1. PROYEK "GG"
BAN BELAKANG Honda Tiger merah mendenyit keras
begitu rem yang diinjak habis menghentikan motor
di depan rumah di ujung gang. Cowok tinggi ceking
tanpa helm, berkaos oblong yang di dadanya ada tulisan
Hard Rock Café—New York mengusap rambut gondrongnya
dua kali, lalu membuka kaca mata berkaca biru menyala
yang nangkring di atas hidungnya yang mancung bengkok.
Tanpa kaca mata kini kelihatan dua mata besar belok di
bawah naungan sepasang alis tebal macam clurit. Tidak
salah kalau teman-temannya memberi nama tambahan,
membuat dia dikenal dengan nama Ronny Celepuk.
Ronny sentakkan gas motor dua kali berturutturut
hingga menimbulkan gelegar kebisingan di ujung gang.
Seorang kakek tetangga yang lagi terkantuk-kantuk di
bawah pohon sambil asyik menikmati cangklong bututnya
tersentak kaget. Darah tingginya langsung kumat. Dia
bangkit berdiri, julurkan kepala di pagar, turunkan kaca-
mata.
"Kagak heran... Die lagi. Si mata jengkol!" kata si kakek
dengan tampang peot ditekuk. "Hoi! Bangke hidup! Jangan
berisik di kampung orang! Sekali lagi lu genjot 'tu gas, gue
guyur air kencing embun-embunan lu!"
Cowok di atas motor nyengir. Sambil dua tangan
dirapatkan dan diletakkan di atas kepala dia berkata.
"Maapin Be, nggak sengaja!" Dia cepat-cepat memutar
kunci kontak, mematikan mesin motor. Lalu matanya yang
belok memandang ke pintu pagar rumah di depannya. Di
situ berdiri seorang anak lelaki sepantarannya, me-
ngenakan jins lecak yang lutut kanannya robek dan kaos
merah yang tangan kiri kanan digunting habis.
"Bom! Brengsek lu! Jadi orang bener-bener kelewatan!"
Boma, anak yang berdiri di pintu pagar tenang saja
mengusap rambut cepaknya (bahasa keren crew cut). Lalu
berkata. "Ron, turun dulu dari motor. Baru ngomel!"
"Sialan lu!" Turun dari motor Ronny menyampari Boma.
"Dari pagi kamu ditungguin. Nggak taunya masih
nongkrong di rumah! Gila bener!"
"Gila bener apa bener gila?!" ujar Boma sambil
mengulum senyum.
"Bom, urusan jadi nggak karuan kalau kau nggak
datang. Susunan acara, peralatan, teman-teman yang mau
tampil. Semua nggak bisa diatur..."
"Kok aku yang disalain! Dulu-dulu aku sudah bilang
nggak mau ikut-ikutan jadi panitia perpisahan. Lagian
katanya semua udah pada pinter. Ngapain nunggu aku si
Boma Geblek."
Di sekolah Boma Tri Sumitro memang bukan termasuk
anak pintar. Rangkingnya di urutan ke 39 dari 41 murid.
Sikapnya yang seperti malas-malasan serta urakan seenak-
nya membuat dia dipanggil Boma Geblek oleh teman-
temannya. Tapi dalatn soal urus mengurus kegiatan atau
acara kelas, dia paling dicari. Karena kalau Boma yang
menangani semua pasti rebes. Selain itu gayanya yang
enak dalam bergaul, suka humor, sabar dan setia kawan,
membuat Boma disenangi oleh teman-teman satu
sekolahan. Lalu ada satu lagi nilai tambah yang dimiliki
Boma. Wajahnya yang cakep segar baby face serta postur
tubuh setinggi 174 Cm.
Mata belok Ronny bertambah besar. "Memangnya kau
serius Bom nggak mau ikutan dalam panitia perpisahan.
Kau 'kan sudah dipastikan jadi ketua panitia."
"Serius dong! Masa' anak kelas tiga yang perpisahan,
kita anak kelas satu yang naik ke kelas dua yang pada
sibuk!"
"Kok kamu ngomong gitu. Aneh juga nih! Lagian Bom, itu
'kan sudah tradisi SMU Nusanlara Tiga sejak kuda gigit
menyan!" kata Ronny pula.
"Menyan. Itu dulu. Sekarang kudanya sudah pakai
stockings. Yang digigit bukan menyan lagi. Tapi ecstasy.
Jadi mustinya kau ngomong sejak kuda gigit ecstasy," kata
Boma.
Ronny tertawa ditahan.
"Terserah kau mau bilang apa Bom. Pokoknya ini sudah
jadi tradisi!" kata Ronny Celepuk rada-rada kesal.
"Tradisi?!" Boma mengusap rambut cepaknya kembali.
"Memangnya biskacit Roma pakai tradisi segala? Nggak la
yauw!"
Ronny Celepuk tidak tahu mau bicara apa lagi. Lalu dari
kantong celana blu-jinnya anak ini keluarkan sebungkus
rokok. Melihat ini Boma cepat berkata.
"Lu jangan macem-macem Ron. Berani ngerokok di sini.
Bokap gue lagi ada di dalam..." Ronny cemberut. Masukkan
rokoknya kembali ke saku celana sambil mengomel.
"Bokap lu kuno! Merokok aja anti!"
"Lu mau minum?" Boma menawarkan.
"Ala, paling juga air putih. Mending Aqua, paling-paling
air kendi!" Boma tertawa.
"Bom, kayaknya aku tahu kenapa kau nggak mau ikut-
ikutan sibuk di panitia perpisahan..."
"Coba lu tebak."
"Gara-gara cewek baru anak Duta Besar itu!" jawab
Ronny Celepuk. "Iya 'kan?"
"Maksud kamu si Dwita?"
"Siapa lagi? Memangnya ada dua anak baru, ada dua
anak Duta Besar di SMA Nusantara Tiga?"
Boma tertawa. Lalu dengan ujung jari tangan kanannya
dia menowel hidungnya sendiri. Ini kebiasaan Boma yang
tidak pernah hilang sejak dia pertama kali menyaksikan
film kungfu dibintangi almarhum Bruce Lee. Dia begitu
tertarik pada gaya Bruce Lee yang suka menowel-nowel
hidung, terutama pada waktu berkelahi. Sejak itu Boma
menjadikan pendekar kungfu ini sebagai idolanya. Waktu
itu dia masih duduk di kelas dua SMP. Gaya menowel
hidung ini mula-mula cuma ikutan meniru-niru gaya Bruce
Lee. Lama-lama jadi kebiasaan.
"Ajie gombal! Memangnya ada urusan apa aku sama
Dwita? Kok disangkutin sama dia?"
"Ada yang bilang begini. Kau naksir berat sama cewek
baru itu. Tapi Dwita acuh saja. Lalu seminggu lalu Dwita
pulang barengan naik mobil sama Zaldi anak kelas tiga.
Waktu keluar halaman, kau malah diserempet kaca spion
mobilnya Zaldi. Kau dibilang patah hati! Itu 'kan gara-
garanya?"
"Hebat juga 'tu cerita. Siapa yang ngarang Ron? Kau
sendiri ya?! Jatuh cinta aja belon, kok duluan patah hati?!
Ajie busyet!"
"Sudah, bilang aja memang benar kau enggak mud ikut-
ikutan dalam panitia perpisahan gara-gara Dwita, kan?"
"Geblek banget gua!"
"Ya, kau selama ini memang biangnya segala geblek.
Lupa kalau banyak yang manggil kau Boma Geblek?"
"Biarin aja! Enggak rugi dipanggil geblek kalau aku
memang geblek!" Boma tertawa lepas.
"Ada lagi cerita versi lain Bom...." tiba-tiba Ronny
Celepuk berkata.
"Wah! Ini namanya kejutan..."
"Kau, mau dengar?" tanya Ronny.
"Terserah, kau mau cerita apa nggak ya terserah."
"Bom, ada temen-temen bilang sebetulnya kau mau
balas dendam sama Trini. Selama ini Trini selalu jual
mahal. Istilah kerennya suka melecehkan dirimu..."
"Aku nggak merasa dilecehin 'tuh. Lagian kalau di-
lecehin sama bibir, aku ya suka-suka saja la yauw!"
Walau jengkel mendengar ucapan Boma, Ronny Celepuk
meneruskan.
"Kata temen-temen kau sengaja mendekati Dwita, biar
Trini tahu rasa. Tadinya Trini memang sempat shok.
Maklum, ada yang bilang sebetulnya Trini memang ngebet
sejak lama sama cowok geblek macammu! Tapi waktu dia
tahu Dwita nggak ngacuhin kamu, Trini kembali pasang
harga mahal...."
"O… gitu ceritanya. Kayak telenovela aja," kata Boma
sambil senyum dan angguk-anggukkan kepala. "Sudah,
sekarang kita bicara soal lain saja. Proyek GG yang aku
bilang tempo hari sudah pasti jadi..."
"Nah, ini satu lagi Bom!" Belum apa-apa Ronny Celepuk
sudah memotong. "Ada lagi teman yang bilang. Kau
bingung berat gara-gara nggak dapat Dwita, nggak dapat
Trini. Lalu membuat Proyek GG. Mungkin buat ngademin
hati yang lagi ngebet dan panas."
"Ajie busyet!" kata Boma sambil menowel hidungnya.
"Biarin, orang mau ngomong apa kek! Tapi Ron. Proyek GG
ini super rahasia. Kok katamu temen-temen pada tau?"
"Ala, di SMA Nusantara Tiga mana ada sih yang nama-
nya rahasia?" kata Ronny Celepuk. Lalu bertanya. "Siapa
aja yang bakalan ikut?"
"Yang udah pasti ada enam orang. Rasanya aku nggak
mau nambah lagi. Kalau kebanyakan biasanya pada rese,"
jawab Boma.
"Siapa-siapa aja Bom?" Ronny kembali bertanya.
"Rio, Andi, Firman, Vino dan Gita. Enam sama gue. Tujuh
sama kau kalau mau gabung."
"Tadi kau bilang Gita. Gita? Gita Gendut?" ujar Ronny.
"Memangnya ada Gita Ceking di kelas dua?"
"Urusan bisa repot, Bom!"
"Repotnya?" tanya Boma.
"Kalau kejadian apa-apa sama 'tu anak, siapa nyang
mau gendong? Bobotnya aja seratus kilo lebih!" kata
Ronny.
"Kok lu tau bobotnya seratus kilo lebih? Berarti lu udah
pernah ngegendong dia dong..."
"Ajie busyet! Tobat ane, Cing! Ane nyang ringsek!" kata
Ronny sambil nyengir-nyengir.
Boma menggerakkan tangan memberi isyarat pada
temannya. "Ayo ikut ke kamar. Kamu saksikan sendiri
persiapan gua!"
Waktu menuju ke kamar Boma di tingkat atas rumah
panggung kayu, di ruang tengah ayah Boma sedang asyik
membaca surat kabar. Hanya mengenakan singlet dan
sehelai kain sarung. Lelaki ini menurunkan koran yang
dibacanya. Di balik kacamata tebal plus 6 bola matanya
berputar memperhatikan siapa yang bersama anaknya.
Merasa diperhatikan Ronny jadi tidak enak. Cepat dia
mengangguk sambil memberi salam.
"Selamat siang Oom..."
Ayah Boma tidak menjawab. Hanya mulutnya bergerak
sedikit lalu mendehem.
Ketika menaiki tangga ke lantai atas rumah panggung
itu Ronny berbisik. "Bokap lu makin angker aja Bom...."
Belum habis ucapannya tak sengaja kaki Ronny ter-
serandung. Kalau tidak cepat dia memagut pegangan
tangga kayu ditambah bantuan Boma yang mencekal bahu
kaos oblongnya, bukan mustahil anak itu jatuh ke bawah.
Di lantai atas, di dalam kamar Ronny memandang ber-
keliling. Dia melihat berbagai perlengkapan mendaki
gunung memenuhi kamar. Mulai dari tali sampai jaket,
mulai dari tongkat sampai ransel. Juga ada kompas, kotak
obat dan perlengkapan untuk berkemah termasuk sebuah
kompor gas kecil.
"Hebat Bom. Peralatan anak UI saja kayaknya enggak
selengkap ini...."
"Kau lihat ini Ron," kata Boma. Dia melangkah ke meja
belajar di sudut kamar. Dari dalam laci meja dikeluarkan-
nya sebuah handy-talky.
"Hate ini, frekwensinya disamakan dengan frekwensi
radio di pos pengawasan. Jadi soal keamanan nggak usah
disangsikan." Boma bicara penuh bangga.
"Kalau gitu, aku ikut mendaftar Bom."
"Buat lu sih beres aja. Kau jadi komandan bagian
ransurn merangkap juru masak!"
"Sialan! Masakannya aku campur Garam Inggris biar
mencret semua!"
Waktu turun ke bawah, ayah Boma masih duduk di
tempatnya tadi membaca.
"Nak Ronny?" Ayah Boma tiba-tiba menyapa ketika anak
itu melintas di depannya.
"Saya, Oom..."
"Pasti mau ikutan mendaki Proyek GG."
Ronny Celepuk agak kaget. Matanya yang belok melirik
pada Boma. Dalam hati dia berkata. "Kok, bokapnya si
Boma tau-tauan Proyek GG segala? Wah, bener-bener udah
bocor."
Ronny anggukkan kepala pada ayah Boma dan ber-kata.
"Benar Om..." Ronny Celepuk merasa senang. Ternyata
bokapnya si Boma ini ramah juga. Tapi rasa senang itu
serta merta sirna begitu ayah Boma menyambung ucapan-
nya.
"Boro-boro naik gunung, naik tangga saja belum becus!
Ha... ha... ha!"
Ronny Celepuk coba tersenyum walau senyum kecut.
Sampai di luar anak ini berkata pada temannya.
"Bom, bokapmu bukan cuma angker. Ngomongnya juga
antik!"
Tiba-tiba ada orang dan suara di belakang.
"Apa kau kira saya ini sama dengan barang antik di
pasar loak Jalan Surabaya, hah?!"
Sirap darah Ronny Celepuk. Mukanya pucat. Lehernya
terasa kaku waktu menoleh ke belakang. Ronny tahu
matanya besar belok. Tapi saat itu dia melihat dua mata
ayah Boma jauh lebih besar dan lebih belok dari matanya,
memandang tak berkedip ke arahnya.
"Maaf Oom. Saya... saya..." Ronny bingung. Boma cuma
nyengir.
Naik ke atas motor Ronny Celepuk lupa kalau di ujung
gang itu ada tetangga yang tidak suka berisiknya suara
motor. Ronny kedut-kedut putaran gas.
Satu kepala berwajah peot tua, berkacamata nongol dari
balik pagar rumah sebelah.
"Hoi bangke hidup! Mau ngerasain diguyur air kencing
ya?!"
"Be, maap, Be!"
Ronny Celepuk langsung kabur tancap gas.
***
2. DWITA TIFANI
I HARI-HARI libur panjang warung bakso di sudut
timur SMA Nusantara III sepi. Mang Asep, si pemilik
warung ikutan libur, kabarnya pulang kampung
minggu depan. Sekalian nyunatin anak lelakinya paling
besar.
Siang itu hanya satu meja yang terisi. Di sekeliling meja
duduk Boma, Vino, Firman, Andi, Rio dan satu-satunya
cewek, bertubuh hitam gemuk. Itulah Gita.
Boma memegang lengan Vino yang dilingkari arloji.
"Hampir jam sebelas. Si Celepuk masih belon nongol."
Baru selesai Boma berucap tiba-tiba terdengar pekak
deru motor. Sesaat kemudian Ronny Celepuk muncul di
pintu warung.
"Uuhhhhhh!" Enam anak di sekeliling meja meledek.
"Sorry teman-teman," kata Ronny sambil meletakkan
helm di atas meja. "Ada kesalahan prosedur!"
"Ajie Busyet! Keren amat omongan lu! Memangnya ada
apa Ron?" tanya Boma.
"Aku salah mutar! Maksud gue sih baik. Mau lebih cepat
nyampe. Biasa! Kena tilang!" Ronny lalu tertawa lepas.
"Ron, tumben lu pakai helm." Firman nyeletuk.
"Ini yang bikin urusan," sahut Ronny. "Sari-sari nggak
pakai helm nggak ada urusan. Pakai helm malah apes!"
Anak ini garuk rambut gondrongnya lalu bertanya. "Gimana,
semua udah beres? Persiapan oke?"
"Oke!" jawab Rio.
"Ijin oke?"
"Oke!" sahut Firman.
"Yang belum oke, kita perlu tambahan dana. Takut
tekor!" Vino yang bicara.
Ronny menarik kursi, lalu duduk di samping Boma.
"Ada lagi yang kagak oke Bom..."
"Maksud lu?" tanya Boma. Semua mata ditujukan pada
Ronny.
"Bocor!"
"Apa yang bocor?" tanya Rio.
"Ya, apa yang bocor?" ujar Boma. "Ban motor lu atau
pantat lu?!"
Tawa meledak di seputar meja. Ronny tidak ikutan
ketawa. Tampangnya kelihatan serius. Lalu setengah ber-
bisik dia berkata. "Proyek kita Bom. Proyek GG. Bocor!"
"Maksud lu bocor gimana?" Boma jadi tidak sabaran.
"Dwita dan Trini tau rencana kita naik Gunung Gede."
Enam mulut ternganga, enam pasang mata menatap
lekat-lekat pada Ronny Celepuk. "Ajie busye! Gimana bisa
bocor? Siapa yang kasih tau?" tanya Gita.
"Pasti lu yang ngebocorin!" Andi menuduh Ronny.
"Swear!" Ronny Celepuk angkat tangan kanannya, dua
jari membentuk huruf V. "Ada lagi teman-teman. Dua cewek
itu tau kita bakal ngumpul di sini. Mereka mau datang ke
sini. Mau minta ikutan...."
Semua mata diarahkan ke pintu warung, terus ke
halaman parkir sekolah yang luas, terus lagi ke pintu
gerbang di kejauhan sana. Sepi.
"Dari pada acara rusak, gimana kalau kita pindah
rundingan di tempat lain," mengusulkan Vino.
"Betul, ke rumah lu aja 'Di," kata Firman sambil
memandang pada Andi. "Rumahmu 'kan deket dari sini."
"Tenang teman-teman," Boma bicara. "Nggak perlu pergi
ke mana-mana. Kenapa musti takut sama teman sendiri?
Kalaupun Dwita atau Trini datang, kita bilang saja mereka
tidak bisa ikut. Habis. Beres 'kan?"
"Tapi," kata Gita si cewek gendut. "Kalau Dwita atau Trini
mintanya sambil megangin tangan lu, hati lu pasti lumer!"
Boma menowel hidungnya. "Semua teman kita. Tapi kita
bertujuh di sini sudah kompak enggak nambah teman lain
ikutan ke Gunung Gede. Oke?!" Boma ulurkan tangan,
telapak dikembangkan ke atas. Enam telapak kemudian
ditempelkan bersusun. "Okeee!" Enam mulut berseru
serempak.
"Bom, Ronny nggak bohong! Starlet merah. Dwita nongol
benaran!" Tiba-tiba Vino berkata sambil kepalanya diputar
ke arah halaman sekolah. Sebuah Starlet merah meluncur
melewati halaman parkir lalu berhenti tepat di depan pintu
warung Mang Asep. Pintu kanan terbuka. Keluarlah cewek
ramping tinggi semampai, berkulit putih. Rambut hitam
sebahu, agak acak-acakan ditiup angin. Kacamata mungil
menghiasi wajah yang manis. Celana jin ketat, kemeja jin
lengan panjang digulung, dua kancing sebelah atas se-
ngaja dibuka. Inilah Dwita Tifani, kembang baru kelas II
SMA Nusantara III. Anak kedua seorang Duta Besar yang
enam bulan lalu kembali dari tugasnya di luar negeri.
Sambil melangkahkan kaki yang cuma memakai sandal
tebal cewek ini membuka kacamatanya. Sesaat kemudian
dia sudah berada di dalam warung, tersenyum di depan
meja Boma dan kawan-kawan. Bau wanginya parfum me-
menuhi warung yang tadinya rada-rada apek itu.
"Rapatnya serius banget. Boleh ikutan nggak?"
"Nggak, eh boleh!" kata Vino bergurau menjawab per-
tanyaan Dwita.
"Jadi besok kita berangkat?" Dwita berkata, sikap tenang
tapi suara serius.
"Kita? Berarti termasuk dia?" kata-kata itu hanya di-
ucapkan dalam hati saja oleh tujuh anak yang ada di
seputar meja.
Ronny berdiri dari kursinya. "Dwita, duduk. Nggak baek
cewek berdiri aja. Nanti kontet kau! Teman-teman, aku
tinggal dulu ya?"
"Eh, kau mau kemana Ron?" tanya Boma.
"Aku mau kencing dulu." Ini cuma alasan. Ronny ngacir
pergi.
Dwita memandang pada Boma. Matanya bagus bening.
Senyumnya mempesona. "Aku boleh ikut 'kan Bom?"
"Astaga, aku lupa belum bayar pisang gorengnya Bang
Jalil." Ini juga alasan. Gita Gendut berdiri lalu melangkah ke
pintu warung.
Vino mengedipkan matanya pada Firman. Dua anak ini
lalu berdiri. "Aku sama Vino cari majalah Aneka dulu, Bom.
Ada foto anak Oomku dimuat..." kata Firman lalu menarik
tangan Vino.
Sama saja. Alasan yang dibuat-buat.
Tinggal Rio dan Andi.
"Kalian juga mau kencing? Atau bayar pisang goreng?
Atau mau cari majalah?" tanya Boma lalu menowel
hidungnya.
"Mungkin semuanya!" jawab Rio. Lalu dia tendang kaki.
Andi. Dua anak ini keluar dari warung.
Sepasang alis mata Dwita sesaat naik ke atas.
Lalu anak ini tersenyum. "Teman-temanmu itu. Kok...."
"Teman-temanmu juga..." memotong Boma.
Dwita kembali tersenyum. "Mereka kelihatannya sengaja
menghindar. Nggak suka aku ada di sini."
"Hemmmm.... bukan, bukan. Bukan nggak suka. Tapi
kayaknya sengaja memberi kesempatan agar kita bisa
ngomong berdua aja. Habis selama ini nggak pernah
kejadian 'kan? Mereka melihat atau merasa ini satu
kejutan. Orang kaget 'kan nggak boleh ditemanin. Nanti
bisa latah!"
Dwita tertawa lepas dan letakkan kacamatanya di atas
meja. "Aku kan anak baru, Bom. Cuma enam bulan di kelas
satu. Lalu naik kelas dua. Takut dibilang rese' kalau suka
nyelonong sana nyelonong sini. Salah-salah ada teman
yang merasa diinjak kakinya. Benernya sih Dwita ingin
dekat sama kamu..."
"Nanti Zaldi marah, mukanya bisa ditekuk lihat aku,"
kata Boma. Tapi cuma dalam hati.
"Tapi takut nggak enak sama Trini," sambung Dwita.
"Memangnya ada apa sama Trini?" tanya Boma.
"Kabarnya Trini...."
"Udah. Kita ngomong soal lain aja," ujar Boma. "Liburan
panjang nggak ikutan tour, home stay...."
"Ah bosan yang gitu-gituan," jawab Dwita. Entah polos
entah agak menyombong. "Dwita justru mau ikutan kamu
dan teman-teman..."
"Ikutan kemana?" tanya Boma.
Dwita memajukan kepalanya sedikit hingga kemejanya
yang tidak terkancing menyibakkan dadanya sebelah atas.
Boma merasa hidungnya seolah berhenti bernafas.
"Jangan pura-pura. Aku tau. Kalian 'kan mau naik ke
Gunung Gede. Berangkatnya besok...."
"Tau dari mana, dari siapa?" tanya Boma.
"Pokoknya tau aja," jawab Dwita. "Bisa 'kan? Boleh
'kan?"
"Bisa saja, tapi..."
"Wah, gelap deh kalau pakai tapi segala," kata Dwita.
"Bilang aja nggak mau ngajak."
"Bukan gitu. Dalam ijin cuma terdaftar tujuh orang.
Kalau kau ikutan berarti ijin musti diperbaharui. Urusannya
nggak gampang. Lalu kami juga kawatir. Situ 'kan anak
pejabat. Kalau ada apa-apa tanggung jawab kami teman-
teman..."
"Memangnya ada beda anak pejabat sama anak kucing
dalam soal mendaki gunung?" tanya Dwita. "Memangnya
anak pejabat nggak boleh naik gunung?"
Boma melirik nakal ke dada yang masih tersingkap.
Dwita sadar tapi tidak berusaha menutup kemejanya yang
terbuka.
"Gini, Dwita, rencana naik gunung ini bukan cuma satu
kali. Nanti, kali berikutnya kau, siapa saja pasti kami ajak.
Aku janji."
"Gita kok ikut?"
"Dia andalan kami. Dia sebelumnya sudah punya
pengalaman naik gunung. Jadi teman-teman nggak
khawatir."
"Oo gitu..."
"Kakaknya anggota Mapala UI. Gita sudah beberapa kali
diajak mendaki gunung..."
"Oo gitu..." kata Dwita lagi.
"Lain kali. Aku janji."
"Oo gitu..." ulang Dwita lagi seperti menyindir. Lalu
tangannya yang di atas meja meluncur mendekati tangan
Boma. Dan persis seperti yang tadi dikatakan Gita. Dwita
meremaskan jari-jari tangannya ke lengan Boma. Anak
lelaki ini merasa detak jantungnya lebih keras dan aliran
darahnya lebih deras.
Di balik dapur bakso Mang Asep, Ronny Celepuk dan
lima temannya diam-diam mengintip ke dalam warung.
"Apa gua bilang," bisik Gita gendut. "Terbukti 'kan? Dwita
megang tangannya Boma. Pasti lumer hati kawan kita itu!"
"Gile, nggak nyangka. Diem-diem si Dwita agresip juga,"
kata Vino. "Boma tenang-tenang aja kelihatannya. Hatinya
pasti kedat-kedut. Seneng pasti dipegang-pegang..."
"Kalau aku pasti aku balas megang," kata Ronny.
"Lu sih emang celamitan!" sergah Gita.
"Si Boma cuma belagak bodo aja!" menyeletuk Vino.
"Kalau di tempat lain, apa lagi rada-rada gelap, pasti si
Dwita udah disangsot...." Muka Vino mengerenyit begitu
sikut Gita Gendut menyodok rusuknya.
Di dalam warung.
"Ajie busyet.... Lumer nggak nih.... Lumer nggak nih hati
gua!" kata Boma dalam hati. Kembali dia ingat ucapan
Dwita tadi.
"Dwita boleh ikut ya?" Suara Dwita Tifani perlahan
merdu, memohon manja.
Boma pandangi jari-jari halus yang memegang lengan-
nya. Lalu tersenyum. Boma melirik ke arah dapur warung.
Dia ingin balas memegang jari-jari Dwita, tapi tidak dilaku-
kannya. Belum berani. Atau malu ketahuan teman-teman.
"Nah, kau senyum. Tandanya boleh 'kan? Asyikkk." Dwita
usap-usap lengan Boma.
Kepala Boma menggeleng. Mata Dwita mengecil. Kening
mengerenyit.
"Kok?!"
"Aku janji. Kali kedua aku dan teman-teman naik gunung
kau pasti aku ajak. Tapi yang sekali ini.... Harap kau mau
mengerti..."
"Kalau Dwita nggak mau ngerti?"
Wajah Boma tetap tenang. Tetapi dia tak bisa men-
jawab. Dwita tersenyum ketika melihat ada keringat me-
mercik di kening Boma dan lengan cowok yang masih ber-
ada dalam genggamannya itu terasa dingin.
"Bom, mentang-mentang aku anak kelas lain, nggak
satu kelas sama kamu lantas enggak boleh ikutan ya?
Gunung Gede cuma buat anak kelas Dua-Sembilan doang
ya?"
"Bukan begitu. Gimana aku musti nerangin."
"Kalau nggak boleh ikut ya sudah...." kata Dwita pula.
Punggungnya disandarkan ke kursi tapi tangannya masih
memegang lengan Boma.
"Kau marah?" tanya Boma.
"Marah, buat apa? Cuma sedih aja."
"Kok sedih?"
"Iyya..."
"Dwita, kalau teman-teman tidak mau kau ikut, bukan
berarti mereka nggak suka sama kamu. Bukan karena kau
tidak satu kelas dengan kami. Mereka takut kau kenapa-
napa. Mereka tidak mau kalau nanti kau sakit. Berarti
mereka meratiin kamu. Sayang sama kamu..."
"Oo gitu? Terima kasih kalau mereka memang meratiin
aku. Terima kasih berat kalau mereka sayang sama aku.
Tapi kalau Dwita boleh nanya, itu kan teman-teman. Kau
sendiri sayang nggak sama Dwita?"
Tenggorokan Boma bergerak. Setengah tercekik me-
nelan ludah sendiri. Tidak disangka Dwita bertanya se-
berani itu. Atau cuma sekedar bergurau? Muka Boma ber-
ubah merah. Dia coba tersenyum tapi justru wajahnya jadi
tambah merah. Apa lagi Dwita menunggu jawaban sambil
matanya yang bening bagus memandang tidak berkedip
padanya.
"Tenang... tenang Boma. Kau lagi diuji. Kau lagi diuji..."
kata Boma dalam hati coba menenangkan diri. "Otakmu
boleh geblek tapi hatimu musti tabah! Ini tantangan baru.
Ini baru tantangan!"
"Nanti aja kita ketemu dan bicara lagi." Akhirnya Boma
berucap.
"Nggak seneng ya Dwita lama-lama di sini? Takut ada
yang marah?"
Boma menowel hidungnya.
"Hidung ditowel melulu. Lama-lama bisa copot!" kata
Dwita.
Boma hendak menowel lagi tapi urung.
"Oke deh..." Dwita memasukkan tangan kanannya ke
saku blujins. Waktu dikeluarkan ada sehelai amplop dalam
pegangannya. Amplop itu diletakkannya di atas meja.
Melihat pada bentuk dan ketebalan amplop Boma tahu
amplop itu bukan berisi surat. Kalaupun ada suratnya pasti
ada sesuatu yang lain.
"Apa-an ini Dwita?" tanya Boma.
"Apa-apa-an apa?" ujar Dwita.
"Itu..." Boma goyangkan kepala ke arab amplop di atas
meja.
"Tambahan dana."
"Tambahan dana? Tambahan dana apa?"
"Aku tahu, naik Gunung Gede perlu dana lumayan besar.
Hitung-hitung aku ikut nyumbang."
"Jangan Dwita. Semua sudah beres. Termasuk soal
darna..."
Boma hendak mengambil amplop di atas meja. Mau di-
kembalikan pada Dwita. Tapi Dwita cepat memegang
lengannya.
"Bom, kalau kau kembalikan, Dwita marah. Beneran
Bom! Marah berat! Dwita nggak mau kenal lagi sama kau!"
Di belakang dapur Ronny Celepuk mengomel sendiri.
"Ajie busyet! Dasar anak geblek! Kujitak benjut kepalanya
kalau sampai amplop itu dikembaliin!"
"Dwita, aku...."
Kembali ke belakang dapur bakso Mang Asep. Gita yang
pertama sekali melihat. Cewek ini menggamit Ronny lalu
berkata. "Ron, teman-teman. Liat siapa yang datang!"
Enam pasang mata diputar ke arah pintu warung. Di situ
telah berdiri Trini. Rambut dikuncir di atas kepala, baju dari
kaos tanpa lengan, singkat menggantung hingga perutnya
di atas pinggang blujin tersembul memutih.
***
3. TRINI
BOMA agak bingung., Dwita tenang saja. Perlahan-
lahan dilepaskannya pegangannya pada tangan
Boma. Lalu sambil senyum dia berkata. "Aku pergi
Bom. Nanti cerita yang banyak ya..."
Boma menjawab tidak, mengangguk juga tidak. Dia
melirik ke arah Trini sekilas. Saat itu Dwita sudah beranjak,
melangkah ke pintu. Di ambang pintu dua cewek itu saling
pandang. Trini unjukkan wajah ditekuk. Dwita tenang saja.
Malah menegur. "Rin, aku duluan ya."
Trini tidak menyahut. Kepalanya tidak menoleh tapi
matanya seperti mau diputar ke belakang memperhatikan
Dwita. Lalu Trini Melangkah memasuki warung, duduk di
kursi di depan meja Boma. Setelah menatap wajah Boma,
Trini bertanya.
"Ngapain 'tu cewek datang ke sini?"
"Ngobrol..."
"Ngobrol? Di warung segede ini cuma kalian berdua?
Ngobrol? Kok pakai pegang-pegangan segala?"
"Dia yang megang, bukan aku," jawab Boma. Sesaat dia
masih bingung, kemudian sambil menyandarkan pung-
gung ke kursi dia mulai bersikap tenang.
Trini tersenyum. "Pasti dia pengen ikutan."
"Ikutan apa?" tanya Boma.
"Ala, berlaga nanya lagi. Memangnya aku nggak tau. Kau
dan teman-teman 'kan punya proyek yang namanya GG.
Gunung Gede."
"Kok tau?" tanya Boma.
Trini tidak menjawab. Malah balik bertanya.
"Dikasih?"
"Kok kamu mendadak sibuk sih, Rin? Biasa-biasanya
acuh aja sama aku, sama teman-teman."
Trini menguncupkan bibirnya. Dua matanya memper-
hatikan amplop di atas meja.
"Apaan 'tuh?"
"Amplop," jawab Boma.
"Ya amir. Aku nggak buta Bom! Jelas itu amplop! Yang
aku mau tau isinya apa? Surat, batu, pasir?!"
"Tau, liat aja sendiri!" Boma mulai kesal. Dia yakin Trini
tidak mau mengambil amplop itu. Apa lagi melihat isinya.
Keyakinan Boma meleset.
Tangan kanan Trini bergerak. Diambilnya amplop di atas
meja. Enak saja dirobeknya salah satu sisi pendek, lalu
mengintip isinya. Tidak ada surat, batu atau pasir. Yang ter-
lihat adalah setumpuk lembaran uang puluhan ribu. Masih
baru-baru. Sekilas bisa diduga paling tidak jumlahnya
sekitar dua ratus ribu.
"Wauw! Banyak amir!" kata Trini.
"Si Trini itu nggak tau etiket! Surat orang enak aja di-
buka!" Gita Gendut mengomel di tempat pengintipan di
dalam dapur.
"Soalnya si Boma ngebiarin aja! Sok sabar! Si Trini jadi
lancang. Songong!" kata Rio kesal.
"Sekarang tanggal berapa ya?" Trini bertanya pada
Boma.
"Tau, memangnya kenapa?" Boma balik bertanya, heran.
"Nggak, aku kira akhir bulan. Kau baru terima gajian dari
puteri Duta Besar itu."
"Ah, kau becanda aja Rin." kata Boma mulai gerah. Lalu
menowel hidungnya.
"Duit buat apa-an?" tanya Trini.
"Dia nyumbang. Buat temen-temen yang mau naik ke
Gunung Gede..."
"Nggak heran. Anak orang kaya. Duit segitu sih nggak
ada artinya. Lalu imbalannya kau dapat apa Bom?" tanya
Trini.
"Nggak dapat apa-apa. Lagian siapa yang minta
imbalan?"
"Cuma bisa ngelus tangan doang?"
"Aku enggak ngelus. Dia yang ngelus," jawab Boma
Trini tertawa.
"Uh, ketawanya kayak kuntil anak kebelet beo!!" bisik
Vino di belakang dapur. Membuat teman-temannya cepat
menekap mulut menahan tawa.
"Pasti kau mengajak dia ikut naik ke Gunung Gede."
"Dia memang minta tapi aku dan teman-teman tidak
mau..." Boma menyahuti ucapan Trini.
"Cewek secakep itu ditolak ikut? Sungguh satu tragedi.
Aku nggak percaya. Cewek anak Duta Besar. Pasti pandai
diplomasi. Pasti kau nggak bisa nolak permintaannya."
"Rin, kau ini lama-lama aku rasa seperti serse nanyain
tangkapan..." Kekesalan Boma mulai keluar.
"Bisa saja begitu. Percuma bokapku polisi." Jawab Trini.
Ayah Trini memang seorang perwira menengah di Polda.
"Maksudku, kau perlu-perlunya datang, tanya ini itu.
Padahal selama ini..." Boma tidak meneruskan ucapannya.
"Padahal selama ini kenapa?" tanya Trini.
"Kita satu kelas dari kelas satu. Lalu sama naik kelas
dua. Juga bakalan di kelas yang sama. Selama ini aku ber-
usaha berteman dekat sama kamu. Tapi kamu selalu acuh.
Janganin mau pulang bareng, pinjam buku atau nanya
sesuatu saja kau rasanya seperti bukan teman satu
sekolahan. Kalau berteman kau milih-milih. Lalu waktu
Dwita masuk enam bulan lalu, aku lihat kau banyak ber-
ubah. Puncak perubahan adalah saat ini. Dengan segala
keanehannya..."
"Aku rasa aku enggak berubah, enggak ada yang aneh.
Coba lihat wajahku. Lihat tubuhku..." Trini bangkit berdiri.
Dua tangannya dinaikkan ke atas hingga pangkal ketiaknya
terlihat putih menantang. Lalu dia memutar badannya
seratus delapan puluh derajat. "Kau liat Bom, apa yang ber
ubah pada diriku? Coba bilang?"
Di dapur Gita menyikut Vino sambil berbisik. "Liat, lagak-
nya si Trini gombal. Kayak peragawati aja."
"Potongan sih ada, jaitan yang nggak pas," jawab Vino.
Boma tertawa, menowel hidungnya lalu bertanya.
"Benarnya, terus-terang ada apa sih kau datang ke sini
Rin?"
"Nah, gitu dong! Basa-basi dikit!" kata Trini sambil
senyum. Lalu dia duduk kembali. "Terus terang, terang
terus, aku mau ikutan."
"Ke Gunung Gede?"
"Memangnya kau dan teman-teman mau ke Gunung
Sindur?"
Boma tertawa kalem.
"Tadi Dwita juga minta ikut. Aku dan teman-teman
menolak..."
"Di sini aku lihat cuma kau sendirian. Memang aku lihat
ada motor si Celepuk di luar. Tapi orangnya tau dimana.
Kau menolak Dwita, sebodo teuing! Apa kau juga menolak
aku Bom?"
"Sama saja Rin. Kami sudah sepakat untuk tidak me-
nambah anggota baru. Dwita bisa mengerti..."
"Jangan samain aku dengan Dwita dong Bom. Dia
memang anak Duta Besar. Anak orang kaya. Tapi terus-
terang dia masih belum bisa masuk level kita-kita..."
Di dapur Gita Gendut pencongkan mulut dan hidungnya
lalu mencolek Ronny Celepuk. "Keren banget tu cewek.
Ngomong soal level segala. Uhh.... Ron, lu level berapa sih?
Level one, two, three...?"
"Gua sih Level three in one!" Vino yang menyahuti.
"Rin," kata Boma pada Trini, "Aku janji, nanti kalau aku
dan teman-teman naik gunung lagi, kau pasti kami bawa."
Trini tertawa.
"Kok, ketawa?" tanya Boma.
"Aku jadi ingat nyanyian tempo dulu. Tinggi gunung
Seribu Janji. Lain di mulut lain di jidat."
Boma menowel hidungnya.
"Kalau Boma yang janji pasti nggak pernah ngawur,
deh."
"Oo... begitu?" ujar Trini. "Gita kok diajak?"
"Dia punya pengalaman. Pernah ikut tim Mapala UI."
"Oo, bukan karena dia gemuk. Jadi enggak perlu pakai
kasur."
"Sialan! 'Tu cewek bacotnya kok jadi kurang ajar begitu.
Minta gue tampar apa?!" Di dapur Gita mengomel marah.
Dia hendak melangkah keluar dari balik dinding dapur.
Tapi Firman cepat memegang bajunya. "Sabar 'Dut,
orang sabar cepet singset. Lu mau kurus 'kan?"
"Ah, lu juga brengsek!" sungut Gita. Matanya mendelik,
diarahkan pada Trini. Mulutnya mengomel. "Cewek, biar
cakep kalau mulut usil pasti nggak ada cowok yang demen
liat! Kapan-kapan gue kerjain 'tu anak! Belon tau Gita
Gendut ya...!"
Boma menyengir mendengar ucapan Trini tadi.
"Bom, gini aja. Nggak boleh ikut nggak apaapa..Tapi
sekarang anterin aku pulang..."
Di belakang dapur Vino berbisik pada teman-teman-nya.
"Kok si Trini jadi kolok. Dulu Boma sampai nguber-nguber.
Boroboro dilirik sebelah mata, sebelah ketek juga nggak.
Malah Boma sering-sering dikerjain..."
"Sekarang lain," jawab Andi. "Trini punya saingan sejak
enam bulan lalu. Kawatir Boma lolos ke tangan Dwita, kini
dia ganti yang ngejar. Ini namanya semacam politik
dumping!"
"Mending kalau dumping," Vino menyahuti. "Jangan-
jangan politik kuda lumping. Jalan baru satu langkah, tapi
goyang udah lima kali...." Lima mulut sama ditekap
menahan tawa mendengar kata-kata Vino itu.
Boma bingung. Mau ngantar Trini apa tidak. Kalau di-
antar kelanjutan hubungannya dengan Trini bisa mulus.
"Mungkin cewek ini udah tobat ngerjain aku..." pikir Boma.
Saat itulah dari balik papan tripleks di sudut dapur Boma
melihat ada enam tinju dikepal ke udara. Boma terpana.
Coba mengartikan apa maksud enam kepalan teman
temannya itu. Dia maklum, kira-kira begini artinya: "Awas lu
kalau mau-mauan nganterin Trini!"
Trini memperhatikan mata Boma. Anak lelaki ini tidak
memandang kepadanya, tapi melihat sesuatu di belakang
sana. Trini menoleh. Enam tinju serta merta lenyap dari
belakang papan tripleks. Tapi sekilas mata Trini sempat
melihat bayangan enam tangan itu. Anak ini segera saja
berdiri dari kursi.
"Celaka, ketahuan!" kata Boma dalam hati. "Rin, duduk
dulu," Boma coba mencegah, jangan sampai Trini menyeli-
dik ke dapur.
Tapi cepat sekali Trini sudah nyelonong ke dapur. Di
dalam dapur, di lantai di balik papan triplek enam anak
duduk bertumpuk berdempetan. Mata sama-sama mem-
besar memandang pada anak perempuan yang berdiri di
depan mereka.
Trini menyeringai. Sambil bertolak pinggang berkata.
"Hemm.... Jadi kalian ngumpet di sini rupanya. Kayak tikus
aja. Nanti aku bilang sama Mang Asep supaya nebarin
racun tikus!"
"Kalau kami tikus, kau kucingnya!" kata Firman tapi
sambil nyengir.
"Kucing garong!" menyambung Gita gendut.
Trini keluarkan suara mendengus dari hidungnya lalu
cepat-cepat beranjak dari dalam dapur, terus keluar dari
dalam warung. Boma bangkit berdiri dari kursinya,
menyusul.
"Gile si ajie busyet itu!" kata Firman tidak tenang. "Mau
juga dia nganterin Trini..."
Selagi Boma dan Trini melangkah menuju pintu gerbang
sekolah, tiba-tiba terdengar suara Vino.
"Teman-teman, liat di atas meja!"
"Amplop dari Dwita ketinggalan! Geblek amat si Boma
itu! Amplop berisi uang ditinggalin begitu aja!"
Ronny, Firman, Rio dan Andi berserabutan melompat
masuk ke dalam warung. Ronny lebih dulu menyambar dan
mengamankan amplop tebal itu.
"Awas! Ada yang berani nilep gue jitak!" Tiba-tiba Boma
muncul di pintu warung.
"Ngeliat aja belon sempet Bom! Apa lagi mau nilep!" kata
Ronny lalu melemparkan amplop berisi uang itu ke arah
Boma.
"Bom, kau nggak jadi nganterin kucing garong itu?" Gita
tiba-tiba bersuara.
Boma menggeleng. Ternyata tadi dia cuma mengantar
Trini sampai di depan pintu gerbang sekolah.
***
4. API DI GUNUNG GEDE
ARI KAMIS jam 10.00 pagi. Setengah jam per-
jalanan naik ojek dari Warungkondang rombong-an
sampai di satu Pos Pengawas. Petugas jaga seorang
lelaki berusia lebih 50 tahun memeriksa surat-surat serta
perlengkapan yang dibawa rombongan anak-anak SMA Nu-
santara III. Boma mengetes berkomunikasi antara HT yang
dibawanya dengan pesawat radio yang ada di pos. Se-
belum diizinkan berangkat petugas ini memberi peng-
arahan.
"Anak-anak, nama Bapak Tatang Suryadilaga." petugas
Pos Pengawasan memperkenalkan diri. "Bapak sudah tiga
puluh tahun lebih bertugas di sini. Melihat perlengkapan
yang kalian bawa, Bapak tidak merasa kawatir. Apalagi
anak ini, siapa namanya...?" Petugas itu memandang pada
satu-satunya cewek dalam rombongan.
"Saya Gita, Pak."
"Apa lagi Gita sudah punya pengalaman mendaki
gunung. Malah katanya dua tahun lalu pernah naik ke
puncak Gunung Gede, tapi dari arah sebelah utara. Nah,
walau semua tampak rapi, dan kalian merasa tidak perlu
adanya bantuan pemandu, tapi Bapak tetap perlu mem-
berikan beberapa pengarahan. Pertama ikuti jalan setapak
yang sudah ada. Waktu pulang supaya nggak nyasar,
tempuh jalan yang sama. Kedua selalu berada dalam satu
barisan, jangan saling terpisah terlalu jauh satu sama lain.
Sebaiknya pergunakan tali. Di tengah jalan jangan merusak
lingkungan. Dilarang mencabut tanaman, menggali lobang,
membunuh binatang dan sebagainya. Selanjutnya selama
perjalanan jangan kencing, apa lagi buang hajat besar
sembarangan...."
"Pak Tatang," Boma menyorong. "Katanya kalau kencing-
nya dibalik pasti aman, nggak kejadian apa-apa."
"Maksudnya dibalik bagaimana?" tanya Pak Tatang
sementara teman-teman Boma juga tidak mengerti.
"Maksudnya begini. Cewek kalau kencing kan jongkok.
Kalau cowok pasti berdiri. Nah kalau dibalik si cewek
kencing berdiri lalu cowoknya kencing jongkok pasti nggak
dimarain makhluk, penjaga gunung. Pasti nggak ke-
sambet!"
"Konyol lu!" damprat Gita. "Lu aja coba duluan kencing
jongkok, gua mau liat! Bisa nggak?! Rese' amat sih!"
"Dasar Boma Geblek!" ikut mengumpat Firman.
Yang lain-lain juga menggerutu.
"Si Boma bukan kencing jongkok, tapi aikiunya udah
jongkok dari dulu alias geblek!" kata Ronny Celepuk. Boma
cuma menyengir.
Pak Tatang meneruskan pengarahannya yang tadi ter-
potong. "Dalam perjalanan jangan sekali-kali bicara yang
bukan-bukan, jangan bicara jorok, atau teriak-teriak nggak
karuan, nanti benar-benar bisa tak karuan, kemasukan.
Juga jangan sampai berbuat yang bukan-bukan..." Pak
Tatang Suradilaga tersenyum sambil melirik pada Gita.
Maklum arti lirikan itu cewek gendut ini lantas saja
membuka mulut. "Dalam rombongan memang saya satu-
satunya cewek Pak. Tapi siapa sih yang mau nyoba-nyoba
jahil sama saya? Sekali saya dudukin pasti mejret!"
"Duh soknya!" kata Vino sambil memegang kepala Gita.
Pak Tatang tertawa. Lalu meneruskan.
"Gunung Gede merupakan gunung dengan lingkungan
paling ramah di Jawa Barat. Tapi salah-salah bisa berubah
jadi angker. Itu semua tergantung pada disiplin kalian para
pendaki. Berada di kawasan Gunung Gede sekali-kali
jangan takabur. Cuaca sewaktu-waktu bisa berubah tidak
terduga. Hari ini hari Kamis. Berarti nanti malam, malam
pertama kalian di atas gunung adalah malam Jum'at...."
Petugas pos pengawasan itu hentikan kata-katanya, me-
mandangi wajah tujuh orang anak itu satu persatu.
Setelah sadar kalau malam nanti adalah malam Jum'at
Boma dan kawan-kawannya jadi terdiam.
"Lho, kalian kok semua kelihatan ketakutan! Malam
Jum'at dan malam-malam lainnya sama saja, nggak ada
beda. Yang penting ikuti semua petunjuk saya. Kalian
kembali hari apa?" Pak Tatang meneliti kembali surat peng-
antar dan izin pendakian yang ada di mejanya.
"Paling lambat Minggu sore Pak," jawab Boma.
"Yang jadi pimpinan...?"
"Saya Pak," kata Boma.
"Siapa namanya? Oo ini," Pak Tatang memperhatikan
kembali surat di atas meja. "Boma Tri Sumitro. Nama
hebat. Anak ini apa putranya Pak Sumitro mantan Jenderal
atau Pak Sumitro pakar ekonomi yang terkenal itu..."
Yang menjawab Ronny. "Gini Pak, ayah teman saya ini
namanya memang Sumitro, Pak. Cuman bukan Sumitro
Jenderal atau Sumitro ahli ekonomi itu. Tapi Sumitro
tukang sablon!"
"Dasar celepuk! Brengsek lu!" maki Boma. Kakinya ber-
gerak menendang ke arah tulang kering Ronny. Untung
Ronny Celepuk cepat menjauhkan kakinya. Kalau tidak
lumayan sakitnya kena tendang.
Pak Tatang tertawa lebar. Teman-teman Boma yang lain
mesem-mesem menahan geli.
Sejak pensiun sebagai Pegawai Negeri Departemen
Penerangan, Sumitro Danurejo, ayah Boma memang mem-
buka usaha sablon di rumahnya.
"Satu lagi perlu saya beritahu," Pak Tatang. "Menurut
laporan stasiun pengawas cuaca, kemungkinan besar men-
jelang sore nanti akan turun hujan. Jadi sebelum malam
sebaiknya kalian mencari tempat yang baik untuk mem-
buat kemah. Kalau kehujanan di tengah jalan, usahakan
untuk berhenti. Pergunakan tali agar tidak terpisah." Pak
Tatang memandang pada Boma.
"Usahakan kontak tiga jam sekali lewat radio."
"Baik Pak."
"Pak, di Gunung Gede ada binatang buasnya nggak?"
bertanya Firman.
"Ah, lu nanya yang kagak-kagak Fir!" kata Boma. "Bikin si
Gita jadi pengen kencing aja!"
Gita langsung menggebuk bahu Boma.
"Misalnya binatang buas apa?" Pak Tatang bertanya.
"Misalnya macan..."
Pak Tatang menggeleng. "Mungkin, mungkin ada macan
atau harimau. Tapi sejauh ini belum pernah me-
nampakkan diri atau mengganggu para pendaki..."
"Kalaupun ada macan, kita-kita ini rasanya bakalan
aman. Yang diincer pasti Gita yang dagingnya banyak.
Empuk, masih perawan lagi..." kata Vino membuat semua
temannya dan Pak Tatang tertawa sedang Gita unjukkan
tampang cemberut sambil tangannya nyelonong mau men-
jewer kuping Vino. Vino cepat selamatkan diri dengan me-
rundukkan kepala lalu menekap kuping.
"Saya sudah memeriksa ransel kalian satu persatu.
Tidak ada obat terlarang. Tapi mungkin, siapa tahu kalian
membawanya sembunyi-sembunyi. Diumpetin...?"
"Boleh geledah Pak!" jawab Vino. "Gita duluan Pak!"
"Ah lu lagi! Brengsek lu!" Gita cemberut.
"Maaf Pak, saya memang bawa obat Pak," Ronny
Celepuk tiba-tiba berkata. Wajahnya serius. Gayanya
seperti orang bersalah. Boma dan teman, temannya yang
lain jadi terkejut.
"Gila, sejak kapan anak itu suka nenggak obat. Kok
ngakunya baru sekarang-sekarang kacau urusan!" Gita
berkata sambil memandang pada Boma lalu kembali per-
hatikan Ronny. Pak Tatang jadi ikutan serius.
Saat itu terdengar Ronny menyambung ucapannya. "Tapi
bukan obat terlarang Pak. Cuma menyan!"
"Geblek!" maki Gita.
"Sontoloyo!" gerutu Rio.
"Ajie gombal lu!" sungut Andi.
Pak Tatang masih bisa tertawa lega walau agak
pencong.
"Pak Tatang," kata Gita. "Sebelum pergi kita berdoa dulu.
Biar selamet semua..."
"Itu bagus. Memang dalam segala hal selain usaha kita
sendiri jangan lupa mengingat dan minta pertolongan pada
Tuhan. Anak-anak, mari kita berdoa sesuai agama masing-
masing.
Selesai berdoa Boma dan kawan-kawannya menyalami
Pak Tatang lalu meninggalkan Pos Pengawasan. Rombong-
an bergerak ke arah barat laut, menuju kaki gunung ter-
dekat.
***
HARI MINGGU, larut malam. Pak Tatang petugas Pos
Pengawas duduk gelisah di kursi reyot dalam kantornya.
Menurut Boma, yang jadi pimpinan rombongan pendaki
gunung yang berangkat hari Kamis lalu, dia dan kawan-
kawan akan kembali paling lambat sore hari Minggu itu.
Sekarang sudah tengah malam. Boma dan kawan-kawan-
nya belum turun.
Sebenarnya ada beberapa hal yang membuat Pak
Tatang merasa gelisah.
Pada hari Sabtu siang ada kontak lewat radio dari
rombongan pendaki gunung SMA Nusantara III. Ini terjadi
pada jam 13.20. Menurut Boma mereka bersiap-siap turun
dari puncak Gunung Gede. Sesuai petunjuk Pak Tatang
rombongan akan menempuh jalan yang sama waktu naik
sebelumnya. Tapi di satu tempat gerak turun rombongan
terhalang oleh hujan sangat lebat.
Sepanjang sore dan malam hari Pak Tatang berusaha
mengadakan kontak lewat radio. Tak ada jawaban dari
Boma atau anggota rombongan anak-anak SMA Nusantara
III.
Hari Senin sebenarnya Pak Tatang tidak giliran jaga.
Yang bertugas di Pos Pengawasan adalah wakilnya, se-
orang anak muda bernama Sambas. Tapi pagi-pagi sekali
Pak Tatang sudah nongol.
"Lho, kok datang Pak?" tanya Sambas.
"Tadi malam saya tidak bisa tidur. Saya kawatir.
Rombongan anak-anak SMA Nusantara Tiga itu. Apa dik
Sambas sudah coba mengontak?"
"Sudah tiga kali Pak. Tak ada jawaban..."
"Coba sekali lagi. Saya mau dengar."
Sambas mengambil mikropon radio komunikasi.
"Nusantara Tiga, Nusantara Tiga. Silahkan masuk. Di sini
Pos Satu. Pos Satu memanggil..."
Diam. Di radio hanya ada suara kresek-kresek.
"Nusantara Tiga, masuk. Nusantara Tiga masuk. Pos
Satu memanggil..." Sambas mengulangi panggilan lalu
meletakkan mikropon ke sangkutannya. "Kita tunggu saja
Pak. Mereka mungkin dalam perjalanan. Mungkin baterai
hate yang mereka bawa sudah soak. Mudah-mudahan
tidak terjadi apa-apa. Kita tunggu saja Pak."
"Ya, memang begitu harapan saya. Tapi terus terang
saya ini, entah mengapa kok merasa kawatir. Sore kemarin
di gunung turun hujan lebat. Sampai malam. Komunikasi
putus. Tadi malam saya mimpi tidak enak..."
"Bapak mimpi apa?" tanya Sambas.
"Saya mimpi melihat api di puncak Gunung Gede."
"Api di puncak Gunung Gede?" Sambas ingat sesuatu.
"Dik Sambas ingat cerita saya tempo hari?"
"Ya... ya, saya ingat Pak."
"Tiga tahun lalu, suatu malam saya mimpi melihat api di
puncak Gunung Gede. Beberapa hari kemudian diketahui
rombongan mahasiswa dari Bandung yang mendaki
Gunung Gede mengalaini musibah. Dari enam orang yang
naik, lima meninggal dunia. Lalu setahun kemudian saya
mimpi yang sama. Menyusul kabar empat orang anak STM
dari Bogor tewas, mayatnya ditemul sudah kaku di salah
satu lereng. Malam tadi saya mimpi lagi. Melihat api di
puncak Gunung Gede... Saya kawatir kalau-kalau musibah
yang sama akan terulang lagi..."
"Kita mohon saja pada Yang Kuasa Pak. Semoga Tuhan
melindungi anak-anak SMA Nusantara Tiga itu," kata
Sambas pula.
Tatang Suryadilaga terdiam, merenung sejenak. Sesaat
kemudian dia berkata. "Dik Sambas, saya pulang dulu.
Saya sama Ibu ada urusan ke Sukabumi. Nanti sore saya
kembali ke sini. Kalau ada berita penting supaya mem-
beritahu ke rumah. Kalau saya belum kembali tinggalkan
pesan."
"Baik Pak," jawab Sambas.
***
5. MIMPI BURUK
DWITA TIFANI melangkah sepanjang halaman sepi di
sisi kanan Pondok Indah Mall. Malam terasa dingin,
terlebih ketika angin bertiup. Lalu hujan mulai turun
rintik-rintik.
"Heran, kok sepi amat. Pada ke mana orangorang. Masa
sih takut sama hujan gerimis?" Dwita bertanya sendiri. Di-
rapikannya kerah kemeja blujinnya. Dibetulkan-nya letak
tali tas yang tersangkut di bahu kiri. Lalu anak ini me-
langkah menuju halaman parkir.
"Mati lampu? Kok gelap...?" Dwita seolah baru sadar
kalau keadaan sekelilingnya gelap. Hanya ada satu lampu
menyala di kejauhan di halaman parkir sebesar itu. "Ah,
kok aku jadi takut. Brengsek!" Dwita melanjutkan langkah.
Di depannya ada sebuah tempat sampah besar terbuat
dari besi, berbentuk empat persegi dengan ketinggian
hampir sepundak.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara anjing melolong.
Dwita hentikan langkah di depan tempat sampah besi. Dia
memandang berkeliling. "Ada anjing melolong. Tapi anjing-
nya nggak kelihatan...."
Dwita memandang berkeliling sekali lagi.
Sunyi, dingin dan gelap. Walau gelap dia masih bisa me-
lihat mobil Starlet merahnya di kejauhan sana.
Dwita Tifani menggerakkan kaki melanjutkan langkah.
Tiba-tiba dari balik tempat sampah besi melompat sese-
orang. Dwita terkejut, hampir terpekik. Dikiranya rampok
atau orang jahat. Kejutnya agak mengendur ketika dia
mengenali siapa adanya orang di hadapannya. Tapi men-
dadak dadanya berdebar ketika melihat orang itu berdiri
sambil mengacungkan sebilah belati besar, berkilat ter-
kena cahaya lampu di kejauhan. Dan mata itu. Mata itu
merah sekali, begitu ganas mengerikan! Di sudut bibirnya
ada lelehan cairan merah. Darah?
"Trini...." ujar Dwita.
"Bagus, kau mengenali aku. Aku memang Trini. Trini
Damayanti..."
"Ngapain kau disini...?" Dwita bertanya.
"Ngapain aku disini?" Trini tertawa panjang. "Kau lihat
pisau ini? Kau lihat?"
"Trini, kau punya maksud apa? Pisau itu! Kau membawa
pisau segala! Untuk apa?!"
"Untuk apa?!" Trini kembali tertawa. Lelehan cairan
merah semakin panjang turun ke dagunya. "Kau anak baru
di SMA Nusantara Tiga.... Berani-beranian mau merampas
Boma dari tanganku hah?!" Pisau di tangan Trini menusuk
ke depan, menembus udara.
Dwita terpekik, cepat melangkah surut.
"Bilang! Ngaku! Kau mau merampas Boma dari tangan-
ku!'
"Tidak.... Siapa bilang aku merampas Boma." jawab
Dwita.
Trini bergerak. Dwita mundur lagi. Punggungnya mem-
bentur tempat sampah dari besi. Dia tidak bisa mundur.
Trini mendekat. Jarak mereka kini hanya terpisah tiga
langkah.
"Bohong! Dusta! Penipu busuk! Aku tau kau memang
mau merampas Boma! Kau malah nyogok dengan uang.
Sekarang uang, nanti apa? Mungkin tubuhmu! Cih!" Trini
membuang ludah. Ludahnya tampak merah. "Memalukan!
Cewek rakus! Aku akan membunuhmu! Lihat pisau ini!
Akan kucabik-cabik tubuhmu!"
"Trini! Kau waras nggak! Kau... kau habis minum obat
ya?!"
"Apa?! Aku minum obat katamu?!" Trini membentak lalu
tertawa panjang. "Estacy?!" Trini tertawa lagi. "Aku memang
minum obat! Tapi bukan obat bius! Obat yang aku tenggak
namanya obat kebencian! Obat dendam! Benci, dendam
sama kau! Aku mau minum darahmu!"
Trini melompat ke depan. Pisau di tangan kanannya ber-
kelebat. Menderu dingin mengerikan. Dwita angkat tasnya,
melindungi wajahnya yang hendak dibabat. Tapi tumit
sepatu sebelah kirinya terpeleset. Tubuhnya goyah. Tasnya
terjatuh. Dirinya tidak terlindung lagi.
"Craasss!"
Belati besar menancap di leher Dwita. Darah muncrat
dari mulut anak perempuan itu. Seperti orang kerasukan
setan Trini tertawa panjang. Belati berdarah di tangan
kanannya diangkat tinggi-tinggi. Dwita kembali menjerit.
***
TUBUH Dwita digoncang keras.
"Dwita! Bangun! Dwita!"
Tubuh terbungkus daster tipis pendek itu menggeliat.
Lalu seperti disentakkan Dwita bangkit, terouduk di kepala
tempat tidur. Matanya membeliak. Wajah keringatan. Dia
hendak menjerit lagi tapi tak ada suara yang keluar. Satu
tangan menutup mulutnya dengan cepat. Suara gerungan
tersendat di tenggorokan. Dwita lalu memeluk sosok Maya,
kakak perempuannya yang duduk di samping tempat tidur.
Memegangi kedua bahunya.
Pintu kamar terbuka. Nyonya Tia Sujatmiko—ibu Dwita—
langsung bertanya."Ada apa Maya? Kenapa Dwita?"
"Mimpi Ma, Dwita pasti mimpi," jawab Maya, sambil
mengusap keringat di kening adiknya. "Ma, jaga dulu. Saya
mau ambil air putih."
Nyonya Tia duduk di tepi tempat tidur. Ditekapkannya
dua tangannya di wajah anaknya.
"Kau pasti mimpi yang tidak enak. Berbaring dulu, biar
lebih tenang..."
"Saya memang mimpi jelek Ma," kata Dwita.
"Mimpi apa? Kau mau menceritakan pada Mama?"
"Ah, sudahlah. Cuma mimpi. Nggak apa-apa."
"Itulah, Mama 'kan sering bilang. Kalau tidur jangan
keliwat malam. Kau tau sekarang sudah jam berapa?
Hampir jam sebelas siang..."
"Masa' sih Ma?"
"Kok nggak percaya..." Sang ibu mengambil beker di
meja kecil di samping tempat tidur lalu memperlihatkannya
pada Dwita. Dwita tersenyum Nyonya Jatmiko agak lega
melihat senyum puterinya itu.
Maya masuk membawa segelas air putih. Nyonya
Jatmiko berdiri. "Maya, Mama mau menilpon Papamu...."
"Masa cuma anak mimpi aja mau dikasih tau Papa
segala?" ujar Maya.
"Eh, siapa yang mau ngasih tau soal mimpi? Mama
nilpon Papa, mau tanya apa Pak Sundoro, Dubes teman
Papamu itu jadi datang ke sini. Mama 'kan harus me-
nyiapkan makan siang. Hari ini Mama sengaja memasak
tongkol kuah tauco kesenangan Pak Sundoro. Dwita, habis
minum lekas mandi. Biar segar."
"Iya Ma..." jawab Dwifa.
Setelah ibunya keluar Maya bertanya pada adiknya.
"Kau mimpi apa Wita?"
"Serem May. Aku mau dibunuh..."
Maya tertawa. "Ada-ada aja kau ini. Siapa yang mau
membunuhmu?"
"Trini.... Cewek sekolahan yang pernah aku ceritakan
padamu."
Maya tersenyum. Dibelainya rambut adiknya. "Sudah,
segala mimpi nggak perlu dipikirin."
"Lagian siapa yang mikirin. Tapi aku punya firasat.
Cewek seperti si Trini itu mau-mauan aja ngerjain aku."
"Gara-gara Boma?" '
Dwita menjawab dengan tarikan nafas panjang.
"Cinta monyet! Sekarang bukan jamannya lagi," kata
Maya.
"Kau boleh menganggap aku monyet May. Tapi yang aku
hadapi justru seekor gorila," kata Dwita pula. "Sudah, aku
mau mandi dulu."
"Sebelum mandi periksa dulu kamar mandimu. Siapa
tau gorilanya sudah nongkrong di situ!" Maya tertawa
cekikikan.
"Ah, jangan nakutin dong May! Brengsek kau!" Acuh saja
Dwita membuka dasternya. Tanpa ada yang menutupi
auratnya dia melangkah menuju kamar mandi.
Maya geleng-geleng kepala. "Firasatku, gorila yang di
kamar mandi bukan gorila betina. Tapi gorila jantan!"
"Sinting kau!" kata Dwita dengan wajah cemberut.
***
SEHABIS mandi Dwita Tifani duduk di teras belakang
rumah, berjemur matahari sambil mengeringkan rambut.
Matanya menatap ke arah kolam renang kecil di halaman
belakang rumah besar. Mbok Mirah datang membawa se-
cangkir teh manis panas dan dua potong roti panggang ber-
lapis mentega dan selai strawberry kesukaannya. Biasa-nya
jika dibawakan roti seperti itu Dwita langsung menyantap-
nya.
"Non Dwita, nggak lapar?" menegur Mbok Mirah ketika
melihat Dwita masih duduk diam memandang ke kolam,
seperti merenung.
Dwita tak menjawab. Juga tak bergerak. Matanya masih
memandang ke arah kolam. Dua kaki dilipat di atas kursi.
"Non Dwita kok kayak ngelamun sih?" tanya sang pem-
bantu. "Ngelamunin pacar ya?" Mbok Mirah bergurau.
"Mbok, sekarang hari apa Mbok?" tiba-tiba Dwita
bertanya.
"Aneh si Non ini. Anak sekolah nggak tau hari: Mungkin
kelamaan libur ya? Sekarang hari Selasa Non."
Dwita seperti terkejut mendengar ucapan pembantu itu.
"Mbok, ambilin tilpon. Tolong Mbok. Cepetan!"
Tergopoh-gopoh si pembantu masuk ke dalam rumah.
Tergopoh-gopoh pula keluar sambil membawa tilpon
wireless. Dengan cepat Dwita menekan tombol-tombol
angka pada handset lalu mendekapkan pesawat itu ke
telinga kirinya.
"Sambil nilpon rotinya dimakan dong Non. Sudah siang
belum sarapan nanti sakit," ujar Mbok Mirah lalu masuk ke
dalam.
Dwita menunggu. Tak ada jawaban dari seberang sana.
"Tut tut tut melulu. Aneh masak sih nggak ada orang di
rumahnya?" Dwita menunggu lagi. Masih tut tut tut. "Ah
mungkin aku salah mencet..." Dwita mengulang mendial
nomor tadi. Tetap saja tak ada jawaban.
"Git... Gita dimana kau. Aduh angkat dong:..." Dwita me-
nunggu lagf. Tetap tak ada yang menjawab. "Mungkin
rusak," Dwita memandangi handset tilpon wireless yang di-
pegangnya. "Hatiku... hatiku, mengapa mendadak tidak
enak? Mimpi buruk itu.... Mungkin...." Dwita berpikir sesaat.
Mengingat-ingat."Ronny.... Ronny. Kalau mereka sudah
pulang.... Mudah-mudahan anak itu ada di rumah." Dwita
lalu menilpon rumah Ronny. Lama sekali baru diangkat.
Yang menerima pembantu.
"Hallo, saya Dwita, temannya Ronny," menerangkan
Dwita. "Ronnynya ada?"
"Rumahnya, kosong Neng. Semua orang pada pergi...."
"Jadi Ronny belum pulang dari Gunung Gede?"
"Justru Neng, ayah sama ibunya Nak Ronny, juga
saudara-saudaranya semua pada pergi ke Gunung Gede.
Ada kecelakaan Neng."
"Kecelakaan? Kecelakaan apa? Siapa yang celaka?"
tanya Dwita.
"Rombongannya Nak Ronny. Anak-anak itu hilang di
Gunung Gede. Polisi katanya juga sudah ke sana."
Paras Dwita Tifani berubah. "Bibi tau dari mana?"
"Ibu bilang sebelum pergi..."
"Lalu ibu tau dari siapa?" Dwita coba meyakinkan.
"Ada teman Nak Ronny yang nilpon ke sini... Bibi lupa
namanya."
"Laki apa perempuan?" tanya Dwita lagi.
"Perempuan."
"Polisi.... polisi... anak perempuan...." Dwita membatin
dalam hati. Dia ingat Trini. Ayah Trini seorang anggota
polisi. "Bi', anak perempuan yang nilpon itu namanya...
namanya Trini?"
"Trini.... Betul Neng! Trini. Dia yang 'nilpon."
"Bibi' tau nomor tilponnya Trini?"
"Nggak tau Neng..."
"Di situ ada buku tilpon? Catatan nomor tilpon?"
"Ada sih ada Neng..."
"Tolong Bi! Mungkin di situ ada nomor tilpon Trini..."
"Maaf Neng. Bibi nggak bisa baca. Bibi buta huruf..."
Dwita menggigit bibir, memijat-mijat keningnya sendiri.
Dadanya terasa sesak.
"Ya sudah Bi'. Terima kasih."
Dwita mematikan tilpon wireless itu, meletakkannya
atas pangkuan. Berpikir-pikir siapa lagi yang harus ditilpon-
nya. Dari anak-anak kelas I-4 yang sekarang naik ke kelas
II-9 dia Cuma tau nomor tilpon Gita dan Ronny. Mendadak
tilpon berdering, membuat Dwita tergaga kaget lalu cepat-
cepat menekan tombol on dan mendekatkan tilpon ke
telinga kirinya.
"Hallo, bisa bicara sama Dwita?"
"Saya sendiri. Siapa nih?"
"Dwita, gue Wiwiek..."
Ternyata yang menilpon Wiwiek, teman satu kelas Dwita.
"Tumben kau nilpon aku. Nggak sari-sarinya," kata
Dwita.
"Dwita, kau udah denger belon?"
"Denger apa?" Dada Dwita kembali sesak. Dia ingat lagi
pada mimpi buruknya. Ingat pada keterangan pembantu
Ronny tadi.
"Boma sama teman-temannya yang naik ke Gunung
Gede. Mereka semua hilang. Nggak diketahui gimana
nasibnya. Katanya kalau sampai hari ini anak-anak itu
nggak ditemukan, tim Sar mau diturunkan. Saat ini katanya
sudah ada tim dari Kepolisian Sukabumi yang naik ke
Gunung Gede...."
"Kau... kau tau dari mana Wiek?"
"Dari Trini. Semua teman-teman sudah ditilponin. Siang
ini anak-anak kelas I-4 yang lagi liburan mau ngumpul di
sekolah. Rencananya sebelum jam dua belas langsung ke
Sukabumi...."
"Wiek...." Suara Dwita gemetar. "Aku.... Kau punya nomor
tilponnya Boma?"
"Di rumahnya nggak ada tilpon. Lagian aku rasa orang
tua sama saudara-saudaranya pada berangkat ke Suka-
bumi."
Dwita menggigit bibir.
"Dwita, udah dulu. Aku mau ke sekolahan. Kau ikutan?"
"Ya... ya. Harus." Suara Dwita terdengar pahit.
"Dwita.... Dwita!"
"Ya..."
"Kalau kau punya mobil Kijang atau Panther.... Teman-
Teman banyak yang mau ikut. Kendaraan kita kurang.... "
"Ya... ya...." Jawab Dwita tapi tilpon wireless sudah ter-
jatuh ke pangkuannya, terus berir jatuh ke tanah be-
rumput. Apa yang terjadi dengan Boma dan enam orang
temannya? Hati Dwira mengucap. "Ya Tuhan tolong
mereka. Tolong Boma, tolong teman-teman saya..."
***
6. BERSATU DALAM DOA
CUACA mendung gerimis ketika Phanter biru gelap itu
berhenti di depan Pos Pengawas Gunung Gede.
Dwita melihat banyak orang berkumpul di halaman.
Selain teman-teman sekolah di situ juga ada Pak Syafei
Wali Kelas I-4, Pak Bugi Ibrahim Wali Kelas II-9, Ibu Renata,
guru Bahasa Inggris. Lalu para orang tua dan keluarga
anak-anak rombongan pendaki gunung. Semua kelihatan
dalam wajah-wajah mencekam. Yang membuat Dwita ter-
duduk di kursi mobil, tak segera turun adalah ketika dia
melihat mobil-mobil polisi, lalu empat buah mobil ambulan
dan dua kendaraan dinas Pemda setempat. Dada anak
perempuan ini terasa sesak. Dia memandang pada Wiwiek,
teman yang duduk di sampingnya.
"Wiek, kok ada ambulan? Jangan-jangan...."
Pintu belakang salah satu ambulan terbuka. Dua orang
petugas menurunkan dua tandu lipat. Keduanya bicara
dengan tiga orang anggota Polisi. Salah seorang anggota
Polisi bicara lewat handy talky. Tak lama kemudian orang-
orang itu masuk ke dalam Pos Pengawas, ketika keluar lagi
mereka membawa perlengkapan, semuanya siap bergerak
ke arah Gunung Gede.
Dwita segera turun dari mobil. Wiwiek dan teman-teman-
nya mengikuti. Dwita mendekati anggota Polisi yang mem-
bawa handy talk, gagah, masih muda, berpangkat Letnan
Dua.
"Pak, saya boleh ikutan ke gunung?"
"Adik siapa?" tanya anggota Polisi itu.
"Saya... saya teman anak-anak yang..."
"Maaf Dik. Yang boleh naik ke atas cuma petugas. Para
orang tua tadi juga banyak yang memaksa ikut naik.
Mereka ingin membantu. Tapi tidak diperbolehkan. Semua
sudah ada yang menangani, termasuk penduduk setempat
yang jadi penunjuk jalan. Jadi adik sebaiknya gabung
dengan orang-orang di depan Pos."
"Pak, kejadiannya bagaimana?"
"Maaf Dik, saat ini saya tidak bisa memberi keterangan
apa-apa..."
"Teman-teman saya. Mereka... mereka masih hidup?"
Dwita bertanya, ingin kejelasan. Pertanyaannya tidak ter-
kontrol lagi.
Jawaban yang diterima dari Letnan Polisi itu justru mem-
buat hati Dwita ciut. "Lokasi tujuh anak itu sudah ditemu-
kan. Bagaimana keadaan mereka belum dapat dipastikan.
Adik agar tenang saja. Silahkan gabung dengan yang lain-
lain di depan Pos. Saya harus segera bergabung dengan
Tim Pencari yang ada di gunung."
Ketika Dwita dan Wiwiek serta teman-temannya yang
lain melangkah ke arah Pos Pengawas, dia sempat men-
dengar ada yang berkata.
"Uh, soknya mau ikutan ke gunung segala! Datangnya
aja baru gini hari! Kita-kita udah nongkrong dari Subuh!"
Dwita berpaling. Walau tidak melihat tapi dia sudah bisa
menduga siapa yang bicara. Ketika dia melihat wajah itu
dugaannya tidak keliru. Yang barusan bicara adalah Trini.
Anak itu duduk di dekat teras Pos Pengawas, di antara
serombongan anak-anak kelas II-9 SMA Nusantara III.
Sesaat pandangan mata Dwita dan Trini saling beradu.
Wiwiek yang ada di samping Dwita memegang lengan
temannya itu lalu berkata.
"Acuh aja. Tu anak memang begitu. Mulut ember. Suka
bicara seenak jeroannya...."
"Badanku lemas Wiek. Aku mau duduk di mobil aja,"
kata Dwita.
"Ayo aku anterin," kata Wiwiek. "Tapi kau nggak mau
ketemu orang tuanya teman-teman dulu. Yang duduk di
bawah pohon sana kalau aku nggak salah bapak sama ibu-
nya Boma..."
"Kalau aku ke sana nanti tu cewek ngomong yang
nggak-nggak lagi..." kata Dwita.
"Jangan dipikirin. Sama bapak atau ibunya Boma siapa
tau kita bisa tanya apa yang sebenarnya terjadi...."
Dwita setuju dan menganggukkan kepala. "Tapi kita
temuin Wali Kelas dulu, Wiek."
Setelah menemui dan menyalami Wali Kelas I-4, Wali
Kelas II-9 dan Guru Bahasa Inggris Ibu Renata, Dwita dan
Wiwiek beserta teman-temannya yang barusan datang dari
Jakarta mendatangi para orang tua yang duduk menggelar
tikar di bawah pohon. Mereka adalah orang tua Boma,
Ronny, Gita, Vino, Rio, Andi dan Firman. Beberapa di antara
orang tua itu, yang datang malam tadi tertidur keletihan.
"Saya Dwita, temannya Boma Pak," kata Dwita ketika
bersalaman dengan Sumitro Danurejo, ayah Boma. "Maaf-
kan saya dan teman-teman datang terlambat. Baru tau tadi
siang..."
Ayah Boma, lelaki berkaca mata plus 6 sesaat pandangi
wajah anak perempuan yang menyalaminya. Dia tak ber-
kata apa-apa, hanya menganggukkan kepala lalu berpaling
pada istrinya yang duduk bersandar di sebelahnya.
"Bu...." Dwita menyalami ibu Boma.
Belum apa-apa perempuan itu sudah megucurkan air
mata. "Doakan ya Nak. Doakan agar Boma dan teman-
temannya selamat...."
Dwita mengangguk haru. Tadi banyak yang hendak di-
tanyakannya tapi kini mulutnya tak sanggup berucap. Dia
berpaling pada Wiwiek.
Anak ini maklum arti pandangan itu lalu bertanya pada
ibu Boma.
"Bu, saya dan teman-teman baru dapat kabar tadi siang.
Itu juga lewat tilpon. Nggak tau jelas kejadiannya...."
Ibu Boma menyeka air matanya.
"Dulu Ibu sudah melarang Boma. Jangan naik gunung.
Apa lagi sekarang musim hujan. Tadi malam Pak Nugroho,
Bapak Kepala Sekolah datang. Memberitahu. Rombongan
anak-anak SMA Nusantara III mengalami musibah di
Gunung Gede. Nyawa Ibu rasanya seperti amblas...." Pe-
rempuan itu menahan isak, mengusut lagi air matanya.
Suaminya memeluk bahunya dan membisikkan sesuatu.
Ibu Boma melanjutkan.
"Malam tadi kami dan Bapak Kepala Sekolah, sama-
sama orang tua murid yang lain berangkat ke sini. Cuma
sampai di sini. Tidak boleh naik ke Gunung. Cuma Pak
Nugroho Kepala Sekolah satu-satunya yang diperbolehkan
naik oleh petugas. Itupun sesudah Pak Tatang, Kepala Pos
Pengawas bantu minta izin sama petugas. Harusnya Boma
sama teman-teman sudah turun Minggu sore. Sekarang
hari Selasa. Dua hari anak-anak itu tidak diketahui nasib-
nya. Kasihan.... Kasihan Boma...."
"Tadi ada kabar dari Pak Letnan, lokasi anak-anak
sudah diketahui. Mereka siap melakukan evakuasi..."
Untuk pertama kali Ayah Boma ikut bicara.
"Mereka cuma menemukan.. Tapi tidak memberitahu
bagaimana keadaan anak-anak. Apa masih hidup atau...."
Ibu Boma tak sanggup lagi menahan gerungan. Ibu-ibu
yang lain juga ikut mengucurkan air mata. Ayah Boma
kembali berbisik, berusaha menenangkan dan membujuk
istrinya.
"Sudah Bu, kita serahkan saja semua pada Yang Maha
Kuasa. Sebentar lagi pasti ada kabar lewat radio komuni-
kasi di Pos."
"Dwita, kita di Pos saja. Sambil nunggu kabar," bisik
Wiwiek.
"Aku lebih suka di mobil saja," jawab Dwita. "Tadi aku
lihat Trini sudah duluan masuk ke sana."
Di dalam mobil Dwita menghidupkan mesin lalu me-
nyalakan AC. Tubuhnya terasa gerah dan juga letih.
"Hatiku nggak enak Wiek..." kata Dwita.
"Semua kita merasa nggak enak, Dwita..."
"Tadi malam aku nggak bisa tidur. Bangun kesiangan.
Sebelum bangun aku mimpi. Mimpi seram Wiek..."
"Segala mimpi. Buat apa dipikirin. Apa lagi kalau mimpi-
nya udah tengari bolong," kata Wiwiek pula. Tapi setelah
berdiam sesaat dia ingin tau juga apa yang dimimpikan
Dwita. "Memangnya kau mimpi apa?"
Dwita lalu menceritakan mimpinya pada Wiwiek.
Wiwiek tersenyum. "Kalau kau mimpi dibunuh orang ber-
arti umurmu bakalan panjang. Percaya aku! Lagian
mungkin kau kebanyakan dongkol sama si Trini. Jadi
keingetan terus. Kebawa mimpi. Mimpinya mimpi gombal."
"Habis, siapa sih yang nggak dongkol Wiek. Tadi aja kau
dengar sendiri. Orang begini banyak enak aja dia
ngelecehin gua. Sebodo amat dia mau datang Subuh kek,
nggak usah ngomong gitu. Gimana kalau aku benar-benar
pacaran sama Boma. Uhhhh, habis kali gua dikerjain!"
"Kalau kau pacaran sama Boma, Trini tak bakalan
muncul di sini. Malu dong dia..."
"Orang seperti dia mana punya rasa malu," ujar Dwita
pula.
"Sebenarnya kau sama Boma gimana sih?" tanya
Wiwiek.
"Maksudnya gimana gimana?"
"Kalian pacaran?"
"Kalian siapa?"
"Kau sama Boma, pacaran?" tanya Wiwiek.
"Menurutmu gimana?"
"Aku nanya kok kamu balik nanya!"
"Udah Wiek, aku capek. Aku mau melonjor dulu..." Dwita
menurunkan sandaran kursi mobil. Dua kakinya dilunjur-
kan panjang-panjang. Matanya perlahan-lahan dipejamkan.
Hatinya berdoa.
Ayah Boma dan beberapa orang tua murid baru saja
selesai sembahyang Asar ketika ada berita dari tim pencari
lewat radio komunikasi bahwa tim sudah bergerak me-
nuruni lereng Gunung Gede. Diharapkan akan sampai di
Pos Pengawas sekitar lima jam, berarti sekitar pukul 9
malam.
Trini dan kawan-kawannya yang ada di dalam Pos, ber-
sama Sambas petugas pengawas yang memonitor radio
komunikasi meminta agar petugas itu menanyakan keada-
an teman-teman mereka. Namun dari ujung sana tak ada
jawaban. Hal ini menimbulkan tanda tanya dalam hati
semua orang. Apakah Boma dan enam temannya ditemu-
kan masih dalam keadaan hidup?
"Jangan-jangan teman-teman kita sudah nggak ada,"
bisik Trini dengan suara bergetar.
"Jangan dulu berpikir sejauh itu Rin," seorang teman
membisiki.
"Kalau mereka masih hidup, pasti pimpinan memberi-
tahu..."
"Pimpinan tim 'kan ayahmu sendiri. Coba saja kau
kontak langsung," kata teman tadi.
Trini mendekati Sambas, petugas Pos Pengawas. "Kak
Sambas, saya boleh pakai radionya, mau kontak Bapak..."'
"Silahkan," jawab Sambas sambil menyeahkan mikro-
pon radio komunikasi dan mengajarkan cara pemakaian
nya pada Trini.
"Trini dari Pos Pengawas. Minta bicara dengan pimpinan
tim pencari..."
Tak ada jawaban. Trini mengulang. "Trini dari Pos
Pengawas. Minta bicara dengan pimpinan tim pencari."
Tetap tak ada jawaban. Trini mengembalikan mikropon
lalu mendekati teman-teniannya. "Mustahil mereka tidak
menerima panggilan. Kayaknya ada yang dirahasiakan...."
"Sabar aja Rin. Mungkin mereka berada di gunung
malam-malam begini bukan pekerjaan gampang..."
"Menggotong orang apa menggotong jenazah," bisik
Trini.
Temannya terdiam. Semua anak-anak yang ada di
dalam Pos jadi tercekat.
Menjelang jam 7 malam di lereng terbawah Gunung
Gede kelihatan nyala lampu-lampu senter dan cahaya
terang lampu-lampu petromak.
Lalu di radio ada permintaan agar ambulan disiap siaga-
kan. Para orang tua yang sudah keletihan seperti men-
dapat tenaga baru, berdiri di depan Pos dengan mata tidak
putus-putusnya memandang ke arah kaki Gunung Gede di
kejauhan. William Kaunang, ayah Ronny tampak berdiri
berdampingan dengan istrinya. Kedua orang ini me-
rapatkan tangan memejamkan mata, berdoa menurut
agama Protestan. Begitu juga ayah ibu Boma dan semua
orang tua serta anak-anak SMA Nusantara III yang ada di
tempat itu, sama-sama memanjatkan doa menurut keper-
cayaan masing-masing. Semuanya seolah menjadi satu
dalam menyampaikan harap permintaan dan pertolongan
kepada Yang Maha Kuasa.
Sambas petugas di Pos Pengawas keluar dari Pos, me-
mandang ke arah kegelapan. "Aneh, mereka sampai dua
jam lebih cepat. Bagaimana mungkin?"
Hanya beberapa menit menjelang jam 7 malam
rombongan evakuasi sampai di Pos Pengawas. Tujuh tandu
digotong cepat ke arah empat buah ambulan. Di atas
masing-masing tandu tergolek sosok terbungkus kantung
plastik. Semua orang yang ada di sana serta merta ber-
usaha mendekati. Para orang tua berteriak histeris me-
manggil nama anak masing-masing. Anak-anak SMA
Nusantara III menangis, ada yang memekik menyebut
nama kawan mereka. Para petugas menjadi sibuk.
"Anak saya... Bagaimana anak saya! Mana anak saya!
Gita! Gita!" Ibu Gita Parwati, satu-satunya anak perempuan
dalam rombongan berteriak memanggil-manggil anaknya.
Dua orang anak perempuan berusaha menembus pagar
petugas. Itulah Trini dan Dwita. Mereka berusaha mencari
Boma. Tapi halaman depan Pos Pengawas agak gelap,
sosok-sosok di atas tandu setengah terbungkus kantung
plastik dan para petugas bertindak cepat. Semua orang
kecewa.
Sesaat setelah empat ambulan meninggalkan tempat itu
dengan kawalan dua mobil polisi, seorang lelaki berjaket
loreng mendatangi orangorang di depan Pos Pengawas. Dia
adalah Letnan Kolonel Polisi Kusumo Atmojo, ayah Trini
Damayanti. Disampingnya mengikuti Pak Nugroho, Kepala
Sekolah SMA Nusantara III.
"Pak bagaimana anak saya?"
"Pak anak kami bagaimana?"
Perwira Menengah dari Polda Jaya itu mengangkat
tangan kanannya. "Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak SMA
Nusantara Tiga. Kami memahami kekecewaan semua yang
ada di sini. Kami harus bertindak cepat. Anak-anak itu ber-
ada dalam keadaan sangat kritis. Saat ini mereka dilarikan
ke Rumah Sakit di Sukabumi untuk mendapatkan per-
tolongan pertama. Setelah itu jika diperlukan dan keadaan
mengijinkan direncanakan dipindah ke Rumah Sakit PMI
Bogor. Semua harap sabar dan tenang. Tujuh anak itu
walau sangat kritis tapi mudah-mudahan nyawa mereka
masih dalam lindungan Yang Maha Kuasa..."
Isak tangis dan jerit histeris memenuhi halaman Pos
Pengawas. Terdengar suara doa diucapkan.
"Terima kasih Yesus. Terima kasih Allah Bapa di Surga."
"Allahu Akbar. Tuhan, tolong anak-anak itu. Tolong kami
semua...."
Malam itu juga, semua orang yang ada di Pos Pengawas
termasuk Tatang Suryadilaga, Kepala Pos Pengawas
berangkat ke Rumah Sakit di Sukabumi.
Di atas mobil setelah berdiam diri cukup lama.
"Wiek..."
"Hemmmm..."
"Kayaknya aku ragu sama omongan Bapaknya Trini
tadi..."
"Ragu bagaimana?" tanya Wiwiek.
"Kalau Boma dan teman-teman masih hidup, mengapa
mereka dimasukkan dalam kantong-kantong plastik? Lalu
Pak Nugroho Kepala Sekolah diam saja. Nggak ngomong
apa-apa." Wiwiek diam. Teman-teman yang lain juga tak
ada yang bicara.
"Sudah, kau lagi mengemudi. Capek. Jangan mikir yang
nggak-nggak," kata Wiwiek akhirnya.
"Tapi Wiek...."
"Tunggu dulu," Wiwiek tiba-tiba ingat sesuatu. "Kantong-
kantong plastik itu adalah kantong tidur yang biasa dipakai
pendaki gunung. Bukan kantong mayat! Lalu apa kau
nggak meratiin. Setiap tandu digotong dua petugas. Lalu
ada petugas ke tiga memegang infus. Kalau teman-teman
sudah pada mati masakan diinfus. Mana ada sih jenazah
diinfus."
"Kau benar Wiek," kata Dwita agak lega. Anak ini main-
kan lampu dim ketika dia berusaha menyusul truk diesel
yang bergerak merayap di satu tanjakan. **
7. KABUT MISTERI
KETIKA Letkol Polisi Kusumo Atmojo keluar dari
Rumah Sakit di Sukabumi banyak wartawan dari
berbagai media telah menunggu. Ini satu hal yang
tidak diduganya. Perwira Menengah ini menggulung lengan
kiri jaket lorengnya. Jam di pergelangan tangannya me-
nunjukkan pukul 11.25 malam.
"Wawancara? Sudah larut malam. Ini semua peristiwa
biasa. Buat apa wawancara segala?" Kusumo Atmojo me-
nolak secara halus.
"Katanya waktu penyelamatan dilakukan ada berbagai
peristiwa aneh di Gunung Gede," ucap seorang wartawan.
"Betul Pak. Kami hanya ingin mengkonfirmasikan.
Karena Bapak sebagai Pimpinan Tim Pencari..."
"Tidak.... Bukan, saya bukan Pimpinan Tim. Pencarian
secara keseluruhan dipimpin oleh Letda Sofyan dari
Kepolisian Sukabumi. Saya ikut melakukan pencarian
karena diminta puteri saya Trini. Rombongan anak-anak
yang hilang adalah teman-teman satu sekolahnya di SMA
Nusantara Tiga." Letkol Kusumo Atmojo melangkah ke
halaman parkir.
"Pak, tunggu...."
"Mengenai keanehan-keanehan itu, Pak..."
"Keanehan apa?" Kusumo Atmojo seperti tidak acuh.
"Menurut Letda Sofyan dan Pak Tatang dari Pos
Pengawas Gunung Gede..."
"Wah, kalau memang ada keanehan tanyakan saja pada
mereka. Saya tidak menemukan keanehan apa-apa. Atau
nanti tanyakan pada anak-anak itu kalau mereka sudah
sembuh. Sekarang keadaan mereka masih kritis..."
"Tapi tak ada yang meninggal Pak?" tanya seorang
wartawati.
"Tidak, tidak ada." Jawab Letkol Kusumo. "Sudah, saya
capek. Mau segera kembali ke Jakarta."
"Kalau capek jangan jalan dulu Pak. Istirahat sebentar di
Kantin sana. Kopi tubruk paling asyik malam-malam
begini." Yang bicara sambil senyum adalah seorang warta-
wan bertubuh besar gemuk, berjaket kulit dan pakai topi
pet dibalik. Dia mewakili sebuah tabloid ibukota dan di
antara rekan-rekan wartawan dia dikenal dengan panggilan
Tuyul Bengkak. Nama ini cocok dengan keadaan dirinya
yang gemuk besar kepala botak licin yang selalu di-
sembunyikan di bawah topi pet.
"Kamu ini pinter ngomong..."
"Kalau nggak pinter ngomong namanya bukan warta-
wan, Pak. Jadi kita ke Kantin sana Pak?" kata Tuyul
Bengkak pula.
"Cukup di sini saja. Kalian mau tanya apa?"
"Mengenai keanehan itu Pak. Menurut Letda Sofyan
ketika tujuh anggota rombongan pendaki gunung ditemu-
kan, mereka berada di tepi ketinggian tanah gunung yang
longsor. Mereka berada dalam kantong tidur plastik
masing-masing.."
"Itu betul. Apa anehnya?" ujar Letkol Kusumo.
"Ya pasti aneh Pak," jawab wartawan si pinter ngomong
Tuyul Bengkak. "Menurut Pak Tatang dari Pos Pengawas,
Ketujuh anak-anak itu ditemukan berjejer rapi seperti ada
yang mengatur..."
"'Siapa yang mengatur?"
"Nggak tau Pak. Justru kami tanya Bapak..."
"Saya nggak tau siapa yang ngatur. Mungkin itu cuma
satu kebetulan saja."
Seorang wartawan lain berkata. "Menurut saudara
Sambas, Wakil Kepala Pos Pengawas waktu evakuasi,
dalam gelapnya malam dan buruknya cuaca paling cepat
dari lereng gunung sampai ke Pos akan makan waktu
sekitar lima jam. Ternyata Tim Pencari hanya membutuh-
kan waktu tiga jam..."
"Lha, apa anehnya? Letda Sofyan punya pengalaman
dalam menangani berbagai bencana alam di gunung. Apa
lagi beberapa penduduk ikut membantu. Juga jangan lupa-
kan peranan Pak Tatang, Kepala Pos Pengawas...."
"Bagaimana pendapat Bapak tentang kunang-kunang?"
seorang wartawan ajukan pertanyaan.
Letkol Kusumo terdiam sesaat. "Kunang-kunang?"
"Betul Pak. Katanya sepanjang perjalanan menuruni
gunung ada sekelompok kunang-kunang terbang di se-
belah depan rombongan. Seperti menuntun jalan....
Letkol Kusumo Atmojo hendak tertawa tapi tak jadi. Dia
mengusap dagunya yang ditumbuhi anggut-janggut pendek
kasar. "Kunang-kunang bisa saja muncul dimana-mana. Di
pinggir laut, di hutan, di gunung..."
"Katanya kunang-kunang itu lenyap begitu saja sesaat
setelah rombongan Tim Pencari selamat berada di kaki
gunung..."
"Saya tidak begitu memperhatikan. Waktu evakuasi di-
laksanakan, saya tidak sempat memperhatikan..."
"Satu hal lagi Pak. Dua orang anggota tim yang meng-
usung tandu bilang, bukan pekerjaan mudah mengusung
orang menuruni gunung, apa lagi di malam hari. Tapi waktu
mengusung anak-anak itu mereka tidak merasa berat
sama sekali. Enteng-enteng saja..."
"Namanya saja anak-anak, bobot mereka berapa sih
beratnya? Coba kalau si gendut ini. Pasti berat!" Letkol
Kusumo menunjuk pada wartawan si pinter ngomong yang
berbadan gemuk besar. Gelak tawa memenuhi halaman
parkir itu.
Wartawan yang tadi bicara masih belum mau mengalah.
"Salah satu anggota rombongan pendaki gunung seorang
anak perempuan gemuk. Bobotnya paling tidak seratus
kilo. Tapi dua orang yang mengusung juga bilang enteng,
gak berat."
Letkol Polisi Kusumo Atmojo tersenyum. Dia menegak-
kan kerah jaketnya lalu berkata.
"Anak perempuan gemuk itu, juga teman-temannya
hampir dua hari tidak makan-makan. Pasti badan mereka
pada kayak balon kemps semua. Pada enteng."
"Tapi Pak..." wartawan tadi kembali bicara. "Aduh, maaf
Pak, bulu saya jadi merinding Pak..."
"Kamu ini ada-ada saja. Merinding kenapa? Bulu yang
mana yang merinding?"
Ucapan Pamen itu membuat tempat tersebut kembali
dipenuhi tawa bergelak para wartawan.
"Sungguhan Pak, saya nggak bohong. Menurut salah
seorang pengusung, dibenarkan oleh beberapa orang lain-
nya, seperti ada yang membantu mengusung anak-anak
itu."
"Wah, kalau ada yang bantuin ya bagus dong! Harus ber-
terima kasih. Tapi situ tau siap yang membantu?" tanya
Letkol Kusumo pula.
"Itu yang membuat saya merinding Pak. Katanya yang
membantu mengusung itu tidak kelihatan. Tapi jelas terasa
ada..."
"Ah!" Letkol Kusumo lambaikan tangannya. "Siapa yang
membantu? Setan, demit, jin? Ada yang mengarang. Tapi....
Itu bagus buat berita sensasi. Muat di halaman pertama
sebagai head line. Pasti oplaag koran kalian naik. Ha.., ha...
ha!" Habis tertawa Pamen itu melangkah menuju ken-
daraannya. Sebelum masuk ke dalam jip Letkol Kusumo
berbalik. "Satu hal kalian harus ingat," katanya pada
semua wartawan yang belum beranjak dari tempat masing-
masing. "Berhasilnya penyelamatan tujuh anak SMA
Nusantara Tiga itu adalah berkat bimbingan dan per-
tolongan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukan karena siapa-
siapa."
Mata Pak Letkol berkedip kesilauan ketika lampu kilat
berkekuatan tinggi dari kamera seorang wartawan me-
nyapu wajahnya.
Wartawan tabloid yang kondang dengan nama Tuyul
Bengkak itu bersandar ke pintu Suzuki Katana hitam,
membuka topi pet lalu mengusapusap kepala botaknya
yang keringatan. Sepasang matanya masih memandang ke
arah lenyapnya cahaya lampu belakarig kendaraan yang
dikemudikan Letkol Kusumo Atmojo.
"Letnan Kolonel itu..." Tuyul Bengkak bicara sendirian.
"Aku yakin dia tau semua keanehan yang terjadi waktu
penyelamatan dilakukan. Ada kandungan misteri besar
dalam peristiwa ini. Tapi mengapa Pak Kolonel berlagak
tidak tau? Apa alasannya? Jabatan? Religi? Apapun alasan-
nya aku harus menemui dia sekali lagi. Juga anak gadisnya
itu. Trini. Banyak berita yang bisa digarap. Honorku bulan
ini bisa lumayan gede...." Tuyul Bengkak tersenyum. Dia
pakai topinya kembali lalu masuk ke dalam Suzuki Katana.
***
KEESOKAN harinya, hari Rabu, banyak media masa
mem-beritakan berhasilnya penyelamatan tujuh anak SMA
Nusantara III yang mendaki Gunung Gede. Sebelumnya
sudah sering diberitakan musibah yang menimpa banyak
rombongan pendaki gunung. Tapi peristiwa sekali ini
dianggap satu kejadian langka. Umumnya dalam peristiwa
seperti itu jarang korban bisa diselamatkan, apa lagi se-
cara keseluruhan dan setelah dua hari dinyatakan hilang.
Beberapa kejadian aneh seperti adanya kunang-kunang,
cepatnya waktu penyelamatan, adanya bantuan makhluk-
makhluk gaib ikut pula diungkapkan dalam media. Nama
Letkol Kusumo Atmojo, Letda Sofyan, Nugroho Sutanto,
Tatang Suryadilaga, Boma dan teman-temannya disebut-
sebut dalam pemberitaan.
Di ruang kerjanya pagi hari Rabu itu, Letkol Kusumo
geleng-geleng kepala. "Apa sih maunya wartawan-wartawan
itu. Segala makhluk gaib disebut-sebut..."
Tiga hari kemudian empat dari tujuh anak yang dirawat
di Rumah Sakit di Sukabumi diperkenankan pulang.
Mereka adalah Firman, Rio, Ronny dan Andi. Dua hari se-
telah itu menyusul Vino dan Gita juga diperbolehkan
pulang. Kini tinggal Boma seorang diri. Tubuhnya diserang
demam tinggi dan sesekali disertai kejang-kejang. Selain
itu dari mulutnya sering keluar suara seperti mengigau.
Lalu sesekali suara Boma berubah menjadi suara
perempuan tua.
Atas permintaan kedua orang tuanya Boma kemudian
dipindahkan ke Rumah Sakit PMI di Bogor.
***
8. TUYUL BENGKAK
TRINI DAMAYANTI menggeliat di atas tempat tidur. Dia
sudah lama terbangun dan sudah beberapa kali
mendengar Bibi Sarkah mengetuk pintu. Entah pada
ketukan yang keberapa akhirnya Trini berteriak.
"Ada apa sih Bi'?"
"Ada tamu Non." Jawab Bibi Sarkah dari luar kamar di
depan pintu.
"Siapa? Cewek, cowok?!"
"Cowok! Katanya wartawan."
Trini turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan
mengeluarkan kepalanya sedikit di celah pintu.
"Wartawan?"
"Iyya Non..."
"Ngapain?"
"Katanya udah ada janji sama Non..."
"Ah nggak, nggak ada janji tu. Apa lagi sama wartawan."
"Orangnya sih baek Non. Cuma gendut nggak
ketulungan."
"Orangnya dimana?" tanya Trini.
"Duduk di teras."
Trini membuka pintu kamar. Lupa kalau saat itu dia
Cuma mengenakan celana dalam mini dan kaos pendek
berbentuk singlet, melangkah berjingkat-jingkat ke ruang
tamu. Dari balik hordeng tebal dia mengintip keluar. Di
kursi teras dia melihat seorang lelaki gemuk memakai topi
pet terbalik duduk sambil menikmati sebatang rokok. Di
pinggir jalan di depan rumah ada sebuah Suzuki Katana
hitam. Trini ingat, orang itu pernah dilihatnya di Rumah
Sakit di Sukabumi pada malam anak-anak SMA Nusantara
III diselamatkan.
Seperti tadi, berjingkat-jingkat Trini kembali ke kamar.
Waktu melewati Bibi Sarkah dia berkata. "Saya nggak mau
nemuin 'tu orang Bi'. Bilang aja saya udah keluar..."
"Wah, wong Bibi tadi bilang Non ada. Kasihan kalau
nggak ditemuin Non. Mungkin ada hal sangat penting..."
"Si Bibi bisa-bisaan aja sih! Udah, suruh nunggu sana..."
"Baik Non. Bibi bikinin kopi tamunya...?"
"Nggak usah. Nanti jadi anteng keenakan. Malahan
namunya jadi lama. Bilang aja saya lagi mandi."
Setengah jam kemudian ketika akhirnya Trini muncul di
teras, sebelum sang tamu bicara Trini menegur duluan.
"Memang saya ada janji sama situ Mas?"
"Maaf Mbak. Kalau nggak pakai trick pasti sulit nemuin
orang penting seperti Mbak." Lalu wartawan bertubuh
gemuk itu cepat-cepat mematikan rokoknya, tersenyum
lebar, membungkuk sedikit dan mengulurkan tangan
memperkenalkan diri.
"Saya Tuyul Bengkak dari tabloid...."
"Ih, namanya kok aneh sih," Trini langsung memotong
ucapan orang.
Wartawan itu tertawa lebar. Dia berdiri dari kursi, mem-
buka topi pet hingga kelihatan kepalanya yang botak
plontos. "Mbak Trini lihat sendiri. Cocok enggak nama saya
dengan potongan saya. Gendut buntak, kepala botak..."
Lalu seperti seorang pragawan si gendut botak ini me-
langkah melenggang lenggok di lantai teras, berputar satu
kali, kembali duduk ke kursi.
Tawa Trini Damayanti meledak lepas. Kalau sebelumnya
ada rasa kurang senang pada orang ini kini mulai muncul
rasa suka.
"Nama itu memang sih cocok sama orangnya," kata
Trini. "Tapi masa iya sih situ namanya Tuyul Bengkak.
Nggak lucu ah!"
Si gemuk tertawa lebar. Lalu dengan mimik serius dia
berkata. "Nama saya sebenarnya Simatupang."
"Simatupang? Situ dari Batak ya..."
"Bukan. Simatupang saya itu bukan nama Marga..."
"Lalu?" Trini heran.
"Simatupang itu singkatan dari Siang Malam Tunggu
Panggilan."
Kembali Trini tertawa cekikikan.
"Ada-ada saja... Kok situ tau alarmat saya?"
"Wartawan... Tuyul Bengkak... Alamat siapapun mesti
tau..."
"Serius nih, nama situ siapa sih sebenarnya? Nanti
kalau ketemu di jalan masa saya teriak: Hai! 'Tuyul
Bengkak!"
"Itu nama yang afdol buat saya! Sudah nempe kiri kanan
atas bawah depan belakang!"
"Oke deh, saya nggak maksa kalau nggak mau kasih tau
nama...." kata Trini. Matanya memperhatikan sebuah
telepon genggam terletak di atas meja. "Handphone siapa
'nih?"
"Saya, Tuyul Bengkak."
"Keren amat wartawan punya handphone."
"Yaah, sesuai perkembangan jaman dan kemajuan
teknologi. Apalagi katanya dalam menghadapi globalisasi di
mana abad sekarang adalah abad komunikasi. Jadi
wartawan perlu punya handphone. Biar sedikit tampil beda.
Ha... ha... ha."
"Jangan-jangan sadapan punya," kata Trini pula.
"Ooo, yang begituan sih udah nggak jaman. " Malu-
maluin aja, Tuyul Bengkak pakai tilpon sadapan..."
Trini tersenyum. "Oke, sekarang keperluannya nemui
saya apa?"
"Betulnya saya mau ketemu Bapaknya Mbak Trini. Tapi
susah banget. Mungkin Bapak juga lagi sibuk. Waktu di
Sukabumi kami rekan-rekan dari wartawan minta penjelas-
an Bapak mengenai keanehan-keanehan yang terjadi se-
waktu penyelamatan tujuh anggota pendaki gunung. Bapak
menyangkal ada keanehan. Hal ini membuat kami para
wartawan merasa kejadiannya makin misterius. Kami yakin
Bapak tau peristiwa itu. Tapi karena alasan tertentu nggak
mau ngomong. Menurut Mbak Trini sendiri gimana?"
"Panggil aja Trini. Nggak usah pakai sebutan Mbak
segala," kata Trini.
"Oke. Menurut Trini sendiri gimana? Terasa nggak ada-
nya hal-hal aneh...."
"Saya nggak ngalamin sendiri. Jadi kurang tau. Tapi
kalau dengar cerita Pak Tatang, Kepala Pos Pengawas,
juga ucapan Letda Sofyan, ditambah cerita Pak Sambas
yang memonitor radio komunikasi di Pos. Lalu keterangan
beberapa orang penduduk yang ikut mengusung teman-
teman, kayaknya sih memang ada yang aneh. Malah tadi
malam, waktu Bapak makan malam sama Ibu, saya
nguping dengerin mereka membicarakan hal itu...."
"Nah, kalau gitu jelas memang ada misteri di Gunung
Gede. Ada keanehan. Saya mau coba menghubungi Kepala
Sekolah, juga anak-anak yang sudah pulang. Siapa tau ada
cerita tambahan. Mungkin juga nanti Boma..."
"Boma masih di rumah sakit."
"Saya tau...."
"Mas Tuyul, kalau wawancaranya sudah selesai, saya
mau berangkat ke Rumah Sakit PMI Bogor. Mau ngeliat
Boma. Sorry, bukan ngusir nih..."
"Nggak apa-apa. Saya juga mau ke sana. Cari bahan
berita baru. Mau barengan?"
"Nggak usah deh..."
"Takut ya sama orang gendut?"
"Iya, takut ketularan gendutnya," jawab Trini sambil
tertawa.
Tuyul Bengkak ikut tertawa.
"Saya minta fotonya ya..."
"Lho, kok pakai foto segala?"
"Foto adalah sejuta kata yang tidak bisa dituliskan
dengari pena. Cia illa...!" Tuyul Bengkak berpuisi. Dari
dalam tas hitam yang diletakkannya di lantai teras
dikeluarkannya sebuah kamera Nikon AF. Dia mengambil
foto Trini dari tiga arah, semuanya semi close-up.
"Terima kasih, terima kasih banyak-banyak."
Tuyul Bengkak memasukkan kameranya kembali ke
dalam tas lalu mengenakan topi petnya.
Seperti biasa topi itu dipasang terbalik. Dia bangkit dari
kursi tapi tidak langsung melangkah.
"Masih ada satu pertanyaan lagi. Tadi kelupaan."
"Apa?"
"Hubungan Trini sama Boma, selain teman satu sekolah
apa ada hubungan lain yang istimewa?"
"Istimewa maksudnya pake madu susu telor plus jahe?"
Tuyul Bengkak tertawa lebar. "Saya cuma ingin negesin
aja. Takut nanti salah nulis. Bener nggak?"
Trini Damayanti terdiam sesaat. Terbayang olehnya
wajah Boma. Tiba-tiba ikut terbayang wajah Dwita Tifani.
Sepasang mata anak ini membesar. Senyum bermain di
bibirnya. "Ini kesempatan. Kesempatan besar! Biar dia tau
rasa..." kata Trini dalam hati.
Suara Tuyul Bengkak menyadarkan Trini. , Anak ini
tersenyum. "Malu ah bilangnya!"
"Nggak usah malu-malu! Ini akan jadi satu berita besar,
lho."
Trini mengangguk. "Memang, terus terang kami sudah
lama pacaran. Mulai sama-sama masih di kelas satu..."
"Boma anaknya agresif nggak?"
"Ajie busyet! Kok nanyanya sampai ke situ?" Trini
cemberut tapi kemudian tersenyum.
"Ajie busyet!" mengulang Tuyul Gendut. "Wah! Itu kata-
kata baru. Nggak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Musti dicatet..." Lalu wartawan ini membuat catatan kecil
dalam notes kecil yang sudah lecak dan selalu dibawa-
bawanya.
"Bukan apa-apa. Soalnya kalau menurut saya Boma itu
kan singkatan dari Bom Atom. Jadi pasti panas terus,
bahkan sewaktu-waktu bisa meledak. Ha... ha... ha..."
"Kalau Boma Bom Atom, lalu situ Bom apa?" tanya Trini.
"Saya mah tetep aja Tuyul Bengkak!" jawab sang
wartawan. "Oke deh. Terima kasih atas waktunya. Sampai
ketemu di PMI Bogor.
Trini mengangguk. Begitu masuk ke dalam rumah anak
ini melompat kegirangan. "Dwita! Rasakan kau! Kalau
berita itu muncul di koran, semua orang bakal tau kalau
Boma memang pacar gue! Lu boleh gigit jari!"
***
9. MISTERI BERKELANJUTAN
PAGI ITU ketika Dwita datang, ibu Boma tengah
mengompres kening anaknya dengan ngan sehelai
handuk yang dibasahi air es dari dalam rantang. Saat
itu memang belum jam kunjungan, namun para jururawat
memberi banyak kebebasan pada keluarga dan teman-
teman Boma.
Di luar kamar Dwita bertemu dengan Firman dan Andi.
Dekat pintu kamar kelihatan Ronny dan Vino. Gita duduk
terkantuk-kantuk di salah satu sudut. Tadi malam anak ini
ikut bergadang bersama teman-temannya menunggui
Boma. Hanya Rio yang tak kelihatan. Orang tua Boma ber-
ulang kali memberi nasihat pada Ronny dan kawan-kawan
agar tidak usah datang dulu menjenguk karena keadaan
anak-anak yang baru keluar dari rumah sakit itu juga masih
lemah. Kawatir mereka jatuh sakit. Tapi anak-anak itu
malah membuat semacam Posko di halaman parkir rumah
sakit. Yang jadi tempat istirahat dan tidur secukupnya
adalah dua buah mobil. Satu Toyota Kijang milik saudara
Ronny, satu lagi Opel Blazer kepunyaan ayah Gita.
Di atas ranjang Boma kelihatan seperti tidur nyenyak.
Lengan dan kaki diikat ke besi tempt tidur. Jarum infus
menancap di tangan kirinya yang tampak agak bengkak
kebiruan.
Dwita ngobrol sebentar dengan Ronny, Vino, Firman dan
Andi, melayangkan senyum pada Gita lalu masuk ke dalam
kamar.
"Bagaimana keadaan Boma, Bu?" tanya Dwita dengan
suara perlahan sambil berdiri di samping Nyonya Hesti
Sumitro, ibu Boma.
"Panasnya nggak turun-turun. Tadi malam Boma kejang-
kejang lagi. Mengigau, ngomong sendirian. Tidak jelas apa
yang diucapkan. Kadang-kadang suaranya berubah seperti
suara perempuan tua. Lalu sesekali dia memanggil-manggil
Nek... Nek... Tidak Nek... Jangan Nek. Nggak tau nenek
siapa yang dipanggil. Heran, semua teman-temannya
sudah pulang. Kini malah nungguin dia. Tapi dia sendiri
masih begini."
"Dokter bilang apa Bu?" tanya Dwita.
"Dokter Erawan tadi malam bicara sama Bapak. Katanya
dari hasil pemeriksaan darah, nggak ada tanda-tanda
Boma terserang gejala thypus atau demam berdarah. Di
badannya nggak ada luka, berarti nggak ada infeksi. Tapi
heran mengapa panasnya tinggi terus. Yang bikin kami
takut igauannya itu. Suaranya yang bisa berubah. Lalu
nenek yang dipanggil-panggilnya... Sudah dua malam dia
begini terus. Jangankan sadar atau ngomong, buka mata
saja tidak."
Tidak terasa air mata mengucur jatuh ke pipi. Nyonya
Hesti cepat menyeka wajahnya dengan ujung lengan
panjang pakaiannya. "Ibu sama Bapak pikir-pikir, bagai-
mana kalau Boma dipindahkan saja ke rumah sakit lain di
Jakarta. Tapi Bapak bilang mau ikhtiar yang lain. Nggak tau
mau ikhtiar apa." Nyonya Hesti memasukkan handuk kecil
ke dalam rantang berisi es.
Dwita mendekat seraya berkata. "Mari Bu, biar saya
yang bantu ngompres. Ibu pasti capek. Duduk saja..."
"Ibu sudah nggak mikirin capek atau ngantuk atau lapar.
Ibu ingin anak ini cepat-cepat ketahuan apa penyakitnya.
Cepat sembuh..."
"Boma pasti sembuh Bu. Mari saya bantu..." Dwita meng-
ambil handuk kecil dari dalam rantang, memerasnya lalu
meletakannya di atas kening Boma.
"Nek.... Jangan Nek.... Saya nggak mau. Jangan Nek..."
Tiba-tiba Boma mengeluarkan ucapan. Lalu suara anak itu
berubah seperti suara perempuan tua. Tapi tak jelas apa
yang diucapkannya. Dwita sampai tergagau dalam kejut-
nya. Termos di atas meja kecil di samping tempat tidur
hampir terjatuh terlanggar sikutnya. Untung masih sempat
dipegang oleh Nyonya Hesti.
Sesaat pucat wajah Dwita. Kalau tidak mendengar
sendiri rasanya tadi dia kurang percaya akan ucapan ibu
Boma. Setelah agak tenang, Dwita kembali mengompres-
kan handuk kecil ke kening Boma. Pada waktu itulah di
pintu kamar muncul Trini Damayanti. Tapi Inak ini mem-
batalkan niatnya masuk. Air mukanya berubah ketika me-
lihat Dwita yang sedang mengompres kepala Boma. Ber-
bagai rasa yang bermuara dari rasa cemburu memenuhi
hati anak ini. Dwita sendiri saat itu tidak melihat Trini.
Di sudut kamar Gita yang terkantuk-kantuk membuka
matanya ketika melihat ada orang muncul di pintu.
"Hemmm, kucing garong..." kata cewek gendut ini dalam
hati lalu meramkan matanya kembali, pura-pura tidur.
"Kok nggak jadi masuk?" Ronny yang berdiri dekat pintu
bertanya.
"Belum jam kunjungan. Nanti aja," jawab Trini.
"Nggak apa-apa. Masuk aja," kata Vino. "Nanti juru-
rawatnya marah."
"Jururawat yang mana?" tanya Vino heran. "Perasaan
gua di dalam nggak ada jururawat," kata Ronny Celepuk.
Trini meruncingkan bibir. "Itu tuh... Yang pakai stelan
jins. Tau dong yang aku maksud...." Yang dimaksudkan
Trini dengan jururawat pakai stelan jins tentu saja adalah
Dwita Tifani. Sambil melangkah pergi dalam hati Trini ber-
kata, "Pinter juga 'tu cewek ngambil hati ibunya si Boma.
Huh!"
"Heran si Trini," kata Vino begitu Trini berlalu'. "Temen
lagi sakit masih sempat-sempatnya ngunjukin rasa
cemburu."
"Cinta Vin, Cinta SMU kau tau dong," kata Ronny. "Cinta
SMA artinya Cinta Sekolahan Memang Amburadul."
***
DI DEPAN Rumah Sakit Trini Damayanti memandang
seputar halaman parkir. Dia belum melihat Suzuki Katana
hitam itu. Matanya dilayangkan ke arah jalan raya yang
dirindangi pohon-pohon besar.
"Mungkin belum datang. Mungkin dia nggak langsung ke
sini..." Trini menggaruk tengkuknya yang terasa gatal.
"Gimana ya? Mestinya sih di sini ada tilpon kartu." Dari
dalam tasnya Trini mengeluarkan selembar kartu tilpon
dan sehelai kertas kecil bertuliskan catatan nomor tilpon.
Ketika dia hendak beranjak matanya melihat sebuah jip
Suzuki Katana hitam baru saja diparkir di pinggir jalan di
depan rumah sakit.
"Mudah-mudahan dia." Trini melangkah cepat. "Betul,
memang dia."
Dari dalam Suzuki Katana itu keluar sosok gemuk ber-
topi pet terbalik.
"Mas Tuyul! Hai!"
Tuyul Bengkak yang wartawan membalikkan badan.
"Kirain siapa! Cepat juga nyampainya. Udah lama?"
"Barusan. Mas Tuyul, saya boleh minjam handphone-
nya?"
"Boleh, boleh. Asal jangan sambungan kosong kosong
satu saja." 001 adalah sambungan langsung internasional.
"Nggak, cuma deket sini kok," jawab Trini sambil me-
nerima handphone yang diacungkan Tuyul Bengkak.
Jari-jari lentik Trini Damayanti dengan cekatan memijit
tombol-tombol angka sambil matanya melirik ke kertas
kecil di mana tertera sederetan nomor tilpon.
***
SEORANG jururawat muncul di kamar tempat Boma
dirawat. Dia menanyakan apakah ada yang bernama Dwita
Tifani di kamar itu.
"Saya Dwita. Ada apa suster?"
"Ada tilpon di kantor. Dari Jakarta. Katanya penting."
Dwita mengikuti jururawat itu menuju kantor rumah
sakit. Jururawat menunjuk ke sebuah pesawat tilpon yang
tergeletak di atas meja. Dwita segera mengambil pesawat
itu.
"Hallo...." Tak ada jawaban. Karena memang tilpon itu
sudah mati. "Nggak ada suara suster..."
"Mungkin putus. Akhir-akhir ini memang suka ada
gangguan," jawab jururawat.
"Yang nilpon tadi laki-laki atau perempuan? Mungkin
memberitahu nama?" bertanya Dwita.
"Perempuan. Katanya Ibu Dwita. Dari Jakarta. Penting.
Perlahan-lahan. Dwita meletakkan pesawat tilpon ke
tempatnya. Setelah mengucapkan terima kasih dia keluar
dari kantor rumah sakit. Hatinya bertanya-tanya. "Ada apa
Mama menilpon aku?"
Dwita sampai di depan kamar tempat Boma dirawat.
Langkah anak ini terhenti. Di situ, di dalam kamar dia
melihat Trini Damayanti tengah mengompres kepala Boma
dengan handuk kecil. Persis seperti yang dilakukannya
tadi. Dwita Tifani tertegun diam sesaat di ambang pintu.
Benaknya berpikir-pikir, hatinya bertanya tanya.
"Pasti dia. Dia ngerjain aku. Licik!" Dwita memutar
langkah lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Ronny dan Vino yang masih ada di depan pintu kamar
saling pandang lalu sama-sama senyum.
"Yang satu ini lain lagi modelnya, Ron," kata Vino.
"Iyya, tadi aku dengar dia seperti ngomong sendirian
kayak orang kesambet."
Ronny melirik ke dalam kamar. Lalu berkata perlahan
pada Vino. "Pasti gara-gara jururawat yang lagi ngompres
kepala teman kita itu."
"Bisa jadi," sahut Vino. "Ron, ngomong-ngomong Ibu
Bahasa Inggris kok sempat-sempatnya datang ke Pos
Pengawas. Lu liat nggak?"
"Liat. Itu 'kan biasa aja Vin. Namanya guru sama murid.
Murid ditimpa musibah. Guru ikut prihatin. Punya ke-
sempatan datang. Wajar aja gua rasa? Ada apa sih di otak
kotor lu?" tanya Ronny.
"Kamu nggak tau?" balik bertanya Vino.
"Tau apa?" kini Ronny Celepuk yang balas bertanya.
"Ada isu..." jawab Vino.
"Au? Isu apa-an?"
"Ibu Renata suka sama Boma."
"Ajie gombal lu!" kata Ronny. "Kok ada sih yang punya
pikiran begitu. Setiap guru musti suka dong sama murid.
Maksud gue suka dalam arti sebatas hubungan antara
guru dan murid. Itu wajar menurut gua. Kalau guru nggak
suka murid ya jangan ngajar!"
"Ada yang bilang begini Ron. Waktu di kelas satu, Ibu
Renata katanya pernah minta anterin Boma nonton. Kata-
nya film yang mau ditonton banyak persamaannya dengan
kisah hidup Ibu Renata..."
"Masa iyya sih?" Ronny mulai percaya. "Terus Boma
nemenin Ibu Renata."
"Itu yang nggak diketahui. Mungkin iyya, mungkin
nggak," jawab Vino.
"Ala ude, deh. Gue juga kalau diminta Ibu Renata
nemenin die ke mana aja, pasti mau. Habis masih muda,
baek banget, cakep lagi..."
"Kalau kamu sih jangan ditanya Ron. PPD!"
"Apa 'tuh PPD? Perusahaan Pengangkutan Djakarta? Bis
PPD?"
"Pacaran Paling Doyan," jawab Vino.
Ronny Celepuk tertawa lebar. "Anak laki doyan pacaran
sih jamak-jamak aja Vin. Dari pada kayak lu nggak punya
cewek."
Waktu hari Sabtu, hari terakhir sekolah. Sebelum
liburan, lu nyium si Sarah ya..."
"Ajie busyet! Jangan ngarang lu!"
"Ada anak yang bilang. Dia ngeliat lu lagi nyium Sarah
dekat gudang sekolah. Bener 'kan? Bilang aja iyya."
Ronny Celepuk kembali tertawa.
"Kalau cuma ciuman nggak bakal ketularan AIDS Vin.
Percaya gue!" kata Ronny lalu tertawa cekikikan.
***
DWITA TIFANI melangkah cepat di halaman parkir rumah
sakit. Dia mendengar langkah-langkah berat di belakang-
nya. Ada seseorang mengikuti. Dwita ingat mimpinya tempo
hari. Jangan-jangan Trini yang mengejarnya. Dwita mem-
balik. Orang yang mengikuti terkejut, cepat hentikan
langkahnya sebelum menabrak anak itu. Tangannya ber-
gerak membetulkan letak kaca mata tebal plus 6 yang
merosot di penampang hidungnya.
"Oo Bapak, saya kira siapa," kata Dwita ketika dilihatnya
yang mengikuti ternyata ayah Boma.
"Maafkan Bapak. Saya Sumitro, ayahnya Boma."
Dwita mengangguk.
"Bapak tau anak ini temannya Boma, tapi lupa namanya.
Jadi Bapak cuma mengikuti..."
"Nggak apa-apa Pak. Saya Dwita. Kelihatannya Bapak
terburu-buru. Bapak mau kemana?"
"Nak Dwita bawa kendaraan?"
"Bawa."
"Sama supir?"
"Bawa sendiri."
"Bapak boleh minta tolong?"
"Boleh aja...."
"Kalau tidak merepotkan Nak Dwita, bisa antarkan
Bapak ke Kedung Halang. Tidak jauh dari sini."
"Hemmm, bisa Pak..."
"Kalau begitu tunggu sebentar."
Ketika kembali ayah Boma ditemani oleh seorang lelaki
berpeci hitam. Ini Pak Supangat, masih pamannya Boma.
Kita berangkat sekarang?"
"Boleh..."
Di tengah jalan tak ada yang bicara. Dwita tak tahan
juga. Dia bertanya. "Pak Sumitro, kita ke Kedung Halang ke
tempatnya siapa?"
"Rumah kenalan," jawab Sumitro Danurejo, ayah Boma.
"Rumahnya orang pintar."
"Maksud Bapak Doktor, Professor?" tanya Dwita.
Sumitro Danurejo tertawa. Lelaki berpeci bernama
Supangat tersenyum.
"Orang pintar yang Bapak maksud bukan Doktor bukan
Professor. Tapi orang pintar yang pandai mengobati
penyakitnya Boma..."
"Maksud Bapak dukun?" tanya Dwita polos.
"Sebenarnya bukan dukun. Tapi ya, bisa dikatakan
begitu. Anggap saja dukun. Orangnya sendiri tidak mau
dikatakan sebagai dukun. Ini berkaitan dengan sakitnya
Boma. Sampai saat ini dokter Erawan tidak tau apa
sakitnya Boma. Bapak dan Pak Supangat ini sudah lama
memperhatikan adanya kelainan dalam sakitnya Boma.
Bapak pikir, semua jalan harus dicoba."
Dwita terdiam. Dia ingat pada ucapan-ucapan Boma di
rumah sakit tadi. Serasa terngiang kembali bagaimana
suara Boma berubah seperti suara seorang nenek-nenek.
Dalam hati anak ini berkita. "Heran, di abad serba modern
ini, apa iyya orang masih percaya pada dukun? Tapi sakit-
nya Boma memang aneh. Kalau dokter tidak tau penyakit-
nya, apa dukun tau dari bisa menyembuhkan?"
***
10. NENEK-NENEK DISAMPING RANJANG
DI DALAM. Opel Blazer yang diparkir di bawah
kerindangan pohon besar, Vino mencolek bahu
Ronny Celepuk sambil bibirnya dicibirkan ke arah
Gita yang tidur di kursi belakang bergelung bantal kecil.
Saat itu hujan turun rintik-rintik. Udara kota hujan Bogor
terasa sejuk mendekati dingin.
"Orang gemuk memang penyakitnya begitu Ron. Enggak
di mana enggak dimana maunya tidur melulu. Nggak boleh
nemplok langsung lengket. Kayak keong aja."
"Sialan, siapa yang tidur," tiba-tiba terdengar sahutan
Gita walau matanya masih tetap terpedan tubuhnya tidak
bergerak.
"Eh, sorry, gua kira tidur. Habis tadi sampai ngorok
segala," kata Vino.
"Brengsek! Enaknya aja bilang gua ngorok!" Mata Gita
masih terpejam.
"Ngiler lagi. Tuh, liat. Jok mobil ampe basah,"
Ronny Celepuk menimpali.
Kini sepasang mata Gita gendut serta merta terbuka
nyalang, dia bangkit dari tidurnya dan duduk di kursi mobil.
Ucapan Ronny tadi membuat Gita di luar sadar menyeka-
kan tangannya ke mulut. Ronny dan Vino tertawa.
"Kalian berdua pada brengsek. Lu tau nggak gue lagi ke-
capean?" ucap Gita.
"Semua kita memang kecapean Tante..." kata Vino.
"Ajie gile! Lagu lu, sekali lagi lu panggil gue Tante bener-
bener gue peperin iler lu!"
"Sabar teman, sabar," Ronny berkata sambil meng-
angkat tangan dan tertawa.
"Tadi ada wartawan," Vino memberitahu. "Nanya-nanya
segala macam. Katanya ada keanehan sewaktu kita di-
selamatkan di Gunung Gede..."
"Keanehan apa?" tanya Gita.
"Banyak. Mulai saat kita ditemukan berjejer di pinggir
longsoran. Lalu kunang-kunang, sampai makhluk-makhluk
gaib..."
"Ron, kau inget nggak Pak Nugroho bilang. Waktu
rombongan kita ditemukan, kita semua berada dalam
kantong tidur. Padahal...."
"Gue nggak ngarti." Gita Parwati memotong ucapan Vino.
Ronny Celepuk tertawa. "Kamu sih memang banyakan
nggak ngartinya, Git. Inget nggak omongan Kepala Sekolah
soal cerita Letda Sofyan sama Pak Tatang."
Gita mengangguk. Lalu berkata. "Mang Sambas, wakil
Pak Tatang juga pernah bilang sama aku waktu masih di
rumah sakit di Sukabumi. Dia heran, kok teman-teman kita
bisa diselamatkan begitu cepat. Menurut perhitungan dari
lokasi mereka ditemukan sampai di pos paling tidak makan
waktu lima jam. Nyatanya mereka bisa sampai dalam tiga
jam. Lalu ada anggota pencari yang membisiki aku. Kata-
nya ada makhluk halus yang kagak kelihatan tolong meng-
angkat usungan. Ih, gue jadi merinding. Tapi..." Gita diam.
"Tapi apa ndut?" tanya Ronny Celepuk.
"Ada yang bikin gue lebih merinding," jawab Gita.
"Apa-an?" tanya Vino. "Lu liat cowok telanjang?"
"Setan gombal lu! Aku serius..." kata Gita Parwati. Dua
mata belok anak perempuan yang gemuk berkulit hitam ini
menatap lurus ke depan.
"Jadi beneran kau liat cowok telanjang? Di mana?
Siapa?" Vino masih bergurau.
"Jangan becanda. Salah-salah kau bisa jadi seperti
Boma. Diserang demam panas, mengigau tak karuan..."
Ronny Celepuk dan Vino saling pandang. "Wah,
nyumpahin temen sendiri nih!" kata v mo.
"Gita, kau ini bicara apa sih?!" tanya Ronny.
"Gila, sekarang gua yang jadi merinding!" kata Vino pula
sambil menggeser duduknya lebih rapat ke pintu mobil.
"Kalian tau nggak. Waktu aku ngejagain Boma di
kamar...," kata Gita, "aku sering-sering ketiduran karena
kecapean. Tapi setiap aku terbangun dan melihat ke arah
tempat tidur Boma, aku samar-samar melihat ada orang
berdiri di sampingnya. Perempuan..."
"Itu pasti ibunya," kata Vino pula.
Gita menggeleng. Sepasang matanya masih meman-
dang lurus ke depan. "Bukan, bukan ibunya Boma. Sosok
perempuan itu bukan ibunya Boma. Walau terlihat cuma
samar-samar, aku yakin itu bukan ibunya Boma. Wong
ibunya Boma ada di sisi ranjang sebelahnya."
"Lalu siapa? Kau ngenalin orangnya?" tanya Ronny
Celepuk. Mulutnya mendadak terasa asam. Dia ingat rokok
di kantong blujins. Tangannya merayap mengambil. Baru
setengah bungkusan rokok keluar, sepasang mata Gita
melirik ke arah saku celana Ronny lalu berputar meman-
dang lekat-lekat ke wajah anak lelaki itu. Entah mengapa
Ronny merasakan hatinya jadi ciut lalu masukkan
bungkusan rokok kembali ke dalam saku celana.
Dua mata Gita kembali memandang lurus ke depan.
Mulutnya berucap.
"Sosok yang aku liat itu, agak bungkuk. Berdiri nggak
bergerak-gerak di samping ranjang Boma. Sosok itu sosok
seorang nenek-nenek..."
"Apa?!" tanya Ronny.
Vino meraba tengkuknya yang mendadak terasa dingin.
"Yang berdiri di samping tempat tidur Boma adalah
seorang nenek-nenek. Nenek-nenek aneh. Kulitnya hitam.
Mukanya cekung. Wajahnya seram sekali. Dua matanya
angker mengerikan. Pakaiannya rombeng. Di atas
kepalanya aku melihat seperti ada hiasan aneh..."
Ronny menggigit bibirnya sendiri, menatap wajah Gita.
"Gita, lu nggak ngarang cerita 'kan?"
Gita menggeleng. "Buat apa aku ngarang? Apa untung-
nya?" sahut Gita. Lalu dia meneruskan. "Mula-mula aku
tidak acuh. Pertama kali aku melihat nenek-nenek itu aku
kira cuma perasaan atau pandangan khayal mataku doang.
Tapi setiap kali aku terbangun dan membuka mata, aku
kembali ngeliat nenek-nenek itu. Ngeliat sebentar, lalu
sosoknya hilang. Ngeliat, hilang. Gitu terus-terusan...."
Saat itu udara mendung dan hujan masih turun rintik-
rintik. Kota Bogor gelap lebih cepat.
"Ada satu hal lagi,"kata Gita Parwati.
"Apa-an?" tanya Vino dan Ronny berbarengan.
"Setiap nenek-nenek itu muncul, aku nyium bau pesing.
Santer banget." .
"Bau pesing?" ujar Ronny.
"Iyya." Jawab Gita.
"Aneh…" kata Ronny perlahan.
"Ah! Lu kali yang ngompol. Lu nyium kencing lu sendiri,"
kata Vino lalu tertawa cekikikan.
"Setan sialan lu!" maki Gita lalu melemparkan bantal
yang dipegangnya ke arah Vino.
"Gua rasa udah magrib. Aku mau sholat dulu di
mussola..." kata Vino. Tapi suara mulut dan suara hatinya
saling bertolak belakang. Mulutnya memang berucap mau
sembahyang tapi dalam hati entah mengapa anak ini
merasa tidak enak mau beranjak keluar dari Opel Blazer
itu.
"Jangan pergi dulu Vin. Cerita Gita belum selesai."
Kebetulan Ronny melarang. Vino tetap duduk di tempatnya.
"Nenek-nenek yang kau liat itu, dia Cuma berdiri di
samping tempat tidur Boma? Nggak ngelakuin apa-apa?"
bertanya Ronny.
"Cuma diam. Berdiri menyoroti Boma dengan matanya
yang angker," jawab Gita.
"Aneh," ujar Ronny Celepuk. Lalu bertanya. "Keliatannya
cuma malem doang atau..."
"Malem lebih sering. Kalau siang seingatku cuma dua
kali. Sebentar doang lalu hilang..." jawab Gita.
"Aku jadi ingat Boma waktu ngigau. Kadang-kadang
suaranya berubah seperti suara nenek-nenek..." kata
Ronny pula.
"Ya, aku ingat," kata Vino membenarkan ucapan Ronny.
"Mungkin, ah aku nggak berani bilang!"
"Bilang aja. Kau mau bicara apa?" ujar Gita.
"Mungkin teman kita Boma kemasukan roh halus..."
Saat itu mendadak di jalan raya terdengar suara ban
mendenyit panjang di aspal. Menyusul suara benturan
keras. Lalu suara orang-orang berteriak dan berlarian. Di
dalam mobil Gita terpekik. Ronny dan Boma tersentak
kaget.
"Tabrakan..." kata Vino perlahan.
"Aku pengen kencing. Ron, temenin aku ke kamar
mandi..."
"Lu gila. Masa sih kencing aja minta ditemenin."
"Lu yang gila. Emangnya gua minta temenin sampai
masuk ke dalam. Sampai pintu doang. Jagain aku di pintu.
Aku takut...."
Vino tertawa. Ternyata yang takut bukan cuma dirinya.
"Gede-gede begini penakut amat sih..." kata Ronny
sambil tangannya membuka pintu mobil. Dia turun duluan,
baru Gita. Vino yang tak mau ditinggal sendiri segera pula
turun. Ketika ketiga anak itu jalan berdampingan ke bagian
belakang rumah sakit, beberapa orang memasuki
halaman, menggotong seorang anak muda yang keningnya
bocor. Darah bergelimang menutupi wajah dan sebagian
kemejanya. Seorang Satpam mendatangi sambil membawa
kereta dorong.
Ronny, Vino dan Gita memberi jalan. Sewaktu kereta
dorong lewat di depan mereka tercium bau minuman keras
santar sekali.
"Pasti nyetir dalam keadaan teler," kata Gita sambil
menutup hidung.
Di pintu depan menuju wc wanita Vino dan Ronny
Celepuk berdiri menunggu. Ini kesempatan untuk merokok,
pikir Ronny. Anak ini segera mengeluarkan rokoknya dari
kantong blujins. Dari kantong lain dia mengeluarkan korek
api gas. Tiba-tiba di dalam wc terdengar suara perempuan
menjerit. Lalu suara orang lari.
"Ron, Gita Ron!" kata Vino yang mengenali suara
temannya itu. Bungkusan rokok dan korek api di tangan
Ronny langsung jatuh ke ubin. Sesaat kemudian Gita
muncul berlari, sendal cuma sebelah, wajah pucat, nafas
sesak. Anak gemuk ini hampir jatuh terjerembab kalau
tidak cepat ditolong Vino dan Ronny.
"Ada apa Gita?!" tanya Vino.
"Kau kenapa Git?"
"Aku takut. Cariin supir gue Ron. Aku mau pulang aja ke
Jakarta. Aku mau pulang aja." Suara Gita gemetaran
setengah mau menangis.
"Pasti, tapi kenapa? Ada apa? Kenapa kau barusan
menjerit lalu lari!" ujar Ronny.
"Kau udah kencing?" tanya Vino.
"Belum, nggak jadi..."
"Ada apaan sih Git?" Ronny kembali bertanya.
Gita berpaling, memandang sekilas ke arah pintu wc.
"Aku... aku nggak berani bicara disini. Nanti aja dalem
mobil. Anterin aku ke mobil. Cariin supir gue Ron..."
Sampai di mobil Ronny kembali bertanya. "Sekarang kau
mau ngomong Git?"
"Iyya, cerita Git. Mukamu pucat. Kau keringatan...."
Gita Parwati mengusap wajahnya yang gembrot, lalu
mengusap lengannya yang basah oleh keringat. Lengan
kanan dengan tangan kiri, lengan kiri diusap dengan
tangan kanan. Dadanya masih turun naik. Setelah
tenangan sedikit anak ini baru berkata.
"Waktu aku mendorong pintu wc, mau masuk, aku lihat
nenek-nenek bongkok itu ada di sudut WC."
Wajah Ronny dan Vino langsung pucat. Sunyi, tak ada
yang bicara dalam mobil itu.
"Ron, sopir gue. Tolong cariin..." Gita akhirnya yang
bicara.
Ronny mengangguk. Dia memutar tubuh siap melangkah
pergi mencari supir.
"Biar gue temenin Ron," kata Vino lalu beranjak dari
kursi mobil yang baru saja didudukinya. Sebenarnya anak
ini merasa serem ditinggal sendirian bersama Gita.
"Gue ikut!" kata Gita lalu cepat-cepat membuka pintu
mobil dan meloncat turun.
Tiga anak SMA Nusantara III itu sama-sama mencari
supir yang kemudian mereka temui sedang asyik
menyantap soto mie.
***
11. BURUNG PUTIH DI ATAS ATAP
DWITA TIFANI keluar dari Starlet merah, melangkah di
lorong pendek yang menghubungkan garasi dengan
bagian belakang rumah. Capek badannya tidak
seberapa dibanding dengan pikirannya yang kacau. Mbok
Mirah muncul di ambang pintu menuju ruang dalam.
"Dari mana aja Non? Bapak sama Ibu nanyain terus...."
Dwita tak menjawab. Dia menyerahkan tas kulitnya pada
si pembantu seraya berkata. "Bawain ke kamar saya."
Maya—kakak Dwita—sedang membaca sebuah majalah,
menurunkan bacaannya, memandang ke arah adiknya.
"Aduh, anak Mama. Dari pagi ngilang baru pulang gini
ari."
"Aku capek May," jawab Dwita lalu menjatuhkan diri
duduk di sofa seberang Maya.
"Jelas, dari tampangmu yang lecek kusut udah keliatan.
Tapi kalau aku perhatikan kamu ini lebih banyak capek
pikiran dari pada capek badan."
"Tau deh."
Dwita melepaskan sepatu berhak rendah dari kedua
kakinya lalu enak melemparkan sepatu-sepatu itu ke sudut
ruangan di mana terletak sebuah rak sepatu. Hebatnya
dua sepatu itu jatuh tepat di bagian rak yang kosong,
seperti diletakkan secara baik-baik.
Maya tersenyum melihat perbuatan adiknya itu.
"Kau habis dari mana?" Maya bertanya.
"Bogor. Rumah Sakit PMI"
"Boma?"
Dwita mengangguk.
"Masih dirawat anak itu. Gimana keadaannya?"
Dwita tak segera menjawab. Disandarkannya kepalanya
ke sofa, menatap langit-langit ruangan sebentar lalu malah
memejamkan mata.
"Non cakep, jangan tidur di situ," kata Maya. "Ayo mandi.
Ganti baju. Papa sama Mama tadi bilang kalau kau sudah
pulang kita makan malam sama-sama."
"Nggak biasa-biasanya ada pesan makan malam sama-
sama. Pasti ada yang mereka mau bicarakan."
"Mungkin aja. Biasanya sih gitu," jawab Maya.
"Mungkin kau tau soal apa May?" Maya mengangkat
bahu.
Dwita menggeliat lalu berdiri dari sofa. Dia berlari-lari
kecil menaiki tangga ke tingkat atas rumah di mana
kamarnya terletak.
"Hai Non! Katanya capek! Kok bisa naik tangga sambil
lari? Aneh kau ini!" Berseru Maya. "Jangan lupa periksa
kamar mandimu Dwita! Siapa tahu gorilla tempo hari
nungguin kau di sana!"
***
DI MEJA makan kayu jati bundar malam itu Nyonya Tia
Erlan mengunyah makanan dalam mulu~nya perlahan-
lahan. Setelah menelan makanan dan meneguk sedikit air
dia melirik pada Dwita lalu memandang pada suaminya
yang duduk di seberang meja.
"Bagaimana keadaan teman-temanmu yang di rumah
sakit?" Tia Erlan bertanya sambil menyendok nasinya.
"Yang enam orang sudah pulang, Ma. Cuma Boma yang
masih dirawat."
"Boma, anak yang jadi team leader pendaki Gunung
Gede itu?"
"Benar Ma."
"Memangnya sakitnya berat sampai masih perlu terus
dirawat?" ayah Dwita yang bertanya.
"Sakitnya aneh Ma."
"Aneh gimana?" Bertanya sang ibu, hampir berbarengan
dengan Maya.
"Fisiknya sehat, nggak ada luka nggak ada apa-apa.
Hasil pemeriksaan darah di Lab juga bagus. Tapi dia
mengalami serangan panas tinggi terus-terusan."
"Mungkin ada gejala penyakit lain. Dokter pasti tahu,
tapi biasanya nggak pernah bilang…"
"Justru di situ letak keanehannya Ma. Dokter yang
merawat Boma tidak menemukan sebab-sebab panas
tinggi yang dialami Boma. Nggak ada tanda-tanda atau
gejala thypus. Demam berdarah juga nggak. Nggak ada
luka atau infeksi. Obat penurun panas tidak membantu."
"Dokternya nggak benar kalau gitu," ujar ibu Dwita.
"Masa' punya pasien tapi nggak tahu penyakitnya apa."
"Tapi Bomanya sadar?" tanya Maya.
Dwita menggeleng. "Matanya merem terus. Kadang-
kadang ngigau tak karuan. Kalau ngigau suaranya bisa
berubah seperti nenek-nenek. Kalau panasnya lagi naik dia
suka kejang-kejang, berontak-berontak. Jururawat terpaksa
mengikat tangan dan kakinya ke besi tempat tidur."
"Jangan-jangan anak itu kemasukan mahluk halus,"
ucap Erlan Sujatmiko ayah Dwita. '
"Papa ini ada-ada saja. Orang diserang demam panas
tidak heran kalau ngigau, ngomong ngacau. Malah ada
yang mau mengamuk. Boma masih untung belum sampai
ke situ...."
Erlan Sujatmiko diam saja.
"Papa percaya hal-hal seperti itu?" Dwita tiba-tiba ber-
tanya.
"Hal-hal yang mana?"
"Adanya mahluk halus, adanya hal-hal aneh dan gaib,"
ujar Dwita pula.
"Kenapa tidak?"
"Ayah Boma memang sudah minta bantuan orang
pinter."
"Dukun?" tanya Maya.
Dwita mengangguk.
Nyonya Tia Sujatmiko menggeleng-gelengkan kepala.
"Anak sakit panas kok dimintai tolong dukun. Bisa-bisa
nanti tambah tak karuan anak itu."
"Bagaimana kau tahu ayahnya Boma minta tolong
dukun?" tanya Maya.
"Aku diminta tolong nganterin ke rumah dukun itu. Dekat
Bogor juga."
"Apa yang dilakukan dukun itu?" tanya ayah Dwita.
***
ORANG pintar yang tinggal di Kedung Halang itu ber-
nama Sobirin Kartalegawa. Dia dikenal dengan panggilan
Haji Sobirin karena memang sudah empat kali naik haji ke
tanah suci Makkah. Kabarnya tahun depan dia akan me-
nunaikan Rukun Islam yang ke lima itu untuk kelima kali-
nya.
Haji Sobirin berusia lebih tujuh puluh tahun. Namun
fisiknya masih kelihatan sehat gagah. Wajahnya yang
kelimis dihias kumis dan janggut putih. Dia menyambut ke-
datangan tamu-tamunya dengan segala keramahan. Apa
lagi sebelumnya memang sudah kenal dengan Pak
Supangat, lelaki yang membawa ayah Boma ke rumahnya.
"Pak Supangat, lama kita tidak bertemu. Ada kabar apa
ini?" tegur tuan rumah.
Supangat menyalami Haji Sobirin lalu memperkenalkan
ayah Boma.
"Ini Pak Sumirto Danudirja, sahabat saya di Jakarta."
Ayah Boma dan Haji Sobirin saling mengulurkan tangan.
"Ini gadis cantik puterinya siapa? Puteri Pak Supangat
atau Pak Sumitro?" tanya Haji Sobirin sambil memandang
pada Dwita Tifani.
"Ini teman anak saya," menerangkan ayah Boma. "Dia
yang ngantarkan kami ke sini."
Haji Sobirin mengangguk-angguk. Setelah dipersilahkan
duduk oleh tuan rumah Pak Supangat langsung saja pada
maksud tujuan kunjungannya.
"Pak Haji mungkin dengar peristiwa rombongan anak-
anak sekolah yang mengalami musibah di Gunung Gede?"
"Oo itu? Cucu saya memang pernah cerita. Katanya
dimuat di koran...."
"Kedatangan kami ini ada hubungannya dengan kejadi-
an itu. Salah seorang anak sekolah itu, putera Pak Sumitro
ini, saat ini masih dirawat di rumah sakit. Teman-temannya
yang enam orang sudah keluar...." Lalu Pak Supangat me-
nuturkan riwayat sakit yang dialami Boma dan keadaannya
sekarang ini. Pak Supangat menutup ceritanya dengan
ucapan. "Kami datang, mudah-mudahan Pak Haji mau
membantu. Tolong lihat, apa benar mungkin sakitnya anak
Pak Sumitro ini ada kelainan. Lalu kalau betul mohon
bantuan penyembuhannya sekalian...."
Lama Haji Sobirin terdiam, mungkin di dalam hati
membaca sesuatu. Lalu dia berkata. "Pak Sumitro, saya
sering bilang sama Pak Supangat, saya ini bukan orang
pinter. Apa lagi kalau sampai disebut dukun. Tapi yang
namanya orang minta tolong, saya tidak berani menolak.
Saya akan lakukan apa yang saya bisa. Tapi ingat semua
bukan karena ilmu atau kepandaian saya. Semua adalah
petunjuk dari Yang Maha Kuasa." Waktu menyebut Yang
Maha Kuasa Haji Sobirin menunjukkan jari telunjuknya ke
atas. Lalu dia bangkit berdiri, menutup pintu depan dan
semua jendela. Setelah itu dia mengajak ke tiga orang
tamunya itu masuk ke ruangan dalam.
Setelah duduk di ruang dalam Haji Sobirin bertanya
pada Pak Supangat.
"Siapa nama putera Bapak Sumitro ini?"
"Boma," jawab Pak Supangat.
"Boma Tri Sumitro." Berkata ayah Boma menyebut nama
lengkap anaknya.
"Ingat tanggal lahirnya putera Bapak?" tanya Haji Sobirin
selanjutnya.
Sumitro Danurejo mengusap rambut di kepalanya be-
berapa kali. "Maaf, Pak Haji. Saya lupa." Tanggal lahir anak
nya sendiri lelaki ini tidak ingat.
"Hari lahirnya mungkin?" tanya Haji Sobirin lagi sambil
tersenyum.
"Kalau harinya saya ingat betul Pak Haji. Hari Kemis
malam Jum'at Kliwon. Jam sebelas tiga puluh malam."
Haji Sobirin mengangguk. Perlahan-lahan dia pejamkan
kedua matanya. Telapak tangan dikembangkan, diletakkan
di atas paha. Ayah Boma dan Pak Supangat memper-
hatikan dengan pandangan mata yang hanya sekali-sekali
berkedip. Dwita diam-diam merasa tegang. Apa yang te-
ngah dilakukan orang tua berkumis dan berjanggut putih
ini? Apakah sesuatu akan terjadi di tempat itu? Anak
perempuan ini semakin tegang ketika dilihatnya tubuh
sebelah atas dan kepala Haji Sobirin tersentak-sentak.
Wajahnya yang putih klimis kini berubah kemerahan dan
peluh bercucuran di keningnya. Ayah Boma berpaling pada
Pak Supangat. Kalau ayah Boma tampak mulai ada rasa
tegang, sebaliknya Pak Supangat tenang saja. Mungkin hal
seperti ini biasa dilihatnya setiap dia mengantar orang
meminta pertolongan Pak Haji.
Tak selang berapa lama sentakan-sentakan di tubuh
dan kepala Haji Sobirin berhenti. Perlahanlahan kedua
matanyapun terbuka kembali. Sambil mengucap istigfar
beberapa kali dia mengusap keningnya yang basah oleh
keringat. Lalu dia meniandang pada ayah Boma. Hanya
memandang saja, tidak berkata apa-apa. Hal ini membuat
Sumitro Danurejo merasa tidak enak. Lelaki ini bertanya.
"Bagaimana Pak Haji?"
Yang ditanya mendehem beberapa kali. "Pak Sumitro,
mungkin di rumah Bapak ada menyimpan barang-barang
pusaka? Benda-benda kuno?" Ayah Boma menggeleng.
"Coba Bapak ingat-ingat. Mungkin saja sebilah keris,
atau pisau kecil. Mungkin juga batu atau jimat...." kata Haji
Sobirin lagi.
Sumitro Danurejo coba mengingat-ingat. Tapi memang
dia tidak pernah menyimpan benda-benda seperti yang di-
sebutkan Haji. Sobirin itu maka kembali dia menggeleng
kan kepala.
"Saya tidak ada menyimpan benda-benda seperti Pak
Haji katakan itu."
Haji Sobirin pejamkan mata sesaat, seperti merenung:
Ketika membuka matanya kembali, dia memandang pada
ayah Boma lalu berkata.
"Dalam petunjuk yang saya lihat putera Bapak tengah
menghadapi satu perkara besar. Saya juga melihat ada
cahaya putih. Pertanda perkara itu bukan suatu yang
buruk. Mungkin, mungkin ada seseorang hendak menurun-
kan atau memberikan ilmu pada putera Bapak...."
Ayah Boma terkejut. Dia memandang sesaat pada Pak
Supangat, melirik pada Dwita yang duduk tak bergerak di
kursinya dan masih menunjukkan wajah tegang.
"Ilmu apa?" tanya ayah Boma kemudian.
"Tidak bisa saya pastikan. Yang jelas bukan ilmu tulis
baca, bukan ilmu sekolahan...." jawab Haji Sobirin.
Sumitro Danurejo bertanya lagi. "Siapa yang hendak
memberikan ilmu itu, Pak Haji?"
"Mungkin di antara kakek dari kakeknya Bapak,
mungkin juga dari garis istri Bapak pernah ada seorang
yang memiliki ilmu tertentu?"
"Dari saya jelas tidak ada. Entah dari ibunya Boma. Tapi
saya rasa juga tidak...."
"Pak Sumitro yakin?"
"Saya yakin."
"Kalau begitu...." kata Haji Sobirin sambil mengusap
janggut putihnya. "Mungkin ada orang lain yang hendak
mewariskan ilmunya pada Boma. Tapi putera Bapak
menolak...."
"Karena menolak dia lalu mendapat serangan demam
panas?" tanya ayah Boma.
"Mungkin saja, tapi tidak selalu begitu...."
"Pak Haji, orang yang mau mewariskan ilmu itu kepada
Boma, dia...." Sumitro Danurejo tak bisa meneruskan kata-
katanya. Dia seperti tak tahu mau bicara apa lagi.
"Pak Mitro," kata Haji Sobirin. "Kalau mau cari tahu
siapa orangnya itu adalah hal yang sulit. Tapi yang jelas
orang itu sudah lama tiada. Sudah berada di alam barzah,
alam roh, sejak puluhan mungkin ratusan tahun silam."
"Jadi hantu, jin?" ujar Sumitro.
Dwita merasa kuduknya dingin. Pak Supangat tak ber-
gerak dari kursinya. Haji Sobirin tersenyum.
"Apa yang akan terjadi itu di luar kuasa kita. Mungkin
sudah begitu jalan hidup putera Bapak." Di luar kuasa kita
manusia, sesuai kehendak Yang Maha Kuasa. Yang dapat
kita lakukan ialah berusaha supaya putera Bapak tidak
mengalami hal-hal tak diinginkan."
"Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk menolong anak
saya?" tanya Sumitro Danurejo pula.
"Kita sama-sama meminta pertolongan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa
dengan putera Bapak. Haji Sobirin diam sebentar baru
meneruskan. "Satu hal perlu Pak Mitro ketahui, saya
melihat bahwa putera Bapak mempunyai kepribadian yang
kuat, rasa welas asih dan setia kawan yang tinggi, memiliki
keberanian luar biasa tetapi yang ditutupnya dengan
senyum dan keramahan, kadang-kadang dengan senda
gurau."
Haji Sobirin bangkit dari kursinya. Meminta ketiga
tamunya untuk menunggu sebentar lalu masuk ke dalam
kamar. Ketika tak selang berapa lama keluar dari
kamar,Haji Sobirin membawa satu botol air putih daIam
botol plastik ukuran satu liter. Dia menyerahkan botol itu
pada ayah Boma seraya berkata.
"Kompreskan air ini dengan handuk kecil atau sapu
tangan ke kepala putera Bapak. Setiap Bapak
mengompres, baca apa saja yang Bapak bisa baca. Paling
tidak ucapkan Bismillah Mudah-mudahan Allah mem-
berikan kesembuhan."
Ayah Boma mengangguk, menerima sebotol air putih.
Baru saja dia mengucapkan terima kasih, tiba-tiba di
wuwungan rumah terdengar suara menggelepar keras
sekali. Dwita terkejut, juga ayah Boma dan Pak Supangat.
Ketiganya memandang ke atas. Yang tampak cuma eternity
putih. Haji Sobirin merenung sejenak. Lalu berkata pada
ketiga tamunya.
"Ikuti saya. Ada tamu di atas atap...."
Dengan langkah-langkah tercekat Dwita, ayah Boma dan
Pak Supangat mengikuti Haji Sobirin keluar rumah.
Halaman rumah Haji Sobirin menyelimuti. Di salah satu
ujung halaman Haji Sobirin berhenti. Dia membalikkan
badan, memandang ke arah atap rumah.
Di bagian atap yang paling tinggi ke tiga orang itu me-
lihat bertengger seekor burung putih besar, kepalanya di-
arahkan pada orang-orang di halaman seolah membalas
pandang mereka. Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara
panjang raungan anjing.
"Burung putih...." kata Haji Sobirin perlahan tapi cukup
terdengar oleh ke tiga orang yang berada di dekatnya.
"Orang yang hendak memberikan ilmu kepandaian itu
mengutus burung putih. Memberi tanda bahwa dia tidak
bermaksud jahat tapi sekaligus memberi tahu bahwa
maksudnya jangan dihalangi. Kalau saja dia mengirim
burung hitam, akan lain artinya...."
Begitu Haji Sobirin selesai berucap, burung putih besar
di atas atap merentangkan sayapnya. Terdengar suara
menggelepar keras. Burung itu melesat ke udara, berputar
satu kali di atas rumah Haji Sobirin lalu melayang ke arah
timur dan lenyap ditelan gelapnya malam.
***
DI MEJA makan Dwita meneguk air putih dalam gelas
sampai setengahnya lalu menyeka bibir dengan kertas tisu.
"Makannya cuma sedikit. Masakan Mama tidak enak
atau sudah makan tadi di jalan?"
Dwita tersenyum mendengar pertanyaan ibunya itu.
"Masakan Mama enak. Perut sebenarnya masih mau
nerima, Ma. Tapi cukup sedikit aja, takut gemuk."
"Anak sekarang. Kalau makan nasi banyak-banyak di
rumah katanya takut gemuk. Tapi kalau jajan makanan
yang banyak fatnya di luar, wah tidak pernah cari alasan...."
Dwita tersenyum, mendekatkan wajahnya ke wajah sang
ibu lalu mencium pipinya. Anak ini kemudian berpaling
pada ayahnya.
"Pa, apa mungkin air putih bisa menyembuhkan orang
sakit?"
Erlan Sujatmiko menyandarkan punggung ke sandaran
kursi. Dia maklum pertanyaan puterinya itu ada kaitannya
dengan sakitnya Boma. Sang ayah menjawab.
"Tergantung daya khasiat air itu serta apa penyakit yang
hendak disembuhkan. Kalau yang Dwita maksudkan air
putih tadi, air putih untuk obat temanmu itu, mungkin saja
bisa jadi sumber kesembuhan. Karena penyakit temanmu
itu di luar wajar. Di luar jalur ilmu kedokteran. Tentunya
jangan lupa sembuh apa tidaknya semua itu akan ter-
gantung pada kehendak Yang Maha Kuasa."
"Papa kalian memang suka percaya pada hal-hal seperti
itu. Kekuatan gaib, black magic, santet, guna-guna...."
"Saya tidak begitu saja percaya Ma. Lagi pula orang-
orang pintar zaman sekarang yang katanya dukun ini
dukun itu, tidak semuanya bisa dipercaya. Ada yang cuma
dukun-dukunan, menipu orang saja kerjaannya. Malah ada
juga dukun cabul. Baca di surat-surat kabar. Berapa
banyak saja yang sudah ditangkap. Lalu kalau saya tidak
mengalami sendiri, mana mungkin mau percaya begitu
saja? Ingat peristiwa tujuh tahun lalu?"
"Memangnya ada kejadian apa tujuh tahun lalu Pa?"
tanya Maya.
"Tidak ada apa-apa. Tak perlu diceritakan pada anak-
anak," kata Nyonya Tia Erlan.
"Lebih bagus diceritakan pada anak-anak. Agar mereka
tahu bagaimana sebenarnya hidup dari kehidupan ini. Lagi
pula peristiwanya sudah cukup lama berlalu."
"Ya, cerita dong Pa," kata Dwita.
"Iya, kami kepingin tahu. Masa pakai rahasia segala
sama kami anak-anak," pinta Maya.
Erlan Sujatmiko meneguk airnya lalu mulai bercerita.
"Waktu itu—tujuh tahun lalu—di kantor sudah tersiar
kabar bahwa Papa akan diangkat dan ditugaskan sebagai
Konsul di luar negeri. Tiga bulan menjelang keberangkatan,
papa jatuh sakit. Yang sakit di bagian perut. Mula-mula
seperti diare. Buang-buang air selama seminggu. Badan
Papa susut. Berat badan merosot terus. Papa masuk
rumah sakit. Hampir dua minggu dirawat sembuh. Boleh
pulang. Tapi belum satu hari sampai di rumah, sakit perut
kumat lagi. Kali ini bukan diare tapi buang air campur
darah segar. Untuk kedua kali Papa masuk rumah sakit
lagi. Beberapa dokter ahli menangani. Karena banyak
dokter jadi diagnosenya juga banyak. Hasil ronsen tidak
menunjukkan apa-apa. Padahal perut Papa sakitnya
seperti ditusuk-tusuk. Lalu ada seorang kawan menasihat-
kan agar penyakit Papa coba dilihat pada orang pintar.
Papa, juga Mama tadinya tidak mau. Namun teman itu
secara diam-diam pura-pura menengok Papa mendatang-
kan orang pintar tadi ke rumah sakit. Kalau tidak salah
orang itu bernama Susilo. Setelah melihat Papa, Pak Susilo
memberi tahu pada teman Papa bahfa Papa bukan sakit
biasa, tapi ada yang dengki karena Papa diangkat jadi
Konsul. Katanya Papa lebih baik pulang saja, percuma
dirawat di rumah sakit. Sampai kapanpun tak bakal
sembuh. Nanti kalau sudah di rumah dia yang akan ber-
usaha menolong. Papa berunding dengan Mama. Akhirnya
disepakati Papa tidak boleh dibawa pulang. Kalau orang
pintar itu memang mampu, dia harus mengobati Papa
langsung di rumah sakit. Karena begitu permintaan Papa,
orang yang mau menolong tidak keberatan. Papa ingat,
hari itu Jum'at malam Sabtu. Hari Sabtunya hari ulang
tahun Papa yang ke empat puluh dua. Setelah jam
kunjungan selesai, teman Papa tadi dan orang pintar itu
tetap tinggal di kamar tempat Papa dirawat...."
***
"PAK ERLAN, apa saya boleh mematikan lampu besar,
menggantikan dengan lampu kecil saja...?" Susilo, orang
yang hendak mengobati Erlan Sujatmiko bertanya.
Lelaki itu belum sempat menjawab istrinya mendahului.
"Kalau boleh biar terang seperti ini saja, Pak. Suami
saya tidak biasa gelap, suka pengap...."
"Baik Bu, ndak apa-apa. Tapi janji, Ibu atau Bapak
jangan kaget melihat nanti apa yang teradi. Pak Erlan,
kalau terasa sakit usahakan ditahan. Jangan sampai ber-
teriak." Susilo kemudian membuka baju piama yang di-
kenakan Erlan Sujatmiko, menurunkan celana sampai se-
batas pinggul. Dia pejamkan kedua matanya sementara
mulutnya tampak berkomat-kamit. Erlan Sujatmiko tiba-tiba
melihat wajah Susilo berubah putih seolah tidak berdarah
lagi. Dalam keadaan seperti itu perlahan sekali, dia gerak-
kan tangan kanannya. Telapak tangan dikembangkan
menghadap ke bawah. Lalu ditempelkan di atas perut,
dekat pusar sebelah kanan."
Erlan Sujatmiko merasa perutnya panas seperti ditindih
seterika. Dia hendak menjerit tapi masih ingat ucapan
Susilo agar tidak berteriak apapun yang terjadi. Ternyata
rasa sakit itu hanya sebentar. Ketika Susilo mengangkat
tangannya dari atas perut rasa sakit itu serta merta meng-
hilang.
Susilo membalikkan telapak tangannya. Tangan itu
tampak berlumuran darah. Di atas lumuran darah ada
tujuh buah jarum yang rata-rata sudah hitam karatan.
Ketika Erlan Sujatmiko memeriksa perutnya, dia tidak me-
lihat bekas luka, hanya sedikit noda darah di dekat pusar-
nya.
***
"WAKTU itu tengkuk Mama terasa dingin merinding. Tapi
masih belum bisa percaya," kata ibu Dwita. "Bagaimana
mungkin ada tujuh buah jarum di perut Papa kalian. Dan
Pak Susilo mengeluarkannya dengan cara begitu luar
biasa."
Erlan Sujatmiko meneruskan ceritanya.
"Dua hari kemudian Papa minta pulang. Para dokter
melarang karena katanya akan ada pemeriksaan khusus
sekali lagi. Tapi Papa bilang Papa sudah sembuh. Mereka
semua heran. Karena kenyataannya Papa memang mereka
lihat benar-benar sehat. Lalu jarum-jarum itu, masih Papa
simpan sampai sekarang."
"Ih, dibuang aja Pa. Buat apa disimpan-simpan," kata
Dwita.
"Hitung-hitung buat kenang-kenangan," jawab sang
ayah.
"Soal permintaan Pak Susilo yang Mama tolak waktu
minta mematikan lampu, sebenarnya cuma pura-pura saja.
Papa kalian tidak pernah pengap dalam gelap, malah
senang gelap-gelapan...."
Erlan Sujatmiko tertawa terbahak-bahak.
Ibu Dwita meneruskan. "Maksud Mama begini. Kalau
Pak Susilo dukun bohongan, dalam gelap siapa tahu apa
yang dikerjakannya. Jangan-jangan jarum-jarum karatan itu
bisa saja sudah disiapkannya lebih dulu. Ternyata dia
memang orang pintar benaran."
"Papa tau siapa orang yang ngejailin Papa itu?" Maya
bertanya.
"Ya, duga-dugaan memang ada. Tapi hal semacam itu
suatu yang sulit untuk dibuktikan. Yang penting papa
sembuh. Bersyukur pada Tuhan. Lagi pula Pak Susilo ber-
pesan, agar papa jangan punya rasa dendam kepada
siapapun. Pulangkan semuanya pada Yang Maha Kuasa...."
Erlan Sujatmiko meneguk kopi yang baru saja diantarkan
Mbok Mirah. Setelah meletakkan cangkir kopi kembali dia
berkata. "Sekarang kita bicarakan soal lain. Ada ke-
mungkinan, bukan, bukan kemungkinan. Tapi hampir pasti.
Awal tahun depan Papa akan diserahkan satu jabatan di
New York. Di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa."
"Ya illah Papa! Di Jakarta baru enam bulan, sudah mau
pindah lagi. Gimana dong sekolah Dwita." Dwita seperti
protes.
"Tadinya Papa memang ingin mengusulkan tugas itu di-
serahkan pada teman lain yang lebih senior. Tapi nama-nya
tugas dan Papa pegawai Pemerintah yang diberi kepercaya-
an, tidak baik kalau menolak. Lagipula sekali ini semua
teman mendukung Papa untuk jabatan baru itu. Mungkin
ini tugas Papa yang terakhir sebelum memasuki pensiun."
Dwita terdiam. Dia merenung memandangi piring
kosong di depannya. Yang terbayang olehnya saat itu
adalah Boma.
Malam itu ketika hendak memasuki kamar masing-
masing, sambil melangkah di samping adiknya Maya
berkata. "Aku tau, apa yang ada dalam benakmu waktu di
meja makan. Waktu Papa bilang ada tugas baru di New
York. Berarti kita ikut boyongan ke sana...."
"Apa? Apa yang ada di benakku? Sok tau kau May." Ujar
Dwita Tifani sambil tersenyum.
"Boma."
Sehyum Dwita berubah jadi tawa.
"Iya 'kan?"
"Anggep aja iya!" sahut Dwita.
"Boma! Namanya sih keren. Garang. Gimana sih anak-
nya. Aku jadi ingin tau orangnya," kata Maya.
Dwita melambaikan tangan, mencibir lalu masuk ke
dalam kamarnya.
***
12. WELCOME HOME BOMA!
ROMBONGAN anak-anak SMA Nusantara III yang
menjemput Boma di Rumah Sakit PMI Bogor
termasuk ayah serta ibu Boma terdiri dari lima
kendaraan. Boma si sakit yang baru sembuh berada dalam
mobil urutan kedua Opel Blazer milik ayah Gita. Mobil ini
tadinya khusus hanya akan ditumpangi oleh tujuh anak '
anggota rombongan Proyek "GG" yaitu Boma, Gita Parwati,
Andi, Firman, Vino, Rio dan Ronny. Tidak boleh campur
dengan anak-anak lain bahkan orang tua juga tidak. Ter-
nyata ketika Boma dan enam temannya masuk, Trini sudah
lebih dulu berada di dalam mobil.
"Hai! Aku boleh dong gabung di sini! Habis kangen sama
Boma!" kata Trini.
Mungkin kaget dan tak menduga, mungkin juga kurang
senang, tak ada yang menyahuti. Ronny Celepuk langsung
duduk di belakang kemudi. Gita di kursi depan sebelah
Ronny. Tampangnya yang gendut jelas ditekuk karena
kesal. Hatinya menggerutu. "Enak aja 'tu kucing garong
naik mobil gue. Ngomong kek, ijin kek!"
Untuk menghilangkan suasana yang mendadak jadi
tidak enak, Vino berkata. "Boleh aja Rin. Asal mau dempet-
dempetan!"
"Dempet-dempetan! Itu yang dicari!" kata Andi yang
duduk nyempil di pinggir kiri. Di sebelahnya Boma, lalu
diseling oleh Vino duduk Trini, baru yang lain-lain. Enam
orang di sebelah belakang memang lumayan sesak. Tapi
anak-anak itu tidak perduli. Yang penting mobil bisa jalan.
Ke Jakarta. Boma sudah sembuh!
"Ron, memangnya kau udah punya SIM?" tanya Boma.
"Beres Bom, jangan kawatir."
"Kalau KTP terus terang gue belon punya. Tapi SIM
udah. Itu hebatnya Ronny Celepuk!" Ronny mengagulkan
diri.
"Pasti SIM nembak!" kata Rio.
"Coba gue liat! Jangan-jangan SIM lu SIM kuda!" `kata
Vino.
Tawa pertama meledak dalam Opel Blazer itu.
"Ude Ron, jalan," kata Gita. Barusan bisa tertawa tapi
kini kembali cemberut sebel. "Di belakang temen-temen
udah pada nglakson. Lu nggak dengar apa?"
"Tenang aja Git," jawab Ronny. Lalu seperti penyiar
ramalan cuaca anak ini berkata. "Udara cerah tak berawan.
Suhu sekitar dua puluh tiga derajat selsius. Kecepatan
angin rata-rata dua puluh kilometer per jam. Kalau gua
kebut setengah jam pasti sampai di Jakarta!"
"Betul! Tapi langsung RSCM!" teriak Andi.
Tawa kedua menggema dalam mobil itu.
Begitu Opel Blazer keluar dari pintu gerbang Rumah
Sakit PMI, Ronny mulai menyanyi. Lagunya Kembali Ke
Jakarta yang biasa dinyanyikan Koes Plus.
Di sana rumahku, dalam kabut biru
Hatiku sedih di hari Minggit
Di sana kasihku, sendiri menunggu
Di batas waktu yang t'lah tertentu
Mula-mula suara Ronny sendiri dan perlahan. Lalu Gita
mulai mengikuti. Terus yang lain-lain tak mau ketinggalan.
Mobil itu seolah meledak ketika semua anak yang ada di
dalamnya menyanyikan keras-keras reffrain dari lagu.
Ke Jakarta aku kan kembali
Walaupun apa yang kan terjadi
Ke Jakarta aku kan kembali
Walaupun apa yang kan terjadi
Selama perjalanan ada satu hal yang ingin ditanyakan
Boma. Dia tidak melihat Dwita. Dia mau bertanya pada
Andi yang duduk di samping kirinya. Tapi harus cari
kesempatan baik karena Trini berada di sebelahnya, hanya
terpisah oleh Vino yang duduk tepat di samping kanannya.
Dalam keadaan seperti ini, kebiasaan Boma muncul. Dia
mulai menowel-nowel hidungnya sendiri.
Lewat kaca spion di atasnya Ronny kebetulan melihat
kelakuan Boma. Langsung saja dia berucap. "Bom, sakit
segitu lama, gue kirain lu udah lupa nowelin hidung."
Boma cuma mesem dan menowel hidungnya sekali lagi.
Ketika mobil meluncur melewati pintu keluar toll Cibinong
baru Boma dapat kesempatan. Dia berbisik pada Andi.
"Aku nggak ngeliat Dwita. Dia nggak tau aku pulang hari
ini?"
"Tau Bom. Dia tau. Katanya mau datang. Mungkin ada
halangan...." jawab Andi.
"Halangannya mungkin Trini," bisik Boma lagi. "Karena
Trini ikut rombongan kalian, dia ngalah. Ngindarin ketemu
Trini. Aku dengar dari Ronny tadi Dwita marah besar sama
Trini karena dibohongin pakai tilpon. Bener, yang itu
memang bener. Tapi soal Dwita nggak datang aku rasa...."
Boma membenturkan pahanya ke paha Andi ketika
sudut matanya melihat Trini memperhatikan dirinya dan
berusaha mencuri dengar apa yang dibicarakannya dengan
Andi berbisik-bisik.
***
RUMAH kecil di ujung gang yang tadi penuh sesak oleh
anak-anak SMA Nusantara III kini tenggelam dalam
kesunyian. Boma masih berdiri di pintu pagar walau teman
temannya sudah lama pulang. Hatinya haru. Persahabatan
terkadang melebihi dari segala-galanya.
"Boma, kok masih berdiri di pagar? Ayo masuk. Kau
masih perlu istirahat..." Ibu Boma memanggil anaknya dari
ruang tamu. Sementara ayah Boma mulai sibuk dengan
pekerjaan sablon.
"Bram kemana, Bu?" tanya Boma begitu masuk ke
dalam rumah.
"Kakakmu itu hari ini mengikuti tes dalam rangka
lamaran kerja. Mungkin sore baru pulang," menerangkan
ibu Boma. "Kau mau tidur di kamar bawah saja, biar Bram
yang di atas?"
"Saya di kamar atas saja Bu. Di atas...."
"Kau bisa naik tangga sendiri?"
"Masa sih nggak bisa Bu. Boma 'kan sudah sembuh."
Nyonya Hesti Sumitro tersenyum mendengar awaban
anaknya itu. "Sudah, naik sana. Hati-hati. Tidur. Nanti ibu
buatkan makanan kesenanganmu."
"Terima kasih Bu," kata Boma. Diciumnya pipi ibunya
lalu dia naik ke tingkat atas. Begitu masuk kamar matanya
langsung tertumbuk pada satu karangan bunga mawar
merah dalam vas kuning, terletak di atas meja kecil dekat
kepala tempat tidur. Pada plastik pembungkus sehelai
amplop ditempelkan dengan selotip. Boma mengambil
amplop itu lalu membukanya. Isinya sehelai kartu, ber-
gambar setangkai bunga mawar ditebari tetesan embun
segar. Di sebelah dalam kartu tertera serangkaian tulisan.
Welcome home Boma.
I miss yoii very much and will
see you soon. Take care.
Dwita
"Dwita, tadi aku memang merasa kecewa. Namun
melihat bunga ini, aku tahu kau selalu memperhatikan
diriku."
Boma duduk di tepi tempat tidur. Dibukanya plastik
pembungkus bunga mawar. Diangkatnya vas kuning dari
atas meja. Kuntum-kuntum bunga mawar merah didekat-
kannya ke hidungnya lalu dicium. Terasa keharuman yang
segar memasuki rongga dadanya.
"Ibu lupa memberi tahu. Bunga itu dari seorang teman-
mu. Namanya Dwita. Malam tadi, dia sendiri yang me-
ngantarkan ke sini."
Boma memandang ke pintu. Di situ ibunya berdiri. Boma
merasa, agaknya kedatangan ibunya bukan hanya hendak
memberitahu perihal bunga mawar dalam vas kuning itu
saja. Ada sesuatu yang lain. Boma bisa merasakan. Dan
dia tidak menunggu lama.
"Boma, ada yang ingin ibu katakan. Sekalian mau di-
tanyakan. Sewaktu ayahmu hendak membayar biaya
perawatanmu di kantor rumah sakit; pegawai di sana
memberi tahu, semua biaya sudah dilunasi. Ayahmu ter-
kejut sekali. Padahal sampai kemarin dia masih bingung
mencari pinjaman untuk membayar biaya rumah sakit.
Tahu-tahu ketika mau dibayar sudah ada orang yang
melunasi...."
"Ayah tidak menanyakan siapa yang membayar?"
"Ada. Kata pegawai rumah sakit yang membayar
seorang perempuan. Itu dilakukannya kemarin siang se-
telah minta perincian pembayaran sampai kau keluar."
"Pegawai itu nggak nyebutin nama?"
Ibu Boma menggeleng. "Kelihatannya dia tidak mau
diketahui siapa dirinya."
"Lucu," kata Boma. Dia berpikir-pikir. "Ayah tidak tanya
ciri-ciri orang itu?"
"Saat itu ayahmu mana ada pikiran sejauh itu. Sudah di-
bayarkan orang saja kagetnya bukan main. Tapi juga ber-
syukur senang. Mungkin kau tahu siapa kira-kira yang ber-
budi baik itu?"
Boma meletakkan vas kuning kembali ke atas meja
kecil.
"Boma nggak tau Bu. Nggak bisa menduga," jawab
Boma. Namun di lubuk hatinya anak ini bicara sendiri.
"Dwita? Dia mampu melakukan. Karena uangnya banyak.
Tapi masa' sih dia sampai berbuat sebaik itu? Mungkin
Trini? Rasanya tidak. Tapi siapa tau. Aku harus nyelidikin.
Saat ini aku cuma bisa berdoa pada Tuhan. Agar orang itu
dilimpahi rahmat, berkah dan rejeki berlipat ganda atas
kebaikan budinya."
Boma berpaling ke pintu. Hendak menanyakan berapa
besar biaya perawatan dirinya yang telah dibayar orang itu.
Namun memandang ke pintu ibunya tak ada lagi di situ.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar