..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 14 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE SI CANTIK GILA DARI GUNUNG GEDE

Sicantik Gila Dari Gunung Gede


 

Hak Cipta dan Copy Right 

pada

BASTIAN TITO dlbawah 

Lindungan

Undang-undang

Wlro Sableng terdaftar pada

Dep Kehakiman RI Direktorat

Jenderal Hak Cipta. Paten 

dan

Merek dlbawah Nomor 

004245

SI CANTIK GILA DARI

GUNUNG GEDE

---------------------------------------------------------------------

 "Nyi Retno, kau tidak 

boleh membunuh Patih 

Wira Bumi!"

 "Kau membelanya. 

Apa dia sahabatmu?!"

 "Tidak."

 "Lalu mengapa aku tidak boleh membunuh manusia 

jahat itu?!"

 "Karena dia adalah suamimu." Jawab Wiro. "Dia

adalah ayah dari putrimu yang bernama Ken Permata.

Yang saat ini sudah berusia satu tahun."

 Nyi Retno hentikan lari.

 "Aku tidak pernah punya suami yang namanya Wira 

Bumi. Aku tidak pemah punya anak bernama Ken 

Permata! Wiro, kalau aku punya anak aku ingin

ayahnya adalah kau! Aku suka padamu! Kemuning

suka padamu!"

Bastian Tito


--------------------------------------------------


SATU


DEBUR ombak laut selatan yang menghantam 

lamping batu di malam gelap tanpa bintang tiada

bulan terdengar menggidikkan.

Angin bertiup kencang, sesekali

menderu menimbulkan suara seperti 

suling yang ditiup setan. Dalam 

keadaan seperti itu, satu

pemandangan mencekam terlihat di 

kejauhan. Di tengah laut dari arah 

selatan tampak meluncur membelah 

gulungan ombak besar sebuah 

perahu kayu. Perahu meluncur pesat 

tanpa didayung. Di atas perahu, 

tegak berdiri agak membungkuk 

sang penumpang yang ternyata 

adalah seorang nenek berwajah keriput angker, 

berpakaian selempang kain merah. Pakaian yang 

dikenakan begitu seronok hingga menyingkapkan 

bagian dada, perut bahkan aurat terlarang di bawah 

pusar. Rambutnya yang Juga berwarna marah 

melambai riap-riapan ditiup angin laut

 Sepasang mata merah menatap tajam ke depan.

Mulut perot menyeringai memperlihatkan barisan gigi

serta lidah yang Juga berwarna marah. Sesekali dia

keluarkan suara bersiul seolah menyenangi alunan

ombak yang menghantam, membuat perahu melesat

ke udara sampai setinggi satu tombak.

 "Hik ... hikt Tujuh bulan aku menunggu! Malam ini 

maksudku akan kesampaian! Dia dapatkan ilmu. Aku 

dapatkan tubuhnya yang kekar hangatl Hlk... hik.. aku 

tahu. Aku tahu. Itunya pasti... hik... hik! Ki Batang

Kerso kau tidak ada apa-apanya dibanding dengan

orang itu! Hik... hik! Ah.... Aku akan mendapatkan

sejuta nikmat malam ini. Juga malam-malam lain

setiap aku membutuhkan dia atau dia menghendaki

diriku!"

 Dalam asyiknya bicara sendiri sambil sesekali

bersiul si nenek seperti tidak menyadari kalau perahu


di atas mana dia berada hanya tinggal satu tombak lagi 

dari lamping batu hitam yang membentuk dinding batu 

setinggi belasan tombak. Si nenek masih saja tertawa-

tawa sambil membayangkan kenikmatan yang akan 

dirasakannya malam itu.

 "Braaakkk!"

 Perahu kayu menghantam dinding batu. Hancur

berantakan. Sosok si nenek tidak kelihatan. Tetapi

astaga! Nenek berpakaian selempang kain merah itu

sekejap kemudian kelihatan melesat ke udara, lalu

melayang laksana seekor burung besar untuk

kemudian menukik turun dan jejakkan kaki tepat di

depan sebuah goa. Bau kemenyan menghampar keluar 

dari dalam goa. Manusia biasa pasti akan bergidik 

berada di tempat itu.

 Orang yang memiliki kesaktian dan ilmu meringan-

kan tubuh bagaimanapun tingginya tidak akan

mungkin melompati dinding batu setinggi belasan

tombak. Namun si nenek dengan mempergunakan

kecerdikan berhasil membuat lompatan yang

melesatkan tubuhnya ke atas melewati dinding batu

dengan cara meredam lalu mengandalkan daya

kekuatan benturan antara perahu dengan dinding batu

sewaktu terjadi tabrakan.

 Masuk ke dalam goa yang konon bernama Goa Giri 

jati, si nenek dapatkan seorang lelaki bertubuh tegap 

hanya mengenakan sehelai celana pendek hitam, 

duduk bersila di lantai goa. Rambut tebal hitam 

menjulai sebahu. Kumis dan janggut panjang 

meranggas. Ketenangan tampak di wajahnya yang 

gagah dalam usia belum mencapai setengah abad. 

Dadanya yang bidang menonjolkan otot-otot yang 

masih kekar. Di sudut goa sebelah kanan ada sebuah 

obor kecil. Sementara di sudut goa sebelah kiri ada 

pendupaan menyala menebar harum bau kemenyan.

 "Anak manusia bernama Wira Bumi, pejabat

Tumenggung Kerajaan. Hentikan tapa samadimu.

Waktu perjanjian tujuh bulan sudah kau selesaikan.

Apa kau tidak mencium keharuman diriku berdiri di

depanmu?"

 Si nenek keluarkan ucapan. Lalu dua tangannya 

dikibaskan ke depan. Saat itu juga bau harum aneh 

memenuhi seluruh goa bahkan menghampar keluar dan 

ditebar oleh tiupan angin kemana-mana. Cuping hidung


lelaki yang duduk bersamadi kelihatan bergerak-gerak 

pertanda dia sudah mencium bau harum yang ditebar 

si nenek. Perlahan-lahan dia turunkan dua tangan 

yang sejak tadi didekapkan di dada lalu diletakkan di

atas lutut kiri kanan. Perlahan-lahan pula orang ini 

membuka sepasang matanya. Begitu pandangannya 

membentur sosok si nenek seria merta sepasang mata 

itu membuka lebih besar dan mulut berucap.

 "Nyai..."

 "Nyai! Nyai siapa?! Ada ratusan Nyai di kawasan ini!" 

Si nenek menyentak.

 "Nyai Tumbal Jiwo!"

 "Nah itu memang namaku! Hik... hik... hik."

 "Nyai, kau datang....apakah..."

 "Wira Bumi, hari ini tapa samadimu yang kau

lakukan selama tujuh bulan telah selesai. Sesuai

permintaanmu, kau akan mendapatkan rejeki besar

dalam hidupmu, kau akan dianugerahi jabatan lebih

tinggi dari yang kau miliki sekarang. Dan yang paling 

penting kau sudah mendapatkan dan menguasai semua 

ilmu kesaktian yang kau inginkan..."

 "Nyai Tumbal Jiwo!" Lelaki bernama Wira Bumi yang 

menjabat sebagai Tumenggung Kerajaan itu buru-buru 

jatuhkan diri. berlutut di hadapan si nenek sambil 

berulang kali mengucapkan terima kasih.

 "Dengar dulu, bicaraku belum selesai Wira Bumi!"

 "Maafkan saya Nyai..."

 "Kau mengakhiri tapa samadi dan mendapatkan apa 

yang kau minta dengan cara dan jalan yang tidak

mulus. Ingat peristiwa lahirnya seorang bayi

perempuan dari istri mudamu bernama Retno Mantili?"

 "Saya Ingat Nyai. Saya mengaku lalai dan salah.

Saya sudah mohon pengampunan dan Nyai telah

memberikan kebijaksanaan."

 Si nenek berambut merah menyeringai. "Apa yang 

kau katakan betul. Namun aku tidak bisa menguasai 

seluruh alam roh dan alam gaib. Aku sudah memberi 

jalan yaitu kau harus membunuh bayi yang lahir itu. 

Namun orang suruhanmu, pembantu bemama Djaka

Tua justru melarikannya. Sampai saat ini walau tidak 

tahu berada dimana tapi bayi itu masih hidup..."

 "Kalau begitu saya akan turun tangan sendiri Nyai. 

Saya akan cari bayi itu dan membunuhnya."

 "Kau juga harus membunuh Nyi Retno Mantili."


"Perintah Nyai akan saya laksanakan," jawab Wira

Bumi.

 Sepasang mata merah Nyai Tumbal Jiwo berkilat-kilat 

memperhatikan sosok Wira Bumi.

 Wira Bumi, setelah nanti kau kembali ke Kotaraja,

kau harus melaksanakan satu kaulan. Yaitu

mengadakan pesta hiburan untuk rakyat banyak yang 

pasti juga akan dihadiri oleh mahluk-mahluk dari alam 

roh secara tidak kelihatan. Kau harus menyediakan 

satu meja khusus dilengkapi sesajen, dihias kembang 

tujuh rupa. Kau juga harus menyalakan pendupaan 

ditaburi setanggi di empat sudut rumah kediamanmu. 

Kau mendengar dan mengerti?"

 "Jelas dan mengerti Nyai," jawab Tumenggung Wira 

Bumi pula.

 "Bagus," si nenek tersenyum. Sepasang matanya 

kembali berkilat. "Ada satu hal lagi. Sebelum kau 

meninggalkan Goa Girijati ini, ada satu hal yang harus 

kau lakukan. Maksudku kita! Ini termasuk cara 

penangkal atas semua kelalaian yang kau lakukan."

 "Apa yang Nyai akan katakan akan saya lakukan."

 Nyai Tumbal Jiwo angkat dua tangan ke atas

merapikan rambut merah riap-riapan. Sekali dia

menggerakkan bahu dan pinggul maka selempang kain 

merah yang jadi pakaiannya tanggal jatuh ke lantai 

goa.

 "Nyai...."

 Wira Bumi melihat sosok telanjang Nyai Tumbal Jiwo. 

tubuh kurus dibalut kulit hitam keriput. Lelaki ini cepat 

tundukkan kepala tak berani memperhatikan lebih 

lama.

 'Tubuhku jelek, wajahku buruk. Apakah kau jijik

melihat diriku?" Nyai Tumbal Jiwo bertanya.

 "Tidak Nyai, saya tidak jijik...."

 "Lalu mengapa kau tundukkan kepala tak berani

memandang diriku."

 "Maafkan Nyai. Saya menaruh hormat dan tidak mau 

berbuat kurang ajar," jawab Tumenggung Wira Bumi.

 Si nenek tertawa panjang.

 "Angkat kepalamu! Lihat diriku!"

 "Maaf Nyai, saya tidak berani..."

 "Wira Bumi! Ini perintah. Kalau kau tidak

melaksanakan maka semua ilmu kesaktian yang kau

miliki akan tidak ada gunanya."


Mau tak mau Wira Bumi angkat kepala, memandang 

ke arah sang guru. Sepasang mata lelaki ini serta

merta mendelik besar. Tak percaya akan apa yang

dilihatnya. Di hadapannya kini berdiri bukan lagi

seorang nenek hitam keriput berwajah setan.

Melainkan seorang gadis. Wajah yang tadi buruk kini

berubah wajah cantik jelita. Kulit yang hitam keriput

kini tampak kuning langsat dan mulus. Dada yang

sebelumnya rata ceper kini berubah padat besar

membusung.

 "Bagaimana, apakah kini kau suka melihat diriku

seperti ini?" Bertanya si gadis yang merupakan

jejadlan Nyai Tumbal Jiwo.

 "Nyai, saya..."

 Gadis cantik jelita yang tidak terlindung auratnya

oleh selembar benang itu melangkah ke arah Wira

Bumi.

 "Wira Bumi, kau harus menghiburku. Puluhan

tahun hidup di alam roh, terpendam dalam tanah

rasanya seperti di neraka..." Lalu si gadis cantik

dudukkan diri di pangkuan Wira Bumi. Rangkulkan

dua tangan ke punggung lelaki itu dan mendekapnya

erat-erat.

 Tujuh bulan tak pernah menyentuh perempuan,

membuat Wira Bumi laksana terpanggang oleh nafsu. 

Wajahnya dibenamkan ke dada putih padat sehingga si 

gadis menggeliat dan mendesah panjang talu melumat 

leher lelaki itu dengan gigitan penuh gairah.


DUA


DALAM episode berjudul "Lentera Iblis" diceritakan

Pendekar 212 Wiro Sableng pergi ke puncak Gunung 

Gede guna menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Di 

sana telah berada Nyi Retno Mantili. Wiro hampir

pangling karena Nyi Retno kini berada dalam keadaan 

bersih, mengenakan pakaian baru kembang-kembang 

biru dan kuning. Selain itu dia juga

berdandan apik hingga untuk pertama kalinya Pendekar 

212 menyadari betapa cantik dan, anggunnya 

perempuan malang ini. Dia juga kaget ketika kemudian 

mengetahui kalau Nyi Retno Mantili pernah tinggal di 

tempat itu bahkan sudah merupakan murid sang Kiai 

karena kepadanya diajarkan beberapa ilmu kesaktian 

agar dapat melindungi diri.

 Dalam pertemuan dengan sang Kiai, demi untuk

menjaga keselamatan Wiro, Kiat Gede Tapa Pamungkas 

melenyapkan jarahan tiga angka 212 di dada sang 

pendekar. Lalu Kapak Naga Geni 212 berikut batu sakti 

secara gaib dimasukkan ke dalam tubuh Wiro.

 Sebelum meninggalkan telaga tiga warna tempat 

kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas, orang tua itu

berpesan agar Wiro menjaga baik-baik Nyi Retno 

Mantili. Dalam perjalanan, sambil beristirahat dibawah 

sebatang pohon, Wiro berkata.

 “Nyi Retno. ada satu hal yang hendak aku

sampaikan padamu”.

 "Ah, senangnya aku mendengar kata-katamu. 

Katakanlah apa yang hendak kau ceritakan. Bicara 

yang keras agar Kemuning bisa mendengar, kata Nyi 

Retno Mantili. Kemuning adalah boneka kayu yang

selalu dibawa kemana-mana oleh Nyi Retno dan 

dianggap sebagai anak oleh perempuan yang berubah 

ingatan ini akibat lenyapnya bayi yang dilahirkannya.

 "Nyi Retno, beberapa hari lalu, dan keterangan

Djaka Tua aku berhasil mencari tahu siapa adanya

 orang tua yang mengambil bayimu dari pembantu itu."

 Kening Nyi Retno mengerenyit. Alis yang lengkung 

bagus naik ke atas


"Tunggu dulu, ceritamu tidak lucu Wiro. Hik... hik!

Bayiku ada di sini. Lihat Ini. Kemuning! Ini bayiku!

Ini anakku!" Nyi Retno angkat boneka kayu yang

dipegangnya lalu didekatkan ke wajah Wiro sambil

tertawa panjang.

 "Lucu atau tidak lucu seharusnya kau bertanya

siapa adanya orang tua itu." Wiro jadi mengkal.

 Habis tertawa Nyi Retno berkata, "Kau tahu Wiro,

justru ada hal lain yang ingin aku bicarakan. Tadi

malam aku bermimpi. Mimpi buruk. Dalam mimpi aku

melihat Djaka Tua digantung kaki ke atas kepala ke

bawah. Aku kawatir..."

 "Tak ada yang perlu dikawatirkan Nyi Retno. Djaka

Tua berada di kediaman Ki Tambakpati yang baru.

Tidak ada orang yang tahu. Tempatnya aman.." Dalam

hati Wiro mengomel. "Aku bicara soal anaknya dia

bicara soal mimpi! Geblek. Nggak nyambung!"

 MIMPI Nyi Retno Mantili ternyata menjadi

kenyataan. Ketika sampai di pondok tempat kediaman

Ki Tambakpati yang tersembunyi di satu hutan jati,

bangunan itu ditemukan dalam keadaan porak

poranda, nyaris sama rata dengan tanah. Yang paling

mengejutkan Wiro dan Nyi Retno mendapatkan

pembantu malang itu telah menemui ajal secara

mengenaskan. Djaka Tua digantung di dahan satu

pohon besar, kaki ke atas kepala kebawah. Keadaan

mayat yang mulai membusuk pertanda pembantu

malang itu telah menemui ajal paling tidak sekitar

dua hari lalu.

 Nyi Retno Mantili menjerit keras. Seperti ke-

masukan setan dia hendak menghancurkan pohon

besar. Wiro cepat merangkul perempuan itu.

 "Nyi Retno, tenang. Biarkan aku mengurus jenazah

Djaka Tua dulu..."

 "Aku akan mencari siapa pembunuhnya!" teriak

Nyi Retno.

 "Kita akan menemukan pembunuh terkutuk Itu.

Sekarang harap Nyi Retno menjauh dulu. Aku akan

menurunkan mayat Djaka Tua lalu membuat lobang

untuk mengubur.'"

 "Orang sebaik dia dibunuh! Sungguh keterlaluan!"

Nyi Retno menjerit lalu menangis keras sambil

mendekap boneka kayu ke dadanya. "Apa memang

selalu seperti ini nasib seorang pembantu? Dihina


dinista, diperlakukan semena-mena bahkan dibunuh!"

Di hadapan makam Djaka Tua Nyi Retno Mantili

bersimpuh di tanah. Lalu dengan suara masih terisak

dia bertanya.

 "Wiro, kau tahu, paling tidak bisa menduga. Siapa

manusia terkutuk yang membunuh pengasuh

Kemuning itu?"

 Wiro menggaruk kepala. "Aku menaruh curiga pada 

Cagak Lenting. Orang yang mengaku dapat tugas dari 

Patih Kerajaan. Setelah bentrok dengan Nyi Retno dia 

pasti melapor pada Patih di Kotaraja. Lalu Patih

Kerajaan mengirim orang ke sini. Mungkin Cagak

Lenting atau bisa juga Patih Kerajaan turun tangan

sendiri."

 "Hanya untuk membunuh seorang pembantu Patih

Kerajaan turun tangan sendiri? Sulit dipercaya! Pasti

ada sesuatu dibalik perbuatannya itu."

 Wiro menatap wajah Nyi Retno cukup lama sambil

berucap dalam hati. "Kata-kata dan jalan pikirannya

bukan seperti orang tidak waras..."

 "Seharusnya kubunuh manusia satu itu tempo hari! 

Aku akan menyelidik ke Kotaraja! Siapapun yang

terlibat kematian pengasuh Kemuning akan kubunuh

habis!" Nyi Retno hendak memutar tubuh.

 Wiro cepat pegang tangan perempuan ini.

 "Nyi... Retno tunggu dulu. Jangan bertindak

tergesa-gesa. Yang aku pikirkan saat ini adalah Ki

Tambakpati. Ini tempat kediamannya. Tapi dia tidak

kelihatan. Aku kawatir diapun sudah jadi korban

keganasan..."

 Belum selesai Wiro berucap tiba-tiba dari balik

rerumpunan di arah kanan satu pohon besar kelihatan

seseorang berjalan mengendap-endap. Wiro siapkan

pukulan tangan kosong bertenaga dalam tinggi

sementara Nyi Retno segera angkat boneka kayu lalu

diarahkan pada orang di kegelapan.

 "Nyi Retno, tahan serangan. Aku seperti mengenali," 

ucap Wiro sambil pegang lengan kanan Nyi Retno. 

"Siapa?" Wiro membentak.

 "Aku! Ki Tambakpati! Wiro apa kau tidak mengenali

diriku?!"

 Wiro dan Nyi Retno melepas nafas lega. Wiro cepat

mendatangi.

 "Ki Tambak, apa yang terjadi. Pondokmu dihancurkan


orang!"

 Djaka Tua digantung di pohon sana. Kami baru saja 

menguburkan jenazahnya. Siapa yang melakukan?"

 "DjakaTua datang ke pondokku. Aku mengobati

cidera di wajah dan sekujur tubuhnya. Menjelang pagi

tiba-tiba pintu pondok didobrak dari luar. Dua orang

menerobos masuk. Ternyata mereka adalah Cagak

Lenting dan Patih Kerajaan Wira Bumi! Aneh! Patih

Kerajaan melaksanakan sendiri tugas yang bisa

dilakukan oleh seorang perajurit! Mereka meng-

hancurkan pondokku. Djaka Tua diseret keluar. Dihajar

sampai babak belur. disiksa agar mau memberi tahu

dimana beradanya Nyi Retno Mantili dan bayinya..."

 "Mengapa dua orang itu ingin tahu dimana aku dan 

Kemuning berada?" Nyi Retno memotong dengan

pertanyaan.

 "Orang-orang itu hendak berbuat jahat padamu,"

yang menjawab Wiro. Lalu memberi isyarat pada Ki

Tambakpati untuk meneruskan keterangan.

 "Patih Kerajaan membujuk. DjakaTua akan diberi

uang banyak kalau mau memberi tahu dimana

beradanya Nyi Retno dan bayinya.Tapi pembantu itu

tetap tak mau membuka rahasia. Patih Wira Bumi

marah sekali dan habis sabar. Dia memerintahkan

Cagak Lenting menggantung Djaka Tua di cabang

pohon. Cagak Lenting alias Si Mata Elang benar-benar

menggantung Djaka Tua. Secara luar biasa kejam.

Kaki ke atas kepala ke bawah hingga pembantu itu

tidak segera menemui ajal tapi tersiksa dulu selama

satu hari lebih..."

 Sampai di situ satu jeritan dahsyat menggelegar

dari mulut Nyi Retno.

 "Cagak Lenting! Tunggu pembalasanku! Aku akan

gorok batang lehermu! Juga kau Patih keparat

bernama Wira Bumi! Akan kuhisap darah kalian!"

Selesai berteriak Nyi Retno segera berkelebat hendak

tinggalkan tempat itu.

 Wiro cepat mencegah.

 "Nyi Retno. Kau mau kemana?!"

 "Wiro! Sekali ini jangan berani menghalangi diriku! 

Aku akan ke Kotaraja! Mencari Cagak Lenting dan Patih 

Wira Bumi! Aku tidak main-main! Aku bersumpah akan 

menggorok putus batang leher mereka!"

 "Nyi Retno, tenang. Jangan bertindak mengikuti


hati yang sedang panas. Jika Nyi Retno memang mau

ke Kotaraja sebaiknya bersama Wiro..." Berkata Ki

Tambakpati.

 "Wiro! Mlnggir!" teriak Nyi Retno.

 Wiro masih berusaha membujuk.

 Nyi Retno habis sabar. Berteriak marah. Tangan

kanan bergerak.

 "Bukk"

 Wiro terjungkal jatuh duduk di tanah begitu jotosan 

tangan kanan Nyi Retno Mantili mendarat di dadanya. 

Mukanya tampak pucat dan dada berdenyut sakit. 

Sesaat segala sesuatu di sekitarnya tampak kelam.

 "Gila! Kalau saja dia memiliki tenaga dalam tinggi

pasti sudah jebol dadaku! Ilmu apa yang diberikan

Kiai Gede Tapa Pamungkas pada ibu si Kemuning ini!" 

Membatin Wiro.

 Melihat Wiro terjatuh, Nyi Retno terpekik! Kaget

sendiri dan menyesal! Langsung perempuan muda ini 

jatuhkan diri, memeluk sang pendekar dan menangis.

 "Wiro, aku..." Suara Nyi Retno tenggelam dalam

isakan tangis.

 "Nyi Retno. kau memaksa pergi sendirian? Kau mau 

meninggalkan aku begitu saja?"

 Mendengar kata-kata Wiro Nyi Retno langsung

menggerung. Kepala digelengkan berulang kali.

 "Wiro, kau ... kau tak apa-apa?" Nyi Retno usap-usap 

dada yang tadi dipukulnya. Malah menciuminya 

berulang kali. "Aku menyesal sekali. Mengapa kau tidak 

menangkis. Mengapa kau tidak mengelak! Kau sengaja 

membiarkan dirimu menerima pukulanku! Wiro! Pukul 

aku! Pukul!"

 "Nyi Retno, aku tahu perasaanmu. Sudahlah." Wiro

peluk tubuh mungil perempuan muda itu.

 Walau sikap dan kemarahan Nyi Retno Mantili agak

mengendur namun niatnya untuk pergi ke Kotaraja

mencari Cagak Lenting dan Patih Kerajaan tidak dapat

ditahan. Malah kini dia yang membujuk Wiro agar

meluluskan permintaannya itu.

 "Kemuning akan marah dan benci padamu, jika kau 

tidak mau mendengar permintaan ibunya..."

 Wiro garuk kepala lalu tertawa.

 "Baik. kita sama-sama ke Kotaraja. Tapi dengan satu 

syarat."

 "Mengapa pakai syarat segala?" tanya Nyi Retno.


"Syarat apa?"

 Terus terang saja aku juga punya banyak tugas yang 

belum aku lakukan. Mencari sebuah kitab pengobatan. 

Mencari tusuk konde guruku yang dicuri orang..."

 "Segala tusuk konde saja jadi masalah. Pergi saja ke 

pasar kau bisa beli. Berapa banyak yang diperlukan

gurumu?! Satu bakul atau satu karung?!"

 Wiro tertawa dan tepuk-tepuk pipi Nyi Retno

Mantili. "Tugasku paling penting adalah mencari

manusia terkutuk berjuluk Hantu Pemerkosa. Dia juga

dikenal dengan nama Pangeran Matahari. Manusia

paling jahat dalam rimba persilatan..."

 "Oooo begitu?" Nyi Retno runcingkan bibir."Wiro

kalau kau memang punya banyak tugas, sudah aku

pergi sendiri saja! Aku tidak mau merepotkan orang!"

 Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili memutar

tubuh lalu sekali melompat dia sudah berada belasan

langkah di depan sana.

 "Nyi Retno!Tunggu !Teriak Wiro lalu mengejar.Tapi

sampai beberapa lama berlari dia tidak mampu

mengejar perempuan muda itu.

 Malah dari depan yang tidak disadari sang pendekar 

ada angin mengandung hawa aneh yang membuat dia 

tidak bisa berlari lebih cepat. Ini adalah ilmu kesaktian 

yang diberikan Kiai Gede Tapa Pamungkas pada Nyi 

Retno, bernama Menahan Kaki Menolak Raga, Siapa 

saja orang yang melakukan pengejaran tak akan 

sanggup menyusul sekalipun memiliki ilmu lari yang 

hebat karena dua kaki akan terasa berat sementara 

dada seperti ditahan.

 "Aneh, ilmu lari apa yang dimilikinya?" pikir Wiro.

Dia kembali berteriak tapi Nyi Retno lari terus. Wiro

garuk kepala mencari akal.

 "Nyi Retno, apa tidak kau dengar Kemuning

menangis? Biar aku yang menggendong nyai"

 Mendengar kata-kata Wiro itu kali ini Nyi Retno

Mantili hentikan lari. Begitu Wiro sampai di depannya

Nyi Retno serahkan boneka kayu lalu kembali berlari.

Namun kali ini dia tidak menerapkan lagi ilmu Menahan 

Kaki Menolak Raga.

 Sambil lari di samping perempuan itu Wiro berkata.

 "Nyi Retno. aku akan mengantarkanmu ke Kotaraja

Tapi ingat. Kita hanya mencari Cagak Lenting..."

 "Mencari dan membunuhnya!" Ucap Nyi Retno


sambil terus lari dan tanpa berpaling pada Wiro. "Aku

juga akan mencari Patih Kerajaan dan membunuhnya!"

 "Kau tidak boleh melakukan yang satu itu!"

 Nyi Retno tertawa panjang.

 "Manusia satu itu sama jahatnya dengan Cagak

Lenting. Malah lebih Jahat. Karena dia biang racun

yang memerintahkan Cagak Lenting untuk membunuh

Djaka Tual"

 "Nyi Retno, aku katakan padamu. Kau tidak boleh

membunuh Patih Wira Bumi."

 "Kau membelanya. Apa dia sahabatmu?!"

 "Tidak."

 "Lalu mengapa aku tidak boleh membunuh

manusia jahat itu?!"

 "Karena dia adalah suamimu," jawab Wiro. "Dia

adalah ayah dari puterimu yang bernama Ken Permata.

Yang saat ini sudah berusia satu tahun dan berada di

satu tempat aman bersama seorang guruku."

 Nyi Retno hentikan lari.

 "Aku tidak pemah punya suami yang namanya Wira 

Bumi. Aku tidak pernah punya anak bernama Ken 

Permata!"

 Wiro juga hentikan lari, menggaruk kepala." Kumat

lagi... kumat lagi penyakitnya."

 "Wiro, kalau aku punya anak aku Ingin ayahnya

adalah kau! Aku suka padamu. Kemuning suka

padamu."

 Wiro tatap wajah Nyi Retno. Sepasang mata

mereka saling beradu pandang. Wiro melihat dan

seolah baru menyadari betapa bening dan bagusnya

dua mata perempuan itu. Lalu wajah mungil yang

begitu jelita. Ada perasaan kasihan dalam hati sang

pendekar.

 Tapi juga ada rasa sayang.

 "Ah, hati dan perasaanku tidak boleh mempengaruhi 

jalan pikiran!" Ucap Wiro dalam hati. Wiro lalu pura-

pura menciumi boneka kayu.

 "Wiro, aku sedih sekali...."

 "Mengapa kau sedih Nyi Retno?"

 "Kau mencium Kemuning.Tapi tidak menciumku."

 Murid Sinto Gendeng tertawa bergelak. Dia

bungkukkan kepala mencium kening Nyi Retno.

Perempuan itu berjingkat, menggayutkan kedua

tangannya di leher Wiro lalu membalas ciuman sang

pendekar dengan kecupan hangat di bibir.



TIGA


HASIL tapa samadi yang dilakukan Wira Bumi 

selama tujuh bulan memang luar biasa. Tak lama 

setelah dia kembali ke Kotaraja, jabatannya naik dari 

Tumenggung menjadi Bendahara Kerajaan. Bersamaan 

dengan kenaikan jabatan itu maka uang

serta hartanya jadi berlimpah. Sekali seminggu yaitu 

pada setiap malam Jumat Nyi Tumbal Jiwo selalu 

mengunjunginya untuk minta dilayani. Terkadang Wira 

Bumi yang sudah ikut kerasukan nafsu setan si nenek 

datang sendiri ke makam Nyai Tumbal Jiwo di 

pekuburan Kebonagung. Padahal dia masih punya dua 

orang istri yang masih muda-muda dan cantik yang 

sejak kembali dari Goa Girijati tak pernah disentuhnya. 

Di pekuburan si nenek telah menunggu dengan ujud 

berupa gadis cantik. Di tempat terbuka ini, disaksikan 

oleh makam-makam hitam membisu keduanya 

bermesraan sampai sebelum fajar menyingsing.

Sebelumnya perbuatan semacam ini sering dilakukan 

Nyai Tumbal Jiwo dengan Ki Batang Kerso, orang tua 

kuncen penjaga makamnya sekaligus menjadi tempat 

pelampiasan nafsunya. Namun sejak kuncen itu 

dipecundangi oleh Wira Bumi dalam satu pertarungan 

dan disuruh pergi maka kini Wira Bumilah yang jadi 

pengganti pemuas nafsu badaniahnya.

 Ternyata Nyai Tumbal Jiwo tidak hanya menginginkan 

dan menuntut kesenangan dari Wira Bumi, nenek sakti 

dari alam roh ini juga selalu berusaha agar Wira Bumi 

dapat mencapai tingkat jabatan yang lebih tinggi. Maka 

diam-diam dia menyusun rencana keji. Patih Kerajaan 

Sawung Giring Brajanata dibunuhnya. Pembunuhan

diatur sedemikian rupa ketika seorang Kepala Pengawal 

bernama Danang Kaliwarda datang menghadap sang 

Patih. Ditemukannya mayat kedua orang itu di 

pendopo Kepatihan mendatangkan sangka dan duga 

bahwa mereka saling bunuh karena masalah dendam 

kesumat dimasa lampau yaitu Danang Kaliwarda 

dituduh berselingkuh dengan istri tua sang Patih. Tidak

sampai tiga puluh hari setelah kematian Sawung


Giring Brajanata, Wira Bumi diangkat menjadi Patih 

Kerajaan yang baru.

 SESUAI dengan perintah Nyai Tumbal Jiwo.

sekaligus sebagai syukuran atas pengangkatannya

menjadi Patih Kerajaan, Raden Mas Wira Bumi

mengadakan pesta besar di alun-alun di depan

Gedung Kepatihan. Disamping itu dia mengharap

pada pesta keramaian itu dia dapat menyirap kabar

dimana beradanya Nyi Retno Mantili dan bayi

perempuannya.

 Yang paling banyak datang selain penduduk

Kotaraja adalah penduduk di desa-desa. Para tamu 

disuguhi makanan serta minuman melimpah ruah, juga 

ada hiburan berupa tari-tarian. ketoprak serta akrobat. 

Setelah para tamu dikocok perutnya dengan lawakan 

ketoprak maka kini giliran pertunjukan akrobat yang 

sudah ditunggu-tunggu orang banyak karena 

memang jarang-jarang ada.

 Acara pertama pertunjukan akrobat dilakukan oleh

enam pemuda gagah berseragam pakaian ringkas

warna merah dan dua gadis cantik berseragam

pakaian biru. Didahului suara tiupan terompet seorang

pemuda bertubuh paling besar dan kekar naik dan

berdiri kokoh di tengah panggung, memanggul sebuah

balok melintang di bahu kiri kanan. Gong berbunyi.

Dua gadis melompat ke atas panggung, menari

memutari pemuda yang memanggul balok.Tak berapa

lama kemudian gong berbunyi lagi. Kali ini dua kali

berturut-turut. Maka dua pemuda dengan gagah dan

gerakan ringan melompat ke atas potongan balok.

Satu di sebelah kiri, satu mengimbangi di sebelah

kanan. Gerakan mereka menjejakkan kaki di atas balok

harus pada saat bersamaan. Kalau tidak maka balok

akan jomplang dan salah seorang dari dua pemuda

akan tejerumus jatuh.

 Kembali gong ditalu dua kali. Dua pemuda lagi

melesat ke udara, jungkir balik satu kali lalu

melayang turun dan dalam saat bersamaan jatuhkan

diri duduk di atas bahu dua kawannya yang berdiri

di atas balok.

 Orang banyak bertepuk tangan, sorak riuh

memenuhi seantero tempat. Ada pula yang bersuit-suit 

tiada henti. Ketika gong kembali berbunyi. orang


banyak menahan nafas. Pemuda terakhir bertubuh 

tinggi lentur melompat ke sebuah bantalan karet.

Tubuhnya dengan membal melesat ke udara

Sesaat kemudian pemuda ini telah berdiri dengan

kaki kiri kanan menginjak bahu dua pemuda yang

duduk di atas bahu dua teman lainnya. Kembali

tempat itu dipenuhi tepuk tangan serta sorakan

kagum.

 Puncak pertunjukan akrobat yang menegangkan

ini segera datang. Dua gadis yang sejak tadi menari

berputar-putar, sambil bergandengan tangan berlari

ke arah bantalan karet Di tangan masing-masing ada

sebuah payung kertas warna kuning. Gong berbunyi

lagi. Kali ini disertai tabuhan tambur dan tiupan

seruling.

 Dua gadis berteriak nyaring lalu melompat ke atas 

bantalan karet. Saat itu juga tubuh mereka yang masih 

saling berpegangan satu sama lain melesat ke udara. 

Begitu mulai bergerak turun keduanya sama 

kembangkan payung kuning. Gerakan mereka waktu 

melayang turun indah sekali. Perlahan-lahan dua

gadis ini letakkan salah satu kaki di bahu kiri kanan 

pemuda yang tegak berdiri di atas bahu dua temannya.

 Suara gong dan tambur bertalu-talu. Tiupan seruling 

mencuat nyaring. Pemuda yang berdiri diatas panggung 

yakni yang memanggul balok besar perlahan-lahan 

mulai memutar tubuhnya. Balok diatas bahu ikut 

berputar. Selanjutnya para pemuda berpakaian merah 

yang ada di atas turut pula berputar. Di tingkat paling 

atas dua gadis berpakaian biru menari lemah gemulai 

sambil tersenyum-senyum. Sungguh tontonan luar 

biasa! Semua orang menyaksikan dengan menahan 

nafas, mata tak berkedip. Namun sesaat kemudian 

pekik sorak serta tepuk tangan dan suitan kembali 

menggema di tempat itu.

 Suara gong dan tambur terus bertalu-talu tiada henti. 

Tiupan seruling melengking-lengking. Lalu terdengar 

suara tiupan terompet. Itulah pertanda bahwa 

pertunjukan pertama dari rombongan akrobat ini 

berakhir sudah. Dua gadis cantik berpakaian biru 

berseru nyaring. Tubuh mereka yang sejak tadi 

berpegangan melesat berpisah. Satu ke kiri satu ke 

kanan. Dengan mengandalkan daya tahan payung

kuning yang terkembang keduanya melayang turun


sambil meliuk-liukkan tubuh. Pemuda paling atas 

menyusul melompat turun setelah lebih dulu berjungkir 

balik di udara. Dua pemuda lainnya mengikuti 

melompat turun, tak lupa berjungkir balik satu kali 

sebelum menjejakkan kaki di panggung.

 Pada saat itulah satu sosok berpakaian hijau entah 

dari mana munculnya ikut melesat jatuh ke bawah. 

Semua orang jadi heran. Mengapa orang yang turun 

jadi tiga dan satu berpakaian hijau. Geger besar 

melanda semua orang yang ada di tempat pertunjukan 

sesaat kemudian. Kalau dua orang pemuda berpakaian 

merah jejakkan kaki di lantai panggung dengan 

gerakan enteng hampir tanpa suara maka sebaliknya 

sosok ketiga yang berpakaian hijau jatuh terbanting 

dengan suara keras.

 "Braakkk!"

 SEBELUM melanjutkan apa yang terjadi dalam pesta 

di Gedung Kepatihan kita ikuti dulu perjalanan

Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Nyi Retno Mantili.

Keduanya sampai di Kotaraja pada malam yang sama

di mana tengah berlangsung pesta di tempat

kediaman Patih Kerajaan. Dari tempat tersembunyi

mereka memperlihatkan gerak-gerik orang ini.

 Cagak Lenting langsung mencari tempat duduk di 

antara para tamu terkemuka melainkan berjalan

memutari panggung lalu melangkah ke arah timur

lapangan yang dipenuhi banyak orang. Sekaligus

menyirap kabar keberadaan orang-orang tertentu.

 "Wiro!" Suara Nyi Retno Mantili bergetar. Dia

menunjuk ke arah Cagak Lenting. "Itu jahanamnya!"

Darah langsung naik ke ubun-ubun. sepasang mata

berkilat penuh amarah."Aku akan membunuhnya saat

ini juga.

 "Jangan lakukan di sini, Nyi Retno," Wiro cepat

mencegah. "Kita harus mengerjakannya di tempat

sepi."

 "Mana ada tempat sepi di sini. Lihat saja, orang

begini banyak, berjubalan!"

 Wiro menunjuk ke atap Gedung Kepatihan yang luas. 

"Kau naik ke atas atap itu. Aku akan memancing cagak 

Lenting..."

 Nyi Retno tampak seperti berpikir lalu tersenyum

dan anggukan kepala. Dia. meenyelinap di antara


orang banyak. Di ujung lapangan sebelah timur 

perempuan ini naik ke atas tembok halaman belakang 

lalu melesat ke atas atap Gedung Kepatihan.




EMPAT


NYl RETNO tidak menunggu lama. Dalam 

kegelapan malam dia melihat dua orang melesat ke 

atas wuwungan. Di sebelah depan Wiro sedang di

belakang menyusul lelaki berpakaian hijau.

 "Pendekar Dua Satu Dua! Kalau kau memang benar 

mau menunjukkan dimana beradanya Nyi Retno, aku 

tidak akan mencari perkara denganmu. Setelah aku 

melihat perempuan itu kau bebas pergi. Tapi ingat, jika 

kau memperdayai diriku di sini ada lebih dari selusin 

tokoh silat Istana. Kau bisa mati konyol!"

 "Jahanam pembunuh Djaka Tua! Kau yang akan

mampus duluan! Aku Nyi Retno Mantili yang kau cari

ada di sini!"

 Tiba-tiba dari atas atap Gedung Kepatihan terdengar 

bentakan perempuan. Berpaling ke kiri Cagak Lenting 

melihat Nyi Retno Mantili berdiri di atas atap sambil 

memegang boneka kayu.

 Walau agak kaget namun Cagak Lenting umbar

senyum dan berkata. "Nyi Retno. Aku membekal pesan

dari Patih Wira Bumi. Apapun kesalahanmu dia telah

memaafkan. Sekarang mari turun. Ikuti aku menemui-

nya."

 Nyi Retno menatap mendelik lalu tertawa panjang.

Sementara di bagian atap yang lain Pendekar 212

berjaga-jaga kawatir Cagak Lenting akan mengirimkan

serangan membokong. Baik Nyi Retno maupun Wiro

tidak percaya pada ucapan Si Mata Elang ini.

 "Cagak Lenting, undangan Patihmu aku terima. Tapi 

apakah aku boleh membawa serta anakku Kemuning?" 

Nyi Retno bertanya.

 "Tentu saja Nyi Retno.Tentu saja...." jawab Cagak

Lenting.

 "Nyi Retno, awas orang mau menipu!" bisik Wiro.

 "Ssttt.'Nyi Retno letakkan telunjuk tangan kanan

melintang di atas bibir. Mata dikedipkan lalu berpaling

pada Cagak Lenting. Sambil tersenyum dia berkata.

 "Kalau begitu katamu jalanlah duluan! Maksudku


jalan duluan ke neraka! Hik...hik... hik!"

 Nyi Retno tertawa melengking. Bersamaan dengan

itu tangan kanannya yang memegang boneka kayu

bergerak meremas pinggang. Dua larik sinar putih

melesat keluar dari sepasang mata boneka, 

menyambar ke arah Cagak Lenting. Lelaki ini tidak 

sempat keluarkan teriakan apalagi menyingkir 

selamatkan diri. Dua sinar putih mendarat tepat 

membelah di pertengahan kepala. Tubuh roboh 

tergeletak di atas atap. Darah bergelimang sampai ke 

dada. Seperti orang kemasukan setan Nyi Retno 

Mantili angkat tubuh Cagak Lenting. Mulutnya siap 

hendak menggeragot leher dan menghisap darah 

orang yang telah membunuh Djaka Tua Ini.

 "Nyi Retno! Jangan!" teriak Wiro mencegah. Dia

cepat tarik mayat Cagak Lenting lalu dilempar ke

bawah gedung. Tepat jatuh di atas panggung hiburan

yang saat itu ada pertunjukan akrobat.

 "Braakk!"

 Tubuh bagian pinggang ke bawah Cagak Lenting

amblas masuk ke bawah panggung yang jebol.

Sementara bagian pinggang ke atas terhenyak di atas

lantai. Darah mengucur dari batok kepalanya yang

rengkah. Orang banyak merasa aneh. Sewaktu jatuh

kepala itu tidak menabrak lantai panggung. Berarti

kepala itu memang sudah belah dan wajahnya sudah

hancur sebelum orang ini menghantam panggung!

Darah mengucur menggidikkan. Orang banyak mulai

ada yang berteriak-teriak. Suasana serta merta jadi

kacau balau!

 Dua gadis pemain akrobat menjerit ketakutan

setengah mati, lari ke bawah panggung ditolong oleh

beberapa temannya. Patih Wira Bumi, seorang Perwira

Tinggi Kerajaan dan dua orang tokoh silat Istana serta

merta melompat ke atas panggung.

 "Cagak Lenting!"

 Beberapa orang termasuk Patih Wira Bumi sama-

sama berseru kaget ketika mengenali siapa adanya 

orang berpakaian hijau yang menemui ajal secara 

mengerikan di atas panggung pertunjukan itu walau 

kepala dan wajahnya nyaris hancur. Perwira Tinggi dan 

seorang tokoh silat segera menarik tubuh orang 

berpakaian hijau dari jepitan papan tebal lalu

dibaringkan di lantai panggung. Orang ini ternyata


memang Cagak Lenting yang dikenal dengan julukan

Si Mata Elang.

 "Kanjeng Patih, ada secarik kertas menempel di

punggung mayat." Perwira Tinggi Suko Daluh yang

barusan menarik tubuh Cagak Lenting memberi tahu.

Dia mengambil kertas itu, tanpa membaca tulisan yang

tertera, kertas langsung diserahkan pada Patih Wira

Bumi.

 Ketika membaca tulisan di atas kertas, kaget sang

Patih bukan alang kepalang. Wajahnya berubah.

Karena ternyata tulisan itu ditujukan padanya.

 

 Patih Kerajaan, siapapun namamu! Malam Ini aku

telah menyelesaikan sebagian dari hutang dendam

di antara kita. Kau dan Cagak Lenting telah

membunuh Djaka Tua secara keji. Cagak Lenting telah

menerima bagiannya. Giliranmu segera datang.

Bersiaplah menghadap setan neraka!

 Tampang Wira Bumi berubah kelam membesi.

Rahang menggembung pelipis bergerak-gerak.

Sepasang mata seperti menyala. Kertas yang dipegang

diremas hingga hancur jadi bubuk!

 "Perwira..." ucap Patih Wira Bumi dengan suara

bergetar. "Jika ada orang sanggup membunuh Cagak

Lenting lalu mampu melemparkan mayatnya tanpa

satupun di antara kita mengetahui, berarti si pembunuh 

memiliki tingkat kepandaian sangat luar biasa. "Aku...."

 Belum habis sang Patih berucap tiba-tiba seseorang 

berteriak.

 "Ada orang di atas atap!"

 Patih Wira Bumi mendongak ke atas atap Gedung

Kepatlhan.

 Dia tidak melihat apa-apa namun siap hendak

melompat ke atas wuwungan gedung.

 "Kanjeng Patih, biar kami yang mengurus penyusup 

kurang ajar itu!" Kata Perwira Tinggi Suko Daluh. Lalu 

bersama tokoh silat Istana bernama Ki Wulur Jumena 

dan Ki Genta Kemillng dia melesat ke atas atap Gedung 

Kepatihan. Saat itulah dari atas atap gedung yang 

gelap berkiblat dua larik cahaya putih menyilaukan 

disertai tawa cekfkikan. Dua jeritan merobek udara 

malam. Tubuh Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh 

silat Ki Wulur Jumena melayang jatuh ke bawah. Orang


banyak yang ada di sekitar panggung berteriak dan 

cepat menyingkir. Dua tubuh malang itu tergelimpang 

di tanah. Kepala laksana dibelah. Wajah dan sekujur 

tubuh bergelimang darah. Semua terjadi begitu cepat!

 Patih Wira Bumi lari mendatangi. Dia bertanya pada 

tokoh silat Istana yang selamat.

 "Ki Genta Kemiling? Apa yang terjadi?"

 Dengan wajah pucat dan tengkuk masih dingin Ki

Genta Kemiling menjawab.

 "Saya melihat dua orang di atas atap. Ketika kami

bertiga menyerbu, tiba-tiba ada dua larikan cahaya

putih. Satu menghantam Perwira Tinggi Suko Daluh,

satunya menghajar Ki Wulur Jumena. Saya masih

sempat menyingkir. Suko Daluh dan Ki Wulur menjerit

lalu terpental jatuh ke tanah. Saya coba mengejar dua

orang yang masih ada di atas atap. Namun cepat sekail

mereka berkelebat pergi dan lenyap di kegelapan

malam di arah timur."

 "Apakah kau sempat melihat atau mengenali siapa

mereka?"

 "Saya hanya melihat sekilas.Tidak bisa mengenali.

Mereka satu perempuan satu telaki."

 Tampang Patih Kerajaan jadi berkerut. Sulit dia

menduga siapa adanya ke dua orang itu.

 "Kalau memang Nyi Reno Mantili yang melakukan

pembalasan, bagaimana dia mampu berbuat. Dia tidak

memiliki ilmu silat apalagi ilmu kesaktian. Tapi ada

kabar yang mengatakan bahwa dia pernah berada di

tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak 

Gunung Gede. Jangan-jangan... Lalu siapa penyusup 

satunya? Seorang lelaki...."

 "Kanjeng Patih, apa yang akan kita lakukan. Suasana 

pesta sudah kacau balau..." Bertanya Ki Genta 

Kemiling.

 "Minta semua tamu meninggalkan tempat ini. Suruh 

mereka pulang. Aku..." Sang patih tak dapat

meneruskan kata-kata. Dia memutar tubuh dan

bergegas masuk ke dalam Gedung Kepatthan. Sampai

di dalam gedung dia langsung masuk ke sebuah

kamar yang tidak seorang lainpun boleh berada di

situ kecuali dirinya.

 Sementara itu di atas Gedung Kepatihan Wiro pegang 

lengan Nyi Retno.

 "Nyi Retno, lekas! Kita harus tinggalkan tempat ini!"


"Enak saja kau bicara! Aku masih mau membunuh

bangsat bernama Wira Bumi Patih Kerajaan. Aku

sudah bisa menduga yang mana orangnya pasti orang

berpakaian mewah, bertubuh besar yang sedang

bicara di sana itu!"

 "Nanti saja Nyi Retno. Keadaan di bawah sana sangat 

kacau. Bisa berbahaya bagi dirimu. Aku melihat banyak 

tokoh silat Istana berkeliaran. Selain itu Patih

Kerajaan tak tampak lagi di tempatnya." Tanpa

menunggu lebih lama Wiro lalu menarik lengan Nyi

Retno. Namun perempuan ini cepat menghindar dan

di lain kejap sosoknya seolah lenyap ditelan kegelapan 

malam di atas wuwungan Gedung Kepatihan. Wiro 

memandang berkeliling, menggaruk kepala.

 "Dia menerapkan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci

Diri pemberian Kiai Gede Tapa Pamungkas. Aku tak

mungkin menemukannya...."

 BEGITU berada dalam kamar,Wira Bumi nyalakan 

sebuah pelita kecil lalu tanggalkan semua pakaian yang 

melekat di tubuhnya. Dalam keadaan telanjang begitu 

rupa dia naik ke atas tempat tidur, berbaring

menelentang. Mata dipejamkan, mulut berucap

perlahan.

 "Nyai Tumbal Jiwo. Datanglah. Saya memerlukan

dirimu."

 Tiba-tiba ada desir sambaran angin. Satu bayangan

merah menyusup masuk lewat celah jendela lalu

membentuk sosok seorang nenek. Sosok ini kemudian

dengan cepat berubah menjadi sosok seorang gadis

cantik menebar bau harum. Dua kali menggoyangkan

tubuh pakaian yang melekat tanggal jatuh ke lantai.

Gadis ini naik ke atas ranjang.

 "Wira Bumi. aku datang. Aku sudah berbaring di

atas tubuhmu. Apakah kau merindukan diriku atau

ada sesuatu yang mengganjal hati dan pikiranmu?

Mari kita bercinta dulu. Semua kerinduan dan kesulitan

akan sirna."



LIMA



KAWASAN kaki selatan Gunung Lawu. Di satu 

pedataran tandus yang dikenal dengan sebutan tanah 

Plaosan, tak jauh dari reruntuhan candi tua yang nyaris 

tidak berbentuk lagi. Saat itu di ambang sore. Hawa

panas yang sejak siang mendera pedataran kini mulai

berkurang. Tiupan angin dari timur perlahan-lahan

merubah udara menjadi sedikit sejuk. Dua orang 

tampak duduk bersila di depan sebuah lobang yang 

baru saja mereka gali. Dari mulut mereka keluar suara 

meracau berkepanjangan entah merapal apa.

 Di tanah di depan kedua orang ini tergeletak

gulungan daun lontar kering. Di tepi lobang sebelah

kanan terbujur satu sosok tubuh manusia yang sudah

jadi mayat, dibungkus dengan anyaman tikar daun

pandan kering. Setiap angin bertiup mayat itu

menebar bau busuk bercampur wanginya daun

pandan kering. Menimbulkan perpaduan bau yang

memuakkan dan bisa membuat orang muntah.

Namun ke dua orang tadi tampaknya tenang-tenang

saja seolah tidak berhidung tidak punya pen-

ciuman.

 Lalat mulai banyak beterbangan. Di langit

serombongan burung gagak hitam pemakan mayat

terbang berputar-putar lalu hinggap di satu pohon

yang hanya tinggal batang, cabang dan ranting tak

berdaun menatap mengintai mangsa yaitu mayat yang

dijaga dua orang di samping lobang.

 Dua orang lelaki yang duduk di depan lobang

sebentar-sebentar menatap ke langit, memperhatikan 

sang surya yang warna putihnya penahan berubah 

kuning kemerahan. Wajah mereka menunjukkan rasa 

kawatir. Orang di sebelah kanan bertubuh kurus tinggi, 

berpakaian kembang-kembang warna warni. Memiliki 

rambut hitam lurus berjingkrak ke atas seperti lidi. 

Kulit wajah dicat warna merah bergaris-garis hitam. 

Sepasang mata diberi sipat kelabu kehitaman. Dihias

sepasang alis kereng melengkung hitam serta bibir

dilapisi gincu warna ungu. Sepuluh kuku jari


dipelihara panjang, dilapis cat berwarna ungu sama.

dengan wama gincu.

 Teman di sebelah si muka merah Ini memiliki

wajah yang dicat kuning diberi garis-garis hijau,

bertubuh katai, mengenakan pakaian kuning

kegombrongan. Seperti si muka merah lelaki

satu ini juga memiliki rambut lurus hitam

menyerupai lidi.

 Si muka merah bergaris hitam memandang lagi

ke arah sang surya di langit, sebelah barat. Mulutnya

berucap. Suaranya halus seperti perempuan.

 "Saudaraku Momok Pertama, Tukak Racun Kuning, 

tak lama lagi matahari akan segera tenggelam.

Saudara kita si Momok Ketiga Denok Tuba Biru belum

juga datang. Kalau matahari sampai tenggelam dan

jenazah guru belum masuk ke dalam liang lahat,

celaka kita semua."

 "Saudaraku Momok Kedua Alis Bisa Merah, terus

terang aku juga kawatir. Kita berharap saja saudara

kita si Denok Tuba Biru tidak melalaikan tugas, tidak

mendapat halangan apapun. Dia pasti datang di saat

yang tepat..."

 Baru saja lelaki berwajah kuning selesai bicara, dari 

arah pedataran sebelah barat tampak debu mengepul. 

Sebuah gerobak ditarik seekor kuda coklat berlari 

kencang ke arah dua orang aneh yang duduk di tepi 

lobang. Mendekati lobang dan kedua orang itu berada,

kusir gerobak berseru lantang lalu tarik kuat-kuat tali 

kekang. Kuda coklat meringkik keras.Sesaat kemudian 

kuda dan gerobak berhenti tak jauh dari tepi lobang. 

Kusir gerobak melompat turun. Ternyata dia adalah 

seorang perempuan berwajah biru bergaris-garis 

kuning, bertubuh gembrot. Pakaiannya menyerupai 

baju ketat tak berlengan dan celana monyet. Dari sela 

ketiaknya menyembul bulu-bulu hitam, tebal dan 

panjang. Pada lengan kanan sebelah atas ada jarahan 

bergambar bunga mawar berwarna biru. Sepasang 

anting besar bulat terbuat dan perak murni menyantet 

di daun telinga. Pipi yang tembam, dada yang melar, 

perut gembrot dan paha gempal berayun-ayun setiap 

dia membuat gerakan. Inilah Momok Ketiga si Denok

Tuba Biru.

 "Kalian berdua cepat bantu aku menurunkan barang 

bawaan!


Lekas! Sebentar lagi sang surya akan tenggelam!"

 Mendengar seruan itu Alis Bisa Merah dan Tukak 

Racun Kuning melompat bangkit dari duduk masing-

masing. Dari dalam gerobak mereka menggotong 

sebuah gentong besar terbuat dari kayu besi. Dari 

dalam gentong yang tertutup bagian atasnya ini 

membersit keluar harumnya bau tuak. Dengan hati-hati 

gentong itu diletakkan di samping mayat yang 

terbungkus tikar daun pandan kering.

 Di atas gerobak terdapat sebatang pohon pinang

kuning dan satu karung besar yang tampak selalu

bergerak-gerak serta mengeluarkan suara mendesis

tiada henti. Karena tahu apa isi karung ini. Momok

Kedua Alis Bisa Merah tak mau bantu menggotong.

Dia hanya menurunkan batang pinang dan me-

nyeretnya ke tepi lobang lalu cepat-cepat menjauh.

Wajah menunjukkan perasaan takut. Sesekali tubuhnya 

menggigil dan tekapkan dua tangan ke dada.

 "Aku tidak mau bantu menurunkan karung itu."

kata Alis Bisa Merah. "Aku jijik, aku takut. Iihhhh!"

 Perempuan gembrot berwajah biru tampak jengkel.

 "Kalau kau tidak mau menurunkan ya sudah! Momok 

Kedua, kau lebih perempuan dari perempuan! Dasar 

banci! Aku saja yang perempuan sungguhan tidak 

takut, tidak jijik! Kau cuma manja dan cengeng!"

 "Saudaraku Denok Tuba Biru, jangan bicara begitu

padaku. Kau tidak tahu bagaimana nikmatnya jadi

lelaki sekaligus perempuan! Hik... hik!"

 "Kalian berdua selalu saja bertengkar. Padahal saat 

ini kita tengah menghadapi urusan besar! Apa kalian

ingin membuat bangun mayat guru dan memarahi kita 

semua?!"

 Habis memarahi kedua saudaranya itu Tukak Racun 

Kuning lalu menurunkan sendiri karung besar dan 

menyeretnya ke samping gentong kayu berisi tuak.

 "Alis Bisa Merah, kalau kau takut menjauhlah. Aku

dan Denok Tuba Biru mau membuka karung dan

menuangkan isinya ke dalam gentong!"

 "lihhhh!" Dengan mimik ketakutan lelaki bernama 

Alis Bisa Merah yang memang seorang banci cepat-

cepat menjauh. Tukak Racun Kuning membuka 

penutup gentong kayu. Lalu bersama Denok Tuba Biru 

dia mengangkat karung besar, meletakkan karung di 

pinggiran gentong. Sementara DenokTuba Biru


memegangi karung Tukak Racun Kuning membuka tali 

pengikat bagian atas karung.

 Setelah saling memberi isyarat Tukak Racun Kuning 

dan Denok Tuba Biru mengangkat bagian bawah 

karung tinggi-tinggi. Dari dalam karung berhamburan 

jatuh ke dalam gentong berisi tuak puluhan ekor ular 

berbisa, puluhan kala jengking, ratusan lipan dan 

lusinan kodok hitam beracun!

 Alis Bisa Merah terpekik ngeri, cepat-cepat

membuang muka memandang ke jurusan lain.

 "Aduh aku mau kencing!" teriak si banci bermuka

merah ini sambil pegang bagian bawah perutnya.

Ternyata dia memang benar-benar kebelet kencing.

Karena tidak sanggup menahan Alis Bisa Merah lari

ke balik pohon kering, tarik ke atas pakaiannya yang

berbentuk jubah dalam lalu jongkok dan serrrr! Dia

kencing seperti perempuan!

 "Dasar banci sialan!" maki Momok Ketiga Denok Tuba 

Biru. Lalu perempuan gembrot ini cepat menutup

gentong kayu. Di dalam gentong terdengar suara-

suara aneh yang dikeluarkan berbagai jenis puluhan

binatang berbisa itu. Tak selang berapa lama

suara-suara itu lenyap dengan sendirinya.

 "Saatnya kita memulai upacara," kata Tukak Racun

Kuning. Lalu dia berteriak memanggil Alis Bisa Merah.

Lelaki yang berdandan seperti perempuan ini datang

terbirit-birit sambil rapikan pakaian.

 "Najis tidak cebok. Joroki" Mengumpat Tukak Racun 

Kuning.

 "Pantas kau bau!" menyambung DenokTuba Biru

yang ikut kesal.

 Alis Bisa Merah cuma cengengesan."Kalian mana

tahu. Yang bau itu yang selalu disukai laki-laki! Hik...

hik...hik!"

 "Tutup mulutmu! jangan bicara yang tidak-tidak!"

Hardik Tukak Racun Kuning. "Kita akan segera

memulai upacara pemakaman." Lalu lelaki ini kembali

duduk di depan lobang, diikuti DenokTuba Biru dan

Alis Bisa Merah yang masih cengar-cengir.


ENAM


SIAPAKAH tiga orang aneh yang berada di 

pedataran Plaosan itu? Mereka adalah murid seorang 

tokoh silat golongan hitam yang dikenal sebagai nenek 

bisu jahat berjuluk Si Bisu Racun Akhirat. Nenek ini

dikenal sebagai orang nomor satu dalam dunia hitam 

peracunan. Lebih tinggi dan lebih ganas tingkat 

kepandaiannya dibanding Raja Racun Bumi

Langit ataupun Eyang Tuba Sejagat.

 Murid pertama dan tertua bernama Tukak Racun

Kuning, dipanggil dengan sebutan Momok Pertama

yaitu lelaki yang mukanya dicat kuning bergaris hijau.

Murid kedua si banci berpakaian kembang-kembang

warna warni, berwajah merah bergaris hitam.bernama

Alis Bisa Merah, dikenal dengan panggilan Momok

kedua. Murid ketiga perempuan gembrot yang dikenal

sebagai Momok ketiga bemama Denok Tuba Biru.

Muka biru bergaris kuning.

 Di usia hampir sembilan puluh tahun, sewaktu

sakarat, sebelum menghembuskan nafas terakhir dua 

hari lalu si nenek memanggil ke tiga murid. Kepada 

murid-muridnya itu, diwakili Momok Pertama nenek 

gagu Si Bisu Racun Akhirat menyerahkan sebuah piring 

perak serta satu gulungan tebal daun lontar.

 Di atas piring perak tertera tulisan dalam bahasa

Jawa Kuna berbunyi:

 Muridku Momok Pertama. Momok Kedua dan

 Momok Ketiga.

 Hidupku hanya tinggal dua hari. Jika ajalku

 sampai maka ingat baik-baik apa yang harus

 kalian lakukan.

 Pertama gali liang lahatku di tanah Plaosan.

 di bagian selatan candi runtuh.

 Kedua bungkus jenazahku dengan tikar terbuat

 dari daun pandan kering.

 Ketiga, kuburkan diriku dengan satu upacara

 sakral. Yaitu kalian harus menyiapkan satu


gentong tuak wangi.

 Kedalam gentong harus kalian masukkan

 binatang beracun hitam.

 Masing-masing binatang tidak boleh kurang

 dari dua belas ekor. Makin banyak akan lebih

 baik bagi perjalanan arwahku.

 Cari pohon pinang berbuah kuning

 Ratakan tanah kuburku

 Tancapkan pohon pinang kuning sebagal

 pertanda

 Petunjuk selanjutnya akan kalian dapat di

 dalam gulungan daun lontar. Yang hanya boleh

 kalian buka sebelum jenazahku kalian

 masukkan ke dalam liang lahat.

 Satu hal harus kalian Ingat baik-baikJenazahku

 sudah harus dikubur paling lambat sebelum

 matahari tenggelam hari kedua sesudah

 kematianku

 Kalian adalah murid-murid yang berbakti

 Mulai hari ini aku nobatkan kalian bertiga

 dengan nama Serikat Momok Tiga Racun.

 Setelah kalian membaca dan memahami apa

 yang tertulis di atas piring perak Ini harap kalian

 segera memusnahkan piring perak dengan cara

 membakarnya.

 Sampai berjumpa di akhirat.

 Aku: Si Bisu Racun Akhirat

 Seperti yang dipesankan sang guru, ketiga murid

lalu membakar piring perak. Dua hari kemudian si

nenek Bisu Racun Akhirat benar-benar menemui

kematian. Tiga orang murid segera sibuk mempersiap-

kan upacara pemakaman sesuai dengan pesan sang 

guru yang ditulis di atas piring perak. Yaitu menggali 

liang lahat di pedataran Plaosan, pengadaan satu 

gentong berisi tuak, mencari binatang berbisa serta 

mendapatkan pohon pinang kuning.

 SETELAH duduk di tepi lobang yang bakal menjadi 

liang lahat sang guru Momok Pertama Tukak Racun 

Kuning mengambil gulungan daun lontar kering yang


sejak tadi tergeletak di tanah. Dia menyodorkan 

gulungan daun lontar itu pada Alis Bisa Merah. Lelaki 

Momok Kedua ini gelengkan kepala.

 "Kau saja yang membacanya," kata si banci.

 Momok Pertama berpaling pada Momok Ketiga yaitu 

Denok Tuba Biru. Si gembrot ini juga menggeleng 

sambil berkata.

 "Kau tahu aku tidak bisa membaca. Mengapa

menyuruhku?"

 "Kalau begitu aku akan membuka gulungan daun

lontar dan membaca pesan yang dituliskan guru. Kalian 

berdua harap mendengar baik-baik dan

memperhatikan."

 Tukak Racun Kuning perlahan-lahan membuka

gulungan tebal daun lontar kering. Di atas daun lontar

sebanyak tiga gulungan itu tertera pesan Si Bisu Racun

Akhirat

 Momok Pertama, Momok Kedua dan Momok

 Ketiga.

 Kalian telah membaca pesanku di dalam piring

 perak

 Sekarang inilah petunjukku berikutnya

 Ilmu racun yang kalian kuasai yang sanggup

 membuat orang menjadi cacat seumur hidup

 atau mati seketika

 Akan lebih langgeng dan lebih bertambah hebat

 bilamana kalian mengikuti dan harus

 melakukan apa yang aku tuliskan di bawah ini

 Pertama aku yakin saat ini semua binatang

 berbisa yang ada di dalam gentong berisi tuak

 telah menemui ajal

 Masing-masing kalian harus mengambil seekor

 dari tiap jenis binatang beracun itu lalu

 memakannya

 Mendengar bacaan sampai disitu Momok Kedua

yaitu si banci Alis Bisa Merah langsung menggigil

tubuhnya.

 "Ihhh.... aku...."

 Momok Ketiga Denok Tuba Biru pelototkan mata

seraya berbisik. "Sekali lagi kau keluarkan suara

mengganggu bacaan Tukak Racun Kuning akan

kugebuk kepalamu."


Alis Bisa Merah hanya bisa manggut-manggut

sambil tutup wajah dengan dua telapak tangan.

 Momok Pertama lanjutkan bacaannya.

 Jika sudah teguklah sebagai minuman tuak

 di dalam gentong

 Kalian akan mendapat kesegaran dan kekuatan

 Kalian akan mendapat kesaktian mandraguna

 Setelah itu baca amalan yang aku ajarkan

 sebanyak tiga kali

 Masukkan jenazahku ke dalam liang lahat

 Tuangkan isi gentong yaitu tuak dan semua

 binatang berbisa ke dalam kuburku

 Tutup kuburku dengan tanah.

 Ratakan tanah hingga tidak berbekas

 Tancapkan pohon pinang kuning sebagai

 pertanda

 Bila upacara pemakamanku telah selesai

 berarti arwahku akan lebih tenang

 dalam perjalanan menuju akhirat dimana aku

 menunggu kedatangan kalian

 "Ihhh...." Sampai di situ lagi-lagi Momok Kedua

Alis Bisa Merah yang tidak tahan mendengar dan

ketakutan kembali keluarkan suara."Aku belum mau

mati. Aku belum mau pergi ke akhirat. Di dunia ini

lebih enak..." ucapnya dengan suara halus gemetar.

 "Plaakk!"

 Momok Ketiga Denok Tuba Biru keplak kepala

Momok Kedua membuat lelaki banci ini serta merta

kancing mulut dan hanya berani menghela nafas

berulang kali. Setelah keadaan tenang kembali.

Momok Pertama Tukak Racun Kuning lanjutkan

bacaannya.

 Walau sekarang aku sudah berada di alam lain

 Aku selalu memikirkan agar kalian bertiga

 menjadi raja diraja dalam dunia peracunan

 rimba persilatan tanah Jawa

 Aku ingin agar Serikat Momok Tiga Racun akan

 menjadi-satu nama besar angker dan ditakuti

 di delapan penjuru angin


Bahkan penguasa Istana sekalipun akan takut

 serta tunduk pada kalian

 Pahami dan laksanakan perintah yang aku tulis

 dibawah ini

Kalian harus mencari, seorang perempuan

berotak tidak waras alias sinting alias gila.

Makin muda usianya makin bagus

Gantung tubuhnya kaki ke atas kepala ke bawah

di pohon yang memiliki cabang berjumlah

ganjil

Tunggu tiga hari sampai mayatnya busuk

Setelah tiga hari kalian harus menjebol tubuh

mayat di sebelah depan Momok Pertama, kau

harus mengambil dan memakan jantungnya

Momok Kedua kau harus mengambil dan

memakan hatinya

Momok ketiga kau. harus mengambil dan

memakan ginjalnya

Setelah hal itu kalian lakukan bakar mayat

berikut pohon Lalu pergi ke pantai selatan.

Berendam di laut dangkal selama tiga hari tiga

malam

Kalian kelak akan menjadi raja diraja

peracunan rimba persilatan tanah Jawa

Tidak ada orang yang mampu menandingi

kalian

Dari alamku aku akan bahagia melihat Serikat

Momok Tiga Racun berjaya di delapan penjuru

angin.

Aku: Si Bisu Racun Akhirat

 

 "Huokkk!"

 Baru saja Momok Pertama Tukak Racun Kuning

selesai membaca surat petunjuk sang guru. Momok 

Kedua Alis Bisa Merah yang tidak bisa menahan rasa 

jijik dan mual langsung semburkan muntah. Denok 

Tuba Biru menyumpah habis-habisan karena pahanya 

yang gempal terkena cipratan muntah.


SESAAT sebelum sang surya masuk ke ufuk

tenggelamnya dan siang berubah menjadi malam.

jenazah Si Bisu Racun Akhirat telah masuk ke liang

lahat Tuak dalam gentong yang dipenuhi ular, lipan,

kalajengking dan kodok hitam, semuanya

merupakan binatang sangat berbisa dituang

dimasukkan ke dalam kubur sang guru. Lalu tanah

galian diuruk kembali, di buat sama rata seperti

semula. Setelah itu pohon pinang kuning di-

tancapkan di tanah, di ujung lobang arah kepala

jenazah.

 Begitu kegelapan malam mulai menyungkup

kawasan pedataran Plaosan, Tiga Momok

tinggalkan makam guru mereka tanpa satupun sadar

kalau gulungan surat yang terbuat dari daun lontar

kering tertinggal. Begitu angin malam bertiup agak

kencang, gulungan daun lontar terbawa melayang

ke arah timur.



TUJUH


TELAH lebih dari satu minggu Serikat Momok Tiga 

Racun mencari perempuan gila namun tidak berhasil 

menemukan.

 "Kita makin jauh dari Kotaraja. Padahal aku kira 

semua orang gila lebih banyak berada di Kotaraja

dan pada tempat lain Bagaimana kalau kita kembali 

saja ke Kotaraja." berkata Momok Ketiga Denok Tuba 

Biru ketika dia dan dua saudara seperguruannya duduk 

melepaskan lelah di tepi sebuah telaga.

 "Aku heran, mengapa guru menyuruh kita harus

mencari perempuan gila. Bukan lelaki gila Padahal

di tengah jalan kita sudah menemukan beberapa

orang lelaki gila," berkata Momok Kedua yaitu Alis

Bisa Merah. "Sudah, kita tukar saja dengan orang gila

laki-laki"

 "Jangan berani berlaku lancang menyalahi aturan

dan perintah guru!" kata Momok Pertama Tukak Racun

Kuning marah.

 "Maumu memang selalu laki-laki. Dasar banci!"

mendamprat Denok Tuba Biru. "Kalau laki-laki kau

mau mengambil dan memakan apanya? Bijinya?

Burungnya?!"

 Alis Bisa Merah tersenyum lalu tertawa cekikikan.

Tiba-tiba Momok Kedua Ini tekap mulut hentikan

tawa Di kejauhan di salah satu ujung pinggiran

telaga yang cukup besar itu dia mendengar suara

orang menyanyi. Dua Momok lainnya juga sudah

mendengar.

 "Ada perempuan menyanyi. Arahnya dari sana..."

Alis Bisa Merah menunjuk ke arah timur telaga.

 "Bagaimana kalau kita selidiki? mengusulkan

DenokTuba Biru.

 Ketiga orang itu sama-sama berdiri lalu sekali

berkelebat meroka sudah melesat ke arah timur

telaga. Di arah ini suara perempuan yang menyanyi

semakin keras dan syair lagunya semakin jelas.Tiga

Momok menyelinap ke balik semak belukar dan


mengintai.

 Di atas sebuah batu besar yang menjorok ke dalam 

telaga duduk seorang perempuan sangat muda,

bertubuh kecil, mengenakan pakaian biru, memiliki

wajah anggun rupawan. Di pangkuannya ada sebuah 

boneka kayu. Sambil menyanyi perempuan ini 

mengusap pipi kening atau kepala boneka.

Anakku Kemuning sudah lama kau tidak

melihat ayahmu

Entah dimana dia sekarang

Apakah kita yang akan mencari dia

Atau dia tengah mencari kita

Anakku Kemuning

Lekaslah besar

Agar ibu tak selalu mendukungmu

Kita pergi ke tempat Jauh

Tempat yang indah-indah

Agar kita bisa bersuka cita

Melupakan segala duka

 Perempuan yang menyanyi yang bukan lain adalah

Nyi Retno Mantili rebahkan boneka di atas dada.

Sambil mengelus punggung boneka dia meneruskan

nyanyiannya.

 Anakku Kemuning

 Apakah duka hati bisa dilupakan

 Apakah luka hati bisa disembuhkan

 Kalau bertemu ayahmu nanti

 Tanyakan padanya rahasia hati

 Saat itu sementara menyanyi sepasang mata bening 

Nyi Retno tampak berkaca-kaca. Lalu perlahan-lahan 

air mata meluncur jatuh di pipinya yang kotor berdebu.

 Di balik semak belukar MomokTiga Racun saling

berbisik.

 "Ini yang kita cari!" ucap Momok Pertarma. "Tepat

seperti maunya guru."

 "Akhirnya kita temui Juga," kata Momok Ketiga

dengan wajah merah gembira. "Perempuan gila.

Masih muua! Mengangap boneka sebagai anaknya!"

 "Sayang bukan laki-laki gagah...." ujar Momok

Kedua.


Momok Pertama dan Momok Ketiga berpaling

sama-sama melototi Momok Kedua.

 "Kau bicara seperti itu lagi!" bentak Momok Ketiga

DenokTuba Biru. "Kalau kau tidak senang, sebaiknya

kau pergi saja dari sini. Cari lelaki yang kau sukai!

Kutuk guru akan jatuh atas dirimu! Kau tidak akan

punya ilmu apa-apa!"

 "Ssttt. jangan keras-keras nanti perempuan itu

mendengar dan melarikan diri..." Ucap Momok Kedua 

sambil tersenyum. "Sudah tak perlu marah. Sebaiknya 

kita segera menangkap perempuan sinting itu. Kita 

pesiangi dengan cepat. Kailan makan jantung dan 

ginjalnya. Aku melahap hatinyai Hik ...hik!"

 Tanpa mengeluarkan suara ketiga Momok murid Si 

Bisu Racun Akhirat itu menyelinap keluar dari balik 

semak belukar lalu berkelebat mengurung Nyi Retno 

Mantili yang masih bernyanyi-nyanyi, tenggelam 

dalam perasaan. Namun begitu menyadari ada tiga 

orang tidak dikenal mengelilinginya, Nyi Retno serta 

merta hentikan nyanyiannya. Dia cepat memasukkan 

boneka ke dalam bedongan di dada namun kemudian 

dikeluarkan lagi. Nalurinya mengatakan ada bahaya 

besar tengah mengancam dirinya.

 "Kemuning anakku, kita kedatangan tiga tamu tidak 

dikenal. Berwajah dan berdandan aneh. Aku tidak 

mengenal satupun dari mereka. Apakah kau mengenal 

salah seorang dari mereka?" Nyi Retno diam sebentar. 

"Ah, rupanya kaupun tidak mengenal mereka. Anakku, 

jika mereka datang membawa niat jahat bukankah 

lebih baik kita mengusirnya sekarang juga?!"

 "Perempuan muda berbaju biru, beranak boneka 

kayu. Bernyanyi di tepi telaga sunyi. Membuat kami 

bertiga kepingin tahu siapakah dirimu adanya" Momok 

Pertama Tukak Racun Kuning bertanya.

 Di sampingnya Momok Ketiga berbisik.

 "Buat apa pakai bicara segala. Kita ringkus saja

sekarang juga! Cari pohon bercabang ganjil. Gantung

dia di sana!"

 Tukak Racun Kuning tidak perdulikan bisikan Momok 

Ketiga.

 "Perempuan muda. apakah kau mau menjawab

pertanyaanku?"

 "Hik... hik! Anakku Kemuning, ada orang bertanya

siapa diriku. Tapi dia tidak bertanya siapa dirimu.


Alangkah sombong dan tidak adilnya. Padahal aku

ibumu dan kau anakku!"

 Tukak Racun Kuning melirik pada ke dua saudara

seperguruannya

 "Perempuan muda, rupanya kau tidak senang kami

ganggu. Kalau begitu kami akan pergi saja.Teruskan

nyanyianmu tadi."

 Ketiga Momok itu membuat sikap dan gerakan

seperti benar-benar hendak meninggalkan tempat itu.

Namun seperti kilat mereka berbalik. Dari jarak dua

langkah ke Tiga Momok tusukkan dua Jari tangan

kanan ke arah Nyi Retno. Melepas totokan Jarak jauh

bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan

Pernafasan.



DELAPAN


CAHAYA kuning melesat dari dua jari Momok 

Pertama. Dua jari Momok Kedua memancarkan cahaya 

merah sedang dari dua jari Momok Ketiga menyambar

sinar biru!

 Totokan yang dilakukan ketiga orang itu adalah 

totokan jarak jauh yang sangat ampuh

dan ganas. Dengan satu totokan saja jangankan 

manusia sekecil Nyi Retno, gajah besarpun akan 

amblas ditelan totokan. Apa lagi tiga totokan dilakukan 

berbarengan oleh tiga orang berkepandaian tinggi.

 Nyi Retno walaupun berotak tidak waras namun sejak 

tadi dia sudah punya firasat kalau tiga orang tidak 

dikenal punya niat jahat terhadapnya Maka begitu

Tiga Momok menggerakkan tangan dia segera

kerahkan Ilmu Cahaya Dewa Turun Ke Bumi yang

didapatnya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Saat itu

sekujur tubuh perempuan ini mulai dari kepala sampai

ke kaki dibungkus oleh cahaya aneh berwarna Jingga.

 Tiga letusan keras berkumandang di tempat itu

ketika tiga cahaya totokan yang dilepaskan Tiga

Momok saling tabrak dengan cahaya warna Jingga

yang melindungi tubuh Nyi Retno.

 Tanah bergetar. Debu menggebubu ke udara.Tiga

Momok tampak tergontai-gontai sementara Nyi Retno

Mantili walau terlindung dari totokan tetap saja

terpental jatuh dan menjerit seperti ada bagian tubuh

yang sakit. Wajahnya sedikit pucat dan dua tangannya

bergetar. Dari sudut bibir tampak ada lelehan darah

Didahului satu pekik kemarahan Nyi Retno Mantili

tiba-tiba melompat. Dia menerjang ke arah Momok

Kedua yang berada paling dekat.

 "Racun Pelemas Raga!" tiba-tiba Momok Pertama

Tukak Racun Kuning berteriak. Dia jentlkkan jari 

tengah tangan kanan diikuti oleh dua Momok lainnya.

 Tiga cahaya terang, merah, kuning dan biru

menyilaukan mata berkiblat, menyambar ke arah Nyi

Retno. Saat itu Nyi Retno telah menerjang sambil

acungkan boneka kayu ke depan. Meski kesilauan dia


sempat melihat datangnya tiga cahaya yang 

menyerang. Perempuan ini segera angkat boneka di

tangan kanan.Lima jari memencet pinggang boneka.

Dua larik sinar putih menyambar dari sepasang mata

boneka. Sepasang Cahaya Batu Kumala! Namun

karena serangan dilakukan dalam keadaan tubuh

terluka di bagian dalam, dua sinar putih hanya lewat

di atas kepala Tiga Momok. Sebaliknya serangan

Racun Pelemas Raga tepat mendarat di wajah Nyi

Retno. Walau wajah itu tidak cidera sedikitpun namun

saat itu juga Nyi Retno tidak ubah seperti benang

basah.Tubuhnya melosoh ke tanah. Boneka kayu di

tangan kanan terlepas, jatuh masuk ke dalam telaga.

 Tiga Momok bergerak cepat Momok Pertama yang

merasa kawatir Nyi Retno akan mengadakan 

perlawanan kembali dengan cepat tusukkan satu 

totokan ke pangkal leher Nyi Retno yang sudah tidak 

berdaya itu. Didahului satu keluhan pendek perempuan 

ini terguling jatuh di tanah.

 "Momok Pertama! Lekas gendong perempuan

sinting itui." berkata Momok Ketiga DenokTuba Biru.

"Kalian berdua ikuti aku. Aku tahu di mana beradanya

pohon bercabang ganjil!"'

 "Dimana?!' tanya Momok Kedua si banci Alis Bisa

Merah.

 "Tak jauh dari sini. Di tepi sebuah jurang! Sudah

jangan banyak tanya! Ikuti saja aku!" jawab Denok

Tuba Biru. Lalu perempuan bertubuh gembrot ini

berkelebat ke arah barat. Momok Kedua segera

mengikuti. Momok Pertama cepat gendong tubuh Nyi

Retno Mantili lalu berkelebat mengikuti dua saudara

seperguruannya.

 Berlari kira-kira sepeminuman teh, Momok Kedua

sampai di tepi sebuah jurang.Tak jauh dari tepi jurang

berderet tumbuh beberapa pohon besar. Momok

Kedua menghampiri pohon paling ujung kiri. Dia

mendongak memperhatikan dan menghitung cabang

pohon. Ternyata borjumlah delapan cabang. Dia

pindah ke pohon yang di sebelah. Kembali

memperhatikan dan menghitung.

 "Ini pohonnya!" ucap Momok Kedua. "Jumlah

cabangnya ada tujuh!

 Momok Pertama Tukak Racun Kuning turunkan

tubuh Nyi Retno Mantili ke tanah. Dia berpaling pada


Momok Kedua Alis Bisa Merah.

 "Keluarkan tali penggantung yang kau bawa."

 Dari balik pakaian Momok Kedua keluarkan

segulung tali. Tali ini berbentuk kecil halus terbuat

dari jerami kering dilapisi getah pohon jarak hingga

menjadi lentur dan luar biasa kuat.

 Momok Pertama ikatkan salah satu ujung tali pada

dua pergelangan kaki Nyi Retno Mantili. Ujung lainnya

dilempar ke atas cabang pohon di sebelah tengah.

 "Biar aku yang menarik!" kata Momok Ketiga. Lalu

dia menjangkau ujung tali yang terjulai. Sekali

menarik tubuh Nyi Retno terangkat dari tanah. Tarikan

kedua tubuh perempuan malang itu naik setengah

tinggi tubuh manusia. Pada tarikan ketiga sosok Nyt

Retno Mantili tergantung sejajar kepala orang.

 "Cukup!" kata Momok Pertama.

 "Hai, apa kalian tidak melihat ada keanehan?"

bertanya Momok Kedua Alis Bisa Merah. "Tadi ada

kerlipan cahaya biru menyelubungi tubuh perempuan

sinting ini. Sekarang cahaya Itu masih ada di sekitar

dua kaki yang terikat."

 "Perduli setan dengan segala macam cahaya!"

menjawab Momok Ketiga. "Sekarang sesuai petunjuk

guru kita menunggu tiga hari sampai mayatnya busuk."

Momok Ketiga berpaling ke arah Momok Kedua. "Alis

Bisa Merah, diantara kita bertiga kau yang memiliki

kuku paling panjang. Nanti kau yang akan menjebol

tubuh perempuan itu dengan kukumu yang lancip.

Ambil jantung, hati dan ginjalnya! Berikan padaku

ginjalnya. Berikan jantung pada Momok Pertama dan

kau boleh menyantap hatinya..."

 Wajah merah Momok Kedua langsung berubah.

Tubuh menggigil dan dua tangan menekap leher.

 "Aku... aku yang harus menjebol tubuh perem-

puan itu? Mengambil jantung, hati dan ginjalnya?

lihhhh ... Aku ngeri. Aku bisa pingsan. Kalian saja

yang melakukan. Cari kayu, dibuat lancip...'

 Momok Kedua geleng-geleng kepala berulang kali.

 "Kau selalu berdalih ini itu! Alis Bisa Merah

seharusnya kau tidak jadi murid Si Bisu Racun Akhirat

Tidak ada gunanya kau bergabung dengan kami!"

Momok Ketiga DenokTuba Biru marah sekali.

 Momok Pertama ikut menimpali.

 "Di Kotaraja ada perkumpulan manusia-manusia


banci sepertimu! Lebih baik kau pergi kesana.

Bergabung dengan mereka!"

 Alis Bisa Merah mulai terisak dan tutup wajah

dengan kedua tangan. "Sebenarnya aku... aku tidak

akan menampik jika kalian memberi perintah. Tapi

ucapan kalian sangat menyakiti hatiku..."

 "Kalau perlu kami akan menyakiti sekujur tubuhmu!" 

Bentak Momok Ketiga.

 "Sudah, sudah! Aku akan turuti permintaan kalian.

Aku akan merobek dada dan perut perempuan itu.

Nanti jika tubuhnya yang tergantung sudah busuk!"

 Saat itu di langit yang menjelang sore serombongan 

burung gagak hitam terbang berputar-putar di atas 

pohon. Melihat ini Momok Ketiga kembali membuka 

mulut.

 "Burung-burung pemakan mayat sudah tahu kalau

bakalan ada mangsa di tempat ini. Mereka sudah

datang bersiap-siap. Kita jangan sampai keduluan.

Momok Kedua, aku dan Momok Pertama akan

beristirahat barang sebentar. Kau berjaga-jagalah.

Awasi burung-burung penggeragot mayat itu. Biasanya 

mereka mulai bergerak begitu mayat mulai

membusuk!"

 "Aku lagi yang kebagian pekerjaan. Kalian benar-

benar tidak adil!" umpat Momok Kedua si banci Alis 

Bisa Merah dengan wajah merengut. Lalu dari balik 

pakaian dia keluarkan sebuah cermin kecil. Sambil 

memandang ke dalam cermin dia merapikan rambut 

yang hitam lurus seperti lidi, mematik-matik alis dan 

menjulur-julurkan lidah di atas bibir yang diberi gincu 

ungu.

 "Kita tengah menghadapi urusan besar. Kau masih

saja menyibukkan diri berdandan! Dasar banci!" ucap

Momok Ketiga.

 "Aku melakukan apa saja yang aku suka. Kau tak

usah cemburu. Aku yang banci lebih bisa merawat

diri dari pada kau yang perempuan sungguhan.

Sekujur tubuhmu beriemak mulai dari pipi sampai

ke kaki! Siapa lelaki yang suka padamu. Melirik sajapun 

tidak sudi!"

 Seiagi Tiga Momok saling bersilang kata, mereka

tidak mengetahui munculnya satu cahaya putih

menyembul dan menyelubungi tubuh Nyi Retno

Mantili yang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah.


Namun Momok Pertama yang paling tinggi ilmu

kepandaiannya merasakan sesuatu. Dia menatap pada

kedua saudara seperguruannya.

 "Apa kalian tidak merasakan ada siuran angin

barusan?"

 Momok Kedua dan Momok Ketiga diam sesaat lalu

sama gelengkan kepala.

 "Kita harus berhati-hati. Buka mata pasang telinga.

Sampai mayat perempuan sinting itu membusuk kita

tidak boleh berlaku ayal!"

 Selagi Tiga Momok sibuk bicara satu sama lain.

lagi-lagi ada cahaya putih menyelubungi tubuh Nyi

Retno. Lalu cahaya ini keluar dari sosok perempuan

itu. melesat ke arah timur dan lenyap dari 

pemandangan.

 TIDAK SAMPAI tiga hari. pada pagi hari kedua

mayat Nyi Retno Mantili yang tergantung mulai

menebar bau busuk.Tiga Momok memperhatikan lalu

Momok tertua berkata.

 "Momok Kedua, kau bersiaplah. Aku akan memutus 

tali penggantung. Begitu mayat busuk jatuh di tanah 

kau cepat menjebol dada dan perut mayat..."

 Momok Kedua Alis Bisa Merah rentangkan lima jari 

tangannya yang berkuku panjang runcing berwarna 

Jingga.

 "Aku sudah siap,'" ucap momok banci ini dengan

suara keras walau agak gemetar.

 Tiba-tiba di atas pohon, belasan burung gagak

pemakan mayat yang telah mendekam sejak Nyi Retno

mulai digantung mengeluarkan pekik keras. Binatang

ini berlesatan ke udara, terbang bergerombol,

membuat dua kali putaran lalu menukik ke bawah.

menyambar ke arah mayat yang tergantung.

 "Burung-burung keparat! Kalian hendak mendahului 

kami! Terima bagian kalian! Mampuslah! Maki Momok 

Ketiga. Perempuan bertubuh gemuk ini kibaskan 

tangan kanannya ke atas.

 "Wuttt!"

 Selarik sinar biru setengah lingkaran menerpa ke

atas. Belasan burung gagak menukik keras. Tubuh

mereka terlempar dua tombak ke udara. Begitu

melayang jatuh semuanya telah berubah jadi sosok

arang biru mengepulkan asap sangit.


"Saudara-saudaraku, sekarang saatnya!" berseru

Momok Pertama Tukak Racun Kuning. Jari telunjuk

tangan kanan dijentikkan.

 "Tass!"

 Tali yang menggantung Nyi Retno Mantili putus

pada ketinggian dua jengkal di atas pergetangan kaki.

Tak ampun sosok jenazah yang mulai membusuk itu

jatuh terhempas ke tanah, tergelimpang menelungkup

tak berkutik.

 "Momok Kedua! Lakukan tugasmu!" perintah

Momok Ketiga.


SEMBILAN


DENGAN kaki kirinya Momok Kedua balikkan mayat 

Nyi Retno Mantili hingga tertelentang. Perlahan-lahan 

dia lipat dua lutut, jongkok di samping mayat. Tangan 

kanan diulurkan menekan pundak kiri mayat, tangan 

kanan mementang lima jari berkuku panjang.

 "Crass!"

 Lima jari ditancapkan didada kiri, tepat arah jantung. 

Lalu breett! Lima jari ditoreh menyilang ke kiri 

kemudian lurus ke bawah. Sosok mayat robek mulai 

dari bagian dada sampai ke bawah pusar.Luar biasa 

mengerikan!

 "Aku sudah mengambil hatinya! Kalian silahkan

mengambil sendiri bagian masing-masing!" Berkata

Momok Kedua sambil melompat lalu berdiri menjauh.

 Momok Pertama dan Momok Ketiga menyumpah

marah karena tadi jelas Momok Kedua diperintahkan

untuk sekaligus mengambil jantung, hati dan ginjal.

Sekarang setelah membedol hati dan siap untuk

memakannya, dia suruh dua saudara seperguruan

untuk mengambil sendiri jantung dan ginjal. Walau

marah namun Momok Pertama dan Momok Ketiga

terpaksa melakukan. Momok Pertama memuntir

jantung lalu membetotnya. Sementara Momok

Ketiga mencengkeram dua buah ginjal dan

membedolnya keluar! Darah bergenangan dimana-

mana.

 Selesai melakukan perbuatan yang sangat

mengerikan, benar-benar diluar akal dan perikema-

nusian itu Tiga Momok pergi ke telaga untuk mencuci

tangan dan muiut yang penuh bercelemongan darah.

Setelah itu ketiganya sama-sama berlutut di tanah dan

berseru berbarengan.

 "Guru! Kami telah melaksanakan perintahmu! Hari

ini nama Serikat Momok Tiga Racun berkibar di rimba

persilatan tanah Jawa! Kami bertiga mohon restumu

dari alam akhirat!"

 Tiga Momok berdiri kembali.

 "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya


Momok Kedua sambil usap-usap dada dan sebentar-

sebentar keluarkan suara seperti kesolekan menahan 

mual yang ingin membuatnya muntah.

 Kita sudah punya dua rencana. Kita berangkat

ke Kotaraja sekarang juga. Kita akan meracuni

seluruh tokoh silat Istana. Setelah semua mereka

mati kita akan menemui Sri Baginda, mengatakan

bahwa mulai saat itu kekuasaan berada di tangan

Serikat Momok Tiga Racun! Sri Baginda tidak lain

hanya boneka suruhan kita belaka! Ha ... ha..ha!"

Momok Pertama tertawa bergelak. Lalu melanjutkan

ucapan. "Rencana kedua. Jika Sri Baginda menolak

dan tidak mau tunduk pada kita maka seluruh

keluarga Istana termasuk Sri Baginda akan kita

racuni sampai semua mereka menemui ajal di

tangan kita! Sekarang mari kita tinggalkan tempat

celaka ini!"

 Tiga Momok serentak berdiri.Tanpa menoleh lagi

pada mayat yang berbusaian dan tergelimpang di

tanah ketiganya melangkah pergi.

 Namun belum sampai berjalan sepuluh langkah

jauhnya dari tepi telaga tiba-tiba tiga murid Si Bisu

Racun Akhirat yang menamakan diri Serikat Momok

Tiga Racun ini sama hentikan langkah. Tak jauh di

depan mereka, di tengah jalan yang akan mereka lalui

bergolek melintang seorang pemuda berambut

gondrong berpakaian putih. Kaki kiri diletakkan di atas

lutut kanan- Dua tangan disusun di atas mulut, jari-jari 

bergerak dan dari mulutnya meluncur suara

berkepanjangan menirukan suara suling.

 "Tulit ...tulit ...tulilit....liitt....tuut!Tuuut!

 Habis menirukan suara suling si gondrong ini

tertawa gelak-gelak lalu kembali: "Tulit... tulit...Tutt

... tuttt... littt... tittitt! Ha... ha... ha!"

 "Orang sinting lelakil Tubuhnya kekar, wajahnya

gagah! Ah, rejekiku besar sekali hari Ini! Kalau yang

satu ini biar aku yang menangani sendiri! Pasti

itunya keras. Jangan berani ada yang mengganggu!

Hik... hik!" Momok Kedua si banci Alis Bisa Merah

berseru gembira. Dia segera hendak melangkah ke

arah si pemuda yang bergolek di tengah jalan.

Namun tangannya cepat dicekal oleh Momok

Pertama.

 "Jangan berlaku gegabah! Pemuda tak dikenal itu


sepertinya sengaja menghadang kita."

 "Eh, masakan kau takut sama orang sinting?"tukas 

Momok Kedua.

 "Jangan-jangan dia laki perempuan sinting yang

kita bunuh!" kata Momok Ketiga. Lalu menyambung

ucapannya. "Mari kita dekati, tapi hati-hati. Kalau

dia membuat gerakan mencurigakan langsung

bunuh dengan pukulan beracun!" kata Momok

Pertama pula.

 Momok Ketiga yang juga sudah memperhatikan

wajah si pemuda berkata pada saudara tuanya itu.

 "Jangan buru-buru dibunuh. Aku ikut tertarik.

Mudah-mudahan saudaraku Momok Kedua tidak

cemburu kalau aku yang lebih dulu mendapatkannya!"

 "Kau dan Momok Kedua sudah pada gila semua!"

rutuk Momok Pertama. Namun ketiganya kemudian

sama maju melangkah mendekati pemuda di tengah

jalan.

 Tiga langkah di depan si pemuda mereka berhenti.

Pemuda di tengah jalan juga hentikan mulutnya yang

tulat-tulit. Lalu berguling ke kiri dan duduk di tanah.

Tangan kiri menggaruk kepala, tangan kanan

menunjuk ke arah Tiga Momok.

 "Kalian sobatku muka warna warni!" si gondrong 

yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng 

keluarkan ucapan. "Kalian bertiga habis makan besar! 

Mengapa tidak membagi-bagi barang sedikit padaku?! 

Padahal aku lagi lapar-lapar buaaanget! Bagaimana 

rasanya makan jantung, hati dan ginjal monyet besar? 

Nyam ... nyam... nyam! Pasti enak ya?!"

 "Pemuda gila! Lekas menyingkir. Kami mau lewat!" 

Bentak Momok Pertama.

 "Heh. jalan ini cukup lebar. Kalian boleh lewat di

samping kiri atau di sebelah kanan. Tinggal pilih!

Begitu saja repot! Tapi kau belum menjawab

pertanyaanku! Bagaimana rasanya Jantung, hati dan

ginjal monyet? Benar-benar enak? Gurih?"

 "Hai! Kami barusan bukan makan jantung, hati dan

ginjal monyet.Tapi jantung, hati dan ginjal manusia!

Perempuan sinting!" Yang berucap adalah Momok

Kedua si banci Ali Bisa Merah sambil tersenyum dan

kedipkan mata ke arah Wiro.

 Momok Ketiga ikut bicara. "Sayang kami baru ketemu 

dirimu saat ini. Kalau sejak tadi-tadi kau muncul pasti


kami bagi!"

 "Aneh. kalian bilang makan jantung, hati dan ginjal

manusia. Perempuan sinting. Tapi yang aku lihat kalian 

barusan melahap jantung, hati dan ginjal monyet hutan 

besar!" kata Pendekar 212 Wiro Sableng pula sambil 

balas kedipan mata si banci Alis Bisa Merah lalu 

sunggingkan senyum pada Denok Tuba Biru.

 "Dasar sinting! Aku perintahkan sekali lagi lekas

menyingkir! Atau kau akan jadi mayat busuk di tempat

ini!" Momok Pertama mulai marah. Dia memberi

isyarat pada dua saudaranya.

 Wiro bangkit berdiri sambil keluarkan suara

berdecak.

 "Ck...ck...ck! Sombongnya main perintah. Aku

mau bikin apa di jalan ini siapa yang berani melarang?

Memang jalan ini punya bapak gundulmu?! Aku bicara

soal monyet kau bicara soal menyingkir! Hati-hati

kalian bertiga, sehabis makan jantung, hati dan ginjal

monyet hutan sebentar lagi kalian akan punya sifat

seperti monyet Menyeringai cekikikan, garuk-garuk

pantat, kencing awut-awutan..."

 Momok Pertama dan dua momok lainnya saling

pandang.

 "Hai! Kalian rupanya tidak percaya. Yang kalian

santap tadi bukan jantung, hati dan ginjal,

perempuan sinting. Tapi jantung, hati dan ginjal

monyet! Kalau tidak percaya berpalinglah ke

belakang! Lihat mayat siapa yang menggeletak di

tanah sana!"

 Yang menoleh duluan adalah Momok Kedua si

banci Alis Bisa Merah. Begitu menoleh dia langsung

keluarkan suara tercekat dan wajah berubah. Dua

Momok lainnya serta merta ikut memandang ke

belakang. Seperti Momok Kedua, mereka juga terkejut

Di belakang sana, di tempat dimana seharusnya mayat

perempuan sinting tergeletak dengan isi perut

berbusaian, kini yang kelihatan adalah bangkai seekor

monyet hutan berbulu coklat dengan perut robek

menganga!

 "Dua saudaraku, apa kita tidak salah melihat?"

Berkata Momok Pertama.

 Tidak mungkin!'' ucap Momok Ketiga DenokTuba

Biru dengan mulut ternganga.

 Berlainan dengan dua saudaranya yang terkejut


dan terheran-heran Momok Kedua Alis Bisa Merah

putar wajah ke arah Wiro, tersenyum kedip-kedipkan

mata sambil acung dan goyang-goyang Jari tangan

kanan.

 Ketika Momok Pertama berpaling dan melihat

kelakuan Momok Kedua dia segera membentak marah.

 "Momok Pertama, jangan marah dulu. Lebih baik

kita datangi pemuda itu. Tanyakan siapa dia dan

selidiki bagaimana hal aneh ini bisa terjadi. Siapa tahu

kita bisa bersahabat dengannya." Berkata Momok

Kedua sambil kembali layangkan senyum ke arah Wiro. 

Murid Sinto Gandeng yang sudah bisa membaca

keadaan membalas senyum, tempelkan dua jari tangan

kanan di bibir lalu dilayangkan ke arah Momok Ketiga

yang membuat si banci ini jadi tertawa girang tersipu-

sipu!

 "Momok Kedua! Kau tunggu di sini! Aku dan Momok 

Ketiga akan mendatangi pemuda itu! Awas kalau kau 

berani mendekati pemuda itu!"'

 Kata Momok Pertama pula. Lalu bersama Denok

Tuba Biru dia mendekati Pendekar 212 yang menanti

kedatangan mereka sambil rangkapkan dua tangan

di depan dada.

 Empat langkah di depannya Wiro mengangkat

tangan.

 "Kalian berhenti disitu. Jangan berani lebih dekat

lagi. Aku tidak mau ketularan Jadi monyet!"

 Dengan menahan amarah Momok Pertama berkata.

 "Kami tidak mengenalmu. Apa kau mau 

menerangkan siapa dirimu? Lalu bagaimana

kejadiannya mayat perempuan itu bisa Jadi monyet

hutan?"

 "Ah.... Kalau sekedar menjawab pertanyaanmu, apa 

susahnya. Aku orang sinting lakilaki yang nyasar di 

tempat ini. Si baju warna warni itu pasti suka padaku. 

Mengapa dia tidak boleh datang mendekat ke sini?"

 "Jawab saja pertanyaanku tadi!" bentak Momok

Pertama.

 "Soal monyet hutan itu, aku orang yang memeli-

haranya. Soal mengapa kalian menoreh perutnya lalu

menyantap jantung, hati dan ginjalnya biar orang lain

yang menjawab!"

 Selesai berkata Pendekar 212 keluarkan suara

bersiul. Dari balik pohon besar di tepi telaga


menyeruak keluar dua perempuan, satu muda dan

satunya sudah nenek-nenek.

 Melihat si perempuan muda Tiga Momok melengak 

kaget, memandang mendelik tidak berkesip penuh rasa 

tidak percaya!



SEPULUH


DUA perempuan yang keluar dari balik pohon adalah 

Nyi Retno Mantili sambil memegang boneka kayu yang 

basah. Di sampingnya melangkah tertawa-tawa nenek 

berambut kelabu bermata merah mengenakan jubah 

kuning yang bukan lain adalah kembaran ke tiga Eyang 

Sepuh Kembar Tilu.

 "Hik..hik! Aku melihat tampang mereka sudah mulai

mirip-mirip monyet hutan..." berucap si nenek sambil

tertawa cekikikan.

 "Kau keliru Nek. bukan tampang mereka yang

berubah mirip-mirip monyet, tapi pantat mereka yang

akan lebih dulu berubah merah seperti pantat monyet

ledes!" Kata Pendekar 212 Wiro Sableng pula lalu dia

dan si nenek tertawa gelak-gelak sementara Nyi Retno

Mantili hanya senyum-senyum.

 "Saudaraku, bagaimana mungkin..." bisik Momok

Pertama Tukak Racun Kuning. "Kita sudah meng-

gantungnya. Merobek perutnya. Memakan jantung,

hati dan ginjalnya. Ternyata dia masih hidup. Dan

boneka itu, bagaimana bisa ada lagi di tangannya?"

 "Hai kalian bertiga! Jika kalian inginkan jantung.

hati dan ginjalku aku bersedia memberikan! Ayo belek

saja tubuhku. Kalian mau aku membuka baju lebih

dulu atau bagaimana? Hik... hik... hik!" Nenek jejadian

rambut kelabu berkata lalu tertawa cekikikan.

 "Momok Kedua. Momok Ketiga, kita harus segera

membunuh tiga manusia ini! Sekarang juga! Serang

dengan pukulan Enam Racun Akhirat!" Momok

Pertama berikan perintah pada dua saudaranya.

 Serentak ke tiga murid Si Bisu Racun Akhirat

tusukkan dua jari ke depan, ke arah Wiro. Nyi Retno

dan si nenek.

 "Wuuuttt!"

 Enam larik sinar, dua kuning, dua merah dan dua

biru, menderu dahsyat, menebar hawa aneh berbau

sangit.

 "Awas serangan racun jahat! Tutup jalan nafas!"

teriak nenek jejadian rambut kelabu. Dia cepat menarik


Nyi Retno ke belakang ialu bersama Wiro sambut

serangan tiga lawan.

 Wiro membalas serangan dengan pukulan Angin

Es. Ilmu kesaktian ini jarang dikeluarkan dan memang

ampuh untuk menghadapi serangan mengandung

racun yang menebar. Udara sedingin es langsung

menyungkup tempat itu. Enam sinar mengandung

racun mematikan tertahan mengambang di udara,

perlahan-lahan berubah beku lalu leleh. Jatuh ke

tanah! Lenyap tanpa bekas!

 Selagi Tiga Momok yang tubuh masing-masing kini 

dilanda hawa luar biasa dingin, selagi mereka berseru 

kaget melihat apa yang terjadi, nenek jejadian sambil 

melesat ke depan membuat sikap seperti orang bersila 

menghantam dengan pukulan yang memancarkan sinar 

merah.

 Tiga Momok berteriak keras. Mereka cepat

selamatkan diri dengan melesat sampai dua tombak

ke udara lalu dari atas berteriak berbarengan "Racun

Air Bah!"

 Saat itu juga terdengar suara menderu dahsyat

luar biasa seolah benar-benar ada gemuruh air bah

melanda tempat itu. Cahaya biru merah dan kuning

bertabur silang menyilang, angker mengerikan.

 "Nek! Kau tahan di bawah aku akan melabrak dari

atas!" teriak Wiro. Nenek jejadian rambut kelabu 

segera jatuhkan diri berlutut di tanah. Dua tangan 

dipukulkan ke atas melesatkan dua larik cahaya merah 

yang menebar seperti kipas. Kepala didongakkan, 

mulut meniup. Selarik asap, kelabu bergulung-gulung 

ke udara, mencabik-cabik cahaya biru, merah dan 

kuning yang menyapu ke bawah. Namun karena kalah 

tenaga tiga lawan satu, si nenek jatuh terjengkang dan 

racun jahat sempat terhisap ke dalam jalan 

pernafasannya.

 Selagi Tiga Momok terus melancarkan serangan

Racun Air Bah Wiro melesat ke udara lalu dari atas

melepas pukulan Sinar Matahari.

 Ketika cahaya putih menyilaukan mulai memancar

di tangan kanan Wiro dan hawa panas menebar Tiga

Momok berteriak kaget kalang kabut.

 "Pukulan Sinar Matahari!" teriak Momok Pertama.

"Celaka! Pemuda itu pasti Pendekar Dua Satu Dua

murid nenek sakti Sinto Gendeng!"


Wiro gerakkan tangan kanan. Cahaya putih panas

berkiblat! Sekejapan lagi tubuh mereka akan dilabrak

hangus pukulan sakti yang tidak ada bandingannya

di rimba persilatan itu tiba-tiba menggeledek seruan

keras.

 "Sahabat Wiro! Tahan serangan! Jangan bunuh

mereka! Tiga Momok lekas pergi dari sini atau aku

yang akan menghabisi kalian!"

 Lalu ada satu tangan aneh penuh ditancapi paku

putih mencekal pergelangan tangan kanan Pendekar

212 yang telah berubah warna seputih perak dan luar

biasa panas.

 "Cess!"

 Tangan yang memegang lengan Pendekar 212

langsung melepuh. Si pemilik tangan menjerit

kesakitan tapi hebatnya masih terus memegang

lengan itu. Wiro cepat membalik dan menghantam

dengan jurus Kincir Angin Berputar.

 "Bukk!"

 Orang yang terkena hantaman dan masih

memegang lengan Wiro mengeluh panjang. Kail ini

baru dia melepaskan cekatannya dari lengan Pendekar

212. Tangan itu tampak luka melepuh akibat panas

ilmu kesaktian Sinar Matahari.

 "Kau siapa?!" teriak Wiro marah sekali.

 Orang yang ditanya tepuk-tepuk bahu Wiro lalu

menarik sang pendekar turun ke tanah. Begitu

berhadap-hadapan murid Sinto Gendeng terkesiap

kaget tak percaya.

 "Sandaka! Kau!"

 "Betul. Aku memang Sandaka. Manusia Paku!

Sobatku lama, apa kau tidak mengenali diriku lagi?"

 "Bukankah... bukankah kau sudah menjatuhkan

diri ke dalam jurang?"

 "Gusti Allah masih memberiku umur panjang...."

 "Kalau begitu kita bercerita nanti saja. Aku harus

menghajar tiga manusia aneh itu. Mereka hendak

membunuh seorang perempuan yang menjadi

tanggung jawabku menjaga keselamatannya."

 "Mereka sudah kusuruh pergi." kata Sandaka.

 "Apa? Kau suruh pergi? Apa kau tuan besarnya?

Eh. apa hubunganmu dengan tiga mahluk sialan

itu? Mengapa kau menolong mereka?!" Wiro rada-rada

jengkel. Matanya tak berkesip memperhatikan orang


yang berdiri dihadapannya. Lalu geleng-gelengkan

kepala

 Yang berdiri di hadapan Wiro saat itu adalah seorang 

lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun berambut 

panjang riap-riapan sampai sebahu. Muka tangan dan 

kaki penuh dengan tancapan paku putih berkilat 

terbuat dari baja murni.

 "Sandaka. dulu kau cuma pakai cawat. Sekarang

sudah bisa pakai baju dan celana. Apakah paku di

sekujur tubuhmu juga masih ada?"

 Orang bernama Sandaka tarik tangan Wiro lalu

disapukan ke dada dan perutnva. Wiro merasa

tonjolan-tonjolan benda keras yaitu paku baja yang

ternyata masih bertebaran menancap di seluruh

bagian tubuhnya.

 Wiro ingat pada Nyi Retno Mantili. Ketika dia

memandang mencari berkeliling, perempuan itu tidak

ada lagi.

 "Kau mencari perempuan bertubuh kecil yang

membawa boneka kayu itu?" tanya Sandaka.

 "Nek, kau melihat Nyi Retno Mantili?" Wiro

bertanya pada nenek jejadian kembaran ketiga Eyang

Sepuh Kembar Tilu sambil menolong nenek itu berdiri.

 “Tadi dia lari ke arah sana." Si nenek menunjuk ke

arah barat. "Aku sedang kesakitan, tidak bisa

menghalangi."

 "Aku mengawatirkan keselamatannya. Aku harus

mengejar. Kalau Tiga Momok tadi menghadangnya di

tengah jalan tubuhnya pasti akan dibantai. Dikorek

jantung, hati dan ginjalnya!"

 "Aku jamin. Tiga Momok tidak akan mencelakai

perempuan itu lagi." Kata Sandaka.

 "Siapa percaya jaminanmu. Apa hubunganmu

dengan tiga manusia aneh itu!"

 "Guru mereka seorang nenek sakti tapi jahat

bernama Si Bisu Racun Akhirat. Dia meninggal

beberapa waktu lalu. Nenek ini adalah saudara angkat

guruku Eyang Gusti Kelud..."'

 "Guru yang kau bunuh sendiri!" potong Wiro.

 "Ya. itu cerita lama gara-gara aku terjebak oleh Dewi 

Ular," jawab Sandaka.

 "Kau masih berhubungan dengan perempuan itu?"

 Sandaka menggeleng. "Kami kini menjadi dua musuh 

besar. Apa kau kangen ingin menemuinya?"


Wiro tertawa.

 Sandaka mendekati nenek rambut kelabu lalu enak 

saja memegang kepala si nenek.

 "Eh. apa-apan ini. Jangan berlaku kurang ajar.

Berani-beraninya kau memegang kepalaku!"

 Sandaka yang mukanya penuh paku baja

menyeringai.

 "Maaf Nek. aku hanya ingin mengetahui apakah

kau terkena racun atau tidak. Nyatanya kau memang

sudah keracunan akibat serangan Racun Air Bah yang

dilancarkan Tiga Momok tadi. Tapi kau tak usah

kawatir. Aku bisa menolong. Pejamkan matamu!"

 "Eh. mengapa mesti memejamkan mata segala?

Kau mau apakan diriku? Mau meraba-raba?"

 "Aku akan memasukkan jari telunjukku pada

lobang telingamu kiri kanan."

 "Kenapa musti lobang telinga. Bukan lobang yang

lain?!" tanya si nenek masih curiga.

 "Kau maunya lobang yang mana Nek? Lobang

kencingmu?!" tanya Wiro.

 "Hik ... hik! Kau berpikiran kotor. Maksudku

mengapa bukan lobang hidung," jawab si Nenek.

 Sandaka masukkan jari telunjuk kedua tangannya

ke telinga kanan kiri si nenek lalu alirkan hawa sakti.

Si nenek tanpa banyak bicara lagi pejamkan ke dua

mata. Dia merasa ada hawa panas mengaliri liang

telinga, sebagian masuk ke kepala sebagian turun ke

dada.

 "Mataku terasa perih..."

 "Tidak sakit Nek. Matamu akan mengucurkan

sedikit darah. Kalau sudah maka kau akan terlepas

dari racun Jahat Tiga Momok itu."

 Nenek rambut kelabu merasa sakit sekail pada

kedua matanya Seperti dikatakan Sandaka dari ke dua

mata itu kemudian mengucur keluar darah kental

merah kehitaman.

 Sandaka meniup. Noda darah lenyap.

 "Kau sudah sembuh Nek. Kau boleh membuka

kedua matamu."

 Nenek jejadian buka kedua matanya. Dia hendak

mengucapkan terimakasih namun saat itu juga

Sandaka gerakkan tubuh dan berkelebat pergi dari

tempat itu.

 "Hai, kenapa pergi!" berteriak si nenek.


"Sandaka! Tunggu! Banyak hal ingin kutanyakan

padamu!" Wiro berseru. Namun Sandaka telah lenyap

dari pandangan sementara hari mulai gelap karena

sang surya telah tenggelam.

 Wiro berpaling pada nenek di sampingnya.

 "Nek, aku berterima kasih kau telah menolong Nyi

Retno dengan ilmumu Mengambil tubuhnya, menukar

dengan monyet hutan tanpa Tiga Momok itu

mengetahui. Ilmu kepandaianmu benar-benar luar

biasa.

 “Apa nama ilmu kesaktian itu Nek?”

 "Merubah Ujud. Menipu Pandang. Melindungi Raga." 

Jawab si nenek.

 "Hebat Nek. Sekali lagi aku berterima kasih. Sayang 

Nyi Retno sudah pergi. Seharusnya dia juga berterima 

kasih padamu karena telah menyelamatkan

jiwanya.Tapi jalan pikirannya masih kacau."

 "Jangan keliwat memuji ilmuku itu hanya bisa aku

keluarkan satu kali dalam tujuh rembulan. Yang lebih

hebat adalah nenek jahat musuh besarmu Nyai Tumbal

Jiwo. Dia bisa melakukannya setiap saat. Selain itu

dia mampu bersalin rupa menjadi gadis cantik. Kau

harus hati-hati..."

 "Tapi waktu kau berubah jadi Dewi Pemikat. Wah

Nek. kecantikan dan keindahan tubuhmu selangit

tembus!"

 Si nenek tertawa mengekeh sambil pegangi dada.

Mendadak dia hentikan tawa. Paras berubah. Dua

tangan masih di atas dada.

 "Eh, apa yang terjadi?"

 "Ada apa Nek"

 "Apa yang dilakukan sobatmu si Manusia Paku itu?"

 "Memangnya ada apa Nek?" kembali Wiro bertanya.

 "Dadaku..." Jawab si nenek Jejadian.

 "Dadamu sakit?"

 Si nenek menggeleng.

 "Lalu?"

 "Dadaku, sebelumnya leper rata. Sekarang kenapa

Jadi begini?"

 Dua tangan si nenek mengusap-usap dada.

 Wiro perhatikan dada nenek rambut kelabu itu.

Masih belum mengarti."Jadi begini bagaimana Nek?"

 "Wiro. dadaku jadi membusung besar

 “Hah?! Kau bergurau Nek?"


"Tidak. Tadi waktu Manusia Paku itu mengobati

diriku, ada hawa yang masuk ke dalam kepala dan

yang turun ke dada. Yang dikepala berhasil

memusnahkan racun. Tapi yang ke dada membuat

dadaku jadi melambung mekar besar begini rupa..."

 "Wah Nek, berarti kau beruntung. Mana, coba

kulihat." Kata Wiro pula.

 "Gila kowe!"

 "Bukan gila Nek. Aku cuma mau lihat apa dadamu

melambungnya sama besar kiri kanan. Soalnya yang

aku tahu Nyai Tumbal Jiwo si nenek alam roh jahat

itu pernah cuma satu dadanya saja yang melendung

seperti kelapa!"

 "Setan kau! Aku jadi bingung punya keadaan

seperti ini."

 "Kau jadi tambah bingung kalau nanti banyak

lelaki yang tahu dan mengejar-ngejarmu!"

 "Kau memang pantas disebut anak setan!" maki

si nenek. "Eh, aku mau tanya. Sobatmu yang muka

dan sekujur tubuhnya penuh paku tadi. Apa paku itu

juga menancap di anunya. Hik..hik!"

 "Kenapa kau tanya begitu Nek?"

 "Tidak apa-apa. Hanya kepingin tahu. Aku berpikir

soalnya kalau juga ada paku menancap di anunya.

bagaimana dia kelak berhubungan dengan Istrinya?

Hik...hik..hik!"

 "Agar kau bisa tahu Nek. kau saja yang jadi istrinya!" 

kata Wiro pula.

 "Dasar anak setan!" Si nenek tertawa cekikikan.

jewer telinga kiri Wiro lalu berkelebat pergi.

 Tinggal sendirian Wiro kini yang jadi bingung.

Terutama mengingat Nyi Retno Mantili yang selamat

akibat pertolongan si nenek tadi kini entah berada

dimana.

 "Sandaka Manusia Paku, apakah aku bisa

mempercayai dirimu."

 Apa sebenarnya hubunganmu dengan Tiga

Momok tadi? Jangan-jangan kau menyuruh mereka

pergi untuk mengejar dan menghadang Nyi Retno.

Jika sesuatu terjadi dengan Nyi Retno akibat

keculasanmu, aku akan mengejarmu sampai ke

jurang neraka sekalipun!

 Siapakah Sandaka si Manusia Paku tadi?

 Diceritakan bahwa dirinya adalah pemuda


bernama Sandaka Arto Gampito. Berkepandaian tinggi

murid seorang kakek sakti di Gunung Kelud yaitu

Eyang Gusti Kelud.

 Setelah selesai menuntut ilmu silat dan ilmu

kesaktian Sandaka dilepas turun gunung oleh sang

guru. Agaknya takdir buruk telah menunggu lelaki

berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Dia bertemu

dengan seorang perempuan cantik bernama Kunti

Arimbi berjuluk Dowi Ular. Sandaka bukan saja jatuh

cinta tergila-gila pada Kunti Arimbi. dijadikan budak

nafsu, tapi juga diperalat untuk membunuh banyak

tokoh silat rimba persilatan. Bahkan Sandaka juga

tega membunuh Eyang Gusti Kelud serta Mantili.

kekasihnya sendiri.

 Dengan menusukkan 30 buah paku baja putih ke

tubuhnya Sandaka berhasil diselamatkan oleh Datuk

Bululawang dari tangan Dewi Ular. Namun pemuda

itu kini menjadi peliharaan sang Datuk yang ternyata

menyukai sesama jenis. Sinto Gendeng turun tangan

memberikan dua buah paku emas pada Pendekar 212

Wiro Sableng. Paku pertama dipergunakan untuk

menolong Sandaka sedang paku kedua untuk

menghabisi Dewi Ular.

 Sandaka berhasil ditolong oleh Wiro. Dewi Ular

dapat ditusuk pusarnya dengan paku emas dan dalam

satu pertarungan hebat ditendang masuk ke dalam

jurang. Sandaka sendiri kemudian menjatuhkan diri

masuk ke dalam jurang yang sama. Untuk jelasnya

kisah mengenai Sandaka dan Dewi Ular harap baca

serial Wtro Sableng berjudul "Dendam Manusia Paku"

dan "Dewi Ular"



SEBELAS



DALAM serial Wiro Sableng berjudul "Api Di Puncak 

Merapi" diceritakan Patih Wira Bumi membawa satu 

pasukan besar untuk menyelidiki kebakaran besar yang

terjadi di puncak Gunung Merapi. Selain itu dia juga 

bermaksud menyergap Pangeran Muda, pimpinan

pemberontak yang menyebut diri Orang Orang Keraton 

Kaliningrat dan dikabarkan terlihat naik ke puncak 

gunung bersama beberapa pengiring untuk menemui 

Pangeran Matahari.

 Pangeran Muda ditemui di satu tempat dalam

keadaan hancur tangan kanannya akibat tendangan

Pangeran Matahari. Setelah dimintai keterangan Patih

Wira Bumi tanpa ampun menghabisi Pangeran Muda

dengan menusukkan sebatang tombak ke arah dada,

tepat di bagian jantung 

 Kedatangan Patih Kerajaan di puncak Gunung Merapi 

bersamaan dengan kehadiran beberapa tokoh

persilatan yang hendak membuat perhitungan dengan

Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa yang saat

itu memiliki satu senjata hebat dan luar biasa berupa

sebuah lentera bernama Lentera Iblis. Para tokoh silat

itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wulan Srindi,

Purnama, Setan Ngompol, Sinto Gendeng, Jatilandak,

Liris Biru serta Nyi Bodong yang kemudian diketahui

ternyata adalah Bidadari Angin Timur.

 Sang Pangeran sendiri didampingi Liris Merah, kakak 

Liris Biru murid mendiang nenek sakti Hantu Malam 

Bergigi Perak yang telah jatuh hati dan menjadi budak 

nafsu Pangeran Matahari.

 Patih Wira Bumi berusaha menangkap Pangeran

Matahari dengan dua tuduhan. Pertama telah

membakar kawasan puncak Gunung Merapi secara

sengaja. Kedua hendak mendirikan Partai Bendera

Darah yang bisa merongrong dan membahayakan

Kerajaan. Namun setelah hampir separuh dari anggota

pasukannya menemui ajal dibantai Pangeran Matahari

dengan Lentera Iblis. Patih Wira Bumi pergunakan akal, 

berlaku cerdik. Dia membiarkan para tokoh silat


DALAM serial Wiro Sableng berjudul "Api Di Puncak 

Merapi" diceritakan Patih Wira Bumi membawa satu 

pasukan besar untuk menyelidiki kebakaran besar yang

terjadi di puncak Gunung Merapi. Selain itu dia juga 

bermaksud menyergap Pangeran Muda, pimpinan

pemberontak yang menyebut diri Orang Orang Keraton 

Kaliningrat dan dikabarkan terlihat naik ke puncak 

gunung bersama beberapa pengiring untuk menemui 

Pangeran Matahari.

 Pangeran Muda ditemui di satu tempat dalam

keadaan hancur tangan kanannya akibat tendangan

Pangeran Matahari. Setelah dimintai keterangan Patih

Wira Bumi tanpa ampun menghabisi Pangeran Muda

dengan menusukkan sebatang tombak ke arah dada,

tepat di bagian jantung 

 Kedatangan Patih Kerajaan di puncak Gunung Merapi 

bersamaan dengan kehadiran beberapa tokoh

persilatan yang hendak membuat perhitungan dengan

Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa yang saat

itu memiliki satu senjata hebat dan luar biasa berupa

sebuah lentera bernama Lentera Iblis. Para tokoh silat

itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wulan Srindi,

Purnama, Setan Ngompol, Sinto Gendeng, Jatilandak,

Liris Biru serta Nyi Bodong yang kemudian diketahui

ternyata adalah Bidadari Angin Timur.

 Sang Pangeran sendiri didampingi Liris Merah, kakak 

Liris Biru murid mendiang nenek sakti Hantu Malam 

Bergigi Perak yang telah jatuh hati dan menjadi budak 

nafsu Pangeran Matahari.

 Patih Wira Bumi berusaha menangkap Pangeran

Matahari dengan dua tuduhan. Pertama telah

membakar kawasan puncak Gunung Merapi secara

sengaja. Kedua hendak mendirikan Partai Bendera

Darah yang bisa merongrong dan membahayakan

Kerajaan. Namun setelah hampir separuh dari anggota

pasukannya menemui ajal dibantai Pangeran Matahari

dengan Lentera Iblis. Patih Wira Bumi pergunakan akal, 

berlaku cerdik. Dia membiarkan para tokoh silat


menyelesaikan urusan dengan Pangeran Matahari.

Apa lagi dia menaruh firasat bahwa begitu selesai

urusan dengan Pangeran Matahari. Pendekar 212 Wiro

Sableng dan Setan Ngompol akan meminta 

pertanggung Jawabnya atas kematian Djaka Tua.

 Puncak Gunung Merapi menjadi arena pertarungan

hebat Walau Pangeran Matahari pada akhirnya dapat

ditamatkan riwayatnya oleh Sinto Gendeng yaitu

dengan meremas hancur kemaluannya atas petunjuk

Purnama namun Wulan Srindi sendiri tewas dalam

pertarungan itu.

 Patih Wira Bumi buru-buru kembali ke Kotaraja

dengan perasaan kecewa. Banyak anak buahnya yang

menemui ajal di tangan Pangeran Matahari. Dia

sendiri yang merasa telah mendapat Ilmu kesaktian

dan Nyai Tumbal Jiwo ternyata masih belum sanggup

menghadapi Pangeran Matahari.

 "Ada sesuatu yang tidak beres dengan ilmu yang

aku miliki. Apa yang terjadi? Tidak ampuh karena aku

masih belum membunuh bayi itu? Aku harus

menghubungi Nyai." pikir Wira Bumi.

 Karenanya begitu sampai di Gedung Kepatihan

malam harinya. Wira Bumi langsung masuk ke kamar

rahasia yang selama ini dijadikan tempat pertemuan

dan pelampiasan nafsu badaniah dengan Nyai Tumbal

Jiwo. Seperti biasa, Wira Bumi naik ke atas ranjang

setelah lebih dulu menanggalkan seluruh pakaiannya.

 Sambil berbaring meneJentang Wira Bumi berucap.

 "Nyai, aku Wira Bumi. Aku ingin bertemu.

Datanglah."

 Biasanya hanya dalam bilangan lima hitungan saat

itu juga Nyai Tumbal Jiwo muncul dalam ujud seorang

gadis cantik berkulit kuning langsat, berbaring di

samping Wira Bumi bahkan seringkali langsung

merebahkan diri menelungkup di atas tubuh sang

Patih.

 Namun sekali ini setelah ditunggu cukup lama bahkan 

Wira Bumi telah memanggil berulang kali sang Nyai 

tidak kunjung muncul.

 "Nyai. apa yang terjadi dengan dirimu? Apakah

kau tidak mau mengunjungku lagi? Apa kau sudah

bosan bermesraan dan bersatu badan denganku? Nyai

datanglah. Paling tidak tunjukkan ujudmu watau cuma

samar. Bicara pada saya..


Setelah berulang kali dipanggil tetap tak kunjung

datang. Wira Bumi menyalakan pendupaan. menebar

setanggi lalu kembali naik ke atas ranjang. Kali ini dia 

tidak berbaring tapi duduk bersila mengambil sikap

bersamadi. Dua mata dipejam.

 Sementara itu di luar gedung hujan turun lebat

sekali. Tiupan angin kencang menimbulkan suara

menyeramkan. Tiba-tiba jendela besar di samping

kanan ranjang terpentang lebar. Hawa dingin masuk

ke dalam kamar. Sesaat kemudian jendela tertutup

kembali.

 "Nyai...." Wira Bumi Merasakan ada getaran di

sekitar tubuhnya. Lalu dia mendengar suara

mengiang.

 "Wira Bumi, aku sudah datang.Tapi aku tidak bisa

memperlihatkan diri seperti sudah-sudah..."

 "Ada apa Nyai? Kenapa? Apa yang terjadi?"

 "Beberapa waktu lalu aku memergoki Pendekar

Dua Satu Dua di satu tempat. Ketika aku hendak

membunuhnya ada mahluk perempuan dari alam

gaib menolong. Mahluk itu memiliki ilmu kesaktian

yang sulit aku tandingi. Tubuhku dicabik-cabik. Aku

menemui kematian kedua. Aku hanya bisa muncul

kembali setelah seratus dua puluh hari...."(Baca serial

Wiro Sableng berjudul "Api Di Puncak Merapi")

 "Nyai. apakah mahluk perempuan dari alam gaib

itu punya nama dan bagaimana ciri-cirinya? Aku akan

mencari dan membunuhnya demi Nyai!'

 "Setahuku dia dipanggil dengan nama Purnama.

Dia selalu mengenakan pakaian biru. Rambut

digulung ke atas terkadang dilepas. Hati-hati Wira.

Perempuan ini tidak pernah jauh dari Pendekar Dua

Satu Dua Wiro Sableng."

 "Terima kasih atas petunjukmu Nyai. Saya tengah

menghadapi masalah. Keselamatan saya terancam.

Ilmu kesaktian yang kau berikan tidak mampu bekerja

sebagaimana mestinya."

 "Aku tahu Wira, aku tahu. Kau harus bisa

melaksanakan sumpah secepatnya. Membunuh bayi

Itu...."

 "Saya sudah mencarinya Nyai.Tapi bayi itu tidak

juga diketemukan. Yang muncul justru dua orang tak

dikenal. Malam ini ketika pesta berlangsung, ada yang

membunuh Cagak Lenting. Saya ingin merasa yakin


bahwa Nyi Retno lah yang melakukan. Mungkin ada

seorang yang membantu.Tapi dari mana perempuan

itu mendapatkan ilmu kesaktian?"

 "Apa kau lupa Nyi Retno pernah tinggal di tempat

kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak

Gunung Gede? Pasti Kiai satu itu yang punya

pekerjaan."

 "Lalu apa yang harus saya lakukan Nyai?"

 "Untuk sementara sebagal penjaga diri aku akan

memberikan kekuatan penangkal padamu. Kekuatan

itu juga akan memungkinkan diriku masuk ke dalam

dirimu sehingga jika sesuatu terjadi aku masih bisa

menolong. Jika aku masuk ke dalam tubuhmu maka

orang yang akan berbuat jahat padamu akan melihat

dirimu sebagai perempuan."

 "Terima kasih Nyai. Apakah aku bisa mendapatkan

penangkal itu sekarang juga?"

 "Tentu Wira. Letakkan keningmu di atas ranjang

lalu menungginglah. Kekuatan penangkal akan aku

masukkan ke dalam tubuhmu melalui dubur. Jangan

kaget atau takut bila nanti dari hidung, mulut dan dua

telingamu keluar mengucur darah merah."

 "Nyai, saya menurut apa yang kau katakan."

 Lalu Wira Bumi letakkan kening di atas ranjang.

Tubuh bagian bawah ditunggingkan ke atas. Saat itu

di dalam kamar muncul satu cahaya merah yang

keluar dari sebuah benda berbentuk paku sebesar jari

telunjuk dengan panjang satu jengkal. Paku bersinar

ini melayang tujuh kali seputar kamar lalu bergerak

ke bagian tubuh Wira Pati sebelah belakang.

 "Tahan Wira. Kau akan merasa sakit luar biasa.

Tapi hanya sebentar..."Terdengar suara Nyai Tumbal

Jiwo mengiang di telinga Wira Bumi.

 Paku bersinar tiba-tiba melesat ke arah bagian

bawah tubuh sang Patih, masuk ke dalam dubur. Saat

itu juga Wira Bumi menjerit keras akibat rasa sakit

luar biasa. Namun seperti yang dikatakan Nyai Tumbal

Jiwo rasa sakit itu hanya sekejapan. Lalu berganti ada

rasa sejuk sewaktu paku bersinar meluncur masuk

ke dalam tubuh. Begitu paku sampai di dada Wira

Bumi merasa ada hawa panas di sekitar kepala. Saat

Itu juga darah mengucur keluar dari lobang hidung,

mata dan mulut. Setelah beberapa lama kucuran darah

berhenti dan lenyap tanpa meninggalkan noda


sedikitpun.

 "Nyai....?"

 "Wira, kurasa ada baiknya kau pergi ke Goa Girijati.

Tinggal di sana barang beberapa hari untuk mencari

ketenangan."

 "Kalau itu memang baik untuk saya akan saya

lakukan Nyai,*'jawab Wira Bumi. "Saya akan berangkat

besok pagi. Lalu Nyai.... apakah kita tidak akan

bercinta malam ini...?"

 Sunyi.

 "Nyai, walau kau tidak bisa menunjukkan ujud,

apakah kau tidak bisa meraba tubuhku seperti

biasanya kau lakukan?"

 Tetap tak ada jawaban. Jendela kamar kembali

membuka lalu menutup lagi secara aneh.



DUA BELAS


SOSOK perempuan di atas pohon besar mendekap 

boneka kayu ke dada, mengusap punggung boneka

lalu berkata perlahan.

 Tenang Kemuning, jangan gelisah anakku. Aku 

Kasihan waktu kau kecebur dalam telaga. Untung 

nenek jelek itu menemuimu dan menyerahkanmu 

padaku. Kalau aku sampai kehilanganmu, aduh ...

Sudah dua malam kita datang ke tempat ini. Sekali ini 

aku merasa maksud kita akan kesampaian. Para 

pengawal sudah berkurang jamlahnya. Enam orang 

yang ibu curigai sebagai orang-orang rimba persilatan 

saat ini hanya tinggal dua. Malam Ini kita akan masuk 

ke dalam gedung. Akan kita gorok batang leher Patih 

keparat itu. Dia membunuh pengasuhmu. Dia juga 

punya rencana hendak mencelakai ibumu ini."

 Perempuan itu yang tentu saja Nyi Retno Mantili

adanya kemudian mencium pipi boneka lalu berbisik.

 "Apakah kau rindu pada si gondrong itu Kemuning? 

Apakah kau kangen pada orang yang aku inginkan 

menjadi ayahmu itu? Ya...ya... ya aku tahu kau tidak 

suka perbuatan Ibu. Tapi Ibu meninggalkannya karena 

masih jengkel. Dia mencegah Ibu membunuh Patih 

Wira Bumi. Dia mengatakan Patth itu adalah suamiku. 

Ayahmu! Gila sekali! Tapi.... menurutmu, apakah dia 

saat ini juga berada di sekitar tempat ini? Bisa saja. Dia 

juga sudah kangen sama kita. Mengintip intip kalau-

kalau kita ada di sini. Hik... hik...Tenang Kemuning. 

Jangan gelisah...."

 Malam merayap dingin dan sunyi. Enam orang

pengawal tampak mengelilingi Gedung Kepatihan.

Di salah satu sudut gedung dua orang tengah

bercakap-cakap. Mereka adalah tokoh silat dari Istana

yang diminta bantuan oleh Patih Wira Bumi untuk

mengawalnya. Sesekali satah seorang tokoh silat itu

naik ke atas wuwungan gedung untuk memeriksa

keadaan.

 Menjelang pagi Nyi Retno melihat salah satu dari

dua tokoh silat itu berjalan ke bagian belakang gedung.


"Bangun Kemuning, saatnya kita menyembelih

manusia keparat itu. Ingat, jika kau lihat kepalanya

menggelinding, darah muncrat jangan kau menjerit.

Kau anak Ibu. Kau tidak boleh takut!"

 Setelah menerapkan ilmu Di Dalam Kabut

Mengunci Diri Nyi Retno melayang turun dari atas

pohon. Dia melompati tembok rendah pembatas

halaman depan lalu dengan langkah tidak terlalu cepat

berjalan menuju halaman belakang. Di ujung gedung

langkahnya terhenti. Mata menatap ke arah kandang

kuda. Dua orang pengawal tengah menuntun empat

ekor kuda.Tak lama kemudian dari bagian belakang

gedung keluar tiga orang lelaki. Di depan sekali diingat

Nyi Retno bukan lain adalah Patih Wira Bumi. Di

sebelahnya seorang kakek berjubah ungu lalu seorang

lelaki muda bertubuh tegap.

 Tiga orang itu naik ke punggung kuda lalu melarikan 

tunggangan masing-masing ke arah halaman depan. 

Seorang pengawal telah membuka pintu gerbang 

Gedung Kepatihan. Nyi Retno berpikir sejurus lalu 

melompat ke atas punggung kuda ke empat yang 

masih ada di depan kandang. Dua pengawal tersentak 

dan berteriak kaget ketika melihat kuda itu tiba-tiba 

menghambur menuju halaman depan. Melewati pintu 

gerbang, berlari mengikuti tiga ekor kuda yang telah 

dipacu lebih dulu.

 "Aneh! Aku tidak melihat orang.Tapi bagaimana

mungkin kuda itu bisa lari seperti ada yang

membedalnya?!"

 Di salah satu sudut gelap atap Gedung Kepatihan

seorang yang sejak tadi mendekam tidak menunggu

lebih lama melesat turun. Laksana terbang melewati 

tembok depan dan lenyap ke arah perginya rombongan 

Patih Kerajaan dan Nyi Retno Mantili.

 "Sial'.Tak mungkin aku mengejar! Kalau saja aku 

tahu mereka menuju kemana...." Walau mengomel tapi 

orang ini masih terus mengejar. Sesekali dia

menggaruk kepala. "Kuda yang kabur tanpa 

penunggang itu pasti dinaiki Nyi Retno. Dia 

menerapkan ilmu menyembunyikan diri dari Kiai Gede 

Tapa Pamungkas."

 Tiga penunggang kuda di sebelah depan setelah

 memacu kuda masing-masing beberapa lama. salah

 seorang diantara mereka yaitu kakek berjubah ungu


tokoh silat bernama Ki Luwak Ireng berkata.

 "Ada orang mengikuti kita!"

 "Kanjeng Patih dan Ki Luwak Ireng, biar saya yang

 menangani. Saya akan menghadang dan mencari tahu

 siapa orangnya!" Yang bicara adalah lelaki muda

 berbadan tegap bernama Bantarangin, Kepala

 Pengawal Gedung Kepatihan. Dia segera hentikan

 kuda, memutar binatang ini menghadap ke arah

 datangnya orang yang membuntuti.

 Saat itu hari mulai terang-terang tanah. Tak selang

 berapa lama muncul seekor kuda coklat tanpa

penumpang. Bantarangin tahu betul kuda ini adalah

kuda di Gedung Kepatihan. Namun ada hal aneh

dilihatnya.

 "Heran! Kuda berlari kencang.Tapi tak ada yang

menunggangi!"

 Kepala Pengawal Gedung Kepatihan ini angkat

tangan kanan tinggi-tinggi sementara tangan kiri

menyentakkan tali kekang hingga kuda yang

ditungganginya kini melintang di tengah jalan.

 Kuda yang dihadang meringkik keras sambil

angkat dua kaki depan. Bantarangin memperhatikan

dengan mata besar, masih tidak bisa percaya kalau

kuda itu benar-benar tidak ada penunggangnya. Ola

hendak turun dari kudanya untuk memeriksa kuda

coklat itu. Namun gerakan Kepala pengawal ini jadi

tertahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara tawa

cekikikan lalu samar-samar tampak ujud seorang

perempuan mengenakan pakaian kembang-kembang

kuning dan biru. Dari bentuk samar perlahan-lahan

sosok perempuan itu berubah jelas. Seorang

perempuan sangat muda. masih belasan tahun,

bertubuh mungil, berwajah cantik dan membawa

sebuah boneka kayu yang dibedong di depan dada.

Bantarangin segera menegur.

 "Perempuan muda, aku tidak kenal dirimu. Tapi

kau menunggang kuda milik Kepatihan. Kau

menguntit mengejar kami. Kau tahu rombongan siapa

yang kau ikuti?! Kau Ini hantu atau apa?" Kepala

Pengawal Gedung Kepatihan ini memang tidak pernah

kena! atau melihat Nyi Retno Mantili sebelumnya.

 Di atas kuda coklat Nyi Retno Mantili sunggingkan

senyum. Lalu menjawab. "Kau tak perlu kenal siapa

diriku. Aku cukup tahu rombongan yang aku ikuti!


Dan aku bukan hantu! Nah, kau masih ada pertanyaan

lain? Kalau tidak iekas menyingkir! Jangan berani

menghalangi jalanku!"

 "Gadis galak..."

 "Huss! Siapa bilang aku gadis. Apa kau tidak melihat 

aku sudah punya anak yang saat ini ada dalam

bedongan di depan dadaku?!"

 Kepala Pengawal itu tentu saja jadi terheran-heran.

Namun dia tidak punya waktu banyak untuk melayani

Nyi Retno.

 "Dengar, siapapun kau adanya. Aku minta kau

kembali ke arah dari mana kau tadi datang. Jangan

berani mengikuti rombonganku. Cepat pergi!"

 Nyi Retno tertawa. "Kemuning, kau dengar ada

orang mengusir kita? Sombong benar! Apa dia merasa

jalan ini miliknya sendiri? Hik...hik!" Selesai berucap

Nyi Retno memandang tajam pada Bantarangin. "Kau!

Siapapun kau adanya aku tidak akan berkata dua kali!

Lekas menyingkir dari hadapanku!"

 "Kau membuatku marah!" bentak Bantarangin.

 "Kau yang membuat aku marah!" baias mem-

bentak Nyi Retno Mantili.Tangan kanannya bergerak

mengeluarkan boneka kayu dari dalam bedongan lalu

diarahkan pada Bantarangin. "Kau mau menyingkir

atau memilih celaka?!"

 "Perempuan gila! Apa yang bisa kau lakukan dengan 

sebuah boneka butut itu!" sambil tertawa mengejek 

Bantarangin gerakkan tangan kiri, hendak menepis 

boneka vang diarahkan padanya.

 Saat Itu juga Nyi Retno gerakkan jari-jari tangan

memencet pinggang boneka. Cahaya aneh begemeriap 

pada dua mata boneka. Lalu dalam bilangan

kejapan mata dua larik cahaya putih melesat ke arah

dada Bantarangin. Kepala Pengawal ini menjerit keras.

Tubuhnya mencelat tiga tombak dalam keadaan

terbelah di bagian dada talu jatuh tergelimpang di

tanah tak berkutik lagi. Darah membanjir!

 Kemuning, bukankah Ibumu sudah memberi

peringatan? Tapi orang itu tidak mau mendengar!"

Nyi Retno melompat turun dari kuda coklat. Walau

tubuhnya kecil namun dia tidak mengalami kesulitan

mengangkat mayat Bantarangin dan membaringkan

melintang di atas kuda yang tadi ditunggangi Kepala

Pengawal itu. Pinggul kuda ditepuk. Binatang ini


langsung menghambur lari ke arah jalan yang semula

ditempuh yaitu menuju pantai selatan. Nyi Retno

Mantili tertawa cekikikan. Dia kembali naik ke atas 

kuda coklat, mengikuti kuda yang membawa mayat

Bantarangin sambil menerapkan ilmu Di Dalam Kabut

Mengunci Diri.



TIGA BELAS


SETELAH berlalu cukup lama dan 

Bantarangin tidak kunjung muncul, 

baik Ki Luwak Ireng maupun Patih 

Kerajaan menjadi curiga. Keduanya 

sama-sama menghentikan kuda. Saat 

itu di timur fajar sudah menyingsing

dan sang surya siap menyembul 

menerangi jagat

 "Ki Luwak, aku kawatir sesuatu telah 

terjadi dengan Kepala Pengawal..." 

Berkata Patih Kerajaan.

 "Kalau Kanjeng Patih memberi izin 

saya.akan menyelidik." Ki Luwak Ireng orang tua 

berkulit hitam berjubah ungu yangtokoh silat Istana itu 

siap memutar kuda.

 "Pergilah. Aku akan menunggu di sini. Jika'kau

tidak menemui Bantarangin lekas kembali."

 Saat itu satu cahaya marah entah dari mana

datangnya menyusup masuk ke dalam kepala lewat

ubun-ubun Wira Bumi disertai terdengarnya suara

mengiang.

 "Wira Bumi, kau dalam bahaya..."

 "Nyai..." Patih Kerajaan berucap tercekat. Dia

merasa ada getaran di dalam tubuhnya. Sesaat

kemudian wajah dan sosoknya telah berubah menjadi

seorang gadis cantik mengenakan pakaian ringkas

wama merah muda. Inilah penampilan yang biasa

dilakukan Nyai Tumbal Jiwo jika dia hendak bercinta

dengan Wira Bumi. Namun kali ini ilmu kesaktian

tersebut dipergunakan untuk melindungi sang Patih

seperti yang dikatakan sang Nyai sebelumnya.

 "Akan saya laksanakan Kanjeng Patih." Kata Ki

Luwak Ireng menanggapi perintah Patih Wira Bumi

tadi. Lalu dia segera sentakkan tali kekang kuda.

Namun di depan sana tiba-tiba muncul seekor kuda

hitam, berlari kencang mendatangi. Di punggung

binatang Ini melintang sesosok tubuh berlumuran

darah yang masih mengucur membasahi tubuh kuda

dan berlelahan ke tanah.


"itu kuda Bantarangin!" Kata Patih Kerajaan.

Dadanya mendadak berdebar. "Ki Luwak lekas

periksa! "Walau ujudnya sudah berubah jadi seorang

gadis namun saat itu suaranya masih suara laki-laki,

suara Wira Bumi.

 Tidak menunggu lebih lama Ki Luwak Ireng yang

tidak melihat ke arah Patih Kerajaan cepat melompat

dari punggung kuda. Dengan satu gerakan kilat dia

menyambar tali kekang kuda hitam hingga binatang

ini meringkik keras dan berhenti berlari. Ki Luwak

cepat memeriksa. Dia segera mengenali sosok orang

yang sudah jadi mayat, di atas kuda hitam.

 "Kanjeng Patih! Bantarangin dibunuh!"

 Ki Luwak Ireng cepat turunkan mayat Kepala

Pengawal, dibaringkan di tepi jalan. Dia berpaling ke

arah Patih Kerajaan.

 "Kanjeng Patih..."

 Ucapan Ki Luwak Ireng terhenti ketika dia melihat

satu keanehan. Yang duduk di atas kuda di sebelah

sana bukan Patih Kerajaan Wira Bumi. tapi seorang

gadis cantik berkulit kuning langsat yang tidak

dikenalnya.Terheran-heran Ki Luwak bertanya.

 "Kau siapa? Mana Kanjong Patih Wira Bumi?!"

 Gadis cantik di atas kuda tidak menjawab. Hanya

tersenyum lalu memutar kuda siap tinggalkan tempat

itu. Ki Luwak Ireng cepat menghalangi dengan

menahan tali kekang kuda. Si gadis pegang tangan

tokoh silat itu seraya berkata.

 "Ki Luwak, aku pergi duiuan. Ada orang lain

mendatangi ke arah sini!" Suaranya kini benaran suara

perempuan.

 "Aku tidak mengerti. Orang lain siapa? Kau sendiri

siapa?!" Ki Luwak memandang berkeliling. Dia sama

sekali tidak melihat Patih Kerajaan. Tapi kuda yang

ditunggangi gadis tak dikenal itu jelas adalah kuda

yang tadi ditunggangi sang Patih.Tokoh silat Istana

Ini tak bisa berpikir loblh jauh karena saat Itu di

hadapannya telah berdiri seekor kuda coklat yang

penumpangnya seorang perempuan bertubuh kecil

dalam bentuk samar!

 "Siapa lagi ini?!" Pikir Ki Luwak Ireng sementara

gadis cantik di alas kuda yang tadi ditunggangi Patih

Kerajaan siap meninggalkan tempat Itu.

 Sosok samar di atas kuda coklat berubah jelas


lalu melesat ke udara dan turun di jalan menghadang

kuda yang ditunggangi gadis cantik berpakaian merah

muda. Ketika si gadis melihat siapa adanya perem-

puan bertubuh kecil yang menghadang kudanya,

kagetnya bukan alang kepalang.

 "Retno Mantili!" ucap si gadis di atas kuda dalam

hati dengan dada berdobar keras. Gadis Ini bukan lain

adalah perubahan bentuk dari Patih Wira Bumi selelah

roh Nyai Tumbal Jiwo masuk ke dalam tubuhnya. Di

saat yang sama si gadis mendengar suara mengiang.

"Wira Bumi tinggalkan tempat Ini! Cepat pergi ke Goa

Girijati!"

 "Nyai, aku harus membunuh perempuan itu. Kau

lihat sendiri! Dia adalah Retno Mantili. Istriku!"

 "Saatnya lidak tepat. Serahkan perempuan itu pada

Ki Luwak Ireng!" jawab suara mengiang.

 "Kalian berdua jangan ada yang berani tinggalkan

tempat ini!"Tiba-tlba perempuan yang menghadang

di tengah jalan yaitu Nyi Retno Mantili berteriak sambil

tangan kanan mengacungkan boneka kayu.

 "Ki Luwak Ireng! Kau urus perempuan sinting itu.

Aku harus segera pergi dari sini!" Kata si cantik diatas 

kuda.

 Ki Luwak Ireng jadi bingung.

 "Aku..."

 Gadis di atas kuda menggebrak tunggangannya.

Binatang ini menghambur ke depan, siap menerjang

Nyi Retno Mantili.

 "Hik... hik! Perempuan di atas kuda! Jangan

mengira aku tidak tahu siapa ujudmu sebenarnya!"

sewaktu terjadi perubahan rupa atas diri Wira Bumi

tadi Nyi Retno Mantili sempat melihat dan juga

mendengar Ki Luwak Ireng masih memanggil si gadis

dengan sebutan Kanjeng Patih. Tidak tunggu lebih

lama Nyi Relno tekan pinggang boneka. Dua larik

cahaya putih menyembur dari sepasang mata boneka

kayu. Sepasang Cahaya Satu Batu Kumala. Menyambar

dada dan kaki kanan kuda yang hendak menabraknya.

Dada terbelah, kaki kanan buntung. Kuda besar

meringkik keras lalu roboh ke tanah.

 Gadis berpakaian merah muda cepat selamatkan

diri dengan melesat ke udara. Jungkir balik dan

melayang turun ke belakang Ki Luwak ireng yang

sampai saat itu masih berdiri kebingungan, apa lagi


setelah menyaksikan kematian kuda besar dihantam

dua cahaya yang keluar dari sepasang mata boneka

kayu.

 "Ki Luwak Ireng, aku Patih Kerajaan! Bunuh

perempuan yang memegang bonoka itu."

 Ki Luwak Ireng berpaling. Dia tetap saja melihat

gadis cantik bukan Patih Kerajaan! Tambah bingung!

Di saat yang sama Nyi Retno Lestari sudah melompat

ke hadapan ke dua orang itu sambil mengacungkan

boneka kayu.

 "Ki Luwak! Kau tunggu apa lagi!" Bentak gadis

baju merah muda.

 Dalam bingungnya Ki Luwak ireng menerjang ke

arah Nyi Retno sambil lepaskan satu pukulan tangan

kosong mengandung tenaga dalam penuh dalam

jurus yang disebut Angin Melanda Puncak Mahameru.

 Angin sedahsyat badai menghantam Nyi Retno

hingga tubuhnya yang kecil terangkat satu tombak

ke udara. Dari tubuh boneka tiba-tiba keluar cahaya

berwarna Jingga, menebar menyelubungi Nyi Retno.

Membuat perempuan ini sama sekali tidak cidera oleh

hantaman serangan KI Luwak Ireng. Padahal

jangankan manusia, tembok batu sekalipun akan

hancur berantakan dilanda pukulan itu. Sambil tertawa

cekikikan Nyi Retno berteriak.

 "Tua bangka hitam keling! Aku tak ingin

membunuhmu. Tapi kau yang sengaja minta mati.

Lima jari tangan memencet pinggang boneka. Dua

larik sinar putih menyambar.

 “Dreet...dreett”

 Seperti digergaji tubuh Ki Luwak Ireng terbelah

mulai dari bahu sampai ke pinggul kanan. Mulutnya

masih sempat mengeluarkan jeritan keras sebelum

roboh ke tanah dan diam tak berkutik lagi! Darah

menggenang!

 Melihat kejadian ini dan tahu kalau kini dirinya

yang bakal jadi Incaran, gadis berpakaian merah muda

yang sebenarnya adalah Patih Wira Bumi segera

menghantam ke arah Nyi Retno dengan pukulan

Tangan Roh Memberi Rahmat inilah pukulan maut

warisan Nyai Tumbal Jiwo, hasil tapa tujuh bulan di

Goa Girijati. Selarik angin ganas menderu ke arah

batok kepala Nyi Retno.


"Hik ... hik! Kemuning! Ada orang hendak

membunuh kita dengan ilmu setan!"

 Sambil jatuhkan diri ke tanah dan berguling Nyi

Retno Mantili arahkan boneka kayu pada gadis baju

merah muda. Pinggang boneka ditekan, tangan

membuat gerakan membabat dari kiri ke kanan. Dari

dalam tubuh gadis baju merah muda muncul keluar

satu bayangan merah sambil dua tangan memukul

ke arah Nyi Retno Mantili. Namun sambaran Sepasang

Cahaya Batu Kumala datang lebih cepat, menyambar

leher si gadis baju merah.

 "Craasss!"

 Seperti dibabat sebilah golok besar leher itu putus.

Tubuh terbanting jatuh, kepala menggelinding. Di saat

yang bersamaan di kejauhan terdengar suara kambing

mengembik, keras dan panjang. Anehi

 Nyi Retno Mantili tertawa panjang.

 "Kemuning! Kita berhasil! Lihat! Manusia jahat

pembunuh pengasuhmu sudah mampus! Apa kita

akan meneguk darahnya," ihhh. jijik ... Ayo anakku,

kita pergi dari sini!"

 Nyi Retno Mantili susupkan boneka kayu ke dalam

kain bedongan yang melintang di dadanya, memutar

tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Kalau saja

Nyi Retno Mantili masih berada di tempat itu barang

beberapa lama maka dia akan melihat keanehan yang

tak bisa dipercaya. Dia menyangka telah membunuh

Wira Bumi yang merubah diri jadi gadis cantik

berpakaian merah muda. Padahal itu tidak pernah

terjadi!

 Hanya beberapa saat setelah Nyi Retno pergi.

Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tempat itu.

Murid Sinto Gendeng ini geleng-geleng kepala

berulang kali.

 "Ada seekor kuda menemui ajal! Seorang kakek

berjubah ungu dan seorang lelaki muda tewas

mengerikan. Lalu ada seekor kambing mati dengan

kepala putus.... Kambing! Aneh! Mengapa ada

kambing di tempat ini?! Memangnya ada yang mau

nyate?! Siapa yang membantai semua mahluk celaka

ini?! Nyi Retno, apakah kau yang punya pekerjaan."

 Wiro memandang berkeliling lalu menggaruk kepala


                                TAMAT


















Share:

0 comments:

Posting Komentar