SERIAL: "BOMA GENDENK"
JUDUL: TOPAN DI BOROBUDUR
Oleh: BASTIAN TITO
HAK CIPTA DAN COPY RIGHT
PADA BASTIAN TITO
DIBAWAH LINDUNGAN UNDANG-UNDANG
Diterbitkan pertama kali Tahun 1997
oleh Penerbit Duta Media, Jakarta
P.O. BOX. NO. A226/JKTJ/13342
Foto cover Depan: Orly Velli Valentine
Vino Giovanni
Dilarang keras memfotokopi atau memperba-
nyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
-----------------------------------------------&
SATU
SHOPPING NYAWA
SABTU sore. Di bawah tangga Hard Rock
Cafe di gedung Sarinah, di atas sebuah drum
plastik, seorang kakek berpakaian kumal duduk
memperhatikan keadaan sekitarnya. Terkadang
dia terkagum-kagum melihat mobil bagus lewat di
depannya. Sesekali dia tersenyum memperhatikan
pasangan muda-mudi yang jalan sambil berang-
kulan mesra seolah takut roboh ditiup angin yang
sore itu memang bertiup agak kencang. Di pang-
kuannya ada sebuah kerincingan sedang di ping-
gang tergantung sebuah gendang kecil. Dekat ka-
kinya yang memakai sendal butut ada sebuah
payung kecil, terbuat dari kertas. Sampai hari
mulai gelap kakek bermuka cekung keriput, mata
belok dan hidung pesek itu masih duduk di tem-
pat itu.
Empat orang anak muda berhenti di depan
si kakek. Salah seorang diantara mereka yang
mengenakan T-shirt merah darah dan blujins
yang salah satu lututnya sengaja dirobek, berna-
ma Aming, sambil menunjuk pada si kakek ber-
kata iseng.
"Wah, ni die orangnya mahluk langka yang
bakal jadi bintang tamu di cafe nanti malam."
Teman-teman Aming tertawa gelak-gelak.
Si kakek yang duduk di atas drum plastik tersenyum monyong hingga deretan giginya yang ton-
gos seperti mau melompat keluar.
"Wah, giginya ngetril lu!" kata Aming dan
kembali membuat tiga temannya tertawa.
"Ming, kalau lu bilang mahluk langka,
musti dilestarikan dong!" Teman Aming yang me-
makai jaket biru gelap berkata sambil letakkan
tangan kirinya di bahu Aming.
"Dilestarikan gua rasa kurang tepat. Co-
coknya diawetkan!" kata Aming pula.
Kembali anak-anak muda itu tertawa ge-
lak-gelak. Sementara si kakek sendiri tetap duduk
tenang di atas drum plastik biru.
"Kek, kayaknya biasa ngamen ya?" Aming
bicara lagi sambil bertolak pinggang.
"Ya, namanya olang cali lejeki. Asal halal"
kakek yang ditanya menjawab sambil nyengir.
Ternyata si kakek cadel, tidak bisa menye-
but huruf R.
"Wah, tau-tauan halal en haram segala,"
anak lelaki di ujung kanan berkata. "Bos tua, tau
nggak! Jaman sekarang yang haram aja susah
apa lagi yang halal."
Dua alis mata si kakek naik ke atas. Mu-
lutnya yang tonggos sungingkan senyum.
"Bisanya nyanyi apaan aja Bos?" Aming
bertanya lagi.
"Lock bisa, countly hayo, dangdut jangan
ditanya. Keloncong gecel. Kasidahan juga nggak
nampik..." Habis berkata si kakek tertawa sendiri
cekikikan.
Empat anak muda di depannya ikutan ter-
tawa. "Kek, dari pada duduk di sini ngerusak pe-
mandangan, nih aku kasih duit seceng. Pergi dari
sini." Aming, anak muda berkaos merah lempar-
kan selembar uang ribuan ke pangkuan si kakek
lalu sambil tertawa-tawa ajak teman-temannya
tinggalkan tempat itu.
Kakek bermata belok bergigi tonggos perha-
tikan uang ribuan di pangkuannya, melirik pada
rombongan empat anak muda yang saat itu ten-
gah berjalan menuju tangga gedung Sarinah di
samping McDonald's. Uang kertas ribuan diam-
bilnya. Sambil bersiul-siul kecil dia menggulung
uang kertas itu lalu sekali tangan kanannya ber-
gerak set! Hampir tidak kelihatan saking cepatnya
gulungan uang kertas seribu perak itu melesat ke
arah tangga gedung Sarinah.
"Aduh!"
Aming yang saat itu tengah menaiki tangga
menjerit keras. Kaki kanannya seperti ditendang
lalu ambruk. Tubuhnya menyusul berlutut. Kalau
tidak dipegangi teman-temannya pasti jatuh di
tangga.
"Eh, Ming, lu kenapa?" salah seorang telah
bertanya.
"Kaki gua... Kayak ada yang nendang." Am-
ing menjawab sambil pegangi betisnya. Tangan-
nya menyentuh sesuatu, Ada sebuah benda me-
nancap dl kaki kanan celana jinsnya. Gulungan
kertas. Ketika gulungan itu diambil dan dibu-
kanya ternyata selembar uang ribuan. "Ini duit...."
Aming jadi pucat. Dia memandang ke arah tangga
Hard Rock Cafe. Drum plastik itu masih disana.
Tapi kakek berpakaian kumal yang membawa
gendang dan kerincingan serta payung tak ada la-
gi di tempat itu. Aming merasa tengkuknya din-
gin. Tiga temannya terheran-heran bercampur ta-
kut.
"Jangan-jangan kakek tadi setan penghuni
gedung," ucap Aming dengan suara gemetar.
"Gue memang pernah dengar cerita," teman
Aming yang memakai jaket menyahut. "Dulu wak-
tu gedung Sarinah dibangun, pernah ada buruh
bangunan yang celaka. Jatuh dari tingkat atas.
Mati. Mungkin kakek tadi setan buruh bangunan
itu..."
Sementara empat anak muda itu cepat-
cepat masuk ke dalam gedung dengan perasaan
takut, di tangga penyeberangan di depan gedung
Sarinah kakek mata belok bermulut tonggos ber-
jalan tertawa-tawa. Sesekali dia menoleh ke arah
empat orang anak muda itu. Celananya yang
gombrong kebesaran merosot ke bawah hingga
sebagian pantatnya yang hitam tersingkap. Kakek
ini tertawa geli ketika melihat Aming di kejauhan
sana melangkah terpincang-pincang.
Tawa geli orang tua ini terhenti ketika
mendadak di depannya tahu-tahu telah berdiri
seorang yang dari sikapnya jelas-jelas sengaja
menghadang si kakek.
Orang ini mengenakan celana dan pakaian
hitam. Pada bagian dada bajunya terpampang
gambar gunung berwarna biru dengan latar bela-
kang sinar matahari berwarna merah. Di pung-
gungnya orang ini mengenakan sehelai mantel
yang juga berwarna hitam. Si kakek angkat kepa-
lanya memandang wajah orang di hadapannya.
Orang ini ternyata seorang pemuda berambut hi-
tam tebal, rahang menonjol kokoh. Di keningnya
yang tinggi melilit sehelai kain berwarna merah.
Di bawah kening sepasang mata menatap dingin
dan angker. Dia berdiri sambil mulutnya melahap
paha fried chicken.
Walau tidak ada rasa takut di hati si ka-
kek, namun wajah tua bermata belok itu serta
merta berubah begitu dia mengenali siapa adanya
pemuda tinggi kekar di hadapannya.
"Kau...." ucap si kakek.
"Ya, aku!" ujar si pemuda. Suaranya tak
enak di dengar karena dia bicara sambil mengu-
nyah makanan. Tangan kiri bertolak pinggang.
Tangan kanan memegang potongan besar paha
ayam. Sepasang kaki tegak mengembang. Seringai
bermain di mulutnya. Lalu dia dongakkan kepala,
tertawa bergelak. Serpihan paha ayam bermun-
cratan dari mulutnya.
Dua orang pelintas jembatan yang kebetu-
lan lewat sama terheran-heran melihat dua orang
berpenampilan aneh itu. Mula-mula mereka ber-
henti ingin tahu siapa adanya dua orang itu dan
apa yang tengah terjadi. Tapi salah seorang dari
keduanya merasa ada yang tidak beres, cepat-
cepat menarik tangan temannya.
"Orang gila. Ayo Pin. Jangan cari urusan..."
Temannya mengiyakan. "Bisa juga pura-
pura gila. Begitu kita lengah tahu-tahu ngejamb-
ret atau nodong."
Kedua orang pelintas jembatan cepat-cepat
melangkah pergi.
"Pangelan Matahali..." kakek di atas jemba-
tan penyeberang menyebut nama.
Kembali pemuda di hadapannya tertawa
gelak. "Betul sekali! Aku memang Pangelan Mata-
hali." Si pemuda sengaja ikutan bicara cadel me-
nirukan si kakek. "Dan aku datang tidak sendiri."
Dengan potongan paha ayam yang kini hampir
tinggal tulang pemuda berpakaian serba hitam itu
menunjuk ke belakang. Si kakek melirik. Di bela-
kang sana, dekat ujung jembatan penyeberangan,
bersandar ke tiang besi tegak seorang kakek
bungkuk, berpakaian rombeng, berwajah seputih
kain kafan. Dua matanya yang sangat cekung
menatap menggidikkan ke arah kakek yang tegak
di depan pemuda berpakaian serba hitam. Kalau
pemuda ini adalah Pangeran Matahari maka ka-
kek di ujung jembatan sana mudah diterka siapa
adanya. Yakni bukan lain Si Muka Bangkai alias
Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari.
"Ah...." kakek mata belok yang membawa
gendang, payung dan kerincingan membuka mu-
lut menyeringai lalu berkata. "Gulu dan mulid
muncul belsama. Ada apa? Apa lagi mau shop-
ping ke Salinah? Banyak duit ni ye? Ha...ha...ha!"
"Pelawak Sinting! tua bangka geblek! Mah
luk kesasar dari alam Setan!" bentak Pangeran
Matahari mulai marah. "Sudah mau mampus ma-
sih bicara edan! Aku memang mau shopping. Mau
belanja. Belanja nyawamu!"
"Mampus? Siapa yang mampus? Aku?
Ha...ha...ha!" Si kakek yang ternyata adalah Pela-
wak Sinting tertawa mengekeh lalu goyangkan ke-
rincingan di tangan kirinya hingga mengeluarkan
suara keras nyaring, menusuk liang telinga. Pan-
geran Matahari dan juga Si Muka Bangkai di-
ujung jembatan sampai tekap telinga masing-
masing, kerahkan tenaga dalam untuk menolak
getaran suara yang menyengat.
"Soal mampus bagi aku yang sudah tua
bangka begini adalah soal sepele. Bagaimana ka-
lau kau yang masih muda sepeltimu telnyata nan-
ti mampus duluan?!" Si Pelawak Sinting kembali
tertawa gelak-gelak dan goyangkan kerincingan di
tangan kirinya. (Siapa adanya Pelawak Sinting bi-
sa dibaca dalam kisah petualangan Wiro di Negeri
Latanahsilam terdiri dari 18 episode, khususnya
Episode berjudul Hantu Tangan Empat)
Rahang Pangeran Matahari menggembung.
Pelipisnya bergerak-gerak.
"Tua bangka sinting, kalau kau sendiri
menganggap nyawamu sesuatu yang sepele, apa
lagi aku! Kau tidak lebih berharga dari ikan lele
dalam comberan! Gara-gara kau mencuri Batu
Penyusup Batin kau membuat aku dan guruku,
bahkan nenek guruku jadi susah!" (Kisah bagai-
mana Si Pelawak Sinting Mencuri Batu Penyusup
Batin bisa dibaca dalam serial Boma Gendenk Ep-
isode sebelumnya berjudul Tripping). "Walah, cu-
ma batu butut palsu saja mengapa halus dili-
butkan? Kalau kau mau batu, aku bisa belikan.
Besal-besal malah. Kau mau belapa? Tinggal am-
bil. Itu di sebelah sana!"
Si kakek menunjuk kearah jalan raya di-
mana bertumpukan batu-batu kali besar untuk
proyek perbaikan jalan.
"Setan alas! Berani mempermainkan!" Ru-
tuk Pangeran Matahari. Paha ayam yang tinggal
tulang di tangan kanannya dibantingkan ke lantai
jembatan penyeberangan. Tulang ayam itu am-
blas padahal lantai jembatan terbuat dari besi
tebal. Kekuatan tenaga dalam sang Pangeran
sungguh luar biasa, diam-diam membuat Si Pela-
wak Sinting tergetar juga hatinya.
Di ujung jembatan penyeberang Si Muka
Bangkai menyumpah-nyumpah seorang diri. Ti-
dak sabaran kakek muka pucat ini berteriak pada
muridnya.
"Pangeran! Tunggu apa lagi! Lekas habisi
tua angka sinting itu!" Mendengar perintah gu-
runya, Pangeran Matahari keluarkan suara meng-
gembor lalu sekali menerjang dia kirimkan satu
tendangan ke arah dada si Pelawak Sinting. Jan-
gankan dada orang tua yang kurus tipis. Tembok
sekalipun pasti akan jebol dilanda tendangan itu!
DUA
BARU TAHU DIA
HARI Sabtu pagi. Lapangan atletik itu di-
penuhi oleh pelajar Kelas II-9 SMU Nusantara III.
Di pinggir lapangan Pak Sanyoto Guru Olahraga
meniup peluit, memberi tanda pada semua pelajar
agar berkumpul untuk diabsen. Ketika nama Bo-
ma Tri Sumitro dipanggil, anak itu tidak ada.
"Dasar anak pemalas. Pasti terlambat lagi."
Pak Sanyoto berkata menyatakan kekesalan.
Ronny Celepuk, Vino, Firman, Andi, Rio
dan Gita Parwati memandang berkeliling, menca-
ri-cari.
"Git, kamu tau kemana 'tu anak gendenk?"
tanya Ronny berbisik pada Gita yang berdiri di
sampingnya.
"Barusan ada. Tau-tau ngilang. Jangan-
jangan kabur. Bolos. Tapi kok ya berani banget"
Jawab si gemuk Gita.
"Heran juga" kata Sulastri yang berdiri de-
kat Pak Sanyoto dan oleh teman-temannya di-
panggil Si Centil. "Tadi ada Pak. Kok sekarang
nggak nongol."
"Kalau memang ada, dipanggil ya pasti
nyahut! Muncul!" kata Pak Sanyoto pula masih
kesal. "Sudah, kalian semua masuk ke lapangan.
Yang latihan lari siap-siap di track." Lalu Pak Sa-
nyoto melangkah ke tempat latihan lompat jauh.
Saat itulah Boma muncul, setengah berlari. Pak
Sanyoto hentikan langkah. Memandang pada Bo-
ma dengan mata besar berkilat.
"Dari mana kamu?!" Guru Olah Raga itu
bertanya dengan suara keras dan kasar.
Sulastri, Si Centil yang berdiri tak jauh dari
situ berbisik pada Gita dan Ronny.
"Wah, gawat deh. Kelihatannya Si Umar itu
benci banget sama Boma."
Gita diam saja. Ronny juga diam. Tapi anak
ini tahu bencinya Pak Sanyoto pada Boma bukan
gara-gara soal absen pagi itu. Guru Olah Raga ini
menganggap Boma sebagai rivalnya sekaligus
penghalang dirinya dalam mendekati Ibu Renata.
Nama Umar dikarang sendiri oleh Sulastri
sebagai nama ejekan untuk Pak Sanyoto. Umar
singkatan dari Untung Masih Ada Rambut. Ram-
but di kepala guru Olah Raga itu memang tinggal
sedikit, nyaris botak. Padahal usianya belum
mencapai tiga puluh lima tahun.
"Maaf, Pak," jawab Boma. "Perut saya
mules. Barusan dari belakang."
"Alasan. Kamu datang terlambat 'kan? Ka-
mu memang malas. Saya tahu kamu tidak suka
atletik! Tapi kalau main ben, tarik urat tarik sua-
ra satu malam suntuk kamu layani! Kenapa ka-
mu tidak jadi pengamen saja?!"
Telinga dan hati anak laki-laki itu terasa
panas tapi Boma diam saja. Dia merasa tidak per-
lu bicara banyak lagi. Dia sudah menerangkan
apa adanya. Pak Sanyoto yang memang tidak su-
ka pada Boma kembali keluarkan ucapan.
"Ini kali kedua kamu terlambat. Kali ke tiga
kamu berbuat sama saya akan laporkan kamu
pada Wali Kelas dan Kepala Sekolah!"
Boma masih diam. Dia ingat angka Olah
Raga di rapornya waktu di kelas satu. Tidak per-
nah beranjak dari angkat empat. Waktu naik ke
kelas dua Boma dan juga banyak teman-
temannya berharap mata pelajaran Olah Raga ti-
dak diajar oleh Pak Sanyoto. Tapi harapan mereka
tidak terkabul. Kenyataannya di kelas dua tetap
saja Pak Sanyoto yang memegang mata pelajaran
olah raga.
Diamnya Boma malah dianggap sebagai si-
kap acuh oleh Pak Sanyoto.
"Sudah, kamu lari keliling lapangan lima
kali!" Guru Olah Raga itu jatuhkan hukuman. Dia
berpaling pada Ronny yang berdiri tidak jauh dari
situ. "Awasi dia. Kalau nanti dia lari mengelilingi
lapangan kurang dari lima kali, beri tahu saya."
Pak Sanyoto meninggalkan tempat itu, melangkah
ke tempat latihan lompat jauh.
Ronny mendekati Boma.
"Kena lagi gua Ron."
"Kamu sih. Waktu di absen nggak ada."
"Kamu tau gua ude dateng dari pagi. Malah
duluan gua dari Si Umar. Tapi mendadak perut
gua mules. Aku ke belakang dulu. Masa gua mau
berak di lapangan! Gila kali! Nggak taunya dia
ngabsen waktu gua lagi ke belakang." Boma me-
nowel hidungnya. "Ini udah dua kali gua dikerjain
sama dia. Dulu cuma tiga kali mutarin lapangan.
Sekarang lima kali. Dia memang nggak senang
sama aku. Masa gara-gara begini aja aku musti
lari keliling lapangan sampai lima kali."
"Mungkin ini gara-gara kejadian di rumah
Ibu Renata seperti yang kamu ceritain itu..."
"Memang ada kejadian apa di rumah Ibu
Renata?" Tiba-tiba saja si Centil Sulastri berdiri
disamping Ronny dan bertanya.
"Ala, Si Centil. Kamu nggak usah tahu deh"
jawab Ronny Celepuk. Sambil memegang bahu
Sulastri Ronny berkata. "Temenin si Vino di tem-
pat latihan lompat jauh. Katanya kamu naksir
dia."
"Sorry ya. Enak azza. Siapa bilang gua
naksir dia!" kata Sulastri ketus tapi kemudian
tersenyum.
"Ala jangan gitu, bo! Semua temen-temen
ngerestuin kok." kata Ronny.
"Au ah, elap!" Sulastri mencibir lalu pergi.
Setelah Sulastri pergi Ronny mendatangi
Boma
"Udah, lari sana Bom. Tiga kali aja. Nanti
gua bilang udah lima kali."
Boma tersenyum, menowel hidungnya dua
kali. Setelah lebih dulu mengencangkan ikatan ta-
li sepatunya anak ini mulai lari mengelilingi la-
pangan. Larinya santai saja. Membuat Pak Sanyo-
to yang diam-diam memperhatikan menjadi tam-
bah kesal.
Pada akhir lari mengeliling lapangan yang
ketiga kali, Ronny yang berdiri di tepi lapangan
mengangkat tangan. "Udah Bom. Cukup."
"Baru tiga kali Ron."
"Anggap aja udah lima. Nggak usah kawa-
tir. Biar aku yang lapor sama Si Umar."
Sementara Boma duduk keletihan di tepi
lapangan Ronny Celepuk menemui Pak Sanyoto.
Memberi tahu kalau Boma sudah lari lima kali
mengelilingi lapangan.
"Sudan lima kali?"
"Betul Pak. Sudah lima kali," jawab Ronny,
anak jangkung yang hidungnya mancung tapi
bengkok seperti paruh burung.
"Panggil Boma. Kalian berdua datang ke si-
ni." kata guru Olah Raga itu.
Ronny mendatangi Boma.
"Bom, kamu dipanggil Si Umar."
"Ngapain lagi?"
"Nggak tau. Ayo..."
Boma berdiri. Begitu dia dan Ronny sampai
di hadapan Pak Sanyoto, Guru Olah Raga ini per-
lihatkan wajah asam.
"Saya tau kamu baru lari tiga kali. Jangan
kira saya tidak memperhatikan. Kamu lari tiga
kali lagi! Dan kamu..." Pak Sanyoto berpaling pa-
da Ronny Celepuk. "Kau saya hukum lari mengeli-
lingi lapangan enam kali! Lakukan!"
Boma menowel hidungnya. Ronny Celepuk
menggaruk kepala. Sambil mulai berlari Boma
berkata.
"Gua bilang apa Ron. Gara-gara ngebohong
sekarang kamu juga ketiban sialnya!"
"Heran, kok Si Umar tahu kamu cuma lari
tiga lapangan."
"Matanya kan ada empat!" jawab Boma.
"Empat gimana? Ngacok aja kamu!"
"Kamu nggak tau?"
"Brengsek. Nafas gua mulai ngorong nih,"
kata Ronny yang baru lari dua pertiga lapangan.
"Si Umar matanya memang empat. Dua di
kepala, dua di dengkul!" Kata Boma. Kedua anak
itu lari sambil tertawa-tawa.
Sehabis lari enam kali mengelilingi lapang
Ronny Celepuk jatuhkan diri di samping Boma.
Hidung kembang kempis, dada turun naik dan
nafasnya tersengal-sengal.
"Gila! Kondor gua Bom. Kayaknya gua
nggak seperti nginjak tanah. Kaki gua rasanya hi-
lang! Gila bener Si Umar itu."
"Dia dendam sama gua Ron. Pasti. Biar.
Nanti gua kerjain dia" .
"Kamu jangan macam-macam lagi Bom.
Nanti malah tambah ribet! Kamu tau. Pak Sanyoto
tour leader ke Borobudur liburan bulan depan.
Salah-salah nanti kamu bisa disuruh yang nggak-
nggak" kata Ronny.
"Tenang Ron. Liat aja nanti." jawab Boma.
Selesai latihan olahraga, masih ada waktu sepe-
rempat jam sebelum anak-anak kembali ke seko-
lah. Boma, Vino, Ronny, Firman, Andi, Ria serta
Allan mangkal dulu di warung dawet dekat ge-
dung latihan senam.
"Bom, katanya perut kamu mules. Kok mi
num cendol sampai dua gelas?!" berkata Andi.
"Buat ngedinginin emosi, tau dong." Yang
menjawab Vino.
"Ee...ee liat. Si Umar mau pulang," Firman
memberi tahu.
Semua anak berpaling ke tempat penitipan
motor. Saat itu Pak Sanyoto kelihatan tengah
mengenakan helm lalu menghidupkan motor
Honda Bebek tuannya. Tak lama kemudian dia
sudah meluncur menuju pintu gerbang keluar.
"Sekarang gua kerjain dia!" Tiba-tiba Boma
keluarkan ucapan. Sepasang mata anak ini me-
mang tak berkesip, mengikuti sosok Pak Sanyoto.
Mata itu kemudian dikedipkan tiga kali. Saat itu
juga mendadak mesin motor yang dikendarai
guru Olah Raga itu mati. Motor berhenti. Pak Sa-
nyoto coba menghidupkan mesin motor kembali.
Sampai beberapa kali dicoba mesin Honda Bebek
itu tetap saja tak bisa dihidupkan. Pak Sanyoto
membuka helmnya. Turun dari motor. Memerik-
sa kendaraannya. Tapi tak berhasil menemukan
dimana kerusakan motor itu.
Ronny dan semua anak-anak yang ada dis-
itu saja tercengang melihat kehebatan Boma.
Hanya dengan mengedipkan mata dia bisa mema-
tikan mesin motor. Dan dari jarak sejauh itu!
"Ajie Gile lu Bom." kata Ronny.
"Kamu punya ilmu apa Bom?" Tanya Andi.
"Pasti ilmu gaib dari nenek aneh yang kau cerita-
kan itu." Ujar Vino.
"Sekarang baru tau dia" Kata Boma sambil
menowel hidungnya. "Teman-teman ayo kita per-
gi. Lewat pintu belakang."
Setelah membayar cendol anak-anak kelas
II-9 itu meninggalkan lapangan atletik lewat pintu
belakang stadion atletik.
Sampai di sekolah Ronny dan teman-
temannya yang masih penasaran bertanya pada
Boma.
"Bom, kamu apain sih motornya Si Umar?"
tanya Ronny.
"Bom, kamu beneran punya ilmu ya?"
tanya Vino.
"Wah, kamu bisa jadi paranormal Bom"
ucap Rio.
"Dukun kali." Menimpali Andi.
Yang ditanya cuma senyum-senyum. Me-
nowel hidungnya. Lalu menjawab.
"Ilmu apa-an? Paranormal apa-an? Orang
selang bensin Honda Bebek butut itu gua sumpel
sama tanah lempung!"
Semua anak melongo. Lalu semua mulut
tertawa riuh.
"Gendenk kau Bom!" kata Rio.
"Gila benar!" Kata Ronny.
"Ajie Busyet. Bukan gila benar. Tapi ini si
memang bener-bener gila!" Sambung Vino.
Tawa riuh memenuhi kelas II-9.
TIGA
DENDAM PANGERAN MATAHARI
KEMBALI ke jembatan penyeberangan di
depan gedung Sarinah. Ketika melihat Pangeran
Matahari lancarkan serangan berupa tendangan
maut ke dada, si Pelawak Sinting goyangkan ke-
rincingan di tangan kirinya lalu melompat ke
samping. Punggungnya menabrak pagar besi. Se-
perti membalik tubuh kakek ini mental ke depan.
Bersamaan dengan itu dia hantamkan kerincin-
gannya ke kaki kanan lawan yang menendang
tempat kosong.
Walau cuma sebuah kerincingan kaleng,
tapi di tangan kakek seperti Si Pelawak Sinting
benda itu bisa berubah menjadi senjata sangat
berbahaya. Pangeran Matahari cepat tarik kaki
kanannya. Dengan mengandalkan daya lenting
pada kaki kiri murid Si Muka Bangkai ini melom-
pat ke atas. Bergayut pada palang besi pengaman
jembatan lalu melayang turun sambil lancarkan
tendangan berantai dengan dua kaki, luar biasa
cepat dan hebatnya.
Pelawak Sinting yang tahu bahaya segera
melompat tiga langkah ke belakang. Tangan kiri
yang memegang kerincing diangkat ke atas untuk
melindungi kepala. Tangan kanan yang meme-
gang kayu kecil penabuh gendang bergerak me-
lempar.
"Trang!"
Kerincingan di tangan kiri Pelawak Sinting
hancur berantakan. Walau kepalanya selamat da-
ri tendangan namun kakek ini terpental hampir
satu tombak ke arah ujung jembatan penyebe-
rang. Tangan kirinya terasa sakit. Tulang lengan-
nya seperti melesak masuk ke dalam siku.
"Kraak!"
Kayu kecil penabuh gendang yang dilem-
parkan si kakek ke arah tenggorokan dengan mu-
dah dipukul patah dan mental oleh Pangeran Ma-
tahajri. Kesal serangannya lagi-lagi gagal Pange-
ran Matahari nekad memburu lawan. Sambil me-
layang turun dia lepaskan satu pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun
Pelawak Sinting berhasil menyusup ke depan
sambil sodokkan payung kertas.
"Bukk!"
"Brett!"
"Ngekk!"
"Braaakk!"
Kepala payung kertas yang dalam keadaan
tidak terkembang itu mendarat tepat di ulu hati
Pangeran Matahari. Baju sang Pangeran robek
besar. Dari mulutnya menyembur suara gusar
seperti orang mau muntah. Begitu kakinya men-
ginjak lantai jembatan tubuhnya terhuyung dua
langkah.
Di samping kiri pagar besi pelindung jem-
batan jebol dihantam pukulan tangan kosong
Pangeran Matahari. Saat itu pada ke dua ujung
jembatan penyeberang orang banyak mulai berkerubung menyaksikan perkelahian itu. Ini satu
pemandangan yang tidak pernah terjadi.
Dua orang berkelahi di atas jembatan pe-
nyeberang. Dan kedua-duanya berpakaian aneh.
Tadinya orang-orang itu hanya hendak melintas.
Namun melihat apa yang terjadi mereka memilih
tetap berdiri memperhatikan dari kedua ujung
jembatan.
"Murid tolol! Hanya menghadapi tua bang-
ka bau tanah itu saja kau tidak mampu!"
Pangeran Matahari mendengar suara gu-
runya Si Muka Bangkai memaki. Membuat telin-
ganya panas dan darah amarah menggejolak. Ra-
hang menggembung, pelipis bergerak.
"Guru, jangan kawatir! Bangsat tua ini
akan kuhabisi saat ini juga!"
Setelah keluarkan ucapan itu Pangeran
Matahari tekuk lutut kirinya sedikit. Tangan ka-
nan diangkat ke atas. Jari-jari membentuk kepa-
lan. Tiba-tiba kepalan itu memancarkan cahaya.
Murid Si Muka Bangkai dari puncak Gunung Me-
rapi ini siap melepas pukulan sangat berbahaya
yakni pukulan Gerhana Matahari.
Si Pelawak Sinting sebelumnya tidak per-
nah berhadapan dengan Pangeran Matahari dan
tidak tahu jenis pukulan sakti apa saja yang dimi-
liki lawan. Namun dari kepalan yang memancar-
kan sinar aneh kakek ini maklum kalau Sang
Pangeran hendak melepaskan satu pukulan dah-
syat. Maka tidak tunggu lebih lama dia pindahkan
payung kertas ke tangan kiri, langsung dikembangkan. Tangan kanan diangkat ke atas, meng-
gantung di udara di sisi kanan. Tenaga dalam di-
alirkan penuh pada payung dan tangan kanan.
Dua kaki menginjak lantai besi jembatan penye-
berang laksana dua tiang batu yang kokoh.
Tiba-tiba Pangeran Matahari keluarkan
bentakan keras. Bersamaan dengan itu dia hen-
takkan tangan kanannya ke depan. Di belakang,
Si Muka Bangkai yang gatal tangan dan ingin bu-
ru-buru melihat kematian Si Pelawak Sinting tiba-
tiba melompat ke belakang muridnya. Telapak
tangan kanan ditempelkan ke punggung Pangeran
Matahari.
"Wuuttt!"
Satu gelombang angin menderu ganas. Tiga
cahaya, kuning, merah dan hitam berkiblat mela-
brak ke arah Si Pelawak Sinting. Orang banyak
yang menyaksikan kejadian ini pada dua ujung
atas jembatan penyeberang keluarkan seru terta-
han. Yang berdiri di belakang si kakek serta merta
berserabutan lari menuruni tangga. Takut terkena
sambaran tiga cahaya aneh menggidikkan
Si kakek tidak tinggal diam. Payung kertas
di tangan kiri diputar demikian rupa. Cahaya ke-
coklatan berbentuk lingkaran bergelung di udara
melindungi dirinya pada sisi sebelah kiri. Semen-
tara dari tangan kanan si kakek yang dihantam-
kan ke arah lawan, menderu angin deras men-
gandung tenaga dalam tinggi.
Cahaya merah, kuning dan hitam serangan
Pangeran Matahari disambut oleh cahaya kecoklatan tangkisan Si Pelawak Sinting.
"Dess.... dess... dess!"
Tiga letupan yang tidak begitu keras meng-
gema di atas jembatan. Si Pelawak Sinting berse-
ru kaget ketika melihat bagaimana tiga cahaya
pukulan sakti lawan menggulung cahaya coklat
pukulan penangkis yang dilepaskannya. Lalu!
"Braaakk!"
Kipas kertas di tangan kiri Si Pelawak Sint-
ing hancur bertaburan. Berubah menjadi kepin-
gan-kepingan terbakar. Pukulan mengandung te-
naga dalam tinggi yang dilepaskannya dengan
tangan kanan terpental ke samping begitu ber-
benturan dengan kekuatan pukulan Gerhana Ma-
tahari. Membuat jebol dan hangus pagar pelin-
dung jembatan seluas hampir dua meter persegi.
Di ujung jembatan di belakang si kakek, tiga ca-
haya pukulan Gerhana Matahari menghantam
tiang-tiang besi dan pagar pengaman jembatan
hingga amblas merah dan mengepulkan asap.
Si Pelawak Sinting sendiri terpental ke
ujung jembatan penyeberang. Sebagian pakaian
dan tubuhnya tampak hangus. Sosok kakek ini
kemudian menggelinding di tangga, jatuh terka-
par di lantai besi pertengahan tangga. Sebelum
orang datang bertambah banyak Pangeran Mata-
hari dan Si Muka Bangkai segera lari tinggalkan
tempat itu.
Sebenarnya tenaga dalam dan kesaktian
yang dimiliki Si Pelawak Sinting masih cukup
ampuh untuk menghadapi serangan Pangeran
Matahari. Kalaupun dia kalah akibatnya tidak
akan separah seperti yang dialaminya saat itu.
Bencana ini terjadi karena Si Muka Bangkai telah
menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya ke tu-
buh muridnya sehingga tenaga dalam Pangeran
Matahari jadi berlipat ganda.
Di pertengahan jembatan orang banyak
berkerumun berdesakan berusaha melihat sosok
Si Pelawak Sinting. Beberapa orang diantaranya
adalah Aming dan kawan-kawannya.
Aming memegang lengan kawan di sebe-
lahnya. Lalu berbisik dengan suara gemetar.
"Ben, ini kakek yang kita temuin di tangga
kafe tadi," Aming mengenali.
"Berarti dia bukan setan buruh yang mati
jatuh itu..."
Benny teman Aming mengangguk. "Tapi
gua kira sekarang dia udah jadi setan benaran.
Ayo kita pergi aja. Bisa-bisa nanti ditanyain Poli-
si..."
Beberapa petugas Kepolisian berdatangan
beberapa saat kemudian. Salah seorang dari me-
reka membawa handy talky. Dengan pesawat ko-
munikasi ini anggota Polisi itu menghubungi jaja-
ran Kepolisian terdekat, ambulans serta Kodim
sementara jembatan penyeberangan itu semakin
padat oleh kerumunan orang yang ingin tahu apa
yang telah terjadi.
***
AMBULANS itu meluncur sepanjang Jalan
Thamrin menuju RS Cipto. Seorang petugas Polisi
duduk di sebelah depan samping pengemudi. Di
dalam ambulans sosok Si Pelawak Sinting terbu-
jur tak bergerak, pingsan berat. Mungkin juga da-
lam keadaan sekarat. Satu-satunya pertolongan
yang bisa diberikan petugas ambulans adalah me-
letakkan selang oksigen dibawah hidungnya. Se-
belumnya petugas berusaha memberikan infus.
Tapi berkali-kali dicoba, di tangan maupun di ka-
ki jarum infus tidak bisa menembus kulit si ka-
kek
"Orang tua aneh," kata petugas ambulans
yang duduk dibagian belakang kendaraan berdua
dengan temannya. "Jarum infus tidak bisa me-
nembus kulitnya. Waktu tadi saya paksakan ja-
rum infus malah bengkok..."
"Mungkin dia punya ilmu kebal," menyahut
petugas satunya. "Yang saya lihat aneh justru ce-
laka yang dia alami. Tidak ada api, tapi tubuhnya
hangus. Hangusnya cuma sebelah. Korban kece-
lakaan seperti ini biasanya bikin susah kita saja.
Tidak ada KTP. Tidak ada identitas sama sekali..."
Sambil berkata petugas ini memandang ke luar
lewat kaca belakang. Saat itulah dia melihat se-
suatu. Segera dia memberi tahu temannya.
Di tengah keramaian lalu lintas jalan raya
sekitar jam delapan malam itu seorang kelihatan
berdiri sepanjang tepi jalan, berusaha mengejar
ambulans yang membawa Si Pelawak Sinting.
Sambil berlari orang ini tiada hentinya mengeluarkan ucapan. Memanggil-manggil.
"Labudung.... Labudung. Tunggu aku... La-
budung!"
"Lihat, ada orang lari. Kayaknya ngejar
mobil ini." petugas ambulans yang duduk sebelah
belakang memberi tahu.
Kawan yang diberi tahu melihat keluar.
Memperhatikan, lalu memandang pada sosok ka-
kek yang terbujur di depannya.
"Aneh lagi..."
"Ada apa?"
"Coba kau perhatikan. Orang yang lari ke
arah mobil itu, ciri-cirinya persis sama dengan
kakek yang ada dalam ambulans ini. Lihat pa-
kaiannya, wajahnya...."
Menjelang Bundaran Ha. arus lalu lintas
yang padat membuat ambulans terpaksa terpaksa
meluncur perlahan. Walau Sirine dibunyikan dan
lampu merah dinyalakan namun kepadatan lalu
lintas sulit diterobos. Sementara itu orang yang
mengejar semakin dekat ke ambulans.
"Kayaknya bakal ada yang tidak beres. Be-
ri tahu Polisi di depan."
Kaca pemisah ruang pengemudi dengan
bagian belakang ambulans digeser.
"Pak... Pak...!"
"Kraaakk!"
Kunci pintu belakang ambulans berderak
patah karena dibuka paksa. Seorang kakek ber-
pakaian kumal, membawa kerincingan, gendang
dan payung kertas melompat masuk ke dalam
ambulans. Dua petugas berteriak. Pengemudi
ambulans hentikan kendaraan. Polisi di sebelah
depan melompat ke luar. Ketika petugas ini sam-
pai di bagian belakang kendaraan, sosok kakek
yang sebelumnya terbujur dalam ambulans tidak
ada lagi. Dua petugas ambulans berteriak sambil
menunjuk-nunjuk ke seberang jalan,
"Dibawa lari Pak! Kakek dalam mobil diba-
wa lari!"
Anggota Polisi memperhatikan ke arah
yang ditunjuk. Di arah jalan yang menuju ke Blo-
ra dia melihat ada orang berlari cepat sekali sam-
bil memanggul sesosok tubuh di bahu kirinya. Ti-
dak tunggu lebih lama lagi anggota Polisi ini sege-
ra lari mengejar. Para pengemudi mobil yang ter-
kejut karena jalannya mendadak terhalang oleh
orang yang lari sambil memanggul sesosok tubuh
dan terhalang oleh Polisi yang mengejar membu-
nyikan klakson berulangkali. Banyak pengemudi
mobil memperlambat atau menghentikan kenda-
raan mereka karena ingin tahu apa yang terjadi.
Copet bukan, todong juga bukan. Aneh keliha-
tannya. Ada Polisi mengejar seorang kakek yang
lari sambil mendukung sosok seorang tua! Untuk
beberapa lamanya jalan menjadi macet.
Di mulut Jalan Blora anggota Polisi yang
mengejar kehilangan jejak orang yang dikejarnya.
Dengan nafas tersengal petugas ini kembali ke
ambulans. Dia meminta pengemudi ambulans
menuju Pos Polisi terdekat.
EMPAT
WADAM TAMAN LAWANG
KAKEK berpakaian kumal itu lari seperti
bayangan setan menyusuri rel kereta api. Sepan-
jang jalan dia terus-terusan berucap. "Labu-
dung... Labudung jangan mati. Jangan mati sebe-
lum kau memberi tahu diriku. Siapa memperla-
kukan dirimu seperti ini. Labudung... Labu-
dung..."
Di satu tempat gelap si kakek hentikan la-
rinya. Dia merunduk memperhatikan wajah Si Pe-
lawak tinting yang dipanggulnya sambil jari-jari
tangannya memegang urat besar di leher kakek
itu. Memang masih terasa denyutan nadi. Tapi
perlahan sekali dan terputus-putus.
"Labudung. Jangan mati! Beri tahu aku
siapa yang berbuat jahat padamu!"
Kakek itu memandang ke ujung rel di bela-
kangnya. Kawatir ada orang yang mengejar dia la-
ri kembali. Cukup jauh berlari, di bawah satu po-
hon besar antara rel dan kali dia kembali berhen-
ti. Kakek ini tidak tahu di tempat apa dia sebe-
narnya saat itu berada. Tempat itu adalah kawa-
san Taman Lawang tempat mangkalnya para Wa-
dam Ibukota. Apa lagi malam itu malam Minggu.
Jumlah wadam yang beroperasi di tempat itu le-
bih ramai dari malam-malam hari biasa.
Sosok kakek yang dipanggul diturunkan,
dibaringkan di tanah lalu orang tua ini tempelkan
dua tangannya di dada Si Pelawak Sinting. Perla-
han-lahan dia alirkan hawa sakti.
"Labudung, adikku.... Bangunlah... sadar-
lah. Bicara padaku. Katakan padaku siapa yang
memperlakukanmu begini rupa."
Begitu hawa sakti masuk ke tubuhnya, Si
Pelawak Sinting yang tengah sekarat seolah men-
dapat kekuatan, perlahan-lahan membuka mata.
"Labudung... Labudung adikku..."
"Si... siapa yang memanggil na...namaku?"
Pelawak Sinting keluarkan ucapan. Suaranya per-
lahan dan terputus-putus.
"Ah... syukur... Syukur kau sadar. Labu-
dung, aku Labodong, kakak kembarmu." Kakek
bernama Labodong letakkan kepala Si Pelawak
Sinting di pangkuannya. Rupanya orang yang te-
lah melarikan Si Pelawak Sinting adalah kakak
kembarnya sendiri.
"Labodong.... Kaa...kau ada di sini? Ki...kita
dimana?"
"Ya, aku Labodong kakak kembarmu. Mu-
kamu rusak begini. Didempul satu truk juga tak
bakal utuh. Dengar adikku, kau tak usah bicara
banyak. Cukup memberi tahu siapa yang mence-
lakai dirimu seperti ini!"
Labudung alias Si Pelawak Sinting kum-
pulkan sisa tenaga yang ada, baru menjawab.
"Seolang pem...pemuda. Beljul... juluk Pan-
gelan Matahali. Dia... dia tidak sendili. Dia meng-
hantamku belsama gulunya. Kakek muka putih
Beljuluk Si Muka Bangku. Eh bukan, bukan
bangku. Tapi Bangkai... Si Muka Bangkai...."
Suara Si Pelawak Sinting terputus.
Dua matanya tertutup.
"Labubung! Jangan mati!" teriak Labodong.
"Labod... Labodong. Kenapa kau jadi baik
tel... telhadapku?" Si Pelawak Sinting alias Labu-
dung bertanya tanpa membuka kedua matanya.
"Adikku, jangan kau berkata begitu. Sema-
sa di Latanahsilam aku memang sering berbuat
kurang ajar, mengotori namamu dengan berbagai
perbuatan jahat. Aku sering mencemarkan na-
mamu, memalsukan diri mengaku sebagai Si Pe-
lawak Sinting untuk mencari keuntungan sendiri.
Tapi hari ini aku bertobat. Benar-benar mengaku
salah..." Suara Labodong bercampur isak.
"Kak, kakak.... Sebelum mati aku ada satu
permintaan..."
"Katakan adikku. Ucapkan..." kata Labo-
dong sambil membelai rambut kusut masai adik
kembarnya.
"Seolang nenek sakti belnama ... Sin... Sin-
to Gendeng...pel...pelnah mengikat janji untuk
kawin denganku. Kalau aku mati, cal... cali nenek
itu. Wakilkan diliku menjadi sua.... suaminya."
Labodong tersentak kaget. Isakannya lang-
sung berhenti dan matanya yang tidak kalah be-
lok dengan saudara kembarnya kelihatan bertam-
bah mendelik.
"Apa kau bilang adikku? Kau menyuruh
aku mewakili dirimu kawin dengan... dengan siapa?"
"Namanya Sinto Gendeng. Kau... kau tak
akan menyes... menyesal kawin dengan nenek
itu... Kakak, jang...jangan kau belani menolak
pel...pelmintaanku..."
Labodong menahan nafas. Dia geleng-
geleng kepala berulangkali. "Jangan meno-
lak...jangan menampik. Kau... kau halus lakukan
hal itu. Kau hal... halus kawin dengan Sin... Sinto
Gendeng..."
"Labudung, aku tidak kenal nenek itu. Ba-
gaimana orangnya aku tidak pernah melihat"
"Gam... gampang mencalinya. Kalau berte-
mu kau pasti tahu itu olangnya. Di... di kepalanya
ada lima tusuk konde pelak. Lalu... lalu olangnya
bau pesing..."
"Ah...." Labodong tersentak, suaranya se-
rak.
"Satu lagi pelmintaanku, Kakak..."
"Ya... ya. Katakanlah."
"Kau halus meneluskan jalan hidupku di
kota ini. Jadilah pengamen. Kau bakal banyak
uaang. Halap kau menghapal baik-baik Kopi
Dangdut..."
"Kopi Dangdut? Binatang apa itu?" tanya
Labodong.
"Itu bu... bukan binatang. Tapi nyanyian.
Lagu dangdut. Banyak olang suka. Kalau kau bi-
sa nyanyikan itu sebagai pengamen kau bakal
mudah dapat uang."
"Ya... ya... aku akan hapalkan nyayian itu,"
kata Labodong pula yang mengiyakan saja ucapan saudaranya yang sedang sekarat itu karena
tidak mau bicara berpanjang-panjang. Tapi tiba-
tiba dia ingat sesuatu. "Labudung, mengapa aku
musti menghapal Kopi Dangdut. Bukannya Tenda
Biru..." Rupanya Labodong pernah juga menden-
gar nyanyian Tenda Biru yang populer dibawakan
penyanyi Dessy Ratnasari itu.
"Jangan... Tenda Bilu bukan lagu dang-
dut," ucap Si Pelawak Sinting. Lalu sambungnya.
"La... lagi pula lagu itu tidak cocok untukmu.
Tenda Bilu lagu olang putus cinta, diting... tinggal
kawin kekasih. Padahal... kau... kau tidak diting-
gal kawin, malah mau.. mau kawin sama Sinto
Gendeng..."
Labodong hanya bisa goleng-goleng kepala
mendengar kata-kata adik kembarnya itu.
"Kak, aku pelgi Kakak. Jangan lupa, laksa-
nakan niat kawin dengan Sin... Sin..."
Suara Si Pelawak Sinting terputus. Kepa-
lanya terkulai.
"Labudung! jangan mati! Biar kau saja
yang kawin dengan nenek bau pesing itu..." Labo-
dong goncang tubuh adiknya.
Tiba-tiba kepala Si Pelawak Sinting yang
barusan terkulai bergerak tegak kembali.
"Eeeh, Labudung, adikku... Kau... kau ti-
dak jadi mati?" Suara Labodong bertanya serak.
Matanya melotot.
"Ada yang kelupaan, Kak. Ada yang kel...
kelupaan..."
"Apa? " tanya sang kakak kembar.
"Aku punya jimat. Dibungkus kain hitam.
Akan.... akan kubelikan padamu..."
"Adikku, jangan pikir segala jimat..."
"Ini bukan jimat sembalangan. Halap kau
suka mengambil sendili..."
Tidak mau menolak permintaan adiknya
yang tengah sekarat Labodong berkata. "Baik,
akan kuambil. Dimana kau menyimpannya? Da-
lam saku pakaian...?"
"Bu... bukan... Bukan di situ... Jimat itu
aku sim... simpan di bawah pelut, di selang... se-
langkanganku. Masukkan tanganmu ke celanaku.
Kau pasti menemukan. Begitu kau pegang lekas
kau sentakkan. Kau copot! Begitu dapat tempel-
kan di se... selangkanganmu..."
"Gila!" maki Labodong dalam hati. Dia go-
leng-goleng kepala. Walau tidak suka tapi Labo-
dong terpaksa ikuti permintaan adik kembarnya
yang mau mati itu. Dia susupkan tangannya ke
dalam celana sang adik. Tangan itu meraba-raba,
bergerak-gerak mencari-cari.
Sepasang mata Si Pelawak Sinting keliha-
tan meram melek seperti orang keenakan.
"Sud... sudah kau dapatkan jim...jimat itu
Labodong?"
"Kurasa sudah" jawab sang kakek.
"Tunggu apa lagi. Lek... lekas kau betot..."
"Baik, akan aku lakukan," kata Labodong
pula. Tangannya yang didalam celana digerakkan
menyentak.
"Aduh!" Labudung menjerit keras. "Gila
kau! Teganya kau menyakiti diliku yang sudah
mau mati ini!"
"Gila bagaimana?!" teriak Labodong. "Kau
tad yang menyuruh betot!"
"Yang balusan kau betot bukan jimat. Ta...
tapi bijiku! Huah sakitnya! Untung tidak copot!"
"Hah?!" Labodong kaget ada, kasihan ada,
ge1i juga ada.
Tangannya bergerak lagi. Akhirnya dia ber-
hasil meraba sebuah benda kecil, terasa hangat-
hangat basah. Hati-hati benda ini ditariknya.
Benda yang satu ini memang jimat benaran. Begi-
tu jimat yang terbungkus kain hitam itu lepas da-
ri tubuh Si Pelawak Sinting Labudung, kepalanya
kembali terkulai. Sekali ini nafasnya ikut me-
layang.
"Labudung....!" Labodong terpekik. Dia ta-
hu kalau kali ini adik kembarnya itu benar-benar
sudah meninggal. Labodong peluk tubuh Labu-
dung. Tubuhnya berguncang menahan ledakan
tangis
Pada saat itu tiba-tiba dari balik pohon
muncul seseorang. Lalu ada suara menegur. Sua-
ra itu terdengar merdu menyerupai suara perem-
puan tapi agak besar.
"lihh... Siapa yang main di tempat terang
begin. Gila kali!"
Sambil terus memeluk tubuh adiknya La-
bodong angkat kepala. Kakek ini terkejut karena
tak mengira yang menegur adalah seorang pe-
rempuan muda berkulit putih, bertubuh tinggi
semampai, berambut pirang sebahu, berwajah
cantik sekali seperti Indo. Si cantik ini mengena-
kan rok super mini hingga dari tempatnya duduk
menjelepok di tanah memeluk saudaranya, Labo-
dong dapat melihat bagian teratas dua paha si
cantik. Si cantik ini mengenakan blus yang po-
tongannya begitu indah dan terbelah di sebelah
tengah membuat dadanya yang besar putih keli-
hatan jelas menyembul kencang dan menantang.
"Idih opa-opa! Gila!" kata si cantik begitu
melihat Wajah Labodong. Lalu cepat-cepat si can-
tik ini yang bukan lain adalah wadam Taman La-
wang tinggalkan tempat itu. Dia pergi menemui
seorang temannya. Memberi tahu kalau ada ka-
kek-kakek lagi main di bawah pohon sana.
Setelah ditinggal sendiri bersama jenazah
adiknya Labodong berkata. "Labudung adikku,
aku terpaksa meningalkanmu. Aku ingin memba-
wamu, menguburmu di satu tempat. Tapi kau ta-
hu sendiri aku tidak tahu segala urusan pema-
kaman. Lagipula kabarnya tanah makam cukup
mahal di Jakarta ini. Dan... dan tidak ada jami-
nan tidak bakal digusur di kemudian hari.
Hik...hik.. hik. Jadi sebaiknya kau mati menurut
cara orang di negeri kita sana. Kembali ke tanah
asal leluhur kita. Aku pergi adikku. Selamat ting-
gal... Selamat jalan."
Perlahan-lahan Labodong turunkan kepala
adik kembarnya dari pangkuan. Lalu dia bangkit
berdiri. Setelah pandangi Si Pelawak Sinting un-
tuk terakhir kali dia segera tinggalkan tempat itu.
Tak lama setelah Labodong pergi terjadi
suatu keanehan dengan sosok mayat Si Pelawak
Sinting. Kakek yang berasal dari Latanahsilam
Negeri 12 ribu tahun silam ini tubuhnya perla-
han-lahan berubah seolah leleh. Lelehan berubah
menjadi cairan putih kental yang menggenang di-
tanah.
Wadam yang tadi melihat Labudung di ba-
wah pohon menemui seorang temannya, membe-
ritahu apa yang barusan dilihatnya.
"Ada kakek maen sama teman kita? Ah,
kau bohong aja!"
"Swear deh sial tujuh turunan. Gue sampai
ngibrit ngeliatnya." Sang wadam pakai bersumpah
tujuh turunan segala. Padahal satu turunan saja
tidak bakalan punya. "Ih, gila juga! Teman kita
siapa? Biasanya sih si Angela yang suka Slordeg,
suka ngambil langganan sembarangan. Kalau ike
sama kakek-kakek prei dulu la yaouw! Siapa yang
doyan terong bonyok. Ike rasa pasti deh Si Ange-
la."
"Nggak tau. Nggak keliatan. Abis dikekepin
terus. Lagian gelap. Kalo nggak percaya ayo kita
liat barengan."
Ketika dua orang wadam itu sampai di ba-
wah pohon mereka hanya menemui genangan cai-
ran putih kental di tanah.
"Mana, kok nggak ada siapa-siapa? Ah,
bener 'kan? Lu bohong aja!" Kata wadam yang di-
ajak temannya. Lalu wadam ini melihat cairan
putih kental yang menggenang di tanah. Dia
membungkuk. Lalu menjerit perlahan. "Iiihhhh....
gila! Kok bisa banyak begini. Ampe seember.
Ihhh...."
Wadam satunya memandang berkeliling
terheran-heran.
"Aneh, tadi ada disini. Berduaan. Asyik
banget. Gue liat si kakek masih bisa goyang kok!
Nafasnya gue dengar sampai ngosngosan!" pa-
dahal goyang dan ngosngossannya si kakek Labo-
dong yang dilihat wadam ini adalah getaran dan
sesak nafas karena menahan isak tangis yang
mau meledak.
Tiba-tiba genangan cairan putih kental be-
rubah menjadi asap. Bau aneh seperti bau keme-
nyan terbakar memenuhi tempat itu. Dua orang
wadam tadi terkejut pucat.
"Mira.... Mira," bisik wadam satunya me-
nyebut nama temannya. "Jangan-jangan yang gue
liat tadi setan rel kereta..."
"Aduh mami, ike jadi pengen pipis!"
Dua wadam sama-sama memekik lalu ter-
birit-birit tinggalkan tempat itu.
LIMA
RENCANA PEMBUNUHAN BOMA
JAM 03.00 dinihari, menjelang pagi hari
Minggu.
Lopo Tuak "Tao Toba" dalam keadaan gelap
dan sepi. Satu-satunya penerangan adalah nyala
lampu 10 watt di bagian luar, tergantung di ba-
wah atap. Pemilik lapo dan anak istrinya tertidur
nyenyak di bagian belakang bangunan papan ke-
dai minuman itu. Tidak mengetahui kalau dalam
kedai ada dua orang tamu gelap asyik menjarah
tuak.
Tamu pertama seorang kakek duduk di
ujung meja sebelah kiri. Berpakaian rombeng se-
perti pengemis. Saat itu dia telah menghabiskan
tiga botol besar tuak. Orang biasa jika minum se-
banyak itu kulit wajahnya akan menjadi merah.
Tapi orang ini walau dalam gelap, mukanya keli-
hatan putih pucat dan angker. Dia bukan lain
adalah dedengkot golongan hitam rimba persila-
tan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.
Di hadapan Si Muka Bangkai, di ujung me-
ja sebelah kanan duduk muridnya. Pangeran Ma-
tahari. Pendekar jahat yang dijuluki Pangeran se-
gala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik,
segala congkak, musuh bebuyutan Pendekar 212
Wiro Sableng, murid nenek sakti Sinto Gendeng
dari puncak Gunung Gede.
Sang Pangeran seka mulutnya dengan be-
lakang telapak tangan, memandang pada gurunya
lalu berkata.
"Guru, dari tadi kau diam saja. Mukamu
kelihatan asam. Ada sesuatu yang kau jengkel-
kan. Apa kau tidak senang kalau hari ini aku
berhasil membunuh seorang manusia tua bangka
keparat yang selama ini telah membuat kita susah?"
Si Muka Bangkai tidak segera menjawab.
Dia mengambil botol tuak keempat, menenggak
isinya sampai ludas lalu tertawa mengekeh.
"Jangan terlalu sombong dengan apa yang
telah kau lakukan hari ini. Si Pelawak Sinting
yang kau bunuh hanyalah mahluk tak berguna
dari negeri duaribu dua ratus tahun silam..."
"Guru, apa kau lupa? Gara-gara bangsat
itu semua urusan jadi berantakan. Dia yang men-
curi Batu Penyusup Batin yang kau berikan pa-
daku. Walau kemudian kau mengakui batu itu
cuma batu palsu. Apa semua yang terjadi ini bu-
kan kualat karena kau menipu diri sendiri dan
menipu muridmu ini?"
"Murid kurang ajar! Setiap aku berbuat se-
suatu. Ada sebabnya1" bentak Si Muka Bangkai
dengan nada marah sekali karena si murid men-
gungkit-ungkit soal batu palsu yang diberikannya
tempo hari. "Aku yang mengatur! Kau hanya jadi
pelaksana! Ingat itu baik-baik! Yang jadi sasaran
sebenarnya saat ini adalah anak lelaki bernama
Boma. Dan kau belum mampu berbuat sesuatu
apa terhadap anak itu!"
"Guru, aku sudah menyelidik. Aku sudah
tahu anak itu sekolah dimana. Dalam waktu be-
berapa hari ini aku akan menghabisinya."
"Dalam waktu beberapa hari. Mengapa be-
gitu lama?"
"Guru, aku punya firasat. Sejak beberapa
waktu belakangan ini ada seseorang menguntit
gerak-gerikku. Mungkin sekali Sinto Gendeng...!"
"Kalau kau tahu yang menguntitmu Sinto
Gendeng, apa kau kira akan bisa menghabisi
anak bernama Boma itu selama Sinto Gendeng ti-
dak kau habisi lebih dulu? Nenek Gendeng itu
adalah pelindung Boma. Mungkin telah menjadi-
kan anak itu sebagai muridnya. Mungkin juga dia
telah menyuruh muridnya Pendekar 212 Wiro
Sableng untuk berjaga-jaga. Bukankah aku dan
guruku pernah bilang bahwa ada seorang pemuda
yang hendak dijadikan sebagai Pendekar Tahun
2000 oleh orang-orang rimba persilatan golongan
putih. Aku hampir yakin anak bernama Boma itu-
lah orangnya! Pangeran tolol, kau harus me-
nyingkirkan Sinto Gendeng lebih dulu. Dendamku
padanya sudah berkarat. Mulai dari saat dia me-
rampas Batu Penyusup Batin. Lalu perbuatan ku-
rang ajarnya menelanjangi guruku Kunti Api tem-
po hari. Jahanam!" Si Muka Bangkai gerakkan
sepuluh jari tangannya hingga mengeluarkan su-
ara bergemeletakan. "Kalau Sinto Gendeng sudah
jadi satu dengan tanah! Kau mudah saja meng-
habisi anak itu!"
"Guru, walau aku bilang Sinto Gendeng
menguntit, tapi secara nyata sulit melacak kebe-
radaannya. Nenek itu tidak beda dengan setan.
Dicari susah bertemu tapi tahu-tahu, secara
mendadak dia bisa saja muncul."
"Murid congkak tapi tolol!" sembur Si Muka
Bangkai. "Aku tidak mau tahu segala macam ke-
sulitan yang kau hadapi. Kau aku gembleng den-
gan segala macam ilmu kepandaian justru untuk
menghadapi kesulitan. Aku hanya mau melihat
kau membawa kepala Sinto Gendeng ke hada-
panku!"
Dua kali sang guru menyebutnya tolol di-
tambah congkak. Telinga dan hati Pangeran Ma-
tahari jadi panas.
"Guru, soal Sinto Gendeng bukan menjadi
tanggungjawabku. Itu adalah tanggung jawabmu.
Bukankah nenek itu keluar dari sarangnya gara-
gara dulu kau dan kekasih gelapmu Nyi Ragil
membunuh Datuk Mudo Carano Ameh sepupu
Tua Gila, kekasih Sinto Gendeng!"
"Pangeran setan kurang ajar! Jangan kau
menuduh aku berbuat mesum dengan Nyi Ragil!
Jangan kau menuduh aku membunuh Datuk sia-
lan itu. Nyi Ragil yang membunuh saudara sepu-
pu Tua Gila itu karena dia punya dendam terha-
dap Sinto Gendeng. Nenek keparat dari puncak
Gunung Gede itu di masa mudanya pernah mere-
but kekasih Nyi Ragil!" (Kisah terbunuhnya Datuk
Mudo Carano Ameh bisa diikuti dalam serial Wiro
Sableng berjudul "Si Cantik Dalam Guci")
Pangeran Matahari menyeringai.
"Guru, kau boleh menyangkal. Tapi aku
tahu banyak hubunganmu dengan setan betina
bernama Nyi Ragil itu. Mulai dari perselingkuhan
sampai semua rencana dan perbuatanmu meng-
hancurkan para tokoh silat golongan putih," kata
Pangeran Matahari berani sekali.
Sepasang mata cekung Si Mata Bangkai
memancarkan kilatan menggidikkan.
"Braaak!"
Si Muka Bangkai menggebrak meja kayu
di hadapannya.
Empat kaki meja amblas sampai setengah
jengkal ke ubin lantai. Tapi luar biasa deretan bo-
tol-botol tuak yang ada di atas meja tidak satu-
pun yang roboh, bahkan bergoyangpun tidak!
"Pangeran Matahari! Jangan kau berani bi-
cara kurang ajar! Jangan kau berani menolak pe-
rintahku dengan membual segala macam ucapan
kotor! Jangan tunjukkan kesombongan dan ke-
cerdikan licik padaku! Saat ini aku masih dalam
berduka! Pendekar 212 Wiro Sableng telah mem-
bunuh Nyi Ragil Tawangalu!" (Kisah terbunuhnya
Nyi Ragil Tawangalu alias Si Manis Penyebar Maut
dapat pembaca ikuti dalam serial Wiro Sableng
pada Episode berjudul Kutukan Sang Badik yang
akan segera terbit).
Sang murid yang punya sifat congkak ma-
na perdulikan duka cita Si Muka Bangkai. Dia
membuka mulut.
"Guru..."
"Diam!" Bentak Si Muka Bangkai dengan
mata membeliak besar.
Sang murid jadi tergetar juga hatinya lalu
walau dia putar kepala memandang ke jurusan
lain tapi dimulutnya tersungging seringai seolah
mengejek sang guru.
Si Muka Bangkai teguk tuak dibotol beri-
kutnya sampai setengah. Sambil menyeka bibir
dia memandang ke luar kedai minuman lewat
jendela kawat. Dalam hati kakek ini membatin.
"Tak lama lagi pagi segera datang. Mengapa dia
belum muncul juga?"
Tiba-tiba ada angin bertiup. Pintu kedai
terbuka. Sesosok tubuh, laksana bayangan setan
berkelebat masuk. Di lain kejap seorang nenek
bermantel biru tebal, berambut merah riap-riapan
tahu-tahu telah duduk di kursi di samping meja
sebelah kiri, antara Si Muka Bangkai dan Pange-
ran Matahari. Nenek ini punya sepasang mata
merah seperti menyala. Mukanya yang angker ter-
tutup dandanan tebal mencorong hingga tam-
pangnya kacau tidak karuan. Ketika dua tangan-
nya diletakkan di meja, kuku-kukunya yang pan-
jang-panjang juga kelihatan merah menggidikkan.
"Eyang Guru!" Seru Si Muka Bangkai begi-
tu melihat dan mengenali orang yang duduk di
sampingnya.
"Nenek Guru!" Ucap Pangeran Matahari.
Si Muka Bangkai dan muridnya segera
bangkit berdiri dari kursi masing-masing lalu
membungkuk hormat dalam-dalam.
Si nenek bermantel biru berambut merah
riap-riapan yang dikenal dengan nama Kunti Api
dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh.
"Aku lihat ada minuman enak di atas meja!
Mengapa kalian guru dan murid malah berteng-
kar dalam kenikmatan ini?!"
"Eyang, harap maafkan. Pangeran Matahari
muridku telah berani menolak perintah," berkata
Si Muka Bangkai. Lalu kakek ini jelaskan persoalan yang tengah mereka hadapi. Dia juga mene-
rangkan kematian Si Pelawak Sinting yang dibu-
nuh Pangeran Matahari.
Si nenek goleng-goleng kepala.
"Aku melihat tidak ada masalah yang perlu
dipertengkarkan!" Kata Kunti Api pula.
Tampang Si Muka Bangkai berubah jadi
asam
Pangeran Matahari sunggingkan senyum.
"Hai! Minuman apa yang tengah kalian
nikmati ini?"
Tiba-tiba Kunti Api bertanya sambil melotot
pandangi belasan botol besar di atas meja.
"Kami minum tuak Eyang." Jawab Si Muka
Bangkai.
"Tuak? Enak?"
"Enak Eyang. Silahkan kalau mau menco-
ba."
Si Muka Bangkai cepat mengambil botol
tuak yang masih penuh lalu menyerahkan pada
gurunya. Kunti Api sambuti botol, tengadahkan
kepala dan membuka mulut.
"Gluk...gluk...gluk"
Sebentar saja tuak satu botol besar itu lu-
das masuk ke dalam perutnya.
"Aahhh.... Memang enak. Sedap sekali. Tu-
buhku jadi hangat." Kunti Api seka mulutnya lalu
mengekeh perlahan. "Dengar kalian berdua. Anak
lelaki bernama Boma itu harus kalian cari, harus
disingkirkan cepat-cepat jadi tugas utamamu
Pangeran Matahari! Aku menyirap kabar anak itu
akan berada di kawasan Candi Borobudur dua
minggu dimuka. Borobudur termasuk kawasan
Gunung Merapi, daerah kekuasaanmu! Kau harus
bisa membunuhnya dengan mudah di tempat itu.
Apa lagi Borobudur jauh dari Gunung Gede sa-
rangnya si nenek keparat Sinto Gendeng. Dia pas-
ti sulit mengetahui anak itu dalam bahaya. Tapi,
bagaimanapun juga, jika kau mampu menghabi-
sinya di sini lakukanlah! Makin cepat anak itu
mati makin baik! Mengenai Sinto Gendeng biar
aku mengatur kematian nenek keparat itu bersa-
ma gurumu! Dia pernah menelanjangi diriku se-
cara kurang ajar! Sebagai balasan aku bersumpah
akan mengelupas sekujur kulit muka dan tubuh-
nya!" Kunti Api pentang sepuluh jari tangannya
yang memiliki kuku panjang mengerikan. Selain
bisa mengeluarkan api, sepuluh kuku jari itu juga
bisa membeset lawan secara ganas mengerikan.
Si Muka Bangkai tatap mata muridnya le-
kat-lekat.
"Pangeran Matahari, Eyang Guru telah be-
rucap. Apa jawabmu?!"
Pangeran Matahari rapatkan dua tangan di
depan kepala. Lalu berkata. "Guru, Nenek Guru,
aku akan lakukan apa yang guru dan Nenek
Guru perintahkan."
"Kalau begitu kau tunggu apa lagi?" ujar Si
Muka Bangkai pula.
Pangeran Matahari tatap wajah gurunya
sesaat. Rahangnya tampak mengembung dan pe-
lipisnya bergerak-gerak pertanda ada emosi bergejolak dalam dirinya. Sesaat kemudian, sambil
membawa sebotol tuak, tanpa berkata apa-apa
dia tinggalkan kedai minuman itu.
Begitu Pangeran Matahari lenyap dalam
kegelapan malam di luar sana Kunti Api berpaling
pada muridnya.
"Suro Ageng Kalamenggolo," Kunti Api me-
manggil Si Muka Bangkai dengan nama aslinya,
"Mungkin karena Pangeran Matahari tahu kalau
kau bukan gurunya sebenarnya, hanya saudara
kembar Si Muka Bangkai yang asli. Maka dia ke-
lihatan begitu keras kepala terhadapmu."
Si Muka Bangkai menyeringai. "Walaupun
aku bukan gurunya yang asli, tetapi aku sejuta
layak dihormatinya sebagai guru. Aku tahu ba-
nyak tentang dirinya seperti aku mengenal dua
telapak tanganku sendiri. Sebaliknya dia tidak
tahu banyak mengenai diriku. Kalau dia berani
macam-macam aku akan membuat hidupnya
sengsara selama-lamanya...."
Si Muka Bangkai keluarkan ucapan seperti
itu tanpa mengetahui kalau saat itu sebenarnya
Pangeran Matahari sengaja menyelinap dibalik
dinding kedai minuman. Sepasang mata sang
Pangeran keluarkan kilatan menggidikkan. Serin-
gai setan bermain di mulutnya. "Kau tahu diriku,
tapi kau tidak tahu hantu. Aku juga bisa mem-
buat dirimu sengsara seumur-umur. Kau bisa jadi
ular sanca. Tapi aku juga bisa jadi seekor ko-
bra..." Pangeran Matahari teguk tuak dalam botol
sampai setengahnya lalu sekali berkelebat sosok
nya lenyap dalam udara malam menjelang pagi
yang dingin. Di kejauhan terdengar suara anjing
meraung panjang. (Dalam cerita silat Serial Wiro
Sableng diriwayatkan kematian Si Muka Bangkai
yang asli di tangan Bujang Gila Tapak Sakti. Ha-
rap baca Episode terakhir Wasiat Iblis berjudul
Kiamat Di Pangandaran).
***
JAM lima lewat, pagi hari Minggu itu seper-
ti biasanya Marihot Sinaga pemilik kedai tuak Tao
Boba telah bangun dari tidurnya. Turun dari ran-
jang dia ke kamar mandi dulu, baru pergi ke de-
pan. Begitu memasuki kedai pandangan matanya
langsung membentur deretan botol-botol tuak di
atas meja.
"Hah?!" kejutnya. Setengah melompat dia
mendekat meja di tengah kedai. Tidak percaya
pada penglihatannya dia hidupkan lampu besar.
Terbelalak mata Marihot antara percaya dan ti-
dak. Belasan botol tuak bergeletakan dalam kea-
daan kosong di atas meja. Di tengah meja terletak
sebuah kendi terbuat dari tanah. Marihot Sinaga
mengangkat kendi tanah. Dibalikkannya. Tak ada
cairan yang keluar. Suara mengeram keluar dari
tenggorokan pemilik Lapo Tuak itu.
"Kosong! Tuak murniku!" Suara Marihot
Sinaga bergetar. Matanya membeliak garang me-
mandang seputar kedai.
Siapa yang datang? Siapa yang minum se
mua tuak dalam botol ini? Juga tuak murni da-
lam kendi tanah? Dia ingat betul, sebelum tidur
semua meja telah dibersihkan. Tak ada tamu
yang datang untuk meminum. Dia sendiri yang
menutup, mengunci pintu kedai. Marihot paling-
kan kepala ke arah pintu kedai. Dilihatnya pintu
dalam keadaan terbuka.
"Apa ini? Kejadian apa ini?!" kata pemilik
kedai tuak itu sambil melangkah mengeliling meja
yang penuh dengan deretan botol kosong. Akhir-
nya dia terduduk disalah satu kursi.
Lalu dia mulai berteriak-teriak memanggil
istrinya.
"Saroha! Saroha! Bangunlah kau! Lihat...
lihat apa yang terjadi di kedai kita! Ini gara-gara
kau mengajak aku tidur siang-siang. Maling ma-
suk aku tak tahu! Maling jahanam! Habis tuakku
dijarahnya! Habis daganganku! Hancur modalku!
Sial besar! Saroha! Saroha!"
Yang muncul bukannya Saroha tetapi seo-
rang berpakaian seragam dan bertopi pet hijau.
Hansip. Mukanya kusam matanya kuyu tanda
baru bangun tidur.
"Tulang... Tulang, ada apa Tulang?!"
"Komang! Kau Hansip di sini! Kau menjadi
keamanan di sini?!"
"Tentu saja Tulang" jawab Hansip yang
bernama Komang.
"Maling masuk lapoku! Menjarah habis
tuak di kedai ini! Kau tidak tahu! Apa saja kerjamu?!"
"Astaga? Masa’ iyaa Tulang? Bagaimana
mungkin?!"
"Bagaimana mungkin! Bagaimana mung-
kin! Lihat! Puluhan botol tuak pada kosong. Satu
kendi tuak murni habis dibantai maling itu! Se-
mua dihabisi di kedaiku! Kalau tahu aku siapa
orangnya kupancung batang lehernya!" teriak Ma-
rihot Sinaga. Diambinya guci tanah di atas meja
lalu dibantingkannya ke lantai di depan kaki Ko-
mang. Tak ampun lagi guci tanah itu hancur be-
rantak Komang melompat kaget. Waktu turun sa-
lah satu tumit sepatu botnya terpeleset. Tak am-
pun lagi Komang jatuh bergedebuk di lantai.
"Hanssip sial! Kau pasti tidur!" Teriak Ma-
rihot Sinaga. "Kau pasti molor!"
"Tulang, empat kali saya melintasi warung
Tulang malam ini. Saya tidak melihat siapa-
siapa..."
"Empat kali atau sepuluh kali! Pantatlah
sama kau!" maki pemilik kedai tuak itu, Komang
didorongnya keluar kedai. Pintu kedai ditutupnya
dengan bantingan keras.
Di luar kedai Hansip Komang tegak terhe-
ran-heran. Sambil geleng-geleng kepala dia berka-
ta.
"Aneh, ada maling kok bukannya nyikat te-
levisi tapi menengggak tuak! Ah! Jangan-jangan Si
Tulang itu mabok. Dia sendiri yang geludesin
tuak, bilang ada maling. Sial, aku yang kena
damprat. Dibilang pantat!" Hansip itu akhirnya
ngeloyor tinggalkan Lapo Tuak Tao Toba.
ENAM
BERITA DALAM SURAT KABAR MINGGU
MINGGU pagi Sumitro Danurejo sibuk
mengerjakan sablon lima ratus kaos oblong pesa-
nan langganan. Di dapur istrinya tengah mema-
sak. Bram pagi-pagi telah berangkat ke Bogor un-
tuk satu keperluan. Di kamarnya di tingkat atas
Boma belum mandi, baru saja selesai membaca
tiga surat kabar terbitan hari Minggu itu. Semua
memuat berita peristiwa perkelahian di Jembatan
penyeberangan di Jalan Thamrin, di depan ge-
dung Sarinah. Dalam berita disebutkan seorang
lelaki tua dan seorang pemuda mengeroyok sam-
pai mati seorang kakek pengamen. Dua penge-
royok lenyap melarikan diri. Diperkirakan ketiga
orang itu adalah orang-orang sakti dari "Banten".
Karena dalam perkelahian jelas terlihat sambaran
cahaya aneh setiap masing-masing melancarkan
serangan. Ciri-ciri dua pengeroyok telah diketahui
oleh pihak berwajib dan penyelidikan lebih lanjut
tengah dilakukan. Keanehan disusul dengan kea-
nehan lain. Ketika pengamen tua yang tengah se-
karat dilarikan dengan ambulans ke RSCM, di
tengah jalan muncul seorang lelaki tua yang ciri-
cirinya sangat sama dengan korban mengejar am-
bulans. Kakek misterius ini kemudian menculik
sosok kakek pengamen yang kemungkinan telah
jadi mayat lalu melarikannya ke arah Jalan Blora.
Polisi yang coba mengejar kehilangan jejak.
Lama Boma terduduk di ujung tempat ti-
dur, bersandar ke dinding. Kemudian kembali di-
ambilnya tiga surat kabar Minggu. Dibacanya sa-
tu persatu, perlahan-lahan dan hati-hati seolah
tidak mau satu katapun terlewat. Bagian yang di-
bacanya adalah mengenai ciri-ciri pengeroyok
yang muda.
"Menurut saksi mata, salah seorang penge-
royok masih muda. Diduga berusia sekitar dua pu-
luh lima tahun. Yang menarik dari pemuda ini dia
mengenakan pakaian serba hitam dengan gambar
gunung di dada kiri. Di punggungnya dia memakai
sehelai mantel hitam seperti mantel Superman. Be-
rambut gondrong dengan kening diikat secarik
kain merah..."
"Berambut gondrong dengan kening diikat
secarik kain merah...." Boma mengulang memba-
ca kalimat itu sampai berkali-kali. Lalu anak ini
letakkan surat kabar di atas tempat tidur, melipat
kaki dan kembali bersandar ke dinding kamar di
belakangnya. Dua matanya memandang ke luar
kamar lewat jendela yang terbuka. Di ambang
jendela yang terbuka Boma seperti melihat
bayangan satu wajah nenek keriput, bermuka ce-
kung kulit hitam dengan lima tusuk konde dari
perak menancap sebagai hiasan dan juga sebagai
senjata di atas kepalanya.
"Aku jadi ingat nenek itu..." Boma berkata
dalam hati. "Terakhir sekali muncul di kamar ini,
dia mengatakan sesuatu. Tentang seseorang yang
katanya... katanya hendak membunuhku..." Boma menowel hidungnya lalu tangannya bergerak
menyapu tengkuknya yang mendadak terasa din-
gin dan lembab oleh keringat. Dalam keadaan se-
pi itu Boma ingat hampir semua pembicaraan
dengan si nenek.......
"Anak Gendeng, Anak Setan dengar. Aku ti-
dak bisa lama-lama di tempat ini. Aku datang ka-
rena ada firasat dirimu dalam bahaya..."
"Bahayanya sudah lewat Nek. Nenek tau
sendiri. Waktu saya dikeroyok orang, mau dibu-
nuh. Bukankah Nenek ikut menolong?"
"Bahaya yang sudah lewat perlu apa aku
urus. Yang aku maksud adalah bahaya yang bak-
al datang. Ada orang yang akan membunuhmu.
Petunjuk memberi tahu kau bakal dipateni di seko-
lahan. Besok kamu masuk sekolah?"
Boma mengangguk.
"Siapa orang jahat itu Nek? masih kawanan
lima pengeroyok itu?"
"Dia mahluk dari alamku. Dikenal dengan
nama Pangeran Matahari. Berpakaian serba hitam.
Ada gambar gunung dan matahari di dadanya. Dia
juga pakai mantel warna hitam. Kepalanya diikat
secarik kain merah. Dia merupakan suruhan para
dedengkot golongan hitam yang tak suka kemun-
culan dirimu sebagai Pendekar Tahun 2000."
"Apa Nek, saya Pendekar Tahun 2000? Nek
setiap muncul kau membawa keanehan. Sulit bisa
dipercaya."
"Dalam rimba persilatan keanehan hanya
selangkah jaraknya dari kematian. Itu sebabnya
setiap keanehan harus kau perhatikan, harus kak
pecahkan sebelum keanehan memecah kepalamu!
Mahluk bernama Pangeran Matahari itu ilmunya
tinggi. Selain itu mata biasa tidak bisa melihat
ujudnya karena dia sudah diusap dengan benda
ini oleh gurunya yang bernama Si Muka Bang-
kai..."
Dari balik baju hitam bututnya di bawah
ketiak kiri si nenek keluarkan sebuah benda ber-
bentuk dan sebesar telur burung merpati, ber-
warna biru bercahaya.
"Apa itu Nek?" tanya Boma.
"Batu Penyusup Batin," jawab si nenek. "Ji-
ka batu ini kau genggam, ujudmu tak kan terlihat
oleh siapapun. Kau lenyap, menghilang dari pe-
mandangan mata manusia. Jika Pangeran Mata-
hari muncul orang lain tak bisa melihat dirinya, ta-
pi kau bisa."
"Kalau saya bisa menghilang wah enak ju-
ga Nek," kata Boma.
"Enaknya?" tanya si nenek.
"Saya bisa gentayangan kemana-mana.
Masuk bioskop nggak bayar. Ngintip orang paca-
ran. Ngintipin cewek mandi. Masuk ke kamar pen-
ganten baru..."
"Anak Setan!" bentak si nenek. "Ilmu apa sa-
ja kalau dipergunakan salah, untuk kejahatan bisa
kualat makan diri sendiri."
"Nek, gimana kalau setelah menghilang
saya tidak bisa kembali ke alam nyata? Bisa cela-
ka saya seumur-umur."
"Dasar anak gendenk! Tubuhmu tidak
ludes, tidak menghilang benaran. Yang kejadian
mata manusia tidak bisa melihat sosokmu. Itu bisa
melindungi dirimu dari segala macam bahaya! Bu-
kan buat ngintip cewek kencing!"
Boma mengusap bahu kanan, bagian di
bawah tulang belikat. Disitu ada daging tubuhnya
yang menonjol.
"Nek, saya tetap nggak mau menerima batu
itu. Ngeri Nek."
"Kalau jadi anak tolol boleh saja. Tapi jan-
gan kelewatan. Aku sudah bilang dirimu terancam
bahaya maut. Pangeran Matahari akan muncul
mau membunuhmu. Aku pinjamkan batu ini sela-
ma beberapa hari padamu."
"Saya nggak berani Nek. Tetap nggak bera-
ni. Takut..."
"Takut apa jijik?! Karena batu ini barusan
aku keluarkan dari ketiakku hah?!"
Boma menowel hidungnya.
"Tidak, bukan karena itu Nek..."
"Jangan dusta Anak Setan!"
"Saya nggak dusta Nek. Sumpah..."
"Jangan suka bersumpah! Urusan sumpah-
mu sama guru cantik itu belum beres. Sekarang
kamu sumpah lagi sama nenek jelek ini! Bisa tam-
bah celaka kamu!"
"Kok.,.. kok Nenek tau saya sumpah sama
Ibu Renata?" Tanya Boma heran.
"Apa yang aku tidak tahu mengenai dirimu.
Yang tersembunyi dalam celana di bawah perutmu
itu juga aku tahu! Ada tahi lalat di lempengan se-
belah kiri! Hik... hik.. hik!"
Boma melengak kaget. Kaget karena apa
yang dikatakan si nenek memang benar adanya.
Tak sadar dia turunkan tangan meraba bagian
bawa celananya. Tawa cekikikan si nenek tambah
keras "Anak Setan, kau tetap tidak mau menerima
Batu Penyusup Batin ini?!"
Boma gelengkan kepala? Tangan kirinya
masih menekap bagian bawah perut.
Si nenek tampak kesal.
"Terserah kamu!" katanya. "Kalau kau cela-
ka jangan salahkan aku!" Perempuan tua berwa-
jah angker dengan lima tusuk konde di kepalanya
itu melangkah mendekati Boma. Anak lelaki itu
mundur.
"Kamu takut?" Si nenek menyeringai.
"Nek, Nenek ini siapa sih sebenarnya?"
"Kalau aku beri tahu namaku apa kau mau
menerima batu sakti ini?"
"Nggak Nek, nggak. Biar saja saya nggak
tau nama Nenek,.."
Si muka angker tertawa panjang. "Bagus,
kau rupanya tidak mempan disogok! Hiik,,.
hik..hik!"
Nenek itu maju lagi satu langkah. Tiba-tiba
tangan kirinya ditepukkan ke bahu kanan Boma
seraya berkata. "Kau akan menyesal tidak mau
kupinjamkan batu sakti itu. Aku pergi sekarang!"
Boma merasa bahunya yang ditepuk men-
jadi pegal dan berat.
"Nek, pintu keluar sebelah sana," kata Bo-
ma ketika dia melihat si nenek melangkah ke
arah jendela yang tertutup.
"Siapa bilang aku keluar lewat pintu!" jawab
si nenek sambil tertawa lebar. Tangannya berge-
rak membuka daun jendela. "Anak tolol, dengan
baik-baik. Batu Penyusup Batin sudah aku su-
supkan ke dalam bahu kanan di bawah tulang be-
likatmu. Jika kau mengusap bahumu satu kali, so-
sokmu akan menjadi samar. Jika kau mengusap
kedua kali tubuhmu akan lenyap dari pemandan-
gan mata manusia. Jika kau mengusap sekali lagi,
ujudmu akan kembali seperti semula."
Boma tersentak kaget. Dirabanya bahu ka-
na di bawah tulang belikat. Astaga, ada sesuatu
yang menonjol pada daging dibawa tulang beli-
katnya. Selagi Boma bingung, kaget dan juga ta-
kut si nenek kembali tertawa cekikikan. Lalu se-
kali dia berkelebat sosoknya melesat keluar lewat
jendela. Boma mengejar ke jendela, namun dia
hanya melihat kegelapan di luar sana. Si nenek
tak kelihatan lagi......
***
Di atas tempat tidur Boma raba bahu ka-
nannya. Daging di bahu itu masih menonjol tanda
Batu Penyusup Batin masih ada di situ. Dipan-
danginya surat kabar Minggu yang bertebaran di
atas tempat tidur.
"Ciri-ciri Pangeran Matahari yang disebutkan nenek aneh itu sama dengan pemuda
yang diberitakan di koran. Apa bener Pangeran
Matahari itu ada betulan? Kalau dia benar ada la-
lu apa benar dia mau membunuh aku? Apa sa-
lahku? Pendekar Tahun 2000. Kata si nenek ka-
rena aku Pendekar Tahun 2000. Orang-orang go-
longan hitam mau mateni aku karena aku Pende-
kar Tahun 2000. Gila! Ini dunia nyata, bukan ce-
rita silat." Boma menowel hidungnya. Dia men-
gambil salah satu dari tiga surat kabar itu dan
membacanya sekali lagi, ia kembali merenung
bersandar ke dinding kamar. "Tapi gimana kalau
apa yang dibilang nenek aneh itu benar? Buk-
tinya waktu batu ini aku gosok dua kali, bokap
nggak ngeliat aku. Padahal aku dalam kamar di
depan jidatnya! Lalu waktu Ibu Renata yang me-
meluk aku tak sengaja menekan batu sampai dua
kali, sosokku juga lenyap."
Sambil merenung mengingat-ingat seperti
itu tidak sadar Boma usap bahu kanannya satu
kali.
"Pangeran Matahari, mungkin aku musti
hati-hati. Aneh memang. Tapi aku ingat. Si nenek
bilang keanehan hanya selangkah jaraknya dari
kematian." Boma menowel hidungnya. Mengeliat
satu kali. Tidak sadar dia mengusap bahu kanan-
nya sekali lagi lalu turun dari tempat tidur
"Saatnya aku musti turun ke bawah. Ban-
tuin bokap nyablon sebelum dia nyap-nyap."
Sebelum pergi ke halaman samping rumah
tempat ayahnya sibuk menyablon, Boma ke ruang
makan dulu. Saat itu ibunya tengah menyiangi
ikan di dapur. Dari dapur perempuan ini bisa me-
lihat ke ruang makan. Mula-mula dia kerenyitkan
kening heran. Rasa heran kemudian berubah
menjadi takut ketika dilihatnya tudung plastik di-
atas meja naik, terbuka ke atas. Padahal dia tidak
melihat siapapun berdiri di sekitar meja makan.
Boma yang membuka tudung plastik itu
hanya melihat sebuah piring kecil berisi sambel.
"Laper, tapi cuman ada sambel..." Kata
Boma dalam hati lalu tudung plastik ditutupkan-
nya kembali. Anak ini pergi ke tempat ayahnya
bekerja.
"Ayah, mari Boma bantuin nyablon." kata
Boma pada ayahnya.
"Gini hari baru bangun kamu," kata ayah
Boma, Sumitro Danurejo lelaki pensiunan De-
partemen Penerangan tanpa berpaling. "Sini, ka-
mu bawa masuk kaos yang sudah disablon. Su-
sun di kursi tamu. Ikat sepuluh-sepuluh...." Lalu
tak acuh lelaki ini berpaling. Pekerjaannya me-
nyablon langsung berhenti. Barusan ia jelas men-
dengar suara anaknya berkata mau membantu
pekerjaannya. Dia mendengar suara tapi orang-
nya tidak kelihatan.
"Anak itu, katanya mau nolong. Kok malah
pergi?! Boma?! Eeehhh!" Sumitro Danurejo ter-
sentak ketika dia melihat susunan kaos oblong
yang sudah kering disablon bergerak sendiri, te-
rangkat dari meja di ujung sana lalu seolah me-
layang bergerak sepanjang samping rumah, meluncur ke ruang tamu. Sumitro Danurejo melang-
kah cepat-cepat ke ruang tamu. Dia tidak melihat
siapa-siapa.
"Boma?! Kau dimana?"
"Ayah bilang bawa kaos ini ke ruang ta-
mu?" Jawab Boma. Dia memperhatikan air muka
ayahnya. Pucat seperti ada sesuatu yang mena-
kutkan. "Aku berdiri di sini, dia tidak melihat.
Jangan-jangan..," Boma sadar. Tangan kirinya di-
gerakkan ke bahu hendak mengusap tonjolan
daging bahu yang disusupi Batu Penyusup Batin.
Tapi otaknya cepat bekerja. Kalau sosoknya yang
tadi tidak kelihatan tiba-tiba muncul dan terlihat
di tempat itu oleh ayahnya, lelaki itu bukan saja
terkejut tapi buntut-buntutnya dia bisa susah ka-
rena ayahnya pasti akan mengajukan seribu satu
macam pertanyaan padanya. Boma masuk ke da-
lam rumah. Di ruang tengah dia mengusap dulu
Batu Penyusup Batin satu kali. Sosoknya serta
merta muncul dalam ujud nyata. Boma pegang
wajahnya sendiri, usap-usap sekujur tubuhnya.
Setelah yakin kalau tubuhnya kini benar-benar
berada dalam ujud nyata, anak ini keluar kembali
ke ruang tamu.
"Ayah manggil Boma?" tanya Boma pura-
pura.
Sumitro Danurejo turunkan kaca mata te-
balnya ke bawah hidung, pandangi anaknya dari
kepala sampai ke kaki. Melirik ke arah kursi tamu
dimana tersusun kaos oblong yang tadi disuruh-
nya Boma membawa masuk ke dalam situ.
"Aneh...." ucapnya perlahan. Dia kembali
ke samping rumah ke meja tempat dia menyab-
lon. Untuk beberapa lamanya lelaki ini tegak ter-
diam berpikir-pikir.
Tiba-tiba istrinya muncul, mendatangi
dengan langkah bergegas. Wajah perempuan ini
kelihatan pucat.
"Ada apa Bu?" tanya Sumitro Danurejo pa-
da istrinya.
"Saya melihat sesuatu yang menakutkan di
meja makan Pak" jawab Hesti, Ibu Boma.
"Kau melihat hantu?"
Perempuan itu menggeleng. "Saya tidak
melihat siapa-siapa. Tapi saya melihat tudung
plastik di atas meja makan terbuka dan tertutup
sendirinya...."
"Kau yakin melihat...."
"Pak, saya tidak dusta...." Sumitro Danure-
jo angkat tangan kirinya, memberi isyarat agar
sang istri menghentikan ucapannya. Lalu dengan
suara perlahan lelaki ini berkata. "Barusan aku
juga mengalami satu keanehan. Aku mendengar
suara Boma, katanya mau menolong pekerjaan-
ku. Aku suruh dia membawa kaos yang sudah
disablon ke dalam. Ke ruang tamu. Lalu kaos-
kaos itu seperti melayang di udara. Aku ikuti.
Ternyata kaos itu sudah berada di atas kursi
ruang tamu. Anehnya aku sama sekali tidak me-
lihat Boma."
Dua suami istri itu terdiam sesaat.
"Jangan-jangan ada hantu di rumah ini"
Bisik Sumitro Danurejo.
"Puluhan tahun kita tinggal di sini pak.
Masa’ sih baru sekarang ada hantunya..."
"Mungkin saja. Wong hantunya baru seka-
rang. Hantunya menyerupai anak kita. Boma."
"Bapak ini bicara apa? masakan anak sen-
diri dibilang hantu? Barusan aku melihat anak
itu diruang tamu. Merapikan susunan kaos ob-
long"
"Sulit aku menerangkan Bu. Tapi ada se-
suatu yang tidak beres di rumah ini." Kata Sumi-
tro Danurejo pula.
Di ruang tamu Boma mendengar semua
pembicaraan kedua orang tuanya itu. Anak ini
menowel hidungnya beberapa kali.
"Batu Penyusup Batin. Bikin urusan saja,"
ucap Boma dalam hati. "Kalau nenek itu datang
aku akan suruh dia mengambil batu ini kembali."
TUJUH
BOMA TIDAK IKUT KE BOROBUDUR
JAM ISTIRAHAT pertama. Gita Parwati, Vi-
no, Rio, Firman, Andi dan Ronny serta Allan ngo-
brol di taman. Mereka membicarakan berita yang
dimuat di surat kabar Minggu mengenai peristiwa
perkelahian dua orang aneh di jembatan penyebe-
rangan di depan gedung Sarinah.
"Boma kemana?" tanya Rio.
"Tu, lagi ke sini," kata si gendut Gita sambil
monyongkan bibirnya ke arah Boma yang berjalan
mendatangi.
"Teman-teman, kayaknya ogut nggak bisa
ikut ke Borobudur sama-sama kalian minggu de-
pan."
"Nggak salah dengar nih?!" ujar Gita.
"Dwita aja anak kelas lain ikut gabung. Kok
kamu dedengkot kelas H-9 malah nggak!" ujar
Firman ceking.
"Aku tahu," kata Vino. "Aku bisa nebak.
Mungkin kawan kita ini nggak ikut karena yang
jadi tour leader Si Umar musuh bebuyutan."
"Benar Bom?" tanya Ronny. "Acuh aja!
Guru kayak gitu nggak usah dipikirin."
Boma tidak menjawab, hanya menowel hi-
dungnya dua kali.
"Kalau tebakan gue tadi salah, masih ada
tebakan cadangan," Vino berkata lagi. "Teman ki-
ta nggak ikut justru karena Dwita ikut."
"Itu sih ngawur!" kata Rio. "Kau tahu dong
gimana hatinya Dwi sama kita pe teman dan hati
kita pe teman terhadap tu cewek. Iya 'kan Bom?"
Boma tersenyum, masih belum mau bicara.
"Tunggu dulu," kata Vino belum mau ka-
lah. "Gue pikir-pikir. Kayaknya ini bukan cuma
permainan hati tapi nyangkut harga diri."
"Ah, sok tahu lu!" Kata Ronny sambil men-
geplak kepala Vino. Tapi dia juga bertanya. "Harga
diri apa? Siapa?"
"Kita semua tahu Dwita mau ikut orang tuanya pindah ke luar negeri. Bokapnya dapat tugas
baru di PBB New York. Boma "taunya juga dari ki-
ta-kita. Bukan langsung dari Dwita. Teman kita
merasa kurang dianggap. Kira-kira gitu ceri-
tanya."
"Brengsek! Bisa juga kamu ngarang!" Boma
keluarkan ucapan juga pada akhirnya.
"Habis cuma kamu doang yang nggak ikut
ke Borobudur. Teman-teman, ini merupakan satu
tragedi, Bo!"
"Kamu ada halangan apa? Uang tour kalau
nggak salah kamu udah bayar." Kata Ronny pula
Boma menowel hidungnya. Dia mau men-
jawab. Tiba-tiba Pak Zakir, penjaga dan pengawal
kebersihan sekolah datang. Memberi tahu kalau
Boma dipanggil Pak Sanyoto.
Boma menowel hidungnya kembali. "Wah,
kira-kira ada apa 'ni Bom?" ujar Gita.
"Jangan-jangan dia tahu aku yang ngerjain
motornya," jawab Boma. "Kalian tunggu, aku per-
gi nemuin Si Umar dulu."
Waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi
ketika Boma keluar dari Ruang Guru SMU Nu-
santara III, melangkah tenang-tenang saja men-
dapatkan kawan-kawannya.
"Gimana Bom?" tanya Ronny yang bersama
teman-teman lainnya tak sabar mau tahu menga-
pa Boma dipanggil guru Olahraga Pak Sanyoto.
"Yang jelas bukan soal motor," kata Boma.
"Pak Sanyoto mau kasih aku kerjaan banyak.
Ngebantuin dia soal tour ke Borobudur. Mulai
ngurusin karcis kereta api, ngurusin penginapan,
konsumsi, keamanan. Pokoknya banyak."
"Kok Si Umar jadi shobib banget sama ka-
mu? Jangan-jangan ada apa-apanya." berkata
Ronny Celepuk.
"Tapi." kata Boma meneruskan. "Si Umar
langsung clep diem waktu ogut bilang ogut nggak
ikut. Habis diem mulutnya nyerocos ngomong
yang enggak-enggak. Aku dibilang mau nyabot
tour. Katanya kalau sampai ada anak-anak lain
yang nggak ikut gara-gara aku, dia mau lapor ke
Kepala Sekolah dan aku bakal dikenain sanksi
berat."
"Kalau gitu kita semua pada nggak ikut
aja!" Kata Vino pula.
"Jangan gitu. Kasihan teman-temen yang
lain kalau acara jadi rusak." kata Boma lalu me-
nowel hidungnya.
"Habis kamu juga sih yang jadi gara-gara
konyol. Tour macam begini nggak tiga taon seka-
li." Ucap Gita Parwati.
"Gua rasa Si Umar cuma belagak marah
kamu nggak ikut. Padahal sebenarnya hatinya
pasti happy." kata Vino pula.
"Kok kamu bisa ngomong gitu?" tanya Bo-
ma.
"Kalau kamu nggak ada berarti Si Umar
nggak punya rival. Bebas deh dia ngedeketin Ibu
Renata." Jawab Vino.
"Dari mana kau tahu Ibu Renata juga ikut
Vino tertawa tapi tak menjawab.
"Pasti dari Si Centil!" kata Gita Parwati. Ayo
ngaku, bener kan?!" Tangan kiri Gita Parwati
hendak menjewer telinga Vino.
Anak lelaki itu cepat-cepat jauhkan kepala
"Ho-o. Memang aku tau dari Sulastri." Vino
mengaku.
"Cewek lu 'kan?" ujar Gita.
"Enak aja lu!"
"Jangan bohong!" kata Rio sambil nyengir.
"Ada anak yang lihat kamu pulang sekolah naik
mikrolet berdua sama Sulastri. Turun di Atrium
Senen."
"Anak yang ngeliat pasti matanya lamur,"
kata Vino. "Pokoknya terserah kalian mau ngo-
mong kek!"
Boma duduk diam di bangku taman. Se-
mua anak menduga-duga apa yang ada di benak
teman mereka ini.
"Sebenarnya kenapa sih kamu nggak mau
ikut Bom?" Bertanya Ronny Celepuk.
"Betul, kami semua juga pengen tau," kata
Andi pula.
"Pak Sanyoto juga nanya' begitu," jawab
Boma. "Kalian ingat kejadian orang yang diram-
pok di bajaj?"
"Yang buntut-buntutnya kamu diclurit lalu
terpaksa ngerem di rumah sakit," kata Ronny.
Boma mengangguk. "Sidang Pengadilan
pertama akan dilangsungkan minggu depan. Aku
nggak tahu hari tanggal berapa. Tapi yang jelas
minggu depan. Aku saksi utama. Sudah dipesan
oleh orang Kejaksaan agar aku harus hadir. Surat
panggilan akan menyusul. Paling lambat lusa."
Semua anak yang ada di tempat itu jadi
terdiam. "Yaaah, kalau memang begitu mau di-
apain lagi..." kata Ronny.
Bel tanda masuk berdentang. Anak-anak
itu melangkah memasuki kelas tanpa ada yang
bicara lagi. Begitu duduk di bangku masing-
masing Ronny berpaling pada Boma.
"Kalau Ibu Renata tau kamu nggak ikut,
mungkin dia juga bakalan nggak pergi."
"Mungkin itu yang dikawatirin Si Umar.
Jadi marahnya Si Umar sama kamu bukan kare-
na kamu nggak ikut tapi takut ibu Renata juga
batal ikut."
Boma pandangi Vino yang barusan menge-
luarkan ucapan itu.
"Apa perlu gua kasi tahu Ibu Renata? Biar
Si Umar tau rasa?" tanya Vino pula.
"Nggak usah. Jangan...." jawab Boma. Per-
cakapan terhenti ketika guru yang akan mengajar
memasuki kelas.
***
JAM istirahat kedua, anak-anak itu ber-
kumpul lagi di taman.
"Aku nggak habis pikir," kata Rio. "Sehabis
peristiwa buah anggur yang dia gilas sama motor
bututnya, Si Umar kok nggak malu masih terus
ngincerin Ibu Renata..."
"Orang ngedablek macam begitu mana
punya malu. Jangan-jangan kemaluan juga nggak
punya!" ujar Vino.
Suara tawa memenuhi pinggiran lapangan
basket.
"Mulutlu brengsek Vin!" kata Gita sambil
mencubit pinggang Vino hingga anak lelaki ini
melintir kesakitan. "Dosa lu ngatain guru kayak
begitu!"
"Sstt teman-teman, ada orang penting da-
tang" Andi berkata sambil goyangkan kepala ke
kiri.
Semua anak memandang ke arah goyangan
kepala Andi.
"Uh! Segala kucing garong aja lu bilang
orang penting. Tak u~u la yauw!" kata Gita Par-
wati sambil mencibir.
Yang datang Trini Damayanti. Di tangan ki-
rinya di menenteng sebuah kantong plastik hitam.
"Teman-teman, aku bawa tempe goreng." Dari
jauh Trini sudah berteriak sambil mengangkat
tinggi-tinggi kantong plastik hitam.
Gita Parwati yang memang tidak pernah
berbaikan dengan Trini kembali mencibir.
"Uh... baru tempe aja bangga amat. Teman-
teman, Ogut pergi dulu ya. Ogut akan kembali se-
telah pesan-pesan berikut ini. Huaaahh!" Gita
mencibir. Sebelum Trini sampai di tempat itu ce-
wek paling gemuk di seluruh SMU Nusantara III
itu sudah melangkah pergi.
Vino berpaling pada Allan.
"Lan, cabut sono buruan. Lu mau di PHK
sama Gita? Apa lagi kalau kamu sampai makan
tempenya si Trini."
Allan jadi serba salah. Akhirnya dengan
suara agak dikeraskan agar terdengar Trini anak
lelaki ini berkata.
"Aku mau kencing dulu. Sisain tempenya."
"Bukan basa basi ni ye?" Rio meledek.
Sebelum Trini sampai Allan bergegas ke
bagian belakang sekolah. Namun setengah jalan
membelok ke jurusan lain.
DELAPAN
ORANG GILA MENGAMUK DI SMU NUSANTARA
III
SORE itu sehabis latihan basket Boma, Vi-
no, Ronny dan Allan pulang sama-sama. Mereka
pulang paling belakang. Teman-teman yang lain
sudah lebih dulu. Sambil jalan menuju pintu ger-
bang keluar Ronny berkata.
"Bom, maen lu jelek amat sekali ini. Bola
yang masuk bisa diitung."
"Kurang vitamin dia Ron," menimpali Vino.
Boma tersenyum. Mengusap hidungnya. "Ulangan
juga jeblok semua. Matematika dapet empat. Fisi-
ka kemaren cuman tiga..."
"Itu sih udah langganannya Boma," Allan
ikut bicara. "Yang heran masa’ sih ulangan Bahasa Indonesia juga dapat lima."
"Gua rasa temen kita ini udah keberatan
cewek," ucap Ronny sambil memain-mainkan bola
basket yang dibawanya.
"Maksudlu keberatan cewek gimana?" Bo-
ma akhirnya keluarkan suara juga.
"Maksud gue keberatan kebanyakan. Su-
dah ada Trini, Dwita kamu suka juga. Eh, Ibu
Renata masih kamu lirik."
"Gue nggak ngerasa mereka cewek gua.
Gue biasa-biasa aja sama mereka."
"Justru karena biasa-biasa maka jadi luar
biasa!" kata Vino pula disambut ketawa Allan dan
Ronny
"Ala kalian semua cuma bisa ngenyek!"
"Bukan ngenyek Bom." kata Ronny. "Kami
cuma pengen tau kamu ini lagi kenapa? Kadang-
kadang aku liat kamu dikelas seperti ngelamun.
Kadang-kadang gelisah. Lalu aku sering liat kamu
sebentar-sebentar memandang ke luar kelas. Ka-
lau lagi di luar kelas mata kamu suka jelalatan
kemana-mana. Kalau pulang sekolah sekarang
langsung pulang. Dulu kamu sering ngajak nge-
liat pameran ama jalan kemana aja..."
"Jangan-jangan temen kita udah dipingit
Ron. Nggak boleh kemana-mana." Kata Vino sam-
bil senyum-senyum.
"Kalau gitu aku jadi mau tahu siapa yang
mingit," ucap Ronny pula. "Biar jelek begini aku
nggak nolak kalau ada yang mau mingit gua!"
"Nenek jompo, lu mau Ron?" tanya Vino.
"Sialan. Itu sih kelewatan. Tapi biar jompo
kalau jutawan rasanya gua nggak nolak!" Ronny
tertawa membahak.
Allan dan Vino ikut gelak-gelak.
"Ketawa situ sampai mulut kalian robek!"
Kata Boma mulai kesal. "Terus terang gua me-
mang lagi gelisah."
"Maksudlu gelisah geli-geli basah?" ujar Vi-
no membuat Allan dan Ronny kembali tertawa.
"Aku nggak becanda. Ada yang mau nge-
bunuh aku," menerangkan Boma.
Allan, Vino dan Ronny langsung hentikan
langkah mereka.
"Kamu ngacok atau mabok Bom?" tanya Al-
lan
"Siapa yang mau ngebunuh kamu?" tanya
Vino. "Si Anton?"
Boma menggeleng.
"Kaki tangan suruhannya si Anton? Kan
orangnya udah ketangkep semua."
Boma menggeleng lagi.
"Mungkin teman-teman rampok di bajaj,
dendam sama kamu?"
"Bukan juga," jawab Boma.
"Lalu siapa?"
"Aku belum pernah liat orangnya. Tapi ba-
gaimana ciri-cirinya aku sudah tau..."
"Ini bener-bener aneh!" Kata Ronny. Dia
pegang lengan Boma. "Bom, kamu nggak lagi de-
mam panas 'kan?"
"Memangnya kenapa?" tanya Boma.
"Kamu bilang ada yang mau bunuh kamu.
Tidak pernah liat orangnya tapi tau ciri-cirinya.
Kalau gitu, kenapa kamu nggak lapor polisi saja.
Minta perlindungan..."
"Kamu semua sudah baca 'kan di koran pe-
ristiwa perkelahian orang-orang aneh di jembatan
penyeberangan Sarinah."
"Jelas sudah baca. Hari Senin kemarin
kamu sendiri yang bawa korannya ke sekolah."
"Orang yang berpakaian serba hitam, pakai
ikat kepala kain merah yang disebut dalam koran,
itu orangnya yang mau ngebunuh aku."
Ronny, Vino dan Allan memandang wajah
Boma lekat-lekat lalu ke tiga anak ini saling pan-
dang satu sama lain. Ronny yang duluan tertawa,
diikuti Vino lalu Allan.
"Kalian pasti nggak percaya! Ya sudah!"
Boma melangkah.
"Tunggu!" kata Ronny sambil pegang len-
gan temannya. "Dalam surat kabar disebut orang-
orang yang berkelahi itu adalah orang-orang sakti
dari Banten..."
Boma menggeleng.
"Bukan, mereka bukan orang Banten. Itu
dugaan wartawan saja. Yang mau bunuh aku itu
namanya Pangeran Matahari. Dia bukan mahluk
dari alam kita."
"Ajie Busyet! Sebangsa hantu? Jin? tanya
Allan.
"Di koran kalau aku nggak salah, nama
orang itu nggak disebut-sebut. Dari mana kamu
tau Bom, kalau orang itu namanya Pangeran Ma-
tahari. Nama aneh..."
"Ada yang memberi tau." Jawab Boma.
"Siapa?"
"Aku nggak bisa ngasih tau."
"Aneh lagi!" Kata Ronny sambil perhatikan
wajah Boma dan mainkan bola basket di tangan-
nya. Entah bagaimana bola itu terpelanting, ber-
gulir di atas aspal, meluncur ke arah pintu ger-
bang sekolah.
Di pintu gerbang sekolah satu kaki mema-
kai sandal kulit menahan bola basket merah yang
hendak bergulir ke jalan raya. Orang ini masih
muda. Bertubuh tinggi besar. Mengenakan celana
hitam, kemeja hitam. Rambutnya yang gondrong
dikuncir ke belakang. Di keningnya melilit sehelai
kain berwarna merah. Di punggung tergantung
sehelai mantel hitam. Dari jauh Boma tidak dapat
melihat jelas gambar yang tertera di kemeja hitam
orang itu. Tapi dia yakin itu adalah gambar gu-
nung dan sinar matahari.
Boma terbelalak.
"Pangeran Matahari..." ucapnya dengan su-
ara gemetar. Dia pegang lengan Rony dan berka-
ta.
"Ron... Itu.... itu orangnya yang mau nge-
bunuh aku."
"Ronny, Vinno dan Allan memperhatikan
ke arah pintu gerbang sekolah.
"Bom, kalau gua liat," kata Ronny. "Dari
dandanannya aja orang yang kamu sebut Pangeran Matahari ini nggak lebih dari orang gila!"
Pemuda berpakaian dan bermantel hitam
yang menahan bola basket di pintu gerbang seko-
lah berpaling pada Pak Saud penjaga pintu yang
duduk di rumah penjagaan.
"Yang pakai kaos putih, rambut pendek itu
Pak?"
"Betul, itu Boma saudaranya situ yang situ
cari."
"Ah, dia sudah besar. Tinggi lagi. Saya
hampir tak mengenali," kata pemuda berpakaian
serba hitam sambil anggukkan kepala dan serin-
gai aneh bermain di mulutnya. Kakinya bergerak
ke bawah, menekan bola basket. Bola itu pecah
dengan mengeluarkan letusan keras.
Di dalam rumah jaga Pak Saud tersentak
kaget. Mukanya sampai pucat dan badannya
sampai lemas.
"Gila! Bola gue dipecahin!" Ronny berteriak
marah. Dia melangkah hendak mendatangi orang
itu tapi Boma cepat memegang tangannya.
Di depan sana pemuda berpakaian serba
hitam yang memang adalah Pangeran Matahari
mulai melangkah ke arah Boma dan kawan-
kawan.
"Hati-hati Ron. Kalau dia memang orang gi-
la, berarti kalau dia ngebunuh kita, dia nggak
bakal dituntut!"
"Gila kek, nggak kek pokoknya gua hajar
dulu. Enak aja mecahin bola gua..."
"Ron, kamu liat sendiri. Mana ada orang
mampu mecahin bola basket dengan injakan ka-
ki. Dia punya tenaga luar biasa. Bola itu medel
seperti dilindas ban truk!"
Ronny hentikan langkahnya. Dia sadar apa
yang dikatakan Boma memang benar. Kini gan-
tian Allan yang meradang.
"Ron, aku setuju. Biar gila musti kita hajar
dulu!"
"Biar badannya gede jangkung, kalau kita
keroyok berempat masa’ sih nggak ngejengkang!"
kata Vino. Memang keempat anak itu walau cek-
ing-ceking tapi memiliki badan rata-rata tinggi.
Boma 174 Cm. Ronny 176, Allan dan Vino 172
Cm. Sedang orang yang bakal mereka hadapi pal-
ing tidak sekitar 175 tingginya dan bobotnya be-
sar kokoh.
Pangeran Matahari hanya tinggal sekitar
sepuluh langkah dari hadapan ke empat anak itu.
"Ron, Vino, Allan. Kalian lari! Lari!" Boma
menyuruh kawan-kawannya lari.
"Lari? Gue nggak sepengecut itu Bom. Satu
lawan satu aja gua rasa gua nggak bakalan ka-
lah!" Kata Ronny yang kembali timbul semangat-
nya mendengar ucapan Vino tadi.
"Jangan sok jago! Jangan tolol! Kita berha-
dapan bukan dengan manusia biasa! Lari! Ayo!"
Boma setengah berteriak lalu tangannya kiri ka-
nannya mendorong Ronny dan Vino ke samping.
Dia berputar ke belakang mendorong dada Allan.
"Lari!" teriak Boma. "Berpencar!"
Ronny, Vino dan Allan jadi bingung. Tiga
anak ini jelas tidak takut kalau harus berkelahi
dengan pemuda tinggi besar yang mereka anggap
orang gila itu. Tapi ketika melihat Boma lari ke
balik pohon besar, ketiganya sesaat jadi bimbang.
Ketika Pangeran Matahari melompat berusaha
mengejar Boma ke balik pohon. Alan, Vino dan
Ronny serta merta lari berpencaran.
"Bukan orang gila Ron!" kata Vino sambil
lari. "Orang mabok! Teller! Aku mencium bau al-
kohol waktu tadi dia melesat di sampingku!"
Melompat ke balik pohon besar Pangeran
Matahari tidak menemukan Boma.
"Bocah edan! Kamu lari kemana hah?!"
Pangeran Matahari pukul pohon besar itu
dengan tangan kiri hingga batang pohon yang be-
sarnya sepemelukan itu hancur berkeping-keping.
Pangeran Matahari memandang ke atas pohon.
"Kurang ajar!" Dia tidak melihat Boma di atas po-
hon itu.
Karena tidak berhasil menemukan Boma,
Pangeran Matahari kini mengalihkan perhatian-
nya pada Ronny, Allan dan Vino. Ronny yang pal-
ing dekat. Dia segera melompat mengejar Ronny.
Pak Saud, penjaga Pintu gerbang sekolah heran
ada kaget juga ada ketika melihat pemuda berpa-
kaian hitam berikat kepala merah itu mengejari
anak sekolah.
"Wong sinting! Tadi katanya nyari Boma
saudaranya. Sekarang kok nguberin anak-anak!"
Pak Saud segera keluar dari rumah jaga mengejar
Pangeran Matahari.
"Hai! Apa-apaan ini? Sampeyan mau bikin
apa sama anak-anak?!"
Pangeran Matahari berpaling. Menyeringai.
Tangan kirinya bergerak. Sekali dia mendorong
Pak Saud yang kurus kering itu terlempar sama
beberapa meter, jatuh terbanting, kepalanya
membentur aspal. Pak Saud pingsan tak berkutik
lagi.
Di jalan raya, orang-orang yang lalu lalang
pedagang kaki lima dan pengemudi ojek yang me-
lihat kejadian itu segera berkerubung. Mereka
mengira ada orang gila mengamuk di halaman se-
kolah SMU Nusantara III.
Ronny begitu melihat Pak Saud didorong
keras sampai tak sadarkan diri, jadi beringas. Ka-
lau tadi karena disuruh Boma dia lari, kini dia
malah berbalik mengejar ke arah Pangeran Mata-
hari. Allan dan Vino ragu-ragu. Tapi hanya seben-
tar. Kedua anak ini menyusul Ronny, mengha-
dang Pangeran Matahari.
"Kalian mau mati? Mau mati barengan?!"
Kertak Pangeran Matahari. "Mana Boma?! Mana
Boma?!"
Ronny menjawab dengan mengacungkan
tinjunya. Di samping kiri dan kanan Allan dan
Vino siap pula menerjang.
Pangeran Matahari tertawa bergelak. "Bo-
cah-bocah tolol! Biar aku bikin geger sekolahan
ini! Kupecahkan semua kepala kalian! Kowe du-
luan!" Teriak Pangeran Matahari. Tubuhnya kelu-
arkan suara menderu ketika melesat ke arah
Ronny.
Ronny yang pernah ikut Karate melihat pe-
rut Pangeran Matahari dalam keadaan terbuka
segera hantamkan tinjunya ke perut lawan dalam
pukulan yang disebut Gyaku Tzuki.
"Bukk!"
Bersamaan dengan mendaratnya telak jo-
tosan tangan kanannya di perut Pangeran Mata-
hari, Ronny menjerit kesakitan sambil mengibas-
ngibaskan tangan kanan. Dia seperti memukul
batu.
Pangeran Matahari tertawa bergelak. Lima
jari tangan kanannya mengeluarkan suara berke-
retakan. Lima jari tangan itu kemudian memben-
tuk tinju. Didahului bentakan keras Pangeran
Matahari berkelebat. Tubuhnya melayang setinggi
pinggang. Tangan kanannya laksana kilat meng-
gebuk ke batok kepala Ronny.
Ronny yang masih belum menyadari sepe-
nuhnya dengan siapa dia berhadapan rundukkan
badan sambil silangkan dua tangan melindungi
kepala. Jangankan tangan biasa. Sekalipun dua
batangan besi yang melindungi kepala Ronny saat
itu, pukulan Pangeran Matahari akan mematah-
kan batangan besi itu lalu menembus menghan-
curkan kepalanya!
"Bukkk!"
Ronny terheran-heran ketika melihat di
hadapannya Pangeran Matahari terhuyung-
huyung sambil pegangi tengkuk. Dari mulutnya
keluar makian marah.
"Kurang ajar! Setan dari mana berani me-
mukul tengkukku?"
"Bukkk!"
Pangeran Matahari menjerit kesakitan. Kini
tangannya beralih memegangi telinga kanannya.
Matanya mendelik memandang pada Ronny. Lalu
pada Vino dan Allan. Dia tahu betul, tidak seo-
rangpun dari tiga anak ini yang memukul telinga
kanannya. Lalu siapa?!
"Jahanam! Kalau kubunuh salah satu dari
bangsat ini, masakan setan itu tidak unjukkan di-
ri!"
Pangeran Matahari keluarkan suara meng-
gereng. Tiba-tiba sekali dia melompat ke arah Vi-
no. Anak inilah yang akan dijadikannya korban
pertama!
Tapi setengah jalan tubuh Pangeran Mata-
hari tertahan lalu krakk!
Pangeran Matahari meraung keras sambil
pegangi tulang iganya di sebelah kanan. Dua ka-
kinya mundur terhuyung. Matanya membeliak
besar. Bukan memancarkan amarah atau kega-
nasan tapi benar-benar karena kesakitan dan ada
rasa kecut.
"Kurang ajar... Mungkin Sinto Gendeng
yang membantu anak itu. Nenek pengecut! Tidak
berani unjukkan diri! Rasakan nanti pembalasan-
ku!"
Sambil pegangi dadanya sebelah kanan,
terbungkuk-bungkuk Pangeran Matahari lari me-
ninggalkan halaman sekolah. Di pintu gerbang,
orang banyak yang berkerumun menyaksikan ke-
jadian itu cepat-cepat menyingkir sebelum kena
tabrak sosok besar tinggi Pangeran Matahari yang
mereka anggap orang gila itu.
"Boma, mana Boma?" tanya Ronny.
"Tadi aku liat dia lari ke balik pohon besar
itu!" kata Vino sambil menunjuk ke arah pohon
besar yang dipukul hancur batangnya oleh Pange-
ran Matahari.
Ronny, Vino dan Allan segera lari ke pohon
besar. Benar saja. Dibalik pohon Boma mereka
temui duduk menjelepok di tanah, meringis kesa-
kitan sambil pegangi tangan kanannya yang
bengkak merah.
"Kenapa tanganmu Bom?" tanya Ronny.
"Waktu lari ke balik pohon ini, gue kepele-
set Ron. Gue coba nahan sama tangan kanan.
Mungkin salah jatuh. Tangan ogut kedengklek.
Gila! Sakitnya! Mana orang gilanya?!" Boma ber-
pegangan ke pohon dengan tangan kiri lalu berdi-
ri sambil ulurkan kepala ke balik pohon.
"Udah kabur!" jawab Ronny. "Aneh, dia ka-
bur kesakitan. Kayaknya ada yang mukulin dia."
"Mukulin dia? Kalian yang mukul?" ujar
Boma.
"Boro-boro mukulin. Kalau nggak ada keja-
dian aneh itu kami bertiga mungkin udah awara-
hum!" jawab Vino.
"Teman-teman, ayo kita tolong Pak Saud..."
kata Allan.
"Tunggu," Vino pegangi bahu Ronny den
gan tangan kiri. "Kita-kita pasti bakalan dipanggil
sama Kepala Sekolah. Kita harus kasi keterangan
sama. Ada orang gila masuk ke halaman sekolah.
Nguberin kita."
"Rebes!" kata Ronny. "Ayo.."
"Tunggu," kata Boma lagi. "Wartawan pasti
nyariin kita. Nanyain kita. Jawab dengan cerita
yang sama. Oke?"
"Oke!" jawab Allan. Vino dan Ronny baren-
gan.
"Sekarang kita tolong Pak Saud." kata Bo-
ma. Sambil melangkah cepat dia melanjutkan
ucapannya. "Aku takut kalau penjaga sekolah itu
sampai koit. Urusan jadi tambah kagak karuan.
Gua lagi yang jadi bulan-bulanan Polisi."
Beberapa orang telah menolong Pak Saud
ketika Boma dan kawan-kawannya sampai.
SEMBILAN
SINTO GENDENG MENGOBATI TANGAN BOMA
MALAM itu Boma tertidur nyenyak setelah
tangannya diperban lalu diguyur arak gosok yang
dibawa Allan. Di luar langit terkembang gelap
tanpa bulan tanpa bintang. Angin bertiup agak
kencang. Daun pohon di depan jendela kamar
Boma bergoyang-goyang mengeluarkan suara ge-
merisik halus. Tiba-tiba sesiur angin lebih ken-
cang bertiup. Dan jendela kamar yang tadinya ter-
tutup rapat mendadak terpentang lebar. Satu
bayangan hitam entah dari mana datangnya me-
lesat masuk ke dalam kamar Boma lewat jendela
yang terbuka.
Seorang nenek bungkuk, berkulit hitam,
tinggi kurus tegak menyeringai disamping tempat
tidur Boma. Lima tusuk konde perak bergoyang-
goyang di atas kepalanya. Kamar itu serta merta
dipenuhi bau pesing.
Si nenek perhatikan tangan Boma yang di-
perban dan dibasahi arak gosok. Dia tundukkan
kepala mendekatkan hidungnya ke tangan yang
dibalut.
"Arak gosok. Cara pengobatan tolol! Paling
cepat satu minggu baru tanganmu sembuh!
Hik....hik!"
Si nenek yang bukan lain Sinto Gendeng
melangkah mundar mandir di samping tempat ti-
dur Boma. Lalu berhenti dia cabut sehelai rambut
putih dikepalanya. Sambil tertawa-tawa nenek ini
memasukan rambut ke telinga Boma lalu diputar-
putar. Karuan saja dalam tidurnya Boma keliha-
tan tersentak-sentak kepalanya. Si nenek tertawa
senang. Dari telinga, dia berpindah ke hidung.
Ujung rambut dimasukannya ke salah satu lo-
bang hidung Boma. Lalu diputar-putar. Cuping
hidung Boma bergerak-gerak. Mulut anak ini ikut
komat-kamit. Sinto Gendeng masukkan ujung
rambut lebih dalam. Tiba-tiba Boma bersin keras
langsung terbangun. Anak ini setengah terduduk
di atas tempat tidur, menggosok-gosokkan hi-
dungnya yang berair dengan tangan kiri. Saat itu
lah dia mencium bau pesing santar sekali. Teng-
kuk Boma langsung dingin. Dia melirik ke samp-
ing dan melihat sosok hitam itu.
"Nek!"
"Hik...hik...hik! Memang aku!"
Boma bersurut ke belakang, duduk ber-
sandar ke dinding.
"Anak Gendenk! Kenapa tanganmu?" tanya
Sinto Gendeng.
"Bengkak Nek. Keseleo. Kedengklek..."
"Kenapa bengkak? Kenapa keseleo? Kenapa
kedengklek?! Apa itu kedengklek?!"
"Anu Nek, saya berkelahi Nek."
"Hemm... Ngaku juga kamu. Berkelahi sa-
ma siapa?"
"Sama Pangeran Matahari."
Sinto Gendeng terkejut. Undur dua lang-
kah. Menatap Boma tak berkesip lalu tertawa
mengekeh. "Sekarang kau percaya kalau yang
namanya Pangeran Matahari itu benaran ada?!"
"Saya percaya Nek," jawab Boma.
"Sekarang kau percaya kalau Pangeran Ma-
tahari benar-benar mau membunuhmu?!"
"Percaya Nek."
"Bagus! Berarti otakmu sudah lempeng.
Hik...hik...hik. Dimana kejadiannya?" Tanya si
nenek.
"Di sekolahan Nek... sore-sore. Sehabis la-
tihan basket sama teman-teman."
"Hemm... Aku sudah duga. Kau perguna-
kan batu sakti ketika Pangeran Matahari hendak
membunuhmu?"
"Benar Nek. Terpaksa. Kalau tidak...."
"Kau pergunakan tangan kananmu memu-
kul Pangeran Matahari?!"
"Benar Nek. Nggak mempan. Tangan saya
malah jadi bengkak begini."
Si nenek tertawa cekikikan.
"Kau tidak mempergunakan tangan kiri
yang sudah aku isi hawa murni?"
"Pergunakan Nek. Saya memukulnya dua
kali. Satu kali menjotos telinganya. Lalu sekali la-
gi memukul dadanya. Saya mendengar suara tu-
lang patah. Tapi dia tidak mati. Dulu Nenek per-
nah memberi tau jika saya memukul orang den-
gan tangan kiri ini bisa mati...."
"Nyatanya Pangeran Matahari tidak mati!
Cuma luka dan patah tulang."
"Betul Nek...."
"Pangeran Matahari bukan manusia biasa.
Dia mahluk dari alamku. Pukulan tangan kirimu
bisa mencederainya tapi belum tentu bisa mem-
bunuh. Kecuali kalau kau gebuk perabotan di se-
langkangannya. Hik...hi...hik...Yang bisa mati ke-
na hantaman tangan kirimu adalah manusia bi-
asa. Jadi kau tetap harus berhati-hati memper-
gunakan tangan kiri itu. Sekarang buka balutan
di tangan kananmu..."
"Kenapa Nek?"
"Aku mau mengobati tanganmu. Tanya-
tanya segala!"
"Sudah diobati Nek. Pakai arak," kata Bo
ma menerangkan.
"Jangan pakai obat itu, tolol. Satu minggu
bengkak tanganmu belum tentu sembuh. Ayo le-
kas luka balutan itu!"
Boma terpaksa membuka perban basah di
tangan kanannya.
"Turunkan tangan kananmu. Ulurkan ke
depan sini."
Boma ulurkan tangan kanannya ke dekat
lutut si nenek.
Sinto Gendeng singsingkan kain panjang
hitamnya yang basah oleh air kencing.
"Awas! jangan kau berani menarik tangan-
mu!" Kata si nenek pula. Lalu dia pelintir dan pe-
ras kain hitam yang basah oleh air kencing itu
hingga air kencing yang ada di kain mengucur ja-
tuh membasahi tangan kanan Boma yang beng-
kak.
Boma kerenyitkan hidung pejamkan mata.
Nafasnya sudah sesak tidak tahan mencium bau
pesing yang amat santar.
"Tanganmu terasa dingin atau hangat?"
Sinto Gendeng tiba-tiba bertanya.
Boma masih mengerenyit dan pejamkan
mata.
"Anak Gendenk! Aku bertanya apa kau tu-
li!"
"Anu Nek.... Kau tanya apa tadi Nek?"
"Budek! Aku tanya tanganmu terasa dingin
apa hangat?"
"Hangat-hangat dingin Nek," jawab Boma
"Anak Gendenk!" si nenek merutuk. "Den-
gar. Besok pagi tanganmu kujamin sembuh. Aku
memberi bukti bukan janji!"
Boma batuk-batuk. "Seperti iklan saja
Nek!" kata Boma.
Sinto Gendeng tertawa geli lalu turunkan
kakinya kembali. Boma tarik tangannya. Dia me-
narik ujung seperei tempat tidur. Hendak menye-
ka kencing yang membasahi tangannya.
"Jangan diseka! Biar kering sendiri!" kata
Sinto Gendeng. "Agar lebih cepat sembuhmu dan
lebih afdol, nanti kalau tidur tangan itu kau
cium-cium!"
"Tobat deh Nek. Mana tahan!"
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Anak
Gendenk! Sekarang kau dengar baik-baik. Pange-
ran Matahari pasti akan mencarimu kembali un-
tuk melaksanakan niatnya. Kau harus berhati-
hati. Kau boleh membawa terus Batu Penutup
Batin ditubuhmu..."
"Nek, karena saya punya batu, saya mung-
kin bisa selamat dari tangan Pangeran Matahari.
Tapi bagaimana dengan teman-teman saya?"
Sinto Gendeng terdiam. Lalu nenek ini
angguk-anggukkan kepala beberapa kali. Dalam
hati dia berkata. "Anak baik... Anak baik. Tidak
pernah mengingat diri dan kepentingan sendiri.
Selalu ingat teman-temannya."
"Aku akan pikirkan ucapanmu itu. Aku
akan cari jalan. Tapi aku tanya dulu. Yang mau
kau selamatkan teman-temanmu yang mana?"
"Semua Nek. Tentu saja semua."
"Oo, jadi bukan cewek genit yang namanya
Si Trini itu. Juga bukan cuma cewek cakep yang
namanya Si Dwita itu. Hik...hik...hik. Lalu bagai-
mana dengan cewek satu lagi?"
"Nek, saya nggak ngarti. Semua mereka
teman-teman saya. Saya....."
"Huss... Diam dulu. Yang aku mau tanya
bagaimana dengan cewek satunya lagi."
"Cewek yang mana?"
"Hik...hik...hik. Guru Bahasa Inggris yang
cantik itu. Ibu Renata. Yang aku lihat kau peluki
di kamarnya waktu dia lagi sakit itu.
Hik...hik...hik..."
Boma menowel hidungnya. Anak ini lupa.
Semula dia hendak mempergunakan tangan ka-
nannya yang basah oleh air kencing. Tapi begitu
ingat dia segera ganti dengan tangan kiri.
"Anak Gendenk, dengar. Yang penting kau
harus hati-hati. Harus menjaga diri. Pangeran
Matahari pasti akan berusaha kembali menghabi-
simu. Setiap saat harus waspada. Mengenai te-
man-temanmu ada yang akan memperhatikan."
"Siapa?" Boma ingin tahu.
"Nanti saja. Kau akan tahu sendiri." jawab
Sinto Gendeng. "Sekarang kau boleh melanjutkan
tidur. Awas, jangan kau mimpikan cewek-cewek
itu. Salah-salah kau bisa mandi basah, mandi ju-
nub. Hik...hik... hik..."
Sinto Gendeng susun jari-jari tangan ki-
rinya di atas bibir. Sambil melayangkan tangan
itu dia berkelebat ke arah jendela. Bersamaan
dengan lenyapnya sosok si nenek di luar sana,
jendela yang tadi terbuka kini tertutup kembali.
Boma usap-usap tengkuknya. Dia sudah
sering bertemu dengan nenek itu. Setiap bertemu
rasa takut selalu menyelimuti dirinya.
***
PAGI keesokan begitu bangun yang perta-
ma sekali dilakukan Boma adalah melihat tangan
kanannya. Dia hampir tak bisa percaya. Bengkak
dan warna merah di tangan itu lenyap. Hanya sa-
tu yang masih tertinggal. Bau pesing kencing si
nenek.
***
PAGI hari itu setelah masuk sekolah baru
para pelajar SMU Nusantara III mengetahui apa
yang terjadi sore kemarin. SMU Nusantara III
menjadi geger. Boma, Allan, Vino dan Ronny dike-
rubungi. Bukan saja oleh anak-anak Kelas II-9
tapi hampir semua pelajar mulai dari Kelas I
sampai Kelas III. Seperti sudah diduga ke empat
anak ini dipanggil Kepala Sekolah. Sesuai dengan
perjanjian keempatnya mengarang cerita seperti
skenarionya sama.
Setelah keempat anak itu meninggalkan
ruangan Pak Nugroho Kepala Sekolah SMU Nu-
santara III berpikir-pikir sambil pegangi kening.
Sepertinya ada yang tidak klop antara apa yang
diceritakan Boma dan kawan-kawannya dengan
apa yang dibacanya di surat kabar. Untuk me-
mastikan diambilnya satu dari beberapa surat
kabar terbitan pagi yang ada di atas meja. Dia
membaca kembali berita yang tadi sudah diba-
canya.
Orang gila Mengamuk di SMU Nusantara III
Sore kemarin (Selasa) seorang pemuda gila
berdandanan aneh mengamuk di SMU Nusantara
III. Menurut keterangan Saud, penjaga sekolah,
mula-mula pemuda kurang waras itu datang mem-
beri tahu mau mencari saudaranya, seorang pela-
jar bernama Boma. Sore itu Boma (anak kelas 2)
dan beberapa temannya (Allan, Ronny dan Vino)
baru saja selesai latihan basket di lapangan seko-
lah ketika Boma dan kawan-kawan pulang, di ha-
laman sekolah pemuda gila itu langsung menye-
rang. Penjaga sekolah yang coba menolong sempat
jatuh pingsan karena didorong secara keras dan
jatuh diaspal. Pemuda gila kemudian melarikan di-
ri. Ada yang melihat ketika lari telinga kanan pe-
muda gila itu mengucurkan darah. Pihak berwajib
segera akan melakukan pengusutan sehubungan
dengan pengakuan gila itu bahwa Boma adalah
saudaranya.
Beberapa waktu lalu di jembatan penyebe-
rangan Sarinah terjadi pengeroyokan hingga tewas
terhadap diri seorang pengamen tua. Salah seo-
rang pengeroyok memiliki ciri-ciri yang sama den-
gan orang gila itu. Jenazah pengamen tua itu kemudian diculik secara aneh dalam perjalanan ke
RSCM. Sampai saat ini jenazah itu tidak pernah di-
temukan.
Boma sendiri adalah pelajar yang tahun la-
lu pernah mengalami celaka di Gunung Gede. Anak
itu putera seorang pensiunan Departemen Pene-
rangan adalah juga anak yang pernah menolong
seorang wanita yang hendak dirampok di Jl. Kra-
mat Raya. Sidang pengadilan perkara ini diha-
rapkan akan dilangsungkan minggu depan..
***
Di dalam kelas, sebelum jam pelajaran di-
mulai. Ronny mengeluarkan surat kabar yang
sama dengan yang dibaca Pak Nugroho.
"Aku udah baca di rumah pagi tadi..." kata
Boma
"Sialan," ucap Ronny. "Nama gua ditulis
Ronno"
"Untung bukan Rondo," sahut Vino yang
membuat semua anak yang ada disitu tertawa ge-
li.
Boma memberikan surat kabar itu pada
Vino dan Allan yang belum membacanya.
"Masalah berat Ron," ucap Boma selanjut-
nya. "Wartawan menghubungkan pemuda gila itu
dengan peristiwa pengeroyokan di jembatan pe-
nyeberangan Sarinah. Kita pasti kebawa-bawa.
Polisi bakal nyariin kita..."
"Bukan bakal Bom. Memang udah datang!"
kata Ronny sambil memandang ke pintu kelas.
Boma mengangkat kepalanya, memandang
ke pintu. Di situ berdiri Kepala Sekolah, mene-
mani dua orang petugas Kepolisian.
Di dalam Ruang Kepala Sekolah Boma dan
kawan-kawan diminta menceritakan secara leng-
kap apa yang terjadi sore hari Selasa itu. Bebera-
pa orang guru diantaranya Pak Bugi Ibrahim wali
kelas II-9, Ibu Renata dan Pak Sanyoto turut ha-
dir di ruangan itu. Pak Saud juga ada di situ. Se-
belumnya polisi telah menanyai penjaga sekolah
ini.
"Orang itu mengaku saudara Dik Boma.
Benar?" tanya salah seorang Polisi.
"Nggak benar Pak. Kenal juga nggak, saya
baru sekali kemarin ngeliat orang itu," jawab Bo-
ma.
"Namanya orang gila Pak," kata Ronny.
"Dia bisa saja mengaku sudara siapa saja. Ke-
mungkinan dia tahu nama Boma. Lalu bilang
saudara Boma."
Dua anggota Polisi itu kemudian berganti-
ganti mengajukan pertanyaan lalu mengajak
anak-anak itu menunjukan tempat kejadian. Ke-
tika meninggalkan Ruang Kepala Sekolah Boma
dan kawan-kawan mendengar ada seseorang
mengeluarkan kata-kata tidak enak.
"Ini akibat dari gara-gara punya ilmu yang
bukan-bukan. Nama sekolah jadi tercemar..."
Boma berpaling. Dia tidak melihat orang-
nya, terlindung di balik sosok Kepala Sekolah.
Tapi Boma tahu yang barusan berkata adalah Pak
Sanyoto, Guru Olah Raga.
"Sialan, enak aja kuya itu ngomong. Bu-
kannya prihatin kita muridnya mau digebukin
orang gila eh malah nyap-nyap nggak karuan. Bi-
ar gua datengin Bom." kata Ronny.
Boma pegang tangan kawannya dan berbi-
sik.
"Tenang aja Ron. Easy... easy my friend."
Boma tersenyum dan kedipkan matanya lalu me-
nowel hidungnya dua kali.
SEOUL
BOMA! BOMA! BOMA!
DI DALAM gerbong kereta Senja Utama
yang dipenuhi guru dan para pelajar SMU Nusan-
tara III yang akan berangkat ke Yogyakarta itu
ada tiga wajah menunjukkan rasa girang gembira.
Mereka adalah Ibu Renata. Trini Damayanti dan
Dwita Tifani.
Ibu Renata memperhatikan arloji di perge-
langan tangan kirinya. Jika tidak terjadi penun-
daan kereta akan segera meninggalkan Stasiun
Gambir lima menit lagi. Kegelisahan terbayang di
wajah cantik guru Bahasa Inggris ini. Lewat kaca
jendela dia menatap ke arah peron yang terletak
di tingkat paling atas bangunan stasiun. Hatinya
mengharap sesuatu keajaiban akan terjadi. Na-
mun harapan tinggal harapan. Begitu banyak
orang di peron sepanjang jalur 4 dan 3. Namun
orang yang diharapkannya muncul tidak keliha-
tan.
Ibu Renata menyadari apa yang diha-
rapkannya tidak mungkin terjadi. Pandangan pe-
nuh harapan guru Bahasa Inggris itu berubah
kosong. Dia sengaja tidak mengalihkan mata keti-
ka Pak Sanyoto bersama Ronny Celepuk melewati
kursinya, memeriksa dan mencocokkan daftar
anak-anak kelas II-9 SMU Nusantara III. Kecuali
Boma yang tidak ikut, semua anak lengkap dan
telah duduk di kursi masing-masing.
Lima menit menunggu berangkatnya kereta
terasa begitu lama bagi Ibu Renata. Perasaan itu
membuat hati dan pikirannya kacau. Saat ini ra-
sanya dia ingin turun saja dari kereta. Dia baru
tahu kalau Boma Tri Sumitro tidak ikut setelah
para pelajar SMU Nusantara III berkumpul di Sta-
siun Gambir. Sebelumnya Ibu Renata hanya tahu
kalau Pak Bugi Ibrahim, Wali Kelas II-9 yang ti-
dak ikut karena ada hajatan di kampungnya di
Pandegelang. Kalau saja dia tahu Boma tidak ikut
hatinya mungkin tak akan tergerak untuk pergi.
Boma, mengapa dia tidak ikut? Mengapa
dia tidak memberitahu kalau tidak ikut? Perta-
nyaan itu muncul tidak henti-hentinya dalam hati
Ibu Renata. Salah satu dari teman-temannya pas-
ti tahu sebelumnya kalau Boma tidak ikut. Juga
tentu tahu apa sebabnya. Namun tidak seorang-
pun memberitahu padanya. Seperti sengaja me-
rahasiakan?
Boma...Boma, di mana kau?
Tiba-tiba ada satu perasaan dan dugaan
menyelinap dalam hati Ibu Renata. Mungkinkah
Boma sengaja tidak ikut dalam tour itu karena
Boma tidak suka dirinya pergi bersama dengan
Pak Sanyoto? Sejauh dan sedalam itukah pera-
saan anak itu? Atau sebaliknya. Anak itu sengaja
memberi kesempatan pada Pak Sanyoto agar bisa
lebih mendekati dirinya?
Ibu Renata mengalihkan pandangannya ke
dalam gerbong. Di deretan kursi ujung sebelah ki-
ri, dia melihat Vino dan Firman. Di depan mereka
duduk Sulastri bersebelahan dengan Gita Parwati
Firman tiba-tiba berdiri lalu menepuk bahu
Sulastri yang duduk di depannya.
"Lastri, aku pindah ke tempat duduk ka-
mu. Kamu duduk di sini di samping Vino."
"Eeh cowok ceking! Jangan ngeledek ka-
mu!" kata Sulastri sambil memutar duduknya lalu
mencubit lengan Firman yang kurus.
"Kamu yang jangan belagak," jawab Fir-
man. "Lagian aku 'kan cuma disuruh sama Vino."
"Brengsek lu!" teriak Vino seraya menarik
temannya itu hingga Firman terhenyak ke kursi.
Ibu Renata tersenyum seperti dipaksakan
ketika melihat senda gurau anak-anak itu. Ma-
tanya kemudian dialihkan ke jurusan lain.
Di deretan kursi sebelah kanan, bersisian
dengan Gita, duduk Allan bersebelahan dengan
Andi. Dia tahu kalau Allan suka sama Gita tapi
Andi tidak usil seperti Firman. Tidak menyuruh
Allan agar pindah duduk di samping Gita.
Kemudian Ibu Renata melihat Rio duduk
berdampingan dengan Trini. Diperhatikannya wa-
jah anak perempuan itu. Trini kelihatan tenang-
tenang saja, tapi jelas ada bayangan ketidak ce-
riaan di wajahnya. Dia lebih banyak diam dari
pada ikut ngobrol dan bercanda dengan teman-
teman di sekitarnya. Sekali-sekali kepalanya dis-
andarkan ke kursi dan matanya dipejamkan.
Ibu Renata menduga. Ketidak ceriaan Trini
itu, apakah sama penyebabnya seperti apa yang
saat itu dirasakannya? Karena Boma tidak ikut?
Gita Parwati yang rupanya sejak tadi meli-
hat sikap Trini, berbisik pada Sulastri yang du-
duk di sebelahnya.
"Lastri, coba kamu liat si Kucing Garong
itu. Kereta belon jalan udah ngantuk. Begitu kere-
ta jalan pasti deh dia ngorok. Ileran lagi!"
Gita dan Sulastri tertawa cekikikan.
"Ei dut!" kata Vino dari belakang. "Jangan
ngakak melulu. Nanti ngompol kamu!"
"Sialan, emangnya gue orok!" Gita menya-
huti dengan wajah cemberut sambil memukul
sandaran kursi di samping kepalanya.
Satu baris di depan kursi Rio dan Trini ada
dua bangku kosong. Satu yang bakal diduduki
Ronny. Satu lagi mungkin kursi yang seharusnya
diduduki Boma. Lalu Pak Sanyoto akan duduk di
mana? Seolah baru menyadari Ibu Renata me-
mandang pada kursi kosong di samping kanan-
nya.
Mata Ibu Renata mencari-cari seseorang.
Orang yang dicarinya itu duduk di deretan kursi
sebelah kiri, dekat pintu. Menatap keluar jendela.
Dwita Tifani. Anak perempuan ini sesekali mem-
buka majalah yang dibawanya. Tapi Ibu Renata
tahu perhatian Dwita tidak sepenuhnya pada ma-
jalah itu. Sebentar-sebentar dia menarik nafas
panjang memandang ke luar jendela lalu kembali
membuka-buka halaman majalah.
Ibu Renata ikut-ikutan menarik nafas da-
lam. Kembali hatinya menduga. Tidak cerianya
Trini, gelisahnya Dwita diakibatkan oleh sebab
yang sama. Boma?
Ketika Dwita mengalihkan pandangan ke
dalam gerbong, Ibu Renata melambaikan tangan
tetapi Dwita tidak melihat. Beberapa kali dico-
banya tetap saja anak perempuan itu tidak meli-
hat. Anak perempuan yang duduk di samping
Dwita yang kebetulan melihat gerakan tangan Ibu
Renata akhirnya memberitahu Dwita kalau guru
Bahasa Inggris itu memanggilnya.
Dwita tidak segera berdiri. Dia memandang
ke urusan Ibu Renata. Tersenyum, namun dibalik
senyum itu hatinya bertanya-tanya. Mengapa dia
dipanggil? Dia senang sama Ibu Renata. Orang-
nya baik, cantik dan cara mengajarnya mudah di-
cerna. Tapi sejak dia mendengar cerita teman-
temannya bahwa Ibu Renata pernah mengajak
Boma menonton, Dwita merasa seolah dia kehi-
langan sesuatu. Sesuatu itu bernama keper-
cayaan. Dia merasa hilang kepercayaan pada
guru bahasa Inggris itu. Dia juga hilang keper-
cayaan terhadap Boma. Lebih dari itu dia merasa
hilang kepercayaan pada diri sendiri. Dan saat itu
hatinya bertanya. Apa memang ada gunanya dia
ikut tour ke Borobudur itu. Bersama anak-anak
yang bukan teman satu kelas dengan dia? Walau
mereka semua baik padanya. Mungkin dia telah
melakukan satu ketololan yang sia-sia.
Ibu Renata kembali melambaikan tangan.
Dwita berdiri.
Ketika melewati kursi Andi, anak lelaki ini
berdiri dan berbisik. "Dwita, kamu duduk aja di
bangku kosong di samping Ibu Rena. Jangan
sampai Pak Sanyoto duduk di sebelahnya."
"Memangnya kenapa?" Tanya Dwita.
"Kami teman-teman yang ikut, mewakili
Boma. Kami enggak suka sama Si Umar..."
"Si Umar? Siapa Si Umar?"
"Maksud gua Pak Sanyoto. Gede kepala dia
kalau bisa duduk di samping Ibu Rena." jawab
Andi.
"Oo, jadi kalian ini semua mata-matanya
Boma? Dibayar berapa kalian ngejagain Ibu Rena-
ta?"
"Nggak, bukan dibayar. Ini cuma tanda se-
tia kawan."
"Kalian kok sayang banget sih sama Ibu
Renata? Boma juga gitu ya?"
"Boma sayangnya kan cuma sama kamu,"
Andi sambil tertawa. "Udah pergi sana. Ibu Rena
manggil kamu."
"Ibu memanggil saya?" tanya Dwita begitu
sampai di hadapan Ibu Renata.
"Kursi di samping saya kosong. Duduk saja
sini. Saya nggak ada teman ngobrol."
"Boleh?"
"Kenapa tidak?"
"Saya kira itu kursi buat Pak Sanyoto."
Ibu Renata tidak menyangka Dwita akan
kata begitu. Dia menutupi air muka keterkeju-
tannya dengan tersenyum.
"Kita mencarter seluruh gerbong ini. Siapa
boleh duduk di tempat yang disukainya."
Dwita akhirnya duduk di samping Ibu Re-
nata. Guru Bahasa Inggris, ini menarik nafas le-
ga. Paling tidak saat itu dia telah terlepas dari sa-
tu hal yang akan membuatnya tidak enak sepan-
jang perjalanan. Yaitu kalau Pak Sanyoto sampai
duduk di sebelahnya. Sebaliknya, setelah duduk
di samping Ibu Renata, Dwita merasa dia telah
melakukan satu kekeliruan. Seharusnya tadi dia
menolak duduk di samping guru Bahasa Inggris
ini. Dari cerita yang didengarnya, Dwita sudah bi-
sa menduga bagaimana sebenarnya perasaan gu-
runya itu terhadap Boma.
Dwita terduduk diam. Sampai dilihatnya
Ibu Renata melihat jam di pergelangan tangan kiri
jam 19.20. Sama dengan waktu yang ditunjukkan
jam bulat besar yang tergantung di bawah atap
peron.
"Seharusnya kereta sudah berangkat," Su-
ara Ibu Renata seolah bicara pada dirinya sendiri.
"Mungkin sebentar lagi, Bu." Kata Dwita.
Anak ini melirik. Dia melihat Ibu Renata meman-
dang ke arah tangga peron seolah mencari-cari
seseorang.
Dwita tahu siapa yang dicari Ibu Renata.
Dan ia juga tahu orang yang dicarinya itu jelas-
jelas tidak akan muncul. Apalagi di saat-saat ke-
reta hendak berangkat seperti itu.
Trini membuka matanya yang sejak tadi
dipejamkan. Dia melirik pada Rio.
"Rio, kamu tau sebenarnya kenapa Boma
nggak ikut?" Pertanyaan ini sejak tadi disimpan
Trini dalam dadanya.
Rio yang tidak menyangka akan ditanya
seperti itu sesaat jadi terdiam.
"Ayo, kamu jangan bohong. Kamu pasti tau
kenapa."
"Kayaknya sih dia ada halangan."
"Pasti. Nggak ikut karena ada halangan.
Tapi halangan apa? Halangan 'kan juga bisa dibi-
kin-bikin."
"Kalau nggak salah dia pernah bilang.
Minggu ini dia harus menghadiri sidang pengadi-
lan..." Lalu Rio menceritakan peristiwa perampo-
kan yang sampai membuat Boma celaka kena
clurit itu.
"Kasihan juga Boma kalau begitu," kata
Trini sambil melunjurkan dua kakinya selurus
mungkin. "Tapi kok dia nggak ngasi tau sama aku
sih?"
"Boma aja ngasi tau kita-kita mendadak.
Kita semua pada kesel. Tapi mau dibilang apa.
Mungkin tu anak lagi banyak pikiran. Inget nggak
kejadian dia, Ronny, Allan dan Vino diserang
orang gila beberapa hari lalu." kata Rio pula.
Dari pengeras suara di peron petugas
memberitahu bahwa kereta Senja Utama jurusan
Yogyakarta siap untuk berangkat.
Putuslah harapan Ibu Renata. Dwita ter-
diam, Trini memandang sayu keluar jendela.
Di ujung peron Stasiun Gambir terdengar
suara peluit. Kereta mulai bergerak. Ibu Renata
merasa seperti ada sesuatu yang menyekat teng-
gorokannya. Tiba-tiba sepasang mata bening guru
Bahasa Inggris ini membesar. Tangannya men-
cekal lengan kursi, tapi yang dipegang justru len-
gan Dwita membuat anak perempuan ini berpal-
ing memandangi wajah Ibu Renata lalu mengikuti
pandangan mata guru Bahasa Inggris itu ke arah
peron.
Di peron sana, di antara orang banyak,
seorang anak lelaki bertopi pet biru, memakai T-
shirt putih dan jins serta tas besar menempel di
punggungnya muncul keluar dari tangga pada ja-
lur 4, berlari searah kereta yang bergerak perla-
han.
"Boma...!" Ucap Ibu Renata antara percaya
dan tidak. Suaranya cukup keras, membuat se-
mua anak di dalam gerbong itu memalingkan ke-
pala ke arah peron.
Vino berdiri dari kursinya. Dia menunjuk
ke luar jendela. Di luar sana, Boma berlari ken
cang sepanjang peron menuju pintu kereta yang
terbuka.
"Eeii bener lu! Itu Boma!"
"Teman-teman! Liat! Boma!"
"Ah! Gendenk bener 'tu anak! Katanya
nggak mau ikutan!"
Ronny, Gita, Allan dan Firman berdiri dari
kursi.
"Bom! Cepetan Bom!" teriak Vino.
"Tancep Boma!" teriak si gemuk Gita.
Semua pelajar dalam gerbong, termasuk
Ibu Renata berdiri pula dari kursi mereka, sama-
sama berteriak.
"Boma! Boma!"
"Cepeeetttt Bom...!"
Gerbong yang ditumpangi anak-anak SMU
Nusantara III hanya tinggal dua puluh meter lagi
dari ujung peron. Pada saat itulah sosok tubuh
Boma laksana terbang melesat memasuki pintu.
Dua kakinya mendarat di lantai kereta. Seisi kere-
ta bersorak riuh. Boma berdiri berpegangan pada
tiang besi. Bahunya turun naik. Diantara nafas-
nya yang tersengal-sengal dia masih bisa berucap.
"Alhamdulillah. Untung masih keburu!"
Boma menowel hidungnya berulang kali.
Saat itu juga hampir semua anak yang ada
dalam kereta menyerbu Boma. Ronny menekan
topi pet di kepala Boma hingga terbenam sampai
ke alis. Vino memeluki temannya itu. Gita Parwati
usap-usap dagu Boma. Firman bergelantungan di
pinggang. Trini memencet hidung Boma. Ketika
Ronny dan Boma saling tos anak-anak lain di se-
kitar situ mengikuti.
"Lagi-lagi kamu bikin kejutan Bom!" kata
Ronny. "Lu bilang nggak bisa ikut! Sekarang
muncul!"
"Lompatan 'lu tadi boleh juga Bom. Kayak
lompatan Jet Li aja!" kata Andi.
"Gila, lemes gua!" kata Boma tapi wajah
yang keringatan memancarkan kegembiraan.
"Ogut duduk dimana? Masih ada kursi kosong
nggak?"
"Kamu tinggal pilih Bom. Mau duduki
samping Den Ayu Trini Damayanti, atau di sebelah
Den Putri Dwita Tifani atau di dekat Sri Ratu Rena-
ta...?" kata Ronny. Anak-anak bersorak riuh. Ibu
Renata kelihatan tersipu, wajahnya tampak keme-
rahan.
"Atau di depan disamping Den Mas Masinis
kereta saja!" kata Vino yang membuat gerbong ke-
reta itu kembali riuh oleh sorak dan gelak tawa.
Satu-satunya orang yang seolah tidak dapat me-
nerima kenyataan itu adalah Guru Olah Raga Pak
Sanyoto. Dia duduk terdiam di kursi yang sebe-
lumnya ditempati Dwita, memperhatikan anak-
anak yang sebentar-sebentar bersorak dan terta-
wa-tawa lalu melirik ke arah Ibu Renata, Dwita
dan Trini. Sekali lagi dia memandang ke arah
Dwita. Hatinya kesal. Tadi anak itu duduk di kur-
si yang kini didudukinya. Kenapa pindah ke
samping Ibu Renata? Seharusnya dia yang duduk
disamping Guru Bahasa Inggris itu.
Munculnya Boma merubah suasana di da-
lam perjalanan menjadi jauh lebih ceria. Tiga wa-
jah yang sebelumnya tampak lesu tidak bergairah
kini kelihatan banyak senyum penuh ceria. Ketiga
orang ini adalah Ibu Renata, Dwita Tifani dan Tri
Damayanti.
Boma duduk di kursi di sebelah Ronny. Vi-
no, Rio, Gita, Andi dan Firman berdiri di sekeliling
mereka.
"Sekarang cerita Bom. Kok kamu men da-
dak muncul." Kata Ronny.
"Kayak diuber setan!" kata Vino.
"Bener Bom! Sebelumnya kamu bilang
nggak bisa ikut karena ada sidang pengadilan."
Ujar Gita.
"Baru tadi sore, jam setengah enam dapat
kabar. Kabarnya kabur! Sidang pengadilan diun-
dur sampai awal bulan depan. Hakim yang me-
mimpin sidang masih berada di Medan..." Boma
menerangkan.
"Syukur." Ucap Gita.
"Tu Hakim nggak balik lagi juga nggak apa-
apa," kata Vino. "Biar nanti gua yang mimpin si-
dang!"
"Uhh! Sok tau!" kata Firman sambil melin-
tir telinga Vino.
"Teman-teman, bayangin aja! Jam setengah
enam terima kabar. Siap-siap habis setengah jam.
Jalan ke sini hampir satu jam. Mana macet lagi.
Udah gitu dipintu masuk ke peron aku ditahan
sama penjaga! Dia curiga ngeliat ogut lari-lari.
Nggak bawa karcis lagi. Aku bilang aku rombon-
gan pelajar Nusantara III yang mau tour ke Yogya.
Tetap aja nggak dikasih masuk. Sialan! Nekat aku
nyelonong aja!"
Semua anak tertawa mendengar cerita Bo-
ma. "Kita semua senang kamu bisa ikut Bom. Ta-
pi ada lagi yang lebih senang..." kata Ronny pula.
"Ah, lu mulai deh. Becanda..."
"Becanda tapi nyata." Kata Vino.
"Ron, lu sebut dong siapa aja yang lebih
senang."
"Pokoknya ada tiga orang! Tebak aja sendi-
ri!" jawab Ronny sambil tertawa lebar.
"Tapi kalian bisa nebak nggak," kata Andi.
"Rasanya ada satu orang yang jadi sebel dengan
kemunculan teman kita ini!"
"Itu sih ude kebaca! Apa perlu gue sebut
nih!" kata Vino.
"Jangan Vin... Juaaangan!" kata Firman
sambil pencongkan mulutnya. Semua anak pada
tertawa
"Terus-terang gue juga senang banget ka-
mu bisa ikut Bom," kata Ronny Celepuk. "Soalnya
sekarang gue bisa timbang terima serahkan tugas
dari Si Umar sama kamu."
"Enak aja!" jawab Boma sambil membuka
topi petnya. "Tapi, ya sudah. Kau tetap wakilnya
Si Umar. Aku dan teman-teman pasti ngebantuin.
Oke 'kan?"
"Ntar dulu," jawab Ronny. "Gue mau nowel
hidung dulu!" Lalu dia menirukan gaya Boma
menowel hidung. Kembali gelak tawa memenuhi
gerbong kereta yang meluncur ke arah timur me-
nuju Yogyakarta.
"Bom, kamu lari segitu jauh pasti haus. Ini
ada yang ngasi minuman selamat datang buat
kamu! Rio mendekat sambil mengulurkan sebuah
botol plastik. Tapi bukan botol air minum melain-
kan botol berlabel pembersih closet.
"Brengsek. Lu aja minum duluan!" kata
Boma sambil memukul botol itu hingga jatuh ke
lantai.
Gerbong lagi-lagi riuh oleh gelak tawa.
"Ada-ada aja lu. Dapet dari mana tu botol?"
tanya Ronny pada Rio.
"Aku nemuin di kolong kursi," jawab Rid
sambil nyengir. Ketika Rio hendak kembali ke
kursinya Ronny pegang tangan temannya ini dan
berbisik.
"Kok kamu tumben-tumbenan mau duduk
dekat Trini? Mau jaga muntah ya."
"Enak aja. Gue ude duduk duluan. Dia
nyelonong duduk di samping gue. Mau pindah ke
kursi lain semua udah pada didudukin. Mendin-
gan kan, dari pada duduk di samping Si Umar?"
Rio menyengir lagi lalu kembali ke kursinya. Kere-
ta meluncur semakin cepat.
SEBELAS
SOSOK DI BALIK STUPA
LEWAT tengah malam suasana dalam ger-
bong kereta yang dicarter oleh para pelajar SMU
Nusantara III mulai sepi. Tak terdengar suara
anak-anak menyanyi, tidak terdengar lagi riuhnya
suara gelak tawa. Memang ada satu dua anak-
anak yang masih ngobrol, namun kemudian sua-
ra merekapun lenyap. Beberapa anak lelaki yang
tadi asyik bermain kartu kini terduduk letih di
kursi masing-masing dengan mata terpejam. Ke-
cuali Pak Sanyoto.
Guru Olahraga yang menjadi pimpinan
rombongan ini melangkah sepanjang gerbong
memeriksa dan memperhatikan para pelajar. Dis-
amping kursi Ibu Renata Pak Sanyoto berdiri agak
lama. Wajah guru Bahasa Inggris yang sedang ti-
dur itu dilihatnya lebih cantik dari biasanya. Ini
kali pertama dia melihat Ibu Renata dalam kea-
daan tidur. Wajah itu begitu anggun mempesona.
Pak Sanyoto mengusap kepalanya beberapa kali,
menegakkan kerah jaket lalu kembali ke kur-
sinya. Duduk pejamkan mata, mencoba tidur.
Boma menyikut lengan Ronny yang duduk
di sebelahnya. Lalu berbisik. "Ron, lu liat nggak?"
"Hem...Ngapain dia berdiri lama-lama di
samping Ibu Renata?"
"Mungkin mau ngajak ngomong. Tapi Ibu
Renatanya tidur," jawab Boma.
Kereta meluncur terus. Suara roda-roda
besi yang berbenturan dengan sambungan rel me-
rupakan irama berkesinambungan yang lama ke-
lamaan enak juga terdengarnya.
JAM 06.15 pagi kereta memasuki stasiun Yogya-
karta.
"Selamat datang di Kota Gudeg!" kata Ron-
ny sambil berdiri dari kursi lalu menggeliat.
"Yogya...Yogya! We are coming!" seorang
anak berteriak.
"Yogya...Yogya! I love you!" Seorang anak
lainnya berseru.
"Ooiii!" Vino berteriak. "Buka mulut jangan
lebar-lebar! Bau! Belon gosok gigi!"
"Lu sendiri buka mulut selebar ember!" Ba-
las seorang anak di deretan kursi belakang. Se-
saat gerbong itu riuh oleh suara tawa. Suara tawa
pertama dan terakhir dalam gerbong pada pagi
itu.
Sebuah bis besar carteran telah menunggu
dan membawa rombongan ke sebuah penginapan
di Jalan Kolonel Sugiyono. Selesai mandi dan sa-
rapan, jam 10.00 tepat rombongan meninggalkan
penginapan, berangkat menuju Candi Borobudur.
Turun dari bis Ronny bersiul-siul kecil
sambil rapikan letak kacamata biru menyalanya.
Rio yang memegang tustel mulai sibuk jetret sana
jetret sini.
"Kamu kenapa nggak ajak Sarah cewek lu,
Ron?" tanya Boma.
"Die sih pengen ikut. Tapi nyokapnya lagi
sakit," jawab Ronny. Sarah adalah murid kelas II
SMU Nusantara III juga tapi tidak satu kelas den-
gan Ronny dan Boma.
Langit cerah, sang surya bersinar cukup
terik dan angin bertiup. Beberapa topi yang dige-
lar di tepi jalan beterbangan. Dikejar-kejar si
mbok penjualnya. Merupakan pemandangan yang
lucu.
"Aneh, kok ora biasane. Kok barate banter
banged tino iki." Seorang pedagang barang-barang
cindera mata di pinggir jalan berkata sambil me-
megangi gantungan baju-baju kaos yang melam-
bai-lambai ditiup angin.
"Git, si mbok tukang dagang itu tadi ngo-
mong apaan?" tanya Boma pada Gita Parwati
yang berjalan di sebelahnya berdampingan den-
gan Allan. Disamping Allan berjalan Dwita. Di se-
belah depan Trini, Vino dan Sulastri serta bebera-
pa anak berjalan dalam satu kelompok.
Gita Parwati tertawa mendengar perta-
nyaan Boma itu. Dia berpaling pada Dwita.
"Dwita, ini namanya orang aneh!" kata Gi-
ta. "Katanya orang Jawa, tapi nggak ngarti omon-
gan Jawa. Gimana sih Mas?"
"Ala, yang Jawa kan bokap sama nyokap
gua," sahut Boma. "Kalau gua sih Indo Betawi!"
Dwita dan Gita tertawa geli. Di sebelah de-
pan Trini berpaling dan ikutan tertawa.
"Indo apaan! Doyan pete ama jengkol!" Dari
samping berteriak Andi.
"Nah, kena lu Bom!" kata Ronny.
"Tapi pete sama jengkol enak kan?" jawab
Boma walau selama ini dia tidak pernah makan
pete dan jengkol.
"Yang bau biasanya memang rada-rada
enak!" ucap Vino.
"Sok tau lu!" nyeletuk Andi.
"Kata orang. Gua sih emang belon tau yang
bau-bau," jawab Vino, membuat teman-temannya
jadi senyum-senyum.
"Git, kamu belum jawab yang tadi gua
tanya." kata Boma.
"Nih, biar Gusti Raden Ayu Diwita Tifani
yang menjawab pertanyaan sampean" kata Gita
Parwati sambil menudingkan jempol tangan ka-
nannya pada Dwita dan seraya membungkukkan
badan seolah menghormat. Dwita tertawa lebar
mendengar ucapan dan gaya si gemuk Gita Par-
wati.
Boma menowel hidungnya. "Iyaa, Dwita.
Apa sih yang diucapkan mbok-mbok itu tadi?"
"Katanya begini," jawab Dwita Tifani. "Aneh,
kok tidak seperti biasanya. Kok angin kencang se-
kali hari ini."
"Nah, Den Mas Boma, sampean udah den-
gar. Puas sekarang?"
Boma anggukkan kepala pada Gita, terse-
nyum pada Dwita. Dalam hati dia mengulangi apa
yang barusan dikatakan Dwita. "Aneh, kok tidak
seperti biasanya. Kok angin kencang sekali hari
ini."
Ronny menepuk punggung Boma.
"Kok habis dikasi tau kamu sekarang ja-
lannya kayak setengah ngelamun?"
"Ron, perasaan ogut nggak enak," jawab
Boma.
"Kamu kebelet beol?" tanya Ronny.
"Brengsek kamu. Aku bilang yang nggak
enak perasaan ogut, bukan perut." kata Boma la-
lu menowel hidungnya. "Aku nggak liat Si Umar,
Ron." Boma mengalihkan pembicaraan.
"Gampang nyarinya. Dimana ada Ibu Rena-
ta, pasti dia ada disitu. Tu...lu nengok deh ke be-
lakang."
Boma menoleh ke belakang. Memang be-
nar. Di kelompok rombongan paling belakang ber-
jalan Pak Sanyoto, memegang tustel, berdampin-
gan dengan Si Centil Sulastri. Di sebelah Sulastri
Ibu Renata dan beberapa anak lainnya. Sambil
melangkah mundur-mundur Rio memotret ke-
lompok Pak Sanyoto ini.
Di sebuah lapangan, dengan latar belakang
Candi Borobudur di kejauhan, rombongan mem-
buat foto bersama. Selesai berfoto, sebelum me-
nuju candi, Pak Sanyoto selaku pimpinan tour
memberi beberapa pengarahan. Melihat begitu
banyaknya pengunjung tidak mungkin mereka
yang berjumlah hampir tiga puluh orang itu bisa
selalu berada dalam satu kelompok. Jika sampai
berpencaran maka pulangnya mereka langsung
menuju bis di lapangan parkir.
Pak Sanyoto melihat ke arloji di tangan ki
rinya
"Saat ini jam sebelas kurang lima. Rom-
bongan akan menunggu sampai jam empat sore.
Cukup banyak waktu bagi kalian semua untuk
makan, melihat-lihat dan membeli cindera mata.
Yang, penting kalian sudah berada di bis sebelum
jam empat sore!"
Ronny tertawa bergelak. Beberapa anak
yang mendengar ucapan Boma tadi ikut tertawa.
Ronny melirik ke arah Pak Sanyoto. Guru Olahra-
ga yang menjadi pimpinan wisata itu agaknya ti-
dak mendengar apa yang diucapkan Boma tadi.
Begitu rombongan mulai bergerak ke arah
Candi Borobudur, Trini langsung mendekati Bo-
ma, memegang lengan anak lelaki ini dan berkata.
"Bom, aku barengan sama kamu ya? Bo-
leh?"
Boma tersenyum.
"Boleh aja."
"Memangnya kenapa?" tanya Boma.
Trini Damayanti melirik sekilas pada Dwi-
ta.
"Aku baru sekali ini ke Borobudur. Tang-
ganya tinggi, curam. Orang yang naik banyak
banget. Aku suka gamang kalau berada di keting-
gian. Boleh 'kan barengan kamu?"
Boma menowel hidungnya kembali.
"Kok dari tadi nowelin hidung terus sih!
Jawab dong! Boleh nggak?"
Boma tertawa. "Boleh boleh aja."
Trini tertawa lega. Dari dalam tas yang di
bawanya dia mengeluarkan sebuah kamera.
Saat itu Rio tiba-tiba muncul di depan Bo-
ma dan Trini dengan tustelnya. Trini langsung
menebar senyum di wajah dan tangan kirinya
memegang mesra lengan Boma, kepala agak dimi-
ringkan ke bahu anak lelaki itu.
Blits tustel Auto Focus menyala.
"Nah, lu!" celetuk Ronny pada Vino yang
kini berada di sampingnya. "Alamat Boma nggak
bisa kemana-mana. Kasihan deh Dwita..."
"Kasihan juga Ibu Renata. Gua rasa dia
pengen dekat-dekat Boma. Tapi Si Umar kagak
tau malu. Nempel terus kaya perangko." kata Gita
Parwati.
"Rio, tunggu!" seru Trini. "Tolong potretin!"
Trini menyerahkan tustel miliknya pada Rio.
"Tinggal mencet."
Rio beraksi dengan kamera milik Trini.
"Tunggu, sekali lagi!" kata Rio. Kamera mi-
lik Trini itu ada perangkat zoomnya. Rio menekan
tombol zoom hingga wajah Boma dan Trini mun-
cul besar dalam satu frame. Klik! Rio senyum-
senyum kembalikan kamera pada Trini.
Boma melangkah, kakinya terasa berat. Dia
menowel hidungnya beberapa kali. Ketika di meli-
rik ke arah Ronny, anak ini meledek dengan me-
mencongkan mulutnya. Dengan suara perlahan
Ronny berkata pada Vino yang kini ada di sam-
pingnya.
"Lu tanya sono sama Si Centil. Dia suka
gamang nggak kalau ditempat tinggi."
"Ooo... Si Centil sih lain. Makin di atas dia
makin seneng!" jawab Vino.
"Eee, apa-an nyebut-nyebut nama Ogut?
Siapa yang seneng di atas?!"
Tahu-tahu Si Centil alias Sulastri sudah
berada di belakang Ronny dan Vino. Anak perem-
puan ini lalu menerobos di antara kedua anak le-
laki itu. Ronny langsung diam, Vino senyum-
senyum, serba salah tapi menjawab juga.
"Nggak, si Ronny bilang anak cewek suka
gamang kalau berada di tempat tinggi. Tapi aku
bilang kamu nggak. Kamu malah senang di tem-
pat tinggi. Seneng di atas. Iyya kan?"
"Nggak tu. Aku malah suka kepingin kenc-
ing kalau berada di tempat tinggi!" jawab Sulastri
polos, entah benar entah tidak. "Jadi nanti kamu
musti pegangin aku kalau naik ke atas candi sa-
na."
"Nah, atu lagi teman gua kena batunya."
kata Ronny sambil usap-usap dagunya.
Rio yang tadi entah memotret di mana begi-
tu Vino dan Sulastri berjalan rapat berdampingan
tahu-tahu muncul kembali. Vino acungkan jem-
pol tangan kirinya. Klik! Lampu kilat menyambar.
Rio ngacir lagi ke tempat lain.
Boma menyuruh Trini berjalan lebih dulu.
Dia berlutut pura-pura membetulkan tali sepatu
ketsnya. Ketika Ronny lewat disampingnya Boma
cepat berbisik.
"Ron, lu temenin Dwita. Gua nanti nyari
akal gimana bisa lolos dari Trini."
"Rebes Bom. Tapi gua pinjem dulu seceng
buat beli rokok. Duit gue ketinggalan di kantong
celana satunya."
"Alesan aja lu," jawab Boma. Dari kantong
blujinsnya dia keluarkan uang kertas seribu pe-
rak lalu diberikan pada Ronny. "Lu jangan pamer
rokok di depan Si Umar. Salah-salah lu disuruh
lari ngelilingin lapangan enam kali lagi, baru tau
ente!"
"Oo... tidak bissya Bom. Ini Yogya, bukan
Jakarta. Salah-salah dia yang minta rokok sama
aku!" jawab Ronny pula.
***
KELOMPOK Boma, Trini, Firman dan Andi
berada di tingkat pertama bangunan Candi Boro-
budur. Di sebelah depan berjalan kelompok Vino
dan Sulastri bersama Gita dan Allan. Di belakang
menyusul kelompok Ronny, Dwita lalu Rio dan
beberapa orang pelajar kelas II-9.
Seorang pemandu laki-laki tengah membe-
rikan penjelasan pada serombongan wisatawan.
Tiga kelompok pelajar SMU Nusantara III kelas II-
9 tadi berhenti dan bergabung, ikut mendengar-
kan cerita sang pemandu.
"Bangunan Candi Borobudur ini didirikan
sekitar tahun 800 Masehi. Terdiri dari tiga tingkat
yang masing-masing punya nama sendiri-sendiri.
Tingkat pertama yaitu dimana kita berada saat ini
disebut Kamadhatu artinya Dunia Keinginan.
Tingkat kedua bernama Rupadhatu yang
berarti Dunia Bentuk atau Dunia Ujud. Tingkat
ketiga bernama Arupadhatu berarti Dunia Tidak
Berbentuk atau Dunia Tanpa Ujud..."
Sambil terus mendengarkan cerita sang
pemandu Ronny berkata pada Boma. "Si Umar,
gua rasa cocoknya tinggal di Arupadhatu."
Boma dan teman-temannya sama tertawa
mendengar kata-kata Ronny. Sang pemandu yang
rupanya sempat mendengar ucapan Ronny me-
mandang pada anak-anak itu lalu sambil terse-
nyum dia berkata.
"Arupadhatu adalah alam tanpa ujud. Jadi
orang yang namanya Si Umar atau Si Umir tidak
mungkin hidup di alam itu..."
"Wah Ron. Kasihan Si Umar. Terpaksa dia
balik ke alam Rupadhatu." Kata Boma pula yang
mengundang tawa semua anak dan sang peman-
du termasuk juga para wisatawan lain yang ada
di tempat itu.
Pemandu wisata melanjutkan keterangan-
nya.
"Candi Borobudur ini dibangun dari poton-
gan batu berjumlah sekitar dua juta buah. Saat
ini di sini terdapat 1472 buah Stupa serta 432 Ar-
ca Buddha. Di sepanjang dinding candi terdapat
ratusan relief yang menceritakan berbagai kisah.
Jika semua relief itu disambung satu dengan yang
lain maka panjangnya bisa mencapai tiga kilome-
ter. Bayangkan..."
Di sebelah belakang Vino berbisik. "Dia tau
dari mana. Apa pernah ngitung...?"
Ucapan Vino terputus karena lengannya
disengat cubitan Sulastri. Anak perempuan ini
berbisik. "Jangan ngomong sembarangan kamu.
Kalau dia denger..."
Vino cuma bisa nyengir sambil usap-usap
lengannya yang merah bekas cubitan.
Ketika pemandu wisata mengajak rombon-
gan wisata berpindah ke tempat lain, Trini men-
dekati orang ini.
"Pak, mau tanya."
"Ya, boleh. Anak ini rombongan dari Jakar-
ta pasti?"
Trini mengangguk. "Mau tanya apa?"
"Itu Pak, Area yang orang-orang suka pe-
gang, tempatnya di sebelah mana?"
"Katanya kalau bisa megang, apa yang jadi
niat bisa terkabul. Apa betul Pak?" tanya si ge-
muk Gita Parwati.
"Semua tergantung niat, dan tergantung
Gusti Allah serta berpulang pada kepercayaan ki-
ta masing-masing," jawab sang pemandu sambil
tersenyum. "Arcanya disebut Arca Bimo. Letaknya
di tingkat ke tiga, tingkat Arupadhatu. Sebelah
timur, persis kanan tangga naik." Sang pemandu
menunjuk ke arah timur.
"Terima kasih Pak..." kata Trini.
Selagi Trini dan Gita bicara dengan sang
pemandu dan selagi sang pemandu menjawab
pertanyaan kedua anak perempuan itu Boma
berdiri sambil matanya memandang ke berbagai
jurusan. Di atasnya, pada tingkatan kedua ban-
gunan candi serombongan wisatawan asing ten-
gah membuat foto. Beberapa diantara mereka
adalah wanita-wanita kulit putih yang berpakaian
agak seronok. Sepasang mata Boma memandang
ke atas bukan memperhatikan wisatawan asing
itu, tapi memperhatikan sosok seorang yang agak
terlindung dibalik sebuah stupa. Walau yang ter-
sembul dari sosok orang ini hanya sebagian sisi
kanan tubuhnya kepalanya tidak kelihatan, na-
mun Boma yakin dari balik stupa orang itu ten-
gah memperhatikan ke arahnya.
Boma menggeser tegaknya mendekati Ron-
ny. Suaranya bergetar.
"Ron, kamu ingat nggak orang gila yang
nyerang kita di sekolahan?"
Karena tengah asyik mendengar keteran-
gan sang pemandu Ronny tidak begitu memper-
hatikan pertanyaan temannya.
"Apa Bom?"
"Ingat cerita ada orang yang mau membu-
nuh aku?"
Ronny berpaling. Menatap wajah Boma.
"Memangnya kenapa?"
"Putar kepalamu pelan-pelan. Liat lurus-
lurus ke atas. Perhatikan stupa nomor tiga dari
ujung kanan. Orang itu ada di balik stupa. Pa-
kaian item, rambut gondrong. Kali ini rambutnya
nggak dikuncir. Tapi dibiarkan lepas."
Ronny menatap wajah temannya sesaat la-
lu perlahan-lahan angkat kepalanya, memandang
lurus ke arah tingkat ke tiga candi. Mengawasi
stupa yang dimaksudkan Boma.
"Aku nggak liat apa-apa Bom..."
"Masa sih? Aku liat orang itu masih disana.
Malah sebagian wajahnya kini menyembul dari
balik stupa,"
Ronny buka kaca mata birunya. Tetap saja
dia tidak melihat apa-apa.
"Aku nggak ngeliat apa-apa Bom. Maksud
kamu orang aneh bernama Pangeran Matahari
itu?"
Boma mengangguk. Dia ingat ucapan si
nenek. Bahwa Boma bisa melihat orang itu tapi
orang lain tidak.
Boma mengusap tengkuknya. Saat itu te-
riknya sang surya cukup membakar. Tapi Boma
merasa tengkuknya dingin.
"Ron, kamu sama Trini, sama yang lain-
lain tunggu di sini..."
"Kamu mau kemana?"
"Aku nggak lama."
Saat itu tiba-tiba angin bertiup kencang
sekali. Suara derunya terdengar menggidikkan.
Beberapa orang berseru kaget karena topi yang
mereka pakai mencelat diterbangkan angin. Seo-
rang anak kecil sampai jatuh terduduk di batu
candi. Ketika angin reda Boma tak ada lagi di
tempat itu.
"Boma kemana?" Tanya Trini pada Ronny.
"Katanya dia turun sebentar. Mau kenc-
ing." Jawab Ronny berdusta karena dia juga tidak
tau pergi kemana temannya itu. Ronny kembali
memandang ke arah stupa di atas sana. Dia meli-
hat banyak orang disekitar stupa itu. Tapi tidak
ada orang berpakaian serba hitam, berambut
gondrong, kepala diikat kain merah dan berman-
tel.
"Gila kali kalau ada orang siang bolong be-
gini pakai mantel!" kata Ronny dalam hati. "Jan-
gankan orang setan juga gerah!"
***
PANGERAN Matahari beranjak dari balik
stupa. Hatinya mendadak gelisah. Barusan dia
melewati beberapa orang di sekitar tempat itu.
Semua orang memperhatikan ke arahnya dengan
pandangan agak lain dan beberapa diantara me-
reka berbisik-bisik
"Kesaktian Batu Penyusup Batin yang di-
usapkan guru ke tubuhku mungkin sekali telah
habis. Orang dapat melihat ujudku dengan mata
telanjang. Keadaan bisa berbahaya. Aku harus
bertindak cepat."
Pangeran Matahari memandang ke bawah.
Ke arah rombongan anak-anak SMU Nusantara
III. Wajahnya berubah. Boma tidak ada lagi di an-
tara para pelajar itu. Murid Si Muka Bangkai ini
berpindah ke bagian candi yang lebih tinggi. Ma-
tanya menyelidik ke seluruh penjuru. Namun
Boma tetap tidak kelihatan.
Serombongan wisatawan lewat di samping
nya, memperhatikan. Ada yang senyum-senyum.
Tapi begitu Pangeran Matahari pelototkan mata,
orang yang tertawa palingkan muka, pura-pura
memandang ke jurusan lain.
"Aku curiga..." Membatin Pangeran Mata-
hari. "Jangan-jangan Sinto Gendeng memberikan
Batu Penyusup Batin yang dirampasnya kepada
anak itu...." Lalu dia ingat peristiwa di halaman
sekolah beberapa hari lalu. Kepala dan tubuhnya
cidera. Dipukuli orang yang tidak kelihatan ujud-
nya.
"Kalau anak itu memang memiliki Batu Pe-
nyusup Batin, aku harus mencari akal..." Pange-
ran Matahari menyeringai lalu tinggalkan tempat
itu. Lagi-lagi menjadi perhatian orang yang dipa-
pasinya.
***
BEBERAPA langkah meninggalkan Ronny
dan kawan-kawannya, terhalang di balik sebuah
stupa Boma mengusap bagian bahu di bawah tu-
lang belikat sebelah kanan, dua kali berturut-
turut.
Empat orang anak perempuan yang berada
di hadapan Boma terkejut. Cewek paling depan
hentikan langkah, berpaling pada teman di samp-
ing kanannya.
"Tik, kamu liat nggak? Tadi di depan kita
ada cowok kece rambut cepak pakai jins robek
dengkulnya. Kok tau-tau lenyap?"
Motik, anak perempuan yang diajak bicara
menyahuti. "Aku kira cuma aku yang heran.."
"Aku juga ngeliat." Kata anak perempuan di
sebelah belakang.
"Jangan-jangan setan..." kata Motik. "Masa'
sih. Aku nggak pernah denger cerita ada setan di
Candi Borobudur."
"Teman-teman, baiknya kita pindah aja ke
tempat lain." Motik mengajak. Lalu mendahului
melangkah meninggalkan tempat itu. Teman-
temannya mengikuti.
***
BOMA sampai di belakang stupa besar di
mana tadi dia melihat sosok Pangeran Matahari.
Tapi disitu dia tidak menemui Pangeran Matahari.
Yang ada hanya beberapa orang pengunjung ten-
gah berfoto. Boma mengitari stupa, lewat bebera-
pa kali di depan orang-orang itu tanpa satupun
dari mereka melihat kehadirannya. Anak ini yakin
bahwa Batu Penyusup Batin yang ada di bahu
kanannya memiliki kesaktian luar biasa. Namun
anak ini tetap merasa kawatir.
"Aku bisa menghilang, bisa nggak keliatan.
Tapi bagaimana teman-teman? Kalau Pangeran
Matahari berbuat jahat terhadap mereka?"
Boma memeriksa bagian candi sekitar stu-
pa besar itu sekali lagi. Tetap saja dia tidak me-
nemukan orang yang dicarinya.
DUA BELAS
MUNCULNYA PENDEKAR 212 WIRO SABLENG
PENGUNJUNG candi ramai sekali di sepu-
tar Stupa Bimo. Yang paling banyak para pelajar
dari SMU Nusantara III. Melalui lobang-lobang
berbentuk belah ketupat orang banyak mema-
sukkan tangan ke dalam stupa, berusaha meme-
gang Arca Bimo di dalamnya.
Di salah satu sisi stupa, Trini mengulurkan
tangannya dalam-dalam, menggapai-gapai. Tapi
jari-jarinya tidak mampu menyentuh tangan apa
lagi bagian tubuh arca. Rio mengambil foto Trini
waktu berusaha memegang arca ini.
"Wah Rin! Maksud lu nggak kesampean!"
kata Rio.
"Coba ogut. Kayaknya deket aja." Kata
Ronny Celepuk. Dia memasukkan tangan kanan-
nya dari sebelah belakang, coba memegang pung-
gung dan kepala area. Tidak kena. Dia pindah ke
sebelah depan. Ujung tangannya menggantung di
udara, tidak mampu menyentuh tangan area.
"Ajie Gile. Gua rasa tangan gua paling pan-
jang. Tapi kok nggak bisa nyampe?" Ronny Cele-
puk gosok-gosok tangannya satu sama lain.
Vino, Rio, Allan, Andi dan Firman juga
mencoba. Tapi tidak satupun dari mereka bisa
menyentuh Arca Bimo.
Giliran si gemuk Gita Parwati. Saking pe-
nasarannya anak ini mencoba dari empat sisi.
Depan, kiri kanan dan belakang.
"Aneh, kok nggak bisa kepegang ya?" kata
Gita sambil menarik tangannya yang terasa pegal.
"Kamu nggak mandi kali tadi pagi!" kata Vino.
"Lu juga nggak bisa megang. Berarti nggak
mandi juga!" sahut Gita cemberut.
Pak Sanyoto tidak mau ketinggalan. Dia
memasukkan tangannya pada lobang di sisi ka-
nan arca. Sampai kecapaian sambil geleng-geleng
kepala dia keluarkan tangan dari dalam lobang.
Lalu berpaling pada Ibu Renata.
"Ibu nggak mau coba?" tanya Pak Sanyoto.
Ibu Renata mendekat ke stupa. Sesaat ia
bingung mau memasukkan tangan kanan atau ki-
ri. Akhirnya dia masukkan tangan kanan ke celah
belah ketupat. Tiba-tiba Guru Bahasa Inggris ini
memekik. Anak-anak mengintip lewat lobang.
"Kena!" teriak Vino.
"Kepegang!" pekik Trini.
Jari-jari tangan Ibu Renata yang halus ba-
gus memang berhasil memegang tangan Arca Bi-
mo, bukan cuma tangan tapi juga kaki arca.
"Wah Ibu Renata hebat!" ujar Pak Sanyoto
"Niatnya apa tadi bu?" tanya Ronny.
"Nggak niat apa-apa." Jawab Ibu Renata
tersenyum lebar dan mengeluarkan tangannya
dari dalam stupa.
"Bom! Lu diem aja! Nggak pengen megang?"
Vino bertanya pada Boma.
Dari samping Ronny menarik tangan kanan
Boma lalu dimasukkan ke dalam lobang. Ronny
mengintip. Lalu anak ini berteriak.
"Liat!"
Beberapa anak mengintip. Tangan kanan
Boma kelihatan menggenggam tangan Arca Bimo.
Anak-anak bersorak ramai. Boma tenang saja.
Saat itu dia merasa ada hawa aneh sejuk menga-
lir dari tangan Arca Bimo, masuk ke dalam tan-
gannya, terus mengalir ke seluruh tubuh. Boma
merasa tengkuknya dingin.
"Hebat temen gue!" kata Ronny sambil te-
puk-tepuk punggung Boma.
"Kok yang bisa cuma Boma sama Ibu Rena-
ta?" Si Centil Sulastri membuka mulut. "Wah, ar-
tinya apa nih?"
Boma tersenyum masih berdiri di depan
stupa sambil mengelusi lengan kanannya. Mu-
kanya tampak pucat. Sementara Ibu Renata juga
tersenyum tapi wajahnya bersemu merah.
"Eh Dwita mana? Dwita belum nyoba!"
Tiba-tiba Firman berteriak.
"Bener, Dwita belon!" kata Andi.
Semua anak memandang berkeliling, men-
cari-cari. Tapi Dwita memang tidak ada.
"Kok Dwita nggak ada?" ucap Gita.
"Ngilang kemana tu anak?" kata Vino pula.
"Kayaknya dari tadi, lama juga dia nggak
keliatan," kata Ronny baru menyadari.
"Dia mungkin pergi kemana. Ada yang di-
tinggali pesan?" Pak Sanyoto bertanya.
Tidak ada yang menjawab.
Pak Sanyoto memandang berkeliling. Lalu
berkata. "Mungkin dia ada di dekat-dekat sini.
Nanti juga muncul..."
Boma mendekati Ronny.
"Ron, semua teman-teman kita ada di sini.
Cuma Dwita yang nggak keliatan. Aku kawatir.
Gimana kalau kita sama teman-teman mencari."
"Aku rasa nggak perlu kawatir. Dwita pal-
ing mencar. Nanti juga dia bisa kembali ke bis.
Pak Sanyoto tadi udah ngasi pengarahan."
"Kalau dia mencar, kenapa cuma sendi-
rian?" ujar Boma.
Ronny terdiam.
Tiba-tiba angin bertiup kencang sekali.
Anak-anak perempuan berpekikan dan jatuhkan
diri lantai candi, berlindung di balik stupa.
Lalu mendadak dari berbagai arah tampak
orang-orang berlarian ke arah selatan. Beberapa
di antara mereka menunjuk-nunjuk. Makin lama
makin banyak orang yang lari ke jurusan itu.
"Orang-orang itu, mereka takut angin..."
Vino.
"Mungkin mau turun badai? Topan?" Fir-
man.
Boma memandang ke arah selatan. Lalu
berkata. "Orang-orang itu bukan takut topan Vin.
Aku...,"
Pak Sanyoto mencegat salah seorang yang
berlari dan bertanya. "Ada apa Pak?"
Orang yang ditanya berhenti.
"Ada kejadian aneh! Ada orang dalam stu-
pa."
Seorang lelaki yang kebetulan lewat sambil
berjalan cepat menambahkan. "Orang gila mencu-
lik gadis! Gadisnya dikurung dalam stupa!"
Ada gadis dikurung dalam stupa. Ini satu
hal yang tidak mungkin terjadi. Ronny dan Boma
saling berpandangan.
Semua anak SMU Nusantara III meman-
dang pada Pak Sanyoto. Lalu berpaling ke arah
selatan. Boma berdiri tak bergerak, mata terpe-
jam.
"Pangeran Matahari," membatin Boma.
"Pasti dia."
"Ron! Ikut gua!" kata Boma lalu mendahu-
lui lari ke arah selatan. Di satu tempat dia menye-
linap ke balik sebuah stupa, membiarkan Pak Sa-
nyoto dan teman-temannya melewati stupa. Lalu
anak ini sap Batu Penyusup Batin.
Ronny, Pak Sanyoto dan semua anak SMU
Nusantara III termasuk Ibu Renata sama-sama la-
ri ke arah selatan candi.
Di Candi Borobudur arah selatan terdapat
jajaran stupa yang didalamnya berisi Arca Budd-
ha yang disebut Arca Amoghasidi. Sikap tangan
kiri Arca Amoghasidi diletakkan di pangkuan se-
dang tangan kanan diangkat setinggi pinggang
dengan telapak terbuka menghadap ke depan. In-
ilah sikap tangan yang disebut Abayamudra yang
berarti mengisyaratkan ketidak gentaran, jangan
takut.
Salah satu dari Arca Amoghasidi itu di keli-
lingi oleh banyak orang. Tapi orang-orang ini tidak berani terlalu dekat.
Di samping stupa sebelah kanan berdiri
seorang pemuda tinggi besar. Tampangnya tam-
pak garang. Pandangan matanya angker. Pa-
kaiannya serba hitam, dilengkapi sehelai mantel
di sebelah belakang. Di bagian dada bajunya ada
gambar gunung berwarna biru dan larikan-
larikan sinar matahari berwarna merah. Di ke-
ningnya melintang sehelai kain berwarna merah.
Orang ini menatap dingin ke arah semua orang
yang ada di depannya, menyeringai angker.
"Aku Pangeran Matahari! Jangan berani
mendekat kalau tidak mau mati!" Tiba-tiba pe-
mudi disamping stupa berteriak keras sambil kaki
kanannya dihentakkan. Bangunan candi terasa
bergetar. Orang banyak menjauh ketakutan.
Yang membuat semua orang tambah ter-
cengang adalah ketika menyaksikan di dalam
stupa di samping orang yang mengaku bernama
Pangeran Matahari itu, tergeletak pingsan sesosok
tubuh, ramping anak perempuan, berkulit putih,
mengenakan jins merah, blus biru bergaris putih
kuning dan merah. Tak ada satupun dari orang
banyak yang dapat mengerti bagaimana anak pe-
rempuan itu bisa berada di dalam stupa.
Ketika Pak Sanyoto, Ibu Renata dan rom-
bongan anak-anak SMU Nusantara III sampai di
tempat itu, Ronny, Vino dan Allan segera menge-
nali. Pemuda berpakaian serba hitam yang tegak
dl samping stupa adalah orang gila yang menye-
rang mereka di sekolah sehabis pulang latihan
basket!
"Ron, dia Ron," kata Vino dengan suara
bergetar
Ronny dan Allan terkesiap.
Wajah sama pucat "Bagaimana orang ini
bisa berada disini?" ucap Ronny.
Tiba-tiba terdengar suara pekik anak pe-
rempuan. Suara Trini dan Sulastri. Kedua anak
ini tadi menyeruak diantara kerumunan orang
banyak. Ketika memandang ke arah stupa, mere-
ka melihat sosok Dwita yang tergeletak pingsan di
dalam sana. Langsung keduanya menjerit.
"Dwita! Itu Dwita!" teriak Sulastri sambil
menunjuk ke dalam stupa.
Di samping stupa Pangeran Matahari don-
gakkan kepala lalu tertawa bergelak. Tiba-tiba
suara tawanya lenyap. Dari mulutnya menggele-
gar bentakan.
"Boma! Mana anak bernama Boma!" Pak
Sanyoto, Ibu Renata dan semua pelajar SMU Nu-
santara III tentu saja jadi terkejut mendengar
ucapan itu. Mengapa orang aneh di atas sana
mencari Boma? Mengapa Dwita ada di dalam stu-
pa? Bagaimana mungkin? Apa orang yang men-
gaku bernama Pangeran Matahari itu yang men-
culiknya lalu memasukkannya ke dalam stupa?
Jika seseorang masuk atau dimasukkan ke dalam
stupa, satu-satunya cara ialah dengan mengang-
kat stupa. Stupa itu ratusan kilo bahkan mung-
kin lebih dari satu ton. Siapa manusia yang
mampu mengangkat lalu memasukkan Dwita Tifani ke dalamnya? Pak Sanyoto memandang ber-
keliling. Ibu Renata ikut mencari-cari. Tapi Boma
tidak kelihatan.
"Tadi dia lari lebih dulu dari kita. Mestinya
sudah sampai disini duluan," kata Ronny.
"Pengecut! Anak Pengecut! Kalian akan
menyaksikan kematian seorang anak manusia di
dalam stupa hanya karena kepengecutan seorang
anak bernama Boma!"
Di atas sana Pangeran Matahari kembali
keluarkan ucapan keras.
"Boma....Boma, dimana anak itu?" Ronny
dan kawan-kawan saling pandang, lalu meman-
dang seputar candi.
"Aku akan lihat! Mungkin nyawa harus le-
pas lebih dulu sebelum berani unjukkan diri! Ter-
lambat! Terlambat!"
Pangeran Matahari angkat tangan kanan-
nya ke atas. Tangan itu bergetar pertanda ada
hawa sakti mengalir. Lalu tangan itu memancar-
kan warna aneh. Merah, kuning dan hitam. Pan-
geran Matahari siap melepas pukulan Gerhana
Matahari. Udara mendadak redup sebaliknya ti-
upan angin kembali kencang mengeluarkan suara
aneh menggidikkan
Pangeran Matahari membungkuk, mengin-
tai diantara lobang-lobang stupa lalu berkata.
"Anak perempuan di dalam stupa. Nasibmu
malang sekali! Orang yang katanya mengasihimu
lebih suka melihat kau jadi mayat mengenaskan
dari pada menunjukkan keberanian memperlihatkan diri! Ha...ha...ha!"
Pangeran Matahari tertawa bergelak. Tiba-
tiba tawanya lenyap. Lalu tangannya dihantam-
kan ke arah stupa di dalam mana tergeletak Dwi-
ta Tifani dalam keadaan pingsan. Beberapa orang
keluarkan seruan keras. Anak-anak perempuan
menjerit. Ada yang berteriak memanggil nama
Dwita dan Boma
Tiba-tiba dua sosok berkelebat di dekat
stupa. Satu entah dari mana datangnya, laksana
burung besar menyambar ke arah Pangeran Ma-
tahari. Yang satu lagi menyeruak dari kerumunan
orang banyak, melompat ke dekat stupa di lantai
atas.
"Pangeran Matahari! Kau mencari mati!"
"Tunggu! Aku Boma!"
Dua teriakan mengumandang di antara de-
ru angin dan ketersiapan semua orang yang ada
di tempat itu. Lalu ada sinar putih berkiblat ke
arah tangan Pangeran Matahari yang memukul.
Satu letupan keras menggetarkan seantero
candi. Orang banyak kembali berpekikan. Sinar
kuning, hitam dan merah yang menyambar keluar
dari tangan kanan Pangeran Matahari ke arah
stupa terpental buyar ke atas oleh hantaman ca-
haya putih yang menghampar hawa panas.
Orang banyak berpekikan lalu berlarian
menjauhi tempat itu.
Pangeran Matahari terjajar beberapa lang-
kah, hampir jatuh duduk kalau tidak tertahan
oleh stupa yang ada di belakangnya. Di hadapan
nya berdiri dua orang. Yang pertama bukan lain
adalah Boma. Anak ini yang tadi tidak kelihatan
sosoknya karena kesaktian Batu Penyusup Batin,
karena ancaman Pangeran Matahari mau tak mau
segera unjukkan dirinya kembali yaitu dengan
mengusap batu sakti untuk ke tiga kalinya.
Orang kedua seorang pemuda berambut
gondrong berpakaian serba putih bertubuh kekar.
Tampangnya keren dan sebentar-sebentar
layangkan senyum sambil garuk-garuk kepala.
Boma melirik ke arah si gondrong yang ba-
rusan menolong Dwita dari hantaman pukulan
maut Gerhana Matahari. Si gondrong juga berpal-
ing ke arahnya, tertawa lebar dan kedipkan mata
kirinya. Tiupan angin membuat baju putihnya
tersibak. Pada dadanya kelihatan tatto tiga buah
angka. 212!
Boma ingat. Pemuda gondrong ini adalah
orang yang pernah datang dalam mimpinya. Me-
nolong dirinya ketika dikeroyok oleh kawan-
kawan perampok wanita di bajaj. Mimpi! Apakah
saat itu dia juga tengah bermimpi! Mungkin ini
yang oleh si nenek sebagai orang yang akan me-
nolong teman-temannya.
"Abang..." sapa Boma. Si gondrong tertawa
lebar. Dia kembali garuk kepalanya.
Boma membalas dengan menowel hidung.
Dua-duanya lalu sama-sama tersenyum.
"Anak keren berambut cepak! Eyang Guru
biasa memanggilmu Anak Gendenk. Betul?
Ha...ha...! Bagus! Kau masih ingat diriku. Walau
kau cuma pernah melihat aku dalam mimpi.
Ha...ha.. Kita berjodoh untuk bertemu!"
"Abang, bagaimana mungkin Dwita bisa be-
rada dalam stupa? Gila bener!"
Si gondrong menyeringai.
"Tenang saja. Ini urusan kecil. Siapkan
hawa sakti di tangan kirimu."
Berkata si gondrong. Sebenarnya saat itu
dia juga bingung bagaimana cara mengeluarkan
anak perempuan itu dari dalam stupa.
Boma angkat tangan kirinya.
"Bangsat Pendekar 212!" Tiba-tiba Pange-
ran Matahari membentak. "Apa hubunganmu
dengan anak ini?"
Si gondrong yang bukan lain adalah Pen-
dekar 212 Wiro Sableng murid nenek sakti Sinto
Gendeng dari Gunung Gede tersenyum. "Kau
dengar sendiri. Dia memanggil aku dengan sebu-
tan Abang. Berarti dia adalah saudaraku!"
Pak Sanyoto, Ibu Renata dan anak-anak
SMU Nusantara III yang mendengar jelas semua
percakapan itu jadi melengak kaget. Tapi karena
masing-masing diselimuti ketegangan, tak satu-
pun yang keluarkan suara.
Pangeran Matahari memandang mendelik
pada Boma.
"Anak bau kencur! Kau boleh punya tangan
mengandung hawa murni sakti! Kau boleh men-
gandalkan pemuda gondrong berotak sableng itu.
Tapi apa kalian mampu membebaskan anak pe-
rempuan ini tanpa menghancurkan stupa warisan
para leluhur? Apa kalian mampu membebaskan
anak perempuan tanpa melangkahi mayatku?"
"Apa salah Dwita? Kau membuat keonaran,
mencelakai temanku dan mau merusak bangunan
agung dan suci ini! Kau manusia jahat!"
"Boma, dia bukan manusia! Tapi sebangsa
dedemit yang gentayangan antara langit dan bu-
mi?!" kata Pendekar 212 lalu tertawa bergelak.
Pangeran Matahari keluarkan suara meng-
gembor marah. Dia melompat ke hadapan Pende-
kar 212.
"Pangeran jelek! Jangan kesusu! Gurumu
Si Muka Bangkai sudah kena diringkus Eyang
Sinto Gendeng! Kau yang punya ilmu sedalam
comberan masih berani jual lagak! Gendeng kali!"
Pangeran Matahari terkejut mendengar
ucapan Wiro. Otaknya bekerja. Sambil menyerin-
gai dia kemudian berkata.
"Jangan menipu. Aku Pangeran segala ak-
al, segala cerdik, segala licik tak mungkin bisa di-
tipu oleh pemuda sinting sepertimu!"
"Lu yang sinting!" teriak Boma. "Lepaskan
Dwita dari dalam stupa!"
Pangeran Matahari tertawa bergelak. Ra-
hangnya menggembung. Didahului bentakan ke-
ras dia berkelebat menyerang Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. Tapi cahaya
menggidikkan yang kemudian melesat dari tangan
kanannya justru menghantam ke arah Boma Tri
Sumitro. Inilah satu serangan tipuan yang tidak
terduga baik oleh pendekar 212 maupun oleh
Boma.
"Boma awas!" teriak Wiro. Dia bukan saja
harus menyelamatkan anak itu tapi juga menye-
lamatkan bangunan candi dari pukulan Telapak
Matahari yang dilancarkan Pangeran Matahari.
TAMAT
BERHASILKAN PENDEKAR 212 WIRO
SABLENG MENYELAMATKAN BOMA DAN
BANGUNAN CANDI BOROBUDUR DARI PUKULAN
MAUT PANGERAN MATAHARI? BISAKAH DWITA
DIKELUARKAN DARI DALAM SEKAPAN STUPA
YANG BERATNYA LEBIH DARI SERIBU
KILOGRAM ITU? JAWABANNYA HANYA BISA
PEMBACA IKUT! DALAM SERIAL
"Tenda Biru Candi Mendut"
0 comments:
Posting Komentar