KUPU KUPU NGARAI SIANOK
"Anak gadis mulai saat ini namamu puti bunga sekuntum julukan mu rama ram giok ngarai Sianok atau kupu kupu giok ngarai Sianok"gadis cina gadis cina bernama chia swie kim yang cantik itu tersenyum
"Terima kasih datuk"ketika chi swie kim itu hendak menyambut ucapan nya..datuk marajo sati memberi isyarat seraya berbisik
Ada manusia jahil di luar sana agak nya sudah sejak tadi dia mendengar pembicaraan kita anak gadis, lekas ubah wujud mu menjadi kupu-kupu giok
Dengan cepat chia swie kim merubah diri menjadi kupu-kupu batu giok berwarna hijau
Kebiruan datuk marajo sati ambil kupu kupu batu giok itu lalu meletakkan nya di dalam sebuah lekukan di dinding goa sebelah kiri
SATU
SENJA itu angin
dari arah laut bertiup
lebih kencang dari
biasanya. Daun-daun
pohon kelapa mengeluarkan suara gemerisik ber-
kepanjangan. Di pondok kayu kediamannya di satu
lereng bukit Sutan Panduko Alam yang baru saja
menyelesaikan shalat Magrib tengah berzikir khidmat
ketika hidungnya mencium bau angin yang mengandung
garam. Orang tua ini letakkan tasbih batu hitam di
atas pangkuan, memandang ke arah pintu pondok
yang tertutup sambil mengusap janggut seputih kapas.
"Angin dari laut," ucap Sutan Panduko Alam dalam
hati. "Tidak pernah angin dari laut bertiup sampai
sejauh ini ke Bukit Melintang. Pertanda apakah yang
hendak diberi tahu oleh alam?"
Perlahan-lahan orang tua berusia hampir delapan
puluh tahun ini bangkit berdiri. Setelah merapikan
letak sorban putih berumbai-rumbai benang emas di
kepala, sambi terus mengucapkan zikir dia melangkah
ke pintu rumah lalu membukanya. Begitu pintu pondok
terbuka, angin kencang datang menerpa. Janggut
panjang serta jubah putih melambai-lambai.
Sepasang mata si orang tua yang berwarna kelabu
menatap berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa selain
pepohonan yang menghitam dalam kegelapan serta
mendengar deru angin yang tiada henti.
Sutan Panduko Alam melangkah mundur. Belum
sempat dia menutup pintu pondok, di bawah deru angin
yang begitu keras dia mendengar suara kepakan halus.
Lalu ada benda melayang dan kemudian hinggap di
tangan kanan itu adalah seekor kupu-kupu besar.
“Ramo-ramo... Puluhan tahun aku tinggal di sini tidak
pernah bertemu dengan ramo-ramo. Mengapa malam ini
tiba-tiba ada seekor ramo-ramo terpesat datang ke
pondok ini?" (Ramo-ramo = Kupu-kupu/bahasa
Minangkabau) Sutan Panduko Alam angkat tangan
kanannya agar bisa memandang kupu-kupu itu lebih
jelas. Binatang ini memiliki warna-warni yang luar biasa
indah. Kepala bergerak, diangkat sedikit, dua buah
mata yang bagus menatap ke arah si orang tua.
Sutan Panduko Alam tersenyum laiu berkata.
"Mahluk ilahi. Kau pasti datang dari jauh.
Dihempaskan angin ke pondok ini. Kau ingin
perlindungan dari angin kencang dan hawa dingin di
luar sana. Aku akan memberikan tempat yang hangat
bagimu." Lalu Sutan Panduko Alam pergunakan tangan
kiri hendak membuka sorban di atas kepala. Namun
gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia mendengar
suara yang menjawab ucapannya barusan.
"Orang tua berhati mulia, saya memang butuh
perlindunganmu. Tapi bukan dari dingin dan kencangnya
angin. Melainkan dari serombongan orang yang
mengejar dan hendak membunuh saya."
Sutan Panduko Alam sampai terlonjak saking
kagetnya. Dia memandang berkeliling. Barusan dia
mendengar jelas suara orang berucap. Suara
perempuan. Tapi orangnya tidak kelihatan. Dia
memandang keluar, lalu memperhatikan seputar
bagian dari pondok.
"Suaranya jelas tapi orangnya tidak kelihatan.
Gerangan siapakah yang barusan bicara?"
"Orang tua, saya yang bicara. Kupu-kupu besar
di tangan kananmu."
Sutan Panduko Alam kembali melengak. Mata yang
kelabu semakin besar, tangan kanan didekatkan ke
wajah.
"Mahluk Ilahi ramo-ramo. Allah Maha Besar. Benar
kau yang burusan bicara?"
"Benar, orang tua. Tolong cepat-cepat tutupkan
pintu. Rombongan orang yang mengejar saya semakin
dekat' Kupu-kupu di tangan kanan Sutan Panduko Alam
kembali berbicara. Suara perempuan bernada sangat
ketakutan. Dalam heran yang tidak terkirakan orang
tua itu lakukan apa yang diminta kupu-kupu besar.
Setelah menutup pintu pondok dia bersurut mundur,
duduk di tepi tempat tidur rotan.
"Allah Maha Kuasa, berbuat sekehendakNya. Tapi
baru kali ini aku melihat ada kupu-kupu pandai bicara.
Ramo-ramo gadang, katakan kau ini mahluk apa
sebenarnya? Mahluk jejadian atau roh yang tersiksa
karena sumpah kutukan? Datang dari mana?" (gadang
= besar)
"Orang tua. saya berasal dari negeri sangat jauh
di seberang lautan. Negeri tanah daratan Cina. Ujud
saya sebenarnya adalah kupu-kupu terbuat dari batu
Giok berwarna biru kehijauan yang merupakan benda
pusaka utama milik Kaisar. Ketika seorang Pangeran
Kerajaan Tiongkok hendak membunuh puterinya
karena dituduh berzlnah..."
Sutan Panduko Aiam memberi Isyarat dengan
gerakan tangan kiri agar kupu-kupu berhenti bicara.
Telinga tajam orang tua ini mendengar suara orang
berkelebat di sekeliling halaman pondok. Dia melirik
ke atas sewaktu merasakan ada getaran halus di
wuwungan.
"Mereka sudah datang. Orang-orang yang hendak
membunuh saya..." Kupu-kupu di tangan kanan Sutan
Panduko Alam bicara dengan suara berbisik. Orang
tua itu bangkit dari tempat tidur, melangkah ke
dinding pondok. Melalui lobang kecil dia mengintai
ke luar. Tujuh orang dilihatnya berdiri di halaman
depan rumah. Dua orang yang bertubuh tinggi besar.
bermata besar merah, berbaju dan bercelana
galembong hitam, bertampang buas memelihara
kumis melintang, jenggot dan cambang bawuk.
Tangan mereka selain ditumbuhi bulu lebat juga
berwarna hitam mulai dari atas siku sampai ke ujung
sepuluh jari termasuk kuku. Di kiri kanan berdiri
empat orang yang dari bentuk tubuh, raut muka, warna
kulit serta pakaian pasukan Kerajaan Cina, menghunus
golok besar telanjang. Salah seorang dari mereka
memakai topi terbuat dari besi berwarna merah dihias
kaca-kaca bulat berkilat (galembong = celana hitam
berkaki besar)
Setelah memperhatikan ke enam orang itu dengan
cepat Sutan Panduko Alam mengalihkan pandangan
pada orang ketujuh yang berdiri di bawah bayang-
bayang gelap pohon besar sambil rangkapkan dua
tangan di depan dada Kepala agak mendongak. Sutan
Panduko Alam maklum betul, sikap berdiri seperti
ini adalah sikap orang berkepandaian tinggi yang
tengah mementang mata memasang telinga. Orang
ini seorang kakek berjubah hijau mengenakan
blangkon yang juga berwarna hijau berbunga-bunga
putih.
Waiau yang bisa dilihatnya hanya tujuh orang namun
Sutan Panduko Alam tahu betul, paling tidak ada dua
orang di atas atap dan beberapa orang lagi di samping
kiri dan kanan dan bagian belakang pondok.
"Duo Hantu Gunung Sago," ucap Sutan Panduko
Alam dalam hati menyebut nama dua orang lelaki
berpakaian serba hitam bertampang seram. "Kalian
masih berkeliaran di nagari alam terkembang
membawa orang-orang asing dari Cina, berteman
seorang pandai berbiangkon hijau dari tanah jawa.
Hanya untuk memburu seekor kupu-kupu betina.
Gerangan rahasia apa yang ada dibaiik semua
kejadian ini."
Dari lubang tempat mengintai Sutan Panduko Alam
melihat kakek berjubah dan berbiangkon hijau
mengucapkan sesuatu sambil tangan kanan di-
gerakkan memberi aba-aba.
Dua lelaki berpakaian hitam yang disebut Dua
Hantu Gunung Sago segera melompat ke depaan
rumah. Empat orang asing menebar. Yang memakai
topi besi merah melangkah lebih dulu. Kakek berjubah
hijau tidak beranjak dari bawah pohon.
Sutan Panduko Alam dengan cepat menanggalkan
sorban putih di atas kepala. Kupu-kupu besar
dimasukkan ke dalam gulungan sorban seraya
berkata.
"Ramo-ramo mahluk ilahi. Jika sesuatu terjadi
denganku maka sorban Ini akan membawamu terbang
ke tempat yang aman..." Lalu Sutan Panduko Alam
letakkan sorban di atas tempat tidur.
Pada saat itu braaakk!
Pintu pondok terpental jebol.
Dua Hantu Gunung Sago melesat masuk disusul
empat orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan.
Atap ijuk amblas. Dua orang melayang turun. Satu
membekal pedang, seorang lagi menghunus keris.
Sementara itu bagian belakang pondok juga telah
didobrak dan dua orang menghambur masuk yang
ternyata adalah dua nenek berambut putih panjang
tapi jarang dan sama-sama bergigi perak. Yang satu
berhidung mancung. Lainnya berhidung pesek.
Walau semua kejadian itu dihadapi dengan tenang,
namun melihat dua nenek yang kini berada dalam
pondok mau tak mau bergetar juga hati Sutan
Panduko Alam. Dua nenek ini di pulau Andalas
dikenal dengan julukan Si Kamba Tangan Manjulai
yang berarti Si Kembar Tangan Panjang. Seperti
julukannya dua nenek kembar ini memang memiliki
sepasang tangan luar biasa panjang hingga ujung-
ujung jari mereka hampir menyentuh lantai.
"Banyak tamu agung tidak terduga mengunjungiku.
Sungguh satu kehormatan besar. Sebagai tuan rumah
aku ingin bertanya. Gerangan maksud apa hingga
datang malam hari beramai-ramai pula?"
"Sutan Panduko Alam, kami datang dari jauh,
membawa empat tamu dari daratan Tiongkok. Kami
membawa urusan sangat penting. Kami tidak ingin
datang dengan sia-sia..." yang bicara adalah salah
seorang dari Duo Hantu Gunung Sago, yang berdiri
di hadapan sebelah kanan bernama Si Kalam langit,
memiliki muka hitam legam.
"Maksud belum disampaikan sudah menyebut sia-sia.
Hantu Gunung Sago, katakan apa keperluanmu dan
semua orang yang kau bawa ke tempat ini."
"Kami mencari sesuatu. Sesuatu itu kami ketahui
masuk ke dalam pondokmu ini." Kali ini yang bicara
adalah salah seorang dari Si Kamba Tangan Manjulai.
Dia diberi nama tambahan Si Kamba Pesek Tangan
Manjulai karena memang memiliki hidung pesek hampir
sama rata dengan pipi.
Sutan Panduko Alam tersenyum.
"Kalian semua bicara setengah berteka-teki.
Sahabat lamaku Si Kamba Tangan Manjulai, katakan
apa yang kau maksudkan dengan sesuatu itu. Seekor
katak, ular berbisa atau sebangsa mahluk halus
jejadian. Atau mungkin juga seorang maling yang
telah mencuri barang berharga milik kalian."
Orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan yang
mengenakan topi besi merah tampaknya tidak
sabaran. Dia berteriak mengatakan sesuatu sambil
mengacungkan golok besar. Hantu Gunung Sago yang
berdiri di samping kiri Sutan Panduko Alam bernama
Si Batu Bakilek (Si Batu Berkilat) karena memiliki
kepala botak plontos berkilat, mengangkat tangan
memberi tanda agar si orang Cina berlaku tenang.
Laiu dia melangkah mendekat Sutan Panduko Alam.
Tangan kiri diletakkan di atas bahu orang tua itu,
dialiri tenaga dalam tinggi hingga memiliki bobot
seperti sebuah batu sebesar rumah. Sadar orang
tengah menjajal yang bisa membuat tubuhnya remuk
sebelah, Sutan Panduko Alam membalas dengan
tenaga dalam yang mengeluarkan hawa lembut. Saat
itu juga tangan kiri Hantu Gunung Sago seperti
ditepiskan ke samping. Karena mengerahkan tenaga
besar tubuhnya nyaris terperosok ke depan.
"Sahabatku Hantu Gunung Sago Batu Bakilek,
apakah kau belum makan dari pagi? Kau kelihatan
lemah, hampir jatuh tergelimpang," kata Sutan
Panduko Alam mempercandai orang.
Diejek seperti itu si tinggi besar berkepala botak
ini menggembor marah. Tinju kanannya laksana kilat
menyambar ke muka Sutan Panduko Alam. Cahaya
hitam membersit dari tangan kanan yang memukul
pertanda pukulan mengandung kekuatan yang
mematikan. Di saat yang sama orang Cina bertopi
merah bacokkan besarnya, Juga mengarah kepala si
orang tua.
DUA
"YANG dicari belum
bertemu. Mengapa mau
membunuh orang yang
tahu?”
Dua tangan panjang bergerak luar biasa cepat
menangkis serangan yang dilancarkan Hantu Gunung
Sago Batu Bakilek dan orang Cina bertopi merah hingga
membuat kedua orang itu terjajar. Yang menangkis
serangan ternyata adalah Si Kamba Tangan Manjulai
yang memiliki hidung mancung, dikenal dengan nama
julukan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai (Si
Kembar Manoung Tangan Panjang). Dia juga yang tadi
keluarkan ucapan sebelum bergerak.
Hantu Gunung Sago kepala botak dan orang Cina
berpakaian pasukan Kerajaan Tiongkok berteriak
marah. Si nenek mancung tidak perduli dia memutar
tubuh menghadap ke arah Sutan Panduko Alam.
"Aku orang yang tidak suka bicara berteka teki
seperti katamu tadi. Aku bertanya langsung padamu.
Seekor kupu-kupu besar masuk ke dalam pondokmu.
Sekarang katakan dimana kau sembunyikan binatang
itu"
Sutan Panduko Alam unjukkan wajah tercengang
lalu gelengkan kepala sambil keluarkan suara berdecak
berulang kali.
"Sutan Panduko, jangan berpura-pura. Jika kau
tidak memberi tahu, lihat saja apa jadinya. Kau sudah
terkurung. Aku tidak akan menyelamatkan nyawamu
untuk kedua kalinya!"
"Sahabat lama, terima kasih kau mau berbaik hati
menolongku. Jadi kau dan yang lain-lain datang
beramai-ramai ini tengah mencari seekor kupu-kupu.
Sungguh lucu. Lebih lucu lagi karena aku tidak pernah
tahu kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam pondokku."
"Urang Siak! Kau berdusta!" Bentak Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai. (Urang siak = Orang alim)
Sutan Panduko Alam tertawa Dalam hati orang tua
ini berkata "Berdusta untuk menyelamatkan nyawa
mahluk ilahi apa dosanya? Berdusta terhadap orang-
orang berbusuk niat seperti kalian apa haramnya?"
"Sutan Panduko, lebih baik kau memberi tahu
dimana kau sembunyikan ramo-ramo besar itu. Kalau
tidak kami akan membakar pondok ini" Yang bicara
mengancam adalah seorang lelaki muda berpakaian
dan destar merah, memegang kens bertuah. Sutan
Panduko Alam mengenali orang ini adalah tokoh silat
yang punya julukan Pandeka Bumi Langit Dari
Sumanik. (Pendekar Bumi Langit Dari Sumanik) Ilmu
silat orang ini luar biasa berbahaya. Bisa memukul
remuk kepala atau mencabik muka dan menjebol
tubuh lawan dalam sekali gebrakan saja. Konon ilmu
silat yang dimiliki sang Pendekar dikenal dengan
nama Sitaralak.
“Buruk nian nasibku hari ini. Banyak sahabat lamo
yang datang aku harap kita bicara berelok-elok
beriang-riang. Ternyata datang membawa ancaman."
Sutan Panduko Alam memandang berkeliling. Lalu
lanjutkan ucapan. "Agaknya pondok buruk Ini terlalu
sempit untuk bercakap-cakap. Lebih baik kita
melanjutkan bicara di halaman."
Sehabis keluarkan ucapan Sutan Panduko Alam
tiup pelita di dalam ruangan lalu melesat ke pintu.
Dua Hantu Gunung Sago Si Kalam langit coba
menghalangi tapi terpental kena sambaran sikut si
orang tua. Selain mencari tempat yang jebih leluasa
jika orang sekian banyak menyerang dirinya. Sutan
Panduko Alam juga tidak ingin orang-orang Itu
mengetahui keberadaan kupu-kupu besar yang
tergulung dalam sorbannya dan saat itu berada di atas
tempat tidur rotan.
Hanya sesaat setelah Sutan Panduko Alam injakkan
kaki di halaman depan pondok kediamannya, dua belas
orang sudah mengelilinginya termasuk kakek berjubah
dan berbelangkon hijau yang sejak tadi tetap berdiri
tak bergerak di bawah pohon besar. Kini setelah Sutan
Panduko Alam berdiri di halaman, kakek ini melangkah
mendatangi.
"Sutan Panduko Alam. namaku Ki Bonang Talang Ijo.
aku seorang sahabat datang dari satu tempat bernama
Kuto Gede di pulau Jawa. Terima salam hormatku!"
Habis keluarkan ucapan kakek ini usap mukanya
hingga saat itu juga berubah menjadi hijau termasuk
sepasang mata. Selesai unjukkan kehebatan, dia susul
menggerakkan badan membungkuk sambil tangan kanan
dilambaikan.
Gerak yang dibuat orang menimbulkan angin halus
yang menggetarkan tubuh Sutan Panduko Alam dan
memerihkan mata. Cepat-cepat orang tua ini membalas
penghormatan Ki Bonang Talang Ijo.
"Sahabat yang datang dari tanah Jawa. terima
kasih balas salam dan penghormatanku. Sayang kau dan
orang-orang ini tidak memberi tahu kedatangan lebih
dulu." Sambil membungkuk Sutan Panduko Alam
geserkan sedikit telapak kaki kanannya. Tanah
bergetar, gerakan menjalar masuk menyentuh dua
kaki Ki Bonang Talang ijo hingga kakek itu sesaat
merasa dua kakinya seperti lumpuh.
Sambil tersenyum dan batuk-batuk Ki Bonang Talang
ijo luruskan tubuh lalu berkata.
"Sutan Panduko Alam. aku tidak menginginkan
pondokmu dibakar orang, apalagi melihat dirimu
sampai celaka. Aku meminta dengan sangat dan
segala hormat agar kau menyerahkan kupu-kupu besar
yang terpesat masuk ke dalam pondokmu."
Sutan Panduko Alam menyadari jika pecah
pertarungan dia tidak akan mungkin menghadapi
sekian banyak musuh. Namun menyerahkan apa yang
diminta orang diapun tidak sudi. Melindungi mahluk
Ilahi yang datang meminta tolong bagi keselamatan
jiwanya adalah kewajiban setiap orang termasuk
dirinya. Maka Sutan Panduko Alam lantas menjawab.
"Sahabat, soal bakar membakar memang tidak
layak dilakukan. Apa lagi perihal celaka mencelakai
sesama insan Ilahi. Aku katakan padamu bahwa tidak
ada kupu-kupu yang terpesat masuk ke dalam
pondokku. Puluhan tahun aku menetap di sini. daerah
ini tidak pemah adaramo-ramo atau kupu-kupu yang
kau sebut itu."
Ki Bonang Talang Ijo tersenyum. Dia memandang
pada orang-orang sekeliling lalu kembali berpaling
pada orang tua di hadapannya
"Sutan Panduko Alam. Malam yang dingin, kau
tidak mengenakan sorban. Sungguh diluar
kebiasaan..." Ki Bonang melangkah lebih dekat. Lalu
setengah berbisik dia berkata. "Aku tahu dimana kau
menyembunyikan kupu-kupu itu!"
Begitu ucapannya selesai Ki Bonang Talang Ijo
melompat ke udara melewati Sutan Panduko Alam
lalu melesat ke arah pondok. Sutan Panduko Alam
berusaha menghalangi namun sebelas orang serentak
menyerbu dirinya. Duo Hantu Gunung Sago menyerang
di depan sekali, menyusul empat orang Cina dari
samping kiri dan kanan. Si Kamba Tangan Manjulai
untuk beberapa lama hanya memperhatikan sambil
tertawa-tawa sementara Pendeka Langit Bumi Dari
Sumanik bersama beberapa orang lainnya menggempur
dari arah belakangi
Sutan Panduko Alam putar tasbih batu hitam di
tangan kanan.
"Traang...traang!"
Dua golok mental ke udara. Salah seorang penyerang
berpakaian pasukan Kerajaan Cina terpental lalu
tergelimpang pingsan.
"Breetttl"
Jubah putih Sutan Panduko Alam robek di bagian
punggung dimakan mata keris salah seorang penyerang.
Darah mengucur dari luka memanjang.
"Membunuh pantangan orang Muslim. Memper-
tahankan diri membela kebenaran menghancurkan
kemungkaran adalah kewajibanl" Sutan Panduko
Alam keluarkan teriakan lantang. Tasbih batu hitam
di tangan kanan menderu.
"Wuttt!"
Selarik sinar hitam bertabur. Satu jeritan
membelah langit malam. Penyerang yang memegang
keris dan dikenal dengan nama Datuk Mangkuta Karth
Babegah terkapar di tanah dengan kepala hancur.
Sutan Panduko Alam mengamuk laksana banteng
terluka. Seorang lagi yakni Duo Hantu Gunung Sago
Batu Bakilek menggerung keras ketika tangan
kanannya remuk dihajar tasbih batu hitam.
Bagaimanapun kehebatan Sutan Panduko Alam
namun menghadapi sekian banyak musuh walau dia
memiliki tingkat kepandaian ilmu yang disegani di
seluruh Nagari ranah Minang, setengah pertarungan
tak seimbang berlangsung empat jurus, SI Kamba
Pesek Tangan Manjulai berhasil menelikung tubuh
orang tua itu dari belakang dengan kedua tangannya
yang panjang, melilit laksana lilitan dua ular besar.
Sutan Panduko Alam keluarkan gerak ilmu Burung
Balam Mengepak Sayap. Dua sikut terlepas dari
tangan yang melilit lalu menghantam ke belakang.
"Kraakkl Kraakkl"
Tiga tulang rusuk SI Kamba Pesek Tangan
Manjulai kiri kanan berderak patah. Nenek ini menjerit
setinggi langit. Lepaskan lilitan dua tangannya dari
tubuh Sutan Panduko Alam, terhuyung-huyung
beberapa langkah lalu roboh terjengkang di tanah
dengan mulut membusah darah!
Walau lolos dari telikungan lawan namun keadaan
Sutan Panduko Alam tidak tertolong lagi. Orang tua
ini menjadi bulan-bulanan jotosan, tendangan,
tusukan dan bacokan yang datang dari berbagai
jurusan termasuk serangan pengecut dari arah
belakang!
Orang tua ini akhirnya tergeletak tak bernyawa di
tanah, kepala dan wajah tidak berupa lagi, tubuh
penuh luka bergelimang darah. Jubah putih telah
berubah merah!
TIGA
KI BONANG Talang
Ijo usap kedua matanya
dengan telapak tangan
.kiri. Walau keadaan di dalam pondok gelap gulita
usapan tangan tadi membuat dia kini bisa melihat jelas
di dalam gelap. Benda yang dicari segera membentur
pandangannya. Terletak tergulung di atas tempat tidur
rotan.
"Sutan tolol! Hanya untuk seekor kupu-kupu yang
tidak ada gunanya bagimu kau sampai mau-mauan mati
percuma!"
Sambil menyeringai Ki Bonang melangkah cepat
mendekati tempat tidur.
"Kupu-kupu Giok. Aku tahu kau ada dalam gulungan
sorban putih berumbai-umbai benang emas. Hanya satu
jengkal lagi tangan kakek ini akan menyentuh sorban,
tiba-tiba sorban melesat ke udara. Kaget Ki Bonang
bukan kepalang. Dengan cepat dia melompat ke atas,
tangan menyambar tapi lagi-lagi luput
"Sorban keparat! Roh jahanam apa yang membuat
kau bisa melesat ke udara! Biar aku hancurkan kau
sekalian bersama kupu-kupu itu!"
Tapi Ki Benang ingat, jangankan membunuh, melukai
kupu-kupu itu saja dia tidak boleh melakukan. Itu
pesan Teng Sien, Perwira Muda pasukan Kerajaan Cina
bertopi besi merah yang jadi pimpinan rombongan
pengejar kupu-kupu. Maka dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh kakek ini kembali berkelebat ke
atas . berusaha menyambar sorban yang melayang.
Gerakan Ki Bonang memang luar biasa cepat. Dia
berhasil menangkap salah satu ujung sorban yang
terjulai. Namun seperti hidup sorban menyentak diri
hingga brettl. Ujung sorban robek putus.
" Ki Bonang Talang Ijo berteriak penasaran. Kembali
kakek ini membuat gerakan menyambar. Namun sekali
ini sorban yang melayang di udara menyusup ke bawah
lalu plaakk! Ujung sorban yang robek mendarat di
kening hijau Ki Bonang hingga kakek ini terpental.
Kepala terasa sakit, pemandangan berkunang.
"Jahanam kurang ajari" Dalam marahnya Ki Bonang
tidak perduli lagi apakah dia akan melukai atau
membunuh kupu-kupu yang dipastikannya berada dalam
gulungan sorban. Ketika sorban putih melesat ke atas,
melewati lobang jebolan di atap ijuk, Ki Bonang segera
melesat mengejar sambil tangan kanan digerakkan
dalam melepas jurus pukulan sakti bernama Di Atas
Awan Menyergap Rembulan.
Serangkum cahaya hijau berkiblat keluar dan ujung
jari tangan kanan Ki Bonang, menebar menjadi lima
larikan yang bergulung-gulung lalu dengan cepat
menelikung sorban putih yang melesat di udara malam.
Walau dalam keadaan terjerat sorban putih yang
seolah hidup tiba-tiba pancarkan cahaya terang
menyilaukan.
"Brett!"
Untuk kedua kalinya sorban putih Sutan Panduko
Alam robek dan putus. Kali ini pada sepertiga panjang.
Robekan melayang jatuh ke atas atap, sisanya yang
masih setengah tergulung melesat ke udara. Ketika
KI Bonang Talang Ijo sampai di atap pondok sorban
telah melesat jauh ke arah timur.
Ki Bonang Talang Ijo hanya bisa kepalkan tangan
dan hentakkan kaki hingga atap bangunan berderak
roboh. Lalu si kakek melayang turun ke tanah sambil
berteriak memberi tahu pada orang-orang yang ada di
halaman.
"Lolosl Kupu-kupu batu Giok Itu lolos dalam
gulungan sorban "
Teng Sien, orang Cina bertopi besi merah berteriak
marah. Lalu memaki-maki sambil bantingkan golok
besar hingga amblas masuk ke dalam tanahl
"Kita harus cepat mengejarl" Kata Pandeka Bumi
Langit Dari Sumanik.
"Percuma, tidak akan terkejar," kata KI Bonang
Talang Ijo sambil mengusap wajahnya hingga mukanya
yang tadi hijau kini berubah ke warna asal. Keningnya
yang bekas dihantam ujung sorban tampak kemerah-
merahan.
"Paling tidak kita harus mencari tahu kemana
sorban membawa kupu-kupu itu." Ucap Duo Hantu
Gunung Sago Si Kalam langit sambil pegang. sobatnya
Si Batu Bakilek yang tangan kanannya hancur dihantam
tasbih hitam Sutan Panduko Alam
"Malam ini aku akan batarak," kata Si kamba
Mancuang Tangan Manjulai walau sibuk menolong
saudaranya Si Pesek yang patah tulang iga kiri kanan.
(batarak = bersamadi) "Kita harus mencari tahu
kemana sorban itu membawa kupu-kupu giok."
Si Kamba Pesek Tangan Manjulai meludah ke tanah.
Ludahnya masih mengandung darah. Tampangnya
tampak angker ketika berkata.
"Persetan dengan kupu-kupu giok dan sorban jahanam
itu. Yang penting kalian harus menolong diriku dulu
sampai sembuhl" Lalu dia berpaling pada Teng Sien dan
tiga anak buahnya. "Cino cino keparat ini, suruh saja
mereka kembali ke negerinya. Gara- gara mereka
mencari kupu-kupu setan itu aku jadi
sangsaro begini" (sangsaro = sengsara)
"Saudaraku," kata Si Kamba Mancuang Tangan
Manjulai setengah berbisik. "Kita tidak bisa berbuat
begitu. Kita semua sudah menerima pembayaran satu
peti batangan emas dari mereka. Kita akan mem-
peroleh satu peti lagi jika berhasil mendapatkan kupu-
kupu giok itu. Kau sabar dan tenang sajalah. Aku dan
para sahabat pasti akan merawatmu. Kau akan sembuh
dalam waktu cepat..."
"Kupu-kupu giok, kupu-kupu giokl" cemberut Si
Kamba Pesek Tangan manjulai dengan suara meradang.
"Mengapa bukan si Giok gapuak anak gadis Taci Lim di
Kampung Cino saja yang mereka cari. Kupu-kupu... Bikin
aku susah sajal" (gapuak = gemuk) (Taci = bibi)
Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan. Ditepuk-
tepuknya pipi kempot Si Kamba Pesek. "Kau ini ada-
ada saja. Kupu-kupu gaib Itu jangan kau samakan
dengan nona gendut berwajah tambun di Kampung
Cino Hik..hik..hik."
Tak selang berapa lama semua orang meninggalkan
tempat itu turun dari Bukit Malintang. Mereka berjanji
akan berkumpul di satu tempat di Muko-Muko sehari
kemudian.
Ki Bonang Talang Ijo berjalan di sebelah belakang
sambil menimang-nimang tasbih batu hitam milik Sutan
Panduko Alam yang ditemuinya tercampak di tanah.
Kakek sakti dari tanah Jawa ini yang pertama sekali
meninggalkan rombongan, melanjutkan perjalanan ke
arah timur. Sementara dua nenek SI Kamba Tangan
Manjulai mencari dangau untuk bermalam. Seperti yang
dikatakannya setelah mengobati saudaranya Si Kamba
Mancuang kemudian melakukan tarak (samadi) di satu
tempat yang sunyi tak jauh dari dangau, berusaha
mencari petunjuk dimana sekarang beradanya kupu-
kupu giok. Dia menemukan sebatang pohon besar lalu
melompat ke salah satu cabang dan melakukan tarak
(samadi) dengan cara berjuntai yaitu dua kaki
digelungkan di cabang pohon, rubuh dan kepala
bergantung ke arah tanah. Dua tangan yang panjang
melilit seputar badan mulai dari pinggang sampai ke
dada.
EMPAT
SUARA alunan arus
sungai Batang Sianok
terdengar lembut sejuk
di telinga pada malam yang sunyi itu. Langit di
pertengahan malam bersih berhias bintang gumintang.
Di tepi ngarai seorang pemuda berpeci hitam
mengenakan baju dan celana panjang putih berjalan
sambil meniup puput, alat bebunyian sederhana yang
ditiup dan mudah dibuat dari batang padi.
Rambut yang panjang menjulai bahu melambai-lambai di
tiup angin. Sambil meniup puput matanya tidak lepas
dari memperhatikan sungai dan Ngarai Sianok yang
tampak sangat indah dibawah terangnya cahaya dari
atas langit.
Entah lagu apa yang dikumandangkan pemuda itu
namun tiba-tiba dia berhenti meniup puput. Matanya
melihat sebuah benda putih melayang di udara malam.
Oia terus memperhatikan. Benda putih berputar dua
kali di atas ngarai lalu melayang ke arah tebing sebelah
timur dan lenyap dari pemandangan.
"Benda putih tadi. Apakah ada sangkut pautnya
dengan perintah Datuk menyuruhku datang dan
berjaga-jaga di sekitar Ngarai Sianok Ini?" Si pemuda
berucap dalam hati. "Sayang Datuk tidak terlalu
banyak menjelaskan. Beliau mengatakan akan terjadi
satu peristiwa besar di ranah Minang dan aku diminta
menyelidiki sendiri."
Setelah berpikir sejenak pemuda berpeci hitam
segera melompat ke atas satu gundukan batu,
berpindah ke gundukan lain lalu melesat ke satu batu
tinggi berbentuk tonggak. Dari sini dia terus melompat
ke dinding ngarai sebelah timur yang merupakan batu
keras berseilmut lumut yaitu ke arah mana tadi
lenyapnya benda putih yang melayang di udara
malam. Dari caranya melompat dan melesat laksana
terbang jelas pemuda berkopiah hitam ini memiliki
ilmu kepandaian yang bukan sembarangan. Di Ranah
Minang, terutama daerah luas yang dikenal dengan
Lunak Nan Tigo hanya yang disebut kaum Pandeka
atau para tuo-tuo Nagari berilmu kesaktian tinggi saja
yang mampu melakukan hal itu. (Pandeka = pendekar)
"Dinding batu semua." Ucap si pemuda sambil
menyentuh lamping ngarai di depan mana dia berdiri.
"Kemana lenyapnya benda putih tadi? Tak mungkin
masuk menembus dinding ngarai." Cukup lama
memperhatikan akhirnya pemuda ini memutuskan untuk
menerapkan ilmu yang mampu melihat jauh menembus
halangan. Begitu ilmu diterapkan mendadak kepalanya
tersentak ke belakang. Tubuh bergoncang. Dua kaki
hampir terpeleset di lamping ngarai yang terjal dan
licin.
"Ada kekuatan aneh menghalangi ilmuku..." ucap si
pemuda dalam hati. Tapi diam-diam dia merasa gembira
karena kekuatan itu bersumber pada satu tempat di
tebing ngarai dan berarti benda putih yang tadi
dilihatnya juga pasti berada di sekitar itu. Perlahan-
lahan pemuda ini melangkah sepanjang tebing ngarai
hingga akhirnya dia menemukan sebuah lobang besar
merupakan mulut sebuah goa. Sesaat hatinya bimbang.
Tadi ada kekuatan aneh menghalangi. Sekarang kalau
aku masuk ke dalam goa lalu ada harimau campa atau
ulat besar yang menunggu bisa celaka diriku," pikir si
pemuda. Maka setelah lebih dulu mengerahkan tenaga
dalam dan membekal satu pukulan sakti di tangan kanan
dia kemudian masuk ke dalam goa.
Ternyata goa itu cukup panjang. Lorong di dalamnya
berliku liku dan mendaki. Namun ada satu keanehan.
Semakin jauh ke dalam keadaan di goabukan
bertambah kelam tapi malah menjadi lebih terang. Di
satu bagian goa si pemuda hentikan gerakan kakinya.
Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia melihat
lantai, dinding dan atap goa membentuk pintu
menyerupai pintu sebuah mesjid. Penuh ukiran
mengagumkan serta dikelilingi tulisan dari rangkaian
huruf Arab yang indah. Dari belakang pintu yang tidak
berdaun itu keluar satu cahaya terang. Pemuda
berkopiah hitam berpakaian serba putih melangkah
mendekati pintu. Namun gerakannya tertahan ketika
lapat-lapat dia mendengar suara orang bercakap-
cakap. Satu lelaki lainnya perempuan. Dari
pendengarannya yang tajam dia bisa mengetahui
suara lelaki adalah suara seorang tua sedang yang
perempuan agaknya masih muda belia.
Setelah menunggu sebentar, dari tegak berdiri si
pemuda kini berjongkok, lalu perlahan-lahan tanpa
suara dia menggeser dua kaki, beringsut ke arah pintu
berukir.
***
SEPERTI yang dikatakan Sutan Panduko Alam pada
kupu-kupu besar yang ada di dalam gulungan sorban
putih, begitulah kejadiannya. Ketika Ki Bonang Talang
Ijo siap hendak mengambil sorban tiba-tiba sorban
putih itu melesat ke udara. Walau sampai dua kali
sempat disambar oleh si kakek dan dua kali pula
mengalami robek namun sorban secara gaib masih
bisa lolos dan melesat keluar lewat lobang besar di
atap pondok lalu melayang ke arah timur.
Di dalam goa di salah satu dinding Ngarai Sianok,
Datuk Marajo Sati baru saja selesai melakukan
sembahyang tengah malam, sembahyang Tahajjud
dan masih duduk bersila membaca berbagai doa bagi
keselamatan diri dan ummat Nagari ketika tiba tiba dia
mendengar ada suara berdesing memasuki goa.
"Bukan suara hewan bukan juga burung gerangan
apakah yang melayang masuk ke dalam tempat
kediamanku ini?" Datuk Marajo Sati yang berusia enam
puluh tahun itu segera hendak meluruskan kaki lalu
berdiri. Namun sekonyong-konyong melayang sebuah
benda putih dan jatuh tepat di atas pangkuannya.
Sang datuk mengucap terkejut mengusap wajah dan
janggut putih lalu memperhatikan dengan mata tak
berkesip pada benda yang tergulung di pangkuannya.
Sebuah sorban putih berumbal-rumbal benang emas
yang salah satu ujungnya sobek.
"Atagafirullah, aku seperti mengenali sorban Ini."
Ucap Datuk Marajo Sati dalam hati. Ketika dia .
mengulurkan tangan kanan hendak menyentuh sorban,
tangannya jadi.tersurut Karena mendadak dari balik
gulungan sorban putih bergerak keluar seekor
binatang. Semula Datuk Marajo mengira seekor
burung. Tapi setelah binatang Ini merentangkan
empat sayap ternyata seekor kupu-kupu besar
berwarna indah sekali. Binatang ini perlahan-lahan
bergerak dan berhenti di atas pangkuan kiri sang
Datuk.
"Allah Maha Besar. Sebuah sorban dan seekor ramo-
ramo dikirimkan Allah kepadaku. Apa artinya ini?"
Datuk Marajo Sati ambil gulungan sorban di
pangkuannya lalu dibuka dan diperhatikan. Mata
kemudian dipejam dan kepala ditengadah.
"Ya Allah, mengapa hati saya mendadak tidak enak?
Sorban cabik berumbai benang emas seperti ini, hanya
ada satu orang yang memiliki yaitu sahabat dan kakak
saya Sutan Panduko Alam yang diam di Bukit Malintang
di pesisir barat Lunak Agam. Mengapa hanya sorban
yang sampai pada saya? Dlmana sahabat saya itu? Apa
yang terjadi dengan dirinya? Lalu terbungkus di dalam
sorban ada seekor ramo-ramo rancak. Apa artinya ini?
Ya Allah, beri saya petunjuk." (rancak = bagus, elok)
Datuk Marajo San* lalu cium sorban putih berulang
kali. Kemudian dia ulurkan tangan mengusap kupu-kupu
di paha kirinya. Kupu-kupu ini tundukkan kepala
beberapa kali lalu terbang ke atas sebuah gundukan
batu berbentuk meja di samping kanan goa.
"Orang tua, saya mahluk tidak berdaya. Saya mohon
pertolongan dan perlindungan."
"Hai. siapa yang bicara?" Datuk Marajo Sati
terkejut. Sorban putih yang dipegangnya sampai
terlepas jatuh ke pangkuan. Mata menatap ke atas
batu. "Ramo-ramo rancak, kaukah yang barusan
berkata-kata?'
"Betul sekali orang tua. Memang saya yang barusan
bicara. Maafkan saya kalau membuatmu terkejut"
Kupu-kupu di atas batu menjawab, membuat Datuk
Marajo Sati terpana beberapa ketika.
"Allah Maha Besar. Kalau tidak dengan
kehendakNya tidak mungkin seekor binatang sepertimu
pandai bicara. Beri tahu diriku, apakah kau ini binatang
benaran, mahluk jejadian atau sebangsa hantu
pelayangan. Bagaimana kau bisa berada di dalam
gulungan sorban milik Sutan Panduko Alam dan terbang
ke sini. Apa yang terjadi dengan Sutan Panduko Alam,
dimana saudaraku sekarang?"
"Orang tua, kalau boleh saya bercerita akan saya
sampaikan asal muasal keadaan diri saya. Juga akan
saya beri tahu apa yang terjadi dengan sahabatmu, laiu
bagaimana saya bisa melayang terbang bersama sorban
itu ke tempat Ini..."
"Katakan... ceritakan padaku." Kata Datuk Marajo
Sati pula.
"Orang tua, saya berasal dari tanah leluhur negeri
Cina. Ujud saya sebenarnya adalah sebuah kupu-kupu
batu giok berwarna antara biru dan hijau dan
merupakan benda pusaka utama milik Kerajaan yang
harus berada di tangan Kaisar sebagai salah satu
syarat syahnya menduduki tahta Kerajaan..."
"Aku mendengar, tapi ada yang aku tidak mengerti."
Datuk Marajo Sati memotong ucapan kupu-kupu giok di
atas batu. "Jika kau adalah sebuah batu giok,
bagaimana mungkin mungkin bisa bicara. Lalu jika kau
berasal dari negeri Cina bagaimana mungkin kau bisa
bicara berbahasa anak negeri Ini?"
"Orang tua, ada satu kejadian besar di negeri
leluhur saya. Seorang puteri Pangeran dituduh telah
berbuat zinah dengan kekasih puterinya. Ketika
Pangeran hendak membunuh pula puteri darah
dagingnya sendiri Yang Maha Kuasa menolong.
Puteri pangeran dirubah menjadi angin lalu
dimasukkan ke dalam kupu-kupu giok pusaka
Kerajaan. Kupu-kupu ini bisa menjelma menjadi kupu-
kupu besar seperti yang kau saksikan saat ini..."
"Kalau begitu ceritanya berarti kau adalah puteri
Pangeran yang malang itu."
"Benar sekali orang tua..."
Datuk Marajo Sati tercengang. Untuk beberapa
lama dia tidak bisa mengeluarkan ucapan.
LIMA
SETELAH mengusap
janggut pendeknya,
Datuk Marajo Sati
bertanya. "Lalu bagaimana kau bisa bicara bahasa
orang di sini?"
"Akan saya ceritakan. Tapi biar saya lanjutkan kisah
nasib diri saya selagi masih di negeri leluhur." Jawab
kupu-kupu giok pula. "Setelah tahu diri saya masuk ke
dalam kupu-kupu batu giok. Pangeran memerintahkan
pasukan mencari dan mengejar saya. Pangeran mau
mengeluarkan hadiah besar asal saya bisa ditangkap
dan kupu-kupu giok ditemukan kembali. Dalam ujud
kupu-kupu saya sampai di ujung daratan, di satu
pelabuhan. Karena tidak tahu mau lari kemana lagi
saya masuk ke dalam sebuah kapal besar. Kapal itu
ternyata berlayar ke negeri beribu pulau di selatan,
berlabuh di satu daratan yang disebut tanah Jawa.
Ternyata pasukan Kerajaan dibawah pimpinan
seorang Perwira Muda bernama Teng Sien berhasil
mengetahui kalau saya berada dalam kapal besar.
Mereka melakukan pengejaran dengan kapal kecil tapi
lebih cepat. Sampai di tanah Jawa saya hampir
tertangkap karena Pasukan suruhan Pangeran
menyewa beberapa orang sakti berkepandaian tinggi.
Salah seorang diantara mereka yang terus mengejar
saya sampai ke negeri Ini saya ketahui bernama Ki
Bonang Talang Ijo." Kupu-kupu di atas batu diam
sejenak seperti mengingat-ingat lalu baru melanjutkan
lagi kisahnya.
"Di tanah Jawa saya tidak tahu lagi mau lari kemana.
Saya setengah terbang setengah dilayangkan angin
hingga akhirnya sampai di sebuah selat besar.
Di selat itu saya kembali sembunyi di dalam sebuah
kapal yang membawa saya ke arah tanah India. Namun
sewaktu kapal singgah sebentar di sebuah pelabuhan
kecil di pesisir barat pulau Andalas saya tidak tahan
lagi setelah sekian lama terus menerus di dalam kapal.
Saya terbang meninggalkan kapal. Ternyata para
pengejar saya sudah lebih dulu mendarat di pantai
Jumlah mereka juga bertambah. Ada dua orang nenek
berjuluk Si Kamba Tangan Manjulai, Duo Hantu
Gunung Sago. Ada juga yang bernama Pandeka Bumi
Langit Dari Sumanik. Masih ada beberapa orang yang
tidak saya ketahui siapa nama atau julukan mereka.
Saya dikejar sampai akhirnya saya tiba di sebuah bukit
tak jauh dari pantai dan terpesat masuk ke dalam
sebuah pondok kayu yang didiami seorang tua yang
kemudian saya ketahui bernama Sutan Panduko Alam.."
"Sutan Panduko Alam, dia sahabat dan kakak tuaku."
Datuk Marajo Sati dekapkan sorban putih ke dadanya.
"Apa yang terjadi dengan sahabatku itu?"
"Saya masuk ke dalam pondok Sutan Panduko Alam.
Beliau menolong dan melindungi saya. Sewaktu beliau
tahu bahwa orang-orang yang mengejar akan menyerbu
pondoknya. Sutan Panduko Alam memasukkan saya ke
dalam gulungan sorban sambil berkata kalau sesuatu
terjadi dengan diri saya maka sorban akan
menerbangkan saya ke tempat yang aman."
"Ternyata sorban yang diisi ilmu kesaktian itu
membawamu ke sini. Kau diselamatkan sahabatku, tapi
kau tahu apa yang terjadi dengan dirinya?"
"Saya mohon maafmu orang tua, dan saya sangat
bersedih. Ketika sorban terbang di udara meninggalkan
pondok di atas bukit saya masih sempat melihat orang
tua yang telah menolong saya itu terbujur tak
bergerak lagi di halaman pondok. Sekujur tubuh serta
pakaiannya bersimbah darah..."
"Inna lillahi wainna illaihl roji'un..." Datuk Marajo
Sati mengucap. Wajah mengetam sedih. Sepasang
mata berkaca-kaca "Tuhan akan memberi azab kepada
manusia yang menebar angkara murka."
"Orang tua, saya tahu. Kalau tidak karena saya
penyebabnya Sutan Panduko Alam tidak akan
bernasib seburuk itu." Kata kupu-kupu giok di atas
batu.
"Setiap Kematian seseorang ada penyebabnya.
Langkah, pertemuan atau jodoh, rezeki dan maut tidak
seorangpun yang tahu. Semua kuasaNya Allah.
Kematian seseorang telah diukir di alam takdir,
tersurat di alur nasib selagi dirinya masih di dalam
rahim. Tidak ada yang bisa menyalahkan dirimu. Malah
aku bangga, sahabatku Sutan Panduko Alam menemui
kematian dalam berbuat satu kebajikan besar..."
Setelah mengusap wajahnya Datuk Marajo Sati
bertanya. "Ramo-ramo. apakah kau punya nama?"
"Sebagai kupu-kupu batu giok Kerajaan memberi
nama Kupu-Kupu Mata Dewa. Sebagai puteri Pangeran
yang malang nama saya adalah Chia Swie Kim."
Datuk Marajo Sati perhatikan sepasang mata kupu-
kupu. Dia melihat dua mata binatang ini memancarkan
cahaya menyejukkan, namun sesekali ada kilatan yang
menggetarkan.
"Ramo-ramo batu giok, kau belum menerangkan
bagaimana kejadiannya kau bisa berbahasa anak nagari
di sini."
"Akan saya ceritakan," jawab kupu-kupu giok yang
merupakan binatang ketempatan dari puteri Pangeran
Cina bernama Chia Swie Kim "Sebelum saya sampai ke
pondok orang tua bernama Sutan Panduko Alam.
saya terlebih dulu terpesat ke rumah satu keluarga di
pesisir barat yang tengah berada dalam kedukaan.
Seorang anak gadis mereka meninggal dunia. Saat itu
malam hari, saya hinggap di atas atap. Ketika orang
ramai bertangisan di dalam rumah tanda anak gadis Itu
telah menghembuskan nafas penghabisan tiba-tiba
saya melihat ada satu cahaya putih keluar lari dalam
rumah. Cahaya ini berputar beberapa kali di udara
malam lalu berpijar terang masuk ke dalam tubuh saya.
Saat itu juga saya merasa ada satu keanehan. Saya
mengerti apa yang dikatakan orang di dalam rumah.
Bahkan ketika saya coba mengeluarkan suara yang
terucap bukan lagi bahasa leluhur saya. Tapi bahasa
orang di sini Saya tidak bisa lagi mengucapkan bahasa
leluhur saya. Tapi saya masih mengerti jika ada orang
yang bicara dalam bahasa itu. Kejadian ini pastilah
kehendak Yang Maha Kuasa. Saya merasa beruntung
karena waktu bertemu dengan orang tua bernama
Sutan Panduko Alam, saya sudah mampu bicara orang
di negeri ini."
"Tuhan Maha Besar dan berbuat sekehendakNya,"
ucap Datuk Marajo Sati.
"Orang tua, apakah saya boleh mengetahui
namamu?"
"Orang biasa memanggilku Datuk Marajo Sati. Kau
boleh memanggilku dengan sebutan Datuk saja..."
"Terima kasih. Apakah saya bisa berharap Datuk
akan menyelamatkan saya dari orang-orang yang
mengejar saya? Mereka orang-orang sakti. Mereka
akan sangat tega membunuh saya karena sudah
dijanjikan dua peti batangan emas. Satu peti telah
mereka terima. Cepat atau lambat mereka pasti akan
menemukan saya."
"Dengan reiho Allah aku akan menolongmu sebisa
yang aku lakukan..."
"Walau mungkin Datuk akan terpaksa mengorbankan
nyawa seperti yang dialami sahabat Datuk bernama
Sutan Panduko Alam itu?"
Datuk Marajo Sati tersenyum lalu anggukkan kepala.
'Seperti kataku tadi maut atau kematian seseorang
berada di tangan Tuhan. Sebelum ajal berpantang
mati."
"Datuk, izinkan saya menyampaikan rasa terima
kasih saya."
Kupu-kupu di atas batu melompat turun kehadapan
Datuk Marajo Sati. Tubuhnya tiba-tiba memancarkan
cahaya putih lalu perlahan-lahan berubah menjadi hijau
kebiruan. Bersamaan dengan itu sosok kupu-kupu besar
berubah menjadi sosok seorang anak gadis berpakaian
jubah panjang biru bersulam bunga-bunga benang
emas. Rambut panjang hitam menjela Indah. Wajahnya
tidak kelihatan karena dalam keadaan kepala tunduk
disujudkan ke lantai goa.
"Anak gadis, bangunlah. Jangan sekail lagi kau
ulangi menyembah diriku. Ummat manusia hanya
menyembah kepada Yang Maha Kuasa, Allah Seru
Sekalian Alam."
"Saya sangat mengucapkan terima kasih Datuk mau
memberi perlindungan. Semoga Tuhan Yang Maha
Kuasa membalas kebaikan Datuk berlipat ganda."
Lalu perlahan-lahan gadis yang bersujud itu bangkit
berdiri. Ternyata wajahnya yang putih kemerahan
cantik sekali. Alis hitam berkelut, bibir semerah
delima merekah dan sepasang mata hitam indah sekali
"Anak gadis, ujudmu yang aku lihat ini apakah ujud
puteri Pangeran Cina atau ujud jejadian roh gadis yang
meninggal beberapa waktu lalu dan masuk ke dalam
tubuhmu?" Bertanya Datuk Marajo Sati.
"Ujud saya yang Datuk lihat adalah ujud asli puteri
Pangeran. Saya adalah Chia Swie Kim."
Untuk beberapa lamanya Datuk Marajo Sati
terpesona kagum melihat kecantikan sang puteri dan
tak bisa berkata-kata.
"Datuk, apakah Datuk ingin saya tetap berkeadaan
seperti ini, atau...."
Datuk Marajo Sati cepat menjawab.
"Demi keselamatan dirimu, sebaiknya kau kembali ke
dalam ujud ramo ramo batu giok. Tidak seperti ini
tidak pula seperti ramo-ramo hidup. Dan aku akan
mengganti namamu. Apakah kau bersedia?'
"Datuk tuan penolong saya. Saya akan menurut apa
kata Datuk."
"Anak gadis, berapakah usiamu saat ini?" Tanya sang
Datuk selanjutnya.
"Semoga saya tidak salah, purnama bulan di muka
saya akan berusia delapan belas tahun." Jawab Chia
Swie Kim.
Datuk Marajo Sati mengangguk. Sambil mengusap
janggut pendeknya yang berwarna hitam bercampur
putih dia berkata.
"Anak gadis. Mulai saat ini namamu Puti Bungo
Sekuntum. Julukanmu Ramo-Ramo Giok Ngarai Sianok
atau Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok."
Gadis Cina bernama Chia Swie Kim yang cantik itu
tersenyum.
"Terima kasih Datuk. Saya tahu. Nama dan julukan
itu bagus sekali." ujar Chia Swie Kim pula. Ketika dia
hendak menyambung ucapannya Datuk Marajo Sati
memberi isyarat seraya berbisik. "Ada manusia jahil
mendekam di luar sana. Agaknya sudah sejak tadi
dia mencuri dengar pembicaraan kita. Anak gadis,
lekas ubah ujudmu menjadi kupu-kupu giok!"
Dengan cepat Chia Swie Kim yang kini bernama
Puti Bungo Sekuntum merubah diri menjadi kupu-
kupu batu giok berwarna hijau kebiruan. Datuk Marajo
Sati mengambil kupu-kupu batu giok itu lalu
meletakkannya di dalam sebuah lekukan di dinding
goa sebelah kiri.
ENAM
PEMUDA berpakaian
putih berpeci hitam yang
jongkok tak jauh dari pintu
goa kediaman Datuk Marajo Sati terperangah ketika
dari dalam goa ada suara menegur.
"Orang di luar pintu, yang mencuri dengar
pembicaraan orang. Aku harap kau segera datang ke
hadapanku atau kau tidak akan keluar dari tempat ini
untuk selama-lamanya."
Si pemuda raba kopiah hitam di atas kepala,
memandang berkeliling.
"Galak sekali. Di tempat ini cuma aku sendirian. Pasti
ucapan orang di dalam sana ditujukan padaku."
Perlahan-lahan pemuda itu berdiri tapi tidak segera
melangkah ke arah pintu. Sesaat dia merasa bimbang.
Selagi dia terdiam seperti itu tiba-tiba rrreettttttt
Lantai goa di hadapannya bergetar dan menganga
terbelah ke arahnya. Dari dalam belahan terasa ada
udara menyedot sangat keras.
"Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwahl" ucap si
pemuda setengah berseru. "Bagaimana mungkin?!"
Namun karena tidak mungkin berpikir lebih lama
secepat kilat pemuda itu melompat ke atas selamatkan
diri. Kebetulan di atap goa ada batu panjang
menggantung maka dengan cepat dia bergayut pada
batu Itu. Ternyata sedotan dari tanah goa yang
terbelah kuat sekali. Khawatir tidak bisa bertahan si
pemuda akhirnya melesatkan diri ke depan pintu terus
menggelinding masuk dan terhenti berguling sewaktu
kepalanya membentur satu gundukan batu hitam
berbentuk meja hingga kopiahnya mental.
Sambil usap-usap kepala sebelah belakang yang
sakit agak benjut pemuda ini ambil kopiahnya.
Terbungkuk-bungkuk dia bangkit berdiri sambil
letakkan kembali kopiah hitam di atas kepala. Dia
tersurut satu langkah sewaktu melihat di hadapannya
duduk seorang bersorban dan berjubah putih.
Wajahnya yang klimis dihias janggut pendek hitam
bercampur putih. Sepasang mata menatap tak
berkesip ke arahnya. Si pemuda merasa pandangan
mata yang tajam itu seolah mengunci gerakan
tubuhnya. Ternyata benar. Saat itu dia tidak mampu
menggerakkan tangan dan kaki!
"Mengunci gerakan dengan pandangan mata," ucap si
pemuda dalam hati. "Luar biasa orang tua satu inil" Lalu
dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dari arah
pusar. Saat itu juga tangan serta kaki bisa digerakkan
kembali. Sepasang alis mata Datuk Marajo Sati
mencuat ke atas. Kening mengerenyit
"Pemuda asing tidak aku kenal. Mempunyai
kepandaian tinggi. Datang menyuruak-nyuruak. Maksud
baik atau ada niat jahat?" (menyuruak-
nyuruak=sembunyi-sembunyi)
"Datuk, Sutan, Mamakl Orang tua siapapun kau
adanya, kalau dipikir apakah kesalahan saya begitu
besar hingga kau hendak menurunkan tangan keras
atas diri saya?l" Pemuda berpeci hitam keluarkan
ucapan.
Datuk Marajo Sati tidak segera menjawab. Dia
masih terus perhatikan pemuda itu dari kepala sampai
ke kaki. Sesaat kemudian baru membuka mulut.
"Kopiahmu kekecilan tanda kopiah pinjaman, mungkin
juga kopiah curian. Rambutmu menjulai bahu seperti
padusi. Bibir tebal dan suaramu bicara macam orang
kepedasan pertanda kau bukan orang di sini. Kau pasti
orang Jawa. Ulahmu memasuki tempat kediamanku
tidak meminta izin tidak pula memberi salam.
Kelakuanmu tidak berkenan di hatiku karena kau
mencuri dengar pembicaraanku. Anak muda apa tidak
cukup pantas kalau aku menghukum kelancanganmu?l"
(padusi = perempuan)
Si pemuda garuk-garuk dagu lalu menjawab.
"Tentu saja. Siapa bersalah wajib dihukum. Tapi
harus dilihat juga kadar kesalahannya. Apakah karena
kesalahan yang tidak disengaja lantas orang mau
menghukum hendak membunuh saya dengan Ilmu
Membelah Bumi Menyedot Arwah?l" Tukas si pemuda
pula. "Oala....murah nian harga nyawa manusia di
negeri ini."
Wajah Datuk Marajo Sati membesi. Lalu orang tua
ini tertawa. Sebenarnya dia memang tiada niat hendak
mencelakai apa lagi membunuh si pemuda. Namun tadi
dia merasa malu pada diri sendiri. Ilmunya begitu
tinggi dan dia merupakan Datuk paling disegani di Tiga
Luhak Ranah Minang yaitu Agam, Tanah Datar dan
Limapuluh Kota. Bagaimana mungkin dia tidak segera
mengetahui kalau ada orang masuk ke dalam goa dan
sembunyi mendengar pembicaraannya dengan gadis
Cina. Dia baru menyadari ada orang lain di tempat itu
setelah orang itu mendekam cukup lama. "Jangankan
tarikan nafasnya, geseran tapak kakinyapun tidak
kudengar tidak kurasa. Apakah dia mendengar semua
pembicaraanku tadi?"
"Anak muda berambut panjang macam perempuan.
Ilmu yang kumiliki bukan bernama Membelah Bumi
Menyedot Arwahl Tapi Bumi Tabalah Azab Manimpo.
Bagaimana kau enak saja menyebut ilmuku bernama
Membelah Bumi Menyedot Arwah?" (Bumi Tabalah
Azab Manimpo - Bumi Terbelah Azab Menimpa)
Si pemuda tidak menjawab tapi geserkan sedikit
telapak kaki kanannya. Saat itu juga rrrettttl Lantai
goa terbelah. Belahan menjalar ke tempat Datuk
Marajo Sati duduk bersila. Sang Datuk sampai
terlompat ke atap goa saking kagetnya. Tubuhnya
nyaris tersedot ke dalam belahan tanah kalau dia
tidak cepat melambaikan tangan menolak daya sedotan
yang tebat dengan mengerahkan hampir seluruh
kekuatan tenaga dalam. Jubah putihnya bergerak-
gerak. Sorban di kepalanya tiba-tiba seetttl Masuk
tersedot ke dalam belahan lantai goa.
"Rettttttl"
Belahan tanah menutup kembali begitu si pemuda
menggeserkan telapak kaki kanannya.
"Anak muda kurang ajari" Datuk Marajo Sati
membentak marah sambil tangan kiri mengusap kepala
yang ternyata setengah botak) "Kau menarik korbanku
masuk ke dalam belahan tanah. Sepasang mata sang
Datuk membeliak seperti mau melompat dan rongganya.
"Maafkan saya orang tua. Sorbanmu ada di tangan
saya." Si pemuda lalu keluarkan tangan kanannya dari
balik punggung. Di tangan itu memang terpegang
sorban milik Datuk Marajo Sati masih dalam keadaan
tergulung rapi. Cepat-cepat si pemuda menyerahkan
sorban pada pemiliknya sambil membungkuk dan
berulang kali meminta maaf.
"Kau bukan saja kurang ajar tapi juga sombong!
Kau mungkin tukang sihir! Aku melihat jelas sorbanku
tadi masuk ke dalam belahan tanah goa. Mengapa
tahu-tahu ada ditanganmu?! Kau sengaja hendak
memamerkan ilmu kesaktian di hadapanku? Apa kau
kira aku takut?!" Datuk Marajo Sati cepat mengambil
dan mengenakan sorbannya kembali.
"Maafkan saya orang tua. Saya tidak bermaksud
kurang ajar dan Jauh dari kesombongan. Saya Juga
bukan bukan bapak, bukan pula anak tukang sihir.
Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kita memiliki
ilmu kesaktian yang sama walau namanya berbeda.
Bukankah itu satu pertanda bahwa antara kita ada
saling keterkaitan?"
"Siapa kau. Dari mana kau dapatkan Ilmu Bumi
Tabalah Azab Manimpo?!"
Si pemuda angkat kopiah hitamnya sedikit,
menggaruk kepala baru menjawab sambi! senyum-
senyum.
"Ilmu yang saya miliki bukan bernama Bumi Tabalah
Azab Manimpo tapi Membelah Bumi Menyedot Arwah.
Ah, tapi keduanya memang sama benar. Apakah Itu
berarti kita masih satu guru satu ilmu. Yang mungkin
pula berarti kita ini masih saling bersaudara?!"
"Benar-benar kurang ajar mantiko langekl" Sang
Datuk masih marah, (mantiko langek = konyol kurang
ajar) "Anak muda! Katakan dulu siapa dirimu! Apa
yang membuatmu berani masuk ke dalam tempat
kediamanku tanpa izin. Lalu niat jahat apa yang ada
telah kau dengar?!"
"Orang tua, saya mungkin kesalahan dan lancang
masuk ke dalam goa Ini. Tapi semua tidak saya sengaja
dan saya tidak membekal niat jahat. Saya juga tidak
punya maksud mendengar pembicaraanmu. Kalau kau
memang bicara, tadi kau bicara dengan siapa? Tidak
ada orang lain di tempat ini. Tidak mungkin kau bicara
seorang diril" Si pemuda pura-pura memandang
seputar ruangan batu. Padahal sebenarnya dia tahu
dan mendengar kalau tadi orang tua itu memang bicara
dengan seorang perempuan. Tapi dia merasa heran
karena perempuan itu tidak ada di situ. Sekilas
pandangannya membentur kupu-kupu batu giok di
cegukan dinding kiri. Ketika dia berusaha lebih
memperhatikan orang tua di hadapannya cepat
berkata dengan suara keras.
"Aku tidak percaya pada ucapanmul Aku tidak
percaya pada orang-orang asing! Datang ke Ranah
Minang acap kali membuat keonaran!"
"Orang tua, tidak baik berucap seperti itu. Orang
baik ada dimana-mana. Orang jahat juga ada dimana-
mana. Tapi saya bukan..."
"Sudah! Katakan siapa namamu ! Ada keperluan apa
kau menyusup ke dalam goa ini?l"
"Nama saya Wiro. Saya memang berasal dari tanah
Jawa. Saya tidak menyusup ke sini..."
"Apa hubunganmu dengan seorang kakek Jawa
bemama Ki Bonang Talang Ijo?"
Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng mengangkat kopiah, menggaruk kepala. Baru
sekali ini saya mendengar nama itu. Saya tidak kenal
orang itu. Barangkali kau bisa menjelaskan?"
"Dia salah seorang yang telah membunuh sahabatku
Sutan Panduko Alam yang tinggal di pesisir barat.."
"Saya turut menyesal mendengar cerita duka itu.
Tapi saya tidak ada sangkut paut dengan kematian
sahabatmu. Orang tua saya tidak mau mengganggumu
lebih lama. Dan saya mohon maaf kalau telah bedaku
lancang masuk ke tempatmu."
"Tunggul Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum
menjawab beberapa pertanyaanku!"
TUJUH
PENDEKAR212
angkat kopiah hitam,
menggaruk kepala lalu
berkata. "Orang tua, saya siap menjawab semua
pertanyaanmu."
"Pertama, ada keperluan dan niat apa kau masuk ke
dalam goa ini?"
Tanya Datuk Marajo Sati.
"Malam ini, ketika saya berjalan di tepi Ngarai
Sianok, sambil meniup puput batang padi ini...." Wiro
unjukkan puput yang sejak tadi dipegangnya di tangan
kiri.
"...tiba-tiba saya melihat ada benda putih melayang di
udara. Benda itu kemudian melesat ke dinding ngarai
dan lenyap. Karena ingin tahu saya memeriksa dinding
ngarai. Saya menemukan lobang besar yang rupanya
mulut goa menuju ke tempat kediamanmu."
"Kau tidak bicara dusta anak muda berambut panjang
seperti perempuan?"
Wiro menggeleng.
"Saya bicara apa adanya, orang tua."
Datuk Marajo Sati angkat sorban buntung yang
terletak di pangkuannya
"Benda putih yang kau lihat itu adalah sorban ini.
Milik seorang sahabat yang sudah aku anggap sebagai
kakak kandung sedarah sedaging. Dia menemui ajal
dibunuh oleh serombongan orang. Salah satu
diantaranya adalah kakek dari Jawa bernama Ki
Bonang Talang Ijo. Jika aku tahu kakek itu ada sangkut
pautnya dengan dirimu maka riwayatmu di negeri ini
tidak akan lama."
Wiro terdiam. Dia melihat bayangan rasa sedih
mendalam di wajah si orang tua tapi juga ada amarah
yang membersit dari sepasang mata.
"Kau bukannya mata-mata yang tengah menyelidiki
keberadaan..." Datuk Marajo Sati tidak meneruskan
ucapannya. Hampir saja dia ketelepasan menyebut
kupu-kupu giok.
'Keberadaan apa. orang tua?" tanya Wiro.
"Aku masih ada pertanyaan lain," sang Datuk alihkan
pembicaraan. "Kau datang dari jauh. Apa tujuanmu
berada di ranah Minang ini?"
“Saya baru saja menemui seseorang dan ada pesan
amanat dari orang itu yang harus saya lakukan."
"Siapa orangnya? Tentu dia ada bernama dan juga
bergala. Lalu apa pesan amanat yang diberikannya
padamu?" (bergala = bergelar)
“Maaf, saya tidak bisa memberi tahu nama orang
itu. Tapi kalau mengenai pesan amanatnya bisa saya
katakan. Beliau mengatakan bahwa sesuatu perkara
besar akan terjadi di Ranah Minang."
Kening Datuk Marajo Sati mengerenyit.
"Perkara besar apa?"
"Beliau tidak memberi tahu. Beliau hanya meminta
agar saya menyelidiki sendiri lalu memberi tahu
padanya apa-apa yang saya dapat...." Jawab Wiro.
"Aneh...." Datuk Marajo Sati berucap dalam hati.
"Ucapannya seolah dia seorang Pandeka Gadang.
Seperti tidak ada orang cerdik pandai dan sakti di
Ranah Minang ini. "Aku harus mencari tahu siapa
manusia satu ini. Jangan-jangan orang gila yang
kesasar. Tapi bisa masuk ke dalam goa ini bukan satu
pekerjaan mudah. Apakah dia mampu merayap di
dinding ngarai seperti cacak?" (Pandeka Gadang =
Pendekar Besar) (cacak = cecak)
"Orang tua apakah saya boleh meninggalkan tempat
ini dan sekali lagi disertai permohonan maaf?"
"Kau tidak kuperbolehkan pergi sebelum menjawab
satu pertanyaan lagi." Jawab Datuk Marajo Sati.
"Kalau begitu katamu saya menunggu apa yang
hendak kau tanyakan."
"Dari mana kau dapatkan ilmu membelah tanah
yang kau sebut Membelah Bumi Menyedot Arwah itu?"
"Maaf orang tua. soal asal usul ilmu. saya tidak
dapat menjelaskan."
"Tadi kau mengatakan ilmu kita sama Mungkin
ada keterkaitan diantara kita. Mungkin kita satu guru
satu ilmu. Sekarang mengapa kau bedaku tidak jantan
tidak mau memberi tahu?"
Wiro menggaruk rambut di belakang kuduk.
"Maafkan saya, orang tua. Tapi apakah kau sendiri
mau memberi tahu dari mana kau mendapatkan ilmu
kesaktian yang kau sebut dengan nama Bumi Tabalah
Azab Manimpo itu?"
"Pemuda culas. Pergilah dari hadapanku. Bilamana
dikemudian hari kau kulihat berani berkeliaran di
sekitar Ngarai Sianok ini maka aku akan menganggapmu
sebagai musuh! Kau tahu apa artinya itu! Ingat hal itu
baik-baik."
"Saya akan mengingat baik-baik," jawab Wiro.
"Sebaliknya saya tidak akan pernah menganggapmu
sebagai musuh. Saya menghormatimu." Wiro
membungkuk lalu mengambil tangan orang tua itu.
menjabat dan menciumnya, membuat Datuk Marajo
Sati terkesiap, geleng-geleng kepala.
Belum sempat Pendekar 212 Wiro Sableng
mencapai mulut goa di dinding ngarai Datuk Marajo
Sati jentikkan ibu jari dan jari tengah tangan kanan
dua kali. Saat itu juga ada kepulan asap di dalam goa.
Tak lama kemudian dari dalam kepulan asap muncul
seekor burung elang putih jantan besar bermata
merah.
"Alang Putih Rajo Di Langit, ikuti pemuda tadi.
Cari tahu kemana dia pergi dan siapa saja yang
berhubungan dengan dia."
Elang putih menguik panjang lalu sekali mengepakkan
sepasang sayap tubuhnya melesat ke arah mulut goa.
Di satu tikungan goa yang agak gelap, Wiro yang
sejak tadi sengaja mendekam bersembunyi serata
tanah serata dinding bergerak berdiri sambil
menyeringai.
"Benar dugaanku. Orang tua itu tidak membiarkanku
pergi begitu saja. Aneh, aku merasa dia menyem-
bunyikan sesuatu. Katanya ada seorang sahabat
menemui ajal malam ini. Pasti seorang berkepandaian
tinggi. Apakah ini ada kaitannya dengan amanat yang
diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh padaku?"
***
BAGAIMANA Pendekar 212 Wiro Sableng bisa
berada di tanah Minang? Seperti diceritakan dalam
serial sebelumnya berjudul "Bayi Titisan" dengan
bantuan harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau
Wiro membawa Ken Permata dan Nyi Retno Mantili
ke tanah Jawa untuk menemui Manusia Paku Sandaka.
Setelah Sandaka mengalami kesembuhan dari tiga
puluh paku baja putih yang menancap di tubuhnya
sementara Nyi Retno Mantili juga sembuh dari
penyakit jiwanya, atas pesan yang disampaikan sang
Datuk melalui isyarat jarak jauh yang diperlihatkan
harimau putih, Wiro kemudian kembali ke pulau
Andalas menemui gurunya itu di Danau Maninjau.
Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tahu bahwa
akan terjadi satu peristiwa besar di Ranah Minang.
Akan ada beberapa tokoh silat berkepandaian tinggi
dari tanah Jawa yang akan datang dan terlibat dalam
peristiwa itu.
"Selidiki apa yang terjadi. Beritahu padaku. Kalau
perlu kau harus langsung bertindak sendiri..."
"Datuk, tanah Minang bukan negeri saya. Apakah
nanti saya tidak dikatakan lancang oleh orang-orang di
sini? Saya tahu di negeri ini banyak sekali orang cerdik
pandai berilmu silat tinggi dan memiliki kesaktian yang
sulit dicari tandingannya."
Datuk Rao menggeleng.
"Seorang pendekar yang ingin berbuat kebajikan
layak berada di mana saja selama mengingat kata-kata
sakti Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung.
Bahu membahu dalam membuat kebajikan adalah
suruhan Yang Maha Kuasa. Lagi pula bukan sekali ini
kau berada di tanah Minang. Apa kau lupa?
"Saya tidak lupa Datuk. Kalau begitu kata Datuk,
saya mohon doa restu Datuk." Jawab murid Sinto
Gendeng. (Kisah Wiro di tanah Minang sebelumnya
dapat di baca antara lain dalam serial "Dendam Di
Puncak Singgalang" dan "Harimau Singgalang")
SESAAT setelah elang putih peliharaan Datuk
Marajo Sati yang bernama Alang Putih Rajo Oi Langit
melesat keluar goa dan membubung tinggi di atas langit
malam Ngarai Sianok, Wiro segera pula bergerak
cepat menuju mulut goa. Tapi baru kepala dan
tubuhnya menyembul di depan goa tiba-tiba dua benda
bercahaya hitam pekat disertai suara mengiang,
menderu menyambar ke arah kepala dan dadanya.
Secepat kilat murid Sinto Gendeng jatuhkan diri.
Benda pertama berdesing di samping kiri kepala Wiro
membuat telinganya pengang. Benda ini kemudian
menghantam amblas dinding goa sebelah dalam.
Benda kedua melesat di depan dada. Walau bisa
dielakkan tapi masih sempat merobek sedikit dada
baju putihnya. Kulit dadanya terasa dingin tanda
apapun benda yang menyerang mengandung racun jahat
Gerakan mengelak membuat kaki kiri Wiro
tergelincir di tebing ngarai yang terjal dan berlumut
Tak ampun lagi tubuhnya terjatuh ke bawah. Dia
berusaha menggapai satu tonjolan batu di dinding
ngarai namun karena licin pegangan terlepas.
Tubuhnya kembali melayang ke bawah. Kali ini sungai
Batang Sianok yang ditebari batu-batu besar dan
runcing siap menunggu.
Di pintu goa saat itu telah berdiri Datuk Marajo
Sati dan melihat apa yang terjadi. Dengan cepat orang
tua ini tanggalkan sorbannya. Sekali sorban
disentakkan maka benda itu berubah menjadi amat
panjang. Sorban dengan cepat berhasil melilit kaki
kanan Wiro hingga jatuhnya tertahan dan tubuhnya
perlahan-lahan masuk ke dalam air Batang Sianok.
Ketika merasa tidak ada daya berat yang
menggelantungi sorbannya Datuk Marajo Sati segera
menarik sorban. Matanya memandang ke bawah, ke
arah sungai berbatu-batu.
"Lenyap. Pemuda itu tidak kelihatanl Aku tidak
berhasil menolongnya...Saat ini Batang Anai tidak
seberapa dalam. Tapi kalau kepalanya membentur
batu. Sayang sekali kalau dia menemui ajal sebelum
aku tahu siapa dia adanya..." Datuk Marajo Sati tarik
nafas panjang. Perlahan-lahan dia gulung sorbannya
Ketika gulungan akhir mencapai ujung sorban,
sepasang mata orang tua ini terbelalak. Pada ujung
kain sorban terdapat lobang-lobang hitam seperti
hangus yang ketika diperhatikan merupakan kata
berbunyi: Terima kasih.
"Mantiko langekl Benar-benar mantiko langekl
Mantiko cirlkl Berarti dia tidak matil Dia malah
mempermainkan diriku! Dengan apa dia membuat
tulisan ini?l" Datuk Marajo Sati tampak jengkel.
(Mantiko langek/Mantiko cirik = konyol kurang ajar)
Di udara malam yang bersih. Alang Putih Rajo Di
Langit berputar dua kali di atas ngarai, menguik
panjang lalu melesat ke ujung goa. Burung putih
bermata merah Ini cengkeram kuku-kuku kaki ke
dinding goa, paruh mengorek bagian dinding yang
tadi dihantam benda yang menyerang Wiro. Benda
dijepit diantara dua paruh lalu dibawa masuk ke dalam
goa dan diletakkan di lantai hadapan Datuk Marajo
Sati. Benda itu ternyata adalah sebuah besi hitam
berbentuk bintang bersudut empat Pada setiap ujung
terdapat lobang kecil. Bilamana benda ini dilempar
dan melayang di udara maka empat lobang yang ber-
sentuhan dengan udara atau angin akan mengeluarkan
suara seperti tiupan seruling yang tidak putus-putus.
Datuk Marajo Sati timang-timang benda itu sesaat
lalu dekatkan ke hidung.
"Senjata rahasia mengandung racun Baru sekali
ini aku melihat yang seperti ini. Tidak ada tokoh rimba
persilatan Ranah Minang memiliki senjata rahasia
seperti ini. Berarti pemuda berambut panjang tadi
datang ke sini sudah mempunyai musuh. Atau…"
Datuk Marajo Sati kembali perhatikan benda ber-
bentuk bintang bersudut empat "Kalau senjata rahasia
ini memang benar bukan milik kerabat anak Nagari
berarti pemuda itu datang membawa musuh. Berarti
betul dugaanku dia bukan orang baik-baik."
Sang Datuk angkat kepala, memandang pada
elang putih. "Rajo Di Langit. Aku berterima kasih kau
membawa benda ini padaku. Sekarang kembali
lanjutkan apa yang aku tugaskan. Cari dimana
pemuda itu. Ikuti kemana dia pergi..."
DELAPAN
WIRO mengambangkan
tubuh, untuk beberapa
lama sengaja mengikuti
arus sungai Batang Sianok ke arah hilir. Rasa dingin
yang mencucuk membuat dia akhirnya berenang ke
tepian. Saat itu di timursudah mulai tampak cahaya
terang tanda sebentar lagi fajar akan menyingsing
disusul munculnya sang surya kembali menerangi bumi
alam Minangkabau.
Sambil merebahkan diri di atas sebuah batu besar di
tepi sungai Ingatan Wiro kembali pada orang tua di
dalam goa.
"Orang tua itu, sayang aku lupa menanyakan namanya.
Dia orang baik. Tapi ada sesuatu yang agaknya
membuat dia curiga padaku. Sebelum bertemu muka
dengan dia, aku jelas sekali mendengar suara dia
bicara dengan seorang perempuan. Tapi ketika aku
masuk ke tempatnya tidak ada orang lain di situ. Apa
dia lebih dulu menyembunyikan perempuan itu sebelum
memerintahku menemuinya? Kalau benar mengapa? Lalu
siapa perempuan Itu? Sayang apa yang mereka
bicarakan tidak terlalu Jelas sampai di telingaku."
Wiro kibas-kibaskan kopiah hitamnya yang basah
kuyup. "Walau aku jatuh ke dasar ngarai, dia
menolongku meski sebenarnya aku masih bisa
selamatkan diri. Itu membuktikan dia benar-benar
orang baik. Satu kali aku akan menemuinya lagi.
Ilmunya tinggi. Jika aku bersahabat mungkin aku bisa
mendapatkan ilmu dan pengalaman baru dari orang
tua Itu. Seperti dia ingin tahu dari mana aku
mendapatkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah,
aku juga Ingin tahu dari mana dia bisa menguasai
ilmu yang katanya bernama Bumi Tabalah Azab
Manimpo itu. Aku mendapat dari Luh Rembulan di
Latanahsilam. Apakah dia juga mendapatkan dari
negeri seribu dua ratus tahun silam itu? Juga dari
Luh Rembulan? Berarti apa dia juga pernah terpesat
ke sana?" Wiro garuk-garuk kepala "Aku tidak
percaya. Mustahil."
Wiro tanggalkan baju putihnya. Setelah diperas
baju dikenakan kembali. Pada saat itulah tiba-tiba dia
mendengar suara orang berlari diikuti hiruk pikuk
teriakan banyak orang di atas dinding ngarai. Bukan
cuma suara lelaki tapi juga ada suara perempuan.
Laiu menyusul bak-buk bak-buk, suara orang dipukul
dan suara orang menjerit-jerit minta ampun.
Karena ingin tahu apa yang terjadi, Wiro melompat
ke atas sebuah batu. Dari atas batu ini dia melesat ke
atas ngarai. Beberapa belas langkah di hadapannya,
di tepi ngarai dia melihat belasan orang tengah
menggebuki seorang pemuda berpakaian hitam yang
berulang kali berteriak minta ampun. Yang membuat
Wiro terkejut adalah karena pemuda ini mengenakan
destar putihnya yang hilang sehari sebelumnyal
"Pemuda sialanl Jadi dia yang mencuri destar ikat
kepalaku. Mengganti dengan kopiah hitam inil" Maki
murid Sinto Gendeng dalam hati.
Tak jauh dari situ ada serombongan perempuan
yang juga berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk.
Salah seorang dari perempuan itu berteriak.
"Anak itu pantas diberi pelajaran. Kalau tidak, tak
akan jera-jera dia berbuat kurang ajar."
"Tajunkan saja dia ke dalam ngarail" Seorang
pemuda yang ikut menggebuki berteriak lalu
melayangkan tendangan. (Tajunkan = lemparkan)
Pemuda yang ditendang terkapar di tanah, dengan
susah payah berusaha bangun lalu bersujud, pegangi
kepala yang mengenakan destar putih milik Wiro
sambil kembali berteriak minta ampun. Pukulan dan
tendangan kembali menghantam tubuhnya.
"Sudah! Sudah! Hentikan Cukup sudah kalian
menghajarnya!" Seorang lelaki separuh baya
berpakaian putih dan menyandang sarung berteriak
sambil coba menghalangi orang-orang yang seperti
kemasukan setan menggebuki lelaki berpakaian
hitam. "Kita bawa saja dia ke Datuk Penghulul Biar
selesai perkara dan hukumannyal"
Pemuda yang digebuki sudah tak karuan rupa lagi.
Bengkak lebam, darah mengucur dari hidung dan
mulut Menurut Wiro beberapa pukulan dan tendangan
lagi akan membuat orang itu menemui ajal. Ketika
seseorang kembali hendak menendang dan kali ini
diarahkan ke kepala, Wiro segera melompat dan
mendorong orang itu hingga terjatuh. Melihat ada
orang tidak dikenal datang menolong, orang banyak
jadi tambah beringas. Sebagian dari mereka segera
menyerang Wiro. Yang lain berteriak-teriak memaki
dalam bahasa yang tidak dimengerti murid Sinto
Gendeng. Dua orang pemuda dilihat Wiro telah
menghunus lading. (lading = golok)
"Pemuda aneh berambut macam padusi ini pasti
kawan Malin Kapuyuakl Mari sama-sama kita habisi
keduanyal" Salah seorang pemuda yang memegang
golok berteriak, (padusi = perempuan)
Tidak menunggu lebih lama Wiro segera angkat
orang yang terkapar di tanah lalu memanggulnya di
bahu kiri. Tangan kanan cepat-cepat diangkat sewaktu
dua pemuda bersenjata golok diikuti beberapa orang
lain hendak menyergap dirinya.
"Jangan, tahan. Sabari" teriak Wiro. "Orang ini
sudah sekarat. Apa dunsanak sekalian mau
membunuhnya?" (dunsanak = saudara-saudara, di
Jawa = ki sanak)
“Sia wa-ang mau membela anak Jahanam Itul Mau
minta mati juga rupanya!” Seseorang berteriak. (Sia
wa-ang = siapa kau)
Kecuali lelaki berpakaian putih yang menyandang
sarung, yang lain-lain tidak satupun mau mendengar.
Dua pemuda yang memegang golok menyerbu lebih
dulu. Wiro tidak mau berlaku ayal menghadapi or-
ang-orang kalap itu. Pemuda yang hendak
ditolongnya itu pasti punya kesalahan besar.
Sambil melompat mundur Wiro dorongkan
tangan kanan ke arah dua penyerang. Satu gelombang
angin yang hanya mengandalkan tenaga dalam
rendah dan tidak berbahaya menderu. Dua pemuda
bersenjata golok berteriak kaget ketika tubuh mereka
terangkat ke udara dan mengapung beberapa saat lalu
terhempas ke tanah. Senjata yang dipegang terlepas
jatuh. Selagi semua orang tersentak kaget dan
berteriak-teriak, Wiro segera berkelebat tinggalkan
tempat itu.
***
DI ATAS dangau di tepi sawah yang baru di panen
Wiro membaringkan pemuda berpakaian hitam yang
dilarikannya dari amukan orang banyak. Saat itu hari
mulai terang karena fajar telah menyingsing. Dari atas
dangau kelihatan bayangan Gunung Singgalang di
arah barat dan Gunung Merapi di sebelah timur.
Setelah memperhatikan pemuda yang terbujur di
lantai dangau dan menunggu sebentar Wiro kemudian
berkata.
"Anak muda sial, aku tahu kau tidak tidur Juga
tidak pingsan. Jangan pura-pura!"
Wiro tepuk keras-keras pipi kiri kanan pemuda itu
lalu menyandarkannya ke tiang dangau.
Si pemuda menatap Wiro dengan matanya yang sipit
sembab. Lalu menyeka darah di mulut yang bibirnya
pecah.
"Aden....hukkl" (aden = waden = aku)SI pemuda
keluarkan ucapan lalu pegangi dada. Kepala digeleng-
geieng, muka mengerenyit menahan sakit yang terasa
mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki.
"Kau mencuri destarkul Pasti kau lakukan sewaktu
aku mandi di telaga beberapa hari lalu! Sialan!" Wiro
mengambil ikat kepala putih miliknya yang ada di atas
kepala si pemuda. Ternyata destar itu sudah dikecilkan
hingga tidak muat lagi di kepala Wiro. Wiro
bantingkan ikat kepala putihnya ke muka si pemuda.
"Kakak, Uda sahabatku. .Aku mohon maafmu.
Memang aku yang mencuri kopiahmu. Aku sangat
tertarik Kopiah seperti itu tidak ada di negeri ini. Tapi
aku bukan cuma mencuri. Aku mengganti destarmu
dengan kopiah hitam yang kini kau pakai." (Uda =
Kakak, Abang)
"Kopiah ini kekecilan. Walau kau mengganti tetap
saja namanya kau mencuril" Wiro jewer telinga si
pemuda dan diuntir-untir ke depan ke belakang hingga
orang itu menjerit kesakitan.
"Katakan mengapa orang sekampung, lelaki
perempuan mengejar dan menggebukmu sampai begini
rupa. Masih untung kau tidak sampai meregang nyawal"
Pemuda yang ditanya hanya meringis sambil usap-
usap dada.
"Dengar, aku akan meninggalkan dirimu. Kalau
orang-orang itu mengejar sampai ke sini tamat
riwayatmu!" Wiro melompat turun dari atas dangau.
"Tunggu, jangan pergi dulu...."
Wiro balikkan badan. "Kau mau bercerita?"
"Dudukdi sebelahku, aku akan bercerita."
Wiro lalu naik kembali ke atas dangau dan duduk di
samping si pemuda.
"Kau bukan orang di sini..."
"Betul."
"Kau telah menolongku. Aku berterima kasih."
"Aku tanya sekali lagi. Kau mau bercerita atau
tidak?"
Si pemuda usap bibirnya yang bengkak luka.
"Uda bakupiah hitam. Siapa nama Uda?"
(bakupiah = berkopiah)
"Sialan!" Wiro memaki karena si pemuda masih
bicara hal lain bukannya bercerita. "Kau sendiri siapa
namamu?!*
"Jangan marah....Aden tahu Uda orang baik. Kau
telah menolongkul Orang menyebutku Malin
Kapuyuak."
"Aneh namamu. Apa itu nama atau gelar? Patah
lidahku menyebut namamu. Kapuyuaaakk..." (Kapuyuak =
Kecoak) Wiro pencongkan mulut.
"Namaku sebenarnya Salihin. Orang menyebutku
Malin Kapuyuak. Kau bisa mengatakan itu sebagai
gelar. Tapi gelar cemooh ejekan. Kau tahu artinya
Kapuyuak?" Pemuda berpakaian hitam tertawa.
Wiro menggeleng dan mulai kesal karena orang
belum juga bercerita perihal mengapa dia sampai
digebuki.
"Kapuyuak binatang yang banyak berkeliaran di
kakus. Warnanya coklat, kadang-kadang bisa terbang.
Baunya busuk..."
"Sudah, aku sekarang sudah tahu artinya
Kapuyuaaakk. Di Jawa disebut kecoak..."
"Ah...Uda ini orang Jawa rupanya." Kata Malin
Kapuyuak pula.
Wiro meneruskan. "Kecoak biasanya berada di kakus
atau jamban. Berarti kau masih saudara dengan taik..."
"Taik. apa itu?" tanya Malin Kapuyuak.
"Taik artinya langek!" jawab Wiro kesal, (langek =
kotoran manusia)
Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak. "Kau tahu
Juga bahasa orang di sini. Uda sahabatku, kalau boleh
aku tahu siapa namamu?"
"Wiro..."
"Di Koto Gadang banyak orang Jawa. Di Bukit Nan
Tinggi ada Kampung Jawa. Di Pagaruyung "
Wiro menggaruk kepala. Kakinya di turunkan ke
tanah.
Pemuda mengaku bernama Malin Kapuyuak alias Malin
Kecoak cepat memegang bahu Wiro. Mukanya yang
lebam sembab dan penuh noda darah menyeruakkan
tawa.
"Orang Jawa rupanya lekas pemarah. Aden tahu, kau
sudah kesal. Baik. sekarang aku katakan terus terang
padamu. Aku dipukuli orang karena ketahuan mengintip
kuda kawin..."
Wiro kerenyitkan kening. Mengangkat kopiah basah
lalu menggaruk kepala. Setelah menatap muka lebam
Malin Kapuyuak. murid Sinto Gendeng tertawa
bergelak.
"Aneh! Kalau cuma mengintip kuda kawin mengapa kau
dihajar orang sampai lebam biru begini rupa?! Jangan-
jangan kau yang kawin dengan kuda itu!"
Malin Kapuyuak ganti tertawa terbahak-bahak namun
kemudian mengerenyit karena bibirnya yang luka
terasa sakit.
SEMBILAN
SETELAH mengusap-
usap bibirnya yang pecah
Malin Kapuyuak berkata.
"Induk masalah sebenarnya, tak Jauh dari kandang
kuda itu ada jalan menurun. Lalu di kelokan jalan ada
pancuran. Nah di pancuran itu ada anak-anak gadis
sedang mandi pagi. Mereka memang biasa mandi
sebelum hari terang. Kau tahu maksudku...?
Mereka mandi dengan menanggalkan seluruh pakaian.
Mereka semua putih-putih. Rancak-rancak. Salah
seorang di antara anak-anak gadis itu bernama
Pandan Dewi. Bunga dusun paling cantik."
"Aku sudah bisa menduga apa yang kemudian
terjadi," kata Wiro pula. "Kau bukan hanya mengintip
kuda kawin. Tapi kau ketahuan mengintip anak gadis
orang sedang mandi. Lalu dikejar dan digebuki orang
sekampung!"
"Betul sekali. Ibu serta mamaknya. Kawan-kawan,
tetangga orang sekampung. Semua mengejar dan
memukuli ku" (mamak = paman)
'Untung kau tidak dilempar ke dalam ngarai."
"Awak memang lagi sial. Aku sudah berulang kali
mengintip di banyak tempat. Di pancuran tempat
Pandan Dewi mandi, aku sudah mengintai delapan kali"
"Delapan kali? Gilai"
Malin Kapuyuak tertawa.
"Sialnya baru sekali ini adcn taparogok ketahuan."
Malin Kapuyuak usap keningnya yang benjut lalu
berkata (taparogok = tertangkap tangan) "Anak gadis
yang namanya Pandan Dewi itu...." SI pemuda
acungkan jempol kanan. "Benar-benar rancak. Bak
penjelmaan bidadari turun ke bumi. Tubuh tinggi
semampai, putih bersih, gigi rata berkilat bak susunan
mutiara. Rambut panjang hitam sepinggang. Kalau
bicara suaranya seperti bulu perindu masuk ke telinga.
Satu minggu masih tergiang-ngiang. Kalau kau mau
akan aku beri tahu dimana rumahnya. Kau nanti lihat
sendiri. Kalau kau tidak sampai terpikat potong
telingaku kiri kanan. Kalau kau mau mengawininya
akan aku carikan Tuan Kadi. Ha...ha...hal' (Tuan Kadi
= penghulu)
Wiro tertawa mendengar ocehan Malin Kapuyuak.
"Kau penduduk dari dusun yang sama dengan
gadis-gadis yang kau intip itu?"
Malin Kapuyuak menggeleng.
"Setelah digebuki orang hampir mati, apa kau
sekarang sudah jera?" tanya Wiro.
Malin Kapuyuak menyeringai. "Jera mungkin ada.
Tapi celakanya mataku ini selalu gatal Ingin mengintip."
"Masih untung baru matamu yang gatal. Kalau sudah
tanganmu ikut gatal, apa lagi anak ketek yang ada di
bawah perutmu ikutan gatal, oala....kau bakal celaka
besar." (anak ketek s anak kecil. Maksudnya burungnya
si Malin Kapuyuak.)
Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak.
"Kau senang melawak. Aku suka padamu."
"Malin, aku akan coba menolongmu. Agar
pendarahan pada luka di hidungmu berhenti dan rasa
sakit di sekujur tubuh berkurang. Tapi kau harus
berjanji mau menjawab beberapa pertanyaan."
"Uda sahabatkul Jangankan menjawab pertanyaan,
kau suruh aku tajun ke dalam ngaraipun akan ku
lakukan. Kau sudah menyelamatkan jiwaku. Obat
apa yang mau kau berikan padaku?" (tajun = terjun)
"Aku tidak punya obat. Tapi akan melakukan ini..."
Habis berkata Wiro lalu totok tubuh Malin Kapuyuak
mulai dari kepala, dada, pinggang dan telapak kaki."
Malin Kapuyuak pejamkan mata menahan sakit.
Saking tidak bisa menahan pemuda ini sampai
buuuttt...keluarkan kentut!
"Sialan kaul Dasar kapuyuak!" Maki Wiro sambil
menjitak kepala si pemuda lalu melompat turun dari
atas dangau
Perlahan-lahan Malin Kapuyuak buka kedua mata.
Mulut menyeringai.
"Aku tidak bermaksud kurang ajar Tapi angin itu
keluar sendiri. Hai ! Kau Ini dukun besar rupanya. Lihat
darah di hidungku tidak mengucur lagi. Rasa sakit di
muka dan sekujur badan jauh berkurang..."
Wiro pegang bahu si pemuda lalu berkata.
"Sekarang jawab pertanyaanku. Apakah kau tahu
kalau di salah satu tebing Ngarai Sianok ada sebuah
goa. Dan di dalam goa itu diam seorang tua
berpakaian dan bersorban putih, memelihara seekor
burung elang putih."
Tampang Malin Kapuyuak mendadak berobah. Dia
seperti orang ketakutan.
"Kau...kau maksudkan Datuk Marajo Sati...?"
"Hemm...Jadi nama orang tua yang tinggal di dalam
goa itu Datuk Marajo Sati."
"Kau...kau mau mengadukan perbuatanku padanya?
Mati adenl"
Wiro menyeringai dan gelengkan kepala. "Orang
tua itu orang baik..."
"Datuk Marajo adalah Datuk pimpinan dari para
Datuk di Luhak Nan Tigo. Adatnya keras. Terutama
menyangkut adat Nagari dan keagamaan. Beliau juga
bertanggung jawab atas keamanan Luhak Nan Tigo
serta keamanan Kerajaan Pagaruyung. Meski paling
muda tapi ilmunya paling tinggi diantara semua
Datuk. Kalau tidak ada maksud tertentu mengapa kau
menanyakan Datuk itu padaku?"
Wiro lalu menceritakan bagaimana dia terpesat
masuk ke dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati. Tapi
belum memberi tahu tentang adanya suara perempuan
di goa tempat kediaman sang Datuk.
"Uda Wiro sahabatku. Aku nasihatkan padamu. Lebih
baik jangan mencari urusan dengan Datuk Marajo Sati.
Nanti kepalamu di pindahkan ke lancirik dan lancirik
dipindahkan ke kepalamul" (lancirik = pantat)
Wiro tertawa. "Kalau ada orang yang mau
dibegitukan oleh Datuk maka kaulah manusianya Aku
sudah minta maaf padanya. Dia juga telah
menolongku sewaktu aku jatuh dari dinding ngarai...."
"Pasti dia mengaitmu dengan sorban saktinya."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Wiro pula.
"Siapa orang di tanah Minang Ini yang tidak tahu
kesaktian sorban Datuk Marajo Sati. Sorban itu bisa
mencuat tinggi sampai ke langit, mampu melesat
sedalam dasar samudera. Bahkan sorban bisa
berubah menjadi binatang seperti ular atau naga
sebesar bukit Datuk itu juga biasa disebut Datuk
Sorban Saribu Sati." (= Datuk Sorban Seribu
Kesaktian)
“Hebat sekalil" memuji kagum Pendekar 212.
"Itu belum seberapa. Kau tahu. Datuk Marajo Sati
kalau kemana-mana dia bisa melayang terbang naik
sorbannya!"
"Luar biasai" Kembali Wiro memuji. "Sobatku yang
sial. aku ada satu pertanyaan lagi. Apakah Datuk
Marajo Sati punya anak perempuan atau punya
seorang istri yang tinggal bersamanya di dalam goa
di dinding ngarai itu?"
"Eh, ini pertanyaanmu aneh. Rupanya kau tertarik
pada istri Datuk! Ternyata kau lebih galadiah dari aku.
Lebih kurang ajar dari aku! Ha...ha...ha!" (galadiah =
brengsek)
"Aku belum gila mau-mauan menyenangi istri
orang, apa lagi yang sudah nenek-nenek...."
"Huss! Siapa yang mengatakan istri Datuk Marajo
Sati seorang nenek-nenek. Istri pertamanya memang
sudah tua dan telah meninggal sepuluh lohun silam.
Dari istrinya itu Datuk Marajo Sati tidak dikarunia
anak.
Setelah istrinya tiada dia kemudian mendapatkan istri
pengganti, masih muda. Dikawini Datuk sekitar
setahun silam. Baru berusia dua puluh tahun. Cantik
jelita. Tinggal di Koto Gadang. Sampai saat ini dari
istrinya yang baru dan muda itu Datuk juga belum
mendapatkan anak. Setahu orang istri Datuk Marajo
Sati tidak pernah datang ke goa di Ngarai Sianok.
Sang Datuklah yang selalu mengunjungi istrinya pada
waktu-waktu tertentu. Tapi bisa saja istrinya datang
ke sana kalau ada kepentingan mendadak.
Tapi....rasanya mustahil. Istri Datuk tidak akan
mungkin bisa memanjat ngarai, masuk ke dalam
goa..."
Mendengar cerita Malin Kapuyuak Wiro baru
menerangkan tentang adanya suara perempuan yang
didengarnya di dalam goa, bicara dengan Datuk Marajo
Sati.
"Dari suaranya aku bisa menduga kalau perempuan
itu masih sangat muda. Kalau istri Datuk Marajo Sati
tidak pernah datang ke goa, lalu suara perempuan siapa
yang aku dengar?"
Belum sempat Malin Kapuyuak mengatakan sesuatu
tiba-tiba seekor burung besar berwarna putih melesat
di atas dangau. Dalam waktu sekejap saja burung itu
telah lenyap di arah timur.
"Aku tahu. burung yang barusan melintas di atas
dangau adalah elang putih peliharaan Datuk Marajo
Sati...." Kata Wiro sambil menatap ke arah lenyapnya
burung putih besar.
"Burung itu bukan binatang biasa. Walau tidak
bisa bicara tapi dia mampu mengerti ucapan Datuk
Marajo Sati. Jika diperintah mencabik atau membunuh
orang, burung itu mampu melakukan dengan mudah."
"Malin. apa kau tahu burung elang itu jantan atau
betina?"
"Jantan tentunyal Eh, apa maksud tanyamu itu.
Seandainya burung elang itu betina, kau mau
menduga-duga bahwa Datuk Marajo Sati...."
"Otakmu kotor. Karena terlalu banyak mengintip"
tukas Wiro. "Aku punya firasat burung itu memata-
matai diriku."
"Bisa jadi Datuk Marajo Sati sudah berada dekat-
dekat ke tempat ini. Sebaiknya kita segera pergi dari
sini." Malin Kapuyuak tampak takut dan cepat berdiri.
Namun belum sempat tubuhnya diluruskan tiba-tiba
tiga orang berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di
depan dangau.
"Cilakol Mati adenl" ("Celaka! Mati aku!") Ucap
Malin Kapuyuak dengan suara gemetar ketika dia
mengenali salah satu dari tiga orang yang muncul.
SEPULUH
DALAM tarak (samadi)
yang dilakukan Si
Kamba Mancuang Tangan
Manjulai sejak tengah malam sampai menjelang dini
hari. nenek yang menggantungkan diri di cabang pohon
kaki ke atas kepala ke bawah ini memang mendapat
petunjuk gaib. Namun petunjuk itu tidak menyatakan
dimana beradanya kupu-kupu giok melainkan mengarah
pada bayangan seorang pemuda asing tidak dikenal
yang saat itu berada di sebuah dangau tak jauh
dari Ngarai Sianok.
"Aku tidak bisa menjajaki keberadaan kupu-kupu
giok. Agaknya mahluk itu memiliki daya penolak yang
hebat. Atau mungkin ada kekuatan sakti
melindunginya....Mengenai pemuda asing yang aku
lihat dalam tarak, dia tidak sendirian. Ada seorang
pemuda lain bersamanya." Menerangkan si nenek
pada beberapa orang kambratnya yang menunggui.
'Saudaraku," kata Si Kamba Pesek Tangan
Manjulai yang berada dalam keadaan cidera. "Kalau
kau sudah bisa menduga dimana letaknya dangau itu,
segera pergi kesana. Jangan seorang diri. Bawa
beberapa sahabat. Bukan mustahil pemuda asing
yang kau lihat dalam gaib itu adalah pelindung puteri
Pangeran Kerajaan Cina yang jadi kupu-kupu giok."
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai meminta
Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit pergi
menemuinya. Karena Perwira Muda Teng Sien
bersikeras minta ikut, maka si nenek terpaksa
membawanya. Pada saat menjelang fajar
menyingsing ke tiga orang Itu segera berangkat ke
arah timur. Dalam perjalanan, di tengah jalan Si
Kamba Mancuang Tangan Manjulai sempat menyirap
kabar perihal kejadian adanya seorang pemuda
bernama Malin Kapuyuak yang dihajar orang sedusun
karena berani berbuat lancang mengintai anak gadis
mandi. Juga didapat cerita bahwa pemuda kurang ajar
itu kemudian dilari diselamatkan oleh seorang
pemuda asing berambut panjang seperti perempuan.
Si nenek yakin betul, petunjuk yang didapatnya dalam
bertarak tidak beda dengan apa yang diceritakan
penduduk setempat
Kembali ke dangau. Melihat Malin Kapuyuak
tampak begitu ketakutan. Wiro berbisik. "Kau
mengenali orang-orang ini?"
"Aku...aku hanya mengenali nenek berambut
jarang bergigi perak itu. Dia Si Kamba Mancuang
Tangan Manjulai, nenek setan berilmu tinggi yang
sering menimbulkan kekacauan di tanah Minang.”
'Kurang ajar! Kau berani menyebutku nenek setan
penimbul kekacauan! Robek mulutmul”
Rupanya ucapan Malin Kapuyuak yang walau
berbisik-bisik sempat terdengar di telinga Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai. Nenek ini berteriak marah
lalu sekali berkelebat tangan kanannya yang panjang
meluncur lebih panjang, membeset ke arah mulut
Malin Kapuyuakl Jika pemuda ini tidak bisa
menghindar dari serangan itu maka bukan saja
mulutnya tapi separuh kepalanya akan tercabik
mengerikanl Dan ternyata Malin Kapuyuak memang
t'iak mampu selamatkan diri!
Sekejap lagi mulut dan kepala pemuda tukang intip
perawan mandi itu akan robek tiba-tiba murid Sinto
Gendeng dengan gerakan kilat ulurkan tangan
berusaha mencekal lengan si nenek.
"Nek, jangan langsung bertindak keras. Mari kita
bicara dulul" Ucap Pendekar 212. Tapi si nenek tidak
perduli, dia teruskan gerakan tangannya untuk
merobek muka Malin Kapuyuak.
Mau tak mau Wiro terpaksa hantamkan pinggiran
telapak tangan kanannya ke lengan si nenek.
"Bukk!"
Lengan dan pinggiran telapak tangan beradu
keras. Lengan Si Kamba Tangan Manjulai terpental.
Sambaran tangan mautnya luput dari sasaran. Si
nenek memekik kesakitan dan marah sekali. Dengan
cepat dia membuat gerakan aneh. Tangan yang
barusan dipukul berubah laksana seekor ular
menggelung tangan kanan Wiro.
Pendekar 212 berseru kaget sewaktu dia tidak
mampu melepaskan diri dari lilitan tangan. Sesaat
sebelum lengan itu dibelit hancur sampai ke tulang
dengan cepat murid Sinto Gendeng merapal aji
kesaktian pelicin tubuh bernama Belut Menyusup
Tanah.
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai berteriak
kaget ketika tangannya yang sudah membelit dan siap
meremas hancur tangan Wiro tiba-tiba terlepas,
membuat tubuhnya terjengkang. Sebelum sempat
Imbangi diri satu tombak, bergulingan di tanah. Dia
berusaha bangkit terbungkuk-bungkuk menahan sakit
Untungnya Wiro tidak menyertai tendangannya
dengan aliran tenaga dalam. Si nenek tudingkan
tangan kiri ke arah Wiro.
"Palasik jahanam! Beraninya kau menyakiti diriku!
Kau yang aku lihat dalam samadiku! Kau pasti punya
sangkut paut dengan puteri Pangeran yang kabur dari
negeri Cina itu! Paling tidak kau merupakan mahluk
penghalang berusaha mencegah kami mendapatkan
kupu-kupu giok!" (Palasik = semacam mahluk yang
suka menghisap darah terutama darah bayi)
"Kamba Mancuang!" teriak Hantu Gunung Sago
Si Kalam Langit "Kau ini bicara apal" Lelaki ini
membentak keras karena dalam marahnya si nenek
tadi telah ketelepasan bicara soal puteri Pangeran
Cina dan kupu-kupu giok yang seharusnya
dirahasiakan.
Tapi Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tidak
befduli. Habis memaki si nenek buka mulutnya lebar-
lebar ialu berteriak keras. Saat itu juga dari barisan
gigi peraknya atas bawah melesat dua rangkum
cahaya putih berpijar menyilaukan. Menyambar ganas
ke arah dua bagian tubuh Wiro. Yang pertama
menyambar dari pinggang ke atas, yang lain
menghantam dari pinggang ke bawahi
"Nek, kita tidak saling bermusuhanl Mengapa
menurunkan tangan jahat terhadapku?!" Teriak murid
Sinto Gandeng.
"Siapa yang kurang ajari Siapa yang menghalangi
pekerjaanku adalah musuh bagikul" Jawab si nenek.
"WusssjWusssl"
Dua larik cahaya putih berpijar menyambar disertai
menghamparnya hawa luar biasa panas. Inilah ilmu
kesaktian yang disebut Angin Merapi Merambah Bumi.
"Tua bangka edan" Maki Pendekar 212 sambil
melesat ke udara. Selagi tubuh melayang tangan kiri
kanan didorong melepas dua pukulan sakti Tangan
Dewa Menghantam Batu Karang.
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai berseru kaget
ketika dua angin pukulan lawan keluarkan suara
menggemuruh seperti bukit batu roboh. Begitu dia
melompat selamatkan diri dihadapannya di
menyaksikan bagaimana tiupan angin putih maut yang
keluar dari deretan gigi peraknya buyar cerai berai.
Sebagian menyambar dangau hingga saat itu juga
bangunan itu tengoelam dalam kobaran api. Pemuda
bernama Malin Kapuyuak yang masih berada di dalam
dangau itu serta merta melompat selamatkan diri
lintang pukang. Si nenek delikkan mata melihat di
tanah di depannya kini ada lobang sebesar kubangan
kerbau akibat dua pukulan lawan.
Hantu Gunung Sago SI Kalam Langit tadinya
hendak menerjang menyerang Pendekar 212. Namun
melihat bagaimana pemuda berambut gondrong itu
menghancurkan serangan si nenek dan di tanah kini
tampak lobang besar, kuduknya jadi merinding. Dia
berpikir dua kali untuk melanjutkan serangan.
Sebaliknya lain halnya dengan Perwira Muda Teng
Sien. Walau tidak mengerti ucapan orang namun dia
menduga Wiro mengetahui dimana beradanya kupu-
kupu giok. Maka begitu menghunus golok anggota
pasukan Kerajaan Cina ini langsung menyerbu Wiro.
Ilmu goloknya memang luar biasa. Sekait menggebrak
dia telah kirimkan dua bacokan ke arah kepala,
menyilang menjurus dada lalu ditutup dengan tusukan
ke bagian perutl
Melihat Wiro tidak bersenjata dan terdesak hebat,
Malin Kapuyuak segera mengambil bambu patahan
tiang dangau yang masih utuh lalu dilemparkan pada
Wiro. Dengan cepat Wiro sambar potongan bambu
lalu dipergunakan sebagal senjata menghadapi
serangan lawan. Namun bambu bukanlah tandingan
golok besar di tangan Teng Sien. Dalam dua kali
menggebrak saja Perwira Muda bertopi besi Ini telah
membuat bambu itu terpotong-potong dan kini hanya
tinggal sepanjang satu setengah jengkal yang masih
berada di tangan Wiro.
"Perwira Mudai Habisi orang itu. Bunuh!" teriak
Si Kamba Hantu Manjulai.
Tanpa disuruhpun walau tidak mengerti ucapan
orang Teng Sien memang ingin mencincang Pendekar
212 Wiro Sableng. Dia tidak tahu siapa adanya pemuda
berambut gondrong Itu dan dia tidak perduli. Dia
hanya punya kecurigaan bahwa Wiro merupakan salah
satu dari orang-orang yang menghalangi usahanya
mendapatkan kembaii kupu-kupu Giok yang membawa
tubuh puteri Pangeran Chia Swie Kim. Sekali melompat
golok besar di tangan sang Perwira Muda sudah
berdesing di udara. Lancarkan serangan berantai yang
sangat ganas. Memperhatikan gerak dan hawa yang
keluar dari golok lawan Wiro bisa mengukur kalau
serangan Teng Sien tidak disertai tenaga dalam.
Namun tenaga luarnya sungguh luar biasa.
Ketika lawan melompat lagi mengirimkan serangan
kilat, saat inilah, tiba-tiba dengan cepat Wiro
merunduk sedikit lalu lemparkan potongan bambu
yang masih ada di tangannya ke arah bawah perut
sang perwira. Tepat mengenal kantong menyannyal
Jerit Teng Sien setinggi langit. Tubuhnya
langsung ambruk, menjerit, melejang-lejang di tanah
sambil tekap bagian bawah perut yang sakitnya
laksana disundut bara apil Tidak sanggup menahan
sakit akhirnya Perwira Muda Ini tergeletak pingsan
dengan mata mendelik!
"Manusia tolol. Lain kail jangan hanya kepala atasmu
yang pakai topi besi. Kepala bawah harus juga kau
lindungi dengan topi besi. Ha...ha...ha” Wiro mengejek.
" Kurang ajar" Teriak Si Kamba Mancuang Tangan
Manjulai marah besar menyangka Teng Sien telah
menemui ajal. "Kalam Langitl Kau tangkap hidup-hidup
pemuda berdestar putih itu. Aku tak akan memberi
ampun pada jahanam berambut seperti perempuan Ini!"
Si nenek lalu dahului serangannya dengan mengulur
panjang dua tangan ke arah Wiro sementara Hantu
Gunung Sago Si Kalam Langit melompat menyergap
Malin Kapuyuak. Sebelum orang mendatanginya
pemuda tukang intip ini tendang tumpukan reruntuhan
bangunan dangau yang masih diselimuti api dan asap ke
arah Si Kalam Langit yang hendak menangkapnya. Lalu
secepat kilat dia berputar-putar mengelilingi sebuah
pohon besar, memperdayai si tinggi hitam itu sambil
mencari kesempatan untuk kabur.
"Kalam Langitl" teriak Wiro yang tahu cepat atau
lambat orang itu akan dapat menangkap Malin
Kapuyuak. "Berani kau rnencelakal sahabatku itu akan
kuubah dirimu menjadi Kalam Lancirik." (Lancirik=
Pantat)
"Pemuda jahanaml Biar kau aku pesiangi lebih Dulu."
Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Dua
tangannya yang menjadi panjang luar biasa melesat
kian kemari lalu melilit sekujur tubuh Pendekar 212
mulai dari pinggul sampai ke dada. Saat Itu juga
tubuhnya bergerak ke depan hingga hampir
bertempelan dengan tubuh Wiro. Seumur hidup baru
kali ini murid Sinto Gendang mendapat serangan
seperti itu.
"Kreekkk...kreekkkl"
Wiro mendengar sendiri tulang-tulang tubuhnya
berderak.
"Nenek bergigi perakl" Dari balik pohon Malin
Kapuyuak walau dikejar orang masih bisa berteriak.
"Kau berpura-pura hendak membunuh sahabatku.
Padahal kau Ingin memeluknya! Ha...ha.... Kau pasti
sudah jatuh hati pada pemuda rambut panjang itu.
Memang di nagari ini tidak ada pemuda yang seperti
Dia. Ayo cium dia kalau berani! Jangan cuma
memeluknya saja."
Keadaan si nenek yang saat itu tengah menelikung
Wiro dengan dua tangannya, sepintas lalu memang
tampak seperti orang yang tengah berpelukan dan
bermesraan dengan kekasihnya.
"Jahanam bermulut kurang ajar. Lihat apa yang akan
aku lakukan pada sahabatmu Ini." Teriak Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai. Lalu dua tangannya yang
panjang dan telah membelit sekujur tubuh Wiro
digerakkan demikian rupa hingga kreekkkkl Kembali
tulang-tulang sang pendekar mengeluarkan suara
berkaretekan siap hancuri
Wiro menyeringai kesakitan. Tubuhnya seperti
disengat api. Tapi dia masih bisa berucap. Sablengnya
keluar. •«•. > > ,
"Nek, kalau kau tidak mau menciumku biar aku saja
yang menciummu! Kau cantik. Walau sudah tua tidak
rugi rasanya menciummul Ha...ha...hal"
Lalu cuuppp...cuuuppp...cuuuppp. Wiro benar-benar
cium wajah si nenek bertubi-tubi.
"Jahanam laknat kurang ajari"
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai buka
mulutnya lebar-lebar. Siap hendak meniupkan ilmu
maut Angin Merapi Merambah Bumi. Namun lebih
cepat lagi Wiro mengecup lumat-lumat bibir si nenek
hingga Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai
terperangah. Tubuhnya bergetar. Nafas mengengah.
Dada naik turun. Lalu dia berteriak keras antara marah
dan menahan gelora yang tidak pernah dirasakannya
selama ini. Tidak sadar telikungan dua tangannya di
tubuh Wiro jadi mengendur.
Dengan cepat murid Sinto Gendeng loloskan dua
tangannya dari lilitan sepasang tangan panjang si
nenek. Lalu sekail dua tangan bergerak dia berhasil
membuat empat totokan. Dua di punggung, dua di
pinggang. Saat Itu Juga Si Kamba Mancuang Tangan
Manjulai tertegak kaku tak berkutik, mulut menganga
basah, dan sepasang mata mengedap-ngedipl
Wiro cepat lepaskan gelungan dua tangan panjang
lalu loloskan diri sambil tertawa-tawa cengengesan. Dia
memandang ke arah pohon dan merasa khawatir karena
tidak melihat Malin Kapuyuak ataupun orang
berpakaian hitam Si Kalam Langit
"Nek, aku pergi dulu. Sebelum siang totokan di
tubuhmu akan lepas sendiri. Kalau kau masih ingin
ciumanku, Jangan malu-malu mencari aku ya? Namaku
Wiro Nekl Ha...ha...ha...hal"
"Pemuda kurang ajari Aku bersumpah akan
menghancurkan tubuhmu. Aku masih akan berbaik hati
membuatkan papan nisan di atas kuburmu!"
"Kenapa kau mau berbaik hati begitu Nek? Karena
ciumanku tadi? Ha...ha...hal Aku akan menciummu lagi.
Jadi kau buatkan kuburku dua papan nisan sekaligus!"
Lalu enak saja Wiro ciumi dan kecup lagi bibir basah si
nenek. Dia berhenti mencium, memandang berkeliling.
"Nek. tak ada orang lain di sini. Serdadu Cina itu tidak
sadarkan diri berarti tidak akan melihat. Ssttt....Kau
mau kucium lagi?"
"Setan terkutuk. Kau akan jadi puntung neraka!”
Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Wajahnya yang memang masih cantik dan berhidung
mancung kelihatan berubah merah.
“Tapi kau suka puntung neraka ini bukan?" Jawab
Wiro dan kembali mengecup bibi Si Kamba Mancuang
Tangan Manjulai. Dalam gelora dahsyat yang tidak
tertahankan, sepasang mata si nenek tampak terbalik,
yang kelihatan hanya putihnya saja. Lalu tubuhnya
miring ke kiri dan jatuh tergelimpang di tanah. Tapi
dia sama sekali tidak pingsan.
"Pemuda kurang ajari Najis. Beraninya dia berbuat
kurang ajar terhadap diriku! Kurang ajaarrr...l"
Tiba-tiba si nenek melihat Wiro berdiri di dekatnya.
Kepala ditundukkan mendekati wajahnya.
"Najis katamu Nek? Kalau najis sesudah bibirmu
kukecup mengapa kau tidak meludah?"
"Manusia setani Bangsat kurang ajari. Aku
bersumpah..."
"Sssttt... Tak baik bersumpah Nek. Jangan menipu
diri. Kau suka aku cium. Aku juga suka menciummu.
He...he...Seumur hidup baru sekali ini aku mencium
perempuan yang giginya berlapis perak. Ternyata enak
juga....Ha...ha...hal"
"Setan alas" Maki Si Kamba Mancuang Tangan
Manjulai. Lalu nenek ini menjerit keras.
Wiro tertawa gelak-gelak sambil tepuk-tepuk pipi
si nenek lalu tinggalkan tempat itu.
Tubuh Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai
bergetar. Debaran di dada perempuan menyentak
kencang dan aliran darahnya terasa panas dan cepat
Lalu dia merasa tubuhnya panas dingin seperti orang
diserang demam kura. Bagaimanapun Juga seumur
hidup baru sekali itu dia diperlakukan lelaki seperti itu.
Dipeluk, dicium dan dlkecup. Oleh lelaki muda pula.
SEBELAS
MALIN Kapuyuak lari
seperti dikejar hantu
benaran. Namun cepat
sekali. Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit berhasil
mengejar dan mencekal kuduknya. Cekalan di tengkuk
sampai ke leher sebelah depan begitu kencang
membuat pemuda itu tersengal-sengal, sulit bernafas
dan tak bisa keluarkan suara.
Saat itu matahari mulai tinggi dan sinarnya terasa
terik. Si Kalam Langit lepaskan cekalan. Malin
Kapuyuak dibanting ke tanah hingga pemuda ini
mengerang kesakitan. Sakit bekas digebuki orang
masih belum hilang, kini dibanting seperti Itu. Sekujur
tubuhnya terasa luluh lantak.
"Kalau nenek tangan panjang itu tidak melarangku
membunuhmu, sudah tadi-tadi kau kuhabisi. Kau
menyusahkan saja." Kata Duo Hantu Gunung Sago
Si Kalam Langit
"Apa salahku sampai diperlakukan seperti ini. Aku
bukan maling bukan pancilok.” suara Malin Kapuyuak
setengah meratap, (pancilok = pencuri)
"Aku dan nenek Itu tahu kau orang yang tadi malam
dipukuli orang sekampung karena mengintai anak gadis
mandi di pancuran..."
"Itu memang benar. Tapi apa sangkut pautnya dengan
dirimu. Kau bukan orang sedusun. Bukan pula mamak
dan saudara gadis-gadis itu "
"Plaakkk!"
Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Malin
Kapuyuak hingga pemuda ini terbanting Jatuh dan luka
di bibirnya kembali mengucurkan darah.
"Kalau kau mau tahu siapa diriku, aku adalah yang
tertua dari Duo Hantu Gunung Sago, bernama Si
Kalam Langitl"
Mendengar orang menyebut siapa dirinya, lelehlah
nyali Malin Kapuyuak. Bahkan dia nyaris terkencingl
"Pandeka Besar, ampun beribu ampun. Aku tidak
bermaksud berkurang ajar padamu. Aku merasa tidak
bersalah dan mohon diriku dilepaskan. Biarkan aku
pergi dari sini." Malin Kapuyuak berkata sambil
bergerak bangun, lalu duduk di tanah dan susun
sepuluh jari di atas kepala.
"Aku tahu siapa namamu. Aku juga tahu semua
kelakuan mesummu..."
"Aku sudah mengaku dan minta ampun..."
"Diam" Hardik Si Kalam Langit. "Aku ingin tahu
siapa pemuda berambut macam perempuan yang kau
panggil Uda dan kau katakan sahabatmu Itul Aku tidak
pernah melihat manusia satu itu sebelumnya."
"Dia.. .dia orang Jawa. Namanya Wiro. Aku bertemu
dia baru parak siang tadi ketika dia menolong diriku
dari amukan orang karena ketahuan mengintai anak
gadis mandi." (parak siang s dini hari)
"Bagusi Walau baru kenal, karena kau ditolongnya,
kalian sudah bersahabat! Pasti banyak yang kalian
bicarakan. Kau tahu mengapa anak Jawa Itu Jauh-jauh
datang ke sini..."
Malin Kapuyuak menggeleng. •
"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah menanyakan
padanya. Dia tidak pernah bercerita."
"Plaakkk!"
Satu tamparan lagi menghajar wajah Malin Kapuyuak
membuat pemuda ini kembali tergelimpang di tanah dan
meratap minta-minta ampun.
"Bicara jujur. Jangan berdusta atau kupatahkan
batang lehermu!" Ancam SI Kalam Langit.
"Ampun Pandeka Besar. Aku bicara jujur. Cincang
diriku kalau ketahuan aku bicara dusta."
"Begitu....?" Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit
jambak dada pakaian Malin Kapuyuak lalu menyandar-
kannya ke batang pohon. Sambil injakkan kaki di dada
pemuda itu, Si Kalam Langit berkata. "Sekali aku
menekan kaki, hancur dadamu sampai ke punggung!
Jadi satu dengan batang kayu. Kau mau?l"
"Ampun Pandeka Gadang! Jangan lakukan Itul"
Malin Kapuyuak meratap ketakutan. "Aku belum ingin
mati! Aku belum kawin. Kalau bisa aku kawin dulu
sebelum mati!"
"Hemmm...begitu?" Si Kalam Langit menyeringai.
Dia turunkan kaki dari dada Malin Kapuyuak lalu kaki
kanan itu kini diinjakkan ke bagian bawah perut si
pemuda. "Kalau kau mau bicara, kau akan selamat
Kalau kau bungkam atau berdusta aku tidak akan
membunuhmu. Tapi aku akan menghancurkan si
buyuang di bawah perutmul Berarti seumur-umur kau
tak akan bisa kawini Ha...ha...ha!" (si buyuang = di
sini berarti barangnya si Malin Kapuyuak)
"Ampun Pandeka Gadang...." Suara Malin
Kapuyuak gemetaran karena takut setengah mati.
SI Kalam Langit perkeras injakan di bawah perut
Malin Kapuyuak hingga pemuda ini menjerit dan
menggeliat kesakitan.
"Ampun. Akan kukatakan padamu apa yang aku
tahu..."
"Lekaa bicara!" Hardik Si Kalam Langit.
Walnu ketakutan setengah mati dan merasa sakit
tidak terperihkan namun Mnlin Kapuyuak tidak mau
menerangkan hal sebenarnya. Wiro telah menolongnya
maka dia merasa perlu melindungi si gondrong itu.
"Pemuda Jawa itu....Dia...dia tengah dalam
perjalanan. Dia tidak memberi tahu dari mana mau
kemana. Dia senang melihat keindahan malam di
Ngarai Sianok."
"Ceritamu tidak masuk di akal. Melihat keindahan
ngarai di malam hari?l"
"Kalau langit bersih dan terang, apa lagi sedang
ada bulan purnama, bukankah pemandangan di ngarai
sangat Indah pada malam hari?" ucap Malin Kapuyuak
pula.
Hantu Gunung Sago SI Kalam Langit menyeringai.
"Kau mulai berani bicara dusta. Di salah satu
bagian Ngarai Sianok aku tahu Datuk Marajo Sati diam
di sebuah goa. Pemuda itu datang ke ngarai pasti
ada sangkut paut dengan diri Datuk itu."
"Kalau hal Itu aku kurang tahu. Tapi...."
"Tapi apa?!" Sentak SI Kalam Langit mulai tidak
sabaran. Walau SI Kamba Mancuang Tangan Manjulai
melarangnya, tapi dia sudah punya niat akan
menghabisi pamuda satu Ini.
"Aku menduga...." kata Malin Kapuyuak dengan
raut wajah berpura bersungguh-sungguh. "Pemuda
Jawa itu agaknya tertarik dengan kecantikan istri
Datuk Marajo Sati yang masih muda belia. Mungkin dia
berada di ngarai untuk mengintai padusi itu." (padusl
s perempuan)
SI Kalam Langit tampak seperti tercengang
mendengar ucapan Malin Kapuyuak. Mulutnya
ternganga.
"Kalau dia tahu Datuk Marajo Sati beristri muda
dan cantik, berarti pemuda Jawa itu sudah lama
berada di tanah Minang Ini."
Malin Kapuyuak tidak menjawab.
Si Kalam Langit perkeras injakan kaki kanannya
hingga pemuda itu menjerit kesakitan.
"Jangan dusta mengarang cerital"
"Aku bersumpah biar dicekik Hantu Haru-Harul"
(Hantu Haru-Haru sejenis mahluk halus yang suka
menculik orang terutama anak kecil dan membawanya
ke atas pohon)
"Kapuyuak jahanaml Siapa percaya sumpah manusia
macam wa-ang! Sebelum Hantu Haru-Haru
mencekikmu, aku yang akan lebih dulu mematahkan
batang lehermul" Si Kalam Langit putar telapak
kakinya yang menginjak bagian bawah perut hingga
Malin Kapuyuak kembali berteriak kesakitan.
"Mengapa pemuda itu menanyakan Datuk pimpinan
Luhak Nan Tlgo?" (wa-ang e kamu, kasar)
"Sudah aku katakan, dia tahu Datuk punya istri
muda. Mungkin dia suka pada istri Datuk Marajo Sati.
Aku beritahu istri Datuk itu ada di dalam goa di Ngarai
Sianok."
"Hebat kau Malin Kapuyuakl Kalau benar ceritamu
berarti kau menghkhlanati Datuk Marajo Sati. Tapi
aku tahu kau dusta. Semua orang di Luhak Agam ini
tahu kalau Istri Datuk Marajo Sati tinggal di Koto
Gadang.
Tidak pernah datang atau berada di dalam goa tempat
kediaman suaminya..."
"Aku tahu hal itu Pandeka. Itu sebabnya aku
berdusta pada pemuda Jawa itu. Tak mungkin aku
akan mengkhianati Datuk Marajo Sati. Kalau tidak
ingin melindungi Istri Datuk, mengapa tidak aku
katakan saja yang sebenarnya kalau parempuan Itu
tinggal di Koto Gadangl*
"Aku tidak percaya padamu Malin Kapuyuak. Lebih
baik kutamatkan riwayatmu saat ini jugal Kau pasti
punya cerita lain yang sebenamyal Kau pasti tahu
mengapa pemuda Jawa Itu berada di sekitar daerah
ini. Aku bosan bicara denganmul Aku muak melihat
tampangmul"
Si Kalam Langit kerahkan tenaga dalam lalu kaki
kanannya dihunjamkan kuat-kuat
"Ampuni Janganl" teriak Malin Kapuyuak.
Sekejapan lagi bagian tubuh yang sangat berguna
bagi si pemuda itu akan hancur, tapi tiba-tiba ada
suara perempuan berseru.
"Barang pusaka barang keramat! Wajib dipelihara
wajib dijagai Mengapa tega hendak memecah?!
Hik...hlk...hlkl"
Bersamaan dengan kumandang seruan itu mendadak
di udara terdengar suara berdesing panjang. Dua
benda hitam melesat ke arah SI Kalam Langit tanpa
orang tinggi besar ini sempat menyingkir mengelakkan
diri.
"Craassal Crassssl"
Dua benda hitam mendarat telak di kening dan
pangkal leher orang tertua dari Duo Hantu Gunung
Sago Ini. Tak ampun lagi tubuhnya yang besar
tergelimpang roboh di tanah. Dari kening dan leher
darah mengucur deras. Si Langit Kalam menggeliat
dua kali, lalu nyawa lepas. Tubuh diam tak berkutik lagi.
Dari atas sebatang pohon besar, orang bermuka
cacat yang barusan melemparkan dua senjata rahasia
memaki geram, memandang melotot ke bawah.
'Jahanam! Dari mana munculnya betina gendut
keparat Itu. Apakah dia juga menyelidik perkara yang
sama yang tengah aku lakukan?! Aku belum pernah
melihat dia sebelumnya. Dari dandanannya yang aneh
agaknya dia bukan orang negeri ini. Gerakannya
enteng dan luar biasa cepat! Suaranya terdengar lebih
dulu baru ujudnya kelihatan! Sialan, aku tidak bisa
bertindak ceroboh. Dia menyelamatkan pemuda itu
pasti punya maksud. Saat ini dia tengah mengejar
pemuda itu. Apa yang harus aku lakukan?!"
DI udara berkelebat seekor burung besar putih.
Di dekat reruntuhan dangau di tepi pesawahan burung
yang ternyata adalah seekor elang putih ini melayang
rendah lalu melesat kembali ke udara dengan
mengeluarkan suara menguik keras. Orang bermuka
cacat yang mendekam di atas pohon, seolah berpikir
sebentar akhirnya tanpa keluarkan suara akhirnya
melesat turun ke tanah lalu berkelebat ke arah timur.
Dalam hati dia membatin.
Para tokoh rimba persilatan Itu akan bertemu
besok di Muko Muko. Lebih baik aku cepat-cepat
menuju ke sana. Tapi mungkin ada gunanya aku
mengintai dulu ke goa di Ngarai Sianok. Aku punya
kecurigaan. Malam tadi dua orang itu datang dari
sana. Bisa saja...."
DUA BELAS
ELANG putih bermata
merah melesat terbang
di bawah terik cahaya
matahari, melayang turun dan bertengger di cabang
pohon tak jauh dari dangau yang terbakar, di tepi
kawasan persawahan. Tak lama kemudian berkelebat
muncul seorang tua bersorban dan berjubah
putih yang ternyata adalah Datuk Marajo Sati. Elang
putih yang bukan sembarang burung telah menuntun
sang Datuk ke tempat itu.
"Alang Putih Rajo Di Langit, aku menyangka kau
membawaku menemui pemuda Jawa itu. Ternyata kau
menemukan mayat. Sudah lama negeri ini aman
tenteram dari berbagai macam kejahatan, apa lagi
pembunuhan. Sekarang ada mayat terkapar di
hadapanku. Siapa yang jadi korban, siapa yang jadi
pelaku pembunuhan?" Berkata seperti itu Sang Datuk
lupa kalau sebelumnya karena tidak dapat menahan
hawa amarah ketika berada dalam goa di Ngarai
Sianok dia nyaris hendak mencelakai bahkan bisa
membunuh Wiro dengan ilmu Bumi Tabalah Azab
Manimpo.
Datuk Marajo Sati dekati mayat yang tergeletak di
tanah. Kening mengerenyit, mata menyipit dan lang-
kah terhenti begitu dia mengenali mayat bersimbah
darah itu adalah orang tertua dari Duo Hantu Gunung
Sago yang bernama Si Kalam Langit
"Orang hebat berilmu tinggi menemui ajal di tengah
hari. Siapa gerangan yang membunuhnya?" Datuk
Marajo Sati memandang berkeliling. "Tak ada
tanda-tanda perkelahian di tempat ini. Bagaimana dia
bisa menemui kematian seperti Ini? Orang jahat mana
yang gentayangan di negeri ini, melakukan pem-
bunuhan"
Sang Datuk perhatikan keadaan mayat Dia melihat
ada dua luka besar penyebab kematian yaitu di kening
dan pangkal leher sebelah kiri. Wajah dan bagian leher
yang tidak tertutup darah tampak melepuh. Datuk
Marajo Sati tarik nafas dalam lalu perlahan-lahan
gerakkan tangan kanan. Telapak dikembang, diarahkan
ke kening mayat.
Tangan bergetar.
"Wuuttt"
Sebuah benda hitam berlumuran darah yang
menancap di dalam kening Si Kalam Langit laksana
disedot melesat keluar. Dengan cepat Datuk Marajo
Sati menangkap benda itu. Ketika diperhatikan
ternyata sebuah besi hitam berbentuk bintang segi
empat Pada setiap ujung bintang yang tajam terdapat
sebuah lobang kecil. Datuk Marajo Sati sebelumnya
malam tadi telah melihat benda yang sama.
"Senjata rahasia seperti ini yang menancap di
dinding goa kediamanku malam tadi," ucap Datuk
Marajo Sati dalam hati lalu mengeruk saku jubah dan
mengeluarkan sebuah benda. Benda ini adalah
senjata rahasia yang ditemukan dan dikorek elang
putih dari dinding goa. Ternyata kedua benda itu
sangat sama satu dengan lainnya. "Apakah senjata
rahasia yang satu ini juga ada hubungannya dengan
pemuda dari Jawa mengaku Wiro itu?" Datuk Marajo
Sati berpikir keras sambil usap senjata rahasia yang
masih berlumuran darah. 'Kalau pemuda itu yang
dikejar atau dihadang musuh dan jadi sasaran
serangan, mengapa manusia satu ini yang jadi
korban? Apa hubungan pemuda Jawa itu dengan Duo
Hantu Gunung Sago? Sebagai dua orang yang
berserikat atau sebagai dua musuh? Berarti apakah
pemuda Jawa itu ada di tempat ini sebelumnya?"
Datuk Marajo Sati melangkah ke tepi pematang
sawah yang ada genangan air. Senjata rahasia besi
bintang segi empat dicelupkan ke dalam air sampai
bersih dari darah lalu dimasukkan ke dalam saku
jubah. Sambil melangkah mengelilingi mayat orang
tua yang merupakan Datuk pimpinan dari para Datuk
di Luhak Nan Tigo terus berpikir, bertanya-tanya
dalam hati dan mereka-reka. Ingatannya kembali
tertuju pada pemuda Jawa yaitu Pendekar 212 Wiro
Sableng.
"Waktu d goa ketika kutanya apa tujuannya berada
dinegeri ini, pemuda itu menjawab kalau dia baru saja
menemui seseorang. Ada pesan amanat dari orang itu
yang harus dilakukan. Tapi dia tidak mau mengatakan
siapa orang itu adanya. Lalu mengenai amanat dia
mengatakan bahwa satu perkara besar akan terjadi di
tanah Minang." Datuk Marajo Sati menatap di langit
Pejamkan mata dan kembali bicara dalam hati.
"Katanya ada perkara besar. Perkara apa? Astaga...
Mengapa aku begitu tolol. Kematian Sutan Panduko
Alam, kematian Duo Hantu Gunung Sago. Bukankah ini
satu Perkara besar? Paling tidak awal dari satu
perkara besari Kalau turut cerita gadis Cina Itu,
jangan-jangan ini ada sangkut paut dengan dirinya!"
Memikirdan ingat pada Chia Swie Kim si gadis yang
menjelma dalam ujud kupu-kupu batu giok dan kini
berada di dalam goa kediamannya Datuk Marajo Sati
mendadak merasa khawatir. "Puti Bungo Sekuntum.
Aku harus cepat-cepat kembali ke goa. Selain itu aku
harus memberi tahu orang di dusun terdekat untuk
mengurus mayat Duo Hantu Gunung Sago."
Sebelum pergi Datuk Marajo Sati berkata pada
burung elang besar yang masih bertengger di cabang
pohon.
"Alang Putih Rajo Di Langit Aku senang kau telah
membawaku ke tempat Ini. Aku akan kembali ke goa.
Lanjutkan apa yang telah aku tugaskan padamu.
Temukan pemuda berambut panjang itu. Ikuti kemana
dia pergi. Cari tahu dengan siapa saja dia
berhubungan."
Elang putih di atas pohon seolah mengerti apa
yang diucapkan majikannya menguik lalu melesat
terbang ke udara. Untuk berapa lama burung ini
melayang berputar-putar di atas kawasan persawahan.
***
KETIKA Datuk Marajo Sati sampai di dalam goa,
orang tua ini terkejut karena kupu-kupu batu giok yang
diletakkannya di dalam cegukan dinding goa lenyap
dari tempatnya. Sang Datuk mengucap berulang kali,
memandang berkeliling sambil mulutnya berseru.
"Chia Swie Kiml Puti Bungo Sekuntuml Dimana kau?l"
Suara Datuk Marajo Sati menggelegar menggetar-
kan seantero goa.
Tak ada Jawaban.
"Kupu-kupu giokl"
Tiba-tiba ada suara kepakan sayap halus. Sesaat
kemudian dari balik celah batu di ujung dalam goa
melayang seekor kupu-kupu besar lalu turun ke lantai
goa di depan kaki Datuk Marajo Sati. Sang Datuk
merasa lega.
"Datuk, maafkan saya. Saya tadi terpaksa mengubah
diri lalu terbang dan bersembunyi di balik celah
batu...."
Kupu-kupu besar keluarkan cahaya berpijar,
sesaat kemudian berubah bentuk menjadi gadis cantik
puteri Pangeran Cina bernama Chia Swie Kim.
"Anak gadis, katakan apa yang terjadi? Mengapa
kau merubah diri dan bersembunyi di ujung goa?"
'Sebelum Datuk sampai di sini ada seseorang
masuk kedalam goa. Dia seperti menyelidik. Saya
takut..."
Datuk Marajo Sati terkejut besar.
'Siapa orangnya? Pemuda Jawa berkopiah hitam
berambut panjang itu?l" tanya Datuk Marajo Sati
dengan wajah berubah.
Gadis puteri Pangeran Cina yang oleh sang Datuk
diberi nama Puti Bungo Sekuntum gelengkan kepala.
"Bukan, bukan pemuda itu...."
"Salah satu dari orang-orang yang mengejarmu.
Pimpinan kakek bernama Ki Bonang Talang Ijo?"
"Juga bukan Datuk. Saya tidak mengenalnya. Orang
ini mengenakan jubah biru. Mukanya ada cacat bekas
luka. Dia...."
"Sudah, keadaan semakin tidak karuan di tempat ini.
Puti, aku akan memindahkan mu ke ruang rahasia di
ujung goa. Jika kau Ingin keluar, ketuk dinding goa tiga
kali. Makanan dan air bersih tersedia banyak di
ruangan itu. Tapi ingat satu hal. Kecuali melalui dinding
goa yang aku katakan, kau sekali-kali tidak boleh
mencari jalan keluar yang lain. Kau mengerti?"
"Saya mengerti Datuk...." Jawab Chia Swie Kim.
Sebenarnya ada sesuatu yang hendak dikatakan gadis
Ini namun saat itu Datuk Marajo Sati telah
mengangkat tangan. Dari ujung jari tengah dan jari
telunjuk memancar keluar dua larik cahaya putih.
Ketika dua cahaya itu menyentuh dinding goa sebelah
dalam maka terdengar suara bersiur. Sesaat kemudian
dinding goa bergeser. Di sebelah dalam terlihat satu
ruangan besar, terang dan bagus.
"Masuklah. Aku akan meninggalkan goa selama satu
atau dua hari. Kau akan aman di dalam sana. Jaga
dirimu baik-baik."
Tanpa keluarkan ucapan apa-apa lagi Chia Swie Kim
alias Puti Bungo Sekuntum segera masuk ke dalam
ruangan. Begitu dinding goa merapat menutup gadis ini
jatuhkan diri bersimpuh di lantai.
"Mengapa nasib diriku jadi seperti ini? Datuk telah
menolongku. Tapi berapa lama aku bisa bertahan
mendekam di ruangan ini. Tidak melihat dunia luar.
Tidak tahu slang atau malam." Si gadis tekap
wajahnya dengan kedua tangan. "Seharusnya Yang
Maha Kuasa tidak menolongku dengan menjadikan
diriku masuk ke dalam kupu-kupu giok Kupu Kupu
Mata Dewa. Rasanya akan lebih baik jika saat itu aku
juga tewas dibunuh. Rohku mungkin akan lebih
bahagia bisa bersatu di alam baka dengan roh koko
Kul Hoa Seng. Sekarang aku berada jauh di negeri
orang. Entah bagaimana caranya bisa kembali ke
negeri leluhur....Thian yang Agung, mohon perhatikan
dan tolong diri saya...." (koko = kakak) Thlan = Tuhan)
Gadis malang ini akhirnya sesenggukan tidak mampu
menahan tangis.
TIGA BELAS
SIANG hari itu
puncak Gunung Kerinci
tampak jelas tinggi
menjulang tidak tersaput awan. Dari kejauhan gunung
tertinggi di wilayah selatan ini diapit dan seolah
dikawal oleh Gunung Tujuh di sebelah timur dan
Gunung Patah Sembilan agak ke barat
Ketika serombongan burung pipit melayang dan utara
ke selatan di langit terlihat satu pemandangan luar
biasa Siapa saja yang melihat pasti tidak percaya
akan pandangan matanya. Betapa tidak, seorang tua
berjubah putih, duduk di atas gulungan sehelai sorban
putih yang terbang melayang di udara ke arah Gunung
Kerinci. Di lereng barat gunung sorban dan orang yang
duduk di atasnya menukik ke bawah menuju kawasan
berbatu-batu. Bentuk dan susunan batu-batu itu
tampak begitu indah seolah dibuat dan ditata oleh
tangan manusia.
Tak lama kemudian orang berjubah putih telah
berdiri di atas sebuah batu rata. Wajahnya tampak
kusam tanda ada kemelut yang dirasa. Sepasang mata
dengan dingin memandang tajam berkeliling hingga
akhirnya dia melihat sebuah lobang berbentuk segi
empat merupakan jalan masuk atau sebuah pintu.
"Alhamdulillah, Allah telah membawaku dengan
selamat sampai di tempat ini. Sekarang apakah orang
yang kucari ada di tempat kediamannya ini?"
Tidak menunggu lebih lama Datuk Marajo Sati
melompat dari satu batu ke batu lain hingga akhirnya
dia sampai di depan pintu batu. Di sini dia memberi
salam disusul ucapan.
"Inyiek Sukat Tandlka, saya Datuk Marajo Sati
ingin bertemu dengan Inyiek. Semoga Inyiek ada baik-
baik saja dalam lindungan Yang Maha Kuasa." (Inyiek
= Orang sangat tua yang sudah sepuh dan dihormati)
Belum lenyap suara gema ucapan Datuk Marajo
Sati, dari arah pintu batu tiba-tiba melesat keluar
seorang kakek berpakaian selempang kain putih,
berpenampilan dahsyat Wajah tidak berdaging nyaris
seperti tengkorak. Tubuh yang kurus kering hanya
tinggal kulit pembalut tulang. Kepala berambut putih
setengah sulah, kumis dan janggut putih melambai-
lambai ditiup angin gunung. Sepasang rongga mata
sangat cekung, angker. Walau keadaannya sangat
sepuh seperti itu namun kakek ini sikapnya tampak
masih gagah dan gerakannya gesit Setelah menatap
Datuk Marajo sati seketika, si kakek tertawa gelak-
gelak lalu kembangkan tangan. Kedua orang itu saling
berangkulan.
"Berpuluh tahun tidak berjumpa. Kau tiba-tiba saja
dibawa Tuhan datang ke Gunung Kerinci inil Ha...hal
Pasti kau tidak sembarangan datang. Pasti ada
maksud di hati dan tujuan dalam pikiran. Sahabat
muda Datuk Marajo Sati, mari kita masuk ke dalam."
"Inyiek, saya lebih suka kita bicara di sini saja.
Karena saya tidak Ingin mengganggumu berlama-lama.
Apakah nenek Sabai Nan Rancak ada di dalam?"
Sabai Nan Rancak adalah istri Tua Gila yang sejak
peristiwa Gerhana Di Gajah Mungkur kembali ke
Pulau Andalas dari tanah Jawa dan keduanya menetap
di Gunung Kerinci.
Sukat Tandika tersenyum.
"Kalau hari panas seperti ini, perempuan itu suka
pergi menyejukkan diri di telaga. Jika kau ingin
bertemu mari kita datangi dia di telaga. Tak jauh dan
sini."
"Terima kasih. Sebaiknya lain kali saja saya
menemui beliau. Inyiek Sukat Tandika, ada satu hal
sangat penting yang membawa saya menemui Inyiek
di tempat ini."
SI kakek bermuka seperti tengkorak tersenyum dan
anggukkan kepala.
"Sampaikan maksudmu. Aku ingin cepat-cepat
mendengar."
Siapakah kakek yang diam di goa batu di lereng
Gunung Kerinci dan tengah ditemui Datuk Marajo Sati
ini? Para penggemar dan pecinta serial cerita silat
Wiro Sableng tentu tidak akan lupa. Sukat Tandika
adalah nama asli dari Tua Gila alias Pendekar Gila
Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Nyawa, salah
seorang dedengkot rimba persilatan dari Pulau
Andalas yang telah mengembara sampai ke tanah
Jawa dan merupakan salah seorang dari beberapa
guru Pendekar 212 Wiro Sablengi (Tokoh silat ini
muncul pertama kali dalam serial Wiro Sableng
berjudul Banjir Darah Di Tambun Tulang. Bagi
pembaca yang ingin mengetahui berbagai kisah
riwayat Tua Gila dapat mengikuti dan membaca dalam
serial berjudul Tua Gila Dari Andalas, Asmara Darah
Tua Gila, Lembah Akhirat, Pedang Naga Suci 212,
Jagal Iblis Makam Setan, Utusan Dari Akhirat, Liang
Lahat Gajah Mungkur, Rahasia Cinta Tua Gila, Wasiat
Malaikat, Dendam Dalam Titisan dan Gerhana Di
Gajah Mungkur)
"Inyiek," kata Datuk Marajo Sati pula, "terlebih dulu
saya minta maaf kalau kedatangan saya mengganggu
ketenteramanmu. Kemudian saya juga mohon maaf
kalau apa yang akan saya sampaikan kurang berkenan
dihatimu."
"Katakan saja...katakan saja sahabatku muda."
Jawab Sukat Tandika alias Tua Gila. Walau Datuk
Marajo Sati bicara dengan suara rendah namun Tua
Gila maklum seperti ada sesuatu yang siap meledak
dari dalam diri Sang Datuk.
"Kalau tidak salah saya mengingat, bukankah
Inyiek pernah mempunyai seorang murid berasal dari
tanah Jawa. Bernama Wiro."
"Ah....Anak itu yang kau tanyakanl Kau tahu, gurunya
si nenek sakti Sinto Gendeng selalu menyebutnya
dengan panggilan Anak Setan. Sahabatku muda Datuk
Marajo Sati, mengapa kau menanyakan perihal anak
itu?"
Datuk Marajo Sati perhatikan wajah menyerupai
tengkorak di hadapannya. Ucapan pertanyaan tadi
polos-polos saja. Tidak ada kepura-puraan. "Inyiek,
apakah Inyiek tahu kalau muridmu itu saat ini berada
di tanah Minang?"
Tua Gila gelengkan kepala.
"Jadi sebagai murid dia tidak mengunjungi Inyiek?"
Kembali Tua Gila gelengkan kepala lalu berkata.
"Soal dia tidak mengunjungi diriku bukan satu
kekecewaan bagiku. Anak muda seperti dia, kalau
pergi kemana dia suka. Sebentar ada di timur. Lain
waktu ada di barat Lain kejap muncul di utara atau di
selatan atau dibelahan bumi mana saja yang
disukainya. Yang lebih penting bagiku adalah kemana
dia pergi berbuat kebajikan sesuai dengan ilmu
kepandaian yang dimilikinya." Si kakek ucap janggut
putihnya. Lalu bertanya. "Apa sahabat muda Datuk
Marajo Sati telah bertemu dengan dia?"
"Betul Inyiek. Bukan hanya sekedar bertemu. Ada
masalah yang dibawanya di tanah Minang ini."
Kening tak berdaging Tua Gila masih bisa berkerut
Rongga mata tampak semakin cekung.
"Masalah? Anak setan itu membawa masalah di
tanah Minang? Gila betul kalau dia berani kurang ajar
di negeri inil Coba kau ceritakan padaku sejelas-
jelasnya!"
Datuk Marajo Sati lalu menceritakan hal ihwal
Pendekar 212 mulai dari penyusupannya ke dalam
goa di Ngarai Sianok sampai pada senjata rahasia
berbentuk bintang empat. Lalu juga mengenai
Kematian Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit
Tua Gila geleng-gelengkan kepala.
"Kalau anak itu berani menyusup ke tempat
kediamanmu, benar-benar kurang ajar. Tapi aku yakin
kalau dia melakukan hal itu pasti tidak sengaja atau
ada sesuatu yang jadi alasannya."
"Saya tidak tahu apa alasannya, Inyiek." Jawab
Datuk Marajo Sati tanpa mau memberi tahu perihal
kupu-kupu giok. "Ada satu hal lagi. Dia mengatakan
bahwa dia berada di tanah Minang karena ada pesan
dan amanat dari seseorang. Akan terjadi satu perkara
besar di negeri Ini. Dia merasa sebagai pendekar
besar dan hebat Karena inyiek gurunya, apakah Inyiek
yang memberi pesan dan amanat itu?"
"Aku tidak pernah memberi pesan dan amanat.
Seperti kataku tadi anak itu tidak pernah
mengunjungiku."
"Kalau begitu lalu siapa?" tanya Datuk Marajo Sati
dengan nada datar seperti tak percaya. "Apa dia punya
guru yang lain di negeri Ini?"
"Onde, mana aku tahui" jawab Tua Gila. Dia ingat
pada Datuk Rao Basaluang Ameh yang diketahuinya
juga adalah guru dari Wiro. Namun tidak banyak para
tokoh di tanah Minang yang mengetahui hal itu.
Mereka mengganggap Datuk Rao Basaluang Ameh
sesuai dengan cerita yang tersebar telah meninggal
dunia seratus tahunan silam. Tapi Tua gila tidak mau
memberi tahu perihal orang sakti yang dianggap
setengah Dewa itu pada Datuk Marajo Sati. (Onde =
Aduh)
"Saya sempat memberi peringatan pada murid
Inyiek itu. Kalau dia masih berani berkeliaran di
sekitar Ngarai Sianok maka saya akan
mengganggapnya sebagai musuh."
"Ah....walau perangainya terkadang kurang ajar
dan sering bertindak seperti orang gila, tapi
seharusnya kau tidak perlu mengeluarkan ucapan
seperti itu. Aku tetap berpendapat, setiap melakukan
sesuatu muridku pasti punya alasan. Datuk Marajo
Sati, apakah kau tidak terlupa mengatakan sesuatu?"
"Sesuatu apa Inyiek?" balik bertanya sang Datuk.
"Aku merasa kau menyembunyikan sesuatu "
Jawab Tua Gila.
Datuk Marajo Sati tutup perubahan wajahnya
dengan tersenyum.
Tua Gila kembali membuka mulut "Jika muridku
mengatakan akan terjadi satu perkara besar di negeri
ini, maka itu bukan pandainya dia yang bicara. Tapi
pasti ada yang memberi tahu memberi petunjuk.
Siapa orangnya tidak perlu dijadikan masalah Yang
jelas kelak apa yang dikatakannya akan menjadi
kenyataan. Kurasa kau sudah bisa menduga hal itu.
Kau sudah memaklumi...."
"Bagaimana kalau dia sendiri yang menimbulkan
perkara itu Inyiek? Datuk tahu, sekarang kabarnya dia
berteman dengan seorang pemuda tukang Intai anak
gadis orang mandil"
"Apa?l" Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai
keluarkan air mata. "Muridku belum segila itu berani
berbuat kurang ajar ikut-ikutan mengintip anak
perawan mandil Tapi mengintai anak gadis mandi itu
satu pekerjaan asyik! Ha...ha...hal"
"Inyiek. waktu saya tidak lama. Bolehkah saya
meminta bantuan Inyiek?"
"Dangan senang hati Datuk. Katakan bantuan apa
yang akan kau minta dari ku."
"Saya ingin Inyiek mencari murid Inyiek itu. Jika
bertemu perintahkan dia untuk meninggalkan negeri
Ini. Pulang kembali ke tanah Jawa."
Tua Gila terdiam lalu tersenyum.
"Itu yang tidak bisa aku lakukan Datuk. DI bumi
clptaan Aliah ini setiap insan boleh pergi kemana dia
suka. Tapi kalau memang muridku punya pekerjaan
salah, tanpa kau mintapun bisa kutanggalkan
kepalanya.
"Bagaimana Inyiek bisa berkata begitu kalau
Inyiek sendiri tidak beranjak dari sini, tidak mau
mencari dan menemuinya?"
"Datuk, begini saja kita bicara. Kau saja yang
mencari anak itu. Bawa dia ke hadapanku. Kalau dia
memang terbukti bersalah telah membuat keonaran,
apa lagi sampai membunuh orang tak berdosa di
negeri Ini tak usah banyak cakap. Saat itu juga akan
kutamatkan riwayatnya."
"Kalau begitu kata Datuk, saya merasa tidak perlu
susah-susah membawanya ke hadapan Datuk. Biar
saya habisi saja dia pada saat bertemu."
Mulut Tua Gila terbuka ternganga. Lalu tokoh silat
Ini tertawa mengekeh.
"Datuk Marajo Sati. Jangankan satu kalil Sepuluh
kallpun kau boleh membunuh anak itul Tapi kalau dia
mati dalam keadaan tidak bersalah tidak berdosa,
apa kau bisa menggadaikan nyawamu sendiri padaku?l"
Wajah Datuk Marajo Sati berubah kemerahan.
"Datuk, kau tokoh terpandang di ranah Minang.
Jangan sampai kesalahan tangan...."
"Justru karena saya seorang tokoh maka saya
merasa bertanggung jawab atas keamanan di negeri
Ini...."
"Menjaga keamanan bukan berarti bekerja tanpa
menyelidiki tanpa otak!" tukas Tua Gila dengan ketus.
Datuk Marajo Sati jadi panas. Dalam hati dia
berkata. "Kalau gurunya seperti ini bagaimana
muridnya. Tua Gila, apa aku tidak tahu cerita riwayat
dirimu di masa lalu. Kau pernah membunuh hampir
tiga ratus manusia ketika kau patah hati karena
ditinggal Sinto Gendeng"
Seolah tahu orang merasani dirinya Tua Gila
bertanya.
"Datuk, apa yang ada di benakmu?"
Datuk Marajo Sati tidak menjawab.
Tua Gila bertanya lagi.
"Datuk, apa yang ada di hatimu?!"
"Inyiek, cukup sampai di sini kita bicara. Lebih
kurangnya kita lihat saja apa kelak yang akan terjadi.'
Ucapan Sang Datuk oleh Tua Gila terasa terlalu
berkelebihan kalau tidak mau dikatakan sombong
Sebaliknya daiam hati yang masih panas Datuk Marajo
Sati yang sudah lama mendengar berbagai cerita
hebat tentang ilmu kesaktian kakek satu ini diam-diam
ingin menjajal. Sambil bangkit berdiri dia membungkuk
memberi hormat. Tapi dua tangan pura-pura merapikan
sorban. Dari dalam sorban itu melesat keluar sambaran
angin yang mampu membuat seseorang tidak bisa
bergerak selama setengah hari.
Tanpa banyak bicara lagi Datuk Marajo Sati tinggalkan
tempat itu. Di atas sebuah batu dia buka sorbannya.
Sorban mengapung di udara. Datuk Marajo Sati,
melompat dan berdiri di atas sorban. Sesaat kemudian
Datuk pimpinan para Datuk Luhak Nan Tigo itu telah
melesat terbang di udara.
Tak lama setelah Datuk Marajo Sati lenyap di langit
tinggi Tua Gila tertawa mengekeh. "Orang pandai
hendak mengerjai diriku dengan sorban sakti.
Melancarkan serangan ilmu pembungkam tubuh
bernama Meniup Dua Belas Jalan Darah. Hik...hik. Aku
cuma merasa seperti kesemutan!" Sambil terus
tertawa kakek yang punya nama besar dalam rimba
persilatan Ini bangkit berdiri lalu berlari ke arah
telaga guna menemui istrinya Sabai Nan Rancak.
***
MASIH jauh dari Ngarai Sianok, Datuk Marajo Sati
tidak bisa menahan kencing yang sudah terasa sejak
tadi. Ketika melihat ada sungai kecil di bawah sana,
dengan cepat Sang Datuk menukikkan sorbannya ke
bawah. Setelah mencari tempat yang baik dan
terlindung Datuk Marajo Sati singsingkan jubah
putihnya ke atas. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika
mendapatkan tubuhnya mulai dari pinggang sampai
ke lutut telah dilibat sejenis benang sangat halus,
nyaris tidak terasa dan tidak terlihat mata.
"Benang Kayangan. Kapan dia melakukannya....?"
ucap Datuk Marajo Sati dengan suara bergetar.
Benang Kayangan. itulah senjata milik Tua Gila
yang merupakan salah satu keajaiban rimba
persilatan. Tidak sembarang orang atau benda tajam
bisa memutuskan benang sakti itu.
Dalam keadaan kelabakan karena tidak bisa
membuka pakaian, tidak mampu memutus benang
sakti yang melilit setengah tubuhnya Datuk Marajo
Sati akhirnya melompat masuk ke dalam sungai kecil
dan pancarkan kencingnya di dalam air sungai. Sang
Datuk sadar. Dalam hati dia mengucap.
" Astagafirullah. Aku telah berlaku congkak. Di atas
langit masih ada langit lagil"
EMPAT BELAS
TEPIAN BARAT Danau
Maninjau tak Jauh dari
Muko Muko. Angindanau
bertiup sejuk. Ki Bonang Talang Ijo tampak gelisah.
Diamelangkah mundar mandir di depan sekumpulan
Batu Tagak. (Batu Tagak = Batu Berdiri - Batu
Prasasti) Sebantar-sebantar orang tua berjubah hijau
memandang ke langit. Sang surya semakin tinggi.
Siap menggelincir ke ufuk tenggelamnya.
"Kita hanya tinggal menunggu Perwira Muda Teng
Sien, dua bataaudara SI Kamba Tangan Manjulai dan
Duo Hantu Gunuang Sago SI Kalam Langit. Heran,
matahari sudah tinggi begini mereka belum juga
muncul.”
Orang-orang yang ada bersama si kakek di tempat
itu tampak juga sudah tidak sabar. Mereka adalah Duo
Hantu Gunuang Sago SI Batu Bakilek yang tangannya
diganjal pelepah daun kelapa dan dibalut akibat cidera
berat sewaktu dihajar Datuk Panduko Alam, Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik, tiga orang anak buah Teng
Sien dan seorang lelaki separuh baya membekal
pedang dikenal dengan nama Tuanku Laras Muko
Balang. Orang ini memiliki wajah aneh, ditumbuhi
bulu. Bulu di sebelah kanan wajah berwarna hitam,
di sebelah kiri berwarna putih.
Tuanku Laras Muko Balang cabut pedang besar
yang terselip di pinggang. Senjata yang terbuat dari
perak murni ini memantulkan cahaya menyilaukan
begitu tertimpa sinar matahari, konon berasal dari
negeri Arab. Setelah merenung sejenak sambil
pejamkan mata dia sarungkan pedang perak itu
kembali. Sewaktu hendak dimasukkan ke sarung,
ujung pedang tampak bergetar.
"Aku mendapat firasat buruk. Sesuatu terjadi
dengan beberapa sahabat kita." Berucap Tuanku Laras
Muko Balang.
Baru saja ucapan Tuanku Laras berakhir tiba-tiba
di kejauhan kelihatan beberapa orang berkelebat Di
depan sekali Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Nenek ini berlari sambil memanggul saudaranya Si
Kamba Pesek Tangan Manjulai. Seperti diketahui
nenek satu ini menderita cidera cukup parah,
berpatahan tulang-tulang iganya kiri kanan akibat
dihantam Datuk Panduko Alam ketika terjadi
pertarungan di Bukit Malintang.
Di samping si nenek berlari Perwira Muda Teng
Sien. Larinya tak kalah cepat namun dua kaki tampak
terhengkang-hengkang seolah ada yang mengganjal
di bawah perutnya. Cara lari Teng Sien yang seperti
ini tidak lain akibat hantaman potongan bambu yang
dilemparkan Pendekar 212 Wiro Sableng ke bagian
bawah perutnya.
KI Bonang Talang Ijo segera menyambut
kedatangan orang-orang ini. Duo Hantu Gunung Sago
SI Batu Bakilek usap kepala botak berkiiatnya dan
bertanya mana kakaknya SI Langit Kalam. Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai lebih dulu sandarkan Si
Kamba Pesek ke sebuah batu tagak baru
menerangkan dengan suara perlahan kalau Duo Hantu
Gunung Sago Si Kalam Langit telah menemui ajal
dibunuh orang. Semua orang yang ada di tempat itu
melengak kaget Si Batu Bakilek menggerung keras.
Lupa dia akan cidera di tangan kanan, orang ini
melompat bangkit dan mencekal keras-keras tangan
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
"Siapa yang membunuh saudaraku? Katakan
bagaimana kejadiannya? Dimana jenazahnya
sekarang?!"
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai lalu
menuturkan apa yang diketahuinya.
"Aku, Perwira Teng Sien dan Si Kalam Langit
berhasil menemui pemuda asing yang aku lihat dalam
tarak. Pemuda itu ternyata berasal dari Jawa. Dia
bersama Malin Kapuyuak yang malam sebelumnya
dihantami orang sedusun karena ketahuan mengintai
anak gadis orang mandi di pancuran. Karena Malin
keparat itu mengeluarkan ucapan menghina diriku,
maka hendak kucabik mulutnya. Tapi pemuda Jawa
yang mengaku bernama Wiro itu menolongnya.
Ternyata dia memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi.
Aku tak tahu ilmu setan apa yang dimilikinya. Dua
tangannya bergerak dan tiba-tiba saja sekujur
tubuhku kaku tak bisa bergerak...." SI Kamba
Mancuang Tangan Manjulai tentu saja tidak mau dan
merasa malu besar menceritakan bagaimana Wiro
telah memeluk, mencium dan mengecupnya.
"itu ilmu Mancucuk Raga Membungkam Badani
Berasal dari negeri Cinal" Kata Pandeka Bumi Langit
Dari Sumanik.
"DI tanah Jawa dikenal dengan nama ilmu totokan."
Menjelaskan Ki Bonang Talang Ijo. Lalu kakek ini minta
Si Kamba Mancuang meneruskan cerita.
SI nenek lanjutkan keterangan.
"Pemuda asing itu menghantam Perwira Teng Sien
tepat pada barang terlarangnya dengan potongan
bambu hingga jatuh pingsan."
Tahu kalau dirinya tengah dibicarakan Teng Sien
lalu berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk bagian
bawah perutnya.
"Si Kalam Langit mengejar anak kurang ajar
bernama Malin Kapuyuak. Aku baru tahu apa yang
kemudian terjadi dengan Si Kalam Langit setelah
menjelang siang totokan dltubuhku lepas." Si nenek
mana tap sebentar ka arah Si Batu Bakilek baru
meneruskan ucapan. "Di satu tempat tak jauh dari
psaawahan aku menemukan kakakmu Si Kalam Langit
telah menemui ajal. Ada dua lobang besar di kening
dan di pangkal lehernya. Agaknya dia dihabisi dengan
senjata terbang"
Duo Hantu Gunung Sago Batu Bakilek kembali
berteriak keras, menendang kian kemari saking
marahnya. Sebuah batu tegak hancur berantakan kena
tendangan.
"Aku bermaksud mangurus jenazah SI Kalam
Langit walau adikku juga dalam keadaan masih cidera.
Namun kemudian muncul penduduk dusun terdekat
Mereka membawa keranda mayat Menurut orang-orang
itu mereka tahu ada mayat di tempat itu dari Datuk
Marajo Sati. Datuk itu juga meminta agar Jenazah
dimakamkan di tempat yang baik satelah lebih dulu
dimandikan dan disembahyangi...."
"Datuk Marajo Satil" ucap Duo Hantu Gunung
Sago Batu Bakilek. "Aku menduga, jangan-jangan
Datuk itu yang membunuh saudarakul Aku akan
mencarinyal Jika terbukti memang dia pelakunya akan
kupecahkan kepalanya! Aku tidak takuti Aku tidak
perduli Ilmunya tinggi! Aku tidak perduli dia pimpinan •
para Datuk Luhak Nan Tigo. Akan kucincang tubuhnya
sampai lumat!"
"Hal itu bisa sama-sama kita selidiki, tapi tidak
sekarang. Ada urusan yang lebih penting. Mencari
kupu-kupu giok pusaka utama Kerajaan Tiongkok
yang harus segera berada di tangan Kaisar." Yang
berkata adalah Ki Bonang Talang Ijo. Orang tua
berjubah dan berbelangkon hijau Ini tidak begitu
tertarik untuk menyelidiki dan mencari pembunuh SI
Kalam Langit. Urusan lebih penting adalah
menemukan kupu-kupu batu giok yang akan memberi
tambahan hadiah batangan-batangan emas.
Menyelidiki kematian Si Kalam Langit baginya tidak
ada guna selain membuang waktu.
Mendengar ucapan Ki Bonang Talang Ijo. amarah
Duo Hantu Gunung Sago jadi meledak. Sambil
menunjuk tepat-tepat ke muka si kakek, lelaki tinggi
besar berkepala botak ini berteriak lantang.
"Kau boleh tidak perdull dengan Si Kalam Langit
karena dia bukan saudaramu! Bukan darah dagingmul
Kau boleh tidak mau menyelidik dan mencari
pembunuh kakakku karena kau lebih suka pada upah
besar batangan emasl Aku katakan pada kaiian. Soal
kupu-kupu giok itu silahkan kalian urus sendiri. Pergi!
Lindang hapus kalian semual" (Lindang hapus = Pergi
dan jangan kembali lagi)
Habis berkata begitu Si Batu Bakilek hentakkan
kaki hingga tanah bergetar ialu tinggalkan tempat itu.
Perwira Muda Teng Sien berteriak-teriak mengatakan
sesuatu. Yang mengerti bahasanya hanya Ki Bonang
Talang Ijo. Maka kakek ini segera memanggil Si Batu
Bakilek.
"Batu Bakilek. Perwira Muda ini tidak suka kau
meninggalkan rombongan. Kalau kau memaksa pergi
katanya kau harus mengembalikan tiga batangan
emas yang sudah kau terima!"
Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek hentikan
langkah. Berpaling dan memandang melotot ke arah
KI Bonang Talang Ijo, lalu meludah ke arah Perwira
Muda Teng Sien.
"Ki Bonang! Katakan pada orang Cino Itu I Kalau
dia minta kembali tiga batangan emasnya, aku akan
kembalikan. Akan aku bungkus baik-baik. Bukan cuma
tiga batang yang akan kau kembalikan. Tapi sepuluhl
Tapi yang akan aku kembalikan adalah batangan
langekl". (langek » kotoran manusia) SI Batu Bakilek
meludah sekali lagi ke arah Teng Sien lalu lanjutkan
langkah. Melihat ini Teng Sien berteriak pada tiga
anak buahnya. Tiga anggota pasukan Kerajaan Tiongkok
itu segera mencabut golok dan tanpa banyak bicara
langsung menyerang SI Batu Bakilek!
Ki Bonang Talang Ijo berteriak mencegah saling
serang di antara anggota rombongan tapi tertambat
Di depan sana walau tangan kanannya cidera, SI Batu
Bakilek masih bisa pergunakan tangan kiri Sekali dia
melepas pukulan tangan kosong, dari tangan yang
hitam berbulu itu melesat keluar selarik angin
berwarna hitam. Dua anak buah Teng Sien terpental,
jatuh terduduk muntah darah lalu tergelimpang tak
bernyawa lagi. Yang ke tiga masih sempat selamatkan
diri walau terjengkang di tanah.
Teng Sien menggembor marah. Sekali lompat saja
dia sudah berada di hadapan Si Batu Bakilek.
langsung kirimkan tabasan ke leher orang. Si Batu
Bakilek cepat menghindar. Golok berbalik kali ini
membabat ke arah pinggang.
"Breetttr
Masih untung bukan perutnya yang Jebol tapi
hanya baju hitam SI Batu Bakilek yang robek besar.
"Hentlkanl Kalian berdua sudah kemasukan setani'
Teriak Ki Bonang Talang Ijo. Kakek ini tanggalkan
belangkon hijaunya lalu dikibaskan ke arah dua orang
yang aedang bertarung. Saat itu Juga baik SI Batu
Bakilek maupun Teng Sien sama-sama merasa tubuh
mereka menjadi lemas. Seperti lumpuh keduanya Jatuh
terduduk di tanah.
KI Bonang Talang Ijo dekati kedua orang ini.
Setelah bahu masing-masing ditepuk keduanya baru
bisa bangkit berdiri kembali. Ki Bonang mengatakan
sesuatu pada Perwira Muda Teng Sien lalu berpaling
pada Si Batu Bakilek.
'Kau memberi malu sajal Menerima hadiah tapi
tidak mau bekerjal Kalau kau mau pergi silahkan sajal
Aku tidak butuh orang sepertimul Kau tak usah
mengembalikan tiga batang emas yang sudah kau
terimal Makan sampai perutmu gembung dipenuhi
racun kecurangan!'
Sepasang mata besar Duo Hantu Gunung Sago
berkilat-kilat dan tampak membersitkan cahaya merah
menyerupai buah sago.
"Ki Bonang, kalaupun kau berada di tanah Jawa
tidak pantas kau berkata menyumpah seperti itul Apa
lagi saat Ini kau berada di negeri orangl Aku tidak
akan melupakan semua ucapanmu tadi. Lebih cepat
kau meninggalkan tanah Minang Ini akan lebih baik.
Kalau tidak kelak aku akan mencarimu untuk
memberikan sekedar pelajaran bagaimana tata cara
bicara yang sopani Atau kau minta kuberi pelajaran
sekarang juga?! Bagiku kematian bukan apa-apa. Tapi
kau pasti takut mati karena tidak akan mendapatkan
harta. Padahal kalau kau mampus masih untung jika
ada yang membungkus jenazahmu dengan kain kafan!
Atau kau kira akan mati membawa batangan emas
celaka keparat itu?i" Sambil keluarkan ucapan keras
SI Batu Bakilek angkat tangan kirinya, dipantang di
depan dada. Tangan beaar hitam berbulu itu
memancarkan cahaya hitam redup pertanda orang
kedua dari Duo Hantu Gunung Sago ini siap
melancarkan pukulan bernama Pukulan Batu Beracun
yang tadi sudah memakan dua korban anak buah Teng
Sien.
Walau hatinya panas sekali namun Ki Bonang Talang
Ijo masih bisa menindih amarahnya yang hampir
meledak.
"Aku siap menerima pelajaran sopan santun darimu.
Datanglah kapan sajal" ucap si kakek.
Si Batu Bakilek menyerang.
"Kau takut menghadapiku saat ini. Ha...hai"
Si Batu Bakilek tertawa mengejek. Sambil tudingkan
telunjuk tangan kiri ke arah kepala Ki Bonang Talang
Ijo dia berkata.
"Kakek keparat kau harus ingat satu hai. Dan kami
semua orang di ranah Minang ini juga akan mengingat
baik-baik dan jelas-jelas Kau yang datang
menimbulkan perkara dan malapetaka di negeri ini
dengan membawa manusia-manusia asing itul Kau
kelak harus menebus dosa kesalahanmu dengan
guyuran darahmu sendiril"
Selesai bicara lantang SI Batu Bakilek segera
memutar tubuh. Sebelum dia sempat melangkah tiba-
tiba sebuah benda putih melesat di udara dan
menancap di tanah antara SI Batu Bakilek dan Ki
Bonang Talang ijo.
Kedua orang ini saling pandang seketika. Si Batu
Bakilek bergerak lebih dulu mencabut benda yang
menancap di tanah. Benda itu ternyata adalah secarik
kain putih yang digulung pada sebatang potongan
bambu. Dengan tangan kirinya Si Batu Bakilek buka
gulungan kain putih, di atas kain putih ada serangkai
tulisan. Walau tulisannya jelek tapi cukup jelas untuk
dibaca Setelah membaca apa yang tertulis di kain
putih SI Batu Bakilek menyeringai lalu campakkan
kain dan bambu ke tanah. Tanpa banyak bicara
ataupun menoleh dia tinggalkan tempat itu.
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai yang berada
agak jauh ulurkan tangan kiri hingga menjadi panjang
lalu mengambil kain dan bambu. Kain dikembang.
Mulut berkomat kamit terpencong-pencong mulai
membaca apa yang tertulis di atas kain putih.
Kalau mau tahu siapa pembunuh Duo Hantu Gunung
Sago Si Kalam Langit, orangnya adalah pemuda Jawa
berambut panjang, bernama Wiro, berjuluk Pendekar
212 Wiro Sableng.
TAMAT
Siapakah yang telah menyerang Pendekar 212 sewaktu
keluar dari goa kediaman Datuk Marajo Sati. Siapa
pula yang telah membunuh Duo Hantu Gunung Sago SIKalam Langit?
Mampukah Datuk Marak» Sati menyelamatkan Puti
Bungo Sekuntum dari kejaran KI Bonang Balangnipa
dan Perwira Muda Teng Sien?
Siapa perempuan yang telah menghalangi pembunuh
SI Kalam Langit hingga tidak Jadi mengejar Malin
Kapuyuak?
Siapa pembuat dan pengirim kain bersurat yang
memfitnah Pendekar 212 sebagal pembunuh SI Kalam
Langit?
Ikuti Serial berikutnya berjudul :
FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
Sudahkah anda baca
Karya terbaru dari
BASTIAN TITO
JUDULNYA.
- Perawan Sumur Api
- Arwah Candi Miring
- PANGERAN BUNGA BANGKAI
- DEWI TANGAN JERANGKONG
Sang Pendekar dikenal dengan nama "SATRIA
LONCENG DEWA" sipendekar bhumi mataram
Kelahirannya bersama saudara kembarnya mengundang
banyak tokoh Jahat dan baik berusaha mendapatkan
mereka berdua.
0 comments:
Posting Komentar