"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 13 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE API DI PUNCAK MERAPI

Api Di Puncak Merapi


BASTIAN TITO 

"Pangeran! Telinga kananmu terluka!" Teriak Liris Merah. 

Gadis ini berlari mendatangi. Pangeran Matahari langsung 

merangkul pinggang Liris Merah. 

"Hanya luka kecil, mengapa dikawatirkan!" kata sang 

Pangeran pula. 

"Kau tahu, kobaran api merangsang nafsuku. Aku ingin 

mencumbumu di tengah kebakaran dahsyat ini!" 

"Pangeran, aku siap melayanimu,"jawab Liris Merah yang 

sudah tergila-gila pada Pangeran Matahari. Lalu tanpa 

malu-malu gadis ini tanggalkan pakaian merahnya dan 

baringkan tubuh di tanah. 

"Pangeran, cepat. Lakukan sekarang. Tubuhku terasa 

mulai panas." 

"Kekasihku, kau memang hebat. Tidak pernah aku 

menemui gadis luar biasa seperti dirimu sebelumnya!" Liris 

Merah memekik kecil lalu tarik tangan Pangeran Matahari.



SATU


WULAN Srindi, murid Perguruan Silat Lawu Putih se-

perti diketahui telah mengalami nasib malang. Diperkosa oleh dua 

orang anggota Keraton Kaliningrat bernama Kunto Randu dan Pekik 

Ireng. Kejadian yang merupakan pukulan sangat hebat itu telah 

membuat Wulan Srindi rusak ingatan. Selain itu kecintaannya ter-

hadap Wiro Sableng menyebabkan pula Wulan Srindi kemana-mana 

menebar cerita bahwa Pendekar 212 adalah suaminya dan Dewa 

Tuak adalah gurunya. Dan saat itu dia tengah mengandung jabang 

bayi usia tiga bulan hasil perkawinannya dengan Wiro. 

Dengan bantuan lblis Pemabuk yang menyelamatkan dan 

mengajarkan beberapa ilmu kesaktian padanya, Wulan Srindi yang 

kini memiliki kulit wajah berwarna putih berhasil membunuh salah 

satu dari dua pemerkosanya yaitu Kuntorandu. Peristiwa itu meng-

gegerkan pimpinan dan pengikut Keraton Kaliningrat. Karena 

Kuntorandu menemui ajal di hutan Ngluwer telak-telak di depan 

mata orang-orang Keraton Kaliningrat pada saat tengah dilakukan 

satu pertemuan rahasia. 

Dalam Episode sebelumnya ("Azab Sang Murid") diceritakan 

bagaimana Wulan Srindi berhasil pula membunuk pemerkosanya 

yang kedua yaitu Pekik Ireng. Saat itu Wiro tengah menghadapi se-

rangan puluhan anggota Keraton Kaliningrat. Dia tergaksa me-

ngeluarkan ilmu "Membelah Bumi Menyedot Arwah" yang di-

dapatnya dari Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat dari Negeri 

Latanahsilam. Empat belas orang Keraton Kaliningrat, di antaranya 

dua tokoh silat bernama Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat 

amblas jatuh ke dalam tanah yang terbelah. Satu diantara mereka 

yaitu Pekik lreng diselamatkan oleh seorang berpakaian hijau yang 

muncul secara tiba-tiba dan ternyata adalah Wulan Srindi.


Tentu saja maksud Wulan Srindi.bukan hendak menolong. 

Pekik lreng dibawa ke satu tempat. Setelah Wulan Srindi menga-

takan siapa dia dan kebejatan apa yang telah dilakukan Pekik lreng 

terhadapnya anggota Keraton Kaliningrat itu berusaha membunuh 

Wulan Srindi. Pekik lreng tidak menganggap sebelah mata karena 

dia memiliki ilmu kebal, tak mempan pukulan sakti tak tembus 

senjata tajam. Namun ternyata Wulan Srindi telah mengetahui 

kelemahan ilmu kebal lawan. Hal ini tak sengaja diketahuinya ketika 

dia pernah menempur orang-orang Keraton Kaliningrat di hutan 

Ngluwer sehabis terjadi bentrokan dengan awak kapal Cina yang 

kehilangan satu kantong kulit berisi madat. 

Melihat lawan mengetahui kelemahan ilmu kebalnya, Pekik 

lreng jadi leleh nyalinya lalu ambil langkah seribu. Namun dia tldak 

mampu lari jauh. Setelah disembur dengan minuman keras yang 

menyebabkan kepala dan badannya berlubang hangus, dengan 

mempergunakan golok milik Pekik Ireng, sambil berteriak-teriak 

seperti orang kemasukan setan Wulan Srindi mencacah sekujur 

tubuh Pekik Ireng. Luar biasa mengerikan pembalasan dendam 

gadis malang yang telah berubah ingatan ini. Sehabis membunuh 

Wulan Srindi terduduk menangis di tanah. Mendadak Wulan 

hentikan tangisnya. Dia mendengar suara langkah kaki orang 

mendekati dari samping kanan. Sebelum sempat berpaling, satu 

sosok berpakaian putih jatuh tergelimpang tertelungkup di tanah di 

hadapannya. 

Wulan Srindi berseru kaget. Lalu menjerit keras ketika 

mengenali siapa adanya orang yang tergelimpang. 

"Wiro!" Wulan peluk Pendekar 212 lalu balikkan tubuh sang 

pendekar. 

"Suamiku, apa yang terjadi?!" Wiro buka kedua matanya. 

Malam terlalu gelap dan pemandangannya agak kabur. Namun dia 

mengenali suara itu. 

"Wulan, kaukah ini?" 

"Betul, aku Wulan istrimu ..." Wiro jadi terdiam mendengar 

ucapan itu. Lidahnya mendadak kelu. 

"Wiro! Katakan apa yang terjadi. Mukamu sepucat kain 

kafan!" 

"Aku ... aku terkena pukulan seorang bernama Pangeran 

Muda."


"Apa?!" Wulan Srindi terkejut besar. Dia membuka bagian 

depan baju Wiro lebar-lebar. 

"Wiro, beri tahu bagian mana yang terkena pukulan?" 

"Pertengahan dada. Tak ada tanda cidera ..." Wulan Srindi 

balikkan lagi tubuh Wiro. Bagian belakang baju yang robek, 

dirobeknya lagi lebih besar. Dalam gelap di bawah cacat panjang 

bekas sambaran ujung tongkat Sinto Gendeng di punggung Wiro, 

Wulan melihat tanda merah besar dilingkari warna biru. 

"Kau terkena pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung! Jika 

dalam beberapa hari kau tidak mendapatkan obat penangkal, 

nyawamu tidak tertolong lagi ..." Wiro tertawa. Wulan Srindi tepuk-

tepuk pipi Pendekar 212 

"Kenapa kau masih bisa tertawa?" tanya si gadis. 

"Aku tidak tahu. Tapi jika mendengar kematian aku merasa 

lega ...”. 

"Gila!" teriak Wulan Srindi. 

"Dengar Wiro, dengar suamiku! Aku tidak ingin kau mati! Aku 

tidak mau anakku lahir tanpa ayah!" Wiro garuk kepala. Mulutnya 

ingin tertawa bergelak. Namun dalam hati dia setengah mengeluh 

setengah memaki. 

"Celaka! Bagaimana aku mau meyakinkan bahwa antara aku 

dan dia tidak ada ikatan perkawinan! Kalau dia hamil, itu bukan 

anakku. Tapi akibat perbuatan bejat orang-orang Keraton 

Kaliningrat!" 

"Wiro suamiku," Wulan Srindi lanjutkan ucapan. 

"Aku pernah dihantam pukulan yang sama. lblis Pemabuk 

membawaku menemui seorang yang mampu menyembuhkan. Wiro, 

apakah kau bisa berjalan sejauh setengah hari dari tempat ini? Aku 

akan membawamu ke tempat orang yang mampu menolong itu." 

"Wulan, aku sangat berterima kasih kau mau memikirkan 

keselamatan diriku. Kau mau menolong. Tapi rasanya aku tak akan 

sanggup berjalan sejauh itu. Dua kakiku seperti lumpuh. 

Pemandangan mataku terganggu." 

"Kalau begitu aku akan mendukungmu!" 

"Kau tidak mampu melakukan itu ..." 

"Harus mampu! Kau suamiku! Bagaimana aku bisa hidup 

tanpa dirimu?! Kalaupun kita harus mati bersama itu lebih baik dari 

membiarkan dirimu dalamkeadaan seperti ini." Wiro pejamkan mata.


Hatinya sangat tersentuh. Begitu banyak orang memperlihatkan 

kebaikan dan rela berkorban untuk dirinya. Dia ingat Eyang Sinto 

Gendeng. Dia ingat pada Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti yang 

ada di dalam tubuhnya. Dua senjata itu diketahui merupakan 

penangkal racun yang sangat ampuh. Mengapa kini tidak mampu 

memusnahkan racun pukulan Pangeran Muda? Mungkin karena dia 

telah berlaku kualat pada Eyang Sinto? 

Susah payah Wulan berusaha mengangkat Wiro. Sampai 

mandi keringat diatak berhasil mencoba memanggul pemuda itu di 

atas salah satu bahunya. 

"Wulan, jangan memaksa diri. Pergilah. Tinggalkan aku 

sendirian di sini." Gadis muka putih itu ingat apa yang dilakukan lblis 

Pemabuk ketika dia mengalami cidera akibat pukulan Memukul Bukit 

Meremuk Gunung. Dia harus melakukan hal yang sama agar Wiro 

mampu bertahan lebih lama sebelum mendapat pertolongan. Maka 

dengan cepat Wulan Srindi menotok beberapa bagian tubuh sang 

pendekar. Akibat totokan muka Wiro yang tadi pucat kelihatan 

berubah sedikit merah. Namun di sela bibir sebelah kiri kelihatan ada 

lelehan darah. 

Wulan terpekik. Dia keluarkan sapu tangan biru muda yang 

dulu pernah diserahkan pada Wiro namun kemudian dikembalikan. 

Dengan sapu tangan itu dia seka lelehan darah. Dulu dengan sapu 

tangan itu juga dia menyeka darah di mulut Wiro yang luka akibat 

tamparan Sinto Gendeng. Mengingat kejadian yang terulang kembali 

ini Wiro menghela nafas dalam dan pejamkan kedua matanya. 

"Luka dalammu lebih parah dari yang pernah aku alami. Apa 

lagi yang harus aku lakukan?" Si gadis terduduk di tanah. 

"Wiro, aku akan menyeretmu!" Wulan Srindi belum putus asa. 

"Kau tidak perlu melakukan hal itu. Wulan, pergilah ...." Tiba-

tiba satu bayangan aneh melayang turun dari atas pohon besar. 

Disusul suara perempuan. 

"Pendekar Dua Satu Dua Wiro sableng. Apakah kau 

berkenan menerima pertolonganku?" Wiro angkat kepalanya sedikit 

sementara Wulan Srindi memperhatikan dengan mata tak berkesip. 

"Siapa?!" Tanya Wiro . 

"Aku seorang sahabat." 

"Bunga? Ah, kau bukan Bunga. Suaramu lain ..."


"Betul, aku memang bukan Bunga." Bayangan itu berubah 

makin jelas, membentuk sosok seorang perempuan berwajah cantik 

sekali. 

"Bidadari Angin Timur!" Wiro setengah berseru dan mencoba 

bangkit namun jatuh terbaring kembali. Mahluk bayangan 

tersenyum. 

"Bidadari Angin.Timur berambut pirang. Rambutku hitam. 

Bidadari Angin Timur berwajah cantik. Wajahku buruk ..." Wiro tatap 

wajah itu, 

”Tidak, kau tidak buruk. Wajahmu cantik sekali. Ada ketulusan 

dan kesetiaan dalam wajahmu ..." Kata-kata itu hanya terucap dalam 

hati. 

"Lalu siapa dirimu sebenarnya? Mengapa bicara berteka-

teki?" Wulan Srindi membuka mulut. Ada rasa curiga bercampur 

marah tapi juga ada perasaan cemburu. 

"Kau bukan Bidadari Angin Timur atau jejadiannya. Gadis itu 

sudah mati. Aku tahu sekali hal itu!" Mahluk cantik berpaling pada 

Wulan Srindi, tersenyum dan berkata. 

"Oh, begitu?" 

"Jika kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu, lekas 

menyingkir dari hadapanku!" Wulan Srindi keluarkan ancaman. 

"Sahabat, saat ini aku belum dapat memberi tahu nama atau 

menjelaskan siapa diriku." Menjawab perempuan cantik berujud 

bayang-bayang. Lalu dia berpaling pada Wiro dan kembali bertanya. 

"Pendekar, apakah kau bersedia menerima pertolonganku? 

Kau menderita luka dalam sangat parah. Jika tidak mendapat 

pengobatan tubuhmu akan membusuk. Nyawamu tidak akan 

tertolong lagi." 

"Enak saja kau bicara!" bentak Wulan Srindi. 

"Kau tahu apa mengenai luka dalam yang diderita suamiku! 

Lalu kau punya kemampuan apa untuk mengobatinya!" Mahluk yang 

dibentak masih bisa tersenyum. 

"Aku memang orang bodoh. Mana punya kemampuan 

mengobati orang. Namun semua yang akan aku lakukan semata-

mata berdasarkan kuasa Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha 

Penyembuh. Jika diantara kalian ada yang tidak berkenan menerima 

Kuasa Sang Penyembuh maka aku mohon maaf dan saat ini juga 

aku minta diri dari hadapan kalian."


"Tunggu ..." Ucap Wiro ketika dilihatnya perempuan cantik 

bayangan itu hendak bergerak pergi. 

"Jika kau punya kemampuan menolongku, aku sangat 

berterima kasih." Perempuan bayangan melirik ke arah Wulan Srindi 

Yang dilirik diam saja, mungkin masih menaruh rasa was-was. 

Perempuan bayangan lalu minta bantuan Wulan Srindi untuk mem-

balikkan tubuh Wiro. Sebelum melakukan hal itu Wulan Srindi 

berkata. 

"Jika kau berdusta dan menipu, siapapun kau adanya akan 

aku pecahkan kepalamu!" Masih dengan tersenyum perempuan 

cantik itu menjawab. 

"Manusia biasa memang sering berdusta, acap kali menipu. 

Tetapi Tuhan tidak pernah berdusta, tidak pernah menipu." Wulan 

Srindi terdiam mendengar ucapan orang. Namun akhirnya dia 

lakukan apa yang diminta . Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh 

Wiro hingga terbaring menelungkup. Punggung yang cacat dan ada 

tanda merah biru tersingkap lebar. Perempuan bayangan berlutut di 

sisi kanan Pendekar 212. Setelah sesaat memandangi punggung 

pemuda itu maka dengan suara perlahan tapi cukup jelas terdengar 

di telinya Wiro dan Wulan Srindi dia berkata. 

"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengo-

batan ke delapan ratus enam belas. Barang siapa terkena pukulan 

beracun yang meninggalkan tanda cidera di bagian yang berlawanan 

dari yang dipukul maka ada tiga hal yang harus dilakukan. 

"Tunggu dulu!" Tiba-tiba Wiro berkata setengah berseru, 

memotong kata-kata perempuan bayangan. 

"Kau menyebut Kitab Seribu Pengobatan. Apa yang kau 

ketahui tentang kitab itu? Kau seperti tengah membacanya. Malah 

kau mampu menyebut halamannya." 

"Pendekar, saat ini sebaiknya kau berdiam diri dulu. Jangan 

banyak bersuara. Mengenai pertanyaanmu, biar nanti saja aku 

menjawab." Kata-kata perempuan bayangan segera disahuti Wulan 

Srindi. 

"Dia layak menanyakan. Kitab itu miliknya. Lenyap dicuri 

orang beberapa waktu lalu!" 

"Sahabat, kalau kitab itu memang milik Pendekar Dua Satu 

Dua, satu hari kelak kitab itu akan kembali padanya. Sekarang 

apakah aku boleh melanjutkan menolong dirinya?" Wulan Srindi


tidak menjawab. Perempuan bayangan kembali memulai usahanya 

untuk menolong Wiro. Dia mengulang ucapannya tadi. 

"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengo-

batan ke delapan ratus enam belas. Barang siapa terkena pukulan 

beracun yang meninggalkan tanda cidera di bagian yang berlawanan 

dari yang dipukul maka…..” Belum sempat perempuan bayangan 

menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba satu bayangan merah laksana 

burung raksasa berkelebat menukik dari arah belakang. Wiro yang 

terbaring menelungkup dengan muka menghadap ke jurusan 

datangnya bayangan merah mencium bahaya, serta merta berteriak. 

"Sahabat! Awas! Ada mahluk aneh membokongmu!" Saat itu 

juga lima larik cahaya merah berkiblat angkerl Wiro angkat tangan 

kanan, bermaksud melepas satu pukulan sakti untuk menangkis 

serangan membokong. Namun astaga! Apa yang terjadi? 

Tangannya lumpuh, tak sanggup diangkat! 

"Celaka! Aku tak mungkin menolong!" Wulan Srindi sendiri 

dalam keterkejutannya masih mampu melepas pukulan Membelah 

Ombak Menembus Gunung. Ini adalah jurus pukulan sakti yang 

dimilikinya sebagai murid Perguruan Silat Lawu Putih. Dia 

melancarkan serangan ini karena tidak punya cukup waktu untuk 

menyembur dengan minuman keras dalam kendi. Walaupun otaknya 

tak beres dan ada rasa benci terhadap perempuan bayangan, 

namun melihat orang berlaku pengecut, menyerang secara 

membokong, gadis ini masih punya pikiran untuk menolong. Wulan 

Srindi terpekik. Satu kekuatan dahsyat menerpa dirinya. Membuat 

gadis ini jatuh terjengkang lalu bergulingan di tanah. Lima larik sinar 

merah angker terus membeset ke arah tubuh sebelah belakang 

perempuan bayangan. 

"Wusss!" 

 

* * *


DUA


HANYA sekejapan mata lagi lima larik sinar merah itu 

akan menghantam telak sasaran, tiba-tiba tubuh perempuan 

bayangan memancarkan cahaya begemerlap laksana percikan 

ratusan bunga api. Suara seperti petir menggelegar menggoncang 

seantero tempat lima kali berturut-turut sewaktu lima larik sinar 

merah berbenturan dengan ratusan cahaya biru bergemerlap yang 

memancar keluar dari sosok perempuan bayangan. Perempuan ini 

goyangkan dua bahunya. Ratusan bunga api biru yang terpencar-

pencar akibat bentrokan dengan lima larik sinar merah bergabung 

membentuk satu lingkaran aneh. 

Lingkaran biru yang begemerlap ini lalu melesat ke arah 

bayangan merah yang tadi melepaskan serangan. Satu jeritan keras 

menyerupai lolongan srigala hutan terdengar merobek langit. Sosok 

serba merah mengepul tersungkur di tanah, tepat di hadapan Wulan 

Srindi hingga gadis ini berjingkrak dan terpekik! 

"Setan pembokong siapa kau?!" Wulan Srindi membentak. 

Dia cepat mengambil sebuah kendi tanah lalu meneguk isinya. Mulut 

siap menyembur kearah orang yang tergelimpang di tanah. Tapi tak 

jadi karena dia keburu melengak ngeri melihat keadaan orang itu 

yang ternyata adalah seorang nenek berambut dan bermuka merah, 

mengenakan pakaian selempang kain warna merah robek tak 

karuan rupa. Bagian dada yang tersingkap memperlihatkan payu 

dara sebelah kiri yang sangat besar, berbeda dengan payu dara 

sebelah kanan yang peot keriput. Sepasang mata merah mendelik 

besar seperti mau melompat keluar dari rongganya. Mulut keluarkan 

suara erangan disertai kucuran darah bewarna hitam! Perempuan 

cantik bayangan tidak beranjak dari tempatnya berlutut di samping 

kanan Wiro. Mulutnya berucap perlahan.


"Antara kita tak ada silang sengketa atau dendam sakit hati. 

Mengapa kau menyerangku? Salahkah kalau aku melindungi diri 

dari perbuatan jahatmu tadi?" Sosok yang tergeletak di tanah keluar-

kan suara menggembor parau. Mulut megap-megap, tenggorokan 

turun naik. Sepertinya dia hendak menyemburkan ucapan kemarah-

an namun tak mampu dikeluarkan. Tiba-tiba didahului oleh satu jerit-

an merobek langit, tubuh mahluk serba merah itu meledak tercabik-

cabik, berubah menjadi tujuh potongan daging yang ditancapi tulang 

belulang dan dikobari api, mencelat ke udara. Sebelum hilang dari 

pemandangan tujuh potongan tubuh yang dikobari api itu menyatu 

kembali, membentuk sebuah bola api besar dan melesat ke langit 

hingga akhirnya lenyap dari pemandangan. Semua terjadi begitu 

cepat dan luar biasa mengerikan. Untuk beberapa ketika kesunyian 

menggantung di udara. 

Di tempat jauh, di sebuah taman di halaman belakang gedung 

Kepatihan, pada saat sosok merah meledak dan tercabik menjadi 

tujuh bagian, Wira Bumi yang baru saja menghabiskan secangkir 

kopi hangat dan bermaksud masuk ke dalam gedung tiba-tiba 

tersentak kaget. Dia melihat kiblatan cahaya merah tiga langkah di 

hadapannya. Bersamaan dengan itu di telinganya mengiang suara 

raungan panjang menggidikkan. Dia mengenali benar suara itu. 

"Nyai ... ?" ucapnya dengan bibir bergetar. Dia tertegun 

beberapa ketika lalu gelengkan kepala. 

"Apa yang.terjadi dengan diriku?" Dengan hati tak enak Patih 

Kerajaan ini melangkah masuk ke dalam gedung. Kembali ke tempat 

kejadian. 

"Hai! Kau tahu siapa mahluk jahanam tadi? Manusia atau 

setan?” Wulan Srindi memecah kesunyian, bertanya pada 

perempuan bayangan. 

"Setahuku dia adalah manusia yang telah pindah ke alam roh, 

menemui kematian puluhan tahun silam. Penghuni pekuburan 

Kebonagung. Kalau tidak salah dia dipanggil dengan nama Nyai 

Tumbal Jiwo ..." 

"Heran, bagaimana kau tahu semua itu?" ucap Wiro sambil 

mencoba menggerakkan tangan kiri kanan tapi tetap tergontai 

lumpuh. Mahluk perempuan bayangan hanya tersenyum. 

"Aku pernah mendengar nama itu. Nyai Tumbal Jiwo adalah 

mahluk jahat guru Wira Bumi, yang sekarang menjabat Patih


Kerajaan .... Apa yang dikatakan Wiro ini adalah sesuai dengan yang 

didengarnya dari Djaka Tua sebelum dibunuh oleh Cagak Lenting 

alias Si Mata Elang atas perintah Patih Wira Bumi. Cagak Lenting 

sendiri kemudian dibunuh oleh Nyi Retno Mantili. (Baca Episode 

sebelumnya berjudul "Azab Sang Murid") 

"Pendekar apakah aku bisa melanjutkan pekerjaan mengobati 

pendekar ..." 

"Namaku Wiro. Jangan terus-terusan memanggilku pendekar" 

ucap Wiro yang saat itu terbaring menelungkup. Mahluk bayangan 

tersenyum duduk bersila di samping kanan Wiro. Mata menatap ke 

punggung yang tersingkap, mulut berucap. 

"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengobat-

an ke delapan ratus enam belas. Barang siapa terkena pukulan 

beracun yang meninggalkan tanda cidera di bagian yang berlawanan 

dari yang dipukul maka beradi dia telah terkena satu pukulan 

mengandung racun jahat yang bisa membuat tubuhnya busuk dan 

membunuhnya dalam waktu. tiga hari. Untuk. menolongnya ada tiga 

hal yang hams dilakukan. Pertama memohon doa berdoa pada 

Tuhan Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang yang cidera 

disembuhkan dari cideranya. Kedua buat guratan tanda silang tepat 

di atas bagian tubuh yang cidera. Guratan bisa dilakukan dengan 

mempergunakan kayu, batu tapi akan lebih baik jika dilakukan 

dengan ujung kuku tangan disertai sedikit aliran tenaga dalam atau 

hawa sakti. Ketiga rebus empat helai daun sirih. Air remasan daun 

diminumkan , empat helai daun sirih lalu ditempelkan di bagian 

tubuh orang yang cidera dengan ujung daun mengarah ler, kilen, 

kidul, dan wefan." 

Setelah mengeluarkan ucapan itu perempuan cantik dalam 

ujud bayangan memandang pada Wiro dan Wulan Srindi. 

"Mari kita berdoa pada Yang Kuasa dalam hati masing-

masing, memohon kesembuhan." Mahluk bayangan berujud perem-

puan cantik ini pejamkan mata. Wiro melakukan hal yang sama 

walau dalam hati dia bertanya-tanya. 

"Mahluk aneh mengenal Tuhan. Apakah Tuhannya sama de-

ngan Tuhanku?". Sementara mahluk bayangan dan Wiro berdoa 

memohon kesembuhan pada Yang Maha Kuasa, Wulan Srindi teguk 

minuman keras dalam kendi. Mulutnya kemudian berucap perlahan.


"Gusti Allah, aku memohon di hadapanMu, sembuhkan 

suamiku." Tak selang berapa lama perempuan bayangan dan Wiro 

membuka mata masing-masing. Perempuan bayangan gerakkan 

tangan kanan, diletakkan di punggung Wiro. Dengan ujung kuku ibu 

jari tangan kanan dia menggurat, membuat tanda silang tepat di atas 

punggung yang cidera. Begitu tanda silang berbentuk, dari bagian 

tubuh yang cidera membersit darah kental berwarna merah 

kehitaman disertai kepulan asap,menebar bau tak enak. 

Wiro sendiri saat itu menggigit bibir kuat-kuat menahan sakit 

luar biasa. Dia merasa seolah dicengkeram tangan raksasa tak 

kelihatan yang hendak menjebol dan membongkar punggungnya. 

Bagaimanapun Wiro berusaha bertahan akhirnya meledak juga 

jeritannya. 

"Kurang ajar! Kau bukan menolong! Kau hendak membunuh 

suamiku!" teriak Wulan Srindi lalu melompaf menerjang ke arah 

perempuan bayangan. Tendangan kaki kanannya melesat ke kepala 

orang. Mahluk bayangan angkat tangan kirinya. Telapak tangan 

dikembang, di arahkan pada Wulan Srindi. Mulutnya berucap. 

"Jangan bergerak, jangan bersuara. Atau pendekar ini tak - 

akan dapat disembuhkan!" Dalam marahnya Wulan Srindi tidak 

perdulikan ucapan orang. Dia malah lipat gandakan tenaga dalam 

sambil tangan kiri mengambil sebuah kendi yang tergantung di 

pinggang. Namun semua gerakan itu mendadak sontak terhenti. 

Serangkum angin bersiur halus, keluar dari telapak tangan 

perempuan bayangan. Wulan Srindi merasa ada angin dingin 

menyapu sekujur tubuhnya. Sat itu juga dia tak mampu bergerak 

lagi. Perlahanlahan sosoknya yang tadi mengapung di udara turun 

ke bawah, terputar membelakangi Wiro. Kaki kiri menginjak tanah, 

kaki kanan masih dalam sikap menendang sementara tangan kanan 

terkulai tak bergerak di samping dan tangan kiri dalam sikap hendak 

mengambil kendi di pinggang. 

"Jahanam keparat! Kau apakan diriku?!" Teriak Wulan Srindi. 

Namun teriakan itu hanya bergema di dalam hati karena jangankan 

berteriak, berkatapun dia tak mampu! Lucu sekali keadaan Wulan 

Srindi. Tidak beda dengan sebuah patung. Wiro yang menyaksikan 

kejadian itu kasihan ada geli juga ada. 

Kepulan asap di punggung Wiro perlahan-lahan sirna dalam 

kegelapan. Cidera dengan tanda merah dilingkari warna biru tidak


kentara lagi. Namun daging punggung di bagian yang cidera itu 

kelihatan membengkak ke atas sementara darah merah kehitaman 

masih terus mengucur. 

"Pendekar, aku telah melakukan apa yang bisa aku lakukan. 

Tinggal kini mencari empat lembar daun sirih. Kurasa hal itu bisa 

dikerjakan oleh sahabat berpakaian hijau yang membekal banyak 

kendi di pinggangnya." Habis berkata begitu perempuan bayangan 

bergerak bangkit. Namun sebelum berdiri, dalam keadaan setengah 

berjongkok dia dekatkan wajahnya ke telinga kiri Wiro dan berbisik. 

"Pendekar ada sesuatu yang hendak aku sampaikan padamu. 

Harap kau mendengar saja dan jangan bicara. Kitab Seribu 

Pengobatan milikmu ada padaku. Sebelum mati Hantu Malam 

Bergigi Perak berpesan agar kitab itu diserahkan padamu. Harap 

kau tidak gusar. Saat ini aku tidak dapat menyerahkan kitab 

padamu. Ada yang aku kawatirkan. Kalau berkenan datanglah ke 

Bukit Menoreh pada purnama hari ke empat belas minggu depan. 

Cari pohon jati yang doyong ke timur. Tunggu di situ. Tepat pada 

pertengahan malam kau akan mendengar tanda berupa suara 

burung perkutut tiga kali berturut-turut. Pada saat kita bertemu kitab 

akan aku serahkan padamu. Usahakan datang seorang diri. Karena 

kalau ada orang ke tiga keadaan bisa berubah nanti. Aku pergi 

sekarang. Semoga kau lekas sembuh." 

Mahluk bayangan berujud perempuan cantik usapkan tangan 

kanannya di atas kening Wiro. Pemuda ini merasa dadanya yang 

sejak tadi sesak menjadi lega. Rasa sakit di punggung jauh 

berkurang. Pemandangannya yang tadi guram menjadi lebih jernih. 

Wiro berusaha membuka mulut hendak mengatakan sesuatu. 

Namun perempuan bayangan cepat memberi tanda agar Wiro tidak 

mengeluarkan suara. Sebelum meninggalkan tempat itu perempuan 

bayangan angkat tangan kirinya. Telapak yang terkembang 

diarahkan pada Wulan Srindi. Wulan merasa angin dingin menyapu 

dirinya. Saat itu juga tubuhnya yang kaku bisa bergerak dan mulut 

yang bisu mampu bersuara kembali. Dia membalikkan badan 

hendak mendamprat namun perempuan bayangan tak ada lagi di 

tempat itu. Wulan Srindi melompat. 

'Wulan, kau mau kemana?" tanya Wiro. 

"Aku mau mengejar setan betina tadi!" Jawab Wulan Srindi.


"Jangan lakukan itu." Langkah Wulan terhenti. Dia meman-

dang wajah Wiro sejurus lalu berkata. 

"Kalau begitu biar aku pergi mencari daun sirih untuk obatmu. 

Sebelum matahari terbit aku akan kembali." 

"Terima kasih kau mau menolongku ...“ Wulan Srindi 

menyeringai. 

"Hantu perempuan itu saja mau menolongmu. Apa lagi aku 

yang istrimu!" Wiro terdiam. Tapi kemudian dia tertawa gelak-gelak. 

"Kenapa kau tertawa? Apa yang lucu?!" tanya Wulan Srindi. 

"Tidak ada yang lucu. Saat ini sepertinya aku kepingin jadi 

gila!" 

"Oala. Kalau begitu bertambah satu lagi manusia sinting di 

dunia ini!" ucap Wulan Srindi. Sambil tertawa cekikikan gadis ini 

tinggalkan tempat itu. . Seperti yang dijanjikannya, sebelum sang 

surya muncul di ufuk timur Wulan Srindi kembali ke tempat dimana 

dia meninggalkan Wiro. Namun kagetnya bukan alang kepalang 

ketika mendapatkan pemuda yang dianggapnya sebagai suaminya 

itu tak ada lagi di situ. 

"Pasti ini pekerjaan setan perempuan itu! Jahanam betul 

Kemana aku harus mencarinya?!" Wulan Srindi marah sekali. Dia 

ambil sebuah kendi yang tergantung di pinggang. Meneguk 

minuman keras dalam kendi hingga habis. Kendi yang kosong lalu 

dibanting hingga amblas masuk ke dalam tanah! Seperti orang 

kesetanan dari mulutnya keluar jerit berkepanjangan. 

* * *


TIGA


DALAM keadaan tubuh lunglai tak mampu bergerak dan 

didera demam panas Pendekar 212 Wiro Sableng menyadari kalau 

saat itu dia dipanggul orang dan dibawa lari di kegelapan malam. Dia 

berusaha mengerahkan tenaga dalam namun akibatnya aliran 

darahnya di beberapa tempat tertahan. Tak sanggup bertahan 

akhirnya Wiro jatuh pingsan. 

Dua hari kemudian. Didahului satu tarikan nafas panjang 

perlahan-lahan Wiro membuka kedua matanya. Dia jadi terkesiap 

ketika kemanapun dia memutar mata hanya kegelapan yang terlihat. 

Telinganya menangkap suara dua perempuan bicara perlahan-

lahan. 

"Gila! Apakah aku sudah buta? Atau sudah mati ... Jangan 

jangan aku berada dalam liang kubur. Mengapa sangat gelap?" ucap 

Pendekar 212 dalam hati. Saat itu dia terbaring menelungkup di atas 

satu benda keras dan dingin. Wiro coba gerakkan tangan kanan dan 

berusaha bangun. Ternyata dia tidak mampu melakukan, Dia 

gerakkan kaki kiri. Juga tidak bisa. Coba dongakkan kepala. Tidak 

berhasil. Wiro sadar. 

"Ada orang yang menotok tubuhku. Siapa? Dua perempuan 

itu? Dimana mereka? Gelap sialan! Aku tak bisa melihat apa-apa!" 

Lapat-lapat dikejauhan Wiro mendengar suara air memancur Lalu 

kembali ada suara dua orang perempuan berbisik-bisik. Walau cuma 

dekat tapi karena sangat gelap dia tidak bisa melihat kedua orang 

itu. 

"Hai! Aku berada dimana? Siapa yang barusan bicara? Apa 

yang terjadi dengan diriku?" Wiro keluarkan ucapan. Suara berbisik 

serta merta lenyap. Wiro jadi penasaran. Tubuhnya terasa tidak 

panas lagi. Dia coba gerakkan tangan dan kaki. Tidak mampu. Ter-

nyata dia dalam keadaan tertotok. Wiro coba mengingat-ingat. Ber-

mula ketika di satu tempat dia ditinggal oleh Wulan Srindi. Gadis itu 

pergi untuk mencari daun sirih guna mengobati dirinya. Dalam 

keadaan tubuh cidera dan digerayangi demam panas tiba-tiba berke


lebat satu bayangan dan tahu-tahu dia telah berada di atas bahu 

seseorang, dibawa berlari dalam gelapnya malam sampai akhirnya 

dia jatuh pingsan. 

"Aku tahu ada dua orang perempuan di tempat ini."Wiro 

keluarkan ucapan. 

"Apakah kalian yang menolong dan membawaku ke sini. 

Kalau kalian memang punya niat baik menolongku, aku mengucap-

kan terima kasih. Tapi mengapa tidak mau unjukkan rupa? Mengapa 

menotokku segala? Dan ini tempat apa adanya? Mengapa gelap 

sekali. Kuburanpun tidak segelap ini!" 

Dari samping kiri terdengar suara orang menahan tawa. 

Disusul suara ucapan dari samping kanan. 

"Kau tahu gelapnya kuburan. Memangnya sudah pernah di 

kubur?! Apa sudah pernah mati?! Berarti saat ini kau adalah hantu 

jejadian! Hik..hik!" Pendekar 212 memaki dalam hati. 

"Dia sudah siuman dan mulai banyak bicara. Mungkin perlu 

kita totok untuh membungkam mulutnya!" Dalam gelap Wiro pejam-

kan mata sesaat. Dia coba mengingat-ingat. Dia rasa-rasa pernah 

mendengar suara itu. Tapi lupa dimana, apa lagi mengenali 

orangnya. Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat kembali akan cidera 

parah yang dialaminya. Dia berkata. 

"Aku harus keluar dari tempat ini! Aku tak mau menemui ajal 

di sini!" 

"Eh, memangnya kau tahu kalau dirimu mau mati?!" 

"Keluarkan aku dari sini atau ..." 

"Tak ada gunanya mengancam. Kau dalam keadaan tertotok!" 

"Kalau begitu lekas lepaskan totokan di tubuhku. Kalau tidak 

kau akan menyesal seumur-umur!" 

"Hik ... hik, mengancam lagi!" 

"Dengar, jika terjadi sesuatu dengan disiku, kalian berdua 

harus bertanggung jawab ...." 

"Kami membawamu kesini. Apa itu bukan satu bukti tanggung 

jawab?!" 

"Tanggung jawab kentut! Aku dalam keadaan cidera berat. 

Aku butuh pengobatan. Seseorang tengah menolongku. Tapi kalian 

menculik dan membawaku ke tempat celaka ini! Aku akan menemui 

ajal! Aku akan segera mati!" Wiro berteriak keras hingga ruangan 

batu bergetar. Dadanya turun naik. Lalu mulutnya berucap perlahan.


"Aku tidak takut mati. Tapi aku tidak mau mati di tempat 

celaka ini. Keluarkan aku dari sini!" 

"Pendekar Dua Satu Dua! Kami tahu semua apa yang terjadi 

dengan dirimu. Kami telah melakukan yang terbaik untukmu. Yang 

Maha Kuasa masih menolong mu. Kini saatnya kau membalas budi 

kebaikan kami." Salah satu dari dua perempuan dalam gelap 

keluarkan ucapan. 

"Kami ... kami! Siapa kalian? Mengapa menyekap aku di 

tempat gelap ini! Mengapa kalian tidak berani unjukkan muka?! Jelas 

membekal niat tidak baik!" 

"Siapa bilang kami tidak berani unjuk muka!” Tiba-tiba sebuah 

obor menyala. Tempat itu kini jadi terang benderang. Sepasang 

mata Wiro berputar. Temyata dia berada di sebuah ruangan batu. 

Saat itu dia terbaring menelungkup di atas sebuah ketiduran terbuat 

dari batu, tanpa baju, hanya mengenakan celana. Pandangan Wiro 

segera saja membentur dua sosok tubuh dibalut pakaian merah dan 

biru, bersanggul digulung di atas kepala, berwajah cantik jelita. 

"Wong edan! Kalian rupanya!" ucap Pendekar 212 setengah 

berteriak begitu mengenali. Jengkel sekali tapi juga merasa gembira. 

Dua orang itu ternyata adalah Liris Merah dan adiknya Liris Biru, 

murid Hantu Malam Bergigi Perak yang telah menemui ajal di tangan 

Sinto Gendeng. Keduanya memperhatikan Wiro sambil senyum-

senyum. Seperti dituturkan sebelumnya dua gadis itu membawa 

jenazah Hantu Malam Bergigi Perak ke Goa Cadasbiru di Kaliurang. 

Namun di tengah jalan keduanya berubah pikiran. Jenazah sang 

guru mereka kubur di sebuah bukit kecil lalu keduanya kembali ke 

tempat dimana Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal. Tidak 

terduga di satu tempat mereka menemui Pendekar 212 dalam 

keadaan cidera berat tengah ditolong oleh Wulan Srindi. 

"Setelah melihat kami, apa kau masih punya pikiran bahwa 

kami membekal niat jahat?" Bertanya Liris Biru. 

"Kalian menculik dan membawa aku ke tempat ini. Kalian juga 

menotok tubuhku! Siapa yang tidak akan punya dugaan kalau kalian 

memang punya niat jahat?!" Tukas Pendekar 212. Lalu menyam-

bung ucapannya. 

"Aku jadi bingung. Kalau kalian memang orang-orang jahat 

mengapa dulu menciumku?" (Baca serial Wiro Sableng episode


sebelumnya berjudul "Nyi Bodong") Liris Merah dan Liris Biru jadi 

kemerahan wajah masing-masing mendengar kata-kata pemuda itu. 

 "Kalau kami memang orang-orang jahat, seharusnya pada 

saat pertama kali kami menemuimu tergelimpang di tanah dalam 

keadaan tak berdaya, kami sudah membunuhmu tapi kami punya 

alasan kuat untuk menghabisi nyawamul" Liris Merah keluarkan 

ucapan. 

"Hebat! Dosa kesalahan apa yang telah aku buat hingga enak 

saja kalian mau membunuhku?!" 

"Bukan kau yang punya dosa! Tapi gurumu!" jawab Liris Biru. 

"Guruku? Maksud kalian Eyang Sinto Gendeng?" Wiro kere-

nyitkan kening. Hendak menggaruk kepala tapi tidak bisa. Liris 

Merah melangkah lebih dekat ke pembaringan batu. 

"Dengar," ucap si gadis. 

"Gurumu Sinto Gendeng telah membunuh guru kami Hantu 

Malam Bergigi Perak! Keji sekali!" Kejut Pendekar 212 bukan alang 

kepalang. Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok, Wiro pasti sudah 

melesat melompat mendengar ucapan Liris Merah itu. 

"Aku tidak percaya! Jangan kau bicara tak karuan! Beraninya 

memfitnah guruku!" Teriak Wiro. Kini Liris Biru yang melangkah 

mendekati pembaringan batu. 

"Kami memang tidak melihat peristiwanya. Tapi ada seorang 

menyaksikan kejadian itu ...." 

"Siapa?" tanya Wiro dengan suara bergetar. 

"Seorang kakek bermata belok yang salah satu dari dua 

telinganya terbalik! Tukang beser bernama Setan Ngompol!" Jawab 

Liris Biru. 

"Ah, kakek itul Mungkin saja dia salah melihat. Dia sudah tua 

matanya sudah mulai rabun. ....” Liris Merah mencibir. 

"Dia memang sudah tua, tapi matanya tidak rabun apa lagi 

butal Dan ucapannya tidak dusta!" 

"Kalau kalian merasa yakin guruku Eyang Sinto Gendeng 

yang membunuh guru kalian, lalu mengapa kalian tidak segera saja 

membunuhku? Malah sebaliknya menolongku?" 

"Kalau saat ini kau memang minta mati, kami tidak segan-

segan melakukannya!" kata Liris Merah pula dengan menahan 

amarah. Wiro terdiam tapi otaknya berjalan. Kalau dua orang gadis


itu tidak membunuhnya berarti ada sesuatu yang mereka harapkan. 

Akhirnya Wiro berkata. 

"Aku tidak bisa percaya begitu saja kata-kata kalian. Aku 

harus menemui Setan Ngompol. Aku harap kalian segera melepas-

kan totokan di tubuhku!" 

"Dasar sableng. Mau enaknya sendiri. Tidak tahu terima kasih 

menerima budi orang ..." ucap Liris Merah. Gadis ini mendekati Wiro 

lalu dengan dua jari tangan kanannya dia menusuk dua titik di 

punggung si pemuda. Saat itu juga totokan yang membuat kaku 

tubuh Wiro musnah. 

"Totokan sudah kulepas! Kalau kau mau pergi silahkan pergi 

sekarang juga!" ucap Liris Merah pula dengan suara keras lantang. 

Wiro atur aliran darah dan kerahkan tenaga dalam. Sesaat kemudian 

tubuhnya melesat ke udara lalu melagang turun, berdiri senyum-

senyum di antara dua gadis cantik Liris Merah dan Liris Biru. 

"Tak perlu cengengesan segala. Kau bilang mau pergi. 

Kenapa masih jual tampang di sini?!" Kata Liris Merah sambil berdiri 

berkacak pinggang. Wiro tertawa. 

"Sebelum pergi, aku perlu bicara dulu." 

"Bicara apa?" tanya Liris Biru. Wiro usap-usapkan telapak 

tangannya satu sama lain. 

"Pertama, aku harus mengucapkan terima kasih pada kalian 

berdua karena membawaku ke sini. Aku merasa telah menerima 

budi sangat besar. Kedua aku mohon maaf kalau tadi telah bicara 

keras dan kasar pada kalian berdua ..." 

"Hemmm, aneh juga. Tadi kau marah-marah dibawa kesini. 

Sekarang malah berterima kasih dan minta maaf segab. Sepertinya 

minta dikasihani! Begitulah manusia, berbuat seenaknya dulu baru 

kemudian minta maaf!" Tukas Liris Merah pula. Wiro cuma 

menyengir. Tangan kanannya bergerak ke punggung, pada bagian 

yang cidera bekas pukulan Pangeran Muda dari Keraton Kaliningrat. 

Dia merasa ada sesuatu menempel di punggung itu. Diambilnya lalu 

diperhatikan. Wiro terkejut. Yang dipegangnya saat itu adalah 

selembar daun sirih yang telah layu, berwarna kehitaman. Wiro 

meraba lagi ke punggung. Sekali ini diadapatkan tiga lembar daun 

sirih sekaligus. Langsung saja dia ingat kejadian dan ucapan 

perempuan cantik bayangan.


",...empat helai daun sirih Ialu ditempelkan di bagian tubuh 

orang yang cidera dengan ujung mengarah ke ler, kilen, kidul dan 

wetan .... " 

"Kalian berdua, Liris Merah, Liris Biru ..." ucap Wiro sambil 

memandang dari daun sirih dan pada dua gadis silih berganti. 

"Kalian telah mengobati diriku?" Wiro merasa yakin kalau 

memang kedua gadis cantik itu yang telah menolong mengobatinya 

karena saat kejadian Wulan Srindi telah meninggalkan dirinya untuk 

mencari daun sirih yaitu sesuai dengan petunjuk perempuan 

bayangan. 

"Tadi aku sudah mengatakan. Kami tahu semua yang terjadi. 

Dan kami berdua telah melakukan yang terbaik untukmu." Kata Liris 

Merah dengan wajah asam. Wiro menggaruk kepala. Ini pertama kali 

dia menggaruk dan terasa sedap sekali. Puas menggaruk dia 

berkata. 

"Kalau tidak keberatan tolong jelaskan apa yang terjadi dan 

apa yang telah kalian lakukan." Liris Merah berpaling pada adiknya 

Liris Biru. Liris Biru kemudian menerangkan. 

"Kami datang di tempat kau tergeletak pada malam dua hari 

lalu ...." 

"Apa?! Jadi aku berada di tempat ini sudah selama dua hari?" 

memotong Wiro. Liris merah anggukkan kepala. Lalu meneruskan 

penjelasannya. 

"Kami datang pada saat kau roboh di samping seorang gadis 

yang pinggangnya dipenuhi kendi. Tak jauh dari situ ada satu sosok 

lelaki yang sudah jadi mayat dengan tubuh hancur seperti dicincang. 

Siapa adanya gadis berdandanan aneh itu?" Liris Biru bertanya 

sambil melirik melirik pada kakaknya. 

"Namanya Wulan Srindi. Sengsara yang amat sangat 

membuat jalan pikirannya berubah. Dia diambil murid oleh lblis 

Pemabuk. Katakan, apa yang kalian ketahui selanjutnya ..." 

"Gadis itu berusaha keras menolongmu tapi tidak bisa. Lalu 

muncul satu mahluk aneh. Perempuan cantik berbentuk-bayangan. 

Aku dan kakakku mendengar semua apa yang diucapkan mahluk 

bayangan itu untuk mengobatimu. Pokoknya kami mendengar 

semua pembicaraan kalian. Mahluk ini kemudian menolong 

mengobati cidera di punggungmu. Namun masih diperlukan empat 

lembar daun sirih untuk menuntaskan pengobatan. Ketika mahluk itu


melenyapkan diri dan gadis bernama Wulan Srindi meninggalkanmu 

untuk mencari daun sirih, kami membawamu pergi. Kau kami bawa 

kesini. Tempat ini adalah Goa Cadasbiru, terletak di Kaliurang, 

tempat kediaman kami bersama mendiang guru ...." Wiro angguk-

anggukkan kepala 

"Tadi aku tidak tahu berada dimana. Sekarang setelah tahu 

aku sangat bersyukur ...." Liris Biru meneruskan keterangannya. 

"Sesuai ucapan mahluk bayangan kami cari empat lembar 

daun sirih. Kemudian kami tempelkan di punggungmu yang cidera. 

Tubuhmu mengepulkan asap hitam. Dari cidera di punggungmu 

membersit darah kehitaman yang kemudian secara aneh lenyap 

sendirinya. Selama dua hari dua malam kau tergeletak menelungkup 

di atas pembaringan batu itu, terserang demam panas. Kau sering 

mengigau, berteriak-teriak, memukul dan menendang. Kami terpak-

sa menotokmu. Sekarang kau telah sembuh." 

Wiro rapatkan dua tangan di atas kening, membungkuk 

dalam-dalam seraya berkata. 

"Aku berhutang budi dan nyawa pada kalian berdua. Katakan 

bagaimana aku bisa membalasnya." 

"Kami hanya ingin kau menjawab beberapa pertanyaan." 

Jawab Liris Merah pula. 

"Pertama, siapa adanya perempuan cantik berbentuk 

bayangan itu?" Wiro menggaruk kepala. 

"Aku sendiri tidak kenal padanya. Tapi dia seperti kenal 

padaku." 

"Aku tidak tahu apa kau berdusta atau tidak." ujar Liris Merah. 

"Pertanyaan kedua," Liris Biru yang berucap. 

"Gadis bernama Wulan Srindi itu memanggilmu dengan 

sebutan suamiku. Apakah dia istrimu? Memangnya kau sudah 

kawin?" Wiro garuk kepala lalu menggeleng. 

"Dia bukan istriku, aku bukan suaminya ...." 

"Tapi kabarnya dia sudah hamil tiga bulan!" Potong Liris 

Merah dengan unjukkan wajah sinis. 

"Aneh juga! Tidak dikawini tapi bisa hamil!" ucap Liris Biru 

setengah mengejek. Lalu tertawa cekikikan. 

"Memang aneh. Seperti aku katakan tadi akibat derita 

sengsara yang tak sanggup dihadapinya, Wulan Srindi rusak jalan 

pikirannya. Sebelumnya dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak.


Lalu kemana-mana menebar ucapan bahwa aku adalah suaminya. 

Malah dia mengatakan kalau sudah hamil tiga bulan. Bahkan semua 

itu pernah dikatakannya pada guruku Eyang Sinto Gendeng. Aku 

kasihan padanya, tapi tak bisa berbuat apa ...." 

"Derita sengsara apa yang begitu hebat hingga membuat 

dirinya rusak pikiran seperti itu?" Bertanya Liris Biru. 

"Dia diperkosa ...” Jawab Wiro. 

Liris Merah dan Liris Biru saling pandang dan sama-sama 

terdiam. Akhirnya Liris Merah membuka mulut 

"Waktu mengobati dirimu, mahluk bayangan menyebut Kitab 

Seribu Pengobatan. Yang kami ingin tahu dimana beradanya kitab 

itu sekarang?" 

"Aku melihat mahluk bayangan itu berbisik padamu. Apa yang 

dibisikkannya?" Liris Biru ikut ajukan pertanyaan. Wiro menggaruk 

kepala, mengingat-ingat. 

"Saat itu dia mengatakan bahwa Kitab Seribu Pengobatan 

ada padanya dan kelak akan diserahkan padaku." 

"Kapan? Dimana akan diserahkan?" Desak Liris Merah. 

Walau memang sudah ada perjanjian di satu tempat dengan mahluk 

bayangan namun Wiro tidak mau memberi tahu. 

"Kalian berdua, aku telah berhutang budi dan nyawa pada 

kalian. Aku ingat cerita kalian tempo hari. Kalian punya kelainan. 

Tidak tahan hawa panas. Dengar, jika kitab itu aku dapatkan, aku 

berjanji akan menyerahkan pada kalian." 

"Siapa percaya janjimu!" ucap Liris Merah. 

"Sahabatku, salah satu perbuatan baik dalam hidup ini adalah 

saling percaya. Mana mungkin aku berdusta pada orang-orang yang 

telah menyelamatkan nyawaku. Aku harus pergi sekarang. Tolong 

tunjukkan jalan keluar ....." Liris Merah kesal tapi tudingkan ibu jari 

tangan kirinya ke arah kanan. Wiro membungkuk. Mengucapkan 

terimakasih lalu melangkah cepat kearah yang ditunjuk. Lima 

langkah bergerak tiba-tiba Liris Biru berkelebat menghadang. 

"Ada apa?" tanya Wiro heran. Liris Biru angkat tangan 

kanannya. Di tangan itu dia memegang sebuah benda terbuat dari 

perak yang segera dikenali Wiro. 

"Tusuk konde perak. ltu milik guruku. Bagaimana bisa berada 

padamu? "


"Kami temukan tersemat di baju bututmu waktu kami 

menggeledah sekujur tubuhmu!" Menerangkan Liris Biru. Wiro 

terkejut. 

"Apa?! Kalian menggeledah sekujur tubuhku?!" ucap 

pendekar sambil tekap dada lalu tekap bagian di bawah perutnya. 

Liris Merah dan Liris Biru langsung merah wajah masing-masing. 

"Kami bukan gadis murahan! Kami cukup tahu peradatan 

sopan santun waiau saat itu kau dalam keadaan pingsan!" kata Liris 

Merah pula. Liris Biru kemudian angsurkan tusuk konde perak yang 

segera diambil oleh Wiro. 

"Terima kasih. Kalian berdua baik sekali. Hutang budiku 

tambah besar." Pendekar 212 langsung melanjutkan langkahnya. 

Namun sebelum berkelebat pergi pemuda ini lebih dulu mencium 

pipi kiri Liris Biru. Untuk beberapa lamanya Liris Biru tegak tertegun 

sambil mendekap pipinya yang bekas dicium sementara sang kakak, 

Liris Merah, memperhatikan dengan pandangan tidak senang. Lalu 

dia melangkah mendekati adiknya dan berkata. 

"Adikku, terus terang aku tidak percaya pada semua ucapan 

Pendekar Dua Satu Dua. Terutama janjinya akan menyerahkan 

Kitab Seribu Pengobatan. Aku harus mengikutinya. Aku punya 

firasat dia tengah menuju ke satu tempat dimana kitab itu berada." 

"Terserah padamu, kakak. Tapi ingat sudah saatnya kita 

berendam di telaga, membersihkan diri di air pancuran. Tidakkah 

kau merasa kalau tubuh kita mulai panas? Sebaiknya kita 

mendinginkan diri dulu ...." 

"Kalau kita mendinginkan diri lebih dulu, pemuda itu sudah lari 

jauh. Aku akan berusaha mencari telaga di tengah jalan." 

"Kalau begitu aku ikut bersamamu." Kata Liris biru pula. 

"Tidak, kau tunggu di sini. Apa kau lupa di tempat ini kita 

menyimpan benda sangat berharga?" Walau menduga-duga apa itu 

alasan sebenarnya Liris Merah menolak dia ikut serta akhirnya Liris 

Biru anggukan kepala mengalah. 

"Pergilah. Hati-hati ...." Setelah Liris Merah pergi, sang adik 

masih tegak di tempatnya semula. Hatinya berucap. 

"Aku lihat wajah kakak tadi. Menunjukkan rasa tidak senang. 

Ada bayangan rasa cemburu. Apakah dia sudah jatuh cinta pada 

pemuda itu. Tapi mengapa tadi dia selalu bicara keras? Kalau Wiro


suka pada aku dan Liris Merah, mengapa cuma aku yang 

diciumnya? Padahal dulu aku dan kakak sama-sama menciumnya. 

Kepergian kakak, apakah sepenuh hati hanya untuk 

menguntit, bukan karena hasrat ingin berada dekat pemuda itu?" 

Liris Biru usap pipinya yang bekas dicium Wiri. Dia ingat cerita Setan 

Ngompol. Selain memberi tahu siapa pembunuh gurunya si kakek 

juga menjelaskan bahwa Kitab Seribu Pengobatan berada di tangan 

perempuan bayangan. Dan yang tidak dilupakan Liris Biru adalah 

penjelasan Setan Ngompol bahwa gurunya pernah mengeluarkan 

ucapkan kalau Wiro suka dia boleh memilih salah satu antara dia 

dan kakaknya. 

"Aku tadi diciumnya. Apakah itu satu pertanda bahwa dia 

memilihku .... ?” Liris Biru tersenyum sendiri Gadis ini keluar dari 

gua, langsung menuju ke sebuah telaga yang terletak di bagian 

bawah satu tebing batu. Di salah satu dinding tebing ada sebuah 

pancuran. Walau ada tangga batu menuju ke dalam telaga, Liris Biru 

tidakmau berlama-lama. Gadis itu rangsung melesat terjun masuk 

ke dalam air. 

Saat itu langit di ufuk timur mulai tersaput cahaya kemerahan 

pertanda tak lama lagi sang surya akan segera terbit. Sambil 

berendam untuk melenyapkan hawa panas penyakit aneh yang 

diidapnya selama bertahun-tahun Liris Biru bernyanyi-nyanyi kecil. 

Mendadak suara nyanyiannya lenyap. Dua kakinya yang menjajaki 

dasar telaga merasa ada getaran-getaran aneh. Lalu dilihatnya ada 

sebuak benda bergerak di dalam air, mendekat ke arahnya. 

"lkan besar? Buaya? Bertahun-tahun tinggal di sini setahuku 

tidak ada binatang hidup dalam telaga ini. Jangan-jangan makluk 

jejadian hendak mencelakai diriku." Tidak tunggu lebih lama segera 

saja Liris Biru angkat tangannya, siap untuk menghantam dengan 

aliran tenaga dalam penuh. 

Tiba-tiba sebuah benda besar mencuat keluar dari dalam 

telaga. Air telaga bermuncratan. Liris Biru pukulkan tangan 

kanannya ke depan. Dia berseru kaget ketika lengan kanannya 

terasa dicekal kuat. Dan sewaktu muncratan air lenyap gadis ini 

lebih kaget lagi begitu melihat siapa yang ada di hadapannya dan 

mencekal tangannya. 

"Kau!" Yang diteriaki tertawa lebar.


"Kurang ajar sekali! Beraninya kau mengintip perempuan 

mandi!" Orang yang mencekal lengan si gadis, yang bukan lain 

adalah Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa bergelak. 

"Kau masih mengenakan pakaian utuh. Kalau sudah . 

telanjang boleh saja kau marah!" 

"Apa yang kau lakukan di telaga ini! Kau bilang tadi kau mau 

pergi! Sekarang mengapa ada di sini?" Liris Biru tarik tangannya 

yang dipegang Wiro. 

"Aku tidak mau diikuti oleh kakakmu. Selain itu aku memang 

sudah beberapa hari tidak mandi. Kebetulan ada telaga berair 

jernih." 

"Bagaimana kau tahu kalau kakakku mengikutimu." 

"Keluar dari goa, aku tidak terus pergi. Aku sempat men-

dengar pembicaraan kalian ...." 

"ltu Cuma jawaban yang dibuat-buat. Alasanmu yang sebe-

narnya adalah menungguku turun mandi ke telaga ini. Dasar pemu-

da ganjenl" 

"Eh, tunggu dulu. Siapa yang ganjen di antara kita? Bukankah 

kau dan kakakmu yang lebih dulu menciumku tempo hari?" 

"Kami menciummu bukan karena ganjen. Tapi karena sangat 

berharap dan bebesar hati kau bisa menolong kami mendapatkan 

Kitab Seribu Pengobatan. Kau sendiri mengapa tadi waktu di goa 

menciumku?" Wiro menggaruk kepala. Lalu menjawab. 

"Pertama, kau baik. Lebih baik dari kakakmu yang bicara se-

lalu keras meledak-ledak. Selain itu kau cantik. Lalu bukankah 

ciuman itu pantas sebagai sopan santun balasan ciumanmu tempo 

hari?" 

"Edan!" Teriak Liris Biru. Wajahnya yang basah oleh air telaga 

kelihatan bersemu merah namun diam-diam hatinya merasa senang. 

Wiro tertawa lebar. 

"Sudah, agar tidak dituduh ganjen terus -terusan aku mau 

pergi saja." 

"Tunggu," kata Liris Biru. Kini dia yang mencekal tangan 

kanan Wiro hingga si pemuda tertarik satu langkah dan ini cukup 

membuat tubuh keduanyanya hampir bersentuhan. 

"Apakah kau benar-benar akan menyerahkan Kitab Seribu 

Pengobatan " bertanya Liris Biru.


"Karena kalau kau berdusta, percuma saja aku menunggu di 

sini" 

"Mana aku sampai hati mendustai gadis sebaik dan secantik-

mu. Apa lagi mengingat kematian gurumu di tangan Eyang Sinto. 

Aku merasa sangat menyesal dan sedih sekali ..." Wiro tekapkan 

kedua telapak tangannya kewajah Liris Biru. Entah mengapa gadis 

ini lingkarkan dua tangannya di pinggang Wiro lalu sandarkan kepala 

di dada bidang sang pendekar. Terdengar suaranya perlahan. 

"Wiro, apakah aku boleh ikut bersamamu?" 

"Hemm ... Saat ini kurasa belum boleh. Lain kali kita akan 

pergi sama-sama kemana kau suka. 

" Wiro belai rambut basah si gadis. 

"Aku harus pergi sekarang. Tunggu di sini. Aku pasti datang 

membawa kitab itu." 

"Aku akan menunggu," jawab Liris Biru lalu memeluk tubuh 

Wiro erat-erat seolah tak ingin pemuda itu lekas-lekas meninggal-

kannya. Sesaat Wiro balas merangkul punggung si gadis lalu 

mencium keningnya. 

"Aku pergi ..." bisik Pendekar 212. 

"Tunggu, walau kau tidak menceritakan kemana kau akan 

pergi namun aku tahu perjalananmu pasti jauh. Sementara kau 

hanya membekal sehelai celana basah dan tidak mengenakan baju. 

Di dalam goa ada beberapa perangkat pakaian mendiang guru. Aku 

akan mengambilkan satu pasang untukmu. Naiklah ke tebing di atas 

sana." 

"Gurumu perempuan, aku laki-laki. Mana mungkin aku pakai pakaian 

perempuan. Aku belum mau jadi banci ......" Saat itu Liris Merah 

telah melesat keluar dari telaga, masuk kedalam Goa Cadasbiru. 

Ketika dia keluar membawa sehelai celana dan baju hitam, Wiro 

sudah menunggu. 

"Pakailah," kata Liris Biru sambil menyerahkan pakaian yang 

di bawanya. 

"Eh, tak mungkin aku berganti pakaian di hadapanmu," kata 

Wiro sambil memandang kiri kanan. 

"Jangan bicara konyol. Kau bisa masuk ke dalam goa!" Wiro 

menyengir. Sambil manggut-manggut melangkah masuk ke dalam 

goa. Ketika keluar dia sudah mengenakan baju dan celana hitam. 

Ukuran badannya agak sempit, lengan dan kaki celana menggan


tung kependekan. Liris Biru tertawa geli melihat keadaan Wiro. 

Pendekar 212 garuk-garuk kepala. 

"Tak mengapa. Biar jadi badut dari pada tidak pakai baju dan 

celana sama sekali. Liris Biru, terima kasih untuk pakaian ini!" 

Sebelum berkelebat pergi Wiro tepuk pantat si gadis. 

"lhhh!" Si gadis terpekik kaget tapi senang. Untuk beberapa 

lamanya dia masih tegak di tempat itu. Seumur hidup baru tadi untuk 

pertama kalinya dia memeluk dan dipeluk seorang lelaki. Satu 

kenangan mesra dan indah yang tak bakal dilupakannya sampai 

kapanpun. Di balik sebuah batu di atas tebing, sepasang mata 

melotot sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi dengan dua insan 

di dalam telaga. Wajahnya yang cantik tampak berkerut dan dada 

menyentak keras. 

"Perasaanku ternyata benar. Tidak sia-sia aku kembali untuk 

menyelidik. Lancangnya dia menyerahkan pakaian milik guru. Liris 

Biru, sekalipun kau suka pada pemuda kurang ajar itu dan dia 

senang padamu, aku bersumpah kau tak akan mendapatkan dirinya. 

" Orang yang berucap perlahan itu balikkan tubuh. Pakaian 

yang serba merah, rambut yang digulung di atas kepala menyatakan 

bahwa dia bukan lain adalah Liris Merah. 

* * *


EMPAT


DALAM bangunan batu pualam di dasar telaga yang terletak di 

puncak Gunung Gede. Nenek muka putih berpakaian biru dengan 

rambut hitam tergerai kusut, berlutut di hadapan Kiai Gede Tapa 

Pamungkas. 

"Kiai, saya? tak akan habis-habisnya mengucapkan terima 

kasih atas budi baik Kiai yang telah menolong menyelamatkan saya. 

Mengobati cidera yang saya alami sehingga sembuh . Saya tidak 

mungkin membalas semua budi dan hutang nyawa itu." Kiai Gede 

Tapa Pamungkas, tokoh rimba persilatan berkepandaian sangat 

tinggi dan mengenakan pakaian selempang kain putih tersenyum. 

"Nenek sahabatku bangkitlah. Mengapa terlalu banyak 

memakai peradatan segala?" Mendengar ucapan sang Kiai si nenek 

segera bangun. 

"Menolong dengan mengharap balas budi bukanlah satu sifat 

yang tulus. Ketahuilah, jika kau ingin berterima kasih, berterima 

kasihlah pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain itu ada seseorang 

yang pantas menerima semua rasa terima kasihmu." 

"Begitu ... ? Siapakah dia Kiai?" tanya nenek muka putih pula. 

"Seorang perempuan muda bernama Nyi Retno Mantili. 

Dialah yang telah menemukan dirimu dalam keadaan cidera berat 

Dia yang membawamu ke padaku." 

"Nyi Retno Mantili ...." ucap nenek muka putih. 

"Apakah saya pernah mengenal atau bertemu dengannya? 

Kiai, dimana saya bisa mencari dan menjumpai perempuan berbudi 

luhur itu?" 

"Tidak mudah untuk mencarinya ..." 

"Dia membawa saya kepada Kiai. Berarti dia mengenal Kiai. 

Kalau saya boleh bertanya apa hubungan Kiai dengan Nyi Retno 

Mantili?"


"Perempuan muda itu sebenarnya adalah istri Tumenggung 

Wira Bumi yang sekarang telah menjadi Patih Kerajaan ..." Nenek 

muka putih unjukkan wajah kaget. Kiai Gede Tapa Pamungkas 

melanjutkan ceritanya. 

"Perjalanan nasib membawa Nyi Retno masuk ke jurang ke-

sengsaraan. Derita yang amat sangat karena kehilangan bayi puteri 

pertamanya membuat pikirannya berubah tidak waras. Aku menemui 

dirinya di satu tempat ketika ada mahluk jejadian hendak menghabisi 

nyawanya. Mahluk jahat ini dikenal dengan panggilan Nyi Tumbal 

Jiwo, mahluk dari alam roh yang menjadi guru sesat Wira Bumi. Nyi 

Retno bisa kuselamatkan dan kubawa ke sini. Kuberi sedikit 

pelajaran ilmu silat dan beberapa kesaktian sambil berusaha 

menyembuhkan jalan pikirannya. Namun sia-sia belaka. Setelah 

membawamu ke sini dia pergi begitu saja. Mungkin mencari bayinya 

yang hilang. Mungkin juga ke Kotaraja untuk membalas dendam 

kesumat sakit hati pada Wira Bumi yang dalam ketidak warasannya 

tidak diketahuinya bahwa lelaki itu adalah suaminya sendiri." Nenek 

muka putih menghela nafas dalam. 

"Derita yang saya alami rasanya begitu berat, seperti tidak 

tertahankan. Ternyata masih ada orang yang lebih sengsara dari 

saya." 

"Sahabatku, baik atau buruk nasib kita sebagai manusia 

jangan diperbandingkan dengan orang lain. Karena hal itu bisa 

membawa rasa iri dan ketidak adilan dalam diri kita. Adalah satu 

dosa besar kalau kita sampai mengatakan bahwa Tuhanlah yang 

telah berlaku tidak adil pada kita. Padahal jalan nasib seseorang 

sudah ditentukan sebelumnya oleh Sang Pencipta." Mendengar 

ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas nenek muka putih unjukkan 

wajah sayu dan hanya bisa berdiam diri. 

"Sahabatku ..... Aku selalu memanggilmu dengan panggilan 

sahabat. Kau tentu punya nama. Lalu jika kau orang rimba persilatan 

pasti memiliki gelar. Apakah aku boleh mengetahui nama dan 

gelarmu?" Nenek muka putih tertawa. 

"Gelar saya tak punya, Kiai. Kalau nama, orang-orang 

memanggil saya Nyi Bodong." Kening sang Kiai mengerenyit. 

Matanya sekilas menatap ke arah perut nenek muka putih. Lalu 

bibirnya menyeruakkan senyum.


"Nyi Bodong, sesuai janjiku tempo hari, siang ini kau boleh 

meninggalkan tempat ini. Namun ada satu hal yang ingin aku 

ketahui.Bagaimana ceritanya kau bisa berada di puncak Gunung 

Gede? Berjalan jauh kalau tidak tengah mencari seseorang rasanya 

tidak masuk akal. Siapakah yang ingin kau temui?" 

"Saya tahu selain Kiai di puncak Gunung Gede ini tinggal juga 

Eyang Sinto Gendeng. Namun terus terang saja, saya tidak 

bermaksud menemui Kiai atau nenek sakti itu ..." 

"Begitu? Aku juga ingin tahu siapa yang telah menciderai 

dirimu begitu jahat hingga aku membutuhkan waktu lebih dari dua 

minggu untuk menyembuhkanmu." 

Nenek muka putih tampak terkejut. Hampir tak percaya. "Jadi 

saya telah berada selama dua minggu di tempat ini? Ah, manusia 

bejat terkutuk itu pasti telah lari jauh ..." 

"Nyi Bodong maukah kau menceritakan riwayat perjalananmu 

dan siapa pula yang kau maksudkan dengan manusia bejat terkutuk 

itu?" 

"Kiai, saya terpesat ke puncak Gunung Gede karena menge-

jar seorang manusia jahat berjuluk Hantu Pemerkosa yang bukan 

lain sebenarnya adalah Pangeran Matahari. Banyak gadis dan 

perempuan muda serta istri orang yang telah jadi korbannya ....." 

Kiai Gede Tapa Pamungkas menghela nafas panjang dan gelengkan 

kepala. 

"Aku pernah mendengar kabar buruk manusia berjuluk Hantu 

Pemerkosa itu. Tapi tidak pernah mengira kalau dia adalah 

Pangeran Matahari. Gusti Allah, bukannya saya ingin mendahului 

kehendakMu. Mungkin sudah saatnya manusia satu itu disingkirkan 

dari muka bumi ini untuk selamalamanya." 

"Satu kali saya sempat menyergap Hantu Pemerkosa dan 

membuat buntung tangan kirinya namun dia bisa melarikan diri. 

Ternyata ada seorang ahli pengobatan yang menolong. Mengobati 

bahkan menyambung kembali tangan kiri Pangeran Matahari ...." 

"Hanya ada satu orang yang punya kemampuan ilmu 

pengobatan seperti itu. Seorang bernama Ki Tambakpati." 

"Memang Kiai, memang dia orangnya. Saya sempat 

menemuinya. Saya kemudian mengetahui bahwa Pangeran 

Matahari itu dalam perjalanan menuju puncak Gunung Gede ini 

Saya mengejar sampai ke sini ....."


"Nyi Bodong, apakah kau tahu ada keperluan apa Pangeran 

Matahari alias Hantu Pemerkosa datang ke puncak Gunung Gede?" 

"Dia mencari Kitab Seribu Pengobatan. Agaknya dia menderita satu 

penyakit yang sulit disembuhkan. Konon kitab itu ada pada Eyang 

Sinto Gendeng." Si orang tua angguk-anggukkan kepala. 

"Kitab itu tadinya memang ada pada Sinto Gendeng ...." 

Dengan matanya yang jernih Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap 

sesaat ke arah Nyi Bodong. Dada si nenek mendadak berdebar. 

"Kitab dicuri orang. Setelah lenyap beberapa lama kemudian 

kitab itu kembali berada di tempat kediaman Sinto Gendeng. Tapi 

saat ini aku punya firasat kitab tersebut sudah jatuh pula ke tangan 

orang lain. Sementara Sinto Gendeng sendiri tengah menghadapi 

banyak masalah sekarang . Entah dimana dia berada." 

"Kiai, satu kali ketika saya masih terbaring sakit ada seorang 

pemuda masuk ke tempat ini. Maksudnya baik, namun saya tidak 

suka dia hendak menyentuh saya. Pemuda itu benama Wiro 

Sableng. Berjuluk Pendekar Dua Satu Dua. Bagaimana dia bisa 

berada di tempat ini?" 

"Dia sahabat Nyi Retno Mantili. Aku yang membawa mereka 

masuk kedalam telaga ini. Karena Sinto Gendeng adalah muridku 

maka Wiro Sableng bisa disebut sebagai cucu muridku. Apakah 

kalian tidak saling mengenal sebelumnya?" Nyi Bodong tidak 

menjawab. 

"Nyi Bodong, cidera berat di bahu kirimu. Apakah itu akibat 

bentrokan dengan Pangeran Matahari?" 

"Betul Kiai. Saya sempat menghantamnya namun dia 

menyerang saya dengan sebuah senjata aneh. Sebuah lentera yang 

memancarkan cahaya kuning. Saya dengar lentera itu dalam rimba 

persilatan dikenal dengan sebutan Lentera Iblis..:." 

"Lentera Iblis ...." Kiai GedeTapa Pamungkas usap wajahnya. 

"Senjata dari alam roh yang luar biasa hebatnya. Siapa yang 

memiliki akan menguasai rimba persilatan. Kalau lentera itu tidak 

dirampas dari tangan Pangeran Matahari atau tidak segera dimus-

nahkan, rimba persilatan akan dilanda satu malapetaka besar. 

Pangeran Matahari akan menjadi raja diraja kejahatan. Golongan 

hitam akan menguasai seluruh tanah Jawa bahkan sampai ke tanah 

seberang."


"Kiai, kalau saya memang sudah sembuh, apakah saya boleh

meninggalkan tempat ini?" 

"Sebelum kau pergi ada yang perlu aku beritahukan," kata

Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. 

"Dalam sakitmu ada seorang tamu datang kesini. Dia hanya 

datang sebentar. Dia masuk keruangan ini ketika kau tertidur lelap .." 

"Siapakah orang itu Kiai?" tanya Nyi Bodong sambil dalam 

hati menduga-duga. 

"Sahabat lamaku. Namanya Kiai Munding Suryakala." Nyi 

Bodong cepat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika mendengar 

orang tua itu menyebut nama tersebut. 

"Apa saja yang dibicarakan orang tua itu dengan Kiai?" Nyi 

Bodong memberanikan diri bertanya. 

"Seperti kataku tadi. Dia hanya datang sebentar. Yang 

penting bisa menjengukmu dan tahu hau berada dalam keadaan 

baik. Dia tidak bicara apa-apa. Hanya berpesan agar kau segera 

pulang menemuinya. Dalam perjalanan jangan melakukan apa-apa 

jangan pergi ke tempat lain, apapun yang terjadi." 

"Akan saya lakukan Kiai. Kalau saya boleh bertanya, apakah 

Kiai Munding Suryakala menceritakan perihal diri saya atau 

hubungan saya dengan dirinya?" Nyi Bodong bertanya dengan 

jantung berdebar. Kiai Gede Tapa Pamungkas gelengkan kepala. 

"Ada sesuatu yang menggelisahkanmu, sahabatku?" 

"Tidak, tidak ada apa-apa ...." si nenek muka putih menjawab 

dan diam-diam hatinya merasa lega. 

"Sebelum pergi dia memberitahu satu hal padaku. Menurut 

Kiai Munding Suryakala satu peristiwa besar akan terjadi di rimba 

persilatan tanah Jawa. Mungkin hal ini ada hubungan dengan 

permintaannya agar kau lekas pulang. Dia tidak ingin suatu apa 

terjadi dengan dirimu.” 

"Kalau begitu saya mohon diberi izin pergi sekarang ..." Kiai 

Gede Tapa Pamungkas mengangguk. Pintu hijau muda yang ada di 

ruangan itu terbuka. 

"Kiai, seperti yang Kiai pernah jelaskan, tempat ini terletak di 

dasar sebuah telaga besar. Bagaimana mungkin saya keluar?" Kiai 

Gede Tapa Pamungkas tersenyum. 

"Dalam tidurmu sementara menanti kesembuhan, aku telah 

meresapkan ilmu tahan berada dalam air pada dirimu. Kau hanya




tinggal menekankan kedua kakimu pada tanah dasar telaga, maka 

tubuhmu akan melesat ke permukaan air. Selanjutnya kau bisa 

berenang menuju tepian telaga ...." 

"Berenang?" Nyi Bodong tertawa lebar. 

"Saya tidak pandai berenang, Kiai." 

"Saat ini kau sudah bisa berenang. Lihat saja nanti ...." Nenek 

muka putih menatap tercengang. Sadar kalau orang telah 

memberikan dua macam ilmu kepandaian Nyi Bodong segera 

jatuhkan diri berlutut sambil mulutnya berucap. 

"Terima kasih Kiai. Budimu setinggi langit sedalam 

samudera” Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat menahan bahu si 

nenek. 

"Tak usah pakai peradatan segala. Aku tidak tahu antara kita 

siapa yang lebih tua ....” Sang Kiai lalu tertawa mengekeh. Nyi 

Bodong melangkah cepat menuju bagian depan bangunan batu 

pualam. 

"Selamat tinggal Kiai. Saya sangat berharap akan dapat 

menemui Kiai di lain waktu." Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum 

dan anggukkan kepala. Seperti yang dikatakan sang Kiai, begitu Nyi 

Bodong tekankan ke dua kakinya ke dasar telaga, tubuhnya serta 

merta melesat ke atas dan dalam waktu sangat cepat dia sudah 

timbul di permukaan air. Nenek muka putih ini dapatkan dirinya 

berada di tengah telaga. Sosoknya terasa enteng. Ketika dia 

menggerakkan tangan dan kaki, tubuhnya meluncur ke pinggiran 

timur telaga. Luar biasa! Ternyata dia memang bisa berenang! Dan 

yang lebih luar biasa lagi, sewaktu dia mencapai daratan, baik 

rambut, tubuh maupun pakaiannya tidak basah sedikitpun! 

* * * 

HANYA tinggal satu hari perjalanan sebelum sampai ke 

tempat kediaman Kiai Munding Suryakala hujan lebat turun mendera 

bumi. Nyi Bodong yang berada di pinggiran rimba belantara 

beruntung mendapatkan sebuah gubuk yang biasa dipakai untuk 

istirahat oleh para penebang pohon. Nyi Bodong duduk di balai-balai 

panjang terbuat dari bambu. Matanya menatap sayu ke depan. 

Hujan lebat bukan saja menutupi pemandangan tapi juga membuat 

udara terasa dingin sekali. Cukup lamadudukdi dalam gubuk baru


hujan mulai mereda berubah menjadi rintik-rintik. Nyi Bodong 

memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun baru saja 

hendak bergerak dan bangkit berdiri tiba-tiba di depan sana, di 

antara kerapatan pepohonan, sepasang matanya melihat dua orang 

berlari ke arah gubuk. Gerakan mereka sebat dan enteng sekali. 

Satu perasaan tidak enak muncul dalam diri Nyi Bodong. 

Nenek muka putih ini cepat berkelebat ke balik skbatang pohon 

besar sejarak dua betas langkah dari gubuk. 

"Ada teratak. Kita berhenti dulu!" Salah satu dari dua orang 

yang berlari keluarkan ucapan. Suara perempuan. Yang satunya 

menyahuti. 

"Kita ini seperti orang tolol saja! Tadi waktu hujan lebat kita 

malah lari. Kini hujan berhenti baru mencari tempat berteduh." 

"Hik ... hik! Sebetulnya dua kakiku sudah penat Lagi pula aku 

dari tadi menahan kentut!" Laiu preettt! Orang yang barusan, bicara 

pancarkan kentut. Sambil tertawa-tawa orang ini yang ternyata 

perempuan masuk ke dalam gubuk dan duduk di pinggir balai-balai 

bambu. Orang satunya menyusul masuk, duduk di samping 

temannya. 

Dari balik pohon besar Nyi Bodong mengintip. Matanya 

mendelik dan jantungnya berdegup keras ketika mengenali salah 

satu dari dua orang yang duduk dalam gubuk. "Lain yang dikejar, 

lain yang aku temui! Mahluk jahanam, kau datang ke sini mengantar 

nyawa!" 

* * *


LIMA


ORANG yang duduk di bangku bambu sebelah kanan 

mengenakan jubah putih menjela tanah, berbadan tinggi besar. 

Kepala dan wajah tidak kelihatan karena dia mengenakan sehelai 

kain putih yang menutupi kepala dan wajah sampai ke leher. Pada 

bagian depan tutup kepala ada dua lobang kecil di jurusan sepasang 

mata. 

"Aku yakin dialah manusianya! Dibalik kain penutup kepala itu 

ada satu kepala memiliki dua muka. Satu di sebelah depan, satu di 

sebelah belakang. Mahluk jahanam! Hari ini kau bakal mendapatkan 

pembalasan atas semua perbuatan kejimu terhadapku!" Nyi Bodong 

melirik pada sosok orang yang duduk di samping leiaki berjubah dan 

bertutup kepala kain putih. Seorang nenek memiliki rambut, wajah 

serta pakaian serba kuning. Di atas rambut kuning yang disanggul 

menancap tiga buah sunting. Nyi Bodong ingat, dia pernah melihat 

nenek ini sebelumnya. Selintas pikiran muncul di benak Nyi Bodong. 

"Kalau kuhabisi mahluk jahanan itu, tidak mungkin si nenek 

muka kuning sahabatnya akan berlepas tangan. Aku sudah tak 

sabaran. Kalau perlu dua-duanya aku bereskan!" Saat itu Nyi 

Bodong sudah siap keluar dari balik pohon besar untuk segera 

menghabisi orang berjubah. Namun gerakan kakinya tertahan ketika 

dia mendengar nenek muka kuning berucap. 

"Sahabatku Hantu Muka Dua, apa pendapatmu tentang kabar 

selentingan akan adanya satu peristiwa besar dalam rimba 

persilatan tanah Jawa?" 

"Luhkentut, kau bertanya, aku menjawab. Apa perduliku?" 

sahut si jubah putih yang ternyata adalah Hantu Muka Dua, salah 

satu dari sekian banyak tokoh negeri Latanahsilam yang terpesat 

ketanah Jawa. 

"Kita hanya mahluk-mahluk yang tersesat ke negeri ini. 

Mauku ingin kembali ke Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun 

silam. Tapi tak tahu bagaimana caranya. Selain itu aku ingin


menemui beberapa tokoh rimba persilatan. Aku ingin meyakinkan 

bahwa antara aku dengan mereka tidak ada permusuhan. Aku 

benar-benar tobat berbuat kejahatan ..." 

"Syukur kalau kau benar sudah bertobat. Berarti aku tidak 

perlu lagi mengikuti kemana kau pergi. Ketahuilah, setelah Seratus 

Tiga Belas Lorong Kematian musnah, para tokoh meminta aku agar 

mengawasi dirimu. Mereka kawatir kalau-kalau kau akan membuat 

malapetaka dimana-mana." Nenek yang dipanggil dengan nama 

Luhkentut itu berdiri. 

"Saatnya aku meninggalkan dirimu. Aku ada keperluan lain .." 

"Aku tahu, kau mau mencari pemuda bernama Wiro Sableng 

itu." Kata Hantu Muka Dua sambil tertawa lalu berdiri pula. 

"Aku tak pernah melupakan pertolongannya. Kalau tidak 

karena dia aku kemana-mana, setiap saat selalu menyemburkan 

kentut. Hik ... hik! Selain itu aku merasa kasihan, sejak dari negeri 

Latanahsilam sampai disini dia selalu menghadapi banyak masalah. 

Bahkan nyawanya senantiasa terancam. Kalau saja aku bisa 

membalas budi baiknya ...." (Kisah lengkap orang-orang dari negeri 

Latanahsilam sebelum terpesat ke tanah Jawa dapat dibaca dalam 

kisah Latanahsilam terdiri dari 18 Episode "Bola-Bola Iblis" s/d 

"lstana Kebahagiaan" ) 

"Aku juga punya hutang budi dan nyawa pada pemuda itu. 

Dia yang menyelamatan diriku ketika aku dalam keadaan sangat tak 

berdaya dan hampir jatuh ke jurang di kawasan Seratus Tiga Belas 

Lorong Kematian ..." Hantu Muka Dua berikan pengakuan. 

Luhkentut mengangguk. Usap-usap perutnya. 

"Rasanya aku mau kentut ..." kata si nenek pula. 

"Eh, kalau mau kentut jangan di hadapanku. Pergi jauh-jauh 

sana!" Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. Dia 

melangkah keluar gubuk. Lalu sekali berkelebat nenek serba kuning 

ini lenyap dari pemandangan. Si jubah putih tarik nafas dalam. 

Ketika dia menanggalkan kain putih penutup kepalanya, dibalik 

pohon besar wajah putih Nyi Bodong mengerenyit. Benar rupanya 

cerita seseorang padanya. Seumur hidup baru kali ini dia 

menyaksikan ada manusia memiliki dua buah wajah. Satu di depan 

berwarna putih, satu di belakang bewama hitam. Sepasang lensa 

matanya depan belakang tidak berbentuk bulat, tapi berupa segitiga 

berwarna hijau! Mau tak mau dingin juga tengkuk si nenek. Namun


begitu ingat perbuatan keji yang pernah dilakukan orang itu 

padanya, amarahnya tak bisa terbendung lagi. 

Hantu Muka Dua mengusap mukanya sebelah depan dan 

siap mengenakan kain penutup kepala kembali. Namun belum 

sempat hal itu dilakukan satu teriakan menggelegar di seantero 

tempat dan satu bayangan biru berkelebat dari balik pohon. Saking 

kagetnya kain penutup kepala di hngan Hantu Muka Dua jatuh ke 

tanah. Di lain kejap seorang nenek bermuka putih, berpakaian serba 

biru telah berdiri berkacak pinggang di hadapannya. 

"Siapa .... ?" Hantu Muka Dua dilah kaget dan tercekatnya 

ajukan pertanyaan. Nyi Bodong meludah ke tanah. 

"Mahluk jahanam! Masih bisa bertanya! Aku datang untuk 

menghabisi nyawamu! Dosamu setinggi langit sedalam lautan!" 

Mendengar bentakan orang wajah Hantu Muka Dua depan belakang 

berubah menjadi wajah seorang kakek dan berwarna pucat pasi. 

Beginilah keadaannya jika Hantu Muka Dua dalam terkejut. 

"Nenek muka putih. Melihatmu pun baru kali ini. Bagaimana 

kau menuduh aku punya dosa setinggi langit sedalam lautan 

padamu?!" 

"Otak mahluk jahanam sepertimu memang bisa tumpul 

karena terlalu banyak berbuat dosa kejahatan. lngat peristiwa di 

sebuah gubuk, ketika kau memperalat seorang rampok bernama 

Warok Jangkrik untuk menjebak seorang perempuan muda?! Kau 

kemudian hendak memperkosa perempuan itu!" 

"Dimasa lalu aku memang banyak berbuat dosa. Tapi saat ini 

aku telah bertobat ....." 

"Bertobat?" Nyi Bodong tertawa panjang. 

"Kalau sisa nyawa sudah di leher, mana ada lagi tobat di 

muka bumi ini?!" 

"Nenek muka putih. Antara kita tak ada silang sengketa. Kau 

sungguhan hendak membunuhku?!" 

"Aku sudah bersumpah akan membunuhmu sejak hari kau 

melakukan perbuatan keji itu!" jawab nenek muka putih. 

"Tapi apa hubunganmu dengan perempuan muda itu? Kau 

neneknya atau gurunya?" 

"Soal hubunganku dengan perempuan muda itu bukan 

urusanmu! Sekarang bersiaplah untuk menerima kematian!"


"Nenek muka putih, jika aku memang berdosa, aku rela 

menerima kematian. Tapi jika aku tidak pernah punya silang 

sengketa denganmu, aku harap kau mau meninggalkan tempat, ini." 

Nyi Bodong tertawa panjang. 

"Ajalmu sudah di depan mata!" 

"Kalau kau keliwat memaksa, aku terpaksa melawan mem-

bela diri ..." kata Hantu Muka Dua pula. 

"Silahkan! Aku mau lihat kau bisa berbuat apa!" Hantu Muka 

Dua renggangkan dua kaki memasang kuda-kuda. Dua tangan siap 

menangkis atau menghantam. Dia siapkan ilmu pukulan yang 

disebut Hantu Hijau Penjungkir Roh. Semasa di negeri 1200 tahun 

lalu Latanahsilam, ilmu ini adalah hasil rampasan dari Hantu Lumpur 

Hijau. Lawan yang terkena hantaman pukulan akan hancur meleleh 

tubuhnya, tidak beda lumpur berwarna hijau. Saat itu ada keraguan 

dalam hati Hantu Muka Dua. Apakah dia memang harus melayani si 

nenek? Karena dia merasa yakin, sekali ilmu pukulan Hantu Hijau 

Penjungkir Roh di lepaskan, nenek muka putih itu akan menemui 

kematian secara mengerikan. 

Sementara Hantu Muka Dua berada dalam kebimbangan, si 

nenek muka putih telah lebih dahulu membuat gerakan. Dibarangi 

teriakan lantang tangan kanan Nyi Bodong berkelebat menyingkap 

baju biru di bagian perut. Tangan kiri diangkat ke atas, telapak 

mengembang. Sepasang mata segi tiga Hantu Muka Dua terbeliak 

besar, terpukau menyaksikan perut putih mulus dihias sebuah pusar 

menonjol bercahaya. Selagi Hantu Muka Dua terkesiap dari mulut 

Nyi Bodong tiba-tiba keluar suara raungan seperti srigala melolong. 

Lalu dari pusar yang bodong mendadak sontak Menyembur 

selarik sinar berwarna biru gelap menggidikkan. Sinar Geni Biru! 

llmu Pusar Pusara! 

"Tahan serangan! Jangan!" Tiba-tiba ada orang berseru. 

Namun terlambat. Larikan sinar biru melanda Hantu Muka Dua tepat 

di bagian dada! Tak ampun lagi tubuh mahluk dari negeri 1200 silam 

itu terbelah menjadi dua. Nyi Bodong terkejut ketika melhat di kening 

sebelah depan Hantu Muka Dua secara aneh muncul guratan angka 

212. lni adalah bekas pukulan Wiro yang dihantamkan ke kening 

Hantu Muka Dua sewaktu hancur dan musnahnya lstana 

Kebahagiaan. (Baca serial Wiro Sableng di negeri Latanahsilam) 

Dua potongan tubuh Hantu Muka Dua kepulkan asap biru,mencelat


ke udara lalu meledak berkepingkeping, berubah menjadi lelehan 

aneh berwarna putih dan akhimya lenyap dari pemandangan. Tamat 

sudah riwayat mahluk yang di negeri Latanahsilam dijuluki Hantu 

Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu. 

Satu raungan menggelegar di udara. Nyi Bodong tanpa 

perduli keluarkan suaratawa cekikikan. Dia baru hentikan tawanya 

ketika ada satu bayangan berkelebatdi hadapannya disusul satu 

suara keras. 

"Salah kaprah! Kau membunuh orang yang sudah tobat dan 

pernah menyelamatkan dirimu! Hukuman Tuhan sekalipun tidak 

sekejam itu!" 

"Keparat jahanam! Siapa berani membawa-bawa nama 

Tuhan di tempat ini?!" teriak Nyi Bodong. Memandang ke depan 

kening nenek muka putih mengerenyit. Mata mendelik geram. 

"Mahluk samar! Kau setan jejadian atau demit hutan 

belantara?!" Bentak Nyi Bodong. 

Yang muncul dan berdiri di hadapan Nyi Bodong adalah 

sosok bayangan berupa seorang perempuan cantik berambut 

panjang hitam menjela pinggang. 

"Siapapun diriku tak ada pentingnya. Yang lebih penting kau 

telah melakukan satu kesalahan besar membunuh Hantu Muka 

Dua." 

"Mahluk setan! Beraninya kau menuduh aku berbuat salah. 

Jika kau membela dan Hantu Muka Dua adalah sahabatmu, apakah 

kau tahu kebejatan mahluk itu?! Apakah kau tahu apayang telah 

diperbuatnya terhadapku?!" 

"Aku lebih dari tahu! Hantu Muka Dua memang manusia 

bejat! Tapi dosa kebejatan sebesar apapun akan selalu ada 

pengampunan. Dia sudah bertobat. Mengapa kau masih melam-

piaskan nafsu pembunuhan? Kalau kau tahu pertolongan apa yang 

telah dilakukannya terhadapmu, aku yakin kau akan mengampuni 

selembar jiwanya!" 

"Yang aku tahu dia pemah hendak memperkosaku!" 

"Betul," sahut mahluk bayangan berwajah jelita. 

"Tapi apakah kau tahu kalau Hantu Muka Dua juga yang 

menyelamatkan dirimu dari perkosaan?!" Nyi Bodong terkejut 

sampai tersurut satu langkah. Menatap tak berkesip pada mahluk 

bayangan di depannya.


"Apa maksud ucapanmu?" tanya Nyi Bodong pula. 

"Sayang aku tak bisa menceritakan sekarang padamu. Di lain 

waktu jika kita bertemu lagi akan aku jelaskan semuanya. Saat ini 

aku harus pergi he satu tempat untuk memenuhi janji dengan 

seseorang." 

"Mahluk kurang ajar! Jika kau pergi tanpa memberi 

penjelasan akan kubunuh kau!" Mengancam Nyi Bodong. Mahluk 

bayangan sunggingkan senyum. 

"Aku tidak takut pada gertakanmu. Kematian bukan apa-apa 

bagiku. Tapi jika kau keliwat memaksa , baik! Akan kujelaskan. 

Pangeran Matahari tidak pernah sempat memperkosamu. Karena 

sewaktu dia hendak menggagahimu, Hantu Muka Dua yang 

kebetulan ada di tempat itu menghantam kemaluannya dengan satu 

pukulan sakti. Kau pernah melihat darah di sekitar pahamu. Itu 

bukan darah karena kegadisanmu telah dirampas Pangeran 

Matahari. Tapi itu adalah darah yang mengucur dari luka pada 

kemaluan manusia terkutuk itu!" 

"Apa?!" Nyi Bodong menjerit keras. Sekujur tubuh nenek 

muka putih ini bergetar hebat 

"Jadl ...j adi kau tahu siapa diriku?!" 

"Aku tak perduli siapa dirimu. Aku hanya turut sedih atas 

musibah yang kau alami ..." Mendengar ucapan orang Nyl Bodong 

jadi terenyuh hatinya. Saat itu mahluk bayangan dilihatnya bergerak 

menjauh dan semakin samar. 

"Hai! Tunggu!" seru Nyi Bodong. Namun perempuan 

bayangan telah sima dari pemandangan. 

* * *


ENAM


LIRIS Merah sadar dia tak sanggup lagi meneruskan larinya. 

Padahal orang yang dikejar hanya tinggal beberapa tombak saja di 

depan sana. Malam dingin sekali karena belum lama . hujan lebat 

baru berhenti. Namun saat itu gadis murid mendiang Hantu Malam 

Bergigi Perak ini merasa diri seperti dipanggang. Sekujur tubuhnya 

dilanda panas luar biasa. Asap mengepul mulai dari kepala sampai 

ke kaki. Tenggorokan seperti diganjal bara menyala. Sepasang mata 

mulai membengkak dan dari mulutnya membersit darah kental, 

meleleh di sudut bibir. lnilah kelainan atau penyakit yang dideritanya 

selama bertahun-tahun. Seperti diketahui kelainan yang sama juga 

terjadi atas diri adiknya, Liris Biru. 

"Wi ... Wiro! Tolong!" Liris Merah berteriak sambil tangan 

kanan menggapai ke depan, kearah orang yang sejaktadi diikuti dan 

dikejarnya. Namun saat itu suaranya hanya tinggal merupakan 

seruan kelu halus. Dua lutut gadis cantik ini goyah. Tubuhnya 

tersungkur ke tanah. Mulut keluarkan suara erangan. Hidung 

hembuskan nafas sengal. Dua mata mendelik nyalang, menatap tak 

berkesip ke langit gelap hitam. Dada dan tenggorokan bergerak 

turun naik. Keadaannya tidak beda dengan orang yang tengah 

sakarat. 

Tiba-tiba dalam gelap berkelebat satu bayangan hitam. Satu 

sosok tinggi besar kemudian berhenti dan berdiri di samping Liris 

Merah yang tergelimpang di tanah. Si gadis tidak melihat sosok yang 

ada di sebelahnya namun telinganya menangkap suara kaki dan 

gerakan orang. 

"Wiro ....." Suara Liris Merah perlahan sekali. Tapi masih bisa 

didengar oleh orang tinggi besar berpakaian serba hitam yang tegak 

di sampingnya. Tampang orang ini jadi berkerut mendengar si gadis 

menyebut nama itu. Di tangan kiri dia membawa sebuah benda 

bercahaya, dibungkus kain hitam. Orang ini kemudian pergunakan 

kaki kanannya untuk menyentuh tubuh si gadis


"Kau menyebut nama itu. Katakan apa sangkut pautmu 

dengan Pendekar Dua Satu Dua!" 

"Dengar, siapapun kau adanya. Aku butuh pertolongan. Kalau 

tidaksegera masuk ke dalam telaga, sungai, kolam atau apa saja 

yang ada airnya , aku akan segera menemui kematian. Tolong, 

cepat." Orang tinggi besar membungkuk memperhatikan wajah Liris 

Merah. 

"Ah ..... Ternyata wajahmu cantik sekali. Tubuhmu juga 

bagus." Orang itu lalu tertawa bergelak. 

"Tidak dinyana, di malam gelap dingin begini rupa aku 

mendapat rejeki besar. Ada seseorang yang bakal menghangatkan 

tubuhku! Ha ... ha ... ha!" 

"Demi Tuhan, jangan tertawa dan bicara saja. Tolong .... aku 

butuh air." Liris Merah meminta setengah meratap. 

"Aku tahu .... Dari kepulan asap yang keluar dari tubuhmu 

keadaanmu tidak beda seperti batang kayu terbakar. Kalau tidak 

habis terkena pukulan beracun, kau pasti mengindap satu penyakit 

aneh! Jika aku menolongmu, kau mau membalas dengan apa?" 

"Aku bersedia melakukan apa saja ..." 

"Betul?!" 

"Aku tidak dusta!" 

"Ha ... ha ... ha!" Si tinggi besar tertawa bergelak. 

"Kau mau bersumpah?!" 

"Aku bersumpah!" jawab Liris Merah yang berada dalam 

keadaan sangat terdesak dan butuh pertolongan demi 

menyelamatkan jiwanya. Sambil terus mengumbar tawa orang tinggi 

besar ulurkan tangan kanan, mencekal dada pakaian merah lalu 

memanggul si gadis dan melarikannya ke arah timur. Dari gerakan 

lari yang cepat serta jurusan yang dituju agaknya orang ini cukup 

tahu seluk beluk kawasan itu. Tak selang berapa lama dia sampai di 

satu tikungan sungai berair cukup deras. Orang ini letakkan 

bungkusan bercahaya yang di bawanya di tebing sungai lalu penuh 

nafsu dia mendekap tubuh Liris Merah erat-erat, kemudian 

mencebur masuk ke dalam sungai. Di dalam sungai yang airnya 

dingin sekali orang ini terus saja memeluki Liris Merah. Sesekali 

malah menciumi wajah si gadis. Cukup lama berada dan berendam 

dalam sungai, perlahan-lahan hawa panas yang mendera tubuh Liris 

Merah mulai berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Gadis ini


celupkan kepalanya ke dalam air beberapa kali. Setiap keluar dari air 

dia menarik nafas panjang. Dari mulutnya mengepul uap panas. 

"Bagaimana keadaanmu?" tanya orang yang memeluk Liris 

Merah. 

"Aku merasa segar ...." 

"Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?" 

"Akan aku ceritakan. Lepaskan pelukanmu. Aku ingin naik ke 

darat." Liris Merah merasa tidak senang karena dirinya terus dipeluk 

dan diciumi. 

"Kau mau melarikan diri?" 

"Tidak. Aku berterima kasih kau telah menolongku. Lepaskan 

pelukanmu!" 

"lngat pada sumpah yang telah kau ucapkan?" 

"Ya, aku ingat ..." jawab Liris Merah. Saat itu tiba-tiba saja si 

gadis merasa sangat takut. 

"Aku tidak percaya padamu. Kita keluar dari sungai sama-

sama!" Sambil terus mendekap tubuh Liris Merah, si tinggi besar 

melesat ke udara dan agaknya dia sengaja jatuhkan diri di samping 

serumpun semak belukar di tepi sungai. Tanpa memberi 

kesempatan bergerak pada gadis yang dihimpitnya orang ini 

berkata. 

"Gadis cantik, katakan siapa namamu. Apa yang terjadi 

dengan dirimu dan mengapa kau berada di tempat begini rupa?" 

Liris Merah berusaha melepaskan diri dari himpitan orang tapi tak 

berhasil. Ketika dia hendak berontak, satu totokan melanda dadanya 

sebelah kiri sehingga sekujur tubuhnya terasa lemas. 

"Aku menunggu jawabanmu." 

"Katakan dulu siapa kau adanya" 

"Rimba persilatan mengenal aku dengan nama Pangeran 

Matahari." 

"Apa?!" Kejut Liris Merah setengah mati. Dia berusaha 

memperhatikan wajah orang yang menghimpitnya. Dia melihat satu 

wajah garang angker. Hidung miring ke kiri, pipi dan rahang kiri 

melesak. Mata kiri terbenam di rongganya. Pada kening kiri di bawah 

ikatan kain merah tampak cacat memanjang bekas luka. 

"Ya Tuhan," si gadis mengucap dalam hati. 

"Lebih baik tadi aku mati saja dari pada jatuh ke tangan 

manusia terkutuk ini!"


"Gadis cantik, kau beruntung mendapat pertolonganku. 

Setelah tahu siapa diriku, apa kau masih tidak mau bicara ..." . 

"Aku akan bicara. Tapi berjanji kau akan memperlakukan aku 

baik-baik ..." Pangeran Matahari tertawa lebar. Matanya yang 

sebelah kanan bergerak berputar. 

"Aku akan memperlakukan kau luar biasa baik. Kau lihat saja 

nanti. Sekarang mulailah bicara." 

"Namaku Liris Merah. Aku adalah murid Hantu Malam Bergigi 

Perak ...." Dengan memberi tahu siapa gurunya Liris Merah 

berharap Pangeran Matahari tidak akan berbuat kurang ajar 

terhadap dirinya. 

"Ah, ternyata kau adalah seorang dewi rimba persilatan. Aku 

pernah mendengar nama besar gurumu. Tapi beberapa waktu lalu 

aku menyirap kabar. Gurumu telah menemui ajal di tangan Sinto 

Gendeng, nenek geblek dari Gunung Gede. Lalu apa yang kau 

lakukan di tempat ini. Tadi kudengar kau menyebut nama Wiro. Dia 

adalah murid nenek jelek itu!" 

"Aku tengah mengejar pemuda itu ...." 

"Hemmm ... Untuk apa mengejar? Kau bercinta dengannya?" 

tanya Pangeran Matahari. Nada suaranya menyatakan ketidak 

senangan. 

"Aku ingin mendapatkan sebuah benda." 

"Benda apa?" 

"Sebuah kitab tentang pengobatan." 

"Aha! Tadinya aku mengira kau mengejar untuk membalas 

dendam kematian gurumu! Ketahuilah, aku juga tengah mencari 

kitab itu. Kitab Seribu Pengobatan." 

"Kalau begitu kita bisa sama-sama melakukan pengejaran." 

"Wiro sudah lari cukup jauh. Sulit untuk mengejar. Mengapa 

kita tidak lebih dulu menghabiskan waktu bersenang-senang di 

tempat ini sambil menunggu terbitnya sang surya? Atau kau ingin 

kita mencari tempat yang lebih baik dan lebih hangat. Sebuah goa 

atau pondok misalnya?" 

"Apa maksudmu?!" tanya Liris Merah dengan bulu kuduk 

merinding. Wajah si gadis mendadak pucat. Dia coba kerahkan 

hawa sakti pada aliran darahnya, memusnahkan totokan, namun tak 

berhasil. Tubuhnya masih saja tetap lemas. Pangeran Matahari 

menyeringai lalu singkapkan baju Liris Merah dan benamkan


wajahnya ke dada si gadis. Liris Merah menjerit tanpa ada siapapun 

yang mendengar apa lagi memberi pertolongan. 

"Demi Tuhan, hentikan perbuatan terkutukmu ini!" Pangeran 

Matahari angkat wajahnya dari dada si gadis. 

"Dengar, dalam waktu dekat aku punya satu rencana besar. 

Kau akan kujadikan salah satu orang kepercayaanku. Siang hari kau 

akan jadi pendampingku. Malam hari kau akan jadi penghiburku." 

Tangan manusia terkutuk ini meluncur ke pinggul Liris Merah, 

menarik ke bawah celana merah yang dikenakan si gadis. Tak 

sengaja Pangeran Matahari melihat bungkusan hitam yang 

diletakkannya di tanah memancarkan cahaya lebih terang. , 

"Ada bahaya!" ucap Pangeran Matahari dalam hati. Serta 

merta dia melompat menyambar bungkusan. Pada saat itu ada 

suara orang berseru. 

"Pangeran Matahari! Sahabat seperjuangan! Mohon maaf 

kalau kedatanganku mengganggu hajat besarmu!" Pangeran 

Matahari menggeram dan cepat berpaling. Dalam kegelapan malam 

dia melihat seorang lelaki muda berpakaian sangat bagus dan 

berwajah tampan. Rambut panjang sebahu, kening tinggi dihias 

sepasang alis tebal. Di kiri kanan lelaki ini berdiri delapan orang rata-

rata bertubuh tegap, mengenakan seragam hitam. Di setiap dada kiri 

baju yang dikenakan ada sulaman kuning gambar joglo dan dua 

keris bersilang. 

"Manusia-manusia sialan! Siapa kalian?!" Bentak Pangeran 

Matahari sambil tangan kirinya membuka buhul bungkusan yang 

dipegang di tangan kanan. 

"Sekali lagi mohon maafmu Pangeran Matahari." kata lelaki 

muda berpakaian bagus sambil maju dua langkah. 

"Kita sama-sama sahabat seperjuangan ...." 

"Tunggu dulu!" hardik Pangeran Matahari. 

"Melihat tampang kalian baru kali ini. Bagaimana bisa sesum-

bar mengatakan aku sebagai sahabat seperjuangan ..." 

"Biar saya jelaskan ..." 

"Sudah! Aku tidak butuh penjelasan. Aku tidak ada waktu 

mendengar penjelasan. Lekas minggat dari hadapanku atau kubuat 

amblas kalian semua!" 

"Mohon maaf dan mohon sabarmu, Pangeran Matahari. Saya 

Sawung Guntur. Orang-orang dan para pengikut saya memanggil


saya Pangeran Muda. Saya pimpinan tertinggi Keraton Kaliningrat 

Saya sudah lama mendengar nama besarmu. Saya juga tahu kalau 

Pangeran punya cita-cita untuk mengusai rimba persilatan. 

Sementara saya ingin mengambil dan mengusai hak saya sebagai 

pemilik sah tahta Kerajaan." 

"Ceritamu enak didengar. Tapi aku tidak ada urusan, tidak 

punya waktu ...." 

"Dengar dulu Pangeran. Saya bisa membantumu mewujud-

kan cita-citamu menjadai Raja di Raja rimba persilatan. Sementara 

jika kau sudi, kau juga bisa membantu saya mendapatkan apa yang 

saya inginkan. Jika kita berdua bergabung, kekuatan mana yang 

bisa menghadapi?" 

"Aku Pangeran Matahari cukup punya kemampuan melaku-

kan sendiri apa yang ingin aku lakukan. Mendapatkan apa yang 

ingin aku dapatkan. Pangeran Muda, siapapun kau adanya, dari 

Keraton manapun kau berasal, lekas pergi dari tempat ini." Kain 

bungkusan di tangan kanan Pangeran Matahari terbuka, jatuh ke 

tanah. Kini di tangan Pangeran Matahari kelihatan sebuah lentera 

dalam kedaaan menyala, memancarkan tiga warna angker. 

"Lentera lblis ....." ucap Pangeran Muda yang mengaku ber-

nama Sawung Guntur. 

"Beruntung saya dapat melihat dengan mata kepala sendiri 

senjata paling ditakuti dalam rimba persilatan!" Mendengar 

disebutnya nama Lentera lblis delapan orang anak I buah Pangeran 

Muda serentak bersurut ke belakang. 

"Apa kau mau menyaksikan kehebatan lentera ini?" Tanya 

Pangeran Matahari dengan nada pongah. Pangeran Muda 

tersenyum dan menjawab. 

"Mana saya berani berbuat yang bukan-bukan ..." 

"Kalau begitu biar kuberikan sedikit pelajaranl" Habis berkata 

begitu Pangeran Matahari renggangkan dua kaki lalu gerakkan 

Lentera lblis ke kanan. 

"Wusss!" 

Selarik sinar merah berkiblat. Empat orang anggota Keraton 

Kali Ningrat di samping kiri Pangeran Muda menjerit Tubuh mereka 

dikobari api dan mencelat ke udara. Lalu jatuh bergedebukan di 

tanah dalam keadaan hangus merah leleh mengerikan! Pangeran 

Muda dan empat orang anak buahnya berseru kaget. Kalau saja


bukan menghadapi momok nomor satu rimba persilatan serta punya 

satu kepentingan besar pasti saat itu Pangeran Muda dan empat 

anak buahnya yang masih hidup akan melabrak habis Pangeran 

Matahari. 

"Pangeran Matahari! Kehebatan dan keganasanmu nyatanya 

bukan isapan jempol belaka! Sayang hal itu kau perlihatkan pada 

kami orang-orang yang datang membawa persahabatan. Saya 

sangat menyesalkan. Saya akan pergi dari sini. Tapi saya punya 

satu pertanyaan padamu! Apakah kau masih membutuhkan sebuah 

benda yang kau anggap keramat?" 

"Benda apa?!" tanya Pangeran Matahari membentak dan dua 

matanya mendelik. Hatinya jadi tidak enak. Darah panas naik ke 

kepala. 

"Bendera Darah!" Jawab Pangeran Muda. Lalu dengan sikap 

melecehkan, tanpa menunggu jawaban orang dia memutar tubuh, 

siap tinggalkan tempat itu. Tampang Pangeran Matahari berubah. 

"Tunggu!" seru Pangeran Matahari. 

"Bendera Darah milikku. Bendera itu aku tinggalkan di satu 

tempat. Tak satu orangpun tahu. Apakah kau telah mencuri bendera 

itu? Kau berani mencari mati!" 

"Kami menemukan Bendera Darah secara tak sengaja di Goa 

Selarong. Bukankah kau masih tetap punya niat untuk mendirikan 

partai Bendera Darah? Sayang sekali kalau partai berdiri tanpa 

bendera sakti dan sangat bersejarah itu. Apa artinya sebuah partai 

tanpa bendera kebesaran! Ha .... ha ... ha!" 

Geraham Pangeran Matahari bergemeletakan. Rahang 

menggembung, pelipis bergerak-gerak. 

"Kau membawa bendera itu saat ini?" Pangeran Muda 

tersenyum. 

"Saya tidak sebodoh itu!" 

"Pangeran setan! Kalau sampai Bendera Darah rusak atau 

hilang, nasibmu akan lebih jelek dari empat anak buahmu yang 

barusan kubikin mampus!" 

"Saya percaya kau mampu melakukan hal itu. Apakah kini 

kau menerima ajakan saya untuk bersahabat?" Tanya Pangeran 

Muda pula. Pangeran Matahari memaki dalam hati. Otaknya diputar 

Lalu dia men jawab.


"Baik, Satu minggu darisekarang naiklah ke puncak Gunung 

Merapi. Tunggu aku sampai datang. Di sana kita akan 

membicarakan bagaimana cara dan urusan kita bersahabat! Jangan 

lupa membawa Bendera Darah. Jika kau menipuku, kematian akan 

jadi bagianmu walau kau punya sepuluh nyawa cadangan 

sekalipun!"Pangeran Muda tersenyum lalu bbngkukkan badan. 

"Saya gembira mendengar ucapan Pangeran. Sekarang 

silahkan melanjutkan hajat besarmu." Pangeran Muda bicara sambil 

memandang ke arah Liris Merah yang tergeletak di tanah dengan 

dada tersingkap serta celana merosot sampai ke pinggul. Ketika 

melewati empat orang anak buahnya yang tewas mengerikan 

Pangeran Muda gelengkan kepala. 

"Lentera Iblis. Benar-benar luar biasa. Sanggup menembus 

ilmu kebal Atos Sejagat yang dimiliki anak buahku. Aku harus dapat 

merampas senjata itu! Pangeran Matahari, tunggu pembalasanku. 

Empat orang anak buahku tidak bisa mati percuma begitu saja!" 

* * *


TUJUH


KAKI Bukit Menoreh. Menjelang pagi, hari ke enrpat belas. Di 

satu tempat Wiro hentikan lari. Tengah dia menikmati indahnya pe-

mandangan dikala sang surya muncul di ufuk timur tiba-tiba ter-

dengar suara berisik menyengat liang telinga. Telinga sang pen-

dekar sampai berdesing saking kaget dan sakit. Mata membesar. 

Lalu mulut mengulum senyum. Dia kenal betul suara itu. Suara 

kaleng berisi batu kerikil yang digoyang dengan pengerahan tenaga 

dalam! Siapa lagi kalau bukan orang tua aneh itu! 

"Kakek Segala Tahu!" Wiro berseru. 

"Kau dimana Kek?!" Suara kerontangan kaleng datang dari 

arah timur. Wiro menatap kearah itu. Namun suara berubah datang 

dari arah selatan. Ketika Wiro memandang ke selatan suara 

kerontangan kaleng malah muncul dari barat. Wiro tersenyum. 

"Kakek jahil itu mempermainkanku!" katanya dalam bati. 

Mendongak ke arah sebuah pohon besar dia melihat orang yang 

dicarinya ada di sana. Duduk berjuntai uncang-uncang kaki di atas 

sebuah dahan besar berpakaian butut rombeng, mengenakan 

caping bambu di atas kepala. Di punggungnya ada sebuah buntalan. 

Di tangan kiri dia memegang kaleng rombeng yang setiap kali 

digoyang mengeluarkan suara berisik menggetarkan gendang-

gendang telinga. Di tangan kanan dia memegang sebuah ubi 

panggang yang dimakannya dengan lahap sampai keluarkan suara 

menyiplak. 

"Kek, aku lapar! Bagi ubimu!" Wiro berseru lalu melesat ke 

atas pohon, duduk di samping si kakek. Si kakek berpaling. Dua 

matanya ternyata putih buta! 

"Eh, kau rupanya! Lapar? Bagusnya aku masih ada sepotong 

persediaan. Ini makanlah!" Dari dalam kantong bekalnya si kakek di 

atas pohon mengeluarkan sepotong ubi bakar. 

"Terima kasih Kek, aku memang lagi lapar-laparnya." Sambil 

mengunyah ubi panggang Wiro bertanya.


"Kek, sejak peristiwa di lorong kematian, apakah kau baik-

baik saja?" 

"Baik tidak baik bagiku sama saja. Puluhan tahun hidup di 

dunia ini apa kau kira tidak jenuh? Waktu di lorong jahanam itu aku 

pikir-pikir mengapa aku tidak mati saja. Sudah buta, buruk rupa 

begini hidup di dunia sengsara pula! Ha ... ha ... ha!" Si kakek 

tertawa. 

"Kek, ubimu enak juga. Ah, capingmu baru! Kek, beruntung 

aku bertemu kau. Ada beberapa hal yanq gin aku tanyakan. Boleh?" 

Kakek bercaping yang dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal 

dengan sebutan Kakek Segala Tahu tertawa lebar lalu goyangkan 

kaleng rombengnya dua kali. Wiro cepat tekap kedua telinganya. 

Walau mata putih buta namun dengan kesaktiannya si kakek mampu 

melihat secara aneh. 

"Dari bau pakaianmu aku tahu kau mengenakan baju dan 

celana bukan milikmu! Dari gerakanmu sewaktu melompat ke atas 

pohon ini aku tahu kalau pakaianmu kekecilan. Pakaian perempuan. 

Tangan dan kaki tergantung. Apa yang terjadi? Apa kau sudah jadi 

badut sekarang? Kau mencuri pakaian perempuan mana? Ha ... ha 

... ha!" 

"Aku tidak mencuri Kek. Ada yang memberi.Lumayan dari 

pada bugil!" 

"Pasti yang memberikan gadis cantik!" 

"Bagaimana kau tahu Kek?" tanya Wiro. 

"Gampang saja. Pakaian perempuan yang punya pasti 

perempuan!" Si kakek tertawa gelak-gelak. Wiro ikutan tertawa. 

"Kek, setelah kau meninggalkan kawasan Lorong Kematian 

tempo hari, apakah kau sudah bertemu dengan Nyi Roro Manggut?" 

Kakek Segala Tahu mengangguk-angguk. Wajahnya tampak berseri. 

"Wah, pasti seru pertemuannya. Pakai peluk cium segala 

Kek?!" 

"Huss! Urusan orang tua-tua kau anak muda mengapa 

kepingin tahu saja?" Wiro tertawa. 

"Kek, aku dalam perjalanan ke Bukit Menoreh. Menemui 

seseorang. Saat perjanjian adalah nanti tepat pertengahan malam .." 

"Heran, janji malam-malam buta. Di puncak bukit angker pula. 

Kau menemui seorang manusia atau sebangsa mahluk jejadian?" 

bertanya Kakek Segala Tahu.


"Ah, agaknya kau sudah tahu aku akan menemui mahluk 

aneh. Justru aku mau tanya. Apa yang kau ketahui mengenai 

mahluk perempuan cantik berbentuk bayangan yang akan aku temui 

itu." Si kakek mendongak, menatap ke langit yang mulai terang, 

goyangkan kalengnya dua kali lalu berkata. Lagi-lagi Wiro terpaksa 

menekap telinga. 

"Aku tak bisa memberi jawaban. Aku tak bisa menyelidik. Dia 

bukan mahluk alam roh dunia kita. Dia sudah meninggal lebih dari 

seribu tahun silam dan kematiannya di dunia lain ...." Wiro ingat 

sesuatu. 

"Aku sudah menduga. Muncul dalam ujud bayang-bayang. 

Agaknya dia adalah mahluk berasal dari Latanahsilam, negeri seribu 

dua ratus tahun lalu yang telah meninggal dunia. Aku pernah 

kesasar ke sana, Kek." Sambil menggaruk kepala Wiro bertanya. 

"Kek, menurut penglihatanmu apakah dia menaruh maksud 

baik atau jahat terhadapku?" Kakek Segala Tahu buka capingnya. 

Walau hari masih pagi dan udara masih sejuk seperti orang 

kepanasan kakek ini kipas kipaskan capingnya di depan dada. 

"Kalau aku katakan, nanti kau pikir-pikir saja sendiri." Jawab 

Kakek Segala Tahu. 

"Anak sableng, ketahuilah perempuan cantik berujud bayang-

bayang itu tengah jatuh cinta padamu!" 

"Apa Kek?!" Wiro tersentak kaget. Si kakek tertawa gelak 

gelak. Lalu kerontangkan kaleng rombengnya hingga kembali Wiro 

terpaksa tekap dua telinganya. 

"Kau bercanda, Kek!" Si orang tua geleng-geleng kepala. 

"Anak muda, begitu banyak gadis cantik di sekelilingmu. 

Sampai-sampai kau punya kekasih dari alam roh. Apakau belum 

punya niat untuk kawin?" Kembali Pendekar 212 dibuat kaget 

"Kawin Kek? Maksudmu dengan perempuan bayangan itu?" 

Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya berulang kali 

lalu tertawa mengekeh. 

"Sudah .... sudah! Aku harus pergi sekarang. Tapi dengar, 

ada satu hal penting yang perlu aku beritahukan. Aku menyirap 

kabar akan terjadi satu peristiwa besar dalam rimba persilatan. 

Banyak tokoh rimba persilatan yang akan terlibat. Termasuk dirimu! 

Waktunya tak lama lagi. Tak sampai sepuluh hari dimuka. ,Jadi kau 

berhati-hatilah ..."


"Bisa kau terangkan peristiwa besar apa yang kau 

maksudkan. Kek?" tanya Wiro pula. 

"Banyak prasangka namun sulit diduga." Kakek Segala Tahu 

goyangkan kalengnya dua kali lalu menatap ke langit. 

"Ah, cahaya sang surya mulai menyiiaukan. Aku tak mampu 

melihat jelas. Namun samar-samar ada tanda merah di langit. Tanda 

merah, bisa berarti darah atau api. Bisa dua-dua sekaligus ..." Wiro 

menggaruk kepala. 

"Sebelum pergi aku punya satu nasihat untukmu ..." 

"Urusan kawin Kek?" tanya Wiso. 

"Nah, nah! Kau kini malah ingat-ingat kawin! Selangkangan-

mu sudah mulai gatal ya? Ha ... ha ... ha!" 

"Enak saja kau bicara!" cemberut Wiro tapi sambil menggaruk 

bagian bawah perutnya. 

"Weh, kalau tidak gatal mengapa anumu kau garuk?!"Kakek 

Segala tahu tertawa panjang. Wiro hanya bisa garuk-garuk kepala. 

"Anak sableng, dengar nasihatku baik-baik. Kau jangan se 

kali-kali kualat sama gurumu." 

"Maksud Kakek Eyang Sinto Gendeng?" 

"Memangnya kau punya berapa guru?" 

"Kek, aku sangat menghormati Eyang Sinto. Seumur hidup 

aku ingin berbakti padanya. Tapi belakangan ini ...." 

"Tak usah tapi-tapian. Kau tak usah menceritakan, aku sudah 

tahu apa yang terjadi antara kau dan Sinto Gendeng. Walau nenek 

itu edan seribu edan, sinting seribu sinting, jahat seribu jahat, dia 

tetap gurumu. Aku yakin selalu ada maksud baik dibalik semua 

tindakannya yang aneh- aneh. Kalau tidak karena dia, kau tidak 

selamat jadi orang seperti sekarang ini. Eh, apa jawabmu?! Jangan 

diam saja!" Si kakek kerontangkan kaleng di tangan kiri. 

"Saya tahu Kek. Eyang Sinto yang menyelamatkan jiwaku 

dari kobaran api sewaktu saya masih bayi. Dia yang kemudian 

memelihara saya. Memberi ilmu kepandaian serta kesaktian. Saya 

perhatikan nasihatmu baik-baik Kek ..." 

"Jangan cuma diperhatikan. Tapi dilaksanakanl" 

"lya Kek. Mungkin saya memang sudah kualat sama Eyang 

Sinto. Saya akan mencari beliau dan minta maaf. Buruk baik dia 

tetap guru yang saya hormati. Selain itu ...." Wiro hentikan ucapan. 

Berpaling ke samping ternyata Kakek Segala Tahu tak ada lagi di


sebelahnya. Di kejauhan kemudian terdengar suara kerontangan 

kaleng. 

. *** 

PUNCAK Bukit Menoreh. Bagi Wiro tidak gampang mencari 

pohon jati yang miring atau doyong ke timur di malam buta begitu 

rupa. Pohon doyong tersebut adalah tanda yang dikatakan 

perempuan bayangan sebagai tempat pertemuan. Wiro nyaris putus 

asa. Malam hampir mendekati pertengahan, saatnya perjanjian. 

Walau sebenarnya ada bulan purnama namun sang rembulan 

sendiri tersembunyi di balik awan gelap. 

"Jangan-jangan mahluk itu menipuku ..." pikir Wiro. Lapat-

lapat terdengar raungan anjing hutan di kejauhan, membuat Wio 

merasa tambah tidak enak. Lalu ada suara mendesis. Wiro 

berpaling. Tepat pada saat seekor ular besar yang melilit berjuntai di 

cabang sebatang pohon melesat hendak mematuk kepalanya. 

Secepat kilat pemuda ini jatuhkan diri ketanah lalu bergulingan. 

Memaki panjang pendek.Ketika bangkit berdiri Wiro dikagetkan oleh 

suara menggelepar. 

Dia berlaku waspada, merunduk sambil memandang ke 

depan. Ternyata ada seekor burang melesat keluar dari balik 

sebatang pohon rendah dan terbang dalam kegelapan malam ke 

arah timur. Tak sengaja Wiro terus memperhatikan. Burung lenyap di 

bagian bukit yang agak rendah dan hanya ditumbuhi sederetan 

pohon jati tua. Mendadak Wiro terkejut. Ketika dia mengawasi salah 

satu dari pohon jati itu bentuknya miring ke arah timur! 

"Aneh. Burung tadi seperti memberiku petunjuk. Agaknya 

bukan burung biasa ..." pikir Pendekar 212 lalu cepat berlari ke arah 

deretan pohon-pohon jati. Wiro sampai di dekat pohon jati tua yang 

miring ke timur. Memandang berkeliling dia tidak melihat seorangpun 

berada di tempat itu. Wiro mendongak ke langit. Awan gelap yang 

sejak tadi menutupi rembulan kini bergerak ke barat. Bulan purnama 

empat belas hari tersembul menebar cahaya cukup terang di sekitar 

kawasan Bukit Menoreh. Hanya sayahg saat itu hujan turun rintik-

rintik.Angin bertiup kencang dan udara mendadak dingin. 

"Pertanda apa lagi ini," membatin Wiro. Beberapa kali dia 

memandang berkeliling, memperhatikan keadaan sekitarnya. Perem


puan bayangan tetap belum kelihatan. Akhimya Wiro duduk di tanah, 

di bawah pohon jati tua yang miring ke timur. Mendadak ada suara 

burung berkicau. Tiga kali berturut-turut. 

Wiro ingat itu adalah salah-satu tanda yang dikatakan mahluk 

bayangan. Cepat Wiro bangkit dari duduknya. Memandang 

berkeliling. Dia tak melihat burung juga tidak melihat perempuan 

bayangan. 

"Pendekar, apakah kau sudah lama berada di sini?" Tiba-tiba 

ada suara menegur. Wiro berpaling ke kiri. Laksana turun dari langit, 

satu bayangan berupa sosok perempuan muncul kemudian berdiri 

lima langkah dari hadapan Wiro. Walau cahaya rembulan tertindih 

kegelapan malam namun sosok bayangan itu kelihatan jelas. 

Wajahnya yang cantik memandang tersenyum ke arah Wiro. Sang 

pendekar mencium bau harum semerbak. 

"Aku belum lama berada di sini. Tadinya aku mengira ...." 

Mahluk bayangan tertawa. 

"Kau kira aku menipu?" Wiro menggaruk kepala. 

"Apakah kau membawa kitab itu?" 

"Tentu saja. Aku tidak akan berjanji dusta mengecewakanmu 

Hanya saja saat ini ada yang lucu pada dirimu." 

“Lucu apa?" tanya Wiro. 

"Kau mengenakan baju kesempitan. Biar aku betulkan dulu." 

Mahluk bayangan berbentuk perempuan cantik lalu menarik bahu 

baju hitam kiri kanan yang dipakai Wiro. Menarik bagian pinggang 

kiri kanan lalu dua ujung lengan. Setelah itu dia membungkuk untuk 

menarik dua pergelangan kaki celana hitam yang menggantung. 

Setiap sentuhan tangan perempuan bayangan ini membuat sekujur 

tubuh Pendekas 212 bergetar. Sebaliknya Wiro juga merasakan 

tangan yang menyentuh pakaian dan tubuhnya itu dihangati oleh 

perasaan yang menggelora. 

"Nah, itu lebih baik. Kau sekarang tidak terlihat seperti badut 

lagi." Wiro memperhatikan baju dan celana hitam yang dikenakan-

nya. Aneh, baju hitam itu kini terlihat lebih besar, dua lengan tidak 

lagi menggantung. Begitu juga dua ujung kaki celana hitam, kini 

tidak kependekan lagi, menjulai panjang menutupi mata kakinya. 

"Terima kasih. Kau punya keahlian menata pakaian rupanya," 

ucap Wiro sambil tersenyum. 

"Bagaimana mengenai kitab itu?"


"Ah, kau sangat tidak sabaran. Aku mau tanya dulu, apakah 

kau datang sendirian ke sini? Tidak merasa adayang mengikuti?" 

"Sesuai permintaanmu aku datang sendirian. Hanya malam 

kemarin memang seperti ada yang mengikuti. Tapi sejak aku sampai 

di kaki bukit, aku yakin tidak ada yang menguntit." 

"Kau bisa mengira-ngira siapa orang yang mengikutimu 

malam kemarin?" 

"Sulit aku menduga," jawab Wiro. 

"Baiklah, Kitab Seribu Pengobatan akan aku serahkan seka-

rang padamu." Mahluk bayangan perempuan cantik menggerakkan 

tangan kanannya ke balik punggung. Ketika tangan itu diajukan ke 

depan, Wiro melihat sebuah benda yang bukan lain adalah Kitab 

Seribu Pengobatan. Kitab ini tebal sekali. Wiro cepat mengambil 

kitab itu. Walau sangat tebal karena terbuat dari daun lontar halus 

ternyata kitab itu enteng sekali. Kitab disimpan di balik baju. 

"Kau sekarang sudah mendapatkan kitab itu. Apa yang akan 

kau lakukan?" 

"Kitab ini milik guruku Eyang Sinto Gendeng. Sebelum aku 

kembalikan pada beliau terlebih dulu akan aku baca dan pelajari 

agar bisa kupergunakan untuk menolong beberapa sahabat yang 

menderita penyakit." 

"Siapa saja sahabatmu itu?" tanya perempuan bayangan. 

"Tak mungkin aku sebutkan satu persatu ..." 

"Kalau begitu katakan saja apa penyakitnya" Wiro tersenyum 

dan menggeleng. 

"Soal penyakit seseorang, aku tidak mungkin menceritakan 

pada orang lain." Lama perempuan bayangan menatap wajah Wiro. 

Diam-diamdia sangat mengagumi sifat sang pendekar. Lalu dia 

berkata."Aku tidak ingin mencari tahu rahasia penyakit seseorang. 

Niatku hanya ingin menolong semata. Secara kebetulan aku 

mengetahui siapa yang pertama kali ingin kau tolong. Bukankah 

mereka dua gadis kakak beradik murid seorang nenek sakti yang 

konon telah menemui kematian di tangan gurumu?" 

"Eh, bagaimana kau tahu?" 

"Bicara soal kematian, apakah kau sudah tahu bahwa Hantu 

Muka Dua, kerabatku dari negeri Latanahsilam telah menemui ajal 

beberapa hari lalu?" Walau selama di negeri 1200 tahun silam Hantu 

Muka Dua alias Lajundai merupakan mahluk paling jahat dan


menjadi musuh besarnya, namun mendengar keterangan 

perempuan bayangan mau tak mau Wiro menjadi terkejut. 

"Bagaimana kejadiannya? Siapa yang membunuh mahluk 

itu?' tanya Wiro pula. 

"Seorang nenek sakti bermuka putih yang belakangan ini 

menggegerkan rimba persilatan. Namanya Nyi Bodong." 

* * *


DELAPAN


WIRO terkejut mendengar disebutnya nama itu. 

"Kau tak percaya? Aku menyaksikan sendiri.Kasihan Hantu Muka 

Dua. Aku berusaha mencegah karena Hantu Muka Dua telah 

bertobat. Namun gagal ..." 

"Nyi Bodong," mengulang Wiro menyebut nama itu. 

"Kau mengenalnya?" 

"Aku pernah melihatnya beberapa kali." 

"Pendekar, kau tahu siapa sebenarnya nenek itu?" Wiro 

gelengkan kepala. Perempuan bayangan kemudian mengalihkan 

pembicaraan. 

"Mengenai dua gadis kakak beradik murid Hantu Malam 

Bergigi Perak yang ingin kau sembuhkan dari penyakitnya. Bukalah 

Kitab Seribu Pengobatan pada halaman seratus enam belas. Disitu 

ada petunjuk pada pengobatan tiga ratus sebelas." 

"Luar biasa!" ucap Wiro. 

"Bagaimana kau bisa ingat isi kitab itu?". Mahluk bayangan 

tersenyum. 

"Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Semua itu 

atas berkah dan kehendak Yang Maha Kuasa." Wiro mengusap 

Kitab Seribu Pengobatan di balik pakaiannya lalu bertanya. 

"Selama kitab ini ada padamu, apakah ada orang yang telah 

kau tolong?" 

"Memang ada. Dan tujuanku untuk mendapatkan kitab itu 

adalah semata-mata untuk menolong orang itu" 

"Berhasil?" Perempuan bayangan mengangguk. 

"Siapa? Apa penyakitnya?" tanya Wiro. 

"Turut ucapanmu tadi bukankah tidak baik memberi tahu 

orang lain atas sakit seseorang? AKU tak bisa mengatakan. Tapi


kelak kau akan menemui orang itu karena selama ini kalian 

bersahabat." Wiro garuk-garuk kepala. 

"Aku tahu, kau berasal dari negeri Latanahsilam. Kau pasti 

salah seorang dari sekian banyak yang terpesat ke tanah Jawa 

sewaktu lstana Kebahagiaan milik Hantu Muka Dua hancur lebur. 

Bolehkan aku mengetahui namamu?" 

"Mohon maafmu Pendekar. Saat ini aku belum bisa memberi 

tahu." 

"Kalau begitu aku punya satu permintaan. Kuharap kau tidak 

menolak." 

"Katakanlah," ucap perempuan bayangan sambil menatap. 

Saat itu Wiro juga memandang memperhatikan hingga sepasang 

mata mereka saling beradu. Ada perasaan aneh dalam diri Pendekar 

212. Terlebih ketika dia ingat ucapan Kakek Segala Tahu yang 

mengatakan bahwa mahluk di hadapannya ini tengah jatuh cinta 

atas dirinya. Hal yang sama juga terjadi pada perempuan bayangan. 

Ujudnya yang samar bergetar. Pandangan matanya menyimpan 

rahasia hati. 

"Sejak pertemuan kita pertama kali sampai saat ini kau selalu 

menampakkan diri dalam ujud bayangan. Apakah kau bersedia 

memperlihatkan dirimu dalam ujud asli?" 

"Seperti yang pernah dilakukan oleh Bunga, gadis alam roh 

sahabatmu itu?" ucap perempuan bayangan pula yang membuat 

Pendekar 212 jadi terperangah lalu senyum garuk-garuk kepala. 

"Pengetahuanmu luar biasa. Seluas laut setinggi langit." 

"Kau keliwat menyanjung. Ketahuilah ujud dan rupa asliku 

buruk. Aku kawatir setelah melihat kau tidak akan mau bertemu lagi 

denganku." Wiro tertawa. Pemuda ini ulurkan tangan kanannya ke 

arah tangan kanan mahluk bayangan. Dia mengira seperti akan 

menyentuh asap atau memegang angin. Tapi alangkah terkejutnya 

dia ketika tangan yang dipegang adalah benar benar tangan 

manusia yang halus dan hangat. Ketika Wiro memperhatikan 

ternyata mahluk bayangan itu telah memperlihatkan diri dalam ujud 

aslinya! Wajah cantik di hias rambut hitam panjang tergerai. Tubuh 

yang bagus dibalut pakaian biru muda. Sampai-sampai Pendekar 

212 memandang dengan mulut ternganga dan jari-jari tangannya 

bergerak meremas, yang dibalas pula oleh perempuan cantik itu 

dengan remasan penuh perasaan.


"Aahh..,Ternyata kau cantik sekali." Ucap Wiro penuh kagum. 

"Kalau saja kau bisa dalam keadaan seperti ini selamanya ..." 

"Aku tak mungkin melakukan. Kecuali ...." jawab si cantik. 

"Kecuali bagaimana?" tanya Wiro. 

"Kecuali jika ada yang mengharapkan. Ada yang 

menginginkan." 

"Seperti yang aku lakukan barusan?" Si cantik mengangguk. 

"Ya, seperti yang kau lakukan barusan," katanya. 

"Jika kau tak mau memberi tahu nama, bolehkah aku 

memanggilmu ..." Wiro berpikir sejenak. Menatap ke langit dia 

melihat rembulan butat indah empat betas hari. 

"Boleh aku memanggilmu dengan nama Purnama? tanya 

Wiro pula. Perempuan di hadapannya tertawa dan anggukan kepala. 

"Kalau kau suka dengan nama itu, aku pun senang." 

"Purnama, apakah aku boleh mengajukan pertanyaan yang 

sifatnya sangat pribadi?" Sepasang bola mata perempuan cantik 

membesar. 

"Pertanyaan sangat pribadi? Apa maksudnya. Aku sangat 

ingin mendengarnya." 

"Apakah kau pernah mencintai seseorang?" Wajah cantik 

perempuan di hadapan Wiro tampak bersemu merah. Sepasang alis 

mata yang hitam lengkung bergerak naik, lalu senyum manis 

menyeruak di bibir yang merah segar. 

"Pertanyaanmu aneh. Mengapa hal itu kau tanyakan?" Wiro 

garuk-garuk kepala. Sebenarnya ia ingin menguji apa yang 

dikatakan Kakek Segala Tahu. 

"Ah, Sudahlah. Anggap saja itu tadi pertanyaan tolol!" 

"Di negeri asalku aku memang pernah mencintai seseorang. 

Bahkanaku pernahmenjadi istri dari orang yang kucintai itu. Namun 

satu malapetaka besar terjadi. Aku menemui kematian di alamku. 

Kami berpisah. Sampai saat ini aku tidak tahu dimama suamiku 

berada. Secara adat Latanahsilam, aku buka lagi istri baginya dan 

dia bukan lagi suami bagiku. Secara kenyataan di sana aku kembali 

menjadi seorang gadis." 

"Maksudmu Hemm ....perawan?" 

"Ya," jawab perempuan bayangan. 

"Sulit dipercaya. Tetapi begitulah keadaan lahiriah kami 

orang-orang perempuan Latanahsilam ....”


"Hebat juga" ucap Wiro dalam hati. 

"Walau sudah punya sepuluh anak dan sudah jadi nenek peot 

tetapi begitu tidak punya suami lagi kembali menjadi perawan!" Wiro 

senyum-senyum sendiri. Purnama juga tersenyum. Lama kedua 

orang itu terdiam sampai Wiro menyadari bahwa saat itu mereka 

masih saling bergenggaman jari jemari. Perlahan-lahan Wiro tarik 

tangannya. 

"Purnama, yang kau katakan tadi adalah riwayat semasa kau 

masih berada di Latanahsilam. Yang aku ingin ketahui, setelah 

sekian lama aku berada ditanah jawa ini, apakah ada seseorang 

yang menjadi tambatan hatimu? Atau kau tahu ada seorang yang 

mencintaimu?" Sepasang mata Purnama menatap tak berkesip. 

Dada perempuan itu berdebar. Hatinya berucap. 

"Apakah pemuda ini tahu apa yang aku rasakan?" Setelah 

terdiam beberapa ketika akhirnya perempuan itu menjawab. 

"Pertanyaanmu kali ini agak sulit kujawab. Jika kukatakan 

memang ada atau tidak ada seseorang yang kucintai, apakah itu ada 

artinya bagimu?" Wiro menggaruk kepala, tertawa lebar dan balik 

bertanya. 

"Mengenai adanya orang yang menyukaimu?" 

"Mana aku tahu ada orang yang suka apa lagi sayang 

padaku. Tidak ada yang menunjukkkan sikap seperti itu, apa lagi 

mengatakannya. Pendekar, apakah kau menyukai diriku?" Wiro 

terperangah oleh pertanyaan yang blak-blakan ini sampai kakinya 

tersurut satu langkah. Cepat Wiro alihkan pembicaraan. 

"Purnama. aku mengucapkan terima kasih. Kau telah sudi 

menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan." 

"Kau harus menjaga kitab itu baik-baikseperti kau menjaga 

keselamatan dirimu sendiri.Terlalu banyak yang menginginkan. Nah, 

kau sudah dapatkan kitab yang kau cari selama ini. Apakah kau 

akan segera meninggalkan tempat ini? Apakah pertemuan kita 

hanya dan akan berakhir sampai di sini?" tentu saja persahabatan 

kita tidak hanya sampai di sini. Ada ujar-ujar mengatakan selama 

awan masih putih, gunung masih hijau dan laut masih biru, kita pasti 

akan bertemu." Jawab Wiro. 

"lndah sekali ujar-ujar itu. Dan aku sangat berbahagia 

mengetahui bahwa kau masih inginkan pertemuan dengan diriku ....”


"Jika aku ingin bertemu, dimana aku harus mencarimu?" 

tanya Wiro. 

"Kau tak perlu susah susah mencari. Setiap gerak hatimu 

untuk bertemu akan kuketahui. Karena kau selalu berada di dekatmu 

.." Jawaban perempuan cantik itu membuat Pendekar 212 raba 

kuduknya lalu menggaruk kepala. 

"Urusan berabe. Kalau aku mandi pasti dia bisa melihatku! 

Jangan-jangan apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu memang 

benar. makluk ini tengan jatuh cinta padaku ..." ucap Wiro dalam 

hati. 

"Purnama, sebelum kita berpisah, ada satu hal yang ingin aku 

tanyakan. Belakangan ini ada beberapa tokoh memberi tahu akan 

terjadi satu peristiwa besar dalam rimba persilatan. Apakah kau juga 

mengetahui hal itu?" 

"Aku mengetahui. Justru kau salah seorang yang akan terlibat 

dalam peristiwa itu. Jaga dirimu baik-baik. Aku tak bisa menceritakan 

lebih banyak dan lebih rinci. Biar sebaiknya orang lain saja yang 

mengatakan. Dia sejak tadi menunggu di tempat ini." Habis berkata 

begitu perempuan bayangan yang diberi nama Purnama oleh Wiro 

memegang erat-erat lengan kanan sang pendekar, menarik tangan 

itu lalu menciumnya. Di lain kejap sosoknya berubah menjadi samar 

membentuk bayangan dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Wiro 

berbalik ketika merasa ada sambaran angin di belakangnya. 

"Mesra sekali! Ada kata-kata mesra, ada pegangan tangan 

serta ada ciuman!" terdengar suara perempuan berucap. Di lain 

kejap di hadapan Wiro berdiri seorang perempuan muda berpakaian 

kebaya putih panjang -serta celana putih panjang sebetis. Wajahnya 

yang cantik tampak pucat dan kini tersenyum memandang pada 

Pendekar 212. 

"Bunga ...." ucap Wiro. Dia hendak merangkul tapi Bunga 

bersurut mundur. Wiro merasa tidak enak. Selain itu senyum Bunga, 

gadis alam roh yang semasa hidupnya bernama Suci di mata Wiro 

terlihat dan terasa sinis. Jadi inilah orang lain yang tadi dimaksud 

Purnama. 

"Bunga, aku gembira melihat kedatanganmu." 

"Sebaliknya aku merasa menyesal karena kemunculanku 

mungkin hanya mengganggu kehadiran si cantik tadi. Sebenarnya


aku ingin berbincang-bincang dengannya. Sayang dia keburu pergi 

..." 

"Dia meninggalkan pesan untuk menanyakan sesuatu 

padamu ..." 

"Begitu? Pesan apa?Pertanyaan apa?" tanya Bunga Tidak 

seperti biasanya dalam pertemuan yang sudah-sudah, kali ini setiap 

nada ucapan Bunga terasa tidak enak di telinga dan hati Wiro. 

"Dia cemburu, mungkin juga marah. Seperti kata Purnama 

agaknya dia memang sudah lama berada di sekitar sini. 

Memperhatikan dan mendengar apa yang aku bicarakan ..." 

"Bunga ..." 

"Wiro, siapakah nama perempuan cantik tadi?" Bunga 

memotong ucapan Wiro. 

"Aku tidak tahu. Dia tidak pernah menerangkan namanya. 

Lalu kupanggil saja Purnama," jawab Wiro polos. 

"Nama yang bagus sekali. Aku ingat ketika kau melakukan hal 

seperti itu padaku. Ketika kau memberi nama Bunga padaku ...." 

Wiro garuk-garuk kepala. Gadis dari alam roh yang ada di 

hadapannya ini sudah jelas cemburu. 

"Bunga, jangan kau berprasangka ...." 

"Siapa yang berprasangka? Berprasangka apa? Aku hanya 

melihat kenyataan betapa mesranya dia menciumn tanganmu ketika 

hendak pergi. Aku berpikir, mengingat-ingat, apakah aku pernah 

melakukan hal itu padamu? Rasanya tidak ..." Ternyata Bunga telah 

terlalu jauh larut dalam perasaannya. Wiro cepat cepat berkata. 

"Bunga, aku ingin menanyakan. Apakah kau tahu satu 

peristiwa besar yang akan terjadi dalam rimba persilatan. Beberapa 

tokoh dunia persilatan membicarakan hal itu ..." 

"Ah, rupanya si cantik bernama Purnama tadi tidak menuntas-

kan keterangannya. Menyerahkan jawaban pada diriku. Cerdik 

sekali. Kalau aku tidak memberi tahu apakah kau akan marah 

padaku?" Wiro menggeleng. 

"Kau sangat baik padaku. Aku banyak berhutang budi. Mana 

mungkin aku marah." Bunga tertawa mendengar kata-kata sang 

pendekar. 

. "Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Aku harus menemui 

dua orang sahabat yang menderita sakit. Kau ikut?" Wiro mengajak.


"Aku ingin sekali ikut. Tapi tak lama lagi hari akan segera 

siang. Selain itu aku tak mau menyakiti perasaan si cantik tadi yang 

katanya selalu berada dekat denganmu." Wiro terdiam. Dia merasa 

sedih melihat sikap dan cara bicara Bunga. Namun mungkin semua 

itu dia juga yang salah. 

"Bunga, kurasa kau lebih dekat padaku. Maafkan aku kalau 

ada hal-hal yang membuat dirimu tidak enak. Apapun yang terjadi 

semua itu tidak mengurangi rasa sayangku padamu. Aku harus pergi 

sekarang juga ..." 

"Wiro, mengenai pertanyaanmu tadi ..." Ucapan Bunga 

terputus. Saat itu Pendekar 212 telah berkelebat lenyap. 

"Ah, apakah aku telah membuat dia kecewa? Marah?" Bunga 

duduk bersimpuh di tanah. Air mata meluncur dari balik kelopak 

mata. Bunga pejamkan kedua matanya. Hatinya kembali bersuara. 

"Untuk pertama kalinya dia mengatakan sayang padaku. 

Apakah kali ini aku terpaksa membenarkan kabar dan ucapan 

banyak orang selama ini bahwa Pendekar Dua Satu Dua itu seorang 

pemuda mata keranjang? Apakah aku tidak boleh cemburu? Apakah 

aku tidak boleh merasa takut kehilangan dirinya?" Bunga 

tersengguk. 

"Kalau saja aku bisa mati lagi, rasanya aku ingin sekali mati untuk 

kedua kalinya ..." 

* * *


SEMBILAN


WALAU hujan telah beberapa kali turun, namun hawa 

sejuk tidak menyentuh puncak Gunung Merapi. Sebagian besar 

daun-daun pepohonan mengering rontok. Kulit pohon menciut 

kehitaman. Semak belukar hanya tinggal berbentuk ranting-ranting 

lapuk. Beberapa anak sungai mengering dangkal. Kegersangan 

nyaris tampak dimalla-mana. 

Siang itu begitu menjejakkan kaki di puncak Gunung Merapi 

bersama Liris Merah, kejut Pangeran Matahari bukan alang 

kepalang. Goa besar tempat kediaman mendiang gurunya Si Muka 

Bangkai tak ada lagi. Yang tampak hanya reruntuhan puing-puing 

batu goa, nyaris sama rata dengan tanah gunung. 

"Kurang ajar! Keparat! Jahanam mana berani mati 

menghancurkan goa tempat kediaman guruku!" teriak Pangeran 

Matahari menggelegar sehingga seantero tempat bergetar. 

Beberapa binatang hutan yang ada di dekat situ lari 

berhamburan. Puluhan burung yang tengah berteduh dari teriknya 

sinar matahari di pepohonan menggelepar terbang ke udara. Selain 

tenaga dalam tinggi yang dimiliki, hawa sakti yang ada pada Lentera 

lblis yang dipegangnya ikut memberi kekuatan pada daya gelegar 

teriakannya. Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa meman-

dang berkeliling. Rahang menggembung mata menyala. Liris Merah 

yang tidak tahu pasal ceritanya, bertanya. 

"Ada apa Pangeran? Kau kelihatan marah besar." Kehadiran 

Liris Merah bersama Pangeran Matahari di puncak Gunung Merapi 

itu memang perlu dijelaskan. Setelah dirinya berulang kali digaulli 

oleh manusia bejat itu, entah mengapa Liris Merah menyukai sang 

Pangeran yang buruk rupa serta kasar dan jahat. Rasa suka itu hari 

demi hari berdua-dua selama perjalanan berubah menjadi rasa


sayang. Lebih-lebih Pangeran Matahari selalu memanjakan dirinya, 

mencarikan telaga atau mata air untuk melenyapkan serangan hawa 

panas pada tubuhnya. Selain itu Pangeran Matahari juga menjanji-

kan akan mencari Kitab Seribu Pengobatan untuk menyembuhkan 

penyakitnya. 

"Aku yakin. Kitab itu pasti ada di tangan Wiro Sableng." 

Begitu Pangeran Matahari berkata pada Liris Merah. Sebagai gadis 

suci yang lugu soal hubungan lelaki dan perempuan, Liris Merah 

mendapat kenikmatan yang selama ini belum pernah dirasakannya. 

Dia tidak tahu apakah Pangeran Matahari benar-benar telah menye-

badaninya. Dia juga tidak tahu apakah saat itu dia masih seorang 

perawan atau tidak. Karena seperti diketahui Pangeran Matahari 

telah kehilangan kejantanannya. 

Setiap peluk cium serta rabaan sang Pangeran membuat Liris 

Merah bertambah suka pada lelaki terkutuk itu bahkan bisa 

dikatakan tergila-gila. Sebaliknya Pangeran Matahari menyadari 

bahwa sampai saat itu kejantanannya masih belum pulih. Hal ini 

terbukti setiap saat dia hendak melampiaskan nafsu terkutuknya, 

kejantanannya tidak berdaya. Itu sebabnya dia berusaha keras 

mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Menurut ahli pengobatan Ki 

Tambakpati yang pernah menolongnya sampai dua kali, didalam 

kitab itu ada petunjuk untuk penyembuhan penyakitnya.Pangeran 

Matahari letakkan Lentera lblis yang dibungkus kain hitam di tanah. 

Lalu sambil terus menatap kearah reruntuhan goa dia berkata. 

"Sebelumnya, di tempat ini ada sebuah goa besar milik 

mendiang guruku. Aku pernah tinggal di sini bertahun-tahun. Belum 

lama ini aku datang ke sini. Goa masih ada. Tapi kini kau saksikan 

sendiri. Goa itu lenyap! Yang kelihatan hanya puing-puing, tanah 

rata! Jahanam betul!" Liris Merah melangkah mendekat, merangkul 

pinggang sang Pangeran lalu berkata. 

"Kalau cuma soal goa, kenapa terlalu dirisaukan. Kita bisa 

membangun pondok. Bagiku tidur beratap langit berselimut embun 

tidak jadi soal. Pertama asalkan selalu di dekatmu.Kedua ada mata 

air tak jauh dari sini. Dan ketiga janjimu akan mendapatkan Kitab 

Seribu Pengobatan." Pangeran Matahari peluk bahu Liris Merah. 

Setelah menciumi wajah, leher dan dada gadis itu penuh nafsu dia 

berkata.


"Aku bukan akan mendirikan pondok di tempat ini. Tapi akan 

membangun istana! Puncak Gunung Merapi akan menjadi markas 

besar Partai Bendera Darah yang sejak lama ingin aku dirikan!" . 

Pangeran memandang berkeliling. 

"Orang-orang yang membawa nenek sinting itu baru akan 

sampai besok. Yang mengherankan mengapa Pangeran Muda dari 

Keraton Kaliningrat tidak ada di tempat ini? Apa dia merasa sudah 

jadi raja besar dan aku yang harus menunggu kedatangannya?" 

"Pangeran Matahari! Jangan salah menduga. Aku telah satu 

hari satu malam menunggumu di sini!" Satu seruan keras lantang 

menyahuti kata-kata Pangeran Matahari tadi. Sekejap kemudian 

berkelebat muncul sosok Pangeran Muda yang selalu berpakaian 

bagus mewah. Ternyata dia tidak datang seorang diri. Dua belas 

orang ikut muncul bersamanya. Pangeran Matahari angkat kepala, 

menatap tajam. Dia tak merasa perlu memperhatikan sepuluh lelaki 

besar tegap berpakaian seragam hitam. Yang jadi pusat pandangan-

nya adalah dua orang yang tegak di kiri kanan tokoh Keraton 

Kaliningratitu. 

Yang pertama dan berdiri di sebelah kiri sang Pangeran 

adalah seorang kakek berwajah biru angker aneh berambut panjang 

kelabu yang dijalin lalu dililit seputar kening. Di atas matanya yang 

sipit nyaris merupakan garis tidak terdapat alis. Hidung hanya 

berbentuk benjolan sebesar ujung ibu jari sementara mulut 

menyerupai mulut ikan, setiap saat selalu bergerak membuka dan 

menutup. Pakaiannya jubah hijau digelayuti puluhan ekor ular 

berwarna coklat kehitaman. 

"lblis Ular Terbang Goa Kladen!" ucap Pangeran Matahari 

dalam hati. Walau terkejut namun dia tidak merasa gentar. 

"Bertahun-tahun tidak kedengaran juntrungannya. Sekarang 

muncul bersama Pangeran gila kuasa yang banyak kehilangan 

pendukung ini." Pangeran Matahari melirik ke sebelah kanan 

Pangeran Muda. Disini berdiri seorang .nenek berwajah sangat 

buruk. Rambutnya putih riap-riapan. Kepala selalu mendongak dan 

sepasang mata yang juling menatap ke langit seolah-olah 

memperhatikansesuatu. Mulutnya yang keriput selalu menghembus-

hembus, menebar hawa panas berbau aneh. Si nenek mengenakan 

pakaian menyerupai kemben hingga jelas kelihatan kalau dia sama 

sekali tidak mempunyai tangan!


”lblis Betina Mulut Beracun!" ucap Pangeran Matahari dalam 

hati menyebut nama si nenek begitu dia mengenali. 

"Jika iblis lelaki dan iblis perempuan ini bergabung bersama 

Pangeran Muda, aku mencium gelagat tidak baik." Pangeran 

Matahari melirik kearah Lentera lblis yang terbungkus kain hitam 

yang diletakkannya di tanah. Di balik kain hitam pembungkus 

Lentera lblis keluarkan cahaya redup. Dalam hati sang Pangeran 

membatin. 

"Lentera lblis mengeluarkan cahaya di siang hari. Pertanda 

bahaya. Aku harus berhati-hati. Pangeran Muda, jika kau berlaku 

culas ketahuilah kau tak akan bisa menipu Pangeran Matahari!" 

"Pangeran Muda, sesuai janji, kau datang ke sini membawa 

Bendera Darah yang menurutmu kau temukan secara tak sengaja di 

Goa Selarong." 

"Sobatku Pangeran Matahari, soal Bendera Darah itu jangan 

kawatir," jawab Pangeran Muda yang aslinya bernama Sawung 

Guntur. Dia melirik ke arah Liris Merah. 

"Ah, kalau tidak salah mataku melihat, bukankah gadis cantik 

berpakaian serba merah ini adalah salah seorang murid Hantu 

Malam Bergigi Perak,yang baru-baru ini dikabarkan menemui ajal di 

tangan Sinto Gendeng?" 

"Ucapanmu tidak salah! Tapi saat ini aku membicarakan 

Bendera Darah, bukan perihal gadis ini!" Damprat Pangeran 

Matahari. Pangeran Muda batuk-batuk. Dia tepukkan dua 

tangannya. Saat itu juga dari atas sebuah pohon besar melayang 

turun satu sosok berpakaian hijau sangat tipis sambil memegang 

sebatang besi berujung lancip dimana tergulung sehelai kain 

berlumuran darah setengah kering. 

Luar biasa! Semua mata mendelik! 

Sosok berpakaian hijau yang turun dari pohon ternyata adalah 

seorang gadis cantik mengenakan pakaian hijau sangat tipis. Begitu 

tipisnya hingga jelas terlihat auratnya kencang, mulus dan bagus 

yang tidak mengenakan apa-apa lagi di balik pakaian hijau itu. 

Dengan kedua tangannya gadis cantik ini memegang gagang besi 

sebuah bendera yang tergulung, berwarna merah kehitaman, 

menebar bau busuk. Busuknya darah yang setengah mengering. 

ltulah Bendera Darah. Bendera kebesaran Partai Bendera Darah


yang sejak lama ingin didirikan Pangeran Matahari dalam rangka 

tujuannya menguasai rimba persilatan tanah Jawa. 

"Pangeran Matahari, aku perkenalkan. Gadis itu bernama 

Lawangningrum. Dia akan menyerahkan Bendera Darah padamu. 

Tapi tidak di sini. Tak jauh dari sini, orang-orangku telah mem-angun 

sebuah pondok kayu. Lawangningrum akan menyerah-an Bendera 

Darah di pondok itu. Selanjutnya gadis itu jadi milikmu." Pangeran 

Matahari perhatikan gadis cantik yang nyaris bugil di hadapannya. 

Darahnya terasa panas, pelipis bergerak-gerak dan cuping hidung 

yang bengkok kembang kempis. Nafsunya menggelegak. Dia 

memang suka pada si gadis. Namun tindak tanduk dan bicara 

Pangeran Muda tadi membuat Pangeran. Matahari merasa 

dilecehkan di hadapan orang banyak. Sang Pangeran terlalu 

sombong untuk menerima hadiah istimewa secara begitu rupa. 

Pangeran Matahari berpaling pada Pangeran Muda lalu berkata. 

"Pangeran Muda, aku ingin Lawangningrum menyerahkan ' 

Bendera Darah saat ini juga padaku, di tempat ini!" Pangeran Muda 

Sawung Guntur melirik pada lblis Betina Mulut Beracun dan lblis Ular 

Terbang Goa Kladen. Dua lblis ini sama anggukkan kepala. 

Pangeran Muda berpaling kembali pada Pangeran Matahari dan 

berkata dengan suara lantang. 

"Pangeran Matahari kau adalah pimpinan dan penguasa di 

puncak Merapi. Jika Pangeran Matahari menghendaki bendera 

diserahkan di tempat ini siapa yang berani menampik? 

Lawangningrum serahkan Bendera Darah pada Pangeran Matahari!" 

Pangeran Matahari tidak bodoh. Dia telah melihat gerak gerik tiga 

orang di hadapannya. Semakin jelas tercium hal yang tidak beres. 

Gadis bernama Lawangnillgrum anggukkan kepala lalu 

perlahan-lahan langkahkan kaki ke arah Pangeran Matahari. 

Sementara berjalan dia goyangkan bahunya yang bidang serta dada 

kencang dan pinggul besar. Pakaian hijau tipis yang melekat di 

tubuhnya sedikit demi sedikit merosot jatuh ke tanah. Ketika dia 

sampai di hadapan Pangeran Matahari untuk menyerahkan Bendera 

Darah, keadaan dirinya tidak lagi tertutup sehelai benang pun. Polos 

telanjang! 

Darah Pangeran Matahari berdegup kencang dan panas Mata 

nya terbeliak besar. Dada berguncang keras. Ketika Lawangningrum 

sedikit membungkuk memberi penghormatan sambil.ulurkan Ben


dera Darah, nafsu Pangeran Matahari menggelegak. Gerakan mem 

bungkuk gadis bugil di hadapannya itu membuat sepasang payuda-

ranya yang kencang membuyut besar dan bergoyang kenyal. 

Namun kecerdikan otaknya membuat Pangeran Matahari ti-

dak berlaku lengah. Dia sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres. 

Pada saat itulah Lawangingrum sentakkan dua tangannya yang me-

megang besi gagang bendera. Bendera Darah yang sejak tadi ter-

gulung pada gagang besi, membuka sebat, menebar hawa luar bia-

sa amis busuk. Namun yang keluar dari bendera itu bukan cuma ha-

wa amis busuk. Bersamaan dengan terbukanya gulungan bendera 

berbentuk segi tiga itu melesat dua puluh senjata rahasia berupa 

paku panas merah menyala, menyerang Pangeran Matahari! 

Di saat yang sama lblis Betina Mulut Seracun dan lblis Ular 

Terbang Goa Kladen keluarkan pekikan lantang. Sepuluh orang ber-

pakaian seragam hitam ikut menjerit lalu menebar mengurung mem-

bentuk lingkaran. Bersamaan dengan itu tubuh Lawangningrum tam-

pak mengepul. Ujudnya saat itu berubah menjadi sosok seorang 

nenek bertubuh gemuk bungkuk. Ketika mulutnya yang peot 

menyeringai kelihatan taring-taring mencuat panjang dan tajam serta 

basah oleh darah di dua sudut bibir. 

"Genderuwo Penghisap Darah!" teriak Pangeran Matahari. 

"Keparat kurang ajar! Kalian mencari mati semua!" Pangeran 

Matahari marah sekali. lblis Betina Mulut Beracun melompat sambil 

menyembur. Asap hitam beracun membersitkan bau busuk mendera 

ke arah Pangeran Matahari. Jangankan manusia, seekor gajah pun 

kalau sampai menghisap hawa beracun ini pasti akan tergelimpang 

roboh menemui ajal! 

Sementara itu sepuluh dari tiga puluh ular coklat kehitaman 

yang menempel di pakaian hijau lblis Ular Terbang Goa Kladen 

melesat di udara, menyambar ke arah Pangeran Matahari! Pada 

saat semua orang bergerak menyerang Pangeran Matahari, 

Pangeran Muda Sawung Guntur melompat menyambar Lentera lblis. 

Pangeran Matahari menggembor keras. Matanya terasa 

perih. Cepat dia tutup jalan pernafasan untuk selamatkan diri dari 

serangan asap beracun yang disemburkan lblis Betina Mulut 

Beracun. Sambil tutup pernafasan Pangeran Matahari jatuhkan diri. 

Telapak tangan kiri bersitekan ke tanah. Tangan kanan menghantam 

ke depan, lancarkan pukulan Menahan Bumi Memutar Matahari


yang didapatnya dari Singo Abang. Puluhan paku panas menyala 

yang menghantam ke arahnya berpelantingan ke udara. Namun 

sebuah paku masih .sempat menghajar daun telinga kanannya 

sehlingga robek kucurkan darah! 

"Setan alas! Terima kematianmu!" teriak Pangeran Matahari. 

Dia hendak menghantam Gondoruwo Penghisap Darah dengan 

pukulan Gerhana Matahari namun.membatalkan niatnya karena saat 

itu sepuluh ular coklat kehitaman yang melesat telah berada dekat 

sekali. Sementara dia juga harus selamatkan Lentera Ibis yang 

hendak dirampas Pangeran Muda! Liris Merah tidak tinggal diam. 

Didahului pekik kemarahan gadis murid mendiang Hantu Malam 

Bergigi Perak ini berkelebat ke arah samping lblis Ular Terbang Goa 

Kladen. Dua tangan disilang di depan dada. Dua tangan itu tampak 

berubah hitam, sepuluh kuku jari mencuat hitam panjang. Ketika dua 

tangan dihantamkan ke delapan, sepuluh larik cairan hitam menebar 

bau busuk serta mengepulkan asap menyambar sepuluh ular yang 

melesatdi udara! ltulah pukulan sakti yang disebut Limbah Neraka 

MenghujatBumi! 

"Dess ... dess .... desss .... blaarrr!" 

Sepuluh ular terbang terpental hancur. lblis Ular Terbang Goa 

Kladen terkejut dan pucat. Dia tidak menyangka kalau Liris Merah 

telah menerima warisan pukulan sakti itu dari mendiang gurunya. 

Bum-buru dia bersurut mundur sampai empat langkah. 

* * *


SEPULUH


Sepuluh anggota Keraton Kaliningrat berseragam hitam di 

dahului teriakan marah menyerbu ke arah Liris Merah. Si gadis 

ganda tertawa dan berseru. 

"Aku tahu ilmu kebal kalian! Majulah lebih dekat untuk 

menerima kematian! Hik ... hik ... hik! Liris Merah lalu melompat ke 

arah semak belukar hingga dua kakinya tidak lagi menginjak tanah. 

Mendengar ucapan serta melihat gerakan si gadis sepuluh lelaki 

berseragam hitam serta merta hentikan gerakan menyerang. Seperti 

diketahui anggota Keraton Kaliningrat berseragam hitam memiliki 

ilmu kebal tahan pukulan tahan senjata. Rahasia kekebalan ini 

diketahui oleh Liris Merah dan Liris Biru dari guru mereka yaitu 

Hantu Malam Bergigi Perak. 

Selama kaki mereka berpijak di bumi, atau selama kaki 

penyerang menginjak tanah maka tidak ada ilmu pukulan serta 

senjata apapun sanggup mencelakai mereka! Pangeran Matahari 

tertawa bergelak. 

"Kekasihku Liris Merah!Kau hebat sekali!" Bersamaan dengan 

itu sang Pangeran putar telapak tangan kirinya yang sampai saat itu 

masih bersitekan ke tanah. Kaki kanan melesat ke depan dan 

kraakk! 

Pangeran muda yang hendak mengambil Lentera lblis men-

jerit keras ketika lengan kanantlya hancur dimakan tendangan 

Pangeran Matahari. Untuk selamatkan diri dia jatuhkan tubuh di 

tanah lalu berguling menjauh. Sambil terus mengumbar tawa 

Pangeran Matahari ambil Lentera lblis dan buka kain hitam pem-

bungkus. lblis Ular Terbang Goa Kladen, lblis Betina Mulut Beracun 

dan Gondoruwo Penghisap Darah tidak tahu apa yang terjadi. 

Mereka hanya melihat Lentera lblis di tangan Pangeran 

Matahari berputas sedemikian rupa. Sebelum ketiganya sempat 

selamatkan diri, kilatan cahaya merah berkiblat keluar dari Lentera 

Iblis. 

"Wusss! Wusss! Wusss!"


Tiga tokoh rimba persilatan golongan hitam itu menjerit keras. 

Suara jeritan inereka lenyap begitu sinar merah melanda tubuh 

masing-masing lalu jatuh ke tanah dalam keadaan mengepul. 

Ketiganya menemui ajal dengan tubuh hangus nyaris leleh, berwar-

na merah! Pangeran Matahari telah menghajar ke tiga orang itu 

dengan jurus pertama Lentera lblis yakni Jurus Api Neraka! 

Cahaya merah mengandung cahaya panas luar biasa 

ternyata tidak hanya berkiblat menghabisi nyawa ke tiga tokoh bawa-

an Pangeran Muda tadi, tetapi terus menghantam ke arah deretan 

pepohonan dan semak belukar kering. Dalam sekejap mata 

semuanya telah dilamun kobaran api. Ketika angin bertiup kencang 

kobaran api meluas kemana-mana! Dalam waktu singkat sebagian 

puncak utara Gunung Merapi di sekitar telaga telah tenggelam 

dalam satu kebakaran yang luar biasa dasyatnya. 

Melihat apa yang terjadi atas diri ke tiga tokoh golongan hitam 

itu, sementara pimpinan mereka Pangeran Muda tidak diketahui 

berada di mana dan dalam keadaan bagaimana, sepuluh anggota 

Keraton Kaliningrat berseragam hitam tidak tunggu lebih lama 

segera putar tubuh ambil langkah seribu. Namun Liris Merah 

agaknya tidak memberi kesempatan bagi mereka untuk selamatkan 

diri. Masih di antara semak belukar yang saat itu mulai dijilat api, 

gadis itu lepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh. Satu persatu 

anggota Keraton Kaliningrat berseragam hitam terpental dan 

tergelimpang dengan punggung hancur. Hanya dua orang saja yang 

sempat kabur selamatkan nyawa. 

Pangeran Matahari tenteng Lentera lblis di tangan kanan lalu 

mengambil Bendera Darah. Gagang bendera yang terbuat dari besi 

ini kemudian dihunjamkan ke sebuah batu besar bekas reruntuhan 

goa. Bendera berbentuk segitiga yang berlumuran darah setengah 

kering ini berkibar ditiup angin, menebar bau busuk amis. 

"Pangeran! Telinga kananmu terluka!" teriak Liris Merah. 

Gadis ini lari mendatangi. Pangeran Matahari langsung merangkul 

pinggang Liris Merah. 

"Hanya luka kecil, mengapa dikhawatirkan?" kata sang 

Pangeran pula. 

"Kau tahu, kobaran api itu merangsang nafsuku. Aku ingin 

mencumbumu di tengah kebakaran dahsyat ini!"


"Pangeran, aku siap melayanimu,"jawab Liris Merah yang 

sudah tergila-gila pada Pangeran Matahari. Lalu tanpa malu malu 

gadis ini tanggalkan pakaian merahnya dan baringkan tubuh di 

tanah. 

"Pangeran, cepat. Lakukan Sekarang. Tubuhku mulai terasa 

panas." Pangeran Matahari tertawa tergelak-gelak. Sepasang 

matanya berkilat-kilat. 

"Kekasihku, kau memang hebat! Tidak Pernah aku menemui 

gadis luar biasa seperti dirimu sebelumnya! Kita bercumbu dulu di 

sini. Ada sebuah telaga kecil tak jauh dari sini. Aku nanti akan mem-

bawamu ke sana. Kita akan teruskan bersenang-senang di telaga itu 

sampai malam, sampai pagi. Ha ... ha ... ha ... ! kau hebat! Bilamana 

Partai Bendera Darah berdiri, Aku akan menjadi Raja di Raja rimba 

persilatan dan kau akan menjadi Ratunya! Ha ... ha ... ha!" Liris 

Merah memekik kecil lalu tarik tangan Pangeran Matahari. 

* * * 

API yang membakar puncak Merapi serta merta menarik 

perhatian semua orang yang berada di sekitar gunung tersebut 

bahkan sampai jauh ke Kotaraja. Sri Baginda Raja memerintahkan 

Patih Wira Bumi untuk melakukan penyelidikan. Sementara itu 

beberapa mata-mata Kerajaan yang disebar untuk memantau 

keamanan serta mengawasi gerakan-gerakan mencurigakan 

termasuk gerakan orang-orang Keraton Kaliningrat melapor bahwa 

dua hari sebelum api berkobar di puncak Merapi, Pangeran Muda 

terlihat menaiki gunung membawa sejumlah orang. Orang-orang 

Kerajaan tak berani bertindak karena Pangeran Muda ditemani 

beberapa tokoh rimba persilatan golongan hitam. 

Keesokannya ada serombongan orang tak dikenal naik ke 

puncak gunung membawa sebuah usungan. Di hari yang sama 

kembali Pangeran Muda terlihat di sebuah dangau di kaki gunung. 

Kali ini dia hanya seorang diri dan dalam keadaan cidera berat. 

Berdasarhan keterangan mata-mata patih Wira Bumi bersama 

sejumlah pasukan serta dua orang tokoh silat istana segera 

mendatangi dangau dimana Pangeran Muda pimpinan pemberontak 

Keraton Kaliningrat terakhir kali terlihat. Ketika menjelang malam 

rombongan orang-orang Kerajaan ini sampai ternyata Pangeran


Muda Sawung Guntur masih ada di sana. Lengan kanannya yang 

hancur mulai membusuk. Sang Pangeran diperintahkan menyerah 

namun dengan nekad melakukan perlawanan. Walau lengan 

kanannya dalam keadaan cidera berat ternyata Pangeran Muda 

tetap merupakan manusia berbahaya. 

Dia mampu membunuh enam perajurit Kerajaan dan melukai 

salah seorang tokoh silat istana. Setelah mendesak lawan yang 

terluka itu Wira Bumi berhasil menghantam dada lawan dengan 

pukulan Dibalik Asap Roh Mencari Pahala. Ini adalah ilmu pukulan 

sangat jahat yang didapat Wira Bumi dari Nyai Tumbal Jiwo. 

Sebelum memukul Wira Bumi menyembur dulu lawannya dengan 

asap hitam. Selagi pemandangan Pangeran Muda tertutup, Patih 

Kerajaan menggebuk tokoh Keraton Kaliningrat itu telak di bagian 

dadanya hingga muntah darah. 

Dalam keadaan luka parah luar dalam dan tertotok Pangeran 

Muda dipaksa memberi keterangan. Megap-megap orang ini 

menceritakan apa yang terjadi di puncak Merapi. 

"Aku berjuang demi menuntut hakku yang syah atas tahta 

Kerajaan. Kalian memperlakukanku secara sewenang-wenang! 

Aku mau tahu apa kalian orang-orang Kerajaan mampu menghadapi 

Pangeran Matahari." Ucap Pangeran Muda mengakhiri keterangan. 

"Hanya berteman seorang gadis, apakah kemampuan 

Pangeran Matahari begitu hebatnya?" 

"Patih Kerajaan, jangan pongah. Aku tahu kau dapat banyak 

ilmu hebat dari gurumu mahluk alam roh Nyai Tumbal Jiwo. Tapi 

siapa yang tidak kenal Pangeran Matahari! Jangan lecehkan ilmu 

kesaktiannya. Selain itu dia memiliki sebuah senjata berupa lentera 

bernama Lentera Iblis! Dialah yang telah membakar rimba belantara 

di puncak Gunung Merapi! Sekali Partai Bendera Darah berdiri 

kalian semua akan dihabisinya!" Patih Kerajaan menyeringai lalu 

angguk-anggukkan kepala. 

"Aku tadinya menganggap cerita tentang Lentera lblis itu 

hanya isapan jempol belaka ..." 

"Naiklah ke puncak Merapi. Rampas lentera itu sebelum 

lentera merampas nyawamu!" kata Pangeran Muda pula lalu 

menyambung kata-katanya. 

"Patih Wira Bumi, aku telah memberi keterangan sangat 

berguna bagi Kerajaan, seharusnya saat ini . kau membebaskan


diriku! Aku adalah Rajamu yang syah!" Wira Bumi tertawa panjang. 

Tiga tokoh silat golongan hitam yang datang bersamanya 

sunggingkan senyum mengejek. Sang Patih kemudian tepuk-tepuk 

bahu Pangeran Muda yang sampai saat itu masih berdiri dalam 

keadaan tertotok lalu berkata. 

"Jangan kawatir Pangeran Muda. Kau akan aku lepaskan. 

Sekalian bersama nyawamu!" Patih Kerajaan mengambil tombak 

yang dipegang seorang perajurit. Senjata ini kemudian 

dihunjamkannya ke dada Pangeran Muda. 

Manusia yang memimpikan untuk dapat merebut tahta 

Kerajaan dan menjadi Raja ini hanya sempat keluarkan jeritan 

pendek lalu jatuh terbanting ke tanah dan hembuskan nafas terakhir 

dengan mata melotot. 

Patih Wira Bumi dan dua orang tokoh silat istana berunding 

apa yang akan dilakukan. Akhirnya diputuskan bahwa hari itu juga, 

paling lambatsore nanti mereka akan naik ke puncak Gunung Merapi 

setelah lebih dulu menghimpun dan menambah kekuatan pasukan. 

Sang Patih sendiri yang akan memimpin rombongan. Sementara itu 

kebakaran yang melanda puncak Merapi serta kabar tertangkap dan 

matinya Pangeran Muda gembong pimpinan kaum pemberontak dari 

Keraton Kaliningrat telah pula sampai ke telinga dan mendapat 

perhatian para tokoh rimba persilatan. Mereka menghubungkan 

peristiwa itu dengan ramalan akan munculnya satu kejadian luar 

biasa. Maka satu persatu para tokoh , rimba persilatan naik ke 

puncak Merapi. 

Para sepuh rimba persilatan umumnya tahu bahwa kawasan 

utara puncak Gunung Merapi pemah menjadi tempat kediaman Si 

Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari. Pasti sesuatu terjadi di 

sana. Kebanyakan dari mereka memilih melakukan perjalanan pada 

malam hari agar sampai keesokan pagi di tempat tujuan. 

Ketika api melanda puncak Merapi, Pendekar 212 Wiro 

Sableng dalam perjalanan menuju Goa Cadasbiru. Rencananya 

menemui Liris Merah dan Liris Biru, mencari petunjuk dalam Kitab 

Seribu Pengobatan agar dapat menyembuhkan penyakit yang 

diderita dua gadis itu. Di tengah jalan Wiro malah berpapasan 

dengan Liris Biru yang ditemani Setan Ngompol. Ketika ditanya 

Setan Ngompol memberi tahu bahwa dia dan Liris Biru bermaksud 

mencari Wiro dan Liris Merah yang katanya hendak mengejar


pemuda itu. Liris Biru tampak gelisah mengetahui kakaknya tidak 

bersama Wiro, bahkan Wiro tidak tahu menahu dimana gadis itu 

berada. 

"Kek, dalam perjalanan aku melihat seperti ada kebakaran di 

puncak Gunung Merapi. Aku pernah menyirap kabar bahwa satu 

peristiwa besar akan terjadi dalam rimba persilatan. Dari Kakek 

Segala Tahu yang aku temui belum lama ini dia mengatakan 

peristiwa itu adalah api dan darah. Lalu mengingat puncak Merapi 

adalah tempat kediaman Si Muka Bangkai guru Pangeran Matahari, 

menurutmu bagaimana kalau kiia naik ke sana." 

"Aku memang punya pikiran begitu." Jawab Setan Ngompol. 

Lalu berpaling pada Liris Biru 

"Kau ikut?" 

"Aku ikut kemana kalian pergi," jawab si gadis. Wiro 

mendekati Liris Biru dan berkata. 

"Kitab Seribu Pengobatan sudah ada di tanganku. Sekem-

balinya dari gunung Merapi kita sama-sama mencari petunjuk dalam 

kitab bagaimana mengobati penyakit dirimu dan Liris Merah." Wajah 

biris Biru tampak berseri. 

"Aku gembira. Aku merasa lega sekarang." 

* * * 

MALAM itu tanpa perdulikan api yang terus melalap puncak 

Merapi, Pangeran Matahari dan Liris Merah tidur di atas sebuah rakit 

di ayun lembut air telaga. Sementara mayat orang-orang Keraton 

Kaliningrat masih bergeletakan di sekitar telaga. Kedua insan yang 

lelap berpelukan setelah semalam suntuk memadu cinta saling 

melampiaskan nafsu baru terbangun dari tidur ketika cahaya 

matahari memanasi tubuh mereka. Kedua orang yang sejak malam 

tadi berada dalam keadaan bugil cepat kenakan pakaian masing-

masing. Lentera terbungkus kain hitam nampak memancarkan 

cahaya merah. 

"Ada bahaya," bisik Pangeran Matahari. Dia pegang tangan 

Liris Merah. Tangan yang lain menjangkau bungkusan Lentera lblis 

lalu keduanya melesat ke tepi telaga, berdiri di hadapan sebuah 

pondok kayu yang sebelumnya sengaja dibangun oleh Pangeran 

Muda untuk membujuk hati Pangeran Matahari.


"Masuklah ke dalam pondok. Jangan sekali-kali berani keluar 

kalau tidak aku beri tanda dengan dua kali suitan. Awasi tawanan 

kita. Rombongan malam tadi yang membawa tawanan sudah 

meninggalkan tempat ini. Aku punya perasaan saat ini bukan cuma 

kita yang ada di tempat ini. Orang-orang rimba persilatan. Mereka 

naik ke sini untuk mengantar nyawa!" 

Setelah Liris Merah masuk ke dalam pondok, Pangeran 

Matahari melangkah mendekati Bendera Darah yang kini menancap 

di tengah halaman luas antara pondok kayu dan telaga. Sambil 

memegang besi gagang bendera, dua mata Pangeran Matahari 

memandang berkeliling. Dia melihat beberapa orang mendekam di 

balik pohon-pohon besar. Ada yang berlindung di balik gundukan 

batu di tepi telaga. Ada juga merunduk di balik . semak belukar. 

Pangeran Matahari tertawa berqelak "Manusia-manusia 

geblek! Berani datang tidak berani unjukkan tampang!" Belum 

lenyap gelegar suara lantang Pangeran Matahari, tiba tiba dari balik 

pepohonan, dari belakang gundukan batu dan semak belukar satu 

persatu melesat keluar beberapa orang. 

Pangeran Matahari tahu kalau tidak semua orang yang 

datang sudah unjukkan diri. Masih ada yang sembunyi. Sementara 

itu dari arah timur pinggiran telaga mendatangi pasukan Kerajaan 

dibawah pimpinan Patih Wira Bumi dan Kepala Pasukan Kerajaan 

Gempar Sumodibroto. Pangeran Matahari mendengus. Unjukkan 

seringai dan membuka mulut. 

"Kalian datang dari jauh. Sepantasnya aku menghidangkan 

minuman hangat. Namun kalian bukan tamu tamu yang pantas 

mendapatkan kehormatanku. Lagi pula kalian datang sudah 

membawa bekal minuman. Yaitu darah kalian masing-masing yang 

kelak akan kalian teguk sendiri sebelum menemui kematian! Ha ... 

ha ... ha!" Sang Pangeran tahu, walau ada yang tidak dikenalnya 

namun orang-orang yang ada di tempat itu bukanlah manusia-

manusia sembarangan. Diantara mereka sudah menjadi musuhnya 

sejak lama. Tapi selama Lentera Iblis ada dalam pegangannya dia 

tidak perlu merasa kawatir. 

"Tidak diduga tidak disangka! Rupanya kalian datang jauh 

jauh minta mati secara bersamaan! Belantara kobaran api puncak 

Gunung Merapi agaknya telah menarik perhatian kalian! Sayangnya 

rasa ingin tahu kalian akan berakhir pada kematian! Ha ... ha ... ha!"


SEBELAS


ORANG pertama yang jadi perhatian Pangeran Matahari 

adalah musuh bebuyutannya yang bukan lain adalah Pendekar 212 

Wiro Sableng. 

"Pemuda Sableng berjuluk Pendekar Dua Satu Dua! Hari ini 

kau berpenampilan aneh dan lucu! Biasanya selalu mengenakan 

pakaian serba putih. Sekarang mengenakan pakaian hitam! Apakah 

itu tanda sebagai rasa tahu diri bahwa kau bakal menemui 

kematian?!" 

Diejek begitu rupa Wiro tenang-tenang saja, malah sambil 

menyengir dia menyahuti ucapan orang. 

"Aku memang kehabisan kain putih untuk bahan pakaian. 

Kabarnya persediaan kain putih di seluruh tempat sudah habis 

dipesan orang. Untuk dijadikan kain kafan pembungkus jenazahmu. 

Tentunya kalau hari ini kau mampus dengan jazad masih utuh! Ha ... 

ha ... ha!" 

Tampang Pangeran Matahari jadi kaku membesi. Tak mau 

kalah dia kembali tertawa. Suara tawanya menindih suara tawa 

Pendekar 212, menggetarkan seantero tempat termasuk halaman 

luas antara pondok dan telaga. Air telaga tampak bergelombang. 

Wiro perhatikan Lentera lblis di tangan Pangeran Matahari. Dia 

meyakini senjata aneh itu memberi kekuatan tambahan pada 

tenaga dalam serta hawa sakti yang ada dalam tubuh murid Si 

Muka Bangkai itu. 

"Gunung Merapi adalah daerah kekuasaanku. Aku berpant-

ang mati di sarang sendiri! Lihat di sekitar kalian. Hampir selusin 

mayat bergeletakan. Apa itu tidak membuat kalian berpikir seribu kali 

berani menyatroni Pangeran Matahari di sarangnya sendiri?!" Wiro 

balas ucapan orang. 

"Pangeran Matahari, dosamu telah melebihi takaran. Sedalam 

lautan setinggi langit tembus, sebusuk comberan. Ketahuilah bahwa 

sebenarnya kau telah lama mati. Selama ini kau tak lebih dari pada


mayat berjalan!" , Air. muka Pangeran Matahari langsung mengelam 

kaku mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Namun dengan cerdik 

dia tindih hawa amarah dengan tawa bergelak. 

Setelah puas tertawa Pangeran Matahari perhatikan orang 

berikutnya. Yaitu seorang kakek bermata jereng, kuping lebar dan 

salah satunya terbalik. Kakek ini sebentar-sebentar pegangi celana. 

Tanah yang dipijak tampak basah. Setan Ngompol! Siapa lagi kalau 

bukandia! 

"Kakek jelek! Kau datang hanya mengotori tempat kediaman-

ku dengan air kencingmu! Tololnya mau ikut-ikutan mati bersama 

pendekar sableng itu!" Mendengar ancaman itu karuan saja kencing 

Setan Ngompol jadi terpancar. Tanah di bawah kedua kakinya 

tampak tambah becek. 

"Air kencingku bukan air kencing biasa!" menyahuti Setan 

Ngompol. 

"Kalau kau minum sambil menungging rasanya sama dengan 

anggur harum negeri Cina! Ha ... ha ... ha! Kau mau minum 

kencingku? Sekarang? Ha ... ha ... ha!" Sambil tertawa Setan 

Ngompol tekap bagian bawah perutnya Serrr .... serrr. Kencing 

kembali memancar. Tampang Pangeran Matahari jadi merah 

membesi. 

"Kakek bau pesing! Kau boleh mempermainkanku! Sebentar 

lagi tubuhmu akan aku buat leleh!" Namun dia jadi terhibur ketika 

melihat gadis cantik berpakaian serba biru yang tegak di dekat si 

kakek. 

"Gadis cantik, bukankah kau adik gadis bernama Liris Merah? 

Ah, sayang sekali. Cantik dan harum mengapa jalan bersama kakek 

jelek bau pesing itu?! Ha ... ha ... ha! Sebentar lagi kau akan terkejut 

melihat siapa yang hadir di sini! Kau harus memanggil kakak ipar 

padaku! Ha ... ha .... ha!" 

Ucapan terakhir pangeran Matahari itu membuat Liris Biru 

selain heran juga terkejut. Apakah telah terjadi perkawinan antara 

Pangeran Matahari dengan kakaknya? Kapan? Namun saat itu gadis 

ini tak bisa berpikir panjang. Pangeran Matahari lalu palingkan 

kepala ke arah seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Pemuda ini 

berambut ikal hitam, berwajah tampan. Wiro sendiri sejak tadi 

memperhatikan karena rasa-rasa kenal.


"Sobat muda! Aku tak mengenal siapa dirimu! Lekas 

terangkan siapa kau adanya. Apa sudah bosan hidup berani datang 

ke puncak Merapi !" 

"Namaku Jatilandak! Aku datang ke sini untuk mewakili 

seorang gadis sahabatku yang pernah kau perkosa!" Kejut Wiro dan 

Setan Ngompol bukan alang kepalang. Jatilandak! Pemuda dari 

Latanahsilam. Negeri 1200 tahun silam., Apa yang terjadi? 

Bagaimana keadaannya ymg dulu botak serta berkulit kuning 

menjijikkan kini berubah menjadi seorang pemuda tampan berkulit 

bersih berambut lebat? Kitab Seribu Pengobatan! Wiro lantas ingat 

pada perempuan bayangan. Mungkin sekali Jatilandak lah yang 

diobati mahluk itu. 

." Purnama ...." Wiro berucap berlahan. 

"Apakah kau berada di sini?" 

"Aku sejak tadi ada di dekatmu," ada suara jawaban 

mengiang di telinga kanan Pendekar 212 disertai saputan angin 

halus. 

"Purnama, pemuda itukah yang kau maksudkan pada per-

temuan kita sebelumnya?" 

"Betul. Dia sahabatmu bukan?" Wiro menggaruk kepala lalu 

mengangguk perlahan. 

"Apa hubunganmu dengan Jatilandak ...." 

"Kau cemburu? Sudah nanti saja kita bicara lihat apa yang 

terjadi. Banyak kejutan yang akan kau lihat sebentar lagi." Jawab 

Purnama mahluk alam roh dari Negeri Latanasilam. 

Kening Pangeran Matahari mengerenyit. 

"Selama hidup aku telah merusak kehormatan puluhan gadis. 

Aku tak ingat satu-satu nama mereka. Katakan siapa. nama 

Sahabatmu yang menurutmu telah aku perkosa?!" 

"Bidadari Angin Timur!" jawab Jatilandak tanpa tedeng aling-

aling dengan suara keras lantang hingga semua orang mendengar 

jelas. Wiro terkejut. 

"Pangeran jahanam!" geram Wiro dengan dua tangan 

terkepal. Pangeran Matahari lebih lagi kejutnya. Tetapi ia tunjukkan 

sikap tenang. Sambil mengeringai dan usap-usap dagu 

pangeran bergumam.


"Hemm .... Bidadari Angin Timur bukan gadis sembarangan. 

Jangan kau berani menuduh tanpa membawa bukti. Dimana gadis 

itu sekarang?" . 

"Dia diketahui telah membuang diri masuk jurang. Bunuh diri 

karena tidak sanggup menahan aib besar!" Wiro Sableng merasa 

tanah yang dipijak seperti amblas. Mukanya tampak pucat. Sekujur 

tubuh panas bergetar dan dada terasa sesak. Dia memandang ke 

arah Setan Ngampol Si kakek sendiri dalam kaget luar biasa 

langsung kucurkan air kencing. 

"Kek, Apakah benar Bidadari Angin Timur sudah meninggal? 

Aku seperti tak bisa percaya ..." suara Wiro bergetar.Tenggorokan 

Setang Ngompol turun naik mendengar ucapan Wiro tadi. 

"Aku tidak tahu Wiro. Lama sekali aku tidak melihat atau 

mendengar kabar dirinya. Kalau nasibnya sampai begitu rupa, 

kasihan sekali ...' 

"Pangeran Matahari! Aku datang untuk membalaskan sakit 

hati atas perbuatanmu terhadap gadis sahabatku itu!" Habis berkata 

begitu Jatilandak siap hendak menyerang Pangeran Matahari. 

Namun seperti ada satu tangan yang menahan dadanya hingga 

gerakan kedua kakinya terhenti. 

"Anak Muda, kalau mau mati harap bersabar dulu! Jika kau 

memaksa aku akan memberikan kesempatan bagimu untuk 

menemui kematian!" Jawab Pangeran Matahari. 

Jatilandak sunggingkan senyum sinis. 

”Pangeran Matahari kau tak bisa lari dari kematian. Mayatmu 

tidak bakal berkubur!" Pangeran Matahari gembungkan rahang. Dia 

tak ingin melayani Jatilandak lebih jauh. Dia berpaling pada Patih 

Kerajaan. 

"Patih Kerajaan Wira Bumi!" Pangeraan Matahari berseru. 

"Sungguh satu kehormatan atas kehadiranmu membawa 

pasukan dalam jumlah besar. Disertai pula Kepala Pasukan 

Kerajaan dan dua tokoh silat istana! Benar-benar kehormatan luar 

biasa!" Wiro berbisik pada Setan Ngompol. Suami perempuan Nyi 

Retno Mantili jadi urusan kita nanti Kek. Dia yang menggantung Ki 

Tambakpati." Sementara itu Patih Wira Bumi telah maju selangkah. . 

"Pangeran Matahari. Aku datang untuk menyelidik. Ada orang 

yang memberi tahu bahwa kau telah membakar rimba di kawasan 

puncak gunung ini. Kemudian kau hendak mendirikan Partai


Bendera Darah yang mengancam ketentraman Kerajaan serta 

seluruh kawasan negeri. Apakah hal itu benar adanya?" 

Mendengar kata-kata Patih Kerajaan Pangeran Matahari 

tertawa langsung tertawa gelak-gelak.. 

"Sungguh tolol!! Jauh jauh datang hanya untuk mengajukan 

dua pertanyaan. Ha ... ha ... ha!" Pangeran Matahari kacakkan 

tangan kiri di pinggang Tangan kanan memegang lebih erat gagang 

Lentera Iblis.Dua mata menatap tajam pada Patih Kerajaan lalu dia 

bertanya. 

"Patih, siapa yang mengadukan hal itupada sampeyan?!" 

"Pangeran Muda yang kau hancurkan tangannya!" Jawab 

Patih Kerajaan. Kembali Pangeran Matahari tertawa tergelak-gelak 

."Kau lebih percaya pada biang pemberontak itu dari pada 

orang rimba persilatan yangselalu bicara apa adanya seperti aku!" 

Wira Bumi melirik ke arah Bendera Darah yang menancap di tanah. 

Dia berpaling pada Kepala Pasukan yang berdiri di sebelahnya dan 

berkata. 

"Gempar Sumobroto! Tangkap manusia itu hidup atau mati. 

Mendengar perintah sang Patih, Kepala Pasukan Kerajaan segera 

memberi tanda kepada seluruh anak buahnya. Hampir lima puluh 

perajurit segera mengepung Pangeran Matahari. Dua orang tokoh 

silat istana yang juga mendapat tanda dari Wira Bumi cepat 

mendekati sang Patih. Salah seorang berbisik. 

"Patih, Lentera lblis bukan senjata sembarangan Kita harus 

menghadapi lawan dengan memakai siasat." 

"Kalian berdua tak perlu menasehatiku! Saat ini bukan 

waktunya banyak bicara. Aku membawa kalian ke sini untuk 

menghabisi orang itu! Kerjakan perintah!" 

Patih Kerajaan marah sekali. Dia membentak sambil delikkan 

mata. Dua tokoh silat istana tak bisa berbuat lain. Namun salah 

seorang dari mereka yang dikenal dengan julukan "Jerangkong 

Hidup" berlaku cerdik. Tokoh silat yang keadaan tubuhnya memang 

seperti jerangkong kurus tinggi berselempang kain putih itu 

berkelebat ke samping kiri seolah hendak menyerang lawan dari 

arah ini namun sebenarnya dia berusaha menjauhkan diri dari 

Pangeran Matahari. 

Pangeran Matahari sendiri saat itu decakkan lidah dan 

goleng-goleng kepala. Dengan sikap tenang malah sambil


menyeringai dia menatap ke arah orang-orang yang datang 

menyerbu.Pergelangan tangan kanan yang memegang Lentera lblis 

perlahan-lahan bergerak berputar ke kanan siap mengeluarkan jurus 

pertama Lentera Iblis bernama Api Neraka. 

Pangeran Matahari keluarkan bentakan dahsyat. Lentera Iblis 

berputar ke kanan lalu wusss! Sinar merah berkiblat.laksana kipas 

raksasa menyapu. Saat itu juga pekik kematian mendera seantero 

tempat. Puluhan tubuh mencelat ke udara lalu jatuh berkaparan di 

tanah dalam keadaan sudah jadi mayat, hangus merah kepulkan 

asap. Bau daging terpanggang menghampar dimana-mana! Yang 

menemui ajal saat itu adalah dua puluh tiga perajurit Kerajaan, 

Kepala Pasukan Gempar Sumobroto serta seorang tokoh silat 

istana! Perajurit-perajurit dan tokoh silat Si Jerangkong Hidup yang 

masih hidup, tanpa dapat dicegah langsung saja tinggalkan tempat 

itu. Patih Kerajaan dalam kemarahannya tidak bisa mencegah 

mereka yang kabur. Nyalinya sendiri saat itu sebenarnya sudah 

leleh. Tapi untuk ikutan kabur dia merasa malu. 

Agar harga dirinya tidak jatuh Wira Bumi menghunus sebilah 

tombak pendek bermata dua yang memancarkan sinar berputar 

membentuk tameng besar di tangan kiri sementara tangan kanan 

menyiapkan pukulan sakti bernama Angin Roh Pengantar Kematian. 

Didahului satu teriakan keras Patih Kerajaan melompat ke 

hadapan Pangeran Matahari. Yang diserang segera gerakkan 

tangan kanan yang memegang Lentera lblis. Namun tiba-tiba ada 

suara perempuan berseru keras. Membuat gerakan sang Patih 

tertahan. 

"Patih Kerajaan menyingkirlah! Nyawa Pangeran keparat itu 

bukan punyamu tapi milikku!. Aku sudah menghancurkan goa 

kediamannya. Kini giliran dirinya akan kulumat amblas!" Semua 

orang memandang berkeliling. Suara perempuan tadi terdengar jelas 

dan begitu dekat. Namun sulit diduga dimana orangnya berada. 

"lblis perempuan! Berani bicara mengapa tidak berani 

unjukkan tampang?!" Pangeran Matahari berteriak. Teriakan 

Pangeran Matahari disambut oleh satu tawa panjang. Disusul suara 

seperti srigala melolong. Walau saat itu siang hari dan terang 

benderang apa lagi ada hamparan hawa panas kobaran api yang 

membakar, namun tak urung semua orang merasa tercekat.


Sesaat kemudian satu bayangan biru berkelebat dari atas 

atap pondok kayu. Di lain kejap sosok biru tadi sudah berdiri 

sepuluh langkah di depan kiri Pangeran Matahari. Orang ini adalah 

nenek berwajah putih, mengenakan pakaian serba biru, berambut 

hitam kusut masai riap-riapan. 

"Nyi Bodong!" ucap Wiro setengah berseru. Begitu melihat 

siapa yang berdiri di hadapannya walau dia tidak gentar namun 

perasaan tidak enak merasuki Pangeran Matahari. Nenek muka 

putih inilah yang dulu membuntungi tangannya setelah dia gagal 

memperkosa Nyi Retno Mantili. 

"Nenek keparat! Kau rupanya!" teriak Pangeran Matahari 

marah besar. 

"Dulu kau buntungi tanganmu! Barusan kau katakan kalau 

dirimulah yang telah menghancurkan goa kediamanku! Sungguh 

besar dosamu Nyi Bodong! Hari ini kau harus membayar 

perbuatanmu berikut bunganya alias mampus!" Nenek muka putih 

tertawa panjang. 

"Kalau kau mampu membunuhku, aku sangat suka 

membawamu serta ke alam kematian menemui orang-orang yang 

telah kau bunuh! Hik ... hik ... hik! Dosamu terhadap rimba persilatan 

dan terhadap diriku sulit ditakar!" 

"Nenek sinting bermulut busuk! Aku ingin tahu dosa apa yang 

telah aku perbuat atas dirimu!" 

"Pertama kau menghamili lalu membunuh adikku!" 

"Huh! Siapa nama adikmu?!" 

"lngat Pangandaran?" 

"Nenek setan! Kau yang mengingati aku! Bukan tugasku 

mengingat-ingat!" 

Nyi Bodong mendengus. "Adikku bernama Pandan Arum! 

Kau nodai dirinya sehingga hamil lalu kau bunuh! Itu dosamu . 

perbuatan Dosa kedua kau juga telah memperkosa diriku!" 

Disebutnya nama Pandan Arum membuat kening Wiro mengerenyit 

dan dadanya berdebar. 

"Aku memperkosa dirimu?! Tunggu! Ha ... ha ... ha!" 

Pangeran Matahari tertawa bergelak. 

"Masih banyak gadis dan perempuan muda yang bisa aku 

dapatkan! Mengapa aku mau-mauan memperkosa nenek jelek dan 

bau macam dirimu?!"


"Pangeran Matahari! Buka matamu lebar-lebar! Lihat siapa 

aku sebenarnya!" Habis berkata begitu nenek muka putih gerakkan 

tangan ke atas kepala. Rambut panjang hitam dan kusut dijambak 

ditanggalkan lalu dicampakkan ke tanah. Ternyata dia mengenakan 

rambut palsu. Kini kelihatan rambut aslinya, berwarna pirang 

panjang sepinggang indah sekali. Semua orang jadi melengak, 

semua mata terbuka besar dan semua hati menduga-duga. Wiro 

tambah tegang. Setan Ngompol kucurkan air kencing. 

Tidak berhenti sampai hanya menanggalkan rambut. Kini 

nenek muka putih berambut pirang gerakkan tangan ke atas kening, 

mengelupas sehelai topeng kulit yang sangat tipis. Begitu topeng 

tersingkap memperlihatkan wajah sebenarnya dari si nenek muka 

putih, beberapa mulut sama-sama keluarkan seruan tertahan. 

"Bidadari Angin Timur!" seru Wiro. 

"Ya Tuhan, terimakasih ternyata dia masih hidup!" Kalau 

Pangeran Matahari sampai terdongak saking Tidak percaya, maka 

Pendekar 212 Wiro Sableng mendelik ternganga, menarik nafas 

berulang kali. Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya. 

"Wiro, Yang aku tidak mengerti, dari mana dia dapat ilmu 

kesaktian Pusar bodong! Hik..hik!" 

"Pangeran Matahari! Apakah kau sudah siap menerima 

kematian?!" Bidadari Angin Timur alias Nyi Bodong ajukan 

pertanyaan sambil tangan kiri bergetak ke bagian perut sementara 

tangan kanan perlahan-lahan diangkat ke atas. Jelas dia hendak 

menghabisi lawan dengan llmu Pusar Pusara Yang selama ini 

telah menggegerkan rimba persilatan. Apakah pukulan sakti itu 

akan sanggup menghadapi Lentera Iblis? 

Setelah lenyap kejutnya, kepongahan kembali bersarang di 

otak dan hati Pangeran Matahari. 

"Bidadari Angin Timurl Sekalipun kau punya ilmu hebat dan 

pernah membuntungi tanganku, tapi keadaan sekarang sudah 

berobah! Sekalipun semua orang yang ada di sini membantumu! 

Sekalipun semua malaikat turun dari langit menolongmu! Kau dan 

semua keparat yang ada di sini tidak akan mampu mengahadapi 

Lentera Iblis. Kalian sudah menyaksikan sendiri bagaimana puluhan 

manusia berkaparan dan mati! 

Apa kalian telalu sombong atau buta semua! Bidadari Angin 

Timur, lebih baik kau ikut bersamaku! Kita akan menjadi pasangan


"Pangeran Matahari! Buka matamu lebar-lebar! Lihat siapa 

aku sebenarnya!" Habis berkata begitu nenek muka putih gerakkan 

tangan ke atas kepala. Rambut panjang hitam dan kusut dijambak 

ditanggalkan lalu dicampakkan ke tanah. Ternyata dia mengenakan 

rambut palsu. Kini kelihatan rambut aslinya, berwarna pirang 

panjang sepinggang indah sekali. Semua orang jadi melengak, 

semua mata terbuka besar dan semua hati menduga-duga. Wiro 

tambah tegang. Setan Ngompol kucurkan air kencing. 

Tidak berhenti sampai hanya menanggalkan rambut. Kini 

nenek muka putih berambut pirang gerakkan tangan ke atas kening, 

mengelupas sehelai topeng kulit yang sangat tipis. Begitu topeng 

tersingkap memperlihatkan wajah sebenarnya dari si nenek muka 

putih, beberapa mulut sama-sama keluarkan seruan tertahan. 

"Bidadari Angin Timur!" seru Wiro. 

"Ya Tuhan, terimakasih ternyata dia masih hidup!" Kalau 

Pangeran Matahari sampai terdongak saking Tidak percaya, maka 

Pendekar 212 Wiro Sableng mendelik ternganga, menarik nafas 

berulang kali. Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya. 

"Wiro, Yang aku tidak mengerti, dari mana dia dapat ilmu 

kesaktian Pusar bodong! Hik..hik!" 

"Pangeran Matahari! Apakah kau sudah siap menerima 

kematian?!" Bidadari Angin Timur alias Nyi Bodong ajukan 

pertanyaan sambil tangan kiri bergetak ke bagian perut sementara 

tangan kanan perlahan-lahan diangkat ke atas. Jelas dia hendak 

menghabisi lawan dengan llmu Pusar Pusara Yang selama ini 

telah menggegerkan rimba persilatan. Apakah pukulan sakti itu 

akan sanggup menghadapi Lentera Iblis? 

Setelah lenyap kejutnya, kepongahan kembali bersarang di 

otak dan hati Pangeran Matahari. 

"Bidadari Angin Timurl Sekalipun kau punya ilmu hebat dan 

pernah membuntungi tanganku, tapi keadaan sekarang sudah 

berobah! Sekalipun semua orang yang ada di sini membantumu! 

Sekalipun semua malaikat turun dari langit menolongmu! Kau dan 

semua keparat yang ada di sini tidak akan mampu mengahadapi 

Lentera Iblis. Kalian sudah menyaksikan sendiri bagaimana puluhan 

manusia berkaparan dan mati! 

Apa kalian telalu sombong atau buta semua! Bidadari Angin 

Timur, lebih baik kau ikut bersamaku! Kita akan menjadi pasangan


luar bisa hebat rimba persilatan!" Bidadari Angin Timur menjawab 

dengan dengusan lalu meludah ke tanah. 

"Tawaranmu sungguh sangat menjijikkan!” Pelipis Pangeran 

Matahari bergerak-gerak. Rahang menggembung. 

"Manusia-manusia keparat! Kalian semua dengar!" Suara 

Pangeran Matahari menggeledek. 

”Aku bersedia berbaik hati mengampuni nyawa kalian semua 

dengan satu syarat! Yaitu dengan tebusan nyawa Pendekar Dua 

Satu Dua. Dia harus datang ke hadapanku, berlutut dan sebelum 

merima kematian harus menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan 

padaku!" 

Semua orang yang ada di tempat itu jadi terdiam dalam 

keterkejutan dan sama memandang ke arah Pendekar 212 Wiro 

Sableng. Setan Ngompol langsung kucurkan air kencing. Belum 

lenyap getar suara geledek Pangeran Matahari di telinga semua 

orang, tiba-tiba satu suara perempuan menggema di tempat itu. 

"Siapa ingin membunuh Pendekar Dua Satu Dua langkahi 

dulu mayatku!" lag -lagi semua orang dibuat terkejut. 

 

* * *


DUA BELAS



DARl balik gundukan batu hitam di tepi telaga melesat 

seorang gadis muka putih berpakaian hijau. Di pinggangnya 

tergantung lima kendi kecil warna hitam. Kendi ke enam ada di 

pegangan tangan kiri. Anehnya begitu menjejakkan kaki di halaman, 

dia bukan berdiri di depan tapi malah di belakang Pangeran 

Matahari. Sang Pangeran menggeram. Dalam amarahnya sang 

Pangeran menaruh curiga dan cepat berpikir. 

"Gadis kurang waras ini, dia sengaja berdiri di belakangku. 

Apa maksudnya? Mungkin dia mengetahui sesuatu. Tiga jurus 

Lentera Iblis! Tidak ada satupun jurus yang menyerang musuh di 

sebelah belakang! Astaga! Kurang ajar!" Pangeran Matahari cepat 

balikkan badan. 

"Wulan Srindi ..." ucap Wiro, terkesiap tegang. Selain itu dia 

juga merasa sangat terharu. Ternyata dalam kekurangan warasnya 

gadis itu benar-benar mencintai dan siap membela dirinya. 

"Perempuan gila! Siapa kau?! Bagaimana bisa kesasar 

sampai di sini?!" bentak Pangeran Matahari. Perempuan muda 

berbaju hijau lebih dulu teguk minuman keras dalam kendi. Setelah 

tertawa panjang baru menjawab. 

"Namaku Wulan Srindi! Aku murid Dewa Tuak! Aku adalah 

istri Pendekar Dua Satu Dua! Saat ini aku tengah hamil empat 

bulan! Apa cukup jelas jawabanku? Hik ... hik ... hik!” Ucapan si 

gadis tentu saja membuat semua orang menjadi gempar. Air muka 

Wiro tampak merah. 

Ternyata Wulan Srindi masih saja bertingkah seperti dulu. 

Bidadari Angin Timur tercengang lalu tundukkan kepala. Dia merasa 

kasihan terhadap Wiro. Setan Ngompol pegangi bagian bawah 

perut. Hanya Liris Biru yang tampak agak tenang. 

"Ha ... ha ... ha! Tidak sangka Pendekar Dua Satu Dua punya 

istri gelap! Punya anak haram pula dalam kandungan empat bulan! 

Ha ... ha ... ha!” Pangeran Matahari tertawa gelak-ge!ak


"Hus! Tawamu jelek! Mulutmu bau!" damprat Wulan Srindi lalu 

tertawa cekikikan. Gadis itu teguk minuman dalam kendi lalu 

disemburkan ke arah Pangeran Matahari. Sang Pangeran cepat 

menghindar dengan melompat kebelakang sambil keluarkan kutuk 

serapah. Tanah satu langkah di depan kaki Pangeran Matahari 

terbongkar membentuk lobang besar. 

"Perempuan kurang ajar! Amblas nyawamu!" Lentera iblis di 

tangan kanan,Pangeran berputar ke kiri. Saat itu juga selarik sinar 

hitam menderu ke arah Wulan Srindi, inilah jurus kedua Lentera lblis 

yang disebut Jurus Api Akhirat. Wulan Srindi . sambuti serangan itu 

dengan semburan minuman keras. 

"Wulan! Awas! Cepat menyingkir!" teriak Wiro. Dia hendak 

melompat. 

"Wutt!" Sinar hitam keburu berkiblat keluar dari Lentera Iblis. 

"Wusss!" Wulan Srindi masih sempat menyemburkan 

miniman keras dari dalam mulutnya. Semua terjadi luar biasa cepat. 

Wulan Srindi terpental dua tombak lalu terkapar dalam ujud 

mengerikan. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai kaki hangus 

nyaris tak berbentuk lagi. Pangeran Matahari sendiri sesaat tampak 

tertegak tegang. Dua buah lobang besar kelihatan di kaki celana 

hitamnya sebelah kanan. Semburan minuman keras Wulan Srindi 

walau tidak telak telah melukai kakinya. 

Wiro berteriak marah. Liris Biru terpekik. Bidadari Angin 

'Timur melesat mendahului. Jatilandak tak tinggal diam. Patih Wira 

Bumi juga marah namun tetap tak bergerak di tempatnya. Pangeran 

Matahari sudah bisa kuasai dirinya. Sambil melompat menjauhi para 

penyerang dia masukkan dua jari tangan kiri ke dalam mulut lalu 

keluarkan suara bersuit dua kali berturut-turut. . 

Lentera lblis diangkat setinggi pinggang di arahkan pada Wiro 

dan kawan-kawan. Dari pintu pondok melesat seorang gadis 

berpakaian merah, menggedong seseorang. 

"Tahan serangan kalian! Atau tua bangka ini akan menemui 

ajal saat ini juga!" Berteriak Pangeran Matahari. 

Ketika gadis yang berpakaian merah yang bukan lain Liris

Merah adanya menurunkan orang yang digendongnya ke tanah di 

depan Pangeran Matahari, kegemparan hebat terjadi. Perempuan 

tua yang tergeletak tertelentang di tanah adalah Sinto Gendeng! 

Keadaannya mengenaskan sekali Tubuh, muka dan pakaian


"Hus! Tawamu jelek! Mulutmu bau!" damprat Wulan Srindi lalu 

tertawa cekikikan. Gadis itu teguk minuman dalam kendi lalu 

disemburkan ke arah Pangeran Matahari. Sang Pangeran cepat 

menghindar dengan melompat kebelakang sambil keluarkan kutuk 

serapah. Tanah satu langkah di depan kaki Pangeran Matahari 

terbongkar membentuk lobang besar. 

"Perempuan kurang ajar! Amblas nyawamu!" Lentera iblis di 

tangan kanan,Pangeran berputar ke kiri. Saat itu juga selarik sinar 

hitam menderu ke arah Wulan Srindi, inilah jurus kedua Lentera lblis 

yang disebut Jurus Api Akhirat. Wulan Srindi . sambuti serangan itu 

dengan semburan minuman keras. 

"Wulan! Awas! Cepat menyingkir!" teriak Wiro. Dia hendak 

melompat. 

"Wutt!" Sinar hitam keburu berkiblat keluar dari Lentera Iblis. 

"Wusss!" Wulan Srindi masih sempat menyemburkan 

miniman keras dari dalam mulutnya. Semua terjadi luar biasa cepat. 

Wulan Srindi terpental dua tombak lalu terkapar dalam ujud 

mengerikan. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai kaki hangus 

nyaris tak berbentuk lagi. Pangeran Matahari sendiri sesaat tampak 

tertegak tegang. Dua buah lobang besar kelihatan di kaki celana 

hitamnya sebelah kanan. Semburan minuman keras Wulan Srindi 

walau tidak telak telah melukai kakinya. 

Wiro berteriak marah. Liris Biru terpekik. Bidadari Angin 

'Timur melesat mendahului. Jatilandak tak tinggal diam. Patih Wira 

Bumi juga marah namun tetap tak bergerak di tempatnya. Pangeran 

Matahari sudah bisa kuasai dirinya. Sambil melompat menjauhi para 

penyerang dia masukkan dua jari tangan kiri ke dalam mulut lalu 

keluarkan suara bersuit dua kali berturut-turut. . 

Lentera lblis diangkat setinggi pinggang di arahkan pada Wiro 

dan kawan-kawan. Dari pintu pondok melesat seorang gadis 

berpakaian merah, menggedong seseorang. 

"Tahan serangan kalian! Atau tua bangka ini akan menemui 

ajal saat ini juga!" Berteriak Pangeran Matahari. 

Ketika gadis yang berpakaian merah yang bukan lain Liris

Merah adanya menurunkan orang yang digendongnya ke tanah di 

depan Pangeran Matahari, kegemparan hebat terjadi. Perempuan 

tua yang tergeletak tertelentang di tanah adalah Sinto Gendeng! 

Keadaannya mengenaskan sekali Tubuh, muka dan pakaian


kotor, mata setengah terpejam menatap ke langit Di keningnya ada 

guratan luka. dari mulut keluar erangan halus. walau masih bisa 

keluarkan suara namun si nenek berada dibawah pengaruh totokan 

yang membuat sekujur tubuhnya kaku. 

"Eyang !” teriak Wiro. 

"Kakak!" teriak Liris Biru yang terkejut melihat Liris Merah. 

Tapi si kakak diam saja, menoleh pun tidak. 

"Jahanam! Kau apakan guruku!" Penuh kalap Wiro melompat 

ke arah Pangeran Matahari. Tangan kanan siap menghantam 

dengan pukulan Harimau Dewa sedang tangan kiri melepas pukulan 

Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Kedua pukulan sakti itu 

didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh dan keduanya 

dilancarkan dengan tenaga dalam penuh! Jangankan manusia. 

Gunung batu sekalipun kalau sampai kena hantaman dua pukulam 

itu akan hancur lebur! 

Namun gerakan Pendekar 212 serta merta terhenti ketika 

melihat apa yang dilakukan Pangeran Matahari. Pangeran Matahari 

letakkan Lentera lblis di atas dada Sinto Gendeng. Si Nenek 

keluarkan suaramengerang. Lentera itu tidak beda seperti himpitan 

sebuah batu besar. 

"Ada yang berani bergerak, tua bangka buruk ini akan 

menemui kematian!" Pangeran Matahari mengancam. Bukan cuma 

Wiro, semua orang terpaksa hentikan gerakan. 

"Pangeran jahanam! Berani kau mencelakai guruku ..." 

"Pendekar Dua Satu Dua tak usah mengancam! Nyawa 

gurumu ada di tanganku! Kitab Seribu Pengobatan berikan padaku 

berikut nyawamu!" 

"Pengecut keparat!" teriak Wiro. 

Sosok Sinto Gendeng yang tergeletak di tanah keluarkan 

suara batuk-batuk beberapa kali. Lalu terdengar nenek itu berucap. 

"Anak Setan, aku mendengar suaramu. Benar kau ada di 

sini?" 

"Eyang!" seru Wiro. 

'Saya ada di sini. Saya akan menyelamatkanmu. Saya akan 

serahkan Kitab Seribu Pengobatan. Juga nyawa saya sendiri!" 

"Tidak ... tidak. Jangan percaya ucapan manusia bermulut 

kotor berhati mesum itu. Jika Pangeran dajal ingin membunuhku 

biarkan saja. Aku memang sudah lama kepingin mati! Jangan kau


berani menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan padanya. Apa lagi 

kalau sampai menyerahkan nyawa!" 

"Nek, biar aku yang mati! Aku ingin menebus dosa-dosaku 

padamu!" Sinto Gendeng masih bisa tertawa. 

"Dosa kentut!" katanya. 

"Nenek hebat! Kalau begitu biar kau dan semua yang ada di 

sini kuhabisi sekarang juga!" Pangeran Matahari tekan Lentera lblis 

kebawah sekaliqus didorong ke depan. Kali ini dia hendak 

melancarkan jurus ke. tiga Lentera lblis yang bernama Liang Lahat 

Menunggu. Kalau ini sampai terjadi maka yang akan menemui ajal 

bukan cuma Sinto gendeng tapi juga semua orang yang ada di 

depan, samping kiri dan samping kanan. Dari tiga jurus Lentera lblis, 

jurus inilah yang paling ganas! 

"Eyang! Aku akan mengadu jiwa!" teriak Wiro. 

"Aku juga!" pekik Bidadari Angin Timur. 

"Aku ikut!" Setan Ngompol tak ketinggalan. 

Jatilandak juga berteriak. Malah sudah siap menyerbu ke arah 

Pangeran Matahari. Sepasang matanya memancarkan sinar kuning 

pertanda dia akan menghantam sasaran dengan ilmu kesaktian 

Mega Kuning Liang Batu yakni berupa semburan cahaya kuning dari 

kedua mata. 

Liris Biru dalam keadaan tegang dan bingung hendak lari 

menubruk Liris Merah. Sebelum ke empat orang tadi berteriak, tiba-

tiba satu bayangan samar laksana kilat berkelebat dan membungkuk 

di samping tubuh Sinto Gendeng. Jari tangannya bergerak cepat, 

mulut membisikkan sesuatu ke telinga si nenek. 

”Dess...desss...desss!" 

Tiga totokan yang menguasai tubuh si nenek terlepas 

musnah! Sinto Gendeng menjerit keras. Tangan kanannya mencuat 

ke atas, ke arah bagian bawah perut Pangeran Matahari. Pangeran 

Matahari tersentak kaget. Berusaha menghindar . tapi terlambat. 

"Kreekkk!" 

Jeritan Pangeran Matahari setinggi langit ketika kemaluannya 

hancur diremas Sinto Gendeng. Dalam menahan sakit yang amat 

sangat dia masih berusaha mendorong Lentera lblis ke depan. 

Namun saat itu Wiro menghantam lengan kanannya dengan pukulan 

Koppo sehingga tulang lengan itu berderak remuk. Cahaya hitam 

menyapu ke udara kosong. Wiro berusaha merampas Lentera lblis


namun pegangan Pangeran Matahari masih kuat walau tangannya 

sudah hancur. Sinto Gendeng yang tidak sabaran angkat pinggulnya 

ke atas tinggi-tinggi lalu menjepit Lentera lblis dengan kedua 

kakinya. 

Sebenarnya jepitan dua kaki si nenek tidak akan membuat 

Lentera terlepas dari pegangan Pangeran Matahari. Namun saat itu 

Lentera lblis telah bersentuhan dengan kain panjang hitam yang 

dikenakan Sinto Gendeng yang basah kuyup oleh air kencing! 

Pantangan Lentera lblis telah dilanggar! 

 Yaitu tidak boleh tersentuh cairan yang keluar dari tubuh 

manusia! Saat itu juga satu persatu cahaya merah, hitam dan kuning 

Lentera lblis meredup lalu padam sama sekali. Asap tiga warna 

mengepul. Pangeran Matahari meraung keras. 

"lhhh!" Sinto Gendeng terpekik menggeliat karena hawa 

panas kepulan asap lentera membuat tubuhnya sebelah bawah jadi 

kegelian. Si nenek lepaskan jepitan dua kakinya pada Lentera Iblis. 

Ketika Lentera lblis akhirnya terlepas dari tangannya dan 

meledak hancur berkeping-keping Pangeran Matahari jatuh 

terjerembab ke tanah. Dia cepat bangun. Sambil menjerit-jerit dan 

pegangi bagian bawah perut, terbungkuk-bungkuk dia berusaha 

melarikan diri. Namun di depannya telah menghadang Bidadari 

Angin Timur. 

'”Buukkk!" 

Satu tendangan dahsyat mengantam bagian bawah perut 

Pangeran Matahari hingga tambah hancur tak karuan rupa. Darah 

mengucur. Telapak tangan kirinya yang dipakai menekap remuk. 

Raungan Pangeran matahari tak berkeputusan. Jatilandak jambak 

rambutnya, di tarik ke atas lalu sarangkan satu jotosan ke dada 

orang. Tak ampun Pangeran Matahari terpental empat langkah, 

dada hancur. Ketika dia menjerit darah ikut menyembur dari 

mulutnya. Tapi sungguh luar biasa! Walau dada remuk, tubuh 

sebelah bawah hancur, Pangeran Matahari masih sanggup berdiri. 

Mata berputar liar. Saat itu Setan Ngompol tak sabaran datang 

menghampirinya. Kakek ini masukkan dulu tangan kanannya ke 

dalam celana. Setelah basah tangan itu dikeluarkan dan dijotoskan 

ke muka Pangeran Matahari. 

"Croot!"


Mata kanan Pangeran Matahari hancur. Untuk kesekian 

kalinya sang Pangeran meraung keras. Selagi tubuhnya terhuyung-

huyung, dia berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk melepas 

pukulan sakti. Namun dayanya sudah hampir sampai ke titik 

terendah. Saat itu pula dari samping Pendekar 212 ulurkan tangan 

kanan mencengkeram lehernya. 

"Pangeran terkutuk! Aku mewakili orang-orang yang telah 

.kau rusak kehormatannya dan mereka yang kau bunuh!" 

Lima jari tangan kanan Wiro yang dialiri tenaga dalam tinggi 

mencengkeram. 

"Kraakk!" 

Tulang leher Pangeran Matahari remuk. Mata kiri mencelet 

dan lidah terjulur. Dalam keadaan babak belur seperti itu tak ada hal 

lain yang bisa dilakukan Pangeran Matahari selain berusaha 

melarikan diri. Namun dia sudah tidak punya punya kemampuan. 

Hanya sanggup bergerak empat langkah tiba-tiba Bidadari Angin 

Timur datang menghadang. Tangan kiri naik ke atas, tangan kanan 

menyingkap baju biru. Pusar bodong menyembul. 

"Pangeran laknat! Ini dariku!" ucap Bidadari Angin Timur. 

Pusar bodong pancarkan cahaya. Sinar Geni Biru melesat. Luar 

biasa mengerikan. Tak ada lagi jeritan ketika tubuh Pangeran 

Matahari terkutung dua tepat di bagian pinggang. Isi perut 

berbusaian. Darah menggenang. Belum puas Bidadari Angin Timur 

tendang dua potongan tubuh hingga mental dan amblas masuk ke 

dalam kobaran api. 

"Wiro," kata Setan Ngompol yang menyaksikan kejadian itu. 

"Seperti yang kau bilang Pangeran Matahari benar-benar 

tidak memerlukan kain kafan!" ltulah akhir riwayat manusia paling 

jahat dan paling mesum yang selama ini menjadi momok nomor satu 

dalam rimba persilatan. 

Bidadari Angin Timur tekap wajahnya. Air mata mengalir di 

sela jari-jari yang halus. Dia benar-benar puas telah membalaskan 

sakit hati dendam kesumat Pandan Arum sekaligus dendamnya 

sendiri. Pada saat itu terjadi satu keanehan. Di siang bolong begitu 

rupa tiba-tiba di langit kilat menyambar disusul suara gelegar guntur. 

Semua orang tegak diam tercekam. Wiro ingat pada gurunya. Dia 

segera mendatangi, berlutut di samping Sinto Gendeng, menciumi 

tangan si nenek seraya berkata.


"Nek, saya murid kualat. Mohon ampun dan maafmu." Ketika 

kutungan tubuh Pangeran Matahari mengepul jatuh ke tanah Liris 

Merah terpekik. Dia hendak lari menubruk tubuh yang sudah tak 

karuan rupa itu. Namun namun cepat dicegat oleh Liris Biru dan 

Setan Ngompol. Liris Merah meratap keras. Wiro menolong gurunya 

berdiri. Si nenek menatap wajah sang murid yang berlutut di 

depannya dan usap rambut gondrong Pendekar 212. Matanya 

berkaca-kaca. 

"Wiro, kau murid baik. Apapun yang terjadi kau tetap muridku. 

Aku punya satu permintaan. Semua ilmu silat dan kesaktian yang 

aku berikan padamu tetap harus kau pergunakan untuk kebaikan. 

Ketahuilah dengan menyatunya Kapak Naga Geni Dua Satu Dua 

dan Batu Hitam Sakti di dalam tubuhmu, kekuatan tenaga dalam 

serta hawa sakti yang kau miliki sekarang jadi berlipat ganda ..." 

"Terima kasih Eyang. Saya tetap mohon maafmu," jawab 

Wiro dengan air mata berlinang. Lalu dia bertanya. 

"Bagaimana sampai Eyang bisa diculik oleh manusia terkutuk 

itu?" 

"Kejadiannya malam hari. Selagi aku tertidur lelap di sebuah 

dangau, dalam keadaan sakit ..." Menerangkan Sinto Gendeng. 

"Apakah sekarang Eyang masih sakit?" Si nenek menggeliat 

lalu tertawa cekikikan. 

"Rasanya aku sudah sembuh ..." Dia perhatikan lagi sang 

murid. 

"Kau lucu berpakaian hitam-hitam seperti ini." Wiro 

tersenyum lalu Keluarkan Kitab Seribu Pengobatan dari balik 

bajunya. 

"Eyang, ini Kitab Seribu Pengobatan milik Eyang. Saya 

berhasil mendapatkannya..." Si nenek ambil kitab itu dari tangan 

Wiro, diperhatikan dibolak balik lalu diserahkan kembali pada 

muridnya. 

"Ambil dan simpan haik-baik. Kau lebih layak menyimpannya. 

Banyak orang yang perlu kau tolong dengan - - . kitab itu." 

"Tapi Eyang ...." 

"Huss!" Sinto Gendeng masukkan kitab ke balik pakaian Wiro 

hingga sang murid tak bisa menolak. Wiro keluarkan lagi sebuah 

benda dan diperlihatkan pada si nenek. Sepasang mata Sinto 

Gendeng membesar berkilat.


"Oala! Itu tusuk kondeku!" 

"Benar Eyang, sesuai tugas dari Eyang saya berhasil 

menemukan." Sinto Gendeng tertawa gembira.. 

"Anak setan, terbukti kau murid baik! Kau berhasil 

menjalankan dua tugas yang aku berikan!" Sinto Gendeng usap 

kepala Wiro lalu ambil tusuk konde dan crass! Tusuk konde perak itu 

ditancapkan di batok kepalanya! Kini tusuk konde si nenek lengkap 

kembali berjumlah lima buah. 

"Nek, kita segera meninggalkan tempat ini. Api semakin 

besar. Hawa panasnya sampai ke sini. Saya akan mengantarkanmu 

ke Gunung Gede." 

"Tidak usah ... tidak usah. Aku mau keluyuran dulu mencari 

ketenangan hati. Bertemu dengan beberapa sahabat." Sinto 

Gendeng tepuk-tepuk pundak sang murid. 

"Tadi ada kejadian hebat. Seorang perempuan cantik 

berbentuk bayangan melepaskan totokan yang ada di tubuhku. Lalu 

memberi kisikan agar aku meremas barangnya Pangeran Matahari. 

Aku suka suka saja memegang anunya orang. Hik .. hik ... hik! Tapi 

aku mau tanya, siapa mahluk aneh itu? Jelas dia bukan Bunga gadis 

dari alam roh itu." 

"Namanya Pumama Nek ..." 

"Sahabat atau kekasihmu yang baru?" Wiro tertawa. 

"Terserah Eyang mau bilang apa." Sinto Gendeng tertawa 

dan angguk-anggukan kepala. 

"Jangan lupa mengurus mayat Wulan Srindi. Dia gadis baik. 

Hanya jalan nasibnya yang buruk. Kau tahu, sebenarnya aku tak 

pernah percaya kalau kau sudah kawin dengan dia. Apa lagi sampai 

gadis itu hamil. Hik .. hik ... hik. Sejak kecil aku sudah 

memperhatikan dan tahu keadaan dirimu. Sifatmu memang jahil, 

tapi anumu tidak jahil! Hik ... hik ... hik. Kelak kalau kau ingin kawin, 

kawin dengan siapa saja asal perempuan yang punya sifat baik, 

setia dan sayang padamu. Aku tidak perduli apakah dia bangsa 

manusia atau hantu sekalipun! Hik ... hik ... hik!" Wiro garuk-garuk 

kepala. 

"Terima kasih atas nasihatmu Nek. Tapi aku belum mau 

kawin." 

"Ya terus saja ganjen keluyuran!"ucap si nenek tapi sambil 

tersenyum.


"Sudah, aku mau pergi sekarang. Eh, apa luka 

dipunggungmu masih ada?" 

"Saya tidak tahu Nek. Saya tidak mengingat-ingat. Murid 

nakal tentu saja pantas menerima hukuman dari gurunya ..." Sinto 

Gendeng mesem-mesem. 

"Coba kau balikkan tubuhmu sana. Aku mau lihat 

punggungmu. Ayo singkapkan punggung bajumu." Sementara Wiro 

berbalik dan menyingkapkan bajunya di bagian punggung si nenek 

peras kain panjangnya dengan tangan kanan hingga tangan itu 

basah dengan air kencing. Tangan yang basah itu kemudian 

diusapkannya ke punggung Wiro lalu dia meniup. Aneh! Guratan 

panjang cacat bekas luka di punggung sang murid serta merta 

lenyap! 

"Nek, apa yang kau lakukan? Aku merasa dingin-dingin dan 

mencium bau pesing ” tanya Wiro. 

 Dia hanya mendengar suara Sinto Gendeng tertawa. Ketika 

berpaling nenek itu tak ada lagi di belakangnya. Memandang ke 

jurusan lain kelihatan Sinto Gendeng sudah berada di tempat jauh, 

melangkah sambil tertawa haha-hihi. Wiro menarik nafas panjang, 

bangkit berdiri dan . tertawa lepas. 

Wiro memandang berkeliling. Jatilandak diiringi Bidadari 

Angin Timur dan Setan Ngompol serta Liris Merah dan Liris Biru 

melangkah menghampiri. 

"Jangan dekat-dekat. Dia barusan diusapi air kencing sama 

gurunya!" berkata Setan Ngompol sambil tertawa-tawa. Tidak 

perdulikan ucapan orang Jatilandak mendekati Wiro lalu merangkul 

Pendekar 212. 

"Wiro, sahabatku. Aku berterima kasih kau telah meminjam 

kan Kitab Seribu Pengobatan. Dengan petunjuk dalam kitab itu 

kulitku yang kuning bisa disembuhkan. Rambutku bisa tumbuh wajar 

..." Terheran-heran Wiro berkata. 

"Rasanya aku tidak pernah meminjamkan kitab itu padamu. 

Bagaimana mungkin ..." 

"Kau menyerahkan pada seseorang yang kau beri nama 

Pumama." 

"Ah, kalau itu memang benar," kata Wiro pula.


"Wiro, jangan kaget kalau aku jelaskan bahwa Purnama 

adalah ibuku. Di Latanahsilam namanya Luhmintari ..." Pendekar 

Dua Satu Dua terperangah dengan mulut ternganga. 

"Jatilandak, kau mengatakan jangan kaget. Saat ini aku justru 

merasa sejuta kaget!" kata Wiro sulit bisa percaya. Lalu kedua 

pemuda itu saling berpelukan kembali.Wiro kemudian berpaling 

pada Bidadari Angin Timur. 

"Sampai saat ini rasanya aku masih tidak percaya kalau Nyi 

Bodong itu adalah Bidadari Angin Timur. llmu kesaktianmu luar 

biasa." Bidadari Angin Timur tersenyum manis. Wiro menambahkan. 

"Aku gembira bertemu denganmu sebagai Bidadari Angin 

Timur. Tidak sebagai Nyi Bodong ...." Gelak tawa meledak di tempat 

itu. Tangan kiri Bidadari Angin Timur meluncur mencubit pinggang 

Wiro hingga sang pendekar menggeliat kesakitan. 

"Wiro, aku tahu banyak pekerjaan yang harus kau Iakukan. 

Diantaranya menolong dua gadis kakak beradik ini. Mereka 

sekarang adik-adikku yang terkasih. Walau dulu aku pernah 

menampar mereka. Untuk itu aku mohon maaf ..." Habis berkata 

begitu Bidadari Angin Timur mencium Liris Merah dan Liris Biru. 

"Walau aku tak ingin mengingat masa lampau lagi namun ada 

dua orang yang harus kutemui ..." 

"Kalau aku boleh bertanya siapa kedua orang itu?" tanya 

Wiro. 

"Mengapa tidak?" jawab Bidadari Angin Timur. 

"Yang pertama perempuan cantik yang kau beri nama 

Purnama itu. Ibu Jatilandak.Aku ingin kejelasan kesaksiannya 

tentang musibah yang terjadi atas diriku. Yang kedua adalah Kiai 

Munding Suryakala. Kakek sakti yang telah menyelamatkan diriku 

waktu aku nekad menghambur jurang. Dia juga memberikan ilmu 

kesaktian padaku." Gadis cantik berambut pirang itu diam sebentar 

lalu melanjutkan ucapannya. 

"Wiro, ada satu hal yang ingin aku ceritakan padamu disertai 

permintaan maaf. Mengenai hilangnya Kitab Seribu Pengobatan itu, 

akulah yang telah berlaku jahil. Aku kesal padamu. Kitab kubawa 

kemana-mana sampai akhirnya aku ditolong Kiai Munding 

Suryakala. Kiai yang secara diam-diam mengembalikan kitab ke 

pondok Eyang Sinto di Gunung Gede." Wiro terdiam. Garuk-garuk 

kepala lalu tertawa gelak-gelak.


"Semua kejadian ada hikmahnya. Dan semua itu terjadi atas 

kehendak Yang Maha Kuasa. Bidadari Angin Timur, jika kau ingin 

bertemu dengan ibu Jatilandak tak usah pergi jauh. Dia ada di sini." 

Wiro menoleh ke kanan lalu berkata. 

"Purnama, hadirkan dirimu di sini." Saat itu juga tampak 

bayangan samar perempuan cantik. Perlahan-lahan sosok bayangan 

itu berubah menjadi ujud utuh seorang perempuan berparas jelita 

Jatilandak terkejut. 

"Wiro, bagaimana kau bisa melakukan hal ini. Aku anaknya 

sendiri tak bisa berbuat seperti itu!" Wiro angkat bahu dan tertawa. 

"Tanya saja pada ibumu yang cantik ini," jawab Pendekar 

212. Bidadari Angin Timur memeluk Purnama alias Luhmintari lalu 

menggandeng tangannya. Sebelum berpisah ketiga orang itu, Wiro, 

Jatilandak dan Bidadari Angin Timur saling berpelukan. Wiro 

berpaling pada Purnama. 

"Kau telah menolong Eyang Sinto. Aku sangat berterima 

kasih. Apakah aku boleh memelukmu?" 

Purnama tersenyum. Bidadari Angin Timur dan Jatilandak 

sama-sama tertawa. Purnama kemudian mendahului merangkul 

Pendekar 212 lalu cepat-cepat menjauh jengah. Setelah ke tiga 

orang itu pergi Wiro memandang berkeliling. 

"Aku tidak melihat Patih Kerajaan. Kita punya urusan yang 

belum selesai dengan manusia satu itu." 

"Pasti sudah kabur duluan setelah ditinggal lari anak 

buahnya," kata Setan Ngompol. 

"Sekarang bagaimana?" 

"Kita urus jenazah Wulan Srindi lebih dulu. Kemudian kita 

sama-sama ke Goa Cadasbiru," kata Wiro pula. Liris Biru 

mengangguk. Liris Merah tampak kikuk. Gadis satu ini sebenarnya 

ingin memisahkan diri. Apa yang ada di dalam pikiran Liris Merah 

terbaca.oleh sang adik. Liris Biru berkata. 

"Kakak, kau boleh pergi kemana kau suka. Tapi kau harus 

menjalani pengobatan lebih dulu. Wiro akan menolong kita." Liris 

Merah akhirnya anggukkan kepala dan tersenyum. 

"Dalam perjalanan ke Goa Cadasbiru di Kaliiurang, apakah 

aku boleh meminjam Kitab Seribu Pengobatan? Sekadar untuk 

dibaca-baca saja?" Setan Ngompol bertanya. 

"Mau mencari obat kuat Kek?" tanya Wiro bercanda.


"Boro-boro mencari obat kuat. Kencing saja belum lempang!" 

jawab Setan Ngompol lalu tertawa sendiri. , 

Wiro keluarkan Kitab Seribu Pengobatan. 

"Aku serahkan Sekarang. Tapi awas jangan sampai kena air 

kencingmu!” Liris biru dan Liris Merah tertawa cekikikan. Dua gadis 

ini memandang ke arah kobaran api yang semakin besar dan luas di 

kejauhan. 

”Bagaimana dengan api yang melanda puncak gunung ini? 

Apakah bisa dipadamkan? ” bertanya Liris Biru. 

”Tak usah khawatir ” jawab Setan Ngompol. 

”Biar nanti aku kencingi, pasti padam semua!”. Semua orang 

yang ada disitu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba angin bertiup kencang. 

Di sebelah barat langit tampak mendung tebal menggantung. Ketika 

orang-orang itu berada di lereng gunung sebelah timur hujan mulai 

turun. Mula-mula perlahan saja kemudian berubah sangat deras. 

”Lihat apa kataku! Kencingku sudah tumpah, sebentar lagi api 

di puncak gunung akan segera padam” kata Setan Ngompol sambil 

berkacak pinggang. 

”Sombongnya!” ucap Liris Merah lalu menggelitik pinggang si 

kakek yang membuat Setan Ngompol menjerit kegelian dan 

terkencing-kencing. 

* * * 

Pada pagi hari perjalanan menuju Goa Cadas Biru di 

Kaliurang Setan Ngompol selalu tertinggal di belakang. Sekali-sekali 

wajahnya tampak meringis seperti orang kesakitan. Sebentar-

sebentar dia pegangi bagian bawah perutnya. Ketika Wiro 

menanyakan mengapa dia tidak berlari cepat dan sering meringis, 

sikakek menjawab berbisik-bisik. 

”Aku kena masalah ......” 

”Masalah apa?” 

”Aku baca kitab Seribu Pengobatan, Aku menemui cara-cara 

pengobatan untuk kencing beserku. Mudah saja, meminta 

Kesembuhan pada Yang Kuasa lalu membuat totokan pada tiga 

tempat di bagian tubuh sebelah bawah. Kusangka penyakit beserku 

akan hilang. Tapi ternyata sampai pagi ini aku tidak kencing-kencing.


Tidak bisa beser sama sekali. Sakitnya gila-gilaan. Sampai keluar 

keringat dingin aku dibuatnya!”. 

Wiro minta Setan Ngompol mengeluarkan Kitab Seribu 

pengobatan dan menunjukkan halaman serta urutan cara 

pengobatan yang telah dilakukannya. Wiro mulai meneliti dan 

membaca. Selesai membaca dia bertanya pada Setan Ngompol 

bagian mana saja dari tubuhnya yang ditotok dan berapa kali. Si 

kakek lalu menunjukkan bagian tubuh sebelah bawah peut yang 

ditotoknya. 

"Semua aku totok masingpmasing tiga kali. Tapi bukannya 

sembuh, malah tidak bisa kencing!” Wiro kembali meneliti dan 

membaca kitab. Sesaat kemudian dia tertawa. Mula-mula perlahan 

saja, akhirnya keras terbahak-bahak. Liris Merah dan Liris Biru 

mendatangi, ingin tahu apa yang terjadi. 

"Anak sableng! Aku sakit setengah mati kau malah tertawa!" 

Setan Ngompol merengut. 

"Kek, coba kau lihat dan baca lagi petunjuk dalam kitab ini. 

Untuk sakit kencing-kencing yang kau alami penyembuhannya 

terbagi dua. Yaitu untuk lelaki dan untuk perempuan. Tadi kau 

menunjukkan tempat-tempat yang telah kau totok serta berapa kali 

totokannya. Aku baca disini, apa yang kau kerjakan itu adalah 

penyembuhan untuk perempuan. Untuk lelaki bukan di situ 

totokannya dan jumlahnya untuk setiap tempat masing-masing 

hanya dua kali! Jadi jangan heran kalau kini kau tidak bisa kencing-

kencing! Keliru pengobatan! Ha ... ha ... ha!" 

Wiro, juga Liris Merah dan Liris Biru tertawa terpingkal 

pingkal. Setan Ngompol tegak tertegun lemas. Mungkin kesal dia 

usap keras-keras bagian bawah perutnya. 

"Eh ... eh ..... lihat!"si kakek tiba-tiba berseru sambil menunjuk 

ke bagian bawah. Celananya yang basah tampak menggembung 

bergerak-gerak. Matanya yang jereng tambah juling. 

Seerr .... seeerr! 

"Oala! Beserku muncrat!" 

Wiro, Liris Merah dan Liris Biru kembali tertawa gelak-gelak. 


                                   T A M A T


Segera terbit cerita baru dengan Episode Pertama: 

D A D U S E T A N 

Bagaimana dengan Nyi Retno Mantili serta bonekanya yang 

bemama Kemuning. Sesuai janji Datuk Rao Basaluang Ameh 

apakah perempuan malang itu akan bertemu dengan puteri kandung 

yang diberi nama Ken Permata? 

Bagaimana pula dengan Patih Kerajaan Wira Bumi. Apakah Nyi 

Retno akan terus melaksanakan niat untuk membunuh suaminya itu. 

Semua pertanyaan akan terjawab dalam kisah episode tersendiri.





 

Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar