..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 15 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE KUPU KUPU NGARAI SIANOK

Kupu kupu Ngarai Sianok


 

KUPU KUPU NGARAI SIANOK

"Anak gadis mulai saat ini namamu puti bunga sekuntum julukan mu  rama ram giok ngarai Sianok atau kupu kupu giok ngarai Sianok"gadis cina gadis cina bernama  chia swie kim  yang cantik itu tersenyum 


"Terima kasih datuk"ketika chi swie kim itu hendak menyambut ucapan nya..datuk marajo sati memberi isyarat  seraya berbisik


Ada manusia jahil di luar sana agak nya sudah sejak tadi dia mendengar pembicaraan kita anak gadis, lekas ubah wujud mu menjadi kupu-kupu giok


Dengan cepat chia swie kim merubah diri menjadi kupu-kupu batu giok berwarna hijau

Kebiruan datuk marajo sati ambil kupu kupu batu giok itu lalu meletakkan nya di dalam sebuah lekukan di dinding goa sebelah kiri






SATU


SENJA itu angin 

dari arah laut bertiup 

lebih kencang dari 

biasanya. Daun-daun 

pohon kelapa mengeluarkan suara gemerisik ber-

kepanjangan. Di pondok kayu kediamannya di satu 

lereng bukit Sutan Panduko Alam yang baru saja 

menyelesaikan shalat Magrib tengah berzikir khidmat 

ketika hidungnya mencium bau angin yang mengandung 

garam. Orang tua ini letakkan tasbih batu hitam di 

atas pangkuan, memandang ke arah pintu pondok

yang tertutup sambil mengusap janggut seputih kapas.

 "Angin dari laut," ucap Sutan Panduko Alam dalam 

hati. "Tidak pernah angin dari laut bertiup sampai 

sejauh ini ke Bukit Melintang. Pertanda apakah yang 

hendak diberi tahu oleh alam?"

 Perlahan-lahan orang tua berusia hampir delapan

puluh tahun ini bangkit berdiri. Setelah merapikan

letak sorban putih berumbai-rumbai benang emas di

kepala, sambi terus mengucapkan zikir dia melangkah 

ke pintu rumah lalu membukanya. Begitu pintu pondok 

terbuka, angin kencang datang menerpa. Janggut 

panjang serta jubah putih melambai-lambai.

 Sepasang mata si orang tua yang berwarna kelabu 

menatap berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa selain 

pepohonan yang menghitam dalam kegelapan serta 

mendengar deru angin yang tiada henti.

 Sutan Panduko Alam melangkah mundur. Belum 

sempat dia menutup pintu pondok, di bawah deru angin 

yang begitu keras dia mendengar suara kepakan halus. 

Lalu ada benda melayang dan kemudian hinggap di


tangan kanan itu adalah seekor kupu-kupu besar.

 “Ramo-ramo... Puluhan tahun aku tinggal di sini tidak 

pernah bertemu dengan ramo-ramo. Mengapa malam ini 

tiba-tiba ada seekor ramo-ramo terpesat datang ke 

pondok ini?" (Ramo-ramo = Kupu-kupu/bahasa 

Minangkabau) Sutan Panduko Alam angkat tangan 

kanannya agar bisa memandang kupu-kupu itu lebih 

jelas. Binatang ini memiliki warna-warni yang luar biasa 

indah. Kepala bergerak, diangkat sedikit, dua buah 

mata yang bagus menatap ke arah si orang tua.

 Sutan Panduko Alam tersenyum laiu berkata.

 "Mahluk ilahi. Kau pasti datang dari jauh.

Dihempaskan angin ke pondok ini. Kau ingin

perlindungan dari angin kencang dan hawa dingin di

luar sana. Aku akan memberikan tempat yang hangat

bagimu." Lalu Sutan Panduko Alam pergunakan tangan 

kiri hendak membuka sorban di atas kepala. Namun 

gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia mendengar 

suara yang menjawab ucapannya barusan.

 "Orang tua berhati mulia, saya memang butuh

perlindunganmu. Tapi bukan dari dingin dan kencangnya 

angin. Melainkan dari serombongan orang yang 

mengejar dan hendak membunuh saya."

 Sutan Panduko Alam sampai terlonjak saking

kagetnya. Dia memandang berkeliling. Barusan dia

mendengar jelas suara orang berucap. Suara

perempuan. Tapi orangnya tidak kelihatan. Dia

memandang keluar, lalu memperhatikan seputar

bagian dari pondok.

 "Suaranya jelas tapi orangnya tidak kelihatan.

Gerangan siapakah yang barusan bicara?"

 "Orang tua, saya yang bicara. Kupu-kupu besar


di tangan kananmu."

 Sutan Panduko Alam kembali melengak. Mata yang 

kelabu semakin besar, tangan kanan didekatkan ke 

wajah.

 "Mahluk Ilahi ramo-ramo. Allah Maha Besar. Benar 

kau yang burusan bicara?"

 "Benar, orang tua. Tolong cepat-cepat tutupkan

pintu. Rombongan orang yang mengejar saya semakin 

dekat' Kupu-kupu di tangan kanan Sutan Panduko Alam 

kembali berbicara. Suara perempuan bernada sangat 

ketakutan. Dalam heran yang tidak terkirakan orang 

tua itu lakukan apa yang diminta kupu-kupu besar. 

Setelah menutup pintu pondok dia bersurut mundur, 

duduk di tepi tempat tidur rotan.

 "Allah Maha Kuasa, berbuat sekehendakNya. Tapi

baru kali ini aku melihat ada kupu-kupu pandai bicara.

Ramo-ramo gadang, katakan kau ini mahluk apa

sebenarnya? Mahluk jejadian atau roh yang tersiksa

karena sumpah kutukan? Datang dari mana?" (gadang

= besar)

 "Orang tua. saya berasal dari negeri sangat jauh

di seberang lautan. Negeri tanah daratan Cina. Ujud

saya sebenarnya adalah kupu-kupu terbuat dari batu

Giok berwarna biru kehijauan yang merupakan benda

pusaka utama milik Kaisar. Ketika seorang Pangeran

Kerajaan Tiongkok hendak membunuh puterinya

karena dituduh berzlnah..."

 Sutan Panduko Aiam memberi Isyarat dengan

gerakan tangan kiri agar kupu-kupu berhenti bicara.

Telinga tajam orang tua ini mendengar suara orang

berkelebat di sekeliling halaman pondok. Dia melirik

ke atas sewaktu merasakan ada getaran halus di


wuwungan.

 "Mereka sudah datang. Orang-orang yang hendak

membunuh saya..." Kupu-kupu di tangan kanan Sutan

Panduko Alam bicara dengan suara berbisik. Orang

tua itu bangkit dari tempat tidur, melangkah ke

dinding pondok. Melalui lobang kecil dia mengintai

ke luar. Tujuh orang dilihatnya berdiri di halaman

depan rumah. Dua orang yang bertubuh tinggi besar.

bermata besar merah, berbaju dan bercelana

galembong hitam, bertampang buas memelihara

kumis melintang, jenggot dan cambang bawuk.

Tangan mereka selain ditumbuhi bulu lebat juga

berwarna hitam mulai dari atas siku sampai ke ujung

sepuluh jari termasuk kuku. Di kiri kanan berdiri

empat orang yang dari bentuk tubuh, raut muka, warna

kulit serta pakaian pasukan Kerajaan Cina, menghunus 

golok besar telanjang. Salah seorang dari mereka 

memakai topi terbuat dari besi berwarna merah dihias 

kaca-kaca bulat berkilat (galembong = celana hitam 

berkaki besar)

 Setelah memperhatikan ke enam orang itu dengan

cepat Sutan Panduko Alam mengalihkan pandangan

pada orang ketujuh yang berdiri di bawah bayang-

bayang gelap pohon besar sambil rangkapkan dua

tangan di depan dada Kepala agak mendongak. Sutan

Panduko Alam maklum betul, sikap berdiri seperti

ini adalah sikap orang berkepandaian tinggi yang

tengah mementang mata memasang telinga. Orang

ini seorang kakek berjubah hijau mengenakan

blangkon yang juga berwarna hijau berbunga-bunga

putih.

 Waiau yang bisa dilihatnya hanya tujuh orang namun


Sutan Panduko Alam tahu betul, paling tidak ada dua 

orang di atas atap dan beberapa orang lagi di samping 

kiri dan kanan dan bagian belakang pondok.

 "Duo Hantu Gunung Sago," ucap Sutan Panduko

Alam dalam hati menyebut nama dua orang lelaki

berpakaian serba hitam bertampang seram. "Kalian

masih berkeliaran di nagari alam terkembang

membawa orang-orang asing dari Cina, berteman

seorang pandai berbiangkon hijau dari tanah jawa.

Hanya untuk memburu seekor kupu-kupu betina.

Gerangan rahasia apa yang ada dibaiik semua

kejadian ini."

 Dari lubang tempat mengintai Sutan Panduko Alam 

melihat kakek berjubah dan berbiangkon hijau

mengucapkan sesuatu sambil tangan kanan di-

gerakkan memberi aba-aba.

 Dua lelaki berpakaian hitam yang disebut Dua

Hantu Gunung Sago segera melompat ke depaan

rumah. Empat orang asing menebar. Yang memakai

topi besi merah melangkah lebih dulu. Kakek berjubah

hijau tidak beranjak dari bawah pohon.

 Sutan Panduko Alam dengan cepat menanggalkan

sorban putih di atas kepala. Kupu-kupu besar

dimasukkan ke dalam gulungan sorban seraya

berkata.

 "Ramo-ramo mahluk ilahi. Jika sesuatu terjadi

denganku maka sorban Ini akan membawamu terbang

ke tempat yang aman..." Lalu Sutan Panduko Alam

letakkan sorban di atas tempat tidur.

 Pada saat itu braaakk!

 Pintu pondok terpental jebol.

 Dua Hantu Gunung Sago melesat masuk disusul


empat orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan.

 Atap ijuk amblas. Dua orang melayang turun. Satu

membekal pedang, seorang lagi menghunus keris.

Sementara itu bagian belakang pondok juga telah

didobrak dan dua orang menghambur masuk yang

ternyata adalah dua nenek berambut putih panjang

tapi jarang dan sama-sama bergigi perak. Yang satu

berhidung mancung. Lainnya berhidung pesek.

 Walau semua kejadian itu dihadapi dengan tenang,

namun melihat dua nenek yang kini berada dalam

pondok mau tak mau bergetar juga hati Sutan

Panduko Alam. Dua nenek ini di pulau Andalas

dikenal dengan julukan Si Kamba Tangan Manjulai

yang berarti Si Kembar Tangan Panjang. Seperti

julukannya dua nenek kembar ini memang memiliki

sepasang tangan luar biasa panjang hingga ujung-

ujung jari mereka hampir menyentuh lantai.

 "Banyak tamu agung tidak terduga mengunjungiku. 

Sungguh satu kehormatan besar. Sebagai tuan rumah 

aku ingin bertanya. Gerangan maksud apa hingga 

datang malam hari beramai-ramai pula?"

 "Sutan Panduko Alam, kami datang dari jauh,

membawa empat tamu dari daratan Tiongkok. Kami

membawa urusan sangat penting. Kami tidak ingin

datang dengan sia-sia..." yang bicara adalah salah

seorang dari Duo Hantu Gunung Sago, yang berdiri

di hadapan sebelah kanan bernama Si Kalam langit,

memiliki muka hitam legam.

 "Maksud belum disampaikan sudah menyebut sia-sia. 

Hantu Gunung Sago, katakan apa keperluanmu dan 

semua orang yang kau bawa ke tempat ini."

 "Kami mencari sesuatu. Sesuatu itu kami ketahui


masuk ke dalam pondokmu ini." Kali ini yang bicara

adalah salah seorang dari Si Kamba Tangan Manjulai.

Dia diberi nama tambahan Si Kamba Pesek Tangan

Manjulai karena memang memiliki hidung pesek hampir 

sama rata dengan pipi.

 Sutan Panduko Alam tersenyum.

 "Kalian semua bicara setengah berteka-teki.

Sahabat lamaku Si Kamba Tangan Manjulai, katakan

apa yang kau maksudkan dengan sesuatu itu. Seekor

katak, ular berbisa atau sebangsa mahluk halus

jejadian. Atau mungkin juga seorang maling yang

telah mencuri barang berharga milik kalian."

 Orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan yang

mengenakan topi besi merah tampaknya tidak

sabaran. Dia berteriak mengatakan sesuatu sambil

mengacungkan golok besar. Hantu Gunung Sago yang

berdiri di samping kiri Sutan Panduko Alam bernama

Si Batu Bakilek (Si Batu Berkilat) karena memiliki

kepala botak plontos berkilat, mengangkat tangan

memberi tanda agar si orang Cina berlaku tenang.

Laiu dia melangkah mendekat Sutan Panduko Alam.

Tangan kiri diletakkan di atas bahu orang tua itu,

dialiri tenaga dalam tinggi hingga memiliki bobot

seperti sebuah batu sebesar rumah. Sadar orang

tengah menjajal yang bisa membuat tubuhnya remuk

sebelah, Sutan Panduko Alam membalas dengan

tenaga dalam yang mengeluarkan hawa lembut. Saat

itu juga tangan kiri Hantu Gunung Sago seperti

ditepiskan ke samping. Karena mengerahkan tenaga

besar tubuhnya nyaris terperosok ke depan.

 "Sahabatku Hantu Gunung Sago Batu Bakilek,

apakah kau belum makan dari pagi? Kau kelihatan

lemah, hampir jatuh tergelimpang," kata Sutan

Panduko Alam mempercandai orang.

 Diejek seperti itu si tinggi besar berkepala botak

ini menggembor marah. Tinju kanannya laksana kilat

menyambar ke muka Sutan Panduko Alam. Cahaya

hitam membersit dari tangan kanan yang memukul

pertanda pukulan mengandung kekuatan yang

mematikan. Di saat yang sama orang Cina bertopi

merah bacokkan besarnya, Juga mengarah kepala si

orang tua.


DUA


"YANG dicari belum 

bertemu. Mengapa mau 

membunuh orang yang 

tahu?”

 Dua tangan panjang bergerak luar biasa cepat 

menangkis serangan yang dilancarkan Hantu Gunung 

Sago Batu Bakilek dan orang Cina bertopi merah hingga 

membuat kedua orang itu terjajar. Yang menangkis 

serangan ternyata adalah Si Kamba Tangan Manjulai 

yang memiliki hidung mancung, dikenal dengan nama 

julukan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai (Si 

Kembar Manoung Tangan Panjang). Dia juga yang tadi 

keluarkan ucapan sebelum bergerak.

 Hantu Gunung Sago kepala botak dan orang Cina

berpakaian pasukan Kerajaan Tiongkok berteriak

marah. Si nenek mancung tidak perduli dia memutar

tubuh menghadap ke arah Sutan Panduko Alam.

 "Aku orang yang tidak suka bicara berteka teki

seperti katamu tadi. Aku bertanya langsung padamu.

Seekor kupu-kupu besar masuk ke dalam pondokmu.

Sekarang katakan dimana kau sembunyikan binatang

itu"

 Sutan Panduko Alam unjukkan wajah tercengang

lalu gelengkan kepala sambil keluarkan suara berdecak 

berulang kali.

 "Sutan Panduko, jangan berpura-pura. Jika kau

tidak memberi tahu, lihat saja apa jadinya. Kau sudah

terkurung. Aku tidak akan menyelamatkan nyawamu

untuk kedua kalinya!"

 "Sahabat lama, terima kasih kau mau berbaik hati

menolongku. Jadi kau dan yang lain-lain datang


beramai-ramai ini tengah mencari seekor kupu-kupu.

Sungguh lucu. Lebih lucu lagi karena aku tidak pernah

tahu kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam pondokku."

 "Urang Siak! Kau berdusta!" Bentak Si Kamba

Mancuang Tangan Manjulai. (Urang siak = Orang alim)

 Sutan Panduko Alam tertawa Dalam hati orang tua 

ini berkata "Berdusta untuk menyelamatkan nyawa 

mahluk ilahi apa dosanya? Berdusta terhadap orang-

orang berbusuk niat seperti kalian apa haramnya?"

 "Sutan Panduko, lebih baik kau memberi tahu

dimana kau sembunyikan ramo-ramo besar itu. Kalau

tidak kami akan membakar pondok ini" Yang bicara

mengancam adalah seorang lelaki muda berpakaian

dan destar merah, memegang kens bertuah. Sutan

Panduko Alam mengenali orang ini adalah tokoh silat

yang punya julukan Pandeka Bumi Langit Dari

Sumanik. (Pendekar Bumi Langit Dari Sumanik) Ilmu

silat orang ini luar biasa berbahaya. Bisa memukul

remuk kepala atau mencabik muka dan menjebol

tubuh lawan dalam sekali gebrakan saja. Konon ilmu

silat yang dimiliki sang Pendekar dikenal dengan

nama Sitaralak.

 “Buruk nian nasibku hari ini. Banyak sahabat lamo

yang datang aku harap kita bicara berelok-elok

beriang-riang. Ternyata datang membawa ancaman."

Sutan Panduko Alam memandang berkeliling. Lalu

lanjutkan ucapan. "Agaknya pondok buruk Ini terlalu

sempit untuk bercakap-cakap. Lebih baik kita

melanjutkan bicara di halaman."

 Sehabis keluarkan ucapan Sutan Panduko Alam

tiup pelita di dalam ruangan lalu melesat ke pintu.

Dua Hantu Gunung Sago Si Kalam langit coba


menghalangi tapi terpental kena sambaran sikut si

orang tua. Selain mencari tempat yang jebih leluasa

jika orang sekian banyak menyerang dirinya. Sutan

Panduko Alam juga tidak ingin orang-orang Itu

mengetahui keberadaan kupu-kupu besar yang

tergulung dalam sorbannya dan saat itu berada di atas

tempat tidur rotan.

 Hanya sesaat setelah Sutan Panduko Alam injakkan 

kaki di halaman depan pondok kediamannya, dua belas 

orang sudah mengelilinginya termasuk kakek berjubah 

dan berbelangkon hijau yang sejak tadi tetap berdiri 

tak bergerak di bawah pohon besar. Kini setelah Sutan 

Panduko Alam berdiri di halaman, kakek ini melangkah 

mendatangi.

 "Sutan Panduko Alam. namaku Ki Bonang Talang Ijo. 

aku seorang sahabat datang dari satu tempat bernama 

Kuto Gede di pulau Jawa. Terima salam hormatku!"

 Habis keluarkan ucapan kakek ini usap mukanya 

hingga saat itu juga berubah menjadi hijau termasuk 

sepasang mata. Selesai unjukkan kehebatan, dia susul 

menggerakkan badan membungkuk sambil tangan kanan 

dilambaikan.

 Gerak yang dibuat orang menimbulkan angin halus 

yang menggetarkan tubuh Sutan Panduko Alam dan 

memerihkan mata. Cepat-cepat orang tua ini membalas 

penghormatan Ki Bonang Talang Ijo.

 "Sahabat yang datang dari tanah Jawa. terima 

kasih balas salam dan penghormatanku. Sayang kau dan 

orang-orang ini tidak memberi tahu kedatangan lebih 

dulu." Sambil membungkuk Sutan Panduko Alam 

geserkan sedikit telapak kaki kanannya. Tanah 

bergetar, gerakan menjalar masuk menyentuh dua


kaki Ki Bonang Talang ijo hingga kakek itu sesaat

 merasa dua kakinya seperti lumpuh.

 Sambil tersenyum dan batuk-batuk Ki Bonang Talang 

ijo luruskan tubuh lalu berkata.

 "Sutan Panduko Alam. aku tidak menginginkan 

pondokmu dibakar orang, apalagi melihat dirimu

sampai celaka. Aku meminta dengan sangat dan

segala hormat agar kau menyerahkan kupu-kupu besar

yang terpesat masuk ke dalam pondokmu."

 Sutan Panduko Alam menyadari jika pecah

pertarungan dia tidak akan mungkin menghadapi

sekian banyak musuh. Namun menyerahkan apa yang

diminta orang diapun tidak sudi. Melindungi mahluk

Ilahi yang datang meminta tolong bagi keselamatan

jiwanya adalah kewajiban setiap orang termasuk

dirinya. Maka Sutan Panduko Alam lantas menjawab.

 "Sahabat, soal bakar membakar memang tidak

layak dilakukan. Apa lagi perihal celaka mencelakai

sesama insan Ilahi. Aku katakan padamu bahwa tidak

ada kupu-kupu yang terpesat masuk ke dalam

pondokku. Puluhan tahun aku menetap di sini. daerah

ini tidak pemah adaramo-ramo atau kupu-kupu yang

kau sebut itu."

 Ki Bonang Talang Ijo tersenyum. Dia memandang

pada orang-orang sekeliling lalu kembali berpaling

pada orang tua di hadapannya

 "Sutan Panduko Alam. Malam yang dingin, kau

tidak mengenakan sorban. Sungguh diluar 

kebiasaan..." Ki Bonang melangkah lebih dekat. Lalu

setengah berbisik dia berkata. "Aku tahu dimana kau

menyembunyikan kupu-kupu itu!"

 Begitu ucapannya selesai Ki Bonang Talang Ijo


melompat ke udara melewati Sutan Panduko Alam

lalu melesat ke arah pondok. Sutan Panduko Alam

berusaha menghalangi namun sebelas orang serentak

menyerbu dirinya. Duo Hantu Gunung Sago menyerang 

di depan sekali, menyusul empat orang Cina dari

samping kiri dan kanan. Si Kamba Tangan Manjulai

untuk beberapa lama hanya memperhatikan sambil

tertawa-tawa sementara Pendeka Langit Bumi Dari

Sumanik bersama beberapa orang lainnya menggempur 

dari arah belakangi

 Sutan Panduko Alam putar tasbih batu hitam di

tangan kanan.

 "Traang...traang!"

 Dua golok mental ke udara. Salah seorang penyerang 

berpakaian pasukan Kerajaan Cina terpental lalu 

tergelimpang pingsan.

 "Breetttl"

 Jubah putih Sutan Panduko Alam robek di bagian

punggung dimakan mata keris salah seorang penyerang. 

Darah mengucur dari luka memanjang.

 "Membunuh pantangan orang Muslim. Memper-

tahankan diri membela kebenaran menghancurkan

kemungkaran adalah kewajibanl" Sutan Panduko

Alam keluarkan teriakan lantang. Tasbih batu hitam

di tangan kanan menderu.

 "Wuttt!"

 Selarik sinar hitam bertabur. Satu jeritan

membelah langit malam. Penyerang yang memegang

keris dan dikenal dengan nama Datuk Mangkuta Karth

Babegah terkapar di tanah dengan kepala hancur.

Sutan Panduko Alam mengamuk laksana banteng

terluka. Seorang lagi yakni Duo Hantu Gunung Sago


Batu Bakilek menggerung keras ketika tangan

kanannya remuk dihajar tasbih batu hitam.

 Bagaimanapun kehebatan Sutan Panduko Alam

namun menghadapi sekian banyak musuh walau dia

memiliki tingkat kepandaian ilmu yang disegani di

seluruh Nagari ranah Minang, setengah pertarungan

tak seimbang berlangsung empat jurus, SI Kamba

Pesek Tangan Manjulai berhasil menelikung tubuh

orang tua itu dari belakang dengan kedua tangannya

yang panjang, melilit laksana lilitan dua ular besar.

 Sutan Panduko Alam keluarkan gerak ilmu Burung

Balam Mengepak Sayap. Dua sikut terlepas dari

tangan yang melilit lalu menghantam ke belakang.

 "Kraakkl Kraakkl"

 Tiga tulang rusuk SI Kamba Pesek Tangan

Manjulai kiri kanan berderak patah. Nenek ini menjerit

setinggi langit. Lepaskan lilitan dua tangannya dari

tubuh Sutan Panduko Alam, terhuyung-huyung

beberapa langkah lalu roboh terjengkang di tanah

dengan mulut membusah darah!

 Walau lolos dari telikungan lawan namun keadaan

Sutan Panduko Alam tidak tertolong lagi. Orang tua

ini menjadi bulan-bulanan jotosan, tendangan,

tusukan dan bacokan yang datang dari berbagai

jurusan termasuk serangan pengecut dari arah

belakang!

 Orang tua ini akhirnya tergeletak tak bernyawa di

tanah, kepala dan wajah tidak berupa lagi, tubuh

penuh luka bergelimang darah. Jubah putih telah

berubah merah!


TIGA


KI BONANG Talang 

Ijo usap kedua matanya

dengan telapak tangan 

.kiri. Walau keadaan di dalam pondok gelap gulita 

usapan tangan tadi membuat dia kini bisa melihat jelas 

di dalam gelap. Benda yang dicari segera membentur

pandangannya. Terletak tergulung di atas tempat tidur 

rotan.

 "Sutan tolol! Hanya untuk seekor kupu-kupu yang 

tidak ada gunanya bagimu kau sampai mau-mauan mati 

percuma!"

 Sambil menyeringai Ki Bonang melangkah cepat

mendekati tempat tidur.

 "Kupu-kupu Giok. Aku tahu kau ada dalam gulungan 

sorban putih berumbai-umbai benang emas. Hanya satu 

jengkal lagi tangan kakek ini akan menyentuh sorban, 

tiba-tiba sorban melesat ke udara. Kaget Ki Bonang 

bukan kepalang. Dengan cepat dia melompat ke atas, 

tangan menyambar tapi lagi-lagi luput

 "Sorban keparat! Roh jahanam apa yang membuat

kau bisa melesat ke udara! Biar aku hancurkan kau

sekalian bersama kupu-kupu itu!"

 Tapi Ki Benang ingat, jangankan membunuh, melukai 

kupu-kupu itu saja dia tidak boleh melakukan. Itu 

pesan Teng Sien, Perwira Muda pasukan Kerajaan Cina 

bertopi besi merah yang jadi pimpinan rombongan 

pengejar kupu-kupu. Maka dengan mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh kakek ini kembali berkelebat ke 

atas . berusaha menyambar sorban yang melayang. 

Gerakan Ki Bonang memang luar biasa cepat. Dia 

berhasil menangkap salah satu ujung sorban yang


terjulai. Namun seperti hidup sorban menyentak diri 

hingga brettl. Ujung sorban robek putus.

 " Ki Bonang Talang Ijo berteriak penasaran. Kembali

kakek ini membuat gerakan menyambar. Namun sekali 

ini sorban yang melayang di udara menyusup ke bawah 

lalu plaakk! Ujung sorban yang robek mendarat di 

kening hijau Ki Bonang hingga kakek ini terpental. 

Kepala terasa sakit, pemandangan berkunang.

 "Jahanam kurang ajari" Dalam marahnya Ki Bonang 

tidak perduli lagi apakah dia akan melukai atau 

membunuh kupu-kupu yang dipastikannya berada dalam 

gulungan sorban. Ketika sorban putih melesat ke atas, 

melewati lobang jebolan di atap ijuk, Ki Bonang segera 

melesat mengejar sambil tangan kanan digerakkan 

dalam melepas jurus pukulan sakti bernama Di Atas 

Awan Menyergap Rembulan.

 Serangkum cahaya hijau berkiblat keluar dan ujung 

jari tangan kanan Ki Bonang, menebar menjadi lima 

larikan yang bergulung-gulung lalu dengan cepat 

menelikung sorban putih yang melesat di udara malam. 

Walau dalam keadaan terjerat sorban putih yang 

seolah hidup tiba-tiba pancarkan cahaya terang 

menyilaukan.

 "Brett!"

 Untuk kedua kalinya sorban putih Sutan Panduko

 Alam robek dan putus. Kali ini pada sepertiga panjang.

 Robekan melayang jatuh ke atas atap, sisanya yang

 masih setengah tergulung melesat ke udara. Ketika

 KI Bonang Talang Ijo sampai di atap pondok sorban

 telah melesat jauh ke arah timur.

 Ki Bonang Talang Ijo hanya bisa kepalkan tangan

 dan hentakkan kaki hingga atap bangunan berderak


roboh. Lalu si kakek melayang turun ke tanah sambil 

berteriak memberi tahu pada orang-orang yang ada di 

halaman.

 "Lolosl Kupu-kupu batu Giok Itu lolos dalam

gulungan sorban "

 Teng Sien, orang Cina bertopi besi merah berteriak 

marah. Lalu memaki-maki sambil bantingkan golok 

besar hingga amblas masuk ke dalam tanahl

 "Kita harus cepat mengejarl" Kata Pandeka Bumi 

Langit Dari Sumanik.

 "Percuma, tidak akan terkejar," kata KI Bonang

Talang Ijo sambil mengusap wajahnya hingga mukanya 

yang tadi hijau kini berubah ke warna asal. Keningnya 

yang bekas dihantam ujung sorban tampak kemerah-

merahan.

 "Paling tidak kita harus mencari tahu kemana 

sorban membawa kupu-kupu itu." Ucap Duo Hantu 

Gunung Sago Si Kalam langit sambil pegang. sobatnya 

Si Batu Bakilek yang tangan kanannya hancur dihantam 

tasbih hitam Sutan Panduko Alam

 "Malam ini aku akan batarak," kata Si kamba 

Mancuang Tangan Manjulai walau sibuk menolong 

saudaranya Si Pesek yang patah tulang iga kiri kanan. 

(batarak = bersamadi) "Kita harus mencari tahu 

kemana sorban itu membawa kupu-kupu giok."

 Si Kamba Pesek Tangan Manjulai meludah ke tanah. 

Ludahnya masih mengandung darah. Tampangnya 

tampak angker ketika berkata.

 "Persetan dengan kupu-kupu giok dan sorban jahanam 

itu. Yang penting kalian harus menolong diriku dulu 

sampai sembuhl" Lalu dia berpaling pada Teng Sien dan 

tiga anak buahnya. "Cino cino keparat ini, suruh saja


mereka kembali ke negerinya. Gara- gara mereka 

mencari kupu-kupu setan itu aku jadi

sangsaro begini" (sangsaro = sengsara)

 "Saudaraku," kata Si Kamba Mancuang Tangan

Manjulai setengah berbisik. "Kita tidak bisa berbuat

begitu. Kita semua sudah menerima pembayaran satu

peti batangan emas dari mereka. Kita akan mem-

peroleh satu peti lagi jika berhasil mendapatkan kupu-

kupu giok itu. Kau sabar dan tenang sajalah. Aku dan

para sahabat pasti akan merawatmu. Kau akan sembuh

dalam waktu cepat..."

 "Kupu-kupu giok, kupu-kupu giokl" cemberut Si

Kamba Pesek Tangan manjulai dengan suara meradang. 

"Mengapa bukan si Giok gapuak anak gadis Taci Lim di 

Kampung Cino saja yang mereka cari. Kupu-kupu... Bikin 

aku susah sajal" (gapuak = gemuk) (Taci = bibi)

 Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan. Ditepuk-

tepuknya pipi kempot Si Kamba Pesek. "Kau ini ada-

ada saja. Kupu-kupu gaib Itu jangan kau samakan

dengan nona gendut berwajah tambun di Kampung

Cino Hik..hik..hik."

 Tak selang berapa lama semua orang meninggalkan 

tempat itu turun dari Bukit Malintang. Mereka berjanji 

akan berkumpul di satu tempat di Muko-Muko sehari 

kemudian.

 Ki Bonang Talang Ijo berjalan di sebelah belakang

sambil menimang-nimang tasbih batu hitam milik Sutan 

Panduko Alam yang ditemuinya tercampak di tanah. 

Kakek sakti dari tanah Jawa ini yang pertama sekali

meninggalkan rombongan, melanjutkan perjalanan ke 

arah timur. Sementara dua nenek SI Kamba Tangan 

Manjulai mencari dangau untuk bermalam. Seperti yang


dikatakannya setelah mengobati saudaranya Si Kamba 

Mancuang kemudian melakukan tarak (samadi) di satu 

tempat yang sunyi tak jauh dari dangau, berusaha 

mencari petunjuk dimana sekarang beradanya kupu-

kupu giok. Dia menemukan sebatang pohon besar lalu 

melompat ke salah satu cabang dan melakukan tarak 

(samadi) dengan cara berjuntai yaitu dua kaki 

digelungkan di cabang pohon, rubuh dan kepala 

bergantung ke arah tanah. Dua tangan yang panjang 

melilit seputar badan mulai dari pinggang sampai ke 

dada.



EMPAT


SUARA alunan arus

sungai Batang Sianok

terdengar lembut sejuk

di telinga pada malam yang sunyi itu. Langit di 

pertengahan malam bersih berhias bintang gumintang. 

Di tepi ngarai seorang pemuda berpeci hitam 

mengenakan baju dan celana panjang putih berjalan 

sambil meniup puput, alat bebunyian sederhana yang 

ditiup dan mudah dibuat dari batang padi.

Rambut yang panjang menjulai bahu melambai-lambai di 

tiup angin. Sambil meniup puput matanya tidak lepas 

dari memperhatikan sungai dan Ngarai Sianok yang

tampak sangat indah dibawah terangnya cahaya dari

atas langit.

 Entah lagu apa yang dikumandangkan pemuda itu 

namun tiba-tiba dia berhenti meniup puput. Matanya 

melihat sebuah benda putih melayang di udara malam. 

Oia terus memperhatikan. Benda putih berputar dua 

kali di atas ngarai lalu melayang ke arah tebing sebelah 

timur dan lenyap dari pemandangan.

 "Benda putih tadi. Apakah ada sangkut pautnya

dengan perintah Datuk menyuruhku datang dan

berjaga-jaga di sekitar Ngarai Sianok Ini?" Si pemuda

berucap dalam hati. "Sayang Datuk tidak terlalu

banyak menjelaskan. Beliau mengatakan akan terjadi

satu peristiwa besar di ranah Minang dan aku diminta

menyelidiki sendiri."

 Setelah berpikir sejenak pemuda berpeci hitam

segera melompat ke atas satu gundukan batu,

berpindah ke gundukan lain lalu melesat ke satu batu

tinggi berbentuk tonggak. Dari sini dia terus melompat


ke dinding ngarai sebelah timur yang merupakan batu

keras berseilmut lumut yaitu ke arah mana tadi

lenyapnya benda putih yang melayang di udara

malam. Dari caranya melompat dan melesat laksana

terbang jelas pemuda berkopiah hitam ini memiliki

ilmu kepandaian yang bukan sembarangan. Di Ranah

Minang, terutama daerah luas yang dikenal dengan

Lunak Nan Tigo hanya yang disebut kaum Pandeka

atau para tuo-tuo Nagari berilmu kesaktian tinggi saja

yang mampu melakukan hal itu. (Pandeka = pendekar)

 "Dinding batu semua." Ucap si pemuda sambil

menyentuh lamping ngarai di depan mana dia berdiri.

"Kemana lenyapnya benda putih tadi? Tak mungkin

masuk menembus dinding ngarai." Cukup lama

memperhatikan akhirnya pemuda ini memutuskan untuk 

menerapkan ilmu yang mampu melihat jauh menembus 

halangan. Begitu ilmu diterapkan mendadak kepalanya 

tersentak ke belakang. Tubuh bergoncang. Dua kaki 

hampir terpeleset di lamping ngarai yang terjal dan 

licin.

 "Ada kekuatan aneh menghalangi ilmuku..." ucap si 

pemuda dalam hati. Tapi diam-diam dia merasa gembira 

karena kekuatan itu bersumber pada satu tempat di 

tebing ngarai dan berarti benda putih yang tadi 

dilihatnya juga pasti berada di sekitar itu. Perlahan-

lahan pemuda ini melangkah sepanjang tebing ngarai 

hingga akhirnya dia menemukan sebuah lobang besar 

merupakan mulut sebuah goa. Sesaat hatinya bimbang.

 Tadi ada kekuatan aneh menghalangi. Sekarang kalau 

aku masuk ke dalam goa lalu ada harimau campa atau 

ulat besar yang menunggu bisa celaka diriku," pikir si 

pemuda. Maka setelah lebih dulu mengerahkan tenaga


dalam dan membekal satu pukulan sakti di tangan kanan 

dia kemudian masuk ke dalam goa.

 Ternyata goa itu cukup panjang. Lorong di dalamnya 

berliku liku dan mendaki. Namun ada satu keanehan. 

Semakin jauh ke dalam keadaan di goabukan 

bertambah kelam tapi malah menjadi lebih terang. Di 

satu bagian goa si pemuda hentikan gerakan kakinya. 

Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia melihat 

lantai, dinding dan atap goa membentuk pintu 

menyerupai pintu sebuah mesjid. Penuh ukiran 

mengagumkan serta dikelilingi tulisan dari rangkaian 

huruf Arab yang indah. Dari belakang pintu yang tidak 

berdaun itu keluar satu cahaya terang. Pemuda 

berkopiah hitam berpakaian serba putih melangkah 

mendekati pintu. Namun gerakannya tertahan ketika 

lapat-lapat dia mendengar suara orang bercakap-

cakap. Satu lelaki lainnya perempuan. Dari 

pendengarannya yang tajam dia bisa mengetahui

suara lelaki adalah suara seorang tua sedang yang

perempuan agaknya masih muda belia.

 Setelah menunggu sebentar, dari tegak berdiri si

pemuda kini berjongkok, lalu perlahan-lahan tanpa

suara dia menggeser dua kaki, beringsut ke arah pintu

berukir.

***

 SEPERTI yang dikatakan Sutan Panduko Alam pada 

kupu-kupu besar yang ada di dalam gulungan sorban 

putih, begitulah kejadiannya. Ketika Ki Bonang Talang 

Ijo siap hendak mengambil sorban tiba-tiba sorban 

putih itu melesat ke udara. Walau sampai dua kali


sempat disambar oleh si kakek dan dua kali pula

mengalami robek namun sorban secara gaib masih

bisa lolos dan melesat keluar lewat lobang besar di

atap pondok lalu melayang ke arah timur.

 Di dalam goa di salah satu dinding Ngarai Sianok,

Datuk Marajo Sati baru saja selesai melakukan

sembahyang tengah malam, sembahyang Tahajjud

dan masih duduk bersila membaca berbagai doa bagi 

keselamatan diri dan ummat Nagari ketika tiba tiba dia 

mendengar ada suara berdesing memasuki goa.

 "Bukan suara hewan bukan juga burung gerangan 

apakah yang melayang masuk ke dalam tempat 

kediamanku ini?" Datuk Marajo Sati yang berusia enam 

puluh tahun itu segera hendak meluruskan kaki lalu 

berdiri. Namun sekonyong-konyong melayang sebuah 

benda putih dan jatuh tepat di atas pangkuannya.

 Sang datuk mengucap terkejut mengusap wajah dan 

janggut putih lalu memperhatikan dengan mata tak 

berkesip pada benda yang tergulung di pangkuannya. 

Sebuah sorban putih berumbal-rumbal benang emas 

yang salah satu ujungnya sobek.

 "Atagafirullah, aku seperti mengenali sorban Ini." 

Ucap Datuk Marajo Sati dalam hati. Ketika dia . 

mengulurkan tangan kanan hendak menyentuh sorban, 

tangannya jadi.tersurut Karena mendadak dari balik 

gulungan sorban putih bergerak keluar seekor 

binatang. Semula Datuk Marajo mengira seekor

burung. Tapi setelah binatang Ini merentangkan

empat sayap ternyata seekor kupu-kupu besar

berwarna indah sekali. Binatang ini perlahan-lahan

bergerak dan berhenti di atas pangkuan kiri sang

Datuk.


"Allah Maha Besar. Sebuah sorban dan seekor ramo-

ramo dikirimkan Allah kepadaku. Apa artinya ini?"

 Datuk Marajo Sati ambil gulungan sorban di 

pangkuannya lalu dibuka dan diperhatikan. Mata 

kemudian dipejam dan kepala ditengadah.

 "Ya Allah, mengapa hati saya mendadak tidak enak? 

Sorban cabik berumbai benang emas seperti ini, hanya 

ada satu orang yang memiliki yaitu sahabat dan kakak 

saya Sutan Panduko Alam yang diam di Bukit Malintang 

di pesisir barat Lunak Agam. Mengapa hanya sorban 

yang sampai pada saya? Dlmana sahabat saya itu? Apa 

yang terjadi dengan dirinya? Lalu terbungkus di dalam 

sorban ada seekor ramo-ramo rancak. Apa artinya ini? 

Ya Allah, beri saya petunjuk." (rancak = bagus, elok)

 Datuk Marajo San* lalu cium sorban putih berulang 

kali. Kemudian dia ulurkan tangan mengusap kupu-kupu 

di paha kirinya. Kupu-kupu ini tundukkan kepala

beberapa kali lalu terbang ke atas sebuah gundukan 

batu berbentuk meja di samping kanan goa.

 "Orang tua, saya mahluk tidak berdaya. Saya mohon 

pertolongan dan perlindungan."

 "Hai. siapa yang bicara?" Datuk Marajo Sati

terkejut. Sorban putih yang dipegangnya sampai 

terlepas jatuh ke pangkuan. Mata menatap ke atas 

batu. "Ramo-ramo rancak, kaukah yang barusan 

berkata-kata?'

 "Betul sekali orang tua. Memang saya yang barusan 

bicara. Maafkan saya kalau membuatmu terkejut" 

Kupu-kupu di atas batu menjawab, membuat Datuk 

Marajo Sati terpana beberapa ketika.

 "Allah Maha Besar. Kalau tidak dengan 

kehendakNya tidak mungkin seekor binatang sepertimu


pandai bicara. Beri tahu diriku, apakah kau ini binatang 

benaran, mahluk jejadian atau sebangsa hantu 

pelayangan. Bagaimana kau bisa berada di dalam 

gulungan sorban milik Sutan Panduko Alam dan terbang 

ke sini. Apa yang terjadi dengan Sutan Panduko Alam, 

dimana saudaraku sekarang?"

 "Orang tua, kalau boleh saya bercerita akan saya 

sampaikan asal muasal keadaan diri saya. Juga akan

saya beri tahu apa yang terjadi dengan sahabatmu, laiu 

bagaimana saya bisa melayang terbang bersama sorban 

itu ke tempat Ini..."

 "Katakan... ceritakan padaku." Kata Datuk Marajo 

Sati pula.

 "Orang tua, saya berasal dari tanah leluhur negeri 

Cina. Ujud saya sebenarnya adalah sebuah kupu-kupu

batu giok berwarna antara biru dan hijau dan

merupakan benda pusaka utama milik Kerajaan yang

harus berada di tangan Kaisar sebagai salah satu

syarat syahnya menduduki tahta Kerajaan..."

 "Aku mendengar, tapi ada yang aku tidak mengerti." 

Datuk Marajo Sati memotong ucapan kupu-kupu giok di 

atas batu. "Jika kau adalah sebuah batu giok, 

bagaimana mungkin mungkin bisa bicara. Lalu jika kau 

berasal dari negeri Cina bagaimana mungkin kau bisa 

bicara berbahasa anak negeri Ini?"

 "Orang tua, ada satu kejadian besar di negeri

leluhur saya. Seorang puteri Pangeran dituduh telah

berbuat zinah dengan kekasih puterinya. Ketika

Pangeran hendak membunuh pula puteri darah

dagingnya sendiri Yang Maha Kuasa menolong.

Puteri pangeran dirubah menjadi angin lalu

dimasukkan ke dalam kupu-kupu giok pusaka


Kerajaan. Kupu-kupu ini bisa menjelma menjadi kupu-

kupu besar seperti yang kau saksikan saat ini..."

 "Kalau begitu ceritanya berarti kau adalah puteri

Pangeran yang malang itu."

 "Benar sekali orang tua..."

 Datuk Marajo Sati tercengang. Untuk beberapa

lama dia tidak bisa mengeluarkan ucapan.


LIMA


SETELAH mengusap

janggut pendeknya,

Datuk Marajo Sati 

bertanya. "Lalu bagaimana kau bisa bicara bahasa 

orang di sini?"

 "Akan saya ceritakan. Tapi biar saya lanjutkan kisah 

nasib diri saya selagi masih di negeri leluhur." Jawab 

kupu-kupu giok pula. "Setelah tahu diri saya masuk ke 

dalam kupu-kupu batu giok. Pangeran memerintahkan 

pasukan mencari dan mengejar saya. Pangeran mau

mengeluarkan hadiah besar asal saya bisa ditangkap 

dan kupu-kupu giok ditemukan kembali. Dalam ujud 

kupu-kupu saya sampai di ujung daratan, di satu

pelabuhan. Karena tidak tahu mau lari kemana lagi

saya masuk ke dalam sebuah kapal besar. Kapal itu

ternyata berlayar ke negeri beribu pulau di selatan,

berlabuh di satu daratan yang disebut tanah Jawa.

Ternyata pasukan Kerajaan dibawah pimpinan

seorang Perwira Muda bernama Teng Sien berhasil

mengetahui kalau saya berada dalam kapal besar.

Mereka melakukan pengejaran dengan kapal kecil tapi

lebih cepat. Sampai di tanah Jawa saya hampir

tertangkap karena Pasukan suruhan Pangeran

menyewa beberapa orang sakti berkepandaian tinggi.

Salah seorang diantara mereka yang terus mengejar

saya sampai ke negeri Ini saya ketahui bernama Ki

Bonang Talang Ijo." Kupu-kupu di atas batu diam

sejenak seperti mengingat-ingat lalu baru melanjutkan

lagi kisahnya.

 "Di tanah Jawa saya tidak tahu lagi mau lari kemana. 

Saya setengah terbang setengah dilayangkan angin


hingga akhirnya sampai di sebuah selat besar.

Di selat itu saya kembali sembunyi di dalam sebuah

kapal yang membawa saya ke arah tanah India. Namun

sewaktu kapal singgah sebentar di sebuah pelabuhan

kecil di pesisir barat pulau Andalas saya tidak tahan

lagi setelah sekian lama terus menerus di dalam kapal.

Saya terbang meninggalkan kapal. Ternyata para

pengejar saya sudah lebih dulu mendarat di pantai

Jumlah mereka juga bertambah. Ada dua orang nenek

berjuluk Si Kamba Tangan Manjulai, Duo Hantu

Gunung Sago. Ada juga yang bernama Pandeka Bumi

Langit Dari Sumanik. Masih ada beberapa orang yang

tidak saya ketahui siapa nama atau julukan mereka.

Saya dikejar sampai akhirnya saya tiba di sebuah bukit

tak jauh dari pantai dan terpesat masuk ke dalam

sebuah pondok kayu yang didiami seorang tua yang

kemudian saya ketahui bernama Sutan Panduko Alam.."

 "Sutan Panduko Alam, dia sahabat dan kakak tuaku." 

Datuk Marajo Sati dekapkan sorban putih ke dadanya. 

"Apa yang terjadi dengan sahabatku itu?"

 "Saya masuk ke dalam pondok Sutan Panduko Alam. 

Beliau menolong dan melindungi saya. Sewaktu beliau 

tahu bahwa orang-orang yang mengejar akan menyerbu 

pondoknya. Sutan Panduko Alam memasukkan saya ke 

dalam gulungan sorban sambil berkata kalau sesuatu 

terjadi dengan diri saya maka sorban akan 

menerbangkan saya ke tempat yang aman."

 "Ternyata sorban yang diisi ilmu kesaktian itu

membawamu ke sini. Kau diselamatkan sahabatku, tapi 

kau tahu apa yang terjadi dengan dirinya?"

 "Saya mohon maafmu orang tua, dan saya sangat

bersedih. Ketika sorban terbang di udara meninggalkan


pondok di atas bukit saya masih sempat melihat orang 

tua yang telah menolong saya itu terbujur tak 

bergerak lagi di halaman pondok. Sekujur tubuh serta 

pakaiannya bersimbah darah..."

 "Inna lillahi wainna illaihl roji'un..." Datuk Marajo

Sati mengucap. Wajah mengetam sedih. Sepasang

mata berkaca-kaca "Tuhan akan memberi azab kepada

manusia yang menebar angkara murka."

 "Orang tua, saya tahu. Kalau tidak karena saya

penyebabnya Sutan Panduko Alam tidak akan

bernasib seburuk itu." Kata kupu-kupu giok di atas

batu.

 "Setiap Kematian seseorang ada penyebabnya. 

Langkah, pertemuan atau jodoh, rezeki dan maut tidak 

seorangpun yang tahu. Semua kuasaNya Allah. 

Kematian seseorang telah diukir di alam takdir, 

tersurat di alur nasib selagi dirinya masih di dalam 

rahim. Tidak ada yang bisa menyalahkan dirimu. Malah 

aku bangga, sahabatku Sutan Panduko Alam menemui 

kematian dalam berbuat satu kebajikan besar..." 

Setelah mengusap wajahnya Datuk Marajo Sati 

bertanya. "Ramo-ramo. apakah kau punya nama?"

 "Sebagai kupu-kupu batu giok Kerajaan memberi 

nama Kupu-Kupu Mata Dewa. Sebagai puteri Pangeran 

yang malang nama saya adalah Chia Swie Kim."

 Datuk Marajo Sati perhatikan sepasang mata kupu-

kupu. Dia melihat dua mata binatang ini memancarkan 

cahaya menyejukkan, namun sesekali ada kilatan yang 

menggetarkan.

 "Ramo-ramo batu giok, kau belum menerangkan 

bagaimana kejadiannya kau bisa berbahasa anak nagari 

di sini."


"Akan saya ceritakan," jawab kupu-kupu giok yang 

merupakan binatang ketempatan dari puteri Pangeran 

Cina bernama Chia Swie Kim "Sebelum saya sampai ke 

pondok orang tua bernama Sutan Panduko Alam.

saya terlebih dulu terpesat ke rumah satu keluarga di 

pesisir barat yang tengah berada dalam kedukaan.

Seorang anak gadis mereka meninggal dunia. Saat itu 

malam hari, saya hinggap di atas atap. Ketika orang 

ramai bertangisan di dalam rumah tanda anak gadis Itu 

telah menghembuskan nafas penghabisan tiba-tiba 

saya melihat ada satu cahaya putih keluar lari dalam 

rumah. Cahaya ini berputar beberapa kali di udara 

malam lalu berpijar terang masuk ke dalam tubuh saya. 

Saat itu juga saya merasa ada satu keanehan. Saya 

mengerti apa yang dikatakan orang di dalam rumah. 

Bahkan ketika saya coba mengeluarkan suara yang 

terucap bukan lagi bahasa leluhur saya. Tapi bahasa 

orang di sini Saya tidak bisa lagi mengucapkan bahasa 

leluhur saya. Tapi saya masih mengerti jika ada orang 

yang bicara dalam bahasa itu. Kejadian ini pastilah 

kehendak Yang Maha Kuasa. Saya merasa beruntung 

karena waktu bertemu dengan orang tua bernama 

Sutan Panduko Alam, saya sudah mampu bicara orang 

di negeri ini."

 "Tuhan Maha Besar dan berbuat sekehendakNya," 

ucap Datuk Marajo Sati.

 "Orang tua, apakah saya boleh mengetahui

namamu?"

 "Orang biasa memanggilku Datuk Marajo Sati. Kau 

boleh memanggilku dengan sebutan Datuk saja..."

 "Terima kasih. Apakah saya bisa berharap Datuk

akan menyelamatkan saya dari orang-orang yang


mengejar saya? Mereka orang-orang sakti. Mereka

akan sangat tega membunuh saya karena sudah

dijanjikan dua peti batangan emas. Satu peti telah

mereka terima. Cepat atau lambat mereka pasti akan

menemukan saya."

 "Dengan reiho Allah aku akan menolongmu sebisa 

yang aku lakukan..."

 "Walau mungkin Datuk akan terpaksa mengorbankan 

nyawa seperti yang dialami sahabat Datuk bernama 

Sutan Panduko Alam itu?"

 Datuk Marajo Sati tersenyum lalu anggukkan kepala.

 'Seperti kataku tadi maut atau kematian seseorang

berada di tangan Tuhan. Sebelum ajal berpantang

mati."

 "Datuk, izinkan saya menyampaikan rasa terima

kasih saya."

 Kupu-kupu di atas batu melompat turun kehadapan 

Datuk Marajo Sati. Tubuhnya tiba-tiba memancarkan 

cahaya putih lalu perlahan-lahan berubah menjadi hijau 

kebiruan. Bersamaan dengan itu sosok kupu-kupu besar 

berubah menjadi sosok seorang anak gadis berpakaian 

jubah panjang biru bersulam bunga-bunga benang 

emas. Rambut panjang hitam menjela Indah. Wajahnya 

tidak kelihatan karena dalam keadaan kepala tunduk

disujudkan ke lantai goa.

 "Anak gadis, bangunlah. Jangan sekail lagi kau

ulangi menyembah diriku. Ummat manusia hanya

menyembah kepada Yang Maha Kuasa, Allah Seru

Sekalian Alam."

 "Saya sangat mengucapkan terima kasih Datuk mau 

memberi perlindungan. Semoga Tuhan Yang Maha 

Kuasa membalas kebaikan Datuk berlipat ganda."


Lalu perlahan-lahan gadis yang bersujud itu bangkit 

berdiri. Ternyata wajahnya yang putih kemerahan 

cantik sekali. Alis hitam berkelut, bibir semerah 

delima merekah dan sepasang mata hitam indah sekali

 "Anak gadis, ujudmu yang aku lihat ini apakah ujud

puteri Pangeran Cina atau ujud jejadian roh gadis yang 

meninggal beberapa waktu lalu dan masuk ke dalam 

tubuhmu?" Bertanya Datuk Marajo Sati.

 "Ujud saya yang Datuk lihat adalah ujud asli puteri 

Pangeran. Saya adalah Chia Swie Kim."

 Untuk beberapa lamanya Datuk Marajo Sati 

terpesona kagum melihat kecantikan sang puteri dan 

tak bisa berkata-kata.

 "Datuk, apakah Datuk ingin saya tetap berkeadaan

seperti ini, atau...."

 Datuk Marajo Sati cepat menjawab.

 "Demi keselamatan dirimu, sebaiknya kau kembali ke 

dalam ujud ramo ramo batu giok. Tidak seperti ini

tidak pula seperti ramo-ramo hidup. Dan aku akan 

mengganti namamu. Apakah kau bersedia?'

 "Datuk tuan penolong saya. Saya akan menurut apa 

kata Datuk."

 "Anak gadis, berapakah usiamu saat ini?" Tanya sang 

Datuk selanjutnya.

 "Semoga saya tidak salah, purnama bulan di muka 

saya akan berusia delapan belas tahun." Jawab Chia

Swie Kim.

 Datuk Marajo Sati mengangguk. Sambil mengusap 

janggut pendeknya yang berwarna hitam bercampur 

putih dia berkata.

 "Anak gadis. Mulai saat ini namamu Puti Bungo

Sekuntum. Julukanmu Ramo-Ramo Giok Ngarai Sianok


atau Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok."

 Gadis Cina bernama Chia Swie Kim yang cantik itu 

tersenyum.

 "Terima kasih Datuk. Saya tahu. Nama dan julukan

itu bagus sekali." ujar Chia Swie Kim pula. Ketika dia

hendak menyambung ucapannya Datuk Marajo Sati

memberi isyarat seraya berbisik. "Ada manusia jahil

mendekam di luar sana. Agaknya sudah sejak tadi

dia mencuri dengar pembicaraan kita. Anak gadis,

lekas ubah ujudmu menjadi kupu-kupu giok!"

 Dengan cepat Chia Swie Kim yang kini bernama

Puti Bungo Sekuntum merubah diri menjadi kupu-

kupu batu giok berwarna hijau kebiruan. Datuk Marajo

Sati mengambil kupu-kupu batu giok itu lalu

meletakkannya di dalam sebuah lekukan di dinding

goa sebelah kiri.



ENAM


PEMUDA berpakaian

putih berpeci hitam yang 

jongkok tak jauh dari pintu 

goa kediaman Datuk Marajo Sati terperangah ketika 

dari dalam goa ada suara menegur.

 "Orang di luar pintu, yang mencuri dengar 

pembicaraan orang. Aku harap kau segera datang ke

hadapanku atau kau tidak akan keluar dari tempat ini 

untuk selama-lamanya."

 Si pemuda raba kopiah hitam di atas kepala, 

memandang berkeliling.

 "Galak sekali. Di tempat ini cuma aku sendirian. Pasti 

ucapan orang di dalam sana ditujukan padaku."

 Perlahan-lahan pemuda itu berdiri tapi tidak segera

melangkah ke arah pintu. Sesaat dia merasa bimbang.

Selagi dia terdiam seperti itu tiba-tiba rrreettttttt

 Lantai goa di hadapannya bergetar dan menganga

terbelah ke arahnya. Dari dalam belahan terasa ada

udara menyedot sangat keras.

 "Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwahl" ucap si

pemuda setengah berseru. "Bagaimana mungkin?!"

 Namun karena tidak mungkin berpikir lebih lama

secepat kilat pemuda itu melompat ke atas selamatkan

diri. Kebetulan di atap goa ada batu panjang

menggantung maka dengan cepat dia bergayut pada

batu Itu. Ternyata sedotan dari tanah goa yang 

terbelah kuat sekali. Khawatir tidak bisa bertahan si 

pemuda akhirnya melesatkan diri ke depan pintu terus

menggelinding masuk dan terhenti berguling sewaktu

kepalanya membentur satu gundukan batu hitam

berbentuk meja hingga kopiahnya mental.


Sambil usap-usap kepala sebelah belakang yang

sakit agak benjut pemuda ini ambil kopiahnya.

Terbungkuk-bungkuk dia bangkit berdiri sambil

letakkan kembali kopiah hitam di atas kepala. Dia

tersurut satu langkah sewaktu melihat di hadapannya

duduk seorang bersorban dan berjubah putih.

Wajahnya yang klimis dihias janggut pendek hitam

bercampur putih. Sepasang mata menatap tak

berkesip ke arahnya. Si pemuda merasa pandangan

mata yang tajam itu seolah mengunci gerakan

tubuhnya. Ternyata benar. Saat itu dia tidak mampu

menggerakkan tangan dan kaki!

 "Mengunci gerakan dengan pandangan mata," ucap si 

pemuda dalam hati. "Luar biasa orang tua satu inil" Lalu 

dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dari arah 

pusar. Saat itu juga tangan serta kaki bisa digerakkan 

kembali. Sepasang alis mata Datuk Marajo Sati 

mencuat ke atas. Kening mengerenyit

 "Pemuda asing tidak aku kenal. Mempunyai 

kepandaian tinggi. Datang menyuruak-nyuruak. Maksud 

baik atau ada niat jahat?" (menyuruak-

nyuruak=sembunyi-sembunyi)

 "Datuk, Sutan, Mamakl Orang tua siapapun kau 

adanya, kalau dipikir apakah kesalahan saya begitu 

besar hingga kau hendak menurunkan tangan keras 

atas diri saya?l" Pemuda berpeci hitam keluarkan 

ucapan.

 Datuk Marajo Sati tidak segera menjawab. Dia 

masih terus perhatikan pemuda itu dari kepala sampai 

ke kaki. Sesaat kemudian baru membuka mulut.

 "Kopiahmu kekecilan tanda kopiah pinjaman, mungkin 

juga kopiah curian. Rambutmu menjulai bahu seperti


padusi. Bibir tebal dan suaramu bicara macam orang 

kepedasan pertanda kau bukan orang di sini. Kau pasti 

orang Jawa. Ulahmu memasuki tempat kediamanku 

tidak meminta izin tidak pula memberi salam. 

Kelakuanmu tidak berkenan di hatiku karena kau 

mencuri dengar pembicaraanku. Anak muda apa tidak 

cukup pantas kalau aku menghukum kelancanganmu?l" 

(padusi = perempuan)

 Si pemuda garuk-garuk dagu lalu menjawab.

 "Tentu saja. Siapa bersalah wajib dihukum. Tapi

harus dilihat juga kadar kesalahannya. Apakah karena

kesalahan yang tidak disengaja lantas orang mau

menghukum hendak membunuh saya dengan Ilmu

Membelah Bumi Menyedot Arwah?l" Tukas si pemuda

pula. "Oala....murah nian harga nyawa manusia di

negeri ini."

 Wajah Datuk Marajo Sati membesi. Lalu orang tua

ini tertawa. Sebenarnya dia memang tiada niat hendak

mencelakai apa lagi membunuh si pemuda. Namun tadi 

dia merasa malu pada diri sendiri. Ilmunya begitu

tinggi dan dia merupakan Datuk paling disegani di Tiga 

Luhak Ranah Minang yaitu Agam, Tanah Datar dan 

Limapuluh Kota. Bagaimana mungkin dia tidak segera 

mengetahui kalau ada orang masuk ke dalam goa dan 

sembunyi mendengar pembicaraannya dengan gadis 

Cina. Dia baru menyadari ada orang lain di tempat itu 

setelah orang itu mendekam cukup lama. "Jangankan 

tarikan nafasnya, geseran tapak kakinyapun tidak 

kudengar tidak kurasa. Apakah dia mendengar semua 

pembicaraanku tadi?"

 "Anak muda berambut panjang macam perempuan. 

Ilmu yang kumiliki bukan bernama Membelah Bumi


Menyedot Arwahl Tapi Bumi Tabalah Azab Manimpo. 

Bagaimana kau enak saja menyebut ilmuku bernama 

Membelah Bumi Menyedot Arwah?" (Bumi Tabalah 

Azab Manimpo - Bumi Terbelah Azab Menimpa)

 Si pemuda tidak menjawab tapi geserkan sedikit

telapak kaki kanannya. Saat itu juga rrrettttl Lantai

goa terbelah. Belahan menjalar ke tempat Datuk 

Marajo Sati duduk bersila. Sang Datuk sampai 

terlompat ke atap goa saking kagetnya. Tubuhnya 

nyaris tersedot ke dalam belahan tanah kalau dia 

tidak cepat melambaikan tangan menolak daya sedotan 

yang tebat dengan mengerahkan hampir seluruh 

kekuatan tenaga dalam. Jubah putihnya bergerak-

gerak. Sorban di kepalanya tiba-tiba seetttl Masuk 

tersedot ke dalam belahan lantai goa.

 "Rettttttl"

 Belahan tanah menutup kembali begitu si pemuda

menggeserkan telapak kaki kanannya.

 "Anak muda kurang ajari" Datuk Marajo Sati

membentak marah sambil tangan kiri mengusap kepala 

yang ternyata setengah botak) "Kau menarik korbanku 

masuk ke dalam belahan tanah. Sepasang mata sang 

Datuk membeliak seperti mau melompat dan rongganya.

 "Maafkan saya orang tua. Sorbanmu ada di tangan

saya." Si pemuda lalu keluarkan tangan kanannya dari

balik punggung. Di tangan itu memang terpegang

sorban milik Datuk Marajo Sati masih dalam keadaan

tergulung rapi. Cepat-cepat si pemuda menyerahkan

sorban pada pemiliknya sambil membungkuk dan

berulang kali meminta maaf.

 "Kau bukan saja kurang ajar tapi juga sombong!

Kau mungkin tukang sihir! Aku melihat jelas sorbanku


tadi masuk ke dalam belahan tanah goa. Mengapa

tahu-tahu ada ditanganmu?! Kau sengaja hendak

memamerkan ilmu kesaktian di hadapanku? Apa kau

kira aku takut?!" Datuk Marajo Sati cepat mengambil

dan mengenakan sorbannya kembali.

 "Maafkan saya orang tua. Saya tidak bermaksud

kurang ajar dan Jauh dari kesombongan. Saya Juga

bukan bukan bapak, bukan pula anak tukang sihir.

Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kita memiliki

ilmu kesaktian yang sama walau namanya berbeda.

Bukankah itu satu pertanda bahwa antara kita ada

saling keterkaitan?"

 "Siapa kau. Dari mana kau dapatkan Ilmu Bumi

Tabalah Azab Manimpo?!"

 Si pemuda angkat kopiah hitamnya sedikit,

menggaruk kepala baru menjawab sambi! senyum-

senyum.

 "Ilmu yang saya miliki bukan bernama Bumi Tabalah 

Azab Manimpo tapi Membelah Bumi Menyedot Arwah. 

Ah, tapi keduanya memang sama benar. Apakah Itu 

berarti kita masih satu guru satu ilmu. Yang mungkin 

pula berarti kita ini masih saling bersaudara?!"

 "Benar-benar kurang ajar mantiko langekl" Sang

Datuk masih marah, (mantiko langek = konyol kurang

ajar) "Anak muda! Katakan dulu siapa dirimu! Apa

yang membuatmu berani masuk ke dalam tempat

kediamanku tanpa izin. Lalu niat jahat apa yang ada

telah kau dengar?!"

 "Orang tua, saya mungkin kesalahan dan lancang

masuk ke dalam goa Ini. Tapi semua tidak saya sengaja

dan saya tidak membekal niat jahat. Saya juga tidak

punya maksud mendengar pembicaraanmu. Kalau kau


memang bicara, tadi kau bicara dengan siapa? Tidak 

ada orang lain di tempat ini. Tidak mungkin kau bicara 

seorang diril" Si pemuda pura-pura memandang 

seputar ruangan batu. Padahal sebenarnya dia tahu 

dan mendengar kalau tadi orang tua itu memang bicara 

dengan seorang perempuan. Tapi dia merasa heran 

karena perempuan itu tidak ada di situ. Sekilas 

pandangannya membentur kupu-kupu batu giok di 

cegukan dinding kiri. Ketika dia berusaha lebih 

memperhatikan orang tua di hadapannya cepat 

berkata dengan suara keras.

 "Aku tidak percaya pada ucapanmul Aku tidak

percaya pada orang-orang asing! Datang ke Ranah

Minang acap kali membuat keonaran!"

 "Orang tua, tidak baik berucap seperti itu. Orang

baik ada dimana-mana. Orang jahat juga ada dimana-

mana. Tapi saya bukan..."

 "Sudah! Katakan siapa namamu ! Ada keperluan apa 

kau menyusup ke dalam goa ini?l"

 "Nama saya Wiro. Saya memang berasal dari tanah

Jawa. Saya tidak menyusup ke sini..."

 "Apa hubunganmu dengan seorang kakek Jawa

bemama Ki Bonang Talang Ijo?"

 Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro

Sableng mengangkat kopiah, menggaruk kepala. Baru 

sekali ini saya mendengar nama itu. Saya tidak kenal

orang itu. Barangkali kau bisa menjelaskan?"

 "Dia salah seorang yang telah membunuh sahabatku 

Sutan Panduko Alam yang tinggal di pesisir barat.."

 "Saya turut menyesal mendengar cerita duka itu.

Tapi saya tidak ada sangkut paut dengan kematian

sahabatmu. Orang tua saya tidak mau mengganggumu


lebih lama. Dan saya mohon maaf kalau telah bedaku 

lancang masuk ke tempatmu."

 "Tunggul Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum

menjawab beberapa pertanyaanku!"


TUJUH


PENDEKAR212

angkat kopiah hitam,

menggaruk kepala lalu 

berkata. "Orang tua, saya siap menjawab semua 

pertanyaanmu."

 "Pertama, ada keperluan dan niat apa kau masuk ke 

dalam goa ini?"

 Tanya Datuk Marajo Sati.

 "Malam ini, ketika saya berjalan di tepi Ngarai 

Sianok, sambil meniup puput batang padi ini...." Wiro 

unjukkan puput yang sejak tadi dipegangnya di tangan 

kiri.

 "...tiba-tiba saya melihat ada benda putih melayang di 

udara. Benda itu kemudian melesat ke dinding ngarai 

dan lenyap. Karena ingin tahu saya memeriksa dinding

ngarai. Saya menemukan lobang besar yang rupanya

mulut goa menuju ke tempat kediamanmu."

 "Kau tidak bicara dusta anak muda berambut panjang 

seperti perempuan?"

 Wiro menggeleng.

 "Saya bicara apa adanya, orang tua."

 Datuk Marajo Sati angkat sorban buntung yang

terletak di pangkuannya

 "Benda putih yang kau lihat itu adalah sorban ini.

Milik seorang sahabat yang sudah aku anggap sebagai

kakak kandung sedarah sedaging. Dia menemui ajal

dibunuh oleh serombongan orang. Salah satu

diantaranya adalah kakek dari Jawa bernama Ki

Bonang Talang Ijo. Jika aku tahu kakek itu ada sangkut

pautnya dengan dirimu maka riwayatmu di negeri ini

tidak akan lama."


Wiro terdiam. Dia melihat bayangan rasa sedih

mendalam di wajah si orang tua tapi juga ada amarah

yang membersit dari sepasang mata.

 "Kau bukannya mata-mata yang tengah menyelidiki

keberadaan..." Datuk Marajo Sati tidak meneruskan

ucapannya. Hampir saja dia ketelepasan menyebut

kupu-kupu giok.

 'Keberadaan apa. orang tua?" tanya Wiro.

 "Aku masih ada pertanyaan lain," sang Datuk alihkan 

pembicaraan. "Kau datang dari jauh. Apa tujuanmu 

berada di ranah Minang ini?"

 “Saya baru saja menemui seseorang dan ada pesan 

amanat dari orang itu yang harus saya lakukan."

 "Siapa orangnya? Tentu dia ada bernama dan juga

bergala. Lalu apa pesan amanat yang diberikannya

padamu?" (bergala = bergelar)

 “Maaf, saya tidak bisa memberi tahu nama orang

itu. Tapi kalau mengenai pesan amanatnya bisa saya

katakan. Beliau mengatakan bahwa sesuatu perkara

besar akan terjadi di Ranah Minang."

 Kening Datuk Marajo Sati mengerenyit.

 "Perkara besar apa?"

 "Beliau tidak memberi tahu. Beliau hanya meminta

agar saya menyelidiki sendiri lalu memberi tahu

padanya apa-apa yang saya dapat...." Jawab Wiro.

 "Aneh...." Datuk Marajo Sati berucap dalam hati.

"Ucapannya seolah dia seorang Pandeka Gadang.

Seperti tidak ada orang cerdik pandai dan sakti di

Ranah Minang ini. "Aku harus mencari tahu siapa

manusia satu ini. Jangan-jangan orang gila yang

kesasar. Tapi bisa masuk ke dalam goa ini bukan satu

pekerjaan mudah. Apakah dia mampu merayap di


dinding ngarai seperti cacak?" (Pandeka Gadang =

Pendekar Besar) (cacak = cecak)

 "Orang tua apakah saya boleh meninggalkan tempat 

ini dan sekali lagi disertai permohonan maaf?"

 "Kau tidak kuperbolehkan pergi sebelum menjawab 

satu pertanyaan lagi." Jawab Datuk Marajo Sati.

 "Kalau begitu katamu saya menunggu apa yang

hendak kau tanyakan."

 "Dari mana kau dapatkan ilmu membelah tanah

yang kau sebut Membelah Bumi Menyedot Arwah itu?"

 "Maaf orang tua. soal asal usul ilmu. saya tidak

dapat menjelaskan."

 "Tadi kau mengatakan ilmu kita sama Mungkin

ada keterkaitan diantara kita. Mungkin kita satu guru

satu ilmu. Sekarang mengapa kau bedaku tidak jantan

tidak mau memberi tahu?"

 Wiro menggaruk rambut di belakang kuduk.

 "Maafkan saya, orang tua. Tapi apakah kau sendiri

mau memberi tahu dari mana kau mendapatkan ilmu

kesaktian yang kau sebut dengan nama Bumi Tabalah

Azab Manimpo itu?"

 "Pemuda culas. Pergilah dari hadapanku. Bilamana 

dikemudian hari kau kulihat berani berkeliaran di 

sekitar Ngarai Sianok ini maka aku akan menganggapmu 

sebagai musuh! Kau tahu apa artinya itu! Ingat hal itu 

baik-baik."

 "Saya akan mengingat baik-baik," jawab Wiro.

"Sebaliknya saya tidak akan pernah menganggapmu

sebagai musuh. Saya menghormatimu." Wiro

membungkuk lalu mengambil tangan orang tua itu.

menjabat dan menciumnya, membuat Datuk Marajo

Sati terkesiap, geleng-geleng kepala.


Belum sempat Pendekar 212 Wiro Sableng

mencapai mulut goa di dinding ngarai Datuk Marajo

Sati jentikkan ibu jari dan jari tengah tangan kanan

dua kali. Saat itu juga ada kepulan asap di dalam goa.

Tak lama kemudian dari dalam kepulan asap muncul

seekor burung elang putih jantan besar bermata

merah.

 "Alang Putih Rajo Di Langit, ikuti pemuda tadi.

Cari tahu kemana dia pergi dan siapa saja yang

berhubungan dengan dia."

 Elang putih menguik panjang lalu sekali mengepakkan 

sepasang sayap tubuhnya melesat ke arah mulut goa.

 Di satu tikungan goa yang agak gelap, Wiro yang

sejak tadi sengaja mendekam bersembunyi serata

tanah serata dinding bergerak berdiri sambil

menyeringai.

 "Benar dugaanku. Orang tua itu tidak membiarkanku 

pergi begitu saja. Aneh, aku merasa dia menyem-

bunyikan sesuatu. Katanya ada seorang sahabat

menemui ajal malam ini. Pasti seorang berkepandaian

tinggi. Apakah ini ada kaitannya dengan amanat yang

diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh padaku?"

***

 BAGAIMANA Pendekar 212 Wiro Sableng bisa

berada di tanah Minang? Seperti diceritakan dalam

serial sebelumnya berjudul "Bayi Titisan" dengan

bantuan harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau

Wiro membawa Ken Permata dan Nyi Retno Mantili

ke tanah Jawa untuk menemui Manusia Paku Sandaka.

Setelah Sandaka mengalami kesembuhan dari tiga


puluh paku baja putih yang menancap di tubuhnya

sementara Nyi Retno Mantili juga sembuh dari

penyakit jiwanya, atas pesan yang disampaikan sang

Datuk melalui isyarat jarak jauh yang diperlihatkan

harimau putih, Wiro kemudian kembali ke pulau 

Andalas menemui gurunya itu di Danau Maninjau.

 Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tahu bahwa 

akan terjadi satu peristiwa besar di Ranah Minang. 

Akan ada beberapa tokoh silat berkepandaian tinggi 

dari tanah Jawa yang akan datang dan terlibat dalam 

peristiwa itu.

 "Selidiki apa yang terjadi. Beritahu padaku. Kalau 

perlu kau harus langsung bertindak sendiri..."

 "Datuk, tanah Minang bukan negeri saya. Apakah 

nanti saya tidak dikatakan lancang oleh orang-orang di 

sini? Saya tahu di negeri ini banyak sekali orang cerdik 

pandai berilmu silat tinggi dan memiliki kesaktian yang 

sulit dicari tandingannya."

 Datuk Rao menggeleng.

 "Seorang pendekar yang ingin berbuat kebajikan 

layak berada di mana saja selama mengingat kata-kata 

sakti Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung. 

Bahu membahu dalam membuat kebajikan adalah 

suruhan Yang Maha Kuasa. Lagi pula bukan sekali ini 

kau berada di tanah Minang. Apa kau lupa?

 "Saya tidak lupa Datuk. Kalau begitu kata Datuk,

saya mohon doa restu Datuk." Jawab murid Sinto

Gendeng. (Kisah Wiro di tanah Minang sebelumnya

dapat di baca antara lain dalam serial "Dendam Di

Puncak Singgalang" dan "Harimau Singgalang")


SESAAT setelah elang putih peliharaan Datuk 

Marajo Sati yang bernama Alang Putih Rajo Oi Langit 

melesat keluar goa dan membubung tinggi di atas langit 

malam Ngarai Sianok, Wiro segera pula bergerak 

cepat menuju mulut goa. Tapi baru kepala dan 

tubuhnya menyembul di depan goa tiba-tiba dua benda 

bercahaya hitam pekat disertai suara mengiang, 

menderu menyambar ke arah kepala dan dadanya. 

Secepat kilat murid Sinto Gendeng jatuhkan diri. 

Benda pertama berdesing di samping kiri kepala Wiro 

membuat telinganya pengang. Benda ini kemudian 

menghantam amblas dinding goa sebelah dalam.

 Benda kedua melesat di depan dada. Walau bisa 

dielakkan tapi masih sempat merobek sedikit dada 

baju putihnya. Kulit dadanya terasa dingin tanda 

apapun benda yang menyerang mengandung racun jahat

 Gerakan mengelak membuat kaki kiri Wiro 

tergelincir di tebing ngarai yang terjal dan berlumut

Tak ampun lagi tubuhnya terjatuh ke bawah. Dia 

berusaha menggapai satu tonjolan batu di dinding 

ngarai namun karena licin pegangan terlepas. 

Tubuhnya kembali melayang ke bawah. Kali ini sungai 

Batang Sianok yang ditebari batu-batu besar dan 

runcing siap menunggu.

 Di pintu goa saat itu telah berdiri Datuk Marajo

Sati dan melihat apa yang terjadi. Dengan cepat orang 

tua ini tanggalkan sorbannya. Sekali sorban

disentakkan maka benda itu berubah menjadi amat

panjang. Sorban dengan cepat berhasil melilit kaki

kanan Wiro hingga jatuhnya tertahan dan tubuhnya

perlahan-lahan masuk ke dalam air Batang Sianok.

 Ketika merasa tidak ada daya berat yang


menggelantungi sorbannya Datuk Marajo Sati segera

menarik sorban. Matanya memandang ke bawah, ke

arah sungai berbatu-batu.

 "Lenyap. Pemuda itu tidak kelihatanl Aku tidak

berhasil menolongnya...Saat ini Batang Anai tidak

seberapa dalam. Tapi kalau kepalanya membentur

batu. Sayang sekali kalau dia menemui ajal sebelum

aku tahu siapa dia adanya..." Datuk Marajo Sati tarik

nafas panjang. Perlahan-lahan dia gulung sorbannya

Ketika gulungan akhir mencapai ujung sorban,

sepasang mata orang tua ini terbelalak. Pada ujung

kain sorban terdapat lobang-lobang hitam seperti

hangus yang ketika diperhatikan merupakan kata

berbunyi: Terima kasih.

 "Mantiko langekl Benar-benar mantiko langekl

Mantiko cirlkl Berarti dia tidak matil Dia malah

mempermainkan diriku! Dengan apa dia membuat

tulisan ini?l" Datuk Marajo Sati tampak jengkel.

(Mantiko langek/Mantiko cirik = konyol kurang ajar)

 Di udara malam yang bersih. Alang Putih Rajo Di

Langit berputar dua kali di atas ngarai, menguik

panjang lalu melesat ke ujung goa. Burung putih

bermata merah Ini cengkeram kuku-kuku kaki ke

dinding goa, paruh mengorek bagian dinding yang

tadi dihantam benda yang menyerang Wiro. Benda

dijepit diantara dua paruh lalu dibawa masuk ke dalam

goa dan diletakkan di lantai hadapan Datuk Marajo

Sati. Benda itu ternyata adalah sebuah besi hitam

berbentuk bintang bersudut empat Pada setiap ujung

terdapat lobang kecil. Bilamana benda ini dilempar

dan melayang di udara maka empat lobang yang ber-

sentuhan dengan udara atau angin akan mengeluarkan


suara seperti tiupan seruling yang tidak putus-putus.

 Datuk Marajo Sati timang-timang benda itu sesaat

lalu dekatkan ke hidung.

 "Senjata rahasia mengandung racun Baru sekali

ini aku melihat yang seperti ini. Tidak ada tokoh rimba

persilatan Ranah Minang memiliki senjata rahasia

seperti ini. Berarti pemuda berambut panjang tadi

datang ke sini sudah mempunyai musuh. Atau…"

Datuk Marajo Sati kembali perhatikan benda ber-

bentuk bintang bersudut empat "Kalau senjata rahasia

ini memang benar bukan milik kerabat anak Nagari

berarti pemuda itu datang membawa musuh. Berarti

betul dugaanku dia bukan orang baik-baik."

 Sang Datuk angkat kepala, memandang pada

elang putih. "Rajo Di Langit. Aku berterima kasih kau

membawa benda ini padaku. Sekarang kembali

lanjutkan apa yang aku tugaskan. Cari dimana

pemuda itu. Ikuti kemana dia pergi..."



DELAPAN


WIRO mengambangkan 

tubuh, untuk beberapa

lama sengaja mengikuti 

arus sungai Batang Sianok ke arah hilir. Rasa dingin 

yang mencucuk membuat dia akhirnya berenang ke

tepian. Saat itu di timursudah mulai tampak cahaya 

terang tanda sebentar lagi fajar akan menyingsing

disusul munculnya sang surya kembali menerangi bumi 

alam Minangkabau.

 Sambil merebahkan diri di atas sebuah batu besar di 

tepi sungai Ingatan Wiro kembali pada orang tua di

dalam goa.

 "Orang tua itu, sayang aku lupa menanyakan namanya. 

Dia orang baik. Tapi ada sesuatu yang agaknya 

membuat dia curiga padaku. Sebelum bertemu muka 

dengan dia, aku jelas sekali mendengar suara dia 

bicara dengan seorang perempuan. Tapi ketika aku 

masuk ke tempatnya tidak ada orang lain di situ. Apa 

dia lebih dulu menyembunyikan perempuan itu sebelum 

memerintahku menemuinya? Kalau benar mengapa? Lalu 

siapa perempuan Itu? Sayang apa yang mereka 

bicarakan tidak terlalu Jelas sampai di telingaku."

 Wiro kibas-kibaskan kopiah hitamnya yang basah

kuyup. "Walau aku jatuh ke dasar ngarai, dia

menolongku meski sebenarnya aku masih bisa

selamatkan diri. Itu membuktikan dia benar-benar

orang baik. Satu kali aku akan menemuinya lagi.

Ilmunya tinggi. Jika aku bersahabat mungkin aku bisa

mendapatkan ilmu dan pengalaman baru dari orang

tua Itu. Seperti dia ingin tahu dari mana aku

mendapatkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah,


aku juga Ingin tahu dari mana dia bisa menguasai

ilmu yang katanya bernama Bumi Tabalah Azab

Manimpo itu. Aku mendapat dari Luh Rembulan di

Latanahsilam. Apakah dia juga mendapatkan dari

negeri seribu dua ratus tahun silam itu? Juga dari

Luh Rembulan? Berarti apa dia juga pernah terpesat

ke sana?" Wiro garuk-garuk kepala "Aku tidak

percaya. Mustahil."

 Wiro tanggalkan baju putihnya. Setelah diperas

baju dikenakan kembali. Pada saat itulah tiba-tiba dia

mendengar suara orang berlari diikuti hiruk pikuk

teriakan banyak orang di atas dinding ngarai. Bukan

cuma suara lelaki tapi juga ada suara perempuan.

Laiu menyusul bak-buk bak-buk, suara orang dipukul

dan suara orang menjerit-jerit minta ampun.

 Karena ingin tahu apa yang terjadi, Wiro melompat

ke atas sebuah batu. Dari atas batu ini dia melesat ke

atas ngarai. Beberapa belas langkah di hadapannya,

di tepi ngarai dia melihat belasan orang tengah

menggebuki seorang pemuda berpakaian hitam yang

berulang kali berteriak minta ampun. Yang membuat

Wiro terkejut adalah karena pemuda ini mengenakan

destar putihnya yang hilang sehari sebelumnyal

 "Pemuda sialanl Jadi dia yang mencuri destar ikat

kepalaku. Mengganti dengan kopiah hitam inil" Maki

murid Sinto Gendeng dalam hati.

 Tak jauh dari situ ada serombongan perempuan

yang juga berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk.

Salah seorang dari perempuan itu berteriak.

 "Anak itu pantas diberi pelajaran. Kalau tidak, tak

akan jera-jera dia berbuat kurang ajar."

 "Tajunkan saja dia ke dalam ngarail" Seorang


pemuda yang ikut menggebuki berteriak lalu

melayangkan tendangan. (Tajunkan = lemparkan)

Pemuda yang ditendang terkapar di tanah, dengan

susah payah berusaha bangun lalu bersujud, pegangi

kepala yang mengenakan destar putih milik Wiro

sambil kembali berteriak minta ampun. Pukulan dan

tendangan kembali menghantam tubuhnya.

 "Sudah! Sudah! Hentikan Cukup sudah kalian

menghajarnya!" Seorang lelaki separuh baya

berpakaian putih dan menyandang sarung berteriak

sambil coba menghalangi orang-orang yang seperti

kemasukan setan menggebuki lelaki berpakaian

hitam. "Kita bawa saja dia ke Datuk Penghulul Biar

selesai perkara dan hukumannyal"

 Pemuda yang digebuki sudah tak karuan rupa lagi.

Bengkak lebam, darah mengucur dari hidung dan

mulut Menurut Wiro beberapa pukulan dan tendangan

lagi akan membuat orang itu menemui ajal. Ketika

seseorang kembali hendak menendang dan kali ini

diarahkan ke kepala, Wiro segera melompat dan

mendorong orang itu hingga terjatuh. Melihat ada

orang tidak dikenal datang menolong, orang banyak

jadi tambah beringas. Sebagian dari mereka segera

menyerang Wiro. Yang lain berteriak-teriak memaki

dalam bahasa yang tidak dimengerti murid Sinto

Gendeng. Dua orang pemuda dilihat Wiro telah

menghunus lading. (lading = golok)

 "Pemuda aneh berambut macam padusi ini pasti

kawan Malin Kapuyuakl Mari sama-sama kita habisi

keduanyal" Salah seorang pemuda yang memegang

golok berteriak, (padusi = perempuan)

 Tidak menunggu lebih lama Wiro segera angkat


orang yang terkapar di tanah lalu memanggulnya di

bahu kiri. Tangan kanan cepat-cepat diangkat sewaktu

dua pemuda bersenjata golok diikuti beberapa orang

lain hendak menyergap dirinya.

 "Jangan, tahan. Sabari" teriak Wiro. "Orang ini

sudah sekarat. Apa dunsanak sekalian mau

membunuhnya?" (dunsanak = saudara-saudara, di

Jawa = ki sanak)

 “Sia wa-ang mau membela anak Jahanam Itul Mau

minta mati juga rupanya!” Seseorang berteriak. (Sia

wa-ang = siapa kau)

 Kecuali lelaki berpakaian putih yang menyandang

sarung, yang lain-lain tidak satupun mau mendengar.

Dua pemuda yang memegang golok menyerbu lebih

dulu. Wiro tidak mau berlaku ayal menghadapi or-

ang-orang kalap itu. Pemuda yang hendak

ditolongnya itu pasti punya kesalahan besar.

 Sambil melompat mundur Wiro dorongkan

tangan kanan ke arah dua penyerang. Satu gelombang

angin yang hanya mengandalkan tenaga dalam

rendah dan tidak berbahaya menderu. Dua pemuda

bersenjata golok berteriak kaget ketika tubuh mereka

terangkat ke udara dan mengapung beberapa saat lalu

terhempas ke tanah. Senjata yang dipegang terlepas

jatuh. Selagi semua orang tersentak kaget dan

berteriak-teriak, Wiro segera berkelebat tinggalkan

tempat itu.

***

 DI ATAS dangau di tepi sawah yang baru di panen

Wiro membaringkan pemuda berpakaian hitam yang


dilarikannya dari amukan orang banyak. Saat itu hari

mulai terang karena fajar telah menyingsing. Dari atas

dangau kelihatan bayangan Gunung Singgalang di

arah barat dan Gunung Merapi di sebelah timur.

Setelah memperhatikan pemuda yang terbujur di

lantai dangau dan menunggu sebentar Wiro kemudian

berkata.

 "Anak muda sial, aku tahu kau tidak tidur Juga

tidak pingsan. Jangan pura-pura!"

 Wiro tepuk keras-keras pipi kiri kanan pemuda itu

lalu menyandarkannya ke tiang dangau.

 Si pemuda menatap Wiro dengan matanya yang sipit 

sembab. Lalu menyeka darah di mulut yang bibirnya 

pecah.

 "Aden....hukkl" (aden = waden = aku)SI pemuda

keluarkan ucapan lalu pegangi dada. Kepala digeleng-

geieng, muka mengerenyit menahan sakit yang terasa

mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki.

 "Kau mencuri destarkul Pasti kau lakukan sewaktu

aku mandi di telaga beberapa hari lalu! Sialan!" Wiro

mengambil ikat kepala putih miliknya yang ada di atas

kepala si pemuda. Ternyata destar itu sudah dikecilkan

hingga tidak muat lagi di kepala Wiro. Wiro

bantingkan ikat kepala putihnya ke muka si pemuda.

 "Kakak, Uda sahabatku. .Aku mohon maafmu.

Memang aku yang mencuri kopiahmu. Aku sangat

tertarik Kopiah seperti itu tidak ada di negeri ini. Tapi

aku bukan cuma mencuri. Aku mengganti destarmu

dengan kopiah hitam yang kini kau pakai." (Uda =

Kakak, Abang)

 "Kopiah ini kekecilan. Walau kau mengganti tetap 

saja namanya kau mencuril" Wiro jewer telinga si


pemuda dan diuntir-untir ke depan ke belakang hingga

orang itu menjerit kesakitan.

 "Katakan mengapa orang sekampung, lelaki

perempuan mengejar dan menggebukmu sampai begini 

rupa. Masih untung kau tidak sampai meregang nyawal"

 Pemuda yang ditanya hanya meringis sambil usap-

usap dada.

 "Dengar, aku akan meninggalkan dirimu. Kalau

orang-orang itu mengejar sampai ke sini tamat 

riwayatmu!" Wiro melompat turun dari atas dangau.

 "Tunggu, jangan pergi dulu...."

 Wiro balikkan badan. "Kau mau bercerita?"

 "Dudukdi sebelahku, aku akan bercerita."

 Wiro lalu naik kembali ke atas dangau dan duduk di 

samping si pemuda.

 "Kau bukan orang di sini..."

 "Betul."

 "Kau telah menolongku. Aku berterima kasih."

 "Aku tanya sekali lagi. Kau mau bercerita atau 

tidak?"

 Si pemuda usap bibirnya yang bengkak luka.

 "Uda bakupiah hitam. Siapa nama Uda?"

 (bakupiah = berkopiah)

 "Sialan!" Wiro memaki karena si pemuda masih 

bicara hal lain bukannya bercerita. "Kau sendiri siapa

namamu?!*

 "Jangan marah....Aden tahu Uda orang baik. Kau

telah menolongkul Orang menyebutku Malin

Kapuyuak."

 "Aneh namamu. Apa itu nama atau gelar? Patah

lidahku menyebut namamu. Kapuyuaaakk..." (Kapuyuak = 

Kecoak) Wiro pencongkan mulut.


"Namaku sebenarnya Salihin. Orang menyebutku

Malin Kapuyuak. Kau bisa mengatakan itu sebagai

gelar. Tapi gelar cemooh ejekan. Kau tahu artinya

Kapuyuak?" Pemuda berpakaian hitam tertawa.

 Wiro menggeleng dan mulai kesal karena orang

belum juga bercerita perihal mengapa dia sampai

digebuki.

 "Kapuyuak binatang yang banyak berkeliaran di

kakus. Warnanya coklat, kadang-kadang bisa terbang.

Baunya busuk..."

 "Sudah, aku sekarang sudah tahu artinya

Kapuyuaaakk. Di Jawa disebut kecoak..."

 "Ah...Uda ini orang Jawa rupanya." Kata Malin

Kapuyuak pula.

 Wiro meneruskan. "Kecoak biasanya berada di kakus 

atau jamban. Berarti kau masih saudara dengan taik..."

 "Taik. apa itu?" tanya Malin Kapuyuak.

 "Taik artinya langek!" jawab Wiro kesal, (langek =

kotoran manusia)

 Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak. "Kau tahu

Juga bahasa orang di sini. Uda sahabatku, kalau boleh 

aku tahu siapa namamu?"

 "Wiro..."

 "Di Koto Gadang banyak orang Jawa. Di Bukit Nan 

Tinggi ada Kampung Jawa. Di Pagaruyung "

 Wiro menggaruk kepala. Kakinya di turunkan ke

tanah.

 Pemuda mengaku bernama Malin Kapuyuak alias Malin 

Kecoak cepat memegang bahu Wiro. Mukanya yang 

lebam sembab dan penuh noda darah menyeruakkan 

tawa.

 "Orang Jawa rupanya lekas pemarah. Aden tahu, kau


sudah kesal. Baik. sekarang aku katakan terus terang 

padamu. Aku dipukuli orang karena ketahuan mengintip 

kuda kawin..."

 Wiro kerenyitkan kening. Mengangkat kopiah basah 

lalu menggaruk kepala. Setelah menatap muka lebam 

Malin Kapuyuak. murid Sinto Gendeng tertawa 

bergelak.

 "Aneh! Kalau cuma mengintip kuda kawin mengapa kau 

dihajar orang sampai lebam biru begini rupa?! Jangan-

jangan kau yang kawin dengan kuda itu!"

 Malin Kapuyuak ganti tertawa terbahak-bahak namun 

kemudian mengerenyit karena bibirnya yang luka 

terasa sakit.



SEMBILAN


SETELAH mengusap-

usap bibirnya yang pecah 

Malin Kapuyuak berkata. 

"Induk masalah sebenarnya, tak Jauh dari kandang

kuda itu ada jalan menurun. Lalu di kelokan jalan ada 

pancuran. Nah di pancuran itu ada anak-anak gadis

sedang mandi pagi. Mereka memang biasa mandi 

sebelum hari terang. Kau tahu maksudku...?

Mereka mandi dengan menanggalkan seluruh pakaian.

Mereka semua putih-putih. Rancak-rancak. Salah 

seorang di antara anak-anak gadis itu bernama 

Pandan Dewi. Bunga dusun paling cantik."

 "Aku sudah bisa menduga apa yang kemudian

terjadi," kata Wiro pula. "Kau bukan hanya mengintip

kuda kawin. Tapi kau ketahuan mengintip anak gadis

orang sedang mandi. Lalu dikejar dan digebuki orang 

sekampung!"

 "Betul sekali. Ibu serta mamaknya. Kawan-kawan,

tetangga orang sekampung. Semua mengejar dan

memukuli ku" (mamak = paman)

 'Untung kau tidak dilempar ke dalam ngarai."

 "Awak memang lagi sial. Aku sudah berulang kali

mengintip di banyak tempat. Di pancuran tempat

Pandan Dewi mandi, aku sudah mengintai delapan kali"

 "Delapan kali? Gilai"

 Malin Kapuyuak tertawa.

 "Sialnya baru sekali ini adcn taparogok ketahuan."

Malin Kapuyuak usap keningnya yang benjut lalu

berkata (taparogok = tertangkap tangan) "Anak gadis

yang namanya Pandan Dewi itu...." SI pemuda

acungkan jempol kanan. "Benar-benar rancak. Bak


penjelmaan bidadari turun ke bumi. Tubuh tinggi

semampai, putih bersih, gigi rata berkilat bak susunan

mutiara. Rambut panjang hitam sepinggang. Kalau

bicara suaranya seperti bulu perindu masuk ke telinga.

Satu minggu masih tergiang-ngiang. Kalau kau mau

akan aku beri tahu dimana rumahnya. Kau nanti lihat

sendiri. Kalau kau tidak sampai terpikat potong

telingaku kiri kanan. Kalau kau mau mengawininya

akan aku carikan Tuan Kadi. Ha...ha...hal' (Tuan Kadi

= penghulu)

 Wiro tertawa mendengar ocehan Malin Kapuyuak.

 "Kau penduduk dari dusun yang sama dengan

gadis-gadis yang kau intip itu?"

 Malin Kapuyuak menggeleng.

 "Setelah digebuki orang hampir mati, apa kau

sekarang sudah jera?" tanya Wiro.

 Malin Kapuyuak menyeringai. "Jera mungkin ada.

Tapi celakanya mataku ini selalu gatal Ingin mengintip."

 "Masih untung baru matamu yang gatal. Kalau sudah 

tanganmu ikut gatal, apa lagi anak ketek yang ada di 

bawah perutmu ikutan gatal, oala....kau bakal celaka 

besar." (anak ketek s anak kecil. Maksudnya burungnya 

si Malin Kapuyuak.)

 Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak.

 "Kau senang melawak. Aku suka padamu."

 "Malin, aku akan coba menolongmu. Agar

pendarahan pada luka di hidungmu berhenti dan rasa

sakit di sekujur tubuh berkurang. Tapi kau harus

berjanji mau menjawab beberapa pertanyaan."

 "Uda sahabatkul Jangankan menjawab pertanyaan, 

kau suruh aku tajun ke dalam ngaraipun akan ku 

lakukan. Kau sudah menyelamatkan jiwaku. Obat


apa yang mau kau berikan padaku?" (tajun = terjun)

 "Aku tidak punya obat. Tapi akan melakukan ini..." 

Habis berkata Wiro lalu totok tubuh Malin Kapuyuak 

mulai dari kepala, dada, pinggang dan telapak kaki."

 Malin Kapuyuak pejamkan mata menahan sakit.

Saking tidak bisa menahan pemuda ini sampai

buuuttt...keluarkan kentut!

 "Sialan kaul Dasar kapuyuak!" Maki Wiro sambil

menjitak kepala si pemuda lalu melompat turun dari

atas dangau

 Perlahan-lahan Malin Kapuyuak buka kedua mata.

Mulut menyeringai.

 "Aku tidak bermaksud kurang ajar Tapi angin itu

keluar sendiri. Hai ! Kau Ini dukun besar rupanya. Lihat

darah di hidungku tidak mengucur lagi. Rasa sakit di

muka dan sekujur badan jauh berkurang..."

 Wiro pegang bahu si pemuda lalu berkata.

 "Sekarang jawab pertanyaanku. Apakah kau tahu

kalau di salah satu tebing Ngarai Sianok ada sebuah

goa. Dan di dalam goa itu diam seorang tua

berpakaian dan bersorban putih, memelihara seekor

burung elang putih."

 Tampang Malin Kapuyuak mendadak berobah. Dia

seperti orang ketakutan.

 "Kau...kau maksudkan Datuk Marajo Sati...?"

 "Hemm...Jadi nama orang tua yang tinggal di dalam 

goa itu Datuk Marajo Sati."

 "Kau...kau mau mengadukan perbuatanku padanya? 

Mati adenl"

 Wiro menyeringai dan gelengkan kepala. "Orang

tua itu orang baik..."

 "Datuk Marajo adalah Datuk pimpinan dari para


Datuk di Luhak Nan Tigo. Adatnya keras. Terutama

menyangkut adat Nagari dan keagamaan. Beliau juga

bertanggung jawab atas keamanan Luhak Nan Tigo

serta keamanan Kerajaan Pagaruyung. Meski paling

muda tapi ilmunya paling tinggi diantara semua

Datuk. Kalau tidak ada maksud tertentu mengapa kau

menanyakan Datuk itu padaku?"

 Wiro lalu menceritakan bagaimana dia terpesat

masuk ke dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati. Tapi

belum memberi tahu tentang adanya suara perempuan

di goa tempat kediaman sang Datuk.

 "Uda Wiro sahabatku. Aku nasihatkan padamu. Lebih 

baik jangan mencari urusan dengan Datuk Marajo Sati. 

Nanti kepalamu di pindahkan ke lancirik dan lancirik 

dipindahkan ke kepalamul" (lancirik = pantat)

 Wiro tertawa. "Kalau ada orang yang mau

dibegitukan oleh Datuk maka kaulah manusianya Aku

sudah minta maaf padanya. Dia juga telah

menolongku sewaktu aku jatuh dari dinding ngarai...."

 "Pasti dia mengaitmu dengan sorban saktinya."

 "Bagaimana kau tahu?" tanya Wiro pula.

 "Siapa orang di tanah Minang Ini yang tidak tahu

kesaktian sorban Datuk Marajo Sati. Sorban itu bisa

mencuat tinggi sampai ke langit, mampu melesat

sedalam dasar samudera. Bahkan sorban bisa

berubah menjadi binatang seperti ular atau naga

sebesar bukit Datuk itu juga biasa disebut Datuk

Sorban Saribu Sati." (= Datuk Sorban Seribu

Kesaktian)

 “Hebat sekalil" memuji kagum Pendekar 212.

 "Itu belum seberapa. Kau tahu. Datuk Marajo Sati

kalau kemana-mana dia bisa melayang terbang naik


sorbannya!"

 "Luar biasai" Kembali Wiro memuji. "Sobatku yang

sial. aku ada satu pertanyaan lagi. Apakah Datuk

Marajo Sati punya anak perempuan atau punya

seorang istri yang tinggal bersamanya di dalam goa

di dinding ngarai itu?"

 "Eh, ini pertanyaanmu aneh. Rupanya kau tertarik

pada istri Datuk! Ternyata kau lebih galadiah dari aku.

Lebih kurang ajar dari aku! Ha...ha...ha!" (galadiah =

brengsek)

 "Aku belum gila mau-mauan menyenangi istri

orang, apa lagi yang sudah nenek-nenek...."

 "Huss! Siapa yang mengatakan istri Datuk Marajo

Sati seorang nenek-nenek. Istri pertamanya memang

sudah tua dan telah meninggal sepuluh lohun silam.

Dari istrinya itu Datuk Marajo Sati tidak dikarunia 

anak.

Setelah istrinya tiada dia kemudian mendapatkan istri

pengganti, masih muda. Dikawini Datuk sekitar

setahun silam. Baru berusia dua puluh tahun. Cantik

jelita. Tinggal di Koto Gadang. Sampai saat ini dari

istrinya yang baru dan muda itu Datuk juga belum

mendapatkan anak. Setahu orang istri Datuk Marajo

Sati tidak pernah datang ke goa di Ngarai Sianok.

Sang Datuklah yang selalu mengunjungi istrinya pada

waktu-waktu tertentu. Tapi bisa saja istrinya datang

ke sana kalau ada kepentingan mendadak.

Tapi....rasanya mustahil. Istri Datuk tidak akan

mungkin bisa memanjat ngarai, masuk ke dalam

goa..."

 Mendengar cerita Malin Kapuyuak Wiro baru

menerangkan tentang adanya suara perempuan yang


didengarnya di dalam goa, bicara dengan Datuk Marajo 

Sati.

 "Dari suaranya aku bisa menduga kalau perempuan 

itu masih sangat muda. Kalau istri Datuk Marajo Sati 

tidak pernah datang ke goa, lalu suara perempuan siapa 

yang aku dengar?"

 Belum sempat Malin Kapuyuak mengatakan sesuatu 

tiba-tiba seekor burung besar berwarna putih melesat 

di atas dangau. Dalam waktu sekejap saja burung itu 

telah lenyap di arah timur.

 "Aku tahu. burung yang barusan melintas di atas

dangau adalah elang putih peliharaan Datuk Marajo

Sati...." Kata Wiro sambil menatap ke arah lenyapnya

burung putih besar.

 "Burung itu bukan binatang biasa. Walau tidak

bisa bicara tapi dia mampu mengerti ucapan Datuk

Marajo Sati. Jika diperintah mencabik atau membunuh 

orang, burung itu mampu melakukan dengan mudah."

 "Malin. apa kau tahu burung elang itu jantan atau

betina?"

 "Jantan tentunyal Eh, apa maksud tanyamu itu.

Seandainya burung elang itu betina, kau mau

menduga-duga bahwa Datuk Marajo Sati...."

 "Otakmu kotor. Karena terlalu banyak mengintip"

tukas Wiro. "Aku punya firasat burung itu memata-

matai diriku."

 "Bisa jadi Datuk Marajo Sati sudah berada dekat-

dekat ke tempat ini. Sebaiknya kita segera pergi dari

sini." Malin Kapuyuak tampak takut dan cepat berdiri.

Namun belum sempat tubuhnya diluruskan tiba-tiba

tiga orang berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di

depan dangau.


"Cilakol Mati adenl" ("Celaka! Mati aku!") Ucap

Malin Kapuyuak dengan suara gemetar ketika dia

mengenali salah satu dari tiga orang yang muncul.


SEPULUH


DALAM tarak (samadi) 

yang dilakukan Si

Kamba Mancuang Tangan 

Manjulai sejak tengah malam sampai menjelang dini 

hari. nenek yang menggantungkan diri di cabang pohon 

kaki ke atas kepala ke bawah ini memang mendapat

petunjuk gaib. Namun petunjuk itu tidak menyatakan 

dimana beradanya kupu-kupu giok melainkan mengarah

pada bayangan seorang pemuda asing tidak dikenal 

yang saat itu berada di sebuah dangau tak jauh

dari Ngarai Sianok.

 "Aku tidak bisa menjajaki keberadaan kupu-kupu

giok. Agaknya mahluk itu memiliki daya penolak yang

hebat. Atau mungkin ada kekuatan sakti

melindunginya....Mengenai pemuda asing yang aku

lihat dalam tarak, dia tidak sendirian. Ada seorang

pemuda lain bersamanya." Menerangkan si nenek

pada beberapa orang kambratnya yang menunggui.

 'Saudaraku," kata Si Kamba Pesek Tangan

Manjulai yang berada dalam keadaan cidera. "Kalau

kau sudah bisa menduga dimana letaknya dangau itu,

segera pergi kesana. Jangan seorang diri. Bawa

beberapa sahabat. Bukan mustahil pemuda asing

yang kau lihat dalam gaib itu adalah pelindung puteri

Pangeran Kerajaan Cina yang jadi kupu-kupu giok."

 Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai meminta

Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit pergi

menemuinya. Karena Perwira Muda Teng Sien

bersikeras minta ikut, maka si nenek terpaksa

membawanya. Pada saat menjelang fajar

menyingsing ke tiga orang Itu segera berangkat ke


arah timur. Dalam perjalanan, di tengah jalan Si

Kamba Mancuang Tangan Manjulai sempat menyirap

kabar perihal kejadian adanya seorang pemuda

bernama Malin Kapuyuak yang dihajar orang sedusun

karena berani berbuat lancang mengintai anak gadis

mandi. Juga didapat cerita bahwa pemuda kurang ajar

itu kemudian dilari diselamatkan oleh seorang

pemuda asing berambut panjang seperti perempuan.

Si nenek yakin betul, petunjuk yang didapatnya dalam

bertarak tidak beda dengan apa yang diceritakan

penduduk setempat

 Kembali ke dangau. Melihat Malin Kapuyuak

tampak begitu ketakutan. Wiro berbisik. "Kau

mengenali orang-orang ini?"

 "Aku...aku hanya mengenali nenek berambut

jarang bergigi perak itu. Dia Si Kamba Mancuang

Tangan Manjulai, nenek setan berilmu tinggi yang

sering menimbulkan kekacauan di tanah Minang.”

 'Kurang ajar! Kau berani menyebutku nenek setan

penimbul kekacauan! Robek mulutmul”

 Rupanya ucapan Malin Kapuyuak yang walau

berbisik-bisik sempat terdengar di telinga Si Kamba

Mancuang Tangan Manjulai. Nenek ini berteriak marah

lalu sekali berkelebat tangan kanannya yang panjang

meluncur lebih panjang, membeset ke arah mulut

Malin Kapuyuakl Jika pemuda ini tidak bisa

menghindar dari serangan itu maka bukan saja

mulutnya tapi separuh kepalanya akan tercabik

mengerikanl Dan ternyata Malin Kapuyuak memang

t'iak mampu selamatkan diri!

 Sekejap lagi mulut dan kepala pemuda tukang intip 

perawan mandi itu akan robek tiba-tiba murid Sinto


Gendeng dengan gerakan kilat ulurkan tangan

berusaha mencekal lengan si nenek.

 "Nek, jangan langsung bertindak keras. Mari kita

bicara dulul" Ucap Pendekar 212. Tapi si nenek tidak

perduli, dia teruskan gerakan tangannya untuk

merobek muka Malin Kapuyuak.

 Mau tak mau Wiro terpaksa hantamkan pinggiran

telapak tangan kanannya ke lengan si nenek.

 "Bukk!"

 Lengan dan pinggiran telapak tangan beradu

keras. Lengan Si Kamba Tangan Manjulai terpental.

Sambaran tangan mautnya luput dari sasaran. Si

nenek memekik kesakitan dan marah sekali. Dengan

cepat dia membuat gerakan aneh. Tangan yang

barusan dipukul berubah laksana seekor ular

menggelung tangan kanan Wiro.

 Pendekar 212 berseru kaget sewaktu dia tidak

mampu melepaskan diri dari lilitan tangan. Sesaat

sebelum lengan itu dibelit hancur sampai ke tulang

dengan cepat murid Sinto Gendeng merapal aji

kesaktian pelicin tubuh bernama Belut Menyusup

Tanah.

 Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai berteriak

kaget ketika tangannya yang sudah membelit dan siap

meremas hancur tangan Wiro tiba-tiba terlepas,

membuat tubuhnya terjengkang. Sebelum sempat

Imbangi diri satu tombak, bergulingan di tanah. Dia

berusaha bangkit terbungkuk-bungkuk menahan sakit

Untungnya Wiro tidak menyertai tendangannya

dengan aliran tenaga dalam. Si nenek tudingkan

tangan kiri ke arah Wiro.

 "Palasik jahanam! Beraninya kau menyakiti diriku!


Kau yang aku lihat dalam samadiku! Kau pasti punya

sangkut paut dengan puteri Pangeran yang kabur dari

negeri Cina itu! Paling tidak kau merupakan mahluk

penghalang berusaha mencegah kami mendapatkan

kupu-kupu giok!" (Palasik = semacam mahluk yang

suka menghisap darah terutama darah bayi)

 "Kamba Mancuang!" teriak Hantu Gunung Sago

Si Kalam Langit "Kau ini bicara apal" Lelaki ini

membentak keras karena dalam marahnya si nenek

tadi telah ketelepasan bicara soal puteri Pangeran

Cina dan kupu-kupu giok yang seharusnya

dirahasiakan.

 Tapi Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tidak

befduli. Habis memaki si nenek buka mulutnya lebar-

lebar ialu berteriak keras. Saat itu juga dari barisan

gigi peraknya atas bawah melesat dua rangkum

cahaya putih berpijar menyilaukan. Menyambar ganas

ke arah dua bagian tubuh Wiro. Yang pertama

menyambar dari pinggang ke atas, yang lain

menghantam dari pinggang ke bawahi

 "Nek, kita tidak saling bermusuhanl Mengapa

menurunkan tangan jahat terhadapku?!" Teriak murid 

Sinto Gandeng.

 "Siapa yang kurang ajari Siapa yang menghalangi

pekerjaanku adalah musuh bagikul" Jawab si nenek.

 "WusssjWusssl"

 Dua larik cahaya putih berpijar menyambar disertai

menghamparnya hawa luar biasa panas. Inilah ilmu

kesaktian yang disebut Angin Merapi Merambah Bumi.

 "Tua bangka edan" Maki Pendekar 212 sambil

melesat ke udara. Selagi tubuh melayang tangan kiri

kanan didorong melepas dua pukulan sakti Tangan


Dewa Menghantam Batu Karang.

 Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai berseru kaget 

ketika dua angin pukulan lawan keluarkan suara

menggemuruh seperti bukit batu roboh. Begitu dia

melompat selamatkan diri dihadapannya di

menyaksikan bagaimana tiupan angin putih maut yang

keluar dari deretan gigi peraknya buyar cerai berai.

Sebagian menyambar dangau hingga saat itu juga

bangunan itu tengoelam dalam kobaran api. Pemuda

bernama Malin Kapuyuak yang masih berada di dalam

dangau itu serta merta melompat selamatkan diri

lintang pukang. Si nenek delikkan mata melihat di

tanah di depannya kini ada lobang sebesar kubangan

kerbau akibat dua pukulan lawan.

 Hantu Gunung Sago SI Kalam Langit tadinya

hendak menerjang menyerang Pendekar 212. Namun

melihat bagaimana pemuda berambut gondrong itu

menghancurkan serangan si nenek dan di tanah kini

tampak lobang besar, kuduknya jadi merinding. Dia

berpikir dua kali untuk melanjutkan serangan.

Sebaliknya lain halnya dengan Perwira Muda Teng

Sien. Walau tidak mengerti ucapan orang namun dia

menduga Wiro mengetahui dimana beradanya kupu-

kupu giok. Maka begitu menghunus golok anggota

pasukan Kerajaan Cina ini langsung menyerbu Wiro.

Ilmu goloknya memang luar biasa. Sekait menggebrak

dia telah kirimkan dua bacokan ke arah kepala,

menyilang menjurus dada lalu ditutup dengan tusukan

ke bagian perutl

 Melihat Wiro tidak bersenjata dan terdesak hebat,

Malin Kapuyuak segera mengambil bambu patahan

tiang dangau yang masih utuh lalu dilemparkan pada


Wiro. Dengan cepat Wiro sambar potongan bambu

lalu dipergunakan sebagal senjata menghadapi

serangan lawan. Namun bambu bukanlah tandingan

golok besar di tangan Teng Sien. Dalam dua kali

menggebrak saja Perwira Muda bertopi besi Ini telah

membuat bambu itu terpotong-potong dan kini hanya

tinggal sepanjang satu setengah jengkal yang masih

berada di tangan Wiro.

 "Perwira Mudai Habisi orang itu. Bunuh!" teriak

Si Kamba Hantu Manjulai.

 Tanpa disuruhpun walau tidak mengerti ucapan

orang Teng Sien memang ingin mencincang Pendekar

212 Wiro Sableng. Dia tidak tahu siapa adanya pemuda

berambut gondrong Itu dan dia tidak perduli. Dia

hanya punya kecurigaan bahwa Wiro merupakan salah

satu dari orang-orang yang menghalangi usahanya

mendapatkan kembaii kupu-kupu Giok yang membawa 

tubuh puteri Pangeran Chia Swie Kim. Sekali melompat 

golok besar di tangan sang Perwira Muda sudah 

berdesing di udara. Lancarkan serangan berantai yang 

sangat ganas. Memperhatikan gerak dan hawa yang 

keluar dari golok lawan Wiro bisa mengukur kalau 

serangan Teng Sien tidak disertai tenaga dalam. 

Namun tenaga luarnya sungguh luar biasa.

 Ketika lawan melompat lagi mengirimkan serangan 

kilat, saat inilah, tiba-tiba dengan cepat Wiro

merunduk sedikit lalu lemparkan potongan bambu

yang masih ada di tangannya ke arah bawah perut

sang perwira. Tepat mengenal kantong menyannyal

 Jerit Teng Sien setinggi langit. Tubuhnya

langsung ambruk, menjerit, melejang-lejang di tanah

sambil tekap bagian bawah perut yang sakitnya


laksana disundut bara apil Tidak sanggup menahan

sakit akhirnya Perwira Muda Ini tergeletak pingsan

dengan mata mendelik!

 "Manusia tolol. Lain kail jangan hanya kepala atasmu 

yang pakai topi besi. Kepala bawah harus juga kau 

lindungi dengan topi besi. Ha...ha...ha” Wiro mengejek.

 " Kurang ajar" Teriak Si Kamba Mancuang Tangan

Manjulai marah besar menyangka Teng Sien telah

menemui ajal. "Kalam Langitl Kau tangkap hidup-hidup 

pemuda berdestar putih itu. Aku tak akan memberi 

ampun pada jahanam berambut seperti perempuan Ini!"

 Si nenek lalu dahului serangannya dengan mengulur 

panjang dua tangan ke arah Wiro sementara Hantu 

Gunung Sago Si Kalam Langit melompat menyergap 

Malin Kapuyuak. Sebelum orang mendatanginya 

pemuda tukang intip ini tendang tumpukan reruntuhan 

bangunan dangau yang masih diselimuti api dan asap ke 

arah Si Kalam Langit yang hendak menangkapnya. Lalu 

secepat kilat dia berputar-putar mengelilingi sebuah 

pohon besar, memperdayai si tinggi hitam itu sambil 

mencari kesempatan untuk kabur.

 "Kalam Langitl" teriak Wiro yang tahu cepat atau

lambat orang itu akan dapat menangkap Malin

Kapuyuak. "Berani kau rnencelakal sahabatku itu akan

kuubah dirimu menjadi Kalam Lancirik." (Lancirik=

Pantat)

 "Pemuda jahanaml Biar kau aku pesiangi lebih Dulu." 

Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Dua 

tangannya yang menjadi panjang luar biasa melesat 

kian kemari lalu melilit sekujur tubuh Pendekar 212 

mulai dari pinggul sampai ke dada. Saat Itu juga 

tubuhnya bergerak ke depan hingga hampir


bertempelan dengan tubuh Wiro. Seumur hidup baru

kali ini murid Sinto Gendang mendapat serangan

seperti itu.

 "Kreekkk...kreekkkl"

 Wiro mendengar sendiri tulang-tulang tubuhnya

berderak.

 "Nenek bergigi perakl" Dari balik pohon Malin

Kapuyuak walau dikejar orang masih bisa berteriak.

"Kau berpura-pura hendak membunuh sahabatku.

Padahal kau Ingin memeluknya! Ha...ha.... Kau pasti

sudah jatuh hati pada pemuda rambut panjang itu.

Memang di nagari ini tidak ada pemuda yang seperti

Dia. Ayo cium dia kalau berani! Jangan cuma

memeluknya saja."

 Keadaan si nenek yang saat itu tengah menelikung

Wiro dengan dua tangannya, sepintas lalu memang

tampak seperti orang yang tengah berpelukan dan 

bermesraan dengan kekasihnya.

 "Jahanam bermulut kurang ajar. Lihat apa yang akan

aku lakukan pada sahabatmu Ini." Teriak Si Kamba 

Mancuang Tangan Manjulai. Lalu dua tangannya yang 

panjang dan telah membelit sekujur tubuh Wiro 

digerakkan demikian rupa hingga kreekkkkl Kembali 

tulang-tulang sang pendekar mengeluarkan suara 

berkaretekan siap hancuri

 Wiro menyeringai kesakitan. Tubuhnya seperti 

disengat api. Tapi dia masih bisa berucap. Sablengnya 

keluar. •«•. > > ,

 "Nek, kalau kau tidak mau menciumku biar aku saja 

yang menciummu! Kau cantik. Walau sudah tua tidak 

rugi rasanya menciummul Ha...ha...hal"

 Lalu cuuppp...cuuuppp...cuuuppp. Wiro benar-benar


cium wajah si nenek bertubi-tubi.

 "Jahanam laknat kurang ajari"

 Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai buka 

mulutnya lebar-lebar. Siap hendak meniupkan ilmu 

maut Angin Merapi Merambah Bumi. Namun lebih

cepat lagi Wiro mengecup lumat-lumat bibir si nenek 

hingga Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai

terperangah. Tubuhnya bergetar. Nafas mengengah.

Dada naik turun. Lalu dia berteriak keras antara marah

dan menahan gelora yang tidak pernah dirasakannya

selama ini. Tidak sadar telikungan dua tangannya di

tubuh Wiro jadi mengendur.

 Dengan cepat murid Sinto Gendeng loloskan dua 

tangannya dari lilitan sepasang tangan panjang si

nenek. Lalu sekail dua tangan bergerak dia berhasil 

membuat empat totokan. Dua di punggung, dua di 

pinggang. Saat Itu Juga Si Kamba Mancuang Tangan 

Manjulai tertegak kaku tak berkutik, mulut menganga 

basah, dan sepasang mata mengedap-ngedipl

 Wiro cepat lepaskan gelungan dua tangan panjang 

lalu loloskan diri sambil tertawa-tawa cengengesan. Dia 

memandang ke arah pohon dan merasa khawatir karena 

tidak melihat Malin Kapuyuak ataupun orang 

berpakaian hitam Si Kalam Langit

 "Nek, aku pergi dulu. Sebelum siang totokan di 

tubuhmu akan lepas sendiri. Kalau kau masih ingin 

ciumanku, Jangan malu-malu mencari aku ya? Namaku 

Wiro Nekl Ha...ha...ha...hal"

 "Pemuda kurang ajari Aku bersumpah akan 

menghancurkan tubuhmu. Aku masih akan berbaik hati 

membuatkan papan nisan di atas kuburmu!"

 "Kenapa kau mau berbaik hati begitu Nek? Karena


ciumanku tadi? Ha...ha...hal Aku akan menciummu lagi. 

Jadi kau buatkan kuburku dua papan nisan sekaligus!" 

Lalu enak saja Wiro ciumi dan kecup lagi bibir basah si 

nenek. Dia berhenti mencium, memandang berkeliling. 

"Nek. tak ada orang lain di sini. Serdadu Cina itu tidak 

sadarkan diri berarti tidak akan melihat. Ssttt....Kau 

mau kucium lagi?"

 "Setan terkutuk. Kau akan jadi puntung neraka!”

Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.

Wajahnya yang memang masih cantik dan berhidung

mancung kelihatan berubah merah.

 “Tapi kau suka puntung neraka ini bukan?" Jawab

Wiro dan kembali mengecup bibi Si Kamba Mancuang

Tangan Manjulai. Dalam gelora dahsyat yang tidak

tertahankan, sepasang mata si nenek tampak terbalik,

yang kelihatan hanya putihnya saja. Lalu tubuhnya

miring ke kiri dan jatuh tergelimpang di tanah. Tapi

dia sama sekali tidak pingsan.

 "Pemuda kurang ajari Najis. Beraninya dia berbuat

kurang ajar terhadap diriku! Kurang ajaarrr...l"

 Tiba-tiba si nenek melihat Wiro berdiri di dekatnya.

Kepala ditundukkan mendekati wajahnya.

 "Najis katamu Nek? Kalau najis sesudah bibirmu

kukecup mengapa kau tidak meludah?"

 "Manusia setani Bangsat kurang ajari. Aku

bersumpah..."

 "Sssttt... Tak baik bersumpah Nek. Jangan menipu 

diri. Kau suka aku cium. Aku juga suka menciummu. 

He...he...Seumur hidup baru sekali ini aku mencium 

perempuan yang giginya berlapis perak. Ternyata enak 

juga....Ha...ha...hal"

 "Setan alas" Maki Si Kamba Mancuang Tangan


Manjulai. Lalu nenek ini menjerit keras.

 Wiro tertawa gelak-gelak sambil tepuk-tepuk pipi

si nenek lalu tinggalkan tempat itu.

 Tubuh Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai

bergetar. Debaran di dada perempuan menyentak

kencang dan aliran darahnya terasa panas dan cepat

Lalu dia merasa tubuhnya panas dingin seperti orang 

diserang demam kura. Bagaimanapun Juga seumur 

hidup baru sekali itu dia diperlakukan lelaki seperti itu. 

Dipeluk, dicium dan dlkecup. Oleh lelaki muda pula.



SEBELAS


MALIN Kapuyuak lari

seperti dikejar hantu

benaran. Namun cepat

sekali. Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit berhasil 

mengejar dan mencekal kuduknya. Cekalan di tengkuk 

sampai ke leher sebelah depan begitu kencang 

membuat pemuda itu tersengal-sengal, sulit bernafas 

dan tak bisa keluarkan suara.

 Saat itu matahari mulai tinggi dan sinarnya terasa 

terik. Si Kalam Langit lepaskan cekalan. Malin

Kapuyuak dibanting ke tanah hingga pemuda ini 

mengerang kesakitan. Sakit bekas digebuki orang 

masih belum hilang, kini dibanting seperti Itu. Sekujur 

tubuhnya terasa luluh lantak.

 "Kalau nenek tangan panjang itu tidak melarangku

membunuhmu, sudah tadi-tadi kau kuhabisi. Kau

menyusahkan saja." Kata Duo Hantu Gunung Sago

Si Kalam Langit

 "Apa salahku sampai diperlakukan seperti ini. Aku

bukan maling bukan pancilok.” suara Malin Kapuyuak

setengah meratap, (pancilok = pencuri)

 "Aku dan nenek Itu tahu kau orang yang tadi malam

dipukuli orang sekampung karena mengintai anak gadis 

mandi di pancuran..."

 "Itu memang benar. Tapi apa sangkut pautnya dengan 

dirimu. Kau bukan orang sedusun. Bukan pula mamak 

dan saudara gadis-gadis itu "

 "Plaakkk!"

 Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Malin

Kapuyuak hingga pemuda ini terbanting Jatuh dan luka 

di bibirnya kembali mengucurkan darah.


"Kalau kau mau tahu siapa diriku, aku adalah yang

tertua dari Duo Hantu Gunung Sago, bernama Si

Kalam Langitl"

 Mendengar orang menyebut siapa dirinya, lelehlah

nyali Malin Kapuyuak. Bahkan dia nyaris terkencingl

 "Pandeka Besar, ampun beribu ampun. Aku tidak

bermaksud berkurang ajar padamu. Aku merasa tidak

bersalah dan mohon diriku dilepaskan. Biarkan aku

pergi dari sini." Malin Kapuyuak berkata sambil

bergerak bangun, lalu duduk di tanah dan susun

sepuluh jari di atas kepala.

 "Aku tahu siapa namamu. Aku juga tahu semua

kelakuan mesummu..."

 "Aku sudah mengaku dan minta ampun..."

 "Diam" Hardik Si Kalam Langit. "Aku ingin tahu

siapa pemuda berambut macam perempuan yang kau

panggil Uda dan kau katakan sahabatmu Itul Aku tidak 

pernah melihat manusia satu itu sebelumnya."

 "Dia.. .dia orang Jawa. Namanya Wiro. Aku bertemu 

dia baru parak siang tadi ketika dia menolong diriku 

dari amukan orang karena ketahuan mengintai anak 

gadis mandi." (parak siang s dini hari)

 "Bagusi Walau baru kenal, karena kau ditolongnya, 

kalian sudah bersahabat! Pasti banyak yang kalian 

bicarakan. Kau tahu mengapa anak Jawa Itu Jauh-jauh 

datang ke sini..."

 Malin Kapuyuak menggeleng. •

 "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah menanyakan 

padanya. Dia tidak pernah bercerita."

 "Plaakkk!"

 Satu tamparan lagi menghajar wajah Malin Kapuyuak 

membuat pemuda ini kembali tergelimpang di tanah dan


meratap minta-minta ampun.

 "Bicara jujur. Jangan berdusta atau kupatahkan 

batang lehermu!" Ancam SI Kalam Langit.

 "Ampun Pandeka Besar. Aku bicara jujur. Cincang

diriku kalau ketahuan aku bicara dusta."

 "Begitu....?" Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit

jambak dada pakaian Malin Kapuyuak lalu menyandar-

kannya ke batang pohon. Sambil injakkan kaki di dada

pemuda itu, Si Kalam Langit berkata. "Sekali aku

menekan kaki, hancur dadamu sampai ke punggung!

Jadi satu dengan batang kayu. Kau mau?l"

 "Ampun Pandeka Gadang! Jangan lakukan Itul"

Malin Kapuyuak meratap ketakutan. "Aku belum ingin

mati! Aku belum kawin. Kalau bisa aku kawin dulu 

sebelum mati!"

 "Hemmm...begitu?" Si Kalam Langit menyeringai.

 Dia turunkan kaki dari dada Malin Kapuyuak lalu kaki

 kanan itu kini diinjakkan ke bagian bawah perut si

 pemuda. "Kalau kau mau bicara, kau akan selamat

 Kalau kau bungkam atau berdusta aku tidak akan

 membunuhmu. Tapi aku akan menghancurkan si

 buyuang di bawah perutmul Berarti seumur-umur kau

 tak akan bisa kawini Ha...ha...ha!" (si buyuang = di

 sini berarti barangnya si Malin Kapuyuak)

 "Ampun Pandeka Gadang...." Suara Malin

 Kapuyuak gemetaran karena takut setengah mati.

 SI Kalam Langit perkeras injakan di bawah perut

 Malin Kapuyuak hingga pemuda ini menjerit dan

 menggeliat kesakitan.

 "Ampun. Akan kukatakan padamu apa yang aku

 tahu..."

 "Lekaa bicara!" Hardik Si Kalam Langit.


Walnu ketakutan setengah mati dan merasa sakit 

tidak terperihkan namun Mnlin Kapuyuak tidak mau 

menerangkan hal sebenarnya. Wiro telah menolongnya 

maka dia merasa perlu melindungi si gondrong itu.

 "Pemuda Jawa itu....Dia...dia tengah dalam

perjalanan. Dia tidak memberi tahu dari mana mau 

kemana. Dia senang melihat keindahan malam di

Ngarai Sianok."

 "Ceritamu tidak masuk di akal. Melihat keindahan

ngarai di malam hari?l"

 "Kalau langit bersih dan terang, apa lagi sedang

ada bulan purnama, bukankah pemandangan di ngarai

sangat Indah pada malam hari?" ucap Malin Kapuyuak

pula.

 Hantu Gunung Sago SI Kalam Langit menyeringai.

 "Kau mulai berani bicara dusta. Di salah satu

bagian Ngarai Sianok aku tahu Datuk Marajo Sati diam

di sebuah goa. Pemuda itu datang ke ngarai pasti

ada sangkut paut dengan diri Datuk itu."

 "Kalau hal Itu aku kurang tahu. Tapi...."

 "Tapi apa?!" Sentak SI Kalam Langit mulai tidak

sabaran. Walau SI Kamba Mancuang Tangan Manjulai

melarangnya, tapi dia sudah punya niat akan

menghabisi pamuda satu Ini.

 "Aku menduga...." kata Malin Kapuyuak dengan

raut wajah berpura bersungguh-sungguh. "Pemuda

Jawa itu agaknya tertarik dengan kecantikan istri 

Datuk Marajo Sati yang masih muda belia. Mungkin dia

berada di ngarai untuk mengintai padusi itu." (padusl

s perempuan)

 SI Kalam Langit tampak seperti tercengang

mendengar ucapan Malin Kapuyuak. Mulutnya


ternganga.

 "Kalau dia tahu Datuk Marajo Sati beristri muda

dan cantik, berarti pemuda Jawa itu sudah lama 

berada di tanah Minang Ini."

 Malin Kapuyuak tidak menjawab.

 Si Kalam Langit perkeras injakan kaki kanannya

hingga pemuda itu menjerit kesakitan.

 "Jangan dusta mengarang cerital"

 "Aku bersumpah biar dicekik Hantu Haru-Harul" 

(Hantu Haru-Haru sejenis mahluk halus yang suka 

menculik orang terutama anak kecil dan membawanya 

ke atas pohon)

 "Kapuyuak jahanaml Siapa percaya sumpah manusia 

macam wa-ang! Sebelum Hantu Haru-Haru 

mencekikmu, aku yang akan lebih dulu mematahkan 

batang lehermul" Si Kalam Langit putar telapak 

kakinya yang menginjak bagian bawah perut hingga 

Malin Kapuyuak kembali berteriak kesakitan.

 "Mengapa pemuda itu menanyakan Datuk pimpinan 

Luhak Nan Tlgo?" (wa-ang e kamu, kasar)

 "Sudah aku katakan, dia tahu Datuk punya istri 

muda. Mungkin dia suka pada istri Datuk Marajo Sati. 

Aku beritahu istri Datuk itu ada di dalam goa di Ngarai 

Sianok."

 "Hebat kau Malin Kapuyuakl Kalau benar ceritamu 

berarti kau menghkhlanati Datuk Marajo Sati. Tapi 

aku tahu kau dusta. Semua orang di Luhak Agam ini 

tahu kalau Istri Datuk Marajo Sati tinggal di Koto 

Gadang.

 Tidak pernah datang atau berada di dalam goa tempat

kediaman suaminya..."

 "Aku tahu hal itu Pandeka. Itu sebabnya aku


berdusta pada pemuda Jawa itu. Tak mungkin aku

akan mengkhianati Datuk Marajo Sati. Kalau tidak

ingin melindungi Istri Datuk, mengapa tidak aku

katakan saja yang sebenarnya kalau parempuan Itu

tinggal di Koto Gadangl*

 "Aku tidak percaya padamu Malin Kapuyuak. Lebih

baik kutamatkan riwayatmu saat ini jugal Kau pasti

punya cerita lain yang sebenamyal Kau pasti tahu

mengapa pemuda Jawa Itu berada di sekitar daerah

ini. Aku bosan bicara denganmul Aku muak melihat

tampangmul"

 Si Kalam Langit kerahkan tenaga dalam lalu kaki

kanannya dihunjamkan kuat-kuat

 "Ampuni Janganl" teriak Malin Kapuyuak.

 Sekejapan lagi bagian tubuh yang sangat berguna

bagi si pemuda itu akan hancur, tapi tiba-tiba ada

suara perempuan berseru.

 "Barang pusaka barang keramat! Wajib dipelihara

wajib dijagai Mengapa tega hendak memecah?!

Hik...hlk...hlkl"

 Bersamaan dengan kumandang seruan itu mendadak 

di udara terdengar suara berdesing panjang. Dua 

benda hitam melesat ke arah SI Kalam Langit tanpa 

orang tinggi besar ini sempat menyingkir mengelakkan 

diri.

 "Craassal Crassssl"

 Dua benda hitam mendarat telak di kening dan

pangkal leher orang tertua dari Duo Hantu Gunung

Sago Ini. Tak ampun lagi tubuhnya yang besar

tergelimpang roboh di tanah. Dari kening dan leher

darah mengucur deras. Si Langit Kalam menggeliat

dua kali, lalu nyawa lepas. Tubuh diam tak berkutik lagi.


Dari atas sebatang pohon besar, orang bermuka

cacat yang barusan melemparkan dua senjata rahasia

memaki geram, memandang melotot ke bawah.

 'Jahanam! Dari mana munculnya betina gendut

keparat Itu. Apakah dia juga menyelidik perkara yang

sama yang tengah aku lakukan?! Aku belum pernah

melihat dia sebelumnya. Dari dandanannya yang aneh

agaknya dia bukan orang negeri ini. Gerakannya

enteng dan luar biasa cepat! Suaranya terdengar lebih

dulu baru ujudnya kelihatan! Sialan, aku tidak bisa

bertindak ceroboh. Dia menyelamatkan pemuda itu

pasti punya maksud. Saat ini dia tengah mengejar

pemuda itu. Apa yang harus aku lakukan?!"

 DI udara berkelebat seekor burung besar putih.

Di dekat reruntuhan dangau di tepi pesawahan burung

yang ternyata adalah seekor elang putih ini melayang

rendah lalu melesat kembali ke udara dengan

mengeluarkan suara menguik keras. Orang bermuka

cacat yang mendekam di atas pohon, seolah berpikir

sebentar akhirnya tanpa keluarkan suara akhirnya

melesat turun ke tanah lalu berkelebat ke arah timur.

Dalam hati dia membatin.

 Para tokoh rimba persilatan Itu akan bertemu

besok di Muko Muko. Lebih baik aku cepat-cepat

menuju ke sana. Tapi mungkin ada gunanya aku

mengintai dulu ke goa di Ngarai Sianok. Aku punya

kecurigaan. Malam tadi dua orang itu datang dari

sana. Bisa saja...."


DUA BELAS


ELANG putih bermata 

merah melesat terbang 

di bawah terik cahaya 

matahari, melayang turun dan bertengger di cabang 

pohon tak jauh dari dangau yang terbakar, di tepi 

kawasan persawahan. Tak lama kemudian berkelebat 

muncul seorang tua bersorban dan berjubah

putih yang ternyata adalah Datuk Marajo Sati. Elang 

putih yang bukan sembarang burung telah menuntun 

sang Datuk ke tempat itu.

 "Alang Putih Rajo Di Langit, aku menyangka kau 

membawaku menemui pemuda Jawa itu. Ternyata kau

menemukan mayat. Sudah lama negeri ini aman

tenteram dari berbagai macam kejahatan, apa lagi

pembunuhan. Sekarang ada mayat terkapar di

hadapanku. Siapa yang jadi korban, siapa yang jadi

pelaku pembunuhan?" Berkata seperti itu Sang Datuk

lupa kalau sebelumnya karena tidak dapat menahan

hawa amarah ketika berada dalam goa di Ngarai

Sianok dia nyaris hendak mencelakai bahkan bisa

membunuh Wiro dengan ilmu Bumi Tabalah Azab

Manimpo.

 Datuk Marajo Sati dekati mayat yang tergeletak di

tanah. Kening mengerenyit, mata menyipit dan lang-

kah terhenti begitu dia mengenali mayat bersimbah

darah itu adalah orang tertua dari Duo Hantu Gunung

Sago yang bernama Si Kalam Langit

 "Orang hebat berilmu tinggi menemui ajal di tengah 

hari. Siapa gerangan yang membunuhnya?" Datuk 

Marajo Sati memandang berkeliling. "Tak ada

tanda-tanda perkelahian di tempat ini. Bagaimana dia


bisa menemui kematian seperti Ini? Orang jahat mana

yang gentayangan di negeri ini, melakukan pem-

bunuhan"

 Sang Datuk perhatikan keadaan mayat Dia melihat

ada dua luka besar penyebab kematian yaitu di kening

dan pangkal leher sebelah kiri. Wajah dan bagian leher

yang tidak tertutup darah tampak melepuh. Datuk

Marajo Sati tarik nafas dalam lalu perlahan-lahan

gerakkan tangan kanan. Telapak dikembang, diarahkan 

ke kening mayat.

 Tangan bergetar.

 "Wuuttt"

 Sebuah benda hitam berlumuran darah yang

menancap di dalam kening Si Kalam Langit laksana

disedot melesat keluar. Dengan cepat Datuk Marajo

Sati menangkap benda itu. Ketika diperhatikan

ternyata sebuah besi hitam berbentuk bintang segi

empat Pada setiap ujung bintang yang tajam terdapat

sebuah lobang kecil. Datuk Marajo Sati sebelumnya

malam tadi telah melihat benda yang sama.

 "Senjata rahasia seperti ini yang menancap di

dinding goa kediamanku malam tadi," ucap Datuk

Marajo Sati dalam hati lalu mengeruk saku jubah dan

mengeluarkan sebuah benda. Benda ini adalah

senjata rahasia yang ditemukan dan dikorek elang

putih dari dinding goa. Ternyata kedua benda itu

sangat sama satu dengan lainnya. "Apakah senjata

rahasia yang satu ini juga ada hubungannya dengan

pemuda dari Jawa mengaku Wiro itu?" Datuk Marajo

Sati berpikir keras sambil usap senjata rahasia yang

masih berlumuran darah. 'Kalau pemuda itu yang

dikejar atau dihadang musuh dan jadi sasaran


serangan, mengapa manusia satu ini yang jadi

korban? Apa hubungan pemuda Jawa itu dengan Duo

Hantu Gunung Sago? Sebagai dua orang yang

berserikat atau sebagai dua musuh? Berarti apakah

pemuda Jawa itu ada di tempat ini sebelumnya?"

 Datuk Marajo Sati melangkah ke tepi pematang

sawah yang ada genangan air. Senjata rahasia besi

bintang segi empat dicelupkan ke dalam air sampai

bersih dari darah lalu dimasukkan ke dalam saku

jubah. Sambil melangkah mengelilingi mayat orang

tua yang merupakan Datuk pimpinan dari para Datuk

di Luhak Nan Tigo terus berpikir, bertanya-tanya 

dalam hati dan mereka-reka. Ingatannya kembali 

tertuju pada pemuda Jawa yaitu Pendekar 212 Wiro 

Sableng.

 "Waktu d goa ketika kutanya apa tujuannya berada 

dinegeri ini, pemuda itu menjawab kalau dia baru saja

menemui seseorang. Ada pesan amanat dari orang itu

yang harus dilakukan. Tapi dia tidak mau mengatakan

siapa orang itu adanya. Lalu mengenai amanat dia

mengatakan bahwa satu perkara besar akan terjadi di 

tanah Minang." Datuk Marajo Sati menatap di langit 

Pejamkan mata dan kembali bicara dalam hati. 

"Katanya ada perkara besar. Perkara apa? Astaga... 

Mengapa aku begitu tolol. Kematian Sutan Panduko 

Alam, kematian Duo Hantu Gunung Sago. Bukankah ini 

satu Perkara besar? Paling tidak awal dari satu 

perkara besari Kalau turut cerita gadis Cina Itu, 

jangan-jangan ini ada sangkut paut dengan dirinya!" 

Memikirdan ingat pada Chia Swie Kim si gadis yang

menjelma dalam ujud kupu-kupu batu giok dan kini 

berada di dalam goa kediamannya Datuk Marajo Sati


mendadak merasa khawatir. "Puti Bungo Sekuntum. 

Aku harus cepat-cepat kembali ke goa. Selain itu aku 

harus memberi tahu orang di dusun terdekat untuk

mengurus mayat Duo Hantu Gunung Sago."

 Sebelum pergi Datuk Marajo Sati berkata pada

burung elang besar yang masih bertengger di cabang

pohon.

 "Alang Putih Rajo Di Langit Aku senang kau telah

membawaku ke tempat Ini. Aku akan kembali ke goa.

Lanjutkan apa yang telah aku tugaskan padamu.

Temukan pemuda berambut panjang itu. Ikuti kemana

dia pergi. Cari tahu dengan siapa saja dia 

berhubungan."

 Elang putih di atas pohon seolah mengerti apa

yang diucapkan majikannya menguik lalu melesat

terbang ke udara. Untuk berapa lama burung ini

melayang berputar-putar di atas kawasan persawahan.

***

 KETIKA Datuk Marajo Sati sampai di dalam goa,

orang tua ini terkejut karena kupu-kupu batu giok yang

diletakkannya di dalam cegukan dinding goa lenyap

dari tempatnya. Sang Datuk mengucap berulang kali,

memandang berkeliling sambil mulutnya berseru.

 "Chia Swie Kiml Puti Bungo Sekuntuml Dimana kau?l"

 Suara Datuk Marajo Sati menggelegar menggetar-

kan seantero goa.

 Tak ada Jawaban.

 "Kupu-kupu giokl"

 Tiba-tiba ada suara kepakan sayap halus. Sesaat

kemudian dari balik celah batu di ujung dalam goa


melayang seekor kupu-kupu besar lalu turun ke lantai

goa di depan kaki Datuk Marajo Sati. Sang Datuk

merasa lega.

 "Datuk, maafkan saya. Saya tadi terpaksa mengubah 

diri lalu terbang dan bersembunyi di balik celah 

batu...."

 Kupu-kupu besar keluarkan cahaya berpijar,

sesaat kemudian berubah bentuk menjadi gadis cantik

puteri Pangeran Cina bernama Chia Swie Kim.

 "Anak gadis, katakan apa yang terjadi? Mengapa

kau merubah diri dan bersembunyi di ujung goa?"

 'Sebelum Datuk sampai di sini ada seseorang

 masuk kedalam goa. Dia seperti menyelidik. Saya

 takut..."

 Datuk Marajo Sati terkejut besar.

 'Siapa orangnya? Pemuda Jawa berkopiah hitam

 berambut panjang itu?l" tanya Datuk Marajo Sati

 dengan wajah berubah.

 Gadis puteri Pangeran Cina yang oleh sang Datuk

 diberi nama Puti Bungo Sekuntum gelengkan kepala.

 "Bukan, bukan pemuda itu...."

 "Salah satu dari orang-orang yang mengejarmu.

 Pimpinan kakek bernama Ki Bonang Talang Ijo?"

 "Juga bukan Datuk. Saya tidak mengenalnya. Orang 

ini mengenakan jubah biru. Mukanya ada cacat bekas 

luka. Dia...."

 "Sudah, keadaan semakin tidak karuan di tempat ini. 

Puti, aku akan memindahkan mu ke ruang rahasia di 

ujung goa. Jika kau Ingin keluar, ketuk dinding goa tiga 

kali. Makanan dan air bersih tersedia banyak di 

ruangan itu. Tapi ingat satu hal. Kecuali melalui dinding 

goa yang aku katakan, kau sekali-kali tidak boleh


mencari jalan keluar yang lain. Kau mengerti?"

 "Saya mengerti Datuk...." Jawab Chia Swie Kim.

Sebenarnya ada sesuatu yang hendak dikatakan gadis

Ini namun saat itu Datuk Marajo Sati telah 

mengangkat tangan. Dari ujung jari tengah dan jari 

telunjuk memancar keluar dua larik cahaya putih. 

Ketika dua cahaya itu menyentuh dinding goa sebelah 

dalam maka terdengar suara bersiur. Sesaat kemudian

dinding goa bergeser. Di sebelah dalam terlihat satu

ruangan besar, terang dan bagus.

 "Masuklah. Aku akan meninggalkan goa selama satu 

atau dua hari. Kau akan aman di dalam sana. Jaga 

dirimu baik-baik."

 Tanpa keluarkan ucapan apa-apa lagi Chia Swie Kim 

alias Puti Bungo Sekuntum segera masuk ke dalam 

ruangan. Begitu dinding goa merapat menutup gadis ini 

jatuhkan diri bersimpuh di lantai.

 "Mengapa nasib diriku jadi seperti ini? Datuk telah

menolongku. Tapi berapa lama aku bisa bertahan

mendekam di ruangan ini. Tidak melihat dunia luar.

Tidak tahu slang atau malam." Si gadis tekap

wajahnya dengan kedua tangan. "Seharusnya Yang

Maha Kuasa tidak menolongku dengan menjadikan

diriku masuk ke dalam kupu-kupu giok Kupu Kupu

Mata Dewa. Rasanya akan lebih baik jika saat itu aku

juga tewas dibunuh. Rohku mungkin akan lebih

bahagia bisa bersatu di alam baka dengan roh koko

Kul Hoa Seng. Sekarang aku berada jauh di negeri

orang. Entah bagaimana caranya bisa kembali ke

negeri leluhur....Thian yang Agung, mohon perhatikan

dan tolong diri saya...." (koko = kakak) Thlan = Tuhan)

 Gadis malang ini akhirnya sesenggukan tidak mampu

menahan tangis.


TIGA BELAS


SIANG hari itu 

puncak Gunung Kerinci 

tampak jelas tinggi 

menjulang tidak tersaput awan. Dari kejauhan gunung 

tertinggi di wilayah selatan ini diapit dan seolah

dikawal oleh Gunung Tujuh di sebelah timur dan 

Gunung Patah Sembilan agak ke barat

 Ketika serombongan burung pipit melayang dan utara 

ke selatan di langit terlihat satu pemandangan luar 

biasa Siapa saja yang melihat pasti tidak percaya 

akan pandangan matanya. Betapa tidak, seorang tua 

berjubah putih, duduk di atas gulungan sehelai sorban 

putih yang terbang melayang di udara ke arah Gunung 

Kerinci. Di lereng barat gunung sorban dan orang yang 

duduk di atasnya menukik ke bawah menuju kawasan

berbatu-batu. Bentuk dan susunan batu-batu itu

tampak begitu indah seolah dibuat dan ditata oleh

tangan manusia.

 Tak lama kemudian orang berjubah putih telah

berdiri di atas sebuah batu rata. Wajahnya tampak

kusam tanda ada kemelut yang dirasa. Sepasang mata

dengan dingin memandang tajam berkeliling hingga

akhirnya dia melihat sebuah lobang berbentuk segi

empat merupakan jalan masuk atau sebuah pintu.

 "Alhamdulillah, Allah telah membawaku dengan

selamat sampai di tempat ini. Sekarang apakah orang 

yang kucari ada di tempat kediamannya ini?"

 Tidak menunggu lebih lama Datuk Marajo Sati

melompat dari satu batu ke batu lain hingga akhirnya

dia sampai di depan pintu batu. Di sini dia memberi

salam disusul ucapan.


"Inyiek Sukat Tandlka, saya Datuk Marajo Sati

ingin bertemu dengan Inyiek. Semoga Inyiek ada baik-

baik saja dalam lindungan Yang Maha Kuasa." (Inyiek

= Orang sangat tua yang sudah sepuh dan dihormati)

 Belum lenyap suara gema ucapan Datuk Marajo

Sati, dari arah pintu batu tiba-tiba melesat keluar

seorang kakek berpakaian selempang kain putih,

berpenampilan dahsyat Wajah tidak berdaging nyaris

seperti tengkorak. Tubuh yang kurus kering hanya

tinggal kulit pembalut tulang. Kepala berambut putih

setengah sulah, kumis dan janggut putih melambai-

lambai ditiup angin gunung. Sepasang rongga mata

sangat cekung, angker. Walau keadaannya sangat

sepuh seperti itu namun kakek ini sikapnya tampak

masih gagah dan gerakannya gesit Setelah menatap

Datuk Marajo sati seketika, si kakek tertawa gelak-

gelak lalu kembangkan tangan. Kedua orang itu saling

berangkulan.

 "Berpuluh tahun tidak berjumpa. Kau tiba-tiba saja

dibawa Tuhan datang ke Gunung Kerinci inil Ha...hal

Pasti kau tidak sembarangan datang. Pasti ada

maksud di hati dan tujuan dalam pikiran. Sahabat

muda Datuk Marajo Sati, mari kita masuk ke dalam."

 "Inyiek, saya lebih suka kita bicara di sini saja.

Karena saya tidak Ingin mengganggumu berlama-lama.

Apakah nenek Sabai Nan Rancak ada di dalam?"

 Sabai Nan Rancak adalah istri Tua Gila yang sejak

peristiwa Gerhana Di Gajah Mungkur kembali ke

Pulau Andalas dari tanah Jawa dan keduanya menetap

di Gunung Kerinci.

 Sukat Tandika tersenyum.

 "Kalau hari panas seperti ini, perempuan itu suka


pergi menyejukkan diri di telaga. Jika kau ingin

bertemu mari kita datangi dia di telaga. Tak jauh dan

sini."

 "Terima kasih. Sebaiknya lain kali saja saya

menemui beliau. Inyiek Sukat Tandika, ada satu hal

sangat penting yang membawa saya menemui Inyiek

di tempat ini."

 SI kakek bermuka seperti tengkorak tersenyum dan

anggukkan kepala.

 "Sampaikan maksudmu. Aku ingin cepat-cepat

mendengar."

 Siapakah kakek yang diam di goa batu di lereng

Gunung Kerinci dan tengah ditemui Datuk Marajo Sati

ini? Para penggemar dan pecinta serial cerita silat

Wiro Sableng tentu tidak akan lupa. Sukat Tandika

adalah nama asli dari Tua Gila alias Pendekar Gila

Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Nyawa, salah

seorang dedengkot rimba persilatan dari Pulau

Andalas yang telah mengembara sampai ke tanah

Jawa dan merupakan salah seorang dari beberapa

guru Pendekar 212 Wiro Sablengi (Tokoh silat ini

muncul pertama kali dalam serial Wiro Sableng

berjudul Banjir Darah Di Tambun Tulang. Bagi

pembaca yang ingin mengetahui berbagai kisah

riwayat Tua Gila dapat mengikuti dan membaca dalam

serial berjudul Tua Gila Dari Andalas, Asmara Darah

Tua Gila, Lembah Akhirat, Pedang Naga Suci 212,

Jagal Iblis Makam Setan, Utusan Dari Akhirat, Liang

Lahat Gajah Mungkur, Rahasia Cinta Tua Gila, Wasiat

Malaikat, Dendam Dalam Titisan dan Gerhana Di

Gajah Mungkur)

 "Inyiek," kata Datuk Marajo Sati pula, "terlebih dulu


saya minta maaf kalau kedatangan saya mengganggu

ketenteramanmu. Kemudian saya juga mohon maaf

kalau apa yang akan saya sampaikan kurang berkenan

dihatimu."

 "Katakan saja...katakan saja sahabatku muda."

Jawab Sukat Tandika alias Tua Gila. Walau Datuk

Marajo Sati bicara dengan suara rendah namun Tua

Gila maklum seperti ada sesuatu yang siap meledak

dari dalam diri Sang Datuk.

 "Kalau tidak salah saya mengingat, bukankah

Inyiek pernah mempunyai seorang murid berasal dari

tanah Jawa. Bernama Wiro."

 "Ah....Anak itu yang kau tanyakanl Kau tahu, gurunya 

si nenek sakti Sinto Gendeng selalu menyebutnya 

dengan panggilan Anak Setan. Sahabatku muda Datuk 

Marajo Sati, mengapa kau menanyakan perihal anak 

itu?"

 Datuk Marajo Sati perhatikan wajah menyerupai

tengkorak di hadapannya. Ucapan pertanyaan tadi

polos-polos saja. Tidak ada kepura-puraan. "Inyiek,

apakah Inyiek tahu kalau muridmu itu saat ini berada

di tanah Minang?"

 Tua Gila gelengkan kepala.

 "Jadi sebagai murid dia tidak mengunjungi Inyiek?"

 Kembali Tua Gila gelengkan kepala lalu berkata.

"Soal dia tidak mengunjungi diriku bukan satu

kekecewaan bagiku. Anak muda seperti dia, kalau

pergi kemana dia suka. Sebentar ada di timur. Lain

waktu ada di barat Lain kejap muncul di utara atau di

selatan atau dibelahan bumi mana saja yang

disukainya. Yang lebih penting bagiku adalah kemana

dia pergi berbuat kebajikan sesuai dengan ilmu


kepandaian yang dimilikinya." Si kakek ucap janggut

putihnya. Lalu bertanya. "Apa sahabat muda Datuk

Marajo Sati telah bertemu dengan dia?"

 "Betul Inyiek. Bukan hanya sekedar bertemu. Ada

masalah yang dibawanya di tanah Minang ini."

 Kening tak berdaging Tua Gila masih bisa berkerut 

Rongga mata tampak semakin cekung.

 "Masalah? Anak setan itu membawa masalah di

tanah Minang? Gila betul kalau dia berani kurang ajar

di negeri inil Coba kau ceritakan padaku sejelas-

jelasnya!"

 Datuk Marajo Sati lalu menceritakan hal ihwal

Pendekar 212 mulai dari penyusupannya ke dalam

goa di Ngarai Sianok sampai pada senjata rahasia

berbentuk bintang empat. Lalu juga mengenai

Kematian Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit

 Tua Gila geleng-gelengkan kepala.

 "Kalau anak itu berani menyusup ke tempat

kediamanmu, benar-benar kurang ajar. Tapi aku yakin

kalau dia melakukan hal itu pasti tidak sengaja atau

ada sesuatu yang jadi alasannya."

 "Saya tidak tahu apa alasannya, Inyiek." Jawab

Datuk Marajo Sati tanpa mau memberi tahu perihal

kupu-kupu giok. "Ada satu hal lagi. Dia mengatakan

bahwa dia berada di tanah Minang karena ada pesan

dan amanat dari seseorang. Akan terjadi satu perkara

besar di negeri Ini. Dia merasa sebagai pendekar 

besar dan hebat Karena inyiek gurunya, apakah Inyiek 

yang memberi pesan dan amanat itu?"

 "Aku tidak pernah memberi pesan dan amanat.

Seperti kataku tadi anak itu tidak pernah

mengunjungiku."


"Kalau begitu lalu siapa?" tanya Datuk Marajo Sati

dengan nada datar seperti tak percaya. "Apa dia punya

guru yang lain di negeri Ini?"

 "Onde, mana aku tahui" jawab Tua Gila. Dia ingat

pada Datuk Rao Basaluang Ameh yang diketahuinya

juga adalah guru dari Wiro. Namun tidak banyak para

tokoh di tanah Minang yang mengetahui hal itu.

Mereka mengganggap Datuk Rao Basaluang Ameh

sesuai dengan cerita yang tersebar telah meninggal

dunia seratus tahunan silam. Tapi Tua gila tidak mau

memberi tahu perihal orang sakti yang dianggap

setengah Dewa itu pada Datuk Marajo Sati. (Onde =

Aduh)

 "Saya sempat memberi peringatan pada murid

Inyiek itu. Kalau dia masih berani berkeliaran di

sekitar Ngarai Sianok maka saya akan

mengganggapnya sebagai musuh."

 "Ah....walau perangainya terkadang kurang ajar

dan sering bertindak seperti orang gila, tapi

seharusnya kau tidak perlu mengeluarkan ucapan

seperti itu. Aku tetap berpendapat, setiap melakukan

sesuatu muridku pasti punya alasan. Datuk Marajo

Sati, apakah kau tidak terlupa mengatakan sesuatu?"

 "Sesuatu apa Inyiek?" balik bertanya sang Datuk.

 "Aku merasa kau menyembunyikan sesuatu "

Jawab Tua Gila.

 Datuk Marajo Sati tutup perubahan wajahnya

dengan tersenyum.

 Tua Gila kembali membuka mulut "Jika muridku

mengatakan akan terjadi satu perkara besar di negeri

ini, maka itu bukan pandainya dia yang bicara. Tapi

pasti ada yang memberi tahu memberi petunjuk.


Siapa orangnya tidak perlu dijadikan masalah Yang

jelas kelak apa yang dikatakannya akan menjadi

kenyataan. Kurasa kau sudah bisa menduga hal itu.

Kau sudah memaklumi...."

 "Bagaimana kalau dia sendiri yang menimbulkan

perkara itu Inyiek? Datuk tahu, sekarang kabarnya dia

berteman dengan seorang pemuda tukang Intai anak

gadis orang mandil"

 "Apa?l" Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai

keluarkan air mata. "Muridku belum segila itu berani

berbuat kurang ajar ikut-ikutan mengintip anak

perawan mandil Tapi mengintai anak gadis mandi itu

satu pekerjaan asyik! Ha...ha...hal"

 "Inyiek. waktu saya tidak lama. Bolehkah saya

meminta bantuan Inyiek?"

 "Dangan senang hati Datuk. Katakan bantuan apa

yang akan kau minta dari ku."

 "Saya ingin Inyiek mencari murid Inyiek itu. Jika

bertemu perintahkan dia untuk meninggalkan negeri

Ini. Pulang kembali ke tanah Jawa."

 Tua Gila terdiam lalu tersenyum.

 "Itu yang tidak bisa aku lakukan Datuk. DI bumi

clptaan Aliah ini setiap insan boleh pergi kemana dia

suka. Tapi kalau memang muridku punya pekerjaan

salah, tanpa kau mintapun bisa kutanggalkan

kepalanya.

 "Bagaimana Inyiek bisa berkata begitu kalau

Inyiek sendiri tidak beranjak dari sini, tidak mau

mencari dan menemuinya?"

 "Datuk, begini saja kita bicara. Kau saja yang

mencari anak itu. Bawa dia ke hadapanku. Kalau dia

memang terbukti bersalah telah membuat keonaran,


apa lagi sampai membunuh orang tak berdosa di

negeri Ini tak usah banyak cakap. Saat itu juga akan

kutamatkan riwayatnya."

 "Kalau begitu kata Datuk, saya merasa tidak perlu

susah-susah membawanya ke hadapan Datuk. Biar

saya habisi saja dia pada saat bertemu."

 Mulut Tua Gila terbuka ternganga. Lalu tokoh silat

Ini tertawa mengekeh.

 "Datuk Marajo Sati. Jangankan satu kalil Sepuluh

kallpun kau boleh membunuh anak itul Tapi kalau dia 

mati dalam keadaan tidak bersalah tidak berdosa,

apa kau bisa menggadaikan nyawamu sendiri padaku?l"

 Wajah Datuk Marajo Sati berubah kemerahan.

 "Datuk, kau tokoh terpandang di ranah Minang.

Jangan sampai kesalahan tangan...."

 "Justru karena saya seorang tokoh maka saya

merasa bertanggung jawab atas keamanan di negeri

Ini...."

 "Menjaga keamanan bukan berarti bekerja tanpa

menyelidiki tanpa otak!" tukas Tua Gila dengan ketus.

 Datuk Marajo Sati jadi panas. Dalam hati dia 

berkata. "Kalau gurunya seperti ini bagaimana 

muridnya. Tua Gila, apa aku tidak tahu cerita riwayat

dirimu di masa lalu. Kau pernah membunuh hampir

tiga ratus manusia ketika kau patah hati karena

ditinggal Sinto Gendeng"

 Seolah tahu orang merasani dirinya Tua Gila

bertanya.

 "Datuk, apa yang ada di benakmu?"

 Datuk Marajo Sati tidak menjawab.

 Tua Gila bertanya lagi.

 "Datuk, apa yang ada di hatimu?!"


"Inyiek, cukup sampai di sini kita bicara. Lebih

kurangnya kita lihat saja apa kelak yang akan terjadi.'

 Ucapan Sang Datuk oleh Tua Gila terasa terlalu

berkelebihan kalau tidak mau dikatakan sombong

Sebaliknya daiam hati yang masih panas Datuk Marajo 

Sati yang sudah lama mendengar berbagai cerita

hebat tentang ilmu kesaktian kakek satu ini diam-diam

ingin menjajal. Sambil bangkit berdiri dia membungkuk 

memberi hormat. Tapi dua tangan pura-pura merapikan 

sorban. Dari dalam sorban itu melesat keluar sambaran 

angin yang mampu membuat seseorang tidak bisa 

bergerak selama setengah hari.

Tanpa banyak bicara lagi Datuk Marajo Sati tinggalkan

tempat itu. Di atas sebuah batu dia buka sorbannya.

Sorban mengapung di udara. Datuk Marajo Sati,

melompat dan berdiri di atas sorban. Sesaat kemudian 

Datuk pimpinan para Datuk Luhak Nan Tigo itu telah

melesat terbang di udara.

 Tak lama setelah Datuk Marajo Sati lenyap di langit

tinggi Tua Gila tertawa mengekeh. "Orang pandai

hendak mengerjai diriku dengan sorban sakti.

Melancarkan serangan ilmu pembungkam tubuh

bernama Meniup Dua Belas Jalan Darah. Hik...hik. Aku

cuma merasa seperti kesemutan!" Sambil terus

tertawa kakek yang punya nama besar dalam rimba

persilatan Ini bangkit berdiri lalu berlari ke arah 

telaga guna menemui istrinya Sabai Nan Rancak.

***

 MASIH jauh dari Ngarai Sianok, Datuk Marajo Sati

tidak bisa menahan kencing yang sudah terasa sejak


tadi. Ketika melihat ada sungai kecil di bawah sana,

dengan cepat Sang Datuk menukikkan sorbannya ke

bawah. Setelah mencari tempat yang baik dan

terlindung Datuk Marajo Sati singsingkan jubah

putihnya ke atas. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika

mendapatkan tubuhnya mulai dari pinggang sampai

ke lutut telah dilibat sejenis benang sangat halus,

nyaris tidak terasa dan tidak terlihat mata.

 "Benang Kayangan. Kapan dia melakukannya....?"

ucap Datuk Marajo Sati dengan suara bergetar.

 Benang Kayangan. itulah senjata milik Tua Gila

yang merupakan salah satu keajaiban rimba

persilatan. Tidak sembarang orang atau benda tajam

bisa memutuskan benang sakti itu.

 Dalam keadaan kelabakan karena tidak bisa

membuka pakaian, tidak mampu memutus benang

sakti yang melilit setengah tubuhnya Datuk Marajo

Sati akhirnya melompat masuk ke dalam sungai kecil

dan pancarkan kencingnya di dalam air sungai. Sang

Datuk sadar. Dalam hati dia mengucap.

 " Astagafirullah. Aku telah berlaku congkak. Di atas

langit masih ada langit lagil"



EMPAT BELAS


TEPIAN BARAT Danau

Maninjau tak Jauh dari 

Muko Muko. Angindanau 

bertiup sejuk. Ki Bonang Talang Ijo tampak gelisah. 

Diamelangkah mundar mandir di depan sekumpulan 

Batu Tagak. (Batu Tagak = Batu Berdiri - Batu

Prasasti) Sebantar-sebantar orang tua berjubah hijau 

memandang ke langit. Sang surya semakin tinggi.

Siap menggelincir ke ufuk tenggelamnya.

 "Kita hanya tinggal menunggu Perwira Muda Teng

Sien, dua bataaudara SI Kamba Tangan Manjulai dan 

Duo Hantu Gunuang Sago SI Kalam Langit. Heran, 

matahari sudah tinggi begini mereka belum juga 

muncul.”

 Orang-orang yang ada bersama si kakek di tempat

itu tampak juga sudah tidak sabar. Mereka adalah Duo

Hantu Gunuang Sago SI Batu Bakilek yang tangannya

diganjal pelepah daun kelapa dan dibalut akibat cidera

berat sewaktu dihajar Datuk Panduko Alam, Pandeka

Bumi Langit Dari Sumanik, tiga orang anak buah Teng

Sien dan seorang lelaki separuh baya membekal

pedang dikenal dengan nama Tuanku Laras Muko

Balang. Orang ini memiliki wajah aneh, ditumbuhi

bulu. Bulu di sebelah kanan wajah berwarna hitam,

di sebelah kiri berwarna putih.

 Tuanku Laras Muko Balang cabut pedang besar

yang terselip di pinggang. Senjata yang terbuat dari

perak murni ini memantulkan cahaya menyilaukan

begitu tertimpa sinar matahari, konon berasal dari

negeri Arab. Setelah merenung sejenak sambil

pejamkan mata dia sarungkan pedang perak itu


kembali. Sewaktu hendak dimasukkan ke sarung,

ujung pedang tampak bergetar.

 "Aku mendapat firasat buruk. Sesuatu terjadi

dengan beberapa sahabat kita." Berucap Tuanku Laras

Muko Balang.

 Baru saja ucapan Tuanku Laras berakhir tiba-tiba

di kejauhan kelihatan beberapa orang berkelebat Di

depan sekali Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.

Nenek ini berlari sambil memanggul saudaranya Si

Kamba Pesek Tangan Manjulai. Seperti diketahui

nenek satu ini menderita cidera cukup parah,

berpatahan tulang-tulang iganya kiri kanan akibat

dihantam Datuk Panduko Alam ketika terjadi

pertarungan di Bukit Malintang.

 Di samping si nenek berlari Perwira Muda Teng

Sien. Larinya tak kalah cepat namun dua kaki tampak

terhengkang-hengkang seolah ada yang mengganjal

di bawah perutnya. Cara lari Teng Sien yang seperti

ini tidak lain akibat hantaman potongan bambu yang

dilemparkan Pendekar 212 Wiro Sableng ke bagian

bawah perutnya.

 KI Bonang Talang Ijo segera menyambut

kedatangan orang-orang ini. Duo Hantu Gunung Sago

SI Batu Bakilek usap kepala botak berkiiatnya dan

bertanya mana kakaknya SI Langit Kalam. Si Kamba

Mancuang Tangan Manjulai lebih dulu sandarkan Si

Kamba Pesek ke sebuah batu tagak baru

menerangkan dengan suara perlahan kalau Duo Hantu

Gunung Sago Si Kalam Langit telah menemui ajal

dibunuh orang. Semua orang yang ada di tempat itu

melengak kaget Si Batu Bakilek menggerung keras.

Lupa dia akan cidera di tangan kanan, orang ini


melompat bangkit dan mencekal keras-keras tangan

Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.

 "Siapa yang membunuh saudaraku? Katakan

bagaimana kejadiannya? Dimana jenazahnya

sekarang?!"

 Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai lalu

menuturkan apa yang diketahuinya.

 "Aku, Perwira Teng Sien dan Si Kalam Langit

berhasil menemui pemuda asing yang aku lihat dalam

tarak. Pemuda itu ternyata berasal dari Jawa. Dia

bersama Malin Kapuyuak yang malam sebelumnya

dihantami orang sedusun karena ketahuan mengintai

anak gadis orang mandi di pancuran. Karena Malin

keparat itu mengeluarkan ucapan menghina diriku,

maka hendak kucabik mulutnya. Tapi pemuda Jawa

yang mengaku bernama Wiro itu menolongnya.

Ternyata dia memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi.

Aku tak tahu ilmu setan apa yang dimilikinya. Dua

tangannya bergerak dan tiba-tiba saja sekujur 

tubuhku kaku tak bisa bergerak...." SI Kamba 

Mancuang Tangan Manjulai tentu saja tidak mau dan 

merasa malu besar menceritakan bagaimana Wiro 

telah memeluk, mencium dan mengecupnya.

 "itu ilmu Mancucuk Raga Membungkam Badani

Berasal dari negeri Cinal" Kata Pandeka Bumi Langit

Dari Sumanik.

 "DI tanah Jawa dikenal dengan nama ilmu totokan." 

Menjelaskan Ki Bonang Talang Ijo. Lalu kakek ini minta 

Si Kamba Mancuang meneruskan cerita.

 SI nenek lanjutkan keterangan.

 "Pemuda asing itu menghantam Perwira Teng Sien 

tepat pada barang terlarangnya dengan potongan


bambu hingga jatuh pingsan."

 Tahu kalau dirinya tengah dibicarakan Teng Sien

lalu berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk bagian

bawah perutnya.

 "Si Kalam Langit mengejar anak kurang ajar

bernama Malin Kapuyuak. Aku baru tahu apa yang

kemudian terjadi dengan Si Kalam Langit setelah

menjelang siang totokan dltubuhku lepas." Si nenek

mana tap sebentar ka arah Si Batu Bakilek baru

meneruskan ucapan. "Di satu tempat tak jauh dari

psaawahan aku menemukan kakakmu Si Kalam Langit

telah menemui ajal. Ada dua lobang besar di kening

dan di pangkal lehernya. Agaknya dia dihabisi dengan

senjata terbang"

 Duo Hantu Gunung Sago Batu Bakilek kembali

berteriak keras, menendang kian kemari saking

marahnya. Sebuah batu tegak hancur berantakan kena

tendangan.

 "Aku bermaksud mangurus jenazah SI Kalam

Langit walau adikku juga dalam keadaan masih cidera.

Namun kemudian muncul penduduk dusun terdekat

Mereka membawa keranda mayat Menurut orang-orang 

itu mereka tahu ada mayat di tempat itu dari Datuk

Marajo Sati. Datuk itu juga meminta agar Jenazah

dimakamkan di tempat yang baik satelah lebih dulu

dimandikan dan disembahyangi...."

 "Datuk Marajo Satil" ucap Duo Hantu Gunung

Sago Batu Bakilek. "Aku menduga, jangan-jangan

Datuk itu yang membunuh saudarakul Aku akan

mencarinyal Jika terbukti memang dia pelakunya akan

kupecahkan kepalanya! Aku tidak takuti Aku tidak

perduli Ilmunya tinggi! Aku tidak perduli dia pimpinan •


para Datuk Luhak Nan Tigo. Akan kucincang tubuhnya

sampai lumat!"

 "Hal itu bisa sama-sama kita selidiki, tapi tidak

 sekarang. Ada urusan yang lebih penting. Mencari

 kupu-kupu giok pusaka utama Kerajaan Tiongkok

 yang harus segera berada di tangan Kaisar." Yang

 berkata adalah Ki Bonang Talang Ijo. Orang tua

 berjubah dan berbelangkon hijau Ini tidak begitu

 tertarik untuk menyelidiki dan mencari pembunuh SI

 Kalam Langit. Urusan lebih penting adalah

 menemukan kupu-kupu batu giok yang akan memberi

 tambahan hadiah batangan-batangan emas.

 Menyelidiki kematian Si Kalam Langit baginya tidak

 ada guna selain membuang waktu.

 Mendengar ucapan Ki Bonang Talang Ijo. amarah

 Duo Hantu Gunung Sago jadi meledak. Sambil

 menunjuk tepat-tepat ke muka si kakek, lelaki tinggi

besar berkepala botak ini berteriak lantang.

 "Kau boleh tidak perdull dengan Si Kalam Langit

 karena dia bukan saudaramu! Bukan darah dagingmul

 Kau boleh tidak mau menyelidik dan mencari

 pembunuh kakakku karena kau lebih suka pada upah

 besar batangan emasl Aku katakan pada kaiian. Soal

 kupu-kupu giok itu silahkan kalian urus sendiri. Pergi!

 Lindang hapus kalian semual" (Lindang hapus = Pergi

 dan jangan kembali lagi)

 Habis berkata begitu Si Batu Bakilek hentakkan

kaki hingga tanah bergetar ialu tinggalkan tempat itu. 

Perwira Muda Teng Sien berteriak-teriak mengatakan 

sesuatu. Yang mengerti bahasanya hanya Ki Bonang

Talang Ijo. Maka kakek ini segera memanggil Si Batu

Bakilek.


"Batu Bakilek. Perwira Muda ini tidak suka kau

meninggalkan rombongan. Kalau kau memaksa pergi

katanya kau harus mengembalikan tiga batangan

emas yang sudah kau terima!"

 Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek hentikan

langkah. Berpaling dan memandang melotot ke arah

KI Bonang Talang Ijo, lalu meludah ke arah Perwira

Muda Teng Sien.

 "Ki Bonang! Katakan pada orang Cino Itu I Kalau

dia minta kembali tiga batangan emasnya, aku akan

kembalikan. Akan aku bungkus baik-baik. Bukan cuma

tiga batang yang akan kau kembalikan. Tapi sepuluhl

Tapi yang akan aku kembalikan adalah batangan

langekl". (langek » kotoran manusia) SI Batu Bakilek

meludah sekali lagi ke arah Teng Sien lalu lanjutkan

langkah. Melihat ini Teng Sien berteriak pada tiga 

anak buahnya. Tiga anggota pasukan Kerajaan Tiongkok

itu segera mencabut golok dan tanpa banyak bicara

langsung menyerang SI Batu Bakilek!

 Ki Bonang Talang Ijo berteriak mencegah saling

serang di antara anggota rombongan tapi tertambat

Di depan sana walau tangan kanannya cidera, SI Batu

Bakilek masih bisa pergunakan tangan kiri Sekali dia

melepas pukulan tangan kosong, dari tangan yang

hitam berbulu itu melesat keluar selarik angin

berwarna hitam. Dua anak buah Teng Sien terpental,

jatuh terduduk muntah darah lalu tergelimpang tak

bernyawa lagi. Yang ke tiga masih sempat selamatkan

diri walau terjengkang di tanah.

 Teng Sien menggembor marah. Sekali lompat saja

dia sudah berada di hadapan Si Batu Bakilek.

langsung kirimkan tabasan ke leher orang. Si Batu


Bakilek cepat menghindar. Golok berbalik kali ini

membabat ke arah pinggang.

 "Breetttr

 Masih untung bukan perutnya yang Jebol tapi

hanya baju hitam SI Batu Bakilek yang robek besar.

 "Hentlkanl Kalian berdua sudah kemasukan setani' 

Teriak Ki Bonang Talang Ijo. Kakek ini tanggalkan 

belangkon hijaunya lalu dikibaskan ke arah dua orang 

yang aedang bertarung. Saat itu Juga baik SI Batu 

Bakilek maupun Teng Sien sama-sama merasa tubuh 

mereka menjadi lemas. Seperti lumpuh keduanya Jatuh 

terduduk di tanah.

 KI Bonang Talang Ijo dekati kedua orang ini.

Setelah bahu masing-masing ditepuk keduanya baru

bisa bangkit berdiri kembali. Ki Bonang mengatakan

sesuatu pada Perwira Muda Teng Sien lalu berpaling

pada Si Batu Bakilek.

 'Kau memberi malu sajal Menerima hadiah tapi

tidak mau bekerjal Kalau kau mau pergi silahkan sajal

Aku tidak butuh orang sepertimul Kau tak usah

mengembalikan tiga batang emas yang sudah kau

terimal Makan sampai perutmu gembung dipenuhi

racun kecurangan!'

 Sepasang mata besar Duo Hantu Gunung Sago

berkilat-kilat dan tampak membersitkan cahaya merah

menyerupai buah sago.

 "Ki Bonang, kalaupun kau berada di tanah Jawa

tidak pantas kau berkata menyumpah seperti itul Apa

lagi saat Ini kau berada di negeri orangl Aku tidak

akan melupakan semua ucapanmu tadi. Lebih cepat

kau meninggalkan tanah Minang Ini akan lebih baik.

Kalau tidak kelak aku akan mencarimu untuk


memberikan sekedar pelajaran bagaimana tata cara

bicara yang sopani Atau kau minta kuberi pelajaran

sekarang juga?! Bagiku kematian bukan apa-apa. Tapi

kau pasti takut mati karena tidak akan mendapatkan

harta. Padahal kalau kau mampus masih untung jika

ada yang membungkus jenazahmu dengan kain kafan!

Atau kau kira akan mati membawa batangan emas

celaka keparat itu?i" Sambil keluarkan ucapan keras

SI Batu Bakilek angkat tangan kirinya, dipantang di

depan dada. Tangan beaar hitam berbulu itu

memancarkan cahaya hitam redup pertanda orang

kedua dari Duo Hantu Gunung Sago ini siap

melancarkan pukulan bernama Pukulan Batu Beracun

yang tadi sudah memakan dua korban anak buah Teng

Sien.

 Walau hatinya panas sekali namun Ki Bonang Talang 

Ijo masih bisa menindih amarahnya yang hampir 

meledak.

 "Aku siap menerima pelajaran sopan santun darimu. 

Datanglah kapan sajal" ucap si kakek.

 Si Batu Bakilek menyerang.

 "Kau takut menghadapiku saat ini. Ha...hai"

 Si Batu Bakilek tertawa mengejek. Sambil tudingkan 

telunjuk tangan kiri ke arah kepala Ki Bonang Talang 

Ijo dia berkata.

 "Kakek keparat kau harus ingat satu hai. Dan kami

semua orang di ranah Minang ini juga akan mengingat

baik-baik dan jelas-jelas Kau yang datang

menimbulkan perkara dan malapetaka di negeri ini

dengan membawa manusia-manusia asing itul Kau

kelak harus menebus dosa kesalahanmu dengan

guyuran darahmu sendiril"


Selesai bicara lantang SI Batu Bakilek segera

memutar tubuh. Sebelum dia sempat melangkah tiba-

tiba sebuah benda putih melesat di udara dan

menancap di tanah antara SI Batu Bakilek dan Ki

Bonang Talang ijo.

 Kedua orang ini saling pandang seketika. Si Batu

Bakilek bergerak lebih dulu mencabut benda yang

menancap di tanah. Benda itu ternyata adalah secarik

kain putih yang digulung pada sebatang potongan

bambu. Dengan tangan kirinya Si Batu Bakilek buka

gulungan kain putih, di atas kain putih ada serangkai

tulisan. Walau tulisannya jelek tapi cukup jelas untuk

dibaca Setelah membaca apa yang tertulis di kain

putih SI Batu Bakilek menyeringai lalu campakkan

kain dan bambu ke tanah. Tanpa banyak bicara

ataupun menoleh dia tinggalkan tempat itu.

 Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai yang berada

agak jauh ulurkan tangan kiri hingga menjadi panjang

lalu mengambil kain dan bambu. Kain dikembang.

Mulut berkomat kamit terpencong-pencong mulai

membaca apa yang tertulis di atas kain putih.

 Kalau mau tahu siapa pembunuh Duo Hantu Gunung 

Sago Si Kalam Langit, orangnya adalah pemuda Jawa 

berambut panjang, bernama Wiro, berjuluk Pendekar 

212 Wiro Sableng.

TAMAT

Siapakah yang telah menyerang Pendekar 212 sewaktu

keluar dari goa kediaman Datuk Marajo Sati. Siapa 

pula yang telah membunuh Duo Hantu Gunung Sago SIKalam Langit?

 Mampukah Datuk Marak» Sati menyelamatkan Puti

Bungo Sekuntum dari kejaran KI Bonang Balangnipa 

dan Perwira Muda Teng Sien?

 Siapa perempuan yang telah menghalangi pembunuh

SI Kalam Langit hingga tidak Jadi mengejar Malin

Kapuyuak?

 Siapa pembuat dan pengirim kain bersurat yang

memfitnah Pendekar 212 sebagal pembunuh SI Kalam

Langit?

Ikuti Serial berikutnya berjudul :

 FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM

Sudahkah anda baca

 Karya terbaru dari

 BASTIAN TITO

 JUDULNYA.

 - Perawan Sumur Api

 - Arwah Candi Miring

 - PANGERAN BUNGA BANGKAI

 - DEWI TANGAN JERANGKONG

 Sang Pendekar dikenal dengan nama "SATRIA 

LONCENG DEWA" sipendekar bhumi mataram

Kelahirannya bersama saudara kembarnya mengundang 

banyak tokoh Jahat dan baik berusaha mendapatkan 

mereka berdua.











Share:

0 comments:

Posting Komentar