
selalu dipengaruhi olehmu. Maka untuk
itulah aku turun ke dunia ramai lagi."
"Hem... kau memang lelaki tak
tahu diri!" Habis berkata begitu,
lelaki siluman itupun kembali menye-
rang. Hingga dengan segera Jagalaya
pun berkelit dan balik menyerang.
Pertarungan pun terjadi dengan
serunya, membuat goncangan bangunan di
situ apabila keduanya mengadu
kesaktian.
Sementara itu Jaka tengah terus
mendesak Ratu Siluman Muka Ayu. Dengan
Pedang Siluman Darah di tangannya,
membuat Jaka makin tampak di atas.
Sementara Ratu Siluman Muka Ayu, kini
makin terdesak oleh tebasan-tebasan
Pedang Siluman Darah yang dilakukan
Jaka.
Hingga pada suatu kesempatan,
Jaka dengan segera menebaskan Pedang
Siluman Darah ke tubuh Ratu Siluman
Muka Ayu. Melengkinglah suara Ratu
Siluman Muka Ayu seketika dengan tubuh
terpotong jadi dua.
Dengan menahan sakit yang tak
terkira, Ratu Siluman Muka Ayu
berguling-guling di tanah. Tubuhnya
yang terpotong kembali menyatu dan
berubah. Mulutnya memanjang, kupingnya
menghilang, kaki dan tangannya pun
menghilang dan memanjang. Tubuh Ratu
Siluman Muka Ayu berubah menjadi sosok
tubuh yang melata, yang dengan segera
berlalu pergi meninggalkan Jaka yang
hanya terbengong-bengong heran.
Di pihak lain Ki Jagalaya masih
bertempur melawan Siluman Ular yang
tampak masih memiliki tenaga walau
telah beberapa kali dihantam dengan
pukulan sakti Jagalaya.
Tengah keduanya bertarung, tampak
seekor ular besar menjalar menuju ke
arah mereka. Dari mulut ular itu
mendesis dan terdengar suara seorang
wanita berkata: "Kakang Jagalaya.
Maafkanlah aku. Aku tak dapat kembali
padamu. Kakang Welang, ayo kita
pergi!"
"Kenapa kita harus pergi,
istriku?" bertanya mahluk Siluman Ular
itu pada ular yang menjalar.
Sepertinya Welang tak ingin segera
pergi dari tempat itu.
"Ayolah, Kakang! Di sini ada
seorang pendekar keturunan Eka Bilawa.
Kau tak akan mampu menghadapinya.
Apabila sampai ia mengetahuinya,
sungguh petaka bagimu."
Walaupun sudah diperingatkan oleh
Ratu Siluman Muka Ayu, namun Welang
nampaknya tak mau percaya begitu saja.
Hingga apa yang dikatakan Ratu Siluman
Muka Ayu menjadi kebenaran. Jaka yang
sedari tadi mengikuti langkah ular
jejadian itu sampai pula ke tempat
itu.
"Cilaka, Kakang! Pemuda itu telah
datang!"
"Hem... mau lari ke mana,
kalian?" bertanya Jaka yang segera
membabatkan Pedang Silumannya ke tubuh
Siluman Ular yang tengah bertempur
dengan Ki Jagalaya. Saking cepatnya
tebasan itu tak dapat Siluman Ular
mengelakkannya. Maka...!
"Aaahhh...!" menjeritlah Siluman
Ular itu manakala Pedang Siluman Darah
menebas tubuhnya. Seketika itu pula
tubuhnya berubah pada ujud semula
berbentuk ular. Mendesis-desis dan
berlalu pergi dengan seketika.
Bersamaan dengan perginya kedua
ular Siluman itu, lenyap pula lelaki
tua di hadapan Jaka. Pedang Siluman
Darah di tangan Jaka turut lenyap.
"Hei! Ke mana gerangan lelaki tua
itu?"
"Anak muda! Aku mengucapkan
terima kasih padamu karena kau telah
membebaskan istriku. Kini aku tenang
bertapa. Selamat tinggal, Anak muda!"
Jaka hanya diam mamatung sesaat.
Setelah ingat akan Loh Gamyar dan Kala
Peningasan, Jaka segera berkelebat
mencari mereka. Tak begitu lama
terdengar olehnya dua orang tengah
bertempur. Maka dengan segera Jaka
menemui mereka yang ternyata Wayan
Saba dengan Kala Peningasan.
Melihat Jaka datang, dengan se-
gera Kala Peningasan bersujud meminta
ampun. "Aku meminta ampun, Jaka.
Sebenarnya bukan maksudku mencuri
Kitab dan pusaka milik beberapa
perguruan. Aku hanya diperintah oleh
Sri Ratu Siluman Muka Ayu dengan
imbalan aku mendapat pelayanannya
setiap seminggu sekali."
Jaka hanya mampu menggelengkan
kepalanya, sementara Loh Gamyar yang
merasakan pelayanan Sri Ratu Siluman
Muka Ayu atau Dewi Kalandasan bergidik
setelah mengetahui siapa sebenarnya
sang Ratu itu.
"Jadi aku telah tidur dengan
ular? Pantas setiap kali main, selalu
mendesis-desis. Oh ya, Jaka. Aku
melihat sesuatu yang aneh di tempat
itu."
Dengan diikuti Jaka dan Kala
Peningasan, Loh Gamyar segera menuju
ke suatu tempat di mana ia melihat
sesuatu keganjilan.
Terbelalak Jaka dan Kala
Peningasan manakala melihat beberapa
pemuda telanjang dengan kelamin hilang
entah ke mana dan tubuh telah mati.
"Apakah kau juga tahu di mana
Ratu Siluman itu menyimpan kitab-kitab
yang kau curi, Kala?" bertanya Jaka,
yang segera diangguki oleh Kala
Peningasan.
Setelah mengambil kitab-kitab dan
pusaka yang telah dicuri milik
beberapa persilatan, Jaka segera
berlalu meninggalkan Wayan Saba dan
Kala Peningasan yang hanya terbengong
bengong keheranan. Demi menyaksikan
betapa cepatnya Jaka hilang dari
pandangannya, hingga keduanya hanya
mampu saling pandang.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar