Hak Cipta dan Copy Right
pada
BASTIAN TITO dlbawah
Lindungan
Undang-undang
Wlro Sableng terdaftar pada
Dep Kehakiman RI Direktorat
Jenderal Hak Cipta. Paten
dan
Merek dlbawah Nomor
004245
SI CANTIK GILA DARI
GUNUNG GEDE
---------------------------------------------------------------------
"Nyi Retno, kau tidak
boleh membunuh Patih
Wira Bumi!"
"Kau membelanya.
Apa dia sahabatmu?!"
"Tidak."
"Lalu mengapa aku tidak boleh membunuh manusia
jahat itu?!"
"Karena dia adalah suamimu." Jawab Wiro. "Dia
adalah ayah dari putrimu yang bernama Ken Permata.
Yang saat ini sudah berusia satu tahun."
Nyi Retno hentikan lari.
"Aku tidak pernah punya suami yang namanya Wira
Bumi. Aku tidak pemah punya anak bernama Ken
Permata! Wiro, kalau aku punya anak aku ingin
ayahnya adalah kau! Aku suka padamu! Kemuning
suka padamu!"
Bastian Tito
--------------------------------------------------
SATU
DEBUR ombak laut selatan yang menghantam
lamping batu di malam gelap tanpa bintang tiada
bulan terdengar menggidikkan.
Angin bertiup kencang, sesekali
menderu menimbulkan suara seperti
suling yang ditiup setan. Dalam
keadaan seperti itu, satu
pemandangan mencekam terlihat di
kejauhan. Di tengah laut dari arah
selatan tampak meluncur membelah
gulungan ombak besar sebuah
perahu kayu. Perahu meluncur pesat
tanpa didayung. Di atas perahu,
tegak berdiri agak membungkuk
sang penumpang yang ternyata
adalah seorang nenek berwajah keriput angker,
berpakaian selempang kain merah. Pakaian yang
dikenakan begitu seronok hingga menyingkapkan
bagian dada, perut bahkan aurat terlarang di bawah
pusar. Rambutnya yang Juga berwarna marah
melambai riap-riapan ditiup angin laut
Sepasang mata merah menatap tajam ke depan.
Mulut perot menyeringai memperlihatkan barisan gigi
serta lidah yang Juga berwarna marah. Sesekali dia
keluarkan suara bersiul seolah menyenangi alunan
ombak yang menghantam, membuat perahu melesat
ke udara sampai setinggi satu tombak.
"Hik ... hikt Tujuh bulan aku menunggu! Malam ini
maksudku akan kesampaian! Dia dapatkan ilmu. Aku
dapatkan tubuhnya yang kekar hangatl Hlk... hik.. aku
tahu. Aku tahu. Itunya pasti... hik... hik! Ki Batang
Kerso kau tidak ada apa-apanya dibanding dengan
orang itu! Hik... hik! Ah.... Aku akan mendapatkan
sejuta nikmat malam ini. Juga malam-malam lain
setiap aku membutuhkan dia atau dia menghendaki
diriku!"
Dalam asyiknya bicara sendiri sambil sesekali
bersiul si nenek seperti tidak menyadari kalau perahu
di atas mana dia berada hanya tinggal satu tombak lagi
dari lamping batu hitam yang membentuk dinding batu
setinggi belasan tombak. Si nenek masih saja tertawa-
tawa sambil membayangkan kenikmatan yang akan
dirasakannya malam itu.
"Braaakkk!"
Perahu kayu menghantam dinding batu. Hancur
berantakan. Sosok si nenek tidak kelihatan. Tetapi
astaga! Nenek berpakaian selempang kain merah itu
sekejap kemudian kelihatan melesat ke udara, lalu
melayang laksana seekor burung besar untuk
kemudian menukik turun dan jejakkan kaki tepat di
depan sebuah goa. Bau kemenyan menghampar keluar
dari dalam goa. Manusia biasa pasti akan bergidik
berada di tempat itu.
Orang yang memiliki kesaktian dan ilmu meringan-
kan tubuh bagaimanapun tingginya tidak akan
mungkin melompati dinding batu setinggi belasan
tombak. Namun si nenek dengan mempergunakan
kecerdikan berhasil membuat lompatan yang
melesatkan tubuhnya ke atas melewati dinding batu
dengan cara meredam lalu mengandalkan daya
kekuatan benturan antara perahu dengan dinding batu
sewaktu terjadi tabrakan.
Masuk ke dalam goa yang konon bernama Goa Giri
jati, si nenek dapatkan seorang lelaki bertubuh tegap
hanya mengenakan sehelai celana pendek hitam,
duduk bersila di lantai goa. Rambut tebal hitam
menjulai sebahu. Kumis dan janggut panjang
meranggas. Ketenangan tampak di wajahnya yang
gagah dalam usia belum mencapai setengah abad.
Dadanya yang bidang menonjolkan otot-otot yang
masih kekar. Di sudut goa sebelah kanan ada sebuah
obor kecil. Sementara di sudut goa sebelah kiri ada
pendupaan menyala menebar harum bau kemenyan.
"Anak manusia bernama Wira Bumi, pejabat
Tumenggung Kerajaan. Hentikan tapa samadimu.
Waktu perjanjian tujuh bulan sudah kau selesaikan.
Apa kau tidak mencium keharuman diriku berdiri di
depanmu?"
Si nenek keluarkan ucapan. Lalu dua tangannya
dikibaskan ke depan. Saat itu juga bau harum aneh
memenuhi seluruh goa bahkan menghampar keluar dan
ditebar oleh tiupan angin kemana-mana. Cuping hidung
lelaki yang duduk bersamadi kelihatan bergerak-gerak
pertanda dia sudah mencium bau harum yang ditebar
si nenek. Perlahan-lahan dia turunkan dua tangan
yang sejak tadi didekapkan di dada lalu diletakkan di
atas lutut kiri kanan. Perlahan-lahan pula orang ini
membuka sepasang matanya. Begitu pandangannya
membentur sosok si nenek seria merta sepasang mata
itu membuka lebih besar dan mulut berucap.
"Nyai..."
"Nyai! Nyai siapa?! Ada ratusan Nyai di kawasan ini!"
Si nenek menyentak.
"Nyai Tumbal Jiwo!"
"Nah itu memang namaku! Hik... hik... hik."
"Nyai, kau datang....apakah..."
"Wira Bumi, hari ini tapa samadimu yang kau
lakukan selama tujuh bulan telah selesai. Sesuai
permintaanmu, kau akan mendapatkan rejeki besar
dalam hidupmu, kau akan dianugerahi jabatan lebih
tinggi dari yang kau miliki sekarang. Dan yang paling
penting kau sudah mendapatkan dan menguasai semua
ilmu kesaktian yang kau inginkan..."
"Nyai Tumbal Jiwo!" Lelaki bernama Wira Bumi yang
menjabat sebagai Tumenggung Kerajaan itu buru-buru
jatuhkan diri. berlutut di hadapan si nenek sambil
berulang kali mengucapkan terima kasih.
"Dengar dulu, bicaraku belum selesai Wira Bumi!"
"Maafkan saya Nyai..."
"Kau mengakhiri tapa samadi dan mendapatkan apa
yang kau minta dengan cara dan jalan yang tidak
mulus. Ingat peristiwa lahirnya seorang bayi
perempuan dari istri mudamu bernama Retno Mantili?"
"Saya Ingat Nyai. Saya mengaku lalai dan salah.
Saya sudah mohon pengampunan dan Nyai telah
memberikan kebijaksanaan."
Si nenek berambut merah menyeringai. "Apa yang
kau katakan betul. Namun aku tidak bisa menguasai
seluruh alam roh dan alam gaib. Aku sudah memberi
jalan yaitu kau harus membunuh bayi yang lahir itu.
Namun orang suruhanmu, pembantu bemama Djaka
Tua justru melarikannya. Sampai saat ini walau tidak
tahu berada dimana tapi bayi itu masih hidup..."
"Kalau begitu saya akan turun tangan sendiri Nyai.
Saya akan cari bayi itu dan membunuhnya."
"Kau juga harus membunuh Nyi Retno Mantili."
"Perintah Nyai akan saya laksanakan," jawab Wira
Bumi.
Sepasang mata merah Nyai Tumbal Jiwo berkilat-kilat
memperhatikan sosok Wira Bumi.
Wira Bumi, setelah nanti kau kembali ke Kotaraja,
kau harus melaksanakan satu kaulan. Yaitu
mengadakan pesta hiburan untuk rakyat banyak yang
pasti juga akan dihadiri oleh mahluk-mahluk dari alam
roh secara tidak kelihatan. Kau harus menyediakan
satu meja khusus dilengkapi sesajen, dihias kembang
tujuh rupa. Kau juga harus menyalakan pendupaan
ditaburi setanggi di empat sudut rumah kediamanmu.
Kau mendengar dan mengerti?"
"Jelas dan mengerti Nyai," jawab Tumenggung Wira
Bumi pula.
"Bagus," si nenek tersenyum. Sepasang matanya
kembali berkilat. "Ada satu hal lagi. Sebelum kau
meninggalkan Goa Girijati ini, ada satu hal yang harus
kau lakukan. Maksudku kita! Ini termasuk cara
penangkal atas semua kelalaian yang kau lakukan."
"Apa yang Nyai akan katakan akan saya lakukan."
Nyai Tumbal Jiwo angkat dua tangan ke atas
merapikan rambut merah riap-riapan. Sekali dia
menggerakkan bahu dan pinggul maka selempang kain
merah yang jadi pakaiannya tanggal jatuh ke lantai
goa.
"Nyai...."
Wira Bumi melihat sosok telanjang Nyai Tumbal Jiwo.
tubuh kurus dibalut kulit hitam keriput. Lelaki ini cepat
tundukkan kepala tak berani memperhatikan lebih
lama.
'Tubuhku jelek, wajahku buruk. Apakah kau jijik
melihat diriku?" Nyai Tumbal Jiwo bertanya.
"Tidak Nyai, saya tidak jijik...."
"Lalu mengapa kau tundukkan kepala tak berani
memandang diriku."
"Maafkan Nyai. Saya menaruh hormat dan tidak mau
berbuat kurang ajar," jawab Tumenggung Wira Bumi.
Si nenek tertawa panjang.
"Angkat kepalamu! Lihat diriku!"
"Maaf Nyai, saya tidak berani..."
"Wira Bumi! Ini perintah. Kalau kau tidak
melaksanakan maka semua ilmu kesaktian yang kau
miliki akan tidak ada gunanya."
Mau tak mau Wira Bumi angkat kepala, memandang
ke arah sang guru. Sepasang mata lelaki ini serta
merta mendelik besar. Tak percaya akan apa yang
dilihatnya. Di hadapannya kini berdiri bukan lagi
seorang nenek hitam keriput berwajah setan.
Melainkan seorang gadis. Wajah yang tadi buruk kini
berubah wajah cantik jelita. Kulit yang hitam keriput
kini tampak kuning langsat dan mulus. Dada yang
sebelumnya rata ceper kini berubah padat besar
membusung.
"Bagaimana, apakah kini kau suka melihat diriku
seperti ini?" Bertanya si gadis yang merupakan
jejadlan Nyai Tumbal Jiwo.
"Nyai, saya..."
Gadis cantik jelita yang tidak terlindung auratnya
oleh selembar benang itu melangkah ke arah Wira
Bumi.
"Wira Bumi, kau harus menghiburku. Puluhan
tahun hidup di alam roh, terpendam dalam tanah
rasanya seperti di neraka..." Lalu si gadis cantik
dudukkan diri di pangkuan Wira Bumi. Rangkulkan
dua tangan ke punggung lelaki itu dan mendekapnya
erat-erat.
Tujuh bulan tak pernah menyentuh perempuan,
membuat Wira Bumi laksana terpanggang oleh nafsu.
Wajahnya dibenamkan ke dada putih padat sehingga si
gadis menggeliat dan mendesah panjang talu melumat
leher lelaki itu dengan gigitan penuh gairah.
DUA
DALAM episode berjudul "Lentera Iblis" diceritakan
Pendekar 212 Wiro Sableng pergi ke puncak Gunung
Gede guna menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Di
sana telah berada Nyi Retno Mantili. Wiro hampir
pangling karena Nyi Retno kini berada dalam keadaan
bersih, mengenakan pakaian baru kembang-kembang
biru dan kuning. Selain itu dia juga
berdandan apik hingga untuk pertama kalinya Pendekar
212 menyadari betapa cantik dan, anggunnya
perempuan malang ini. Dia juga kaget ketika kemudian
mengetahui kalau Nyi Retno Mantili pernah tinggal di
tempat itu bahkan sudah merupakan murid sang Kiai
karena kepadanya diajarkan beberapa ilmu kesaktian
agar dapat melindungi diri.
Dalam pertemuan dengan sang Kiai, demi untuk
menjaga keselamatan Wiro, Kiat Gede Tapa Pamungkas
melenyapkan jarahan tiga angka 212 di dada sang
pendekar. Lalu Kapak Naga Geni 212 berikut batu sakti
secara gaib dimasukkan ke dalam tubuh Wiro.
Sebelum meninggalkan telaga tiga warna tempat
kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas, orang tua itu
berpesan agar Wiro menjaga baik-baik Nyi Retno
Mantili. Dalam perjalanan, sambil beristirahat dibawah
sebatang pohon, Wiro berkata.
“Nyi Retno. ada satu hal yang hendak aku
sampaikan padamu”.
"Ah, senangnya aku mendengar kata-katamu.
Katakanlah apa yang hendak kau ceritakan. Bicara
yang keras agar Kemuning bisa mendengar, kata Nyi
Retno Mantili. Kemuning adalah boneka kayu yang
selalu dibawa kemana-mana oleh Nyi Retno dan
dianggap sebagai anak oleh perempuan yang berubah
ingatan ini akibat lenyapnya bayi yang dilahirkannya.
"Nyi Retno, beberapa hari lalu, dan keterangan
Djaka Tua aku berhasil mencari tahu siapa adanya
orang tua yang mengambil bayimu dari pembantu itu."
Kening Nyi Retno mengerenyit. Alis yang lengkung
bagus naik ke atas
"Tunggu dulu, ceritamu tidak lucu Wiro. Hik... hik!
Bayiku ada di sini. Lihat Ini. Kemuning! Ini bayiku!
Ini anakku!" Nyi Retno angkat boneka kayu yang
dipegangnya lalu didekatkan ke wajah Wiro sambil
tertawa panjang.
"Lucu atau tidak lucu seharusnya kau bertanya
siapa adanya orang tua itu." Wiro jadi mengkal.
Habis tertawa Nyi Retno berkata, "Kau tahu Wiro,
justru ada hal lain yang ingin aku bicarakan. Tadi
malam aku bermimpi. Mimpi buruk. Dalam mimpi aku
melihat Djaka Tua digantung kaki ke atas kepala ke
bawah. Aku kawatir..."
"Tak ada yang perlu dikawatirkan Nyi Retno. Djaka
Tua berada di kediaman Ki Tambakpati yang baru.
Tidak ada orang yang tahu. Tempatnya aman.." Dalam
hati Wiro mengomel. "Aku bicara soal anaknya dia
bicara soal mimpi! Geblek. Nggak nyambung!"
MIMPI Nyi Retno Mantili ternyata menjadi
kenyataan. Ketika sampai di pondok tempat kediaman
Ki Tambakpati yang tersembunyi di satu hutan jati,
bangunan itu ditemukan dalam keadaan porak
poranda, nyaris sama rata dengan tanah. Yang paling
mengejutkan Wiro dan Nyi Retno mendapatkan
pembantu malang itu telah menemui ajal secara
mengenaskan. Djaka Tua digantung di dahan satu
pohon besar, kaki ke atas kepala kebawah. Keadaan
mayat yang mulai membusuk pertanda pembantu
malang itu telah menemui ajal paling tidak sekitar
dua hari lalu.
Nyi Retno Mantili menjerit keras. Seperti ke-
masukan setan dia hendak menghancurkan pohon
besar. Wiro cepat merangkul perempuan itu.
"Nyi Retno, tenang. Biarkan aku mengurus jenazah
Djaka Tua dulu..."
"Aku akan mencari siapa pembunuhnya!" teriak
Nyi Retno.
"Kita akan menemukan pembunuh terkutuk Itu.
Sekarang harap Nyi Retno menjauh dulu. Aku akan
menurunkan mayat Djaka Tua lalu membuat lobang
untuk mengubur.'"
"Orang sebaik dia dibunuh! Sungguh keterlaluan!"
Nyi Retno menjerit lalu menangis keras sambil
mendekap boneka kayu ke dadanya. "Apa memang
selalu seperti ini nasib seorang pembantu? Dihina
dinista, diperlakukan semena-mena bahkan dibunuh!"
Di hadapan makam Djaka Tua Nyi Retno Mantili
bersimpuh di tanah. Lalu dengan suara masih terisak
dia bertanya.
"Wiro, kau tahu, paling tidak bisa menduga. Siapa
manusia terkutuk yang membunuh pengasuh
Kemuning itu?"
Wiro menggaruk kepala. "Aku menaruh curiga pada
Cagak Lenting. Orang yang mengaku dapat tugas dari
Patih Kerajaan. Setelah bentrok dengan Nyi Retno dia
pasti melapor pada Patih di Kotaraja. Lalu Patih
Kerajaan mengirim orang ke sini. Mungkin Cagak
Lenting atau bisa juga Patih Kerajaan turun tangan
sendiri."
"Hanya untuk membunuh seorang pembantu Patih
Kerajaan turun tangan sendiri? Sulit dipercaya! Pasti
ada sesuatu dibalik perbuatannya itu."
Wiro menatap wajah Nyi Retno cukup lama sambil
berucap dalam hati. "Kata-kata dan jalan pikirannya
bukan seperti orang tidak waras..."
"Seharusnya kubunuh manusia satu itu tempo hari!
Aku akan menyelidik ke Kotaraja! Siapapun yang
terlibat kematian pengasuh Kemuning akan kubunuh
habis!" Nyi Retno hendak memutar tubuh.
Wiro cepat pegang tangan perempuan ini.
"Nyi... Retno tunggu dulu. Jangan bertindak
tergesa-gesa. Yang aku pikirkan saat ini adalah Ki
Tambakpati. Ini tempat kediamannya. Tapi dia tidak
kelihatan. Aku kawatir diapun sudah jadi korban
keganasan..."
Belum selesai Wiro berucap tiba-tiba dari balik
rerumpunan di arah kanan satu pohon besar kelihatan
seseorang berjalan mengendap-endap. Wiro siapkan
pukulan tangan kosong bertenaga dalam tinggi
sementara Nyi Retno segera angkat boneka kayu lalu
diarahkan pada orang di kegelapan.
"Nyi Retno, tahan serangan. Aku seperti mengenali,"
ucap Wiro sambil pegang lengan kanan Nyi Retno.
"Siapa?" Wiro membentak.
"Aku! Ki Tambakpati! Wiro apa kau tidak mengenali
diriku?!"
Wiro dan Nyi Retno melepas nafas lega. Wiro cepat
mendatangi.
"Ki Tambak, apa yang terjadi. Pondokmu dihancurkan
orang!"
Djaka Tua digantung di pohon sana. Kami baru saja
menguburkan jenazahnya. Siapa yang melakukan?"
"DjakaTua datang ke pondokku. Aku mengobati
cidera di wajah dan sekujur tubuhnya. Menjelang pagi
tiba-tiba pintu pondok didobrak dari luar. Dua orang
menerobos masuk. Ternyata mereka adalah Cagak
Lenting dan Patih Kerajaan Wira Bumi! Aneh! Patih
Kerajaan melaksanakan sendiri tugas yang bisa
dilakukan oleh seorang perajurit! Mereka meng-
hancurkan pondokku. Djaka Tua diseret keluar. Dihajar
sampai babak belur. disiksa agar mau memberi tahu
dimana beradanya Nyi Retno Mantili dan bayinya..."
"Mengapa dua orang itu ingin tahu dimana aku dan
Kemuning berada?" Nyi Retno memotong dengan
pertanyaan.
"Orang-orang itu hendak berbuat jahat padamu,"
yang menjawab Wiro. Lalu memberi isyarat pada Ki
Tambakpati untuk meneruskan keterangan.
"Patih Kerajaan membujuk. DjakaTua akan diberi
uang banyak kalau mau memberi tahu dimana
beradanya Nyi Retno dan bayinya.Tapi pembantu itu
tetap tak mau membuka rahasia. Patih Wira Bumi
marah sekali dan habis sabar. Dia memerintahkan
Cagak Lenting menggantung Djaka Tua di cabang
pohon. Cagak Lenting alias Si Mata Elang benar-benar
menggantung Djaka Tua. Secara luar biasa kejam.
Kaki ke atas kepala ke bawah hingga pembantu itu
tidak segera menemui ajal tapi tersiksa dulu selama
satu hari lebih..."
Sampai di situ satu jeritan dahsyat menggelegar
dari mulut Nyi Retno.
"Cagak Lenting! Tunggu pembalasanku! Aku akan
gorok batang lehermu! Juga kau Patih keparat
bernama Wira Bumi! Akan kuhisap darah kalian!"
Selesai berteriak Nyi Retno segera berkelebat hendak
tinggalkan tempat itu.
Wiro cepat mencegah.
"Nyi Retno. Kau mau kemana?!"
"Wiro! Sekali ini jangan berani menghalangi diriku!
Aku akan ke Kotaraja! Mencari Cagak Lenting dan Patih
Wira Bumi! Aku tidak main-main! Aku bersumpah akan
menggorok putus batang leher mereka!"
"Nyi Retno, tenang. Jangan bertindak mengikuti
hati yang sedang panas. Jika Nyi Retno memang mau
ke Kotaraja sebaiknya bersama Wiro..." Berkata Ki
Tambakpati.
"Wiro! Mlnggir!" teriak Nyi Retno.
Wiro masih berusaha membujuk.
Nyi Retno habis sabar. Berteriak marah. Tangan
kanan bergerak.
"Bukk"
Wiro terjungkal jatuh duduk di tanah begitu jotosan
tangan kanan Nyi Retno Mantili mendarat di dadanya.
Mukanya tampak pucat dan dada berdenyut sakit.
Sesaat segala sesuatu di sekitarnya tampak kelam.
"Gila! Kalau saja dia memiliki tenaga dalam tinggi
pasti sudah jebol dadaku! Ilmu apa yang diberikan
Kiai Gede Tapa Pamungkas pada ibu si Kemuning ini!"
Membatin Wiro.
Melihat Wiro terjatuh, Nyi Retno terpekik! Kaget
sendiri dan menyesal! Langsung perempuan muda ini
jatuhkan diri, memeluk sang pendekar dan menangis.
"Wiro, aku..." Suara Nyi Retno tenggelam dalam
isakan tangis.
"Nyi Retno. kau memaksa pergi sendirian? Kau mau
meninggalkan aku begitu saja?"
Mendengar kata-kata Wiro Nyi Retno langsung
menggerung. Kepala digelengkan berulang kali.
"Wiro, kau ... kau tak apa-apa?" Nyi Retno usap-usap
dada yang tadi dipukulnya. Malah menciuminya
berulang kali. "Aku menyesal sekali. Mengapa kau tidak
menangkis. Mengapa kau tidak mengelak! Kau sengaja
membiarkan dirimu menerima pukulanku! Wiro! Pukul
aku! Pukul!"
"Nyi Retno, aku tahu perasaanmu. Sudahlah." Wiro
peluk tubuh mungil perempuan muda itu.
Walau sikap dan kemarahan Nyi Retno Mantili agak
mengendur namun niatnya untuk pergi ke Kotaraja
mencari Cagak Lenting dan Patih Kerajaan tidak dapat
ditahan. Malah kini dia yang membujuk Wiro agar
meluluskan permintaannya itu.
"Kemuning akan marah dan benci padamu, jika kau
tidak mau mendengar permintaan ibunya..."
Wiro garuk kepala lalu tertawa.
"Baik. kita sama-sama ke Kotaraja. Tapi dengan satu
syarat."
"Mengapa pakai syarat segala?" tanya Nyi Retno.
"Syarat apa?"
Terus terang saja aku juga punya banyak tugas yang
belum aku lakukan. Mencari sebuah kitab pengobatan.
Mencari tusuk konde guruku yang dicuri orang..."
"Segala tusuk konde saja jadi masalah. Pergi saja ke
pasar kau bisa beli. Berapa banyak yang diperlukan
gurumu?! Satu bakul atau satu karung?!"
Wiro tertawa dan tepuk-tepuk pipi Nyi Retno
Mantili. "Tugasku paling penting adalah mencari
manusia terkutuk berjuluk Hantu Pemerkosa. Dia juga
dikenal dengan nama Pangeran Matahari. Manusia
paling jahat dalam rimba persilatan..."
"Oooo begitu?" Nyi Retno runcingkan bibir."Wiro
kalau kau memang punya banyak tugas, sudah aku
pergi sendiri saja! Aku tidak mau merepotkan orang!"
Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili memutar
tubuh lalu sekali melompat dia sudah berada belasan
langkah di depan sana.
"Nyi Retno!Tunggu !Teriak Wiro lalu mengejar.Tapi
sampai beberapa lama berlari dia tidak mampu
mengejar perempuan muda itu.
Malah dari depan yang tidak disadari sang pendekar
ada angin mengandung hawa aneh yang membuat dia
tidak bisa berlari lebih cepat. Ini adalah ilmu kesaktian
yang diberikan Kiai Gede Tapa Pamungkas pada Nyi
Retno, bernama Menahan Kaki Menolak Raga, Siapa
saja orang yang melakukan pengejaran tak akan
sanggup menyusul sekalipun memiliki ilmu lari yang
hebat karena dua kaki akan terasa berat sementara
dada seperti ditahan.
"Aneh, ilmu lari apa yang dimilikinya?" pikir Wiro.
Dia kembali berteriak tapi Nyi Retno lari terus. Wiro
garuk kepala mencari akal.
"Nyi Retno, apa tidak kau dengar Kemuning
menangis? Biar aku yang menggendong nyai"
Mendengar kata-kata Wiro itu kali ini Nyi Retno
Mantili hentikan lari. Begitu Wiro sampai di depannya
Nyi Retno serahkan boneka kayu lalu kembali berlari.
Namun kali ini dia tidak menerapkan lagi ilmu Menahan
Kaki Menolak Raga.
Sambil lari di samping perempuan itu Wiro berkata.
"Nyi Retno. aku akan mengantarkanmu ke Kotaraja
Tapi ingat. Kita hanya mencari Cagak Lenting..."
"Mencari dan membunuhnya!" Ucap Nyi Retno
sambil terus lari dan tanpa berpaling pada Wiro. "Aku
juga akan mencari Patih Kerajaan dan membunuhnya!"
"Kau tidak boleh melakukan yang satu itu!"
Nyi Retno tertawa panjang.
"Manusia satu itu sama jahatnya dengan Cagak
Lenting. Malah lebih Jahat. Karena dia biang racun
yang memerintahkan Cagak Lenting untuk membunuh
Djaka Tual"
"Nyi Retno, aku katakan padamu. Kau tidak boleh
membunuh Patih Wira Bumi."
"Kau membelanya. Apa dia sahabatmu?!"
"Tidak."
"Lalu mengapa aku tidak boleh membunuh
manusia jahat itu?!"
"Karena dia adalah suamimu," jawab Wiro. "Dia
adalah ayah dari puterimu yang bernama Ken Permata.
Yang saat ini sudah berusia satu tahun dan berada di
satu tempat aman bersama seorang guruku."
Nyi Retno hentikan lari.
"Aku tidak pemah punya suami yang namanya Wira
Bumi. Aku tidak pernah punya anak bernama Ken
Permata!"
Wiro juga hentikan lari, menggaruk kepala." Kumat
lagi... kumat lagi penyakitnya."
"Wiro, kalau aku punya anak aku Ingin ayahnya
adalah kau! Aku suka padamu. Kemuning suka
padamu."
Wiro tatap wajah Nyi Retno. Sepasang mata
mereka saling beradu pandang. Wiro melihat dan
seolah baru menyadari betapa bening dan bagusnya
dua mata perempuan itu. Lalu wajah mungil yang
begitu jelita. Ada perasaan kasihan dalam hati sang
pendekar.
Tapi juga ada rasa sayang.
"Ah, hati dan perasaanku tidak boleh mempengaruhi
jalan pikiran!" Ucap Wiro dalam hati. Wiro lalu pura-
pura menciumi boneka kayu.
"Wiro, aku sedih sekali...."
"Mengapa kau sedih Nyi Retno?"
"Kau mencium Kemuning.Tapi tidak menciumku."
Murid Sinto Gendeng tertawa bergelak. Dia
bungkukkan kepala mencium kening Nyi Retno.
Perempuan itu berjingkat, menggayutkan kedua
tangannya di leher Wiro lalu membalas ciuman sang
pendekar dengan kecupan hangat di bibir.
TIGA
HASIL tapa samadi yang dilakukan Wira Bumi
selama tujuh bulan memang luar biasa. Tak lama
setelah dia kembali ke Kotaraja, jabatannya naik dari
Tumenggung menjadi Bendahara Kerajaan. Bersamaan
dengan kenaikan jabatan itu maka uang
serta hartanya jadi berlimpah. Sekali seminggu yaitu
pada setiap malam Jumat Nyi Tumbal Jiwo selalu
mengunjunginya untuk minta dilayani. Terkadang Wira
Bumi yang sudah ikut kerasukan nafsu setan si nenek
datang sendiri ke makam Nyai Tumbal Jiwo di
pekuburan Kebonagung. Padahal dia masih punya dua
orang istri yang masih muda-muda dan cantik yang
sejak kembali dari Goa Girijati tak pernah disentuhnya.
Di pekuburan si nenek telah menunggu dengan ujud
berupa gadis cantik. Di tempat terbuka ini, disaksikan
oleh makam-makam hitam membisu keduanya
bermesraan sampai sebelum fajar menyingsing.
Sebelumnya perbuatan semacam ini sering dilakukan
Nyai Tumbal Jiwo dengan Ki Batang Kerso, orang tua
kuncen penjaga makamnya sekaligus menjadi tempat
pelampiasan nafsunya. Namun sejak kuncen itu
dipecundangi oleh Wira Bumi dalam satu pertarungan
dan disuruh pergi maka kini Wira Bumilah yang jadi
pengganti pemuas nafsu badaniahnya.
Ternyata Nyai Tumbal Jiwo tidak hanya menginginkan
dan menuntut kesenangan dari Wira Bumi, nenek sakti
dari alam roh ini juga selalu berusaha agar Wira Bumi
dapat mencapai tingkat jabatan yang lebih tinggi. Maka
diam-diam dia menyusun rencana keji. Patih Kerajaan
Sawung Giring Brajanata dibunuhnya. Pembunuhan
diatur sedemikian rupa ketika seorang Kepala Pengawal
bernama Danang Kaliwarda datang menghadap sang
Patih. Ditemukannya mayat kedua orang itu di
pendopo Kepatihan mendatangkan sangka dan duga
bahwa mereka saling bunuh karena masalah dendam
kesumat dimasa lampau yaitu Danang Kaliwarda
dituduh berselingkuh dengan istri tua sang Patih. Tidak
sampai tiga puluh hari setelah kematian Sawung
Giring Brajanata, Wira Bumi diangkat menjadi Patih
Kerajaan yang baru.
SESUAI dengan perintah Nyai Tumbal Jiwo.
sekaligus sebagai syukuran atas pengangkatannya
menjadi Patih Kerajaan, Raden Mas Wira Bumi
mengadakan pesta besar di alun-alun di depan
Gedung Kepatihan. Disamping itu dia mengharap
pada pesta keramaian itu dia dapat menyirap kabar
dimana beradanya Nyi Retno Mantili dan bayi
perempuannya.
Yang paling banyak datang selain penduduk
Kotaraja adalah penduduk di desa-desa. Para tamu
disuguhi makanan serta minuman melimpah ruah, juga
ada hiburan berupa tari-tarian. ketoprak serta akrobat.
Setelah para tamu dikocok perutnya dengan lawakan
ketoprak maka kini giliran pertunjukan akrobat yang
sudah ditunggu-tunggu orang banyak karena
memang jarang-jarang ada.
Acara pertama pertunjukan akrobat dilakukan oleh
enam pemuda gagah berseragam pakaian ringkas
warna merah dan dua gadis cantik berseragam
pakaian biru. Didahului suara tiupan terompet seorang
pemuda bertubuh paling besar dan kekar naik dan
berdiri kokoh di tengah panggung, memanggul sebuah
balok melintang di bahu kiri kanan. Gong berbunyi.
Dua gadis melompat ke atas panggung, menari
memutari pemuda yang memanggul balok.Tak berapa
lama kemudian gong berbunyi lagi. Kali ini dua kali
berturut-turut. Maka dua pemuda dengan gagah dan
gerakan ringan melompat ke atas potongan balok.
Satu di sebelah kiri, satu mengimbangi di sebelah
kanan. Gerakan mereka menjejakkan kaki di atas balok
harus pada saat bersamaan. Kalau tidak maka balok
akan jomplang dan salah seorang dari dua pemuda
akan tejerumus jatuh.
Kembali gong ditalu dua kali. Dua pemuda lagi
melesat ke udara, jungkir balik satu kali lalu
melayang turun dan dalam saat bersamaan jatuhkan
diri duduk di atas bahu dua kawannya yang berdiri
di atas balok.
Orang banyak bertepuk tangan, sorak riuh
memenuhi seantero tempat. Ada pula yang bersuit-suit
tiada henti. Ketika gong kembali berbunyi. orang
banyak menahan nafas. Pemuda terakhir bertubuh
tinggi lentur melompat ke sebuah bantalan karet.
Tubuhnya dengan membal melesat ke udara
Sesaat kemudian pemuda ini telah berdiri dengan
kaki kiri kanan menginjak bahu dua pemuda yang
duduk di atas bahu dua teman lainnya. Kembali
tempat itu dipenuhi tepuk tangan serta sorakan
kagum.
Puncak pertunjukan akrobat yang menegangkan
ini segera datang. Dua gadis yang sejak tadi menari
berputar-putar, sambil bergandengan tangan berlari
ke arah bantalan karet Di tangan masing-masing ada
sebuah payung kertas warna kuning. Gong berbunyi
lagi. Kali ini disertai tabuhan tambur dan tiupan
seruling.
Dua gadis berteriak nyaring lalu melompat ke atas
bantalan karet. Saat itu juga tubuh mereka yang masih
saling berpegangan satu sama lain melesat ke udara.
Begitu mulai bergerak turun keduanya sama
kembangkan payung kuning. Gerakan mereka waktu
melayang turun indah sekali. Perlahan-lahan dua
gadis ini letakkan salah satu kaki di bahu kiri kanan
pemuda yang tegak berdiri di atas bahu dua temannya.
Suara gong dan tambur bertalu-talu. Tiupan seruling
mencuat nyaring. Pemuda yang berdiri diatas panggung
yakni yang memanggul balok besar perlahan-lahan
mulai memutar tubuhnya. Balok diatas bahu ikut
berputar. Selanjutnya para pemuda berpakaian merah
yang ada di atas turut pula berputar. Di tingkat paling
atas dua gadis berpakaian biru menari lemah gemulai
sambil tersenyum-senyum. Sungguh tontonan luar
biasa! Semua orang menyaksikan dengan menahan
nafas, mata tak berkedip. Namun sesaat kemudian
pekik sorak serta tepuk tangan dan suitan kembali
menggema di tempat itu.
Suara gong dan tambur terus bertalu-talu tiada henti.
Tiupan seruling melengking-lengking. Lalu terdengar
suara tiupan terompet. Itulah pertanda bahwa
pertunjukan pertama dari rombongan akrobat ini
berakhir sudah. Dua gadis cantik berpakaian biru
berseru nyaring. Tubuh mereka yang sejak tadi
berpegangan melesat berpisah. Satu ke kiri satu ke
kanan. Dengan mengandalkan daya tahan payung
kuning yang terkembang keduanya melayang turun
sambil meliuk-liukkan tubuh. Pemuda paling atas
menyusul melompat turun setelah lebih dulu berjungkir
balik di udara. Dua pemuda lainnya mengikuti
melompat turun, tak lupa berjungkir balik satu kali
sebelum menjejakkan kaki di panggung.
Pada saat itulah satu sosok berpakaian hijau entah
dari mana munculnya ikut melesat jatuh ke bawah.
Semua orang jadi heran. Mengapa orang yang turun
jadi tiga dan satu berpakaian hijau. Geger besar
melanda semua orang yang ada di tempat pertunjukan
sesaat kemudian. Kalau dua orang pemuda berpakaian
merah jejakkan kaki di lantai panggung dengan
gerakan enteng hampir tanpa suara maka sebaliknya
sosok ketiga yang berpakaian hijau jatuh terbanting
dengan suara keras.
"Braakkk!"
SEBELUM melanjutkan apa yang terjadi dalam pesta
di Gedung Kepatihan kita ikuti dulu perjalanan
Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Nyi Retno Mantili.
Keduanya sampai di Kotaraja pada malam yang sama
di mana tengah berlangsung pesta di tempat
kediaman Patih Kerajaan. Dari tempat tersembunyi
mereka memperlihatkan gerak-gerik orang ini.
Cagak Lenting langsung mencari tempat duduk di
antara para tamu terkemuka melainkan berjalan
memutari panggung lalu melangkah ke arah timur
lapangan yang dipenuhi banyak orang. Sekaligus
menyirap kabar keberadaan orang-orang tertentu.
"Wiro!" Suara Nyi Retno Mantili bergetar. Dia
menunjuk ke arah Cagak Lenting. "Itu jahanamnya!"
Darah langsung naik ke ubun-ubun. sepasang mata
berkilat penuh amarah."Aku akan membunuhnya saat
ini juga.
"Jangan lakukan di sini, Nyi Retno," Wiro cepat
mencegah. "Kita harus mengerjakannya di tempat
sepi."
"Mana ada tempat sepi di sini. Lihat saja, orang
begini banyak, berjubalan!"
Wiro menunjuk ke atap Gedung Kepatihan yang luas.
"Kau naik ke atas atap itu. Aku akan memancing cagak
Lenting..."
Nyi Retno tampak seperti berpikir lalu tersenyum
dan anggukan kepala. Dia. meenyelinap di antara
orang banyak. Di ujung lapangan sebelah timur
perempuan ini naik ke atas tembok halaman belakang
lalu melesat ke atas atap Gedung Kepatihan.
EMPAT
NYl RETNO tidak menunggu lama. Dalam
kegelapan malam dia melihat dua orang melesat ke
atas wuwungan. Di sebelah depan Wiro sedang di
belakang menyusul lelaki berpakaian hijau.
"Pendekar Dua Satu Dua! Kalau kau memang benar
mau menunjukkan dimana beradanya Nyi Retno, aku
tidak akan mencari perkara denganmu. Setelah aku
melihat perempuan itu kau bebas pergi. Tapi ingat, jika
kau memperdayai diriku di sini ada lebih dari selusin
tokoh silat Istana. Kau bisa mati konyol!"
"Jahanam pembunuh Djaka Tua! Kau yang akan
mampus duluan! Aku Nyi Retno Mantili yang kau cari
ada di sini!"
Tiba-tiba dari atas atap Gedung Kepatihan terdengar
bentakan perempuan. Berpaling ke kiri Cagak Lenting
melihat Nyi Retno Mantili berdiri di atas atap sambil
memegang boneka kayu.
Walau agak kaget namun Cagak Lenting umbar
senyum dan berkata. "Nyi Retno. Aku membekal pesan
dari Patih Wira Bumi. Apapun kesalahanmu dia telah
memaafkan. Sekarang mari turun. Ikuti aku menemui-
nya."
Nyi Retno menatap mendelik lalu tertawa panjang.
Sementara di bagian atap yang lain Pendekar 212
berjaga-jaga kawatir Cagak Lenting akan mengirimkan
serangan membokong. Baik Nyi Retno maupun Wiro
tidak percaya pada ucapan Si Mata Elang ini.
"Cagak Lenting, undangan Patihmu aku terima. Tapi
apakah aku boleh membawa serta anakku Kemuning?"
Nyi Retno bertanya.
"Tentu saja Nyi Retno.Tentu saja...." jawab Cagak
Lenting.
"Nyi Retno, awas orang mau menipu!" bisik Wiro.
"Ssttt.'Nyi Retno letakkan telunjuk tangan kanan
melintang di atas bibir. Mata dikedipkan lalu berpaling
pada Cagak Lenting. Sambil tersenyum dia berkata.
"Kalau begitu katamu jalanlah duluan! Maksudku
jalan duluan ke neraka! Hik...hik... hik!"
Nyi Retno tertawa melengking. Bersamaan dengan
itu tangan kanannya yang memegang boneka kayu
bergerak meremas pinggang. Dua larik sinar putih
melesat keluar dari sepasang mata boneka,
menyambar ke arah Cagak Lenting. Lelaki ini tidak
sempat keluarkan teriakan apalagi menyingkir
selamatkan diri. Dua sinar putih mendarat tepat
membelah di pertengahan kepala. Tubuh roboh
tergeletak di atas atap. Darah bergelimang sampai ke
dada. Seperti orang kemasukan setan Nyi Retno
Mantili angkat tubuh Cagak Lenting. Mulutnya siap
hendak menggeragot leher dan menghisap darah
orang yang telah membunuh Djaka Tua Ini.
"Nyi Retno! Jangan!" teriak Wiro mencegah. Dia
cepat tarik mayat Cagak Lenting lalu dilempar ke
bawah gedung. Tepat jatuh di atas panggung hiburan
yang saat itu ada pertunjukan akrobat.
"Braakk!"
Tubuh bagian pinggang ke bawah Cagak Lenting
amblas masuk ke bawah panggung yang jebol.
Sementara bagian pinggang ke atas terhenyak di atas
lantai. Darah mengucur dari batok kepalanya yang
rengkah. Orang banyak merasa aneh. Sewaktu jatuh
kepala itu tidak menabrak lantai panggung. Berarti
kepala itu memang sudah belah dan wajahnya sudah
hancur sebelum orang ini menghantam panggung!
Darah mengucur menggidikkan. Orang banyak mulai
ada yang berteriak-teriak. Suasana serta merta jadi
kacau balau!
Dua gadis pemain akrobat menjerit ketakutan
setengah mati, lari ke bawah panggung ditolong oleh
beberapa temannya. Patih Wira Bumi, seorang Perwira
Tinggi Kerajaan dan dua orang tokoh silat Istana serta
merta melompat ke atas panggung.
"Cagak Lenting!"
Beberapa orang termasuk Patih Wira Bumi sama-
sama berseru kaget ketika mengenali siapa adanya
orang berpakaian hijau yang menemui ajal secara
mengerikan di atas panggung pertunjukan itu walau
kepala dan wajahnya nyaris hancur. Perwira Tinggi dan
seorang tokoh silat segera menarik tubuh orang
berpakaian hijau dari jepitan papan tebal lalu
dibaringkan di lantai panggung. Orang ini ternyata
memang Cagak Lenting yang dikenal dengan julukan
Si Mata Elang.
"Kanjeng Patih, ada secarik kertas menempel di
punggung mayat." Perwira Tinggi Suko Daluh yang
barusan menarik tubuh Cagak Lenting memberi tahu.
Dia mengambil kertas itu, tanpa membaca tulisan yang
tertera, kertas langsung diserahkan pada Patih Wira
Bumi.
Ketika membaca tulisan di atas kertas, kaget sang
Patih bukan alang kepalang. Wajahnya berubah.
Karena ternyata tulisan itu ditujukan padanya.
Patih Kerajaan, siapapun namamu! Malam Ini aku
telah menyelesaikan sebagian dari hutang dendam
di antara kita. Kau dan Cagak Lenting telah
membunuh Djaka Tua secara keji. Cagak Lenting telah
menerima bagiannya. Giliranmu segera datang.
Bersiaplah menghadap setan neraka!
Tampang Wira Bumi berubah kelam membesi.
Rahang menggembung pelipis bergerak-gerak.
Sepasang mata seperti menyala. Kertas yang dipegang
diremas hingga hancur jadi bubuk!
"Perwira..." ucap Patih Wira Bumi dengan suara
bergetar. "Jika ada orang sanggup membunuh Cagak
Lenting lalu mampu melemparkan mayatnya tanpa
satupun di antara kita mengetahui, berarti si pembunuh
memiliki tingkat kepandaian sangat luar biasa. "Aku...."
Belum habis sang Patih berucap tiba-tiba seseorang
berteriak.
"Ada orang di atas atap!"
Patih Wira Bumi mendongak ke atas atap Gedung
Kepatlhan.
Dia tidak melihat apa-apa namun siap hendak
melompat ke atas wuwungan gedung.
"Kanjeng Patih, biar kami yang mengurus penyusup
kurang ajar itu!" Kata Perwira Tinggi Suko Daluh. Lalu
bersama tokoh silat Istana bernama Ki Wulur Jumena
dan Ki Genta Kemillng dia melesat ke atas atap Gedung
Kepatihan. Saat itulah dari atas atap gedung yang
gelap berkiblat dua larik cahaya putih menyilaukan
disertai tawa cekfkikan. Dua jeritan merobek udara
malam. Tubuh Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh
silat Ki Wulur Jumena melayang jatuh ke bawah. Orang
banyak yang ada di sekitar panggung berteriak dan
cepat menyingkir. Dua tubuh malang itu tergelimpang
di tanah. Kepala laksana dibelah. Wajah dan sekujur
tubuh bergelimang darah. Semua terjadi begitu cepat!
Patih Wira Bumi lari mendatangi. Dia bertanya pada
tokoh silat Istana yang selamat.
"Ki Genta Kemiling? Apa yang terjadi?"
Dengan wajah pucat dan tengkuk masih dingin Ki
Genta Kemiling menjawab.
"Saya melihat dua orang di atas atap. Ketika kami
bertiga menyerbu, tiba-tiba ada dua larikan cahaya
putih. Satu menghantam Perwira Tinggi Suko Daluh,
satunya menghajar Ki Wulur Jumena. Saya masih
sempat menyingkir. Suko Daluh dan Ki Wulur menjerit
lalu terpental jatuh ke tanah. Saya coba mengejar dua
orang yang masih ada di atas atap. Namun cepat sekail
mereka berkelebat pergi dan lenyap di kegelapan
malam di arah timur."
"Apakah kau sempat melihat atau mengenali siapa
mereka?"
"Saya hanya melihat sekilas.Tidak bisa mengenali.
Mereka satu perempuan satu telaki."
Tampang Patih Kerajaan jadi berkerut. Sulit dia
menduga siapa adanya ke dua orang itu.
"Kalau memang Nyi Reno Mantili yang melakukan
pembalasan, bagaimana dia mampu berbuat. Dia tidak
memiliki ilmu silat apalagi ilmu kesaktian. Tapi ada
kabar yang mengatakan bahwa dia pernah berada di
tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak
Gunung Gede. Jangan-jangan... Lalu siapa penyusup
satunya? Seorang lelaki...."
"Kanjeng Patih, apa yang akan kita lakukan. Suasana
pesta sudah kacau balau..." Bertanya Ki Genta
Kemiling.
"Minta semua tamu meninggalkan tempat ini. Suruh
mereka pulang. Aku..." Sang patih tak dapat
meneruskan kata-kata. Dia memutar tubuh dan
bergegas masuk ke dalam Gedung Kepatthan. Sampai
di dalam gedung dia langsung masuk ke sebuah
kamar yang tidak seorang lainpun boleh berada di
situ kecuali dirinya.
Sementara itu di atas Gedung Kepatihan Wiro pegang
lengan Nyi Retno.
"Nyi Retno, lekas! Kita harus tinggalkan tempat ini!"
"Enak saja kau bicara! Aku masih mau membunuh
bangsat bernama Wira Bumi Patih Kerajaan. Aku
sudah bisa menduga yang mana orangnya pasti orang
berpakaian mewah, bertubuh besar yang sedang
bicara di sana itu!"
"Nanti saja Nyi Retno. Keadaan di bawah sana sangat
kacau. Bisa berbahaya bagi dirimu. Aku melihat banyak
tokoh silat Istana berkeliaran. Selain itu Patih
Kerajaan tak tampak lagi di tempatnya." Tanpa
menunggu lebih lama Wiro lalu menarik lengan Nyi
Retno. Namun perempuan ini cepat menghindar dan
di lain kejap sosoknya seolah lenyap ditelan kegelapan
malam di atas wuwungan Gedung Kepatihan. Wiro
memandang berkeliling, menggaruk kepala.
"Dia menerapkan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci
Diri pemberian Kiai Gede Tapa Pamungkas. Aku tak
mungkin menemukannya...."
BEGITU berada dalam kamar,Wira Bumi nyalakan
sebuah pelita kecil lalu tanggalkan semua pakaian yang
melekat di tubuhnya. Dalam keadaan telanjang begitu
rupa dia naik ke atas tempat tidur, berbaring
menelentang. Mata dipejamkan, mulut berucap
perlahan.
"Nyai Tumbal Jiwo. Datanglah. Saya memerlukan
dirimu."
Tiba-tiba ada desir sambaran angin. Satu bayangan
merah menyusup masuk lewat celah jendela lalu
membentuk sosok seorang nenek. Sosok ini kemudian
dengan cepat berubah menjadi sosok seorang gadis
cantik menebar bau harum. Dua kali menggoyangkan
tubuh pakaian yang melekat tanggal jatuh ke lantai.
Gadis ini naik ke atas ranjang.
"Wira Bumi. aku datang. Aku sudah berbaring di
atas tubuhmu. Apakah kau merindukan diriku atau
ada sesuatu yang mengganjal hati dan pikiranmu?
Mari kita bercinta dulu. Semua kerinduan dan kesulitan
akan sirna."
LIMA
KAWASAN kaki selatan Gunung Lawu. Di satu
pedataran tandus yang dikenal dengan sebutan tanah
Plaosan, tak jauh dari reruntuhan candi tua yang nyaris
tidak berbentuk lagi. Saat itu di ambang sore. Hawa
panas yang sejak siang mendera pedataran kini mulai
berkurang. Tiupan angin dari timur perlahan-lahan
merubah udara menjadi sedikit sejuk. Dua orang
tampak duduk bersila di depan sebuah lobang yang
baru saja mereka gali. Dari mulut mereka keluar suara
meracau berkepanjangan entah merapal apa.
Di tanah di depan kedua orang ini tergeletak
gulungan daun lontar kering. Di tepi lobang sebelah
kanan terbujur satu sosok tubuh manusia yang sudah
jadi mayat, dibungkus dengan anyaman tikar daun
pandan kering. Setiap angin bertiup mayat itu
menebar bau busuk bercampur wanginya daun
pandan kering. Menimbulkan perpaduan bau yang
memuakkan dan bisa membuat orang muntah.
Namun ke dua orang tadi tampaknya tenang-tenang
saja seolah tidak berhidung tidak punya pen-
ciuman.
Lalat mulai banyak beterbangan. Di langit
serombongan burung gagak hitam pemakan mayat
terbang berputar-putar lalu hinggap di satu pohon
yang hanya tinggal batang, cabang dan ranting tak
berdaun menatap mengintai mangsa yaitu mayat yang
dijaga dua orang di samping lobang.
Dua orang lelaki yang duduk di depan lobang
sebentar-sebentar menatap ke langit, memperhatikan
sang surya yang warna putihnya penahan berubah
kuning kemerahan. Wajah mereka menunjukkan rasa
kawatir. Orang di sebelah kanan bertubuh kurus tinggi,
berpakaian kembang-kembang warna warni. Memiliki
rambut hitam lurus berjingkrak ke atas seperti lidi.
Kulit wajah dicat warna merah bergaris-garis hitam.
Sepasang mata diberi sipat kelabu kehitaman. Dihias
sepasang alis kereng melengkung hitam serta bibir
dilapisi gincu warna ungu. Sepuluh kuku jari
dipelihara panjang, dilapis cat berwarna ungu sama.
dengan wama gincu.
Teman di sebelah si muka merah Ini memiliki
wajah yang dicat kuning diberi garis-garis hijau,
bertubuh katai, mengenakan pakaian kuning
kegombrongan. Seperti si muka merah lelaki
satu ini juga memiliki rambut lurus hitam
menyerupai lidi.
Si muka merah bergaris hitam memandang lagi
ke arah sang surya di langit, sebelah barat. Mulutnya
berucap. Suaranya halus seperti perempuan.
"Saudaraku Momok Pertama, Tukak Racun Kuning,
tak lama lagi matahari akan segera tenggelam.
Saudara kita si Momok Ketiga Denok Tuba Biru belum
juga datang. Kalau matahari sampai tenggelam dan
jenazah guru belum masuk ke dalam liang lahat,
celaka kita semua."
"Saudaraku Momok Kedua Alis Bisa Merah, terus
terang aku juga kawatir. Kita berharap saja saudara
kita si Denok Tuba Biru tidak melalaikan tugas, tidak
mendapat halangan apapun. Dia pasti datang di saat
yang tepat..."
Baru saja lelaki berwajah kuning selesai bicara, dari
arah pedataran sebelah barat tampak debu mengepul.
Sebuah gerobak ditarik seekor kuda coklat berlari
kencang ke arah dua orang aneh yang duduk di tepi
lobang. Mendekati lobang dan kedua orang itu berada,
kusir gerobak berseru lantang lalu tarik kuat-kuat tali
kekang. Kuda coklat meringkik keras.Sesaat kemudian
kuda dan gerobak berhenti tak jauh dari tepi lobang.
Kusir gerobak melompat turun. Ternyata dia adalah
seorang perempuan berwajah biru bergaris-garis
kuning, bertubuh gembrot. Pakaiannya menyerupai
baju ketat tak berlengan dan celana monyet. Dari sela
ketiaknya menyembul bulu-bulu hitam, tebal dan
panjang. Pada lengan kanan sebelah atas ada jarahan
bergambar bunga mawar berwarna biru. Sepasang
anting besar bulat terbuat dan perak murni menyantet
di daun telinga. Pipi yang tembam, dada yang melar,
perut gembrot dan paha gempal berayun-ayun setiap
dia membuat gerakan. Inilah Momok Ketiga si Denok
Tuba Biru.
"Kalian berdua cepat bantu aku menurunkan barang
bawaan!
Lekas! Sebentar lagi sang surya akan tenggelam!"
Mendengar seruan itu Alis Bisa Merah dan Tukak
Racun Kuning melompat bangkit dari duduk masing-
masing. Dari dalam gerobak mereka menggotong
sebuah gentong besar terbuat dari kayu besi. Dari
dalam gentong yang tertutup bagian atasnya ini
membersit keluar harumnya bau tuak. Dengan hati-hati
gentong itu diletakkan di samping mayat yang
terbungkus tikar daun pandan kering.
Di atas gerobak terdapat sebatang pohon pinang
kuning dan satu karung besar yang tampak selalu
bergerak-gerak serta mengeluarkan suara mendesis
tiada henti. Karena tahu apa isi karung ini. Momok
Kedua Alis Bisa Merah tak mau bantu menggotong.
Dia hanya menurunkan batang pinang dan me-
nyeretnya ke tepi lobang lalu cepat-cepat menjauh.
Wajah menunjukkan perasaan takut. Sesekali tubuhnya
menggigil dan tekapkan dua tangan ke dada.
"Aku tidak mau bantu menurunkan karung itu."
kata Alis Bisa Merah. "Aku jijik, aku takut. Iihhhh!"
Perempuan gembrot berwajah biru tampak jengkel.
"Kalau kau tidak mau menurunkan ya sudah! Momok
Kedua, kau lebih perempuan dari perempuan! Dasar
banci! Aku saja yang perempuan sungguhan tidak
takut, tidak jijik! Kau cuma manja dan cengeng!"
"Saudaraku Denok Tuba Biru, jangan bicara begitu
padaku. Kau tidak tahu bagaimana nikmatnya jadi
lelaki sekaligus perempuan! Hik... hik!"
"Kalian berdua selalu saja bertengkar. Padahal saat
ini kita tengah menghadapi urusan besar! Apa kalian
ingin membuat bangun mayat guru dan memarahi kita
semua?!"
Habis memarahi kedua saudaranya itu Tukak Racun
Kuning lalu menurunkan sendiri karung besar dan
menyeretnya ke samping gentong kayu berisi tuak.
"Alis Bisa Merah, kalau kau takut menjauhlah. Aku
dan Denok Tuba Biru mau membuka karung dan
menuangkan isinya ke dalam gentong!"
"lihhhh!" Dengan mimik ketakutan lelaki bernama
Alis Bisa Merah yang memang seorang banci cepat-
cepat menjauh. Tukak Racun Kuning membuka
penutup gentong kayu. Lalu bersama Denok Tuba Biru
dia mengangkat karung besar, meletakkan karung di
pinggiran gentong. Sementara DenokTuba Biru
memegangi karung Tukak Racun Kuning membuka tali
pengikat bagian atas karung.
Setelah saling memberi isyarat Tukak Racun Kuning
dan Denok Tuba Biru mengangkat bagian bawah
karung tinggi-tinggi. Dari dalam karung berhamburan
jatuh ke dalam gentong berisi tuak puluhan ekor ular
berbisa, puluhan kala jengking, ratusan lipan dan
lusinan kodok hitam beracun!
Alis Bisa Merah terpekik ngeri, cepat-cepat
membuang muka memandang ke jurusan lain.
"Aduh aku mau kencing!" teriak si banci bermuka
merah ini sambil pegang bagian bawah perutnya.
Ternyata dia memang benar-benar kebelet kencing.
Karena tidak sanggup menahan Alis Bisa Merah lari
ke balik pohon kering, tarik ke atas pakaiannya yang
berbentuk jubah dalam lalu jongkok dan serrrr! Dia
kencing seperti perempuan!
"Dasar banci sialan!" maki Momok Ketiga Denok Tuba
Biru. Lalu perempuan gembrot ini cepat menutup
gentong kayu. Di dalam gentong terdengar suara-
suara aneh yang dikeluarkan berbagai jenis puluhan
binatang berbisa itu. Tak selang berapa lama
suara-suara itu lenyap dengan sendirinya.
"Saatnya kita memulai upacara," kata Tukak Racun
Kuning. Lalu dia berteriak memanggil Alis Bisa Merah.
Lelaki yang berdandan seperti perempuan ini datang
terbirit-birit sambil rapikan pakaian.
"Najis tidak cebok. Joroki" Mengumpat Tukak Racun
Kuning.
"Pantas kau bau!" menyambung DenokTuba Biru
yang ikut kesal.
Alis Bisa Merah cuma cengengesan."Kalian mana
tahu. Yang bau itu yang selalu disukai laki-laki! Hik...
hik...hik!"
"Tutup mulutmu! jangan bicara yang tidak-tidak!"
Hardik Tukak Racun Kuning. "Kita akan segera
memulai upacara pemakaman." Lalu lelaki ini kembali
duduk di depan lobang, diikuti DenokTuba Biru dan
Alis Bisa Merah yang masih cengar-cengir.
ENAM
SIAPAKAH tiga orang aneh yang berada di
pedataran Plaosan itu? Mereka adalah murid seorang
tokoh silat golongan hitam yang dikenal sebagai nenek
bisu jahat berjuluk Si Bisu Racun Akhirat. Nenek ini
dikenal sebagai orang nomor satu dalam dunia hitam
peracunan. Lebih tinggi dan lebih ganas tingkat
kepandaiannya dibanding Raja Racun Bumi
Langit ataupun Eyang Tuba Sejagat.
Murid pertama dan tertua bernama Tukak Racun
Kuning, dipanggil dengan sebutan Momok Pertama
yaitu lelaki yang mukanya dicat kuning bergaris hijau.
Murid kedua si banci berpakaian kembang-kembang
warna warni, berwajah merah bergaris hitam.bernama
Alis Bisa Merah, dikenal dengan panggilan Momok
kedua. Murid ketiga perempuan gembrot yang dikenal
sebagai Momok ketiga bemama Denok Tuba Biru.
Muka biru bergaris kuning.
Di usia hampir sembilan puluh tahun, sewaktu
sakarat, sebelum menghembuskan nafas terakhir dua
hari lalu si nenek memanggil ke tiga murid. Kepada
murid-muridnya itu, diwakili Momok Pertama nenek
gagu Si Bisu Racun Akhirat menyerahkan sebuah piring
perak serta satu gulungan tebal daun lontar.
Di atas piring perak tertera tulisan dalam bahasa
Jawa Kuna berbunyi:
Muridku Momok Pertama. Momok Kedua dan
Momok Ketiga.
Hidupku hanya tinggal dua hari. Jika ajalku
sampai maka ingat baik-baik apa yang harus
kalian lakukan.
Pertama gali liang lahatku di tanah Plaosan.
di bagian selatan candi runtuh.
Kedua bungkus jenazahku dengan tikar terbuat
dari daun pandan kering.
Ketiga, kuburkan diriku dengan satu upacara
sakral. Yaitu kalian harus menyiapkan satu
gentong tuak wangi.
Kedalam gentong harus kalian masukkan
binatang beracun hitam.
Masing-masing binatang tidak boleh kurang
dari dua belas ekor. Makin banyak akan lebih
baik bagi perjalanan arwahku.
Cari pohon pinang berbuah kuning
Ratakan tanah kuburku
Tancapkan pohon pinang kuning sebagal
pertanda
Petunjuk selanjutnya akan kalian dapat di
dalam gulungan daun lontar. Yang hanya boleh
kalian buka sebelum jenazahku kalian
masukkan ke dalam liang lahat.
Satu hal harus kalian Ingat baik-baikJenazahku
sudah harus dikubur paling lambat sebelum
matahari tenggelam hari kedua sesudah
kematianku
Kalian adalah murid-murid yang berbakti
Mulai hari ini aku nobatkan kalian bertiga
dengan nama Serikat Momok Tiga Racun.
Setelah kalian membaca dan memahami apa
yang tertulis di atas piring perak Ini harap kalian
segera memusnahkan piring perak dengan cara
membakarnya.
Sampai berjumpa di akhirat.
Aku: Si Bisu Racun Akhirat
Seperti yang dipesankan sang guru, ketiga murid
lalu membakar piring perak. Dua hari kemudian si
nenek Bisu Racun Akhirat benar-benar menemui
kematian. Tiga orang murid segera sibuk mempersiap-
kan upacara pemakaman sesuai dengan pesan sang
guru yang ditulis di atas piring perak. Yaitu menggali
liang lahat di pedataran Plaosan, pengadaan satu
gentong berisi tuak, mencari binatang berbisa serta
mendapatkan pohon pinang kuning.
SETELAH duduk di tepi lobang yang bakal menjadi
liang lahat sang guru Momok Pertama Tukak Racun
Kuning mengambil gulungan daun lontar kering yang
sejak tadi tergeletak di tanah. Dia menyodorkan
gulungan daun lontar itu pada Alis Bisa Merah. Lelaki
Momok Kedua ini gelengkan kepala.
"Kau saja yang membacanya," kata si banci.
Momok Pertama berpaling pada Momok Ketiga yaitu
Denok Tuba Biru. Si gembrot ini juga menggeleng
sambil berkata.
"Kau tahu aku tidak bisa membaca. Mengapa
menyuruhku?"
"Kalau begitu aku akan membuka gulungan daun
lontar dan membaca pesan yang dituliskan guru. Kalian
berdua harap mendengar baik-baik dan
memperhatikan."
Tukak Racun Kuning perlahan-lahan membuka
gulungan tebal daun lontar kering. Di atas daun lontar
sebanyak tiga gulungan itu tertera pesan Si Bisu Racun
Akhirat
Momok Pertama, Momok Kedua dan Momok
Ketiga.
Kalian telah membaca pesanku di dalam piring
perak
Sekarang inilah petunjukku berikutnya
Ilmu racun yang kalian kuasai yang sanggup
membuat orang menjadi cacat seumur hidup
atau mati seketika
Akan lebih langgeng dan lebih bertambah hebat
bilamana kalian mengikuti dan harus
melakukan apa yang aku tuliskan di bawah ini
Pertama aku yakin saat ini semua binatang
berbisa yang ada di dalam gentong berisi tuak
telah menemui ajal
Masing-masing kalian harus mengambil seekor
dari tiap jenis binatang beracun itu lalu
memakannya
Mendengar bacaan sampai disitu Momok Kedua
yaitu si banci Alis Bisa Merah langsung menggigil
tubuhnya.
"Ihhh.... aku...."
Momok Ketiga Denok Tuba Biru pelototkan mata
seraya berbisik. "Sekali lagi kau keluarkan suara
mengganggu bacaan Tukak Racun Kuning akan
kugebuk kepalamu."
Alis Bisa Merah hanya bisa manggut-manggut
sambil tutup wajah dengan dua telapak tangan.
Momok Pertama lanjutkan bacaannya.
Jika sudah teguklah sebagai minuman tuak
di dalam gentong
Kalian akan mendapat kesegaran dan kekuatan
Kalian akan mendapat kesaktian mandraguna
Setelah itu baca amalan yang aku ajarkan
sebanyak tiga kali
Masukkan jenazahku ke dalam liang lahat
Tuangkan isi gentong yaitu tuak dan semua
binatang berbisa ke dalam kuburku
Tutup kuburku dengan tanah.
Ratakan tanah hingga tidak berbekas
Tancapkan pohon pinang kuning sebagai
pertanda
Bila upacara pemakamanku telah selesai
berarti arwahku akan lebih tenang
dalam perjalanan menuju akhirat dimana aku
menunggu kedatangan kalian
"Ihhh...." Sampai di situ lagi-lagi Momok Kedua
Alis Bisa Merah yang tidak tahan mendengar dan
ketakutan kembali keluarkan suara."Aku belum mau
mati. Aku belum mau pergi ke akhirat. Di dunia ini
lebih enak..." ucapnya dengan suara halus gemetar.
"Plaakk!"
Momok Ketiga Denok Tuba Biru keplak kepala
Momok Kedua membuat lelaki banci ini serta merta
kancing mulut dan hanya berani menghela nafas
berulang kali. Setelah keadaan tenang kembali.
Momok Pertama Tukak Racun Kuning lanjutkan
bacaannya.
Walau sekarang aku sudah berada di alam lain
Aku selalu memikirkan agar kalian bertiga
menjadi raja diraja dalam dunia peracunan
rimba persilatan tanah Jawa
Aku ingin agar Serikat Momok Tiga Racun akan
menjadi-satu nama besar angker dan ditakuti
di delapan penjuru angin
Bahkan penguasa Istana sekalipun akan takut
serta tunduk pada kalian
Pahami dan laksanakan perintah yang aku tulis
dibawah ini
Kalian harus mencari, seorang perempuan
berotak tidak waras alias sinting alias gila.
Makin muda usianya makin bagus
Gantung tubuhnya kaki ke atas kepala ke bawah
di pohon yang memiliki cabang berjumlah
ganjil
Tunggu tiga hari sampai mayatnya busuk
Setelah tiga hari kalian harus menjebol tubuh
mayat di sebelah depan Momok Pertama, kau
harus mengambil dan memakan jantungnya
Momok Kedua kau harus mengambil dan
memakan hatinya
Momok ketiga kau. harus mengambil dan
memakan ginjalnya
Setelah hal itu kalian lakukan bakar mayat
berikut pohon Lalu pergi ke pantai selatan.
Berendam di laut dangkal selama tiga hari tiga
malam
Kalian kelak akan menjadi raja diraja
peracunan rimba persilatan tanah Jawa
Tidak ada orang yang mampu menandingi
kalian
Dari alamku aku akan bahagia melihat Serikat
Momok Tiga Racun berjaya di delapan penjuru
angin.
Aku: Si Bisu Racun Akhirat
"Huokkk!"
Baru saja Momok Pertama Tukak Racun Kuning
selesai membaca surat petunjuk sang guru. Momok
Kedua Alis Bisa Merah yang tidak bisa menahan rasa
jijik dan mual langsung semburkan muntah. Denok
Tuba Biru menyumpah habis-habisan karena pahanya
yang gempal terkena cipratan muntah.
SESAAT sebelum sang surya masuk ke ufuk
tenggelamnya dan siang berubah menjadi malam.
jenazah Si Bisu Racun Akhirat telah masuk ke liang
lahat Tuak dalam gentong yang dipenuhi ular, lipan,
kalajengking dan kodok hitam, semuanya
merupakan binatang sangat berbisa dituang
dimasukkan ke dalam kubur sang guru. Lalu tanah
galian diuruk kembali, di buat sama rata seperti
semula. Setelah itu pohon pinang kuning di-
tancapkan di tanah, di ujung lobang arah kepala
jenazah.
Begitu kegelapan malam mulai menyungkup
kawasan pedataran Plaosan, Tiga Momok
tinggalkan makam guru mereka tanpa satupun sadar
kalau gulungan surat yang terbuat dari daun lontar
kering tertinggal. Begitu angin malam bertiup agak
kencang, gulungan daun lontar terbawa melayang
ke arah timur.
TUJUH
TELAH lebih dari satu minggu Serikat Momok Tiga
Racun mencari perempuan gila namun tidak berhasil
menemukan.
"Kita makin jauh dari Kotaraja. Padahal aku kira
semua orang gila lebih banyak berada di Kotaraja
dan pada tempat lain Bagaimana kalau kita kembali
saja ke Kotaraja." berkata Momok Ketiga Denok Tuba
Biru ketika dia dan dua saudara seperguruannya duduk
melepaskan lelah di tepi sebuah telaga.
"Aku heran, mengapa guru menyuruh kita harus
mencari perempuan gila. Bukan lelaki gila Padahal
di tengah jalan kita sudah menemukan beberapa
orang lelaki gila," berkata Momok Kedua yaitu Alis
Bisa Merah. "Sudah, kita tukar saja dengan orang gila
laki-laki"
"Jangan berani berlaku lancang menyalahi aturan
dan perintah guru!" kata Momok Pertama Tukak Racun
Kuning marah.
"Maumu memang selalu laki-laki. Dasar banci!"
mendamprat Denok Tuba Biru. "Kalau laki-laki kau
mau mengambil dan memakan apanya? Bijinya?
Burungnya?!"
Alis Bisa Merah tersenyum lalu tertawa cekikikan.
Tiba-tiba Momok Kedua Ini tekap mulut hentikan
tawa Di kejauhan di salah satu ujung pinggiran
telaga yang cukup besar itu dia mendengar suara
orang menyanyi. Dua Momok lainnya juga sudah
mendengar.
"Ada perempuan menyanyi. Arahnya dari sana..."
Alis Bisa Merah menunjuk ke arah timur telaga.
"Bagaimana kalau kita selidiki? mengusulkan
DenokTuba Biru.
Ketiga orang itu sama-sama berdiri lalu sekali
berkelebat meroka sudah melesat ke arah timur
telaga. Di arah ini suara perempuan yang menyanyi
semakin keras dan syair lagunya semakin jelas.Tiga
Momok menyelinap ke balik semak belukar dan
mengintai.
Di atas sebuah batu besar yang menjorok ke dalam
telaga duduk seorang perempuan sangat muda,
bertubuh kecil, mengenakan pakaian biru, memiliki
wajah anggun rupawan. Di pangkuannya ada sebuah
boneka kayu. Sambil menyanyi perempuan ini
mengusap pipi kening atau kepala boneka.
Anakku Kemuning sudah lama kau tidak
melihat ayahmu
Entah dimana dia sekarang
Apakah kita yang akan mencari dia
Atau dia tengah mencari kita
Anakku Kemuning
Lekaslah besar
Agar ibu tak selalu mendukungmu
Kita pergi ke tempat Jauh
Tempat yang indah-indah
Agar kita bisa bersuka cita
Melupakan segala duka
Perempuan yang menyanyi yang bukan lain adalah
Nyi Retno Mantili rebahkan boneka di atas dada.
Sambil mengelus punggung boneka dia meneruskan
nyanyiannya.
Anakku Kemuning
Apakah duka hati bisa dilupakan
Apakah luka hati bisa disembuhkan
Kalau bertemu ayahmu nanti
Tanyakan padanya rahasia hati
Saat itu sementara menyanyi sepasang mata bening
Nyi Retno tampak berkaca-kaca. Lalu perlahan-lahan
air mata meluncur jatuh di pipinya yang kotor berdebu.
Di balik semak belukar MomokTiga Racun saling
berbisik.
"Ini yang kita cari!" ucap Momok Pertarma. "Tepat
seperti maunya guru."
"Akhirnya kita temui Juga," kata Momok Ketiga
dengan wajah merah gembira. "Perempuan gila.
Masih muua! Mengangap boneka sebagai anaknya!"
"Sayang bukan laki-laki gagah...." ujar Momok
Kedua.
Momok Pertama dan Momok Ketiga berpaling
sama-sama melototi Momok Kedua.
"Kau bicara seperti itu lagi!" bentak Momok Ketiga
DenokTuba Biru. "Kalau kau tidak senang, sebaiknya
kau pergi saja dari sini. Cari lelaki yang kau sukai!
Kutuk guru akan jatuh atas dirimu! Kau tidak akan
punya ilmu apa-apa!"
"Ssttt. jangan keras-keras nanti perempuan itu
mendengar dan melarikan diri..." Ucap Momok Kedua
sambil tersenyum. "Sudah tak perlu marah. Sebaiknya
kita segera menangkap perempuan sinting itu. Kita
pesiangi dengan cepat. Kailan makan jantung dan
ginjalnya. Aku melahap hatinyai Hik ...hik!"
Tanpa mengeluarkan suara ketiga Momok murid Si
Bisu Racun Akhirat itu menyelinap keluar dari balik
semak belukar lalu berkelebat mengurung Nyi Retno
Mantili yang masih bernyanyi-nyanyi, tenggelam
dalam perasaan. Namun begitu menyadari ada tiga
orang tidak dikenal mengelilinginya, Nyi Retno serta
merta hentikan nyanyiannya. Dia cepat memasukkan
boneka ke dalam bedongan di dada namun kemudian
dikeluarkan lagi. Nalurinya mengatakan ada bahaya
besar tengah mengancam dirinya.
"Kemuning anakku, kita kedatangan tiga tamu tidak
dikenal. Berwajah dan berdandan aneh. Aku tidak
mengenal satupun dari mereka. Apakah kau mengenal
salah seorang dari mereka?" Nyi Retno diam sebentar.
"Ah, rupanya kaupun tidak mengenal mereka. Anakku,
jika mereka datang membawa niat jahat bukankah
lebih baik kita mengusirnya sekarang juga?!"
"Perempuan muda berbaju biru, beranak boneka
kayu. Bernyanyi di tepi telaga sunyi. Membuat kami
bertiga kepingin tahu siapakah dirimu adanya" Momok
Pertama Tukak Racun Kuning bertanya.
Di sampingnya Momok Ketiga berbisik.
"Buat apa pakai bicara segala. Kita ringkus saja
sekarang juga! Cari pohon bercabang ganjil. Gantung
dia di sana!"
Tukak Racun Kuning tidak perdulikan bisikan Momok
Ketiga.
"Perempuan muda. apakah kau mau menjawab
pertanyaanku?"
"Hik... hik! Anakku Kemuning, ada orang bertanya
siapa diriku. Tapi dia tidak bertanya siapa dirimu.
Alangkah sombong dan tidak adilnya. Padahal aku
ibumu dan kau anakku!"
Tukak Racun Kuning melirik pada ke dua saudara
seperguruannya
"Perempuan muda, rupanya kau tidak senang kami
ganggu. Kalau begitu kami akan pergi saja.Teruskan
nyanyianmu tadi."
Ketiga Momok itu membuat sikap dan gerakan
seperti benar-benar hendak meninggalkan tempat itu.
Namun seperti kilat mereka berbalik. Dari jarak dua
langkah ke Tiga Momok tusukkan dua Jari tangan
kanan ke arah Nyi Retno. Melepas totokan Jarak jauh
bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan
Pernafasan.
DELAPAN
CAHAYA kuning melesat dari dua jari Momok
Pertama. Dua jari Momok Kedua memancarkan cahaya
merah sedang dari dua jari Momok Ketiga menyambar
sinar biru!
Totokan yang dilakukan ketiga orang itu adalah
totokan jarak jauh yang sangat ampuh
dan ganas. Dengan satu totokan saja jangankan
manusia sekecil Nyi Retno, gajah besarpun akan
amblas ditelan totokan. Apa lagi tiga totokan dilakukan
berbarengan oleh tiga orang berkepandaian tinggi.
Nyi Retno walaupun berotak tidak waras namun sejak
tadi dia sudah punya firasat kalau tiga orang tidak
dikenal punya niat jahat terhadapnya Maka begitu
Tiga Momok menggerakkan tangan dia segera
kerahkan Ilmu Cahaya Dewa Turun Ke Bumi yang
didapatnya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Saat itu
sekujur tubuh perempuan ini mulai dari kepala sampai
ke kaki dibungkus oleh cahaya aneh berwarna Jingga.
Tiga letusan keras berkumandang di tempat itu
ketika tiga cahaya totokan yang dilepaskan Tiga
Momok saling tabrak dengan cahaya warna Jingga
yang melindungi tubuh Nyi Retno.
Tanah bergetar. Debu menggebubu ke udara.Tiga
Momok tampak tergontai-gontai sementara Nyi Retno
Mantili walau terlindung dari totokan tetap saja
terpental jatuh dan menjerit seperti ada bagian tubuh
yang sakit. Wajahnya sedikit pucat dan dua tangannya
bergetar. Dari sudut bibir tampak ada lelehan darah
Didahului satu pekik kemarahan Nyi Retno Mantili
tiba-tiba melompat. Dia menerjang ke arah Momok
Kedua yang berada paling dekat.
"Racun Pelemas Raga!" tiba-tiba Momok Pertama
Tukak Racun Kuning berteriak. Dia jentlkkan jari
tengah tangan kanan diikuti oleh dua Momok lainnya.
Tiga cahaya terang, merah, kuning dan biru
menyilaukan mata berkiblat, menyambar ke arah Nyi
Retno. Saat itu Nyi Retno telah menerjang sambil
acungkan boneka kayu ke depan. Meski kesilauan dia
sempat melihat datangnya tiga cahaya yang
menyerang. Perempuan ini segera angkat boneka di
tangan kanan.Lima jari memencet pinggang boneka.
Dua larik sinar putih menyambar dari sepasang mata
boneka. Sepasang Cahaya Batu Kumala! Namun
karena serangan dilakukan dalam keadaan tubuh
terluka di bagian dalam, dua sinar putih hanya lewat
di atas kepala Tiga Momok. Sebaliknya serangan
Racun Pelemas Raga tepat mendarat di wajah Nyi
Retno. Walau wajah itu tidak cidera sedikitpun namun
saat itu juga Nyi Retno tidak ubah seperti benang
basah.Tubuhnya melosoh ke tanah. Boneka kayu di
tangan kanan terlepas, jatuh masuk ke dalam telaga.
Tiga Momok bergerak cepat Momok Pertama yang
merasa kawatir Nyi Retno akan mengadakan
perlawanan kembali dengan cepat tusukkan satu
totokan ke pangkal leher Nyi Retno yang sudah tidak
berdaya itu. Didahului satu keluhan pendek perempuan
ini terguling jatuh di tanah.
"Momok Pertama! Lekas gendong perempuan
sinting itui." berkata Momok Ketiga DenokTuba Biru.
"Kalian berdua ikuti aku. Aku tahu di mana beradanya
pohon bercabang ganjil!"'
"Dimana?!' tanya Momok Kedua si banci Alis Bisa
Merah.
"Tak jauh dari sini. Di tepi sebuah jurang! Sudah
jangan banyak tanya! Ikuti saja aku!" jawab Denok
Tuba Biru. Lalu perempuan bertubuh gembrot ini
berkelebat ke arah barat. Momok Kedua segera
mengikuti. Momok Pertama cepat gendong tubuh Nyi
Retno Mantili lalu berkelebat mengikuti dua saudara
seperguruannya.
Berlari kira-kira sepeminuman teh, Momok Kedua
sampai di tepi sebuah jurang.Tak jauh dari tepi jurang
berderet tumbuh beberapa pohon besar. Momok
Kedua menghampiri pohon paling ujung kiri. Dia
mendongak memperhatikan dan menghitung cabang
pohon. Ternyata borjumlah delapan cabang. Dia
pindah ke pohon yang di sebelah. Kembali
memperhatikan dan menghitung.
"Ini pohonnya!" ucap Momok Kedua. "Jumlah
cabangnya ada tujuh!
Momok Pertama Tukak Racun Kuning turunkan
tubuh Nyi Retno Mantili ke tanah. Dia berpaling pada
Momok Kedua Alis Bisa Merah.
"Keluarkan tali penggantung yang kau bawa."
Dari balik pakaian Momok Kedua keluarkan
segulung tali. Tali ini berbentuk kecil halus terbuat
dari jerami kering dilapisi getah pohon jarak hingga
menjadi lentur dan luar biasa kuat.
Momok Pertama ikatkan salah satu ujung tali pada
dua pergelangan kaki Nyi Retno Mantili. Ujung lainnya
dilempar ke atas cabang pohon di sebelah tengah.
"Biar aku yang menarik!" kata Momok Ketiga. Lalu
dia menjangkau ujung tali yang terjulai. Sekali
menarik tubuh Nyi Retno terangkat dari tanah. Tarikan
kedua tubuh perempuan malang itu naik setengah
tinggi tubuh manusia. Pada tarikan ketiga sosok Nyt
Retno Mantili tergantung sejajar kepala orang.
"Cukup!" kata Momok Pertama.
"Hai, apa kalian tidak melihat ada keanehan?"
bertanya Momok Kedua Alis Bisa Merah. "Tadi ada
kerlipan cahaya biru menyelubungi tubuh perempuan
sinting ini. Sekarang cahaya Itu masih ada di sekitar
dua kaki yang terikat."
"Perduli setan dengan segala macam cahaya!"
menjawab Momok Ketiga. "Sekarang sesuai petunjuk
guru kita menunggu tiga hari sampai mayatnya busuk."
Momok Ketiga berpaling ke arah Momok Kedua. "Alis
Bisa Merah, diantara kita bertiga kau yang memiliki
kuku paling panjang. Nanti kau yang akan menjebol
tubuh perempuan itu dengan kukumu yang lancip.
Ambil jantung, hati dan ginjalnya! Berikan padaku
ginjalnya. Berikan jantung pada Momok Pertama dan
kau boleh menyantap hatinya..."
Wajah merah Momok Kedua langsung berubah.
Tubuh menggigil dan dua tangan menekap leher.
"Aku... aku yang harus menjebol tubuh perem-
puan itu? Mengambil jantung, hati dan ginjalnya?
lihhhh ... Aku ngeri. Aku bisa pingsan. Kalian saja
yang melakukan. Cari kayu, dibuat lancip...'
Momok Kedua geleng-geleng kepala berulang kali.
"Kau selalu berdalih ini itu! Alis Bisa Merah
seharusnya kau tidak jadi murid Si Bisu Racun Akhirat
Tidak ada gunanya kau bergabung dengan kami!"
Momok Ketiga DenokTuba Biru marah sekali.
Momok Pertama ikut menimpali.
"Di Kotaraja ada perkumpulan manusia-manusia
banci sepertimu! Lebih baik kau pergi kesana.
Bergabung dengan mereka!"
Alis Bisa Merah mulai terisak dan tutup wajah
dengan kedua tangan. "Sebenarnya aku... aku tidak
akan menampik jika kalian memberi perintah. Tapi
ucapan kalian sangat menyakiti hatiku..."
"Kalau perlu kami akan menyakiti sekujur tubuhmu!"
Bentak Momok Ketiga.
"Sudah, sudah! Aku akan turuti permintaan kalian.
Aku akan merobek dada dan perut perempuan itu.
Nanti jika tubuhnya yang tergantung sudah busuk!"
Saat itu di langit yang menjelang sore serombongan
burung gagak hitam terbang berputar-putar di atas
pohon. Melihat ini Momok Ketiga kembali membuka
mulut.
"Burung-burung pemakan mayat sudah tahu kalau
bakalan ada mangsa di tempat ini. Mereka sudah
datang bersiap-siap. Kita jangan sampai keduluan.
Momok Kedua, aku dan Momok Pertama akan
beristirahat barang sebentar. Kau berjaga-jagalah.
Awasi burung-burung penggeragot mayat itu. Biasanya
mereka mulai bergerak begitu mayat mulai
membusuk!"
"Aku lagi yang kebagian pekerjaan. Kalian benar-
benar tidak adil!" umpat Momok Kedua si banci Alis
Bisa Merah dengan wajah merengut. Lalu dari balik
pakaian dia keluarkan sebuah cermin kecil. Sambil
memandang ke dalam cermin dia merapikan rambut
yang hitam lurus seperti lidi, mematik-matik alis dan
menjulur-julurkan lidah di atas bibir yang diberi gincu
ungu.
"Kita tengah menghadapi urusan besar. Kau masih
saja menyibukkan diri berdandan! Dasar banci!" ucap
Momok Ketiga.
"Aku melakukan apa saja yang aku suka. Kau tak
usah cemburu. Aku yang banci lebih bisa merawat
diri dari pada kau yang perempuan sungguhan.
Sekujur tubuhmu beriemak mulai dari pipi sampai
ke kaki! Siapa lelaki yang suka padamu. Melirik sajapun
tidak sudi!"
Seiagi Tiga Momok saling bersilang kata, mereka
tidak mengetahui munculnya satu cahaya putih
menyembul dan menyelubungi tubuh Nyi Retno
Mantili yang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah.
Namun Momok Pertama yang paling tinggi ilmu
kepandaiannya merasakan sesuatu. Dia menatap pada
kedua saudara seperguruannya.
"Apa kalian tidak merasakan ada siuran angin
barusan?"
Momok Kedua dan Momok Ketiga diam sesaat lalu
sama gelengkan kepala.
"Kita harus berhati-hati. Buka mata pasang telinga.
Sampai mayat perempuan sinting itu membusuk kita
tidak boleh berlaku ayal!"
Selagi Tiga Momok sibuk bicara satu sama lain.
lagi-lagi ada cahaya putih menyelubungi tubuh Nyi
Retno. Lalu cahaya ini keluar dari sosok perempuan
itu. melesat ke arah timur dan lenyap dari
pemandangan.
TIDAK SAMPAI tiga hari. pada pagi hari kedua
mayat Nyi Retno Mantili yang tergantung mulai
menebar bau busuk.Tiga Momok memperhatikan lalu
Momok tertua berkata.
"Momok Kedua, kau bersiaplah. Aku akan memutus
tali penggantung. Begitu mayat busuk jatuh di tanah
kau cepat menjebol dada dan perut mayat..."
Momok Kedua Alis Bisa Merah rentangkan lima jari
tangannya yang berkuku panjang runcing berwarna
Jingga.
"Aku sudah siap,'" ucap momok banci ini dengan
suara keras walau agak gemetar.
Tiba-tiba di atas pohon, belasan burung gagak
pemakan mayat yang telah mendekam sejak Nyi Retno
mulai digantung mengeluarkan pekik keras. Binatang
ini berlesatan ke udara, terbang bergerombol,
membuat dua kali putaran lalu menukik ke bawah.
menyambar ke arah mayat yang tergantung.
"Burung-burung keparat! Kalian hendak mendahului
kami! Terima bagian kalian! Mampuslah! Maki Momok
Ketiga. Perempuan bertubuh gemuk ini kibaskan
tangan kanannya ke atas.
"Wuttt!"
Selarik sinar biru setengah lingkaran menerpa ke
atas. Belasan burung gagak menukik keras. Tubuh
mereka terlempar dua tombak ke udara. Begitu
melayang jatuh semuanya telah berubah jadi sosok
arang biru mengepulkan asap sangit.
"Saudara-saudaraku, sekarang saatnya!" berseru
Momok Pertama Tukak Racun Kuning. Jari telunjuk
tangan kanan dijentikkan.
"Tass!"
Tali yang menggantung Nyi Retno Mantili putus
pada ketinggian dua jengkal di atas pergetangan kaki.
Tak ampun sosok jenazah yang mulai membusuk itu
jatuh terhempas ke tanah, tergelimpang menelungkup
tak berkutik.
"Momok Kedua! Lakukan tugasmu!" perintah
Momok Ketiga.
SEMBILAN
DENGAN kaki kirinya Momok Kedua balikkan mayat
Nyi Retno Mantili hingga tertelentang. Perlahan-lahan
dia lipat dua lutut, jongkok di samping mayat. Tangan
kanan diulurkan menekan pundak kiri mayat, tangan
kanan mementang lima jari berkuku panjang.
"Crass!"
Lima jari ditancapkan didada kiri, tepat arah jantung.
Lalu breett! Lima jari ditoreh menyilang ke kiri
kemudian lurus ke bawah. Sosok mayat robek mulai
dari bagian dada sampai ke bawah pusar.Luar biasa
mengerikan!
"Aku sudah mengambil hatinya! Kalian silahkan
mengambil sendiri bagian masing-masing!" Berkata
Momok Kedua sambil melompat lalu berdiri menjauh.
Momok Pertama dan Momok Ketiga menyumpah
marah karena tadi jelas Momok Kedua diperintahkan
untuk sekaligus mengambil jantung, hati dan ginjal.
Sekarang setelah membedol hati dan siap untuk
memakannya, dia suruh dua saudara seperguruan
untuk mengambil sendiri jantung dan ginjal. Walau
marah namun Momok Pertama dan Momok Ketiga
terpaksa melakukan. Momok Pertama memuntir
jantung lalu membetotnya. Sementara Momok
Ketiga mencengkeram dua buah ginjal dan
membedolnya keluar! Darah bergenangan dimana-
mana.
Selesai melakukan perbuatan yang sangat
mengerikan, benar-benar diluar akal dan perikema-
nusian itu Tiga Momok pergi ke telaga untuk mencuci
tangan dan muiut yang penuh bercelemongan darah.
Setelah itu ketiganya sama-sama berlutut di tanah dan
berseru berbarengan.
"Guru! Kami telah melaksanakan perintahmu! Hari
ini nama Serikat Momok Tiga Racun berkibar di rimba
persilatan tanah Jawa! Kami bertiga mohon restumu
dari alam akhirat!"
Tiga Momok berdiri kembali.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya
Momok Kedua sambil usap-usap dada dan sebentar-
sebentar keluarkan suara seperti kesolekan menahan
mual yang ingin membuatnya muntah.
Kita sudah punya dua rencana. Kita berangkat
ke Kotaraja sekarang juga. Kita akan meracuni
seluruh tokoh silat Istana. Setelah semua mereka
mati kita akan menemui Sri Baginda, mengatakan
bahwa mulai saat itu kekuasaan berada di tangan
Serikat Momok Tiga Racun! Sri Baginda tidak lain
hanya boneka suruhan kita belaka! Ha ... ha..ha!"
Momok Pertama tertawa bergelak. Lalu melanjutkan
ucapan. "Rencana kedua. Jika Sri Baginda menolak
dan tidak mau tunduk pada kita maka seluruh
keluarga Istana termasuk Sri Baginda akan kita
racuni sampai semua mereka menemui ajal di
tangan kita! Sekarang mari kita tinggalkan tempat
celaka ini!"
Tiga Momok serentak berdiri.Tanpa menoleh lagi
pada mayat yang berbusaian dan tergelimpang di
tanah ketiganya melangkah pergi.
Namun belum sampai berjalan sepuluh langkah
jauhnya dari tepi telaga tiba-tiba tiga murid Si Bisu
Racun Akhirat yang menamakan diri Serikat Momok
Tiga Racun ini sama hentikan langkah. Tak jauh di
depan mereka, di tengah jalan yang akan mereka lalui
bergolek melintang seorang pemuda berambut
gondrong berpakaian putih. Kaki kiri diletakkan di atas
lutut kanan- Dua tangan disusun di atas mulut, jari-jari
bergerak dan dari mulutnya meluncur suara
berkepanjangan menirukan suara suling.
"Tulit ...tulit ...tulilit....liitt....tuut!Tuuut!
Habis menirukan suara suling si gondrong ini
tertawa gelak-gelak lalu kembali: "Tulit... tulit...Tutt
... tuttt... littt... tittitt! Ha... ha... ha!"
"Orang sinting lelakil Tubuhnya kekar, wajahnya
gagah! Ah, rejekiku besar sekali hari Ini! Kalau yang
satu ini biar aku yang menangani sendiri! Pasti
itunya keras. Jangan berani ada yang mengganggu!
Hik... hik!" Momok Kedua si banci Alis Bisa Merah
berseru gembira. Dia segera hendak melangkah ke
arah si pemuda yang bergolek di tengah jalan.
Namun tangannya cepat dicekal oleh Momok
Pertama.
"Jangan berlaku gegabah! Pemuda tak dikenal itu
sepertinya sengaja menghadang kita."
"Eh, masakan kau takut sama orang sinting?"tukas
Momok Kedua.
"Jangan-jangan dia laki perempuan sinting yang
kita bunuh!" kata Momok Ketiga. Lalu menyambung
ucapannya. "Mari kita dekati, tapi hati-hati. Kalau
dia membuat gerakan mencurigakan langsung
bunuh dengan pukulan beracun!" kata Momok
Pertama pula.
Momok Ketiga yang juga sudah memperhatikan
wajah si pemuda berkata pada saudara tuanya itu.
"Jangan buru-buru dibunuh. Aku ikut tertarik.
Mudah-mudahan saudaraku Momok Kedua tidak
cemburu kalau aku yang lebih dulu mendapatkannya!"
"Kau dan Momok Kedua sudah pada gila semua!"
rutuk Momok Pertama. Namun ketiganya kemudian
sama maju melangkah mendekati pemuda di tengah
jalan.
Tiga langkah di depan si pemuda mereka berhenti.
Pemuda di tengah jalan juga hentikan mulutnya yang
tulat-tulit. Lalu berguling ke kiri dan duduk di tanah.
Tangan kiri menggaruk kepala, tangan kanan
menunjuk ke arah Tiga Momok.
"Kalian sobatku muka warna warni!" si gondrong
yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng
keluarkan ucapan. "Kalian bertiga habis makan besar!
Mengapa tidak membagi-bagi barang sedikit padaku?!
Padahal aku lagi lapar-lapar buaaanget! Bagaimana
rasanya makan jantung, hati dan ginjal monyet besar?
Nyam ... nyam... nyam! Pasti enak ya?!"
"Pemuda gila! Lekas menyingkir. Kami mau lewat!"
Bentak Momok Pertama.
"Heh. jalan ini cukup lebar. Kalian boleh lewat di
samping kiri atau di sebelah kanan. Tinggal pilih!
Begitu saja repot! Tapi kau belum menjawab
pertanyaanku! Bagaimana rasanya Jantung, hati dan
ginjal monyet? Benar-benar enak? Gurih?"
"Hai! Kami barusan bukan makan jantung, hati dan
ginjal monyet.Tapi jantung, hati dan ginjal manusia!
Perempuan sinting!" Yang berucap adalah Momok
Kedua si banci Ali Bisa Merah sambil tersenyum dan
kedipkan mata ke arah Wiro.
Momok Ketiga ikut bicara. "Sayang kami baru ketemu
dirimu saat ini. Kalau sejak tadi-tadi kau muncul pasti
kami bagi!"
"Aneh. kalian bilang makan jantung, hati dan ginjal
manusia. Perempuan sinting. Tapi yang aku lihat kalian
barusan melahap jantung, hati dan ginjal monyet hutan
besar!" kata Pendekar 212 Wiro Sableng pula sambil
balas kedipan mata si banci Alis Bisa Merah lalu
sunggingkan senyum pada Denok Tuba Biru.
"Dasar sinting! Aku perintahkan sekali lagi lekas
menyingkir! Atau kau akan jadi mayat busuk di tempat
ini!" Momok Pertama mulai marah. Dia memberi
isyarat pada dua saudaranya.
Wiro bangkit berdiri sambil keluarkan suara
berdecak.
"Ck...ck...ck! Sombongnya main perintah. Aku
mau bikin apa di jalan ini siapa yang berani melarang?
Memang jalan ini punya bapak gundulmu?! Aku bicara
soal monyet kau bicara soal menyingkir! Hati-hati
kalian bertiga, sehabis makan jantung, hati dan ginjal
monyet hutan sebentar lagi kalian akan punya sifat
seperti monyet Menyeringai cekikikan, garuk-garuk
pantat, kencing awut-awutan..."
Momok Pertama dan dua momok lainnya saling
pandang.
"Hai! Kalian rupanya tidak percaya. Yang kalian
santap tadi bukan jantung, hati dan ginjal,
perempuan sinting. Tapi jantung, hati dan ginjal
monyet! Kalau tidak percaya berpalinglah ke
belakang! Lihat mayat siapa yang menggeletak di
tanah sana!"
Yang menoleh duluan adalah Momok Kedua si
banci Alis Bisa Merah. Begitu menoleh dia langsung
keluarkan suara tercekat dan wajah berubah. Dua
Momok lainnya serta merta ikut memandang ke
belakang. Seperti Momok Kedua, mereka juga terkejut
Di belakang sana, di tempat dimana seharusnya mayat
perempuan sinting tergeletak dengan isi perut
berbusaian, kini yang kelihatan adalah bangkai seekor
monyet hutan berbulu coklat dengan perut robek
menganga!
"Dua saudaraku, apa kita tidak salah melihat?"
Berkata Momok Pertama.
Tidak mungkin!'' ucap Momok Ketiga DenokTuba
Biru dengan mulut ternganga.
Berlainan dengan dua saudaranya yang terkejut
dan terheran-heran Momok Kedua Alis Bisa Merah
putar wajah ke arah Wiro, tersenyum kedip-kedipkan
mata sambil acung dan goyang-goyang Jari tangan
kanan.
Ketika Momok Pertama berpaling dan melihat
kelakuan Momok Kedua dia segera membentak marah.
"Momok Pertama, jangan marah dulu. Lebih baik
kita datangi pemuda itu. Tanyakan siapa dia dan
selidiki bagaimana hal aneh ini bisa terjadi. Siapa tahu
kita bisa bersahabat dengannya." Berkata Momok
Kedua sambil kembali layangkan senyum ke arah Wiro.
Murid Sinto Gandeng yang sudah bisa membaca
keadaan membalas senyum, tempelkan dua jari tangan
kanan di bibir lalu dilayangkan ke arah Momok Ketiga
yang membuat si banci ini jadi tertawa girang tersipu-
sipu!
"Momok Kedua! Kau tunggu di sini! Aku dan Momok
Ketiga akan mendatangi pemuda itu! Awas kalau kau
berani mendekati pemuda itu!"'
Kata Momok Pertama pula. Lalu bersama Denok
Tuba Biru dia mendekati Pendekar 212 yang menanti
kedatangan mereka sambil rangkapkan dua tangan
di depan dada.
Empat langkah di depannya Wiro mengangkat
tangan.
"Kalian berhenti disitu. Jangan berani lebih dekat
lagi. Aku tidak mau ketularan Jadi monyet!"
Dengan menahan amarah Momok Pertama berkata.
"Kami tidak mengenalmu. Apa kau mau
menerangkan siapa dirimu? Lalu bagaimana
kejadiannya mayat perempuan itu bisa Jadi monyet
hutan?"
"Ah.... Kalau sekedar menjawab pertanyaanmu, apa
susahnya. Aku orang sinting lakilaki yang nyasar di
tempat ini. Si baju warna warni itu pasti suka padaku.
Mengapa dia tidak boleh datang mendekat ke sini?"
"Jawab saja pertanyaanku tadi!" bentak Momok
Pertama.
"Soal monyet hutan itu, aku orang yang memeli-
haranya. Soal mengapa kalian menoreh perutnya lalu
menyantap jantung, hati dan ginjalnya biar orang lain
yang menjawab!"
Selesai berkata Pendekar 212 keluarkan suara
bersiul. Dari balik pohon besar di tepi telaga
menyeruak keluar dua perempuan, satu muda dan
satunya sudah nenek-nenek.
Melihat si perempuan muda Tiga Momok melengak
kaget, memandang mendelik tidak berkesip penuh rasa
tidak percaya!
SEPULUH
DUA perempuan yang keluar dari balik pohon adalah
Nyi Retno Mantili sambil memegang boneka kayu yang
basah. Di sampingnya melangkah tertawa-tawa nenek
berambut kelabu bermata merah mengenakan jubah
kuning yang bukan lain adalah kembaran ke tiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu.
"Hik..hik! Aku melihat tampang mereka sudah mulai
mirip-mirip monyet hutan..." berucap si nenek sambil
tertawa cekikikan.
"Kau keliru Nek. bukan tampang mereka yang
berubah mirip-mirip monyet, tapi pantat mereka yang
akan lebih dulu berubah merah seperti pantat monyet
ledes!" Kata Pendekar 212 Wiro Sableng pula lalu dia
dan si nenek tertawa gelak-gelak sementara Nyi Retno
Mantili hanya senyum-senyum.
"Saudaraku, bagaimana mungkin..." bisik Momok
Pertama Tukak Racun Kuning. "Kita sudah meng-
gantungnya. Merobek perutnya. Memakan jantung,
hati dan ginjalnya. Ternyata dia masih hidup. Dan
boneka itu, bagaimana bisa ada lagi di tangannya?"
"Hai kalian bertiga! Jika kalian inginkan jantung.
hati dan ginjalku aku bersedia memberikan! Ayo belek
saja tubuhku. Kalian mau aku membuka baju lebih
dulu atau bagaimana? Hik... hik... hik!" Nenek jejadian
rambut kelabu berkata lalu tertawa cekikikan.
"Momok Kedua. Momok Ketiga, kita harus segera
membunuh tiga manusia ini! Sekarang juga! Serang
dengan pukulan Enam Racun Akhirat!" Momok
Pertama berikan perintah pada dua saudaranya.
Serentak ke tiga murid Si Bisu Racun Akhirat
tusukkan dua jari ke depan, ke arah Wiro. Nyi Retno
dan si nenek.
"Wuuuttt!"
Enam larik sinar, dua kuning, dua merah dan dua
biru, menderu dahsyat, menebar hawa aneh berbau
sangit.
"Awas serangan racun jahat! Tutup jalan nafas!"
teriak nenek jejadian rambut kelabu. Dia cepat menarik
Nyi Retno ke belakang ialu bersama Wiro sambut
serangan tiga lawan.
Wiro membalas serangan dengan pukulan Angin
Es. Ilmu kesaktian ini jarang dikeluarkan dan memang
ampuh untuk menghadapi serangan mengandung
racun yang menebar. Udara sedingin es langsung
menyungkup tempat itu. Enam sinar mengandung
racun mematikan tertahan mengambang di udara,
perlahan-lahan berubah beku lalu leleh. Jatuh ke
tanah! Lenyap tanpa bekas!
Selagi Tiga Momok yang tubuh masing-masing kini
dilanda hawa luar biasa dingin, selagi mereka berseru
kaget melihat apa yang terjadi, nenek jejadian sambil
melesat ke depan membuat sikap seperti orang bersila
menghantam dengan pukulan yang memancarkan sinar
merah.
Tiga Momok berteriak keras. Mereka cepat
selamatkan diri dengan melesat sampai dua tombak
ke udara lalu dari atas berteriak berbarengan "Racun
Air Bah!"
Saat itu juga terdengar suara menderu dahsyat
luar biasa seolah benar-benar ada gemuruh air bah
melanda tempat itu. Cahaya biru merah dan kuning
bertabur silang menyilang, angker mengerikan.
"Nek! Kau tahan di bawah aku akan melabrak dari
atas!" teriak Wiro. Nenek jejadian rambut kelabu
segera jatuhkan diri berlutut di tanah. Dua tangan
dipukulkan ke atas melesatkan dua larik cahaya merah
yang menebar seperti kipas. Kepala didongakkan,
mulut meniup. Selarik asap, kelabu bergulung-gulung
ke udara, mencabik-cabik cahaya biru, merah dan
kuning yang menyapu ke bawah. Namun karena kalah
tenaga tiga lawan satu, si nenek jatuh terjengkang dan
racun jahat sempat terhisap ke dalam jalan
pernafasannya.
Selagi Tiga Momok terus melancarkan serangan
Racun Air Bah Wiro melesat ke udara lalu dari atas
melepas pukulan Sinar Matahari.
Ketika cahaya putih menyilaukan mulai memancar
di tangan kanan Wiro dan hawa panas menebar Tiga
Momok berteriak kaget kalang kabut.
"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Momok Pertama.
"Celaka! Pemuda itu pasti Pendekar Dua Satu Dua
murid nenek sakti Sinto Gendeng!"
Wiro gerakkan tangan kanan. Cahaya putih panas
berkiblat! Sekejapan lagi tubuh mereka akan dilabrak
hangus pukulan sakti yang tidak ada bandingannya
di rimba persilatan itu tiba-tiba menggeledek seruan
keras.
"Sahabat Wiro! Tahan serangan! Jangan bunuh
mereka! Tiga Momok lekas pergi dari sini atau aku
yang akan menghabisi kalian!"
Lalu ada satu tangan aneh penuh ditancapi paku
putih mencekal pergelangan tangan kanan Pendekar
212 yang telah berubah warna seputih perak dan luar
biasa panas.
"Cess!"
Tangan yang memegang lengan Pendekar 212
langsung melepuh. Si pemilik tangan menjerit
kesakitan tapi hebatnya masih terus memegang
lengan itu. Wiro cepat membalik dan menghantam
dengan jurus Kincir Angin Berputar.
"Bukk!"
Orang yang terkena hantaman dan masih
memegang lengan Wiro mengeluh panjang. Kail ini
baru dia melepaskan cekatannya dari lengan Pendekar
212. Tangan itu tampak luka melepuh akibat panas
ilmu kesaktian Sinar Matahari.
"Kau siapa?!" teriak Wiro marah sekali.
Orang yang ditanya tepuk-tepuk bahu Wiro lalu
menarik sang pendekar turun ke tanah. Begitu
berhadap-hadapan murid Sinto Gendeng terkesiap
kaget tak percaya.
"Sandaka! Kau!"
"Betul. Aku memang Sandaka. Manusia Paku!
Sobatku lama, apa kau tidak mengenali diriku lagi?"
"Bukankah... bukankah kau sudah menjatuhkan
diri ke dalam jurang?"
"Gusti Allah masih memberiku umur panjang...."
"Kalau begitu kita bercerita nanti saja. Aku harus
menghajar tiga manusia aneh itu. Mereka hendak
membunuh seorang perempuan yang menjadi
tanggung jawabku menjaga keselamatannya."
"Mereka sudah kusuruh pergi." kata Sandaka.
"Apa? Kau suruh pergi? Apa kau tuan besarnya?
Eh. apa hubunganmu dengan tiga mahluk sialan
itu? Mengapa kau menolong mereka?!" Wiro rada-rada
jengkel. Matanya tak berkesip memperhatikan orang
yang berdiri dihadapannya. Lalu geleng-gelengkan
kepala
Yang berdiri di hadapan Wiro saat itu adalah seorang
lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun berambut
panjang riap-riapan sampai sebahu. Muka tangan dan
kaki penuh dengan tancapan paku putih berkilat
terbuat dari baja murni.
"Sandaka. dulu kau cuma pakai cawat. Sekarang
sudah bisa pakai baju dan celana. Apakah paku di
sekujur tubuhmu juga masih ada?"
Orang bernama Sandaka tarik tangan Wiro lalu
disapukan ke dada dan perutnva. Wiro merasa
tonjolan-tonjolan benda keras yaitu paku baja yang
ternyata masih bertebaran menancap di seluruh
bagian tubuhnya.
Wiro ingat pada Nyi Retno Mantili. Ketika dia
memandang mencari berkeliling, perempuan itu tidak
ada lagi.
"Kau mencari perempuan bertubuh kecil yang
membawa boneka kayu itu?" tanya Sandaka.
"Nek, kau melihat Nyi Retno Mantili?" Wiro
bertanya pada nenek jejadian kembaran ketiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu sambil menolong nenek itu berdiri.
“Tadi dia lari ke arah sana." Si nenek menunjuk ke
arah barat. "Aku sedang kesakitan, tidak bisa
menghalangi."
"Aku mengawatirkan keselamatannya. Aku harus
mengejar. Kalau Tiga Momok tadi menghadangnya di
tengah jalan tubuhnya pasti akan dibantai. Dikorek
jantung, hati dan ginjalnya!"
"Aku jamin. Tiga Momok tidak akan mencelakai
perempuan itu lagi." Kata Sandaka.
"Siapa percaya jaminanmu. Apa hubunganmu
dengan tiga manusia aneh itu!"
"Guru mereka seorang nenek sakti tapi jahat
bernama Si Bisu Racun Akhirat. Dia meninggal
beberapa waktu lalu. Nenek ini adalah saudara angkat
guruku Eyang Gusti Kelud..."'
"Guru yang kau bunuh sendiri!" potong Wiro.
"Ya. itu cerita lama gara-gara aku terjebak oleh Dewi
Ular," jawab Sandaka.
"Kau masih berhubungan dengan perempuan itu?"
Sandaka menggeleng. "Kami kini menjadi dua musuh
besar. Apa kau kangen ingin menemuinya?"
Wiro tertawa.
Sandaka mendekati nenek rambut kelabu lalu enak
saja memegang kepala si nenek.
"Eh. apa-apan ini. Jangan berlaku kurang ajar.
Berani-beraninya kau memegang kepalaku!"
Sandaka yang mukanya penuh paku baja
menyeringai.
"Maaf Nek. aku hanya ingin mengetahui apakah
kau terkena racun atau tidak. Nyatanya kau memang
sudah keracunan akibat serangan Racun Air Bah yang
dilancarkan Tiga Momok tadi. Tapi kau tak usah
kawatir. Aku bisa menolong. Pejamkan matamu!"
"Eh. mengapa mesti memejamkan mata segala?
Kau mau apakan diriku? Mau meraba-raba?"
"Aku akan memasukkan jari telunjukku pada
lobang telingamu kiri kanan."
"Kenapa musti lobang telinga. Bukan lobang yang
lain?!" tanya si nenek masih curiga.
"Kau maunya lobang yang mana Nek? Lobang
kencingmu?!" tanya Wiro.
"Hik ... hik! Kau berpikiran kotor. Maksudku
mengapa bukan lobang hidung," jawab si Nenek.
Sandaka masukkan jari telunjuk kedua tangannya
ke telinga kanan kiri si nenek lalu alirkan hawa sakti.
Si nenek tanpa banyak bicara lagi pejamkan ke dua
mata. Dia merasa ada hawa panas mengaliri liang
telinga, sebagian masuk ke kepala sebagian turun ke
dada.
"Mataku terasa perih..."
"Tidak sakit Nek. Matamu akan mengucurkan
sedikit darah. Kalau sudah maka kau akan terlepas
dari racun Jahat Tiga Momok itu."
Nenek rambut kelabu merasa sakit sekail pada
kedua matanya Seperti dikatakan Sandaka dari ke dua
mata itu kemudian mengucur keluar darah kental
merah kehitaman.
Sandaka meniup. Noda darah lenyap.
"Kau sudah sembuh Nek. Kau boleh membuka
kedua matamu."
Nenek jejadian buka kedua matanya. Dia hendak
mengucapkan terimakasih namun saat itu juga
Sandaka gerakkan tubuh dan berkelebat pergi dari
tempat itu.
"Hai, kenapa pergi!" berteriak si nenek.
"Sandaka! Tunggu! Banyak hal ingin kutanyakan
padamu!" Wiro berseru. Namun Sandaka telah lenyap
dari pandangan sementara hari mulai gelap karena
sang surya telah tenggelam.
Wiro berpaling pada nenek di sampingnya.
"Nek, aku berterima kasih kau telah menolong Nyi
Retno dengan ilmumu Mengambil tubuhnya, menukar
dengan monyet hutan tanpa Tiga Momok itu
mengetahui. Ilmu kepandaianmu benar-benar luar
biasa.
“Apa nama ilmu kesaktian itu Nek?”
"Merubah Ujud. Menipu Pandang. Melindungi Raga."
Jawab si nenek.
"Hebat Nek. Sekali lagi aku berterima kasih. Sayang
Nyi Retno sudah pergi. Seharusnya dia juga berterima
kasih padamu karena telah menyelamatkan
jiwanya.Tapi jalan pikirannya masih kacau."
"Jangan keliwat memuji ilmuku itu hanya bisa aku
keluarkan satu kali dalam tujuh rembulan. Yang lebih
hebat adalah nenek jahat musuh besarmu Nyai Tumbal
Jiwo. Dia bisa melakukannya setiap saat. Selain itu
dia mampu bersalin rupa menjadi gadis cantik. Kau
harus hati-hati..."
"Tapi waktu kau berubah jadi Dewi Pemikat. Wah
Nek. kecantikan dan keindahan tubuhmu selangit
tembus!"
Si nenek tertawa mengekeh sambil pegangi dada.
Mendadak dia hentikan tawa. Paras berubah. Dua
tangan masih di atas dada.
"Eh, apa yang terjadi?"
"Ada apa Nek"
"Apa yang dilakukan sobatmu si Manusia Paku itu?"
"Memangnya ada apa Nek?" kembali Wiro bertanya.
"Dadaku..." Jawab si nenek Jejadian.
"Dadamu sakit?"
Si nenek menggeleng.
"Lalu?"
"Dadaku, sebelumnya leper rata. Sekarang kenapa
Jadi begini?"
Dua tangan si nenek mengusap-usap dada.
Wiro perhatikan dada nenek rambut kelabu itu.
Masih belum mengarti."Jadi begini bagaimana Nek?"
"Wiro. dadaku jadi membusung besar
“Hah?! Kau bergurau Nek?"
"Tidak. Tadi waktu Manusia Paku itu mengobati
diriku, ada hawa yang masuk ke dalam kepala dan
yang turun ke dada. Yang dikepala berhasil
memusnahkan racun. Tapi yang ke dada membuat
dadaku jadi melambung mekar besar begini rupa..."
"Wah Nek, berarti kau beruntung. Mana, coba
kulihat." Kata Wiro pula.
"Gila kowe!"
"Bukan gila Nek. Aku cuma mau lihat apa dadamu
melambungnya sama besar kiri kanan. Soalnya yang
aku tahu Nyai Tumbal Jiwo si nenek alam roh jahat
itu pernah cuma satu dadanya saja yang melendung
seperti kelapa!"
"Setan kau! Aku jadi bingung punya keadaan
seperti ini."
"Kau jadi tambah bingung kalau nanti banyak
lelaki yang tahu dan mengejar-ngejarmu!"
"Kau memang pantas disebut anak setan!" maki
si nenek. "Eh, aku mau tanya. Sobatmu yang muka
dan sekujur tubuhnya penuh paku tadi. Apa paku itu
juga menancap di anunya. Hik..hik!"
"Kenapa kau tanya begitu Nek?"
"Tidak apa-apa. Hanya kepingin tahu. Aku berpikir
soalnya kalau juga ada paku menancap di anunya.
bagaimana dia kelak berhubungan dengan Istrinya?
Hik...hik..hik!"
"Agar kau bisa tahu Nek. kau saja yang jadi istrinya!"
kata Wiro pula.
"Dasar anak setan!" Si nenek tertawa cekikikan.
jewer telinga kiri Wiro lalu berkelebat pergi.
Tinggal sendirian Wiro kini yang jadi bingung.
Terutama mengingat Nyi Retno Mantili yang selamat
akibat pertolongan si nenek tadi kini entah berada
dimana.
"Sandaka Manusia Paku, apakah aku bisa
mempercayai dirimu."
Apa sebenarnya hubunganmu dengan Tiga
Momok tadi? Jangan-jangan kau menyuruh mereka
pergi untuk mengejar dan menghadang Nyi Retno.
Jika sesuatu terjadi dengan Nyi Retno akibat
keculasanmu, aku akan mengejarmu sampai ke
jurang neraka sekalipun!
Siapakah Sandaka si Manusia Paku tadi?
Diceritakan bahwa dirinya adalah pemuda
bernama Sandaka Arto Gampito. Berkepandaian tinggi
murid seorang kakek sakti di Gunung Kelud yaitu
Eyang Gusti Kelud.
Setelah selesai menuntut ilmu silat dan ilmu
kesaktian Sandaka dilepas turun gunung oleh sang
guru. Agaknya takdir buruk telah menunggu lelaki
berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Dia bertemu
dengan seorang perempuan cantik bernama Kunti
Arimbi berjuluk Dowi Ular. Sandaka bukan saja jatuh
cinta tergila-gila pada Kunti Arimbi. dijadikan budak
nafsu, tapi juga diperalat untuk membunuh banyak
tokoh silat rimba persilatan. Bahkan Sandaka juga
tega membunuh Eyang Gusti Kelud serta Mantili.
kekasihnya sendiri.
Dengan menusukkan 30 buah paku baja putih ke
tubuhnya Sandaka berhasil diselamatkan oleh Datuk
Bululawang dari tangan Dewi Ular. Namun pemuda
itu kini menjadi peliharaan sang Datuk yang ternyata
menyukai sesama jenis. Sinto Gendeng turun tangan
memberikan dua buah paku emas pada Pendekar 212
Wiro Sableng. Paku pertama dipergunakan untuk
menolong Sandaka sedang paku kedua untuk
menghabisi Dewi Ular.
Sandaka berhasil ditolong oleh Wiro. Dewi Ular
dapat ditusuk pusarnya dengan paku emas dan dalam
satu pertarungan hebat ditendang masuk ke dalam
jurang. Sandaka sendiri kemudian menjatuhkan diri
masuk ke dalam jurang yang sama. Untuk jelasnya
kisah mengenai Sandaka dan Dewi Ular harap baca
serial Wtro Sableng berjudul "Dendam Manusia Paku"
dan "Dewi Ular"
SEBELAS
DALAM serial Wiro Sableng berjudul "Api Di Puncak
Merapi" diceritakan Patih Wira Bumi membawa satu
pasukan besar untuk menyelidiki kebakaran besar yang
terjadi di puncak Gunung Merapi. Selain itu dia juga
bermaksud menyergap Pangeran Muda, pimpinan
pemberontak yang menyebut diri Orang Orang Keraton
Kaliningrat dan dikabarkan terlihat naik ke puncak
gunung bersama beberapa pengiring untuk menemui
Pangeran Matahari.
Pangeran Muda ditemui di satu tempat dalam
keadaan hancur tangan kanannya akibat tendangan
Pangeran Matahari. Setelah dimintai keterangan Patih
Wira Bumi tanpa ampun menghabisi Pangeran Muda
dengan menusukkan sebatang tombak ke arah dada,
tepat di bagian jantung
Kedatangan Patih Kerajaan di puncak Gunung Merapi
bersamaan dengan kehadiran beberapa tokoh
persilatan yang hendak membuat perhitungan dengan
Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa yang saat
itu memiliki satu senjata hebat dan luar biasa berupa
sebuah lentera bernama Lentera Iblis. Para tokoh silat
itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wulan Srindi,
Purnama, Setan Ngompol, Sinto Gendeng, Jatilandak,
Liris Biru serta Nyi Bodong yang kemudian diketahui
ternyata adalah Bidadari Angin Timur.
Sang Pangeran sendiri didampingi Liris Merah, kakak
Liris Biru murid mendiang nenek sakti Hantu Malam
Bergigi Perak yang telah jatuh hati dan menjadi budak
nafsu Pangeran Matahari.
Patih Wira Bumi berusaha menangkap Pangeran
Matahari dengan dua tuduhan. Pertama telah
membakar kawasan puncak Gunung Merapi secara
sengaja. Kedua hendak mendirikan Partai Bendera
Darah yang bisa merongrong dan membahayakan
Kerajaan. Namun setelah hampir separuh dari anggota
pasukannya menemui ajal dibantai Pangeran Matahari
dengan Lentera Iblis. Patih Wira Bumi pergunakan akal,
berlaku cerdik. Dia membiarkan para tokoh silat
DALAM serial Wiro Sableng berjudul "Api Di Puncak
Merapi" diceritakan Patih Wira Bumi membawa satu
pasukan besar untuk menyelidiki kebakaran besar yang
terjadi di puncak Gunung Merapi. Selain itu dia juga
bermaksud menyergap Pangeran Muda, pimpinan
pemberontak yang menyebut diri Orang Orang Keraton
Kaliningrat dan dikabarkan terlihat naik ke puncak
gunung bersama beberapa pengiring untuk menemui
Pangeran Matahari.
Pangeran Muda ditemui di satu tempat dalam
keadaan hancur tangan kanannya akibat tendangan
Pangeran Matahari. Setelah dimintai keterangan Patih
Wira Bumi tanpa ampun menghabisi Pangeran Muda
dengan menusukkan sebatang tombak ke arah dada,
tepat di bagian jantung
Kedatangan Patih Kerajaan di puncak Gunung Merapi
bersamaan dengan kehadiran beberapa tokoh
persilatan yang hendak membuat perhitungan dengan
Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa yang saat
itu memiliki satu senjata hebat dan luar biasa berupa
sebuah lentera bernama Lentera Iblis. Para tokoh silat
itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wulan Srindi,
Purnama, Setan Ngompol, Sinto Gendeng, Jatilandak,
Liris Biru serta Nyi Bodong yang kemudian diketahui
ternyata adalah Bidadari Angin Timur.
Sang Pangeran sendiri didampingi Liris Merah, kakak
Liris Biru murid mendiang nenek sakti Hantu Malam
Bergigi Perak yang telah jatuh hati dan menjadi budak
nafsu Pangeran Matahari.
Patih Wira Bumi berusaha menangkap Pangeran
Matahari dengan dua tuduhan. Pertama telah
membakar kawasan puncak Gunung Merapi secara
sengaja. Kedua hendak mendirikan Partai Bendera
Darah yang bisa merongrong dan membahayakan
Kerajaan. Namun setelah hampir separuh dari anggota
pasukannya menemui ajal dibantai Pangeran Matahari
dengan Lentera Iblis. Patih Wira Bumi pergunakan akal,
berlaku cerdik. Dia membiarkan para tokoh silat
menyelesaikan urusan dengan Pangeran Matahari.
Apa lagi dia menaruh firasat bahwa begitu selesai
urusan dengan Pangeran Matahari. Pendekar 212 Wiro
Sableng dan Setan Ngompol akan meminta
pertanggung Jawabnya atas kematian Djaka Tua.
Puncak Gunung Merapi menjadi arena pertarungan
hebat Walau Pangeran Matahari pada akhirnya dapat
ditamatkan riwayatnya oleh Sinto Gendeng yaitu
dengan meremas hancur kemaluannya atas petunjuk
Purnama namun Wulan Srindi sendiri tewas dalam
pertarungan itu.
Patih Wira Bumi buru-buru kembali ke Kotaraja
dengan perasaan kecewa. Banyak anak buahnya yang
menemui ajal di tangan Pangeran Matahari. Dia
sendiri yang merasa telah mendapat Ilmu kesaktian
dan Nyai Tumbal Jiwo ternyata masih belum sanggup
menghadapi Pangeran Matahari.
"Ada sesuatu yang tidak beres dengan ilmu yang
aku miliki. Apa yang terjadi? Tidak ampuh karena aku
masih belum membunuh bayi itu? Aku harus
menghubungi Nyai." pikir Wira Bumi.
Karenanya begitu sampai di Gedung Kepatihan
malam harinya. Wira Bumi langsung masuk ke kamar
rahasia yang selama ini dijadikan tempat pertemuan
dan pelampiasan nafsu badaniah dengan Nyai Tumbal
Jiwo. Seperti biasa, Wira Bumi naik ke atas ranjang
setelah lebih dulu menanggalkan seluruh pakaiannya.
Sambil berbaring meneJentang Wira Bumi berucap.
"Nyai, aku Wira Bumi. Aku ingin bertemu.
Datanglah."
Biasanya hanya dalam bilangan lima hitungan saat
itu juga Nyai Tumbal Jiwo muncul dalam ujud seorang
gadis cantik berkulit kuning langsat, berbaring di
samping Wira Bumi bahkan seringkali langsung
merebahkan diri menelungkup di atas tubuh sang
Patih.
Namun sekali ini setelah ditunggu cukup lama bahkan
Wira Bumi telah memanggil berulang kali sang Nyai
tidak kunjung muncul.
"Nyai. apa yang terjadi dengan dirimu? Apakah
kau tidak mau mengunjungku lagi? Apa kau sudah
bosan bermesraan dan bersatu badan denganku? Nyai
datanglah. Paling tidak tunjukkan ujudmu watau cuma
samar. Bicara pada saya..
Setelah berulang kali dipanggil tetap tak kunjung
datang. Wira Bumi menyalakan pendupaan. menebar
setanggi lalu kembali naik ke atas ranjang. Kali ini dia
tidak berbaring tapi duduk bersila mengambil sikap
bersamadi. Dua mata dipejam.
Sementara itu di luar gedung hujan turun lebat
sekali. Tiupan angin kencang menimbulkan suara
menyeramkan. Tiba-tiba jendela besar di samping
kanan ranjang terpentang lebar. Hawa dingin masuk
ke dalam kamar. Sesaat kemudian jendela tertutup
kembali.
"Nyai...." Wira Bumi Merasakan ada getaran di
sekitar tubuhnya. Lalu dia mendengar suara
mengiang.
"Wira Bumi, aku sudah datang.Tapi aku tidak bisa
memperlihatkan diri seperti sudah-sudah..."
"Ada apa Nyai? Kenapa? Apa yang terjadi?"
"Beberapa waktu lalu aku memergoki Pendekar
Dua Satu Dua di satu tempat. Ketika aku hendak
membunuhnya ada mahluk perempuan dari alam
gaib menolong. Mahluk itu memiliki ilmu kesaktian
yang sulit aku tandingi. Tubuhku dicabik-cabik. Aku
menemui kematian kedua. Aku hanya bisa muncul
kembali setelah seratus dua puluh hari...."(Baca serial
Wiro Sableng berjudul "Api Di Puncak Merapi")
"Nyai. apakah mahluk perempuan dari alam gaib
itu punya nama dan bagaimana ciri-cirinya? Aku akan
mencari dan membunuhnya demi Nyai!'
"Setahuku dia dipanggil dengan nama Purnama.
Dia selalu mengenakan pakaian biru. Rambut
digulung ke atas terkadang dilepas. Hati-hati Wira.
Perempuan ini tidak pernah jauh dari Pendekar Dua
Satu Dua Wiro Sableng."
"Terima kasih atas petunjukmu Nyai. Saya tengah
menghadapi masalah. Keselamatan saya terancam.
Ilmu kesaktian yang kau berikan tidak mampu bekerja
sebagaimana mestinya."
"Aku tahu Wira, aku tahu. Kau harus bisa
melaksanakan sumpah secepatnya. Membunuh bayi
Itu...."
"Saya sudah mencarinya Nyai.Tapi bayi itu tidak
juga diketemukan. Yang muncul justru dua orang tak
dikenal. Malam ini ketika pesta berlangsung, ada yang
membunuh Cagak Lenting. Saya ingin merasa yakin
bahwa Nyi Retno lah yang melakukan. Mungkin ada
seorang yang membantu.Tapi dari mana perempuan
itu mendapatkan ilmu kesaktian?"
"Apa kau lupa Nyi Retno pernah tinggal di tempat
kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak
Gunung Gede? Pasti Kiai satu itu yang punya
pekerjaan."
"Lalu apa yang harus saya lakukan Nyai?"
"Untuk sementara sebagal penjaga diri aku akan
memberikan kekuatan penangkal padamu. Kekuatan
itu juga akan memungkinkan diriku masuk ke dalam
dirimu sehingga jika sesuatu terjadi aku masih bisa
menolong. Jika aku masuk ke dalam tubuhmu maka
orang yang akan berbuat jahat padamu akan melihat
dirimu sebagai perempuan."
"Terima kasih Nyai. Apakah aku bisa mendapatkan
penangkal itu sekarang juga?"
"Tentu Wira. Letakkan keningmu di atas ranjang
lalu menungginglah. Kekuatan penangkal akan aku
masukkan ke dalam tubuhmu melalui dubur. Jangan
kaget atau takut bila nanti dari hidung, mulut dan dua
telingamu keluar mengucur darah merah."
"Nyai, saya menurut apa yang kau katakan."
Lalu Wira Bumi letakkan kening di atas ranjang.
Tubuh bagian bawah ditunggingkan ke atas. Saat itu
di dalam kamar muncul satu cahaya merah yang
keluar dari sebuah benda berbentuk paku sebesar jari
telunjuk dengan panjang satu jengkal. Paku bersinar
ini melayang tujuh kali seputar kamar lalu bergerak
ke bagian tubuh Wira Pati sebelah belakang.
"Tahan Wira. Kau akan merasa sakit luar biasa.
Tapi hanya sebentar..."Terdengar suara Nyai Tumbal
Jiwo mengiang di telinga Wira Bumi.
Paku bersinar tiba-tiba melesat ke arah bagian
bawah tubuh sang Patih, masuk ke dalam dubur. Saat
itu juga Wira Bumi menjerit keras akibat rasa sakit
luar biasa. Namun seperti yang dikatakan Nyai Tumbal
Jiwo rasa sakit itu hanya sekejapan. Lalu berganti ada
rasa sejuk sewaktu paku bersinar meluncur masuk
ke dalam tubuh. Begitu paku sampai di dada Wira
Bumi merasa ada hawa panas di sekitar kepala. Saat
Itu juga darah mengucur keluar dari lobang hidung,
mata dan mulut. Setelah beberapa lama kucuran darah
berhenti dan lenyap tanpa meninggalkan noda
sedikitpun.
"Nyai....?"
"Wira, kurasa ada baiknya kau pergi ke Goa Girijati.
Tinggal di sana barang beberapa hari untuk mencari
ketenangan."
"Kalau itu memang baik untuk saya akan saya
lakukan Nyai,*'jawab Wira Bumi. "Saya akan berangkat
besok pagi. Lalu Nyai.... apakah kita tidak akan
bercinta malam ini...?"
Sunyi.
"Nyai, walau kau tidak bisa menunjukkan ujud,
apakah kau tidak bisa meraba tubuhku seperti
biasanya kau lakukan?"
Tetap tak ada jawaban. Jendela kamar kembali
membuka lalu menutup lagi secara aneh.
DUA BELAS
SOSOK perempuan di atas pohon besar mendekap
boneka kayu ke dada, mengusap punggung boneka
lalu berkata perlahan.
Tenang Kemuning, jangan gelisah anakku. Aku
Kasihan waktu kau kecebur dalam telaga. Untung
nenek jelek itu menemuimu dan menyerahkanmu
padaku. Kalau aku sampai kehilanganmu, aduh ...
Sudah dua malam kita datang ke tempat ini. Sekali ini
aku merasa maksud kita akan kesampaian. Para
pengawal sudah berkurang jamlahnya. Enam orang
yang ibu curigai sebagai orang-orang rimba persilatan
saat ini hanya tinggal dua. Malam Ini kita akan masuk
ke dalam gedung. Akan kita gorok batang leher Patih
keparat itu. Dia membunuh pengasuhmu. Dia juga
punya rencana hendak mencelakai ibumu ini."
Perempuan itu yang tentu saja Nyi Retno Mantili
adanya kemudian mencium pipi boneka lalu berbisik.
"Apakah kau rindu pada si gondrong itu Kemuning?
Apakah kau kangen pada orang yang aku inginkan
menjadi ayahmu itu? Ya...ya... ya aku tahu kau tidak
suka perbuatan Ibu. Tapi Ibu meninggalkannya karena
masih jengkel. Dia mencegah Ibu membunuh Patih
Wira Bumi. Dia mengatakan Patth itu adalah suamiku.
Ayahmu! Gila sekali! Tapi.... menurutmu, apakah dia
saat ini juga berada di sekitar tempat ini? Bisa saja. Dia
juga sudah kangen sama kita. Mengintip intip kalau-
kalau kita ada di sini. Hik... hik...Tenang Kemuning.
Jangan gelisah...."
Malam merayap dingin dan sunyi. Enam orang
pengawal tampak mengelilingi Gedung Kepatihan.
Di salah satu sudut gedung dua orang tengah
bercakap-cakap. Mereka adalah tokoh silat dari Istana
yang diminta bantuan oleh Patih Wira Bumi untuk
mengawalnya. Sesekali satah seorang tokoh silat itu
naik ke atas wuwungan gedung untuk memeriksa
keadaan.
Menjelang pagi Nyi Retno melihat salah satu dari
dua tokoh silat itu berjalan ke bagian belakang gedung.
"Bangun Kemuning, saatnya kita menyembelih
manusia keparat itu. Ingat, jika kau lihat kepalanya
menggelinding, darah muncrat jangan kau menjerit.
Kau anak Ibu. Kau tidak boleh takut!"
Setelah menerapkan ilmu Di Dalam Kabut
Mengunci Diri Nyi Retno melayang turun dari atas
pohon. Dia melompati tembok rendah pembatas
halaman depan lalu dengan langkah tidak terlalu cepat
berjalan menuju halaman belakang. Di ujung gedung
langkahnya terhenti. Mata menatap ke arah kandang
kuda. Dua orang pengawal tengah menuntun empat
ekor kuda.Tak lama kemudian dari bagian belakang
gedung keluar tiga orang lelaki. Di depan sekali diingat
Nyi Retno bukan lain adalah Patih Wira Bumi. Di
sebelahnya seorang kakek berjubah ungu lalu seorang
lelaki muda bertubuh tegap.
Tiga orang itu naik ke punggung kuda lalu melarikan
tunggangan masing-masing ke arah halaman depan.
Seorang pengawal telah membuka pintu gerbang
Gedung Kepatihan. Nyi Retno berpikir sejurus lalu
melompat ke atas punggung kuda ke empat yang
masih ada di depan kandang. Dua pengawal tersentak
dan berteriak kaget ketika melihat kuda itu tiba-tiba
menghambur menuju halaman depan. Melewati pintu
gerbang, berlari mengikuti tiga ekor kuda yang telah
dipacu lebih dulu.
"Aneh! Aku tidak melihat orang.Tapi bagaimana
mungkin kuda itu bisa lari seperti ada yang
membedalnya?!"
Di salah satu sudut gelap atap Gedung Kepatihan
seorang yang sejak tadi mendekam tidak menunggu
lebih lama melesat turun. Laksana terbang melewati
tembok depan dan lenyap ke arah perginya rombongan
Patih Kerajaan dan Nyi Retno Mantili.
"Sial'.Tak mungkin aku mengejar! Kalau saja aku
tahu mereka menuju kemana...." Walau mengomel tapi
orang ini masih terus mengejar. Sesekali dia
menggaruk kepala. "Kuda yang kabur tanpa
penunggang itu pasti dinaiki Nyi Retno. Dia
menerapkan ilmu menyembunyikan diri dari Kiai Gede
Tapa Pamungkas."
Tiga penunggang kuda di sebelah depan setelah
memacu kuda masing-masing beberapa lama. salah
seorang diantara mereka yaitu kakek berjubah ungu
tokoh silat bernama Ki Luwak Ireng berkata.
"Ada orang mengikuti kita!"
"Kanjeng Patih dan Ki Luwak Ireng, biar saya yang
menangani. Saya akan menghadang dan mencari tahu
siapa orangnya!" Yang bicara adalah lelaki muda
berbadan tegap bernama Bantarangin, Kepala
Pengawal Gedung Kepatihan. Dia segera hentikan
kuda, memutar binatang ini menghadap ke arah
datangnya orang yang membuntuti.
Saat itu hari mulai terang-terang tanah. Tak selang
berapa lama muncul seekor kuda coklat tanpa
penumpang. Bantarangin tahu betul kuda ini adalah
kuda di Gedung Kepatihan. Namun ada hal aneh
dilihatnya.
"Heran! Kuda berlari kencang.Tapi tak ada yang
menunggangi!"
Kepala Pengawal Gedung Kepatihan ini angkat
tangan kanan tinggi-tinggi sementara tangan kiri
menyentakkan tali kekang hingga kuda yang
ditungganginya kini melintang di tengah jalan.
Kuda yang dihadang meringkik keras sambil
angkat dua kaki depan. Bantarangin memperhatikan
dengan mata besar, masih tidak bisa percaya kalau
kuda itu benar-benar tidak ada penunggangnya. Ola
hendak turun dari kudanya untuk memeriksa kuda
coklat itu. Namun gerakan Kepala pengawal ini jadi
tertahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara tawa
cekikikan lalu samar-samar tampak ujud seorang
perempuan mengenakan pakaian kembang-kembang
kuning dan biru. Dari bentuk samar perlahan-lahan
sosok perempuan itu berubah jelas. Seorang
perempuan sangat muda. masih belasan tahun,
bertubuh mungil, berwajah cantik dan membawa
sebuah boneka kayu yang dibedong di depan dada.
Bantarangin segera menegur.
"Perempuan muda, aku tidak kenal dirimu. Tapi
kau menunggang kuda milik Kepatihan. Kau
menguntit mengejar kami. Kau tahu rombongan siapa
yang kau ikuti?! Kau Ini hantu atau apa?" Kepala
Pengawal Gedung Kepatihan ini memang tidak pernah
kena! atau melihat Nyi Retno Mantili sebelumnya.
Di atas kuda coklat Nyi Retno Mantili sunggingkan
senyum. Lalu menjawab. "Kau tak perlu kenal siapa
diriku. Aku cukup tahu rombongan yang aku ikuti!
Dan aku bukan hantu! Nah, kau masih ada pertanyaan
lain? Kalau tidak iekas menyingkir! Jangan berani
menghalangi jalanku!"
"Gadis galak..."
"Huss! Siapa bilang aku gadis. Apa kau tidak melihat
aku sudah punya anak yang saat ini ada dalam
bedongan di depan dadaku?!"
Kepala Pengawal itu tentu saja jadi terheran-heran.
Namun dia tidak punya waktu banyak untuk melayani
Nyi Retno.
"Dengar, siapapun kau adanya. Aku minta kau
kembali ke arah dari mana kau tadi datang. Jangan
berani mengikuti rombonganku. Cepat pergi!"
Nyi Retno tertawa. "Kemuning, kau dengar ada
orang mengusir kita? Sombong benar! Apa dia merasa
jalan ini miliknya sendiri? Hik...hik!" Selesai berucap
Nyi Retno memandang tajam pada Bantarangin. "Kau!
Siapapun kau adanya aku tidak akan berkata dua kali!
Lekas menyingkir dari hadapanku!"
"Kau membuatku marah!" bentak Bantarangin.
"Kau yang membuat aku marah!" baias mem-
bentak Nyi Retno Mantili.Tangan kanannya bergerak
mengeluarkan boneka kayu dari dalam bedongan lalu
diarahkan pada Bantarangin. "Kau mau menyingkir
atau memilih celaka?!"
"Perempuan gila! Apa yang bisa kau lakukan dengan
sebuah boneka butut itu!" sambil tertawa mengejek
Bantarangin gerakkan tangan kiri, hendak menepis
boneka vang diarahkan padanya.
Saat Itu juga Nyi Retno gerakkan jari-jari tangan
memencet pinggang boneka. Cahaya aneh begemeriap
pada dua mata boneka. Lalu dalam bilangan
kejapan mata dua larik cahaya putih melesat ke arah
dada Bantarangin. Kepala Pengawal ini menjerit keras.
Tubuhnya mencelat tiga tombak dalam keadaan
terbelah di bagian dada talu jatuh tergelimpang di
tanah tak berkutik lagi. Darah membanjir!
Kemuning, bukankah Ibumu sudah memberi
peringatan? Tapi orang itu tidak mau mendengar!"
Nyi Retno melompat turun dari kuda coklat. Walau
tubuhnya kecil namun dia tidak mengalami kesulitan
mengangkat mayat Bantarangin dan membaringkan
melintang di atas kuda yang tadi ditunggangi Kepala
Pengawal itu. Pinggul kuda ditepuk. Binatang ini
langsung menghambur lari ke arah jalan yang semula
ditempuh yaitu menuju pantai selatan. Nyi Retno
Mantili tertawa cekikikan. Dia kembali naik ke atas
kuda coklat, mengikuti kuda yang membawa mayat
Bantarangin sambil menerapkan ilmu Di Dalam Kabut
Mengunci Diri.
TIGA BELAS
SETELAH berlalu cukup lama dan
Bantarangin tidak kunjung muncul,
baik Ki Luwak Ireng maupun Patih
Kerajaan menjadi curiga. Keduanya
sama-sama menghentikan kuda. Saat
itu di timur fajar sudah menyingsing
dan sang surya siap menyembul
menerangi jagat
"Ki Luwak, aku kawatir sesuatu telah
terjadi dengan Kepala Pengawal..."
Berkata Patih Kerajaan.
"Kalau Kanjeng Patih memberi izin
saya.akan menyelidik." Ki Luwak Ireng orang tua
berkulit hitam berjubah ungu yangtokoh silat Istana itu
siap memutar kuda.
"Pergilah. Aku akan menunggu di sini. Jika'kau
tidak menemui Bantarangin lekas kembali."
Saat itu satu cahaya marah entah dari mana
datangnya menyusup masuk ke dalam kepala lewat
ubun-ubun Wira Bumi disertai terdengarnya suara
mengiang.
"Wira Bumi, kau dalam bahaya..."
"Nyai..." Patih Kerajaan berucap tercekat. Dia
merasa ada getaran di dalam tubuhnya. Sesaat
kemudian wajah dan sosoknya telah berubah menjadi
seorang gadis cantik mengenakan pakaian ringkas
wama merah muda. Inilah penampilan yang biasa
dilakukan Nyai Tumbal Jiwo jika dia hendak bercinta
dengan Wira Bumi. Namun kali ini ilmu kesaktian
tersebut dipergunakan untuk melindungi sang Patih
seperti yang dikatakan sang Nyai sebelumnya.
"Akan saya laksanakan Kanjeng Patih." Kata Ki
Luwak Ireng menanggapi perintah Patih Wira Bumi
tadi. Lalu dia segera sentakkan tali kekang kuda.
Namun di depan sana tiba-tiba muncul seekor kuda
hitam, berlari kencang mendatangi. Di punggung
binatang Ini melintang sesosok tubuh berlumuran
darah yang masih mengucur membasahi tubuh kuda
dan berlelahan ke tanah.
"itu kuda Bantarangin!" Kata Patih Kerajaan.
Dadanya mendadak berdebar. "Ki Luwak lekas
periksa! "Walau ujudnya sudah berubah jadi seorang
gadis namun saat itu suaranya masih suara laki-laki,
suara Wira Bumi.
Tidak menunggu lebih lama Ki Luwak Ireng yang
tidak melihat ke arah Patih Kerajaan cepat melompat
dari punggung kuda. Dengan satu gerakan kilat dia
menyambar tali kekang kuda hitam hingga binatang
ini meringkik keras dan berhenti berlari. Ki Luwak
cepat memeriksa. Dia segera mengenali sosok orang
yang sudah jadi mayat, di atas kuda hitam.
"Kanjeng Patih! Bantarangin dibunuh!"
Ki Luwak Ireng cepat turunkan mayat Kepala
Pengawal, dibaringkan di tepi jalan. Dia berpaling ke
arah Patih Kerajaan.
"Kanjeng Patih..."
Ucapan Ki Luwak Ireng terhenti ketika dia melihat
satu keanehan. Yang duduk di atas kuda di sebelah
sana bukan Patih Kerajaan Wira Bumi. tapi seorang
gadis cantik berkulit kuning langsat yang tidak
dikenalnya.Terheran-heran Ki Luwak bertanya.
"Kau siapa? Mana Kanjong Patih Wira Bumi?!"
Gadis cantik di atas kuda tidak menjawab. Hanya
tersenyum lalu memutar kuda siap tinggalkan tempat
itu. Ki Luwak Ireng cepat menghalangi dengan
menahan tali kekang kuda. Si gadis pegang tangan
tokoh silat itu seraya berkata.
"Ki Luwak, aku pergi duiuan. Ada orang lain
mendatangi ke arah sini!" Suaranya kini benaran suara
perempuan.
"Aku tidak mengerti. Orang lain siapa? Kau sendiri
siapa?!" Ki Luwak memandang berkeliling. Dia sama
sekali tidak melihat Patih Kerajaan. Tapi kuda yang
ditunggangi gadis tak dikenal itu jelas adalah kuda
yang tadi ditunggangi sang Patih.Tokoh silat Istana
Ini tak bisa berpikir loblh jauh karena saat Itu di
hadapannya telah berdiri seekor kuda coklat yang
penumpangnya seorang perempuan bertubuh kecil
dalam bentuk samar!
"Siapa lagi ini?!" Pikir Ki Luwak Ireng sementara
gadis cantik di alas kuda yang tadi ditunggangi Patih
Kerajaan siap meninggalkan tempat Itu.
Sosok samar di atas kuda coklat berubah jelas
lalu melesat ke udara dan turun di jalan menghadang
kuda yang ditunggangi gadis cantik berpakaian merah
muda. Ketika si gadis melihat siapa adanya perem-
puan bertubuh kecil yang menghadang kudanya,
kagetnya bukan alang kepalang.
"Retno Mantili!" ucap si gadis di atas kuda dalam
hati dengan dada berdobar keras. Gadis Ini bukan lain
adalah perubahan bentuk dari Patih Wira Bumi selelah
roh Nyai Tumbal Jiwo masuk ke dalam tubuhnya. Di
saat yang sama si gadis mendengar suara mengiang.
"Wira Bumi tinggalkan tempat Ini! Cepat pergi ke Goa
Girijati!"
"Nyai, aku harus membunuh perempuan itu. Kau
lihat sendiri! Dia adalah Retno Mantili. Istriku!"
"Saatnya lidak tepat. Serahkan perempuan itu pada
Ki Luwak Ireng!" jawab suara mengiang.
"Kalian berdua jangan ada yang berani tinggalkan
tempat ini!"Tiba-tlba perempuan yang menghadang
di tengah jalan yaitu Nyi Retno Mantili berteriak sambil
tangan kanan mengacungkan boneka kayu.
"Ki Luwak Ireng! Kau urus perempuan sinting itu.
Aku harus segera pergi dari sini!" Kata si cantik diatas
kuda.
Ki Luwak Ireng jadi bingung.
"Aku..."
Gadis di atas kuda menggebrak tunggangannya.
Binatang ini menghambur ke depan, siap menerjang
Nyi Retno Mantili.
"Hik... hik! Perempuan di atas kuda! Jangan
mengira aku tidak tahu siapa ujudmu sebenarnya!"
sewaktu terjadi perubahan rupa atas diri Wira Bumi
tadi Nyi Retno Mantili sempat melihat dan juga
mendengar Ki Luwak Ireng masih memanggil si gadis
dengan sebutan Kanjeng Patih. Tidak tunggu lebih
lama Nyi Relno tekan pinggang boneka. Dua larik
cahaya putih menyembur dari sepasang mata boneka
kayu. Sepasang Cahaya Satu Batu Kumala. Menyambar
dada dan kaki kanan kuda yang hendak menabraknya.
Dada terbelah, kaki kanan buntung. Kuda besar
meringkik keras lalu roboh ke tanah.
Gadis berpakaian merah muda cepat selamatkan
diri dengan melesat ke udara. Jungkir balik dan
melayang turun ke belakang Ki Luwak ireng yang
sampai saat itu masih berdiri kebingungan, apa lagi
setelah menyaksikan kematian kuda besar dihantam
dua cahaya yang keluar dari sepasang mata boneka
kayu.
"Ki Luwak Ireng, aku Patih Kerajaan! Bunuh
perempuan yang memegang bonoka itu."
Ki Luwak Ireng berpaling. Dia tetap saja melihat
gadis cantik bukan Patih Kerajaan! Tambah bingung!
Di saat yang sama Nyi Retno Lestari sudah melompat
ke hadapan ke dua orang itu sambil mengacungkan
boneka kayu.
"Ki Luwak! Kau tunggu apa lagi!" Bentak gadis
baju merah muda.
Dalam bingungnya Ki Luwak ireng menerjang ke
arah Nyi Retno sambil lepaskan satu pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam penuh dalam
jurus yang disebut Angin Melanda Puncak Mahameru.
Angin sedahsyat badai menghantam Nyi Retno
hingga tubuhnya yang kecil terangkat satu tombak
ke udara. Dari tubuh boneka tiba-tiba keluar cahaya
berwarna Jingga, menebar menyelubungi Nyi Retno.
Membuat perempuan ini sama sekali tidak cidera oleh
hantaman serangan KI Luwak Ireng. Padahal
jangankan manusia, tembok batu sekalipun akan
hancur berantakan dilanda pukulan itu. Sambil tertawa
cekikikan Nyi Retno berteriak.
"Tua bangka hitam keling! Aku tak ingin
membunuhmu. Tapi kau yang sengaja minta mati.
Lima jari tangan memencet pinggang boneka. Dua
larik sinar putih menyambar.
“Dreet...dreett”
Seperti digergaji tubuh Ki Luwak Ireng terbelah
mulai dari bahu sampai ke pinggul kanan. Mulutnya
masih sempat mengeluarkan jeritan keras sebelum
roboh ke tanah dan diam tak berkutik lagi! Darah
menggenang!
Melihat kejadian ini dan tahu kalau kini dirinya
yang bakal jadi Incaran, gadis berpakaian merah muda
yang sebenarnya adalah Patih Wira Bumi segera
menghantam ke arah Nyi Retno dengan pukulan
Tangan Roh Memberi Rahmat inilah pukulan maut
warisan Nyai Tumbal Jiwo, hasil tapa tujuh bulan di
Goa Girijati. Selarik angin ganas menderu ke arah
batok kepala Nyi Retno.
"Hik ... hik! Kemuning! Ada orang hendak
membunuh kita dengan ilmu setan!"
Sambil jatuhkan diri ke tanah dan berguling Nyi
Retno Mantili arahkan boneka kayu pada gadis baju
merah muda. Pinggang boneka ditekan, tangan
membuat gerakan membabat dari kiri ke kanan. Dari
dalam tubuh gadis baju merah muda muncul keluar
satu bayangan merah sambil dua tangan memukul
ke arah Nyi Retno Mantili. Namun sambaran Sepasang
Cahaya Batu Kumala datang lebih cepat, menyambar
leher si gadis baju merah.
"Craasss!"
Seperti dibabat sebilah golok besar leher itu putus.
Tubuh terbanting jatuh, kepala menggelinding. Di saat
yang bersamaan di kejauhan terdengar suara kambing
mengembik, keras dan panjang. Anehi
Nyi Retno Mantili tertawa panjang.
"Kemuning! Kita berhasil! Lihat! Manusia jahat
pembunuh pengasuhmu sudah mampus! Apa kita
akan meneguk darahnya," ihhh. jijik ... Ayo anakku,
kita pergi dari sini!"
Nyi Retno Mantili susupkan boneka kayu ke dalam
kain bedongan yang melintang di dadanya, memutar
tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Kalau saja
Nyi Retno Mantili masih berada di tempat itu barang
beberapa lama maka dia akan melihat keanehan yang
tak bisa dipercaya. Dia menyangka telah membunuh
Wira Bumi yang merubah diri jadi gadis cantik
berpakaian merah muda. Padahal itu tidak pernah
terjadi!
Hanya beberapa saat setelah Nyi Retno pergi.
Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tempat itu.
Murid Sinto Gendeng ini geleng-geleng kepala
berulang kali.
"Ada seekor kuda menemui ajal! Seorang kakek
berjubah ungu dan seorang lelaki muda tewas
mengerikan. Lalu ada seekor kambing mati dengan
kepala putus.... Kambing! Aneh! Mengapa ada
kambing di tempat ini?! Memangnya ada yang mau
nyate?! Siapa yang membantai semua mahluk celaka
ini?! Nyi Retno, apakah kau yang punya pekerjaan."
Wiro memandang berkeliling lalu menggaruk kepala
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar