..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 24 November 2024

BOMA GENDENK EPISODE ANAK BARU GENDENK

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 SERIAL: "BOMA GENDENK"

JUDUL: ABG - Anak Baru.... 

Gendenk

Oleh: BASTIAN TITO

HAK CIPTA DAN COPY RIGHT

PADA BASTIAN TITO

DIBAWAH LINDUNCAN UNDANG-UNDANG

Diterbitkan pertama kali Tahun 1997 

oleh Penerbit Duta Media, Jakarta

P.O. BOX. NO. A226/JKTJ/13342

Foto cover Depan: Orly Velli Valentine 

Vino Giovanni

Dilarang keras memfotokopi atau 

memperbanyak sebagian atau seluruh isi 

buku ini tanpa izin tertulis dari 

penerbit.




1.TABLOID PUNYA BERITA


BRAM DWI SUMITRO mendorong pintu 

pagar. Tergulung di tangan kanannya 

sebuah tabloid terbitan hari itu. 

Sumitro Danurejo -ayah Bram- keluar 

dari rumah. Sebelum membuka pintu pagar 

lelaki ini menatap wajah anaknya yang 

tampak keletihan.

"Bagaimana tes lamaran kerjamu?" 

Sumitro bertanya.

"Belum tau 'Yah. Sehabis tes masih 

ada wawancara. Mungkin hari Jum'at baru 

ketauan hasilnya." jawab Bram sambil 

menyeka keningnya yang basah oleh 

keringat.

Sumitro membuka pintu pagar. Di 

ruang depan, Hesti Sumitro -ibu Bram-

yang sedang menyeterika memalingkan 

kepala. Seperti suaminya yang penuh 

harap, dia juga ingin tahu hasil tes 

lamaran kerja puteranya itu.

"Hasil Bram?"

"Jum'at depan Bu. Baru ketauan..." 

jawab Bram.

Nyonya Hesti meletakkan seterika 

listrik. "Adikmu sudah pulang. Ada di 

atas." Perempuan itu memberi tahu.

"Boma pulang?" Wajah dan suara Bram 

menunjukkan rasa gembira. Setengah


berlari pemuda berusia 24 tahun S1 Teknik 

Elektro yang sudah satu tahun menganggur 

itu menaiki tangga. Pintu kamar tidur 

Boma tidak tertutup. Bram langsung masuk 

ke dalam kamar. Boma terbaring di 

ranjang, menelentang. Hanya pakai singlet 

dan celana jins. Matanya terbuka, 

pandangannya kosong seperti melamun.

Bram memukul paha adiknya dengan 

gulungan tabloid. "Bom, kapan kau 

pulang?"

"Siang tadi," jawab Boma. "Kata Ibu 

hari ini kau ngikutin tes lamaran kerja."

Bram mengangguk. "Sorry aku nggak 

bisa ngejemputmu di rumah sakit." 

"Nggak apa-apa." 

"Gimana tesmu Bram?" 

"Bisa semua. Dari sembilan pelamar 

yang disaring, yang lulus tes cuma empat, 

termasuk aku. Lusa ada wawancara. Dari 

hasil wawancara nanti baru ketauan siapa 

yang bakal diterima." 

"Aku doa-in supaya kau yang 

diterima." 

Bram Dwi Sumitro tersenyum 

mendengar kata-kata adiknya itu. Namun 

lubuk hatinya tersentuh dalam. Sejak 

ayahnya pensiun memang terasa sekali akan 

adanya seseorang yang dapat menunjang 

biaya kehidupan rumah tangga mereka, 

termasuk biaya sekolah Boma. "Udah, kita 

jangan bicara soal lamaranku. Baca dulu


ini." Bram melemparkan gulungan tabloid 

yang sejak tadi dipegangnya. "Kau jadi 

orang kesohor sekarang."

"Kesohor? Ada apa? Kok nyuruh 

aku..."

"Aku tau, kau paling males baca 

surat kabar. Tapi yang satu ini lain Bom. 

Liat halaman dua," kata Bram Dwi Sumitro 

memotong ucapan adiknya.

Boma membuka gulungan tabloid, 

langsung membalik halaman dua.

"Kau liat! Foto siapa 'tuh! Kenal 

nggak? Liat judul beritanya!"

Di halaman dua tabloid sebelah kiri 

atas terpampang foto besar Trini 

Damayanti. Cantik dan tersenyum. Di bawah 

foto ada caption : Trini Damayanti, pacar 

Boma. Di sebelah foto, dengan huruf-huruf 

besar tertera judul berita. Pacar Boma 

Mengakui. Lalu dengan huruf-huruf lebih 

kecil dibawah judul menyusul sub-judul 

berbunyi Ada Misteri Dalam Penyelamatan 

Korban Musibah Gunung Gede.

"Sialan! Apa-apaan 'nih!" kata Boma 

setengah berteriak. Tabloid 

dibantingkannya ke lantai lalu dia

beringsut, duduk ke dinding. Matanya 

membesar menatap ke arah kakaknya.

Bram mengambil tabloid yang 

tercampak di lantai, di letakkan di 

pangkuan Boma. "Tenang Bom, jangan emosi. 

Baca dulu beritanya sampai habis."


"Tapi ini jelas nggak bener! Siapa 

bilang aku pacaran sama dia. Wartawan 

geblek!"

"Pacaran apa nggak, itu sih bukan 

soal. Lagian mungkin bukan wartawannya 

yang geblek. Biasanya wartawan nulis apa 

adanya. Jadi kau harus baca dulu," kata 

Bram sambil senyum-senyum.

Boma menowel hidungnya beberapa 

kali. Lalu mengambil tabloid di 

pangkuannya dan mulai membaca. Beritanya 

cukup panjang, sampai menghabiskan empat 

kolom lebih. Menurut sang wartawan yang 

berinisial "TB" tulisan itu merupakan 

sambungan dari berita Minggu sebelumnya 

dan adalah hasil wawancaranya dengan 

Trini Damayanti, puteri Letkol (Pol) 

Kusumo Atmojo, pelajar SMA Nusantara III 

yang sejak lama sudah menjadi pacar Boma 

Tri Sumitro. Dalam berita dikatakan 

selamatnya tujuh pelajar tersebut meru-

pakan satu peristiwa luar biasa, baru 

pertama kali terjadi. Sang wartawan 

mengutip keterangan dari beberapa sumber 

dipercaya yang juga diakui oleh Trini 

Damayanti bahwa selama penyelamatan 

dilakukan, terjadi beberapa peristiwa 

aneh.

Keanehan pertama dialami oleh Bapak 

Tatang Suryadilaga, Kepala Pos Pengawasan

Gunung Gede. Satu hari sebelum terjadinya 

musibah atas rombongan para pelajar SMA


Nusantara III, lelaki ini bermimpi 

melihat api di puncak Gunung Gede. Tiga 

tahun lalu Pak Tatang pernah mimpi 

seperti itu. Beberapa hari kemudian 

rombongan mahasiswa dari Bandung yang 

mendaki Gunung Gede mengalami kecelakaan. 

Lima dari enam mahasiswa itu ditemukan 

tewas. Lalu setahun setelah itu kembali 

Pak Tatang mimpi melihat api di puncak 

Gunung Gede. Besoknya empat pelajar STM 

Bogor ditemukan dalam keadaan kaku tak 

bernyawa di salah satu lereng Gunung 

Gede.

Pertanda mimpi yang sama mau tak 

mau membuat Pak Tatang jadi khawatir. 

Takut kalau musibah yang dialami oleh 

mahasiswa dari Bandung dan pelajar STM 

dari Bogor akan menimpa pula rombongan 

para pelajar SMA Nusantara III dari 

Jakarta. Ternyata hal itu memang 

kejadian. Tetapi kali ini semuanya 

selamat. Tidak seorangpun dari tujuh 

pelajar itu tewas.

Keanehan kedua, menurut perhitungan 

pelaksanaan evakuasi yaitu membawa dan 

menyelamatkan anak-anak itu dari lokasi 

ditemukan sampai ke kaki gunung paling 

cepat akan memakan waktu lima jam. 

Ternyata regu penolong dan tim medis 

mampu melakukan dalam waktu hanya tiga 

jam. Padahal saat itu malam hari, udara 

dingin dan jalan licin. Menurut Letda


Sofyan, Polisi dari Sukabumi yang 

memimpin regu penolong, sepanjang jalan 

menuju kaki Gunung Gede malam itu secara 

aneh di depan mereka ada puluhan kunang-

kunang. Binatang yang tubuhnya 

mengeluarkan cahaya ini bukan saja 

terbang menerangi jalan yang ditempuh 

tapi sekaligus seolah menjadi penunjuk 

jalan.

Keanehan berikutnya yang diung-

kapkan oleh wartawan tabloid berinisial

"TB" itu ialah pengakuan regu penolong 

yang menggotong anak-anak yang celaka. 

Bukan pekerjaan mudah menandu seseorang 

menuruni gunung dalam gelapnya malam dan 

buruknya cuaca. Tapi anak-anak yang 

mereka tandu, termasuk Gita Parwati yang 

gemuk lebih seratus kilogram, terasa 

ringan. Seolah-olah ada tangan-tangan tak 

kelihatan dari mahluk-mahluk gaib ikut 

menggotong tandu!

Keanehan yang paling luar biasa dan 

sampai saat itu masih menjadi teka teki 

inilah ketika tujuh anak pertama kali 

ditemukan di lokasi kecelakaan. Mereka 

ditemukan berjejer rapi di dalam kantong-

kantong plastik yang mereka bawa. Siapa 

yang mengatur begitu rupa, dan yang lebih 

jadi pertanyaan, bagaimana mereka bisa 

berada dalam kantong-kantong plastik 

tebal itu. Padahal jangankan masuk dan 

menggunakan kantong plastik, bergerak


saja anak-anak itu sudah tak sanggup 

karena kondisi tubuh yang sangat lemah. 

Menurut tim medis dan dokter yang 

menolong di Rumah Sakit Sukabumi, 

seandainya anak-anak itu tidak berada 

dalam kantong plastik tersebut, 

kemungkinan besar nyawa mereka tidak akan 

tertolong akibat dinginnya udara dan 

lemahnya daya tahan tubuh. Menurut 

wartawan yang menulis, semua teka-teki 

ini akan terungkap setelah Boma, pimpinan 

rombongan pendaki dapat ditemui dan 

dimintakan keterangannya. Enam anak 

anggota rombongan telah dihubungi dan 

pernah diwawancara, namun tidak bisa 

memberikan keterangan banyak. Terutama 

menyangkut semua keanehan itu.

Boma melipat tabloid yang barusan 

dibacanya.

"Gimana?" tanya Bram.

"Brengsek!"

"Apa? Siapa yang brengsek Bom?"

"Cerita tentang keanehan ini memang 

betul. Tapi soal aku pacaran sama Trini! 

Itu yang brengsek!"

"Kau merasa pacaran sama 'tu cewek 

nggak?" tanya Bram.

Boma tak menjawab. Dia turun dari 

tempat tidur, mengambil kemeja yang 

tergantung di sangkutan dan 

mengenakannya.

"Kau mau kemana?" Kakak Boma


bertanya.

"Nilpon."

"Nilpon? Nilpon siapa?" Bram 

bertanya lagi.

"Kau punya koin cepean nggak?"

"Kau masih sakit Bom. Sebaiknya 

istirahat, tidur saja. Jangan kemana-mana 

dulu..."

"Tapi aku musti nilpon Trini. 

Brengsek! Seharusnya di rumah ini ada 

tilpon!" Boma duduk di tepi tempat tidur 

setengah membantingkan diri.

Bram gelengkan kepala. "Boro-boro 

tilpon Bom. Buat bayar rekening listrik 

aja setiap bulan Ayah sudah susah..."

"Itu karena usaha ayah sendiri. 

Sablon. Boros listrik!"

"Huss. Pelan-pelan. Nanti 

kedengaran Ayah. Doa-in lamaranku 

diterima. Bisa kerja. Bisa membantu Ayah 

sama Ibu."

Dua kakak beradik itu sama-sama 

terdiam cukup lama.

"Bram...." Boma akhirnya memecah 

kesunyian.

"Hemmm..."

"Kau tau cerita ada yang bayarin 

biaya perawatanku di Rumah Sakit..."

"Ya, aku dengar dari Ibu. Kau tau 

siapa orangnya?"

Boma menggeleng. "Aku musti cari 

tau..."


"Menurut Ayah biaya perawatanmu 

hampir satu setengah juta."

Boma kaget. "Satu setengah juta 

Bram?"

Bram mengangguk.

"Gila!"

"Itu masih nggak seberapa Bom. 

Masih termasuk kecil. Kau musti 

mengetahui siapa orang yang berbuat baik 

itu. Paling tidak buat ngucapin terima 

kasih. Jaman sekarang makin sedikit orang 

berhati baik dan berbudi ikhlas Bom..."

Boma mengangguk. "Setahuku Ayah kan 

bisa bayar pakai Askes..."

"Betul, tapi waktu ayah baru 

nanyain berapa biaya perawatanmu di 

kantor Rumah Sakit, pegawai Rumah Sakit 

bilang sudah ada yang melunasi. Lagian 

pakai Askes rasanya tidak seluruhnya bisa 

ditanggung... Kau tau kira-kira siapa 

orangnya yang baik sama kamu?"

"Dugaanku cuma satu. Mungkin, masih 

mungkin Bram. Mungkin Dwita...."

"Dwita apa Trini?" ujar Bram sambil 

senyum dan memandang seputar kamar. Untuk 

pertama kali dia melihat vas kuning 

karangan bunga mawar merah di atas meja 

kecil di sudut kamar. "Kembang dari siapa 

Bom?" 

"Dwita," jawab Boma.

"Aaahhh. Kayaknya dia baik amat 

sama kamu."


"Kami cuma teman biasa. Teman satu 

sekolah. Juga Trini. Cuma Trini mungkin 

mulutnya nggak ketulungan. Pasti dia yang 

bicara banyak dan nggak-nggak pada 

wartawan tabloid itu."

"Aku rasa dugaanmu benar Bom. 

Mungkin Dwita yang bayar biaya 

perawatanmu di Rumah Sakit. Keliatannya 

dia serius sama kamu. Anak pejabat, 

banyak duit."

Boma tak menjawab, hanya menowel 

hidungnya beberapa kali. Entah mengapa 

saat itu rasanya dia ingin sekali bertemu 

dengan Dwita. Paling tidak mendengar 

suara anak itu. Kalau saja di rumahnya 

ada tilpon.

"Bom..."

"Hemmm... Apa?"

"Kau siap-siap aja. Wartawan 

tabloid itu pasti bakal ngewawancarain 

kamu."

Boma menowel hidungnya. "Brengsek!" 

katanya perlahan.


2.DWITA DATANG


PAGI itu Boma baru selesai mandi. 

Setelah berpakaian dia memperhatikan 

wajahnya di depan kaca persegi yang 

tergantung di dinding kamar. Pucat. Beker 

kecil di atas meja belajar menunjukkan 

pukul 9.05 pagi. Selagi Boma memencet-

mencet jerawat di dagu kiri tiba-tiba dia 

mendengar suara langkah-langkah kaki 

-banyak sekali- menaiki tangga kayu.

Boma melangkah ke pintu. Begitu

pintu dibuka pertama sekali dilihatnya 

kepala Ronny Celepuk. Lalu Vino. Menyusul 

Firman dan Rio. Lalu Andi. Di belakangnya 

si gemuk Gita dan terakhir sekali Dwita. 

Wajah Boma bersinar segar ketika melihat 

anak perempuan ini.

"Hallo my friend!" Ronny Celepuk 

menyapa. Lalu meletakkan ke lantai satu 

tandan pisang emas yang dibawanya.

"Pisang kesukaan lu, Bom." kata 

Ronny. 

"Gila, banyak banget! Kau mau bikin 

aku mencret apa!"

"Tadinya mau beli anggur," kata 

Vino. "Tapi takut perutmu nggak bisa 

nerima buah import" Vino tertawa, teman-

temannya ikut tertawa.

"Mulai deh pada konyol!" kata Boma


sambil menowel hidungnya.

Ronny membuka pintu kamar lebih 

lebar, memandang ke arah Dwita dan 

berkata.

"Silahkan, yang kangen masuk 

duluan."

"Apaan sin kamu! Masuk aja sama-

sama!" kata Dwita sambil mundur menjauh.

"Lho, tadi di mobil bilang kangen 

sama Boma. Sekarang udah ketemu kok malu-

malu." Yang bicara menggoda si gemuk 

Gita.

"Enak aja. Siapa yang bilang?" kata 

Dwita. Wajah merengut kemerahan, tapi 

kemudian tersenyum juga.

Gita mendorong punggung Dwita. 

Ronny menarik lengan anak perempuan itu. 

Mau tak mau Dwita melangkah masuk ke 

dalam kamar. Begitu Dwita berada di dalam 

Ronny cepat-cepat menutup pintu.

"Ron! Apa-apaan sih lu! Buka!" 

teriak Boma dari dalam.

Ronny Celepuk dan teman-temannya 

sama tertawa cekikikan. Rupanya hal ini 

memang sudah mereka rencanakan 

sebelumnya.

Lalu ada suara pintu dipukul-pukul 

dari dalam. Menyusul suara Dwita, 

berteriak agar pintu dibuka. Boma 

berusaha membuka pintu. Tapi handel bulat 

pintu sebelah luar ditahan kuat-kuat oleh 

Ronny.


"Udah belon?!" teriak Ronny 

Celepuk. 

"Apa yang udah?!" teriak Boma dari 

dalam.

"Ala, belagak bodo kau!" teriak 

Andi.

"Brengsek kau Ron! Buka buruan!"

"Kesempatan Bom! Kesempatan!" 

teriak Rio.

"Kangen... Orang kangen musti 

dikasihani Bom!" Gita ikut berteriak.

"Udah Bom?! Puas nggak?!" seru 

Ronny.

"Kalau udah puas gua buka nih!"

"Brengsek lu! Kalian brengsek 

semua!" teriak Boma.

Ronny akhirnya melepaskan handel 

pintu. Begitu pintu terbuka Boma 

mendamprat.

"Brengsek! Kalian sinting semua!" 

Tangan kanannya diacungkan hendak 

menjotos. Ronny Celepuk cepat menghindar 

mundur.

Di sebelah Boma berdiri Dwita 

dengan wajah merah keringatan.

Enam anak di depan pintu tertawa 

riuh.

Di ruangan bawah ayah Boma berkali-

kali menurunkan kacamata plus enamnya, 

memandang ke langit-langit di atasnya 

lalu menoleh pada istrinya.

"Ngapain sih anak-anak itu di atas?


Brisik amat."

Ibu Boma hanya bisa geleng-

gelengkan kepala.

"Biasa Pak, anak-anak kalau sudah 

ketemu pasti riuh."

"Sorry Bom. Sorry Dwita. Kami 

teman-teman cuma mau kasih kesempatan. 

Lebih kurangnya terserah kalian berdua 

yang lagi saling kangen!" kata Ronny 

Celepuk lalu masuk ke dalam kamar sambil 

membawa pisang setandan. Lima temannya 

mengikuti hingga kamar berlantai papan 

yang tak seberapa besar di tingkat atas 

itu jadi penuh.

"Kawan-kawan, kita ke bawah aja," 

kata Boma.

"Di sini saja Bom," jawab Gita. 

"Soalnya di bawah sana ada bokap lu. 

Orangnya sih baek, tapi tampangnya angker 

banget. Tadi aku diliatin sambil kaca 

mata tebelnya diturunin ke hidung...."

"Nggak heran kalau kau diliatin 

kayak gitu Git," kata Vino. "Soalnya 

ayahnya Boma mungkin heran. Tanya-tanya 

dalam hati. Ini kira-kira mahluk apa 

ya...?" 

Suara tawa anak-anak diputus oleh 

jeritan Vino yang kesakitan karena 

disengat cubitan Gita Parwati.

"Aku takut nih kamar jebol!" kata 

Boma.

"Wan, gua lagi yang kena sasaran!"


kata Gita. "Belon apa-apa, baru juga 

baek, Boma udah nyindir gua!" kata Gita 

Parwati yang gemuk dan berbobot lebih 

seratus kilo.

Di dalam kamar Boma hendak 

menyembunyikan tabloid yang ada di atas 

tempat tidur ke bawah bantal. Tapi Vino 

lebih cepat menyambar tabloid itu.

"Nggak usah diumpetin Bom. Kami 

udah tau semua." Kata Vino.

"Dwita juga udah baca," memberitahu 

Ronny.

Boma memandang ke arah Dwita. Anak 

perempuan itu kelihatan tenang-tenang 

saja. Berdiri di samping meja belajar 

sambil bersandar ke dinding.

Tak tahu mau berkata apa akhirnya 

Boma ingat. "Dwita, terima kasih 

kembangnya."

Dwita mengangguk.

"Say it with flower! Ca illa!" Vino 

menyengir. "Kalau orang intelek

mengatakan rasa suka sama kembang. Kalau 

kita-kita bangsa krocoan sama siomay!"

Kamar di tingkat atas itu kembali 

gemuruh oleh suara tawa.

"Bom...," Ronny berkata sambil 

memasukkan tangan ke saku blujins.

"Ron, awas lu ngerokok di sini! Apa 

mau bikin kita mati pengap semua!" kata 

Gita memotong ucapan Ronny. Rupanya dia 

sudah tahu kalau Ronny hendak


mengeluarkan rokok.

Tapi Ronny bandel.

"Ala, kalau jendelanya dibuka kan 

nggak apa-apa," jawab Ronny yang mulutnya 

sudah terasa asam. Dia melangkah ke dekat 

jendela, membukanya lebar-lebar lalu 

menyalakan sebatang rokok. Setelah 

menyedot dan menghembuskan asap rokoknya 

beberapa kali Ronny meneruskan kata-

katanya yang tadi terpotong ucapan Gita.

"Aku sama teman-teman datang selain 

mau ngeliat kamu, juga ada yang mau 

ditanyain."

"Tanya aja, apa sih yang mau kalian 

tanyakan?" ujar Boma.

"Itu, yang ada sangkut pautnya 

dengan berita dalam tabloid," kata Andi.

"Soal ucapan Trini?" Boma melirik 

ke arah Dwita. Anak perempuan itu masih 

tegak bersandar ke dinding, memandang 

keluar jendela, pura-pura tidak 

memperhatikan apa yang dibicarakan teman-

temannya. Padahal diam-diam dia memasang 

telinga.

"Bukan, bukan soal kucing garong 

itu," kata Gita Parwati. Anak ini memang 

sudah benci lama sama Trini dan menyebut 

Trini kucing garong sejak peristiwa di 

warung bakso Mang Asep. (Baca serial Boma 

Gendenk Episode Pertama berjudul "Suka 

Suka Cinta.")

"Kalau bukan soal Trini lalu soal


apa?" tanya Boma.

"Itu Bom, yang nyangkut semua 

keanehan itu. Kami pernah didatengin 

wartawan tabloid. Tapi terus terang kami 

bilang nggak ada yang tau soal aneh-aneh 

itu. Wartawan itu pasti nyari kau. 

Sebelon kau cerita sama dia, maunya kami, 

kau cerita duluan sama kita-kita ini...."

Boma tak segera menjawab.

"Kok diem?" ujar Gita. "Kami yakin 

kau tau semua menyangkut keanehan itu. 

Soalnya waktu di Rumah Sakit PMI Bogor, 

sakitmu aneh. Kau sering ngigau. Manggil-

manggil nenek-nenek. Suaramu juga berubah 

seperti suara nenek tua. Lalu Dwita 

cerita, dia pernah nganterin bokapmu 

ketemu satu orang pinter di Bogor. 

Sehabis dikasih air putih sama orang 

pinter itu kau baru sembuh. Panasmu 

turun, ngacokmu hilang."

"Aku nggak tau 'tuh kalau aku 

ngigau...."

"Betul Bom, kau musti cerita sama 

aku dan teman-teman...." kata Ronny 

Celepuk pula.

Boma menowel hidungnya.

"Towel terus sampe tua!" kata Vino

"Yang nolong kita, yang nyelamatkan 

kita Tuhan. Apa anehnya. Tuhan Maha 

Kuasa. Kita harus berterima kasih, 

bersyukur padaNya...."

"Tau Bom, kami tau," kata Gita.


"Tapi menurut Dwita, waktu nganterin 

bokapmu ke rumah orang pinter di Bogor 

itu..." Gita diam sebentar, berpaling 

pada Dwita. "Siapa Dwit, nama orang 

pinter itu?"

"Haji Sobirin," jawab Dwita.

"Haji Sobirin," mengulang Gita. 

"Menurut orang pinter itu, ada seseorang 

mau ngewarisin ilmu kepandaian padamu. 

Tapi kau menolak...."

Boma pandangi wajah temannya satu 

persatu lalu tertawa membahana.

"Ajie busyet, ajie gombal! Kalian 

percaya aja sama omongan orang. Siapa 

yang mau ngewarisin ilmu sama aku? Ilmu 

apa? Matematika, Fisika? Teman-teman, 

mendingan kita ngobrol soal lain aja!"

"Bom, aku dan teman-teman tau kalau 

kau ngerasain sesuatu. Kenapa sih nggak 

mau cerita pada kita-kita ini?" ujar 

Ronny. "Apa perlu Dwita yang maksa kamu?" 

Ronny menyengir.

Boma menowel hidungnya. Menghela 

nafas beberapa kali. Memandang keluar 

jendela. Lalu melirik ke arah Dwita.

"Iyya deh, gua cerita. Tapi awas. 

Cuma sama kalian aku beri tau. Jangan 

bilang sama siapapun. Jangan ngomong sama 

wartawan, terutama wartawan tabloid yang 

muat berita aku sama Trini itu. Kalian 

semua musti bersumpah!"

"Oke bos! Kami semua swear!" kata


Vino sambil mengangkat tangan kanan, 

mengacungkan jari dalam bentuk huruf V. 

Tapi jari-jari tangan kiri dikempitkan ke 

ketiak kanan. Teman-teman Boma kecuali 

Dwita ikut-ikutan melakukan hal yang sama 

sambil tertawa cekikikan. Semua anak-anak 

itu kemudian duduk di lantai. Boma duduk 

sambil bersandar ke pinggiran tempat 

tidur. Tujuh pasang mata memandang 

padanya. Tujuh pasang telinga siap 

mendengar dan tujuh hati berdebar dalam 

keheningan.



3.CERITA BOMA


BOMA menowel hidungnya, membuat 

teman-temannya yang menunggu jadi tak 

sabaran.

"Malam pertama di Gunung Gede, 

waktu kalian udah pada tidur, aku masih 

belum bisa mejemin mata." Boma mulai. 

"Badanku rasanya letih banget tapi heran 

kenapa nggak bisa tidur. Aku keluar dari 

dalam kantong tidur plastik. Duduk. 

Kuperhatikan arloji di lengan Vino 

menunjukkan hampir pukul dua. Gila. Di 

luar tenda suara tiupan angin bikin 

serem. Apa lagi sesekali ada suara kepak 

sayap terbang melintas di atas tenda.


Mungkin burung, mungkin kelelawar. 

Pokoknya serem."

"Aku masuk kembali ke dalam 

kantong, coba-coba tidur. Tetap aja nggak 

bisa. Aku bangun lagi. Berdiri. Tadinya 

mau bangunin kamu Ron, tapi nggak jadi. 

Seperti ada yang ngedorong aku keluar 

dari dalam tenda. Di luar aku liat api 

unggun masih nyala. Karena dingin aku 

melangkah mendekati api, jongkok sebentar 

sambil manasin tangan. Waktu itu aku 

merasa ada hembusan angin di belakangku. 

Seperti ada orang lewat cepat sekali. Aku 

nengok ke belakang. Nggak ada siapa-

siapa. Nggak ada orang. Tengkuk gue 

mendadak jadi dingin. Takut. Aku rasa ada 

yang ngawasin diriku. Aku coba berdiri, 

buru-buru mau masuk ke dalam tenda lagi. 

Tapi aneh, kaki-ku terasa berat. Bukannya 

berdiri, malah terduduk di tanah. 

Mendadak hidungku nyium bau aneh. Bau 

pesing. Aku masih sadar. Masih bisa 

mikir. Malam itu malam Jum'at. Kalau 

memang ada bau-bau aneh, biasanya bau 

menyan atau bau kembang. Tapi yang aku 

cium bau pesing. Aku tambah takut. Coba 

lagi berdiri. Tetap kagak bisa. Sementara 

itu nyala api unggun mulai mengecil. 

Udara dingin kayak sayatan silet nembus 

jaket yang aku pakai. Lalu di depanku, di 

bawah kegelapan bayangan pohon aku liat 

ada sesuatu bergerak. Aku memperhatikan.


Kupikir mungkin aku salah liat, atau cuma 

liat bayangan. Rasa takut tambah numpuk. 

Aku seperti mau kencing. Lalu yang aku 

sangka bayangan itu makin jelas. Bau 

pesing tambah santer.

***

SOSOK bungkuk di dalam gelap 

bayangan pohon tegak tak bergerak. Di 

tangan kirinya ada sebatang tongkat kayu.

"Setan.... Mahluk penghuni 

gunung...." pikir Boma. Dalam takutnya 

anak ini segera saja komat-kamit membaca 

semua ayat-ayat suci yang dihafalnya.

Sosok dalam gelap tiba-tiba 

bergerak. Satu langkah... dua langkah. 

Bayangan nyala api unggun menerangi tubuh 

dan sebagian kepalanya. Nenek-nenek. 

Sosok itu ternyata sosok seorang nenek 

berkulit hitam berwajah angker. Matanya 

merupakan dua rongga dalam. Pipinya 

cekung keriput. Kepalanya nyaris sulah 

karena hanya ditutupi oleh sekian lembar 

rambut-rambut putih. Di atas kulit kepala 

yang botak itu menancap lima buah tusuk 

konde perak putih. Pakaiannya kebaya 

rombeng dan kain panjang butut. Tubuh dan 

pakaian itu menebar bau pesing. Mulutnya 

tidak henti berkomat-kamit. Gembung ke 

kiri, gembung ke kanan. Ternyata dalam 

mulut itu ada susur.


Wajah nenek itu mengingatkan Boma 

pada seorang nenek tetangga, dua rumah 

dari rumahnya. Yang meninggal sekitar dua 

bulan lalu. Tapi nenek tetangga itu tidak 

angker begini. Tidak pakai tusuk konde 

juga tidak bau pesing. Mungkin rohnya 

yang menampakkan diri. Tapi kenapa bisa 

sampai kesasar sejauh ini?

"Nek, Nek Kiyem...."

Tampang angker si nenek bertusuk 

konde lima kelihatan berubah berkerut. 

Dari mulutnya dia semburkan ludah susur 

berwarna kemerahan.

"Anak setan! Enak saja kau menyebut 

aku Nek Kiyem! Kau kira aku ini siapa?!"

Tiba-tiba mahluk berwajah angker 

membentak, membuat Boma terhenyak dalam 

ketakutan.

"Bu... bukan setan. Kata orang 

setan beneran nggak bisa bicara." Dalam 

takutnya Boma masih bisa membatin. Anak 

ini coba beringsut, mundur ke arah tenda.

Si nenek bergerak maju. Empat 

langkah di hadapan Boma, tepat di kiri 

api unggun, dia berhenti lalu tiba-tiba 

sekali tancapkan tongkat di tangan 

kirinya ke tanah. Tongkat kayu yang 

ditancapkan tapi Boma yang merasakan 

tubuhnya seperti dipantek ke tanah hingga 

dia tak bisa bergerak. Dengan tangan 

kanan si nenek keluarkan susur dari dalam 

mulut.


"Katakan! Siapa Nek Kiyem yang 

barusan kau sebut?!" Tiba-tiba nenek 

angker hardikkan pertanyaan.

"Anu Nek.... Tetangga.... Tapi 

sudah meninggal. Dua bulan lalu. Kata 

orang meninggal karena bengek." Luar 

biasa! Walau takut setengah mati Boma 

masih sanggup menjawab hardikan si nenek. 

Meskipun dengan suara dan badan 

gemetaran. Tangannya berkali-kali menowel 

hidung.

"Jadi kau anggap aku ini setan 

jejadian penjelmaan roh Kiyem si nenek 

bengek itu! Hah?!"

"Saya... saya nggak bilang begitu. 

Saya... saya nggak tau kau ini siapa Nek. 

Kalau saya ngomong salah saya minta 

maaf."

Nenek angker pencongkan mulutnya. 

Tiba-tiba kembali dia membentak.

"Anak setan! Ulurkan telapak 

tanganmu. Yang kiri!"

Boma tak berani melakukan apa yang 

diperintah si nenek.

"Kau tuli apa budek?!" Si nenek 

sumpalkan kembali susurnya ke dalam 

mulut.

"Nek...."

Nenek bertampang angker cabut 

tongkat yang tadi ditancapkannya di 

tanah. Tongkat diacungkan di atas kepala 

Boma.


"Kau mau ulurkan tangan kirimu atau 

minta digebuk!" Si nenek membuat gerakan 

hendak ayunkan tongkat ke kepala Boma.

Boma cepat lindungi kepalanya 

dengan dua tangan.

Si nenek menyeringai. Seringai ini 

membuat tampangnya tambah menyeramkan.

"Anak setan! Jangan membuat aku 

marah! Ulurkan tangan kirimu! Cepat!"

Bukannya mengulurkan tangan, Boma 

malah menowel hidung dengan tangan kanan, 

tangan kiri masih melindungi kepala.

Tiba-tiba tongkat dipukulkan ke 

bawah.

"Braakk!"

Sebuah batu hitam besar yang sejak 

tadi ada di samping Boma hancur 

berantakan. Mata Boma sampai mendelik 

besar.

"Tobat cing!" Boma membatin. "Batu 

segitu keras, segitu gede hancur jadi 

bubuk, gimana kepala gua?!"

Dalam takutnya Boma akhirnya 

ulurkan tangan kiri. Telapak dibuka 

dikembangkan. Bersamaan dengan itu si 

nenek letakkan ujung tongkat di atas 

telapak tangan Boma. Aneh, ujung tongkat 

itu tiba-tiba memancarkan cahaya hingga 

telapak tangan Boma terlihat jelas sampai 

ke garis-garis tangan yang terhalus 

sekalipun.

Dalam takutnya Boma hendak menarik


tangan kirinya. Tapi si nenek segera 

membentak.

"Jangan berani bergerak!"

Boma terpaksa tidak jadi menarik 

tangan kirinya. Si nenek maju dua 

langkah. Sepasang matanya memperhatikan 

telapak tangan Boma tanpa berkedip. Ujung 

tongkat digerak-gerakkan di atas garis-

garis tangan anak lelaki itu. Kepala 

diangguk-anggukkan. Mulutnya yang perot 

berulang kali mengeluarkan suara 

bergumam.

"Anak setan, apa kau tahu kalau di 

telapak tangan kirimu ada dua garis 

bersilang membentuk tanda kali?"

"Tau Nek...." jawab Boma.

"Kau tahu apa artinya?"

"Ka... kata orang kalau saya mukul 

orang bisa mati."

"Begitu?"

Boma mengiyakan sambil mengangguk.

Si nenek tertawa panjang. "Orang 

yang berkata begitu adalah orang tolol. 

Kau juga orang tolol! Kalau tidak 

memiliki ilmu, mana mungkin memukul orang 

bisa mati! Tangan kirimu itu paling-

paling hanya mampu dipakai cebok! Hik... 

hik... hik!"

Boma pandangi si nenek sambil 

menowel hidungnya dengan tangan kiri. 

Rasa takut masih menjalari anak ini. Si 

nenek sebaliknya balas memperhatikan


kelakuan anak lelaki itu. Dalam hati dia 

berkata. "Yang satu itu suka menggaruk 

kepala. Yang ini suka menowel hidung. 

Hik... hik... hik. Apakah aku memang 

menemukan anak yang selama ini aku cari-

cari dari alam roh? Aku harus memastikan. 

Petunjuk mengatakan dia memiliki tanda 

kedua."

Nenek berwajah seram tiba-tiba 

susupkan tongkatnya ke bawah betis kanan 

Boma, lalu diangkat ke atas. Gerakan ini 

membuat Boma terlentang di tanah dengan 

kaki naik di udara, tepat di depan wajah 

seram si nenek, Dengan tangan kanannya si 

nenek kemudian menarik lepas sepatu 

basket hitam yang dikenakan Boma. Juga 

kaos tebal yang membungkus kaki anak itu. 

Begitu sepatu dan kaos kaki lepas 

perempuan tua itu kerenyitkan muka, tekap 

hidungnya. Rupanya ada bau yang tidak 

enak menyambar dari kaki yang selama ini 

lembab terbungkus sepatu karet itu!

"Anak setan! Kakimu bau comberan!" 

Si nenek keluarkan ucapan lalu semburkan 

ludah susur ke tanah.

Boma mau ketawa tapi tak berani.

Masih menekap mulut si nenek 

jauhkan kepalanya sedikit. Dua matanya 

memandang tak berkedip memperhatikan kaki 

kanan Boma yang kini telanjang. Mulut si 

nenek bergerak pencong. Matanya yang 

cekung membesar. Boma tidak mengerti apa


yang tengah dilakukan perempuan tua aneh 

bau pesing ini. 

"Anak setan.... Benar dia. Tanda 

kedua ada di tumit kaki kanannya. Satu 

tahi lalat besar...."

Perlahan-lahan si nenek turunkan 

tongkatnya hingga kaki kanan Boma 

menyentuh tanah.

"Namamu siapa?!" si nenek tiba-tiba 

ajukan pertanyaan.

"Boma."

"Apa?" Si nenek miringkan kepalanya 

sambil tangan kanannya didorongkan ke 

daun telinga kanan. "Bemo?!"

"Bemo!" Tampang Boma jadi berkerut. 

Dalam hati anak ini berkata. "Kok jauh 

banget budeknya ini orang tua!"

"Boma, bukan Bemo...." kata Boma 

kemudian.

"Ooo... Boma, ya.. ya aku ingat. 

Bemo 'kan sudah digusur! Hik... hik... 

hik...!"

"Aneh, kok dia tau segala bemo 

digusur?" kata Boma dalam hati.

"Nek, kau ini siapa..?" Boma 

beranikan diri bertanya.

"Menurutmu aku ini siapa?!" si 

nenek balik menukas.

"Nggak tau Nek. Saya...."

"Anak bau kencur, kau tak layak 

bertanya. Aku yang akan menanyai 

dirimu...?"


"Nek, saya...."

"Diam!" Si nenek membentak. Matanya 

melotot. "Aku mau tanya. Tadi waktu aku 

muncul mendekatimu, aku lihat mulutmu 

komat-kamit mengucap sesuatu. Apa yang 

kau ucapkan? Apa yang kau baca?!"

"Anu Nek...." Boma menowel 

hidungnya.

"Anu apa?!"

"Yang saya baca ayat-ayat suci Nek. 

Ayat-ayat Qur'an...."

Si nenek terdiam. Muka angkernya 

mengerenyit. Sesaat Boma melihat 

keseraman sirna dari wajah tua hitam 

keriput itu.

"Kenapa kau baca ayat-ayat suci?" 

Si nenek bertanya.

"Sa... saya takut Nek."

"Takut? Takut apa? Takut sama 

siapa?" Boma tak menjawab. Takut si nenek 

marah.

Justru si nenek yang berucap.

"Takut sama aku hah?!"

"Betil... eh betul Nek."

"Kenapa takut?!"

"Saya ngira Nenek ini... jangan 

marah ya Nek. Saya mengira Nenek ini 

setan. Atau mahluk halus penghuni 

gunung." Akhirnya Boma keluarkan juga 

ucapannya.

Si nenek mendongak lalu tertawa 

panjang cekikikan.


"Itulah sifat kalian bangsa 

manusia. Sama setan takut. Tapi sama dosa 

tidak pernah takut. Buktinya masih banyak 

orang-orang yang mau berbuat dosa, 

berbuat kejahatan dan kemaksiatan!"

Mendengar ucapan si nenek yang 

menyebut "kalian bangsa manusia" tengkuk 

Boma mendadak sontak jadi dingin. 

"Berarti... berarti nenek ini memang 

bukan manusia. Tapi...." Hati-hati Boma 

tarik kaki kanannya yang sejak tadi 

terjulur lalu bangkit dan duduk di tanah.

"Anak setan...."

"Nek, nama saya Boma. Bukan Anak 

setan...."

"Terserah aku mau memanggilmu apa. 

Aku suka memanggilmu Anak setan. Apa kau 

keberatan. Apa kau berani menampik?"

"Saya bukan Anak setan Nek. Lagian 

setau saya setan nggak pernah punya 

anak,..."

Si nenek delikkan matanya, tapi 

lalu tertawa mengekeh. "Setan memang 

tidak punya anak. Tapi manusia setan yang 

banyak gentayangan di duniamu, kawin sana 

kawin sini, pekerjaannya bikin anak di 

mana-mana. Mending kalau diurus. Banyak 

yang ditelantarkan. Mereka itu bapak 

setan yang punya Anak setan!"

Boma terdiam.

"Boma!"

"Saya Nek...."


"Kau suka menenggak miras?"

"Heran.... Kok nenek tau-tauan 

minuman keras segala?"

"Jawab saja pertanyaanku. Suka 

minum apa tidak?!"

"Tidak Nek...."

"Suka minum obat terlarang?" 

"Nggak Nek...."

"Nipam?".

"Nggak pernah Nek...." 

"Ganja?"

"Ngerokok aja nggak Nek." 

"Ecstasy?"

"Apa lagi itu Nek. Mana kebeli..."

"Barangkali ada yang ngasih!" 

Boma menggeleng.

"Suka ikut tawuran?" 

"Nggak pernah." 

"Suka main cewek?"

"Ajie gile. Gue jadi bingung. Gue 

diinterogasi. Ini setan apa neneknya 

Polwan...." membatin Boma lalu gelengkan 

kepala.

Si nenek kembali tertawa cekikikan.

"Anak setan, dengar baik-baik. 

Hidup di dunia ini makin lama makin 

banyak tantangan. Tantangan kadang-kadang 

membuat manusia tidak selamat. Untuk 

menghadapi tantangan seseorang harus 

punya ilmu. Aku mau mewariskan ilmu 

kepandaian padamu. Kau harus terima..."

"Ilmu... Ilmu apa Nek?"


"Tidak usah tanya-tanya dulu. 

Pokoknya terima saja...."

"Nek, kata orang tua saya, kalau 

mau hidup selamat di dunia dan akhirat 

tidak sulit...."

"Apa, tidak sulit bagaimana? Aku 

mau tahu...."

"Kata orang tua saya kalau mau 

hidup selamat kita harus hidup dengan 

menjalankan perintah Allah, menjauhkan 

laranganNya..."

Si nenek menyeringai lalu geleng-

geleng kepala. "Banyak memang orang yang 

begitu. Menjalankan perintah Tuhan, 

menjauhkan larangan Tuhan. Tapi lebih 

banyak lagi yang tidak menjalankan 

perintah Tuhan, malah seperti berlomba 

melanggar perintah Gusti Allah. Di 

situlah munculnya tantangan. Agar 

seseorang tidak sampai terseret ke dalam 

kesesatan maka harus memiliki ilmu. 

Sudah! Sekarang ulurkan tangan kirimu! 

Sebelum kuturunkan ilmu yang kumaksudkan 

itu padamu, dirimu perlu dibersihkan dan 

diisi dengan hawa murni"

Boma diam saja. Tak mau 

mengeluarkan tangan kirinya. Takut.

"Kau tidak mau aku wariskan ilmu 

kepandaian?"

"Saya, saya musti tau dulu ilmu 

kepandaian apa Nek? Matematika? 

Fisika...? Kalau Matematika sama Fisika


di sekolah saya memang jeblok."

"Anak setan! Aku mana tahu segala 

ilmu begituan! Kalau kau tak mau 

mengulurkan tangan aku terpaksa 

memaksa.... Mau kupelintir tanganmu 

sampai medel?!"

Boma masih diam.

Tiba-tiba si nenek angkat tongkat 

di tangan kirinya. Ujung tongkat 

diarahkan ke tangan kiri Boma. Aneh. 

Perlahan-lahan tangan kiri Boma terangkat 

ke atas. Bagaimanapun anak ini menge-

rahkan tenaga tetap saja dia tak kuasa 

menahan. Si nenek putar ujung tongkatnya 

sedikit. Tangan Boma yang terulur ikut 

berputar. Telapak mengembang, menghadap 

ke atas. Si nenek ulurkan tangan kanannya 

yang kurus keriput. Lalu telapak 

tangannya ditempelkan ke telapak tangan 

Boma. Terasa ada hawa panas menjalari 

tubuh anak lelaki itu.

Pada saat itulah di dalam tenda 

besar terdengar suara orang menyalakan 

geretan gas. Lalu ada cahaya terang. 

Sesaat kemudian bagian depan tenda 

terbuka. Lalu menyeruak muncul sosok 

Ronny Celepuk.

"Bom? Boma? Kau di mana?"

"Sialan! Ada orang!" si nenek yang 

tengah memegang telapak tangan Boma 

memaki. "Anak setan, dengar baik-baik. 

Aku terpaksa pergi. Tapi aku akan kembali


lagi menemuimu."

Si nenek lepaskan pegangannya pada 

tangan kiri Boma. Bersamaan dengan itu 

tubuhnya berkelebat ke arah pohon besar 

lalu lenyap ditelan gelap dan dinginnya 

malam.

***

BOMA tersentak ketika Ronny Celepuk 

mendatangi dari samping. Sebatang rokok 

terselip di sela jari tangan kanannya.

"Bom, gua kira lu diculik hantu 

gunung."

"Huss! Kau jangan ngomong 

sembarangan Ron. Kalau kejadian 

beneran...."

"Habis, kau lagi ngapain di sini?" 

tanya Ronny Celepuk.

Boma cepat-cepat mengenakan kaos 

dan sepatu basket, berpaling ke arah 

Ronny.

"Kau lagi tapa di depan api unggun? 

Mukamu kuliat pucat amat!"

"Aku nggak bisa tidur. Jongkok 

sebentar di sini buat manasin diri." 

Jawab Boma.

"Aku tadi kebangun. Liat kok kamu 

nggak ada dalam tenda. Aku kirain ke 

mana...."

"Dingin Ron, ayo masuk lagi," kata 

Boma,


4.MISTERI MULAI TERSINGKAP


GITA Parwati beringsut mendekati 

Boma. Suaranya agak gemetaran ketika 

berkata. "Bom, nenek-nenek yang kau 

ceritakan itu, persis nenek-nenek yang 

aku liat dalam kamar tempat kau dirawat 

di Rumah Sakit PMI Bogor. Berarti kau 

nggak cerita ngibul...." 

"Siapa yang ngibul!" jawab Boma.

"Yang masih belon jelas mahluk itu 

setan, hantu apa manusia," kata Vino.

"Jelas hantu alias setan. Kalau 

manusia biasa mana bisa menghilang," 

menyahuti Gita.

"Tapi setan kok tau-tauan segala 

Miras, Nipam, Ecstasy, ganja" Rio ikut 

bicara.

"Mungkin yang satu ini setan 

moderen," kata Andi. "Setan dalam rangka 

globalisasi. Akibat globalisasi nggak ada 

lagi batas antara alam gaib dan alam 

nyata."

"Keren amat omonganmu. Kayak yang 

ngarti globalisasi aja." kata Gita 

Parwati sambil pencongkan mulut dan 

hidungnya yang pesek.

"Memang aneh," Firman ikutan bicara 

"Setan kok bisa tau kalau bemo mau 

digusur"


"Jangan-jangan 'tu nenek matinya 

ketabrak bemo. Lalu gentayangan jadi 

setan penasaran. Yang dicari temen kita! 

Uh, ngeri juga!" kata Vino sambil 

mengusap tengkuknya.

"Yang aku heran," kata Andi, 

"Kenapa dia terus-terusan manggil kamu 

Anak setan, Bom. Jangan-jangan dia ibunya 

setan, kawin sama bapak setan, kau jadi 

Anak setannya...."

Kamar di tingkat atas itu jadi 

riuh.

"Sialan lu!" maki Boma.

Andi cuma cengar-cengir.

Boma menowel hidungnya. Lalu 

berpaling pada Dwita.

"Dwita, menurut ayahmu, orang 

pinter di Bogor memberi tau ada mahluk 

yang mau mewariskan ilmu. Aku menolak. 

Lalu aku jadi sakit. Begitu?"

Dwita mengangguk.

Boma terdiam. Berpikir. Perlahan 

dia berkata sendiri. "Apa yang diliat 

orang pinter itu cocok dengan kejadian 

yang aku alami." Boma memandang pada 

Vino.

"Tapi ilmunya kan belon ketauan 

ilmu apa," kata Vino. Anak ini berpaling 

pada Ronny Celepuk. "Kamu sih Ron, pakai 

keluar tenda segala. Kalau tidak saat ini 

Boma pasti sudah jadi orang hebat."

"Mending jadi orang hebat, kalau


jadi bego-bego?!" kata Gita Parwati. "Eh, 

lu tau kagak. Saudaranya Bapak gue ada 

yang jadi gendeng akibat keberatan ilmu." 

Gita berpaling pada Boma. "Bom, aku rasa 

ceritamu baru sebagian. Gimana soal 

kejadian yang aneh-aneh lainnya?"

"Betul Bom, kau harus cerita

semuanya," kata Ronny.

"Tapi perutku rada honger nih. Dari 

tadi cuman makanin pisang melulu. Lama-

lama gua bisa mules. Gimana kalau kita 

dengerin ceritanya Boma sambil ngebakso 

di warung di ujung gang sono," kata Gita 

Parwati pula.

"Ah, kamu sih nggak lain makan-

molor, makan en molor. Itu aja yang 

dipikirin!" kata Vino. "Tapi terus 

terang, ane sih setuju-setuju aja, ring."

"Uh!" Gita mendorong kepala Vino 

dengan tangannya. "Liat aja nanti, pasti 

lu yang paling banyak makannya! Nambah 

ampe dua mangkok!"

Vino menyengir lalu berdiri diikuti 

yang lain-lain. Mereka sama-sama 

melangkah ke pintu.

"Tunggu," kata Rio. "Siapa yang 

traktir?"

Semua anak terdiam. Masing-masing 

mereka memang punya uang. Tapi pas-pasan. 

Kalau untuk traktir segitu banyak orang 

mana cukup. Dalam diam anak-anak itu 

akhirnya sama memandang ke arah Dwita.


Anak perempuan ini tersenyum. "Oke, aku 

yang traktir."

"Jangan Dwita. Biar aku saja," kata 

Boma.

"Wah, keren banget kau Bom. Banyak 

duit ya?" tanya Vino.

"Jangan-jangan dikasih sama nenek 

setan itu," kata Ronny Celepuk. 

"Wah, kalau gitu musti diliat dulu. 

Jangan-jangan duitnya palsu. Begitu habis 

dibayar berubah jadi daon. Kita bisa 

diketok tukang bakso!" kata Gita gendut.

Boma tertawa. menowel hidungnya 

lalu berkata.

"Inget nggak, waktu kita ngobrol di 

warung Mang Asep?"

"Ya... ya inget!" teman-teman Boma 

menjawab berbarengan.

"Dwita ngasih uang dua ratus ribu. 

Uangnya masih utuh." Boma memandang ke 

arah Dwita. Anak perempuan ini balas 

menatap.

"Asyik!" celetuk Andi.

"Langsung enak dieh kalau gini!" 

kata Vino meniru iklan di televisi.

"Teman-teman," kata Ronny, "mumpung 

duit lagi ada, gimana kalau kita tunda 

ngebaksonya. Gantinya pergi ke MacDonal

aja."

Beberapa anak siap mengatakan 

setuju tapi Boma menggeleng. "Bakso aja. 

Sisa duit kita simpen. Pasti ada gunanya


nanti."

"Oke, setuju aja Bos. Asal jangan 

dipakai buat beli Jisamsunya si Ronny 

aja!" kata Vino.

"Ee, enak aja lu Vin. Gue ngerokok 

beli sendiri. Bukan malakkin temen." 

Jawab Ronny sambil ngacungkan tinju.

***

WARUNG bakso di ujung jalan sedang 

sepi. Delapan anak SMA Nusantara III itu 

memilih duduk di pojokan yang cukup luas. 

Sementara menunggu bakso dibuatkan Gita 

meminta Boma menyambung ceritanya.

"Iyya Bom. Gua kepengen tau apa sih 

yang kejadian sebenarnya. Soalnya orang-

orang kaya-nya masih nggak bisa percaya 

kalau kita semua bisa selamat," kata 

Ronny Celepuk.

Boma mengusap hidungnya. Dia 

pandangi wajah Dwita yang duduk tepat di 

depannya lalu berkata. "Oke, aku akan 

cerita. Tapi aku minta kalian janji. 

Jangan ceritain sama orang lain. Ini 

bener-bener rahasia. Super rahasia."

"Oke, kami nggak bakal bilang sama 

siapapun," kata Ronny.

"Terus, mulai aja Bom." Gita tak 

sabaran.

***


LERENG Gunung Gede, hari Sabtu 

siang. Matahari tak kelihatan. Udara 

terasa tambah dingin. Boma pimpinan 

rombongan anak-anak SMA Nusantara III 

memandang ke langit. Mendung tebal 

menggantung di mana-mana menutupi langit. 

Angin bertiup kencang.

"Teman-teman, kayaknya mau hujan 

gede," kata Boma. "Ron, siapkan tali."

Dari kantong perbekalannya Ronny 

Celepuk mengeluarkan seutas tali plastik 

besar berwarna kuning. Tujuh anak itu 

meneruskan perjalanan menuruni lereng 

Gunung Gede. Boma di depan sekali 

memegang handy talky. Mereka bergerak 

beriringan sambil berpegangan pada tali 

kuning.

"Vin, jam berapa sekarang?" tanya 

Boma.

Vino yang berada di bagian tengah 

rombongan melihat ke arloji di 

pergelangan tangannya.

"Jam satu kurang lima." Vino 

kemudian memberi tahu.

"Baru jam satu. Tapi udah kayak 

malem...." kata Gita Parwati yang berada 

di belakang Boma. Ucapan anak perempuan 

ini terputus oleh sambaran kilat di 

langit, disusul gelegar guntur 

menggetarkan tanah yang mereka jalani.

"Bentar lagi pasti turun hujan. 

Bom, bagusnya cari tempat berlindung


dulu!" Ronny Celepuk yang berada paling 

belakang rombongan berseru.

Boma memandang ke depan. Saat itu 

keadaan tambah gelap dan lereng yang 

hendak mereka tempuh kelihatan curam.

"Teman-teman," kata Boma. "Jangan-

jangan kita nyasar. Kayaknya ini bukan 

jalanan yang kita tempuh waktu mendaki."

Hujan mulai turun.

"Kita berhenti dulu di sini. Jangan 

terus. Bahaya!" Vino berteriak.

"Jangan, jangan berhenti di sini!" 

Gita yang punya pengalaman mendaki gunung 

beberapa kali berseru. "Bom, kita musti 

naik lagi ke atas. Cari tempat yang 

datar. Kita musti menjauhi lereng terjal 

ini. Pohon sekitar sini kecil-kecil. 

Nggak bisa nahan tanah kalau terjadi 

longsor!"

Hujan turun menggemuruh. Besar luar 

biasa. Bergabung dengan suara angin, deru 

hujan terdengar mengerikan.

"Semua balik ke atas. Cepat!" 

teriak Boma.

Tujuh anak itu dengan berpegangan 

pada tali kuning segera berbalik, 

bergerak kembali ke arah atas. Di langit 

kilat sambung menyambung dan guntur 

menggelegar hampir tak berkeputusan.

Boma menghidupkan handy talky.

"Pos Satu di sini. Nusantara Tiga 

calling! Pos Satu. Nusantara Tiga


calling!."

"Pos Satu di sini. Nusantara Tiga 

silahkan masuk."

Boma mengenali itu adalah suaranya 

Pak Tatang. Kepala Pos Pengawas Gunung 

Gede.

"Pak Tatang. Nusantara Tiga dalam 

perjalanan turun. Halangan hujan besar. 

Halangan hujan besar. Kami terpaksa naik 

lagi ke atas. Ganti."

"Nusantara Tiga harap beri tahu 

posisi, Harap beri tahu posisi"

Boma mengambil kompas yang ada di 

kantong jaketnya. Tapi tiba-tiba di 

belakangnya terdengar suara menggemuruh 

keras. Pohon-pohon di kiri kanannya 

seolah terbang, meluncur ke bawah. Tanah

yang dipijaknya bergetar. Bukan cuma 

bergetar tapi bergerak ke lereng gunung 

sebelah bawah.

"Longsor!" Boma sempat mendengar 

Gita berteriak.

Setelah itu tubuh tujuh anak itu 

terseret ke bawah digulung oleh tanah 

yang longsor. Pohon-pohon di sekitar 

mereka tumbang berserabutan. Jerit pekik 

tenggelam ditelan suara menggemuruh yang 

seolah keluar dari perut gunung, ditambah 

gelegar guntur dan sabungan kilat.

Dalam keadaan seperti itu Boma 

melihat satu bayangan hitam berkelebat. 

Cepat sekali. Ada tumpukan manusia di


bahu kirinya. Boma tidak dapat memastikan 

apakah itu manusia, binatang atau setan. 

Anak ini tak bisa berpikir lebih jauh. 

Tubuhnya meluncur ke bawah, setengah 

tenggelam dalam longsoran tanah. Lalu 

ketika batangan pohon membentur 

punggungnya, Boma menjerit keras. Handy 

talky terlepas dari tangannya. 

Pemandangannya gelap. Dia tak ingat apa-

apa lagi.

***

SABTU malam menjelang pagi. Udara 

sedingin es. Hembusan angin laksana 

sayatan pisau di permukaan kulit. 

Perlahan-lahan dua mata Boma Tri Sumitro 

terbuka sedikit. Dia hanya melihat 

kegelapan. Pekat menghitam. Tubuhnya 

terasa dingin. Anak ini menggigil keras. 

Mulutnya kering dan bibirnya pecah-pecah. 

Lalu ada rasa sakit di punggungnya. Boma 

tidak tahu berada di mana saat itu. 

Apakah dia masih hidup atau sudah mati? 

Dia coba menggerakkan tangan dan kaki. 

Tidak bisa. Selain ada rasa nyeri juga 

ada sesuatu yang menahan. Sekali lagi dia 

perhatikan keadaan di sekitarnya. 

Ternyata tubuhnya tenggelam dalam long-

soran tanah sampai sebatas dada.

Dalam keadaan tak berdaya, tak 

mampu bergerak apa lagi mengeluarkan diri


dari timbunan tanah. Boma ingat teman-

temannya.

"Ron... Ronny...!" Dia hampir tidak 

mendengar suaranya sendiri. Untuk 

mengeluarkan ucapan itu dia harus 

mengeluarkan tenaga luar biasa, membuat 

kepalanya pusing dan pemandangannya 

berkunang.

"Ron...."

Tak ada jawaban.

"Gita...."

Sunyi.

"Vino... Firman... Andi... Rio."

Boma masih mampu menyebut nama 

teman-temannya satu persatu. Namun tetap 

saja tak ada jawaban, tak ada sahutan. 

Lalu anak ini ingat. Sesaat sebelum dia 

jatuh pingsan, dia melihat satu bayangan 

hitam berkelebat memanggul sosok-sosok 

manusia di bahunya. Rasa ngeri serta 

merta menjalari sekujur badan anak ini.

"Jangan-jangan... yang aku liat itu 

Malaikat Maut. Membawa mayat teman-

temanku... Gita... Vino... Rio. Ya Tuhan, 

di mana teman-teman saya. Tuhan, tolong 

kami...."

Tiba-tiba ada sesuatu berkelebat di 

depan Boma. Pemandangan anak ini masih 

berkunang dan tempat sekitar situ masih 

diselimuti kegelapan.

"Malaikat Maut...." pikir Boma, 

memperhatikan sosok dalam kegelapan.


Kalau tadi ada rasa takut menyungkupi 

dirinya kini dalam takut muncul 

ketabahan. "Kalau memang nyawaku mau 

dicabut aku pasrah..." Boma pejamkan 

matanya. Sosok bungkuk bergerak mendekat. 

Sepasang mata Boma tiba-tiba membesar. 

Dia ingat. Dia mengenali.

Sosok yang mendatangi itu adalah 

sosok nenek-nenek berwajah angker, 

berkulit hitam. Tubuh bungkuk mengenakan 

kebaya rombeng dan kain panjang butut. Di 

atas kepalanya ada lima buah tusuk konde 

perak putih. Boma mencium bau pesing. Tak 

salah lagi. Mahluk angker ini adalah 

nenek-nenek aneh yang mendatanginya pada 

malam pertama dia dan rombongan berada di 

Gunung Gede.

"Anak Setan! Syukur aku masih bisa 

menemuimu. Kukira kau sudah amblas 

ditelan tanah!"

Boma menggerakkan mulut. Lidahnya 

terasa kelu. Bibirnya berat. "Nek...."

"Sudah, jangan banyak bicara. Aku 

akan mengeluarkanmu dari timbunan 

tanah...."

"Nek... saya... saya tidak apa-apa, 

Teman-teman saya Nek.... Kalau kau mau 

menolong... tolong mereka duluan. 

Saya...."

Si nenek hendak membentak namun tak 

jadi, Sepasang matanya yang berada dalam 

rongga cekung kelihatan mencorong menatap


wajah Boma. Dalam hati si nenek membatin.

"Anak satu ini benar-benar luar 

biasa. Dia tidak perdulikan keadaannya 

sendiri. Malah meminta aku menolong 

teman-temannya. Aku bersyukur pada Yang 

Maha Kuasa. Aku tidak salah memilih 

orang...."

"Nek, tolong teman-teman saya. Di 

mana mereka... Gita... Rio... Ronny...."

"Diam!" si nenek membentak. "Tak 

perlu memikirkan teman-temanmu! Gusti 

Allah sudah menolong mereka!" Tangan kiri 

si nenek bergerak. Tongkat kayu menyusup 

ke bawah ketiak kanan Boma. Ketika sekali 

lagi tangan si nenek yang memegang 

tongkat bergerak, tiba-tiba tubuh Boma 

bergerak keluar dari dalam timbunan tanah 

untuk kemudian melesat ke udara.

Sosok si nenek ikut melesat ke 

udara, menyambar tubuh Boma, lalu membawa 

tubuh anak lelaki itu melayang turun ke 

tanah dan lenyap dalam kegelapan.

***

DELAPAN mangkok bakso di atas meja 

tak satupun yang disentuh. Semua anak 

begitu asyik mendengar cerita Boma. Kini 

mereka terdiam dalam alam pikiran masing-

masing.

"Wah, baksonya udah dingin 'nih!" 

Rio yang pertama sekali bersuara.


"Ceritamu luar biasa Bom. Kayak 

filem horror aja," kata Vino.

"Bom," kata Gita. "Menurut tim 

penolong yang pertama kali nemuin kita, 

kita semua ditemuin di satu tempat datar, 

di lereng timur Gunung Gede. Semua kita 

berada dalam kantong plastik milik kita 

masing-masing."

"Ya, Ayahku juga bilang begitu," 

kata Boma.

"Siapa yang memasukkan kita ke 

dalam kantong tidur itu?" Ujar Andi. 

"Kalau tidak di dalam kantong, lebih dua 

hari dua malam, nggak makan apa-apa, cuma 

minum air hujan, kita semua pasti udah 

pada mati kaku."

"Nenek angker itu...." kata Vino. 

"Pasti dia yang nolong kita."

"Lalu waktu kita digotong turun, 

katanya badan kita enteng sekali. Aku 

yang ceking ini sih oke-oke aja. Tapi si 

Gita? Mana mungkin bobot seratus kilo 

lebih dibilang enteng," kata Firman.

Gita cemberut. Teman-temannya 

menyengir.

"Malam itu," Rio menjawabi ucapan 

Firman. "Ada petugas yang bilang, 

kayaknya seperti ada tangan-tangan gaib 

ikut bantu menggotong tandu...."

"Mungkin nenek angker itu punya 

anak buah, punya pasukan yang 

diperintahkannya buat ngebantu tim


penolong," kata Vino sambil usap-usap 

tengkuknya.

"Lalu kunang-kunang yang jadi 

penunjuk jalan?" ujar Gita.,

"Mungkin peliaraannya si nenek," 

kata Boma.

"Nenek-nenek itu nggak ngedatengin 

kamu lagi Bom?" tanya Ronny.

Boma menggeleng. "Minta-minta sih 

jangan deh."

"Emangnya, kenapa kau nanyain 

nenek-nenek itu Ron?" tanya Gita.

"Kalau memang dia yang nolong kita, 

kita pantas bilang terima kasih...." 

jawab Ronny.

"Bom, kalau si nenek memang dateng 

lagi bilang Ronny Celepuk mau ketemu," 

kata Gita.

"Gila! Jangan Bom!" kata Ronny. 

"Gua bisa kojor duluan."

Boma dan kawan-kawannya tertawa.

"Bang, baksonya semangkok lagi!" 

Tiba-tiba Vino berseru.

Gita langsung membuka mulut

"Nah, apa kata gua tadi! Kamu 'kan 

yang paling banyak makannya!"

Vino senyum. "Mumpung lagi 

ditraktir, Git."

Selesai makan bakso, waktu teman-

temannya sudah berdiri Boma memberi 

isyarat pada Dwita agar tetap duduk. Lalu 

pada teman-temannya Boma berkata. "Kalian


duluan aja balik ke rumahku. Aku mau 

ngomong sebentaran sama Dwita."

"Wah, ada rahasia yang kita nggak 

boleh denger 'nih bo," kata Ronny.

"Bom, kalau mau beduaan jangan di 

warung bakso dong. Cari tempat yang lebih 

representatip!" kata Vino.

"Ah, sok tau lu!" kata Gita sambil 

menarik tangan Vino.

Setelah teman-temannya pergi Dwita 

bertanya.

"Ada apa Bom?"

"Aku mau tanya." Boma meluruskan 

badannya.

"Soal apa?"

"Satu hari sebelum aku keluar Rumah 

Sakit PMI, ayahku ke kantor Rumah Sakit. 

Nanyain berapa biaya perawatan yang harus 

dibayar kalau aku pulang besoknya." Boma 

sengaja tidak meneruskan kata-katanya, 

menatap dalam ke mata anak perempuan yang 

bening bagus itu. Coba melihat reaksi 

Dwita. Tapi dia tidak melihat perubahan 

pada wajah dan sepasang mata itu. 

Mungkinkah anak ini pandai menyimpan 

rahasia hatinya?

"Terus?" malah Dwita kini yang 

bertanya. 

"Menurut pegawai Rumah Sakit, semua 

biaya perawatanku sudah ada yang bayar."

"Siapa?"

"Justru aku mau nanya sama kamu."


kata Boma.

Dwita unjukkan wajah heran. "Kok 

nanya sama aku?" 

"Jujur aja Dwita." 

"Maksudmu?"

"Kau yang membayar?"

Dwita menatap wajah Boma sesaat. 

Lalu tersenyum.

"Benar kamu yang bayar?" tanya 

Boma.

Dwita menggeleng.

"Jangan bohong."

"Aku nggak bohong."

"Lalu siapa?"

"Mana Dwita tau Bom."

Boma terdiam. "Aneh. Kata pegawai 

Rumah Sakit itu yang bayar perempuan."

"Perempuan 'kan banyak Bom."

"Sayang ayahku tidak nanyain ciri-

ciri orangnya. Jadi betul bukan kamu?"

"Buat apa sih aku bohong Bom."

Boma menowel hidungnya lalu 

berdiri.


5.MISTERI SANG PEMBAYAR


RONNY CELEPUK mengusap-usap 

hidungnya yang tinggi bengkok. "Ngapain 

kau minta diantar ke Rumah Sakit PMI di 

Bogor, Bom?"

"Aku masih penasaran Ron. Mau nyari 

tau siapa yang bayarin perawatan waktu

aku dirawat" 

"Aku curiga pasti Dwita. Habis 

siapa lagi?"

"Dwita bilang nggak. Aku yakin dia 

nggak bohong."

"Kalau gitu Trini. Kau udah tanya 

cewek itu?"

"Ketemu lagi juga belum. Lagian, 

aku masih sebel sama dia. Gara-gara 

berita di tabloid itu." Boma diam 

sebentar lalu meneruskan. "Menurut bokap

gue, pegawai yang melayani pembayaran itu 

namanya Ibu Mardi. Aku musti nemuin dia. 

Tanya."

Dari dalam saku kemejanya Boma 

keluarkan sebuah foto. "Ini foto waktu 

kita piknik ke Ciater dulu. Ada Trini, 

ada Dwita. Aku mau kasih liat sama Ibu 

Mardi. Pasti dia bisa ingat orangnya 

kalau aku perlihatkan foto ini."

"Sebenarnya gua mau liat anak-anak 

latihan ben di sekolahan. Tiga Minggu


lagi 'kan pesta perpisahan anak-anak 

kelas tiga."

"Kalau kau nggak mau nganterin, aku 

naik bis juga bisa." Kata Boma.

"Tuh, belon apa-apa kau udah 

ngambek." Kata Ronny sambil tersenyum.

***

IBU MARDI pegawai Rumah Sakit PMI 

Bogor orangnya tinggi kurus, berkaca mata 

besar berusia hampir setengah abad.

"Oo, anak ini yang namanya Boma. 

Yang dulu dirawat di sini?"

"Betul Bu. Ini teman saya Ronny. 

Dia juga sama-sama dirawat."

"Wah, saya baca beritanya di 

tabloid. Cerita adanya nenek-nenek 

misterius di kamar adik tempo hari sudah 

tersebar ke mana-mana."

Boma dan Ronny saling pandang.

"Ada kabar apa 'nak Boma?"

Boma lalu menerangkan maksud 

kedatangannya. 

"Wah, kejadiannya sudah lama juga. 

Kalau ketemu orangnya lagi saya pasti 

ingat..."

"Mungkin Ibu ingat ciri-cirinya?" 

tanya Boma.

"Orangnya masih muda. Cantik. 

Bajunya kalau tidak salah blus biru tua, 

tangan panjang. Digulung...."


Ronny berbisik. "Bom, yang suka 

pakai baju biru tangan panjang digulung 

si Dwita. Pasti dia."

Dari balik baju jaketnya Boma 

mengambil sebuah amplop. Dari dalam 

amplop dikeluarkannya sehelai foto. Boma 

menunjuk wajah Trini dalam foto.

"Mungkin yang ini orangnya Bu?" 

tanya Boma.

Ibu Mardi memakai kacamatanya, 

memperhatikan wajah Trini. Lalu 

menggeleng. Boma menunjuk pada wajah 

Dwita. "Kalau yang ini?"

Ibu Mardi betulkan letak kaca-

matanya, menatap lama. Akhirnya kembali 

menggeleng. "Bukan.... Orang yang datang 

membayar memang masih muda. Tapi tidak 

semuda anak-anak dalam foto ini. Wajahnya 

cantik gimana ya.,.. Banyak orang cantik 

tapi yang satu itu cantiknya nggak bosan 

dipandang. Ada anggunnya. Lebih dewasa 

dari anak-anak ini. Bicaranya lembut...."

"Kulitnya putih, hitam, atau 

mungkin belang-belang?" Ronny bertanya 

konyol.

Ibu Mardi tertawa lebar.

"Seingat Ibu, orangnya berkulit 

kuning langsat. Raut wajahnya mulus, 

nggak ada flek nggak ada jerawat."

Boma memandang pada Ronny. "Kau 

bisa ngeduga siapa orangnya Ron?"

"Sulit. Kayaknya kita nemuin jalan


buntu Bom."

"Nak Boma, memangnya ada apa?" Ibu 

Mardi bertanya.

"Rasanya nggak enak aja Bu. Ada 

orang baik, tapi kita nggak tahu siapa 

orangnya. Nggak bisa bilang terima 

kasih."

"Ya, 'Nak Boma betul juga. Mungkin 

ada salah satu saudara ayah atau ibunya 

'Nak Boma yang berbaik hati...."

"Mungkin Bu," jawab Boma. Tapi 

dalam hati dia tahu betul bahwa hal itu 

tidak mungkin. Semua keluarga ayah atau 

ibunya hidup pas-pasan. Jangankan untuk 

membayar uang perawatan rumah sakit, 

untuk membayar uang sekolah dan uang 

kuliah anak-anak sendiri saja mereka 

sering-sering mengalami kesulitan.

Setelah mengucapkan terima kasih 

Boma dan Ronny keluar dari kantor Rumah 

Sakit.

Di halaman parkir sambil duduk di

jok Honda Tiger merah Ronny menyalakan 

sebatang rokok.

"Gimana Bom?" tanya Ronny lalu 

menghembuskan asap rokoknya.

"Aneh. Gua nggak habis pikir," 

jawab Boma lalu menowel hidungnya sampai 

tiga kali. "Trini bukan, Dwita juga 

bukan. Lalu siapa? Sekarang kita mau 

nyelidik ke mana lagi?"

"Mungkin nggak nenek-nenek aneh


dari Gunung Gede yang nyelametin kita 

itu?"

"Bego amat kamu Ron. Jelas Ibu 

Mardi tadi bilang yang datang perempuan 

muda cantik ayu. Bukan nenek-nenek!" Boma 

berkata dengan wajah setengah bersungut 

dan sambil mengambil helm yang tergantung 

di stang motor.

"Gua sih nggak bego-bego amat Bom," 

jawab Ronny. "Mungkin aja nenek itu 

muncul dengan bersalin rupa. Menyaru jadi 

perempuan muda."

"Gue nggak mikir sampai ke situ 

Ron," kata Boma. Anak ini terdiam

sejurus. "Ayo balik Ron. Cabut...."

"Cabut." kata Ronny Celepuk sambil 

mencampakkan rokok yang baru setengah 

dihisapnya.

Saat itu seorang anak perempuan 

manis lewat di depan Ronny bersama 

adiknya.

"Anak cakep, mau besuk siapa?"

Anak perempuan itu melirik sebentar 

pada Ronny lalu buru-buru melanjutkan 

langkahnya.

"Aduh somsenya. Lupa ya sama 

Ronny."

Tiba-tiba seorang kakek bertongkat 

tahu-tahu sudah berdiri di depan Ronny. 

Orang tua ini menyeringai lebar, 

memperlihatkan barisan giginya yang sudah 

banyak ompong.


"Suka ya sama cucu Abah?" si kakek 

menegur.

Ronny jadi salah tingkah.

"Kalau suka sama cucu Abah, musti 

belajar tata tertib dulu. Itu tong sampah 

segede gajah dekat di sebelah sana. Tapi 

tadi Abah liat situ buang rokok di 

jalanan seenaknya."

Ronny tersenyum pahit, cepat-cepat 

naik ke atas motor.

"Kena batunya kau Ron," kata Boma 

sambil duduk di belakang Ronny.

"Apes gua," jawab Ronny. "Gua kira 

'tu cewek cuman sama adeknya."

"Mustinya tadi si Abah kau bujukin. 

Tawarin rokok."

"Gila 'lu! Kalau diterima, kalau 

kepala gue yang diketok sama tongkat!"

Boma tertawa mengakak. Dia 

berpaling ke arah orang tua yang masih 

berdiri di pelataran parkir lalu 

melambaikan tangannya. Si kakek membalas 

dengan mengacungkan tongkat. "Anak 

sekarang, selalu tidak ada sopannya." Si 

kakek menggerendeng sendiri lalu 

membalikkan badan. Ketika mau melangkah 

dia tidak melihat ada seekor kucing di 

dekatnya. Salah satu kaki kucing 

terinjak. Binatang ini mengeong keras 

kesakitan, hampir mencakar. Si kakek 

melompat kalang kabut, tongkatnya mental. 

Dia sendiri nyaris jatuh kalau tidak

cepat berpegang pada gerobak penjual 

minuman.


6.PENDEKAR TAHUN 2000


MBAK pantai selatan bergulung 

ganas, memecah menghantam jajaran gugusan 

bukit karang yang membujur dari barat ke 

timur. Suara menggemuruh tiada henti 

sepanjang siang sampai malam. Saat itu 

tepat tengah hari. Sang surya bersinar 

terik. Langit bersih tak berawan. 

Hembusan angin sesekali terdengar seperti 

suara tiupan seruling.

Di salah satu puncak bukit karang, 

paling tinggi di antara semua bukit-bukit 

karang yang ada di kawasan pantai 

selatan, seorang tua berpakaian putih 

rombeng, lusuh dan dekil tampak duduk 

bersila di atas batu. Tetapi jika 

diperhatikan, sosok orang tua ini 

ternyata tidak menempel ke batu, 

melainkan mengambang setinggi satu 

jengkal di atas batu. Siapapun adanya, 

orang tua ini jelas memiliki ilmu 

kesaktian tinggi.

Angin laut meniup rambutnya yang 

putih panjang sepunggung, menyibakkan 

wajahnya yang sangat cekung di kedua pipi


dan rongga mata kiri kanan. Walau panas 

menyengat, bisa membuat gosong kulit 

manusia, apa lagi kulit lapuk si orang 

tua, namun aneh dan luar biasa, kulit 

muka orang tua ini kelihatan pucat pasi 

seperti muka mayat. Dua matanya yang 

terpuruk ke dalam rongga dalam membuat 

tampangnya mengerikan luar biasa. Matanya 

yang terbuka sedikit membersitkan sinar 

dingin angker. Sudah enam hari enam malam 

orang tua ini bersamadi dengan mata 

nyalang di tempat itu. Dua tangan di 

lipat di depan dada. Hari demi hari 

sosoknya naik semakin tinggi dari atas

batu karang. Sesekali ada asap putih 

kelabu mengepul dari ubun-ubun di batok 

kepalanya.

Di penghujung sore sang surya 

menggelincir ke barat. Udara berubah 

temaram, dan mulai gelap ketika sang 

surya lenyap seolah ditelan samudera 

raya.

Malam itu adalah malam ke tujuh 

dari tapa aneh yang dilakukannya. Deru 

angin menyambar dingin. Di langit muncul 

bulan sabit. Sepasang mata si orang tua 

membuka lebih besar. Dalam gelapnya malam 

tiba-tiba ada cahaya putih kebiru-biruan. 

Lalu seperti keluar dari dasar laut 

terdengar suara.

"Muka Bangkai! Hentikan tapamu! Aku 

datang!"


Suara itu ternyata suara perempuan. 

Melengking merobek langit. Di lain kejap 

satu sosok mengerikan tahu-tahu telah 

berdiri di hadapan orang tua yang 

dipanggil dengan nama Muka Bangkai. Sosok 

yang muncul adalah sosok seorang nenek 

berjubah biru, berambut merah panjang 

sekali, riap-riapan sampai menjejak batu 

karang. Jari-jari tangan dan kaki 

ditumbuhi kuku-kuku panjang berwarna 

merah. Ketika dia memandang ke arah si 

orang tua yang duduk mengapung di atas 

batu karang, ternyata dia memiliki 

sepasang mata angker yang juga berwarna 

merah. Mulutnya yang pencong ke kiri 

menyeringai. Lalu mulut itu membentak.

"Muka Bangkai, jangan membuat aku 

menunggu dalam marah! Hentikan tapamu, 

lekas berdiri!"

Sepasang mata orang tua Muka 

Bangkai membesar. Dia sudah melihat 

kedatangan sosok di hadapannya. Rahangnya 

menggembung, pelipisnya bergerak 

mendenyut, pertanda orang tua ini 

sebenarnya tidak suka tapanya diganggu. 

Tapi sadar siapa yang datang, si Muka 

Bangkai cepat-cepat rundukkan tubuh 

hingga keningnya menyentuh batu. Lalu 

sekali menyentakkan diri tubuhnya melesat 

satu tombak ke atas, perlahan-lahan turun 

ke bawah, injakkan kaki di atas batu. 

Ketika sosoknya berdiri ternyata si Muka


Bangkai bertubuh bungkuk.

"Eyang Kunti Api, Guru! Aku muridmu 

Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat 

mengucapkan selamat datang. Namun mohon 

maaf, menyesal sekali kalau murid 

mengatakan kemunculanmu tidak tepat 

waktu..."

"Tidak tepat waktu?! Apa 

maksudmu?!" bentak nenek bernama Kunti 

Api.

"Murid sedang bertapa. Tengah 

merampungkan satu ilmu baru. Kedatangan 

Guru membuyarkan dan membatalkan tapa 

murid. Berarti murid harus mengulang dari 

semula."

Kunti Api pelototkan mata lalu 

meludah.

"Murid kufur! Apakah tapamu lebih 

penting dari kedatanganku?! Apakah kau 

berani menolak pertemuan ini?! Jawab?!" 

Sepuluh kuku tangan dan kaki Kunti Api 

pancarkan sinar menyeramkan. Pertanda 

amarah telah menyelubungi dirinya.

Asap putih kelabu di atas ubun-ubun 

Si Muka Bangkai membubung ke atas 

pertanda kakek ini juga mulai dirasuk 

kemarahan.

Kunti Api tiba-tiba keluarkan tawa 

mengekeh.

"Murid sombong! Aku mau lihat 

sampai dimana kehebatan ilmu kepandaianmu 

hari ini!"


Habis berkata begitu si nenek 

gerakkan tangan kanannya.

"Wusss!"

Puncak bukit karang yang gelap itu 

jadi terang benderang.

Lima larik sinar merah berkiblat 

menghantam ke arah lima sasaran di kepala 

dan tubuh Si Muka Bangkai. Si kakek 

menjerit kaget. Secepat kilat dia 

hentakkan kaki kanannya ke batu karang. 

Tubuhnya melesat ke udara. Di udara dia 

membuat gerakan jungkir balik. Ketika dia 

berhasil selamatkan diri dan tegak 

kembali di atas batu karang, mukanya 

tambah pucat seolah darahnya baru saja 

disedot habis. Matanya membujur keluar, 

menatap ke arah nenek berambut merah 

panjang riap-riapan yang berdiri di

hadapannya sambil umbar tawa bergelak.

"Eyang! Kau mau membunuh murid 

sendiri?!" teriak Si Muka Bangkai.

"Kalau memang kau perlu kuhabisi 

apa salahnya?!" jawab si nenek. "Kau 

berhasil selamatkan diri dari seranganku 

tadi. Aku merasa lega walau cuma 

sedikit."

Merinding juga Si Muka Bangkai 

mendengar jawaban sang guru.

"Guru, aku mohon maaf. Antara kita 

memang selalu terjadi saling salah 

mengerti...."

"Itu karena kau selalu menghadirkan


sikap sombong congkak. Tidak memandang 

sebelah mata pada orang lain. Sampai-

sampai aku gurumupun kau perlakukan acuh 

tak acuh! Dan sifat burukmu itu sudah kau 

turunkan pula pada muridmu Pangeran 

Matahari!" (Mengenai Si Muka Bangkai dan 

Pangeran Matahari harap baca buku-buku 

serial "Wiro Sableng" Pendekar Kapak Maut 

Naga Geni 212).

"Guru, Eyang Kunti Api, tidak 

maksud murid berlaku kurang ajar 

terhadapmu...."

"Sudah, aku sudah lama tahu 

sifatmu. Kau memang kurang ajar! Ayo, kau 

masih mau menjawab?!" bentak Eyang Kunti 

Api.

"Eyang, maaf kan saya. Mohon kau 

mau memberi tahu maksud kedatanganmu," 

kata Si Muka Bangkai sambil merunduk.

"Karena mengejar ilmu kau tidak 

mengetahui apa yang tengah terjadi di 

dunia sana. Telingamu jadi tuli, matamu 

jadi buta."

"Eyang Guru, aku selalu 

memerintahkan muridku Pangeran Matahari 

untuk memantau keadaan di delapan penjuru 

angin. Dia selalu datang memberikan 

laporan pada waktu-waktu tertentu. Hanya 

saja, belakangan ini dia sudah lama tidak 

muncul. Belum murid ketahui dimana dia 

berada. Eyang Guru, mohon murid diberi 

tahu apa yang tengah terjadi di dunia


sana?"

"Seseorang tengah menyusun satu 

rencana besar. Rencana besar yang sangat 

berbahaya bagi kita dan kawan-kawan dari 

dunia hitam."

"Eyang, mohon diberi tau siapa 

adanya seseorang itu dan apa rencana 

besar yang Eyang maksudkan itu."

"Sinto Gendeng, nenek jahanam dari 

Gunung Gede...!"

"Ah, dia rupanya yang punya 

peranan," ujar Si Muka Bangkai. "Apa yang 

tengah dilakukannya, Eyang?"

"Tua bangka itu tengah merencanakan 

kehadiran seorang pendekar baru. Pendekar 

Tahun 2000."

"Pendekar Tahun 2000?" mengulang Si 

Muka Bangkai.

"Jika hal itu sampai kejadian, ini 

merupakan satu malapetaka besar bagi kita 

semua dari golongan hitam. Lebih celaka 

kita tak akan mampu menguasai dunia 

sana."

"Kalau begitu kita harus melakukan 

sesuatu Eyang Guru."

"Apa yang ada dalam benakmu, Muka 

Bangkai?"

"Menghancurkan rencana Sinto 

Gendeng." Jawab Si Muka Bangkai alias Si 

Muka Mayat, guru Pangeran Matahari dari 

puncak Gunung Merapi.

"Tepat. Katakan bagaimana


caranya?!" tanya Kunti Api.

"Dua cara. Pertama habisi Sinto 

Gendeng. Kedua habisi sang calon 

pendekar."

Eyang Kunti Api dongakkan kepala. 

Dari sepasang matanya keluar memancar 

sinar merah menembus kegelapan malam.

"Muridku Muka Bangkai, katakan 

padaku. Siapa yang bakal melakukan semua 

itu. Siapa yang akan menghabisi Sinto 

Gendeng dan Pendekar Tahun 2000?!"

Kakek bermuka sepucat mayat 

berpikir sejenak lalu menjawab. "Aku akan 

perintahkan muridku Pangeran Matahari 

melakukan dua tugas itu."

"Tolol sekali!" tiba-tiba si nenek 

rambut merah membentak sambil hunjamkan 

kaki kiri ke batu karang hingga bukit 

batu itu bergetar hebat, membuat sosok 

bungkuk Si Muka Bangkai terhuyung-huyung. 

"Apa menurut otak tololmu Pangeran 

Matahari muridmu itu akan mampu 

menghadapi si jahanam Sinto Gendeng?"

"Maafkan murid jika berpikir 

terlalu picik. Eyang, aku mohon 

petunjukmu," kata Si Muka Mayat pula.

"Yang kita hadapi satu urusan 

besar. Maha penting, sangat berbahaya, 

bukan main-main. Karena semua ini akan 

menentukan masa depan orang-orang 

golongan hitam di dunia sana. Itu 

sebabnya aku sengaja menyempatkan diri


menemuimu. Karena aku datang untuk 

memberi perintah. Kau sendiri yang harus 

turun tangan menghabisi Sinto Gendeng. 

Bukan muridmu!"

Pandangan dua mata Si Muka Bangkai 

sampai tak berkesip saking terkejut 

mendengar ucapan gurunya itu.

"Muka Bangkai, kau seperti tidak 

suka mendengar ucapanku. Apa lagi 

menjalankan perintah!"

Si Muka Bangkai menahan diri.

"Eyang Kunti Api, bukan maksudku 

mengecilkan arti kedatanganmu. Bukan 

maksudku tidak mementingkan kehidupan dan 

kekuasaan golongan kita di dunia sana. 

Jika kau yang memberi perintah, murid 

mana berani menolak."

"Hemm... Kau sendiri, apakah kau 

merasa sanggup menghabisi Sinto Gendeng?"

"Ilmu kesaktian nenek itu memang 

banyak meningkat beberapa tahun 

belakangan ini. Tapi aku tidak gentar. 

Tugas Guru akan kulaksanakan dengan 

sebaik-baiknya."

"Bagus, tapi jangan takabur Muka 

Bangkai."

"Takabur bagaimana Eyang?"

"Walaupun kepandaianmu tidak 

dibawah tingkat kepandaian Sinto Gendeng 

namun kau perlu berjaga diri. Ada satu 

ilmu Sinto Gendeng yang mungkin sulit kau

tembus...."


"Katakan ilmunya yang mana dan 

mungkin Eyang Guru tahu bagaimana cara 

aku menghadapinya?" tanya Si Muka 

Bangkai.

"Aku tak tahu apa nama ilmu 

kesaktiannya itu. Dari matanya bisa 

memancar dua larik sinar pekat biru. 

Selama ini tidak satu kekuatanpun sanggup 

menghadapinya. Karena kesaktiannya itu 

berpusat pada sepasang matanya, maka 

untuk mengalahkannya kau harus sanggup 

mencongkel ke dua matanya itu. Untuk itu 

aku akan meminjamkan sepuluh kuku jariku 

padamu. Congkel dua mata Sinto Gendeng 

dengan ilmu Sepuluh Cakar Iblis. Kalau 

dua matanya sudah dicongkel, daya 

kekuatannya akan sirna. Ilmunya yang lain 

tak usah kau kawatirkan. Dan ingat satu 

hal! Sebelum kau membunuh nenek jahanam 

itu, kau harus mengorek keterangan. Siapa 

adanya bocah yang hendak dijadikannya 

sebagai Pendekar Tahun 2000 itu!"

"Terima kasih atas petunjukmu Eyang 

Kunti. Tapi murid tidak memiliki ilmu 

Sepuluh Cakar Iblis karena selama ini 

Eyang belum pernah mengajarkannya 

padaku..."

"Jangan kau menyindirku Muka 

Bangkai!" tukas Kunti Api. "Ulurkan dua 

tanganmu. Kembangkan telapak tanganmu!"

Si Muka Bangkai menurut. Dia 

ulurkan ke dua tangannya. Begitu dua


telapak tangan dikembangkan, Kunti Api 

segera tempelkan dua tangannya lalu 

kerahkan hawa sakti yang ada dalam 

tubuhnya.

Dua sinar merah membungkus tangan 

kiri kanan Si Muka Bangkai. Hawa panas 

ikut menjalar membuat si muka pucat ini 

bergetar sekujur tubuhnya. Mukanya yang 

seperti mayat sesaat tampak merah padam.

Dia merasa seperti leleh. Tidak 

sanggup menahan Si Muka Bangkai keluarkan 

jeritan keras. Tubuhnya terpental jatuh, 

punggung terbanting di atas batu karang. 

Mulutnya kucurkan darah kental berwarna 

merah kehitaman. Matanya mendelik. 

Tubuhnya mengepul kelojotan disertai 

suara erangan tak berkeputusan seperti 

orang mau sekarat.

Eyang Kunti Api keluarkan suara 

tertawa panjang. Begitu suara tawanya 

sirna sosoknya ikut lenyap.

Hawa panas yang membungkus tubuhnya 

perlahan-lahan berkurang lalu lenyap sama 

sekali. Perlahan-lahan Si Muka Bangkai 

bangkit berdiri, memandang berkeliling. 

Tapi tidak melihat gurunya. Ketika dia 

memperhatikan dua tangannya kagetlah 

kakek ini. Tapi diam-diam juga merasa 

gembira. Sepuluh jari tangannya kini 

ditumbuhi kuku-kuku panjang berwarna 

hitam. Berarti kini dia memiliki satu 

ilmu baru yang selama ini memang


diinginkannya. Terngiang kembali ucapan 

gurunya.

"Congkel dua mata Sinto Gendeng 

dengan ilmu Sepuluh Cakar Iblis. Kalau 

dua matanya sudah dicongkel, daya 

kekuatannya akan sirna...."

Si Muka Bangkai menyeringai. 

Perlahan dia berucap. "Sinto Gendeng, 

tunggu bagianmu. Kita sudah lama 

berseteru. Kali ini jangan berani berlaku 

congkak. Ajalmu sudah di depan mata!"


7.SINTO GENDENG DISERBU


WALAU malam itu Si Muka Bangkai 

telah sampai di puncak Gunung Gede, namun 

dia tidak segera mendatangi pondok kayu 

kediaman Sinto Gendeng. Menggempur 

seorang sakti setingkat Sinto Gendeng 

pada malam hari terlalu berbahaya. Bukan 

mustahil pondok kayu itu dipasangi segala 

macam senjata rahasia yang bisa 

membantainya sebelum tugas terlaksana. 

Dari tempat tersembunyi Si Muka Bangkai 

mengawasi bangunan itu. Ada lampu menyala 

di dalam pondok, pertanda penghuninya ada 

di tempat itu.

Pagi hari, baru saja sang surya 

muncul menampakkan diri dan puncak Gunung


Gede disapu cahaya terang benderang. Si 

Muka Mayat segera keluar dari 

persembunyiannya, berkelebat mengelilingi 

pondok dua kali lalu berdiri bungkuk dan 

berkacak pinggang di depan pintu pondok.

"Sinto Gendeng, aku Si Muka Bangkai 

datang untuk minta kau punya nyawa!"

Si Muka Bangkai berteriak sampai 

tiga kali, lalu melesat ke atas wuwungan 

pondok kayu. Menunggu. Sekian lama dia 

berada di atas atap pondok, tak terdengar 

suara gerakan di dalam rumah. Tak ada 

yang keluar. Si Muka Bangkai merutuk 

sendiri dalam hati.

"Malam tadi ada lampu menyala. 

Nenek jahanam itu pasti ada dalam pondok. 

Kini diteriaki mengapa dia diam saja? 

Jangan-jangan sudah merat dinihari tadi?" 

Dari atas atap kembali Si Muka Bangkai 

berteriak. Tetap saja tak ada gerakan tak 

ada yang keluar dari dalam pondok. "Aku 

harus bertindak!" Si Muka Bangkai 

mengambil keputusan.

Sekali kakinya menghantam atap 

pondok jebol berantakan. Lewat atap yang 

jebol kakek ini melesat masuk ke dalam 

pondok. Memandang berkeliling pondok dia 

dapatkan bangunan itu dalam keadaan 

kosong. Lampu minyak yang menempel di 

dinding tidak menyala.

"Kurang ajar! Aku kena ditipu. 

Nenek jahanam itu pasti sudah kabur


menjelang pagi tadi. Pengecut!"

Si Muka Bangkai ingat sesuatu. Dia 

mendongak dan menghirup udara dalam-

dalam.

"Aku tak mencium bau pesing. Nenek 

jahanam itu jelas-jelas memang sudah 

kabur!" Kakek muka pucat itu mendumal 

seorang diri.

Saking marahnya Si Muka Bangkai 

hancurkan perabotan yang ada di dalam 

pondok. Yakni sebuah balai-balai kayu, 

satu meja dan satu kursi reyot. Ketika 

dia melihat gentong besar yang terletak 

di sudut ruangan, sesaat dia menaruh 

curiga.

"Jangan-jangan bangsat itu sembunyi 

di dalam gentong! Tolol! Kau kira bisa 

memperdayai diriku!" Si Muka Bangkai 

umbar tawa bergelak. Bersamaan dengan itu 

dia hantamkan dua tangannya. Sepuluh 

larik sinar merah melesat ke arah gentong 

besar terbuat dari tanah.

"Braaakkk!"

"Byaaarr!"

Gentong tanah hancur berantakan. 

Tapi Sinto Gendeng ternyata tidak 

sembunyi di dalam gentong. Gentong itu 

kosong! Si Muka Bangkai terbungkuk-

bungkuk memaki panjang pendek. Pintu 

depan dihajarnya dengan tendangan. Kakek 

ini lalu melesat keluar pondok. Matanya 

menyorot merah. Masih kurang puas dia


menyelidik seputar pondok. Di sudut luar 

pondok sebelah kiri belakang dia melihat 

sebuah gentong besar. Lebih besar dari 

yang tadi dihancurkannya di dalam pondok. 

Di atas tutupan gentong ada sebuah gayung 

terbuat dari batok kelapa. Mungkin karena 

marah, mungkin juga karena sudah lama 

tidak meneguk air. Si Muka Bangkai merasa 

haus. Dia dekati gentong besar, mengambil 

gayung dan membuka penutup gentong. Air 

gentong kelihatan jernih, penuh sampai ke 

leher gentong.

Si Muka Bangkai celupkan gayung 

batok kelapa ke dalam gentong. Sehabis 

minum sekalian dia hendak mencuci muka 

dan membasahi rambut. Tetapi apa yang 

terjadi kemudian membuat guru Pangeran 

Matahari ini menjadi kaget setengah mati. 

Dengan mata mendelik besar dia 

memperhatikan bagaimana gayung yang 

hendak diangkat dan didekatkan ke 

mulutnya kini telah buntung. Kepala 

gayung dari batok kelapa tak ada lagi di 

ujung gagang gayung! Di saat bersamaan Si 

Muka Bangkai mencium bau pesing. Bau itu 

datang menyambar dari dalam gentong 

besar.

Penuh curiga kakek bungkuk ini 

berjingkat, ulurkan kepala dekat-dekat 

agar bisa melihat ke dalam gentong lebih 

jelas. Pada saat itulah tiba-tiba satu 

tangan kurus kering berkulit hitam


melesat dari dalam gentong. Si Muka 

Bangkai tersentak kaget. Dia berusaha 

jauhkan kepalanya dari mulut gentong tapi 

terlambat. Satu jotosan keras melanda 

dagu Si Muka Bangkai.

Kakek itu menjerit keras. Tubuhnya 

mencelat sampai dua tombak. Dagunya 

serasa hancur. Kepalanya laksana tangga. 

Mukanya jadi pencong tak karuan. Selagi 

Si Muka Bangkai pegangi dagu dan kepala 

sambil meraung kesakitan, dari dalam 

gentong besar melesat keluar sosok basah 

kuyup seorang nenek-nenek mengenakan 

kebaya dan kain panjang butut. Di 

kepalanya menancap lima tusuk konde 

terbuat dari perak putih. Dari mulutnya 

mengumbar suara tawa bergelak. Berdiri di 

tanah tangan kanan berkacak pinggang, 

tangan kiri menuding ke arah Si Muka 

Bangkai.

"Kasihan! Tamu datang dari jauh 

ingin minum. Mau cuci muka. Tapi 

gayungnya amblas. Hik... hik... hik! Biar 

aku tolong. Tidak kepalang tanggung. Biar 

mandi dan cebok sekalian! Hik... hik... 

hik!"

Habis berkata begitu Sinto Gendeng 

angkat tangan kanannya. Gentong besar 

penuh air bergerak. Luar biasa sekali. 

Perlahan-lahan gentong ini naik ke atas 

setinggi kepala manusia lalu melayang ke 

arah Si Muka Bangkai. Di atas sosok si


kakek gentong bergerak membalik. Air bau 

pesing dalam gentong yang sudah bercampur 

air kencing si nenek mencurah deras, 

mengucur tumpah membasahi sekujur kepala 

dan tubuh Si Muka Bangkai.

Dalam menahan sakit dan ledakan 

amarah yang tidak tertahan Si Muka 

Bangkai hantamkan tangan kanannya ke 

atas.

"Braaakkk! Byaaar!"

"Buuurrr!"

Gentong besar pecah berantakan. 

Seluruh air tumpah membasahi Si Muka 

Bangkai. Sinto Gendeng kembali tertawa 

cekikikan.

"Sinto Gendeng keparat! Amblas 

nyawamu!"

Si Muka Bangkai berteriak. Serentak 

dengan itu dia kirimkan serangan ganas. 

Sepuluh jari tangan keluarkan kilatan 

cahaya merah, menghantam ke arah si 

nenek. Kaget Sinto Gendeng bukan 

kepalang. Dia sudah lama berseteru dengan 

kakek satu itu dan tahu betul setiap ilmu 

yang dimiliki Si Muka Bangkai. Kalau hari 

itu dia bisa menyerang dengan sepuluh 

larik sinar merah yang luar biasa hebat 

dan panasnya, sungguh dia tidak menduga. 

Guru Pendekar Wiro Sableng ini segera 

berkelebat selamatkan diri tapi tak urung 

bahunya masih sempat terserempet salah 

satu larikan sinar merah hingga si nenek


menjerit kesakitan. Bahunya yang luka 

kepulkan asap kelabu. Di belakang sana 

larikan sinar merah yang dilepaskan Si 

Muka Bangkai melabrak pondok kayu. Pondok 

itu hancur berantakan dan musnah dilalap 

kobaran api.

"Jahanam kurang ajar! Kau memang 

sengaja datang mengantar nyawa!" Sinto 

Gendeng membentak marah. "Kau hancurkan 

pondokku. Kini kuhancurkan tubuhmu!" Si 

nenek pukulkan tangan kanannya. Dia 

keluarkan jurus bernama "Kilat Menyambar 

Puncak Gunung" tapi yang sebenarnya 

dilepaskan adalah pukulan sakti bernama 

"Benteng Topan Melanda Samudera".

Tempat itu laksana dilanda topan. 

Deru angin bukan olah-olah dahsyatnya. 

Tanah, batu dan pasir berhamburan ke 

udara. Pohon-pohon bergoyang hebat, 

cabang dan rerantingan serta semak 

belukar patah beterbangan. Sosok bungkuk 

Si Muka Bangkai bergetar hebat. Dada 

terangkat, kepalanya seperti hendak 

tanggal. Dua kakinya goyah. Perlahan-

lahan mulai terangkat. Dia kerahkan 

seluruh tenaga dalam. Mata melotot ke 

depan, dua telapak tangan terpentang ke 

arah Sinto Gendeng. Mulutnya yang tadi 

kena dihajar pencong berkomat-kamit.

Sinto Gendeng keluarkan suara 

menggeram ketika melihat bagaimana 

kekuatan tenaga dalam lawan sanggup


membendung serangannya. Selangkah demi 

selangkah dia maju mendekati Si Muka 

Bangkai. Kakek bungkuk muka pucat tak 

tinggal diam. Dia segera pula bergerak ke 

depan menyongsong lawan. Tinggal tiga

langkah lagi tiba-tiba keduanya sama-sama 

membentak hebat dan hantamkan seluruh 

tenaga dalam yang mereka miliki.

Dua jeritan dahsyat menggeledek 

keluar dari mulut Sinto Gendeng dan Si 

Muka Bangkai. Bedanya kalau si nenek 

terpental sampai tiga tombak maka sang 

kakek mencelat empat tombak dan masih 

terguling lagi di tanah dengan tubuh dan 

wajah berkelukuran. Bedanya lagi kalau 

Sinto Gendeng menjerit murni keluarkan 

suara maka Si Muka Bangkai menjerit 

sambil semburkan darah segar! Jelas dalam 

hal tenaga dalam dan hawa sakti guru 

Pangeran Matahari itu masih berada di 

bawah guru Pendekar 212 Wiro Sableng.

Terbungkuk-bungkuk, sambil menyeka 

darah yang berselomotan di mulutnya Si 

Muka Bangkai bangkit berdiri. Tampangnya 

semakin pucat angker. Memandang ke depan 

dilihatnya Sinto Gendeng telah lebih dulu 

berdiri sambil berkacak pinggang, 

menyeringai komat-kamit permainkan susur 

di dalam mulutnya yang perot.

"Sinto Gendeng, jangan mengira kau 

telah mengalahkan diriku!" tiba-tiba Si 

Muka Bangkai keluarkan ucapan.


"Ketahuilah hari ini adalah hari 

kematianmu! Tapi aku Si Muka Bangkai 

berjanji akan membiarkan utuh jazadmu, 

jika kau mau menjawab satu pertanyaanku!"

Sinto Gendeng semburkan ludah 

susurnya lalu tertawa mengikik. "Ada 

orang mau membunuh pakai perjanjian 

segala! Hik... hik.... hik! Apa kau tidak 

sadar kalau nyawa dalam tubuhmu saat ini 

sebenarnya hanya tinggal setengah?! 

Hik... hik... hik!"

"Keparat jahanam!"" Si Muka Bangkai 

memaki sambil pukulkan tangan kanan. Lima 

larik sinar api merah serta-merta 

menyambar ke arah si nenek. Sinto Gendeng 

cepat melompat. Dari atas dia lepaskan 

pukulan sakti yang selama ini telah 

menggetarkan delapan penjuru rimba 

persilatan. Pukulan "Sinar Matahari."

Tangan si nenek mulai dari jari 

sampai ke siku berubah menjadi putih 

perak menyilaukan. Ketika tangan itu 

dipukulkan maka berkiblatlah cahaya panas 

mengerikan, menyambar ke arah Si Muka 

Bangkai.

Hebatnya Si Muka Bangkai seperti 

tidak perduli dengan datangnya serangan 

maut itu. Dia angkat dua tangannya ke 

atas. Jari-jari berkuku panjang menekuk 

demikian rupa, memancarkan sinar merah. 

Ketika cahaya putih panas pukulan "Sinar 

Matahari" sampai di hadapannya, Si Muka


Bangkai putar dua tangan, membuat gerakan 

seperti menangkap! Sungguh luar biasa! 

Sinto Gendeng sampai melotot besar 

menyaksikan bagaimana cahaya putih 

pukulan sakti yang dilepaskannya berhasil 

ditangkap lawan. Dan belum habis kagetnya 

tiba-tiba Si Muka Bangkai lemparkan 

cahaya putih panas itu ke arahnya, 

disertai dengan serangan sepuluh sinar 

merah!

Selagi Sinto Gendeng jungkir balik 

selamatkan diri sambil membentengi tubuh 

dengan dua pukulan sakti yakni "Tameng 

Sakti Menerpa Hujan" dan "Dinding Angin 

Berhembus Tindih Menindih" tiba-tiba Si 

Muka Bangkai melesat ke depan. Sepuluh 

jari tangan kanannya yang berkuku panjang 

menyambar ke arah dua mata si nenek.

Sepuluh Cakar Iblis!

"Crass!"

Walau Sinto Gendeng mampu bergerak 

cepat selamatkan matanya namun salah satu 

cakaran lawan masih sempat menyerempet 

pelipis kirinya hingga kulit mukanya yang 

tipis hitam tergores dalam dan kucurkan

darah!

Sinto Gendeng keluarkan suara 

menggembor dahsyat. Dia hendak menghantam 

dengan dua pukulan sekaligus, mengerahkan 

tenaga dalam penuh. Namun selintas 

pertanyaan muncul dalam benaknya. Mengapa 

lawan sengaja menyerang dua matanya?


Pasti ada maksud tertentu. Si nenek 

kemudian ingat pada ilmu kesaktian yang 

bersumber pada sepasang matanya.

"Hemmm... Tua bangka keparat ini 

menyerang dengan ilmu Sepuluh Jari Iblis. 

Setahuku dia dulu tidak memiliki ilmu 

itu. Sepuluh jari tangannya tidak berkuku 

panjang. Dia ingin mencungkil dua mataku. 

Dia hendak melumpuhkan ilmu yang 

bersumber pada kekuatan yang tersimpan 

dalam mataku!" Si nenek meludah ke tanah.

Melihat Sinto Gendeng tegak seperti 

tertegun, Si Muka Bangkai mengira lawan 

telah leleh nyalinya. Maka dia pun 

membentak.

"Sinto Gendeng! Katakan siapa nama 

pemuda yang hendak kau jadikan Pendekar 

Tahun 2000!"

Sinto Gendeng terkesiap mendengar 

pertanyaan itu. Keningnya yang hitam 

mengerenyit. Dia tahan gejolak hatinya. 

Lalu menyeringai.

"Tua bangka muka mayat! Siapa yang 

menyuruhmu menanyakan hal itu?!"

"Aku datang sendiri dan ajukan 

pertanyaan sendiri! Tak ada yang 

menyuruh!" jawab Si Muka Bangkai. "Kau 

mau menjawab atau mampus percuma?!"

"Tua bangka muka pucat! Kau 

berdusta! Sekarang biar aku memilih 

mampus percuma! Aku mau lihat bagaimana 

kau melakukannya!" jawab Sinto Gendeng


lalu tertawa cekikikan.

Asap putih kelabu mengepul dari 

batok kepala Si Muka Bangkai. Untuk dapat 

mencungkil dua mata lawan dia harus 

bertempur dalam jarak pendek. Sebelum 

berkelebat mendekati si nenek, kakek ini 

lepaskan pukulan sakti larikan sepuluh 

api merah. Ketika lawan berkelit untuk 

selamatkan diri, laksana terbang dia 

melesat ke arah Sinto Gendeng. Tapi Sinto 

Gendeng dua jengkal dari atas tanah. Dua 

mata yang mendelik besar dikedipkan.

Bersamaan dengan itu terdengar suara 

berdesir. Dua larik sinar biru menyambar 

bersilang laksana dua belah pedang, 

membabat dan menusuk ke arah Si Muka 

Bangkai. Kakek ini berseru kaget. Dia 

belum sempat mendekati lawan tapi Sinto 

Gendeng sudah mendahului dengan serangan 

yang paling ditakutinya.

Untuk selamatkan diri dengan 

mengelak sudah tidak mungkin. Si Muka 

Bangkai berjibaku membentengi tubuh 

dengan pukulan sepuluh larik sinar api.

"Wusss! Wussss!"

"Bummmm!"

Ledakan keras menenggelamkan 

jeritan yang keluar dari mulut Si Muka 

Bangkai. Dia berhasil selamatkan diri 

dari dua larik sinar biru yang mematikan, 

namun untuk itu dia terpaksa merelakan 

tangan kirinya. Tangan itu hancur putus


sebatas siku. Si Muka Bangkai sendiri 

terpental ke udara. Sinto Gendeng ikuti 

sosok lawan dengan gerakan dua matanya. 

Mata dikedipkan. Dua larik sinar biru 

kembali menggebu. Kali ini Si Muka 

Bangkai tidak punya kesempatan untuk 

mengelak atau menangkis. Sesaat lagi 

tubuhnya akan hancur ditembus dua larik 

sinar maut itu tiba-tiba satu bayangan 

biru disertai rambut merah riap-riapan 

berkelebat di udara. Dengan cepat 

bayangan ini menarik tubuh Si Muka 

Bangkai lalu memanggulnya. Sebelum 

berkelebat lenyap si jubah biru berambut 

merah hantamkan tangan kanannya ke arah 

Sinto Gendeng. Segulung kobaran api 

melabrak dahsyat. Sinto Gendeng cepat 

bentengi tubuh dengan pukulan "Benteng 

Topan Melanda Samudera" lalu dari matanya 

dia semburkan dua larik sinar biru.

Untuk kedua kalinya puncak Gunung 

Gede dilanda dentuman dahsyat akibat 

bentrokan dua ilmu kesaktian hebat. Sinto 

Gendeng tegak tergontai-gontai, wajah 

berkerut kelam. Memandang ke depan Si 

Muka Bangkai dan orang yang menolongnya 

telah lenyap.

Sinto Gendeng menggeram. Walau cuma 

sekilas namun dia sudah bisa menduga 

siapa adanya orang yang menolong dan 

melarikan Si Muka Bangkai.

"Kunti Api.... Dedengkot golongan


hitam itu masih gentayangan rupanya. 

Pasti dia yang menyuruh Si Muka Bangkai 

untuk mencelakai diriku...." Si nenek 

geleng-gelengkan kepala. "Orang-orang 

dari dunia hitam agaknya telah bergerak. 

Anak setan itu. Aku harus segera 

menemuinya. Orang-orang golongan hitam 

sudah tahu rencana besarku. Anak itu 

dalam bahaya. Dirinya harus segera diisi 

ilmu kepandaian...."


8.MUSIBAH DATANG LAGI


LALU LINTAS di Jalan Kramat Raya 

padat sekali. Boma berdiri di sebuah 

halte, menunggu bus. Siang itu udara agak 

mendung. Semua orang termasuk para 

pengemudi kendaraan berusaha secepat 

mungkin untuk sampai ke tujuan masing-

masing sebelum hujan turun. Akibatnya 

kemacetan mulai terjadi di beberapa 

persimpangan. Kecuali motor, kendaraan 

lain hanya mampu bergerak seperti 

merangkak.

Sebuah bajaj bergerak tersendat-

sendat, berusaha menyelinap di antara 

kepadatan lalu lintas. Di depan halte 

kendaraan ini tak bisa lagi maju. 

Pengemudi bajaj tampak kesal. Penum


pangnya, seorang perempuan separuh baya, 

bertubuh gemuk menyeka peluh yang 

membasahi wajah. Di lehernya tergantung 

seuntai kalung emas. Pada lengan kirinya 

ada gelang keroncong berjumlah tiga buah.

Tiba-tiba seorang lelaki berbadan 

tegap yang sejak tadi berada di halte di 

antara kerumunan orang yang menunggu bus, 

mengenakan blujins dekil dan kaos oblong 

hitam, melangkah cepat mendekati bajaj. 

Dari gulungan koran yang dibawanya 

mencuat sebilah belati. Ujungnya langsung 

ditempelkan ke perut perempuan di atas 

bajaj. 

"Tereak gua tikem!" gertak si tubuh 

besar. Tangan kanan siap menusukkan 

belati, tangan kiri dengan cepat 

menjambret kalung di leher.

"Gelang, buka! Cepat!"

Ketakutan setengah mati perempuan 

di atas bajaj lakukan perintah penodong. 

Tapi karena gugup gelang tak mau keluar 

dari pergelangan tangannya. Dengan kasar, 

penodong pergunakan tangan kiri 

menanggalkan gelang. Dua gelang lolos, 

tinggal satu.

Semua itu terjadi di depan mata 

Boma. Tengkuknya merinding. Ada rasa 

takut, ada rasa kasihan. Tapi juga ada

rasa geram. Di halte banyak orang laki-

laki yang ikut menyaksikan peristiwa 

penodongan itu. Namun tidak seorangpun


berani atau tergerak hatinya untuk 

menolong. Boma memaki dalam hati.

"Segini banyak orang. Nggak ada 

yang mau nolong!"

Jari-jari tangan Boma bergerak tak 

bisa diam. Dadanya berdebar keras.

Penodong berusaha membetot gelang 

ke tiga.

Saat itulah Boma berteriak lalu 

menerjang, mendorong si penodong hingga 

terjajar ke samping bajaj. Tiba-tiba dari 

samping, seorang lelaki tinggi kurus 

dengan cacat bekas luka di pipi kiri 

mencekal kerah kemeja Boma. Lalu sebuah 

benda menempel di perut anak ini. Ketika 

Boma melihat ke bawah ternyata benda itu 

adalah sebilah celurit berkilat.

"Anak ingusan jangan sok jadi jago! 

Mau mampus lu!"

Boma menggigil. Bukan menggigil 

takut, tapi menggigil nekad. Anak yang 

pernah ikut latihan karate ini menepiskan 

tangan yang memegang badik. Bersamaan 

dengan itu sikutnya bergerak ke belakang 

untuk menghantam dada orang. Tapi Boma 

salah perhitungan, kalah kecepatan. 

Tangan yang memegang badik bergerak. Boma 

merasa perutnya dingin. Lalu ada darah 

menyembur dari perutnya. Boma menjerit, 

terhuyung-huyung bersandar ke bajaj. 

Perempuan di atas bajaj menjerit lebih 

keras dari jeritan Boma lalu terguling


pingsan. Orang yang menclurit Boma 

berkelebat di antara kendaraan macet. 

Lari ke seberang jalan di mana telah 

menunggu dua temannya di atas sepeda 

motor yang mesinnya sudah dihidupkan. 

Clurit dibuang di tengah jalan. Penodong 

yang tadi didorong Boma berusaha kabur 

menyusul temannya. Namun Boma masih punya 

daya dan kesempatan menjegal kakinya 

hingga penodong ini terjerembab ke aspal. 

Dia mencoba bangun, mau lari lagi. Saat 

itulah orang banyak di halte yang tadi 

diam saja mulai bergerak. Menggebuk dan 

menendang. Sebentar saja si penodong 

terkapar kembali di aspal. Muka babak 

belur tubuh lebam.

Boma pegangi perutnya. Tangannya 

terasa panas oleh darahnya sendiri. Kaki 

goyah. Beberapa orang dilihatnya 

mendatangi hendak menolong. Dia masih 

sadar ketika tubuhnya digotong ke dalam 

sebuah taksi. Mulut Boma tidak henti 

mengucap menyebut nama Tuhan. Sewaktu 

kendaraan itu mulai bergerak Boma tak 

ingat apa-apa lagi.

***

KETIKA Boma sadar dia dapatkan 

dirinya terbaring di atas tempat tidur. 

Matanya sesaat menatap langit-langit 

kamar. Dia sadar itu bukan kamar


tidurnya. Ada rasa perih di bagian 

perutnya. Lalu di sebelahnya terdengar 

ada suara berkata perlahan.

"Teman-teman, Boma udah sadar."

Boma Tri Sumitro gerakkan kepala ke 

samping.

"Ron.... Kok kamu ada di sini?" 

Boma melihat Ronny. Lalu di situ juga ada 

Vino, Andi dan Firman.

"Tadi Gita sama Rio juga ada di 

sini. Gita pulang duluan diantar Rio. 

Ayah sama ibumu ada di luar. Aku suruh 

masuk mereka...."

"Tunggu. Memangnya aku di mana?"

"Kau di RSCM!" jawab Ronny.

"Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo?" 

tanya Boma. "Jangan becanda Ron."

"Ajie gile. Siapa yang becanda. 

"Tanya aja sama teman-teman yang ada di 

sini."

Boma memandang pada Andi, Vino, 

Firman. Ke tiga anak ini sama-sama 

anggukkan kepala.

"Kok aku bisa di sini? Kok aku bisa 

di rumah sakit lagi? Kan aku udah 

sembuh...."

Ronny pegang tangan Boma. 

"Ingatanmu belum pulih Bom. Nanti biar 

aku cerita. Sekarang aku panggilin ibu 

sama ayahmu dulu. Biar mereka senang...."

"Sekarang ini siang apa malem Ron?" 

tanya Boma.


"Udah malam," jawab Ronny Celepuk. 

Lalu anak ini keluar dari kamar. Tak lama 

kemudian masuk kembali bersama ayah dan 

ibu Boma. Bram kakak Boma juga ada, ikut 

masuk.

Nyonya Hesti memeluk dan menciumi 

Boma dengan air mata berlinang. Sumitro 

Danurejo berdiri menunduk di samping 

tempat tidur sambil memegangi tangan 

anaknya. Bram memijit-mijit kaki adiknya.

"Baru saja keluar rumah sakit, 

sekarang masuk rumah sakit lagi. Heran 

kau ini Boma. Mengapa musibah datangnya 

berturut-turut...." Ibu Boma keluarkan 

ucapan lirih.

"Boma nggak apa-apa Bu. Cuma heran 

kok bisa ada di sini?"

Ibu Boma mengusap kening dan rambut 

anaknya. "Ibu dan ayahmu juga belum tahu 

jelas ceritanya. Ada yang bilang kau 

diclurit rampok di Kramat Raya. Katanya 

kau coba menolong orang yang dirampok di 

atas bajaj

Boma terdiam. Coba mengingat-ingat. 

Namun pikiran jernih belum datang. 

Ingatannya masih samar. Anak ini hanya 

menelentang memandangi langit-langit 

kamar, sesekali menoleh pada teman-

temannya.

"Ron, aku haus...."

"Tahan dulu Bom. Menurut dokter 

tidak boleh minum sebelum keluar kentut,"


kata Ibu Boma.

"Kok begitu?" Boma heran.

"Kau habis dioperasi Bom. Perutmu 

robek satu jengkal lebih. Udah, istirahat 

aja dulu. Kami teman-teman nungguin 

kamu." Menerangkan Ronny.

"Nungguin?" Boma tersenyum. "Kayak 

dulu di Rumah Sakit PMI aja...." Ada rasa 

haru dalam nada ucapan dan suara anak 

ini.

"Nah, ingatanmu mulai pulih Bom," 

kata Andi.

Saat itu ke dalam kamar masuk dua 

orang berseragam Polisi disertai seorang 

Reserse berpakaian preman. Mereka memberi 

tahu bahwa mereka adalah aparat 

Kepolisian Wilayah Jakarta Pusat yang 

ditugaskan mengusut peristiwa perampokan 

yang terjadi di Jalan Kramat Raya siang 

tadi. Anggota Polisi itu minta izin 

kepada ke dua orang tua Boma untuk 

mendapatkan beberapa keterangan dari 

Boma. Menurut salah seorang anggota 

Polisi mereka telah mendapat izin dari 

Dokter dan dari pihak rumah sakit untuk 

menanyai Boma begitu anak tersebut sadar.

Boma menjawab semua pertanyaan 

Polisi sesuai apa yang bisa diingatnya. 

Memberi tahu bagaimana terjadinya 

peristiwa perampokan itu. Apa yang 

dilakukannya, apa yang kemudian terjadi 

atas dirinya. Kepada Polisi yang menanyai


Boma memberi tahu ciri-ciri kawan 

perampok yang berhasil melarikan diri. 

Setelah merasa cukup dan selesai mencatat 

alamat rumah serta alamat sekolah Boma, 

tiga anggota Polisi itu mengucapkan 

terima kasih lalu tinggalkan kamar tempat 

Boma dirawat 

Tak lama setelah tiga orang Polisi 

pergi, seorang jururawat masuk untuk 

memeriksa infus di tangan kanan Boma, 

mengecek suhu badan anak itu serta 

tekanan darahnya.


9.NENEK ANGKER MUNCUL LAGI


JAM 10 malam Rio yang mengantarkan 

Gita muncul kembali di rumah sakit. Saat 

itu ibu Boma sudah pulang di antar Bram 

yang besok akan ada wawancara di kantor 

tempat dia melamar kerja. Ayah Boma 

mengobrol dengan anak-anak SMA Nusantara 

III yang malam itu sengaja begadang 

menjaga Boma. Rio memberi isyarat agar 

Ronny dan Vino mendekat. Agak jauh dari 

ayah Boma ke tiga anak ini lalu bicara 

setengah berbisik.

"Kau tahu, kenapa Gita minta 

diantar pulang? Padahal benerannya sih 

dia mau nungguin Boma." Rio membuka 

pembicaraan.

"Pasti ada janji sama si Allan,


anak baru di kelas dua, yang ketemu Gita 

waktu daftar." Kata Ronny Celepuk.

Rio menggeleng. "Gita nggak ada 

janji sama siapa-siapa. Dia bilang, takut 

bakal kejadian lagi"

"Kejadian apa?" tanya Vino sambil 

memandang pada Ronny.

"Ingat peristiwa di Rumah Sakit PMI 

Bogor? Waktu Boma kedatangan nenek aneh 

yang mukanya angker?"

"Ah, lu jangan bicara yang nggak-

nggak. Bikin gua jadi nggak enak aja!" 

kata Ronny. Tengkuknya mendadak dingin.

"Siapa bicara yang nggak-nggak? 

Ingat cerita Boma soal nenek aneh itu? 

Kalau dia memang beneran mau nurunin ilmu 

sama Boma jangan-jangan dia akan 

pergunakan kesempatan saat ini untuk 

datangin teman kita itu."

"Saat di Rumah Sakit Bogor itu, 

Boma badannya panas. Sekarang nggak. Jadi 

nggak mungkin dia ngacok lagi," kata 

Vino.

"Mudah-mudahan begitu." Kata Rio. 

"Yang penting kita berjaga-jaga saja. 

Sayang kamarnya sempit. Pasiennya banyak. 

Kita nggak bisa jaga di dalam. Mungkin 

cuma ayah Boma yang dikasih ijin."

***

MALAM terasa semakin dingin. Di


luar kamar Ronny dan teman-temannya duduk 

berjelepokan di tikar. Satu-satunya orang 

yang menunggui Boma di dalam kamar adalah 

ayah anak itu. Boma kelihatan tertidur 

nyenyak. Ayahnya beberapa kali memegang 

kening Boma. Hatinya lega bila merasakan 

kening anak itu dingin dan ada sedikit 

keringat. Dalam kelegaannya Sumitro 

Danurejo duduk sandarkan punggung ke 

kursi di samping tempat tidur. Kepalanya 

disandarkan ke tembok kamar. Mata di

pejamkan.

Malam merayap menuju ambang pagi. 

Kamar tempat Boma dirawat diselimuti 

kesunyian. Di kejauhan terdengar suara 

sirine. Lalu sunyi lagi. Di atas ranjang 

Boma terbangun oleh rasa sakit yang 

mencucuk pada bagian perutnya. Lalu ada 

rasa haus, lapar serta rasa kering di 

tenggorokan. Tubuhnya keringatan. Udara 

dalam kamar itu terasa agak panas.

Boma memandang berkeliling. Teman-

temannya tidak ada. Yang ada hanya 

ayahnya, duduk tertidur di kursi, 

mengeluarkan suara mendengkur halus. 

Dalam keletihan yang amat sangat Boma 

akhirnya hanya bisa memejamkan mata 

kembali. Namun sebelum dia sempat pulas, 

tiba-tiba sudut matanya melihat pintu 

kamar terbuka. Pintu itu terbuka cukup 

lama tapi tak ada orang masuk. Tak 

mungkin pintu terbuka oleh dorongan angin


karena daun pintu itu selain besar juga 

terbuat dari jenis kayu tebal dan berat.

***

Di luar kamar. Vino yang setengah 

tertidur memandang ke arah pintu kamar 

yang putih besar. Ada rasa heran tapi 

juga ada rasa takut. Dia menyentuh rusuk 

Ronny dengan sikutnya.

"Ron... Ron. Bangun."

Ronny buka dua matanya malas-

malasan.

"Ada apa?"

"Pintu... pintu itu," Vino 

goyangkan kepalanya ke arah pintu kamar.

"Pintu, kenapa?" tanya Ronny lalu 

menguap.

"Kau liat pintu itu terbuka?"

"Aku liat. Memangnya aku buta?"

"Tadi pintu itu tertutup Ron. Lalu 

terbuka, tapi nggak kelihatan ada orang 

yang buka. Juga nggak kelihatan ada orang 

masuk atau keluar...."

"Lu mau nakut-nakutin aku Vin?"

"Aku memang udah takut dari tadi 

Ron," jawab Vino. "Coba kau intip ke 

dalam. Siapa yang barusan masuk." 

"Kau saja yang ngintip," jawab 

Ronny.

Vino menggeleng. Lalu beringsut ke 

sudut tembok. Tekapkan wajahnya ke atas


paha. Ronny melakukan hal yang sama. Dua 

anak ini saling berdempetan di sudut 

tembok, menutupi wajah dengan paha 

masing-masing. Keduanya dijalari rasa 

takut.

***

Kembali ke dalam kamar.....

"Ah, segala pintu ngapain gua 

pikiran...." membatin Boma. Dia pejamkan 

matanya tapi mendadak nyalang lebar. Satu 

sosok melangkah masuk terbungkuk-bungkuk. 

Bau pesing merasuk jalan nafas dan 

penciuman Boma.

"Nenek itu...." hati Boma berucap. 

Dia palingkan kepalanya ke samping. 

Hendak membangunkan ayahnya. Tapi sosok 

yang melangkah masuk bergerak cepat 

sekali, tahu-tahu sudah berdiri di 

samping tempat tidur. Nenek berkulit 

hitam, bertampang angker, mengenakan baju 

dan kain panjang butut. Pakaian dan 

tubuhnya menebar bau pesing. Di kepalanya 

yang nyaris sulah menancap lima buah 

tusuk konde dari perak. Di pinggangnya 

tersisip sebatang tongkat kayu butut.

"Nek... jangan ganggu saya. Saya 

lagi sakit." Boma memohon.

"Anak setan! Aku tahu kau lagi 

sakit. Kau tahu sakitmu ini karena ulah 

tololmu sendiri?!"


"Ulah tolol saya?"

"Kau tidak punya ilmu kepandaian 

apa-apa. Mengapa berlaku nekad menghadapi 

lawan yang memegang clurit? Menolong 

orang lain tanpa perhitungan! Apa itu 

bukan tolol namanya?!"

"Ba... bagaimana kau bisa tau Nek?" 

tanya Boma heran.

"Tak perlu kau tanyakan itu. Kalau 

saja dulu waktu di rumah sakit kau 

bersedia menerima ilmu yang aku berikan, 

nasibmu tidak akan seperti ini."

"Nasib saya memang jelek Nek. 

Mungkin udah takdir," jawab Boma.

"Sok tahu! Dasar tolol! Jangan 

menutupi kesalahan sendiri dengan 

mangatakan takdir!"

"Nek, saya capek. Saya mau 

tidur...."

"Kukorek matamu jika berani tidur!" 

si nenek mengancam. Kepalanya diputar 

seantero kamar. Matanya memandang 

berkeliling. "Sekarang saatnya aku 

memasukkan hawa murni, memberi kekuatan 

pada tubuhmu." Si nenek perhatikan tangan 

kanan Boma yang diberi infus. "Aneh, 

diberi minum mengapa lewat urat, bukan 

melalui mulut."

"Itu namanya infus Nek...."

"Apa? Ingus?"

"Infus...." kata Boma sambil senyum 

lalu mengerenyit dan pegangi perutnya.


Jahitan bekas operasi mendadak mendenyut 

sakit.

"Ah, tak tahulah aku apa namanya 

itu," kata si nenek muka angker. Lalu dia 

tarik tangan kiri Boma, letakkan lurus-

lurus di atas tempat tidur, telapak 

dikembangkan menghadap ke atas. Dengan 

cepat si nenek letakkan telapak tangan 

kanannya di atas telapak kiri Boma. Boma 

hendak menarik tangannya tapi entah 

mengapa tangan itu terasa sangat berat. 

Terpaksa anak ini diam saja.

"Jika kau merasakan sesuatu, jangan 

keluarkan suara apa lagi menjerit," si 

nenek memberi ingat. Lalu dia kerahkan 

tenaga dalam sambil menatap Boma lekat-

lekat, tak berkedip.

Boma merasakan ada hawa hangat 

memasuki tubuhnya, mengalir ke dada 

melalui tangan, naik ke atas kepala 

sampai ke ubun-ubun, lalu turun ke bawah, 

mendekam beberapa lama di perut sebelum 

turun sampai ke ujung kaki. Tubuh anak 

itu keringatan. Hawa panas itu tidak 

membuat dia takut. Yang membuatnya ngeri 

ialah karena tidak tahu apa sebenarnya 

yang dilakukan nenek itu.

Hawa hangat lenyap. Perlahan-lahan 

berganti hawa sejuk. Seperti hawa hangat 

tadi, hawa sejuk ini juga menjalar ke 

sekujur tubuh Boma, membuat Boma merasa 

mengantuk dan hendak pejamkan matanya.


Tapi mendadak matanya terbuka kembali 

lebar-lebar ketika melihat tangan si 

nenek memancarkan cahaya putih 

menyilaukan. Cahaya itu seperti menjalar, 

masuk ke dalam telapak tangannya.

Si nenek tarik nafas panjang. 

Wajahnya yang angker dan keringatan 

tampak lega. Dia tarik tangan kanannya.

"Anak setan, kau dengar baik-baik. 

Mulai saat ini kau jangan pergunakan 

tangan kirimu secara sembarangan. Jika 

kau berada dalam bahaya, jika kau 

terpaksa mempergunakan tangan itu untuk 

membela diri, sebut nama Tuhanmu, ucapkan 

Basmallah sebelum kau mempergunakannya. 

Selain itu, mulai sekarang kau jangan 

sombong, apa lagi takabur. Kau musti 

banyak sabar."

Boma perhatikan tangan kirinya. 

Tangan itu tidak ada apa-apanya, tidak 

berbeda dengan tangannya sebelum 

dipegangi si nenek.

"Anak setan! Kau mau cepat sembuh?"

Boma diam saja. Lalu menjawab 

dengan anggukkan kepala.

Si nenek tarik selimut putih yang 

menutupi tubuh Boma. Lalu cepat sekali ia 

menyingkapkan pakaian yang dikenakan anak 

itu.

Boma jadi ketakutan. Entah benar 

entah tidak tapi waktu kecil dia pernah 

mendengar cerita tentang hantu aneh yang


suka gentayangan mengambil "burung" anak-

anak kecil

"Nek, kau mau berbuat apa...?" 

tanya Boma gemetar.

Si nenek menyeringai. "Masih kecil 

sudah punya otak kotor. Apa kau kira aku 

mau melihat anumu yang jelek itu? Hik... 

hik... hik!"

"Nek, saya...."

"Diam! Kalau mau sembuh jangan 

banyak omong!" jawab si nenek. Lalu enak 

saja perban tebal yang menutupi perut 

Boma ditariknya hingga anak ini hampir 

berteriak kesakitan. Si nenek cepat tekap 

mulut Boma dengan tangan kirinya.

"Sakit sedikit saja mau teriak 

setinggi langit! Cengeng!"

Dengan tangan kiri masih menekap 

mulut Boma, si nenek pergunakan tangan 

kanan untuk mengusap jahitan bekas luka 

operasi di perut Boma. Tiga kali mengusap 

si nenek tempelkan kembali perban tebal 

ke perut Boma lalu tutupkan selimut ke 

tubuh anak itu.

"Kau sudah sembuh! Besok kau boleh 

meninggalkan rumah sakit ini."

Boma diam saja. Mana dia bisa 

percaya ucapan si nenek.

"Kau pasti tidak percaya. Hik... 

hik... hik. Lihat saja besok. Anak setan, 

sekarang aku pergi. Nanti aku datang 

lagi. Masih banyak ilmu yang akan aku


berikan padamu. Satu hal harus kau ingat 

baik-baik. Jangan kejadian ini kau 

ceritakan pada siapapun. Termasuk teman-

temanmu. Pacar-pacarmu..."

"Saya nggak punya pacar Nek."

Si nenek tertawa lebar. "Begitu?" 

katanya. "Hik... hik. Anak setan macammu 

ini, dari jidatmu saja aku sudah tahu kau 

bakal jadi calon buaya perempuan, bakal 

digandrungi cewek-cewek. Hik... hik... 

hik!" Si nenek cabut tongkat yang 

tersisip di pinggangnya. Ujung tongkat 

diletakkan di atas kening Boma. "Mulai 

hari ini kau harus lebih banyak 

mendekatkan diri pada Tuhan. Hanya karena 

pertolongan dan kuasaNya Gusti Allah 

sampai saat ini dan di masa mendatang kau 

bisa selamat. Jangan jadi manusia 

sombong. Tolong sesamamu sesuai 

kemampuan-mu. Jangan pernah khianat 

terhadap siapapun, terutama terhadap 

kedua orang tuamu! Ingat lagi satu hal. 

Kebenaran bukan segala-galanya. Karena di 

atas kebenaran masih ada apa yang disebut 

kebijaksanaan. Satu ketika kau akan 

melihat bagaimana kebenaran bisa 

disalahkan. Tapi ingat, kebenaran tidak 

pernah bisa dikalahkan."

Nenek muka angker sisipkan 

tongkatnya kembali ke pinggang lalu 

memutar tubuh.

"Nek, tunggu. Kau ini siapa


sebenarnya?"

Si nenek menoleh sebentar, 

berkomat-kamit tapi tidak menjawab per-

tanyaan Boma, melainkan tempelkan jari-

jari tangan kanannya di atas bibir lalu 

dilambaikan ke arah Boma. Terbungkuk-

bungkuk dia berjalan keluar dari kamar.

Boma menowel hidung berulang kali.

"Mahluk aneh. Pakai kasih sun jauh 

segala," kata Boma dalam hati. "Aku ini, 

mimpi atau gimana?" Boma memandang 

seputar kamar.

"Boma, kau tidak tidur?"

Tiba-tiba ada suara menegur di 

samping tempat tidur. Suara ayahnya. Boma 

diam saja.

Lalu pejamkan mata

"Tadi Ayah dengar kau seperti 

bicara. Bicara dengan siapa?"

"Nggak ada yang bicara Yah. Mungkin 

Ayah salah dengar," jawab Boma dengan 

mata tetap dipicingkan.

Sumitro Danurejo menghirup udara 

dalam kamar dalam-dalam. "Bau pesing...." 

katanya perlahan.

"Tadi ada pispot pasien yang 

terbalik," kata Boma.

"Hemmm...." Sang Ayah bergumam lalu 

pejamkan pula matanya. Anak dan Ayah 

sama-sama pulas.



10.PEMBALASAN GANG PENODONG


BOMA dan Ronny berboncengan sepeda 

motor Honda Tiger merah meninggalkan 

halaman Universitas. Seperti biasanya 

sebelum terus pulang mereka mampir dulu 

di Pondok Siomay 99 di pinggir jalan 

selewat tikungan, tak jauh dari kampus.

Baru saja Ronny memarkir motor dan 

Boma menyisir-nyisir rambut dengan jari-

jari tangan, tiba-tiba dari dalam warung 

keluar enam orang lelaki, rata-rata 

bertampang sangar. Salah seorang 

diantaranya tinggi kurus dengan cacat 

bekas luka di pipi kiri. Boma mengingat-

ingat. Rasa-rasanya dia pernah melihat 

orang ini sebelumnya.

Si muka cacat langsung menghadang 

Boma. Kawannya, yang berbadan tegap tegak 

di sebelahnya. Yang empat lagi mengambil 

posisi mengurung.

"Bener bos. Ini bangsat yang dulu 

ngerjain kita!" si muka cacat keluarkan 

ucapan. Lelaki tegap di sebelahnya 

keluarkan suara mendengus lalu mencekal 

leher kaos oblong yang dikenakan Boma 

dengan tangan kiri dan membentak.

"Jagoan tengik! Lu ingat kejadian 

dua taon lalu! Di Kramat Raya!"

Boma tak menjawab tapi berpikir.


Dia ingat Orang ini adalah orang yang 

menodong penumpang bajaj, merampas kalung 

dan gelang. Lalu si muka cacat itu orang 

yang menclurit perutnya.

"Hei, apa-apaan nih!" Ronny Celepuk 

mendatangi, memegang tangan orang yang 

mencekal Boma. "Lepasin!"

Lelaki yang mencekal Boma marah 

besar. Bukan saja dia tidak melepaskan 

cekalannya tapi tangan kanannya langsung 

dijotoskan ke muka Ronny. Ronny mengelak, 

mendorong orang itu lalu menyarangkan 

satu pukulan ke perutnya. Orang yang 

dipukul rupanya punya daya tahan boleh 

juga. Walau mengerenyit tanda sakit namun 

dia masih mampu terus mencekal baju kaos 

Boma. Malah berteriak pada teman-

temannya.

"Habisin bangsat satu ini!"

Tiga orang bertampang garang 

bertubuh kekar segera menyerang Ronny. 

Perkelahian tiga lawan satu yang tak 

seimbang segera terjadi. Sementara itu 

dua orang lagi memegangi Boma dari 

belakang. Yang di sebelah depan lepaskan 

cekalannya lalu mulai menghujani muka, 

dada dan perut Boma dengan jotosan-

jotosan keras. Darah mengucur dari hidung

dan mulut anak itu. Tapi luar biasanya 

sama sekali tidak terdengar keluh 

kesakitan dari mulut Boma.

Boma berusaha melepaskan diri dari


pegangan dua orang. Tak berhasil. Dari 

depan jotosan masih terus mendera. Anak 

ini pergunakan kakinya untuk menendang. 

Tendangannya tepat mengenai tulang kering 

hingga orang yang ditendang menjerit 

kesakitan. Boma pergunakan kesempatan, 

ayunkan badannya demikian rupa hingga 

orang di sebelah kiri tersungkur ke 

tanah. Bersamaan dengan itu Boma berbalik 

ke kanan. Maksudnya hendak memukul 

pencekal yang satu lagi. Tapi dari 

belakang ada yang memukul tengkuknya.

Boma merasa lehernya seolah patah. 

Dalam keadaan terhuyung-huyung dia 

melihat Ronny terkapar di tanah, 

bersimbah darah. Mendidih amarah Boma. 

Kini enam orang mengelilinginya. Salah 

seorang diantaranya memegang sebilah 

belati.

Ada yang berkata. "Habisin cepet 

Jon!"

Tikaman belati pertama ke arah 

perut berhasil dielakkan Boma. Dari 

samping dan dari belakang menghantam dua 

pukulan hampir berbarengan. Boma kembali 

terhuyung. Saat itulah belati kembali 

datang berkelebat, menusuk ke arah 

lehernya. Boma tak mampu menangkis, tak 

sanggup mengelak.

Sesaat lagi senjata maut itu akan 

menancap di tenggorokan Boma tiba-tiba 

satu bayangan putih berkelebat. Satu


tendangan menggeledek di udara.

"Bukkk!"

Jeritan keras menyentakkan telinga 

disusul mencelatnya orang yang barusan 

hendak menghabisi Boma dengan tikaman 

belati. Orang ini bergelindingan di 

tanah. Pisaunya mental entah ke mana. 

Sambil pegangi dada yang kena tendangan 

dia coba bangun tapi roboh lagi. Dari 

mulutnya keluar suara mengerang lalu 

menyusul kucuran darah!

Boma sendiri saat itu yang berada 

dalam keadaan babak belur, jatuh 

berlutut, hampir roboh kalau tidak 

bersitekan ke tanah dengan salah satu 

tangannya. Darah mengucur dari hidung, 

bibir yang pecah dan pelipis. Memandang 

ke depan Boma melihat berdiri seorang 

pemuda berpenampilan aneh. Rambut 

gondrong sebahu. Kening diikat kain 

putih. Mengenakan baju dan celana putih. 

Di pinggangnya melilit sebuah ikat 

pinggang besar. Kaki memakai kasut dari 

kulit. Pemuda ini melirik sebentar pada 

Boma lalu sambil tertawa cengengesan 

memutar tubuh, menghadapi lima orang yang 

saat itu secara serentak telah 

menyerbunya. Dua orang di antara mereka 

memegang clurit besar.

"Kambing-kambing buduk! Bau belum 

mandi! Ayo maju! Serang... serang!"

Dua clurit berkiblat di udara. Satu


tendangan mencari sasaran di selangkangan 

si gondrong. Dua jotosan menyambar ke 

muka dan ke dada.

Pemuda berambut gondrong keluarkan 

suara bersiul. Tubuhnya melesat ke udara 

lalu berputar seratus delapan puluh 

derajat. 

"Kraakk... kraakkk!"

Dua tangan yang memegang clurit 

patah.

"Bukkk... buukkk... buukkk!"

Tiga penyerang bertangan kosong 

terpental, menjerit bergelimpangan di 

tanah. Dua muntah darah, satu pegangi 

mata kirinya yang pecah mengucurkan 

darah.

Sementara Boma terkesiap ternganga 

menyaksikan apa yang terjadi, si gondrong 

melangkah mendekati lelaki yang tadi 

hendak menusuk leher Boma dengan belati. 

Dia cekal leher orang.

"Ampun... ampun!" belum apa-apa 

orang itu sudah berteriak ketakutan.

Si gondrong menyeringai. "Dengar, 

kalau kau berani lagi mengganggu anak 

itu, kulipat kepalamu ke pantat, pantat 

ke kepala!"

"Ampun.... ampun!"

Si gondrong tertawa lebar. Sekali 

tangannya bergerak sosok orang yang 

dicekal melayang ke udara, jatuh di atas 

atap warung Siomay 99.


Selagi semua orang termasuk Boma 

melengak kaget melihat kejadian itu. 

Seperti tidak ada apa-apa si gondrong 

melangkah mendekati Boma. Sadar kalau 

dirinya sudah diselamatkan orang Boma 

berusaha berdiri. Terbungkuk-bungkuk dia 

berkata.

"Bang, terima kasih Abang sudah 

nolong saya...,"

Si gondrong seperti terkesima, 

menggaruk kepala lalu tertawa bergelak.

"Belasan tahun hidup, malang 

melintang di delapan penjuru angin, baru 

hari ini aku dipanggil Abang! Ha... ha... 

ha! Abang! Memangnya aku orang Betawi! 

Ha... ha... ha! Tapi dak apa. Aku senang 

juga dipanggil Abang! Ha... ha... ha!"

"Bang, Abang ini siapa?" tanya Boma 

lalu mengusap darah di sudut mulutnya.

Si gondrong menggaruk kepala. 

Kelihatan seperti berpikir sebelum 

menjawab.

"Aku Abang seperguruanmu." Si 

gondrong akhirnya menjawab.

"Abang seperguruan?" Boma heran. 

Menowel hidung.

"Aku menggaruk kepala. Kau menowel 

hidung! Lucu!"

"Abang seperguruan bagaimana? Abang 

'kan nggak satu sekolah sama saya...."

Si gondrong mengangguk. "Kau benar, 

aku mana kenal sekolahan. Boma, waktuku


tidak lama...." Dari balik pakaiannya si 

gondrong keluarkan dua buah benda bulat 

sebesar ujung jari berwarna hitam. "Ini 

obat mujarab. Kau telan satu, satu lagi 

untuk kawanmu yang pingsan itu. Aku pergi 

sekarang. Orang-orang mulai berkerubung. 

Mereka menuju ke sini."

Si gondrong genggamkan dua butir 

obat ke dalam tangan kanan Boma.

"Bang, nama Abang siapa?" tanya 

Boma.

Si gondrong tidak menjawab. "Bang, 

kalau nyari Abang di mana?" tanya Boma 

lagi.

Yang ditanya tak menjawab, hanya 

tersenyum. Lalu sekali berkelebat dia 

sudah berada di ujung jalan untuk 

kemudian lenyap dari pemandangan.

***

PAGI itu para jururawat yang 

bertugas di kamar pasien bedah RSCM 

tampak berlarian ke kamar di mana Boma 

dirawat. Sebelumnya ada teriakan-

teriakan. Anak lelaki yang dirawat di 

kamar itu mendadak mengamuk. Memukul dan 

menendang. Ayahnya yang menjaga berusaha 

menenangkan anaknya tapi terkena gebukan, 

jatuh tersandar di kaki tempat tidur, 

ditolong oleh seorang perawat. Tiang besi 

tempat menggantungkan infus tergeletak


bengkok di lantai. Empat orang perawat 

segera mengikat kaki dan tangan Boma ke 

besi tempat tidur. Infus yang tercabut 

dipasangkan kembali.

Boma tak mengerti mengapa dia 

diperlakukan seperti itu.

"Zuster, kok saya diikat?" Boma 

bertanya.

"Tenang saja Dik. Nanti kalau 

dokter datang, ikatan Adik dibuka lagi," 

jawab jururawat lalu keluar bersama 

seorang temannya. Dua jururawat lelaki 

tetap di kamar itu berjaga-jaga.

Boma memandang pada Ronny Celepuk 

dan teman-temannya.

"Ron, Vino, tolong. Bukain ikatan 

gua...."

Ronny dan Vino diam saja. Tak tahu 

mau menjawab atau berbuat apa.

"Ron, kenapa aku diikat?" Boma 

bertanya lagi.

"Tadi kau katanya ngamuk...." Ronny 

menjawab setengah berbisik.

"Ngamuk? Ajie busyet! Yang bener 

aja Ron."

"Bokap lu sendiri kau gebuk. Liat 

'tuh, dia masih kesakitan...."

Boma melirik. Ayahnya dilihatnya 

duduk di sudut kamar, miring ke tembok 

sambil pegangi dada.

"Masa' sih aku ngamuk. Aku... aku 

cuma mimpi kok Ron."


"Udah Bom, tenang aja dulu. Liat,

bokap lu datang ke sini."

Sumitro Danurejo melangkah 

perlahan. Dia berdiri di samping tempat 

tidur anaknya. Memegang kening dan tangan 

Boma.

"Heran, kepalanya dingin. Badannya 

tidak panas. Mengapa dia tadi mengamuk 

tak karuan?" Lelaki itu membatin. 

"Jangan-jangan anak ini kemasukan orang 

halus...." Ayah Boma ingat waktu anaknya 

sakit di Rumah Sakit PMI Bogor. Juga dia 

ingat pada Haji Sobirin yang pernah 

menolong Boma. Apakah dia perlu lagi 

menemui orang pintar itu? Kalau penyakit 

Boma memang aneh agaknya tak ada jalan 

lain.

Saat itu jururawat yang tadi 

keluar, masuk kembali ke dalam kamar 

mengiringi seorang lelaki gemuk pendek, 

berkaca mata. Dia Dokter Simanjuntak, 

dokter spesialis bedah yang menolong 

Boma.

Sambil tertawa lebar dan menepuk-

nepuk tangan Boma Dokter Simanjuntak 

berkata. "Ah, ini dia jagoan kita. Tadi 

saya dengar katanya latihan karate apa 

latihan kungfu?"

Boma tertawa.

Dokter Simanjuntak perhatikan besi 

tiang tempat menggantungkan infus. 

"Hebat, besi saja bisa bengkok. Boma,


kamu ada keluhan apa?"

"Nggak ada keluhan apa-apa Dokter."

"Perutnya sakit?"

"Nggak Dokter."

"Bagus, coba saya periksa dulu 

jahitannya. Sekalian ganti perban dan 

plester."

Dokter ahli bedah itu menyingkapkan 

selimut Boma. Seorang jururawat membuka 

bajunya. Sang Dokter kemudian perlahan-

lahan membuka perban di perut Boma.

"Sakit?" tanya Dokter Simanjuntak.

Boma menggeleng.

Ketika perban terbuka dan Dokter 

Simanjuntak memperhatikan perut Boma 

terkejutlah Sang Dokter. Perut itu licin, 

tak ada bekas jahitan, tak ada bekas 

sambungan luka.

"Aneh, aku ini bukan malaikat! 

Tidak mungkin aku mampu menjahit luka 

tanpa bekas sama sekali. Luka belum satu 

hari. Tak ada bekas. Baru sekali ini 

terjadi seperti ini. Anak ini, siapa dia 

sebenarnya?"

Perlahan-lahan Dokter Simajuntak 

mengangkat kepala, memandang pada Boma 

lalu pada jururawat yang berdiri di 

sekeliling tempat tidur. Dokter bedah itu 

ulurkan tangannya. Menekan perut Boma.

"Sakit?"

Boma menggeleng.

Sang Dokter berpaling pada ayah


Boma. Dia seperti hendak mengatakan 

sesuatu tapi tak jadi. Salah seorang 

jururawat bertanya.

"Perbannya dipasang lagi Dok?"

"Tidak perlu...."

"Dokter, bagaimana anak saya?" Ayah 

Boma bertanya.

"Hemm.... Lukanya cepat sembuh. 

Saya merasa gembira...."

"Berarti Boma bisa pulang siang 

ini?"

"Tunggu, saya mau konsultasi dulu 

dengan Dokter Ahli Penyakit Dalam. Biar 

Boma diperiksa lagi. Kalau memang tak ada 

apa-apa, saya rasa...." Dokter 

Simanjuntak tidak meneruskan ucapannya. 

Dia memegang kening Boma sebentar lalu 

tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian 

dia masuk lagi bersama Dokter Permana, 

Ahli Penyakit Dalam. Dokter Permana 

memeriksa dengan teliti tekanan darah, 

jantung serta paru-paru Boma. Semua 

normal, termasuk suhu badannya. Lalu apa 

yang membuatnya tadi mengamuk?

Dokter Permana membawa ayah Boma ke 

luar kamar. Dokter Simanjuntak mengikuti. 

Di luar Dokter Permana berkata.

"Anak Bapak dalam keadaan baik. 

Normal. Namun saya menyarankan agar 

diperiksakan pada Dokter Ahli jiwa."

Ayah Boma kaget. "Memangnya anak 

saya gila Dok?!"


"Maaf Pak Sumitro. Pemeriksaan 

pasien pada Dokter Ahli Jiwa tidak 

berarti pasiennya menderita gangguan 

jiwa. Saya rasa tidak ada salahnya...,"

"Kalau anak saya baik, normal, saya 

minta dia diperbolehkan pulang saja siang 

ini."

Dokter Permana berunding dengan 

Dokter Simanjuntak. Dokter Ahli Penyakit 

Dalam itu akhirnya berkata. "Kita lihat 

perkembangan satu dua jam mendatang. 

Kalau tidak ada apa-apa, anak Bapak boleh 

pulang. Saya akan buatkan resep obat 

penenang."

Ayah Boma mengangguk dan 

mengucapkan terima kasih lalu masuk ke 

dalam kamar. Dokter Permana memanggil 

seorang jururawat, memberi tahu agar 

ikatan pada tangan dan kaki Boma dilepas. 

Lalu dia mendekati rekannya, Dokter 

Simanjuntak.

"Ini memang satu kejadian aneh. 

Pasien yang baru dioperasi dan dijahit 

sore kemarin, pagi ini lukanya mengalami 

kesembuhan. Tidak berbekas. Benar-benar 

ajaib."

Dokter Simanjuntak mengangkat dan 

memperhatikan sepuluh jari tangannya. 

Dokter Permana kembali berkata. "Kalau 

wartawan memuat kejadian aneh ini di 

berbagai media, nama anda akan jadi 

terkenal. Pasien anda bakal membludak."


Untuk beberapa lama Dokter 

Simanjuntak tidak bisa berkata apa-apa. 

Hanya menggelengkan kepala berulang kali. 

Kembali dia memperhatikan jari-jari 

tangannya. Akhirnya Dokter ini berkata.

"Sulit saya percaya. Saya hampir 

yakin. Anak itu pasti punya ilmu. Kalau 

tidak mustahil dia bisa mengalami 

kesembuhan begitu rupa."

"Jika dia memang punya ilmu," kata 

Dokter Permana pula. "Tidak ada salahnya 

anda belajar. Ilmu kedokteran digabung 

dengan kekuatan ilmu gaib. Demi kebaikan 

pasien. Saya rasa itu tidak akan 

menyalahi Kode Etik Kedokteran."

"Ah, saya belum berpikir untuk jadi 

Terkun. Dokter Dukun," kata Dokter 

Simanjuntak pula. Dua teman sejawat itu 

lalu sama-sama tertawa.

***

SEPERTI kejadian sewaktu Boma 

pulang dari Rumah Sakit PMI Bogor dulu, 

hari itu kamar Boma di tingkat atas 

dipenuhi oleh anak-anak SMA Nusantara 

III. Selain Ronny, Vino, Firman, Andi, 

Gita dan Rio hadir juga Dwita dan Trini.

Tapi sekali ini Boma agak lain. Dia 

tidak terlalu banyak bicara dan tidak 

tanggap terhadap canda teman-temannya. 

Mungkin karena Trini ada di situ? Padahal


menurut Trini yang ayahnya Polisi, tiga 

orang kawanan penodong yang buron telah 

berhasil ditangkap dan dalam interogasi 

ketat. Anak-anak itu juga membicarakan 

berbagai cerita di media cetak yang 

memberitakan peristiwa penodongan itu di 

mana Boma disebut-sebut sebagai salah 

seorang yang berjasa hingga seorang 

penodong berhasil diringkus.

"Wah, namamu bakal berkibar lagi 

Bom," kata Andi.

"Apa lagi kalau wartawan tau 

kejadian aneh di RSCM. Mulai dari kau 

ngamuk sampai kesembuhanmu yang dokter 

sendiri terheran-heran." Menyambung Vino.

"Kalian masih saja bilang aku 

ngamuk. Aku ngimpi tau," kata Boma.

"Nah, kalau kau mimpi, kok nggak 

mau cerita mimpinya apa?" ujar Ronny 

Celepuk.

"Iyya, pakai dirahasiain segala," 

sambung Gita.

"Ala, udah deh. Nanti aja aku 

cerita. Aku capek, ngantuk. Kalian pulang 

aja. Nanti datang lagi...."

"Ngusir nih?" tanya Gita.

"Kalau kita-kita pada pergi, yang 

tinggal siapa?" tanya Vino menggoda 

sambil melirik pada Trini dan Dwita.

"Ya, sudah. Bos mau istirahat. Kita 

ngalah," ucap Rio. "Besok kita balik 

lagi."


Sambil menjalankan motornya 

mengikuti teman-temannya Ronny Celepuk 

berkata. "Heran, nggak sari-sarinya Boma 

kayak gitu. Kayaknya dia segen-segenan 

ngobrol sama kita."

"Aku liat anak itu lebih banyak 

diemnya. Jangan-jangan kesambet." 

(kesambet = kemasukan mahluk halus).

"Kalian perhatiin nggak? ketawa 

sama nyengirnya juga lain," Vino ikut 

bicara.

"Dia nggak ngaku kalau ngamuk. 

Bilangnya mimpi. Tapi mimpinya nggak mau 

diceritain."

"Inget cerita Boma ada nenek-nenek 

aneh yang mau memberinya ilmu 

kepandaian?" ujar Gita pula. "Jangan-

jangan anak itu udah dikasih ilmu. 

Sekarang nggak sanggup nerimanya alias 

keberatan ilmu. Bisa-bisa dia jadi bego-

bego kaya saudaranya Bapak gua."

"Amit-amit. Jangan deh sampai 

begitu," kata Ronny.

"Aku rasa Boma memang sudah punya 

ilmu," ujar Vino. "Buktinya, perut 

diclurit begitu nggak ada bekasnya. 

Dokter sendiri nggak habis heran. Ron, 

kau ingat nggak kejadian di rumah sakit. 

Waktu aku bilang pintu kamar terbuka..."

Ronny diam saja. Yang lain-lain 

juga tidak bersuara.

"Musti ada yang terus-terusan


ngawasin Boma," Trini akhirnya yang 

membuka mulut.

"Iyya, kamu aja Rin yang ngawasin," 

kata Vino.

"Jangan ngeledek ah!" jawab Trini 

sambil melirik ke arah Dwita.

"Kita harus beri tau orang tuanya," 

kata Gita Parwati.

Di ujung gang anak-anak itu 

berpisah setelah janji akan kumpul lagi 

di rumah Boma besok pagi jam 10. Sebelum 

berpisah Trini mendekati Ronny.

"Ron, nanti kau bilang sama Boma. 

Supaya hati-hati. Terutama kalau dia 

berada di luar rumah. Menurut Bapakku, 

bisa saja kawanan penodong yang masih ada 

di luaran ngerjain dia."

"Wah, gawat juga kalau gitu," kata 

Ronny. "Boma nggak boleh dibiarin 

sendirian."

Trini mengangguk. "Aku ikut sama 

kamu ya?"

Ronny belum menjawab, Trini sudah 

menyambar helm dan naik ke atas motor. 

Tangan kanannya dilingkarkan ke pinggang 

Ronny. Tangan kiri dilambaikan sambil 

berteriak "Daa... daah."

Gita pencongkan mulutnya, berbisik 

pada Vino yang ada di sebelahnya.

"Liat 'tuh kucing garong. 

Lagaknya...."



11.BOMA BERPRILAKU ANEH



SORE itu ayah dan ibu Boma duduk di 

ruang tengah rumah. "Pak, saya gembira 

dan bersyukur Bram sudah dapat pekerjaan. 

Tapi anak kita yang satu, Boma, membuat 

saya jadi prihatin. Tingkah lakunya 

belakangan ini banyak kelainan. Dia 

sering mengurung diri dalam kamar. Tak 

tahu apa yang dilakukan. Tidur ya pasti 

nggak. Dia berubah jadi pendiam. Makanpun 

seperti capung mencicipi air saja. 

Sedikit...."

Mendengar kata-kata istrinya itu 

Sumitro Danurejo, pensiunan Pegawai Sipil 

Departemen Penerangan meletakkan surat 

kabar yang dibacanya lalu meneguk kopi di 

atas meja.

"Anak itu, di mana dia sekarang?" 

tanya Sumitro pada istrinya.

"Masih tidur. Di atas, di kamarnya. 

Coba, sudah sore begini masih tidur."

"Memang Bu, ada sesuatu yang ingin 

saya ceritakan sama Ibu. Tentang anak 

itu. Boma." 

"Ya, Bapak mau cerita apa?" 

"Malam tadi. Saya tak bisa 

memejamkan mata. Dalam kamar rasanya 

panas sekali. Saya keluar. Duduk di kursi 

panjang di bawah tangga. Di situ agak


adem. Saya hampir pulas. Tiba-tiba saya 

mendengar ada langkah-langkah kaki 

menuruni tangga...."

***

SUMITRO Danurejo melihat Boma 

berjalan ke pintu. Gerak langkahnya 

kelihatan aneh. Terheran-heran Sumitro 

memperhatikan, ternyata Boma berjalan 

dengan mata terpejam.

"Anak ini, berjalan tidur. Aneh. 

Mau ke mana dia?" kata Sumitro dalam 

hati. Lelaki ini hendak menegur tapi tak 

jadi. Dia terus memperhatikan apa yang 

dilakukan anaknya.

Ternyata Boma melangkah ke pintu. 

Dengan mata masih terpejam dia memutar 

anak kunci, menekan handel lalu membuka 

daun pintu.

Sumitro serta-merta bangkit dari 

kursi di bawah tangga. Sekilas dilihatnya 

jam bulat di dinding ruangan menunjukkan 

pukul setengah tiga malam.

"Bom... Boma...." Sumitro 

memanggil. Tapi aneh, suaranya tak keluar 

dari tenggorokan. Dia cepat memakai 

sandal, mengencangkan ikatan kain sarung. 

Ketika dia sampai di pintu pagar rumah 

dilihatnya Boma sudah berada di ujung 

jalan. Setengah berlari Sumitro mengejar. 

Namun lagi-lagi aneh. Lelaki ini merasa


sudah berlari sekencang yang bisa 

dilakukannya, tetapi sang anak tak 

kunjung terkejar. Hanya ada satu hal yang 

dilihat Sumitro dan membuat lelaki ini 

jadi tersirap darahnya. Di depan Boma 

yang berjalan dengan mata terpejam 

kelihatan beberapa ekor kunang-kunang. 

Binatang terbang yang mengeluarkan cahaya 

ini seolah-olah membimbing Boma dalam 

melangkah.

"Kunang-kunang itu...." membatin 

Sumitro. Sesaat langkahnya tertahan. 

"Apakah sama dengan kunang-kunang di 

Gunung Gede, yang membimbing regu 

penyelamat?"

Di depan sana tiba-tiba muncul 

kabut putih. Boma berjalan terus, masuk 

ke dalam kabut, lenyap dari pemandangan. 

Sumitro ragu-ragu sesaat. Tapi kemudian 

meneruskan langkah menembus kabut. Dia 

sampai di ujung gang. Di depan sana 

anaknya tak kelihatan lagi.

Sumitro Danurejo bukan saja 

terheran-heran karena lenyapnya Boma, 

tapi juga karena saat itu mendapatkan 

dirinya entah bagaimana kejadiannya tahu-

tahu sudah berada di sisi satu pedataran. 

Di kejauhan sana ada sebuah bukit kecil, 

diterangi sinar merah kekuningan seolah 

sang surya berada di baliknya. Memandang 

ke samping kiri Sumitro melihat sebuah 

pohon tinggi besar tanpa daun. Cabang dan


ranting-ranting pohon berjulaian laksana 

tumbuh di pedataran tandus. Di salah satu 

cabang pohon tiba-tiba dia melihat seekor 

burung besar berwarna putih polos. Burung 

itu memandang ke arahnya dengan sikap 

yang menggetarkan hati. Sumitro kemudian 

ingat, burung ini adalah burung yang 

pernah dilihatnya di atas atap rumah Haji 

Sobirin, orang pintar di Bogor, sewaktu 

dimintai pertolongannya untuk mengobati 

Boma tempo hari. (Baca Episode pertama 

Boma Gendenk berjudul "Suka Suka Cinta").

Burung ini mendongakkan kepala, 

mengembangkan sayap lalu terbang dan 

lenyap dalam kegelapan.

Sumitro mengalihkan pandangannya 

kembali ke arah bukit kecil di ujung 

pedataran. Dia terpana ketika melihat 

sosok Boma tahu-tahu telah berada di 

puncak bukit, bergerak kian ke mari, 

memukul dan menendang.

"Boma... anak itu. Apa yang tengah 

dilakukannya? Dia memang pernah berlatih 

karate. Tapi gerakan-gerakannya itu bukan 

gerakan karate. Dia tengah memainkan ilmu 

silat aneh. Siapa yang mengajarnya?"

Sumitro tegak tak bergerak. Mata 

nyalang besar. Sesekali dari tangan kiri 

anaknya memancar cahaya putih berkilauan. 

Setiap pukulan dan tendangan yang 

dilancarkan Boma mengeluarkan suara 

sambaran angin keras, seolah anak itu


hanya beberapa langkah saja di 

hadapannya.

Ayah Boma tak sadar entah sudah 

berapa lama dia berada di tempat itu. Di 

timur muncul cahaya terang tanda fajar 

mulai menyingsing. Di kejauhan terdengar 

kokok ayam. Lalu bukit kecil di ujung 

pedataran perlahan-lahan sirna. Sosok 

Boma ikut lenyap.

"Astagfirullahal 'aziim," Sumitro 

mengucapkan istigfar. "Boma!" Lelaki ini 

berteriak. Seperti tadi tak ada suara 

yang keluar dari mulutnya. Sumitro 

memutar tubuhnya. Dia melangkah cepat 

kembali ke rumah. Sampai di rumah dia 

naik ke atas, langsung menuju kamar Boma. 

Ketika pintu kamar dibuka dilihatnya anak 

itu tertidur pulas sambil menggelung 

bantal guling.

"Aneh, anak ini. Kenapa dia bisa 

sampai lebih dulu? Dan tidur pulas.... Ya 

Allah, apa sebenarnya yang tengah 

terjadi?"

***

PAGI itu Ronny dan Vino datang 

hendak menjemput Boma. Mereka hendak 

latihan ben di sekolah. Dalam susunan 

acara anak-anak kelas dua yakni Boma, 

Ronny, Vino, Rio, Andi dan Firman akan 

menyumbangkan dua buah lagu sementara


Gita Parwati akan bertindak sebagai MC.

"Bomanya masih tidur 'tuh," kata 

Ibu Boma ketika ditemui Ronny dan Vino.

"Wah, udah siang begini kok Si Bos 

masih tidur sih," kata Ronny Celepuk.

"Kami boleh naik ke atas, Bu?" 

tanya Vino.

"Boleh aja. Cuma Boma pesan, 

katanya jangan diganggu."

Vino dan Ronny saling pandang 

sesaat.

"Gini aja, Bu. Kalau Boma bangun 

suruh nyusul ke sekolah," kata Ronny.

Nyonya Hesti Sumitro anggukkan 

kepala. "Anak-anak nggak mau minum dulu?"

"Terima kasih Bu," jawab 

Vino.

"Assalammu'alaikum." 

"Wa'alaikum sallam."

Di atas motor dalam perjalanan ke 

sekolah.

"Heran, si Boma kok belakangan ini 

banyak tidurnya?" berkata Vino.

"Gua liat 'tu anak banyak 

bengongnya. Kalau lagi ngumpul sama kita-

kita dia keliatan kayak ngelamun. Nggak 

banyak ngomong kayak dulu-dulu. Kalau 

ikutan tertawa, tertawanya juga kayak 

dibikin-bikin...."

"Terakhir kita datang bawa tabloid, 

Boma membaca tabloid itu kayak acuh aja. 

Padahal di situ ada berita besar mengenai


peristiwa penodongan yang buntutnya dia 

kena diclurit. Lalu juga ada wawancara 

wartawan dengan dokter Simanjuntak yang 

mengoperasi Boma. Dokter ahli bedah ini 

mengakui, ngerasa aneh kok jahitan 

operasi bisa sembuh kurang sehari, nggak 

ada bekasnya lagi. Habis baca tabloid, 

Boma kayak ngelamun. Nggak tau apa yang 

ada di otaknya."

Ronny hentikan motor di 

persimpangan lampu merah.

"Ron, lu suka meratiin Boma nggak?" 

Vino bersuara. 

"Meratiin apa?"

"Kalau lagi diem, si Boma suka 

ngurut-ngurut tangan kirinya pakai tangan 

kanan."

"Iyya. Memang gua liat begitu. 

Kayaknya ada sesuatu di tangan kirinya 

itu."

"Jangan-jangan apa yang dibilangin 

Gita bener Ron. Teman kita itu sudah 

punya ilmu. Saking keberatan ilmu jadi 

kayak orang gendenk."

"Latihan kita bisa jadi berantakan. 

Yang nyanyi 'kan dia." Ronny membelokkan 

motor Honda Tiger merah itu memasuki 

halaman sekolah.

Gita Parwati, Rio, Andi dan Firman 

segera mendatangi Ronny dan Vino.

"Mana Boma?" tanya Gita.

"Masih tidur!" jawab Ronny sambil


menanggalkan helm.

"Tidur? Gini ari masih tidur? Ajie 

gile!" kata Firman.

"Kenapa nggak lu bangunin Ron?" 

tanya Andi.

"Nggak boleh sama Ibunya. Katanya 

Boma pesan begitu."

"Wah, apa gua bilang. Tu anak pasti 

kumat lagi gendenknya." kata Gita. 

"Gimana latihannya?"

"Ya udah, kita-kita aja," jawab 

Rio. "Nanti seabis anak kelas tiga 

latihan, giliran kita."

Enam anak itu berjalan menuju 

bagian belakang panggung di mana anak-

anak kelas tiga SMU Nusantara III sedang 

asyik berlatih band.

Tiba-tiba Gita memegang tangan 

Ronny.

"Ronny, Vino. Sialan kalian!"

"Eh, kamu kesambet setan apa Git? 

Kok nggak hujan nggak angin maki kayak 

gitu?"

Gita menunjuk ke sudut sekolah, ke 

arah warung bakso Mang Asep. "Lu ngibul 

aja! Tuh kalian liat siapa yang lagi 

duduk di depan warung Mang Asep."

Semua anak palingkan kepala ke arah 

yang ditunjuk Gita Parwati. Mereka semua 

jadi heran. Di depan warung Mang Asep ada 

sebuah bangku kayu panjang. Di bangku itu 

kelihatan Boma duduk enak-enakan. Ketika


kawan-kawannya memandang ke arahnya Boma 

senyum dan lambaikan tangan.

Ronny, dan Vino, diikuti yang lain-

lainnya segera mendatangi Boma.

"Bom, kok kamu udah duluan sampe di 

sini?" tanya Ronny.

"Kamu naik apa Bom?" tanya Vino.

"BMW," jawab Boma sambil menowel 

hidungnya.

"BMW?!" ujar Gita dan Ronny 

berbarengan.

"Iyya BMW. Bajaj Merah Warnanya," 

jawab Boma lalu tertawa.

"Sialan!" gerutu Andi.

"Dasar gendenk!" kata Gita.

"Eh Git, jangan suka maki. Nanti 

kempes lu!" kata Boma sambil menusukkan 

jari telunjuk tangan kanannya ke perut 

gendut Gita Parwati.


12.ABG DILEMPAR TELUR BUSUK



ACARA perpisahan anak-anak kelas 

tiga SMU Nusantara III Sabtu malam itu 

ramai sekali. Panggung besar dibangun di 

lapangan olahraga. Jejeran kursi mulai 

dari depan panggung sampai ke aula. Para 

orang tua dan guru duduk di barisan kursi 

terdepan. Di sebelah belakang bercampur

anak-anak dari semua kelas. Dwita Tiffani 

duduk tenang bersama anak-anak perempuan 

teman sekelas. Terpisah satu baris di 

belakangnya duduk Trini Damayanti, 

becanda brisik dengan teman-temannya.

Boma malu-malu kelihatan duduk 

santai, berbaur dengan teman-teman. 

Senyum dan tawa lebar sesekali merebak di 

wajahnya. Namun seperti kebiasaan anehnya 

belakangan ini, Boma tak banyak bicara, 

terkadang tampak seperti melamun. Sambil 

duduk jari-jari tangan kanannya mengusap 

tangan kiri. Lalu sekali-sekali menowel 

hidungnya.

Sarah, cewek kelas dua yang nempel 

terus bersama Ronny Celepuk, berbisik.

"Ron, aku peratiin Boma dari tadi. 

Kayaknya apa yang teman-teman omongin 

memang benar."

"Memangnya orang-orang ngomongin 

apa?" tanya Ronny.

"Kata taman-teman Boma udah jadi 

gendenk gara-gara punya ilmu hitam."

"Ah gila! Siapa yang bilang gitu 

sama kamu?"

"Pokoknya banyak," jawab Sarah. 

"Liat aja, 'tu anak jadi banyak 

bengongnya. Nggak ceria kayak dulu."

"Namanya juga orang baru sakit," 

kata Ronny membela temannya.

Yang jadi MC atau pembawa acara 

dalam pesta perpisahan itu adalah Gita


Parwati. Penampilannya yang gendut, 

gayanya yang kocak serta kata-katanya 

yang diselingi humor membuat suasana 

menjadi hangat.

Saat ketika anak-anak kelas tiga 

mengisi acara dengan permainan ben, di 

belakang panggung seorang anak laki-laki 

bertubuh tegap, rambut gondrong diikat di 

sebelah belakang mendekati Gita Parwati 

yang berdiri sambil memegang wireless 

microphone. Menurut susunan acara selesai 

permainan ben anak-anak kelas tiga, Boma 

dan kawan-kawannya akan tampil ke 

panggung menyumbangkan dua buah lagu.

"Git, kamu istirahat aja dulu. Biar 

aku yang gantiin jadi MC," kata anak 

lelaki itu yang mendekati Gita. Namanya 

Anton, anak kelas I-A yang naik ke kelas 

dua. Anton sudah lama naksir Trini 

Damayanti dan bukan rahasia lagi Anton 

tidak suka pada Boma yang dianggapnya 

sebagai saingan.

Gita belum sempat menjawab, Anton 

sudah mengambil microphone dari tangan 

anak perempuan itu secara kasar.

"Ton, kamu apa-apaan sih?!" kata 

Gita, coba mengambil microphone kembali, 

tapi tak berhasil.

"Udah, duduk aja. Nanti juga 

kembaliin. Segala mikropon!" kata Anton.

Seorang anak lelaki berambut 

coklat, muka penuh jerawat mendatangi.


"Kok kasar amat sih sama cewek?!" 

anak ini menegur. Namanya Allan. Anak 

baru di kelas dua.

Anton langsung berpaling. Dia 

letakkan microphone di depan hidung Allan 

dan berucap. "Jerawat batu, lu anak baru 

jangan ikut campur!"

Allan hendak merampas microphone 

dari tangan Anton tapi Gita Parwati cepat 

memegang tangan anak itu; "Udah Lan, 

biarin aja anak konyol itu begitu. Apa 

sih maunya. Kalau mau jadi MC kenapa 

nggak minta terus terang waktu rapat 

panitia...."

Lagu yang dimainkan anak kelas tiga 

berakhir. Bersamaan dengan itu Anton 

muncul di panggung, langsung bicara.

"Para hadirin yang terhormat. Kini 

tiba giliran teman-teman dari kelas dua-

sembilan menyumbangkan dua buah lagu. 

Kepada teman-teman kelas dua-sembilan 

dipersilahkan naik ke panggung."

Tepuk tangan menggemuruh. "Lho kok 

MC-nya ganti?" seorang anak berucap.

Ronny paling dulu berdiri. Memberi 

isyarat pada teman-temannya. Boma, Vino, 

Rio, Andi dan Firman segera berdiri pula.

Begitu Boma dan teman-temannya 

berada di panggung, Anton kembali bicara.

"Para hadirin, inilah teman-teman 

kita dari kelas dua-sembilan. Mohon tepuk 

tangan untuk mereka."


Tepuk tangan kembali menggemuruh.

"Para hadirin, sebelumnya kami 

perkenalkan dulu teman-teman kita ini. 

Pada melody Ronny Kaunang, lebih dikenal 

dengan panggilan Ronny Celepuk karena 

hidungnya yang bengkok dan alisnya yang 

item tebal kayak burung hantu!"

Orang banyak tertawa, ada yang 

bertepuk, juga ada yang bersuit.

"Pada keyboard teman kita yang 

bernama Firman," Anton melanjutkan. "Pada 

bas gitar Andi, lalu pada drum Vino. Pada 

gitar pengiring Rio. Terakhir, yang sudah 

siap di depan mikropon, rambut ABCD Abri 

Bukan Cepak Doang, adalah teman kita 

seorang ABG, namanya Boma!"

Tepuk tangan terutama anak-anak 

kelas II-9 riuh menggema.

"Para hadirin sekalian, perlu 

diberitahukan bahwa singkatan ABG buat 

Boma bukan berarti Anak Baru Gede. Tapi 

Anak Baru Gendenk! Gendenk karena 

keberatan ilmu!"

Ada yang tertawa mendengar kata-

kata Anton itu, ada yang bertepuk. Tapi 

banyak yang terdiam heran, memandang ke 

panggung. Di atas panggung Boma tenang 

saja, malah mengulum senyum lalu menowel 

hidungnya.

Ayah dan Ibu Boma yang duduk di 

barisan ke dua sebelah depan saling 

berpandangan. Sumitro geleng-gelengkan


kepala. "Seloroh anak-anak Pak, jangan 

diambil hati. Boma sendiri cuma ketawa."

Di belakang panggung Gita mengomel. 

"Sialan si Anton. Ngapain dia nyebut-

nyebut Boma Gendenk segala? Sentimen 'tu 

anak!"

"Dia cuma becanda Git," kata 

seorang anak di sebelah Gita.

"Becanda sih nggak gitu! Brengsek! 

Pantes dia ngerampas mikropon. Ini 

maksudnya! Pasti ini gara-gara kucing 

garong itu."

"Kucing garong?" teman di sebelah 

Gita Parwati bertanya heran.

"Lu belon tau kucing garong ya? 

Siapa lagi. Si Trini!"

Di atas panggung Anton mendekatkan 

mikropon ke mulutnya. "Para hadirin 

sekalian ABG Boma akan membawakan dua 

buah lagu. Lagu pertama Bujangan. Cocok, 

karena dia memang masih bujangan. Lagu 

kedua bersama teman-temannya Boma akan 

membawakan lagu terkenal dari Koes Plus 

yaitu Pelangi"

Anton turun dari panggung. Dia 

tidak menyerahkan wireless microphone ke 

tangan Gita. Mikropon itu diletakkannya 

di atas sebuah kursi.

Gita cepat mendatangi. "Ton!" 

teriak Gita. "Brengsek lu! Ngejatoin 

temen sendiri!"

Anton cuma menyengir lalu ngacir,


berkumpul dengan teman-temannya.

Tepuk tangan ramai. Vino 

menghentakkan drum. Suara melody gitar 

merobek panggung. Ketika Boma mulai 

menyanyi sambutan menggemuruh.

Baru sepertiga nyanyian dilantunkan 

Boma, tiba-tiba entah dari mana datangnya 

sebuah benda bulat putih melayang ke arah 

panggung dan pluk! Jatuh pecah di atas 

dada kiri Ronny Celepuk. Ternyata benda 

yang dilemparkan itu adalah sebutir telur 

ayam busuk!

Ronny sampai tersurut dua langkah. 

Petikan gitar melodynya sesaat tersendat. 

Boma cepat berkata.

"Tenang Ron, terus. Jangan 

kacau...."

Sambil meneruskan memetik melody 

Boma memperhatikan pecahan telur busuk 

yang mengotori kemejanya. Bau busuk 

membuat dia tak tahan mau muntah.

Boma terus menyanyikan lagu 

Bujangan. Menjelang akan sampai ke akhir 

lagu, tiba-tiba sebuah telur lagi melesat 

ke atas panggung. Boma yang sedang 

konsentrasi menyanyi tidak sadar kalau 

sasaran benda itu adalah dirinya. Ketika 

dia sadar, Boma terlambat mengelak. Telur 

ayam busuk jatuh dan pecah tepat di pipi 

kirinya.

Suara nyanyian Boma hampir terputus 

kalau Boma tidak cepat menguasai diri.


Sambil menyeka pipinya yang berselomotan 

telur busuk, Boma terus menyanyi sampai 

akhir.

Sambutan hadirin luar biasa. 

Terutama melihat sikap tenang Boma dan 

teman-teman walau barusan dilempar telur 

busuk. Boma mendekatkan mikropon ke 

mulutnya.

"Para hadirin, teman-teman, kami 

akan membawakan lagu Pelangi. Mudah-

mudahan masih ada persediaan telur busuk 

buat kami."

Riuhnya sambutan penonton bukan 

main. Di antara keriuhan itu ada yang 

berteriak histeris. 

"Gebukin si pelempar telur!" 

Boma mengangkat tangan. Dari 

wajahnya yang masih dikotori telur busuk 

dan dari sosoknya yang jangkung seolah 

muncul satu kharisma. Para hadirin 

berangsur tenang. Boma memberi isyarat 

pada Ronny. Lagu Pelangi ciptaan Koes 

Plus segera menghentak suasana. Ketika 

lagu itu hampir sampai pada akhirnya 

beberapa anak yang kemudian diikuti oleh 

para hadirin lainnya berteriak sambil 

berdiri. 

"Terus! Terus!" 

"Ulang! Ulang!"

Mau tak mau Boma dan kawan-kawannya 

menyanyikan Pelangi sekali lagi. Sambutan 

meriah luar biasa mengikuti Boma dan


teman-temannya ketika turun dari 

panggung.

Di belakang panggung anak-anak 

mengerubung. Banyak tangan memberikan 

kertas tisu pada Boma dan Ronny untuk 

membersihkan sisa-sisa telur busuk. Boma 

dan Ronny kemudian pergi ke kamar mandi 

di belakang sekolah. Vino, Rio, Firman 

dan Andi mengikuti.

Sampai di kamar mandi Vino berkata. 

"Bom, aku sempat ngeliat siapa yang 

ngelempar telor busuk."

Ronny langsung bertanya. "Siapa?" 

Vino tak segera menjawab, melihat dulu 

pada Boma.

"Ala, udah Ron. Enggak usah 

sewot...." kata Boma.

"Gua nggak sewot. Tapi marah besar 

Bom! Keterlaluan. Kurang ajar! Yang

begini nggak bisa didiemin. Si Anton juga 

mau gue datengin. Apa maksudnya bilang 

kamu Anak Baru Gendenk! Gua dibilang 

kayak burung hantu! Tu anak musti dikasih 

pelajaran!"

Boma tersenyum. Sambil mengeringkan 

mukanya yang baru dibasuh dia berkata. 

"Buat apa sih nyari ribut! nanti juga 

pada ketulah sendiri."

Ronny menggoyangkan tangan. Sambil 

melotot dia bertanya pada Vino. "Vin, 

bilang cepetan! Siapa yang ngelempar 

telor?"


"Si Bodong," jawab Vino.

"Si Bodong? Maksud lu Jamhudi 

sohibnya Si Anton?"

"Di SMA Nusantara Tiga cuma ada 

satu anak yang pusernya bodonk. Siapa 

lagi kalau bukan Jamhudi!" kata Rio.

"Biar gua gasak sekarang juga 'tu 

anak!" kata Ronny sambil menggulung 

lengan kemejanya.

Boma cepat memegang bahu Ronny.

"Sabar Ron. Gua bilang nggak usah 

bikin ribut. Apa lagi sekarang kita lagi 

pada pesta girang-girang."

Pelipis Ronny Celepuk bergerak-

gerak.

"Oke... oke!" kata Ronny sambil 

memukulkan tinju kanannya berulang kali 

ke telapak tangan kiri. "Gua ikutin 

omongan lu, Bom. Tapi nanti, gua pasti 

bikin perhitungan sama anak itu! Gua tau 

dia sohibnya Si Anton. Si Anton bakal gua 

sikat sekalian!"

"Sabar Ron, sabar," kata Vino. 

"Liat, siapa yang lagi mau datang ke 

sini. Ada dua cewek."

Ronny dan teman-temannya termasuk 

Boma yang baru keluar dari bangunan kamar 

mandi melihat ke arah lapangan. Dari 

samping kiri deretan kursi melangkah 

Trini Damayanti. Lalu dari jurusan 

sebelah kanan berjalan Dwita Tifani.

Ronny yang tadi sewot kini


menyengir.

"Asyik nih, bakalan terjadi perang 

dingin sebentar lagi. Teman-teman, 

baiknya kita cabut dulu."

"Eh, tungguin gua!" kata Boma 

ketika dilihatnya Ronny dan yang lain-

lain meninggalkan tempat itu.

"Nggak usah takut Bom, Dwita sama 

Trini nggak bawa telor busuk. Kalaupun 

bawa, pasti telor mereka dibungkus rapi 

sama...." Ronny tidak meneruskan 

ucapannya, melainkan berpaling pada Vino 

dan bertanya. "Dibungkus sama apa Vin? 

Jawab dong."

Vino cekikikan lebih dulu baru 

menjawab.

"Dibungkus sama beha."

Ronny, Firman, Andi, Rio dan Vino 

tertawa gelak-gelak sambil ngacir 

meninggalkan Boma sendirian.


                        TAMAT


Ikuti Buku Berikutnya Berjudul :


TRIPPING


Boma pegang tangan dan menatap wajah anak 

perempuan itu. Dia merasakan denyutan cepat sekali 

pada urat nadi di lengan temannya ini.

"Git, jujur aja nih. Kamu tau si Allan itu 

ngeprit!"

Share:

0 comments:

Posting Komentar