SERIAL: "BOMA GENDENK"
JUDUL: ABG - Anak Baru....
Gendenk
Oleh: BASTIAN TITO
HAK CIPTA DAN COPY RIGHT
PADA BASTIAN TITO
DIBAWAH LINDUNCAN UNDANG-UNDANG
Diterbitkan pertama kali Tahun 1997
oleh Penerbit Duta Media, Jakarta
P.O. BOX. NO. A226/JKTJ/13342
Foto cover Depan: Orly Velli Valentine
Vino Giovanni
Dilarang keras memfotokopi atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit.
1.TABLOID PUNYA BERITA
BRAM DWI SUMITRO mendorong pintu
pagar. Tergulung di tangan kanannya
sebuah tabloid terbitan hari itu.
Sumitro Danurejo -ayah Bram- keluar
dari rumah. Sebelum membuka pintu pagar
lelaki ini menatap wajah anaknya yang
tampak keletihan.
"Bagaimana tes lamaran kerjamu?"
Sumitro bertanya.
"Belum tau 'Yah. Sehabis tes masih
ada wawancara. Mungkin hari Jum'at baru
ketauan hasilnya." jawab Bram sambil
menyeka keningnya yang basah oleh
keringat.
Sumitro membuka pintu pagar. Di
ruang depan, Hesti Sumitro -ibu Bram-
yang sedang menyeterika memalingkan
kepala. Seperti suaminya yang penuh
harap, dia juga ingin tahu hasil tes
lamaran kerja puteranya itu.
"Hasil Bram?"
"Jum'at depan Bu. Baru ketauan..."
jawab Bram.
Nyonya Hesti meletakkan seterika
listrik. "Adikmu sudah pulang. Ada di
atas." Perempuan itu memberi tahu.
"Boma pulang?" Wajah dan suara Bram
menunjukkan rasa gembira. Setengah
berlari pemuda berusia 24 tahun S1 Teknik
Elektro yang sudah satu tahun menganggur
itu menaiki tangga. Pintu kamar tidur
Boma tidak tertutup. Bram langsung masuk
ke dalam kamar. Boma terbaring di
ranjang, menelentang. Hanya pakai singlet
dan celana jins. Matanya terbuka,
pandangannya kosong seperti melamun.
Bram memukul paha adiknya dengan
gulungan tabloid. "Bom, kapan kau
pulang?"
"Siang tadi," jawab Boma. "Kata Ibu
hari ini kau ngikutin tes lamaran kerja."
Bram mengangguk. "Sorry aku nggak
bisa ngejemputmu di rumah sakit."
"Nggak apa-apa."
"Gimana tesmu Bram?"
"Bisa semua. Dari sembilan pelamar
yang disaring, yang lulus tes cuma empat,
termasuk aku. Lusa ada wawancara. Dari
hasil wawancara nanti baru ketauan siapa
yang bakal diterima."
"Aku doa-in supaya kau yang
diterima."
Bram Dwi Sumitro tersenyum
mendengar kata-kata adiknya itu. Namun
lubuk hatinya tersentuh dalam. Sejak
ayahnya pensiun memang terasa sekali akan
adanya seseorang yang dapat menunjang
biaya kehidupan rumah tangga mereka,
termasuk biaya sekolah Boma. "Udah, kita
jangan bicara soal lamaranku. Baca dulu
ini." Bram melemparkan gulungan tabloid
yang sejak tadi dipegangnya. "Kau jadi
orang kesohor sekarang."
"Kesohor? Ada apa? Kok nyuruh
aku..."
"Aku tau, kau paling males baca
surat kabar. Tapi yang satu ini lain Bom.
Liat halaman dua," kata Bram Dwi Sumitro
memotong ucapan adiknya.
Boma membuka gulungan tabloid,
langsung membalik halaman dua.
"Kau liat! Foto siapa 'tuh! Kenal
nggak? Liat judul beritanya!"
Di halaman dua tabloid sebelah kiri
atas terpampang foto besar Trini
Damayanti. Cantik dan tersenyum. Di bawah
foto ada caption : Trini Damayanti, pacar
Boma. Di sebelah foto, dengan huruf-huruf
besar tertera judul berita. Pacar Boma
Mengakui. Lalu dengan huruf-huruf lebih
kecil dibawah judul menyusul sub-judul
berbunyi Ada Misteri Dalam Penyelamatan
Korban Musibah Gunung Gede.
"Sialan! Apa-apaan 'nih!" kata Boma
setengah berteriak. Tabloid
dibantingkannya ke lantai lalu dia
beringsut, duduk ke dinding. Matanya
membesar menatap ke arah kakaknya.
Bram mengambil tabloid yang
tercampak di lantai, di letakkan di
pangkuan Boma. "Tenang Bom, jangan emosi.
Baca dulu beritanya sampai habis."
"Tapi ini jelas nggak bener! Siapa
bilang aku pacaran sama dia. Wartawan
geblek!"
"Pacaran apa nggak, itu sih bukan
soal. Lagian mungkin bukan wartawannya
yang geblek. Biasanya wartawan nulis apa
adanya. Jadi kau harus baca dulu," kata
Bram sambil senyum-senyum.
Boma menowel hidungnya beberapa
kali. Lalu mengambil tabloid di
pangkuannya dan mulai membaca. Beritanya
cukup panjang, sampai menghabiskan empat
kolom lebih. Menurut sang wartawan yang
berinisial "TB" tulisan itu merupakan
sambungan dari berita Minggu sebelumnya
dan adalah hasil wawancaranya dengan
Trini Damayanti, puteri Letkol (Pol)
Kusumo Atmojo, pelajar SMA Nusantara III
yang sejak lama sudah menjadi pacar Boma
Tri Sumitro. Dalam berita dikatakan
selamatnya tujuh pelajar tersebut meru-
pakan satu peristiwa luar biasa, baru
pertama kali terjadi. Sang wartawan
mengutip keterangan dari beberapa sumber
dipercaya yang juga diakui oleh Trini
Damayanti bahwa selama penyelamatan
dilakukan, terjadi beberapa peristiwa
aneh.
Keanehan pertama dialami oleh Bapak
Tatang Suryadilaga, Kepala Pos Pengawasan
Gunung Gede. Satu hari sebelum terjadinya
musibah atas rombongan para pelajar SMA
Nusantara III, lelaki ini bermimpi
melihat api di puncak Gunung Gede. Tiga
tahun lalu Pak Tatang pernah mimpi
seperti itu. Beberapa hari kemudian
rombongan mahasiswa dari Bandung yang
mendaki Gunung Gede mengalami kecelakaan.
Lima dari enam mahasiswa itu ditemukan
tewas. Lalu setahun setelah itu kembali
Pak Tatang mimpi melihat api di puncak
Gunung Gede. Besoknya empat pelajar STM
Bogor ditemukan dalam keadaan kaku tak
bernyawa di salah satu lereng Gunung
Gede.
Pertanda mimpi yang sama mau tak
mau membuat Pak Tatang jadi khawatir.
Takut kalau musibah yang dialami oleh
mahasiswa dari Bandung dan pelajar STM
dari Bogor akan menimpa pula rombongan
para pelajar SMA Nusantara III dari
Jakarta. Ternyata hal itu memang
kejadian. Tetapi kali ini semuanya
selamat. Tidak seorangpun dari tujuh
pelajar itu tewas.
Keanehan kedua, menurut perhitungan
pelaksanaan evakuasi yaitu membawa dan
menyelamatkan anak-anak itu dari lokasi
ditemukan sampai ke kaki gunung paling
cepat akan memakan waktu lima jam.
Ternyata regu penolong dan tim medis
mampu melakukan dalam waktu hanya tiga
jam. Padahal saat itu malam hari, udara
dingin dan jalan licin. Menurut Letda
Sofyan, Polisi dari Sukabumi yang
memimpin regu penolong, sepanjang jalan
menuju kaki Gunung Gede malam itu secara
aneh di depan mereka ada puluhan kunang-
kunang. Binatang yang tubuhnya
mengeluarkan cahaya ini bukan saja
terbang menerangi jalan yang ditempuh
tapi sekaligus seolah menjadi penunjuk
jalan.
Keanehan berikutnya yang diung-
kapkan oleh wartawan tabloid berinisial
"TB" itu ialah pengakuan regu penolong
yang menggotong anak-anak yang celaka.
Bukan pekerjaan mudah menandu seseorang
menuruni gunung dalam gelapnya malam dan
buruknya cuaca. Tapi anak-anak yang
mereka tandu, termasuk Gita Parwati yang
gemuk lebih seratus kilogram, terasa
ringan. Seolah-olah ada tangan-tangan tak
kelihatan dari mahluk-mahluk gaib ikut
menggotong tandu!
Keanehan yang paling luar biasa dan
sampai saat itu masih menjadi teka teki
inilah ketika tujuh anak pertama kali
ditemukan di lokasi kecelakaan. Mereka
ditemukan berjejer rapi di dalam kantong-
kantong plastik yang mereka bawa. Siapa
yang mengatur begitu rupa, dan yang lebih
jadi pertanyaan, bagaimana mereka bisa
berada dalam kantong-kantong plastik
tebal itu. Padahal jangankan masuk dan
menggunakan kantong plastik, bergerak
saja anak-anak itu sudah tak sanggup
karena kondisi tubuh yang sangat lemah.
Menurut tim medis dan dokter yang
menolong di Rumah Sakit Sukabumi,
seandainya anak-anak itu tidak berada
dalam kantong plastik tersebut,
kemungkinan besar nyawa mereka tidak akan
tertolong akibat dinginnya udara dan
lemahnya daya tahan tubuh. Menurut
wartawan yang menulis, semua teka-teki
ini akan terungkap setelah Boma, pimpinan
rombongan pendaki dapat ditemui dan
dimintakan keterangannya. Enam anak
anggota rombongan telah dihubungi dan
pernah diwawancara, namun tidak bisa
memberikan keterangan banyak. Terutama
menyangkut semua keanehan itu.
Boma melipat tabloid yang barusan
dibacanya.
"Gimana?" tanya Bram.
"Brengsek!"
"Apa? Siapa yang brengsek Bom?"
"Cerita tentang keanehan ini memang
betul. Tapi soal aku pacaran sama Trini!
Itu yang brengsek!"
"Kau merasa pacaran sama 'tu cewek
nggak?" tanya Bram.
Boma tak menjawab. Dia turun dari
tempat tidur, mengambil kemeja yang
tergantung di sangkutan dan
mengenakannya.
"Kau mau kemana?" Kakak Boma
bertanya.
"Nilpon."
"Nilpon? Nilpon siapa?" Bram
bertanya lagi.
"Kau punya koin cepean nggak?"
"Kau masih sakit Bom. Sebaiknya
istirahat, tidur saja. Jangan kemana-mana
dulu..."
"Tapi aku musti nilpon Trini.
Brengsek! Seharusnya di rumah ini ada
tilpon!" Boma duduk di tepi tempat tidur
setengah membantingkan diri.
Bram gelengkan kepala. "Boro-boro
tilpon Bom. Buat bayar rekening listrik
aja setiap bulan Ayah sudah susah..."
"Itu karena usaha ayah sendiri.
Sablon. Boros listrik!"
"Huss. Pelan-pelan. Nanti
kedengaran Ayah. Doa-in lamaranku
diterima. Bisa kerja. Bisa membantu Ayah
sama Ibu."
Dua kakak beradik itu sama-sama
terdiam cukup lama.
"Bram...." Boma akhirnya memecah
kesunyian.
"Hemmm..."
"Kau tau cerita ada yang bayarin
biaya perawatanku di Rumah Sakit..."
"Ya, aku dengar dari Ibu. Kau tau
siapa orangnya?"
Boma menggeleng. "Aku musti cari
tau..."
"Menurut Ayah biaya perawatanmu
hampir satu setengah juta."
Boma kaget. "Satu setengah juta
Bram?"
Bram mengangguk.
"Gila!"
"Itu masih nggak seberapa Bom.
Masih termasuk kecil. Kau musti
mengetahui siapa orang yang berbuat baik
itu. Paling tidak buat ngucapin terima
kasih. Jaman sekarang makin sedikit orang
berhati baik dan berbudi ikhlas Bom..."
Boma mengangguk. "Setahuku Ayah kan
bisa bayar pakai Askes..."
"Betul, tapi waktu ayah baru
nanyain berapa biaya perawatanmu di
kantor Rumah Sakit, pegawai Rumah Sakit
bilang sudah ada yang melunasi. Lagian
pakai Askes rasanya tidak seluruhnya bisa
ditanggung... Kau tau kira-kira siapa
orangnya yang baik sama kamu?"
"Dugaanku cuma satu. Mungkin, masih
mungkin Bram. Mungkin Dwita...."
"Dwita apa Trini?" ujar Bram sambil
senyum dan memandang seputar kamar. Untuk
pertama kali dia melihat vas kuning
karangan bunga mawar merah di atas meja
kecil di sudut kamar. "Kembang dari siapa
Bom?"
"Dwita," jawab Boma.
"Aaahhh. Kayaknya dia baik amat
sama kamu."
"Kami cuma teman biasa. Teman satu
sekolah. Juga Trini. Cuma Trini mungkin
mulutnya nggak ketulungan. Pasti dia yang
bicara banyak dan nggak-nggak pada
wartawan tabloid itu."
"Aku rasa dugaanmu benar Bom.
Mungkin Dwita yang bayar biaya
perawatanmu di Rumah Sakit. Keliatannya
dia serius sama kamu. Anak pejabat,
banyak duit."
Boma tak menjawab, hanya menowel
hidungnya beberapa kali. Entah mengapa
saat itu rasanya dia ingin sekali bertemu
dengan Dwita. Paling tidak mendengar
suara anak itu. Kalau saja di rumahnya
ada tilpon.
"Bom..."
"Hemmm... Apa?"
"Kau siap-siap aja. Wartawan
tabloid itu pasti bakal ngewawancarain
kamu."
Boma menowel hidungnya. "Brengsek!"
katanya perlahan.
2.DWITA DATANG
PAGI itu Boma baru selesai mandi.
Setelah berpakaian dia memperhatikan
wajahnya di depan kaca persegi yang
tergantung di dinding kamar. Pucat. Beker
kecil di atas meja belajar menunjukkan
pukul 9.05 pagi. Selagi Boma memencet-
mencet jerawat di dagu kiri tiba-tiba dia
mendengar suara langkah-langkah kaki
-banyak sekali- menaiki tangga kayu.
Boma melangkah ke pintu. Begitu
pintu dibuka pertama sekali dilihatnya
kepala Ronny Celepuk. Lalu Vino. Menyusul
Firman dan Rio. Lalu Andi. Di belakangnya
si gemuk Gita dan terakhir sekali Dwita.
Wajah Boma bersinar segar ketika melihat
anak perempuan ini.
"Hallo my friend!" Ronny Celepuk
menyapa. Lalu meletakkan ke lantai satu
tandan pisang emas yang dibawanya.
"Pisang kesukaan lu, Bom." kata
Ronny.
"Gila, banyak banget! Kau mau bikin
aku mencret apa!"
"Tadinya mau beli anggur," kata
Vino. "Tapi takut perutmu nggak bisa
nerima buah import" Vino tertawa, teman-
temannya ikut tertawa.
"Mulai deh pada konyol!" kata Boma
sambil menowel hidungnya.
Ronny membuka pintu kamar lebih
lebar, memandang ke arah Dwita dan
berkata.
"Silahkan, yang kangen masuk
duluan."
"Apaan sin kamu! Masuk aja sama-
sama!" kata Dwita sambil mundur menjauh.
"Lho, tadi di mobil bilang kangen
sama Boma. Sekarang udah ketemu kok malu-
malu." Yang bicara menggoda si gemuk
Gita.
"Enak aja. Siapa yang bilang?" kata
Dwita. Wajah merengut kemerahan, tapi
kemudian tersenyum juga.
Gita mendorong punggung Dwita.
Ronny menarik lengan anak perempuan itu.
Mau tak mau Dwita melangkah masuk ke
dalam kamar. Begitu Dwita berada di dalam
Ronny cepat-cepat menutup pintu.
"Ron! Apa-apaan sih lu! Buka!"
teriak Boma dari dalam.
Ronny Celepuk dan teman-temannya
sama tertawa cekikikan. Rupanya hal ini
memang sudah mereka rencanakan
sebelumnya.
Lalu ada suara pintu dipukul-pukul
dari dalam. Menyusul suara Dwita,
berteriak agar pintu dibuka. Boma
berusaha membuka pintu. Tapi handel bulat
pintu sebelah luar ditahan kuat-kuat oleh
Ronny.
"Udah belon?!" teriak Ronny
Celepuk.
"Apa yang udah?!" teriak Boma dari
dalam.
"Ala, belagak bodo kau!" teriak
Andi.
"Brengsek kau Ron! Buka buruan!"
"Kesempatan Bom! Kesempatan!"
teriak Rio.
"Kangen... Orang kangen musti
dikasihani Bom!" Gita ikut berteriak.
"Udah Bom?! Puas nggak?!" seru
Ronny.
"Kalau udah puas gua buka nih!"
"Brengsek lu! Kalian brengsek
semua!" teriak Boma.
Ronny akhirnya melepaskan handel
pintu. Begitu pintu terbuka Boma
mendamprat.
"Brengsek! Kalian sinting semua!"
Tangan kanannya diacungkan hendak
menjotos. Ronny Celepuk cepat menghindar
mundur.
Di sebelah Boma berdiri Dwita
dengan wajah merah keringatan.
Enam anak di depan pintu tertawa
riuh.
Di ruangan bawah ayah Boma berkali-
kali menurunkan kacamata plus enamnya,
memandang ke langit-langit di atasnya
lalu menoleh pada istrinya.
"Ngapain sih anak-anak itu di atas?
Brisik amat."
Ibu Boma hanya bisa geleng-
gelengkan kepala.
"Biasa Pak, anak-anak kalau sudah
ketemu pasti riuh."
"Sorry Bom. Sorry Dwita. Kami
teman-teman cuma mau kasih kesempatan.
Lebih kurangnya terserah kalian berdua
yang lagi saling kangen!" kata Ronny
Celepuk lalu masuk ke dalam kamar sambil
membawa pisang setandan. Lima temannya
mengikuti hingga kamar berlantai papan
yang tak seberapa besar di tingkat atas
itu jadi penuh.
"Kawan-kawan, kita ke bawah aja,"
kata Boma.
"Di sini saja Bom," jawab Gita.
"Soalnya di bawah sana ada bokap lu.
Orangnya sih baek, tapi tampangnya angker
banget. Tadi aku diliatin sambil kaca
mata tebelnya diturunin ke hidung...."
"Nggak heran kalau kau diliatin
kayak gitu Git," kata Vino. "Soalnya
ayahnya Boma mungkin heran. Tanya-tanya
dalam hati. Ini kira-kira mahluk apa
ya...?"
Suara tawa anak-anak diputus oleh
jeritan Vino yang kesakitan karena
disengat cubitan Gita Parwati.
"Aku takut nih kamar jebol!" kata
Boma.
"Wan, gua lagi yang kena sasaran!"
kata Gita. "Belon apa-apa, baru juga
baek, Boma udah nyindir gua!" kata Gita
Parwati yang gemuk dan berbobot lebih
seratus kilo.
Di dalam kamar Boma hendak
menyembunyikan tabloid yang ada di atas
tempat tidur ke bawah bantal. Tapi Vino
lebih cepat menyambar tabloid itu.
"Nggak usah diumpetin Bom. Kami
udah tau semua." Kata Vino.
"Dwita juga udah baca," memberitahu
Ronny.
Boma memandang ke arah Dwita. Anak
perempuan itu kelihatan tenang-tenang
saja. Berdiri di samping meja belajar
sambil bersandar ke dinding.
Tak tahu mau berkata apa akhirnya
Boma ingat. "Dwita, terima kasih
kembangnya."
Dwita mengangguk.
"Say it with flower! Ca illa!" Vino
menyengir. "Kalau orang intelek
mengatakan rasa suka sama kembang. Kalau
kita-kita bangsa krocoan sama siomay!"
Kamar di tingkat atas itu kembali
gemuruh oleh suara tawa.
"Bom...," Ronny berkata sambil
memasukkan tangan ke saku blujins.
"Ron, awas lu ngerokok di sini! Apa
mau bikin kita mati pengap semua!" kata
Gita memotong ucapan Ronny. Rupanya dia
sudah tahu kalau Ronny hendak
mengeluarkan rokok.
Tapi Ronny bandel.
"Ala, kalau jendelanya dibuka kan
nggak apa-apa," jawab Ronny yang mulutnya
sudah terasa asam. Dia melangkah ke dekat
jendela, membukanya lebar-lebar lalu
menyalakan sebatang rokok. Setelah
menyedot dan menghembuskan asap rokoknya
beberapa kali Ronny meneruskan kata-
katanya yang tadi terpotong ucapan Gita.
"Aku sama teman-teman datang selain
mau ngeliat kamu, juga ada yang mau
ditanyain."
"Tanya aja, apa sih yang mau kalian
tanyakan?" ujar Boma.
"Itu, yang ada sangkut pautnya
dengan berita dalam tabloid," kata Andi.
"Soal ucapan Trini?" Boma melirik
ke arah Dwita. Anak perempuan itu masih
tegak bersandar ke dinding, memandang
keluar jendela, pura-pura tidak
memperhatikan apa yang dibicarakan teman-
temannya. Padahal diam-diam dia memasang
telinga.
"Bukan, bukan soal kucing garong
itu," kata Gita Parwati. Anak ini memang
sudah benci lama sama Trini dan menyebut
Trini kucing garong sejak peristiwa di
warung bakso Mang Asep. (Baca serial Boma
Gendenk Episode Pertama berjudul "Suka
Suka Cinta.")
"Kalau bukan soal Trini lalu soal
apa?" tanya Boma.
"Itu Bom, yang nyangkut semua
keanehan itu. Kami pernah didatengin
wartawan tabloid. Tapi terus terang kami
bilang nggak ada yang tau soal aneh-aneh
itu. Wartawan itu pasti nyari kau.
Sebelon kau cerita sama dia, maunya kami,
kau cerita duluan sama kita-kita ini...."
Boma tak segera menjawab.
"Kok diem?" ujar Gita. "Kami yakin
kau tau semua menyangkut keanehan itu.
Soalnya waktu di Rumah Sakit PMI Bogor,
sakitmu aneh. Kau sering ngigau. Manggil-
manggil nenek-nenek. Suaramu juga berubah
seperti suara nenek tua. Lalu Dwita
cerita, dia pernah nganterin bokapmu
ketemu satu orang pinter di Bogor.
Sehabis dikasih air putih sama orang
pinter itu kau baru sembuh. Panasmu
turun, ngacokmu hilang."
"Aku nggak tau 'tuh kalau aku
ngigau...."
"Betul Bom, kau musti cerita sama
aku dan teman-teman...." kata Ronny
Celepuk pula.
Boma menowel hidungnya.
"Towel terus sampe tua!" kata Vino
"Yang nolong kita, yang nyelamatkan
kita Tuhan. Apa anehnya. Tuhan Maha
Kuasa. Kita harus berterima kasih,
bersyukur padaNya...."
"Tau Bom, kami tau," kata Gita.
"Tapi menurut Dwita, waktu nganterin
bokapmu ke rumah orang pinter di Bogor
itu..." Gita diam sebentar, berpaling
pada Dwita. "Siapa Dwit, nama orang
pinter itu?"
"Haji Sobirin," jawab Dwita.
"Haji Sobirin," mengulang Gita.
"Menurut orang pinter itu, ada seseorang
mau ngewarisin ilmu kepandaian padamu.
Tapi kau menolak...."
Boma pandangi wajah temannya satu
persatu lalu tertawa membahana.
"Ajie busyet, ajie gombal! Kalian
percaya aja sama omongan orang. Siapa
yang mau ngewarisin ilmu sama aku? Ilmu
apa? Matematika, Fisika? Teman-teman,
mendingan kita ngobrol soal lain aja!"
"Bom, aku dan teman-teman tau kalau
kau ngerasain sesuatu. Kenapa sih nggak
mau cerita pada kita-kita ini?" ujar
Ronny. "Apa perlu Dwita yang maksa kamu?"
Ronny menyengir.
Boma menowel hidungnya. Menghela
nafas beberapa kali. Memandang keluar
jendela. Lalu melirik ke arah Dwita.
"Iyya deh, gua cerita. Tapi awas.
Cuma sama kalian aku beri tau. Jangan
bilang sama siapapun. Jangan ngomong sama
wartawan, terutama wartawan tabloid yang
muat berita aku sama Trini itu. Kalian
semua musti bersumpah!"
"Oke bos! Kami semua swear!" kata
Vino sambil mengangkat tangan kanan,
mengacungkan jari dalam bentuk huruf V.
Tapi jari-jari tangan kiri dikempitkan ke
ketiak kanan. Teman-teman Boma kecuali
Dwita ikut-ikutan melakukan hal yang sama
sambil tertawa cekikikan. Semua anak-anak
itu kemudian duduk di lantai. Boma duduk
sambil bersandar ke pinggiran tempat
tidur. Tujuh pasang mata memandang
padanya. Tujuh pasang telinga siap
mendengar dan tujuh hati berdebar dalam
keheningan.
3.CERITA BOMA
BOMA menowel hidungnya, membuat
teman-temannya yang menunggu jadi tak
sabaran.
"Malam pertama di Gunung Gede,
waktu kalian udah pada tidur, aku masih
belum bisa mejemin mata." Boma mulai.
"Badanku rasanya letih banget tapi heran
kenapa nggak bisa tidur. Aku keluar dari
dalam kantong tidur plastik. Duduk.
Kuperhatikan arloji di lengan Vino
menunjukkan hampir pukul dua. Gila. Di
luar tenda suara tiupan angin bikin
serem. Apa lagi sesekali ada suara kepak
sayap terbang melintas di atas tenda.
Mungkin burung, mungkin kelelawar.
Pokoknya serem."
"Aku masuk kembali ke dalam
kantong, coba-coba tidur. Tetap aja nggak
bisa. Aku bangun lagi. Berdiri. Tadinya
mau bangunin kamu Ron, tapi nggak jadi.
Seperti ada yang ngedorong aku keluar
dari dalam tenda. Di luar aku liat api
unggun masih nyala. Karena dingin aku
melangkah mendekati api, jongkok sebentar
sambil manasin tangan. Waktu itu aku
merasa ada hembusan angin di belakangku.
Seperti ada orang lewat cepat sekali. Aku
nengok ke belakang. Nggak ada siapa-
siapa. Nggak ada orang. Tengkuk gue
mendadak jadi dingin. Takut. Aku rasa ada
yang ngawasin diriku. Aku coba berdiri,
buru-buru mau masuk ke dalam tenda lagi.
Tapi aneh, kaki-ku terasa berat. Bukannya
berdiri, malah terduduk di tanah.
Mendadak hidungku nyium bau aneh. Bau
pesing. Aku masih sadar. Masih bisa
mikir. Malam itu malam Jum'at. Kalau
memang ada bau-bau aneh, biasanya bau
menyan atau bau kembang. Tapi yang aku
cium bau pesing. Aku tambah takut. Coba
lagi berdiri. Tetap kagak bisa. Sementara
itu nyala api unggun mulai mengecil.
Udara dingin kayak sayatan silet nembus
jaket yang aku pakai. Lalu di depanku, di
bawah kegelapan bayangan pohon aku liat
ada sesuatu bergerak. Aku memperhatikan.
Kupikir mungkin aku salah liat, atau cuma
liat bayangan. Rasa takut tambah numpuk.
Aku seperti mau kencing. Lalu yang aku
sangka bayangan itu makin jelas. Bau
pesing tambah santer.
***
SOSOK bungkuk di dalam gelap
bayangan pohon tegak tak bergerak. Di
tangan kirinya ada sebatang tongkat kayu.
"Setan.... Mahluk penghuni
gunung...." pikir Boma. Dalam takutnya
anak ini segera saja komat-kamit membaca
semua ayat-ayat suci yang dihafalnya.
Sosok dalam gelap tiba-tiba
bergerak. Satu langkah... dua langkah.
Bayangan nyala api unggun menerangi tubuh
dan sebagian kepalanya. Nenek-nenek.
Sosok itu ternyata sosok seorang nenek
berkulit hitam berwajah angker. Matanya
merupakan dua rongga dalam. Pipinya
cekung keriput. Kepalanya nyaris sulah
karena hanya ditutupi oleh sekian lembar
rambut-rambut putih. Di atas kulit kepala
yang botak itu menancap lima buah tusuk
konde perak putih. Pakaiannya kebaya
rombeng dan kain panjang butut. Tubuh dan
pakaian itu menebar bau pesing. Mulutnya
tidak henti berkomat-kamit. Gembung ke
kiri, gembung ke kanan. Ternyata dalam
mulut itu ada susur.
Wajah nenek itu mengingatkan Boma
pada seorang nenek tetangga, dua rumah
dari rumahnya. Yang meninggal sekitar dua
bulan lalu. Tapi nenek tetangga itu tidak
angker begini. Tidak pakai tusuk konde
juga tidak bau pesing. Mungkin rohnya
yang menampakkan diri. Tapi kenapa bisa
sampai kesasar sejauh ini?
"Nek, Nek Kiyem...."
Tampang angker si nenek bertusuk
konde lima kelihatan berubah berkerut.
Dari mulutnya dia semburkan ludah susur
berwarna kemerahan.
"Anak setan! Enak saja kau menyebut
aku Nek Kiyem! Kau kira aku ini siapa?!"
Tiba-tiba mahluk berwajah angker
membentak, membuat Boma terhenyak dalam
ketakutan.
"Bu... bukan setan. Kata orang
setan beneran nggak bisa bicara." Dalam
takutnya Boma masih bisa membatin. Anak
ini coba beringsut, mundur ke arah tenda.
Si nenek bergerak maju. Empat
langkah di hadapan Boma, tepat di kiri
api unggun, dia berhenti lalu tiba-tiba
sekali tancapkan tongkat di tangan
kirinya ke tanah. Tongkat kayu yang
ditancapkan tapi Boma yang merasakan
tubuhnya seperti dipantek ke tanah hingga
dia tak bisa bergerak. Dengan tangan
kanan si nenek keluarkan susur dari dalam
mulut.
"Katakan! Siapa Nek Kiyem yang
barusan kau sebut?!" Tiba-tiba nenek
angker hardikkan pertanyaan.
"Anu Nek.... Tetangga.... Tapi
sudah meninggal. Dua bulan lalu. Kata
orang meninggal karena bengek." Luar
biasa! Walau takut setengah mati Boma
masih sanggup menjawab hardikan si nenek.
Meskipun dengan suara dan badan
gemetaran. Tangannya berkali-kali menowel
hidung.
"Jadi kau anggap aku ini setan
jejadian penjelmaan roh Kiyem si nenek
bengek itu! Hah?!"
"Saya... saya nggak bilang begitu.
Saya... saya nggak tau kau ini siapa Nek.
Kalau saya ngomong salah saya minta
maaf."
Nenek angker pencongkan mulutnya.
Tiba-tiba kembali dia membentak.
"Anak setan! Ulurkan telapak
tanganmu. Yang kiri!"
Boma tak berani melakukan apa yang
diperintah si nenek.
"Kau tuli apa budek?!" Si nenek
sumpalkan kembali susurnya ke dalam
mulut.
"Nek...."
Nenek bertampang angker cabut
tongkat yang tadi ditancapkannya di
tanah. Tongkat diacungkan di atas kepala
Boma.
"Kau mau ulurkan tangan kirimu atau
minta digebuk!" Si nenek membuat gerakan
hendak ayunkan tongkat ke kepala Boma.
Boma cepat lindungi kepalanya
dengan dua tangan.
Si nenek menyeringai. Seringai ini
membuat tampangnya tambah menyeramkan.
"Anak setan! Jangan membuat aku
marah! Ulurkan tangan kirimu! Cepat!"
Bukannya mengulurkan tangan, Boma
malah menowel hidung dengan tangan kanan,
tangan kiri masih melindungi kepala.
Tiba-tiba tongkat dipukulkan ke
bawah.
"Braakk!"
Sebuah batu hitam besar yang sejak
tadi ada di samping Boma hancur
berantakan. Mata Boma sampai mendelik
besar.
"Tobat cing!" Boma membatin. "Batu
segitu keras, segitu gede hancur jadi
bubuk, gimana kepala gua?!"
Dalam takutnya Boma akhirnya
ulurkan tangan kiri. Telapak dibuka
dikembangkan. Bersamaan dengan itu si
nenek letakkan ujung tongkat di atas
telapak tangan Boma. Aneh, ujung tongkat
itu tiba-tiba memancarkan cahaya hingga
telapak tangan Boma terlihat jelas sampai
ke garis-garis tangan yang terhalus
sekalipun.
Dalam takutnya Boma hendak menarik
tangan kirinya. Tapi si nenek segera
membentak.
"Jangan berani bergerak!"
Boma terpaksa tidak jadi menarik
tangan kirinya. Si nenek maju dua
langkah. Sepasang matanya memperhatikan
telapak tangan Boma tanpa berkedip. Ujung
tongkat digerak-gerakkan di atas garis-
garis tangan anak lelaki itu. Kepala
diangguk-anggukkan. Mulutnya yang perot
berulang kali mengeluarkan suara
bergumam.
"Anak setan, apa kau tahu kalau di
telapak tangan kirimu ada dua garis
bersilang membentuk tanda kali?"
"Tau Nek...." jawab Boma.
"Kau tahu apa artinya?"
"Ka... kata orang kalau saya mukul
orang bisa mati."
"Begitu?"
Boma mengiyakan sambil mengangguk.
Si nenek tertawa panjang. "Orang
yang berkata begitu adalah orang tolol.
Kau juga orang tolol! Kalau tidak
memiliki ilmu, mana mungkin memukul orang
bisa mati! Tangan kirimu itu paling-
paling hanya mampu dipakai cebok! Hik...
hik... hik!"
Boma pandangi si nenek sambil
menowel hidungnya dengan tangan kiri.
Rasa takut masih menjalari anak ini. Si
nenek sebaliknya balas memperhatikan
kelakuan anak lelaki itu. Dalam hati dia
berkata. "Yang satu itu suka menggaruk
kepala. Yang ini suka menowel hidung.
Hik... hik... hik. Apakah aku memang
menemukan anak yang selama ini aku cari-
cari dari alam roh? Aku harus memastikan.
Petunjuk mengatakan dia memiliki tanda
kedua."
Nenek berwajah seram tiba-tiba
susupkan tongkatnya ke bawah betis kanan
Boma, lalu diangkat ke atas. Gerakan ini
membuat Boma terlentang di tanah dengan
kaki naik di udara, tepat di depan wajah
seram si nenek, Dengan tangan kanannya si
nenek kemudian menarik lepas sepatu
basket hitam yang dikenakan Boma. Juga
kaos tebal yang membungkus kaki anak itu.
Begitu sepatu dan kaos kaki lepas
perempuan tua itu kerenyitkan muka, tekap
hidungnya. Rupanya ada bau yang tidak
enak menyambar dari kaki yang selama ini
lembab terbungkus sepatu karet itu!
"Anak setan! Kakimu bau comberan!"
Si nenek keluarkan ucapan lalu semburkan
ludah susur ke tanah.
Boma mau ketawa tapi tak berani.
Masih menekap mulut si nenek
jauhkan kepalanya sedikit. Dua matanya
memandang tak berkedip memperhatikan kaki
kanan Boma yang kini telanjang. Mulut si
nenek bergerak pencong. Matanya yang
cekung membesar. Boma tidak mengerti apa
yang tengah dilakukan perempuan tua aneh
bau pesing ini.
"Anak setan.... Benar dia. Tanda
kedua ada di tumit kaki kanannya. Satu
tahi lalat besar...."
Perlahan-lahan si nenek turunkan
tongkatnya hingga kaki kanan Boma
menyentuh tanah.
"Namamu siapa?!" si nenek tiba-tiba
ajukan pertanyaan.
"Boma."
"Apa?" Si nenek miringkan kepalanya
sambil tangan kanannya didorongkan ke
daun telinga kanan. "Bemo?!"
"Bemo!" Tampang Boma jadi berkerut.
Dalam hati anak ini berkata. "Kok jauh
banget budeknya ini orang tua!"
"Boma, bukan Bemo...." kata Boma
kemudian.
"Ooo... Boma, ya.. ya aku ingat.
Bemo 'kan sudah digusur! Hik... hik...
hik...!"
"Aneh, kok dia tau segala bemo
digusur?" kata Boma dalam hati.
"Nek, kau ini siapa..?" Boma
beranikan diri bertanya.
"Menurutmu aku ini siapa?!" si
nenek balik menukas.
"Nggak tau Nek. Saya...."
"Anak bau kencur, kau tak layak
bertanya. Aku yang akan menanyai
dirimu...?"
"Nek, saya...."
"Diam!" Si nenek membentak. Matanya
melotot. "Aku mau tanya. Tadi waktu aku
muncul mendekatimu, aku lihat mulutmu
komat-kamit mengucap sesuatu. Apa yang
kau ucapkan? Apa yang kau baca?!"
"Anu Nek...." Boma menowel
hidungnya.
"Anu apa?!"
"Yang saya baca ayat-ayat suci Nek.
Ayat-ayat Qur'an...."
Si nenek terdiam. Muka angkernya
mengerenyit. Sesaat Boma melihat
keseraman sirna dari wajah tua hitam
keriput itu.
"Kenapa kau baca ayat-ayat suci?"
Si nenek bertanya.
"Sa... saya takut Nek."
"Takut? Takut apa? Takut sama
siapa?" Boma tak menjawab. Takut si nenek
marah.
Justru si nenek yang berucap.
"Takut sama aku hah?!"
"Betil... eh betul Nek."
"Kenapa takut?!"
"Saya ngira Nenek ini... jangan
marah ya Nek. Saya mengira Nenek ini
setan. Atau mahluk halus penghuni
gunung." Akhirnya Boma keluarkan juga
ucapannya.
Si nenek mendongak lalu tertawa
panjang cekikikan.
"Itulah sifat kalian bangsa
manusia. Sama setan takut. Tapi sama dosa
tidak pernah takut. Buktinya masih banyak
orang-orang yang mau berbuat dosa,
berbuat kejahatan dan kemaksiatan!"
Mendengar ucapan si nenek yang
menyebut "kalian bangsa manusia" tengkuk
Boma mendadak sontak jadi dingin.
"Berarti... berarti nenek ini memang
bukan manusia. Tapi...." Hati-hati Boma
tarik kaki kanannya yang sejak tadi
terjulur lalu bangkit dan duduk di tanah.
"Anak setan...."
"Nek, nama saya Boma. Bukan Anak
setan...."
"Terserah aku mau memanggilmu apa.
Aku suka memanggilmu Anak setan. Apa kau
keberatan. Apa kau berani menampik?"
"Saya bukan Anak setan Nek. Lagian
setau saya setan nggak pernah punya
anak,..."
Si nenek delikkan matanya, tapi
lalu tertawa mengekeh. "Setan memang
tidak punya anak. Tapi manusia setan yang
banyak gentayangan di duniamu, kawin sana
kawin sini, pekerjaannya bikin anak di
mana-mana. Mending kalau diurus. Banyak
yang ditelantarkan. Mereka itu bapak
setan yang punya Anak setan!"
Boma terdiam.
"Boma!"
"Saya Nek...."
"Kau suka menenggak miras?"
"Heran.... Kok nenek tau-tauan
minuman keras segala?"
"Jawab saja pertanyaanku. Suka
minum apa tidak?!"
"Tidak Nek...."
"Suka minum obat terlarang?"
"Nggak Nek...."
"Nipam?".
"Nggak pernah Nek...."
"Ganja?"
"Ngerokok aja nggak Nek."
"Ecstasy?"
"Apa lagi itu Nek. Mana kebeli..."
"Barangkali ada yang ngasih!"
Boma menggeleng.
"Suka ikut tawuran?"
"Nggak pernah."
"Suka main cewek?"
"Ajie gile. Gue jadi bingung. Gue
diinterogasi. Ini setan apa neneknya
Polwan...." membatin Boma lalu gelengkan
kepala.
Si nenek kembali tertawa cekikikan.
"Anak setan, dengar baik-baik.
Hidup di dunia ini makin lama makin
banyak tantangan. Tantangan kadang-kadang
membuat manusia tidak selamat. Untuk
menghadapi tantangan seseorang harus
punya ilmu. Aku mau mewariskan ilmu
kepandaian padamu. Kau harus terima..."
"Ilmu... Ilmu apa Nek?"
"Tidak usah tanya-tanya dulu.
Pokoknya terima saja...."
"Nek, kata orang tua saya, kalau
mau hidup selamat di dunia dan akhirat
tidak sulit...."
"Apa, tidak sulit bagaimana? Aku
mau tahu...."
"Kata orang tua saya kalau mau
hidup selamat kita harus hidup dengan
menjalankan perintah Allah, menjauhkan
laranganNya..."
Si nenek menyeringai lalu geleng-
geleng kepala. "Banyak memang orang yang
begitu. Menjalankan perintah Tuhan,
menjauhkan larangan Tuhan. Tapi lebih
banyak lagi yang tidak menjalankan
perintah Tuhan, malah seperti berlomba
melanggar perintah Gusti Allah. Di
situlah munculnya tantangan. Agar
seseorang tidak sampai terseret ke dalam
kesesatan maka harus memiliki ilmu.
Sudah! Sekarang ulurkan tangan kirimu!
Sebelum kuturunkan ilmu yang kumaksudkan
itu padamu, dirimu perlu dibersihkan dan
diisi dengan hawa murni"
Boma diam saja. Tak mau
mengeluarkan tangan kirinya. Takut.
"Kau tidak mau aku wariskan ilmu
kepandaian?"
"Saya, saya musti tau dulu ilmu
kepandaian apa Nek? Matematika?
Fisika...? Kalau Matematika sama Fisika
di sekolah saya memang jeblok."
"Anak setan! Aku mana tahu segala
ilmu begituan! Kalau kau tak mau
mengulurkan tangan aku terpaksa
memaksa.... Mau kupelintir tanganmu
sampai medel?!"
Boma masih diam.
Tiba-tiba si nenek angkat tongkat
di tangan kirinya. Ujung tongkat
diarahkan ke tangan kiri Boma. Aneh.
Perlahan-lahan tangan kiri Boma terangkat
ke atas. Bagaimanapun anak ini menge-
rahkan tenaga tetap saja dia tak kuasa
menahan. Si nenek putar ujung tongkatnya
sedikit. Tangan Boma yang terulur ikut
berputar. Telapak mengembang, menghadap
ke atas. Si nenek ulurkan tangan kanannya
yang kurus keriput. Lalu telapak
tangannya ditempelkan ke telapak tangan
Boma. Terasa ada hawa panas menjalari
tubuh anak lelaki itu.
Pada saat itulah di dalam tenda
besar terdengar suara orang menyalakan
geretan gas. Lalu ada cahaya terang.
Sesaat kemudian bagian depan tenda
terbuka. Lalu menyeruak muncul sosok
Ronny Celepuk.
"Bom? Boma? Kau di mana?"
"Sialan! Ada orang!" si nenek yang
tengah memegang telapak tangan Boma
memaki. "Anak setan, dengar baik-baik.
Aku terpaksa pergi. Tapi aku akan kembali
lagi menemuimu."
Si nenek lepaskan pegangannya pada
tangan kiri Boma. Bersamaan dengan itu
tubuhnya berkelebat ke arah pohon besar
lalu lenyap ditelan gelap dan dinginnya
malam.
***
BOMA tersentak ketika Ronny Celepuk
mendatangi dari samping. Sebatang rokok
terselip di sela jari tangan kanannya.
"Bom, gua kira lu diculik hantu
gunung."
"Huss! Kau jangan ngomong
sembarangan Ron. Kalau kejadian
beneran...."
"Habis, kau lagi ngapain di sini?"
tanya Ronny Celepuk.
Boma cepat-cepat mengenakan kaos
dan sepatu basket, berpaling ke arah
Ronny.
"Kau lagi tapa di depan api unggun?
Mukamu kuliat pucat amat!"
"Aku nggak bisa tidur. Jongkok
sebentar di sini buat manasin diri."
Jawab Boma.
"Aku tadi kebangun. Liat kok kamu
nggak ada dalam tenda. Aku kirain ke
mana...."
"Dingin Ron, ayo masuk lagi," kata
Boma,
4.MISTERI MULAI TERSINGKAP
GITA Parwati beringsut mendekati
Boma. Suaranya agak gemetaran ketika
berkata. "Bom, nenek-nenek yang kau
ceritakan itu, persis nenek-nenek yang
aku liat dalam kamar tempat kau dirawat
di Rumah Sakit PMI Bogor. Berarti kau
nggak cerita ngibul...."
"Siapa yang ngibul!" jawab Boma.
"Yang masih belon jelas mahluk itu
setan, hantu apa manusia," kata Vino.
"Jelas hantu alias setan. Kalau
manusia biasa mana bisa menghilang,"
menyahuti Gita.
"Tapi setan kok tau-tauan segala
Miras, Nipam, Ecstasy, ganja" Rio ikut
bicara.
"Mungkin yang satu ini setan
moderen," kata Andi. "Setan dalam rangka
globalisasi. Akibat globalisasi nggak ada
lagi batas antara alam gaib dan alam
nyata."
"Keren amat omonganmu. Kayak yang
ngarti globalisasi aja." kata Gita
Parwati sambil pencongkan mulut dan
hidungnya yang pesek.
"Memang aneh," Firman ikutan bicara
"Setan kok bisa tau kalau bemo mau
digusur"
"Jangan-jangan 'tu nenek matinya
ketabrak bemo. Lalu gentayangan jadi
setan penasaran. Yang dicari temen kita!
Uh, ngeri juga!" kata Vino sambil
mengusap tengkuknya.
"Yang aku heran," kata Andi,
"Kenapa dia terus-terusan manggil kamu
Anak setan, Bom. Jangan-jangan dia ibunya
setan, kawin sama bapak setan, kau jadi
Anak setannya...."
Kamar di tingkat atas itu jadi
riuh.
"Sialan lu!" maki Boma.
Andi cuma cengar-cengir.
Boma menowel hidungnya. Lalu
berpaling pada Dwita.
"Dwita, menurut ayahmu, orang
pinter di Bogor memberi tau ada mahluk
yang mau mewariskan ilmu. Aku menolak.
Lalu aku jadi sakit. Begitu?"
Dwita mengangguk.
Boma terdiam. Berpikir. Perlahan
dia berkata sendiri. "Apa yang diliat
orang pinter itu cocok dengan kejadian
yang aku alami." Boma memandang pada
Vino.
"Tapi ilmunya kan belon ketauan
ilmu apa," kata Vino. Anak ini berpaling
pada Ronny Celepuk. "Kamu sih Ron, pakai
keluar tenda segala. Kalau tidak saat ini
Boma pasti sudah jadi orang hebat."
"Mending jadi orang hebat, kalau
jadi bego-bego?!" kata Gita Parwati. "Eh,
lu tau kagak. Saudaranya Bapak gue ada
yang jadi gendeng akibat keberatan ilmu."
Gita berpaling pada Boma. "Bom, aku rasa
ceritamu baru sebagian. Gimana soal
kejadian yang aneh-aneh lainnya?"
"Betul Bom, kau harus cerita
semuanya," kata Ronny.
"Tapi perutku rada honger nih. Dari
tadi cuman makanin pisang melulu. Lama-
lama gua bisa mules. Gimana kalau kita
dengerin ceritanya Boma sambil ngebakso
di warung di ujung gang sono," kata Gita
Parwati pula.
"Ah, kamu sih nggak lain makan-
molor, makan en molor. Itu aja yang
dipikirin!" kata Vino. "Tapi terus
terang, ane sih setuju-setuju aja, ring."
"Uh!" Gita mendorong kepala Vino
dengan tangannya. "Liat aja nanti, pasti
lu yang paling banyak makannya! Nambah
ampe dua mangkok!"
Vino menyengir lalu berdiri diikuti
yang lain-lain. Mereka sama-sama
melangkah ke pintu.
"Tunggu," kata Rio. "Siapa yang
traktir?"
Semua anak terdiam. Masing-masing
mereka memang punya uang. Tapi pas-pasan.
Kalau untuk traktir segitu banyak orang
mana cukup. Dalam diam anak-anak itu
akhirnya sama memandang ke arah Dwita.
Anak perempuan ini tersenyum. "Oke, aku
yang traktir."
"Jangan Dwita. Biar aku saja," kata
Boma.
"Wah, keren banget kau Bom. Banyak
duit ya?" tanya Vino.
"Jangan-jangan dikasih sama nenek
setan itu," kata Ronny Celepuk.
"Wah, kalau gitu musti diliat dulu.
Jangan-jangan duitnya palsu. Begitu habis
dibayar berubah jadi daon. Kita bisa
diketok tukang bakso!" kata Gita gendut.
Boma tertawa. menowel hidungnya
lalu berkata.
"Inget nggak, waktu kita ngobrol di
warung Mang Asep?"
"Ya... ya inget!" teman-teman Boma
menjawab berbarengan.
"Dwita ngasih uang dua ratus ribu.
Uangnya masih utuh." Boma memandang ke
arah Dwita. Anak perempuan ini balas
menatap.
"Asyik!" celetuk Andi.
"Langsung enak dieh kalau gini!"
kata Vino meniru iklan di televisi.
"Teman-teman," kata Ronny, "mumpung
duit lagi ada, gimana kalau kita tunda
ngebaksonya. Gantinya pergi ke MacDonal
aja."
Beberapa anak siap mengatakan
setuju tapi Boma menggeleng. "Bakso aja.
Sisa duit kita simpen. Pasti ada gunanya
nanti."
"Oke, setuju aja Bos. Asal jangan
dipakai buat beli Jisamsunya si Ronny
aja!" kata Vino.
"Ee, enak aja lu Vin. Gue ngerokok
beli sendiri. Bukan malakkin temen."
Jawab Ronny sambil ngacungkan tinju.
***
WARUNG bakso di ujung jalan sedang
sepi. Delapan anak SMA Nusantara III itu
memilih duduk di pojokan yang cukup luas.
Sementara menunggu bakso dibuatkan Gita
meminta Boma menyambung ceritanya.
"Iyya Bom. Gua kepengen tau apa sih
yang kejadian sebenarnya. Soalnya orang-
orang kaya-nya masih nggak bisa percaya
kalau kita semua bisa selamat," kata
Ronny Celepuk.
Boma mengusap hidungnya. Dia
pandangi wajah Dwita yang duduk tepat di
depannya lalu berkata. "Oke, aku akan
cerita. Tapi aku minta kalian janji.
Jangan ceritain sama orang lain. Ini
bener-bener rahasia. Super rahasia."
"Oke, kami nggak bakal bilang sama
siapapun," kata Ronny.
"Terus, mulai aja Bom." Gita tak
sabaran.
***
LERENG Gunung Gede, hari Sabtu
siang. Matahari tak kelihatan. Udara
terasa tambah dingin. Boma pimpinan
rombongan anak-anak SMA Nusantara III
memandang ke langit. Mendung tebal
menggantung di mana-mana menutupi langit.
Angin bertiup kencang.
"Teman-teman, kayaknya mau hujan
gede," kata Boma. "Ron, siapkan tali."
Dari kantong perbekalannya Ronny
Celepuk mengeluarkan seutas tali plastik
besar berwarna kuning. Tujuh anak itu
meneruskan perjalanan menuruni lereng
Gunung Gede. Boma di depan sekali
memegang handy talky. Mereka bergerak
beriringan sambil berpegangan pada tali
kuning.
"Vin, jam berapa sekarang?" tanya
Boma.
Vino yang berada di bagian tengah
rombongan melihat ke arloji di
pergelangan tangannya.
"Jam satu kurang lima." Vino
kemudian memberi tahu.
"Baru jam satu. Tapi udah kayak
malem...." kata Gita Parwati yang berada
di belakang Boma. Ucapan anak perempuan
ini terputus oleh sambaran kilat di
langit, disusul gelegar guntur
menggetarkan tanah yang mereka jalani.
"Bentar lagi pasti turun hujan.
Bom, bagusnya cari tempat berlindung
dulu!" Ronny Celepuk yang berada paling
belakang rombongan berseru.
Boma memandang ke depan. Saat itu
keadaan tambah gelap dan lereng yang
hendak mereka tempuh kelihatan curam.
"Teman-teman," kata Boma. "Jangan-
jangan kita nyasar. Kayaknya ini bukan
jalanan yang kita tempuh waktu mendaki."
Hujan mulai turun.
"Kita berhenti dulu di sini. Jangan
terus. Bahaya!" Vino berteriak.
"Jangan, jangan berhenti di sini!"
Gita yang punya pengalaman mendaki gunung
beberapa kali berseru. "Bom, kita musti
naik lagi ke atas. Cari tempat yang
datar. Kita musti menjauhi lereng terjal
ini. Pohon sekitar sini kecil-kecil.
Nggak bisa nahan tanah kalau terjadi
longsor!"
Hujan turun menggemuruh. Besar luar
biasa. Bergabung dengan suara angin, deru
hujan terdengar mengerikan.
"Semua balik ke atas. Cepat!"
teriak Boma.
Tujuh anak itu dengan berpegangan
pada tali kuning segera berbalik,
bergerak kembali ke arah atas. Di langit
kilat sambung menyambung dan guntur
menggelegar hampir tak berkeputusan.
Boma menghidupkan handy talky.
"Pos Satu di sini. Nusantara Tiga
calling! Pos Satu. Nusantara Tiga
calling!."
"Pos Satu di sini. Nusantara Tiga
silahkan masuk."
Boma mengenali itu adalah suaranya
Pak Tatang. Kepala Pos Pengawas Gunung
Gede.
"Pak Tatang. Nusantara Tiga dalam
perjalanan turun. Halangan hujan besar.
Halangan hujan besar. Kami terpaksa naik
lagi ke atas. Ganti."
"Nusantara Tiga harap beri tahu
posisi, Harap beri tahu posisi"
Boma mengambil kompas yang ada di
kantong jaketnya. Tapi tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara menggemuruh
keras. Pohon-pohon di kiri kanannya
seolah terbang, meluncur ke bawah. Tanah
yang dipijaknya bergetar. Bukan cuma
bergetar tapi bergerak ke lereng gunung
sebelah bawah.
"Longsor!" Boma sempat mendengar
Gita berteriak.
Setelah itu tubuh tujuh anak itu
terseret ke bawah digulung oleh tanah
yang longsor. Pohon-pohon di sekitar
mereka tumbang berserabutan. Jerit pekik
tenggelam ditelan suara menggemuruh yang
seolah keluar dari perut gunung, ditambah
gelegar guntur dan sabungan kilat.
Dalam keadaan seperti itu Boma
melihat satu bayangan hitam berkelebat.
Cepat sekali. Ada tumpukan manusia di
bahu kirinya. Boma tidak dapat memastikan
apakah itu manusia, binatang atau setan.
Anak ini tak bisa berpikir lebih jauh.
Tubuhnya meluncur ke bawah, setengah
tenggelam dalam longsoran tanah. Lalu
ketika batangan pohon membentur
punggungnya, Boma menjerit keras. Handy
talky terlepas dari tangannya.
Pemandangannya gelap. Dia tak ingat apa-
apa lagi.
***
SABTU malam menjelang pagi. Udara
sedingin es. Hembusan angin laksana
sayatan pisau di permukaan kulit.
Perlahan-lahan dua mata Boma Tri Sumitro
terbuka sedikit. Dia hanya melihat
kegelapan. Pekat menghitam. Tubuhnya
terasa dingin. Anak ini menggigil keras.
Mulutnya kering dan bibirnya pecah-pecah.
Lalu ada rasa sakit di punggungnya. Boma
tidak tahu berada di mana saat itu.
Apakah dia masih hidup atau sudah mati?
Dia coba menggerakkan tangan dan kaki.
Tidak bisa. Selain ada rasa nyeri juga
ada sesuatu yang menahan. Sekali lagi dia
perhatikan keadaan di sekitarnya.
Ternyata tubuhnya tenggelam dalam long-
soran tanah sampai sebatas dada.
Dalam keadaan tak berdaya, tak
mampu bergerak apa lagi mengeluarkan diri
dari timbunan tanah. Boma ingat teman-
temannya.
"Ron... Ronny...!" Dia hampir tidak
mendengar suaranya sendiri. Untuk
mengeluarkan ucapan itu dia harus
mengeluarkan tenaga luar biasa, membuat
kepalanya pusing dan pemandangannya
berkunang.
"Ron...."
Tak ada jawaban.
"Gita...."
Sunyi.
"Vino... Firman... Andi... Rio."
Boma masih mampu menyebut nama
teman-temannya satu persatu. Namun tetap
saja tak ada jawaban, tak ada sahutan.
Lalu anak ini ingat. Sesaat sebelum dia
jatuh pingsan, dia melihat satu bayangan
hitam berkelebat memanggul sosok-sosok
manusia di bahunya. Rasa ngeri serta
merta menjalari sekujur badan anak ini.
"Jangan-jangan... yang aku liat itu
Malaikat Maut. Membawa mayat teman-
temanku... Gita... Vino... Rio. Ya Tuhan,
di mana teman-teman saya. Tuhan, tolong
kami...."
Tiba-tiba ada sesuatu berkelebat di
depan Boma. Pemandangan anak ini masih
berkunang dan tempat sekitar situ masih
diselimuti kegelapan.
"Malaikat Maut...." pikir Boma,
memperhatikan sosok dalam kegelapan.
Kalau tadi ada rasa takut menyungkupi
dirinya kini dalam takut muncul
ketabahan. "Kalau memang nyawaku mau
dicabut aku pasrah..." Boma pejamkan
matanya. Sosok bungkuk bergerak mendekat.
Sepasang mata Boma tiba-tiba membesar.
Dia ingat. Dia mengenali.
Sosok yang mendatangi itu adalah
sosok nenek-nenek berwajah angker,
berkulit hitam. Tubuh bungkuk mengenakan
kebaya rombeng dan kain panjang butut. Di
atas kepalanya ada lima buah tusuk konde
perak putih. Boma mencium bau pesing. Tak
salah lagi. Mahluk angker ini adalah
nenek-nenek aneh yang mendatanginya pada
malam pertama dia dan rombongan berada di
Gunung Gede.
"Anak Setan! Syukur aku masih bisa
menemuimu. Kukira kau sudah amblas
ditelan tanah!"
Boma menggerakkan mulut. Lidahnya
terasa kelu. Bibirnya berat. "Nek...."
"Sudah, jangan banyak bicara. Aku
akan mengeluarkanmu dari timbunan
tanah...."
"Nek... saya... saya tidak apa-apa,
Teman-teman saya Nek.... Kalau kau mau
menolong... tolong mereka duluan.
Saya...."
Si nenek hendak membentak namun tak
jadi, Sepasang matanya yang berada dalam
rongga cekung kelihatan mencorong menatap
wajah Boma. Dalam hati si nenek membatin.
"Anak satu ini benar-benar luar
biasa. Dia tidak perdulikan keadaannya
sendiri. Malah meminta aku menolong
teman-temannya. Aku bersyukur pada Yang
Maha Kuasa. Aku tidak salah memilih
orang...."
"Nek, tolong teman-teman saya. Di
mana mereka... Gita... Rio... Ronny...."
"Diam!" si nenek membentak. "Tak
perlu memikirkan teman-temanmu! Gusti
Allah sudah menolong mereka!" Tangan kiri
si nenek bergerak. Tongkat kayu menyusup
ke bawah ketiak kanan Boma. Ketika sekali
lagi tangan si nenek yang memegang
tongkat bergerak, tiba-tiba tubuh Boma
bergerak keluar dari dalam timbunan tanah
untuk kemudian melesat ke udara.
Sosok si nenek ikut melesat ke
udara, menyambar tubuh Boma, lalu membawa
tubuh anak lelaki itu melayang turun ke
tanah dan lenyap dalam kegelapan.
***
DELAPAN mangkok bakso di atas meja
tak satupun yang disentuh. Semua anak
begitu asyik mendengar cerita Boma. Kini
mereka terdiam dalam alam pikiran masing-
masing.
"Wah, baksonya udah dingin 'nih!"
Rio yang pertama sekali bersuara.
"Ceritamu luar biasa Bom. Kayak
filem horror aja," kata Vino.
"Bom," kata Gita. "Menurut tim
penolong yang pertama kali nemuin kita,
kita semua ditemuin di satu tempat datar,
di lereng timur Gunung Gede. Semua kita
berada dalam kantong plastik milik kita
masing-masing."
"Ya, Ayahku juga bilang begitu,"
kata Boma.
"Siapa yang memasukkan kita ke
dalam kantong tidur itu?" Ujar Andi.
"Kalau tidak di dalam kantong, lebih dua
hari dua malam, nggak makan apa-apa, cuma
minum air hujan, kita semua pasti udah
pada mati kaku."
"Nenek angker itu...." kata Vino.
"Pasti dia yang nolong kita."
"Lalu waktu kita digotong turun,
katanya badan kita enteng sekali. Aku
yang ceking ini sih oke-oke aja. Tapi si
Gita? Mana mungkin bobot seratus kilo
lebih dibilang enteng," kata Firman.
Gita cemberut. Teman-temannya
menyengir.
"Malam itu," Rio menjawabi ucapan
Firman. "Ada petugas yang bilang,
kayaknya seperti ada tangan-tangan gaib
ikut bantu menggotong tandu...."
"Mungkin nenek angker itu punya
anak buah, punya pasukan yang
diperintahkannya buat ngebantu tim
penolong," kata Vino sambil usap-usap
tengkuknya.
"Lalu kunang-kunang yang jadi
penunjuk jalan?" ujar Gita.,
"Mungkin peliaraannya si nenek,"
kata Boma.
"Nenek-nenek itu nggak ngedatengin
kamu lagi Bom?" tanya Ronny.
Boma menggeleng. "Minta-minta sih
jangan deh."
"Emangnya, kenapa kau nanyain
nenek-nenek itu Ron?" tanya Gita.
"Kalau memang dia yang nolong kita,
kita pantas bilang terima kasih...."
jawab Ronny.
"Bom, kalau si nenek memang dateng
lagi bilang Ronny Celepuk mau ketemu,"
kata Gita.
"Gila! Jangan Bom!" kata Ronny.
"Gua bisa kojor duluan."
Boma dan kawan-kawannya tertawa.
"Bang, baksonya semangkok lagi!"
Tiba-tiba Vino berseru.
Gita langsung membuka mulut
"Nah, apa kata gua tadi! Kamu 'kan
yang paling banyak makannya!"
Vino senyum. "Mumpung lagi
ditraktir, Git."
Selesai makan bakso, waktu teman-
temannya sudah berdiri Boma memberi
isyarat pada Dwita agar tetap duduk. Lalu
pada teman-temannya Boma berkata. "Kalian
duluan aja balik ke rumahku. Aku mau
ngomong sebentaran sama Dwita."
"Wah, ada rahasia yang kita nggak
boleh denger 'nih bo," kata Ronny.
"Bom, kalau mau beduaan jangan di
warung bakso dong. Cari tempat yang lebih
representatip!" kata Vino.
"Ah, sok tau lu!" kata Gita sambil
menarik tangan Vino.
Setelah teman-temannya pergi Dwita
bertanya.
"Ada apa Bom?"
"Aku mau tanya." Boma meluruskan
badannya.
"Soal apa?"
"Satu hari sebelum aku keluar Rumah
Sakit PMI, ayahku ke kantor Rumah Sakit.
Nanyain berapa biaya perawatan yang harus
dibayar kalau aku pulang besoknya." Boma
sengaja tidak meneruskan kata-katanya,
menatap dalam ke mata anak perempuan yang
bening bagus itu. Coba melihat reaksi
Dwita. Tapi dia tidak melihat perubahan
pada wajah dan sepasang mata itu.
Mungkinkah anak ini pandai menyimpan
rahasia hatinya?
"Terus?" malah Dwita kini yang
bertanya.
"Menurut pegawai Rumah Sakit, semua
biaya perawatanku sudah ada yang bayar."
"Siapa?"
"Justru aku mau nanya sama kamu."
kata Boma.
Dwita unjukkan wajah heran. "Kok
nanya sama aku?"
"Jujur aja Dwita."
"Maksudmu?"
"Kau yang membayar?"
Dwita menatap wajah Boma sesaat.
Lalu tersenyum.
"Benar kamu yang bayar?" tanya
Boma.
Dwita menggeleng.
"Jangan bohong."
"Aku nggak bohong."
"Lalu siapa?"
"Mana Dwita tau Bom."
Boma terdiam. "Aneh. Kata pegawai
Rumah Sakit itu yang bayar perempuan."
"Perempuan 'kan banyak Bom."
"Sayang ayahku tidak nanyain ciri-
ciri orangnya. Jadi betul bukan kamu?"
"Buat apa sih aku bohong Bom."
Boma menowel hidungnya lalu
berdiri.
5.MISTERI SANG PEMBAYAR
RONNY CELEPUK mengusap-usap
hidungnya yang tinggi bengkok. "Ngapain
kau minta diantar ke Rumah Sakit PMI di
Bogor, Bom?"
"Aku masih penasaran Ron. Mau nyari
tau siapa yang bayarin perawatan waktu
aku dirawat"
"Aku curiga pasti Dwita. Habis
siapa lagi?"
"Dwita bilang nggak. Aku yakin dia
nggak bohong."
"Kalau gitu Trini. Kau udah tanya
cewek itu?"
"Ketemu lagi juga belum. Lagian,
aku masih sebel sama dia. Gara-gara
berita di tabloid itu." Boma diam
sebentar lalu meneruskan. "Menurut bokap
gue, pegawai yang melayani pembayaran itu
namanya Ibu Mardi. Aku musti nemuin dia.
Tanya."
Dari dalam saku kemejanya Boma
keluarkan sebuah foto. "Ini foto waktu
kita piknik ke Ciater dulu. Ada Trini,
ada Dwita. Aku mau kasih liat sama Ibu
Mardi. Pasti dia bisa ingat orangnya
kalau aku perlihatkan foto ini."
"Sebenarnya gua mau liat anak-anak
latihan ben di sekolahan. Tiga Minggu
lagi 'kan pesta perpisahan anak-anak
kelas tiga."
"Kalau kau nggak mau nganterin, aku
naik bis juga bisa." Kata Boma.
"Tuh, belon apa-apa kau udah
ngambek." Kata Ronny sambil tersenyum.
***
IBU MARDI pegawai Rumah Sakit PMI
Bogor orangnya tinggi kurus, berkaca mata
besar berusia hampir setengah abad.
"Oo, anak ini yang namanya Boma.
Yang dulu dirawat di sini?"
"Betul Bu. Ini teman saya Ronny.
Dia juga sama-sama dirawat."
"Wah, saya baca beritanya di
tabloid. Cerita adanya nenek-nenek
misterius di kamar adik tempo hari sudah
tersebar ke mana-mana."
Boma dan Ronny saling pandang.
"Ada kabar apa 'nak Boma?"
Boma lalu menerangkan maksud
kedatangannya.
"Wah, kejadiannya sudah lama juga.
Kalau ketemu orangnya lagi saya pasti
ingat..."
"Mungkin Ibu ingat ciri-cirinya?"
tanya Boma.
"Orangnya masih muda. Cantik.
Bajunya kalau tidak salah blus biru tua,
tangan panjang. Digulung...."
Ronny berbisik. "Bom, yang suka
pakai baju biru tangan panjang digulung
si Dwita. Pasti dia."
Dari balik baju jaketnya Boma
mengambil sebuah amplop. Dari dalam
amplop dikeluarkannya sehelai foto. Boma
menunjuk wajah Trini dalam foto.
"Mungkin yang ini orangnya Bu?"
tanya Boma.
Ibu Mardi memakai kacamatanya,
memperhatikan wajah Trini. Lalu
menggeleng. Boma menunjuk pada wajah
Dwita. "Kalau yang ini?"
Ibu Mardi betulkan letak kaca-
matanya, menatap lama. Akhirnya kembali
menggeleng. "Bukan.... Orang yang datang
membayar memang masih muda. Tapi tidak
semuda anak-anak dalam foto ini. Wajahnya
cantik gimana ya.,.. Banyak orang cantik
tapi yang satu itu cantiknya nggak bosan
dipandang. Ada anggunnya. Lebih dewasa
dari anak-anak ini. Bicaranya lembut...."
"Kulitnya putih, hitam, atau
mungkin belang-belang?" Ronny bertanya
konyol.
Ibu Mardi tertawa lebar.
"Seingat Ibu, orangnya berkulit
kuning langsat. Raut wajahnya mulus,
nggak ada flek nggak ada jerawat."
Boma memandang pada Ronny. "Kau
bisa ngeduga siapa orangnya Ron?"
"Sulit. Kayaknya kita nemuin jalan
buntu Bom."
"Nak Boma, memangnya ada apa?" Ibu
Mardi bertanya.
"Rasanya nggak enak aja Bu. Ada
orang baik, tapi kita nggak tahu siapa
orangnya. Nggak bisa bilang terima
kasih."
"Ya, 'Nak Boma betul juga. Mungkin
ada salah satu saudara ayah atau ibunya
'Nak Boma yang berbaik hati...."
"Mungkin Bu," jawab Boma. Tapi
dalam hati dia tahu betul bahwa hal itu
tidak mungkin. Semua keluarga ayah atau
ibunya hidup pas-pasan. Jangankan untuk
membayar uang perawatan rumah sakit,
untuk membayar uang sekolah dan uang
kuliah anak-anak sendiri saja mereka
sering-sering mengalami kesulitan.
Setelah mengucapkan terima kasih
Boma dan Ronny keluar dari kantor Rumah
Sakit.
Di halaman parkir sambil duduk di
jok Honda Tiger merah Ronny menyalakan
sebatang rokok.
"Gimana Bom?" tanya Ronny lalu
menghembuskan asap rokoknya.
"Aneh. Gua nggak habis pikir,"
jawab Boma lalu menowel hidungnya sampai
tiga kali. "Trini bukan, Dwita juga
bukan. Lalu siapa? Sekarang kita mau
nyelidik ke mana lagi?"
"Mungkin nggak nenek-nenek aneh
dari Gunung Gede yang nyelametin kita
itu?"
"Bego amat kamu Ron. Jelas Ibu
Mardi tadi bilang yang datang perempuan
muda cantik ayu. Bukan nenek-nenek!" Boma
berkata dengan wajah setengah bersungut
dan sambil mengambil helm yang tergantung
di stang motor.
"Gua sih nggak bego-bego amat Bom,"
jawab Ronny. "Mungkin aja nenek itu
muncul dengan bersalin rupa. Menyaru jadi
perempuan muda."
"Gue nggak mikir sampai ke situ
Ron," kata Boma. Anak ini terdiam
sejurus. "Ayo balik Ron. Cabut...."
"Cabut." kata Ronny Celepuk sambil
mencampakkan rokok yang baru setengah
dihisapnya.
Saat itu seorang anak perempuan
manis lewat di depan Ronny bersama
adiknya.
"Anak cakep, mau besuk siapa?"
Anak perempuan itu melirik sebentar
pada Ronny lalu buru-buru melanjutkan
langkahnya.
"Aduh somsenya. Lupa ya sama
Ronny."
Tiba-tiba seorang kakek bertongkat
tahu-tahu sudah berdiri di depan Ronny.
Orang tua ini menyeringai lebar,
memperlihatkan barisan giginya yang sudah
banyak ompong.
"Suka ya sama cucu Abah?" si kakek
menegur.
Ronny jadi salah tingkah.
"Kalau suka sama cucu Abah, musti
belajar tata tertib dulu. Itu tong sampah
segede gajah dekat di sebelah sana. Tapi
tadi Abah liat situ buang rokok di
jalanan seenaknya."
Ronny tersenyum pahit, cepat-cepat
naik ke atas motor.
"Kena batunya kau Ron," kata Boma
sambil duduk di belakang Ronny.
"Apes gua," jawab Ronny. "Gua kira
'tu cewek cuman sama adeknya."
"Mustinya tadi si Abah kau bujukin.
Tawarin rokok."
"Gila 'lu! Kalau diterima, kalau
kepala gue yang diketok sama tongkat!"
Boma tertawa mengakak. Dia
berpaling ke arah orang tua yang masih
berdiri di pelataran parkir lalu
melambaikan tangannya. Si kakek membalas
dengan mengacungkan tongkat. "Anak
sekarang, selalu tidak ada sopannya." Si
kakek menggerendeng sendiri lalu
membalikkan badan. Ketika mau melangkah
dia tidak melihat ada seekor kucing di
dekatnya. Salah satu kaki kucing
terinjak. Binatang ini mengeong keras
kesakitan, hampir mencakar. Si kakek
melompat kalang kabut, tongkatnya mental.
Dia sendiri nyaris jatuh kalau tidak
cepat berpegang pada gerobak penjual
minuman.
6.PENDEKAR TAHUN 2000
MBAK pantai selatan bergulung
ganas, memecah menghantam jajaran gugusan
bukit karang yang membujur dari barat ke
timur. Suara menggemuruh tiada henti
sepanjang siang sampai malam. Saat itu
tepat tengah hari. Sang surya bersinar
terik. Langit bersih tak berawan.
Hembusan angin sesekali terdengar seperti
suara tiupan seruling.
Di salah satu puncak bukit karang,
paling tinggi di antara semua bukit-bukit
karang yang ada di kawasan pantai
selatan, seorang tua berpakaian putih
rombeng, lusuh dan dekil tampak duduk
bersila di atas batu. Tetapi jika
diperhatikan, sosok orang tua ini
ternyata tidak menempel ke batu,
melainkan mengambang setinggi satu
jengkal di atas batu. Siapapun adanya,
orang tua ini jelas memiliki ilmu
kesaktian tinggi.
Angin laut meniup rambutnya yang
putih panjang sepunggung, menyibakkan
wajahnya yang sangat cekung di kedua pipi
dan rongga mata kiri kanan. Walau panas
menyengat, bisa membuat gosong kulit
manusia, apa lagi kulit lapuk si orang
tua, namun aneh dan luar biasa, kulit
muka orang tua ini kelihatan pucat pasi
seperti muka mayat. Dua matanya yang
terpuruk ke dalam rongga dalam membuat
tampangnya mengerikan luar biasa. Matanya
yang terbuka sedikit membersitkan sinar
dingin angker. Sudah enam hari enam malam
orang tua ini bersamadi dengan mata
nyalang di tempat itu. Dua tangan di
lipat di depan dada. Hari demi hari
sosoknya naik semakin tinggi dari atas
batu karang. Sesekali ada asap putih
kelabu mengepul dari ubun-ubun di batok
kepalanya.
Di penghujung sore sang surya
menggelincir ke barat. Udara berubah
temaram, dan mulai gelap ketika sang
surya lenyap seolah ditelan samudera
raya.
Malam itu adalah malam ke tujuh
dari tapa aneh yang dilakukannya. Deru
angin menyambar dingin. Di langit muncul
bulan sabit. Sepasang mata si orang tua
membuka lebih besar. Dalam gelapnya malam
tiba-tiba ada cahaya putih kebiru-biruan.
Lalu seperti keluar dari dasar laut
terdengar suara.
"Muka Bangkai! Hentikan tapamu! Aku
datang!"
Suara itu ternyata suara perempuan.
Melengking merobek langit. Di lain kejap
satu sosok mengerikan tahu-tahu telah
berdiri di hadapan orang tua yang
dipanggil dengan nama Muka Bangkai. Sosok
yang muncul adalah sosok seorang nenek
berjubah biru, berambut merah panjang
sekali, riap-riapan sampai menjejak batu
karang. Jari-jari tangan dan kaki
ditumbuhi kuku-kuku panjang berwarna
merah. Ketika dia memandang ke arah si
orang tua yang duduk mengapung di atas
batu karang, ternyata dia memiliki
sepasang mata angker yang juga berwarna
merah. Mulutnya yang pencong ke kiri
menyeringai. Lalu mulut itu membentak.
"Muka Bangkai, jangan membuat aku
menunggu dalam marah! Hentikan tapamu,
lekas berdiri!"
Sepasang mata orang tua Muka
Bangkai membesar. Dia sudah melihat
kedatangan sosok di hadapannya. Rahangnya
menggembung, pelipisnya bergerak
mendenyut, pertanda orang tua ini
sebenarnya tidak suka tapanya diganggu.
Tapi sadar siapa yang datang, si Muka
Bangkai cepat-cepat rundukkan tubuh
hingga keningnya menyentuh batu. Lalu
sekali menyentakkan diri tubuhnya melesat
satu tombak ke atas, perlahan-lahan turun
ke bawah, injakkan kaki di atas batu.
Ketika sosoknya berdiri ternyata si Muka
Bangkai bertubuh bungkuk.
"Eyang Kunti Api, Guru! Aku muridmu
Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat
mengucapkan selamat datang. Namun mohon
maaf, menyesal sekali kalau murid
mengatakan kemunculanmu tidak tepat
waktu..."
"Tidak tepat waktu?! Apa
maksudmu?!" bentak nenek bernama Kunti
Api.
"Murid sedang bertapa. Tengah
merampungkan satu ilmu baru. Kedatangan
Guru membuyarkan dan membatalkan tapa
murid. Berarti murid harus mengulang dari
semula."
Kunti Api pelototkan mata lalu
meludah.
"Murid kufur! Apakah tapamu lebih
penting dari kedatanganku?! Apakah kau
berani menolak pertemuan ini?! Jawab?!"
Sepuluh kuku tangan dan kaki Kunti Api
pancarkan sinar menyeramkan. Pertanda
amarah telah menyelubungi dirinya.
Asap putih kelabu di atas ubun-ubun
Si Muka Bangkai membubung ke atas
pertanda kakek ini juga mulai dirasuk
kemarahan.
Kunti Api tiba-tiba keluarkan tawa
mengekeh.
"Murid sombong! Aku mau lihat
sampai dimana kehebatan ilmu kepandaianmu
hari ini!"
Habis berkata begitu si nenek
gerakkan tangan kanannya.
"Wusss!"
Puncak bukit karang yang gelap itu
jadi terang benderang.
Lima larik sinar merah berkiblat
menghantam ke arah lima sasaran di kepala
dan tubuh Si Muka Bangkai. Si kakek
menjerit kaget. Secepat kilat dia
hentakkan kaki kanannya ke batu karang.
Tubuhnya melesat ke udara. Di udara dia
membuat gerakan jungkir balik. Ketika dia
berhasil selamatkan diri dan tegak
kembali di atas batu karang, mukanya
tambah pucat seolah darahnya baru saja
disedot habis. Matanya membujur keluar,
menatap ke arah nenek berambut merah
panjang riap-riapan yang berdiri di
hadapannya sambil umbar tawa bergelak.
"Eyang! Kau mau membunuh murid
sendiri?!" teriak Si Muka Bangkai.
"Kalau memang kau perlu kuhabisi
apa salahnya?!" jawab si nenek. "Kau
berhasil selamatkan diri dari seranganku
tadi. Aku merasa lega walau cuma
sedikit."
Merinding juga Si Muka Bangkai
mendengar jawaban sang guru.
"Guru, aku mohon maaf. Antara kita
memang selalu terjadi saling salah
mengerti...."
"Itu karena kau selalu menghadirkan
sikap sombong congkak. Tidak memandang
sebelah mata pada orang lain. Sampai-
sampai aku gurumupun kau perlakukan acuh
tak acuh! Dan sifat burukmu itu sudah kau
turunkan pula pada muridmu Pangeran
Matahari!" (Mengenai Si Muka Bangkai dan
Pangeran Matahari harap baca buku-buku
serial "Wiro Sableng" Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212).
"Guru, Eyang Kunti Api, tidak
maksud murid berlaku kurang ajar
terhadapmu...."
"Sudah, aku sudah lama tahu
sifatmu. Kau memang kurang ajar! Ayo, kau
masih mau menjawab?!" bentak Eyang Kunti
Api.
"Eyang, maaf kan saya. Mohon kau
mau memberi tahu maksud kedatanganmu,"
kata Si Muka Bangkai sambil merunduk.
"Karena mengejar ilmu kau tidak
mengetahui apa yang tengah terjadi di
dunia sana. Telingamu jadi tuli, matamu
jadi buta."
"Eyang Guru, aku selalu
memerintahkan muridku Pangeran Matahari
untuk memantau keadaan di delapan penjuru
angin. Dia selalu datang memberikan
laporan pada waktu-waktu tertentu. Hanya
saja, belakangan ini dia sudah lama tidak
muncul. Belum murid ketahui dimana dia
berada. Eyang Guru, mohon murid diberi
tahu apa yang tengah terjadi di dunia
sana?"
"Seseorang tengah menyusun satu
rencana besar. Rencana besar yang sangat
berbahaya bagi kita dan kawan-kawan dari
dunia hitam."
"Eyang, mohon diberi tau siapa
adanya seseorang itu dan apa rencana
besar yang Eyang maksudkan itu."
"Sinto Gendeng, nenek jahanam dari
Gunung Gede...!"
"Ah, dia rupanya yang punya
peranan," ujar Si Muka Bangkai. "Apa yang
tengah dilakukannya, Eyang?"
"Tua bangka itu tengah merencanakan
kehadiran seorang pendekar baru. Pendekar
Tahun 2000."
"Pendekar Tahun 2000?" mengulang Si
Muka Bangkai.
"Jika hal itu sampai kejadian, ini
merupakan satu malapetaka besar bagi kita
semua dari golongan hitam. Lebih celaka
kita tak akan mampu menguasai dunia
sana."
"Kalau begitu kita harus melakukan
sesuatu Eyang Guru."
"Apa yang ada dalam benakmu, Muka
Bangkai?"
"Menghancurkan rencana Sinto
Gendeng." Jawab Si Muka Bangkai alias Si
Muka Mayat, guru Pangeran Matahari dari
puncak Gunung Merapi.
"Tepat. Katakan bagaimana
caranya?!" tanya Kunti Api.
"Dua cara. Pertama habisi Sinto
Gendeng. Kedua habisi sang calon
pendekar."
Eyang Kunti Api dongakkan kepala.
Dari sepasang matanya keluar memancar
sinar merah menembus kegelapan malam.
"Muridku Muka Bangkai, katakan
padaku. Siapa yang bakal melakukan semua
itu. Siapa yang akan menghabisi Sinto
Gendeng dan Pendekar Tahun 2000?!"
Kakek bermuka sepucat mayat
berpikir sejenak lalu menjawab. "Aku akan
perintahkan muridku Pangeran Matahari
melakukan dua tugas itu."
"Tolol sekali!" tiba-tiba si nenek
rambut merah membentak sambil hunjamkan
kaki kiri ke batu karang hingga bukit
batu itu bergetar hebat, membuat sosok
bungkuk Si Muka Bangkai terhuyung-huyung.
"Apa menurut otak tololmu Pangeran
Matahari muridmu itu akan mampu
menghadapi si jahanam Sinto Gendeng?"
"Maafkan murid jika berpikir
terlalu picik. Eyang, aku mohon
petunjukmu," kata Si Muka Mayat pula.
"Yang kita hadapi satu urusan
besar. Maha penting, sangat berbahaya,
bukan main-main. Karena semua ini akan
menentukan masa depan orang-orang
golongan hitam di dunia sana. Itu
sebabnya aku sengaja menyempatkan diri
menemuimu. Karena aku datang untuk
memberi perintah. Kau sendiri yang harus
turun tangan menghabisi Sinto Gendeng.
Bukan muridmu!"
Pandangan dua mata Si Muka Bangkai
sampai tak berkesip saking terkejut
mendengar ucapan gurunya itu.
"Muka Bangkai, kau seperti tidak
suka mendengar ucapanku. Apa lagi
menjalankan perintah!"
Si Muka Bangkai menahan diri.
"Eyang Kunti Api, bukan maksudku
mengecilkan arti kedatanganmu. Bukan
maksudku tidak mementingkan kehidupan dan
kekuasaan golongan kita di dunia sana.
Jika kau yang memberi perintah, murid
mana berani menolak."
"Hemm... Kau sendiri, apakah kau
merasa sanggup menghabisi Sinto Gendeng?"
"Ilmu kesaktian nenek itu memang
banyak meningkat beberapa tahun
belakangan ini. Tapi aku tidak gentar.
Tugas Guru akan kulaksanakan dengan
sebaik-baiknya."
"Bagus, tapi jangan takabur Muka
Bangkai."
"Takabur bagaimana Eyang?"
"Walaupun kepandaianmu tidak
dibawah tingkat kepandaian Sinto Gendeng
namun kau perlu berjaga diri. Ada satu
ilmu Sinto Gendeng yang mungkin sulit kau
tembus...."
"Katakan ilmunya yang mana dan
mungkin Eyang Guru tahu bagaimana cara
aku menghadapinya?" tanya Si Muka
Bangkai.
"Aku tak tahu apa nama ilmu
kesaktiannya itu. Dari matanya bisa
memancar dua larik sinar pekat biru.
Selama ini tidak satu kekuatanpun sanggup
menghadapinya. Karena kesaktiannya itu
berpusat pada sepasang matanya, maka
untuk mengalahkannya kau harus sanggup
mencongkel ke dua matanya itu. Untuk itu
aku akan meminjamkan sepuluh kuku jariku
padamu. Congkel dua mata Sinto Gendeng
dengan ilmu Sepuluh Cakar Iblis. Kalau
dua matanya sudah dicongkel, daya
kekuatannya akan sirna. Ilmunya yang lain
tak usah kau kawatirkan. Dan ingat satu
hal! Sebelum kau membunuh nenek jahanam
itu, kau harus mengorek keterangan. Siapa
adanya bocah yang hendak dijadikannya
sebagai Pendekar Tahun 2000 itu!"
"Terima kasih atas petunjukmu Eyang
Kunti. Tapi murid tidak memiliki ilmu
Sepuluh Cakar Iblis karena selama ini
Eyang belum pernah mengajarkannya
padaku..."
"Jangan kau menyindirku Muka
Bangkai!" tukas Kunti Api. "Ulurkan dua
tanganmu. Kembangkan telapak tanganmu!"
Si Muka Bangkai menurut. Dia
ulurkan ke dua tangannya. Begitu dua
telapak tangan dikembangkan, Kunti Api
segera tempelkan dua tangannya lalu
kerahkan hawa sakti yang ada dalam
tubuhnya.
Dua sinar merah membungkus tangan
kiri kanan Si Muka Bangkai. Hawa panas
ikut menjalar membuat si muka pucat ini
bergetar sekujur tubuhnya. Mukanya yang
seperti mayat sesaat tampak merah padam.
Dia merasa seperti leleh. Tidak
sanggup menahan Si Muka Bangkai keluarkan
jeritan keras. Tubuhnya terpental jatuh,
punggung terbanting di atas batu karang.
Mulutnya kucurkan darah kental berwarna
merah kehitaman. Matanya mendelik.
Tubuhnya mengepul kelojotan disertai
suara erangan tak berkeputusan seperti
orang mau sekarat.
Eyang Kunti Api keluarkan suara
tertawa panjang. Begitu suara tawanya
sirna sosoknya ikut lenyap.
Hawa panas yang membungkus tubuhnya
perlahan-lahan berkurang lalu lenyap sama
sekali. Perlahan-lahan Si Muka Bangkai
bangkit berdiri, memandang berkeliling.
Tapi tidak melihat gurunya. Ketika dia
memperhatikan dua tangannya kagetlah
kakek ini. Tapi diam-diam juga merasa
gembira. Sepuluh jari tangannya kini
ditumbuhi kuku-kuku panjang berwarna
hitam. Berarti kini dia memiliki satu
ilmu baru yang selama ini memang
diinginkannya. Terngiang kembali ucapan
gurunya.
"Congkel dua mata Sinto Gendeng
dengan ilmu Sepuluh Cakar Iblis. Kalau
dua matanya sudah dicongkel, daya
kekuatannya akan sirna...."
Si Muka Bangkai menyeringai.
Perlahan dia berucap. "Sinto Gendeng,
tunggu bagianmu. Kita sudah lama
berseteru. Kali ini jangan berani berlaku
congkak. Ajalmu sudah di depan mata!"
7.SINTO GENDENG DISERBU
WALAU malam itu Si Muka Bangkai
telah sampai di puncak Gunung Gede, namun
dia tidak segera mendatangi pondok kayu
kediaman Sinto Gendeng. Menggempur
seorang sakti setingkat Sinto Gendeng
pada malam hari terlalu berbahaya. Bukan
mustahil pondok kayu itu dipasangi segala
macam senjata rahasia yang bisa
membantainya sebelum tugas terlaksana.
Dari tempat tersembunyi Si Muka Bangkai
mengawasi bangunan itu. Ada lampu menyala
di dalam pondok, pertanda penghuninya ada
di tempat itu.
Pagi hari, baru saja sang surya
muncul menampakkan diri dan puncak Gunung
Gede disapu cahaya terang benderang. Si
Muka Mayat segera keluar dari
persembunyiannya, berkelebat mengelilingi
pondok dua kali lalu berdiri bungkuk dan
berkacak pinggang di depan pintu pondok.
"Sinto Gendeng, aku Si Muka Bangkai
datang untuk minta kau punya nyawa!"
Si Muka Bangkai berteriak sampai
tiga kali, lalu melesat ke atas wuwungan
pondok kayu. Menunggu. Sekian lama dia
berada di atas atap pondok, tak terdengar
suara gerakan di dalam rumah. Tak ada
yang keluar. Si Muka Bangkai merutuk
sendiri dalam hati.
"Malam tadi ada lampu menyala.
Nenek jahanam itu pasti ada dalam pondok.
Kini diteriaki mengapa dia diam saja?
Jangan-jangan sudah merat dinihari tadi?"
Dari atas atap kembali Si Muka Bangkai
berteriak. Tetap saja tak ada gerakan tak
ada yang keluar dari dalam pondok. "Aku
harus bertindak!" Si Muka Bangkai
mengambil keputusan.
Sekali kakinya menghantam atap
pondok jebol berantakan. Lewat atap yang
jebol kakek ini melesat masuk ke dalam
pondok. Memandang berkeliling pondok dia
dapatkan bangunan itu dalam keadaan
kosong. Lampu minyak yang menempel di
dinding tidak menyala.
"Kurang ajar! Aku kena ditipu.
Nenek jahanam itu pasti sudah kabur
menjelang pagi tadi. Pengecut!"
Si Muka Bangkai ingat sesuatu. Dia
mendongak dan menghirup udara dalam-
dalam.
"Aku tak mencium bau pesing. Nenek
jahanam itu jelas-jelas memang sudah
kabur!" Kakek muka pucat itu mendumal
seorang diri.
Saking marahnya Si Muka Bangkai
hancurkan perabotan yang ada di dalam
pondok. Yakni sebuah balai-balai kayu,
satu meja dan satu kursi reyot. Ketika
dia melihat gentong besar yang terletak
di sudut ruangan, sesaat dia menaruh
curiga.
"Jangan-jangan bangsat itu sembunyi
di dalam gentong! Tolol! Kau kira bisa
memperdayai diriku!" Si Muka Bangkai
umbar tawa bergelak. Bersamaan dengan itu
dia hantamkan dua tangannya. Sepuluh
larik sinar merah melesat ke arah gentong
besar terbuat dari tanah.
"Braaakkk!"
"Byaaarr!"
Gentong tanah hancur berantakan.
Tapi Sinto Gendeng ternyata tidak
sembunyi di dalam gentong. Gentong itu
kosong! Si Muka Bangkai terbungkuk-
bungkuk memaki panjang pendek. Pintu
depan dihajarnya dengan tendangan. Kakek
ini lalu melesat keluar pondok. Matanya
menyorot merah. Masih kurang puas dia
menyelidik seputar pondok. Di sudut luar
pondok sebelah kiri belakang dia melihat
sebuah gentong besar. Lebih besar dari
yang tadi dihancurkannya di dalam pondok.
Di atas tutupan gentong ada sebuah gayung
terbuat dari batok kelapa. Mungkin karena
marah, mungkin juga karena sudah lama
tidak meneguk air. Si Muka Bangkai merasa
haus. Dia dekati gentong besar, mengambil
gayung dan membuka penutup gentong. Air
gentong kelihatan jernih, penuh sampai ke
leher gentong.
Si Muka Bangkai celupkan gayung
batok kelapa ke dalam gentong. Sehabis
minum sekalian dia hendak mencuci muka
dan membasahi rambut. Tetapi apa yang
terjadi kemudian membuat guru Pangeran
Matahari ini menjadi kaget setengah mati.
Dengan mata mendelik besar dia
memperhatikan bagaimana gayung yang
hendak diangkat dan didekatkan ke
mulutnya kini telah buntung. Kepala
gayung dari batok kelapa tak ada lagi di
ujung gagang gayung! Di saat bersamaan Si
Muka Bangkai mencium bau pesing. Bau itu
datang menyambar dari dalam gentong
besar.
Penuh curiga kakek bungkuk ini
berjingkat, ulurkan kepala dekat-dekat
agar bisa melihat ke dalam gentong lebih
jelas. Pada saat itulah tiba-tiba satu
tangan kurus kering berkulit hitam
melesat dari dalam gentong. Si Muka
Bangkai tersentak kaget. Dia berusaha
jauhkan kepalanya dari mulut gentong tapi
terlambat. Satu jotosan keras melanda
dagu Si Muka Bangkai.
Kakek itu menjerit keras. Tubuhnya
mencelat sampai dua tombak. Dagunya
serasa hancur. Kepalanya laksana tangga.
Mukanya jadi pencong tak karuan. Selagi
Si Muka Bangkai pegangi dagu dan kepala
sambil meraung kesakitan, dari dalam
gentong besar melesat keluar sosok basah
kuyup seorang nenek-nenek mengenakan
kebaya dan kain panjang butut. Di
kepalanya menancap lima tusuk konde
terbuat dari perak putih. Dari mulutnya
mengumbar suara tawa bergelak. Berdiri di
tanah tangan kanan berkacak pinggang,
tangan kiri menuding ke arah Si Muka
Bangkai.
"Kasihan! Tamu datang dari jauh
ingin minum. Mau cuci muka. Tapi
gayungnya amblas. Hik... hik... hik! Biar
aku tolong. Tidak kepalang tanggung. Biar
mandi dan cebok sekalian! Hik... hik...
hik!"
Habis berkata begitu Sinto Gendeng
angkat tangan kanannya. Gentong besar
penuh air bergerak. Luar biasa sekali.
Perlahan-lahan gentong ini naik ke atas
setinggi kepala manusia lalu melayang ke
arah Si Muka Bangkai. Di atas sosok si
kakek gentong bergerak membalik. Air bau
pesing dalam gentong yang sudah bercampur
air kencing si nenek mencurah deras,
mengucur tumpah membasahi sekujur kepala
dan tubuh Si Muka Bangkai.
Dalam menahan sakit dan ledakan
amarah yang tidak tertahan Si Muka
Bangkai hantamkan tangan kanannya ke
atas.
"Braaakkk! Byaaar!"
"Buuurrr!"
Gentong besar pecah berantakan.
Seluruh air tumpah membasahi Si Muka
Bangkai. Sinto Gendeng kembali tertawa
cekikikan.
"Sinto Gendeng keparat! Amblas
nyawamu!"
Si Muka Bangkai berteriak. Serentak
dengan itu dia kirimkan serangan ganas.
Sepuluh jari tangan keluarkan kilatan
cahaya merah, menghantam ke arah si
nenek. Kaget Sinto Gendeng bukan
kepalang. Dia sudah lama berseteru dengan
kakek satu itu dan tahu betul setiap ilmu
yang dimiliki Si Muka Bangkai. Kalau hari
itu dia bisa menyerang dengan sepuluh
larik sinar merah yang luar biasa hebat
dan panasnya, sungguh dia tidak menduga.
Guru Pendekar Wiro Sableng ini segera
berkelebat selamatkan diri tapi tak urung
bahunya masih sempat terserempet salah
satu larikan sinar merah hingga si nenek
menjerit kesakitan. Bahunya yang luka
kepulkan asap kelabu. Di belakang sana
larikan sinar merah yang dilepaskan Si
Muka Bangkai melabrak pondok kayu. Pondok
itu hancur berantakan dan musnah dilalap
kobaran api.
"Jahanam kurang ajar! Kau memang
sengaja datang mengantar nyawa!" Sinto
Gendeng membentak marah. "Kau hancurkan
pondokku. Kini kuhancurkan tubuhmu!" Si
nenek pukulkan tangan kanannya. Dia
keluarkan jurus bernama "Kilat Menyambar
Puncak Gunung" tapi yang sebenarnya
dilepaskan adalah pukulan sakti bernama
"Benteng Topan Melanda Samudera".
Tempat itu laksana dilanda topan.
Deru angin bukan olah-olah dahsyatnya.
Tanah, batu dan pasir berhamburan ke
udara. Pohon-pohon bergoyang hebat,
cabang dan rerantingan serta semak
belukar patah beterbangan. Sosok bungkuk
Si Muka Bangkai bergetar hebat. Dada
terangkat, kepalanya seperti hendak
tanggal. Dua kakinya goyah. Perlahan-
lahan mulai terangkat. Dia kerahkan
seluruh tenaga dalam. Mata melotot ke
depan, dua telapak tangan terpentang ke
arah Sinto Gendeng. Mulutnya yang tadi
kena dihajar pencong berkomat-kamit.
Sinto Gendeng keluarkan suara
menggeram ketika melihat bagaimana
kekuatan tenaga dalam lawan sanggup
membendung serangannya. Selangkah demi
selangkah dia maju mendekati Si Muka
Bangkai. Kakek bungkuk muka pucat tak
tinggal diam. Dia segera pula bergerak ke
depan menyongsong lawan. Tinggal tiga
langkah lagi tiba-tiba keduanya sama-sama
membentak hebat dan hantamkan seluruh
tenaga dalam yang mereka miliki.
Dua jeritan dahsyat menggeledek
keluar dari mulut Sinto Gendeng dan Si
Muka Bangkai. Bedanya kalau si nenek
terpental sampai tiga tombak maka sang
kakek mencelat empat tombak dan masih
terguling lagi di tanah dengan tubuh dan
wajah berkelukuran. Bedanya lagi kalau
Sinto Gendeng menjerit murni keluarkan
suara maka Si Muka Bangkai menjerit
sambil semburkan darah segar! Jelas dalam
hal tenaga dalam dan hawa sakti guru
Pangeran Matahari itu masih berada di
bawah guru Pendekar 212 Wiro Sableng.
Terbungkuk-bungkuk, sambil menyeka
darah yang berselomotan di mulutnya Si
Muka Bangkai bangkit berdiri. Tampangnya
semakin pucat angker. Memandang ke depan
dilihatnya Sinto Gendeng telah lebih dulu
berdiri sambil berkacak pinggang,
menyeringai komat-kamit permainkan susur
di dalam mulutnya yang perot.
"Sinto Gendeng, jangan mengira kau
telah mengalahkan diriku!" tiba-tiba Si
Muka Bangkai keluarkan ucapan.
"Ketahuilah hari ini adalah hari
kematianmu! Tapi aku Si Muka Bangkai
berjanji akan membiarkan utuh jazadmu,
jika kau mau menjawab satu pertanyaanku!"
Sinto Gendeng semburkan ludah
susurnya lalu tertawa mengikik. "Ada
orang mau membunuh pakai perjanjian
segala! Hik... hik.... hik! Apa kau tidak
sadar kalau nyawa dalam tubuhmu saat ini
sebenarnya hanya tinggal setengah?!
Hik... hik... hik!"
"Keparat jahanam!"" Si Muka Bangkai
memaki sambil pukulkan tangan kanan. Lima
larik sinar api merah serta-merta
menyambar ke arah si nenek. Sinto Gendeng
cepat melompat. Dari atas dia lepaskan
pukulan sakti yang selama ini telah
menggetarkan delapan penjuru rimba
persilatan. Pukulan "Sinar Matahari."
Tangan si nenek mulai dari jari
sampai ke siku berubah menjadi putih
perak menyilaukan. Ketika tangan itu
dipukulkan maka berkiblatlah cahaya panas
mengerikan, menyambar ke arah Si Muka
Bangkai.
Hebatnya Si Muka Bangkai seperti
tidak perduli dengan datangnya serangan
maut itu. Dia angkat dua tangannya ke
atas. Jari-jari berkuku panjang menekuk
demikian rupa, memancarkan sinar merah.
Ketika cahaya putih panas pukulan "Sinar
Matahari" sampai di hadapannya, Si Muka
Bangkai putar dua tangan, membuat gerakan
seperti menangkap! Sungguh luar biasa!
Sinto Gendeng sampai melotot besar
menyaksikan bagaimana cahaya putih
pukulan sakti yang dilepaskannya berhasil
ditangkap lawan. Dan belum habis kagetnya
tiba-tiba Si Muka Bangkai lemparkan
cahaya putih panas itu ke arahnya,
disertai dengan serangan sepuluh sinar
merah!
Selagi Sinto Gendeng jungkir balik
selamatkan diri sambil membentengi tubuh
dengan dua pukulan sakti yakni "Tameng
Sakti Menerpa Hujan" dan "Dinding Angin
Berhembus Tindih Menindih" tiba-tiba Si
Muka Bangkai melesat ke depan. Sepuluh
jari tangan kanannya yang berkuku panjang
menyambar ke arah dua mata si nenek.
Sepuluh Cakar Iblis!
"Crass!"
Walau Sinto Gendeng mampu bergerak
cepat selamatkan matanya namun salah satu
cakaran lawan masih sempat menyerempet
pelipis kirinya hingga kulit mukanya yang
tipis hitam tergores dalam dan kucurkan
darah!
Sinto Gendeng keluarkan suara
menggembor dahsyat. Dia hendak menghantam
dengan dua pukulan sekaligus, mengerahkan
tenaga dalam penuh. Namun selintas
pertanyaan muncul dalam benaknya. Mengapa
lawan sengaja menyerang dua matanya?
Pasti ada maksud tertentu. Si nenek
kemudian ingat pada ilmu kesaktian yang
bersumber pada sepasang matanya.
"Hemmm... Tua bangka keparat ini
menyerang dengan ilmu Sepuluh Jari Iblis.
Setahuku dia dulu tidak memiliki ilmu
itu. Sepuluh jari tangannya tidak berkuku
panjang. Dia ingin mencungkil dua mataku.
Dia hendak melumpuhkan ilmu yang
bersumber pada kekuatan yang tersimpan
dalam mataku!" Si nenek meludah ke tanah.
Melihat Sinto Gendeng tegak seperti
tertegun, Si Muka Bangkai mengira lawan
telah leleh nyalinya. Maka dia pun
membentak.
"Sinto Gendeng! Katakan siapa nama
pemuda yang hendak kau jadikan Pendekar
Tahun 2000!"
Sinto Gendeng terkesiap mendengar
pertanyaan itu. Keningnya yang hitam
mengerenyit. Dia tahan gejolak hatinya.
Lalu menyeringai.
"Tua bangka muka mayat! Siapa yang
menyuruhmu menanyakan hal itu?!"
"Aku datang sendiri dan ajukan
pertanyaan sendiri! Tak ada yang
menyuruh!" jawab Si Muka Bangkai. "Kau
mau menjawab atau mampus percuma?!"
"Tua bangka muka pucat! Kau
berdusta! Sekarang biar aku memilih
mampus percuma! Aku mau lihat bagaimana
kau melakukannya!" jawab Sinto Gendeng
lalu tertawa cekikikan.
Asap putih kelabu mengepul dari
batok kepala Si Muka Bangkai. Untuk dapat
mencungkil dua mata lawan dia harus
bertempur dalam jarak pendek. Sebelum
berkelebat mendekati si nenek, kakek ini
lepaskan pukulan sakti larikan sepuluh
api merah. Ketika lawan berkelit untuk
selamatkan diri, laksana terbang dia
melesat ke arah Sinto Gendeng. Tapi Sinto
Gendeng dua jengkal dari atas tanah. Dua
mata yang mendelik besar dikedipkan.
Bersamaan dengan itu terdengar suara
berdesir. Dua larik sinar biru menyambar
bersilang laksana dua belah pedang,
membabat dan menusuk ke arah Si Muka
Bangkai. Kakek ini berseru kaget. Dia
belum sempat mendekati lawan tapi Sinto
Gendeng sudah mendahului dengan serangan
yang paling ditakutinya.
Untuk selamatkan diri dengan
mengelak sudah tidak mungkin. Si Muka
Bangkai berjibaku membentengi tubuh
dengan pukulan sepuluh larik sinar api.
"Wusss! Wussss!"
"Bummmm!"
Ledakan keras menenggelamkan
jeritan yang keluar dari mulut Si Muka
Bangkai. Dia berhasil selamatkan diri
dari dua larik sinar biru yang mematikan,
namun untuk itu dia terpaksa merelakan
tangan kirinya. Tangan itu hancur putus
sebatas siku. Si Muka Bangkai sendiri
terpental ke udara. Sinto Gendeng ikuti
sosok lawan dengan gerakan dua matanya.
Mata dikedipkan. Dua larik sinar biru
kembali menggebu. Kali ini Si Muka
Bangkai tidak punya kesempatan untuk
mengelak atau menangkis. Sesaat lagi
tubuhnya akan hancur ditembus dua larik
sinar maut itu tiba-tiba satu bayangan
biru disertai rambut merah riap-riapan
berkelebat di udara. Dengan cepat
bayangan ini menarik tubuh Si Muka
Bangkai lalu memanggulnya. Sebelum
berkelebat lenyap si jubah biru berambut
merah hantamkan tangan kanannya ke arah
Sinto Gendeng. Segulung kobaran api
melabrak dahsyat. Sinto Gendeng cepat
bentengi tubuh dengan pukulan "Benteng
Topan Melanda Samudera" lalu dari matanya
dia semburkan dua larik sinar biru.
Untuk kedua kalinya puncak Gunung
Gede dilanda dentuman dahsyat akibat
bentrokan dua ilmu kesaktian hebat. Sinto
Gendeng tegak tergontai-gontai, wajah
berkerut kelam. Memandang ke depan Si
Muka Bangkai dan orang yang menolongnya
telah lenyap.
Sinto Gendeng menggeram. Walau cuma
sekilas namun dia sudah bisa menduga
siapa adanya orang yang menolong dan
melarikan Si Muka Bangkai.
"Kunti Api.... Dedengkot golongan
hitam itu masih gentayangan rupanya.
Pasti dia yang menyuruh Si Muka Bangkai
untuk mencelakai diriku...." Si nenek
geleng-gelengkan kepala. "Orang-orang
dari dunia hitam agaknya telah bergerak.
Anak setan itu. Aku harus segera
menemuinya. Orang-orang golongan hitam
sudah tahu rencana besarku. Anak itu
dalam bahaya. Dirinya harus segera diisi
ilmu kepandaian...."
8.MUSIBAH DATANG LAGI
LALU LINTAS di Jalan Kramat Raya
padat sekali. Boma berdiri di sebuah
halte, menunggu bus. Siang itu udara agak
mendung. Semua orang termasuk para
pengemudi kendaraan berusaha secepat
mungkin untuk sampai ke tujuan masing-
masing sebelum hujan turun. Akibatnya
kemacetan mulai terjadi di beberapa
persimpangan. Kecuali motor, kendaraan
lain hanya mampu bergerak seperti
merangkak.
Sebuah bajaj bergerak tersendat-
sendat, berusaha menyelinap di antara
kepadatan lalu lintas. Di depan halte
kendaraan ini tak bisa lagi maju.
Pengemudi bajaj tampak kesal. Penum
pangnya, seorang perempuan separuh baya,
bertubuh gemuk menyeka peluh yang
membasahi wajah. Di lehernya tergantung
seuntai kalung emas. Pada lengan kirinya
ada gelang keroncong berjumlah tiga buah.
Tiba-tiba seorang lelaki berbadan
tegap yang sejak tadi berada di halte di
antara kerumunan orang yang menunggu bus,
mengenakan blujins dekil dan kaos oblong
hitam, melangkah cepat mendekati bajaj.
Dari gulungan koran yang dibawanya
mencuat sebilah belati. Ujungnya langsung
ditempelkan ke perut perempuan di atas
bajaj.
"Tereak gua tikem!" gertak si tubuh
besar. Tangan kanan siap menusukkan
belati, tangan kiri dengan cepat
menjambret kalung di leher.
"Gelang, buka! Cepat!"
Ketakutan setengah mati perempuan
di atas bajaj lakukan perintah penodong.
Tapi karena gugup gelang tak mau keluar
dari pergelangan tangannya. Dengan kasar,
penodong pergunakan tangan kiri
menanggalkan gelang. Dua gelang lolos,
tinggal satu.
Semua itu terjadi di depan mata
Boma. Tengkuknya merinding. Ada rasa
takut, ada rasa kasihan. Tapi juga ada
rasa geram. Di halte banyak orang laki-
laki yang ikut menyaksikan peristiwa
penodongan itu. Namun tidak seorangpun
berani atau tergerak hatinya untuk
menolong. Boma memaki dalam hati.
"Segini banyak orang. Nggak ada
yang mau nolong!"
Jari-jari tangan Boma bergerak tak
bisa diam. Dadanya berdebar keras.
Penodong berusaha membetot gelang
ke tiga.
Saat itulah Boma berteriak lalu
menerjang, mendorong si penodong hingga
terjajar ke samping bajaj. Tiba-tiba dari
samping, seorang lelaki tinggi kurus
dengan cacat bekas luka di pipi kiri
mencekal kerah kemeja Boma. Lalu sebuah
benda menempel di perut anak ini. Ketika
Boma melihat ke bawah ternyata benda itu
adalah sebilah celurit berkilat.
"Anak ingusan jangan sok jadi jago!
Mau mampus lu!"
Boma menggigil. Bukan menggigil
takut, tapi menggigil nekad. Anak yang
pernah ikut latihan karate ini menepiskan
tangan yang memegang badik. Bersamaan
dengan itu sikutnya bergerak ke belakang
untuk menghantam dada orang. Tapi Boma
salah perhitungan, kalah kecepatan.
Tangan yang memegang badik bergerak. Boma
merasa perutnya dingin. Lalu ada darah
menyembur dari perutnya. Boma menjerit,
terhuyung-huyung bersandar ke bajaj.
Perempuan di atas bajaj menjerit lebih
keras dari jeritan Boma lalu terguling
pingsan. Orang yang menclurit Boma
berkelebat di antara kendaraan macet.
Lari ke seberang jalan di mana telah
menunggu dua temannya di atas sepeda
motor yang mesinnya sudah dihidupkan.
Clurit dibuang di tengah jalan. Penodong
yang tadi didorong Boma berusaha kabur
menyusul temannya. Namun Boma masih punya
daya dan kesempatan menjegal kakinya
hingga penodong ini terjerembab ke aspal.
Dia mencoba bangun, mau lari lagi. Saat
itulah orang banyak di halte yang tadi
diam saja mulai bergerak. Menggebuk dan
menendang. Sebentar saja si penodong
terkapar kembali di aspal. Muka babak
belur tubuh lebam.
Boma pegangi perutnya. Tangannya
terasa panas oleh darahnya sendiri. Kaki
goyah. Beberapa orang dilihatnya
mendatangi hendak menolong. Dia masih
sadar ketika tubuhnya digotong ke dalam
sebuah taksi. Mulut Boma tidak henti
mengucap menyebut nama Tuhan. Sewaktu
kendaraan itu mulai bergerak Boma tak
ingat apa-apa lagi.
***
KETIKA Boma sadar dia dapatkan
dirinya terbaring di atas tempat tidur.
Matanya sesaat menatap langit-langit
kamar. Dia sadar itu bukan kamar
tidurnya. Ada rasa perih di bagian
perutnya. Lalu di sebelahnya terdengar
ada suara berkata perlahan.
"Teman-teman, Boma udah sadar."
Boma Tri Sumitro gerakkan kepala ke
samping.
"Ron.... Kok kamu ada di sini?"
Boma melihat Ronny. Lalu di situ juga ada
Vino, Andi dan Firman.
"Tadi Gita sama Rio juga ada di
sini. Gita pulang duluan diantar Rio.
Ayah sama ibumu ada di luar. Aku suruh
masuk mereka...."
"Tunggu. Memangnya aku di mana?"
"Kau di RSCM!" jawab Ronny.
"Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo?"
tanya Boma. "Jangan becanda Ron."
"Ajie gile. Siapa yang becanda.
"Tanya aja sama teman-teman yang ada di
sini."
Boma memandang pada Andi, Vino,
Firman. Ke tiga anak ini sama-sama
anggukkan kepala.
"Kok aku bisa di sini? Kok aku bisa
di rumah sakit lagi? Kan aku udah
sembuh...."
Ronny pegang tangan Boma.
"Ingatanmu belum pulih Bom. Nanti biar
aku cerita. Sekarang aku panggilin ibu
sama ayahmu dulu. Biar mereka senang...."
"Sekarang ini siang apa malem Ron?"
tanya Boma.
"Udah malam," jawab Ronny Celepuk.
Lalu anak ini keluar dari kamar. Tak lama
kemudian masuk kembali bersama ayah dan
ibu Boma. Bram kakak Boma juga ada, ikut
masuk.
Nyonya Hesti memeluk dan menciumi
Boma dengan air mata berlinang. Sumitro
Danurejo berdiri menunduk di samping
tempat tidur sambil memegangi tangan
anaknya. Bram memijit-mijit kaki adiknya.
"Baru saja keluar rumah sakit,
sekarang masuk rumah sakit lagi. Heran
kau ini Boma. Mengapa musibah datangnya
berturut-turut...." Ibu Boma keluarkan
ucapan lirih.
"Boma nggak apa-apa Bu. Cuma heran
kok bisa ada di sini?"
Ibu Boma mengusap kening dan rambut
anaknya. "Ibu dan ayahmu juga belum tahu
jelas ceritanya. Ada yang bilang kau
diclurit rampok di Kramat Raya. Katanya
kau coba menolong orang yang dirampok di
atas bajaj
Boma terdiam. Coba mengingat-ingat.
Namun pikiran jernih belum datang.
Ingatannya masih samar. Anak ini hanya
menelentang memandangi langit-langit
kamar, sesekali menoleh pada teman-
temannya.
"Ron, aku haus...."
"Tahan dulu Bom. Menurut dokter
tidak boleh minum sebelum keluar kentut,"
kata Ibu Boma.
"Kok begitu?" Boma heran.
"Kau habis dioperasi Bom. Perutmu
robek satu jengkal lebih. Udah, istirahat
aja dulu. Kami teman-teman nungguin
kamu." Menerangkan Ronny.
"Nungguin?" Boma tersenyum. "Kayak
dulu di Rumah Sakit PMI aja...." Ada rasa
haru dalam nada ucapan dan suara anak
ini.
"Nah, ingatanmu mulai pulih Bom,"
kata Andi.
Saat itu ke dalam kamar masuk dua
orang berseragam Polisi disertai seorang
Reserse berpakaian preman. Mereka memberi
tahu bahwa mereka adalah aparat
Kepolisian Wilayah Jakarta Pusat yang
ditugaskan mengusut peristiwa perampokan
yang terjadi di Jalan Kramat Raya siang
tadi. Anggota Polisi itu minta izin
kepada ke dua orang tua Boma untuk
mendapatkan beberapa keterangan dari
Boma. Menurut salah seorang anggota
Polisi mereka telah mendapat izin dari
Dokter dan dari pihak rumah sakit untuk
menanyai Boma begitu anak tersebut sadar.
Boma menjawab semua pertanyaan
Polisi sesuai apa yang bisa diingatnya.
Memberi tahu bagaimana terjadinya
peristiwa perampokan itu. Apa yang
dilakukannya, apa yang kemudian terjadi
atas dirinya. Kepada Polisi yang menanyai
Boma memberi tahu ciri-ciri kawan
perampok yang berhasil melarikan diri.
Setelah merasa cukup dan selesai mencatat
alamat rumah serta alamat sekolah Boma,
tiga anggota Polisi itu mengucapkan
terima kasih lalu tinggalkan kamar tempat
Boma dirawat
Tak lama setelah tiga orang Polisi
pergi, seorang jururawat masuk untuk
memeriksa infus di tangan kanan Boma,
mengecek suhu badan anak itu serta
tekanan darahnya.
9.NENEK ANGKER MUNCUL LAGI
JAM 10 malam Rio yang mengantarkan
Gita muncul kembali di rumah sakit. Saat
itu ibu Boma sudah pulang di antar Bram
yang besok akan ada wawancara di kantor
tempat dia melamar kerja. Ayah Boma
mengobrol dengan anak-anak SMA Nusantara
III yang malam itu sengaja begadang
menjaga Boma. Rio memberi isyarat agar
Ronny dan Vino mendekat. Agak jauh dari
ayah Boma ke tiga anak ini lalu bicara
setengah berbisik.
"Kau tahu, kenapa Gita minta
diantar pulang? Padahal benerannya sih
dia mau nungguin Boma." Rio membuka
pembicaraan.
"Pasti ada janji sama si Allan,
anak baru di kelas dua, yang ketemu Gita
waktu daftar." Kata Ronny Celepuk.
Rio menggeleng. "Gita nggak ada
janji sama siapa-siapa. Dia bilang, takut
bakal kejadian lagi"
"Kejadian apa?" tanya Vino sambil
memandang pada Ronny.
"Ingat peristiwa di Rumah Sakit PMI
Bogor? Waktu Boma kedatangan nenek aneh
yang mukanya angker?"
"Ah, lu jangan bicara yang nggak-
nggak. Bikin gua jadi nggak enak aja!"
kata Ronny. Tengkuknya mendadak dingin.
"Siapa bicara yang nggak-nggak?
Ingat cerita Boma soal nenek aneh itu?
Kalau dia memang beneran mau nurunin ilmu
sama Boma jangan-jangan dia akan
pergunakan kesempatan saat ini untuk
datangin teman kita itu."
"Saat di Rumah Sakit Bogor itu,
Boma badannya panas. Sekarang nggak. Jadi
nggak mungkin dia ngacok lagi," kata
Vino.
"Mudah-mudahan begitu." Kata Rio.
"Yang penting kita berjaga-jaga saja.
Sayang kamarnya sempit. Pasiennya banyak.
Kita nggak bisa jaga di dalam. Mungkin
cuma ayah Boma yang dikasih ijin."
***
MALAM terasa semakin dingin. Di
luar kamar Ronny dan teman-temannya duduk
berjelepokan di tikar. Satu-satunya orang
yang menunggui Boma di dalam kamar adalah
ayah anak itu. Boma kelihatan tertidur
nyenyak. Ayahnya beberapa kali memegang
kening Boma. Hatinya lega bila merasakan
kening anak itu dingin dan ada sedikit
keringat. Dalam kelegaannya Sumitro
Danurejo duduk sandarkan punggung ke
kursi di samping tempat tidur. Kepalanya
disandarkan ke tembok kamar. Mata di
pejamkan.
Malam merayap menuju ambang pagi.
Kamar tempat Boma dirawat diselimuti
kesunyian. Di kejauhan terdengar suara
sirine. Lalu sunyi lagi. Di atas ranjang
Boma terbangun oleh rasa sakit yang
mencucuk pada bagian perutnya. Lalu ada
rasa haus, lapar serta rasa kering di
tenggorokan. Tubuhnya keringatan. Udara
dalam kamar itu terasa agak panas.
Boma memandang berkeliling. Teman-
temannya tidak ada. Yang ada hanya
ayahnya, duduk tertidur di kursi,
mengeluarkan suara mendengkur halus.
Dalam keletihan yang amat sangat Boma
akhirnya hanya bisa memejamkan mata
kembali. Namun sebelum dia sempat pulas,
tiba-tiba sudut matanya melihat pintu
kamar terbuka. Pintu itu terbuka cukup
lama tapi tak ada orang masuk. Tak
mungkin pintu terbuka oleh dorongan angin
karena daun pintu itu selain besar juga
terbuat dari jenis kayu tebal dan berat.
***
Di luar kamar. Vino yang setengah
tertidur memandang ke arah pintu kamar
yang putih besar. Ada rasa heran tapi
juga ada rasa takut. Dia menyentuh rusuk
Ronny dengan sikutnya.
"Ron... Ron. Bangun."
Ronny buka dua matanya malas-
malasan.
"Ada apa?"
"Pintu... pintu itu," Vino
goyangkan kepalanya ke arah pintu kamar.
"Pintu, kenapa?" tanya Ronny lalu
menguap.
"Kau liat pintu itu terbuka?"
"Aku liat. Memangnya aku buta?"
"Tadi pintu itu tertutup Ron. Lalu
terbuka, tapi nggak kelihatan ada orang
yang buka. Juga nggak kelihatan ada orang
masuk atau keluar...."
"Lu mau nakut-nakutin aku Vin?"
"Aku memang udah takut dari tadi
Ron," jawab Vino. "Coba kau intip ke
dalam. Siapa yang barusan masuk."
"Kau saja yang ngintip," jawab
Ronny.
Vino menggeleng. Lalu beringsut ke
sudut tembok. Tekapkan wajahnya ke atas
paha. Ronny melakukan hal yang sama. Dua
anak ini saling berdempetan di sudut
tembok, menutupi wajah dengan paha
masing-masing. Keduanya dijalari rasa
takut.
***
Kembali ke dalam kamar.....
"Ah, segala pintu ngapain gua
pikiran...." membatin Boma. Dia pejamkan
matanya tapi mendadak nyalang lebar. Satu
sosok melangkah masuk terbungkuk-bungkuk.
Bau pesing merasuk jalan nafas dan
penciuman Boma.
"Nenek itu...." hati Boma berucap.
Dia palingkan kepalanya ke samping.
Hendak membangunkan ayahnya. Tapi sosok
yang melangkah masuk bergerak cepat
sekali, tahu-tahu sudah berdiri di
samping tempat tidur. Nenek berkulit
hitam, bertampang angker, mengenakan baju
dan kain panjang butut. Pakaian dan
tubuhnya menebar bau pesing. Di kepalanya
yang nyaris sulah menancap lima buah
tusuk konde dari perak. Di pinggangnya
tersisip sebatang tongkat kayu butut.
"Nek... jangan ganggu saya. Saya
lagi sakit." Boma memohon.
"Anak setan! Aku tahu kau lagi
sakit. Kau tahu sakitmu ini karena ulah
tololmu sendiri?!"
"Ulah tolol saya?"
"Kau tidak punya ilmu kepandaian
apa-apa. Mengapa berlaku nekad menghadapi
lawan yang memegang clurit? Menolong
orang lain tanpa perhitungan! Apa itu
bukan tolol namanya?!"
"Ba... bagaimana kau bisa tau Nek?"
tanya Boma heran.
"Tak perlu kau tanyakan itu. Kalau
saja dulu waktu di rumah sakit kau
bersedia menerima ilmu yang aku berikan,
nasibmu tidak akan seperti ini."
"Nasib saya memang jelek Nek.
Mungkin udah takdir," jawab Boma.
"Sok tahu! Dasar tolol! Jangan
menutupi kesalahan sendiri dengan
mangatakan takdir!"
"Nek, saya capek. Saya mau
tidur...."
"Kukorek matamu jika berani tidur!"
si nenek mengancam. Kepalanya diputar
seantero kamar. Matanya memandang
berkeliling. "Sekarang saatnya aku
memasukkan hawa murni, memberi kekuatan
pada tubuhmu." Si nenek perhatikan tangan
kanan Boma yang diberi infus. "Aneh,
diberi minum mengapa lewat urat, bukan
melalui mulut."
"Itu namanya infus Nek...."
"Apa? Ingus?"
"Infus...." kata Boma sambil senyum
lalu mengerenyit dan pegangi perutnya.
Jahitan bekas operasi mendadak mendenyut
sakit.
"Ah, tak tahulah aku apa namanya
itu," kata si nenek muka angker. Lalu dia
tarik tangan kiri Boma, letakkan lurus-
lurus di atas tempat tidur, telapak
dikembangkan menghadap ke atas. Dengan
cepat si nenek letakkan telapak tangan
kanannya di atas telapak kiri Boma. Boma
hendak menarik tangannya tapi entah
mengapa tangan itu terasa sangat berat.
Terpaksa anak ini diam saja.
"Jika kau merasakan sesuatu, jangan
keluarkan suara apa lagi menjerit," si
nenek memberi ingat. Lalu dia kerahkan
tenaga dalam sambil menatap Boma lekat-
lekat, tak berkedip.
Boma merasakan ada hawa hangat
memasuki tubuhnya, mengalir ke dada
melalui tangan, naik ke atas kepala
sampai ke ubun-ubun, lalu turun ke bawah,
mendekam beberapa lama di perut sebelum
turun sampai ke ujung kaki. Tubuh anak
itu keringatan. Hawa panas itu tidak
membuat dia takut. Yang membuatnya ngeri
ialah karena tidak tahu apa sebenarnya
yang dilakukan nenek itu.
Hawa hangat lenyap. Perlahan-lahan
berganti hawa sejuk. Seperti hawa hangat
tadi, hawa sejuk ini juga menjalar ke
sekujur tubuh Boma, membuat Boma merasa
mengantuk dan hendak pejamkan matanya.
Tapi mendadak matanya terbuka kembali
lebar-lebar ketika melihat tangan si
nenek memancarkan cahaya putih
menyilaukan. Cahaya itu seperti menjalar,
masuk ke dalam telapak tangannya.
Si nenek tarik nafas panjang.
Wajahnya yang angker dan keringatan
tampak lega. Dia tarik tangan kanannya.
"Anak setan, kau dengar baik-baik.
Mulai saat ini kau jangan pergunakan
tangan kirimu secara sembarangan. Jika
kau berada dalam bahaya, jika kau
terpaksa mempergunakan tangan itu untuk
membela diri, sebut nama Tuhanmu, ucapkan
Basmallah sebelum kau mempergunakannya.
Selain itu, mulai sekarang kau jangan
sombong, apa lagi takabur. Kau musti
banyak sabar."
Boma perhatikan tangan kirinya.
Tangan itu tidak ada apa-apanya, tidak
berbeda dengan tangannya sebelum
dipegangi si nenek.
"Anak setan! Kau mau cepat sembuh?"
Boma diam saja. Lalu menjawab
dengan anggukkan kepala.
Si nenek tarik selimut putih yang
menutupi tubuh Boma. Lalu cepat sekali ia
menyingkapkan pakaian yang dikenakan anak
itu.
Boma jadi ketakutan. Entah benar
entah tidak tapi waktu kecil dia pernah
mendengar cerita tentang hantu aneh yang
suka gentayangan mengambil "burung" anak-
anak kecil
"Nek, kau mau berbuat apa...?"
tanya Boma gemetar.
Si nenek menyeringai. "Masih kecil
sudah punya otak kotor. Apa kau kira aku
mau melihat anumu yang jelek itu? Hik...
hik... hik!"
"Nek, saya...."
"Diam! Kalau mau sembuh jangan
banyak omong!" jawab si nenek. Lalu enak
saja perban tebal yang menutupi perut
Boma ditariknya hingga anak ini hampir
berteriak kesakitan. Si nenek cepat tekap
mulut Boma dengan tangan kirinya.
"Sakit sedikit saja mau teriak
setinggi langit! Cengeng!"
Dengan tangan kiri masih menekap
mulut Boma, si nenek pergunakan tangan
kanan untuk mengusap jahitan bekas luka
operasi di perut Boma. Tiga kali mengusap
si nenek tempelkan kembali perban tebal
ke perut Boma lalu tutupkan selimut ke
tubuh anak itu.
"Kau sudah sembuh! Besok kau boleh
meninggalkan rumah sakit ini."
Boma diam saja. Mana dia bisa
percaya ucapan si nenek.
"Kau pasti tidak percaya. Hik...
hik... hik. Lihat saja besok. Anak setan,
sekarang aku pergi. Nanti aku datang
lagi. Masih banyak ilmu yang akan aku
berikan padamu. Satu hal harus kau ingat
baik-baik. Jangan kejadian ini kau
ceritakan pada siapapun. Termasuk teman-
temanmu. Pacar-pacarmu..."
"Saya nggak punya pacar Nek."
Si nenek tertawa lebar. "Begitu?"
katanya. "Hik... hik. Anak setan macammu
ini, dari jidatmu saja aku sudah tahu kau
bakal jadi calon buaya perempuan, bakal
digandrungi cewek-cewek. Hik... hik...
hik!" Si nenek cabut tongkat yang
tersisip di pinggangnya. Ujung tongkat
diletakkan di atas kening Boma. "Mulai
hari ini kau harus lebih banyak
mendekatkan diri pada Tuhan. Hanya karena
pertolongan dan kuasaNya Gusti Allah
sampai saat ini dan di masa mendatang kau
bisa selamat. Jangan jadi manusia
sombong. Tolong sesamamu sesuai
kemampuan-mu. Jangan pernah khianat
terhadap siapapun, terutama terhadap
kedua orang tuamu! Ingat lagi satu hal.
Kebenaran bukan segala-galanya. Karena di
atas kebenaran masih ada apa yang disebut
kebijaksanaan. Satu ketika kau akan
melihat bagaimana kebenaran bisa
disalahkan. Tapi ingat, kebenaran tidak
pernah bisa dikalahkan."
Nenek muka angker sisipkan
tongkatnya kembali ke pinggang lalu
memutar tubuh.
"Nek, tunggu. Kau ini siapa
sebenarnya?"
Si nenek menoleh sebentar,
berkomat-kamit tapi tidak menjawab per-
tanyaan Boma, melainkan tempelkan jari-
jari tangan kanannya di atas bibir lalu
dilambaikan ke arah Boma. Terbungkuk-
bungkuk dia berjalan keluar dari kamar.
Boma menowel hidung berulang kali.
"Mahluk aneh. Pakai kasih sun jauh
segala," kata Boma dalam hati. "Aku ini,
mimpi atau gimana?" Boma memandang
seputar kamar.
"Boma, kau tidak tidur?"
Tiba-tiba ada suara menegur di
samping tempat tidur. Suara ayahnya. Boma
diam saja.
Lalu pejamkan mata
"Tadi Ayah dengar kau seperti
bicara. Bicara dengan siapa?"
"Nggak ada yang bicara Yah. Mungkin
Ayah salah dengar," jawab Boma dengan
mata tetap dipicingkan.
Sumitro Danurejo menghirup udara
dalam kamar dalam-dalam. "Bau pesing...."
katanya perlahan.
"Tadi ada pispot pasien yang
terbalik," kata Boma.
"Hemmm...." Sang Ayah bergumam lalu
pejamkan pula matanya. Anak dan Ayah
sama-sama pulas.
10.PEMBALASAN GANG PENODONG
BOMA dan Ronny berboncengan sepeda
motor Honda Tiger merah meninggalkan
halaman Universitas. Seperti biasanya
sebelum terus pulang mereka mampir dulu
di Pondok Siomay 99 di pinggir jalan
selewat tikungan, tak jauh dari kampus.
Baru saja Ronny memarkir motor dan
Boma menyisir-nyisir rambut dengan jari-
jari tangan, tiba-tiba dari dalam warung
keluar enam orang lelaki, rata-rata
bertampang sangar. Salah seorang
diantaranya tinggi kurus dengan cacat
bekas luka di pipi kiri. Boma mengingat-
ingat. Rasa-rasanya dia pernah melihat
orang ini sebelumnya.
Si muka cacat langsung menghadang
Boma. Kawannya, yang berbadan tegap tegak
di sebelahnya. Yang empat lagi mengambil
posisi mengurung.
"Bener bos. Ini bangsat yang dulu
ngerjain kita!" si muka cacat keluarkan
ucapan. Lelaki tegap di sebelahnya
keluarkan suara mendengus lalu mencekal
leher kaos oblong yang dikenakan Boma
dengan tangan kiri dan membentak.
"Jagoan tengik! Lu ingat kejadian
dua taon lalu! Di Kramat Raya!"
Boma tak menjawab tapi berpikir.
Dia ingat Orang ini adalah orang yang
menodong penumpang bajaj, merampas kalung
dan gelang. Lalu si muka cacat itu orang
yang menclurit perutnya.
"Hei, apa-apaan nih!" Ronny Celepuk
mendatangi, memegang tangan orang yang
mencekal Boma. "Lepasin!"
Lelaki yang mencekal Boma marah
besar. Bukan saja dia tidak melepaskan
cekalannya tapi tangan kanannya langsung
dijotoskan ke muka Ronny. Ronny mengelak,
mendorong orang itu lalu menyarangkan
satu pukulan ke perutnya. Orang yang
dipukul rupanya punya daya tahan boleh
juga. Walau mengerenyit tanda sakit namun
dia masih mampu terus mencekal baju kaos
Boma. Malah berteriak pada teman-
temannya.
"Habisin bangsat satu ini!"
Tiga orang bertampang garang
bertubuh kekar segera menyerang Ronny.
Perkelahian tiga lawan satu yang tak
seimbang segera terjadi. Sementara itu
dua orang lagi memegangi Boma dari
belakang. Yang di sebelah depan lepaskan
cekalannya lalu mulai menghujani muka,
dada dan perut Boma dengan jotosan-
jotosan keras. Darah mengucur dari hidung
dan mulut anak itu. Tapi luar biasanya
sama sekali tidak terdengar keluh
kesakitan dari mulut Boma.
Boma berusaha melepaskan diri dari
pegangan dua orang. Tak berhasil. Dari
depan jotosan masih terus mendera. Anak
ini pergunakan kakinya untuk menendang.
Tendangannya tepat mengenai tulang kering
hingga orang yang ditendang menjerit
kesakitan. Boma pergunakan kesempatan,
ayunkan badannya demikian rupa hingga
orang di sebelah kiri tersungkur ke
tanah. Bersamaan dengan itu Boma berbalik
ke kanan. Maksudnya hendak memukul
pencekal yang satu lagi. Tapi dari
belakang ada yang memukul tengkuknya.
Boma merasa lehernya seolah patah.
Dalam keadaan terhuyung-huyung dia
melihat Ronny terkapar di tanah,
bersimbah darah. Mendidih amarah Boma.
Kini enam orang mengelilinginya. Salah
seorang diantaranya memegang sebilah
belati.
Ada yang berkata. "Habisin cepet
Jon!"
Tikaman belati pertama ke arah
perut berhasil dielakkan Boma. Dari
samping dan dari belakang menghantam dua
pukulan hampir berbarengan. Boma kembali
terhuyung. Saat itulah belati kembali
datang berkelebat, menusuk ke arah
lehernya. Boma tak mampu menangkis, tak
sanggup mengelak.
Sesaat lagi senjata maut itu akan
menancap di tenggorokan Boma tiba-tiba
satu bayangan putih berkelebat. Satu
tendangan menggeledek di udara.
"Bukkk!"
Jeritan keras menyentakkan telinga
disusul mencelatnya orang yang barusan
hendak menghabisi Boma dengan tikaman
belati. Orang ini bergelindingan di
tanah. Pisaunya mental entah ke mana.
Sambil pegangi dada yang kena tendangan
dia coba bangun tapi roboh lagi. Dari
mulutnya keluar suara mengerang lalu
menyusul kucuran darah!
Boma sendiri saat itu yang berada
dalam keadaan babak belur, jatuh
berlutut, hampir roboh kalau tidak
bersitekan ke tanah dengan salah satu
tangannya. Darah mengucur dari hidung,
bibir yang pecah dan pelipis. Memandang
ke depan Boma melihat berdiri seorang
pemuda berpenampilan aneh. Rambut
gondrong sebahu. Kening diikat kain
putih. Mengenakan baju dan celana putih.
Di pinggangnya melilit sebuah ikat
pinggang besar. Kaki memakai kasut dari
kulit. Pemuda ini melirik sebentar pada
Boma lalu sambil tertawa cengengesan
memutar tubuh, menghadapi lima orang yang
saat itu secara serentak telah
menyerbunya. Dua orang di antara mereka
memegang clurit besar.
"Kambing-kambing buduk! Bau belum
mandi! Ayo maju! Serang... serang!"
Dua clurit berkiblat di udara. Satu
tendangan mencari sasaran di selangkangan
si gondrong. Dua jotosan menyambar ke
muka dan ke dada.
Pemuda berambut gondrong keluarkan
suara bersiul. Tubuhnya melesat ke udara
lalu berputar seratus delapan puluh
derajat.
"Kraakk... kraakkk!"
Dua tangan yang memegang clurit
patah.
"Bukkk... buukkk... buukkk!"
Tiga penyerang bertangan kosong
terpental, menjerit bergelimpangan di
tanah. Dua muntah darah, satu pegangi
mata kirinya yang pecah mengucurkan
darah.
Sementara Boma terkesiap ternganga
menyaksikan apa yang terjadi, si gondrong
melangkah mendekati lelaki yang tadi
hendak menusuk leher Boma dengan belati.
Dia cekal leher orang.
"Ampun... ampun!" belum apa-apa
orang itu sudah berteriak ketakutan.
Si gondrong menyeringai. "Dengar,
kalau kau berani lagi mengganggu anak
itu, kulipat kepalamu ke pantat, pantat
ke kepala!"
"Ampun.... ampun!"
Si gondrong tertawa lebar. Sekali
tangannya bergerak sosok orang yang
dicekal melayang ke udara, jatuh di atas
atap warung Siomay 99.
Selagi semua orang termasuk Boma
melengak kaget melihat kejadian itu.
Seperti tidak ada apa-apa si gondrong
melangkah mendekati Boma. Sadar kalau
dirinya sudah diselamatkan orang Boma
berusaha berdiri. Terbungkuk-bungkuk dia
berkata.
"Bang, terima kasih Abang sudah
nolong saya...,"
Si gondrong seperti terkesima,
menggaruk kepala lalu tertawa bergelak.
"Belasan tahun hidup, malang
melintang di delapan penjuru angin, baru
hari ini aku dipanggil Abang! Ha... ha...
ha! Abang! Memangnya aku orang Betawi!
Ha... ha... ha! Tapi dak apa. Aku senang
juga dipanggil Abang! Ha... ha... ha!"
"Bang, Abang ini siapa?" tanya Boma
lalu mengusap darah di sudut mulutnya.
Si gondrong menggaruk kepala.
Kelihatan seperti berpikir sebelum
menjawab.
"Aku Abang seperguruanmu." Si
gondrong akhirnya menjawab.
"Abang seperguruan?" Boma heran.
Menowel hidung.
"Aku menggaruk kepala. Kau menowel
hidung! Lucu!"
"Abang seperguruan bagaimana? Abang
'kan nggak satu sekolah sama saya...."
Si gondrong mengangguk. "Kau benar,
aku mana kenal sekolahan. Boma, waktuku
tidak lama...." Dari balik pakaiannya si
gondrong keluarkan dua buah benda bulat
sebesar ujung jari berwarna hitam. "Ini
obat mujarab. Kau telan satu, satu lagi
untuk kawanmu yang pingsan itu. Aku pergi
sekarang. Orang-orang mulai berkerubung.
Mereka menuju ke sini."
Si gondrong genggamkan dua butir
obat ke dalam tangan kanan Boma.
"Bang, nama Abang siapa?" tanya
Boma.
Si gondrong tidak menjawab. "Bang,
kalau nyari Abang di mana?" tanya Boma
lagi.
Yang ditanya tak menjawab, hanya
tersenyum. Lalu sekali berkelebat dia
sudah berada di ujung jalan untuk
kemudian lenyap dari pemandangan.
***
PAGI itu para jururawat yang
bertugas di kamar pasien bedah RSCM
tampak berlarian ke kamar di mana Boma
dirawat. Sebelumnya ada teriakan-
teriakan. Anak lelaki yang dirawat di
kamar itu mendadak mengamuk. Memukul dan
menendang. Ayahnya yang menjaga berusaha
menenangkan anaknya tapi terkena gebukan,
jatuh tersandar di kaki tempat tidur,
ditolong oleh seorang perawat. Tiang besi
tempat menggantungkan infus tergeletak
bengkok di lantai. Empat orang perawat
segera mengikat kaki dan tangan Boma ke
besi tempat tidur. Infus yang tercabut
dipasangkan kembali.
Boma tak mengerti mengapa dia
diperlakukan seperti itu.
"Zuster, kok saya diikat?" Boma
bertanya.
"Tenang saja Dik. Nanti kalau
dokter datang, ikatan Adik dibuka lagi,"
jawab jururawat lalu keluar bersama
seorang temannya. Dua jururawat lelaki
tetap di kamar itu berjaga-jaga.
Boma memandang pada Ronny Celepuk
dan teman-temannya.
"Ron, Vino, tolong. Bukain ikatan
gua...."
Ronny dan Vino diam saja. Tak tahu
mau menjawab atau berbuat apa.
"Ron, kenapa aku diikat?" Boma
bertanya lagi.
"Tadi kau katanya ngamuk...." Ronny
menjawab setengah berbisik.
"Ngamuk? Ajie busyet! Yang bener
aja Ron."
"Bokap lu sendiri kau gebuk. Liat
'tuh, dia masih kesakitan...."
Boma melirik. Ayahnya dilihatnya
duduk di sudut kamar, miring ke tembok
sambil pegangi dada.
"Masa' sih aku ngamuk. Aku... aku
cuma mimpi kok Ron."
"Udah Bom, tenang aja dulu. Liat,
bokap lu datang ke sini."
Sumitro Danurejo melangkah
perlahan. Dia berdiri di samping tempat
tidur anaknya. Memegang kening dan tangan
Boma.
"Heran, kepalanya dingin. Badannya
tidak panas. Mengapa dia tadi mengamuk
tak karuan?" Lelaki itu membatin.
"Jangan-jangan anak ini kemasukan orang
halus...." Ayah Boma ingat waktu anaknya
sakit di Rumah Sakit PMI Bogor. Juga dia
ingat pada Haji Sobirin yang pernah
menolong Boma. Apakah dia perlu lagi
menemui orang pintar itu? Kalau penyakit
Boma memang aneh agaknya tak ada jalan
lain.
Saat itu jururawat yang tadi
keluar, masuk kembali ke dalam kamar
mengiringi seorang lelaki gemuk pendek,
berkaca mata. Dia Dokter Simanjuntak,
dokter spesialis bedah yang menolong
Boma.
Sambil tertawa lebar dan menepuk-
nepuk tangan Boma Dokter Simanjuntak
berkata. "Ah, ini dia jagoan kita. Tadi
saya dengar katanya latihan karate apa
latihan kungfu?"
Boma tertawa.
Dokter Simanjuntak perhatikan besi
tiang tempat menggantungkan infus.
"Hebat, besi saja bisa bengkok. Boma,
kamu ada keluhan apa?"
"Nggak ada keluhan apa-apa Dokter."
"Perutnya sakit?"
"Nggak Dokter."
"Bagus, coba saya periksa dulu
jahitannya. Sekalian ganti perban dan
plester."
Dokter ahli bedah itu menyingkapkan
selimut Boma. Seorang jururawat membuka
bajunya. Sang Dokter kemudian perlahan-
lahan membuka perban di perut Boma.
"Sakit?" tanya Dokter Simanjuntak.
Boma menggeleng.
Ketika perban terbuka dan Dokter
Simanjuntak memperhatikan perut Boma
terkejutlah Sang Dokter. Perut itu licin,
tak ada bekas jahitan, tak ada bekas
sambungan luka.
"Aneh, aku ini bukan malaikat!
Tidak mungkin aku mampu menjahit luka
tanpa bekas sama sekali. Luka belum satu
hari. Tak ada bekas. Baru sekali ini
terjadi seperti ini. Anak ini, siapa dia
sebenarnya?"
Perlahan-lahan Dokter Simajuntak
mengangkat kepala, memandang pada Boma
lalu pada jururawat yang berdiri di
sekeliling tempat tidur. Dokter bedah itu
ulurkan tangannya. Menekan perut Boma.
"Sakit?"
Boma menggeleng.
Sang Dokter berpaling pada ayah
Boma. Dia seperti hendak mengatakan
sesuatu tapi tak jadi. Salah seorang
jururawat bertanya.
"Perbannya dipasang lagi Dok?"
"Tidak perlu...."
"Dokter, bagaimana anak saya?" Ayah
Boma bertanya.
"Hemm.... Lukanya cepat sembuh.
Saya merasa gembira...."
"Berarti Boma bisa pulang siang
ini?"
"Tunggu, saya mau konsultasi dulu
dengan Dokter Ahli Penyakit Dalam. Biar
Boma diperiksa lagi. Kalau memang tak ada
apa-apa, saya rasa...." Dokter
Simanjuntak tidak meneruskan ucapannya.
Dia memegang kening Boma sebentar lalu
tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian
dia masuk lagi bersama Dokter Permana,
Ahli Penyakit Dalam. Dokter Permana
memeriksa dengan teliti tekanan darah,
jantung serta paru-paru Boma. Semua
normal, termasuk suhu badannya. Lalu apa
yang membuatnya tadi mengamuk?
Dokter Permana membawa ayah Boma ke
luar kamar. Dokter Simanjuntak mengikuti.
Di luar Dokter Permana berkata.
"Anak Bapak dalam keadaan baik.
Normal. Namun saya menyarankan agar
diperiksakan pada Dokter Ahli jiwa."
Ayah Boma kaget. "Memangnya anak
saya gila Dok?!"
"Maaf Pak Sumitro. Pemeriksaan
pasien pada Dokter Ahli Jiwa tidak
berarti pasiennya menderita gangguan
jiwa. Saya rasa tidak ada salahnya...,"
"Kalau anak saya baik, normal, saya
minta dia diperbolehkan pulang saja siang
ini."
Dokter Permana berunding dengan
Dokter Simanjuntak. Dokter Ahli Penyakit
Dalam itu akhirnya berkata. "Kita lihat
perkembangan satu dua jam mendatang.
Kalau tidak ada apa-apa, anak Bapak boleh
pulang. Saya akan buatkan resep obat
penenang."
Ayah Boma mengangguk dan
mengucapkan terima kasih lalu masuk ke
dalam kamar. Dokter Permana memanggil
seorang jururawat, memberi tahu agar
ikatan pada tangan dan kaki Boma dilepas.
Lalu dia mendekati rekannya, Dokter
Simanjuntak.
"Ini memang satu kejadian aneh.
Pasien yang baru dioperasi dan dijahit
sore kemarin, pagi ini lukanya mengalami
kesembuhan. Tidak berbekas. Benar-benar
ajaib."
Dokter Simanjuntak mengangkat dan
memperhatikan sepuluh jari tangannya.
Dokter Permana kembali berkata. "Kalau
wartawan memuat kejadian aneh ini di
berbagai media, nama anda akan jadi
terkenal. Pasien anda bakal membludak."
Untuk beberapa lama Dokter
Simanjuntak tidak bisa berkata apa-apa.
Hanya menggelengkan kepala berulang kali.
Kembali dia memperhatikan jari-jari
tangannya. Akhirnya Dokter ini berkata.
"Sulit saya percaya. Saya hampir
yakin. Anak itu pasti punya ilmu. Kalau
tidak mustahil dia bisa mengalami
kesembuhan begitu rupa."
"Jika dia memang punya ilmu," kata
Dokter Permana pula. "Tidak ada salahnya
anda belajar. Ilmu kedokteran digabung
dengan kekuatan ilmu gaib. Demi kebaikan
pasien. Saya rasa itu tidak akan
menyalahi Kode Etik Kedokteran."
"Ah, saya belum berpikir untuk jadi
Terkun. Dokter Dukun," kata Dokter
Simanjuntak pula. Dua teman sejawat itu
lalu sama-sama tertawa.
***
SEPERTI kejadian sewaktu Boma
pulang dari Rumah Sakit PMI Bogor dulu,
hari itu kamar Boma di tingkat atas
dipenuhi oleh anak-anak SMA Nusantara
III. Selain Ronny, Vino, Firman, Andi,
Gita dan Rio hadir juga Dwita dan Trini.
Tapi sekali ini Boma agak lain. Dia
tidak terlalu banyak bicara dan tidak
tanggap terhadap canda teman-temannya.
Mungkin karena Trini ada di situ? Padahal
menurut Trini yang ayahnya Polisi, tiga
orang kawanan penodong yang buron telah
berhasil ditangkap dan dalam interogasi
ketat. Anak-anak itu juga membicarakan
berbagai cerita di media cetak yang
memberitakan peristiwa penodongan itu di
mana Boma disebut-sebut sebagai salah
seorang yang berjasa hingga seorang
penodong berhasil diringkus.
"Wah, namamu bakal berkibar lagi
Bom," kata Andi.
"Apa lagi kalau wartawan tau
kejadian aneh di RSCM. Mulai dari kau
ngamuk sampai kesembuhanmu yang dokter
sendiri terheran-heran." Menyambung Vino.
"Kalian masih saja bilang aku
ngamuk. Aku ngimpi tau," kata Boma.
"Nah, kalau kau mimpi, kok nggak
mau cerita mimpinya apa?" ujar Ronny
Celepuk.
"Iyya, pakai dirahasiain segala,"
sambung Gita.
"Ala, udah deh. Nanti aja aku
cerita. Aku capek, ngantuk. Kalian pulang
aja. Nanti datang lagi...."
"Ngusir nih?" tanya Gita.
"Kalau kita-kita pada pergi, yang
tinggal siapa?" tanya Vino menggoda
sambil melirik pada Trini dan Dwita.
"Ya, sudah. Bos mau istirahat. Kita
ngalah," ucap Rio. "Besok kita balik
lagi."
Sambil menjalankan motornya
mengikuti teman-temannya Ronny Celepuk
berkata. "Heran, nggak sari-sarinya Boma
kayak gitu. Kayaknya dia segen-segenan
ngobrol sama kita."
"Aku liat anak itu lebih banyak
diemnya. Jangan-jangan kesambet."
(kesambet = kemasukan mahluk halus).
"Kalian perhatiin nggak? ketawa
sama nyengirnya juga lain," Vino ikut
bicara.
"Dia nggak ngaku kalau ngamuk.
Bilangnya mimpi. Tapi mimpinya nggak mau
diceritain."
"Inget cerita Boma ada nenek-nenek
aneh yang mau memberinya ilmu
kepandaian?" ujar Gita pula. "Jangan-
jangan anak itu udah dikasih ilmu.
Sekarang nggak sanggup nerimanya alias
keberatan ilmu. Bisa-bisa dia jadi bego-
bego kaya saudaranya Bapak gua."
"Amit-amit. Jangan deh sampai
begitu," kata Ronny.
"Aku rasa Boma memang sudah punya
ilmu," ujar Vino. "Buktinya, perut
diclurit begitu nggak ada bekasnya.
Dokter sendiri nggak habis heran. Ron,
kau ingat nggak kejadian di rumah sakit.
Waktu aku bilang pintu kamar terbuka..."
Ronny diam saja. Yang lain-lain
juga tidak bersuara.
"Musti ada yang terus-terusan
ngawasin Boma," Trini akhirnya yang
membuka mulut.
"Iyya, kamu aja Rin yang ngawasin,"
kata Vino.
"Jangan ngeledek ah!" jawab Trini
sambil melirik ke arah Dwita.
"Kita harus beri tau orang tuanya,"
kata Gita Parwati.
Di ujung gang anak-anak itu
berpisah setelah janji akan kumpul lagi
di rumah Boma besok pagi jam 10. Sebelum
berpisah Trini mendekati Ronny.
"Ron, nanti kau bilang sama Boma.
Supaya hati-hati. Terutama kalau dia
berada di luar rumah. Menurut Bapakku,
bisa saja kawanan penodong yang masih ada
di luaran ngerjain dia."
"Wah, gawat juga kalau gitu," kata
Ronny. "Boma nggak boleh dibiarin
sendirian."
Trini mengangguk. "Aku ikut sama
kamu ya?"
Ronny belum menjawab, Trini sudah
menyambar helm dan naik ke atas motor.
Tangan kanannya dilingkarkan ke pinggang
Ronny. Tangan kiri dilambaikan sambil
berteriak "Daa... daah."
Gita pencongkan mulutnya, berbisik
pada Vino yang ada di sebelahnya.
"Liat 'tuh kucing garong.
Lagaknya...."
11.BOMA BERPRILAKU ANEH
SORE itu ayah dan ibu Boma duduk di
ruang tengah rumah. "Pak, saya gembira
dan bersyukur Bram sudah dapat pekerjaan.
Tapi anak kita yang satu, Boma, membuat
saya jadi prihatin. Tingkah lakunya
belakangan ini banyak kelainan. Dia
sering mengurung diri dalam kamar. Tak
tahu apa yang dilakukan. Tidur ya pasti
nggak. Dia berubah jadi pendiam. Makanpun
seperti capung mencicipi air saja.
Sedikit...."
Mendengar kata-kata istrinya itu
Sumitro Danurejo, pensiunan Pegawai Sipil
Departemen Penerangan meletakkan surat
kabar yang dibacanya lalu meneguk kopi di
atas meja.
"Anak itu, di mana dia sekarang?"
tanya Sumitro pada istrinya.
"Masih tidur. Di atas, di kamarnya.
Coba, sudah sore begini masih tidur."
"Memang Bu, ada sesuatu yang ingin
saya ceritakan sama Ibu. Tentang anak
itu. Boma."
"Ya, Bapak mau cerita apa?"
"Malam tadi. Saya tak bisa
memejamkan mata. Dalam kamar rasanya
panas sekali. Saya keluar. Duduk di kursi
panjang di bawah tangga. Di situ agak
adem. Saya hampir pulas. Tiba-tiba saya
mendengar ada langkah-langkah kaki
menuruni tangga...."
***
SUMITRO Danurejo melihat Boma
berjalan ke pintu. Gerak langkahnya
kelihatan aneh. Terheran-heran Sumitro
memperhatikan, ternyata Boma berjalan
dengan mata terpejam.
"Anak ini, berjalan tidur. Aneh.
Mau ke mana dia?" kata Sumitro dalam
hati. Lelaki ini hendak menegur tapi tak
jadi. Dia terus memperhatikan apa yang
dilakukan anaknya.
Ternyata Boma melangkah ke pintu.
Dengan mata masih terpejam dia memutar
anak kunci, menekan handel lalu membuka
daun pintu.
Sumitro serta-merta bangkit dari
kursi di bawah tangga. Sekilas dilihatnya
jam bulat di dinding ruangan menunjukkan
pukul setengah tiga malam.
"Bom... Boma...." Sumitro
memanggil. Tapi aneh, suaranya tak keluar
dari tenggorokan. Dia cepat memakai
sandal, mengencangkan ikatan kain sarung.
Ketika dia sampai di pintu pagar rumah
dilihatnya Boma sudah berada di ujung
jalan. Setengah berlari Sumitro mengejar.
Namun lagi-lagi aneh. Lelaki ini merasa
sudah berlari sekencang yang bisa
dilakukannya, tetapi sang anak tak
kunjung terkejar. Hanya ada satu hal yang
dilihat Sumitro dan membuat lelaki ini
jadi tersirap darahnya. Di depan Boma
yang berjalan dengan mata terpejam
kelihatan beberapa ekor kunang-kunang.
Binatang terbang yang mengeluarkan cahaya
ini seolah-olah membimbing Boma dalam
melangkah.
"Kunang-kunang itu...." membatin
Sumitro. Sesaat langkahnya tertahan.
"Apakah sama dengan kunang-kunang di
Gunung Gede, yang membimbing regu
penyelamat?"
Di depan sana tiba-tiba muncul
kabut putih. Boma berjalan terus, masuk
ke dalam kabut, lenyap dari pemandangan.
Sumitro ragu-ragu sesaat. Tapi kemudian
meneruskan langkah menembus kabut. Dia
sampai di ujung gang. Di depan sana
anaknya tak kelihatan lagi.
Sumitro Danurejo bukan saja
terheran-heran karena lenyapnya Boma,
tapi juga karena saat itu mendapatkan
dirinya entah bagaimana kejadiannya tahu-
tahu sudah berada di sisi satu pedataran.
Di kejauhan sana ada sebuah bukit kecil,
diterangi sinar merah kekuningan seolah
sang surya berada di baliknya. Memandang
ke samping kiri Sumitro melihat sebuah
pohon tinggi besar tanpa daun. Cabang dan
ranting-ranting pohon berjulaian laksana
tumbuh di pedataran tandus. Di salah satu
cabang pohon tiba-tiba dia melihat seekor
burung besar berwarna putih polos. Burung
itu memandang ke arahnya dengan sikap
yang menggetarkan hati. Sumitro kemudian
ingat, burung ini adalah burung yang
pernah dilihatnya di atas atap rumah Haji
Sobirin, orang pintar di Bogor, sewaktu
dimintai pertolongannya untuk mengobati
Boma tempo hari. (Baca Episode pertama
Boma Gendenk berjudul "Suka Suka Cinta").
Burung ini mendongakkan kepala,
mengembangkan sayap lalu terbang dan
lenyap dalam kegelapan.
Sumitro mengalihkan pandangannya
kembali ke arah bukit kecil di ujung
pedataran. Dia terpana ketika melihat
sosok Boma tahu-tahu telah berada di
puncak bukit, bergerak kian ke mari,
memukul dan menendang.
"Boma... anak itu. Apa yang tengah
dilakukannya? Dia memang pernah berlatih
karate. Tapi gerakan-gerakannya itu bukan
gerakan karate. Dia tengah memainkan ilmu
silat aneh. Siapa yang mengajarnya?"
Sumitro tegak tak bergerak. Mata
nyalang besar. Sesekali dari tangan kiri
anaknya memancar cahaya putih berkilauan.
Setiap pukulan dan tendangan yang
dilancarkan Boma mengeluarkan suara
sambaran angin keras, seolah anak itu
hanya beberapa langkah saja di
hadapannya.
Ayah Boma tak sadar entah sudah
berapa lama dia berada di tempat itu. Di
timur muncul cahaya terang tanda fajar
mulai menyingsing. Di kejauhan terdengar
kokok ayam. Lalu bukit kecil di ujung
pedataran perlahan-lahan sirna. Sosok
Boma ikut lenyap.
"Astagfirullahal 'aziim," Sumitro
mengucapkan istigfar. "Boma!" Lelaki ini
berteriak. Seperti tadi tak ada suara
yang keluar dari mulutnya. Sumitro
memutar tubuhnya. Dia melangkah cepat
kembali ke rumah. Sampai di rumah dia
naik ke atas, langsung menuju kamar Boma.
Ketika pintu kamar dibuka dilihatnya anak
itu tertidur pulas sambil menggelung
bantal guling.
"Aneh, anak ini. Kenapa dia bisa
sampai lebih dulu? Dan tidur pulas.... Ya
Allah, apa sebenarnya yang tengah
terjadi?"
***
PAGI itu Ronny dan Vino datang
hendak menjemput Boma. Mereka hendak
latihan ben di sekolah. Dalam susunan
acara anak-anak kelas dua yakni Boma,
Ronny, Vino, Rio, Andi dan Firman akan
menyumbangkan dua buah lagu sementara
Gita Parwati akan bertindak sebagai MC.
"Bomanya masih tidur 'tuh," kata
Ibu Boma ketika ditemui Ronny dan Vino.
"Wah, udah siang begini kok Si Bos
masih tidur sih," kata Ronny Celepuk.
"Kami boleh naik ke atas, Bu?"
tanya Vino.
"Boleh aja. Cuma Boma pesan,
katanya jangan diganggu."
Vino dan Ronny saling pandang
sesaat.
"Gini aja, Bu. Kalau Boma bangun
suruh nyusul ke sekolah," kata Ronny.
Nyonya Hesti Sumitro anggukkan
kepala. "Anak-anak nggak mau minum dulu?"
"Terima kasih Bu," jawab
Vino.
"Assalammu'alaikum."
"Wa'alaikum sallam."
Di atas motor dalam perjalanan ke
sekolah.
"Heran, si Boma kok belakangan ini
banyak tidurnya?" berkata Vino.
"Gua liat 'tu anak banyak
bengongnya. Kalau lagi ngumpul sama kita-
kita dia keliatan kayak ngelamun. Nggak
banyak ngomong kayak dulu-dulu. Kalau
ikutan tertawa, tertawanya juga kayak
dibikin-bikin...."
"Terakhir kita datang bawa tabloid,
Boma membaca tabloid itu kayak acuh aja.
Padahal di situ ada berita besar mengenai
peristiwa penodongan yang buntutnya dia
kena diclurit. Lalu juga ada wawancara
wartawan dengan dokter Simanjuntak yang
mengoperasi Boma. Dokter ahli bedah ini
mengakui, ngerasa aneh kok jahitan
operasi bisa sembuh kurang sehari, nggak
ada bekasnya lagi. Habis baca tabloid,
Boma kayak ngelamun. Nggak tau apa yang
ada di otaknya."
Ronny hentikan motor di
persimpangan lampu merah.
"Ron, lu suka meratiin Boma nggak?"
Vino bersuara.
"Meratiin apa?"
"Kalau lagi diem, si Boma suka
ngurut-ngurut tangan kirinya pakai tangan
kanan."
"Iyya. Memang gua liat begitu.
Kayaknya ada sesuatu di tangan kirinya
itu."
"Jangan-jangan apa yang dibilangin
Gita bener Ron. Teman kita itu sudah
punya ilmu. Saking keberatan ilmu jadi
kayak orang gendenk."
"Latihan kita bisa jadi berantakan.
Yang nyanyi 'kan dia." Ronny membelokkan
motor Honda Tiger merah itu memasuki
halaman sekolah.
Gita Parwati, Rio, Andi dan Firman
segera mendatangi Ronny dan Vino.
"Mana Boma?" tanya Gita.
"Masih tidur!" jawab Ronny sambil
menanggalkan helm.
"Tidur? Gini ari masih tidur? Ajie
gile!" kata Firman.
"Kenapa nggak lu bangunin Ron?"
tanya Andi.
"Nggak boleh sama Ibunya. Katanya
Boma pesan begitu."
"Wah, apa gua bilang. Tu anak pasti
kumat lagi gendenknya." kata Gita.
"Gimana latihannya?"
"Ya udah, kita-kita aja," jawab
Rio. "Nanti seabis anak kelas tiga
latihan, giliran kita."
Enam anak itu berjalan menuju
bagian belakang panggung di mana anak-
anak kelas tiga SMU Nusantara III sedang
asyik berlatih band.
Tiba-tiba Gita memegang tangan
Ronny.
"Ronny, Vino. Sialan kalian!"
"Eh, kamu kesambet setan apa Git?
Kok nggak hujan nggak angin maki kayak
gitu?"
Gita menunjuk ke sudut sekolah, ke
arah warung bakso Mang Asep. "Lu ngibul
aja! Tuh kalian liat siapa yang lagi
duduk di depan warung Mang Asep."
Semua anak palingkan kepala ke arah
yang ditunjuk Gita Parwati. Mereka semua
jadi heran. Di depan warung Mang Asep ada
sebuah bangku kayu panjang. Di bangku itu
kelihatan Boma duduk enak-enakan. Ketika
kawan-kawannya memandang ke arahnya Boma
senyum dan lambaikan tangan.
Ronny, dan Vino, diikuti yang lain-
lainnya segera mendatangi Boma.
"Bom, kok kamu udah duluan sampe di
sini?" tanya Ronny.
"Kamu naik apa Bom?" tanya Vino.
"BMW," jawab Boma sambil menowel
hidungnya.
"BMW?!" ujar Gita dan Ronny
berbarengan.
"Iyya BMW. Bajaj Merah Warnanya,"
jawab Boma lalu tertawa.
"Sialan!" gerutu Andi.
"Dasar gendenk!" kata Gita.
"Eh Git, jangan suka maki. Nanti
kempes lu!" kata Boma sambil menusukkan
jari telunjuk tangan kanannya ke perut
gendut Gita Parwati.
12.ABG DILEMPAR TELUR BUSUK
ACARA perpisahan anak-anak kelas
tiga SMU Nusantara III Sabtu malam itu
ramai sekali. Panggung besar dibangun di
lapangan olahraga. Jejeran kursi mulai
dari depan panggung sampai ke aula. Para
orang tua dan guru duduk di barisan kursi
terdepan. Di sebelah belakang bercampur
anak-anak dari semua kelas. Dwita Tiffani
duduk tenang bersama anak-anak perempuan
teman sekelas. Terpisah satu baris di
belakangnya duduk Trini Damayanti,
becanda brisik dengan teman-temannya.
Boma malu-malu kelihatan duduk
santai, berbaur dengan teman-teman.
Senyum dan tawa lebar sesekali merebak di
wajahnya. Namun seperti kebiasaan anehnya
belakangan ini, Boma tak banyak bicara,
terkadang tampak seperti melamun. Sambil
duduk jari-jari tangan kanannya mengusap
tangan kiri. Lalu sekali-sekali menowel
hidungnya.
Sarah, cewek kelas dua yang nempel
terus bersama Ronny Celepuk, berbisik.
"Ron, aku peratiin Boma dari tadi.
Kayaknya apa yang teman-teman omongin
memang benar."
"Memangnya orang-orang ngomongin
apa?" tanya Ronny.
"Kata taman-teman Boma udah jadi
gendenk gara-gara punya ilmu hitam."
"Ah gila! Siapa yang bilang gitu
sama kamu?"
"Pokoknya banyak," jawab Sarah.
"Liat aja, 'tu anak jadi banyak
bengongnya. Nggak ceria kayak dulu."
"Namanya juga orang baru sakit,"
kata Ronny membela temannya.
Yang jadi MC atau pembawa acara
dalam pesta perpisahan itu adalah Gita
Parwati. Penampilannya yang gendut,
gayanya yang kocak serta kata-katanya
yang diselingi humor membuat suasana
menjadi hangat.
Saat ketika anak-anak kelas tiga
mengisi acara dengan permainan ben, di
belakang panggung seorang anak laki-laki
bertubuh tegap, rambut gondrong diikat di
sebelah belakang mendekati Gita Parwati
yang berdiri sambil memegang wireless
microphone. Menurut susunan acara selesai
permainan ben anak-anak kelas tiga, Boma
dan kawan-kawannya akan tampil ke
panggung menyumbangkan dua buah lagu.
"Git, kamu istirahat aja dulu. Biar
aku yang gantiin jadi MC," kata anak
lelaki itu yang mendekati Gita. Namanya
Anton, anak kelas I-A yang naik ke kelas
dua. Anton sudah lama naksir Trini
Damayanti dan bukan rahasia lagi Anton
tidak suka pada Boma yang dianggapnya
sebagai saingan.
Gita belum sempat menjawab, Anton
sudah mengambil microphone dari tangan
anak perempuan itu secara kasar.
"Ton, kamu apa-apaan sih?!" kata
Gita, coba mengambil microphone kembali,
tapi tak berhasil.
"Udah, duduk aja. Nanti juga
kembaliin. Segala mikropon!" kata Anton.
Seorang anak lelaki berambut
coklat, muka penuh jerawat mendatangi.
"Kok kasar amat sih sama cewek?!"
anak ini menegur. Namanya Allan. Anak
baru di kelas dua.
Anton langsung berpaling. Dia
letakkan microphone di depan hidung Allan
dan berucap. "Jerawat batu, lu anak baru
jangan ikut campur!"
Allan hendak merampas microphone
dari tangan Anton tapi Gita Parwati cepat
memegang tangan anak itu; "Udah Lan,
biarin aja anak konyol itu begitu. Apa
sih maunya. Kalau mau jadi MC kenapa
nggak minta terus terang waktu rapat
panitia...."
Lagu yang dimainkan anak kelas tiga
berakhir. Bersamaan dengan itu Anton
muncul di panggung, langsung bicara.
"Para hadirin yang terhormat. Kini
tiba giliran teman-teman dari kelas dua-
sembilan menyumbangkan dua buah lagu.
Kepada teman-teman kelas dua-sembilan
dipersilahkan naik ke panggung."
Tepuk tangan menggemuruh. "Lho kok
MC-nya ganti?" seorang anak berucap.
Ronny paling dulu berdiri. Memberi
isyarat pada teman-temannya. Boma, Vino,
Rio, Andi dan Firman segera berdiri pula.
Begitu Boma dan teman-temannya
berada di panggung, Anton kembali bicara.
"Para hadirin, inilah teman-teman
kita dari kelas dua-sembilan. Mohon tepuk
tangan untuk mereka."
Tepuk tangan kembali menggemuruh.
"Para hadirin, sebelumnya kami
perkenalkan dulu teman-teman kita ini.
Pada melody Ronny Kaunang, lebih dikenal
dengan panggilan Ronny Celepuk karena
hidungnya yang bengkok dan alisnya yang
item tebal kayak burung hantu!"
Orang banyak tertawa, ada yang
bertepuk, juga ada yang bersuit.
"Pada keyboard teman kita yang
bernama Firman," Anton melanjutkan. "Pada
bas gitar Andi, lalu pada drum Vino. Pada
gitar pengiring Rio. Terakhir, yang sudah
siap di depan mikropon, rambut ABCD Abri
Bukan Cepak Doang, adalah teman kita
seorang ABG, namanya Boma!"
Tepuk tangan terutama anak-anak
kelas II-9 riuh menggema.
"Para hadirin sekalian, perlu
diberitahukan bahwa singkatan ABG buat
Boma bukan berarti Anak Baru Gede. Tapi
Anak Baru Gendenk! Gendenk karena
keberatan ilmu!"
Ada yang tertawa mendengar kata-
kata Anton itu, ada yang bertepuk. Tapi
banyak yang terdiam heran, memandang ke
panggung. Di atas panggung Boma tenang
saja, malah mengulum senyum lalu menowel
hidungnya.
Ayah dan Ibu Boma yang duduk di
barisan ke dua sebelah depan saling
berpandangan. Sumitro geleng-gelengkan
kepala. "Seloroh anak-anak Pak, jangan
diambil hati. Boma sendiri cuma ketawa."
Di belakang panggung Gita mengomel.
"Sialan si Anton. Ngapain dia nyebut-
nyebut Boma Gendenk segala? Sentimen 'tu
anak!"
"Dia cuma becanda Git," kata
seorang anak di sebelah Gita.
"Becanda sih nggak gitu! Brengsek!
Pantes dia ngerampas mikropon. Ini
maksudnya! Pasti ini gara-gara kucing
garong itu."
"Kucing garong?" teman di sebelah
Gita Parwati bertanya heran.
"Lu belon tau kucing garong ya?
Siapa lagi. Si Trini!"
Di atas panggung Anton mendekatkan
mikropon ke mulutnya. "Para hadirin
sekalian ABG Boma akan membawakan dua
buah lagu. Lagu pertama Bujangan. Cocok,
karena dia memang masih bujangan. Lagu
kedua bersama teman-temannya Boma akan
membawakan lagu terkenal dari Koes Plus
yaitu Pelangi"
Anton turun dari panggung. Dia
tidak menyerahkan wireless microphone ke
tangan Gita. Mikropon itu diletakkannya
di atas sebuah kursi.
Gita cepat mendatangi. "Ton!"
teriak Gita. "Brengsek lu! Ngejatoin
temen sendiri!"
Anton cuma menyengir lalu ngacir,
berkumpul dengan teman-temannya.
Tepuk tangan ramai. Vino
menghentakkan drum. Suara melody gitar
merobek panggung. Ketika Boma mulai
menyanyi sambutan menggemuruh.
Baru sepertiga nyanyian dilantunkan
Boma, tiba-tiba entah dari mana datangnya
sebuah benda bulat putih melayang ke arah
panggung dan pluk! Jatuh pecah di atas
dada kiri Ronny Celepuk. Ternyata benda
yang dilemparkan itu adalah sebutir telur
ayam busuk!
Ronny sampai tersurut dua langkah.
Petikan gitar melodynya sesaat tersendat.
Boma cepat berkata.
"Tenang Ron, terus. Jangan
kacau...."
Sambil meneruskan memetik melody
Boma memperhatikan pecahan telur busuk
yang mengotori kemejanya. Bau busuk
membuat dia tak tahan mau muntah.
Boma terus menyanyikan lagu
Bujangan. Menjelang akan sampai ke akhir
lagu, tiba-tiba sebuah telur lagi melesat
ke atas panggung. Boma yang sedang
konsentrasi menyanyi tidak sadar kalau
sasaran benda itu adalah dirinya. Ketika
dia sadar, Boma terlambat mengelak. Telur
ayam busuk jatuh dan pecah tepat di pipi
kirinya.
Suara nyanyian Boma hampir terputus
kalau Boma tidak cepat menguasai diri.
Sambil menyeka pipinya yang berselomotan
telur busuk, Boma terus menyanyi sampai
akhir.
Sambutan hadirin luar biasa.
Terutama melihat sikap tenang Boma dan
teman-teman walau barusan dilempar telur
busuk. Boma mendekatkan mikropon ke
mulutnya.
"Para hadirin, teman-teman, kami
akan membawakan lagu Pelangi. Mudah-
mudahan masih ada persediaan telur busuk
buat kami."
Riuhnya sambutan penonton bukan
main. Di antara keriuhan itu ada yang
berteriak histeris.
"Gebukin si pelempar telur!"
Boma mengangkat tangan. Dari
wajahnya yang masih dikotori telur busuk
dan dari sosoknya yang jangkung seolah
muncul satu kharisma. Para hadirin
berangsur tenang. Boma memberi isyarat
pada Ronny. Lagu Pelangi ciptaan Koes
Plus segera menghentak suasana. Ketika
lagu itu hampir sampai pada akhirnya
beberapa anak yang kemudian diikuti oleh
para hadirin lainnya berteriak sambil
berdiri.
"Terus! Terus!"
"Ulang! Ulang!"
Mau tak mau Boma dan kawan-kawannya
menyanyikan Pelangi sekali lagi. Sambutan
meriah luar biasa mengikuti Boma dan
teman-temannya ketika turun dari
panggung.
Di belakang panggung anak-anak
mengerubung. Banyak tangan memberikan
kertas tisu pada Boma dan Ronny untuk
membersihkan sisa-sisa telur busuk. Boma
dan Ronny kemudian pergi ke kamar mandi
di belakang sekolah. Vino, Rio, Firman
dan Andi mengikuti.
Sampai di kamar mandi Vino berkata.
"Bom, aku sempat ngeliat siapa yang
ngelempar telor busuk."
Ronny langsung bertanya. "Siapa?"
Vino tak segera menjawab, melihat dulu
pada Boma.
"Ala, udah Ron. Enggak usah
sewot...." kata Boma.
"Gua nggak sewot. Tapi marah besar
Bom! Keterlaluan. Kurang ajar! Yang
begini nggak bisa didiemin. Si Anton juga
mau gue datengin. Apa maksudnya bilang
kamu Anak Baru Gendenk! Gua dibilang
kayak burung hantu! Tu anak musti dikasih
pelajaran!"
Boma tersenyum. Sambil mengeringkan
mukanya yang baru dibasuh dia berkata.
"Buat apa sih nyari ribut! nanti juga
pada ketulah sendiri."
Ronny menggoyangkan tangan. Sambil
melotot dia bertanya pada Vino. "Vin,
bilang cepetan! Siapa yang ngelempar
telor?"
"Si Bodong," jawab Vino.
"Si Bodong? Maksud lu Jamhudi
sohibnya Si Anton?"
"Di SMA Nusantara Tiga cuma ada
satu anak yang pusernya bodonk. Siapa
lagi kalau bukan Jamhudi!" kata Rio.
"Biar gua gasak sekarang juga 'tu
anak!" kata Ronny sambil menggulung
lengan kemejanya.
Boma cepat memegang bahu Ronny.
"Sabar Ron. Gua bilang nggak usah
bikin ribut. Apa lagi sekarang kita lagi
pada pesta girang-girang."
Pelipis Ronny Celepuk bergerak-
gerak.
"Oke... oke!" kata Ronny sambil
memukulkan tinju kanannya berulang kali
ke telapak tangan kiri. "Gua ikutin
omongan lu, Bom. Tapi nanti, gua pasti
bikin perhitungan sama anak itu! Gua tau
dia sohibnya Si Anton. Si Anton bakal gua
sikat sekalian!"
"Sabar Ron, sabar," kata Vino.
"Liat, siapa yang lagi mau datang ke
sini. Ada dua cewek."
Ronny dan teman-temannya termasuk
Boma yang baru keluar dari bangunan kamar
mandi melihat ke arah lapangan. Dari
samping kiri deretan kursi melangkah
Trini Damayanti. Lalu dari jurusan
sebelah kanan berjalan Dwita Tifani.
Ronny yang tadi sewot kini
menyengir.
"Asyik nih, bakalan terjadi perang
dingin sebentar lagi. Teman-teman,
baiknya kita cabut dulu."
"Eh, tungguin gua!" kata Boma
ketika dilihatnya Ronny dan yang lain-
lain meninggalkan tempat itu.
"Nggak usah takut Bom, Dwita sama
Trini nggak bawa telor busuk. Kalaupun
bawa, pasti telor mereka dibungkus rapi
sama...." Ronny tidak meneruskan
ucapannya, melainkan berpaling pada Vino
dan bertanya. "Dibungkus sama apa Vin?
Jawab dong."
Vino cekikikan lebih dulu baru
menjawab.
"Dibungkus sama beha."
Ronny, Firman, Andi, Rio dan Vino
tertawa gelak-gelak sambil ngacir
meninggalkan Boma sendirian.
TAMAT
Ikuti Buku Berikutnya Berjudul :
TRIPPING
Boma pegang tangan dan menatap wajah anak
perempuan itu. Dia merasakan denyutan cepat sekali
pada urat nadi di lengan temannya ini.
"Git, jujur aja nih. Kamu tau si Allan itu
ngeprit!"
0 comments:
Posting Komentar