..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 24 November 2024

BOMA GENDENK EPISODE SUKA SUKA CINTA

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


1. PROYEK "GG"


BAN BELAKANG Honda Tiger merah mendenyit keras 

begitu rem yang diinjak habis menghentikan motor 

di depan rumah di ujung gang. Cowok tinggi ceking 

tanpa helm, berkaos oblong yang di dadanya ada tulisan 

Hard Rock Café—New York mengusap rambut gondrongnya 

dua kali, lalu membuka kaca mata berkaca biru menyala 

yang nangkring di atas hidungnya yang mancung bengkok. 

Tanpa kaca mata kini kelihatan dua mata besar belok di 

bawah naungan sepasang alis tebal macam clurit. Tidak 

salah kalau teman-temannya memberi nama tambahan, 

membuat dia dikenal dengan nama Ronny Celepuk. 

Ronny sentakkan gas motor dua kali berturutturut 

hingga menimbulkan gelegar kebisingan di ujung gang. 

Seorang kakek tetangga yang lagi terkantuk-kantuk di 

bawah pohon sambil asyik menikmati cangklong bututnya 

tersentak kaget. Darah tingginya langsung kumat. Dia 

bangkit berdiri, julurkan kepala di pagar, turunkan kaca-

mata. 

"Kagak heran... Die lagi. Si mata jengkol!" kata si kakek 

dengan tampang peot ditekuk. "Hoi! Bangke hidup! Jangan 

berisik di kampung orang! Sekali lagi lu genjot 'tu gas, gue 

guyur air kencing embun-embunan lu!" 

Cowok di atas motor nyengir. Sambil dua tangan 

dirapatkan dan diletakkan di atas kepala dia berkata. 

"Maapin Be, nggak sengaja!" Dia cepat-cepat memutar 

kunci kontak, mematikan mesin motor. Lalu matanya yang 

belok memandang ke pintu pagar rumah di depannya. Di


situ berdiri seorang anak lelaki sepantarannya, me-

ngenakan jins lecak yang lutut kanannya robek dan kaos 

merah yang tangan kiri kanan digunting habis. 

"Bom! Brengsek lu! Jadi orang bener-bener kelewatan!" 

Boma, anak yang berdiri di pintu pagar tenang saja 

mengusap rambut cepaknya (bahasa keren crew cut). Lalu 

berkata. "Ron, turun dulu dari motor. Baru ngomel!" 

"Sialan lu!" Turun dari motor Ronny menyampari Boma. 

"Dari pagi kamu ditungguin. Nggak taunya masih 

nongkrong di rumah! Gila bener!" 

"Gila bener apa bener gila?!" ujar Boma sambil 

mengulum senyum. 

"Bom, urusan jadi nggak karuan kalau kau nggak 

datang. Susunan acara, peralatan, teman-teman yang mau 

tampil. Semua nggak bisa diatur..." 

"Kok aku yang disalain! Dulu-dulu aku sudah bilang 

nggak mau ikut-ikutan jadi panitia perpisahan. Lagian 

katanya semua udah pada pinter. Ngapain nunggu aku si 

Boma Geblek." 

Di sekolah Boma Tri Sumitro memang bukan termasuk 

anak pintar. Rangkingnya di urutan ke 39 dari 41 murid. 

Sikapnya yang seperti malas-malasan serta urakan seenak-

nya membuat dia dipanggil Boma Geblek oleh teman-

temannya. Tapi dalatn soal urus mengurus kegiatan atau 

acara kelas, dia paling dicari. Karena kalau Boma yang 

menangani semua pasti rebes. Selain itu gayanya yang 

enak dalam bergaul, suka humor, sabar dan setia kawan, 

membuat Boma disenangi oleh teman-teman satu 

sekolahan. Lalu ada satu lagi nilai tambah yang dimiliki 

Boma. Wajahnya yang cakep segar baby face serta postur 

tubuh setinggi 174 Cm. 

Mata belok Ronny bertambah besar. "Memangnya kau 

serius Bom nggak mau ikutan dalam panitia perpisahan. 

Kau 'kan sudah dipastikan jadi ketua panitia." 

"Serius dong! Masa' anak kelas tiga yang perpisahan, 

kita anak kelas satu yang naik ke kelas dua yang pada 

sibuk!"


"Kok kamu ngomong gitu. Aneh juga nih! Lagian Bom, itu 

'kan sudah tradisi SMU Nusanlara Tiga sejak kuda gigit 

menyan!" kata Ronny pula. 

"Menyan. Itu dulu. Sekarang kudanya sudah pakai 

stockings. Yang digigit bukan menyan lagi. Tapi ecstasy. 

Jadi mustinya kau ngomong sejak kuda gigit ecstasy," kata 

Boma. 

Ronny tertawa ditahan. 

"Terserah kau mau bilang apa Bom. Pokoknya ini sudah 

jadi tradisi!" kata Ronny Celepuk rada-rada kesal. 

"Tradisi?!" Boma mengusap rambut cepaknya kembali. 

"Memangnya biskacit Roma pakai tradisi segala? Nggak la 

yauw!" 

Ronny Celepuk tidak tahu mau bicara apa lagi. Lalu dari 

kantong celana blu-jinnya anak ini keluarkan sebungkus 

rokok. Melihat ini Boma cepat berkata. 

"Lu jangan macem-macem Ron. Berani ngerokok di sini. 

Bokap gue lagi ada di dalam..." Ronny cemberut. Masukkan 

rokoknya kembali ke saku celana sambil mengomel. 

"Bokap lu kuno! Merokok aja anti!" 

"Lu mau minum?" Boma menawarkan. 

"Ala, paling juga air putih. Mending Aqua, paling-paling 

air kendi!" Boma tertawa. 

"Bom, kayaknya aku tahu kenapa kau nggak mau ikut-

ikutan sibuk di panitia perpisahan..." 

"Coba lu tebak." 

"Gara-gara cewek baru anak Duta Besar itu!" jawab 

Ronny Celepuk. "Iya 'kan?" 

"Maksud kamu si Dwita?" 

"Siapa lagi? Memangnya ada dua anak baru, ada dua 

anak Duta Besar di SMA Nusantara Tiga?" 

Boma tertawa. Lalu dengan ujung jari tangan kanannya 

dia menowel hidungnya sendiri. Ini kebiasaan Boma yang 

tidak pernah hilang sejak dia pertama kali menyaksikan 

film kungfu dibintangi almarhum Bruce Lee. Dia begitu 

tertarik pada gaya Bruce Lee yang suka menowel-nowel 

hidung, terutama pada waktu berkelahi. Sejak itu Boma


menjadikan pendekar kungfu ini sebagai idolanya. Waktu 

itu dia masih duduk di kelas dua SMP. Gaya menowel 

hidung ini mula-mula cuma ikutan meniru-niru gaya Bruce 

Lee. Lama-lama jadi kebiasaan. 

"Ajie gombal! Memangnya ada urusan apa aku sama 

Dwita? Kok disangkutin sama dia?" 

"Ada yang bilang begini. Kau naksir berat sama cewek 

baru itu. Tapi Dwita acuh saja. Lalu seminggu lalu Dwita 

pulang barengan naik mobil sama Zaldi anak kelas tiga. 

Waktu keluar halaman, kau malah diserempet kaca spion 

mobilnya Zaldi. Kau dibilang patah hati! Itu 'kan gara-

garanya?" 

"Hebat juga 'tu cerita. Siapa yang ngarang Ron? Kau 

sendiri ya?! Jatuh cinta aja belon, kok duluan patah hati?! 

Ajie busyet!" 

"Sudah, bilang aja memang benar kau enggak mud ikut-

ikutan dalam panitia perpisahan gara-gara Dwita, kan?" 

"Geblek banget gua!" 

"Ya, kau selama ini memang biangnya segala geblek. 

Lupa kalau banyak yang manggil kau Boma Geblek?" 

"Biarin aja! Enggak rugi dipanggil geblek kalau aku 

memang geblek!" Boma tertawa lepas. 

"Ada lagi cerita versi lain Bom...." tiba-tiba Ronny 

Celepuk berkata. 

"Wah! Ini namanya kejutan..." 

"Kau, mau dengar?" tanya Ronny. 

"Terserah, kau mau cerita apa nggak ya terserah." 

"Bom, ada temen-temen bilang sebetulnya kau mau 

balas dendam sama Trini. Selama ini Trini selalu jual 

mahal. Istilah kerennya suka melecehkan dirimu..." 

"Aku nggak merasa dilecehin 'tuh. Lagian kalau di-

lecehin sama bibir, aku ya suka-suka saja la yauw!" 

Walau jengkel mendengar ucapan Boma, Ronny Celepuk 

meneruskan. 

"Kata temen-temen kau sengaja mendekati Dwita, biar 

Trini tahu rasa. Tadinya Trini memang sempat shok. 

Maklum, ada yang bilang sebetulnya Trini memang ngebet


sejak lama sama cowok geblek macammu! Tapi waktu dia 

tahu Dwita nggak ngacuhin kamu, Trini kembali pasang 

harga mahal...." 

"O… gitu ceritanya. Kayak telenovela aja," kata Boma 

sambil senyum dan angguk-anggukkan kepala. "Sudah, 

sekarang kita bicara soal lain saja. Proyek GG yang aku 

bilang tempo hari sudah pasti jadi..." 

"Nah, ini satu lagi Bom!" Belum apa-apa Ronny Celepuk 

sudah memotong. "Ada lagi teman yang bilang. Kau 

bingung berat gara-gara nggak dapat Dwita, nggak dapat 

Trini. Lalu membuat Proyek GG. Mungkin buat ngademin 

hati yang lagi ngebet dan panas." 

"Ajie busyet!" kata Boma sambil menowel hidungnya. 

"Biarin, orang mau ngomong apa kek! Tapi Ron. Proyek GG 

ini super rahasia. Kok katamu temen-temen pada tau?" 

"Ala, di SMA Nusantara Tiga mana ada sih yang nama-

nya rahasia?" kata Ronny Celepuk. Lalu bertanya. "Siapa 

aja yang bakalan ikut?" 

"Yang udah pasti ada enam orang. Rasanya aku nggak 

mau nambah lagi. Kalau kebanyakan biasanya pada rese," 

jawab Boma. 

"Siapa-siapa aja Bom?" Ronny kembali bertanya. 

"Rio, Andi, Firman, Vino dan Gita. Enam sama gue. Tujuh 

sama kau kalau mau gabung." 

"Tadi kau bilang Gita. Gita? Gita Gendut?" ujar Ronny. 

"Memangnya ada Gita Ceking di kelas dua?" 

"Urusan bisa repot, Bom!" 

"Repotnya?" tanya Boma. 

"Kalau kejadian apa-apa sama 'tu anak, siapa nyang 

mau gendong? Bobotnya aja seratus kilo lebih!" kata 

Ronny. 

"Kok lu tau bobotnya seratus kilo lebih? Berarti lu udah 

pernah ngegendong dia dong..." 

"Ajie busyet! Tobat ane, Cing! Ane nyang ringsek!" kata 

Ronny sambil nyengir-nyengir. 

Boma menggerakkan tangan memberi isyarat pada 

temannya. "Ayo ikut ke kamar. Kamu saksikan sendiri


persiapan gua!" 

Waktu menuju ke kamar Boma di tingkat atas rumah 

panggung kayu, di ruang tengah ayah Boma sedang asyik 

membaca surat kabar. Hanya mengenakan singlet dan 

sehelai kain sarung. Lelaki ini menurunkan koran yang 

dibacanya. Di balik kacamata tebal plus 6 bola matanya 

berputar memperhatikan siapa yang bersama anaknya. 

Merasa diperhatikan Ronny jadi tidak enak. Cepat dia 

mengangguk sambil memberi salam. 

"Selamat siang Oom..." 

Ayah Boma tidak menjawab. Hanya mulutnya bergerak 

sedikit lalu mendehem. 

Ketika menaiki tangga ke lantai atas rumah panggung 

itu Ronny berbisik. "Bokap lu makin angker aja Bom...." 

Belum habis ucapannya tak sengaja kaki Ronny ter-

serandung. Kalau tidak cepat dia memagut pegangan 

tangga kayu ditambah bantuan Boma yang mencekal bahu 

kaos oblongnya, bukan mustahil anak itu jatuh ke bawah. 

Di lantai atas, di dalam kamar Ronny memandang ber-

keliling. Dia melihat berbagai perlengkapan mendaki 

gunung memenuhi kamar. Mulai dari tali sampai jaket, 

mulai dari tongkat sampai ransel. Juga ada kompas, kotak 

obat dan perlengkapan untuk berkemah termasuk sebuah 

kompor gas kecil. 

"Hebat Bom. Peralatan anak UI saja kayaknya enggak 

selengkap ini...." 

"Kau lihat ini Ron," kata Boma. Dia melangkah ke meja 

belajar di sudut kamar. Dari dalam laci meja dikeluarkan-

nya sebuah handy-talky. 

"Hate ini, frekwensinya disamakan dengan frekwensi 

radio di pos pengawasan. Jadi soal keamanan nggak usah 

disangsikan." Boma bicara penuh bangga. 

"Kalau gitu, aku ikut mendaftar Bom." 

"Buat lu sih beres aja. Kau jadi komandan bagian 

ransurn merangkap juru masak!" 

"Sialan! Masakannya aku campur Garam Inggris biar 

mencret semua!"


Waktu turun ke bawah, ayah Boma masih duduk di 

tempatnya tadi membaca. 

"Nak Ronny?" Ayah Boma tiba-tiba menyapa ketika anak 

itu melintas di depannya. 

"Saya, Oom..." 

"Pasti mau ikutan mendaki Proyek GG." 

Ronny Celepuk agak kaget. Matanya yang belok melirik 

pada Boma. Dalam hati dia berkata. "Kok, bokapnya si 

Boma tau-tauan Proyek GG segala? Wah, bener-bener udah 

bocor." 

Ronny anggukkan kepala pada ayah Boma dan ber-kata. 

"Benar Om..." Ronny Celepuk merasa senang. Ternyata 

bokapnya si Boma ini ramah juga. Tapi rasa senang itu 

serta merta sirna begitu ayah Boma menyambung ucapan-

nya. 

"Boro-boro naik gunung, naik tangga saja belum becus! 

Ha... ha... ha!" 

Ronny Celepuk coba tersenyum walau senyum kecut. 

Sampai di luar anak ini berkata pada temannya. 

"Bom, bokapmu bukan cuma angker. Ngomongnya juga 

antik!" 

Tiba-tiba ada orang dan suara di belakang. 

"Apa kau kira saya ini sama dengan barang antik di 

pasar loak Jalan Surabaya, hah?!" 

Sirap darah Ronny Celepuk. Mukanya pucat. Lehernya 

terasa kaku waktu menoleh ke belakang. Ronny tahu 

matanya besar belok. Tapi saat itu dia melihat dua mata 

ayah Boma jauh lebih besar dan lebih belok dari matanya, 

memandang tak berkedip ke arahnya. 

"Maaf Oom. Saya... saya..." Ronny bingung. Boma cuma 

nyengir. 

Naik ke atas motor Ronny Celepuk lupa kalau di ujung 

gang itu ada tetangga yang tidak suka berisiknya suara 

motor. Ronny kedut-kedut putaran gas. 

Satu kepala berwajah peot tua, berkacamata nongol dari 

balik pagar rumah sebelah. 

"Hoi bangke hidup! Mau ngerasain diguyur air kencing


ya?!" 

"Be, maap, Be!" 

Ronny Celepuk langsung kabur tancap gas. 

***


2. DWITA TIFANI


I HARI-HARI libur panjang warung bakso di sudut 

timur SMA Nusantara III sepi. Mang Asep, si pemilik 

warung ikutan libur, kabarnya pulang kampung 

minggu depan. Sekalian nyunatin anak lelakinya paling 

besar. 

Siang itu hanya satu meja yang terisi. Di sekeliling meja 

duduk Boma, Vino, Firman, Andi, Rio dan satu-satunya 

cewek, bertubuh hitam gemuk. Itulah Gita. 

Boma memegang lengan Vino yang dilingkari arloji. 

"Hampir jam sebelas. Si Celepuk masih belon nongol." 

Baru selesai Boma berucap tiba-tiba terdengar pekak 

deru motor. Sesaat kemudian Ronny Celepuk muncul di 

pintu warung. 

"Uuhhhhhh!" Enam anak di sekeliling meja meledek. 

"Sorry teman-teman," kata Ronny sambil meletakkan 

helm di atas meja. "Ada kesalahan prosedur!" 

"Ajie Busyet! Keren amat omongan lu! Memangnya ada 

apa Ron?" tanya Boma. 

"Aku salah mutar! Maksud gue sih baik. Mau lebih cepat 

nyampe. Biasa! Kena tilang!" Ronny lalu tertawa lepas. 

"Ron, tumben lu pakai helm." Firman nyeletuk. 

"Ini yang bikin urusan," sahut Ronny. "Sari-sari nggak 

pakai helm nggak ada urusan. Pakai helm malah apes!" 

Anak ini garuk rambut gondrongnya lalu bertanya. "Gimana,


semua udah beres? Persiapan oke?" 

"Oke!" jawab Rio. 

"Ijin oke?" 

"Oke!" sahut Firman. 

"Yang belum oke, kita perlu tambahan dana. Takut 

tekor!" Vino yang bicara. 

Ronny menarik kursi, lalu duduk di samping Boma. 

"Ada lagi yang kagak oke Bom..." 

"Maksud lu?" tanya Boma. Semua mata ditujukan pada 

Ronny. 

"Bocor!" 

"Apa yang bocor?" tanya Rio. 

"Ya, apa yang bocor?" ujar Boma. "Ban motor lu atau 

pantat lu?!" 

Tawa meledak di seputar meja. Ronny tidak ikutan 

ketawa. Tampangnya kelihatan serius. Lalu setengah ber-

bisik dia berkata. "Proyek kita Bom. Proyek GG. Bocor!" 

"Maksud lu bocor gimana?" Boma jadi tidak sabaran. 

"Dwita dan Trini tau rencana kita naik Gunung Gede." 

Enam mulut ternganga, enam pasang mata menatap 

lekat-lekat pada Ronny Celepuk. "Ajie busye! Gimana bisa 

bocor? Siapa yang kasih tau?" tanya Gita. 

"Pasti lu yang ngebocorin!" Andi menuduh Ronny. 

"Swear!" Ronny Celepuk angkat tangan kanannya, dua 

jari membentuk huruf V. "Ada lagi teman-teman. Dua cewek 

itu tau kita bakal ngumpul di sini. Mereka mau datang ke 

sini. Mau minta ikutan...." 

Semua mata diarahkan ke pintu warung, terus ke 

halaman parkir sekolah yang luas, terus lagi ke pintu 

gerbang di kejauhan sana. Sepi. 

"Dari pada acara rusak, gimana kalau kita pindah 

rundingan di tempat lain," mengusulkan Vino. 

"Betul, ke rumah lu aja 'Di," kata Firman sambil 

memandang pada Andi. "Rumahmu 'kan deket dari sini." 

"Tenang teman-teman," Boma bicara. "Nggak perlu pergi 

ke mana-mana. Kenapa musti takut sama teman sendiri? 

Kalaupun Dwita atau Trini datang, kita bilang saja mereka


tidak bisa ikut. Habis. Beres 'kan?" 

"Tapi," kata Gita si cewek gendut. "Kalau Dwita atau Trini 

mintanya sambil megangin tangan lu, hati lu pasti lumer!" 

Boma menowel hidungnya. "Semua teman kita. Tapi kita 

bertujuh di sini sudah kompak enggak nambah teman lain 

ikutan ke Gunung Gede. Oke?!" Boma ulurkan tangan, 

telapak dikembangkan ke atas. Enam telapak kemudian 

ditempelkan bersusun. "Okeee!" Enam mulut berseru 

serempak. 

"Bom, Ronny nggak bohong! Starlet merah. Dwita nongol 

benaran!" Tiba-tiba Vino berkata sambil kepalanya diputar 

ke arah halaman sekolah. Sebuah Starlet merah meluncur 

melewati halaman parkir lalu berhenti tepat di depan pintu 

warung Mang Asep. Pintu kanan terbuka. Keluarlah cewek 

ramping tinggi semampai, berkulit putih. Rambut hitam 

sebahu, agak acak-acakan ditiup angin. Kacamata mungil 

menghiasi wajah yang manis. Celana jin ketat, kemeja jin 

lengan panjang digulung, dua kancing sebelah atas se-

ngaja dibuka. Inilah Dwita Tifani, kembang baru kelas II 

SMA Nusantara III. Anak kedua seorang Duta Besar yang 

enam bulan lalu kembali dari tugasnya di luar negeri. 

Sambil melangkahkan kaki yang cuma memakai sandal 

tebal cewek ini membuka kacamatanya. Sesaat kemudian 

dia sudah berada di dalam warung, tersenyum di depan 

meja Boma dan kawan-kawan. Bau wanginya parfum me-

menuhi warung yang tadinya rada-rada apek itu. 

"Rapatnya serius banget. Boleh ikutan nggak?" 

"Nggak, eh boleh!" kata Vino bergurau menjawab per-

tanyaan Dwita. 

"Jadi besok kita berangkat?" Dwita berkata, sikap tenang 

tapi suara serius. 

"Kita? Berarti termasuk dia?" kata-kata itu hanya di-

ucapkan dalam hati saja oleh tujuh anak yang ada di 

seputar meja. 

Ronny berdiri dari kursinya. "Dwita, duduk. Nggak baek 

cewek berdiri aja. Nanti kontet kau! Teman-teman, aku 

tinggal dulu ya?"


"Eh, kau mau kemana Ron?" tanya Boma. 

"Aku mau kencing dulu." Ini cuma alasan. Ronny ngacir 

pergi. 

Dwita memandang pada Boma. Matanya bagus bening. 

Senyumnya mempesona. "Aku boleh ikut 'kan Bom?" 

"Astaga, aku lupa belum bayar pisang gorengnya Bang 

Jalil." Ini juga alasan. Gita Gendut berdiri lalu melangkah ke 

pintu warung. 

Vino mengedipkan matanya pada Firman. Dua anak ini 

lalu berdiri. "Aku sama Vino cari majalah Aneka dulu, Bom. 

Ada foto anak Oomku dimuat..." kata Firman lalu menarik 

tangan Vino. 

Sama saja. Alasan yang dibuat-buat. 

Tinggal Rio dan Andi. 

"Kalian juga mau kencing? Atau bayar pisang goreng? 

Atau mau cari majalah?" tanya Boma lalu menowel 

hidungnya. 

"Mungkin semuanya!" jawab Rio. Lalu dia tendang kaki. 

Andi. Dua anak ini keluar dari warung. 

Sepasang alis mata Dwita sesaat naik ke atas. 

Lalu anak ini tersenyum. "Teman-temanmu itu. Kok...." 

"Teman-temanmu juga..." memotong Boma. 

Dwita kembali tersenyum. "Mereka kelihatannya sengaja 

menghindar. Nggak suka aku ada di sini." 

"Hemmmm.... bukan, bukan. Bukan nggak suka. Tapi 

kayaknya sengaja memberi kesempatan agar kita bisa 

ngomong berdua aja. Habis selama ini nggak pernah 

kejadian 'kan? Mereka melihat atau merasa ini satu 

kejutan. Orang kaget 'kan nggak boleh ditemanin. Nanti 

bisa latah!" 

Dwita tertawa lepas dan letakkan kacamatanya di atas 

meja. "Aku kan anak baru, Bom. Cuma enam bulan di kelas 

satu. Lalu naik kelas dua. Takut dibilang rese' kalau suka 

nyelonong sana nyelonong sini. Salah-salah ada teman 

yang merasa diinjak kakinya. Benernya sih Dwita ingin 

dekat sama kamu..." 

"Nanti Zaldi marah, mukanya bisa ditekuk lihat aku,"


kata Boma. Tapi cuma dalam hati. 

"Tapi takut nggak enak sama Trini," sambung Dwita. 

"Memangnya ada apa sama Trini?" tanya Boma. 

"Kabarnya Trini...." 

"Udah. Kita ngomong soal lain aja," ujar Boma. "Liburan 

panjang nggak ikutan tour, home stay...." 

"Ah bosan yang gitu-gituan," jawab Dwita. Entah polos 

entah agak menyombong. "Dwita justru mau ikutan kamu 

dan teman-teman..." 

"Ikutan kemana?" tanya Boma. 

Dwita memajukan kepalanya sedikit hingga kemejanya 

yang tidak terkancing menyibakkan dadanya sebelah atas. 

Boma merasa hidungnya seolah berhenti bernafas. 

"Jangan pura-pura. Aku tau. Kalian 'kan mau naik ke 

Gunung Gede. Berangkatnya besok...." 

"Tau dari mana, dari siapa?" tanya Boma. 

"Pokoknya tau aja," jawab Dwita. "Bisa 'kan? Boleh 

'kan?" 

"Bisa saja, tapi..." 

"Wah, gelap deh kalau pakai tapi segala," kata Dwita. 

"Bilang aja nggak mau ngajak." 

"Bukan gitu. Dalam ijin cuma terdaftar tujuh orang. 

Kalau kau ikutan berarti ijin musti diperbaharui. Urusannya 

nggak gampang. Lalu kami juga kawatir. Situ 'kan anak 

pejabat. Kalau ada apa-apa tanggung jawab kami teman-

teman..." 

"Memangnya ada beda anak pejabat sama anak kucing 

dalam soal mendaki gunung?" tanya Dwita. "Memangnya 

anak pejabat nggak boleh naik gunung?" 

Boma melirik nakal ke dada yang masih tersingkap. 

Dwita sadar tapi tidak berusaha menutup kemejanya yang 

terbuka. 

"Gini, Dwita, rencana naik gunung ini bukan cuma satu 

kali. Nanti, kali berikutnya kau, siapa saja pasti kami ajak. 

Aku janji." 

"Gita kok ikut?" 

"Dia andalan kami. Dia sebelumnya sudah punya


pengalaman naik gunung. Jadi teman-teman nggak 

khawatir." 

"Oo gitu..." 

"Kakaknya anggota Mapala UI. Gita sudah beberapa kali 

diajak mendaki gunung..." 

"Oo gitu..." kata Dwita lagi. 

"Lain kali. Aku janji." 

"Oo gitu..." ulang Dwita lagi seperti menyindir. Lalu 

tangannya yang di atas meja meluncur mendekati tangan 

Boma. Dan persis seperti yang tadi dikatakan Gita. Dwita 

meremaskan jari-jari tangannya ke lengan Boma. Anak 

lelaki ini merasa detak jantungnya lebih keras dan aliran 

darahnya lebih deras. 

Di balik dapur bakso Mang Asep, Ronny Celepuk dan 

lima temannya diam-diam mengintip ke dalam warung. 

"Apa gua bilang," bisik Gita gendut. "Terbukti 'kan? Dwita 

megang tangannya Boma. Pasti lumer hati kawan kita itu!" 

"Gile, nggak nyangka. Diem-diem si Dwita agresip juga," 

kata Vino. "Boma tenang-tenang aja kelihatannya. Hatinya 

pasti kedat-kedut. Seneng pasti dipegang-pegang..." 

"Kalau aku pasti aku balas megang," kata Ronny. 

"Lu sih emang celamitan!" sergah Gita. 

"Si Boma cuma belagak bodo aja!" menyeletuk Vino. 

"Kalau di tempat lain, apa lagi rada-rada gelap, pasti si 

Dwita udah disangsot...." Muka Vino mengerenyit begitu 

sikut Gita Gendut menyodok rusuknya. 

Di dalam warung. 

"Ajie busyet.... Lumer nggak nih.... Lumer nggak nih hati 

gua!" kata Boma dalam hati. Kembali dia ingat ucapan 

Dwita tadi. 

"Dwita boleh ikut ya?" Suara Dwita Tifani perlahan 

merdu, memohon manja. 

Boma pandangi jari-jari halus yang memegang lengan-

nya. Lalu tersenyum. Boma melirik ke arah dapur warung. 

Dia ingin balas memegang jari-jari Dwita, tapi tidak dilaku-

kannya. Belum berani. Atau malu ketahuan teman-teman. 

"Nah, kau senyum. Tandanya boleh 'kan? Asyikkk." Dwita


usap-usap lengan Boma. 

Kepala Boma menggeleng. Mata Dwita mengecil. Kening 

mengerenyit. 

"Kok?!" 

"Aku janji. Kali kedua aku dan teman-teman naik gunung 

kau pasti aku ajak. Tapi yang sekali ini.... Harap kau mau 

mengerti..." 

"Kalau Dwita nggak mau ngerti?" 

Wajah Boma tetap tenang. Tetapi dia tak bisa men-

jawab. Dwita tersenyum ketika melihat ada keringat me-

mercik di kening Boma dan lengan cowok yang masih ber-

ada dalam genggamannya itu terasa dingin. 

"Bom, mentang-mentang aku anak kelas lain, nggak 

satu kelas sama kamu lantas enggak boleh ikutan ya? 

Gunung Gede cuma buat anak kelas Dua-Sembilan doang 

ya?" 

"Bukan begitu. Gimana aku musti nerangin." 

"Kalau nggak boleh ikut ya sudah...." kata Dwita pula. 

Punggungnya disandarkan ke kursi tapi tangannya masih 

memegang lengan Boma. 

"Kau marah?" tanya Boma. 

"Marah, buat apa? Cuma sedih aja." 

"Kok sedih?" 

"Iyya..." 

"Dwita, kalau teman-teman tidak mau kau ikut, bukan 

berarti mereka nggak suka sama kamu. Bukan karena kau 

tidak satu kelas dengan kami. Mereka takut kau kenapa-

napa. Mereka tidak mau kalau nanti kau sakit. Berarti 

mereka meratiin kamu. Sayang sama kamu..." 

"Oo gitu? Terima kasih kalau mereka memang meratiin 

aku. Terima kasih berat kalau mereka sayang sama aku. 

Tapi kalau Dwita boleh nanya, itu kan teman-teman. Kau 

sendiri sayang nggak sama Dwita?" 

Tenggorokan Boma bergerak. Setengah tercekik me-

nelan ludah sendiri. Tidak disangka Dwita bertanya se-

berani itu. Atau cuma sekedar bergurau? Muka Boma ber-

ubah merah. Dia coba tersenyum tapi justru wajahnya jadi


tambah merah. Apa lagi Dwita menunggu jawaban sambil 

matanya yang bening bagus memandang tidak berkedip 

padanya. 

"Tenang... tenang Boma. Kau lagi diuji. Kau lagi diuji..." 

kata Boma dalam hati coba menenangkan diri. "Otakmu 

boleh geblek tapi hatimu musti tabah! Ini tantangan baru. 

Ini baru tantangan!" 

"Nanti aja kita ketemu dan bicara lagi." Akhirnya Boma 

berucap. 

"Nggak seneng ya Dwita lama-lama di sini? Takut ada 

yang marah?" 

Boma menowel hidungnya. 

"Hidung ditowel melulu. Lama-lama bisa copot!" kata 

Dwita. 

Boma hendak menowel lagi tapi urung. 

"Oke deh..." Dwita memasukkan tangan kanannya ke 

saku blujins. Waktu dikeluarkan ada sehelai amplop dalam 

pegangannya. Amplop itu diletakkannya di atas meja. 

Melihat pada bentuk dan ketebalan amplop Boma tahu 

amplop itu bukan berisi surat. Kalaupun ada suratnya pasti 

ada sesuatu yang lain. 

"Apa-an ini Dwita?" tanya Boma. 

"Apa-apa-an apa?" ujar Dwita. 

"Itu..." Boma goyangkan kepala ke arab amplop di atas 

meja. 

"Tambahan dana." 

"Tambahan dana? Tambahan dana apa?" 

"Aku tahu, naik Gunung Gede perlu dana lumayan besar. 

Hitung-hitung aku ikut nyumbang." 

"Jangan Dwita. Semua sudah beres. Termasuk soal 

darna..." 

Boma hendak mengambil amplop di atas meja. Mau di-

kembalikan pada Dwita. Tapi Dwita cepat memegang 

lengannya. 

"Bom, kalau kau kembalikan, Dwita marah. Beneran 

Bom! Marah berat! Dwita nggak mau kenal lagi sama kau!" 

Di belakang dapur Ronny Celepuk mengomel sendiri.


"Ajie busyet! Dasar anak geblek! Kujitak benjut kepalanya 

kalau sampai amplop itu dikembaliin!" 

"Dwita, aku...." 

Kembali ke belakang dapur bakso Mang Asep. Gita yang 

pertama sekali melihat. Cewek ini menggamit Ronny lalu 

berkata. "Ron, teman-teman. Liat siapa yang datang!" 

Enam pasang mata diputar ke arah pintu warung. Di situ 

telah berdiri Trini. Rambut dikuncir di atas kepala, baju dari 

kaos tanpa lengan, singkat menggantung hingga perutnya 

di atas pinggang blujin tersembul memutih. 

***


3. TRINI


BOMA agak bingung., Dwita tenang saja. Perlahan-

lahan dilepaskannya pegangannya pada tangan 

Boma. Lalu sambil senyum dia berkata. "Aku pergi 

Bom. Nanti cerita yang banyak ya..." 

Boma menjawab tidak, mengangguk juga tidak. Dia 

melirik ke arah Trini sekilas. Saat itu Dwita sudah beranjak, 

melangkah ke pintu. Di ambang pintu dua cewek itu saling 

pandang. Trini unjukkan wajah ditekuk. Dwita tenang saja. 

Malah menegur. "Rin, aku duluan ya." 

Trini tidak menyahut. Kepalanya tidak menoleh tapi 

matanya seperti mau diputar ke belakang memperhatikan 

Dwita. Lalu Trini Melangkah memasuki warung, duduk di 

kursi di depan meja Boma. Setelah menatap wajah Boma, 

Trini bertanya. 

"Ngapain 'tu cewek datang ke sini?" 

"Ngobrol..." 

"Ngobrol? Di warung segede ini cuma kalian berdua? 

Ngobrol? Kok pakai pegang-pegangan segala?" 

"Dia yang megang, bukan aku," jawab Boma. Sesaat dia 

masih bingung, kemudian sambil menyandarkan pung-

gung ke kursi dia mulai bersikap tenang. 

Trini tersenyum. "Pasti dia pengen ikutan." 

"Ikutan apa?" tanya Boma. 

"Ala, berlaga nanya lagi. Memangnya aku nggak tau. Kau 

dan teman-teman 'kan punya proyek yang namanya GG. 

Gunung Gede."


"Kok tau?" tanya Boma. 

Trini tidak menjawab. Malah balik bertanya. 

"Dikasih?" 

"Kok kamu mendadak sibuk sih, Rin? Biasa-biasanya 

acuh aja sama aku, sama teman-teman." 

Trini menguncupkan bibirnya. Dua matanya memper-

hatikan amplop di atas meja. 

"Apaan 'tuh?" 

"Amplop," jawab Boma. 

"Ya amir. Aku nggak buta Bom! Jelas itu amplop! Yang 

aku mau tau isinya apa? Surat, batu, pasir?!" 

"Tau, liat aja sendiri!" Boma mulai kesal. Dia yakin Trini 

tidak mau mengambil amplop itu. Apa lagi melihat isinya. 

Keyakinan Boma meleset. 

Tangan kanan Trini bergerak. Diambilnya amplop di atas 

meja. Enak saja dirobeknya salah satu sisi pendek, lalu 

mengintip isinya. Tidak ada surat, batu atau pasir. Yang ter-

lihat adalah setumpuk lembaran uang puluhan ribu. Masih 

baru-baru. Sekilas bisa diduga paling tidak jumlahnya 

sekitar dua ratus ribu. 

"Wauw! Banyak amir!" kata Trini. 

"Si Trini itu nggak tau etiket! Surat orang enak aja di-

buka!" Gita Gendut mengomel di tempat pengintipan di 

dalam dapur. 

"Soalnya si Boma ngebiarin aja! Sok sabar! Si Trini jadi 

lancang. Songong!" kata Rio kesal. 

"Sekarang tanggal berapa ya?" Trini bertanya pada 

Boma. 

"Tau, memangnya kenapa?" Boma balik bertanya, heran. 

"Nggak, aku kira akhir bulan. Kau baru terima gajian dari 

puteri Duta Besar itu." 

"Ah, kau becanda aja Rin." kata Boma mulai gerah. Lalu 

menowel hidungnya. 

"Duit buat apa-an?" tanya Trini. 

"Dia nyumbang. Buat temen-temen yang mau naik ke 

Gunung Gede..." 

"Nggak heran. Anak orang kaya. Duit segitu sih nggak


ada artinya. Lalu imbalannya kau dapat apa Bom?" tanya 

Trini. 

"Nggak dapat apa-apa. Lagian siapa yang minta 

imbalan?" 

"Cuma bisa ngelus tangan doang?" 

"Aku enggak ngelus. Dia yang ngelus," jawab Boma 

Trini tertawa. 

"Uh, ketawanya kayak kuntil anak kebelet beo!!" bisik 

Vino di belakang dapur. Membuat teman-temannya cepat 

menekap mulut menahan tawa. 

"Pasti kau mengajak dia ikut naik ke Gunung Gede." 

"Dia memang minta tapi aku dan teman-teman tidak 

mau..." Boma menyahuti ucapan Trini. 

"Cewek secakep itu ditolak ikut? Sungguh satu tragedi. 

Aku nggak percaya. Cewek anak Duta Besar. Pasti pandai 

diplomasi. Pasti kau nggak bisa nolak permintaannya." 

"Rin, kau ini lama-lama aku rasa seperti serse nanyain 

tangkapan..." Kekesalan Boma mulai keluar. 

"Bisa saja begitu. Percuma bokapku polisi." Jawab Trini. 

Ayah Trini memang seorang perwira menengah di Polda. 

"Maksudku, kau perlu-perlunya datang, tanya ini itu. 

Padahal selama ini..." Boma tidak meneruskan ucapannya. 

"Padahal selama ini kenapa?" tanya Trini. 

"Kita satu kelas dari kelas satu. Lalu sama naik kelas 

dua. Juga bakalan di kelas yang sama. Selama ini aku ber-

usaha berteman dekat sama kamu. Tapi kamu selalu acuh. 

Janganin mau pulang bareng, pinjam buku atau nanya 

sesuatu saja kau rasanya seperti bukan teman satu 

sekolahan. Kalau berteman kau milih-milih. Lalu waktu 

Dwita masuk enam bulan lalu, aku lihat kau banyak ber-

ubah. Puncak perubahan adalah saat ini. Dengan segala 

keanehannya..." 

"Aku rasa aku enggak berubah, enggak ada yang aneh. 

Coba lihat wajahku. Lihat tubuhku..." Trini bangkit berdiri. 

Dua tangannya dinaikkan ke atas hingga pangkal ketiaknya 

terlihat putih menantang. Lalu dia memutar badannya 

seratus delapan puluh derajat. "Kau liat Bom, apa yang ber


ubah pada diriku? Coba bilang?" 

Di dapur Gita menyikut Vino sambil berbisik. "Liat, lagak-

nya si Trini gombal. Kayak peragawati aja." 

"Potongan sih ada, jaitan yang nggak pas," jawab Vino. 

Boma tertawa, menowel hidungnya lalu bertanya. 

"Benarnya, terus-terang ada apa sih kau datang ke sini 

Rin?" 

"Nah, gitu dong! Basa-basi dikit!" kata Trini sambil 

senyum. Lalu dia duduk kembali. "Terus terang, terang 

terus, aku mau ikutan." 

"Ke Gunung Gede?" 

"Memangnya kau dan teman-teman mau ke Gunung 

Sindur?" 

Boma tertawa kalem. 

"Tadi Dwita juga minta ikut. Aku dan teman-teman 

menolak..." 

"Di sini aku lihat cuma kau sendirian. Memang aku lihat 

ada motor si Celepuk di luar. Tapi orangnya tau dimana. 

Kau menolak Dwita, sebodo teuing! Apa kau juga menolak 

aku Bom?" 

"Sama saja Rin. Kami sudah sepakat untuk tidak me-

nambah anggota baru. Dwita bisa mengerti..." 

"Jangan samain aku dengan Dwita dong Bom. Dia 

memang anak Duta Besar. Anak orang kaya. Tapi terus-

terang dia masih belum bisa masuk level kita-kita..." 

Di dapur Gita Gendut pencongkan mulut dan hidungnya 

lalu mencolek Ronny Celepuk. "Keren banget tu cewek. 

Ngomong soal level segala. Uhh.... Ron, lu level berapa sih? 

Level one, two, three...?" 

"Gua sih Level three in one!" Vino yang menyahuti. 

"Rin," kata Boma pada Trini, "Aku janji, nanti kalau aku 

dan teman-teman naik gunung lagi, kau pasti kami bawa." 

Trini tertawa. 

"Kok, ketawa?" tanya Boma. 

"Aku jadi ingat nyanyian tempo dulu. Tinggi gunung 

Seribu Janji. Lain di mulut lain di jidat." 

Boma menowel hidungnya.


"Kalau Boma yang janji pasti nggak pernah ngawur, 

deh." 

"Oo... begitu?" ujar Trini. "Gita kok diajak?" 

"Dia punya pengalaman. Pernah ikut tim Mapala UI." 

"Oo, bukan karena dia gemuk. Jadi enggak perlu pakai 

kasur." 

"Sialan! 'Tu cewek bacotnya kok jadi kurang ajar begitu. 

Minta gue tampar apa?!" Di dapur Gita mengomel marah. 

Dia hendak melangkah keluar dari balik dinding dapur. 

Tapi Firman cepat memegang bajunya. "Sabar 'Dut, 

orang sabar cepet singset. Lu mau kurus 'kan?" 

"Ah, lu juga brengsek!" sungut Gita. Matanya mendelik, 

diarahkan pada Trini. Mulutnya mengomel. "Cewek, biar 

cakep kalau mulut usil pasti nggak ada cowok yang demen 

liat! Kapan-kapan gue kerjain 'tu anak! Belon tau Gita 

Gendut ya...!" 

Boma menyengir mendengar ucapan Trini tadi. 

"Bom, gini aja. Nggak boleh ikut nggak apaapa..Tapi 

sekarang anterin aku pulang..." 

Di belakang dapur Vino berbisik pada teman-teman-nya. 

"Kok si Trini jadi kolok. Dulu Boma sampai nguber-nguber. 

Boroboro dilirik sebelah mata, sebelah ketek juga nggak. 

Malah Boma sering-sering dikerjain..." 

"Sekarang lain," jawab Andi. "Trini punya saingan sejak 

enam bulan lalu. Kawatir Boma lolos ke tangan Dwita, kini 

dia ganti yang ngejar. Ini namanya semacam politik 

dumping!" 

"Mending kalau dumping," Vino menyahuti. "Jangan-

jangan politik kuda lumping. Jalan baru satu langkah, tapi 

goyang udah lima kali...." Lima mulut sama ditekap 

menahan tawa mendengar kata-kata Vino itu. 

Boma bingung. Mau ngantar Trini apa tidak. Kalau di-

antar kelanjutan hubungannya dengan Trini bisa mulus. 

"Mungkin cewek ini udah tobat ngerjain aku..." pikir Boma. 

Saat itulah dari balik papan tripleks di sudut dapur Boma 

melihat ada enam tinju dikepal ke udara. Boma terpana. 

Coba mengartikan apa maksud enam kepalan teman


temannya itu. Dia maklum, kira-kira begini artinya: "Awas lu 

kalau mau-mauan nganterin Trini!" 

Trini memperhatikan mata Boma. Anak lelaki ini tidak 

memandang kepadanya, tapi melihat sesuatu di belakang 

sana. Trini menoleh. Enam tinju serta merta lenyap dari 

belakang papan tripleks. Tapi sekilas mata Trini sempat 

melihat bayangan enam tangan itu. Anak ini segera saja 

berdiri dari kursi. 

"Celaka, ketahuan!" kata Boma dalam hati. "Rin, duduk 

dulu," Boma coba mencegah, jangan sampai Trini menyeli-

dik ke dapur. 

Tapi cepat sekali Trini sudah nyelonong ke dapur. Di 

dalam dapur, di lantai di balik papan triplek enam anak 

duduk bertumpuk berdempetan. Mata sama-sama mem-

besar memandang pada anak perempuan yang berdiri di 

depan mereka. 

Trini menyeringai. Sambil bertolak pinggang berkata. 

"Hemm.... Jadi kalian ngumpet di sini rupanya. Kayak tikus 

aja. Nanti aku bilang sama Mang Asep supaya nebarin 

racun tikus!" 

"Kalau kami tikus, kau kucingnya!" kata Firman tapi 

sambil nyengir. 

"Kucing garong!" menyambung Gita gendut. 

Trini keluarkan suara mendengus dari hidungnya lalu 

cepat-cepat beranjak dari dalam dapur, terus keluar dari 

dalam warung. Boma bangkit berdiri dari kursinya, 

menyusul. 

"Gile si ajie busyet itu!" kata Firman tidak tenang. "Mau 

juga dia nganterin Trini..." 

Selagi Boma dan Trini melangkah menuju pintu gerbang 

sekolah, tiba-tiba terdengar suara Vino. 

"Teman-teman, liat di atas meja!" 

"Amplop dari Dwita ketinggalan! Geblek amat si Boma 

itu! Amplop berisi uang ditinggalin begitu aja!" 

Ronny, Firman, Rio dan Andi berserabutan melompat 

masuk ke dalam warung. Ronny lebih dulu menyambar dan 

mengamankan amplop tebal itu.


"Awas! Ada yang berani nilep gue jitak!" Tiba-tiba Boma 

muncul di pintu warung. 

"Ngeliat aja belon sempet Bom! Apa lagi mau nilep!" kata 

Ronny lalu melemparkan amplop berisi uang itu ke arah 

Boma. 

"Bom, kau nggak jadi nganterin kucing garong itu?" Gita 

tiba-tiba bersuara. 

Boma menggeleng. Ternyata tadi dia cuma mengantar 

Trini sampai di depan pintu gerbang sekolah. 

***


4. API DI GUNUNG GEDE


ARI KAMIS jam 10.00 pagi. Setengah jam per-

jalanan naik ojek dari Warungkondang rombong-an 

sampai di satu Pos Pengawas. Petugas jaga seorang 

lelaki berusia lebih 50 tahun memeriksa surat-surat serta 

perlengkapan yang dibawa rombongan anak-anak SMA Nu-

santara III. Boma mengetes berkomunikasi antara HT yang 

dibawanya dengan pesawat radio yang ada di pos. Se-

belum diizinkan berangkat petugas ini memberi peng-

arahan. 

"Anak-anak, nama Bapak Tatang Suryadilaga." petugas 

Pos Pengawasan memperkenalkan diri. "Bapak sudah tiga 

puluh tahun lebih bertugas di sini. Melihat perlengkapan 

yang kalian bawa, Bapak tidak merasa kawatir. Apalagi 

anak ini, siapa namanya...?" Petugas itu memandang pada 

satu-satunya cewek dalam rombongan. 

"Saya Gita, Pak." 

"Apa lagi Gita sudah punya pengalaman mendaki 

gunung. Malah katanya dua tahun lalu pernah naik ke 

puncak Gunung Gede, tapi dari arah sebelah utara. Nah, 

walau semua tampak rapi, dan kalian merasa tidak perlu 

adanya bantuan pemandu, tapi Bapak tetap perlu mem-

berikan beberapa pengarahan. Pertama ikuti jalan setapak 

yang sudah ada. Waktu pulang supaya nggak nyasar, 

tempuh jalan yang sama. Kedua selalu berada dalam satu 

barisan, jangan saling terpisah terlalu jauh satu sama lain. 

Sebaiknya pergunakan tali. Di tengah jalan jangan merusak


lingkungan. Dilarang mencabut tanaman, menggali lobang, 

membunuh binatang dan sebagainya. Selanjutnya selama 

perjalanan jangan kencing, apa lagi buang hajat besar 

sembarangan...." 

"Pak Tatang," Boma menyorong. "Katanya kalau kencing-

nya dibalik pasti aman, nggak kejadian apa-apa." 

"Maksudnya dibalik bagaimana?" tanya Pak Tatang 

sementara teman-teman Boma juga tidak mengerti. 

"Maksudnya begini. Cewek kalau kencing kan jongkok. 

Kalau cowok pasti berdiri. Nah kalau dibalik si cewek 

kencing berdiri lalu cowoknya kencing jongkok pasti nggak 

dimarain makhluk, penjaga gunung. Pasti nggak ke-

sambet!" 

"Konyol lu!" damprat Gita. "Lu aja coba duluan kencing 

jongkok, gua mau liat! Bisa nggak?! Rese' amat sih!" 

"Dasar Boma Geblek!" ikut mengumpat Firman. 

Yang lain-lain juga menggerutu. 

"Si Boma bukan kencing jongkok, tapi aikiunya udah 

jongkok dari dulu alias geblek!" kata Ronny Celepuk. Boma 

cuma menyengir. 

Pak Tatang meneruskan pengarahannya yang tadi ter-

potong. "Dalam perjalanan jangan sekali-kali bicara yang 

bukan-bukan, jangan bicara jorok, atau teriak-teriak nggak 

karuan, nanti benar-benar bisa tak karuan, kemasukan. 

Juga jangan sampai berbuat yang bukan-bukan..." Pak 

Tatang Suradilaga tersenyum sambil melirik pada Gita. 

Maklum arti lirikan itu cewek gendut ini lantas saja 

membuka mulut. "Dalam rombongan memang saya satu-

satunya cewek Pak. Tapi siapa sih yang mau nyoba-nyoba 

jahil sama saya? Sekali saya dudukin pasti mejret!" 

"Duh soknya!" kata Vino sambil memegang kepala Gita. 

Pak Tatang tertawa. Lalu meneruskan. 

"Gunung Gede merupakan gunung dengan lingkungan 

paling ramah di Jawa Barat. Tapi salah-salah bisa berubah 

jadi angker. Itu semua tergantung pada disiplin kalian para 

pendaki. Berada di kawasan Gunung Gede sekali-kali 

jangan takabur. Cuaca sewaktu-waktu bisa berubah tidak


terduga. Hari ini hari Kamis. Berarti nanti malam, malam 

pertama kalian di atas gunung adalah malam Jum'at...." 

Petugas pos pengawasan itu hentikan kata-katanya, me-

mandangi wajah tujuh orang anak itu satu persatu. 

Setelah sadar kalau malam nanti adalah malam Jum'at 

Boma dan kawan-kawannya jadi terdiam. 

"Lho, kalian kok semua kelihatan ketakutan! Malam 

Jum'at dan malam-malam lainnya sama saja, nggak ada 

beda. Yang penting ikuti semua petunjuk saya. Kalian 

kembali hari apa?" Pak Tatang meneliti kembali surat peng-

antar dan izin pendakian yang ada di mejanya. 

"Paling lambat Minggu sore Pak," jawab Boma. 

"Yang jadi pimpinan...?" 

"Saya Pak," kata Boma. 

"Siapa namanya? Oo ini," Pak Tatang memperhatikan 

kembali surat di atas meja. "Boma Tri Sumitro. Nama 

hebat. Anak ini apa putranya Pak Sumitro mantan Jenderal 

atau Pak Sumitro pakar ekonomi yang terkenal itu..." 

Yang menjawab Ronny. "Gini Pak, ayah teman saya ini 

namanya memang Sumitro, Pak. Cuman bukan Sumitro 

Jenderal atau Sumitro ahli ekonomi itu. Tapi Sumitro 

tukang sablon!" 

"Dasar celepuk! Brengsek lu!" maki Boma. Kakinya ber-

gerak menendang ke arah tulang kering Ronny. Untung 

Ronny Celepuk cepat menjauhkan kakinya. Kalau tidak 

lumayan sakitnya kena tendang. 

Pak Tatang tertawa lebar. Teman-teman Boma yang lain 

mesem-mesem menahan geli. 

Sejak pensiun sebagai Pegawai Negeri Departemen 

Penerangan, Sumitro Danurejo, ayah Boma memang mem-

buka usaha sablon di rumahnya. 

"Satu lagi perlu saya beritahu," Pak Tatang. "Menurut 

laporan stasiun pengawas cuaca, kemungkinan besar men-

jelang sore nanti akan turun hujan. Jadi sebelum malam 

sebaiknya kalian mencari tempat yang baik untuk mem-

buat kemah. Kalau kehujanan di tengah jalan, usahakan 

untuk berhenti. Pergunakan tali agar tidak terpisah." Pak


Tatang memandang pada Boma. 

"Usahakan kontak tiga jam sekali lewat radio." 

"Baik Pak." 

"Pak, di Gunung Gede ada binatang buasnya nggak?" 

bertanya Firman. 

"Ah, lu nanya yang kagak-kagak Fir!" kata Boma. "Bikin si 

Gita jadi pengen kencing aja!" 

Gita langsung menggebuk bahu Boma. 

"Misalnya binatang buas apa?" Pak Tatang bertanya. 

"Misalnya macan..." 

Pak Tatang menggeleng. "Mungkin, mungkin ada macan 

atau harimau. Tapi sejauh ini belum pernah me-

nampakkan diri atau mengganggu para pendaki..." 

"Kalaupun ada macan, kita-kita ini rasanya bakalan 

aman. Yang diincer pasti Gita yang dagingnya banyak. 

Empuk, masih perawan lagi..." kata Vino membuat semua 

temannya dan Pak Tatang tertawa sedang Gita unjukkan 

tampang cemberut sambil tangannya nyelonong mau men-

jewer kuping Vino. Vino cepat selamatkan diri dengan me-

rundukkan kepala lalu menekap kuping. 

"Saya sudah memeriksa ransel kalian satu persatu. 

Tidak ada obat terlarang. Tapi mungkin, siapa tahu kalian 

membawanya sembunyi-sembunyi. Diumpetin...?" 

"Boleh geledah Pak!" jawab Vino. "Gita duluan Pak!" 

"Ah lu lagi! Brengsek lu!" Gita cemberut. 

"Maaf Pak, saya memang bawa obat Pak," Ronny 

Celepuk tiba-tiba berkata. Wajahnya serius. Gayanya 

seperti orang bersalah. Boma dan teman, temannya yang 

lain jadi terkejut. 

"Gila, sejak kapan anak itu suka nenggak obat. Kok 

ngakunya baru sekarang-sekarang kacau urusan!" Gita 

berkata sambil memandang pada Boma lalu kembali per-

hatikan Ronny. Pak Tatang jadi ikutan serius. 

Saat itu terdengar Ronny menyambung ucapannya. "Tapi 

bukan obat terlarang Pak. Cuma menyan!" 

"Geblek!" maki Gita. 

"Sontoloyo!" gerutu Rio.


"Ajie gombal lu!" sungut Andi. 

Pak Tatang masih bisa tertawa lega walau agak 

pencong. 

"Pak Tatang," kata Gita. "Sebelum pergi kita berdoa dulu. 

Biar selamet semua..." 

"Itu bagus. Memang dalam segala hal selain usaha kita 

sendiri jangan lupa mengingat dan minta pertolongan pada 

Tuhan. Anak-anak, mari kita berdoa sesuai agama masing-

masing. 

Selesai berdoa Boma dan kawan-kawannya menyalami 

Pak Tatang lalu meninggalkan Pos Pengawasan. Rombong-

an bergerak ke arah barat laut, menuju kaki gunung ter-

dekat. 

*** 

HARI MINGGU, larut malam. Pak Tatang petugas Pos 

Pengawas duduk gelisah di kursi reyot dalam kantornya. 

Menurut Boma, yang jadi pimpinan rombongan pendaki 

gunung yang berangkat hari Kamis lalu, dia dan kawan-

kawan akan kembali paling lambat sore hari Minggu itu. 

Sekarang sudah tengah malam. Boma dan kawan-kawan-

nya belum turun. 

Sebenarnya ada beberapa hal yang membuat Pak 

Tatang merasa gelisah. 

Pada hari Sabtu siang ada kontak lewat radio dari 

rombongan pendaki gunung SMA Nusantara III. Ini terjadi 

pada jam 13.20. Menurut Boma mereka bersiap-siap turun 

dari puncak Gunung Gede. Sesuai petunjuk Pak Tatang 

rombongan akan menempuh jalan yang sama waktu naik 

sebelumnya. Tapi di satu tempat gerak turun rombongan 

terhalang oleh hujan sangat lebat. 

Sepanjang sore dan malam hari Pak Tatang berusaha 

mengadakan kontak lewat radio. Tak ada jawaban dari 

Boma atau anggota rombongan anak-anak SMA Nusantara 

III. 

Hari Senin sebenarnya Pak Tatang tidak giliran jaga.


Yang bertugas di Pos Pengawasan adalah wakilnya, se-

orang anak muda bernama Sambas. Tapi pagi-pagi sekali 

Pak Tatang sudah nongol. 

"Lho, kok datang Pak?" tanya Sambas. 

"Tadi malam saya tidak bisa tidur. Saya kawatir. 

Rombongan anak-anak SMA Nusantara Tiga itu. Apa dik 

Sambas sudah coba mengontak?" 

"Sudah tiga kali Pak. Tak ada jawaban..." 

"Coba sekali lagi. Saya mau dengar." 

Sambas mengambil mikropon radio komunikasi. 

"Nusantara Tiga, Nusantara Tiga. Silahkan masuk. Di sini 

Pos Satu. Pos Satu memanggil..." 

Diam. Di radio hanya ada suara kresek-kresek. 

"Nusantara Tiga, masuk. Nusantara Tiga masuk. Pos 

Satu memanggil..." Sambas mengulangi panggilan lalu 

meletakkan mikropon ke sangkutannya. "Kita tunggu saja 

Pak. Mereka mungkin dalam perjalanan. Mungkin baterai 

hate yang mereka bawa sudah soak. Mudah-mudahan 

tidak terjadi apa-apa. Kita tunggu saja Pak." 

"Ya, memang begitu harapan saya. Tapi terus terang 

saya ini, entah mengapa kok merasa kawatir. Sore kemarin 

di gunung turun hujan lebat. Sampai malam. Komunikasi 

putus. Tadi malam saya mimpi tidak enak..." 

"Bapak mimpi apa?" tanya Sambas. 

"Saya mimpi melihat api di puncak Gunung Gede." 

"Api di puncak Gunung Gede?" Sambas ingat sesuatu. 

"Dik Sambas ingat cerita saya tempo hari?" 

"Ya... ya, saya ingat Pak." 

"Tiga tahun lalu, suatu malam saya mimpi melihat api di 

puncak Gunung Gede. Beberapa hari kemudian diketahui 

rombongan mahasiswa dari Bandung yang mendaki 

Gunung Gede mengalaini musibah. Dari enam orang yang 

naik, lima meninggal dunia. Lalu setahun kemudian saya 

mimpi yang sama. Menyusul kabar empat orang anak STM 

dari Bogor tewas, mayatnya ditemul sudah kaku di salah 

satu lereng. Malam tadi saya mimpi lagi. Melihat api di 

puncak Gunung Gede... Saya kawatir kalau-kalau musibah


yang sama akan terulang lagi..." 

"Kita mohon saja pada Yang Kuasa Pak. Semoga Tuhan 

melindungi anak-anak SMA Nusantara Tiga itu," kata 

Sambas pula. 

Tatang Suryadilaga terdiam, merenung sejenak. Sesaat 

kemudian dia berkata. "Dik Sambas, saya pulang dulu. 

Saya sama Ibu ada urusan ke Sukabumi. Nanti sore saya 

kembali ke sini. Kalau ada berita penting supaya mem-

beritahu ke rumah. Kalau saya belum kembali tinggalkan 

pesan." 

"Baik Pak," jawab Sambas. 

***


5. MIMPI BURUK


DWITA TIFANI melangkah sepanjang halaman sepi di 

sisi kanan Pondok Indah Mall. Malam terasa dingin, 

terlebih ketika angin bertiup. Lalu hujan mulai turun 

rintik-rintik. 

"Heran, kok sepi amat. Pada ke mana orangorang. Masa 

sih takut sama hujan gerimis?" Dwita bertanya sendiri. Di-

rapikannya kerah kemeja blujinnya. Dibetulkan-nya letak 

tali tas yang tersangkut di bahu kiri. Lalu anak ini me-

langkah menuju halaman parkir. 

"Mati lampu? Kok gelap...?" Dwita seolah baru sadar 

kalau keadaan sekelilingnya gelap. Hanya ada satu lampu 

menyala di kejauhan di halaman parkir sebesar itu. "Ah, 

kok aku jadi takut. Brengsek!" Dwita melanjutkan langkah. 

Di depannya ada sebuah tempat sampah besar terbuat 

dari besi, berbentuk empat persegi dengan ketinggian 

hampir sepundak. 

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara anjing melolong. 

Dwita hentikan langkah di depan tempat sampah besi. Dia 

memandang berkeliling. "Ada anjing melolong. Tapi anjing-

nya nggak kelihatan...." 

Dwita memandang berkeliling sekali lagi. 

Sunyi, dingin dan gelap. Walau gelap dia masih bisa me-

lihat mobil Starlet merahnya di kejauhan sana. 

Dwita Tifani menggerakkan kaki melanjutkan langkah. 

Tiba-tiba dari balik tempat sampah besi melompat sese-

orang. Dwita terkejut, hampir terpekik. Dikiranya rampok


atau orang jahat. Kejutnya agak mengendur ketika dia 

mengenali siapa adanya orang di hadapannya. Tapi men-

dadak dadanya berdebar ketika melihat orang itu berdiri 

sambil mengacungkan sebilah belati besar, berkilat ter-

kena cahaya lampu di kejauhan. Dan mata itu. Mata itu 

merah sekali, begitu ganas mengerikan! Di sudut bibirnya 

ada lelehan cairan merah. Darah? 

"Trini...." ujar Dwita. 

"Bagus, kau mengenali aku. Aku memang Trini. Trini 

Damayanti..." 

"Ngapain kau disini...?" Dwita bertanya. 

"Ngapain aku disini?" Trini tertawa panjang. "Kau lihat 

pisau ini? Kau lihat?" 

"Trini, kau punya maksud apa? Pisau itu! Kau membawa 

pisau segala! Untuk apa?!" 

"Untuk apa?!" Trini kembali tertawa. Lelehan cairan 

merah semakin panjang turun ke dagunya. "Kau anak baru 

di SMA Nusantara Tiga.... Berani-beranian mau merampas 

Boma dari tanganku hah?!" Pisau di tangan Trini menusuk 

ke depan, menembus udara. 

Dwita terpekik, cepat melangkah surut. 

"Bilang! Ngaku! Kau mau merampas Boma dari tangan-

ku!' 

"Tidak.... Siapa bilang aku merampas Boma." jawab 

Dwita. 

Trini bergerak. Dwita mundur lagi. Punggungnya mem-

bentur tempat sampah dari besi. Dia tidak bisa mundur. 

Trini mendekat. Jarak mereka kini hanya terpisah tiga 

langkah. 

"Bohong! Dusta! Penipu busuk! Aku tau kau memang 

mau merampas Boma! Kau malah nyogok dengan uang. 

Sekarang uang, nanti apa? Mungkin tubuhmu! Cih!" Trini 

membuang ludah. Ludahnya tampak merah. "Memalukan! 

Cewek rakus! Aku akan membunuhmu! Lihat pisau ini! 

Akan kucabik-cabik tubuhmu!" 

"Trini! Kau waras nggak! Kau... kau habis minum obat 

ya?!"


"Apa?! Aku minum obat katamu?!" Trini membentak lalu 

tertawa panjang. "Estacy?!" Trini tertawa lagi. "Aku memang 

minum obat! Tapi bukan obat bius! Obat yang aku tenggak 

namanya obat kebencian! Obat dendam! Benci, dendam 

sama kau! Aku mau minum darahmu!" 

Trini melompat ke depan. Pisau di tangan kanannya ber-

kelebat. Menderu dingin mengerikan. Dwita angkat tasnya, 

melindungi wajahnya yang hendak dibabat. Tapi tumit 

sepatu sebelah kirinya terpeleset. Tubuhnya goyah. Tasnya 

terjatuh. Dirinya tidak terlindung lagi. 

"Craasss!" 

Belati besar menancap di leher Dwita. Darah muncrat 

dari mulut anak perempuan itu. Seperti orang kerasukan 

setan Trini tertawa panjang. Belati berdarah di tangan 

kanannya diangkat tinggi-tinggi. Dwita kembali menjerit. 

*** 

TUBUH Dwita digoncang keras. 

"Dwita! Bangun! Dwita!" 

Tubuh terbungkus daster tipis pendek itu menggeliat. 

Lalu seperti disentakkan Dwita bangkit, terouduk di kepala 

tempat tidur. Matanya membeliak. Wajah keringatan. Dia 

hendak menjerit lagi tapi tak ada suara yang keluar. Satu 

tangan menutup mulutnya dengan cepat. Suara gerungan 

tersendat di tenggorokan. Dwita lalu memeluk sosok Maya, 

kakak perempuannya yang duduk di samping tempat tidur. 

Memegangi kedua bahunya. 

Pintu kamar terbuka. Nyonya Tia Sujatmiko—ibu Dwita—

langsung bertanya."Ada apa Maya? Kenapa Dwita?" 

"Mimpi Ma, Dwita pasti mimpi," jawab Maya, sambil 

mengusap keringat di kening adiknya. "Ma, jaga dulu. Saya 

mau ambil air putih." 

Nyonya Tia duduk di tepi tempat tidur. Ditekapkannya 

dua tangannya di wajah anaknya. 

"Kau pasti mimpi yang tidak enak. Berbaring dulu, biar 

lebih tenang..."


"Saya memang mimpi jelek Ma," kata Dwita. 

"Mimpi apa? Kau mau menceritakan pada Mama?" 

"Ah, sudahlah. Cuma mimpi. Nggak apa-apa." 

"Itulah, Mama 'kan sering bilang. Kalau tidur jangan 

keliwat malam. Kau tau sekarang sudah jam berapa? 

Hampir jam sebelas siang..." 

"Masa' sih Ma?" 

"Kok nggak percaya..." Sang ibu mengambil beker di 

meja kecil di samping tempat tidur lalu memperlihatkannya 

pada Dwita. Dwita tersenyum Nyonya Jatmiko agak lega 

melihat senyum puterinya itu. 

Maya masuk membawa segelas air putih. Nyonya 

Jatmiko berdiri. "Maya, Mama mau menilpon Papamu...." 

"Masa cuma anak mimpi aja mau dikasih tau Papa 

segala?" ujar Maya. 

"Eh, siapa yang mau ngasih tau soal mimpi? Mama 

nilpon Papa, mau tanya apa Pak Sundoro, Dubes teman 

Papamu itu jadi datang ke sini. Mama 'kan harus me-

nyiapkan makan siang. Hari ini Mama sengaja memasak 

tongkol kuah tauco kesenangan Pak Sundoro. Dwita, habis 

minum lekas mandi. Biar segar." 

"Iya Ma..." jawab Dwifa. 

Setelah ibunya keluar Maya bertanya pada adiknya. 

"Kau mimpi apa Wita?" 

"Serem May. Aku mau dibunuh..." 

Maya tertawa. "Ada-ada aja kau ini. Siapa yang mau 

membunuhmu?" 

"Trini.... Cewek sekolahan yang pernah aku ceritakan 

padamu." 

Maya tersenyum. Dibelainya rambut adiknya. "Sudah, 

segala mimpi nggak perlu dipikirin." 

"Lagian siapa yang mikirin. Tapi aku punya firasat. 

Cewek seperti si Trini itu mau-mauan aja ngerjain aku." 

"Gara-gara Boma?" ' 

Dwita menjawab dengan tarikan nafas panjang. 

"Cinta monyet! Sekarang bukan jamannya lagi," kata 

Maya.


"Kau boleh menganggap aku monyet May. Tapi yang aku 

hadapi justru seekor gorila," kata Dwita pula. "Sudah, aku 

mau mandi dulu." 

"Sebelum mandi periksa dulu kamar mandimu. Siapa 

tau gorilanya sudah nongkrong di situ!" Maya tertawa 

cekikikan. 

"Ah, jangan nakutin dong May! Brengsek kau!" Acuh saja 

Dwita membuka dasternya. Tanpa ada yang menutupi 

auratnya dia melangkah menuju kamar mandi. 

Maya geleng-geleng kepala. "Firasatku, gorila yang di 

kamar mandi bukan gorila betina. Tapi gorila jantan!" 

"Sinting kau!" kata Dwita dengan wajah cemberut. 

*** 

SEHABIS mandi Dwita Tifani duduk di teras belakang 

rumah, berjemur matahari sambil mengeringkan rambut. 

Matanya menatap ke arah kolam renang kecil di halaman 

belakang rumah besar. Mbok Mirah datang membawa se-

cangkir teh manis panas dan dua potong roti panggang ber-

lapis mentega dan selai strawberry kesukaannya. Biasa-nya 

jika dibawakan roti seperti itu Dwita langsung menyantap-

nya. 

"Non Dwita, nggak lapar?" menegur Mbok Mirah ketika 

melihat Dwita masih duduk diam memandang ke kolam, 

seperti merenung. 

Dwita tak menjawab. Juga tak bergerak. Matanya masih 

memandang ke arah kolam. Dua kaki dilipat di atas kursi. 

"Non Dwita kok kayak ngelamun sih?" tanya sang pem-

bantu. "Ngelamunin pacar ya?" Mbok Mirah bergurau. 

"Mbok, sekarang hari apa Mbok?" tiba-tiba Dwita 

bertanya. 

"Aneh si Non ini. Anak sekolah nggak tau hari: Mungkin 

kelamaan libur ya? Sekarang hari Selasa Non." 

Dwita seperti terkejut mendengar ucapan pembantu itu. 

"Mbok, ambilin tilpon. Tolong Mbok. Cepetan!" 

Tergopoh-gopoh si pembantu masuk ke dalam rumah.


Tergopoh-gopoh pula keluar sambil membawa tilpon 

wireless. Dengan cepat Dwita menekan tombol-tombol 

angka pada handset lalu mendekapkan pesawat itu ke 

telinga kirinya. 

"Sambil nilpon rotinya dimakan dong Non. Sudah siang 

belum sarapan nanti sakit," ujar Mbok Mirah lalu masuk ke 

dalam. 

Dwita menunggu. Tak ada jawaban dari seberang sana. 

"Tut tut tut melulu. Aneh masak sih nggak ada orang di 

rumahnya?" Dwita menunggu lagi. Masih tut tut tut. "Ah 

mungkin aku salah mencet..." Dwita mengulang mendial 

nomor tadi. Tetap saja tak ada jawaban. 

"Git... Gita dimana kau. Aduh angkat dong:..." Dwita me-

nunggu lagf. Tetap tak ada yang menjawab. "Mungkin 

rusak," Dwita memandangi handset tilpon wireless yang di-

pegangnya. "Hatiku... hatiku, mengapa mendadak tidak 

enak? Mimpi buruk itu.... Mungkin...." Dwita berpikir sesaat. 

Mengingat-ingat."Ronny.... Ronny. Kalau mereka sudah 

pulang.... Mudah-mudahan anak itu ada di rumah." Dwita 

lalu menilpon rumah Ronny. Lama sekali baru diangkat. 

Yang menerima pembantu. 

"Hallo, saya Dwita, temannya Ronny," menerangkan 

Dwita. "Ronnynya ada?" 

"Rumahnya, kosong Neng. Semua orang pada pergi...." 

"Jadi Ronny belum pulang dari Gunung Gede?" 

"Justru Neng, ayah sama ibunya Nak Ronny, juga 

saudara-saudaranya semua pada pergi ke Gunung Gede. 

Ada kecelakaan Neng." 

"Kecelakaan? Kecelakaan apa? Siapa yang celaka?" 

tanya Dwita. 

"Rombongannya Nak Ronny. Anak-anak itu hilang di 

Gunung Gede. Polisi katanya juga sudah ke sana." 

Paras Dwita Tifani berubah. "Bibi tau dari mana?" 

"Ibu bilang sebelum pergi..." 

"Lalu ibu tau dari siapa?" Dwita coba meyakinkan. 

"Ada teman Nak Ronny yang nilpon ke sini... Bibi lupa 

namanya."


"Laki apa perempuan?" tanya Dwita lagi. 

"Perempuan." 

"Polisi.... polisi... anak perempuan...." Dwita membatin 

dalam hati. Dia ingat Trini. Ayah Trini seorang anggota 

polisi. "Bi', anak perempuan yang nilpon itu namanya... 

namanya Trini?" 

"Trini.... Betul Neng! Trini. Dia yang 'nilpon." 

"Bibi' tau nomor tilponnya Trini?" 

"Nggak tau Neng..." 

"Di situ ada buku tilpon? Catatan nomor tilpon?" 

"Ada sih ada Neng..." 

"Tolong Bi! Mungkin di situ ada nomor tilpon Trini..." 

"Maaf Neng. Bibi nggak bisa baca. Bibi buta huruf..." 

Dwita menggigit bibir, memijat-mijat keningnya sendiri. 

Dadanya terasa sesak. 

"Ya sudah Bi'. Terima kasih." 

Dwita mematikan tilpon wireless itu, meletakkannya 

atas pangkuan. Berpikir-pikir siapa lagi yang harus ditilpon-

nya. Dari anak-anak kelas I-4 yang sekarang naik ke kelas 

II-9 dia Cuma tau nomor tilpon Gita dan Ronny. Mendadak 

tilpon berdering, membuat Dwita tergaga kaget lalu cepat-

cepat menekan tombol on dan mendekatkan tilpon ke 

telinga kirinya. 

"Hallo, bisa bicara sama Dwita?" 

"Saya sendiri. Siapa nih?" 

"Dwita, gue Wiwiek..." 

Ternyata yang menilpon Wiwiek, teman satu kelas Dwita. 

"Tumben kau nilpon aku. Nggak sari-sarinya," kata 

Dwita. 

"Dwita, kau udah denger belon?" 

"Denger apa?" Dada Dwita kembali sesak. Dia ingat lagi 

pada mimpi buruknya. Ingat pada keterangan pembantu 

Ronny tadi. 

"Boma sama teman-temannya yang naik ke Gunung 

Gede. Mereka semua hilang. Nggak diketahui gimana 

nasibnya. Katanya kalau sampai hari ini anak-anak itu 

nggak ditemukan, tim Sar mau diturunkan. Saat ini katanya


sudah ada tim dari Kepolisian Sukabumi yang naik ke 

Gunung Gede...." 

"Kau... kau tau dari mana Wiek?" 

"Dari Trini. Semua teman-teman sudah ditilponin. Siang 

ini anak-anak kelas I-4 yang lagi liburan mau ngumpul di 

sekolah. Rencananya sebelum jam dua belas langsung ke 

Sukabumi...." 

"Wiek...." Suara Dwita gemetar. "Aku.... Kau punya nomor 

tilponnya Boma?" 

"Di rumahnya nggak ada tilpon. Lagian aku rasa orang 

tua sama saudara-saudaranya pada berangkat ke Suka-

bumi." 

Dwita menggigit bibir. 

"Dwita, udah dulu. Aku mau ke sekolahan. Kau ikutan?" 

"Ya... ya. Harus." Suara Dwita terdengar pahit. 

"Dwita.... Dwita!" 

"Ya..." 

"Kalau kau punya mobil Kijang atau Panther.... Teman-

Teman banyak yang mau ikut. Kendaraan kita kurang.... " 

"Ya... ya...." Jawab Dwita tapi tilpon wireless sudah ter-

jatuh ke pangkuannya, terus berir jatuh ke tanah be-

rumput. Apa yang terjadi dengan Boma dan enam orang 

temannya? Hati Dwira mengucap. "Ya Tuhan tolong 

mereka. Tolong Boma, tolong teman-teman saya..." 

***


6. BERSATU DALAM DOA



CUACA mendung gerimis ketika Phanter biru gelap itu 

berhenti di depan Pos Pengawas Gunung Gede. 

Dwita melihat banyak orang berkumpul di halaman. 

Selain teman-teman sekolah di situ juga ada Pak Syafei 

Wali Kelas I-4, Pak Bugi Ibrahim Wali Kelas II-9, Ibu Renata, 

guru Bahasa Inggris. Lalu para orang tua dan keluarga 

anak-anak rombongan pendaki gunung. Semua kelihatan 

dalam wajah-wajah mencekam. Yang membuat Dwita ter-

duduk di kursi mobil, tak segera turun adalah ketika dia 

melihat mobil-mobil polisi, lalu empat buah mobil ambulan 

dan dua kendaraan dinas Pemda setempat. Dada anak 

perempuan ini terasa sesak. Dia memandang pada Wiwiek, 

teman yang duduk di sampingnya. 

"Wiek, kok ada ambulan? Jangan-jangan...." 

Pintu belakang salah satu ambulan terbuka. Dua orang 

petugas menurunkan dua tandu lipat. Keduanya bicara 

dengan tiga orang anggota Polisi. Salah seorang anggota 

Polisi bicara lewat handy talky. Tak lama kemudian orang-

orang itu masuk ke dalam Pos Pengawas, ketika keluar lagi 

mereka membawa perlengkapan, semuanya siap bergerak 

ke arah Gunung Gede. 

Dwita segera turun dari mobil. Wiwiek dan teman-teman-

nya mengikuti. Dwita mendekati anggota Polisi yang mem-

bawa handy talk, gagah, masih muda, berpangkat Letnan


Dua. 

"Pak, saya boleh ikutan ke gunung?" 

"Adik siapa?" tanya anggota Polisi itu. 

"Saya... saya teman anak-anak yang..." 

"Maaf Dik. Yang boleh naik ke atas cuma petugas. Para 

orang tua tadi juga banyak yang memaksa ikut naik. 

Mereka ingin membantu. Tapi tidak diperbolehkan. Semua 

sudah ada yang menangani, termasuk penduduk setempat 

yang jadi penunjuk jalan. Jadi adik sebaiknya gabung 

dengan orang-orang di depan Pos." 

"Pak, kejadiannya bagaimana?" 

"Maaf Dik, saat ini saya tidak bisa memberi keterangan 

apa-apa..." 

"Teman-teman saya. Mereka... mereka masih hidup?" 

Dwita bertanya, ingin kejelasan. Pertanyaannya tidak ter-

kontrol lagi. 

Jawaban yang diterima dari Letnan Polisi itu justru mem-

buat hati Dwita ciut. "Lokasi tujuh anak itu sudah ditemu-

kan. Bagaimana keadaan mereka belum dapat dipastikan. 

Adik agar tenang saja. Silahkan gabung dengan yang lain-

lain di depan Pos. Saya harus segera bergabung dengan 

Tim Pencari yang ada di gunung." 

Ketika Dwita dan Wiwiek serta teman-temannya yang 

lain melangkah ke arah Pos Pengawas, dia sempat men-

dengar ada yang berkata. 

"Uh, soknya mau ikutan ke gunung segala! Datangnya 

aja baru gini hari! Kita-kita udah nongkrong dari Subuh!" 

Dwita berpaling. Walau tidak melihat tapi dia sudah bisa 

menduga siapa yang bicara. Ketika dia melihat wajah itu 

dugaannya tidak keliru. Yang barusan bicara adalah Trini. 

Anak itu duduk di dekat teras Pos Pengawas, di antara 

serombongan anak-anak kelas II-9 SMA Nusantara III. 

Sesaat pandangan mata Dwita dan Trini saling beradu. 

Wiwiek yang ada di samping Dwita memegang lengan


temannya itu lalu berkata. 

"Acuh aja. Tu anak memang begitu. Mulut ember. Suka 

bicara seenak jeroannya...." 

"Badanku lemas Wiek. Aku mau duduk di mobil aja," 

kata Dwita. 

"Ayo aku anterin," kata Wiwiek. "Tapi kau nggak mau 

ketemu orang tuanya teman-teman dulu. Yang duduk di 

bawah pohon sana kalau aku nggak salah bapak sama ibu-

nya Boma..." 

"Kalau aku ke sana nanti tu cewek ngomong yang 

nggak-nggak lagi..." kata Dwita. 

"Jangan dipikirin. Sama bapak atau ibunya Boma siapa 

tau kita bisa tanya apa yang sebenarnya terjadi...." 

Dwita setuju dan menganggukkan kepala. "Tapi kita 

temuin Wali Kelas dulu, Wiek." 

Setelah menemui dan menyalami Wali Kelas I-4, Wali 

Kelas II-9 dan Guru Bahasa Inggris Ibu Renata, Dwita dan 

Wiwiek beserta teman-temannya yang barusan datang dari 

Jakarta mendatangi para orang tua yang duduk menggelar 

tikar di bawah pohon. Mereka adalah orang tua Boma, 

Ronny, Gita, Vino, Rio, Andi dan Firman. Beberapa di antara 

orang tua itu, yang datang malam tadi tertidur keletihan. 

"Saya Dwita, temannya Boma Pak," kata Dwita ketika 

bersalaman dengan Sumitro Danurejo, ayah Boma. "Maaf-

kan saya dan teman-teman datang terlambat. Baru tau tadi 

siang..." 

Ayah Boma, lelaki berkaca mata plus 6 sesaat pandangi 

wajah anak perempuan yang menyalaminya. Dia tak ber-

kata apa-apa, hanya menganggukkan kepala lalu berpaling 

pada istrinya yang duduk bersandar di sebelahnya. 

"Bu...." Dwita menyalami ibu Boma. 

Belum apa-apa perempuan itu sudah megucurkan air 

mata. "Doakan ya Nak. Doakan agar Boma dan teman-

temannya selamat...."


Dwita mengangguk haru. Tadi banyak yang hendak di-

tanyakannya tapi kini mulutnya tak sanggup berucap. Dia 

berpaling pada Wiwiek. 

Anak ini maklum arti pandangan itu lalu bertanya pada 

ibu Boma. 

"Bu, saya dan teman-teman baru dapat kabar tadi siang. 

Itu juga lewat tilpon. Nggak tau jelas kejadiannya...." 

Ibu Boma menyeka air matanya. 

"Dulu Ibu sudah melarang Boma. Jangan naik gunung. 

Apa lagi sekarang musim hujan. Tadi malam Pak Nugroho, 

Bapak Kepala Sekolah datang. Memberitahu. Rombongan 

anak-anak SMA Nusantara III mengalami musibah di 

Gunung Gede. Nyawa Ibu rasanya seperti amblas...." Pe-

rempuan itu menahan isak, mengusut lagi air matanya. 

Suaminya memeluk bahunya dan membisikkan sesuatu. 

Ibu Boma melanjutkan. 

"Malam tadi kami dan Bapak Kepala Sekolah, sama-

sama orang tua murid yang lain berangkat ke sini. Cuma 

sampai di sini. Tidak boleh naik ke Gunung. Cuma Pak 

Nugroho Kepala Sekolah satu-satunya yang diperbolehkan 

naik oleh petugas. Itupun sesudah Pak Tatang, Kepala Pos 

Pengawas bantu minta izin sama petugas. Harusnya Boma 

sama teman-teman sudah turun Minggu sore. Sekarang 

hari Selasa. Dua hari anak-anak itu tidak diketahui nasib-

nya. Kasihan.... Kasihan Boma...." 

"Tadi ada kabar dari Pak Letnan, lokasi anak-anak 

sudah diketahui. Mereka siap melakukan evakuasi..." 

Untuk pertama kali Ayah Boma ikut bicara. 

"Mereka cuma menemukan.. Tapi tidak memberitahu 

bagaimana keadaan anak-anak. Apa masih hidup atau...." 

Ibu Boma tak sanggup lagi menahan gerungan. Ibu-ibu 

yang lain juga ikut mengucurkan air mata. Ayah Boma 

kembali berbisik, berusaha menenangkan dan membujuk 

istrinya.


"Sudah Bu, kita serahkan saja semua pada Yang Maha 

Kuasa. Sebentar lagi pasti ada kabar lewat radio komuni-

kasi di Pos." 

"Dwita, kita di Pos saja. Sambil nunggu kabar," bisik 

Wiwiek. 

"Aku lebih suka di mobil saja," jawab Dwita. "Tadi aku 

lihat Trini sudah duluan masuk ke sana." 

Di dalam mobil Dwita menghidupkan mesin lalu me-

nyalakan AC. Tubuhnya terasa gerah dan juga letih. 

"Hatiku nggak enak Wiek..." kata Dwita. 

"Semua kita merasa nggak enak, Dwita..." 

"Tadi malam aku nggak bisa tidur. Bangun kesiangan. 

Sebelum bangun aku mimpi. Mimpi seram Wiek..." 

"Segala mimpi. Buat apa dipikirin. Apa lagi kalau mimpi-

nya udah tengari bolong," kata Wiwiek pula. Tapi setelah 

berdiam sesaat dia ingin tau juga apa yang dimimpikan 

Dwita. "Memangnya kau mimpi apa?" 

Dwita lalu menceritakan mimpinya pada Wiwiek. 

Wiwiek tersenyum. "Kalau kau mimpi dibunuh orang ber-

arti umurmu bakalan panjang. Percaya aku! Lagian 

mungkin kau kebanyakan dongkol sama si Trini. Jadi 

keingetan terus. Kebawa mimpi. Mimpinya mimpi gombal." 

"Habis, siapa sih yang nggak dongkol Wiek. Tadi aja kau 

dengar sendiri. Orang begini banyak enak aja dia 

ngelecehin gua. Sebodo amat dia mau datang Subuh kek, 

nggak usah ngomong gitu. Gimana kalau aku benar-benar 

pacaran sama Boma. Uhhhh, habis kali gua dikerjain!" 

"Kalau kau pacaran sama Boma, Trini tak bakalan 

muncul di sini. Malu dong dia..." 

"Orang seperti dia mana punya rasa malu," ujar Dwita 

pula. 

"Sebenarnya kau sama Boma gimana sih?" tanya 

Wiwiek. 

"Maksudnya gimana gimana?"


"Kalian pacaran?" 

"Kalian siapa?" 

"Kau sama Boma, pacaran?" tanya Wiwiek. 

"Menurutmu gimana?" 

"Aku nanya kok kamu balik nanya!" 

"Udah Wiek, aku capek. Aku mau melonjor dulu..." Dwita 

menurunkan sandaran kursi mobil. Dua kakinya dilunjur-

kan panjang-panjang. Matanya perlahan-lahan dipejamkan. 

Hatinya berdoa. 

Ayah Boma dan beberapa orang tua murid baru saja 

selesai sembahyang Asar ketika ada berita dari tim pencari 

lewat radio komunikasi bahwa tim sudah bergerak me-

nuruni lereng Gunung Gede. Diharapkan akan sampai di 

Pos Pengawas sekitar lima jam, berarti sekitar pukul 9 

malam. 

Trini dan kawan-kawannya yang ada di dalam Pos, ber-

sama Sambas petugas pengawas yang memonitor radio 

komunikasi meminta agar petugas itu menanyakan keada-

an teman-teman mereka. Namun dari ujung sana tak ada 

jawaban. Hal ini menimbulkan tanda tanya dalam hati 

semua orang. Apakah Boma dan enam temannya ditemu-

kan masih dalam keadaan hidup? 

"Jangan-jangan teman-teman kita sudah nggak ada," 

bisik Trini dengan suara bergetar. 

"Jangan dulu berpikir sejauh itu Rin," seorang teman 

membisiki. 

"Kalau mereka masih hidup, pasti pimpinan memberi-

tahu..." 

"Pimpinan tim 'kan ayahmu sendiri. Coba saja kau 

kontak langsung," kata teman tadi. 

Trini mendekati Sambas, petugas Pos Pengawas. "Kak 

Sambas, saya boleh pakai radionya, mau kontak Bapak..."' 

"Silahkan," jawab Sambas sambil menyeahkan mikro-

pon radio komunikasi dan mengajarkan cara pemakaian


nya pada Trini. 

"Trini dari Pos Pengawas. Minta bicara dengan pimpinan 

tim pencari..." 

Tak ada jawaban. Trini mengulang. "Trini dari Pos 

Pengawas. Minta bicara dengan pimpinan tim pencari." 

Tetap tak ada jawaban. Trini mengembalikan mikropon 

lalu mendekati teman-teniannya. "Mustahil mereka tidak 

menerima panggilan. Kayaknya ada yang dirahasiakan...." 

"Sabar aja Rin. Mungkin mereka berada di gunung 

malam-malam begini bukan pekerjaan gampang..." 

"Menggotong orang apa menggotong jenazah," bisik 

Trini. 

Temannya terdiam. Semua anak-anak yang ada di 

dalam Pos jadi tercekat. 

Menjelang jam 7 malam di lereng terbawah Gunung 

Gede kelihatan nyala lampu-lampu senter dan cahaya 

terang lampu-lampu petromak. 

Lalu di radio ada permintaan agar ambulan disiap siaga-

kan. Para orang tua yang sudah keletihan seperti men-

dapat tenaga baru, berdiri di depan Pos dengan mata tidak 

putus-putusnya memandang ke arah kaki Gunung Gede di 

kejauhan. William Kaunang, ayah Ronny tampak berdiri 

berdampingan dengan istrinya. Kedua orang ini me-

rapatkan tangan memejamkan mata, berdoa menurut 

agama Protestan. Begitu juga ayah ibu Boma dan semua 

orang tua serta anak-anak SMA Nusantara III yang ada di 

tempat itu, sama-sama memanjatkan doa menurut keper-

cayaan masing-masing. Semuanya seolah menjadi satu 

dalam menyampaikan harap permintaan dan pertolongan 

kepada Yang Maha Kuasa. 

Sambas petugas di Pos Pengawas keluar dari Pos, me-

mandang ke arah kegelapan. "Aneh, mereka sampai dua 

jam lebih cepat. Bagaimana mungkin?" 

Hanya beberapa menit menjelang jam 7 malam


rombongan evakuasi sampai di Pos Pengawas. Tujuh tandu 

digotong cepat ke arah empat buah ambulan. Di atas 

masing-masing tandu tergolek sosok terbungkus kantung 

plastik. Semua orang yang ada di sana serta merta ber-

usaha mendekati. Para orang tua berteriak histeris me-

manggil nama anak masing-masing. Anak-anak SMA 

Nusantara III menangis, ada yang memekik menyebut 

nama kawan mereka. Para petugas menjadi sibuk. 

"Anak saya... Bagaimana anak saya! Mana anak saya! 

Gita! Gita!" Ibu Gita Parwati, satu-satunya anak perempuan 

dalam rombongan berteriak memanggil-manggil anaknya. 

Dua orang anak perempuan berusaha menembus pagar 

petugas. Itulah Trini dan Dwita. Mereka berusaha mencari 

Boma. Tapi halaman depan Pos Pengawas agak gelap, 

sosok-sosok di atas tandu setengah terbungkus kantung 

plastik dan para petugas bertindak cepat. Semua orang 

kecewa. 

Sesaat setelah empat ambulan meninggalkan tempat itu 

dengan kawalan dua mobil polisi, seorang lelaki berjaket 

loreng mendatangi orangorang di depan Pos Pengawas. Dia 

adalah Letnan Kolonel Polisi Kusumo Atmojo, ayah Trini 

Damayanti. Disampingnya mengikuti Pak Nugroho, Kepala 

Sekolah SMA Nusantara III. 

"Pak bagaimana anak saya?" 

"Pak anak kami bagaimana?" 

Perwira Menengah dari Polda Jaya itu mengangkat 

tangan kanannya. "Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak SMA 

Nusantara Tiga. Kami memahami kekecewaan semua yang 

ada di sini. Kami harus bertindak cepat. Anak-anak itu ber-

ada dalam keadaan sangat kritis. Saat ini mereka dilarikan 

ke Rumah Sakit di Sukabumi untuk mendapatkan per-

tolongan pertama. Setelah itu jika diperlukan dan keadaan 

mengijinkan direncanakan dipindah ke Rumah Sakit PMI 

Bogor. Semua harap sabar dan tenang. Tujuh anak itu


walau sangat kritis tapi mudah-mudahan nyawa mereka 

masih dalam lindungan Yang Maha Kuasa..." 

Isak tangis dan jerit histeris memenuhi halaman Pos 

Pengawas. Terdengar suara doa diucapkan. 

"Terima kasih Yesus. Terima kasih Allah Bapa di Surga." 

"Allahu Akbar. Tuhan, tolong anak-anak itu. Tolong kami 

semua...." 

Malam itu juga, semua orang yang ada di Pos Pengawas 

termasuk Tatang Suryadilaga, Kepala Pos Pengawas 

berangkat ke Rumah Sakit di Sukabumi. 

Di atas mobil setelah berdiam diri cukup lama. 

"Wiek..." 

"Hemmmm..." 

"Kayaknya aku ragu sama omongan Bapaknya Trini 

tadi..." 

"Ragu bagaimana?" tanya Wiwiek. 

"Kalau Boma dan teman-teman masih hidup, mengapa 

mereka dimasukkan dalam kantong-kantong plastik? Lalu 

Pak Nugroho Kepala Sekolah diam saja. Nggak ngomong 

apa-apa." Wiwiek diam. Teman-teman yang lain juga tak 

ada yang bicara. 

"Sudah, kau lagi mengemudi. Capek. Jangan mikir yang 

nggak-nggak," kata Wiwiek akhirnya. 

"Tapi Wiek...." 

"Tunggu dulu," Wiwiek tiba-tiba ingat sesuatu. "Kantong-

kantong plastik itu adalah kantong tidur yang biasa dipakai 

pendaki gunung. Bukan kantong mayat! Lalu apa kau 

nggak meratiin. Setiap tandu digotong dua petugas. Lalu 

ada petugas ke tiga memegang infus. Kalau teman-teman 

sudah pada mati masakan diinfus. Mana ada sih jenazah 

diinfus." 

"Kau benar Wiek," kata Dwita agak lega. Anak ini main-

kan lampu dim ketika dia berusaha menyusul truk diesel 

yang bergerak merayap di satu tanjakan. **


7. KABUT MISTERI


KETIKA Letkol Polisi Kusumo Atmojo keluar dari 

Rumah Sakit di Sukabumi banyak wartawan dari 

berbagai media telah menunggu. Ini satu hal yang 

tidak diduganya. Perwira Menengah ini menggulung lengan 

kiri jaket lorengnya. Jam di pergelangan tangannya me-

nunjukkan pukul 11.25 malam. 

"Wawancara? Sudah larut malam. Ini semua peristiwa 

biasa. Buat apa wawancara segala?" Kusumo Atmojo me-

nolak secara halus. 

"Katanya waktu penyelamatan dilakukan ada berbagai 

peristiwa aneh di Gunung Gede," ucap seorang wartawan. 

"Betul Pak. Kami hanya ingin mengkonfirmasikan. 

Karena Bapak sebagai Pimpinan Tim Pencari..." 

"Tidak.... Bukan, saya bukan Pimpinan Tim. Pencarian 

secara keseluruhan dipimpin oleh Letda Sofyan dari 

Kepolisian Sukabumi. Saya ikut melakukan pencarian 

karena diminta puteri saya Trini. Rombongan anak-anak 

yang hilang adalah teman-teman satu sekolahnya di SMA 

Nusantara Tiga." Letkol Kusumo Atmojo melangkah ke 

halaman parkir. 

"Pak, tunggu...." 

"Mengenai keanehan-keanehan itu, Pak..." 

"Keanehan apa?" Kusumo Atmojo seperti tidak acuh. 

"Menurut Letda Sofyan dan Pak Tatang dari Pos


Pengawas Gunung Gede..." 

"Wah, kalau memang ada keanehan tanyakan saja pada 

mereka. Saya tidak menemukan keanehan apa-apa. Atau 

nanti tanyakan pada anak-anak itu kalau mereka sudah 

sembuh. Sekarang keadaan mereka masih kritis..." 

"Tapi tak ada yang meninggal Pak?" tanya seorang 

wartawati. 

"Tidak, tidak ada." Jawab Letkol Kusumo. "Sudah, saya 

capek. Mau segera kembali ke Jakarta." 

"Kalau capek jangan jalan dulu Pak. Istirahat sebentar di 

Kantin sana. Kopi tubruk paling asyik malam-malam 

begini." Yang bicara sambil senyum adalah seorang warta-

wan bertubuh besar gemuk, berjaket kulit dan pakai topi 

pet dibalik. Dia mewakili sebuah tabloid ibukota dan di 

antara rekan-rekan wartawan dia dikenal dengan panggilan 

Tuyul Bengkak. Nama ini cocok dengan keadaan dirinya 

yang gemuk besar kepala botak licin yang selalu di-

sembunyikan di bawah topi pet. 

"Kamu ini pinter ngomong..." 

"Kalau nggak pinter ngomong namanya bukan warta-

wan, Pak. Jadi kita ke Kantin sana Pak?" kata Tuyul 

Bengkak pula. 

"Cukup di sini saja. Kalian mau tanya apa?" 

"Mengenai keanehan itu Pak. Menurut Letda Sofyan 

ketika tujuh anggota rombongan pendaki gunung ditemu-

kan, mereka berada di tepi ketinggian tanah gunung yang 

longsor. Mereka berada dalam kantong tidur plastik 

masing-masing.." 

"Itu betul. Apa anehnya?" ujar Letkol Kusumo. 

"Ya pasti aneh Pak," jawab wartawan si pinter ngomong 

Tuyul Bengkak. "Menurut Pak Tatang dari Pos Pengawas, 

Ketujuh anak-anak itu ditemukan berjejer rapi seperti ada 

yang mengatur..." 

"'Siapa yang mengatur?"


"Nggak tau Pak. Justru kami tanya Bapak..." 

"Saya nggak tau siapa yang ngatur. Mungkin itu cuma 

satu kebetulan saja." 

Seorang wartawan lain berkata. "Menurut saudara 

Sambas, Wakil Kepala Pos Pengawas waktu evakuasi, 

dalam gelapnya malam dan buruknya cuaca paling cepat 

dari lereng gunung sampai ke Pos akan makan waktu 

sekitar lima jam. Ternyata Tim Pencari hanya membutuh-

kan waktu tiga jam..." 

"Lha, apa anehnya? Letda Sofyan punya pengalaman 

dalam menangani berbagai bencana alam di gunung. Apa 

lagi beberapa penduduk ikut membantu. Juga jangan lupa-

kan peranan Pak Tatang, Kepala Pos Pengawas...." 

"Bagaimana pendapat Bapak tentang kunang-kunang?" 

seorang wartawan ajukan pertanyaan. 

Letkol Kusumo terdiam sesaat. "Kunang-kunang?" 

"Betul Pak. Katanya sepanjang perjalanan menuruni 

gunung ada sekelompok kunang-kunang terbang di se-

belah depan rombongan. Seperti menuntun jalan.... 

Letkol Kusumo Atmojo hendak tertawa tapi tak jadi. Dia 

mengusap dagunya yang ditumbuhi anggut-janggut pendek 

kasar. "Kunang-kunang bisa saja muncul dimana-mana. Di 

pinggir laut, di hutan, di gunung..." 

"Katanya kunang-kunang itu lenyap begitu saja sesaat 

setelah rombongan Tim Pencari selamat berada di kaki 

gunung..." 

"Saya tidak begitu memperhatikan. Waktu evakuasi di-

laksanakan, saya tidak sempat memperhatikan..." 

"Satu hal lagi Pak. Dua orang anggota tim yang meng-

usung tandu bilang, bukan pekerjaan mudah mengusung 

orang menuruni gunung, apa lagi di malam hari. Tapi waktu 

mengusung anak-anak itu mereka tidak merasa berat 

sama sekali. Enteng-enteng saja..." 

"Namanya saja anak-anak, bobot mereka berapa sih


beratnya? Coba kalau si gendut ini. Pasti berat!" Letkol 

Kusumo menunjuk pada wartawan si pinter ngomong yang 

berbadan gemuk besar. Gelak tawa memenuhi halaman 

parkir itu. 

Wartawan yang tadi bicara masih belum mau mengalah. 

"Salah satu anggota rombongan pendaki gunung seorang 

anak perempuan gemuk. Bobotnya paling tidak seratus 

kilo. Tapi dua orang yang mengusung juga bilang enteng, 

gak berat." 

Letkol Polisi Kusumo Atmojo tersenyum. Dia menegak-

kan kerah jaketnya lalu berkata. 

"Anak perempuan gemuk itu, juga teman-temannya 

hampir dua hari tidak makan-makan. Pasti badan mereka 

pada kayak balon kemps semua. Pada enteng." 

"Tapi Pak..." wartawan tadi kembali bicara. "Aduh, maaf 

Pak, bulu saya jadi merinding Pak..." 

"Kamu ini ada-ada saja. Merinding kenapa? Bulu yang 

mana yang merinding?" 

Ucapan Pamen itu membuat tempat tersebut kembali 

dipenuhi tawa bergelak para wartawan. 

"Sungguhan Pak, saya nggak bohong. Menurut salah 

seorang pengusung, dibenarkan oleh beberapa orang lain-

nya, seperti ada yang membantu mengusung anak-anak 

itu." 

"Wah, kalau ada yang bantuin ya bagus dong! Harus ber-

terima kasih. Tapi situ tau siap yang membantu?" tanya 

Letkol Kusumo pula. 

"Itu yang membuat saya merinding Pak. Katanya yang 

membantu mengusung itu tidak kelihatan. Tapi jelas terasa 

ada..." 

"Ah!" Letkol Kusumo lambaikan tangannya. "Siapa yang 

membantu? Setan, demit, jin? Ada yang mengarang. Tapi.... 

Itu bagus buat berita sensasi. Muat di halaman pertama 

sebagai head line. Pasti oplaag koran kalian naik. Ha.., ha...


ha!" Habis tertawa Pamen itu melangkah menuju ken-

daraannya. Sebelum masuk ke dalam jip Letkol Kusumo 

berbalik. "Satu hal kalian harus ingat," katanya pada 

semua wartawan yang belum beranjak dari tempat masing-

masing. "Berhasilnya penyelamatan tujuh anak SMA 

Nusantara Tiga itu adalah berkat bimbingan dan per-

tolongan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukan karena siapa-

siapa." 

Mata Pak Letkol berkedip kesilauan ketika lampu kilat 

berkekuatan tinggi dari kamera seorang wartawan me-

nyapu wajahnya. 

Wartawan tabloid yang kondang dengan nama Tuyul 

Bengkak itu bersandar ke pintu Suzuki Katana hitam, 

membuka topi pet lalu mengusapusap kepala botaknya 

yang keringatan. Sepasang matanya masih memandang ke 

arah lenyapnya cahaya lampu belakarig kendaraan yang 

dikemudikan Letkol Kusumo Atmojo. 

"Letnan Kolonel itu..." Tuyul Bengkak bicara sendirian. 

"Aku yakin dia tau semua keanehan yang terjadi waktu 

penyelamatan dilakukan. Ada kandungan misteri besar 

dalam peristiwa ini. Tapi mengapa Pak Kolonel berlagak 

tidak tau? Apa alasannya? Jabatan? Religi? Apapun alasan-

nya aku harus menemui dia sekali lagi. Juga anak gadisnya 

itu. Trini. Banyak berita yang bisa digarap. Honorku bulan 

ini bisa lumayan gede...." Tuyul Bengkak tersenyum. Dia 

pakai topinya kembali lalu masuk ke dalam Suzuki Katana. 

*** 

KEESOKAN harinya, hari Rabu, banyak media masa 

mem-beritakan berhasilnya penyelamatan tujuh anak SMA 

Nusantara III yang mendaki Gunung Gede. Sebelumnya 

sudah sering diberitakan musibah yang menimpa banyak 

rombongan pendaki gunung. Tapi peristiwa sekali ini


dianggap satu kejadian langka. Umumnya dalam peristiwa 

seperti itu jarang korban bisa diselamatkan, apa lagi se-

cara keseluruhan dan setelah dua hari dinyatakan hilang. 

Beberapa kejadian aneh seperti adanya kunang-kunang, 

cepatnya waktu penyelamatan, adanya bantuan makhluk-

makhluk gaib ikut pula diungkapkan dalam media. Nama 

Letkol Kusumo Atmojo, Letda Sofyan, Nugroho Sutanto, 

Tatang Suryadilaga, Boma dan teman-temannya disebut-

sebut dalam pemberitaan. 

Di ruang kerjanya pagi hari Rabu itu, Letkol Kusumo 

geleng-geleng kepala. "Apa sih maunya wartawan-wartawan 

itu. Segala makhluk gaib disebut-sebut..." 

Tiga hari kemudian empat dari tujuh anak yang dirawat 

di Rumah Sakit di Sukabumi diperkenankan pulang. 

Mereka adalah Firman, Rio, Ronny dan Andi. Dua hari se-

telah itu menyusul Vino dan Gita juga diperbolehkan 

pulang. Kini tinggal Boma seorang diri. Tubuhnya diserang 

demam tinggi dan sesekali disertai kejang-kejang. Selain 

itu dari mulutnya sering keluar suara seperti mengigau. 

Lalu sesekali suara Boma berubah menjadi suara 

perempuan tua. 

Atas permintaan kedua orang tuanya Boma kemudian 

dipindahkan ke Rumah Sakit PMI di Bogor. 

***


8. TUYUL BENGKAK


TRINI DAMAYANTI menggeliat di atas tempat tidur. Dia 

sudah lama terbangun dan sudah beberapa kali 

mendengar Bibi Sarkah mengetuk pintu. Entah pada 

ketukan yang keberapa akhirnya Trini berteriak. 

"Ada apa sih Bi'?" 

"Ada tamu Non." Jawab Bibi Sarkah dari luar kamar di 

depan pintu. 

"Siapa? Cewek, cowok?!" 

"Cowok! Katanya wartawan." 

Trini turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan 

mengeluarkan kepalanya sedikit di celah pintu. 

"Wartawan?" 

"Iyya Non..." 

"Ngapain?" 

"Katanya udah ada janji sama Non..." 

"Ah nggak, nggak ada janji tu. Apa lagi sama wartawan." 

"Orangnya sih baek Non. Cuma gendut nggak 

ketulungan." 

"Orangnya dimana?" tanya Trini. 

"Duduk di teras." 

Trini membuka pintu kamar. Lupa kalau saat itu dia 

Cuma mengenakan celana dalam mini dan kaos pendek 

berbentuk singlet, melangkah berjingkat-jingkat ke ruang 

tamu. Dari balik hordeng tebal dia mengintip keluar. Di 

kursi teras dia melihat seorang lelaki gemuk memakai topi


pet terbalik duduk sambil menikmati sebatang rokok. Di 

pinggir jalan di depan rumah ada sebuah Suzuki Katana 

hitam. Trini ingat, orang itu pernah dilihatnya di Rumah 

Sakit di Sukabumi pada malam anak-anak SMA Nusantara 

III diselamatkan. 

Seperti tadi, berjingkat-jingkat Trini kembali ke kamar. 

Waktu melewati Bibi Sarkah dia berkata. "Saya nggak mau 

nemuin 'tu orang Bi'. Bilang aja saya udah keluar..." 

"Wah, wong Bibi tadi bilang Non ada. Kasihan kalau 

nggak ditemuin Non. Mungkin ada hal sangat penting..." 

"Si Bibi bisa-bisaan aja sih! Udah, suruh nunggu sana..." 

"Baik Non. Bibi bikinin kopi tamunya...?" 

"Nggak usah. Nanti jadi anteng keenakan. Malahan 

namunya jadi lama. Bilang aja saya lagi mandi." 

Setengah jam kemudian ketika akhirnya Trini muncul di 

teras, sebelum sang tamu bicara Trini menegur duluan. 

"Memang saya ada janji sama situ Mas?" 

"Maaf Mbak. Kalau nggak pakai trick pasti sulit nemuin 

orang penting seperti Mbak." Lalu wartawan bertubuh 

gemuk itu cepat-cepat mematikan rokoknya, tersenyum 

lebar, membungkuk sedikit dan mengulurkan tangan 

memperkenalkan diri. 

"Saya Tuyul Bengkak dari tabloid...." 

"Ih, namanya kok aneh sih," Trini langsung memotong 

ucapan orang. 

Wartawan itu tertawa lebar. Dia berdiri dari kursi, mem-

buka topi pet hingga kelihatan kepalanya yang botak 

plontos. "Mbak Trini lihat sendiri. Cocok enggak nama saya 

dengan potongan saya. Gendut buntak, kepala botak..." 

Lalu seperti seorang pragawan si gendut botak ini me-

langkah melenggang lenggok di lantai teras, berputar satu 

kali, kembali duduk ke kursi. 

Tawa Trini Damayanti meledak lepas. Kalau sebelumnya 

ada rasa kurang senang pada orang ini kini mulai muncul


rasa suka. 

"Nama itu memang sih cocok sama orangnya," kata 

Trini. "Tapi masa iya sih situ namanya Tuyul Bengkak. 

Nggak lucu ah!" 

Si gemuk tertawa lebar. Lalu dengan mimik serius dia 

berkata. "Nama saya sebenarnya Simatupang." 

"Simatupang? Situ dari Batak ya..." 

"Bukan. Simatupang saya itu bukan nama Marga..." 

"Lalu?" Trini heran. 

"Simatupang itu singkatan dari Siang Malam Tunggu 

Panggilan." 

Kembali Trini tertawa cekikikan. 

"Ada-ada saja... Kok situ tau alarmat saya?" 

"Wartawan... Tuyul Bengkak... Alamat siapapun mesti 

tau..." 

"Serius nih, nama situ siapa sih sebenarnya? Nanti 

kalau ketemu di jalan masa saya teriak: Hai! 'Tuyul 

Bengkak!" 

"Itu nama yang afdol buat saya! Sudah nempe kiri kanan 

atas bawah depan belakang!" 

"Oke deh, saya nggak maksa kalau nggak mau kasih tau 

nama...." kata Trini. Matanya memperhatikan sebuah 

telepon genggam terletak di atas meja. "Handphone siapa 

'nih?" 

"Saya, Tuyul Bengkak." 

"Keren amat wartawan punya handphone." 

"Yaah, sesuai perkembangan jaman dan kemajuan 

teknologi. Apalagi katanya dalam menghadapi globalisasi di 

mana abad sekarang adalah abad komunikasi. Jadi 

wartawan perlu punya handphone. Biar sedikit tampil beda. 

Ha... ha... ha." 

"Jangan-jangan sadapan punya," kata Trini pula. 

"Ooo, yang begituan sih udah nggak jaman. " Malu-

maluin aja, Tuyul Bengkak pakai tilpon sadapan..."


Trini tersenyum. "Oke, sekarang keperluannya nemui 

saya apa?" 

"Betulnya saya mau ketemu Bapaknya Mbak Trini. Tapi 

susah banget. Mungkin Bapak juga lagi sibuk. Waktu di 

Sukabumi kami rekan-rekan dari wartawan minta penjelas-

an Bapak mengenai keanehan-keanehan yang terjadi se-

waktu penyelamatan tujuh anggota pendaki gunung. Bapak 

menyangkal ada keanehan. Hal ini membuat kami para 

wartawan merasa kejadiannya makin misterius. Kami yakin 

Bapak tau peristiwa itu. Tapi karena alasan tertentu nggak 

mau ngomong. Menurut Mbak Trini sendiri gimana?" 

"Panggil aja Trini. Nggak usah pakai sebutan Mbak 

segala," kata Trini. 

"Oke. Menurut Trini sendiri gimana? Terasa nggak ada-

nya hal-hal aneh...." 

"Saya nggak ngalamin sendiri. Jadi kurang tau. Tapi 

kalau dengar cerita Pak Tatang, Kepala Pos Pengawas, 

juga ucapan Letda Sofyan, ditambah cerita Pak Sambas 

yang memonitor radio komunikasi di Pos. Lalu keterangan 

beberapa orang penduduk yang ikut mengusung teman-

teman, kayaknya sih memang ada yang aneh. Malah tadi 

malam, waktu Bapak makan malam sama Ibu, saya 

nguping dengerin mereka membicarakan hal itu...." 

"Nah, kalau gitu jelas memang ada misteri di Gunung 

Gede. Ada keanehan. Saya mau coba menghubungi Kepala 

Sekolah, juga anak-anak yang sudah pulang. Siapa tau ada 

cerita tambahan. Mungkin juga nanti Boma..." 

"Boma masih di rumah sakit." 

"Saya tau...." 

"Mas Tuyul, kalau wawancaranya sudah selesai, saya 

mau berangkat ke Rumah Sakit PMI Bogor. Mau ngeliat 

Boma. Sorry, bukan ngusir nih..." 

"Nggak apa-apa. Saya juga mau ke sana. Cari bahan 

berita baru. Mau barengan?"


"Nggak usah deh..." 

"Takut ya sama orang gendut?" 

"Iya, takut ketularan gendutnya," jawab Trini sambil 

tertawa. 

Tuyul Bengkak ikut tertawa. 

"Saya minta fotonya ya..." 

"Lho, kok pakai foto segala?" 

"Foto adalah sejuta kata yang tidak bisa dituliskan 

dengari pena. Cia illa...!" Tuyul Bengkak berpuisi. Dari 

dalam tas hitam yang diletakkannya di lantai teras 

dikeluarkannya sebuah kamera Nikon AF. Dia mengambil 

foto Trini dari tiga arah, semuanya semi close-up. 

"Terima kasih, terima kasih banyak-banyak." 

Tuyul Bengkak memasukkan kameranya kembali ke 

dalam tas lalu mengenakan topi petnya. 

Seperti biasa topi itu dipasang terbalik. Dia bangkit dari 

kursi tapi tidak langsung melangkah. 

"Masih ada satu pertanyaan lagi. Tadi kelupaan." 

"Apa?" 

"Hubungan Trini sama Boma, selain teman satu sekolah 

apa ada hubungan lain yang istimewa?" 

"Istimewa maksudnya pake madu susu telor plus jahe?" 

Tuyul Bengkak tertawa lebar. "Saya cuma ingin negesin 

aja. Takut nanti salah nulis. Bener nggak?" 

Trini Damayanti terdiam sesaat. Terbayang olehnya 

wajah Boma. Tiba-tiba ikut terbayang wajah Dwita Tifani. 

Sepasang mata anak ini membesar. Senyum bermain di 

bibirnya. "Ini kesempatan. Kesempatan besar! Biar dia tau 

rasa..." kata Trini dalam hati. 

Suara Tuyul Bengkak menyadarkan Trini. , Anak ini 

tersenyum. "Malu ah bilangnya!" 

"Nggak usah malu-malu! Ini akan jadi satu berita besar, 

lho." 

Trini mengangguk. "Memang, terus terang kami sudah


lama pacaran. Mulai sama-sama masih di kelas satu..." 

"Boma anaknya agresif nggak?" 

"Ajie busyet! Kok nanyanya sampai ke situ?" Trini 

cemberut tapi kemudian tersenyum. 

"Ajie busyet!" mengulang Tuyul Gendut. "Wah! Itu kata-

kata baru. Nggak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia. 

Musti dicatet..." Lalu wartawan ini membuat catatan kecil 

dalam notes kecil yang sudah lecak dan selalu dibawa-

bawanya. 

"Bukan apa-apa. Soalnya kalau menurut saya Boma itu 

kan singkatan dari Bom Atom. Jadi pasti panas terus, 

bahkan sewaktu-waktu bisa meledak. Ha... ha... ha..." 

"Kalau Boma Bom Atom, lalu situ Bom apa?" tanya Trini. 

"Saya mah tetep aja Tuyul Bengkak!" jawab sang 

wartawan. "Oke deh. Terima kasih atas waktunya. Sampai 

ketemu di PMI Bogor. 

Trini mengangguk. Begitu masuk ke dalam rumah anak 

ini melompat kegirangan. "Dwita! Rasakan kau! Kalau 

berita itu muncul di koran, semua orang bakal tau kalau 

Boma memang pacar gue! Lu boleh gigit jari!" 

***


9. MISTERI BERKELANJUTAN


PAGI ITU ketika Dwita datang, ibu Boma tengah 

mengompres kening anaknya dengan ngan sehelai 

handuk yang dibasahi air es dari dalam rantang. Saat 

itu memang belum jam kunjungan, namun para jururawat 

memberi banyak kebebasan pada keluarga dan teman-

teman Boma. 

Di luar kamar Dwita bertemu dengan Firman dan Andi. 

Dekat pintu kamar kelihatan Ronny dan Vino. Gita duduk 

terkantuk-kantuk di salah satu sudut. Tadi malam anak ini 

ikut bergadang bersama teman-temannya menunggui 

Boma. Hanya Rio yang tak kelihatan. Orang tua Boma ber-

ulang kali memberi nasihat pada Ronny dan kawan-kawan 

agar tidak usah datang dulu menjenguk karena keadaan 

anak-anak yang baru keluar dari rumah sakit itu juga masih 

lemah. Kawatir mereka jatuh sakit. Tapi anak-anak itu 

malah membuat semacam Posko di halaman parkir rumah 

sakit. Yang jadi tempat istirahat dan tidur secukupnya 

adalah dua buah mobil. Satu Toyota Kijang milik saudara 

Ronny, satu lagi Opel Blazer kepunyaan ayah Gita. 

Di atas ranjang Boma kelihatan seperti tidur nyenyak. 

Lengan dan kaki diikat ke besi tempt tidur. Jarum infus 

menancap di tangan kirinya yang tampak agak bengkak 

kebiruan. 

Dwita ngobrol sebentar dengan Ronny, Vino, Firman dan


Andi, melayangkan senyum pada Gita lalu masuk ke dalam 

kamar. 

"Bagaimana keadaan Boma, Bu?" tanya Dwita dengan 

suara perlahan sambil berdiri di samping Nyonya Hesti 

Sumitro, ibu Boma. 

"Panasnya nggak turun-turun. Tadi malam Boma kejang-

kejang lagi. Mengigau, ngomong sendirian. Tidak jelas apa 

yang diucapkan. Kadang-kadang suaranya berubah seperti 

suara perempuan tua. Lalu sesekali dia memanggil-manggil 

Nek... Nek... Tidak Nek... Jangan Nek. Nggak tau nenek 

siapa yang dipanggil. Heran, semua teman-temannya 

sudah pulang. Kini malah nungguin dia. Tapi dia sendiri 

masih begini." 

"Dokter bilang apa Bu?" tanya Dwita. 

"Dokter Erawan tadi malam bicara sama Bapak. Katanya 

dari hasil pemeriksaan darah, nggak ada tanda-tanda 

Boma terserang gejala thypus atau demam berdarah. Di 

badannya nggak ada luka, berarti nggak ada infeksi. Tapi 

heran mengapa panasnya tinggi terus. Yang bikin kami 

takut igauannya itu. Suaranya yang bisa berubah. Lalu 

nenek yang dipanggil-panggilnya... Sudah dua malam dia 

begini terus. Jangankan sadar atau ngomong, buka mata 

saja tidak." 

Tidak terasa air mata mengucur jatuh ke pipi. Nyonya 

Hesti cepat menyeka wajahnya dengan ujung lengan 

panjang pakaiannya. "Ibu sama Bapak pikir-pikir, bagai-

mana kalau Boma dipindahkan saja ke rumah sakit lain di 

Jakarta. Tapi Bapak bilang mau ikhtiar yang lain. Nggak tau 

mau ikhtiar apa." Nyonya Hesti memasukkan handuk kecil 

ke dalam rantang berisi es. 

Dwita mendekat seraya berkata. "Mari Bu, biar saya 

yang bantu ngompres. Ibu pasti capek. Duduk saja..." 

"Ibu sudah nggak mikirin capek atau ngantuk atau lapar. 

Ibu ingin anak ini cepat-cepat ketahuan apa penyakitnya.


Cepat sembuh..." 

"Boma pasti sembuh Bu. Mari saya bantu..." Dwita meng-

ambil handuk kecil dari dalam rantang, memerasnya lalu 

meletakannya di atas kening Boma. 

"Nek.... Jangan Nek.... Saya nggak mau. Jangan Nek..." 

Tiba-tiba Boma mengeluarkan ucapan. Lalu suara anak itu 

berubah seperti suara perempuan tua. Tapi tak jelas apa 

yang diucapkannya. Dwita sampai tergagau dalam kejut-

nya. Termos di atas meja kecil di samping tempat tidur 

hampir terjatuh terlanggar sikutnya. Untung masih sempat 

dipegang oleh Nyonya Hesti. 

Sesaat pucat wajah Dwita. Kalau tidak mendengar 

sendiri rasanya tadi dia kurang percaya akan ucapan ibu 

Boma. Setelah agak tenang, Dwita kembali mengompres-

kan handuk kecil ke kening Boma. Pada waktu itulah di 

pintu kamar muncul Trini Damayanti. Tapi Inak ini mem-

batalkan niatnya masuk. Air mukanya berubah ketika me-

lihat Dwita yang sedang mengompres kepala Boma. Ber-

bagai rasa yang bermuara dari rasa cemburu memenuhi 

hati anak ini. Dwita sendiri saat itu tidak melihat Trini. 

Di sudut kamar Gita yang terkantuk-kantuk membuka 

matanya ketika melihat ada orang muncul di pintu. 

"Hemmm, kucing garong..." kata cewek gendut ini dalam 

hati lalu meramkan matanya kembali, pura-pura tidur. 

"Kok nggak jadi masuk?" Ronny yang berdiri dekat pintu 

bertanya. 

"Belum jam kunjungan. Nanti aja," jawab Trini. 

"Nggak apa-apa. Masuk aja," kata Vino. "Nanti juru-

rawatnya marah." 

"Jururawat yang mana?" tanya Vino heran. "Perasaan 

gua di dalam nggak ada jururawat," kata Ronny Celepuk. 

Trini meruncingkan bibir. "Itu tuh... Yang pakai stelan 

jins. Tau dong yang aku maksud...." Yang dimaksudkan 

Trini dengan jururawat pakai stelan jins tentu saja adalah


Dwita Tifani. Sambil melangkah pergi dalam hati Trini ber-

kata, "Pinter juga 'tu cewek ngambil hati ibunya si Boma. 

Huh!" 

"Heran si Trini," kata Vino begitu Trini berlalu'. "Temen 

lagi sakit masih sempat-sempatnya ngunjukin rasa 

cemburu." 

"Cinta Vin, Cinta SMU kau tau dong," kata Ronny. "Cinta 

SMA artinya Cinta Sekolahan Memang Amburadul." 

*** 

DI DEPAN Rumah Sakit Trini Damayanti memandang 

seputar halaman parkir. Dia belum melihat Suzuki Katana 

hitam itu. Matanya dilayangkan ke arah jalan raya yang 

dirindangi pohon-pohon besar. 

"Mungkin belum datang. Mungkin dia nggak langsung ke 

sini..." Trini menggaruk tengkuknya yang terasa gatal. 

"Gimana ya? Mestinya sih di sini ada tilpon kartu." Dari 

dalam tasnya Trini mengeluarkan selembar kartu tilpon 

dan sehelai kertas kecil bertuliskan catatan nomor tilpon. 

Ketika dia hendak beranjak matanya melihat sebuah jip 

Suzuki Katana hitam baru saja diparkir di pinggir jalan di 

depan rumah sakit. 

"Mudah-mudahan dia." Trini melangkah cepat. "Betul, 

memang dia." 

Dari dalam Suzuki Katana itu keluar sosok gemuk ber-

topi pet terbalik. 

"Mas Tuyul! Hai!" 

Tuyul Bengkak yang wartawan membalikkan badan. 

"Kirain siapa! Cepat juga nyampainya. Udah lama?" 

"Barusan. Mas Tuyul, saya boleh minjam handphone-

nya?" 

"Boleh, boleh. Asal jangan sambungan kosong kosong 

satu saja." 001 adalah sambungan langsung internasional.


"Nggak, cuma deket sini kok," jawab Trini sambil me-

nerima handphone yang diacungkan Tuyul Bengkak. 

Jari-jari lentik Trini Damayanti dengan cekatan memijit 

tombol-tombol angka sambil matanya melirik ke kertas 

kecil di mana tertera sederetan nomor tilpon. 

*** 

SEORANG jururawat muncul di kamar tempat Boma 

dirawat. Dia menanyakan apakah ada yang bernama Dwita 

Tifani di kamar itu. 

"Saya Dwita. Ada apa suster?" 

"Ada tilpon di kantor. Dari Jakarta. Katanya penting." 

Dwita mengikuti jururawat itu menuju kantor rumah 

sakit. Jururawat menunjuk ke sebuah pesawat tilpon yang 

tergeletak di atas meja. Dwita segera mengambil pesawat 

itu. 

"Hallo...." Tak ada jawaban. Karena memang tilpon itu 

sudah mati. "Nggak ada suara suster..." 

"Mungkin putus. Akhir-akhir ini memang suka ada 

gangguan," jawab jururawat. 

"Yang nilpon tadi laki-laki atau perempuan? Mungkin 

memberitahu nama?" bertanya Dwita. 

"Perempuan. Katanya Ibu Dwita. Dari Jakarta. Penting. 

Perlahan-lahan. Dwita meletakkan pesawat tilpon ke 

tempatnya. Setelah mengucapkan terima kasih dia keluar 

dari kantor rumah sakit. Hatinya bertanya-tanya. "Ada apa 

Mama menilpon aku?" 

Dwita sampai di depan kamar tempat Boma dirawat. 

Langkah anak ini terhenti. Di situ, di dalam kamar dia 

melihat Trini Damayanti tengah mengompres kepala Boma 

dengan handuk kecil. Persis seperti yang dilakukannya 

tadi. Dwita Tifani tertegun diam sesaat di ambang pintu. 

Benaknya berpikir-pikir, hatinya bertanya tanya.


"Pasti dia. Dia ngerjain aku. Licik!" Dwita memutar 

langkah lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu. 

Ronny dan Vino yang masih ada di depan pintu kamar 

saling pandang lalu sama-sama senyum. 

"Yang satu ini lain lagi modelnya, Ron," kata Vino. 

"Iyya, tadi aku dengar dia seperti ngomong sendirian 

kayak orang kesambet." 

Ronny melirik ke dalam kamar. Lalu berkata perlahan 

pada Vino. "Pasti gara-gara jururawat yang lagi ngompres 

kepala teman kita itu." 

"Bisa jadi," sahut Vino. "Ron, ngomong-ngomong Ibu 

Bahasa Inggris kok sempat-sempatnya datang ke Pos 

Pengawas. Lu liat nggak?" 

"Liat. Itu 'kan biasa aja Vin. Namanya guru sama murid. 

Murid ditimpa musibah. Guru ikut prihatin. Punya ke-

sempatan datang. Wajar aja gua rasa? Ada apa sih di otak 

kotor lu?" tanya Ronny. 

"Kamu nggak tau?" balik bertanya Vino. 

"Tau apa?" kini Ronny Celepuk yang balas bertanya. 

"Ada isu..." jawab Vino. 

"Au? Isu apa-an?" 

"Ibu Renata suka sama Boma." 

"Ajie gombal lu!" kata Ronny. "Kok ada sih yang punya 

pikiran begitu. Setiap guru musti suka dong sama murid. 

Maksud gue suka dalam arti sebatas hubungan antara 

guru dan murid. Itu wajar menurut gua. Kalau guru nggak 

suka murid ya jangan ngajar!" 

"Ada yang bilang begini Ron. Waktu di kelas satu, Ibu 

Renata katanya pernah minta anterin Boma nonton. Kata-

nya film yang mau ditonton banyak persamaannya dengan 

kisah hidup Ibu Renata..." 

"Masa iyya sih?" Ronny mulai percaya. "Terus Boma 

nemenin Ibu Renata." 

"Itu yang nggak diketahui. Mungkin iyya, mungkin


nggak," jawab Vino. 

"Ala ude, deh. Gue juga kalau diminta Ibu Renata 

nemenin die ke mana aja, pasti mau. Habis masih muda, 

baek banget, cakep lagi..." 

"Kalau kamu sih jangan ditanya Ron. PPD!" 

"Apa 'tuh PPD? Perusahaan Pengangkutan Djakarta? Bis 

PPD?" 

"Pacaran Paling Doyan," jawab Vino. 

Ronny Celepuk tertawa lebar. "Anak laki doyan pacaran 

sih jamak-jamak aja Vin. Dari pada kayak lu nggak punya 

cewek." 

Waktu hari Sabtu, hari terakhir sekolah. Sebelum 

liburan, lu nyium si Sarah ya..." 

"Ajie busyet! Jangan ngarang lu!" 

"Ada anak yang bilang. Dia ngeliat lu lagi nyium Sarah 

dekat gudang sekolah. Bener 'kan? Bilang aja iyya." 

Ronny Celepuk kembali tertawa. 

"Kalau cuma ciuman nggak bakal ketularan AIDS Vin. 

Percaya gue!" kata Ronny lalu tertawa cekikikan. 

*** 

DWITA TIFANI melangkah cepat di halaman parkir rumah 

sakit. Dia mendengar langkah-langkah berat di belakang-

nya. Ada seseorang mengikuti. Dwita ingat mimpinya tempo 

hari. Jangan-jangan Trini yang mengejarnya. Dwita mem-

balik. Orang yang mengikuti terkejut, cepat hentikan 

langkahnya sebelum menabrak anak itu. Tangannya ber-

gerak membetulkan letak kaca mata tebal plus 6 yang 

merosot di penampang hidungnya. 

"Oo Bapak, saya kira siapa," kata Dwita ketika dilihatnya 

yang mengikuti ternyata ayah Boma. 

"Maafkan Bapak. Saya Sumitro, ayahnya Boma." 

Dwita mengangguk.


"Bapak tau anak ini temannya Boma, tapi lupa namanya. 

Jadi Bapak cuma mengikuti..." 

"Nggak apa-apa Pak. Saya Dwita. Kelihatannya Bapak 

terburu-buru. Bapak mau kemana?" 

"Nak Dwita bawa kendaraan?" 

"Bawa." 

"Sama supir?" 

"Bawa sendiri." 

"Bapak boleh minta tolong?" 

"Boleh aja...." 

"Kalau tidak merepotkan Nak Dwita, bisa antarkan 

Bapak ke Kedung Halang. Tidak jauh dari sini." 

"Hemmm, bisa Pak..." 

"Kalau begitu tunggu sebentar." 

Ketika kembali ayah Boma ditemani oleh seorang lelaki 

berpeci hitam. Ini Pak Supangat, masih pamannya Boma. 

Kita berangkat sekarang?" 

"Boleh..." 

Di tengah jalan tak ada yang bicara. Dwita tak tahan 

juga. Dia bertanya. "Pak Sumitro, kita ke Kedung Halang ke 

tempatnya siapa?" 

"Rumah kenalan," jawab Sumitro Danurejo, ayah Boma. 

"Rumahnya orang pintar." 

"Maksud Bapak Doktor, Professor?" tanya Dwita. 

Sumitro Danurejo tertawa. Lelaki berpeci bernama 

Supangat tersenyum. 

"Orang pintar yang Bapak maksud bukan Doktor bukan 

Professor. Tapi orang pintar yang pandai mengobati 

penyakitnya Boma..." 

"Maksud Bapak dukun?" tanya Dwita polos. 

"Sebenarnya bukan dukun. Tapi ya, bisa dikatakan 

begitu. Anggap saja dukun. Orangnya sendiri tidak mau 

dikatakan sebagai dukun. Ini berkaitan dengan sakitnya 

Boma. Sampai saat ini dokter Erawan tidak tau apa


sakitnya Boma. Bapak dan Pak Supangat ini sudah lama 

memperhatikan adanya kelainan dalam sakitnya Boma. 

Bapak pikir, semua jalan harus dicoba." 

Dwita terdiam. Dia ingat pada ucapan-ucapan Boma di 

rumah sakit tadi. Serasa terngiang kembali bagaimana 

suara Boma berubah seperti suara seorang nenek-nenek. 

Dalam hati anak ini berkita. "Heran, di abad serba modern 

ini, apa iyya orang masih percaya pada dukun? Tapi sakit-

nya Boma memang aneh. Kalau dokter tidak tau penyakit-

nya, apa dukun tau dari bisa menyembuhkan?" 

***


10. NENEK-NENEK DISAMPING RANJANG


DI DALAM. Opel Blazer yang diparkir di bawah 

kerindangan pohon besar, Vino mencolek bahu 

Ronny Celepuk sambil bibirnya dicibirkan ke arah 

Gita yang tidur di kursi belakang bergelung bantal kecil. 

Saat itu hujan turun rintik-rintik. Udara kota hujan Bogor 

terasa sejuk mendekati dingin. 

"Orang gemuk memang penyakitnya begitu Ron. Enggak 

di mana enggak dimana maunya tidur melulu. Nggak boleh 

nemplok langsung lengket. Kayak keong aja." 

"Sialan, siapa yang tidur," tiba-tiba terdengar sahutan 

Gita walau matanya masih tetap terpedan tubuhnya tidak 

bergerak. 

"Eh, sorry, gua kira tidur. Habis tadi sampai ngorok 

segala," kata Vino. 

"Brengsek! Enaknya aja bilang gua ngorok!" Mata Gita 

masih terpejam. 

"Ngiler lagi. Tuh, liat. Jok mobil ampe basah," 

Ronny Celepuk menimpali. 

Kini sepasang mata Gita gendut serta merta terbuka 

nyalang, dia bangkit dari tidurnya dan duduk di kursi mobil. 

Ucapan Ronny tadi membuat Gita di luar sadar menyeka-

kan tangannya ke mulut. Ronny dan Vino tertawa. 

"Kalian berdua pada brengsek. Lu tau nggak gue lagi ke-

capean?" ucap Gita.


"Semua kita memang kecapean Tante..." kata Vino. 

"Ajie gile! Lagu lu, sekali lagi lu panggil gue Tante bener-

bener gue peperin iler lu!" 

"Sabar teman, sabar," Ronny berkata sambil meng-

angkat tangan dan tertawa. 

"Tadi ada wartawan," Vino memberitahu. "Nanya-nanya 

segala macam. Katanya ada keanehan sewaktu kita di-

selamatkan di Gunung Gede..." 

"Keanehan apa?" tanya Gita. 

"Banyak. Mulai saat kita ditemukan berjejer di pinggir 

longsoran. Lalu kunang-kunang, sampai makhluk-makhluk 

gaib..." 

"Ron, kau inget nggak Pak Nugroho bilang. Waktu 

rombongan kita ditemukan, kita semua berada dalam 

kantong tidur. Padahal...." 

"Gue nggak ngarti." Gita Parwati memotong ucapan Vino. 

Ronny Celepuk tertawa. "Kamu sih memang banyakan 

nggak ngartinya, Git. Inget nggak omongan Kepala Sekolah 

soal cerita Letda Sofyan sama Pak Tatang." 

Gita mengangguk. Lalu berkata. "Mang Sambas, wakil 

Pak Tatang juga pernah bilang sama aku waktu masih di 

rumah sakit di Sukabumi. Dia heran, kok teman-teman kita 

bisa diselamatkan begitu cepat. Menurut perhitungan dari 

lokasi mereka ditemukan sampai di pos paling tidak makan 

waktu lima jam. Nyatanya mereka bisa sampai dalam tiga 

jam. Lalu ada anggota pencari yang membisiki aku. Kata-

nya ada makhluk halus yang kagak kelihatan tolong meng-

angkat usungan. Ih, gue jadi merinding. Tapi..." Gita diam. 

"Tapi apa ndut?" tanya Ronny Celepuk. 

"Ada yang bikin gue lebih merinding," jawab Gita. 

"Apa-an?" tanya Vino. "Lu liat cowok telanjang?" 

"Setan gombal lu! Aku serius..." kata Gita Parwati. Dua 

mata belok anak perempuan yang gemuk berkulit hitam ini 

menatap lurus ke depan.


"Jadi beneran kau liat cowok telanjang? Di mana? 

Siapa?" Vino masih bergurau. 

"Jangan becanda. Salah-salah kau bisa jadi seperti 

Boma. Diserang demam panas, mengigau tak karuan..." 

Ronny Celepuk dan Vino saling pandang. "Wah, 

nyumpahin temen sendiri nih!" kata v mo. 

"Gita, kau ini bicara apa sih?!" tanya Ronny. 

"Gila, sekarang gua yang jadi merinding!" kata Vino pula 

sambil menggeser duduknya lebih rapat ke pintu mobil. 

"Kalian tau nggak. Waktu aku ngejagain Boma di 

kamar...," kata Gita, "aku sering-sering ketiduran karena 

kecapean. Tapi setiap aku terbangun dan melihat ke arah 

tempat tidur Boma, aku samar-samar melihat ada orang 

berdiri di sampingnya. Perempuan..." 

"Itu pasti ibunya," kata Vino pula. 

Gita menggeleng. Sepasang matanya masih meman-

dang lurus ke depan. "Bukan, bukan ibunya Boma. Sosok 

perempuan itu bukan ibunya Boma. Walau terlihat cuma 

samar-samar, aku yakin itu bukan ibunya Boma. Wong 

ibunya Boma ada di sisi ranjang sebelahnya." 

"Lalu siapa? Kau ngenalin orangnya?" tanya Ronny 

Celepuk. Mulutnya mendadak terasa asam. Dia ingat rokok 

di kantong blujins. Tangannya merayap mengambil. Baru 

setengah bungkusan rokok keluar, sepasang mata Gita 

melirik ke arah saku celana Ronny lalu berputar meman-

dang lekat-lekat ke wajah anak lelaki itu. Entah mengapa 

Ronny merasakan hatinya jadi ciut lalu masukkan 

bungkusan rokok kembali ke dalam saku celana. 

Dua mata Gita kembali memandang lurus ke depan. 

Mulutnya berucap. 

"Sosok yang aku liat itu, agak bungkuk. Berdiri nggak 

bergerak-gerak di samping ranjang Boma. Sosok itu sosok 

seorang nenek-nenek..." 

"Apa?!" tanya Ronny.


Vino meraba tengkuknya yang mendadak terasa dingin. 

"Yang berdiri di samping tempat tidur Boma adalah 

seorang nenek-nenek. Nenek-nenek aneh. Kulitnya hitam. 

Mukanya cekung. Wajahnya seram sekali. Dua matanya 

angker mengerikan. Pakaiannya rombeng. Di atas 

kepalanya aku melihat seperti ada hiasan aneh..." 

Ronny menggigit bibirnya sendiri, menatap wajah Gita. 

"Gita, lu nggak ngarang cerita 'kan?" 

Gita menggeleng. "Buat apa aku ngarang? Apa untung-

nya?" sahut Gita. Lalu dia meneruskan. "Mula-mula aku 

tidak acuh. Pertama kali aku melihat nenek-nenek itu aku 

kira cuma perasaan atau pandangan khayal mataku doang. 

Tapi setiap kali aku terbangun dan membuka mata, aku 

kembali ngeliat nenek-nenek itu. Ngeliat sebentar, lalu 

sosoknya hilang. Ngeliat, hilang. Gitu terus-terusan...." 

Saat itu udara mendung dan hujan masih turun rintik-

rintik. Kota Bogor gelap lebih cepat. 

"Ada satu hal lagi,"kata Gita Parwati. 

"Apa-an?" tanya Vino dan Ronny berbarengan. 

"Setiap nenek-nenek itu muncul, aku nyium bau pesing. 

Santer banget." . 

"Bau pesing?" ujar Ronny. 

"Iyya." Jawab Gita. 

"Aneh…" kata Ronny perlahan. 

"Ah! Lu kali yang ngompol. Lu nyium kencing lu sendiri," 

kata Vino lalu tertawa cekikikan. 

"Setan sialan lu!" maki Gita lalu melemparkan bantal 

yang dipegangnya ke arah Vino. 

"Gua rasa udah magrib. Aku mau sholat dulu di 

mussola..." kata Vino. Tapi suara mulut dan suara hatinya 

saling bertolak belakang. Mulutnya memang berucap mau 

sembahyang tapi dalam hati entah mengapa anak ini 

merasa tidak enak mau beranjak keluar dari Opel Blazer 

itu.


"Jangan pergi dulu Vin. Cerita Gita belum selesai." 

Kebetulan Ronny melarang. Vino tetap duduk di tempatnya. 

"Nenek-nenek yang kau liat itu, dia Cuma berdiri di 

samping tempat tidur Boma? Nggak ngelakuin apa-apa?" 

bertanya Ronny. 

"Cuma diam. Berdiri menyoroti Boma dengan matanya 

yang angker," jawab Gita. 

"Aneh," ujar Ronny Celepuk. Lalu bertanya. "Keliatannya 

cuma malem doang atau..." 

"Malem lebih sering. Kalau siang seingatku cuma dua 

kali. Sebentar doang lalu hilang..." jawab Gita. 

"Aku jadi ingat Boma waktu ngigau. Kadang-kadang 

suaranya berubah seperti suara nenek-nenek..." kata 

Ronny pula. 

"Ya, aku ingat," kata Vino membenarkan ucapan Ronny. 

"Mungkin, ah aku nggak berani bilang!" 

"Bilang aja. Kau mau bicara apa?" ujar Gita. 

"Mungkin teman kita Boma kemasukan roh halus..." 

Saat itu mendadak di jalan raya terdengar suara ban 

mendenyit panjang di aspal. Menyusul suara benturan 

keras. Lalu suara orang-orang berteriak dan berlarian. Di 

dalam mobil Gita terpekik. Ronny dan Boma tersentak 

kaget. 

"Tabrakan..." kata Vino perlahan. 

"Aku pengen kencing. Ron, temenin aku ke kamar 

mandi..." 

"Lu gila. Masa sih kencing aja minta ditemenin." 

"Lu yang gila. Emangnya gua minta temenin sampai 

masuk ke dalam. Sampai pintu doang. Jagain aku di pintu. 

Aku takut...." 

Vino tertawa. Ternyata yang takut bukan cuma dirinya. 

"Gede-gede begini penakut amat sih..." kata Ronny 

sambil tangannya membuka pintu mobil. Dia turun duluan, 

baru Gita. Vino yang tak mau ditinggal sendiri segera pula


turun. Ketika ketiga anak itu jalan berdampingan ke bagian 

belakang rumah sakit, beberapa orang memasuki 

halaman, menggotong seorang anak muda yang keningnya 

bocor. Darah bergelimang menutupi wajah dan sebagian 

kemejanya. Seorang Satpam mendatangi sambil membawa 

kereta dorong. 

Ronny, Vino dan Gita memberi jalan. Sewaktu kereta 

dorong lewat di depan mereka tercium bau minuman keras 

santar sekali. 

"Pasti nyetir dalam keadaan teler," kata Gita sambil 

menutup hidung. 

Di pintu depan menuju wc wanita Vino dan Ronny 

Celepuk berdiri menunggu. Ini kesempatan untuk merokok, 

pikir Ronny. Anak ini segera mengeluarkan rokoknya dari 

kantong blujins. Dari kantong lain dia mengeluarkan korek 

api gas. Tiba-tiba di dalam wc terdengar suara perempuan 

menjerit. Lalu suara orang lari. 

"Ron, Gita Ron!" kata Vino yang mengenali suara 

temannya itu. Bungkusan rokok dan korek api di tangan 

Ronny langsung jatuh ke ubin. Sesaat kemudian Gita 

muncul berlari, sendal cuma sebelah, wajah pucat, nafas 

sesak. Anak gemuk ini hampir jatuh terjerembab kalau 

tidak cepat ditolong Vino dan Ronny. 

"Ada apa Gita?!" tanya Vino. 

"Kau kenapa Git?" 

"Aku takut. Cariin supir gue Ron. Aku mau pulang aja ke 

Jakarta. Aku mau pulang aja." Suara Gita gemetaran 

setengah mau menangis. 

"Pasti, tapi kenapa? Ada apa? Kenapa kau barusan 

menjerit lalu lari!" ujar Ronny. 

"Kau udah kencing?" tanya Vino. 

"Belum, nggak jadi..." 

"Ada apaan sih Git?" Ronny kembali bertanya. 

Gita berpaling, memandang sekilas ke arah pintu wc.


"Aku... aku nggak berani bicara disini. Nanti aja dalem 

mobil. Anterin aku ke mobil. Cariin supir gue Ron..." 

Sampai di mobil Ronny kembali bertanya. "Sekarang kau 

mau ngomong Git?" 

"Iyya, cerita Git. Mukamu pucat. Kau keringatan...." 

Gita Parwati mengusap wajahnya yang gembrot, lalu 

mengusap lengannya yang basah oleh keringat. Lengan 

kanan dengan tangan kiri, lengan kiri diusap dengan 

tangan kanan. Dadanya masih turun naik. Setelah 

tenangan sedikit anak ini baru berkata. 

"Waktu aku mendorong pintu wc, mau masuk, aku lihat 

nenek-nenek bongkok itu ada di sudut WC." 

Wajah Ronny dan Vino langsung pucat. Sunyi, tak ada 

yang bicara dalam mobil itu. 

"Ron, sopir gue. Tolong cariin..." Gita akhirnya yang 

bicara. 

Ronny mengangguk. Dia memutar tubuh siap melangkah 

pergi mencari supir. 

"Biar gue temenin Ron," kata Vino lalu beranjak dari 

kursi mobil yang baru saja didudukinya. Sebenarnya anak 

ini merasa serem ditinggal sendirian bersama Gita. 

"Gue ikut!" kata Gita lalu cepat-cepat membuka pintu 

mobil dan meloncat turun. 

Tiga anak SMA Nusantara III itu sama-sama mencari 

supir yang kemudian mereka temui sedang asyik 

menyantap soto mie. 

***


11. BURUNG PUTIH DI ATAS ATAP 


DWITA TIFANI keluar dari Starlet merah, melangkah di 

lorong pendek yang menghubungkan garasi dengan 

bagian belakang rumah. Capek badannya tidak 

seberapa dibanding dengan pikirannya yang kacau. Mbok 

Mirah muncul di ambang pintu menuju ruang dalam. 

"Dari mana aja Non? Bapak sama Ibu nanyain terus...." 

Dwita tak menjawab. Dia menyerahkan tas kulitnya pada 

si pembantu seraya berkata. "Bawain ke kamar saya." 

Maya—kakak Dwita—sedang membaca sebuah majalah, 

menurunkan bacaannya, memandang ke arah adiknya. 

"Aduh, anak Mama. Dari pagi ngilang baru pulang gini 

ari." 

"Aku capek May," jawab Dwita lalu menjatuhkan diri 

duduk di sofa seberang Maya. 

"Jelas, dari tampangmu yang lecek kusut udah keliatan. 

Tapi kalau aku perhatikan kamu ini lebih banyak capek 

pikiran dari pada capek badan." 

"Tau deh." 

Dwita melepaskan sepatu berhak rendah dari kedua 

kakinya lalu enak melemparkan sepatu-sepatu itu ke sudut 

ruangan di mana terletak sebuah rak sepatu. Hebatnya 

dua sepatu itu jatuh tepat di bagian rak yang kosong, 

seperti diletakkan secara baik-baik. 

Maya tersenyum melihat perbuatan adiknya itu. 

"Kau habis dari mana?" Maya bertanya. 

"Bogor. Rumah Sakit PMI" 

"Boma?"


Dwita mengangguk. 

"Masih dirawat anak itu. Gimana keadaannya?" 

Dwita tak segera menjawab. Disandarkannya kepalanya 

ke sofa, menatap langit-langit ruangan sebentar lalu malah 

memejamkan mata. 

"Non cakep, jangan tidur di situ," kata Maya. "Ayo mandi. 

Ganti baju. Papa sama Mama tadi bilang kalau kau sudah 

pulang kita makan malam sama-sama." 

"Nggak biasa-biasanya ada pesan makan malam sama-

sama. Pasti ada yang mereka mau bicarakan." 

"Mungkin aja. Biasanya sih gitu," jawab Maya. 

"Mungkin kau tau soal apa May?" Maya mengangkat 

bahu. 

Dwita menggeliat lalu berdiri dari sofa. Dia berlari-lari 

kecil menaiki tangga ke tingkat atas rumah di mana 

kamarnya terletak. 

"Hai Non! Katanya capek! Kok bisa naik tangga sambil 

lari? Aneh kau ini!" Berseru Maya. "Jangan lupa periksa 

kamar mandimu Dwita! Siapa tahu gorilla tempo hari 

nungguin kau di sana!" 

*** 

DI MEJA makan kayu jati bundar malam itu Nyonya Tia 

Erlan mengunyah makanan dalam mulu~nya perlahan-

lahan. Setelah menelan makanan dan meneguk sedikit air 

dia melirik pada Dwita lalu memandang pada suaminya 

yang duduk di seberang meja. 

"Bagaimana keadaan teman-temanmu yang di rumah 

sakit?" Tia Erlan bertanya sambil menyendok nasinya. 

"Yang enam orang sudah pulang, Ma. Cuma Boma yang 

masih dirawat." 

"Boma, anak yang jadi team leader pendaki Gunung 

Gede itu?" 

"Benar Ma." 

"Memangnya sakitnya berat sampai masih perlu terus 

dirawat?" ayah Dwita yang bertanya.



"Sakitnya aneh Ma." 

"Aneh gimana?" Bertanya sang ibu, hampir berbarengan 

dengan Maya. 

"Fisiknya sehat, nggak ada luka nggak ada apa-apa. 

Hasil pemeriksaan darah di Lab juga bagus. Tapi dia 

mengalami serangan panas tinggi terus-terusan." 

"Mungkin ada gejala penyakit lain. Dokter pasti tahu, 

tapi biasanya nggak pernah bilang…" 

"Justru di situ letak keanehannya Ma. Dokter yang 

merawat Boma tidak menemukan sebab-sebab panas 

tinggi yang dialami Boma. Nggak ada tanda-tanda atau 

gejala thypus. Demam berdarah juga nggak. Nggak ada 

luka atau infeksi. Obat penurun panas tidak membantu." 

"Dokternya nggak benar kalau gitu," ujar ibu Dwita. 

"Masa' punya pasien tapi nggak tahu penyakitnya apa." 

"Tapi Bomanya sadar?" tanya Maya. 

Dwita menggeleng. "Matanya merem terus. Kadang-

kadang ngigau tak karuan. Kalau ngigau suaranya bisa 

berubah seperti nenek-nenek. Kalau panasnya lagi naik dia 

suka kejang-kejang, berontak-berontak. Jururawat terpaksa 

mengikat tangan dan kakinya ke besi tempat tidur." 

"Jangan-jangan anak itu kemasukan mahluk halus," 

ucap Erlan Sujatmiko ayah Dwita. ' 

"Papa ini ada-ada saja. Orang diserang demam panas 

tidak heran kalau ngigau, ngomong ngacau. Malah ada 

yang mau mengamuk. Boma masih untung belum sampai 

ke situ...." 

Erlan Sujatmiko diam saja. 

"Papa percaya hal-hal seperti itu?" Dwita tiba-tiba ber-

tanya. 

"Hal-hal yang mana?" 

"Adanya mahluk halus, adanya hal-hal aneh dan gaib," 

ujar Dwita pula. 

"Kenapa tidak?" 

"Ayah Boma memang sudah minta bantuan orang 

pinter." 

"Dukun?" tanya Maya.


Dwita mengangguk. 

Nyonya Tia Sujatmiko menggeleng-gelengkan kepala. 

"Anak sakit panas kok dimintai tolong dukun. Bisa-bisa 

nanti tambah tak karuan anak itu." 

"Bagaimana kau tahu ayahnya Boma minta tolong 

dukun?" tanya Maya. 

"Aku diminta tolong nganterin ke rumah dukun itu. Dekat 

Bogor juga." 

"Apa yang dilakukan dukun itu?" tanya ayah Dwita. 

*** 

ORANG pintar yang tinggal di Kedung Halang itu ber-

nama Sobirin Kartalegawa. Dia dikenal dengan panggilan 

Haji Sobirin karena memang sudah empat kali naik haji ke 

tanah suci Makkah. Kabarnya tahun depan dia akan me-

nunaikan Rukun Islam yang ke lima itu untuk kelima kali-

nya. 

Haji Sobirin berusia lebih tujuh puluh tahun. Namun 

fisiknya masih kelihatan sehat gagah. Wajahnya yang 

kelimis dihias kumis dan janggut putih. Dia menyambut ke-

datangan tamu-tamunya dengan segala keramahan. Apa 

lagi sebelumnya memang sudah kenal dengan Pak 

Supangat, lelaki yang membawa ayah Boma ke rumahnya. 

"Pak Supangat, lama kita tidak bertemu. Ada kabar apa 

ini?" tegur tuan rumah. 

Supangat menyalami Haji Sobirin lalu memperkenalkan 

ayah Boma. 

"Ini Pak Sumirto Danudirja, sahabat saya di Jakarta." 

Ayah Boma dan Haji Sobirin saling mengulurkan tangan. 

"Ini gadis cantik puterinya siapa? Puteri Pak Supangat 

atau Pak Sumitro?" tanya Haji Sobirin sambil memandang 

pada Dwita Tifani. 

"Ini teman anak saya," menerangkan ayah Boma. "Dia 

yang ngantarkan kami ke sini." 

Haji Sobirin mengangguk-angguk. Setelah dipersilahkan 

duduk oleh tuan rumah Pak Supangat langsung saja pada


maksud tujuan kunjungannya. 

"Pak Haji mungkin dengar peristiwa rombongan anak-

anak sekolah yang mengalami musibah di Gunung Gede?" 

"Oo itu? Cucu saya memang pernah cerita. Katanya 

dimuat di koran...." 

"Kedatangan kami ini ada hubungannya dengan kejadi-

an itu. Salah seorang anak sekolah itu, putera Pak Sumitro 

ini, saat ini masih dirawat di rumah sakit. Teman-temannya 

yang enam orang sudah keluar...." Lalu Pak Supangat me-

nuturkan riwayat sakit yang dialami Boma dan keadaannya 

sekarang ini. Pak Supangat menutup ceritanya dengan 

ucapan. "Kami datang, mudah-mudahan Pak Haji mau 

membantu. Tolong lihat, apa benar mungkin sakitnya anak 

Pak Sumitro ini ada kelainan. Lalu kalau betul mohon 

bantuan penyembuhannya sekalian...." 

Lama Haji Sobirin terdiam, mungkin di dalam hati 

membaca sesuatu. Lalu dia berkata. "Pak Sumitro, saya 

sering bilang sama Pak Supangat, saya ini bukan orang 

pinter. Apa lagi kalau sampai disebut dukun. Tapi yang 

namanya orang minta tolong, saya tidak berani menolak. 

Saya akan lakukan apa yang saya bisa. Tapi ingat semua 

bukan karena ilmu atau kepandaian saya. Semua adalah 

petunjuk dari Yang Maha Kuasa." Waktu menyebut Yang 

Maha Kuasa Haji Sobirin menunjukkan jari telunjuknya ke 

atas. Lalu dia bangkit berdiri, menutup pintu depan dan 

semua jendela. Setelah itu dia mengajak ke tiga orang 

tamunya itu masuk ke ruangan dalam. 

Setelah duduk di ruang dalam Haji Sobirin bertanya 

pada Pak Supangat. 

"Siapa nama putera Bapak Sumitro ini?" 

"Boma," jawab Pak Supangat. 

"Boma Tri Sumitro." Berkata ayah Boma menyebut nama 

lengkap anaknya. 

"Ingat tanggal lahirnya putera Bapak?" tanya Haji Sobirin 

selanjutnya. 

Sumitro Danurejo mengusap rambut di kepalanya be-

berapa kali. "Maaf, Pak Haji. Saya lupa." Tanggal lahir anak


nya sendiri lelaki ini tidak ingat. 

"Hari lahirnya mungkin?" tanya Haji Sobirin lagi sambil 

tersenyum. 

"Kalau harinya saya ingat betul Pak Haji. Hari Kemis 

malam Jum'at Kliwon. Jam sebelas tiga puluh malam." 

Haji Sobirin mengangguk. Perlahan-lahan dia pejamkan 

kedua matanya. Telapak tangan dikembangkan, diletakkan 

di atas paha. Ayah Boma dan Pak Supangat memper-

hatikan dengan pandangan mata yang hanya sekali-sekali 

berkedip. Dwita diam-diam merasa tegang. Apa yang te-

ngah dilakukan orang tua berkumis dan berjanggut putih 

ini? Apakah sesuatu akan terjadi di tempat itu? Anak 

perempuan ini semakin tegang ketika dilihatnya tubuh 

sebelah atas dan kepala Haji Sobirin tersentak-sentak. 

Wajahnya yang putih klimis kini berubah kemerahan dan 

peluh bercucuran di keningnya. Ayah Boma berpaling pada 

Pak Supangat. Kalau ayah Boma tampak mulai ada rasa 

tegang, sebaliknya Pak Supangat tenang saja. Mungkin hal 

seperti ini biasa dilihatnya setiap dia mengantar orang 

meminta pertolongan Pak Haji. 

Tak selang berapa lama sentakan-sentakan di tubuh 

dan kepala Haji Sobirin berhenti. Perlahanlahan kedua 

matanyapun terbuka kembali. Sambil mengucap istigfar 

beberapa kali dia mengusap keningnya yang basah oleh 

keringat. Lalu dia meniandang pada ayah Boma. Hanya 

memandang saja, tidak berkata apa-apa. Hal ini membuat 

Sumitro Danurejo merasa tidak enak. Lelaki ini bertanya. 

"Bagaimana Pak Haji?" 

Yang ditanya mendehem beberapa kali. "Pak Sumitro, 

mungkin di rumah Bapak ada menyimpan barang-barang 

pusaka? Benda-benda kuno?" Ayah Boma menggeleng. 

"Coba Bapak ingat-ingat. Mungkin saja sebilah keris, 

atau pisau kecil. Mungkin juga batu atau jimat...." kata Haji 

Sobirin lagi. 

Sumitro Danurejo coba mengingat-ingat. Tapi memang 

dia tidak pernah menyimpan benda-benda seperti yang di-

sebutkan Haji. Sobirin itu maka kembali dia menggeleng


kan kepala. 

"Saya tidak ada menyimpan benda-benda seperti Pak 

Haji katakan itu." 

Haji Sobirin pejamkan mata sesaat, seperti merenung: 

Ketika membuka matanya kembali, dia memandang pada 

ayah Boma lalu berkata. 

"Dalam petunjuk yang saya lihat putera Bapak tengah 

menghadapi satu perkara besar. Saya juga melihat ada 

cahaya putih. Pertanda perkara itu bukan suatu yang 

buruk. Mungkin, mungkin ada seseorang hendak menurun-

kan atau memberikan ilmu pada putera Bapak...." 

Ayah Boma terkejut. Dia memandang sesaat pada Pak 

Supangat, melirik pada Dwita yang duduk tak bergerak di 

kursinya dan masih menunjukkan wajah tegang. 

"Ilmu apa?" tanya ayah Boma kemudian. 

"Tidak bisa saya pastikan. Yang jelas bukan ilmu tulis 

baca, bukan ilmu sekolahan...." jawab Haji Sobirin. 

Sumitro Danurejo bertanya lagi. "Siapa yang hendak 

memberikan ilmu itu, Pak Haji?" 

"Mungkin di antara kakek dari kakeknya Bapak, 

mungkin juga dari garis istri Bapak pernah ada seorang 

yang memiliki ilmu tertentu?" 

"Dari saya jelas tidak ada. Entah dari ibunya Boma. Tapi 

saya rasa juga tidak...." 

"Pak Sumitro yakin?" 

"Saya yakin." 

"Kalau begitu...." kata Haji Sobirin sambil mengusap 

janggut putihnya. "Mungkin ada orang lain yang hendak 

mewariskan ilmunya pada Boma. Tapi putera Bapak 

menolak...." 

"Karena menolak dia lalu mendapat serangan demam 

panas?" tanya ayah Boma. 

"Mungkin saja, tapi tidak selalu begitu...." 

"Pak Haji, orang yang mau mewariskan ilmu itu kepada 

Boma, dia...." Sumitro Danurejo tak bisa meneruskan kata-

katanya. Dia seperti tak tahu mau bicara apa lagi. 

"Pak Mitro," kata Haji Sobirin. "Kalau mau cari tahu


siapa orangnya itu adalah hal yang sulit. Tapi yang jelas 

orang itu sudah lama tiada. Sudah berada di alam barzah, 

alam roh, sejak puluhan mungkin ratusan tahun silam." 

"Jadi hantu, jin?" ujar Sumitro. 

Dwita merasa kuduknya dingin. Pak Supangat tak ber-

gerak dari kursinya. Haji Sobirin tersenyum. 

"Apa yang akan terjadi itu di luar kuasa kita. Mungkin 

sudah begitu jalan hidup putera Bapak." Di luar kuasa kita 

manusia, sesuai kehendak Yang Maha Kuasa. Yang dapat 

kita lakukan ialah berusaha supaya putera Bapak tidak 

mengalami hal-hal tak diinginkan." 

"Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk menolong anak 

saya?" tanya Sumitro Danurejo pula. 

"Kita sama-sama meminta pertolongan Tuhan Yang 

Maha Kuasa. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa 

dengan putera Bapak. Haji Sobirin diam sebentar baru 

meneruskan. "Satu hal perlu Pak Mitro ketahui, saya 

melihat bahwa putera Bapak mempunyai kepribadian yang 

kuat, rasa welas asih dan setia kawan yang tinggi, memiliki 

keberanian luar biasa tetapi yang ditutupnya dengan 

senyum dan keramahan, kadang-kadang dengan senda 

gurau." 

Haji Sobirin bangkit dari kursinya. Meminta ketiga 

tamunya untuk menunggu sebentar lalu masuk ke dalam 

kamar. Ketika tak selang berapa lama keluar dari 

kamar,Haji Sobirin membawa satu botol air putih daIam 

botol plastik ukuran satu liter. Dia menyerahkan botol itu 

pada ayah Boma seraya berkata. 

"Kompreskan air ini dengan handuk kecil atau sapu 

tangan ke kepala putera Bapak. Setiap Bapak 

mengompres, baca apa saja yang Bapak bisa baca. Paling 

tidak ucapkan Bismillah Mudah-mudahan Allah mem-

berikan kesembuhan." 

Ayah Boma mengangguk, menerima sebotol air putih. 

Baru saja dia mengucapkan terima kasih, tiba-tiba di 

wuwungan rumah terdengar suara menggelepar keras 

sekali. Dwita terkejut, juga ayah Boma dan Pak Supangat.


Ketiganya memandang ke atas. Yang tampak cuma eternity

putih. Haji Sobirin merenung sejenak. Lalu berkata pada 

ketiga tamunya. 

"Ikuti saya. Ada tamu di atas atap...." 

Dengan langkah-langkah tercekat Dwita, ayah Boma dan 

Pak Supangat mengikuti Haji Sobirin keluar rumah. 

Halaman rumah Haji Sobirin menyelimuti. Di salah satu 

ujung halaman Haji Sobirin berhenti. Dia membalikkan 

badan, memandang ke arah atap rumah. 

Di bagian atap yang paling tinggi ke tiga orang itu me-

lihat bertengger seekor burung putih besar, kepalanya di-

arahkan pada orang-orang di halaman seolah membalas 

pandang mereka. Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara 

panjang raungan anjing. 

"Burung putih...." kata Haji Sobirin perlahan tapi cukup 

terdengar oleh ke tiga orang yang berada di dekatnya. 

"Orang yang hendak memberikan ilmu kepandaian itu 

mengutus burung putih. Memberi tanda bahwa dia tidak 

bermaksud jahat tapi sekaligus memberi tahu bahwa 

maksudnya jangan dihalangi. Kalau saja dia mengirim 

burung hitam, akan lain artinya...." 

Begitu Haji Sobirin selesai berucap, burung putih besar 

di atas atap merentangkan sayapnya. Terdengar suara 

menggelepar keras. Burung itu melesat ke udara, berputar 

satu kali di atas rumah Haji Sobirin lalu melayang ke arah 

timur dan lenyap ditelan gelapnya malam. 

*** 

DI MEJA makan Dwita meneguk air putih dalam gelas 

sampai setengahnya lalu menyeka bibir dengan kertas tisu. 

"Makannya cuma sedikit. Masakan Mama tidak enak 

atau sudah makan tadi di jalan?" 

Dwita tersenyum mendengar pertanyaan ibunya itu. 

"Masakan Mama enak. Perut sebenarnya masih mau 

nerima, Ma. Tapi cukup sedikit aja, takut gemuk." 

"Anak sekarang. Kalau makan nasi banyak-banyak di


rumah katanya takut gemuk. Tapi kalau jajan makanan 

yang banyak fatnya di luar, wah tidak pernah cari alasan...." 

Dwita tersenyum, mendekatkan wajahnya ke wajah sang 

ibu lalu mencium pipinya. Anak ini kemudian berpaling 

pada ayahnya. 

"Pa, apa mungkin air putih bisa menyembuhkan orang 

sakit?" 

Erlan Sujatmiko menyandarkan punggung ke sandaran 

kursi. Dia maklum pertanyaan puterinya itu ada kaitannya 

dengan sakitnya Boma. Sang ayah menjawab. 

"Tergantung daya khasiat air itu serta apa penyakit yang 

hendak disembuhkan. Kalau yang Dwita maksudkan air 

putih tadi, air putih untuk obat temanmu itu, mungkin saja 

bisa jadi sumber kesembuhan. Karena penyakit temanmu 

itu di luar wajar. Di luar jalur ilmu kedokteran. Tentunya 

jangan lupa sembuh apa tidaknya semua itu akan ter-

gantung pada kehendak Yang Maha Kuasa." 

"Papa kalian memang suka percaya pada hal-hal seperti 

itu. Kekuatan gaib, black magic, santet, guna-guna...." 

"Saya tidak begitu saja percaya Ma. Lagi pula orang-

orang pintar zaman sekarang yang katanya dukun ini 

dukun itu, tidak semuanya bisa dipercaya. Ada yang cuma 

dukun-dukunan, menipu orang saja kerjaannya. Malah ada 

juga dukun cabul. Baca di surat-surat kabar. Berapa 

banyak saja yang sudah ditangkap. Lalu kalau saya tidak 

mengalami sendiri, mana mungkin mau percaya begitu 

saja? Ingat peristiwa tujuh tahun lalu?" 

"Memangnya ada kejadian apa tujuh tahun lalu Pa?" 

tanya Maya. 

"Tidak ada apa-apa. Tak perlu diceritakan pada anak-

anak," kata Nyonya Tia Erlan. 

"Lebih bagus diceritakan pada anak-anak. Agar mereka 

tahu bagaimana sebenarnya hidup dari kehidupan ini. Lagi 

pula peristiwanya sudah cukup lama berlalu." 

"Ya, cerita dong Pa," kata Dwita. 

"Iya, kami kepingin tahu. Masa pakai rahasia segala 

sama kami anak-anak," pinta Maya.


Erlan Sujatmiko meneguk airnya lalu mulai bercerita. 

"Waktu itu—tujuh tahun lalu—di kantor sudah tersiar 

kabar bahwa Papa akan diangkat dan ditugaskan sebagai 

Konsul di luar negeri. Tiga bulan menjelang keberangkatan, 

papa jatuh sakit. Yang sakit di bagian perut. Mula-mula 

seperti diare. Buang-buang air selama seminggu. Badan 

Papa susut. Berat badan merosot terus. Papa masuk 

rumah sakit. Hampir dua minggu dirawat sembuh. Boleh 

pulang. Tapi belum satu hari sampai di rumah, sakit perut 

kumat lagi. Kali ini bukan diare tapi buang air campur 

darah segar. Untuk kedua kali Papa masuk rumah sakit 

lagi. Beberapa dokter ahli menangani. Karena banyak 

dokter jadi diagnosenya juga banyak. Hasil ronsen tidak 

menunjukkan apa-apa. Padahal perut Papa sakitnya 

seperti ditusuk-tusuk. Lalu ada seorang kawan menasihat-

kan agar penyakit Papa coba dilihat pada orang pintar. 

Papa, juga Mama tadinya tidak mau. Namun teman itu 

secara diam-diam pura-pura menengok Papa mendatang-

kan orang pintar tadi ke rumah sakit. Kalau tidak salah 

orang itu bernama Susilo. Setelah melihat Papa, Pak Susilo 

memberi tahu pada teman Papa bahfa Papa bukan sakit 

biasa, tapi ada yang dengki karena Papa diangkat jadi 

Konsul. Katanya Papa lebih baik pulang saja, percuma 

dirawat di rumah sakit. Sampai kapanpun tak bakal 

sembuh. Nanti kalau sudah di rumah dia yang akan ber-

usaha menolong. Papa berunding dengan Mama. Akhirnya 

disepakati Papa tidak boleh dibawa pulang. Kalau orang 

pintar itu memang mampu, dia harus mengobati Papa 

langsung di rumah sakit. Karena begitu permintaan Papa, 

orang yang mau menolong tidak keberatan. Papa ingat, 

hari itu Jum'at malam Sabtu. Hari Sabtunya hari ulang 

tahun Papa yang ke empat puluh dua. Setelah jam 

kunjungan selesai, teman Papa tadi dan orang pintar itu 

tetap tinggal di kamar tempat Papa dirawat...." 

***


"PAK ERLAN, apa saya boleh mematikan lampu besar, 

menggantikan dengan lampu kecil saja...?" Susilo, orang 

yang hendak mengobati Erlan Sujatmiko bertanya. 

Lelaki itu belum sempat menjawab istrinya mendahului. 

"Kalau boleh biar terang seperti ini saja, Pak. Suami 

saya tidak biasa gelap, suka pengap...." 

"Baik Bu, ndak apa-apa. Tapi janji, Ibu atau Bapak 

jangan kaget melihat nanti apa yang teradi. Pak Erlan, 

kalau terasa sakit usahakan ditahan. Jangan sampai ber-

teriak." Susilo kemudian membuka baju piama yang di-

kenakan Erlan Sujatmiko, menurunkan celana sampai se-

batas pinggul. Dia pejamkan kedua matanya sementara 

mulutnya tampak berkomat-kamit. Erlan Sujatmiko tiba-tiba 

melihat wajah Susilo berubah putih seolah tidak berdarah 

lagi. Dalam keadaan seperti itu perlahan sekali, dia gerak-

kan tangan kanannya. Telapak tangan dikembangkan 

menghadap ke bawah. Lalu ditempelkan di atas perut, 

dekat pusar sebelah kanan." 

Erlan Sujatmiko merasa perutnya panas seperti ditindih 

seterika. Dia hendak menjerit tapi masih ingat ucapan 

Susilo agar tidak berteriak apapun yang terjadi. Ternyata 

rasa sakit itu hanya sebentar. Ketika Susilo mengangkat 

tangannya dari atas perut rasa sakit itu serta merta meng-

hilang. 

Susilo membalikkan telapak tangannya. Tangan itu 

tampak berlumuran darah. Di atas lumuran darah ada 

tujuh buah jarum yang rata-rata sudah hitam karatan. 

Ketika Erlan Sujatmiko memeriksa perutnya, dia tidak me-

lihat bekas luka, hanya sedikit noda darah di dekat pusar-

nya. 

*** 

"WAKTU itu tengkuk Mama terasa dingin merinding. Tapi 

masih belum bisa percaya," kata ibu Dwita. "Bagaimana 

mungkin ada tujuh buah jarum di perut Papa kalian. Dan 

Pak Susilo mengeluarkannya dengan cara begitu luar


biasa." 

Erlan Sujatmiko meneruskan ceritanya. 

"Dua hari kemudian Papa minta pulang. Para dokter 

melarang karena katanya akan ada pemeriksaan khusus 

sekali lagi. Tapi Papa bilang Papa sudah sembuh. Mereka 

semua heran. Karena kenyataannya Papa memang mereka 

lihat benar-benar sehat. Lalu jarum-jarum itu, masih Papa 

simpan sampai sekarang." 

"Ih, dibuang aja Pa. Buat apa disimpan-simpan," kata 

Dwita. 

"Hitung-hitung buat kenang-kenangan," jawab sang 

ayah. 

"Soal permintaan Pak Susilo yang Mama tolak waktu 

minta mematikan lampu, sebenarnya cuma pura-pura saja. 

Papa kalian tidak pernah pengap dalam gelap, malah 

senang gelap-gelapan...." 

Erlan Sujatmiko tertawa terbahak-bahak. 

Ibu Dwita meneruskan. "Maksud Mama begini. Kalau 

Pak Susilo dukun bohongan, dalam gelap siapa tahu apa 

yang dikerjakannya. Jangan-jangan jarum-jarum karatan itu 

bisa saja sudah disiapkannya lebih dulu. Ternyata dia 

memang orang pintar benaran." 

"Papa tau siapa orang yang ngejailin Papa itu?" Maya 

bertanya. 

"Ya, duga-dugaan memang ada. Tapi hal semacam itu 

suatu yang sulit untuk dibuktikan. Yang penting papa 

sembuh. Bersyukur pada Tuhan. Lagi pula Pak Susilo ber-

pesan, agar papa jangan punya rasa dendam kepada 

siapapun. Pulangkan semuanya pada Yang Maha Kuasa...." 

Erlan Sujatmiko meneguk kopi yang baru saja diantarkan 

Mbok Mirah. Setelah meletakkan cangkir kopi kembali dia 

berkata. "Sekarang kita bicarakan soal lain. Ada ke-

mungkinan, bukan, bukan kemungkinan. Tapi hampir pasti. 

Awal tahun depan Papa akan diserahkan satu jabatan di 

New York. Di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa." 

"Ya illah Papa! Di Jakarta baru enam bulan, sudah mau 

pindah lagi. Gimana dong sekolah Dwita." Dwita seperti


protes. 

"Tadinya Papa memang ingin mengusulkan tugas itu di-

serahkan pada teman lain yang lebih senior. Tapi nama-nya 

tugas dan Papa pegawai Pemerintah yang diberi kepercaya-

an, tidak baik kalau menolak. Lagipula sekali ini semua 

teman mendukung Papa untuk jabatan baru itu. Mungkin 

ini tugas Papa yang terakhir sebelum memasuki pensiun." 

Dwita terdiam. Dia merenung memandangi piring 

kosong di depannya. Yang terbayang olehnya saat itu 

adalah Boma. 

Malam itu ketika hendak memasuki kamar masing-

masing, sambil melangkah di samping adiknya Maya 

berkata. "Aku tau, apa yang ada dalam benakmu waktu di 

meja makan. Waktu Papa bilang ada tugas baru di New 

York. Berarti kita ikut boyongan ke sana...." 

"Apa? Apa yang ada di benakku? Sok tau kau May." Ujar 

Dwita Tifani sambil tersenyum. 

"Boma." 

Sehyum Dwita berubah jadi tawa. 

"Iya 'kan?" 

"Anggep aja iya!" sahut Dwita. 

"Boma! Namanya sih keren. Garang. Gimana sih anak-

nya. Aku jadi ingin tau orangnya," kata Maya. 

Dwita melambaikan tangan, mencibir lalu masuk ke 

dalam kamarnya. 

***


12. WELCOME HOME BOMA!


ROMBONGAN anak-anak SMA Nusantara III yang 

menjemput Boma di Rumah Sakit PMI Bogor 

termasuk ayah serta ibu Boma terdiri dari lima 

kendaraan. Boma si sakit yang baru sembuh berada dalam 

mobil urutan kedua Opel Blazer milik ayah Gita. Mobil ini 

tadinya khusus hanya akan ditumpangi oleh tujuh anak ' 

anggota rombongan Proyek "GG" yaitu Boma, Gita Parwati, 

Andi, Firman, Vino, Rio dan Ronny. Tidak boleh campur 

dengan anak-anak lain bahkan orang tua juga tidak. Ter-

nyata ketika Boma dan enam temannya masuk, Trini sudah 

lebih dulu berada di dalam mobil. 

"Hai! Aku boleh dong gabung di sini! Habis kangen sama 

Boma!" kata Trini. 

Mungkin kaget dan tak menduga, mungkin juga kurang 

senang, tak ada yang menyahuti. Ronny Celepuk langsung 

duduk di belakang kemudi. Gita di kursi depan sebelah 

Ronny. Tampangnya yang gendut jelas ditekuk karena 

kesal. Hatinya menggerutu. "Enak aja 'tu kucing garong 

naik mobil gue. Ngomong kek, ijin kek!" 

Untuk menghilangkan suasana yang mendadak jadi 

tidak enak, Vino berkata. "Boleh aja Rin. Asal mau dempet-

dempetan!" 

"Dempet-dempetan! Itu yang dicari!" kata Andi yang 

duduk nyempil di pinggir kiri. Di sebelahnya Boma, lalu


diseling oleh Vino duduk Trini, baru yang lain-lain. Enam 

orang di sebelah belakang memang lumayan sesak. Tapi 

anak-anak itu tidak perduli. Yang penting mobil bisa jalan. 

Ke Jakarta. Boma sudah sembuh! 

"Ron, memangnya kau udah punya SIM?" tanya Boma. 

"Beres Bom, jangan kawatir." 

"Kalau KTP terus terang gue belon punya. Tapi SIM 

udah. Itu hebatnya Ronny Celepuk!" Ronny mengagulkan 

diri. 

"Pasti SIM nembak!" kata Rio. 

"Coba gue liat! Jangan-jangan SIM lu SIM kuda!" `kata 

Vino. 

Tawa pertama meledak dalam Opel Blazer itu. 

"Ude Ron, jalan," kata Gita. Barusan bisa tertawa tapi 

kini kembali cemberut sebel. "Di belakang temen-temen 

udah pada nglakson. Lu nggak dengar apa?" 

"Tenang aja Git," jawab Ronny. Lalu seperti penyiar 

ramalan cuaca anak ini berkata. "Udara cerah tak berawan. 

Suhu sekitar dua puluh tiga derajat selsius. Kecepatan 

angin rata-rata dua puluh kilometer per jam. Kalau gua 

kebut setengah jam pasti sampai di Jakarta!" 

"Betul! Tapi langsung RSCM!" teriak Andi. 

Tawa kedua menggema dalam mobil itu. 

Begitu Opel Blazer keluar dari pintu gerbang Rumah 

Sakit PMI, Ronny mulai menyanyi. Lagunya Kembali Ke 

Jakarta yang biasa dinyanyikan Koes Plus. 

Di sana rumahku, dalam kabut biru 

Hatiku sedih di hari Minggit 

Di sana kasihku, sendiri menunggu 

Di batas waktu yang t'lah tertentu 

Mula-mula suara Ronny sendiri dan perlahan. Lalu Gita 

mulai mengikuti. Terus yang lain-lain tak mau ketinggalan. 

Mobil itu seolah meledak ketika semua anak yang ada di 

dalamnya menyanyikan keras-keras reffrain dari lagu.


Ke Jakarta aku kan kembali 

Walaupun apa yang kan terjadi 

Ke Jakarta aku kan kembali 

Walaupun apa yang kan terjadi 

Selama perjalanan ada satu hal yang ingin ditanyakan 

Boma. Dia tidak melihat Dwita. Dia mau bertanya pada 

Andi yang duduk di samping kirinya. Tapi harus cari 

kesempatan baik karena Trini berada di sebelahnya, hanya 

terpisah oleh Vino yang duduk tepat di samping kanannya. 

Dalam keadaan seperti ini, kebiasaan Boma muncul. Dia 

mulai menowel-nowel hidungnya sendiri. 

Lewat kaca spion di atasnya Ronny kebetulan melihat 

kelakuan Boma. Langsung saja dia berucap. "Bom, sakit 

segitu lama, gue kirain lu udah lupa nowelin hidung." 

Boma cuma mesem dan menowel hidungnya sekali lagi. 

Ketika mobil meluncur melewati pintu keluar toll Cibinong 

baru Boma dapat kesempatan. Dia berbisik pada Andi. 

"Aku nggak ngeliat Dwita. Dia nggak tau aku pulang hari 

ini?" 

"Tau Bom. Dia tau. Katanya mau datang. Mungkin ada 

halangan...." jawab Andi. 

"Halangannya mungkin Trini," bisik Boma lagi. "Karena 

Trini ikut rombongan kalian, dia ngalah. Ngindarin ketemu 

Trini. Aku dengar dari Ronny tadi Dwita marah besar sama 

Trini karena dibohongin pakai tilpon. Bener, yang itu 

memang bener. Tapi soal Dwita nggak datang aku rasa...." 

Boma membenturkan pahanya ke paha Andi ketika 

sudut matanya melihat Trini memperhatikan dirinya dan 

berusaha mencuri dengar apa yang dibicarakannya dengan 

Andi berbisik-bisik. 

*** 

RUMAH kecil di ujung gang yang tadi penuh sesak oleh 

anak-anak SMA Nusantara III kini tenggelam dalam 

kesunyian. Boma masih berdiri di pintu pagar walau teman


temannya sudah lama pulang. Hatinya haru. Persahabatan 

terkadang melebihi dari segala-galanya. 

"Boma, kok masih berdiri di pagar? Ayo masuk. Kau 

masih perlu istirahat..." Ibu Boma memanggil anaknya dari 

ruang tamu. Sementara ayah Boma mulai sibuk dengan 

pekerjaan sablon. 

"Bram kemana, Bu?" tanya Boma begitu masuk ke 

dalam rumah. 

"Kakakmu itu hari ini mengikuti tes dalam rangka 

lamaran kerja. Mungkin sore baru pulang," menerangkan 

ibu Boma. "Kau mau tidur di kamar bawah saja, biar Bram 

yang di atas?" 

"Saya di kamar atas saja Bu. Di atas...." 

"Kau bisa naik tangga sendiri?" 

"Masa sih nggak bisa Bu. Boma 'kan sudah sembuh." 

Nyonya Hesti Sumitro tersenyum mendengar awaban 

anaknya itu. "Sudah, naik sana. Hati-hati. Tidur. Nanti ibu 

buatkan makanan kesenanganmu." 

"Terima kasih Bu," kata Boma. Diciumnya pipi ibunya 

lalu dia naik ke tingkat atas. Begitu masuk kamar matanya 

langsung tertumbuk pada satu karangan bunga mawar 

merah dalam vas kuning, terletak di atas meja kecil dekat 

kepala tempat tidur. Pada plastik pembungkus sehelai 

amplop ditempelkan dengan selotip. Boma mengambil 

amplop itu lalu membukanya. Isinya sehelai kartu, ber-

gambar setangkai bunga mawar ditebari tetesan embun 

segar. Di sebelah dalam kartu tertera serangkaian tulisan. 

Welcome home Boma. 

I miss yoii very much and will 

see you soon. Take care. 

Dwita 

"Dwita, tadi aku memang merasa kecewa. Namun 

melihat bunga ini, aku tahu kau selalu memperhatikan 

diriku." 

Boma duduk di tepi tempat tidur. Dibukanya plastik


pembungkus bunga mawar. Diangkatnya vas kuning dari 

atas meja. Kuntum-kuntum bunga mawar merah didekat-

kannya ke hidungnya lalu dicium. Terasa keharuman yang 

segar memasuki rongga dadanya. 

"Ibu lupa memberi tahu. Bunga itu dari seorang teman-

mu. Namanya Dwita. Malam tadi, dia sendiri yang me-

ngantarkan ke sini." 

Boma memandang ke pintu. Di situ ibunya berdiri. Boma 

merasa, agaknya kedatangan ibunya bukan hanya hendak 

memberitahu perihal bunga mawar dalam vas kuning itu 

saja. Ada sesuatu yang lain. Boma bisa merasakan. Dan 

dia tidak menunggu lama. 

"Boma, ada yang ingin ibu katakan. Sekalian mau di-

tanyakan. Sewaktu ayahmu hendak membayar biaya 

perawatanmu di kantor rumah sakit; pegawai di sana 

memberi tahu, semua biaya sudah dilunasi. Ayahmu ter-

kejut sekali. Padahal sampai kemarin dia masih bingung 

mencari pinjaman untuk membayar biaya rumah sakit. 

Tahu-tahu ketika mau dibayar sudah ada orang yang 

melunasi...." 

"Ayah tidak menanyakan siapa yang membayar?" 

"Ada. Kata pegawai rumah sakit yang membayar 

seorang perempuan. Itu dilakukannya kemarin siang se-

telah minta perincian pembayaran sampai kau keluar." 

"Pegawai itu nggak nyebutin nama?" 

Ibu Boma menggeleng. "Kelihatannya dia tidak mau 

diketahui siapa dirinya." 

"Lucu," kata Boma. Dia berpikir-pikir. "Ayah tidak tanya 

ciri-ciri orang itu?" 

"Saat itu ayahmu mana ada pikiran sejauh itu. Sudah di-

bayarkan orang saja kagetnya bukan main. Tapi juga ber-

syukur senang. Mungkin kau tahu siapa kira-kira yang ber-

budi baik itu?" 

Boma meletakkan vas kuning kembali ke atas meja 

kecil. 

"Boma nggak tau Bu. Nggak bisa menduga," jawab 

Boma. Namun di lubuk hatinya anak ini bicara sendiri.


"Dwita? Dia mampu melakukan. Karena uangnya banyak. 

Tapi masa' sih dia sampai berbuat sebaik itu? Mungkin 

Trini? Rasanya tidak. Tapi siapa tau. Aku harus nyelidikin. 

Saat ini aku cuma bisa berdoa pada Tuhan. Agar orang itu 

dilimpahi rahmat, berkah dan rejeki berlipat ganda atas 

kebaikan budinya." 

Boma berpaling ke pintu. Hendak menanyakan berapa 

besar biaya perawatan dirinya yang telah dibayar orang itu. 

Namun memandang ke pintu ibunya tak ada lagi di situ. 

 

                        TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar